Plaaakkk!!!
Bunyi tamparan keras ketika seorang wanita tua berhasil menampar lawannya yaitu
seorang wanita muda yang bernama Wulan Arum. Tampak Wulan Arum meringis sakit
sambil mengelus pipi kanannya yang terkena tamparan nenek tua yang bernama Nyai
“Hik ... Hik ... Hik ... ! Sebaiknya kau serahkan saja Batu Mustika Merah itu, Cah
Ayu. Daripada wajahmu yang cantik jadi cacat seumur hidup. Hik ... Hik!” Ucap Nyai
Dasima terkekeh.
Wulan Arum berdiri lalu meludah ke tanah. Tampak ludahnya bercampur dengan
darah.
“Sampai matipun tak akan aku serahkan Batu Mustika Merah padamu nenek peot.
Mustika ini mili kk u jadi kamu tidak ada hak dengan Mustika Merah ini.” Kata Wulan
Arum tegas sambil menatap tajam Nyai Dasima.
“Hehh, rupanya kau minta mampus, Cah Ayu. Baiklah. Akan aku kirim kau
menemui raja akhirat. Hiaaat!” Teriak Nyai Dasima keras.
Di dahului dengan bentakan keras Nyai Dasima menerjang dengan jurus ’Cakar
Maut’ ke arah wajah Wulan Arum. Jelas Nyai Dasima bermaksud membuat cacat wajah
Wulan Arum, terbukti serangannya tidak main-main dan sangat berbahaya.
Melihat serangan itu Wulan Arum dengan cepat mengelak ke samping tapi Wulan
harus menelan ludahnya karena serangan ke wajahnya cuma tipuan belaka, dengan
gerakan cepat Nyai Dasima mengubah arah serangan jurus ’Cakar Maut’-nya ke arah
lambung Wulan.
Wulan Arum dengan cepat menjatuhkan dirinya menghindari serangan yang
mematikan itu. Tapi belum sempat bangkit Wulan Arum merasakan sambaran angin ke
arahnya maka dengan gerakan lincah Wulan Arum bergulingan lalu melompat tinggi
bersalto beberapa kali di udara dan mendarat dengan manis di atas tanah.
“Punya ilmu juga rupanya kau, Bocah. Aku mau lihat apa kau bisa menghindari
Ajian Pukulan ‘Kipas Neraka” mili kk u.”
Nyai Dasima merapatkan telapak tangannya di depan dada lalu memutar-mutar
dengan pelan hingga telapat tangan itu berubah menjadi berwarna hitam mengerikan.
Dengan gerakan kilat Nyai Dasima mendorong telapak tangannya ke depan. Maka dari
telapak tangan itu melesat sinar hitam lalu di tengan jalan mengembang bagai kipas
raksasa. Itulah Ajian Pukulan ‘Kipas Neraka” yang jadi andalan Nyai Dasima. Selama ini
banyak pendekar yang tewas terkena Ajian Pukulan ‘Kipas Neraka” tersebut.
Wulan Arum yang tahu bahaya sedang mengancamnya tidak bisa berbuat apa-apa
karena dia tidak memiliki ajian tenaga dalam, dia cuma memiliki olah kanuragan saja.
Maka tak ayal lagi tubuhnya terpental jauh ke belakang jatuh ke jurang yang ada di
belakangnya.
“Aaaaaakhh ... !” jerit Wulan Arum keras menggema di dinding jurang yang curam
itu, lalu teriakan Wulan lenyap tak terdengar lagi.
Nyai Dasima coba memburu tubuh Wulan Arum sebelum terjatuh ke dalam jurang
tapi terlambat. Tubuh Wulan Arum keburu jatuh ke dalam jurang. Dengan kesal Nyai
Dasima menendang batu di depannya hingga hancur berantakan.
“Setan alas. Aku gagal mendapatkan Batu Mustika Merah itu. Raden Wijaya pasti
marah besar padaku ... Akh peduli setan dengan batu itu yang penting aku sudah berhasil
melenyapkan gadis itu. Sebaiknya aku kembali saja ke tempat Raden Wijaya.” Ucap Nyai
Dasima kesal. Dengan gerakan ringan sekali Nyai Dasima beranjak pergi meninggalkan
tempat itu.
—0O0—
“Hehhhmm “ suara orang mendesah pelan tersadar dari pingsan. Perlahan-lahan
orang yang baru saja siuman itu membuka matanya. Samar-samar orang itu melihat di
sekelilingnya.
“Kamu sudah sadar, Nisanak?” Ucap seseorang berpakaian serba putih agak ketat
dengan muka memakai topeng perak. Sebilah pedang bergagang matahari terlihat di balik
punggung pemuda itu. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Surya atau Pendekar Pedang
Matahari.
Wanita yang baru siuman itu menatap Surya sayu.
“Ini dimana?” Ucapnya lirih.
“Ini di goa Bukit Jatianom. Nisanak baru saja siuman dari pingsan. Apa yang terjadi
sebenarnya padamu? Kenapa Nisanak bisa pingsan?”
“Hehhmm ... Aku haus ... “ ucap wanita itu lirih.
Surya dengan cepat memberi minum pada wanita itu. Lalu dengan tenang ia
mengalirkan hawa mumi pada gadis itu agar tenaga wanita itu pulih.
“Namaku Wulan Arum. Aku berasal dari Jatianom.” Kata wanita itu
memperkenakan diri. “Terima kasih Kisanak telah menolongku.”
“Sudah sepantasnya manusia saling menolong. Saya hanya kebetulan lewat dan
melihat Nisanak pingsan tersangkut di batu sungai.” kata Surya lembut. ”Maaf Nisanak,
apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nisanak bisa sampai pingsan di batu sungai?” tanya
Surya penasaran dengan apa yang terjadi terhadap Wulan Arum.
“Aku di serang tiba-tiba oleh orang tua bernama Nyai Dasima. Aku berusaha
melawan tapi aku tak mampu melawannya. Aku terkena Pukulan ‘Kipas Neraka’ yang
dia lepaskan. Aku terpental dan terjatuh ke dalam jurang dan tahu-tahu aku di sini.” cerita
Wulan Arum.
“Kenapa Nyai Dasima menyerangmu? Sampai-sampai dia ingin membunuhmu.”
Wulan Arum menggeleng pelan. ”Aku tidak tahu.”
“Apa ini milikmu Nisanak?” kata Surya sambil menunjukkan sebuah kotak kecil
berukir tulisan emas di tangan kanannya.
“Ekh?!” Wulan kaget, lalu buru-buru mengambil kotak kecil dari tangan Surya.
“Maaf, aku menyimpannya sewaktu mengobati luka dalammu. Maaf juga jika aku
lancang.” ucap Surya kalem.
Wulan Arum nampak bersemu merah pipinya.
’Tidak apa-apa. Aku ucapkan terima kasih padamu telah menolongku. Entah apa
jadinya jika tidak ada Kisanak.” kata Wulan Arum sambil mencoba untuk duduk.
Surya dengan cepat membantu Wulan Arum untuk duduk.
”0 ya, siapa nama Kisanak?”
“Surya.” ucap Surya lembut sambil tersenyum ramah.
“Surya, terima kasih atas pertolonganmu,” kata Wulan Arum.
Surya mengangguk pelan.
"Sebaiknya Nisanak istirahat saja dulu biar lebih segar.”
Kririuuukk... !
Suara perut Wulan Arum karena merasa lapar.
Surya tersenyum lebar membuat Wulan Arum jadi menunduk malu karena perutnya
tidak bisa di ajak kerja sama.
“Sebentar.”
Surya beranjak ke sudut goa laku kembali membawa sebungkus makanan.
“Makanlah. Ini cukup sekedar mengganjal perut.”
Surya menyodorkan makanan itu ke Wulan Arum. Dengan malu-malu Wulan Arum
menerima makanan itu lalu dengan lahap menghabiskan makanan itu karena memang
perutnya sangat lapar sekali. Surya tertawa kecil melihat Wulan Arum begitu lahap
menghabis makanan itu.
“Hehmmm. Ini minum.”
Wulan Arum menghabiskan minuman itu.
”Hehehe. Maaf aku lapar sekali.” kata Wulan Arum tertawa kecil.
“Istirahatlah biar nanti bangun lebih segar.” kata Surya lembut sambil beranjak
berdiri. ”Aku mau keluar dulu sebentar.”
Wulan Arum mengangguk pelan lalu mulai merebahkan tubuhnya.
—0O0—
Desa Jatianom tampak ramai sekali siang ini ... Karena hari ini tepat pasaran Desa
Jatianom makanya seluruh penduduk tampak tumpah ruah memenuhi jalan-jalan desa
tersebut. Di antara kerumunan orang-orang tampak dua orang tengah berjalan ke sebuah
kedai di ujung jalan yang lumayan ramai. Mereka adalah Surya dan Wulan Arum.
“Kita istirahat cari makan dulu Wulan.” kata Surya sambil menoleh ke gadis cantik
yang berjalan di sampingnya.
Wulan Arum mengangguk cepat karena memang saat ini perutnya terasa lapar
sekali. Mereka masuk ke dalam kedai dan duduk di pojok karena tempat itulah yang
kosong. Pria separuh baya mendatangi mereka yang ternyata pemilik kedai itu. Setelah
memesan makanan pemilik kedai segera masuk menyiapkan makanan.
“Kakang, hari ini tepat pasaran Desa Jatianom ini. Biasanya kadipaten selalu
mengadakan perlombaan ketangkasan untuk mencari panglima perang baru. Kita
menginap dulu atau langsung pergi?” ucap Wulan Arum pelan sambil melihat keluar
kedai yang ramai.
Surya cuma diam saja karena saat ini pikiran sedang fokus terhadap beberapa orang
yang tengah memperhatikan ke arahnya.
“Kakang.” seru Wulan menepuk bahu Surya.
“Hemmm ... “ gumam Surya pelan. "Terserah kamu saja Wulan.” ucapnya pelan.
“Hmmm ... Bagaimana kalau kita menginap beberapa hari dulu di desa ini?”
Surya mengangguk pelan setuju dengan usul Wulan.
“Ini den makannya sudah siap. Silakan di nikmati.” kata pemilik kedai ramah
setelah menyediakan pesanan Surya.
“Terima kasih, Paman.” ucap Wulan pelan.
“Paman, apakah disini ada penginapan kosong?” tanya Surya cepat.
“Oh ada den, ada. Apa aden mau menginap?”
Surya mengangguk.
“Tolong sediakan satu kamar buat kami.” kata Surya cepat.
Pemilik kedai itu nampak mengerutkan keningnya sambil menatap Surya dan
Wulan Arum bergantian.
“Dia ini adikku,” ucap Surya cepat mengerti kebingungan pemilik kedai itu.
“Oh baik den. Akan saya siapkan.saya permisi dulu. Silakan di nikmati makannya.”
kata pemilik kedai itu sambil berlalu dari hadapan Surya.
“Kakang! Kok pesan satu kamar sih?!” kata Wulan cepat agak kurang senang
dengan Surya yang cuma memesan satu kamar saja. Wajahnya sedikit cemberut.
Surya cuma tersenyum saja melihat Wulan Arum yang cemberut itu. Dengan cuek
Surya melahap hidangan di depannya, mau tidak mau Wulan Arum juga melahap
hidangannya dengan muka cemberut.
—0O0—
“Kakang. Kenapa cuma pesan satu saja?” seru Wulan sengit setelah mereka di
dalam kamar penginapan.
Surya membuka jendela kamar. Sengaja Surya memilih kamar di ujung karena
dapat melihat keluar langsung ke arah jalan.
“Kita tidak tahu kapan bahaya akan datang menyerang kita. Apalagi aku yakin
orang yang menyerangmu dulu ada di Desa Jatianom ini. Untuk berjaga-jaga sebaiknya
menginap satu kamar saja.” kata Surya pelan sambil duduk di dekat jendela.
“Alah itu paling cuma alasanmu saja Kakang agar bisa tidur satu kamar dengan aku.
Nanti kalau aku terlelap tidur kamu pasti bisa leluasa kurang ajar padaku.” seru Wulan
sengit masih jengkel.
Surya tersenyum kecil mendengar kejengkelan Wulan Arum itu.
“Nah, itu kan senyum-senyum. Awas kalau sampai berani kurang ajar padaku.” seru
Wulan Arum sambil melotot.
Surya beranjak ke arah pintu kamar.
“Kakang mau kemana?” tanya Wulan Arum cepat melihat Surya yang hendak
keluar kamar.
“Aku mau jalan-jalan keluar sebentar, dari pada tetap disini mendengar kamu uring-
uringan terus.” kata Surya sambil melangkah keluar kamar.
Surya melangkah keluar dari kamar penginapan itu.
“Kakang tunggu.” seru Wulan Arum langsung menyusul Surya.
Tampak jalanan Desa Jatianom begitu ramai di padati para penduduk yang tengah
merayakan hari pasaran itu. Hari pasaran di rayakan setiap tiga purnama sekali yang
biasanya berlangsung selama tujuh hari. Desa Jatianom termasuk dalam wilayah
Kadipaten Jatiluhur yang menurut kabar akan dijadikan kerajaan sendiri oleh Raja
Jatiluhur bila putra Adipati Jatianom kembali dan menduduki tahta Kadipaten Jatianom.
Setiap setahun sekali biasanya selalu di adakan pertandingan ketangkasan dan
kedigdayaan guna mencari panglima perang serta punggawa-punggawa kerajaan.
Siapapun boleh mengikuti pertandingan tahunan tersebut karena bisa mengabdi di
kerajaan atau Kadipaten Jatianom. Apalagi sekarang Adipati Jatianom tengah mencari
panglima dan para punggawa pilihan guna memperkuat barisan perang Kadipaten
Jatianom yang akan berubah jadi kerajaan sendiri.
Surya dan Wulan Arum tampak menikmati suasana keramaian di Desa Jatianom itu.
Semakin sore suasana makin ramai karena jalan-jalan di hiasi berbagai macam hiasan.
Surya sebenarnya tahu kalau dia lagi di ikuti orang lain tapi dia pura-pura cuek saja.
“Hmmmm ... apa tujuan mereka mengikuti kami?” kata Surya lirih untuk dirinya
sendiri. “Akan aku pancing mereka ke luar desa.”
“Kakang ada apa?” tanya Wulan Arum heran dengan sikap Surya yang rada aneh.
“Wulan, ayo cepat ikuti aku. Kita di ikuti orang. Diam dan jangan banyak tanya.”
kata Surya sambil menggandeng tangan Wulan.
Tanpa banyak bicara Wulan ikut kata Surya. Sampai di luar desa dengan gerakan
kilat Surya dan Wulan Arum melompat ke sebuah pohon yang cukup rindang. Mereka
memperhatikan ke tikungan jalan dimana tadi mereka lewat. Tak berapa lama muncul
dua orang dengan baju wama coklat dan berhenti di bawah pohon dimana Surya dan
Wulan Arum bersembunyi.
“Kemana mereka tadi Kakang Bayan?” kata orang yang memakai ikat kepala.
Orang yang di panggil Bayan cuma angkat bahu sambil celingukan mencari orang
yang mereka ikuti tadi.
“Adi Darpa! Mungkin mereka mengetahui kalau kita ikuti. Kita kembali ke
persembunyian saja dan melaporkan apa yang kita lihat.” kata Bayan Ludira kalem sekali.
Sikapnya penuh wibawa dan lembut sekali.
“Aku setuju Kakang. Ayo!” Adi Darpa mengangguk cepat.
Mereka segera berlari pergi dari tempat itu. Tak lama Surya dan Wulan Arum turun
dari pohon tempat mereka sembunyi tadi.
“Siapa mereka Kakang?” tanya Wulan Arum penasaran.
Surya hanya angkat bahu saja.
Mereka lalu beranjak kembali ke Desa Jatianom menuju penginapan karena hari
sudah semakin gelap.
—0O0—
“Apa?! Paman berdua melihat Wulan Arum?” seru seorang pemuda yang
berpakaian rapi di hiasi pernak-pemik. Tampak mahkota kecil di atas kepalanya. Di lihat
dari sikap dan pakaiannya, pemuda itu sepertinya orang besar suatu kerajaan.
