1
Sebuah perahu kecil bergerak lambat mendekati pinggir
sungai. Satu-satunya penumpang di perahu itu adalah
seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Ketika perahu
sudah mencapai tepi sungai, ditariknya agak ke darat lalu
Pemuda yang memiliki wajah jantan dan bertubuh
tegap kekar itu kemudian mengambil keranjang rotan
berisi ikan dari lantai perahu. Sejenak pandangannya
diedarkan berkeliling. Arah tatapannya terhenti pada pohon
yang tergolek di tanah, sekitar sepuluh tombak dari
tempatnya berada.
Langkahnya terayun begitu cepat. Sekejap saja
pemuda yang mengenakan caping dan menjinjing
keranjang rotan itu telah berada di dekat pohon meranggas
yang tergolek di tanah. Pemuda itu melepas capingnya.
Rambutnya yang digelung ke atas pun diuraikan. Panjang
mencapai pinggang dan benparna putih keperakan!
Rambut yang mempu nyai warna tidak seperti rambut
pemuda pada umumnya itu diayunkannya ke arah batang
pohon.
Crasss!
Batang pohon sepanjang satu tombak dengan besar
sepelukan tangan orang dewasa itu terbelah dua. Rambut
yang telah menegang kaku karena aliran tenaga dalam,
hingga tak ubahnya sebilah pedang, menghantamnya
dengan telak.
Pemuda berpakaian ungu tampaknya bukan orang
sembarangan. Dia memiliki ilmu cukup tinggi. Terbukti,
dapat menggerakkan rambutnya untuk membelah pohon.
Ketika rambutnya kembali menghantam, batang pohon
terbelah menjadi puluhan potongan kayu sebesar
pergelangan tangan.
Si pemuda lalu menghempaskan pantatnya pada
belahan batang pohon yang lain. Dengan bantuan batu api
dia membuat perapian dari potongan-potongan kayu yang
tadi dibelahnya! Beberapa saat kemudian, dia sibuk
memanggang ikan-ikan hasil tangkapannya.
Bau sedap menyebar ke sekitar tempat itu. Pemuda
berambut putih keperakan ini mendengar bunyi langkah
kaki mendekati tempatnya berada. Datangnya dari arah
belakang. Karena, saat ini dia tengah duduk menghadap
sungai.
Tapi meskipun tahu akan adanya orang yang menuju ke
tempatnya, si pemuda bersikap biasa saja. Dia tetap
meneruskan kesibukannya. Hanya indera pendengarannya
lebih dipertajam. Sikapnya pun terlihat sedikit waspada
untuk rnenjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Ayah...!"
Tertangkap oleh telinga pemuda tampan itu nada
ucapan yang halus dan merdu. Suara itu begitu lirih. Kalau
saja ia tak memiliki pendengarannya yang luar biasa tajam,
tak akan terdengar sapaan itu.
"Menurut pendapatku, tak perlu kita mencari tahu
siapa pemilik perahu itu. Lagi pula, andai kata benar
pemiliknya adalah orang yang tengah me manggang ikan,
tak perlu kita minta izinnya...."
"Maksudmu kita mencurinya. Begitu, Pringgani?!"
timpal orang yang disapa ayahnya.
"Tidak seperti itu, Ayah," bantah suara seorang gadis.
"Maksudku, kita bawa saja dulu perahu itu. Kelak kita akan
kembalikan ke sini dan sekaligus memberikan ganti rugi
yang berlipat ganda. Kau tahu sendiri Ayah, waktu kita
sangat sempit. Aku khawatir...."
"Lupakan saja maksudmu itu, Pringgani," potong sang
ayah, tak sabar. "Aku tak setuju dengan usulmu. Aku lebih
baik mati daripada harus melakukan kejahatan yang
memalukan ini! Mencuri perahu. Huh! Betapa rendahnya!"
Pringgani tak memberikan tanggapan lagi, la tahu
pendirian ayahnya tak mungkin dapat berubah. Dia hanya
menghela napas berat dan menampakkan sikap tak
puasnya. Dengan roman wajah seperti itu, diikutinya
ayahnya yang tengah menghampiri pemuda berpakaian
ungu.
"Maaf, Kisanak...."
Sapaan yang dikeluarkan ayahnya Pringgani membuat
pemuda berpakaian ungu tak dapat terus berpura-pura
tidak mengetahui kehadiran mereka.
"Ada apa, Paman?" pemuda itu bangkit berdiri setelah
meletakkan ikan panggangnya.
Diperhatikannya dua sosok tubuh yang berdiri di
hadapannya. Terlihatlah seorang lelaki setengah baya,
berkumis tebal, dan berpakaian putih. Lelaki ini
mengembangkan senyum ramah di bibir. Sebaliknya, di
sebelahnya dengan wajah cemberut berdiri seorang gadis
jelita bertubuh montok dan berpinggang ramping.
Hanya sekilas pemuda berpakaian ungu
memperhatikan Pringgani. Perhatiannya kini lebih
ditunjukkan pada wayah gadis itu. Di samping tak nyaman
menatap wajah yang cemberut, juga ayahnya Pringgani
mengajaknya berbicara.
"Kau tahu pemilik perahu itu?" tanya laki-laki
berpakaian putih seraya menunjuk ke arah sungai.
"Tahu, Paman. Akulah pemiliknya."
"Sungguh kebetulan sekali!" sahut ayahnya Pringgani,
gembira. "Saat ini aku sangat membutuhkan perahu untuk
menyeberangi sungai ini bersama anakku, Kisanak.
Sayang, kami telah kehabisan uang, jadi tak bisa membeli
atau menyewanya. Tapi percayalah, aku Paksi Dilaga,
bukan seorang penipu. Kelak kami akan kembali dan
memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Bagaimana,
Anak Muda?"
Pemuda berpakaian ungu meneliti wajah lelaki
setengah baya yang tengah menatapnya. Dia sedang
menunggu jawaban atas permintaannya.
"Ambil saja, Paman. Tampaknya kau lebih
memerlukannya daripada aku," jawab pemuda itu
kemudian.
Wajah Paksi Dilaga langsung berseri-seri. Lelaki ini
kelihatan gembira sekali. Ditatapnya sang pemuda penuh
rasa terima kasih, kemudian mengalihkannya pada
putrinya.
"Bagaimana, Pringgani? Bukankah keputusan yang
Ayah ambil jauh lebih tepat? Kita tak perlu melakukan
tindakan yang tercela untuk mendapatkan sebuah perahu.
Pringgani hanya tersenyum pahit. Kendati demikian,
kilatan pada sepasang matanya yang bening dan indah
menyiratkan kegembiraan pula. Betapapun juga, dia lebih
gembira mendapatkan perahu itu tanpa perlu mencurinya.
Pringgani sama sekali tidak mengira akan demikian
mudah memintanya. Hasil yang menyenangkan ini
membuatnya agak memperhatikan pemilik perahu. Namun,
dengan diam-diam dia melakukannya. Sebagai seorang
gadis, dia merasa malu untuk memperhatikan seorang
pemuda secara terang-terangan.
Dalam pandangan yang hanya sekilas itu Pringgani
harus mengakui kalau sang pemilik perahu tersebut cukup
menarik. Tubuhnya tegap dan kekar. Sayang, wajahnya tak
terlihat jelas karena terhalang oleh caping yang bertengger
di kepalanya.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. Kami tak
akan melupakan budi baik ini. Bila Tuhan mengizinkan,
kami akan kembali untuk membalas jasamu. Siapa kau,
Anak Muda? Dan di mana tempat tinggalmu?" tanya Paksi
Dilaga.
Pemuda berpakaian ungu ini tersenyum.
"Lupakan saja, Paman. Aku tak menganggap hal ini
sebagai budi yang harus dibalas. Namaku Arya," sahut
pemuda ini, masih dengan tersenyum.
"Aku Paksi Dilaga, Arya. Dan ini putiku. Pringgani," Paksi
Dilaga balas memperkenalkan diri. Dia tak mendesak
ketika Arya tak mengatakan di mana tempat tinggalnya.
"Tapi apa pun pendapatmu kami tak akan bisa melupakan
budi baik ini. Kalau saja waktu mengizinkan, kami suka
berbincang-bincang denganmu. Sayang, kami mempunyai
urusan penting yang harus segera diselesaikan. Sekali lagi
terima kasih atas kebaikan hatimu, Arya"
Pemuda berpakaian ungu yang bernama Arya Buana
alias Dewa Arak ini, hanya tersenyum. Dan senyum
pemuda ini semakin lebar ketika melihat Pringgani
melempar senyum pula padanya. Senyum tipis yang
mengutarakan perasaan terima kasih.
Arya menatap kepergian Paksi Dilaga dan putrinya yang
bergegas menuju tepi sungai. Baru ketika ayah dan anak
itu telah menghanyutkan perahu ke sungai, pemuda ini
meneruskan kesibukannya yang tadi tertunda. Diraih ikan
panggangnya yang telah matang dan hampir dingin.
Perutnya telah sejak tadi menjerit-jerit minta diisi.
***
Arya merebahkan tubuhnya di tanah. Punggungnya
disandarkan pada batang pohon yang tadi didudukinya.
Perut kenyang dan angin bertiup lembut yang bertiup
membuatnya mengantuk.
Saat itu cuaca sudah tidak pagi lagi. Matahari telah
naik cukup tinggi. Namun, awan-awan yang menggantung
di angkasa membuat keadaan dipersada tidak terasa
panas. Malah Arya merasa cukup nyaman sehingga jatuh
tertidur.
Baru beberapa saat terlena, pemuda berpakaian ungu
ini terbangun. Dia mendengar bunyi derap kaki kuda
bertubi-tubi menghantam bumi. Dari bunyinya yang
semakin keras, agaknya binatang itu berlari cepat menuju
ke arahnya.
Arya tak bergeming dari sikapnya. Bahkan ketika bunyi
derap kaki kuda tidak terdengar lagi, dan sekitar dua
tombak di hadapannya telah berdiri tiga ekor kuda perkasa
dengan tiga orang penunggang di atasnya. Ketiga orang
penunggang kuda itu menatap Arya yang masih
merebahkan tubuh dengan bersandarkan pada batang
pohon.
"Bagaimana Angkeran?" tanya penunggang kuda coklat
putih, seraya menoleh pada penunggang kuda hitam di
sebelahnya. "Perlukah kita tanyakan pada anjing kecil itu
tentang kelinci-kelinci buruan kita?"
Angkeran, lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berikat
kepala loreng, mengelus-ngelus cambang bauknya yang
lebat.
"Kurasa tak ada salahnya kita tanyakan pada anjing
kecil itu, Longga!" tandas Angkeran kemudian. Suaranya
parau dan keras.
Longga, yang memiliki kepala botak dan berbibir
sumbing tampak meyeringai. Dia merasa gembira
mendapatkan dukungan Angkeran. Sorot sepasang
matanya memancarkan maut ketika ditujukan pada Arya.
"Sudah nasibnya anjing kecil itu menjadi korban
sembelihan kita!" desis Longga. Suaranya melengking
tinggi, mirip ringkik kuda. Mungkin cacat pada bibirnya
yang menyebabkan suaranya terdengar demikian.
Angkeran dan penunggang kuda yang lainnya ertawa
bergelak mendengar ucapan Longga. Teman Angkeran ini
bertubuh tinggi kurus dan berkulit kuning seperti
penyakitan. Dunggul namanya.
Dengan diiringi tawa Angkeran dan Dunggul, Longga
melompat dari punggung kuda. Dihampirinya tempat Dewa
Arak merebahkan diri. Sekitar lima kaki dari pemuda
berpakaian ungu itu, lelaki berkepala botak ini
mengibasakn tangannya.
Wuuusss!
Angin luar biasa keras meluruk ke arah Arya. Longga
dan kawan-kawannya telah membayangkan tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu akan terlempar jauh, lalu
terbanting keras di tanah. Paling ringan Arya akan patah
tulang.
Namun kenyataan yang terlihat membuat ketiga lelaki
itu kebingungan. Dewa Arak memang terlempar dari
tempat semula. Tapi tidak hanya pemuda itu sendiri yang
benasib demikian. Batang pohon yang menjadi sandaran
punggungnya pun ikut terlempar, dalam keadaan masih
menempel dengan punggung Arya!
Keterkejutan Longga dan kawan-kawannya semakin
besar. Arya dan batang pohon itu kembali ke tempat
semula setelah melayang beberapa tombak, seakan-akan
ditarik kekuatan tak nampak. Tak terdegnar suara berisik
ketika mendarat di tanah.
Longga, Dunggul, dan Angkeran langsung mengetahui
kalau kejadian yang menimpa Dewa Arak bukan sebuah
kebetulan. Dungkul dan Angkeran tahu betul kejadian aneh
itu bukan terjadi karena perbuatan Longga. Lelaki
berkepala botak itu tak bermaksud demikian ketika
mengibaskan tangannya.
Longga bermaksud membangunkan Arya yang dikiranya
tengah tertidur. Wataknya yang keji membuat lelaki ini
membangunkan tidak dengan cara baik-baik. Kibasannya
hendak membuat tubuh Arya terlempar lalu jatuh
terbanting. Kalaupun batang pohon ikut terlempar, karena
tubuh Dewa Arak bersandar padanya, tidak akan seperti ini
kejadiannya.
Setelah keterkejutan yang melanda mereka, Longga
langsung naik pitam. Kejadian itu pasti disengaja oleh
Dewa Arak. Dan, mereka menganggap hal itu sebagai
tantangan!
Longga menggeram. Tapi, bunyi yang tercipta tak
ubahnya ringkik seekor kuda.
"Rupanya kau punya kepandaian juga, Anjing Kecil! Kau
mau main-main denganku, heh?! Baik, kuladeni! Tapi
sebelumnya kuberitahukan dulu dengan siapa kau
berhadapan. Aku Longga, salah seorang dari Tiga Hantu
Pantai Selatan. Nah! kalau kau bukan seorang pengecut,
perkenalkan dirimu! Merupakan pantangan besar bagiku
membunuh orang yang tak terkenal sama sekali!"
"Kalau begitu sekali ini kau langgarkan pantanganmu,
Longga. Aku tak mau memberitahukan nama atau
julukanku. Apalah artinya semua itu!" sambut Arya tanpa
merubah sikapnya. "Lagi pula, untuk apa kuberi tahu. Toh,
kau pun tak akan menyapa dengan namaku. Panggil saja
aku sekehendak hatimu, Longga!"
"Sombong!" geram Longga. Sepasang alisnya hampir
bertaut karena amarah yang melanda. "Rupanya
pertunjukan tak ada artinya yang kau pamerkan tadi
membuatmu besar kepala! Kau tak tahu tingginya langit
dan dalamnya lautan, Anjing Buduk!"
"Jadi, kau tahu tingginya langit dan dalamnya lautan,
Longga? Sungguh kebetulan sekali! Boleh aku tahu berapa
tingginya langit dan dalamnya lautan? Barangkali saja nanti
ada yang menanyakan hal itu padaku."
Bukan hanya Longga, Dunggul, dan Angkeran pun
terkesima mendengar sambutan Arya. Terutama Longga.
Mereka tak menyangka akan mendapatkan tanggapan
seperti itu. Sadarlah Longga kalau dirinya menjadi korban
permainan Arya.
"Anjing kecil! Mampuslah kau...!"
Longga mengirimkan pukulan jarak jauh bertubi-tubi
dengan kepalan tangan kanan-kirinya. Angin keras
menderu saling susul, meluruk deras ke arah Dewa Arak.
Arya tahu, Longga tak main-main lagi. Serangan-
serangan jarak jauhnya mengandung pengerahan tenaga
dalam kuat. Maka, dia pun tak bisa bertindak
sembarangan seperti sebelumnya.
Dewa Arak membuka kelopak mata, lalu tangannya
dikibaskan bagaikan orang mengusir lalat. Batang pohon
yang menjadi tempat sandaran punggungnya bergeser ke
belakang seperti didorong, membawa serta tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu.
Serangan-serangan Longga pun kembali kandas. Dan
hanya mengenai tanah beberapa tombak di depan sasaran
yang dituju. Bunyi riuh-rendah terdengar ketika pukulan-
pukulan jarak jauh itu menghantam. Debu mengepul tinggi.
Ketika telah sirna tertiup angin, terlihat lubang-lubang
cukup besar di tanah.
"Nasibmu cukup baik, Anjing Cilik! Dua kali kau lolos
dari seranganku. Tapi, jangan besar kepala! Belum pernah
ada seorang pun yang mampu menandingiku selama
belasan tahun aku meRajalela di dunia persilatan. Jangan
mimpi kau bisa selamat dari tanganku!"
Longga menutup ucapannya dengan sebuah terkaman.
Kegagalan berturut-turut membuat lelaki botak ini
memutuskan untuk mengadakan pertarungan jarak dekat.
Dewa Arak bangkit berdiri. Dipapaknya kedua cakar
lawan yang mengancam dada. Jari-jari tangan pemuda
berambut putih keperakan ini terkembang membentuk
cakar pula.
