BLAAAAR...!Pintu depan rumah Subali hancur be-
rantakan. Dan seorang ‘pemuda’ berpakaian serba
hitam, dengan rambut panjang tergerai, berdiri di am-
Subali terpucat-pucat, gemetaran dan memberani-
kan diri menatap ‘pemuda’ yang tak lain dari Nyi Tiwi
itu. “Me... Megamendung...! Ma... masih adakah yang
harus hamba lakukan untuk Andika?”
“Sahabatku diculik,” sahut Nyi Tiwi dingin. “Kau
yang menculiknya, bukan?”
“Sa... sahabat yang mana?” Subali tampak bingung
dan takut.
Nyi Tiwi tidak menjawab dengan kata-kata, melain-
kan dengan langkah cepat menuju pintu demi pintu
yang berada di rumah besar itu. Dan Subali hanya be-
rani memandangnya dengan lutut gemetaran terus.
Blaar... blaaar... blaaaar!
Setiap pintu yang tertutup, dihancurkan begitu saja
oleh Nyi Tiwi. Namun ia tidak menemukan Rangga di
segenap pelosok rumah Subali.
Setelah yakin bahwa Rangga tidak ada di rumah
megah itu, Nyi Tiwi kembali menghampiri Subali, den-
gan pandangan berapi-api. “Kau akan tahu akibatnya
kalau berani mempermainkanku! Katakan sekarang, di
mana sahabatku itu?”
Subali menjatuhkan diri, berlutut di depan Nyi Tiwi,
dan berkata tergagap, “Duh, Megamendung...! Ham-
ba... tidak berani mem... membohongi Andika... hamba
baru saja membersihkan lantai yang bersimbah darah
itu... bagaimana mungkin hamba bisa menculik saha-
bat Andika segala?”
“Kau yakin bahwa anak buahmu tidak melakukan-
nya?” Nyi Tiwi tetap bersikap mengancam.
“Tunggu,” kata Subali, “akan hamba tanyakan pada
mereka. Kalau ada salah seorang di antara mereka
yang berani bertindak selancang itu, hari ini juga
hamba akan menjatuhkan hukuman mati padanya!”
“Baik,” sahut Nyi Tiwi. “Aku tunggu di sini. Dan I-
ngat... jangan berani macam-macam!”
Bergegas Subali keluar dari rumahnya. Melangkah
dengan cepat ke arah pasar pelelangan ikan. Di situ ia
mengumpulkan anak buahnya. Di situ ia menanyai
anak buahnya satu per satu.
Dan Nyi Tiwi menunggu di rumah Subali, dengan
hati resah. Resah sekali.
Tak lama kemudian, Subali datang lagi, diiringi oleh
salah seorang kaki tangannya.
“Bagaimana?” tanya Nyi Tiwi tak sabar.
“Tidak ada seorang pun di antara anak buah hamba
yang melakukan penculikan,” sahut Subali. “Kalau An-
dika tidak percaya, silakan periksa seluruh Kundina
ini. Atau...”
Belum lagi selesai Subali bicara, tiba-tiba Nyi Tiwi
berkelebat dan lenyap dari pandangan.
Subali hanya tercengang-cengang dibuatnya.
“Juragan,” kata anak buah Subali, “siapa sebenar-
nya perempuan tadi?”
Subali terperangah. Kata ‘perempuan’ yang di-
ucapkan oleh anak buahnya, menyadarkan Subali pa-
da satu hal. Ya, sejak tadi aku tidak memperhatikan-
nya... dia seorang perempuan! Tapi... ah... mungkin-
kah ada perempuan yang memiliki ilmu sedahsyat itu?
Lalu Subali menjawab pertanyaan anak buahnya,
“Matamu kurang awas. Laki-laki kau sebut perempu-
an.”
“Tapi... rambutnya, bulu matanya, bibirnya, pi-
pinya, pinggulnya, suaranya... ah... mungkinkah ada
lelaki yang memiliki semuanya itu?” gumam anak
buah Subali. “Atau... hihihi... mungkin juga dia seo-
rang banci.”
Plaaak! Tiba-tiba saja Subali menampar anak
buahnya, sambil membentak, “Kamu jangan ngomong
sembarangan tentang orang tadi! Dia bisa mengha-
biskan delapan nyawa manusia dalam sekejap mata,
tahu?!”
“I... iya, Juragan...” lelaki itu memegangi pipinya
yang kena tampar tadi.
Sementara itu, Nyi Tiwi sedang duduk termangu di
atas perahu layar yang baru dibelinya dari Subali. Se-
pasang matanya yang tadi memancarkan pandangan
berapi-api, kini tampak sayu... bahkan mulai basah.
Hati Nyi Tiwi perih sekali saat itu. Ia telah berusaha
susah-payah untuk mencapai Kundina. Ia memiliki
semangat yang menggelegak untuk mengobati kelum-
puhan Rangga. Ia sudah bertekad bulat untuk berlayar
ke Nusa Aheng, yang kata gurunya amat berbahaya,
demi Rangga tercinta. Untuk itu pula ia membeli se-
buah perahu layar. Tapi setelah perahu itu dimilikinya,
Rangga lenyap begitu saja. Betapa tak perih hati Nyi
Tiwi dibuatnya?!
Pikir Nyi Tiwi saat itu, “Tampaknya Subali tidak
membohongiku. Lalu siapa yang menculik Kang Rang-
ga dari sampan itu? Apakah ada pihak lain yang ingin
menolongnya secara diam-diam... ataukah justru ada
pihak yang ingin membinasakannya?”
Pikiran yang terakhir itu, membuat Nyi Tiwi bergidik
sendiri. Ia memang mencintai Rangga. Dan kini, sete-
lah Rangga lenyap begitu saja, ia semakin sadar bahwa
ia sangat mencintai pemuda itu.
Tapi ke mana Rangga sebenarnya?
Untuk menjawabnya, kita perlu kembali ke saat-
saat Nyi Tiwi berada di rumah Subali, sebelum Nyi Tiwi
membunuh delapan orang anak buah Subali. Karena
pada saat itulah terjadinya peristiwa yang tak terduga-
duga itu.
***
Sebuah perahu merapat ke tepi muara Cigelung. Ti-
ga orang lelaki berada di dalam perahu yang datang
dari daerah mudik itu.
Secara kebetulan perahu itu merapat di dekat sam-
pan yang berisi Rangga. Dan salah seorang lelaki dari
perahu yang baru datang itu, melihat Rangga.
“Sttt... tengok...! Bukankah lelaki yang terlentang di
sampan itu sedang dicari-cari oleh Gusti Aria?” bisik
lelaki itu pada kedua kawannya.
Kedua kawan lelaki itu menoleh dan terbelalak. La-
lu...
“Benar! Dialah lelaki yang bernama Rangga itu!”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita sergap dia... mudah-mudahan saja dia masih
lumpuh seperti tempo hari!”
Ketiga lelaki itu bergerak cepat, berlompatan ke atas
sampan yang berisi Rangga.
Seandainya Rangga tidak sedang mengalami kelum-
puhan, tentu dengan mudah Rangga bisa membe-
baskan diri dari sergapan ketiga lelaki itu, karena me-
reka hanya lelaki-lelaki berilmu ‘pasaran’. Namun da-
lam keadaan lumpuh seperti itu, Rangga tak berdaya...
benar-benar tak berdaya.
Dan dengan mudahnya ketiga lelaki itu membawa
Rangga ke atas perahunya. Kemudian, perahu itu mu-
dik lagi ke arah hulu Cigelung.
Begitu cepat ketiga lelaki itu mendayung pera-
hunya, sehingga dalam tempo singkat saja mereka te-
lah jauh meninggalkan muara Cigelung.
Rangga terlalu yakin bahwa Nyi Tiwi akan segera
menolongnya. Itulah yang membuatnya diam saja. Ber-
teriak pun tidak.
Tapi ternyata Nyi Tiwi tidak datang juga. Dan pera-
hu yang membawanya itu, melaju terus ke arah sela-
tan.
Sambil mendayung perahu mereka, ketiga lelaki itu
bercakap-cakap terus.
“Kita akan mendapat hadiah besar dari Gusti Aria.”
“Ya, mungkin kita akan diberi pangkat tinggi dalam
laskar Tegalinten.”
“Tapi aku tidak begitu tertarik bekerja sebagai ang-
gota laskar. Masih enakan bekerja di dapur istana.”
“Huuu... dasar kerjamu tukang makan!”
“Bukan begitu soalnya. Setelah perempuan cantik
itu diangkat menjadi senapati, aku jadi ngeri sendiri
membayangkannya.”
“Kenapa ngeri?”
“Kau lihat sendiri waktu dia menghukum prajurit
yang keluyuran tengah malam itu, kan?! Hanya de-
ngan menyentuhkan ujung telunjuknya, leher prajurit
yang malang itu putus! Bagaimana kalau hal seperti
itu menimpa kita?”
Tiba-tiba Rangga ikut bicara. “Kalian sudah tahu
bahwa Senapati Prabayani itu seorang wanita berhati
iblis, tapi kalian justru mau diperbudak olehnya!”
Salah seorang lelaki penculik itu menoleh dengan
mata melotot. “Siapa suruh kamu ikut-ikutan bicara,
heh?!”
Ucapan itu dibarengi dengan tendangan keras ke
arah pinggang Rangga.
Tapi, sebelum kaki lelaki itu menyentuh pinggang
Rangga, tiba-tiba saja dari daratan sebelah timur mele-
sat sesosok tubuh berpakaian serba hitam dan menge-
nakan topeng hitam pula... demikian cepatnya lompa-
tan manusia berpakaian serba hitam itu, sehingga ta-
hu-tahu si lelaki yang hendak menendang Rangga tadi
terjungkal ke dalam air, tanpa mengetahui sebabnya
secara pasti... byuuuuuuur...!
Kedua lelaki lainnya mengalami nasib yang sama.
Tanpa mengetahui sebabnya secara pasti, tahu-tahu
mereka sudah berceburan ke dalam air... byuuur...
byuuuurrrr!
Sebelum sempat ketiga lelaki itu memunculkan ke-
pala mereka di atas permukaan air Cigelung, tahu-
tahu Rangga sudah lenyap... dibawa ‘terbang’ ke arah
timur!
“Hai... apa sebenarnya yang telah terjadi tadi?!” seru
salah seorang lelaki yang sudah berhasil memuncul-
kan kepalanya di atas air.
“Entahlah... rasanya aku seperti ditubruk oleh ben-
da keras... lalu tubuhku terpental ke dalam sungai
dan... hai... orang yang kita bawa tadi sudah hilang!”
“Ke mana dia?”
Ketiga lelaki itu naik ke atas perahu mereka, mene-
ngok ke sekeliling mereka, dengan kebingungan. Rang-
ga memang telah lenyap dari perahu mereka.
***
Rangga tahu bahwa ia sedang dibawa berlari cepat
oleh seseorang. Berilmu tinggi. Pada mulanya Rangga
mengira bahwa yang sedang membawanya itu Nyi Tiwi.
Namun ketika Rangga berkata, “Bukalah topengmu,
Nyi. Sekarang kita sudah berada di dalam hutan.”, ma-
nusia berpakaian serba hitam itu tertawa, “Hahaha-
ha... mengapa kau memanggilku dengan sebutan Nyi?
Aku bukan perempuan, Rangga.”
Rangga mengernyit. Ya, pikirnya, suara orang ini je-
las bukan suara Nyi Tiwi. Jelas orang ini lelaki. Tapi...
rasa-rasanya aku pernah mengenal suaranya... di ma-
na ya?
Rangga berpikir terus, sementara manusia berpa-
kaian serba hitam itu membawanya berlari terus ke
arah timur, semakin jauh memasuki hutan.
Dan tiba-tiba saja Rangga teringat sesuatu, apakah
aku tidak salah dengar? Suara orang ini... mirip sekali
suara Gusti Aria Lumayung! Tapi... kalau dinilai dari
gerakan larinya, jelas orang ini memiliki ilmu yang le-
bih tinggi daripada Nyi Tiwi. Lalu... mungkinkah Gusti
Aria Lumayung memiliki ilmu yang begini hebatnya?
Pikir Rangga lagi, Aku pernah terjebak mengenai pe-
nilaian terhadap Nyi Tiwi. Tadinya aku menyangka jan-
da muda itu cuma wanita biasa, tapi ternyata dia mu-
rid Kidangkancana. Lalu... mungkinkah Gusti Aria
Lumayung pun menyembunyikan kepandaiannya se-
perti Nyi Tiwi?
Tak kuasa menahan rasa penasarannya, Rangga la-
lu bertanya, “Apakah aku sedang bersama Gusti Aria
Lumayung?”
Tiba-tiba saja manusia berpakaian serba hitam itu
menghentikan larinya, meletakkan Rangga di atas
rumput, lalu membuka topengnya sambil tertawa re-
nyah, “Hahahaaa... engkau memang memiliki pancain-
dra yang sangat tajam, Rangga.”
Dan ternyata orang itu benar-benar Aria Lumayung!
Lalu kata pangeran itu lagi, “Hanya saja engkau te-
lah melupakan sesuatu. Dahulu aku pernah meminta-
mu untuk tidak memanggilku dengan sebutan gusti
lagi, karena aku sudah melepaskan diri dari belenggu
istana yang memuakkan itu. Sekarang aku sudah
menjadi pengembara biasa, yang tetap menganggapmu
sebagai sahabatku. Panggillah aku dengan sebutan Ka-
kang Lumayung saja. Panggilan akrab itu justru mem-
buatku nyaman.”
“Tapi... ah... kau... kau... ah... sungguh mataku ini
buta, tidak mengira Gusti, eh, Kakang berilmu tinggi
seperti ini,” cetus Rangga malu. Karena segera teringat
peristiwa beberapa bulan yang lalu, peristiwa ketika
Rangga menolong Aria Lumayung dari sergapan Lo-
drawaja dan Prabalaya itu. Pikir Rangga kini, “Sebe-
narnya kalau aku tidak turun tangan pun saat itu,
pangeran ini pasti bisa menyelamatkan diri. Tapi aku
memang sok pahlawan... berlagak ingin menolong
orang yang justru tidak memerlukan pertolonganku.”
Seperti mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh
Rangga, Aria Lumayung berkata, “Sudahlah, jangan
pikirkan lagi masa yang telah berlalu. Dahulu aku
pernah berhutang budi padamu, karena kau telah me-
nyelamatkanku dari sergapan Prabalaya dan orang-
orang dari golongan hitam itu. Maka wajarlah kalau
sekarang aku pun ingin berusaha menolongmu.”
“Ah... jangan sebut-sebut lagi pertolongan itu, Ka-
kang. Tanpa kutolong pun, Kakang pasti bisa membe-
baskan diri saat itu,” bantah Rangga makin malu.
Aria Lumayung tersenyum, berkata, “Aku mengagu-
mi ilmu dan keberanianmu. Kebetulan pula sekarang
kita mempunyai tujuan yang sama. Kau mau berlayar
ke Nusa Aheng, bukan?”
“Ka... Kakang tahu itu?” Rangga terheran-heran.
Aria Lumayung mengangguk. “Ya, racun jahat yang
telah bersarang di tubuhmu, hanya bisa disembuhkan
oleh Bagawan Suwandarama. Tapi murid Kidangkan-
cana itu tidak akan mampu membawamu berlayar ke
Nusa Aheng. Itulah sebabnya, aku terpaksa ikut cam-
pur... demi kesembuhanmu, sahabat.”
“Jadi...?”
“Perahu layarku sudah menunggu di pantai. Kita
harus berlayar hari ini juga, mumpung angin selatan
sedang bertiup ke utara.”
Tanpa berbicara panjang lebar lagi, Aria Lumayung
menggendong Rangga dan berlari secepat angin ke
arah utara.
Ketika mereka tiba di pantai yang sunyi, di mana
sebuah perahu layar sudah menunggu, Rangga terin-
gat pada Nyi Tiwi yang tertinggal di Kundina.
“Kakang... bagaimana dengan murid Kidangkancana
itu? Apakah dia harus kutinggalkan begitu saja?”
“Ya.” Aria Lumayung mengangguk. “Sebaiknya dia
tak usah tahu bahwa kita akan berlayar ke Nusa
Aheng. Kalau dia tahu, dia pasti akan memaksa ikut.
Dan hal itu justru akan menyulitkan kita, karena pu-
lau yang akan kita tuju bukan pulau biasa.”
“Tapi... kasihan wanita itu. Dia... dia pasti mencari-
cariku.”
“Nanti saja, kalau kau sudah sembuh, kau bisa
mencarinya, sekaligus minta maaf padanya.”
Rangga tidak mendebat lagi.
Dan tak lama kemudian, perahu layar itu mulai me-
laju ke tengah samudera.
***
Sementara itu, di pantai sebelah barat, di dekat
muara Cigelung, Nyi Tiwi masih tercenung di atas pe-
rahu layarnya. Ia seakan-akan tak tahu lagi apa yang
harus dilakukannya.
Ah, pikirnya, semua yang kulakukan ini sia-sia be-
laka! Di mana Kang Rangga berada sekarang? Kalau
dia memang diculik oleh seseorang, apakah penculik
itu kawan atau lawan?
Kalau yang menculiknya itu pihak kawan, pasti
Kang Rangga akan minta bertemu dulu denganku.
Ya... pasti yang menculik Kang Rangga itu pihak la-
wan. Lalu siapa pihak lawan itu?
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi bangkit. Bergumam, “Siapa
lagi kalau bukan anak-anak Prabaseta itu? Hmm...
seandainya mereka yang menculik Kang Rangga... aku
harus mengadu jiwa dengan mereka!”
Dan tiba-tiba saja tubuh Nyi Tiwi melesat ke arah
selatan, meninggalkan perahu layarnya begitu saja!
***
SENJA temaram di kotaraja Tegalinten. Angin tak
berhembus sedikit pun. Jalan sunyi. Lengang. Kota
itu laksana kota mati.
Tepi gelanggang ksatrian tampak hidup. Tigapuluh
prajurit pilihan sedang mendapat gemblengan khusus
dari Senapati Prabayani, disaksikan dengan sungguh-
sungguh oleh Aria Pamungkas.
Ketigapuluh prajurit pilihan itu, sedang berlatih il-
mu barisan ‘Yudhapaksi’, yakni semacam gerakan ba-
risan khusus untuk diterjunkan ke medan perang, se-
bagai barisan ‘elite’ dan sangat terlatih.
Senapati Prabayani memang hebat. Walaupun dila-
hirkan dalam keluarga sesat, lalu berkecimpung di du-
nia sesat pula, namun ternyata ia menguasai ilmu pe-
rang tingkat tinggi yang bisa diandalkan.
