NILAMSARI seolah-olah bermimpi, ketika dirasakan-
nya sesuatu yang luar biasa, bahwa tubuhnya te-
rasa melesat demikian cepatnya, sehingga ia meme-
jamkan matanya erat-erat, tak ubahnya seseorang
yang sedang terjatuh dari tempat ketinggian.
Pada saat lain, gadis cantik itu membuka matanya.
Tapi apa yang dilihatnya? Pepohonan seolah-olah ber-
larian dengan cepatnya, sehingga ia memejamkan ma-
“Apa yang sedang terjadi pada diriku ini?” tanya Ni-
lamsari di dalam hatinya. “Oh... aku rasanya seperti
sedang digendong oleh seseorang. Ya... aku sedang di-
gendong oleh seseorang! Tapi siapa orang ini? Ah... ja-
ngan-jangan orang ini bermaksud jahat padaku! Dan...
oooh... larinya orang ini... begini cepatnya... tak ubah-
nya anak panah terlepas dari busurnya!”
Merasa bahwa tak sepatutnya ia berada dalam gen-
dongan seorang lelaki, merontalah Nilamsari. “Le-
paskan aku... mau kau bawa ke mana aku ini?”
Lelaki muda yang menggendong Nilamsari itu, yang
tak lain dari Rangga, menjawab, “Tenanglah, aku tidak
bermaksud jahat padamu. Aku hanya melaksanakan
permintaan Kang Wikrama.”
“Kau... disuruh oleh ayahku?”
“Ayah angkatmu,” tukas Rangga tanpa menghenti-
kan larinya. “Ayah kandungmu mendiang Kanjeng
Adipati Wiralaga, bukan?!”
“Ya... tapi aku sudah menganggapnya sebagai peng-
ganti ayahku. Dan... di mana beliau sekarang?”
“Entahlah. Mungkin masih di Cisumpit, mungkin
pula sudah pergi untuk menghindari gangguan kaki
tangan Adipati Natajaya.”
“Tapi... ah... bisakah kita berhenti sebentar? Aku ti-
dak bisa bicara dengan baik dalam keadaan begini.”
“Bersabarlah dulu, sebentar lagi kita sampai di Ci-
gelung, tempat yang aman bagimu.”
“Cigelung?!” Nilamsari terbelalak. Heran.
Dan semakin heran setelah mereka tiba di tepi su-
ngai yang besar. Dan... wuuut... Nilamsari merasa tu-
buhnya terbang... lalu tibalah di seberang sungai besar
itu. Sungai Cigelung itu.
Rangga menurunkan gadis itu dari gendongannya.
Lalu duduk melepaskan lelahnya di atas sebuah batu
besar.
Nilamsari terpaku memandang ke arah sungai besar
itu. Dan bergumam, “Dahulu, waktu ayahku masih hi-
dup, aku pernah dibawa ke sini. Tapi... perjalanan dari
Kawahsuling ke sini dahulu, memakan waktu dua hari
dua malam! Tapi sekarang.... begitu cepat....”
Ucapan Nilamsari terputus ketika pandangannya
beralih dan terpaku ke wajah Rangga. Wajah yang ba-
ru sekarang diperhatikannya.
Oh, pikir Nilamsari, pemuda itu... begitu tampan...
dan... apa yang sudah kulakukan tadi? Tadi aku seo-
lah-olah melekat dalam gendongannya!
Teringat ke sana, wajah Nilamsari mendadak ke-
merah-merahan. Tersipu-sipu sendiri.
“Nah,” kata Rangga tiba-tiba, “sekarang katakanlah
apa yang hendak kau katakan.”
“Ti... tidak ada,” sahut Nilamsari tergagap, karena
masih dikuasai perasaan malunya itu. “Ta... tapi... oh
ya... siapa namamu?”
“Rangga,” sahut yang ditanya.
“Rangga?” tukas Nilamsari. “Lantas aku harus me-
manggil apa padamu?”
“Terserah kau, mau panggil Mang boleh, mau pang-
gil Kakek juga boleh.”
“Hihihi... masa manggil Kakek?!”
Kali ini Rangga yang terpukau. Tadi ketika Nilamsa-
ri tertawa, Rangga melihat dua baris gigi yang begitu
rapi, begitu bersih dan membuat wajah gadis itu tam-
pak semakin berseri-seri.
Tapi tidak lama Rangga membiarkan dirinya dikua-
sai oleh perasaannya. Lalu pandangannya dicurahkan
ke Sungai Cigelung yang arusnya tenang itu.
“Ke mana aku akan kau bawa nanti?” tanya Nilam-
sari ketika Rangga masih tercenung di atas batu besar
itu.
“Entahlah, aku sendiri masih bingung, ke mana aku
harus membawamu,” sahut Rangga datar. “Ayah ang-
katmu tidak memberi petunjuk padaku tentang ke ma-
na aku harus membawamu. Dia hanya memintaku un-
tuk membebaskanmu dari cengkraman Adipati Nataja-
ya. Hanya itu.”
Terngiang-ngiang lagi ucapan Wikrama itu di telinga
Rangga, “Tolonglah anak itu, Rangga. Jangan biarkan
dia jadi korban kebinatangan Adipati Natajaya. Dia se-
benarnya bukan anakku. Tapi aku berkewajiban me-
nolongnya. Dia adalah putri Adipati Wiralaga.”
“Kalau begitu, antarkanlah aku ke Cisumpit seka-
rang. Aku ingin berjumpa dengan ibu angkatku yang
baik hati itu,” kata Nilamsari setelah agak lama di-
cengkeram keheningan.
“Ibu angkatmu?! Maksudmu istri Kang Wikrama?”
“Ya. Kenapa rupanya?”
“Dia sudah tewas. Apa kau belum tahu?”
“Tewas?! Oooh.... tidak! Tidaaak!” Nilamsari meme-
gang kedua belah pipinya, dengan mata terbelalak.
“Ya, dia memang sudah tewas. Kenapa kau tidak
tahu?”
“Tidak, aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa pra-
jurit-prajurit kadipaten menangkapku, lalu membawa-
ku ke rumah terkutuk itu....”
“Mungkin ibu angkatmu dibunuh setelah kau diba-
wa pergi,” kata Rangga memotong.
Kemudian Rangga menceritakan apa yang telah di-
alaminya waktu baru tiba di Cisumpit bersama Wi-
krama.
“Biadab!” pekik Nilamsari setelah Rangga selesai
menuturkan kisah di Cisumpit itu. “Oooh... seandainya
aku seorang laki-laki... pasti aku akan menuntut balas
untuk kematian wanita yang baik hati itu.”
Dan Nilamsari mulai menangis.
“Yang sudah pergi, biarkanlah pergi. Tangis orang
yang masih hidup atas kematian seseorang, hanya
akan menyebabkan beratnya hati arwah yang sudah
damai di nirwana.” Rangga mencoba meredakan tangis
Nilamsari.
Tapi tangis Nilamsari bahkan semakin menjadi-jadi.
Di sela-sela tangisnya, gadis itu berkata tersendat-sen-
dat, “Semuanya ini... ditimbulkan oleh... oleh kebiada-
ban Paman Adipati... ooh...!”
“Kau memanggilnya paman?”
“Ya, dia... dia sebenarnya saudara sepupu ayahku.
Tapi jiwanya... tak ubahnya jiwa binatang!”
Rangga jadi teringat cerita Nyi Tiwi. Maka katanya,
“Ya... aku pernah mendengar bahwa Adipati Natajaya
itu saudara sepupu ayahmu. Sekarang aku ingat.
Dan... oh ya... bagaimana dengan ibu kandungmu?
Kudengar ibumu disembunyikan di Leuwisapi. Benar-
kah itu?”
Wajah Nilamsari mendadak cerah. “Memang benar!
Kenapa tidak dari tadi aku mengingatnya?! Bagaimana
kalau aku diantarkan ke Leuwisapi saja? Apakah kau
bersedia membawaku ke sana?”
Rangga mengangguk. “Mengantarkanmu ke Leuwi-
sapi, tidak ada sulitnya. Cuma... apakah itu tidak be-
rarti memasrahkan diri ke kandang macan?”
Nilamsari terperangah dan baru ingat bahwa ibunya
telah menjadi selir gelap Adipati Natajaya. Dan kalau
Nilamsari pergi ke Leuwisapi, pastilah salah seorang
mata-mata Adipati Natajaya akan melaporkannya.
“Oh, bingungnya aku! Aku tidak tahu lagi ke ma-
na....” Nilamsari tidak sempat menghabiskan ucapan-
nya, karena tiba-tiba saja ia melihat asap putih me-
ngepul di depannya.
Lalu muncullah seorang kakek-kakek berpakaian
serba putih, dengan tongkat di tangannya.... tongkat
yang terbuat dari batu wulung!
Tiba-tiba pula Rangga bersimpuh di depan lelaki tua
renta itu. “Muridmu menghaturkan sembah bakti, Ra-
ma Guru!”
Kakek-kakek itu, yang tak lain dari Kudawulung,
tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang tak ubah-
nya ringkik kuda. “Heeee... heeeee.... heeee! Aku telah
memperingatkanmu, agar jangan turut campur pada
urusan orang lain! Tapi sekarang... kau bahkan sudah
melibatkan diri dalam suatu urusan yang akibatnya
akan cukup panjang! Dasar apa yang membuatmu me-
lakukan semuanya ini, Rangga?”
“Ampun, Rama Guru!” Rangga menyembah kaki gu-
runya. “Membiarkan suatu kejahatan tanpa berusaha
mencegahnya, sama artinya dengan melakukan keja-
hatan. Bukankah begitu kata Rama Guru dahulu?”
“Lalu?” Kudawulung membelai jenggot putihnya
yang menjumbai.
“Menolong seseorang yang benar-benar membutuh-
kan pertolongan, adalah suatu perbuatan yang mulia.
Begitu pula kata Rama Guru dahulu.”
Kudawulung tertawa lagi. Lalu katanya, “Baru saja
beberapa hari kau berpisah denganku, kau sudah
pandai bicara, Rangga.”
“Kalau ada kesalahan, muridmu mohon petunjuk,”
Rangga menjatuhkan mukanya lagi di kaki gurunya.
“Kesalahanmu sudah cukup jelas,” sahut Kudawu-
lung, “kau telah mencampuri urusan gadis ini. Ilmu
yang telah kuberikan padamu, tidak boleh membuat-
mu gatal untuk turun tangan dalam setiap urusan di
negara yang semrawut ini! Kemelut telah menimpa ne-
geri ini, sehingga kita sulit membedakan mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Dan kalau kau sa-
lah duga... kau bahkan bisa terjerumus ke dalam pe-
rangkap orang-orang sesat!”
Lalu hening beberapa saat. Kudawulung menoleh ke
arah Nilamsari, sehingga gadis itu menjadi rikuh, lan-
tas ikut-ikutan berlutut di samping Rangga.
Kudawulung mendadak tertawa nyaring. “Heeeehe-
heheheeeee...! Putri seorang adipati berlutut di depan
seorang jembel?! Aneh... aneh! Berdirilah, Gusti Putri!
Aku yang tua ini tidak pantas menerima penghormatan
seperti itu.”
“Ayahku sudah tiada. Aku bukan anak adipati lagi.
Kepada orang yang lebih tua, sepantasnyalah aku meng-
hormatinya,” sahut Nilamsari.
Kudawulung memandang langit biru berawan tipis,
memandang riak Cigelung yang tenang, memandang
wajah Rangga, memandang wajah Nilamsari, lalu me-
nunduk. Lama ia menunduk tanpa mengeluarkan sua-
ra sedikit pun.
Rangga dan Nilamsari tidak tahu, bahwa saat itu
Kudawulung sedang digeluti oleh nostalgianya. Ten-
tang Rupati yang rupawan, yang juga putri seorang
adipati, yang juga berasal dari Kawahsuling, yang juga
tak kalah cantik oleh Nilamsari.
Rangga dan Nilamsari tidak tahu, bahwa pada saat
itu Kudawulung sedang mempertahankan diri, agar air
matanya jangan sampai terjatuh. Agar kenangan la-
manya tidak terlalu menggugahkan perasaannya.
Untuk mengatasi rasa pilu yang tiba-tiba mence-
kamnya itu, Kudawulung mengalihkan perhatiannya
pada muridnya. Lalu katanya, “Kerajaan yang diban-
gun dengan susah payah oleh nenek moyang kita ini,
tampaknya semakin buram. Terlalu banyak orang yang
duduk di kursi yang bukan haknya. Mungkin kerajaan
ini tinggal menunggu keruntuhannya saja, untuk ke-
mudian dicaplok oleh kerajaan lain yang lebih tang-
guh. Barangkali kenyataan itu sulit dihindari.”
Heran Rangga dibuatnya. Baru sekali itu ia mende-
ngar gurunya berbicara tentang kerajaan. Padahal bi-
asanya Kudawulung selalu bersikap tak mau tahu ten-
tang negara dan seluk-beluk pemerintahan.
“Tapi sudahlah,” kata Kudawulung lagi. “Membica-
rakan negara tak ubahnya air yang mengalir dari hulu
sungai ke muara. Tidak akan ada akhirnya. Dan ter-
kadang, bahkan seringkali, tidak ada gunanya. Hanya
membuat mulut kita kesemutan saja.”
Tiba-tiba sikap Kudawulung menjadi angker. “Rang-
ga! Kembalikan gadis ini ke rumahnya, lalu cepatlah
pulang ke tempatku! Kau belum selesai menuntut ilmu
padaku! Kau ingat itu?! Menuntut ilmu separoh-se-
paroh, tidak akan membuat manusia bahagia!”
Di luar dugaan Kudawulung dan Rangga, tiba-tiba
saja Nilamsari mencium kaki Kudawulung dan berka-
ta, “Aku tidak mau dipulangkan ke mana pun. Terima-
lah aku sebagai muridmu.”
“Apa?!” Kudawulung melotot. “Kau ingin diangkat
sebagai muridku?!”
“Benar,” sahut Nilamsari tegar. “Kalau tidak, bu-
nuhlah aku. Sekarang juga.”
Kudawulung terundur selangkah. Dan menggerutu.
“Macam-macam saja. Perempuan ingin menjadi murid-
ku segala. Bagaimana mungkin?”
Rangga terdiam dalam keheranannya. Ia tidak men-
duga kalau gadis itu akan meminta dijadikan murid
Kudawulung. Ia pun seperti gurunya, mempertanya-
kan dalam hati. “Bagaimana mungkin seorang gadis
ayu dan lembut seperti dia mau menuntut ilmu yang
penuh dengan kekerasan?”
Tiba-tiba meledaklah tawa Kudawulung. “Hahaha-
haa...! Sekarang aku tahu apa sebabnya kau ingin
menjadi muridku! Kau ingin menuntut balas atas ke-
matian ayahmu, penderitaan ibu kandungmu, kema-
tian ibu angkatmu dan penderitaanmu sendiri, bukan?
Ooo... napasmu penuh dendam, anak manis!”
“Tidak,” sahut Nilamsari, “Aku hanya ingin melin-
dungi diriku sendiri. Aku sudah merasakan pahit-getir-
nya menjadi manusia lemah. Diboyong ke sana-sini,
diancam dan dikurangajari....”
“Tapi kau belum tahu siapa aku,” potong Kudawu-
lung. “Kau juga belum tahu ilmu apa yang kumiliki.
Dan kau tahu-tahu ingin jadi muridku? Hahaha-
haaa...! Ilmu apa yang ingin kau tuntut dariku?”
“Dari cara berlari mm... Kang Rangga ini saja, aku
sudah bisa menebak bahwa gurunya Kang Rangga ten-
tu lebih hebat lagi,” sahut Nilamsari.
Kudawulung tertawa terpingkal-pingkal. “Jadi kau
hanya ingin belajar lari cepat, begitu?”
“Aku ingin mempelajari seluruh ilmu yang kau mi-
liki,” sahut Nilamsari tegar. “Ayah angkatku pernah
berkata, bahwa semakin cepat lari seseorang, semakin
tinggi ilmu yang dimiliki orang itu.”
“Omong kosong!” bantah Kudawulung. “Kalau kece-
patan berlari dijadikan patokan tinggi-rendahnya ilmu
seseorang, sebaiknya manusia berguru pada binatang
saja. Bukankah banyak binatang yang bisa berlari le-
bih cepat daripada manusia?”
“Pokoknya aku ingin menjadi muridmu,” Nilamsari
memegang pergelangan kaki Kudawulung erat-erat.
“E, ee, eee...! Kau ini mau jadi muridku apa mau
merampok?! Kalau mau jadi muridku, bukan main
paksa begitu caranya?!” Kudawulung menepiskan pe-
gangan Nilamsari. Tapi Nilamsari menangkap kakinya
lagi.
Rangga menahan tawanya ketika melihat kejadian
menggelikan itu.
Dan tiba-tiba saja Kudawulung berkata, “Ya su-
dah... sudah! Aku akan menerimamu sebagai muridku!
Tapi lepaskan dulu kakiku ini! Aku tak biasa diperla-
kukan seperti ini!”
***
ADIPATI Natajaya pulang ke Kawahsuling dengan
wajah muram. Geram dan kecewa menyiksanya.
Setibanya di istana kadipaten, ia teringat pada Pra-
bayani yang sore itu masih menjadi tamunya. Pikirnya,
“Kudengar ilmu Prabayani lebih tinggi daripada ilmu
Prabalaya. Mungkin aku bisa menanyakan padanya,
apa sebenarnya yang telah terjadi tadi?”
Ketika sang Adipati berdiri di ambang pintu, dili-
hatnya Prabayani sedang dilayani oleh seorang dayang
kadipaten. Dayang itu tengah menyisiri rambut Pra-
bayani yang panjang terurai. Dan dayang itu bergegas
ke luar setelah melihat isyarat dari sang Adipati.
Adipati Natajaya melirik ke arah peraduan bertilam
sutra merah, melirik ke arah Prabayani yang tampak
seperti baru selesai mandi, lalu membuang pandang-
annya ke luar jendela. Ke arah gunung yang tampak
jelas dari dalam kamar itu, gunung yang pernah mele-
tus dan kawahnya selalu melengking-lengking seperti
suling (sehingga kota kadipaten itu dinamai Kawahsul-
ing). Lalu katanya, “Senang kau tinggal di sini?”
“Menyenangkan sekali, Kanjeng Adipati. Hamba di-
perlakukan seperti putri raja. Makan dilayani, minum
dilayani, mandi di kolam pun dilayani oleh para
dayang yang baik hati itu,” Prabayani menyunggingkan
senyum manis di bibirnya. Memperhatikan Adipati Na-
tajaya yang sedang berdiri di dekat jendela, lalu melan-
jutkan, “Tapi Kanjeng Adipati tampaknya seperti se-
dang bersusah hati. Adakah sesuatu yang mengganggu
perasaan Kanjeng Adipati? Bukankah kucing hutan
hamba sudah dimasukkan ke dalam kandang?”
Adipati Natajaya melangkah ke peraduan. Mele-
paskan terompahnya, lalu menghempaskan diri ke
atas peraduan bertilamkan sutra merah itu.
“Sesuatu yang aneh telah terjadi,” desah sang Adi-
pati.
Tenang Prabayani menghampiri sang Adipati. Du-
duk di tepi peraduan. Dan tanpa diminta, mulai memi-
jati kaki sang Adipati.
“Apa yang telah terjadi, Kanjeng Adipati?” desis Pra-
bayani dengan senyum. Karena mengira bahwa ‘sesua-
tu yang aneh’ itu adalah hasrat sang Adipati yang
mendadak berkobar.
Namun jawaban sang Adipati tidak seperti yang Pra-
bayani duga. “Seorang gadis jelita yang sedang kupe-
luk, tiba-tiba saja berubah menjadi kusirku sendiri.
Bukankah hal ini aneh sekali?”
“Maksud Kanjeng Adipati...?”
