Karya Djair Warni
Satu
Semalaman hujan turun dengan lebat.
Membasahi segenap bumi. Hingga membuat be-
cek yang cukup menyiksa di jalan setapak itu.
Namun pagi ini hanya tinggal biasnya saja yang
bercampur dengan embun pagi. Mengeluarkan
Tetapi bagi tiga orang kakek yang melang-
kah dengan masing-masing membawa sebuah pe-
ti di pundaknya, tanah becek yang tebal itu bu-
kanlah suatu halangan bagi ketiganya untuk me-
langkah. Malah mereka seakan tak pernah me-
nyadari kalau tanah yang becek itu bisa menjadi
penghalang bagi siapa pun yang melangkah.
Salah seorang kakek itu berkata, "Masih
jauhkah Perguruan Topeng Hitam berada?"
Yang seorang menyahut, dia bertelanjang
dada. Dan wajahnya mirip orang Cina. Meskipun
tubuhnya kelihatan kerempeng namun berisi, dia
kuat bertelanjang dada menahan hembusan an-
gin yang cukup dingin.
"Kata orang yang kita tanya semalam, kita
harus mengarah ke timur dari Gunung Slamet."
Yang satu lagi menggerutu. Dia mengena-
kan pakaian mirip orang-orang keraton.
"Gara-gara hujan sialan ini yang mengha-
ruskan kita berteduh. Bila tidak hujan dan kita
tidak berteduh, mungkin pagi ini kita tiba di Per-
guruan Topeng Hitam...."
"Ya, ya...." kata yang pertama berkata tadi.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihat Den Putri
Ratih Ningrum dan suaminya Madewa Gumi-
lang....!"
"Benar, Mukti...." kata yang bertelanjang
dada. "Kabarnya, mereka pun telah mempunyai
seorang anak yang telah menikah. Ah, betapa ba-
hagianya mereka..."
"Patidina...." kata yang dipanggil Mukti.
"Apakah kau yakin kalau memang Madewa
Gumilang yang memimpin Perguruan Topeng Hi-
tam? Setahuku dulu, Perguruan Topeng Hitam
dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara?"
Yang dipanggil Patidina itu adalah kakek
yang mengenakan pakaian mirip orang-orang ke-
raton. Dia menatap Mukti yang mengenakan pa-
kaian hitam-hitam.
"Aku pun tidak yakin. Malah ketika kuber-
tanya apakah ada yang mengenal dan tahu di
mana Madewa Gumilang berada, mereka malah
bertanya, apakah Madewa Gumilang yang berge-
lar Pendekar Bayangan Sukma? Semula aku bin-
gung. Lalu kukatakan saja iya."
"Benar katamu, Patidina," kata kakek yang
bertelanjang dada, yang bernama Tek Jien. "Ma-
lah ada pula yang bilang, nama Madewa Gumi-
lang pun kadang dijuluki manusia setengah dewa.
Ada juga yang bilang Pendekar Budiman. Dan se-
perti katamu tadi, dia pun bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Ah, andaikata pemuda yang
pernah mengalahkan kita beberapa puluh tahun
yang lalu itu memang benar dia adanya, aku
bangga sekali mendengarnya. Hahaha.... aku ma-
sih ingat bagaimana dulu di rumah majikan kita
Biparsena ayahanda dari Den Putri Ratih Nin-
grum kita dipecundangi dengan mudah olehnya....
hahaha.... lucu, lucu sekali bila kita mengingat-
nya..."
"Masih untung kita tidak dibunuhnya oleh
Pukulan Bayangan Sukmanya yang hebat itu,"
kata Mukti.
"Tetapi aku yakin, dia tak akan melakukan
kekejaman itu," kata Patidina. "Semula ketika ma-
jikan kita Biparsena mengangkatnya sebagai pen-
jaga kuda, aku sudah yakin sekali kalau pemuda
itu adalah pemuda baik-baik...."
"Dan yang tak pernah kita sangka, dia ada-
lah murid tunggal dari Eyang Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti yang mewariskan Pukulan
Bayangan Sukma padanya. Juga ajian Pandangan
Menembus Sukma...." kata Tek Jien.
"Hai, apa kau lupa.... kalau dia pun mewa-
risi seruling sakti milik gurunya," kata Patidina.
"Benar, Seruling Naga! Seruling yang maha
sakti!" kata Mukti.
Sebenarnya siapakah ketiga orang kakek
yang masing-masing membawa peti dan sedang
menuju ke Perguruan Topeng Hitam? Mereka se-
pertinya begitu banyak mengenal Madewa Gumi-
lang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya
Ratih Ningrum.
Ketiga kakek itu tak lain adalah bekas para
pengawal setia ayah dari Ratih Ningrum, Biparse-
na. Dulu, ketiganya pun pernah mencoba ilmu
dari Madewa Gumilang sebelum Madewa diangkat
menjadi penjaga kuda dan penjaga Ratih Nin-
grum.
Mereka adalah Mukti, si Pedang Kembar.
Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien, si Puku-
lan Tangan Seribu. Merekalah tiga orang guru da-
ri Ratih Ningrum. Mukti dan Patidina telah mem-
berikan senjata-senjata milik mereka pada murid
mereka, Ratih Ningrum dan ketiganya telah me-
warisi ilmu-ilmu yang hebat kepada Ratih Nin-
grum, saat Ratih Ningrum hendak mencari Ma-
dewa Gumilang.
Setelah ayahnya meninggal di tangan Ma-
dewa Gumilang, Ratih Ningrum yang mencintai
Madewa Gumilang pun bermaksud mengikutinya.
Karena dia yakin dan pasti kalau hidupnya akan
bahagia bersama pemuda yang dicintainya. Ratih
Ningrum pun tahu kalau ayahnya sebenarnya
adalah orang golongan hitam. Yang menyebarkan
kabar palsu tentang adanya Pedang Pusaka Dewa
Matahari yang dimiliki Ki Rengsersari alias Pen-
dekar Ular Sakti yang menjadi guru dari Madewa
Gumilang.
Sehingga banyaklah para pendekar baik
dari golongan hitam maupun golongan putih da-
tang dengan maksud untuk merebut Pedang Pu-
saka Dewa Matahari. Tetapi kenyataannya, ha-
nyalah sebuah kabar bohong belaka.
Sebelum Ratih Ningrum meninggalkan ru-
mahnya bersama Madewa Gumilang, dia menye-
rahkan seluruh harta warisnya kepada ketiga
pengawal ayahnya yang setia atau pun yang men-
jadi gurunya. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Mata-
hari dan Dendam Orang-orang Gagah).
Ketiga gurunya itupun tak bisa menahan-
nya untuk mengikuti Madewa Gumilang. Dan me-
reka dengan setia menjaga seluruh harta ke-
kayaan milik dari Ratih Ningrum, atau warisan
dari ayahnya Biparsena.
Mereka pun dengan setia menjaga seluruh
kekayaan itu. Hari berganti hari. Minggu berganti
Minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun bergan-
ti tahun. Tak terasa berpuluh tahun telah lewat.
Dalam hati ketiganya selalu mengharapkan
kalau-kalau Ratih Ningrum dan suaminya datang
menjenguk. Karena mereka merasa sudah tua
dan tak mungkin lagi dapat menjaga seluruh ke-
kayaan yang dimiliki oleh Ratih Ningrum.
Pada suatu malam, ketiganya pun berem-
buk untuk segera mencari Ratih Ningrum dan
Madewa Gumilang berada.
"Benar kata-katamu, Mukti," kata Patidina.
"Kita sudah tua. Umur kita semakin lanjut. Dan
aku pun kuatir, seluruh warisan ini tak akan bisa
kita jaga lagi."
"Memang, dan aku berpikir... lebih baik ki-
ta serahkan kembali semua kekayaan harta waris
ini pada yang mempunyai. Pada murid kita, Ratih
Ningrum...." kata Mukti.
Tek Jien berkata, "Tetapi... setelah berpu-
luh tahun kita menunggu kedatangan murid kita
dan suaminya, agaknya penantian kita sia-sia be-
laka. Bukankah menurutku akan lebih baik bila
kita segera meninggalkan desa ini, desa Bojon-
gronggo untuk mencari dan menyerahkan seluruh
harta waris ini kepada Ratih Ningrum?"
"Aha!" Mukti berseru. "Benar kata-katamu,
Tek Jien. Yah, lebih baik kita mencari di mana ge-
rangan Ratih Ningrum dan suaminya berada. La-
gipula, bukankah kita selama ini tidak lagi per-
nah melihat keadaan dunia luar?"
"Aku pun setuju dengan usulmu, Tek Jien.
Yah... kita bisa pergi besok pagi untuk mencari di
mana gerangan murid kita dan suaminya berada,"
kata Patidina.
"Lalu bagaimana dengan seluruh kekayaan
ini?" tanya Mukti. "Kita tidak bisa meninggalkan-
nya begitu saja tanpa ada yang menjaga. Nah,
siapa yang ingin menjaga dan tinggal di sini se-
mentara yang lain mencari ke dunia luar di mana
Ratih Ningrum dan suaminya berada?"
Mukti menatap kedua sahabatnya yang te-
lah sama-sama menjadi kakek-kakek seperti di-
rinya pula. Namun kedua sahabatnya tidak ada
yang menyediakan diri untuk menetap di sini dan
menjaga seluruh kekayaan.
Mukti tertawa.
"Hahaha... aku pun tak mau menetap di
sini," katanya masih tetap menatap kedua saha-
batnya.
"Lalu siapa yang akan menjaga?" tanya Tek
Jien dan Patidina bersamaan.
Ketiganya terdiam. Siapa yang menjaga ke-
kayaan itu? Sementara mereka semuanya mau
pergi mencari Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Mukti menepuk keningnya.
Kedua sahabatnya memperhatikan.
"Bodohnya aku!"
"Kenapa?" tanya Patidina.
"Kau punya usul?" tanya Tek Jien.
"Ya, ya... bagaimana bila kita bawa saja ke-
kayaan ini?" tanya Mukti sambil menatap kembali
kedua sahabatnya.
"Ah, apakah kita bisa membawa rumah
yang besar ini berikut perlengkapannya yang ser-
ba mewah?" tanya Patidina.
"Bukan, bukan itu maksudku!" kata Mukti.
"Lalu apa?" tanya Tek Jien.
"Kita hanya membawa emas, berlian dan
permata yang berlimpah. Yang lainnya kita biar-
kan saja di sini. Kita titipkan pada kepala desa.
Nah, bagaimana?"
Kali ini kedua kepala sahabatnya men-
gangguk setuju.
Lalu malam itu juga, mereka segera mem-
persiapkan diri.
Setelah emas, permata dan berlian itu di-
kumpulkan, ternyata mencapai tiga peti banyak-
nya.
"Bukan main!" desah Mukti. "Aku tak per-
nah menyadari selama ini kalau begitu banyak-
nya perhiasan yang ada di rumah ini."
"Benar," kata Patidina. "Ini tak akan habis
dipakai oleh lima belas turunan."
"Sudahlah," kata Tek Jien yang selalu ber-
telanjang dada dari masa mudanya. "Kita tak per-
lu memikirkan jumlah kekayaan ini. Yang pasti
kita harus bersiap dan berangkat besok pagi."
Keesokan paginya setelah matahari se-
penggalah, ketiganya pun keluar dari rumah itu
dengan membawa masing-masing sebuah peti
yang berisi emas yang jumlahnya amat banyak.
Dan sebelumnya ketiganya telah mendatangi ru-
mah kepala desa Bojongronggo untuk menitipkan
rumah dan perlengkapannya yang masih ada.
Setelah itu, ketiganya pun memulai perja-
lanan mereka untuk mencari Ratih Ningrum dan
suaminya, untuk menyerahkan warisan yang te-
lah berpuluh tahun mereka jaga.
Karena mereka menyadari usia yang mulai
uzur dan mereka kuatir akan meninggal sebelum
menyerahkan seluruh warisan ini pada yang ber-
hak.
Di samping itu, mereka pun tak mau me-
ninggal sebelum berjumpa dengan murid mereka
yang bernama Ratih Ningrum. Yang dulunya seo-
rang gadis jelita yang sopan, baik dan tulus. Itu-
lah sebabnya ketiganya bersedia pula menurun-
kan ilmu-ilmu mereka padanya.
Dua
Dalam setiap saat rasanya mereka selalu
bertanya tentang Madewa Gumilang. Dan jawa-
ban-jawaban yang didapat, sebenarnya membuat
mereka bingung.
"Oh! Madewa Gumilang? Laki-laki yang di-
juluki Pendekar Budiman?"
"Pendekar Bayangan Sukma! Ya, ya... aku
tahu... dia kini memimpin satu perguruan yang
terletak di sebelah timur Gunung Slamet!"
"Manusia setengah dewa? Ya... istrinya
bernama Ratih Ningrum?"
"Madewa Gumilang... oh, katakan di mana
saya bisa menemuinya. Dia adalah seorang laki-
laki berjubah putih yang arif dan bijaksana."
Jawaban-jawaban itu memang membin-
gungkan ketiga kakek itu. Dari rasa bingung be-
rubah menjadi rasa penasaran. Mereka pun sepa-
kat untuk segera menuju Perguruan Topeng Hi-
tam yang terletak di sebelah timur Gunung Sla-
met.
Apakah Madewa Gumilang telah menjadi
tokoh yang teramat sakti dan disegani? Dan ba-
gaimana dengan Ratih Ningrum? Oh, kalau tidak
salah dari jawaban-jawaban yang diberikan orang
yang mereka tanyai, Ratih Ningrum masih men-
dampingi laki-laki yang kabarnya gagah perkasa.
Ketiganya menjadi tidak sabar untuk
membuktikan semua itu.
"Patidina dan Tek Jien," panggil Mukti.
"Aku sebenarnya menjadi heran namun penasa-
ran tentang siapa adanya pemuda itu. Benarkah
dia telah menjadi tokoh yang amat sakti dan sela-
lu membela kebenaran?"
Ketiganya masih terus melangkah dengan
ringan tanpa merasa ada sedikit halangan pun
pada tanah becek yang mereka pijak. Malah seo-
lah-olah ketiganya tidak menginjak tanah. Ini
menandakan tenaga dalam dan ilmu meringan-
kan tubuh yang mereka miliki telah amat sem-
purna.
"Sebenarnya aku pun demikian adanya,"
kata Patidina. "Namun bila pemuda yang dulu
mengalahkan kita telah menjadi seorang tokoh
budiman pembela kebenaran, aku amat bangga
padanya."
"Begitu pula aku," kata Tek Jien. "Dan aku
tak pernah menyesali kepergian murid kita ber-
samanya. Karena aku yakin, tentunya murid kita
telah dibimbingnya dan diberinya hidup yang
membahagiakan."
"Ya. ya... ternyata perasaan kalian sama
dengan perasaan yang ada padaku sekarang," ka-
ta Mukti. "Ini membuatku pun merasa senang
mengingat pemuda itu telah menjadi tokoh perka-
sa yang sakti dan pembela kebenaran."
Kini ketiganya berada di tempat yang agak
lapang. Dan tidak begitu becek karena rumput
yang tumbuh di sana begitu lebat.
Belum ada lagi yang menyahuti kata-kata
Mukti, tiba-tiba dari balik rumput yang tebal itu
berlompatan sepuluh orang berpakaian merah-
merah dengan memegang tombak. Mereka lang-
sung mengurung ketiganya.
Tatapan mereka tidak bersahabat. Garang.
Dan tombak yang ada di tangan mereka,
agaknya telah siap terhunus.
Ketiga kakek itu berpandangan.
"Rupanya ada orang-orang yang tengah
iseng pada kita," kata Mukti.
"Ya, dan mereka tak begitu suka pada ki-
ta," sambung Patidina.
"Benar," kata Tek Jien. "Mereka memang
tidak bersahabat. Tetapi apa yang telah menye-
babkan semua itu, aku tidak tahu."
"Benar, begitu pula dengan aku." kata
Mukti.
"Apakah kita akan meneruskan perjalanan
lagi?" kata Patidina.
"Hei, mengapa kita tidak lihat dulu apa se-
benarnya yang mereka maui," kata Tek Jien.
Mendengar kata-kata ketiga kakek itu yang
seolah tak merasa ada orang-orang itu di sana,
yang mengurungnya, telah membuat memerah
wajah salah seorang yang mengurung mereka.
Orang itu berperawakan tegap. Wajahnya
kukuh dengan sepasang mata yang nyalang ga-
rang. Seluruh wajahnya ditumbuhi rambut yang
lebat.
Orang itu menggeram.
Dan membentak dengan suara yang san-
gar, "Kakek-kakek peot... bila kalian ingin tahu
apa maksud kami sebenarnya dan siapa kami
bertanyalah!"
Ketiga kakek itu berpandangan kembali.
Lalu seolah tak menyadari bahaya yang mengan-
cam mereka kembali bercakap-cakap tanpa mera-
sa orang-orang yang mengurung mereka siap
menghujamkan tombak-tombak mereka.