“Dimana Paman berdua melihat Dinda Wulan Arum?” ucapnya cepat.
Dua orang berpakaian coklat yaitu Bayan Ludira dan Adi Darpa tampak duduk
hormat di hadapan pemuda itu.
“Ampun Gusti. Kami melihat Gusti Putri Wulan Arum di Desa Jatianom. Tapi
Gusti Putri tidak sendirian. Beliau bersama seorang pemuda yang memakai topeng
perak.” ucap Bayan Ludira hormat.
“Pemuda bertopeng perak?!” ucap pemuda gagah penuh wibawa itu bingung.
Pemuda itu adalah Raden Arya Soma pewaris sah Kadipaten Jatiluhur yang
sebentar lagi jadi kerajaan sendiri lepas dari Kerajaan Jati Negara. Tapi sayangnya ada
orang licik dan serakah yang menggagalkan Raden Arya Soma naik tahta. Sehingga
Raden Arya Soma beserta pengikutnya yang masih setia berhasil melarikan diri dari
tangan Adipati Wijaya dan sekarang tengah menyusun kekuatan guna merebut kembali
Kadipaten Jatiluhur dari tangan Wijaya.
“Siapa pemuda bertopeng itu. Paman?”
“Ampun Gusti. Hamba belum tahu siapa pemuda bertopeng yang bersama Gusti
Putri Wulan Arum.” ucap Bayan Ludira.
“Hmmm ... tapi apa yakin yang Paman lihat itu Dinda Wulan Arum. Bukankah telik
sandi kita melihat Dinda Wulan Arum jatuh ke jurang setelah terkena Pukulan ‘Kipas
Neraka’ Nyai Dasima?”
“Benar, Gusti. Tapi hamba yakin kalau yang hamba lihat adalah Gusti Putri Wulan
Arum.”
“Hmmmm ... Mudah-mudahan itu benar Paman. Terus awasi mereka dan cari tahu
siapa pemuda bertopeng perak itu.”
“Akan kami laksanakan Gusti.” kata Bayan Ludira dan Adi Darpa mengangguk
dalam-dalam penuh hormat. Mereka lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi.
—0O0—
“Wulan.” panggil Surya begitu masuk ke dalam kamar.
“Wulan.” panggil Surya lagi tapi di dalam kamar Wulan Arum tidak ada dan kamar
kosong.
Surya langsung keluar kamar.
“Maaf den. Tadi Den Ayu pesen kalau den ayu pengen jalan-jalan keluar. Den ayu
juga pesan kalau Denmas balik di suruh nunggu. Begitu, den.” kata pemilik penginapan
ramah.
“Terima kasih Paman tapi saya juga ada perlu di luar. Katakan pada Wulan senja
saya baru kembali.” kata Surya langsung berlalu pergi.
Surya menyusuri jalanan Desa Jatianom menuju ke luar desa. Arah tujuannya
adalah Bukit Jatijajar dimana istana kadipaten berdiri dengan megahnya. Surya menuju
ke istana karena perasaannya kurang enak dan merasa yakin kalau Wulan Arum pasti ke
istana itu. Tapi ketika Surya sampai di kaki bukit, dia samar-samar mendengar suara
pertarungan. Maka dia segera menuju ke arah suara pertarungan tersebut.
Surya melihat dua orang pria tengah bertarung melawan prajurit berjumlah enam
orang.
“Dua orang itu bukankah yang kemarin mengikutiku. Lalu kenapa mereka bisa
bertarung melawan prajurit-prajurit Kadipaten Jatiluhur.” batin Surya dalam hati.
Surya hendak pergi dari tempat itu. Ia tidak mau ikut campur masalah yang
berkaitan dengan prajurit kadipaten maupun kerajaan. Tapi Surya jadi kaget karena tak
jauh dari pertarungan dia melihat seorang wanita tergeletak dengan banyak darah dari
mulut dan luka-luka di tubuhnya.
“Wulan?!” seru Surya kaget.
Maka dengan cepat Surya menghampiri tubuh Wulan Arum yang tergeletak tak
bergerak. Dengan cepat Surya memeriksa keadaan Wulan Arum apakah masih hidup atau
sudah mati. Surya menghela ndafas lega karena Wulan cuma pingsan saja. Tapi Wulan
juga luka dalam yang cukup serius maka dengan cepat Surya mengalirkan hawa mumi
untuk mengobati luka dalam Wulan Arum.
“Uhuk uhuk uhuk ... “ Wulan Arum batuk sambil muntah darah hitam kental tanda
racun dalam tubuh Wulan Arum sudah keluar.
Kini Surya tinggal mengalirkan hawa murni untuk memulihkan tenaga Wulan
Arum.
“Uhuk huk ... Kakang.” kata Wulan begitu membuka matanya.
“Kamu tidak apa apa Wulan?!” ucap Surya cepat.
Wulan Arum menggeleng pelan.
“Apa yang terjadi?” kata Surya cepat.
“Iblis Tangan Neraka berhasil menemukanku. Dia mengambil Mustika Merah itu.”
kata Wulan lirih sambil memegangi dadanya. “Mereka yang telah menolongku. Kalau
tidak ada mereka mungkin aku sudah di perkosa oleh para prajurit terkutuk itu.”
“Apa?!!” Surya tampak geram mendengar Wulan Arum hampir di perkosa oleh
para prajurit itu.
Maka dengan cepat sekali Surya menyerbu para prajurit yang tengah bertarung
dengan Bayan Ludira dan Adi Darpa. Kontan saja keenam prajurit itu terkejut bukan
main dan dalam waktu sebentar saja keenam prajurit itu babak belur di hajar Surya.
Mereka lari tunggang langgang tapi naas tiga prajurit berhasil di bunuh Bayan Ludira dan
Adi Darpa.
”Terima kasih Kisanak.” kata Bayan Ludira membungkuk.
Tapi Surya cuek saja dan menghampiri Wulan Arum yang masih lemas dan terluka.
Ketika Surya hendak membawa pergi Wulan Arum buru-buru Bayan Ludira mencegah
mereka.
“Tunggu dulu, Kisanak.” seru Bayan Ludira cepat.
Surya menoleh ke arah dua orang itu.
“Gusti Putri Wulan Arum. Apakah Gusti Putri baik-baik saja?” kata Bayan Ludira
hormat dan sopan sekali.
“Paman siapa?” tanya Wulan Arum heran.
Orang tua di depannya itu mengenali dirinya sedang Wulan berusaha mengingat-
ingat siapa orang tua itu sebenarnya.
“Hamba Bayan Ludira dan ini Adi Darpa. Kami adalah bawahan Gusti Bayu
Permana yaitu mendiang ayah Gusti Putri Wulan Arum. Apa Gusti Putri tidak ingat
kami?”
Wulan Arum mengerutkan keningnya berusaha mengingat.
“Akh ... aku ingat. Paman Bayan Ludira dan Paman Adi Darpa. Kalian adalah para
pembantu Ayahanda Bayu Permana. Ya aku ingat sekarang.” seru Wulan Arum senang
karena sudah ingat dengan dua orang itu.
“Syukurlah akhirnya Gusti putri mengenali kami.” ucap Bayan Ludira senang sekali.
“Kakang Bayan. Sebaiknya kita kembali ke tempat Gusti Arya Soma. Beliau pasti
gembira melihat Gusti Putri Wulan Arum selamat.” kata Adi Darpa cepat.
Bayan Ludira mengangguk cepat.
“Gusti Putri mari kita ke tempat Gusti Arya Soma. Beliau pasti sangat gembira bisa
bertemu dengan Gusti Putri.”
Wulan Arum sejenak menatap Surya seolah minta pendapat. Surya hanya angkat
bahu saja.
“Hmmmm ... baik, Paman.” kata Wulan Arum mengangguk.
Akhirnya mereka beranjak pergi dari tempat itu ke arah utara Bukit Jatijajar.
Tampak mentari mulai redup tenggelam di ufuk cakrawala.
—0O0—
“Sudahlah tidak apa apa Wulan. Soal Mustika Merah itu biar kita urus nanti saja.
Sebaiknya sekarang kamu harus di obati dulu. Aku gembira bisa melihatmu lagi dengan
selamat.” ucap Arya Soma lembut penuh kewibawaan.
“Baik Kanda.” kata Wulan Arum kalem.
Plok plok plok!
Arya Soma menepuk tangannya tiga kali. Munculah dua dayang.
“Antarkan Wulan Arum ke kamarnya. Paman Jalak Biru tolong panggil tabib untuk
memeriksa keadaan Wulan Arum.”
“Hamba Gusti.” ucap orang yang dipanggil dengan nama Jalak Biru.
Wulan Arum di antar oleh dua dayang ke kamar yang telah di siapakan untuknya.
“Kisanak, siapa namamu?” tanya Arya Soma ke Surya.
“Nama hamba Surya Gusti.” ucap Surya hormat.
“Hmmm. Surya saya mengucapkan banyak terima kasih padamu karena telah
menolong Wulan Arum.”
“Sudah jadi tugas saya untuk menolong siapa saja yang membuntuhkan.” kata
Surya lembut.
Arya Soma manggut-manggut mendengar ketulusan hati Surya dalam setiap ucapan
Surya.
“Jika boleh tahu, apa gelar kependekaranmu di dunia persilatan?”
“Hamba hanya orang biasa Gusti yang kebetulan di beri sedikit kepandaian dalam
olah kanuragan. Sekedar untuk menjaga diri saja.” kata Surya merendah. “Ampun Gusti.
Hamba tidak bisa berlama-lama di sini, jadi hamba mohon diri.”
“Kenapa buru-buru? Hendak kemana?” tanya Arya Soma cepat.
“Maaf Gusti. Ada sedikit urusan yang akan saya kerjakan Gusti. Jadi saya tidak bisa
berlama-lama di sini.”
Arya Soma manggut-manggut pelan.
“Baiklah jika begitu. Saya pun tidak mau menahanmu jika ada urusan penting.
Silaban!”
“Terima kasih Gusti.” kata Surya.
Surya berlalu dari tempat itu setelah mohon diri pada Arya Soma.
“Hmm. Sungguh pemuda yang mengesankan. Kerendahan hatinya sangat mulia.
Paman, apa Paman tahu siapa dia dan apa gelarnya?” kata Arya Soma pada orang-orang
yang ada di Balai Pendopo Agung.
“Ampun Gusti. Jika hamba melihat dari ciri-cirinya. Saya pernah mendengar
pendekar yang saat ini tengah jadi buah bibir dimana mana.” kata orang yang bernama Ki
Wayan Darma.
“Siapa itu. Paman?”
“Pendekar Pedang Matahari, Gusti.”
“Pendekar Pedang Matahari?!!” seru semua yang ada di Pendopo Agung terkejut.
“Ki Wayan! Apa Ki Wayan yakin kalau pemuda tadi adalah Pendekar Pedang
Matahari?” seru Bayan Ludira cepat ingin kepastian.
“Benar itu, Ki. Di sini kita sama-sama tahu dan mendengar berita sepak terjang
pendekar muda yang mampu menumpas Partai Kelabang Ireng serta membunuh tokoh
sesat sakti yaitu Datuk Pulau Ular. Tapi apakah pemuda tadi Pendekar Pedang Matahari
yang lagi jadi buah bibir itu.” seru Adi Darpa.
“Aku sendiri tidak tahu, tapi kalau di lihat dari ciri-ciri pemuda tadi besar
kemungkinan benar dia adalah Pendekar Pedang Matahari.” kata Ki Wayan.
“Jika benar pemuda tadi adalah pendekar sakti itu maka kita sangat beruntung bila
dia mau membantu kita.” ucap Arya Soma pelan.
“Benar, Gusti. Kita akan dengan mudah menggulingkan pemerintahan Adipati
Wijaya yang semena-mena.” seru Ki Wayan Darma.
Para petinggi itu masih terus membicarakan tentang Surya.
Sementara itu Surya yang sudah kembali di penginapan tengah berbaring di tempat
tidurnya sambil merenung.
“Batu Mustika Lima Warna. Kemana aku harus mencarinya. Merah, biru, kuning,
hijau dan putih. Dua pedang dari Lima Unsur sudah aku ketahui keberadaannya tapi tiga
pedang yang lain ada dimana. Kali ini tugasku benar-benar sulit dan lama. Belum lagi
aku harus mendirikan kerajaan sendiri. Dimana tempatnya pun aku juga tidak tahu ...
aaarghh ... Pusing kepalaku.” ucap Surya bergumam seperti orang bicara sendiri.
“Pedang Naga Langit, Pedang Rajawali Sakti, Pedang 9 Bulan. Yang dua lagi aku
tidak tahu apa namanya dan kesaktian apa yang terkandung di dalamnya. Huh, ini benar-
benar buatku pusing. Siapa sebenarnya pembuat kekacauan ini?” batin Surya.
Wuuuung, tap ... !!!
Sebuah benda menancap di lantai kayu dekat pembaringan Surya. Buru-buru Surya
melompat berlindung di samping jendela mengantisipasi serangan susulan. Secepat kilat
dia menggunakan Ajian ‘Menembus Pandang’ untuk melihat ke luar. Dia melihat orang
bertopeng dengan pakaian hitam berlari menjauhi penginapan tempat dia berada.
“Siapa orang itu? Apa maksudnya dia menyerangku?” batin Surya dalam hati.
Surya melihat ke arah senjata yang menancap di lantai kamar. Pisau kecil yang di
bungkus daun lontar. Surya memungut pisau itu lalu membuka daun lontar di gagang
pisau.
DATANGLAH KE BUKIT BARAT DESA JATIANOM
Bunyi pesan yang tertulis di daun lontar itu.
“Apa maksud pesan ini? Apa tujuan si pengirim mengirim pesan ini?” berbagai
pertanyaan timbul di hati Surya mendapat pesan singkat itu.
Dengan penuh tanda tanya di hatinya Surya keluar dari kamar lewat jendela, dengan
gerakan kilat dia berlari ke arah barat Desa Jatianom, dalam tempo singkat Surya sudah
berada di bukit barat Desa Jatianom. Dia mengedarkan Pandangannya ke sekitar tempat
itu tapi tidak melihat ada orang di tempat itu.
“Tidak ada satu manusiapun di bukit ini lalu apa maksud orang itu mengirimkan
pesan untukku?” batin Surya heran.
BLAARRRR.!!!
Suara petir tiba-tiba membelah langit malam yang di iringi kilat menyambar-
nyambar. Tiba-tiba awan hitam mendung menutup langit malam yang semula cerah
dengan bulan purnama kini jadi gelap gulita lalu hujan rintik-rintik mengguyur bukit
barat Jatianom di iringi guntur yang menggema serta kilat yang seolah membelah langit
malam.
Di atas batu sebesar kerbau dewasa yang terletak di bawah pohon beringin tiba-tiba
muncul asap putih yang lama-lama membentuk satu sosok manusia bayang-bayang.
Sosok putih samar itu ternyata adalah sosok orang tua dengan jubah putih dan berjanggut
putih. Orang tua itu membungkuk hormat di hadapan Surya yang terdiam karena heran
melihat kemunculan orang tua itu.
“Hormat dan sembah hamba pada Yang Mulia Pangeran Matahari.” kata orang tua
itu lembut.
Surya mengerutkan keningnya mendengar orang tua itu mengenali dirinya.
“Orang tua. Siapa kau? Apa aku mengenalmu?” kata Surya penasaran.
Orang tua itu sekali lagi membungkuk hormat seolah sedang berhadapan dengan
seorang raja besar.
“Hamba Ki Ageng Tirtayasa salah satu dari Dua Puluh Lima Pelindung Raja yaitu
Pita Emas.” kata orang tua itu yang bernama Ki Ageng Tirtayasa yang mengaku salah
satu dari Dua Puluh Lima Pelindung Raja Pita Emas.