“Itulah yang terjadi tadi. Aku sedang memeluk seo-
rang gadis di suatu tempat. Dan tiba-tiba saja gadis itu
berubah menjadi kusirku. Dan gadis itu hilang begitu
saja!”
Prabayani terperanjat dan berkata seolah-olah un-
tuk dirinya sendiri, “Gadis yang dipeluk mendadak be-
rubah menjadi kusir... oooh... mungkinkah ilmu seper-
ti itu masih ada di dunia ini?!”
“Ilmu apa?” Adipati Natajaya bangkit. Duduk sambil
mengelus leher Prabayani.
“Hamba pernah mendengar dari ayah hamba, bah-
wa di daratan ini ada seorang wanita yang sangat sak-
ti, bernama Sekarpadma. Demikian saktinya wanita
itu, sehingga ia telah mampu menyatukan dirinya den-
gan alam gaib... alam yang tidak terlihat oleh mata
manusia biasa. Tapi menurut keterangan ayah hamba,
wanita sakti itu telah lenyap sejak berpuluh-puluh ta-
hun yang lampau.”
“Lalu?”
“Rasanya sulit dipercaya kalau wanita sakti itu tiba-
tiba muncul kembali. Atau... mungkin juga dia telah
menurunkan ilmunya kepada seseorang. Ya... sangat
mungkin Sekarpadma mengangkat seorang murid...
dan muridnya itu, pasti sakti sekali!”
Ucapan Prabayani itu mempengaruhi hati Adipati
Natajaya.
“Dan murid wanita sakti itu sekarang berada di pi-
hak yang bertentangan denganku?!” Adipati Natajaya
menghempaskan diri lagi ke atas peraduan.
Prabayani memijati kaki sang Adipati lagi. “Sudah-
lah, kalau cuma soal seorang gadis, kenapa Kanjeng
Adipati memusingkannya benar? Kanjeng Adipati toh
bisa mencari gadis lain, yang secantik apa pun.”
Dan tangan indah tapi binal itu mulai melewati lu-
tut sang Adipati. Merayap terus ke atas.
“Dan kau?” desis sang Adipati, dengan tangan ter-
ulur dan mendarat di tengkuk Prabayani. Dan meraih-
nya dengan tegas. Dengan jantan.
“Terserah Kanjeng Adipati,” sahut Prabayani perla-
han. Perlahan sekali. Tapi cukup jelas di telinga sang
Adipati.
Lalu Adipati Natajaya mencoba mengusir kekecewa-
annya, dengan mengalihkannya kepada wajah baru.
Wajah cantik tapi seperti mengandung api itu. Dan ki-
ni wajah itu telah menghimpitnya, dengan hembusan
hangatnya.
Terlalu pandai Prabayani membangkitkannya. Baru
sekali itu sang Adipati menemukan seorang gadis yang
begitu berpengalaman dalam mengobarkan birahi lela-
ki. Memang Prabayani bukan gadis lagi, sekalipun ia
belum pernah kawin secara resmi. Tapi sang Adipati
tak peduli dengan kenyataan itu. Sang Adipati hanya
peduli satu soal: O, hebatnya perempuan ini!
Senja telah tiba. Udara mulai gelap. Seekor ular me-
rayap-rayap di atas rumput, mencari tempat persem-
bunyian yang nyaman. Dan ia menemukannya. Dan ia
menyelinap ke dalam sela-sela akar pohon yang rim-
bun.
Burung-burung malam mulai memperdengarkan
suaranya. Seekor burung hantu betina merintih-rintih
di puncak pohon pisang. Memandang bulan yang baru
tampak seperti sabit.
Angin malam pun berdesir-desir. Menggoyangkan
daun-daun pohon asam yang tumbuh di belakang is-
tana kadipaten.
Malam itu ada cerita tentang kecewanya seorang pe-
rempuan yang tak sampai di tempat tujuan. Cerita ten-
tang lelaki yang putus napas di tengah jalan.
Dan malam itu ada seorang perempuan mengumpat
di dalam hatinya. “Lelaki sialan! Garangnya seperti
banteng, tenaganya kayak ayam!”
Dan malam itu ada sepasang mata berkeliaran.
Nyalang berapi-api.
Ketika malam makin larut, ada bisikan ke telinga
penjaga, “Masuklah.”
Yang ditanggapi. “Ma... mana Kanjeng Adipati?”
Dibisiki lagi telinga penjaga itu. “Kanjeng Adipati
sudah kembali ke kamarnya. Masuklah.... tidak ada
siapa-siapa...!”
Lalu gemetar langkah penjaga itu, memasuki kamar
yang punya peraduan bertilam sutra merah. Lalu tilam
sutra merah itu kusut lagi. Jauh lebih kusut daripada
waktu dikusutkan oleh sang Adipati.
Lalu penjaga itu seperti bermimpi. Melayang di ge-
lap malam. Jauh tinggi ke angkasa.
Lalu ada senyum bertalu-talu, di antara rintih-rintih
lirih, dalam pergelutan bergeliang-geliut.
Penjaga berpangkat rendah ini, jauh lebih perkasa
daripada sang Adipati. Hanya saja nasibnya kurang
beruntung. Ketika tangan hangat itu meraba-raba
tengkuknya, ia merasa sebagai hal yang wajar. Tapi la-
lu ia memekik tertahan. Daya ingatannya kontan le-
nyap. Sesuatu telah terjadi.
Dan laksana boneka kayu, penjaga istana kadipaten
yang masih remaja itu berjalan ke luar. Tanpa busana.
Tanpa kedipan. Tanpa tawa maupun tangis.
Prabayani melemparkan pakaian penjaga itu jauh-
jauh ke luar. Lalu tersenyum-senyum sendiri, sambil
mengenakan kembali pakaiannya, sambil menyanggul-
kan kembali rambutnya. Lalu menghempas ke atas pe-
raduan dan berkata di dalam hatinya, “Dia tidak akan
ingat apa-apa lagi. Dia tidak akan melaporkan apa pun
yang telah terjadi. Dan besok pagi, orang-orang akan
memperbincangkan hadirnya seorang gila baru.... seo-
rang prajurit yang mendadak sinting!”
Lalu Prabayani tertidur dalam kepuasan.
Dan prajurit remaja yang malang itu? Berjalan te-
rus... mengelilingi istana... sampai salah seorang ka-
wannya menemukannya.
“Ya ampuuuun... Citro! Apa-apaan kamu ini?”
Prajurit remaja yang malang itu hanya bisa menja-
wab dengan suara sederhana, “Mooo... mooo....
mooo...!”
Cuma itu yang bisa diucapkan oleh prajurit remaja
bernama Citro itu. Dan ketika beberapa kawannya me-
nanyakan, “Di mana pakaianmu? Kenapa kamu begini-
beginian?” Prajurit bernama Citro itu tetap hanya bisa
menjawab dengan “Mooo... mooo... mooooo... mooo....!”
Esok paginya gemparlah seisi istana kadipaten. Se-
muanya memperbincangkan si Citro yang mendadak
sinting dan tidak mau berpakaian. Tapi tidak ada yang
tahu apa sebabnya Citro menjadi begitu. Tidak ada
yang tahu bahwa salah satu urat syaraf Citro telah di-
putus oleh perempuan cantik yang sedang menjadi
tamu sang Adipati itu. Bahkan sang Adipati sendiri ti-
dak tahu apa sebabnya Citro menjadi sinting, karena
ketika sang Adipati menyapa prajurit sinting itu, hanya
suara “mooo... moo... mooo...” saja yang terlontar dari
mulutnya.
Hanya Prabayani yang tahu, bahwa ‘hasil pekerja-
annya’ telah mengakibatkan sintingnya seorang manu-
sia. Kasihankah dia pada Citro? O, tidak. Perempuan
iblis itu bahkan senang, karena rahasia kebinalannya
akan tetap menjadi rahasia. Kecuali sang Adipati sen-
diri. Tapi Prabayani yakin sang Adipati tidak akan
mengoceh sembarangan tentang hal itu (karena itu
Prabayani merasa tidak perlu mencelakakan sang Adi-
pati).
Sebenarnya lelaki yang senasib dengan Citro itu su-
dah banyak. Setiap kali Prabayani merasa bosan de-
ngan seorang lelaki yang sudah ‘dikuras’ kejantanan-
nya, diputuskannya salah satu urat syaraf lelaki itu.
Kemudian lelaki itu menjadi sinting dan tidak ingat
apa-apa lagi.
Tentu saja korban Prabayani bukan lelaki-lelaki tua
yang sudah keriputan. Pada umumnya pemuda-pe-
muda remaja saja yang dijadikan korbannya. Karena
selain untuk melampiaskan nafsunya yang berlebihan,
Prabayani pun membutuhkan bujang-bujang asli un-
tuk melengkapi resep awet mudanya!
Setelah Citro diamankan, Adipati Natajaya marah-
marah saja kerjanya. Istri dan selir-selir resminya tiada
yang berani mendekatinya. Hanya Prabayani yang be-
rani muncul di depan sang Adipati.
“Ada-ada saja,” gerutu sang Adipati. “Sudah kusir
keretaku telanjang-telanjangan di depanku, sekarang
prajuritku pula yang mendadak edan begitu.”
“Mungkin Kanjeng Adipati harus beristirahat di
tempat yang tenang,” ujar Prabayani. “Dan kalau dibu-
tuhkan, hamba bersedia menemani Kanjeng Adipati.”
Adipati Natajaya menggeleng. “Tidak. Dalam kea-
daan seperti ini, mana mungkin aku bisa beristirahat
dengan tenang?”
“Sebenarnya apa yang dirisaukan oleh Kanjeng Adi-
pati?”
“Adikmu itu. Aku takut dia salah bicara di depan
Putra Mahkota.”
Prabayani tersenyum. Melangkah ke belakang sang
Adipati dan meletakkan kedua tangannya di bahu sang
Adipati (suatu tindakan yang melewati batas buat za-
man itu, karena biasanya istri sang Adipati pun tidak
berani bertindak seperti itu).
Kata Prabayani, “Hamba, kakaknya Prabalaya, kan
ada di sini. Kalau adik hamba melakukan kesalahan,
hamba sendiri yang menghukumnya. Tenanglah. Kan-
jeng Adipati tidak usah punya prasangka yang bukan-
bukan terhadap adik hamba. Walaupun dia bukan
seorang negarawan, dia tahu pasti apa yang harus di-
katakan dan apa yang tidak boleh dikatakan.”
“Tapi aku baru yakin hal itu kalau aku sudah
membuktikannya sendiri. Pembunuhan seorang pan-
glima bukan masalah kecil. Mungkin saja pihak kera-
jaan punya cara sendiri untuk menyelidiki sebab-
sebab kematian Senapati Jugala. Karena itu... ah...
mungkin aku harus ke kotaraja sekarang juga.”
“Tentu Kanjeng Adipati membutuhkan seorang pen-
damping yang sekaligus bisa menjadi pengawal, bu-
kan?” bisik Prabayani dengan bibir menempel di daun
telinga Adipati Natajaya.
“Maksudmu?” sang Adipati menggerakkan kepa-
lanya sedikit, sehingga mata Prabayani tampak begitu
dekat dengan wajah sang Adipati.
“Kalau Kanjeng Adipati membutuhkan pendamping
dan pengawal yang bisa menjamin keselamatan di per-
jalanan dan di kotaraja... hamba dengan senang hati
akan ikut dengan Kanjeng Adipati.”
“Mmm... ya... ya... mungkin itu lebih baik. Bersiap-
lah. Sebentar lagi kita berangkat.”
***
KEHADIRAN Prabalaya di kotaraja, membangkitkan
semangat baru di dada Aria Pamungkas. Tentu sa-
ja, karena Aria Pamungkas punya rencana besar yang
masih disimpan di dalam kepalanya. Sedangkan Pra-
balaya dalam tiga hari saja telah mempertunjukkan
kehebatan-kehebatannya. Jauh lebih hebat daripada
Senapati Jugala.
Aria Pamungkas tidak tahu siapa sebenarnya Pra-
balaya itu. Aria Pamungkas hanya tahu bahwa pemu-
da itu memiliki ilmu yang dahsyat, sehingga dalam
waktu sekejap mata saja bisa menghabiskan duapuluh
orang prajuritnya. Aria Pamungkas tidak tahu bahwa
Prabalaya seorang pemuda yang jahat, kejam dan pe-
nuh dengan tipu muslihat. Aria Pamungkas pun tidak
tahu bahwa kehadiran Prabalaya di kotaraja, sudah di-
rencanakan sebelumnya.
Dan pengatur rencana itu kini sudah mulai mema-
suki benteng kotaraja. Beberapa saat kemudian seo-
rang prajurit menghadap Aria Pamungkas, untuk
memberi laporan bahwa Adipati Natajaya hendak da-
tang menghadap.
“Suruh dia masuk,” ujar Aria Pamungkas.
“Daulat, Gusti Aria,” sahut prajurit itu, yang lalu
bergegas mengundurkan diri.
Setelah prajurit itu berlalu, Aria Pamungkas meno-
leh pada Prabalaya yang sudah mengenakan pakaian
bayangkara dan sedang bersila di sampingnya. Lalu
kata Aria Pamungkas, “Adipati Natajaya itu termasuk
salah seorang pendukungku.”
Prabalaya tidak terkejut mendengar pengakuan itu.
Bahkan katanya, “Beliau sudah kenal baik dengan
hamba.”
“Ah... kebetulan kalau begitu.” Wajah Aria Pamung-
kas jadi cerah.
Lalu datanglah Adipati Natajaya, diiringi oleh Pra-
bayani.
Prabalaya agak terkejut melihat kakaknya bersama-
sama Adipati Natajaya. Tapi ia tidak berkata apa-apa.
Takut ada rencana lain yang sedang diatur oleh Adipati
Natajaya.
“Hamba menghaturkan sembah bakti, Gusti Aria,”
cetus Adipati Natajaya sambil berlutut di depan Aria
Pamungkas. Prabayani pun berlutut di belakang Adi-
pati Natajaya.
“Kuterima, Paman Dipati,” sahut Aria Pamungkas
dengan senyum renyah. “Ah... kedatangan Paman Di-
pati kali ini agak lain dari biasanya. Bersama seorang
gadis cantik yang belum kuketahui siapa dirinya.”
“Dia adalah kakak kandung bayangkara baru itu,
Gusti.”
“Kakak kandung Prabalaya?” Aria Pamungkas me-
noleh pada Prabalaya dengan pandangan curiga.
“Benar,” sahut Prabalaya. “Dia kakak hamba, Gusti
Aria. Tapi hamba belum tahu apa sebabnya dia...”
Cepat-cepat Adipati Natajaya memotong, “Berita
tentang pengangkatanmu sebagai bayangkara kera-
jaan, disampaikan oleh seorang pedagang yang baru
pulang dari kotaraja ke Kawahsuling. Karena itu ka-
kakmu ingin menyampaikan ucapan selamat padamu
sekarang, Prabalaya. Begitu juga aku, sengaja datang
ke sini untuk mengucapkan selamat atas nasib baik-
mu.”
“Nanti dulu,” Aria Pamungkas mengangkat tangan
kanannya. “Seingatku, pengangkatan Prabalaya seba-
gai bayangkaraku belum pernah diumumkan secara
resmi kepada pihak luar istana. Bagaimana mungkin
pedagang yang Paman Dipati katakan itu bisa menge-
tahuinya?”
Kali ini Adipati Natajaya agak panik. Soalnya ia sen-
diri baru tahu bahwa Prabalaya diangkat sebagai ba-
yangkara, setelah melihat seragam bayangkara yang
dikenakan oleh Prabalaya. Waktu baru tiba di kotaraja
itu pun, sang Adipati belum tahu apa jabatan yang di-
pegang oleh Prabalaya kini.
Namun dengan cepat Prabalaya mengatasi keadaan
panik terselubung itu. “Sebenarnya begini, Gusti Aria.
Begitu hamba diangkat sebagai bayangkara, diam-
diam hamba menitipkan pesan kepada seorang peda-
gang yang akan pulang ke Kawahsuling, supaya mem-
beritahu kepada kakak hamba, tentang pengangkatan
hamba sebagai bayangkara ini.”
“Betul itu,” tukas Adipati Natajaya dengan dada la-
pang kembali. “Pedagang itu menyampaikan pesannya
kepada hamba, karena kebetulan kakaknya Prabalaya
ini bertugas sebagai pengawal hamba. Itulah sebabnya
hamba sekalian datang bersamanya, untuk membuk-
tikan kebenaran berita itu, sekaligus untuk memperli-
hatkan kesetiaan hamba kepada Gusti Aria.”
“Gadis ini bertugas sebagai pengawal Paman Dipa-
ti?!” Aria Pamungkas tampak sedikit bingung. “Baru
sekali ini aku mendengar seorang adipati mengangkat
seorang perempuan sebagai pengawalnya. Aaah..
mungkin Paman Dipati berkelakar. Katakan saja terus
terang.... gadis ini kekasihmu, bukan?! Hahahahaha...
Paman Dipati ini ada-ada saja!”
Adipati Natajaya tidak berani menanggapi sindiran
itu. Sahutnya, “Walaupun dia seorang perempuan,
kemampuannya tidak kalah oleh Prabalaya, Gusti
Aria.”
Aria Pamungkas memperhatikan Prabayani, tanpa
kepercayaan bahwa perempuan secantik itu bisa mela-
kukan sesuatu yang ‘tidak kalah oleh Prabalaya’.
“Paman Dipati berbicara sungguh-sungguh?” tanya
Aria Pamungkas bimbang.
“O, Gusti Aria. Mana mungkin hamba berani bicara
sembarangan di depan Gusti. Kalau Gusti Aria kurang
percaya, gadis ini bisa membuktikan ucapan hamba.”
Aria Pamungkas bangkit dari singgasananya. Me-
langkah ke samping Prabayani. Memperhatikan gadis
itu dengan teliti. Lalu tanyanya, “Siapa namamu?”
“Nama hamba Prabayani, Gusti Aria,” sahut Pra-
bayani sehormat mungkin.
Aria Pamungkas menggendong lengannya. Kembali
ke singgasananya, sambil bergumam, “Prabayani....”
“Kalau apa yang dikatakan oleh Paman Dipati itu
benar,” kata Aria Pamungkas setelah duduk kembali di
singgasananya, “dengan senang hati aku akan menon-
tonnya.... menyaksikan seorang perempuan berke-
mampuan luar biasa! Ah... aku ingin membuktikannya
sekarang juga, Paman Dipati.”
“Baik, Gusti Aria. Hamba persilakan Gusti Aria meng-
utarakan apa yang harus dilakukan oleh Prabayani
ini,” sahut Adipati Natajaya.
Aria Pemungkas menoleh pada Prabalaya, sambil
berkata, “Bawalah kakakmu ke gelanggang ksatrian!”
“Daulat, Gusti Aria,” sahut Prabalaya, yang lalu
mengajak kakaknya ke gelanggang ksatrian. Sementa-
ra Adipati Natajaya tetap duduk di depan singgasana
Aria Pamungkas.
Di lorong menuju gelanggang ksatrian, Prabalaya
punya kesempatan untuk membisiki kakaknya, “Kena-
pa kalian mendadak datang ke sini?”
Prabayani menoleh ke kanan-kirinya. Setelah yakin
tidak akan ada orang yang ikut mendengar, ia menja-
wab dengan bisikan pula, “Adipati Natajaya takut kau
salah langkah... takut rencananya berantakan.”
“Huhhh...” Prabalaya mendengus di hidung. “Benak
adipati itu selalu diliputi kecurigaan. Padahal kedatan-
gannya ke sini sekarang, justru bisa mengacaukan
rencana yang sudah dibuatnya sendiri.”
Prabayani menoleh ke kanan-kirinya lagi. Lalu
membisikkan sesuatu lagi di telinga adiknya.