"Dia menyuruh kita bertanya mereka mau
apa," kata Mukti.
"Ya, dia juga menyuruh kita untuk ber-
tanya siapa mereka," kata Patidina.
"Apakah kita akan bertanya?" tanya Tek
Jien.
"Untuk apa?" Mukti balik bertanya.
"Benar, toh mereka tidak bersahabat den-
gan kita," sambung Patidina.
"Kalau begitu, kita terus saja?" kata Tek
Jien.
"Ya, untuk apa berlama-lama di sini," kata
Mukti seraya hendak melangkah.
"Toh kita tidak mengenal mereka dan tidak
punya urusan dengan mereka," kata Patidina
yang juga hendak melangkah.
"Ayolah kalau begitu," lanjut Tek Jien dan
berbuat yang sama pula.
Mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan itu, membuat laki-laki yang membentak
tadi semakin memerah wajahnya.
Dia geram dan merasa dipermainkan.
"Kakek-kakek anjing! Jangan jual lagak di
depanku?!"
Ketiga kakek itu tidak jadi untuk melang-
kah. Kembali mereka berpandangan.
"Dia marah!" kata Mukti.
"Ya, dia membentak kita," kata Patidina.
"Bukan hanya membentak, tetapi dia juga
memaki kita seperti anjing," kata Tek Jien.
"Apakah kita harus marah?" tanya Mukti.
"Dia sudah membentak kita dan memaki
kita seperti anjing," kata Patidina.
"Kalau begitu, kita beri pelajaran pada me-
reka!" sambung Tek Jien.
Dan kepala ketiga kakek itu pun berpaling
pada laki-laki yang membentak itu.
Mukti berkata, "Hhh! kau telah lancang
berkata, Ki Sanak! Kau seenaknya saja memaki
kami seperti anjing! Apakah kau mempunyai
nyawa dua, hah?!"
Merah padam wajah laki-laki itu. Kegera-
mannya sudah sampai ke ubun-ubun dan siapa
untuk meledak.
"Kakek peot! Banyak omong pula kau,
hah?! Apakah kau tidak tahu berhadapan dengan
siapa?!" membentak marah laki-laki itu.
Kali ini Mukti berpaling pada kedua saha-
batnya. Kakek itu terkekeh.
"Hehehe... untuk apa kita bertanya siapa
mereka. Dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya."
"Benar," Patidina pun terkekeh. "Dia ber-
tanya pada kita siapa dirinya."
"Hei, apakah dia sebenarnya cuma seorang
badut yang tengah melucu di depan kita?" kata
Tek Jien dan terkekeh panjang.
Orang itu bukan main geramnya. Marah-
nya bukan alang kepalang lagi. Begitu memun-
cak.
Lalu dia membentak lagi dengan suara
orang seperti mau muntah.
"Anjing-anjing buduk! Kalian rupanya be-
lum tahu siapa kami, hah?! Kami adalah gerom-
bolan perampok Tombak Seribu. Namaku sendiri
Barong Projo, pemimpin dari gerombolan ini! Ba-
rang siapa yang berani lancang dan menentang
kemauan kami, maka dia harus mampus di tan-
gan kami!"
"Lho, kami telah berbuat lancang apa?" ka-
ta Mukti. Lalu berpaling pada kedua sahabatnya.
"Agaknya pagi ini kita bertemu dengan orang sakit
jiwa."
"Benar, dia bilang kita anjing buduk! Eh,
bukannya mereka yang seperti anjing-anjing bu-
duk?" kata Patidina dan kakek itu terkekeh.
"Betul, betul... mereka bukan hanya anj-
ing-anjing buduk! Tapi anjing-anjing kudisan...
hehehe...!" terkekeh Tek Jien yang merasa lucu
dengan ucapannya sendiri.
Dan murkalah Barong Projo. "Kakek-kakek
peot, cepat kalian serahkan peti-peti yang kalian
bawa itu! Atau... kalian ingin mampus hari ini ju-
ga!"
Mukti berkata lagi pada kedua sahabatnya,
"O... rupanya peti-peti yang kita bawa ini yang
mereka incar."
"Betul! Rupanya mereka ini memang pe-
rampok-perampok di siang hari... hehehe... pe-
rampok-perampok yang ternyata mau mati!" ter-
kekeh Patidina.
"Apakah kita akan serahkan peti-peti ini
pada mereka?" tanya Tek Jien.
"Bagaimana kalau murid kita marah?"
tanya Mukti seolah kebingungan, padahal dia
memang bermaksud untuk memancing kemara-
han Barong Projo. Sejak mereka dikepung pun dia
sebenarnya sudah tahu maksud sesungguhnya
dari orang-orang ini. Sasaran mereka pasti peti-
peti yang mereka bawa!
"Betul. Aku lebih sayang pada murid kita
daripada orang-orang ini," kata Patidina.
"Berarti mereka tidak kita berikan peti-peti
ini," kata Tek Jien yang berpura-pura baru tahu
akan kesimpulan kata-kata itu.
"Betul! Tapi kalau mereka bisa mengambil-
nya dan berhasil, ya lebih baik berikan saja!" kata
Mukti.
"Jadi kita berikan kalau begitu?" kata Pati-
dina.
"Kalau mereka mampu," kata Mukti.
"Berarti kita harus berkelahi?" tanya Tek
Jien.
"Hei, bukankah kita sudah lama tidak per-
nah berkelahi," kata Mukti. "Jadi ini lebih baik
untuk menyegarkan ingatan kita pada ilmu-ilmu
yang kita miliki. Rasanya... ah, aku masih sang-
gup untuk menjatuhkan orang, hei!"
Mukti tak bisa meneruskan lagi kata-
katanya, karena dengan penuh murka dan kema-
rahan yang teramat sangat, Barong Projo sudah
menyerbunya dengan tombak di tangannya.
Barong Projo tidak bisa menahan marah-
nya lagi karena ejekan-ejekan yang dilontarkan
ketiga kakek itu. Maka dia pun segera menyerbu.
Tombak yang mengarah lurus ke arah
Mukti, dengan mudah saja dihindarkannya den-
gan memiringkan tubuh.
"Wah, wah... rupanya orang ini pemarah
betul!" kekehnya sambil melompat lagi ketika
tombak itu mengarah ke kakinya.
Melihat ketua mereka sudah menyerang,
tanpa dikomando lagi, anak buahnya segera me-
nyerbu Patidina dan Tek Jien.
Dan kedua kakek itu pun segera melaya-
ninya.
Meskipun masing-masing di pundak kakek
itu membawa peti yang cukup berat, namun ge-
rakan mereka cukup gesit. Bahkan dengan terke-
keh-kekeh mereka menghindari serangan-
serangan yang datang silih berganti dengan cepat.
"Wah, wah... ini tidak main-main lagi!" kata
Mukti sambil menghindari beberapa tombak yang
berdatangan ke arahnya. Kini dia dikerubuti tiga
orang termasuk Barong Projo.
"Betul, kita harus beri pelajaran agar me-
reka kapok dan tahu siapa kita!" sahut Patidina.
"Jadi kita harus melawan?" tanya Tek Jien
yang juga menghindari serangan-serangan itu.
"Mengapa tidak?!" seru Mukti sambil ber-
salto ke belakang. Begitu pula yang dilakukan
dua kakek sahabatnya. Mereka pun berbuat yang
sama.
Lalu sama-sama pula ketiganya meletak-
kan peti yang mereka bawa di tanah. Setelah itu
ketiganya pun bersiap.
"Mampuslah kau, kakek-kakek peot!" ge-
ram Barong Projo sambil menyerbu yang diikuti
oleh beberapa anak buahnya.
Dan ketiga kakek itu pun bergerak mema-
paki. Gerakan mereka amat gesit sekali.
Dengan tanpa beban di pundak, ketiganya
bergerak bagaikan seekor burung. Tek Jien pun
sudah mengeluarkan jurus andalannya Pukulan
Tangan Seribu.
Gerakan kakek itu masih amat lincah. Tak
ubahnya beberapa puluh tahun yang lalu. Kedua
tangannya menderu-deru bagaikan berubah men-
jadi seribu.
Dan dengan tangan yang telah dialiri tena-
ga dalam dia bergerak bagaikan macan ngamuk.
Dia menangkis. Memapaki dan membalas.
Membuat para penyerangnya menjadi jeri.
Apalagi ketika dua orang pingsan terkena
pukulannya. Membuat dua lagi pengeroyoknya
harus berhati-hati dengan segala serangan yang
dilancarkan Tek Jien.
"Hehehe... rupanya kalian hanya besar mu-
lut saja!" terkekeh kakek yang keturunan Cina
itu.
Kembali dia melancarkan serangan. Dua
penyerangnya menjadi kalang kabut. Dan sebi-
sanya mereka untuk menangkis dan membalas.
Namun tangan Tek Jien yang berubah
menjadi seribu itu, lebih dulu mendarat di bebe-
rapa bagian tubuh kedua lawannya.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulan mendarat di masing-
masing tubuh lawannya, yang langsung terjeng-
kang pingsan.
Kakek itu terkekeh sambil menepuk-nepuk
kedua tangannya.
"Dua sahabatku... untuk apa kalian ber-
main-main lagi? Cepat bereskan! Aku sudah bo-
san! Juga sudah lapar!"
Tiga
Mendengar seruan Tek Jien yang seakan
mengejek keduanya, Mukti dan Patidina pun se-
gera menyerang dengan hebat.
Apalagi ketika dengan riangnya Mukti me-
matahkan dua buah ranting pohon sebesar pe-
dang. Barong Projo dan dua anak buahnya yang
membantu menjadi kewalahan.
Kakek itu telah menggunakan kedua rant-
ing tadi sebagai pedang. Lalu dia pun memain-
kannya dengan jurus pedang kembarnya yang
hebat.
"Hehehe... mengapa kalian mundur, hah?!"
terkekeh kakek itu yang melihat ketiga lawannya
menjadi ngeri dengan permainan kedua ranting
yang dipegang oleh Mukti.
Meskipun hanya berupa ranting kecil, na-
mun bila terkena rasa sakitnya bukan alang ke-
palang. Karena kedua ranting itu sudah dialiri te-
naga dalam.
Mendengar kata-kata yang mengejek itu,
membuat telinga Barong Projo menjadi memerah.
Dia menggeram murka.
Dan kembali laki-laki berwajah menyeram-
kan itu menyerbu dengan buas. Disusul dengan
dua orang anak buahnya. Tombak-tombak yang
ada di tangan ketiganya benar-benar mampu un-
tuk mencabut nyawa.
Namun yang dihadapinya adalah pendekar
tua yang masih hebat memainkan ilmu pedang
kembarnya.
Sebentar saja dua buah tombak yang dipe-
gang anak buah Barong Projo sudah terlepas dari
tangan mereka. Dan sambil memekik bersalto,
kedua ranting yang ada di kedua tangan Mukti
dengan cepat menotok hingga kedua orang itu
terdiam kaku.
Mukti berdiri kembali dengan tegap di ta-
nah. Menatap Barong Projo dengan tatapan men-
gejek.
"Hei, Muka Barong! Bukankah ini sudah
sebagai bukti, bahwa kau dan para anak buahmu
itu tak bisa merebut peti-peti yang kami bawa?!
Nah, mengapa tidak kau bersujud saja untuk
meminta ampun dariku! Hehehe... percayalah,
aku adalah seorang kakek yang baik hati! Pasti
kau kumaafkan... hehehe...!"
Wajah Barong Projo semakin memerah sa-
ja. Matanya membeliak-beliak penuh emosi. Na-
fasnya mendengus-dengus mirip kerbau jantan
yang tengah mengamuk.
"Kubunuh kau, Kakek peot!" bentaknya se-
raya menyerbu. Kali ini dia menggunakan jurus
andalannya, Tombak Menggapai Rembulan Me-
nyapu Badai.
Jurus tombak yang dimainkannya demi-
kian hebat. Menyambar-nyambar dengan ganas.
Mengancam leher dan pergelangan kaki.
Mukti sejenak kebingungan menghadapi
serangan-serangan itu. Namun dia pun memapa-
kinya dengan ranting yang ada di tangannya.
Berkali-kali kedua senjata itu berbentrokan.
Hebat.
Cepat.
Dan berbahaya.
Tek Jien cuma menggeleng-gelengkan ke-
palanya saja. Sedikitnya dia kagum dengan per-
mainan tombak yang diperlihatkan oleh Barong
Projo.
Sementara Patidina sudah menjatuhkan
salah seorang pengeroyoknya. Dengan gerakan
berguling yang cepat, kakek itu mengambil tom-
bak yang jatuh di tanah.
Dan mematahkannya pada ujungnya.
Membentuknya sebuah keris. Dengan patahan
ujung tombak yang dianggapnya sebagai keris,
mulailah dia memperlihatkan kehebatan permai-
nan keris tunggalnya.
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan.
Dan sebentar saja mereka sudah terdesak.
"Hei, apakah mereka ini harus kubunuh?!"
seru Patidina pada Tek Jien.
"Terserah padamu. Bila kau biarkan hidup
pun, mereka akan semakin sombong saja! Mati
pun mereka tak ada gunanya! Yah, terserah pada
pilihanmu!" kata Tek Jien sambil melipat tangan-
nya di dada.
"Kalau begitu, mereka akan kubuat ping-
san saja!" kata Patidina. Dan kakek itu memperli-
hatkan kelincahannya bermain keris tunggal dari
patahan ujung tombak.
Para pengeroyoknya menjadi kebingungan.
Dan mereka pun sebisanya saja untuk menghin-
dar dan melayani, tanpa bisa berbuat lebih ba-
nyak lagi.
Dan sebentar saja ujung tombak yang telah
dipatahkan itu, mengenai sasarannya.
"Sret!"
"Sret!"
Gerakan yang diperlihatkan Patidina bukan
main cepatnya. Ujung patahan tombak itu men-
genai tangan yang seorang dan paha yang lain-
nya. Keduanya mengaduh.
Dan segera menekap darah yang mengalir.
Namun melihat kenyataan ini, keduanya
bukannya malah jeri, malah semakin nekat me-
nyerang.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Ka-
kek busuk!" bentak salah seorang yang segera
menyerbu disusul dengan temannya.
Ganas.
Dan berbahaya.
Tetapi Patidina hanya menyambutnya den-
gan terkekeh saja. Dia pun mengimbanginya den-
gan hebat. Namun baginya sekarang, sulit untuk
melumpuhkan keduanya tanpa melukai mereka
dengan luka yang cukup berbahaya.
"Maafkan aku, bila aku terpaksa membu-
nuh kalian!" kata Patidina sambil melompat
menghindari sambaran tombak yang mengarah
pada kakinya.
Lalu dia melenting ke depan bersalto. Saat
bersalto itu dia melakukan satu gerakan yang
amat aneh. Dengan tiba-tiba saja dia sudah bera-
da di belakang orang itu dan berguling. Dengan
gerakan yang membingungkan, dia melewati ke-
dua kaki orang itu yang terbuka.
Dan tangan kirinya pun menghantam ba-
gian paha orang itu.
"Aaaaaahhhh!" terdengar jeritan yang keras
disusul dengan suara 'krak'.
Paha orang itu patah. Dan tubuhnya men-
jadi limbung. Dia tak dapat menahan keseimban-
gan tubuhnya, juga merasakan sakit yang amat
menyengat.
Dan tubuh itu pun ambruk.
Melihat temannya telah berhasil dilumpuh-
kan oleh kakek itu, yang seorang pun menjadi
murka.
Dia menjerit hebat.
Dan menyerang dengan kalap serta mem-
babi buta. Meskipun demikian, serangannya ma-
lah jadi berbahaya.
Namun Patidina bukanlah kakek yang baru
saja turun gunung. Tidak mengetahui tipuan ge-
rakan dari seorang jago silat. Dia sudah mengua-
sai ilmu silat dan permainan senjata keris sejak
muda.
Hal itu bukanlah sebuah kebetulan saja.
Maka dengan mudahnya dia pun berhasil
mematahkan serangan orang itu. Kembali dengan
gerakan yang sama seperti yang dilakukannya
pada orang pertama, kali ini dia menghantam ke-
dua paha orang itu hingga patah dan langsung
ambruk, pingsan.
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya
setelah berdiri kembali.
"Dasar geblek! Bukannya minta maaf, ma-
lah cari penyakit!" gerutunya.
Tek Jien terkekeh.
"Hehehe... biarkan saja mereka. Toh, bu-
kan salah kita. Ah, tapi agaknya kita sudah tidak
pantas untuk berkelahi, kita sudah terlalu tua
untuk itu," katanya yang menyadari keadaannya.
Begitu pula dengan Patidina. "Benar kata-
mu, Tek Jien... kita memang sudah tidak pantas
untuk menjadi seorang jagoan lagi. Tapi... haha-
ha... kita ini adalah pendekar-pendekar tua yang
masih kok nekat berkelahi dengan orang-orang
muda... hahahah!"
Tek Jien pun terbahak mendengar kata-
kata sahabatnya.
