Karya: Panjidarma
ORANG itu kira-kira berusia 30 tahun. Tubuhnya
ORANG itu kira-kira berusia 30 tahun. Tubuhnya
tinggi besar. Kulitnya sawo matang. Otot-otot yang
menghiasi anggota badannya, menandakan bahwa ia
Sebenarnya lelaki itu bernama Soma. Dan orang-
orang Tegalinten mengenal Soma sebagai lelaki yang
jujur tapi berangasan dan tidak bisa bersikap semu.
Walaupun Soma bukan anggota laskar kerajaan,
namun ia seorang pengagum Senapati Jugala yang fa-
natik. Siapa pun yang berani mengejek atau membu-
ruk-burukkan nama Senapati Jugala di depan Soma,
maka Soma akan menganggap orang itu sebagai la-
wannya. Dan ia akan menghadapinya, kalau perlu de-
ngan kekerasan.
Ketika Senapati Prabayani mengatakan bahwa ‘se-
lama ini balatentara kerajaan dibiarkan dalam kea-
daan lemah’, langsung saja Soma naik pitam. Pikir
Soma, “Senapati baru ini sombong sekali. Menganggap
Kanjeng Senapati Jugala membiarkan balatentara ke-
rajaan dalam keadaan lemah? Huh... lantas apa yang
bisa dilakukan oleh seorang wanita seperti dia?”
Maka, dengan mengandalkan ilmu silatnya (yang
tentu saja masih tergolong kelas pasaran), Soma ne-
kad... melompat ke atas panggung ujian dan langsung
menantang Senapati Prabayani secara halus.
Dengan melihat cara Soma melompat ke atas pang-
gung tadi, Senapati Prabayani sudah bisa menilai bah-
wa Soma cuma seorang ‘jagoan pasaran’. Maka dengan
senyum di bibir, Senapati Prabayani menoleh ke arah
Aria Pamungkas yang masih duduk di panggung ke-
hormatan. Lantai panggung kehormatan itu lebih ting-
gi daripada panggung ujian, karena sang Putra Mahko-
ta harus duduk lebih tinggi daripada orang-orang yang
hadir di alun-alun itu.
Maka dengan agak menengadah, Senapati Prabaya-
ni berkata, “Gusti Aria, mungkin banyak lagi orang
yang meragukan kemampuan hamba sebagai Senapati
Kerajaan Tegalinten. Hamba mohon perkenan Gusti
Aria, karena hamba akan mengumpulkan mereka se-
mua dan menghadapinya sekaligus.”
Aria Pamungkas memang merasa gusar atas keha-
diran lelaki bernama Soma itu, yang tampaknya seperti
ingin menentang Senapati Prabayani, dan itu berarti
menentang keputusan Aria Pamungkas sendiri.
Aria Pamungkas pun masih ingat apa yang telah di-
lakukan oleh Prabayani dengan ‘selendang terbang’-
nya, yang membuktikan bahwa ilmu wanita yang satu
itu sangat menakjubkan. Maka dengan keyakinan
bahwa Senapati Prabayani akan selalu ‘survive’, Aria
Pamungkas menyahut, “Lakukanlah apa yang terbaik
bagi kita semua!”
“Terima kasih, Gusti Aria,” ujar Prabayani yang lalu
menoleh kepada lelaki bernama Soma itu.
“Mana kawan-kawanmu yang lain?” tanya Senapati
Prabayani, dengan senyum mengejek.
Soma menepuk dadanya, berkata, “Aku, si Soma
ini, selamanya bertindak sendirian! Tidak pernah me-
nyeret siapa pun untuk sesuatu yang...”
Belum habis Soma berkata, tiba-tiba saja ia meme-
kik “aaau!”, dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu
tangan yang dipakai menepuk dadanya itu... lenyap!
Dan tahu-tahu Senapati Prabayani sudah menga-
cungkan tangan Soma yang sudah terlepas dari perge-
langannya itu, sambil berteriak lantang, “Kecuali Gusti
Putra Mahkota, tak seorang pun kuizinkan menepuk
dadanya di depan mataku! Lelaki bernama Soma ini
kujadikan contoh, tentang hukuman apa yang harus
diterimanya kalau melanggar laranganku!”
Soma memekik-mekik kesakitan, dengan darah
yang menyembur dari pergelangan tangannya.
Hadirin menjadi gempar. Heran bercampur ngeri:
Bagaimana caranya sehingga tangan Soma bisa putus
begitu saja dan tahu-tahu sudah berada di tangan wa-
nita itu?
Dan Senapati Prabayani mendramatisir peristiwa
itu, dengan melemparkan potongan tangan Soma ke
arah gong pusaka, diiringi tenaga dalam yang cukup
tinggi. Maka gong pusaka itu berdentum dibuatnya.
Guooooooong...!
Keras sekali bunyi gong pusaka itu, sehingga hadi-
rin yang duduk di dekat gong itu terperanjat dan me-
nutup telinganya masing-masing.
Lalu terdengar suara Senapati Prabayani, “Lelaki ini
tidak patut berdiri di sini!” Disusul dengan tendangan
kilat gadis berhati iblis itu. Dan... tahu-tahu Soma
yang bertubuh tinggi besar itu terpental ke udara...
tinggi sekali... lalu jatuh di atas candi, dalam keadaan
tak bernyawa lagi!
Para penonton yang berdiri di dekat candi pemu-
jaan, menjadi gempar dibuatnya.
Namun kegemparan itu diatasi oleh suara Senapati
Prabayani yang melengking-lengking... terdengar nyata
sampai ke sekeliling istana dan alun-alun. “Siapa pun
yang meragukan kemampuanku dan ingin mengalami
nasib seperti lelaki bernama Soma itu, kupersilakan
naik ke atas panggung sekarang juga, supaya acara
berikutnya bisa segera dilaksanakan!”
Bermacam-macam reaksi muncul di antara para
hadirin. Ada yang masih menganggap peristiwa itu se-
bagai ‘permainan sihir’ yang telah direncanakan sebe-
lumnya. Ada yang beranggapan bahwa Senapati Pra-
bayani memang seorang wanita berilmu tinggi, tapi ke-
jam sekali. Ada pula yang beranggapan, memang de-
mikianlah seharusnya seorang senapati bertindak,
demi tegaknya kewibawaan dan kejayaan laskar Tega-
linten. Namun kebanyakan di antara hadirin tidak be-
rani mengemukakan tanggapan secara terang-
terangan. Mereka hanya berbisik-bisik atau memen-
damnya dalam hati saja.
Ketika hadirin masih berbisik-bisik memperbin-
cangkan tindakan senapati baru itu, tiba-tiba dua
orang pendeta bangkit dari kursinya, kemudian me-
langkah tenang ke arah panggung ujian. Kedua pende-
ta itu dikenal oleh penduduk kotaraja sebagai Baga-
wan Padma Kembar. Mereka memang dua orang lelaki
kembar dan sama-sama mengabdikan dirinya untuk
kepentingan agama. Selain terkenal sebagai dua pen-
deta yang alim, mereka juga terkenal sebagai dua pen-
deta berilmu tinggi. Berlainan dengan Resi Ekaraga
yang mengabdikan diri kepada keluarga raja, kedua
pendeta kembar itu tidak mau ‘dikurung’ di dalam is-
tana. Dengan kata lain, mereka ingin menyebarkan
agama secara bebas, tanpa mau mengikatkan diri den-
gan keluarga raja. Walaupun begitu, keluarga raja
menghormati mereka. Itulah sebabnya mereka hadir di
alun-alun dan ditempatkan sejajar dengan para pem-
besar Tegalinten.
Sebenarnya kedua pendeta yang bergelar Bagawan
Padma Kembar itu bernama Aswabahu dan Aswakaca.
Tapi sulit membedakan mana yang Aswabahu dan ma-
na yang Aswakaca, karena dua-duanya berkepala gun-
dul, dua-duanya berjubah kuning dengan lambang bu-
nga teratai di dadanya, dua-duanya memegang tongkat
yang juga berhiaskan ukiran bunga teratai pada ba-
gian kepalanya dan dua-duanya berkalungkan tasbih
hitam. Hanya ada tanda kecil yang bisa dijadikan pa-
tokan, yakni tahi lalat di dahi Aswabahu itu, sementa-
ra Aswakaca tidak bertahi lalat di dahinya.
Dengan gerakan yang ringan, Bagawan Padma
Kembar melayang ke atas panggung ujian, dan menda-
rat tepat di muka Senapati Prabayani.
Melihat lompatan kedua pendeta kembar itu, cepat
saja Senapati Prabayani dapat menilai bahwa mereka
berilmu tinggi. Maka dengan sikap yang agak hati-hati,
Senapati Prabayani menegur mereka.
“Dua orang pendeta suci naik ke atas panggung ini,
tentu dengan maksud baik. Apakah kalian berdua
hendak memberi restu-pastu padaku?”
Aswabahu menjawab, “Memang orang-orang seperti
kami ini hanya boleh melakukan kebaikan dan pan-
tang melakukan kejahatan.”
Aswakaca menyambung, “Dan kami melihat suatu
perbuatan di luar batas perikemanusiaan, telah dila-
kukan oleh seorang yang baru saja diangkat sebagai
Senapati Kerajaan Tegalinten.”
Disambung lagi oleh Aswabahu, “Seorang senapati
seharusnya mengayomi rakyatnya, dan bukannya de-
ngan seenaknya membunuh seperti yang terjadi tadi.
Kalau memang tangan sang Senapati sudah gatal, in-
gin membunuhi orang... umumkan perang saja dengan
negara lain! Di situlah pandai atau bodohnya seorang
panglima dalam ilmu perang, akan kelihatan! Kenapa
harus rakyat sendiri yang dibunuh?”
Sebenarnya Senapati Prabayani sudah ingin lang-
sung bertindak, untuk ‘menghukum’ kedua pendeta
kembar yang telah dengan ‘lancang’ mencercanya di
muka umum itu. Tapi tiba-tiba didengarnya bisikan
halus di telinganya, “Bersikaplah seluwes mungkin. Di
hadapanmu banyak pembesar kerajaan. Jangan sam-
pai mereka membencimu.”
Senapati Prabayani segera tahu bahwa yang me-
ngirimkan suara bisikan itu, adalah ayahnya sendiri.
Suara bisikan yang dikirimkan dari jarak jauh, lewat
ilmu mengirim suara. Dan suara bisikan itu hanya da-
pat didengar oleh Senapati Prabayani sendiri.
Senapati Prabayani mematuhi bisikan yang hanya
bisa didengar olehnya sendiri itu. Maka dengan sikap
‘luwes’, ia berkata kepada Bagawan Padma Kembar.
“Mungkin kalian berdua terlalu banyak menekuni ki-
tab-kitab suci, sehingga kalian lupa bahwa seorang se-
napati berkewajiban menegakkan kewibawaan kera-
jaan. Bukan hanya mengayomi rakyat dan memenang-
kan setiap peperangan.”
“Kewibawaan tidak harus ditegakkan dengan keke-
jaman,” tukas Aswabahu. “Bahkan sebenarnya keke-
jaman hanya akan menimbulkan dendam terselubung
di hati rakyat!”
Kemudian Aswabahu menoleh, setengah menenga-
dah ke arah Aria Pamungkas, sambil berkata, “Ampun,
Gusti Aria! Hamba berdua mulai cemas terhadap kera-
jaan yang akan dipimpin oleh Gusti Aria ini. Tampak-
nya wanita ini lebih jahat daripada perampok. Barang-
kali Gusti Aria masih punya kesempatan untuk mem-
pertimbangkan kembali keputusan Gusti tentang pen-
gangkatan wanita ini sebagai senapati.”
Dan Aswakaca ikut menengadah, ikut berkata kepa-
da Aria Pamungkas, “Memimpin suatu negara dengan
tangan berlumuran darah, pada akhirnya hanya akan
mendatangkan keruntuhan. Seekor semut pun kalau
diinjak, akan menggigit dulu sebelum mati. Seorang
manusia akan merasa sakit kalau dipukuli. Tapi kalau
pukulan itu sudah terlalu sering, dia tidak akan mera-
sa sakit lagi, Gusti Aria.”
Aria Pamungkas bahkan menjadi gusar. Ia berdiri di
panggung kehormatan. Ia membentak dengan suara
lantang. “Bagawan Padma Kembar! Apa maksud kalian
sebenarnya? Apakah kalian secara diam-diam sedang
melancarkan hasutan untuk memberontak terhadap
kerajaan?”
Aswabahu menyimpan kedua tangan di dadanya.
Menyahut, “Hamba berdua hanya menjalankan darma,
Gusti Aria. Adalah muskil bagi hamba berdua untuk
membiarkan kekejaman berlangsung di depan mata
hamba berdua.”
Aswakaca pun menyimpan kedua tangan di da-
danya, lalu berkata, “Hamba berdua tidak pernah ikut
campur dalam soal pemerintahan. Tapi hari ini hamba
berdua seperti dipaksa untuk menyaksikan berlang-
sungnya suatu kekejaman dari wanita yang baru di-
angkat sebagai senapati itu. Bagaimana mungkin
hamba berdua bisa menutup mata dan pura-pura ti-
dak melihat peristiwa mengerikan tadi?”
Aria Pamungkas berseru, “Senapati Prabayani! Sele-
saikanlah masalah ini dengan cara yang kau pandang
baik. Sepenuhnya kuserahkan pada kebijaksanaanmu!”
Kemudian Aria Pamungkas turun dari panggung
kehormatan. Dan bergegas melangkah menuju pintu
gerbang istana, diiringi oleh para pengawalnya.
Kepergian Aria Pamungkas justru membuat dada
Senapati Prabayani lega. Pikirnya, “Sekarang akulah
yang berkedudukan paling tinggi di antara seluruh ha-
dirin di alun-alun ini. Sekarang aku leluasa untuk me-
lakukan tindakan apa pun, terlebih lagi karena sang
Putra Mahkota sudah mengizinkanku untuk bertindak
dengan caraku sendiri.”
Senapati Prabayani kembali memusatkan pandang-
annya pada kedua pendeta kembar itu. “Dengan me-
mandang kalian sebagai orang-orang yang berkecim-
pung di bidang keagamaan, aku masih ingin berbaik
hati. Aku tidak akan mengirim kalian ke nirwana,
asalkan kalian menyembah kakiku tiga kali, sebagai
tanda penyesalan atas kelancangan kalian tadi.”
Hadirin menjadi riuh. Ada yang menganggap uca-
pan Senapati Prabayani sebagai hal yang keterlaluan
dan melewati batas, karena selama ini kedudukan
pendeta sangat dihormati di Kerajaan Tegalinten. Tapi
para pendukung Senapati Prabayani yang duduk di
sebelah utara itu, kontan bertepuk tangan dan berte-
riak-teriak, “Sikat saja pendeta-pendeta keblinger itu!
Jangan dikasih ampun!”
Kedua pendeta itu sendiri tampak tenang. Tapi wa-
jah mereka yang mendadak merah padam, adalah per-
tanda bahwa mereka sedang menahan kemarahan
yang luar biasa.
Dan Aswabahu menyahut tenang, “Di dalam sejarah
Tegalinten, belum pernah terjadi seorang pendeta ha-
rus menyembah kaki seorang senapati. Bahkan seo-
rang raja pun menghormati kedudukan seorang pende-
ta.”
“Kalau begitu, kalian harus menerima hukuman
atas kelancangan kalian tadi!” bentak Senapati Pra-
bayani sambil memberi isyarat khusus kepada Praba-
laya.
Dan Prabalaya langsung mengerti apa yang diingin-
kan oleh kakaknya. Maka, dengan gerakan yang demi-
kian cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh hadirin,
Prabalaya melemparkan sesuatu ke arah kakaknya—
seekor ular Dadali!
Rupanya dalam keadaan bagaimana pun, Prabalaya
selalu punya ‘stock’ ular bersayap yang sangat berba-
haya itu. Dan ular yang bisanya sangat mematikan itu,
telah berada di tangan Senapati Prabayani.
Tampaknya kedua pendeta kembar itu tahu betapa
berbahayanya ular bersayap yang kini telah berada di
tangan Senapati Prabayani, karena mereka langsung
menegakkan tongkatnya masing-masing, dengan sikap
waspada.
Aswakaca masih sempat berteriak lantang, “Lihat!
Pantaskah seorang senapati mempergunakan ular Da-
dali sebagai senjatanya?!”
Banyak di antara hadirin yang terperanjat, khusus-
nya mereka yang pernah mendengar cerita tentang ba-
haya ular bersayap itu. Bahkan apa yang bergumam,
“Gila...! Bagaimana mungkin seorang wanita seperti dia
bisa bersahabat dengan ular jahat itu?”
Pada saat itu pula seorang lelaki muda menyelinap-
nyelinap di antara jejalan rakyat Tegalinten. Lelaki mu-
da itu, adalah Rangga.
Rupanya Rangga baru tiba di kotaraja dan langsung
tertarik ketika melihat banyaknya orang yang mengeli-
lingi alun-alun Tegalinten itu. Dan ia berhasil menyeli-
nap sampai di sebelah selatan panggung ujian itu, di
tempat yang tidak begitu jauh dari ‘tempat demonstra-
si’ Senapati Prabayani.
“Lagi-lagi ular Dadali,” pikir Rangga setelah melihat
apa yang sedang terjadi di atas panggung ujian itu.
“Entah dari mana keluarga Prabaseta mendapatkan
ular yang sangat langka dan amat jahat itu. Mungkin
pada suatu saat aku harus menggeledah sarang pe-
mimpin golongan hitam itu. Siapa tahu dia memang
sengaja mengembangbiakkan ular yang sangat berba-
haya itu.”
Sementara itu, ular Dadali di tangan Senapati Pra-
bayani sudah liuk-liuk liar, seakan tak sabar lagi, ingin
segera membinasakan calon korbannya.
Dan Senapati Prabayani memperingatkan, “Untuk
terakhir kalinya kuperingatkan... kalau kalian tidak
mau menyembah kakiku tiga kali, berarti kalian me-
maksa ularku menjatuhkan hukuman dengan caranya
sendiri.”
Kedua pendeta kembar itu tidak menyahut. Mereka
bahkan berdiri saling membelakangi, dengan pung-
gung saling merapat... kaku... mengedipkan mata pun
tidak.
Melihat sikap kedua pendeta kembar itu, Senapati
Prabayani tersenyum dingin. Ia tahu bahwa kedua
pendeta itu sedang mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya masing-masing, untuk menolak serangan ra-
cun yang mungkin terjadi setelah ular bersayap itu di-
lepaskan.
Ular itu benar-benar dilepaskan dan langsung mele-
sat ke arah bahu Aswabahu!
