1
Ruang pertemuan Keraton Utara
ramai. Tidak seperti biasanya hal
seperti ini terjadi. Suara-suara
bersahutan terdengar silih berganti. Dan
pertemuan itu biasanya memang selalu
digunakan untuk membicarakan hal-hal
yang penting. Dan kali ini tempat itu pun
menjadi tempat yang teramat penting.
Karena hanya orang-orang kepercayaan
Prabu Kraton Utara saja yang hadir, tanpa
adanya beberapa prajurit yang biasanya
hadir untuk mewakili pasukannya.
Suasana pun lebih tegang dari
biasanya. Wajah-wajah yang hadir pun tak
kalah tegangnya.
Memang, hari ini Sang Prabu Keraton
Utara tengah mengajak para orang
kepercayaannya untuk memikirkan dan
memecahkan suatu masalah yang menurutnya
amat pelik. Hingga peliknya dia sendiri
tidak sanggup untuk memecahkan masalah
ini.
Hal yang merumitkan itu adalah
tentang hilangnya pusaka warisan para
leluhur Raja Keraton Utara. Mendadak
lenyap begitu saja. Hal ini benar-benar
membuat si raja muda itu bingung.
Para bawahannya yang setia, bekas
pengikut ayahnya sang Prabu Keraton
Utara yang telah mangkat yang bergelar
Sri Kertanegara, mendengarkan dan
memberi pendapat tanpa bermaksud untuk
mengambil muka pada raja muda itu.
Prabu yang baru, pengganti ayahnya
bergelar Sri Jayarasa. Dan mempunyai
nama asli Panji Lesmana.
Dia baru berusia 28 tahun. Tubuhnya
gagah dan wajahnya cakap. Pengetahuannya
tentang kepemerintahan dan strategi
perang cukup memadai. Semenjak Sri
Kertanegara masih hidup, Panji Lesmana
sudah dididik untuk menjadi seorang ahli
kepemerintahan dan ahli strategi perang.
Para bawahannya adalah para abdi
yang patuh pada prabu mereka. Mereka
benar-benar memikirkan bagaimana cara
memecahkan masalah yang telah dibeberkan
oleh sang prabu muda itu. Benar-benar
merupakan suatu masalah yang pelik, dan
semuanya pun merasakannya.
Prabu muda itu kembali
berkata-kata, "Jadi Ki Runding Alam
mengusulkan demikian?"
Yang dipanggil dengan nama Ki
Runding Alam menyembah. Dia seorang
laki-laki tua ynng perkasa. Sejak muda
dia sudah mengabdikan dirinya pada
Keraton Utara. Dan sudah beberapa kali
pula dia memimpin pasukan Keraton Utara
untuk menyerang ke Keraton Selatan, saat
kedua kerajaan itu masih dalam keadaan
bertempur.
Ki Runding Alam sering pula memimpin
pasukan untuk membasmi para perampok
yang banyak menyerang desa-desa dengan
kejam. Dan dia selalu berhasil dalam
menjalankan tugasnya.
Kepandaian Ki Runding Alam dalam hal
ilmu silat dan ilmu perang, sulit untuk
dicari tandingannya. Satu-satunya yang
mungkin dapat menandinginya hanyalah Mpu
Daga, seorang tua penasehat dan
kepercayaan Raja Keraton Utara.
Cuma yang disayangkan, sampai
sekarang ini Mpu Daga tidak mau
memperlihatkan kepandaiannya, jika
tidak ada masalah yang amat mendesaknya.
Mpu Daga seorang yang arif dan
bijaksana.
Hingga sulit diketahui, apakah Mpu
Daga mampu mengalahkan Ki Runding Alam?
Panji Lesmana alias Sri Jayarasa kuatir
Ki Runding Alam wafat, siapa yang bisa
menggantikan kedudukannya. Seharusnya
Ki Runding Alam sudah menyiapkan seorang
penerusnya yang tingkat kepandaiannya
setaraf atau melebihinya, dan paling
tidak, tak jauh berbeda dengan dirinya.
Namun sampai sekarang, Sri Jayarasa
belum melihat tanda-tanda itu.
Didengarnya suara abdinya yang
perkasa itu.
"Daulat, Tuanku yang mulia dan
agung. Kalau memang masalah itu yang
tuanku cemaskan, hanya itu pula hamba
bisa memberikan jalan," kata Ki Runding
Alam dengan suaranya yang berat namun
terdengar sopan.
"Apakah tidak ada pendapat yang
lain, agar aku bisa menerimanya dengan
baik, Ki?"
"Untuk saat ini, hamba hanya bisa
mengusulkan hal seperti itu, Tuanku...."
"Apakah tidak terlalu sulit, Ki?"
tanya raja lagi.
Kembali Ki Runding Alam
merangkumkan kedua tangannya di dada,
menyembah.
"Menurut hamba, karena itu usul yang
hamba berikan, tak akan ada kesulitan
sedikit pun."
"Kau bisa membeberkan rencanamu
itu?"
"Dengan segala kerendahan hati,
Tuanku. Pertama, jika memang benar
pusaka itu hilang dalam istana, menurut
hamba tak lain dan tak bukan, adalah
orang dalam sendirilah yang
melakukannya."
"Bagaimana kau bisa menduga
demikian, Ki?" tanya Raja pula.
"Karena bagi orang luar untuk
melakukannya, terlalu sulit, Tuanku.
Pertama, dia barus melewati banyaknya
punggawa yang begitu ketat menjaga
istana.
Kedua, pencuri itu pun belum tentu
tahu di mana Pusaka Patung Pualam lambang
kejayaan Keraton Utara dan warisan para
leluhur berada. Bukankah pusaka itu
berada di dalam kamar Tuanku?"
"Benar, Ki. Aku memang selalu
menyimpannya di sana. Karena aku begitu
bangga bisa melihatnya setiap hari dan
menjelang aku pergi tidur."
"Nah, dari alasan kedua itu saja
sudah tidak memungkinkan pencuri dari
kalangan luar itu bisa melakukannya.
Tetapi hanya ada satu cara lain...." Ki
Runding Alam menghentikan kata-katanya.
Yang hadir memandangnya dengan
tegang, menunggu kata-kata apa yang
hendak diucapkan Ki Runding Alam
kembali.
Begitu pula halnya dengan Sri
Jayarasa,
"Cara apa, Ki?"
Ki Runding Alam kembali menjura.
"Maafkan hamba sebelumnya,
Tuanku...."
"Katakanlah Ki... apa yang saat ini
ada di pikiranmu...." kata raja pula.
"Mungkin saja dugaan orang luar yang
mengambilnya memang benar, Tuanku...."
"Tadi kau mengatakan tidak,
bagaimana caranya?"
"Ada orang yang memberitahukan ten-
tang seluk beluk istana. Dan tentang
Pusaka Patung Pualam berada."
"Jadi dugaanmu...."
"Benar, Tuanku. Hamba berpikir
tentang satu hal lagi kemungkinan,
adanya orang yang menjadi penunjuk jalan
untuk mencuri Pusaka Patung Pualam."
"Dan orang itu adalah orang kita
sendiri?"
"Benar, Tuanku...."
Kata-kata Ki Runding Alam membuat
beberapa hadirin semakin tegang. Tanpa
mereka sadari mereka menjadi saling
pandang. Meskipun sinar mata mereka
tidak saling mencurigai, namun hati
mereka menjadi bertanya-tanya.
Benarkah dugaan Ki Runding Alam?
Dan mereka mendengar kembali
kata-kata Ki Runding Alam.
"Mungkin pula dugaan saya bisa
menjadi salah, Tuanku. Tetapi mengingat
hilangnya Pusaka Tanah Kediri dari kamar
tuanku, itu sudah menandakan kalau orang
dalamlah yang melakukannya atau pun
orang dalamlah yang menjadi mata-mata
sebagai penunjuk jalan bagi pencuri
untuk mengambil pusaka.
"Aku pun berpikiran demikian, Ki.
Cuma aku ragu, apa mungkin di dalam
istana ini ada orang yang tega berkhianat
kepadaku? Yang tega-teganya mencuri
pusaka leluhur kita. Pusaka Patung
Pualam. Lambang kejayaan dan cita-cita
luhur Tanah Keraton Utara."
"Daulat, Tuanku. Bukan maksud hamba
untuk menuduh atau menduga hal itu.
Tapi... mungkinkah ada seorang mata-mata
Keraton Selatan yang telah menyusup ke
dalam, dan mencuri pusaka itu?
Kemungkinan itu tidak bisa dipungkiri,
Tuanku. Dan kemungkinan itu selalu ada.
Bahkan ada!"
Raja terdiam. Semua hadirin
terdiam. Kata-kata Ki Runding Alam telah
membangkitkan suatu keingintahuan dan
kegeraman. Rupanya suatu ketika, mereka
bisa kecurian pula. Justru yang dicuri,
pusaka yang dibanggakan oleh tanah
Keraton Utara. Pusaka yang diwarisi dari
satu raja ke raja lain, warisan turun
menurun yang tak pernah habis. Dan pusaka
lambang kejayaan raja-raja Keraton
Utara.
Terdengar suara lembut namun
berisi, "Maafkan hamba, Tuanku. Kalau
memang demikian dugaan Ki Runding Alam,
kami semua setuju. Pusaka itu dicuri
orang saat kita semua lengah. Saat kita
semua terlelap dan tidak menyadari kalau
salah seorang anggota kita adalah
penjahat besar. Musuh yang mungkin
dikirim dari Keraton Selatan. Lalu, apa
tindakan yang akan kita ambil, Tuanku?"
Sri Jayarasa menatap orang yang
berbicara itu. Seorang laki-laki
setengah baya yang bertubuh tegap.
Dengan kukuh dan kekar, menandakan orang
yang keras. Dia memiliki kumis yang
lebat. Jika dia berdiri, mirip seorang
pendekar dari seberang. Dia bernama
Singa Ireng alias Macan Seranggi.
"Hmm... kalau memang hanya itu
dugaan kita semua, kita harus segera
mengirim utusan ke Keraton Selatan.
Untuk merundingkan masalah ini secara
damai. Jika jalan perundingan itu tidak
dapat dilaksanakan atau gagal,
peperangan tak mungkin dihindari lagi,"
kata Sri Jayarasa geram. Dia melangkah
mondar mandir dengan tangan terkepal ke-
ras. Matanya memancarkan sinar kemarahan
Terdengar deheman lalu batuk-batuk.
Seorang laki-laki tua membuka suara,
"Maafkan hamba, Tuanku. Kalau boleh
hamba mengusulkan sesuatu?"
"Oh, silahkan, Mpu!" sahut Sri
Jayarasa sambil duduk di tempatnya
kembali. Memperhatikan Mpu Daga yang
bertugas selaku penasehat setia di
Keraton Utara. Dia seorang laki-laki tua
berjubah putih dan berjanggut putih
pula.
Mpu Daga menghela nafas. Dia tahu
jiwa muda raja baru ini, jiwa muda yang
penuh gejolak amarah dan nafsu. Dia tidak
memikirkan masalah ini lebih panjang.
Mungkin karena bernafsu tidak dapat
menahan gejolak diri, atau juga marah
karena pusaka kebanggaan Keraton Utara
dicuri orang, atau juga... malu kepada
almarhum ayahnya karena tidak bisa
menjaga amanat yang diberikan. Dan Mpu
Daga tidak ingin peperangan terjadi
lagi.
"Maafkan, Tuanku. Maksud hamba,
bukan menghalangi keinginan tuanku untuk
mengirim utusan ke Keraton Selatan. Tapi
apakah tidak baik, jika masalah ini kita
selesaikan dulu."
"Maksud, Mpu?"
"Kita tutup persoalan ini dulu
sampai berapa lama. Kita cari pusaka ini
di sekitar istana, tanpa menimbulkan
kecurigaan yang lain. Kalau pun memang
ada mata-mata yang telah mencuri pusaka
itu, biar dia merasa aman dalam istana
tanpa merasa sadar kalau kita sudah
mengetahui pusaka itu hilang."
"Tapi Mpu, bagaimana kalau orang itu
sudah kabur ke Keraton Selatan? Bukankah
ini jelas-jelas kecolongan dan Keraton
Selatan telah membuat jembatan kayu
untuk permusuhan."
"Itu pun kalau benar Keraton Selatan
yang mengambilnya, lalu bagaimana jika
bukan?"
"Alah, sudah tentu mereka, Mpu! Mpu
masih ingat bukan, ketika kerajaan ini
direbut oleh Keraton Selatan? Betapa
sengsaranya kita dan seluruh rakyat.
Kita seolah kehilangan kepercayaan
rakyat untuk memimpin negara, Mpu. Dan
betapa tertatih-tatihnya kita untuk
merebut kembali kekuasaan yang kita
miliki. Berapa ribu pejuang yang mati,
berapa hektar tanah yang hangus, dan
berapa juta harta dipakai untuk membantu
perjuangan. Karena apa, karena mereka
mencintai bangsa dan negaranya. Dan
mereka tidak ingin hidup dalam jajahan."
"Lalu bagaimana maksud, Tuanku?"
"Sudah jelas toh, Mpu! Mereka ingin
kembali menjajah dan merebut kekuasaan.
Kalau pusaka itu sudah jatuh ke tangan
mereka, secara resmi Keraton Utara
dipegang oleh mereka. Bukan begitu,
Mpu?" Suara Sri Jayarasa meninggi.
Dadanya turun naik. Nafasnya
terengah-engah.
Mpu Daga terdiam. Sri Jayarasa
meneruskan, "Kita tidak ingin mengalami
penjajahan kembali, bukan? Hari ini juga
aku akan mengirim utusan ke Keraton
Selatan biar masalahnya cepat
terselesaikan. Ki Runding Alam, ajak
seorang yang kau percaya untuk pergi ke
Keraton Selatan. Katakan terus terang,
perbuatan curang Raja Keraton Selatan
sudah diketahui. Dan katakan pula, aku
minta pusaka itu dikembalikan secara
baik-baik. Jika tidak, aku akan merebut
dengan jalan perang."
Ki Runding Alam menyembah hormat.
Dia memilih Ki Manggada untuk
menemaninya. Sebelum keduanya bangkit
terdengar suara Mpu Daga.
"Sekali lagi maafkan hamba,
Tuanku."
"Ada apa lagi, Mpu?" tanya Sri
Jayarasa tak suka.
Mpu Daga menghela nafas panjang.
Lalu katanya,
"Sebagai penasehat, hamba ingin
memberi nasehat kembali kepada tuanku.
Masalah pusaka leluhur kita yang dicuri,
kita lepas dari soal ini. Tetapi kembali
tuanku pikirkan, apa jadinya kalau bukan
mereka yang mencuri pusaka Keraton
Utara. Mereka pasti ukan terhina dan
marah oleh tuduhan yang lerlalu keji ini.
Mereka tentu saja tidak akan menerima.
Dan perang jelas-jelas tidak akan bisa
dielakkan lagi."
"Memang hal itu yang kuinginkan,
biar mereka membuka mata lebih lebar,
kalau kita tidak bisa diremehkan," sahut
Sri Jayarasa membusungkan dada.
"Benar, Tuanku!" seru Panglima
Angling menyela kata-kata Mpu Daga.
Semua mata tertuju padanya, karena sejak
tadi dia yang tidak banyak bicara. "Kita
semua tidak ingin dihina oleh Keraton
Selatan. Keputusan Tuanku sungguh adil
dalam hal ini! Kita akan runding dengan
Keraton Selatan. Jika gagal, kita akan
menggempur mereka sampai lumat! Pusaka
Patung Pualam harus kita rebut kembali!"
Berapi-api panglima yang berwajah garang
itu berkata.
Prabu tersenyum mendengar kata-kata
Panglima Angling. Tetapi Mpu Daga tetap
berusaha untuk mencegah.
"Tak ingatkah tuanku akibat perang?
Penderitaan yang panjang dialami oleh
rakyat. Kemiskinan mendera batin. Dan
kejahatan terjadi di mana-mana hanya
karena memperebutkan seberapa butir
nasi. Tuanku... kalau bisa, cegahlah
peperangan, jangan kita mengulangi
kepahitan yang sama"
"Hmm, jadi bagaimana maumu, Mpu?"
"Kita kembali menyelidiki masalah
ini. Jika memang benar hilang, pasti
masih berada di sekitar sini. Si pencuri
tidak akan berani membawanya ke luar,
karena penjagaan yang ketat."
"Hhh!" Prabu mendengus jengkel.
"Kau lupa Mpu, dalam kamarku pencuri itu
bisa mengambilnya. Dan itu penjagaan
lebih ketat. Pencuri itu benar-benar
seorang yang sakti."
"Tapi... maafkan hamba, Tuanku.
Apakah tuanku tidak lupa meletakkannya?
Ini suatu kemungkinan yang baru,
Tuanku."
"Tidak, Mpu. Aku ingat benar, pusaka
itu kuletakkan di lemari kayu warisan
ayahanda. Pencuri itu memiliki
keberanian yang luar hiasa, bukan?
Yah... orang-orang Keraton Selatan
terkenal memiliki mental yang hebat dan
kuat."
Mpu Daga tidak bisa berkata-kata
lagi. Ia masih ingin Sri Jayarasa mau
mendengar kata-katanya selaku
penasehat. Dia berharap, peperangan bisa
dihindarkan dan tidak pecah lagi seperti
dulu.