Barisan Yudhapaksi yang terdiri dari tigapuluh
orang itu, dibagi dalam enam kelompok yang diiba-
ratkan burung elang, masing-masing kelompok terdiri
dari lima prajurit. Kelompok pertama diibaratkan kepa-
la elang dengan senjata pedang dan perisai. Kelompok
kedua dan ketiga diibaratkan sebagai sayap kanan dan
sayap kiri burung elang, dengan bersenjatakan tombak
dan perisai. Kelompok keempat diibaratkan sebagai
tubuhnya, dengan bersenjatakan trisula (tombak ber-
mata tiga). Kelompok kelima dan keenam diibaratkan
sebagai kakinya, dengan bersenjatakan keris di tangan
kanan dan pecut di tangan kiri.
Barisan Yudhapaksi ini merupakan barisan terpadu
dan tunjang-menunjang. Bila pihak musuh menyerang
salah satu kelompok, maka kelompok-kelompok lain-
nya pasti menerjang pihak musuh, dengan gerakan
dan senjata yang berlainan. Hal itu, selain berbahaya
bagi musuh, juga akan sangat membingungkan.
Baru lima hari Senapati Prabayani menggembleng
barisan Yudhapaksi itu. Tapi hasilnya benar-benar
membuat Aria Pamungkas tercengang.
“Engkau memang patut menjadi senapatiku,” bisik
Aria Pamungkas sambil memperhatikan gerakan-
gerakan barisan Yudhapaksi itu. “Tapi... apakah mere-
ka sudah bisa diuji sekarang juga?”
Senapati Prabayani tersenyum genit dan menyahut,
“Mari kita buktikan keampuhan mereka, Gusti Aria.”
Kemudian Senapati Prabayani turun dari panggung
kehormatan. Menghampiri prajurit-prajurit yang terga-
bung dalam barisan Yudhapaksi. Lalu berseru, “Cu-
kup!”
Barisan Yudhapaksi kontan menghentikan gerakan
mereka, lalu mengalihkan perhatian kepada senapati
Prabayani.
Lalu kata Senapati Prabayani lantang, “Gusti Aria
ingin melihat hasil latihan kalian selama lima hari ini.
Apakah kalian sanggup menempuh ujian yang mem-
bahayakan keselamatan kalian?”
“Sangguuuup...!” sahut para anggota barisan Yud-
hapaksi serempak.
Senapati Prabayani menoleh ke arah Aria Pamung-
kas. “Gusti Aria, apakah Gusti merelakan kelima ekor
harimau yang baru ditangkap kemarin untuk bahan
ujian?”
“Ya,” Aria Pamungkas mengangguk.
Senapati Prabayani lalu memanggil seorang prajurit
yang bertugas menjaga pintu ksatrian. Kata Senapati
Prabayani, “Gotong kandang-kandang harimau yang
lima ekor itu ke sini.”
“Baik, Kanjeng Senapati,” sahut prajurit itu, yang
lalu bergegas melaksanakan tugasnya.
Tak lama kemudian, beberapa orang prajurit datang
sambil menggotong lima buah kandang besi, berisi li-
ma ekor harimau yang garang-garang.
Aria Pamungkas memperhatikan semuanya itu de-
ngan jantung berdebar-debar. Sementara Senapati
Prabayani memberi ‘pengarahan’ kepada seluruh ang-
gota barisan Yudhapaksi.
“Anggaplah kelima harimau itu sebagai musuh ka-
lian. Dan memang mereka akan menyerang kalian de-
ngan caranya masing-masing, karena sejak kemarin
mereka tidak diberi makan. Ingatlah... mereka akan
menyerang secara tidak beraturan. Dan kalian harus
berpikir cepat, bergerak cepat dan menghabiskan me-
reka secepat mungkin! Siap semua...!”
Senapati Prabayani memberi aba-aba kepada para
prajurit yang berada di dekat kandang-kandang hari-
mau itu, supaya pintu-pintunya mulai dibuka.
Begitu pintu-pintu kandang terbuka, berlompatan-
lah kelima ekor harimau itu ke tengah gelanggang ksa-
trian, dengan aumannya yang dahsyat dan mengeri-
kan, dalam remang-remangnya udara senja!
Kelima ekor harimau itu memang lapar sekali keli-
hatannya. Dengan garangnya mereka menerjang baris-
an Yudhapaksi dari sana-sini.
Namun apa yang terjadi?
Satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh...
delapan... sembilan... ya... dalam sembilan hitungan
saja, barisan Yudhapaksi berhasil menyergap kelima
ekor harimau itu... membuat kelima ekor harimau itu
kebingungan... dan pada hitungan kesembilan, kelima
ekor harimau itu sudah menjadi potongan-potongan
daging mentah yang berserakan di atas rumput ge-
langgang ksatrian itu!
Aria Pamungkas bertepuk tangan spontan. “Bagus!
Bagus!”
Dan Senapati Prabayani membubarkan barisan Yu-
dhapaksi, karena hari sudah semakin gelap. Kemudian
melangkah ke arah panggung kehormatan, pada saat
Aria Pamungkas mulai berani turun dari panggung itu.
Waktu harimau-harimau itu masih hidup tadi, Aria
Pamungkas memang takut-takut juga dibuatnya.
Aria Pamungkas menepuk bahu Senapati Prabaya-
ni. Dan berbisik perlahan, “Jika kita memiliki sepuluh
barisan yang seperti itu, dengan mudah kita akan me-
runtuhkan Tanjunganom.”
Senapati Prabayani mengerling dan menyahut, “Ja-
ngankan sepuluh barisan. Seribu barisan bisa kita
buat. Asalkan biayanya tersedia, hamba bisa mencip-
takan anak-anak barisan Yudhapaksi.”
“Anak-anak barisan Yudhapaksi?!” Aria Pamungkas
terheran-heran.
“Ya,” Senapati Prabayani mengangguk. “Ketigapuluh
prajurit yang sudah hamba gembleng itu, akan kita
umpamakan sebagai induknya. Lalu mereka akan di-
tugaskan untuk menurunkan ilmu mereka kepada ke-
lompok-kelompok baru yang akan dibentuk nanti. Ma-
ka akan lahirlah barisan-barisan Yudhapaksi baru...
yang akan senantiasa siap untuk melaksanakan cita-
cita Gusti Aria.”
Aria Pamungkas tercengang dan larut dalam khaya-
lannya. Ya, pikirnya, dengan tigapuluh orang saja Se-
napati Prabayani telah mampu membentuk barisan
yang demikian hebatnya. Lalu kalau aku membentuk
seratus kelompok yang masing-masing terdiri dari ti-
gapuluh orang dan digembleng dengan ilmu Yudha-
paksi... oh... aku akan menjadi penguasa tak terkalah-
kan di daratan ini!
Lalu, tergerailah tawa Aria Pamungkas. “Hahaha-
haaa... engkau memang hebat, Senapati!”
Sebenarnya masih ada yang ingin dibicarakan oleh
Aria Pamungkas, khusus mengenai rencana penyerbu-
annya ke Tanjunganom. Namun karena hal itu masih
sangat dirahasiakannya, ia mengajak Senapati Pra-
bayani berunding di dalam ruangan tertutup itu...
ruangan yang hanya dipakai untuk hal-hal yang raha-
sia saja sifatnya.
Dan setelah berada di dalam ruangan tertutup itu,
Aria Pamungkas berkata, “Kalau cita-citaku terwujud,
aku akan mengangkatmu sebagai Mahasenapati.”
Dengan sikap genit, Senapati Prabayani menyahut,
“Hamba tidak mengincar kedudukan itu.”
Aria Pamungkas tercengang dan menatap wajah Se-
napati Prabayani dengan pandangan curiga. “Lantas
kedudukan apa yang kau inginkan?”
Tiba-tiba saja Senapati Prabayani menjatuhkan diri,
berlutut di depan Aria Pamungkas dan mengelus betis
putra mahkota itu, sambil berdesis, “Pribadi Gustilah
yang hamba dambakan.”
Dada Aria Pamungkas terasa lega kembali. Lalu bi-
birnya menyunggingkan senyum aneh. Dan desisnya,
“Engkau harus membuktikan pengabdianmu terlebih
dahulu. Tentang diriku, sebagaimana engkau tahu,
sampai saat ini aku masih belum beristri. Jadi sebe-
narnya tidak ada persoalan.”
Senapati Prabayani yang pada dasarnya memang
selalu haus lelaki, terlebih lagi kali ini lelaki yang diin-
carnya seorang putra mahkota, lalu memperlihatkan
kelebihannya dalam menyeret lelaki ke dalam kobaran
birahinya. Ketika elusan itu berpindah ke dada sang
Putra Mahkota, Senapati Prabayani berdesis, “Sebaik-
nya kita menghilangkan rasa curiga-mencurigai di an-
tara kita berdua. Hamba telah memperlihatkan seba-
gian pengabdian hamba. Lalu bagaimana caranya su-
paya hamba percaya bahwa Gusti Aria tidak akan
mencampakkan hamba di kemudian hari?”
“Maksudmu?” Aria Pamungkas terpaksa menahan
napasnya. Aneh memang, kali ini elusan Senapati Pra-
bayani terasa begitu merangsang. Dan Aria Pamungkas
tidak sadar bahwa salah satu urat penting di tubuh-
nya, telah mendapat tekanan lembut... tekanan yang
membuat birahinya naik!
“Hamba takut kalau cita-cita Gusti Aria telah terca-
pai, justru Gusti Aria akan mencampakkan hamba de-
ngan cara yang belum hamba ketahui. Karena itu,
hamba ingin agar Gusti Aria memberikan keyakinan
pada diri hamba, bahwa Gusti Aria akan selalu mem-
butuhkan hamba,” desis Senapati Prabayani sambil
mengelus terus urat khusus di tubuh Aria Pamungkas
itu. Tampaknya Senapati Prabayani sudah tak sabar
lagi menunggu ‘kemurahan’ sang Putra Mahkota, yang
selama ini tetap menolak ajakan halusnya. Padahal
Senapati Prabayani sudah sangat merindukannya...
sudah sangat membayangkannya, tentang betapa in-
dahnya digauli oleh seorang putra raja yang berwajah
tampan seperti Aria Pamungkas.
Dan Aria Pamungkas belum sadar bahwa ia sedang
berada di ambang perangkap Senapati Prabayani. Pe-
rangkap yang berusaha menyeretnya ke alam dewasa...
alam yang belum pernah dirasakannya!
Memang di situlah letak kelainan Aria Pamungkas.
Bahwa ia sudah cukup dewasa. Bahwa ia selalu me-
nyimpan rencana-rencana besar mengenai negerinya.
Bahwa ia memiliki kekuasaan yang serba memungkin-
kan untuk mendapatkan gadis secantik apa pun. Tapi
ia justru belum pernah merasakan bagaimana hangat-
nya tubuh perempuan yang sebenarnya.
Aria Pamungkas memang mengutamakan tahta dan
kekuasaan di atas segala-galanya. Ia bahkan berang-
gapan bahwa wanita bisa melumpuhkan ambisinya.
Hal itu diperkuat oleh salah satu nasihat Selir
Dayangwaru (ibunya) yang pernah berkata, “Jangan
dulu memikirkan perempuan sebelum engkau diresmi-
kan sebagai raja Tegalinten, anakku, ingatlah... wanita
seringkali membuat lelaki lupa pada tujuan awalnya,
lupa pada cita-citanya dan lupa pada segala-galanya.
Karena itu, berhati-hatilah setiap kali engkau berha-
dapan dengan perempuan, anakku. Terlebih lagi kalau
perempuan itu cantik. Karena seringkali kecantikan
seorang perempuan merupakan senjata ampuh untuk
melumpuhkan tekad seorang lelaki. Kelak, bila engkau
sudah menjadi raja di negeri ini, seribu perempuan
pun akan kau dapatkan dengan mudah. Tapi seka-
rang, jangan dulu memikirkannya. Setiap kali berha-
dapan dengan seorang perempuan cantik, ingatlah,
bahwa kecantikan perempuan itu akan mampu mem-
binasakan cita-citamu!”
Itulah sebabnya, setiap kali pandangan lelaki Aria
Pamungkas tertumbuk pada kecantikan wajah dan ke-
indahan tubuh seorang perempuan, sesering itu pula
sang Putra Mahkota menekannya dengan: Tidak! Aku
sedang melihat racun yang akan membinasakan se-
mangat politikku! Aku tidak boleh tertarik olehnya! Ti-
dak boleh!
Dan, begitulah... Aria Pamungkas memang sering
mengumpankan gadis-gadis cantik, untuk membujuk
para bangsawan yang dibutuhkannya. Beberapa adipa-
ti yang tunduk di bawah kekuasaan Tegalinten, se-
ringkali mendapatkan ‘hadiah’ seperti itu. Tapi untuk
Aria Pamungkas sendiri? Tidak. Aria Pamungkas tidak
mau menyentuh seorang gadis pun! Aria Pamungkas
menganggap perempuan sebagai musuh cita-citanya!
Dan kali ini, meskipun Senapati Prabayani sangat
menguasai ilmu tentang urat-urat penting di tubuh
manusia, namun ia tidak dapat menguasai jiwa dan
ambisi Aria Pamungkas. Ia tidak dapat menguasai to-
lakan batin Aria Pamungkas yang seakan-akan berte-
riak lantang: Jangan! Jangan kau lakukan itu! Ingat
pesan ibumu! Ingat! Jangan kau ganggu semangatmu
dengan sesuatu yang belum kau ketahui! Tekan ha-
sratmu! Tekan!!!
Dan tiba-tiba saja Aria Pamungkas mendorong dada
Senapati Prabayani, sambil berkata, “Kalau cita-citaku
sudah tercapai, apa pun yang kau inginkan akan ku-
penuhi, asalkan jangan minta singgasana raja saja.
Percayalah, aku tidak akan melupakan jasa-jasa setiap
orang yang pernah mendukung rencanaku. Tapi jan-
gan kau minta sesuatu yang tidak mungkin kuberikan
sekarang.”
Senapati Prabayani memeluk lutut Aria Pamungkas,
sambil berdesis setengah merintih, “Hamba menggilai
Gusti Aria. Oh... berilah hamba kesempatan untuk
memperoleh kehangatan malam ini juga. Marilah kita
persatukan diri kita menjadi bagian yang tak terpisah-
kan lagi. Dan... jangan biarkan hamba merana, Gusti.”
Namun Aria Pamungkas justru menganggap malam
itu sebagai malam penuh bahaya. Maka dengan halus
ia mengusap pipi Senapati Prabayani, sambil berkata,
“Kurasa lebih baik kita berpisah dulu. Besok kita lan-
jutkan lagi perundingan kita.”
Kemudian Aria Pamungkas meninggalkan ruang itu.
Meninggalkan Senapati Prabayani bersama kekecewa-
annya yang sedalam lautan.
Tak lama kemudian Senapati Prabayani pun me-
ninggalkan ruangan itu, dengan kepala tertunduk, de-
ngan hasrat yang masih membara, dengan sejuta a-
ngan-angan yang tak tersalurkan.
Senapati Prabayani melangkah lesu di lorong sebe-
lah selatan puri Aria Pamungkas. Di sebelah barat lo-
rong itu terdapat balai prajurit, sementara sebelah ti-
murnya terdapat gelanggang ksatrian yang beberapa
saat yang lalu dipakai untuk menguji barisan Yudha-
paksi. Puri Senapati Prabayani sendiri terletak di sebe-
lah selatan gelanggang ksatrian.
Ketika melewati pintu balai prajurit, senapati Pra-
bayani melihat seorang prajurit sedang jaga malam,
lengkap dengan tombak di tangannya. Dan... tiba-tiba
saja Senapati Prabayani teringat pengalamannya wak-
tu berada di istana Adipati Natajaya dahulu. Pengala-
man tentang ‘keok’-nya Adipati Natajaya yang mem-
buat Prabayani kesal dan kecewa, yang membuat Pra-
bayani penasaran dan lalu memanggil seorang penjaga
yang bernama Citro. Ya, Senapati Prabayani masih in-
gat benar peristiwa di istana Adipati Kawahsuling itu.
Peristiwa yang mengerikan bagi orang lain, tapi justru
membuat Prabayani tersenyum-senyum sendiri.
Lalu, pikir Senapati Prabayani, apakah sekarang
aku harus melakukan hal yang sama seperti waktu be-
rada di Kawahsuling dahulu?! Prajurit yang sedang
bertugas menjaga balai prajurit itu... masih remaja dan
lumayan tampannya. Tapi sekarang aku telah menjadi
seorang senapati! Tidak! Aku tidak boleh melunturkan
wibawaku sendiri di dalam lingkungan istana ini! Aku
harus menahan diri! Ya, aku harus menahan gejolakku
sendiri!
Lalu Senapati Prabayani bergegas menuju purinya
yang terletak di sebelah selatan gelanggang ksatrian
itu.
Tapi setibanya di dalam purinya, hasrat Senapati
Prabayani laksana air mendidih... meluap-luap... men-
desir-desir tak terkendalikan!
Hal itu memang sangat dimungkinkan oleh ilmu se-
sat yang dimiliki oleh Senapati Prabayani. Ilmu yang di
satu pihak menimbulkan kekuatan, namun di lain pi-
hak menimbulkan beberapa dampak buruk. Dan salah
satu dampak buruk itu, adalah gejolak birahi yang su-
lit dikendalikan dan sangat menyiksa!
Menurut pengalaman Senapati Prabayani sendiri,
hasrat berlebihan itu hanya bisa diredakan oleh lela-
ki—tentu. Terlebih lagi kalau lelaki itu digilainya. Dan
kini wanita berhati iblis itu menggilai Aria Pamungkas.
Namun ia tidak berhasil mendapatkannya.
Dan kini ia membayangkannya. Membayangkannya
terus. Membayangkan hangatnya berada dalam pelu-
kan dan gelutan sang Putra Mahkota. Dan khayalan
itu membuatnya jadi seperti orang gila. Menggelinjang-
gelinjang sendiri di atas peraduannya. Menggelepar-
gelepar dan terpejam-pejam.
Lalu, ketika ia tak kuasa lagi menanggungnya, ia
tak peduli lagi dengan kewibawaannya yang tadi hen-
dak dipertahankannya. Ia bergegas keluar dari pu-
rinya. Bergegas melangkah ke pintu balai prajurit.
Menghampiri penjaga pintu balai prajurit yang masih
terhitung remaja itu.
Lalu...
“Siapa namamu?”
“Parta, Gusti.”
“Berapa orang yang menjaga balai prajurit malam
ini?”
“Hanya hamba sendiri, Gusti.”
“Ikut aku.”
“Baik, Gusti.”