Prabalaya tercengang. Tapi lalu mengangguk-
angguk, dengan senyum di bibir.
Sementara itu, Aria Pamungkas dan Adipati Nata-
jaya, sedang berunding pula.
“Aku telah melihat sendiri bagaimana hebatnya pe-
muda itu. Mungkin tidak berlebihan kalau aku meng-
angkatnya langsung sebagai bayangkara.”
“Tentu tidak, Gusti Aria. Bahkan menurut pendapat
hamba, Prabalaya bisa diserahi jabatan tertinggi dalam
angkatan perang Tegalinten.”
“Maksud Paman, diangkat sebagai mahasenapati?”
“Betul, Gusti Aria. Sudah bertahun-tahun jabatan
itu tidak ada yang memegang.”
“Ya. Tadinya aku akan mengangkat Senapati Jugala
sebagai mahasenapati. Tapi ternyata senapati yang
malang itu harus gugur sebelum aku menyampaikan
maksud baikku.”
Adipati Natajaya terdiam. Ada semacam perasaan
berdosa di hatinya, karena Senapati Jugala binasa oleh
suruhan Adipati Natajaya.
“Mungkin sekali Prabalaya bisa diuji, dengan men-
duduki jabatan senapati muda dulu. Tapi... usianya
masih terlalu muda.”
“Apa salahnya orang muda diberi jabatan tinggi,
Gusti? Malah menurut pendapat hamba, jabatan yang
ada sangkut pautnya dengan angkatan perang, harus
diberikan kepada orang-orang muda.”
“Memang benar. Pada umumnya orang-orang muda
itu masih lugu. Belum banyak liku-likunya. Tapi... bi-
arlah nanti akan kupertimbangkan usul Paman Dipati
itu.”
Lalu mereka berjalan menuju gelanggang ksatrian
yang terletak di bagian belakang istana raja.
“Ada satu hal yang sampai saat ini membuatku he-
ran,” kata Aria Pamungkas sambil berjalan di samping
Adipati Natajaya. “Tentang pajak tahunan Kawahsul-
ing. Sudah tiga kali kami mengutus orang ke sana, se-
lalu tidak kembali. Terakhir, Senapati Jugala yang di-
kirimkan ke sana. Apakah dia sempat membicarakan-
nya dengan Paman Dipati?”
“Seingat hamba, belum pernah ada utusan yang da-
tang untuk menagih pajak, Gusti. Tapi... walaupun se-
puluh tahun tidak diambil, pajak dari Kawahsuling un-
tuk kerajaan, akan hamba simpan baik-baik di gudang
bendahara kadipaten. Tidak ada niat di hati hamba
untuk melunturkan kepercayaan yang telah Gusti le-
takkan di bahu hamba.”
“Bagus! Itulah yang kuinginkan. Tadinya aku sudah
berprasangka buruk. Kupikir Paman Dipati sedang me-
nyiapkan pemberontakan, sehingga dengan sengaja
membandel tak mau menyetorkan pajak yang telah di-
tarik dari rakyat Kawahsuling.”
“O, sedikit pun hamba tak berpikir ke sana, Gusti,”
sahut Adipati Natajaya dengan jantung berdebar-
debar, karena merasa tersindir oleh ucapan Aria Pa-
mungkas tadi.
Mereka lalu naik ke atas panggung kehormatan di
sebelah utara gelanggang ksatrian itu.
Sementara itu, Prabalaya dan Prabayani sudah me-
nunggu di tengah gelanggang. Lalu terdengar seruan
Aria Pamungkas dari atas panggung kehormatan.
“Prabayani! Waktu adikmu belum diterima sebagai
bayangkara, aku mengujinya dalam pertarungan me-
lawan duapuluh prajurit pilihanku. Tapi aku tidak
bermaksud mengujimu seberat itu. Sekarang perli-
hatkan saja salah satu keistimewaanmu!”
Prabayani bahkan menyahut, “Hamba akan mem-
perlihatkan sesuatu yang lebih hebat daripada apa
yang pernah dilakukan oleh adik hamba.”
“Maksudmu?”
“Hamba sanggup menghadapi tigapuluh prajurit pi-
lihan.”
Aria Pamungkas terlongong. Ingin juga ia membuk-
tikan ucapan Prabayani itu. Tapi ia tidak ingin kehi-
langan prajurit-prajurit pilihannya lagi. Maka sahut-
nya, “Aku tidak ingin melihatmu bertarung dengan
manusia.”
“Kalau begitu,” kata Prabayani, “hamba persilakan
Gusti Aria mengeluarkan binatang-binatang yang pal-
ing ganas. Menurut berita yang pernah hamba dengar,
Gusti Aria mempunyai harimau-harimau piaraan...”
“Tidak!” potong Aria Pamungkas. “Aku tidak ingin
melihatmu bertarung dengan makhluk hidup.”
Prabalaya berkata setengah berbisik kepada kakak-
nya, “Perlihatkan saja Layon Ngincir.”
Prabayani serasa diingatkan bahwa ia memiliki ilmu
‘Layon Ngincir’, yakni sejenis ilmu untuk menguasai
benda yang lemas dan tipis sehingga bisa dibuat seper-
ti permainan sihir.
Kemudian Prabayani melepaskan selendang su-
tranya yang diikatkan di pinggangnya. Direntangkan-
nya selendang sutra itu sambil menghormat kepada
Aria Pamungkas yang berada di panggung kehormatan.
“Hahahahaaa... kenapa kau lepaskan selendang itu?
Apakah kau mau menari?” tanya Aria Pamungkas.
“Benar, Gusti. Semacam tarian maut,” sahut Pra-
bayani mendadak dingin.
Lalu Prabayani menarik selendang itu pada kedua
ujungnya, sambil memejamkan matanya. Agak lama
Prabayani terdiam, sehingga Aria Pamungkas berbisik
kepada Adipati Natajaya, “Apakah pengawalmu itu
mau tidur sambil berdiri?”
Adipati Natajaya menyahut, “Barangkali lebih baik
kita lihat saja dulu apa yang akan diperlihatkannya.”
Prabayani tampak seperti menggigil. Wajahnya men-
jadi pucat pasi, tapi kedua telapak tangannya tampak
menjadi merah sekali. Selendang itu tetap direntang-
kan, dengan sikap seperti memegang sebatang tongkat.
Prabalaya cepat-cepat melompat ke pinggir. Ia tahu
benar apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba tubuh Prabayani berpusing, dengan tan-
gan tetap merentang-tegangkan selendang sutra itu.
Pusingan tubuh Prabayani makin lama makin cepat,
sehingga akhirnya seperti tampak ‘hilang’ di tengah la-
pangan, akibat cepatnya pusingan tubuhnya itu.
“Hebat,” cetus Aria Pamungkas perlahan. “Dia bisa
berputar begitu cepatnya... apakah tidak membuatnya
pusing?”
Adipati Natajaya yang baru sekali itu menyaksikan
kehebatan Prabayani, hanya terlongong-longong di
tempatnya.
Namun sebenarnya pusingan tubuh Prabayani itu
hanya merupakan pembuka dari suatu pertunjukan
ilmu yang berbahaya. Pada suatu saat, pusingan tu-
buh Prabayani menimbulkan bunyi mendengung-
dengung, laksana bunyi seekor tawon raksasa yang
sedang terbang mengejar mangsa.
Dan... tiba-tiba saja selendang sutra itu terbang
memusing di udara. Selendang yang terbuat dari sutra
lemas itu seakan-akan berubah menjadi sebilah golok
yang keras dan tajam.
Prabayani telah berdiri tegak. Kaku. Sambil me-
mandang ke arah selendang yang tengah berputar-
putar di udara itu. Ke mana pun selendang itu ter-
bang, mata Prabayani mengikutinya terus.
Selendang itu mulai menghampiri pohon beringin
yang tumbuh di pinggir sebelah selatan. Dan... laksana
senjata Cakra milik Batara Kresna, selendang itu ber-
putar sambil membenam ke dalam batang pohon be-
ringin tersebut. Lalu apa yang terjadi? Pohon beringin
itu seperti digergaji dan... tumbang!
Aria Pamungkas terbelalak takjub menyaksikan
demonstrasi kedahsyatan perempuan yang disangka
lemah itu. Adipati Natajaya pun tercengang-cengang
dibuatnya, karena baru sekali itu melihat pertunjukan
ilmu Prabayani.
Sementara itu Prabalaya melompat ke belakang Aria
Pamungkas, dan berkata, “Kalau kakak hamba tidak
segera diperintahkan menghentikan ilmunya, selen-
dang itu bisa merusak keindahan di sekitar gelanggang
ini, Gusti Aria.”
Aria Pamungkas menyahut, “Biarlah selendang itu
merusak. Aku masih senang menyaksikan kehebatan
ilmu kakakmu.”
Prabalaya melompat turun lagi, lalu berdiri di tem-
pat yang agak jauh dari Aria Pamungkas. Pada saat
itulah secara diam-diam Prabalaya mengirimkan isya-
rat yang hanya bisa dilihat dan dimengerti oleh Pra-
bayani.
Lalu... selendang yang berputar seperti senjata Ca-
kra itu melesat ke dinding sebelah timur... grrrrrrrr....
jebollah dinding tebal itu dibuatnya. Aria Pamungkas
bertepuk tangan saking senangnya. Sedikit pun tak
merasa sayang pada dinding yang jebol itu.
Tapi tiba-tiba saja selendang itu terbang ke arah...
panggung kehormatan! Nguuuuuung...!
Aria Pamungkas terperanjat dan memekik. Dan se-
belum kagetnya hilang, dilihatnya sesuatu yang men-
gerikan. Selendang terbang itu membabat putus leher
Adipati Natajaya!
Aria Pamungkas tidak tahu bahwa peristiwa menge-
jutkan sudah diatur oleh Prabalaya lewat isyarat raha-
sianya tadi. Dan kini Prabalaya berpura-pura terke-
jut... berlari ke tengah gelanggang sambil berseru,
“Hentikan! Hentikan! Oooh... selendang itu mene-
waskan Kanjeng Adipati!”
Prabayani mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi,
dan... selendang maut itu menghampirinya. Lalu lemas
kembali di tangannya.
Setelah mengikatkan kembali selendang itu di ping-
gangnya, Prabayani duduk bersila di tengah gelang-
gang, sambil memejamkan matanya, seperti sedang
bersemedi. Padahal sebenarnya perempuan berhati ib-
lis itu sedang menunggu gelagat sambil memper-
siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Hamba sudah memperingatkannya pada Gusti Aria
tadi,” kata Prabalaya dengan sikap pura-pura sedih.
“Selendang itu bisa merusak. Dan sekarang sudah ter-
bukti... oooh... entah hukuman apa yang akan dija-
tuhkan oleh Gusti Aria terhadap kakak hamba itu.”
Aria Pamungkas masih terpucat-pucat melihat ke-
pala Adipati Natajaya yang sudah terpisah dari tubuh-
nya. Kemudian memanggil prajurit yang menjaga pintu
gelanggang.
“Urus mayat Adipati Natajaya ini sebagaimana mes-
tinya,” perintah Aria Pamungkas yang segera dilaksa-
nakan oleh prajurit itu.
Kemudian Aria Pamungkas turun dari panggung
kehormatan sambil berkata, “Kalian ikut aku.”
Prabalaya dan Prabayani bergegas mengikuti Aria
Pamungkas yang sudah melangkah ke arah balairung.
Di singgasananya Aria Pamungkas tercenung, agak
lama, sehingga suasana di ruangan agung itu hening
sekali.
Prabayani dan Prabalaya duduk di lantai, di depan
singgasana sang Putra Mahkota (yang sudah bertindak
sebagai raja).
Lalu terdengar suara Aria Pamungkas, agak berat,
“Prabayani... sadarkah kau atas tindakan tadi?”
“Sadar, Gusti Aria,” sahut Prabayani tenang.
Aria Pamungkas sulit mempercayai kenyataan itu.
Bahwa perempuan cantik itu tampak tenang sekali se-
telah melakukan sesuatu yang mengerikan tadi.
“Kau sadar bahwa kau telah membunuh tuanmu
sendiri?” desis Aria Pamungkas tajam.
“Kalau Gusti Aria tahu apa yang telah dilakukan
oleh Adipati Natajaya, mungkin Gusti Aria akan men-
ganggap hamba bertindak tepat,” sahut Prabayani te-
gar.
“Maksudmu?” Aria Pamungkas menatap wajah Pra-
bayani dengan pandangan curiga.
“Adipati Natajaya punya rencana besar,” sahut Pra-
bayani. “Sebenarnya dia ingin menjadi raja di negeri
ini. Dan untuk merintis jalan yang ditujunya itu, dia
menyuruh seseorang untuk membunuh Senapati Ju-
gala.”
“Adipati Natajaya ingin jadi raja, lalu menyuruh
orang untuk membunuh Senapati Jugala?! Ooo... Jadi
dia yang berdiri di belakang peristiwa itu?” Aria Pa-
mungkas berdiri, hilir mudik di balai ruang, lalu du-
duk kembali.
“Benar, Gusti. Orang yang disuruh membunuh Se-
napati Jugala itu adalah Kujang Gading,” sahut Pra-
bayani tenang.
Laporan palsu itu membingungkan Aria Pamung-
kas. Lalu tanyanya, “Dari mana kau tahu bahwa pem-
bunuh Senapati Jugala itu suruhan Adipati Natajaya?”
Jawab Prabayani, “Tadi, dalam perjalanan dari Ka-
wahsuling ke sini, Kujang Gading mencegat kami. Ke-
mudian berbisik ke telinga sang Adipati. Berkat ilmu
yang hamba miliki, hamba bisa mendengar bisikan
itu.”
“Apa yang dibisikkan oleh orang itu?” tanya sang
Putra Mahkota.
“Dia melaporkan tentang tugasnya yang telah dis-
elesaikan dengan baik, yakni membunuh Senapati Ju-
gala.”
“Lalu, dari mana kau bisa tahu bahwa Adipati Nata-
jaya merencanakan untuk mengadakan perebutan ke-
kuasaan?”
“Juga dari bisikan tadi. Hamba dengar kata Adipati
Natajaya... bagus... bagus... kalau aku sudah duduk di
singgasana raja Tegalinten, aku tidak akan melupa-
kanmu, Kujang Gading... aku akan mengangkatmu se-
bagai mangkubumi... begitulah yang hamba dengar ta-
di, Gusti Aria.”
“Baik... taruhlah apa yang kau katakan itu benar.
Tapi apa sebabnya kau langsung bertindak sebelum
memberi laporan dulu padaku?” pandangan Aria Pa-
mungkas tetap mengandung kecurigaan.
Dan Prabayani tetap tenang, “Hamba rasa, demi ke-
selamatan Gusti Aria, hamba boleh bertindak tanpa
berunding dulu. Mungkin tadi Gusti Aria tidak melihat
gerak-geriknya yang sangat mencurigakan. Sebentar-
sebentar ia mencuri pandang pada Gusti Aria, dengan
tangan selalu berdekatan dengan kujangnya. Karena
itu, hamba pikir lebih baik bertindak dulu daripada
menunggu terjadinya bencana itu.”
Prabalaya yang sejak tadi terdiam, mulai buka sua-
ra, “Ampun, Gusti Aria. Apa yang dikatakan oleh ka-
kak hamba itu benar sekali. Tadi, waktu hamba dan
kakak hamba berjalan menuju gelanggang ksatrian,
kisah pertemuannya dengan Kujang Gading itu telah
disampaikan kepada hamba. Dan sekarang hamba ba-
ru ingat, bahwa lelaki bertopeng yang hamba kejar se-
telah pembunuhan Senapati Jugala itu, memang mirip
sekali Kujang Gading. Hamba yakin itu, karena hamba
pernah bentrok dengan Kujang Gading sebelumnya di
alun-alun Kawahsuling.”
“Kau pernah bentrok dengan Kujang Gading?” tanya
Aria Pamungkas.
“Betul, Gusti.”
“Dan kau mengaku kenal baik dengan Adipati Nata-
jaya?”
“Betul, Gusti.”
“Lalu kisah macam apa yang kau ceritakan padaku
ini? Kau bilang bahwa baik kau maupun Kujang Ga-
ding, sama-sama bersahabat dengan Adipati Natajaya.
Tapi kau pernah bentrok pula dengan Kujang Gading.
Ceritamu membingungkanku, Prabalaya.”
Prabalaya tidak kehabisan akal untuk menceritakan
sesuatu yang hanya ada di dalam khayalannya. “Begi-
ni, Gusti. Pada saat itu terjadi bentrokan antara Sena-
pati Jugala dengan Kujang Gading. Dan hamba meli-
hat bahwa Senapati Jugala akan dibinasakan oleh Ku-
jang Gading. Banyak rakyat Kawahsuling dan balaten-
tara kerajaan yang menyaksikan peristiwa itu. Gusti
Aria bisa menanyakan kesaksian mereka.”
“Lalu?”
“Senapati Jugala sudah roboh sambil memuntah-
kan darah segar dari mulutnya saat itu. Tapi dengan
kejam Kujang Gading hendak melayangkan pukulan
mautnya, untuk menghabisi nyawa Senapati Jugala.
Pada saat itulah hamba bertindak, untuk mencegah
kekejaman Kujang Gading. Kemudian hamba bentrok
dengan Kujang Gading. Dan... dia melarikan diri... dia
lenyap dari alun-alun Kawahsuling. Tentang hal itu,
Gusti Aria juga bisa menanyakan kepada saksi-saksi
yang masih hidup.”
“Baiklah... ceritakan terus!”
“Tampaknya kejadian itu didalangi oleh Adipati Na-
tajaya,” kata Prabalaya. “Dia sengaja ingin mencipta-
kan keadaan sedemikian rupa, sehingga Kujang Gad-
ing dapat membunuh Senapati Jugala, sementara ia
akan bersikap seakan-akan tidak dapat menguasai
keadaan. Dengan licin pula Adipati Natajaya mencipta-
kan suasana sedemikian rupa sehingga orang-orang
mengira bahwa Kujang Gading itu berada di pihak
yang bertentangan dengan Adipati Natajaya.”
“Lalu, dalam perjalanan pulang dari Kawahsuling,
bagaimana kau bisa mendadak muncul di tempat pe-
ristiwa pembunuhan Senapati Jugala itu?”
“Naluri hamba mengatakan bahwa Senapati Jugala
berada dalam bahaya. Di pihak lain, perasaan bersa-
habat hamba terhadap Adipati Natajaya, sudah mulai
luntur, karena hamba muak melihat kejahatannya.”
“Lalu?”
“Hamba berusaha mengejar rombongan Senapati
Jugala dan ingin melindunginya dari bahaya. Tapi ke-
datangan hamba terlambat. Kujang Gading telah ber-
hasil membunuh sang Senapati.”
Tampaknya Aria Pamungkas termakan oleh ucapan
berbisa itu. Selesai mendengarkan ‘pengakuan’ Praba-
laya, sang Putra Mahkota mengangguk-angguk dengan
senyum datar. Pandangannya seolah-olah berkata...
kalau begitu, sudah sepantasnyalah Adipati Natajaya
menemui ajalnya...!
Tiba-tiba muncullah Resi Ekaraga di ruangan agung
itu.
Sang Resi seperti bermimpi, terpana melihat wajah
Prabayani yang sangat mirip Sutiresmi pada masa re-
majanya. Prabayani sendiri heran dipandangi dengan
cara begitu oleh seorang berpakaian brahmana.
Namun Resi Ekaraga cepat-cepat menguasai pera-
saannya. Duduk di kursi yang terletak di samping
singgasana Aria Pamungkas, sambil berkata, “Hamba
melihat wajah baru di ruangan agung ini.”
“Dia ini kakaknya Prabalaya,” sahut Aria Pamung-
kas. “Prabayani namanya.”
“O, pantas...,” gumam Resi Ekaraga acuh tak acuh.