Masih terbayang lekat dalam benak
Mpu Duga, betapa memilukan keadaan
rakyat di mana dua negara berperang. Dia
sukar membayangkan kembali penderitaan
rakyat yang begitu memilukan.
Mpu Daga berkata kembali,
"Tuanku... mungkin pendapat hamba tidak
berkenan di hati tuanku. Namun yang perlu
tuanku pikirkan sekali lagi, bagaimana
bila bukan mereka yang melakukannya?
Hamba kuatir, perselisihan dan
peperangan tak bisa dihindari lagi”.
"Agaknya peperangan itu memang tak
bisa dihindari lagi, Mpu...."
Mpu Daga mendesah. Sadar kalau jiwa
prabu muda ini masih terbawa oleh
emosinya.
"Tidak adakah cara lain, Tuanku?"
"Yah... seperti yang kukatakan
tadi, jalan satu-satunya memang hanya
itu. Mencoba mengajak mereka berunding."
"Benar, Tuanku," kata Panglima
Angling yang kembali menyela. "Keputusan
itu sudah merupakan sebuah keputusan
yang baik. Hamba pun berpikir, hanya
itulah satu-satunya cara untuk mencoba
dengan jalan halus dan damai."
"Tetapi biar bagaimana pun caranya
berunding, mereka tetap bisa
tersinggung, Panglima," kata Mpu Daga
yang masih berusaha keras untuk mencegah
peperangan terjadi.
"Bukankah kita hanya berunding,
Mpu? Bagaimana maksudmu yang
sebenarnya?" kata Panglima Angling.
Mpu Daga menjura dulu pada raja,
"Maafkan hamba, Tuanku." Lalu katanya
pada Panglima Angling, "Panglima... kita
memang datang untuk berunding, namun
kedatangan kita tak lain dan tak bukan
untuk memastikan apakah mereka yang
mencuri Pusaka Patung Pualam?
Dan bila kata-kata itu dilontarkan,
ini bisa menjadi semacam tuduhan. Dan
saya rasa pihak Keraton Selatan tidak
akan menerima semua ini, meskipun kita
datang dengan jalan untuk berunding."
"Tetapi bagaimana bila benar mereka
yang mencurinya, Mpu? Apakah kita hanya
berpangku tangan dan membiarkan Keraton
Selatan menindas kita?" kata Panglima
Angling dengan suara yang terdengar
tidak enak.
Mpu Daga terlihat jadi sedikit risih
mendengar suara itu. Namun sikapnya yang
arif dan bijaksana membuatnya bisa
menghilangkan keadaan itu.
"Itu kalau benar mereka yang
mencurinya, panglima. Tetapi kalau bukan
bagaimana?"
"Mpu... kemungkinan benar atau
tidaknya hanya bisa kita ketahui bila
kita sudah ke Keraton Selatan. Meminta
semua penjelasan mereka dan berunding
dengan mereka. Aku heran, kau seorang mpu
yang dianggap sebagai penasehat dan
kepercayaan pertama dari prabu tidak
memikirkan hal itu...."
Sebagian hadirin memang membenarkan
kata-kata Panglima Angling. Bagaimana
bila benar pihak Keraton Selatan yang
mencuri Pusaka Patung Pualam Itu?
Dan sebagian hadirin pun
membenarkan kata-kata Mpu Daga,
bagaimana bila mereka tidak mencurinya?
Meskipun dengan jalan berunding,
bukanlah hal yang mustahil bila pihak
Keraton Selatan menjadi tersinggung
dengan kedatangan mereka.
Hadirin menjadi sulit untuk
memikirkan yang pasti dan memutuskan
yang tepat.
Mereka mendengar suara Prabu Sri
Jayarasa mendehem. Semuanya berpaling
padanya.
"Yah... setelah kupikirkan,
keputusan tetap sama, kita harus
mengirim utusan ke Keraton Selatan untuk
berunding dan meminta penjelasan pada
mereka tentang hilangnya Pusaka Keraton
Utara. Dan siapa yang harus bertanggung
jawab dengan kejadian ini.
Ki Runding Alam dan Ki Manggada,
kalian tetap menjalankan tugas yang
kuberikan. Dan aku minta, pecahkan semua
persoalan ini secara tuntas...."
Ki Runding Alam dan Ki Manggada
menjura.
"Daulat, Tuanku... semua perintah
dan titah tuanku, akan kami jalankan
dengan sebaik-baiknya," kata Ki Runding
Alam mewakili Ki Manggada.
Dan mendesahlah Mpu Daga. Pelan.
Terlihat wajahnya yang berubah
menjadi lesu.
Dia kembali membayangkan kemungkin-
an perang terjadi. Ah, tak sanggup dia
untuk berlama-lama membayangkannya.
Akibat perang amat mengerikan. Terlalu
mengerikan. Perang tidak memperdulikan
miskin kaya, tampan jelek dan
sebagainya. Perang hanya mengingat
kemenangan. Membunuh untuk menang.
Memporakporandakan kehidupan hanya
untuk kemenangan. Mengerikan.
Terlalu mengerikan!
Mpu Daga tidak ingin semuanya
terjadi lagi. Wajah tuanya semakin lesu
dan muram.
Desahannya semakin panjang.
Tidak bisa mencegah lagi karena raja
sudah mengambil keputusannya.
Sore harinya juga Ki Runding Alam
dan Ki Manggada berangkat menuju ke
Keraton Selatan dengan kuda
masing-masing. Perjalanan menuju ke
Keraton Selatan memakan waktu selama
enam hari enam malam. Itu pun bila
ditempuh dengan jalan menunggang kuda
yang dilarikan sangat cepat.
Perjalanan yang melelahkan.
Namun keduanya terus memacu kuda
mereka untuk mempercepat perjalanan.
Tugas itu telah keduanya pikul dengan
setia. Tidak ada sedikit pun untuk
membelok, memikirkan akibat peperangan
yang terjadi nanti.
Tidak sedikit pun!
Yang penting, tugas itu harus
dilaksanakan demi pengabdian mereka pada
Keraton Utara!!
***
2
Keraton Selatan dipimpin oleh
seorang raja yang bergelar Sri Jaya
Wisnuwardana. Wilayah Keraton Selatan
adalah sebuah wilayah yang subur, makmur
dan sentosa.
Sejak peperangan yang terjadi
antara Keraton Selatan dan Keraton Utara
semua bangunan yang porak poranda telah
dibetulkan. Kini telah menjadi sebuah
wilayah yang begitu indah.
Hari ini sang Prabu Sri Jaya
Wisnuwardana sedang berada di ruang
kaputrennya, dia tengah bercanda gembira
bersama para selirnya. Sambil menikmati
air mancur yang berada di tengah kaputren
itu.
Salah seorang dari sekian banyak
selirnya yang amat disayanginya adalah
Sekar Perak. Seorang selir yang
didapatnya dari Desa Paraden, sebuah
desa yang terdapat di perbatasan antara
Keraton Utara dan Keraton Selatan.
Sekar Perak berperawakan mungil.
Wajahnya teramat cantik. Raja
menyukainya, karena Sekar Perak sangat
lugu dan penurut. Sikapnya apa adanya,
tidak dibuat-buat seperti para selir
yang lain, yang selalu bersikap manis
dibuat-buat dan ingin mendapat perhatian
lebih dari raja.
Hal seperti itu tidak pernah
ditampilkan oleh Sekar Perak. Dia tetap
seperti apa adanya ketika pertama kali
diboyong sang raja ke keraton. Juga tidak
pernah merubah citra dirinya sebagai
gadis yang lugu, yang tidak pernah
tersentuh oleh barang-barang mewah
berupa perhiasan dan kosmetik.
Semua barang-barang mewah hadiah
sang raja hanya disimpannya saja. Yang
selalu dikenakan hanya sebuah cincin dan
sepasang anting-anting. Tidak lebih.
Namun meskipun hanya mengenakan
perhiasan seadanya dan tanpa tersentuh
kosmetik, wajah Sekar Perak tetap
kelihatan berseri dan cantik. Tak satu
pun dari sekian banyak selir sang raja
yang kecantikannya bisa melebihi bahkan
menandingi Sekar Perak.
Dia tetap lugu dan bersahaja.
Dia tetap sebagai Sekar Perak
seorang gadis desa, yang hanya menurut di
bawah perintah baginda raja.
"Rasanya... tak ada yang bisa
menandingi kasih sayangku terhadap Sekar
Perak," desis raja setiap kali melihat
selir kesayanganya itu.
Dan semakin hari rasa kasihnya
terhadap Sekar Perak semakin bertambah
saja.
Semakin besar tumbuh dan semarak.
Tetapi hari ini baginda raja heran,
karena selir kesayangannya mendadak
selalu diam waja. Memang seperti biasa
Sekar Perak selalu diam, tapi kali ini
seperti ada sesuatu yang dipendamnya.
Dia hanya duduk termenung di tepi kolam
kaputren yang berhias bunga-bunga.
Kakinya terjuntai ke air,
memercik-mercik air yang menerpa
betisnya vaug sangat mengkilat bersih.
Wajahnya nampak murung. Keluguannya
seperti tidak ada yang setiap kali
ditampilkannya jika baginda raja muncul.
Sikap malu-malunya seperti hilang
berganti dengan kepucatan dan
kemurungan. Dia seperti memendam
sesuatu, atau merindui sesuatu.
Sri Jaya Wisnuwardana segera
menghampiri dan bertanya ada apa
gerangan selir kesayangannya menjadi
bermuram durja demikian.
Sekar Perak menunduk tersipu. Kali
ini keluguannya kembali nampak. Ia tidak
menyangka kalau perbuatannya itu menarik
perhatian baginda. Ini membuatnya malu.
Dia buru-buru menyembah dengan
sikap berlutut. Baginda raja meraih
kedua bahunya dan menyuruhnya bangkit.
Perlahan-lahan Sekar Perak berdiri
dengan kepala tertunduk. Sikapnya
membuat baginda raja semakin
menyayanginya.
"Duhai, Sekar Perak yang anggun. Ada
apa gerangan sampai sikapmu menjadi
murung demikian? Bolehkah saya tahu, apa
penyebabnya, Sekar Perak?"
Sekar Perak sekali lagi menyembah.
Lalu menunduk dengan tersipu.
"Maafkan hamba, Gusti prabu. Bukan
maksud hamba mengganggu Gusti prabu, bu-
kan pula untuk menarik perhatian gusti."
"Jelaskanlah, Sekar Perak. Biar aku
tahu apa yang menjadikan kau bermuram
durja demikian?"
Sekar Perak bukannya menyahut malah
semakin menundukkan kepalanya. Baginda
Prabu Sri Jaya Wisnuwardana semakin
keheranan. Dia menjamah dagu Sekar Perak
dan menaikkannya perlahan-lahan agar
menatapnya.
Takut dan malu-malu gadis itu
mengangkat wajahnya. Matanya
mengerjap-ngerjap seperti mata kelinci,
begitu takut-takut dan malu-malu.
Baginda senang melihat sepasang
mata yang bening itu.
"Aku tidak mengerti, Sekar Perak.
Katakanlah terus terang kepadaku...."
Sekar Perak berusaha untuk tidak
menatap prabu, tetapi sang prabu malah
memaksanya untuk menatapnya. Membuat
dadanya semakin berdebar keras.
"Tataplah aku, Sekar Perak. Apakah
kau ini terus menerus membuatku menjadi
bertanya-tanya?"
Kepala itu menggeleng. Prabu
tersenyum.
"Nah... katakanlah terus terang,
apa yang membuatmu menjadi risau seperti
ini... Katakanlah...."
Sekar Perak menunduk dan
perlahan-lahan melepaskan diri dari
tangan sang prabu. Dia melangkah
perlahan ke taman bunga yang terdapat di
kaputren. Lalu duduk dengan sikapnya
yang anggun di salah sebuah kursi.
Membuat sang prabu mendesah dalam
hati melihat sikap Sekar Perak yang
santun.
Prabu menghampirinya dan membelai
rambut Sekar Perak dari belakang. Para
selir yang lain tidak memperdulikan
mereka. Mereka tidak iri atau pun cemburu
akan perhatian sang prabu yang terasa
berlebihan terhadap Sekar Perak.
Mereka masih asyik tertawa-tawa
dan, bercanda.
"Bagaimana, Sekar Perak? Apakah kau
masih ingin menyimpan rahasia hatimu
itu?" tanya sang prabu pelan.
Sekar Perak menunduk.
"Gusti prabu... maafkan hamba...."
"Katakanlah, Sekar wahai kasihku
yang cantik...."
"Hamba...." Sekar Perak
menghentikan kata-katanya. Lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah
ragu dan bingung. "Tidak, tdak ada
apa-apa, Gusti prabu...."
Prabu tersenyum. Membelai lagi
rambut Sekar Perak, seolah memberikan
kemantapan dan memperlihatkan kasih
sayangnya terhadap wanita itu.
"Mengapa kau ragu? Katakanlah...
ayo, tidak perlu takut. Ayolah, bungaku
yang anggun...."
Prabu tersenyum.
Hati-hati Sekar Perak menatap
bagindanya. Kata-kata baginda yang penuh
kasih sayang dan memperlihatkan cintanya
membuat kekuatan dan kemantapan di hati
Sekar Perak untuk mengutarakan apa yang
menggelitikkan hatinya selama ini.
Lalu hati-hati pula bibir yang
mungil itu membuka, mengeluarkan suara
yang merdu didengar, "Sudah... sudah dua
tahun... hamba hidup di dalam kaputren
ini, Gusti...."
"Lalu apa maksudmu, Kasihku?"
"Hamba... ah, selama dua tahun itu, belum
sekali pun hamba pulang untuk
menyambangi ibu yang sudah tua di desa.
Maafkan. hamba, Gusti prabu... bila
hamba lancang berkata begini. Tetapi
hamba... kangen dengan ibu hamba di desa,
Gusti... maafkan hamba, Junjungan yang
mulia...."
Baginda prabu tertawa pelan. Dia
membelai pipi Sekar Perak yang kembali
tertunduk tersipu. Menggeleng-geleng
geli setelah mengetahui masalah yang
membuat melatinya ini bersedih.
"Sekar Perak, Sekar Perak... hanya
masalah itu rupanya. Ah, kau hampir
membuatku kalang kabut. Jadi maksudmu...
kau hendak kembali untuk menjenguk
ibumu?"
"Ampun, Gusti...."
"Bila kau menginginkan hal itu, aku
tak melarang. Tetapi jangan terlalu lama
kau meninggalkan aku, Sekar Perak. Aku
bisa mati karena rindu padamu...."
"Ampun, Gusti... jadi gusti...
mengizinkan hamba pergi?" Suara Sekar
Perak kali ini terdengar antara takut dan
gembira.
Baginda prabu mengangguk dengan
bibir tersenyum.
"Ya."
"Terima kasih, Gusti."
"Kau boleh pergi meninggalkan
kaputren ini selama dua minggu. Dan kau
akan dikawal oleh beberapa punggawa
pilihanku baik pulang maupun pergi. Kau
setuju bukan, Sekar Perak?" Bibir
baginda masih tersenyum.
Sekar Perak bangkit menyembah. "Am-
pun, Gusti. Semua titah gusti akan hamba
junjung tinggi...."
"Kau memang bungaku yang anggun,
Sekar Perak...."
"Hamba, Gusti...."
"Nah, kapan rencanamu untuk
berangkat?"
"Apa yang gusti titahkan
selanjutnya, akan hamba patuhi...."
Prabu mendesah panjang.
"Baiklah, besok kau boleh berangkat
untuk menyambangi ibumu. Kau memang
seorang putri yang tahu akan peradaban
dan sopan santun, Sekar Perak. Aku pun
akan demikian bila ibuku masih
hidup...."
"Terima kasih, Gusti..." sahut
Sekar Perak gembira. Bibirnya
menyunggingkan sebuah senyum yang begitu
menawan, yang uiampu membuat hati siapa
saja bergetar melihatnya. Senyum itu
begitu memikat, tanpa dibuat-buat untuk
memikat seseorang. Dan dalam hal ini
gusti prabu.
Gusti prabu pun memang merasa dia
telah terpikat oleh Sekar Perak..Gusti
prabu amat menyukai sikapnya yang anggun
dan apa adanya. Polos. Lugu. Dan jujur.
Tak pernah sekali pun gusti prabu
melihat sikap Sekar Perak dibuat-buat
atau untuk mencari perhatian. Tidak
pernah hal itu terjadi.
Ditatapnya kembali Sekar Perak yang
masih tersenyum.
"Kau gembira dengan keputusanku,
bukan?"
Sekar Perak tergagap. Karena
gembiranya dia sampai lupa kalau gusti
prabu masih ada di dekatnya.
Buru-buru dia menganggukkan
kepalanya.
"Iya, iya... gusti... hamba begitu
gembira mendengar keputusan gusti,"
sahut Sekar Perak terburu-buru.
Dan perlahan-lahan di benaknya
segera terbayang wajah ibunya tercinta,
wajah yang hampir dua tahun lamanya tidak
pernah dilihatnya.
Betapa gembiranya dia akan kembali
melihat wajah itu, wajah yang tentunya
sudah memendam rindu pula. Rindu yang
amat sangat pada dirinya. Sekar Perak
yakin hal itu.
Ibunya pasti rindu padanya. Sama
halnya seperti dirinya.