Secepat kilat Aswabahu mengibaskan tongkatnya,
dengan maksud untuk menangkis terjangan ular ber-
sayap itu, sekaligus memecahkan kepalanya, kalau bi-
sa. Tapi rupanya ular itu sudah sangat terlatih. Begitu
melihat Aswabahu menggerakkan tongkatnya, ular itu
mengubah arah... memekik ke bawah dan melesat ke
arah perut Aswabahu yang tidak terlindung.
Aswabahu terkejut, karena tidak menduga kalau
ular itu bisa mengubah arah dalam tempo demikian
cepatnya. Tapi Aswabahu pun bukan anak kemarin
sore. Begitu melihat perubahan arah terjangan ular
bersayap itu, secepat kilat Aswabahu melompat... cu-
kup tinggi... dan ular bersayap itu lewat di bawah ka-
kinya.
Tapi ular itu mendapat calon korban baru: Aswakaca.
Dan justru Aswakaca dalam keadaan kurang was-
pada, karena tidak menyangka kalau ular itu akan me-
nerjangnya pula.
Ular bersayap itu melesat ke arah punggung Aswa-
kaca, membuat pendeta itu kaget dan cepat-cepat
menjatuhkan diri... bertiarap di lantai panggung. Na-
mun tak urung perut ular itu sempat menyerempet ju-
bah Aswakaca pada bagian punggungnya. Jubah kun-
ing itu langsung hangus dan robek pada bagian pung-
gungnya!
Wajah Aswabahu terpucat-pucat menyaksikan ke-
dahsyatan ular Dadali yang sudah terlatih itu. Sentuh-
an perutnya saja, mampu menghanguskan punggung
jubah Aswakaca. Apalagi ‘sentuhan’ gigi berbisanya!
Sementara itu, Senapati Prabayani tenang-tenang
saja, bertolak pinggang di sudut utara, sambil terse-
nyum-senyum menyaksikan adegan maut itu.
Dan ular bersayap itu telah memutar arah, untuk
menerjang Aswakaca yang masih tertelungkup di lantai
panggung. Ular itu terbang rendah sekali, hanya se-
jengkal jaraknya dari lantai panggung, menghambur ke
arah ubun-ubun Aswakaca.
Aswakaca sudah di ambang maut! Tapi... tiba-tiba
saja sesosok tubuh melesat dari arah selatan... lang-
sung menghantam ular jahat itu!
Ular bersayap itu terpental ke arah utara dan jatuh
di tengah-tengah kelompok golongan hitam itu!
Terdengar pekikan-pekikan kaget dari kelompok go-
longan hitam yang duduk di sebelah utara itu.
Dan seorang lelaki muda telah berdiri di atas pang-
gung. Menatap Senapati Prabayani dengan pandangan
berapi-api.
Terdengar seruan Prabalaya dari deretan kursi para
adipati.
“Awas! Dialah orang yang bernama Rangga itu!”
***
SENAPATI Prabayani yang sudah mendengar dari
adiknya, tentang kehebatan lelaki muda bernama
Rangga itu, lalu bersikap hati-hati sekali. Bahkan ada
sedikit kegentaran di hatinya. Namun setelah teringat
bahwa ayahnya hadir di sebelah utara panggung ujian
itu, hatinya tenang kembali.
Sementara itu, Rangga berkata kepada Bagawan
Padma Kembar, “Kuharap paman-paman turun dulu.
Biarlah perempuan ini kuhadapi sendiri.”
Kedua pendeta kembar itu maklum bahwa lelaki
muda yang tiba-tiba muncul di depan mereka pastilah
seorang pendekar berilmu tinggi. Itu bisa dibuktikan
dengan binasanya ular bersayap tadi, oleh tendangan
lelaki muda yang belum mereka kenal itu.
“Terima kasih atas pertolonganmu, anak muda,” ka-
ta Aswakaca sambil melompat turun dan duduk kem-
bali di tempat semula. Diikuti oleh saudara kembar-
nya, yang lalu duduk pula di sampingnya.
“Siapa pemuda itu?” bisik Aswabahu kepada Aswa-
kaca.
“Entahlah,” Aswakaca menggeleng. “Tapi tampaknya
dia berada di pihak kita.”
Sementara itu, Rangga telah maju beberapa lang-
kah, semakin mendekati Senapati Prabayani.
“Kau sudah tahu siapa aku, dari adikmu tadi,” kata
Rangga dingin.
“Ya,” Senapati Prabayani mengangguk dengan se-
nyum genit. “Aku sudah tahu bahwa kau bernama
Rangga dan pernah mengganggu adikku di dalam hu-
tan. Lalu, apakah kau belum puas dengan kejahilan-
mu itu, sehingga sengaja naik ke atas panggung untuk
mengacaukan acara kami?”
“Aku tidak pernah mau mengacaukan acara siapa
pun, terkecuali kalau aku melihat terselipnya kejaha-
tan dalam acara itu,” sahut Rangga tenang. “Dengan
ular Dadali itu, kau hampir merenggut nyawa dua
orang pendeta yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Te-
galinten. Karena itu, aku tak bisa berpeluk tangan.”
“Hmm... Rangga... Rangga. Kau merasa paling sakti
di dunia ini, sehingga dengan lancang kau campuri
urusan kami... urusan Kerajaan Tegalinten! Apakah
kau tidak tahu bahwa pada saat ini berkumpul orang-
orang gagah dari segenap penjuru kerajaan?”
“Aku tidak peduli dengan urusanmu. Aku hanya
merasa tidak tega melihat kedua pendeta itu binasa
dengan cara yang begitu kejam!”
“Omong kosong! Kehadiranmu di atas panggung ini
jelas merupakan tantangan bagiku... bagi Senapati Ke-
rajaan Tegalinten!”
“Aku tidak menantang seorang senapati. Aku hanya
ingin mencegah putra-putri Prabaseta bertindak sewe-
nang-wenang di kotaraja ini,” sahut Rangga dengan
suara yang disertai pengerahan tenaga dalam, supaya
kata-katanya terdengar ke seluruh alun-alun. “Aku ju-
ga tahu bahwa Prabaseta yang bergelar Jalak Ruyuk
itu, hadir di sebelah utara sana,” lanjut Rangga sambil
menunjuk ke arah kelompok golongan hitam itu.
Hadirin terperanjat. Tadi, waktu Rangga menye-
butkan nama Prabaseta, mereka masih diam, karena
nama Prabaseta tidak begitu dikenal oleh masyarakat.
Tapi gelar ‘Jalak Ruyuk’ itu, sudah banyak yang men-
getahuinya, sebagai tokoh golongan hitam yang sangat
kejam.
Hadirin yang bukan dari golongan hitam, baru seka-
li itu tahu bahwa senapati yang baru diangkat itu anak
si Jalak Ruyuk. Maka tentu saja mereka jadi cemas:
Bagaimana jadinya dengan negara ini, kalau keturu-
nan penjahat besar dijadikan panglima perang?
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam Rang-
ga tadi, bukan hanya terdengar ke seluruh alun-alun,
melainkan juga terdengar sampai di dalam istana...
sampai di telinga Aria Pamungkas!
“Apa?! Prabayani itu anak si Jalak Ruyuk?!” seru
Aria Pamungkas di dalam hatinya. Dan bergegas sang
Putra Mahkota melangkah ke arah alun-alun kembali.
Tapi Resi Ekaraga mencegatnya di tengah jalan.
“Sebaiknya Gusti Aria jangan muncul di alun-alun.
Tampaknya akan terjadi yang... yang sebaiknya tidak
dihadiri oleh Gusti Aria, demi keselamatan Gusti sen-
diri.”
“Tapi... oh... aku telah mengangkat anak Jalak
Ruyuk sebagai senapati... oh, oh, ooooh...! Kenapa aku
jadi begini gegabah mengangkat orang untuk kedudu-
kan yang begitu penting?!” Aria Pamungkas memijit-
mijit dahinya sendiri.
“Tenanglah, Gusti Aria. Sebaiknya Gusti biarkan
dulu mereka menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Nanti, kalau suasananya sudah reda, barulah
Gusti Aria muncul di depan mereka.”
“Yaaah,” keluh Aria Pamungkas, “mungkin itulah ja-
lan terbaik bagiku.”
Kemudian Resi Ekaraga memerintahkan salah seo-
rang prajurit untuk menutupkan pintu gerbang istana.
Sementara Aria Pamungkas sudah bergegas masuk
kembali ke dalam purinya, dengan kemelut merajalela
di dalam benaknya.
***
Suasana di alun-alun dicengkeram ketegangan.
Pandangan hadirin terpusat ke arah panggung ujian.
Beberapa orang yang bernyali kecil, mulai meninggal-
kan alun-alun secara diam-diam.
Secara diam-diam pula Senapati Prabayani mulai
menanggalkan selendang yang terikat di pinggangnya,
lalu merentangkannya di depan Rangga.
Dan tubuh Senapati Prabayani mulai menggigil. Wa-
jahnya menjadi pucat-pasi, namun kedua tangannya
menjadi merah sekali. Lalu... tiba-tiba saja tubuhnya
berpusing, dengan tangan tetap merentangkan selen-
dangnya.
Makin lama pusingan tubuh Prabayani makin ce-
pat, sehingga akhirnya tubuh menggiurkan itu seolah-
olah menghilang dan tinggal bayangan seperti kaca ti-
pis saja.
Lalu, “Eaaaaaat...!” Senapati Prabayani berseru
sambil melepaskan selendangnya. Dan seperti yang
pernah dipertunjukkan pada sang Putra Mahkota, se-
lendang itu berputar-putar dengan cepatnya... laksana
senjata Cakra sang Kresna... terbang ke arah Rangga,
dengan bunyi mendengung-dengung seperti tawon.
Rangga segera sadar bahwa ‘selendang terbang’ itu
digerakkan oleh ilmu hitam. Maka cepat-cepat Rangga
bersemadi, dengan menutup pancaindranya, sambil
membaca mantra pengusir ilmu hitam.
Apa yang terjadi?
Selendang terbang itu mendesing dan menyeruduk
ke arah leher Rangga. Tapi begitu hendak menyentuh
sasarannya, selendang itu ambruk ke lantai panggung
dan lemas kembali seperti sediakala!
Senapati Prabayani terbelalak. Baru sekali itulah
selendangnya dibuat tak berdaya oleh lawannya.
Namun pada saat itu pula Prabalaya mendengar
suara ayahnya, lewat bisikan jarak jauh, “Prabalaya...
marilah kita bantu Prabayani. Bacakan mantra Kala-
murka.”
Senapati Prabayani pun mendengar bisikan jarak
jauh, “Jangan mundur. Ayah dan adikmu akan mem-
bantumu dari kejauhan. Bacakan mantra Kalamurka!”
Beberapa saat kemudian, selendang Prabayani
mendadak terbang kembali... melesat dengan ganasnya
ke arah Rangga. Dan Rangga terkejut, karena tidak
menyangka kalau selendang itu mampu terbang kem-
bali... bahkan kini menyerangnya dengan lebih ganas!
Ya, Prabaseta dan putra-putrinya bersama-sama
membacakan mantra Kalamurka, ilmu hitam yang ter-
cipta demikian dahsyatnya. Selendang itu berpusing
cepat sekali... melesat ke arah perut Rangga. Dan
Rangga kembali memusatkan pikirannya, sambil
membaca mantra penolak ilmu hitam. Mantra Indra-
suci.
Tapi... selendang terbang itu seperti ‘memaksa’ un-
tuk memotong perut Rangga.
Rrrrt...! Pakaian Rangga pada bagian perutnya ter-
koyak! Rangga terkejut dan cepat-cepat menggerakkan
lututnya untuk menepiskan selendang itu.
Selendang itu terpental ke atas, karena tepisan lu-
tut Rangga disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi
Rangga sendiri agak meringis, karena lututnya terasa
kesemutan!
Tadi Rangga mengira bahwa selendang itu digerak-
kan oleh satu orang saja, sehingga pertahanan yang di-
sediakan pun hanya untuk melayani satu orang lawan.
Itulah sebabnya Rangga merasa lututnya seperti di-
hantam oleh tenaga yang demikian kuatnya manakala
bersentuhan dengan selendang terbang tadi, karena
selendang itu digerakkan oleh tiga orang berilmu tinggi
yang mempersatukan kekuatan ilmu hitam mereka.
“Gila,” pikir Rangga. “Kenapa kekuatannya jadi begi-
tu hebat? Rasanya aku seperti menghadapi lawan lebih
dari seorang!”
Dan selendang itu menukik lagi... menyerbu ke arah
kepala Rangga, demikian cepatnya, sehingga Rangga
harus membungkuk, melompat-lompat ke kanan-kiri...
sementara selendang itu malah semakin ganas mem-
burunya!
Memang begitulah dahsyatnya ilmu hitam Kalamur-
ka kalau sudah dikerahkan oleh tiga orang secara se-
rempak. Kalau lawannya menghindar, selendang itu
akan semakin garang menguber si lawan. Kalau Rang-
ga berhasil mengelak, selendang itu secepatnya mem-
belok, lalu mengirimkan serangan baru.
Ya, Rangga mengelak ke kiri, selendang itu lewat di
samping telinga Rangga, tapi lalu secepatnya membe-
lok dan menyeruduk perut Rangga, dan Rangga cepat-
cepat melompat ke atas, tapi ketika Rangga masih be-
rada di udara... selendang itu sudah memburu selang-
kangan Rangga. Dan ini terpaksa harus ditepiskan
dengan tendangan yang disertai pengerahan tenaga da-
lam..., traak...! Selendang itu terpental jauh.
Dan... lagi-lagi Rangga meringis. Kakinya yang di-
pakai menendang tadi, terasa kesemutan.
Ketika Rangga masih meringis, tiba-tiba pula Pra-
bayani menerjang dengan keris di tangannya! Dan ke-
ris itu langsung dihunjamkan ke arah dada Rangga!
Walaupun belum siaga, Rangga cepat-cepat menge-
lakkan tusukan keris Senapati Prabayani, dengan
mengegos ke samping kanan, sehingga keris Senapati
Prabayani lewat ke samping kirinya. Pada saat itulah
Rangga sempat menghantamkan tangan kanannya ke
bahu kiri Senapati Prabayani.
Praaak...! Pukulan itu mampu membuat tulang ba-
hu kiri Senapati Prabayani retak!
Senapati Prabayani memekik kesakitan, lalu mun-
dur tiga langkah, sambil memegangi bahunya yang sa-
kit.
Seharusnya Senapati Prabayani sadar, bahwa kalau
Rangga bermaksud mencelakakannya, pastilah puku-
lan tadi bisa menghancurkan bahunya. Tapi Rangga
hanya mengeluarkan sedikit saja tenaga dalamnya, se-
hingga akibatnya pun ‘hanya’ meretakkan tulang bahu
Senapati Prabayani.
Memang pada dasarnya Rangga tidak tega menyaki-
ti seorang wanita. Itulah sebabnya, tadi ia hanya me-
mukul ‘perlahan’ saja. Tapi perlahannya pukulan mu-
rid Kudawulung, tentu tidak sama dengan perlahannya
pukulan pendekar kelas kambing. Perlahannya puku-
lan murid Kudawulung, sudah cukup untuk meretak-
kan tulang bahu Senapati Kerajaan Tegalinten yang
baru itu!
Dan diam-diam Rangga berpikir, “Tadi, waktu aku
memukul bahunya, terasa tolakan tenaga dalamnya ti-
dak begitu kuat. Sekarang dia bahkan tampak kesakit-
an. Berarti dia memang tidak sehebat perkiraanku ta-
di. Lalu, kenapa dia bisa menggerakkan selendangnya
demikian hebatnya?”
Dan diam-diam Rangga berhasil memecahkan suatu
teka-teki. “O, sekarang aku tahu! Pasti ada orang yang
membantunya secara gelap! Dan... ah... kenapa aku
lupa bahwa di alun-alun ini ada saudara Prabayani?
Ya... bahkan mungkin ayahnya pun ada di sekitar
panggung ini!”
Sementara itu, selendang terbang itu mulai berpu-
sing dan menyerang lagi dari arah utara. Semakin ya-
kinlah Rangga bahwa lawannya dibantu oleh satu atau
dua orang di luar panggung.
“Seharusnya,” pikir Rangga, “kalau Prabayani se-
dang kesakitan, selendangnya pun akan ikut-ikutan
lemah. Tapi selendang itu... menyerangku lagi dengan
kuatnya!”
Wuuuut...! Rangga mengelakkan serangan selen-
dang terbang itu, dengan lompatan kilat ke sebelah ki-
ri. Sementara Prabayani pun mulai menyerang lagi,
walaupun bahu kirinya masih terasa sakit sekali.
Terjangan keris Senapati Prabayani hampir tidak
ada artinya bagi Rangga. Karena sambil menahan sakit
pada bahu kirinya, gerakan Senapati Prabayani jadi
‘kurang meyakinkan’. Dengan mudah saja Rangga me-
nangkap pergelangan tangan kanan Senapati Prabaya-
ni, sambil berkata di dalam hatinya, “Aku harus me-
maksa pendukung gelapnya naik ke atas panggung!
Karena itu, aku harus secepatnya merobohkan perem-
puan ini!”
Maka, ketika Rangga masih menggenggam perge-
langan tangan kanan Prabayani—yang membuat keris
Prabayani terjatuh ke lantai panggung—Rangga berpu-
ra-pura hendak melayangkan pukulan maut ke dada
lawannya.
Pada saat itulah, terasa ada angin dingin menyam-
bar dari sebelah utara, ke arah punggung Rangga!
Secepatnya Rangga mendorong Senapati Prabayani
ke samping, lalu membalikkan tubuhnya untuk meng-
hadapi sesuatu yang menimbulkan angin dingin itu.
Ternyata seorang lelaki tua, bertubuh tinggi kurus,
bermata sipit seperti mata elang, berpakaian serba hi-
tam, memegang tongkat aneh di tangannya... melesat
ke arah Rangga. Itulah Prabaseta, alias si Jalak Ruyuk!
Senapati Prabayani jatuh terlentang. Dan Rangga
langsung menyambut terjangan si Jalak Ruyuk dengan
kedua tangan dijulurkan ke depan.
Si Jalak Ruyuk terpaksa membatalkan serangan bo-
kongannya, karena ia merasa angin yang sangat ken-
cang bertiup dari kedua telapak tangan Rangga. Ru-
panya Rangga sedang menyalurkan tenaga Tolakbayu
lewat kedua telapak tangannya!
Walaupun si Jalak Ruyuk telah mengegos ke kiri,
tak urung rambutnya berkibar-kibar, tertiup oleh
‘pinggiran’ angin dari kedua telapak tangan murid Ku-
dawulung itu!