Dan penjaga balai prajurit bernama Parta itu men-
gikuti langkah Senapati Prabayani, menuju puri di se-
belah selatan gelanggang ksatrian itu.
Dan Senapati Prabayani mulai membayangkan se-
suatu yang gila, seperti yang pernah dilakukannya di
istana Adipati Natajaya dahulu. Senapati Prabayani
sudah bertekad untuk melakukan hal yang sama. Dan
itu membuatnya tersenyum sendiri waktu ia tiba di
depan pintu purinya.
Tetapi... senyum itu mendadak lenyap. Matanya
agak terpicing. Dan dahinya berkerut.
Rupanya telinga Senapati Prabayani yang sudah sa-
ngat terlatih itu, mendengar sesuatu di sebelah timur
sana. Mendengar suara teriakan-teriakan dari arah
penjara!
Senapati Prabayani tidak jadi memasuki purinya. Ia
juga membatalkan maksudnya tentang penjaga berna-
ma Parta itu. Kini ia bahkan sungguh-sungguh menge-
luarkan instruksi: “Bangunkan prajurit-prajurit yang
ada dan perintahkan mereka agar segera menyelidiki
apa yang sedang terjadi di dalam penjara sana!”
“Baik, Gusti!” Parta bergegas menuju asrama praju-
rit istana yang terletak di sebelah barat puri Senapati
Prabayani, tanpa mengetahui bahwa tadi ia diajak oleh
sang Senapati dengan maksud ‘istimewa’.
Dan Senapati Prabayani hilir-mudik di depan puri-
nya. Suara teriakan-teriakan itu makin jelas di telinga-
nya. Membuatnya bertanya-tanya: Apa yang sedang
terjadi di dalam penjara itu? Nah... aku mendengar
bunyi yang mirip dengan bunyi robohnya tembok! Ah...
aku harus menyelidikinya sendiri! Aku tidak bisa men-
gandalkan prajurit-prajurit goblok itu!
Dan tiba-tiba saja tubuh Senapati Prabayani berke-
lebat ke arah timur... melesat dengan pesatnya, mele-
wati pintu belakang istana, lalu seakan-akan terbang
ke arah bangunan penjara yang terletak di sebelah ti-
mur istana Raja Tegalinten.
***
MEMANG sedang terjadi sesuatu di dalam penjara
Tegalinten. Seseorang berpakaian serba hitam de-
ngan rambut panjang terurai, mengamuk secara mem-
babi buta di dalam penjara. Setiap pintu dirobohkan.
Benteng penjara pun dijebolkan lewat tendangan-ten-
dangannya yang disertai kekuatan gaib yang dahsyat.
Orang yang sedang mengamuk itu, adalah Nyi Tiwi.
Nyi Tiwi sengaja datang ke kotaraja, hanya untuk
mencari Rangga. Dan ia lalu teringat lagi ketika ia ber-
hasil membebaskan Rangga dari dalam penjara... inga-
tan mana lalu membuatnya geram dan kalap... lalu
menerjang pintu gerbang penjara... menyerbu masuk
ke dalamnya, setelah merobohkan beberapa penjaga,
lalu memeriksa sel demi sel dengan jalan menghancur-
kan pintu-pintunya!
Dalam amarahnya yang tak terkendalikan, Nyi Tiwi
jadi demikian garangnya. Setelah mengetahui bahwa
Rangga tidak disekap di dalam penjara itu, ia men-
gambil balok kayu besar dari dekat pintu gerbang. Lalu
dengan balok kayu itu, ia menjebolkan benteng penja-
ra... blaaaaar!
Beberapa penjaga yang berusaha menyergap Nyi Ti-
wi, justru menjadi sasaran amukan murid Kidangkan-
cana itu. Dalam tempo singkat saja mereka berjatu-
han, lalu bergelimpangan di dekat benteng yang dije-
bolkan itu, dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Tak puas dengan itu saja, Nyi Tiwi lalu mengerah-
kan tenaga gaibnya, menyertai tendangan-
tendangannya ke arah benteng penjara, sehingga ben-
teng yang sudah jebol itu lalu roboh di sana-sini.
Pada saat itulah beberapa tahanan mempergunakan
kesempatan untuk melarikan diri ke luar benteng pen-
jara. Dan Nyi Tiwi tak peduli dengan mereka. Nyi Tiwi
hanya peduli satu hal: Rangga... Rangga... di mana
Kang Rangga sekarang berada?
Kemudian Nyi Tiwi memandang ke arah barat sana.
Ke arah istana Raja Tegalinten yang tampak bende-
rang.
Mungkin dia disekap di sana, pikir Nyi Tiwi, aku ha-
rus menyelidikinya ke dalam istana!
Tapi, sebelum sempat Nyi Tiwi melangkah, tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh ke depannya.
Senapati Prabayani!
Nyi Tiwi tersenyum dingin melihat kedatangan Se-
napati Prabayani itu. Dan Senapati Prabayani sendiri
tampak berhati-hati, karena sudah menduga bahwa
tamu tak diundang itu bukan orang berilmu rendah.
“Siapa kau dan apa tujuanmu merusak penjara?”
tanya Senapati Prabayani sambil memperhatikan Nyi
Tiwi yang tersorot sinar bulan.
“Aku mencari sahabatku yang bernama Rangga,”
sahut Nyi Tiwi tetap dengan sikap dingin.
“Rangga?!” Senapati Prabayani terperanjat.
“Ya. Kalau ternyata dia disekap di dalam kotaraja
ini, aku akan membuat perhitungan dengan caraku
sendiri!” Nyi Tiwi mengakhiri ucapannya dengan lom-
patan jauh ke sebelah barat, dengan maksud hendak
memeriksa ke dalam istana.
Tapi Senapati Prabayani mengejarnya. “Tunggu!
Kau sudah merusak penjara dan membunuhi penja-
ganya, lantas sekarang enak saja mau melarikan diri?!”
Seruan Senapati Prabayani itu diikuti dengan ber-
taburannya serbuk halus ke arah punggung Nyi Tiwi.
Rupanya Senapati Prabayani sudah demikian kesal-
nya, sehingga belum apa-apa langsung menyerang Nyi
Tiwi dengan serbuk racun yang sangat jahat. Jika ser-
buk itu menyentuh punggung Nyi Tiwi, walaupun
hanya sebulir, dapat dipastikan bencana hebat akan
menimpa murid Kidangkancana itu.
Tapi ternyata Nyi Tiwi sudah sangat terlatih dalam
menghadapi serangan seperti itu. Nalurinya pun tajam
sekali. Sehingga begitu serbuk-serbuk itu hampir me-
nyentuh punggungnya, tiba-tiba saja tubuh Nyi Tiwi
melesat ke udara... cukup tinggi, kira-kira dua kali
tinggi tubuh manusia. Namun pada saat itu pula Se-
napati Prabayani bergerak secepat kilat, melepaskan
selendang sutranya ke udara, disertai dengan mantra
Layon Ngincir. Dan selendang sutra itu berpusing de-
ngan cepat, menyerbu ke arah Nyi Tiwi yang masih be-
rada di udara.
Lagi-lagi Nyi Tiwi mempertunjukkan kebolehannya
sebagai murid Kidangkancana. Ketika ia masih mela-
yang di udara dan melihat serangan selendang sutra
yang dibarengi dengan mantra Layon Ngincir itu, tiba-
tiba saja tubuhnya membelok ke selatan... lalu melejit
ke arah Senapati Prabayani dan... plaaak... tendangan
keras mendarat di bawah dagu Senapati Prabayani,
membuat wanita berhati iblis itu terpental dan ter-
jungkal ke tanah, diikuti oleh jatuhnya pula selendang
sutra itu ke tanah (karena pemusatan pikiran pemilik-
nya sudah buyar).
Tak cukup dengan itu saja, ketika Senapati Pra-
bayani sedang berusaha bangkit, Nyi Tiwi mengirimkan
tendangan susulan secara beruntun, ke pinggang Se-
napati Prabayani, ke dada, ke bahu, ke dagu dan ke
selangkangan... dessss, blug, plasss, deppp, kraaak...!
Seandainya tendangan itu hanya tendangan biasa,
tentu saja Senapati Prabayani tidak akan merasa ke-
sakitan. Tapi tendangan murid Kidangkancana, benar-
benar bukan tendangan biasa, melainkan tendangan
yang disertai tenaga gaib... tenaga yang mampu men-
jebolkan pintu penjara!
Senapati Prabayani memekik... lalu memuntahkan
darah segar.
“Perempuan iblis seperti kau musti mampus!” ben-
tak Nyi Tiwi sambil mengirimkan pukulan maut ke
arah dada Senapati Prabayani.
Pukulan maut Nyi Tiwi itu merupakan bagian dari
jurus ‘Antareja Nepak Bumi’, yakni semacam ‘tepukan’
kedua belah tangan, dengan disertai pengerahan tena-
ga gaib. Hantaman ini sangat berbahaya dan mampu
menghancurkan batu sekeras apa pun! Bisa dibayang-
kan apa yang akan terjadi jika kedua telapak tangan
Nyi Tiwi berhasil menghantam dada Senapati Prabaya-
ni.
Namun sebelum kedua tangan Nyi Tiwi mencapai
sasarannya, tiba-tiba saja janda muda itu teringat sa-
lah satu pesan gurunya: Jangan menghantam lawan
yang sudah tak berdaya!
Dan seketika itu pula Nyi Tiwi membatalkan mak-
sudnya dengan menarik kembali tangannya, sambil
memperhatikan Senapati Prabayani yang sedang da-
lam keadaan tak sadarkan diri itu.
“Kalau aku hendak membinasakan perempuan iblis
ini, aku harus menunggunya sampai siuman kembali,”
pikir Nyi Tiwi.
Tapi, sebelum Senapati Prabayani siuman, tiba-tiba
saja sesosok tubuh melesat dari arah utara. Dan de-
ngan sangat terkejut Nyi Tiwi melompat sambil jungkir
balik ke arah timur. Hal itu dilakukan oleh Nyi Tiwi,
karena ia merasakan datangnya angin pukulan yang
terarah ke urat kematian di lehernya!
Ketika Nyi Tiwi sudah berdiri tegak kembali, tam-
paklah di hadapannya... seorang lelaki tua berperawa-
kan cebol dengan dua buah tongkat kayu di tangan-
nya. Nyi Tiwi belum mengenal siapa lelaki cebol yang
baru datang itu. Tapi melihat dari gerakannya yang
hampir tak disadari oleh Nyi Tiwi tadi, bisa dipastikan
bahwa lelaki cebol itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dan Nyi Tiwi bisa memastikan, bahwa lelaki cebol yang
kedua tangannya memegang tongkat kayu itu seorang
tokoh yang kejam, karena datang-datang langsung
menyerang ke arah urat kematian!
Sementara itu, Senapati Prabayani sudah sadar
kembali, kemudian duduk dengan sikap bersemadi,
untuk memulihkan kekuatannya. Luka dalam yang di-
timbulkan oleh tendangan Nyi Tiwi tadi memang cukup
parah. Tapi Senapati Prabayani sudah tahu benar ba-
gaimana caranya mengobati diri sendiri dalam keadaan
seperti itu.
***
“Siapa kau? Aku merasa belum pernah berurusan
dengan manusia kate macam kau!” bentak Nyi Tiwi de-
ngan penuh kewaspadaan, karena yakin bahwa orang
yang sedang dihadapinya itu sangat tangguh.
Lalu terdengar suara orang cebol itu, dingin dan
menyeramkan. “Heheheheee... siapa bilang aku manu-
sia kate? Lihatlah... siapa yang lebih tinggi... kau atau
aku?”
Tiba-tiba saja lelaki cebol itu memperlihatkan suatu
kebolehan yang tak pernah Nyi Tiwi lihat sebelumnya...
tubuh lelaki cebol itu mendadak seperti karet yang bi-
sa melar... menjadi tinggi kurus, dengan kepala gepeng
pula!
Nyi Tiwi terkesima, karena baru sekali itu ia me-
nyaksikan pertunjukan ilmu yang demikian anehnya.
Namun ia pun segera teringat salah satu pesan gu-
runya: Ingatlah... pada saat kau melihat sesuatu yang
tidak masuk di akal, seringkali hal seperti itu hanya ti-
puan penglihatan untuk menyesatkanmu. Kalau kau
mengalami hal seperti itu, pusatkan pandanganmu ke
arah keningnya, sambil memaparkan ajian Tulak Kala.
Jika terlihat titik merah muncul di tengah dahinya, be-
rarti kau telah berhasil mengusir tipuan penglihatan
yang menyesatkan itu!
Dan kini Nyi Tiwi berusaha menjalankan pesan gu-
runya, dengan memusatkan pandangan ke arah kening
lelaki cebol yang sudah menjadi tinggi itu, sambil me-
maparkan ajian Tulak Kala secara diam-diam.
Tapi lelaki itu tetap tampak tinggi dan titik merah
yang ditunggu-tunggu oleh Nyi Tiwi tetap tak mau
muncul di dahinya.
Bahkan ketika Nyi Tiwi masih memusatkan pandang-
annya ke arah kening lelaki itu, tiba-tiba saja lelaki itu
membentak, “Hai, kenapa kau jadi melamun?!”, dis-
usul dengan gerakan yang aneh... gerakan dengan len-
gan memanjang... memanjang dengan cepatnya, seper-
ti karet ditarik... lalu... plok... tangan yang memanjang
itu menghantam dada Nyi Tiwi dengan telak, dan
membuat murid Kidangkancana itu terjungkal roboh,
sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Saat itulah Senapati Prabayani bangkit dan mem-
bungkukkan badannya di depan lelaki yang bisa mem-
buat tubuhnya seperti karet itu.
“Kalau tidak salah, aku yang rendah ini sedang ber-
hadapan dengan Kakek Manusagara yang bergelar Bang-
kong Laut Kulon,” kata Senapati Prabayani.
Rrrtttt... tubuh lelaki itu menjadi pendek kembali!
Lalu terdengar suaranya, “Hahahahaaa... matamu
memang tajam! Engkau anak Prabaseta, bukan?”
“Betul. Sudah sering ayahku bercerita tentang ke-
hebatan Kakek Manusagara. Namun baru sekaranglah
aku sempat bertemu dengan orangnya. Gusti Aria Pa-
mungkas pasti senang sekali menjamu Kakek di ista-
na.”
“Tidak,” lelaki cebol itu menggeleng. “Aku tak punya
urusan dengan istana. Aku hanya ingin memaksa Ki-
dangkancana supaya muncul dari tempat persembu-
nyiannya, dengan jalan merobohkan muridnya ini.”
Lelaki cebol itu menunjuk ke arah Nyi Tiwi yang
masih tergeletak dalam keadaan tak sadar.
Senapati Prabayani terperanjat. “Dia murid Kidang-
kancana?!”
“Ya,” lelaki cebol itu mengangguk.
Senapati Prabayani menggumam, “Pantas... ilmunya
hebat sekali.”
Lelaki bernama Manusagara itu mendengus di hi-
dung. Dan katanya, “Tidak... dia masih mentah. Yang
hebat itu gurunya. Hmmm... beberapa hari lagi dia
pasti muncul di Tegalinten ini.”
Senapati Prabayani bisa menebak dengan cepat,
bahwa lelaki cebol berilmu tinggi itu punya ‘urusan
lama’ dengan Kidangkancana. Dan dengan cepat pula
Senapati Prabayani berpikir, “Ilmunya begitu tinggi...
mengapa aku tidak memanfaatkannya? Bukankah saat
ini aku sering direpotkan oleh lawan-lawan tangguh?”
Lalu kata Senapati Prabayani, “Kalau Kakek tidak
berkeberatan, aku akan menyekap murid Kidangkan-
cana ini di dalam penjara bawah tanah. Kemudian
akan kusuruh anak buahku untuk menyiarkan berita
ke mana-mana, bahwa murid Kidangkancana telah ku-
tangkap. Dengan jalan itu, Kidangkancana akan mun-
cul secepat mungkin di Tegalinten. Bukankah keingi-
nan Kakek juga begitu?”
Lelaki tua bernama Manusagara itu tertawa terge-
lak-gelak. “Hahahahahaaa... memang itulah yang ku-
harapkan!”
“Jadi Kakek setuju dengan rencanaku?”
“Ya, mungkin itulah jalan terbaik.”
“Dan Kakek mau menunggu di istana sampai Ki-
dangkancana muncul?”
Lelaki cebol itu berpikir sesaat, lalu, “Baiklah... aku
akan tinggal di istana... dan kau membutuhkan sesua-
tu dariku, bukan?”
Senapati Prabayani tersipu, dan pikirnya, “Gila. Ma-
nusia dari laut barat ini bukan hanya hebat ilmu ke-
digjayannya, tapi juga tajam nalurinya! Tapi untuk apa
aku berpura-pura? Aku memang membutuhkan ma-
nusia cebol berilmu dahsyat ini!”
Maka dengan sikap manis yang dibuat-buat, Sena-
pati Prabayani menyahut, “Memang benar. Kurasa ti-
dak ada manusia yang tidak membutuhkan tokoh sak-
ti seperti Kakek. Dan untuk itu, aku akan menyedia-
kan makanan kegemaran Kakek... panggang hati ha-
rimau, bukan?!
Lelaki cebol itu terbelalak. “Kau tahu makanan ke-
gemaranku segala macam?! Hahahahaaa... ini baru co-
cok namanya! Ayo sekap murid Kidangkancana itu dan
bawa aku ke istana!”
***
KITA tinggalkan dulu Nyi Tiwi yang nasibnya masih
merupakan tanda tanya, untuk kembali mengikuti
Rangga dan Aria Lumayung yang sedang menempuh
pelayaran di laut utara.
Sudah tiga hari tiga malam mereka berada di tengah
lautan yang luas itu. Seperti yang Rangga katakan pa-
da suatu saat: “Sudah tiga hari tiga malam kita ber-
layar. Berarti kalau angin tetap berhembus dengan
baik, kita akan tiba di pantai Nusa Aheng lima hari la-
gi.”
“Dari mana kau tahu waktu pelayaran secara tepat
begitu?” tanya Aria Lumayung dengan senyum.
“Aku mendengarnya dari Kidangkancana ketika se-
dang memberi petunjuk pada muridnya yang kuting-
galkan di Kundina itu.”
Aria Lumayung mengernyit. Lalu katanya, “Sebenar-
nya Kidangkancana terlalu ceroboh membiarkan mu-
ridnya hendak berlayar ke Nusa Aheng.”
“Maksud Kakang?”
“Nusa Aheng terlalu berbahaya untuk dilayari oleh
orang yang belum berpengalaman di laut. Bahkan kita
sendiri belum tentu mampu mencapai Nusa Aheng
nanti. Yah... kita serahkan saja semuanya pada Yang
Maha Kuasa.”