Sekar Perak baru ingat, kalau
usianya sudah menjadi 18 tahun sekarang
ini. Ketika diboyong oleh gusti prabu ke
Keraton Selatan dia baru berusia 16
tahun, saat perang masih berlangsung.
Dia sedih. Marah. Dan kesal. Karena
merasa berada dalam cengkeraman musuh.
Meskipun letak desanya di antara
perbatasan dua negara itu, namun Sekar
Perak lebih sering merasakan Keraton
Utara negaranya tercinta.
Dan dia merasa sedih mengingat
dirinya dipinang dan diminta oleh Prabu
Keraton Selatan untuk dijadikan sebagai
selir.
Sekar Perak ingin berontak. Namun
tak kuasa. Apalagi melihat ibunya yang
menangis melihat sikap diamnya. Mau tak
mau membuat Sekar Perak akhirnya
menurut.
Akhirnya dia pun mau dirinya
diboyong ke Keraton Selatan untuk
dijadikan selir. Dan sikap diamnya terus
berlanjut. Baginya, dia hanyalah seorang
tawanan belaka.
Namun perlahan-lahan kediamannya
pun mencair. Karena baginda prabu sangat
memperhatikan dirinya, hingga lambat
lauh dia menjadi suka pada sang prabu.
Selama satu tahun baginda prabu
tidak menyentuhnya. Dia diperlakukan
secara baik, bukan sebagai tawanan.
Bukan pula sebagai wanita pemuas nafsu
prabu. Dan bukan sebagai pajangan karena
cantiknya, untuk menambah
perbendaharaan para selir di kaputren.
Tetapi diperlakukan sebagai seorang
selir atau istri piaraan yang
diperhatikan. Dan baginda pun mulai
menyentuhnya di saat dia berusia 17
tahun, di saat Sekar Perak benar-benar
mencintai prabu.
Baginda memang begitu baik
memperl-kukannya.
Ketika dia kangen pada ibunya pun
baginda mengizinkannya untuk pulang
menyambangi ibunya. Padahal dia sudah
amat takut junjungannya tidak
mengizinkan. Dengah tersipu Sekar Perak
perlahan-lahan mengecup pipi
junjungannya yang tersenyum senang.
Ketika prabu hendak meraih tubuh
Sekar Perak dalam pelukannya, Sekar
Perak sudah buru-buru berlari ke
peraduannya. Dia tidak mau dilihat oleh
para selir yang lain jika sedang ingin
bermanja dengan prabu.
Bukan apa-apa, Sekar Perak amat malu
bila bermanja diketahui oleh para selir
yang Inia.
Karena bagi Sekar Perak, sang prabu
bukanlah miliknya seorang. Tetapi milik
banyak selir, juga permaisurinya.
Baginda pun mengerti akan hal itu.
Dia segera berjalan menuju peraduan
Sekar Perak. Tetapi langkahnya urung
ketika melihat seorang prajurit yang
berdiri di luar kaputren. Sikap prajurit
itu hormat. Nampaknya pula hal yang
penting yang harus disampaikan pada
prabu, karena dia berani menginjak
bangunan kaputren.
Hal itu terlarang bagi siapapun juga
kecuali baginda raja, para selir dan para
dayang-dayang.
Kening baginda berkerut. Apa-apaan
ini?
"Ada apa, prajurit?" tanya baginda
tidak senang karena ada yang berani
memasuki halaman kaputren.
Prajurit itu menyembah. Memegangi
tombaknya di tangan kanan.
"Maafkan hamba, Gusti. Ada dua
utusan dari Keraton Utara datang
kemari."
"Maksud mereka apa?" tanya prabu se
telah terdiam beberapa saat.
"Mereka ingin bertemu dengan
baginda prabu."
"Maksudku... mereka mau apa?"
"Mereka tidak mengatakannya,
Prabu."
"Hmm... siapakah nama mereka?"
"Keduanya mengaku bernama Ki
Runding Alam dan Ki Manggada," sahut
prajurit itu tetap dengan suara hormat.
Prabu terdiam beberapa saat.
Keningnya berkerut seperti memikirkan
sesuatu. Setelah itu dia mengangkat
kepalanya dan mengangguk.
"Baik, bawa keduanya ke ruang
pertemuan”.
Prajurit itu menghormat lalu
berbalik Baginda prabu menghela nafas.
Ada apa lag dengan Keraton Utara? Dia
melangkah keperaduan Sekar Perak dulu.
Sekar Perak vung sudah menunggu sejak
tadi jadi tersipu karena terlihat tidak
sabar. Baginda menjadi merasa enak. Dia
menerangkan hal itu pada Sekar Perak.
Sekar Perak mengangguk walau agak
kecewa.
Baginda prabu memakai baju
kebesarannya lalu segera menuju ke ruang
pertemuan. Dia didampingi oleh tiga
orang pengawal setianya. Yang terdiri
dari Kyai Rebo Panunggal Seorang tua
bersorban putih yang sakti sekali
kepandaian. Juga terkenal pandai
menyembuhkan berbagai penyakit. Di
belakangnya berjalan Tunggul Dewa,
yang bergelar Naga Sakti dari Laut
Selatan. Dan di samping kanan baginda
prabu berjalan seorang laki-laki gagah
bertampang seram. Dia bernama Dasa
Samudra. Dia bersenjatakan dua buah
trisula dibelakang pinggangnya. Dan amat
lihai memakai kedua senjata kembarnya
itu.
Ketiganya selalu mendampingi
baginda dimana saja. Baik dalam rapat,
pertemuan, berpergian maupun perang.
Sekarang pun ketiganya menyertai baginda
ke ruang pertemuan. Disana Ki Runding
Alam dan Ki Manggada sudah menunggu.
Di depan pintu ruangan itu, sudah
berdiri puluhan prajurit siap dengan
senjatanya. Mereka harus bersiap siaga,
akan kedua utusan Keraton Utara ini. Tak
mungkin jika mereka tidak mempunyai
maksud tertentu.
Para prajurit itu menghormat dengan
sikap menyembah ketika baginda prabu
datang bersama ketiga pengawal setianya.
Mereka segera masuk ke ruang pertemuan.
Begitu mereka masuk, beberapa orang
prajurit dan para kepala pasukan segera
menyembah. Baginda berjalan ke tempat
duduknya. Ketiga pengawalnya berdiri di
kedua sisi dan belakangnya tempat
duduknya.
Kedua orang utusan Keraton Utara
berdiri ketika baginda prabu duduk.
Keduanya memberi hormat.
Baginda prabu mengangguk.
"Silahkan...."
"Terima kasih, Baginda," sahut Ki
Runding Alam. Dan duduk kembali. Ki
Manggada bersila pula di sampingnya.
"Hmm... ada salam apa Keraton Utara
mengirim utusannya ke Keraton Selatan?"
tanya prabu setelah beberapa saat.
"Bisakah dijelaskan untuk tidak membuang
waktu terlalu lama? Mulailah, Ki Runding
Alam."
"Daulat, Gusti prabu Keraton
Selatan yang hamba hormati. Kedatangan
kami berdua, memang ada suatu masalah
yang harus diselesaikan. Masalah yang
bisa membawa nama Keraton Utara pada
keruntuhan."
"Apa masalahnya gerangan?" tanya
Raja Keraton Selatan.
"Tentang pusaka Keraton Utara yang
hilang dicuri orang."
"Hilang?"
"Kenyataannya demikian, Prabu.
Pusaka itu adalah lambang kejayaan
Keraton Utara yang diwariskan secara
turun temurun."
Kening Prabu berkerut.
"Hmm... lalu apa hubungannya dengan
kedatangan kalian kemari?" tanya prabu
curiga.
"Maafkan kami, Prabu. Bukan maksud
kami dan raja kami menuduh gusti prabu
yang...."
"Maksudmu, Keraton Selatan yang
buat ulah, hah?" geram prabu memotong.
Sepasang alisnya sudah nampak bertautan.
Ki Runding Alam seorang pengawal
yang setia terhadap Kediri. Begitu pula
dengan Ki Manggada. Sedikit pun keduanya
tidak takut dengan geraman sang Prabu Sri
Jaya Wisnuwardana. Bahkan mereka segera
bersiap melihat ketiga pengawal setia
prabu sudah mengambil posisi.
"Demikianlah kenyataannya, Prabu.
Kami tidak menutup mata jika sang prabu
berterus terang, bahwa pusaka itu
orang-orang Keraton Selatanlah yang
mengambilnya."
Prabu mencoba bersabar.
"Atas tuduhan apa kalian menuduh
kami?"
"Melihat sejarah yang lalu, bahwa
prabu sendiri yang mengirim pasukan
untuk merebut tanah Keraton Utara. Dan
dengan susah payah kami merebut tanah
leluhur kami kembali dengan taruhan
ratusan nyawa manusia. Itu belum
cukupkah sebagai bukti, bahwa
orang-orang Keraton Selatan yang
bergerak dalam masalah ini?!"
Merah wajah prabu. Dia benar-benar
merasa terhina.
"Runding Alam! Kalian jangan buat
gara-gara di sini! Kami tidak menyukai
kekerasan!" serunya jengkel.
"Hmm... baginda lupa, kalau dulu pun
baginda memakai kekerasan untuk merebut
tanah moyang kami! Dan sekarang,
kembalikan pusaka milik negeri kami...
atau... kami akan membuat huru hara di
sini!"
"Kau jangan berucap seenaknya,
Runding Alam! Dari semula kami
menerimamu dengan baik-baik, tapi
nyatanya kalian tidak patut dihormati.
Sampaikan salam kepada rajamu, katakan,
bahwa orang-orang Keraton Selatan sangat
membenci tuduhan ini! Tuduhan picik
tanpa bukti!"
"Baginda... kami pun datang dengan
baik-baik. Kami datang pun hanya ingin
meminta kembali pusaka milik kami!"
"Runding Alam! Aku dan semua hambaku
yang berada di sini, pun menerima
kedatangan kalian secara baik-baik!
Tetapi tuduhan dan sikapmu itu yang kami
tidak bisa terima!"
"Baginda... maafkan kalau sikap
saya telah lancang! Tetapi saya telah
datang ke mari, dan harus kembali ke
Keraton Utara dengan membawa Pusaka
Patung Pualam!"
"Bagaimana bila lambang kejayaan
Keraton Utara tidak ada pada kami?!"
"Kami yakin sekali, kalau lambang
pusaka Keraton Utara ada di Keraton
Selatan ini!"
Prabu tidak bisa lagi menahan
emosinya.
"Runding Alam! Kau telah lancang
menuduh yang bukan-bukan! Dan kau pun
bersikap tidak seperti seorang
kesatria!" bentaknya marah, membuat
beberapa pengawal setianya pun menjadi
bersiap.
"Baginda... maafkan saya sekali
lagi. Melihat dari semua yang baginda
ucapkan, berarti baginda menolak tuduhan
kami. Cuma yang amat disayangkan, saya
tetap berkeyakinan kalau orang-orang
Keraton Selatan yang mencurinya dengan
jalan mengirim seorang penyelundup ke
Keraton Utara!"
Murkalah gusti prabu.
"Runding Alam! Kau bicara
sembarangan padaku, hah?!"
Mendengar suara yang keras itu,
membuat Kyai Rebo Panunggal maju
selangkah, masih berada di sisi gusti
prabu.
Dia menatap Ki Runding Alam dengan
gusar. Penuh amarah. Nafasnya
mendengus-dengus. Yang membuatnya
jengkel sejak tadi, karena Ki Runding
Alam dengan seenaknya saja
membentak-bentak rajanya.
Kyai Rebo Panunggul tidak terima
akan perbuatan itu. Maka dia pun menjadi
marah.
"Runding Alam, ternyata kau hanya
seorang bangsat yang tidak tahu tuan!"
"Rebo Panunggul, aku telah datang ke
sini bersama Ki Manggada. Dan aku
bersamanya pula tak akan mundur meskipun
terjadi sesuatu yang mengancam jiwa
kami!"
"Bangsat!"
"Kalianlah yang bangsat!
Orang-orang Keraton Selatan yang
pengecut, yang beraninya hanya dengan
jalan licik untuk mengalahkan kami!
Hanya saja... kami orang-orang Keraton
Utara pantang mundur meskipun hanya
selangkah!"
Kyai Rebo Panunggul menggeram.
"Jangan bicara seenaknya saja,
Runding Alam! Mulutmu itu sudah
mengeluarkan bau busuk yang menyengat!"
"Bolehlah kau berkata demikian,
Rebo Panunggul! Tapi, kalianlah yang
mengeluarkan bau busuk di hadapan kami!"
Wajah Kyai Rebo Panunggul memerah.
Kemarahannya memuncak.
"Anjing buduk! Lalu apa maumu jika
kami tetap menolak dengan tuduhan itu?!"
Ki Runding Alam seketika bangkit
dari bersilanya. Ini merupakan sebuah
tantangan.
Dan dia tak pernah membiarkannya. Ki
Manggada masih duduk tenang bersila
dengan kedua tangan terlipat. Tetapi dia
tetap waspada dengan kemungkinan yang
akan terjadi.
"Seperti kataku, tadi! Kami akan
membuat huru hara di sini, sampai kalian
mengaku dan mengembalikan Pusaka Patung
Pualam kepada kami!" seru Ki Runding Alam
lantang dengan gagah berani.
Makin memerahlah wajah Kyai Rebo
Panunggul.
"Bangsat, kau Runding Alam!!"
geramnya sambil melesat menyerbu dengan
pukulan lurus ke arah wajah Ki Runding
Alam!!
***
3
Ki Runding Alam yang sejak tadi
sudah bersiap, pun tak mau kalah. Dia
menerima serangan itu dengan sebuah
tangkisan. Kelihatannya begitu ringan,
tapi penuh tenaga dalam yang telah
dialiri ke tangannya.
"Des!"
Terjadi benturan yang cukup kuat.
Keduanya terpental ke belakang.
Dapat segera diduga, bahwa tenaga dalam
keduanya seimbang.
Kyai Rebo Panunggul bersalto
kembali pada posisinya semula. Sedangkan
Ki Runding Alam telah menguasai
keseimbangannya.
Keduanya kini bersiap kembali.
Masing-masing merasakan nyeri di
tangan kanan mereka.
Belum lagi keduanya saling
menyerang, terdengar seruan Gusti Prabu
Keraton Selatan,
"Tahan!!"
Kyai Rebo Panunggul menurunkan
tangannya.
Ki Runding Alam menatap gusti prabu
dengan tatapan setajam rajawali.
"Hhh! Mengapa harus ditahan lagi,
Baginda?!"
Gusti prabu mendengus.
"Runding Alam... katakan pada
rajamu, kalau memang ini yang dia maui,
kami orang-orang Keraton Selatan akan
menuruti keinginannya!"
"Bagus, Baginda!"
"Tetapi ingat, Runding Alam...
katakan pula padanya, permainan ini kami
terima dengan senang hati!"
"Hhh!" Ki Runding Alam mendengus.
"Apa maksud baginda dengan permainan?!"
"Jangan berpura-pura bodoh lagi,
Runding Alam! Aku sudah tahu apa yang
dimaui oleh raja kalian! Ini sebuah
permainan belaka! Namun kami telah
menerimanya dengan senang hati! Bahwa
tak pernah hilang pusaka Keraton Utara
dari tempatnya!"
"Apa maksudmu, Baginda?!" bentak Ki
Runding Alam marah.
"Aku sekarang yakin, ini semua hanya
permainan, hanya sebuah tipuan belaka!"
"Jelaskan maksud, Baginda!!"
"Hhh! Rajamu hanya mengirim sebuah
cerita bohong untuk menyerang kami!
Untuk menjatuhkan nama kami di mata
negara-negara lain! Atau... secara
sengaja untuk mengkambinghitamkan
Keraton Selatan agar jelek di mata
dunia!!" geram Prabu Keraton Selatan
dengan suara berapi-api.'
Merah pada wajah Ki Runding Alam.
"Baginda menghina rajaku!"
bentaknya marah. Kedua tangannya
terkepal. Seketika keluar asap putih
perlahan-lahan.
Ki Runding Alam sudah mengeluarkan
ajian dahsyatnya. Pukulan yang ditakuti
setiap orang, karena jika terkena
pukulan itu, orang yang terkena bisa mati
seketika dengan tubuh hangus! Atau pun
pingsan dengan tubuh membiru!
Ajian itu bernama Garuda Tiwikrama.
Sebuah pukulan yang amat dahsyat. Ki
Runding Alam sampai mengeluarkan ajian
simpanan-ya, mengingat dia hanya berdua
dengan Ki Manggada di sini.
Dan dia sudah dapat menduga apa yang
akan terjadi.
Melihat gelagat demikian, Kyai Rebo
Panunggul segera mengeluarkan ajian
simpanannya pula. Ilmu pukulan Macan
Setan. Jika ilmu itu sudah berada pada
puncaknya, maka dia akan bergerak
seperti seekor macan marah.
Serangan-serangan yang akan
dilancarkannya, akan sukar dielakkan,
bila lawannya tidak memiliki ilmu
peringan tubuh yang sempurna.
Begitu pula dengan kedua pengawal
yang lain, keduanya bersiap untuk
melindungi baginda prabu. Sementara
puluhan prajurit yang menjadi di dalam
ruang pertemuan, sudah hendak bergerak
dengan senjata di tangan. Mereka sudah
tidak sabar untuk menghantam dan
menghabisi keduanya. Mereka pun sudah
muak melihat sikap yang diperlihatkan
kedua orang Keraton Utara ini di hadapan
raja mereka.