Lalu keduanya memperhatikan Mukti yang
masih bertarung dengan Barong Projo.
Dia memang bisa mengimbangi permainan
tombak andalan yang diperlihatkan Barong Projo.
Dan hal itupun berhasil diakhirinya dengan satu
gerakan aneh yang diperlihatkannya.
Tiba-tiba saja tubuhnya meliuk-meliuk
dengan gerakan yang membingungkan. Dan seca-
ra tiba-tiba pula kedua tangannya yang meme-
gang dua buah ranting pun bergerak dengan ge-
rakan seperti mengacau.
Ini membuat Barong Projo menjadi bin-
gung. Dan lebih bingung lagi ketika mendadak sa-
ja salah sebuah ranting yang dipegang Mukti
memukul pergelangan tangannya.
Dia menjerit.
"Aaaaakh!"
Dan makin menjerit ketika ranting yang
sebuah lagi menyodok pangkal tangannya.
Tombaknya terlepas.
Mukti menghentikan serangannya. Dia ter-
kekeh.
"Hehehe... lebih baik kau pergi dari sini,
Barong Projo. Sebelum aku menjadi semakin
jengkel dan menurunkan tangan telengas pada-
mu..."
Barong Projo menggeram marah.
Jengkel dan kesal.
Namun bila dia melawan pun dia merasa
tidak mampu untuk mengatasinya. Kakek ini me-
nurutnya begitu tangguh.
Maka dia pun bermaksud mundur.
"Kakek peot... hari ini kau menang. Tetapi
ingat, aku akan datang kembali untuk mengambil
nyawamu!" ancamnya dengan suara menggeram.
"Hehehe... kembalilah... aku pun masih in-
gin melihat sampai di mana kehebatanmu. Tapi
kau pun perlu mengingatnya, lain kali bila kita
bertemu lagi, aku tak akan pernah memberi am-
pun padamu, Barong!"
"Hhh! Kita buktikan nanti, siapa tak akan
pernah memberi ampun!" seru Barong Projo. Lalu
dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu den-
gan membawa sejuta amarah dan dendam yang
siap meledak suatu saat nanti.
Patidina berkata, "Rupanya kita sudah
kembali ke zaman di mana kita masih segar dan
muda dulu..."
Tek Jien pun menyahuti, "Benar, dan kita
tak bisa lagi menghindar dari semua ini. Tadi ada-
lah sebuah permulaan yang akan terjadi pada ki-
ta...."
Mendengar kata-kata kedua sahabatnya,
Mukti pun mendekat.
"Yah... aku pun sebenarnya merasa malu
karena di usia kita yang sudah senja ini masih
suka sok-sok berbuat seperti tadi. Tapi... bukan-
kah ini menandakan kalau kita masih memiliki
kehebatan yang sama seperti dulu?" kata Mukti
sambil memperhatikan kedua sahabatnya.
Patidina terkekeh. "Hehehe... kalau mau ju-
jur, aku pun harus mengakuinya, bahwa gera-
kanku sudah begitu lamban dan tak bertenaga...."
Tek Jien pun berkata, "Sama seperti aku.,
gerakanku pun sudah tidak selincah dulu lagi.
Aku mendadak saja merasa cepat lelah. Dan yang
pasti, aku sudah tahu, kalau aku sebenarnya tak
bisa berbuat banyak seperti dulu lagi... ah, ke-
tuaan ini ternyata mendera kita, bukan?"
"Benar kata-katamu itu, Tek Jien...," kata
Mukti. "Kita memang tidak bisa seperti dulu lagi.
Aku pun tadi merasa sudah sedikit kewalahan
menghadapi permainan tombak yang hebat dari
Barong Projo. Cuma saja, aku menang pengala-
man dalam hal bertarung...."
Ketiga kakek itu terdiam. Dan mereka baru
menyadari, kalau ketuaan mereka yang datang
perlahan-lahan ini ternyata begitu menyiksa seka-
li. Mereka sebenarnya kecewa melihat gerakan-
gerakan yang mereka perlihatkan. Karena mas-
ing-masing merasakan kalau gerakan mereka su-
dah lambat dan tidak lincah seperti dulu lagi.
Sebelum mereka bertemu dengan gerombo-
lan perampok dan berkelahi, mereka tidak me-
nyadari kalau gerakan mereka sudah tidak seperti
dulu lagi. Mungkin hanya naluri mereka saja yang
bisa diandalkan dalam hal berkelahi.
"Sahabat-sahabatku," kata Mukti. "Kita
memang sudah semakin tua saja. Dan aku ingin
sekali di masa tuaku ini bisa tenang dalam men-
gakhiri masa hidup. Dan aku tak ingin lagi terli-
bat dengan segala urusan keduniaan."
"Begitu pula denganku, Mukti," kata Pati-
dina. "Aku berharap, dapat hidup yang sempurna
dan berhasil di masa hayatku ini."
"Keinginan kalian tidak jauh berbeda den-
gan apa yang kuinginkan," kata Tek Jien. "Ya,
ya... di samping itu, sebelum ajal menjemputku,
aku masih ingin melihat murid kita, Ratih Nin-
grum dan suaminya, Madewa Gumilang...."
Mendengar kata-kata Tek Jien, Mukti dan
Patidina seperti diingatkan akan rencana semula
mereka.
Lalu Mukti berkata, "Kalau begitu, seka-
rang juga kita berangkat menuju Perguruan To-
peng Hitam...."
Dan ketiganya pun kembali mengambil pe-
ti-peti yang mereka bawa tadi. Dan ketiganya mu-
lai melangkah lagi, meninggalkan beberapa orang
yang pingsan dan terluka.
Meninggalkan tempat yang baru saja terja-
di perkelahian.
Dan menyongsong senja tak terasa mulai
datang menjelang.
Empat
Malam semakin larut. Pekat. Udara ber-
hembus amat dingin. Membuat tubuh menggigil
dan sampai ke tulang sumsum rasanya. Bunyi
binatang malam bersahut-sahutan. Dan samar-
samar terdengar lolong anjing malam yang me-
nyayat dan menggetarkan hati.
Di sebuah hutan kecil itu, satu sosok tu-
buh berkelebat dengan hebat. Langkahnya cepat.
Bagai sebuah bayangan belaka.
Sinar rembulan yang terhalang oleh pohon-
pohon yang tumbuh di sana, tak bisa mencapai
ke tanah. Membuat suasana hutan itu bertambah
menyeramkan.
Namun sosok tubuh yang berlari itu, tak
menghiraukan suasana yang menyeramkan. Dia
terus saja berlari.
Bila rembulan bisa menembus sedikit saja
pekatnya hutan, maka akan terlihat wajah itu be-
tapa geram. Sinar matanya seakan memancarkan
amarah yang teramat sangat.
Sosok itu adalah Barong Projo.
Setelah dikalahkan oleh Mukti, dan melihat
beberapa anak buahnya pingsan dibuat oleh Pati-
dina dan Tek Jien, Patidina Barong Projo menjadi
amat murka. Dan dia tidak terima perlakuan se-
perti ini.
Barong Projo bermaksud meminta bantuan
pada teman-temannya yang berada di hutan itu.
"Mudah-mudahan Tiga Setan Pemetik
Bunga berada di tempat kediaman mereka malam
ini," katanya sambil terus berlari.
Di hutan itu, terdapat sebuah telaga. Dan
di belakang telaga itu terdapat sebuah gubuk je-
lek yang amat menyeramkan.
Di pintu gubuk itu terdapat dua buah ke-
pala berbentuk tengkorak, dan dua buah dupa
yang mengepulkan asap.
Barong Projo berhenti di depan gubuk itu.
"Hmm... agaknya ketiganya ada di tempat,"
gumamnya yang melihat dupa mengepulkan asap.
Bertanda Tiga Setan Pemetik Bunga tidak ke ma-
na-mana. Bila mereka pergi. Dupa itu tak akan
mengepulkan asap.
Barong Projo bermaksud hendak mengetuk
pintu gubuk itu. Namun urung ketika mendengar
suara kekehan dan tangisan dari dalam.
Dia menjadi mendengus sendiri.
"Sialan! Rupanya tiga kakek itu sedang
asyik berpesta. Ayam-ayam bulat mana lagi yang
sedang mereka siangi ini!"
Dari dalam gubuk itu terdengar suara ke-
kehan disusul dengan suara berkata, "Hehehe...
mengapa tidak sejak tadi kau diam saja, hah?
Mengapa harus berontak? Toh berontak atau pun
tidak sama saja. Aku akan tetap menikmati han-
gatnya tubuhmu, Manis..."
Dan terdengar suara rintihan mirip tangi-
san. Begitu mengibakan.
Terdengar lagi suara yang lain, "Hehehe...
rupanya kau sudah selesai, Polodomo!"
"Kau juga demikian bukan, Pala Tunggal?"
terkekeh Polodomo.
"Aku pun sudah selesai, kawan-kawan,"
terdengar suara yang lain. "Bukan main, di ma-
lam yang dingin ini suasana menjadi teramat
hangat dengan adanya ayam-ayam bulat yang te-
lah membangkitkan birahi kita...."
"Hahaha.... ini semua karena nafsumu
yang sulit untuk kau kekang, Sakung Bukit!" ter-
tawa Polodomo.
Dan di sela tawa Tiga Setan Pemetik Bun-
ga, terdengar isak pilu dari tiga orang gadis yang
baru saja mereka perkosa. Ketiga gadis itu diculik
orang-orang itu saat mandi sore di sungai. Mere-
ka berasal dari desa seberang.
Tiba-tiba terdengar jeritan gadis yang be-
rambut panjang. Lalu disusul dengan kepala ter-
kulai. Rupanya dia tidak kuat menahan penderi-
taan yang telah dialami dan akan dialaminya nan-
ti. Dia tak mau dirinya diejek orang, ditertawakan
orang karena sudah tidak perawan lagi. Bahkan
yang amat memalukan, perawannya digasak
orang dengan buas.
Makanya dia lebih baik memilih mati dari-
pada hidup harus menanggung malu.
Melihat teman mereka telah menjadi mayat
dengan jalan membunuh diri dengan menggigit li-
dahnya sampai putus, kedua temannya pun ber-
buat yang sama.
Mendengar jeritan itu, Tiga Setan Pemetik
Bunga menoleh seketika.
Polodomo mendengus, "Gadis-gadis bodoh!
Dipikirnya enak mati, apalagi dengan jalan mem-
bunuh diri?! Dasar bodoh! Bukankah melayani ki-
ta-kita lebih enak, Kawan-kawan?"
Pala Tunggal dan Sakung Bukit terbahak.
"Betul, betul, itu!" kata Sakung Bukit di se-
la tawanya.
"Mereka rupanya tak pernah merasakan
secara pasti, betapa nikmatnya sorga dunia yang
kita ciptakan...."
"Dan membuat kita terlena, bukan?!" sam-
bung Pala Tunggal.
Ketiganya terbahak lagi.
Di luar gubuk itu, Barong Projo yang men-
dengarkan semua percakapan itu dan telah men-
getahui apa yang telah terjadi di dalam, menden-
gus.
"Dasar, kakek-kakek cabul! Sudah pada
uzur saja masih menghambur-hamburkan nafsu!"
gerutunya. Tetapi kemudian dia terkekeh. "He-
hehe... bukankah bila mereka menjadi orang
baik-baik sekarang, aku tak akan bisa meminta
bantuan mereka untuk membalaskan dendamku
dan merebut tiga buah peti yang dibawa para ka-
kek brengsek itu!"
Tiba-tiba suara terbahak di dalam terhenti.
Disusul dengan suara, "Barong Projo! Sejak tadi
kami menantimu untuk masuk! Mengapa kau
masih berdiam di luar, hah?! Ataukah kau senang
bila tubuh dan wajahmu yang jelek itu digigiti
nyamuk-nyamuk liar, hah!"
Barong Projo mendengus.
Lebih mendengus lagi ketika dia membuka
pintu, tiga orang kakek yang berada di dalam ter-
kekeh.
"Hahahah... bukankah lebih baik sejak tadi
kau masuk ke sini, Barong?!" kata Polodomo. Dia
adalah seorang kakek bertubuh kurus. Di perge-
langan tangannya terdapat banyak gelang berge-
rigi. Wajahnya ditumbuhi janggut putih.
Kembali Barong Projo mendengus.
"Hhh! Apakah kalian mau bila kuganggu
keasyikan kalian, hah?!"
Pala Tunggal terbahak. "Hahaha... jangan
marah seperti itu sahabat. Kau adalah sahabat
kami yang paling baik. Nah, ada kabar apa kau
malam-malam datang ke sini, hah! Dan kulihat
wajahmu begitu kusut! Sepertinya kau tengah
menyimpan suatu perasaan yang menjengkelkan!"
Barong Projo menatap Pala Tunggal. Dia
adalah seorang kakek yang bertubuh gemuk. Ke-
palanya sedikit botak. Sepasang alisnya hitam le-
gam di wajahnya yang tembam.
"Benar katamu, Pala Tunggal," berkata Ba-
rong Projo. Dan sepasang matanya mendadak sa-
ja memancarkan sinar dendam. Sinar mata itu
tak luput dari perhatian ketiga kakek sahabatnya
itu.
"He, ada apakah gerangan?!" tanya Sakung
Bukit. Dia seorang kakek yang tinggi langsing.
Dengan rambut yang terikat ekor kuda.
"Panjang bila kuceritakan seluruhnya."
"Lebih baik demikian, biar kami jelas apa
yang telah menyebabkan kau menjadi begitu," ka-
ta Sakung Bukit lagi.
"Dan yang perlu kalian ingat, warisan itu
pasti amat banyak jumlahnya!" kata Barong Projo.
Ketiga kakek pemetik bunga itu terbahak.
Pala Tunggal lalu membuang mayat tiga
gadis yang membunuh diri dengan jalan menggi-
git lidah masing-masing. Setelah itu dia kembali
lagi ke gubuk itu.
Polodomo mengambil tuak merah yang me-
reka simpan. Lalu sampai pagi mereka meminum
sampai mabuk.
Barong Projo sudah tidak sabar lagi me-
nunggu matahari sepenggalah. Dia sudah teramat
marah, dendam dan sakit hati pada tiga kakek
yang membawa peti yang melabrak dia dan anak
buahnya.
"Tak lama lagi, kalian kakek-kakek sialan,
akan mampus berkalang tanah!" desisnya dengan
suara menggeram.
"Dan kau perlu ingat, kau adalah sahabat
kami yang paling baik dan setia, Barong. Barang-
siapa yang berani mengusikmu, berarti dia juga
mengusik kami. Barang siapa dia menjadi te-
manmu, maka dia juga menjadi teman kami."
Mendengar kata-kata salah seorang dari
Tiga Setan Pemetik Bunga, wajah Barong Projo
berseri-seri. Lalu dia pun menceritakan semua
yang telah menimpa diri dan anak buahnya.
"Hhh....siapa tiga orang kakek itu?!" men-
dengus Polodomo dengan gusar.
"Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya.
Mereka bernama Mukti, Patidina dan Tek Jien...."
sahut Barong Projo.
"Hhh! Apa sebenarnya yang mereka ba-
wa?!" tanya Sakung Bukit. Dia sudah tidak sabar
ingin mencari tiga kakek itu dan membalaskan
dendam sahabatnya.
"Sebenarnya sejak semula kami telah men-
gikuti ketiganya yang masing-masing membawa
sebuah peti. Dari percakapan yang mereka laku-
kan, aku yakin sekali kalau tiga buah peti itu be-
risi emas permata dan berlian. Dan dari percaka-
pan mereka pula aku mendengar, kalau semua
itu adalah harta warisan...."
"Ah, sayang sekali kau tidak bisa merebut
peti-peti itu dari tangan mereka," kata Pala Tung-
gal. "Bila kau berhasil merebut satu saja, maka
kita akan kaya raya!"
"Hahaha... benar, benar itu!" terkekeh Po-
lodomo. "Barong.... ya... ya... kami akan memban-
tumu untuk membalaskan sakit hatimu pada tiga
kakek itu. Dan juga merebut warisan itu dari tan-
gan mereka. Hmmm... kau tahu kira-kira mereka
ke mana?"
"Secara pasti aku tidak tahu! Tapi yang ku-
tahu, mereka tengah menuju ke arah timur Gu-
nung Slamet!"
"Mau apa mereka ke sana?"
"Aku tidak tahu. Barangkali, si ahli waris
berada di sana."
"Bagus kalau begitu. Yang penting kita su-
dah tahu kemana orang-orang itu pergi," kata Pa-
la Tunggal.
"Ya, kita akan hajar ketiga kakek itu!" sa-
hut Polodomo.
"Kalau begitu, malam ini kita bersiap. Se-
hingga besok kita bisa langsung keluar mencari
ketiga kakek itu," kata Sakung Bukit. "Aku sudah
tidak sabar ingin menghajar karena ketiganya be-
rani-beraninya menghajar dan menghancurkan
gerombolan perampok yang dipimpin oleh Barong
Projo, sahabat kita!"
