KUDAWULUNG terpaku dalam kebingungan, karena
belum tahu pasti apa sebenarnya yang telah dila-
kukan oleh muridnya. Sementara itu Nilamsari sudah
datang menghampiri dan berdiri di samping gurunya,
juga dengan perasaan heran dan bertanya-tanya, apa
sebenarnya yang telah terjadi sehingga Kidangkancana
“Tunggu dulu,” Rangga mengangkat tangannya
sambil mundur beberapa langkah. “Kuharap jangan
terjadi kesalahpahaman. Soal muridmu, nanti akan
kucari sampai dapat. Yang jelas, aku tidak punya niat
mengkhianati muridmu. Aku meninggalkan muridmu
di Kundina, semata-mata karena terdesak oleh kea-
daan...”
“Setelah kau nodai dia, bukan?!” sergah Kidangkan-
cana geram.
“Menodai?! Hihihihi... engkau memang sudah pi-
kun! Bagaimana mungkin aku yang waktu itu masih
lumpuh, bisa menodai perempuan? Omonganmu nga-
wur!” tolak Rangga sambil tersenyum-senyum.
“Tunggu dulu,” kata Kudawulung sambil mengang-
kat kedua tangannya. “Kuharap Andika mau mende-
ngarkan penjelasan dari muridku terlebih dahulu. Jika
memang muridku yang bersalah, aku tidak akan
menghalang-halangi maksudmu untuk menghukum-
nya.”
Kidangkancana yang sedang berang, justru makin
salah paham. Sasaran kemarahannya kini adalah Ku-
dawulung. “Bagus! Rupanya engkau mau membela
muridmu yang durjana itu! Ayolah maju... jangan kau
pikir aku takut menghadapi tongkat batu wulungmu!”
Mendengar tantangan itu, Kudawulung pun menjadi
berang. “Kidangkancana! Aku tidak pernah takut
menghadapi siapa pun! Tapi kenapa kita harus ribut-
ribut seperti anak kecil? Kenapa Andika tidak memberi
kesempatan kepada muridku untuk menjelaskan du-
duk perkaranya dulu? Sudah kukatakan tadi, kalau
muridku bersalah, silahkan hukum dengan caramu
sendiri. Aku bukan seorang guru yang senang melin-
dungi kesalahan muridku. Tapi bagaimana mungkin
aku bisa membiarkan muridku dihukum oleh orang
lain, sedangkan aku belum tahu kesalahan apa yang
telah dilakukannya? Duduklah dulu dengan tenang.
Marilah kita bicara secara baik-baik, dengan hati yang
jernih dan kepala yang dingin.”
Namun pada saat itu Kidangkancana sudah telanjur
mencurigai Kudawulung dan terlanjur naik pitam. Ma-
ka dengan garang ia menjawab, “Cemetiku sudah ku-
keluarkan. Berarti aku harus menghadapi lawanku.
Kalian boleh maju satu per satu, atau boleh juga maju
semuanya! Ini dada Kidangkancana! Mana dada ka-
lian?!”
Srrrrrrtttt... Kudawulung mengeluarkan tongkat pu-
sakanya, lalu berdiri tegak... dengan sikap keras.
“Baik,” desis Kudawulung dingin. “Akan kuladeni
tantanganmu!”
“Rama Guru!” seru Rangga cemas. “Tunggu dulu!
Ini semua hanya kesalahpahaman! Jangan bertarung
di antara kawan sendiri! Kalau ada yang harus mem-
pertanggungjawabkan perbuatannya, biarlah aku sen-
diri yang akan maju menghadapi tamu galak ini!”
Namun Kudawulung yang sudah tahu kehebatan
Kidangkancana, lalu meragukan kemampuan Rangga.
Maka bentaknya, “Mundur kau, Rangga!”
Tapi Rangga pun tidak mau melihat gurunya berta-
rung gara-gara dia. Maka cepat-cepat Rangga melem-
parkan kotak panjangnya ke arah si Jambon sambil
berseru, “Jaga baik-baik kotak itu, Jambon!”
Burung perkasa dari Nusa Aheng itu dengan mudah
saja menjulurkan kepalanya dan... hap... kotak itu di-
tangkapnya dengan patuknya, kemudian diletakannya
di dekat kedua kakinya.
Rangga lalu melompat ke depan gurunya sambil
berseru, “Biarkan aku yang menghadapinya, Rama
Guru! Ini semata-mata karena kesalahpahaman. Tapi
bagaimanapun juga persoalan ini menyangkut pribadi-
ku. Maka biarlah Rama Guru duduk saja menonton
kami menyelesaikan masalah ini!”
Pada mulanya Kudawulung akan bersikeras untuk
menghadapi Kidangkancana. Tapi lalu terpikir olehnya
keinginan untuk menguji kemampuan Rangga. Maka
akhirnya Kudawulung mundur dan membiarkan Rang-
ga berhadapan dengan Kidangkancana.
Rangga bersiap-siap sambil berkata, “Sebenarnya
kita tidak perlu bentrok. Percayalah, semua ini hanya
kesalahpahaman.”
“Aaaah, tutup bacotmu!” bentak Kidangkancana.
“Ayo keluarkan senjatamu!”
Rangga teringat pada pedang Saptaraga yang bera-
da di dalam kotak panjang itu. Pedang yang belum
pernah dilihatnya, karena kotaknya pun belum pernah
dibuka. Tapi ia pun lalu teringat pesan Kakek Astra-
baya yang mengatakan bahwa pedang itu tidak boleh
disentuh sebelum ilmu pedangnya selesai dipelajari.
Maka akhirnya Rangga berkata, “Aku belum pernah
menggunakan senjata untuk menghadapi siapa pun.
Karena itu, kalau mau menyerang silahkan serang sa-
ja, tak usah sungkan-sungkan.”
Kidangkancana marah sekali, karena merasa dire-
mehkan oleh Rangga. Lalu bentaknya, “Kau lihat sen-
diri, aku memegang senjata cemeti ini. Aku tidak biasa
menyerang orang bertangan kosong! Ayo keluarkan
senjatamu!”
“Aku tidak punya senjata apa-apa selain kedua ta-
ngan dan kakiku ini,” sahut Rangga tenang namun
penuh kewaspadaan.
Pada dasarnya, Kidangkancana adalah seorang to-
koh yang jujur. Tapi ia cepat naik darah dan seringkali
bertindak tanpa dipikir dahulu. Satu-satunya orang
yang mampu meredakan segala kemarahannya, adalah
Nyi Tiwi, karena ia sangat menyayangi muridnya yang
janda muda itu.
Dan kini, Kidangkancana seperti orang kalap, kare-
na merasa kehilangan muridnya yang sangat disayan-
ginya itu. Maka dengan mata mendelik, ia menoleh ke
arah Kudawulung dan berkata, “Jangan salahkan aku
kalau muridmu celaka di ujung senjataku. Dia sendiri
yang menolak mengeluarkan senjatanya.”
Kudawulung yang sudah duduk di atas batu besar,
menjawab lirih, “Muridku memang belum pernah kua-
jari menggunakan senjata. Dia tidak meremehkanmu.
Dia memang tidak bisa menggunakan senjata apa
pun.”
Kidangkancana melecutkan cemetinya ke udara...
taaaaaaaar...! Dan dengan gerakan yang sangat cepat
ia segera membuka serangannya ke arah Rangga.
Cemeti yang terbuat dari anyaman benang emas itu
bergulung-gulung di udara. Demikian cepatnya gera-
kan cemeti itu, sehingga yang tampak hanyalah
bayangan keemasan, yang meliuk-liuk seperti seekor
ular dan siap ‘mematuk’ urat-urat berbahaya di tubuh
Rangga.
Baru sekali itu Rangga melihat senjata Kidangkan-
cana. Namun matanya yang terlatih, segera saja dapat
menduga bahwa cemeti Kidangkancana bukanlah sen-
jata biasa. Karena itu Rangga sangat berhati-hati da-
lam gerakan demi gerakan untuk menghindari senjata
lawannya. Rangga ingin mempelajari dulu apa keisti-
mewaan cemeti yang terbuat dari anyaman benang
emas itu.
Untuk mempelajari keistimewaan cemeti Kidang-
kancana, justru tidak mudah. Karena cemeti itu sendi-
ri menyambar-nyambar dengan cepatnya, sehingga su-
lit bagi Rangga untuk memperhatikannya. Satu-
satunya jalan, adalah dengan ‘mengumpamakan’ sesu-
atu, supaya tersambar oleh cemeti itu. Demikianlah
pikir Rangga tatkala tubuhnya melompat-lompat ke
sana-ke mari untuk menghindari ‘patukan’ ujung ce-
meti Kidangkancana.
Maka pada suatu saat, ketika Rangga bersalto ke
tempat yang agak jauh dari lawannya, Rangga berhasil
memungut sebutir batu kerikil dengan cepatnya. Ke-
mudian batu itu dilemparkan ke arah Kidangkancana,
untuk dijadikan ‘umpan penyelidikan’ Rangga!
Draaaaashhh...!
Batu itu tersentuh oleh cemeti Kidangkancana, lalu
hancur menjadi abu! Kehancuran batu itu sendiri ti-
daklah terlalu mengherankan Rangga, karena dengan
tenaga gaib biasa pun seseorang bisa menghancurkan
batu seperti itu. Yang Rangga perhatikan, adalah bah-
wa abu hancuran batu itu mengepulkan asap, semen-
tara abu hancuran batu itu sendiri berwarna kemera-
han.
Tahulah Rangga kini, bahwa cemeti itu mengan-
dung ‘Daya Agni’, yakni semacam hawa panas yang
mampu menghanguskan benda keras sekalipun.
Rangga juga pernah diajari oleh Kudawulung, bah-
wa hawa panas seperti itu harus dihadapi dengan
‘Daya Indra’, yakni semacam hawa dingin yang dialir-
kan lewat kekuatan gaib, yang mampu membekukan
air menjadi es.
Itulah yang hendak dicoba oleh Rangga dalam
menghadapi serangan cemeti Kidangkancana.
Maka sambil melompat-lompat menghindari samba-
ran ujung cemeti Kidangkancana, secara diam-diam
Rangga mengerahkan ‘Daya Indra’ ke arah kedua belah
telapak tangannya. Dan ketika hawa yang sangat din-
gin itu sudah terkumpul di kedua telapak tangannya,
Rangga dengan sengaja menangkap cemeti Kidangkan-
cana yang tengah menyambar ke arah dadanya!
Buuuussssshhhhh...!
Uap mengepul dari cemeti Kidangkancana, tak
ubahnya besi berpijar dicelupkan ke dalam air dingin.
Dan Rangga tetap menggenggam ujung cemeti Kidang-
kancana itu sambil mengalirkan terus hawa dingin ke
arah kedua telapak tangannya.
Kidangkancana maklum apa yang sedang dilakukan
oleh murid Kudawulung itu. Dan sebagai tokoh kawa-
kan yang sudah sangat berpengalaman, Kidangkanca-
na juga tahu bagaimana cara menghadapi pertahanan
seperti itu. Maka tanpa berusaha menarik cemetinya,
Kidangkancana menambah hawa panas ke arah senja-
tanya itu. Makin lama makin panas... sehingga cemeti
itu bukan hanya mengepulkan uap, melainkan juga
berbunyi kretek... kretek... pratak... pratak... pra-
taaaaak...!
Inilah pertunjukan adu kekuatan gaib kelas tinggi!
Tampaknya Rangga pun tahu bahwa Kidangkanca-
na menambah hawa panas ke cemetinya, sehingga
Rangga pun tidak ragu-ragu memperkuat aliran hawa
dinginnya. Maka yang terjadi tak ubahnya besi berpijar
dicelupkan ke dalam es. Dan hal itu bisa menimbulkan
letusan-letusan kecil, disertai dengan bermuncratan-
nya butir-butir es yang telah mencair!
Ya, memang itulah yang terjadi. Butir-butir air ber-
lompatan dari cemeti emas Kidangkancana, disertai
bunyi ‘Pletak-pletek’ seperti retaknya bebatuan di pa-
dang pasir yang mendapat perubahan hawa menda-
dak.
Kidangkancana seakan-akan menghembuskan api
panas, sementara Rangga seolah-olah menghem-
buskan hawa es. Dan tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja Ki-
dangkancana mengubah hawa panasnya menjadi hawa
yang sangat dingin!
Inilah yang tidak diduga-duga oleh Rangga. Bahwa
ketika ia sedang mengerahkan hawa dinginnya untuk
melawan hawa panas itu, tiba-tiba saja ia seakan-akan
diserbu oleh hawa yang sangat dingin!
Hal itu bisa diibaratkan seperti dua orang yang se-
dang dorong-mendorong atau tarik-menarik, kemudian
salah seorang di antara mereka melepaskan diri, se-
hingga orang yang satunya lagi akan jatuh tertelung-
kup atau terjungkal ke belakang!
Rangga yang tidak menduga bahwa lawannya akan
mengubah taktik serangannya, tentu saja terkejut se-
kali ketika dirasakannya hawa yang sangat dingin me-
nyerbu dengan pesatnya ke sekujur tubuhnya! Rangga
hendak berusaha mencairkan hawa dingin itu dengan
mengempos hawa panas lewat kekuatan gaibnya. Tapi
sudah terlambat! Hawa dingin itu sudah keburu mem-
bekukan-aliran darahnya, sehingga tubuhnya lalu te-
gang-kaku seperti patung... dan cemeti emas itu terle-
pas dari genggamannya!
Pada saat lain, Kidangkancana menghentakkan ce-
metinya ke udara dan lalu disambarkan ke arah leher
Rangga!
Kudawulung memejamkan matanya, dengan hati
memekik, Oh! Inilah akhir riwayat muridku!
Soalnya Kudawulung tahu benar ke mana ujung ce-
meti Kidangkancana itu hendak menyambar. Sedang-
kan Kudawulung sendiri terikat oleh jiwa ksatrianya,
untuk tidak ikut campur ke dalam pertarungan itu,
sebelum Rangga benar-benar roboh di ujung cemeti
lawannya.
Nilamsari secepatnya mau bergerak untuk meno-
long Rangga. Tapi Kudawulung menarik pergelangan
tangannya, tanpa bicara sepatah pun. Maksud Kuda-
wulung tak lain, bahwa ia tidak akan berusaha mem-
biarkan muridnya main keroyok, terlebih lagi terhadap
orang yang dihormatinya sebagai seorang sahabat.
Cemeti Kidangkancana sudah menyambar ke arah
urat yang paling berbahaya di bawah dagu Rangga,
pada saat Rangga masih berdiri kaku dan beku.
Namun tepat pada saat yang sangat kritis itulah,
secara tiba-tiba saja si Jambon mengepakkan sayap-
nya sambil melesak ke arah Kidangkancana. Hal ini
benar-benar di luar dugaan Kidangkancana, karena
tadinya ia mengira si Jambon hanya seekor burung
“blo’on”, meskipun ia tahu bahwa jenis burung seperti
itu baru sekali ini dilihatnya.
Dan yang sangat tidak diduga oleh Kidangkancana,
adalah bahwa terjangan si Jambon demikian dahsyat-
nya... bahkan jauh lebih dahsyat daripada terjangan
Rangga!
Maka ketika Kidangkancana menarik cemetinya se-
cepat kilat, lalu mengalihkan sambaran cemeti itu ke
arah si Jambon... terjadilah sesuatu yang menge-
jutkan. Cemeti itu memang berhasil menghantam dada
si Jambon. Tapi justru Kidangkancana sendiri yang
terpental jauh... jauh sekali... sehingga terjerumus ke
arah lereng di sebelah timur!
“Waaaaaak...!” si Jambon mengeluarkan teriakan
nyaring, sambil terbang ke arah timur.
Kudawulung dan Nilamsari terbengong-bengong,
karena baru sekali itu mereka menyaksikan kehebatan
seekor burung, sehingga dengan begitu mudahnya Ki-
dangkancana dibuat terpental ke lereng gunung.
Pada saat berikutnya, mereka menyaksikan sesuatu
yang mencengangkan lagi. Bahwa burung raksasa itu
datang lagi, sambil mencengkeram tubuh Kidangkan-
cana yang tiada berdaya lagi!
Si Jambon menggeletakkan Kidangkancana di de-
pan Rangga, kemudian mengeluskan patuknya ke da-
da Rangga dan... tiba-tiba saja Rangga bisa bergerak
lagi seperti biasa!
Semuanya itu terjadi dalam tempo yang sangat
singkat, sehingga baik Kudawulung maupun Nilamsari
hanya ternganga dan terbelalak.
Rangga berjongkok di dekat Kidangkancana, untuk
meneliti apa yang diderita oleh guru Nyi Tiwi itu. Ter-
nyata Kidangkancana mengalami luka dalam di bagian
dadanya, sebagai akibat tolakan tenaga gaibnya sendiri
yang dibalikkan oleh si Jambon tadi.
Tapi tiba-tiba saja Kidangkancana bangkit dengan
wajah pucat pasi. Memandang Rangga dengan tatapan
berapi-api.
Sebenarnya Rangga bermaksud menolong Kidang-
kancana untuk memulihkan luka dalamnya. Namun
Kidangkancana bangkit, menyapukan pandangannya
ke setiap orang yang ada di puncak Gunung Limaga-
gak itu, lalu berkata tajam, “Dengan mengandalkan
burung celaka itu, kalian telah mencoreng mukaku
dengan sesuatu yang tak mungkin kulupakan! Pada
saat lain aku akan datang lagi ke sini, untuk membuat
perhitungan!”
“Kidangkancana,” seru Kudawulung, “sebenarnya
tiap persoalan di antara kita, bisa kita selesaikan seca-
ra baik-baik. Tapi Andika memilih jalan yang keliru.
Aku hanya berharap semoga tidak akan ada dendam di
antara kita, yang pada akhirnya...”
Kudawulung tidak melanjutkan kata-katanya, kare-
na Kidangkancana telah meninggalkan puncak gunung
itu sambil memegangi dadanya yang terluka parah.