Ki Runding Alam bersikap waspada.
Sementara Ki Manggada masih tetap pada
posisinya semula, dengan sikap duduk
bersila. Namun diam-diam dia telah
merapal ilmunya yang bernama Bayangan
Delapan Tangan.
Jika tangannya digerakkan akan
seperti banyak dan dapat bergerak sangat
cepat. Tangan-tangan itu seakan memiliki
mata yang begitu awas. Dan tahu apa yang
diinginkan tuannya.
Ki Runding Alam dan Ki Manggada
adalah orang-orang Kediri yang amat
setia. Mereka berani mati untuk membela
bangsa dan negara. Pantang menyerah
sebelum melawan.
Ini jauh di luar kamus keduanya.
Mereka tak akan pernah mundur menghadapi
rintangan apapun. Mereka harus maju dan
maju dengan gagah berani.
Apalagi ini perintah langsung dari
raja mereka. Dan mereka tak pernah
membantah titah raja. Di samping itu juga
demi pusaka kejayaan tanah Keraton Utara
mereka pun akan mempertahankannya
meskipun harus mengorbankan nyawa mereka
sendiri. Yang harus mereka kembalikan
kedudukannya pada Negara Kediri.
Melihat sikap yang diperlihatkan Ki
Runding Alam begitu keras kepala, Prabu
Sri Jaya Wisnuwardana, segera berdiri
dengan marah.
"Kau sulit untuk diberitahu,
Runding Alam! Dan kau sulit untuk
menerima kenyataan kalau kami tidak
mencuri Pusaka Tanah Kediri itu!"
"Baginda... saya tetap berkeyakinan
hal itu tetap terjadi dan merupakan
sebuah kenyataan."
"Kau memang keras kepala, Runding
Alam!"
"Saya akan tetap mempertahankan
pendirian dan keyakinan saya itu!"
"Baiklah bila itu maumu! Jangan
salahkan kami jika bertindak kasar!"
Ki Runding Alam mendengus. Dia
berpaling pada Ki Manggada yang masih
bersila.
"Kau sudah mendengar semua itu,
Gada?" tanyanya.
"Ya, Runding Alam."
"Lalu apa yang akan kita perbuat?"
"Kita ikuti saja apa kemauan
mereka."
"Mereka tetap menolak tuduhan itu!"
"Ya. Padahal merekalah yang telah
mengambil Pusaka Patung Pualam secara
pengecut."
"Lalu bagaimana menurutmu?"
"Aku tidak mau pulang dengan tangan
kosong."
"Berarti kita harus tetap mengambil
pusaka itu?"
"Ya, menurutmu sendiri bagaimana,
Runding?"
"Aku pun berpikiran sepertimu. Aku
pun tak mau pulang dengan tangan kosong."
"Kalau begitu?"
"Kita terima apa pun yang akan
terjadi."
"Bagus. Aku pun setuju."
"Jadi kau setuju?"
"Ya... hanya itulah yang kita
perbuat. Kecuali bila kita mau menyerah,
mati dengan sia-sia atau pun pulang
dengan tangan kosong."
"Tak akan pernah itu terjadi pada
kita."
"Bagus!"
"Berarti, kita menerima resiko
apapun, bukan?"
Ki Runding Alam berpaling lagi pada
gusti prabu yang merah padam mendengar
percakapan keduanya. Benar-benar
manusia keras kepala!
"Baginda... Baginda sudah mendengar
percakapan kami, bukan?"
"Ya!" sahut gusti prabu bersamaan
dengan dengusan nafasnya.
"Dan baginda sudah tahu akan
keputusan kami, bukan?"
"Ya."
"Itulah keputusan kami! Sebelum
kalian mengembalikan pusaka milik kami,
sejengkal pun kami tidak akan beranjak
dari tempat ini!
"Kau benar-benar keras kepala,
Runding Alam!"
"Prabu... jawab sekali lagi,
kembalikan pusaka itu. Atau... kami akan
hancurkan ruangan ini!"
Prabu menjadi geram.
"Bedebah kau, Runding Alam! Kau me-
mang sukar untuk dinasehati! Dan
kesombonganmu itu yang akan memakanmu
sendiri!"
"Seperti kataku tadi, apapun yang
akan terjadi, sejengkal pun kami tidak
akan mundur!"
"Sombong! Baik, jangan salahkan aku
jika kalian mati di Negara Keraton
Selatan ini!"
"Kami tidak akan mundur, Baginda!"
Dengan geram yang teramat sangat,
prabu mengibaskan tangannya ke atas. Dan
secara serentak para prajurit yang sudah
siap dengan senjata mereka berlarian
maju. Mereka pun geram karena raja mereka
dihina seenak perut saja.
Serentak semuanya mengurung Ki Run-
ding Alam dan Ki Manggada.
Prabu berkata, "Pikirkan sekali
lagi keputusanmu itu, Runding Alam! Kau
pulang kembali ke Keraton Utara bersama
teman-temanmu itu... atau kau akan
mampus di sini?!"
Ki Runding Alam dan Ki Manggada yang
sudah siap dengan segala resiko yang akan
terjadi, tetap pada keputusan mereka
semula.
"Baginda... kami akan tetap di sini!
Dan kami akan mempertahankan selembar
nyawa kami!"
"Berarti kau memang memancing
perang padaku!"
"Terserah apa pendapat baginda!
Yang penting, kami menginginkan Pusaka
Patung Pualam baginda kembalikan kepada
kami! Karena baginda dan tanah Keraton
Selatan ini tidak pantas untuk berlaku
seperti maling pengecut. Juga tidak
pantas untuk memiliki pusaka Keraton
Utara itu!"
"Bangsat kau, Runding Alam!" bentak
prabu dengan geram. Lalu dia kembali
mengibaskan tangannya.
Serentak para prajurit yang
mengurung keduanya bergerak dengan
senjata terhunus.
Seketika tempat itu berubah menjadi
ramai. Penuh teriakan dan bent akan.
Berpuluh senjata berkelebat ke arah
keduanya.
Ki Runding Alam bergerak cepat.
Dia tidak mau dijadikan sasaran
konyol puluhan senjata yang mengarah
padanya. Ajian Garuda Tiwikramanya sudah
dia pergunakan. Dan tidak mengenal belas
kasihan lagi.
Ini namanya perang! Perang!
Dan dia harus menang. Dia harus
menang! Di dalam perang hanya ada dua
kemungkinan, kalah atau menang. Namun Ki
Runding Alam tidak mau memikirkan kalau
dia akan kalah! Baginya tak ada alasan
untuk kalah.
Dia harus menang! Harus! Maka tanpa
mengenal belas kasihan lagi, dengan
gencar Ki Runding Alam menerjang ke sana
ke mari dengan ajiannya. Sekali gebrak,
tiga buah nyawa melayang.
Pekikan, jeritan kematian dan darah
bersimbah menjadi satu dengan
mayat-mayat yang jatuh bergeletakkan.
"Mampuslah kalian semua!!" bentak
Ki Runding Alam sambil terus melancarkan
pukulannya.
Berjatuhanlah para prajurit yang
hanya mengandalkan senjata dan
keberanian itu.
Begitu pula dengan Ki Manggada.
Dia masih tetap duduk bersila. Namun
tangannya bergerak dengan lincah dan
cepat. Dia seperti memiliki indera
keenam yang dapat melihat ke segala arah.
Tangannya bergerak dengan cepat.
Memukul. Menghantam. Mencakar prajurit
yang nekad mendekat.
Dalam posisi demikian, Ki Manggada
masih menunjukkan ketangguhannya.
Puluhan hanya telah berjatuhan
dengan jeritan dan darah bersimbah yang
menjadi satu.
Kedua tokoh dari Kediri itu terus
melancarkan serangan-serangan mereka
yang amat hebat. Membuat keadaan menjadi
semrawut. Dan seketika itu pula mendadak
di tempat itu jadi kacau balau.
"Gada! Habisi saja semuanya!" seru
Ki Runding Alam sambil terus melancarkan
serangannya.
"Benar, Runding Alam! Untuk apa kita
menaruh belas kasihan lagi kepada
orang-orang ini!"
"Dan sebentar lagi akan kita
hancurkan semuanya ini, bukan?!"
"Dengan senang hati!"
Melihat tangan telengas yang
diturunkan oleh kedua tokoh dari Kediri
itu, membuat prabu segera memerintahkan
Kyai Rebo Panunggul untuk terjun
membantu.
Dengan ajian Macan Setan, ajian
kebanggaannya, dia mencoba untuk
menghantam Ki Manggada yang menurutnya
dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Tetapi Ki Runding Alam yang juga
melihat posisi Ki Manggada tidak
menguntungkan, segera memapaki serangan
Kyai Rebo Panunggul.
Jelas saja Ki Manggada posisinya
tidak menguntungkan. Dia masing dalam
keadaan bersila, masih menangkis dan
menghantam setiap serangan para prajurit
yang datang. Dan diharuskan pula untuk
menerima pukulan dari kyai Rebo
Panunggul. Ini jelas-jelas tidak
menguntungkannya.
Bentrokan yang terjadi antara Ki
Runding Alam yang memapaki serangan Kyai
Rebo Panunggul, terjadi dengan keras.
"Des!"
Keduanya dengan sigap bersalto dan
berdiri dalam posisinya masing-masing.
Beberapa prajurit yang hendak
menyerang Ki Runding Alam jadi
mengurungkan niat mereka. Karena melihat
Kyai Rebo Panunggul memberi isyarat
untuk menyingkir.
Dan para prajurit itu mengalihkan
serangan mereka pada Ki Manggada.
Kyai Rebo Panunggul mendengus.
"Maafkan aku, Runding Alam... bila kau
benar-benar akan mampus di sini!"
"Hahaha... sepertinya kau sudah
merasa mampu untuk mengalahkan aku, Rebo
Panunggul!"
"Hhh! Sombong!"
"Baik, kita buktikan, Runding
Alam!" "Tahan serangan!!" seru Kyai Rebo
Panunggul menyerbu kembali. Dalam
sekejap saja dua tokoh sakti dari dua
negara itu sudah saling menunjukkan
kepandaiannya. Saling menerjang dengan
hebat. Masing-masing seakan ingin
membuktikan dan memamerkan
kesaktiannya. Dengan ajian Garuda
Tiwikramanya, Ki Runding Alam bergerak
dengan hebat. Begitu pula dengan Kyai
Rebo Panunggul.
Keduanya bergerak bagai garuda
melawan macan. Dua hewan perkasa yang
meraja rimbanya. Garuda merajai alam
bebasnya di angkasa dan macan merajai
hutan belantara di bumi.
Sementara itu, Sri Jaya
Wisnuwardana masuk ke dalam istana.
Pintu ruangan pertemuan ditutup.
Prajurit-prajurit yang menjaga di luar
segera datang membantu. Dan langsung
menyerang Ki Manggada yang lama kelamaan
merasa kewalahan juga kalau duduk
bersila. Dia meloncat dan bersalto ke
belakang, menghindari kepungan
lawannya. Namun baru saja kakinya
menginjak lantai, puluhan senjata tajam
berupa tombak dan parang, sudah bergerak
memburunya. Kembali Ki Manggada bersalto
dengan gerakan bolak balik ke arah kiri
dan langsung melancarkan pukulan
delapannya dengan dahsyat.
Beberapa orang terpental dan muntah
darah menerima hajaran itu.
"Tahan!" Terdengar bentakan keras
dan berwibawa. Seketika para prajurit
menarik senjatanya. Yang berseru Tunggul
Dewa dan meloncat ke arena pertarungan.
Dasa Samudra membuat gerakan yang
mengagumkan pula. Kyai Rebo Panunggul
segera bersatu dengan kedua temannya.
Para prajurit menyingkir. Ki
Runding Alam bersalto mendekati Ki
Manggada. Keduanya saling beradu
punggung dan bersiap dengan segala
kemungkinan penyerangan.
"Beri kami jalan ke luar!" bentak Ki
Runding Alam.
Terdengar tawa Dasa Samudra yang
agak pongah. Lalu merandek dengan
kata-kata tajam, "Tak semudah kalian
masuk tadi. Kalian telah masuk kalangan,
telah masuk ke sarang yang penuh bahaya.
Kalian pun telah mengusik
harimau-harimau, dan tak mungkin harimau
itu melepaskan mangsanya sebelum
menggigit!"
"Bangsat!"
"Hhh! Kini kita berada di ruangan
yang besar. kita anggap sebagai
kalangan! Kalian berdua, kami bertiga.
Silahkan pilih lawan!"
Dasa Samudra melangkah setindak,
begitu pula dengan Kyai Rebo Panunggul.
Kini Tunggul Dewa yang berdiri di tengah,
dengan sikap menantang. Kedua tangannya
dilipat di dada. Matanya memancarkan
sinar meremehkan.
Ki Runding Alam saling berpandangan
dengan temannya. Seperti saling berpikir
memilih lawan-lawan mereka. Memang tak
ada jalan lain. Mereka harus menghadapi
tantangan ini, atau mati dengan jalan
hormat. Bukan mati dengan jalan
pengecut. Mati membela negara adalah
kehormatan, bukan lari seperti dikejar
anjing.
Ki Runding Alam memandang geram.
Bibirnya tersenyum sinis. Dia menunjuk
Kyai Rebo Panunggul. Rupanya dia belum
puas dengan perkelahian tadi. Biar dia
tahu, siapa sebenarnya yang kuat di
antara mereka.
Kyai Rebo Panunggul tertawa
terbahak dengan sombongnya. Lalu
mendadak terdiam dan berseru keras,
"Hhh! Rupanya kita memang ditakdirkan
untuk berhadapan sampai mati, Runding!
Kuterima tantanganmu!"
Dasa Samudra menatap Ki Manggada.
"Siapa yang kau pilih, Ki. Atau kau takut
untuk segera menentukan lawanmu?"
Ki Manggada tersenyum. Sikapnya
tenang. Dia memang tidak seberangasan Ki
Runding Alam yang selalu tidak bisa
menahan amarah.
"Kau bersedia melayaniku, Orang
jelek?" tanyanya dengan ejekan dan
membuat Dasa Samudra menggeram marah.
"Bangsat! Baik, kuterima
tantanganmu!" Dasa Samudra bergerak
perlahan ke depan. Matanya geram, penuh
nafsu untuk mengalahkan.
"Kau akan lihat permaianan si
Trisula Kembar yang begitu hebat dan
dahsyat! Hhh! Trisula Kembar
Mempermainkan O-bak! Hhh! Terima
seranganku, Ki!!" Setelah berkata
demikian, Dasa Samudra melesat ke depan
dengan kecepatan yang mengagum-kan.
Namun kali ini lawannya adalah
pentolan dari Kediri, yang bukan kosong
melompong tanpa ilmu yang patut
dibanggakan. Ki Manggada segera
menyambut serangan itu dengan
memapakinya. Kedua tenaga besar itu
bertemu dan menimbulkan suara yang
keras. Keduanya terhuyung ke belakang
beberapa tindak. Dan kembali keduanya
menampilkan segenap kemampuan dengan
gerak dan jurus yang mengagumkan.
Ki Manggada sudah memamerkan kem-
bali pukulan saktinya. Bayangan Delapan
Tangan. Dan serangan demi serangannya
sangat mematikan. Membuat Dasa Samudra
agak kebingungan dan terdesak. Mendadak
dia bersalto ke belakang dan berdiri
dengan kedua trisulanya siap di tangan.
Saat melenting itulah dia mencabut kedua
senjata kebanggaannya. Trisula Kembar,
yang amat dahsyat dimainkan oleh Dasa
Samudra. Kedua trisula itu seperti hidup
jika sudah di tangan Dasa Samudra.
Sementara itu, Kyai Rebo Panunggul
sudah menyerang pula. Dan Ki Runding Alam
sudah sejak tadi siap melayaninya. Kini
keduanya pun terlibat dalam perkelahian
yang benar-benar hebat. Saling
menunjukkan kelincahan, kecepatan dan
kesaktian masing-masing.
Dua pasang manusia yang berkelahi
telah menimbulkan suara yang keras dan
menggetarkan. Dinding-dinding ruang
pertemuan itu seakan bergetar menerima
gebrakan kedua pasang manusia itu.
Tiba-tiba Ki Runding Alam bergerak
menukik setelah melompat tinggi. Tangan
kanannya bergerak mirip paruh garuda
yang siap menyambar mangsa. Dia memekik
keras. Kyai Rebo Panunggul terkejut
melihat serangan yang mendadak berubah.
Dia cepat menunduk dan berguling dengan
lincah. Serangan itu meleset. Tapi di
luar dugaannya, sebelum dia sempat
berdiri, Ki Runding Alam meloncat dengan
gerakan menerkam. Kyai Rebo Panunggul
yang masih dalam keadaan posisi
berguling tidak sempat menghindar.
"Aaaaah" Bahunya tersambar gerakan
mematuk Ki Runding Alam yang langsung
bersalto menghindar.
Lalu berdiri dengan senyum mengejek
sambil berkacak pinggang. Memperhatikan
Kyai Rebo Panunggul yang bangkit berdiri
dengan bersiap pula.
"Ha-ha-ha... ternyata hanya begitu
saja kehebatan Macan Setan yang kau
banggakan, hah?" ejek Ki Runding Alam
sambil terbahak.
Kyai Rebo Panunggul menjadi panas.