Wajah dan hati Barong Projo menjadi gem-
bira mendengar ucapan dari Tiga Setan Pemetik
Bunga yang bersedia membantunya.
Lima
Tiga kakek yang membawa peti di bahu
masing-masing berhenti melangkah. Dan pan-
dangan mereka lekat pada tembok-tembok tinggi
yang mengelilingi sebuah halaman besar dan
bangunan besar di dalamnya.
"Patidina... apakah kau yakin ini Pergu-
ruan Topeng Hitam?" tanya salah seorang kakek.
"Aku yakin sekali, Mukti. Bukankah kau
tadi mendengarnya sendiri ketika orang yang ku-
tanya itu menjawab?"
"Kalau memang benar ini adanya Pergu-
ruan Topeng Hitam dan dipimpin oleh Madewa
Gumilang serta murid kita Ratih Ningrum, alang-
kah berbahagianya aku...."
"Ya, berarti kita tidak sia-sia menurunkan
ilmu dan melepas Ratih Ningrum pergi bersama
Madewa Gumilang," kata Tek Jien.
Ketiga kakek itu tak lain Mukti, Patidina
dan Tek Jien. Setelah menempuh hampir seming-
gu lamanya sejak perkelahian mereka dengan Ba-
rong Projo pimpinan gerombolan perampok Tom-
bak Seribu, kini ketiga kakek itu telah tiba di de-
pan Perguruan Topeng Hitam.
Senja sudah mulai datang.
Dan angin berhembus dengan sejuk.
Ketiga kakek itu memandangi lagi bangu-
nan besar yang dikelilingi tembok tinggi.
"Apakah kita masuk sekarang?" tanya
Mukti.
"Mengapa tidak?" sambung Patidina.
"Benar, tunggu apa lagi?" kata Tek Jien.
"Bukankah kita butuh istirahat dan makan?"
"Bagaimana bila bangunan yang dikelilingi
tembok tinggi ini bukan Perguruan Topeng Hi-
tam?" tanya Mukti.
"Benar. Bagaimana pula bila bukan dipim-
pin oleh pemuda yang pernah mengalahkan kita
dulu, Madewa Gumilang?" kata Patidina.
"Ya, ya...." Tek Jien mengangguk-angguk.
"Bila kini bukan Perguruan Topeng Hitam, keda-
tangan kita bisa dikatakan dengan menantang.
Dan bila ini Perguruan Topeng Hitam namun bu-
kan dipimpin oleh Madewa Gumilang, keadaan ki-
ta pun tak banyak bedanya."
"Lalu bagaimana?" kata Mukti.
"Apa yang harus kita perbuat?" kata Pati-
dina.
"Betul! Perut ku pun sudah lapar!" kata
Tek Jien.
"Tapi kita harus meyakinkannya terlebih
dulu!" kata Mukti.
"Kita tak bisa berdiam diri di sini saja."
"Ya, kalau kita bengong saja kayak kamb-
ing congek, kita tidak akan pernah tahu bangu-
nan apa yang ada di balik tembok tinggi ini," kata
Patidina.
"Berarti kita masuk bukan?" kata Tek Jien
seolah-olah bertanya.
Ketiga kakek ini rupanya suka sekali per-
cakapan yang seolah-olah satu sama lain masih
ragu. Padahal maksud mereka untuk masuk ke
bangunan itu.
Setelah itu ketiganya pun mulai melangkah
dengan membawa peti di pundak masing-masing.
Di pintu gerbang bangunan itu terdapat
dua orang penjaga yang mengenakan pakaian hi-
tam-hitam dengan bertopeng hitam pula yang
menutupi wajahnya. Di punggung masing-masing
tersampir dua buah pedang bersilangan.
Melihat ketiga kakek itu datang, kedua
penjaga tadi segera mendekat dan bersikap
menghadang.
"Hmm... ada apa, Kakek?" tanya salah seo-
rang.
Mukti memandang kedua sahabatnya.
"Lihat pakaiannya. Hitam-hitam. Dan dia
pun mengenakan topeng berwarna hitam pula,"
katanya.
"Berarti memang ini Perguruan Topeng Hi-
tam," kata Patidina.
"Jangan bergembira dulu, kita tanyai siapa
pemimpin mereka," kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu.
"Ki Sanak... kedatangan kami hanya untuk
sekedar bertanya...."
"Bertanya apa, Kakek?"
"Benarkah ini Perguruan Topeng Hitam?"
"Ya."
"Benarkah perguruan ini dipimpin oleh
Madewa Gumilang?"
"Ya."
"Benarkah dia yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma?"
"Ya... hei, Kakek... untuk apa kau ber-
tanya-tanya seperti itu?"
Tetapi Mukti tidak perduli dengan kehera-
nan penjaga itu. Dia terus bertanya.
"Benarkah istrinya yang bernama Ratih
Ningrum?"
Walau keheranan penjaga itu mengiyakan
pula
"Ya."
"Apakah istrinya memiliki ilmu Sepasang
Pedang Kembar, Keris Tunggal dan Pukulan Tan-
gan Seribu?"
"Ya."
Mendengar jawaban terakhir itu di-
ucapkan, gembira Mukti berpaling pada kedua
sahabatnya.
"Tidak salah lagi. Perguruan ini dipimpin
oleh penjaga kuda majikan kita dulu. Dan istrinya
murid kita!"
"Benar, aku sudah tidak sabar untuk meli-
hatnya!" kata Patidina.
"Cepat kau minta pada kedua penjaga ini,
bahwa kita ingin masuk!" kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu.
"Tolong sampaikan kepada ketua kalian
dan istri beliau, bahwa tiga pengawal Biparsena
datang kepada mereka...." katanya.
Tetapi kedua penjaga itu malah terdiam.
Dari balik topeng yang mereka kenakan, sepasang
mata itu menatap menyelidik.
"Hei, mengapa kalian diam saja?!" tanya
Mukti sedikit heran dan kesal.
Salah seorang berkata dengan nada me-
randek, "Hmm.... tidak semudah itu datang untuk
menemui ketua dan istrinya...."
"Kenapa?"
"Kami tidak mengenal kalian bertiga, Ka-
kek. Dan sepertinya kalian tidak pernah datang
kemari sebelumnya."
"Memang betul! Tapi kami guru dari Ratih
Ningrum!"
"Hmm... kakek banyak orang-orang jahat
yang datang berpura-pura dengan maksud baik
kepada Ketua dan Nyonya Ketua, tapi kenyataan-
nya...."
"Jadi kau menyangka kami orang jahat?!"
potong Mukti jengkel. "Dasar penjaga, Tolol! Cepat
kalian masuk dan katakan kami datang!"
Tetapi kedua penjaga itu tetap berdiam di
tempat. Malah tanpa diduga, keduanya telah me-
loloskan sepasang pedang mereka.
"Tidak mudah untuk menemui Ketua dan
Nyonya Ketua. Dan pergilah kalian dari sini Ka-
kek, sebelum kemarahan kami menjadi-jadi...."
Mukti mendengus. "Dasar penjaga tolol!
Rupanya kau terlalu banyak berprasangka buruk
pada tamu...."
"Karena terlalu banyak pula tamu yang
berpura-pura baik dan mengenal Ketua dan
Nyonya Ketua tetapi sebenarnya dia bermaksud
jahat!" balas penjaga itu tak mau kalah. Suaranya
pun menggeram.
"Hhh! Dan kau pun menyangka kami ada-
lah orang-orang yang bermaksud jahat?!" potong
Tek Jien yang tidak sabaran. Dia jengkel karena
kedua penjaga ini terlalu lamban bergerak.
"Ya! Dan kami minta, kalian sebaiknya per-
gi dari sini!" seru penjaga itu lagi.
"Sialan!" maki ketiga kakek itu berbaren-
gan.
"Bila kalian tidak mau pergi juga dari sini,
jangan salahkan kami bila kami bertindak kejam!"
"Hei, jadi kau benar-benar menyangka ka-
mi orang jahat dan mengusir kami?!" seru Patidi-
na.
"Kupikir, meskipun kalian sudah kakek-
kakek, tetapi telinga kalian masih berfungsi!"
Memerah wajah ketiga kakek itu. Bila dika-
takan tidak berfungsi, berarti mereka budek. Dan
dibilang masih berfungsi, ini pun sudah merupa-
kan satu ejekan.
Mukti berkata sambil menahan geramnya,
"Hmm... kami masih ada tenggang rasa sebenar-
nya. Kami kagum dengan kesiagaan kalian ber-
dua menjaga. Yang amat berhati-hati. Namun
kami tidak suka melihat gerak kalian yang lam-
ban seperti ini... Bila kami bermaksud jahat, ka-
lian sudah kami lumpuhkan, tahu! Mengerti ka-
lian?!"
Bila saja ketiga kakek itu melihat wajah
keduanya yang berada di balik topeng hitam yang
keduanya kenakan, dapat melihat wajah kedua-
nya merah padam.
Gerakan mereka lamban? Hhhh! Keduanya
mendengus.
Keduanya menatap tidak percaya pada ke-
tiga kakek yang nampak tidak sabar menunggu.
Tetapi keduanya pun tak mau membiarkan
ketiganya masuk begitu saja. Karena mereka ta-
hu, betapa banyaknya orang-orang jahat yang iri
dan mempunyai dendam kepada Ketua dan
Nyonya Ketua mereka. Ini menyebabkan mereka
menjadi lebih hati-hati untuk menerima tamu
yang datang.
Apalagi sebagian besar orang-orang jahat
yang datang, selalu berpura-pura baik. Mengenal
ketua dan Nyonya Ketua. Sahabat akrab mereka.
Dan masih banyak lagi cara berpura-pura yang
digunakan oleh orang-orang jahat untuk membu-
nuh Ketua dan Nyonya Ketua mereka.
Itulah sebabnya, keduanya tidak mau
membuat kesalahan dengan resiko yang cukup
tinggi.
Bagi keduanya, lebih baik nyawa mereka
yang lepas dari jasad daripada nyawa Ketua dan
Nyonya yang mereka amat hormati itu.
Pandangan keduanya lekat pada ketiga ka-
kek itu yang nampak sudah jengkel menunggu.
"Cepat kalian katakan pada Ketua kalian,
bahwa kami, Mukti, Patidina dan Tek Jien datang
untuk bertemu," kata Tek Jien yang sudah bosan
untuk berlama-lama di sini.
Begitu pula dengan kedua sahabatnya.
Mereka sudah tidak sabar untuk berjumpa
dengan murid mereka Ratih Ningrum.
Namun kedua penjaga itu tetap pada kepu-
tusannya.
"Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum
kami menjadi marah!"
"Penjaga tolol!" membentak Mukti karena
jengkelnya. "Apakah kau tidak bisa membedakan
orang yang bermaksud jahat dan bermaksud
baik...."
"Pergi dari sini kataku...."
"Setan!"
"Pergi dari sini, atau kalian akan melihat
betapa gerakan kami begitu cepat. Tidak seperti
sangka kalian!" seru penjaga itu dan tiba-tiba saja
dia menyerbu dengan dua buah pedang terhunus,
ke arah Mukti!
Enam
Menerima serangan yang dilancarkan seca-
ra tiba-tiba itu bagi Mukti bukanlah suatu hal
yang menyusahkan. Namun dia terkejut karena
penjaga itu benar-benar membuktikan ucapan-
ucapannya untuk menyerang.
"Dasar tolol! kau hanya membuang waktu
dan tenaga saja?" geramnya seraya memiringkan
tubuhnya. Namun dia pun harus melompat ketika
kedua pedang itu bergerak menyabet ke arah ka-
kinya.
"Tahan seranganku ini, Kakek!" seru penja-
ga itu dengan geram dan terus melancarkan se-
rangannya.
Melihat kawannya sudah menyerang, pen-
jaga yang satunya lagi pun dengan ganas me-
nyerbu ke arah Tek Jien.
"Hei!" seru Tek Jien terkejut dan menghin-
dari dengan jalan bersalto.
Diam-diam penjaga itu kagum melihat ka-
kek itu bergerak demikian cepat dengan memba-
wa beban di pundaknya.
"Mampuslah kau, Kakek!" geramnya yang
juga punya keyakinan yang sama seperti teman-
nya kalau ketiga kakek ini bermaksud jahat.
"Hhh! Kau tak banyak beda dengan te-
manmu itu! Sama-sama tolol!"
Namun bagi kedua penjaga atau murid
Perguruan Topeng Hitam itu, hanya sia-sia saja
serangan yang mereka lakukan terhadap Mukti
dan Tek Jien.
Karena kedua kakek itu bukanlah tandin-
gan mereka.
Sebentar saja keduanya berhasil dilum-
puhkan.
Namun suara ribut-ribut itu memancing
beberapa murid yang lain dan segera mengurung
mereka.
"Runyam! Runyam sudah semuanya!"
menggerutu Patidina sambil menghentak-
hentakkan kakinya ke tanah. Apa yang dilaku-
kannya sebenarnya bisa mengundang tawa. Na-
mun tak ada seorang pun yang tertawa.
Apalagi beberapa murid Perguruan Topeng
Hitam yang baru datang dan terkejut melihat ke-
dua kawan mereka terjatuh di tanah.
"Hhh!" salah seorang mendengus. "Siapa
kalian kakek? Dan maksud apa kalian membuat
onar di sini, hah.!"
Mukti pun mendengus.
"Kami adalah tiga kakek dari desa Bojon-
gronggo. Namaku Mukti, ini kawanku Patidina
dan Tek Jien. Kami datang ingin bertemu dengan
Ketua dan Nyonya Ketua kalian."
"Tidak mudah untuk bertemu dengan me-
reka, Kakek...."
"Katakan, kami adalah guru dari Ratih
Ningrum...."
"Tidak, Kakek... tidak semudah itu...."
"Ada apa ini?!" terdengar suara di belakang
mereka. Nampak seorang laki-laki muda tengah
berjalan mendekat.
Melihat kemunculan orang itu, para murid
Perguruan Topeng Hitam segera menjura.
Lalu salah seorang berkata, "Maafkan kami
Putra Guru... ada tiga orang kakek yang mengaku
sebagai guru dari Nyonya Ketua... mereka me-
maksa ingin masuk dan bertemu dengan Ketua
dan Nyonya Ketua."
Laki-laki muda yang tak lain Pranata Ku-
mala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih
Ningrum, memandang ketiga kakek itu dengan
seksama.
Pranata Kumala dan istrinya. Ambarwati
memang berada di Perguruan Topeng Hitam. Se-
belumnya mereka selalu bertualang. Namun keti-
ka rindu datang mendera pada keduanya untuk
kembali ke rumah, malapetaka pun terjadi.
Pranata dan istrinya tinggal di Laut Sela-
tan. Rumah milik istrinya. Namun di Laut Selatan
terjadi prahara yang amat ganas.
Gerombolan orang-orang jahat pimpinan
Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah datang
memporak-porandakan seisi desa dan pantai laut
Selatan. Dalam satu pertarungan yang sengit,
Pranata bisa dikalahkan oleh Nyai Prodo.
Dia ditangkap dan disiksa.
Bila Madewa Gumilang dan istrinya tidak
datang, mungkin ajal sudah menjemput Pranata
Kumala dan istrinya. Lalu Pranata pun dibawa ke
Perguruan Topeng Hitam untuk diobati (Baca:
Prahara di Laut Selatan).
Kini luka-lukanya telah sembuh.
Pranata tersenyum pada ketiga kakek itu.
"Maafkan para sahabatku, Kakek...." ka-
tanya dengan suara yang sopan.
Mendapat sambutan yang hangat dan so-
pan itu, membuat ketiga kakek itu tersenyum.
"Anak muda... kami datang untuk berjum-
pa dengan Ketua dan Nyonya Ketua dari Pergu-
ruan ini. Hmm... siapakah Anak muda sebenar-
nya?"
"Namaku Pranata Kumala. Aku adalah pu-
tra dari ayah dan ibuku yang bernama Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum."
Wajah ketiga kakek itu berseri.
"Benarkah?" tanya ketiganya serempak.
Pranata mengangguk.
"Benar, kakek... Lalu siapakah kakek seka-
lian ini? Dan mengapa kakek ingin menjumpai
ayah dan ibu?"
"Pranata... pernahkah ibumu menceritakan
kalau dia memiliki tiga orang guru yang bernama
Mukti si Pedang Kembar, Patidina di Keris Tung-
gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu?"
"Pernah, Kek."
"Kau sudah pernah berjumpa dengan keti-
ga guru ibumu itu?"
"Belum, Kek."
"Nah, kamilah tiga guru dari ibumu itu...."
Wajah Pranata Kumala berseri. "Benar-
kah?"
"Maafkan kami, Pranata... tolong panggil
ibumu kemari. Biar semuanya menjadi jelas dan
salah paham yang terjadi antara kami dengan pa-
ra murid di sini tidak berlarut-larut...." kata Muk-
ti.
Pranata Kumala menyuruh salah seorang
murid untuk memanggil ayah dan ibunya.