Kudawulung menghela napas panjang. Melirik ke
arah Rangga, ke arah Nilamsari, ke arah si Jambon
dan ke arah Kidangkancana yang sudah jauh mening-
galkan puncak gunung itu.
Agak lama puncak Gunung Limagagak dicengkeram
keheningan. Tak seorang pun yang mengeluarkan sua-
ra.
***
SEKARANG ceritakanlah apa sebenarnya yang telah
terjadi?” tanya Kudawulung setelah cukup lama
membisu.
Rangga lalu menceritakan apa yang telah diala-
minya, sejak berpisah dengan gurunya di tepi Sungai
Cigelung, sampai ke pertemuannya dengan Bagawan
Suwandarama di Nusa Aheng.
Kudawulung mendengarkan penuturan muridnya
dengan penuh perhatian. Demikian pula Nilamsari,
ikut mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Setelah Rangga selesai menuturkan pengalaman-
nya, Kudawulung berkata, “Engkau bernasib baik...
sangat baik, Rangga. Aku saja yang sudah tua begini,
belum pernah berjumpa dengan sang Astrabaya, terle-
bih lagi dengan Bagawan Suwandarama.”
“Tapi,” lanjut Kudawulung, “tampaknya engkau
akan menghadapi tugas yang berat... mengenai anak-
mu dan mengenai mestika lidah naga itu. Untunglah
Bagawan Suwandarama telah menganugerahi senjata
pusaka itu. Engkau juga beruntung, karena sekarang
telah mempunyai teman yang begitu perkasa,” kata
Kudawulung lagi, sambil menunjuk ke arah si Jambon
yang tengah mendekam di atas sebuah batu besar.
“Tapi ganjalan di hati Kidangkancana itu, entah ba-
gaimana cara menghilangkannya,” kata Rangga.
Kudawulung menghela napas panjang. Lalu ka-
tanya, “Memang kurang enak bermusuhan dengan to-
koh jujur seperti Kidangkancana. Tapi biarlah... aku
akan berusaha mencari muridnya, sekaligus untuk
menjernihkan perselisihan yang tak perlu terjadi ini.”
Kemudian Kudawulung menoleh ke arah Nilamsari,
dengan senyum dan kata-kata, “Sekarang jelas, bu-
kan?! Rangga tidak mencintai murid Kidangkancana
itu. Apakah kecemasanmu sudah punah?”
Nilamsari tersipu-sipu, lalu menunduk malu.
Rangga agak heran dan bertanya, “Ada apa dengan
dia?”
Sahut Kudawulung, “Hahahahaaaa... selama ini Ni-
lamsarilah yang paling cemas memikirkan dirimu,
Rangga.”
“Ah, Rama Guru...!” Nilamsari berseru perlahan, la-
lu menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan-
nya dan... tiba-tiba saja ia berlari ke balik pohon di se-
belah timur sana.
“Ada apa sebenarnya, Rama Guru?” tanya Rangga
lagi, heran.
“Anak goblok!” bentak Kudawulung. “Dia mencintai-
mu, tahu?!”
Rangga terbelalak.
“Dia sempat tercemas-cemas tadi,” kata Kudawu-
lung. “Karena Kidangkancana bilang, bahwa kau men-
cintai muridnya.”
Rangga terdiam.
“Ayo cepat hampiri dia,” perintah Kudawulung. “Ka-
takan padanya bahwa kau tidak mencintai murid Ki-
dangkancana. Katakan pula bahwa kau hanya mencin-
tai dia seorang.”
Rangga terlongong-longong lagi. Pikirnya. “Bagaima-
na Rama Guru ini?! Masa aku didikte dalam soal cin-
ta? Ah... kematian Tineng masih membelenggu pera-
saanku. Tineng memang tidak secantik Nilamsari. Tapi
waktu Tineng mati, aku masih terlalu mencintainya.
Mungkinkah aku bisa melupakan Tineng yang pernah
hidup bersama denganku?”
Seperti mengerti apa yang dirasakan oleh muridnya,
Kudawulung lalu berkata, “Lupakanlah istrimu yang
sudah mati itu. Engkau masih terlalu muda untuk hi-
dup sendirian begitu, Rangga. Terimalah putri men-
diang Adipati Wiralaga itu. Kurasa dia mencintaimu
dengan tulus.”
Sahut Rangga, “Aku memang masih terlalu sering
dihantui bayang-bayang wajah istriku, Rama Guru.”
“Lantas apa yang akan kau perbuat dengan istrimu
yang sudah tiada itu? Apakah kau bisa menghidupkan
kembali orang yang sudah mati?” tanya Kudawulung
sambil memegang bahu Rangga. “Sudahlah... lupakan
masa lalumu dan hadapi masa depanmu dengan se-
mangat baru.”
Akhirnya Rangga melangkah dengan bimbang, ke
arah pohon rindang di sebelah timur itu, di mana Ni-
lamsari sedang duduk termangu-mangu.
Ketika Rangga datang dan duduk di samping Nilam-
sari, tampak gugup putri mendiang Adipati Wiralaga
itu.
Dan Rangga bertanya lugu, “Benarkah apa yang di-
katakan oleh guru kita itu?”
Nilamsari semakin gugup. “A... apanya yang benar?”
“Guru kita bilang, kau mencintaiku. Apakah itu be-
nar?”
Nilamsari tersipu. Memandang ke arah timur sana.
Lalu sahutnya, “Entahlah... mungkin juga benar....”
“Tapi kau sudah tahu siapa aku, bukan?”
“Maksud... mm... maksud Kang Rangga?”
“Aku ini bukan bujangan lagi. Aku pernah punya is-
tri, sudah punya anak. Dan sekarang anakku... ah...
justru aku sedang pusing memikirkan itu... seandainya
dia benar-benar lain dari manusia biasa, apakah kau
bersedia menerima dan menyayanginya seperti kepada
anak kandungmu sendiri?”
Nilamsari menatap wajah Rangga, lalu membuang
muka, dan lalu mengangguk perlahan.
Tapi Rangga belum puas juga. Tanyanya lagi, “Kau
tidak akan menyesal karena mencintai lelaki keturu-
nan rakyat biasa, sementara kau sendiri keturunan
adipati yang...”
“Jangan kau sebut-sebut lagi soal keturunan,” ser-
gah Nilamsari. “Aku sudah bukan anak adipati lagi,
Kang.”
“Tapi darah yang mengalir di tubuhmu, tetap darah
ningrat. Tidak sama dengan darah yang mengalir di
tubuhku,” kata Rangga.
Tiba-tiba saja Nilamsari menggenggam pergelangan
tangan Rangga, sambil berkata perlahan, “Jangan bi-
carakan lagi soal keturunan. Sekarang kedudukan kita
sama-sama murid Kudawulung. Itu saja. Dan aku...
aku memang... ah... entahlah... selama ini aku sering
memikirkanmu, Kang.”
Rangga memegang tangan lembut dan hangat itu.
Dan kata Rangga, “Aku senang sekali mendengarnya.
Tapi untuk sementara ini, sebaiknya kita memusatkan
tenaga dan pikiran kita terhadap ilmu yang sedang kita
pelajari.”
“Jadi... Kang Rangga menerimaku?” tanya Nilamsari
perlahan, hampir tak terdengar.
Rangga mengangguk dengan senyum.
O, bahagianya hati Nilamsari saat itu!
Namun benak Rangga saat itu sedang digayuti oleh
bermacam-macam pikiran, terutama mengenai anak-
nya yang kata Bagawan Suwandarama ‘dirasuki suk-
ma Naga Taksaka’ itu.
Ketika sepasang manusia muda itu sedang tengge-
lam dalam terawangannya masing-masing, terdengar
suara Kudawulung memanggil mereka.
Bergegas mereka menghampiri guru mereka.
Dan kata Kudawulung, “Bagaimanapun juga Ki-
dangkancana itu kawan sealiran dengan kita, yang
sama-sama menjunjung tinggi kebenaran. Karena itu,
aku mau pergi ke Tegalinten, untuk menyelidiki benar-
tidaknya berita tentang tertangkapnya murid Kidang-
kancana itu. Mudah-mudahan saja bantuanku nanti
akan mencairkan kembali hubungan baik kita dengan
Kidangkancana.”
“Tapi... seharusnya aku yang pergi menyelidik ke
sana,” kata Rangga. “Karena sedikit banyaknya aku tu-
rut bertanggungjawab atas diri murid Kidangkancana
itu.”
“Tidak,” tolak Kudawulung. “Engkau harus mema-
tuhi petunjuk Bagawan Suwandarama. Pelajarilah ilmu
pedang yang dianugerahkan padamu itu, lalu carilah
anakmu dan dapatkan mestika lidah naga itu. Kalau
semuanya itu sudah kau selesaikan, barulah kau bo-
leh memikirkan soal-soal lain.”
Kemudian Kudawulung mengelus rambut Nilamsari,
sambil berkata, “Latihlah kembali setiap pelajaran
yang telah kuturunkan padamu. Kalau ada hal-hal
yang menyulitkanmu, mintalah petunjuk pada mmm...
pada kekasihmu ini.”
Nilamsari tersipu-sipu mendengar kata ‘kekasihmu’
itu. Tapi lalu ia menyahut, “Baiklah, Rama Guru. Aku
akan melatih diri segiat mungkin.”
Baru saja selesai Nilamsari berkata, tiba-tiba hilan-
glah Kudawulung dari pandangannya. Hanya suaranya
yang masih terdengar: “Berbahagialah kalian! Tapi
hindarkanlah perbuatan-perbuatan tercela, sebelum
kalian diresmikan menjadi suami-istri...!”
***
Setelah Kudawulung berlalu, perhatian Rangga lalu
tertumpah ke kotak panjang yang masih dijaga oleh si
Jambon itu. Lalu diambilnya kotak itu dan dibukanya
tutupnya.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah kitab kecil dan
sebuah bungkusan panjang yang Rangga yakini seba-
gai pedang Saptaraga.
Rangga mengikuti pesan sang Astrabaya, supaya
jangan menyentuh dulu pedang Saptaraga sebelum
menguasai ilmu pedangnya. Maka setelah mengelua-
rkan kitabnya, Rangga menutupkan kembali tutup ko-
tak itu dan mengembalikannya pada si Jambon. “Pe-
dang itu belum boleh kusentuh. Kuharap kau menja-
ganya baik-baik, Jambon.”
“Kaaaaak...!” burung raksasa itu mengangguk.
Dan Rangga mulai membuka kitab itu, sementara
Nilamsari masuk ke dalam gua di perut Gunung Lima-
gagak, untuk memasakkan nasi bagi Rangga.
***
SELESAI Prabalaya berkuasa di Kawahsuling, seba-
gai pengganti mendiang Adipati Natajaya, keadaan
di kota kadipaten itu benar-benar menyedihkan. Adi-
pati Prabalaya mengubah kota yang kecil tapi indah
itu, menjadi kota yang tak ubahnya neraka bagi ra-
kyatnya.
Kekejaman demi kekejaman melanda Kawahsuling,
sehingga rakyat yang tinggal di daerah kekuasaan Adi-
pati Prabalaya itu, senantiasa dicengkeram ketakutan
yang amat sangat.
Tadinya rakyat Kawahsuling sudah gembira ketika
mereka mendengar binasanya Adipati Natajaya di kota-
raja. Kemudian mereka berharap agar Kawahsuling di-
pimpin oleh adipati yang bijaksana. Tapi ternyata
orang yang menggantikan mendiang Adipati Natajaya,
jauh lebih kejam lagi.
Sejak Prabalaya diangkat menjadi adipati, rakyat
Kawahsuling seakan-akan dipimpin oleh iblis bertubuh
manusia. Kalau ada rakyat yang melakukan kesalahan
sedikit saja, hukumannya sudah pasti... leher dipeng-
gal, kemudian kepalanya digantungkan di dahan po-
hon rindang yang tumbuh di tengah alun-alun!
Pajak daerah dinaikkan berlipat ganda dan ditarik
tiap bulan. Rakyat yang berani menunggak pajak, hu-
kumannya sudah pasti... tanah garapan dan harta mi-
liknya disita. Dan mereka yang berani membangkang,
hukumannya pun sudah pasti: potong leher...
plassssh!
Sementara itu Adipati Prabalaya sudah mulai me-
numpuk harta sebanyak-banyaknya, demi kepentingan
pribadinya dan demi kepentingan golongan hitam yang
dipimpin oleh ayahnya (Prabaseta).
Seperti saudara perempuannya, Adipati Prabalaya
pun mempunyai kegilaan tersendiri terhadap lawan je-
nisnya. Baru saja sebulan diangkat menjadi adipati di
Kawahsuling, ia langsung memperistrikan tujuh orang
gadis pilihannya, sekaligus. Dan tak cukup dengan itu
saja, tiap malam ia membutuhkan ‘hiburan’ berupa tu-
buh-tubuh molek dan menggiurkan. Maka sibuklah
para kaki tangannya berkeliaran mencari calon korban
untuk dipersembahkan kepada sang Adipati.
Kalau Adipati Prabalaya sudah menghendaki pe-
rempuan baru, untuk dijadikan pelampiasan kebina-
tangannya, maka ia takkan peduli apakah perempuan
itu sudah punya calon suami atau tidak... disabet te-
rus. Bahkan wanita-wanita bersuami pun seringkali
menjadi korban kebinatangan Adipati Prabalaya!
Maka dalam tempo tiga bulan saja, sudah berpuluh-
puluh wanita menjadi korban kebinatangan Adipati
Prabalaya.
Hal itu sempat mencemaskan ayah Prabalaya sen-
diri. Pernah pada satu hari Prabaseta menasihati anak-
nya itu: “Jangan terlalu memperturutkan nafsumu,
anakku. Engkau memang sudah berkuasa di Kawah-
suling ini. Takkan ada seorang pun yang berani merin-
tangi hasratmu. Namun ingatlah, kalau sampai hal ini
tercium oleh orang-orang kerajaan, bukan tak mung-
kin kerajaan akan mencopot kedudukanmu, kemudian
orang lain akan menggantikanmu. Inilah yang kuce-
maskan.”
Namun Adipati Prabalaya tidak mau mendengarkan
nasihat ayahnya itu. Kekejaman dan nafsu binatang-
nya bahkan semakin merajalela. Dan Kawahsuling
menjadi daerah yang sangat mengerikan, baik bagi
pembayar pajak maupun bagi wanita-wanita yang ber-
paras ‘lebih dari lumayan’.
Dari hari ke hari, kekejaman dan kebinatangan Adi-
pati Prabalaya semakin merajalela. Sehingga rakyat
Kawahsuling semakin dicengkeram keresahan dan ke-
takutan. Dan Adipati Prabalaya tidak peduli dengan
apa pun yang terjadi sebagai akibat dari tindakan-
tindakannya.
Tapi Adipati Prabalaya melupakan satu hal. Bahwa
jika suatu ketakutan sudah melewati batasnya, maka
ketakutan itu sendiri akan menjadi suatu keberanian.
Bahwa jika seseorang disiksa sampai melewati batas
rasa sakit yang paling tinggi, maka orang itu tidak
akan merasa sakit lagi.
Hal itu lalu terjadi di Kawahsuling.
Setelah rakyat Kawahsuling merasa bahwa perlaku-
an Adipati Prabalaya dan kaki tangannya, sudah me-
lewati batas-batas perikemanusiaan, mereka lalu sal-
ing bisik.
“Besok pagi kita berkumpul di tepi Cigelung.”
“Besok pagi?”
“Ya. Kita tidak dapat membiarkan diri kita terus-
menerus dijadikan korban keganasan adipati yang ba-
ru itu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Entahlah, tergantung pada keputusan besok pagi
saja. Pokoknya semua kita putuskan bersama.”
“Baik, besok kami akan datang.”
“Ingat... perginya jangan beramai-ramai, supaya ti-
dak menarik perhatian prajurit-prajurit kadipaten.”
Dan... begitulah, besok paginya (sejak hari masih
gelap benar) rakyat Kawahsuling berangkat ke tepi Ci-
gelung. Kepergian mereka dari rumah masing-masing,
tidak menarik perhatian, karena mereka meninggalkan
rumahnya seorang demi seorang.
Ketika matahari sepenggalah tingginya, rakyat Ka-
wahsuling sudah berkumpul semuanya di tepi Sungai
Cigelung. Laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-
anak, berkumpul semua di tepi sungai yang letaknya
cukup jauh dari kota kadipaten itu.
Di situlah mereka mengadakan pembicaraan dari
hati ke hati, untuk memperbincangkan Adipati Praba-
laya dan langkah-langkah yang akan mereka ambil.
Dalam musyawarah itu, seorang pemuda bernama
Sumirat, berkata dengan lantang dan berapi-api. “Kita
tidak bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut! Kita
punya tiga pilihan. Pertama, mati dalam kekejaman
Adipati Prabalaya. Kedua, mati dalam perjuangan suci
membela kebenaran dan keadilan. Ketiga, menang da-
lam perjuangan dan Adipati Prabalaya terbunuh di
tangan kita! Marilah kita putuskan sekarang juga
langkah mana yang akan kita tempuh! Apakah kita
mau membiarkan diri kita diperas sampai mampus,
atau secepat mungkin kita bertindak dengan cara kita
sendiri! Dan usulku... kita serbu istana kadipaten se-
karang juga! Kita bakar bangunan yang sudah menjadi
tempat maksiat itu! Kita habisi keluarga Adipati Praba-
laya sampai tuntas!”
Tepuk tangan riuh menyambut usul Sumirat yang
dianggap sebagai ‘kejutan’ itu. Tapi seorang lelaki tua
bernama Targana, maju ke muka dan berkata dengan
nada yang tenang. “Apa pun langkah yang akan kita
ambil, hendaknya jangan sampai dianggap menentang
kerajaan. Selain daripada itu, kita pun harus memper-
hitungkan kekuatan Adipati Prabalaya. Perjuangan da-
lam menegakkan keadilan dan kebenaran, memang
suatu langkah yang mulia. Tapi janganlah kita sampai
mati konyol dalam perjuangan yang terburu-buru...”
