1
Bukit Cangak yang gersang, yang tidak menun-
jukkan adanya tanda-tanda kehidupan, tiba-tiba men-
jadi pusat perhatian orang-orang dari rimba persilatan.
Mereka, orang-orang dari rimba persilatan, tahu bahwa
di bukit itulah sesungguhnya tersimpan Ki Sumping
Sedapur, keris luk tujuh peninggalan dari Zaman Kera-
Maka tidak sedikit orang dari rimba persilatan
yang mendatangi bukit itu, khususnya mereka yang
bernaung di bawah panji-panji golongan hitam. Mereka
merasa harus mendapatkan Ki Sumping Sedapur se-
bab mereka yakin bahwa dengan memiliki pusaka itu
mereka akan berhasil merajai dunia persilatan.
Eyang Kuranda Geni, seorang panembahan
yang tinggal di bukit itu, adalah satu-satunya orang
yang harus bertanggung jawab menghadapi mereka
yang menginginkan Ki Sumping Sedapur. Sebab, me-
mang orang tua itulah yang menyimpan keris luk tu-
juh itu. Berita ini tersebar semenjak Ki Langendriya
mencuri keris itu, sekalipun pada akhirnya ia tak ber-
hasil memilikinya (Baca juga ’’Pusaka Bukit Cangak”).
Kegemparan di dunia persilatan ini memang
sudah diramalkan oleh Eyang Kuranda Geni semenjak
keris Itu hilang dari padepokannya. Bertahun-tahun
sudah keris Itu dilupakan orang banyak. Mereka men-
ganggap bahwa keris pusaka itu telah musnah dari
muka bumi. Akan tetapi, karena ulah Ki Langendriya
maka Ki Sumping Sedapur kembali dibicarakan orang
banyak.
Kembali Eyang Kuranda Geni menyesali ting-
kah muridnya mencuri pusaka itu. la pun menyesal te-
lah menceritakan perihal keris luk tujuh itu kepada Ki
Langendriya. Sungguh tak disangkanya jika murid ter-
kasihnya itu akan menaruh perhatian pada Ki Sump-
ing Sedapur, bahkan kemudian berani mencurinya.
Kini akibatnya Eyang Kuranda Geni lah yang
harus menanggung. Dalam beberapa malam ini saja ia
harus berhadapan dengan sepuluh orang dari golon-
gan hitam yang mendatangi padepokannya. Kembali ia
harus membunuh seperti yang dilakukannya puluhan
tahun yang lalu. Padahal ia bersembunyi di Bukit Can-
gak karena ia tak mau lagi berurusan dengan orang-
orang dari rimba persilatan, dan tak mau membunuh.
Sepuluh orang dari golongan hitam yang terbu-
nuh dalam beberapa malam ini memang bukan tan-
dingan Eyang Kuranda Geni. Mereka adalah anak-
anak muda yang belum bisa mengukur tingkatan ilmu
silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni. Jangan lagi
hanya mereka, sedangkan guru mereka pun belum
tentu bisa menandingi Eyang Kuranda Geni dalam per-
tarungan hidup dan mati.
Tewasnya sepuluh orang murid dari Perguruan
Sasra Gumbala ini sudah pasti memancing kemarahan
orang pertama dalam perguruan itu. Danyang Kum-
bayana, guru dari Perguruan Sasra Gumbala itu, me-
rasa sangat terhina atas kematian sepuluh orang mu-
ridnya.
Betapapun ia merasa ditantang oleh Eyang Ku-
randa Geni, betapapun kemarahan hampir-hampir
memecahkan dadanya, ia tetap ingat untuk tidak ber-
tindak gegabah, la menyadari siapa yang harus diha-
dapinya kali ini. Dari cerita yang didengar lewat penu-
turan gurunya, Danyang Kumbayana bisa mengukur
tingkatan ilmu silat yang dimiliki Eyang Kuranda Geni.
Terlebih lagi setelah ia melihat kenyataan bahwa sepu-
luh orang muridnya tak seorang pun bisa meloloskan
diri dari Bukit Cangak.
Dendam kesumat tak membuat Danyang Kum-
bayana lupa diri. Sepenuhnya ia sadari bahwa tak
mungkin baginya mengalahkan Eyang Kuranda Geni
dalam pertarungan satu lawan satu. Meski ia belum
pernah menghadapi, ia tetap giris mendengar keheba-
tan Jurus Tambak Segara dari Padepokan Bukit Can-
gak. Apalagi jurus itu kini diterapkan oleh guru pade-
pokan itu sendiri. Dan, sampai kapan pun Danyang
Kumbayana tak akan melupakan pesan gurunya se-
hubungan dengan jurus maut dari Padepokan Bukit
Cangak itu.
Kata gurunya suatu hari,” Jangan lagi hanya
sepuluh orang muridmu yang bodoh itu, Kumbayana.
Aku, gurumu, tidak berani memastikan bisa menem-
bus Jurus Tambak Segara yang diterapkan oleh Eyang
Kuranda Geni!”
Mengingat kata-kata gurunya inilah maka Da-
nyang Kumbayana semakin kecil hati untuk berhada-
pan dengan Eyang Kuranda Geni seorang diri. Karena
itu pula, ia memutuskan untuk menghadapi Eyang
Kuranda Geni bersama gurunya. Bagaimanapun juga
ia harus bisa membujuk gurunya untuk bersama-
sama meluapkan dendam yang membeludak dalam
dadanya.
Ki Buyut Senggana, guru Danyang Kumbayana,
sudah berusaha mengingatkan muridnya agar melu-
pakan dendamnya kepada Eyang Kuranda Geni. Ber-
bagai dalih dilontarkannya. Akan tetapi, selaras den-
gan niat yang menggumpal dalam dadanya, Danyang
Kumbayana tak mau mundur. Malahan ia berkata,
’’Kalau memang Guru menegakan sepuluh orang mu-
rid saya, apakah berarti Guru juga akan menegakan
saya?”
’’Maksudmu?” tanya Ki Buyut Senggana sambil
menaikkan alis matanya yang telah memutih.
’’Saya tetap akan berangkat ke Bukit Cangak
meskipun tanpa ditemani Guru,” jawab Danyang
Kumbayana.
Ki Buyut Senggana menghirup napas dalam-
dalam. Tak disangkanya jika murid tunggalnya ini
akan nekad pergi meski tanpa restunya. Padahal, ia
tahu apa yang bakal terjadi jika muridnya itu berhada-
pan dengan Eyang Kuranda Geni seorang diri. Tak le-
bih daripada bunuh diri!
’’Kumbayana, sekali lagi aku ingatkan bahwa
orang sakti dari Bukit Cangak itu bukan tandingan-
mu,” kata Ki Buyut Senggana. ’’Bukankah baru tiga
hari yang lalu aku ceritakan bagaimana murid Pade-
pokan Bukit Cangak telah berhasil membunuh Ki
Tunggui Wulung? Memang ia telah mendapatkan ban-
tuan dari seorang gadis yang bernama Endang Canti-
kawerdi. Tetapi, kedua gadis itu tidak mungkin mampu
melumpuhkan Ki Tunggui Wulung jika bukan karena
mereka berdua memiliki ilmu silat yang pilih tanding.
Nah, pikirkanlah sekali lagi. Itu baru muridnya. Ba-
gaimana dengan gurunya?”
"Saya mengerti, Guru. Tetapi, rasanya saya ti-
dak mungkin membiarkan begitu saja perbuatan orang
tua itu terhadap murid-murid saya! Bagaimanapun ju-
ga saya harus membalaskan kematian mereka! Terse-
rahlah jika Guru tidak mau ambil peduli terhadap ke-
matian mereka. Tetapi, saya sebagai guru mereka me-
rasa bertanggung jawab!” sahut Danyang Kumbayana.
Dan, sewaktu dilihatnya Ki Buyut Senggana tetap di-
am, maka katanya meneruskan, "Guru, tidakkah Guru
akan ikut merasa senang jika saya bisa mendapatkan
keris luk tujuh yang disebut-sebut sebagai pusaka pe-
ninggalan Zaman Kerajaan Majapahit itu?”
”Ki Sumping Sedapur?” desah orang tua itu da-
lam dada. Kemudian tergambar kembali dalam benak-
nya peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Ia juga
pernah memburu keris pusaka itu. Namun, ia terpaksa
berhenti di tengah jalan sebab seseorang telah mem-
buatnya tak berdaya. Karena itulah kemudian ia ber-
tekad memperdalam ilmu silatnya. Dan, ia bersumpah
harus bisa menuntut balas kekalahannya waktu itu.
”Dan, inilah kesempatan menuntut balas itu,” desah
orang tua itu lagi.
’’Kenapa Guru hanya diam saja? Apakah berarti
Guru memang tidak mempedulikan saya? Guru tidak
peduli apakah saya berangkat ke Bukit Cangak atau
tidak?” desah Danyang Kumbayana.
’’Tetapi, bisakah aku mengalahkannya? Tidak-
kah ia juga telah berhasil memperdalam ilmu silatnya?
Mampukah aku menembus Jurus Tambak Segara yang
tangguh itu?” kata orang tua itu lagi, masih dalam da-
da.
”Guru, saya tetap berangkat sekalipun Guru ti-
dak ambil peduli,” kata Danyang Kumbayana sambil
bangkit dari duduknya.
’’Tunggu!” kata Ki Buyut Senggana.
’’Saya tetap akan berangkat sekalipun Guru
meragukan saya bisa menandingi orang tua keparat
itu!”
’’Kita berangkat berdua, Kumbayana,” sahut Ki
Buyut Senggana.
Wajah Danyang Kumbayana berseri-seri men-
dengar kesanggupan gurunya ini. Maka katanya den-
gan dada membusung, ’’Saya percaya, Guru akan
mampu mengirim orang tua pongah itu ke neraka!”
”Kau yang pongah, bukan dia!” kata Ki Buyut
Senggana dengan suara parau. Lalu sambung orang
tua itu lagi, ”Kau tak usah ikut campur. Biarlah perka-
ra ini menjadi urusan kami, orang-orang tua. Kau ha-
rus tetap menjaga kelanggengan Perguruan Sasra
Gumbala. ”
’’Maksud Guru?” sahut Danyang Kumbayana
tak mengerti.
”Kau hanya aku izinkan menonton. Dan, ka-
laupun kau lihat aku terdesak, kau aku larang untuk
membantuku. Mengerti?”
”Guru...”
’’Jangan bantah pesanku jika kau tetap ingin
aku berangkat ke Bukit Cangak!” sergah Ki Buyut
Senggana.
***
Dalam siraman sinar bulan purnama, Bukit
Cangak nampak angker. Bayangan bukit itu benar-
benar mirip burung cangak yang tengah mengembang-
kan sayap dan mengangakan paruhnya. Itulah kenapa
bukit itu kemudian dikenal orang sebagai Bukit Can-
gak. Lain daripada itu, burung cangaklah yang paling
layak hidup di bukit itu. Akan tetapi, toh pada kenya-
taannya tak seekor burung cangak pun nampak berke-
lebat di bukit itu. Kalaupun bukit itu dianggap pantas
didiami burung cangak, sebab hanya burung cangak
yang pantas pula dihubungkan dengan kematian.
Sebelum Eyang Kuranda Geni tinggal di bukit
itu, memang tak seorang pun berani mendekat. Bukan
rahasia lagi bahwa di bukit itu berdiam sekawanan pe-
rampok yang keji dan berilmu silat tinggi. Bahkan
penduduk desa di kaki bukit itu memilih pergi mening-
galkan rumah mereka ketimbang harus berurusan
dengan sekawanan perampok berdarah dingin itu. Para
perampok itu tak segan-segan membunuh dan meng-
gantung mayat-mayat korban kekejian mereka di po-
hon-pohon.
Ketakutan para penduduk desa terhadap bukit
ini justru dimanfaatkan oleh Eyang Kuranda Geni. Tak
seorang pun bisa memberikan keterangan kepada
orang-orang rimba persilatan bahwa di bukit itu ber-
diam orang sakti dengan seorang cucunya yang ber-
nama Gagar Mayang.
Apalah artinya para perampok yang hanya bisa
menakut-nakuti penduduk desa itu bagi Eyang Kuran-
da Geni. Ilmu silat tinggi bagi ukuran penduduk desa
tadi ternyata tak begitu berarti bagi Eyang Kuranda
Geni. Dalam beberapa gebrakan, tewaslah sekawanan
perampok yang telah bertahun-tahun menjadi momok
bagi penduduk desa di kaki bukit itu.
Untuk beberapa lama Eyang Kuranda Geni
memang tenang berdiam di Bukit Cangak. Akan tetapi,
sejak Ki Langendriya muncul, mulailah orang-orang
mencium keberadaan Eyang Kuranda Geni di bukit itu.
Namun demikian, toh mereka tetap tidak tahu bahwa
Eyang Kuranda Geni membawa serta Ki Sumping Se-
dapur ke bukit itu. Itulah yang membuat Eyang Ku-
randa Geni tetap merasa tenteram tinggal di Bukit
Cangak.
Bulan purnama tersaput mendung. Sinarnya
berubah kusam. Namun, kekusaman sinar bulan itu
tak berhasil menyembunyikan dua bayangan yang
mengendap-endap mendekati Padepokan Bukit Can-
gak. Dan, di dalam pondok yang beratapkan daun ko-
lang-kaling itu, Eyang Kuranda Geni mendengar lang-
kah-langkah kaki di sela-sela siur angin serta suara
ranting bergesekan.
’’Masih ada lagi orang-orang tolol yang diracuni
hawa nafsu serakah,” kata hati orang tua itu sambil
bangkit dari duduknya. Kemudian ia membuka pintu
pondok lebar lebar.
”Ia mengetahui kehadiran kita,” bisik bayangan
yang berdiri di depan.
’’Apakah membuka pintu berarti mempersila-
kan tamu?” tanya bayangan yang berdiri di belakang.
’’Kita harus mendatanginya secara terang-
terangan sebelum ia mempermalukan kita.”
’’Maksud Guru?”
”Kau tunggu di sini. Biarlah aku yang menda-
tanginya ke pondok....”
’Tak akan kau temukan benda yang kau cari di
pondokku, Buyut Senggana,” tukas Eyang Kuranda
Geni yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang me-
reka.
”Kau masih mengenaliku, Kuranda Geni?”
tanya Ki Buyut Senggana dengan dada berdebur-
debur.
’’Sejak sepuluh orang kaki-tanganmu mengotori
bukit ini, aku sudah meramalkan bakal kedatangan-
mu, Buyut Senggana.”
”Percaya atau tidak, kedatanganku ini tidak ada
hubungannya dengan kesepuluh orang tolol itu, Ku-
randa Geni.”
”Maksudmu, kau akan meneruskan urusan ki-
ta beberapa tahun yang lalu? Bukankah sama saja tu-
juanmu dengan cecurut-cecurut itu? Hmmm, orang se-
tua kau masih juga terpancing....”
’Tak ada gunanya kita terlalu banyak bicara,
Kuranda Geni. Sekarang, aku ingin melihat apa yang
bisa kau perbuat dengan Jurus Tambak Segaramu.
Bersiaplah!”
’’Kalau kedatanganmu kemari hanya karena in-
gin memamerkan ilmu silatmu yang baru saja kau
perdalam, aku hormati niatmu. Tetapi, kalau kau
hanya menginginkan keris luk tujuh itu, percumalah
kau datang jauh-jauh dari Rawa Genjer.”
”Kau juga tega membohongiku bahwa Ki Sump-
ing Sedapur tidak lagi kau sembunyikan di sini? Ha-
ha-ha! Aku bukan anak bawang seperti mereka yang
menjadi korban nafsu serakahmu, Kuranda Geni....”
’’Memang salahku,” tukas Eyang Kuranda Geni.
’’Tetapi, sesungguhnyalah orang-orang dari Rawa Gen-
jer itu aku beri kesempatan untuk pulang dan me-
nyampaikan pesanku. Ya, kalau saja ada di antara me-
reka yang bisa kembali ke Rawa Genjer dengan sela-
mat, kau pun akan tahu bahwa keris luk tujuh itu su-
dah lenyap dari bukit ini bersama maling yang mencu-
rinya. ”
’’Cukup! Hentikan bualanmu, dan bersiaplah
menerima seranganku, Kuranda Geni!” hardik Ki
Buyut Senggana seraya mementangkan kedua belah
lengannya. Inilah gerak pembuka Jurus Siluman Kera
Sakti.
Eyang Kuranda Geni secepatnya mawas diri. Ki
Buyut Senggana yang dihadapinya sekarang jelas bu-
kan lagi Ki Buyut Senggana yang dihadapinya bebera-
pa tahun yang lalu. Dilihat dari gerak pembuka Jurus
Siluman Kera Sakti itu, jelas bahwa kemajuan pesat
telah diperoleh Ki Buyut Senggana. Angin yang ditim-
bulkan oleh rentangan tangan itu seolah mampu melu-
ruhkan dedaunan yang masih hijau.
Menyadari hal ini, Eyang Kuranda Geni sigap
menajamkan pendengarannya. Ia tahu, tak lama lagi
lawan akan bergerak memutar yang akan sulit diikuti
pandangan mata. Jangan dikata dalam suasana re-
mang-remang seperti sekarang, sedang andaipun me-
reka harus bertempur siang hari pun Jurus Siluman
Kera Sakti dengan mudah bisa mengelabui mata.
Wusss! Wusss! Wusss!
Danyang Kumbayana sendiri terheran-heran
memandangi apa yang terjadi di depan matanya. Tiba-
tiba saja tubuh gurunya tak nampak lagi. Ia hanya bi-
sa melihat bayangan hitam memutari tubuh Eyang Ku-
randa Geni. Seolah Ki Buyut Senggana berubah men-
jadi seribu. Sulit dibedakan antara bayangan dengan
tubuh Ki Buyut Senggana yang sebenarnya.
”Ah, kalau saja aku sudah berhasil mempelajari
jurus ini,” kata hati Danyang Kumbayana sambil men-
coba menebak-nebak di sebelah mana sesungguhnya
Ki Buyut Senggana berdiri.
Namun, Eyang Kuranda Geni bukanlah anak
ingusan yang terpaku memandangi ilmu sihir. Ia tetap
bisa membedakan mana yang semu dan mana yang
nyata. Mata tuanya boleh tertipu, tetapi pendengaran-
nya tetap bisa menangkalnya.
’’Hiyaaat!” teriak Eyang Kuranda Geni sambil
menerjang bayangan yang berdiri tepat di samping ka-
nannya.
Bresss!
Kedua tubuh orang tua renta itu bertabrakan.
Akibatnya, tubuh keduanya terpelanting. Tu-
buh Ki Buyut Senggana melayang dan melabrak se-
bongkah cadas sebesar kerbau. Namun, Jurus Silu-
man Kera Sakti membuat tubuhnya lentur mirip tubuh
kera yang terbanting. Ia sempat bersalto sebelum
punggungnya menghantam cadas.
Dalam pada itu, Eyang Kuranda Geni yang ten-
gah menerapkan Jurus Tambak Segara tak sedikit pun
mengalami cedera ketika tubuhnya membentur pohon
kolang-kaling.
’’Semakin mumpuni Jurus Tambak Segaramu,
Kuranda Geni!” ujar Ki Buyut Senggana setelah kem-
bali berdiri di atas kuda-kudanya.
’’Jurus Monyet Mabuk-mu pun cukup membua-
tku bingung, Buyut Senggana,” sahut Eyang Kuranda
Geni.
’’Tetapi, waspadalah. Kini giliranku menye-
rangmu!” kata Ki Buyut Senggana sebelum kemudian
menerjang Eyang Kuranda Geni dengan tebakan ke
arah dada. Pukulan ini jelas tidak akan berarti bagi
Eyang Kuranda Geni jika saja Ki Buyut Senggana tidak
menerapkan Ajian Brajamusti.
Mawas diri Eyang Kuranda Geni. Beberapa ma-
lam yang lalu, ia telah mencicipi Ajian Brajamusti ini
lewat tangan orang-orang Rawa Genjer. Tak berhasil
mereka menembus Jurus Tambak Segara. Namun, kali
ini pukulan itu datang dari tangan maha guru mereka.
Maka Eyang Kuranda Geni secepatnya berkelit ke
samping dengan satu loncatan.
”Ha-ha-ha! Aku kira kau berani menabrakku
dengan Jurus Tambak Segara mu, Kuranda Geni!” ejek
Ki Buyut Senggana.
Dalam pada itu, Danyang Kumbayana pun ter-
tawa bangga. Ia melihat Jurus Tambak Segara ternyata
tak bisa diandaikan untuk menghadapi Ajian Braja-
musti. Lalu, apa lagi yang akan diandalkan tua bangka
keparat itu?
’’Buyut Senggana, jangan kau cepat besar kepa-
la. Usia lata sudah mendekati kubur. Tidak seharus-
nya lata cepat besar kepala. Sikap pongah hanya akan
mengajak kita untuk melupakan Gusti Yang Maha....”
’Tak usah berkotbah, Kuranda Geni!” tukas Ki
Buyut Senggana. ”Aku datang ke Bukit Cangak ini bu-
kan untuk mendengarkan kotbahmu. Dan, aku belum
memikirkan tanah kuburan. Nah, bersiaplah kembali.
Ajian Brajamusti yang akan mengantarmu ke kubu-
ran!”
Eyang Kuranda Geni merunduk sambil me-
nyongsong tendangan lawan yang mengarah ke betis-
nya, la tahu bahwa Ajian Brajamusti hanya bisa dite-
rapkan lewat telapak tangan kanan. Dan, tangan ka-
nan itu kini telah lewat di atas kepalanya. Hawa panas
menyengat tengkuk orang tua penghuni Bukit Cangak
itu. Semakin ia menyadari betapa dahsyat Ajian Bra-
jamusti di tangan kanan Ki Buyut Senggana. Meski
berjarak sejengkal, tetap saja hawa panas itu menyen-
gat.
Melihat lawan merunduk, Ki Buyut Senggana
secepatnya menarik kembali kaki kirinya sambil
menghunjamkan sisi telapak tangan kanannya ke ba-
wah.
Wusss!
Hampir saja telapak tangan kanan orang sesat
dari Rawa Genjer itu menghancurlumatkan kepala
Eyang Kuranda Geni. Pukulan susulan ini memang
sudah diperhitungkan oleh Eyang Kuranda Geni. Maka
ia secepat kilat menarik kuda-kudanya ke samping be-
gitu lawan membatalkan tendangan kakinya.
Danyang Kumbayana mengerjap-ngerjapkan
matanya. Sungguh, ia tak bisa mengikuti gerakan ke-
dua kakek sakti itu jika mereka saling menerjang.
Meski la telah bertahun-tahun berguru kepada Ki
Buyut Senggana, baru kali inilah ia menyaksikan per-
tarungan hidup dan mati antara Ki Buyut Senggana
melawan musuh yang sejajar dalam tataran ilmu silat.
Kembali Ki Buyut Senggana menerjang maju.
Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu berkelebat mi-
rip burung alap alap. Akan tetapi, lawannya kali ini
bukan seperti kebanyakan lawan yang pernah dijum-
painya. Eyang Kuranda Geni seolah menghilang dari
pandang matanya. Serangan beruntun itu kembali
mengenai angin. Malahan tiba-tiba saja serangan bala-
san hampir saja menyambar tengkuk Ki Buyut Seng-
gana. Dan, guru Danyang Kumbayana ini terpaksa
bergulingan di tanah untuk menghindari pukulan di
tengkuknya.
Namun, sebelum Ki Buyut Senggana melenting
bangkit, sebuah tendangan memburunya.
Desss!
Dua tubuh kurus kering itu kembali berbentu-
ran. Eyang Kuranda Geni melompat mundur dengan
kekagetan yang memacu degup jantungnya. Sama se-
kali tak diduganya bahwa Ki Buyut Senggana akan
mampu menangkis tendangan susulan tadi. Lebih dari
itu, akibat dari benturan yang terjadi, Eyang Kuranda
Geni merasa seolah tulang keringnya patah.
Di pihak lain, Ki Buyut Senggana terlempar be-
berapa tombak. Tendangan yang begitu deras dari la-
wan membuat tubuhnya seolah segumpal kapas yang
diterjang badai. Diam-diam ia bersyukur telah mema-
gari tubuhnya dengan kedua belah punggung tangan-
nya.
