1
TEMPAT itu terasa sangat asing. Padang
tandus tanpa rumput apalagi pohon. Tetapi
bukan padang pasir, melainkan dataran
tanah liat keras. Di beberapa tempat ada
kayu-kayu tua dipancangkan, mirip
agaknya yang ada di tempat itu hanya
benda-benda mati. Tak ada tanda-tanda
kehidupan. Sejauh-jauh mata memandang ke
segala penjuru tak terlihat adanya ujung
padang tandus itu. Mungkin karena batasnya
beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu
kilometer, atau lantaran tertutup oleh
debu serta mega-mega.
Apa nama gurun itu dan di sebelah mana
adanya serta bagaimana pula terjadinya,
tak seorang pun tahu. Dan bagaimana pula
bisa terjadi, si Tolol tiba-tiba saja
berada di tempat itu. Jangankan orang lain,
si Tolol sendiri tidak tahu. Entahlah ada
yang melemparkannya beberapa saat lalu
ketika ia sedang dalam keadaan tak sadarkan
diri.
Si Tolol berusaha keras memutar otak
untuk mengingat-ingat di mana sebenarnya
ia berada dan sedang apa sebelum
dilemparkan ke tempat yang sangat asing
baginya. Tetapi ia tak bisa ingat apa-apa
bahkan semakin ia berusaha
mengingat-ingat, pikirannya terasa
semakin kalut.
Hampir saja si Tolol menangis karena
ketakutan atau mengira dirinya telah
berada di dunia lain. Tetapi ia belum mau
putus asa. Sebab siapa tahu nanti ia bisa
dapat mencari jalan keluar. Maka ia pun
berjalan lurus ke depan dengan harapan bisa
segera mengetahui rahasia padang tandus
itu sekaligus dapat menyelamatkan diri.
Kalau ia masih berada di sana dalam jangka
waktu yang lama, ia tentu akan mati
kelaparan.
"Entah tempat apa gerangan ini," kata
hati si Tolol sambil terus melangkah. Ham-
pir setengah harian ia berjalan lurus ke
depan, namun tak terlihat adanya
tanda-tanda bahwa ia akan bisa keluar dari
padang tandus yang sangat luas itu.
Si Tolol semakin iemas, langkah
kakinya mulai gontai. Hal itu membuat
lelaki itu mulai putus asa, karena agaknya
jika tidak ada pertolongan, ia akan menemui
ajalnya di Sana. Alangkah ngerinya, ia mati
tanpa diketahui orang lain!
Sekonyong-konyong lelaki berkepala
botak licin itu merasa tubuhnya ringan
sekali, bahkan makin lama terasa berat
badannya mulai hilang. Kakinya
kadang-kadang terangkat, seolah-olah di
tempat itu tidak ada lagi daya tarik bumi.
Tak terkatakan betapa kagetnya si Tolol. Ia
berusaha menekan tubuhnya agar tetap bisa
berjalan seperti biasa, namun segala
usahanya sia-sia belaka.
Dan tiba-tiba si Tolol menjerit
panjang, karena tubuhnya melayang
seolah-olah ditarik makhluk yang tak
kelihatan terbang sampai ke angkasa. Si
Tolol hampir tak bisa bernafas saking
cepatnya tubuhnya meluncur, makin ke atas
dan makin ke atas. Ketinggiannya sekarang
pastiiah sudah berada di luar pemikiran
orang-orang desanya di Sumedang.
Tatkala nafas si Tolol hampir putus,
tubuhnya tidak melesat lagi ke atas,
melainkan mulai melayang-layang bagaikan
burung nuri terbang di angkasa.
Dari situlah si Tolol melihat ke bawah
dan menyaksikan bahwa bumi ini sebenarnya
bulat bentuknya, seperti bola! Itu
merupakan suatu pemandangan yang luar
biasa bagi si Tolol. Karena selamat ini
yang ia tahu dan ia yakini, bumi ini datar
adanya, tapi di manakah gerangan ujungnya,
ia sendiri tak pernah tahu bahkan
memikirkannya pun tidak.
Dunia ini ternyata bulat seperti bola,
kata hati si Tolol berulang-ulang, kalau
saja... si Tolol tidak sempat lagi
meneruskan pikir-nnya, karena mendadak
tubuhnya terhempas jatuh. Makin lama makin
dekat ke dunia ini, sehingga akhirnya
bentuk bulat seperti bola itu perlahan
menghilang.
"Tolong...!" si Tolol menjerit
panjang. Sekujur tubuhnya basah oleh
keringat dingin yang membanjir karena rasa
takut yang sangat mengerikan. Tiada lagi
harapan baginya untuk bisa selama jika
tubuhnya terhempas ke bumi. Mungkin
tubuhnya akan hancur lebur atau tinggal
keping-keping daging serta tulang belulang
yang sangat halus. Sekali lagi si Toloi
menjerit. Tetapi sebelum suara jeritannya
terhenti, tubuhnya telah terhempas ke
tanah.
"Mati aku," kata si Tolol pasrah.
Tetapi tubuhnya tidak apa-apa, tidak
hancur lebur seperti yang diperkirakannya
tadi. Bahkan ia pun tidak merasa sakit.
Hanya kedua matanya saja yang terasa silau.
Perlahan-lahan, pemuda itu membuka
matanya. Ternyata ia duduk bersandar pada
batang pohon rindang, sementara sekitar
sepuluh anak kecil mengerumuninya sambil
tertawa tergelak-gelak. Sadarlah si Tolol
bahwa ia hanya bermimpi. Rupanya karena
kelelahan tadi, ia tertidur pulas di bawah
pohon rindang dan bermimpi sesuatu yang
menurutnya sangat aneh sekaligus
mengerikan.
"Ha-ha-ha, orang botak ini
teriak-teriak minta tolong tadi. Ia
seperti orang sinting," ujar salah seorang
di antara anak kecil yang mengerumuni si
Tolol.
"Hei, hati-hati! Dia itu rajanya
tuyul," sambung yang lainnya dengan nada
mencemoohkan si Tolol.
"Hai, jangan ditarik-tarik!" teriak si
Tolol.
"Welah, iki arit kanggo opo to, kang?
Arit elek koyo ngene kok digowo-gowo?" ejek
yang satunya lagi sambil menarik-narik
arit yang terselip di pinggang si Tolol.
"Lucu, kalau lagi marah dia mirip
badut. Coba lihat matanya, melotot seperti
mata jengkol," kata si Gimin.
Si Tolol tidak tersinggung, karena
pikirannya tertarik pada buah manggis yang
dipegang si Gimin. Buah itu sepertinya
berkaitan dengan mimpinya barusan. Dan itu
bisa dijadikan sebagai contoh membuktikan
sebuah ide yang timbul dalam benaknya
setelah bermimpi.
"Hei, apa yang kau pegang itu? Lihat
sebentar. Itu buah manggis, bukan? Pinjam
sebentar, aku ingin menunjukkan sesuatu
kepada kalian."
"Jangan mau, Gimin! Dia pasti ingin
menipu karena sangat kelaparan."
"Berani sumpah, aku cuma mau pinjam
sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu
kepada kalian. Percayalah, aku tidak
bermaksud menipu."
"Benar, ya? Awas kalau kau coba-coba
menggarotnya. Kami akan mengeroyokmu
hingga mampus!"
Setelah si Tolol memegang buah manggis
itu, ia berkata:
"Nah, sekarang kalian dengarkanlah.
Bumi yang kita tinggali ini bentuknya
bundar seperti buah manggis ini."
"Bohong!"
"Huh, dasar kepala botak. Isi kepalamu
rupanya tai kerbo. Kau macam-macam saja
ngomong. Bapakku saja sudah bilang, dunia
ini datar kayak tampah."
"Ah, sudahlah," teriak anak lainnya,
"Dia itu cuma ingin menipu saja. Dia
pura-pura bicara yang aneh-aneh agar bisa
memiliki buah manggis itu. Hei, botak!
Sekarang kembalikan manggis si Gimin!"
"Tunggu! Sabar sebentar! Ini ada
sebatang lidi. Aku akan menunjukkan
sesuatu pada kalian. Kalau manggis ini
diumpamakan sebagai dunia. kita bisa
menusuknya hingga tembus. Maaf, ya!
Ditusuk dulu manggisnya biar lebih jelas."
Si Tolol menusuk manggis itu dengan
sebatang lidi sehingga dari ujung yang satu
ke ujuhg lainnya.
"Hei, manggisku nanti tak bisa dimakan
lagi!" teriak Gimin dengan wajah merah
padam.
"Jangan marah dulu! Percayalah, kalau
kalian sudah mengetahui rahasia bumi ini,
kalian pasti tidak akan menyesal karena
manggis ini kutusuk dengan lidi. Umpamakan
kita sekarang berada di ujung yang satu
ini, sedang di ujung lainnya pasti ada
orang lain. Kalau misalnya kita menggali
tanah dari sini terus saja ke dalam bumi,
kita pasti sampai ke tanah seberang. Di
seberang saja banyak sekali benda-benda
yang belum pernah kalian lihat selama ini."
"Ah, si botak pembohong busuk!"
"Dengarkan bajk-baik. Aku tidak
memaksa kalian percaya. Tetapi kalau
kalian sudah lihat semua yang ada di negeri
seberang sana, kalian pasti kagum. Lain
sekali dengan apa yang pernah kalian lihat
di sini."
"Tukang bohong!" teriak anak-anak itu
sambil menjitak kepala si Tolol yang botak.
Dua orang di antaranya malah menarik-narik
daun telinganya, sehingga pemuda itu
kesakitan.
"Tunggu! Tunggu! Kalau kalian tidak
percaya, akan kubuktikan sekarang. Aku
akan menggali bumi hingga tembus ke
seberang."
"Dasar orang tolol. Kembalikan
manggisku!" teriak Gimin, lalu merampas
manggis itu kembali dari jangan si Tolol.
"Kalau kalian tidak percaya, aku akan
pergi sendiri," kata si Tolol sambil
melangkah ke sebuah dataran di kaki gunung
Muria, cukup jauh dari pasar Jepara.
Kebanyakan dari anak-anak itu
menertawakan si Tolol, lalu pulang ke
rumahnya masing-masing. Tetapi empat anak
lainnya rupanya tertarik juga dan ingin
mengetahui apa yang hendak dilakukan si
Tolol mereka membuntuti si Tolol sambil
berbisik- bisik.
***
2
Gunung Muria termasuk gunung yang
tidak terlalu tinggi di bandingkan gunung
lainnya di daerah Jawa bagian Tengah. Namun
di bagian puncak dan tengah, hutannya cukup
lebat. Di lereng gunung itu terdapat
dataran-dataran kecil yang umumnya
digunakan penduduk untuk menggembalakan
hewan ternak. Di gunung itu banyak tumbuh
pohon jati, yang sering digunakan penduduk
sebagai bahan ukur-ukiran. Itulah yang
kemudian membuat kota Jepara sangat
terkenal dengan hasil kerajinan ukirannya.
Si Tolol sudah sampai di salah satu
dataran kecil di lereng gunung Muria.
Tempat itu sangat sepi, karena sudah sangat
jauh dari kota Jepara. Si Tolol berhenti di
dekat sebuah pohon besar yang rindang.
"Di sini!" teriaknya sambil menunjuk
tanah di hadapannya. "Aku akan menggali ta-
nah dari sini hingga nanti tembus ke negeri
seberang!"
Tanpa perduli akan kehadiran keempat
anak itu, si Tolol mulai menggali tanah de-
ngan menggunakan aritnya. Merupakan suatu
kebetulan saja, tanah di sekitar tempat itu
sangat gembur sehingga mudah digali. Di
samping itu, si Tolol memiliki tenaga yang
sangat kuat. Dalam waktu yang relatif
singkat, ia sudah dapat menggali tanah
sedalam tinggi tubuhnya.
"Kau percaya, Curis?" tanya anak-anak
yang sejak tadi mengawasi pekerjaan si
Tolol.
"Ah, tidak mungkin. Tapi kerjanya
cepat sekali, ya?"
Menjelang matahari condong ke arah
Barat, lubang itu sudah mencapai dua meter
lebih. Si Tolol masuk ke dalamnya dan
melemparkan tanah yang digalinya ke atas.
Tampaknya sungguh merupakan suatu
pekerjaan yang sangat bodoh dan tak ada
gunanya. Menggali tanah dengan cara se-
perti itu hampir sama artinya dengan bunuh
diri. Seharusnya ada orang lain yang
membantu si Tolol dari atas dengan cara
menarik keranjang tanah galian dengan
tali.
Akhirnya keempat anak-anak yang sejak
tadi berada di lereng gunung itu merasa
bosan juga. Mereka akhirnya sepakat pulang
membiarkan si Tolol bekerja sendirian di
dalam lubang yang digalinya itu.
"Biarlah besok pagi saja kita balik
lagi ke sini," kata si Gimin.
Si Tolol meneruskan pekerjaannya,
menggali dan terus menggali tanah.
Perlahan-lahan, lubang itu pun makin
dalam. Agaknya lelaki yang dijuluki si
Tolol itu tidak akan mau berhenti. Buktinya
sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat,
tetapi ia terus mengerahkan sisa-sisa
tenaganya.
Bagi orang lain, pekerjaan si Tolol itu
pastilah dianggap pekerjaan gila. Menggali
tanah dengan maksud membuat lubang
menembus bumi dari satu sisi ke sisi di
seberangnya.
Akan tetapi bukan si Tolol lagi namanya
kalau sikap dan perbuatannya hanya yang
wajar-wajar saja. Sejak dulu, ia memang
sering jadi ocehan orang karena
ketololannya. Umurnya sekarang sudah
mencapai lima belas tahun lebih. Tetapi
sifatnya kadang-kadang sama seperti anak
yang baru berumur lima tahun.
Kepalanya botak licin dan tampak lebih
besar dari ukuran biasa. Tubuhnya gemuk
gempal, sehingga jika sedang berdiri mirip
dengan badut. Bibirnya tebal dan agak
hitam, sedangkan di kepala bagian depannya
tumbuh sedikit rambut. Maka komplitlah
sudah si Tolol bagaikan patung yang diukir
sedemikian rupa untuk mencerminkan
kebodohan, kelucuan dan permainan. Dan
jika dilihat bentuk pakaiannya yang
bergaris-garis putih dan hitam dengan
lengan panjang serupa dengan celana
sebatas lutut, ia mirip menjadi boneka.
Perutnya kelihatan agak buncit, sedangkan
kakinya lebih pendek dari biasanya,
sehingga ia agak cebol kelihatannya.
Namun di balik semua itu, tersimpan se-
buah kelebihan luar biasa yang tidak
diketahui orang banyak. Jiwa atau rohani
manusia merupakan rangkaian unsur-unsur
yang di dalamnya terkandung naluri,
indera, akal, emosi, ambisi, ilusi dan
halusinasi. Keenam unsur itu merupakan
rangkaian yang sangat erat dan saling
berkaitan satu sama lainnya.
Kalau salah satu di antaranya hilang
atau tidak berfungsi, maka orang
bersangkutan akan tumbuh menjadi manusia
yang tidak normal.
Tampaknya demikianlah adanya dengan si
Tolol. Ia kehilangan unsur ketiga yakni
rasio atau akal pikiran. Otaknya tidak bisa
berfikir secara normal. Itulah sebabnya ia
sering berbuat hal-hal yang dianggap sa-
ngat bodoh oleh masyarakat banyak.
Akan tetapi Sang Maha Pencipta
menunjukkan keadilannya kepada manusia.
Jika di dalam hal rasio si Tolol sangat
lemah, faktor-faktor lain dalam jiwanya
justru mempunyai kemampuan yang maha
dahsyat.
Kalau manusia biasa setiap kali
bermimpi atau melamun selalu memproduksi
ilusi, maka impian dan lamunan si Tolol
berwujud gambaran naluri. Impian dan
lamunannya bisa menembus ruang dan waktu
berabad-abad ke belakang dan berabad-abad
ke depan.
Seperti tadi ketika ia bermimpi
terbang ke angkasa dan melihat bumi ini
bundar adanya seperti bola. Padahal si
Tolol hidup pada abad ke XIX, di mana
penduduk di kampungnya belum pernah tahu
mengenai bentuk bumi yang sebenarnya.
Selain itu, si Tolol sebetulnya
memiliki kekuatan luar biasa, karena
latihan-latihan silat melalui
mimpi-mimpinya. Tetapi karena ia anak yang
tolol, maka ia sama sekali tidak mengetahui
bahwa dirinya memiliki kesaktian yang luar
biasa.
Si Tolol sebenarnya adalah anak
Sumedang di belahan Pulau Jawa bagian
Barat. Tetapi pada waktu lalu, anak itu
dalam perjalanannya yang tak tentu arah
sampai ke daerah Jepara. Di situlah ia
hidup luntang lantung bagaikan anak
gelandangan.
Sekarang ia masih berada di dalam
lubang yang digalinya. Tak ada tanda-tanda
bahwa anak itu akan menghentikan
pekerjaannya, sebab sambil bekerja
benaknya se-alu membayangkan lubang tembus
dari ujung bumi ke ujung bumi di
seberangnya.
Tiba-tiba tanpa disengaja arit si
Tolol membentur benda keras dan
menimbulkan percikan bunga api. Anak itu
menjadi terkejut setelah menyadari bahwa
benda itu adalah sebuah peti. Ia mencoba
untuk mengangkat peti besi itu, ternyata
berat sekali. Terpaksa ia menggali tanah di
sekitar peti agar bisa diangkat.
Setelah cukup lama memeras tenaga, si
Tolol akhirnya dapat mengangkat peti
berukaran sekitar empat puluh kali tiga
puluh centimeter.
"Peti apa ini? Mirip peti harta milik
ibuku dulu. Coba kubuka peti ini," kata si
Tolol bicara sendirian.
Masih dengan menggunakan aritnya, si
Tolol bersusah payah membuka peti itu.
Sekeliling peti itu sudah karatan dan
berlumpur, tetapi di dalamnya masih bersih
dan utuh. Begitu terbuka, tampaklah oleh si
Tolol cahaya memancar menyilaukan mata
dari dalam peti itu.