Belum habis Targana bicara, seorang pemuda nyele-
tuk. “Mang Targana! Perjuangan yang terlalu banyak
menghitung ini dan itu, bukan perjuangan lagi na-
manya. Yang begitu lebih tepat disebut perjulingan!”
(Editor: perjulingan? Apa artinya?)
“Hihihihihi...!” terdengar tawa geli di sana-sini.
“Dengar dulu,” seru Targana sambil mengangkat ta-
ngannya. “Sebelum aku selesai bicara, kuharap kalian
jangan dulu memotongnya. Nanti toh semuanya kita
putuskan bersama-sama. Dan kalau akhirnya usul Su-
mirat yang harus diterima, aku pun akan mengiku-
tinya. Tapi dengarlah dulu saran-saranku!”
Hadirin terdiam.
Targana melanjutkan. “Salah satu hal yang harus
kita perhitungkan, adalah munculnya orang-orang ba-
ru di Kawahsuling. Menurut desas-desus, mereka itu
berasal dari golongan hitam, yang kini akan menjadi
pendukung setia Adipati Prabalaya. Menurut desas-
desus pula, mereka itu orang-orang terlatih, yang su-
dah biasa dengan segala macam kekerasan. Sedang-
kan kita? Berapa orang di antara kita yang mampu
melakukan kekerasan dengan hasil yang meyakin-
kan?”
Hadirin terdiam dan saling pandang.
Kata Targana lagi. “Selain daripada itu, wanita dan
anak-anak harus kita pertimbangkan pula. Kalau kita
mati terlalu cepat, siapa yang akan mengurusi mere-
ka?”
Sumirat berdiri dan berkata lantang. “Mang Targa-
na! Sebaiknya Mang Targana bicara langsung pada sa-
sarannya! Apa yang akan diusulkan oleh Mang Targa-
na?”
Targana menjawab. “Menurut pendapatku, lebih
baik kita mengungsi saja.”
“Mengungsi?!” gumam hadirin.
“Ya,” sahut Targana. “Sebaiknya kita tinggalkan saja
Kawahsuling yang terus-terusan mengalirkan keseng-
saraan itu. Kemudian kita cari tanah baru, daerah ba-
ru, yang mudah-mudahan mendatangkan harapan ba-
ru pula di hati kita.”
Seorang lelaki yang sebaya dengan Targana, berdiri
dan berkata. “Aku setuju dengan usul Targana! Kita te-
lah berkali-kali ganti adipati, tapi ternyata Kawahsul-
ing tidak memberikan apa-apa bagi kita, selain keseng-
saraan, keresahan dan kecemasan. Mudah-mudahan
di tempat yang baru nanti, kita akan memperoleh kehi-
dupan yang layak, dihargai pula sebagai manusia de-
ngan segala haknya.”
Sumirat tetap bersikeras dengan usulnya. “Tidak!
Kita tidak boleh mundur begitu! Kalau kita tinggalkan
Kawahsuling, Adipati Prabalaya keenakan! Tanah kita,
rumah kita, tanam-tanaman kita... semuanya akan
dimilikinya! Sedangkan kita, masih akan mencari-cari
daerah baru yang belum tentu memberikan kesenan-
gan bagi kita!”
Targana menyanggah. “Taruh katalah tanah, rumah
dan tanam-tanaman kita lalu dimiliki oleh Adipati Pra-
balaya. Lalu siapa yang akan menggarapnya kalau Ka-
wahsuling sudah menjadi daerah tak berpenduduk?”
“Betul juga kata Mang Targana itu,” kata salah seo-
rang pemuda yang mulai tertarik oleh usul Targana.
“Orang-orang dari golongan hitam itu tidak mungkin
mampu menggarap sawah dan mengurus tanam-ta-
naman lainnya. Setelah kita tinggalkan, Kawahsuling
akan menjadi hutan belantara. Dan akhirnya Adipati
Prabalaya pun akan sadar, bahwa tanpa rakyat... seo-
rang raja pun akan menderita dibuatnya! Aku setuju
usul Mang Targana!”
“Ya, aku juga setuju usul Mang Targana!” seru lelaki
yang lain.
Dan lalu sebagian besar dari rakyat Kawahsuling
yang berkumpul di tepi Sungai Cigelung itu, menyata-
kan setuju terhadap usul Targana.
Akhirnya Sumirat pun berkata. “Kalau memang itu
jalan yang terbaik bagi kita semua, aku pun akan me-
ngalah dan mengikuti usul Mang Targana. Tapi ke ma-
na kita akan mengungsi?”
Sahut Targana, “Hal itu tidak bisa kita tentukan se-
karang. Nanti, dalam perjalanan mengungsi itulah kita
akan bisa memilih-milih daerah mana yang tepat dija-
dikan tempat baru kita. Pokoknya kita bawa barang ki-
ta masing-masing, kemudian marilah kita tempuh sua-
tu perjalanan panjang, sampai kita temukan daerah
yang membawa harapan baru itu!”
“Perjalanan pengungsian itu pasti penuh penderita-
an. Mungkin saja kita akan mati kelaparan sebelum
berhasil mencapai daerah yang sesuai dengan keingi-
nan kita,” kata salah seorang rakyat Kawahsuling.
“Ya,” sahut Targana tegar. “Hal itu sangat mungkin
terjadi. Tapi anggaplah kemungkinan seperti itu, seba-
gai resiko dari suatu perjuangan. Dan mudah-
mudahan saja hal seperti itu tidak akan terjadi.”
***
Demikianlah... musyawarah rakyat Kawahsuling di
tepi Sungai Cigelung itu, akhirnya mencapai kata se-
pakat... bahwa mereka akan meninggalkan Kawahsul-
ing yang penuh dengan kesengsaraan itu.
Pada hari itu juga mereka memutuskan untuk men-
gungsi ke selatan, kemudian jika mereka telah sampai
pada satu titik di sebelah selatan, mereka akan berge-
rak ke arah timur. Jalan memutar itu terpaksa mereka
ambil, supaya jangan diketahui oleh kaki tangan Adi-
pati Prabalaya yang pada umumnya sering mengambil
jalan utara sebelum menuju ke arah timur (kotaraja
Tegalinten terletak di sebelah timur Kawahsuling).
Tanpa disadari, keputusan itu merupakan ‘langkah
selamat’ bagi mereka. Karena kalau mereka mengambil
jalan langsung ke timur ataupun berangkat ke utara
dulu, berarti mereka harus melewati Tilugalur yang
masih diselimuti misteri itu.
Demikianlah... pada hari yang telah ditentukan, ra-
kyat Kawahsuling meninggalkan rumahnya masing-
masing, menuju ke selatan. Seperti waktu mau men-
gadakan musyawarah di tepi Cigelung, kali ini pun me-
reka bergerak secara diam-diam, tanpa diketahui oleh
kaki-tangan Adipati Prabalaya.
***
ADIPATI Prabalaya bersila di atas permadani ruang
cengkerama, dikelilingi oleh sembilan orang gundik
yang genit-genit. Sesekali terdengar tawa geli para gun-
dik itu, manakala sang Adipati menyentuh bagian peka
di tubuh mereka. Lalu terdengar pula gelak tawa sang
Adipati, gelak tawa manusia iblis yang sudah terlalu
banyak mencucurkan darah rakyat Kawahsuling.
Tiba-tiba seorang prajurit kadipaten datang meng-
hadap, membuat dahi sang Adipati berkerut, karena
merasa terganggu oleh kehadiran prajurit itu.
“Ada apa?!” bentak Adipati Prabalaya.
“Ampun, Kanjeng Adipati. Hamba bermaksud meng-
haturkan berita yang aneh,” sahut prajurit itu sambil
menyembah.
“Berita apa?” tanya Adipati Prabalaya, masih den-
gan suara membentak.
Prajurit itu menjawab, “Rumah-rumah di seluruh
Kawahsuling tampak kosong. Tak seorang rakyat pun
berada di rumahnya. Bahkan anak-anak pun tidak ada
yang menampakkan diri.”
“Lalu?”
“Lalu hamba masuk ke rumah-rumah yang kosong
itu. Dan ternyata barang-barang mereka pun tidak
ada. Hamba takut kalau-kalau mereka sedang mem-
persiapkan sesuatu, Kanjeng Dipati.”
Adipati Prabalaya mulai menanggapi berita itu de-
ngan sungguh-sungguh. “Apakah semua rumah sudah
digeledah?”
“Belum,” sahut prajurit itu. “Tapi sudah cukup ba-
nyak rumah yang hamba geledah. Dan semuanya ko-
song melompong. Tidak ada pakaian, tidak ada periuk
nasi, tidak ada...”
“Cukup!” potong Adipati Prabalaya. “Sekarang kum-
pulkan seluruh prajurit kadipaten di alun-alun!”
“Baik, Kanjeng Dipati. Hamba akan segera melak-
sanakan titah Kanjeng Dipati,” prajurit itu melangkah
mundur (dengan lutut), lalu meninggalkan ruang
cengkerama.
Tak lama kemudian, prajurit-prajurit kadipaten ber-
kumpul di alun-alun. Jumlah mereka sangat banyak
untuk ukuran zaman itu. Dahulu, waktu Kawahsuling
masih dipimpin oleh Adipati Wiralaga, prajurit-prajurit
kadipaten hanya berjumlah duapuluh orang. Setelah
Adipati Natajaya berkuasa, jumlahnya meningkat men-
jadi seratus limapuluh orang. Dan setelah daerah Ka-
wahsuling dikuasai oleh Adipati Prabalaya, jumlah pra-
jurit-prajurit kadipaten meningkat lagi, menjadi tujuh-
ratus orang!
Dari mana Adipati Prabalaya bisa mendapatkan
prajurit sebanyak itu? Bukankah pada zaman itu ma-
sih sulit mencari tenaga kerja yang bersedia dijadikan
prajurit?
Sebenarnya banyak prajurit baru yang diangkat
oleh Adipati Prabalaya, sebagai hasil ‘rekrut’ dari go-
longan hitam. Mereka yang berasal dari golongan hi-
tam itu, justru lebih banyak daripada prajurit-prajurit
yang berasal dari Kawahsuling sendiri.
Di samping tujuan-tujuan pribadinya, Adipati Pra-
balaya pun bertujuan merekrut golongan hitam seba-
nyak-banyaknya, untuk bergabung dalam barisan ka-
dipaten. Bahkan secara diam-diam Adipati Prabalaya
ingin memiliki balatentara yang sama besarnya dengan
balatentara kerajaan!
Apakah Adipati Prabalaya memiliki ambisi terselu-
bung untuk ‘mengembangkan’ Kadipaten Kawahsuling
menjadi kerajaan?
Ya, ambisi itu memang ada di hati Adipati Praba-
laya. Bahkan secara diam-diam ia pernah merunding-
kan hal itu dengan saudaranya (Senapati Prabayani).
Maka kalau ambisi Adipati Prabalaya diperhitung-
kan, sebenarnya Kerajaan Tegalinten sedang berada
dalam bahaya. Dan bahaya itu tidak hanya berada dari
Kawahsuling, melainkan juga berasal dari dalam istana
sendiri!
***
Setelah prajurit-prajurit kadipaten berkumpul di alun-
alun, Adipati Prabalaya muncul di depan mereka.
Kemudian terdengar suara sang Adipati.
“Kalian semua kukumpulkan, karena aku mende-
ngar laporan tentang kosongnya rumah-rumah pendu-
duk di daerah Kawahsuling ini. Untuk menjaga segala
kemungkinan, kuperintahkan kalian agar mengadakan
penyelidikan secara seksama, di mana sebenarnya ra-
kyat Kawahsuling berada sekarang. Seandainya ada
gejala-gejala bahwa mereka sedang merencanakan
pemberontakan, tumpas mereka, tak usah menunggu
perintah lagi. Tapi dalam hal ini hendaknya kalian ber-
tindak hati-hati, karena mungkin saja ada pihak luar
yang sedang berusaha menunggangi mereka.”
Kemudian Adipati Prabalaya berbicara panjang le-
bar, tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh
para prajurit kadipaten yang berjumlah tujuhratus
orang itu.
Ketika Adipati Prabalaya sedang berbicara di depan
prajurit-prajuritnya, tak seorang pun di antara mereka
yang menyadari bahwa sesuatu yang aneh sedang ter-
jadi di alun-alun itu.
Di belakang barisan prajurit kadipaten itu, tanah-
nya retak-retak... lalu tampak sebuah mulut lubang
sebesar kepalan tangan. Dan mulut lubang itu mem-
besar dengan dengan cepatnya, tapi tidak menimbul-
kan suara sedikit pun. Dalam waktu singkat saja mu-
lut lubang itu sudah cukup besar, cukup untuk dima-
suki oleh tubuh manusia dewasa.
Dan... di mulut lubang itu tampak sepasang mata
berkeliaran, seperti mencari sesuatu di atas permu-
kaan tanah alun-alun.
Lalu terjadilah sesuatu yang berlangsung demikian
cepatnya, sehingga baik prajurit-prajurit kadipaten
maupun Adipati Prabalaya sendiri, tidak menyadari hal
itu. Bahwa dari mulut lubang itu muncul ujung lidah
yang bercabang... menjulur dengan cepatnya ke luar...
demikian panjangnya, sehingga bisa mencapai dahi-
dahi tujuhratus orang prajurit yang sedang berbaris di
alun-alun itu. Kemudian... plop... lidah yang sangat
panjang seperti pita berpuluh-puluh meter itu, masuk
kembali ke dalam lubang tadi. Dan lubang itu pun ter-
tutup kembali, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Kejadian misterius berlangsung dalam tempo yang
sangat cepat, sehingga Adipati Prabalaya yang sedang
berbicara di panggung khusus, sama sekali tidak me-
nyadarinya.
Adipati Prabalaya bahkan melanjutkan kata-
katanya, yang sudah sampai pada perintah terakhir:
“Sekarang kalian harus membagi diri menjadi empat
kelompok. Kelompok pertama bergerak ke arah utara,
kelompok kedua bergerak ke arah selatan, kelompok
ketiga bergerak ke arah barat dan kelompok keempat
bergerak ke arah timur....”
Adipati Prabalaya tidak melanjutkan kata-katanya,
karena tiba-tiba saja ketujuh ratus prajurit kadipaten
itu ambruk ke tanah!
Adipati Prabalaya terkejut sekali, lalu melompat ke
bawah panggung dan berlari memburu prajurit-
prajuritnya yang sudah bergeletakan di tanah itu.
“Kenapa kalian? Kenapa?” Adipati Prabalaya meme-
riksa prajurit-prajuritnya dengan gugup dan panik.
Dan semakin panik sang Adipati, setelah diketahui-
nya bahwa seluruh prajurit kadipaten yang berjumlah
tujuhratus orang itu... tak bernyawa lagi!
“Oh... oh... oh... apa yang telah terjadi ini? Mung-
kinkah ada seseorang yang berilmu demikian ting-
ginya, sehingga mampu membinasakan tujuhratus
orang dalam tempo sekejap mata saja?!” gumam Adipa-
ti Prabalaya dengan tubuh gemetaran.
Adipati Prabalaya memang sudah cukup lama ber-
kecimpung di dunia kekerasan. Namun baru sekali itu
ia mengalami kejadian yang demikian ganjil dan me-
nyeramkan.
Maka setelah sadar bahwa ia merupakan satu-satu-
nya orang yang masih hidup di alun-alun itu, secepat-
nya ia berlari ke istana kadipaten.
Dengan nafas terengah-engah Adipati Prabalaya
memanggil para penjaga istana kadipaten yang jum-
lahnya limabelas orang. Tinggal limabelas orang itulah
prajurit yang masih hidup di Kawahsuling.
“Sesuatu yang aneh telah terjadi,” kata Adipati Pra-
balaya. “Tanpa diketahui sebabnya, prajurit-prajurit
kadipaten yang berkumpul di alun-alun, binasa selu-
ruhnya.”
Kelimabelas penjaga istana kadipaten itu terperan-
jat, lalu saling pandang di antara mereka sendiri.
“Untuk mengurus mayat yang begitu banyaknya,
tentu kalian akan menemui kesulitan,” lanjut Adipati
Prabalaya. “Karena itu, buang saja mayat mereka ke
Sungai Cigelung. Ayo kerjakan perintah ini secepat-
nya!”
***
HARI itu istana Kadipaten Kawahsuling mendapat
kunjungan tokoh-tokoh golongan hitam tingkat
tinggi. Mereka yang berdatangan ke istana itu, adalah
pemimpin perampok, para pembunuh berdarah dingin,
pemimpin kepercayaan sesat dan sebagainya. Mereka
mendapat undangan kilat dari Adipati Prabalaya yang
diperkuat oleh undangan Prabaseta.
Maka dapatlah dibayangkan betapa menyeramkan-
nya tampang orang-orang yang sudah berkumpul di
dalam ruangan rahasia istana kadipaten itu.
Adipati Prabalaya sengaja mengundang mereka se-
mua, setelah berunding dengan ayahnya terlebih da-
hulu, untuk meminta bantuan dalam memecahkan
masalah-masalah aneh yang tengah dihadapinya. Hal
itu diungkapkannya, ketika sang Adipati berbicara di
depan tamu-tamu undangannya!
“Kawan-kawan sealiran! Hari ini aku mengundang
kawan-kawan sekalian, karena walaupun aku sudah
menjadi seorang adipati, aku tidak bisa melepaskan
ikatan dengan kawan-kawan semua!”
Terdengar tepuk tangan riuh para hadirin, yang me-
rasa senang mendengar bahwa Adipati Prabalaya tidak
bisa melepaskan ikatan dengan mereka.
Kemudian Adipati Prabalaya mengungkapkan peris-
tiwa yang telah terjadi di Kawahsuling, yakni tentang
menghilangnya rakyat Kawahsuling dan tentang te-
wasnya tujuhratus orang prajurit dalam kejadian ‘mis-
terius’ itu.