Rangga terdiam. Memandang lautan yang mahaluas
dengan terawangan melayang-layang.
Pada saat itu Rangga duduk bersandar di buritan,
setelah ditolong terlebih dahulu oleh Aria Lumayung,
dengan jalan mengikat pinggangnya supaya jangan
sampai jatuh (karena kelumpuhan Rangga membuat-
nya seolah-olah tak bertulang lagi).
“Kakang Lumayung,” kata Rangga, “kalau boleh aku
tahu, siapa sebenarnya guru Kakang?”
Aria Lumayung yang sedang memegang tongkat
kemudi, menoleh, memandang ke laut lepas, lalu ka-
tanya, “Aku tidak punya guru.”
Rangga yang pernah dilarang menyebut-nyebut na-
ma gurunya, lalu mengira bahwa guru Aria Lumayung
pun melarang memperkenalkannya. Maka kata Rang-
ga, “Guru Kakang melarang namanya disebut-sebut,
bukan?”
“Tidak,” sahut Aria Lumayung. “Aku memang tidak
punya guru, kecuali sebuah kitab yang kutemukan se-
cara tak disengaja.”
“Kitab?!”
“Ya, kitab itulah yang memberiku pelajaran tentang
banyak hal... antara lain tentang ilmu kedigjayan.”
Rangga tercengang. Lalu tanyanya, “Kalau boleh
aku tahu, bagaimana kejadiannya sehingga Kakang
menemukan kitab itu?”
“Panjang juga ceritanya Rangga. Tapi baiklah...
akan kuceritakan semuanya, karena kau pernah ber-
janji untuk merahasiakan segala hal yang menyangkut
diriku, bukan?!”
“Ya, ceritakanlah. Aku bukan sebangsa manusia
yang cepat bocor mulut, Kakang.”
Aria Lumayung lalu menceritakannya.
***
Sebagaimana telah diceritakan terdahulu, Aria Lu-
mayung dilahirkan dari Selir Sawitri. Masa kecil seo-
rang putra raja, tentu saja menyenangkan. Demikian
pula dengan Aria Lumayung. Setiap kebutuhannya se-
lalu terpenuhi. Dan para pelayan istana selalu siap un-
tuk menunggu perintah atau keinginannya.
Tapi anehnya, Aria Lumayung justru merasa bosan
dengan semuanya itu. Bosan dengan kehidupan serba
dilayani, serba dipenuhi dan serba dihormati. Aria Lu-
mayung bahkan sering berkhayal, betapa nikmatnya
kalau ia bisa membebaskan diri dari segala ikatan is-
tana, lalu lepas ke alam bebas untuk menikmati kehi-
dupan tanpa tatakrama dan basa-basi.
Aria Lumayung pun sering berpikir, “Rasanya aku
terlalu mudah mendapatkan segalanya di dalam istana
ini. Padahal kemudahan-kemudahan seperti ini justru
akan membuatku bodoh.”
Merasa bosan pada kehidupan yang serba dilayani
dan serba protokoler, Aria Lumayung lalu sering me-
ninggalkan istana secara diam-diam. Tanpa diketahui
oleh siapa pun, Aria Lumayung sering berjalan cukup
jauh, sampai ke tepi Cigelung. Di tepi sungai itu ia se-
ring melamun sendiri. Membayangkan dirinya bukan
sebagai anak raja, melainkan anak rakyat jelata yang
harus belajar bekerja sejak kecil sekali. Dan ‘tamasya
rahasia’ itu lalu menjadi kebiasaannya.
Secara diam-diam pula ia mulai mengenal seorang
pengail ikan bernama Japra, yang sering ditemuinya
sedang memancing di tepi sungai Cigelung. Setiap kali
meninggalkan istananya secara diam-diam, Aria Lu-
mayung selalu menanggalkan pakaian kebangsawa-
nannya, lalu mengenakan pakaian yang lazim dipakai
oleh anak rakyat biasa. Begitu pula waktu pertama ka-
linya ia berkenalan dengan Japra, ia tidak mengena-
kan pakaian kebangsawanannya itu, sehingga Japra
tidak mengira bahwa anak tanggung yang sering men-
gajaknya bercakap-cakap itu putra seorang raja.
Pada saat itu usia Aria Lumayung kira-kira duabe-
las tahun, sementara Japra sudah berusia delapanbe-
las tahun. Maka wajarlah kalau Aria Lumayung me-
manggil Japra dengan sebutan ‘Kang’, sementara Ja-
pra memanggil Aria Lumayung dengan sebutan ‘Jang’
saja. Dan toh Aria Lumayung tidak merasa tersinggung
dipanggil dengan sebutan ‘pasaran’ seperti itu, bahkan
sebaliknya Aria Lumayung merasa senang dengan
panggilan akrab itu. Senang pula dengan perlakuan
Japra yang tak pernah memakai tatakrama dan basa-
basi.
Persahabatan Aria Lumayung dengan Japra, mem-
buat putra raja itu jadi ikut-ikutan gemar memancing
ikan di tepi Cigelung. Dan memang Aria Lumayung se-
ringkali memperoleh kenikmatan khusus dari kegema-
ran barunya itu. Bahwa ketika pancingnya tersambut,
ia bisa merasakan getaran nikmat itu, getaran yang se-
ringkali membuatnya tertawa riang... yang justru sulit
didapatkan di dalam istana yang hanya menciptakan
suasana sungguh-sungguh itu.
Seperti yang diungkapkannya di depan Japra pada
satu hari: “Rasanya kalau pancing kita sudah terkait
ke mulut ikan, hati kita senang sekali, ya Kang?”
“Tentu saja,” sahut Japra saat itu. “Apalagi kalau
ikannya besar, wah... nikmatnya bukan main.”
Berlainan dengan Japra, yang selalu membawa pu-
lang hasil pancingannya, Aria Lumayung selalu mem-
bakar ikan-ikan yang terpancing olehnya, lalu mela-
hapnya di tepi Cigelung itu juga. Dan Aria Lumayung
merasa nikmat... nikmat sekali melahap ikan hasil pan-
cingannya sendiri.
Japra memang pernah menanyakan hal itu: “Kena-
pa ikannya tak pernah dibawa pulang, Jang? Kan lu-
mayan buat teman nasi.”
“Ah,” sahut Aria Lumayung, “ibuku nggak senang
makan ikan, Kang. Enakan juga dimakan di sini.”
Japra percaya saja bahwa ibunya ‘si Ujang’ tidak
senang makan ikan, sehingga ikan hasil pancingan ‘si
Ujang’ tidak pernah dibawa pulang. Padahal, tentu saja
Aria Lumayung tidak perlu membawa pulang ikan-ikan
hasil pancingannya, karena di dalam istana terlalu ba-
nyak makanan mewah yang jauh lebih enak daripada
ikan bakar. Selain daripada itu, Aria Lumayung pun
pasti akan ditegur oleh ibunya, jika ia pulang ke istana
sambil menjinjing-jinjing ikan.
Pernah Japra menanyakan di mana rumah Aria
Lumayung dan siapa orang tuanya. Aria Lumayung
menjawab bahwa ia tinggal di Tegalinten dan orang tu-
anya seorang pedagang. Jawaban itu pun dipercayai
oleh Japra.
Demikianlah, hari demi hari berlalu dengan pesat-
nya. Tanpa terasa, Aria Lumayung mulai remaja.
Setelah remaja, Aria Lumayung semakin leluasa me-
ninggalkan istana. Pembatasan-pembatasan terhadap
putra raja yang telah menanjak dewasa, tidak terlalu
banyak lagi. Bahkan Prabu Suriadikusumah setengah
menganjurkan putra-putranya yang telah remaja, un-
tuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya di luar
istana.
Persahabatan Aria Lumayung dengan Japra berlan-
jut terus. Mereka tetap sering berjumpa di tepi Cige-
lung. Mereka tetap sering memancing ikan di situ, te-
tap sering bercakap-cakap dan berkelakar.
Sampailah pada satu hari...
Aria Lumayung datang ke tepi Cigelung, ketika Ja-
pra sudah duluan tiba di sana.
“Wah, aku kesiangan. Sudah banyak dapat ikannya,
Kang?” tanya Aria Lumayung sambil melirik ke arah
korang Japra (korang = tempat ikan yang terbuat dari
anyaman bambu).
“Ah, nasibku sedang sial, Jang. Sejak masih gelap
aku sudah duduk di sini. Yang kudapat bukannya
ikan, malah yang begituan,” Japra menyentuhkan
ujung kakinya ke sebuah benda berlumuran lumpur.
“Apa ini?” Aria Lumayung mendekati benda yang di-
tunjukkan oleh Japra tadi.
“Kitab,” sahut Japra. “Tapi nggak tahu kitab apa,
soalnya aku buta aksara. Hanya barang sialan itu yang
menyangkut di kailku hari ini.”
Aria Lumayung memungut benda itu. Membersih-
kan lumpur yang melumurinya, dengan jalan mence-
lupkannya berkali-kali ke dalam air Cigelung. Benar-
benar sebuah kitab yang lembaran demi lembarannya
terbuat dari kulit.
Aria Lumayung sangat tertarik oleh kitab kuno itu.
Walaupun sudah sulit dibacanya, namun Aria Lu-
mayung masih bisa membaca tulisan pada sampul ki-
tab kuno itu. Di situ tertulis judul ‘Dasadaya’ (Sepuluh
Kekuatan).
Aria Lumayung langsung tertarik oleh kitab kuno
itu. Maka katanya, “Kalau Kang Japra tidak membu-
tuhkannya, kitab ini buat aku saja, ya Kang?”
Japra mengangguk acuh. “Ambillah. Aku sih nggak
butuh kitab-kitaban. Bacanya juga nggak bisa.”
***
Seandainya Japra pandai membaca, mungkin tidak
akan semudah itu ia memberikan kitab Dasadaya ter-
sebut. Karena kitab itu jauh lebih berharga daripada
ikan-ikan yang Japra cari tiap hari.
Pada mulanya Aria Lumayung sendiri tidak menya-
dari betapa berharganya kitab itu. Maka setibanya di
dalam purinya, kitab itu diletakkan begitu saja di ba-
wah peraduannya
Beberapa minggu kemudian, barulah Aria Lu-
mayung mulai membaca isi kitab itu.
Tulisan di dalam kitab itu merupakan hasil pahatan
di atas lembaran kulit yang sudah disamak. Sehingga
walaupun kelihatannya kitab itu sudah cukup tua,
Aria Lumayung masih bisa membacanya.
Pada halaman pertama tertulis kalimat:
Barangsiapa menemukan kitab ini,
berarti jodohnya sudah pasti,
untuk memiliki isi demi isi,
yang terdapat di sini.
Dan takkan diberi izin,
memperlihatkannya pada orang lain.
Juga menurunkan kembali ilmu,
yang terdapat dalam kitab ini,
merupakan pantangan utama,
terkecuali jika ia telah lulus
dalam ujian akhir di Nusa Aheng.
Jika ilmu Dasadaya sudah termiliki,
kitab ini harus dibakar
sampai menjadi abu,
dan abunya harus terminum habis,
supaya mukjizat Dasadaya melekat
dan menyatu dengan dirinya.
Selain dilarang menurunkan kembali
ilmu Dasadaya pada orang lain,
barangsiapa hendak menguasai isi kitab ini,
harus mematuhi tiga larangan utama:
Satu, kalau ia lelaki,
ia dilarang tertarik pada wanita,
kalau ia wanita,
ia dilarang tertarik pada lelaki.
Dua, ia dilarang tertarik pada tahta.
Tiga, ia dilarang tertarik pada harta.
Pelanggaran terhadap larangan-larangan itu,
adalah bibit kematian bagi dirinya,
karena semua ilmu yang dimilikinya,
akan menjadi api yang membakar jiwa,
akan menjadi topan yang merobohkan batin,
akan menjadi racun yang membinasakan.
Jika ia ragu dan tak mampu mematuhi
setiap peraturan pencipta ilmu Dasadaya,
ia harus membuang kitab ini ke Cigelung
sebelum bencana datang padanya.
Pertimbangkan dulu semasak mungkin
sebelum mengambil ilmu Dasadaya,
karena tiada jalan lain baginya.
Untuk menguasai ilmu Dasadaya
harus mematuhi tata-tertibnya.
***
Pada mulanya Aria Lumayung takut sendiri setelah
membaca tulisan pada halaman pertama itu, sehingga
pikirnya, “Lebih baik kubuang saja kitab ini ke Cige-
lung kembali. Ancaman-ancamannya mengerikan se-
kali!”
Tapi darah remajanya... ya, darah remaja yang
mengalir di tubuh Aria Lumayung, membuat putra raja
itu penasaran. Terlebih lagi setelah membaca tulisan
pada baris paling bawah di halaman pertama, yang
berbunyi: Barang yang baik, mahal harganya. Ilmu
yang baik, berat syaratnya.
Ya, pikir Aria Lumayung selanjutnya, syarat-syarat
yang berat begitu, tentu diimbali oleh sesuatu yang be-
sar. Sesuatu yang sulit didapatkan. Tapi... apa sebe-
narnya yang bisa kupetik dari kitab ini?
Berhari-hari Aria Lumayung memikirkannya. Se-
mentara kitab itu disimpannya di dalam sebuah kotak,
tanpa keberanian untuk membacanya.
Sampailah pada suatu malam, Aria Lumayung sea-
kan-akan mendengar bisikan gaib di telinganya: Baca-
lah kitab itu... bacalah! Kalau kitab itu terjatuh ke ta-
ngan orang lain, niscaya malapetaka akan melanda ne-
geri ini!
Seperti tertarik oleh daya gaib yang sangat kuat,
Aria Lumayung membulatkan tekadnya pada malam
itu juga: “Aku harus membacanya! Aku harus mengu-
asainya! Dan aku sudah siap untuk menerima syarat-
syaratnya!”
***
“Jadi, kitab itukah yang membuat Kakang Lu-
mayung memiliki ilmu demikian tingginya?” tanya
Rangga ketika Aria Lumayung menghentikan penutu-
rannya.
“Ya,” sahut Aria Lumayung. “Namun menyesal seka-
li, aku tidak dapat menceritakannya lebih lanjut, kare-
na dilarang oleh penulis kitab itu. Bahkan sebenarnya
baru sekaranglah aku menceritakan perihal kitab itu
pada orang lain.”
“Gusti Prabu tidak mengetahuinya?”
“Tidak. Di istana, tidak ada seorang pun yang kube-
ritahu perihal kitab itu. Ibuku sendiri pun tidak per-
nah kuberitahu. Yah... sampai ibuku menutup mata,
aku tetap merahasiakan apa sebabnya aku tidak ber-
sedia kawin dengan gadis mana pun.”
“Ibu Kakang Lumayung sudah meninggal?”
“Ya, beliau meninggal setahun yang lalu. Dan sebe-
lum meninggal, beliau berkali-kali memintaku untuk
segera kawin. Dan aku terpaksa menghibur keresahan
beliau dengan kata-kata palsu... dengan kata-kata,
bahwa aku belum menemukan gadis yang sesuai de-
ngan keinginanku. Padahal sebenarnya aku telah
mengikat perjanjian dengan kitab pusaka itu... kitab
yang begitu sulit dipelajari dan baru selesai kupahami,
setelah sepuluh tahun lamanya.”
“Sepuluh tahun?!” Rangga terperangah. “Jadi Ka-
kang menekuni kitab itu selama sepuluh tahun?”
“Ya,” Aria Lumayung mengangguk. “Baru tiga bulan
yang lalu aku berhasil menyelesaikan pelajaran yang
terdapat di dalamnya.”
“Oh ya... tadi Kakang mengatakan bahwa di dalam
kitab pusaka itu terdapat kalimat yang menyatakan
bahwa ujian akhir Kakang harus dilaksanakan di Nusa
Aheng! Jadi... apakah penulis kitab itu Bagawan Su-
wandarama?”
“Itulah yang aku tidak tahu,” sahut Aria Lumayung.
“Di dalam kitab itu sama sekali tidak tercantum nama
Bagawan Suwandarama. Jadi aku sendiri belum tahu
apa hubungan sang Bagawan dengan kitab pusaka itu.
Yang jelas, sekarang kita punya satu tujuan. Itulah se-
babnya aku membawamu dalam pelayaran ini.”
“Tapi... apakah Kakang tidak melanggar larangan
dengan membawaku dalam pelayaran ini?”
“Kurasa tidak. Karena menolong sesama manusia,
merupakan hal yang paling dianjurkan dalam kitab
itu. Dan... ah... bersiap-siaplah... kita akan mulai me-
masuki perairan yang penuh bahaya...!”
Aria Lumayung menghentikan percakapan itu, kare-
na dilihatnya ombak setinggi pohon kelapa bergulung-
gulung di sebelah utara sana. Dalam tempo singkat sa-
ja perahu layar itu mulai terjebak ke dalam kepungan
ombak yang makin lama makin mengganas.
Langit pun mendadak mendung. Guruh mulai ter-
dengar di kejauhan. Dan udara mulai buram.
Hujan turun bersama badai. Dan perahu itu tak
ubahnya setangkai daun kering, terombang-ambing ke
sana ke mari.
Aria Lumayung sibuk sendiri menggulung layar.
Sementara Rangga hanya memejamkan matanya. Pa-
srah.
Aria Lumayung berusaha sekuat tenaga untuk me-
nyelamatkan perahu itu dari amukan ombak dan ba-
dai. Namun keadaan di laut tidaklah sama dengan di
darat.
Dan pada suatu saat, ombak setinggi bukit menggu-
lung perahu layar itu... sampai lenyap dari permukaan
air!
***
Ketika perahu layar itu ditelan ombak yang begitu
menggunung, Rangga mengira dirinya sudah akan ma-
ti di dasar samudra. Tapi ternyata perahu layar itu
masih sempat muncul lagi ke permukaan laut, kemu-
dian datang hantaman ombak yang begitu kencang
dan... braaaaaaasssssshhhhhh...! Badan perahu itu
pecah berantakan!
Rangga masih sempat mendengar pekikan Aria Lu-
mayung: “Ranggaaa..!”
Rangga tidak bisa menyahut, karena tubuhnya
tenggelam lagi ke dalam laut. Setelah itu, Rangga tidak
ingat apa-apa lagi.
Tidak ingat apa-apa lagi.
Dan ketika sadar kembali, Rangga mendapatkan di-
rinya sedang terapung-apung di tengah samudra, de-
ngan tubuh masih terikat di sebilah papan... papan
yang berasal dari buritan perahu!