”Guru!” teriak Danyang Kumbayana sambil
memburu tubuh gurunya yang masih bergulingan di
tanah.
’’Minggirlah. Aku tidak apa-apa,” kata Ki Buyut
Senggana setelah kembali berdiri di atas kuda-
kudanya. Lalu, secepatnya orang tua dari Rawa Genjer
itu menyalurkan hawa murni dalam tubuhnya untuk
mengatasi kedua tangannya yang serasa tertusuk-
tusuk jarum beracun.
’’Izinkan saya membantu Guru,” kata Danyang
Kumbayana cemas.
’’Sudah kubilang, jangan kau campuri urusan
kami berdua!” sergah Ki Buyut Senggana. ’’Bukankah
lebih baik kau mencari keris itu di pondok sana?”
’’Cobalah kau masuk ke pondokku, tetapi jan-
gan salahkan aku jika aku terpaksa mencegahmu den-
gan kekerasan,” ujar Eyang Kuranda Geni.
’’Jangan pongah, Kuranda Geni! Kau pikir kau
bisa menghalang-halangi muridku?” sahut Ki Buyut
Senggana seraya menerjang dengan Ajian Brajamusti
lagi.
Bersamaan dengan itu, Danyang Kumbayana
melesat ke pondok beratapkan daun kolang-kaling itu.
Namun, sebelum murid Ki Buyut Senggana ini tiba di
ambang pintu, sebutir kerikil menyambar betis kaki
kanannya.
’’Aughhh!”
Tubuh Danyang Kumbayana terayun ke bela-
kang dan jatuh terduduk. Meski hanya sebutir kerikil,
dorongannya begitu kuat dan mengagetkan.
’’Bocah tolol!” geram Ki Buyut Senggana kesal.
Selain kesal melihat kesembronoan muridnya, ia juga
kesal sebab serangannya kembali melabrak angin.
Dan, rasa kesal itu berubah menjadi kegusaran setelah
ia menyadari bagaimana Eyang Kuranda Geni bisa
menghindar sambil mengirimkan kerikil ke kaki Da-
nyang Kumbayana.
’’Bersyukurlah tanganku hanya bisa menggapai
sebutir kerikil, Buyut Senggana,” kata Eyang Kuranda
Geni.
’’Persetan dengan ilmu demitmu!” sergah Ki
Buyut Senggana. ’’Tetapi, cobalah sekali ini kau meng-
hindar! Dan, jangan coba-coba kau tetap menyimpan
Jurus Tambak Segara-mu yang loyo itu!”
’’Menyimpan? Apa maksudmu, Buyut Sengga-
na?”
’’Jangan berlagak bodoh! Sejak tadi kau hanya
berkelit sebab kau takut mengadu Jurus Tambak Se-
gara-mu dengan Ajian Brajamusti-ku! Atau, kau malu
jika nyatanya jurus andalanmu itu tidak berarti lagi
untuk membendung seranganku?”
’’Ha ha ha! Bukankah kau tadi sempat memuji
Jurus Tambak Segara ku, Buyut Senggana?”
’’Agaknya semakin tua semakin dungu kau, Ku-
randa Geni! Nah, bersiaplah menyongsong maut yang
siap menjemputmu!”
”Maut hanya datang dari-Nya, Buyut Senggana.
Tak perlulah kau mengeluarkan seluruh ilmumu un-
tuk membunuhku jika yang di atas sana memang
menghendaki kematianku....”
’Tutup mulutmu, Kuranda Geni! Buka matamu
lebar-lebar, dan terjanglah aku jika memang kau me-
rasa bernyawa rangkap!” Berkata begini, Ki Buyut
Senggana mulai menerapkan Ilmu Siluman Kera Sakti-
nya.
"Hmmm, kau memaksaku untuk mengadu ke-
saktian, Buyut Senggana? Baiklah. Memang tak
mungkin bagi kita orang-orang pikun terus-menerus
mengadu napas. Tetapi, tentu saja aku tidak ingin mati
konyol oleh Ajian Brajamusti-mu!”
Gerak memutar Ki Buyut Senggana semakin
lama semakin cepat, dan akhirnya membentuk tembok
hitam yang mengurung Eyang Kuranda Geni. Inilah
puncak Jurus Siluman Kera Sakti. Selain lawan akan
berkunang-kunang dalam memandang, juga akan bin-
gung ke arah mana harus mengirimkan serangan. Se-
waktu lawan kebingungan inilah Ki Buyut Senggana
akan membokong dari arah belakang dengan Ajian
Brajamusti-nya.
Namun, kali ini lawan Ki Buyut Senggana bu-
kanlah seperti lawan-lawan yang pernah dijumpainya.
Eyang Kuranda Geni adalah tokoh sakti dari golongan
lurus yang sudah bisa disejajarkan dengan Wiku Jala-
dri, Ki Sempani, ataupun Wasi Ekacakra. Puluhan ta-
hun yang silam namanya sempat menjadi momok bagi
orang-orang dari golongan hitam. Terlebih lagi, selama
bersembunyi di Bukit Cangak tak ada kegiatan lain ke-
cuali memperdalam ilmu kanuragan maupun ilmu ke-
saktian. Jurus Tambak Segara yang pernah mengge-
gerkan rimba persilatan itu pun sekarang telah men-
capai tahap kesempurnaan. Jangan lagi tubuh manu-
sia, sedangkan sebongkah batu pun akan luluh-lantak
jika membentur tubuh yang telah terlapisi Jurus Tam-
bak Segara ini.
Merasa pasti bahwa Ki Buyut Senggana akan
menyerangnya terlebih dulu, Eyang Kuranda Geni se-
gera menerapkan gabungan Jurus Tambak Segara dan
Ajian Gajah Meta. Sepasang lengannya terjulur me-
lengkung membentuk sepasang gading gajah yang siap
melabrak.
’’Hiyaaat!” teriak Ki Buyut Senggana sambil
menerjang dari arah belakang lawan dengan Ajian Bra-
jamusti.
Refleks tubuh Eyang Kuranda Geni berbalik
dan menyongsong serangan lawan dengan juluran ke-
dua lengannya. Akan tetapi, di luar dugaan kedua
orang sakti ini, pada saat yang bersamaan Danyang
Kumbayana menerjang dari arah yang berlawanan
dengan gurunya.
Bresss! Crottt!
Tubuh Ki Buyut Senggana seolah membentur
gading baja. Tubuh orang sesat dari Rawa Genjer itu
terlempar beberapa tombak. Dalam pada itu, tubuh
Eyang Kuranda Geni terdorong mundur beberapa
langkah dengan darah menyembur dari dadanya. Se-
buah tombak menembus dada itu dari arah punggung.
Itulah tombak yang terjulur dari tangan Danyang
Kumbayana.
’’Guruuu!” teriak Danyang Kumbayana seraya
mendekati tubuh gurunya yang terbujur di tanah.
Semula Ki Buyut Senggana mencoba bangkit,
tetap tulang-tulang di tubuhnya tak kuasa menyangga
berat badannya. Sekujur tulang di tubuh orang tua itu
seakan lebur oleh gabungan Jurus Tambak Segara dan
Ajian Gajah Meta.
”Guru! Guru! Guru!” Danyang Kumbayana me-
meluk tubuh gurunya dengan kecemasan membeludak
di dada.
”Aku belum mati, Kumbayana,” bisik Ki Buyut
Senggana.
”Oh, syukurlah. Kita telah memenangkan perta-
rungan ini, Guru....”
”Ya, karena kau telah melanggar perintahku,"
tukas gurunya. ’’Kalau saja bukan karena kau curang,
orang tua sakti itu tidak akan celaka oleh Ajian Braja-
musti. Ia terlalu kuat Jurus Tambak Segara betul-betul
tak tertandingi. Dan, Ajian Gajah Meta-lah yang mem-
bantingku sehingga tulang-tulangku serasa hancur.”
”Guru pasti selamat Saya akan merawat Guru
sampai Guru sehat kembali. ”
’’Sudah kau temukan keris luk tujuh itu?”
’’Seperti yang Guru lihat, saya belum berhasil
mencapai pintu pondok itu sewaktu ada benda sebesar
kerikil menghantak betis saya. Untung saya bisa sece-
patnya menguasai kekejangan kaki saya.”
”Orang tua itu tidak berdusta, Kumbayana.”
’’Maksud Guru?”
’’Memang benar keris itu tidak berada di sekitar
sini. Kalau memang keris itu ada, pastilah aku bisa
merasakan getarannya.”
’’Kenapa Guru nekad menyerangnya?”
’’Karena aku ingin menebus kekalahanku bebe-
rapa tahun yang lalu. Ah, orang tua sepertiku ternyata
sulit juga melupakan dendam. ”
’’Kalau begitu, sebaiknya kita segera mening-
galkan bukit bangkai ini, Guru,” sahut Danyang Kum-
bayana seraya memanggul tubuh gurunya dan me-
nyambar tombak yang mencuat di dada Eyang Kuran-
da Geni.
***
2
Padepokan Karang Bolong semakin jauh di be-
lakang Joko Sungsang. Lebih dari sepuluh hari ia be-
rada di padepokan itu. Kesempatan berdekatan dengan
Ki Sempani maupun Sekar Arum ini tak disia-siakan
oleh Joko Sungsang. Kepada Ki Sempani, ia bisa lebih
banyak meminta gemblengan lahir dan batin. Adapun
terhadap Sekar Arum, ia mendapatkan kesempatan
untuk meluruskan persoalan yang selama ini melahir-
kan jarak bagi mereka berdua.
Tak ada yang perlu dipikirkan Joko Sungsang
tentang bagaimana hasil pertemuannya kembali den-
gan Ki Sempani. Anak muda yang bergelar Pendekar
Perisai Naga ini hanya bisa mengucap syukur atas apa
yang didapatkannya dari orang sakti di Padepokan Ka-
rang Bolong itu.
Akan tetapi, berdekatan dengan Sekar Arum se-
lama beberapa hari ternyata membuat Joko Sungsang
semakin tidak bisa memahami perangai gadis itu.
Cemburukah gadis itu? Akhirnya Joko Sungsang toh
tidak berani memastikan, la merasa bahwa dirinya tak
pantas dicintai gadis secantik Sekar Arum. la merasa
tak pantas dicemburui!
Joko Sungsang menghentikan langkahnya. Ia
memandang hamparan sawah di sebelah kanannya.
Padi mulai menguning. Tak lama lagi penduduk desa
akan menyambut musim panen. Mereka akan bersuka
cita. Boleh jadi mereka akan mengundang kelompok
tayub untuk pesta mereka.
”Ah, tetapi sekarang hampir tidak ada lagi sua-
sana desa bersuka cita dalam menyambut musim pa-
nen,” bantah batin anak muda itu sendiri.
Ya, ia memaklumi bahwa kejahatan selalu
mengintip-intip di balik penderitaan penduduk desa.
Hukum rimbalah yang wajib menentukan siapa yang
harus berpesta pora dalam menyambut panen.
”Bisa jadi, musim panen berarti penderitaan
baru bagi mereka,” kata Joko Sungsang lagi, dalam ha-
ti.
Selintas saja anak muda dari Desa Sanareja ini
memikirkan nasib penduduk desa. Ketika matanya
menangkap sosok seorang gadis desa melintas di pe-
matang sawah, maka ia pun kembali ingat Sekar
Arum. Juga Endang Cantikawerdi. Dan, yang baru saja
dikenalnya, gadis dari Bukit Cangak yang bernama
Gagar Mayang. Ya, ketiga gadis inilah yang akhir-akhir
ini sering melintas di benaknya. Benar-benar ia tak
pernah mengira bahwa perkenalannya dengan ketiga
gadis itu menimbulkan beban pikiran baginya.
Sekar Arum, barangkali memang masih menja-
di tanggung jawabnya. Sebagai saudara seperguruan di
Padepokan Karang Bolong, Joko Sungsang merasa
bahwa ia harus ikut menanggung hitam-putihnya ga-
dis itu. Sifat keras kepala gadis itu sudah sering me-
musingkan kepala Joko Sungsang.
Bagaimana dengan Endang Cantikawerdi? Ga-
dis itu pun menimbulkan masalah tersendiri, pikir Jo-
ko Sungsang sembari melompat ke pematang sawah.
Kalau saja aku bisa membalas cinta gadis itu, sudah
barang pasti tidak ada masalah.
Joko Sungsang kembali menghentikan langkah.
Telinganya yang tajam menangkap suara jerit seseo-
rang. Jerit seorang wanita! Gadis yang baru saja le-
watkah yang menjerit?
’’Jahanam kotor!” rutuk Joko Sungsang begitu
melihat apa yang terjadi di pinggiran desa itu. Seperti
melayang, tubuh Pendekar Perisai Naga ini melesat ke
pinggiran desa. Gusar bukan kepalang hati anak muda
ini melihat dua orang lelaki kasar tengah berusaha
menelanjangi seorang gadis desa.
”Ha-ha-ha! Walaupun kulitmu hitam, tetapi
bersih dan menggairahkan, Cah Denok!” kata lelaki
yang meringkus kedua tangan gadis itu.
”Ya. Dan....” Lelaki yang satunya lagi mele-
letkan lidah sambil memandangi bukit kembar di dada
gadis itu.
’’Lepaskan gadis itu, babi dungu!” hardik Joko
Sungsang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang
mereka.
”Apa?” Lelaki yang meringkus tangan gadis itu
menoleh. ”Ho-ho-ho! Rupanya kau kepingin juga me-
nikmati kembang Desa Kedung Waduk ini, celeng?”
’’Lepaskan sebelum aku harus memaksa kalian
melepaskannya! ”
Kedua lelaki itu tertawa bersama. Bahunya ter-
guncang-guncang. Bahkan salah seorang dari mereka
terbatuk-batuk saking kerasnya tertawa.
Ctarrr!
Sebuah ledakan cambuk menghentikan tawa
mereka berdua. Lebih dari itu, mata mereka berdua
terbeliak sebab menyadari ikat kepala yang mereka
pakai berhamburan di udara dalam ujud serpihan.
”Tikus keparat!” geram lelaki yang memegangi
kedua lengan gadis itu sambil mendorong minggir tu-
buh gadis itu. Bersamaan dengan itu, lelaki yang sa-
tunya lagi sudah menghunus pedang dan langsung
menusukkan ke leher Joko Sungsang.
Srettt! Wuttt! Cpakkk!
Pedang itu pun melayang di udara dan jatuh
menancap di tengah sawah.
”Kau memang pandai memainkan cambukmu,
bangsat! Tetapi, jangan kau kira aku tidak bisa mema-
tahkan batang lehermu!” hardik lelaki yang kehilangan
pedang. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan
terayun ke kepala Joko Sungsang.
Begitu cepat ayunan tangan lelaki berangasan
itu. Tetapi, kali ini yang menghadapi serangan itu Joko
Sungsang alias Pendekar Perisai Naga. Kecepatan ayu-
nan tangan itu belum bisa dibandingkan dengan kece-
patan belitan Cambuk Perisai Naga. Jangan dikata
hanya kecepatan gerak tangan, sedangkan kecepatan
lemparan pisau belati pun akan terburu oleh kilatan
Cambuk Perisai Naga.
Srettt!
Kini giliran Joko Sungsang tertawa-tawa meli-
hat ulah lelaki berangasan itu mencoba melepaskan
belitan cambuk pada kedua pergelangan tangannya.
’’Keparat!” Teriak temannya sambil menerjang
dengan sabetan golok.
Wuttt! Dukkk!
Joko Sungsang melenting sambil menghunjam-
kan tumitnya ke pundak lelaki bergolok itu. Lelaki itu
terhuyung-huyung dengan leher kejang dan mata
mendelik.
Melihat temannya tak lagi berdaya, lelaki yang
tangannya terbelit cambuk itu mulai berpikir. Kini ia
tidak lagi berusaha berontak. Ia menuruti saja tarikan
cambuk Joko Sungsang. Semakin lama lelaki itu me-
mandang cambuk yang melilit pergelangan tangannya,
semakin paham pula ia dengan siapa sedang berhada-
pan.
’’Pendekar Perisai Naga...?” ujar lelaki itu dalam
hati.
”Nah, agaknya kau sudah menyerah. Dan, pan-
tang bagiku menyerang lawan yang sudah tidak ber-
daya,” kata Joko Sungsang seraya melepaskan cam-
buknya dari pergelangan tangan lelaki itu.
Lelaki itu secepatnya bersujud di depan kaki
Joko Sungsang sambil berucap, ’’Maafkan kami, Tuan
Pendekar. Kami memang orang-orang bodoh yang tidak
tahu diri dengan siapa kami berhadapan. Maafkan
kami....”
’’Sudahlah. Berdirilah. Aku bukan orang yang
pantas kau sembah.”
’’Terima kasih, Tuan. Tapi, benarkah Tuan yang
bernama Pendekar Perisai Naga?” Takut-takut lelaki
yang kini berwajah pias itu bertanya.
’’Kenapa kau mengira begitu?” balik Joko Sung-
sang bertanya.
”Anu, Tuan.... Emmm, cambuk Tuan itu bu-
kankah terbuat dari kulit naga? Eh, maksud saya...
kulit ular sanca?”
Joko Sungsang tidak mendengarkan ucapan le-
laki itu. la tengah menoleh ke arah teman lelaki itu
yang tertotok jalan darah di bahunya. Lalu, dengan sa-
tu rabaan, lelaki itu pun terbebas dari penderitaannya.
Seperti halnya yang dilakukan temannya, lelaki
itu pun cepat-cepat bersujud di depan kaki Joko Sung-
sang.
’’Saya bersedia menerima hukuman apa saja
asalkan Tuan tidak membunuh saya,” ucap lelaki itu
dengan suara tersendat isak.
"Hmmm, tidakkah kau ingat bagaimana tadi
kau tertawa-tawa mempermainkan gadis itu?” Joko
Sungsang menuding gadis desa yang masih duduk me-
ringkuk di dekat pagar.
’’Sungguh, Tuan. Saya baru sekali ini berbuat
kurang ajar terhadap perempuan. Sumpah, Tuan....”
’’Bohong!” teriak gadis itu tiba-tiba. Melihat pe-
nolongnya berhasil menaklukkan dua orang lelaki ka-
sar itu, serta-merta muncul keberanian gadis itu un-
tuk angkat suara. Kalaupun ia harus tetap duduk me-
ringkus, sebab ia harus menutupi kedua bukit da-
danya yang tak lagi tertutupi. Kain tua yang tadi mem-
bungkus bukit dada itu tercabik-cabik oleh tangan-
tangan kasar kedua lelaki berangasan itu.
’’Kenapa kau tidak pulang saja?” tanya Joko
Sungsang kepada gadis itu.
’’Saya... saya....” Gadis itu kebingungan harus
berkata apa. la memandang bahu kanan-kirinya ber-
gantian.
’’Berikan bajumu kepadanya,” perintah Joko
Sungsang kepada lelaki yang baru saja berdiri.
Ragu-ragu lelaki itu mencopot baju yang dike-
nakannya. Berat hati sebab baju itu baru saja dida-
patnya dari orang kaya yang dibelanya. Tetapi, begitu
melihat Joko Sungsang memegang bola berduri di
ujung cambuknya, lelaki itu bergegas mencopot ba-
junya.
’’Pakailah!” ujar lelaki itu sambil melemparkan
bajunya ke arah gadis desa itu.
’’Ambil baju itu, dan berikan dengan sopan. Hei,
kalian berdua juga harus minta maaf kepadanya. Men-
gerti?” tegur Joko Sungsang.
’’Mengerti, Tuan,” jawab mereka berdua bersa-
maan. Merunduk-runduk mereka melintas di hadapan
Pendekar Perisai Naga.
Joko Sungsang tertawa dalam hati melihat ga-
dis itu memberengut ketika menerima baju dari lelaki
yang hampir saja mencelakakannya itu.
’’Kami minta maaf. Kami bersumpah di hada-
pan Tuan Pendekar Perisai Naga, kami tidak akan ber-
buat cabul lagi kepada gadis-gadis desa ini....”
’’Hanya gadis-gadis di desa ini?” tukas Joko
Sungsang.
”Eh, maksud kami... semua perempuan di bumi
ini, Tuan,” sahut lelaki yang tadi terbelit cambuk per-
gelangan tangannya.
’Pergilah.”
’Terima kasih, Tuan....”
”Hei, bukan kalian yang aku suruh pergi! Gadis
itu yang aku suruh pergi!” sergah Joko Sungsang.
’’Dasar otak kerbau!” omel gadis itu sebelum
beringsut pergi.
Kedua lelaki itu duduk bersila di depan Joko
Sungsang. Mata mereka menghunjam ke tanah. Ingin
sebenarnya mereka melihat lebih jelas wajah pendekar
yang kesohor ini, tetapi mereka takut jika nanti beradu
pandang.
’’Kulihat desa ini seperti milik kalian berdua.
Sedari tadi belum nampak seorang pun penduduk desa
lewat di sini selain gadis itu. Kenapa?” tanya Joko
Sungsang sambil mengedarkan pandang matanya ke
kejauhan.
Kedua lelaki itu bersipandang. Lalu, salah seo-
rang dari mereka mengangkat wajahnya dan berkata,
”Tuan Pendekar....”
’’Jangan panggil aku ’Tuan Pendekar’!” tukas
Joko Sungsang. ’’Namaku Joko Sungsang, tanpa ’tuan-
tuan-an’.”
”Ya, ya, ya... tapi, emmm, ya, ya....” Lelaki itu
menggamit temannya.
’’Begini, Tu.... Eh, maksud kami, desa ini me-
mang dalam pengawasan kami. Penduduk desa tidak
akan berani keluar dari rumah tanpa izin dari kami
berdua....”
’’Siapa yang menyuruh kalian berbuat begitu?
Dan, kenapa penduduk desa harus bersembunyi di
rumah?” tukas Joko Sungsang.
’’Kami hanya melaksanakan tugas dari Ki Lurah
Bajang. ”
’’Bajang? Bajang Kerek maksudmu?” Alis Joko
Sungsang terangkat.
”Betul, Tuan.... Eh, ya, Ki Lurah Bajang Kerek.”
Joko Sungsang menghela napas. Anak muda ini
masih ingat siapa Bajang Kerek yang ditakuti kedua le-
laki di depannya itu.
”Hmmm, Bajang Kerek. Menyesal aku tidak
membunuhnya waktu itu,” kata Joko Sungsang dalam
dada.
’’Memang kami pernah mendengar cerita ten-
tang... dari Ki Lurah Bajang Kerek,” kata lelaki yang
bergolok.
’’Cerita tentang apa?”
’’Tentang....” Lelaki itu menunjuk Joko Sung-
sang dengan ibu jarinya.
”Ya, aku tahu siapa lurahmu itu. Tetapi, ber-
janjilah bahwa kalian tidak akan melapor kepadanya
tentang pertemuan kita sekarang ini. Mengerti?”
’’Mengerti.” Keduanya mengangguk dalam-
dalam.
’’Sekarang, pergilah ke rumah lurah kalian. In-
gat, suatu ketika nanti aku akan cari kalian di rumah
lurah kalian. Mengerti?”
Kembali keduanya mengangguk. Dan, lama ke-
dua lelaki itu menunduk sambil menunggu pesan-
pesan berikutnya dari Pendekar Perisai Naga. Akan te-
tapi, tak lagi terdengar suara pendekar kesohor itu Se-
waktu mereka berdua memberanikan diri mendongak,
tempat itu sudah kosong.
”Kau lihat ke mana dia pergi?”
”Kau tahu sendiri, aku juga menundukkan ke-
pala.”
”Wah, betul-betul pendekar itu punya ilmu de-
mit! Kalau tidak, mana mungkin bisa menghilang begi-
tu saja?”
Di atas mereka, di sebuah dahan pohon trem-
besi, Joko Sungsang tersenyum geli mendengarkan
pembicaraan kedua lelaki itu.
***
Kalau saja tak ada tugas penting dari Ki Sem-
pani, ingin sebenarnya Joko Sungsang mendatangi Ki
Lurah Bajang Kerek secepatnya. Ingin ia melihat ba-
gaimana wajah Bajang Kerek sewaktu bertatap mata
dengannya. Masihkah anak buah Klabang Seketi itu
teringat kejadian beberapa tahun yang lalu di Desa Ka-
rangreja? (Baca juga: "Penguasa Gua Barong”).