Mendengar hal itu membuat Surya terlonjak kaget bukan main, karena Surya tahu
apa itu Pelindung Raja Pita Emas. Itu adalah dua puluh lima orang pilihan yang Surya
beri Ilmu ‘Pengikat Batin’ agar memiliki ilmu kesaktian dan kesetiaan pada raja Kerajaan
Tapak Suci jaman dulu yang dia dirikan, tapi kerajaan itu hancur oleh perang saudara dan
kini hanya tinggal dongeng belaka.
“Dua Puluh Lima Pelindung Pita Emas?!” kata Surya lirih.
“Yang Mulia Pangeran Matahari.” panggil Ki Ageng Tirtayasa kalem.
Surya menghela nafas pelan.
“Ada apa kamu menemuiku di tempat ini, Tirtayasa?” kata Surya cepat tanpa
menaruh hormat pada orang tua di hadapannya karena dulu semasa Surya masih jadi raja
di Istana Tapak Suci. Dua Puluh Lima Pelindung yang dia bentuk adalah orang-orang
yang hampir sebaya dengan dirinya. Jadi tidak heran kalau Surya bersikap seperti orang
sebaya.
“Bukankah Istana Tapak Suci sudah musnah dua abad yang lalu. Kenapa kamu
masih bisa hadir di masa ini?”
Ki Ageng Tirtayasa kembali membungkuk hormat.
“Ampun Yang Mulia Pangeran Matahari. Ampuni kelancangan hamba yang berani
menemui Yang Mulia Pangeran Matahari dengan tidak sopan. Selama Ilmu ‘Pengikat
Batin’ masih ada di diri kami, maka kami akan selalu terikat dengan Yang Mulia
Pangeran Matahari.” kata Ki Ageng Tirtayasa menerangkan.
Surya manggut-manggut mendengar itu.
“Aku tahu itu, tapi jika aku mencabut Ilmu ‘Pengikat Batin’ itu maka kamu tahu
kan apa akibatnya?! Semua ilmu yang kalian miliki akan hilang dan bahkan nyawa kalian
bisa lenyap.” kata Surya tenang.
“Kami paham Gusti.” Ki Ageng Tirtayasa mengangguk cepat.
“Sudahlah. Ada apa kau menemuiku di sini?!” Surya ingin segera tahu apa maksud
Ki Ageng Tirtayasa menemuinya.
Ki Ageng Tirtayasa mulai menyampaikan maksud dan tujuannya menemui
junjungannya. Rupanya Ki Ageng menceritakan semua kejadian dari jaman Istana Tapak
Suci bisa hancur sampai kenapa Surya bisa terpesat di jaman ini.
“Jadi seperti itulah Yang Mulia Pangeran Matahari.” kata Ki Ageng Tirtayasa
mengakhiri ceritanya.
Surya mengangguk paham apa yang sebenarnya terjadi kenapa dia bisa sampai
terpesat ke jaman ini.
“Terima kasih Tirtayasa atas ceritamu. Nah, mulai sekarang kau aku bebaskan dari
Ilmu ‘Pengikat Batin’ yang kusematkan padamu. Pergilah dan tenanglah di alammu.”
kata Surya penuh kewibawaan.
“Terima kasih atas kemurahan hati Gusti Pangeran Matahari. Jika hamba di
perkenankan apakah hamba di perbolehkan minta satu permintaan. Hamba mohon
dengan sangat Gusti Pangeran mau mengabulkan.” Ki Ageng Tirtayasa membungkuk
dalam-dalam.
“Hmmm ... apa?”
“Hamba punya murid yang bernama Panji. Bergelar Pendekar Naga Putih. Ada
seorang tokoh sakti yang memberikan pusaka yaitu Pedang Naga Langit yang sebenarnya
milik murid Gusti Pangeran.”
Ki Ageng Tirtayasa berhenti sejenak.
Tampak Surya sedikit terkejut mendengar itu.
“Akan sangat berbahaya sekali jika Panji memakai Pedang Naga Langit tanpa
memiliki tenaga dalam yang di miliki Pedang Naga Langit.”
“Lalu apa permintaanmu?” potong Surya.
“Ampun Gusti. Hamba mohon Gusti berlapang hati menolong murid hamba Panji.”
kata Tirtayasa sambil berlutut.
Surya diam sejenak mendengar permintaan Ki Ageng Tirtayasa itu.
“Hamba mohon Gusti.”
“Hehmm. Baik akan aku bantu muridmu itu tapi kamu harus menerima akibatnya
Tirtayasa.”
“Hamba mengerti Gusti.”
“Siapa nama tokoh sakti yang memberikan Pedang Naga Langit itu pada
muridmu?”
“Namanya Ki Resi Wasesa. Dia berdiam diri di kawah Gunung Lawu.”
Surya manggut-manggut saja.
“Ya sudah. Pergilah ke Goa Lima Warna dan semedilah di sana.”
Ki Ageng Tirtayasa membungkuk hormat kemudian sosoknya pelan-pelan
menghilang.
Keadaan bukit barat Jatianom kembali sepi dan gelap seperti sedia kala namun
hujan rintik-rintik masih mengguyur bukit Jatianom, kilat masih terlihat membelah
malam, perlahan Surya mulai beranjak meninggalkan bukit Jatianom tersebut.
—0O0—
Sekelebat bayangan hitam nampak melompat-lompat dengan lincahnya di antara
pepohonan yang tumbuh di sekitar bangunan megah Kadipaten Jatiluhur. Sejenak
bayangan itu berhenti di bawah pohon yang cukup rindang, kemudian melompat tinggi di
atas sebuah benteng tinggi. Menilik dari gerakannya yang lincah nampaknya bayangan
hitam itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Pelan-pelan bayangan
hitam itu mengendap-endap ke sebuah bangunan dan berhenti di bawah jendela sebuah
kamar.
Setelah melihat kanan kiri, bayangan itu mengetuk daun jendela. Setelah beberapa
kali ketukan, tak lama jendela itu di buka dari dalam. Dengan cepat bayangan hitam itu
melompat masuk setelah jendela terbuka lebar. Kemudian dengan cepat jendela kembali
tertutup rapat.
“Bagaspati! Ada pesan apa dari Gusti Arya Soma?” ucap seorang wanita muda
yang cantik agak berbisik seolah tidak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan
mereka.
Orang yang di panggil Bagaspati buka penutup wajahnya.
“Nini Intansari! Gusti Arya Soma menugaskan Nini mencari tahu apakah Batu
Mustika Merah telah jatuh ke tangan Adipati Wijaya.” kata Bagaspati juga setengah
berbisik.
“Batu Mustika Merah?! Aku rasa belum. Karena tadi Adipati masih menyuruh
bawahannya untuk mencari Batu Mustika Merah itu.” bisik Intansari yakin.
“Begitu? Oya ada kabar gembira. Gusti Putri Wulan Arum sudah kembali dan
beliau sekarang ada di tempat persembunyian bersama yang lain.”
“Gusti Putri Intansari sudah kembali? Syukurlah. Terima kasih ya Tuhan.” ucap
Intansari senang sekali. “Tapi ... bukankah kabarnya Gusti Putri jatuh ke jurang.
Bagaimana ceritanya, Bagaspati.” lanjut Intansari cepat.
“Ada yang menolong beliau. Yaitu pendekar sakti.” sahut Bagaspati. “Soal Batu
Mustika Merah. Gusti Putri Wulan Arum bilang kalau batu mustika itu di curi oleh
orang-orang Adipati Wijaya. Apa benar Adipati Wijaya belum memiliki Batu Mustika
Merah itu?!”
Intansari menggeleng cepat.
“Aku yakin belum.” ucapnya mantap.
“Ya sudah, terus awasi Adipati itu dan berhati-hatilah.” ucap Bagaspati pelan. “Aku
harus pergi.”
Intansari mengangguk cepat.
“Kamu juga hati-hati.”
Bagaspati kembali melompat keluar dari jendela setelah melihat keadaan aman.
Dengan mengendap-endap, Bagaspati menuju dinding benteng. Tapi baru mau melompat
tiba-tiba ada sebuah benda meluncur cepat kearahnya. Bagaspati dengan lincah
menghindari benda yang meluncur ke arahnya itu.
Jleb ... jleb ... !
Ternyata dua pisau menancap di dinding benteng. Dua pisau hitam tampak
menancap setengah batang dengan kuat.
“Pisau Setan?!” seru Bagaspati setelah mengenali dua pisau yang menancap di
dinding benteng.
“Ha ha ha. Mau lari kemana kau penyusup!?” teriak seorang pria dengan kumis
melintang di atas bibir sambil kacak pinggang.
Bagaspati terkejut bukan main begitu melihat orang yang muncul di hadapannya.
“Tiga Pisau Setan?!!” seru Bagaspati agak tercekat. “Tiga Pisau Setan? Kenapa
kepala rampok Hutan Jati Wesi bisa ada di sini? Benar-benar aneh.” batin Bagaspati
heran.
Orang berpakaian hitam dengan kumis melintang maju mendekati Bagaspati.
Tampak di belakang Pisau Setan berdiri sepuluh prajurit kadipaten yang sudah mulai
mengepung Bagaspati.
“Ha ha ha. Menyerah saja kau, penyusup! Kau tidak mungkin bisa lolos dari sini.”
seru Pisau Setan lantang.
Bagaspati memandang tajam si Pisau Setan. Dalam hatinya dia agak gentar juga
mengetahui orang di depannya itu. Siapa yang tidak tahu dengan Tiga Pisau Setan. Dia
adalah kepala rampok yang sangat sakti serta memiliki senjata yang juga unik tapi
mematikan. Tapi Bagaspati sudah bertekad tidak akan menyerah begitu saja. Dia
bukanlah orang yang takut mati. Maka dengan cepat Bagaspati mencabut pedang pendek
dari pinggangnya.
“Ha ha ha. Besar juga nyalimu. Anak-anak tangkap penyusup itu.” teriak si Pisau
Setan cepat.
“Hiaaaatt... !!!”
Dengan di iringi teriakan-teriakan para prajurit Kadipaten Jatiluhur mulai
menerjang penyusup istana yaitu Bagaspati. Tampak Bagaspati kerepotan menghindari
terjangan para prajurit yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan tinggi. Tapi Bagaspati
bukan orang lemah. Dengan ilmu silat yang di dapatnya di Perguruan Ular Emas maka
dengan gerakan lincah Bagaspati memainkan jurus-jurus ’Ular Emas’-nya. Dalam lima
belas jurus Bagaspati berhasil membunuh dua orang prajurit. Ini membuat Pisau Setan
jadi geram, maka dengan cepat si Pisau Setan menyerang Bagaspati. Terbukti ternyata
ilmu silat Bagaspati masih kalah tinggi, ini terlihat Bagaspati berkali-kali terkena pukulan
dan tendangan si Pisau Setan. Beruntung Pisau Setan tidak menggunakan tenaga dalam
penuh sehingga Bagaspati hanya sedikit mengalami luka dalam.
Akibat keributan itu maka tampak banyak orang yang mendatangi tempat itu
termasuk Adipati Wijaya.
“Paman Singo Abang, ada apa ini ribut-ribut!?” seru Adipati Wijaya tegas.
Begitu melihat siapa yang datang, maka semua yang ada di tempat itu membungkuk
hormat.
“Ampun Gusti Adipati. Ada penyusup yang berhasil di tangkap oleh Ki Warok
Ireng.” ucap orang yang bernama Singo Abang.
“Apa?!” seru Adipati Wijaya kaget. “Siapa penyusup itu?”
Si Pisau Setan membawa Bagaspati yang sudah dalam keadaan tak berdaya ke
hadapan Adipati Wijaya.
”Ini Gusti penyusupnya.” ucap si Pisau Setan yang bernama Ki Warok Ireng.
Adipati Wijaya menatap orang yang terbungkus pakaian hitam dengan penutup
muka.
“Buka penutup mukanya.” perintah Adipati Wijaya tegas.
Breettt!
Terpampanglah wajah seorang muda dengan mulut dan hidung berdarah akibat di
hajar si Pisau Setan.
“Bagaspati?!” seru Adipati Wijaya kaget mengenali penyusup itu. “Kurang ajar ... !!
Pengawal ... Bawa orang ini ke penjara bawah tanah ... Siksa dia dan tanya siapa yang
menyuruhnya menyusup di kadipaten ini!” seru Adipati Wijaya lantang dengan wajah
geram sekali.
Beberapa pengawal datang dan menyeret Bagaspati ke penjara.
“Paman Singo Abang! Besok pagi aku ingin semua petinggi kadipaten berkumpul
di Pendopo Agung. Paham?!” ucap Adipati Wijaya dengan mimik muka yang masih
geram.
“Baik, Gusti.” kata Singo Abang pelan membungkuk hormat.
Adipati Wijaya berlalu dari tempat itu di ikuti para pengawal kadipaten.
—0O0—
Di Pendopo Agung Kadipaten Jatiluhur tampak semua petinggi kadipaten
berkumpul, tapi wajah mereka di liputi ketegangan. Tak lama muncul pemuda gagah
berwajah keras dengan sorot mata tajam, dialah Adipati Wijaya Soma, anak Adipati
terdahulu dari selir ketiga. Jadi secara garis keturunan Wijaya Soma bukan pewaris sah
Kadipaten Jatiluhur yang saat ini tengah berbenah menjadi sebuah kerajaan sendiri.
Pewaris sah Kadipaten Jatiluhur adalah Arya Soma karena lahir dari istri sah
Adipati terdahulu. Tapi dengan cara licik dan di bantu Pamannya yaitu Singo Abang.
Kakak dari ibunya Wijaya Soma serta di bantu orang-orang persilatan, Wijaya Soma
berhasil mengambil kadipaten sebelum jatuh di tangan Arya Soma. Kenapa sampai
sekarang kadipaten belum juga jadi kerajaan sendiri?
Itu karena sampai saat ini Wijaya Soma belum juga mendapatkan pusaka kerajaan
yaitu Batu Mustika Merah dan Keris Naga Kopek. Batu Mustika Merah entah berada
dimana sebab Batu Mustika Merah berhasil di curi orang dari tangan Wulan Arum dan
malah hampir saja Wulan Arum menjadi korban kebejatan prajurit kadipaten jika tidak
lekas di tolong Ki Bayan Ludira dengan Ki Adi Darpa.
Keris Naga Kopek juga belum di ketahui keberadaannya dan konon kabarnya keris
bertuah itu masih berada di tangan pembuat keris yaitu Resi Majalaga. Itu sebabnya
Adipati Wijaya Soma gencar sekali mencari dua benda pusaka itu sebab tanpa dua benda
pusaka itu maka dia tidak akan bisa jadi raja di Istana Jatiluhur untuk selamanya.
“Kalian tahu kenapa aku kumpulkan di sini?!!” seru Adipati Wijaya keras sekali
sambil matanya menatap satu persatu orang-orang yang hadir di Pendopo Agung itu
dengan tajam.
“Semalam ada orang yang berhasil menyusup ke dalam kadipaten. Tapi beruntung
Ki Warok Ireng memergokinya dan berhasil menangkap penyusup itu.” Adipati Wijaya
Soma tampak menahan amarah.
“Apa yang kalian kerjakan sebenarnya di sini. Kenapa bisa ada penyusup berhasil
masuk di kadipaten. Apa?!” ucap Adipati Wijaya marah.
Semua yang ada di dalam Pendopo Agung tertunduk tanpa ada yang berani bicara.
“Mahardika!!” seru Adipati cepat.
“Hamba Gusti.” kata orang berbaju panglima.
“Apa yang kamu temukan di bukit barat Jatianom?”
“Ampun Gusti. Bukit barat Jatianom tidak ada apa-apa. Tidak terlihat bukit itu ada
orang di sana. Hamba yakin tidak ada yang berani pergi ke bukit barat Jatianom.” kata
Mahardika melaporkan hasil patrolinya ke bukit barat Jatianom.
“Hmmmm. Apa kau yakin Mahardika?”
“Hamba yakin Gusti.”
“Ya sudah. Ki Warok Ireng ... Bagusatrio!” teriak Adipati Wijaya lantang.
Warok ireng dan Bagusatrio maju selangkah.
“Hamba Gusti.”