Cahaya itu ternyata memancar dari
sebuah patung area yang terbuat dari emas
murni bertahtakan intan permata. Patung
itu adalah patung seorang wanita yang
sangat cantik jelita. Berdiri dengan
posisi tegak sambil mendekapkan kedua
tangan ke dada. Panjangnya sekitar tiga
puluh sentimeter, dan di bagian kakinya
dibuat bundaran datar sehingga patung emas
itu bisa berdiri atau lebih tepatnya
dipajang.
Itulah patung Ratu Shima, peninggalan
kerajaan Kalingga berabad-abad tahun
silam. Patung itu sudah lama sekali menjadi
bahan pembicaraan kalangan dunia
persilatan maupun masyarakat umum. Hampir
semua orang ingin memilikinya. Bukan
karena lapisan emas serta permata intan
patung itu. Namun lebih dari itu, di dalam
rongga tubuh patung itu tersimpan tulisan
rahasia di atas daun lontar. Itulah yang
dianggap orang sangat berharga, sehingga
apapun dipertaruhkan untuk memiliki patung
Ratu Shima.
Menurut buku Jawi kuno, karangan
pujangga zaman dahulu kala, Ratu Shima yang
arif bijaksana serta cantik jelita itu
pernah menitahkan seorang empu terkenal
untuk membuat patung emas yang mirip sekali
dengannya. Patung emas bertahtakan intan
itu dibuat dalam ukuran kecil namun sangat
mirip Ratu Shima. Rambunya dikuncir dan
ditutupi dengan tahta keratuan, sedangkan
pakaiannya terbuat dari sutera emas.
Kecantikan Ratu Shima tersohor bukan
hanya semasa hidupnya saja, tetapi juga
beratus-ratus tahun kemudian setelah ia
meninggal dunia. Kecantikannya menjadi
perlambang abadi dan dikagumi orang dari
masa kemasa.
Di dalam buku Jawi kuno itu selanjutnya
dikatakan, Ratu Shima menitahkan agar di
dalam tubuh patung itu dibuat rongga tempat
menyimpan surat wasiat tentang rahasia
kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan.
Rahasia itulah yang selalu ingin
diketahui orang. Karena berdasarkan surat
wasiat itu, seorang pemimpin akan bisa
tetap bertahta dalam tahtanya, bahkan
sebagian masyarakat menganggap orang biasa
pun dapat menduduki tahta terhormat jika
mengetahui rahasia Ratu Shima. Sedangkan
dari segi kecantikan, yang sudah tua dan
keriput sekalipun dapat menjadi cantik
jelita.
Banyak sekali yang tergiur, terutama
orang-orang yang teramat ambisius dalam
hidupnya sehingga tidak mau menerima
kenyataan apa adanya. Patung itu kemudian
lenyap entah ke mana. Tetapi tak lama
kemudian timbul desas-desus bahwa patung
ditanam di lereng gunung Muria. Para
pendekar, bukan hanya dari daratan Pulau
Jawa tetapi juga dari daratan Tiongkok dan
teluk Parsi yang telah mendengar riwayat
patung itu, sudah mulai berkeliaran di
sekitar lereng gunung Muria. Berusaha
keras untuk menemukan atau merebut patung
yang sangat berharga itu. Secara kebetulan
pula, si Tolol yang hendak melubangi bumi
ini menemukan patung Ratu Shima yang telah
dicari-cari para jagoan dari seantero
jagad raya. Anak itu sekarang memegang
patung Ratu Shima dengan mata melotot
saking kagum dan tertariknya.
"Hah? Ini arca yang sangat bagus!"
katanya sambil tertawa kegirangan. Dalam
benaknya segera bayangan bahwa dalam waktu
yang tidak terlalu lama lagi, ia akan
memiliki barang mainan yang sangat bagus,
yang bisa dibangga-banggakan kepada
anak-anak.
Anak itu sama sekali tidak mengetahui
bahwa patung itu adalah patung Ratu Shima.
Dan tentu saja ia juga tidak memikirkan
bahwa di dalam rongga patung itu tersimpan
surat wasiat yang sangat berharga.
Tanpa disadari oleh si Tolol, di
pinggir lubang yang digalinya, sekarang
telah berdiri seorang tokoh silat yang juga
sudah cu-up lama mencari-cari Ratu Shima.
Dialah Prawiro, pendekar yang memiliki
ilmu tinggi dan cukup kesohor di daerah
lereng gunung Muria.
Lelaki itu masih muda, usianya paling
sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampan
dan tidak dihiasi kumis. Kepalanya
ditutupi blangkon berupa kain sutera
halus. Melihat penampilan lelaki itu,
agaknya ia masih memiliki darah ningrat.
Tetapi bentuk tubuhnya yang tegap dan
otot-otot yang kekar menandakan ia seorang
lelaki yang rajin berlatih ilmu silat dan
memiliki tenaga yang sangat kuat.
Di pinggang sebelah kanan Prawiro
diselipkan senjata keris yang
sewaktu-waktu dengan gerakan yang sangat
cepat dapat dicabut jika berhadapan dengan
musuh. Lelaki itu tersenyum-senyum sambil
menatap dengan sinar mata mencorong ke
dalam lubang yang digali si Tolol.
"He-he-he... pucuk di cinta ulam tiba.
Aku tak perlu memeras keringat untuk
menggali tanah ini, karena sekarang dengan
mudah aku akan mendapatkan patung itu,"
kata Prawiro sambil terkekeh- kekeh.
Pendekar itu kemudian mengambil seutas
tali yang dililitkan di pinggangnya.
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Prawiro
melemparkan tali itu ke dalam lubang dan
langsung membelit patung Ratu Shima yang
sedang dipedang si Tolol, melesat ke atas
dan langsung berpindah ke tangan Prawiro.
"Patung inilah yang kucari-cari. Seka-
rang aku telah memilikinya!" kata Prawiro
dengan hati penuh luapan rasa gembira.
Namun walaupun wajahnya tampan dan
kelihatannya bersih dari perbuatan
tercela, Prawiro ternyata memiliki hati
yang sangat kejam. Tanpa merasa kasihan
sedikitpun juga, ia menimbun lubang itu
kembali sehingga si Tolol menjerit-jerit
kesakitan.
"Kau sendiri yang menggali kuburanmu,
kawan!" katanya sambil mengerahkan seluruh
tenaganya untuk menimbun tanah ke dalam
lubang dan tanpa ampun lagi, si Tolol
terbenam di dalam lubang. Suara jeritannya
tidak terdengar lagi.
Bukan itu saja, permukaan lubang yang
sudah tertutup itu diinjak-injak Prawiro
supaya padat. Tampaknya lelaki itu telah
bertekad untuk menghabisi nyawa siapa saja
yang mencoba menghalanginya memiliki
patung Ratu Shima.
"Selamat tinggal, kawan!" kata
Prawiro, lalu melesat dengannya gerakan
yang sangat cepat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya berkelebat dan kadang-kadang yang
tampak hanyalah bayangan saja, menandakan
betapa cepatnya gerak lari pendekar itu.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring.
Prawiro tersentak kaget dan tanpa
sadar menghentikan langkahnya. Di
hadapannya sekarang telah berdiri
seseorang yang rupanya telah membuntutinya
sejak tadi.
"Bangsat! Aku tak bisa menangkap
gerakanmu!" bentak Prawiro geram bercampur
cemas. Karena sebagai pendekar yang
memiliki ilmu tinggi, setiap gerakan orang
yang cukup dekat dengan pastilah akan
di-ketahuinya. Kecuali jika orang itu
memiliki kesaktian tinggi dan ilmu
meringankan tubuh hebat, gerakannya sulit
tertangkap oleh pendengaran.
"Oh, tentu. Tak seorang pun bisa
menangkap gerakanku!"
Prawiro memperhatikan wanita di ha-
dapannya. Baru sekarang ia menyadari bahwa
wanita itu aneh luar biasa! Wanita itu
cantik dan memiliki lekak-lekuk tubuh yang
sangat indah dan menggairahkan. Dan itu
terlihat dengan nyata sekali, sebab wanita
yang masih muda itu sama sekali tidak
mengenakan pakaian selembar benang pun tak
ada melekat di tubuhnya.
Sekujur tubuh wanita itu dirajah
(tatto), mulai dari batas leher sampai ke
ujung tangan dan ujung kaki, dengan warna
yang sangat kontras, merah, hijau, hitam,
putih dan entah warna apa lagi. Gambar
tatto itu dibuat seperti motif kain atau
mirip pula dengan ukiran-ukiran kayu,
bergaris-garis dan pada ujungya dibuat
melingkar yang makin ke ujung makin kecil.
Sepasang buah dadanya juga tak luput
dari tatto, dibuat dengan gambar
garis-garis berupa bulatan sampai ke
bagian putingnya, demikian juga pada
bagian pantatnya. Pada baian
selangkangannya terutama pada bagian alat
kemaluannya gambar tatto dibuat lebih
hitam dan garis-garisnya hampir tidak ada.
Dengan demikian, jika malam hari, wanita
itu kelihatan seperti mengenakan celana
dalam.
Jika wanita itu menggerak-gerakkan
badannya, tampak sepasang buah dadanya
yang montok itu bergerak turun naik.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan
pandangan mata Prawiro jadi silau, atau
bahkan ia seolah-olah tak percaya pada
penglihatannya sendiri. Seorang wanita
muda dan cantik dengan sekujur tubuh penuh
tatto berdiri dihadapannya. Dalam mimpi
pun Prawiro belum pernah membayangkan
dirinya akan melihat wanita seperti itu.
Sejenak mata Prawiro melirik buah dada
wanita itu, kemudian pandangan matanya
turun dan berhenti di selangkangannya.
Perasaan Prawiro pun langsung tak menentu.
Dadanya berdebar-debar lantaran gejolak
yang menghentak-hentak di dalam dirinya
sebagai seorang lelaki.
Dan agaknya wanita bertatto itu memang
sudah terbiasa dengan keadaan tubuhnya
yang bugil. Ia tak tampak sedikit pun
merasa risih atau malu. Bahkan ia sengaja
membuka kedua pahanya lebar-lebar dan
membusungkan dadanya dengan sikap
menantang.
Prawiro sebenarnya seorang pendekar
yang memiliki ilmu silat tinggi dan sudah
terbiasa pula menghadapi tipu daya musuh.
Tetapi kali ini keadaan atau pemandangan di
hadapannya benar-benar telah membuatnya
lupa diri. Tubuh yang telanjang bulat itu
membuatnya merasa terpesona, seperti
terkena jampi-jampi. Kewaspadaannya pun
seketika telah lenyap.
Ketika wanita itu melangkah
perlahan-lahan menghampirinya, Prawiro
tetap terpukau. Tangan kirinya memegang
patung Ratu Shima sedangkan tangan
kanannya menggenggam senjata Keris yang
tadi di hunus setelah mendengar bentakan
orang menyuruhnya berhenti. Tetapi Prawiro
seperti sudah melupakannya. Wanita itu
makin dekat dengan langkah berlenggak
lenggok, sehingga rambutnya yang panjang
seperti menari-nari ditiup sepoi angin.
Perlahan-lahan, wanita bertatto itu
mengangkat kaki kirinya sehingga tanpa
sadar Prawiro melirik ke selangkangan
wanita yang berada persis di depan
hidungnya. Saat itulah keris Prawiro
terlempar ditendang wanita bertatto.
Kemudian menyusul kaki kanannya menendang
patung Ratu Shima dari tangan kanan Prawiro
hingga terpental jauh.
Wanita bertatto meloncat menangkap
keris itu, namun tidak berhasil menangkap
patung Ratu Shima karena terlempar terlaiu
jauh ke semak-semak. Dan rupanya di arena
itu masih ada orang lain yang sejak tadi
mengintip dari balik semak-semak.
Kebetulan sekali patung Ratu Shima
terlempar ke arahnya dan langsung
ditangkap dengan perasaan sangat girang.
Tanpa berfikir panjang lagi, lelaki
itu segera melarikan diri. Pada detik yang
bersamaan pula, wanita bertatto itu
menghunjamkan keris ke bagian jantung
Prawiro hingga amblas sampai ke hulunya.
Sambil menjerit panjang, tubuh lelaki itu
ambruk bermandikan darah segar. Sehingga
menggelepar-gelepar sejenak, ia pun
menghembuskan nafas terakhir.
Si Wanita tatto segera melangkah ke se-
mak-semak tempat patung itu tadi terlem-
par. Namun alangkah terkejutnya ia
manakala menyadari bahwa patung itu telah
lenyap.
"Kurang ajar! Pasti ada orang lain yang
menguntitku sejak tadi. Sialan!" Wanita
bertatto itu memaki-maki dalam hati dan
bersumpah akan mencari orang yang membawa
kabur patung itu sampai dapat, kemudian
membunuhnya.
Siapakah sebenarnya wanita bertatto
itu? Dulunya ia biasa dipanggil Setyatun,
seorang gadis cantik yang sering jadi bahan
pembicaraan kaum pemuda, bahkan termasuk
duda dan lelaki yang sudah beristri, karena
kecantikan dan keindahan tubuhnya.
Akan tetapi tak seorang pun
mengenalnya karena kemunculannya begitu
tiba-tiba. Selama ini penduduk maupun
kalangan pendekar belum pernah mendengar
apalagi melihat seorang jago silat wanita
cantik yang dalam keadaan bugil, di mana
sekujur tubuhnya penuh tatto dengan warna
kontras.
Mungkin Prawiro adalah orang yang
pertama melihatnya. Tetapi hanya beberapa
saat setelah memandangi sekujur tubuh yang
tak ditutupi selembar benang itu, ia tewas
di ujung senjata kerisnya sendiri, karena
sewaktu terpesona si Wanita Tatto alias
Setyatun menghunjamkan keris itu ke bagian
jantungnya.
Melihat gerak-gerik Wanita Bertatto
itu, dapatlah diterka bahwa ia sudah cukup
lama dan sudah terbiasa dengan keadaan tu-
buhnya yang telanjang bulat. Mungkin ia
sudah menganggap tatto itu adalah bajunya
sendiri, sehingga seperti ketika ketemu
Prawiro ia sama sekali tidak merasa risih
atau malu. Seorang wanita, kalau
pikirannya memang masih waras, tentulah
akan malu dilihat orang telanjang. Bahkan
biarpun tak ada yang melihat, misalnya di
dalam kamar, gerak-geriknya pastilah agak
kaku.
Atau apakah wanita bertatto itu memang
sudah gila? Rasanya tidak mungkin.
Kata-kata maupun sikapnya, serta keadaan
dirinya sama sekali tidak menunjukkan
pikirannya tidak waras lagi. Selain itu,
ada satu hal yang sangat menarik dalam diri
Setyatun, yakni ilmu silatnya yang sangat
tinggi. Dengan ilmunya yang tinggi,
agaknya akan jarang pendekar yang bisa
menandinginya. Apalagi karena keadaannya
telanjang, setiap lelaki yang hendak
bertarung dengannya, kalau tidak terpesona
sedikitnya pastilah terpengaruh.
Hal itu tentulah akan mempermudah si
wanita tatto menundukkan lawan-lawannya.
Seperti ketika Prawiro melihatnya. Lelaki
itu begitu terpukau, seolah-olah tak
percaya akan penglihatannya sendiri.
Padahal seandainya ia tidak terpengaruh
oleh keadaan tubuh yang telanjang itu, ia
pasti tidak semudah itu dirobohkan.
Dan agaknya, si wanita tatto
menyadarinya, sehingga dengan jelas
terlihat bahwa dalam setiap pertarungan ia
selalu mempengaruhi lawannya dengan
tubuhnya. Bagi wanita, keindahan tubuhnya
memang bisa jadi senjata yang sangat ampuh
untuk melumpuhkan kaum lelaki.
Melihat sepak terjang Setyatun sewaktu
menghabisi nyawa Prawiro, boleh dikatakan
bahwa kejadian itu merupakan awal
munculnya seorang tokoh di dunia
persilatan yang kelak akan menjadi bahan
pembicaraan para pendekar. Siapakah
sebenarnya wanita itu dan apa latar
belakang sehingga ia merajah sekujur
tubuhnya, akan terungkap dalam perjalanan
waktu di masa mendatang.
***
3
Sewaktu Wanita tatto berfikir keras
tentang patung Ratu Shima yang hilang
misterius, si pencurinya sekarang sudah
semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu berloncatan di sela-sela
pepohonan dengan gerakan yang sangat
ringan dan cepat.
Lelaki itu sudah setengah baya,
mungkin sudah berumur empat puluh lima
tahun. Wajahnya buruk, dengan hidung pesek
dan lebar. Si samping itu, gigi-giginya
mencuat ke depan sehingga selalu terlihat
dan membuatnya tampak selalu menyeringai.
Ada kesan licik dan kejam terpancar dari
wajahnya yang jelek itu.
Akan tetapi pakaiannya terbuat dari
sutera halus yang sangat mahal harganya. Di
sekitar kota Jepara orang yang bisa
memiliki kain sutera halus semahal itu
masih bisa dihitung dengan jari. Pastilah
dia orang kaya.
Ya, lelaki itu memang kaya raya! Nama
sebenarnya adalah Sugimin. Tetapi setelah
ia menjadi juragan kaya raya, namanya
diganti menjadi Raden Bei Kiduling Pasar.
ia memiliki warung beras dan keperluan
rumah tangga yang bisa melayani kebutuhan
semua penduduk desanya dalam waktu
berbulan-bulan. Belum lagi hewan ternaknya
yang jumlahnya ribuan ekor serta sawah
ladang yang juga ribuan hektar.
Raden Bei Kiduling Pasar sangat
disegani dan dihormati di desa. Karena
se-lain sangat kaya, ia juga mempunyai
puluh-an tukang pukul yang tak segan-segan
me-nyiksa penduduk jika berani macam-macam
kepada majikannya.
Lelaki itu telah jauh dari lereng bukit
Muria. Ia tidak tahu bahwa di lereng itu
ter-jadi sesuatu yang luar biasa. Tanah
bekas galian tempat si Tolol terkubur
hidup-hidup oleh Prawiro, mulai
bergerak-gerak. Makin lama, tanah itu
makin kuat gerakannya, seolah-olah ada
makhluk yang hendak ke luar dari dalamnya.