Prattt!
2
Tubuh Longga terpental ke belakang ketika benturan itu
terjadi. Namun, dengan gerakan yang ringan lelaki ini
berhasil mematahkannya. Dijejaknya tanah dengan kedua
kaki, kendati agak terhuyung. Arya sendiri tak mengalami
akibat yang berarti.
Angkeran dan Dunggul terdengar mengeluarkan seruan
kaget. Kalau tak melihat sendiri, kedua orang ini tak akan
percaya. Mana mungkin Longga dibuat terlempar dalam
satu benturan seperti itu.
"Apakah Longga tidak bersungguh-sungguh dengan
serangannya, sehingga dengan begitu mudah dapat
dipatahkan?!" pikir Angkeran dan Dunggul. "Tapi, rasanya
tak mungkin. Lubang besar pada tanah telah menjadi bukti
kalau Longga mengeluarkan seluruh tenaganya."
Tak hanya Angkeran dan Dunggul yang menduga, Dewa
Arak memiliki kepandaian tinggi. Longga pun demikian.
Kejadian terakhir membuatnya yakin kalau Arya bukan
lawan yang dapat dengan mudah dirobohkan.
Meskipun demikian, keyakinannya akan kepandaian
dirinya membuat lelaki botak ini tak bisa menerima
kekalahannya. Dengan didahului pekikan melengking, dia
kembali menyerang Dewa Arak.
Pertarungan jarak dekat pun berlangsung begitu Arya
menyambuti. Longga demikian bersemangat. Dia
menyerang kalang kabut, seperti harimau terluka. Setiap
serangannya tak ubahnya tangan-tangan malaikat maut
yang siap merenggut nyawa. Angin keras dan bunyi
bersiutan senantiasa mengiringi setiap gerakan Longga.
Dewa Arak kelihatan demikian tenang. Pemuda itu
hanya mengelak ke sana kemari. Dia belum melancarkan
serangan balasan.
Dunggul dan Angkeran yang memperhatikan jalannya
pertarungan segera mengetahui kalau Dewa Arak terlalu
tangguh. Kalau dibiarkan, Longga akan roboh di tangan
lawannya.
Longga sendiri belakangan baru menyadari kalau Dewa
Arak benar-benar terlalu tangguh baginya. Setiap
serangannya dengan mudah ditangkal Arya. Sebaliknya, dia
selalu terpontang-panting setiap kali pemuda berambut
putih keperakan itu balas menyerang. Beberapa kali tokoh
tiga Hantu Pantai Selatan itu jatuh terjengkang.
Dalam belasan jurus saja Longga telah terdesak hebat.
Serangan-serangannya sekarang tak terlihat lagi. Lelaki
botak ini hanya bisa bermain mundur dan terus-menerus
mengelak. Hanya sesekali dia menangkis. Itu pun karena
tak ada pilihan lain.
Keadaan Longga membuat Dunggul dan Angkeran tak
bisa tinggal diam. Setelah saling pandang sejenak, kedua
tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini melompat dari
punggung kuda. Mereka lalu melesat ke kancah
pertarungan untuk membantu Longga.
Di saat berada di udara, Dunggul dan Angkeran
mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dengan
senjata di tangan kedua tokoh ini menyerang Dewa Arak.
Dunggul dan Angkeran ternyata turun tangan pada
waktu yang tepat. Saat itu Longga terjengkang ke belakang,
setelah menangkis serangan Dewa Arak. Ikut campurnya
kedua rekan Longga membuat Arya membatalkan
maksudnya untuk melancarkan serangan susulan.
Angkeran yang bersenjatakan golok besar berbatang
lebar mengirimkan bacokan ke arah leher.
Sedangkan Dunggul menusukkan trisulanya ke arah
perut. Dua serangan yang mematikan itu meluncur dalam
waktu yang bersamaan!
Serangan rekan-rekan Longga meluncur cepat. Tapi,
gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Pemuda ini
mengelakkannya dengan melakukan lompatan harimau ke
samping. Dilanjutkan dengan bergulingan di tanah, lalu
melenting ke udara, dan menjejak tanah dengan mantap.
Dunggul dan Angkeran menggertakkan gigi karena
geram. Mereka tak segera menyerbu Dewa Arak kembali.
Yang dilakukan kedua tokoh ini adalah menatap Arya.
Sepasang mata mereka seperti hendak menelan pemuda
itu bulat-bulat.
Longga segera bergabung bersama kedua rekannya.
Dia mengeluarkan sebuah gada berduri! Senjata yang
mengerikan itu diamang-amangkannya di atas kepala.
Tanpa bersepakat lebih dulu, Tiga Hantu Pantai Selatan
ini mendekati Dewa Arak dengan cara berpencar.
Arya tetap berdiri diam di tempatnya. Pemuda ini tak
bergeming sama sekali, seakan tak peduli akan tindakan
lawan-lawannya. Sepasang bola matanya saja yang
bergerak ke sana kemari. Siap menghadapi serbuan Tiga
Hantu Pantai Selatan.
Setindak demi setindak Angkeran dan rekan-rekannya
semakin mendekati Dewa Arak. Senjata di tangan mereka
putar-putarkan dan siap diluncurkan pada sasaran.
Sementara Arya belum mengambil gucinya yang tersampir
di punggung.
Tiga Hantu Pantai Selatan terkenal sebagai tokoh-tokoh
sesat tingkat tinggi. Julukan mereka telah sampai ke
telinga Arya. Tapi, baru kali ini dia berhadapan langsung
dengan mereka. Arya tak berani memastikan akan dapat
mengalahkan tokoh-tokoh sesat itu!
"Itu putri si keparat Paksi Dilaga!"
Seruan itu sebenarnya tak perlu dikeluarkan Longga.
Angkeran dan Dunggul pun telah melihatnya. Hanya Arya
yang tak melihat. Pemuda itu berdiri membelakangi sungai.
Seruan tersebut membuat Arya menyempatkan diri
menoleh ke belakang. Memang, ada sepercik dugaan
kalau seruan itu sengaja dikeluarkan untuk mengalihkan
perhatiannya. Bagi tokoh-tokoh sesat seperti Tiga Hantu
Pantai Selatan, cara apa pun bukan merupakan masalah
untuk mencapai kemenangan. Tidak ada istilah curang.
Yang penting adalah menang!
Sekelebatan Arya menoleh. Waktu yang hanya sekejap
itu telah cukup untuk membuktikan kebenaran seruan
Longga. Pringgani tengah berenang menuju pinggir sungai!
"Mengapa Pringgangi berenang? Ke mana perahunya?
Mana ayahnya?" pikir Arya bingung. Pandangannya kembali
diarahkan pada Tiga Hantu Pantai Selatan. Arya tidak
berani berlama-lama mengalihkan perhatian dari mereka,
khawatir akan adanya serangan bokongan.
Kemunculan Pringgani menimbulkan pengaruh yang
cukup besar. Bukan hanya pada Dewa Arak. Tapi, juga
pada Angkeran dan rekan-rekannya.
Arya melihat perhatian mereka terpecah. Pemuda
berambut putih keperakan ini adalah seorang yang cerdik.
Dari percakapan Tiga Hantu Pantai Selatan tadi, dia tahu
kalau mereka tengah mengejar-ngejar gadis itu.
"Kau urus gadis liar itu, Longga. Biar anjing kecil yang
usilan ini kami yang bereskan!" seru Angkeran, keras.
Belum juga gema seruan itu lenyap, Angkeran melesat
menerjang Dewa Arak. Dunggul segera mengikuti tindakan
Angkeran. Longga sendiri melesat cepat menuju pinggir
sungai.
Di dalam hati Dewa Arak memuji kecerdikan Angkeran.
Lelaki tinggi besar itu mampu berpikir cepat, sehingga Arya
tak mempunyai kesempatan untuk menolong Pringgani,
jika hal itu memang akan dilakukannya.
Dewa Arak sendiri memang bermaksud untuk
menolong Pringgani. Kendati dia belum mengetahu urusan
ketiga lawannya dengan gadis itu, tapi melihat Tiga Hantu
Pantai Selatan, Arya dapat memperkirakan pihak mana
yang harus dibantunya.
Arya tak mau bertindak ayal-ayalan karena Pringgani
tengah terancam. Diambil guci araknya lalu diputar-
putarkan. Benteng sinar keperakan melindungi sekujur
tubuh Arya. Demikian cepatnya putaran guci sehingga
tubuh Dewa Arak terbungkus gulungan sinar.
Trang...! Trang.. !
Bunyi nyaring berkali-kali terdengar. Diikuti dengan
berpercikannya bunga-bunga api ke udara. Bunyi itu
tercipta ketika golok dan trisula berbenturan dengan guci.
Angkeran dan Dunggul memekik tertahan. Tubuh
mereka terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang.
Sekujur tangan mereka sakit dan ngilu, bahkan hampir
lumpuh. Cekalan terhadap senjatanya pun hampir terlepas.
Mereka merasakan trisula dan goloknya seperti bukan
membentur guci, melainkan tembok baja yang amat tebal,
sehingga membuat tenaga mereka berbalik.
Di lain pihak, Dewa Arak tak terpengaruh dengan
benturan yang terjadi. Kesempatan di saat kedua lawannya
tengah terhuyung-huyung dipergunakannya untuk bersalto
ke belakang. Kemudian, melesat ke pinggir sungai untuk
menolong Pringgani dari ancaman Longga.
Angkeran dan Dunggul tak membiarkan tindakan Dewa
Arak. Sambil memaki-maki kalang kabut, keduanya lalu
melesat mengejar.
***
Sementara itu, di pinggir sungai. Pringgani yang melihat
melesatnya Longga ke arahnya segera menyadari akan
adanya bahaya. Dia menganal Longga sebagai salah
seorang di antara pengejar-pengejar dirinya dan ayahnya.
Maka, putri Paksi Dilaga ini pun mempercepat
berenangnya. Dia berhasil tiba lebih dulu di pinggir sungai
daripada Longga.
Pringgani langsung mencabut pedang yang tersampir di
punggung. Diterjangnya Longga yang baru tiba dengan
sebuah tusukan ke arah leher.
Menghadapi serangan maut itu, Longga hanya
menyeringai meremehkan. Diayunkan gadanya untuk
menangkis.
Trang...!
Pedang di tangan Pringgani terlepas dari pegangan,
karena kuatnya benturan yang terjadi. Tubuh gadis itu pun
terpental ke belakang.
Longga tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, dia
melesat mengejar. Dikirimkannya tendangan kanan-kiri
bertubi-tubi yang dilakukan dengan tubuh berputaran
seperti gasing.
Pringgani terlihat gugup. Kedudukannya saat itu tidak
menguntungkan. Tapi, dia tak ingin nyawanya yang hanya
selembar itu melayang. Sebisa-bisanya dia mengelak.
Desss... !
Tubuh Pringgani terlempar ketika tendangan Longga
menyerempet bahunya. Sepasang bibir yang merah
membasah dan berbentuk indah itu mengeluarkan pekik
kesakitan.
Tapi, Longga belum puas! Lelaki botak ini mengirimkan
serangan susulan dengan tendangan terbang. Saat itu
tubuh Pringgani masih melayang di udara.
Bresss!
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Longga! Lelaki
botak ini terlempar kembali ke belakang. Beberapa kaki
sebelum serangannya mengenai sasaran, dari belakang
Pringgani melesat dengan kecepatan tinggi si Dewa Arak!
Pemuda berpakaian ungu itu memapak serangan
Longga dengan tendangan terbang pula. Kemarahan besar
yang melanda, melihat kekejaman Longga terhadap
Pringgani, membuat Arya mengeluarkan seluruh
tenaganya.
"Longga...!"
Jeritan penuh rasa kaget dikeluarkan hampir
berbarengan Angkeran dan Dunggul.
Bagaikan telah disepakati sebelumnya, Dunggul
melesat menuju ke arah melayangnya tubuh Longga.
Sedangkan Angkeran dengan kemarahan meluap-luap
menyerbu Dewa Arak.
Arya yang saat itu hendak menangkap tubuh Pringgani
terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memutushan untuk
lebih dulu menghadapi serangan Angkaran. Serangan yang
tertuju ke arah dada itu dihadapinya dengan mengegoskan
kepala.
Wung.J
Caping yang sejak tadi bertengger di kepala Arya
melesat dengan kecepatan tinggi, memapaki serangan
golok Angkeran. Caping meluncur bagaikan dilontarkan
tangan yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Di saat caping meluncur, Dewa Arak memutar-
mutarkan rambutnya di atas kepala. Angin keras
berhembus searah dengan luncuran caping.
Pyarrr.J
Caping hancur berkeping-keping ketika berbenturan
dengan golok Angkeran. Tapi, Angkeran sendiri terjengkang
ke belakang. Tangannya bergetar hebat dan senjata
hampir terlepas dari pegangan.
Belum lagi tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini berhasil
meredakan rasa terkejutnya, hancuran-hancuran caping
yang semula berpencaran ke berbagai penjuru meluncur
deras ke arah Angkeran. Putaran rambut Dewa Arak yang
menjadi penyebabnya! Putaran yang mengandung tenaga
dalam kuat itu mengarahkan kepingan-kepingan caping ke
arah Angkeran.
Crap, Crap, Crappp...!
"Aaakh...!"
Angkeran menjerit kesakitan. Kepingan-kepingan
caping menancap di paha, bahu, dada, dan perutnya.
Padahal lelaki tinggi besar ini telah berusaha
mengelakkannya. Tapi karena banyaknya kepingan,
usahanya tak sepenuhnya berhasil. Darah pun mengucur
dari bagian tubuh yang terluka. Bahkan, sebelah tangan
dan kakinya yang terhujam kepingan caping sukar untuk
digerakkan.
Dewa Arak tak mempergunakan kesempatan itu untuk
melancarkan serangan. Dia malah menatap Angkeran
dengan sorot tajam. Angkeran balas menatap penuh
dendam. Dia tak menyerang lagi.Tak ada gunanya hal itu
ditakukan. Lawan terlalu lihai untuknya. Apalagi setelah
sebelah kaki dan tangannya lumpuh.
Beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan.
Angkeran kemudian terlihat mengangguk-anggukkan
kepala. Dia telah bisa memperkirakan siapa adanya
pemuda berpakaian ungu ini. Pakaian, guci, dan terutama
sekali rambutnya yang putih keperakan telah menjadi
petunjuk yangjelas.
"Kau..., Dewa Arak, bukan?" tanya Angkeran meminta
kepastian.
"Kalau benar, mengapa?" Arya malah balas bertanya
Wajahnya tampak penuh kesungguhan. Tak lagi bermain-
main seperti ketika berbicara dengan Longga.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kalau kau
adalah tokoh sombong dan usilan yang sering dibicarakan
orang," kilah Angkeran. Mulutnya menyeringai oleh rasa
sakit pada lukanya yang mulai menggigit.
"Aku memang tokoh yang kau maksudkan itu. Puas?!"
tandas Arya.
Angkeran membuang ludah dengan sikap angkuh.
Kasar dan menjijikkan sekali carannyaa. Bahkan, sepasang
matanya masih tertuju pada Arya dengan sinar mata penuh
tantangan.
"Pergilah, Angkeran," Dewa Arak mengalihkan
pembicaraan. "Aku tak mempunyai urusan denganmu dan
kawan-kawanmu. Memang nama besar kalian telah sampai
ke telingaku. Tapi, kejahatan kalian belum pernah
kusaksikan! Jadi sebelum pikiranku berubah, pergilah.
Bawa rekan-rekanmu,meninggalkan tempat ini!"
Angkeran menggertakkan gigi. Dia merasa terhina
sekali. Tapi, disadarinya pula tidak ada gunanya mengikuti
perasaan. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapi.
"Nama besarmu pun telah lama kudengar, Dewa Arak.
Gaung yang menggema di dunia persilatan memang tak
terlalu berlebihan. Kau sungguh lihai. Aku dan kawan-
kawanku menerima kekalahan hari ini. Tapi ingat, urusan
kita belum selesai sampai di sini. Kelak kami akan datang
dan mengirim nyawamu ke neraka! Camkan itu!"
Arya hanya mengangkat bahu. Seakan tak begitu peduli
dengan keputusan Angkeran. Sementara Angkeran, setelah
mengeluarkan ancaman itu, membalikkan tubuh dan
meninggalkan Dewa Arak dengan tertatih-tatih. Kendati
demikian dadanya dibusung-busungkan! Dihampirinya
Dunggul yang telah memanggul tubuh Longga.
Longga tak sadarkan diri. Benturan dengan Dewa Arak
berakibat terlalu dahsyat untuk dirinya. Kedua kakinya
patah dan terluka dalam. Untung saja Dunggul lebih dulu
menangkap tubuhnya sebelum terbanting keras di tanah.
Kalau tidak, Longga akan lebih menderita lagi.