“Kalian berdua bawa prajurit secukupnya, temukan tempat persembunyian Arya
Soma dengan pengikutnya.”
“Kami siap terima titah Gusti.” seru mereka cepat.
“Paman Sempala. Urus penyusup itu dan paksa dia untuk bicara.”
Sempala membungkuk cepat.
“Baik, Gusti.”
“Dan kalian! Tingkatkan penjagaan kadipaten, aku yakin pasti ada orang-orang
Arya Soma yang coba menyusup lagi.”
Semua berdiri dan membungkuk cepat. Tanpa bicara lagi Adipati Wijaya berlalu
dari Pendopo Agung itu.
-oOo-
Di keheningan malam tampak sekelebat bayangan putih melompat lompat di antara
pohon-pohon. Sesekali bayangan putih itu mendongak ke atas menatap langit yang pekat
tertutup awan tebal. Dengan kecepatan bagai kilat dan sulit di lihat dengan mata biasa,
maka bayangan itu bergerak bagai hantu malam saja. Tak berapa lama bayangan putih itu
berhenti di depan sebuah goa. Bayangan putih segera masuk ke dalam goa itu.
“Kakang.” seru seorang wanita sangat cantik bagai bidadari dari khayangan.
“Dewi. Bagaimana Pandan Wangi?” tanya orang berbaju serba putih setelah sampai
di hadapan gadis cantik yang ternyata Dewi Sekarwati.
“Dia masih bersemedi, Kakang.” ucap Dewi Sekarwati lembut.
Surya menatap gadis cantik di depannya itu dengan lembut. Dia tersenyum lembut
kemudian membuka topeng peraknya. Terlihatlah wajah tampan Surya. Dewi Sekarwati
bersemu merah dilihatin Surya tanpa memakai topeng peraknya karena Surya terlihat
tampan sekali tanpa topeng perak itu.
“Bagaimana dengan dirimu sendiri. Dewi?” kata Surya lembut sambil tersenyum.
Ini semakin membuat Dewi Sekarwati kikuk dan merah padam mukanya karena
salah tingkah. Apalagi ketika Surya menyentuh dua pipinya. Maka Dewi Sekarwati
semakin kikuk saja.
“Kenapa diam?” ucap Surya lembut.
“Ti... ti ... tidak a ... apa-apa ... “ ucap Dewi Sekarwati tergagap.
Buru-buru dia palingkan mukanya dari tatapan Surya yang membuat jantungnya
tiba-tiba berdetak kencang. Dewi Sekarwati berusaha menekan perasaannya yang
bergemuruh di dalam dada.
“Dewi, kamu kenapa? Wajahmu merah. Hehe.” goda Surya tersenyum lebar. “Malu
ya sama aku. Hehehe.”
Surya mencubit pipi Dewi gemas.
“Tidak.” seru Dewi cepat sambil cemberut. “Ekh?!!”
Dewi Sekarwati tersentak karena tiba-tiba Surya mencium keningnya. Ada perasaan
damai yang merasuk ke dalam hatinya apa lagi Surya memeluk dirinya. Perasaannya
tambah semakin damai sekali.
“Tetaplah di sisiku. Hanya kamu yang kumiliki saat ini. Aku sangat kesepian
Dewi.” ucap Surya lirih semakin erat memeluk Dewi Sekarwati.
Dewi Sekarwati juga mempererat pelukannya.
“Kakang.” hanya itu yang terdengar dari mulut Dewi Sekarwati.
Mereka masih berpelukan lama sekali seolah tak ingin lepas.
Malam merambat semakit larut. Suara binatang malampun bernyanyi dengan merdu
di iringi desiran angin sepoi sepoi. Dua insan itu masih hanyut dalam buaian kasih yang
terjalin di antara mereka.
—0O0—
Blaaarrrr!
Suara petir menggelegar keras memecah keheningan malam yang tenang dan damai.
Tidak ada hujan tidak awan mendung tapi suara petir begitu memeka kk an gendang
telinga. Dari utara, muncul sinar kuning sangat terang melesat cepat ke arah bukit sebelah
barat Desa Jatianom. Tak lama sinar kuning terang itu turun perlahan-lahan kemudian
terdengar raungan melengking tinggi panjang.
Slappp!
Malam kembali tenang seperti sedia kala.
Dari bawah pohon besar muncul seorang pemuda tampan dengan pakaian atas biru
dan celana hitam. Di punggung terdapat sebilah pedang dan di kepala menggunakan
blangkon coklat selaras dengan wajahnya yang tampan. Pemuda itu berjalan menyusuri
kegelapan malam menuju kaki bukit Jatianom tersebut.
Tak terasa fajarpun menyingsing.
Kokok ayam jantan bersahutan memecah keheningan pagi yang dingin ini. Tak
berapa lama semburat cahaya jingga terlihat di ufuk timur tanda sang raja siang akan
segera menampakkan dirinya. Para penduduk Jatianom bangun melaksanakan tugasnya
untuk pergi ke ladang maupun sawah. Sepagi ini Desa Jatianom sudah begitu ramai
aktivitas penduduknya. Ini di karenakan hari pasaran masih berlangsung meriah sejak
beberapa hari yang lalu.
“Tarman! Semalam kamu dengar tidak suara petir yang begitu keras?” tanya
seorang penduduk yang lagi asik ngopi di warung.
“La iya dengar to. La wong suaranya saja begitu keras.” sahut orang tua yang di
panggil dengan nama Tarman tadi. “Aku rasa suaranya dari arah bukit barat desa. Ya,
tidak?”
Orang yang bertanya tadi mengangguk cepat. Orang ini bernama Parjo.
“Betul itu. Suaranya dari bukit barat desa.” katanya.
“Ada kejadian apa lagi ya dengan Kadipaten Jatiluhur ini. Setiap ada suara petir di
Bukit Setan itu pasti bakal ada peristiwa besar yang terjadi di kadipaten ini.”
“Halah peristiwa apa to, Man. Gayamu kaya peramal saja.”
“La ya mbuh. Aku yakin pasti bakal terjadi peristiwa besar di Jatiluhur ini. Tapi
peristiwa apa itu aku juga tidak tahu.” seru Tarman mantap.
“Halah sudah sudah malah jadi ngelantur. Ya sudah aku mau pergi ke pasar dulu.
Sudah hampir siang.”
Setelah membayar segelas kopinya parjo segera pergi dari warung Ki Tarman itu.
“Paman. Minta minum dan makan satu.” kata pemuda berbaju biru yang baru saja
masuk ke dalam warung Ki Tarman.
“Baik den, sebentar saya siapkan.” kata Ki Tarman cepat.
Dengan segera Ki Tarman menyediakan pesanan pemuda tadi.
“Nah ini den. Silakan.” kata Ki Tarman ramah.
“Terima kasih. Paman.” kata pemuda itu kalem. “Oya maaf Paman. Kalau saya
boleh tahu apa nama desa ini?” tanya pemuda itu.
Sejenak Ki Tarman melihat pemuda itu dari atas ke bawah.
“Aden pengembara ya. Ini Desa Jatianom den. Apa aden mau menjenguk sanak
saudara di Desa Jatianom ini?” ucap Ki Tarman kalem.
“Jatianom?! Oh ya sudah tolong siapin makannya. Paman.” ucap pemuda tadi tidak
menghiraukan pertanyaan pemilik warung.
“Baik den. Sebentar saya siapkan.”
Ki Tarman segera masuk buat nyiapin pesanan tamunya.
Di pojok ruangan tampak dua orang tengah memperhatikan gerak gerik si pemuda.
Mereka bisik-bisik sejenak kemudian berlalu dari warung Ki Tarman itu.
“Nah ini den makanannya. Silakan di nikmati.” ucap Ki Tarman ramah.
“Terima kasih.” ucap pemuda itu mengangguk.
Pemuda itu kemudian dengan lahap menyantap makanan yang di sajikan pemilik
warung. Tak berapa lama datang seorang gadis cantik dengan pakaian serba merah. Gadis
itu kemudian duduk tak jauh dari pemuda tadi.
“Ki Tarman.” panggil si gadis cepat.
Ki Tarman buru-buru menghampiri gadis cantik tadi.
“Ekh, Den ayu. Ada apa den?” kata Ki Tarman hormat.
“Ki, apa Surya sudah kembali?” tanya gadis itu yang ternyata Wulan Arum.
“Maaf Den Ayu. Den Surya sudah kembali semalam tapi ... “ Ki Tarman
menghentikan ucapannya.
“Tapi apa?!” seru Wulan Arum penasaran.
“Anu Den Ayu. Itu ... Anu den Surya cuma bayar penginapan terus pergi. Katanya
dia tidak akan kembali lagi. Gitu den.” ucap Ki Tarman agak takut.
“Apa?!!” seru Wulan Arum kaget sampai berdiri.
Dia menatap tajam pemilik warung itu seolah menegaskan apa yang di sampaikan
pemilik warung itu adalah benar. Tanpa bicara lagi Wulan Arum segera pergi dari
warung itu.
“Den ayu ... “ panggil Ki Tarman cepat tapi Wulan Arum keburu pergi dari
warungnya. Ki Tarman hanya menghela nafas pelan saja.
“Paman. Berapa semuanya?” tanya pemuda baju biru setelah menyelesaikan
makannya.
Pemuda itu segera berlalu dari warung Ki Tarman. Tujuan pemuda itu adalah
menuju Kadipaten Jatiluhur karena dia mengemban tugas dari gurunya untuk
menyerahkan sebilah keris pusaka kepada Adipati yang sah yaitu Arya Soma, tapi
pemuda tidak tahu kalau Adipati Jatiluhur sekarang adalah Wijaya Soma sedang Arya
Soma telah bersembunyi dari kejaran Wijaya Soma.
Ketika pemuda itu sampai di kaki bukit utara Desa Jatianom. Dia mendengar ada
yang tengah bertarung maka buru-buru pemuda itu belari ke tempat pertarungan. Melihat
dari cara berlari pemuda itu maka bisa di pastikan pemuda bukan orang sembarangan
karena gerakannya begitu enteng dan lincah sekali. Dalam waktu sekejap saja pemuda itu
sampai di tempat pertarungan. Tampak seorang wanita tengah di keroyok oleh dua orang
pria.
“Bukankah itu gadis yang di warung tadi? Dua pria itu juga yang di warung tadi.
Hmmm ... Ada apa sebenarnya kenapa mereka bertarung?” ucap pemuda itu seolah untuk
dirinya sendiri.
“Hiaaaattt.”
“Hiaaatt.”
Teriakan-teriakan keras terdengar mewarnai pertarungan yang bisa di katakan
cukup seimbang namun si gadis agaknya mulai kewalahan menghadapi serangan dua pria
yang semakin cepat gerakannya hingga pada jurus ke lima puluh dua sebuah pukulan
telak mengenai perutnya. Si gadis langsung tersungkur sambil muntah darah dari
mulutnya. Perutnya terasa mual sekali, maka gadis itu memegangi perutnya yang sakit.
Dia terduduk sambil menatap tajam dua pria lawannya.
“Hahahaha. Hari ini kita dapat rejeki besar, Karjo. Gusti Adipati Wijaya pasti akan
sangat senang melihat gadis ini. Hahahaha.” kata si pria muka bopeng sambil tertawa.
“Kau benar, Bodel. Kita juga pasti dapat hadiah besar. Hahahaha.” seru si Karjo
juga tertawa senang.
Mereka sama sama tertawa senang mendapat buruan yang selama ini di cari
kadipaten.
“Bunuh saja aku! Tidak sudi aku ketemu dengan manusia iblis itu!” teriak Wulan
Arum dengan sorot mata tajam ke arah dua pria itu.
Dua pria itu semakin tertawa keras mendengar ucapan Wulan Arum. Mereka
dengan cepat meringkus Wulan Arum dan segera hendak di bawa ke kadipaten. Tapi...
Bet... Bet... !
Benda mengkilat bergerak cepat memotong tali yang mengikat Wulan Arum.
Ini membuat dua pria tadi tersentak kaget karena ada seseorang berhasil
membebaskan Wulan Arum dalam waktu sekejap mata saja. Di depan Wulan Arum
tampak seorang pemuda tampan berbaju biru berdiri dengan pedang menyilang di depan
dada.
“Hai Kisanak, siapa kau?! Berani sekali menghalangi kami membawa gadis itu.”
teriak Karjo lantang penuh tekanan.
Pemuda itu mendudukkan Wulan Arum di bawah pohon. Dia kemudian
memasukkan pedangnya dan coba bersikap ramah di depan dua pria tadi.
“Maaf Paman berdua. Saya tidak bermaksud menghalangi Paman. Tapi apa
kesalahan gadis itu hingga Paman-paman ini menangkapnya.” ucap pemuda itu dengan
suara lembut.
“Hai anak muda siapa namamu?” seru Bodel keras.
“Saya ... Bayu Sanjaya.” kata pemuda itu membungkuk hormat.
“Hmmmm. Bayu Sanjaya. Tahukah kau siapa gadis yang kau tolong itu?” seru
Bodel.
Pemuda yang bernama Bayu Sanjaya itu menggeleng pelan saja.
“Ketahuilah anak muda. Dia adalah buronan kadipaten karena dia telah mencuri
benda pusaka kadipaten. Jadi harap kau menyingkir dari sini. Serahkan gadis itu pada
kami.” kata Bodel cepat.
“Benar anak muda. Jika kau serahkan gadis itu maka kau sama saja telah berjasa
besar pada Kadipaten Jatiluhur.” ucap Karjo kalem.
Dua pria itu mencoba mengelabuhi pemuda di depan mereka itu.
Bayu Sanjaya menatap gadis cantik yang sudah tak berdaya di bawah pohon tak
jauh darinya itu kemudian menatap dua pria di depannya.
“Jika boleh tahu benda pusaka apa yang di curinya, Paman?” tanya pemuda itu coba
menyelidiki.
“Sebuah pusaka yang sangat berharga bagi kadipaten. Biarkan kami bawa gadis itu
pada Adipati. Atau kamu mau ikut kami anak muda biar nanti Adipati bisa memberikan
hadiah juga buat kamu.” ucap Karjo masih bersikap tenang.
Bayu Sanjaya terdiam mendengar bujukan Karjo. Nuraninya mengatakan kalau dua
orang di depannya sedang membohongi dirinya.
“Anak muda. Lekas serahkan gadis itu pada kami. Cepat kami tidak banyak
waktu!” seru Bodel tidak sabaran. Agaknya si Bodel tidak menyukai Bayu Sanjaya.
Dalam hati dia tidak sudi berbagi hadiah dengan orang yang tidak dia kenal.
“Jangan percaya mereka Kisanak.” seru Wulan Arum tiba-tiba. Suaranya berat
sekali karena menahan luka dalam yang dia derita. “Mereka orang-orang Adipati iblis.
Mereka orang jahat.”
“Diam kau gadis sialan! Kalian para pemberontak memang harus di lenyapkan.
Agar tidak mengganggu ketenangan Kadipaten Jatiluhur.” teriak Bodel geram.
“Hahahaha. Kalianlah yang harusnya di lenyapkan dari muka bumi ini. Kalian
pengkhianat Adipati sah Jatiluhur. Arya Soma adalah pewaris sah bukan Wijaya iblis
itu.” seru Wulan Arum cepat.
“Bangsat! Sebaiknya kita bunuh saja gadis itu Karjo. Hiaaaaattt ... ” seru Bodel
tidak bisa menahan amarahnya.
Dengan teriakan keras Bodel melompat cepat ke arah Wulan Arum. Goloknya
bergerak cepat bagai ular lapar yang menerjang mangsa.
Tringgg ... !
Belum sempat golok Bodel sampai ke Wulan Arum, tiba-tiba sebuah pedang sudah
menangkis golok Bodel yang bergerak liar. Tentu saja Bodel menjadi semakin berang.
Tanpa pikir panjang Bodel langsung menerjang Bayu Sanjaya yang menangkis
serangannya tadi.