Rangga berusaha menoleh ke kanan kirinya, sambil
berteriak sekeras-kerasnya, “Kakang Lumayuuuung...!
Kakang Lumayuuuung...!”
Tidak ada sahutan. Hanya desir dan gemuruh om-
bak yang terdengar.
Akhirnya Rangga terdiam, dalam kebingungan yang
hampir melewati batasnya. Tanpa menyadari bahwa ia
baru saja tersadar setelah tiga hari tiga malam dalam
keadaan pingsan dan terkatung-katung di tengah lau-
tan!
Dan kini, ketika Rangga sedang mencari-cari Aria
Lumayung dengan sudut matanya, tiba-tiba datang la-
gi ombak menggunung... menelan tubuh Rangga ber-
sama papannya ke dalam laut... jauh ke dalam laut...
dan Rangga tidak ingat apa-apa lagi.
Rangga tidak tahu bahwa tubuhnya seperti disedot
ke dasar laut... tidak pula tahu bahwa tubuhnya mulai
tiba di dasar laut, kemudian memasuki mulut lubang
yang menganga lebar... dan membenam terus ke dalam
lubang itu!
Rangga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada di-
rinya. Padahal sesuatu yang dahsyat sedang dialami di
bawah sadarnya. Bahwa tubuhnya seperti dihisap oleh
suatu kekuatan dari pusar bumi... yang membuatnya
meluncur pesat sekali di dalam lubang di dasar sa-
mudra... lebih cepat dari anak panah yang dilepaskan
dari busurnya!
Tubuh Rangga meluncur... meluncur terus dalam
kecepatan yang sangat tinggi... meluncur terus di da-
lam lubang yang seakan tak ada ujungnya itu.
Pasti Rangga terkejut sekali jika ia tahu bahwa ja-
rak yang telah ditempuhnya di dalam lubang itu, jauh
lebih panjang daripada jarak yang telah ditempuhnya
dalam pelayaran bersama Aria Lumayung beberapa
hari yang lalu!
Dan Rangga meluncur di dalam lubang itu selama
dua hari dua malam, dalam keadaan tak sadar.
Lalu terjadilah sesuatu yang juga tidak disadari oleh
Rangga sendiri. Bahwa kali ini tubuhnya seperti dido-
rong ke atas, setelah melewati belokan lubang yang
menekuk kurang lebih sembilan puluh derajat.
Dan... tiba-tiba saja tubuh Rangga ‘dimuntahkan’
ke daratan pantai yang diselimuti kabut... daerah pan-
tai yang sangat sunyi dan dingin.
***
KEHADIRAN Manusagara di istana Tegalinten, me-
rupakan angin segar bagi Senapati Prabayani. Ka-
rena hanya Senapati Prabayani sendiri yang sadar, be-
tapa tangguhnya lawan-lawan yang harus dihadapinya
kelak. Hal itu tergambar dalam pikiran sang Senapati.
“Orang-orang kuat mendadak bermunculan di Tegalin-
ten. Pemuda bernama Rangga itu, jelas tidak boleh di-
bawa main-main, sementara aku belum tahu juga sia-
pa gurunya. Dan sekarang muncul pula perempuan
berpakaian laki-laki itu, yang katanya murid Kidang-
kancana. Jelas aku akan menghadapi lawan-lawan be-
rat, karena dengan sendirinya, guru Rangga dan guru
perempuan itu akan ikut campur dan menjadi lawan-
lawanku yang berat... terlalu berat!”
“Maka,” pikir Senapati Prabayani lagi, “Kehadiran
Kakek Manusagara, merupakan hal yang menggembi-
rakan bagiku. Karena tampaknya manusia setengah si-
luman itu mampu menghadapi Kidangkancana sekali-
pun. Aku harus membujuknya dengan segala daya,
supaya ia bersedia tetap tinggal di istana ini, karena
aku sangat membutuhkannya. Menurut cerita yang
pernah kudengar dari ayahku, tidaklah sulit untuk
menjadi sahabat Kakek Manusagara. Manusia yang bi-
sa mengubah-ubah tubuhnya seperti karet itu, hanya
menggemari dua hal... panggang hati harimau... dan
gadis-gadis cantik! Kalau kedua hal itu bisa kusuguh-
kan secara berkala, pasti dia akan kerasan tinggal di
istana ini!”
Ketika hal itu disampaikan kepada Aria Pamungkas,
pada mulanya sang Putra Mahkota menolaknya. “Ba-
gaimana mungkin istanaku mau dijadikan sarang
makhluk yang punya kegemaran mengerikan begitu?!
Tidak. Kalau membutuhkan dukungan dari orang-
orang kuat, carilah orang-orang yang waras saja. Jan-
gan meminta bantuan manusia sinting dan menjijik-
kan begitu.”
Tapi Senapati Prabayani berkata, “Gusti Aria belum
tahu siapa manusia setengah siluman itu, sehingga
begitu meremehkan usul hamba.”
“Manusia setengah siluman?!” Aria Pamungkas ter-
perangah.
“Benar, Gusti Aria,” Senapati Prabayani mengang-
guk dengan senyum. “Manusagara dilahirkan dari wa-
nita siluman yang menguasai laut barat, sementara
ayahnya seorang bajak laut yang paling ditakuti pada
zamannya.”
Aria Pamungkas bahkan tambah ngeri mendengar
keterangan Senapati Prabayani itu.
Tapi Senapati Prabayani membentangkan rencana-
nya lebih lanjut.
“Manusagara tidak usah ditampilkan di depan
umum. Hamba bisa menyekap dia dalam puri khusus,
asalkan keinginan-keinginannya terpenuhi. Dengan
demikian, kita mempunyai pendukung yang sangat
tangguh, yang mampu menghadapi pendekar-pendekar
kelas satu di negeri ini. Dia memang hebat sekali, Gus-
ti Aria. Apa salahnya kita memakai dia sebagai tokoh
di balik layar? Bukankah saat ini Gusti Aria sedang
membutuhkan bantuan sebanyak-banyaknya untuk
mewujudkan rencana besar itu?”
Banyak lagi yang dikatakan oleh Senapati Prabayani
untuk membujuk Aria Pamungkas, supaya mau mene-
rima kehadiran Manusagara di dalam istana. Dan ak-
hirnya Aria Pamungkas berkata, “Baiklah, urusan itu
kuserahkan padamu. Tapi kuminta kehadiran dia ti-
dak menimbulkan kegemparan di negeri ini.”
“Beres, Gusti Aria. Hamba akan menempatkannya
di dalam ruangan rahasia yang berdampingan dengan
puri hamba itu,” sahut Senapati Prabayani senang.
“Satu hal yang harus kau ingat,” kata Aria Pamung-
kas, “jangan kau serahkan gadis-gadis istana kepada
manusia setengah siluman itu.”
“O, tidak... tidak! Gusti Aria tak usah cemas tentang
hal itu. Hamba tahu pasti gadis mana saja yang boleh
dijadikan mangsa Manusagara. Bahkan kalau perlu,
hamba akan mengirimkan orang-orang khusus ke Tan-
junganom, untuk menculiki gadis-gadis di sana dan...”
“Haaa!” Sergah Aria Pamungkas, “Itu rencana ba-
gus! Aku setuju sepenuhnya! Tanjunganom kita bikin
resah dulu dengan bermacam-macam cara, barulah
kemudian kita laksanakan rencana besar itu...!”
Senang sekali Senapati Prabayani mendengar perse-
tujuan Aria Pamungkas itu. Karena sesungguhnya ia
sangat berkepentingan dengan kehadiran Manusagara
di istana Tegalinten.
Ya, sebenarnya Senapati Prabayani punya tujuan
khusus terhadap Manusagara, sehingga ia mati-matian
mengusulkan agar manusia setengah siluman itu di-
tempatkan di istana Tegalinten.
Terlepas dari tujuan-tujuan ekspansional Aria Pa-
mungkas, sebenarnya Senapati Prabayani ingin memi-
liki ilmu Manusagara yang dijuluki ‘Bangkong Laut Ku-
lon’ itu.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aria Pa-
mungkas, bergegas Senapati Prabayani menjumpai
Manusagara.
“Kakek akan mendapat perlakuan istimewa di sini,”
kata Senapati Prabayani. “Setiap hari Kakek akan
mendapat hidangan panggang hati harimau yang di-
masak oleh jurumasak-jurumasak istana. Selain dari-
pada itu, setiap bulan purnama, tiga orang gadis can-
tik akan dipersembahkan kepada Kakek, untuk dimili-
ki sepuasnya.”
Manusia cebol itu terbelalak, lalu berjingkrak-jing-
krak seperti orang gila. “Heheheheheeeeee... rupanya
aku sedang bernasib baik! Heheheheheeee...!”
“Tapi...” tiba-tiba saja Manusagara menghentikan
jingkrakannya, “tadi kau bilang bahwa aku akan disu-
guhi tiga gadis cantik di setiap bulan purnama.”
“Betul, Kek,” sahut Senapati Prabayani.
“Dan itu berarti bahwa aku boleh tinggal lebih dari
sebulan di dalam istana yang menyenangkan ini?!”
“Iya, Kakek boleh tinggal selama-lamanya di istana
ini. Syaratnya hanya satu... aku harus diangkat seba-
gai muridmu.”
Manusia cebol itu terperanjat. “Apa?! Engkau ingin
diangkat sebagai muridku?!”
“Betul,” sahut Senapati Prabayani. “Kakek tidak
berkeberatan, bukan?!”
Manusagara terdiam, tidak mau menjawab.
Datanglah dua orang pelayan istana, membawa hi-
dangan khusus yang dipersiapkan secara kilat: pang-
gang hati harimau!
“Adududuuuuh... ,” Manusagara mengendus-endus
seperti kucing mencium bau ikan, “ini tidak salah la-
gi... ini bau makanan kegemaranku! Oh... Oh... oh...”
Senapati Prabayani tersenyum dan berkata, “Me-
mang benar. Hidangan seperti itu akan selalu kami hi-
dangkan untuk Kakek, asalkan Kakek mengerti apa
yang kuinginkan.”
Tanpa basa-basi lagi, Manusagara menyerbu baki
berisi panggang hati harimau itu. “Heheheheeee... aku
tidak tahan lagi... tidak tahan lagi!”
Manusagara melahap panggang hati harimau itu,
dengan bercipak-cipak seperti anjing. Kedua pelayan
itu bergidik dibuatnya, lalu cepat-cepat berlalu.
Senapati Prabayani tidak demikian. Ia bahkan terse-
nyum-senyum menyaksikan lahapnya Manusagara
menyantap panggang hati harimau itu.
Hal seperti itu tidak aneh bagi Senapati Prabayani,
yang memang berasal dari golongan hitam. Bahkan
menyantap hati manusia pun, merupakan hal yang
‘biasa-biasa saja’ baginya.
“Cepak, cepak, nyem-nyem-nyemmm... baru sekali
ini aku merasakan panggang hati harimau yang begini
lezatnya... nyemmm.. nyemmm.. epak. , epak... hehe-
heee... enak sekali... sedap sekali,” desis Manusagara
yang tampak begitu asyik melahap panggang hati ha-
rimau itu.
“Ya,” sahut Senapati Prabayani. “Engkau sudah mu-
lai makan hidangan istana. Dan itu berarti bahwa eng-
kau sudah menyetujui permintaanku, bukan?!”
“Ah... jangan ganggu dulu kenikmatanku. Soal yang
begituan nanti saja kita bicarakan lagi,” gumam Manu-
sagara dengan mulut penuh dan berminyak-minyak.
“Baiklah. Makan dulu sekenyangmu, barulah nanti
kita bicarakan urusan kita,” kata Senapati Prabayani
sambil tersenyum-senyum.
“Hmmm... enak sekali... enak sekali...”
“Tentu saja. Yang membuat panggang hati harimau
itu bukan orang biasa, melainkan jurumasak-juruma-
sak pilihan istana. Tentu saja hasil kerja mereka ter-
jamin enaknya.”
“Yayaya... kalau dipikir enak juga jadi raja, ya? Tiap
hari bisa makan apa saja yang digemarinya. Tapi,
wah... pusing juga jadi raja. Tiap hari harus memikir-
kan rakyatnya... tiap hari harus memikirkan ini dan
itu. Tidak. Tidak. Aku tak mau jadi raja.”
“Memang tidak enak jadi raja,” kata Senapati Pra-
bayani. “Yang enak itu tinggal di istana, mendapat su-
guhan lezat tiap hari, mendapat suguhan gadis-gadis
cantik tiap bulan purnama...”
“Hahahahaa... kau ngomong soal itu lagi!” sergah
Manusagara yang telah menghabiskan hidangan isti-
mewanya. “Kau seperti mau memerasku! Tapi baik-
lah... begini saja... aku tidak mau mengikatkan diriku
dengan segala macam murid-muridan. Aku akan me-
nurunkan beberapa ilmu Laut Kulon padamu. Tapi
aku tidak mau jadi gurumu, dan kau pun tidak usah
menjadi muridku.”
Gembira sekali hati Senapati Prabayani mendengar
ucapan Manusagara itu. Pikirnya, “Memang tidak perlu
mengangkatnya sebagai guruku. Yang terpenting, aku
bisa menguras ilmunya!”
“Bagaimana dengan murid Kidangkancana itu?” ta-
nya Manusagara tanpa menyeka bibirnya yang berlepo-
tan lemak harimau.
“Dia sudah disekap dalam ruang tahanan berlapis
besi. Dia tidak akan mampu berontak...”
“Bukan itu maksudku,” potong Manusagara. “Apa-
kah kau sudah menyebarkan berita tentang tertang-
kapnya murid Kidangkancana?”
“Sudah,” sahut Senapati Prabayani. “Kurasa dua ti-
ga hari lagi berita itu sudah tersebar ke seluruh wi-
layah Kerajaan Tegalinten.”
“Bagus,” Manusagara mengangguk-angguk. “Kalau
berita itu sudah terdengar oleh Kidangkancana... hm...
Kidangkancana akan muncul di Tegalinten, untuk meng-
adakan perhitungan denganku!”
“Tapi... apa tidak ada jalan lain?” tanya Senapati
Prabayani.
“Jalan lain bagaimana maksudmu?” Manusagara
balik bertanya.
“Dengan ilmumu yang tinggi, murid Kidangkancana
itu bisa dijadikan kawan kita, bukan?”
Manusagara terbelalak dan berseru, “Otakmu ce-
merlang sekali! Hahahahaaaa... aku akan melakukan
sesuatu yang sangat menyakitkan hati Kidangkancana!
Aku akan membuat muridnya menjadi musuhnya! Ayo
antarkan aku ke tempat tahanan perempuan itu!”
***
Nyi Tiwi disekap di dalam ruangan kecil berdinding
besi. Kedua kaki dan kedua tangannya terbelenggu
rantai besi yang sangat kuat.
Tampaknya Senapati Prabayani tidak mau main-
main dengan tawanannya yang satu ini. Nyi Tiwi di-
anggap sebagai lawan yang sangat berbahaya, karena
Senapati Prabayani sendiri pernah merasakan betapa
hebatnya ilmu murid Kidangkancana itu.
Ketika Nyi Tiwi siuman dan menyadari dirinya ber-
ada di dalam ruang tahanan berdinding besi, ia beru-
saha untuk memberontak... berusaha memutuskan
rantai pembelenggu itu dengan tenaga gaibnya.
Tapi Nyi Tiwi tidak kuat melakukannya. Salah satu
urat penting di tubuhnya, telah ‘diamankan’ oleh Ma-
nusagara, sehingga Nyi Tiwi tidak bisa mengerahkan
tenaga gaibnya secara sempurna.
Lalu, Nyi Tiwi hanya bisa berteriak-teriak dalam ge-
ramnya. “Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaan! Perempuan
iblis! Lepaskan aku!”
Tapi akhirnya Nyi Tiwi bosan sendiri, karena teria-
kan-teriakannya tidak ada yang mendengarkan. Bah-
kan lalu pikirnya, “Untuk apa aku berteriak-teriak se-
perti anak kecil? Bukankah lebih baik diam sambil
memikirkan cara untuk membebaskan diri?!”
Nyi Tiwi menghentikan teriakannya, lalu mulai ber-
pikir, mencari akal untuk membebaskan diri.
Nyi Tiwi berpikir dan berpikir terus.
Dan ketika seorang penjaga lewat ke depan pintu
ruang penyekapan itu, tiba-tiba saja Nyi Tiwi menemu-
kan akal baru. Nyi Tiwi tersenyum sendiri. Lalu me-
manggil penjaga itu dengan suara dimerdu-merdukan,
“Kang... tolonglah buka belenggu ini, sebentar saja...
aku tak tahan kepingin kencing, nih.”
“Kencing saja di situ,” sahut si Penjaga. “Kenapa ha-
rus membuka belenggu segala macam?”
“Ah, jangan samakan aku dengan tahanan laki-laki,
Kang. Aku kan wanita... bagaimana mungkin bisa ken-
cing di mana saja seperti anjing.”
Penjaga itu malah tertawa. “Hahahahaaa...! Kau pi-
kir aku ini anak kecil yang mudah saja ditipu mentah-
mentah?! Hihihihi... mau kayak anjing kek, kayak babi
kek, terserah. Pokoknya aku tidak mau membuka be-
lenggumu. Kalau mau kencing, kencing sajalah di si-
tu!”
“Penjaga sialan!” umpat Nyi Tiwi. “Kusumpahin deh
kamu, kalau bini kamu mau melahirkan, biar susah
nongolnya itu bayi!”
Kebetulan penjaga itu punya istri yang sedang ha-
mil pertama kalinya. Maka dengan sangat cemas ia
melongokkan kepalanya ke pintu ruang tahanan Nyi
Tiwi, sambil bertanya tergagap, “A... apa? Apa ka... ka-
tamu tadi?”
Sahut Nyi Tiwi, “Kamu bikin orang susah kencing!
Mangkanya kusumpahin kamu... kalau bini kamu mau
melahirkan, kudoakan biar susah keluarnya itu bayi
yang ada di dalam perut kamu! Ngerti nggak?!”
“Ah... jangan suka mendoa-doakan yang buruk be-
gitu sama orang lain, Nyi,” penjaga itu gemetaran dan
membuka pintu besi dengan gugup.
Dengan tangan gemetaran pula, diambilnya anak
kunci yang tergantung di ikat pinggangnya, untuk
membuka kunci belenggu Nyi Tiwi.
Tapi... dasar penjaga itu malang nasibnya. Baru sa-
ja anak kunci itu hendak dimasukkan ke dalam gem-
boknya, tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja ia memekik.
“Aaaa...!”
Penjaga itu terkulai, ambruk, berkelojot dan mele-
paskan nyawanya, dengan punggung hangus tersengat
racun!