Namun, bagi Joko Sungsang, menjumpai orang
macam Bajang Kerek hanyalah tugas sampingan. Kini
ia harus menjalankan tugas utamanya setelah keluar
dari Padepokan Karang Bolong.
”Mudah-mudahan Gagar Mayang selamat sam-
pai Bukit Cangak. Tetapi, tidak berarti kita menyepele-
kan ilmu silat gadis itu, ada baiknya Anakmas menyu-
sul gadis itu ke Bukit Cangak. Kita tahu bahwa Ki
Sumping Sedapur mulai dibicarakan lagi di kalangan
orang-orang dari golongan sesat,” kata Ki Sempani ma-
lam tadi, sebelum mempersilakan Joko Sungsang be-
ristirahat.
”Ilmu silat gadis itu begitu mengagumkan,
Kiai,” kata Joko Sungsang.
”Ya. Tetapi, Anakmas jangan lupa bahwa ma-
nusia dikodratkan mudah menjadi pongah. Pengala-
man pun ikut menentukan sifat manusia, Anakmas.
Maksudku, pengalaman malang-melintang di rimba
persilatan belum dimiliki oleh Gagar Mayang. Anakmas
bisa mengerti?”
’’Saya mengerti, Kiai.”
”Nah, kalau begitu tidak salah jika aku memin-
ta Anakmas membayangi Gagar Mayang pulang ke Bu-
kit Cangak. ”
’’Apakah Kiai izinkan juga saya menemui Eyang
Kuranda Geni, guru Gagar Mayang?”
’’Kenapa mesti minta pertimbangan? Sudah
pasti semuanya terserah Anakmas. Apakah Kakang
Wiku juga melarang Anakmas menemui saya di sini
waktu itu?” Ki Sempani tertawa terkekeh-kekeh.
Di sinilah letak perbedaan Ki Sempani dengan
Guru, pikir Joko Sungsang. Ki Sempani murah tawa,
sedangkan Guru hampir tak pernah tertawa seumur
hidupnya.
***
3
Gagar Mayang menjerit dan menubruk tubuh
Eyang Kuranda Geni yang telah kaku. Gadis itu meng-
goyang-goyang tubuh kaku itu, seolah tidak percaya
bahwa bau busuk yang diciumnya datang dari tubuh
gurunya, yang juga kakeknya.
’’Eyang, siapa yang melakukan semua ini,
Eyang? Siapa? Katakanlah, Eyang, biar aku yang
menghukumnya. Katakan, katakan! Eyang jangan
hanya diam saja,” rintih Gagar Mayang sambil menci-
umi telapak tangan kakeknya.
Sewaktu kemudian disadarinya bahwa kakek-
nya sudah menjadi mayat, gadis itu pun menjerit seja-
di-jadinya. Jerit berkepanjangan yang membuat seekor
burung hantu terbang dari tempatnya berpijak. Lama
Gagar Mayang tengkurap di atas tubuh kakeknya yang
kaku dan berbau busuk. Lama gadis itu tak bisa ber-
pikir apa yang harus diperbuatnya di dunia ini tanpa
Kakek di sampingnya. Sejak kecil ia bersandar pada
kekuatan kakeknya. Bahkan ia tidak tahu siapa orang
tuanya. la hanya tahu bahwa kakeknyalah yang meng-
hidupinya hingga ia menjadi gadis yang matang.
’’Eyang, Guru, bagaimana aku harus hidup
tanpa Eyang? Tanpa Guru?” rintih gadis itu lagi.
Namun begitu, betapapun kesedihan menguras
air mata Gagar Mayang, betapapun ia merasa du-
nianya kiamat, tetap saja Gagar Mayang adalah gadis
Padepokan Bukit Cangak yang tegar. Seperti terban-
gun dari mimpi buruk, gadis itu melenting bangkit ke-
tika seekor kelelawar melintas di atas kepalanya. Maka
pecahlah kepala binatang malam itu terpatuk seruling
bambu wulung yang tiba-tiba saja sudah tergenggam
di tangan kanan gadis itu.
’’Binatang celaka, kau telah menggugah aku da-
ri ketololan!” sesal gadis itu sambil membuang bangkai
kelelawar itu jauh-jauh. ”Ya, siapa pun yang berbuat
biadab ini, akulah musuhmu!”
Segera Gagar Mayang mengubur jenazah Eyang
Kuranda Geni di dalam pondok beratapkan daun ko-
lang-kaling itu. Setelah cukup lama menekuri kuburan
tak bernisan itu, Gagar Mayang mengatur jalan perna-
pasan untuk mengusir kesedihan yang membuntu
otaknya.
Akan tetapi, setelah selesai bersemadi, gadis itu
tetap belum bisa menemukan, bahkan mencurigai,
siapa yang harus menerima dendam murid Padepokan
Bukit Cangak itu.
”Ah, tetapi aku masih punya mata, hidung, dan
telinga,” kata gadis itu. ”Tak ada seorang pun manusia
di kolong langit ini yang bisa menyembunyikan bau
busuk. Tak ada orang jahat yang bisa menyembunyi-
kan kejahatannya. Betapapun keparat itu bersembunyi
di liang semut, aku akan bisa menjumpainya!”
Ki Sumping Sedapur yang tadi sudah siap di-
pamerkan di depan kakeknya, kembali diselipkannya
di pinggang. Ia menyadari bahwa hanya keris itulah
yang bisa membantunya mencari pembunuh kakek-
nya. Apa lagi tujuan pembunuh itu kalau bukan men-
cari Ki Sumping Sedapur, pikir Gagar Mayang sambil
melangkah meninggalkan Padepokan Bukit Cangak.
Sengaja Gagar Mayang merambahi desa ke desa
agar secepatnya mendapatkan petunjuk tentang siapa
pembunuh Eyang Kuranda Geni. Kabar buruk bi-
asanya akan lebih cepat tersebar. Lalu, gadis itu diam-
diam menyesali kecongkakannya beberapa hari yang
lalu d Padepokan Karang Bolong. Betapa tidak cong-
kak! Kalau saja ia tidak menolak ditemani Pendekar
Perisai Naga pulang ke Bukit Cangak, tentulah pem-
bunuh keparat itu akan segera dikenalinya.
’’Sudah pasti Pendekar Perisai Naga akan men-
genali jejak pembunuh jahanam itu,” kata hati Gagar
Mayang.
Fajar hampir merekah di ufuk timur. Bukit
Cangak tinggal menyerupai segunduk tanah berwarna
hitam. Sekali lagi Gagar Mayang memandangi bukit itu
dari kejauhan. Ia merasa pasti bahwa ia harus sering
mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Eyang Ku-
randa Geni itu.
Werrr!
Gagar Mayang membuang tubuhnya ke tanah
sambil memutar seruling bambu wulungnya. Hampir
saja sebatang anak panah menembus lehernya.
"Jahanam! Keluarlah dari persembunyianmu
sebelum aku memaksamu menampakkan diri!” teriak
gadis itu lantang.
"Ha-ha-ha! Ternyata aku salah sangka! Aku ki-
ra aku tengah memanah seekor kijang, tetapi nyatanya
burung walet yang aku temui!” sahut seorang lelaki
sambil melompat keluar dari balik pohon.
Lelaki itu bertubuh raksasa. Rambutnya yang
panjang dibiarkan terburai-burai. Sebuah gendewa
tergenggam di tangan kirinya sementara tangan ka-
nannya sibuk mengusap-usap kumisnya.
Namun, kurang jelas bagi pandang mata Gagar
Mayang bagaimana wajah lelaki itu. la hanya bisa me-
lihat samar-samar di bawah keremangan bulan yang
tinggal sepotong.
”Aku tak mengenalmu, tetapi tiba-tiba saja kau
menghendaki nyawaku! Tetapi, jangan kau kira aku
takut berurusan denganmu!” Gagar Mayang melang-
kah maju menyongsong langkah lelaki asing itu.
"Lumrah jika kau tidak mengenalku. Dan, itu
tak perlu buatku. Bagiku, yang pasti aku bisa memba-
laskan dendamku. Bukankah kau ahli waris tunggal
kakek keparat penghuni Bukit Cangak itu?”
"Jahanam! Kau pikir mulutmu yang kotor itu
pantas untuk menyebut-nyebut nama guruku?”
”Ha-ha-ha! Rupanya aku sedang berhadapan
dengan bidadari bermulut kotor!”
Singngng! Singngng! Trakkk!
Dua sabetan seruling beruntun menerjang lela-
ki bergendewa itu. Namun, lelaki itu agaknya sudah
menebak bakal datangnya serangan. Hanya saja, ia ti-
dak menyangka bahwa cucu Eyang Kuranda Geni ini
ternyata memiliki kecepatan serangan yang luput dari
dugaan. Maka lelaki itu terpaksa harus menangkis se-
rangan yang ketiga dengan gendewa panahnya.
Bergetar hebat seruling di telapak tangan Gagar
Mayang menerima benturan gendewa itu. Gadis itu
merasakan telapak tangannya seperti terkelupas. Pa-
nas dan nyeri. Maka disadarinya bahwa lawan yang
sedang dihadapinya memiliki tenaga dalam yang sem-
purna.
”Hmmm, kenapa tak kau keluarkan Jurus
Tambak Segara-mu, Nini?” ejek lelaki bergendewa itu.
’’Jurus Tambak Segara bukan untuk melawan
cecurut seperti kau!” sergah Gagar Mayang.
Lalu, berputarlah seruling bambu wulung di
tangan gadis itu, dan terdengarlah suara meraung-
raung.
’’Bersiaplah untuk menebus kelancangan mu-
lutmu, iblis!” seru Gagar Mayang seraya kembali me-
nerjang.
Sinar hitam bergulung-gulung mengurung tu-
buh lelaki bergendewa itu. Dan, dari ketujuh lubang
seruling itu meluncur sinar putih yang menyilaukan
mata. Inilah Jurus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa! Ju-
rus yang khusus diciptakan oleh Eyang Kuranda Geni
bagi murid yang sekaligus cucunya.
”Hup! Hiyaaa!” Lelaki bergendewa itu melenting
ke udara dan hinggap di sebuah dahan. Namun, Gagar
Mayang agaknya telah kehabisan kesabarannya. Lagi
pula, gadis ini semakin mencurigai bahwa lelaki inilah
manusia yang harus bertanggung jawab atas tewasnya
Eyang Kuranda Geni. Setidaknya, pastilah dia ini salah
satu di antara mereka!
Ketujuh luncuran sinar yang menyilaukan mata
itu memburu ke udara dan menyantap dahan yang
semula menjadi tempat bertengger lelaki bergendewa
itu.
Kraaak! Bresss!
Dahan sebesar kaki gajah itu terbelah dan me-
luncur jatuh dengan membawa serta segerobak daun.
’’Mengerikan!” ujar lelaki bergendewa itu dari
arah belakang Gagar Mayang. Kini lelaki itu bertengger
di sulur sebesar ibu jari yang terpentang dari pohon
satu ke pohon lainnya.
Gagar Mayang menyadari bahwa usahanya
memburu lawan dengan Jurus Tujuh Bidadari Pemetik
Nyawa ternyata akan tetap sia-sia. Perasaan malu, ma-
rah, sakit hati teraduk menjadi satu di rongga dada
gadis itu. Akan tetapi, ia tetap menyadari bahwa
menghadapi lawan dengan emosi sama halnya bunuh
diri. Selain daripada itu, ia pun cepat-cepat mawas di-
ri. Sudah jelas bahwa lelaki itu memang bukan tandin-
gannya. Mustahil lawan akan mampu menghindari Ju-
rus Tujuh Bidadari Pemetik Nyawa jika tidak berilmu
silat jauh di atas tingkatan ilmu silat yang dimilikinya.
’’Kisanak,” kata Gagar Mayang kemudian, ”Aku
belum mengaku kalah. Tetapi, aku merasa percuma
melawanmu sebab aku merasa tidak pernah berurusan
denganmu!”
Lelaki bergendewa itu melayang turun sambil
tertawa tergelak-gelak.
”Ya, aku pun belum merasa memenangkan per-
tarungan ini,” katanya seraya menyelempangkan gen-
dewanya di dada.
’’Sebenarnya, bisa saja aku tidak mempeduli-
kan kedatanganmu. Tetapi, karena aku memerlukan
petunjuk, apa pun yang terjadi aku harus menghada-
pimu!”
’’Bagus! Kau tentu mencari petunjuk siapa yang
telah mengirim gurumu ke neraka, bukan?”
"Iblis seperti kau inilah yang pantas menjadi
penghuni neraka!” sahut Gagar Mayang sigap.
”Kau ini membingungkan, Cah Ayu. Kau bilang
tak pernah berurusan denganku, tetapi kau ingin
menghadapiku. Atau, kau kira akulah pembunuh gu-
rumu itu?”
’Tak ada alasan untuk tidak mencurigaimu!
Sudah jelas bahwa kau tengah memendam dendam
terhadap guruku!”
”Ha-ha-ha! Rupanya kau masih belum bisa
menggunakan otak jernihmu, Nini. Kalau memang aku
yang menewaskan gurumu, untuk apa lagi aku men-
ginginkan nyawamu? Kau pikir aku takut jika kelak
kau membalas dendam? He-he-he! Tak ada yang perlu
aku takutkan di kolong langit ini. Dan, aku juga tidak
takut mati asalkan aku mati tanpa membawa den-
dam....”
’’Bicaramu semakin sulit dimengerti!” tukas Ga-
gar Mayang.
"Singkatnya begini saja, ” sahut lelaki bergen-
dewa itu. ’’Kalau kau mau mempercayaiku, bukan aku
yang membunuh gurumu, yang juga kakekmu itu. Ju-
stru aku datang terlambat. Aku datang dan gurumu
sudah terkapar di depan pondoknya. Tapi, begitu aku
melihatmu, aku tidak lagi menyesali keterlambatanku.
Bagiku, sama saja membunuh guru atau muridnya. Itu
pun masih bisa aku tawar. Mau tahu seperti apa tawa-
ranku?”
Gagar Mayang tak menanggapi. Diam-diam ia
telah mempersiapkan diri untuk kembali bertarung.
Tak ada jalan lain kecuali menghadapi orang asing ini
sampai pada batas kemampuan. Maka gadis itu mulai
mengerahkan Jurus Tambak Segara sebagai benteng
pertahanannya.
"Kenapa diam?” sambung lelaki bergendewa itu.
’’Dengarlah. Aku akan membiarkanmu pergi mencari
pembunuh kakekmu, jika kau dengan suka rela me-
nyerahkan keris luk tujuh di pinggangmu itu. Menger-
ti? Setuju?”
’’Ucapanmu enak didengar, tetapi ternyata ke-
luar dari hatimu yang serakah!” sergah Gagar Mayang.
’’Jangan besar kepala! Kalau memang tujuanmu ingin
memiliki Ki Sumping Sedapur, kau harus melangkahi
mayatku!”
”Eh, ladalah! Setan mana yang membuatmu ti-
ba-tiba berubah pikiran, Nini?”
’’Sejak semula aku tak pernah berubah pikiran!
Kalaupun aku tadi bersikap lunak terhadapmu, sebab
aku hanya ingin keterangan siapa kau sebenarnya! Ki-
ni sudah jelas, dan aku siap memusnahkan khaya-
lanmu untuk bisa memiliki Ki Sumping Sedapur!”
”Hmmm, pantas jika kau masih ada hubungan
darah dengan Kuranda Geni!” Lelaki itu manggut-
manggut. ’’Baiklah. Aku tak mau banyak kehilangan
waktu. Sekarang, sekehendakmulah kalau memang
kau menolak tawaranku. Hanya saja, perlu kau tahu
bahwa aku pantang menyerang perempuan terlebih
dulu!”
”Dasar iblis pongah!” hardik Gagar Mayang
sambil mengirimkan tendangan sekaligus totokan se-
ruling ke leher lawan.
Namun, lagi-lagi serangan gadis itu hanya
membentur angin. Hampir tak bisa diikuti mata ke
arah mana lawan berkelit. Dan, tiba-tiba saja Gagar
Mayang merasakan sambaran angin dari arah pung-
gungnya.
Wusss! Singngng!
Dengan satu putaran seruling, terbebaslah ga-
dis itu dari sambaran gendewa lawan. Akan tetapi,
gendewa itu seolah ular berkepala dua. Susul-
menyusul ujung gendewa memburu ke mana pun Ga-
gar Mayang membuang tubuhnya.
”Aku ingin tahu bagaimana jika kau kehabisan
napas, gadis bengal!” ujar lelaki bergendewa itu sambil
terus menyerang. Kini sodokan-sodokan gendewa itu
semakin cepat dan membahayakan.
Trakkk! Trakkk! Trakkk!
Tiga kali gendewa itu membentur seruling yang
memagari tubuh Gagar Mayang. Bersyukurlah gadis
itu sebab ia telah menerapkan Jurus Tambak Segara
sehingga telapak tangannya tak lagi bergetar dalam
mengadu tenaga dalam dengan lawan.
”He-he-he! Rupanya aku salah sangka! Tak bisa
lagi kau aku ajak bermain-main, Cah Ayu!” Berkata
begini, lelaki bergendewa itu meloncat mundur dan
menyilangkan gendewanya di depan dada. Kemudian
kedua kakinya menggenjot tanah, dan tubuh raksasa
itu melenting ke udara.
Gagar Mayang secepatnya memutar seruling
bambu wulungnya di atas kepala. Lelaki bergendewa
itu membatalkan serangannya. Sebagai gantinya, ia
memanfaatkan tali gendewanya untuk membendung
putaran seruling lawan.
Srettt!
Gagar Mayang merasakan serulingnya terbelit
tali baja. Padahal ia menyadari bahwa tali yang mem-
belit serulingnya tentulah tali yang membentang pada
gen-dewa itu. Namun, gadis itu tak mau berpikir pan-
jang. Ia secepatnya menjatuhkan diri sambil menghen-
takkan seruling bambu wulungnya.
Desss!
Gagar Mayang berhasil menyapu kaki lawan,
tetapi kaki itu bagaikan tonggak yang terpancang pu-
luhan meter ke tanah.
”He-he-he! Kalau saja tidak kau terapkan Jurus
Tambak Segara-mu, sudah pasti kakimu yang indah
itu akan patah,” ujar lelaki itu.
Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Kini
Gagar Mayang bisa melihat wajah lawannya. Di luar
dugaannya jika nyatanya lelaki bergendewa itu berusia
tak kurang dari enam puluh tahun. Sebagian rambut
gondrongnya memutih. Bahkan alis matanya yang
rimbun telah hampir semuanya memutih. Kakek itu
berpakaian compang-camping. Tetapi, kain yang mem-
bebat pinggulnya nampak indah dan baru.
”Hmmm, habis sudah waktu yang kurencana-
kan,” kata kakek bergendewa itu sebelum kemudian
merapatkan kedua belah telapak tangannya ke dada.
”Nah, sekaranglah saatnya aku meringkusmu dan
membawamu pulang ke padepokan, Cah Ayu. Bersiap-
lah jika kau masih percaya pada keampuhan Jurus
Tambak Segara-mu. ”
Tiba-tiba tubuh kakek itu bergetar hebat. Dan,
dari getaran itu muncul udara yang menyesakkan na-
pas. Gagar Mayang mencoba melawan pengaruh udara
itu dengan tenaga murninya. Ia merasakan udara sea-
kan berdebu. Tenggorokan kering dan panas. Tersen-
gal-sengal napas gadis itu. Bukit dadanya nampak
naik-turun. Ia mencoba menerjang kakek berilmu aneh
itu, tetapi udara yang keluar dari tubuh kakek itu seo-
lah menahannya.
Dalam keputusasaannya, Gagar Mayang serta-
merta melihat getaran tubuh kakek itu melambat dan
kemudian berhenti sama sekali. Bersamaan dengan itu
pula berhentilah tiupan udara yang menyesakkan da-
da.
"Hmmm, agaknya tua bangka itu masih hidup,”
keluh kakek bergendewa itu sambil mempertajam pen-
dengarannya.
Gagar Mayang kebingungan menatap lawannya.
Kenapa kakek itu tiba-tiba menghentikan ilmu sihir-
nya? Namun, kemudian Gagar Mayang menemukan
jawabannya. Samar-samar terdengar olehnya suara
burung emprit gantil. Suara burung itulah yang agak-
nya mengganggu pendengaran kakek bergendewa itu.
”Aneh, ” kata hati gadis itu. ’’Kenapa ia harus
takut mendengar suara burung emprit gantil? Atau,
karena ia terlalu percaya bahwa burung itu lambang
kematian?”
”Kau masih beruntung, Cah Ayu. Tetapi, kebe-
runtungan tak selamanya mengikuti langkahmu!” Ber-
kata begini, kakek bergendewa itu lantas menjejak ta-
nah dan kemudian hilang ditelan kerimbunan pepoho-
nan.
’Tak kusangka kau berhasil membuatnya lari
tunggang-langgang,” kata seseorang di belakang gadis
itu.
Gagar Mayang menoleh sembari menyilangkan
seruling bambu wulungnya di dada.
”Oh, kau, Pendekar Perisai....”
’’Panggil aku Joko Sungsang,” tukas Joko
Sungsang cepat.
’’Tidakkah dia lari karena suara burung emprit
gantil?” tanya Gagar Mayang masih dengan dahi berke-
rut-kerut.
”Ya. Dan, dia mengira gurumulah yang meniru-
kan suara burung itu.”
”Aku tidak mengerti maksudmu.”
”Kau dengar apa katanya sebelum ia pergi?”
”Ya. Ia bilang, ’Hmmm, agaknya tua bangka itu
masih hidup’.”
’’Sekarang kau tahu siapa yang dimaksudkan
dengan ’tua bangka’ itu, bukan?”
Gagar Mayang hanya manggut manggut.
’’Dialah yang bergelar si Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu, seperti yang diceritakan Ki Sempani bebe-
rapa hari yang lalu. Kau ingat?”
”Ya, ya. Sekarang aku baru ingat. Sewaktu
menghadapinya, pikiranku memang buntu dan emosi-
ku tak terkendali lagi. Lumrah jika aku lupa.”
”Dan, aku memaklumi kenapa kau terbakar
emosi dalam menghadapinya. Padahal itu memang di-
kehendakinya. ”
’’Maksudmu?”
”Dia berhasil membuatmu terbakar kemara-
hanmu sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau tidak
akan mampu mengatur pernafasanmu untuk melawan
Ajian Lesus Beracun darinya.”
”Kau terlalu banyak tahu tentang isi rimba per-
silatan. Aneh. Padahal usiamu tak jauh berbeda dari
usiaku. Pantas jika kau dijuluki....”
’Tunggu dulu!” tukas Joko Sungsang. ’’Semua
cerita aku dapatkan bukan dari pengalaman malang-
melintang di rimba persilatan, Gagar Mayang. Sebe-
narnya kau pun bisa berbuat sepertiku. Aku hanya
mengumpulkan cerita-cerita dari orang-orang tua ma-
cam Ki Sempani.”
’’Baiklah. Aku berhutang nyawa kepadamu. Te-
rima kasih. ” Gagar Mayang hendak berlalu, tetapi Jo-
ko Sungsang sigap menghadang.
’’Gagar Mayang, bagiku tak ada utang-piutang
nyawa. Kakek itu belum tentu berhasil membunuhmu.
Aku pun tidak akan menakut-nakutinya dengan suara
burung emprit gantil jika tidak aku lihat kau kurang
mawas diri. Maksudku, semula aku yakin kau bisa
menangkal Ajian Lesus Beracun tadi. Tetapi, kemudian
aku ingat bahwa kau sedang dilanda kesedihan....”
”Jadi, kau sudah tahu nasib buruk yang me-
nimpa guruku?” sahut Gagar Mayang kaget.
”Aku terlambat menyusulmu. Tetapi, aku sem-
pat melihat bagaimana kau bertemu dengan jasad gu-
rumu untuk terakhir kalinya.”
"Padahal aku sangat membutuhkan bantuan-
mu mengenali jejak pembunuh keparat itu. Aku per-
caya, Pendekar Perisai Naga akan mengenali siapa
pembunuh Eyang Guru dari luka di tubuhnya.”