Dunggul tak bicara apa-apa ketika melihat Angkeran
meninggalkan Dewa Arak. Memang, ada sedikit rasa tak
puas di hatinya melihat Angkeran tak mau melanjutkan
pertarungan. Namun, akal sehatnya membuat Dunggul
dapat membenarkan keputusan tersebut. Karena itu,
setelah melemparkan kerling penuh dendam pada Dewa
Arak, dia mengikuti rekannya meninggalkan tempat itu.
3
"Benarkah kau Dewa Arak?!" tanya Pringgani. Nada
suaranya terdengar penuh keterkejutan.
Gadis berpakaian kuning ini menatap Arya lekat-lekat.
Sorot mata itu mengandung kekaguman dan
ketidakpercayaan. Dia telah mendengar tentang julukan
Dewa Arak. Sudah lama Pringgani mengaguminya. Tapi,
sungguh dia tak pernah menyangka akan dapat bertemu.
Arya berdiri berhadapan dengan puti Paksi Dilaga itu.
Dikembangkannya senyum lebar seraya menganggukkan
kepala.
"Benar Nona," jawab Arya kalem.
"Kalau saja tak melihat sendiri kepandaianmu dan
mendengar tokoh sesat itu menyebutkannya, aku tak akan
pernah tahu kau adalah Dewa Arak. Semula kukira kau
seorang nelayan biasa...."
"Berita yang tersebar di dunia persilatan terlalu
berlebihan, Nona," sahut Arya merendah.
"Sama sekali tidak! Persis seperti yang kudengar
mengenai dirimu, Dewa Arak. Seorang pendekar muda
yang sakti, rendah hati, dan budiman. Pakaian yang
dikenakan berwarna ungu, rambut putih keperakan, dan
guci perak yang merupakan senjata andalannya," puji
Pringgani. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tak
dipedulikan sahutan Arya yang menyanggah pujiannya
pertama tadi.
Arya hanya tersenyum tipis menanggapi pujian-pujian
Pringgani.
"Gembira sekali aku bisa bertemu denganmu, Dewa
Arak. Tapi sayang...," desah putri Paksi Dilaga itu.
Kemudian menghela napas berat. Wajahnya yang semula
berseri-seri mulai tersaput awan kedukaan.
Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengerti
maksud ucapan gadis berpakaian kuning itu. Tapi, Arya tak
mengutarakan ganjalan perasaannya. Pringgani telah
melanjutkan ucapannya.
"Kalau saja di saat perjumpaan kita pertama kali aku
tahu kau adalah Dewa Arak, mungkin sekarang aku tak
perlu berpisah dengan ayahku."
"Sejak tadi pun aku bertanya-tanya sendiri mengapa
kau tak bersama ayahmu, Nona. Ke mana beliau, dan
mengapa kau kembali dengan berenang?" Arya
mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi
menggayuti benaknya.
Wajah Pringgani semakin muram. Rupanya pertanyaan
Dewa Arak mengingatkannya akan pengalaman yang tak
menyenangkan.
"Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak. Aku khawatir kau
akan bosan mendengarkannya...."
"Mudah-mudahan saja tidak, Nona," jawab Arya,
menghibur.
Pringgani mengukir senyum. Terlihat agak dipaksakan.
Kendati demikian, wajahnya yang jelita tampak semakin
cantik. Gadis ini menghela napas berat sebelum memulai
kisahnya.
"Menurut penuturan ayahku, sewaktu berusia dua
puluh tahun beliau melanglang buana di dunia persilatan
untuk mengamalkan ilmunya. Membela si lemah dari
tindasan sang angkara murka. Tak terhitung sudah
banyaknya tokoh sesat yang tewas di tangannya. Julukan
ayahku Harimau Bertangan Delapan, karena kehebatannya
bermain tangan kosong beliau."
Arya tak merasa heran mendengar cerita itu. Sejak
pertama kali melihat Paksi Dilaga, dia sudah bisa
memperkirakan kepandaian lelaki setengah baya itu.
Walaupun demikian, Arya tak yakin kalau Paksi Dilaga
mampu mengalahkan Tiga Hantu Pantai Selatan yang
mengejar-ngejarnya.
"Tindakan mulia itu tetap berlanjut kendati telah
menikah dengan seorang gadis pendekar. Malah, bersama-
sama mereka menentang tindak kejahatan. Keputusan
yang mereka sepakati membuat ayah dan ibuku tak
mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain," Pringgani
melanjutkan ceritanya.
Tiga tahun setelah menikah ibunya Pringgani
mengandung. Paksi Dilaga yang ingin agar anaknya lahir
selamat memutuskan untuk menetap di satu tempat.
Mereka berdua tak melanglang buana lagi. Hanya kadang-
kadang Paksi Dilaga meninggalkan rumah untuk
mengamalkan ilmunya. Kebiasaan itu tak berubah sampai
Pringgani lahir.
Sewaktu Pringgani berumur tiga tahun, tempat tinggal
mereka disatroni tbkoh-tokoh sesat yang dikenal sebagai
Tiga Hantu Pantai Selatan. Kedua orang tua Pringgani
menghadapi mereka, sehingga terjadi pertarungan.
Ternyata tokoh-tokoh itu luar biasa tangguh. Ibunya
Pringgani tewas, sementara ayahnya hanya luka ringan.
Sebelum wafat, ibunya Pringgani berpesan pada
suaminya untuk memelihara anak mereka baik-baik. Pesan
terakhir itu membuat Paksi Dilaga meninggalkan lawan-
lawannya, meski dengan terpaksa dan berat hati. Paksi
Dilaga mencari tempat yang tersembunyi untuk tempat
tinggal mereka. Paksi Dilaga menjauhi kehidupan dunia
persilatan dan menyambung hidupnya dengan bertani.
"Tapi, malapetaka rupanya belum berhenti menimpa
kami. Beberapa bulan yang lalu Tiga Hantu Pantai Selatan
berhasil menemukan tempat persembunyian kami.
Kembali kami berdua menjadi orang-orang buruan. Ayah
tak bermaksud mencari tempat persembunyian baru.
Beliau ingin membawaku ke tempat tinggal keluarganya,
yang diyakininya mempakan tempat yang aman bagiku.
Sementara beliau sendiri akan membalaskan kematian Ibu
pada Tiga Hantu Pantai Selatan...."
Arya tercenung ketika Pringgani menghentikan
ceritanya. Sejenak diaturnya napas untuk menenangkan
perasaan hatinya yang terguncang. Kisah lama yang tak
menyenangkan itu membuat kesedihan Pringgani
bertambah.
"Dalam pelarian menuju tempat tinggal keluarga Ayah
itu, kami bertemu denganmu dan mendapatkan pinjaman
perahu. Sayang, di tengah perjalanan gerombolan bajak
sungai menyerbu kami, Ayah menyuruhku pergi, sementara
beliau menghadapi penjahat-penjahat itu. Semula aku
berkeras untuk bersamanya. Aku lebih rela mati bersama
Ayah daripada meninggalkannya menghadapi bahaya
maut. Tapi, beliau berkeras. Hhh.J Kalau saja Ayah
memberiku pilihan, aku lebih suka bersamanya...."
Arya ikut menghela napas berat ketika Pringgani
mengakhiri ceritanya. Dia menyetujui sikap yang diambil
Paksi Dilaga, yang memerintahkan putrinya untuk pergi. Di
lain pihak, Pringgani pun tak bisa disalahkan. Dia tak ingin
meninggalkan ayahnya menghadapi bahaya sendirian.
"Mudah-mudahan saja ayahmu selamat, Nona," ujar
Arya akhirnya.
"Begitulah harapanku, Dewa Arak. Andaikata pun beliau
tewas, aku harus menemukan mayatnya! " tandas
Pringgani.
"Itu merupakan sebuah keharusan, Nona. Tentu saja
bila keadaan memungkinkan. Aku bersedia membantumu
kalau kau tak keberatan," ucap Arya menawarkan jasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak."
"Tak perlu kau permasalahkan hal itu, Nona. Tolong-
menolong merupakan kewajiban kita. Kurasa kau sendiri
pun tahu, karena ayahmu seorang pendekar," kilah Arya.
Pringgani mengangguk-anggukkan kepala. Sikap dan
ucapan pemuda berrambut putih keperakan yang menarik
hatinya itu membuat kedukaannya sedikit berkurang.
"Maaf, Dewa Arak. Aku mempunyai sebuah dugaan
mengenai dirimu. Tapi, aku khawatir kau akan marah jika
aku mengatakannya, " ucap Pringgani ragu-ragu, memecah
keheningan yang menyelimuti mereka.
"Katakan saja, Nona. Tidak perlu khawatir. Kurasa aku
tak akan marah. Apakah aku kelihatan seperti orang yang
gampang marah-marah?" tanya Arya setengah bergurau.
Pringgani tersenyum. Tak disahutinya gurauan Dewa
Arak.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Nona," Arya terdengar
bersungguh-sungguh. "Hal yang telah berlalu biarkan
berlalu. Kita boleh saja berduka karena malapetaka yang
menimpa, tapi berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan
merugikan diri sendiri. Lagi pula, setiap kejadian di muka
bumi ini tak luput dari kehendak Tuhan. Jadi terimalah
semua ini dengan lapang dada."
Pringgani tercenung sejenak memikirkan nasihat Dewa
Arak. Gadis yang cerdas ini segera dapat menerima
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kembali
kedukaannya sedikit terusir pergi.
"Begini Dewa Arak, keadaanmu membuatku menduga
kau tengah menyembunyikan diri. Maksudku... kau seperti
tak ingin dikenal orang. Aku berpikir demikian karena
melihat kau menyembunyikan wajah dan rambutmu di
balik caping. Apakah dugaanku ini benar, Dewa Arak?"
tanya Pringgani kemudian. Ditatapnya wajah Arya lekat-
lekat, seolah ingin membaca apa yang terkandung di hati
pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya lebih dulu tersenyum sebelum menganggukkan
kepalanya.
"Mengapa, Dewa Arak? Apakah kau pun tengah dikejar-
kejar musuh-musuhmu yang jauh lebih sakti?" desak
Pringgani, ingin tahu. "Rasanya aku tak percaya ada orang
yang lebih lihai dari padamu. Kudengar kau belum pernah
dikalahkan tokoh mana pun. Malah, Tiga Hantu Pantai
Selatan dapat kau pecundangi!"
"Tidak terlalu tepat benar, Nona," kilah Arya. "Memang,
aku tak ingin dikenali. Tapi bukan karena takut
pembalasan dari musuh-musuhku. Aku hanya berusaha
menjauhkan gangguan orang-orang. Bila aku tampil seperti
biasanya, kemungkinan besar tokoh-tokoh persilatan
mengenaliku."
Arya menghentikan ucapannya sebentar, la ingin
memberikan kesempatan pada Pringgani untuk mencerna
kata-katanya.
"Tentu saja kalau ada tindak kejahatan, aku tak akan
tinggal diam. Penyamaranku pun akan kutanggalkan. Dan
yang pasti, sedikit banyak tindakan penyamaranku ini
mengurangi jumlah orang yang tewas, karena menaruh
dendam padaku."
Pringgani mengangguk dengan wajah puas.
Keadaan menjadi hening ketika Arya tak berbicara lagi.
Pringgani sendiri tampak belum menemukan bahan
pembicaraan lain.
"Kita seperti telah bersahabat lama, Nona. Saling
bercerita seakan telah saling mengenal. Kalau tak salah
namamu Pringgani, bukan?"
"Betul," jawab putri Paksi Dilaga itu dengan wajah
memerah, karena agak malu. "Kau sendiri..., maksudku...,
nama aslimu Arya Buana?"
"Benar, Nona. Arya Buana nama pemberian
orangtuaku. Kuharap kau memanggilku dengan nama saja.
Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku daripada
julukan kosong pemberian orang-orang persilatan yang
terlalu berlebihan," jawab Arya.
"Aku setuju saja, De..., eh, Arya," wajah Pringgani
semakin memerah. Entah mengapa dia merasa risih
memanggil pemuda tampan di hadapannya dengan
namanya. "Bukan hanya kau saja yang lebih suka dipanggil
dengan nama. Aku pun demikian. Karena itu, panggillah
aku dengan nama yang diberikan orangtuaku. Jangan
nona-nonaan segala."
"Baiklah, No..., eh, Pringgani'"
Pringgani tersenyum geli mendengar Arya kerepotan
menyapanya. Perasaan ini sedikit mengusir rasa malu yang
mendera, dan membuatnya lebih berani untuk berbicara.
"Panggil saia aku Gani, Arya. Orang-orang biasanya
memanggilku demikian."
"Kurasa itu lebih enak diucapkan, Gani..."
Pringgani menundukkan waiahnya yang memerah.
Ketika itulah si gadis baru sadar akan keadaan dirinya. Dia
berbincang-bincang dengan seorang pemuda di saat
seluruh pakaiannya basah kuyup! Pakaian itu melekat
hingga potongan tubuhnya terlihat jelas. Bahkan dua bukit
kembar di dadanya menonjol dengan jelas.
Arya sendiri harus mengakui kalau Pringgani, seorang
gadis yang sempurna. Bukan hanya wajahnya yang jelita
dengan kulit putih mulus, tapi bentuk tubuhnya pun benar-
benar menggiurkan hati. Semua itu terlihat jelas karena
pakaian si gadis yang basah kuyup. Sebagai seorang
pemuda, Arya tak kuasa untuk menekan debaran
jantungnya.
"Kurasa...," ujar Pringgani lirih seraya mengangkat
wajahnya. "Lebih baik aku berganti pakaian dulu, Arya. Tapi
sayang, aku tak mempunyai pakaian ganti. Semuanya
tercebur di sungai."
"Jangan khawatir, Gani," sambut Arya, cepat.
"Aku mempunyai beberapa potong pakaian di
buntalanku. Mungkin sedikit kebesaran. Tapi, kurasa itu
lebih baik daripada kau mengenakan pakaian basah."
Pringgani mengedarkan pandangan berkeliling setelah
menerima pakaian dari Arya. Sejauh mata memandang,
yang terlihat hanya kesunyian. Tak hanya di sekitar sungai.
Tapi di daratan. Arya tahu maksud gadis berpakaian kuning
itu. Maka, tanpa banyak bicara, tubuhnya segera
dibalikkan. Tanpa membuang-buang waktu, Pringgani
bergegas membuka pakaiannya dengan pandangan yang
tak lepas dari Arya. Gadis ini merasa tegang. Kalau saja tak
ingat orang yang berada di depannya adalah Dewa Arak,
dia tak akan sudi berganti pakaian dengan cara demikian.
4
Dewa Arak berdiri membelakangi Pringgani tanpa berani
menoleh sedikit pun. Tapi, kekhawatiran mulai merayapi
hatinya ketika tak mendengar adanya bunyi.
"Gani...," tegur Arya ragu-mgu. Suaranya terdengar lirih.
Sungguhpun demikian, pemuda berambut putih keperakan
ini yakin Pringgani akan mendengarnya.
Tidak ada sahutan. Arya menunggunya beberapa saat.
Tapi sahutan yang diharapkannya tak kunjung tiba.
Kekhawatiran Arya mulai membesar. Apalagi ketika
dirasakannya keadaan demikian lengang. Tak terdengar
bunyi apa pun selain desau angin dan riak air sungai.
"Gani...!" sapa Arya lebih keras. "Sudah selesaikah kau?
Katakanlah! Kalau sudah, aku akan berbalik. Kita harus
bergegas agar dapat mencari ayahmu...."
Tetap saja tak ada sahutan. Arya jadi kehilangan
kesabaran, karena rasa khawatir yang semakin besar akan
keselamatan Pringgani.
"Ku hitung sampai tiga, Gani. Bila kau tetap diam, aku
akan menganggap kau telah selesai. Aku akan berbalik!"
Untuk kesekian kalinya tak ada sahutan atas perkataan
Dewa Arak. Kenyataan ini membuat pemuda tersebut
kehilangan kesabarannya.
"Satu..., dua..., ti...," Arya menggantung hitungan yang
terakhir, untuk memberikan kesempatan pada Pringgani
menyela. Tapi, harapan pemuda berpakaian ungu itu sia-
sia. "Ga.J", lanjut Arya dengan suara keras. "Aku berbalik,
Gani."
Pemuda berambut putih keperakan ini membalikkan
tubuhnya.
"Ah.. !"
Dewa Arak tak kuasa untuk menahan seruan kagetnya.
Dia tak melihat Pringgani! Arya sampai terjingkat ke
belakang menghadapi kenyataan tak diduganya itu.
"Gani!" seru Arya sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Tapi, hanya kesunyian yang disaksikannya.
"Ke mana perginya Pringgani?" tanya Dewa Arak dalam
hati. "Mungkinkah dia diam-diam pergi dari sini? Tapi,
rasanya tak mungkin! Aku pasti akan mendengar bunyi
langkahnya. Lagi pula, tak mungkin dia pergi tanpa
mengenakan pakaian."
Pakaian-pakaian yang berserakan di tanah membuat
Dewa Arak yakin kalau Pringgani telah diculik. Bulu kuduk
Arya berdiri tanpa dapat dicegahnya. Arya membayangkan
betapa tingginya kepandaian si penculik, sehingga bisa
membawa putri Paksi Dilaga tanpa dia mendengarnya.