Tak lama kemudian, tanah timbunan itu
pun retak. Sebuah benda bulat tersembul.
Itulah dia kepala si Tolol. Setelah
kepalanya keluar, tubuhnya pun dapat
keluar dari timbunan tanah.
Luar biasa! Mungkin tak ada yang
mengira termasuk Prawiro sendiri bahwa si
Tolol masih hidup, bahkan dapat keluar dari
kuburannya, tanpa pertolongan siapa pun.
Sebenarnya kalau orang mengetahui
kehebatan tersembunyi di dalam diri si
Tolol, pastilah tidak akan terlalu heran
melihatnya bisa menyelamatkan diri.
Sewaktu itu dalam keadaan sekarat di dalam
tanah, secara otomatis tenaga dahsyat yang
tersimpan di dalam tubuhnya
menggerak-gerakkan tubuhnya untuk
berontak. Demikian dahsyatnya tenaga yang
tersimpan dalam tubuh si Tolol, sehingga
tanah itu dapat bergerak. Dan si Tolol pun
selamat!
"Huh, banyak orang jahat. Sama saja se-
perti di Sumedang, banyak orang jahat," ka-
ta si Tolol bicara sendiri.
Dan ketika ia menyadari bahwa keempat
anak yang tadi ikut bersamanya tidak ada
lagi di dataran lereng gunung itu, ia
menjadi terkejut. "Jangan-jangan
anak-anak itu juga sudah dikubur orang
jahat, atau dibawa oleh kolongwewe," pikir
si Tolol cemas.
Maka ia pun berteriak sekeras kerasnya
memanggil anak-anak itu: "Hoi, anak-anak,
ke mari! Kita batalkan saja pergi ke negeri
seberang. Ada orang jahat!"
Tetapi berapa kali pun ia berteriak
sekuat-kuat tenaga tetap tidak ada
sahutan. Akhirnya si Tolol pun menjadi
putus asa, dan berharap keempat anak itu
tidak apa-apa.
"Mungkin mereka disusul orangtuanya
dan disuruh pulang," kata hati si Tolol.
"Aku juga dulu sering disusul oleh Pak
Kohar jika sering terlambat pulang
bermain. Tapi sekarang dia telah
meninggal, yang ada cuma aritnya saja.
Akh...."
Ingat akan Pak Kohar dan pamannya
Maulana yang sangat baik, hati si Tolol
jadi sedih. Hanya kedua orang itu yang
menurut si Tolol baik hati padanya.
Sedangkan yang lainnya tidak sayang
padanya. Tetapi justru kedua orang itu pula
yang duluan meninggal. Si Tolol pun merasa
dirinya hidup sebatang kara. Tak ada yang
menyayanginya lagi. Tak ada yang
merawatnya. Maka anak itu pun menangis
sejadi-jadinya sambil berguling gulingan
diatas tanah.
Pada saat yang bersamaan, Raden Bei
Kiduling Pasar telah berada di halaman
rumah terpencil di desanya. Rumah itu cukup
besar dan megah. Tiang-tiangnya terbuat
dari ukiran-ukiran kayu serta logam
berlapis perak. Lantainya terbuat dari
tegel mengkilap. Di ruang tengah ada kursi
yang terbuat dari perak yang mirip dengan
kursi raja atau ratu.
Di kursi itulah seorang nenek sedang
duduk sambil memegang tongkatnya yang
bengkok. Rambut wanita itu sudah memutih
dan dikuncir ke atas. Wajahnya sudah
keriputan dengan raut yang lonjong karena
bagian dagunya terlihat lebih panjang dari
yang lazim terlihat. Tubuhnya kurus, namun
sinar matanya masih memancarkan sesuatu
yang kuat luar biasa. Di leher wanita tua
itu tergantung sebuah kalung berupa
untaian permata-permata intan.
Wanita tua itu tak lain tak bukan
adalah Nyi Peri, wanita tua namun memiliki
kesaktian yang luar biasa. Wanita itu sudah
lama hidup menyendiri di rumahnya yang
seperti istana itu. Selama ini boleh
dikatakan hampir tak ada yang berani masuk
ke rumah itu, bahkan sekedar bermain di
halaman rumahnya saja orang sudah takut.
Entah bagaimana kehidupan Nyi Peri
sehari-hari dan apa saja yang
dikerjakannya, hampir tak ada yang tahu.
Raden Bei tergopoh-gopoh masuk ke
ruang tengah, kemudian bersujud di hadapan
Nyi Peri. Setelah mengangguk beberapa
kali, lelaki itu mengacungkan patung Ratu
Shima ke arah Nyi Peri, kemudian berkata
dengan suara lantang:
"Saya sudah datang, Nyai. Inilah arca
yang Nyai idam-idamkan. Ternyata memang
patung emas yang indah sekali. Sekarang aku
akan mempersembahkannya kepada Nyai,
asalkan Nyai segera membuatkan ramuan
mujarab untukku."
"Aku tak pernah bicara bohong, Bei. Ka-
lau betul itu adalah patung Ratu Shima dari
kerajaan Hindu Kalingga, pada pertengahan
abad ketujuh, berikanlah padaku. Obat yang
kau minta itu sudah kusediakan," kata Nyi
Peri dengan suaranya yang parau.
"Oh, pasti asli, Nyai. Boleh
periksa,kutanggung asli. Dan Nyai harus
tahu, untuk mendapatkan patung itu, aku
harus berjuang mati-matian menghadapi
beberapa pendekar sakti yang juga
menginginkannya. Bahkan hampir saja
nyawaku melayang sewaktu
mempertahankannya." kata Raden Bei membual
sekedar untuk lebih menarik simpatik Nyi
Peri.
"Aku percaya," kata Nyi Peri setelah
memeriksa patung itu sebentar, "Sekarang
aku akan memberikan ramuan obat yang kau
minta. Ini, didalam pundi-pundi ini.
Namaku akan menjadi jaminan dan
taruhannya. Jangkan si Ronah, putri sultan
sekalipun pasti kepelet oleh obat ini."
"Terimakasih, Nyai. Terimakasih!"
kata Raden Bei sambil mengangguk anggukkan
badan beberapa kali. Setelah itu, dengan
mata berbinar-binar, lelaki kaya raya itu
segera meninggalkan rumah Nyi Peri.
"He-he-he, jangankan si Ronah, putri
sulta pun bisa kepelet. Opo hiya? Kalau pu-
tri sultan bisa jadi bojoku, wah aku tambah
kawentar...." kata Raden Bei sambil
tertawa-tawa.
Rupanya Raden Bei sedang kasmaran
terhadap seorang gadis di desanya. Ia ingin
mempersunting gadis yang namanya
Ronahyatun itu. Tetapi selama ini, Raden
Bei belum berani mengajukan lamaran,
karena ia tahu gadis cantik jelita itu
tidak senang padanya. Mungkin karena Raden
Bei orangnya jelek dan sudah cukup tua
pula, di samping sudah mempunyai beberapa
orang istri, atau ada alasan lainnya
sehingga membuat Raden Bei selama ini
sangat penasaran.
Berbagai cara telah ditempuhnya untuk
bisa mempersunting gadis itu. Tetapi semua
usahanya selalu sia-sia. Akhirnya Raden
Bei yang terkenal memiliki sifat sangat
ambisius itu meminta pertolongan kepada
Nyi Peri.
Nyi Peri menyanggupi permintaan Raden
Bei, tetapi dengan syarat Raden Bei harus
mendapatkan patung Ratu Shima kemudian
memberikannya kepada nenek tua itu sebagai
tebusan obat ramuan penakluk para gadis
cantik.
Sungguh mujur nasib Raden Bei hari ini,
karena sewaktu pergi ke lereng gunung
Muria, ia melihat dua orang sedang
bertarung memperebutkan patung Ratu Shima.
Dalam pertarungan yang sengit itu, patung
Ratu Shima terpental tepat ke arah Raden
Bei. Seperti rezeki nomplok saja!
Sekarang Nyi Peri menimang-nimang
patung Ratu Shima. Wajah nenek tua itu
berseri-seri. Ia tertawa-tawa kegirangan
sehingga giginya yang tinggal beberapa
buah saja kelihatan.
"Dalam waktu dekat, aku yang sudah
keriputan akan kembali cantik dan muda
kembali dengan resep yang ada dalam patung
ini" kata Nyi Peri kegirangan.
Perlahan-lahan, nenek tua itu meletakkan
patung itu di atas meja. la lalu membuka
buku Jawi kuno yang berisikan riwayat
patung Ratu Shima.
Tanpa ia sadari, seorang lelaki asing
mengintipnya dari atap rumah. Lelaki itu
kemudian membuka atap genteng tanpa
menimbulkan suara mencurigakan. Lalu
sambil mengerahkan tenaga dalamnya, pria
asing itu menarik patung Ratu Shima.
Sungguh merupakan kesaktian yang luar
biasa. Dari jarak sekitar enam meter,
lelaki itu dapat menarik patung emas itu
hanya dengan mengandalkan tenaga dalamnya,
dan sama sekali tidak menggunakan alat apa
pun. Dalam sekejap, patung itu telah berada
di tangan lelaki yang mengintip di atas
genteng.
"Bangsat! Siapa yang berani lancang
pada Nyi Peri, hah?" teriak Nyi Peri ketika
me-nyadari patung itu telah lenyap dari
atas meja. Sebagai orang yang memiliki
kesaktian tinggi, nenek tua itu segera
mengetahui bahwa seseorang telah
mencurinya dari atas atap. Maka Nyi Peri
segera mengerahkan tenaganya, meloncat
bagaikan terbang ke atas atap rumahnya.
"Setan alas! Tunjukkan batang hidungmu
kalau kau memang bukan pengecut!"
teriakkan Nyi Peri sambil menatap liar ke
sekelilingnya.
"Ha-ha-ha, jangan mulut besar, nenek
peot!" Tiba-tiba terdengar suara ejekan
seorang laki-laki. Dalam sekelebatan
terlihatlah oleh Nyi Peri sebuah bayangan
aneh melayang-layang di antara pepohonan.
Betapa terkejutnya Nyi Peri melihat
pemandangan yang terpampang di depan
matanya. Seorang laki-laki melesat
bagaikan terbang di atas selembar
permadani merah tak ubahnya seperti cerita
dalam dongen 1001 malam.
Tetapi sebetulnya, di dunia persilatan
hal seperti itu bukanlah hal yang mustahil.
Karena bukan permadani itu yang bisa
terbang, melainkan orangnya sendiri yang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang
demikian sempurnanya. Setelah melemparkan
permadani itu, pendekar asing itu meloncat
ke atasnya dan mengerahkan ilmu sehingga
bisa melesat cepat sekali. Tetapi tentu
saja hanya dalam batas waktu tertentu saja.
"Hai, nenek peot! Susullah aku kalau
kau memang mampu!" teriak lelaki itu lagii.
"Bangsat! Jangan kau kira ilmu seperti
itu ada gunanya bagiku," teriak Nyi Peri.
Nenek tua itu pun mengerahkan tenaga
dalamnya, meloncat dari pohon yang satu ke
pohon lainnya. Ilmu meringankan tubuh Nyi
Peri agaknya tidak kalah dengan pendekar
asing itu. Kakinya hanya menginjak
daun-daunan sebagai pijakan untuk meloncat
ke pohon lainnya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Nyi Peri dapat menyusul lawannya. Ia
meloncat sambil menyalurkan tenaga dalam
pada tongkat bengkoknya, kemudian menusuk
permadani lawan ketika keduanya masih
melayang-layang di udara.
Demikian kuatnya tenaga dalam yang
tersalur dari tongkat itu, sehingga mampu
mencoblos permadani lawan, Namun dengan
sigap lawannya menghindari dengan cara
meloncat dan berjumpalitan ke udara. Maka
luputlah serangan Nyi Peri. Namun tanpa
diduga-duga, dengan kecepatan luar biasa,
tongkat bengkok Nyi Peri menghantam tangan
kiri lawan, sehingga patung Ratu Shima
terlempar dan jatuh melayang-layang, tepat
menimpa kepala si Tolol yang saat itu
sedang tidur pulas di bawah pohon tak jauh
dari arena pertarungan itu.
"Aduh kepalaku!" teriak anak itu
kesakitan. Namun ketika melihat patung
itu, rasa sakit di kepalanya yang benjol
tertimpa tadi segera dilupakannya. Ia
sangat gembira karena tanpa diduga-duga
telah menemukan patung yang sangat
disenanginya itu.
Akan tetapi mendengar suara
ribut-ribut di atas pohon, anak itu menjadi
cemas lagi. "Pasti ada orang jahat lagi
yang ingin merebut patung ini," pikir si
Tolol lalu segera melarikan diri dari hutan
itu. Tubuhnya berkelebatan cepat sekali
dari sela-sela pepohonan, sedangkan patung
itu disembunyikannya di balik bajunya dan
didekapnya, takut kelihatan orang lain.
Sementara itu, Nyi Peri dan lawannya
sama-sama meloncat turun dan mendarat di
atas tanah dengan sangat ringannya.
"Percuma kita memperebutkan patung
itu, karena sudah hilang," kata lelaki itu
sambil menatap Nyi Peri dengan nafas
ngos-ngosan.
"Itu semua gara-gara kau. Seharusnya
kau membayarnya dengan nyawamu sendiri.
Tetapi kali ini aku memaafkanmu. Siapakah
kau sebenarnya, orang asing?"
"Namaku Husein, dari negeri Irak di
kawasan Teluk Parsi. Dan kau nenek tua,
siapakah kau?"
"Huh, orang jelek seperti kau mana
pantas mengetahui namaku? Masih untung
nyawamu tidak kukirim ke neraka!" kata Nyi
Peri lalu segera meloncat dari tempat itu:
Lelaki yang mengaku datang dari negeri Irak
itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya
muram pertanda bahwa ia sangat kecewa
karena tidak berhasil memperoleh patung
Ratu Shima.
"Aku bersumpah akan memperolehnya
kembali! Kalau tidak, percuma aku datang
dari negeri seberang ke tempat ini," ujar
lelaki itu sambil melangkah meninggalkan
lereng gunung Muria.
Pendekar Husein sebenarnya sudah cukup
lama berada di negeri Pulau Jawa. Lelaki
itu di negerinya dikenal memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Selain itu, ia juga dikenal
sebagai ahli sihir yang sangat hebat.
Senjatanya adalah permadani berukuran
sekitar dua kali satu meter. Jika ia
menyalurkan tenaga dalamnya yang sangat
dahsyat, permadani itu bisa berubah jadi
keras dan menjadi senjata yang sangat
berbahaya.
Dan seperti yang terlihat oleh Nyi Peri
barusan, Husein bisa menggunakan permadani
itu sebagai pijakan untuk melesat cepat
sekali. Jika tubuhnya hendak turun ke tanah
karena gaya tarik bumi, ia biasanya
menginjak dedaunan pohon-pohon dan kembali
meloncat dengan posisi permadani tetap se-
bagai pijakan. Demikianlah dilakukan
pendekar dari Irak itu hingga dapat
melayang-layang tanpa menginjak bumi
berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
Untuk bisa melakukannya, seorang
pendekar harus memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sangat sempurna dan melalui
latihan-latihan yang sangat tekun dan
borkesinambungan. Dapatlah diketahui
bahwa pendekar asing itu memiliki ilmu
kesaktian yang tak bisa diremehkan para
jagoan yang sedang memperebutkan patung
Ratu Shima.
Pendekar Husein sangat berambisi
memiliki patung emas itu. Ia sama seperti
pendekar lainnya, mau mengorbankan apa
saja demi ambisinya memiliki patung Ratu
Shima bukan karena perhiasan emas dan
permata intannya. Tetapi ingin mengetahui
rahasia surat wasiat yang tersimpan di da-
lam rongga patung itu.
Setelah memiliki patung itu, Husein
bermaksud menjualnya kepada Raja Ranjit
Singh dari India yang saat itu sedang
bertempur melawan penjajah Inggris.
Rupanya kemashuran patung Ratu Shima juga
sampai ke negeri India. Rupanya raja India
juga percaya bahwa rahasia surat wasiat
Ratu Shima juga dapat membantunya mengusir
penjajah dari negerinya. Kesempatan itulah
yang hendak dimanfaatkan Husein. Karena
kalau ia dapat menyerahkan patung Ratu
Shima kepada Ranjit Singh, maka ia akan
memperoleh imbalan yang sangat besar yang
bukan saja dapat membuatnya kaya raya,
tetapi dapat dinikmati anak cucunya kelak.
Sementara itu, si Tolol terus berlari
dengan kecepatan yang tidak lumrah
dimiliki manusia biasa. Karena sangat
ketakutan, maka tenaga dahsyat di dalam
tubuhnya bekerja secara otomatis, sehingga
tubuhnya dapat melesat bagaikan anak
panah.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara
bentakan.
Si Tolol terkejut bukan main. Anak itu
berhenti dan mempererat dekapannya, karena
takut patung yang disembunyikannya akan
dirampas orang asing itu lagi.
"Ampun, Om. Ampun...." kata si Tolol
ketakutan.
Lelaki yang menghadangnya itu menatap
si Tolol dengan sinar mata mencorong tajam,
Ia masih muda, berusia sekitar tiga puluh
tahun. Rambutnya dikuncir ke bel-kang dan
di bagian depan kepalanya, rambutnya sudah
kelimis. Dagunya penuh brewok dengan
tulang pipi yang terlihat agak menonjol.
Sedangkan matanya tampak agak sipit. Baju
yang dikenakan mirip jubah, panjang sampai
ke lututnya. Sedangkan keanehan lainnya,
ia tidak seperti penduduk atau pendekar
dari Jepara, karena tidak mengenakan
celana panjang. Tetapi kedua kakinya
dibungkus sepatu jenis bot tinggi yang
diikat hampir sampai ke batas lututnya.
Bentuk ujung bajunya pun lain, jauh lebih
lebar, dari yang biasa terlihat.
Melihat penampilannya, dapatlah
dipastikan bahwa lelaki itu bukanlah
penduduk asli dari Pulau Jawa, melainkan
datangnya dari negeri seberang.
Ya, pendekar itu adalah ahli samurai
dari negeri Jepang, yang merupakan utusan
shogun Tokugawa yang berkedudukan di Yedo.