”Aku bukan Ki Sempani atau orang-orang sakti
yang setingkat dengannya, Gagar Mayang. Bagaimana
mungkin aku bisa menunjuk siapa pemilik tombak
yang menewaskan gurumu? Gurumu tewas karena tu-
sukan tombak dari arah belakang.”
’’Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah itu ka-
rena kau memang orang sakti?"
”Aku sempat memeriksa jenazahnya sewaktu
kau mengambil air untuk membersihkannya.”
Gadis itu terdiam, la mulai bertanya-tanya, ke-
napa anak muda ini tega melihatnya dari jarak jauh
sewaktu ia sibuk mengubur jenazah Eyang Kuranda
Geni?
’’Apalagi kau sendiri pernah bercerita bahwa
Jurus Tambak Segara hanya bisa melindungi bagian
depan tubuh si pemiliknya. Ya, sesuai dengan nama
jurus itu sendiri. Tambak memang hanya mampu
membendung bahaya dari arah depan.”
”Ya. Kalau saja mereka tidak berbuat licik,
mustahil mereka bisa menewaskan Eyang Guru!” sa-
hut Gagar Mayang geram.
”Ini berarti peringatan buatmu, Gagar Mayang.
Kau sedang berhadapan dengan sekelompok orang-
orang licik. ”
"Jangan lagi hanya sekelompok manusia licik!
Iblis yang paling licik pun akan aku hadapi!”
Joko Sungsang menghela napas panjang. la
merasa tak perlu membantah ucapan gadis itu. Sepe-
nuhnya ia sadari bahwa gadis itu sedang tidak menen-
tu perasaannya. Siapa pun yang menentangnya akan
menjadi lawannya, pikir Joko Sungsang.
"Lalu, kau sekarang juga...?”
’’Ya. Lebih cepat lebih baik! Sebelum kolong
langit ini dipenuhi manusia-manusia berjiwa iblis, aku
harus bertindak!” Gagar Mayang menukas dan kemu-
dian berkelebat pergi.
’’Keras hati, juga tinggi hati, ” kata Joko Sung-
sang sambil memandangi gadis berpakaian serba jing-
ga yang semakin jauh meninggalkannya.
***
4
Berbagai perasaan menyesaki dada Gagar
Mayang. Bukan saja rasa sedih karena kematian kakek
yang sekaligus gurunya. Bukan juga hanya rasa den-
dam terhadap musuh gurunya. Melainkan juga rasa
bingung menghadapi ulah Pendekar Perisai Naga.
Ya, kenapa ia tega menonton dari kejauhan se-
waktu aku menangisi mayat Eyang Guru? Tidakkah ia
mempunyai perasaan belas kasihan? Atau, karena ia
memang menganggapku tak perlu dikasihani? Karena
aku baru saja dikenalnya? Karena aku bukan Endang
Cantikawerdi ataupun Sekar Arum?
Itukah sebenarnya Pendekar Perisai Naga yang
kesohor itu? Hmmm, ternyata ia tak lebih baik dari
orang sesat yang paling kejam! Apalah bedanya pem-
bunuh Eyang Guru dengan seorang pendekar dari go-
longan lurus yang tega melihat kekejian berlangsung di
depan matanya! Apalah artinya nama harum yang di
sandangnya jika nyatanya ia masih membeda-bedakan
orang yang layak ditolongnya! Dasar pendekar mata
buaya!
Lumrah jika Gagar Mayang tidak mengerti ke-
napa Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga tega
menontonnya menangisi mayat Eyang Kuranda Geni.
Lumrah jika gadis itu kemudian menilai buruk tingkah
laku Pendekar Perisai Naga terhadapnya. Sebab, gadis
itu memang tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Jo-
ko Sungsang sewaktu melihat gadis itu tengkurap di
atas mayat kakeknya.
Joko Sungsang memang hampir saja meng-
hampiri gadis itu dan membantu merawat mayat
Eyang Kuranda Geni. Akan tetapi, serta-merta ia ingat
pesan maupun nasihat dari orang-orang sakti yang
pernah menggemblengnya.
Bahkan sebelum Joko Sungsang meninggalkan
Padepokan Karang Bolong, Ki Sempani sempat berpe-
san, ’’Dekati jika ia jauh, dan jauhi jika ia terlalu dekat
dengan Anakmas. Itulah yang paling baik Anakmas la-
kukan untuk menolong gadis-gadis seusia Sekar Arum
maupun Gagar Mayang ini. Di dunia ini, Gagar Mayang
hanya memiliki Eyang Kuranda Geni. Kini nyawa orang
tua itu tengah diincar dari segala penjuru. Kalau me-
mang Gusti Allah menghendaki Eyang Kuranda Geni
tewas di tangan lawan, kita inilah yang wajib mene-
ruskan usahanya membimbing Gagar Mayang, cucu
tunggal yang dikasihinya. Membimbing tidak berarti
kita harus menolongnya setiap ia mendapatkan kesuli-
tan. Kesulitan selalu diperlukan manusia untuk meng-
gembleng diri agar matang. Hanya kesulitan yang akan
mendatangkan kematianlah yang harus kita tepiskan
darinya.”
Joko Sungsang manggut-manggut mengenang-
kan kembali pesan-pesan dari orang sakti di Padepo-
kan Karang Bolong itu. Maka ia pun kemudian berjanji
kepada dirinya sendiri untuk semakin berhati-hati da-
lam melindungi Gagar Mayang. Selama ini ia merasa
gagal membimbing Sekar Arum sebab ia terlalu cepat
mencemaskan keselamatan gadis itu. Ia terlalu cepat
memberikan pertolongan jika gadis itu dalam kesuli-
tan.
Seiring dengan pesan Ki Sempani, Joko Sung-
sang terus mengekor langkah Gagar Mayang, tetapi
dengan pesan kepada dirinya sendiri, ’’Dekati jika ia
jauh, jauhi jika ia terlalu dekat.”
Kini tugas mengawasi Sekar Arum telah selesai.
Kejadian yang hampir saja menewaskan gadis itu
agaknya berhasil mengilas kekeras hatian gadis itu
(Baca juga: ’’Penguasa Bukit Cangak”). Akan tetapi, le-
pasnya Sekar Arum dari tanggung jawabnya, tidak be-
rarti Joko Sungsang bisa seenaknya mengembara. Kini
tugas baru harus dijalaninya.
”Aku berani memastikan bahwa kakek gadis itu
tak mungkin lagi pergi menyusul cucunya ke dunia
ramai. la sengaja bersembunyi di Bukit Cangak sebab
ia sudah bosan membunuh. Oleh sebab itu, aku ikut
merasa senang jika Anakmas bersedia melindungi ga-
dis itu dari ancaman orang-orang serakah yang men-
gincar Ki Sumping Sedapur,” kata Ki Sempani setelah
Gagar Mayang mohon diri dari hadapannya.
’’Tetapi, sebenarnyalah saya sendiri masih me-
merlukan perlindungan, Kiai,” kata Joko Sungsang se-
jujurnya.
’’Itikad baiklah yang akan melindungi Anakmas
dari segala macam mara-bahaya. ”
’’Apakah berarti Gagar Mayang tidak memiliki
itikad baik, Kiai?” Joko Sungsang mencoba mencari
kejelasan.
’Tentu saja la memiliki itikad baik, Anakmas. la
beritikad baik ingin menjauhkan Ki Sumping Sedapur
dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hanya saja, sikap tinggi hati dan kurang berha-
ti-hatilah yang kadang mengundang bencana.”
Ya, contohnya sikap yang selama ini ditunjuk-
kan oleh Sekar Arum, pikir Joko Sungsang seraya me-
lenting dan hinggap di sebuah dahan pohon. Lamunan
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini se-
ketika buyar demi dilihatnya Gagar Mayang menghen-
tikan langkahnya.
Dari tempatnya bersembunyi, Joko Sungsang
bisa melihat bagaimana gadis dari Bukit Cangak itu
mengedarkan pandang matanya, mencari-cari seseo-
rang yang dicurigai membuntutinya.
Legalah hati Joko Sungsang setelah melihat
Gagar Mayang duduk bersandar di bawah pohon dan
kemudian meniup serulingnya.
’Pantas jika ia mendapat julukan Megatruh,”
kata hati Joko Sungsang sambil menikmati tembang
Megatruh yang mengalun dari seruling bambu wulung
itu.
***
Tak jauh dari Gagar Mayang dan Joko Sung-
sang berada, dua orang lelaki kasar bersamaan meng-
gemeretakkan gigi mereka. Suara seruling itu mem-
buat mereka merasa terganggu.
”Bisa gagal rencana kita gara-gara gembala ke-
parat itu, Kakang,” kata lelaki yang lebih muda sambil
meraba hulu pedangnya.
”Aku tetap akan mencegat di sini. Pergilah se-
bentar, dan bunuh gembala lancang itu!” perintah le-
laki yang lebih tua.
’’Secepatnya aku kembali ke sini, Kakang!” kata
lelaki yang lebih muda sambil melompat pergi.
Seperti memburu kijang, lelaki itu berjalan ke
arah datangnya suara seruling. Sudah tergambar da-
lam benaknya bagaimana nasib gembala sial itu nanti.
Namun, sewaktu melihat siapa yang sedang meniup
seruling, lelaki itu terpaku di tempatnya berdiri. Ma-
tanya yang merah membulat dan mulutnya yang lebar
menganga.
”Peri apa bidadari?” kata lelaki itu sambil me-
langkah hati-hati mendekati Gagar Mayang.
’’Berhenti di tempatmu, Kisanak!” bentak Gagar
Mayang meski tidak menoleh ke arah lelaki itu.
”He-he-he! Ternyata manusia biasa yang tengah
aku hadapi,” katanya seraya memelintir kumis.
”Apa kau merasa anak dewa? Kau bukan ma-
nusia?” sahut Gagar Mayang.
Lelaki itu meleletkan lidahnya. Jakunnya nam-
pak turun-naik. Otaknya yang cabul mulai mem-
bayangkan bagaimana jika nanti bisa melumpuhkan
gadis berseruling di depannya itu. Tentulah bukit
kembar di dada gadis itu masih kenyal. Tentulah gadis
itu akan tergial gial kegelian ketika bukit kembar itu
terseruduk kumis. Lalu, bibir yang merekah indah itu
akan basah dan hangat untuk dilumat.
’’Siapa namamu, Anak Betari? Kenapa kau be-
rada di tempat yang sepi seperti ini?” Lelaki itu menya-
rungkan pedangnya kembali. Ia merasa tak perlu
menggunakan pedang untuk bermain cinta dengan ga-
dis cantik ini.
”Aku yang perlu namamu sebab kau yang men-
datangiku!” sahut Gagar Mayang ketus.
’’Apakah sekiranya namaku akan menambah
cintamu kepadaku? Baiklah. Siapa pun yang pernah
melihatku akan mengabarkan bahwa mereka pernah
bertemu dengan Penguasa Hutan Pinus di Kaki Gu-
nung Wilis alias d Tatsaka Rodra. Jelas, Dewiku yang
cantik?”
Gagar Mayang mencibir, lalu kembali menem-
pelkan serulingnya ke bibir.
”Eh, rupanya namaku malah membuatmu tidak
suka?”
’’Biarpun kau mengaku bernama Penguasa Hu-
tan Emas, aku tetap mual melihat wajahmu! Menger-
ti?” sergah gadis itu seraya kembali mengalunkan tem-
bang Megatruh.
”Ha-ha-ha! Untunglah aku selalu sabar jika
berhadapan dengan gadis cantik. Kalau tidak, tubuh-
mu yang molek akan aku rajang dengan pedangku ini.
Tentu saja setelah aku menikmati tubuhmu lebih dulu,
cah moblong!”
Berrr!
Sebatang ranting, kering hampir saja menyam-
bar mata lelaki itu.
’’Refleksmu sudah bagus. Tetapi, mulutmu be-
lum pantas bicara seperti tadi!” Gagar Mayang melent-
ing bangkit dan berkacak pinggang.
’’Benar-benar tak tahu diuntung! Hei, anak
gendruwo! Sekali lagi aku peringatkan dengan siapa
kau berhadapan! Berpikirlah sebelum kau menyesal
seumur hidup!”
’’Sebelum kau datang pun aku selalu berpikir
bahwa membunuh manusia kotor sepertimu memang
kewajibanku!”
Sringngng!
Pedang tipis dan panjang itu mengkilap tertim-
pa sinar matahari sore. Kemudian pedang itu berkele-
bat cepat ke arah leher Gagar Mayang. Namun, dengan
mudah gadis itu menghindari serangan lawan. Dengan
sedikit mendoyongkan kaki kanannya, lewatlah pedang
lawan sejengkal di atas kepalanya.
Dukkk!
Kepalan tangan Gagar Mayang mendarat telak
di dada lelaki itu. Terhuyung-huyung tubuh lelaki itu
diiringi lontaran kata-kata kotor. Menyesal ia telah be-
rani gegabah menghadapi gadis cantik berseruling ini.
Maka lelaki itu memutar pedangnya dan sambil berte-
riak nyaring, ia menerjang maju.
Tringngng!
Pedang tipis itu bertemu dengan seruling bam-
bu wulung di tangan Gagar Mayang. Sebenarnya bisa
saja gadis itu berkelit menghindar. Dan, Itu lebih mu-
dah dilakukannya. Akan tetap, tiba-tiba saja muncul
keinginan gadis itu untuk membuat lawannya lebih
berpikir lagi.
Seruling setan, pikir lelaki itu sambil melang-
kah mundur. Terheran-heran ia memandangi seruling
bambu wulung di tangan gadis itu. Tidakkah ia salah
merasakan bahwa seruling itu tak lebih lunak dari ba-
ja putih?
”Nah, bersiaplah. Kini giliranku menyerang,
bukan?” kata Gagar Mayang mengejek.
Dalam pada itu, dari ketinggian pohon yang
menjadi pijakan kakinya, Joko Sungsang tak begitu
mempedulikan pertarungan yang tengah terjadi di ba-
wah. Ia merasa pasti bahwa Gagar Mayang akan den-
gan mudah bisa mengatasi pencuri kayu itu. Akan te-
tapi, begitu dilihatnya seseorang mendatangi tempat
pertarungan itu, Joko Sungsang mengurai cambuk di
pinggangnya. Bukan berarti ia mencemaskan nasib
Gagar Mayang jika sampai dikeroyok kedua lelaki itu,
melainkan karena Joko Sungsang mengenali lelaki
yang hampir saja melintas di bawahnya.
Srettt! Berrr!
Tubuh lelaki yang baru datang ini terbelit Cam-
buk Perisai Naga dan terbawa terbang ke dahan tempat
Joko Sungsang berpijak.
”Kau boleh meronta kalau kau ingin kakimu
patah, Bajang Kerek!” bisik Joko Sungsang.
”Kau... kau...?”
”Ya. Kita pernah bertemu di Desa Karangreja.
Lumayan juga ingatanmu, Bajang Kerek.”
’Tapi... tapi....”
’’Sebaiknya kita menjauh dari sini,” tukas Joko
Sungsang sebelum melompat ke pohon lain sambil te-
tap menarik tubuh Bajang Kerek dengan juntaian
cambuknya. ”Nah, di sini kita lebih aman berbicara.”
Pucat pasi wajah Bajang Kerek sewaktu Joko
Sungsang mengencangkan belitan cambuknya. Kulit
ular itu serasa menyengat-nyengat kulit di pinggang-
nya. Karena itu, ia yakin bisa ular sanca itu masih
menempel pada kulit ular yang kini telah berubah
menjadi cambuk itu.
”Kau masih ingat kapan kita bertemu terakhir
kali-nya, Bajang Kerek?” tanya Joko Sungsang sambil
tersenyum. Namun, senyuman itu bagi Bajang Kerek
tak ubahnya senyuman Dewa Pencabut Nyawa. la ma-
sih Ingat bagaimana anak muda ini dengan mudah bi-
sa mengalahkan Klabang Seketi (Baca juga: ”Penguasa
Gua Barong”) di Desa Karangreja.
”Kau masih bisa mendengar suaraku, bukan?”
lanjut Joko Sungsang.
”Ya, ya, ya.... Saya... saya bertemu Tuan di De-
sa Karangreja... sewaktu Tuan bertarung melawan...
melawan Ki Lurah Klabang Seketi....”
’’Bagus!”
’Tetapi... saya... saya waktu itu tidak ikut cam-
pur....”
’’Memang Tetapi, apa bedanya kau dengan lu-
rahmu itu? Kalian sama-sama bikin susah orang le-
mah. Dan, sampai sekarang pun kau masih betah
menjadi orang sesat. Jangan mungkir! Baru saja aku
menemukan dua orang anak buahmu sedang menelan-
jangi gadis Desa Kedung Waduk!”
’Tapi... tapi... saya sudah memperingatkan me-
reka agar... agar tidak berurusan dengan Tuan....”
’’Selama kalian menjadi orang sesat, maka ka-
lian akan selamanya berurusan denganku! Mengerti?”
Kini mata Joko Sungsang menyala.
’’Mengerti, Tuan. Dan... dan mulai detik ini saya
berjanji tidak akan berbuat....”
”Aku tidak menyuruhmu berjanji. Kau memang
harus mati di tanganku, atau di tangan gadis yang se-
karang sedang menghajar temanmu itu. Hanya saja,
nasib baik mungkin masih mengikutimu. Ini tentu saja
untung-untungan, Bajang Kerek.”
’’Saya bersedia melakukan apa saja untuk
Tuan....”
’’Bukan itu maksudku. Nasib baik yang aku
maksudkan adalah jika kau bisa menjawab perta-
nyaanku. Paham?”
’’Paham, paham, Tuan.”
”Nah, sekarang katakan apa kerjamu di hutan
sini?”
’’Saya sedang mencegat seorang...
"Seorang....” ’’Seorang apa? Siapa?” sergah Joko
Sungsang.
’’Seorang gadis dari... dari Padepokan Bukit
Cangak...”
”Nah, rupanya kau masih bernasib baik. Tapi,
tunggu dulu! Jangan dulu kau terhibur. Lalu, kenapa,
untuk apa kau mencegat gadis itu? Jangan coba-coba
kau berdusta. Kulit ular ini bisa membedakan uca-
panmu yang benar yang bohong. Mengerti?”
’’Mengerti, Tuan. Saya ditugaskan menjaga hu-
tan ini, dan kalau bisa menghalang-halangi gadis itu
supaya tidak sampai ke Rawa Genjer, Tuan.”
’’Kenapa? Apa orang yang menugasimu itu ta-
kut jika gadis itu memetik daun genjer di rawanya?”
gurau Joko Sungsang.
’’Tentu saja bukan karena itu, Tuan.” Semakin
lancar Bajang Kerek menjawab.
’’Jadi? Karena apa? Dan, siapa orang yang me-
nugasimu itu?”
’’Kabar telah menyebar ke mana-mana bahwa
guru gadis itu tewas beberapa malam yang lalu, Tuan.
Ki Danyang Kumbayana dan gurunyalah yang mene-
waskan orang sakti dari Bukit Cangak itu, Tuan.”
”Oh, rupanya orang-orang sesat itu takut jika
gadis itu menuntut balas ke Rawa Genjer?” Berseri-seri
wajah Joko Sungsang mendengar penuturan terakhir
Bajang Kerek ini. ’’Cukup. Dan, kau ternyata memang
bernasib baik. Tetapi, nasib baikmu tidak lama mengi-
kuti langkahmu selama kau tidak punya keinginan un-
tuk menjadi orang baik-baik. Akulah yang akan men-
cincangmu jika aku masih melihatmu bergabung den-
gan orang-orang sesat. Ingat itu!”
***
Kini tak perlu lagi Joko Sungsang bersembunyi-
sembunyi dalam mengawal langkah Gagar Mayang, la
harus menampakkan diri dan mengabarkan kepada
gadis itu tentang siapa yang harus menebus kematian
Eyang Kuranda Geni. Namun, sebelum menjumpai Ga-
gar Mayang untuk menyampaikan kabar yang baru sa-
ja didapatkannya dari Bajang Kerek, Joko Sungsang
perlu menaksir-naksir kekuatan orang-orang sesat dari
Rawa Genjer. Sampai detik ini ia baru mendengar ceri-
ta bahwa di Rawa Genjer inilah bercokol orang sesat
yang bernama ki Buyut Senggana yang terkenal den-
gan Ajian Brajamusti-nya.
”Ki Buyut Senggana tergolong orang sesat yang
mengandalkan tangan kosong sebab ia memiliki Ajian
Brajamusti pada telapak tangan kanannya,” tutur Wi-
ku Jaladri beberapa tahun yang lalu. ’’Dalam cerita
pewayangan, ajian ini hanya dimiliki oleh Raden Ga-
tutkaca. Entahlah kenapa Ki Buyut Senggana mena-
makan ajian yang dimilikinya sama dengan ajian yang
dimiliki Raden Gatutkaca. Barangkali saja karena ia
mengagumi tokoh Raden Gatutkaca ini.”
Tak lupa Wiku Jaladri juga menceritakan pe-
rihal Jurus Siluman Kera Sakti yang dimiliki Ki Buyut
Senggana. Jurus ini diciptakan oleh Ki Buyut Sengga-
na sewaktu ia terdampar di suatu pulau terpencil dan
hanya berteman puluhan ekor kera. Dari mempelajari
gerak-gerik kera jika sedang berkelahi inilah kemudian
tercipta Jurus Siluman Kera Sakti.
’’Adapun nama ’Senggana’ itu sendiri juga be-
rarti ’kera’. Sebenarnya ia bernama Badra Kiswara.
Semenjak ia berhasil menciptakan Jurus Siluman Kera
Sakti, ia lalu menjuluki dirinya Ki Buyut Senggana,”
kata Wiku Jaladri menambahkan.
Hampir semua nama orang-orang sakti di rimba
persilatan, baik yang tergabung dalam golongan orang-
orang sesat maupun orang-orang lurus, pernah diden-
gar oleh Joko Sungsang lewat penuturan kedua guru-
nya. Kalaupun ada yang lupa diceritakan oleh Wiku
Jaladri maka Ki Sempani yang akan melengkapi.
Untuk sejenak Joko Sungsang dihanyut kebim-
bangan. Benarkah ia harus mengatakannya kepada
Gagar Mayang? Mampukah gadis itu menghadapi
orang-orang sesat dari Rawa Genjer? Dan, kalau tidak
salah ingat, masih ada murid tunggal Ki Buyut Seng-
gana yang bernama Danyang Kumbayana.
Tentulah Danyang Kumbayana ini yang mem-
bokong Eyang Kuranda Geni dari arah belakang, pikir
Joko Sungsang.
Setelah untuk sejenak berbantahan dengan ba-
tinnya sendiri, pada akhirnya ia memutuskan untuk
menemui gadis itu dan mengatakan apa yang harus
dikatakannya. Menurut pertimbangan Joko Sungsang,
lambat atau cepat pastilah Gagar Mayang bakal men-
getahui siapa-siapa orang yang harus bertanggung ja-
wab atas kematian Eyang Kuranda Geni.
Masih dengan melompat dari pohon ke pohon,
Joko Sungsang mendekati tempat Gagar Mayang ber-
tarung dengan kawan Bajang Kerek tadi. Alangkah ka-
getnya anak muda ini sewaktu melihat pertarungan
yang masih saja berlangsung. Namun, kemudian ia
memaklumi sebab lawan yang dihadapi Gagar Mayang
bukan lagi lelaki berpedang yang berilmu silat pas-
pasan tadi. Gadis itu kini tengah menghadapi seran-
gan-serangan seorang perempuan berpakaian kain sa-
tin berwarna ungu tua.
Joko Sungsang mencoba mengingat-ingat per-
nahkah ia berurusan dengan perempuan liar ini. Ter-
nyata la merasa pasti bahwa baru kali ini ia melihat
perempuan yang bersenjatakan kipas akar cendana
itu. Perempuan itu bertubuh kurus kering sehingga
pakaian yang dikenakannya nampak kebesaran. Ram-
butnya telah memutih, tetapi anehnya wajah perem-
puan itu belum segaris pun menampakkan kerut-
merut. Maka sulit bagi Joko Sungsang untuk menebak
berapa usia perempuan lawan Gagar Mayang itu.