Dan Senapati Prabayani berdiri di ambang pintu,
sambil berdesis dingin, “Itulah hukuman bagi prajurit
yang melanggar tata-tertib!”
Nyi Tiwi yang maklum bahwa penjaga itu dibunuh
oleh Senapati Prabayani, lalu mengutuk, “Perempuan
iblis! Nyawa manusia seakan-akan hanya barang ma-
inan bagimu!”
Senapati Prabayani menyahut dengan senyum di-
ngin, “Tidak ada yang perlu kau herankan, Nyi. Seben-
tar lagi kau juga akan sama kerasnya dengan aku. Hi-
hihi...! Kita memang akan menjadi sahabat kental.”
“Cuhhh!” Nyi Tiwi meludah ke lantai. “Siapa sudi
menjadi sahabat betina iblis seperti kamu?”
Pandangan Nyi Tiwi berapi-api. Seakan-akan ingin
membakar Senapati Prabayani.
Namun tiba-tiba saja sebuah tangan yang panjang...
demikian panjangnya... mengulur dengan cepatnya da-
ri pintu... dan... plok... telapak tangan itu membekap
muka Nyi Tiwi, sehingga murid Kidangkancana itu ge-
lagapan... tapi lalu terkulai lemas dan tidak sadarkan
diri!
Tangan yang bisa memanjang seperti karet itu lalu
kembali memendek. Dan muncullah seorang lelaki ce-
bol di ambang pintu: Manusagara.
“Sudah?!” desis Senapati Prabayani setengah berbi-
sik.
“Belum,” sahut Manusagara, “Aku baru membuat-
nya pingsan saja.”
Manusagara melangkah maju. Memeriksa wajah Nyi
Tiwi sesaat. Lalu gumamnya, “Cantik sekali murid Ki-
dangkancana ini.”
“Hihihiii... kau naksir?” cetus Senapati Prabayani
geli.
Manusagara menyeringai dan menyahut, “Kita lihat-
lihat dulu keadaannya nanti.”
Kemudian manusia cebol yang dapat mengubah-
ubah tubuhnya itu duduk bersila di depan Nyi Tiwi
yang masih pingsan.
Senapati Prabayani mundur beberapa langkah, ka-
rena ia tahu bahwa Manusagara hendak mengerahkan
kesaktiannya.
Memang benar, Manusagara menyimpan kedua ta-
ngannya di dada, sambil berkomat-kamit membacakan
mantra.
Dan... tiba-tiba saja sekujur tubuh Manusagara me-
ngepulkan uap hijau... menyerubung ke atas kepala-
nya ... berkumpul di situ menjadi sebuah bulatan uap
hijau... dan bulatan uap hijau itu lalu melayang perla-
han-lahan ke arah Nyi Tiwi!
Bola uap hijau itu ‘hinggap’ di atas kepala Nyi Tiwi...
lalu menyelinap ke balik rambutnya yang hitam lebat...
dan meresap ke dalam kulit kepalanya!
Senapati Prabayani terpaku menyaksikan pertunju-
kan ilmu manusia cebol itu. Dan semakin terpaku ke-
tika disaksikannya wajah Nyi Tiwi mulai membiru...
menghitam... lalu mengepulkan uap putih!
Tubuh Nyi Tiwi menggigil hebat. Wajahnya membiru
kembali. Lalu menjadi coklat... lalu menjadi merah pa-
dam... memudar sedikit demi sedikit... dan akhirnya
kembali seperti biasa, kembali berwarna kuning lang-
sat.
Manusagara menghentikan pembacaan mantranya,
kemudian melirik ke arah Senapati Prabayani sambil
tersenyum.
“Sudah?” tanya Senapati Prabayani perlahan.
Manusagara mengangguk dengan senyum aneh.
“Sebentar lagi dia akan siuman,” desisnya. “Kemudian
dia akan menjadi pengikut kita yang sangat setia.”
“Bagaimana dengan ilmunya yang didapat dari Ki-
dangkancana?” tanya Senapati Prabayani.
“Dia tidak akan kehilangan ilmunya. Dia hanya
akan kehilangan pendiriannya, lalu semata-mata men-
gikuti pendirian kita,” sahut Manusagara sambil mem-
perhatikan wajah Nyi Tiwi.
“Jadi, kita bisa memanfaatkan kehebatannya seba-
gai murid Kidangkancana?”
“Ya. Kita bisa meminta apa saja darinya... termasuk
nyawanya!”
Tiba-tiba Nyi Tiwi membuka matanya perlahan. Me-
lirik ke arah Senapati Prabayani, tanpa sorot dendam
lagi, lalu melirik ke arah Manusagara... dengan se-
nyum di bibir!
Sambil tersenyum-senyum pula Manusagara meme-
gang rantai pembelenggu Nyi Tiwi.
Dan... tring... triiiing... tring... triiing... rantai yang
membelenggu anggota badan Nyi Tiwi putus begitu sa-
ja. Bebaslah Nyi Tiwi dari belenggu itu.
Senapati Prabayani bersiap-siap, takut kalau Manu-
sagara gagal menguasai jiwa Nyi Tiwi, yang tentu saja
akan membuat Nyi Tiwi galak lagi. Tapi ternyata tidak.
Nyi Tiwi jadi tampak begitu jinak. Bangkit sambil
menggosok-gosok matanya, seperti baru habis tidur.
Dan tanya Manusagara, “Murid Kidangkancana!
Siapa namamu sebenarnya?”
“Tiwi,” sahut yang ditanya, jinak.
“Engkau tahu siapa yang berdiri di depanmu itu?”
tanya Manusagara lagi sambil menunjuk ke arah Se-
napati Prabayani.
“Gusti Senapati,” sahut Nyi Tiwi terlontar begitu sa-
ja.
“Apakah kau menganggapku sebagai musuhmu?”
tanya Senapati Prabayani,
Nyi Tiwi menjawab, “Tidak”, dengan gelengan kepa-
la.
“Kita memang bersahabat,” kata Senapati Prabayani
sambil menepuk bahu Nyi Tiwi.
“Ya,” Nyi Tiwi mengangguk. “Kita memang bersaha-
bat.”
“Musuh besarmu Kidangkancana, Tiwi!” bentak Ma-
nusagara, membuat Nyi Tiwi terperanjat.
Tapi lalu Nyi Tiwi menjawab dengan suara aneh,
“Ya, musuh besarku adalah Kidangkancana!”
“Hahahahaaa... bagus... bagus! Kidangkancana
memang harus dihancurkan!” Manusagara tertawa ter-
gelak-gelak.
“Ya, Kidangkancana harus dihancurkan!” Nyi Tiwi
mengepalkan tangannya, seolah olah sedang meremas
sesuatu yang lunak.
Manusagara melirik ke arah Senapati Prabayani,
sambil berdesis perlahan, “Apakah kau masih me-
nyangsikanku?”
“Tidak,” Senapati Prabayani menggeleng. “Tentu sa-
ja tidak. Aku percaya, engkau memang seorang tokoh
yang hebat,.. benar-benar hebat.”
Manusagara menyeringai dan berdesis lagi, “Lalu
kenapa kau tidak segera meninggalkanku? Kenapa
mayat penjaga ini tidak segera disingkirkan?”
Senapati Prabayani bergegas menyeret mayat penja-
ga itu ke luar ruang tahanan. Dan pada waktu kembali
lagi ke ruangan kecil itu, dilihatnya Manusagara te-
ngah menanggalkan pakaian Nyi Tiwi!
Senapati Prabayani tergagap berkata, “Kau... kau
harus kutinggalkan di sini?”
Manusagara menjawab setengah membentak, “Iya!
Bukankah tadi aku sudah mengatakannya? Hehehe-
heee... Tubuh yang begini indah... sayang sekali kalau
kubiarkan begitu saja... heheheheheee...”
Dan Nyi Tiwi tak ubahnya robot pada zaman seka-
rang... yang dengan patuh mengikuti kehendak Manu-
sagara!
Senapati Prabayani bergegas meninggalkan tempat
tahanan itu, sambil tersenyum-senyum sendiri. Pikir-
nya, “Mampus kau, Tiwi! Sekarang kau harus meladeni
kegilaan kakek-kakek cebol yang tetap doyan gadis
remaja itu! Hihihihihi... aku yang haus lelaki ini pun,
tidak akan mau meladeni lelaki cebol dan tua bangka
seperti Manusagara. Tapi murid Kidangkancana itu...
hihihihi... salahnya sendiri, cari gara-gara di Tegalin-
ten!”
***
RANGGA menggosok-gosok sepasang matanya dan
menoleh ke kanan kirinya.
“Oh... di mana aku berada kini?” Rangga bangkit
dan lalu terkejut sendiri. “Hai! Kakiku tidak lumpuh
lagi! Tanganku juga! Oh... apakah aku sudah berada di
akhirat? Ya... bagaimana mungkin anggota badanku
bisa pulih kembali tanpa ada yang mengobatiku?”
Rangga hampir yakin bahwa dirinya sudah mati, la-
lu dibangkitkan kembali di alam kekal. Terlebih lagi se-
telah ia memandang ke alam di sekitarnya... alam yang
begitu ganjil dan samar-samar, karena di sana-sini ter-
selimuti kabut.
Rangga berada di daerah pantai. Tapi dilihatnya
laut tidak berombak sedikit pun, sehingga tampaknya
seperti hamparan kaca yang mahaluas saja. Dan keti-
ka pandangannya teralih ke daratan, dilihatnya bukit-
bukit karang berbentuk kerucut, yang setiap puncak-
nya tampak berkilauan.
Sunyi. Sunyi sekali alam di sekitar Rangga saat itu.
Dan semakin yakinlah Rangga bahwa dirinya sudah
berada di akhirat. “Ya, pasti aku sudah berada di alam
kekal. Karena kulihat laut tiada berombak, kabut
menghalangi pandangan, bukit-bukit karang berpun-
cak permata, tiada suara apa-apa... ah... apakah aku
berada di sorga?”
Tapi, tiba-tiba saja pandangan Rangga tertumbuk
ke sebilah papan dan seutas tali di dekat kakinya.
Rangga membungkuk dan mengamati kedua macam
benda itu.
Lalu kata Rangga dalam hatinya, “Ah... papan ini
pasti berasal dari perahu layar Kakang Lumayung!
Ya... tali ini pun bekas pengikat tubuhku di buritan
perahu itu! Lalu... mungkinkah benda-benda seperti
ini terbawa ke akhirat?”
Dalam penasarannya, Rangga lalu mencubit lengan-
nya sendiri. Terasa sakit. Lalu dicubitnya pula pipinya.
Juga terasa sakit.
“Kalau begitu, mungkin aku masih hidup... mung-
kin aku masih berada di dunia... tapi di mana? Ya.. di
mana aku berada sekarang ini?” pikir Rangga sambil
melangkah ke arah daratan.
Dan lagi-lagi ia menemukan sesuatu yang baru kali
ini disadarinya. Bahwa pasir yang diinjaknya, bukan
pasir biasa, melainkan pasir yang gemerlapan... tak
ubahnya hamparan permata yang tak terhitung lagi
banyaknya!
Maka pikir Rangga lagi, “Seandainya aku masih hi-
dup, mengapa alam yang tampak di sekitarku ini serba
aneh? Hai... mungkinkah aku berada di Nusa Aheng?
Bukankah Kidangkancana pernah bercerita bahwa Nu-
sa Aheng itu penuh dengan keajaiban dan sesuai de-
ngan namanya?!”
Lalu Rangga mengingat-ingat lagi ucapan Kidang-
kancana yang pernah didengarnya: “Sesuai dengan
namanya, Nusa Aheng tidak bisa dikunjungi oleh sem-
barangan manusia. Bahkan burung-burung laut pun
tidak berani terbang ke dekat pulau itu.”
Rangga lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya
secara lebih seksama lagi. Memang tidak tampak ada-
nya kehidupan di sekitarnya. Tak ada burung camar,
tak ada angin, tak ada ombak... tak ada apa-apa selain
kesunyian yang sangat mencekam... kesunyian yang
mulai membangkitkan bulu roma Rangga.
Dan dinginnya, bukan main. Padahal setahu Rang-
ga, daerah-daerah pantai yang pernah dikunjunginya,
selalu berhawa panas.
***
Ketika Rangga masih terheran-heran memperhati-
kan alam di sekitarnya, tiba-tiba dilihatnya sesuatu di
angkasa sana... sesuatu yang berwarna merah dan
tengah menukik ke arah dirinya!
“Burung?!” seru Rangga dalam hati. “Hai... mung-
kinkah ada burung sebesar itu?”
Memang benar. Yang tengah menukik ke arah
Rangga itu seekor burung berwarna merah muda, ben-
tuknya mirip burung elang, dengan ukuran tubuh
yang tidak lebih kecil daripada seekor kuda!
Burung raksasa itu adalah makhluk bernyawa per-
tama yang Rangga lihat di daratan serba ganjil itu. Dan
yang sangat mengejutkan, adalah bahwa burung itu
langsung menyerang Rangga dengan kepakan sayap-
nya yang panjangnya kurang lebih lima depa!
“Kaaaaak...!” burung itu mengeluarkan pekikan
nyaring, ketika dilihatnya serangannya tak mengenai
sasaran, karena Rangga masih sempat bersalto ke be-
lakang. Dan sebuah kerucut karang hancur, terkena
pukulan burung yang meleset itu.
“Gila,” pikir Rangga. “Pukulan sayapnya begitu
kuat! Terjangannya pun begitu cepat dan terarah!
Apakah burung raksasa ini memiliki ilmu?”
Rangga yang yakin bahwa dengan pulihnya kelum-
puhannya bisa mengerahkan segala ilmu yang dimili-
kinya, lalu bersiap-siap untuk menghadapi serangan
burung itu selanjutnya.
Dan burung itu benar-benar menerjangnya lagi, di-
barengi dengan pekikan yang bergema ke seluruh dae-
rah pantai itu. “Koooaaaaaakhhh...!”
Terjangan burung raksasa itu benar-benar berbaha-
ya. Kedua sayapnya tertekuk ke depan, seperti lengan
yang hendak mencengkeram, sementara kedua ka-
kinya membentuk serangan seperti tendangan. Rangga
mencoba menghadapinya dengan mengerahkan tenaga
gaibnya. Karena pikirnya, burung itu tidak mungkin
dihadapi dengan kegesitan, karena burung itu bisa
terbang dengan sangat pesatnya ke mana saja ia mau.
Maka menurut pikir Rangga, satu-satunya jalan untuk
menghadapi burung raksasa itu, adalah dengan men-
gerahkan tenaga gaibnya. Dan jika kaki atau sayap bu-
rung itu bersentuhan dengan tangan Rangga, akan ter-
jadi tolakan batin yang dahsyat, untuk menjatuhkan
burung itu.
Namun ternyata Rangga keliru. Ketika kaki burung
raksasa itu hendak menghantam muka Rangga, lalu
Rangga menangkap pergelangan kaki burung itu sam-
bil mengerahkan tenaga gaibnya, yang terjadi justru
sebaliknya, Rangga terpental ke belakang... dan am-
bruk di atas pasir yang gemerlapan itu!
“Luar biasa!” seru Rangga dalam hati. “Burung itu
bahkan memiliki tenaga batin yang begitu dahsyat!”
Namun diam-diam Rangga pun memuji jiwa burung
itu. Karena ketika Rangga terlentang dan sedang beru-
saha bangkit kembali, burung raksasa itu menunggu-
nya sambil berdiri di salah satu puncak kerucut ka-
rang.
Maka sambil bangkit, Rangga berseru, “Engkau bu-
kan hanya terlatih dan perkasa, tapi juga memiliki jiwa
ksatria! Ayo kita lanjutkan permainan kita!”
Burung itu seperti mengerti apa yang Rangga kata-
kan. Begitu Rangga siap menghadapi segala kemung-
kinan, burung itu terbang lagi... menerjang dengan pe-
satnya... kali ini dengan kedua kaki terjulur jauh ke
muka, sementara sepasang sayapnya menekuk ke be-
lakang.
Rangga sudah tahu betapa hebatnya tenaga kedua
kaki bercakar tajam itu. Maka kali ini Rangga tidak be-
rani menyambut dengan telapak tangannya lagi. Begitu
kedua kaki burung itu hampir menyentuh muka Rang-
ga, secepat kilat Rangga bersalto ke belakang, dengan
kaki kanan menendang ke atas... menghantam tulang
ekor burung itu dengan kerasnya.
Tapi... lagi-lagi Rangga terpental dan ambruk... se-
mentara burung itu sudah hinggap di puncak kerucut
karang, sambil menunggu Rangga bangkit kembali.
Pikir Rangga, “Inilah lawan terberat yang pernah
kuhadapi! Jauh lebih berat daripada Prabaseta dan ke-
dua anaknya!”
Namun Rangga tak mau kapok. Ia bahkan penasa-
ran sekali, karena burung itu seakan-akan sedang me-
latihnya.
Lalu Rangga bangkit kembali, sambil memusatkan
segenap pancaindranya, untuk menghadapi terjangan
burung itu selanjutnya.
Burung raksasa itu menerjang lagi... kali ini dengan
kaki dan sayap di belakang, sementara patuknya terju-
lur jauh ke depan.
Kali ini Rangga tidak berusaha menyambut seran-
gan dengan tangan atau kakinya lagi, melainkan de-
ngan gerakan yang sangat indah melompat ke udara...
tinggi sekali... lebih tinggi daripada burung itu!
Maksud Rangga, begitu burung itu sudah berada di
bawahnya, ia akan menjatuhkan diri ke bawah dan
akan berusaha ‘memeluk’ leher burung itu dari atas.
Tapi burung itu ternyata cerdik sekali. Begitu meli-
hat bentuk gerakan Rangga sewaktu hendak melompat
ke udara, burung itu seperti yang mengerti ke mana
Rangga hendak bergerak nanti.
Maka... begitu kaki Rangga hampir menjepit leher
burung itu, tiba-tiba burung itu menarik kepalanya,
sehingga lehernya menjadi sangat pendek dan hampir
tidak kelihatan, dan Rangga melayang jatuh di depan
kepala burung itu, lalu... tahu-tahu keadaan menjadi
terbalik... sepasang kaki burung itu yang menjepit leh-
er Rangga dari atas!
Rangga memberontak dengan segala daya yang di-
milikinya, karena jepitan kaki burung itu terasa laksa-
na cengkeraman baja. Namun burung itu justru mem-
bawa Rangga terbang ke tengah daratan... jauh ke pe-
dalaman... sementara Rangga hanya bisa bersiap-siap,
kalau-kalau burung itu menjatuhkannya di tempat
yang berbahaya.