Dengan gerakan lincah Bayu Sanjaya meladeni serangan Bodel. Kilatan pedang
bergerak cepat seiring gerakan golok. Pertarungan berlangsung seru karena tingkat
kepandaian mereka cukup berimbang. Mendekati jurus ke dua puluh lima Bayu Sanjaya
mulai terdesak, apa lagi Karjo juga mulai ikut menerjang membantu Bodel maka semakin
terdesaklah Bayu Sanjaya. Pada jurus tiga puluh tujuh sebuah tendangan mendarat di
punggung Bayu Sanjaya. Otomatis Bayu Sanjaya tersungkur mencium tanah.
“Karjo, Bodel!” teriak seseorang yang baru saja datang.
“Nyai Dasima?!!” ucap Karjo dan Bodel kaget begitu melihat siapa yang datang.
Tampak di belakang Nyai Dasima ada tiga punggawa kadipaten. Buru-buru Karjo
dan Bodel memberi hormat pada mereka.
“Bawa gadis dan pemuda itu ke kadipaten.” ucap Nyai Dasima cepat.
“Baik.” seru Karjo dan Bodel bersamaan.
Bayu Sanjaya dan Wulan Arum akhirnya di bawa ke kadipaten sebagai tawanan.
—0O0—
“Hahahaha. Akhirnya Keris Pusaka Naga Kopek berhasil kumiliki. Sekarang tidak
akan ada yang bisa menentang aku untuk menjadi raja di Jatiluhur ini. Hahahaha.” seru
Adipati Wijaya S oma lantang sambil di selingi tawanya yang keras.
Sebuah keris yang masih terbungkus warangka emas berukirkan naga melingkar
tergenggam erat di tangan kiri Adipati Wijaya Soma yang di angkat tinggi. Seluruh orang
yang hadir di Pendopo Agung tersenyum senang melihat hal itu. Dengan perlahan
Adipati Wijaya Soma mencabuk Keris Naga Kopek dari warangkanya.
Srrringgg!!!
Cahaya kuning kemasan keluar dari badan keris yang berlekuk tujuh itu. Pamor
yang di keluarkan Keris Naga Kopek begitu luar biasa dan ini membuat semua yang
melihat terkesiap dengan pamor keris yang begitu kuatnya.
“Hahahaha. Keris Naga Kopek. Akulah tuanmu karena akulah calon Raja Agung di
Jatiluhur ini. Hahahaha.”
“Hidup Yang Mulia calon Raja Agung.” teriak semua pengikut Adipati Wijaya
Soma.
Sejenak balai Pendopo Agung bergemuruh oleh teriakan-teriakan yang mengelu-
elukan Adipati Wijaya Soma.
“Anakku Wijaya Soma.” ucap seorang wanita separuh baya agak keras.
Wijaya Soma yang mendengar itu langsung menyembah hormat.
“Kanjeng Ibu. Ada apa Kanjeng Ibu memanggil Ananda?” ucap Wijaya Soma
lembut.
Wanita setengah baya yang bernama Sri Kemuning yaitu ibu kandung Wijaya Soma
dan juga selir ketiga dari Bayu Permana, Adipati terdahulu.
“Janganlah kau terlalu gembira sebab kegembiraan yang berlebihan bisa
mendatangkan malapetaka bagi kita.” ucap Sri Kemuning menasehati. “Keris lambang
Istana Jatiluhur telah kau dapatkan. Tinggal Batu Mustika Merah yang harus kau
dapatkan juga. Bila dua pusaka itu telah kau dapatkan maka kau akan jadi seorang raja
agung yang sakti mandraguna. Seorang raja yang agungkan semua rakyatmu.”
“Baik Kanjeng Ibu ananda akan selalu menuruti nasehat Kanjeng Ibu.” ucap Wijaya
Soma lembut.
Wijaya Soma sangat sayang dan menghormati ibunya itu.
“Perintahkan bawahanmu untuk terus mencari keberadaan Batu Mustika Merah
itu.”
“Baik Kanjeng Ibu.”
Wijaya Soma lalu memerintahkan punggawa-punggawa kepercayaannya untuk
mencari keberadaan Batu Mustika Merah yang sampai sekarang tidak ketahui
keberadaannya. Dulu batu mustika itu ada di tangan Wulan Arum, tapi batu mustika itu
berhasil di curi oleh orang. Dan orang yang mencuri itu masih misteri siapa sebenarnya
pencuri itu.
—0O0—
Di sebuah hutan kaki bukit barat Jatianom, di tempat yang sangat tersembunyi
terdapatlah beberapa perkemahan. Itulah tempat bersembunyi Arya Soma dengan para
pengikut yang setia. Tempat itu memang sangat tersembunyi karena kontur medan yang
sangat sulit untuk dilewati. Beberapa kali prajurit Kadipaten Jatiluhur melewati area
sekitar bukit barat Jatianom tapi tidak menemukan apa-apa. Tapi jika mata jeli
sebenarnya tak jauh dari tebing sebuah sungai terdapat goa yang cukup besar namun
memang kondisi letak goa yang tertutup pepohonan serta ilalang, maka goa itu tidak
terlihat dari tempat biasa para prajurit menyusuri kaki bukit barat Jatianom.
Goa itu adalah jalan satu-satunya untuk menuju ke tempat persembunyian Arya
Soma. Sungguh kuasa Sang Pencipta hingga sampai sekarang Arya Soma beserta para
pengikutnya masih aman bersembunyi dari kejaran orang-orang Wijaya Soma.
Sementara itu di Balai Pertemuan tampak Arya Soma sedang mengadakan
pertemuan dengan para punggawa setianya.
“Apa?! Wulan Arum di tangkap Wijaya?!!” teriak Arya Soma saking kagetnya
mendengar berita itu. Arya Soma sampai terlonjak dari tempat duduknya. ”Bagaimana
bisa Wulan Arum bisa tertangkap orang-orang Wijaya, Paman?”
“Ampun Gusti. Menurut telik sandi hamba. Gusti Putri Wulan Arum dihadang oleh
orang-orang persilatan yang di sewa Adipati Wijaya. Tapi bukan itu saja Gusti bahkan
seorang pemuda juga di tangkap ketika coba menolong Gusti Putri.” tutur ki Bayan
Ludira.
“Pendekar Pedang Matahari?!” potong Arya Soma cepat.
“Bukan Gusti. Hamba juga berpikir itu Pendekar Pedang Matahari tetapi hamba
salah ternyata pemuda itu bukan Pendekar Pedang Matahari.”
“Lalu siapa pemuda itu, Paman?” Arya Soma penasaran.
“Pemuda itu bernama Bayu Sanjaya. Dia di ketahui adalah murid Resi Majalaga
yang diutus gurunya untuk menyerahkan sebilah keris pusaka pada Gusti Arya Soma.”
“Bayu Sanjaya murid Resi Majalaga?” ucap Arya Soma seolah untuk dirinya
sendiri.
“Benar, Gusti.” ucap Bayan Ludira sambil mengangguk.
Tiba-tiba ada seorang prajurit masuk ke Balai Pertemuan itu. Dengan cepat prajurit
itu bersimpuh menyembah merapatkan tangannya di depan hidung.
“Ampun Gusti. Hamba ingin melaporkan sesuatu yang penting Gusti.” kata prajurit
itu cepat.
“Prajurit, ada apa? Apa yang ingin kamu laporkan?” seru Bayan Ludira cepat.
“Ampun Gusti. Baru saja hamba dapat kabar dari bibi hamba yang bekerja di istana
kadipaten bahwa pusaka Keris Naga Kopek telah jatuh ke tangan Adipati Wijaya” ucap
prajurit itu takut-takut.
“Apa?!!!”
Arya Soma dan beberapa tokoh di tempat itu tersentak kaget bukan main. Langsung
saja tempat itu menjadi geger karena berita yang baru saja di sampaikan oleh prajurit itu.
“Paman! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Keris Naga Kopek telah jatuh ke
tangan Wijaya. Kita akan semakin sulit untuk merebut kembali kedudukan Wijaya
dengan dia memegang pusaka kerajaan itu.” ucap Arya Soma pelan.
Terlihat dia sudah putus asa setelah mendengar pusaka Keris Naga Kopek jatuh ke
tangan Wijaya Soma.
Tampak semua yang ada di Balai Pertemuan menunjukkan wajah lesu. Dengan
jatuhnya Keris Naga Kopek ke tangah Wijaya Soma maka harapan untuk mengembalikan
tahta kadipaten ke tangan yang sah pupus sudah. Semangat mereka tiba-tiba saja jadi
hilang entah kemana.
“Hamba juga tidak tahu Gusti.” kata Bayan Ludira pelan.
“Apa kau sudah putus asa, Arya Soma?” seru seorang wanita setengah baya yang
masih menunjukkan kecantikan di masa mudanya.
“Kanjeng Ibu.” ucap Arya Soma langsung berdiri begitu mengetahui siapa yang
datang.
Seluruh orang yang ada di Balai Pertemuan juga langsung berdiri dari tempat
duduknya. Mereka membungkuk hormat pada wanita itu yang ternyata ibu kandung Arya
Soma dan juga istri sah Bayu Permana Adipati Jatiluhur terdahulu.
“Apa kau akan menyerah begitu saja anakku? Kamu adalah pewaris sah Kadipaten
Jatiluhur yang juga pewaris tahta Kerajaan Jatiluhur. Apa dengan jatuhnya keris pusaka
itu, kamu jadi kehilangan semangatmu yang begitu saja. Ingat anakku, Istana Jatiluhur
akan hancur jika di pimpin orang-orang sesat.” ucap ibunda Arya Soma yang bernama
Raden Ayu Diah Pitaloka.
“Tapi Bunda?”
“Anakku! Kamu adalah putra Adipati Bayu Permana yang terkenal pemberani dan
gagah. Tidak takut mati demi menegakkan kebenaran. Jadi jangan kau kecewakan
mendiang ayahandamu.” ucap Ibunda Arya Soma menasehati putra sulungnya.
“Benar, Gusti. Apapun yang terjadi hamba siap berjuang sampai mati untuk
menegakkan kebenaran.” seru Bayan Ludira cepat.
“Hamba juga siap berjuang Gusti.” sahut Adi Darpa tegas.
“Kami juga siap Gusti.” seru semua orang yang hadir di Balai Pertemuan itu
bersemangat.
Arya Soma yang melihat semua pengikut yang masih setia padanya bersemangat
maka Arya Soma jadi terharu tersentuh hatinya melihat kesetiaan mereka. Arya Soma
menyadari kedangkalan hatinya setelah mendengar Keris Naga Kopek jatuh di tangan
Wijaya. Maka dengan tekad berkali lipat Arya Soma berseru akan berjuang sampai titik
darah penghabisan untuk menegakkan kebenaran di Jatiluhur.
—0O0—
Goa di lereng Gunung Bromo tampak angker jika malam tiba karena di goa itu
selalu terdengar suara bagai jeritan dari alam roh. Makanya para penduduk desa di lereng
Gunung Bromo tidak ada yang berani pergi ke goa atau di daerah sekitar goa itu. Goa itu
di namakan Goa Setan. Karena terdengar jeritan menggidikkan setiap malamnya. Padahal
itu bukan jeritan para setan alam roh. Suara bagai jeritan itu terjadi karena ada beberapa
lubang yang kalau terkena angin akan mengeluarkan suara nyaring seperti orang menjerit.
Di dalam Goa Setan itulah Surya berada bersama dua gadis cantik yaitu Dewi
Sekarwati dan Pandan Wangi. Ini sudah hari ke tujuh belas pertapaan Pandan Wangi
dalam menjalankan semedi Aji Naga Suci. Sementara itu Surya yang sedang duduk di
batu pipih mirip pembaringan bersama Dewi Sekarwati.
“Kakang.” ucap Dewi Sekarwati lembut.
Surya menoleh ke gadis cantik di sampingnya itu. Perlahan Dewi Sekarwati
menyandarkan kepalanya di bahu Surya.
“Kakang ingat pertama kali kita ketemu?” ucap Dewi Sekarwati lirih.
Surya hanya tersenyum lembut sambil mengelus-elus pipi Dewi Sekarwati dengan
penuh rasa sayang. Sejenak Dewi Sekarwati menatap wajah tampan di sampingnya itu.
Ada rasa teduh dan damai di hatinya.
“Kakang mencintaiku?” tanya Dewi pelan.
Surya mencium kening Dewi Sekarwati lalu memeluk erat gadis cantik itu.
“Apa kau masih meragukan cintaku. Dewi?” ucap Surya kalem.
Dewi Sekarwati menggeleng cepat.
“Aku tidak meragukan cinta Kakang. Tapi ... “ Dewi Sekarwati menghentikan
ucapannya.
“Tapi apa Dewi?” sahut Surya cepat.
Dewi Sekarwati terdiam seolah tengah berperang dengan hatinya. Karena Dewi
Sekarwati menyadari betul perbedaan yang nyata di antara dia dengan Surya. Yaitu
perbedaan alam yang memisahkan dan tidak memungkinkan mereka untuk bersatu.
“Aku tahu apa yang membuatmu risau, tapi percayalah pada ketulusan hatiku
Dewi.” ucap Surya menenangkan hati Dewi Sekarwati.
“Justru aku percaya itulah aku jadi risau, Kakang. Aku takut Kakang tidak mau
jatuh cinta pada gadis lain.”
“Buat apa aku jatuh cinta pada gadis lain jika di hatiku sudah ada kamu, Dewi.”
sahut Surya cepat sambil mengerutkan keningnya heran dengan sikap gadis cantik yang
ada di pelukannya.
“Kakang, maukah Kakang berjanji padaku?” kata Dewi lembut sambil
menggenggam tangan Surya.
“Janji untuk apa Dewi?” sahut Surya penasaran.
“Katakan dulu Kakang mau berjanji padaku.” kata Dewi Sekarwati cepat.
“Ya sudah. Aku berjanji atas nama Sang Pencipta Alam akan mengabulkan apa pun
permintaan Dewi.” seru Surya lantang.
Dewi Sekarwati tersenyum senang Surya telah berjanji.
“Nah, kamu sudah dengarkan. Katakan apa permintaanmu.”
Dewi Sekarwati semakin rerat menggenggam tangan Surya.
“Berjanjilah padaku kalau Kakang akan mencintai wanita lain untukku.” kata Dewi
lirih.
“Apa?!” seru Surya kaget sekali.
“Ingat. Kakang sudah berjanji padaku.” kata Dewi cepat.
“Tap, tap, tapi... ” Surya jadi bingung sendiri.
“Apapun bentuknya janji tetaplah janji. Jangan pernah coba untuk
mengingkarinya,” kata Dewi serius sekali. Tatapan matanya langsung ke bola mata Surya
tajam seolah ingin menegaskan.
Surya menghela nafas panjang. Apapun bentuknya dia sudah terlanjur berjanji pada
Dewi Sekarwati jadi mau tidak mau dia harus menepatinya walaupun hatinya enggan
menuruti permintaan Dewi Sekarwati. Tapi karena tidak mau mengecewakan gadis cantik
di depannya itu maka Surya mengangguk pelan menyetujui juga.
“Bila Kakang bertemu dengan seorang gadis yang menurut Kakang baik dan pantas
Kakang cintai maka jadikanlah gadis itu kekasih hati Kakang. Dengan begitu aku akan
tenang untuk meninggalkan Kakang.” ucap Dewi pelan sambil meneteskan air mata.
Surya buru-buru mengusap air mata itu.
“Sampai kapanpun kamulah yang selalu menghiasi istana cintaku.” kata Surya lalu
mencium dua pipi Dewi Sekarwati.
“Kakang! Jaga diri Kakang baik-baik dan sampai ketemu lagi.” bisik Dewi
Sekarwati pelan.
Perlahan-lahan tubuh Dewi Sekarwati berpendar menjadi bayang-bayang biru
terang lalu lama kelamaan hilang bagai di telan bumi. Itulah yang terjadi pada Dewi
Sekarwati yang telah terbebas dari kutukan Datuk Sesat. Sukmanya akan menitis pada
seorang gadis yang sebenarnya adalah reinkarnasi dari dirinya sendiri.
Surya menghela nafas panjang, terlihat tetesan air mata jatuh membasahi lantai batu
tempat dia duduk. Dia sangat mencintai Dewi Sekarwati.