Tak lama kemudian, muncul dua sosok tu-
buh dari bangunan besar itu. Satu sosok tubuh
mengenakan pakaian berjubah putih dengan se-
nyum arif dan bijaksana. Usianya kira-kira 45 ta-
hun. Yang satu lagi seorang wanita yang nam-
paknya telah matang dalam pengalaman hidup.
Wajahnya masih cantik jelita.
Hati ketiga kakek itu berdebar keras. Mas-
ing-masing menggumamkan kata, "Ratih! Made-
wa!"
Ratih Ningrum dan Madewa sendiri terkejut
melihat ketiga kakek yang datang itu.
Ratih Ningrum berlari dan menjatuhkan di-
ri di hadapan ketiga kakek itu yang menjadi ter-
haru.
"Guru!"
Masing-masing menurunkan peti yang me-
reka bawa.
"Guru... sembah dari muridmu yang telah
lama tidak mengunjungimu...." terdengar suara
Ratih Ningrum yang terdengar terharu.
Mukti berkata, "Bangunlah, Ratih... Kau
tak pantas berbuat seperti ini di hadapan para
muridmu...."
"Tidak Guru... bila Guru belum menerima
sembah saya, saya akan terus berlutut di sini...."
"Sembahmu kami terima, Ratih...."
Perlahan-lahan tubuh Ratih Ningrum
bangkit berdiri. Terlihat kalau matanya berkaca-
kaca. Mereka merasa amat terharu melihat murid
mereka telah menjadi istri dari seorang pendekar
budiman.
Madewa pun mendekat dan menjura, "Se-
lamat datang di Perguruan Topeng Hitam ini,
Guru...."
Ketiga kakek itu semakin terharu. Mereka
masih ingat kalau dulu mereka pernah dikalah-
kan oleh Madewa Gumilang yang masih perjaka
dalam uji tanding di hadapan majikan mereka.
Dan kini pemuda yang telah tumbuh menjadi seo-
rang gagah perkasa memanggil mereka dengan
sebutan Guru, betapa makin terharu dan besar-
nya hati mereka.
"Madewa... tidak kusangka kau telah men-
jadi seorang tokoh yang disegani kawan maupun
lawan...." kata Mukti.
"Aku pun kagum denganmu, Madewa...."
kata Patidina. "Kau telah merawat dan melindungi
murid kami terkasih. Ucapan terima kasih yang
tak terhingga kami ucapkan..."
"Kami tetap merestui kalian sampai kapan
pun...." kata Tek Jien sambil menghapus air ma-
tanya.
"Janganlah Guru berkata demikian," kata
Madewa tersenyum. "Aku tetap Madewa Gumilang
yang dulu..."
"Ah, sifatmu itulah yang sejak dulu kagum
secara diam-diam, Madewa...." kata Mukti. "Kau
selalu merendah dan selalu tidak tinggi hati. Pa-
dahal hampir semua yang kami tanyai selalu
mengenal kau. Namamu agaknya sudah lekat pa-
da mereka sebagai pendekar budiman...."
Madewa tersenyum. "Jangan terlalu ba-
nyak memuji, Guru..." Lalu dia berkata pada para
muridnya, "Kalian berlutut di hadapan Kakek
Guru kalian ini, dan minta maaf apa yang telah
kalian lakukan tadi...."
Serentak semua murid yang ada disana
menjatuhkan diri dan berkata, "Maafkan kami,
Kakek Guru..."
Semakin terharulah hati ketiga kakek itu
menerima semua perlakuan ini.
"Bangunlah kalian semua... bukan aku
yang seharusnya kalian hormati, bukan pula den-
gan kedua sahabatku ini. Tetapi Ketua dan
Nyonya Ketua kalianlah yang harus kalian horma-
ti," kata Tek Jien.
"Mengapa Guru berkata demikian?" tanya
Ratih Ningrum. "Kalian adalah tiga orang Guruku
yang baik hati, dan dengan penuh keikhlasan dan
kerelaan menurunkan ilmu kalian kepada seo-
rang gadis manja dan nakal dulu...."
Ketiga Gurunya tersenyum.
"Agaknya.... kini tak pantas lagi kami yang
dihormatimu Ratih. Tetapi kami yang harus
menghormatimu. Bukankah begitu, Dua saha-
batku?" tanya Mukti sambil berpaling pada Pati-
dina dan Tek Jien.
"Benar, Mukti. Kita yang harus menghor-
matinya...." kata Patidina.
"Dan bukan dia yang menghormati kita,"
kata Tek Jien.
Hari Ratih Ningrum menjadi tercekat men-
dengar kata-kata tiga gurunya.
"Guru... janganlah Guru berkata demikian.
Aku tetaplah murid kalian yang amat setia dan
menghormati kalian... Yang selalu menjunjung
tinggi nama kalian sebagai tiga orang guruku
yang telah susah payah menurunkan ilmu kalian
kepadaku," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga kakek itu kembali menjadi terharu.
Ratih Ningrum tetap seperti dulu, Hanya
bedanya kini tak lagi nampak kemanjaan pada
wajah dan matanya. Kita yang ada hanyalah seo-
rang wanita yang telah banyak memakan pahit
getirnya kehidupan ini.
Kaya akan pengalaman hidup.
Dan kini dia telah menjadi seorang wanita
yang amat dihormati dan disanjung oleh murid-
muridnya. Juga menjadi istri dari seorang pende-
kar kenamaan.
Madewa memanggil Pranata Kumala untuk
mendekat. Lalu katanya. "Guru... kalian kini telah
mempunyai seorang cucu yang telah tumbuh de-
wasa dan menjadi seorang suami..."
Ketiga kakek itu tertawa. Cucu sebesar ini?
Dan sudah beristri pula? Hahaha.... tetapi mereka
gembira melihatnya.
"Di mana istrimu, Pranata?"
"Ada, Kek. Mungkin sedang mandi...."
"Aku sudah selesai mandi, Kakang...." ter-
dengar suara dari belakang mereka. Ambarwati
muncul dengan pakaian yang bagus. Wajahnya
begitu cantik berseri.
Pranata berpaling.
"Ah, ini dia istriku, Kek. Namanya Ambar-
wati.... Rayi.... beri sembah pada tiga Kakek Guru
ini...."
Ambarwati pun menjura.
Kembali keharuan menyelimuti kakek itu.
Mereka tak pernah membayangkan akan menda-
patkan sambutan yang hangat dan penuh keke-
luargaan ini.
"Sebaliknya... kita masuk saja ke dalam,"
kata Madewa Gumilang. "Karena hari sudah ma-
lam...."
Lalu mereka pun masuk ke bangunan be-
sar itu. Peti-peti yang dibawa ketiga kakek itu ta-
di, kini dibawa oleh beberapa murid Perguruan
Topeng Hitam.
Setelah mandi dan makan malam, mereka
kembali bercakap-cakap di ruangan tengah.
"Guru.... sebenarnya, apa yang membawa
Guru hingga datang kemari?" tanya Ratih Nin-
grum.
Ketiga gurunya berpandangan. Dan seperti
sudah disepakati Mukti berkata. "Muridku Ratih
dan Madewa... kedatangan kami dari desa Bojon-
gronggo memang bukan sekedar untuk melepas
rindu pada kalian. Tetapi kami memang datang
dengan maksud tertentu...."
"Apakah gerangan itu, Guru?" tanya Ratih
Ningrum.
"Ratih... apakah kalian tidak melihat, bah-
wa kami sudah tua?"
"Maksud, Guru?"
"Sebelum kau pergi meninggalkan rumah
bersama suamimu ini, kau telah meninggalkan
harta yang berlimpah banyaknya. Harta dari
mendiang ayahmu. Dan karena kau putri tung-
galnya, maka otomatis semuanya menjadi milik-
mu. Harta warisan itu tak bisa dihitung banyak-
nya. Dan karena warisan itu pula yang membawa
kami untuk mencarinya..."
"Aku tidak mengerti, Guru."
"Ratih.... semua itu milikmu. Kami sudah
terlalu tua untuk menjaganya. Kami takut tak bi-
sa lagi berjumpa denganmu dan menjaga warisan
itu...."
"Jadi...."
"Ya, tiga buah peti yang kami bawa berisi
emas, permata dan berlian. Masih banyak harta
yang tersisa di rumahmu. Seperti rumahmu sen-
diri. Kami tak berani menjualnya sebelum men-
dapat perintah darimu...."
"Guru... mengapa Guru menjadi bersikap
seperti ini? Mengapa harus menunggu perintah-
ku? Apa-apaan guru ini? Kalian bertiga adalah
guruku, orang tuaku, orang-orang yang aku hor-
mati. Janganlah guru berkata seperti tadi...." kata
Ratih Ningrum dengan nada kecewa.
"Ratih...." kata Mukti. "Kami bertiga tidak
bermaksud untuk mengecewakanmu. Tetapi perlu
kau ingat, kami adalah tiga pengawal setia ayah-
mu, pembantu ayahmu. Yang secara tidak lang-
sung juga menjadi pengawalmu, pembantumu.
Ingat itu, Ratih...."
"Guru! Apa kalian menduga seperti itu? Ti-
dak, aku tidak pernah menganggap kalian bertiga
sebagai pengawalku, pembantuku. Kalian adalah
Guruku, guru yang amat kuhormati!" suara Ratih
Ningrum terdengar semakin kecewa. Wajahnya
memerah dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Wajah ketiga gurunya menjadi terharu
mendengar kata-kata muridnya itu.
Lalu berkata Patidina, "Muridku... maafkan
kalau kata-kata Mukti yang juga mewakili pera-
saan kami mengecewakanmu. Tapi sudahlah. Kini
kita kembali ke masalah warisan itu...."
"Maaf...." Potong Ratih Ningrum. "Maafkan
aku Guru, kalau menyela kata-katamu. Tidak,
aku tidak akan pernah menerima warisan itu.
Warisan itu sudah tidak kupikirkan lagi. Dan aku
dengan penuh kerelaan telah menyerahkan se-
mua warisan itu kepada Guru bertiga... jadi, jan-
ganlah mengungkit-ungkit soal warisan itu...."
"Ratih... sebelumnya kami mengucapkan
banyak terima kasih padamu. Tapi maafkan kami,
kami tidak bisa menerima warisan itu. Sebab,
pertama kami sudah terlalu tua, hingga kami
bermaksud menyerahkannya padamu, karena
kami kuatir umur kami tidak lama lagi. Kedua,
kami memang tidak butuh warisan itu. Kami ti-
dak butuh harta lagi. Ketiga, kami tidak bermak-
sud untuk memintanya dan tidak merasa berhak
untuk memilikinya. Jadi, kami tidak bisa mene-
rima warisan itu. Dan sekarang, warisan itu telah
kami kembalikan kepadamu...."
"Tidak Guru... aku pun tidak akan mene-
rimanya...." kata Ratih Ningrum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Ratih... kaulah yang berhak. Kaulah satu-
satunya yang mewarisi dan menjadi ahli warisan
dari mendiang ayahmu. Hanya kaulah," kata Tek
Jien.
"Ratih..." kata Mukti. "Terimalah semua
warisan ini. Berbuatlah untuk mengenakan kami
bila kau menganggap kami ini sebagai gurumu.
Kami tak punya niatan sedikit pun untuk menda-
patkan imbalan darimu. Kami datang untuk me-
nyerahkan warisan ini, karena kami merasa su-
dah tua, sudah tidak sanggup lagi untuk menja-
ganya. Kami pun kuatir ajal akan menjemput ka-
mi. Padahal masih ada tugas yang belum kami se-
lesaikan. Kini tugas itu telah tuntas, Ratih... Dan
aku juga kedua gurumu ini amat rindu padamu.
Rindu yang amat mendalam, Ratih Ningrum... Ki-
ni rindu kami telah hilang. Kami bahagia melihat
kau telah tumbuh dan menjadi pendamping seo-
rang pendekar besar, Muridku...."
Suasana kembali menjadi terharu.
Mata Ratih Ningrum semakin berkaca-
kaca. Dia tak bisa melukiskan semua kebaha-
giaan, keharuan dan rasa hormatnya pada tiga
gurunya ini.
Dan rasa cintanya semakin mendalam.
Tiba-tiba dia bersujud di hadapan keti-
ganya.
"Guru!"
Ketiga gurunya tersenyum menahan haru.
Mukti berkata, "Ratih... janganlah kau lagi
berbuat seperti ini kepada kami... Kau telah men-
jadi seorang wanita yang terhormat dan dihorma-
ti... Apa nanti kata murid-muridmu bila melihat
kau bersujud kembali kepada kami?"
"Guru... aku tidak suka mendengar kata-
kata Guru ini... kalian adalah tetap guruku yang
amat kuhormati. Aku tidak perduli dengan omon-
gan apa yang terjadi di antara murid-muridku.
Tidak Guru, karena aku amat mencintai Guru se-
kalian.... Kalianlah yang telah berbaik hati, yang
telah membentukku hingga aku menjadi sekarang
ini...."
Tek Jien berkata, "Ratih... muridku... me-
mang, kami adalah gurumu, orang tuamu, tetapi
kini kau telah tumbuh menjadi wanita yang ter-
hormat. Dan yang perlu kau ingat lagi, kami
hanya sebatas seorang guru saja. Bila dikatakan
orang tua, itu karena kami menganggapmu seba-
gai anak kami. Dan kami adalah tetap pemban-
tumu, Ratih...."
"Tidak, tidak... Guru jangan berkata demi-
kian!" kata Ratih Ningrum yang masih bersujud di
hadapan ketiganya. "Aku tidak suka mendengar
kata-kata itu. Bila kalian masih mengatakannya
lagi, berarti kalian tidak menganggapku sebagai
murid kalian!"
Kembali keharuan menyelimuti tiga kakek
itu.
Lalu terdengar desahan nafas panjang Pa-
tidina.
"Ratih kau tetaplah murid kami... ya, kami
terima sembahmu ini... Kami amat bahagia dan
bangga memiliki seorang murid sepertimu, Mu-
ridku... Bangunlah...."
Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari
bersujudnya.
Matanya sembab karena berkaca-kaca.
"Ya, kami bertiga adalah gurumu... dan
kau adalah murid kami," kata Patidina.
Ratih Ningrum tersenyum.
Madewa Gumilang yang sejak tadi terdiam
karena menahan haru berkata, "Sebaiknya, Guru
sekalian beristirahatlah.... Tentunya kalian lelah
setelah lama berhari-hari berjalan...."
"Benar, Madewa... ya, kami hendak beristi-
rahat," kata Mukti. "Selamat malam...."
Dia pun bangkit, disusul oleh Patidina dan
Tek Jien.
Sepeninggal tiga kakek itu, Madewa me-
rangkul istrinya.
"Aku bangga padamu, Ratih...." desisnya
seraya mengecup kening istrinya.
Istrinya hanya tersenyum saja.
Tujuh
Empat sosok tubuh yang menunggang ku-
da itu menggebrak lari kuda mereka kencang-
kencang. Mereka adalah Barong Projo dan Tiga
Setan Pemetik Bunga.
"Kau yakin, Barong... kalau tiga orang itu
pergi ke arah timur?" bertanya Polodomo.
"Ya! Aku yakin sekali, karena aku menden-
gar percakapan mereka!" sahut Barong Projo.
Mereka sudah dua hari dua malam berku-
da dengan cepat. Hanya dua kali beristirahat un-
tuk makan. Bagi mereka lebih cepat lebih baik,
karena bila tidak sudah keduluan oleh orang-
orang yang lain.
Melewati sebuah hutan, keempatnya terus
saja memacu.
Tiba-tiba terdengar kekehan yang panjang
yang menggema ke seluruh hutan.
Keempatnya menghentikan lari kuda mere-
ka.
Polodomo mendesis, "Roro Kunti!"
Barong Projo menoleh ke arahnya. "Siapa
dia, Polodomo?" tanyanya.
"Roro Kunti adalah setan betina saha-
batku!" sahut Polodomo tanpa menoleh pada Ba-
rong Projo. Lalu dia berteriak, suaranya mengge-
ma ke seluruh hutan, "Roro Kunti... keluarlah
kau! Mengapa menyambut sahabatmu ini dengan
jalan bersembunyi, hah?!"
"Hihihi... Polodomo... aku tahu kau tidak
sedang datang untuk menyambangiku! Nah, ka-
takan dulu ada perlu apa kau dengan teman-
temanmu itu seperti tergesa-gesa, hah?"
"Keluarlah dulu!"
"Kau tahu sifatku, bukan?!"
"Baik! Roro Kunti... ketahuilah... aku den-
gan tiga temanku ini sedang memburu warisan
yang besar!"
"Hihihi... warisan dari mana, Polodomo?!
Yang kutahu... kau tak punya apa-apa, Kakek!"
Dipanggil dengan sebutan kakek membuat
wajah Polodomo memerah.
"Baik! Kami tengah memburu harta waris
yang dibawa oleh tiga orang kakek!"
"Banyakkah jumlahnya?!"
"Luar biasa banyaknya!"
"Apakah aku akan kebagian juga?!"
"Bila kau mau ikut serta!"