Rangga berdiri tenang. Melirik ke arah Senapati Pra-
bayani yang sudah bangkit kembali di sebelah kirinya,
melirik ke arah si Jalak Ruyuk yang sudah memasang
kuda-kuda di sebelah kanannya, dan bertanya, “Kena-
pa pendukung gelap yang lain tidak sekalian naik ke
atas panggung ini?”
Sebenarnya pertanyaan Rangga itu hanya untuk
memancing-mancing saja, karena ia sendiri belum ta-
hu pasti berapa orang yang membantu Senapati Pra-
bayani tadi. Namun pertanyaan itu cukup menge-
jutkan si Jalak Ruyuk, yang mengira bahwa Rangga
demikian saktinya, sehingga perbuatan si Jalak Ruyuk
dan Prabalaya tadi diketahui secara pasti olehnya.
Maka dengan wajah merah padam, si Jalak Ruyuk
memanggil anaknya, “Prabalaya, naiklah ke sini. Kita
akan bermain-main sebentar dengan orang muda yang
hebat ini!”
Lalu melompatlah Prabalaya ke atas panggung dan
berdiri di antara kakak dengan ayahnya.
Rangga sudah mendengar dari gurunya, bahwa to-
koh golongan hitam yang bergelar Jalak Ruyuk itu ber-
tubuh tinggi kurus, bermata sipit seperti mata elang
dan selalu membawa-bawa tongkat yang berbentuk se-
ekor ular dan terbuat dari baja hitam.
Maka yakinlah Rangga bahwa lelaki tua yang bera-
da di sebelah kanannya itu, adalah si Jalak Ruyuk.
“Para hadirin sekalian!” seru Rangga tiba-tiba, “Saat
ini telah hadir tiga tokoh yang sangat terkenal di selu-
ruh wilayah Tegalinten. Mereka adalah... Prabaseta
alias Jalak Ruyuk, Prabayani alias Meong Koneng dan
Prabalaya alias Ajag Hawuk!”
Tentu saja para pembesar dan rakyat Tegalinten ter-
kejut sekali, terutama setelah mendengar bahwa Sena-
pati Prabayani itu adalah si Meong Koneng... wanita
berhati iblis yang sudah sangat terkenal kekejaman-
nya!
Dan memang itulah yang diinginkan oleh Rangga.
Bahwa dengan sengaja ia ingin membuka kedok Pra-
bayani dan Prabalaya, supaya hadirin mulai memper-
timbangkan apakah kedua kakak beradik itu patut
menjadi pembesar kerajaan atau tidak.
Adipati Mundingrana yang sudah sejak lama tidak
setuju dengan pengangkatan Aria Pamungkas sebagai
putra mahkota, kini semakin sebal lagi setelah menge-
tahui siapa sebenarnya perempuan yang sudah telan-
jur diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten itu.
Maka secara diam-diam Adipati Mundingrana me-
ninggalkan alun-alun, lalu pulang ke Pasirluhur.
***
Tanpa mempedulikan reaksi hadirin yang mulai
tampak resah, Prabaseta memandang wajah Rangga
dengan mata berapi-api, lalu berkata tajam, “Tampak-
nya kau sengaja ingin membentangkan permusuhan
dengan keluarga Praba, sekaligus berdiri di pihak la-
wan kerajaan. Siapa sebenarnya gurumu, wahai orang
muda?”
Dengan santai Rangga menjawab, “Perbuatanku
adalah tanggung jawabku. Tidak ada alasan untuk
menyeret-nyeret nama guruku ke atas panggung ter-
hormat ini.”
“Biasanya, seorang murid yang tidak mau menye-
butkan nama gurunya, adalah murid yang murtad,”
desis Prabaseta dingin.
“Murtad atau setianya seorang murid pada gurunya,
tergantung pada bagaimana dia mengamalkan ilmu
yang telah diterima dari gurunya. Meskipun saban hari
dia menyembah kaki gurunya, tapi kalau ilmunya di-
gunakan untuk kejahatan, dia adalah seorang murid
yang murtad,” bantah Rangga dengan senyum di bibir.
Panas kuping Prabaseta dibuatnya. Ucapan Rangga
tadi terasa sebagai sindiran. Bukankah Prabaseta tidak
dianggap sebagai murid Citralaga lagi, karena Prabase-
ta menggunakan ilmunya untuk kejahatan?
Walaupun penampilan Prabaseta tampak lebih
‘luwes’ daripada kedua anaknya, namun sebenarnya ia
seorang tokoh golongan hitam yang sangat jahat dan
pantang tersinggung. Maka setelah mendengar ‘sindi-
ran’ Rangga tadi, secara diam-diam Prabaseta mene-
kan salah satu bagian tongkat baja hitam yang berben-
tuk ular itu...!
Sebenarnya tongkat Prabaseta bukan tongkat sem-
barangan. Benda yang dibentuk seperti ular itu sebe-
narnya memiliki ‘kamar-kamar dan pintu-pintu’ kecil.
Bagian dalamnya, mirip sel-sel sarang lebah. Dan se-
tiap sel berisi satu macam racun atau alat rahasia,
yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membinasa-
kan musuh secara licik dan kejam. Itulah yang dimak-
sud dengan ‘kamar-kamar’ dalam tongkat Prabaseta.
Ukiran berbentuk sisik ular pada tongkat itu, sebe-
narnya merupakan ‘pintu-pintu’ kecil, yang dapat dige-
serkan oleh pemiliknya... untuk mengeluarkan salah
satu pencabut nyawa yang terdapat di dalamnya!
Hanya Prabaseta dan kedua anaknya yang tahu
persis pintu rahasia mana yang harus digeserkan, un-
tuk mengeluarkan isi yang dikehendaki.
Dan kini Prabaseta telah menggeserkan ‘pintu’ yang
paling berbahaya. ‘Pintu’ itu akan mengeluarkan isi-
nya... racun ciptaan Prabaseta sendiri! Racun itu ter-
buat dari ramuan khusus, yang diberi nama ‘Singawe-
reng’. Racun itu sangat berbahaya, karena selain tidak
menimbulkan uap maupun asap, juga tidak menim-
bulkan bau apa-apa. Tapi ‘daya kerja’-nya luar biasa.
Begitu orang menghisap racun Singawereng, orang itu
akan menjadi lumpuh dan tak berdaya lagi seumur hi-
dupnya!
Sengaja Prabaseta mengeluarkan racun yang tidak
mematikan, tapi akibat yang akan ditimbulkannya le-
bih jahat daripada pembunuhan. Karena orang yang
sudah telanjur menghisapnya, akan cacat seumur hi-
dupnya.
Sebelum menggerakkan tongkatnya, si Jalak Ruyuk
berdesis perlahan, “Singawereng...!”
Sebenarnya ucapan Prabaseta itu merupakan kode
bagi kedua anaknya, supaya mereka cepat-cepat
menghindar atau menahan napas dalam waktu yang
telah ditentukan. Karena kalau racun yang tidak ber-
bau apa-apa itu sampai terhisap, siapa pun akan men-
jadi korban, termasuk Prabayani dan Prabalaya.
Prabalaya dan Prabayani kontan mengerti apa yang
akan dilakukan oleh ayah mereka. Tapi Rangga justru
salah duga. Rangga mengira bahwa Singawereng itu
merupakan salah satu jurus ciptaan Prabaseta yang
akan dipakai untuk menyerangnya.
Maka Rangga hanya memperhatikan gerak-gerik ke-
tiga lawannya, tanpa menyadari bahwa racun jahat itu
telah membersit dari dalam tongkat Prabaseta.
Ketika Prabalaya dan Prabayani menyerangnya,
Rangga tidak tahu bahwa sebenarnya serangan itu
hanya tipuan. Sedangkan tujuan sesungguhnya, cuma
ingin menjebak Rangga... supaya mendekati tongkat
Prabaseta!
Dan... wuuuut... tiba-tiba saja Prabaseta mengi-
baskan tongkatnya ke depan wajah Rangga. Memang
tongkat itu tidak menyentuh wajah Rangga, tapi ra-
cunnya... mulai menyelusup ke dalam rongga hidung
Rangga!
Tak ayal lagi... Rangga kontan ambruk, karena se-
pasang kakinya mendadak lemas, seolah-olah tak ber-
tulang lagi.
Kemudian meledaklah tawa Prabaseta, “Hahaha-
hahha haaaa...! Kau kira manusia macam aku ini bisa
dikalahkan oleh pendekar kemarin sore?!”
Rangga sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban
kelicikan dan kekejaman Prabaseta. Tapi kesadaran-
nya sudah terlambat. Ia hanya bisa menelentang pa-
srah, dengan anggota badan yang tak dapat digerak-
kan lagi!
Dan Prabaseta menghantamkan tongkatnya ke arah
kepala Rangga, tentu dengan maksud untuk memecah-
kannya. Rangga hanya bisa memandang tongkat itu...
dengan pasrah.
Tapi tiba-tiba Prabalaya berseru, “Jangan bunuh
dia!”
Prabaseta membatalkan pukulan mautnya. Menoleh
kepada anaknya, sambil bertanya heran, “Kenapa?”
“Gusti Aria sangat membutuhkan beberapa kete-
rangan darinya,” sahut Prabalaya.
***
ALUN-ALUN Tegalinten sudah sunyi. Panggung ujian
dan panggung kehormatan masih berdiri di ten-
gahnya. Tapi para pembesar dan rakyat Tegalinten te-
lah pulang ke rumahnya masing-masing.
Dan hari mulai senja.
Aria Pamungkas masih berdiri di menara istana,
sambil memandang ke arah barat sana, ke arah alun-
alun yang telah lengang itu.
Ketika Resi Ekaraga muncul di atas menara istana
itu, Aria Pamungkas masih berpeluk tangan dan me-
mandang ke kejauhan sana.
“Prabalaya sudah kuberangkatkan ke Kawahsuling,”
desis Aria Pamungkas tanpa menoleh.
“Oh, itu baik sekali, Gusti. Seorang calon raja besar,
harus selalu menepati janjinya,” sahut Resi Ekaraga
dengan seringai di bibirnya. Seringai yang aneh. Sea-
neh seringai waktu ia diam-diam memencilkan diri tadi
siang, karena ia tidak mau bertemu muka dengan Pra-
baseta... saingan masa mudanya.
“Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi kelak.
Aku telah mengangkat dua orang tokoh golongan hi-
tam, sebagai pembesar-pembesar di negeri ini.”
“Ah, rakyat Tegalinten hanya akan mengikuti saja
apa yang telah diputuskan oleh Gusti Aria. Hamba ra-
sa tidak akan ada pemberontakan di negeri ini. Terle-
bih lagi sekarang, Gusti Aria telah mempunyai dukun-
gan orang-orang yang sangat ditakuti oleh rakyat.”
“Tapi... orang-orang yang sangat ditakuti itu justru
berasal dari golongan hitam, Paman Resi. Tadinya aku
ingin agar diriku dipandang baik oleh rakyat Tegalin-
ten. Aku tidak ingin namaku diam-diam jadi pergun-
jingan. Dan sekarang? Ah... pasti banyak yang tengah
mempergunjingkanku, sebagai calon raja yang berse-
kutu dengan orang-orang jahat.”
“Lupakanlah kekuatiran seperti itu, Gusti. Sebenar-
nya banyak hal yang menguntungkan bagi Gusti seka-
rang.”
“Maksud Paman Resi?”
“Dengan dukungan dari orang-orang seperti Sena-
pati Prabayani dan Adipati Prabalaya... keamanan di
negeri ini akan mantap.”
“Keamanan di negeri ini akan mantap?!” tukas Aria
Pamungkas.
“Benar, Gusti Aria. Para pencuri, perampok dan se-
bangsanya, tidak akan berani melakukan kejahatan
lagi. Sedikitnya mereka akan segan, karena panglima
di negeri ini adalah anak pemimpin mereka. Bukankah
ini suatu keuntungan besar bagi Gusti Aria?”
Meledaklah tawa Aria Pamungkas. “Hahahahaaaa...!
Paman Resi memang benar! Keamanan di negeri ini
akan menjadi mantap... mantap sekali!”
“Ada keuntungan lain yang bisa diambil oleh Gusti
Aria,” ujar Resi Ekaraga lagi. “Orang-orang dari golong-
an hitam itu, bisa ditarik... sedikitnya untuk dijadikan
mata-mata.”
“Mata-mata?!” Aria Pamungkas serasa diingatkan
pada sesuatu yang selama ini masih dirahasiakan.
“Ya... Gusti Aria bisa memanfaatkan mereka untuk
menyelundup ke Tanjunganom, misalnya...”
“Paman Resi...,” sergah Aria Pamungkas, “dari mana
Paman Resi tahu bahwa aku punya maksud tertentu
terhadap Kerajaan Tanjunganom?”
Resi Ekaraga tersenyum. Menyahut, “Orang yang
sudah tua seperti hamba ini, seringkali lebih waspada
daripada orang-orang muda, Gusti.”
Aria pamungkas seperti enggan membicarakan hal
itu lebih jauh. Lalu melangkah menuruni tangga, sete-
lah berkata, “Hari sudah malam. Aku ingin memeriksa
tahanan itu.”
“Tahanan itu kelihatannya berbahaya,” kata Resi
Ekaraga sambil mengikuti langkah Aria Pamungkas
menuruni tangga. “Mungkin Gusti Aria harus dikawal
oleh senapati baru itu.”
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk.
***
Sementara itu, di dalam ruang tahanan yang dijaga
ketat, Rangga menelentang lemah. Telah berkali-kali ia
mencoba membebaskan diri dari pengaruh racun yang
telah melumpuhkan anggota badannya itu. Tapi hasil-
nya tetap nihil.
Sampai akhirnya ia berpikir, “Ah... mungkin nasib-
ku harus begini. Harus menjadi orang lumpuh dan tak
berdaya. Biarlah...”
Tiba-tiba pintu besi itu terbuka. Aria Pamungkas
muncul di ambang pintu, didampingi oleh Senapati
Prabayani. Dua prajurit pembawa obor berdiri di bela-
kang mereka.
Aria Pamungkas menyuruh salah seorang prajurit
untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, supaya wajah
Rangga kelihatan.
“Namamu Rangga, bukan?” desis Aria Pamungkas
sambil bertolak pinggang di dekat tawanannya.
Rangga tak menyahut. Melirikkan matanya pun ti-
dak. Seolah-olah tak peduli dengan kehadiran sang Pu-
tra Mahkota di dalam ruang tahanan itu.
“Ada satu hal yang ingin kuketahui darimu,” kata
Aria Pamungkas lagi, “mengenai kakakku... Aria Lu-
mayung. Engkau pasti tahu di mana dia berada seka-
rang.”
Rangga tetap membisu dan memandang langit-
langit ruang tahanan itu, tanpa mempedulikan perta-
nyaan sang Putra Mahkota.
“Jawaaab!” bentak Aria Pamungkas sambil menen-
dang paha Rangga sekuatnya.
Tendangan itu membuat Rangga berguling-guling di
lantai. Membuat Rangga terkejut: Oh! Hanya oleh ten-
dangan biasa saja, aku sudah terguling-guling! Apakah
aku sudah begini lemahnya?
“Ayo jawab! Di mana dia berada sekarang?” bentak
Aria Pamungkas lagi.
Rangga tetap tidak mau menyahut.
Senapati Prabayani, yang sesekali masih memegangi
bahunya karena keretakan tulangnya masih menim-
bulkan sakit, sekalipun telah diobati oleh ayahnya, di-
am-diam memperhatikan wajah Rangga dengan pera-
saan kagum: Sebenarnya dia tampan sekali. Sean-
dainya dia bisa kutarik menjadi sekutuku, ah, alang-
kah menyenangkan...!
“Senapati,” Aria Pamungkas menoleh kepada Sena-
pati Prabayani, “apakah dia sudah menjadi bisu? Dia
sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanku.”
“Hamba rasa, sebaiknya dia diberi tempo dulu. Nan-
ti hamba sendiri yang akan menanyainya,” sahut Pra-
bayani sambil membungkukkan badannya.
Aria Pamungkas mengerutkan dahinya. Lalu berge-
gas meninggalkan ruang tahanan, diiringi oleh Senapa-
ti Prabayani dan kedua prajurit pembawa obor itu.
Dan Rangga meludah ke lantai, “Cuh...! Biar dibu-
nuh pun, aku tidak akan menjawab pertanyaan me-
reka!”
***
LIMA orang penunggang kuda memasuki hutan di
sebelah selatan Tegalinten. Yang dua orang berada
di muka, yang seorang berada di tengah dan yang dua
orang lagi berada di belakang. Mereka adalah Adipati
Mundingrana bersama empat orang pengawalnya.
Di muka pertapaan Prabu Suriadikusumah, mereka
menghentikan kudanya masing-masing. Dan Adipati
Mundingrana turun dari kudanya, lalu melangkah ke
arah pertapaan.
Prabu Suriadikusumah yang tidak lagi mengenakan
pakaian kebesaran seorang raja, dan sudah menggan-
tinya dengan pakaian seorang pertapa, menyongsong
kedatangan Adipati Mundingrana di ambang pintu per-
tapaan, dengan senyum di bibir.
Adipati Mundingrana bersimpuh di depan Prabu
Suriadikusumah, sebagai tanda baktinya. “Hamba
menghaturkan sembah bakti, Gusti Prabu.”
Prabu Suriadikusumah mengangguk, “Kuterima sem-
bah baktimu, Adipati Pasirluhur. Tapi... angin apa
yang membawamu ke mari?”
“Angin duka, Gusti Prabu. Duka bagi seluruh rakyat
Tegalinten.”
“Suka dan duka itu memang wajar dialami oleh ma-
nusia yang masih bernyawa,” sabda sang Prabu, “Tapi,
cobalah katakan, berita duka apa yang ingin kau sam-
paikan padaku?”
“Sebenarnya berat hati hamba untuk menghatur-
kannya ke hadapan Gusti Prabu, karena apa yang in-
gin hamba haturkan ini, menyangkut putra Gusti Pra-
bu sendiri.”
“Hmm... Adipati Pasirluhur hendak menyampaikan
soal Aria Pamungkas, bukan?!”
“Be... benar, Gusti Prabu.”
“Aku sudah tahu semuanya. Tentang pengangkatan
perempuan bernama Prabayani, sebagai senapati. Ten-
tang pengangkatan lelaki bernama Prabalaya, sebagai
Adipati Kawahsuling. Dan aku juga sudah tahu bahwa
ayah mereka, adalah Prabaseta alias Jalak Ruyuk.”