Setelah menuturkan semuanya itu, Adipati Praba-
laya berkata, “Adalah aneh sekali kalau penduduk Ka-
wahsuling mendadak lenyap semuanya. Adalah aneh
pula bahwa dalam sekejap mata saja, tujuhratus pra-
jurit dibinasakan dengan cara yang begitu aneh... tan-
pa terlihat adanya bayangan manusia yang dicurigai
sebagai pembunuh itu. Bukankah ini suatu tamparan
hebat bagiku? Di depan mataku, pembunuhan itu ter-
jadi, tapi aku justru tidak mengetahuinya! Benar-benar
edan!”
Hadirin, yang pada umumnya merasa ilmu mereka
di bawah ilmu Prabaseta, tidak ada yang berani men-
geluarkan suara. Pikir mereka, “Kalau putranya Praba-
seta saja sudah bingung, apalagi aku?!”
Namun pandangan Adipati Prabalaya lalu tertuju
pada seorang nenek-nenek yang duduk di sudut utara.
Itulah Renggimurti, pemimpin golongan sesat yang ter-
kenal jahat sekali, namun ilmu gaibnya sangat hebat.
“Apakah Nini Renggimurti bisa memberi petunjuk?”
tanya Adipati Prabalaya.
Renggimurti berdiri dengan bantuan tongkat di ta-
ngannya, lalu berkata dengan suara serak, “Hal-hal
yang aneh seperti itu, harus diselidiki dengan syarat-
syarat khusus.”
“Apa syaratnya?” Adipati Prabalaya tak sabar lagi.
“Potonglah seekor kerbau di tanah bekas tempat ke-
jadian itu sekarang juga,” sahut Renggimurti. “Aku
akan mencoba meminta penjelasan dari siluman-
siluman yang hidup di daerah ini.”
“Baik,” kata Adipati Prabalaya. “Akan kulaksanakan
sekarang juga!”
***
Saran Renggimurti dilaksanakan. Pada hari itu juga
Adipati Prabalaya menyuruh dua orang penjaga istana
untuk memotong kerbau di alun-alun, yang disaksikan
oleh tamu-tamu ‘istimewa’ itu, termasuk Renggimurti
dan Adipati Prabalaya sendiri.
Ketika kerbau yang disembelih itu sedang meman-
carkan darah segar dari lehernya, tiba-tiba saja Reng-
gimurti berjingkrak-jingkrak sambil mengelilingi ker-
bau yang sedang sekarat itu. Dan pada akhirnya ia
menghirup darah yang sedang memancar dari leher
kerbau itu, disusul dengan pembacaan mantra-mantra
dengan mulut berlepotan darah kerbau.
Keadaan Renggimurti saat itu sangat mengerikan.
Rambutnya yang sudah memutih dan terciprati darah
kerbau di sana-sini itu, tampak riap-riapan. Wajahnya
yang sudah keriputan, juga berlepotan darah kerbau.
Dan setelah selesai membacakan mantra-
mantranya, nenek-nenek pemimpin golongan sesat itu
berlutut sambil menengadah dan mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi. Lalu terdengar suaranya lan-
tang, memecah keheningan alun-alun, “Wahai silu-
man-siluman penghuni Kawahsuling! Aku sudah
mempersembahkan nyawa kerbau pada kalian! Per-
mintaanku tidak banyak. Aku hanya ingin tahu apa
yang menyebabkan tewasnya tujuhratus prajurit kadi-
paten di tempat yang kuinjak ini?”
Seruan itu diulang sampai tujuh kali. Dan begitu
selesai berseru untuk yang ketujuh kalinya, tiba-tiba
Renggimurti menjerit-jerit sambil berguling-guling di
tanah. Dan akhirnya ia bangkit... berdiri dengan mata
merah dan meneteskan darah! Tubuhnya menggigil,
tongkatnya ditunjukkan ke arah Adipati Prabalaya
sambil berkata lantang dengan suara yang lain dari bi-
asanya, “Wahai putra Prabaseta dan Sutiresmi! Seha-
rusnya engkau sadar bahwa pada saat ini di bawah
permukaan Kawahsuling, bersemayam makhluk yang
dahsyat! Dia selalu membutuhkan tujuh ratus roh ma-
nusia, untuk memperpanjang umurnya! Dia tidak
akan bisa ditundukkan oleh apa pun, kecuali oleh se-
seorang yang memiliki pedang Saptaraga!”
Setelah berkata demikian, nenek-nenek itu terjung-
kal, tergeletak dan tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang hadir di alun-alun itu yakin bah-
wa memang demikianlah biasanya orang yang baru
mengadakan ‘kontak’ dengan para siluman. Karena
itu, mereka biarkan saja Renggimurti tergeletak dan di-
tunggu sampai sadar sendiri.
Setelah siuman, Renggimurti membutuhkan dua
orang penjaga istana, untuk membimbingnya masuk
ke dalam istana kembali.
***
Setelah berada di dalam ruangan perundingan
kembali, Adipati Prabalaya dan tamu-tamu undangan-
nya melanjutkan pembicaraan yang terputus tadi.
“Apa yang disampaikan lewat Nini Renggimurti tadi,
justru membuatku semakin penasaran. Makhluk apa
yang bersembunyi di bawah permukaan Kawahsuling
itu? Apakah kita harus membongkar seluruh permuka-
an daerah Kawahsuling, sampai makhluk itu ditemu-
kan?”
Hadirin terdiam. Dan akhirnya Prabaseta berdiri, la-
lu berkata, “Anakku Adipati Prabalaya, sebenarnya
orang-orang yang hadir di dalam ruangan ini, hanya
menunggu perintahmu saja. Engkau tidak usah mena-
nyakan itu dan ini lagi. Tentukan saja garis kebijaksa-
naan yang akan kau tempuh. Dan kawan-kawan yang
hadir di sini, pasti akan mendukungmu sepenuhnya.
Bukankah begitu, kawan-kawan?”
“Betuuul...!” sahut hadirin serempak.
Adipati Prabalaya tertunduk bingung. Apa yang di-
ucapkan Renggimurti waktu kerasukan tadi, tern-
giang-ngiang terus di telinganya, dia tidak akan bisa
ditundukkan oleh siapa pun, kecuali oleh seseorang
yang memiliki pedang Saptaraga!
Pedang Saptaraga... pedang Saptaraga...!
Ah, pikir Adipati Prabalaya, mendengarnyapun baru
sekali ini... hmm... pedang Saptaraga...! Siapa yang
memiliki pedang itu?
Dan tiba-tiba saja Adipati Prabalaya bertanya kepa-
da Renggimurti yang masih tampak lemah sehabis ke-
rasukan tadi. “Nini Renggimurti! Kenapa petunjuk
yang Nini berikan tanggung-tanggung begitu? Tidak bi-
sakah Nini memberi petunjuk yang lebih jelas tentang
pedang Saptaraga?”
Hadirin serasa diingatkan pada kebolehan Renggi-
murti, sekaligus diingatkan bahwa Renggimurti belum
tuntas dalam memberikan petunjuknya. Maka lalu
pandangan hadirin pun tertumpah pada nenek-nenek
yang pemimpin kepercayaan sesat itu.
Renggimurti tertunduk, lalu katanya, “Sebenarnya
aku masih letih sekali. Tapi kalau memang dibutuh-
kan, baiklah... aku akan mengabulkan permintaan
sang Adipati. Sekarang berilah aku kamar yang gelap,
kemenyan, bunga kenanga, dan gentong berisi air ben-
ing.”
Adipati Prabalaya mengabulkan permintaan Reng-
gimurti itu. Disediakannya kamar gelap dan bahan-
bahan yang dibutuhkan oleh wanita tua renta itu.
Kemudian Renggimurti memasuki kamar gelap itu
sendirian. Sementara Adipati Prabalaya dan tamu-ta-
munya menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Lama juga Renggimurti berada di dalam kamar ge-
lap itu, untuk ‘berkomunikasi’ dengan alam ‘sana’.
Dan ketika Renggimurti muncul kembali di ruangan
rahasia itu, hadirin menyambutnya dengan bermacam
macam pertanyaan. Terutama sekali Adipati Prabalaya,
sudah tak sabar lagi. “Bagaimana, Nini? Sudahkah Ni-
ni memperoleh petunjuk yang kuinginkan itu?”
Renggimurti mengangguk lemah, lalu katanya, “Pe-
dang itu tidak terlalu jauh letaknya dari sini.”
“Di mana?” Adipati Prabalaya tak sabar lagi.
“Di puncak Gunung Limagagak,” sahut Renggimur-
ti. “Pemiliknya, seorang lelaki muda bernama Rangga.”
“Rangga?!” Adipati Prabalaya terperanjat.
Prabasetapun terkejut dan menggumam. “Rangga...!
Ah... bukankah orang itu sudah kulumpuhkan di Te-
galinten?! Kekuatan apa yang mampu menawarkan ra-
cun hasil ciptaanku yang paling hebat itu?”
Ketika Prabaseta alias si Jalak Ruyuk masih terlo-
ngong-longong, Adipati Prabalaya membisikkan, “Lagi-
lagi Rangga...! Bukankah dahulu ayah sudah berhasil
melumpuhkannya?”
“Itulah yang kuherankan,” sahut Prabaseta. “Tapi
mungkin juga dia hanya memiliki pedang itu, sementa-
ra kelumpuhannya belum sembuh.”
Adipati Prabalaya terbelalak. Ada semacam harapan
baru di hatinya. Pikirnya, “Mudah-mudahan dia masih
lumpuh dan secara kebetulan saja memiliki pedang
Saptaraga itu. Karena kalau dia dalam keadaan se-
hat... hmm... dia memang lawan yang sangat berat!”
Kemudian Adipati Prabalaya berkata kepada tamu-
tamunya, “Kawan-kawan yang menghadiri upacara peng-
angkatan kakakku sebagai Senapati Tegalinten dan
pengangkatanku sendiri sebagai adipati di Kawahsul-
ing ini, tentu sudah menyaksikan bagaimana tangguh-
nya manusia yang bernama Rangga itu. Memang pada
akhirnya ayahku berhasil melumpuhkannya dengan
racun yang sangat hebat.
“Menurut perhitungan ayahku, kelumpuhan yang
diderita oleh Rangga itu tidak mungkin bisa diobati la-
gi. Tapi siapa tahu dugaan ayahku meleset?! Karena
itu, kita harus memperhitungkan segala kemungkinan.
Sebelum kita menyerbu ramai-ramai ke puncak Gu-
nung Limagagak, untuk merebut pedang itu, sebaiknya
kita kirim dulu mata-mata ke sana. Mata-mata itu ber-
tugas untuk menyelidiki keadaan puncak Gunung Li-
magagak, sekaligus untuk menyelidiki bagaimana kea-
daan Rangga sekarang dan siapa-siapa saja yang ber-
diri di belakangnya.
“Karena itu, siapa di antara kawan-kawan yang
sanggup dikirim sebagai mata-mata ke puncak Gu-
nung Limagagak?”
Salah seorang tamu berdiri dan berkata, “Tidak
akan ada seorang pun di antara kami yang menolak
tugas itu. Karenanya silahkan tunjuk saja siapa di an-
tara kami yang terpilih untuk melaksanakan tugas
itu!”
Adipati Prabalaya tersenyum, lalu menunjuk ke
arah seorang lelaki berpakaian brahmana. “Bagus! Aku
pilih Resi Mahagati untuk melakukan tugas itu! Den-
gan pakaian brahmana seperti itu, Resi Mahagati akan
lebih leluasa menyelidiki keadaan di puncak Gunung
Limagagak!”
“Setujuuu...!” seru hadirin serempak.
Brahmana yang disebut Resi Mahagati itu terse-
nyum bangga dan menyahut, “Baik. Aku menerima tu-
gas ini!”
Siapa sebenarnya Resi Mahagati itu? Mengapa seo-
rang resi bisa berada di tengah-tengah golongan hi-
tam?
Tadinya Resi Mahagati memang seorang pendeta
yang disegani, karena ia sangat rajin menyebarkan aja-
ran-ajaran agama yang dianutnya. Tapi entah kenapa,
ketika usianya memasuki masa ‘puber kedua’, tiba-tiba
saja wataknya jadi berubah. Tiap kali melihat gadis
cantik, hasrat kelelakiannya seolah-olah tak ter-
kendalikan lagi. Maka dengan segala daya, ia selalu
berusaha mendapatkan gadis yang membetikkan air
liurnya itu. Kebetulan pula ia memiliki ilmu yang cu-
kup tinggi, sehingga ia selalu berhasil menculik gadis
yang diinginkannya, untuk digagahi sepuas hatinya.
Dan manakala ia sadar bahwa perbuatannya itu bisa
menjatuhkan namanya, maka dibunuhnya gadis yang
telah diperkosanya itu, dengan harapan bahwa jejak-
nya akan terhapus. Kemudian dibuangnya mayat gadis
yang malang itu, atau dikuburnya di dalam hutan.
Peristiwa seperti itu berulang-ulang terjadi, sehing-
ga dalam tempo setahun saja sudah lebih dari limapu-
luh orang gadis yang menjadi korban kebiadabannya.
Dan manakala perbuatannya itu tercium oleh orang-
orang kerajaan, cepat-cepat Resi Mahagati melarikan
diri ke dalam hutan, kemudian bergabung dengan
orang-orang dari golongan hitam!
Jadi, status Resi Mahagati yang sebenarnya, adalah
buronan kerajaan. Namun berkat perlindungan Adipati
Prabalaya, ia bisa menyembunyikan diri dengan aman
di daerah Kawahsuling.
Adipati Prabalaya memang sudah mengetahui apa
dan siapa Resi Mahagati. Itu hanya ‘pelanggaran kecil’
saja. Maklum, Adipati Prabalaya menganggap nyawa
manusia itu seakan-akan tak lebih mahal dari pohon
pisang! Itulah sebabnya, Adipati Prabalaya melindungi
Resi Mahagati dengan jaminan: “Bersamaku, Anda
pasti aman!”
Dan kini, Resi Mahagati sudah menerima tugas un-
tuk menyelidik ke puncak Gunung Limagagak.
Kata Adipati Prabalaya, “Resi Mahagati tidak usah
membuat keonaran seandainya bertemu dengan orang-
orang tertentu di puncak Gunung Limagagak nanti.
Tugas Resi Mahagati, hanya untuk menyelidik. Kalau
bertemu dengan manusia bernama Rangga itu, bersi-
kaplah seakan-akan kebetulan saja mendaki puncak
gunung itu. Resi Mahagati bisa saja berpura-pura se-
dang mencari tempat pertapaan yang tenang dan
sunyi.”
Resi Mahagati tersenyum dan menyahut, “Soal itu,
serahkan sajalah padaku. Aku ini sudah cukup berpe-
ngalaman dalam bergaul dengan masyarakat baik-
baik.”
Adipati Prabalaya tertawa terbahak-bahak. “Haha-
haaaaahaaa...! Aku hampir lupa bahwa Resi Mahagati
memang paling pandai menyelundup ke tengah masya-
rakat baik-baik! Hahahaaaaaa...!”
Resi Mahagati tidak tersinggung oleh sindiran sang
Adipati itu, bahkan lalu ikut-ikutan tertawa bersama
hadirin.
Kemudian Adipati Prabalaya berkata kepada hadi-
rin, “Kawan-kawan sekalian, tampaknya aku diha-
dapkan pada dua kemungkinan. Kemungkinan perta-
ma, aku akan berhasil mendapatkan pedang Saptaraga
itu dengan mudah. Kemungkinan kedua, manusia
bernama Rangga itu mempunyai pendukung orang-
orang kelas tinggi. Karena itu, kuharap kalian semua
mempersiapkan diri, sebab mungkin saja kalian akan
kumintai bantuan untuk menyerbu ke puncak Gunung
Limagagak.”
***
SEJAK Nilamsari tinggal di Gunung Limagagak, ba-
nyak perubahan yang terjadi di puncak gunung
yang hampir selalu diselimuti kabut itu. Sambil mela-
tih kekuatan gaibnya, Nilamsari mengangkati batu-
batuan yang banyak terdapat di puncak gunung itu,
kemudian menyusunnya sedemikian rupa sampai bisa
dijadikan tempat berteduh. Demikian pula gua yang
terletak di lereng gunung itu, dijadikan semacam ka-
mar dan dapur, lengkap dengan segala perabotan yang
dibuatnya sendiri.
Nilamsari memang tidak pernah membuang-buang
waktu untuk hal yang sia-sia. Manakala ada kesempa-
tan, dimanfaatkannya untuk hal-hal yang berguna. Se-
tiap hari ada saja yang dikerjakannya untuk memper-
cantik tempat tinggalnya. Hal mana membuat Kuda-
wulung kerasan tinggal di puncak Limagagak itu.
Setelah Rangga berada di puncak gunung itu lagi,
Nilamsari semakin rajin mengatur di sana-sini. Pohon-
pohon bunga liar yang tumbuh di hutan dan diperhi-
tungkan bisa tumbuh dalam udara berkabut, dipin-
dahkannya ke puncak gunung. Diaturnya tanam-
tanaman itu serapi mungkin, sehingga terbentuklah
taman di puncak gunung yang indah dan menyejuk-
kan perasaan. Batu-batuan yang bisa dijadikan tempat
duduk, diletakkannya secara teratur, sehingga mirip
kursi-kursi batu di taman raja-raja.
Sementara itu, Rangga sangat giat mempelajari ki-
tab ilmu pedang Saptaraga sekaligus melatihnya.
Jika Rangga sedang melatih ilmu pedangnya, Ni-
lamsari pun melatih ilmunya sendiri yang didapatnya
dari Kudawulung.