—0O0—
Nguiiiinggg!
Tiba-tiba terdengar suara berdenging keras dari balik buntalan kain di sebelah Surya.
Dengan cepat Surya membuka buntalan kain di sampingnya. Terlihatlah batu merah
berbentuk segi enam menyala terang sekali. Surya menggenggam Batu Mustika Merah
itu di tangan kanan.
“Apa yang terjadi? Kenapa Batu Mustika Merah ini berdenging dan bersinar
terang?” batin Surya dalam hati.
Batu Mustika Merah kemudian Surya letakkan di depannya. Surya merapatkan
tangannya di depan dada sambil merapal mantra. Tak berapa lama dari dalam Batu
Mustika Merah itu keluar cahaya merah lalu bergulung-gulung di udara menenuhi
ruangan goa.
Cahaya merah itu semakin lama membentuk sosok naga merah yang besar di
hadapan Surya. Naga merah itu tiba-tiba hilang dan menjelma sosok gadis jelita
berpakaian merah darah. Gadis jelita jelmaan naga merah itu berdiri di depan Surya
kemudian membungkuk memberi hormat.
“Hamba Naga Merah memberi hormat pada Pangeran Matahari.” ucap gadis jelita
jelmaan naga merah itu lembut.
Perlahan Surya membuka matanya dan menatap tajam gadis jelita jelmaan naga
merah.
“Naga Merah. Ada apa kau keluar dari persemayamanmu?” kata Surya tenang tapi
penuh wibawa.
Naga Merah menunduk takut.
“Maalkan saya Pangeran. Saya keluar dari dalam batu mustika karena ada sesuatu
yang penting yang harus saya sampaikan pada Pangeran.” tutur Naga Merah pelan.
“Apa itu?” tanya Surya penasaran.
“Saat ini ada sebuah pusaka yang di buat oleh Resi Majalaga telah jatuh ke tangan
orang yang bukan haknya.”
“Pusaka apa itu naga merah?” tanya Surya memotong.
“Sebilah keris pusaka yaitu Keris Naga Kopek.”
“Keris Naga Kopek?!” seru Surya lirih mengerutkan keningnya.
Naga merah mengangguk pelan.
“Benar, Pangeran.”
Surya menatap gadis jelita jelmaan naga merah.
“Kenapa dengan Keris Naga Kopek itu, Naga Merah? Apa hubungannya kamu
dengan Keris Naga Kopek?” tanya Surya seolah menusuk langsung ke hati Naga Merah.
Dalam pikiran Surya bingung kenapa banyak sekali benda pusaka yang beraliran
kekuatan Naga. Sedangkan Surya tahu dengan pasti raja dari semua naga di bumi ini,
yaitu Ksatria Naga Emas. Yang juga muridnya sendiri.
Di dunia ini Surya memiliki tujuh pasang murid yang berasal dari kekuatan alam.
Yaitu salah satunya Ksatria Naga Emas dan Putri Naga Puspa. Mereka adalah penguasa
jenis ular dan naga di dunia ini.
“Agaknya aku harus menemui dua naga itu untuk minta keterangan mereka.” batin
Surya dalam hati.
“Maafkan saya, Pangeran. Naga Kopek adalah suami saya.” kata Naga Merah lirih.
Suara Naga Merah agak parau karena sesenggukan menahan tangisya yang mulai
merembes keluar dari matanya yang indah.
Surya mengusap kepala Naga Merah lembut karena ibu melihat Naga Merah
kelihatan bersedih.
“Sudah berapa lama kau tidak bertemu suamimu Naga Kopek, Naga Merah?” ucap
Surya lembut.
Naga Merah mulai terisak-isak.
“Sejak kami di pisahkan oleh raja kami, Ksatria Naga Emas.”
“Untuk kesalahan apa kalian sampai dipisahkan?” tanya Surya penasaran.
“Suami saya Naga Kopek tidak sengaja membunuh seorang anak manusia ketika
melaksanakan tugas dari Raja Naga Emas. Raja murka dan menghukum suami saya
menjalani penyiksaan batin. Berpisah dengan keluarga dan di usir dari Istana Naga.”
cerita Naga Merah di sela-sela isak tangisnya.
Surya mengusap lembut pipi Naga Merah, menghapus air mata di pipi Naga Merah.
“Untuk saat ini aku tidak bisa banyak menolong suamimu karena suamimu harus
menjalani takdirnya yang tidak bisa di cegah oleh siapapun kecuali sang maha pencipta
bumi ini. “ tutur Surya lembut. “Tapi aku yakin sebentar lagi kalian akan bersatu kembali.
Keris Naga Kopek memang harus menjalani takdirnya sebelum kembali ke pewarisnya
yang sah. Nah, sekarang kembalilah kau ke dalam Batu Mustika Merah. Terus berdoa
pada Yang Maha Kuasa agar kalian di persatukan kembali.” kata Surya lembut
memberikan ketenangan pada Naga Merah.
Naga Merah mengangguk pelan sambil mengusap air matanya. Lalu samar-samar
tubuhnya berubah jadi sosok naga kemudian membentuk cahaya melesat masuk ke dalam
Batu Mustika Merah.
“Hehhmm. Lama-lama semakin aneh-aneh saja kejadian yang kuhadapi. Ada ada
saja. Hehehehe.” Surya tertawa kecil saja menyikapi setiap kejadian yang dia temui.
Surya kemudian memakai topeng peraknya dan beranjak keluar dari Goa Setan tersebut.
—0O0—
Di kegelapan malam yang pekat tampak sesosok bayangan putih menyelinap di
antara pepohonan dekat benteng Kadipaten Jatiluhur. Bayangan putih itu melompat tinggi
ke atas benteng memiliki tinggi empat meteran dengan ringan sekali. Sejenak bayangan
putih itu mengedarkan pandangannya di sekitar benteng kadipaten tersebut.
Kemudian dengan Ilmu ‘Menembus Pandang’ orang itu meneliti keadaan dalam
benteng tersebut. Setelah mengetahui medan area kadipaten dengan cepat bayangan putih
itu melompat ke bawah.
Dengan sebuah ilmu yang jarang di gunakannya yaitu jurus ‘Seribu Bayangan’
maka bayangan putih bertopeng perak itu menjadi beberapa orang yang sama. Ada tiga
orang yang sama dengan sosok putih bertopeng perak. Dengan gerakan cepat dua orang
bayangan yang ternyata adalah Surya atau yang di kenal dengan gelar Pendekar Pedang
Matahari itu berpencar.
Duplikat Surya melompat tinggi mengeluar pukulan jarak jauh yang bernama
Pukulan ‘Matahari Penghancur Raga’. Dua larik sinar putih keperakan menghantam pintu
gerbang barat kadipaten yang langsung hancur berantakan.
Duaaarrr ... ! Duaaarrr ... !
Kontan saja akibat suara ledakan itu membuat para prajurit yang sedang berjaga
berdatangan langsung mengurung dua duplikat Surya.
Sementara itu Surya yang asli memanfaatkan kekacauan itu untuk menyusup masuk
ke dalam penjara bawah tanah kadipaten. Beberapa prajurit yang berjaga di buat tak
bergerak dengan totokan jarak jauh. Surya bergerak cepat menyusuri setiap kamar
tahanan mencari dimana Wulan Arum di sekap. Tak berapa lama Surya menemukan
kamar tahanan yang berpintu baja tebal. Dengan tenang Surya memukul pintu baja tebal
dengan pukulan tenaga dalam hingga pintu baja tebal itu berhasil di jebol.
Surya langsung masuk ke dalam penjara itu.
“Wulan ... Wulan ... “ seru Surya cepat begitu melihat gadis baju merah yang
tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka.
“Wulan.” panggil Surya.
Dengan cepat Surya menotok di beberapa tempat agar Wulan siuman. Tak berapa
lama tampak Wulan Arum merintih sadarkan diri.
“Wulan. Apa yang terjadi?”
“Eeeghh ... Kakang.” ucap Wulan Arum parau begitu melihat orang yang menahan
badannya.
“Kakang. Benarkah ini kamu?” Wulan Arum belum pulih kesadarannya.
Surya mencabut Pedang Mataharinya dan dengan cepat memutuskan rantai yang
membelenggu kaki Wulan. Surya segera memondong Wulan Arum di bahunya lalu
melesat keluar dari dalam penjara itu.
“Kakang! Bebaskan juga Bagaspati dan Bayu Sanjaya.” kata Wulan Arum lirih
namun masih dapat di dengar Surya.
Maka sekali lagi Surya menggunakan Ilmu ‘Seribu Bayangan’-nya menjadi dua
orang. Dua duplikat Surya dengan gerakan cepat menjebol pintu penjara dan membawa
Bagaspati serta Bayu Sanjaya. Surya bergerak dengan kecepatan yang luar biasa bagai
burung terbang keluar dari penjara bawah tanah kadipaten.
Sekilas Surya melihat dua duplikatnya yang lain sedang bertarung melawan para
prajurit serta para tokoh silat istana. Senyum tipis terlihat di bibirnya karena yang mereka
lawan adalah bayangan saja. Jika Surya mau, bisa saja dia menghancurkan Kadipaten
Jatiluhur dengan cepat tapi Surya tidak mau melakukannya. Sebab sebagian besar prajurit
hanyalah orang-orang yang cuma mengikuti perintah atasan mereka. Dengan cepat Surya
berlalu dari Kadipaten Jatiluhur dan melesat ke arah kaki bukit barat Jatianom.
Sementara itu, di kadipaten masih berlangsung pertarungan antara duplikat Surya
melawan para tokoh silat kadipaten. Begitu banyaknya tokoh-tokoh silat istana tidak ada
yang mampu menyentuh dua duplikat Surya.
Ini membuat Adipati Wijaya Soma menjadi murka.
Maka dengan mencabut Keris Naga Kopek dari warangkanya. Adipati Wijaya
Soma menerjang duplikat Surya dengan jurus ‘Garuda Membelah Mega’. Kilatan cahaya
kuning keemasan bergerak cepat sekali mengurung dua duplikat Surya hingga suatu
ketika dua duplikat Surya berhasil di robek dadanya. Maka seketika itu dua duplikat
Surya meleleh lalu lenyap. Dengan sikap pongah melihat lawannya meleleh terkena
sabetan kerisnya. Adipati Wijaya mengira dua duplikat Surya kalah oleh kerisnya padahal
tidak. Dua duplikat Surya yang di buat dengan elemen air itu telah di lepas jurusnya oleh
Surya. Semua yang melihat hal itu tampak bergidik takjub akan kesaktian Keris Naga
Kopek Adipati Wijaya.
“Gusti gawat! Gusti gawat.” seru seorang prajurit tergopoh-gopoh mendatangi
Adipati Wijaya.
“Ada apa?!” sahut Adipati Wijaya keras.
“Ada orang bertopeng perak berhasil membawa kabur tiga tahanan.”
“Apa?!!” teriak Adipati Wijaya tersentak. “Tahanan berhasil di bawa kabur?!”
“Benar, Gusti. Wulan Arum, Bayu Sanjaya dan Bagaspati yang di bawa kabur
Gusti.” kata prajurit itu gemetaran.
“Apa?!” Adipati Wijaya terlonjak kaget bukan main. “Bangsat! Siapa yang telah
berani membawa kabur tiga tahanan itu? Katakan!!” seru Adipati dengan wajah merah
kelam menahan marah.
“Ampun Gusti. Orang berpakaian serba putih memakai topeng perak,Gusti.”
prajurit itu semakin gemetaran.
“Kurang ajar! Setan alas!” teriak Adipati murka.
Dia menendang prajurit itu hingga prajurit itu bernasib na'as. Terpental tewas
dengan dada remuk. Adipati Wijaya segera masuk istana kadipaten dengan wajah kelam
menahan amarah yang amat sangat.
* 5 *
Surya membaringkan tubuh Wulan Arum, Bayu Sanjaya dan Bagaspati di tempat
pembaringan dalam perkemahan tempat persembunyian Arya Soma beserta abdi setianya.
Tampak Arya Soma dan yang lain berkumpul melihat hal yang luar biasa yang mungkin
baru kali ini mereka melihatnya seumur hidup mereka.
Apa yang mereka lihat?!
Mereka melihat ada tiga orang kembar, tapi begitu selesai membaringkan tiga orang
yang di tawan Adipati Wijaya maka dua orang kembar itu hilang berubah jadi asap putih
lalu lenyap. Itulah ilmu ‘Seribu Bayangan’ yang langka sekali dikeluarkan oleh Surya.
Bila Surya termasuk golongan hitam maka sudah lama dia bisa jadi raja di raja dunia
persilatan karena dengan ilmu ‘Seribu Bayangan’ Surya bisa menggandakan dirinya jadi
seribu Surya dengan kekuatan yang sama. Sungguh ilmu yang dahsyat dan bila jatuh ke
tangan yang jahat maka bisa jadi malapetaka di dunia ini.
Jika satu Surya sanggup menghadapi seratus orang dengan tingkat kemampuan
tinggi maka dapat di bayangkan seribu Surya dapat menghadapi seratus ribu orang
dengan kemampuan tingkat tinggi pula. Satu kadipaten atau pun bahkan satu kerajaan
dapat Surya taklukan dengan sangat mudah. Sungguh kuasa Tuhan menganugrahi
kemampuan pada diri Surya yang bersih hatinya dari sifat serakah dan jahat. Tapi Surya
lebih memilih menjalani setiap kejadian dengan kehidupan yang normal tanpa melawan
takdir alam.
SURYA membungkuk hormat pada Arya Soma.
“Saya mohon diri Gusti.’’ ucap Surya merasa sudah selesai urusannya.
“Tunggu sebentar Kisanak.” ucap Arya Soma mencegah Surya yang hendak pergi.
“Saya ucapkan banyak terima kasih pada Kisanak yang telah membebaskan mereka dari
Wijaya Soma.”
Surya mengangguk pelan.
“Apa yang saya lakukan semata-mata karena permintaan seseorang. Dan juga
karena sesama manusia yang menjujung tinggi nilai-nilai kebenaran harus saling
menolong. Jadi jangan sampai menjadi sebuah beban yang di namakan budi.”
“Sungguh terpujilah kau, Kisanak. Sifatmu sungguh mulia. Apapun itu saya dan
segenap yang ada di sini tetap mengucapkan terima kasih banyak pada kau, Kisanak.”
puji Arya Soma tulus.
Surya mengangguk pelan saja.
“Maaf, Kisanak. Apa benar Kisanak adalah Pendekar Pedang Matahari?” tanya
Arya Soma kalem.
“Begitulah orang-orang menjuluki saya.” jawab Surya tanpa maksud sombomg.
“Owh, sungguh kehormatan besar bagi kami bisa bertemu dengan pendekar sakti
yang saat ini sedang kesohor.”
“Jangan berlebihan Gusti. Saya tetaplah manusia biasa yang tak luput dari sebuah
kesalahan.” kata Surya merendah tidak ingin di puji. “Mohon maaf Gusti saya harus
segera pergi.” kata Surya cepat.
“Tunggu sebentar pendekar.” seru Arya Soma cepat mencegah.
Surya tidak jadi beranjak pergi.
“Maaf Gusti saya benar-benar harus pergi.”
“Maaf pendekar saya ingin bicara sebentar saja.”
“Apakah ada hal penting yang ingin Gusti sampaikan pada saya?”
Arya Soma diam sebentar lalu menatap beberapa punggawa yang ada di tempat itu.
Semua mengangguk pelan. Arya Soma menghela nafas pelan.
“Begini pendekar. Saya dan segenap yang ada di tempat ini ingin meminta tolong
pada pendekar.”
“Minta tolong?! Minta tolong apa Gusti?” tanya Surya heran.
Kembali Arya Soma menghela nafas pelan seolah ada beban berat di dadanya.
“Hehhmmhh ... Kami semua ingin pendekar bersedia membantu kami dalam
menegakkan kebenaran di bumi Jatiluhur. Kami mohon kesediaan pendekar.” ucap Arya
Soma kalem, karena tidak terlalu berharap permintaannya dapat dikabulkan oleh Surya.