Padahal hatinya, o, hatinya itu... seolah-olah memekik,
seolah-olah diingatkan pada masa lalunya... pada ma-
sa mudanya...!
Dan kenangan itu menimbulkan suasana haru di
hati sang Resi.
***
DALAM RUANGAN tertutup yang hanya boleh dima-
suki oleh Aria Pamungkas dan Resi Ekaraga. “Be-
gitulah ceritanya, Paman Resi. Apakah Paman Resi
punya pendapat mengenai mereka?”
“Memang sulit dipercaya bahwa dalam waktu yang
begitu singkat, telah terjadi peristiwa yang begitu ba-
nyak. Dan tampaknya Prabayani itu... mampu mela-
kukan lebih banyak lagi.”
“Maksud Paman Resi?”
Resi Ekaraga terdiam. Dalam hatinya timbul perge-
lutan. Tentang Prabayani itu.
Sebagai seorang pendeta berpengalaman, Resi Eka-
raga langsung bisa menebak jiwa apa yang terselubung
di balik wajah cantik Prabayani. Tapi, entahlah, ketika
Resi Ekaraga memandang wajah Prabayani itu... wajah
yang sangat mirip dengan Sutiresmi remaja itu... kon-
tan saja timbul perasaan sayangnya. Memang tidak
sama dengan perasaan sayangnya terhadap Sutiresmi
dahulu. Tapi jelas perasaan sayang yang masih disem-
bunyikan itu, sangat mempengaruhi jiwa sang Resi.
Mungkin itu pula yang menyebabkan sang Resi ber-
kata, “Gadis itu dalam beberapa hal, tampaknya lebih
unggul daripada Prabalaya. Mungkin suatu kejutan
yang membahagiakan akan terjadi, jika Prabayani di-
beri kedudukan istimewa di kerajaan ini.”
“Cocok sekali!” Aria Pamungkas menepuk paha.
“Aku bahkan hendak mengangkatnya sebagai senapa-
ti!”
“Senapati?!” terkejut juga Resi Ekaraga dibuatnya.
“Ya. Prabayani akan kuangkat sebagai senapati. Se-
dangkan Prabalaya akan kuangkat sebagai adipati Ka-
wahsuling, sebagai pengganti Adipati Natajaya yang te-
lah mampus itu.”
“Tapi... Prabalaya bukan keturunan bangsawan.
Apakah pengangkatannya tidak akan menimbulkan
protes dari rakyat Kawahsuling kelak?” Resi Ekaraga
tampak sangsi.
“Itu bisa diatur, Paman. Aku akan menghadiahi ge-
lar bangsawan kepada mereka... katakanlah sebagai
hadiah atas jasa-jasa mereka dalam mengamankan ke-
rajaan. Kemudian... nah... tinggal angkat saja mereka
sebagai senapati dan adipati! Hahahahah... ini kejutan,
Paman. Seorang gadis menjadi senapati, seorang pe-
muda menjadi adipati. Seperti kukatakan tempo hari...
dalam jiwa muda itu masih ada kemurnian!”
Resi Ekaraga cuma terbengong-bengong. Memang ia
gembira mendengar Prabayani akan diangkat sebagai
senapati. Berarti ia akan sering melihat wajah yang
mampu menggugahkan kenangan lamanya itu. Tapi
hati kecilnya masih sangsi, mungkinkah seorang wani-
ta bisa memangku jabatan panglima perang?
Maka akhirnya Resi Ekaraga hanya berkata, “Laku-
kanlah apa yang menurut Gusti Aria harus dilakukan.
Hamba ikut memberi doa restu, semoga cita-cita Gusti
Aria terkabul.”
Seperti biasanya, hati Aria Pamungkas seolah di-
guyur kesejukan kalau sudah mendengar ‘memberi
doa restu’ dari mulut pendeta istana itu. Sedikit pun ia
tidak menduga bahwa saat itu Resi Ekaraga mengu-
capkan ‘doa restu’ dengan hati yang sangsi.
Sedikit pun Aria Pamungkas tidak mengira, bahwa
saat itu kakaknya yang terlahir dari Selir Sawitri, se-
dang menghadap Prabu Suriadikusumah di tempat
pertapaannya yang terletak jauh di sebelah selatan ko-
taraja.
“Kehadiranmu di depanku, selalu menumbuhkan
ketenangan bagi jiwaku,” sabda sang Prabu. “Adakah
yang ingin kau sampaikan?”
Aria Lumayung menyembah kaki ayahnya, dan ber-
kata, “Tidak, Rama Prabu. Kedatangan hamba ke sini,
semata-mata ingin menengok Rama Prabu yang sudah
cukup lama meninggalkan istana.”
“Kau memang anak yang berbakti, Aria Lumayung.
Bagaimana keadaan di istana sekarang?” Prabu Suria-
dikusumah memegang bahu putranya.
“Semuanya dalam keadaan sehat. Hanya...” Aria
Lumayung tidak melanjutkan kata-katanya.
Membuat sang Prabu heran, “Hanya apa?”
“Ti... tidak ada apa-apa, Rama Prabu,” sahut Aria
Lumayung tergagap. “Hamba hanya merasa... istana
seperti kesunyian setelah Rama Prabu meninggalkan-
nya.”
Senyum Prabu Suriadikusumah tergerai. Tapi lalu
kata-katanya menjadi tegar. “Kau tidak boleh mendus-
taiku. Tentu ada sesuatu yang ingin kau katakan pa-
daku. Nah... katakanlah secara jujur.”
Lama Aria Lumayung terdiam. Dan akhirnya, “Sejak
Rama Prabu berkenan tinggal di tempat suci ini, istana
seolah-olah diliputi awan mendung. Kematian berpu-
luh-puluh prajurit di Kawahsuling, disusul oleh kema-
tian Senapati Jugala... tampaknya belum cukup untuk
mencucurkan hujan duka di Tegalinten. Kehadiran
seorang pemuda bernama Prabalaya, harus diberi
tumbal dua puluh prajurit pilihan. Dan kemarin... Adi-
pati Natajaya tewas dalam keadaan yang menyedih-
kan... dengan kepala yang terpisah dari badannya...
ooh... pertanda apa gerangan semuanya ini, Rama
Prabu?”
Prabu Suriadikusumah sudah mendengar berita ke-
matian Senapati Jugala itu. Tapi berita tentang Adipati
Natajaya, baru sekali itu didengarnya. Maka tanya
sang Prabu, “Apa yang telah terjadi sehingga Adipati
Natajaya tewas?”
“Hamba tidak tahu pasti,” sahut Aria Lumayung.
“Hamba hanya mendengar beritanya... bahwa Adipati
Natajaya tewas oleh seorang gadis yang sekarang dite-
rima sebagai tamu istana. Hamba yang mendengar
bahwa tindakan gadis itu atas izin Rayi Aria Pamung-
kas, yang menganggap Adipati Natajaya hendak mem-
berontak.”
“Seorang gadis bisa membunuh Adipati Natajaya?!
Ah... bagaimana itu bisa terjadi?”
“Gadis itu bukan gadis biasa, Rama Prabu. Hanya
dengan selendangnya saja, ia mampu menumbangkan
pohon beringin di gelanggang ksatrian dan menjebol-
kan dinding yang membatasi gelanggang ksatrian den-
gan keputren.”
Prabu Suriadikusumah termangu-mangu. Lalu,
“Siapa gadis itu?”
“Kakak kandung pemuda yang bernama Prabalaya
itu, Rama Prabu. Namanya Prabayani.”
“Prabalaya... Prabayani...” gumam Prabu Suriadiku-
sumah. “Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama-
nama itu. Mmm... apakah kau tahu siapa ayah me-
reka?”
“Kalau tidak salah, nama ayahnya Prabaseta.”
“Prabaseta?!” Prabu Suriadikusumah terperanjat.
“Ooh... bagaimana mungkin keturunan Jalak Ruyuk
bisa berkeliaran di dalam istanaku...!”
Begitu mengucapkan kata ‘istanaku’, sang Prabu
seperti terkejut sendiri. Karena meskipun beliau masih
menjadi raja di Tegalinten, namun secara tidak resmi
kekuasaan sudah diserahkan kepada Aria Pamungkas.
Dan Aria Lumayung bersikap datar saja mendengar
julukan ‘Jalak Ruyuk’ itu. Kedataran yang tidak diper-
hatikan oleh sang Prabu. Bahkan sang Prabu mene-
rangkan, “Jalak Ruyuk adalah gelar yang diberikan
orang-orang kepada tokoh golongan sesat bernama
Prabaseta itu.”
Seperti kurang bersemangat, Aria Lumayung ber-
tanya, “Apakah Prabaseta itu menjadi pemimpin utama
golongan sesat?”
“Ya,” sahut sang Prabu. “Kurasa sekarang dialah
pemimpinnya.”
Aria Lumayung menghela napas panjang. Menun-
duk dan berkata, “Hamba rasa, nasi sudah menjadi
bubur, Rama Prabu.”
Prabu Suriadikusumah memandang ke luar perta-
paan yang sunyi, tanpa berkata sepatah pun.
Lama pertapaan itu dicengkeram keheningan.
Sampai akhirnya Aria Lumayung berkata, “Keda-
tangan hamba ke sini, sekalian hendak mohon izin da-
ri Rama Prabu. Hamba ingin menambah pengetahuan
dan pengalaman hamba di negeri orang.”
Prabu Suriadikusumah terperangah. Memandang
wajah putranya yang penyabar dan tidak berambisi
itu, dengan perasaan cemas.
“Aria Lumayung,” sabda sang Prabu, “walaupun
engkau bukan terlahir dari permaisuri, namun bagai-
manapun juga kau adalah putra sulungku. Seharus-
nya kau selalu berada di negeri ini, untuk menyadar-
kan adikmu dari segala kealpaannya.”
“Ampun, Rama Prabu. Menurut pendapat hamba,
Rayi Aria Pamungkas sudah cukup dewasa. Bahkan
mungkin sudah tiba waktunya untuk dinobatkan se-
bagai raja Tegalinten secara resmi. Dia... dia tentu ta-
hu jalan terbaik bagi rakyat Tegalinten dan bagi di-
rinya sendiri. Apalagi dengan dukungan Resi Ekaraga,
hamba rasa Rayi Aria Pamungkas akan selalu menda-
pat nasihat-nasihat yang luhur.”
Waktu menyebutkan nama Resi Ekaraga, tampak-
nya lidah Aria Lumayung seperti berat. Sang Prabu ju-
ga tahu itu. Dan seperti seiring dengan perasaan Aria
Lumayung, sang Prabu bersabda, “Sebenarnya bela-
kangan ini aku agak heran melihat sikap Resi Ekaraga,
yang tampaknya jadi begitu mendukung Aria Pamung-
kas. Tapi, yah, sudahlah. Seperti yang kau katakan ta-
di... nasi telah menjadi bubur.”
“Lalu,” sang Prabu melanjutkan, “tadi kau bilang
hendak menuntut ilmu di negeri orang... negeri mana
yang hendak kau tuju itu?”
“Hamba tidak punya tujuan yang pasti. Hamba ha-
nya ingin mengikuti ke mana kaki hamba hendak me-
langkah.”
“Seorang putra raja hendak bepergian tanpa tujuan
yang pasti?!” tukas sang Prabu bernada keluhan. “Apa
sebenarnya yang kau cari, anakku?”
“Ampun, Rama Prabu,” sahut Aria Lumayung. “Se-
perti yang telah hamba haturkan tadi, hamba ingin
menambah pengetahuan dan pengalaman di negeri
orang.”
“Kalau hanya untuk menuntut ilmu, kau bisa me-
manggil seorang guru ke istana. Untuk apa kau bersu-
sah-payah mencarinya ke negeri orang?”
“Memang benar, Rama Prabu. Sebagai seorang pu-
tra raja, sebenarnya hamba bisa dengan mudah me-
manggil para cerdik-pandai, untuk memberikan pelaja-
ran-pelajarannya kepada hamba. Namun justru den-
gan terlalu mudahnya itu, hamba seperti yang tidak
dididik untuk menyelami arti hidup yang sebenarnya.
Hamba ingin membuktikan bahwa kenikmatan hidup
itu tidaklah harus didatangkan dari kemewahan. Bah-
kan sebaliknya... pada saat ini hamba merasa kehidu-
pan di dalam istana, laksana kungkungan yang me-
nyiksa. Sehingga sering hamba melamun, betapa
menggiurkannya kehidupan yang bebas, lepas dari se-
gala peraturan istana yang ketat...”
Belum habis Aria Lumayung berkata, tiba-tiba da-
tanglah sang Mangkubumi, sehingga ucapan Aria Lu-
mayung terputus di tengah jalan.
“Hamba menghaturkan sembah bakti, Gusti Prabu,”
sang Mangkubumi bersimpuh di depan Prabu Suriadi-
kusumah.
“Kuterima, Rayi Mangkubumi,” sang Prabu mem-
perhatikan Mangkubumi Tegalinten dengan dahi ber-
kerut. Lalu sabdanya, “Rasanya belum begitu lama kita
tidak berjumpa. Tapi Rayi Mangkubumi kelihatan be-
rubah sekali. Apakah Rayi Mangkubumi sedang sakit?”
Sang Mangkubumi terharu mendengar pertanyaan
itu. Terharu karena merasa betapa besarnya perhatian
sang Prabu terhadap dirinya. Lalu sahut sang Mang-
kubumi, “Hamba sehat-sehat saja, Gusti Prabu. Peru-
bahan pada diri hamba ini, mungkin hanya dipaksa
oleh ketuaan saja.”
“Hahahaaa... Rayi Mangkubumi ini ada-ada saja.
Usiamu jauh lebih muda daripada usiaku, bukan?!
Nah, sekarang katakanlah... adakah sesuatu yang in-
gin Rayi sampaikan?”
Sang Mangkubumi tertunduk sesaat, seperti memi-
kirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepa-
da rajanya. Lalu, “Hamba datang menghadap untuk
menengok keadaan Gusti Prabu di sini. Selain daripa-
da itu, hamba ingin menghaturkan permohonan kepa-
da Gusti Prabu, agar sudilah kiranya Gusti Prabu
mengizinkan hamba untuk mengundurkan diri dari ja-
batan hamba sekarang.”
Prabu Suriadikusumah memijit-mijit dagunya. Wa-
jahnya tampak datar. Namun kalau melihat matanya,
jelas, bahwa sang Prabu sedang mencoba menguasai
kaget dan kecewanya.
Lalu sang Prabu mengalihkan pandangannya pada
putranya, lalu mengalihkannya lagi pada sang Mang-
kubumi, lalu bersabda perlahan, “Mungkin ada sesua-
tu yang sangat berarti, sehingga Rayi Mangkubumi
berniat mengundurkan diri dari jabatan Rayi.”
Lirih sang Mangkubumi menjawab, “Hamba merasa
bahwa usia hamba sudah cukup tua. Mungkin sudah
tiba waktunya bagi hamba, untuk mengundurkan diri
dari kesibukan-kesibukan pemerintahan, sekaligus I-
ngin memberi kesempatan pada yang muda-muda un-
tuk menyumbangkan darma bakti mereka terhadap
negara.”
“Hmm... aku menangkap semacam ketidakjujuran
dari kata-kata Rayi Mangkubumi. Kenapa Rayi Mang-
kubumi tidak mau bicara terus-terang bahwa sebe-
narnya banyak hal yang tidak cocok dengan jiwa Rayi
di istana?”
“Ampun, Gusti Prabu. Penyebab utama dari permo-
honan hamba, adalah apa yang hamba haturkan tadi.
Penyebab kedua... mungkin seperti apa yang di-
sabdakan oleh Gusti Prabu tadi.”
“Bahwa banyak hal yang tidak cocok dengan jiwa
Rayi di istana?”
“Daulat, Gusti Prabu.”
Prabu Suriadikusumah bangkit. Berdiri dan me-
langkah ke pintu pertapaan. Memandang hutan lebat
di sebelah timur. Dan bersabda sambil bersandar ke
pintu pertapaan. “Kalau orang-orang bijaksana sudah
mulai menyisihkan diri atau tersisih dari pemerintahan
suatu negara, maka tidak bisa tidak, negara itu mulai
melangkah ke ambang keruntuhan.”
Mangkubumi dan Aria Lumayung tertunduk.
Prabu Suriadikusumah duduk kembali. Tercenung
sesaat. Memandang sang Mangkubumi yang masih ter-
tunduk dan bertanya, “Apa yang akan Rayi lakukan
setelah mengundurkan diri nanti?”
“Kalau diperkenankan, hamba ingin mengiringi
Gusti Prabu, untuk mencari kedamaian dan kesucian
di sini,” sahut sang Mangkubumi.
Sang Prabu terdiam. Namun bola-bola matanya
tampak berkaca-kaca. Di hati sang Prabu tumbuh ke-
haruan yang mendalam, atas kesetiaan sang Mangku-
bumi yang telah bertahun-tahun mendampinginya da-
lam tugas-tugas pemerintah.
Dan akhirnya Prabu Suriadikusumah bersabda,
“Walaupun aku seorang raja, namun kekuasaanku su-
dah kuserahkan kepada Aria Pamungkas. Karena itu
aku tidak mau menghalang-halangi kehendak Rayi
Mangkubumi. Bahkan mungkin seharusnya aku mera-
sa bahagia, karena Rayi Mangkubumi ingin menema-
niku di sini, sehingga aku tidak akan merasa kesepian
lagi.”
“Tapi,” lanjut sang Prabu, “apakah keinginan Rayi
itu sudah dipikirkan matang-matang? Maksudku, apa-
kah memang hanya jalan itu yang terbaik menurut
pandangan Rayi?”
Dengan berat sang Mangkubumi menjawab, “Mung-
kin masih ada jalan lain. Tapi rasanya hamba sudah
tak sanggup lagi memangku jabatan sebagai mangku-
bumi.”
“Yaaah... kalau begitu masalahnya, aku tidak bisa
menghalang-halangi. Tapi sebaiknya berbicaralah dulu
dengan Putra Mahkota,” sabda sang Prabu lirih.
“Daulat, Gusti Prabu. Hamba akan segera meng-
haturkannya kepada Gusti Aria Pamungkas.”
Lalu Prabu Suriadikusumah menoleh kepada putra-
nya, dan bersabda, “Kau juga, anakku. Berbicaralah
dulu pada adikmu, sebelum melaksanakan keinginan-
mu itu.”
“Jadi Rama Prabu memperkenankan hamba meran-
tau di negeri orang?” wajah Aria Lumayung berbinar-
binar, antara gembira dan terharu.
Prabu Suriadikusumah mengangguk lembut.
***
Kedatangan Aria Lumayung dan sang Mangkubumi
di istana, tepat pada saat Aria Pamungkas selesai be-
runding dengan Resi Ekaraga.
“Kebetulan,” kata Aria Pamungkas, “kami baru saja
selesai merundingkan sesuatu yang besar. Sesuatu
yang akan membuat Kerajaan Tegalinten berjaya. Kita
akan mempunyai seorang senapati yang masih muda
belia. Senapati adalah kedudukan yang selalu dipe-
gang oleh lelaki. Tapi kali ini kita akan mempunyai
seorang senapati wanita. Senapati Prabayani yang can-
tik tapi perkasa.”
Aria Lumayung dan sang Mangkubumi terkejut. Ta-
pi mereka tidak mengeluarkan pendapat.
Aria Pamungkas melanjutkan, “Selain daripada itu,
kedudukan adipati Kawahsuling yang kosong, akan se-
gera diisi oleh Prabalaya. Seorang pemuda yang tegas
dan akan membuat Kawahsuling sebagai daerah tela-
dan di kerajaan kita.”
Lagi-lagi Aria Lumayung dan sang Mangkubumi ter-
kejut. Dan lagi-lagi mereka tidak memberikan tangga-
pan.