Kalau saja saat itu sang penculik membokongnya,
kemungkinan besar Arya akan celaka!
Peristiwa penculikan terhadap putri Paksi Dilaga itu
merupakan tantangan terhadap dirinya. Karena itu,
pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan untuk
mencarinya! Dia telah mempunyai patokan arah si penculik
pergi. Yangjelas, tidak ke arah Arya semula menghadap
***
Arya menatap ke seberang. Diperkirakannya lebar
sungai yang terbentang di hadapannya. Beberapa lama
pemuda ini bersikap demikian. Kemudian, dengan
didahului pekikan nyaring, dia menjejak tanah dan bersalto
beberapa kali untuk menambah jauh jarak yang
dicapainya.
Seperti yang telah diperhitungkan Arya, tubuhnya
melayang turun ketika baru berjarak delapan tombak dari
pinggir sungai. Padahal, jarak yang terbentang dari tepi
sungai yang satu ke tepi yang lain tak kurang dari dua
puluh tombak!
Arya tetap bersikap tenang. Di saat tubuhnya meluncur
turun, sabuk yang melilit pinggang diloloskan lalu
dilecutkannya ke arah permukaan air.
Ctarrr.J
Permukaan air sungai bergolak hebat bak dilanda angin
besar. Tapi, Dewa Arak tak mempedulikan hal itu. Dia
kemudian membenturkan sabuknya pada permukaan air,
meminjam tenaga benturan sabuk dengan air untuk
melentingkan tubuhnya ke udara!
Jlig!
Arya menjejakkan kaki secara mantap di seberang
sungai. Untuk mencapai tempat ini, pemuda berambut
putih keperakan ini beberapa kali melecutkan cambuknya
ke permukaan sungai.
Daerah pinggir sungai ini berbeda dengan pinggir
sungai yang ditinggalkan Arya. Di tempat ini banyak
terdapat gundukan-gundukan batu berukuran beraneka
ragam.
"Bodoh! Kalian benar-benar goblok!"
Makian-makian keras itu tertangkap telinga Arya, ketika
baru saja melangkah dua tindak. Tanpa pikir panjang lagi
pemuda ini menyelinap ke salah satu gundukan batu. Dari
tempat tersebut dia berindap-indap menuju asal suara.
Beberapa tombak kemudian pemuda berambut putih
keperakan ini mengintai. Tampak olehnya enam sosok
tubuh tengah duduk bersila. Lima orang lelaki berompi
hitam duduk berhadapan dengan seorang lelaki
berpakaian kulit ular.
"Aku benar-benar tak mengerti! Bagaimana mungkin si
macan ompong itu dapat lolos?!"
Itu ucapan orang yang pertama kali didengar Arya.
Pemuda ini segera tahu siapa pemiliknya! Sosok
berpakaian kulit ular yang duduk di atas gundukan batu
berpermukaan rata.
"Kalau di daratan, bisa kumaklumi macan ompong itu
bisa mempecundangi kalian! Tapi di sungai? Apa artinya
julukan kalian yang besar? Lima Setan Air! Buktinya, nol
besar!"
"Bukan hanya Datuk, kami sendiri kalau tak
mengalaminya sendiri tak akan percaya," jawab salah
seorang dari lima lelaki berompi hitam. Dia bertubuh tinggi
kurus. "Si keparat Paksi Dilaga itu ternyata memiliki
kemampuan luar biasa. Tak kalah dengan kami. Setelah
memerintahkan putrinya segera lolos, dia kabur pula!"
Sosok berpakaian kulit ular, adalah seorang kakek
berusia delapan puluh tahun. Wajahnya tirus mirip muka
tikus. Tubuhnya kecil kurus. Kelihatan ringkih dan lemah
jika dibandingkan dengan anggota-anggota Setan Air. Si
datuk mendengus, mendengar alasan yang dikemukakan
lelaki berompi hitam. Hal ini membuat Lima Setan Air
menjadi gelisah.
"Percayalah Datuk, kami tak bohong! Kami berjanji
akan membawa mereka ke hadapan Datuk!" sambung
lelaki tinggi kurus. Dia terlihat lebih pandai bicara daripada
rekan-rekannya. Empat rekannya segera menganggukkan
kepala, membenarkan ucapan itu.
Kakek berpakaian kulit ular kembali mendengus.
"Dengar baik-baik, Kecoa-Kecoa Air!" rutuk kakek itu.
"Aku tak pernah memberikan kesempatan lain pada siapa
pun! Tak terkecuali pada kalian! Jelas?!"
Wajah Lima Setan Air langsung pucat pasi. Jawaban si
kakek merupakan pertanda buruk bagi mereka.
"He he he.J"
Si kakek terkekeh berkepanjangan. Mula-mula Lima
Setan Air tak merasakan adanya hal yang aneh. Tapi,
beberapa saat kemudian mereka mengetahui kalau tawa
itu bukan tawa sembarangan. Lelaki-lelaki berompi hitam
ini merasakan getaran hebat pada dada. Telinga mereka
pun berdengung seakan ada puluhan lebah marah masuk
ke dalamnya.
Sesaat kemudian, kelimanya menggelepar-gelepar
seperti binatang disembelih. Bergulingan ke sana kemari
dengan wajah menyiratkan kesakitan. Lolong kesakitan
menyayat hati keluar dari mulut mereka.
Si kakek terus tertawa. Karena, memang melalui
tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam dia
menyiksa Lima Setan Air. Wajah kakek ini berseri-seri.
Sepasang matanya berbinar-binar melihat para korbannya
menderita hebat.
Kakek ini baru menghentikan tawanya ketika Lima
Setan Air tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dalam
keadaan begitu mengenaskan. Dari lubang hidung, mata,
dan telinga mereka mengalir darah segar.
"Kunyuk-kunyuk yang tak punya guna!"
Sambil merutuk jengkel, si kakek mengarahkan
pandangan lurus ke depan.
"Kurasa..., sudah saatnya kau unjukkan diri, Pengintai
Hina! Atau kau ingin aku yang memaksamu keluar?!"
Arya terperanjat di tempat pengintaiannya.
"Begitu lihaikah kakek ini sehingga dapat mengetahui
keberadaanku?" pikir pemuda itu setengah tak percaya.
"Padahal aku berjarak tiga tombak darinya."
"Rupanya kau pikir aku main-main, heh?! Tidakkah kau
lihat nasib kunyuk-kunyuk yang tak menyenangkan hatiku
itu? Kau ingin bernasib seperti mereka?!" sambung kakek
berwajah tirus. Atau kau benar-benar seorang pengecut!
Hanya berani mengntai di tempat tersembunyi. Tidakkah
kau dapat bertindak sedikit jantan, Monyet?!"
Pernyataan kedua kalinya dari si kakek sangat
menyinggung harga diri Arya. Pemuda ini tak sudi dianggap
pengecut! Dia telah bersiap untuk keluar dari tempat
persembunyiannya. Tapi, maksud itu segera ditunda.
Kakek berpakaian kulit ular terdengar kembali berujar.
"Kubuktikan ancamanku, Pengecut Hina!"
Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi
melengking. Kakek berpakaian kulit ular ini mengerahkan
tenaga dalam pada lengkingannya. Hanya, pemuda ini
heran ketika tak merasakun adanya pengaruh serangan
terhadap dirinya.
"Ke mana kakek itu menujukan serangannya?!" tanya
Arya dalam hati.
"Seperti hendak memberikan jawaban atas
kebingungan si pemuda, terdengar bunyi ledakan keras.
Arya hampir terlompat saking kagetnya. Bunyi gaduh itu
berasal dari hancurnya gundukan batu sebesar kerbau
yang berada di sebelah kiri si kakek. Sementara Arya
berada di balik batu yang berada di sebelah kanannya.
Debu mengepul tinggi ke udara. Pemandangan yang
terpampang di balik gundukan batu tadi terhalang. Ketika
debu-debu itu terusir pergi, Arya tersentak kaget melihat
sosok yang tampak! Hampir saja seruan yang berada di
ujung lidahnya terlontar kelar. Untung, di saat-saat terakhir
dia teringat! Akhirnya seruan itu hanya terpekik di dalam
hati.
"Paman Paksi!"
Sosok yang dilihat Arya memang Paksi Dilaga. Lelaki itu
berdiri tegak menatap kakek berpakaian kulit ular yang
menundukkan kepala, bersikap memandang remeh.
"Siapa kau, Anjing Pengecut?!" dengus si kakek penuh
ancaman. "Sungguh berani kau mengintaiku! Rupanya kau
telah bosan hidup, heh?!"
Paksi Dilaga tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia
masih belum dapat menekan guncangan dalam dadanya.
Keberadaannya yang diketahui dan hancurnya gundukan
batu tanpa si kakek menyentuhnya, terlalu
mengejutkannya.
"Aku tidak serendah itu. Dan, aku tak pernah mengintai.
Aku telah berada di sini sebelum kau dan kaki tanganmu
datang!"
Kakek berwajah tirus menatap paksi Dilaga. Yang
ditatap merasakan bulu kuduknya berdiri. Sepasang mata
si kakek mencorong tajam dan bersinar kehijauan laksana
mata seekor harimau dalam gelap. Hanya karena
kekerasan hati, ayahnya Pringgani ini rnampu untuk
menatap terus.
"Aku tak peduli!" tandas si kakek dengan wajah bengis.
"Kau boleh memberikan alasan apa pun, namun aku akan
tetap menghukummu! Tapi sebelum kau mampus,
perkenalkan dulu dirimu! Aku tak ingin membunuh orang
yang tak pernah kukenal!"
Merah padam selebar wajah Paksi Dilaga. Dia merasa
tersinggung bukan main. Karena dorongan perasaan itu
pula, dia kemudian bertindak nekat.
"Akan kubuktikan padamu kalau aku bukan seorang
pengecut!" geram Paksi Dilaga. "Dengar baik-baik, aku
adalah orang yang kau cari-cari! Akulah Paksi Dilaga!"
Kakek berwajah tirus terperanjat. Diperhatikannya
ayahnya Pringgani dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sikapnya penuh rasa tak percaya.
"Kau?! Paksi Dilaga?!" ujar si kakek setengah tertawa.
Karena tak menyangka akan dapat menemukan orang
yang dicari-carinya.
"Benar! Aku Paksi Dilaga! Mengapa kau mencariku?
Sepengetahuanku, aku tak pernah berurusan denganmu.
Kenal pun tidak!"
"Aku memang tak mempunyai urusan dengan monyet
cilik sepertimu! Tapi pemimpinku, Sang Pangeran Muda,
mencari-carimu! Kau dan anakmu harus kubawa ke
hadapannya, hidup atau mati!"
"Kau belum memperkenalkan siapa dirimu! Atau..., kau
takut mengatakannya?!" ujar Paksi Dilaga dengan berani.
"Orang sepertimu tak pantas untuk mengenalku,
Monyet Kecil! Tapi karena saat ini perasaanku tengah
gembira, kau mendapat kehormatan untuk mengenal
diriku. Aku adalah Raja Ular Berbaju Emas."
Paksi Dilaga merasakan jantungnya berdegup keras.
Julukan Raja Ular Berbaju Emas telah sampai di telinganya.
Salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat di empat
penjuru mata angin. Tokoh itu, bersama datuk-datuk
lainnya, tak pernah terdengar lagi beritanya. Lenyap begitu
saja bagai ditelan bumi!
Paksi Dilaga tak pernah menyangka akan bisa bertemu
Raja Ular Berbaju Emas, yang diduganya tak akan pernah
muncul lagi. Ayahnya Pringgani ini mempunyai alasan kuat
untuk menduga demikian. Dia tahu penyebab lenyapnya
empat datuk sesat itu. Padahal, sebagian besar tokoh
persilatan tak mengetahuinya.
"Sebenarnya aku merasa malu menangkap kroco
sepertimu!" ucap Raja Ular Berbaju Emas. Tak
dipedulikannya Paksi Dilaga yang belum dapat menguasai
perasaannya. "Karena itu, kuberikan perintah Sang
Pangeran Muda pada tokoh-tokoh seperti Lima Setan Air.
Tapi, sekarang apa boleh buat. Kau telah berada di
depanku, dan tak ada orang lain yang dapat kuperintahkan
untuk menangkapmu!"
"Sombong!" maki Paksi Dilaga dalam cekaman
kemarahan yang bergelora. Kedua tangannya dihentakkan
ke arah Raja Ular Berbaju Emas.
Wuusss...! Wusss.J
Angin yang luar biasa keras berhembus. Tapi, Raja Ular
Berbaju Emas hanya terkekeh pelan. Dia tak bergeming
dari tempatnya. Tindakan si kakek membuat Paksi Dilaga
kebingungan.
"Sudah gilakah kakek ini, sehingga membiarkan saja
serangan yang tertuju ke arahnya?"
Biar, biar, biar...!
Paksi Dilaga terperanjat. Tanah di sekitar tempat itu
yang terkena pukulan jarak jauhnya. Terbongkar di sana-
sini menampakkan lubang-lubang besar. Serangan itu
melenceng ke kanan dan kiri, beberapa kali sebelum
mencapai sasaran. Di sekeliling tubuh kakek bemajah tirus
seakan terdapat dinding yang tak tampak.
Paksi Dilaga ternganga. Dia hampir tak percaya akan
kejadian yang dialaminya. Lelaki ini tak tahu bagaimana
hal itu bisa terjadi. Namun, tidak demikian halnya dengan
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
betul apa yang terjadi. Tawa terkekeh yang dilontarkan si
kakek mengandung pengerahan tenaga dalam untuk
menangkal serangan jarak jauh lawan!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak
lebih cepat. Kakek berwajah tirus itu memiliki kepandaian
amat tinggi! Jika orang sehebat itu hanya anak buah, tak
bisa dibayangkannya kepandaian yang dimiliki Sang
Pangeran Muda.
Arya segera sadar kalau Paksi Dilaga bukan tandingan
Raja Ular Berbaju Emas. Maka, dia bersiap-siap untuk
memberikan pertolongan. Pemuda ini sengaja tak segera
muncul, agar bisa mengetahui persoalan yang membelit
Paksi Dilaga.
Sementara itu, Paksi Dilaga tak menjadi gentar dengan
kegagalan serangannya. Ayahnya Pringgani kembali
melancarkan serangan susulan. Paksi Dilaga
mengeluarkan ilmu andalannya, yang membuat namanya
terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan.
Dikirimkannya sampokan susul-menyusul ke arah kepala
Raja Ular Berbaju Emas.
Plak, plak, plak.J
Tubuh Paksi Dilaga terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang ketika Raja Ular Berbaju Emas
mengangkat tangan kirinya, memapak. Lelaki ini
menyeringai kesakitan!
5
"Harap menyingkir, Paman Paksi! Biar aku yang
menghadapinya!"
Seruan itu tidak lantang. Tapi, pengaruhnya luar biasa
besar. Tanpa banyak membantah Paksi Dilaga menuruti.
Dihentikannya serangan susulan yang hampir
dilancarkannya.
Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan ungu
berkelebat datang dan menjejakkan kaki di sebelah
ayahnya Pringgani.
"Kau?" Paksi Dilaga menggantung ucapannya. Dia
merasa pernah melihat si pemuda. Namun penampilannya
ketika itu agak berbeda. "Kau..., Arya?"
"Benar, Paman. Aku Arya si tukang perahu...," jawab
Arya setengah bergurau.
Paksi Dilaga hendak mengajukan pertanyaan lagi,
karena melihat keberadaan pemuda itu di tempat ini. Tapi
maksudnya terpaksa diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas
terdengar membentak keras. Kakek ini merasa tersinggung
melihat sikap Paksi Dilaga dan Arya yang tak menganggap
keberadaan dirinya.
"Keparat!"
Paksi Dilaga terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
Dadanya bergetar hebat akibat bentakan tersebut. Buru-
buru dikerahkannya tenaga dalamnya agar pengaruh yang
melanda tak menimbulkan akibat yang lebih parah.
Apa yang menimpa Paksi Dilaga, tak terjadi pada Dewa
Arak. Pemuda ini tak terpengaruh bentakan Raja Ular
Berbaju Emas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Raja
Ular Berbaju Emas mendengus untuk menutupi rasa
kagetnya, ketika dia melihat Dewa Arak tak terpengaruh
bentakannya.
"Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Kunyuk
Kecil?! Pantas kau berani lancang mencampuri urusanku.
Tapi, kau jangan besar kepala dulu. Aku belum
mengeluarkan kemampuan secuil pun!"
"Aku percaya, Raja Ular," timpal Arya, kalem. "Meskipun
begitu, aku tak gentar. Demi menegakkan kebenaran dan
keadilan, siapa pun akan kuhadapi."
"Sombong! Kau mencari mati sendiri, Kunyuk Kerdil!"