Surya terdiam mendengar permintaan Arya Soma mengejutkan dirinya. Dia
menatap tajam ke bola mata Arya Soma seolah ingin membaca apa yang ada di pikiran
Arya Soma.
“Padi akan menjadi beras yang baik jika kita mengolah sawah dengan penuh
ketekunan, menyebar benih dengan penuh kasih sayang, menjaga dengan penuh
kelembutan dan menuainya dengan penuh rasa syukur.” tutur kata Surya bagai orang
sedang bersastra.
Ini membuat semua orang yang mendengar menjadi bingung, apa maksud Surya
berkata seperti itu.
Surya maju mendekati Arya S oma.
“Namun dari semua itu yang terpenting adalah tahu masa tanam dan masa panen.”
ucap Surya sambil tersenyum lembut kemudian berbalik pergi dari hadapan Arya Soma.
—0O0—
Seluruh punggawa dan orang pintar yang masih setia pada Arya Soma di minta
oleh Arya Soma untuk mengartikan ucapan Surya. Sudah tiga hari berlalu tetapi belum
ada yang mampu mengartikan ucapan Surya. Sebagian besar mengira kalau itu adalah
sekedar ucapan kosong belaka dari Surya yang tidak mau membantu Arya Soma.
“Sudahlah tidak usah di pikirkan terlalu dalam Gusti apa yang pendekar muda itu
ucapkan. Hamba rasa itu cuma ucapan yang menolak secara halus permintaan Gusti.”
kata Bayan Ludira coba menenangkan kegelisahan junjungannya itu.
“Benar, Gusti. Kami juga berpendapat seperti itu.” seru beberapa orang
kepercayaan Arya Soma.
“Tidak. Paman. Aku rasa ada maksud tertentu yang sangat dalam terkandung di
ucapan pendekar itu. Aku yakin, Paman.” kata Arya Soma tetap yakin pada pendiriannya.
“Ya, tapi apa maksud dari ucapan pendekar itu Gusti?” tanya Adi Darpa.
“Ya, itulah Paman yang sedang aku pikirkan. Hehmm ya sudah aku mau ke taman
dulu.”
Arya Soma beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju ke sebuah
taman.
Ketika melewati jalan kecil Arya Soma tak sengaja mendengar pembicaraan dua
orang yang tengah duduk di atas batu kecil sambil mengerjakan sesuatu.
“Pakne. Sudah dengar belum teka-teki yang lagi di pikirin Gusti Arya Soma sama
para punggawa. Kira-kira apa ya artinya teka-teki itu?” kata wanita setengah baya yang
bekerja sebagai pembantu di dapur.
“La iyo mbuh. Gusti Arya Soma saja tidak tahu apa yang di maksud dengan teka-
teki itu, apa lagi kita yang cuma orang rendahan.” kata orang tua yang ternyata suami
wanita tadi.
“Bener juga ya, Pakne.” sahut wanita itu.
“La iya.”
“Ekh, tapi ibu jadi ingat nasehat bapak dulu waktu di desa.”
“Nasehat apa to, bu?”
“Itu loh pak, waktu di sawah. Beras yang baik dan enak itu bila kita menanam
benihnya pada saat yang tepat. Di lakukan secara tekun dan giat. Di kerjakan dengan niat
yang kuat. Di jaga dengan penuh kesabaran. Nah, saat panen dengan lakukan dengan
gotong royong. Ingat tidak, pak?”
“Oh ya, Bu. Itu artinya jika kita ingin mengerjakan sesuatu lakukan dengan
kekuatan sendiri. Jangan berharap minta bantuan orang lain sebab nanti yang memetik
hasilnya juga kita sendiri. Tapi semua itu juga harus di lakukan pada waktu yang tepat.”
“Benar, Pak. Mungkin maksud teka-teki itu adalah kita harus berusaha dengan
kekuatan sendiri sampai kita tidak mampu lagi karena bagaimanapun juga apa yang kita
perjuangkan adalah tanah kita sendiri.”
“Benar, Bu. Tunggu saat yang tepat untuk melakukan perjuangan itu. Mungkin itu
maksud teka-teki itu.”
“Mungkin juga, Pakne.”
Arya Soma yang mendengar pembicaraan suami istri itu jadi tersentak sadar.
Sekujur tubuhnya bagai di aliri listrik. Arya Soma jadi sadar akan kesalahannya. Dia jadi
merasa malu karena belum melakukan apa-apa sudah minta bantuan orang lain. Padahal
dia adalah calon raja. Calon pemimpin tinggi. Akhirnya dengan tekad yang kuat Arya
Soma akan berjuang sampai mati tanpa minta bantuan orang lain dulu. Arya Soma segera
beranjak pergi menuju Balai Pertemuan guna menyampaikan apa maksud ucapan Surya
kemarin.
—0O0—
Rombongan besar yang di pimpin oleh Arya Soma bergerak perlahan menuju
Kadipaten Jatiluhur. Hari ini Arya Soma beserta pengikutnya bertekad akan berjuang
melawan Wijaya Soma untuk merebut kembali Kadipaten Jatiluhur ke tangan Arya Soma
sebagai pewaris sah atas Kadipaten Jatiluhur. Terlihat wajah-wajah yang penuh semangat
dan tak kenal menyerah di orang-orang Arya Soma. Pada siang hari rombongan besar itu
sampai di depan gerbang kadipaten.
“Seraaang ... !!”
Terdengar teriakan keras dari Panglima Perang Rakandi memerintahkan para
prajurit menggempur kadipaten.
Sementara itu di dalam Kadipaten Jatiluhur tampak para prajurit bersiaga
menyambut serangan prajurit kudeta. Maka pertempuran tak dapat di elakan lagi.
Di iringi teriakan-teriakan pembangkit semangat, maka pertempuran itu begitu
sengit sekali. Rupanya para prajurit kadipaten di bantu oleh orang-orang persilatan
sehingga timbulnya korban banyak sekali di pihak Arya Soma. Tapi mereka sudah
bertekat kuat berjuang sampai tetes darah terakhir.
Duaarrrrr... !!!
Dentuman keras balok kayu besar menghantam gerbang Kadipaten Jatiluhur.
Ratusan anak panah beterbangan menghujami prajurit silih bergantian. Jatuhnya
korban tak bisa lagi di elakan. Prajurit-prajurit Arya Soma terus saja berperang tanpa rasa
lelah dan takut. Sungguh sosok prajurit yang tak kenal takut demi membela tanah pertiwi
mereka.
“Munduuuur ... !” teriak Panglima Rakandi keras begitu melihat banyak korban
yang berjatuhan di pihaknya. Jelas ini sangat merugikan pihak Arya Soma.
Seluruh prajurit Arya Soma segera mundur menjauhi benteng kadipaten. Hujan
anak panah pun berhenti ketika para prajurit jauh dari jarak tembak.
Arya Soma mendekati Bayan Ludira yang bersama Panglima Rakandi.
“Paman! Panglima Rakandi! Sepertinya kita tidak bisa masuk ke benteng kadipaten.
Benteng itu begitu ketat di jaga para prajurit Wijaya.” ucap Arya Soma sambil melihat
benteng kadipaten yang berdiri kokoh.
Bayan Ludira dan Panglima Rakandi segera membungkuk hormat.
“Benar, Gusti. Mereka sungguh di luar perkiraan kita. Sangat kuat sekali.” ucap
Bayan Ludira pelan. Sejenak terlihat raut muka putus asa Bayan Ludira yang terkenal
pantang menyerah itu.
“Benar, Gusti. Musuh terlalu kuat dan banyak prajurit kita yang jadi korban.”
imbuh Panglima Rakandi.
Arya Soma terdiam mendengar hal itu. Agaknya Arya Soma mulai bimbang dan
putus asa melihat kenyataan yang terjadi. Lawan begitu kuat untuk di lawan.
“Lalu apa rencana kita Paman?” ucap Arya Soma melemah. Jelas sekali hatinya di
landa kebimbangan.
“Hehhmm ... ” Bayan Ludira menghela nafas panjang. “Terus terang, Gusti. Hamba
tidak yakin kita bisa menang melawan mereka.” ucap Bayan Ludira pelan.
“Untuk masuk ke dalam benteng saja begitu sulit. Mereka juga di bantu orang-
orang persilatan sedang prajurit yang terlatih di pihak kita cuma separuhnya saja. Yang
lain adalah para sukarelawan yang setia pada Gusti Arya Soma. Di lihat dari mana pun
kita akan sulit mengalahkan mereka.” ucap Panglima Rakandi pelan.
“Hehhmm ... Apa sampai di sini perjuangan kita yang susah payah kita persiapkan.
Ayahanda, ampuni putramu yang tidak bisa menjaga amanatmu.” desah Arya Soma.
Bayan Ludira dan Panglima Rakandi terdiam membisu mendengar desahan Arya
Soma. Memang situasi tidak menguntungkan bagi mereka. Lawan begitu kuat sekali dan
hampir tidak mungkin untuk bisa di kalah kan.
“Kita belum kalah. Kanda.” seru keras Wulan Arum tiba-tiba datang.
“Dinda! Apa maksud Dinda Wulan?” seru Arya Soma melihat Wulan Arum.
“Kanda! Aku tidak mau menyerah di sini, sekuat apapun musuh aku tidak akan
mundur. Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Lebih baik mati dalam
medan laga dari pada harus menyerah pada iblis itu!” seru Wulan Arum tegas berapi-api.
Ucapan Wulan Arum membuat seluruh prajurit jadi tambah bersemangat kembali.
Memang benar apa yang di katakan oleh Wulan Arum itu.
“Kamu benar, Dinda. Tapi semua harus di susun dengan cermat agar tidak sia-sia
perjuangan kita.” ucap Arya Soma menepuk bahu Wulan Arum menenangkan.
“Benar itu Gusti Ayu. Kita harus buat strategi yang matang dan cermat agar tidak
sia-sia perjuangan kita selama ini.” ucap Panglima Rakandi menyambung.
“Ya, sudah. Kalau begitu segera buat strategi, Panglima. Tanganku sudah gatal
ingin menghabisi para penghianat itu. Huh!” seru Wulan Arum menahan geram.
Arya Soma hanya geleng-geleng kepala tersenyum melihat adiknya itu berapi-api.
“Krraaagkh ... !”
Tiba-tiba terdengar keras suara yang menggelegar bagai halilintar mengagetkan
mereka. Tampak di langit seekor burung rajawali berbulu putih hitam melayang turun
dengan cepat sekali ke arah benteng kadipaten. Tiba-tiba kilatan cahaya kuning keemasan
bergerak cepat sekali menghantam dalam benteng menimbulkan ledakan-ledakan yang
dibarengi jeritan kematian dari dalam benteng kadipaten.
“Krraaaaagkh!”
Burung rajawali itu melayang tinggi lagi. Begitu cepat kejadian itu hingga semua di
buat terpana dengan kemunculan rajawali raksasa itu. Semua mata melihat ke arah
rajawali itu yang terbang berputar-putar di angkasa.
Kemudian rajawali itu melesat turun ke arah para prajurit Arya Soma. Kontan ini
membuat para prajurit terkesiap kaget, begitu juga Arya Soma dengan beberapa orang di
dekatnya. Belum sempat mereka mengedipkan mata, tiba-tiba rajawali raksasa itu sudah
berdiri tegak di hadapan mereka. Dari punggung rajawali ada orang melompat turun.
Seorang pemuda bertopeng perak dengan pakaian seba putih agak ketat dan terselip
pedang bergagang matahari di punggungnya.
“Pendekar Pedang Matahari! H” seru semua orang tercekat.
“Maaf aku terlambat.” kata Surya tenang sekali.
“Pendekar Pedang Matahari. Syukurlah akhirnya kamu datang.” seru Arya Soma
begitu senangnya melihat Surya datang.
“Kakang.” seru Wulan Arum tersenyum gembira melihat Surya.
Surya mengangguk pelan tersenyum tipis.
“Sebaiknya siapkan prajuritmu, kita akan menyerbu benteng itu.” ucap Surya cepat.
“Baik! Panglima, siapkan semua prajurit kita untuk bersiap menyerang benteng.”
seru Arya Soma begitu semangat.
“Baik, Gusti.” sahut Panglima Rakandi.
Seluruh prajurit dengan cepat di siapkan oleh para panglima. Mereka bagai
mendapat tenaga baru begitu melihat kedatangan Pendekar Pedang Matahari. Arya Soma
beserta panglima perang berdiri di samping Surya yang tengah melihat ke benteng
kadipaten.
“Kita serbu langsung benteng itu.” ucap Arya Soma tegas.
“Jangan.” cegah Surya cepat.
“Jangan?! Kenapa?” tanya Arya Soma bingung.
“Menyerang tanpa perhitungan itu sama saja bunuh diri. Perlu setrategi untuk
memulai perang.”
“Lalu apa setrategimu, pendekar?”
Surya menatap orang-orang di sekitarnya sebentar. Surya juga melihat para prajurit
yang di miliki Arya Soma. Setelah terdiam sejenak akhirnya Surya memberi gambaran
sebuah setrategi yang cocok untuk melawan para prajurit kadipaten.
“Paham?!” seru Surya tegas.
“Paham!!!” seru semuanya mantap.
Akhirnya seluruh prajurit di buat beberapa kelompok dengan di pimpin panglima
yang berbeda. Dengan raut wajah yang penuh semangat dan tatapan mata yang tajam
seolah ingin segera melawan musuh di depan mata.
“Rajawali. Kacau pasukan panah di atas benteng itu.” teriak Surya.
“Grrrrrgkhk,” suara rajawali sambil mengangguk anggukan kepala mengerti yang di
ucapkan Surya.
Seketika rajawali raksasa itu terbang tinggi ke angkasa di iringi suaranya yang keras
bagai halilintar.
Semua orang dengan tegang menanti saat-saat di mulainya pertumpahan darah
bersejarah bagi Kadipaten Jatiluhur.
“Kraaggkh ... !”
Di iringi suaranya yang keras itu, rajawali yang tadi melayang tinggi di angkasa
tiba-tiba menukik dengan kecepatan tinggi ke arah atas benteng dimana terdapat prajurit
panah kadipaten.
Seketika suasana jadi kacau karena rajawali raksasa itu menghajar para prajurit
panah dengan sayapnya yang kokoh. Cakarnya pun juga ikut menghajar para prajurit
panah itu. Dan ketika rajawali melayang tinggi lagi, maka saat itu pula pasukan panah
Arya Soma bergerak cepat menghujani benteng dengan ratusan anak panah.
Jerit kematian begitu bersahutan.
Blarrr!!!
Gerbang kadipaten hancur porak poranda di hantam pukulan jarak jauh Surya yang
bertenaga dalam tinggi. Itulah Pukulan ‘Maut Paruh Rajawali’. Lalu pasukan panah Arya
S oma berhenti dan giliran pasukan tempur maju dengan cepat menyerbu. Peperangan
yang seru terjadi begitu cepat. Korban memang tidak bisa di hindari karena itu memang
sebagian dari peperangan.
Akibat Pukulan ‘Maut Paruh Rajawali’ yang di lepaskan Surya maka gerbang
kadipaten yang besar dan kokoh itu jadi jebol berantakan. Sungguh luar biasa sekali
Pukulan ‘Maut Paruh Rajawali’ itu. Bila terkena manusia bisa dipastikan orang itu akan
hancur berkeping-keping. Begitu gerbang itu jebol, maka Surya di ikuti yang lain segera
menyerbu para prajurit Kadipaten Jatiluhur. Gegap gempita di iringi teriakan-teriakan
penambah semangat dan juga suara dentuman benda-benda tajam mewarnai pertempuran
itu.
Surya menerjang dengan ajian ‘Sindo Tense’ atau Lingkaran Pelindung yang
membuat lawan terpental jika coba mendekatinya. Puluhan prajurit terpental jauh saat
menyerang Surya. Kini Surya di hadang oleh tokoh persilatan golongan hitam Nyai
Dasima atau yang bergelar Iblis Tangan Neraka.