Ia sengaja diutus untuk merebut patung Ratu
Shima agar dapat mengetahui rahasia surat
wasiatnya demi kelanggengan kekuasaan
bangsa Tokugawa.
Sepasang pedang samurai tergantung di
pinggang kirinya. Melihat itu, si Tolol
makin ketakutan, lalu duduk berlutut di
hadapan Gahito, pendekar samurai dari
negeri matahari terbit itu.
"Hei, apa yang kau sembunyikan itu?"
bentak Gahito dengan suara mengguntur. Ia
menghunus samurainya, maka tampaklah ujung
senjata yang mengkilap pertanda senjata
itu sangat tajam.
."Ampun... ampun, tuan! Jangan bunuh
aku!" kata si Tolol memelas. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya yang
gemetaran karena rasa takut yang amat
sangat. Sambil memohon ampun, anak itu
mengangguk-angguk sehingga wajahnya
membentur tanah.
Melihat itu, Gahito menjadi tersenyum
geli, sambil mengelus-elus dagunya yang
runcing.
"Hem... kukira kau seorang pendekar
pribumi yang tangguh. Tapi ternyata hanya
seorang anak tolol sesuai dengan bentuk
tubuhmu."
"Ya, tuan. Nama saya memang si Tolol,"
kata si Tolol makin ketakutan.
Pendekar samurai itu mengurungkan
niatnya untuk menebas si Tolol. Ia
menyarungkan samurainya. Tetapi si Tolol
tetap ketakutan dan karena rasa takutnya,
yang tak terhingga, anak itu kencing dan
berak di celana tanpa sadar. Bau busuk
segera menyebar ke sekitar tempat itu
hingga menyengat hidung Gahito.
"Bagero! Kurang ajar! Bau kotoran.
Rupanya kau hendak menghinaku, ya!" bentak
pendekar samurai itu sambil menghunus
senjatanya kembali. Agaknya ia sangat
kesal dan bermaksud akan menghabisi nyawa
si Tolol.
Tetapi ketika ia hendak menebas tubuh
. si Tolol, tiba-tiba ia mendengar suara
langkah kaki berlari ke arah tempat itu.
Gahito jadi terkejut dan mengurungkan
niatnya. Dengan mengerahkan tenaganya yang
dahsyat, lelaki itu meloncat ke dahan pohon
di atasnya. Ia ingin mengetahui siapa orang
yang datang itu dan hendak apa.
Hanya beberapa saat setelah Gahito
berada di atas pohon, sampailah Nyi Peri ke
hadapan si Tolol.
"Hei, sedang apakah kau, bocah? Apakah
kau melihat seseorang lewat dari tempat
itu?" tanya Nyi Peri terheran-heran
melihat si Tolol duduk berjongkok
ketakutan di atas tanah.
Akan tetapi, nenek tua itu menjadi
terkejut sekaligus kesal mencium bau
kotoran dari celana si Tolol.
"Sial! Ndasmu denggol! Uph... kenapa
tak bilang kau lagi nelek? Huh, dasar bocah
tolol!" kata Nyi Peri sambil menutupi
hidung dengan telapak tangan kanannya.
"Ampun, aku jangan dipukul!" kata si
Tolol sambil melirik ke arah tongkat
bengkok di tangan kiri Nyi Peri.
"Bocah edan! Ambune koyo batang tikus.
Cuah!" maki Nyi Peri lalu melangkah
meninggalkan tempat itu. Lalu ia meloncat
dan tubuhnya berkelebat hingga dalam
sekejap lenyap di balik pepohonan.
Belum habis si Tolol menarik nafas
lega, tiba-tiba Husien telah berdiri di
hadapannya. Si Tolol kembali ketakutan dan
langsung duduk bersujud di hadapan
pendekar Irak itu.
"Ja... jangan bunuh aku, tuan.
Jangan...." kata si Tolol ketakutan.
"Hei, kacung! Apakah kau melihat
seorang lewat dari tempat ini tadi?"
"Jangan bunuh aku, tuan!"
"Heh,bangsat! Aku bertanya apakah kau
melihat seseorang lewat dari sini tadi?"
"Ada, tuan...."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, tuan. Nenek tua, bawa
tongkat pemukul orang."
"O, bukan itu yang kumaksud. Selain dia
tidak adakah orang lain lewat di sini?"
"Ada, seorang Om yang pakai kuncir di
kepalanya. Senjatanya panjang dan tajam
sekali, tuan!"
"Senjatanya panjang? Ke arah mana dia
pergi? Ayo, jawab! Kau tak perlu takut. Aku
tidak akan menyakitimu, asalkan kau
memberi keterangan yang benar."
"Ke atas pohon, tuan. Dia ada di atas
pohon." kata si Tolol sambil mendongak ke
atas.
Bersamaan dengan itu, Gahito meloncat
turun dari atas pohon, dan langsung mener-
jang Husein dengan serangan mautnya. Kedua
kakinya mengarah ke bagian leher dan perut
Husein. Demikian kuatnya tenaga tendangan
itu, sehingga sebelum serangan itu
mengenai sasaran sudah terasa angin
dahsyat menyambar ke arah lawan.
Husein terkejut dan segera meloncat
mundur. Tepat ketika lawan mendaratkan
kakinya di tanah, jagoan dari negeri Irak
itu segera menerjang. Permadaninya menyam-
bar dahsyat ke arah dada lawan. Untunglah
pendekar samurai itu selalu awas, sehingga
walaupun diserang sangat mendadak dan
cepat, masih dapat mengelak. Ia meloncat
mundur dan bersalto beberapa kali di udara.
"Kurang ajar! Rupanya ada juga orang
asing di sini." kata Husein sambil menatap
Gahito dengan mata mendelik.
"Kita sama, kawan. Aku yakin kau datang
dari negeri seberang, dari salah satu
kerajaan di Teluk Parsi. Aku juga datang
dari negeri lain, tepatnya dari negeri
Matahari Terbit."
"Apa maksudmu datang ke daerah ini?"
"Jangan belagak bodoh, sobat. Jika kau
bertanya apa maksud saya datang ke sini,
maka jawabnya adalah sama seperti alasanmu
datang ke daerah ini. Kau tentu sangat
menginginkan patung itu, bukan?"
"Kurang ajar! Rupanya kau pun harus
kusingkirkan dari muka bumi ini. Jangan
harap kau bisa memilikinya selama aku masih
berada di sini."
"Bangsat! Rupanya kau belum kenal
siapa aku. Kucabut nyawamu biar tahu rasa
kau."
"Kita sama-sama pendatang di negeri
ini. Kenapa kita harus banyak omong?
Cabutlah senjatamu, aku juga sudah
mencabut senjataku. Mari kita selesaikan
persoalan ini, sampai salah seorang di
antara kita roboh bermandikan darah.
Jangan kira aku mau menginjakkan kaki di
negeri ini kalau menghadapi orang seperti
kau aku takut," kata Gahito sambil mencabut
sebilah samurai yang tergantung di
pinggangnya.
"Aku sudah cukup lama mendengar
kehebatan para samurai dari negerimu.
Sayang sekali selama ini belum pernah ada
yang sanggup menghadapiku. Pendekar di
negerimu hanya pintar mengasah senjata,
tapi tak mahir menggunakannya. Lebih baik
kau minta maaf padaku, aku akan
memaafkanmu."
"Tutup mulutmu, bangsat? Awas
serangan...!" Pendekar samurai itu
menerjang Husein dengan dahsyat. Samurai
ditangannya diputar cepat sekali sehingga
menimbulkan sinar bergulung-gulung. Dan
ketika tubuh sudah dekat ke arah lawan,
samurai itu diayunkan dengan posisi
menukik dari atas mengarah ke dada lawan.
Husein segera berkelit ke kiri dan
ketika samurai lawan belum ditarik, jagoan
dari Irak itu sudah mengayunkan
permadaninya, hingga menyambar ke arah
dada Gahito. Demikian cepatnya sambaran
senjata lawan, hingga ujungnya masih
mengenai kulit tubuh Gahito walaupun
pendekar samurai itu sudah membantingkan
tubuh.
Secepat kilat ia berdiri sambil
mengelus kulit perutnya yang terasa perih.
"Ha-ha-ha, tak kusangka ada shogun
yang demikian tololnya mengutus pendekar
samurai yang kepandaiannya seperti ini un-
tuk merebut patung Ratu Shima." kata Husein
dengan sombongnya.
"Bangsat! Demi dewa Matahati aku tidak
akan menyerah di hadapanmu. Kau pasti
menyesal telah mengucapkan kata-kata
hinaan seperti itu. Dan sebagai tebusannya
adalah nyawamu sendiri!"
Gahitu mencabut samurainya yang satu
lagi, hingga kedua tangannya telah
meme-gang senjata. Lalu ia memasang
kuda-kuda, dengan posisi kaki kiri di depan
sedangkan kaki kanannya ditekuk. Sepasang
matanya menatap lurus ke arah lawan tanpa
berkedip. Agaknya pendekar samurai itu
sedang mempersiapkan jurus-jurus mautnya.
Melihat perubahan lawan, Husien
diam-diam agak terkejut juga. Kalau tadi ia
memang benar-benar anggap remeh kepada la-
wan, ia kini mulai berhati-hati, karena
tampaknya pendekar samurai itu sedang mem-
persiapkan serangan yang sangat
berba-haya.
Katika Gahito menyerang dengan kedua
senjata menyerang dari arah berlawanan,
Husein segera memutar permadaninya hingga
membentuk semacam benteng pertahanan yang
sangat sulit ditembus senjata lawan,
Senjata kedua pendekar yang sedang
bertarung itu berubah seperti banyak
sekali karena cepatnya gerakan mereka.
Tubuh Husein maupun Gahito pun kelihatan
hanya berupa bayang-bayangan saja,
berkelebatan di antara sela-sela ujung
senjata lawan. Orang biasa jika
menyaksikan pertarungan itu pasti tidak
akan bisa membedakan mana Husein dan mana
Gahito.
Pertarungan itu sudah berlangsung sam-
pai enam puluh jurus. Namun tampaknya belum
ada tanda-tanda pertarungan itu akan
segera berakhir dalam waktu singkat. Namun
mulailah terlihat bahwa dalam hal
kecepatan gerak Husein sedikit kalah
dibandingkan dengan Gahito. Sebaliknya
pendekar samurai itu sedikit kalah dalam
hal tenaga dalam. Itu sebabnya setiap kali
adu tenaga, Gahito selalu keteter. Namun
gerakannya yang lebih cepat memberikan
keuntungan lain. Apalagi karena ia sangat
mahir memainkan kedua senjatanya,
menyambar-nyambar dari segala penjuru dan
mengincar bagian-bagian yang sangat
berbahaya di tubuh lawan.
Rupanya keadaan itu membuat Husein
sangat penasaran. Ia tidak sabar lagi,
terutama karena ia lihat lawannya itu
memiliki gerakan yang sangat lincah. Jalan
satu-satunya baginya adalah mengadu
tenaga. Di saat lawan terdorong mundur, ia
akan melanjutkan serangan maut dengan
permadaninya.
Husein sengaja menunggu lawan lebih
dulu menyerang. Samurai di tangan kiri Ga-
hito yang menyambar bagian punggungya
sengaja ia biarkan, sedangkan tangan
kanannya memutar permadani membeiit
Samurai di tangan kanan lawan. Tepat ketika
ujung samurai Gahito hampir menyentuh
kulit tubuhnya, Husein bergeser sedikit
dan pada saat yang hampir bersamaan,
permadaninya membeiit samurai lawan yang
satu lagi.
Permadani itu kemudian ditarik sekuat
tenaga hingga tubuh Gahito terdorong ke
depan. Saat itulah tangan kiri Husien
menyambar dahsyat ke arah dada lawan.
"Augh...!" Kedua pendekar itu
sama-sama menjerit kesakitan. Pukulan
tangan kiri Husien mendarat cukup telak di
dada Gahito, sedangkan ujung senjata
pendekar samurai itu pun berhasil merobek
kulit bahu Husein.
Keduanya sama-sama meloncat mundur
dengan wajah berubah jadi pucat. Hampir
saja dalam pertarungan maut itu keduanya
kehilangan nyawa.
"Rupanya kau boleh juga, pendekar
samurai. Terus terang selama ini belum
pernah ada lawanku yang selamat dari
serangan mautku. Kau boleh juga, sobat,"
kata Husein.
"Sama juga, kawan. Selama ini belum
pernah ada yang berhasil mengelakkan
serangan samuraiku," balas Gahito tak mau
kalah.
"Benar! Dan untuk itu, kau perlu
bersyukur karena masih bisa menghirup
nafas kehidupan. Hanya beberapa saat lagi,
serangan berikutnya akan membuatmu tidak
berdaya. Sekarang sebutkanlah namamu dan
jika kau mati di tanganku, dengan senang
hati aku akan mengirim mayatmu ke daerah
asalmu."
"Keluarkanlah semua ilmu yang kau
miliki, leleki sombong. Aku tidak takut!"
Husein mundur beberapa langkah.
Permadani yang tak pernah lepas darinya
yang merupakan senjata andalannya,
dililitkan ke pinggangnya. Setelah itu, ia
mengangkat kedua tangannya dan wajahnya
pun ditengadahkan ke langit. Mulutnya
komat-kamit, sehingga kumisnya yang lebat
dan panjang itu bergerak-gerak, aneh dan
terasa menciptakan sesuatu kekuatan gaib
yang sangat berpengaruh.
"Hei, pendekar samurai. Lihat mataku!
Ya, mataku. Kau akan menemukan sesuatu yang
sangat menarik di mataku. Ya, benar! Kau
akan tunduk padaku...."
Gahito menatap mata Husein. Dadanya
berdebar tak karuan. Mata itu terasa
memancarkan kekuatan dahsyat yang
membuatnya terpesona dan menekan jiwanya
untuk tidak memberikan perlawanan.
"Pendekar samurai, lihat kedua
tanganmu. Kenapa kau memegang dua ekor ular
yang sangat berbisa? Lihat ular di tanganmu
sangat ganas dan siap mematuk kedua biji
matamu!"
Seperti tidak sadar, Gahito melirik
senjatanya. Alangkah terkejutnya ia karena
yang tergenggam di tangannya bukanlah lagi
samurai, melainkan dua ekor ular yang
sangat berbahaya. Sadarlah pendekar
samurai itu bahwa lawannya telah
menggunakan ilmu sihir yang pengaruhnya
sangat kuat dan jahat.
"Pendekar samurai, ular itu telah
menyerangmu. Lihat, dia menyerang matamu.
Lihat, pendekar samurai. Lihat ular itu.
Kau akan mati dipatuknya."
Kedua ekor ular di tangan Gahito
meronta-ronta dengan kekuatan yang luar
biasa. Gahito semakin terjekut, karena
ular itu seperti yang dikatakan Husein
mulai berusaha mematuk kedua biji matanya.
Pendekar samurai itu berusaha mengerahkan
tenaga untuk menekan kedua ular itu agar
tidak mematuk dirinya. Namun binatang itu
sepertinya memiliki kekuatan luar biasa,
sehingga Gahito harus berjuang mati-matian
untuk menyelamatkan diri.
Dalam keadaan panik, Gahito masih
sempat memutar otak. Hanya dua ekor ular,
kok bisa membuatku kelabakan? Sungguh
merupakan ilmu yang sangat jahat. Gahito
menyadari bahwa itu adalah permainan sihir
yang dapat mencelakakan dirinya jika tidak
dapat diatasi. Ia sebenarnya tidak
menguasai ilmu sihir seperti itu, tetapi
dari gurunya ia pernah mendengar cara-cara
membuyarkan pengaruh jahat itu. Maka
Gahito segera menghimpun segenap tenaga
dalamnya, kemudian berteriak nyaring.
Suara teriakannya itu melengking dan
mengandung kekuatan dahsyat sehingga
terasa menggetarkan tanah di sekitarnya.
Pengaruh sihir Husein pun buyar. Kedua
ekor ular yang ada di tangan kembali
seperti sediakala, dua batang senjata
samurai.
"Bedebah! Ilmu sihirmu hampir saja
mencelakakan aku," kata Gahito dengan
suara bergetar, karena masih terpengaruh
oleh kejadian yang cukup mengerikan itu
serta gejolak amarah karena merasa
dipermainkan.
"Hebat kau, sobat! Benar-benar hebat!
Aku salut padamu!" kata Husein dengan
sungguh-sungguh.
"Kau jangan mengejekku, bangsat! Mari
kita teruskan pertarungan ini sampai salah
seorang di antara kita menemui ajalnya!"
"Sudahlah, sobat! Sebenarnya apa yang
kita perebutkan? Lihat bocah tolol itu
telah menghilang."
Gahito melirik ke tempat si Tolol tadi
duduk berjongkok ketakutan. Memang benar,
bocah tolol itu tidak ada lagi. Dan tadi
bocah itu sepertinya menyembunyikan se-
suatu di balik bajunya. Mungkin saja yang
disembunyikan itu adalah patung Ratu
Shima.
"Aneh! Agaknya ia seorang pendekar
yang memiliki ilmu tinggi. Tapi tadi
tampaknya ia sangat ketakutan dan aku yakin
ia itu pasti bocah tolol." kata Gahito yang
rupanya setuju jika pertarungan itu tidak
dilanjutkan lagi.
"Sobat, kita sama-sama pendatang di
negeri ini. Tidak mustahil jika ada
pendekar yang aneh seperti itu, pura-pura
bodoh dan ketakutan padahal ilmunya
tinggi."
"Ya, tampaknya memang begitu. Tadi
ketika aku mencegatnya, ia berlari sangat
kencang. Kalau begitu, kita sudah
ditipunya mentah-mentah."
"Ayo, kita kejar. Lihat ceceran
kotoran ini. Berarti ia lari ke arah
pantai. Kita kejar sampai dapat!" teriak
Husein sambil menunjuk kotoran berceceran
yang mengarah ke pantai.
Kedua pendekar itu segera meloncat dan
melesat dengan gerakan yang sangat cepat
kearah pantai. Keduanya saling mendahului
dan mengerahkan segenap kemampuan
kecepatan larinya. Agaknya pertarungan
mereka barusan masih meninggalkan rasa
penasaran di hati kedua pendekar asing itu.