Sambil menggeram hebat dia kembali
menerjang. Kali ini mendadak Tunggul
Dewa maju membantu temannya. Dikeroyok
dua jagoan Keraton Selatan ini tidak
membuat Ki Runding Alam menjadi gentar.
Dia malah menghadapi keduanya dengan
sekuat tenaga.
Namun suatu ketika pukulan Tunggul
Dewa mengenai tepat di dadanya yang
membuat Ki Runding Alam terhuyung
beberapa tindak. Dia mencoba menahan
langkahnya agar tidak terhuyung, dan
berhasil dilakukannya. Namun tidak
berhasil menahan darah yang menyembur ke
luar.
Wajah Ki Runding Alam seketika
menjadi pucat. Apalagi, dengan buas
Tunggul Dewa kembali melancarkan
serangan-serangannya. Dalam keadaan
terluka, sudah jelas Ki Runding Alam
tidak mampu untuk menahan serangan itu.
Kembali dadanya digedor pukulan yang
amat keras. Kalau bukan Ki Runding Alam
yang terkena, tentu orang itu sudah
mampus!
Dia mengaduh dan muntah darah
kembali.
Ki Manggada yang sedang mendesak
lawannya menjadi terpecah perhatiannya
mendengar suara aduhan temannya. Dia
menoleh dan kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Dasa Samudra. Sambil
memekik dia menyabetkan trisulanya. Dan
menemui hasil yang agak memuaskan.
Trisula itu berhasil mendesak Ki
Manggada. Dan dengan satu gerakan cepat
berhasil mengenai bahu kiri Ki Manggada,
yang sangat terkejut lalu bersalto
menghindari serangan selanjutnya. Dia
menekap luka di bahunya. Darah merembes
perlahan.
Dasa Samudra terbahak melihat hasil
kerjanya.
"Sudah kubilang, kalian hanya
membuang-buang tenaga dan nyawa percuma
datang ke mari! Hmm... sebentar lagi,
Tanah Singasari akan memendam jasad
buruk kalian!"
"Licik kau bangsat! Kau mengambil
kesempatan selagi aku lengah!" seru Ki
Manggada.
"Ha-ha-ha... kita lawan, Ki! Bukan
teman dalam latihan! Kau seorang
pejuang, seorang pendekar, namun kau
lengah, resikomu, Ki! Kini bersiaplah
untuk mampus!"
Ki Manggada melihat keadaan
temannya yang sudah nampak payah namun
masih mencoba bertahan. Dia melihat Ki
Runding Alam sedang menahan rasa
nyerinya. Dapat dibayangkan betapa
sakitnya.
Mendadak Ki Manggada bersalto
mendekati temannya. Dengan secepat kilat
tangan kanannya menyambar tubuh Ki
Runding Alam dan tangan kirinya melempar
sesuatu ke lantai.
"Duar!"
Terjadi ledakan kecil yang
menimbulkan asap seperti kabut yang
pekat, namun menyakitkan mata.
Orang-orang menjadi kalang kabut. Dan
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
seketika tempat itu tertutup oleh asap
yang sangat sulit ditembus oleh
pandangan mata.
"Hei, jaga bangsat itu!" seru Dasa
Samudra, namun dia sendiri tidak bisa
melihat apa-apa, terhalang oleh asap
putih itu.
Dan hanya terdengar beberapa
erangan dan aduhan dari beberapa orang
prajurit. Mereka berusaha menghilangkan
asap putih yang lama-lama mulai menipis.
Dan bisa melihat dengan jelas kembali.
Tetapi kedua orang itu sudah tidak
ada di hadapan mereka. Seolah lenyap
begitu saja entah hilang ke mana. Mereka
hanya terlihat beberapa orang prajurit
tergeletak tanpa nyawa dan pintu ruangan
itu terbuka secara paksa.
Kyai Rebo Panunggul menggeram
jengkel.
Tunggul Dewa mendengus hebat dan
menumpahkan kemarahannya dengan
menendang sebuah kursi sampai hahcur.
Dasa Samudra hampir keluar kedua
bola matanya karena tak dapat menahan
marah.
Tapi kedua utusan Kediri itu sudah
lenyap dari mata mereka.
Dengan lesu Kyai Rebo Panunggul
menyuruh prajurit yang tersisa, untuk
menyingkirkan mayat-mayat temannya dan
merapikan kembali ruangan.
Dia sendiri dan kedua temannya
segera menghadap Sri Jaya Wisnuwardana,
yang menerima laporan itu dengan geram.
Dia menggebrak meja dengan marah.
"Buat surat pada raja Keraton Utara.
Katakan, mulai detik ini, Keraton
Selatan memutuskan hubungan
persahabatan, dan bermaksud mengadakan
perang! Lakukan itu cepattt!!!"
Tak ada yang bisa diperbuat oleh
mereka lagi kecuali memematuhi semua
perintah sang prabu. Saat membuat surat
kepada Raja Kediri, Kyai Rebo Panunggul
berkata,
"Satu saat nanti, akan kuhirup darah
Runding Alam! Dan sebagaian kubuat untuk
mandi!" geram suaranya dan dia seperti
bersumpah.
Sumpah yang cukup mengerikan.
Tetapi bagi kedua temannya juga
dalam keadaan murka, sumpah itu tak
banyak membuat mereka kuatir. Malah
mereka pun bersumpah pula dengan nada
mengerikan pula.
"Aku pun bersumpah, akan kutelan
mentah-mentah jantung Ki Runding Alam!"
seru Tunggul Dewa.
"Begitu pula dengan aku!" kata Dasa
Samudra.
"Akan kulumat telan mentah-mentah
jantung dan hati Ki Manggada!!"
Dan tiba-tiba saja terdengar suara
petir yang bergemuruh. Dan cuaca berubah
menjadi gelap. Hujan pun mendadak turun
dengan deras.
Bertanda sumpah ketiga anak manusia
itu didengar oleh Dewata!
Sumpah yang mengerikan.
Teramat mengerikan!
Lalu ketiganya kembali meneruskan
membuat surat pada Raja Kediri dengan
hati geram yang bukan main lagi!
Menimbulkan dendam kesumat pada Ki
Runding Alam dan Ki Manggada!
Dan ini merupakan dendam abadi yang
berkepanjangan sampai kapanpun juga!
* * *
4
Setelah kejadian yang amat
menyesakkan dada itu, Prabu Keraton
Selatan menjadi amat berat untuk
melepaskan Sekar Perak yang akan
mengunjungi ibunya.
Prabu kuatir kedua orang Keraton
Utara itu masih berada di sekitar
lingkungan Keraton Selatan. Meskipun
telah dikerahkan orang-orangnya ke
penjuru Keraton Selatan dan keduanya
tidak ditemukan, prabu masih yakin kalau
keduanya masih berada di sekitar sana.
Ketika hal itu diberitahukan kepada
Sekar Perak, membuat Sekar Perak menjadi
murung.
"Bukan maksudku untuk melarangmu,
duhai bungaku yang anggun...." kata
prabu. "Tetapi yang kukuatirkan, nasibmu
nanti. Aku tidak mau kau terjatuh di
tangan orang-orang Kediri...."
"Tetapi, Gusti...." kata-kata Sekar
Perak terhenti dan dia kembali
menundukkan kepa-lanya.
Sekilas prabu dapat melihat
sepasang mata Sekar Perak yang menjadi
berkaca-kaca.
Dan ini membuat prabu menjadi iba
namun cemas, seminggu dia pun tidak
tenang untuk melepaskan Sekar Perak.
"Aku mengerti, Diajeng. Aku
mengerti akan perasaan rindumu pada
ibumu. Tetapi keadaan yang membuatku
memaksamu untuk mengurungkan
niatmu...."
"Tapi hamba sudah rindu pada ibu,
Gusti...."
"Aku mengerti, Bungaku. Tetapi kau
harus mengerti pula keadaan ini. Aku tak
mau terjadi apa-apa padamu. Aku tak mau
itu terjadi. Tidak tahukah kau... benar
besarnya rasa kasihku padamu?"
Sekar Perak hanya mengangguk-angguk
dengan mata berlinang.
"Gusti... tidak bisakah dan tidak
dapatkah saya untuk pergi?"
"Diajeng... mengertilah keadaan
yang membuatku memaksa seperti ini...."
Dan keputusan baginda prabu membuat
Sekar Perak menjadi sedih dan murung.
Perasaan gembira ingin bertemu dengan
ibu yang telah lama ditinggalnya dan
membangkitkan rasa rindu yang amat
mendalam, kandas begitu saja.
Kerjanya hanya melamun saja dalam
kamar. Bahkan terkadang terlihat Sekar
Perak berbicara sendiri. Dan selalu
menangis jika sang prabu menemuinya
untuk mengajak bercumbu dan bercanda.
Gairahnya seakan telah lenyap,
padam dan sirna untuk melayani sang
prabu. Kalau pun mau, jelas sekali nampak
dia benar-benar dan seperti terpaksa.
Itu pun dilakukan hanya karena
hormatnya yang begitu besar pada prabu.
Dan dia tidak mau mengecewakannya. Namun
larangan sang prabu membuatnya tidak
bergairah untuk berbuat apa-apa.
Dalam seminggu saja, tubuhnya yang
padat menjadi kelihatan kurus. Wajahnya
yang selalu berseri, segar dan jernih,
kelihatan selalu pucat. Dan Sekar Perak
menjadi malas untuk mengurus dirinya.
Keadaan ini pun membuat para dayang
yang melayani dan mengurusnya menjadi
tidak bisa berbuat apa-apa. Karena bila
ada dayang yang bermaksud untuk
merapikan rambutnya saja, dia selalu
menolak dan menyuruh sang dayang untuk
meninggalkan kamarnya.
Dan para dayang itu hanya bisa
melaporkan pada prabu dengan tidak
berbuat apa-apa lagi.
"Maafkan kami, Junjungan yang
mulia... kami tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Dan kami merasa tidak mampu untuk
mengurus junjungan Sekar Perak..." kata
salah seorang dayang sambil berlutut.
"Benar, Gusti... kami pun sudah
kewalahan. Karena kami tidak ingin
membuatnya marah...." kata yang lain.
"Dan kami tidak ingin melihatnya
semakin murung saja, Gusti...." kata
yang pertama.
"Kami amat menyayangi dan mencintai
Sekar Perak. Kami tidak ingin melihat
keadaannya yang semakin hari semakin
memedihkan hati kami...."
Dan laporan-laporan dari para
dayangnya itu membuat sang prabu menjadi
tidak enak. Apalagi Sekar Perak adalah
selir kesayangannya.
Namun membiarkan Sekar Perak dalam
keadaan yang memprihatinkan ini membuat
hati sang prabu pun menjadi tidak
tentram. Apalagi dia pun jelas melihat
keadaan Sekar Perak yang memprihatinkan.
Dia didera oleh satu kerinduan pada
ibunya.
Sang prabu menjadi harus berpikir
lagi masak-masak untuk memutuskan
keingingan Sekar Perak.
Lalu suatu malam dia pun mendatangi
peraduan Sekar Perak. Dan prabu dapat
melihat kalau sepasang mata yang
biasanya indah berkilau itu kini tidak
ada cahayanya lagi.
Dan dia pun melihat kalau Sekar
Perak seakan segan untuk menerima
kedatangannya.
Namun Prabu masih mencoba untuk
tersenyum.
"Kau sudah makan, Bungaku?" sapanya
dengan suaranya yang terdengar bernada
kasih sayang yang tulus.
Sekar Perak cuma melengos, mendesah
dan membalikkan tubuhnya membelakangi
sang prabu. Sikapnya itu nampaklah bukan
suatu penghormatan, malah seharusnya
baginda bisa marah karena merasa
dilecehkan.
Tetapi baginda cuma mendesah. Dan
masih tersenyum dia membelai rambut
Sekar Perak.
Lalu perlahan dia berucap, "Kau
tidak menjawab pertanyaanku, manisku?"
Lalu dengan suara yang terdengar
dipaksakan, terdengar jawaban dari Sekar
Perak, "Apa yang harus hamba jawab,
Gusti... apa yang harus hamba jawab?"
Hati gusti prabu menjadi tercekat.
Apa yang harus dia jawab? Oh, bukankah
dia sudah mendengar pertanyaanku tadi?
Ataukah... ah, tidak, tidak... pasti dia
tidak jelas mendengar pertanyaaku itu.
Baginda mengulangi lagi
pertanyaannya.
Dan dilihatnya Sekar Perak mendesah
panjang. Gadis itu masih dalam keadaan
membelakangi Baginda.
"Sudah, Gusti...."
"Sudah? Sudah katamu, Diajeng?"
"Ya, Gusti...."
"Lalu bagaimana dengan hidangan di
meja itu yang nampaknya belum kau sentuh?
Apakah kau masih bisa mengatakan bahwa
kau sudah makan?"
Baginda tetap bersuara dengan
lembut. Penuh kasih dan sayang. Namun
karena kata-kata yang diucapkan dengan
nada penuh kasih itu membuat Sekar Perak
menjadi terharu.
Dan dia terisak.
Lalu didengarnya lagi suara gusti
prabu yang lembut,
"Sekar Perak... bungaku yang
anggun... makanlah dulu... Ayo,
makanlah... Kau bisa sakit bila tidak
makan. Dan ibaratnya bunga diajeng akan
cepat layu...."
Mendengar nada suara yang lembut dan
itu dan penuh perhatian, membuat Sekar
Perak perlahan-lahan membalikkan
tubuhnya.
Prabu Singasari tersenyum. Dia
dapat melihat kilatan rindu pada
sepasang mata yang menjadi sembab itu
karena seminggu lamanya menangis.
Hati prabu menjadi pilu.
"Makanlah, Bungaku... kau tidak mau
sakit, bukan?" katanya dengan tatapan
yang penuh kasih.
"Apakah kau mau membuatku pun jadi
murung karena ikut-ikutan memikirkanmu,
Diajeng?"
Kembali Sekar Perak terdiam.
Sepasang matanya mengeluarkan air.
Lalu dengan hati-hati dia menyantap
hidangan yang ada. Baginda tersenyum
melihatnya.
Namun senyuman segera menghilang
karena setelah selesai menyantap
hidangannya, Sekar Perak kembali menjadi
murung. Dia melakukan itu hanya untuk
menyenangkan hati baginda saja.
Lalu dengan hati-hati baginda
membelai rambutnya.
"Sekar Perak bungaku... Kau
tentunya marah dan kecewa karena aku
telah melarangmu untuk pergi menyambangi
ibumu. Aku tahu kau telah amat rindu
padanya. Dan kau pun kecewa karena aku
menarik kembali pernyataan yang telah
kuucapkan dulu. Namun Sekar Perak, hari
ini... aku kembali mengabulkan
permintaanmu. Aku tak mau membuatmu
semakin hari bertambah murung saja. Aku
pun tak mau melihatmu menjadi sakit,
Bungaku.
Lalu dengan berat hati akhirnya
kuputuskan, untuk mengizinkanmu
menyambangi ibumu...."
Bagai ada angin sejuk yang berhembus
begitu lembut dan membelai wajahnya,
wajah Sekar Perak terlihat berubah.
Sepasang matanya yang tak bercahaya
tadi, kini kembali cemerlang.
Menampakkan sinar kehidupan lagi.
Wajahnya berseri.
Mulutnya sampai terbuka seakan
tidak percaya dengan apa yang telah
diucapkan gusti prabu.
"Benarkah, Gusti?"
Prabu tersenyum melihat wajah yang
bersinar itu.
"Apakah aku pernah bicara bohong,
Diajeng? Aku tak pernah berbohong selama
ini. Aku melarangmu pergi, karena aku tak
ingin kau terlibat satu persoalan pelik
yang sedang terjadi antara Keraton
Selatan dan Keraton Utara...."
Sekar Perak yang sudah terlanjur
gembira seakan tidak mendengar kata-kata
junjungannya.
Wajahnya berseri.
Berkali-kali dia menyembah dan
mengucapkan terima kasih pada sang
prabu.
Keesokan harinya, setelah sepuluh
hari terjadi keributan di istana, Sekar
Perak akan segera berangkat. Dari
tatapannya terlihat jelas kalau prabu
amat berat untuk melepaskan Sekar Perak.
Tetapi dia tidak ingin selir
kesayangannya itu semakin hari semakin
menjadi layu.
"Hati-hati, Diajeng...." kata prabu
pada Sekar Perak yang akan menaiki kereta
kuda.
Dengan anggunnya Sekar Perak
menyembah dan dengan hati-hati menaiki
kereta kudanya.
Prabu menghela nafas panjang.
Berat, berat melepaskan Sekar Perak
walau hanya dua minggu. Apalagi kalau
teringat kejadian sepuluh hari yang
lalu, yang telah menelan puluhan nyawa
prajurit akibat serangan dua utusan
Keraton Utara. Prabu kuatir, mereka akan
mencegat rombongan ini. Maka itulah dia
menyuruh Dasa Samudra untuk ikut
mengawal bersama sepuluh orang prajurit
pilihan dan terlatih serta dua orang
komandan pasukan yang tangguh dan gagah
pula.
Tirai yang terdapat di kereta kuda
itu tersingkap. Seraut wajah manis Sekar
Perak muncul. Dia melambai.
Prabu pun membalas melambaikan
tangannya.
Dan perlahan-lahan iring-iringan
itu pun bergerak.