Raja Ular Berbaju Emas tak terlihat menggerakkan
tangan atau kaki. Tapi, tubuhnya yang masih dalam
keadaan bersila melayang ke arah Dewa Arak! Dari udara
kakek ini melancarkan tusukan bertubi-tubi dengan
sepuluh jari tangannya.
Kakek ini tampaknya tak bertindak main-main. Sekali
menyerang dia telah menggunakan jurus 'Ular' yang
menjadi andalan. Desisan keras mengiringi setiap luncuran
serangannya.
Dewa Arak mengelak dengan melompat ke belakang
dua tindak. Bersamaan dengan itu kepalanya mengegos.
Rambutnya yang panjang akan lebih dulu menghantam
pelipis Raja Ular Berbaju Emas apabila si kakek bersikeras
melanjutkan serangan.
Raja Ular Berbaju Emas menggeram. Dia tak punya
pilihan lagi kecuali melompat mundur. Maksudnya untuk
melancarkan serangan susulan bergegas diurungkan.
Raja Ular Berbaju Emas menatap tajam pada Dewa
Arak. Arya tak mau kalah gertak. Dia melakukan hal yang
sama.
"Kemampuanmu cukup lumayan, Kunyuk Kerdil! Dan,
kurasa kau cukup pantas untuk mati di tanganku.
Perkenalkan dirimu agar tak mati penasaran!"
Arya tersenyum mendengar ucapan lawannya.
"Kau pandai bicara, Raja Ular. Sengaja menyinggung
kehormatan orang agar mau menurut kehendakmu. Nah,
dengar baik-baik. Namaku Arya Buana. Orang-orang
persilatan lebih mengenalku sebagai Dewa Arak!"
"Ahhh.J"
Seruan itu keluar dari mulut Paksi Dilaga. Memang,
kendati menjauhkan diri dari dunia persilatan, selentingan
mengenai Dewa Arak telah sampai di telinganya. Dia
terkejut bukan main mengetahui pemuda yang dikiranya
tukang perahu ternyata seorang pendekar besar.
Raja Ular Berbaju Emas pun telah mendengar berita
tentang Dewa Arak. Tapi, kakek ini tidak kelihatan terkejut.
Dia malah terkekeh gembira.
"Sungguh kebetulan sekali! Begitu mendengar berita
mengenai dirimu, aku merasa penasaran dan ingin
membuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah
kepandaianmu seperti yang digembar-gemborkan orang!"
Arya hanya tersenyum pahit. Tak sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Yang dilakukannya malah mengambil
guci arak dari punggung, lalu menuangkan isinya ke dalam
mulut.
Raja Ular Berbaju Emas tersenyum sinis.
"Itukah senjatamu, Kunyuk Kecil? Kudengar
merupakan senjata pusaka yang jarang tandingan. Mana
yang lebih kuat, gucimu atau Tongkat Ular Emas-ku!"
Raja Ular Berbaju Emas lalu terkekeh. Sebatang
tongkat kekuningan tampak melayang dari punggung
menuju ke tangannya melalui atas kepala. Si kakek
menangkap tongkat itu dan memalangkannya di depan
dada sehingga Paksi Dilaga dan Dewa Arak melihatnya
dengan jelas.
Tongkat Raja Ular Berbaju Emas ternyata bukan
sembarang tongkat. Bukan terbuat dari kayu baja, atau
bahan mati lainnya. Tongkat itu berwujud makhluk hidup.
Seekor ular berwarna kuning keemasan yang dikeringkan
hidup-hidup!
"Jaga seranganku, Kunyuk Kecil!"
Belum habis gema ucapan itu, Raja Ular Berbaju Emas
telah menerjang. Tongkatnya diputar cepat hingga lenyap
bentuknya. Berubah menjadi gulungan sinar keemasan
yang diiringi bunyi menderu-deru.
Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersiaga segera
menyambutinya. Pertarungan yang tertunda pun
berlangsung kembali. Jauh lebih seru dari sebelumnya.
Paksi Dilaga yang menyaksikan jalannya pertarungan
merasa tegang bukan main.
Di kancah pertarungan, Dewa Arak maupun Raja Ular
Berbaju Emas segera menyadari kalau lawan yang dihadapi
memang tangguh. Kenyataan membuat Raja Ular Berbaju
Emas menjadi penasaran. Puluhan jurus telah terlewati.
Selama itu jalannya pertarungan masih berimbang. Masing-
masing pihak silih berganti melancarkan serangan.
Raja Ular Berbaju Emas tak bisa sabar lagi. Bila tak
dilakukan perubahan dalam bertarung, kemungkinan besar
dirinya yang akan roboh.
Telah dibuktikan oleh Raja Ular Berbaju Emas kalau
dalam kelincahan dan tenaga dia tak bisa unggul. Dalam
pengalaman bertarung pun pemuda itu tak dapat ditekan.
Tidak ada lagi segi-segi menguntungkan yang dapat
dipergunakannya untuk mendesak Dewa Arak.
Arya mengernyitkan alis. Disadarinya gerakan Raja Ular
Berbaju Emas mulai berubah. Gerakan tongkat si kakek
tetap menderu-deru seperti semula, tapi bunyi yang
terdengar tidak riuh lagi melainkan melengking nyaring.
Semakin lama semakin meninggi.
Sesaat kemudian, terdengar desisan-desisan tajam dari
berbagai penjuru. Bau amis pun menyebar.
Orang yang dapat melihat jelas penyebab keriuhan itu
adalah Paksi Dilaga. Bulu kuduk lelaki ini berdiri.
Ditatapnya dengan mata membelalak lebar pada penyebab
desisan dan bau amis. Ular! Tidak hanya seekor, melainkan
ratusan! Dari segala penjuru dan dalam jenis beraneka
ragam. Sebagian diketahuinya sebagai jenis ular berbisa
yang sangat mematikan.
Semula Paksi Dilaga hendak menyambut kemunculan
ular itu. Gagang pedang telah dicekal dan siap untuk
dicabut. Tapi, niat itu diurungkannya. Dia kemudian malah
melompat ke atas. Dilemparkannya pedang sekaligus
sarungnya ke tanah.
Cap, cap!
Pedang amblas di tanah hampir setengahnya.
Sedangkan batang pedang menancap pada gagangnya.
Bertumpuk! Di atas gagang pedang itulah Paksi Dilaga
menjejakkan kaki.
Rombongan ular tak mempedulikan Paksi Dilaga sedikit
pun. Binatang-binatang itu melaluinya terus menuju
kancah pertarungan. Dengan ganasnya ular-ular itu
kemudian menyerang Dewa Arak.
Bantuan binatang-binatang melata tersebut membuat
Dewa Arak harus membagi perhatiannya. Dalam beberapa
jurus saja dia sudah terdesak! Terpontang-panting ke sana
kemari menyelamatkan nyawa. Sesekali dikirimkannya
pukulan jarak jauh pada rombongan ular. Beberapa ekor
terpental dalam keadaan hancur. Tapi, jumlah binatang itu
seperti tak berkurang. Terus merangsek maju.
"Jangan khawatir, Dewa Arak! Aku datang...!"
Seruan itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Lelaki ini
melompat turun ke tanah lalu mencabut pedangnya.
Sekejap kemudian telah terjun dalarn kancah pertarungan.
Cras, cras, crasss...!
Darah bermuncratan ketika pedang Paksi Dilaga
terayun. Setiap kali lelaki ini mengayunkan pedang,
beberapa ekor ular menjadi bangkai. Kendati demikian,
jumlah binatang melata itu tak berkurang. Jumlahnya yang
demikian banyak membuat bantuan Paksi Dilaga hampir-
hampir tak berarti. Dewa Arak tetap saja terjepit.
Arya sendiri tahu akan gawatnya keadaan. Bukan
hanya dirinya yang terancam. Tapi, juga ayahnya Pringgani.
Pemuda ini tak yakin pembunuhan besar-besaran terhadap
ular-ular akan berarti.
Dewa Arak menggeram keras. Geraman yang
berkepanjangan dan mengandung pengerahan tenaga
dalam. Geraman itu mampu menutup suara lengkingan
yang timbul dari gerakan tongkat Raja Ular Berbaju Emas.
Pengaruhnya terhadap ular-ular jadi terhalang.
Akibatnya, keberingasan binatang-binatang melata itu
lenyap. Memang, lengkingan Raja Ular Berbaju Emas
merupakan panggilan terhadap ular-ularnya. Lenyapnya
bunyi itu membuat rombongan ular kebingungan.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kehilangan
kesempatan. Dikeluarkan lengkingan yang mengandung
getaran jauh lebih kuat dari pularan tongkat. Ular-ular itu
menjadi buas kembali! Tapi sebelum binatang-binatang
melata itu menyerang lagi, Dewa Arak meningkatkan
kekuatan geramannya.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kalah. Ditambahnya
kekuatan suara lengkingan. Bentuk pertarungan pun
berubah. Kedua tokoh hebat itu saling adu kekuatan
tenaga dalam.
Yang merasakan langsung akibat pertarungan unik itu
adalah ular-ular dan Paksi Dilaga. Binatang-binatang
melata tersebut tampak gelisah. Paksi Dilaga lebih
menderita lagi. Lelaki ini merasakan dadanya bergetar
hebat. Sepasang telinganya berdengung keras. Bahkan,
kedua kakinya menggigil. Namun, dengan pengerahan
seluruh tenaganya, ayahnya Pringgani ini mampu bertahan.
Meskipun demikian, cepat atau lambat dia tetap akan
celaka! Maka dengan tubuh terhuyung-huyung Paksi Dilaga
meninggalkan tempat itu.
Adu tenaga dalam antara Dewa Arak dan Raja Ular
Berbaju Emas semakin menegangkan. Dari kepala kedua
petarung ini mengepul uap. Bunyi yang tercipta pun tak
ketahuan lagi nadanya. Akibatnya, ular-ular kebingungan!
Sebagian di antara mereka malah saling serang satu sama
lain. Tapi, sebagian besar meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu sekejap, yang tinggal hanya Dewa Arak
dan Raja Ular Berbaju Emas. Keadaan kedua tokoh ini pun
semakin mengkhawatirkan. Asap yang mengepul dari atas
kepala bertambah banyak dan menebal. Wajah dan leher
mereka dipenuhi butiran-butiran peluh sebesar biji jagung.
Tapi, asap dan peluh yang keluar dari tubuh Raja Ular
Berbaju Emas jauh lebih banyak. Bahkan, kedua kakinya
pun menggigil keras!
"Hugh.J"
Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju
Emas mengeluh tertahan. Tubuh keduanya terhuyung ke
belakang. Baru beberapa langkah, cairan merah kental
terlontar dari mulut mereka.
"Kau...," ujar Raja Ular Berbaju Emas. Tangannya
mendekap dada yang terasa sakit bukan main. Darah
segar mengalir dari mulutnya.
"Ternyata kau lebih hebat dari perkiraanku. Kau....
Kau...."
Pernyataan Raja Ular Berbaju Emas terhenti di tengah
jalan. Malaikat maut telah lebih dulu menjemput nyawanya.
Kakek berwajah tirus ini ambruk ke tanah. Diam, tak
bergerak-gerak lagi.
"Hhh.J"
Arya menghela napas berat. Sejenak ditatapnya mayat
Raja Ular Berbaju Emas. Kemudian kakinya diayunkan
meninggalkan tempat itu. Beberapa kali pemuda berambut
putih keperakan itu terhuyung.
Jarak dua puluh tombak ditempuh Arya dengan susah
payah. Di sini pemuda itu menghempaskan pantatnya ke
tanah. Duduk bersemadi untuk mengobati luka dalamnya.
6
"Buka matamu, Anak Setan!"
Bentakan keras menggelegar itu membuat Arya
membuka sepasang matanya. Hanya berjarak tiga tombak
darinya, berdiri seorang kakek bertubuh jangkung kurus
laksana bambu. Pakaian yang dikenakannya tampak
kebesaran.
Arya menyudahi semadinya, lalu bangkit berdiri. Kakek
jangkung itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Karena,
hanya orang-orang demikian yang mampu memunculkan
diri dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Siapa yang kau maksud dengan anak setan itu, Kek?
Akukah?" tanya Arya. Suaranya terdengar tenang, kendati
sebenarnya tersinggung bukan main. Sapaan itu sama
artinya dengan penghinaan terhadap orang tuanya. Kalau
dirinya dianggap anak setan, bukankah artinya orang
tuanya adalah setan?
"Tentu saja! Hanya kau dan aku yang ada di sini. Mana
mungkin aku menyapa diriku sendiri. Tak mungkin,
bukan?!" dengus kakek jangkung dengan kasarnya.
"Dengar baik-baik, Anak Setan. Mana kawan-kawanmu?
Cepat tunjukkan!"
Arya melongo. Bingung mendengar pertanyaan aneh
itu.
"Kawan-kawanku? Aku tak mengerti maksudmu, Kek?!"
sahut Arya, jujur.
"Tidak usah berpura-pura, Anak Setan! Cepat katakan
di mana kawan-kawanmu. Tak ada gunanya
membohongiku!"
"Aku makin tak mengerti, Biang Setan!" sergah Arya,
kesal. Amarahnya mulai diumbar. Sikap si kakek benar-
benar memancing kejengkelannya.
Si kakek tersenyum sinis. Sepasang matanya yang
mencorong tajam, merayapi sekujur tubuh Arya, mulai dari
rambut sampai ke kaki.
"Aku mencium bau amis ular di tubuhmu, Anak Setan!
Aku yakin kau mempunyai hubungan dengan bangkai-
bangkai ular di sana!" tandas si kakek. Telunjuknya
menuding ke arah tempat Raja Ular Berbaju Emas tewas.
"Benar. Aku memang dari tempat itu!"
"Bagus kalau kau mengaku! Sekarang, katakanlah di
mana kawan-kawanmu! Atau..., kau hendak mengatakan
kalau kau sendiri yang membunuh Raja Ular Berbaju Emas
tiga hari yang lalu?!" desak kakek jangkung.
"Aku tak peduli kau percaya atau tidak!" ujar Arya.
Kendati pernyataan si kakek membuatnya terperanjat.
Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tenggelam dalam
semadinya selama tiga hari.
"Orang yang kau maksudkan itu memang tewas di
tanganku. Raja Ular Berbaju Emas memang luar biasa
hebat!"
Wajah kakek jangkung menyiratkan ketidakpercayaan
besar.
"Begitukah?! Aku jadi ingin tahu sampai di mana
kelihaianmu, Anak Setan! Kalau benar kau mampu
menewaskan Raja Ular, berarti kau mampu
menewaskanku pula!"
Si kakek menutup ucapannya dengan serangan
sampokan tangan kanan dan kiri bertubi-tubi tertuju ke
kepala Dewa Arak. Tapi dengan menarik kaki kanan ke
belakang seraya mencondongkan tubuh, pemuda itu
membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.
Kakek jangkung menjadi penasaran. Dia tak bertindak
ragu-ragu lagi. Serangan lanjutannya kini menggunakan
tangan dan kaki. Demi mempertahankan selembar
nyawanya, Arya terpaksa meladeninya. Padahal meski luka
dalamnya tak berbahaya lagi, keadaan pemuda itu masih
lemah. Hanya sebagian tenaganya yang kembali.
Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang telah
diduganya, kakek jangkung itu benar-benar lihai. Tingkat
kepandaiannya tak berada di bawah Raja Ular Berbaju
Emas. Dalam beberapa jurus Arya dibuat terpontang-
panting menyelamatkan diri.
Si kakek tertawa mengejek.
"Hanya sampai di sini saja kepandaianmu, Anak Setan?
Dan kau berani bicara besar telah mengalahkan Raja Ular!"
Desss...!
Sebuah gedoran telak si kakek mengenal dada kanan
Arya. Pemuda itu terjengkang ke belakang. Dari mulutnya
mengalir darah segar.
Sambil terkekeh menyeramkan, kakek jangkung
melesat mengejar. Hendak diberikannya serangan susulan.
Serangan yang dapat mengirim nyawa Arya ke neraka!
Tapi, maksud itu diurungkannya di tengah jalan, la
mendengar seruan lantang dari sebelah kanannya.
"Kalau kau ingin aku campur tangan, lanjutkan
seranganmu!"
Si kakek menoleh.
"Ahhh.J"
Tokoh tua itu berseru kaget sambil melangkah mundur.
Sikap dan parasnya menampakkan keterkejutan besar.
Juga rasa gentar.
Sang pendatang baru yang mengenakan pakaian
kuning keemasan menggumam tak jelas. Wajahnya tak
terlihat. Tertutup selubung yang sewarna dengan
pakaiannya. Hanya sepasang matanya yang terlihat tajam
berkilat-kilat. Karena, selubung itu mempunyai dua lubang
kecil untuk mata.
"Kau?! Kau masih hidup?!" ujar kakek jangkung
terbata-bata. Tak mampu menyembunyikan keterkejutan¬
nya.
Sang pendatang baru kembali mendengus.
"Tak kusangka aku akan bertemu Dewa Arak. Padahal
yang kucari adalah Paksi Dilaga," gumam sosok itu dalam
hati. Kemudian, terdengar suaranya yang besar berwibawa.