Adipati Mundingrana terperangah. “Ja... jadi Gusti
Prabu sudah menyetujui semuanya itu?”
“Aku tidak bilang setuju. Aku hanya bilang bahwa
aku sudah tahu. Dan... yaaah... aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi, karena kekuasaan sudah kupasrahkan
kepada putraku,” sabda Prabu Suriadikusumah sambil
tersenyum getir.
Adipati Mundingrana menghela napas panjang. Mem-
bisu beberapa saat. Lalu katanya, “Kalau hamba tidak
kasihan kepada rakyat Tegalinten, mungkin hamba ti-
dak akan ikut campur pada apa pun yang dilakukan
oleh Gusti Aria Pamungkas. Tapi... sekarang... rakyat
dari kotaraja bahkan mulai banyak yang mengungsi ke
daerah Pasirluhur, Gusti Prabu.”
“Mengungsi ke Pasirluhur?!” tukas Prabu Suriadi-
kusumah.
“Daulat, Gusti Prabu. Tampaknya mereka sudah
menganggap kotaraja sebagai neraka rakyat, yang pe-
nuh dengan siksaan dan penderitaan. Mereka senanti-
asa dicengkeram ketakutan, terutama setelah anak
Prabaseta itu diangkat sebagai senapati.”
“Sebaiknya katakan saja, apa yang ingin kau usul-
kan padaku?”
“Ampun Gusti Prabu... menurut pendapat hamba,
belum terlambat bagi Gusti Prabu, untuk membatal-
kan keputusan tentang pengangkatan putra mahkota.”
“Inilah yang sangat sulit bagiku,” keluh Prabu Su-
riadikusumah. “Sebagai seorang raja, aku tidak boleh
menjilat air ludahku sendiri. Aku telah mengangkat
Aria Pamungkas sebagai putra mahkota. Bahkan pen-
gangkatan itu kulakukan secara resmi, di depan selu-
ruh pembesar Tegalinten. Lalu... apa kata mereka nan-
ti, kalau aku membatalkan keputusanku sendiri?”
“Tapi... demi rakyat Tegalinten, mungkin Gusti Pra-
bu masih berkenan mendampingi Gusti Aria Pamung-
kas dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan
pengawasan dari Gusti Prabu, mungkin masih banyak
yang bisa diperbaiki dalam jiwa putra Gusti.”
“Itu juga sulit kulakukan, karena aku sudah mulai
memasrahkan diri ke dalam jalan kesucian semata.
Aku bahkan sedang merencanakan untuk menobatkan
Aria Pamungkas secara resmi, sebagai Raja Tegalin-
ten.”
“Duh, Gusti Prabu. Hamba tidak dapat mem-
bayangkan malapetaka apa yang akan melanda negeri
ini, kalau Gusti Prabu secara resmi memasrahkan
mahkota kepada putra Gusti yang... yang masih terlalu
muda itu.”
Prabu Suriadikusumah hanya membelai jenggotnya
yang telah memutih, sambil memandang ke arah sang
Mangkubumi yang sedang bersemadi di sudut perta-
paan.
***
Dan jauh di utara sana, di dalam istana Tegalinten,
sang Putra Mahkota sedang berbicara dengan Senapati
Prabayani.
“Sudah hampir dua bulan kita menahan lelaki ber-
nama Rangga itu. Tapi sampai hari ini kita belum juga
mendapat keterangan apa pun dari mulutnya. Lalu
sampai kapan kita harus menunggu?”
“Memang dia bandel sekali, Gusti Aria. Tapi hari ini
dia harus bicara. Benda ini yang akan memaksanya
buka mulut.”
Senapati Prabayani memperlihatkan sebuah cupu
perak.
“Apa isi cupu itu?” Aria Pamungkas mengernyitkan
keningnya.
“Serbuk Kucubung Rawa,” Senapati Prabayani me-
layangkan senyum genit. Senyum yang sering mem-
buat Aria Pamungkas merinding.
“Kucubung Rawa?!”
“Benar, Gusti Aria. Serbuk ini memang keras sekali.
Memaksa seseorang membuka segala rahasia yang
masih dipendamnya. Tapi... ia sendiri tidak akan tahan
lebih dari sehari.”
“Maksudmu?”
“Setelah makan serbuk ini, orang itu akan menja-
wab setiap pertanyaan kita. Dan setelah mengoceh, ia
akan berkelojotan... sekarat. Dan paling lama sehari ia
kuat menahannya... lalu mampus!”
Aria Pamungkas tercengang, lalu tersenyum, sekali-
pun hatinya merasa ngeri... ngeri membayangkan ba-
gaimana jahatnya perempuan cantik yang sedang be-
rada di depannya itu. Perempuan yang sudah mendu-
duki jabatan sangat penting di Kerajaan Tegalinten itu.
Pikir Aria Pamungkas, “Prabayani selalu memiliki
cara dan alat untuk mencapai maksudnya. Dan aku
tidak tahu apa yang tersimpan di dalam benaknya saat
ini. Mudah-mudahan saja dia tidak pernah bermaksud
meracuniku. Tapi... bagaimana caranya supaya aku
punya jaminan bahwa dia tidak akan punya maksud
buruk terhadap diriku?”
Agak lama Aria Pamungkas terdiam. Merenung dan
sesekali melirik ke arah perempuan cantik itu.
Dan Senapati Prabayani mengira bahwa sang Putra
Mahkota meragukan kehebatan serbuk Kucubung Ra-
wa itu. Maka katanya, “Percayalah, Gusti Aria. Serbuk
Kucubung Rawa buatan ayah hamba ini, tidak pernah
gagal.”
“Aku tidak menyangsikan serbuk dalam cupu itu,”
sahut Aria Pamungkas. “Yang kusangsikan justru diri-
mu sendiri.”
“Diri hamba?!” Senapati Prabayani terheran-heran.
“Bukankah hamba telah berhasil membentuk barisan
khusus dalam waktu singkat, berhasil menciptakan
keamanan di negeri ini, berhasil....”
“Ya, kau telah berhasil dalam banyak hal,” sergah
Aria Pamungkas. “Tapi kau belum berhasil meyakin-
kanku, bahwa kau tetap akan setia padaku. Bahwa
kau tidak pernah berniat mengkhianatiku.”
Senapati Prabayani sedikit bingung. Entah bagai-
mana caranya untuk meyakinkan hati sang Putra
Mahkota, pikirnya.
Namun lalu Senapati Prabayani berdesis, “Percaya-
lah, Gusti Aria. Hamba berada di istana ini, semata-
mata karena ingin membaktikan diri kepada Gusti
Aria.”
Dan toh Aria Pamungkas masih belum yakin. “Da-
hulu, kau bicara begitu juga kepada Adipati Natajaya,
bukan? Dan kemudian... kau bunuh adipati yang ma-
lang itu.”
Senapati Prabayani terperangah. Tak disangkanya
bahwa sang Putra Mahkota akan mengungkit-ungkit
kembali persoalan yang tadinya sudah dianggap selesai
itu. Tapi Senapati Prabayani bukanlah anak si Jalak
Ruyuk, kalau ia tidak bisa mencari jawaban untuk su-
atu persoalan. Maka lalu katanya, “Hamba sudah
mengutarakan alasan utama yang membuat hamba
merasa berkewajiban untuk melenyapkan Adipati Na-
tajaya. Dan bukankah Gusti Aria sudah memaklu-
minya?”
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk. “Kau memang
punya alasan kuat untuk membunuh Adipati Natajaya.
Lalu... alasan apa pula yang membuatmu tega membu-
nuhku di kemudian hari?”
“Ah... kenapa Gusti Aria bisa punya pikiran seburuk
itu?” Senapati Prabayani mengerling dengan sikap
khusus. Sikap seorang wanita yang membutuhkan le-
laki.
“Seorang calon raja besar seperti aku ini, harus se-
lalu memperhitungkan segala kemungkinan.”
“Baiklah. Hamba mohon Gusti Aria sudi memperhi-
tungkan satu kemungkinan saja mengenai diri ham-
ba... bahwa hamba akan membuktikan kebaktian
hamba dengan... dengan cinta.”
“Cinta?!”
“Benar, Gusti Aria. Kalau Gusti Aria tidak bisa
mempercayai hamba, peristrikanlah diri hamba ini.
Dan hamba siap mengandung putra-putri Gusti di da-
lam perut hamba. Dari putra-putri itulah, hamba akan
selalu merasa terikat kepada Gusti Aria... terikat seca-
ra kekal.”
Aria Pamungkas agak terpanar. Seorang perempuan
diam-diam menggilai seorang pangeran bukanlah hal
yang aneh, tapi seorang perempuan secara terang-te-
rangan menawarkan diri kepada seorang lelaki, masih
merupakan hal yang ‘luar biasa’ bagi zaman itu.
Tapi, bagaimanapun juga ‘tawaran’ Senapati Pra-
bayani itu merupakan hal cukup menarik bagi sang
Putra Mahkota. Karena, dengan memperistrikan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi seperti Prabayani, ke-
dudukan Aria Pamungkas akan semakin kokoh.
Aria Pamungkas lalu tercenung. Berpikir, “Adalah
sangat menguntungkan kalau aku punya pengawal
seumur hidup seperti Senapati Prabayani. Kalau dia
jadi istriku, tentu saja dia akan selalu membelaku. Ta-
pi sayangnya, dia bukan keturunan raja. Apakah
mungkin aku bisa mengawininya?”
Seperti maklum pada apa yang tengah dipikirkan
oleh Aria Pamungkas, Senapati Prabayani berkata,
“Kalau Gusti Aria tidak mungkin menerima hamba se-
bagai istri utama, tentu Gusti Aria tidak akan berkebe-
ratan menerima hamba sebagai selir.”
Selir, pikir Aria Pamungkas, ya... kenapa aku tidak
mengawininya saja sebagai seorang selir?!
***
Aria Pamungkas memang seorang pangeran yang am-
bisius, licik dan kejam. Untuk mendapatkan dukungan
sebanyak-banyaknya, demi kedudukan tertinggi yang
diincarnya, ia tidak sayang-sayang menghamburkan
harta negara. Dan kalau dengan jalan ‘halus’ itu, ia be-
lum juga berhasil mencapai maksudnya, ia tidak se-
gan-segan mengorbankan nyawa orang lain. Katakan-
lah ia bisa menghalalkan segala macam cara, untuk
mencapai cita-citanya.
Tapi anehnya, Aria Pamungkas seperti kurang terta-
rik kepada perempuan. Padahal di usianya yang telah
menanjak dewasa itu, seharusnya ia sedang gila-
gilanya mengagumi lawan jenisnya.
Itulah sebabnya, walaupun ia sudah menjadi putra
mahkota, ia belum pernah terlibat dalam percintaan
dengan gadis mana pun.
Dan kini, ia berhadapan dengan ‘gadis’ yang sudah
begitu berpengalaman dalam meruntuhkan hati lelaki.
Ini adalah hal baru bagi sang Putra Mahkota.
Perempuan. Ya, perempuan. Apa sebenarnya yang
bisa menguntungkan dari seorang perempuan? Menga-
pa lelaki harus selalu didampingi oleh perempuan?
Demikianlah yang terpikir oleh sang Putra Mahkota,
ketika Senapati Prabayani masih menengadah dengan
penuh harap.
Dan akhirnya Aria Pamungkas berkata, “Kau harus
menurunkan seluruh ilmumu padaku. Barulah kemu-
dian aku akan memperistrikanmu.”
Berbinar-binar mata Senapati Prabayani dibuatnya.
“Oh, benarkah itu?”
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk. “Seperti yang
kukatakan tadi, aku akan memperistrikanmu secara
resmi. Tapi terlebih dahulu kau harus menurunkan se-
luruh ilmu yang kau miliki padaku.”
“Kalau boleh hamba tahu, apa yang membuat Gusti
Aria tertarik untuk memiliki ilmu hamba?”
“Karena sekarang aku sadar. Seorang pemimpin ha-
rus menguasai segala macam ilmu. Termasuk ilmu ke-
digjayan.”
Senapati Prabayani juga termasuk manusia yang
menghalalkan segala macam cara, untuk mencapai tu-
juannya. Maka untuk mendapatkan apa yang diingin-
kannya dari sang Putra Mahkota, tidak segan-segan ia
mencium kaki sang Putra Mahkota, sambil berdesis,
“Hamba akan memenuhi segala kehendak Gusti Aria.”
Sebenarnya ciuman di kaki Aria Pamungkas itu bu-
kan cuma ciuman bakti. Senapati Prabayani menam-
bahnya dengan gigitan lembut. Gigitan yang merang-
sang.
Dan toh Aria Pamungkas tidak terangsang. Bahkan
berkata, “Marilah kita laksanakan pemeriksaan taha-
nan bernama Rangga itu.”
“Gila,” umpat Prabayani dalam hati. “Putra Mahkota
ini jauh lebih mementingkan urusan politik daripada
perempuan!”
Namun Senapati Prabayani tidak memperlihatkan
kekecewaannya itu. Ia segera mengikuti langkah sang
Putra Mahkota ke arah penjara yang terletak agak jauh
di sebelah timur istana.
***
Setibanya Aria Pamungkas dan Senapati Prabayani
di dalam penjara, terjadi kegemparan.
Rangga telah hilang dari ruang tahanannya!
Dan prajurit-prajurit penjaga penjara menjadi ka-
lang kabut, mencari-cari Rangga ke seluruh pelosok
penjara. Tapi mereka tidak menemukannya. Jejaknya
pun tidak mereka temukan.
Tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan Se-
napati Prabayani dan sang Putra Mahkota. Kepala pen-
jaga penjara dipanggil. Dihardik: “Goblok! Tolol! Ba-
gaimana ini bisa terjadi? Bukankah tahanan itu kalian
jaga dengan ketat?”
“Be... benar,” Kepala penjaga itu ketakutan sekali.
“Ham... hamba sudah mengatur penjagaan demikian
rapinya. Se... seperti Gusti lihat sendiri, pintu itu dija-
ga oleh sepuluh orang. Tapi...”
“Tapi buktinya dia lolos!” sergah Aria Pamungkas
sambil mendaratkan tamparannya di muka kepala
penjaga itu, plaaaar...!
Senapati Prabayani mencoba untuk menenangkan
sang Putra Mahkota. “Biarlah... nanti akan hamba cari
lagi si bedebah itu.”
“Tapi... bukankah kau bilang bahwa dia akan lum-
puh seumur hidupnya?! Lalu kenapa sekarang dia bisa
melarikan diri?”
“Hamba rasa, ada seseorang yang menolong dia.”
“Ada seseorang yang menolong dia...,” gumam Aria
Pamungkas yang lalu meninggalkan penjara dengan
wajah murung.
***
APA sebenarnya yang menyebabkan Rangga bisa hi-
lang dari penjara Tegalinten itu? Apakah dia men-
dadak sembuh dan bisa berjalan lagi seperti biasa, lalu
mengerahkan ilmunya untuk melarikan diri?
Sebenarnya begini kejadiannya:
Beberapa saat sebelum Aria Pamungkas dan Sena-
pati Prabayani tiba di penjara, Rangga melihat sesuatu
yang mengherankan. Lantai ruang tahanan itu men-
cuat sedikit demi sedikit. Dan tiba-tiba saja menyem-
bullah kepala manusia... kepala wanita muda yang su-
dah dikenal oleh Rangga...
“Nyi... Tiwi?!”
“Sttt...!” Wanita muda itu menaruh telunjuk di bi-
birnya. Lalu menghampiri Rangga, sambil berkata sete-
ngah berbisik, “Aku datang untuk menolongmu, Kang.
Ayolah... lubang buatanku ini tembus sampai ke luar
kotaraja.”
Rangga hampir tidak mempercayai penglihatannya
sendiri. Bahwa Nyi Tiwi membuatkan lubang rahasia
dari luar kotaraja sampai lantai ruang tahanan itu.
Dan Rangga tidak tahu bagaimana cara Nyi Tiwi men-
gerjakan lubang itu.
“Ayolah, Kang,” desak Nyi Tiwi, “jangan menunggu
mereka memenggal kepalamu.”
Rangga menghela napas. “Ah... percuma kau bua-
tkan lubang untukku, karena aku... aku sudah lum-
puh, Nyi.”
“Lumpuh?!” Nyi Tiwi terheran-heran.
“Ya. Aku telah menjadi korban racun Prabaseta...”
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi memeluk Rangga dan me-
mangkunya, membawanya ke dalam lubang rahasia
itu, dalam gerakan yang sangat cepat. Membuat Rang-
ga terkejut dan segera sadar, bahwa Nyi Tiwi memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Itu bisa Rangga ketahui dari
gerakan Nyi Tiwi.
“Kau... kau hebat sekali, Nyi,” desis Rangga ketika
Nyi Tiwi menutupkan kembali lantai ruang tahanan itu
(supaya tidak terlihat bahwa di bawahnya ada lubang
rahasia).
Nyi Tiwi tidak menyahut, melainkan melorot ke da-
lam lubang yang gelap itu, sambil memeluk Rangga.
Setelah berada di bawah sekali, Rangga melihat lu-
bang rahasia itu jadi cukup besar, sehingga ia semakin
tidak percaya pada penglihatannya sendiri: Mungkin-
kah Nyi Tiwi dapat membuat terowongan yang begini
besarnya dalam waktu singkat?
“Terowongan ini bukan aku yang membuat,” kata
Nyi Tiwi sambil menggendong Rangga dan melesat ber-
lari di dalam terowongan yang cukup tinggi itu, tanpa
harus membungkukkan badan.
“Lantas siapa yang membuat terowongan ini?”
“Entahlah. Mungkin pihak kerajaan yang mem-
buatnya. Tapi kalau lubang kecil yang tembus ke
ruang tahananmu tadi, memang aku sendiri yang
membuatnya.”
“Tapi... dari mana kau tahu bahwa aku tertangkap
oleh kerajaan?”
“Aku mendengar dari percakapan prajurit-prajurit
Adipati Prabalaya. Mereka sering menceritakan peristi-
wa pertarunganmu dengan keluarga Prabaseta di alun-
alun Tegalinten. Selama ini aku selalu menyembunyi-
kan kepandaianku. Tapi setelah mendengar kau di-
tangkap oleh pihak kerajaan, aku tidak bisa menahan
diri lagi, Kang...!”
“Aku tidak menyangka bahwa kau seorang wanita
berilmu tinggi.”
Nyi Tiwi tidak menyahutnya, karena mereka telah
tiba di mulut terowongan itu.
Ternyata mulut terowongan itu terletak di dinding
jurang terjal. Jauh di bawah sana, tampak sungai
mengalir dari selatan ke utara. Sedangkan di atas sa-
na, tampak bibir jurang itu, sama jauhnya dengan ja-
rak dari mulut terowongan ke dasar jurang.