Yang sangat menyenangkan bagi Rangga, adalah
bahwa si Jambon selalu membantunya dalam setiap
latihan. Burung perkasa dari Nusa Aheng itu memang
bukan burung biasa. Setiap kali ia melihat Rangga me-
lakukan kesalahan dalam latihannya, ia meloncat ke
depan Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepa-
lanya, lalu berusaha membetulkan gerakan yang salah
itu dengan caranya sendiri. Seperti pada suatu hari...
“Bagaimana, Jambon? Apakah gerakanku sudah be-
nar?” tanya Rangga.
Burung raksasa itu menggelengkan kepalanya sam-
bil mengeluarkan bunyi “Kaaaak... kaaaak...
kaaaak...!”
Tiga kali bunyi ‘kak’, berarti Rangga melakukan ke-
salahan besar.
“Kau jangan pandai menyalahkan saja,” kata Rang-
ga. “Cobalah betulkan gerakanku yang kau anggap sa-
lah itu!”
Si Jambon mengangguk, lalu menghampiri Rangga.
Dan digigitnya lengan Rangga perlahan, kemudian dis-
eretnya ke arah posisi yang benar, sehingga Rangga
tertawa tergelak-gelak. “Hahahaaa... aku mengerti se-
karang, Jambon! Ya, ya, ya! Aku sudah mengerti! Te-
rima kasih, Jambon.”
Demikianlah, kalau Rangga bertanya bagaimana ca-
ra bergerak yang benar, si Jambon membimbing Rang-
ga dengan caranya sendiri, yakni dengan menggigit
anggota badan Rangga dan menyeret atau mendorong-
nya ke posisi yang benar. Terkadang si Jambon pun
melakukan gerakan seperti manusia, untuk ditiru oleh
Rangga. Kedua sayapnya bisa digerakkan seperti len-
gan manusia, sehingga Rangga bisa memperhatikan-
nya dan menyesuaikan gerakannya sendiri sampai sa-
ma dengan gerakan si Jambon.
Hal itu membuat Rangga semakin sayang kepada si
Jambon. Bahkan pada suatu hari, sehabis latihan,
Rangga berkata kepada burung cerdas dan perkasa
itu. “Kalau dipikir-pikir, engkau telah menjadi guruku,
Jambon. Sebab, tanpa bimbinganmu, aku tidak akan
secepat ini menguasai ilmu pedang Saptaraga.”
Tapi si Jambon menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil berbunyi “Kaaak... kaaaak... kaaaak...!”
Tiga kali bunyi ‘kak’ disertai dengan gelengan kepa-
la, berarti ‘salah sekali’. Dan Rangga sudah cukup me-
ngerti ‘bahasa’ burung raksasa itu. Maka tanyanya,
“Kalau kau tidak mau dianggap sebagai guruku, lantas
maunya dianggap sebagai apa?”
Si Jambon mengulurkan ujung sayap kanannya, la-
lu menempelkannya ke telapak tangan Rangga.
“Hahahaaaaa...! Kau ingin dianggap sebagai saha-
batku, bukan?!” seru Rangga senang.
Si Jambon mengangguk-angguk.
Dan Rangga semakin senang, semakin sayang kepa-
da burung raksasa itu. Lalu dipeluknya leher burung
itu, sambil berkata, “Engkau memang sahabatku yang
baik, Jambon. Kehadiranmu di sisiku, membuatku jadi
bergairah.”
Si Jambon menyahutnya dengan mengelus-eluskan
paruhnya ke pipi Rangga, sebagai tanda bahwa ia pun
sangat menyayangi Rangga.
***
Pada suatu pagi, Rangga sedang melatih ilmu pe-
dangnya, sementara Nilamsari pun sedang melatih il-
mu yang didapatkannya dari Kudawulung.
Rangga tetap mematuhi pesan sang Astrabaya, un-
tuk tidak menyentuh pedang Saptaraga sebelum me-
nguasai ilmu pedangnya. Maka Rangga menggunakan
sebatang ranting kayu, yang diibaratkannya sebagai
pedang.
Sementara itu, si Jambon mendekam di dekat tem-
pat latihan Rangga, sambil memperhatikan setiap ge-
rakan Rangga dengan seksama.
Ilmu pedang Saptaraga benar-benar tak ada duanya
pada zaman itu. Sehingga walaupun Rangga hanya
menggunakan ranting kayu sebagai pengganti pedang-
nya, setiap gerakan Rangga benar-benar dahsyat, ka-
rena merupakan paduan kegesitan, tenaga gaib Sapta-
raga dan hebatnya gerakan ilmu pedang itu sendiri.
Walaupun ‘pedang’ Rangga hanya sebatang ranting
kayu yang sudah agak lapuk, namun tenaga gaib yang
Rangga kerahkan, membuat ranting lapuk itu jadi le-
bih keras daripada batu. Hal itu terbukti ketika Rangga
mengumpamakan beberapa buah batu besar yang dile-
takkan di sekelilingnya, sebagai lawan-lawan yang se-
dang dihadapinya. Manakala Rangga memutar tubuh-
nya sambil memekik “Yaaaaaaaat...!” ranting lapuk itu
berhasil menghancurkan sembilan buah batu besar
tadi... brrraaasss... braaaaaaash... brrash... sraaaat...!
Demikianlah salah satu kedahsyatan ilmu pedang
Saptaraga! Bahwa kayu lapukpun bisa menjadi seke-
ras baja!
Selesai melakukan latihan, Rangga menghampiri Ni-
lamsari yang juga baru selesai dengan latihannya.
Nilamsari menyambut kedatangan Rangga dengan
senyum manis. Dan katanya, “Ilmu pedang yang se-
dang dipelajari Kang Rangga, benar-benar hebat. Ran-
ting kayu pun bisa dipakai untuk menghancurkan ba-
tu-batu keras. Aku melihat semuanya tadi dari sini.”
Rangga duduk di atas batu besar, sambil berkata,
“Tapi perasaanku selama ini kurang tentram, sehingga
perhatianku terhadap latihan-latihanku sering nga-
wur.”
“Kenapa begitu, Kang?” Nilamsari terheran-heran.
“Aku terus-terusan memikirkan Rama Guru,” sahut
Rangga. “Sudah hampir empat bulan beliau mening-
galkan kita... padahal biasanya Rama Guru tidak per-
nah lama-lama meninggalkan tempat ini. Aku kuatir
terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya.”
“Iya, ya Kang. Jangan-jangan beliau menemui kesu-
litan di Tegalinten. Tapi... ah... apakah mungkin seo-
rang berilmu tinggi seperti Rama Guru bisa menemui
kesulitan?”
Rangga tersenyum getir dan menjawab. “Di atas gu-
nung ada awan, di atas awan ada langit, di atas langit
ada bintang, di atas bintang... banyak hal-hal yang be-
lum kita ketahui. Demikian pula dengan manusia. Se-
tinggi-tingginya ilmu dan sepandai-pandainya seorang
manusia, pastilah pada suatu saat ada yang melebi-
hinya.”
Nilamsari tertunduk dan berkata, “Lantas... apa
yang harus kita lakukan?”
“Inilah susahnya,” sahut Rangga. “Aku belum dapat
meninggalkan tempat ini, karena ilmu pedang yang se-
dang kupelajari belum selesai. Sedangkan hatiku me-
nuntut terus, ingin segera tahu apa yang terjadi pada
guru kita... ah... bingung juga aku jadinya.”
“Kalau begitu, biarlah aku saja yang turun gunung,
untuk mencari Rama Guru,” kata Nilamsari.
“Ah, jangan,” tolak Rangga. “Terlalu banyak bahaya
yang akan kau hadapi nanti.”
Nilamsari tersenyum, dan katanya, “Kalau dahulu
Kang Rangga berkata seperti itu padaku, pastilah aku
akan mengiyakannya. Tapi sekarang... apa gunanya
aku berguru di sini selama ini? Bukankah ada baiknya
aku turun gunung, sekalian untuk menguji diriku
sendiri?”
Rangga menghela napas panjang. Pengajuan Nilam-
sari tadi, justru membuatnya semakin bingung. Betapa
tidak. Selama empat bulan ini, hati Rangga yang tegar,
telah mencair sedikit demi sedikit. Ya, bahwa Rangga
yang tadinya hanya menerima cinta Nilamsari untuk
sekedar ‘basa-basi’, untuk semacam tenggang rasa
semata, lalu secara perlahan tapi meyakinkan... mulai
mencintai putri mendiang Adipati Wiralaga itu dengan
sepenuh hatinya!
Lalu kini, setelah Rangga bersungguh-sungguh
mencintai Nilamsari, bagaimana mungkin Rangga tega
melepas kepergian Nilamsari begitu saja?
Maka dengan genggaman lembut di pergelangan ta-
ngan Nilamsari, Rangga berkata, “Sebaiknya kita tung-
gu saja dalam sebulan ini, karena ilmu yang sedang
kupelajari pun hampir selesai. Nanti, jika dalam sebu-
lan mendatang Rama Guru tidak juga pulang, kita per-
gi bersama-sama untuk mencarinya.”
Genggaman Rangga itu memang membuat Nilamsa-
ri berat... berat untuk berpisah dengan lelaki yang te-
lah dicintainya itu. Lalu kata Nilamsari lirih, “Tapi ba-
gaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
pada diri Rama Guru? Di manakah letak budi kita se-
bagai murid, jika kita membiarkannya begitu saja?”
Rangga terdiam dalam pertentangan batin yang se-
makin membingungkannya. Di satu pihak, ia merasa
cemas terhadap keselamatan gurunya. Di pihak lain, ia
pun merasa berat melepaskan kepergian Nilamsari
yang sudah dicintainya.
Ketika Rangga masih terdiam dalam kebingungan-
nya, Nilamsari mendesak, “Sudahlah, Kang. Biar aku
saja yang turun gunung, supaya kita bisa menyelidiki
nasib Rama Guru, tanpa mengganggu latihan Kang
Rangga.”
“Nilamsari...” desis Rangga perlahan, “sebenarnya
aku... aku berat sekali melepaskanmu... aku... aku su-
dah telanjur mencintaimu...”
Nilamsari terperangah. Denyut jantungnya mengen-
cang. Aliran darahnya mendesir. O, sesungguhnya ba-
ru sekali itu Nilamsari mendengar Rangga mengu-
capkan cinta secara begitu meyakinkan. Sesungguh-
nya bahagia sekali Nilamsari mendengarnya. Sesung-
guhnya Nilamsari pun berat, berat sekali meninggal-
kan lelaki yang sudah terlalu dicintainya itu. Tapi di
pihak lain, ia merasa juga memikirkan gurunya yang
begitu lama meninggalkan Gunung Limagagak.
Maka akhirnya Nilamsari berkata, “Kang Rangga,
kalau bicara soal beratnya hati menghadapi perpisa-
han, mungkin hatiku lebih berat lagi. Karena, sebelum
Kang Rangga mencintaiku, aku sudah duluan mencin-
taimu, Kang.”
“Tapi,” lanjut Nilamsari, “marilah kita anggap perpi-
sahan ini sebagai ujian bagi cinta kita. Bahkan sebe-
narnya kalau kita terus-terusan berdekatan dalam
keadaan belum menikah seperti ini, kita akan selalu
digoda oleh bujukan iblis, Kang.”
“Ya,” Rangga mengangguk lemah. “Tapi... apakah
kau bisa menjaga diri nanti?”
“Percayalah, Kang. Pokoknya Kang Rangga tak usah
cemas terhadap diriku. Doakan saja agar aku selamat,
supaya kita bisa bersama lagi.”
Esok paginya, ketika fajar baru menyingsing, Nilam-
sari sudah bersiap-siap untuk meninggalkan puncak
Gunung Limagagak. Dan Rangga memeluknya erat-
erat. Berat sekali rasanya melepaskan kepergian Ni-
lamsari saat itu.
Namun akhirnya mereka menguatkan hati masing-
masing, untuk menghadapi perpisahan itu.
Dan Nilamsari menuruni Gunung Limagagak, tete-
san air mata Rangga mengiringi kepergian putri men-
diang Adipati Wiralaga itu.
***
SETELAH Nilamsari meninggalkan puncak Gunung
Limagagak, barulah Rangga merasa bahwa ia san-
gat membutuhkan gadis itu, lebih dari sekadar tempat
pencurahan cintanya.
Pikir Rangga, “Pada waktu Nilamsari hadir di pun-
cak gunung ini, rasanya hidupku jadi bergairah. Se-
mangat untuk berlatih jadi berkobar-kobar. Hidup ini
jadi terasa indah dan penuh arti. Dan bahkan puncak
gunung ini pun jadi terasa sangat menyenangkan.”
“Tapi kini,” pikir Rangga lagi, “setelah Nilamsari
pergi... ah... semuanya jadi terasa hampa... semuanya
jadi terasa membosankan!”
Lama Rangga tercenung sendiri. Terbit pula rasa pe-
nyesalan di hatinya. “Kenapa bukan aku saja yang
pergi mencari Rama Guru? Kenapa aku terlalu patuh
pada pesan ini pesan itu, sehingga aku malah mem-
biarkan Nilamsari menempuh perjalanan yang belum
bisa dipastikan aman tidaknya? Mengapa aku tidak bi-
sa menunda dulu latihanku, lalu turun gunung sendiri
untuk mencari Rama Guru?”
Ketika Rangga masih tenggelam dalam arus pikiran-
nya, tiba-tiba si Jambon mengeluarkan suara yang lain
dari biasanya: “Kruuuk... kruuuuk... krrrruuuukkk...!”
Rangga terheran-heran dan menghampiri burung
dari Nusa Aheng itu. “Ada apa, Jambon?” tanyanya.
“Kruuuk... kruuuk... krrrrrruuuuukkk...!” sahut si
Jambon sambil menjulur-julurkan kepalanya ke arah
selatan.
“Apa?” Rangga tak mengerti, “Maksudmu... Nilam-
sari pergi lewat jalan sana?” Rangga menunjuk ke sela-
tan.
“Kaaaak... kaaak... kaaak...!” si Jambon mengge-
leng-gelengkan kepalanya.
“Lantas apa maksudmu?” tanya Rangga lagi.
“Kruuuk... krruuuk... krrrruuuukkk...!” sahut si
Jambon sambil menjulur-julurkan kepalanya ke arah
selatan.
Rangga mulai heran, kemudian memperhatikan ke
arah lereng di sebelah selatan sana. Dan... ternyata
ada seorang brahmana yang sedang mendaki gunung
itu... masih jauh di sebelah selatan sana.
“Kau memang hebat, Jambon,” kata Rangga. “Orang
yang masih begitu jauh, sudah kau ketahui kehadir-
annya. Tapi... siapa orang itu? Tampaknya seperti mau
menuju ke mari.”
Rangga mengamat-amati terus orang itu, yang ma-
sih jauh di lereng selatan itu. Lalu gumamnya, “Orang
itu... kelihatannya seperti brahmana... mau apa dia
kemari?”
Puncak Gunung Limagagak tidak pernah diinjak
oleh manusia luar, kecuali oleh Kudawulung dan ke-
dua muridnya. Maka wajarlah kalau Rangga bertanya-
tanya melihat brahmana yang sedang berusaha men-
capai puncak gunung itu.
Sementara itu, si Jambon mulai memperlihatkan
ketidaksenangannya. Nalurinya demikian tajamnya,
sehingga belum apa-apa ia sudah tahu bahwa tujuan
brahmana yang sedang mendaki itu tidak baik. Keti-
daksenangan si Jambon diperlihatkan dengan berjalan
hilir-mudik, seperti gelisah sekali.
Namun Rangga tidak mengerti apa maksud si Jam-
bon dengan memperlihatkan sikap gelisah begitu.
Dan brahmana itu mendaki... mendaki... terus...
sampai akhirnya berhasil mencapai puncak Gunung
Limagagak.
Brahmana itu tak lain dari Resi Mahagati.
***
“Selamat datang di puncak Gunung Limagagak,” ka-
ta Rangga sambil membungkukkan badannya ketika
Resi Mahagati sudah tiba di puncak Gunung Limaga-
gak.
“Ah... tak kusangka puncak gunung yang begini
tinggi dan dinginnya, ternyata dihuni oleh manusia,”
sahut Resi Mahagati sambil menyelidik dengan sudut
matanya.
“Benar,” kata Rangga dengan sikap menghormat.
“Tempat ini cukup tinggi dan dingin, tapi... yah...
hanya di sinilah aku bisa mendapat tempat tinggal, se-
hingga kupaksa-paksakan juga berdiam di tempat
yang terpencil dan sunyi ini. Tapi... bolehkan aku tahu
siapa gerangan sang Brahmana dan adakah maksud
khusus sehingga memaksakan diri datang ke mari?”
“Namaku tidak penting, anak muda!” sahut Resi
Mahagati. “Kedatanganku ke mari, juga hanya kebetu-
lan saja. Tadinya aku mengira puncak gunung ini ti-
dak dihuni manusia, sehingga aku bermaksud mela-
kukan tapabrata di sini. Tak tahunya engkau sudah
duluan tinggal di sini. Dan... oh ya... apakah engkau
hanya tinggal sendirian di sini?”
Rangga agak curiga, karena brahmana itu tidak
mau memperkenalkan namanya. Maka Rangga pun
menjadi hati-hati. Jawabnya, “Memang benar, aku
yang rendah ini hanya sendirian saja di sini.”
“Tinggal sendirian di tempat sesunyi ini... akh... aku
hampir-hampir tak percaya, anak muda. Tapi... kalau
tidak salah, aku pernah melihatmu di Tegalinten bebe-
rapa bulan yang lalu. Benarkah?” Resi Mahagati mena-
tap wajah Rangga dengan pandangan penuh selidik.
Rangga agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Be... betul,” sahutnya tergagap. “Apakah sang Brah-
mana juga ada di Tegalinten saat itu?”
Resi Mahagati sebenarnya tidak berada di Tegalin-
ten pada waktu upacara pengangkatan Senapati Pra-
bayani yang menghebohkan itu. Sebagai buronan kera-
jaan, tentu saja ia tidak berani muncul di Tegalinten
dalam suasana ramai seperti itu.