Joko Sungsang mengerutkan dahi sewaktu la-
wan Gagar Mayang itu berkata, ’’Serahkan saja keris
itu, bocah dungu! Kau akan menyesal jika kesabaran-
ku sampai pada batasnya! Akulah yang paling berhak
menyimpan Ki Sumping Sedapur! Bukan gurumu, bu-
kan pula cecunguk-cecunguk yang membunuh guru-
mu! Semua orang tahu bahwa akulah utusan kerajaan
untuk mengembalikan keris itu ke gedung pusaka!”
’’Orang yang paling dungu pun akan menerta-
wakan ecehanmu, nenek genit!” sergah Gagar Mayang
sambil menerjang dengan seruling bambu wulungnya.
Joko Sungsang melihat bahwa pertarungan
masih berjalan seimbang. Meski perempuan cantik be-
rambut putih itu telah melancarkan jurus-jurus anda-
lan kipas-nya, Gagar Mayang nampak masih bisa men-
guasai.
Sebaliknya, sewaktu Gagar Mayang mengirim-
kan serangan-serangan balasan dengan rangkaian ju-
rus-jurus seruling bambu wulungnya, perempuan be-
rambut putih itu pun tak kerepotan menghindar atau
menangkis.
’’Sayang sekali, aku ada janji sebelum senja
nanti!” kata perempuan berambut putih itu sambil me-
lompat mundur beberapa tombak. ”Nah, sekarang
saatnya aku harus memaksamu menyerahkan keris
itu, bocah dungu!”
’’Keluarkan segala ilmu demitmu! Aku pun in-
gin secepatnya melihatmu mampus, nenek ubanan!"
Gagar Mayang tak kalah gertak.
’’Dasar tak bisa dikasih hati!” Berkata begini,
perempuan cantik berambut putih itu melipat kipas
akar cendananya, menudingkan kipas itu ke arah Ga-
gar Mayang, dan kemudian berteriak nyaring sambil
menerjang.
Menyadari bahwa lawan telah mengeluarkan
jurus andalannya, Gagar Mayang pun secepat mene-
rapkan Jurus Tambak Segara untuk menyongsong se-
rangan lawan.
Bresss!
Tubuh keduanya bertabrakan. Kedua ajian an-
dalan beradu. Akibatnya, tubuh perempuan cantik be-
rambut putih itu terlontar sejauh tujuh tombak, dan
tubuh Gagar Mayang pun bernasib sama.
Tak bisa diikuti pandangan mata ketika tiba-
tiba saja Joko Sungsang turun dari atas dahan dan
menyambar tubuh Gagar Mayang. Hal ini harus dila-
kukannya sebab ia melihat luncuran tubuh gadis itu
mengarah ke sumur tua yang menganga tak jauh dari
tempat pertarungan itu.
Dalam pada itu, perempuan cantik berambut
putih itu mencoba bangkit, tetapi tulang-tulang di tu-
buhnya tak kuasa lagi menahan berat badan perem-
puan itu. Sewaktu perempuan itu memaksakan diri
untuk bergerak, darah segar tertumpah dari mulutnya.
***
5
”Kau harus segera mendapatkan perawatan,
Gagar Mayang,” kata Joko Sungsang demi dilihatnya
gadis itu membuka matanya.
’’Kenapa aku?” Gadis itu bertanya bingung.
”Kau baru saja bertarung dengan perempuan
berkipas akar cendana, Gagar Mayang. ”
Gagar Mayang mencoba mengingat-ingat sesua-
tu yang lepas dari pikirannya. Sedikit demi sedikit ia
ingat bagaimana ia merobohkan lelaki berpedang tipis
itu dan kemudian muncul perempuan berambut putih
yang mengaku sebagai utusan dari kerajaan.
’’Benarkah perempuan liar itu utusan dari kera-
jaan?” tanya gadis itu kemudian.
’’Orang-orang yang tergabung dalam panji-panji
golongan hitam selalu mengutamakan dusta dalam
mencapai maksud mereka, Gagar Mayang.”
”Ya, aku pun berpikiran begitu....”
’’Sebaiknya kita segera mencari pertolongan,”
tukas Joko Sungsang.
’’Kita kembali ke Karang Bolong?” Mata gadis
itu melebar. Semakin nampak mempesona bagi mata
Joko Sungsang. Mata yang dinaungi bulu-bulu lentik
itu bagaikan telaga jernih yang dinaungi pohon-pohon
perdu.
’’Kita ke Desa Dadapsari. Di sana ada Paman
Wasi Ekacakra yang tentu bisa merawat luka dalam-
mu.”
”Aku harus secepatnya menemukan pembunuh
jahanam itu!”
’’Gagar Mayang, biarlah aku yang mencari bi-
ang keladinya sementara kau beristirahat di Desa Da-
dapsari.” Joko Sungsang terpaksa berbohong demi ke-
baikan gadis itu. Terpaksa ia berpura-pura belum tahu
ke mana sesungguhnya gadis itu harus membalas
dendam.
”Aku tidak ingin mereka mati di tangan orang
lain!” sahut Gagar Mayang tuntas.
”Ya. Aku menghormati hakmu sebagai pende-
kar, Gagar Mayang. Aku berjanji hanya akan mencari
biang keladinya. Setelah kutemukan siapa-siapa yang
menewaskan gurumu, aku akan mengabarimu ke Desa
Dadapsari.”
Gagar Mayang tidak lagi menyahut. Bagaima-
napun juga la merasa harus mempercayai ucapan
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini.
Lagi pula, anak muda ini telah banyak menolongnya.
”Lalu, bagaimana nasib perempuan liar tadi?”
Tiba-tiba Gagar Mayang ingat kejadian yang menye-
babkan ia harus tergeletak tak berdaya.
”Kau telah menewaskannya. Sekalipun ia bisa
menembus Jurus Tambak Segara mu, ia tak kuasa
menerima patukan seruling maut-mu.”
’’Entah ilmu setan mana yang dimiliki perem-
puan Bar Itu. Rasanya aku terbanting ke alam yang ge-
lap sewaktu ia menabrak pertahananku. Perempuan
Itu kurus kering, tetapi berat badannya melebihi berat
badan sepuluh ekor gajah. ”
’’Nanti bisa kita tanyakan kepada orang sakti di
Desa Dadapsari itu, Gagar Mayang. Kita berangkai se-
karang,” sahut Joko Sungsang.
”Aku belum bisa berjalan. Tulang-tulangku se-
perti luluh.”
’’Bukankah aku bisa mendukungmu? Atau, kau
keberatan bersentuhan denganku?”
Sepasang pipi Gagar Mayang tiba-tiba memerah
dadu. Keberatan? Ah, gadis mana yang tidak senang
dalam gendongan anak muda yang kesohor ini, pikir
gadis itu sambil menundukkan wajahnya.
”Maaf, aku harus menggendongmu, Gagar
Mayang,” kata Joko Sungsang sebelum kemudian me-
rengkuh tubuh gadis itu dan membopongnya.
Selama dalam pelukan Joko Sungsang, pikiran
gadis itu dipenuhi berbagai pertanyaan. Kenapa ia
mau menolongku? Kenapa ia mau menggendongku?
Kenapa ia tak sungkan-sungkan memelukku? Kenapa?
Tidakkah ia takut jika gadis yang bernama Sekar Arum
itu melihat? Atau, mungkin gadis yang bernama En-
dang Cantikawerdi itu? Atau, sudah terbiasakah ba-
ginya memeluk-meluk gadis yang bukan sanak-
kadangnya?
***
Wasi Ekacakra manggut-manggut setelah me-
meriksa luka dalam yang diderita Gagar Mayang.
Orang sakti yang menyamar menjadi petani ini tahu
kenapa gadis dari Bukit Cangak ini masih bisa berta-
han hidup.
’’Kalau saja Nini tidak menerapkan Jurus Tam-
bak Segara, sudah pasti tubuh Nini hancur luluh. Ju-
rus Tambak Segara memang tidak ada tandingannya.
Ajian kekebalan macam mana pun tidak akan bisa me-
lebihi kekuatan Jurus Tambak Segara. Tetapi, kita ju-
ga jangan mengecilkan kekuatan Ki Sumping Seda-
pur.”
’’Maksud Paman?” sahut Joko Sungsang.
’’Keris itu juga memberikan kekebalan bagi si
pembawa.”
Joko Sungsang manggut-manggut. Itulah se-
babnya banyak orang rimba persilatan yang mengin-
ginkannya, pikir Pendekar Perisai Naga itu. Dalam pa-
da itu, Gagar Mayang berpikir lain. Ia menyesali tinda-
kan kakeknya pada malam yang naas itu. Kalau saja
kakeknya menyengkelit keris itu di pinggangnya, ten-
tulah tombak yang membokongnya tidak akan mem-
pan.
’’Sebaiknya Nini istirahat dulu di kamar. Maaf,
saya tidak bisa menyediakan tempat yang layak,” kata
Wasi Ekacakra setelah selesai mengobati gadis itu.
Dengan dipapah Joko Sungsang, Gagar Mayang
melangkah menuju kamar yang tersedia. Kembali batin
Gegar Mayang berkecamuk sewaktu lengan anak muda
yang perkasa itu merengkuh tubuhnya. Sungguh, ia
tidak mengira bakal bisa begitu dekat dengan anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu.
”Ah, kalau saja di kolong langit ini tidak ada
gadis yang bernama Sekar Arum dan Endang Cantika-
werdi,” kata batin gadis itu.
Kembali duduk bersila di depan Wasi Ekacakra,
Joko Sungsang merasakan pikirannya lebih terbuka.
Dengan tidak adanya gadis itu di dekatnya, ia akan le-
bih bebas berbincang-bincang dengan Wasi Ekacakra.
’’Apakah sekiranya Gagar Mayang harus istira-
hat lama, Paman?” tanya Joko Sungsang sebelum Wasi
Ekacakra membuka pembicaraan.
’’Beberapa hari saja cukup, Anakmas. Tetapi, ia
harus lebih dulu berlatih olah kanuragan agar darah
yang membeku di tubuhnya bisa lancar kembali.”
’’Paman, jika memungkinkan, saya harap Pa-
man bisa mencegahnya agar tidak buru-buru mening-
galkan pondok Paman ini. ”
Wasi Ekacakra tertawa lirih.
’’Kenapa saya harus mencegahnya?” tanya
orang tua itu.
’’Paman, hati gadis itu sedang dibakar dendam
kesumat. Saya khawatir ia belum bisa menghadapi
musuh besarnya nanti. Paman tentu tahu siapa Pen-
guasa Rawa Genjer.”
’’Penguasa Rawa Genjer? Tunggu dulu! Jadi,
Nini Gagar Mayang hendak membalas dendam kepada
Ki Buyut Senggana yang bergelar Siluman Kera dari
Rawa Genjer itu?”
’’Itulah maksud saya kenapa saya mohon Pa-
man sudi mencegahnya,” sahut Joko Sungsang lega.
”Hmmm, memang berat tugas Nini Gagar
Mayang. Ia harus menjaga keris luk tujuh itu dari in-
caran orang-orang sesat. Tapi, mudah-mudahan saja
Ki Buyut Senggana tidak menginginkan keris pusaka
itu. ”
’’Kenapa Paman bilang begitu? Sudah tentu la
membunuh Eyang Kuranda Geni, kakek sekaligus
guru gadis itu, sebab ia menginginkan Ki Sumping Se-
dapur, Paman. ”
”Itu belum pasti, Anakmas. Sebab, sebenarnya
Ki Buyut Senggana pun memendam dendam terhadap
Eyang Kuranda Geni. Nah, mudah-mudahan saja ia
melabrak ke Bukit Cangak karena dendam itu. ”
’’Dendam.... Ah, dendam selalu membuat ma-
nusia tak pernah damai. Guru mendendam guru, mu-
rid mendendam guru, murid mendendam murid, anak
mendendam pembunuh orang tua....”
”Dan, itu tak berlaku buat Kakang Wiku Jala-
dri, bukan?” tukas Wasi Ekacakra.
’’Betul, Paman. Guru selalu berpesan kepada
saya agar tidak memelihara rasa dendam.”
’’Baiklah. Kita masih punya waktu untuk berce-
rita-cerita lebih lanjut. Sebaiknya, Anakmas sekarang
menemui Nyi Demang.”
’’Tunggu, Paman. Ada satu lagi yang ingin saya
tanyakan,” sahut Joko Sungsang. ’’Pernahkah Paman
bertemu dengan si Pemanah Sakti Bertangan Seribu?”
’’Dalam kaitannya dengan dendam, ia memang
menyimpan dendam terhadap kakek Nini Gagar
Mayang. Sewaktu mereka masih sama-sama muda, si
Pemanah Sakti Bertangan Seribu pernah dikalahkan
Eyang Kuranda Geni dalam gelanggang adu kesaktian.
Waktu itu ia memang belum bergelar si Pemanah Sakti
Bertangan Seribu. Dengan Ajian Naracabala yang dimi-
likinya, sudah barang pasti si Pemanah Sakti Bertan-
gan Seribu merasa akan bisa melumpuhkan Eyang
Kuranda Geni.”
Joko Sungsang manggut-manggut paham.
***
Setelah menumpahkan rasa rindunya kepada
Nyi Demang, Joko Sungsang kembali bersila di depan
Wasi Ekacakra, orang sakti yang pernah menyela-
matkannya dari ancaman Empu Wadas Gempal bebe-
rapa tahun yang lalu (Baca juga: ”Hantu Lereng La-
wu”).
"Tetapi, si Pemanah Sakti Bertangan Seribu
pastilah lebih menginginkan keris luk tujuh itu ketim-
bang membalas dendam,” lanjut Wasi Ekacakra menu-
turkan.
”Paman, benarkah keris itu pusaka peninggalan
Zaman Kerajaan Majapahit?” tanya Joko Sungsang
menyela.
’’Setahu saya, keris itu penemuan Eyang Ku-
randa Geni. Hanya saja, dari mulut ke mulut, lalu ter-
siar kabar bahwa Ki Sumping Sedapur adalah pening-
galan Zaman Kerajaan Majapahit.”
’’Tetapi, Paman, saya pernah mendengar cerita
bahwa Ki Sumping Sedapur pernah menjadi senapati
Kerajaan Majapahit.”
’’Saya memang pernah mendengarnya. Tetapi,
untuk memastikan kebenarannya, saya tidak berani.
Tetapi lepas benar atau tidaknya semua cerita yang
pernah kita dengar, kita memang wajib ikut menjaga
keris luk tujuh itu dari incaran orang-orang sesat. Se-
kalipun Nini Gagar Mayang yang harus bertanggung
jawab sepenuhnya, tidak ada salahnya jika kita ikut
menjaga.”
’’Kalau begitu, untuk sementara waktu barang-
kali lebih aman jika keris itu Paman simpan di pondok
ini,” usul Joko Sungsang.
’’Saya tidak keberatan, Anakmas. Hanya saja,
tidak berarti bahwa Nini Gagar Mayang lepas dari inca-
ran orang-orang sesat itu.”
’’Kalau Paman setuju, saya akan terus men-
dampingi Gagar Mayang,” kata Joko Sungsang ragu.
Ragu sebab ia sendiri tidak mungkin menyombongkan
diri di depan orang sakti yang menyamar menjadi pe-
tani ini.
’’Saya percaya Nini Gagar Mayang akan selamat
dalam lindungan Anakmas Joko Sungsang,” kata Wasi
Ekacakra tegas.
’’Kalau Paman mengizinkan, ada satu permin-
taan lagi dari saya,” ucap Joko Sungsang seraya mena-
tap tajam mata Wasi Ekacakra.
”Apa yang bisa saya lakukan untuk Anakmas?”
Orang tua itu bertanya dengan senyum terkuak.
’’Bukan untuk saya, Paman. Maksud saya, un-
tuk Gagar Mayang. Menurut pertimbangan saya, Gagar
Mayang masih memerlukan gemblengan dari orang
sakti macam Paman.”
”He-he-he! Anakmas, apa yang bisa saya beri-
kan kepada anak-anak muda macam Anakmas dan
Nini Gagar Mayang? Saya hanyalah petani bodoh yang
tinggal menunggu ajal.”
’’Sifat merendahkan diri Paman memang wajib
saya tiru,” sahut Joko Sungsang menyusul tertawa.
’’Baiklah, jika memang Anakmas percaya saya
bisa menggembleng Nini Gagar Mayang. Tetapi, semu-
anya tadi juga tergantung Nini Gagar Mayang. Kalau
memang Nini Gagar Mayang setuju, saya pun tidak ke-
beratan.”
’’Rasanya saya tengah menemukan durian run-
tuh, Paman.” Joko Sungsang menyahut lega.
Pagi hampir menjelang. Beberapa kali Joko
Sungsang nampak menguap. Tetapi, ia mencoba ber-
tahan agar tidak merugi. Bukankah namanya merugi
jika melewatkan begitu saja pertemuan singkat dengan
orang sakti macam Wasi Ekacakra ini?
Namun demikian, Joko Sungsang juga ingat
bahwa si empunya pondok pun perlu beristirahat. Ma-
ka ditahan-tahannya keinginan untuk lebih banyak
berbicara dengan orang tua itu. Sewaktu terdengar
bunyi kentongan dari gardu peronda, Joko Sungsang
pun mohon diri untuk beristirahat.
Ketika matahari belum sepenggalan tingginya,
Joko Sungsang telah bersiap-siap untuk meninggalkan
Desa Dadapsari. Bimbang hati anak muda itu sewaktu
harus berpisah dari Gagar Mayang. Entah apa yang
terjadi pada dirinya, tiba-tiba saja ia merasa berat hati
meninggalkan gadis dari Bukit Cangak itu. Cintakah?
Ah, aku sendiri tidak tahu arti cinta sesungguhnya, pi-
kir Joko Sungsang. Dan, secara refleks terbayang di
benaknya wajah Sekar Arum dan Endang Cantikawer-
di.
Cintakah namanya jika aku nyatanya tidak be-
rat hati meninggalkan Sekar Arum di Padepokan Ka-
rang Bolong? Cintakah namanya jika aku juga tega
melupakan Endang Cantikawerdi? Cintakah namanya
jika nyatanya Sekar Arum selalu berusaha menghinda-
riku? Cintakah namanya jika Endang Cantikawerdi ti-
ba-tiba ingin bergumul denganku?
’’Dingin sekali air di sini,” kata Gagar Mayang
yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Joko
Sungsang.
”Ya, ya, memang. Bagaimana, Gagar Mayang?
Sudah lebih enak badanmu?” Joko Sungsang bertanya
sambil menghindari tatap mata gadis itu. Tatap mata
yang membuat jantungnya menggelepar.
”Kiai Wasi memang orang sakti yang pilih tand-
ing,” kata gadis itu.
”Dan, tentunya kau setuju jika Paman Wasi
menjadi pengganti gurumu?”
Mata Gagar Mayang terbelalak. Bibirnya berge-
tar ketika la bertanya, ’’Maksudmu? Kiai Wasi ingin
mengangkatku jadi muridnya?”
’’Begitulah jika kau tidak keberatan.”
”Oh, Gusti Allah Maha Pemurah. Tentu saja
aku senang sekali menerimanya. ” Wajah gadis itu kini
sedikit memerah. Rasa gembira yang meluap-luap di
rongga dadanya berhasil mengusir warna pias di wajah
gadis itu.
’’Karena itu, untuk sementara waktu kau harus
tetap tinggal di pondok ini. Sayang sekali, aku tidak bi-
sa melihatmu berlatih dengan Paman Wasi.”
”Kau... kau mau pergi?” Wajah cantik Itu kem-
bali memucat.
’’Gagar Mayang, seperti yang aku katakan ke-
marin, aku perlu mencari siapa manusia laknat yang
telah menewaskan gurumu. Secepatnya aku kembali
ke desa ini, Gagar Mayang.”
”Aku akan lebih bersemangat berlatih jika kau
ikut menungguiku,” kata gadis itu dengan keberanian
dilipatgandakan.
’’Berdoalah agar aku secepatnya mendapatkan
petunjuk tentang kepada siapa kau harus membalas
dendam. Setelah kau sembuh dan siap berlatih,
mungkin aku sudah kembali berada di pondok ini.”
”Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau da-
tang, Joko Sungsang,” sahut gadis itu dengan suara
parau.
”Ada ibuku yang menjadi jaminan bahwa aku
pasti kembali. ”
Lalu, kepada Wasi Ekacakra, sekali lagi Joko
Sungsang mengucapkan terima kasih atas kesediaan
orang sakti itu merawat dan menggembleng Gagar
Mayang.
’’Kelebihan yang kita miliki akan sia-sia jika ki-
ta tidak mau membagi-bagi kepada orang lain, Anak-
mas,” kata Wasi Ekacakra menanggapi.
’’Saya percaya Paman bisa merahasiakan tu-
juan saya sekarang ini di hadapan Gagar Mayang,” ka-
ta Joko Sungsang setengah memohon.
”Yang baik bagi Anakmas, tentu baik pula un-
tuk Nini Gagar Mayang.”
***
6
Selaras dengan namanya, Rawa Genjer memang
dipenuhi oleh tanaman genjer pada permukaannya.
Sinar matahari seolah tak mampu menembus kerim-
bunan tanaman air itu. Kalaupun ada tempat yang
agak luang, di situlah tumbuh daun semanggi. Nasib
daun semanggi di rawa ini tak ubahnya nasib pendu-
duk desa di antara orang-orang sesat yang menama-
kan diri mereka golongan hitam.
Memasuki kawasan Rawa Genjer, tidaklah se-
mudah memasuki desa ataupun kota. Banyak sudah
manusia yang mati konyol sebelum mata mereka bisa
melihat Rawa Genjer. Berbagai perangkap terpasang di
Jalan-jalan menuju rawa ini. Selain itu, juga penjagaan
begitu ketat. Orang-orang yang haus darah sengaja di-
tugaskan menjaring siapa saja yang ingin mendekati
Rawa Genjer.
Akan tetapi, bagi Joko Sungsang yang bergelar
Pendekar Perisai Naga, hambatan-hambatan baik yang
berupa perangkap maupun penjagaan bukanlah hal
yang menyulitkannya. Beberapa buah perangkap yang
meluncur dari atas pohon terbabat habis oleh Cambuk
Perisai Naga.
Bahkan tiga orang lelaki yang mencoba mem-
bokong Joko Sungsang pun tewas dengan leher hampir
putus. Bola berduri di ujung cambuk kulit ular itu da-
lam sekejap memotong urat-urat leher mereka bertiga.
Geram bukan kepalang Danyang Kumbayana
sewaktu menerima pengaduan dari salah seorang mu-
rid nya yang berhasil melarikan diri dari ancaman
Cambuk Perisai Naga.
’’Demit keparat! Bosan hidup!” rutuk Danyang
Kumbayana seraya menyambar tombaknya.
’’Apakah tidak sebaiknya kita memberitahu Ki
Buyut Senggana, Ki Lurah?”
’’Tutup mulutmu! Kau pikir aku tidak mampu
mengambil nyawa si keparat busuk itu?” sergah Da-
nyang Kumbayana.
Seperti harimau mengejar kijang, seperti itulah
Danyang Kumbayana berlari-lari menuju pintu ger-
bang Rawa Genjer. Di sana, ditemuinya seorang anak
muda yang tengah melilitkan cambuk ke panggangnya.
”Hei, bocah ingusan! Berani sekali kau masuk
tlatah Rawa Genjer! Sudah rangkap nyawamu?” hardik
Danyang Kumbayana.
Anak muda berpakaian serba putih dan berikat
kepala kulit ular itu menatap Danyang Kumbayana
sambil tersenyum.
’’Bukankah orang-orang Rawa Genjer meng-
hendaki Ki Sumping Sedapur?” katanya kemudian.
’’Demit, setan, tetekan! Tak usahlah kau me-
nyebut-nyebut nama keris itu jika kau tak mampu....”
’’Sabar, sabar. Bukankah lebih baik kita bicara
dengan hati dan otak yang dingin?” tukas Joko Sung-
sang.
"Anak Iblis, aku tak butuh ocehanmu! Tenga-
dahlah ke langit, berdoalah agar nyawamu tidak pena-
saran!” sahut Danyang Kumbayana sebelum menu-
sukkan tombaknya ke dada Joko Sungsang.
Seperti kilat tusukan tombak itu datang Na-
mun, Joko Sungsang sudah terbiasa menghadapi se-
rangan yang datangnya melebihi kilat. Secepatnya ia
merunduk dan menepiskan tombak yang lewat di atas
kepalanya.