Dengan kata lain, mulut terowongan itu berada di
tengah-tengah dinding jurang. Ke bawah jauh, ke atas
pun jauh. Mulut terowongan itu sendiri terlindung oleh
tumbuh-tumbuhan liar, sehingga dari kejauhan tidak
terlihat bahwa di dinding jurang itu ada mulut terowo-
ngan rahasia.
Hal itu membuat Rangga heran: Bagaimana caranya
sehingga Nyi Tiwi bisa tahu bahwa di sini ada mulut
terowongan?
Dan yang membuat Rangga lebih heran lagi, Nyi Ti-
wi dapat merayap ke atas, sambil menggendong Rang-
ga, tak ubahnya seekor cecak yang sedang merayap di
dinding. Memang Rangga tahu bahwa ilmu merayap di
dinding tegak lurus itu, adalah ilmu Ranganapel. Tapi
yang membuat Rangga heran, adalah bahwa Nyi Tiwi
bisa memiliki ilmu yang sulit dipelajari itu!
***
Setibanya di atas, Nyi Tiwi melanjutkan perjalanan
dengan lari secepat kijang lagi. Dan diam-diam Rangga
memuji di dalam hatinya: Ilmu lari Nyi Tiwi ini tidak di
bawah ilmuku waktu belum lumpuh dahulu.
Setibanya di tempat yang terpencil, Nyi Tiwi menu-
runkan Rangga dari gendongannya.
“Sekarang ceritakanlah padaku, apa yang menye-
babkanmu bisa lumpuh begini,” kata Nyi Tiwi sambil
merebahkan tubuh Rangga di atas rumput.
Rangga menggeleng. “Entahlah... aku sendiri tidak
tahu racun apa yang telah dilepaskan oleh Prabaseta
saat itu. Karena... aku tidak mencium bau apa-apa,
juga tidak melihat sesuatu yang dilepaskan olehnya.”
Nyi Tiwi menghela napas panjang. Katanya, “Si Ja-
lak Ruyuk memang memiliki seribu-satu macam ra-
cun. Mungkin aku harus membawamu ke tempat gu-
ruku. Mudah-mudahan saja beliau mau menolongmu.”
“Siapa gurumu, Nyi?” tanya Rangga.
“Kidangkancana,” sahut Nyi Tiwi tenang.
“Kidangkancana?!” Rangga terperanjat.
Tentu saja Rangga terkejut, karena ia masih ingat
benar kata-kata gurunya dahulu: “Di antara sekian ba-
nyak pendekar yang berdiri di pihak kebenaran, ada
satu orang yang sangat kuhormati. Dia adalah Kidang-
kancana. Tapi sayang sekali, aku tidak tahu di mana
dia berada sekarang.”
Nyi Tiwi, janda muda yang tadinya disangka hanya
seorang perempuan lemah itu, ternyata murid Kidang-
kancana.
“Kau pernah mendengar nama guruku, Kang?”
tanya Nyi Tiwi ketika Rangga masih terlongong-
longong.
“Ya. Guruku sering menceritakan kehebatan Ki-
dangkancana.”
“Gurumu Kudawulung, bukan?”
Lagi-lagi Rangga terkejut: “Bagaimana kau bisa ta-
hu? Padahal aku tidak pernah menyebut-nyebut nama
guruku.”
“Mudah saja menebaknya. Di negeri ini hanya ada
tiga orang sakti yang memiliki ajian Halimunan. Mere-
ka adalah Citralaga, Kudawulung dan guruku sendiri.
Tentang Citralaga, jelas tidak akan menurunkan ajian
Halimunan kepada orang lain, karena ia sudah ber-
sumpah untuk tidak mengangkat murid lagi setelah
Prabaseta tidak dianggap murid lagi olehnya. Maka pi-
kiranku langsung saja pada tokoh sakti yang seorang
lagi, yakni Kudawulung. Karena hanya...”
“Tunggu dulu,” potong Rangga. “Dari mana kau ta-
hu bahwa aku punya ajian Halimunan?”
Nyi Tiwi membelai rambut Rangga, dengan mesra.
Lalu jawabnya, “Kau pernah menggunakan ajian Hali-
munan di istana Adipati Natajaya, bukan?!”
“Apa?! Di istana Adipati Natajaya?”
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk dengan senyum manis.
“Waktu kau masuk ke dalam istana itu, kau mulai
menggunakannya. Begitu juga waktu kau mengintip
pembicaraan Adipati Natajaya dengan Prabaseta di
ruang rahasia bawah tanah itu, bukan?!”
Rangga terperanjat. “Ja... jadi... kau menguntitku
malam itu?”
Nyi Tiwi mengangguk lagi. Dengan senyum manis
lagi. Katanya, “Malam itu kau berhasil mendengarkan
rencana gila Prabaseta dan Adipati Natajaya. Tapi kau
tidak bisa memecahkan bagaimana caranya Prabaseta
bisa lenyap dari dalam ruang rahasia itu, bukan?!”
Rangga yang masih kaget, karena tidak menduga
bahwa Nyi Tiwi pernah menguntitnya waktu Rangga
menyelidiki istana Adipati Natajaya, lalu berkata, “Ya,
aku memang tidak berhasil menemukan Prabaseta ma-
lam itu. Aku bahkan pernah berpikir bahwa saat itu
Prabaseta menghilang berkat ajian Halimunan.”
“Bukan,” Nyi Tiwi menggeleng. “Prabaseta bukannya
menghilang begitu saja. Dia memasuki jalan rahasia
menuju sarangnya, yang memang tidak ditemukan
olehmu malam itu, Kang.”
“Jalan rahasia?!”
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk. “Salah satu dinding di
ruang bawah tanah itu, sebenarnya bisa digerakkan.
Itulah pintu rahasia menuju sarang Prabaseta alias si
Jalak Ruyuk.”
Rangga terpanar. Soal pintu rahasia di ruang bawah
tanah itu, tidak dipikirkannya benar. Yang dipikirkan-
nya, yang diherankannya, adalah bagaimana caranya
sehingga Nyi Tiwi bisa menguntitnya tanpa diketahui-
nya? Bahkan Nyi Tiwi bisa tahu bahwa pada malam itu
Rangga menggunakan ajian Halimunan. Ini luar biasa!
Berarti ilmu Nyi Tiwi tidak berada di bawah ilmu Rang-
ga! Bahkan mungkin ilmu Nyi Tiwi lebih tinggi daripa-
da ilmu Rangga! Itulah yang membuat Rangga terpa-
nar.
Tapi... tiba-tiba Rangga teringat penuturan Nyi Tiwi
dahulu. Bahwa suami Nyi Tiwi tewas dibunuh gerom-
bolan Bajing Bodas. Lalu, kalau Nyi Tiwi memang me-
miliki ilmu yang tinggi, kenapa ia tidak bisa membela
suaminya?
Maka lalu ujar Rangga, “Bisa dipastikan, sebagai
murid Kidangkancana, tentu ilmu yang kau miliki
tinggi sekali. Lalu kenapa kau tidak bisa mencegah ge-
rombolan Bajing Bodas membunuh suamimu?”
Nyi Tiwi terperangah. Mungkin karena tidak me-
nyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.
Dan... mata yang indah itu mulai basah. Mulai
mencucurkan air mata. Betapa tidak. Pertanyaan
Rangga tadi, mau tidak mau menggugahkannya pada
kenangan lamanya.
Lalu, dengan agak tersendat-sendat, Nyi Tiwi men-
jawab pertanyaan Rangga.
“Pada masa itu, aku belum mempelajari ilmu apa
pun, kecuali menyenangkan hati suamiku dengan ma-
sakan-masakan lezat, dengan caraku bersolek, dengan
caraku tersenyum mesra dan sebangsanya. Saat itu
aku hanya seorang wanita lemah, tidak memiliki ke-
mampuan apa pun dalam ilmu kedigjayan.
“Suamiku memang seorang lelaki yang baik dan pa-
tut mendapat kasih sayang sebesar-besarnya dariku.
Selama aku berumah-tangga dengannya, tak pernah
kudengar kata-kata kasar terlontar dari mulutnya. Ra-
sanya sulit mencari lelaki yang lembut seperti suamiku
itu.
“Aku bahagia... bahagia sekali hidup bersama lelaki
yang lembut dan penuh pengertian itu. Tapi, Kang, ti-
ba-tiba saja awan hitam menyelimuti kehidupanku.
Gerombolan Bajing Bodas merajalela di daerah Kawah-
suling...!
“Sasaran utama gerombolan itu, adalah para pengi-
kut Kanjeng Adipati Wiralaga. Setiap orang yang dekat
dengan Kanjeng Adipati Wiralaga, dibunuh. Hartanya
dirampok. Keluarganya dianiaya atau diperkosa... bah-
kan ada juga yang dihabiskan!
“Akhirnya tibalah giliran suamiku, karena suamiku
juga seorang pengikut setia Kanjeng Adipati Wiralaga.
“Ah... sampai sekarang masih terlihat-lihat di mata-
ku, betapa mengerikannya melihat suamiku sendiri di-
seret, lalu ditusuki golok gerombolan biadab itu. Dan
aku hanya bisa bersembunyi di balik rumpun bambu,
sambil mengintip berkelojotannya suamiku dalam
saat-saat menjelang ajalnya...!”
Sampai di situ Nyi Tiwi bercerita, air matanya deras
membanjir. Tapi lalu dilanjutkannya kisah itu...
“Dalam keadaan pilu dan putus asa, kutinggalkan
Kawahsuling pada malam itu juga. Ketika hari mulai
pagi, aku tiba di pinggir sungai. Dan ketika aku meli-
hat riak air sungai yang deras itu, tiba-tiba saja mun-
cul niat untuk bunuh diri.
“Aku sudah benar-benar putus asa. Aku lalu men-
ceburkan diri ke dalam sungai itu. Kemudian... aku ti-
dak ingat apa-apa lagi.
“Tapi rupanya aku belum ditakdirkan mati. Ketika
aku membuka kelopak mataku, kulihat seraut wajah
lelaki tua yang lembut. Tadinya aku mengira sudah be-
rada di akhirat. Namun ternyata tidak. Ternyata aku
berada di atas perahu kecil, perahu yang hanya di-
dayung oleh tangan lelaki tua itu.
“Lelaki tua itu, adalah Kidangkancana. Beliau bu-
kan hanya menyelamatkanku dari maut, namun juga
memberiku petuah-petuah yang sangat berharga.
Dan... begitulah... akhirnya aku dibawa ke tempat be-
liau. Di situlah aku diangkat sebagai muridnya.”
***
“Berapa tahun kau berguru pada Kidangkancana?”
tanya Rangga setelah Nyi Tiwi menyelesaikan penutur-
annya.
“Hanya setahun. Tapi aku dibekali sebuah kitab pu-
saka yang harus kupelajari sendiri, kemudian kubakar
setelah isinya terhapalkan.”
“Setelah setahun tinggal di tempat Kidangkancana,
kau pulang ke Kawahsuling lagi?” tanya Rangga.
“Ya.”
Dan tanya Rangga lagi, “Lalu kau lampiaskan den-
dammu pada gerombolan Bajing Bodas, karena kau
sudah menjadi seorang wanita berilmu?”
“Tidak,” Nyi Tiwi menggeleng. “Kalau mempertu-
rutkan kata hati, tentu saja aku ingin melacak sarang
Bajing Bodas, lalu menghabisi nyawa mereka semua.”
“Lalu kenapa tidak kau lampiaskan dendammu?”
“Guruku melarangku. Aku diberi ilmu oleh beliau,
hanya untuk membela diri. Bukan untuk membunuh
dan memperturutkan kata hati. Beliau memberi nasi-
hat panjang lebar mengenai darma dan karma. Menge-
nai tugas hidup manusia di dunia dan mengenai segala
amal perbuatan yang akan tetap dicatat oleh Yang Ma-
ha Agung, sebagai bekal dalam kehidupan yang abadi
di alam kekal kelak. Entahlah... setelah meresapi we-
jangan beliau, hatiku terasa sejuk sekali. Dan aku ya-
kin, bahwa orang-orang yang telah membunuh suami-
ku, pada suatu saat kelak, pasti akan memperoleh im-
balannya yang setimpal. Biarlah Hyang Agung sendiri
yang menghakiminya, bukan aku.”
“Apakah kau tahu siapa-siapa saja yang menjadi ge-
rombolan Bajing Bodas itu?” tanya Rangga lagi.
“Tahu,” Nyi Tiwi mengangguk. “Mereka adalah anak
buah Prabaseta. Aku juga tahu bahwa Natajaya sebe-
lum menjadi adipati, telah menjalin persekutuan raha-
sia dengan Prabaseta. Tujuannya adalah untuk mere-
but kursi Kanjeng Adipati Wiralaga.”
“Tujuan Natajaya bukan hanya merebut kursi adi-
pati Kawahsuling.”
“Memang benar,” Nyi Tiwi mengangguk-angguk.
“Dia juga merencanakan sesuatu yang besar... meren-
canakan perebutan kekuasaan atas Kerajaan Tegalin-
ten. Tapi sebelum cita-citanya tercapai... senjata ma-
kan tuan! Dia dibunuh oleh Prabayani. Begitu, bu-
kan?”
“Kau tahu semuanya?!” Rangga terbelalak.
Nyi Tiwi mengangguk lagi.
“Dan kau diam saja?! Apakah gurumu melarangmu
ikut menegakkan keadilan di negeri ini?”
Nyi Tiwi tersenyum datar. Lalu berkata dingin, “Pa-
da saat ini, Kerajaan Tegalinten tidak punya seorang
tokoh pun yang patut kita bela. Prabu Suriadikusu-
mah sudah terlalu tua dan tidak berhasrat memerintah
lagi. Banondara dan Banondari, tampaknya lebih asyik
bersenang-senang di keputren. Aria Pamungkas hanya
seorang pangeran yang licik dan serakah. Aria Lu-
mayung lebih senang hidup menyendiri dan tidak pe-
duli dengan soal-soal pemerintahan. Lalu siapa yang
harus kita bela?”
Mata Rangga semakin terbuka: Bahwa Nyi Tiwi tahu
semuanya.
O, pikir Rangga, alangkah bodohnya aku ini... yang
selama ini menganggap Nyi Tiwi hanya seorang pemilik
warung nasi!
Tapi Rangga masih mencoba menggurui Nyi Tiwi.
“Ada satu hal yang kau lupakan, Nyi.”
“Maksudmu?”
“Dalam saat seperti sekarang, sesungguhnya ada
yang harus kita bela... rakyat Tegalinten. Mereka tidak
boleh dibiarkan hidup menderita.”
Nyi Tiwi bahkan tersenyum sinis. Dan katanya, “Ta-
ruh katalah kita ingin membela rakyat banyak. Lantas
kita culik atau kita bunuh Aria Pamungkas dan pengi-
kut-pengikutnya. Tapi setelah itu... apa yang akan kita
lakukan? Siapa yang akan kita jagokan untuk memim-
pin negeri ini? Seperti yang kukatakan tadi, sampai
saat ini aku belum menemukan pribadi yang sesuai
untuk memimpin Kerajaan Tegalinten. Karena itu, le-
bih baik aku diam saja... sampai muncul orang yang
benar-benar patut menjadi raja di negeri ini.”
***
CIGELUNG bukanlah sungai yang luar biasa. Lebar-
nya sama saja dengan sungai-sungai lain. Dan se-
perti sungai-sungai lain, Cigelung pun mampu mengai-
ri persawahan dan kolam-kolam penduduk yang ting-
gal di sekitarnya.
Yang unik pada sungai ini, adalah letaknya. Sungai
itu melintang dari barat daya ke arah timur laut. Baik
hulu maupun muaranya, berada di luar wilayah Tegal-
inten. Dengan kata lain, Tegalinten hanya dilewati saja
oleh sungai itu.
Adapun nama Cigelung, kemungkinan besar karena
bentuk aliran di daerah hulunya, melingkar-lingkar
berbentuk spiral, sehingga orang membayangkannya
sebagai gelung (sanggul).
Dan kini, sebuah perahu kecil meluncur mudik, me-
lawan arus Cigelung ke arah barat daya. Rangga terba-
ring di dalam perahu kecil itu. Nyi Tiwi mendayung pe-
rahu itu dengan tenang, seolah-olah sudah terbiasa
dengan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh
kaum pria itu.
Semakin jauh perahu itu mudik ke hulu, semakin
lebat pula hutan di sekitar sungai itu.
“Apa sebenarnya yang mendorongmu sehingga kau
mati-matian ingin menolongku?” tanya Rangga pada
suatu saat.
“Entahlah,” sahut Nyi Tiwi tanpa menghentikan da-
yungannya. “Sejak melihatmu untuk pertama kalinya,
hatiku berdetak lain, Kang.”
“Berdetak lain bagaimana?”
“Mungkin... mungkin aku sudah melupakan mendi-
ang suamiku dan mulai mencintaimu,” jawab Nyi Tiwi
lugu.
Rangga tidak terlalu kaget oleh pernyataan blak-
blakan janda muda yang manis itu. “Tapi,” katanya,
“keadaanku sekarang begini. Apa yang kau harapkan
dari seorang lelaki yang sudah lumpuh seperti aku?”
“Guruku pasti bisa menyembuhkanmu,” sahut Nyi
Tiwi dengan senyum penuh harap, dengan tatapan pe-
nuh arti.
Rangga agak rikuh melihat tatapan Nyi Tiwi itu. La-
lu mengalihkannya. “Rasa-rasanya kita sudah melam-
paui daerah perbatasan.”
“Betul. Sekarang kita sudah memasuki wilayah Ke-
rajaan Tanjunganom.”
“Gurumu tinggal di daerah Tanjunganom?”
“Ya,” sahut Nyi Tiwi. “Sejak limabelas tahun yang la-
lu, guruku meninggalkan daerah Tegalinten, kemudian
memencilkan diri di daerah hulu sungai ini.”
Perahu itu melaju terus di sungai yang makin lama
makin ‘menanjak’. Dan Nyi Tiwi tetap tenang men-
dayung perahunya
Dua hari kemudian... tibalah mereka di depan air
terjun yang sangat tinggi, dengan bunyi gemuruhnya
yang bergema ke hutan di sekitarnya. Pantulan air
yang jatuh ke bawah, tampak seperti kepulan uap di
sekitar tempat jatuhnya air terjun itu.
Rangga mengira bahwa Nyi Tiwi akan menggendong-
nya lagi, untuk melanjutkan perjalanan lewat darat.