Tapi sebelum meninggalkan Kawahsuling, Resi Ma-
hagati sudah mendengar cerita tentang Rangga dari
mulut Adipati Prabalaya. Dan pertanyaannya tadi,
hanya bersifat memancing-mancing, apakah betul ia
berhadapan dengan orang yang bernama Rangga?
Dan untuk lebih meyakinkan penyelidikannya, Resi
Mahagati berkata, “Benar. Waktu itu aku ikut hadir di
Tegalinten. Ya... kalau tidak salah, engkau terlibat da-
lam bentrokan dengan Senapati Prabayani, bukan?”
“Betul,” Rangga mengangguk. “Jadi waktu itu sang
Brahmana juga melihatnya?”
“Hahahaaa... betul... betul! Aku melihatnya... meli-
hat pertarungan engkau dengan Senapati Prabayani
yang dibantu oleh ayahnya. Dan kalau tidak salah,
namamu Rangga, bukan?”
“Ya,” Rangga mengangguk lagi. “Senang sekali hati-
ku, karena ternyata sang Brahmana masih mengingat
namaku.”
“Kalau tidak salah, saat itu engkau dilumpuhkan
oleh Prabaseta yang jahat itu. Tapi sekarang... kelihat-
annya engkau sudah tidak lumpuh lagi, anak muda.
Apakah engkau berhasil mengobati dirimu sendiri?”
tanya Resi Mahagati, sengaja menyebut ‘Prabaseta
yang jahat’, supaya Rangga tidak mencurigainya.
“Betul... betul sekali,” sahut Rangga. “Dan secara
kebetulan pula seseorang yang baik hati mengulurkan
tangan untuk menyembuhkan kelumpuhanku.”
“Siapa yang mengobatimu itu?” tanya Resi Mahagati
lagi.
Sebelum Rangga menjawab, tiba-tiba saja si Jam-
bon mengeluarkan suara. “Kaaak... kaaak... kaaak
kruukk!”
Rangga tersentak dan menebak-nebak maksud si
Jambon itu: “Mungkin dia melarangku menyebut nama
sang Astrabaya dan Bagawan Suwandarama.”
Maka Jawab Rangga, “Menyesal sekali, aku tidak
bisa menyebutkan nama penolong yang baik hati itu.”
“Yah, aku tidak bisa memaksamu,” kata Resi Maha-
gati sambil melirik ke arah si Jambon. “Tapi... hai...
rasanya baru sekali ini aku melihat burung sebesar
itu! Apakah dia binatang piaraanmu?”
“Dia sahabatku,” sahut Rangga. “Kalau tidak ada
dia, mungkin aku akan kesepian sekali di puncak gu-
nung ini.”
“Mmmm... ya, ya, ya!” Resi Mahagati mengangguk-
angguk, sementara sudut matanya tetap menyelidik ke
sekitar puncak gunung itu. “Tapi... apakah sejak dahu-
lu engkau tinggal sendirian di sini? Maksudku, apakah
engkau tidak punya guru atau sahabat atau siapa saja
yang menemanimu di sini?”
“Maafkan aku, sang Bagawan. Pertanyaan itu pun
tidak bisa kujawab. Sekali lagi, maafkanlah aku.”
“Ah, tidak apa-apa. Mungkin engkau ingin meraha-
siakan hal-hal tertentu, bukan? Biarlah... soal itu tak
penting bagiku.”
Setelah berbicara ke barat ke timur, mengenai hal-
hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan ‘tugas’ Re-
si Mahagati, akhirnya brahmana buronan kerajaan itu
berpamitan.
“Kenapa terburu-buru?” tanya Rangga sekadar ba-
sa-basi.
“Aku harus mencari tempat lain yang kira-kira se-
suai untuk dijadikan tempat pertapaanku. Baiklah,
aku mohon diri, anak muda!”
***
Setelah Resi Mahagati meninggalkan puncak gu-
nung itu, Rangga berkata sendiri, “Tampaknya brah-
mana tadi seperti punya maksud khusus datang ke-
mari.”
“Kaaaaaak!” tiba-tiba saja si Jambon seperti mem-
betulkan ucapan Rangga.
Rangga menoleh ke arah si Jambon, sambil meng-
gerutu, “Kamu bisanya cuma kak-kak-kak saja! Coba-
lah kau tebak... apakah maksud brahmana tadi baik?”
“Kaaaak... kaaak... kaaaak!” sahut si Jambon sam-
bil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lantas... apakah maksudnya jahat?” tanya Rangga
lagi.
“Kaaaaak!” si Jambon mengangguk.
Rangga bahkan tergelak-gelak. “Hahahahaaa! Eng-
kau tidak boleh menuduh orang sembarangan, Jam-
bon! Siapa tahu brahmana tadi memang hanya kebetu-
lan saja datang ke mari!”
Si Jambon mengeluarkan suara “Krrrrrr...!”
Dan Rangga tidak mengerti, bahwa saat itu si Jam-
bon ‘tersinggung’, karena pemberitahuannya malah di-
tertawakan oleh Rangga!
***
Rangga tidak tahu, bahwa pada malam harinya Resi
Mahagati tiba di Kawahsuling dan langsung melapor-
kan seluruh hasil penyelidikannya kepada Adipati Pra-
balaya.
Khusus mengenai si Jambon, Resi Mahagati mela-
porkan: “Satu-satunya makhluk yang tampak mene-
maninya, hanyalah seekor burung. Tapi, wah... ra-
sanya baru sekali tadi aku melihat burung yang demi-
kian besarnya....”
“Ah! Kalau hanya seekor burung, tak perlu diper-
soalkan panjang lebar,” potong Adipati Prabalaya yang
belum mengetahui burung apa yang menemani Rangga
itu.
***
Pada malam itu juga, Adipati Prabalaya melaporkan
hasil penyelidikan Resi Mahagati kepada ayahnya... si
Jalak Ruyuk Prabaseta.
“Hmmm... hampir tak masuk akal, bahwa manusia
bernama Rangga itu bisa sembuh lagi dari kelumpuh-
annya,” cetus Prabaseta sambil menggertakkan gi-
ginya, geram.
“Mungkin ada orang sakti yang berdiri di belakang-
nya,” kata Adipati Prabalaya.
“Mungkin,” sahut si Jalak Ruyuk. “Tapi siapa? Sia-
pa orang yang demikian saktinya sehingga mampu
memperbaiki kembali urat-urat yang sudah dirusak
oleh racun terhebatku? Benar-benar aneh!”
“Lalu bagaimana seandainya si Rangga itu didu-
kung oleh orang sakti yang belum kita kenal? Bukan-
kah kita sangat membutuhkan pedang Saptaraga yang
hampir bisa dipastikan berada padanya?”
Si Jalak Ruyuk termenung, berpikir dalam-dalam,
lalu berkata, “Sebaiknya engkau jangan bergerak dulu.
Besok pagi aku akan pergi ke Tegalinten, untuk mem-
perbicangkannya dengan kakakmu.”
“Ah...! Apa yang bisa diperbuat olehnya?!” tolak
Adipati Prabalaya. “Paling-paling juga dia hanya men-
girimkan prajurit-prajurit picisan, yang justru akan
mempersulit gerakan kita!”
“Kakakmu memang tidak akan bisa berbuat ba-
nyak,” sahut si Jalak Ruyuk. “Tapi belakangan ini aku
mendengar kabar angin, bahwa kakakmu menyimpan
Manusagara di istana Tegalinten.”
“Manusagara?!” Adipati Prabalaya terperanjat. “Mung-
kinkah manusia setengah siluman itu bisa disimpan
begitu saja di dalam istana Tegalinten?”
“Itulah yang ingin kuketahui secara pasti. Tapi hal
itu bukannya tidak mungkin. Kakakmu memiliki seri-
bu satu akal hebat, untuk mencapai cita-citanya.”
Adipati Prabalaya mengangguk-angguk. “Baiklah...
jadi besok pagi Ayah mau berangkat ke sana?”
“Ya. Dan untuk sementara ini, undang saja kawan-
kawan kita sebanyak-banyaknya, untuk turut menjaga
keamanan di Kawahsuling ini.”
***
ADA seorang tokoh yang sudah cukup lama kita
tinggalkan, yakni Nyi Tiwi. Untuk mengetahui per-
jalanan hidup janda yang murid Kidangkancana itu,
kita perlu surut ke belakang, kembali ke beberapa bu-
lan sebelum terjadinya perundingan Adipati Prabalaya
dengan ayahnya itu.
Tak diragukan lagi, nasib Nyi Tiwi sangat malang.
Seluruh kehidupan batinnya ‘diputar’ oleh manusia se-
tengah siluman bernama Manusagara itu. Tak cukup
dengan itu saja. Dalam keadaan yang sudah ‘terbalik’
itu, Nyi Tiwi dijadikan tempat pelampiasan nafsu Ma-
nusagara. Dan Nyi Tiwi tak ubahnya orang mabuk ber-
kepanjangan. Nyi Tiwi tahu bahwa tubuhnya dijadikan
sasaran kebinatangan Manusagara yang sudah sangat
tua itu tapi ‘berselera muda’. Namun Nyi Tiwi tidak bo-
san menolaknya. Nyi Tiwi bahkan menganggap bahwa
apapun yang diinginkan oleh Manusagara, harus di-
ikuti dengan sepatuh-patuhnya.
Tampaknya kepadatan dan kehangatan tubuh Nyi
Tiwi sangat memuaskan hati Manusagara, sehingga se-
lama sebulan penuh, Nyi Tiwi disekap oleh manusia
setengah siluman itu. Dan tak terhitung lagi berapa
puluh kali Nyi Tiwi harus memasrahkan kehormatan-
nya kepada manusia cebol yang pandai mengubah-
ubah ukuran tubuhnya itu.
Manusagara memang mendadak seperti manusia
muda belia yang sedang mengalami masa pengantin
baru! Rupanya Manusagara bukan hanya pandai men-
gubah-ubah ukuran tubuhnya, melainkan juga pandai
meremkan (Editor: meremkan?) hasrat dan vitalitasnya!
Maka lalu Manusagara bisa ‘sambil menyelam mi-
num air’. Di satu sisi, ia melampiaskan dendamnya
terhadap Kidangkancana, dengan terus-terusan me-
renggut kehormatan murid musuh besarnya itu. Di sisi
lain, ia memperoleh ‘keuntungan’ dari kepadatan dan
kehangatan tubuh Nyi Tiwi.
Namun tujuan utama Manusagara tidak berubah.
Bahwa pada suatu saat, ia ingin sekali melihat Ki-
dangkancana sekarat dan binasa di depan matanya!
Untuk tujuan itulah, Manusagara berkali-kali mem-
bisiki Nyi Tiwi dengan pertanyaan yang sudah mengan-
dung daya gaib: “Engkau masih ingat apa yang harus
kau lakukan jika berjumpa dengan gurumu?”
Dan setiap kali mendengar pertanyaan seperti itu,
Nyi Tiwi selalu menjawab: “Ya, aku tidak akan melupa-
kannya. Jika aku sudah berjumpa dengan guruku,
aku harus berpura-pura sangat kangen padanya. Aku
harus memeluknya, lalu membinasakannya!”
Manusagara senang sekali kalau sudah mendengar
jawaban Nyi Tiwi yang serupa itu. Dan rencananya se-
makin berkembang. Pada suatu malam, setelah berha-
sil merenggut kehormatan Nyi Tiwi untuk yang kese-
kian kalinya, Manusagara berkata, “Apakah engkau
tahu bagaimana cara membinasakan gurumu yang
paling tepat?”
Nyi Tiwi menjawab, “Akan kucekik batang lehernya,
sampai dia tak bisa bernafas lagi.”
“Tidak, tidak!” Manusagara menggeleng. “Kidang-
kancana bukan manusia selemah itu! Cekikan tidak
akan membuatnya mampus. Engkau harus menusuk
dadanya dengan kerisku. Nanti akan kupinjamkan ke-
risku, supaya engkau selalu siap untuk melaksanakan
perintahku.”
Dalam keadaan ‘terbalik’ itu, Nyi Tiwi menyahut de-
ngan senyum aneh, senyum manusia yang sudah lupa
pada dirinya sendiri. “Baiklah, kekasihku! Akan ku-
bunuh dia... akan kuhunjamkan kerismu di dada Ki-
dangkancana keparat itu, sampai mampussssss!”
“Hahahahaaaaa...! Engkau memang sangat menye-
nangkan hatiku!”
Nyi Tiwi pun lalu tersenyum-senyum.
Begitulah keadaan Nyi Tiwi setelah kehidupan ba-
tinnya ‘digojlok’ oleh ilmu Manusagara. Sehingga kalau
dibandingkan dengan masa sekarang, Nyi Tiwi itu tak
ubahnya sebuah robot yang sudah diprogram oleh Ma-
nusagara. Apapun yang diinginkan oleh Manusagara,
akan dipatuhinya. Bahkan seandainya Manusagara
menyuruh Nyi Tiwi bunuh diri, seketika itu juga Nyi
Tiwi akan melenyapkan dirinya sendiri!
***
Walaupun ditempatkan di dalam puri yang diraha-
siakan, namun Manusagara memperoleh bermacam-
macam kenikmatan di dalam lingkungan istana Tega-
linten itu. Ia tidak hanya mendapatkan kenikmatan
dari tubuh Nyi Tiwi, melainkan juga dari pelayanan
dayang-dayang istana yang memperlakukannya seperti
bangsawan penting.
Senapati Prabayani memang memerintahkan da-
yang-dayang istana untuk melayani Manusagara se-
baik-baiknya.
Maka, betapa kerasannya Manusagara tinggal di da-
lam istana itu.
Namun pada saat-saat tertentu, ia sering tampak
resah. Karena sudah sebulan ia tinggal di dalam istana
Tegalinten, sementara orang yang dinanti-nantikannya
belum muncul juga. Ya, sekalipun ia merasa puas de-
ngan segala pelayanan yang diberikan padanya, na-
mun ia tetap menunggu-nunggu datangnya Kidang-
kancana dengan hati tak sabar.
Akhirnya datanglah berita yang sangat ditunggu-
tunggu itu. Berita itu dikirimkan oleh Senapati Pra-
bayani: “Aku mendapat laporan dari regu penyelidik,
bahwa orang yang sedang kau tunggu-tunggu, kini su-
dah berada di kotaraja ini.”
“Apa?!” Manusagara terlonjak girang. “Apakah regu
penyelidik itu yakin bahwa orang yang dilihatnya be-
nar-benar Kidangkancana?”
“Ya,” Senapati Prabayani mengangguk. “Bentuk tu-
buh dan wajahnya, persis seperti yang telah kau gam-
barkan. Selain daripada itu, dia juga banyak bertanya
tentang muridnya. Tampaknya dia belum percaya bah-
wa muridnya sudah berada di tangan kita.”
“Hmmm... bagus... bagus! Rencanaku harus dilak-
sanakan pada hari ini juga! Kalau Kidangkancana su-
dah mampus, apa pun yang kau inginkan, akan kuka-
bulkan! Dalam menjalani sisa-sisa hidupku, aku hanya
punya satu tujuan, yaitu ingin membinasakan musuh
besarku itu!”
Laporan regu penyelidik kerajaan itu memang be-
nar. Pada hari itu Kidangkancana sudah berada di ko-
taraja Tegalinten.
Luka dalam yang diderita oleh Kidangkancana (aki-
bat serangan si Jambon di puncak Gunung Limaga-
gak), ternyata cukup parah. Itulah sebabnya gerakan
Kidangkancana lebih lamban dari biasanya. Perjalanan
dari puncak Gunung Limagagak ke kotaraja Tegalinten
pun, terasa begitu meletihkannya. Padahal kalau ia ti-
dak mengalami luka dalam, seratus kali pulang pergi
dari dan ke Tegalinten pun, ia pasti mampu.
Walaupun perjalanan itu sangat meletihkan, Ki-
dangkancana berjalan terus dengan agak terseok-seok
dan sesekali harus berhenti untuk melepaskan lelah-
nya (sekaligus berupaya menahan rasa sakit di da-
danya).
Semuanya itu dilakukannya, demi rasa sayangnya
terhadap muridnya. Memang Kidangkancana sangat
menyayangi Nyi Tiwi, bahkan cenderung memanjakan
muridnya itu. Demikian besarnya rasa sayang Kidang-
kancana terhadap Nyi Tiwi, sehingga ia bersikap lebih
lembut daripada seorang ayah terhadap anaknya.
Rasa sayang yang begitu besarnya pula, lalu me-
nyebabkan bentrokan dengan Rangga di puncak Gu-
nung Limagagak, sekaligus melupakan persahabatan-
nya dengan Kudawulung.
Setibanya di kotaraja Tegalinten, Kidangkancana
mencari warung nasi, untuk melepaskan letih dan da-
haganya. Dan setelah menemukan yang dianggap te-
pat, ia singgah di situ. Ia bercakap-cakap dengan pemi-
lik warung itu. Dan ia menanyakan satu nama: Tiwi.
Pemilik warung itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya
menggelengkan kepalanya ketika ditanya tentang seo-
rang perempuan muda bernama Tiwi itu.
Tapi seorang lelaki yang berpakaian lusuh seperti
petani dan kebetulan sedang makan pula di warung
nasi itu, memang tahu banyak mengenai orang yang
bernama Tiwi itu. Ya... karena lelaki itu bukan petani
biasa. Lelaki itu adalah mata-mata kerajaan yang se-
dang mencari informasi di dalam kotaraja. Tugas uta-
manya, adalah menyelidiki seorang lelaki tua yang ciri-
cirinya sudah diberitahu oleh Senapati Prabayani. Dan
Senapati Prabayani mengetahui ciri-ciri itu dari Manu-
sagara. Dan lelaki tua yang sedang ditunggu-tunggu
kehadirannya di kotaraja Tegalinten, adalah Kidang-
kancana.
Maka penyelidik kerajaan itu meninggalkan warung
nasi tersebut, tanpa menimbulkan kecurigaan di hati
Kidangkancana. Bergegas ia melaporkan hasil penyeli-
dikannya kepada sang Senapati.