Baik Husein maupu Gahito masih
penasaran dan diam-diam ingin menunjukkan
kelebihannya.
***
4
Matahari mulai condong ke Barat.
Cahaya jingga mentari di sore itu menyapu
pantai. Dedaunan bergoyang-goyang
bagaikan menari-nari dan tampak
berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Di
seberang sana kabut mulai turun, sehingga
gugusan bukit-bukit kelihatan hanya
bayang-bayangannya saja.
Angin yang berhembus hanya sepoi-sepoi
saja dan gelombang besar tidak ada, se-
hingga laut di sore itu kelihatan bagaikan
hamparan permadani biru. Seperti hamparan
laut itu hanya menunjukkan bahwa ia tidak
selamanya ganas dengan ombaknya yang siap
menghanyutkan perahu dan nelayan. Dan
bahwasanya laut itu ganas semata-mata
hanya karena tiupan angin kencang. Kalau
tidak diganggu, laut tidak akan
mengganggu! Laut menyimpan keindahan dan
nafas sini yang sangat dalam, jika makin
dihayati akan semakin terasa keindahannya.
Dari situlah sering lahir inspirasi para
pujangga untuk menulis karya sastra yang
sangat indah.
Dan laut tak ubahnya perlambang
perjalanan kehidupan manusia. Manusia
mengarungi perjalanan hidupnya,
kadang-kadang penuh cobaan dan rintangan.
Ibarat seorang pengembara mengarunginya
dengan biduk, dipermainkan ombak ganas.
Tetapi seperti sekarang, orang dapat
mengarunginya dengan tenang sambil
menikmati indahnya hamparan laut dan
pemandangan di pantai.
Sebuah perahu kecil tampak mengarungi
laut itu dan perlahan-lahan mulai me-rapat
ke dekat pantai. Perahu itu termasuk kecil,
hanya berukuran sekitar tujuh kali dua
meter. Di bagian haluan perahu tampak
ukiran ular naga yang dicat dengan
kombinasi warna merah, hijau dan hitam.
Melihat bentuk perahu kayu itu,
dapatlah diyakini bahwa itu bukan hasil
karya ahli-ahli ukir orang Jepara. Perahu
itu datang dari negeri asing dan hen-dak
mendarat di Pantai Jepara. Sepasang remaja
yang menumpangi perahu itu juga lain dari
penduduk pribumi.
Si pemuda masih muda, baru berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya
putih bersih dan sangat tampan. Alis
matanya yang tebal melengkung bagaikan
golok panjang sungguh serasi dengan kedua
bola matanya yang bersinar tajam dan
berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ke atas
dan diikat dengan pita putih yang bagian
ujungnya dibiarkan terurai panjang,
sehingga berkibar-kibar jika ditiup angin.
Melihat perawakan tubuhnya yang tegap dan
pedang yang terselip di pinggangnya,
pastilah dia seorang pendekar yang
memiliki ilmu silat tinggi.
Gadis yang mendampingi pemuda tampan
itu juga sangat cantik jelita. Rambutnya
dikepang dua dengan pita merah. Wajahnya
juga putih bersih dengan bentuk bulat
telur. Wajahnya mirip sekali dengan pemuda
di sampingnya. Agaknya mereka adalah kakak
beradik yang baru datang dengan maksud
hendak menunaikan tugas yang sangat
penting.
Ya, sepasang remaja itu memang kakak
beradik. Si pemuda yang tampan itu bernama
Kwan Hong Lie, sedangkan dara cantik itu
bernama Kwan Giok Nio. Keduanya berasal
dari daratan Tiongkok dari she (marga)
Kwan. Dari nada pembicaraan kakak beradik
itu dapat diduga bahwa keduanya sengaja
datang ke daratan Jepara untuk menunaikan
tugas yang sangat penting dan penuh bahaya.
Mereka pun datang dengan tujuan yang
sama seperti pendekar asing lainnya, yakni
mencari patung Ratu Shima. Dengan surat
wasiat yang tersembunyi di dalam rongga
patung emas itu, mereka bermaksud
memulihkan kekuasaan dinasti di bawah
pimpinan Hung Hsin Tjuan dari pergerakan
Tai Ping Tien Kuo melawan bangsa Manchu.
Rupanya riwayat patung Ratu Shima yang
hidup di abad ketujuh pada masa berdirinya
kerajaan Kalingga sampai juga ke daratan
Tiongkok. Kabar itu sampai melalui para
saudagar dan para pengembara yang pernah
singgah di Pantai Jepara,
Sebelumnya, beberapa pendekar Tiong-
kok sudah pernah diutus ke Jepara untuk
merebut patung emas tersebut. Namun entah
karena apa utusan itu tidak berhasil,
bahkan kembali pun tidak sehingga akhirnya
hilang tak tentu rimbanya. Hal itu membuat
para pendekar di sana merasa bahwa tugas
seperti itu sangat berat. Apalagi menurut
kabar, patung itu sudah lama jadi rebutan
para pendekar dari berbagai penjuru yang
ilmunya sangat tinggi, di samping jagoan
pribumi yang juga tidak kalah hebatnya.
Jadi kalau ilmunya tanggung-tanggung,
kakak beradik itu tentulah tidak akan
berani datang ke Jepara. Keduanya memang
memiliki ilmu silat tinggi, terutama ilmu
pedang yang sangat cepat dan kuat.
Kwan Hong Lie dan adiknya Kwan Giok Nio
sebenarnya adalah anak petani desa di
pinggir pantai sungai Huang Ho. Namun pada
suatu hari, kedua. orang tua mereka tewas
dalam penyerbuan pasukan bangsa Manchu.
Kakak-beradik itu kemudian diasuh seorang
pertapa di dalam sebuah gua di lereng
gunung Cing Lin San. Di situlah selama
hampir lima belas tahun keduanya menuntut
ilmu silat yang sangat tinggi.
Setelah turun gunung, sepasang
pendekar remaja itu menjadi kesohor karena
sepak terjang mereka yang sangat hebat dan
sikap kesatria yang tak mau berbuat jahat
bahkan sebaliknya selalu membela kaum
lemah dari perbuatan-perbuatan kejam.
Sewaktu diminta untuk mengarungi
lautan luas ke Jepara untuk mencari patung
Ratu Shima, keduanya segera setuju.
Disamping karena ingin berbakti kepada
bangsanya sendiri, keduanya juga ingin
mencari pengalaman di negeri asing.
"Betulkah ini Pantai Jepara?" tanya
Kwan Giok Nio memecah kesunyian.
"Ya,benar! Saya sudah mempelajari peta
ini. Lihatlah, itu pasti gunung Muria,"
sahut Kwan Hong Lie dan kembali
memperhatikan peta yang terpampang di
hadapannya.
"Kalau begitu kita sudah sampai."
"Ya. Menurut buku maupun penjelasan
yang telah kita dengar, di pulau ini dahulu
berdiri sebuah kerajaan Hindu yang
pertama. Sebuah kerajaan yang subur makmur
diperintah seorang ratu yang sangat cantik
dan arif bijaksana. Pengikut jejak Fa Hien
juga menceritakan bahwa kotapraja kerajaan
Kalingga diperkuat dengan pagar kayu.
Istananya dibangun bertingkat dengan atap
daun palma."
"Sungguh indah pemandangan di sini.
Mari, kita turun saja," kata Giok Nio
sambil memandang keadaan di sekelilingnya
penuh kagum.
Kedua pendekar muda itu kemudian turun
dari perahu. Hong Lie menarik perahu lebih
ke pinggir, lalu menambatkannya ke
sebatang pohon.
"Tapi sebaiknya kita istirahat saja
dulu. Kita perlu membahas rencana kita
lagi. Ingat, adikku, kita tidak boleh
gagal!"
"Ya, aku yakin kita pasti berhasil!"
Keduanya duduk di bawah pohon rindang,
sambil bercakap-cakap. Giok Nio membuka
bungkusan perbekalan mereka karena
keduanya sudah merasa lapar. Sambil makan,
Hong Lie kembali bercerita lebih banyak
mengenai pulau yang mereka datangi.
"Selain yang kuceritakan tadi, tahta
raja dibuat dari gading. Pada saat itu
kerajaan Kalingga memang berada pada zaman
keemasannya."
"Lalu dari mana kita memulai pencarian
terhadap patung Ratu Shima itu?"
"Kau tak perlu khawatir. Kita
mempunyai buku petunjuk yangpasti. Menurut
tulisan peninggalan pengikut Fa Hien ini,
patung itu dipendam di lereng gunung Mu-ia,
kira-kira seribu langkah dari tepi pantai
ini."
"Kalau begitu sebaiknya kita segera
bergerak mencarinya. Siapa tahu ada orang
lain yang mendahului kita," kata Giok Nio
yang agaknya memiliki sifat kurang sabaran
dibandingkan kakaknya.
"Giok Nio, kita sekarang berada di ne-
geri yang baru pertama kali ini kita
datangi. Selain harus sabar, kita juga
perlu hati- hati. Kita tak boleh bergerak
begitu saja. Saat ini kondisi tubuh kita
cukup lemah setelah berhari-hari berlayar.
Kita perlu istirahat untuk memulihkan
tenaga agar bisa siap sedia menghadapi
segala kemungkinan."
Giok Nio menatap wajah kakaknya
sejenak, lalu ia memalingkan muka ke arah
lereng gunung di sebelah kiri mereka.
Gunung itu hijau dengan pepohonan yang
tinggi dan besar. Tidak terdapat suara
bising, selain desah riak laut dan dedaunan
dihembus angin. Lama gadis itu menatap ke
arah lereng gunung. Matanya yang jernih dan
mencorong tajam bagaikan mata burung hong
itu jarang berkedip.
Lereng gunung Muria itu sangat luas dan
hutannya pun lebat. Di situlah katanya Ratu
Shima dipendam. Tetapi apakah kabar itu
benar atau hanya isapan jempol belaka belum
bisa dipastikan. Jika pun berita itu benar
adanya, tidak tertutup kemungkinan orang
lain sudah lebih dulu menemukannya. Akh...
Giok Nio menghela nafas panjang beberapa
kali. Wajahnya yang cantik berubah agak
muram, karena khawatir usaha mereka tidak
berhasil.
Kalau mereka misalnya tidak berhasil
mendapatkan patung itu, ia dan kakanya
tentu akan menjadi malu pulang ke negerinya
tanpa membawa apa-apa. Apa kata orang
nanti? Mereka berdua tentu akan
diremehkan, tanpa mau perduli halangan apa
saja yang dihadapi kedua kakak beradik itu
selama berada di Jepara.
Agaknya Hong Lie menyadari perubahan
sikap adiknya itu. Pemuda itu dapat
menyelami perasaan adiknya. Ia sendiri pun
sebenarnya merasa cemas juga kalau tugas
mereka tidak berhasil. Tetapi sebagai
pendekar yang sikapnya sudah lebih dewasa,
ia dapat mengesampingkan perasaan cemas.
Kenapa mesti khawatir? Bukankah mereka
belum mencoba? Berhasil atau tidaknya, itu
urusan nanti. Yang penting mereka berusaha
sekuat mampu mereka. Toh dalam hidup ini
tidak semua usaha itu berhasi?. Ada kalanya
gagal.
Itu sudah menjadi kenyataan seperti
halnya adanya panas dan dingin. Ada
keberhasilan ada pula kegagalan. Ada suka
ada pula duka. Datang silih berganti dalam
kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita
harus bisa menerima kenyataan itu secara
wajar dan apa adanya. Keberhasilan jangan
menjadikan timbulnya kesombongan.
Sebaliknya kegagalan jangan membuat kita
putus asa.
"Giok Nio, tampaknya pikiranmu agak
kalut sekarang? Apakah yang kau pikirkan?
Agaknya kau khawatir kalau-kalau kita
tidak berhasil mendapatkan patung itu,"
kata Hong Lie setelah terdiam beberapa
saat.
"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa, kakak
Hong Lie," sahut gadis itu sambil berusaha
tersenyum. Tetapi karena hatinya masih be-
lum juga tenang, wajahnya tetap saja terli-
hat muram.
"Sudahlah, Giok Nio. Kita tak perlu
terlalu memikirkannya. Lihat, matahari
hampir tenggelam di ufuk Barat. Sebentar
lagi malam akan tiba. Sebaiknya kita
mencari tempat beristirahat untuk tidur,
supaya besok pagi kita dapat memulai
pencaharian kita dengan tubuh segar."
"Ya, kakak Hong Lie. Tapi pulau ini sa-
ngat indah, ya? Keindahan alam di sini
seolah-olah membelai-belai jiwaku.
Sepertinya memanggilku untuk tinggal di
sini untuk selamanya."
"Ah, agaknya kau terlalu lelah,
adikku. Ayolah! Kita cari tempat
istirahat. Saya lihat di sini banyak sekali
pohon besar. Kita bisa tidur di dahannya.
Mudah-mudahan saja malam ini hujan tidak
turun."
Kedua pendekar muda itu kemudian
berjalan masuk pinggir hutan. Mereka
mencari pohon yang paling baik untuk tempat
istirahat. Setelah menemukannya, kedua
meloncat dari bawah sampai ke dahan pohon
itu.
Gerakan pendekar Tiongkok itu sangat
ringan dan cepat, membuktikan bahwa ilmu
meringankan tubuh mereka sudah mencapai
kesempurnaan.
Di dahan pohon yangcukup besar. Hong
Lie dan Giok Nio kemudian duduk bersila
dengan posisi punggung tegak lurus. Kedua
tangan dilipat ke dada. Perlahan-lahan
kedua pendekar itu memejamkan mata dan
menarik nafas panjang, kemudian
menghembuskannya secara perlahan-lahan
pula. Itulah permulaan siulin (semedi)
mereka untuk menenangkan perasaan serta
memulihkan tenaga setelah berhari-hari
mengarungi samudra yang sangat luas.
Pada waktu yang bersamaan, si Tolol se-
dang berjalan sendirian di lereng gunung
Muria sebelah Selatan. Anak itu masih
menyembunyikan patung Ratu Shima di balik
bajunya. Sebentar-sebentar anak itu
melirik ke belakang, ke kiri dan kekanan,
takut kalau-kalau ada yang mengejar dan
hendak merampas patung itu.
Akan tetapi setelah cukup lama
berhari-hari, kemudian berjalan agak
santai dan tidak ada lagi yang mengejar,
anak itu merasa aman dan mulai percaya
bahwa tidak akan ada lagi yang akan
mengganggunya.
"Aku sudah sangat jauh dari tempat
orang jahat itu tadi. Di sini tentu tidak
akan ada orang jahat lagi. Biarlah
orang-orang jahat itu mampus. Kerjanya
hanya menggangguku saja," kata hati si
Tolol kesal juga mengingat orang-orang
jahat yang selalu berusaha merebut patung
itu.
Tanpa disadari si Tolol, ada seorang
pendekar asing yang sudah sejak tadi secara
diam-diam menguntitnya. Pendekar itu
sebenarnya tidak begitu tertarik kepada si
Tolol. Sebab apakah yang bisa diharapkan
dari anak yang tampak bloon itu? Tetapi
karena si Tolol tampaknya sedang
menyembunyikan sesuatu dan sangat takut
ketahuan orang lain, lelaki itu menjadi
tertarik dan diam-diam menguntit si Tolol.
Ketika si Tolol hendak berlari
kembali, lelaki itu meloncat dan langsung
menghadang di hadapan anak itu. Si Tolol
sangat terkejut, dan karena sangat
ketakutan langsung berlutut
menyembah-nyembah dengan wajah pucat pasi.
"Ampun, tuan! Jangan bunuh aku. Aku
takut mati, tuan...." kata anak itu.
"Hai, anak bego! Lihat ke sini!" bentak
lelaki itu dengan suara mengguntur.
Dengan sangat ketakutan, si Tolol
mengangkat wajah. Maka tampaklah oleh anak
itu seorang lelaki setengah baya berdiri
berkacak pinggang sambil menatapnya dengan
mata melotot merah.
Laki-Iaki itu berperawakan tinggi dan
tegap. Rambutnya diikat dengan sepotong
kain. Dagunya agak lebar, dengan kumis
tebal panjang dan melengkung sampai
ketulang pipinya. Di pinggangnya terselip
sebilah golok panjang. Maka makin tak
karuanlah perasaan si Tolol bahkan nyaris
terkencing-kencing kembali di celana.
"Hei, lu jadi anak jangan kayak kodok
gitu. Lu tahu nggak siapa gue nih? Biar lu
tahu, gua nih Mat Caplang. Jagoan Betawi
nomor satu, nih die orangnya! Lu kalau
berani macem-macem, gue embat sampai
mampus. Apaan tuh yang lu sembunyiin?"
"Am... ampun, Oom. Jangan marahi aku,
jangan pukul."
"Pokoknya gue pengen lihat dulu, lu
lagi sembunyiin ape di balik bero lu!"
Dengan kasar. Mat Caplang menepiskan
tangan si Tolol kemudian menarik baju anak
itu. Alangkah terkejutnya pendekar itu
ketika melihat sebuah patung emas
disembunyikan di balik baju anak itu.
"Buangsat, lu! Dasar tikus botak lu!
Rupanya lu orang yang umpetin itu patung.
Susah-susah gue selama ini mencarinya.
Ha-ha- ha! Ape kate gua kemarin. Gue pasti
berhasil! Tuh orang di kampung gua pasti
kaget ngeliat gue ntar pulang bawa patung
Ratu Shima," kata Mat Caplang sambil
tertawa-tawa kegirangan.
Lelaki itu pun rupanya sudah cukup la-
ma mencari-cari patung Ratu Shima. Kalau
pendekar itu tidak memiliki ilmu kesaktian
tinggi, tentulah ia tidak akan berani
menginjakkan kakinya di daerah Jepara.
Sebab para pendekar di Betawi pun sudah
tahu bahwa patung Ratu Shima telah menjadi
perebutan para jagoan, termasuk dari
negeri seberang. Mat Caplang, demikian
nama pendekar Betawi itu hendak merebut
patung Ratu Shima atas perintah seorang
tuan tanah yang kaya raya yang ingin
memiliki rahasia kelanggengan tahta, ia
dan anak cucunya kelak dengan adanya surat
wasiat itu diharapkan mampu menguasai
tanah-tanah di daerah Betawi.