Aria Lumayung bahkan mengungkapkan maksud-
nya. “Sebenarnya kedatanganku sekarang untuk ber-
pamitan kepada Rayi, karena aku bermaksud menam-
bah pengetahuan dan pengalaman di negeri orang.”
Aria Pamungkas terpengaruh. Memang ia tidak meng-
anggap Aria Lumayung sebagai kakak yang seiring da-
lam cita-cita. Namun kehadiran kakak seayah yang
sabar itu, seringkali jadi penyejuk jiwanya. Seringkali
mampu menenangkan gejolak jiwa Aria Pamungkas
manakala api amarah sedang merajalela.
Aria Pamungkas tidak pernah menganggap Aria Lu-
mayung sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, ka-
rena Aria Lumayung tidak pernah memperlihatkan
ambisi terhadap pemerintahan di Tegalinten. Karena
itu, Aria Pamungkas cukup terpukul setelah menden-
gar ucapan Aria Lumayung tadi.
“Hendak meninggalkan istana, justru pada saat su-
atu keputusan besar akan dilaksanakan?! Ah... ra-
sanya Raka Aria Lumayung seperti yang sengaja hendak
menggagalkan usaha kami dalam menegakkan kehor-
matan kerajaan ini,” protes Aria Pamungkas.
Sahut Aria Lumayung, “O, jangan berpikiran seperti
itu, Rayi! Rencana keberangkatanku tidak ada hubun-
gannya dengan usaha Rayi. Tadi, sebelum Rayi mengu-
tarakan rencana Rayi itu, aku sudah meminta izin dari
Rama Prabu. Hanya kebetulan saja rencanaku berte-
patan waktunya dengan rencana Rayi.”
Aria Pamungkas terdiam. Dan tiba-tiba sang Mang-
kubumi pun mengutarakan maksudnya, “Kedatangan
hamba juga untuk memohon diri kepada Gusti Aria,
karena hamba pun bermaksud meletakkan jabatan
hamba.”
Aria Pamungkas tercengang. Mengalih-alihkan pan-
dangannya di antara Aria Lumayung dan sang Mang-
kubumi. Kemudian berkata lantang, “Ooo....kebusukan
macam apa sebenarnya yang terpendam di dalam hati
kalian itu? Ramai-ramai berpamitan, justru pada saat
aku membutuhkan dukungan dari yang tua maupun
yang muda?!”
“Ampun, Gusti Aria,” sang Mangkubumi meletakkan
kedua tangan di dada. “Sebenarnya niat hamba tidak
pernah dirundingkan dengan Gusti Aria Lumayung.
Demikian pula Gusti Aria Lumayung tidak pernah me-
rundingkan maksud kepergiannya kepada hamba. Ha-
nya secara kebetulan, tadi hamba berjumpa dengan
Gusti Aria Lumayung di tempat pertapaan Gusti Pra-
bu. Ternyata Gusti Aria Lumayung pun sedang memo-
hon perkenan dari Gusti Prabu, untuk menuntut ilmu
di negeri orang.”
“Memang betul begitu, Rayi,” Aria Lumayung mem-
perkuat ucapan sang Mangkubumi. “Secara kebetulan
saja kami berjumpa di tempat pertapaan Rama Prabu.
Lalu bersama-sama ke sini.”
Aria Pamungkas mendengus di hidung. Lalu ka-
tanya dingin, “Kalau mau pergi, pergilah! Pergilah! Aku
mengerti sekarang, bahwa kalian sebenarnya tidak se-
tuju dengan pengangkatanku sebagai putra mahkota.”
“Jangan berprasangka buruk, Rayi. Di dalam hatiku
tak pernah tersimpan perasaan iri-dengki terhadap adik-
ku sendiri. Bahagia hati Rayi, adalah bahagia hatiku
juga.. Kalau Rayi sudah menjadi raja di negeri ini, hati-
ku juga merasa bangga. Dan aku akan tetap mendoa-
kan, semoga Rayi selalu dibimbing oleh kebenaran dan
keadilan, untuk menciptakan kehidupan yang makmur
dan sejahtera di kerajaan ini,” ujar Aria Lumayung
lembut.
Namun wajah Aria Pamungkas tetap dingin.
***
Beberapa hari kemudian, istana Raja Tegalinten
mulai dihias seindah-indahnya. Persiapan-persiapan
mulai dilakukan, untuk upacara pengangkatan Pra-
bayani dan Prabalaya sebagai senapati Tegalinten dan
Adipati Kawahsuling.
Namun pada hari itu pula Aria Lumayung dan sang
Mangkubumi meninggalkan istana. Pada hari itu pula
Aria Pamungkas tampak murung di istananya. Sampai
datang Resi Ekaraga.
“Tampaknya kepergian mereka mengandung rahasia
yang belum terpecahkan, Gusti Aria.”
“Maksud Paman Resi?”
“Yaaah... hamba tidak berani mengatakannya. Ter-
lebih lagi kalau mengingat bahwa Gusti Aria Lumayung
itu kakak Gusti sendiri.”
“Paman Resi, dalam beberapa hal aku menganggap
Paman Resi sebagai orang yang terdekat denganku.
Rasanya hubunganku dengan Rama Prabu pun, tidak
seakrab hubunganku dengan Paman Resi. Karena itu,
sampaikanlah apa pun yang bersangkutan dengan di-
riku, meski pertalian keluarga terdapat di dalam apa
yang hendak Paman sampaikan itu.”
Resi Ekaraga mengangguk-angguk. Lalu katanya,
“Entahlah... hati hamba kali ini berdetak lain, Gusti.
Hamba... hamba takut kalau mereka merencanakan
sesuatu yang tidak terduga-duga oleh Gusti Aria.”
“Merencanakan sesuatu?!”
“Ya. Mungkin saja secara diam-diam mereka sedang
mengatur siasat untuk merobohkan Gusti Aria, karena
mereka tidak setuju atas pengangkatan Prabayani dan
Prabalaya yang akan dilaksanakan itu. Gusti melihat
sendiri bagaimana bentuk wajah mereka ketika Gusti
mengutarakan rencana pengangkatan Prabayani dan
Prabalaya itu. Wajah-wajah yang dingin dan mengan-
dung rahasia.”
Aria Pamungkas menyeringai. Lalu mendengus di
hidung. “Hhh... apa yang bisa mereka lakukan terha-
dap diriku?!”
“Biasanya, orang tersandung oleh batu kecil. Bukan
oleh batu sebesar bukit,” kata Resi Ekaraga.
Aria Pamungkas menyipitkan matanya. “Maksud
Paman....”
“Sudah jelas, Gusti Aria jangan mengabaikan ke-
mungkinan terkecil sekalipun. Ratakanlah jalan yang
hendak Gusti lalui, serata-ratanya.”
“Dengar, Paman Resi... kalau mereka punya renca-
na macam-macam, akan kuhabisi mereka!”
“Lalu sekarang menunggu mereka kuat dahulu, be-
gitu?”
Aria Pamungkas terhenyak di singgasananya. Pikir-
nya, “Ya....kecurigaan Paman Resi cukup beralasan.
Bukankah dalam soal harta dan tahta itu, tidak men-
genal saudara? Bukankah sikap Aria Lumayung yang
seperti tidak peduli terhadap pemerintahan itu patut
dicurigai? Bukankah tusukan dari belakang itu lebih
berbahaya daripada tusukan dari depan? Lalu... apa-
kah mereka sekarang diam-diam akan menusukku da-
ri belakang? Ooo... tidak! Tidak! Aku tidak akan mem-
biarkan mereka mendahuluiku! Karena itu aku harus
mendahuluinya!”
Lalu, “Menurut pendapat Paman Resi, apa yang ha-
rus kulakukan?”
“Terserah Gusti Aria. Hamba hanya ingin menyam-
paikan, bahwa hamba melihat bahaya terselubung itu.
Dan hamba ingin agar rencana Gusti Aria berjalan lan-
car, tanpa hambatan seujung jari pun.”
Aria Pamungkas termenung sesaat. Kemudian me-
manggil salah seorang prajuritnya. Lalu, “Panggil Pra-
balaya ke mari.”
“Daulat, Gusti Aria.”
Prajurit itu bergegas menuju puri khusus yang di-
sediakan untuk Prabayani dan Prabalaya.
Setelah Prabalaya datang, Aria Pamungkas menga-
jaknya ke ruangan tertutup. Di situlah Aria Pamung-
kas mengucapkan perintah rahasianya. Perintah iblis.
Bahwa Prabalaya bertugas untuk mengejar dan mem-
bunuh Aria Lumayung!
Prabalaya terkejut juga mendengar perintah Putra
Mahkota itu. Karena sekalipun jahatnya bukan main,
Prabalaya sangat menyayangi kakaknya (Prabayani).
Tapi sang Putra Mahkota justru memerintahkan untuk
membunuh kakaknya sendiri!
Walaupun begitu, cepat saja Prabalaya menyahut,
“Baik, Gusti Aria! Titah Gusti akan segera hamba lak-
sanakan.”
“Dan ingat,” kata Aria Pamungkas, “tugasmu harus
selesai sebelum pengangkatanmu sebagai Adipati Ka-
wahsuling.”
“Baik, Gusti.”
***
Sebelum melaksanakan tugasnya, Prabalaya men-
jumpai kakaknya dulu di puri khusus itu.
“Aku diberi tugas istimewa,” kata Prabalaya. “Aku
harus berangkat sekarang juga.”
“Tugas apa?” tanya Prabayani.
Prabalaya menjawabnya dengan bisikan, “Aku dis-
uruh membunuh Aria Lumayung.”
“Hah?!” Prabayani terbelalak.
“Mungkin karena dia dianggap membahayakan ke-
dudukan sang Putra Mahkota sebagai calon raja di ne-
gara ini.”
“Lalu... kau perlu dibantu?”
“Hahahaha, tidak usah. Untuk membereskan ma-
nusia lemah begitu, dengan menggerakkan ujung ke-
lingking juga selesai!”
Dan beberapa saat kemudian, sesosok tubuh mele-
sat secepat kilat, meninggalkan istana lewat pintu be-
lakang.
***
SEBENARNYA kecurigaan Aria Pamungkas sangat
berlebihan dan tidak beralasan. Sang Mangkubumi
menuju tempat pertapaan Prabu Suriadikusumah yang
terletak di sebelah selatan Tegalinten, sedangkan Aria
Lumayung menuju ke arah utara. Dua arah yang ber-
lawanan itu, justru dianggap sebagai ‘siasat untuk me-
nyesatkan’ para pendukung Aria Pamungkas.
Aria Lumayung telah mengganti pakaian keningrat-
annya dengan pakaian rakyat biasa. Tanpa ditemani
oleh seorang pengiringpun, ia mulai memasuki hutan
belantara. Dengan buntalan yang dipikul di bahu kiri-
nya, membuat Aria Lumayung sama sekali tidak mirip
putra raja. Bahkan tukang-tukang kayu yang berpapa-
san dengannya di tepi hutan pun, tersenyum pun tidak
padanya, karena mengira ia hanya seorang pengem-
bara biasa.
Namun Aria Lumayung tidak peduli dengan itu se-
mua. Ia hanya mempedulikan satu hal: “Jalan pintas
lewat hutan ini akan membuatku tiba sepuluh hari le-
bih cepat daripada kalau aku lewat jalan biasa yang
memutar-mutar jauh itu.”
Baru saja setengah hari Aria Lumayung berada di
dalam hutan yang sedang ditembusnya, tiba-tiba dari
arah timur muncul sesosok tubuh... menyelinap dari
balik pohon yang satu ke pohon yang lain... memper-
hatikan gerak-gerik Aria Lumayung dengan sikap yang
sangat mencurigakan.
Yang sedang mengintai Aria Lumayung itu adalah
seorang lelaki berperawakan tinggi besar, dengan cam-
bang dan kumis yang hampir memenuhi wajahnya.
Sebilah golok panjang terselip di pinggangnya.
Tiba-tiba lelaki brewokan itu mengeluarkan aba-aba
rahasia. “Cuiiiiiiit... cuuiiiit... cuuuiiiit...!”
Diikuti dengan berlompatannya lima orang lelaki
dari atas pohon, yang langsung mengepung Aria Lu-
mayung dengan sikap garang. Kelima lelaki itu sama-
sama memegang golok panjang, yang seolah-oleh siap
untuk mencabut nyawa Aria Lumayung.
Lelaki brewok itu pun lalu melompat dari tempat
persembunyiannya, dan berdiri di depan Aria Lu-
mayung dengan sikap yang galak.
“Serahkan buntalan itu pada kami!” bentak lelaki
brewok itu sambil menunjuk ke buntalan yang sedang
dipikul oleh Aria Lumayung.
Aria Lumayung segera sadar bahwa ia sedang ber-
hadapan dengan komplotan perampok. Memang, hu-
tan belantara di sebelah utara Tegalinten itu sering di-
jadikan tempat persembunyian para perampok.
Dan kini Aria Lumayung sedang berhadapan den-
gan anggota ‘Langgir Pati’, sebuah komplotan peram-
pok yang terkenal sangat ganas dalam operasi-operasi
kejahatannya. Ciri khas mereka terlihat dari golok me-
reka yang bergerigi pada bagian punggungnya.
Tapi Aria Lumayung tampak tenang-tenang saja.
Menundukkan kepala sambil berkata, “Isi buntalan ini
tidak ada gunanya bagi kalian. Hanya dua pasang pa-
kaian dan beberapa buah kitab suci Weda.”
Lelaki brewokan itu membentak garang, “Serahkan
buntalan itu! Kami tidak menanyakan apa isinya!”
Aria Lumayung menggeleng. “Maaf saja, aku tidak
bisa mengabulkan permintaan kalian. Aku sangat
membutuhkan pakaian dan kitab-kitab suci Weda ini,
untuk bekalku mengembara.”
“Keparat! Kamu berani membangkang pada per-
kumpulan Langgir Pati, heh?!” lelaki brewokan itu
menghunus goloknya. Sreet...! Dan tanpa menunggu
perintah lagi, kelima anak buahnya langsung mema-
sang kuda-kuda, dengan goloknya masing-masing.
“Aku kasihan pada usiamu yang masih begitu mu-
da,” kata si Brewok, “karena itu, untuk terakhir ka-
linya kuminta agar kau menyerahkan buntalan itu,
atau terpaksa kami membunuh dan mencincangmu!”
“Tidak!” Aria Lumayung menggeleng dengan se-
nyum. “Isi buntalan ini tidak ada gunanya bagi orang
lain, tapi sangat penting bagiku.”
Si brewok hilang sabar. Dengan gerakan kuat, ia
menyabetkan goloknya ke arah leher Aria Lumayung.
Dan Aria Lumayung sedikit pun tidak mengelak!
Namun pada saat itulah dari arah barat melejit se-
butir batu kerikil, dan menghantam golok si brewok
yang hampir menebas batang leher Aria Lumayung...
triiing...!
Golok si Brewok terpental. Dan pemiliknya merin-
gis-ringis sambil memegangi tangan kanannya yang
kesemutan. Kelima kawannya terheran-heran. Semen-
tara Aria Lumayung pun melirik ke arah barat, dengan
senyum aneh di bibirnya.
Walau pun perasaan heran dan kagetnya belum sir-
na, si Brewok memberi aba-aba kepada anak buahnya,
“Bunuh dia!”
Serempak kelima perampok itu menerjang Aria Lu-
mayung dari lima jurusan. Sementara si Brewok me-
mungut kembali goloknya yang tergeletak di tanah.
Tapi... begitu golok itu diangkat.... tiba-tiba saja golok
itu patah dua! Rupanya hantaman batu kerikil kecil
tadi telah meretakkan golok si Brewok, tapi tidak lang-
sung mematahkannya. Dan ketika golok itu diangkat,
barulah patah menjadi dua.
Sementara itu, kelima perampok dari komplotan
Langgir Pati telah mengurung Aria Lumayung semakin
rapat. Dan secara serempak mereka menusukkan go-
lok mereka dari lima jurusan.
Namun... sebelum kelima golok itu menyentuh tu-
buh Aria Lumayung tiba-tiba saja kelima perampok itu
berteriak-teriak sambil berlari-lari ke sana ke mari:
Hahahahaaaa... hihihihi... geliiiiii... adududududu-
duuuh... geliiii... gelllelllellliii... hahahahahaha hihihi-
hihihihi...!”
“Hai! Kenapa kalian ini?” seru si Brewok terheran-
heran melihat anak-anak buahnya seperti monyet-mo-
nyet kebakaran buntut... berjingkrak-jingkrak sambil
tertawa-tawa aneh.
“Adudududuuuuuh... ada yang ngitik-ngitiiiik... hi-
hihi... geeli... geliii... geliliii... hihihihihihihi...!” sahut
kelima perampok itu sambil berlari berserabutan sam-
bil berhamburan ke arah utara, lalu tidak terlihat lagi.
Hanya tawa gelinya yang masih terdengar sampai ke
tempat Aria Lumayung.
Dan Aria Lumayung mengernyitkan dahinya. Melirik
tenang ke kanan-kirinya. Sementara si Brewok masih
terbengong-bengong heran. Namun akhirnya ia pun
melarikan diri ke arah utara.
Tinggallah Aria Lumayung sendiri. Dengan pandan-
gan tenang, tapi secara diam-diam melirik ke kanan-
kirinya, seolah-olah bertanya, “Siapa yang menolongku
itu? Kenapa dia tidak mau muncul di depanku secara
terang-terangan?”
Seperti menunggu munculnya ‘penolong misterius’
itu, Aria Lumayung berdiri terpaku di tempat semula.
Dan... tiba-tiba saja muncullah seorang lelaki tua
bertubuh kurus, berjubah merah dengan lambang ka-
lajengking berwarna kuning emas, dengan tongkat pe-
rak di tangannya. Inilah Lodrawaja, pemimpin tertinggi
komplotan Langgir Pati! (Langgir = kalajengking)
“Aku tidak mengenal siapa kau,” bentak Lodrawaja
dengan mata menyipit, “tapi kau telah menggunakan
ilmu jahatmu untuk mengganggu anak buahku!”
Aria Lumayung menjawab tenang, “Siapa yang
menggunakan ilmu jahat? Aku sendiri heran, siapa se-
benarnya yang telah menolongku itu.”
“Hmmm... aku yakin kau hanya berpura-pura bo-
doh, anak muda. Tapi di depanku, kau tidak bisa ber-
pura-pura lagi,” ujar Lodrawaja dingin dan tajam. “Se-
karang kau pilih sendiri, kuhabisi riwayatmu atau kau
sendiri yang memenggal lehermu!”
Aria Lumayung yang penyabar itu bahkan tertawa
kecil. Dan katanya, “Kau bicara seperti maharaja gila
saja. Ada hak apa kau ingin menghabisi nyawaku?
Bukankah aku tidak pernah mengganggu anak buah-
mu?”
Lodrawaja menghentakkan tongkat peraknya ke ta-
nah, sehingga terdengar suara berdentam nyaring, per-
tanda bahwa ia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hen-
takan tongkat perak itu disusul oleh melesatnya tubuh
Lodrawaja ke udara, diiringi bentakannya, “Kau cari
mampus, anak muda!”
Sambil bersalto di udara, Lodrawaja melakukan ge-
rakan yang licik dan tak terduga. Demikian cepatnya
tangan Lodrawaja menyelinap ke balik jubah merah-
nya, dan tahu-tahu beterbanganlah tujuh bilah pisau
kecil... secepat kilat melesat ke arah Aria Lumayung!
Namun pada saat yang sama, tujuh butir kerikil ke-
cil beterbangan ke arah barat....yang langsung me-
nyampok ketujuh pisau kecil itu... tring....tring... ting...
ting... tring... tiing... triiing....!
Ketujuh pisau kecil itu berjatuhan di tanah dan ti-
dak berhasil mencapai sasarannya. Disusul oleh ‘hing-
gapnya’ Lodrawaja di atas sebuah batu besar.