***
5
Angin berhembus semilir. Udara pagi
yang cerah. Burung-burung pun bernyanyi
riang. Sama seperti riangnya hati Sekar
Perak. Dia bagaikan burung yang baru saja
lepas dari sangkarnya. Memang selama ini
Sekar Perak tidak pernah keluar dari
kaputren hingga baginya keluar ini
adalah untuk pertama kalinya. Apalagi
saat ini dia hendak menyembangi ibunya.
Oh, betapa gembira hatinya.
Rombongan itu terus bergerak. Di
kereta kuda duduk seorang prajurit di
samping sais. Di belakang mereka lima
orang prajurit berkuda dan di depan enam
ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya. Dan salah seorang
penunggang kuda itu adalah Dasa Samudra
yang memakai baju kebesaran seorang
panglima. Dia pun memakai ikat kepala
hitam yang menandakan kebesaran dan
keangkuhan jiwanya. Trisula Kembarnya
menyilang di balik angkin belakang.
Tugas mengawal Sekar Perak bukanlah
hal yang mudah, dan dirasakan oleh Dasa
Samudra suatu tugas yang berat. Di
samping Sekar Perak sebagai selir
kesayangan Baginda Singasari, juga masih
terbayang huru-hara yang dibuat oleh dua
orang Kediri, yang sewaktu-waktu mereka
bisa muncul kembali.
Dan itu yang dicemaskan oleh Dasa
Samudra!
Desa yang sedang dituju oleh
rombongan itu, di mana dulu Sekar Perak
dilahirkan dan kini tinggal ibunya
seorang, adalah desa yang terletak di
perbatasan kekuasaan Kediri dan
Singasari. Dulu Desa Pareden terkenal
sebagai desa yang makmur. Entah
bagaimana keadaan desa itu sekarang.
Tepat tengah hari rombongan itu
beristirahat di sebuah hutan kecil.
Sekar Perak menghirup udara hutan yang
telah lama dirindukannya dalam-dalam.
Dia seakan kembali pada masa kecilnya
dulu.
Betapa bahagianya! Dan Sekar Perak
kerap kali membayangkan betapa
terkejutnya wajah ibunya nanti.
Ketika senja hari barulah mereka
melanjutkan perjalanan lagi. Mereka
harus segera tiba di Desa Glagah Wangi
untuk bermalam. Mereka pun harus
bergerak cepat.
Sampai sejauh itu, Dasa Samudra tak
pernah jauh dari sisi Sekar Perak. Dan
dia sungguh-sungguh merasakan ini tugas
yang amat sulit karena keselamatan Sekar
Perak sepenuhnya berada di tangannya.
Meskipun dia ditemani oleh dua komandan
pasukan dan sepuluh prajurit pilihan.
Rombongan itu terus bergerak dengan
cepat, agar tidak sampai kemalaman di
jalan.
Tepat matahari tenggelam, rombongan
itu tiba di Desa Glagah Wangi. Dasa
Samudra segera menyuruh salah seorang
prajurit untuk mencari sebuah penginapan
yang mampu menampung mereka dan
keamanannya terjamin.
Prajurit itu segera bergerak
kembali dengan laporan yang memuaskan.
Mereka semua segera mendatangi
penginapan yang dicari prajurit tadi.
Dan Dasa Samudra segera mengatur
penjagaan khusus untuk Sekar Perak. Dia
sendiri akan mengontrol tempat Sekar
Perak tidur malam ini.
Dan tanpa rombongan itu sadari, di
kamar nomor 2 yang berada tepat di
belakang kamar Sekar Perak, menginap Ki
Runding Alam dan Ki Manggada! Luka di
bahu Ki Manggada sudah agak sembuh.
Begitu pula dengan luka dalam Ki Runding
Alam. Dia sudah menelan pil penyembuh dan
pemunah penyakit dalam. Pil yang
diberikan Mpu Daga sebelum mereka
berangkat.
Mendengar ribut-ribut itu,
diam-diam Ki Manggada mengintip ke luar
dari kamarnya. Dan dia terkejut melihat
siapa rombongan yang baru datang.
Rombongan dari Keraton Selatan. Dia
melihat lambang Kerajaan Negara
Singasari dari pakaian para prajurit.
Juga melihat musuhnya, Dasa Samudra!
Yang telah berbuat curang dengan
memanfaatkan kelengahannya.
Dan dengan hati-hati dia mengintip,
dia melihat seorang gadis yang cantiknya
luar biasa turun dari kereta kuda. Dan
melangkah dengan diiringi Dasa Samudra.
Suatu pikiran cepat dianalisa dalam
benak Ki Manggada. Orang-orang itu
menginap di tempat ini dan si gadis
adalah orang yang amat dihormati dan
harus dijaga. Terlihat oleh penampilan
Dasa Samudra yang sangat menghormat.
Hmm, saat ini dia harus membalas
penghinaan yang dilakukan orang-orang
Singasari kemarin. Dia akan menculik si
gadis dan akan membuat perhitungan
kembali dengan Dasa Samudra. Dia harus
membalas kekalahannya kemarin. Harus!
Malam ini pula dia harus melakukannya.
Bergegas Ki Manggada kembali ke
kamarnya dan memberitahu akan hal itu
kepada Ki Runding Alam dan membeberkan
rencananya.Ki Runding Alam setuju dengan
rencana itu.
Malam semakin lama semakin
merambat. Udara mencengkram kulit,
betapa dinginnya. Binatang-binatang
malam bernyanyi gembira, seolah merasa
tentram tidak adanya manusia-manusia
yang buas dan perusak. Yang hanya
menginginkan kejahatan dan pertumpahan
darah.
Di kamarnya, Sekar Perak tertidur
dengan pulas. Dia sangat letih akibat
perjalanan seharian itu.
Di luar, penjagaan masih dilakukan
dengan ketat. Dasa Samudra sedikit pun
tidak memejamkan matanya. Dia berjaga
dengan sikap waspada dan sekali-sekali
bangkit me-meriksa sekitar mereka.
Sampai saat ini masih aman. Tidak
ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Lagipula, apa sih yang dikuatirkan? Toh
penjagaan sudah kuat. Dan dia cukup
percaya dengan kemampuannya.
Namun tepat dinihari, dua sosok
tubuh dibungkus pakaian hitam-hitam dan
berkedok hitam, mengendap-endap dan
mengintip dari gerumbulan rumpun bunga.
Mereka tak lain dari Ki Runding Alam dan
Ki Manggada. Mengintai untuk menghitung
jumlah prajurit yang menjaga.
Hmm... di dekat pintu kamar dan dua
orang penjaga. Di jalan yang menuju ke
sana, ada tiga orang. Dekat kuda-kuda
mereka ada dua orang. Dan Dasa Samudra
sendiri berada agak jauh dari mereka,
dekat sebuah pohon sambil bersandar.
Namun panca inderanya selalu berfungsi
dengan sempurna. Sedangkan yang lain
tidur, sudah mendapat giliran menjaga.
"Kau bereskan dulu yang menjaga kuda
itu, Gada," bisik Ki Runding Alam tepat
di telinga temannya. "Setelah itu aku
akan menyergap yang sedang tidur dan
menghalau para penjaga itu. Kau hadapi
Dasa Samudra. Dan aku sendiri akan
menyergap gadis yang di dalam kamar.
Setelah berhasil, kau harus menyusulku
ke arah Timur. Mengerti?"
"Ya." Ki Manggada mengangguk. Dia
selalu menuruti Ki Runding Alam yang
lebih tua dan dihormatinya. Dia sendiri
merelakan Ki Runding Alam yang menyusun
rencana untuk menculik gadis itu.
Lalu dengan gerakan ringan dan
lincah, dia bergerak melalui halaman
depan kamarnya dan memutar ke kanan.
Dengan hati-hati pula dia mengambil dua
buah batu kerikil kecil dan dengan
gerakan mantap disambitkan ke arah
penjaga di dekat kuda itu.
"Tuk! Tuk!"
Serentak kedua prajurit itu terdiam
kaku. Dan dengan berguling tanpa
menimbulkan suara, Ki Manggada mendekati
kuda-kuda itu. Melihat reaksi Ki Runding
Alam.
Ternyata dia pun telah berhasil
melumpuhkan para penjaga yang sedang
tidur. Dan dengan isyarat kibasan
tangan, dia memberi tanda akan segera
menyerang tiga penjaga di halaman kamar
itu. Tiba-tiba saja dia bersalto.
Ketiga penjaga itu terkejut.
"Hei, siapa kau?" bentak salah
seorang. Dan teriakannya itu menarik
perhatian Dasa Samudra yang terkejut dan
segera berlari.
Ki Runding Alam segera bergerak
cepat. Dengan sekali pukul pengawal tadi
jatuh pingsan. Teman-temannya segera
membantu, seketika di tempat itu terjadi
pergulatan ramai. Namun bagi Ki Runding
Alam menghadapi prajurit cere begini,
sangat mudah. Dia langsung menurunkan
tangan telengas dengan ajian Garuda
Tiwikrama, yang membuat kelima penjaga
itu mampus.
Tiba-tiba Ki Runding Alam merasakan
ada dorongan angin deras di belakangnya.
Namun tiba-tiba angin itu berbelok.
"Des!"
Dua buah pukulan beradu. Dasa
Samudra terkejut dia cepat bangkit dan
memperbaiki posisinya. Seorang
laki-laki bertopeng memberi isyarat pada
temannya untuk masuk ke kamar Sekar
Perak, sedangkan dia sendiri menghadapi
Dasa Samudra. Marah Dasa Samudra.
"Hei, mau apa kau ke sana?" serunya
sambil menerjang, namun dihalangi oleh
laki-laki bertopeng yang menghalau
serangannya tadi.
Kembali dua buah pukulan bertemu.
Kemarahan Dasa Samudra tidak bisa
dibendung lagi. Dia langsung mencabut
Trisula Kembarnya dan menghadapi
laki-laki bertopeng itu dengan buas.
Seketika di tengah malam buta di tempat
itu menjadi ramai oleh bentakan,
terjangan, pukulan keduanya.
Beberapa orang yang menginap di sana
menjadi terbangun. Namun tidak berani
men-dekat. Mereka hanya mengintip dan
ada yang merasa lebih baik di dalam
kamarnya saja.
Sementara itu, Ki Runding Alam sudah
masuk ke kamar Sekar Perak dengan jalan
mendobrak kamar. Dobrakan itu
membangunkan Sekar Perak yang langsung
ketakutan melihat sosok tubuh berpakaian
hitam dan berkedok masuk ke kamarnya. Dia
menjerit ketakutan. Namun si kedok hitam
sudah melesat menotok hingga kaku. Dan
dengan mudahnya dia membopong tubuh
gadis itu dan melesat ke luar.
Dia memberi isyarat kepada Ki
Manggada yang sedang menahan
serangan-serangan Dasa Samudra. Melihat
kawannya berhasil, Ki Manggada mendadak
melenting ke atas dan turun dengan kedua
kaki ke arah Dasa Samudra. Gerakannya
cepat dan deras. Secara reflek Dasa
Samudra mengibaskan kedua trisulanya dan
membuat Ki Manggada bersalto ke samping.
Dan dengan sangat cepat kakinya bergerak
menyambar kaki Dasa Samudra. Tubuh Dasa
Samudra limbung dan kesempatan itu
dipergunakan oleh Ki Manggada untuk
menyusul Ki Runding Alam.
Dasa Samudra menggeram dan melesat
mengerjar. Namun tiba-tiba dia bersalto
ke belakang. Tiga buah kerikil kecil
menyambar dengan kecepatan kencang.
Dan dua bayangan tadi menghilang
dengan cepat. Namun Dasa Samudra tetap
mengejar. Dia teringat bagaimana hukuman
yang akan diterimanya dari sang prabu.
Tentu sang prabu akan menghukumnya
seberat-beratnya. Dia harus menemukan
Sekar Perak
walaupun akan mengorbankan nyawanya
sendiri, begitu tekad Dasa Samudra.
Dia hanya mengira-ngira ke mana
kedua orang itu pergi. Ke arah Timur. Dan
dia harus mencarinya. Harus menemukan
Sekar Perak.
Namun... siapakah kedua orang
bertopeng itu? Kenapa keduanya memusuhi
dan menculik Sekar Perak?
Dasa Samudra terus berlari.
***
6
Udara pagi berhembus dingin sekali.
Kabut cukup tebal menutupi Bukit
Paringin yang kelihatan amat
menyeramkan. Bahkan boleh dikatakan ini
masih malam, karena kira-kira baru pukul
empat pagi.
Bukit Paringin adalah sebuah bukit
yang jarang sekali didatangi orang.
Karena bukit itu amat menyeramkan.
Namun pagi itu, di lereng bukit itu
mendadak saja terdengar bentakan dan
seruan yang amat keras. Bentakan itu
menggema ke seluruh lereng bukit itu.
Mengalahkan pula kabut yang cukup tebal
yang membuat mata cukup sulit untuk bisa
menembus pemandangan apa yang ada di
balik kabut itu.
Bila diperhatikan dari dekat,
nampak seorang pemuda tengah bergerak
dengan cepat. Pemuda itu seakan-akan
tidak menghiraukan udara yang amat
dingin. Dia terus bergerak dengan
lincah. Ke depan, ke belakang, ke
samping. Kadang menerjang, bersalto,
menghindar, memukul, menyodok,
menendang.
Semua itu dilakukan dengan gerakan
yang tangkas, cepat dan penuh tenaga.
Dan pemuda yang membentak-bentak
tadi terus bergerak dengan lincahnya.
Rupanya pemuda itu tengah berlatih ilmu
silat yang hebat dan tangguh.
Jurus-jurus yang dilatihnya nampak
khusus diciptakan seseorang yang
memiliki dan mewarisinya kepada si
pemuda, karena jurus-jurus itu nampak
aneh dan lucu. Seperti pendekar bloon
yang sedang mabuk. Jarang dijumpai jurus
seperti tadi.
Dari gerakan yang dilakukan itu,
tiba-tiba gerakannya berubah. Kini
gerakan tangan, kaki, dan lenggok
tubuhnya mirip seekor burung gagak yang
cepat. Namun kadang gerakannya terlihat
keras. Kibasan tangan pemuda itu mirip
kibasan sayap burung yang sedang marah.
Ilmu silat yang dilatih pemuda itu
kemudian memang berdasarkan gerak gerik
burung gagak, yang dinamakan, jurus
Pukulan Patuk Gagak. Jurus yang anggun,
manis namun berisi dan kadang terlihat
begitu meng-getarkan. Sungguh hebat
orang yang telah menciptakannya. Dan
sungguh beruntung pemuda itu yang telah
mewarisinya.
Angin berhembus, semakin dingin
terasa. Namun pemuda yang bertelanjang
dada itu seolah tak acuh saja dengan rasa
dingin yang menyengat. Rupanya
gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi
menimbulkan hawa panas dalam tubuhnya
hingga bisa mengalahkan hawa dingin.
Benar saja, pemuda itu pun nampak
berkeringat.
Dia sudah melakukan gerakan lebih
dari 1000 jurus. Gerakan yang
dilakukannya benar-benar luar biasa
cepatnya. Terutama gerakan Patuk-Patuk
Gagaknya, yang dilakukannya
berulangkali hingga dia merasakan sudah
mantap benar.
Bahkan tidak hanya sampai di sana.
Kini dia pun bergerak seperti sedang
menghindari satu serangan. Dalam
berlatih, pemuda itu memang seakan-akan
mempunyai lawan di hadapannya.
Gerakan penghindar itu dinamakan
Gagak Terbang. Lalu gerakan tubuhnya pun
cepat dan lincah. Kadang melompat,
bersalto dan bergulingan.
Tiba-tiba pemuda itu bersalto dua
kali ke belakang. Dan begitu hinggap di
tanah sudah dalam keadaan duduk bersila.
Tak satu debu pun yang beterbangan saat
tubuhnya hinggap di tanah. Menandakan
betapa tingginya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki pemuda itu.
Dia mengatur nafasnya. Dan
perlahan-lahan sepasang matanya
terpejam. Lalu kedua tangannya menyatu
saling tekan di dada. Sikapnya begitu
khusus. Nampaknya dia tengah
berkonsentrasi akan satu ilmu yang masih
dimilikinya.
Setelah agak lama, mendadak pemuda
itu mengibaskan tangan kanannya ke
depan.
Sreeett!!
Selarik sinar putih pun tiba-tiba
melesat dari telapak tangannya,
menghantam sebuah pohon besar di
hadapannya, langsung hancur berantakan
dan tumbang.
Mendengar suara yang keras seperti
ledakan itu, si pemuda membuka matanya.
Dan sepasang matanya terbelalak melihat
hasil yang dilakukannya. Begitu hebat.
Sungguh diluar dugaannya.
Oh, benarkah aku bisa melakukannya
sekarang? Desisnya dalam hati seolah
tidak percaya.
Dan kenyataan serta hasil pukulan
sinar putih yang melesat dari tangannya
memang benar-benar terjadi. Tiba-tiba
saja pemuda itu berseru-seru gembira,
"Hore! Eyang! Aku berhasil!
Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku
berhasil!!"
Dan pemuda itu terdiam kembali.
Nampaknya dia ingin mengulangi lagi apa
yang telah dilakukannya tadi. Karena dia
masih sangsi apakah benar-benar dia
telah melakukannya?