"Bagaimana bila aku menyatakan diri un-
tuk ikut?!" terkikik Roro Kunti.
"Itu lebih baik!"
"Bagaimana dengan teman-temanmu?!"
"Semua ini urusanku!"
"Tetapi kulihat wajah mereka begitu tam-
pak dan tak bersahabat!"
Mendengar kata-kata Roro Kunti itu, wajah
Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo
memerah.
Tetapi mereka diam saja. Karena Roro Kun-
ti sahabat dari teman mereka, Polodomo.
"Mereka adalah sahabat yang baik, Roro!"
"Bisakah kupegang ucapanmu?!"
"Jangan kuatir!"
"Aku kuatir mereka akan bernafsu meli-
hatku!"
"Hahaha... siapa pun akan nafsu melihat-
mu, Roro!"
"Apakah aku harus keluar sekarang?!"
"Ya, keluarlah kau!"
Tiba-tiba sebuah sosok berbaju putih tipis
menerawang melompat entah dari mana dan telah
hinggap di hadapan orang-orang itu.
Roro Kunti terkekeh sambil mengipas-
ngipas wajahnya dengan kipas yang berwarna pu-
tih dengan bunga mawar merah di tengahnya.
Mata Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Ba-
rong Projo seakan mau melompat keluar melihat
sosok tubuh yang berdiri di hadapan mereka.
Sosok itu mengenakan pakaian tipis yang
menerawang. Yang memperlihatkan dua buah ca-
rik kain berwarna merah yang menutupi bagian
dadanya dan pangkal pahanya. Wajah sosok itu
demikian cantik jelita, bagai dewi yang baru turun
dari kahyangan.
Ketiganya sampai lupa menutup kembali
mulut mereka yang terbuka.
Polodomo terkekeh melihat ketiga kawan-
nya menjadi terbengong demikian.
"Selamat bertemu lagi, Roro...."
"Hihihi.... selamat bertemu pula, Polodo-
mo...." terkikik Roro Kunti. Bau wangi yang men-
guar dari tubuhnya begitu semerbak.
"Kau semakin cantik dan mengundang bi-
rahi saja, Roro...." kata Polodomo yang tak bisa
menyembunyikan gairahnya.
"Hihihi... memang, aku pun merasakan hal
itu. Dan mengapa tiga temanmu itu terbengong,
hah? Apakah mulut mereka keram hingga tak bi-
sa menutup kembali.... hihihi..." Roro Kunti men-
gikik genit.
Polodomo pun terbahak.
Membuat ketiga kawan mereka menjadi
sadar kalau mereka lupa menutup mulut.
Dan mau tak mau wajah mereka pun me-
merah.
Polodomo memperkenalkan Roro Kunti ke-
pada tiga temannya.
"Hmm... sebenarnya kau hendak ke mana,
hah?!"
"Kami sedang menuju ke arah timur Gu-
nung Slamet."
"Mengapa ke sana?"
"Karena tiga kakek yang membawa warisan
itu sedang mengarah ke sana...."
"Jadi sekarang aku boleh ikut?"
"Dengan senang hati. Kau pilih hendak
menunggang kuda yang mana?"
"Hihihi... sudah tentu bukan kudamu, Ka-
kek. Juga bukan kuda-kuda di kedua temanmu
yang juga seorang kakek-kakek. Tetapi.... hihi-
hi..." Roro Kunti mengerling ke arah Barong Projo.
Barong Projo menjadi kembang-kempis da-
danya. Dan debar jantungnya semakin kuat.
Polodomo terbahak melihat siapa yang di-
incar oleh Roro Kunti.
"Silahkan bila kuda itu yang kau pilih?"
"Kau tahu saja keinginanku, Polodomo...."
terkikik kembali Roro Kunti.
Dan dengan sekali melompat dia sudah
hingga di belakang Barong Projo. Yang menjadi
kikuk dan deg-degan. Bau wangi yang menguar
dari tubuh itu begitu memabukkan.
Belum lagi ketiga sepasang buah dada mi-
lik Roro Kunti menempel di punggungnya. Sema-
kin membuatnya ‘Senin-Kamis’.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Polodo-
mo.
Barong Projo menyahut dengan nafas se-
tengah mendesah.
"Ya! Lebih cepat lebih baik!"
Lalu keempat kuda itu menggebrak berlari.
Barong Projo menjadi setengah grogi. Na-
mun lebih cepat dia melarikan kudanya, lebih
erat pegangan tangan Roro Kunti di pinggangnya.
Dan semakin membuatnya keenakan.
Di wajah Pala Tunggal dan Sakung Bukit
terpancar sinar iri yang luar biasa.
Ketika senja datang, keempat penunggang
kuda itu tiba di sebuah desa. Mereka turun di de-
pan sebuah kedai untuk mengisi perut.
Kehadiran mereka sudah tentu menarik
perhatian para pengunjung kedai itu. Terutama
Roro Kunti yang berpakaian amat merangsang.
Di kedai itu, ada enam orang laki-laki ber-
wajah seram yang sedang makan. Mereka adalah
orang-orang yang suka mengacau seisi desa.
Melihat kehadiran orang-orang itu teruta-
ma Roro Kunti, mereka menjadi terbahak-bahak.
"Bukan main... betapa cantiknya wanita
itu...."
"Ya, aku pun ingin sekali melewati malam
nanti bersamanya."
"Sudah tentu aku pun demikian."
"Hei, mengapa kalian hanya berbicara saja?
Mengapa tidak kita datangi saja mereka?"
"Betul! Aku pun sudah tidak sabar untuk
melihat bagian tubuhnya lebih dekat."
"Ini merupakan anugerah dari Tuhan un-
tuk kita."
Keenam orang itu terbahak-bahak.
Dan serentak keenamnya bangkit meng-
hampiri orang-orang yang baru datang itu.
Mereka terkekeh-kekeh di hadapan kelima
orang yang sedang menikmati hidangan itu.
"Kau lihat, bukan main.... bagian tubuhnya
begitu indah sekali!"
"Betul! Aku ingin sekali menyelusup ke da-
da yang montok itu!"
"Hahahah.. mengapa tidak kau lakukan sa-
ja, Sima?"
Yang dipanggil dengan Sima tadi terbahak.
Lalu tanpa merasa malu atau pun risih dia men-
gulurkan tangannya ke arah dada Roro Kunti.
Roro Kunti diam saja ketika dadanya diraba.
"Bukan main, kenyal sekali!" tertawa Sima.
"Hahaha... beruntung nasibmu, Sima...."
"Apakah kau ingin merasakannya, Ireng
Guruh?"
"Bukan hanya merasakannya, tetapi me-
remasnya!"
"Silahkan, silahkan!" Sima terbahak dan
melepas rabaannya.
Ireng Guruh mendekat.
Ganti dia yang memegang dada itu.
Roro Kunti tetap diam saja.
Tetapi ketika Ireng Guruh meremas da-
danya, dengan satu gerakan yang amat cepat, ta-
hu-tahu sumpit yang dipegangnya telah masuk ke
salah satu lobang hidung Ireng Guruh. Yang lang-
sung menjerit kesakitan.
Hidungnya berdarah.
Roro Kunti tetap tak acuh menikmati ma-
kannya, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Begitu pula dengan Tiga Setan Pemetik
Bunga.
Barong Projo sendiri dengan nikmatnya
meneguk araknya.
Namun lain halnya dengan teman-teman
Ireng Guruh. Melihat kawan mereka dihantam
seperti itu, dengan satu gerakan yang amat cepat,
membuat mereka menjadi murka.
Sima menggebrak meja yang sedang dipa-
kai sebagai alas mereka untuk makan.
"Manusia-manusia anjing! Jangan jual la-
gak di sini?!" geramnya.
Para pengunjung yang sudah melihat gela-
gat yang tidak baik, satu per satu beranjak me-
ninggalkan tempat itu. Mereka tak mau jadi sasa-
ran orang-orang ganas itu.
Mereka juga tahu siapa Ireng Guruh dan
teman-temannya. Orang-orang yang suka mem-
buat onar.
Pemilik kedai itu sudah tegang, sekali. Na-
mun dia tak berani berbuat apa-apa.
Hanya memperhatikan saja dari tempat-
nya.
Dibentak seperti itu, Barong Projo berdiri.
Seolah tidak melihat adanya orang, dia mengge-
rakkan kedua tangannya ke arah kiri dan kanan.
"Duk!"
Kepalan tangan kanannya mengenai dada
yang membentak tadi. Membuat Sima terhuyung
ke belakang.
"Oh, maaf!" kata Barong Projo. "Maafkan
aku, Ki Sanak... aku tidak melihat Kisanak berdiri
di sini...."
Sima yang sudah menguasai keseimban-
gannya menggeram murka. Lalu tanpa banyak
cakap lagi dia menyerang Barong Projo. Sudah
tentu Barong Projo tak mau dirinya dijadikan sa-
saran serangan dari Sima.
Dia tadi memang sengaja melakukannya.
Menghadapi satu pukulan yang dilancar-
kan oleh Sima, Barong Projo keluar dari duduk-
nya dan menendang kursi ke arah Sima.
"Setan alas!" Sima melompati sambil mem-
berikan satu tendangan ke arah dada Barong Pro-
jo.
Barong Projo menangkis dengan tangannya.
Sima merasakan kakinya membentur tem-
bok yang keras. Dan dia pun bersalto ke belakang
untuk menjaga keseimbangannya.
Ireng Guruh yang masih berdarah hidung-
nya pun langsung menyerang ke arah Roro Kunti.
"Perempuan setan, kubunuh kau atas per-
lakuanmu ini padaku!"
Roro Kunti pun tak mau dirinya dijadikan
sasaran pukulan Ireng Guruh. Masih dengan tu-
buh terduduk, dia menarik kepalanya ke belakang.
Pukulan itu lewat beberapa senti di wajah-
nya. Dan tangannya segera bergerak ke kanan, ke
arah perut Ireng Guruh.
"Des!"
Pukulan itu dengan telak mengenai perut
Ireng Guruh yang langsung mengaduh.
Teman-temannya yang lain pun menjadi
murka. Mereka langsung menyerang orang-orang
itu.
Tiga Setan Pemetik Bunga pun menjadi sa-
saran serangan-serangan mereka.
Serentak di kedai itu terjadi perkelahian
yang seru. Polodomo menghadapi dua orang. Yang
lain berkelahi satu lawan satu.
Namun kali ini gerombolan Ireng Guruh
harus kena batunya. Selama ini di desa itu me-
mang belum ada yang berani menentang mereka
dan mengalahkan mereka.
Lalu dengan gerakan yang tak banyak
membuang tenaga, satu per satu menjatuhkan
lawannya hingga mampus.
Tinggal Ireng Guruh kini sendiri yang lang-
sung menjadi pias wajahnya.
Roro Kunti terkikik.
Dia mengipas-ngipas wajahnya.
"Sekarang, apa lagi yang hendak kau per-
buat hah. Orang gagah?!" Meskipun menyadari
dirinya tak akan lolos dan tak akan mungkin me-
nang untuk melawan, Ireng Guruh mendengus
dengan berani.
"Bila kalian memang jantan, lawan aku sa-
tu per satu!" serunya.
"Hihihi.... melawanmu? Tak sulit, Orang
Gagah? Malah lebih sulit membalikkan telapak
tangan!" terkikik kembali Roro Kunti.
Mendengar kata-kata itu wajah Ireng Gu-
ruh semakin pias. Dia yakin memang tak akan
menang melawan mereka, meskipun satu persa-
tu.
Namun dia tidak mau orang-orang itu tahu dirinya
ketakutan.
Maka dia membentak lagi, "Sombong, kau
perempuan iblis! Majulah bila kau benar-benar
berani melawanku, hah?!"
"Hihihi... sudah kukatakan tadi, melawan-
mu lebih sulit membalikkan telapak tangan."
"Maju! Bila kau ingin membuktikannya!"
"Mengapa tidak kau sendiri yang menye-
rangku, hah?!" tersenyum menebar rangsangan
Roro Kunti.
"Setan alas! Tahan serangan!" sambil
menggeram Ireng Guruh menyerang dengan ga-
nas.
Namun Roro Kunti dengan masing mengi-
pas-ngipas menghindari setiap serangan itu.
"Hihihi... mana bukti omonganmu itu,
Orang Gagah?!"
Semakin jengkel dan marah Ireng Guruh.
Dia kembali menyerang dengan mengerahkan se-
genap kemampuannya. Namun sia-sia saja perla-
wanannya.
Roro Kunti terkikik sambil mengipas dan
bersalto ke belakang, hinggap pada tempatnya
semula.
"Hihihi.... inikah bukti yang kau ingin per-
lihatkan?" kikiknya.
Ireng Guruh yang megap-megap menden-
gus.
"Kubunuh kau nanti!"
"Mengapa pakai nanti?"
Merasa dirinya benar-benar tak bisa lolos
lagi, Ireng Guruh mencoba menggertak, "Perem-
puan iblis... mengapa tidak kau yang menyerang-
ku, hah?! Aku pun ingin melihat apakah kau bisa
menjatuhkan aku? Atau... kau hanya besar mulut
saja, sama besarnya dengan buah dadamu itu!"
Wajah Roro Kunti memerah.
"Anjing kurap! Kau lihat seranganku ini!"
geramnya seraya menyerbu.
Kipasnya tertutup. Dan dijadikannya senja-
ta untuk menotok. Tubuhnya berkelebat dengan
cepat. Setiap kali berkelebat, menguar bau harum
dari tubuhnya.
Sebisanya Ireng Guruh menghindari seran-
gan-serangan yang dilancarkan dengan cepat itu.
Namun pertahanannya sia-sia belaka.
Satu gedoran telapak tangan kiri Roro Kun-
ti menghantam dadanya.
"Dees!"
Membuat tubuhnya terhuyung ke bela-
kang. Sempoyongan.
Belum lagi Ireng Gurah dapat menguasai
keseimbangannya, Roro Kunti sudah maju den-
gan deras dengan satu pukulan yang siap dihan-
tamkan kembali.
"Tahan!" terdengar seruan itu.
Membuat Roro Kunti menghentikan seran-
gannya. Dan berpaling pada Polodomo dengan
jengkel.
"Mengapa kau menyuruhku menahan?!"
serunya.
Polodomo tersenyum.
"Sabar, Roro..."
"Tetapi dia telah menghinaku, Polo...."
"Sabar, Roro... dia bisa kita jadikan saha-
bat."
"Apa maksudmu?"
"Orang seperti dialah yang menjadi sahabat
kita."
"Aku tidak mengerti."
"Orang ini begitu gagah berani. Meskipun
maut sudah diambang pintu. Aku membutuhkan
orang-orang seperti itu."
"Aku...."
"Biar kuurus semuanya, Roro...." kata Po-
lodomo tersenyum dan berusaha menenangkan
Roro Kunti yang menggeram marah.
Roro Kunti menoleh pada Ireng Guruh yang
nampak kesakitan. Dia mendengus.
"Hhh! Bila bukan karena perintah saha-
batku ini, sudah kucabut nyawamu, manusia anj-
ing!" makinya.
Ireng Guruh hanya terdiam. Rasa ngilu
masih menjalar di seluruh tubuhnya akibat han-
taman telapak tangan kiri dari Roro Kunti tadi.
Polodomo menghampirinya.
"Ulurkan kedua tanganmu," katanya pada
Ireng Guruh.
Laki-laki berwajah seram yang merasa su-
dah tak bisa berbuat apa-apa lagi mengulurkan
tangannya, begitu menurut sekali.
Polodomo menindih telapak tangan itu
dengan telapak tangannya.
Lalu dialirkannya tenaga dalamnya melalui
telapak tangannya ke telapak tangan Ireng Gu-
ruh.
Ireng Guruh merasakan hawa panas ma-
suk ke dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan di-
rasakannya rasa ngilu yang masuk hingga ke tu-
lang sumsumnya, perlahan-lahan menghilang.
Setelah itu Polodomo tersenyum.
"Nah.... siapa namamu?" tanyanya.
"Namaku Ireng Guruh...."
"Ireng.... nyawamu sudah kuselamatkan.
Dan kau harus berterima kasih padaku."
"Terima kasih, Ki Sanak."
"Namaku Polodomo. Itu Roro Kunti, Pala
Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo. Kini se-
karang kita teman."
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah menyelamatkan nyawamu, dan
kau harus menurut pada semua kata-kataku."
"Aku belum mengerti."
"Baik, akan kujelaskan. Kini kau adalah
salah seorang anggota kami. Sahabat kami. Dan
kau harus menurut semua perintah kami. Mengi-
kuti semua yang kami lakukan."
"Berarti, mulai hari ini aku adalah bagian
dari kalian?" tanya Ireng Guruh.
"Benar! Kau adalah bagian dari kami."
"Baik, kalau begitu adanya... aku akan
menurut pada kalian dan bergabung dengan ka-
lian."
"Bagus! Mari kita lanjutkan perjalanan la-
gi!"