Lodrawaja mengira bahwa semua itu ‘hasil perbuat-
an’ Aria Lumayung. Maka dari atas batu besar itu ia
berseru, “Rupanya kau pemuda berilmu juga, ya?! Tapi
salah besar kalau kau mengira bisa mengalahkan Lo-
drawaja ini!”
Lodrawaja mulai memutar-mutarkan tongkatnya,
demikian cepatnya, sehingga tubuhnya seolah-olah di-
bungkus oleh bayangan tipis berkilauan. Dan... wuut...
tiba-tiba saja tubuh Lodrawaja melesat ke arah Aria
Lumayung yang masih saja berdiri terpaku di tempat
semula.
Biasanya, kalau sudah bergerak sambil ‘dibungkus’
oleh putaran tongkat peraknya itu, Lodrawaja sedang
merasa bahwa musuh yang dihadapinya seorang be-
rilmu tinggi. Dengan cara seperti itu, ia merasa aman
karena terlindung oleh putaran tongkat peraknya, se-
mentara ia menyiapkan serangan tersembunyi yang
biasanya dilakukan dengan cara yang licik dan kejam.
Tapi Aria Lumayung tetap berdiri tenang di tempat-
nya seolah-olah tidak mengerti bahwa terjangan maut
tengah melesat ke arah dirinya. Dan... ketika putaran
tongkat perak Lodrawaja hampir saja menyentuh tu-
buh Aria Lumayung... tiba-tiba saja Lodrawaja terpen-
tal beberapa depa ke belakang! Blug...! Lodrawaja jatuh
terjengkang sambil meringis.
Lodrawaja memegangi dadanya, seperti merasa se-
sak sekali. Namun secepatnya ia bangkit kembali den-
gan bantuan tongkat peraknya.
“Gila!” pikir Lodrawaja. “Ilmu pemuda ini sangat
tinggi! Baru sekali ini aku menghadapi lawan yang ti-
dak bergerak sama sekali, tapi bisa membuatku ke-
payahan begini!”
Lodrawaja tetap mengira bahwa yang membuat ter-
pental tadi adalah pemuda yang sedang berdiri tenang
di depannya itu.
Setelah berdiri tegak kembali, niat jahat Lodrawaja
mulai timbul. “Dengan terjangan terbuka, mungkin
aku takkan mampu merobohkan pemuda ini. Tapi aku
masih punya siasat...!”
Lodrawaja lalu berpura-pura memegangi perutnya,
seperti merasakan sesuatu yang sakit sekali. Padahal
secara diam-diam ia membenamkan tangan kanannya
ke sebuah kantung berisi serbuk racun yang sangat di-
andalkannya: Racun Langgir Geni. Tentu saja ia sendi-
ri sudah memiliki obat pemunah racun itu. Kalau ti-
dak, begitu menyentuh serbuk itu, ia akan tewas seke-
tika.
Kemudian Lodrawaja menghampiri Aria Lumayung
dengan sikap ‘bersahabat’, sambil berkata, “Ilmumu
tinggi sekali, anak muda. Kuucapkan selamat padamu,
karena di usia semuda itu, kau telah memiliki ilmu
yang begitu tinggi.”
Sambil berkata begitu, Lodrawaja mengulurkan ta-
ngannya, seolah-olah hendak mengajak bersalaman
kepada Aria Lumayung. Padahal ia menyimpan renca-
na busuk dan keji, bahwa begitu tangannya bersentu-
han dengan Aria Lumayung, racun Langgir Geni itu
akan ‘pindah’ ke tangan Aria Lumayung, lalu mene-
waskan putra raja itu.
Dengan sikap yang lugu, Aria Lumayung pun meng-
ulurkan tangannya, untuk menyambut uluran tangan
Lodrawaja.
Tapi... sebelum tangan mereka bersentuhan.... tiba-
tiba saja terdengar suara lantang dari arah selatan.
“Hahahahaaa... Lodrawaja... Lodrawaja...! Engkau
tidak akan berhasil membunuh pemuda itu sebelum
mengalahkan pendukung gelapnya! Racunmu bahkan
bisa berbalik menjadi ancaman maut bagi dirimu sen-
diri!”
Lodrawaja terkejut dan menarik kembali tangan be-
racunnya. Disusul dengan melesatnya sesosok tubuh
dari arah selatan. Tubuh Prabalaya!
Prabalaya menjejakkan kakinya dengan ringan, di
antara Lodrawaja dengan Aria Lumayung. Dan, baik
Lodrawaja maupun Aria Lumayung, sama terkejut
dengan kehadiran Prabalaya itu.
Pikir Aria Lumayung, “Diakah yang berkali-kali me-
nolongku tadi? Ah... sedikit pun aku tidak mengha-
rapkan pertolongan dari orang seperti dia.”
Bagaimana dengan Lodrawaja? Begitu melihat siapa
pemuda yang mendadak muncul di hadapannya itu,
Lodrawaja kontan menjatuhkan diri, berlutut dan ber-
kata hormat, “Bahagia sekali hati hamba dapat ber-
jumpa lagi dengan sang Ajag Hawuk!”
Melihat sikap Lodrawaja yang begitu hormat kepada
Prabalaya, juga mendengar julukan ‘sang Ajag Hawuk’
itu, Aria Lumayung mengernyitkan dahinya... seperti
ada sesuatu yang sedang dipertimbangkan olehnya.
Prabalaya memandang Aria Lumayung dengan su-
dut matanya, lalu berkata kepada Lodrawaja, “Usiamu
sudah cukup tua, tapi ketajaman pancaindramu belum
juga sempurna, Lodrawaja. Tidakkah kau tahu bahwa
lawanmu didukung oleh seorang pengecut yang tidak
berani muncul secara terang-terangan?”
Lodrawaja agak bingung. “Maksud sang Ajag Ha-
wuk... pemuda ini tidak sendirian?”
“Ya,” Prabalaya mengangguk. “Seseorang bersembu-
nyi di belakangnya... dan aku ingin tahu siapa orang
itu!”
Lalu Prabalaya berteriak, “Hooooi! Keluarlah kau
dari tempat persembunyianmu!”
Tiba-tiba asap putih mengepul di depan ketiga
orang itu. Lalu muncullah seorang pemuda yang se-
baya dengan Aria Lumayung. Pemuda itu, adalah...
Rangga!
Prabalaya langsung menyambut kemunculan Rang-
ga dengan sindiran tajam, “Huhhh...! Seorang pende-
kar sejati tidak akan menggunakan ajian Halimunan
dalam menghadapi lawan-lawannya!”
Tenang saja Rangga menjawab, “Untuk memberan-
tas kejahatan itu banyak caranya, Prabalaya!”
Prabalaya terundur selangkah sambil mengepalkan
kedua tangannya dan meletakkannya di bawah perut-
nya. “Aku tidak pernah mengenalmu, tapi kau sudah
mengetahui namaku.”
Rangga ketawa kecil, dan, “Sebenarnya kita pernah
berjumpa di Kawahsuling. Masih ingatkah kau, seekor
ular Dadali untuk membinasakan Kujang Gading? Hi-
hihi... waktu itu kau membawa-bawa seekor serigala.
Mana sekarang serigalamu itu? Kenapa tidak dibawa?
Aku senang sekali melihat tingkah laku binatang yang
lucu itu.”
Dengan cepat Prabalaya mengingat peristiwa yang
dikatakan oleh Rangga itu. Dengan cepat pula Praba-
laya ingat, bahwa ular kesayangannya binasa dalam
peristiwa itu. Binasa dengan cara yang mengejutkan
dan hampir tidak masuk di akalnya. Dengan cepat pu-
la Prabalaya ingat, bahwa dalam peristiwa itu ia sem-
pat roboh dan tak sadarkan diri selama beberapa saat,
karena mendapat hantaman yang tidak diketahui dari
mana datangnya. Prabalaya juga masih ingat, bahwa
saat itu, ketika ia tersadar kembali, tahu-tahu Kujang
Gading lenyap dari alun-alun Kawahsuling.
Maka pikir Prabalaya, “Diakah yang menolong Ku-
jang Gading di Kawahsuling tempo hari? Kalau dia
orangnya... aku harus berhati-hati, karena tentu ilmu-
nya tinggi sekali.”
Sementara itu, Aria Lumayung belum mengerti apa
sebabnya Prabalaya bisa mendadak muncul di tengah
hutan itu. Yang pasti, Aria Lumayung melihat pandan-
gan tajam Prabalaya tidak lagi memanggil ‘Gusti Aria’
padanya.
Prabalaya bahkan bersikap seperti musuh besar
Aria Lumayung. Dengan tudingan ke arah Aria Lu-
mayung, Prabalaya berkata, “Persis seperti yang dita-
kutkan oleh Gusti Aria Pamungkas... kau memang te-
lah menjalin persekutuan rahasia untuk menumbang-
kan sang Putra Mahkota secara tersembunyi. Hmmm...
rupanya kau sudah mendapat pendukung kuat, ya?!”
Aria Lumayung tidak mengerti apa yang dituduhkan
padanya itu. Tapi tenang saja ia menjawab, “Aku tidak
mengenal pemuda ini. Bagaimana aku bisa dituduh
menjalin persekutuan rahasia? Hmmm... Prabalaya...
Prabalaya! Dalam hidupku, tidak pernah terpikir niat
busuk apa pun.”
“Kalau begitu, kau segera akan menjadi bangkai bu-
suk!” tiba-tiba saja Prabalaya menyebarkan pasir be-
racun ke arah Aria Lumayung.
Sebutir pasir saja menyentuh kulit manusia biasa,
bisa dipastikan bahwa manusia itu akan berkelojotan
dan lalu mati. Begitulah ganasnya pasir beracun milik
Prabalaya itu.
Namun seketika itu juga Rangga mengibaskan ta-
ngannya ke depan. Dan... butir-butir pasir beracun itu
berbalik arah... menerjang pemiliknya!
Prabalaya terkejut dan secepat kilat bersalto jungkir
balik ke belakang untuk menghindari ‘senjatanya’ sen-
diri! Tapi butir-butir pasir beracun itu masih mengejar
Prabalaya, terdorong oleh kekuatan batin Rangga yang
begitu tinggi!
Pada saat itulah Prabalaya mempertunjukkan siapa
dirinya. Bahwa tidaklah salah kalau golongan hitam
sangat menghormati Prabaseta dan putra-putrinya.
Ya.... ketika Prabalaya masih bersalto di udara, semen-
tara butir-butir pasir itu seperti mengejarnya, tubuh
Prabalaya melesat ke atas tanpa harus menginjakkan
kakinya dulu di tanah, sehingga butir-butir pasir bera-
cun itu lewat di bawah kaki Prabalaya, lalu bertanca-
pan di batang-batang pohon. Dan pohon-pohon yang
tersentuh butiran pasir beracun itu, mendadak layu...
seperti terbakar oleh api yang sangat panas!
Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau
butir-butir pasir beracun itu menyentuh tubuh manu-
sia!
Prabalaya menukik dan menjejakkan kakinya tepat
di muka Rangga. Kini Prabalaya bersikap hati-hati se-
kali, karena telah menyadari bahwa pemuda yang be-
lum dikenalnya itu berilmu tinggi.
Tapi itu tidak berarti bahwa Prabalaya mulai takut
menghadapi Rangga. Tidak. Bahkan sebaliknya, ia se-
makin bernafsu untuk menjajaki sampai di mana ting-
ginya ilmu lelaki muda yang belum dikenalnya itu.
“Siapa namamu dan siapa gurumu?” tanya Praba-
laya dengan pandangan menyelidik.
“Namaku Rangga,” sahut yang ditanya.
“Siapa gurumu?” Prabalaya mengulangi pertanyaan
yang belum terjawab.
Rangga menjawab, “Aku tidak biasa membawa-bawa
nama guruku dalam persoalan yang sedang kuhadapi.”
Prabalaya terheran-heran, karena Rangga tidak
mau menyebutkan nama gurunya. Pada masa itu, seo-
rang pendekar yang enggan menyebutkan nama gu-
runya, dianggap sebagai murid yang tidak menghorma-
ti gurunya sendiri. Tentu saja Prabalaya tidak tahu
bahwa Rangga memang dilarang menyebut-nyebut
nama gurunya.
Sementara itu Lodrawaja sudah berdiri di tempat
yang agak jauh. Dan anak buahnya mulai berdatangan
ke tempat di tengah hutan itu.
Aria Lumayung pun sudah duduk di atas sebuah
batu besar, seolah-olah siap untuk menonton sebuah
pertunjukan mengasyikkan. Sedikit pun ia tidak terli-
hat seperti cemas ataupun gentar.
Sedangkan Prabalaya dan Rangga sudah berdiri
berhadapan, dalam jarak yang tidak lebih dari lima
langkah.
“Aku tidak tahu di pihak mana sebenarnya kau
berdiri saat ini,” kata Prabalaya, “Tapi jelas... ikut
campurmu dalam persoalanku, harus kau pertang-
gungjawabkan secara ksatria.”
Rangga bahkan menjawab dengan tawa kecil. “Hihi-
hihi... ksatria itu apa, Prabalaya? Aku ini bukan ketu-
runan ksatria kok. Dan kurasa kau sendiri pun bukan
keturunan ksatria. Kita sama-sama keturunan jembel.
Tak usahlah ngomong-ngomong soal ksatria segala
macam!”
Merah padam wajah Prabalaya dibuatnya. Namun
saat itu juga ia berpikir, “Tidak mudah bagiku untuk
membunuh Aria Lumayung, karena tampaknya pemu-
da bernama Rangga ini siap untuk membelanya. Dan...
aku baru bisa leluasa membunuh pangeran itu, sete-
lah menamatkan riwayat pemuda bernama Rangga ini
dulu.”
“Tapi,” pikir Prabalaya lagi, “pemuda bernama Rang-
ga ini tampaknya tidak mudah kutundukkan. Mungkin
hanya dengan siasat yang licin saja aku bisa mena-
matkan riwayatnya. Atau... mungkin juga aku bisa
menipunya, supaya aku bisa leluasa membawa Aria
Lumayung ke tempat kematiannya.”
Setelah mereka-reka siasat di dalam benaknya, Pra-
balaya berkata sambil memperhatikan Rangga secara
diam-diam, “Setiap kali bertemu dengan seseorang be-
rilmu tinggi, aku selalu gatal untuk menguji diriku
sendiri. Sekarang marilah kita menguji diri kita mas-
ing-masing, dengan...”
Belum habis Prabalaya berkata, Rangga sudah me-
motongnya, “Kenapa kau jadi banyak basa-basi begitu?
Biasanya kau menyerang orang dulu, baru bicara ke-
mudian!”
Merah lagi wajah Prabalaya, karena waktu dia ber-
bicara tadi, secara diam-diam ia tengah menyiapkan
serangan Raga Puyuh, yakni terjangan yang tidak akan
terduga-duga oleh lawannya pada saat si lawan sedang
diajak berbicara. Sebenarnya serangan Raga Puyuh itu
termasuk jurus yang amat licik, karena si lawan akan
dibuat ‘terbius’ oleh kata-kata yang diucapkan oleh
Prabalaya tadi, merupakan bagian dari mantra untuk
membuat lawannya terlena... kemudian diserang seca-
ra mendadak.
Namun Rangga bukan anak kemarin sore yang bisa
ditipu begitu saja. Dengan melihat kedua tangan Pra-
balaya yang disimpan di dada pun, Rangga bisa segera
tahu bahwa tokoh muda bergelar Ajag Hawuk itu se-
dang memusatkan pancaindranya.
Dan pemusatan pancaindra Prabalaya itu kontan
buyar, karena ucapannya langsung dipotong oleh
Rangga. Maka Prabalaya tak mau ‘berbasa-basi’ lagi.
Dengan sikap seperti seekor harimau menerkam
mangsanya, Prabalaya menerjang Rangga, diiringi sua-
ra menggerung yang terdengar menyeramkan. Itulah
jurus Sukma Maung, yang konon ‘dibantu’ oleh roh si-
luman macan. Tentu saja ilmu ini termasuk ilmu se-
sat.
Lodrawaja dan anak buahnya kontan terundur be-
berapa langkah, karena merasa ngeri mendengar ge-
rungan Prabalaya yang disertai ilmu gaib sesat itu.
Tapi Rangga dengan tenang mengangkat tangan ki-
rinya ke atas dan menurunkan tangan kanannya seba-
tas pinggang. Lalu... disambutnya terjangan Prabalaya
itu dengan gerakan yang sangat cepat dan tampak ka-
cau balau. Tak ubahnya gerakan seekor kera yang se-
dang berjingkrak-jingkrak.
Rangga melompat-lompat ke sekeliling Prabalaya,
membuat tokoh muda yang jahat itu kebingungan, ka-
rena baru sekali itulah ia melihat jurus yang begitu
aneh namun sangat berbahaya.
Itulah jurus Lutung Edan, yang merupakan hasil
ciptaan Kudawulung dan telah diwariskan kepada
Rangga. Sebuah jurus yang memusingkan lawan, ka-
rena gerakan-gerakannya seperti tidak teratur, tapi se-
tiap kali bergerak diiringi oleh pukulan berbahaya.
Dan... plak... plak... plak...! Berkali-kali pipi Praba-
laya tertampar oleh tangan Rangga. Untungnya Rangga
tidak bermaksud mencelakakan lawannya, sehingga
tamparan-tamparannya hanya meninggalkan rasa pe-
dih dan panas di pipi Prabalaya. Seandainya Rangga
berjiwa kejam, dengan mudah ia dapat menyertakan
tenaga batin dalam setiap tamparannya... yang mung-
kin akan membuat kepala Prabalaya pecah beranta-
kan!
Tapi Prabalaya memang tidak tahu diri. Ia tidak sa-
bar bahwa setiap tamparan Rangga tadi merupakan
peringatan, agar ia cepat-cepat mengundurkan diri se-
cara terhormat. Ia bahkan menganggap Rangga sengaja
mempermainkannya. Dan hal itu membuat amarahnya
berkobar-kobar!
“Keparat!” bentak Prabalaya sambil melompat mun-
dur. “Kau memaksaku untuk mengadu jiwa rupanya!”
Prabalaya mengepalkan kedua telapak tangannya,
lalu menyimpannya di depan perutnya, dengan gigi ge-
meletuk dan napas tertahan. Cepat saja Rangga tahu
bahwa lawannya sedang mengumpulkan hawa racun
pada kedua telapak tangannya.
Ya, ketika Prabalaya membuka kembali kedua tela-
pak tangannya, tampaklah betapa merahnya kedua te-
lapak tangan itu... karena hawa racun telah terkumpul
di situ... untuk mencelakakan lawannya!
Namun secara diam-diam Rangga mulai menyelimu-
ti tubuhnya dengan hawa pemunah racun, yang meru-
pakan bagian dari ilmu ‘Bebenteng Rahayu’ (ilmu yang
mampu memunahkan racun seganas apa pun).
Dan... tiba-tiba saja Prabalaya menyeruduk dengan
kedua tangan diluruskan ke depan. Pada saat itu Pra-
balaya berpikir, “Kalau kau berani menahan tanganku
ini dengan tanganmu... riwayatmu akan segera ber-
akhir!”
Tapi Rangga justru meluruskan pula kedua tangan-
nya ke depan. Dan... plak...! Kedua telapak tangan Pra-
balaya bertemu dengan kedua telapak tangan Rangga.
Lalu... telapak tangan mereka seperti melekat dengan
kuatnya.
Mereka berdiri terpaku, sambil ‘menempelkan’ ta-
ngan satu sama lain. Sebenarnya mereka sedang terli-
bat dalam adu tenaga dalam yang disalurkan lewat ta-
ngannya masing-masing.
Pada saat itulah Prabalaya merasa heran, karena
hawa racun yang disalurkan lewat kedua tangannya
seperti tidak berpengaruh sedikit pun terhadap lawan-
nya.