Mat Caplang sudah cukup lama dikenal
sebagai pendekar yang sangat sakti di
kampung halamannya. Namanya tersohor ke
delapan penjuru angin di daerah Betawi.
Banyak penduduk yang meyakini lelaki
berkumis tebal dan melingkar itu merupakan
pendekar paling sakti di daerahnya.
Ketika tuan tanah di kampungnya
memintanya merebut patung Ratu Shima
dengan imbalan yang sangat banyak, Mat
Caplang tanpa pikir panjang lagi langsung
menerima tawaran itu. Apalagi tuan tanah
itu cukup pintar memancing dengan
mengatakan sebagai pendekar yang kesohor
masa hanya beraninya di kampung halamannya
saja. Dan rupanya Mat Caplang gampang juga
tersinggung harga dirinya. Merasa dirinya
ditantang untuk menunjukkan kebolehannya,
hatinya menjadi panas dan berjanji akan
mempertahuhkan nama baiknya untuk merebut
patung itu.
Ketika melihat patung itu berada di ta-
ngan seorang bocah tolol, tak terkatakan
betapa girangnya hati Mat Caplang. Tanpa
ber-usah payah bertempur dengan pendekar
lain, ia ternyata sudah bisa memiliki
patung itu.
"He-he-he... aku akan jadi kaya raya
sekarang...." katanya sambil mengulurkan
tangan hendak merampas patung itu.
"Berhenti…!!!”
Mendadak terdengar suara bentakan yang
dikeluarkan sambil mengerahkan tenaga
dalam yang sangat kuat. Mat Caplang
menghentikan gerakannya. Ia berpaling dan
tampaklah olehnya seorang lelaki asing
berdiri di tempat itu sambil berkacak
pinggang.
Lelaki yang baru datang itu adalah Hu-
sein sendiri. Tadi kebetulan saja ia
berlari tak jauh dari tempat itu untuk
mengejar si tolol. Pendekar dari negeri
Irak itu tertarik sekaligus curiga
mendengar seseorang membentak-bentak.
Husein segera meloncat lebih dekat, dan
melihat Mat Caplang hendak merampas patung
Ratu Shima. Takut patung yang sangat
diidam-idamkannya itu jatuh ke tangan
pendekar lain, Husein segera meloncat dari
balik semak- semak.
"Hei, siape lu?" bentak Mat Caplang
sambil menggenggam hulu goloknya. Husein
tidak segera menjawab. Ia tertawa
terpingkal-pingkal seolah-olah sangat
anggap remeh pada Mat Caplang. Jenggot dan
kain sorban di kepalanya sampai
bergoyang-goyang. Namun diam-diam
pendekar berhidung mancung itu telah
mempersiapkan permadaninya untuk
menyerang Mat Caplang secara tiba-tiba. Ia
sudah bertekad untuk merobohkan jagoan
Betawi itu secepat mungkin agar ia bisa
melarikan diri. Bagaimanapun juga,
pendekar lainnya tidak mustahil tiba di
tempat itu dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi. Kalau itu terjadi, akan tipislah
harapannya merebut patung emas itu.
"Hei, lu orang asing jangan
macem-macem di hadapan gue. Jenggot lu yang
kayak jenggot kambing itu ntar gue cabut.
Lu orang asing jangan coba-coba nantangin
gue. Nih die orangnya Mat Caplang yang
kesohor ke segela penjuru. Lu sebaiknya
angkat kaki dari sini, atau jidat lu gue
tebas pake golok gue."
"Maaf, sobat. Kita sudah sama-sama
berada di tempat ini. Kau tentu hendak
merampas patung dari balik anak tolol itu.
Tapi jangan kira aku mau tinggal diam.
Selama aku masih ada di sini, jangan harap
ada orang lain yang bisa memilikinya."
"Busyet! Rupanye ade juga yang berani
nantangin gue. Sekarang bilangin siape
nama lu, biar ntar gue kagak nyesel bunuh
lu orang sableng!"
"Aku adalah Husein, datang dari negeri
Irak. Sekarang aku peringatkan agar kau se-
gera meninggalkan tempat ini. Kalau masih
keras kepala, jangan salahkan jika aku
terpaksa menurunkan tangan kejam."
"Buangsat! Nih, rasain serangan gue!"
sehabis berkata begitu, Mat Caplang segera
menerjang Husein. Ia mengangkat goloknya
tinggi-tinggi siap membabat tubuh lawan,
sedangkan tangan kirinya dikepal menyambar
ke arah dada Husein.
Melihat serangan itu sangat berbahaya,
Husein segera memutar permadaninya untuk
melindunginya dari serangan lawan. Ia
berkelit mengelakkan pukulan lawan,
sementara permadaninya diayunkan
menangkis golok Mat Caplang.
Segeralah terjadi pertarungan
dahsyat. Golok Mat Caplang berkelebat
membentuk gulungan sinar putih dan hitam,
mengincar tubuh lawan dari segala penjuru.
Sedangkan permadani Husein rupanya tidak
hanya ampuh sebagai pertahanan, tetapi
juga berbahaya untuk lawan. Permadani yang
lemas itu kadang-kadang berubah jadi keras
menghantam bagian-bagian vital di tubuh
Mat Caplang.
Sifat seseorang memang mempengaruhi
gerakannya sewaktu bertarung. Demikian
halnya dengan Mat Caplang tampak sangat
beringas dan bernafsu sekali menjatuhkan
lawan secepat mungkin. Mungkin hal itu ka-
rena selama ini ia jarang menghadapi lawan
tangguh. Dan di kampungnya pun, pendekar
Betawi itu sudah dianggap orang sebagai
jagoan paling hebat.
Sekarang ia pun ingin menunjukkan
bahwa menghadapi siapa pun ia tetap paling
hebat. Masa menghadapi orang asing yang
tampak agak alim dan hanya memegang senjata
permadani itu ia tidak kuat. Bagaimanapun
juga, ia harus memenangkan pertarungan
itu, makin cepat makin baik. Dan ilmu
pendekar Betawi ini memang luar biasa.
Gerakannya cepat dan kuat. Jika ia
melakukan pukulan jarak jauh dan dapat
dielakkan lawan, maka tanah di sekitar tem-
pat itu menjadi terkuak terkena hantaman
pukulannya.
Husein sendiri hampir tidak punya
kesempatan lagi melakukan serangan
balasan. Makin lama ia makin terdesak,
bahkan baju di bagian punggung dan
lengannya sudah sobek terkena sabetan
golok lawan. Itu terjadi karena dalam
keadaan terdesak ia mencoba membalas
menyerang dengan gerak yang penuh tipu
daya. Namun rupanya Mat Caplang tidak hanya
omohgannya saja yang besar. Selain dapat
mengelak, ia malah mampu menyerang dengan
jurus yang lebih licik lagi hingga nyaris
mencelakakan pendekar Irak itu.
Husein pun mulai berpikir bahwa dalam
pertarungan itu ia sewaktu-waktu bisa
menghadapi kemungkinan yang paling buruk.
Permainannya pun lebih terpusat pada
pertahanan diri dan menunggu kesempatan
yang baik, siapa tahu musuhnya itu lengah
karena merasa berada di atas angin.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu Hu-
sien akhirnya tiba juga. Mat Caplang
menerjangnya dengan dahsyat, tetapi
pertahanannya sedikit agak terbuka. Husein
menunduk mengelakkan senjata lawan yang
meluncur cepat sekali ke arah lehernya, dan
pada yang hampir bersamaan, permadani di
tangannya menyambar dari samping.
Mat Caplang tidak sempat lagi menarik
goloknya. Untuk mundur pun ia tak mungkin
lagi. Karena itu ia segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perutnya
dari sambarang senjata lawan. Dan tepat
ketika permadani Husein menghantam
perutnya, tangan kiri Mat Caplang pun
berhasil pula memukul secara telak dada
musuhnya itu.
"Augh...!" kedua pendekar itu sama-
-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka
sama-sama terdorong mundur beberapa
lang-kah karena kuatnya hantaman lawan.
***
5
Mat Caplang merasa lambungnya panas
bagaikan diaduk-aduk. Untunglah tadi ia
melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam
sehingga pukulan lawan tidak sampai
mem-buatnya menderita Juka dalam yang
parah. Husein sendiri juga mengalami luka
dalam yang cukup serius. Ia memuntahkan
sedikit darah kehitam-hitaman dengan wajah
yang berubah jadi pucat. Masih untung
baginya pukulan tangan kiri Mat Caplang
yang menghantam dadanya tidak dengan
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, karena
dilakukan dalam posisi yang jotrang
menguntungkan. Kalau tidak demikian
keadaan pastilah semakin parah lagi.
Melihat keadaan lawannya itu, Mat
Caplang tertawa kegirangan, walaupun
lambungnya masih terasa sakit.
"Gue kagak nyangka lu orang asing
ilmunya hanya segitu. Ngapain lu nginjekin
kaki di sini kalau ilmu lu cume gitu aje?
Katanya mau ngerebut patung Ratu Shima.
Kalau ilmu lu hanya gitu- gitu saja mana
bisa? Mendingan lu pulang belajar ilmu
silat lagi," kata Mat Caplang dengan nada
mengejek.
"Kau memang hebat, kawan!" kata Husein
geram. Tetapi karena pada dasarnya ia
memang memiliki sikap yang polos, ia
terpaksa merasa mengakui keunggulan lawan.
"Tapi jangan kira aku sudah kalah."
"Heh, jadi lu masih punya nyali
ngelawan gue? Gue mampusin juga lu,
sialan!"
"Sahabat, orang-orang di negeri saya
punya prinsip, selama bisa bergerak
berarti tidak ada alasan untuk menyerah.
Dan kalah menang adalah hal biasa dalam
pertarungan. Ada kalanya yang menang itu
jadi kalah dan yang kalah itu jadi menang.
Seperti golok yang juga bisa jadi ular.
Lihat, sebentar lagi senjata di tanganmu
itu akan berubah jadi ular dan akan mematuk
matamu!" dalam ilmu silat, ia tidak akan
mampu mengatasi lawan. Karena itu,
diam-diam ia mulai menggunakan ilmu
sihirnya. Bibirnya komat kamit dan matanya
memancarkan sinar yang sangat aneh, yang
mengandung kekuatan untuk memaksa bathin
lawan untuk takluk.
Mat Caplang terkejut juga menyaksikan
sinar mata Husein. Dan ia makin terkejut
lagi manakala merasakan golok di tangannya
bergerak bagaikan meronta-ronta. Pendekar
Betawi itu melirik senjata di tangannya.
Benar saja, golok itu telah berubah jadi
ular yang mulai meronta-ronta hendak me-
matuk kedua biji matanya.
"Busyet lu, monyet. Lu pakai ilmu
siluman," kata Mat Caplang terkejut.
"Itu bukan ilmu siluman, kawan. Itu ke-
nyataan. Lihatlah, ular itu akan segera me-
matuk matamu. Ya, matamu akan dipatuknya.
Diamlah, kawan. Biarkan matamu di-patuk
ular itu!"
"Jangkrik, lu! jangan lu kirain ilmu
siluman kayak gini mempan ama gua. Lihat,
ilmu lu kagak ada gunanya!" Mat Caplang
segera mengerahkan tenaga batinnya untuk
membuyarkan ilmu sihir lawan.
Pendekar Betawi itu memejamkan mata
sambil menghela nafas dalam-dalam.
Laki-laki itu sebenarnya tidak bisa
menggunakan ilmu sihir. Namun sebagai
pendekar yang telah berpuluh-puluh tahun
berkelana dalam dunia persilatan, ia tahu
mengatasi ilmu jahat seperti itu.
Menghadapi ilmu seperti itu, seseorang
tidak boleh panik, karena pengaruhnya akan
semakin kuat dan bisa mencelakakan
korbannya. Karena itu, Mat Caplang segera
menenangkan perasaan dan ketika ia
berteriak dengan suara mengguntur,
pengaruh ilmu sihir itu pun buyar. Ular di
tangannya kembali seperti sedia kala,
menjadi golok.
Melihat ilmu sihirnya telah buyar, Hu-
sein menjadi terkejut. Ia kembali
menghadapi kenyataan bahwa ilmunya itu
tidak bisa mencelalakan lawan, seperti
ketika ia bertarung dengan Gahito. Ada rasa
cemas dan kesal terpancar di wajah lelaki
itu. Cemas karena tampaknya ia tidak akan
bisa lagi memenangkan pertarungan itu, dan
kesal karena ilmu sihirnya tidak bisa
mempengaruhi lawan.
Mat Caplang sendiri bertambah marah
karena merasa dirinya sempat dipermainkan
lawan. Ia menggenggam goloknya lebih erat
dan mempersiapkan serangan berikutnya.
Melihat sorot matanya yang merah, agaknya
ia sudah bertekad akan menghabisi nyawa
lawannya. Namun ketika Mat Caplang hendak
menyerang, mendadak Husein berseru:
"Hei, tunggu, dulu kawan! Lihat, bocah
botak itu telah lenyap. Ia tidak ada lagi
di sini. Dia pasti sudah melarikan patung
itu."
"Busyet! Kenapa gue kagak ngeliat
tadi?" ujar Mat Caplang celingukan
mencari-cari si Tolol yang ternyata telah
menghilang. Ketika kedua pendekar itu
bertarung mengerahkan segala ilmunya, anak
itu menjadi girang. Ini kesempatan baik,
pikirnya lalu segera berlari meninggalkan
arena pertarungan itu. Tubuhnya berkelebat
bagaikan anak panah, sehingga dalam waktu
singkat sudah jauh dari lereng gunung itu.
"Sobat, tak ada gunanya kita
melanjutkan pertarungan ini. Anak itu
sudah kabur," kata Husein.
"Bilangin aja lu takut ngeliat golok
gue. Coba lu kagak nongol disini, gue pasti
sudah bisa bawa pulang itu patung. Dasar
setan emang lu orang. Kerjanya nyampurin
urusan orang."
"Saya kira bukan hanya kita saja yang
menginginkan patung itu, kawan. Banyak,
banyak sekali. Sebaiknya kita mengejar
anak itu sampai ketemu. Siapa tahu orang
lain mendahului kita."
"Jadi lu kagak berani lagi ngelawan
gue?"
"Maaf, kawan. Aku harus pergi. Sampai
jumpa!" Sehabis berkata begitu, Husein me-
loncat pergi dan dalam waktu singkat tu-
buhnya telah lenyap di balik pepohonan.
"Awas lu! Kalau ketemu ama gue lagi,
jangan harap bisa hidup. Kali ini gue masih
maafin lu, tikus busuk!" teriak Mat Caplang
geram. Ia pun segera meloncat pergi me-
ninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan
yang dilaluinya, pendekar Betawi itu tak
henti-hentinya mgngomel karena gagal
memiliki patung Ratu Shima. Gara- gara
orang asing itu, katanya dalam hati.
Akan tetapi, kemudian pendekar Betawi
itu menjadi ragu-ragu. Apa memang betul
patung yang ada di tangan bocah botak itu
adalah patung Ratu Shima? Bagaimana bisa
patung yang sangat berharga dan
diperebutkan para pendekar itu jatuh ke
tangan bocah tolol? Orang yang bisa
merebutnya tentulah bukan orang
sembarangan. Sedangkan anak itu tampaknya
hanya bocah yang tak tahu apa-apa. Melihat
Mat Caplang saja sudah gemetaran dengan
wajah pucat pasi.
"Jangan-jangan aku salah lihat, atau
patung itu hanya kebetulan saja mirip
dengan patung Ratu Shima." kata hati Mat
Caplang sambil terus berlari.
Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah
kembali ke peraduannya. Suasana di sekitar
gunung Muria semakin sepi. Tak terdengar
lagi suara burung-burung berkicau. Yang
terdengar hanya suara jangkrik
bersahut-sahutan, sehingga udara di
sekitar gunung itu terasa dipenuhi
nyanyian jangkrik. Terasa gaduh, tapi
sekaligus menciptakan suasana yang sunyi.
Mat Caplang terus berlari menuju desa
terdekat untuk mencari rumah penginapan.
Wajah lelaki berkumis melengkung itu masih
tetap keruh. Matanya merah memancarkan
rasa penasaran yang sangat sulit
dihapuskan dari dalam hati.
"Gue harus berhasil. Jangan dibilang
nama gua Mat Caplang kalau gue kagak mampu
ngerebut itu patung," kata Mat Caplang
bicara pada dirinya sendiri.
Memang demikianlah adanya kalau hati
sudah diliputi rasa penasaran. Pikiran
tidak tenang dan selalu kesal pada diri
sendiri. Dan kalau hati sudah dikuasai
nafsu untuk memiliki, segala cara pun akan
ditempuh agar maksud hatinya tercapai.
Tidak perduli jika harus mengorbankan
kepentingan atau bahkan nyawa orang lain.
Tidak peduli apakah perbuatannya itu benar
atau salah.
Agaknya itulah yang terjadi pada diri
para pendekar di daerah Jepara saat ini.
Mereka saling memperebutkan patung Ratu
Shima yang di dalamnya tersimpan surat
wasiat berisi rahasia keabadian tahta
serta rahasia kecantikan.
Orang-orang percaya, dengan surat
wasiat itu mereka akan mampu
mempertahankan kedudukannya menjadi
langgeng. Juga dapat dijadikan resep
kecantikan yang tiada duanya di muka bumi
ini, sehingga yang sudah tua dan keriputan
pun bisa menjadi cantik muda kembali.
Kehebatan yang dijanjikan surat wasiat
itu, seolah-olah telah menutup mata batin
para pendekar. Padahal kalau dipikir-pikir
rahasia itu belum tentu sesuai dengan apa
yang dibayangkan para pendekar.
Demikian banyaknya pendekar yang
memperebutkannya, dan nantinya yang bisa
memilikinya hanyalah satu pihak saja. Yang
lainnya hanya bisa gigit jari. Perjuangan
dan pengorbanan mereka selama ini akan
sia-sia, bahkan dalam perebutan itu,
mungkin beberapa orang di antaranya akan
menemui ajal. Alangkah sia-sianya jerih
payah mereka nanti. Agaknya inilah yang
kurang disadari tokoh-tokoh dari dunia
persilatan itu.