“Aku lawanmu, anak muda!” teriak Nyai Dasima keras.
Surya mendengus pendek dan menatap tajam ke wanita setengah baya di depannya
itu.
“Ouw, rupanya kau Nyai Dasima yang bergelar Iblis Tangan Neraka. Dalang dari
makarnya Adipati Wijaya.” ucap Surya tandas.
“Hahahaha.” Nyai Dasima tertawa keras mendengar anak muda di hadapannya itu
mengenal gelarnya. “Ya. Akulah Iblis Tangan Neraka. Jika kamu sudah tahu gelarku
lekas enyah dari hadapanku. Atau kau mau petot kepalamu. Hik hik hik.” seru Nyai
Dasima meremehkan pemuda di hadapannya yang kelihatannya lemah di matanya itu.
Justru penilaian inilah yang membuat Nyai Dasima celaka karena Nyai Dasima
tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa.
Padahal yang tengah berdiri depannya adalah Pendekar Pedang Matahari. Orang
yang telah menggegerkan dunia persilatan belum lama ini yang telah menewaskan
dedengkot paling di takuti di dunia persilatan yaitu Datuk Pulau Ular atau Datuk Sesat.
Surya yang di remehkan itu cuma tersenyum tipis saja.
“Hehh ... Coba saja kalau kau mampu.” tantang Surya.
Ini di maksudkan untuk membuat lawannya terpancing amarahnya.
“Bangsatl Sombong sekali kau bocah. Rasakan tanganku ini.” teriak Nyai Dasima
marah.
Dengan gerakan cepat yang mengandalkan gerakan tangan bagai kilat Nyai Dasima
menyerang Surya dengan jurus ’Tangan Neraka Mencengkram Raga’. Jurus ini sangat
berbahaya sekali karena kalau sampai terkena akan mengelupas kulitnya bagai di
panggang api.
Surya dengan cepat menggunakan jurus ‘9 Langkah Ajaib’ yang efektif sekali
untuk bertahan dan mengukur kekuatan lawan. Jurus ‘9 Langkah Ajaib’ itu akan terus
meningkat jika lawan meningkatkan serangannya. Gerakannya biasa saja tapi mampu
membuat musuh jadi marah dan penasaran. Terbukti serangan Nyai Dasima selalu
mendarat di tempat kosong seolah-olah tubuh Surya hanya angin belaka.
Sementara itu Arya Soma tengah bertarung menghadapi Wijaya Soma.
Pertarungan agaknya cukup seimbang tapi lama kelamaan Arya Soma mulai
terdesak ketika Wijaya Soma mencabut Keris Naga Kopek dari warangkanya. Sinar
kuning keemasan berkilatan cepat keluar dari badan keris yang pamornya luar biasa kuat
itu.
Arya Soma mencabut keris yang benama Ki Ageng Bekisar. Pamor keris Ki Ageng
Bekisar tak seterang Keris Naga Kopek namun cukup untuk mempertahankan diri dari
gempuran hebat Keris Naga Kopek. Meski harus jatuh bangun Arya Soma tak pantang
menyerah menghadapi Wijaya Soma.
Sementara itu pertarungan Surya melawan Nyai Dasima sudah berlangsung sengit
sampai di luar benteng kadipaten. Jurus-jurus yang mereka keluarkanpun sudah mencapai
tingkat tinggi. Nyai Dasima kini sudah mulai mengeluarkan pukulan-pukulan jarak
jauhnya yaitu Pukulan ‘Kipas Neraka’. Surya pun mulai menggunakan rangkaian jurus
dari ’Naga Langit’ yang beraliran dingin untuk meredam Pukulan ‘Kipas Neraka’ yang
beraliran panas. Tempat pertarungan mereka pun berantakan bagai habis di amuk gajah
liar.
Nyai Dasima mulai gentar menghadapi Surya karena setiap jurus bahkan pukulan
sakti yang di banggakannya dapat dengan mudah di elakan Surya, malah serangan
balasan Surya harus membuat dirinya jatuh bangun menyelamatkan diri. Dengan sikap
mata tajam ke arah Surya, Nyai Dasima coba untuk mengulur waktu agar dia dapat
menemukan celah untuk kabur.
“Siapa kau sebenarnya anak muda? Aku belum pemah melihat jurus-jurusmu.”
tanya Nyai Dasima sambil matanya beredar mencari celah.
Surya tersenyum tipis mendengar Nyai Dasima yang coba mengulur waktu guna
mencari celah untuk kabur.
“Hehh. Apa yang kau rencanakan Nyai Dasima? Aku tidak akan membiarkanmu
kabur. Dosamu selangit tembus sedalam lautan. Riwayatmu akan aku akhiri.” kata Surya
tenang.
“Sombong kau, bocah. Aku tidak takut mati. Bunuh aku kalau kau sanggup.” seru
Nyai Dasima berang.
“Begitu? Hehh, lihat ini Nyai Dasima.” seru Surya. Dengan cepat Surya
mengeluarkan jurus ‘Seribu Bayangan’-nya. Mendadak muncul Surya yang banyak sekali
memenuhi tempat itu. Kontan saja Nyai Dasima kaget bukan main melihat kenyataan
dirinya terkurung oleh duplikat Surya.
“Apa kau sekarang bisa mencari celah untuk kabur. Hahahaha. Ketahuilah aku yang
bergelar Pendekar Pedang Matahari.” seru Surya tegas.
“Apa?!” begitu mendengar gelar Surya kontan membuat Nyai Dasima leleh
nyalinya. Dia tidak akan mungkin bisa menang melawan pemuda yang memiliki
kesaktian tanpa batas itu.
“Hahahaha. Pendekar Pedang Matahari. Suatu kehormatan bagi ku bisa bertarung
denganmu. Matipun aku takkan menyesal. Hiaaaatt!”
Nyai Dasima nekat menerjang Surya dengan Pukulan ‘Kipas Neraka’ di iringi
tenaga dalam penuh. Nyai Dasima benar-benar mengadu nyawa dengan Surya.
“Ajian ’Matahari Menembus Awan’!” seru Surya.
Sesaat tempat pertarungan itu jadi terang benderang bagai matahari di siang hari.
Blaaarrrr!
Ledakan dahsyat menggelegar keras ketika dua pukulan sakti beradu.
“Aaakh.” jerit Nyai Dasima keras sekali kemudian lenyap bersamaan tubuh Nyai
Dasima hancur menjadi debu.
Surya menarik jurus ‘Seribu Bayangan’nya. Duplikat Surya hilang semua.
Kemudian Surya belari cepat ke arah benteng kadipaten.
—0O0—
“Hiaaaaatt.”
“Hiaaaatt.”
Serangan berbahaya mengancam Arya Soma. Keris Naga Kopek di tangan Wijaya
Soma begitu mengerikan. Bagai malaikat maut Wijaya Soma terus menggempur Arya
Soma yang sudah kehilangan keris Ki Ageng Bekisar karena tak kuasa menahan
keganasan Keris Naga Kopek yang begitu dahsyat.
Tendangan cepat mengarah ke perut Arya Soma namun dengan sisa tenaga yang
ada Arya Soma berhasil berkelit ke kanan, tapi tendangan Wijaya Soma hanya pancingan
saja, begitu tendangannya lewat maka dengan cepat Keris Naga Kopek berkelebat
mengancam leher Arya Soma.
“Haitts.”
Arya Soma menjatuhkan badannya ke belakang. Keris Naga Kopek lewat di atas
Arya Soma. Serangan Wijaya tidak sampai di situ saja, tendangan kaki kanan Wijaya
Soma tak bisa di hindari lagi maka perut Arya Soma terkena tendangan itu.
“Hoeeekks.”
Darah segar keluar dari mulut Arya Soma. Tapi belum sempat Arya Soma sadar
sebuah kilatan cahaya kuning keemasan menghujam dadanya. Di saat yang genting itu
tiba-tiba sebuah pedang memapaki Keris Naga Kopek.
Traaaang!!!
Dentuman dua senjata keras beradu. Tapi pedang yang memapaki tadi patah dan si
pemegang pedang terpental dua tombak, jelas pedang biasa tak akan mampu menandingi
Keris Naga Kopek.
“Hoeeekkh.”
Orang yang memapaki serangan Wijaya Soma ternyata adalah Wulan Arum.
Wulan Arum muntah darah terluka dalam akibat benturan tenaga dalam dengan
Keris Naga Kopek.
Sementara itu Wijaya Soma jadi kehilangan kuda-kudanya sehingga terjengkang ke
belakang. Ini cukup membuat Arya Soma yang hampir tertusuk Keris Naga Kopek jadi
terselamatkan.
“Bangsat.” maki Wijaya Soma begitu berdiri.
“Wulan!” seru Surya yang sudah tiba di samping Wulan Arum.
“Kakang!” suara Wulan parau.
“Tenanglah. Kamu tidak apa-apa.” ucap Surya sambil mengangkat Wulan Arum
dan membawanya ke tempat yang aman. “Kamu di sini dulu. Akan aku hadapi orang itu.”
“Kakang. Hati-hati.” ucap Wulan Arum pelan.
Surya mengangguk pelan. Surya kemudian berdiri dan menghampiri Wijaya Soma.
Tatapannya begitu tajam seolah ingin menelanjangi Wijaya Soma.
“Heh, majulah. Akan kurobek lehermu dengan Keris Naga Kopekku!” seru Wijaya
Soma keras. Tatapan matanya pun tak kalah tajam ke arah Surya.
Surya tersenyum sinis saja mendengar gertakan Wijaya Soma.
“Surya. Hati-hati dengan keris di tangannya itu. Itulah Keris Naga Kopek.” ucap
Arya Soma begitu di dekat Surya. Arya Soma meringis menahan sakit di perutnya akibat
terkena tendangan Wijaya Soma.
Surya melirik Arya Soma dan mengangguk cepat.
“Minggirlah, biar aku yang menghadapinya.” ucap Surya pelan.
Arya Soma mengangguk kemudian menyingkir jauh dari tempat tempat.
“Keris itu bukan milikmu, Adipati. Kamu bukan pewaris sah keris pusaka itu.” seru
Surya lantang.
“Hahahaha. Keris ini ada di tanganku jadi akulah pemiliknya.” seru Wijaya Soma
tegas.
“Hehh, kalau begitu akan aku rebut keris itu dari tanganmu.”
“Hahahaha. Majulah jika kau mampu.” tantang Wijaya Soma dengan sikap yang
pongah percaya diri. Dia yakin selama Keris Naga Kopek di tangannya tak akan ada yang
mampu mengalahkan dirinya.
Surya tersenyum sinis melihat kesombongan Adipati Wijaya Soma. Dengan tenang
Surya mencabut Pedang Mataharinya yang jarang sekali dia gunakan.
Sriiiiing ... !
Pedang Matahari keluar dari warangkanya. Sinar kuning keemasan yang sangat
terang terpancar dari badan pedang. Pamornya sungguh luar biasa dahsyat mampu
meredam pamor Keris Naga Kopek. Di sekitar tempat pertempuran kontan jadi terang
benderang serta hawa panas yang keluar dari Pedang Matahari membuat Kadipaten
Jatiluhur jadi terasa panas juga.
Semua orang yang melihat pamor Pedang Matahari itu jadi tertegun seolah aliran
darah mereka bagai terbalik. Mau tidak mau semua orang menjauh karena tak kuasa
menahan kedahsyatan pamor Pedang Matahari. Melihat saja sudah membuat nyali jadi
leleh bagai di landa ketakutan yang mencekam. Wijaya Soma pun jadi bergetar juga
nyalinya melihat kedahsyatan pamor Pedang Matahari di tangan Surya. Tapi begitu
melihat Keris Naga Kopek di tangannya keberaniannya jadi timbul kembali.
“Hiaaaaatt.”
Dengan di iringi teriakan keras Wijaya Soma nekat menyerang Surya. Keris Naga
Kopek di tangan kanan ia sabetkan ke arah leher Surya. Suara angin mencicit dan juga
lengkingan tinggi suara naga murka keluar dari Keris Naga Kopek.
Surya menyilangkan Pedang Mataharinya di depan dada lalu dengan gerakan kilat
ia memapaki serangan Keris Naga Kopek di tangan Wijaya Soma.
Blaaarrr... !
Dua senjata pusaka dengan kekuatan tenaga dalam dahsyat beradu di udara.
Ledakan besar menggelegar membuat Kadipaten Jatiluhur seolah-olah terkena badai
topan mengerikan. Semua orang jadi jumpalitan jatuh ke tanah tak kuasa menahan
getaran hebat akibat beradunya dua pusaka sakti.
Sungguh mengerikan sekali kekuatan dua pusaka sakti tersebut!
Keris Naga Kopek terpental lepas dari tangan Wijaya Soma karena tidak kuat
menahan kekuatan Pedang Matahari. Sedang Wijaya Soma sendiri juga terpental keras ke
belakang menabrak tembok benteng kadipaten. Padahal jarak tembok dengan tempat
pertarungan kurang lebih 20 tombak. Ini dapat di bayangkan betapa dahsyatnya kekuatan
tenaga dalam dari Pedang Matahari yang mampu membuat pusaka Keris Naga Kopek
terpental serta telah merobohkan Adipati Wijaya Soma sampai tidak berkutik.
Surya masih tegak berdiri tidak mengalami luka sedikit pun langsung memasukkan
Pedang Mataharinya ke warangka di punggungnya. Surya agak tersentak kaget melihat
kenyataan di depannya, dugaannya ternyata agak meleset. Pedang Mataharinya ternyata
terlalu kuat bagi Keris Naga Kopek. Sedangkan Wijaya Soma sendiri tewas seketika
karena tidak mampu menahan kedahsyatan Pedang Matahari. Ini membuat Surya jadi
agak menyesal kenapa tadi dia harus menggunakan Pedang Mataharinya.
Para prajurit dan pengikut Wijaya Soma langsung menyerah begitu melihat
pimpinannya tewas. Di pihak lain para pengikut Arya Soma bersorak gembira karena
berhasil menaklukan orang-orang Wijaya Soma serta dapat menggulingkan pemerintahan
semena-mena di bawah kekuasaan Wijaya Soma.
—0O0—
“Surya. Terima kasih banyak. Karena bantuanmu kami dapat menaklukan para
pemberontak itu. Kami atas nama Kadipaten Jatiluhur mengucapkan banyak terima
kasih.” ucap Arya Soma dengan penuh ketulusan pada Surya.
Surya memegang pundak Arya Soma.
“Arya Soma. Jadilah raja yang arif dan bijaksana, penuh tanggung jawab, jujur dan
adil. Aku yakin kamu dapat melakukannya. Perhatikanlah kesejahteraan rakyatmu.” ucap
Surya kalem.
Kemudian Surya mengambil sesuatu dari dalam bajunya.
“Ini aku titipkan seseuatu padamu. Jagalah jangan sampai jatuh ke tangan orang
jahat. Sampai jumpa lagi.” kata Surya sambil menepuk pundak Arya Soma pelan lalu
Surya beranjak menghampiri rajawali raksasa tunggangannya.
Dengan cepat Surya naik ke atas punggung rajawali itu.
“Surya tunggu!” seru Arya Soma cepat tapi terlambat rajawali raksasa itu sudah
melesat tinggi ke angkasa.
“Kakaaang!” teriak Wulan Arum keras mengejar Surya tapi Surya sudah jauh di
angkasa bersama rajawalinya.
“Kakang! Kenapa kau pergi.” ratap Wulan Arum melihat ke atas sambil
meneteskan air mata.
“Sampai jumpa lagi, Wulan!” terdengar suara Surya menggema.
Semua orang melihat ke angkasa sampai rajawali raksasa itu melesat cepat hilang di
balik awan.
Arya Soma melihat kotak hitam di tangannya pemberian Surya tadi, perlahan Arya
Soma membuka tutup kotak hitam tersebut.
“Ekh?! Batu Mustika Merah?!” seru Arya Soma kaget.
--TAMAT-
SEGERA HADIR KISAH PENDEKAR PEDANG MATAHARI DALAM EPISODE
“IBLIS BUKIT SETAN”
Emoticon