“Edan,” pikir Prabalaya. “Aku telah mengerahkan
hawa racun dan tenaga dalamku, tapi dia tampak
enak-enak saja! Apakah ilmunya sudah sedemikian
tingginya, sehingga dia tidak terpengaruh sedikit pun?”
Prabalaya menambah tekanan hawa racunnya, su-
paya bisa merasuki pori-pori tangan Rangga. Tekanan
itu membuat wajah Prabalaya sendiri merah padam
dan mulai meneteskan butir-butir keringat.
Tapi apa yang terjadi?
Dari antara sela-sela tangan Prabalaya dan tangan
Rangga, mengepullah uap berwarna merah jambu. Ini
adalah suatu pertanda bahwa hawa racun Prabalaya
yang seharusnya berwarna merah, telah ‘dinetralisir’
oleh hawa pemunah racun Rangga yang berwarna pu-
tih.
Warna merah, kalau ‘bergelut’ dengan warna putih,
hasilnya akan menjadi warna merah jambu.
Sementara itu, kaki Prabalaya mulai melesak ke da-
lam tanah, sedikit demi sedikit. Sedangkan kaki Rang-
ga belum masuk ke dalam tanah, masih berdiri dalam
posisi yang normal.
Itu saja seharusnya dijadikan bukti, bahwa tenaga
dalam Prabalaya masih belum bisa menandingi tenaga
dalam Rangga. Tapi Prabalaya benar-benar tidak tahu
diri. Prabalaya masih melanjutkan adu tenaga dalam
yang mulai tidak seimbang itu.
Akibatnya... pada suatu saat Prabalaya memekik...
tubuhnya terpental ke belakang... dan mulutnya me-
muntahkan darah segar!
Prabalaya berusaha sekuat tenaga supaya tidak
pingsan. Sambil mengerahkan sisa-sisa tenaganya, ia
memegangi dadanya sendiri. Melirik pada Aria Lu-
mayung yang tetap duduk di atas batu besar, seperti
yang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Kemudian
melirik kepada Rangga yang masih berdiri tegak pada
tempatnya semula. Kemudian melirik ke arah Lodra-
waja dan anak-anak buahnya.
“Lain kali kita berjumpa lagi, Rangga!” seru Praba-
laya dengan suara serak. Lalu... ia berlari ke arah sela-
tan, dan lenyap di kelebatan hutan belantara.
Lodrawaja dan anak buahnya segera menyadari apa
yang telah terjadi. Bahwa Prabalaya yang sangat ter-
kenal dan ditakuti di dunia hitam, telah dikalahkan
oleh pemuda bernama Rangga itu. Lalu... perampok-
perampok ganas itu mendadak seperti anak ayam ke-
hilangan induknya... lari berserabutan ke arah timur
dan lenyap di kegelapan hutan.
Tinggallah Rangga dan Aria Lumayung di bekas
tempat pertarungan itu.
***
“Kau sangat baik hati. Terima kasih atas pertolong-
anmu,” kata Aria Lumayung sambil membungkukkan
badannya dengan sikap hormat.
Rangga belum tahu bahwa pemuda yang sebaya
dengannya itu seorang putra raja. Tapi Rangga me-
mang terkesan oleh kesahajaan sikap Aria Lumayung.
Hal itu pula yang menyebabkannya turun tangan un-
tuk menolong Aria Lumayung tadi.
“Sesama manusia, selayaknyalah tolong-menolong,”
sahut Rangga ramah. “Tapi, hutan ini terlalu berba-
haya bagimu. Kenapa kau berani berjalan sendirian di
tempat hutan ini?”
“Aku sengaja mengambil jalan pintas, supaya cepat
sampai ke pantai utara.”
“Pantai utara?!” Rangga terbelalak. “Begitu jauh ja-
rak yang harus kau tempuh... mungkin bisa sepuluh
hari kau baru tiba di sana, karena hutan yang harus
kau tembus ini makin ke utara makin lebat!”
“Apa boleh buat,” ujar Aria Lumayung sambil ter-
senyum. “Kalau aku memakai jalan biasa yang memu-
tar-mutar itu, pasti harus memakan tempo lebih lama
lagi.”
Rangga memperhatikan wajah Aria Lumayung se-
saat. Lalu tanyanya, “Bolehkah aku tahu, siapa nama-
mu?”
“Lumayung,” sahut yang ditanya, tanpa menyebut
gelar ‘Aria’.
“Lumayung?” tukas Rangga. “Rasa-rasanya aku
pernah mendengar nama itu. Tapi... di mana ya?”
“Mungkin saja ada orang lain yang namanya sama
dengan namaku.”
“Ya, mungkin. Mungkin saja. Tapi... tadi Prabalaya
berbicara soal persekutuan rahasia untuk menum-
bangkan putra mahkota segala macam. Apakah kau
seorang anggota perkumpulan rahasia yang bermak-
sud menumbangkan kekuasaan raja?”
Kali ini pandangan Rangga penuh selidik. Dan Aria
Lumayung menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Tuduhan itu sangat tidak beralasan. Aku tidak pernah
tertarik pada soal-soal pemerintahan. Bagaimana
mungkin orang seperti aku ini bisa menjadi anggota
perkumpulan rahasia segala?!”
Rangga percaya bahwa apa yang dikatakan oleh
Aria Lumayung itu adalah jawaban yang jujur. “Ta-
pi...,” kata Rangga, “ada satu hal yang kuherankan,
mengenai Prabalaya itu. Kalau menilai dari ucapannya
tadi, dia seperti yang sudah menjadi orang kerajaan.”
“Memang benar,” sahut Aria Lumayung, “Prabalaya
akan segera diangkat menjadi Adipati Kawahsuling,
sedangkan kakaknya akan diangkat menjadi senapati
Tegalinten.”
Tanpa disadari, Aria Lumayung membuka ‘kedok-
nya’ sendiri, dengan mengungkapkan hal yang belum
diketahui oleh rakyat banyak.
“Prabalaya akan diangkat menjadi Adipati Kawah-
suling?!” Rangga terperanjat, lalu memandang Aria
Lumayung dengan pandangan bercuriga lagi. “Dan
kau... siapa sebenarnya kau ini?”
“Sudah kukatakan tadi, namaku Lumayung.”
“Maksudku... kenapa kau bisa tahu semuanya itu?”
Aria Lumayung terkejut dan segera sadar bahwa ta-
di ia telah kelepasan bicara, sehingga akhirnya terpak-
salah ia mengakui siapa dirinya yang sebenarnya.
“Tentu saja aku tahu semuanya itu, karena yang akan
mengangkat Prabalaya dan kakaknya, adalah adikku
sendiri.”
“Adikmu?! Siapa adikmu itu?”
“Aria Pamungkas.”
Rangga terperanjat dan segera menjatuhkan diri,
berlutut di depan Aria Lumayung. “Duh, Gusti Aria!
Ampunkanlah hamba... karena hamba tidak mengenal
Gusti Aria... Ya... sekarang hamba ingat bahwa Gusti
Aria terlahir dari Gusti Selir Sawitri, bukan?!”
Aria Lumayung memegang bahu Rangga, dan berka-
ta lembut, “Bangunlah, Rangga. Aku justru tidak ingin
penyamaranku ini diketahui orang banyak. Barusan
aku menceritakan rahasiaku, karena percaya bahwa
kau seorang yang baik.”
“Kalau boleh hamba tahu, kenapa Gusti Aria me-
ninggalkan istana dan bepergian tanpa seorang pen-
gawal pun di dalam hutan yang penuh bahaya ini?”
“Kuminta kau tidak lagi menyebutku Gusti Aria,”
sahut Aria Lumayung. “Sebutan itu hanya akan mem-
persulit langkahku. Panggillah aku dengan sebutan
Raka atau Kakang saja, supaya tidak banyak yang ta-
hu siapa aku sebenarnya. Demikian pula, aku tidak
ingin kau membahasakan dirimu dengan sebutan
hamba. Anggap saja aku sebagai sahabatmu yang
usianya lebih tua darimu.”
“Ta... pi... hamba tidak berani memanggil Gusti Aria
dengan...”
“Rangga!” sergah Aria Lumayung agak tajam. “Kalau
kau masih memakai bahasa hamba-hambaan dan gus-
ti-gustian, lebih baik kau pergi sajalah dan tinggalkan
aku sendiri.”
“Bab... baiklah hamba... eh... aku akan memanggil
Ra... Raka pada Gusti eh, padamu...”
Tergerai lagi senyum lembut Aria Lumayung. Lalu
katanya, “Aku senang dengan penghormatanmu terha-
dap keluarga raja. Tapi dalam keadaan seperti ini,
penghormatanmu justru akan menyulitkanku, Rang-
ga.”
“Nah,” lanjut Aria Lumayung, “tadi kau bertanya
kenapa aku meninggalkan istana dan bepergian tanpa
seorang pengawal pun di dalam hutan yang penuh ba-
haya ini, bukan?”
“Betul, Gus... eh... Kakang.”
Aria Lumayung berdiri, meninggalkan batu besar itu
beberapa langkah, sambil berkata, “Aku hanya ingin
menambah pengetahuan dan pengalaman di negeri
orang.”
Rangga masih ingin bertanya, apa sebabnya sang
Pangeran akan menuju pantai utara? Tapi Rangga ti-
dak berani menanyakannya.
“Dan kau sendiri, mau ke mana?” tanya Aria Lu-
mayung.
“Hamba, eh, aku hanya seorang pengembara yang
tidak punya tujuan pasti, Gus... Kakang.”
Dan tiba-tiba saja Rangga teringat kembali pada pe-
san gurunya. Ya. Rangga masih ingat benar, bahwa di
dekat Sungai Cigelung itu, ia menceritakan apa yang
telah dialaminya, terutama tentang hasil pengintaian-
nya di ruangan rahasia yang terletak di bawah tanah
dalam istana Adipati Natajaya itu. Dan setelah men-
dengar cerita Rangga, Kudawulung berkata, “Kalau be-
gitu, tampaknya kerajaan berada di dalam bahaya.
Memang gawat kalau Prabaseta dan anak-anaknya su-
dah turut campur dalam urusan pemerintahan. Bisa
habis rakyat Tegalinten dibantainya.”
Rangga juga masih ingat benar, saat itu ia bertanya
pada gurunya, “Lalu apa yang harus kulakukan?”
Dan Kudawulung menjawab, “Aku tetap tidak terta-
rik untuk ikut campur dalam urusan kerajaan. Tapi,
demi keselamatan rakyat banyak, mungkin tak ada sa-
lahnya kalau kau melihatnya dari dekat.”
“Jadi, Rama Guru mengizinkanku pergi ke kotara-
ja?”
“Boleh. Tapi syarat lama tetap berlaku bagi dirimu.
Kau tidak boleh menyebut-nyebut namaku di mana
pun kau berada nanti. Dan tentang murid baruku ini,
biarlah akan kubawa ke puncak Limagagak,”
Kemudian Rangga berpisah dengan Kudawulung
dan Nilamsari.
“Dari mana kau berasal?” tanya Aria Lumayung,
membuyarkan terawangan Rangga.
“Dari Tilugalur,” sahut Rangga. “Tapi sudah lama...
aku tidak pulang ke kampungku.”
“Sudah punya istri?”
“Dulu pernah. Tapi. A mm... istriku sudah mati tiga
tahun yang lalu.”
Aria Lumayung mengerutkan dahinya. Lalu, “Kau
seorang pemuda berilmu tinggi. Siapa gurumu, Rang-
ga?”
“Maafkan aku... aku tidak bisa menyebutkan siapa
guruku.”
“Kenapa begitu?”
“Guruku melarangku.”
Aria Lumayung tersenyum. “Mungkin gurumu tidak
ingin namanya dikenal orang banyak.”
“Mung... mungkin.”
“Baiklah. Sekarang kita berpisah dulu. Mudah-mu-
dahan kita bisa berjumpa lagi di kemudian hari.”
“Ja... jadi Kakang akan melanjutkan perjalanan
sendirian?”
“Ya. Kenapa rupanya?”
“Ti... tidak. Tapi... seandainya Kakang membutuh-
kan bantuanku, aku bersedia menemani Kakang sam-
pai di pantai utara.”
“Hm... terima kasih atas tawaran baikmu. Tapi se-
jak meninggalkan istana, aku telah membulatkan te-
kad untuk melakukan perjalanan seorang diri saja,”
sahut Aria Lumayung. “Walaupun begitu, kebaikanmu
tidak akan kulupakan. Mudah-mudahan saja Yang
Maha Agung masih mempertemukan kita di kemudian
hari. Selamat berpisah, Rangga.”
Aria Lumayung menepuk bahu Rangga, kemudian
melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Dan Rangga
berdiri terpaku, dengan perasaan berat dan khawatir.
Entahlah, begitu berjumpa dengan Aria Lumayung
tadi, timbullah perasaan hormat dan bersahabat di ha-
ti Rangga. Memang jauh sebelumnya Rangga juga ser-
ing mendengar cerita-cerita orang tentang raja dan pu-
tra-putrinya. Rangga juga sering mendengar cerita ten-
tang Pangeran Aria Lumayung, yang kata orang jauh
lebih baik daripada Pangeran Aria Pamungkas.
“Sekarang aku telah membuktikannya,” pikir Rang-
ga. “Dia memang seorang pangeran yang baik, lembut,
lugu dan tidak gila hormat. Aku benar-benar kagum
padanya.”
“Tapi,” pikir Rangga lagi, “sekarang dia akan melan-
jutkan perjalanan seorang diri dalam hutan yang pe-
nuh bahaya ini. Sedangkan dia tidak memiliki ilmu ke-
digjayan... ya... aku lihat itu, dia tidak memiliki ilmu
kedigjayan... tapi sekarang akan menempuh perjala-
nan yang begitu jauh, begitu penuh bahaya... ah... aku
benar-benar mengkhawatirkan keselamatannya.
Sayang, tampaknya dia tidak ingin ditemani oleh siapa
pun.”
***
Sementara itu, sekalipun bagian dalam dadanya
masih terluka, Prabalaya masih bisa mempergunakan
ilmu larinya, untuk tiba di istana Tegalinten dalam
tempo sesingkat mungkin.
Ketika ia tiba kembali di istana, wajahnya tampak
muram. Dan Aria Pamungkas membawanya ke dalam
ruangan tertutup, lantas menanyainya, “Bagaimana?
Sudah kau selesaikan tugasmu?”
Lesu Prabalaya menjawab, “Dugaan Gusti Aria tidak
meleset. Tampaknya dia sedang merencanakan sesua-
tu yang berbahaya.”
“Ceritakanlah yang jelas, apa yang telah terjadi?”
“Dia mempunyai seorang pendukung yang setia,
Gusti Aria.”
“Mempunyai seorang pendukung?!”
“Betul, Gusti. Pendukungnya itu tangguh sekali.”
“Dan kau dikalahkan olehnya?”
“Tidak,” sahut Prabalaya, takut kehilangan pamor-
nya di depan Aria Pamungkas. “Hamba sudah berta-
rung mati-matian dengan pendukungnya itu.”
“Lalu?”
“Di... dia melarikan diri ke dalam hutan, Gusti,” sa-
hut Prabalaya berdusta. “Dan... dan hamba tidak ber-
hasil mengejarnya, karena dia menghilang di antara
gelap dan lebatnya hutan.”
Aria Pamungkas mengepalkan tangannya erat-erat,
dengan gigi gemeletuk dan wajah merah padam. “Siapa
pendukungnya itu?!” gertaknya.
“Entahlah, hamba hanya sempat mengetahui na-
manya... Rangga...”
“Rangga?! Rangga itu suatu gelar atau kedudukan
dalam pemerintahan. Lantas siapa namanya?”
“Dia hanya mengaku bernama Rangga. Dan hamba
rasa bukan gelar ataupun kedudukan seperti yang dis-
ebutkan oleh Gusti.”
“Jadi... nama orang itu Rangga. Begitu?”
“Benar, Gusti. Orangnya masih muda, kira-kira se-
baya dengan Gusti Aria Lumayung. Tapi ilmunya, wah,
terus-terang saja... hamba baru sekali tadi berjumpa
dengan pendekar setangguh itu. Kalau hamba sempat
berjumpa lagi dengannya... hamba tidak akan mem-
biarkannya lolos lagi.”
Sepenuhnya Aria Pamungkas percaya pada apa
yang dikatakan oleh Prabalaya itu. Sepenuhnya Aria
Pamungkas percaya bahwa seseorang yang bernama
Rangga telah menjadi pendukung Aria Lumayung, un-
tuk maksud-maksud yang belum diketahui. Sepenuh-
nya Aria Pamungkas percaya bahwa pemuda bernama
Rangga itu berilmu tinggi, tapi masih dapat dikalahkan
oleh Prabalaya.
Ya, bagaimanapun juga Aria Pamungkas masih per-
caya kepada Prabalaya. Masih memiliki semacam keya-
kinan, bahwa ia segera akan menjadi seorang raja be-
sar, berkat dukungan Prabalaya dan Prabayani.
“Apakah kau punya dugaan tentang apa yang akan
mereka lakukan?” tanya Aria Pamungkas.
Prabalaya yang ingin memancing di air keruh, men-
jawab, “Hamba memang punya dugaan kuat bahwa
mereka tengah mempersiapkan sesuatu, untuk...
mungkin saja untuk merebut kedudukan putra mah-
kota, Gusti Aria.”
“Hmm... sikap Aria Lumayung yang berlagak tidak
peduli dengan pemerintahan, seharusnya sejak lama
kucurigai,” Aria Pamungkas seolah-olah berkata pada
dirinya sendiri.
Dan Prabalaya menanggapinya, “Gusti Aria tak
usah cemas. Hamba dan kakak hamba akan selalu
siap untuk mempertaruhkan jiwa-raga, demi terca-
painya segala cita-cita besar Gusti Aria.”
Aria Pamungkas terdiam. Dan Prabalaya mengira
bahwa sang Putra Mahkota mulai meragukan kemam-
puannya. Maka dengan nada yang ‘meyakinkan’, Pra-
balaya berkata, “Setangguh-tangguhnya musuh Gusti
Aria, kalau hamba sudah meminta bantuan pada ayah
hamba, hmm... tidak akan ada suatu kekuatan pun
yang mampu mengalahkan kami, Gusti Aria.”
Aria Pamungkas seperti diingatkan pada sesuatu
yang selama ini belum diketahuinya. Maka tanyanya,
“Ayahmu masih hidup?”
“Masih, Gusti Aria.”
“Apakah dia juga berilmu kedigjayan seperti kau?”
Prabalaya menjawab, “Dalam zaman ini, hamba ra-
sa sulit sekali mencari orang yang mampu menandingi
ayah hamba.”
“Dan kau mendapatkan ilmu kedigjayan itu dari
ayahmu?”
“Benar, Gusti Aria.”
Tanpa menanyakan siapa nama dan gelar ayah Pra-
balaya (yang sudah sangat terkenal di dunia hitam itu),
Aria Pamungkas langsung saja merasa lega. Pikirnya,
“Dengan banyaknya orang-orang sakti yang memban-
tuku, aku akan berhasil mewujudkan cita-cita besar-
ku!”
Cita-cita besar lagi! Apa sebenarnya cita-cita yang
terpendam di dalam hati Aria Pamungkas? Bukankah
singgasana raja sudah mulai didudukinya walaupun ia
belum diresmikan menjadi Raja Tegalinten? Cita-cita
besar itu masih dirahasiakan oleh Aria Pamungkas.
Yang pasti, Aria Pamungkas lalu berkata kepada
Prabalaya, “Dalam upacara pengangkatan kau dan ka-
kakmu nanti, aku ingin berjumpa dengan ayahmu.”
“Baik, Gusti Aria. Dengan senang hati hamba akan
mengundang ayah hamba supaya datang pada waktu-
nya nanti.”