’’Modar!” seru Danyang Kumbayana sambil
mengirimkan tendangan ke pelipis lawan.
Desss!
Danyang Kumbayana mundur tiga langkah
sambil mengaduh. Tak diduga-duganya jika tendangan
itu akan membentur aku lawan yang kerasnya melebi-
hi batu hitam.
’’Masih juga kau menolak ocehanku?” kata Joko
Sungsang.
’’Katakan siapa namamu sebelum aku benar-
benar melumatkan tubuhmu, setan!” sergah Danyang
Kumbayana.
"Namaku Joko Sungsang Orang-orang sesat se-
pertimu sering menyebutku Pendekar Perisai Naga.
Paham?”
”Ha-ha-ha! Kau memang pantas menjadi badut,
iblis! Pendekar Perisai Naga, katamu? Hmmm, mena-
kutkan! Tetapi, tak apalah. Terserahlah kau mau ber-
gelar apa. Tetapi, sebaiknya kau cari gelar lain, yang
lebih bisa diterima nalar!”
"Orang orang malang yang membokongku tadi
mengatakan bahwa punya pemimpin bernama Da-
nyang Kumbayan. Kaukah itu?” Joko Sungsang mene-
liti lelaki kasar yang berdiri di hadapannya.
'Tak ada Danyang Kumbayana kecuali yang
menguasai Rawa Genjer sini!”
"Hmmm, namamu juga membuatku pingin ter-
tawa. Kau belum pantas bergelar Danyang Kumbaya-
na, Tuan. Lebih baik kau cari sebutan yang lain.”
’Tutup mulutmu yang lancang itu! Dan, ber-
siaplah masuk neraka!”
’Tunggu dulu, Danyang Kumbayana. Aku da-
tang ke sini karena ingin menyerahkan Ki Sumping
Sedapur. Tidakkah kau tertarik?”
’’Serahkan secepatnya, dan pergilah sebelum
aku berubah pikiran!”
’Tidak semudah itu. Maksudku, aku pasti me-
nyerahkan keris luk tujuh itu dengan satu syarat. Ba-
gai mana?"
"Kalau kau memang bisa menunjukkan keris
itu, katakanlah syarat yang kau maksudkan!" sahut
Danyang Kumbayana. 'Tetapi, jangan harap kau bisa
pergi dengan selamat jika kau hanya omong kosong1"
"Ki Lurah Danyang Kumbayana, melihat Ki
Sumping Sedapur adalah anugerah dari Nya, tak mu-
dah bagiku menunjukkan keris pusaka itu kepada sia-
pa saja...."
"Dasar babi dungu!" tukas Danyang Kumbaya-
na sambil menerjang dengan sodokan gagang tombak
nya.
Joko Sungsang melenting ke udara, berjumpali-
tan, dan kemudian turun sambil melecutkan cambuk-
nya.
Srettt! Dukkk!
Tombak di tangan Danyang Kumbayana terbelit
cambuk. Sekuat tenaga Danyang Kumbayana berusa-
ha membebaskan belitan cambuk pada tombak-nya.
Akan tetapi, tiba-tiba sebuah tendangan bersarang di
rusuk kirinya.
Tubuh murid Ki Buyut Senggana itu terguling-
guling di tanah. Sewaktu berhasil bangkit dan kembali
berdiri di atas kuda-kudanya, Danyang Kumbayana
melihat tombaknya telah berada di tangan kiri anak
muda berpakaian serba putih itu. Sementara itu, di
tangan kanan anak muda itu terjurai sebuah cambuk
yang terbuat dari kulit ular sanca.
”Kau pernah mendengar cerita tentang cambuk
kulit ular Ini, Danyang Kumbayana?” kata Joko Sung-
sang sambil mengelus cambuknya dengan ujung tom-
bak milik lawan.
’’Mundurlah, Kumbayana. Dia memang bukan
lawanmu,” kata Ki Buyut Senggana yang tiba-tiba saja
sudah berdiri di belakang muridnya.
”Diakah Pendekar Perisai Naga yang pernah
Guru ceritakan?” tanya Danyang Kumbayana kepada
Ki Buyut Senggana.
’’Senjata yang digenggamnya memang senjata
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, ia terlalu muda untuk
menyandang gelar itu.”
Joko Sungsang mengulum senyum. Masih juga
ada orang yang berpikir bahwa gurulah satu-satunya
Pendekar Perisai Naga, pikirnya sepintas kilas.
”Anak muda, siapakah kau sebenarnya, dan
bagaimana bisa kau mencuri cambuk kulit ular Itu?”
tanya Ki Buyut Senggana.
’’Rupanya orang-orang Rawa Genjer punya ke-
biasaan mencuri senjata orang lain. Tetapi, sayang tak
bisa mencuri Ki Sumping Sedapur dari Bukit Cangak!”
’’Kalau begitu, tentulah kau murid Wiku Jala-
dri!” sahut Ki Buyut Senggana.
”Kau sudah kenal guruku, Kakek Tua?”
”Guru, izinkan saya menyumbat mulut lancang
itu!” dengus Danyang Kumbayana.
’’Kumbayana, kali ini aku tidak lagi memaaf-
kanmu jika kau tidak menuruti perintahku! Jangan
sekali-sekali kau mencampuri urusanku dengan murid
dari Padepokan Jurang Jero ini. Mengerti?”
Suara itu pelan, tetapi bagi telinga Danyang
Kumbayana bagaikan guntur di musim kemarau. Se-
raya mundur, Danyang Kumbayana mengangguk hor-
mat.
”Aku hormati kedatanganmu di Rawa Genjer
sini, Pendekar Perisai Naga! Tetapi, benarkah dugaan-
ku bahwa kau menjadi wakil gurumu untuk mengadu
kesaktian denganku?” Kembali Ki Buyut Senggana
menoleh kepada Joko Sungsang
”Ki Buyut Senggana, aku pun menaruh hormat
atas kesediaanmu menyambutku Tetapi, Jangan kau
sangkut pautkan kedatanganku Ini dengan kepentin-
ganmu terhadap guruku. Aku datang untuk membica-
rakan perihal Ki Sumping Sedapur dan pemiliknya!”
"Aku peringatkan, jangan coba-coba kau cam-
puri urusanku dengan Kuranda Geni, Anak Muda! Le-
bih baik kita bicara tentang dosa-dosa gurumu terha-
dap ku!”
’’Urusan orang-orang dari golongan lurus juga
menjadi tanggung jawabku, Ki Buyut Senggana. Tu-
gasku jugalah menjaga Ki Sumping Sedapur dari tan-
gan kotor kalian orang-orang sesat!”
’’Seperti langit dan bumi sifatmu dan sifat gu-
rumu! Tak pernah kulihat Wiku Jaladri sepongah kau!”
kata Ki Buyut Senggana sebelum mengirimkan seran-
gan pembuka.
Wusss! Wusss!
Dua pukulan beruntun menyambar dada dan
leher Joko Sungsang. Namun, dengan merunduk se-
raya memutar tubuhnya, Joko Sungsang luput dari
jangkauan tangan orang tua sesat itu. Lalu, dengan
kecepatan yang tak bisa diikuti mata, Joko Sungsang
membabat kaki lawan dengan sapuan kaki kanannya.
’’Huppp! Hiyaaa!” seru Ki Buyut Senggana sam-
bil melenting ke udara. Namun, serangan susulan yang
dilancarkan Joko Sungsang memaksa orang tua itu
harus menyonsong serangan, mengadu tenaga dalam.
Desss!
Tubuh Ki buyut Senggana terhuyung-huyung
ke belakang. Dan, mata orangtua itu terbelalak melihat
lawan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Seolah
bongkahan karang yang terbentur perahu tubuh anak
muda itu tegar berdiri diam-diam orang sesat ini men-
gagumi kesempurnaan tenaga dalam lawan.
Di lain pihak, Joko Sungsang kaget bukan ke-
palang melihat lawan sama sekali tidak merasakan
akibat benturan yang terjadi. Orang sesat itu memang
sempat terhuyung-huyung, tetapi dengan sigapnya
kembali bersiap diri.
’’Tenaga dalammu sangat mumpuni, Anak Mu-
da! Tetapi, cobalah kau songsong Ajian Brajamusti!”
kata Ki Buyut Senggana seraya mengangkat telapak
tangan kanannya.
Karena tidak ingin mati konyol, Joko Sungsang
segera mempersiapkan diri dengan Ilmu Pukulan Om-
bak Laut Selatan. Tentulah orang tua yang bergelar Si-
luman Kera dari Rawa Genjer ini tidak akan mengira
bahwa Pendekar Perisai Naga sempat berguru ke Pade-
pokan Karang Bolong.
Danyang Kumbayana tertawa-tawa melihat gu-
runya mulai menerapkan aji pamungkasnya, la yakin,
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu
sudah barang pasti bakal luluh-lantak. Jangan lagi
hanya tubuh anak muda itu, sedangkan sebongkah
batu pualam pun akan hancur lebur menjadi tepung
jika terpukul Ajian Brajamusti.
Yang terjadi selanjutnya ternyata di luar du-
gaan Ki Buyut Senggana maupun Danyang Kumbaya-
na. Tiba-tiba Joko Sungsang mengurungkan niatnya
menyongsong Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan
Ombak Laut Selatan. Setelah ilmu pukulan yang dida-
patkannya dari Ki Sempani itu siap membentengi tu-
buhnya, serta-merta telinga Joko Sungsang mendengar
bisikan halus. Hampir-hampir ia tidak percaya pada
pendengarannya. Suara itu begitu khas menyelusup
liang telinganya. Suara Wiku Jaladri!
”Kau memang tidak akan celaka membentur
Ajian Brajamusti. Tetapi, apalah bedanya jika kau ha-
rus tergeletak untuk beberapa hari, Joko? Lagi pula,
bukan tugasmu untuk melenyapkan Ki Buyut Sengga-
na! Urungkan niatmu mengadu Ilmu Pukulan Ombak
Laut Selatan dengan Ajian Brajamusti. Pergunakan
cambukmu!” bisik gurunya.
Maka secepatnya Joko Sungsang mengurai
cambuk yang melilit pinggangnya. Melihat lawan men-
gubah pertahanan, Ki Buyut Senggana pun menyim-
pan kembali Ajian Brajamusti-nya. Sebagai gantinya,
orang tua penghuni Rawa Genjer ini menerapkan Ju-
rus Siluman Kera Sakti.
Untuk sejenak Joko Sungsang kehilangan akal
bagaimana melawan Ki Buyut Senggana yang berputar
mengitari dirinya. Semakin lama semakin kencang pu-
taran itu, dan akhirnya sulit untuk menebak di sebe-
lah mana lawan sesungguhnya berada.
Inilah Jurus Siluman Kera Sakti itu, pikir Joko
Sungsang sambil mempersiapkan diri. Dan, tiba-tiba
cambuk di tangannya meledak-ledak. Lecutan-lecutan
yang dilambari dengan Jurus Mematuk Elang dalam
Mega. Joko Sungsang tak ingat lagi sudah berapa
orang tokoh hitam yang tewas oleh dahsyatnya Jurus
Mematuk Elang dalam Mega ini.
Akan tetapi, kali ini Pendekar Perisai Naga me-
rasa benar-benar berhadapan dengan siluman. Tak se-
kalipun lecutan cambuk yang telah dilambari dengan
Jurus Mematuk Elang dalam Mega itu mengenai sasa-
ran. Setiap sosok lawan yang diincarnya ternyata sosok
semu. Di manakah sesungguhnya Ki Buyut Senggana
berada?
”Ha-ha-ha! Cambuk kambingmu tak ada ar-
tinya bagiku, Pendekar Perisai Naga!” ejek Ki Buyut
Senggana.
Suara orang sesat itu menggema dan berjalan
mengitari tubuh Joko Sungsang. Anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga ini mencoba memburu su-
ara-suara itu dengan lecutan cambuknya, tetapi lagi-
lagi tempat kosong yang terpatuk bola berduri di ujung
cambuk itu.
’’Kerahkan seluruh jurus cambukmu, Bocah
Gunung! Aku memang ingin melihatmu memamerkan
jurus-jurus ciptaan gurumu! Aku tahu, kau tidak be-
rani menyongsong Ajian Brajamusti-ku! Kau perguna-
kan cambukmu sebab kau takut membentur Ajian
Braja-musti!”
’Tutup mulutmu, Buyut Senggana!” sergah Jo-
ko Sungsang geram. Kini ia merasakan kepalanya mu-
lai berkunang-kunang melihat bayangan hitam yang
mengitarinya. Masih ditambah lagi dengan ejekan-
ejekan yang memualkan.
’Tetapi, aku tidak akan membunuhmu, Anak
Muda! Aku dengar kau menyebut-nyebut Ki Sumping
Sedapur, bukan? Nah, bolehlah keris itu kau tukarkan
dengan nyawamu!”
’’Jangan berangan-angan, monyet tua!” sahut
Joko Sungsang. Lalu, tubuh murid Wiku Jaladri ini
melenting ke udara, dan kembali Cambuk Perisai Naga
meledak.
”Apa bedanya kau menyerangku dari langit dan
dari bumi? Jangan kau buang-buang tenagamu, bocah
dungu!”
Kemarahan Joko Sungsang seolah mampu
memecahkan dadanya. Selain ia kesal mendengar eje-
kan-ejekan itu, ia juga malu sebab disadarinya bahwa
Wiku Jaladri berada tak jauh dari tempat itu.
Desss!
Sebuah tendangan tiba-tiba saja menghantam
punggung Joko Sungsang. Tubuh anak muda dari De-
sa Sanareja itu terguling guling di tanah. Tendangan
itu memang tak membuat cedera pada tubuhnya. Te-
tapi, rasa sakit di lekuk hati semakin membuat murid
Wiku Jaladri ini kalang-kabut.
”Itu tadi hanya sekadar peringatan, bocah ben-
gal! Sudah kukatakan bahwa aku tak akan membu-
nuhmu, bukan? Tetapi, kalau memang kau tidak mau
menukarkan keris luk tujuh itu dengan nyawamu, ter-
paksalah Ajian Brajamusti akan meleburkan tubuh-
mu!”
”Buyut Senggana! Keluarkan Ajian Brajamusti-
mu! Mari, kita lihat siapa yang akan lebur dalam adu
kesaktian ini!” teriak Joko Sungsang seraya mene-
rapkan ilmu Pukulan Om bak Laut Selatan.
’’Katakanlah bahwa kau tidak mau menyerah-
kan keris luk tujuh itu, barulah aku terpaksa tega
membunuhmu!”
”Kau tidak akan mendapatkan pusaka itu dan
tidak akan mampu membunuhku, lutung!” Semakin
gusar Joko Sungsang dibuatnya.
’’Bantai saja, Guru! Soal keris luk tujuh itu,
saya berjanji akan menemukannya!” teriak Danyang
Kumbayana dari pinggir ajang pertarungan.
”Diam kau, Kumbayana! Lihat saja apa yang bi-
sa diperbuat murid dari Padepokan Jurang Jero ini!"
bentak Ki Buyut Senggana.
”Aku sudah siap mengadu jurus andalan kita,
buyut lutung!” sahut Joko Sungsang.
’’Baiklah! Kau memang terlalu bodoh, Pendekar
Perisai Naga!” kata Ki Buyut Senggana seraya mener-
jang dengan tangan kanannya yang telah dilambari
Ajian Brajamusti.
Pada saat yang mendebarkan ini, tiba-tiba te-
linga Joko Sungsang mendengar bisikan Wiku Jaladri,
’’Gunakan Jurus Naga Melilit Gunung, Joko!”
Secepat kilat Joko Sungsang memutar Cambuk
Perisai Naga. Cambuk kulit ular itu meliuk-liuk mema-
gari tubuh Joko Sungsang: Bola berduri yang tergan-
tung di ujung cambuk itu meraung-raung.
Srettt!
Tubuh Ki Buyut Senggana yang meluncur dari
arah belakang Joko Sungsang, tanpa ampun lagi terlilit
Cambuk Perisai Naga. Namun, orang sesat ini benar-
benar menguasai tata gerak kera. Tak begitu sulit ba-
ginya membebaskan diri dari belitan Cambuk Perisai
Naga.
***
”Kau bisa menangkal Ajian Brajamusti, tidak
berarti kau berani melawan, bukan?” ejek Ki Buyut
Senggana lagi.
Joko Sungsang tak mempedulikan ejekan itu.
Kesempatan yang hanya beberapa detak jantung ini
dimanfaatkan dengan baik olehnya. Sekali lagi Cam-
buk Perisai Naga itu meledak, dan bola berduri di
ujung cambuk itu menyambar pelipis Ki Buyut Seng-
gana.
”Hiyaaa!” W Buyut Senggana membuang tubuh-
nya ke samping sehingga bola yang mirip buah kecu-
bung itu mendesing di samping telinganya.
Dukkk!
Tumit Joko Sungsang bersarang dipunggung
lawan sebelum lawan menyadari posisinya. Hal ini
memang sudah dalam perhitungan Joko Sungsang.
”Bedebah! Kuhancurkan tubuhmu sekarang ju-
ga!” seru Ki Buyut Senggana setelah melenting bangkit
Tendangan anak muda itu memang tak dirasakannya
sama sekali. Namun, kemarahan tiba-tiba memacu ja-
lan darahnya menuju kepala.
’’Omong kosong!” sahut Joko Sungsang. "Sejak
tadi kau ingin menghancurkan tubuhku, tetapi kapan
itu terjadi, kakek pikun?”
Hampir saja Danyang Kumbayana bergerak ma-
ju jika tidak diingatnya pesan gurunya. Ejekan Joko
Sungsang membuat guru dan murid serentak naik pi-
tam. Danyang Kumbayana mengaku bahwa ilmu silat
Pendekar Perisai Naga sudah sampai pada tataran ter-
tinggi. Akan tetapi, ia juga melihat bagaimana anak
muda berpakaian serba putih itu kebingungan meng-
hadapi Jurus Siluman Kera Sakti, dan takut menyong-
song Ajian Brajamusti.
Lagi-lagi tubuh Ki Buyut Senggana mengitari
Joko Sungsang. Dan, pada puncaknya, tak akan nam-
pak lagi sosok orang tua itu bagi mata lawan. Joko
Sungsang hanya dapat melihat tembok berwarna hi-
tam mengurung dirinya.
Sebelum pandangannya mulai berkunang-
kunang, Joko Sungsang secepatnya memutar cam-
buknya yang dilambari dengan Jurus Naga Melilit Gu-
nung. Maka yang nampak di mata Danyang Kumbaya-
na hanyalah sinar hijau-kebiru-biruan yang terkurung
sinar hitam pekat.
”Kau masih tetap mengandalkan cambuk gem-
balamu, bocah dungu?” kata Ki Buyut Senggana mulai
mengejek.
Dan, sesungguhnyalah ejekan-ejekan ini terma-
suk dalam rangkaian Jurus Siluman Kera Sakti. Tu-
juan ejekan-ejekan ini tidak Iain adalah untuk menga-
caukan pendengar lawan. Hanya sewaktu menghadapi
Eyang Kuranda Geni lah Jurus Siluman Kera Sakti tak
banyak bermanfaat.
Untuk menghindari belitan cambuk lawan, Ki
Buyut Senggana menggenjot tanah dan tubuhnya me-
lejit ke udara. Hanya lewat atas maka ia yakin bisa
menabrak lawan dengan Ajian Brajamusti!
Kalau saja tidak sedang menghadapi Jurus Si-
luman Kera Sakti, sudah pasti Joko Sungsang akan
melihat bagaimana lawan melenting ke udara. Namun
kali ini pandang mata Joko Sungsang seolah tertutup
kabut berwarna hitam. Tak nampak olehnya sama se-
kali bayangan lawan yang berjumpalitan di atas kepa-
lanya. Bahkan sewaktu Ki Buyut Senggana menukik
sambil mengayunkan telapak tangan kanannya yang
telah dilambari Ajian Brajamusti, Joko Sungsang tetap
belum menyadari maut mengancam jiwanya.
Singngng!
Sepotong ranting meluncur bagai anak panah
ke arah Ki Buyut Senggana. Desingan ranting ini bu-
kan saja mengagetkan Ki Buyut Senggana, melainkan
juga memancing perhatian Joko Sungsang agar me-
nengok ke atas.
Tarr! Tarrr! Tarrr!
’’Jahanam keparat!” rutuk Ki Buyut Senggana
setelah mendaratkan kakinya di tanah. Hampir saja
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga memecah-
kan kepalanya.
’’Keluar dari persembunyianmu, tikus sawah!”
Joko Sungsang cepat tanggap. Ia tahu siapa
yang telah menggagalkan serangan Ki Buyut Senggana
dari udara tadi.
”Buyut Senggana! Kita orang-orang tua punya
cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah! Tak per-
lulah kau pamerkan ilmu silumanmu di depan anak-
anak kemarin sore! Aku tunggu kau di Bukit Cangak
kapan saja kau bersedia, Buyut Senggana!”
’’Sekarang juga ku tantang kau, keparat!” sahut
Ki Buyut Senggana seraya memburu ke arah datang-
nya suara.
Joko Sungsang melepas begitu saja kepergian
lawan. Ia tahu, semuanya memang sudah direncana-
kan oleh Wiku Jaladri. Bahkan ia juga tak peduli keti-
ka Danyang Kumbayana menyusui gurunya mengejar
Wiku Jaladri.
***
7
Tak ada yang bisa dikerjakan Joko Sungsang
kecuali kembali ke Desa Dadapsari. Ia tak merasa ke-
cewa sekalipun ia gagal membunuh guru dan murid
dari Rawa Genjer itu. Malahan ia harus bersyukur te-
lah lolos dari ancaman Jurus Siluman Kera Sakti yang
belum diketahui cara menangkalnya itu. Setidaknya,
kalau saja tidak hadir Wiku Jaladri di tempat perta-
rungan itu, Joko Sungsang terpaksa harus mengadu
Ajian Brajamusti dengan Ilmu Pukulan Ombak Laut
Selatan. Tetapi, apalah artinya jika ia tidak berhasil
memenangkan adu kesaktian itu? Bukankah di situ te-
lah bersiap-siap Danyang Kumbayana untuk membela
gurunya?
’’Memang benar kata Guru,” kata hati Pendekar
Perisai Naga. ’’Bahwa di kolong langit ini tidak ada il-
mu yang tak tertandingi. Semua yang ada di kolong
langit ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Yang tak
tertandingi hanyalah kekuasaan yang datang dari-
Nya.”
Joko Sungsang memperlambat langkahnya. Ia
mendengar suara telapak kaki seseorang berusaha
menyusul langkahnya. Masihkah Ki Buyut Senggana
penasaran ingin membunuhku? Murid Wiku Jaladri ini
menaksir-naksir seraya menoleh ke belakang.
’’Guru...!” Joko Sungsang buru-buru hendak
berlutut.
’’Berdirilah,” sahut Wiku Jaladri mencegah Joko
Sungsang yang hendak berlutut di depan kakinya.
"Maafkan atas kebodohan saya, Guru.”
’’Kebodohan yang mana? Kau bukannya bodoh,
Joko. Kau hanya belum mengerti. Jurus Siluman Kera
Sakti tidak bisa kau hadapi dengan ketajaman mata-
mu. Semakin kau memperhatikan gerak lawan, sema-
kin kepalamu berkunang kunang. Itulah yang memang
dikehendaki Jurus Siluman Kera Sakti. ”
’’Saya benar-benar lupa menggunakan Jurus
Naga Melilit Gunung, Guru. Saya hanya ingat jurus-
jurus yang pernah menewaskan musuh-musuh....”
”Itu pun tidak benar,” tukas orang tua yang le-
bih mirip mayat hidup itu. ’’Bukan jurus itu yang bisa
menangkal Jurus Siluman Kera Sakti. Jurus Naga Me-
lilit Gunung hanya berguna untuk memagarimu dari
serangan gelap Ajian Brajamusti. Seharusnya kau in-
gat mempergunakan panca inderamu yang lain jika
kau gagal mempergunakan penglihatanmu, Joko.”
’’Maksud Guru, saya harus mempergunakan
pendengaran saya?” tebak Joko Sungsang.
’’Tepat sekali dugaanmu. Hanya dengan pen-
dengaranmu yang tajam kau bisa tahu ke arah mana
harus melecutkan cambukmu. ”
’’Terima kasih atas petunjuk Guru,” sahut Joko
Sungsang merasa lega.