Tapi ternyata tidak. Nyi Tiwi menghentikan perahunya,
lalu menepuk-nepuk air secara berirama... plak...
plak... plak, plak, plak, plak... plak... plak... plak, plak,
plak, plak...!
Dan tiba-tiba saja terdengar suara: “Masuklah, mu-
ridku!”
Rangga terkejut, karena mendengar suara yang
tampaknya datang dari belakang air terjun itu.
“Itukah gurumu?” tanya Rangga setengah berbisik.
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk. “Kita sudah sampai.”
Dan... tiba-tiba saja Nyi Tiwi melajukan perahunya,
demikian cepatnya ke arah air terjun, seperti hendak
menabrak bukit di balik air terjun itu.
Perahu itu menembus air terjun. Dan ternyata di
balik air terjun itu ada sebuah gua. Dengan kata lain,
gua itu seakan-akan dilindungi oleh curahan air ter-
jun, sehingga udara di dalamnya tidak pernah terang
benar.
Seorang lelaki tua tampak sedang duduk bersila di
dalam gua itu. Nyi Tiwi menurunkan Rangga dari pera-
hu yang telah ‘tersembunyi’ di belakang curahan air
terjun itu, kemudian meletakkannya di depan lelaki
tua itu. Sementara Nyi Tiwi sendiri lalu berlutut di de-
pan lelaki tua yang tak lain dari Kidangkancana itu.
“Siapa orang muda ini?” tanya Kidangkancana lem-
but.
“Dia murid Kudawulung, Rama Guru,” sahut Nyi
Tiwi agak keras, untuk mengatasi gemuruhnya air ter-
jun.
Kidangkancana tampak terkejut, tapi mulutnya te-
tap terkatup.
Dan Nyi Tiwi melanjutkan, “Dia telah jadi korban
racun Prabaseta. Karena itu... tolonglah dia, Rama Gu-
ru. Sembuhkanlah dia seperti sediakala.”
Kidangkancana memperhatikan wajah Rangga se-
saat, lalu mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi,
dan katanya, “Seharusnya aku menghukummu, kare-
na kelancanganmu membawa orang luar ke tempat ini.
Tapi... mengingat bahwa orang ini murid Kudawulung,
kuampuni kesalahanmu, Tiwi. Sekarang... cepat bawa
lagi orang ini ke luar!”
Berbeda dengan sikap Rangga terhadap Kudawu-
lung yang banyak tatakrama, sikap Nyi Tiwi terhadap
gurunya manja sekali. Dengan sikap seperti anak kecil
kepada orang tuanya, Nyi Tiwi memeluk Kidangkanca-
na dari belakang, sambil berbisik, “Aku mencintai mu-
rid Kudawulung ini. Tolonglah dia, Rama Guru yang
baik.”
Kidangkancana terbelalak. Tapi wajahnya menda-
dak cerah. “Kau mencintainya?” tanyanya pelan.
Nyi Tiwi mengangguk tanpa ragu.
Dan Kidangkancana tergelak, “Hahahaaahaa... tak
kusangka kau bisa jatuh cinta lagi, Nyi.”
Kemudian Kidangkancana bangkit. Memperhatikan
wajah Rangga lagi sesaat. Lalu tanyanya, “Siapa nama-
mu?”
“Rangga,” sahut murid Kudawulung itu.
“Hmm... kau memang tampan, Rangga. Tak salah
kalau muridku bisa jatuh cinta padamu,” desis Ki-
dangkancana, membuat Rangga rikuh dan bingung.
Kata Kidangkancana lagi, “Aku akan mengobatimu.
Tapi kau harus berjanji dulu, bahwa nanti setelah ku-
obati, kau harus tetap tinggal di sini bersama muridku,
sebagai suami istri!”
Rangga terkejut. Tak diduganya bahwa ‘cinta’ Nyi
Tiwi akan berkepanjangan. Sedangkan Rangga sendiri?
Apakah Rangga mencintai Nyi Tiwi? Inilah justru yang
sedang dipersoalkan oleh Rangga dalam hatinya.
Dan ujar Kidangkancana selanjutnya, “Anak perta-
ma yang terlahir dari perkawinan kalian, harus dis-
erahkan padaku, untuk kubimbing dan kudidik. Ba-
gaimana? Kau bisa menerima syarat-syarat itu?”
“Tidak,” jawab Rangga di luar dugaan Nyi Tiwi dan
gurunya.
“Kang Rangga...!” Nyi Tiwi menangkap bahu lelaki
yang sedang menelentang lemah itu, lalu menggun-
cangnya. “Kau... kau tidak mau menerimaku sebagai
istrimu?”
Rangga menyahut dingin, “Kalau mau menolongku,
kenapa harus mengajukan syarat begini-begitu? Aku
toh tidak memaksa minta tolong kepada kalian. Mau
tolong aku, silakan. Tidak mau menolongku, juga tidak
apa-apa. Seandainya aku ditakdirkan mati dalam kea-
daan begini, aku tidak akan menyesal.”
Kidangkancana terbelalak. Tapi lalu tertawa terge-
lak-gelak. “Hahahahahaaaa...! Kau bandel sekali, orang
muda! Pantaslah Kudawulung mengangkatmu sebagai
muridnya. Tapi... baiklah, aku akan mengobatimu,
tanpa syarat apa-apa. Nanti setelah kau sembuh, kau
boleh menentukan sendiri apakah mau menerima mu-
ridku sebagai istrimu atau tidak.”
Lelaki tua itu lalu memegang pergelangan tangan
Rangga. Memeriksanya dengan teliti. Demikian pula lu-
tut dan pinggul Rangga, diperiksanya dengan cermat.
“Bagaimana, Rama Guru?” tanya Nyi Tiwi tak sabar.
“Dia masih bisa diobati, bukan?”
Kidangkancana menghela napas panjang, dan me-
nyahut lirih, “Sulit. Terlalu sulit. Tampaknya sudah
terlalu lama racun itu menciutkan urat-urat penting
pada lengan dan kakinya.”
“Oh...! Jadi... bagaimana nantinya?” Nyi Tiwi tam-
pak cemas sekali.
Kidangkancana bahkan bertanya kepada Rangga,
“Sudah berapa lama racun itu berada di tubuhmu?”
Sahut Rangga, “Peristiwanya terjadi kira-kira dua
bulan yang lalu.”
“Dua bulan!” Kidangkancana terkejut, menoleh pa-
da Nyi Tiwi dan berkata, “Kau membawa pohon yang
sudah mati dan menyuruhku menghidupkannya kem-
bali! Itu sama dengan menganggapku dewa!”
Wajah Nyi Tiwi terpucat-pucat. “Ma... maksud Rama
Guru...?”
Dengan nada keluhan, Kidangkancana menyahut,
“Seperti yang kubilang tadi, urat-urat penting pada
anggota badannya telah diciutkan oleh racun itu. Ka-
lau kejadiannya baru sehari dua hari, urat-urat pent-
ing itu masih mungkin dikembangkan kembali. Tapi
setelah dua bulan begitu... aku malah khawatir... jan-
gan-jangan sudah banyak urat-urat yang rusak karena
termakan oleh racun itu.”
“Lalu... dia tidak bisa diobati lagi?” Nyi Tiwi semakin
panik, sementara Rangga tenang-tenang saja.
Kidangkancana termenung. Terpejam, sambil memi-
jat-mijat keningnya yang penuh keriput.
“Harapan masih ada, tapi tipis sekali,” kata Kidang-
kancana lesu. “Selain daripada itu, membawanya ke
Nusa Aheng, juga bukan hal yang mudah.”
“Nusa Aheng?!”
“Ya, sesuai dengan namanya, Nusa Aheng tidak bisa
dikunjungi oleh sembarangan manusia. Bahkan bu-
rung-burung laut pun tidak berani terbang ke dekat
pulau itu.” (Nusa Aheng = Pulau Ajaib)
“Apakah di pulau itu bisa ditemukan obatnya?” ta-
nya Nyi Tiwi.
Jawab Kidangkancana, “Di pulau itu hidup seorang
pertapa sakti yang telah mengasingkan diri dari kehi-
dupan ramai. Beliau bergelar Bagawan Suwandarama.”
“Bagawan Suwandarama,” gumam Nyi Tiwi seperti
menghapalkan nama yang baru didengarnya itu.
Rangga pun baru sekali itu mendengar nama Baga-
wan Suwandarama.
“Lalu... apakah dia bisa diobati oleh Bagawan Su-
wandarama?” tanya Nyi Tiwi.
“Itulah yang aku tidak tahu,” sahut Kidangkancana.
“Karena menurut berita yang pernah kudengar, Baga-
wan Suwandarama sudah tidak mau diganggu oleh
siapa pun. Perahu-perahu layar yang mencoba mende-
kati Nusa Aheng, selalu dihalau oleh ombak ciptaan
Bagawan Suwandarama sendiri.”
“Dia bisa menciptakan ombak?!” Nyi Tiwi seperti ku-
rang mempercayai keterangan gurunya.
“Orang yang sudah menyatukan dirinya dengan ke-
sucian seperti Bagawan Suwandarama, mampu mela-
kukan apa saja. Mungkin hanya menghidupkan orang
mati saja yang tidak bisa dilakukannya.”
Tiba-tiba Nyi Tiwi bangkit dengan penuh semangat.
“Kalau begitu, aku akan mencoba membawa Kang
Rangga ke Nusa Aheng!”
“Tiwi! Kau tidak mungkin berhasil mencapai pulau
suci itu. Rintangannya terlalu banyak!” cegah Kidang-
kancana.
Nyi Tiwi bahkan menyahut, “Bukankah Rama Guru
telah mengajarkanku tentang keberanian sebagai da-
sar utama untuk menjadi murid Kidangkancana? Men-
gapa sekarang aku bahkan ditakut-takuti?”
“Dengarlah, muridku. Sudah beratus-ratus, bahkan
mungkin ribuan pendekar yang mencoba mencapai pu-
lau itu. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang ber-
hasil. Semuanya gagal. Ada yang pulang kembali da-
lam keadaan gila, banyak pula yang binasa ditelan sa-
mudra!”
“Aku tidak peduli,” sahut Nyi Tiwi. “Kalau Rama Gu-
ru benar-benar menyayangiku, berilah aku peta untuk
mencapai pulau itu.”
“Justru karena aku sangat menyayangimu, aku ti-
dak mengizinkanmu berlayar ke pulau yang aneh dan
penuh bahaya itu,” bantah Kidangkancana.
“Sejak kapan Rama Guru mengajariku takut meng-
hadapi bahaya?” tanya Nyi Tiwi dingin.
Rupanya Kidangkancana biasa berbicara secara
‘demokratis’ dengan muridnya. Mendengar bantahan
Nyi Tiwi yang bertubi-tubi itu, Kidangkancana tidak
marah, bahkan sebaliknya...ia lalu tertawa tergelak-
gelak.
“Hahahahaaa...! Lagi-lagi kau memerasku! Baik,
baiklah, akan memberimu peta tentang pulau itu. Tapi,
apakah kau sudah memikirnya matang-matang?”
Nyi Tiwi menyahut, “Rama Guru sendiri pernah
berkata, bahwa kadang-kadang terlalu banyak mem-
pertimbangkan sesuatu itu bisa membuat seorang ter-
lambat mengambil tindakan penting!”
Lagi-lagi Kidangkancana tertawa tergelak-gelak.
“Dengarlah,” kata Kidangkancana mendadak sung-
guh-sungguh lagi, “sebenarnya untuk mencapai Nusa
Aheng, tidak perlu memakai peta. Cukup dengan men-
gikuti aliran sungai Cigelung, pada suatu saat kalian
akan tiba di muaranya. Muara sungai Cigelung berada
di sebuah kota kecil, Kundina namanya.”
“Kundina?”
“Ya. Kundina sebuah kota pantai yang tidak menen-
tu kedudukannya. Sebenarnya Kundina termasuk ke
dalam wilayah Kerajaan Tanjunganom. Tapi setelah
daerah nelayan itu menjadi kota kecil, kerajaan tidak
mampu menguasainya.”
“Lalu, setelah tiba di Kundina, arah mana yang ha-
rus kami tempuh untuk mencapai Nusa Aheng itu?”
tanya Nyi Tiwi.
“Dari muara Cigelung, ambillah arah lurus ke utara.
Kalau angin bertiup baik, kalian akan tiba di pantai
Nusa Aheng, setelah berlayar selama delapan hari de-
lapan malam. Tapi aku tidak menjamin kalian bisa
mencapai pulau itu.”
“Kalau begitu, kami harus mengganti sampan de-
ngan perahu layar di Kundina, bukan?”
“Ya, tentu saja. Sampan itu tidak akan mengarungi
lautan yang begitu ganasnya. Tunggu....”
Kidangkancana masuk ke bagian dalam guanya.
Kemudian kembali lagi dengan sekantung uang emas.
Dan diserahkannya kantung itu pada Nyi Tiwi. “Ambil-
lah uang emas ini, yang mungkin kau butuhkan untuk
membeli perahu layar di Kundina nanti. Aku tidak mau
muridku main rampas perahu layar milik orang lain.”
“Terima kasih,” Nyi Tiwi mencium pipi gurunya, tak
ubahnya ciuman seorang anak manja kepada ayahnya.
“Rama Guru memang baik sekali.”
Kidangkancana hanya tersenyum datar. Namun dari
celah-celah kelopak matanya, merembeslah air mata-
nya... air mata seorang guru yang sangat menyayangi
muridnya.
Suara Kidangkancana selanjutnya, juga menjadi pa-
rau, “Aku hanya bisa berpesan... hati-hatilah di perja-
lanan, Nyi. Dan... untuk ketentramanmu sendiri, se-
baiknya kau mengganti pakaianmu dengan pakaian
laki-laki.”
“Jadi aku harus menyamar sebagai laki-laki?”
“Ya,” Kidangkancana mengangguk. “Dengan me-
nyamar sebagai lelaki, kau akan lebih leluasa berge-
rak. Wajahmu terlalu menarik lawan jenismu... sehing-
ga bisa mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.”
***
PANTAI Kundina yang indah, seringkali disebut sur-
ga bagi para nelayan (walaupun julukan ‘surga’ ti-
dak sepenuhnya benar). Hal itu bukan saja disebabkan
hasil tangkapan para nelayan Kundina selalu berlim-
pah-limpah, melainkan juga karena mereka bisa me-
masarkan ikan mereka dengan mudah. Di kota pantai
itu ada pasar pelelangan ikan yang selalu ramai dikun-
jungi pembeli.
Itulah sebabnya, Kundina yang tadinya sunyi itu,
berubah menjadi kota kecil. Kota pantai. Kota surga
bagi para nelayan.
Tentu saja sifat-sifat kota pantai tidak dapat dihin-
dari oleh Kundina. Suara-suara keras, sikap-sikap ka-
sar, perkelahian dan sebagainya, hampir tiap hari ter-
jadi di situ. Terkadang cuma soal kecil saja, bisa mem-
buat orang Kundina saling terkam, saling hantam dan
saling tusuk. Dan pemenang dari setiap pertarungan,
selalu dianggap sebagai munculnya seorang jagoan ba-
ru!
Di Kundina berlaku semacam hukum tak tertulis,
bahwa barangsiapa membunuh orang lain dalam suatu
pertarungan yang jujur dan adil, orang itu tidak boleh
dituntut oleh siapa pun.
Perjudian dan minuman keras pun seolah-olah su-
dah mendarah-daging bagi penduduk Kundina. Dari
kedua sumber kejahatan itulah, seringkali timbul per-
kelahian, perampokan dan pembunuhan.
Pada zaman itu, pelacuran masih merupakan hal
yang tabu bagi rakyat pada umumnya. Namun di Kun-
dina sudah bermunculan tempat-tempat maksiat, yang
menyediakan pelacur-pelacur muda dari bermacam-
macam daerah. Rumah-rumah mesum itu merupakan
tempat persembunyian yang aman bagi para penen-
tang hukum. Pencuri, perampok, pembunuh dan bah-
kan bajak laut, sering bersembunyi dengan nyaman di
Kundina, yakni di rumah-rumah maksiat itu.
Yang agak unik di Kundina, adalah bahwa kota ke-
cil itu laksana daerah tak bertuan. Tidak ada bangsa-
wan yang diangkat oleh kerajaan untuk memimpin ko-
ta kecil itu. Dan para penduduk Kundina lalu menga-
tur dirinya masing-masing saja.
Satu-satunya orang yang dianggap paling berkuasa
di Kundina, adalah seorang bajingan kelas kakap, ber-
nama Subali. Meskipun ia tidak pernah diresmikan se-
bagai penguasa Kundina, namun kekuasaannya di ko-
ta nelayan itu tak ubahnya kekuasaan seorang adipati.
Orang-orang kepercayaan Subali, yang pada
umumnya terdiri dari bajingan-bajingan tengik, tidak
pernah menemui kesulitan dalam memungut ‘pajak’
dari para nelayan dan pedagang ikan di balai pelelan-
gan.
Para nelayan dan pedagang ikan maklum, bahwa
tanpa ‘perlindungan’ dari Subali, keselamatan mereka
akan selalu terancam. Itulah sebabnya mereka selalu
‘rela’ menyisihkan sebagian dari keuntungan mereka,
untuk biaya ‘keamanan’.
Yang agak unik lagi, Kundina seperti dibelah dua
oleh sungai Cigelung yang bermuara di sana. Itulah
sebabnya muncul istilah Kundina Kulon (barat) dan
Kundina Wetan (timur).
Bermuaranya sungai Cigelung di pantai Kundina,
juga membawa keuntungan tersendiri bagi penduduk
di situ. Karena orang-orang dari daerah hulu sering
datang dengan perahu mereka, untuk menukarkan
hasil bumi dengan ikan segar ataupun ikan asin. Den-
gan demikian, penduduk Kundina tidak pernah keku-
rangan makanan, sekalipun mereka harus membayar
‘pajak’ kepada Subali.
Karena itu, sekalipun di Kundina sering terjadi pe-
merasan dan kekerasan, para nelayan tetap menjuluki
Kundina sebagai ‘surga nelayan’.
Sebenarnya Kundina termasuk ke dalam wilayah
Kerajaan Tanjunganom. Tapi pihak kerajaan belum be-
gitu tertib menjalankan pemerintahannya, sehingga
tindakan Subali dan kawan-kawannya yang seolah
membentuk negara dalam negara, masih dibiarkan
saja.
Sebenarnya keadaan itu sudah lama diperhatikan
oleh Aria Pamungkas. Itulah sebabnya, secara diam-
diam Aria Pamungkas menyelundupkan prajurit-pra-
jurit Tegalinten ke dalam wilayah Tanjunganom. Demi-
kian pula Kundina, tidak luput dari sasaran Aria Pa-
mungkas.