***
Setelah pertemuan rahasia itu selesai, Prabalaya
menemui kakaknya di purinya. Dengan bisik-bisik,
Prabalaya menceritakan apa sebenarnya yang telah
terjadi di dalam hutan tadi.
Prabayani mendengarkan pengakuan adiknya de-
ngan sungguh-sungguh. Lalu, “Siapa nama pemuda
itu?”
“Rangga.”
“Rangga... rasa-rasanya baru sekali ini aku mende-
ngar nama itu. Siapa gurunya?”
“Itulah anehnya... dia tidak mau menyebutkan na-
ma gurunya.”
“Hmm... memang aneh. Tapi... pada masa sekarang,
mungkin tinggal dua atau tiga orang yang masih me-
miliki ajian Halimunan seperti itu.”
“Siapa ketiga orang sakti itu?”
“Yang pernah kudengar dari ayah kita, di wilayah
Tegalinten ini hanya ada tiga orang sakti yang bisa
menghilang berkat ajian Halimunan. Pertama, Citrala-
ga... guru ayah kita sendiri. Kedua Kidangkancana. Ke-
tiga, Kudawulung.”
Prabalaya seperti menghapalkan ketiga nama besar
itu: Citralaga, Kidangkancana dan Kudawulung.
Lalu kata Prabayani lagi, “Menurut cerita yang per-
nah kudengar dari ayah kita, Kidangkancana telah me-
ninggalkan negeri ini sejak limabelas tahun yang lalu.
Entah di mana dia berada sekarang. Bahkan mungkin
juga dia sudah mati, karena waktu meninggalkan ne-
geri ini pun, usianya sudah tua sekali.”
“Mengenai guru ayah kita bagaimana?” tanya Praba-
laya.
“Beliau pasti tidak punya murid lagi. Ayah kita ada-
lah satu-satunya murid beliau.”
Prabalaya mengangguk-angguk. Memang ia pernah
mendengar cerita dari ibunya, bahwa Citralaga sangat
kecewa setelah mengetahui bahwa murid satu-satunya
(Prabaseta) terjun ke dunia hitam. Karena itu, Citrala-
ga tidak mau menurunkan seluruh ilmunya kepada
Prabaseta. Citralaga bahkan bersumpah untuk tidak
mengangkat murid lagi, karena takut muridnya terse-
sat seperti Prabaseta.
“Lalu bagaimana dengan Kudawulung?” tanya Pra-
balaya.
“Mungkin... sangat mungkin pemuda yang kau ceri-
takan itu murid Kudawulung,” sahut Prabayani sambil
memandang ke arah taman yang tampak dari jendela
purinya.
“Tapi, bukankah Kudawulung sudah cuci tangan
dari segala urusan duniawi?”
“Dia memang telah lama mengundurkan diri dari
dunia kedigjayan kelas tinggi,” sahut Prabayani. “Tapi
itu tidak berarti bahwa dia sama sekali tidak berhasrat
untuk mengangkat murid, bukan?”
Prabalaya tercenung. Lama. Lalu tanyanya, “Apa
yang harus kita lakukan seandainya pemuda bernama
Rangga itu benar-benar murid Kudawulung dan berdiri
di pihak yang bertentangan dengan kita?”
Prabayani balik bertanya, “Apakah kau benar-benar
tak dapat mengatasinya tadi?”
“Dia benar-benar hebat,” sahut Prabalaya. “Kalau
dia bermaksud mencelakakanku, mungkin aku sudah
tewas tadi.”
“Tenanglah,” hibur Prabayani. “Kalau kita sudah sa-
ngat terdesak, kita bisa meminta bantuan guru ayah
kita.”
“Tapi... bukankah dia sudah memutuskan hubung-
annya dengan ayah kita?”
“Ya. Tapi dengan kedudukan yang akan diberikan
kepada kita nanti, kurasa tidak terlalu sulit bagi kita
untuk membujuknya. Hihihihi... bukankah kita tidak
berdiri di pihak golongan hitam lagi?”
Prabalaya mengangguk dengan senyum. “Ya, seben-
tar lagi kita akan diresmikan sebagai pejabat-pejabat
tinggi di negeri ini.”
Prabayani ikut tersenyum. Ikut membayangkan ke-
dudukan penting yang akan dipegangnya. Ikut mem-
bayangkan betapa berkuasanya ia nanti.
“Gusti Aria ingin agar ayah kita hadir dalam upaca-
ra pelantikan kita nanti,” kata Prabalaya lagi.
“Wah... ini agak gawat!” Prabayani tidak begitu me-
nyambut. “Kalau ada salah seorang tokoh yang men-
genal siapa ayah kita... bisa jadi ribut juga nanti.”
“Kita hadapi semuanya. Apa yang akan terjadi, ter-
jadilah.”
“Tapi, apa maksud Gusti Aria sehingga beliau me-
minta agar ayah kita dihadirkan dalam upacara itu?”
“Tampaknya beliau ingin didukung oleh orang-
orang kuat sebanyak-banyaknya. Beliau bahkan ingin
agar kawan-kawan ayah kita diundang semua.”
“Apakah Gusti Aria sudah tahu siapa ayah kita?”
“Belum,” Prabalaya menggeleng. “Tapi kurasa seka-
lipun beliau sudah mengetahuinya, mmm... beliau
memang sedang membutuhkan dukungan sebanyak
mungkin, tanpa peduli dari pihak mana datangnya du-
kungan itu. Pokoknya asal bisa memperkokoh kekua-
saannya.”
Prabalaya melanjutkan ucapannya dengan berbisik-
bisik perlahan sekali. “Dia juga jahat, seperti kita. Bah-
kan mungkin lebih jahat lagi. Buktinya... kakaknya
sendiri mau dibunuh.”
Prabayani mengangguk dengan senyum.
Dan ketika malam tiba, Prabayani meninggalkan is-
tana secara diam-diam, untuk menjumpai ayahnya.
***
KOTARAJA tampak lain sekali dari biasanya. Istana
raja telah dihias secantik-cantiknya. Panji-panji
Kerajaan Tegalinten berderet di sepanjang jalan utama
menuju istana raja.
Yang cukup menarik perhatian, adalah bahwa di
tengah alun-alun di depan istana, telah dibangun se-
buah panggung yang cukup luas. Menurut pengumu-
man yang telah disebarkan, panggung itu akan dipakai
untuk menguji calon-calon ‘sahabat baru’, karena Ke-
rajaan Tegalinten akan mengumpulkan ‘orang-orang
kuat’ sebanyak-banyaknya.
Panggung itu sudah dijaga oleh para prajurit kera-
jaan. Dan rakyat yang akan menonton, tidak diperbo-
lehkan berdiri terlalu dekat dengan panggung istimewa
itu.
Para pembesar Tegalinten, baik yang di pusat mau-
pun yang di daerah, sudah berdatangan ke alun-alun.
Mereka ditempatkan di deretan kursi yang berada di
depan panggung. Sementara rakyat Tegalinten sudah
berjejalan di sebelah utara dan selatan, agak jauh dari
‘panggung ujian’ itu.
Alun-alun yang sangat luas itu terletak di antara
candi dan istana raja. Candi pemujaan itu terletak di
sebelah barat, sementara istana raja berada di sebelah
timur dan menghadap ke barat.
Upacara belum juga dimulai. Padahal para pembe-
sar Tegalinten sudah datang semua. Banyak di antara
mereka memperhatikan deretan kursi di sebelah utara,
yang masih kosong. Banyak pula di antara mereka
yang bertanya-tanya di dalam hati, “Untuk siapa kursi-
kursi itu? Bukankah para pembesar Tegalinten sudah
datang semua?”
Pertanyaan itu baru terjawab beberapa saat menje-
lang pembukaan upacara. Serombongan ‘orang-orang
tak dikenal’ datang dan dipersilakan duduk di kursi-
kursi yang masih kosong itu.
Para pembesar Tegalinten memandang ke arah uta-
ra dengan perasaan heran. Mereka sama-sekali tidak
mengenal orang-orang yang baru datang tersebut. Lalu
siapa mereka itu?
Yang membuat para pembesar Tegalinten sangat he-
ran, adalah tampang orang-orang yang baru datang
itu... pada umumnya aneh-aneh dan menyeramkan!
Sikap mereka pun macam-macam. Sama sekali tidak
menunjukkan sikap para bangsawan. Ada yang terta-
wa keras-keras, ada yang bersiul-siul, ada yang mem-
buang dahak seenaknya, ada yang mengorek-ngorek
hidung dan kuping di depan umum, ada yang men-
gangkat kaki tinggi-tinggi, ada yang duduk sambil
menggoyang-goyang lutut (yang menurut tradisi se-
tempat merupakan kebiasaan ‘tulang miskin’), ada ber-
tolak pinggang sambil cengar-cengir... pokoknya sikap
mereka sangat urakan. Tapi mereka ditempatkan di
deretan kursi yang sejajar dengan para pembesar Tega-
linten. Tentu saja hal itu membuat para pembesar Te-
galinten jengkel, sekalipun kejengkelan mereka dipen-
dam saja dalam hatinya masing-masing.
Para pembesar Tegalinten tidak tahu bahwa orang-
orang ‘urakan, menyebalkan dan menyeramkan’ itu,
adalah orang-orang yang sengaja diundang oleh Praba-
seta, untuk memenuhi permintaan anak-anaknya
(Prabalaya dan Prabayani) yang menghendaki agar to-
koh-tokoh berilmu tinggi dihadirkan di alun-alun Tega-
linten hari itu. Sebagai dedengkot golongan hitam, ten-
tu saja Prabaseta hanya mengundang orang-orang
yang sealiran dengannya.
Maka tanpa disadari oleh Aria Pamungkas sendiri,
pada hari itu tokoh-tokoh golongan hitam telah hadir
secara resmi di kotaraja! Tentu saja mereka membawa
anak buahnya masing-masing, yang kini telah ber-
campur baur dengan rakyat Tegalinten di sekitar alun-
alun!
Gamelan pusaka mulai ditabuh, merdu mengalun,
mengiringi kedatangan sang Putra Mahkota di pang-
gung kehormatan, yang letaknya berhadapan dengan
‘panggung ujian’ itu. Hadirin serempak berdiri, untuk
memberikan penghormatan. Bahkan beberapa penjilat
memekikkan “Hidup Putra Mahkota!” yang disambut
dengan pekikan penjilat-penjilat lainnya.
Dengan sikap angkuh, Aria Pamungkas mengangkat
tangan kanannya, sambil memperhatikan siapa saja
yang menyambutnya tadi. Biasanya, beberapa hari
kemudian, ada hadiah khusus untuk orang yang me-
mekikkan “Hidup Putra Mahkota” tadi.
Setelah tiba saatnya bagi Aria Pamungkas untuk
menyampaikan amanatnya, suasana di alun-alun yang
dipadati manusia itu mendadak hening. Tidak ada seo-
rang pun yang berani mengeluarkan suara.
Kemudian terdengar suara Aria Pamungkas, lan-
tang, dari panggung kehormatan, “Para pembesar dan
rakyat Tegalinten! Seperti yang telah diumumkan ter-
lebih dahulu, hari ini kerajaan akan meresmikan bebe-
rapa peristiwa penting, yang patut diketahui oleh ka-
lian semua!”
Aria Pamungkas menyapukan pandangan ke sekeli-
ling panggung kehormatan, kemudian berkata lagi,
“Pertama, kerajaan telah memutuskan untuk men-
gangkat seorang senapati baru, sebagai pengganti Se-
napati Jugala yang telah gugur dalam menjalankan tu-
gasnya. Senapati baru itu telah mendapat gelar ke-
bangsawanan dari kerajaan, gelar yang sesuai dengan
kedudukannya. Selain daripada itu, kerajaan pun telah
memutuskan untuk mengangkat seorang adipati baru
yang akan memimpin daerah Kawahsuling, sebagai
pengganti Adipati Natajaya yang juga telah gugur da-
lam masa jabatannya. Calon adipati baru itu pun ber-
hak atas gelar kebangsawanan yang sesuai dengan ke-
dudukannya. Perlu kalian ketahui, bahwa kerajaan
mengambil langkah baru dalam rangka memperteguh
kekuatan pemerintahan, baik di kotaraja maupun di
daerah. Langkah baru ini belum pernah diambil oleh
para pendahulu kita. Terutama kedudukan senapati
yang dahulu selalu diberikan kepada laki-laki, maka
kali ini kami justru akan mengangkat seorang wanita!”
Hadirin agak gempar, karena hampir tidak percaya
bahwa sang Putra Mahkota akan mengangkat seorang
wanita untuk menduduki jabatan senapati.
“Tenang! Tenang!” Aria Pamungkas mengangkat ta-
ngannya tinggi-tinggi, sehingga hadirin pun menjadi
tenang kembali. Kemudian Aria Pamungkas melan-
jutkan, “Tanpa kemampuan yang luar biasa, tidak
mungkin kami akan mengangkat seorang wanita untuk
menduduki jabatan senapati. Wanita yang akan kami
angkat itu benar-benar luar biasa. Kemampuannya
jauh melebihi kemampuan Senapati Jugala. Untuk
membuktikan ucapanku, kalian bisa menyaksikannya
sendiri nanti! Selanjutnya, kedudukan adipati yang
akan memimpin daerah Kawahsuling, juga akan kami
berikan kepada seorang pemuda yang masih penuh
dengan semangat. Kemampuannya dijamin jauh mele-
bihi kemampuan mendiang Adipati Natajaya.”
Aria Pamungkas menghentikan amanatnya sesaat.
Memperhatikan reaksi para pembesar Tegalinten, un-
tuk menebak-nebak apakah mereka akan menentang
atau tidak.
Kemudian, “Setelah pengangkatan senapati dan
adipati baru itu nanti, kami akan menyelenggarakan
sesuatu yang belum pernah terjadi pada masa lalu.
Yakni, kami akan mempersilakan siapa saja yang me-
rasa dirinya mampu, untuk naik ke atas panggung be-
sar itu, supaya bisa memperlihatkan kemampuannya
kepada kita semua. Kerajaan pada saat ini memang
sangat membutuhkan orang-orang tangguh, untuk di-
angkat sebagai anggota barisan khusus. Barisan khu-
sus ini akan kami bentuk dalam tempo sesingkat
mungkin. Dan anggota-anggotanya, adalah orang-
orang yang lulus dalam panggung ujian itu nanti!”
Kemudian Aria Pamungkas menguraikan panjang
lebar, tentang rencananya dalam rangka meningkatkan
kejayaan Kerajaan Tegalinten.
Akhirnya tibalah saatnya bagi Aria Pamungkas, un-
tuk meresmikan pengangkatan Prabayani sebagai se-
napati kerajaan, sekaligus untuk memperkenalkan se-
napati baru itu kepada para pembesar dan rakyat Te-
galinten.
Ketika Prabayani melangkah ke arah panggung ke-
hormatan, dengan lenggang-lenggoknya yang aduhai,
para pembesar dan rakyat Tegalinten tercengang...
hampir tak percaya pada pendengaran dan pengliha-
tannya masing-masing!
Benarkah wanita muda yang sikapnya begitu me-
rangsang akan diangkat sebagai Senapati Kerajaan Te-
galinten? Apakah sang Putra Mahkota sudah sinting,
sehingga wanita seperti itu diangkat sebagai senapati?
Apakah Kerajaan Tegalinten sudah kehabisan lelaki
perkasa, sehingga kedudukan yang seharusnya dipe-
gang oleh ahli perang itu justru diberikan kepada wa-
nita yang begitu genit? Apa yang akan terjadi dengan
Kerajaan Tegalinten kalau balatentaranya sudah di-
pimpin oleh seorang wanita seperti itu?
Demikianlah antara lain pikiran para pembesar dan
rakyat Tegalinten yang hadir di alun-alun itu. Namun,
tiada seorang pun yang berani buka suara.
Sementara itu, Prabayani telah berada di atas pang-
gung kehormatan. Berlutut di depan Aria Pamungkas.
Dan sang Putra Mahkota meletakkan tangan kanannya
di bahu Prabayani, sambil berkata, “Atas nama Rama
Prabu, aku mengangkatmu sebagai Senapati Kerajaan
Tegalinten!”
Guooooooong... Guooooong... gooooooong...!
Gong pusaka kerajaan ditabuh tiga kali, pertanda
sudah resminya Prabayani diangkat sebagai Senapati
Kerajaan Tegalinten.
Dan tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dari arah
utara, dari kelompok aliran hitam itu.
“Hidup Senapati Prabayani!”
“Hiduuuuuup!”
“Hidup Senapati Prabayani!”
“Hiduuuuup!”
“Hidup Senapati Prabayani!”
“Hiduuuup...!”
Mau tidak mau, para pembesar dan rakyat Tegalin-
ten pun mengikuti sorak sorai itu, dengan sama-sama
meneriakkan ‘hidup’, walaupun banyak di antara para
pembesar yang kurang rela meneriakkannya.
Kemudian Senapati Prabayani turun dari panggung
kehormatan, menuju kursi khusus yang telah disedia-
kan untuknya di depan panggung ujian.
Aria Pamungkas melanjutkan acara itu, dengan me-
resmikan Prabalaya sebagai Adipati Kawahsuling. Pe-
laksanaannya hampir sama dengan peresmian Senapa-
ti Prabayani tadi.
Dan setelah gong pusaka ditabuh tiga kali lagi, se-
bagai pertanda bahwa Prabalaya sudah resmi diangkat
sebagai Adipati Kawahsuling, lagi-lagi kelompok yang
duduk di sebelah utara itu bersorak-sorai.
“Hidup Adipati Prabalaya!”
“Hiduuuuup...!”
“Hidup Adipati Prabalaya!”
“Hiduuuup....!”
“Hidup Adipati Prabalaya!”
“Hiduuuuup...!”
Kemudian Adipati Prabalaya turun dari panggung
kehormatan, menuju kursi yang kosong di antara dere-
tan para adipati.
Suasana menjadi hening kembali.
Aria Pamungkas telah duduk lagi di kursi kebesar-
annya, di atas panggung kehormatan. Kemudian ia
memberi isyarat kepada Senapati Prabayani, yang
langsung ditanggapi oleh senapati baru itu... dengan
lompatan yang sangat indah ke arah panggung ujian!
Hadirin tercengang lagi. Kali ini mereka kagum. Ka-
gum sekali. Karena baru sekali itu melihat seorang
manusia bisa melompat demikian jauh dan indahnya...
terlebih lagi lompatan itu dilakukan oleh seorang wa-
nita!
Di atas panggung ujian itu, Senapati Prabayani ber-
teriak lantang, dengan suara yang terdengar jelas ke
seluruh alun-alun, karena suaranya disertai pengera-
han tenaga batin yang tinggi.
“Atas perkenan Gusti Putra Mahkota, dengan ini di-
umumkan, bahwa Kerajaan Tegalinten akan memben-
tuk barisan khusus, untuk memperkuat balatentara
kerajaan yang selama ini dibiarkan dalam keadaan le-
mah. Karena itu, siapapun yang bermaksud melamar
untuk menjadi anggota barisan khusus itu, dipersila-
kan naik ke atas panggung.”
Aria Pamungkas berdiri dan berkata, “Benar! Sena-
pati Prabayani sendiri yang akan menguji calon anggo-
ta barisan khusus itu!”
Hadirin saling pandang. Suasana menjadi hening la-
gi. Gamelan pusaka pun tidak ditabuh lagi.
Dan... tiba-tiba saja sesosok tubuh melesat ke arah
panggung ujian. Begitu tiba di atas panggung, orang
itu berkata, “Aku naik ke atas panggung, bukan untuk
mendaftarkan diri sebagai calon anggota barisan khu-
sus. Aku hanya ingin menguji, apakah senapati baru
ini mampu memegang jabatannya atau tidak.”
Senapati Prabayani menyipitkan matanya, menatap
orang itu dengan tajam. Sangat jelas bahwa orang itu
meragukan kemampuannya, sekaligus menantangnya!
(Bersambung)
Emoticon