Demikianlah... ketika Kidangkancana masih duduk
di dalam warung nasi itu, datanglah Nyi Tiwi yang te-
lah ‘diprogram’ oleh Manusagara!
“Rama Guru!” seru Nyi Tiwi, membuat Kidangkan-
cana terkejut sekali.
“Oh... kau... kau... Tiwi?!” Kidangkancana memeluk
muridnya dengan penuh kasih-sayang, lalu membelai
rambutnya... juga dengan penuh kasih sayang.
Kidangkancana memang seorang tokoh berilmu
tinggi. Tetapi pada saat itu ia tidak mempertajam pan-
caindranya, karena merasa bahwa ia tidak sedang ber-
hadapan dengan seorang lawan, melainkan sedang
berpelukan dengan seorang murid yang sangat dis-
ayanginya. Maka sedikitpun Kidangkancana tidak sa-
dar bahwa muridnya mulai mengeluarkan sesuatu dari
balik stagennya—sebilah keris kecil yang telah diberi
mantra dan racun jahat oleh Manusagara!
Dan... tiba-tiba saja Kidangkancana memekik per-
lahan, “Nyi... Tiwi...?! Aaaaah... kau... kau... kenapa
kau lakukan ini, sayang...?!”
Lalu robohlah tokoh besar yang pernah menggem-
parkan dunia kedigjayaan itu!
Disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh ke dalam
warung nasi itu: Kudawulung!
“Perempuan keparat!” bentak Kudawulung. “Kau
apakan sahabatku ini?!”
Nyi Tiwi tergetar bingung. Sayup-sayup ia menden-
gar suara di dalam hatinya sendiri: “Mengapa engkau
membunuh gurumu sendiri? Mengapa kaulakukan itu,
Tiwi?”
Namun lalu suara lain berkumandang pula di dalam
hati Nyi Tiwi: “Hahahahaaaaa... bagus! Bagus! Engkau
memang kekasihku yang setia! Engkau telah melaksa-
nakan tugasmu sebaik-baiknya!”
Suara yang terakhir itu, adalah semacam gema dari
ilmu gaib Manusagara!
***
Kudawulung hampir bergerak untuk menghantam
Nyi Tiwi. Namun tiba-tiba didengarnya suara Kidang-
kancana: “Jangan bunuh dia, Kudawulung! Mungkin
ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya! Dia adalah
muridku! Dia adalah manusia yang paling kusayang di
dunia ini! Jangan ganggu dia, jangan! Ini adalah uru-
san antara guru dengan murid... dan engkau tidak
berhak ikut campur....”
Terpaksa Kudawulung membatalkan gerakannya,
kemudian memburu Kidangkancana yang sudah terge-
letak di lantai warung nasi.
Keris kecil itu masih menancap di dada Kidangkan-
cana. Dan Kudawulung cepat-cepat mencabutnya. Tapi
... begitu keris itu tercabut, Kidangkancana pun meng-
hembuskan napasnya yang terakhir!
“Kidangkancana...!” seru Kudawulung sambil me-
meluk tubuh yang tak bernyawa lagi itu.
Dalam hidupnya, baru tiga kali Kudawulung meng-
alami kesedihan yang begitu hebatnya. Pertama, waktu
akan berpisah dengan sang Sekarpadma. Kedua, wak-
tu ditinggal mati oleh istrinya. Dan ketiga kalinya, ada-
lah saat itu... saat memeluk tubuh yang tak bernyawa
lagi itu!
“Engkau seorang pendekar yang sejati, Kidangkan-
cana! Sebenarnya aku sangat menghormatimu. Tapi...
ah... kini engkau telah meninggalkanku!” gumam Ku-
dawulung dengan air mata bercucuran.
Sementara itu, Nyi Tiwi hanya berdiri terbengong-
bengong, tanpa menyadari bahwa ia telah membunuh
gurunya sendiri.
Dan... tiba-tiba saja Kudawulung bangkit dan me-
mandang Nyi Tiwi tajam-tajam.
Sebenarnya baru sekali itulah Kudawulung berjum-
pa dengan Nyi Tiwi. Namun mata Kudawulung yang
sudah sangat berpengalaman, segera saja bisa me-
nangkap sesuatu dari wajah murid Kidangkancana itu.
Dan tiba-tiba saja Kudawulung terbelalak. “Kau...
kau... ooh... siapa yang telah menguasai batinmu itu?
Siapa? Manusia iblis mana yang telah memakai dirimu
sebagai alat untuk membunuh gurumu sendiri?”
Nyi Tiwi terundur selangkah, dengan wajah ketaku-
tan, karena Kudawulung memancarkan sesuatu yang
mengerikan lewat sepasang matanya.
Ya, pada saat itu pandangan Kudawulung telah me-
nyalurkan salah satu kekuatan gaibnya, untuk menen-
tang pengaruh ilmu yang telah menyesatkan Nyi Tiwi.
Dan Nyi Tiwi melihat sepasang mata Kudawulung
itu seakan-akan memancarkan api yang sangat panas,
yang membuatnya terundur selangkah, dalam pergelu-
tan antara pengaruh ilmu Manusagara dengan ilmu
Kudawulung.
“Maju!” bentak Kudawulung. “Katakan segera! Siapa
yang telah menyesatkanmu itu? Jawab!”
Nyi Tiwi bahkan menggigil dengan gigi gemeletuk,
tak ubahnya orang yang sedang mengalami demam
panas-dingin.
“Hmmm... rupanya kuat juga pengaruh manusia ib-
lis itu, ya!” bentak Kudawulung lagi, karena Nyi Tiwi
belum menjawab juga.
Dan... tiba-tiba saja berkelebat sesosok tubuh pen-
dek kecil... tubuh Manusagara!
“Heheheheeeee... rupanya Kudawulung mau ikut
campur pada urusanku dengan Kidangkancana, se-
hingga dengan paksa hendak mengorek cerita dari mu-
lut perempuan yang telah menjadi kekasihku ini!” seru
Manusagara sambi bertolak pinggang membelakangi
Nyi Tiwi.
Kudawulung terperanjat. “Kau... kau... Manusaga-
ra?!”
“Heheheheeeee... matamu masih awas juga, Kuda-
wulung! Tapi ingat... jangan kau samakan aku yang
sekarang dengan aku yang dahulu. Lain... sangat lain,
Kudawulung! Karena itu, berpikirlah dulu seribu kali,
sebelum bermaksud memihak kepada Kidangkancana
yang sudah jadi bangkai itu!”
Kudawulung masih dicengkeram oleh keheranan-
nya, karena tidak mengira bahwa Manusagara bisa
muncul di Tegalinten.
Dahulu, ketika Kudawulung masih belum tua be-
nar, tokoh-tokoh berilmu tinggi pernah mengadakan
semacam ‘pertandingan’ di pantai selatan.
Kudawulung pun menjadi salah seorang peserta
‘pertandingan’ itu. Sebenarnya tidak patut disebut per-
tandingan, karena lebih dari separuh pesertanya tewas
dalam peristiwa itu. Tapi memang begitulah resiko
orang yang berani coba-coba mengikuti perebutan ge-
lar ‘Satria Adikara’ (Yang Gagah Berani dan Berkuasa).
Dan Manusagara pun turut dalam pertandingan itu.
Demikian pula Kidangkancana, Citralaga (guru Praba-
seta) dan lain-lainnya, turut menjajal ilmunya masing-
masing dalam perebutan gelar Satria Adikara itu.
Namun ternyata acara itu tidak dilanjutkan, karena
sebagian besar pesertanya tewas di gelanggang pertan-
dingan. Yang hidup, hanya Kidangkancana, Kudawu-
lung, Citralaga, Jayasena dan Manusagara. Mereka
berlima lalu bersepakat untuk menghentikan acara itu,
karena mereka tidak mengira bahwa pertandingan itu
akan menjadi arena bunuh-membunuh. Memang pada
saat itu Manusagara merupakan satu-satunya tokoh
yang paling banyak membinasakan peserta acara Sa-
tria Adikara, sehingga secara tidak langsung tokoh-
tokoh yang empat orang lagi menyegani kehebatan
yang telah diperlihatkan oleh Manusagara. Tapi se-
sungguhnya kelima tokoh yang tidak tewas dalam aca-
ra itu, memiliki ilmu yang boleh dikatakan seimbang.
Kemudian terjadilah perselisihan kata-kata di anta-
ra Kidangkancana dengan Manusagara, yang lalu men-
jadi pertarungan sengit. Namun Kudawulung, Citralaga
dan Jayasena melerai pertarungan itu dan meminta
agar Kidangkancana dan Manusagara sama-sama me-
nahan diri.
Sejak itulah Manusagara menyimpan dendam ter-
hadap Kidangkancana. Dendam yang pernah mau di-
lampiaskannya, ketika mereka berjumpa beberapa ta-
hun kemudian. Tapi apa yang terjadi? Pada kesempa-
tan itu, Kidangkancana berhasil memukul roboh Ma-
nusagara. Dan dengan perasaan malu bercampur den-
dam, Manusagara menghilang dari dunia ramai.
Orang-orang mengira bahwa Manusagara sudah ‘cuci
tangan’ dari kalangan kadigjayaan. Namun ternyata ti-
dak. Manusagara mendapat gemblengan khusus dari
ibunya, yang bersemayam di laut barat, selama berta-
hun-tahun.
Dan kini Manusagara telah berhasil melampiaskan
dendamnya, dengan cara yang begitu keji.
Dan kini Kudawulung melihat kehadiran manusia
cebol itu, dengan perasaan heran dan hampir tak per-
caya.
Setelah keheranannya lenyap, Kudawulung berkata,
“Manusagara, tampaknya Andika masih hidup di dunia
ini. Aku senang melihatnya. Pertemuan ini mengin-
gatkanku pada masa muda kita, ketika kita sama-
sama menjadi peserta acara Satria Adikara yang tidak
diselesaikan itu. Tapi, ah... mengapa Andika mengotori
nama Andika sendiri, dengan pembunuhan yang keji
ini? Mengapa Andika tidak memanfaatkan ilmu yang
hebat itu untuk hal-hal yang luhur?”
“Kudawulung!” seru Manusagara. “Sudah kukata-
kan tadi, bahwa aku yang sekarang tidak sama dengan
aku yang dahulu! Dan hal itu telah kubuktikan dengan
mampusnya Kidangkancana keparat ini!”
“Mati di medan tarung, bukanlah sesuatu yang
aneh bagi kita. Tapi membunuh lawan dengan cara
meminjam tangan seperti itu, sungguh tidak patut di-
lakukan oleh tokoh terkenal seperti kau, Manusagara!
Sebagai orang yang pernah bersepakat denganmu da-
lam acara Satria Adikara dahulu, aku turut merasa
malu dengan tindakan keji yang telah kau lakukan
ini!”
Tampaknya sindiran Kudawulung itu sangat menge-
nai sasarannya. Namun sebagai akibatnya, bukanlah
membuat Manusagara sadar, bahkan sebaliknya... Ma-
nusagara mengulurkan tangannya yang bisa meman-
jang lebih dari sepuluh depa itu... dengan cepat me-
nyambar ke arah leher Kudawulung, disertai teriakan:
“Ikutilah kau bersama Kidangkancana ke neraka!”
Namun Kudawulung sudah memperhitungkan kele-
bihan apa yang dimiliki oleh manusia cebol yang ‘blas-
teran manusia dengan siluman’ itu! Maka dengan ge-
rakan yang sangat cepat pula, Kudawulung menjatuh-
kan diri ke depan, lalu... bssss... lenyaplah Kudawu-
lung dari pandangan!
Kudawulung telah menggunakan ajian Halimunan,
yang membuatnya bisa hilang dari pandangan orang
biasa. Sekali lagi... hilang dari pandangan orang beril-
mu rendah, tapi tidak bisa menyembunyikan diri dari
pandangan orang berilmu tinggi! Sebabnya adalah...,
bahwa orang yang berilmu tinggi dengan mengerahkan
ilmu ‘Dwinetra’, mampu melihat makhluk-makhluk ha-
lus sekalipun! Tapi, pengerahan ilmu Dwinetra harus
disertai syarat-syarat tertentu, antara lain harus men-
cukur habis setiap rambut dan bulu-bulu terhalus se-
kalipun di tubuhnya (di samping syarat-syarat lain-
nya).
Karena itu Manusagara tidak memaparkan ajian
Dwinetra. Manusia cebol setengah siluman itu men-
gambil langkah lain, yakni dengan mengerahkan ajian
Halimunan pula. Maka... bssssss... Manusagara lalu
hilang pula dari pandangan orang-orang yang menon-
ton di luar warung nasi itu.
Kini terjadilah sesuatu yang tidak terlihat oleh
orang-orang awam. Bahwa Manusagara dan Kudawu-
lung melanjutkan pertarungan mereka di dunia ‘sa-
na’... di dunia yang tidak kelihatan!
Ketika Kudawulung dan Manusagara mau menghi-
lang, Senapati Prabayani tiba di depan tempat keribu-
tan itu. Lalu, setelah kedua tokoh itu sama-sama
menghilang, Senapati Prabayani terlongong-longong
dan berkata di dalam hatinya, “Inilah pertarungan ter-
hebat yang pernah kusaksikan, tapi lalu tak bisa ku-
saksikan lagi! Di mana sekarang mereka bertarung?
Ah... seandainya aku memiliki ajian Halimunan seperti
mereka, alangkah senangnya!”
Di ‘dunia sana’, Kudawulung dan Manusagara sal-
ing hantam, saling tendang, saling tubruk, saling him-
pit dan sebagainya.
Dan... tiba-tiba saja, warung nasi itu ambruk!
Braaaaaaaaasssssshhhhh... brrrrrrrrukhhhhh!
Rupanya demikian dahsyatnya pertarungan kedua
tokoh kelas tinggi yang sedang sama-sama menghilang
itu, sehingga warung nasi itu tidak kuat lagi menahan
amukan mereka!
Senapati Prabayani terpaksa mundur beberapa
langkah, lalu berseru kepada orang-orang yang berke-
rumun di depan reruntuhan warung nasi itu
“Jangan mendekati tempat ini! Ayo mundur sebe-
lum kalian jadi korban!”
Apakah Senapati Prabayani sudah demikian baik
hatinya, sehingga merasa cemas kalau-kalau ada ra-
kyat Tegalinten yang menjadi korban amukan Manu-
sagara dan Kudawulung?
O, bukan itu masalahnya!
Sebenarnya Senapati Prabayani sudah merasa nge-
ri, takut kalau dirinya ikut tertabrak kedua tokoh yang
sedang bertarung di alam yang tak kelihatan itu. Dan
sang Senapati bermaksud mengundurkan diri ke da-
lam istana, tapi ia tidak ingin ada seorang pun yang
melihatnya mundur dalam takutnya. Karena itu, dis-
uruhnya orang-orang pulang ke rumahnya masing-
masing. Dan setelah jalan di depan reruntuhan warung
nasi itu lengang, Senapati Prabayani pun cepat-cepat
mengundurkan diri ke dalam istana!
Pertarungan Manusagara dan Kudawulung, makin
lama makin dahsyat. Walaupun tubuh mereka tidak
kelihatan, benda-benda yang terkena hantaman mere-
ka mulai ambruk di sana-sini. Bukan hanya benda-
benda kecil, melainkan juga beberapa bangunan mulai
roboh di sana-sini!
Dan rakyat Tegalinten mulai panik. Mereka ingin
menghindari amukan kedua tokoh yang sedang berta-
rung mati-matian itu. Tapi mereka tidak tahu ke mana
harus lari, karena mereka tidak melihat di mana kedua
tokoh itu sedang bertarung kini.
Aria Pamungkas pun keluar dari purinya, karena
mendengar suara hiruk-pikuk di luar istana itu. Tapi
Senapati Prabayani mencegatnya, “Jangan dulu keluar,
Gusti Aria.”
“Kenapa?” Aria Pamungkas heran. “Apa sebenarnya
yang sedang terjadi di luar sana?”
“Dua tokoh besar sedang bertarung. Adalah berba-
haya sekali mendekati tempat pertarungan mereka, ka-
rena dua-duanya mempergunakan ajian Halimunan.”
“Ajian Halimunan?”
“Ya,” Senapati Prabayani mengangguk. “Semacam
ajian yang membuat mereka tidak bisa kelihatan oleh
mata biasa.”
“Lalu?”
“Tenanglah, Gusti,” Senapati Prabayani memegang
lengan Aria Pamungkas. “Hamba sengaja pulang ke si-
ni, karena takut keselamatan Gusti terganggu. Hamba
memang selalu ingin melindungi Gusti.”
Aria Pamungkas hanya terlongong-longong. Tapi la-
lu ia menaiki tangga menuju menara, diikuti oleh Se-
napati Prabayani. Dan dari puncak menara itu, mereka
memandang ke luar sana... ke arah bangunan-
bangunan yang ambruk satu per satu, tak ubahnya di-
gojlok gempa bumi yang dahsyat.
“Siapa sebenarnya yang sedang bertarung itu?”
tanya Aria Pamungkas heran.
“Kakek Manusagara melawan musuh besarnya.”
“Siapa musuh besarnya? Kidangkancana?”
“Bukan. Kidangkancana malah sudah dibinasakan-
nya.”
“Oh ya?! Kalau begitu, Kakek Manusagara benar-
benar hebat. Tapi, siapa yang sedang dihadapinya ki-
ni?”
“Kudawulung, Gusti.”
“Kudawulung...! Rasa-rasanya aku pernah mende-
ngar nama itu.”
“Tentu saja! Beberapa puluh tahun yang lalu, Kuda-
wulung pernah membantai keluarga istana Tegalinten.
Gusti Aria tentu pernah mendengar ceritanya dari
ayahbunda Gusti.”
“Oh!” Aria Pamungkas terperanjat. “Kalau begitu,
Kudawulung itu harus dibinasakan!”