Lalu orang-orang itu pun segera mening-
galkan kedai yang porak poranda tanpa mem-
bayar sepeser pun.
Pemilik kedai itu hanya bisa menghela na-
fas dan mengelus dada. Tetapi dia tak berani un-
tuk berbuat apa-apa. Karena dia masih sayang
terhadap nyawanya.
Delapan
Tiga kakek guru dari Ratih Ningrum sedang
memperhatikan para murid-murid Perguruan To-
peng Hitam yang pagi itu sedang berlatih.
Mereka kagum melihat kedisiplinan dan
ketaatan para murid-murid Perguruan Topeng Hi-
tam. Dan mereka yakin ini berkat peraturan dan
rasa kekeluargaan yang diterapkan oleh Madewa
Gumilang.
Dalam kesempatan itu, Mukti pun menga-
jarkan beberapa jurus pedang yang dimilikinya.
Begitu pula dengan Patidina. Dia merubah se-
buah pedang menjadi jurus keris. Setelah hampir
seminggu berada di Perguruan Topeng Hitam, su-
atu malam ketiganya pun bertemu kembali den-
gan Madewa Gumilang dan istrinya di ruangan
tengah.
Di sana hadir pula Pranata Kumala dan is-
trinya, Ambarwati.
"Ada apa gerangan Guru, hingga Guru
meminta kami untuk bertemu?" tanya Ratih Nin-
grum.
Ketiga gurunya nampak mendesah pan-
jang.
Lalu terdengar suara Mukti berkata, "Mu-
ridku... tugas kami telah selesai... warisan itu te-
lah kami serahkan kepadamu. Maka.... rasanya
kami sungkan selaku tamu untuk berlama-lama
di sini..."
"Apa maksud, Guru?"
"Kami ingin segera pamit, Muridku...." kata
Patidina.
"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut.
"Muridku...." kata Tek Jien. "Kami di sini
hanyalah seorang tamu. Dan kami menjadi malu
bila terlalu lama berada di sini. Kau mengerti,
Muridku?"
"Guru... mengapa kalian menduga seperti
itu. Di sini adalah rumah kalian juga. Tempat
tinggal kalian juga. Di sini tidak ada kata-kata se-
bagai tamu dan tuan rumah. Tidak ada sama se-
kali"
"Kami mengerti, Ratih...." kata Mukti. "Te-
tapi kami harus segera pamit."
"Mengapa, Guru?"
"Kami ingin kembali ke asal kami masing-
masing. Kami merasa masing-masing di antara
kami sudah seharusnya kembali ke kampung ha-
laman sendiri-sendiri...."
"Tidak bisakah Guru menahan keinginan
itu?"
"Sudah hampir seminggu kami berada di
sini, Ratih...." kata Patidina.
"Seminggu, sebulan atau pun seumur hi-
dup. Aku tak pernah menganggap kalian sebagai
tamu di sini. Demi Tuhan, aku tak pernah men-
ganggap kalian seperti itu...."
"Benar, Guru..." kata Madewa Gumilang
yang sejak tadi dia saja. Dan merasa tidak enak
bila tidak berkata. "Apa yang dikatakan oleh istri-
ku memang benar. Kami semua tak pernah men-
ganggap kalian sebagai tamu. Malah kami meng-
harapkan kalian untuk selamanya menetap di si-
ni...."
"Iya, Kakek...." kata Pranata Kumala. "Se-
jak kedatangan kakek guru bertiga sekalian di si-
ni, banyak sekali ilmu yang kudapatkan. Bukan-
kah begitu, Rayi?" tanyanya pada isterinya.
Ambarwati mengangguk.
"Benar kakek guru, apa yang dikatakan
Kakang Pranata memang benar adanya...."
Ketiga kakek itu menjadi terharu menden-
gar semua kata-kata itu. Namun mereka tetap
berkeinginan untuk kembali ke kampung hala-
man masing-masing.
Ingin menghabiskan masa tua mereka di
sana. Dan mati di tanah kelahiran.
"Kalian semua memang orang-orang bijak-
sana dan baik," kata Mukti. "Aku pribadi merasa
bersyukur sekali atas semua ini. Ternyata aku
dan kedua sahabatku ini memiliki anak dan cucu
yang begitu baik sekali...."
"Kami pun bangga dengan sikap kalian se-
mua," kata Patidina.
"Namun... kami tetap berkeinginan untuk
kembali ke kampung halaman... karena kami se-
rasa usia kami sudah diambang pintu maut...."
kata Tek Jien.
Orang-orang yang hadir di situ menjadi
terharu pula. Diam-diam mereka pun menjadi
rindu dengan tanah kelahiran mereka.
Dan mereka tak bisa lagi untuk mencegah
ketiga kakek itu untuk meninggalkan Perguruan
Topeng Hitam dan kembali ke tanah kelahiran
mereka.
"Kapan Guru akan meninggalkan kami?"
tanya Ratih Ningrum dengan mata berkaca-kaca.
Dia memang tak perduli menangis di hadapan
suami, putra dan anak menantunya. Dia teramat
mencintai ketiga kakek ini. Teramat menyayangi
mereka.
"Besok pagi, setelah matahari sepenggalah
kami sudah harus meninggalkan tempat ini," kata
Mukti.
"Tidak bisakah ditunda barang sehari lagi?"
pinta Ratih Ningrum penuh harap.
"Maafkan kami, Muridku... kami merasa
sudah cukup untuk melepas rindu padamu...."
Ratih Ningrum hanya terdiam mendengar
kata-kata itu.
***
Keesokan paginya, di halaman Perguruan
Topeng Hitam nampak seluruh murid perguruan
itu berbaris di halaman. Mereka tidak sedang ber-
siap untuk berlatih. Tetapi mereka tengah berdiri
tegap untuk melepas kepergian tiga kakek guru
itu.
Mata Ratih Ningrum berkaca-kaca. Dia tak
bisa menahan tangisnya.
Madewa mendekapnya dengan penuh kasih
sayang.
Pranata Kumala juga mendekap istrinya
yang hanya terisak pelan.
Tiga kakek itu telah bersiap untuk segera
meninggalkan tempat itu.
Mukti berkata, "Janganlah kalian sekali-
kali menganggap kepergian kami ini karena kami
tidak mencintai kalian. Tidak sama sekali. Kami
teramat sangat mencintai kalian. Kami amat me-
nyayangi kalian. Namun kami memang harus
pergi meninggalkan kalian...."
"Dan kenanglah kami yang tua ini," kata
Patidina.
"Mungkin bila ada satu kesempatan yang
entah kapan akan datang, kami akan kembali un-
tuk berjumpa dengan kalian," kata Tek Jien.
Ketiga kakek itu pun tak bisa menahan ra-
sa harunya. Mata mereka pun berkaca-kaca.
"Guru...." desis Ratih Ningrum seraya me-
lepaskan diri dari rangkulan suaminya. Dia berla-
ri dan menjatuhkan diri di hadapan ketiga gu-
runya. "Maafkan aku, bila aku mempunyai salah
pada kalian...."
Kembali terlihat keharuan menyelimuti ke-
tiganya.
Mukti mengusap kepala Ratih Ningrum.
"Muridku... kau harus tegar. Kau telah
menjadi orang terhormat dan dihormati. Jangan-
lah kau bersikap cengeng. Kau bisa menjaga di-
rimu. Dan kami pun yakin, suamimu akan men-
jaga dirimu pula. Begitu pula dengan putra dan
anak menantumu. Banyak orang-orang yang
mencintaimu di sini. Muridku.... Jadi, janganlah
kau bersikap cengeng seperti ini...."
"Benar, Muridku... kami semua mencin-
taimu... Kami tak ingin kau terbelenggu oleh rasa
hormatmu kepada kami... Tidak, Muridku... kami
hanya ingin kau hidup berbahagia dan damai se-
lamanya...." kata Patidina.
"Ya.... Ratih Ningrum, Muridku... melihat
keadaan kau yang sudah berbahagia seperti ini
kami sudah merasa teramat gembira sekali. Dan
ini merupakan pengobatan hati kami yang rindu
padamu...." kata Tek Jien.
"Yah... pagi ini, kami akan segera berang-
kat meninggalkan perguruan ini. Meninggalkan
kalian semua...." kata Mukti. "Selamat tinggal se-
mua!"
Sesudah berkata begitu, dia pun memba-
likkan tubuhnya dengan segera karena tak mau
melihat Ratih Ningrum menangis. Mukti merasa-
kan muridnya itu masih seperti yang dulu. Selalu
manja dan bila keinginannya tidak dipenuhi maka
dia akan ngambek dan menangis.
Mukti tak mau melihat hal itu lagi. Melihat
kawannya sudah melangkah, Patidina dan Tek
Jien pun menyusul.
Angin pagi mengantar kepergian mereka.
Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari
berlututnya. Lalu diucapnya pelan pada angin,
"Guru... selamat jalan...."
Sembilan
Setelah melangkah setengah hari, ketiga
kakek itu beristirahat di sebuah hutan kecil. Me-
reka pun sebenarnya merasa berat untuk me-
ninggalkan murid mereka. Namun mau tak mau
mereka harus pergi meninggalkannya.
"Mau rasanya aku kembali kepada mere-
ka," kata Mukti.
"Begitu pula aku," kata Patidina. "Ingin pu-
la rasanya aku mati di antara mereka...."
"Yah... agar ada makam kita di tanah Per-
guruan Topeng Hitam...." kata Tek Jien.
Tiba-tiba, amat tiba-tiba, di hadapan mere-
ka telah berdiri enam sosok tubuh. Mereka terdiri
dari tiga orang kakek, dua laki-laki setengah baya
dan seorang wanita yang berwajah rupawan.
Ketiga kakek itu segera bangkit berdiri.
Dan kening mereka berkerut ketika men-
genali salah seorang dari yang berdiri di hadapan
mereka itu.
Dari rasa kaget itu berubah menjadi terta-
wa.
Mukti berkata, "Hahaha... rupanya kau Ba-
rong Projo, bukan?"
Yang berdiri dengan sikap tak bersahabat
itu memang Barong Projo, Tiga Setan Pemetik
Bunga, Roro Dewi dan Ireng Guruh yang menjadi
salah seorang sahabat mereka sekarang.
Barong Projo mendengus.
"Hhhh! Kakek peot, kini kita bertemu kem-
bali, bukan? Aku datang untuk membalas sakit
hatiku dan mengambil peti-peti yang kalian ba-
wa!"
"Peti-peti? Hahaha... peti-peti yang mana,
Barong? Kau mengigau barangkali!"
"Kakek kurapan! Di mana peti-peti itu kau
sembunyikan, hah?!" bentak Barong Projo yang
melihat peti-peti itu sudah tidak ada pada mere-
ka.
"Sudah tentu peti-peti itu telah kami se-
rahkan pada yang berhak? Dan kau... tentunya
bukanlah orang yang berhak, bukan?" kata Mukti
dengan suara mengejek dan menyebarkan se-
nyum yang menyakitkan.
Merah padam wajah Barong Projo.
"Kakek-kakek keparat!" geramnya.
Tetapi makian itu hanya disambut tawa sa-
ja oleh ketiga kakek itu.
Roro Kunti mengipas-ngipas tubuhnya. La-
lu sambil menggerakkan tubuh secara erotis ter-
sembunyi, dia melangkah ke muka.
"Hihihi.... kalian berikan kepada siapa, Ka-
kek-kakek yang manis?" suaranya mendesah, dia
mencoba memikat dengan menggunakan keha-
ruman tubuhnya.
Namun ketiga kakek itu cuma tak acuh sa-
ja. Seolah mereka tidak melihat pemandangan in-
dah yang terpampang di hadapannya.
"Kepada yang berhak, Nona. Itu sudah pas-
ti, bukan?" kata Patidina.
"Siapa dia?"
"Dia adalah seorang wanita yang arif, bi-
jaksana, terhormat dan dihormati...."
"Oh, siapakah wanita yang beruntung itu?"
kata Roro Kunti yang masih mencoba memikat.
"Dia tinggal cukup jauh dari sini, Nona...."
"Siapakah dia?"
"Dia lebih baik daripada kau yang cabul
seperti itu, Nona!"
Mendengar kata-kata yang dilontarkan
dengan cukup kasar itu membuat wajah Roro
Kunti menjadi memerah.
Dia menggeram marah.
"Kakek-kakek tak tahu diuntung! Kalian
rupanya mau mampus, hah?!"
"Hahaha... aku berbicara apa adanya, No-
na... Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengu-
rang-ngurangkannya... Bukankah demikian
adanya?"
Semakin memerah wajah Roro Kunti. Dia
bermaksud untuk menyerang. Namun terdengar
suara Polodomo berkata.
"Ki Sanak sekalian... bila kalian masih in-
gin melihat matahari besok pagi, beritahu kepada
kami, kepada siapa kalian serahkan peti-peti
itu...."
"Hahaha... agaknya juga tidak kepada
kau?" terkekeh Tek Jien.
Hal ini membuat wajah Polodomo tak
ubahnya seperti wajah Roro Kunti.
"Kalian rupanya mau mampus?" geramnya.
"Hahaha... siapa bilang kami mau mam-
pus? Kami masih ingin hidup lebih lama. Dan wa-
risan itu telah kami serahkan kepada yang ber-
hak. Bukan orang-orang seperti kalian!" terkekeh
Patidina.
Dan sehabis dia berkata demikian, Polo-
domo langsung menyerangnya. Yang disusul oleh
yang lainnya.
Seketika di tempat itu terjadi pertarungan
tak seimbang. Tiga guru Ratih Ningrum masing-
masing dikeroyok oleh dua orang.
Jurus demi jurus pun telah mereka lewati.
Bagi keenam orang yang bermaksud jahat
itu, mereka secepatnya ingin membunuh ketiga
kakek ini. Namun bagi ketiga guru Ratih Nin-
grum, mereka ingin secepatnya menyelesaikan
masalah tanpa bermaksud membunuh.
Sebenarnya, mereka pun sudah menduga
sejak lama. Kalau Barong Projo akan datang un-
tuk menuntut balas dan merebut peti-peti yang
mereka bawa.
Itulah sebab sebenarnya mengapa keti-
ganya ingin meninggalkan Perguruan Topeng Hi-
tam. Karena mereka tak mau kejadian ini terjadi
dan menimpa perguruan itu.
Serangan demi serangan pun mereka lan-
carkan.
Saling serang.
Saling balas.
Cepat.
Hebat.
Dan berbahaya.
Pada jurus kedua puluh, terlihat Patidina
yang dikeroyok oleh Roro Kunti dan Polodomo
terdesak hebat. Namun dia berusaha sekuat te-
nang untuk menahan dan membalas.
Tetapi kedua penyerangnya adalah lawan-
lawan yang cukup tangguh. Dia kali ini benar-
benar terdesak hebat.
Berkali-kali pukulan keduanya masuk pa-
da bagian-bagian tertentu tubuhnya.
"Des!"
Sebuah tendangan yang dilancarkan oleh
Polodomo membuat tubuhnya kehilangan ke-
seimbangan dan ambruk.
"Hhh! katakan, kepada siapa warisan itu
kalian serahkan, hah?!" bentak Polodomo.
Patidina mengusap darah yang keluar dari
mulutnya.
"Biarpun kau membunuhku, tak akan per-
nah kukatakan kepada siapa warisan itu kuse-
rahkan!"
"Anjing kurap! Kau ingin mampus ru-
panya!"
"Lebih baik aku mati secara terhormat da-
ripada hidup secara pengecut!"
"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana
keberanian omonganmu itu?!" seru Polodomo se-
raya menyerang lagi.
Pikirnya dengan sekali serang dia akan bi-
sa segera menghabisi Patidina. Tetapi kakek itu
dengan tiba-tiba saja berguling menyongsong se-
rangan Polodomo.
Menerima serangan seperti itu Polodomo
menjadi terkejut. Maka diapun bersalto. Namun
mendadak saja tubuh Patidina yang sedang ber-
guling tiba-tiba melompat seperti menerkam.
Dan satu pukulannya bersarang telak di
dada Polodomo hingga kakek itu tersentak ke be-
lakang dan ambruk ke tanah.
Melihat hal itu, Roro Kunti yang tak me-
nyangka Patidina dapat berbuat seperti itu men-
jadi menggeram.
Dia pun menyerang kembali.
Sementara itu Mukti tengah bersusah
payah menghindari dan mengimbangi serangan-
serangan dari Pala Tunggal dan Ireng Guruh.
"Lebih baik kau menyerah saja, hah?!" ben-
tak Pala Tunggal. "Dan beritahu kepada kami ke-
pada siapa kau serahkan warisan itu?!"
"Aku bukanlah orang yang pengecut, Ki
Sanak! Kau akan kecewa karena aku tak akan
pernah memberikan atau memberitahukan kepa-
da siapa warisan itu kami serahkan!" seru Mukti
dan mencoba terus menyerang dan bertahan.
"Sombong! Kau mengatakannya atau tidak,
aku akan tetap membunuhmu!"