”Itu belum cukup, Joko. Kau tidak akan bisa
mempertajam pendengaranmu jika kau masih mempe-
dulikan ejekan-ejekan yang menyakitkan hatimu. ” '
”Ah, saya memang belum seperti yang Guru ha-
rapkan,” sesal Joko Sungsang.
’’Umurmu jauh lebih muda dariku, Joko. Aku
memaklumi Jika hatimu akan mudah terbakar. Su-
dahlah, tak perlu kau sesali apa yang pernah kau ala-
mi. Penyesalan hanya akan mengendorkan keinginan-
mu untuk menggapai sesuatu. Berapa kali aku wanti-
wanti kepadamu, Joko?” Agak meninggi suara Wiku
Jaladri sehingga Joko Sungsang tertunduk.
Kemudian orang sakti dari Padepokan Jurang
Jero itu sekali lagi menegaskan bahwa masih banyak
tugas mulia yang harus dijalankan Joko Sungsang.
’’Hanya kau yang bisa mewakiliku menunaikan
tugas itu, Joko. Kau tahu, aku tidak menurunkan il-
muku kepada orang lain kecuali kau seorang. Ini me-
mang beban beratmu sebagai murid tunggal Padepo-
kan Jurang Jero,” kata orang tua yang lebih mirip
mayat hidup itu.
’’Saya bangga menjadi murid tunggal Kiai,” ujar
Joko Sungsang sengaja mengganti sebutan ’Guru’
menjadi ’Kiai’. Beberapa tahun tidak berkumpul den-
gan Wiku Jaladri, ia lupa bahwa orang tua itu lebih
senang dipanggil ’Kiai’ daripada ’Guru’.
***
Di Desa Dadapsari yang jauh dari jamahan
orang-orang rimba persilatan, Gagar Mayang dengan
tekun menjalani latihan-latihan yang dicanangkan Wa-
si Eka-cakra. Kini gadis itu merasakan perbedaan an-
tara berguru kepada kakeknya dengan berguru kepada
orang yang bukan sanak-kandang-nya. Di hadapan
Eyang Kuranda Geni, masih bisa la menolak latihan-
latihan yang dirasanya terlalu berat. Akan tetapi, di
depan Wasi Ekacakra? Apalagi sekarang ia sudah di-
pandang memiliki dasar-dasar ilmu silat, yang ten-
tunya dipandang pula sebagai gadis yang sudah ter-
biasa menjalani latihan-latihan berat. Tak ada lagi ala-
san bagi Gagar Mayang untuk mengeluh.
’’Berguru kepada kakek sendiri memang ada is-
timewanya, tetapi juga ada keburukannya, Nini,” kata
Wasi Ekacakra yang seolah bisa membaca jalan piki-
ran Gagar Mayang.
’’Benar apa yang Kiai katakan,” kata Gagar
Mayang.
’’Syukurlah jika Nini menyadari akan hal itu.
Namun begitu, saya pun tidak akan menyamakan Nini
dengan lelaki. Kodrat Nini sebagai perempuan, ten-
tunya memiliki batas-batas tertentu. Keuletan dan ke-
gesitan adalah dasar utama bagi perempuan untuk
bertahan. Oleh sebab itu, menurut saya, tidaklah tepat
jika Nini terlalu mengandalkan Jurus Tambak Segara
dalam bertahan. Ada yang tidak Nini mengerti maksud
saya?”
’’Saya mengerti, Kiai. Dan, saya memang mera-
sa bersalah bahwa saya telah memaksakan Eyang
Guru agar menurunkan Jurus Tambak Segara kepada
saya. Tetapi, saya juga tidak melihat jurus andalan
yang tepat bagi saya. Selama ini saya hanya melihat
dan mendengar kehebatan Jurus Tambak Segara di
Padepokan bukit Cangak,” kata Gagar Mayang.
”Ada ajian yang lebih tepat bagi Nini Gagar
Mayang. ”
’’Saya berterima kasih sekali jika Kiai mau me-
nurunkannya kepada saya,” sahut Gagar Mayang ber-
semangat
”Oh, maksud saya bukan ajian ciptaan saya,
Nini. Ajian yang saya maksudkan juga ciptaan kakek
guru Nini sendiri. Tidakkah Nini Gagar Mayang pernah
mendengar kehebatan Ajian Gajah Meta ciptaan E
yang Kuranda Geni?”
Gagar Mayang menggeleng dengan pandang
mata kaget Bertahun-tahun ia tinggal bersama Eyang
Kuranda Geni, belum sekalipun mendengar perihal
Ajian Gajah Meta ini.
’’Gajah Meta, yang juga berarti gajah menga-
muk, adalah ilmu pukulan yang sulit dicari tandin-
gannya. Nah, sebagai seorang perempuan yang memi-
liki kodrat ringkih dan lemah lembut, sangat tepat jika
Nini memiliki Ajian Gajah Meta. Tetapi, kalau memang
Nini Gagar Mayang belum pernah menerima dari kakek
guru Nini, tak perlulah terlalu disesali. Mungkin saya
bisa menurunkan satu ajian yang bisa menebus keke-
cewaan Nini Gagar Mayang....”
’Terima kasih saya tak terhingga jika Kiai mau
menurunkan ajian itu kepada saya,” tukas Gagar
Mayang seraya bersujud di depan kaki Wasi Ekacakra.
’’Berdirilah, Nini. Dan, saya pesankan agar Nini
tidak berterima kasih kepada saya. Saya hanyalah se-
bagai perantara untuk menyampaikannya kepada Nini.
Gusti Yang Maha Agung-lah yang menganugerahkan. ”
Lalu, mulailah Gagar Mayang melatih satu ajian
pukulan yang diajarkan oleh Wasi Ekacakra. Ajian
yang menjadi benteng terakhir selama Wasi Ekacakra
malang-melintang di rimba persilatan ini sempat
menggegerkan rimba persilatan. Banyak sudah korban
berjatuhan dengan dada terbelah oleh ajian ciptaan
Wasi Ekacakra ini.
’’Saya menamakan ajian ini semata-mata hanya
didasari rasa kagum saya kepada salah seorang ksatria
dalam dunia pewayangan, Nini. Entahlah kenapa saya
memilih sebutan Ajian Ismu Gunting. Padahal saya ti-
dak tahu persis bagaimana Ajian Ismu Gunting yang
ada dalam cerita pewayangan,” tutur Wasi Ekacakra
menjelaskan.
”Nama yang sangat cocok, Kiai,” puji Gagar
Mayang tulus.
’’Mudah-mudahan Nini Gagar Mayang berhasil
mempelajarinya,” ucap Wasi Ekacakra.
Pada hari kelima Gagar Mayang menjalani lati-
han di pondok Wasi Ekacakra, muncullah Joko Sung-
sang di tempat gadis itu berlatih. Terkagum-kagum
Pendekar Perisai Naga ini melihat kegigihan Gagar
Mayang dalam berlatih. Meski gadis itu baru saja sem-
buh dari luka dalam, tetap saja memiliki kekuatan
jasmani yang luar biasa untuk ukuran seorang gadis.
Seperti burung alap-alap, gadis itu menyambar ke sa-
na-sini. Seperti belalang gadis itu melenting. Dan, ma-
ta Joko Sungsang terbelalak sewaktu telapak tangan
Gagar Mayang menyambar sebatang pohon. Kulit po-
hon itu robek seolah terletak sebilah pedang.
”Hmmm, Ajian Ismu Gunting itu telah diturun-
kan kepadanya oleh Paman Wasi Ekacakra,” pikir Pen-
dekar Perisai Naga.
”Pukulan yang luar biasa!” puji Joko Sungsang
sambil mendekati gadis itu.
’’Joko...?” Gagar Mayang menoleh dan matanya
berbinar-binar.
”Aku ikut senang kau telah berhasil melatih
Ajian Ismu Gunting, Gagar Mayang. ”
”Belum sepenuhnya berhasil. Pohon itu hanya
robek kulitnya,” bantah gadis itu.
”Ya. Tetapi, kulit pohon itu lebih keras dan le-
bih tebal dibandingkan dengan kulit manusia, Gagar
Mayang. Bayangkan jika kulit manusia yang tersambar
sisi telapak tanganmu.”
’Tapi, kata Kiai, pohon itu harus terbelah men-
jadi dua....”
”Itu puncak kehebatan Ajian Ismu Gunting,
bukan? Dan, sekarang kau sedang mendaki dari ba-
wah. Tidak akan kau tiba-tiba berada di puncak tanpa
mendaki dari bawah,” tukas Joko Sungsang.
’’Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan
semakin bersemangat latihan jika kau menungguiku,
Pendekar Perisai Naga?” Gadis itu tersenyum malu-
malu.
Bergetar batin Joko Sungsang mendengarkan
kepolosan gadis dari Bukit Cangak ini.
”Aku berjanji akan menungguimu selama berla-
tih, Gagar Mayang,” katanya dengan pandang mata
menghunjam ke bola mata gadis itu.
Gagar Mayang menyibakkan rambutnya yang
terjurai ke dahi. Ia menatap mata Pendekar Perisai Na-
ga, tetapi buru-buru ia berpaling. Sorot mata anak
muda itu seolah mampu merontokkan jantung ha-
tinya.
’’Sudah kau temukan biang keladi itu?” tanya
Gagar Mayang mengalihkan arah pembicaraan.
Joko Sungsang menelan ludah sewaktu melihat
gadis itu mengikat rambut yang semula menutupi le-
hernya. Kini leher yang jenjang itu nampak jelas. Dan,
sewaktu mata Joko Sungsang bergeser turun, nampak
olehnya sepasang bukit dada yang terjal.
”Kau tidak mendengar aku bertanya, Pendekar
Perisai Naga?” usik Gagar Mayang.
”Oh, ya. Aku sudah mendapatkannya! Ada pe-
tunjuk bahwa orang-orang Rawa Genjerlah yang harus
bertanggung jawab atas terbunuhnya Eyang Kuranda
Geni, kakekmu, ” jawab Joko Sungsang setelah mam-
pu menguasai debur jantungnya.
’’Rawa Genjer?” Gagar Mayang memicingkan
mata. ”Aku pernah mendengar nama tempat itu. Teta-
pi... ah, kenapa aku sekarang tidak ingat lagi? Siapa
orang laknat yang tinggal di situ?”
”Ki Buyut Senggana dan seorang muridnya.
Kau pernah mendengar nama Ki Buyut Senggana yang
bergelar Siluman Kera dari Rawa Genjer?”
Gadis itu mengangguk kecil-kecil dengan ra-
hang mengatup erat.
”Aku bahkan sudah sempat terlibat bentrokan
dengan siluman kera itu,” sambung Joko Sungsang.
’’Jadi, dia sudah tewas di ujung cambukmu?”
Nada kecewa terdengar dalam ucapan gadis itu.
’’Tidak semudah itu, Gagar Mayang. Sebalik-
nya, hampir saja aku dipecundangi Jurus Siluman Ke-
ra Sakti....”
”Aku tidak percaya!” tukas gadis itu seraya
menggeleng-geleng.
’’Apakah kau juga tidak percaya jika aku kata-
kan pengakuan ku ini nanti di hadapan Paman Wasi,
guru mu?”
Gagar Mayang terdiam. Pandang mata gadis itu
terpaku pada awan yang tengah berarak. Kalau Pende-
kar Perisai Naga saja bisa dipecundangi, bagaimana
dengan aku? Berkali-kali gadis itu menanyai dirinya
sendiri.
”Lalu, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari
Rawa Genjer?” tanyanya kemudian semakin penasa-
ran.
”Kali ini bukan suara emprit gantil yang mem-
buat....”
’’Gurumu datang menyelamatkanmu?” tebak
Gagar Mayang cepat.
”Dari Guru pula aku tahu bahwa aku telah me-
lakukan kesalahan sehingga aku hampir saja celaka,
Gagar Mayang.”
”Kau bisa membentengi dirimu dengan Ilmu
Pukulan Ombak Laut Selatan, bukan?”
’’Kalaupun itu aku lakukan, belum jaminan aku
bisa memenangkan pertarungan. Bukan tidak mung-
kin aku dan lawanku sama-sama tewas. Padahal bu-
kan itu yang aku inginkan, dan juga kau inginkan, bu-
kan?”
”Aku berterima kasih kau telah membiarkan
musuh besarku tetap hidup, Joko.”
”Guru yang mengingatkanku agar membiarkan
Ki Buyut Senggana tetap hidup. Kalau tidak, tentu
Guru sudah melayaninya bertarung hidup dan mati.
Waktu itu Guru hanya memancingnya agar mening-
galkan aku. Begitulah kenapa aku bisa selamat sampai
di sini lagi.”
”Aku memang pernah mendengar cerita tentang
keanehan Kiai Wiku Jaladri, gurumu itu. Tak pernah
gurumu mau membunuh lawan yang tidak punya uru-
san pribadi dengannya.”
Joko Sungsang tidak lagi menyahut. Pembica-
raan mereka berdua terhenti sebab Wasi Ekacakra ti-
ba-tiba saja menegur,
’’Selamat datang, Anakmas Joko Sungsang.”
’’Maafkan saya, Paman. Saya langsung melihat
Gagar Mayang berlatih di sini. Seharusnya saya lebih
dulu menemui Paman," kata Joko Sungsang sigap.
’’Adakah keharusan yang seperti Anakmas ka-
takan tadi?” Wasi Ekacakra tertawa terkekeh-kekeh.
Namun, orang tua itu segera menghentikan tawanya
begitu matanya yang tajam melihat sebuah pohon
mengucurkan getahnya.
’’Ajian Ismu Gunting yang merobek kulit pohon
itu, Paman,” tutur Joko Sungsang setelah melihat arah
pandang mata Wasi Ekacakra.
’’Saya sudah pastikan bahwa Nini Gagar
Mayang akan berhasil mempelajari Ajian Ismu Gunt-
ing. ” Wasi Ekacakra menatap bangga ke arah Gagar
Mayang.
’Tetapi, Gagar Mayang belum puas karena be-
lum mampu membelah pohon itu, Paman,” goda Joko
Sungsang sambil melirik gadis itu.
Ingin sebenarnya Gagar Mayang menendang be-
tis anak muda itu sekuat-kuatnya. Namun, dalam hati
saja ia mengancam, ”Awas jika kita hanya berdua!”
’’Sedikit demi sedikit datangnya kekuatan itu,
Nini. Dengan hasil yang sekarang pun, saya merasa
bangga sekali. Bayangkan jika kulit manusia yang ter-
kena telapak tangan Nini Gagar Mayang.”
’Tadi sudah saya katakan, Paman. Tapi, mung-
kin Gagar Mayang tidak mau percaya jika bukan Pa-
man yang mengatakannya.”
’’Saya tidak mengira jika Tuan Pendekar Perisai
Naga ternyata tukang menggoda perempuan!” sembur
Gagar Mayang kesal.
Mereka bertiga tertawa.
***
8
Hutan Pinus itu serasa bergetar oleh tawa nyar-
ing seorang perempuan tua yang tengah mencengke-
ram leher Bajang Kerek. Untuk kesekian kalinya pe-
rempuan tua berpakaian serba ungu bertanya, ”Ayo,
katakan siapa yang telah membunuh murid kesayan-
ganku itu, celeng busuk? Kau pikir aku tidak bisa
memaksamu agar mengaku?”
’’Kaubunuh pun aku tidak akan bisa menjawab,
Nyai....”
”Apa? Kau panggil aku ’Nyai’? Kurang ajar!” Pe-
rempuan tua yang bersenjatakan tongkat berkepala
tengkorak monyet itu mendorong tubuh Bajang Kerek.
Satu dorongan yang begitu kuat membuat tubuh lelaki
malang itu terbentur batu cadas dan menggeliat-geliat.
Diam-diam Bajang Kerek bersyukur pernah
mempelajari ilmu kekebalan dari Klabang Seketi. Kalau
tidak, tentulah batu cadas itu akan menghancurkan
kulit di sekujur badannya.
”Ayo, katakan sekali lagi kau tidak tahu! Ku-
hancurkan batok kepalamu dengan batok kepala mo-
nyet ini!” Perempuan tua itu menaruh kepala tongkat-
nya di dahi Bajang Kerek.
’’Saya memang melihat seorang gadis berkelia-
ran di hutan ini beberapa hari yang lalu. Tetapi, saya
tidak tahu siapa gadis itu. Bahkan seorang teman saya
juga tak berdaya menghadapi gadis berpakaian serba
jingga itu....”
’’Bagus! Bagus! Kau mulai mau jujur, celeng!
Kau sempat melihat pakaian gadis itu, bukan? Tentu
kau juga sempat melihat senjata gadis itu!” tukas pe-
rempuan tua yang kehilangan murid tunggalnya itu.
”Saya... saya tidak melihat gadis itu membawa-
bawa senjata....”
’’Bohong!” sergah perempuan tua itu sambil
menekankan ujung tongkatnya ke leher Bajang Kerek.
”Kau boleh berbohong di depan manusia mana pun!
Tetapi, jangan coba-coba membohongi Bidadari Kawah
Singidan! Mengerti?”
’’Demi setan yang menghuni hutan ini, saya be-
nar-benar tidak melihat senjata macam apa yang di-
pergunakan gadis itu, Sang Bidadari. Tapi, saya tahu
gadis itu begitu akrab dengan Pendekar Perisai Naga. ”
Tiba-tiba Bajang Kerek ingat Pendekar Perisai Naga
yang waktu itu berkenan mengampuninya.
’’Pendekar Perisai Naga?” Perempuan tua yang
mengaku dirinya Bidadari Kawah Singidan itu memo-
nyongkan mulutnya yang keriput. ”Nah, tahulah aku
sekarang. Pastilah pendekar dari Jurang Jero itu yang
membunuh muridku. Hi-hi-hi! Kalau begitu, kaulah
yang harus menggantikan muridku melayaniku sehari-
hari, Bocah Bagus!”
’’Sang Bidadari bisa memaksa Pendekar Perisai
Naga agar menunjukkan siapa gadis yang berpakaian
serba jingga itu,” usul Bajang Kerek dengan harapan
mendapatkan pengampunan dari nenek keriput yang
merasa dirinya secantik bidadari itu.
”Hei, berani kau mengajari aku? Tutup mulut-
mu!” Bidadari Kawah Singidan menghentakkan kaki
kanannya ke tanah. Bajang Kerek merasakan getaran
tanah yang didudukinya.
Tenaga dalam nenek keriput itu memang mum-
puni sekali, pikir Bajang Kerek. Maka ia bersyukur
bahwa nenek yang tak mampu dilawannya itu tadi
hanya menotok jalan darahnya, tidak membunuhnya.
”Hei, jangan melamun, tokek hutan! Sekarang,
kubebaskan totokan jalan darahmu. Kubur baik-baik
mayat busuk muridku ini. Setelah itu, baru kau bebas
mencuri kayu lagi. Mengerti?”
’’Mengerti, Sang Bidadari,” ucap Bajang Kerek
dengan hati sejuk bukan kepalang. Tidak disangkanya
Bidadari Kawah Singidan akan membiarkannya tetap
hidup.
”Kau tahu di mana Pendekar Perisai Naga bera-
da sekarang ini?” tanya perempuan tua itu setelah
membebaskan totokan jalan darah di bahu Bajang Ke-
rek.
’’Kalau tidak salah dengar, Pendekar Perisai
Naga membawa gadis itu ke Desa Dadapsari, Sang Bi-
dadari.”
”Aku tak perlu menungguimu menggali kubur
untuk muridku. Tetapi, jika sepulangku dari Desa Da-
dapsari nanti kulihat tulang-belulang muridku masih
tergeletak di sini, kuhancurkan kepalamu dengan
tongkatku ini. Ingat itu!”
Wuttt!
Tubuh Bidadari Kawah Singidan berkelebat,
dan dalam sekejap mata tak nampak lagi oleh mata
Bajang Kerek. Hanya bau wewangian kembang kenan-
ga yang masih tertinggal dan tersedot hidung murid
Klabang Seketi itu.
’’Mudah-mudahan kau modar dicekik Cambuk
Perisai Naga, nenek peyot!” ujar Bajang Kerek. Dalam
hati saja sebab ia takut jangan-jangan perempuan tua
itu bertelinga seribu.
***
Tak sampai separuh malam Bidadari Kawah
Singidan sudah tiba di mulut Desa Dadapsari. Desa
yang selama bertahun-tahun aman dan tenteram itu
tiba-tiba digemparkan oleh teriakan melengking pe-
rempuan tua berilmu sesat ini. Penduduk desa yang
berumah tak jauh dari mulut desa itu berlarian ke luar
rumah dan mencari arah datangnya lengkingan. Na-
mun, yang mereka temui membuat mereka bergegas
kembali masuk rumah dan mengunci pintu rapat-
rapat.
”Para peronda itu tewas dengan kepala remuk!”
kata seorang lelaki kepada istrinya sambil menyorong
meja ke pintu.
"Perampok, Kang?” tanya istrinya.
’’Sudah, jangan banyak omong! Masuklah ke
kamar, temani anakmu!” sergah lelaki itu.
Kemudian lelaki itu menempelkan telinganya
pada lubang di pintu. Terdengar samar-samar suara
perempuan iblis itu tertawa-tawa dan berkata, ”Ayo,
siapa yang paling sakti di desa ini, keluarlah! Aku ta-
hu, di desa ini ada pendekar yang berilmu setan! Ayo,
keluarlah kau, Pendekar Perisai Naga!”
’’Suara perempuan, Kang? Dia cari Pendekar
Perisai Naga, Kang! Siapa itu Pendekar Perisai Naga?”
”Hei, belum masuk ke kamar juga kau?” ben-
tak suaminya semakin kesal.
”Ayo, keluarlah, Pendekar Perisai Naga! Atau,
kau memilih aku musnahkan desa ini?” teriak Bidadari
Kawah Singidan membuat lelaki yang sedang memara-
hi istrinya itu hampir pingsan. Suara itu begitu dekat
dengan pintu rumahnya.
Namun, kemudian lelaki itu mengelus dada se-
bab didengarnya suara seseorang menjawab, ’’Akulah
orang yang kau cari, nenek biadab! Jangan kau usik
orang-orang yang tidak berdosa!”
”Hi-hi-hik! Bagus, bagus! Ternyata nama be-
sarmu cocok dengan tanggung jawabmu, Pendekar Pe-
risai Naga! Hi-hi-hik! Ayo, majulah bersama-sama den-
gan gadismu yang lancang itu!”
”Aku tidak mengerti kenapa kau mencariku,
Nenek....”
’’Kurang ajar!” tukas Bidadari Kawah Singidan
sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala Joko Sung-
sang. ’’Berani kau memanggilku ’Nenek’, hei?”
Tongkat berkepala tengkorak monyet itu mem-
buru Joko Sungsang yang berjumpalitan ke belakang.
’’Bagaimana aku bisa memanggil namamu jika
kau tidak pernah memperkenalkan diri?” jawab Joko
Sungsang sambil terus berjumpalitan ke belakang.
Sengaja ia menghindar menjauh agar perempuan ja-
hanam itu mengejarnya, dan mereka akhirnya men-
jauhi rumah-rumah penduduk desa.
’’Bedebah busuk! Keluarkan cambukmu yang
kesohor itu! Jangan hanya menghindar, bocah sab-
leng!” Bidadari Kawah Singidan menghentikan seran-
gannya, la merasa bahwa lawan hanya ingin memper-
mainkannya. Boleh jadi, meremehkannya.
”Aku belum mengenalmu, Bibi! Tentu saja aku
belum pernah menanam permusuhan denganmu!”
”Apa? Kau panggil aku ’Bibi’? Sejak kapan aku
jadi gundik pamanmu, bocah edan?”
’’Katakan namamu agar aku bisa memanggil-
mu...!”
’’Dasar pendekar gadungan! Jangan berlagak
kau tidak mengenal Bidadari Kawah Singidan kalau
kau memang bukan pendekar gadungan!” sahut Bida-
dari Kawah Singidan menukas.
”Oh, kaukah yang bernama Bidadari Kawah
Singidan yang kesohor itu?” kata Joko Sungsang un-
tuk melegakan perempuan tua renta itu.
”Nah, mana gadismu yang berani berurusan
dengan muridku itu? Ayo, kalian majulah bersama-
sama! Jangan pikir aku hanya berani bertarung den-
gan Pendekar Perisai Naga satu lawan satu!”