Pikir Rangga, “Burung ini sudah mengalahkanku!
Aku memang tak berdaya dibuatnya! Lalu ke mana
aku mau dibawanya kini?”
***
Ternyata burung perkasa itu meletakkan Rangga
dengan lembut di atas daratan penuh lumut hijau, di
depan seorang lelaki tua yang memiliki sepasang tan-
duk di kepalanya!
Lelaki tua itu duduk di atas batu pipih berwarna
merah jambu, yang bentuknya mirip piring raksasa.
Dan yang membuat Rangga terheran-heran, adalah
bahwa di belakang lelaki tua itu tampak seekor kuda
berbulu putih bersih dan memiliki sepasang sayap di
punggungnya!
Tampaknya burung raksasa itu hanya bertugas
‘menjemput’ Rangga. Setelah meletakkan Rangga di
depan kakek-kakek bertanduk itu, burung raksasa itu
pun terbang lagi dan lenyap di kejauhan.
Lalu terdengar suara lelaki tua itu... begitu lembut
tapi sangat berwibawa, “Berlayar ke Nusa Aheng dalam
keadaan lumpuh, memang sesuatu yang luar biasa.
Keluarbiasaan itulah yang membuatku lain dari bi-
asanya, sehingga engkau kubiarkan mencapai daratan
ini. Tapi yang paling menarik, adalah bahwa engkau
memiliki ilmu sang Sekarpadma. Dan secara kebetu-
lan, sang Sekarpadma pernah menjadi istriku. Itulah
sebabnya kelumpuhanmu kusembuhkan.”
Rangga terkejut. Pikirnya, “Kalau begitu, kakek-ka-
kek ini jauh lebih tua daripada guruku sendiri! Ya, bu-
kankah dia pernah menjadi suami sang Sekarpadma?
Dan bukankah sang Sekarpadma itu ibu angkat Rama
Guru?”
Lalu Rangga menjatuhkan diri, bersimpuh di depan
piring raksasa yang dijadikan tempat duduk lelaki tua
bertanduk itu, sambil berkata, “Hamba memang murid
anak angkat sang Sekarpadma. Hamba menghaturkan
terima kasih atas pertolongan yang telah hamba teri-
ma, sehingga hamba sembuh dari kelumpuhan hamba.
Kalau boleh hamba bertanya, apakah hamba sedang
berhadapan dengan Bagawan Suwandarama?”
Di luar dugaan Rangga, kakek-kakek bertanduk itu
menggeleng sambil menjawab, “Bukan. Aku hanya
penjaga pertapaan sang Bagawan. Karena itu, kau ti-
dak perlu membahasakan dirimu hamba.”
“Lalu, siapakah nama Kakek?” tanya Rangga.
Lelaki tua yang memiliki sepasang tanduk di kepa-
lanya itu, memejamkan matanya sesaat. Lalu jawab-
nya, “Dahulu waktu aku masih muda, orang-orang
memanggilku Jaka Munding. Mungkin karena kedua
tanduk di kepalaku ini. Tapi sekarang nama itu sudah
dilupakan orang. Dan sang Bagawan memanggilku de-
ngan sebutan Astrabaya.”
Tiba-tiba lelaki tua bertanduk itu berkata dengan
tergesa-gesa, “Sekarang, cepatlah pulang. Jangan me-
nunggu sampai sang Bagawan marah.”
Dan kakek-kakek bertanduk itu bertepuk tangan ti-
ga kali. Lalu burung raksasa berwarna merah muda itu
muncul secara tiba-tiba di belakang Rangga.
Dan kata kakek-kakek bertanduk itu, “Jambon! An-
tarkan orang ini ke tempat asalnya!”
Lalu... batu berbentuk piring raksasa yang dijadi-
kan tempat duduk lelaki tua bertanduk itu, tiba-tiba
saja terangkat ke udara... melayang perlahan dan mau
meninggalkan Rangga.
Cepat-cepat Rangga bertanya, “Kakek Astrabaya!
Apakah Kakek tahu bagaimana nasib putra raja Tegal-
inten yang bernama Aria Lumayung? Dia berlayar ber-
samaku ke sini, tapi sekarang...” pertanyaan Rangga
terhenti di tengah jalan, karena kakek-kakek bertan-
duk itu telah lenyap di kejauhan, bersama piring rak-
sasanya.
Rangga kecewa, lalu menoleh ke belakang, ke arah
burung raksasa itu... yang kini tampak jinak sekali...
mendekam di depan Rangga.
Rangga memberanikan diri memegang tengkuk bu-
rung itu, sambil bertanya, “Namamu Jambon?”
Burung itu mengangguk!
Senang sekali Rangga dibuatnya. Lalu tanya Rangga
lagi, “Engkau mau mengantarkan aku pulang, bukan?”
Burung itu mengangguk lagi. Dan Rangga tertawa
senang, “Hahahaaa... aku senang sekali padamu,
Jambon. Marilah... antarkan aku pulang...!”
Rangga naik ke atas punggung burung yang sudah
tampak patuh itu.
Burung itu siap untuk terbang. Tapi tiba-tiba terde-
ngar seruan... “Tunggu!”
Rangga menoleh ke arah datangnya suara itu. Ka-
kek Astrabaya muncul lagi di depannya, bersama pir-
ing raksasanya.
“Masih adakah yang ingin Kakek sampaikan pada-
ku?” tanya Rangga.
Kakek Astrabaya mengangguk dan berkata, “Sang
Bagawan berkenan menerimamu sebagai tamu. Ayo
Jambon, bawa tamu kita ke pertapaan sang Bagawan!”
Burung itu lalu terbang ke arah utara, membawa
Rangga di punggungnya. Kakek Astrabaya mengiku-
tinya dari belakang, bersama piring raksasanya. Se-
mentara kuda putih bersayap itu pun terbang di samp-
ing Kakek Astrabaya.
Benak Rangga saat itu penuh tanda-tanya: Seperti
apa Bagawan Suwandarama itu? Penjaga pertapaan-
nya saja sudah begitu saktinya, apalagi sang Bagawan
sendiri. Dan... apa yang dikehendakinya dariku? Apa-
kah Kakang Aria Lumayung berada di sana?
Burung yang membawa Rangga itu terbang terus ke
arah utara. Dan akhirnya Rangga melihat sebuah ba-
ngunan menjulang tinggi, terbuat dari bebatuan ber-
warna putih bersih, yang puncaknya diselimuti kabut
tebal.
Rangga yang sudah tahu bahwa si Jambon mengerti
bahasa manusia, lalu berbisik ke telinga burung rak-
sasa itu, “Bangunan yang seperti candi itu tempat per-
tapaan sang Bagawan?”
Burung bernama Jambon itu mengangguk. Lalu
menukik dan mendarat di depan pintu gerbang ban-
gunan yang penuh dengan ukiran halus itu.
***
RANGGA terpaku di depan kuil yang terbuat dari
batu pualam putih laksana kapal itu, dengan pera-
saan takjub sekali. Kuil itu bukan hanya tinggi menju-
lang (dan bahkan puncaknya terselimuti kabut, se-
hingga tidak terlihat dari bawah) melainkan juga indah
sekali. Setiap batu pualam yang dibuat untuk memba-
ngun kuil itu, diukir secara halus sekali, sehingga tak
ubahnya kain yang disulam.
Di depan kuil pualam itu, terdapat sebuah kolam
kecil, dengan air mancur alamiah yang memancar de-
ngan lembut, menimbulkan bunyi gemerisik perlahan
yang menyejukkan perasaan.
Kakek Astrabaya memegang bahu Rangga sambil
berkata perlahan, “Cucilah dulu kakimu di kolam itu,
baru kemudian menghadap sang Bagawan.”
Rangga mematuhi petunjuk lelaki tua bertanduk
itu. Dicucinya kedua telapak kakinya sebersih-
bersihnya di kolam kecil berair bening itu. Kemudian
mengikuti langkah Kakek Astrabaya memasuki kuil.
Wangi dupa tersiar ke hidung Rangga, membuat le-
laki muda itu tertunduk dengan perasaan yang lain
dari biasanya. Ada semacam perasaan tenang dan
nyaman yang luar biasa di dalam hatinya.
Dan akhirnya Rangga melihat seorang lelaki tua...
tua sekali... dengan rambut yang telah memutih selu-
ruhnya, dengan pakaian brahmana yang serba putih,
di dalam ruangan yang serba putih pula. Itulah Baga-
wan Suwandarama, penghuni Nusa Aheng yang penuh
keajaiban.
Bagawan Suwandarama duduk di atas batu berukir,
berbentuk bunga teratai yang sedang mekar, dengan
mata terpejam dalam posisi bersemadi.
Rangga pun ikut-ikutan bersimpuh di belakang Ka-
kek Astrabaya.
Lalu kata Kakek Astrabaya, “Pemuda ini sudah da-
tang menghadap, untuk menunggu perkenan sang Ba-
gawan.”
Bagawan Suwandarama tetap memejamkan mata-
nya. Tidak bergerak sedikit pun. Mulutnya pun tetap
terkatup rapat-rapat. Tapi anehnya... terdengar suara
dari arah sang Bagawan. “Namamu Rangga, bukan?!”
Rangga terkejut dan cepat-cepat menjawab, “Benar,
Eyang Bagawan.”
Bibir sang Bagawan tetap terkatup. Tapi lagi-lagi
terdengar suara dari arah dirinya. “Engkau sedang ter-
libat dalam pertentangan dengan orang-orang istana
Tegalinten. Tapi itu bukan urusanku. Aku sudah tidak
mau ikut campur lagi dengan hal-hal keduniawian.”
Hening sesaat. Lalu terdengar lagi suara sang Ba-
gawan, “Aku memanggilmu semata-mata untuk soal
anakmu yang telah dimasuki sukma Naga Taksaka.”
Rangga terkejut sekali. Dan sebelum sempat Rangga
bertanya, Bagawan Suwandarama sudah mendahului
menjelaskannya.
“Anak yang dikandung oleh istrimu, lebih dari tiga
tahun yang lalu, dirasuki oleh sukma Naga Taksaka.
Tujuan Naga Taksaka hanya ingin mengasuh salah sa-
tu cucunya yang baru menetas di bawah permukaan
Tilugalur. Itulah sebabnya, anakmu sekarang sangat
bersahabat dengan cucu Naga Taksaka itu.
“Sepintas lalu keadaan itu tidak berbahaya. Namun
sesungguhnya malapetaka sedang mengancam, bukan
hanya di Tilugalur dan sekitarnya, melainkan juga di
wilayah Tegalinten dan sekitarnya. Bahkan sekarang
pun sudah mulai berjatuhan korban keganasan anak-
mu yang telah bersekutu dengan cucu Naga Taksaka
itu. Tilugalur telah menjadi desa mati. Tak seorang
pun bisa menginjakkan kakinya di sana, karena di ba-
wah desa itu bersemayam anakmu yang sudah berse-
kutu dengan cucu Naga Taksaka.
“Tidak ada yang bisa menjinakkan anakmu itu, ke-
cuali engkau sendiri, karena darah yang mengalir di
dalam tubuhnya, adalah darahmu... meskipun suk-
manya sudah berbaur dengan sukma Naga Taksaka.
“Sekarang ia masih bersemayam di bawah permu-
kaan Tilugalur. Tapi tak lama lagi ia akan mulai berke-
liaran mencari mangsa. Ia membutuhkan tujuhratus
nyawa manusia dalam sebulan. Dapat kau bayangkan,
berapa banyak korban yang akan jatuh dalam seta-
hun?!
“Engkau tidak perlu membunuh anakmu itu, terlalu
dahsyat bagi manusia biasa.
“Kewajibanmu adalah... jinakkan anak itu dengan
segala dayamu, supaya ia tidak lagi memangsa manu-
sia. Berilah ia makan sebanyak-banyaknya pada tiap
bulan purnama, karena ia hanya membutuhkan ma-
kan sebulan sekali. Berilah ia nasihat, bahwa bagai-
manapun juga ia bertubuh manusia, sehingga tidaklah
layak baginya untuk memangsa manusia lagi.”
Bagawan Suwandarama menghentikan kata-
katanya sesaat, sementara Rangga masih tercengang-
cengang.
Rupanya Bagawan Suwandarama bukan diam sem-
barang diam. Getaran batinnya melayang jauh... me-
manggil makhluk-makhluk aneh yang menghuni pulau
ajaib itu. Ya... beberapa saat kemudian, Rangga sema-
kin terpanar ketika dilihatnya tujuh orang gadis cantik
datang dengan kaki tidak menginjak lantai kuil, karena
ketujuh gadis itu memiliki sayap yang sangat mirip sa-
yap kupu-kupu!
Salah satu gadis bersayap itu membawa kotak pan-
jang, lalu mempersembahkannya kepada Bagawan
Suwandarama.
Kemudian ketujuh gadis bersayap itu terbang lagi,
meninggalkan kuil Bagawan Suwandarama dan kotak
panjang yang baru dipersembahkannya itu.
Suasana menjadi hening beberapa saat.
Kemudian Bagawan Suwandarama membuka kelo-
pak matanya perlahan. Dan... Rangga cepat-cepat me-
nunduk, tidak kuat bertatapan dengan mata Bagawan
Suwandarama yang begitu cemerlang, seakan-akan
memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan.
Bagawan Suwandarama memandang ke arah kotak
panjang yang dipersembahkan oleh gadis-gadis bersa-
yap tadi. Lalu katanya, “Tugas yang berat membutuh-
kan sarana yang baik. Karena itu kuberikan pedang
Saptaraga ini padamu, supaya engkau tidak terlalu su-
lit melaksanakan tugas-tugasmu. Tapi ingat... pedang
ini hanya bisa digunakan manakala hatimu lurus. Pe-
dang ini akan mengerti sendiri kapan ia harus diguna-
kan dan kapan tidak boleh digunakan. Dan tentang
ilmu pedangnya sendiri, engkau bisa mempelajarinya
dari kitab kecil yang ada di dalam kotak ini.”
Bagawan Suwandarama mengulurkan tangannya,
menyerahkan kotak panjang itu kepada Rangga. Dan
Rangga menyambutnya dengan tangan bergetar.
Bagawan Suwandarama memejamkan matanya
kembali. Lalu terdengar lagi suaranya.
“Engkau telah memiliki dasar yang cukup kuat,
berkat gemblengan Kudawulung. Karena itu engkau ti-
dak akan terlalu sulit mempelajari ilmu pedang Sapta-
raga. Sekali lagi... ingatlah... bahwa tugas utamamu,
adalah menjinakkan anakmu. Dan engkau jangan me-
rasa kecewa jika melihat bentuk anakmu lain dengan
anak-anak lainnya. Kalau kau berhasil membimbing-
nya ke jalan yang benar, anakmu akan sangat bergu-
na. Memang hal itu sangat sulit. Tapi bukan tidak
mungkin.
“Satu hal lagi,” lanjut sang Bagawan, “cucu Naga
Taksaka memiliki mestika di bawah lidahnya. Dan
mestika itu hanya bisa diambil dengan pedang yang
kau pegang sekarang.”
Akhirnya sang Bagawan berkata, “Pulanglah seka-
rang ke puncak Gunung Limagagak. Aku percaya, Ku-
dawulung akan membimbingmu. Dan jangan turun
dari puncak gunung itu sebelum engkau menguasai
ilmu pedang Saptaraga sepenuhnya.”
Kepada Kakek Astrabaya, Bagawan Suwandarama
berkata, “Astrabaya, relakanlah si Jambon untuk me-
nemani Rangga, sampai tugasnya selesai.”
Setelah berkata demikian, lenyaplah Bagawan Su-
wandarama dari pandangan. Pertanda bahwa sang Ba-
gawan tidak mau diganggu lagi.
Rangga melirik ke arah Kakek Astrabaya. Dan lelaki
tua bertanduk itu memberi isyarat, mengajak Rangga
keluar.
Setibanya di depan kuil, Kakek Astrabaya berkata,
“Jangan kau buka kotak itu sebelum tiba di puncak
Gunung Limagagak. Pelajari dulu ilmu pedangnya, ba-
rulah kemudian kau sentuh pedangnya.”
Kemudian Kakek Astrabaya menghampiri si Jambon
yang sedang mendekam di depan kuil. Dielusnya leher
burung raksasa itu sambil berkata, “Sang Bagawan
menitahkan kau untuk menemani Rangga, sampai tu-
gasnya selesai. Mungkin kau juga bisa membantu
Rangga dalam mempelajari ilmu pedang Saptaraga.
Kuharap kau mematuhi tugas ini sebaik-baiknya.”
“Kaaak...!” Burung itu mengeluarkan suara, seolah-
olah mengiyakan perintah Kakek Astrabaya.
Kemudian Kakek Astrabaya menepuk bahu Rangga,
sambil berkata, “Selamat jalan, Rangga. Mudah-
mudahan kau berhasil menjalankan tugasmu. Nasib-
mu memang baik. Kaulah orang pertama yang dibiar-
kan datang ke Nusa Aheng ini dan dibiarkan berlalu
tanpa gangguan.”
Rangga berlinang-linang air mata waktu naik ke
atas punggung burung raksasa itu. Lalu tanyanya ter-
sendat, “A... apakah aku boleh datang legi ke sini ke-
lak?”
Lelaki bertanduk itu tersenyum dan menyahut,
“Tergantung nasibmu, Rangga. Tapi... mudah-
mudahan saja kita masih bisa bertemu lagi.”
Si Jambon mulai berdiri. Menghentakkan kakinya
ke bumi, lalu... brrrrrrr... terbanglah burung raksasa
itu ke angkasa, bersama Rangga di punggungnya.
Tanpa terasa, air mata Rangga bercucuran dengan
derasnya. Aneh memang. Hanya sebentar ia berada di
Nusa Aheng yang penuh misteri dan keajaiban itu, tapi
hatinya seakan melekat di sana... seakan berat sekali
meninggalkannya.
***
KEADAAN di puncak Gunung Limagagak sangat
berbeda dengan keadaan di Nusa Aheng. Tidak ada
hal-hal yang ajaib di puncak gunung tempat perse-
mayaman Kudawulung itu. Satu-satunya hal yang sa-
ma dengan Nusa Aheng, hanyalah kabutnya... ya... se-
perti di Nusa Aheng, puncak Gunung Limagagak pun
hampir selalu diselimuti kabut tebal yang sulit ditem-
bus sinar matahari.
Begitu pula di pagi yang dingin itu, puncak Gunung
Limagagak tidak terlihat dari kejauhan, karena terlin-
dung oleh kabut yang begitu tebal.
Namun di pagi yang dingin itu, seorang gadis cantik
sedang bersemadi di atas sebuah batu besar, dengan
wajah pucat-pasi seakan tak berdarah lagi. Itulah Ni-
lamsari, putri mendiang Adipati Wiralaga.