Sedangkan saat ini, Tek Jien pun tengah
kewalahan menghadapi serangan-serangan dari
Barong Projo dan Sakung Bukit. Kedua lawannya
itu seakan mematikan gerakannya. Membuatnya
sukar untuk meloloskan diri.
Belum ketika Sakung Bukit mengeluarkan
ilmu Pemunah Mataharinya yang begitu hebat.
Kedua tangannya seperti bercahaya.
Dan angin yang ditimbulkan setiap kali dia
menggerakkan tangannya menebarkan hawa yang
cukup panas.
Hal ini membuat Tek Jien menjadi semakin
kewalahan.
Dia pun tak berani untuk berbentrokan.
Tiba-tiba terdengar tiga buah jeritan secara
bersamaan.
Disusul dengan tiga sosok tubuh yang ter-
pental ke belakang. Mukti, Patidina dan Tek Jien
yang terpental itu.
Masing-masing mengusap darah yang ke-
luar dari mulut mereka. Dan mereka pun menya-
dari tak akan bisa meloloskan diri dari kepungan
tiga orang ini.
Namun mereka tak mau menyerah begitu
saja.
Maka dengan serentak ketiganya bangkit
meskipun rasa sakit di dada mereka begitu me-
nyengat.
"Hahaha..." Polodomo terbahak. "Bukankah
lebih baik kalian mengatakan saja kepada siapa
warisan itu kalian serahkan. Kami tak akan lagi
menurunkan tangan telengas pada kalian bila ka-
lian berlaku seperti seorang sahabat kepada kami!
Dan ini merupakan jalan yang terbaik, bukan?"
Mukti mendengus. Lalu berkata seperti
orang mau muntah.
"Tak sekali pun kami mundur dari hada-
pan kalian! Dan tak sekali pun kami akan menge-
luarkan suara untuk menjawab pertanyaan dan
memenuhi permintaan kalian!"
"Berarti, kalian tidak bertindak seperti seo-
rang sahabat kepada kami?!"
"Kami memang tak pernah punya sahabat
seperti kalian, Orang-orang busuk!"
"Anjing buduk! Kubunuh kau.!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Polodomo
menyerbu ke arah Mukti. Mukti pun segera me-
mapaki.
Dan kembali perkelahian tak seimbang itu
terjadi.
Meskipun demikian, tiga kakek dari guru
Ratih Ningrum itu sekuat tenaga berusaha untuk
melawan dan menghadapi setiap serangan.
Mereka pantang penyerah.
Mereka bukanlah orang-orang pengecut.
Dan mereka tak akan pernah membuka
mulut untuk memberitahukan pada siapa wari-
san itu mereka serahkan. Karena mereka tak mau
Ratih Ningrum dan keluarganya mendapat kesuli-
tan.
Mereka merasa biarlah hanya mereka saja
yang mengalami hal seperti ini.
Karena mereka amat mencintai Ratih Nin-
grum.
Amat mencintainya. Juga mencintai ke-
luarganya.
Namun kekeras-kepalaan mereka itu,
membuat para penyerangnya semakin ganas dan
kejam.
Semakin buas menyerang untuk membu-
nuh.
Sebisanya mereka bertahan.
Namun setelah berkali-kali mereka terkena
hantaman, pukulan, tendangan dan sapuan yang
keras, membuat mereka menjadi kehabisan tena-
ga.
Juga merasakan rasa sakit yang teramat
sakit.
Kembali ketiganya terkapar di tanah, me-
nahan rasa sakit dan amarah di hati.
Polodomo mendengus lagi.
"Kami masih memberi kesempatan pada
kalian untuk hidup! katakan, kepada siapa kalian
menyerahkan warisan itu?!"
"Sudah kukatakan sejak tadi, sekali pun
kalian akan menyiksa kami, tak akan pernah ka-
mi memberitahukan kepada siapa kami menye-
rahkan warisan itu. Orang-orang busuk!" kata
Mukti sambil menahan rasa sakit yang menyen-
gat.
"Kalian benar-benar ingin mampus ru-
panya!" geram Polodomo.
"Kami lebih baik mati daripada harus men-
jilat ludah kami sendiri!"
Polodomo berpaling pada teman-temannya
yang nampak tidak sabar.
"Kalian dengar apa yang diucapkannya itu?
Dia bilang, mereka ingin mati!"
"Kita bunuh saja!" seru Roro Kunti.
"Ya, manusia-manusia seperti ini tak ada
gunanya untuk hidup lebih lama!" kata Barong
Projo. "Dan ini membuat kepala kita menjadi pus-
ing."
"Bagus, kalau begitu siapa di antara kalian
yang ingin membunuhnya!"
Roro Kunti, Barong Projo dan Ireng Guruh
menyediakan diri.
"Bagus! Kalian masing-masing membunuh
satu orang!"
Dan yang tengah menjadi algojo itu pun
bersiap. Lalu dengan satu pekikan keras, keti-
ganya menerjang ke arah ketiga kakek yang ter-
kapar tak berdaya itu.
Sepuluh
Memang tipis harapan bagi ketiga kakek
itu untuk dapat hidup lebih lama lagi. Namun
mereka pun bukanlah orang-orang pengecut. Dan
mereka pun merasa lebih baik mati daripada me-
nimbulkan kesulitan pada murid mereka, Ratih
Ningrum.
Yang tak pernah mereka sangka adalah,
warisan itu telah menjadi incaran dari orang-
orang jahat ini.
Kini ketiganya hanya bisa memejamkan
mata ketika tiga sosok tubuh itu berkelebat me-
nyerbu ke arah mereka masing-masing. Tak bisa
lagi mereka untuk meloloskan diri.
Namun tiba-tiba satu sosok putih berkele-
bat ke arah tiga penyerang itu. Dan terdengar su-
ara jeritan berbarengan dari tiga penyerang itu.
Tubuh Roro Kunti terpental beberapa tom-
bak.
Tubuh Barong Projo bergulingan muntah
darah.
Sedangkan tubuh Ireng Guruh langsung
terpental dan mampus seketika.
Tiga Setan Pemetik Bunga pun terkejut me-
lihat hal itu. Begitu pula dengan tiga kakek yang
tengah memejamkan matanya. Serentak keti-
ganya membuka mata mereka.
Dan semua mata yang ada di sana melihat
satu sosok berjubah putih yang tersenyum arif bi-
jaksana.
Belum lagi hilang kekagetan tiga kakek itu,
satu sosok tubuh berkelebat mendekatinya.
"Guru!"
Ketiganya menoleh.
"Ratih!" seru mereka bersamaan. Ada nada
gembira dari ucapan mereka.
"Apa yang telah terjadi, Guru?" tanya Ratih
Ningrum pilu melihat keadaan tiga gurunya yang
terluka.
"Ada kejadian kecil sedikit yang tak perlu
dirisaukan," sahut Mukti padahal betapa sakit di-
rasakannya di sekujur tubuhnya. Namun dia be-
rusaha untuk menyembunyikannya.
Ratih Ningrum berpaling pada orang-orang
yang ada di hadapannya. Tatapannya beringas
dan berbahaya.
"Apa yang kalian perbuat pada guruku
ini?" bentaknya marah.
Polodomo terkekeh. Roro Kunti dan Barong
Projo susah payah bangkit mendekat. Mereka me-
rasakan sakit yang luar biasa sekali.
Hantaman satu sosok berjubah putih itu
membuat keduanya menjadi kaget karena dengan
sekali berkelebat sosok berjubah putih itu mampu
membuat mereka luka parah di bagian dalam se-
perti ini.
"Hehehe... rupanya kau adalah murid dari
tiga kakek sialan ini!" terdengar suara Polodomo.
"Apa maksud kalian melukainya, hah?!"
"Kami hanya meminta diberitahukan, ke-
pada siapa harta warisan itu mereka serahkan!"
"Warisan?!"
"Hehehe.. ya, ya... aku tahu... tentunya ke-
padamulah harta warisan itu mereka serahkan,
bukan?"
Madewa memberi tanda agar istrinya ter-
diam.
Sambil menatap orang-orang itu dia berka-
ta, "Hmm... Ki Sanak sekalian, bila aku boleh ta-
hu... siapakah kalian semuanya?"
"Aku Polodomo. Salah seorang dari Tiga Se-
tan Pemetik Bunga. Ini kawanku, Pala Tunggal,
Sakung Bukit, Barong Projo dan yang wanita itu
Roro Kunti. Sedangkan yang mampus itu, Ireng
Guruh, Nah, katakanlah... siapakah kau sendiri
sebenarnya?!" sahut Polodomo angkuh.
"Rasanya... kita memang belum saling ken-
al. Tetapi karena kalian telah memperkenalkan
diri, maka aku pun layak memperkenalkan diri
pula. Namaku Madewa Gumilang... dan dia istri-
ku, Ratih Ningrum...."
"Siapa nama kau tadi, Ki Sanak?!" seru Po-
lodomo seperti teringat sesuatu.
"Kenapa?"
"Katakan lagi siapa namamu?!"
"Namaku Madewa Gumilang!"
"Apa? Madewa Gumilang?! Pendekar
Bayangan Sukma!" seru Polodomo terkejut dan
membuat teman-temannya pun ikut terkejut.
"Mengapa? Ada yang aneh dengan nama-
ku? Dan yang kau sebutkan barusan adalah na-
ma julukanku? Rasanya... tidak ada yang aneh!"
Dari rasa terkejut Polodomo mendengus.
"Hhh! Rupanya hari ini kami tengah berhadapan
dengan pendekar nomor wahid di rimba persila-
tan ini! Tetapi kami tak pernah takut dengan sia-
pa pun!"
"Maaf, Polodomo... siapa yang memerintah-
kan padamu untuk takut kepadaku, hah? Nah,
katakan... mengapa kau menyerang tiga kakek
guru istriku ini?" kata Madewa Gumilang atau
Perguruan Topeng Hitam sambil tetap tersenyum
arif dan bijaksana.
Polodomo mendengus. "Madewa... tentunya
kau tak akan pernah ikut campur dalam urusan
orang lain, bukan?"
"Sayang sekali dugaanmu salah, Polodo-
mo.... bila kau melihat satu kezaliman, siapa pun
orangnya akan aku bantu. Yah.... siapa pun
orangnya!"
"Sombong! Rupanya pendekar nomor wahid
di rimba persilatan ini adalah seorang yang som-
bong!"
"Polodomo.... kita tak punya silang sengke-
ta, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini dan jan-
gan lagi mengganggu ketiga kakek ini...."
"Kau benar-benar sombong, Madewa! Nah,
bila kau mengetahui di mana warisan itu berada,
maka kami akan melepaskan dirimu dan orang-
orang itu!"
"Warisan itu ada pada istriku. Nah, kau
mau apa setelah mengetahuinya?"
"Kami akan merebutnya!"
"Kuminta... lebih baik kalian tinggalkan
tempat ini!" seru Madewa.
"Manusia sombong! Tahan serangan! Kami
akan tetap merebutnya!" seru Polodomo seraya
maju menyerang.
Serangannya amat ganas. Karena dia me-
nyadari siapa yang tengah dihadapinya. Maka dia
pun langsung menggunakan jurus andalannya.
Pemanah Mata Api!
Madewa pun segera memapakinya. Dengan
menggunakan Jurus Ular Meloloskan Diri dia
berhasil menghindari setiap serangan yang dilan-
carkan oleh Polodomo.
Lalu diapun lalu mengimbanginya panas-
nya jurus itu dengan jurus Pukulan Angin Salju.
Melihat kawan mereka sudah bertempur,
yang lain pun segera datang membantu. Mereka
mengeroyok Madewa Gumilang.
Ratih Ningrum pun tak mau kalah. Melihat
suaminya dikeroyok, dia pun maju membantu.
Roro Kunti pun segera melayaninya.
Kembali di tempat itu terjadi pertarungan
yang amat hebat.
Tiga kakek yang dalam keadaan luka parah
itu hanya bisa memperhatikan saja tanpa bisa
berbuat apa-apa. Mereka sebenarnya ingin mem-
bantu, namun tubuh mereka dirasakan teramat
lemah.
Dan diam-diam masing-masing menyesali
kejadian ini. Bila mereka tidak datang membawa
warisan, tentunya murid mereka dan suami mu-
ridnya tidak akan mengalami hal seperti ini.
Kebetulan sekali tadi Ratih Ningrum ber-
maksud mencari ketiga gurunya karena hendak
memberikan pada mereka sedikit harta warisan.
Dan ditemani suaminya, diapun mulai mencari.
Betapa terkejutnya dia dan suaminya meli-
hat guru-gurunya tengah menanti ajal dengan
mata terpejam. Dan suaminya pun segera bertin-
dak cepat memapaki serangan tiga orang itu pada
guru-gurunya.
Kini mereka tengah terlibat dalam perkela-
hian yang teramat seru. Madewa sendiri menjadi
terdesak ketika Tiga Setan Pemetik Bunga bersatu
padu memainkan jurus andalan mereka bertiga
bila bersama-sama.
Belum lagi dari serangan yang dilancarkan
Barong Projo.
Namun Madewa masih berusaha sekuat
tenaga untuk mengimbangi serangan-serangan
itu. Kini dia menggunakan pukulan Tembok
Menghalau Badai.
Suatu ketika pukulan itu mengenai Barong
Projo yang tengah terluka parah. Dan orang itu
pun mampus seketika.
Hal itu membuat Tiga Setan Pemetik Bunga
menjadi murka. Mereka menyerang lagi dengan
ganas.
"Hari ini, nama besar Perguruan Topeng
Hitam akan tenggelam selama-lamanya!" terkekeh
Polodomo.
Sementara itu Ratih Ningrum pun dengan
sepasang pedangnya tengah mengimbangi per-
mainan kipas dari Roro Kunti. Kedua wanita itu
nampak berimbang. Namun ketika Ratih Ningrum
memadukan jurus sepasang Pedang kembarnya
dengan pukulan Tangan Seribu, membuat Roro
Kunti menjadi kewalahan.
Dan dengan satu gerak tipu yang hebat.
Dia mengakhiri perlawanan Roro Kunti dengan
menghujamkan pedangnya ke dada wanita itu.
Matilah Roro Kunti yang cabul itu.
Sedangkan Madewa tengah berusaha me-
nahan setiap serangan yang dilancarkan Tiga Se-
tan Pemetik Bunga.
Tiba-tiba saja Tiga Setan Pemetik Bunga
bersalto ke belakang. Dan kemudian ketiga ter-
diam dengan sikap menjura. Mendadak ketiganya
membuka tangan ke depan. Terlihatlah kalau
masing-masing tangan mereka telah berubah
menjadi hitam.
"Madewa... kini mampuslah kau! Tahan ju-
rus kami ini, Bara Menghantam Gunung!" seru
Polodomo.
Lalu dengan diiringi teriakan yang keras
ketiganya menyerang. Madewa menghindarkan-
nya dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dia dapat
merasakan betapa ganasnya jurus yang dimain-
kan secara kompak dan cepat itu.
Namun lama kelamaan dia menjadi kewa-
lahan juga. Mendadak Madewa bersalto ke bela-
kang dan ketika hinggap di tanah dia tengah me-
rangkapkan kedua tangannya. Lalu membentang-
kannya. Rupanya Madewa tengah melancarkan
Pukulan pamungkasnya, Pukulan Bayangan
Sukma.
Ketika orang itu pun tahu pukulan apa
yang siap dilancarkan Madewa Gumilang. Namun
mereka tidak takut.
Serentak pula mereka menyerbu. Madewa
pun bersiap.
Namun sungguh di luar dugaan Madewa,
tiba-tiba ketiga kakek itu bersalto ke arah tiga
kakek yang terkapar tak berdaya di tanah. Tan-
gan mereka siap meluncur.
Dan tanpa ampun lagi ketika kakek yang
terkapar itu menjerit terkena hantaman ajian Ba-
ra Menghantam Gunung.
"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut. Na-
mun ketiga gurunya telah menemui ajal mereka
dengan tubuh hangus.
Melihat hal itu, Madewa menjadi murka.
Lalu dia pun menyerbu ketiga kakek itu yang
langsung memapakinya.
Dua pukulan sakti berbenturan.
Terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.
Daun-daun berguguran. Dan tempat itu
seketika mengepulkan debu tebal.
Dari debu yang menyelimuti itu terlempar
empat sosok tubuh ke belakang. Madewa ter-
huyung beberapa langkah. Sedangkan Tiga Setan
Pemetik Bunga langsung kelojotan mampus den-
gan tubuh hancur. Rupanya Madewa mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma tingkat tinggi.
Lalu dengan menahan sakit di dada, dia
menghampiri istrinya yang tengah menangisi
mayat ketiga gurunya.
"Guru... guru... huhuhu... mengapa harus
terjadi hal seperti ini... Huhuhu... mengapa
Guru?"
Madewa cuma mendesah panjang. Tak be-
rani mengusik istrinya yang sedang bersedih.
Malam pun mulai turun.
Tangis Ratih Ningrum masih berkepanjan-
gan.
SELESAI
Scanned by Clickers
Edited by Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Emoticon