Mereka lebih cenderung berbicara dari
segi harga diri dan ambisi daripada
pemikiran yang realistis. Bukan maksudnya
untuk menghalangi orang berusaha dan
berjuang. Tetapi apakah tidak terlalu
berlebihan jika sepasang pendekar muda
dari Tiongkok Kwan Hong Lie dan Kwan Giok
Nio misalnya datang sedemikian jauhnya
hanya untuk memperebutkan patung Ratu
Shima? Apalagi maksud mereka adalah untuk
mencari rahasia kelanggengan tahta agar
dapat memenangkan pertempuran melawan
bangsa Manchu. Seyogyanya mereka berbenah
diri, mengatur strategi dan rencana yang
matang daripada sekedar mengharapkan surat
wasiat.
Demikian juga halnya nenek tua Nyi Peri
yang sangat berambisi memiliki rahasia
surat wasiat Ratu Shima dengan maksud agar
dirinya yang sudah tua dan keriputan
menjadi cantik lagi. Sepertinya ia hendak
menentang takdir bahwa ketuaan lumrah
adanya dan harus dihadapi siapa pun tanpa
terkecuali.
Akan tetapi seperti yang dikatakan di
atas, kalau hati sudah dikuasai nafsu dan
ambisi yang berlebihan, mata bathin sering
menjadi tertutup. Berbagai tokoh dari
dunia persilatan telah terjun ke kancah
perebutan patung Ratu Shima, baik yang
berasal dari Pulau Jawa maupun dari negeri
seberang lautan. Bagaimana akhir dari
perebutan itu memang masih panjang dan
akhirnya waktu juga yang akan bicara.
Waktu terus berputar, perlahan namun
pasti. Malam telah berlalu. Sinar mentari
yang lembut menyapu pepohonan di gunung
Muria. Burung-burung berkicau merdu sambil
terbang dari dahan yang satu ke dahan
lainnya.
Para petani mulai berangkat ke sawah
dan ladang masing-masing, sedangkan para
pengrajin mulai menekuni ukiran-ukiran
kayu jatinya. Anak-anak tampak bermain
dengan sangat riang gembira sambil
berteriak-teriak. Semuanya berjalan
seperti biasa-nya tidak banyak perubahan.
Akan tetapi, di Pantai Jepara sekarang
telah hadir sepasang pendekar muda yang
datang dari daratan Tiongkok. Keduanya se-
karang sudah selesai sarapan pagi dan
bersiap-siap memulai perjalan mereka untuk
mencari patung Ratu Shima
"Sekarang adalah saat air pasang untuk
pesisir Utara Pulau Jawa. Ini sesuai dengan
tulisan peninggalan pengikut Fa Hsien,
seribu langkah dari tepi pantai pada saat
air pasang ke arah utara puncak gunung Mu-
ria," kata Hong Lie sambil memperhatikan
air laut yang sedang menghempas-hempas di
pantai.
"Ya, kita beruntung. Kedatangan kita
tepat dengan air pasang. Mudah-mudahan sa-
ja nanti kita tetap beruntung." sahut Giok
Nio penuh harap.
"Saya juga sangat berharap begitu.
Walaupun begitu, kita tentunya sudah siap
menghadapi segala kemungkinan. Sekarang,
mari kita berangkat. Kau bantu aku
menghitung langkah menuju arah puncak
gunung itu. Ingat Giok Nio, kau jangan sam-
pai salah menghitung. Hitungan yang salah
berarti menemukan tempat yang salah."
"Baiklah," kata Giok Nio.
Kedua kakak beradik itu kemudian mulai
melangkah dan menghitung dari pantai,
batas antara air laut dengan pasir.
"Satu... dua... tiga... empat...." Sambil
mengikuti langkah kakaknya, Giok Nio terus
menghitung. Mereka melangkah lurus ke
puncak gunung Muria hingga akhirnya sampai
ke dataran yang cukup luas, di dekat
sebatang pohon besar dan rindang.
Di tempat itulah dulu si Tolol menggali
tanah dengan maksud melubangi bumi agar
tembus dari ujung yang satu di seberangnya,
karena melalui mimpinya ia melihat bumi itu
bulat bentuknya bagaikan bola. Saat itulah
si Tolol menemukan patung Ratu Shima, namun
kemudian dirampas Prawiro, yang kemudian
menguburnya hidup-hidup di dalam lubang
galiannya sendiri.
"Seribu... nah, di sini!" kata Giok Nio
setelah hitungannya sampai kehilangan
seribu.
Kedua pendekar Tiongkok itu
menghentikan langkah, lalu mengamati
keadaan disekelilingnya. Maka tampaklah
oleh keduanya bekas lubang galian tempat si
Tolol menemukan patung emas itu.
"Hei, lihat! Seperti bekas lubang
galian," kata Giok Nio setengah berteriak.
Ia bersama kakaknya menghampiri bekas
galian itu dan menelitinya lebih seksama.
Tak salah lagi, tanah itu adalah bekas
galian.
"Kalau begitu kita sudah terlambat,
Giok Nio. Patung itu pasti sudah diambil
orang yang kemudian menutupi lubang ini,"
kata Hong Lie cemas.
"Tapi..." ujar adiknya ragu-ragu.
"Tapi apa?" tanya Hong Lie sembari me-
natap wajah adiknya dalam-dalam.
"Coba perhatikan, kakak Hong Lie.
Galian ini masih baru. Mungkin baru
seminggu atau dua minggu. Jadi kemungkinan
besar itu masih berada di sekitar daerah
ini."
"Kau benar, Giok Nio. Galian ini memang
masih baru. Seharusnya kita datang lebih
cepat."
"Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang?”.
"Saya sudah yakin patung itu sekarang
sudah ada di tangan orang. Kita harus
menyelidiki siapa sebenarnya yang
menemukan patung itu. Setelah itu, kita
atur rencana untuk merebutnya kembali."
"Baiklah kalau begitu. Mari kita
berangkat."
Akan tetapi baru beberapa langkah
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba
terdengar suara tawa seorang lelaki,
bergema dari segala penjuru. Suara tawa itu
mengandung tenaga dalam yang sangat hebat
sehingga dada kedua pendekar Tiongkok itu
berdebar. Sadarlah kedua pendekar itu
bahwa orang yang mengeluarkan suara tawa
itu bukanlah orang sembarangan. Keduanya
kemudian sama-sama merapatkan punggung
menghadap ke arah berlawanan.
"Hei, siapa kau? Keluarlah!" teriak
Hong Lie.
Akan tetapi orang tersebut belum juga
menampakkan batang hidungnya. Ia terus
tertawa sambil menambah kekuatan tenaga
dalam suaranya. Hong Lie menjadi kesal. Ia
memusatkan perhatian, berteriak sambil me-
ngerahkan tenaga khikang mengimbangi suara
tawa orang asing itu.
Di kalangan pendekar Tiongkok,
berteriak atau tertawa sambil mengerahkan
tenaga dalam juga dianggap hal biasa.
Kebanyakan dari pendekar negeri itu bisa
berbuat demikian. Tenaga dalam yang
disalurkan melalui suara itu disebut
khikang, makin kuat makin berat pula bagi
lawan untuk mengatasinya.
Mendadak suara tawa itu terhenti. Ham-
pir bersamaan dengan itu dari balik
pepohonan meloncat seorang pendekar asing,
yang tak lain dan tak bukan adalah Gahito
sendiri. Pendekar samurai itu menatap Hong
Lie dan Giok Nio dengan sinar mata
mengejek.
Seperti diceritakan di bagian depan,
pendekar samurai itu sempat bertarung
mati-matian dengan Husein. Dalam perta-
rungan itu, Gahito nyaris mengalami
kecelakaan akibat pengaruh sihir pendekar
Irak itu. Akan tetapi kedua pendekar asing
itu sama- sama mengakhiri pertarungan
seperti menyadari bahwa si Tolol yang
diyakini sedang menyembunyikan patung Ratu
Shima telah lenyap.
Gahito dan Husein kemudian sama-sama
mengejar si Tolol ke arah pantai. Di tengah
jalan, keduanya mengambil jalan
masing-masing di mana Husein menuju Barat,
sedangkan Gahito ke sebelah Timur. Dalam
kesendiriannya, Gahito bermaksud balik la-
gi ke lereng gunung, karena menurut
perkiraannya, kemungkinan besar si Tolol
masih akan kembali ke sana. Bocah tolol itu
tak mungkin sudah berada jauh dari lereng
gunung.
Dengan perkiraan seperti itu, pendekar
samurai akhirnya kembali lagi kearah
berlawanan. Sewaktu sedang berjalan
sendirian, ia mendengar suara langkah
orang disertai hitungan. Gahito segera
bersembunyi dan mengintip dari balik
semak-semak. Ternyata dua remaja yang
diyakininya baru datang dari negeri
Tiongkok. Gahito tertawa geli melihat
kedua pendekar muda usia itu kelabakan
melihat bekas galian tanah di sekitar
tempat itu.
"Siapa kau orang asing?" tanya Giok Nio
geram sehingga wajahnya yang cantik jelita
itu menjadi merah padam.
"Orang asing katamu, nona cantik?
Sayakah orang asing atau kalian?" balas
Gahito dengan nada sinis.
"Maafkan adik saya, sahabat yang gagah
perkasa," kata Hong Lie dengan sikap yang
lebih tenang, "Kami berdua memang datang
dari seberang, dari daratan Tiongkok. Saya
kira engkau pun datang dari jauh, mungkin
dari negeri Jepang."
"Ternyata matamu cukup jeli juga, anak
muda. Kedatangan kalian ke sini tentunya
bukan sekedar berpelesiran, bukan?"
"Maafkan kami, kawan, Tentang maksud
kedatangan kami ke sini adalah urusan kami
sendiri. Sama seperti urusanmu ke sini,
tentunya kami tak perlu mencampurinya."
"Jangan layani orang sombong itu,"
kata Giok Nio kesal, lalu sambil menuding
Gahito dengan telunjuk tangan kirinya,
gadis manis itu berkata:
"Hei, apa urusanmu sama kami? Kalau kau
merasa hebat majulah, hadapi aku. Jangan
kira aku takut melihat samuraimu itu!"
"Ha-ha-ha... gadis cantik yang sangat
galak. Tapi kau tambah cantik saja kalau
sedang marah."
Hong Lie menarik lengan adiknya sambil
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap
tenang. Lalu Hong Lie kembali berkata
kepada Gahito:
"Sahabat, seperti yang saya katakan
tadi maksud kedatangan kami ke sini adalah
urusan kami sendiri. Sebaiknya engkau
tidak terlalu usil. Kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
"Bagus! Tapi perlu kalian ketahui,
kedatangan kalian memang sudah terlambat.
Jangan mimpi bisa mendapatkan patung Ratu
Shima."
"Bangsat! Jadi berarti kaulah yang
mendahului kami!" bentak Giok Nio sambil
menghunus pedangnya.
"Tampaknya kalian berdua sangat senang
bermain-main denganku. Baiklah kalau
begitu, sekarang, majulah berbarengan
menghadapiku, agar permainan kita agak
berimbang!" ejek Gahito.
Ditantang seperti itu, Giok Nio makin
marah. Sambil berteriak nyaring, gadis itu
meloncat tinggi ke arah Gahito. Sewaktu tu-
buhnya masih melayang di udara, ia
mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan.
Dengan gerakan yang tak kalah cepat-
nya, pendekar samurai mencabut senjatanya
untuk menangkis serangan lawan. Terdengar
suara berdentang dua senjata beradu dengan
keras. Saat berikutnya, kedua pendekar itu
terlibat pertarungan yang dahsyat.
Melihat gerakan Gahito yang sangat ce-
pat dan kuat, Hong Lie merasa khawatir ju-
ga akan keselamatan adiknya. Apalagi ka-
rena ia menyadari Giok Nio masih kurang
berpengalaman dan mudah marah, sehingga
jika menghadapi lawan seperti Gahito tidak
mustahil akan mengalami kecelakaan. Maka
pemuda itu pun segera mencabut pedangnya,
lalu ikut menyerang lawan dengan dahsyat.
Terjadilah pertarungan hebat, dua
lawan satu. Hong Lie dan adiknya bergerak
cepat dan lincah sekali. Serangan mereka
datang secara bergelombang dari segala
arah. Dari pertarungan itu terlihatlah
bahwa Hong Lie dan Giok Nio merupakan sepa-
sang pendekar yang sangat kompak dan
serasi. Sambil menyerang, keduanya saling
melindungi sehingga sangat sulit bagi
lawan mengalahkan mereka. Jika seorang
menyerang, yang lainnya bertahan. Dan jika
keadaan memungkinkan, keduanya sama-sama
menyerang pula.
Dari cara pertarungan mereka, terlihat
pula bahwa Giok Nio memiliki hati yang te-
lengas. Setiap kali menyerang, ujung
pedangnya selalu mengarah ke bagian-bagian
vital di tubuh lawan. Lain halnya dengan
Hong Lie, lebih cenderung bermaksud
melumpuhkan Gahito tanpa membuatnya
menderita luka berat. Bagaimanapun juga,
pemuda itu tetap menyadari bahwa antara
mereka dan Gahito tidak ada persoalan
apa-apa.
Rasanya mustahil pendekar samurai itu
yang menggali tanah dan kemudian
menyembunyikan patung Ratu Shima. Kalau
misalnya Gahito sudah menguasai patung
itu, buat apa ia menunjukkan diri. Ia tentu
akan melarikan diri atau pulang ke
negerinya secepat mungkin. Atau sedikitnya
pastilah bersembunyi menunggu waktu yang
baik untuk pulang membawa patung ke tempat
asalnya.
Giok Nio sendiri tidak memikirkannya,
karena hatinya sudah keburu panas. Ia hanya
memikirkan bagaimana cara terbaik
merobohkan pendekar samurai itu secepat
mungkin.
Menghadapi serangan serangan pendekar
muda itu, Gahito menjadi kerepotan juga. Ia
sudah mencabut kedua belah samurainya dan
memutarnya untuk menangkis serangan lawan.
Untunglah ia memiliki tenaga yang sedikit
lebih kuat, sehingga masih mampu bertahan.
Hong Lie dan Giok Nio bagaikan sepasang
burung rajawali mengeroyok seekor banteng.
Kedua pendekar itu menyerang dengan sangat
lincahnya, sedangkan Gahito yang kuat
bertahan sambil sesekali melakukan
serangan balasan.
Memasuki jurus yang kelima puluh,
Gahito meloncat tinggi ke udara, kemudian
meluncur dengan posisi kepala ke bawah. Ke-
dua ujung senjatanya menyambar bagaikan
kilat ke arah dada kedua lawannya. Melihat
serangan itu sangat cepat dan berbahaya,
Hong Lie dan Giok Nio segera membanting
diri kemudian bergulingan di atas tanah.
Kemudian secepat kilat bangkit sambil
berputar tubuh. Kedua pendekar Tiongkok
itu lalu membabat tubuh Gahito yang sedang
meluncur ke bawah. Posisi pendekar samurai
benar-benar gawat dan sekilas pandang akan
sulitlah baginya menyelamatkan diri.
"Mampus kau, bangsat!" bentak Giok Nio.
Akan tetapi dengan gerakan yang sukar
diikuti pandangan mata, Gahito mengangkat
kedua samurainya menangkis sabetan pedang
lawan yang menyambar dari arah berlawanan.
Masih dengan gerakan yang sangat cepat,
Gahito menancapkan kedua samurainya di
tanah dan menggunakan sebagai tumpuan
untuk bersalto jauh ke depan.
"Bangsat! Jangan kira kau bisa lolos
dari tanganku!" bentak Giok Nio yang
diam-diam merasa terkejut juga melihat
kelihaian lawan menghindari serangan maut
mereka.
Secara berbarengan, kedua. pendekar
muda itu kembali menerjang Gahito dengan
serangan yang lebih dahsyat lagi. Hong Lie
dan Giok Nio sedikit pun tidak memberikan
lawan kesempatan untuk balas menyerang.
Semangat dan kegigihan kedua pendakar
Tiongkok ini memang patut dikagumi.
Walaupun tenaga mereka sudah mulai
terkuras, serangan mereka malah bertambah
gencar. Dan suatu saat, ujung pedang Hong
Lie dan Giok Nio berhasil merobek kulit
bahu Gahito.
Saat itu Gahito sudah sangat terdesak,
sedangkan pedang kedua lawan menyambar ke
dadanya dari arah berlawanan. Pendekar
samurai itu tak sempat lagi menarik
senjatanya karena sudah keburu diayunkan
tadi ke depan. Maka jalan satu-satunya
adalah membantingkan diri ke belakang.
Gerakannya memang cepat, namun ujung
senjata lawan masih tepat melukainya.
"Mampus kau, bangsat! Hari ini kau akan
mampus di tanganku!" teriak Giok Nio dengan
suara nyaring.
Gadis cantik itu mengangkat pedangnya
dan bermaksud menebas lawannya hingga
mampus. Namun mendadak terdengar suara
tawa berkepanjangan, seorang laki-laki
yang belum menampakkan dirinya di arena
pertarungan itu.
Giok Nio menghentikan gerakannya. Ia
berpandangan dengan kakaknya, seolah-olah
sedang menunggu isyarat Hong Lie apa yang
harus mereka lakukan sekarang.
"Keluar kau!" teriak Hong Lie.
Seorang lelaki bersorban dan telinga
kanannya dihiasi anting-anting besar telah
berdiri tak jauh dari arena pertarungan.
Lelaki itu tidak membawa senjata,
melainkan selembar permadani me rah.
Itulah Husein, si pendekar dari negeri Irak
itu.
Rupanya pendekar ini pun berpikiran
sama dengan Gahito. Ketika keduanya
berpisah sewaktu hendak mengejar si Tolol,
pendekar Irak itu bermaksud balik lagi ke
lereng gunung. Sebab menurut perkiraannya,
bocah botak itu pasti masih berada di
sekitar lereng gunung. Biarlah pendekar
samurai itu nanti sendirian ke pantai,
sedangkan ia sendiri bisa bebas sendiri
mencari si Tolol. Jika ia ketemu lagi
dengan si Tolol, dengan mudah ia merampas
patung emas itu tanpa terganggu oleh
kehadiran Gahito.