Kali ini dia menggerakkan tangan
kirinya ke samping, mengganti
sasarannya. Kembali selarik sinar putih
berkelebat dari tangan kirinya dan
menghantam sebuah batu karang sebesar
kambing.
Kali ini hasilnya sungguh luar
biasa. Kembali terdengar suara seperti
ledakan. Seperti yang dialami oleh pohon
tadi, batu karang itu pun hancur
berantakan. Bahkan berkeping-keping.
Pecahan batu karang itu berpentalan ke
sana kemari.
Kembali pemuda itu berseru seru,
"Hahaha... aku berhasil, Eyang! Aku
berhasil!!"
Dan dia pun melakukan hal yang sama
berulang-ulang kembali. Hingga dia yakin
bahwa dia memang telah berhasil
melakukannya. Kembali pula terdengar
seruan yang gembira.
"Demi Tuhan! Ini bukan khayalan atau
angan semata lagi!! Aku memang berhasil,
aku memang berhasil!" seru pemuda itu
gembira. Lalu dia melonjak-lonjak mirip
anak kecil yang mendapatkan permen.
Sebenarnya siapakah pemuda yang
gagah perkasa itu? Dia bernama Pandu.
Pemuda yatim piatu yang sejak kecil
ditinggal mati kedua orang tuanya.
Usianya baru 19 tahun. Wajahnya
tampan dan bertubuh tegap. Nampak begitu
kokoh dengan bertelanjang dada sekarang.
Menampilkan otot-otot yang kekar dan
kuat. Rambutnya tergerai hingga bahu.
Diikat dengan ikat kepala warna putih.
Dia adalah murid tunggal seorang
pertapa sakti yang telah lama bertapa di
Bukit Paringin sebuah bukit yang
terdapat di Gunung Kidul.
Sepuluh tahun yang lalu, pertapa
sakti yang bernama Eyang Ringkih Ireng
itu secara tidak sengaja bertemu dengan
seorang bocah yang sedang menangis
karena lapar di hutan. Lalu bocah itu pun
dipungutnya. Sejak pertama kali melihat
bocah itu, Eyang Ringkih Ireng sudah
jatuh hati padanya. Bahkan yang
membuatnya makin tertarik, bocah itu
seakan kuat menahan hawa dingin Gunung
Kidul. Dan tak pernah sekali pun mencoba
meninggalkan Bukit Paringin di mana
Eyang Ringkih Ireng bertapa. Bahkan
bocah itu menurut saja apa katanya.
Karena melihat otot dan tulang
belulang pada bocah itu, Eyang Ringkih
Ireng pun secara perlahan-lahan mulai
mengajarkan dan menurunkan ilmu yang
dimilikinya. Hampir sepuluh tahun
lamanya pertapa itu menggembleng Pandu
di Bukit Paringin.
Yang membuatnya amat gembira,
ternyata bocah itu daya tangkapnya cepat
sekali. Dia mampu menirukan
gerakan-gerakan yang dilalukan Eyang
Ringkih Ireng secara tepat dan pasti.
Dan pertambahan usia pada bocah itu,
semakin bertambah pula apa yang
diturunkan oleh Eyang Ringkih Ireng
padanya. Di samping itu daya tahan
tubuhnya pun seringkali dipaksakan Eyang
Ringkih Ireng.
Pelajaran pertama daya ketahanan
tubuh yang dialami Pandu, dijemur di
terik matahari dari pagi hingga sore.
Begitu sampai semiggu lamanya. Setelah
itu pada malam hari pun berbuat yang
sama. Mendaki puncak Gunung Kidul dan
duduk bersila melawan hawa dingin.
Semuanya dilakukan dengan
bertelanjang dada.
Sampai seminggu pula lamanya.
Dan selama dua minggu, dia harus
bertapa di air terjun yang ada di sana.
Eyang Ringkih Ireng amat bangga melihat
hasil yang dicapai Pandu.
Daya tahan tubuhnya luar biasa.
Ini amat mengagumkannya.
Eyang Ringkih Ireng sendiri
sebenarnya sejak tadi sudah berada di
atas pohon sambil memperhatikan muridnya
berlatih. Dia mendesah kagum.
Diusap-usapnya jenggotnya yang putih.
Dia merasa tidak sia-sia telah
menggembleng Pandu sekian lama jika
hasilnya menggembirakan begini. Pukulan
Sinar Putih telah dikuasai Pandu dengan
sempurna.
Pukulan Sinar Putih adalah salah
satu jenis pukulan yang amat langkah. Dan
kini telah berhasil dikuasai oleh
muridnya. Berarti sekarang di dunia ini
ada dua anak manusia yang berhasil
memiliki Pukulan Sinar Putih.
Karena Eyang Ringkih Ireng yakin
sekali, kalau tak seorang pun manusia
yang memiliki ilmu itu selain mereka
berdua. Ini benar-benar membuatnya
merasa beruntung karena memiliki seorang
murid seperti Pandu.
Dia membiarkan saja muridnya itu
menikmati kegembiraannya. Dan sekarang
tengah melancarkan kembali Pukulan Sinar
Putihnya ke sasarannya yang langsung
hancur berantakan terhamtan pukulan itu.
"Aku berhasil, Eyang! Aku
berhasil!!" Seruan itu amat gembira
sekali.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
Tiba-tiba saja dia mengenjot tubuhnya
dan indenting hinggap tak jauh dari
muridnya!
"Awaaasss!!" serunya mendadak pada
muridnya sebelum muridnya sadar dengan
apa yang terjadi. Pandu merasakan ada
dorongan angin keras menuju ke arahnya.
Dengan reflek dia bergulingan dan
kakinya bergerak menyambar ke depan.
Gerakan yang dilakukannya menandakan
instingnya sudah berfungsi sempurna.
Eyang Ringkih Ireng menarik
tubuhnya untuk menghindari sambaran kaki
itu. Lalu dia pun menangkis dengan kaki
kanannya. Posisinya lebih mengenakan
dia, hingga Pandu terguling kembali.
Kali ini karena dorongan tenaga kaki
Eyang Ringkih Ireng. Dan Eyang Ringkih
Ireng sudah menyerang lagi. Setelah
menangkis dia menjejakkan kakinya ke
dada muridnya. Tak ada kesempatan untuk
mengelak, Pandu menangkis dengan kedua
tangannya.
Des!
Kali ini pemuda itu bisa mengimbangi
tenaga gurunya. Eyang Ringkih Ireng
mundur setindak. Dan Pandu melenting ke
atas. Sambil bersalto dia mengirimkan
sebuah pukulan Eyang Ringkih Ireng
menangkis dan menyambar dengan tendangan
lurus ke depan.
Namun tiba-tiba secara mengagumkan,
Pandu meloncat dengan tumpuan kaki
gurunya!
"Hebat! Tahan terus seranganku!"
Eyang Ringkih Ireng semakin
mempergencar serangannya. Pandu sekuat
tenaga menahan dengan sekali-sekali
membalas. Sudah lebih dari 30 jurus
mereka bertanding, namun pemuda itu
masih sanggup mengimbangi gurunya. Dan
membuat Eyang Ringkih Ireng gembira.
"Pakai Jurus Kijang Kumala, Pandu!"
serunya terus menyerang. "Aku akan
menyerangmu dengan Pukulan Sinar Putih!
Kau kena, rasakan sendiri akibatnya!"
"Tapi, Eyang...." seru Pandu sambil
mengelak sambaran kaki gurunya.
"Tidak ada tapi! Mulai!"
Setelah membentak begitu, Eyang
Ringkih Ireng mengibaskan tangan
kirinya. Selarik sinar putih berkelebat
ke arah dada Pandu. Panduluh yang masih
ragu-ragu mau tak mau bersalto
menghindari sinar yang mematikan itu.
"Pergunakan jurus Kijang Kumala,
Pandu!" sambil membentak Eyang Ringkih
Ireng melontarkan kembali pukulannya.
Kali ini secara beruntun dan terus
menerus. Membuat Pandulah segera
mengeluarkan jurus menghindarnya yang
amat tangguh dan lincah, yang disebut
Jurus Kijang Kumala. Tubuhnya seperti
bayangan yang berkelebatan yang sukar
diikuti oleh mata telanjangnya. Eyang
Ringkih Ireng terus membayangi dengan
Pukulan Sinar Putih itu.
Semakin cepat Eyang Ringkih Ireng
mengibaskan tangannya, semakin cepat
Pandu bergerak. Lincah dan tangkas. Kini
keduanya benar-benar seperti bayangan
yang bergerak ke sana ke mari. Pandu
sendiri sudah meningkatkan kemampuan
berkelitnya kalau tidak ingin hangus
dimakan pukulan panas itu. Dan sampai
sekian jurus, sekali pun dia tidak sempat
mengirimkan balasan.
"Awas!" Pertapa sakti itu tiba-tiba
membentak sambil bergerak dengan cepat
ke depan. Dia mengirimkan sebuah Pukulan
Sinar Putihnya.
Sreeet!
Pandu menghindar dengan jalan
bersalto. Namun saat tubuhnya melenting
di udara, Eyang Ringkih Ireng kembali
melancarkan pukulannya dengan cepat!
Kakinya memutar dan melompat ke
udara.
"Dess!"
Dalam keadaan masih di udara, Pandu
tetap menunjukkan ketangkasannya. Dia
berhasil menahan serangan itu dengan
tangannya. Dan kembali dia bersalto dua
kali ke belakang. Suatu gerakan yang
menakjubkan telah diperlihatkan oleh
Pandu.
Namun Eyang Ringkih Ireng
benar-benar tidak memberi kesempatan.
Dalam hal menguji dia tidak
tanggung-tanggung lagi. Pandu
dianggapnya seorang musuh besar yang
harus ditaklukkan dan dimusnahkan.
Hal ini membuat Pandu kerepotan.
Karena berulang kali dia menghindar,
bersalto, berguling, melompat juga
menangkis serangan gurunya.
Dan pada suatu kesempatan mendadak
Pandu melontarkan Pukulan Sinar Putihnya
karena merasa sudah tidak tahan untuk
menghindar terus menerus.
Eyang Ringkih Ireng yang sedang
mengejar dengan pukulannya, menjadi
terhalang dan berguling dengan cepat.
Sambil berguling dia juga melontarkan
Pukulan Sinar Putihnya.
"Awas, Pandu!"
Siiing!
Pandu cepat berkelit ke samping.
Sinar itu melayang beberapa senti dari
tubuhnya dan menghantam sebuah pohon
hingga hangus berantakan. Pandu mendesah
dalam hati, gurunya benar-benar hendak
menguji dengan kekerasan.
Dia pun kembali bersiap.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
menghentikan serangannya. Dia melompat
ke atas dan ketika turun kembali ke
tanah, di tangannya sudah tergenggam dua
buah batang pohon yang lumayan besar dan
keras.
Dia melemparkannya sebuah pada
Pandu.
"Keluarkan ilmu golokmu! Jaga
setiap seranganku! Kalau tidak, kau akan
kugebuk habis-habisan! Yang perlu kau
ingat, batang kayu yang ada di tanganku
ini, lebih keras dari sebilah golok mana
pun! Ingat, pertahanan... Kibasan Golok
Membelah Bumi! Jaga serangan, Pandu!!"
Eyang Ringkih Ireng memutar batang
kayu yang dipegangnya. Pandu pun bersiap
menjaga serangan itu. Sedikitnya dia
merasakan tegang juga.
Tiba-tiba Eyang Ringkih Ireng
melesat dengan gebukan kayu yang siap
menghantam kepala Pandu. Itu jurus semau
Eyang Ringkih Ireng saja. Tidak bernama,
namun sungguh mantap dan maut dimainkan
olehnya.
"Tahan serangan!!"
* * *
Pandu terkejut melihat serangan
yang dilakukan gurunya begitu cepat.
Namun dia pun segera menyambutnya dengan
jurus golok, Kibasan Golok Membelah
Bumi!
Jurus yang diajarkan gurunya cukup
lama. Hanya jurus itu saja memerlukan
waktu hampir satu tahun untuk sampai pada
taraf sempurna. Karena jurus itu
benar-benar ampuh!
Jurus ciptaan Eyang Ringkih Ireng
sendiri!
"Trak!"
"Trak!"
Kedua batang pohon itu bertemu dan
terlihat tangan Pandu bergetar. Rupanya
tenaga dalamnya masih kalah kuat oleh
gurunya.
Biar setua itu, Eyang Ringkih Ireng
masih tangguh dan memiliki tenaga yang
luar biasa.
Keduanya kembali memperlihatkan
kelincahan, ketangkasan dan kemampuan
mereka dalam menggunakan ilmu golok.
"Jangan bertindak tanggung, Pandu!"
"Kau begitu hebat, Eyang!" seru
Pandu membalas mengimbangi serangan
gurunya.
"Jangan fikirkan soal itu! Jangan
fikirkan pula kalau saat ini kau sedang
berhadapan dengan gurumu! Anggap aku
lawanmu yang harus kau kalahkan!" seru
Eyang Ringkih Ireng terus menyerang.
"Tapi, Eyang...."
"Tidak ada tapi-tapian! Rangkaikan
jurus itu dengan jurus Menyapu Batu
Karang! Dan ingat, jangan
sungkan-sungkan untuk membalas dan
menyerangku!!"
Sejak tadi pun bila ada kesempatan
Pandu bermaksud hendak membalas. Namun
kesempatan itu sulit ditemui. Karena
serangan-serangan yang dilakukan
gurunya begitu gencar dan cepat.
Dan gurunya pun tidak lagi
menganggap dia sebagai muridnya saat
ini. Tetapi sebagai lawan yang hendak
dikalahkannya.
"Pandu!!" seru Eyang Ringkih Ireng
yang melihat muridnya hanya bertahan
saja.
"Aku musuhmu! Bila kau lengah, kau
akan mampus termakan batang kayu ini!!"
Mendengar kata-kata itu, Pandu pun
kini berbalik mencoba menerobos
serangan-serangan gurunya. Dan dalam
satu kesempatan, batang kayu yang
dipegangnya menggetarkan batang kayu
yang dipegang gurunya. Lalu dia pun
menerobos menyerang dengan Jurus Menyapu
Batu Karang. Jurus yang tangguh karena
diciptakan Eyang Ringkih Ireng khusus
untuk menyerang. Sedangkan yang pertama
tadi jurus untuk bertahan.
Mau tak mau Eyang Ringkih Ireng
sendiri menggunakan jurus Kibasan Golok
Membelah Bumi untuk menghalau serangan
muridnya. Karena kedua jurus itu
diciptakan untuk disatu padukan untuk
menyerang dan bertahan, hingga nampak
keduanya seimbang.
Kecepatan Pandu dalam memainkan
ilmu golok itu juga sudah tangkas. Hampir
menyamai kecepatan gurunya.
Namun Eyang Ringkih Ireng yang sudah
tua itu, lama kelamaan nampak hampir
kehabisan nafas. Tiba-tiba dia bergerak
ke belakang dan melontarkan Pukulan
Sinar Putihnya.
"Heiet!"
Pandu terkejut dan secara reflek
menggenjot tubuhnya ke atas dan hinggap
di sebuah ranting kecil. Mengagumkan
ilmu peringan tubuhnya. Sudah dalam
taraf yang sempurna. Ranting sekecil itu
mampu menahan berat tubuhnya tanpa
bergoyang sedikit pun!
Luar biasa!
Di bawah, Eyang Ringkih Ireng
tersenyum sendiri. Hatinya bangga
melihat kemajuan anak didiknya. Tidak
sia-sia dia mendidik Pandu sejak kecil.
Dan benar-benar merupakan hasil yang
mengagumkan.
Dia melempar batang kayu itu dan
bertepuk tangan tiga kali.
"Turunlah, Pandu... kau benar-benar
mengagumkan...." puji Eyang Ringkih
Ireng dengan suara bergetar saking
gembiranya.
Pandu meloncat ke bawah tanpa suara.
Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di
hadapan kaki eyang.
"Maafkan saya, Eyang... bukan
maksud saya untuk...."
"Ah, kau... apa-apaan? Sikapmu
masih tetap santun, Pandu. Aku bangga.
Aku bangga... ayolah berdiri...."
Perlahan Pandu berdiri. Eyang itu
tersenyum sambil menepuk bahu muridnya
ini.
"Kau telah menunjukkan suatu
prestasi yang baik sekali, Pandu. Aku
tidak menyesal menurunkan semua ilmuku
kepadamu... kau telah membuatku gembira.
Membuatku merasa lebih bahagia dari
sebelumnya. Mari, Pandu... kita kembali
ke gubuk. Hari sudah semakin siang...."
Keduanya berjalan perlahan.
Menembus sinar matahari yang sudah agak
menyengat. Menyinari seluruh tempat di
lereng Bukit Paringin ini. Keduanya
melangkah ke Timur, ke tempat yang agak
banyak pepohonan besar dan mirip sebuah
hutan yang tidak begitu besar.
Di sana ada sungai yang airnya
mengalir dengan deras dan jernih. Bila
malam gemuruh air sungai itu seperti
irama musik yang mengalun merdu menerpa
telinga.
Keduanya mencuci muka di sana.
Setelah merasakan wajah yang cukup
segar, keduanya meneruskan melangkah
sampai ke hilir. Pemandangan di sini tak
kalah indahnya. Panorama alam telah
menyatu dengan keduanya.
Begitu mempesona.