Telah diceritakan terdahulu, bahwa Nilamsari ber-
hasil diterima menjadi murid Kudawulung, setelah ga-
dis cantik itu memaksa Kudawulung dengan caranya
sendiri.
Ternyata Nilamsari bukan hanya sangat berseman-
gat untuk menerima gemblengan dari Kudawulung,
melainkan juga sangat berbakat!
Kudawulung sendiri terkejut ketika dilihatnya ke-
majuan yang dicapai oleh Nilamsari dari hari ke hari,
begitu pesat... bahkan jauh lebih pesat daripada waktu
pertama kalinya Rangga mendapat gemblengan di
puncak Gunung Limagagak dahulu!
Tentu saja Kudawulung gembira sekali melihat ke-
nyataan itu. Guru mana yang tidak senang melihat
muridnya bisa menyerap pelajaran dengan sangat ce-
patnya?
Kudawulung yang tadinya tidak begitu bersemangat
menerima Nilamsari sebagai muridnya, lalu jadi seba-
liknya. Ia seakan-akan berpacu dengan waktu, ingin
membuat Nilamsari secepatnya menyerap segala ilmu
yang dimilikinya.
Kudawulung tidak bertepuk sebelah tangan. Nilam-
sari menghayati setiap pelajaran yang diterimanya de-
ngan sungguh-sungguh, lalu melatih diri setekun
mungkin, tanpa mengenal lelah. Hampir tidak ada
waktu yang dibuang percuma. Setiap kali ada kesem-
patan, Nilamsari melatih diri setekun-tekunnya. Ter-
kadang semalam suntuk ia terjaga, untuk menghapal-
kan kembali setiap pelajaran yang diterima pada siang
harinya.
Ketekunan dan kesungguhan Nilamsari, tentu
membawa hasil yang memadai. Maka tidaklah berlebi-
han kalau Kudawulung berkata pada satu hari, “Eng-
kau memang hebat, Nilamsari. Dalam tempo tiga bulan
saja, engkau telah berhasil mencapai apa yang diteku-
ni oleh Rangga selama tiga tahun! Hahahahaaa... si
Rangga pasti terkejut sekali kalau melihat apa yang te-
lah kau capai sekarang. Kurasa engkau sekarang telah
setingkat dengan Rangga! Hahahahaaaa... dia pasti
terkejut melihat kemajuanmu!”
Jika mendengar gurunya mengucapkan nama Rang-
ga, aneh, hati Nilamsari berdenyut dan berdesir. Tam-
paknya Nilamsari sudah menyimpan perasaan khusus
terhadap kakak seperguruannya itu. Dan Nilamsari be-
rusaha menyembunyikannya di depan gurunya. Na-
mun terkadang ia nyeletuk juga, menanyakan soal
Rangga dengan tarikan wajah khusus... tarikan wajah
garis yang sedang merindukan seseorang!
Seperti pada suatu hari...
“Lama juga Kang Rangga di Tegalinten, ya Rama
Guru.”
“Ya, mungkin ada sesuatu yang harus dihadapinya
dengan sungguh-sungguh, sehingga ia belum sempat
pulang ke sini.”
“Apakah dia pasti pulang ke sini?”
“Pasti... pasti! Tapi, hai... tampaknya kau terlalu
memikirkan dia, heh?! Apa sebenarnya yang kau rasa-
kan sekarang?”
“Ah, ti... tidak. Tidak ada perasaan apa-apa...!”
“Hahahahaaaa... Nilamsari... Nilamsari! Aku juga
pernah muda dulu, seperti kau sekarang. Apakah kau
pikir aku tidak tahu apa yang tersimpan di dalam hati-
mu sekarang?”
“Ma... maksud Rama Guru?”
“Kau merindukannya, bukan?”
“Mmm... bukankah wajar kalau aku merindukan
seseorang yang pernah menolongku?”
“Iya... iya! Tapi kerinduanmu itu lain... bukan rin-
dunya seorang manusia kepada orang lain yang per-
nah menolongnya! Hahahahaaa... mata tuaku tidak
dapat kau tipu, Nilamsari. Engkau merindukan Rangga
dengan perasaan yang istimewa.”
“Perasaan istimewa bagaimana Rama Guru ini?”
“Perasaan cinta! Kau mencintai Rangga, bukan?”
“Ah, Rama Guru...”
“Ayolah... akui saja, tak usah malu-malu. Kau men-
cintai Rangga?”
“Ah... aku kan seorang perempuan, Rama Guru.
Sedangkan perempuan itu, sifatnya seperti... seperti...
ah... tidak tahulah!”
Demikianlah. Dengan tersipu-sipu, akhirnya Nilam-
sari mengakui lewat sorot matanya, bahwa sesungguh-
nya ia telah mencintai Rangga. Bahwa cinta itu telah
tumbuh sejak pandangan pertama di tepi Sungai Cige-
lung.
Memang Nilamsari tidak pernah bicara secara te-
rang-terangan kepada gurunya, bahwa ia mencintai
Rangga. Tapi sorot matanya saja sudah cukup meya-
kinkan gurunya, bahwa ia mencintai Rangga.
Walaupun begitu, Nilamsari tidak mau terlarut da-
lam perasaan rindunya. Setiap kali kerinduan itu da-
tang, cepat-cepat ia berusaha mengalihkannya, dengan
jalan berlatih dan berlatih terus.
Dan tampaknya hal itu dijadikan cambuk bagi Ni-
lamsari, untuk melatih dirinya secara luar biasa.
Demikian pula di pagi yang dingin itu, Nilamsari
sudah bersemadi, untuk memulai latihannya. Kudawu-
lung memang menganjurkan agar Nilamsari bersemadi
dulu sebelum memulai latihannya. Dan itu ditaati oleh
Nilamsari, disaksikan oleh gurunya maupun tidak.
Demikian pula pagi itu. Walaupun Kudawulung ti-
dak ada di puncak Gunung Limagagak, sejak kemarin
siang, Nilamsari tetap mematuhi anjuran gurunya. Ni-
lamsari melakukan semadi dahulu sebelum memulai
latihannya.
Tapi pagi itu lain. Baru saja Nilamsari selesai ber-
semadi dan hendak memulai latihannya, tiba-tiba Ku-
dawulung datang dan berseru, “Nilamsari! Jangan lati-
han dulu! Aku membawa berita penting untukmu!”
Nilamsari membatalkan latihannya. Lalu duduk di
depan gurunya.
“Rupanya aku terlalu asyik mendidikmu di sini,” ka-
ta Kudawulung, “sehingga aku tidak tahu bahwa di Ka-
wahsuling telah terjadi sesuatu yang semakin mence-
maskan.”
“Maksud Rama Guru?”
“Adipati Natajaya telah mati.”
“Oh!” Nilamsari memegang kedua belah pipinya.
Namun sinar matanya memperlihatkan sesuatu yang
berarti... suatu kepuasan yang masih disembunyikan.
Betapa tidak. Adipati Natajaya telah menghancurkan
kehidupan orang tuanya. Dan pernah pula berusaha
menghancurkan kehidupan Nilamsari sendiri.
“Kenyataan itu memang baik,” kata Kudawulung,
“engkau tidak perlu mempergunakan ilmumu untuk
membalas dendam. Hukum karma telah mendahului
dendammu, sehingga Adipati Natajaya sudah mati se-
belum kau membunuhnya.”
“Tapi,” lanjut Kudawulung, “keadaan di Kawahsul-
ing sekarang, justru tambah parah. Inilah yang sangat
kupikirkan.”
“Bertambah parah?” tanya Nilamsari hampir tak
terdengar.
“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Adipati yang baru
diangkat oleh kerajaan, justru lebih jahat daripada
Adipati Natajaya. Jauh lebih jahat.”
“Siapa yang menjadi adipati sekarang?”
“Prabalaya... anak seorang tokoh golongan hitam
yang sangat jahat. Bisa dipastikan, dalam tempo sing-
kat saja rakyat Kawahsuling akan menderita dibuat-
nya.”
“Lalu... apakah kita harus turun tangan, Rama Gu-
ru?”
“Tidak,” Kudawulung menggeleng. “Kurasa Rangga
sedang berusaha untuk mengatasi hal itu. Tapi... aku
sendiri heran... di mana dia berada sekarang?”
“Kemarin Rama Guru hanya menyelidik ke Kawah-
suling saja?”
“Ya,” Kudawulung mengangguk. “Tapi firasatku
berkata bahwa di Tegalinten pun dia tidak ada. Dan...
hai... rupanya kita kedatangan seorang tamu agung!”
Kudawulung menunjuk ke arah selatan, ke arah
seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian dari kulit
kijang berwarna kuning keemasan. Itulah Kidangkan-
cana!
“Hahahahaaa... setelah bertahun-tahun mencarimu,
baru sekarang aku tahu bahwa Kudawulung bersem-
bunyi di puncak gunung ini,” kata Kidangkancana
sambil menyimpan kedua tangan di dadanya, sebagai
tanda penghormatan terhadap Kudawulung.
Kudawulung menyahut, “Kalau Kidangkancana sung-
guh-sungguh mencariku, tentu tidak akan sulit me-
nemukanku. Dan tampaknya baru hari inilah Kidang-
kancana bersungguh-sungguh mencariku. Hahaha-
haaaa... silakan duduk, sahabat! Angin apa sebenar-
nya yang meniupmu ke mari?”
Kidangkancana duduk di atas sebuah batu besar. Ia
tidak langsung menjawab pertanyaan Kudawulung,
melainkan melirik ke arah Nilamsari dan tanyanya,
“Siapa gadis ini?”
“Muridku,” sahut Kudawulung sambil menoleh ke
arah Nilamsari dan berkata. “Ayo bersimpuhlah di de-
pan sahabat gurumu, Nilamsari.”
Dengan patuh Nilamsari bersimpuh di hadapan Ki-
dangkancana. Membuat lelaki tua renta itu tertawa
tergelak-gelak. “Hahahahahaaaa...! Rupanya Kudawu-
lung secara diam-diam sudah membangun perguruan
di puncak Gunung Limagagak ini! Hebat! Hebat! Sudah
berapa orang muridmu sekarang? Yang aku tahu saja,
salah seorang muridmu bernama Rangga, bukan?”
Kudawulung terperanjat. “Dari mana Andika menge-
tahuinya?”
Kidangkancana menghela napas, lalu jawabnya,
“Muridmu datang ke tempatku, dibawa oleh muridku.
Kasihan muridmu itu. Dia dalam keadaan lumpuh
yang sangat gawat, sehingga aku sendiri tidak mampu
menyembuhkannya.”
“Lumpuh?!” Kudawulung hampir tak percaya pada
keterangan tamunya. Soalnya ia sudah tahu benar sia-
pa Rangga dan apa saja yang telah diajarkannya pada
lelaki muda itu.
“Benar,” sahut Kidangkancana. “Muridmu telah di-
rasuki racun Prabaseta yang terbaru. Dan keadaannya
benar-benar gawat, sehingga terpaksa aku membiar-
kan muridku membawanya ke Nusa Aheng.”
“Nusa Aheng?!” Kudawulung terkejut lagi.
Kidangkancana menghela napas. “Ya... hmm... ju-
stru inilah yang ingin kutanyakan padamu... khusus-
nya tentang keadaan muridku itu.”
“Maksud Andika?”
“Sampai sekarang muridku belum pulang. Dan aku
tidak akan terlalu cemas seandainya aku tidak mende-
ngar berita aneh itu. Tapi belakangan ini aku mende-
ngar berita tentang muridku, yang katanya sudah ter-
tangkap oleh anak si Prabaseta. Inilah yang membua-
tku heran, tidak percaya tapi cemas juga. Aku memang
yakin benar bahwa muridku tidak akan bisa dikalah-
kan oleh anak-anak Prabaseta. Mangkanya sulit bagi-
ku untuk mempercayai berita itu. Terlebih lagi setelah
ingat bahwa muridku justru sedang bersama murid-
mu. Oh ya... apakah muridmu sudah pulang?”
“Belum,” Kudawulung menggeleng.
“Nah,” wajah Kidangkancana cerah lagi. “Kalau be-
gitu jelaslah bahwa berita yang kudengar itu hanya
isapan jempol belaka. Hmm... aku tak tahu apa mak-
sud orang-orang menyebarkan berita itu...”
“Tunggu,” potong Kudawulung. “Bagaimana cerita-
nya sehingga muridku bisa bersama-sama dengan mu-
rid Andika?”
Kidangkancana menjawab sambil tertawa terkekeh-
kekeh. “Heheheee... biasa... anak muda!”
“Biasa bagaimana?” Kudawulung semakin heran.
“Mereka saling mencintai. Itu saja soalnya. Maklum-
lah, muridku cantik, muridmu tampan... ya begitulah
akhirnya, saling jatuh cinta dan... hahahahahaaaa...
Andika juga pernah muda dulu, bukan?”
Diam-diam rona wajah Nilamsari berubah.
“Jadi murid Andika itu perempuan?” tanya Kuda-
wulung.
“Iya,” Kidangkancana mengangguk. “Muridku seo-
rang janda muda yang manis dan memenuhi syarat
untuk merebut hati lelaki. Kurasa wajar saja kalau
Rangga terpikat olehnya, demikian pula sebaliknya....”
Belum lagi habis Kidangkancana bicara, tiba-tiba
saja Nilamsari bangkit dan berlari meninggalkan tem-
pat itu... dengan air mata bercucuran!
“Hai, kenapa muridmu itu?” Kidangkancana terhe-
ran-heran.
Kudawulung menghela napas panjang, lalu bahkan
balik bertanya, “Apakah Andika yakin bahwa muridku
jatuh cinta pada muridmu?”
Kidangkancana tidak menjawab.
***
Dan jauh di balik sebuah pohon rindang sana, Ni-
lamsari memandang ke arah timur, dengan pandangan
hampa, dengan mata basah kuyup.
Kata-kata Kidangkancana tadi terngiang-ngiang te-
rus di telinga putri mendiang Adipati Wiralaga itu: mu-
ridku cantik, muridmu tampan... akhirnya saling jatuh
cinta... muridku seorang janda muda yang manis dan
memenuhi syarat untuk merebut hati lelaki... wajar sa-
ja kalau Rangga terpikat olehnya...!
O, betapa pilunya hati Nilamsari mendengar itu se-
mua!
Dan pikir Nilamsari, “Ternyata mencintai seorang le-
laki itu tidak semudah lamunanku! Selama ini aku be-
gitu yakin bahwa Rangga akan datang, lalu aku akan
mencurahkan isi hatiku secara terang-terangan pada-
nya! Tapi... mungkinkah aku bisa mengatakannya, se-
dangkan aku tahu bahwa ia sudah mencintai perem-
puan lain?”
***
Ketika Nilamsari sudah mencucurkan air mata di
bawah pohon rindang itu, Kudawulung dan Kidang-
kancana masih melanjutkan percakapan mereka.
Kata Kidangkancana, “Jadi jelas bahwa muridku
masih bersama-sama muridmu. Dan berita itu jelas
ngawur.”
“Andika belum menjawab pertanyaanku,” sergah
Kudawulung. “Apakah Andika yakin bahwa Rangga
mencintai murid Andika?”
“Hai, apakah pertanyaan itu harus kujawab? Ba-
gaimana mungkin aku bisa tahu isi hati orang yang
berjumpa juga baru satu kali?!” sahut Kidangkancana
sambil tersenyum-senyum.
Kudawulung mau berkata bahwa ia sangat berke-
pentingan dengan jawaban Kidangkancana, karena
merasa kasihan kepada Nilamsari (yang ia tahu sudah
menyimpan perasaan khusus terhadap Rangga), tapi,
baru saja Kudawulung membuka mulutnya, tiba-tiba
Kidangkancana menengadah sambil menunjuk ke arah
langit dan berseru, “Hai! Apa itu?”
Kudawulung ikut menengadah. Memperhatikan titik
kecil di atas langit, yang makin lama makin membe-
sar... makin menukik... makin jelas!
***
Titik yang membesar dan menjadi jelas itu, tak lain
dari Rangga dan burung raksasa dari Nusa Aheng.
Kudawulung dan Kidangkancana, adalah dua orang
tokoh kelas tinggi. Namun tak urung mereka terpanar
ketika melihat burung raksasa itu mendarat di puncak
Gunung Limagagak, kemudian Rangga turun dari
punggungnya.
Rangga bergegas menghampiri gurunya dan ber-
simpuh di depannya. “Muridmu menghaturkan sem-
bah bakti, Rama Guru.”
Kemudian Rangga menoleh ke arah Kidangkancana
dan sedikit terkejut melihat kehadiran guru Nyi Tiwi
itu.
Baik Kidangkancana maupun Kudawulung, pada
mulanya hanya tercengang-cengang. Lalu melirik ke
arah burung raksasa berbulu merah muda itu. Lalu
melirik ke arah kotak panjang yang berada dalam pe-
lukan Rangga.
Dan akhirnya, dengan tak sabar lagi Kidangkancana
bertanya, “Mana muridku? Engkau bersama-sama dia,
bukan?”
Agak gugup Rangga menjawabnya, “Aku... aku...
m... meninggalkannya di Kundina. Mungkin dia...
mungkin....”
Belum lagi habis Rangga bicara, Kidangkancana
membentaknya, “Manusia keparat! Apa sebenarnya
yang telah kau lakukan terhadap muridku?”
Rangga berusaha menenangkan dirinya, dan men-
jawab, “Sudah kukatakan tadi... Nyi Tiwi kutinggalkan
di Kundina... karena aku dibawa oleh Aria Lumayung
ke...”
“Bohong!” bentak Kidangkancana. “Pasti engkau
sudah mengkhianatinya, karena engkau tidak bersedia
mengawininya!”
“Tidak... tidak!” tolak Rangga. “Bukan begitu per-
soalannya! Pada saat itu, aku diculik oleh orang-orang
Tegalinten, kemudian ditolong oleh Aria Lumayung
dan... dan... Nyi Tiwi terpaksa kutinggalkan, karena
Aria Lumayung tidak bersedia mengajaknya... lalu...”
“Omong kosong!” hardik Kidangkancana sambil me-
ngeluarkan senjatanya... seutas cemeti yang terbuat
dari anyaman benang emas!
Glaaaaar...! Cemeti itu dihentakkan ke udara dan
menimbulkan suara menggelegar.
Kidangkancana melirik ke arah Kudawulung, sambil
berkata, “Hari ini terpaksa aku melupakan persahaba-
tanku denganmu, untuk menghukum muridmu yang
jahanam ini!”
(Bersambung)
Emoticon