Tetapi rupanya, Gahito juga berpikiran
sama, bahkan sudah duluan berada di lereng
gunung dan kini sedang bertarung dengan dua
pendekar yang tampaknya berasal dari
daratan Tiongkok. Melihat Gahito terdesak,
Husein menjadi girang. Timbullah niat
busuk dalam hatinya untuk memperalat kedua
pendekar muda itu menyingkirkan Gahito.
Kalau Gahito mati, saingan Husein pun ten-
tu berkurang. Ia tidak terlalu khawatir
terhadap kedua pendekar Tiongkok itu,
karena mereka pastilah belum tahu bahwa
patung Ratu Shima sedang berada di tangan
si Tolol.
"Ha-ha-ha... pendekar samurai!" kata
Husein sambil tertawa mengejek, "Setiap
pendekar yang menyembunyikan patung Ratu
Shima pasti dikejar orang biar sampai ke
ujung langit sekalipun. Nyawamu sekarang
terancam di ujung pedang kedua pendekar
Tiongkok itu. Karena itu sebaiknya kau
berikan patung Ratu Shima kepadaku.
Biarlah nanti aku yang akan menghadapi ke-
dua orang muda itu."
Mendengar kata-kata Husein,
terkejutlah Gahito karena ia menyadari
bahwa pendekar Irak itu sengaja berkata
demikian dengan maksud agar Hong Lie dan
Giok Nio percaya patung itu memang berada
di tangannya. Padahal ia yakin, Husein pun
tahu di tangan siapa sebenarnya patung Ratu
Shima sekarang.
"Licik kau, bangsat! Rupanya kau
sengaja memfitnahku karena takut
menghadapiku!" bentak Gahito.
"Bukan aku takut, sobat! Menghadapi
orang seperti kau kenapa harus takut? Malah
kemarin, kalau aku tak murah hati, nyawamu
pasti sudah melayang."
"Tutup mulutmu, bangsat! Sekarang mari
kita lanjutkan pertarungan kita sampai
salah seorang, kau atau aku mampus!"
"Tidak perlu, sobat Bukankah saat ini
kau sedang menghadapi dua pendekar muda
yang sangat tangguh? Apakah kau takut
menghadapi lawanmu itu?" ejek Husein yang
rupanya sempat lupa bahwa Mat Caplang pun
sudah tahu bahwa patung Ratu Shima ada di
tangan si Tolol.
"Diam kau, bangsat! Jangan banyak
bicara kau! Sekarang hadapi aku kalau kau
memang bukan pengecut!"
"Kau jangan memancing aku marah,
sobat. Teruskanlah pertarunganmu dengan
kedua pendekar muda itu. Kau sudah hampir
mampus tadi. Jika kau mampus musuhku tentu
akan berkurang satu. Nah, selamat
bermain-main, sobat. Aku pergi dulu
mencari benda yang sangat berharga itu."
"Kau jujur tapi tolol!" teriak Gahito.
Husein tidak menyahut lagi. Ia segera
melemparkan permadaninya, lalu meloncat ke
atasnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya
sudah melesat bagaikan terbang.
"Selamat berpisah, kawan-kawan!"
teriak pendekar itu bersama lenyapnya
tubuhnya di balik pepohonan.
Mendengar pembicaraan kedua pendekar
itu tadi, sadarlah Hong Lie bahwa patung
itu pastilah tidak berada di tangan Gahito.
Kalau misalnya ada di tangannya, pendekar
bersorban itu tentulah tidak akan mau pergi
begitu saja.
***
6
Tapi agaknya kedua laki-laki itu sudah
pernah bertemu dan bertarung sewaktu
mencari patung Ratu Shima. Dan tampaknya,
lelaki bersorban itu menganggap pendekar
samurai adalah saingan utamanya, sehingga
sengaja memanas-manasi hati Hong Lie dan
Giok Nio agar segera menyingkirkannya.
Cuma agaknya, lelaki dari Irak itu memang
jujur tapi tolol, seperti yang dikatakan
Gahito tadi.
"Ssst... Giok Nio, Tampaknya patung
itu tidak berada di tangan pendekar samurai
ini. Kita tak perlu mengeroyoknya." bisik
Hong Lie.
"Benar. Aku pun merasa demikian."
"Sebaiknya kita perlu dari sini. Mari
kita lanjutkan perjalanan. Nanti pria
bersorban tadi mendahului kita lagi."
Hong Lie kemudian melangkah ke hadapan
Gahito yang sejak tadi berdiri saja
menunggu apa yang hendak dilakukan kedua
pendekar dari Tiongkok itu.
"Maafkan kami, sobat. Agaknya kita te-
lah salah paham, padahal di antara kita ti-
dak ada persoalan apa-apa. Kami percaya
engkau tidak takut menghadapi kami,
demikian juga kami tidak takut berhadapan
denganmu. Barangkali suatu saat nanti kita
masih punya kesempatan untuk melanjutkan
pertarungan kita ini."
Setelah berkata begitu, kedua pendekar
Tiongkok itu membalikkan badan hendak
meninggalkan lereng gunung itu. Tetapi ti-
ba-tiba Gahito berkata:
"Tunggu dulu!"
"Ada apa, sobat?"
"Aku Gahito pendekar samurai dari
negeri Matahari Terbit merasa kagum
terhadap kalian berdua. Masih begitu muda
tapi Sudah memiliki ilmu yang sangat hebat.
Kalau kalian berdua tidak keberatan aku
ingin berkenalan dengan kalian."
"Terimakasih, pendekar samurai.
Janganlah memuji kami telalu tinggi
seperti itu. Aku adalah Kwan Hong Lie,
sedangkan ini adikku Kwan Giok Nio."
"Terimakasih, anak muda. Sampai ketemu
nanti. Sekarang kita berada di negeri jauh.
Patung Ratu Shima diperebutkan banyak
sekali pendekar."
"Terimakasih! Untuk itulah kami datang
ke sini. Kalau tidak diperebutkan banyak
orang, mungkin kami tidak akan singgah di
pulau ini," kata Giok Nio yang agaknya ma-
sih kesal terhadap Gahito. Gadis itu
menanggapi kata-kata pendekar samurai
sebagai peringatan agar mereka hati-hati,
seolah-olah Gahito itu seorang guru besar
sedang menasehati murid-muridnya yang
hendak turun gunung. Giok Nio dengan nada
ketus langsung menjawab justru karena
banyak diperebutkan pendekar makanya
mereka datang ke Jepara. Dengan perkataan
seperti itu, Giok Nio sepertinya hendak
menekankan bahwa ia dan kakaknya sudah siap
sedia menghadapinya, bahkan senang
berhadapan dengan pendekar yang ilmunya
tinggi. Sikap yang cenderung menunjukkan
kesombongan.
"Sudahlah, adik Giok Nio! Mari kita
melanjutkan perjalanan!" kata Hong Lie
sambil menarik tangan adiknya itu. Sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kedua
kakak beradik itu melesat dari tempat itu.
Tubuh mereka berkelebatan dan dalam
sekejap hilang di balik rerumputan dan
pohon-pohon.
Gahito menghela nafas
panjang-panjang. Wajah pendekar samurai
itu tampak agak muram. Dalam usahanya
mencari patung Ratu Shima, ia kembali
menghadapi pendekar yang tidak kalah
tangguhnya. Menghadapi Husein sendiri ia
sudah keteteran, biarpun belum tentu.
kalah jika pertarungan dilanjutkan. Dan
tadi, diam-diam ia harus mengaku bahwa
kedua pendekar muda itu lebih hebat lagi.
Kini makin sadarlah pendekar samurai
itu, bahwa untuk memilikipatung Ratu Shima
jauh lebih sulit dari apa yang pernah
dibayangkannya dulu. Dalam waktu dekat, ia
tidak mustahil pula akan berhadapan dengan
pendekar yang lebih hebat lagi. Lawan berat
yang dihadapinya selama ini baru
pendekar-pendekar dari negeri seberang,
orang pendatang seperti dirinya di wilayah
Jepara. Belum lagi pendekar pribumi yang
tidak mustahil pula memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi.
***
7
Sementara itu, Hong Lie dan Giok Nio
makin jauh dari lereng gunung Muria tempat
mereka bertarung tadi dengan Gahito.
Sambil berlari, dara jelita itu
berkali-kali menyatakan penasaran karena
sikap pendekar samurai yang dinilainya
sangat sombong.
"Coba kalau tadi kita menghajarnya
sampai minta ampun. Bicaranya seperti
pendekar paling hebat saja di kolong langit
ini. Nanti kalau ketemu lagi dengannya, aku
pasti akan menghajar!" kata Giok Nio pena-
saran.
"Sudahlah, Giok Nio. Tenangkanlah
perasaanmu. Ingat, itu baru musuh pertama
bagi kita. Musuh berikutnya akan menyusul
lagi. Ah, sebaiknya kita istirahat dulu.
Aku sudah capek!"
"Baiklah, aku pun sudah kelelahan."
Kedua pendekar muda itu lain duduk
beristirahat di bawah pohon rindang.
Keduanya diam beberapa saat sambil menyeka
keringat yang membasahi wajah mereka.
Wajah Giok Nio yang bulat telur dan bersih
itu tampak bersemu merah. Anak-anak
rambutnya menempel di keningnya yang basah
oleh peluh. Ia tampak lebih cantik dan
menggairahkan dengan penampilan seperti
itu.
"Giok Nio, bagaimana pun, kita harus
mengakui bahwa pendekar samurai memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Kalau kita maju
sendirian, kemungkinan kita tidak akan
mampu menandinginya. Lelaki bersorban itu
pun tampaknya bukan orang sembarangan,
Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat."
"Ya, tadi saya sempat
memperhatikannya. Dia bagaikan terbang
saja dengan permadaninya. Tapi aku yakin,
kita bisa mengatasinya. Bukankah katanya
ia pernah bertarung dengan pendekar
samurai itu? Tampaknya pertarungan mereka
berimbang, hingga tadi pendekar samurai
menantangnya adu kekuatan lagi."
"Kau benar, Giok Nio. Aku pun sudah
memikirkannya. Tapi satu hal yang menjadi
pemikiranku sekarang adalah mengenai
banyaknya pendekar yang memperebutkan
patung Ratu Shima. Pendekar samurai itu
maupun laki-laki bersorban tadi baru
merupakan orang yang pertama kita temukan.
Aku yakin masih banyak pendekar lain, yang
mungkin ilmunya lebih tinggi lagi."
"Tidak apa. Di negeri kita pun kita
sudah sering menghadapi lawan tangguh.
Guru kita juga sering berkata bahwa di
kalangan dunia persilatan banyak sekali
pendekar tangguh. Bukankah kita
mempelajari ilmu silat untuk menghadapi
kenyataan seperti itu?"
"Benar katamu, dik. Untuk dapat
memiliki suatu benda berharga kita memang
harus bekerja keras dan banyak berkorban.
Tapi agaknya patung Ratu Shima terlalu
sulit direbut. Kita sama sekali belum tahu
di tangan siapa patung itu sekarang berada.
Yang kita tahu, patung itu sudah di tangan
orang yang entah siapa yang menggali tanah
itu."
"Menurutmu apakah yang harus kita
lakukan selanjutnya?"
Hong Lie tidak segera menjawab. la me-
mungut sebatang ranting kering yang jatuh
di dekat kakinya. Diamatinya sejenak
ranting itu lalu dilemparkannya ke
semak-semak di hadapannya. Barulah
kemudian pemuda itu angkat bicara:
"Kita harus menyelidiki di tangan
siapa sebenarnya patung itu sekarang
berada. Siapa yang mendahului kita
menggali tanah itu sebab melihat kerasnya
persaingan, tidak mustahil orang yang
pertama kali menemukannya sudah terbunuh
sewaktu berusaha mempertahankannya dari
rebutan pendekar lain."
"Itu memang bisa saja terjadi. Sayang
kita belum tahu seluk beluk daerah ini.
Besok kita harus ke pasar membeli
perbekalan, karena keperluan kita sudah
hampir habis," ujar Giok Nio sambil
menunjukkan buntalannya kepada Hong Lie.
"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat,
Giok Nio. Untuk selanjutnya kita harus
hati-hati. Jangan lupa pesan guru kita,
bahwa kita tak perlu takut menghadapi
musuh, tapi harus selalu waspada.
Mudah-mudahan saja kita akan berhasil
menemukan patung itu."
Giok Nio manggut-manggut mendengar
ucapan kakaknya. Ia merasa Hong Lie sedang
memperingatkannya karena sering bersikap
tidak sabar dan mudah marah. Guru mereka
pun sering berkata demikian karena katanya
gadis cantik itu kadang-kadang belum bisa
menguasai perasaannya, sehingga dalam
bertindak ia cenderung berdasarkan emosi
saja, bukannya perhitungan matang dan
pemikiran dewasa.
Lain halnya dengan Hong Lie, cara
berpikirnya sudah lebih dewasa dan ia pun
lebih cepat menyesuaikan diri dengan ke-
adaan. Pemuda itu tidak hanya mendengar
tapi juga sudah membuktikan sendiri bahwa
dalam setiap tindakan, jika hati sudah
dikuasi amarah, maksud hati lebih sering
gagal daripada berhasil. Bahkan tidak
jarang pula mengundang bahaya fatal.
Dalam pertarungan, amarah seperti ini
juga kerap membuat seseorang menderita
kerugian, sehingga yang seharusnya menang
jadi kalah. Hal itu bisa dilihat dari ada-
nya kenyataan bahwa setiap orang yang
bertarung jika sudah marah, serangannya
akan tampak ganas dan beringas, tetapi
pertahanan dirinya jadi lemah. Lawan yang
tenang dan sudah berpengalamari biasanya
akan memanfaatkan kesempatan baik itu
untuk melancarkan serangan balasan yang
mengandung maut.
Itulah sebabnya sering terlihat,
sebelum bertarung seorang pendekar
terlebih dulu memancing amarah lawan agar
dapat menggunakan kesempatan baik itu
untuk menjatuhkan musuh. Di kalangan dunia
persilatan, atau di kalangan pendekar
negerinya Kwan Hong Lie dan Giok Nio
disebut dunia Kangouw, lengah beberapa
detik saja sudah cukup bagi seorang
pendekar untuk menjatuhkan lawan.
Hal seperti inilah yang sering
terlihat oleh Hong Lie pada diri adiknya.
Giok Nio masih sering terlihat kurang
perduli akan resiko yang bakal dihadapi
dengan sikapnya, seolah-olah ia berprinsip
serang dulu resiko belakangan. Memang
seorang pendekar, tidak boleh bersikap
pengecut, tidak boleh menyerah sebelum
bertarung. Tapi bagaimanapun juga, sebelum
melakukan sesuatu adalah perlu untuk
berfikir terlebih dahulu.
"Kenapa kau diam saja, kakak Hong Lie?"
tanya Giok Nio memecah kesunyian,
"Aku, sedang memikirkan rencana kita
selanjutnya," sahut pemuda itu sekenanya.
"Jangan terlalu dipikirkan..
Percayalah, kita pasti berhasil membawanya
pulang ke negeri kita."
"Mudah-mudahan saja," kata Hong Lie.
Dan kedua kakak beradik itu pun kembali
membicarakan rencana mereka selanjutnya
dalam usaha mereka merebut patung Ratu
Shima.
Tanpa mereka sadari, pendekar lainnya
pun sedang sibuk melakukan pencaharian
terhadap patung yang menyimpan rahasia
kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan
itu. Para pendekar yang memiliki ilmu silat
tinggi itu hilir mudik di sekitar lereng
gunung Muria, sehingga satu jengkal tanah
pun sepertinya tidak ada yang Input dari
perhatian mereka.
Nenek tua Nyi Peri yang dalam beberapa
tahun terakhir ini sudah sangat jarang
terjun ke dunia persilatan, kini telah
keluar rumah. Padahal selama ini, sekedar
keluar kehalaman rumah saja,Nyi Peri
sangat jarang. Ini membuktikah bahwa nenek
tua yang sangat sakti itu demikian
berambisi merebut patung Ratu Shima.
Pendekar Mat Caplang pun sudah
meninggalkan sarangnya terjun ke daerah
Jepara hanya untuk berusaha merebut patung
emas itu. Demikian juga pendekar Matahari
Terbit Gahito dan pendekar Irak, Husein.
Pendekar pertama yang merebut patung itu
dari tangan si Tolol, yakni Prawiro, telah
tewas di tangan pendekar wanita misterius
yang sekujur tubuhnya penuh tatto,
Di antara semua pendekar yang saling
memperebutkan patung Ratu Shima, wanita
bertatto ini agaknya adalah yang paling
menarik. Ilmunya tinggi dan latar belakang
kehidupannya pun masih terselubung.
Para jagoan yang datang dari berbagai
penjuru itu sekarang sedang berkeliaran di
sekitar gunung Muria. Mereka sama-sama
memiliki ilmu yang sangat tinggi dan juga
ambisi yang sangat besar. Mereka siap
melakukan apa saja, pun termasuk membunuh
setiap orang yang dianggap penghalang
untuk memiliki patung Ratu Shima.
Tanpa disadari oleh para jago silat
itu, si Tolol sekarang sedang mandi-mandi
pada sebuah mata air di lereng gunung
Muria. Anak itu bemyanyi-nyanyi kegirangan
dengan suara yang terputus- putus, karena
kadang-kadang ia membenamkan sekujur
tubuhnya ke dalam air sejuk. Setelah itu,
ia muncul lagi di permukaan untuk menarik
nafas. Kesempatan itu digunakan untuk
mendendangkan lagu apa saja yang ia ingat.
Sinar matahari tampak berkilau- kilau
memantul di atas percikan air yang
membasahi tubuh si Tolol. Baju dan celana
anak itu diletakkan di atas batu, di
pinggir mata air.
Di bawah tumpukan baju dan celana yang
sudah kumal itu disimpan patung emas Ratu
Shima, yang kini sedang diincar para
pendekar.
Dapatkah si Tolol mempertahankan
patung emas bertahtakan permata tersebut
dari jangkauan para pendekar tangguh yang
berambisi mendapatkannya?
TAMAT
Jawabannya segera kita lihat pada
episode berikutnya yang berjudul:
Emoticon