“Memang betul, Gusti. Sekarang pun Kakek Manu-
sagara sedang berusaha membinasakan musuh kera-
jaan itu!”
Namun apa yang terjadi selanjutnya, membingung-
kan Senapati Prabayani dan Aria Pamungkas.
Kedua tokoh yang sedang bertarung itu tidak mem-
perlihatkan ‘bekas-bekas’ amukan mereka lagi. Dan
suasana di luar istana menjadi sunyi.
Apa yang sedang terjadi? Ke mana Manusagara dan
Kudawulung?
***
Ada peristiwa yang harus diceritakan terpisah, ka-
rena peristiwanya terjadi di alam gaib yang semakin
menjauhi alam nyata.
Pada suatu saat, Manusagara berhasil menghantam
bagian berbahaya di selangkangan Kudawulung, se-
hingga murid dan anak angkat sang Sekarpadma itu
terjungkal roboh, disusul oleh hentakan kaki Manusa-
gara yang memanjang... plaaap... membuat Kudawu-
lung terhempas lagi untuk yang kedua kalinya. Dan ti-
ba-tiba saja Manusagara melepaskan salah satu senja-
ta gaibnya, yakni rantai asap yang mampu membelit
sukma Kudawulung!
Namun, sebelum rantai asap itu mencapai sasar-
annya, tiba-tiba saja Kudawulung berseru: “Ibunda Se-
karpadma! Apakah Ibunda tega membiarkan aku bina-
sa di tangan manusia setengah siluman ini?”
Lalu terdengar suara gaib: “Ibu datang membantu,
Sudesa!”
Kudawulung mendadak bangkit kembali dengan
perkasa. Dan ketika Manusagara menyongsong ke-
bangkitan lawannya dengan hantaman, Kudawulung
balas menghantam, sehingga terjadi tabrakan dua ke-
kuatan yang menimbulkan ledakan dahsyat...
ghluuuuurrrrr...!
Manusagara dan Kudawulung sama-sama terpental
akibat tabrakan itu. Dan... tiba-tiba saja Manusagara
melarikan diri ke arah barat!
Namun Kudawulung tidak mau melepaskannya be-
gitu saja. Dikejarnya manusia setengah siluman yang
sudah sama-sama berada di alam yang tidak kelihatan
itu. Dikejarnya terus. Dikejarnya... sampai sama-sama
meninggalkan Tegalinten... sampai memasuki hutan
gaib dan sama-sama membersit ke dunia yang penuh
dengan bukit-bukit tajam dan makhluk-makhluk ha-
lus!
Mereka telah meninggalkan Tegalinten. Mereka me-
lanjutkan lagi pertempuran di atas bukit-bukit tajam
yang puncaknya mirip deretan pisau. Baik Kudawu-
lung maupun Manusagara seakan-akan menguras ha-
bis segenap daya dan kekuatan mereka. Namun ter-
nyata kekuatan mereka seimbang. Dan kekuatan yang
seimbang itu memperpanjang jangka waktu pertempu-
ran.
Sebulan telah berlalu. Dua bulan terlewati. Tiga bu-
lan pun terlalui, tanpa ada yang menang maupun yang
kalah. Berkali-kali mereka ambruk bersama-sama.
Menghentikan pertempuran mereka. Lalu melanjutkan
lagi dengan kekuatan yang semakin mengendur.
Dan dengan mengendurnya kekuatan mereka, me-
ngendur pula daya ajian Halimunan yang mereka ke-
rahkan. Akibatnya, pada suatu saat mereka sama-
sama muncul lagi di dunia yang nyata, dunia yang ke-
lihatan!
Pukulan mereka pun tidak seperti pukulan tokoh-
tokoh besar lagi. Mereka tak ubahnya dua manusia ke-
laparan yang sudah kehabisan tenaga. Gerakan mere-
ka menjadi lamban... lamban sekali!
Tanpa mereka sadari, pertarungan yang sangat
lamban dan lemah itu terjadi di luar wilayah Tegalin-
ten. Dan tanpa mereka sadari, pertarungan mereka
sudah demikian lemahnya, sehingga ketika serombon-
gan anak kecil melewati tempat pertarungan itu, ter-
dengarlah suara tawa anak-anak itu: “Hihihihi... lihat!
Ada dua orang gila yang sedang berkelahi!”
“Hush! Yang begitu bukan berkelahi namanya, tapi
main tepuk tangan ame-ame!”
“Hihihihihiiiiii!”
“Orang gila! Orang gila!”
Teriakan dan tawa geli anak-anak kecil itu menya-
darkan Manusagara dan Kudawulung. Bahwa mereka
berdua seakan tak punya ilmu apa-apa lagi.
Maka akhirnya Manusagara berkata, “Kita lan-
jutkan pertarungan yang belum selesai ini bulan de-
pan! Jika bulan purnama muncul, kutunggu kau di
depan Candi Tegalinten! Bagaimana?”
Dengan napas terengah-engah Kudawulung meng-
angguk. “Baik! Hhh... aku akan datang ke candi itu...
hhh... pada waktu yang kau tetapkan... hhh... kuharap
kau jangan mengingkari janjimu... hhh...”
***
BANGUNAN yang rusak di Tegalinten, telah selesai
diperbaiki kembali. Rumah dan warung yang ro-
boh, telah didirikan kembali. Namun Manusagara be-
lum muncul juga di kotaraja.
Hal itu dipersoalkan oleh Aria Pamungkas di dalam
istana.
“Kakek Manusagara belum muncul juga. Mungkin
dia tewas dalam pertarungan empat bulan yang lalu
itu?” tanya Aria Pamungkas.
“Entahlah, Gusti Aria. Pertarungan itu sendiri ber-
langsung di alam yang tidak kelihatan. Dan hamba ti-
dak berani menebak-nebak tentang apa yang telah ter-
jadi pada diri mereka,” sahut Senapati Prabayani.
Aria Pamungkas berjalan hilir-mudik, sambil meng-
gendong kedua tangannya, dengan pikiran terarah ke
rencana yang belum juga terwujud itu—rencana untuk
menyerbu Kerajaan Tanjunganom.
Lalu kata Aria Pamungkas, “Rencana kita tetap ter-
gantung di awang-awang. Kita malah sibuk membena-
hi kehancuran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh
Kakek Manusagara dan musuhnya itu. Sementara ba-
risan Yudhapaksi sampai saat ini masih mandul juga.
Ah... aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.”
“Gusti Aria,” kata Senapati Prabayani, “tentang ba-
risan Yudhapaksi, tak usahlah Gusti kuatir. Mereka ti-
dak mandul. Mereka bisa dikembang-biakkan pada ha-
ri ini juga.”
“Kenapa tidak segera kau lakukan? Kenapa selama
ini engkau malah ikut-ikutan sibuk mengurusi pembe-
nahan bangunan-bangunan yang rusak dan hancur
itu? Bukankah tugas seorang senapati semata-mata
menyangkut angkatan perang saja? Semestinya kau
pun ingat bahwa hasrat untuk melaksanakan rencana
besar itu, telah sangat berkobar-kobar di dalam dada-
ku. Apakah engkau memang mengharapkan seman-
gatku pudar sendiri karena bosan menunggu-
nunggu?” suara Aria Pamungkas terdengar dingin.
Senapati Prabayani menundukkan kepalanya. Ia ta-
hu bahwa Aria Pamungkas sedang uring-uringan. Dan
ia sudah mulai tahu bagaimana cara menghadapi sang
Putra Mahkota jika sedang uring-uringan begitu. Ia ha-
rus diam, membisu, tak boleh mengeluarkan kata-kata
sepatah pun.
“Apakah aku harus melaksanakan penyerbuan itu
sendirian di depan prajurit-prajurit Tegalinten? Atau-
kah aku harus mengangkat beberapa senapati yang
baru, supaya rencanaku lekas terwujud?” gerutu Aria
Pamungkas lagi.
Senapati Prabayani tetap membisu.
Kali ini Aria Pamungkas justru mengharapkan Se-
napati Aria Prabayani menanggapi kata-katanya.
“Ooooh... Senapati! Jawablah pertanyaanku! Mengapa
engkau diam membisu seperti itu?”
Dengan kerlingan genit, Senapati Prabayani menya-
hut, “Hamba takut jawaban hamba malah semakin
membakar kemarahan Gusti Aria. Karena itu, lebih
baik hamba diam membisu. Kalau memang Gusti Aria
memandang perlu untuk mengangkat senapati-
senapati baru, hamba tidak berkeberatan. Bahkan se-
kalipun hamba dipecat dari kedudukan yang hamba
pegang sekarang, hamba akan menerimanya. Kemam-
puan hamba memang baru sampai di sini.”
Aria Pamungkas terperangah. Tidak terpikirkan
olehnya untuk memecat Senapati Prabayani. Tidak.
Lebih tidak terpikirkan lagi kalau Senapati Prabayani
lantas membelot ke Tanjunganom dan memimpin pe-
nyerbuan ke Tegalinten! Oh, tidak! Aria Pamungkas
terlalu membutuhkan Senapati Prabayani, agar jangan
sampai mengundurkan diri dari jabatannya.
Maka kata Aria Pamungkas, “Aku percaya pada ke-
mampuanmu. Tapi cobalah perlihatkan sesuatu yang
membesarkan hatiku. Janganlah kau buat seman-
gatku pudar sendiri.”
Tiba-tiba seorang prajurit datang menghadap. De-
ngan setengah berbisik, prajurit itu berkata kepada
Senapati Prabayani: “Gusti Senapati, hamba tidak tahu
bagaimana caranya orang itu bisa memasuki istana...
sekarang tahu-tahu orang yang dahulu ditempatkan di
puri khusus itu sudah berada di sana kembali.”
Senapati Prabayani terlonjak. “Kakek Manusagara
maksudmu?”
“Benar, Gusti,” sahut prajurit itu.
Senapati Prabayani dengan girang berkata kepada
Aria Pamungkas, “Kakek Manusagara sudah kembali,
Gusti Aria. Hamba akan berusaha membujuknya, un-
tuk melaksanakan tugas khusus. Dan Gusti Aria pasti
terkejut kalau sudah mendengar rencana hamba.”
“Rencana apa?” Aria Pamungkas tidak begitu ber-
semangat, walaupun sudah mendengar laporan ten-
tang kembalinya Manusagara.
Senapati Prabayani berbisik ke telinga Aria Pa-
mungkas, “Kita tugaskan Kakek Manusagara untuk
menculik Raja Tanjunganom...!”
Aria Pamungkas terkejut. Gembira bercampur ngeri.
Gembira, karena rencana Senapati Prabayani itu san-
gat ‘hebat’. Ngeri, karena hampir tak masuk di akal
seorang wanita muda seperti Prabayani, bisa memiliki
rencana segila itu buat zaman itu.
Tapi lalu Aria Pamungkas tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahaaaa...! Rencanamu memang lebih hemat da-
ripada rencanaku! Hemat biaya, hemat tenaga dan
hemat jiwa! Aku sangat tertarik mendengarnya! Run-
dingkanlah sekarang dengan sahabatmu yang ganjil
itu!”
“Apakah tidak lebih baik kalau Kakek Manusagara
kita undang saja ke mari, Gusti?”
“Tidak! Dahulu aku sudah mengatakannya. Urusan
dengan manusia yang satu itu, kuserahkan sepenuh-
nya padamu!”
Maka bergegas Senapati Prabayani menuju puri
khusus yang disediakan untuk Manusagara itu. Seti-
banya di sana, dilihatnya Manusagara dalam keadaan
lelah sekali.
“Empat bulan engkau meninggalkan istana ini,” ka-
ta Senapati Prabayani. “Kami sudah tercemas-cemas
memikirkanmu!”
“Hmmm... Kudawulung memang hebat! Keparat!
Aku hampir-hampir kalah dibuatnya!” gerutu Manusa-
gara sambil mengipasi dadanya.
“Lalu, bagaimana kesudahan pertarungan itu?”
“Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Aku bahkan terus-terusan ingat pada murid Kidang-
kancana itu. Mana dia sekarang?”
Senapati Prabayani tertawa geli. “Hihihihi... dia su-
dah sinting sekarang! Pada hari itu juga dia mendadak
gila dan berlari-lari mengelilingi kotaraja dalam kea-
daan telanjang bulat!”
“Hah?!” Manusagara terperanjat “Benarkah itu?”
Ya, seperti Manusagara, mungkin di antara pemba-
ca pun ada yang bertanya: Benarkan itu?
***
Benar! Pada waktu Kudawulung sedang bertarung
dengan Manusagara, Nyi Tiwi seakan-akan ‘lepas kon-
trol’, karena Manusagara sedang mengerahkan kekua-
tan lahir-batinnya untuk menghadapi lawan beratnya.
Akibatnya?
Nyi Tiwi mulai sadar tentang apa yang telah dilaku-
kannya. Bahwa ia telah membunuh gurunya sendiri!
Ya, walaupun tindakan itu dilakukan atas pengaruh
kekuatan gaib Manusagara, namun Nyi Tiwi mampu
mengingatnya dengan jelas. Bahwa ketika Kidangkan-
cana memeluknya, ia justru mempersiapkan keris ke-
cilnya, yang lalu dihunjamkannya ke dada guru yang
malang itu. Lalu Kidangkancana roboh... dengan keris
masih menancap di dadanya!
Semuanya itu masih diingatnya benar.
Dan tiba-tiba saja Nyi Tiwi memekik. “Rama Guru!
Oh! Rama Guru!”
Lalu Nyi Tiwi menghambur ke arah reruntuhan wa-
rung nasi itu. Di antara puing-puing warung nasi itu,
Nyi Tiwi mencari-cari. Dan akhirnya ia berhasil mene-
mukan mayat gurunya.
Pada saat itulah Nyi Tiwi menangis sejadi-jadinya,
sambil memeluk mayat gurunya erat-erat.
O, betapa dalamnya perasaan sedih dan sesal di ha-
ti Nyi Tiwi. Dan ketika perasaan sedih-sesal itu mele-
wati batas yang ‘dibolehkan’ dalam jiwa manusia... ti-
ba-tiba saja Nyi Tiwi menjadi berubah!
Pandangannya menjadi beringas.
Bayang-bayang pengalamannya bersama kakek-
kakek cebol itu, menggelayut lagi di benaknya. Ya...
Nyi Tiwi masih mampu mengingatnya. Bahwa ia telah
melakukan sesuatu yang sangat nista bersama manu-
sia setengah siluman yang sudah sangat tua itu.
Dan ingatannya tentang hal itu, membuat pandang-
annya menjadi semakin beringas.
Lalu... tiba-tiba saja Nyi Tiwi tertawa sendiri. “Hihi-
hihihihi...! Akulah lonte yang paling jahanam di muka
bumi ini!”
Lalu Nyi Tiwi berjingkrak-jingkrak sambil menang-
galkan pakaiannya sehelai demi sehelai. Dan kemu-
dian... dia berlari-lari mengelilingi kotaraja Tegalinten,
dalam keadaan telanjang bulat.
Di sepanjang jalan, Nyi Tiwi berteriak-teriak. “Ayo
rakyat Tegalinten! Siapa mau coba aku? Siapa? Hihihi-
hihi? Aku ini memang manusia paling jahanam di du-
nia! Hihihihihihi!”
Namun pada saat itu rakyat Tegalinten justru se-
dang panik, bangunan-bangunan roboh di sana-sini,
pohonpohon bertumbangan, batu-batu beterbangan
dan sebagainya, sebagai akibat pertarungan kedua to-
koh yang sedang sama-sama mengerahkan ajian Hali-
munan itu. Maka tak seorang pun mempedulikan Nyi
Tiwi karena mereka pun sedang panik.
Karena merasa tidak ada yang memperhatikannya,
Nyi Tiwi berlari dan berlari terus ke arah utara, sampai
meninggalkan kotaraja Tegalinten, tanpa sehelai be-
nang pun yang melekat di tubuhnya.
***
“Begitulah keadaannya,” kata Senapati Prabayani.
“Kekasihmu itu lalu menghilang entah ke mana. Tapi
sudahlah... masih banyak penggantinya. Lagipula tu-
gas dia sudah selesai, bukan?!”
Manusagara tampak kecewa. Tapi lalu berkata, “Ya,
tugas utamanya memang sudah selesai. Dan sudah-
lah... masih banyak gadis lain yang bisa kau suguhkan
untukku, bukan?”
“Gampang... gampang!” Senapati Prabayani meng-
angguk-angguk. “Tapi ada sesuatu yang sangat men-
desak dan membutuhkan pertolonganmu.”
“Apa itu?”
Senapati Prabayani menjawabnya dengan bisikan
perlahan. “Engkau berani menculik Raja Tanjunga-
nom, bukan?”
Manusagara terperangah. “Hah?! Apa gunanya main
culik-culikan begitu?”
Senapati Prabayani menjawab, “Kerajaan Tegalinten
membutuhkan tindakan seperti itu.”
“Ah, persetan dengan kebutuhan Kerajaan Tegalin-
ten! Tidak ada urusan denganku!” sahut Manusagara
tegar.
“Kakek ini bagaimana?! Kakek kan sekarang ini
tinggal di istana Raja Tegalinten. Bagaimana mungkin
Kakek bisa mengatakan persetan dengan kebutuhan
Kerajaan Tegalinten segala?!”
“Lalu maumu bagaimana?” ketegaran Manusagara
mencair.
“Sudah kukatakan tadi... culiklah Raja Tanjunga-
nom ke mari, karena Gusti Aria Pamungkas akan me-
maksanya menandatangani penyerahan kedaulatan
Tanjunganom ke bawah kekuasaan Tegalinten. Hanya
itu yang kuinginkan. Dan aku percaya, engkau pasti
bersedia melakukannya.”
Manusagara tercenung-cenung... dan akhirnya ber-
kata, “Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi seka-
rang biarkanlah aku istirahat dulu, karena sekujur tu-
buhku terasa letih sekali.”
(Bersambung)
Emoticon