"Seperti yang kau lihat. Kalau aku sudah mati, mana
mungkin bisa berada di sini!"
"Tapi..., kau terkena Racun Ular Emas. Tak ada yang
tahu pemunahnya kecuali si Raja Ular. Dan tak pernah ada
orang yang dapat lolos dari maut akibat racun itu!" kakek
jangkung masih kebingungan.
"Kenyataannya aku masih hidup!" tandas sosok
berselubung.
Si kakek terdiam. Tapi hanya sesaat.
"Kalau begitu kesempatan terbuka bagiku untuk
membalas dendam. Kau telah membuatku terpaksa
mengucilkan diri selama dua puluh tahun lebih. Sekarang
kau harus menerima balasannya!"
Kakek jangkung melesat ke arah sosok berselubung.
Serangan-serangan dahsyat dan mematikan dikirimkannya.
Tapi, orang yang diserang hanya mendengus. Tanpa
bimbang sedikit pun, ditangkisnya serangan-serangan si
kakek.
Plak, plak, plak...!
Tubuh kakek jangkung terlontar kembali ke belakang.
Seringai kesakitan menghias wajahnya. Sosok berselubung
tak bergeming dari tempatnya.
"Kalau kau masih sayang nyawa, cepat tinggalkan
tempat ini. Lupakan urusanmu dengan pemuda itu!" tandas
si sosok berselubung.
Kakeng jangkung bukan orang bodoh. Dia tahu,
berkeras hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sosok
berselubung terlalu tangguh untuk dihadapinya. Kendati
demikian, pergi begitu saja terlampau merendahkan diri.
"Kali ini kau boleh menang, Malaikat! Tapi ingat,
kejadian hari ini dan peristiwa dua puluh tahun lalu tak
akan kulupakan begitu saja. Ingat-ingatlah hal ini!"
Sosok berselubung hanya mendengus tak peduli.
Bahkan, ketika kakek jangkung melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
Arya yang menyaksikan tingkah kakek jangkung dan
sosok berselubung segera melangkah maju.
"Terima kasih, Kek. Kalau kau tak datang menolong,
mungkin saat ini aku telah menjadi mayat!" ujar Arya ragu
menyapa sosok berselubung dengan panggilan 'kek'.
Bukankah sosok ini kenal betul dengan kakek jangkung?
Setidaknya usia mereka kemungkinan besar sebaya.
"Lupakanlah, Anak Muda," jawab sosok berselubung
dengan sorot mata aneh. Sorot orang yang merasa geli.
"Hal yang lebih penting adalah merawat lukamu. Kau
terluka cukup parah, Anak Muda. Serangan lawanmu
mengandung racun berbahaya!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kek. Tapi aku
baik-baik saja. Dan..., ahh...!"
Arya menghentikan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba
terasa pening. Tubuhnya bergerak limbung. Sebelum
ambruk ke tanah, sosok berselubung telah lebih dulu
menangkapnya.
Kesadaran Arya telah hampir lenyap. Kendati demikian,
dia masih dapat mengetahui tindakan sosok berselubung.
Sisa kesadaran yang masih ada membuat pemuda ini
sempat merasakan hal aneh. Sayang, dia tak bisa
memikirkan kemungkinan itu. Arya telah jatuh tak
sadarkan diri.
***
"Uhhh.J"
Arya menggeliatkan tubuh merenggangkan tangan dan
kakinya. Sepasang matanya pun dibuka. Pemuda ini
tersentak kaget ketika melihat sosok yang duduk bersila di
depannya.
"Paman Paksi!" seru Arya, kaget bercampur gembira.
Tak disangka dia akan bertemu ayahnya Pringgani kembali.
Paksi Dilaga tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Paman? Dan,
mengapa pula aku bisa berada di sini?" Arya teringat pada
pertemuannya dengan sosok berselubung.
"Mengenai keberadaanmu di tempat ini aku tak tahu,
Arya. Sedangkan diriku hanya kebetulan saja. Karena
perasaan curigaku...," beri tahu Paksi Dilaga. "Kulihat
seseorang berpakaian kuning selama beberapa hari setiap
pagi dan sore masuk ke gua ini. Aku jadi ingin tahu.
Ternyata kau yang kujumpai."
Arya tersentak kaget.
"Beberapa hari? Berarti selama itu aku tak sadarkan
diri?" gumam Arya lirih.
"Tingkah orang berpakaian kuning itu membuatku
curiga, Arya. Apa keperluannya sehingga selama beberapa
hari datang ke gua ini."
"Lalu di mana orang berpakaian kuning itu, Paman?"
"Aku tidak tahu, Arya," Paksi Dilaga mengangkat
bahunya. "Kali ini tampaknya dia tidak datang. Sekarang
telah siang. Padahal biasanya dia datang pagi. Kalau boleh
kutahu, sebenarnya apa hubunganmu dengan orang itu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, Paman. Kami hanya
kebetulan bertemu. Dia menolongku dari ancaman maut."
Secara singkat Arya kemudian menceritakan semua
kejadian yang dialaminya. Paksi Dilaga mendengarkan
dengan penuh minat. Wajahnya berubah ketika Arya
menceritakan ciri-ciri penolongnya.
"Ada apa, Paman? Apakah kau mengenal penolongku
itu?!" tanya Arya yang sempat melihat perubahan wajah
Paksi Dilaga.
"Aku tak pasti, Arya," jawab Paksi Dilaga. Lalu dihelanya
napas berat. "Hanya ceritamu mengingatkanku akan
kejadian berpuluh tahun silam di dunia persilatan. Ciri-ciri
penolongmu hanya dimiliki tokoh yang berjuluk Malaikat
Tanpa Wajah."
"Mungkin tokoh itu yang telah menolongku," timpal
Arya. "Kudengar lawanku menyapanya 'malaikat'.
"Mungkin, Arya. Tapi menurut berita yang kudapat,
Malaikat Tanpa Wajah telah mati karena racun."
Arya tertegun. Sungguh tak disangkanya akan
mendapat berita seperti itu dari Paksi Dilaga.
"Yakinkah kau dengan berita yang kau dapatkan itu,
Paman?!" Arya meminta penegasan.
"Tentu saja, Arya!" tandas Paksi Dilaga.
Arya diam.
"Masih ingatkah kau akan tokoh sesat yang hendak
membawaku pada Sang Pangeran Muda? Toloh sesat yang
memanggil ular untuk menghadapimu?" tanya Paksi Dilaga.
Arya menganggukkan kepalanya.
"Dia berjuluk Raja Ular Berbaju Emas," sahutnya.
"Benar. Raja Ular Berbaju Emas. Nah! Datuk sesat
itulah yang telah menyarangkan racun dalam tubuh
Malaikat Tanpa Wajah. Sehingga, tokoh yang luar biasa itu
menemui ajalnya beberapa bulan kemudian."
Keterangan itu membuat Arya teringat kembali akan
ucapan kakek jangkung. Si kakek pun menyangka sosok
berselubung telah tewas!
"Beberapa puluh tahun lalu...," tanpa diminta Paksi
Dilaga bercerita. "Di dunia persilatan berkuasa empat
datuk kaum sesat. Di antaranya adalah Raja Ular Berbaju
Emas. Mereka menyebar angkara murka di mana-mana.
Seorang tokoh tingkat tinggi, golongan putih yang berjuluk
Malaikat Tanpa Wajah tak bisa tinggal diam. Datuk-datuk
sesat itu dicarinya. Salah seorang datuk dapat ditewaskan.
Sisanya terluka amat parah. Luka yang sulit untuk
disembuhkan. Membutuhkan waktu puluhun tahun untuk
memulihkan kemampuan seperti semula."
"Kalau empat datuk sesat itu berhasil dikalahkan,
bagaimana Malaikat Tanpa Wajah dapat diracuni?" Arya
rnasih belum jelas.
"Raja Ular Berbaju Emas merupakan datuk sesat yang
licik!" tandas Paksi Dilaga penuh kebencian, sehingga
membuat Arya keheranan. "Begitu mendengar seorang
datuk roboh di tangan Malaikat Tanpa Wajah, dia segera
mengajak datuk yang tersisa untuk bergabung. Bersama
mereka mengeroyok Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, tokoh
yang penuh rahasia itu memang luar biasa. Pengeroyokan
lawan-lawannya dapat dipatahkan. Bahkan, dia mampu
membuat mereka terluka parah. Sayang, Raja Ular Berbaju
Emas sempat menyarangkan Racun Ular Emas pada
dirinya.
Arya terdiam. Dia tak menduga akan mendengar cerita
seperti ini. Julukan Malaikat Tanpa Wajah telah demikian
terkenal. Arya menatap Paksi Dilaga yang menundukkan
kepala. Lelaki itu kelihatan demikian mengagumi Malaikat
Tanpa Wajah.
"Menurutmu, dari empat datuk sesat itu hanya satu
orang yang tewas, Paman?" tanya Arya, sekadar untuk
mengalihkan perhatian Paksi Dilaga.
"Benar."
"Berarti masih ada tiga datuk yang hidup," lanjut Dewa
Arak. "Kalau Raja Ular Berbaju Emas sanggup hidup,
kemungkinan besar dua datuk lainnya pun masih hidup
pula. Sekarang aku dapat mengira siapa sebenarnya kakek
jangkung itu. Pasti dia salah seorang dari empat datuk
sesat itu."
"Menurut berita yang kudengar, datuk yang memiliki ciri
jangkung dan kurus berjuluk Iblis Tangan Bayangan, yang
seorang lagi berjuluk Lelembut Berwajah Dewa!" jelas Paksi
Dilaga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Suasana menjadi hening ketika Arya maupun Paksi
Dilaga tak berbicara. Tapi, keadaan itu tak berlangsung
lama.
"Aku mempunyai pemikiran aneh, paman. Tapi kurasa
masuk akal juga," celetuk Arya.
"Mengenai apa, Arya?"
"Nasib Malaikat Tanpa Wajah."
"Maksudmu?" paksi Dilaga belum mengerti.
"Begini, Paman. Kalau datuk-datuk sesat yang memiliki
kemampuan di bawah Malaikat Tanpa Wajah saja bisa
lolos dari maut, bukan tak mungkin tokoh itu pun berhasil
menyembuhkan keracunannya. Kenyataannya kulihat
sendiri. Dan mengenai kepandaiannya, memang luar
biasa."
"Kematian Malaikat Tanpa Wajah tak usah kau
sangsikan lagi, Arya. Aku melihatnya sendiri. Bukan
mendengar berita dari orang lain. Namun ceritamu
membuatku penasaran. Aku ingin tahu, siapa yang telah
begitu lancang memalsukan tokoh penuh rahasia itu!"
"Mungkin keturunan atau muridnya, paman?!" Arya
mencetuskan dugaannya.
Paksi Dilaga terperanjat. Ditatapnya waiah Arya lekat-
lekat. Tapi, tak sepatah kata pun dilontarkan. Tampaknya
lelaki itu berniat melanjutkan pembicaraan. Maka, Arya
pun tak mendesaknya. Ketika tiba-tiba teringat pada
Pringgani, dengan hati-hati diceritakannya pada Paksi
Dilaga.
Paksi Dilaga mendengarkan cerita Dewa Arak dengan
penuh perhatian. Saat Arya menyelesaikan ceritanya lelaki
itu menghela napas berat dengan wajah muram.
"Kalau menurut pendapatku, Paman," kata Arya hati-
hati. Pemuda ini hendak menghibur hati Paksi Dilaga.
"Pringgani masih hidup. Kalau hendak dibunuh, untuk apa
repot-repot menculiknya. Bunuh saja di situ langsung."
"Aku setuju dengan pendapatmu, Arya," wajah Paksi
Dilaga agak berseri. Dia bisa merasakan kebenaran dalam
pendapat Arya. "Pringgani dalam keadaan selamat. Kendati
demikian, hatiku merasa tak tenang. Kalau dia sampai
celaka, aku tak berani bertemu dengan istriku di akhirat
sana...."
Arya bisa memaklumi kegalauan yang melanda hati
Paksi Dilaga. Dia telah mendengar tentang pesan
almarhum istrinya yang disanggupi lelaki itu.
"Aku akan berusaha mendapatkan putrimu kembali,
Paman," janji Arya.
"Terima kasih, Arya. Aku yakin dengan kemampuanmu
kau bisa berbuat lebih banyak. Kalau penculiknya memiliki
kepandaian di atasku, aku dapat mengandalkan dirimu."
"Kau terlalu memandang tinggi padaku, paman," keluh
Arya agak tersipu.
"Itu kenyataan, Dewa Arak!" bantah Paksi Dilaga.
"Nama besarmu telah mengguncangkan dunia persilatan."
Arya hanya diam saja.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Paman?!"
tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mencari putriku, Arya. Karena tak tahu harus
mencarinya di mana, biarlah kulakukan sambil lalu. Aku
akan menemui keluargaku lebih dulu. Kau mau ikut?"
"Tentu saja, Paman!" jawab Arya, cepat. "Bukankah aku
telah berjanji akan membantumu mencari Pringgani.
Bagaimanapun juga aku merasa bersalah. Atau, kau lebih
suka mencari putrimu itu sendirian, Paman?!"
"Kau tidak bersalah, Arya," bantah Paksi Dilaga. "Bila
kau tak menolongnya, mungkin dia telah tewas di tangan
penjahat-penjahat keji dari Pantai Selatan itu."
"Kau lebih suka kalau kita mencarinya berpencar,
Paman?!" desak pemuda berambut putih keperakan. Salah
satu pertanyaannya belum terjawab.
"Itu terserah padamu. Aku tak berani meminta.
Walaupun, aku akan merasa terhormat bila bisa
melakukan perjalanan bersama tokoh besar sepertimu."
"Aku hanya hendak memastikan, Paman," kilah Arya.
"Barangkali saja kau mempunyai urusan yang amat pribadi
dengan keluargamu. Aku kan terhitung orang luar."
"Bukan, Arya. Hanya urusan biasa saja. Bagaimana, kau
mau pergi bersamaku?"
Arya mengangguk.
"Masih jauhkah tempat kediaman keluargamu itu,
Paman?"
"Tidak. Tidak sampai dua hari kita telah tiba di sana,"
beri tahu Paksi Dilaga seraya mengayunkan kaki.
Arya pun bergegas melangkah mengikuti.
7
Arya melirik Paksi Dilaga yang tertunduk menekuri tanah.
Pemuda ini berdiam diri, tak ingin mengganggunya. Dia
bisa merasakan kesedihan yang mendera ayahnya
Pringgani.
"Kalau tak melihatnya sendiri, aku tak akan percaya,
Arya," ujar tokoh yang belasan tahun lalu terkenal dengan
julukan Harimau Bertangan Delapan. Suaranya bergetar
penuh kesedihan, perasaan hatinya begitu terpukul.
Arya hanya menghela napas berat. Mereka berdua
berdiri di depan bangunan cukup besar yang kelihatan
kotor tak terawat, seperti telah bertahun-tahun ditinggal
pergi. Bangunan yang selama ini menjadi tempat tinggal
keluarga Paksi Dilaga.
"Aku tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi," keluh
Paksi Dilaga. Kemudian, tanpa diminta dia menceritakan
tentang keluarganya.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengajari paman. Tapi,
apa pun di dunia ini bisa saja terjadi," ujar Arya hati-hati.
Khawatir Paksi Dilaga tersinggung. "Kebencian para
pengejarmu ternyata tak hanya tertuju pada dirimu, tapi
juga keluargamu."
"Dari mana mereka tahu penghuni rumah ini adalah
keluargaku, Arya?" tanya Paksi Dilaga dengan nada sedih.
"Tak seorang pun tahu dari mana aku berasal. Juga
mengenai keluarga ini."
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Paman."
Paksi Dilaga menghela napas berat. Ditatapnya Arya
dalam-dalam.
"Aku percaya padamu, Arya. Maka meski hal ini
sebenarnya rahasia keluarga kami, aku akan memberitahu-
kanmu."
"Kalau merupakan rahasia keluarga, kukira lebih baik
tak usah dibicarakan, Paman," tolak Arya.
"Tidak Arya. Kau merupakan kekecualian!"
Paksi Dilaga berkeras dengan kehendaknya. "Kau tentu
masih ingat mengenai Malaikat Tanpa Wajah."
Arya mengangguk.
"Perlu kau ketahui, Arya. Aku terkejut sekali mendengar
ucapanmu. Kau mengatakan kalau tokoh yang kau temui
mungkin keturunan atau murid Malaikat Tanpa Wajah.
Terus terang, aku baru pertama kali mendengar ucapan
seperti itu. Selama ini orang-orang persilatan menganggap
Malaikat Tanpa Wajah tak pernah mati. Jadi, Malaikat
Tanpa Wajah yang muncul dua ratus tahun lalu adalah
Malaikat Tanpa wajah yang muncul dua puluh tahun lalu.
Hanya aku yang mempunyai pendapat berbeda.
Bagaimana kau bisa menduga demikian, Arya?"