Tak jauh dari hilir, terdapat sebuah
gubuk kecil yang dari jauh terhalang oleh
rimbunnya pepohonan. Di tempat itulah
Eyang Ringkih Ireng mendidik Pandu sejak
pemuda itu ditemukannya di sebuah hutan
saat masih kecil.
Keduanya lalu masuk ke gubuk kecil
itu. Sambil menikmati kopi pahit dan ubi
rebus keduanya bercakap-cakap.
"Pandu..." terdengar suara Eyang
Ringkih Ireng.
"Iya, Eyang...."
"Cukup lama sudah kau tinggal
bersamaku di Bukit Paringin yang
terdapat di Gunung Kidul ini. Dan hampir
semua ilmu yang kumiliki telah
kuturunkan padamu. Dan aku tidak ingin
kau hidup terus menerus di alam gunung
seperti ini. Tanpa punya pengalaman
apa-apa di dunia luas sana...."
"Apa maksud, Eyang?"
"Maksudku... kau harus segera turun
gunung Pandu. Kau harus mencari
pengalaman hidupmu. Kau masih muda...
jangan kau sia-siakan hidupmu di tempat
seperti ini, Pandu. Tempat ini cukup
sunyi...."
"Tetapi saya sudah bahagia di sini
bersama eyang."
"Aku tahu, Pandu... kau memang
seorang anak yang baik. Tetapi sekali
lagi, bukan maksudku untuk mengusirmu
atau tidak mau menerimamu di sini,
tetapi... kau harus mencari
pengalamanmu, Pandu. Hidup yang akan kau
arungi tidak seperti yang biasa kau alami
di sini. Pasti hidup yang akan datang
lebih keras lagi, Pandu...."
"Jadi maksud eyang...."
"Ya... kau harus tinggalkan Gunung
Kidul ini. Kau harus pergi berkelana.
Gunakanlah ilmu yang kuberikan itu untuk
jalan kebaikan. Kau mengerti?"
Sebenarnya hati Pandu sedih bukan
main. Karena dengan begitu dia harus
berpisah dengan laki-laki tua yang amat
dihormati dan dikaguminya. Tetapi mau
apa lagi?
"Eyang... semua perintah eyang akan
saya patuhi, Eyang...."
"Bagus! Aku suka dengan kata-katamu
itu, Pandu!!"
"Karena eyanglah yang membentuk
saya seperti ini!"
"Bagus... bagus... Sebelum kau
turun gunung, masih ada satu ilmu yang
hendak kuajarkan padamu, Pandu. Ilmu ini
amat dahsyat, sukar dicari tandingannya.
Sejak aku memiliki ilmu ini, sekali pun
aku tak pernah menggunakannya," kata
Eyang Ringkih Ireng sambil menatap
muridnya.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya
Pandu dan entah mengapa hatinya
berdebar.
"Ilmu yang teramat hebat sekali.
Ilmu yang amat langka, Pandu. Dan
kunamakan Cakar Gagak Rimang.
"Cakar Gagak Rimang?"
"Benar, Pandu. Ilmu ini amat hebat
dan dahsyat sekali. Kau bisa membuat
manusia sekebal apapun dan sesakti
apapun hancur binasa oleh pukulan ini.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, aku
yakin... kau akan sukar sekali dicari
tandingannya, Pandu...."
"Terima kasih, Eyang...."
"Tetapi ilmu ini dikenal sebagai
ilmu yang ganas dan kejam. Ilmu ini dulu
milik seorang kyai yang teramat sakti,
dan dalam satu kesempatan... di kala aku
berusia 18 tahun, dia mengajarkannya
padaku. Satu cara pengajaran yang
menurutku aneh sekali."
"Aneh bagaimana, Eyang?"
"Kau akan mengetahuinya nanti.
Tetapi sampai saat ini, sejak ilmu Tangan
Malaikat ini kumiliki, sekali pun aku tak
pernah menggunakannya. Mungkin kau
bertanya mengapa aku tidak
menggunakannya, bukan?"
"Ya, mengapa, Eyang?"
"Karena ilmu ini begitu
kejam.Pandu. Amat telengas. Bahkan aku
sendiri ngeri memilikinya. Namun ilmu
ini kujadikan sebagai ilmu
pamungkasku... yang mana bila ada
kejadian yang mendesak baru kugunakan."
"Tetapi eyang... bila ilmu itu amat
kejam dan ganas... mengapa eyang hendak
mengajarkannya padaku? Bukankah dengan
demikian eyang mengajarkan aku hendak
berbuat kejam?" tanya Pandu heran.
Ditatapnya wajah Eyang Ringkih Ireng
yang langsung tersenyum.
Yang juga sedang menatapnya.
Dan pertanyaannya itu membuat hati
Eyang Ringkih Ireng bangga dan
bergembira. Dia benar-benar semakin jadi
bertambah kagum pada muridnya ini.
Bukankah itu menandakan kalau Pandu
benar-benar seorang pemuda kesatria?
"Bagus sekali pertanyaanmu itu,
Pandu. Memang benar, mengapa aku harus
menurunkannya padamu? Karena tugasmu
yang sesungguhnya adalah untuk membela
kebenaran dan keadilan. Dan aku yakin
pula kau akan bertemu dengan orang-orang
jahat yang sakti. Aku mengajarkan ilmu
padamu ini, dengan maksud, agar kau bisa
menjaga diri. Tentunya kau tidak boleh
sembarangan untuk menggunakannya. Bila
kau benar-benar terdesak dan tidak mampu
lagi untuk melawan, kau boleh
mengeluarkan ilmu ini. Di samping itu
yang perlu kau ingat, perlukah kau
membunuh dengan ilmu ini? Bagaimana,
Pandu? Kau mengerti maksudku?
"Ya, Eyang...."
"Bagus! Kini siapkah kau menerima
ilmu Tangan Malaikat dariku?"
"Semua yang guru berikan, akan saya
terima."
"Bagus! Dengarlah baik-baik, Pandu.
Ilmu Cakar Gagak Rimang hanya bisa
dipelajari oleh seseorang yang berhati
bersih. Ilmu itu hanya terdiri dari tiga
gerakan yang nampak ringan. Pertama,
kedua tangan terbuka dan bergerak
seperti menyapu ombak. Kedua dengan satu
dorongan. Dan bila kau masih belum dapat
mengalahkan lawanmu dengan kedua jurus
itu, kau bisa menggunakan jurus yang
ketiga. Dengan cara memukulkan kedua
telapak tanganmu pada lawan. Bahkan bila
kau sudah mengeluarkan ilmu itu, apapun
yang kau pegang dapat hancur lebur
binasa!"
"Bukan main!" desis Pandu. "Satu
ilmu yang sungguh amat langka!"
"Benar, Pandu. Ilmu ini hanya bisa
dipelajari dalam waktu lima menit. Bila
kau gagal dalam waktu itu, maka kau akan
gagal mendapatkannya!"
"Lima menit, Eyang?"
"Ya! Dan selama lima menit itu pula
kau harus mengosongkan diri. Sanggupkah
kau, Pandu?"
"Akan saya coba, Eyang."
"Bagus! Nah, sekarang kosongkan
dirimu!"
Lalu Pandu pun terdiam. Semua
pikiran yang mengganggunya dikosongkan.
Kini pikirannya seakan hampa belaka. Dan
perlahan-lahan Eyang Ringkih Ireng
mendekatinya.
Terlihat kalau laki-laki berumur
itu terdiam. Dia berdiri di depan Pandu
yang duduk bersila dengan mengosongkan
diri.
Nampak pula kalau Eyang Ringkih
Ireng tengah merapal sesuatu. Dan
tiba-tiba dia menggerakkan kedua
tangannya. Lalu terlihatlah, warna merah
di kedua telapak tangannya.
Dan dengan hati-hati dia
menempelkan kedua telapak tangan yang
memerah itu ke kepala Pandu.
Pandu yang tengah mengosongkan
pikirannya, tidak bisa merasakan apa
yang terjadi pada dirinya. Rupanya
tingkatan konsentrasi miliknya
benar-benar sudah dalam tahap yang
sempurna.
Padahal bila dia tidak mengosongkan
diri, atau gagal dalam tahap itu.
Mustahillah harapannya untuk memiliki
ilmu Cakar Gagak Rimang. Karena kunci
dari ilmu itu sebenarnya mengosongkan
diri yang sempurna.
Dan terlihatlah dari rambut Pandu
keluar asap putih yang cukup tebal. Dan
terlihat pula kalau sekujur tubuh pemuda
itu nampak berkeringat dan menggigil.
Rupanya ada satu desakan hawa panas
yang mengalir ke tubuhnya dari kepala
berkat tangan yang ditempelkan oleh
Eyang Ringkih Ireng ke kepalanya.
Setelah lima menit berlalu, Eyang
Ringkih Ireng tiba-tiba bersalto ke
belakang dan kala dia hinggap di tanah
sudah dalam keadaan bersila. Tiba-tiba
dia menggerakkan tangan kanannya ke
depan. Serangkum angin keras menerpa
tubuh Pandu.
Tubuh Pandu pun goyang seperti orang
di dalam perahu.
Dan tak berapa lama kemudian,
terlihat Eyang Ringkih Ireng tengah
mengatur nafasnya. Dan terlihat pula
kalau Pandu perlahan-lahan membuka
matanya.
"Eyang!" serunya begitu melihat
Eyang Ringkih Ireng tengah
berkonsentrasi. Keringat mengalir di
sekujur tubuh laki-laki tua itu.
Dan tak lama kemudian sepasang mata
yang terpejam itu pun terbuka.
Eyang Ringkih Ireng tersenyum.
"Kau sungguh hebat, Pandu,"
desisnya.
"Apa maksud, Eyang?"
"Bila saja kau gagal mengosongkan
dirimu, maka hawa panas yang mengalir di
tubuhnya akan mengingatmu dan bisa
membuat sebagian tubuhmu hangus! Itulah
sebenarnya resiko yang akan kau hadapi
bila kau gagal mengosongkan diri!"
Wajah Pandu terlihat sedikit pucat.
Ah, kalau saja dia gagal.
"Lalu sekarang bagaimana, Eyang?"
"Sekarang kau sudah memiliki ilmu
Cakar Gagak Rimang, Pandu!"
"Oh, benarkah, Eyang?"
"Kau bisa membuktikannya! Nah,
lakukanlah gerakan-gerakan yang seperti
kukatakan tadi!!"
Lalu Pandu pun berdiri. Dan entah
bagaimana caranya, tiba-tiba dia
merasakan hawa panas mengalir di
tubuhnya dan mengalir ke kedua
tangannya.
Seketika kedua telapak tangan itu
berubah warna menjadi merah.
"Jangan terkejut, Pandu! Ilmu itu
akan keluar bila kau niat untuk
mengeluarkannya!
"Oh!"
"Lakukan gerakan yang seperti
kukatakan, Pandu!"
Lalu Pandu pun mengarahkan kedua
tangannya ke beberapa batu besar seperti
seekor kerbau. Dan dia pun mengayunkan
kedua telapak tangannya dari bawah ke
atas. Dan mendadak saja batu yang
dijadikan sasarannya itu melayang ke
atas seperti tengah menyapu ombak. Lalu
jatuh lagi ke bawah dengan suara
berdebam.
"Bummm!!"
Debu-debu pun berterbangan.
"Hebat sekali, Eyang. Bukan main!"
"Lakukan yang kedua, Pandu!"
Lalu Pandu pun kali ini menggerakkan
kedua tangannya seperti tengan
mendorong. Dan seketika batu tadi
terdorong beberapa meter dengan kuatnya.
"Hebat, Eyang! Hebat!!"
"Lakukan yang ketiga, Pandu!
Terserah apa yang kau hendak lakukan,
memegangnya atau memukulnya!"
"Aku akan memegangnya, Eyang!"
"Lakukanlah!!"
Lalu Pandu berjalan ke batu sebesar
kerbau tadi. Dan dia pun memegang batu
besar itu.
Sungguh luar biasa, batu itu
mendadak terbelah dan menimbulkan
kerikil-kerikil kecil.
"Eyang!" pekik Pandu gembira.
"Sekarang kau pukulkan kedua
telapak tanganmu pada batu itu, Pandu!!"
Pandu pun melakukan hal yang sama.
Dan kali ini sungguh luar biasa, amat
luar biasa. Batu itu hancur menjadi
kerikil seketika. Kontan Pandu
berlonjak-lonjak kegirangan.
Setelah itu dia menjatuhkan dirinya
di kaki Eyang Ringkih Ireng.
"Terima kasih, Eyang... Eyang telah
mengajarkan padaku satu ilmu yang amat
hebat.
"Bangunlah, Pandu...." kata Eyang
sakti itu. "Sekarang kau telah memiliki
satu jenis ilmu yang langka dan
berbahaya. Pergunakanlah sebaik-baiknya
dalam petualanganmu nanti. Semua ilmu
yang kuberikan, harus kau manfaatkan
untuk membela kebenaran dan menentang
kezaliman. Dan pesanku, bila kau tidak
merasa perlu menggunakan ilmu ini,
janganlah kau menggunakannya.
Tetapi bila keadaan mendesak,
gunakanlah! Ingat Pandu... semua harus
di jalan kebenaran!"
"Baik, Eyang...."
"Dan kini sebutanmu menjadi...
Pendekar Tangan Malaikat!" seru Eyang
Ringkih Ireng.
Entah bagaimana mulanya, mendadak
saja terasa angin besar bertiup kencang.
Menerpa dedaunan hingga berguguran dan
bebatuan hingga bergulingan.
Rambut panjang Pandu tergerai oleh
angin itu.
Dia menjura, "Terima kasih,
Eyang...."
"Besok kala matahari sepenggalah...
kau sudah harus meninggalkan Bukit
Paringin dan seluruh wilayah Gunung
Kidul ini....".
***
7
Kala matahari sepenggalah, nampak
satu sosok tubuh dengan mengenakan
caping beranjak menuruni Gunung Kidul
atau tepatnya, bagian Bukit Paringin
yang ada di sana. Di punggungnya terdapat
sebuah golok tipis yang indah dan
panjang. Sarungnya kelihatan terbuat
dari batang kayu namun kelihatan pula
berlapis timah kuning.
Golok itu bernama golok
Cindarbuana. Sebuah golok yang teramat
tajam dan ampuh, apalagi bila dimainkan
oleh seseorang yang memiliki ilmu golok
yang tangguh.
Golok pemberian Eyang Ringkih Ireng
sebelum Pandu meninggalkan atau menuruni
Bukit Paringin adalah sebuah golok sakti
yang hebat, dan memang pantas bagi Pandu
untuk memilikinya. Dan karena golok itu
nanti, Pandu akan berkali-kali
mendapatkan kesulitan dari orang-orang
yang hendak merebut goloknya.
Sosok bercaping dengan golok di
punggung itu sejenak membalikkan tubuh
ke atas. Meskipun tak ada bayangan Eyang
Ringkih Ireng, namun pemuda itu seakan
melihatnya dan yakin kalau Eyang Ringkih
Ireng pun sedang melihatnya pula.
Setelah itu, lalu Pandu pun mulai
berlari dengan menggunakan ilmu larinya
menuruni Bukit Paringin yang terjal dan
di sana sini banyak terdapat lembah.
Gerakan tubuhnya amat ringan sekali. Dan
kala siang hari dia pun beristirahat. Dan
terus dia melangkah memulai
petualangannya. Memulai satu pengalaman
yang selama ini tak pernah ditemuinya.
Dia amat mengagumi segala ciptaan
Yang Maha Kuasa. Sangat bangga dengan
alamnya yang indah dan permai ini. Kadang
Pandu menyesali pula mengapa eyangnya
tidak saja pergi bersama-sama menikmati
segala yang ada ini.
Setelah itu dia pun melanjutkan
perjalanannya lagi. Tak terasa sudah
hampir sebulan dia melangkahkan kakinya
meninggalkan Gunung Kidul. Dan dalam
perjalanannya selama sebulan itu, banyak
dijumpainya perampok dan pencoleng.
Namun tak pernah Pandu menurunkan tangan
telengas. Dia hanya sekedar memberi
mereka pelajaran.
"Janganlah kalian berbuat keji dan
kotor seperti ini lagi!" pesannya lalu
meninggalkan orang-orang yang menjadi
kebingungan itu.
Siapa pendekar bercaping dan
bergolok di punggung itu? Siapa dia?
Kelak rimba persilatan akan tahu,
kalau sekarang telah muncul seorang
pendekar yang maha sakti yang bergelar
Gagak Rimang yang akan membuat geger
rimba persilatan. Yang akan membuat
orang-orang golongan hitam akan keder
hatinya.
Sungguh tak terasa, kalau kakinya
kini telah menginjak perbatasan Tanah
Keraton Utara. Pandu yang tidak
mengetahui apa yang tengah terjadi di
sana dengan senaknya meneruskan
langkahnya.
Dan dia sungguh terkejut ketika
melihat betapa banyaknya prajurit yang
nampak berada di depan Keraton Utara.
Belum lagi dia mengerti apa yang
terjadi, tiga orang tiba-tiba telah
mengurungnya.
"Siapa kau?!!" bentak salah
seorang.
Nah, bagaimana dengan Pandu?
Bagaimana dengan Keraton Utara dan
Keraton Selatan? Siapa sesungguhnya
pencuri Pusaka Patung Pualam itu? Apa
tindakan Pandu? Temukan Jawabannya pada
episode :
“ Genta Perebut Kekuasaan”
SEKIAN
Emoticon