Aria Pamungkas memang punya alasan khusus, se-
hingga secara diam-diam ia sedang merencanakan pe-
nyerangan ke wilayah Kerajaan Tanjunganom. Alasan
khusus itu (di samping nafsu ekspansinya), adalah me-
ngenai Sungai Cigelung. Adalah suatu kenyataan yang
boleh dipandang aneh, bahwa sungai yang sangat di-
butuhkan oleh para petani itu berhulu dan bermuara
di wilayah Tanjunganom. Sedangkan sungai itu cukup
panjang melintasi daerah Tegalinten. Maka, kalau Su-
ngai Cigelung diibaratkan seekor ular, kepala dan
ekornya berada di wilayah Tanjunganom, sedangkan
bagian perutnya berada di wilayah Tegalinten.
***
Sebuah perahu meluncur tenang, menyeruak di
permukaan serba hitam, seorang pemuda mendayung
perahu itu. Sebenarnya ‘pemuda’ itu tak lain dari Nyi
Tiwi yang mengenakan pakaian lelaki, atas anjuran gu-
runya, supaya tidak menemui kesulitan di perjalanan.
Rambut lebatnya pun dibungkus oleh kain hitam, se-
hingga ia tampak seperti pemuda yang tampan.
Rangga pun berada dalam perahu itu. Tapi ia hanya
terbaring lemah, karena duduk pun ia tak bisa.
Tampaknya Nyi Tiwi sudah bertekad bulat untuk
menolong Rangga. Sehingga ia tidak lagi mempeduli-
kan peringatan dari gurunya, tentang berbahayanya
langkah yang akan ditempuhnya.
Di daerah muara Cigelung, banyak perahu ditam-
batkan, baik perahu yang datang dari daerah hulu
maupun perahu nelayan yang kebetulan tidak melaut.
Maka kedatangan sampan Nyi Tiwi di muara Cigelung,
tidaklah menarik perhatian. Dan memang Nyi Tiwi in-
gin agar kehadirannya di muara Cigelung tidak mena-
rik perhatian para nelayan Kundina.
Tak lama kemudian, Nyi Tiwi merapatkan sampan-
nya ke tepi sungai. Kemudian menambatkan sampan
itu dan berkata kepada Rangga, “Tunggu sebentar. Aku
akan mencari perahu layar dulu. Mudah-mudahan sa-
ja ada orang yang bersedia menjualnya.”
Sambil menjinjing buntalan kecil, Nyi Tiwi meng-
hampiri seorang nelayan yang sedang membetulkan ja-
ringnya di pantai sebelah barat muara Cigelung.
Nelayan yang sedang membetulkan jaringnya itu,
seorang lelaki setengah tua, berperawakan kurus, ber-
kulit hitam dan tampak sudah terbiasa membiarkan
kulitnya disengat terik matahari. Ketika Nyi Tiwi meng-
hampirinya, nelayan itu tetap asyik dengan pekerja-
annya, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya.
Nyi Tiwi menegur perlahan, dengan suara dibesar-
besarkan supaya mirip suara lelaki. “Mang, apakah di
sini ada nelayan yang mau menjual perahu layarnya?”
Nelayan itu menoleh, sedikit tercengang melihat
‘pemuda tampan’ yang sedang berdiri di sampingnya,
karena pada umumnya pemuda-pemuda di pantai itu
berkulit hitam, sedangkan ‘pemuda’ yang satu ini ber-
kulit kuning langsat.
“Kamu ngelindur barangkali, Jang,” sahut nelayan
itu. “Mana mungkin seorang nelayan mau menjual pe-
rahunya. Kamu tahu, perahu bagi seorang nelayan, tak
ubahnya tombak bagi seorang prajurit, tak ubahnya
kitab-kitab suci bagi seorang resi.”
“Tapi aku berani membayarnya dengan harga yang
cukup tinggi,” kata Nyi Tiwi lagi.
Sebelum nelayan itu menyahut, datanglah dua
orang lelaki ke dekatnya. Salah seorang dari mereka,
berperawakan tinggi besar, berselipkan golok di ping-
gangnya, membentak, “Hai, Penjol! Sudah dua hari
kamu tidak bayar upeti. Kenapa?”
Nelayan yang dipanggil ‘Penjol’ itu tampak ketaku-
tan sekali, lalu menjawab dengan lutut gemetaran,
“Seperti yang... yang kalian lihat... jaringku rusak. Su-
dah tiga hari dengan sekarang aku tidak bisa ke laut.
Aku mohon ampun, mohon keringanan...”
“Peraturan di Kundina, tidak pernah mengatur soal
jaring yang rusak,” tukas lelaki tinggi besar itu. “Setiap
nelayan yang tinggal di sini, melaut ataupun tidak, te-
tap diwajibkan membayar lima keping uang tembaga
tiap hari. Jadi, sekarang juga kau harus membayar li-
mabelas keping uang tembaga, dihitung dengan upeti
hari ini!”
“Ba... baiklah... akan kubayar... tapi jangan seka-
rang. Bagaimana kalau besok saja kubayar sekalian
dua puluh keping uang tembaga?” nelayan itu meman-
dang si lelaki tinggi besar dengan tatapan penuh ha-
rap.
Lelaki tinggi besar itu menggelengkan kepala. “Tidak
Bisa! Sekarang juga kamu harus setor limabelas kep-
ing uang tembaga. Urusan besok, kita urus besok lagi.”
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi ikut bicara. “Biarlah kewaji-
ban dia akan kuselesaikan. Tapi, aku minta kalian me-
nunjukkan sebuah perahu layar yang bisa kubeli.”
Kedua lelaki itu mengalihkan pandangan mereka
kepada Nyi Tiwi.
Lelaki yang satu lagi, berperawakan pendek tapi da-
da dan lengannya berotot kekar, bertanya, “Siapa kau?
Tampaknya kau bukan penduduk Kundina.”
“Betul,” Nyi Tiwi mengangguk. “Aku datang dari
daerah hulu. Aku membutuhkan sebuah perahu layar
untuk... untuk berlayar ke pulau seberang. Kalau ka-
lian bisa menunjukkan sebuah perahu yang mau di-
jual, aku bersedia membayarkan upeti yang harus dis-
elesaikan oleh nelayan ini.”
Kedua lelaki itu adalah anak buah Subali yang ber-
tugas menarik ‘pajak’ dari para nelayan. Mereka tidak
menyangka sedikit pun, bahwa ‘pemuda’ yang sedang
berbicara dengan mereka, sebenarnya seorang wanita
yang sedang menyamar.
Dan memang penyamaran Nyi Tiwi cukup meyakin-
kan. Payudaranya yang montok telah dibebat erat-erat,
supaya tidak tampak menonjol. Rambutnya yang lebat
telah dibungkus oleh kain hitam. Pakaian yang dike-
nakannya adalah pakaian laki-laki. Suaranya dibesar-
besarkan. Sikapnya pun benar-benar mirip seorang le-
laki.
Kedua anak buah Subali itu memperhatikan Nyi Ti-
wi dengan pandangan curiga. Tapi lalu yang tinggi be-
sar berkata, “Kalau kau sanggup membayar dengan
lima keping uang emas, kami bisa menunjukkan pera-
hu yang kau butuhkan itu.”
“Enam keping uang emas pun akan kubayar, asal-
kan perahunya cocok dengan keinginanku,” kata Nyi
Tiwi tenang.
Lelaki yang pendek menimpali, “Kamu jangan main-
main dengan kami, anak muda. Perlihatkan dulu ua-
ngmu, supaya kami yakin bahwa kamu bersungguh-
sungguh.”
Nyi Tiwi merogoh buntalan kecilnya. Lalu memper-
lihatkan beberapa keping uang emas di telapak tan-
gannya.
Kedua lelaki itu terbelalak. Dan lalu menjadi sopan
sekali, “Baik... baiklah, Gan Anom. Kami mohon Jura-
gan Anom sudi menunggu dulu di sini sebentar. Kami
akan mencari perahu yang dibutuhkan oleh Juragan
Anom itu. Kalau sudah ada, kami akan segera kembali
ke sini.”
“Baiklah,” sahut Nyi Tiwi. “Aku akan menunggu ka-
lian di sini.”
Kedua anak buah Subali itu bergegas pergi ke arah
barat. Dan Nyi Tiwi menunggu di dekat nelayan yang
sedang membetulkan jaringnya itu.
Nelayan yang tadi dipanggil Penjol itu tampak heran
juga melihat sikap Nyi Tiwi yang begitu tenang. Lalu
katanya, “Kelihatannya kau baru sekali ini datang ke
sini.”
“Memang betul,” sahut Nyi Tiwi. “Kenapa rupanya?”
“Kau terlalu gegabah, anak muda. Terang-terangan
memperlihatkan uang emas di tempat ini, sama den-
gan melepaskan kambing di sarang harimau,” ujar
Penjol dengan nada khawatir.
“Maksudmu... daerah ini tidak aman?” tanya Nyi
Tiwi.
Penjol melirik ke kanan-kirinya, lalu menyahut sete-
ngah berbisik, “Ya... di sini terlalu banyak orang jahat,
Jang. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum
mereka datang untuk merampokmu.”
Nyi Tiwi hanya tersenyum. Dan tetap menunggu di
dekat Penjol.
Kekhawatiran Penjol cukup beralasan. Kedua anak
buah Subali itu setelah agak jauh dari Nyi Tiwi, mulai
saling bisik.
“Pemuda tadi tampaknya kaya sekali. Ini makanan
bagi kita.”
“Tapi tampangnya seperti bangsawan. Jangan-
jangan dia orang kerajaan.”
“Ah, persetan dengan kerajaan. Kundina tidak per-
nah diperintah oleh kerajaan mana pun. Di sini kita
hanya mengakui kekuasaan Juragan Subali. Lain ti-
dak.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Sebaiknya kita pergi melapor dulu kepada Juragan
Subali, supaya tindakan kita bisa dipertanggungja-
wabkan.”
Kedua lelaki itu lalu setengah berlari menuju se-
buah rumah besar di sebelah barat sana.
***
Rumah Subali, adalah rumah yang termegah di
Kundina. Adalah tidak berlebihan kalau rumah Subali
disebut laksana rumah seorang adipati. Karena selain
rumahnya sangat megah, pekarangannya sangat luas,
orang-orang pun tidak bisa sembarangan memasuki
pintu gerbang yang selalu dijaga oleh lelaki-lelaki ber-
senjata golok itu.
Di dalam rumahnya, Subali diperlakukan seperti ra-
ja. Para pelayan selalu siap menunggu perintahnya.
Para jagoan selalu siap mengawalnya. Dan yang pasti...
uang selalu mengalir tiap hari ke kantongnya.
Seperti yang telah diceritakan terdahulu, Kundina
adalah kota pantai yang penuh dengan kekerasan (se-
kalipun banyak nelayan yang tetap menjulukinya se-
bagai ‘surga’). Di sini hanya berlaku satu hukum: Sia-
pa yang kuat, akan menjadi pemimpin.
Maka tentu saja diangkatnya Subali sebagai ‘pengu-
asa Kundina’, bukan tidak ada sebabnya. Dengan meng-
andalkan ilmunya yang tinggi, ia telah menaklukkan
atau membinasakan jagoan-jagoan di Kundina. Namun
ia tidak puas sampai di situ saja. Ia tidak mau menjadi
jagoan ‘amatir’, ia ingin menjadi jagoan ‘profesional’, ia
juga tahu bahwa nasib para jagoan hampir selalu sa-
ma: menang, menang, membunuh, membunuh... dan
akhirnya kalah atau dibunuh!
Subali cukup ‘jeli’ mempertimbangkan kemungki-
nan itu. Kemungkinan yang bisa saja terjadi pada di-
rinya. Ia tidak mau hidup seperti para jagoan picisan,
yang mengandalkan kepandaiannya hanya untuk ber-
hura-hura di depan para pengagum atau mendekam di
atas perut pelacur secara gratis, lalu menghadapi masa
tuanya dalam kemelaratan. Ia juga tidak mau menjadi
jagoan yang harus menghadapi akhir hayatnya secara
tragis—mati dibunuh jagoan baru.
Tidak. Subali tidak sebodoh itu.
Subali cukup ‘pandai’ memperhitungkan masa de-
pannya. Ia ingin memanfaatkan kepandaiannya untuk
kekayaan, kekuasaan dan keamanan dirinya sendiri.
Karena itu, setelah ia menjadi jagoan tak terkalahkan
di Kundina, ia menghimpun tenaga-tenaga muda (yang
pada umumnya bajingan), kemudian menggembleng
mereka dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam tempo
singkat saja ia berhasil membentuk semacam pasu-
kan, yang lalu bertugas sebagai para pemungut ‘pajak’
dari para nelayan.
Demikian licinnya Subali mengatur ‘pasukan pemu-
ngut pajak’ itu, sehingga tanpa perlawanan yang berar-
ti, ia berhasil mengangkat dirinya sebagai penguasa ti-
dak resmi di Kundina.
Tentu saja setiap anggota ‘pasukan’ itu sudah dila-
tih sedemikian rupa, sehingga mereka bukan hanya
mampu memunguti uang dari para nelayan, melainkan
juga sanggup menciptakan teror yang mengerikan. Be-
berapa nelayan yang membandel dijadikan contoh...
dibunuh dan mayatnya digantungkan di tiang layar pe-
rahunya!
Hasilnya sangat memuaskan bagi Subali. Para nela-
yan tidak mau membandel lagi. Secara ‘sukarela’ me-
reka membayar ‘pajak penghasilan’, yang dihitung me-
nurut besarnya perahu dan banyaknya awak perahu.
Anehnya, para nelayan yang tiap hari diperas oleh
Subali dan anak buahnya, tidak pernah berusaha pin-
dah ke pantai lain. Sebenarnya ada satu hal yang sa-
ngat dibutuhkan oleh para nelayan, yakni pasar pele-
langan ikan. Karena meskipun mereka berhasil me-
nangkap ikan sebanyak-banyaknya, kalau ikan-ikan
itu tidak bisa dipasarkan, tentu saja mereka akan
menderita dibuatnya. Dan justru pasar yang mereka
butuhkan itu terdapat di Kundina. Dan pasar pelelan-
gan ikan di Kundina itu selalu ramai dengan pembeli
atau pembarter dengan hasil bumi. Maka meskipun
mereka harus membayar pajak liar tiap hari, mereka
tetap menganggap Kundina sebagai tempat yang men-
guntungkan.
Subali tidak hanya memeras para nelayan. Para
tengkulak dan pedagang yang berdatangan dari daerah
hulu Cigelung pun, dikenakan pungutan tertentu,
yang besarnya tergantung dari ‘omzet’ perdagangan
mereka. Dan toh mereka pun tetap menganggap Kun-
dina sebagai tempat yang menguntungkan.
Dengan sendirinya kehidupan Subali makin lama
makin menanjak. Uang pungutan liar yang mengalir
tiap hari ke kantongnya, sebagian kecil digunakan un-
tuk menggaji anak buahnya, dan sebagian besar digu-
nakan untuk kepentingan pribadinya.
Apakah hal itu membuat Subali puas? Tidak. Ma-
nusia pada umumnya memang tidak pernah puas den-
gan apa yang telah dimilikinya. Apalagi manusia ma-
cam Subali.
Setelah pemungutan ‘pajak’ itu berjalan dengan
lancar, Subali mencari jalan baru, untuk menciptakan
sumber keuangan baru.
Berminggu-minggu Subali memikirkan bagaimana
caranya mendapatkan jalan lain untuk mendatangkan
uang. Dan akhirnya ia menemukan jalan baru itu. Ia
membangun rumah-rumah kecil di pantai. Kemudian
gundik-gundik yang telah membosankannya, dipindah-
kan ke rumah-rumah kecil itu, untuk melayani lelaki-
lelaki iseng yang membutuhkan ‘hiburan’. Dengan kata
lain, gundik-gundik Subali yang tidak ‘terpakai’ lagi,
lalu dijadikan pelacur. Dan uangnya... harus masuk ke
kantong Subali!
Tentu saja di setiap rumah maksiat itu diawasi oleh
anak buah Subali. Dan tampaknya ‘usaha sampingan’
Subali itu mendatangkan hasil yang cukup besar. Le-
laki-lelaki iseng berdatangan ke Kundina, untuk me-
nikmati hangatnya tubuh bekas gundik-gundik Subali.
Mereka tidak segan-segan menghamburkan uang me-
reka di Kundina, karena pelacuran pada zaman itu
masih merupakan hal yang langka.
Keberhasilan Subali dalam bidang ‘pergermoan’ itu,
membuatnya semakin bernafsu untuk menambah per-
sediaan wanita yang akan dijadikan penghuni rumah-
rumah mesumnya. Lalu terjadilah semacam perburuan
wanita. Subali mengerahkan anak buahnya, untuk
memburu gadis-gadis cantik dari segala penjuru, yang
kelak akan dijadikan penghuni rumah-rumah maksiat
itu. Kalau ada yang dipandang istimewa, Subali me-
nyekapnya dulu dalam rumah haremnya, kemudian
membuangnya ke salah satu rumah maksiat itu kalau
ia sudah merasa bosan.
Dan ‘bisnis perempuan’ itu berkembang dengan pe-
satnya. Terkadang ada pula saudagar yang kebetulan
singgah di Kundina, lalu memboyong salah satu ‘kolek-
si’ Subali, dengan imbalan yang cukup tinggi.
Tapi Subali belum puas juga dengan hasil yang te-
lah dicapainya. Ia berpikir lagi. Dan menemukan jalan
baru lain lagi: Membangun rumah-rumah judi!
Maka bertambah lagi jenis kemaksiatan di Kundina,
dengan berdirinya rumah-rumah perjudian yang diba-
ngun oleh Subali. Setiap orang bebas berjudi di salah
satu tempat yang telah disediakan. Tentu saja pemu-
ngut uang ‘tong’ selalu siap di rumah-rumah perjudian
itu.
Dan... lagi-lagi Subali mendapatkan sumber baru
untuk memperkaya dirinya. Maka tidaklah mengheran-
kan kalau Subali lalu menjadi orang yang tak kalah
kaya oleh para adipati di zaman itu.
Dan kini dua orang anak buah Subali datang meng-
hadap. Melaporkan apa yang telah mereka lihat di mu-
ara Cigelung, bahwa ada seorang pemuda hendak
membeli sebuah perahu layar dan memperlihatkan be-
berapa keping uang emas. Bahwa pemuda itu memba-
wa buntalan kecil, yang diduga berisi uang emas ba-
nyak sekali.
Mendengar ‘uang emas’, kontan saja wajah Subali
menjadi lain. Lalu tanyanya, “Apakah pemuda itu sen-
dirian?”