"Aku pernah menemukan tokoh yang melegenda
seperti itu, Paman," jawab Arya (Untuk jelasnya, silakan
baca episode: "Peninggalan Iblis Hitam")
Paksi Dilaga mengangguk maklum.
"Dugaanmu memang tepat, Arya. Malaikat Tanpa Wajah
tak hanya seorang. Selubung dan pakaian yang
dikenakannya membuat orang itu tak dikenal jati dirinya.
Sehingga, tak ada seorang pun yang tahu kalau selama
kurun waktu ratusan tahun telah beberapa kali Malaikat
Tanpa Wajah berganti-ganti. Leluhurku yang pertama kali
menjadi Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak. Beliau seorang
pelaut. Pekerjaannya membuatnya mengenal banyak
orang. Salah seorang kenalan memberinya mantera
pemanggil makhluk gaib. Ilmu 'Nyambat' namanya. Dari
makhluk-makhluk gaib itu beliau mempelajari kesaktian.
Kemudian, ilmu-ilmu itu diwariskan pada keturunannya."
Paksi Dilaga menghentikan ceritanya sejenak.
Diambilnya napas dan ditelannya ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang kering.
"Sayang, dua keturunan terakhir yaitu aku dan ayahku
tak memiliki bakat baik. Kami tak mampu menguasai ilmu-
ilmu tingkat tertinggi keluarga kami. Kendati demikian,
Ayah masih lebih berbakat daripada aku. Tapi tetap saja
beliau tak boleh menggantikan tugas menjadi Malaikat
Tanpa Wajah, karena tak mempunyai ilmu khas. Jadi ketika
kakek wafat oleh Racun Ular Emas, tak ada lagi yang
menggantikan menjadi Malaikat Tanpa Wajah."
"Berarti..., seharusnya Malaikat Tanpa Wajah tak
muncul lagi ke dunia persilatan," cetus Arya.
"Benar, Arya," dukung Paksi Dilaga. "Sekarang kau
mengerti mengapa aku merasa heran ayah dan ibuku bisa
terbunuh. Kami keluarga yang penuh rahasia. Tempat kami
pun terpencil. Rasanya mustahil ada orang mengetahui
rahasia ini. Andaikata pun ada yang tahu, rasanya sulit
untuk dapat membunuh Ayah. Kepandaian beliau jauh
lebih tinggi dari aku. Empat datuk sesat pun belum tentu
mampu mengalahkan Ayah."
"Kita harus melihat kenyataan, Paman. Ayah dan ibumu
telah tewas terbunuh. Kalau hanya bingung memikirkan
mengapa mereka bisa tewas, tak akan kita temukan
jawabannya. Bukankah lebih baik kalau kita menyelidiki
pelaku tindak kekejian ini?" usul Arya, hati-hati.
Paksi Dilaga tersenyum. Tapi, terlihat belum dengan
sepenuh hati.
"Aku bisa menerima kebenaran ucapanmu, Arya. Orang
yang sudah mati memang tak akan kembali lagi. Kau
benar. Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian
ini. Hhh...! Tugasku jadi bertambah, Arya. Tak hanya
mencari Pringgani sekarang, tapi juga pembunuh ayahku..."
***
Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi bergerak
lambat. Jalan berupa permukaan tanah tak rata membuat
gerobak berguncang-guncang. Semua itu seperti tak
dipedulikan sang kusir yang duduk melengguk di
tempatnya.
Gerobak masih berjarak belasan tombak di belakang
dua orang yang tengah berjalan seenaknya. Sungguhpun
demikian, pemuda berpakaian ungu dapat mengetahui
keberadaannya. Rekan lelaki setengah baya berpakaian
putih ikut pula mendengar. Dua orang itu memang bukan
orang sembarang. Mereka adalah Paksi Dilaga dan Dewa
Arak.
Arya dan Paksi Dilaga bersikap tak peduli. Keduanya
tetap mengayunkan langkah, tanpa menoleh sedikit pun ke
belakang. Padahal dari bunyi yang tertangkap telinga,
gerobak sapi itu berada semakin dekat dengan mereka.
Kedua tokoh golongan putih ini hanya bergeser agak ke
tepi jalan, agar gerobak dapat melaju tanpa terhambat
mereka. Jalan itu sendiri cukup lebar untuk menampung
dua buah gerobak sapi sekaligus. Di kanan kirinya,
dipisahkan oleh parit kecil, membentang tanaman alang-
alang.
Gerobak sapi itu telah mulai mensejajari langkah Arya
dan Paksi Dilaga. Kedua tokoh itu tetap bersikap tak
peduli, seakan tak mengetahui kehadiran gerobak sapi.
"Dewa Arak!"
Cepat Arya menoleh ke arah asal suara. Paksi Dilaga
ikut-ikutan. Tapi, sang kusir gerobak cepat melanjutkan
ucapannya. Nadanya tetap lirih seperti khawatir didengar
orang lain.
"Tak perlu menoleh. Harap dengan baik-baik ucapanku
ini. Di malam bulan purnama akan ada pertemuan tokoh-
tokoh golongan putih, untuk menyusun kekuatan dan
rencana guna menghadapi gerombolan sesat di bawah
pimpinan Sang Pangeran Muda. Kami berharap kau dapat
hadir. Tempatnya di Lembah Maut di lereng Gunung
Merapi. Apakah keteranganku sudah jelas, Dewa Arak?!"
"Sangat jelas, "jawab Arya tanpa menoleh.
"Kalau begitu, selamat tinggal. Mudah-mudahan
kelompok sesat itu dapat kita hancurkan."
Bersamaan dengan lenyapnya perkataan terakhir,
gerobak bergerak lambat meninggalkan Dewa Arak dan
Paksi Dilaga. Sedikit derni sedikit gerobak itu semakin
jauh.
"Malam bulan purnama...," gumam Arya pelan, seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Dua malam lagi, Arya," timpal Paksi Dilaga setengah
memberi tahu.
"Kalau begitu, waktu yang tersedia cukup untuk ke
sana, Paman...."
"Apa yang kau katakan itu tak salah, Arya. Waktu yang
kita miliki lebih dari cukup. Dengan demikian, kita tak pertu
terburu-buru."
***
Sebetulnya Arya dan Paksi Dilaga merasa heran.
Namun mereka mampu meredamnya, sehingga tak
terlihat. Wajah dan sikap kedua tokoh ini tetap biasa.
"Sang kusir gerobak mengatakan akan ada pertemuan
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, mengapa hanya
beberapa orang saja yang hadir? Mana yang lainnya? Atau
ini hanya tipuan belaka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Arya dan
Paksi Dilaga. Untuk kesekian kalinya kedua tokoh ini
mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya sekilas
tokoh-tokoh lang hadir. Hanya tiga orang yang ada di situ
selain mereka berdua.
"Kurasa...," cetus seorang kakek bermuka merah
memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka. "Tak
ada gunanya lagi kita menunggu. Malam telah semakin
larut. Aku yakin tak akan ada lagi orang yang datang."
"Apa yang diucapkan Raja Tuak memang tepat. Kita tak
perlu lagi menunggu. Mungkin rekan yang lain khawatir
kalau-kalau Sang Pangeran Muda dan gerombolannya
muncul di tempat ini. Kita tak bisa menyalahkan mereka,"
timpal kakek yang memiliki tangan sebelah dengan sikap
bijaksana."
Kakek bermuka merah yang ternyata berjuluk Raja
Tuak, terkekeh. Tabung bambu yang sejak tadi tergeletak
di dekatnya diangkat lalu dituangkan ke mulut. Tuak
mengalir ke dalam mulutnya yang terbuka lebar. Bunyi
menggeluguk terdengar ketika minuman memabukkan itu
melewati tenggorokannya.
"Sebelum kita lanjutkan pertemuan ini...," kata Raja
Tuak seraya meletakkan tabung bambunya lagi. Disekanya
tepi-tepi mulutnya yang basah. Sepasang matanya yang
tajam berkilat diedarkan pada semua orang, dan berhenti
di wajah Dewa Arak. "Kurasa ada baiknya kalau kita saling
memperkenalkan diri dulu."
Raja Tuak menunjuk pada kakek bertangan sebelah,
sementara pandangannya tertuju pada Dewa Arak dan
Paksi Dilaga. Pada kedua tokoh itulah kakek bermuka
merah hendak memberitahukannya.
"Sahabat ini berjuluk Naga Bercakar Tunggal."
Dewa Arak dan paksi Dilaga tersenyum. Kepalanya
dianggukkan dan balas memperkenarkan diri pada Naga
Bercakar Tunggal yang menyunggingkan senyum ramah.
"Dan sahabat yang satunya lagi..." lanjut Raja Tuak.
Perhatiannya dialihkan sebentar pada kakek terakhir yang
ada di situ. Dia berkepala botak dan kelihatan licin
mengkilat. Terkekeh ramah pada Dewa Arak dan paksi
Dilaga. "Dikenal orang dengan julukan Dewa Berkepala
Baja."
"Aku telah mendengar julukan Dewa Arak yang
menggetarkan dunia persilatan. Dan, telah lama
mengaguminya. Tapi, baru kali ini aku mendapat
keberuntungan bertemu muka. Sungguh menakjubkan
sekali! Dalam usia semuda ini telah memiliki kepandaian
luar biasa serta nama besar."
"Ahhh..., apalah artinya dibandingkan dengan kakek
bertiga. Berita yang tersiar itu terlalu dibesar-besarkan, "
sahut Arya merendah.
"Sungguh sebuah sikap yang bagus," puji Raja Tuak.
"Dan kau Paksi Dilaga, kami tahu kau pun telah membuat
dunia persilatan geger dengan tindakan-tindakanmu.
Sehingga kau mendapat julukan Harimau Bertangan
Delapan. Kami manghargai sekali kehadiran kalian berdua
di tempat ini."
"Kami hanya ingin menyumbangkan sedikit
kemampuan yang kami miliki, Raja Tuak," kilah Arya.
Arya dan Paksi Dilaga tahu kalau Raja Tuaklah yang
menjadi kusir gerobak sapi dan mengundang mereka ikut
pertemuan. Sungguh tak mereka sangka kalau si kakek
yang menjadi pemimpin pertemuan.
"Tidak ada yang patut dikagumi dari diriku, Raja Tuak,"
kilah Paksi Dilaga, memberikan tanggapan atas pujian
yang dilontarkan Raja Tuak. Nada ucapan lelaki ini
terdengar getir karena teringat akan keadaan dirinya. "Aku
hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kejaran
musuh-musuh yang ingin membunuhku!"
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal, dan Dewa
Berkepala Baja agak heran mendengar jawaban tersebut.
Namun mereka tak mendesak lebih jauh. Tanggapan Paksi
Dilaga membuat ketiga kakek itu tahu kalau dia telah
mengalami kejadian tak menyenangkan. Adalah sikap
kurang patut memintanya menjelaskan maksud
pernyataannya tadi.
"Tujuan kita berkumpul di sini sebenarnya untuk
menyusun kekuatan guna mencegah angkara murka Sang
Pangeran Muda dan komplotannya."
Raja Tuak langsung berbicara pada pokok persoalan,
sekaligus membuka jalannya pertemuan.
"Tapi, yang kita temui ternyata tak berjalan sesuai
keinginan. Hanya kita yang berkumpul di tempat ini. Kita
berlima! Semula aku telah memperhitungkan puluhan
orang yang akan hadir. Karena itulah kupilih tempat yang
cukup luas ini. Tapi kenyataannya?"
Raja Tuak mengangkat kedua bahu, menampakkan
sikap kecewanya. Semua yang hadir di situ bisa
memakluminya. Kakek bermuka merah itu telah bersusah
payah mencari temat yang nyaman. Tanah lapang luas
yang ditumbuhi rumput setinggi dua kaki. Dikelilingi pohon-
pohon cukup besar di tepinya. Luas lapangan itu cukup
untuk menampung puluhan orang.
"Entah masalah apa yang membuat rekan-rekan
lainnya tertahan untuk hadir di sini. Tapi, kuharap kalian
semua tak berkecil hati. Rencana mulia kita jangan sampai
hancur karenanya."
Raja Tuak menenggak minumannya kembali sebelum
melanjutkan bicara.
"Dan, kuminta yang hadir di sini sedapat mungkin
membawa rekan-rekan lain untuk ikut pertemuan dua
pekan yang akan datang. Bagai mana, kalian setuju?"
"Aku tak yakin akan keberhasilannya, Raja Tuak," Naga
Bercakar Tunggal menimpali. "Kurasa mereka telah
telanjur berpendapat kalau Sang Pangeran Muda tak bisa
ditanggulangi. Mereka berpikir, tak ada gunanya menyusun
kekuatan dan mengadakan perlawanan. Hanya akan
mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran."
"Apa yang dikatakan Naga memang benar, Raja Tuak,"
celetuk Dewa Berkepala Baja memberikan dukungan.
"Komplotan Pangeran Muda luar biasa kuat. Jangankan
tokoh misterius itu, wakil-wakilnya saja mungkin tak akan
terlawan oleh kita. Siapa yang tak kenal Raja Ular Berbaju
Emas, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Bermuka Dewa.
Datuk-datuk sesat empat penjuru mata angin. Puluhan
tahun yang lalu pun mereka tak terkalahkan"
Arya mengerling pada Paksi Dilaga. Ayahnya Pringgani
melihat. Dan, dia tahu apa artinya. Kerling sekilas itu
mengandug pertanyaan besar akan kebenaran cerita Paksi
Dilaga yang menyatakan datuk-datuk sesat empat penjuru
angin telah dikalahkan kakeknya.
Paksi Dilaga pun menunjukkan rasa penasaran. Dia
telah memberikan bantahan. Tapi, Naga Bercakar Tunggal
telah mendahului berbicara.
"Kau keliru, Dewa. Sepanjang yang kutahu keempat
datuk sesat itu berhasil dikalahkan seorang tokoh
golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah!
Bahkan, tokoh yang telah muncul sejak ratusan tahun lalu
itu berhasil menghadapi keroyokan dua datuk."
"Aku pun mendengar berita itu, Naga," kelit Dewa
Berkepala Baja. "Tapi, Malaikat Tanpa Wajah tak bisa
dimasukkan ke dalam datuk golongan putih, karena
kemisteriusannya. Tak ada seorang pun tahu siapa
sebenarnya tokoh itu. Apalagi mengingat kemunculannya
pertama kali, pada ratusan tahun lalu sebelum dia
menyebabkan empat datuk sesat menghilang dari dunia
persilatan. Anehnya, sejak empat datuk sesat menghilang,
tokoh itu pun lenyap pula. Lagi pula, menurutmu
mungkinkah ada orang yang mampu hidup sampai usia
dua ratus tahun?"
Naga Bercakar Tunggal terdiam. Kebingungan dia
memberikan bantahan. Dewa Berkepala Baja semakin
bersemangat memojokkannya.
"Bila kau menghitung, Malaikat Tanpa Wajah itu
berusia lebih dari dua ratus tahun. Cobalah kau
perhitungkan saat pertama kali tokoh itu muncul, hingga
lenyapnya dia bersama empat datuk sesat, Naga!"
Naga Bercakar Tunggal tetap terdiam. Kakek bertangan
sebelah ini tampak gelisah.
Arya melirik ke arah Paksi Dilaga. Lelaki berpakaian
putih itu merupakan satu-satunya orang yang dapat
memberikan keterangan secara lengkap. Sayang, dia tak
dapat ikut campur. Itu akan membuka rahasia yang selama
ini tertutup rapat.
"Sebenarnya...," Arya ikut campur dalam perdebatan.
Tindakannya ini mengundang perhatian semua orang.
Mereka ingin tahu kelanjutan pernyataan Dewa Arak. "Hal
yang tak memungkinkan mengenai Malikat Tanpa Wajah
bisa saja terjadi," cetus Arya hati-hati.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?" tanya Dewa Berkepala
Baja dengan alis berkernyit. Kakek berkepala botak ini
sudah memperkirakan Arya akan mengeluarkan pendapat
yang mendukung pernyataan Naga Bercakar Tunggal.
Karena itu, kakek ini yang paling merasa penasaran.
"Maksudku, mengenai kemustahilan usia Malaikat
Tanpa Wajah seperti yang kau kemukakan tadi, Kepala
Baja," jelas Arya. "Memang ada hal yang mencurigakan
mengenai tokoh misterius itu. Tentang usianya."
"Benar, Dewa Arak. Apakah kau ingin mengatakan
kalau mustahil seseorang berusia sampai dua ratus
tahun?" desak Dewa Berkepala Baja.
"Aku tidak mengatakan demikian, Kepala Baja," bantah
Arya. "Yang jelas, aku percaya Malaikat Tanpa Wajah yang
muncul sejak ratusan tahun lalu membuat datuk-datuk
sesat empat penjuru angin menghilang dari dunia
persilatan."
"Kau berbelit-belit, Dewa Arak!" cela Dewa Berkepala
Baja tak sabar. "Kalau kau percaya Malaikat Tanpa Wajah
terus muncul hingga dua puluh tahun lalu, itu berarti kau
harus percaya seseorang dapat berusia dua ratus tahun."