Kini Joko Sungsang tahu kenapa perempuan
tua ini mencarinya. Tentulah perempuan ini guru pe-
rempuan berkipas akar cendana yang tewas di Hutan
Pinus itu, pikir Joko Sungsang. Dan, gadis yang dica-
rinya? Sudah pasti Gagar Mayang.
”Kau budeg, he?” sentak Bidadari Kawah Singi-
dan.
”Kau salah alamat jika mencari gadis itu ke de-
sa sini, Bidadari Kawah Singidan! Gadis itu memang
pernah mampir ke desa ini, tetapi sekarang sudah
kembali ke padepokannya!”
’’Kau pikir aku tidak bisa memaksamu menun-
jukkan di mana gadis itu bersembunyi?” Bidadari Ka-
wah Singidan memutar tongkatnya. Tengkorak monyet
di ujung tongkat itu menjerit-jerit.
Wungngng! Wungngng!
Dua buah sabetan tongkat menerjang kepala
dan dada Joko Sungsang. Murid Wiku Jaladri itu
membuang tubuhnya ke belakang, tetapi sebuah tusu-
kan ujung tongkat yang lain memburunya.
Trakkk!
Bunga api bepercikan ketika ujung tongkat itu
tertepis gagang Cambuk Perisai Naga. Baru disadari
oleh Joko Sungsang bahwa di ujung tongkat yang ber-
lawanan dengan tengkorak monyet itu terdapat sebuah
pisau bergerigi.
Beberapa kali serangannya mengenai angin, Bi-
dadari Kawah Singidan semakin geram. Kini bukan
tongkatnya saja yang mengurung Joko Sungsang, me-
lainkan juga jari-jari tangan kirinya yang dilengkapi
dengan kuku-kuku beracun.
Sedikit kewalahan Joko Sungsang menghadapi
serangan lawan yang dahsyat dan bertubi-tubi, la ta-
hu, Bidadari Kawah Singidan ingin secepatnya men-
gakhiri pertarungan. Namun, ia juga harus terus me-
nuntun perempuan sesat ini lebih jauh lagi dari mulut
desa. Ada tempat bertarung yang lebih cocok dan jauh
dari penglihatan penduduk desa. Ke sanalah Joko
Sungsang menuntun lawannya pergi menjauhi Desa
Dadapsari.
”Hi-hi-hik! Ada juga pendekar yang hanya be-
rani bertarung di tanah lapang!” ejek Bidadari Kawah
Singidan.
”Di sinilah tempat kita, orang-orang rimba per-
silatan, Nek....”
’’Bedebah! Masih juga kau memanggilku ’Ne-
nek’!” Bidadari Kawah Singidan menggerakkan tangan
kirinya.
Tringng! Tringngng!
Secepat kilat Joko Sungsang melecutkan cam-
buk-nya untuk menangkis paku-paku beracun yang
ditebarkan lawan. Lambat-laun ia merasa tak mungkin
lagi menghadapi perempuan sesat ini hanya dengan
tangan kosong. Tiga senjata sekaligus telah diperguna-
kan lawan, yakni tongkat, kuku beracun, dan baru sa-
ja paku beracun.
”Nah, terus terang aku lebih senang melawan
cambukmu daripada harus melihatmu terus-menerus
menghindar, Pendekar Perisai Naga!” ujar Bidadari
Kawah Singidan seraya kembali menyerang Joko
Sungsang dengan tongkat dan kuku-kuku jari tangan
kirinya.
Semakin sengit pertarungan antara mereka
berdua. Jurus-jurus Cambuk Perisai Naga bertemu
dengan jurus-jurus tongkat yang begitu matang dan
membahayakan. Sesekali Joko Sungsang merasa ter-
desak sebab lawan telah sampai pada puncak tataran
ilmu hitamnya. Paku-paku beracun itu semakin sering
berhamburan, dan kuku-kuku beracun itu pun selalu
siap merangkapi serangan tongkat bermata pisau ber-
gerigi itu.
Tringngng! Tringngng! Trakkk!
Dua batang paku beracun berhasil ditepis oleh
bola berduri di ujung Cambuk Perisai Naga. Akan teta-
pi, sabetan tongkat berkepala tengkorak monyet itu
hampir saja meremukkan pelipis Joko Sungsang. Syu-
kurlah anak muda dari Padepokan Jurang Jero itu
masih bisa menahan sabetan tongkat itu dengan ga-
gang cambuk-nya.
Benturan gagang cambuk dan tongkat ini
membuat Bidadari Kawah Singidan melompat mundur.
Tak disangkanya jika benturan itu menyebabkan per-
gelangan tangannya nyeri.
’’Pantas kau bergelar Pendekar Perisai Naga,
Anak Muda! Pertahananmu memang mirip pertahanan
seekor naga!” ujar perempuan dari Kawah Singidan itu.
Joko Sungsang tak menanggapi ocehan perem-
puan sesat itu. la pun sebenarnya kaget merasakan
akibat dari benturan senjata lawan. Tenaga dalam pe-
rempuan sesat itu begitu sempurna. Rasanya tak
mungkin lagi membiarkan perempuan itu memamer-
kan seluruh ilmu setannya.
”Aku harus menyudahi pertarungan ini sebe-
lum Paman Wasi Ekacakra terpaksa menyusul ke sini,”
kata hati Joko Sungsang.
Maka anak muda yang bergelar Pendekar Peri-
sai Naga itu tidak membuang-buang kesempatan yang
hanya sepersekian kerjap mata itu. Sewaktu lawan me-
lompat mundur, Joko Sungsang langsung membu-
runya dengan tendangan yang telah dilambari dengan
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan. Begitu cepat ten-
dangan itu menghunjam ke arah pinggang lawan. Akan
tetapi, Bidadari Kawah Singidan bukanlah gadis ingu-
san yang baru saja turun gunung. la adalah salah seo-
rang tokoh hitam yang telah kenyang makan asam ga-
ramnya rimba persilatan. Melihat bayangan serba pu-
tih itu melenting, secepat kilat ia pun menggenjot ta-
nah dan berjumpalitan di atas kepala Joko Sungsang.
Srettt! Crasss!
Di luar dugaan Bidadari Kawah Singidan, ter-
nyata Cambuk Perisai Naga sigap mengubernya ke
udara. Seperti ular kelaparan, cambuk itu melilit leher
dan langsung mematuk. Tubuh perempuan sesat itu
terbanting dan menggelosor di tanah dengan leher
hampir putus.
’’Cepat tinggalkan tempat ini dan susul Nini
Gagar Mayang ke Rawa Genjer, Anakmas Joko Sung-
sang!” kata Wasi Ekacakra mengejutkan Joko Sung-
sang.
’’Bagaimana itu bisa terjadi, Paman?” tanya Jo-
ko Sungsang hampir tak percaya pada pendengaran-
nya.
”Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Anakmas.
Maaf, saya tidak bisa menyusul Nini Gagar Mayang se-
bab saya harus menenangkan perasaan seluruh peng-
huni desa ini. Yang pasti, seseorang telah menyebar-
kan berita bahwa Ki Sumping Sedapur berada di desa
ini. Setidaknya ada yang melihat Nini Gagar Mayang
memasuki desa ini.”
’’Maafkan kami, Paman. Benar-benar kami ti-
dak menghendaki desa ini diinjak-injak orang-orang
sesat.”
’’Belum terlambat, Anakmas. Saya masih bisa
menenangkan hati mereka.”
’’Kalau begitu, saya berangkat sekarang juga,
Paman.”
’’Kebenaran akan selalu menjaga langkah
Anakmas dan Nini Gagar Mayang,” kata Wasi Ekacakra
sambil menepuk-nepuk pundak Joko Sungsang.
Dengan mencurahkan seluruh kemampuan me-
ringankan tubuh yang dimilikinya, Joko Sungsang ber-
lari menyusul Gagar Mayang ke Rawa Genjer. Sama
sekali tak dipahaminya kenapa gadis itu tiba-tiba ne-
kad melesat ke Rawa Genjer. Tidakkah ia sadar bahwa
ilmu silatnya belum memadai untuk berhadapan den-
gan Ki Buyut Senggana? Memang, baru saja ia menda-
patkan tambahan Ajian Ismu Gunting dari Wasi Eka-
cakra. Tetapi, itu tidak berarti ia bisa melepaskan diri
dari kelicikan Siluman Kera dari Rawa Genjer alias Ki
Buyut Senggana ataupun muridnya.
Sementara Joko Sungsang merambahi hutan-
hutan serta desa-desa, Gagar Mayang memang tengah
bertarung mati-matian melawan Danyang Kumbayana.
Diam-diam gadis itu bersyukur bahwa guru
dan murid itu tidak maju bersamaan mengeroyoknya.
Ah, tetapi apalah bedanya jika sang guru dengan mu-
lut kotornya selalu melontarkan kata-kata yang me-
nyakitkan telinga. Entah sudah yang keberapa kalinya
orang tua jahanam itu berkata, ’’Ingat, Kumbayana!
Jangan lukai gadis cantik itu! Ingatlah bahwa di Rawa
Genjer sini tak ada seorang pun makhluk yang berna-
ma perempuan! Apalagi perempuan secantik dan se-
mulus gadis itu!”
’’Percayalah, Guru! Saya akan berhasil mering-
kusnya dan sekaligus menjadikannya teman tidur!”
sahut Danyang Kumbayana.
’’Kalian memang binatang-binatang kotor!” ser-
gah Gagar Mayang sambil kembali memutar seruling
bambu wulungnya.
Berkali-kali seruling itu menyambar tubuh Da-
nyang Kumbayana. Namun, sebanyak itu pula seruling
itu membabat angin. Seperti siluman kera, Danyang
Kumbayana selalu berhasil menghindari serangan
yang bertubi-tubi menerjangnya.
”Kau akan mendapatkan istri yang cantik dan
mulus, dan aku akan mendapatkan keris luk tujuh itu,
Kumbayana!” seru Ki Buyut Senggana lagi.
’’Kalian majulah bersamaan! Untuk apa kalian
ngoceh yang bukan-bukan kalau nyatanya kalian tidak
bisa meringkusku?” sahut Gagar Mayang.
’’Meringkusmu? Itu pekerjaan sepele, Cah Ayu!
Kami memang sengaja ingin melihatmu kehabisan te-
naga sehingga kau tidak akan berontak lagi sewaktu
muridku menikmati tubuhmu!” jawab Ki Buyut Seng-
gana.
’Tutup mulutmu yang kotor dan majulah, silu-
man lutung!” sergah Gagar Mayang semakin terbakar
hatinya.
’’Mulutmu yang indah itu tidak pantas buat
memaki, Bidadariku!” kata Danyang Kumbayana sete-
lah berhasil menghindari totokan seruling ke arah ba-
hu-nya.
Gagar Mayang benar-benar merasa dipermain-
kan oleh guru dan murid itu. Tetapi, apa yang bisa di-
perbuatnya kecuali menyerang dan menyerang? Jurus
Tambak Segara tidak mungkin diterapkannya sebab
lawan tak pernah mau menyerang. Ajian Ismu Gunting
hanya akan merobek angin sebab lawan terlalu gesit
menghindar. Rangkaian jurus-jurus seruling bambu
wulung itu hampir tidak berarti sebab lawan selalu
waspada untuk menghindar. Dan, Gagar Mayang me-
rasakan setiap serangannya tidak mapan sebab pera-
saannya terganggu oleh ocehan-ocehan kotor guru dan
murid itu.
Tak ada jalan lagi bagi gadis itu kecuali mem-
balas membakar hati lawannya. Maka kata gadis itu
kemudian,
’’Danyang Kumbayana yang perkasa! Kau tentu
akan berhasil meniduriku jika kau mampu sekali saja
menyentuh kulitku!”
”Apa?” Danyang Kumbayana melompat mundur
mendekati gurunya. ’’Guru dengar apa yang dikatakan
calon istri saya tadi?”
”Ya. Dia memang terlalu pongah! Dia kira, kau
tidak akan bisa membalas serangan-serangannya!”
’Tapi, bagaimana kalau dia cedera, Guru?”
”He-he-he! Kenapa tiba-tiba kau jadi dungu,
Kumbayana? Bukankah aku tahu bagaimana cara
memulihkan tubuh mulus itu dari cederanya?”
”Terima kasih, Guru. Saya akan bikin gadis itu
merengek-rengek mohon ampunan!” kata Danyang
Kumbayana seraya mempersiapkan sebuah serangan.
Berbunga-bunga hati Gagar Mayang melihat
pancingannya berhasil. Inilah kesempatan yang di-
tunggu-tunggunya. Maka Gagar Mayang pun secepat-
nya menerapkan Ajian Ismu Gunting yang baru saja
didapatkannya dari Wasi Ekacakra. Kini ia bisa mem-
praktekkan ajian itu tanpa harus mengorbankan seba-
tang pohon pun.
’’Pegang janjimu, Cah Ayu!” seru Danyang
Kumbayana sebelum berkelebat menerjang dengan
pukulan beruntun. Sengaja ia tidak melambari puku-
lan itu dengan Ajian Brajamusti agar gadis yang digan-
drunginya itu tetap bisa tertolong.
Wuttt! Wuttt! Crasss!
Dua buah pukulan berhasil dihindari dan lewat
di atas tengkuk Gagar Mayang. Dan, sewaktu Danyang
Kumbayana belum menyadari ke mana arah gadis itu
menghindar, tiba-tiba sebuah ayunan telapak tangan
membelah dadanya.
’’Aughhh!” Danyang Kumbayana melenguh
sambil terhuyung-huyung melangkah ke belakang.
Lalu, satu tendangan memutar mengenai betis
murid Ki Buyut Senggana itu. Tubuh Danyang Kum-
bayana terjengkang dan menggelosor di tanah dengan
dada terbelah.
’’Ajian Ismu Gunting...?” ujar Ki Buyut Sengga-
na setelah meneliti luka di dada muridnya.
’’Kau kira hanya Ajian Brajamusti yang bisa
mengirim nyawa muridmu ke neraka, Buyut Sengga-
na?” ejek Gagar Mayang.
’’Sundel bolong busuk! Ku potong-potong tu-
buhmu yang mulus itu sebagai tebusan atas kelancan-
ganmu, gadis setan!” sergah Ki Buyut Senggana seraya
menerjang Gagar Mayang dengan totokan ke arah se-
pasang lengan gadis itu.
Namun, orang sesat berilmu siluman itu sema-
kin menyadari bahwa gadis yang dihadapinya tak seji-
nak yang dibayangkannya. Dengan lincahnya, gadis itu
berkelit sambil memutar seruling bambu wulungnya
untuk memagari sekujur tubuhnya dari serangan balik
lawan.
Singngng!
Hampir saja kaki Ki Buyut Senggana terpatuk
seruling di tangan Gagar Mayang kalau saja ia tak siap
menarik kembali kakinya yang hendak menyerimpung
kaki gadis itu.
’’Iblis laknat! Sejak semula aku sudah mengira
bahwa kau sewaktu-waktu bisa berubah menjadi de-
mit! Tetapi, ingatlah bahwa Rawa Genjer tempat bersa-
rangnya para siluman!” Berkata begini, Ki Buyut Seng-
gana mulai mengeluarkan Jurus Siluman Kera Sakti-
nya.
’’Menyingkirlah, Gagar Mayang!” Tiba-tiba se-
buah bayangan putih memaksa gadis itu keluar dari
arena pertarungan.
’’Pendekar Perisai Naga, biarkanlah aku meng-
hadapi siluman keparat itu!” seru Gagar Mayang sete-
lah menyadari kehadiran Joko Sungsang.
”Kau telah menebus kematian gurumu, Gagar
Mayang. Ingatlah bahwa gurumu tewas oleh tusukan
tombak dari arah belakang.”
’’Apakah tidak sebaiknya kalian maju bersama-
sama mengeroyokku?” sahut Ki Buyut Seriggana se-
raya berlarian kencang mengitari Joko Sungsang.
’’Berkata-katalah sepuasmu, Buyut Senggana!
Sampai mulutmu berbusa sekalipun aku tidak akan
terkecoh!” jawab Joko Sungsang. Setelah itu, sambil
mengingat-ingat pesan gurunya, Joko Sungsang mulai
memasang telinganya, mendengarkan setiap jengkal
langkah kaki lawan.
Gagar Mayang yang semula masih ingin mem-
bantah ucapan Pendekar Perisai Naga kini terbungkam
diam. Kini disadarinya bahwa Ki Buyut Senggana me-
mang bukan tandingannya. Di mata gadis itu, tak
nampak lagi sosok orang tua renta yang tadi menge-
jeknya dengan kata-kata menjijikkan. Yang nampak
hanyalah benda hitam yang membentuk lingkaran dan
mengurung sosok putih Joko Sungsang.
’’Benar-benar ilmu siluman,” kata gadis itu
dengan hati berdebar-debar.
Dalam pada itu, melihat lawan sudah sampai
pada puncak Jurus Siluman Kera Sakti-nya, Joko
Sungsang secepat kilat mengurai Cambuk Perisai Naga
dari pinggangnya, dan melecutkan ke arah suara te-
rakhir yang didengarnya.
Srettt! Wusss!
Kaget bukan kepalang Ki Buyut Senggana me-
rasakan belitan cambuk di panggangnya. Akan tetapi,
kekagetan itu justru mendatangkan tenaga berontak
yang luar biasa buatnya. Dengan sekali putaran yang
berlawanan arah dengan lilitan cambuk, Ki Buyut
Senggana terbebas dari lilitan Cambuk Perisai Naga.
”Aku ingin tahu apakah lecutan cambukmu
hanya kebetulan berhasil menyentuhku, Pendekar Pe-
risai Naga!” ujar Ki Buyut Senggana sebelum kembali
berputar mengitari tubuh lawannya.
”Kau berhasil menangkal Jurus Naga Melilit
Gunung, Ki Buyut Monyet!” puji Joko Sungsang tulus.
’’Jangan sembrono hanya karena kau punya
sedikit keahlian memainkan cambuk, Pendekar Ingu-
san! Tahukah kau bahwa sebenarnyalah aku hanya
ingin berhadapan dengan gurumu yang pikun itu?”
Tertawa dalam hati Joko Sungsang mendengar
ejekan lawan. Kini sepenuhnya disadari bahwa ejekan-
ejekan itu merupakan rangkaian Jurus Siluman Kera
Sakti. Mempedulikan ejekan-ejekan itu berarti menuli-
kan telinga sendiri. Menulikan telinga berarti merela-
kan nyawa untuk dijadikan korban kedahsyatan Ajian
Brajamusti.
Kini Joko Sungsang tak lagi menyiapkan Jurus
Naga Melilit Gunung, melainkan menggantikannya
dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Dan, me-
rasa pasti lawan telah melambari tangan kanannya
dengan Ajian Brajamusti, maka Joko Sungsang pun
menyiapkan ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan dan
dipusatkannya pada kedua tumitnya.
Tarrr! Srettt! Desss!
Ki Buyut Senggana menguningkan pukulan
yang siap diayunkan ke punggung lawan sebab tiba-
tiba matanya yang tajam menangkap kilatan biru-
kehijau-hijauan mematuk kepalanya. Sulit diikuti ma-
ta Gagar Mayang ketika tiba-tiba saja tangan kanan Ki
Buyut Senggana berhasil menangkap bola berduri yang
hendak mematuk kepalanya.
Reaksi Ki Buyut Senggana ini memang sudah
ada dalam benak Joko Sungsang. Ia pastikan bahwa
dengan lambaran Ajian Brajamusti maka orang sesat
Itu akan berani menangkap bola berduri di ujung
cambuknya. Sewaktu dirasakannya ada tarikan pada
cambuknya, Joko Sungsang sigap menggenjot tanah
dan berjumpalitan di udara. Sewaktu meluncur turun,
tumit Pendekar Perisai Naga ini dengan telak bersarang
di punggung Ki Buyut Senggana.
Tubuh orang sesat penghuni Rawa Genjer Itu
terpelanting dan jatuh menimpa mayat Danyang Kum-
bayana. Ia berusaha melenting bangkit, tetapi tulang
punggungnya tak lagi menopang gerak tubuh Itu. Sa-
ma sekali tak dimengerti oleh Ki Buyut Senggana bah-
wa tulang punggungnya luluh-lantak oleh Ilmu Puku-
lan Ombak Laut Selatan yang tersalur pada sepasang
tumit Pendekar Perisai Naga.
’’Kutunggu jika kau memang masih bisa me-
mamerkan ilmu siluman kera-mu, Buyut Senggana!”
Kini giliran Joko Sungsang melontarkan ejekan.
Ki Buyut Senggana hanya bisa melenguh dan
kemudian terkapar dengan kepala terkulai.
***
’’Terima kasih atas pertolonganmu, Joko Sung-
sang,” ucap Gagar Mayang sambil melangkah menjaja-
ri langkah Joko Sungsang.
’’Akulah yang seharusnya berterima kasih ke-
padamu, Gagar Mayang,” jawab anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga itu.
’’Terima kasih untuk apa?” Gagar Mayang ber-
tanya bingung.
”Kau beri aku kesempatan untuk menebus ke-
kalahanku.”
”Ah, maksudmu, kau pernah dikalahkan Ki
Buyut Senggana?”
”Ada rahasia yang belum aku ketahui waktu
itu. Kau sendiri pasti tidak mengira bahwa ejekan-
ejekan yang dilontarkan Ki Buyut Senggana tadi meru-
pakan rangkaian dari Jurus Siluman Kera Sakti.”
”Ah!”
’’Waktu itu aku belum selesai bercerita sewaktu
tiba-tiba Paman Wasi Ekacakra mendatangi kita di
tempat latihan, bukan?”
”Ya. Jadi, rahasia apa yang kau maksudkan ta-
di?”
’’Menghadapi Jurus Siluman Kera Sakti bukan
harus dengan mata, melainkan dengan telinga. Tanpa
pendengaran yang baik, kita tidak akan tahu dimana
sebenarnya sosok lawan yang asli berada. ”
’’Syukurlah kau datang memperingatkan ku”
kata gadis itu sambil membayangkan apa yang terjadi
seandainya ia nekad melawan Ki Buyut Senggana.
’’Sekarang giliranmu bercerita, kenapa kau bisa
secepat ini berada di Rawa Genjer,” sahut Joko Sung-
sang mengusut.
"Sepulangku dari tempat latihan, aku bertemu
dengan seseorang yang menyampaikan pesan Ki Buyut
Senggana. Di situlah kegagalanku menghadapinya.
Aku terlalu cepat naik darah sewaktu membaca tulisan
yang terkirim untukku. Karena itu pula aku tidak pe-
dulikan lagi kau bahkan Kiai Wasi, guruku. Aku begitu
yakin akan bisa mengalahkan Ki Buyut Senggana den-
gan ajian tambahan yang dahsyat, Ismu Gunting. ”
’’Sekarang aku baru ingat, siapa yang menyebar
kabar bahwa kita berdua berada di Desa Dadapsari.
Hmmm, menyesal aku membiarkan Bajang Kerek tetap
hidup!” geram Joko Sungsang.
’’Untuk apa menyesal? Semuanya sudah berha-
sil kita atasi,” kata Gagar Mayang tanpa sedikit pun
kecurigaan.
’’Tidak seharusnya kita mengusik ketenangan
Paman Wasi Ekacakra yang telah bertahun-tahun ber-
sembunyi di Desa Dadapsari, Gagar Mayang. Bukan-
kah dengan adanya kejadian ini, Desa Dadapsari akan
menjadi pusat perhatian. orang-orang rimba persila-
tan".
”Oh, betapa dungunya aku....” Gadis itu mene-
pak dahinya sendiri.
"Mudah-mudahan saja Paman Wasi betul betul
bisa menghilangkan jejak Bidadari Kawah Singidan di
desa itu.”
”Siapa itu Bidadari Kawah Singidan?”
”Guru perempuan liar berkipas akar cendana
yang tewas terpatuk seruling maut-mu di Hutan Pinus.
Dia mencarimu ke Desa Dadapsari bersamaan keper-
gian mu ke Rawa Genjer.”
”Ah, kalau begitu, akulah yang berdosa terha-
dap Kiai Wasi dan penduduk Desa Dadapsari,” sesal
gadis itu.
SELESAI
Emoticon