“Benar,” sahut anak buah Subali. “Dia hanya sendi-
rian.”
“Apakah dia kelihatan seperti bangsawan?” tanya
Subali lagi.
“Inilah yang hamba bingungkan. Kalau melihat
tampangnya, mungkin sekali dia keturunan bangsa-
wan.”
Subali berpikir beberapa saat lamanya. Dan akhir-
nya ia berkata, “Bawalah dia ke mari. Katakan saja
aku punya sebuah perahu yang hendak kujual.”
“Baik, orang itu akan segera dibawa ke sini.” Kemu-
dian kedua lelaki itu bergegas meninggalkan rumah
pemimpinnya, menuju daerah muara Cigelung kemba-
li.
***
LELAKI yang tinggi besar menghampiri Nyi Tiwi dan
berkata, “Perahu layar yang diinginkan sudah ada,
kepunyaan Juragan Subali. Mari kita ke sana seka-
rang.”
Nelayan bernama Penjol itu terkejut mendengar na-
ma Juragan Subali disebut-sebut. Pikirnya, pastilah
celaka anak muda ini, tapi salahnya sendiri... disuruh
cepat-cepat pergi tidak mau.
Tapi nelayan bernama Penjol itu tidak berani bicara
apa-apa. Walaupun begitu, Nyi Tiwi melihat memucat-
nya wajah nelayan bernama Penjol itu.
“Di mana perahunya?” tanya Nyi Tiwi.
“Di... di sana,” lelaki tinggi besar itu menunjuk ke
sebelah barat, sekalipun jelas di pantai sebelah barat
tidak terlihat sebuah perahu layar pun.
Nyi Tiwi mulai curiga. Tapi dengan tenang bertanya
lagi, “Rumah Juragan Subali itu di mana?”
Kali ini anak buah Subali menunjuk ke arah yang
benar. “Itulah rumahnya... yang seperti istana itu tuh.”
Dan hati mereka berkata: Benar-benar makanan
empuk! Masa tidak tahu rumah Juragan Subali?! Pas-
tilah baru sekali ini dia menginjak Kundina!
Dengan gaya lugu, Nyi Tiwi berkata, “Baiklah, ayo
kita temui pemilik perahu itu.”
Kemudian berangkatlah Nyi Tiwi bersama kedua
anak buah Subali, sementara Penjol hanya mengantar
kepergian Nyi Tiwi dengan pandangan cemas.
***
Ketika memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh
beberapa lelaki bersenjatakan golok itu, Nyi Tiwi ber-
tanya-tanya di dalam hatinya, “Tampaknya orang ber-
nama Subali itu sangat kaya. Rumahnya pun dijaga
segala.”
Kedatangan Nyi Tiwi diterima langsung oleh seorang
lelaki berbadan kekar, bermata agak juling, bercam-
bang tebal, berdada penuh bulu dan berkulit hitam le-
gam. Itulah Subali... sang penguasa Kundina!
“Kudengar kau membutuhkan sebuah perahu layar
untuk berlayar ke negeri seberang,” kata Subali sambil
mengamat-amati Nyi Tiwi dengan pandangan penuh
selidik.
“Benar,” sahut Nyi Tiwi. “Mana sekarang pera-
hunya? Aku tidak punya waktu banyak. Sore nanti
aku harus sudah berlayar.”
Subali tampak tersinggung dengan ketergesa-
gesaan Nyi Tiwi. Maklumlah, biasanya Subali selalu
diperlakukan seperti raja. Tapi Subali menahan diri,
dan berkata, “Aku ingin menguji uangmu dulu, apakah
benar-benar emas asli atau bukan.”
“Mana ada acara begitu?!” Nyi Tiwi keheranan.
“Jual-beli di mana-mana juga sama. Lihat dulu ba-
rangnya, baru bicara soal pembayaran.”
Subali menyeringai. “Perahu layarku berpuluh-
puluh banyaknya. Kau tinggal memilihnya nanti, pera-
hu mana yang kau inginkan.”
“Nah, kalau begitu kenapa tidak segera mengajakku
ke tempat perahu-perahumu ditambatkan?!” Nyi Tiwi
bersikeras.
“Anak muda, aku tidak mau membuang-buang
waktuku untuk main-main. Karena itu, aku ingin me-
lihat dulu, uang emas apa yang akan kau pakai untuk
membayarnya. Kalau uangmu terbuat dari emas palsu,
tentu aku tidak usah mengajakmu ke dermagaku, bu-
kan?”
Kali ini Nyi Tiwi yang tersinggung. Buntalan kecil-
nya dibuka. Isinya dituangkan ke meja pualam di de-
pan Subali... trrring... tring... ting...! Kepingan-
kepingan uang emas bertumpuk di depan Subali.
Subali terbelalak. Meskipun ia orang kaya, namun
jarang sekali ia melihat uang emas yang begitu banyak.
Dan, sebagai seorang bajingan kelas kakap, tentu saja
ia tergiur oleh uang emas sebanyak itu.
Tentu saja timbul niat jahat Subali, ingin mengam-
bil ‘jalan pintas’ untuk memiliki uang emas yang ber-
tumpuk di meja pualam itu. Tapi Subali belum tahu
siapa sebenarnya ‘pemuda’ yang berpakaian serba hi-
tam itu.
Lalu, Subali mengambil sekeping uang emas dari
tumpukannya, dengan sikap seakan-akan hendak meng-
uji keaslian uang emas itu, sekalipun maksud sesung-
guhnya justru hendak menguji ‘pemuda’ itu.
Waktu memegang uang emas itu, secara diam-diam
Subali mengerahkan tenaga dalamnya, sambil berkata,
“Aku ingin tahu apakah uang emas ini murni atau ti-
dak.”
Tiba-tiba ibu jari Subali melesak ke dalam uang
emas itu... sehingga uang itu menjadi bolong tengah-
nya. Itulah demonstrasi tenaga dalam penguasa Kun-
dina!
“Wah... kenapa emasnya empuk begini?” desis Sub-
ali sambil memperhatikan Nyi Tiwi dengan sudut ma-
tanya.
Nyi Tiwi segera tahu bahwa tuan rumah sedang me-
mamerkan tenaga dalamnya. Namun sambil tersenyum
Nyi Tiwi menyahut, “Mungkin hanya satu itu yang em-
puk. Yang lainnya pasti keras.”
Sambil berkata begitu, Nyi Tiwi memegang kaki me-
ja pualam itu, sambil menyalurkan tenaga dalamnya
secara diam-diam. Dan Subali tak tahu bahwa ta-
munya sedang siap-siap untuk ‘mengerjainya’ juga.
“Coba, akan kuuji uangmu yang lain,” kata Subali
sambil mengulurkan tangannya untuk memungut sa-
lah satu uang logam di atas meja batu pualam itu. Ta-
pi... begitu tangannya menyentuh salah satu uang
emas itu, tiba-tiba ia memekik, “Aaaau...!”, lalu merin-
gis dan memijat-mijat tangan yang menyentuh uang
emas tadi.
Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Tadi, waktu Subali menyentuh salah satu uang
emas itu, tiba-tiba saja ia merasa ada ‘sesuatu’ yang
menolak tangannya demikian kuatnya, sehingga ia me-
rasa kesemutan.
Dan kini, Subali lihat tangan tamunya sedang me-
megang kaki meja masih kurang percaya: Mungkinkah
pemuda ini memiliki tenaga dalam yang demikian he-
batnya?
Nyi Tiwi sudah dapat membaca lewat mata Subali,
bahwa gembong Kundina itu sedang mempertimbang-
kannya. Dan Nyi Tiwi tidak mau membuang-buang
waktunya lagi. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam
yang luar biasa, Nyi Tiwi berkata, “Kurasa engkau su-
dah cukup maklum bahwa uang emasku asli semua.
Sekarang tunjukkanlah perahu layar yang akan kau
jual itu. Dan uangku yang kau rusak itu, akan kuhi-
tung sebagai panjarnya!”
Ucapan Nyi Tiwi diikuti dengan sesuatu yang men-
cengangkan Subali. Uang-uang emas itu tiba-tiba saja
beterbangan secara teratur, lalu masuk ke dalam bun-
talan Nyi Tiwi. Dan Subali semakin sadar bahwa tena-
ga dalam tamunya tinggi sekali!
Tapi Subali benar-benar tak tahu diri. Sekalipun ia
sudah tahu bahwa tamunya berilmu tinggi, ia mengira
bahwa ‘jalan pintas’ untuk mendapatkan buntalan be-
risi uang emas itu masih tetap ada.
Lalu... tiba-tiba saja Subali bertepuk tangan tiga
kali. Dan pada saat berikutnya, delapan orang lelaki
bersenjata golok panjang berlompatan ke sekeliling Nyi
Tiwi.
“Bereskan dia!” seru Subali dengan sikap yang
mendadak garang.
Kedelapan lelaki itu langsung melaksanakan perin-
tah majikannya. Mereka mengepung Nyi Tiwi dengan
golok berputar-putar, sehingga menimbulkan angin di-
ngin di sana-sini... wuuur... wuuur... wuuur...
wuuur...!
Nyi Tiwi yang sadar bahwa dirinya akan dijadikan
calon korban kecurangan, keserakahan dan kekejaman
Subali, jadi jengkel dibuatnya. Dan jengkelnya murid
Kidangkancana, tentu lain dengan jengkelnya orang
biasa.
Tapi Nyi Tiwi masih berusaha menahan kejengke-
lannya. Begitu golok-golok anak buah Subali hendak
menusuk dada dan menyabet lehernya dari delapan
penjuru, dengan gerakan yang sangat cepat ia men-
gambil delapan keping uang emas dari buntalannya.
Dan... wreeeet... kedelapan keping uang emas itu ber-
hamburan ke sekelilingnya. Dengan telak menghantam
urat-urat nadi anak buah Subali yang delapan orang
itu!
Lalu... trang... trang... trang... trang...! Golok-golok
pajang itu berjatuhan ke lantai. Kedelapan anak buah
Subali berdiri kaku, tak ubahnya patung yang sama
sekali tidak bisa bergerak.
Lalu, dengan tenang Nyi Tiwi mengambili kedelapan
keping uang emas yang ‘bertempelan’ di pergelangan
tangan kedelapan anak buah Subali itu. Kemudian di-
masukkannya uang-uang emas itu ke dalam buntalan-
nya, tanpa mempedulikan Subali yang berdiri terpucat-
pucat di sudut pendapa sebelah selatan.
Namun di saat lain, ketika Nyi Tiwi melangkah de-
ngan tenang keluar dari kepungan ‘patung-patung ka-
ku’ itu, tiba-tiba saja Subali menghamburkan delapan
bilah pisau kecil ke arah Nyi Tiwi!
Rupanya Subali masih belum tahu diri juga, dan
mengira dengan cara membokong seperti itu ia bisa
membinasakan tamunya.
Tapi apa yang terjadi?
Sebelum pisau-pisau itu menyentuh kulit Nyi Tiwi,
tiba-tiba saja janda muda yang sedang menyamar jadi
lelaki itu mencelat ke atas, sambil memutar-mutarkan
kakinya di udara... sehingga menimbulkan angin yang
meniup kedelapan pisau kecil itu... dan... pisau-pisau
itu bertancapan di dada kedelapan anak buah Subali
yang masih berdiri kaku!
Zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb!
Disusul dengan berjatuhannya kedelapan anak
buah Subali, dengan dada berlumuran darah!
“Pisau-pisaumu telah membunuhi anak buahmu
sendiri, bukan?” tegur Nyi Tiwi dingin, membuat Subali
gemetaran.
Ya, baru kali itulah Subali sadar dengan siapa ia
berhadapan.
Lalu, seperti kata-kata mutiara Shelley... ia penge-
cut terhadap orang kuat, ia tiran bagi orang lemah...
demikian pula halnya dengan Subali.
Ya, setelah sadar bahwa ia tidak mungkin bisa me-
ngalahkan ‘pemuda’ itu cepat-cepat ia menjatuhkan di-
ri... berlutut di depan Nyi Tiwi sambil berkata, “Ampu-
nilah hamba...! Sungguh hamba tidak tahu bahwa hari
ini rumah hamba kedatangan Dewa Yang Perkasa.”
Mendengar sebutan ‘Dewa Yang Perkasa’ itu, kontan
tergerai tawa geli Nyi Tiwi, sehingga tanpa disadari su-
ara perempuannya terdengar dalam tawanya itu. “Hi-
hihihihihihi...! Siapa yang dewa? Aku hanya seorang
manusia biasa, yang sedang membutuhkan sebuah pe-
rahu layar. Mengerti?”
“Me... mengerti,” sahut Subali. “Hamba akan segera
menunjukkan perahu layar yang Gusti butuhkan itu.”
“Kau pun tak perlu memanggilku gusti, karena aku
bukan keturunan raja!”
“La... lalu hamba harus memanggil apa?”
“Persetan dengan panggilanmu. Sekarang cepat tun-
jukkan padaku, mana perahu layar yang kubutuhkan
itu?”
“Ba... baik! Sekarang ikutilah hamba...”
***
Nyi Tiwi mengikuti langkah Subali ke dermaga di
daerah Kundina Wetan. Untuk mencapai daerah di se-
belah timur itu, mereka harus memakai sebuah rakit,
untuk menyeberangi Cigelung yang membelah Kundi-
na menjadi dua bagian itu.
Di atas rakit itulah Subali bertanya kepada Nyi Tiwi,
“Kalau boleh hamba tahu, siapa sebenarnya Andika
ini?”
Nyi Tiwi (yang sebenarnya bernama Pertiwi), tentu
saja tidak mau menyebutkan nama aslinya. Karena ka-
lau nama aslinya disebutkan, Subali akan segera tahu
bahwa Nyi Tiwi seorang wanita. Maka dengan seenak-
nya Nyi Tiwi menjawab, “Seperti yang kau lihat, pa-
kaianku serba hitam. Anggap sajalah aku sebagai
mega hitam... mega mendung begitu.”
Nyi Tiwi tidak sadar bahwa jawaban seenaknya itu
akan selalu diingat oleh Subali—Pemuda ini bergelar
Megamendung!
Ketika Subali dan Nyi Tiwi tiba di dermaga, bebera-
pa pasang mata memperhatikannya dari kejauhan,
dengan pandangan seolah bertanya-tanya: Siapa pe-
muda tampan yang sedang bersama-sama Juragan
Subali itu?
***
Mengenai perahu layar yang dijanjikan, ternyata
Subali tidak berdusta. Di dermaga itu berderet pulu-
han perahu layar, yang memang semuanya milik Sub-
ali.
“Andika boleh memilih salah sebuah perahu milik
hamba, yang mana saja. Dan... pembayarannya, biar-
lah cukup dengan uang yang hamba rusak tadi,” kata
Subali.
Nyi Tiwi tersenyum dingin. “Aku ingin membeli de-
ngan harga yang wajar, bukan hendak merampokmu.
Nah... aku pilih perahu yang itu. Berapa harus ku-
bayar?”
“Ambil sajalah perahu itu, hitung-hitung tanda per-
sahabatan hamba dengan Andika.”
“Persahabatan?! O, tidak. Aku bukannya tidak mau
bersahabat denganmu. Tapi aku tidak mau berhutang
budi pada siapa pun. Katakanlah harga perahu itu!”
“Hamba... hamba tidak berani memberi harga. Ter-
serah Andika saja.”
Nyi Tiwi merogoh buntalannya dan mengeluarkan
empat keping uang emas, lalu menyerahkannya pada
Subali. “Ditambah dengan uang yang kau rusak tadi,
jadi lima keping uang emas. Cukup?”
“Cukup... cukup. Lebih dari cukup,” sahut Subali
sambil membungkuk-bungkuk hormat.
“Baiklah. Perahu itu sudah menjadi milikku, bu-
kan?! Nah... sekarang aku akan menjemput kawanku
dulu,” kata Nyi Tiwi. Dan... wuuuuut... tiba-tiba saja
tubuh janda muda itu berkelebat... laksana anak pa-
nah dilepaskan dari busurnya... menuju tempat sam-
pannya ditambatkan.
Dan Subali hanya terlongong-longong, sambil me-
remas-remas keempat keping uang emasnya.
“Megamendung,” pikir Subali. “Rasanya baru sekali
ini aku mendengar gelar itu. Tapi ilmu orang itu, be-
nar-benar hebat! Kalau aku bisa bekerjasama dengan-
nya, mungkin aku mampu mendirikan kerajaan baru
di Kundina ini...!”
Sementara itu, Nyi Tiwi sudah tiba di tempat sam-
pannya ditambatkan. Sampan itu masih ada. Tapi...
Rangga sudah tidak ada di atas sampan itu!
“Kang Rangga...?!” Nyi Tiwi memegangi kedua belah
pipinya yang mendadak pucat pasi. “Oooh... ke mana
dia? Ke mana dia?”
Nyi Tiwi mencari-cari ke sekitar tempat penambatan
sampannya. Namun ia tidak menemukan Rangga di
sekitar tempat itu.
Lalu pandangannya tertumbuk ke arah nelayan
yang bernama Penjol itu, yang tampak masih asyik
membetulkan jaringnya di pantai. Cepat Nyi Tiwi berla-
ri ke arah nelayan itu.
“Mang... Mang...! Apakah tadi melihat... mm... meli-
hat seseorang membawa temanku dari dalam sampan-
ku?” tanya Nyi Tiwi.
Nelayan bernama Penjol itu agak kaget melihat ha-
dirnya kembali ‘pemuda’ yang disangkanya sudah jadi
korban keganasan Subali itu.
“Teman?! Teman yang mana?” nelayan itu balik ber-
tanya.
“Tadi aku meninggalkan kawanku yang lumpuh di
dalam sampan itu. Sekarang dia jadi tidak ada. Apa-
kah kau melihatnya, Mang?”
Nelayan itu terlongong bingung. Lalu menggeleng-
kan kepalanya.
Dan angin pantai berhembus dengan kencangnya.
Meniup pengikat kepala Nyi Tiwi, sampai terlepas, se-
hingga rambut yang lebat indah itu tergerai dan berki-
bar-kibar.
Setitik air mata terjatuh dari kelopak mata Nyi Tiwi.
Namun, tiba-tiba saja mata yang indah itu menjadi
beringas.
Dan tiba-tiba saja Nyi Tiwi menggumam, “Kalau hi-
langnya Kang Rangga disebabkan oleh anak buah Su-
bali... akan kuobrak-abrik rumah jahanam itu! Akan
kucincang lelaki bernama Subali itu!”
Kemudian... murid Kidangkancana berlari secepat
kilat ke arah rumah Subali!
Emoticon