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak mengernyitkan
alis. Mereka merasakan kebenaran ucapan Dewa
Berkepala Baja. Arya berbelit-belit dengan berbagai alasan.
Pada akhirnya dia juga akan mendukung pernyataan Dewa
Berkepala baja.
"Mungkinkah Arya akan membuka rahasia tentang
siapa sebenarnya Malaikat Tanpa Wajah?" pikir Paksi
Dilaga mulai khawatir. "Mudah-mudahan hal itu tak
dilakukannya. Arya tahu hal itu merupakan rahasia besar
keluargaku."
Arya terlihat tetap tenang. Bibirnya mengembangkan
senyum.
"Kalau kau mencerna pernyataanku lebih dalam, kau
akan dapat membedakannya, Kepala Baja. Kukatakan aku
tak percaya bila seseorang bisa berusia sampai dua ratus
tahun. Tapi, aku percaya kalau Malaikat Tanpa Wajah bisa
berusia sampai dua ratus tahun."
"Sepertinya pernyataan itu memang bertentangan satu
sama lain. Tapi, sekarang mari kita membuktikan
kebenarannya," tantang Dewa Berkepala Baja.
"Siapa di antara kalian yang pernah melihat paras
Malaikat Tanpa Wajah?" tanya Arya. Pandangannya
diedarkan berkeliling. Dtatapnya satu persatu tokoh yang
ada di situ.
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak terdiam.
Demikian pula Paksi Dilaga, kendati jantungnya berdetak
lebih cepat. Tapi, tidak demikian halnya dengan Dewa
Berkepala Baja.
"Kurasa kita cukupkan perdebatan ini, Dewa Arak.
Pertanyaanmu saja telah membuktikan kalau kau tak tahu
apa-apa mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Dengar, Dewa
Arak! Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau Malaikat
Tanpa Wajah mengenakan selubung. Selubung itu menjadi
petunjuk jelas kalau dia tak ingin dikenal. Lalu, bagaimana
mungkin orang dapat melihat wajahnya? Kau malah
menanyakan hal itu. Bukankah itu berarti kau tak tahu apa
pun. Perdebatan ini tak ada gunanya dilanjutkan!"
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak kembali harus
mengakui kebenaran pendapat Dewa Berkepala Baja.
Sedangkan Paksi Dilaga gelisah mendengar bantahan
kakek berkepala botak. Dia khawatir Dewa Arak akan kalah
berdebat dengan kakek yang pandai bicara itu.
"Di sinilah kekeliruannya, Kepala Baja, " kata Arya
dengan ketenangan yang menakjubkan. "Kalau tak ada
yang pernah melihat wajahnya, siapa yang dapat
membuktikan wajah di balik selubung tokoh Malaikat
Tanpa Wajah ratusan tahun lalu adalah wajah yang sama.
Siapa yang bisa menjamin?"
Naga Bercakar Tunggal, Raja Tuak, dan Dewa
Berkepala Baja terkejut bukan main mendengar alasan
Dewa Arak. Alasan yang luar biasa kuat!
"Aku yakin wajah di balik selubung itu senantiasa
berganti-ganti!" lanjut Dewa Arak. "Aku mempunyai alasan
kuat untuk pernyataan ini. Aku pernah menemui tokoh
melegenda seperti Malaikat Tanpa Wajah. Tokoh itu
berjuluk Iblis Hitam! Tokoh yang merupakan datuk sesat ini
terkenal sejak ratusan tahun lalu." (Untuk jelasnya,
silahkan baca episode : "Iblis Hitam").
"Semua tokoh-tokoh persilatan bingung mengapa tokoh
itu tetap muncul di dunia persilatan. Padahal, menurut
perhitungan dia sebenarnya sudah meninggal karena usia
tua. Belakangan baru ketahuan kalau Iblis Hitam yang
selalu berselubung itu senantiasa berganti. Keturunan-
keturunannya yang menggantikannya. Aku yakin sekali
Malaikat Tanpa Wajah pun demikian."
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal,d an bahkan Dewa
Berkepala Baja harus mengakui kembali kebenaran
pernyataan Dewa Arak. Dalam hati mereka menyesali diri
sendiri megnapa takberpikir demikian.
Paksi Dilaga menjadi lega mendengar akhir perdebatan
itu. Arya tak membuka rahasia mengenai Malaikat Tanpa
Wajah. Pemuda itu hanya mengutarakan alasan yang bisa
diterima akal. Jawaban sebenarnya dapat ditemukan
orang-orang yang mau berpikir panjang.
"Kalau benar demikian...," celetuk Dewa Berkepala
Baja. Suaranya tak segagah sebelumnya, "megnapa telah
dua puluh tahun lebih Malaikat Tanpa Wajah tak muncul-
muncul di dunia persilatan lagi?!"
"Bukan merupakan hal yang aneh, Kepala Baja," jawab
Arya. "Banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Bisa saja
orang yang menjadi Malaikat Tanpa Wajah terakhir tak
mempunyai keturunan. Atau..., keturunannya tak
mempunyai bakat seperti yang diharapkan."
Dewa Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala.
Tampaknya dia setuju dengan penjelasan Dewa Arak.
"Kukira..., persoalan mengenai Malaikat Tanpa Wajah
telah selesai. Sekarang kita kembali pada pokok persoalan,
bagaimana menyusun kekuatan untuk menentang
komplotan Sang Pangeran Muda," sela Raja Tuak buru-
buru sebelum ada yang bicara lagi.
8
"Masih belum tuntas perbincangan kalian?"
Raja Tuak, Dewa Berkepala Bala, Naga Bercakar
Tunggal, Paksi Dilaga, dan Dewa Arak terperanjat kaggt
mendengar teguran itu. Serempak mereka bangkit dari
duduk dan bersikap waspada.
Seiring dengan lenyapnya gema teguran itu, dari balik
sebatang pohon bermunculan dua sosok. Seorang di
antaranya kakek jangkung yang hampir membunuh Dewa
Arak. Iblis Tanpa Bayungan!
"Aku yakin mereka datuk-datuk sesat yang telah dua
puluh tahun lenyap," desis Raja Tuak dengan pandangan
tertuju pada dua sosok yang menghampiri mereka.
"Yang yang berbicara berada di atas pohon.
Mungkinkah dia yang terkenal sebagai Sang Pangeran
Muda itu?" Arya menujukan pandangan ke atas pohon.
Serentak yang lainnya segera mengarahkan pandangan
ke sana. Mereka melihat seseorang yang tak terlihat jelas,
karena berdiri membelakangi bulan. Dia berdiri di atas satu
kaki pada cabang pohon sebesar ibu jari. Anehnya, cabang
itu tak melengkung sedikit pun. Seakan-akan yang berdiri
di atasnya bukan manusia, melainkan seekor cengcorang!
Raja Tuak dan yang lainnya tanpa sadar menelan ludah
melihat pameran ilmu meringankan tubuh. Dari apa yang
terlihat saja mereka tahu kalau orang di atas pohon
memiliki kepandaian luar biasa.
Kekeh penuh ejekan dari kakek yang berada di sebelah
Iblis Tanpa Bayangan membuat rombongan Raja Tuak
mengalihkan perhatian. Kakek itu berwajah ramah penuh
senyum. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri.
Lelembut Berwajah Dewa julukannya!
"Kalian benar-benar tak ubahnya anjing-anjing buduk!"
maki Lelembut Berwajah Dewa. Telunjuknya menuding
pada rombongan Raja Tuak.
Sikap dan ucapannya kasar bukan main. Bertolak
belakang dengan gerak-geriknya yang halus dan wajah
penuh senyuman. Tak aneh kalau dia mendapat julukan
Lelembut Berwajah Dewa.
"Apa yang kalian andalkan sehingga berani bertindak
demikian lancang, mencoba menentang Sang Pangeran
Muda?!"
Raja Tuak melangkah maju dua tindak. Dadanya yang
tipis dibusungkan.
"Kami memang hanya memiliki sedikit kepandaian.
Tapi bukan berarti kami takut. Kami rela mengorbankan
nyawa asal iblis-iblis semacam kalian lenyap dari muka
bumi!"
"Begitukah?!" ejek Iblis Tanpa Bayangan. Ikut campur
dalam perdebatan. "Kalau begitu, pergilah kau ke neraka!"
Wusss.J
Angin menderu keras ketika kakek jangkung itu
menghentakkan kedua tangannya. Seketika, rombongan
Raja Tuak terpencar untuk menyelamatkan diri. Serangan
jarak jauh Iblis Tanpa Bayangan pun menerpa tempat
kosong.
"Jangan serakah, Iblis," ujar Lelembut Berwajah Dewa.
"Babi-babi busuk itu cukup banyak. Biar aku ikut ambil
bagian untuk mencincang daging-dagingnya yang bau!"
Kakek yang memiliki wajah ramah ini lalu meludah
berkali-kali. Tidak ke tanah sebagaimana layaknya orang
membuang cairan menjijikkan itu, tapi menunjukkannya ke
arah Raja Tuak.
Sing...!
Bunyi nyaring yang menyakitkan telinga itu menyeruak
ketika gumpalan-gumpalan ludah meluncur. Raja Tuak
yang menjadi sasaran serangan segera menenggak
minumannya. Kemudian dsemburkannya untuk memapak
serangan lawan.
Gumpalan-gumpalan benda cair itn berbenturan di
tengah jalan dengan menimbulkan suara nyaring.
Gumpalan dari mulut Raja Tuak langsung terpental dan
jatuh ke tanah. Sedangkan ludah Lelembut Berwajah Dewa
terus meluncur.
Namun beberapa kaki sebelum mencapai tujuan,
kehabisan daya luncur dan jatuh ke tanah.
Lelembut Berwajah Dewa memaki kalangkabut.
Sedangkan Raja Tuak mengeluh dalam hati. Dari hasil
benturan itu tenaga dalamnya ternyata masih di bawah
tenaga datuk sesat berparas menyenangkan ini.
Meskipun demikian, Raja Tuak tak menjadi gentar.
Ketika lawannya meluruk menerjang, dengan berani
disambutinya. Pertarungan seru pun terjadi.
***
Bukan hanya Raja Tuak yang terlibat pertarungan. Naga
Bercakar Tunggal dan Dewa Berkepala Baja bahu-
membahu menghadapi amukan Iblis Tanpa Bayangan.
Sedangkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga masih belum
bertindak. Arya masih memperhatikan sosok yang berada
di atas pohon. Sang Pangeran Muda!
"Paman, harap kau bantu Raja Tuak...," pinta Arya
melalui ilmu mengirim suara dari jauh pada Paksi Dilaga.
Saat itu keadaan Raja Tuak memang meng¬
khawatirkan. Kepandaiannya masih terpaut cukup jauh
dengan Lelembut Berwajah Dewa. Dalam beberapa jurus
datuk sesat itu berhasil membuat Raja Tuak terdesak
hebat. Untunglah, Paksi Dilaga datang membantu.
Sehingga tekanan Lelembut Berwajah Dewa sedikit
berkurang.
Suasana yang semula hening jadi hiruk-pikuk. Tidak
hanya teriakan. Gerakan tokoh-tokoh yang bertarung pun
menimbulkan bunyi nyaring menyakitkan telinga.
Pertarungan yang berlangsung seru dan sengit. Tapi,
belasan jurus kemudian keadaan mulai berubah. Lelembut
Berwajah Dewa dan Iblis Tanpa Bayangan terlalu tangguh
untuk dihadapi. Raja Tuak dan rekan-rekannya yang telah
mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja
kewalahan.
Keadaan yang menimpa mereka membuat Dewa Arak
gelisah. Kalau tak segera dibantu, Raja Tuak dan rekan-
rekannya akan tewas. Tanpa menunggu lebih lama
dilancarkannya serangan beruntun dengan jurus 'Pukulan
Belalang'.
Wusss, wusss, wusss.J
Angin keras berhawa panas menyengat bertubi-tubi
meluncur ke arah Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut
Berwajah Dewa. Datuk-datuk sesat itu menyambutinya
dengan cara yang sama. Terdengar benturan nyaring
memekakkan telinga dan menggetarkan sekitar tempat itu.
Tubuh mereka terlihat terhuyung-huyung.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk
menerjang Lelembut Berwajah Dewa.
"Menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya!" seru
Arya di saat tubuhnya masih melayang di udara.
Serangan Arya mendapat sambutan langsung dari
lawan. Lelembut Beruaiah Dewa menyambuti kedatangan
Arya dengan sebuah serangan mematikan.
Wuuttt.J
Sampokan Lelembut Berwajah Dewa yang ditujukan
pada pelipis mengenai tempat kosong. Arya telah lebih
dulu merendahkan tubuhnya. Hampir bersamaan
waktunya, pemuda itu mengirimkan gedoran ke arah dada.
Desss...!
Lelembut Berwajah Dewa memekik ngeri. Telapak
tangan Arya mendarat di bahu kanannya. Tubuh kakek itu
pun terjengkang ke belakang. Darah segar mengalir dari
sudut bibirnya. Serangan yang tak disangka-sangka itu
membuat elakannya tak sepenuhnya berhasil. Kendati
demikian, cukup untuk menyelamatkan selembar
nyawanya.
Tanpa mernpedulikan keadaan lawan. Dewa Arak
melesat ke arah pertarungan Iblis Tanpa Bayangan yang
menghadapi Dewa Berkepala Baja dan Raja Bercakar
Tunggal. Karena dilihatnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak
belum mencapai kancah pertarungan mereka.
Bersamaan dengan melesatnya Dewa Arak, Iblis Tanpa
Bayangan mengeluarkan lengkingan nyaring. Hanya
sebentar. Tapi, mampu membuat kedua lawannya
terkesima. Sukma mereka seperti melayang entah ke
mana. Dada terasa berguncang hebat dan sepasang kaki
menggigil keras!
Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh Iblis Tanpa Bayangan. Dikirimkannya
tamparan berturut-turut ke arah pelipis kedua lawannya.
Plak, plak, plak...!
Terdengar bunyi berderak cukup keras. Disusul dengan
pekikan tertahan dan ambruknya tubuh Naga Bercakar
Tunggal serta Dewa Berkepala Baja. Mereka tewas dengan
tulang pelipis retak mengucurkan darah.
Arya menggertakkan gigi melihat kejadian yang tak
diinginkannya itu. Kedatangannya sudah terlambat
Sungguhpun demikian, maksudnya tetap tak diurungkan.
Diterjangnya Iblis Tanpa Bayangan untuk membalaskan
kematian mereka. Pertarungan pun terjadi ketika sang
datuk sesat menyambuti.
Sementara itu di atas pohon Sang Pangeran Muda
memperhatikan Dewa Arak dengan dahi berkernyit.
"Pemuda ini berkepandaian lumayan juga. Dia dapat
menjadi ancaman besar kalau tak dilenyapkan. Kalau aku
tak bertindak cepat, kemungkinan besar Iblis Tanpa
Bayangan akan tewas," gumamnya lirih.
Tokoh yang disebut-sebut sebagai Sang Pangeran
Muda ini berpakaian putih. Celananya merah dan berikat
kepala hijau. Wajahnya dingin memancarkan keangkuhan
besar, sebagaimana layaknya tingkah orang-orang
berkedudukan.
Ketika Arya dan Iblis Tanpa Bayangan terlibat
pertarungan, Sang Pangeran Muda berdehem. Bukan
sembarang deheman. Tapi mampu membuat sehelai daun
lepas dari tangkainya dan melayang ke bawah.
Tanpa menekuk lutut, Sang Pangeran Muda
meninggalkan cabang pohon tempatnya berdiri. Laksana
seekor burung besar dia melayang turun dan menjejakkan
salah satu kakinya pada daun itu!
Seakan-akan tak menerima beban, daun yang lebarnya
hampir setelapak tangan orang dewasa itu melayang
ringan ke tanah. Dan ketika telah mendarat di tanah,
pentolan kaum sesat yang penuh rahasia ini membentak
keras.
"Berhenti...!"
Sekitar tempat itu tergetar hebat karena kuatnya
tenaga yang terkandung dalam bentakan. Tapi, pengaruh
yang melanda tokoh-tokoh dalam kancah pertarungan
lebih besar lagi. Mereka semua menghentikan gerakannya,
kemudian melompat mundur. Tanpa sadar mereka
mematuhi seruan Sang Pangeran Muda! Ada pengaruh
aneh yang membuat mereka mengikuti seruan itu.
Pertarungan tak berlanjut lagi. Iblis Tanpa Bayangan
dan Lelembut Berwajah Dewa melangkah mundur,
membiarkan pemimpin mereka maju menghadapi
kelompok Raja Tuak yang berdiri berjejer. Sang Pangeran
Muda sendiri bersikap seolah Raja Tuak dan Paksi Dilaga
tak berada di situ. Pandangannya hanya ditujukan pada
Arya.
Dewa Arak balas menatap. Pemuda ini harus mengakui
kalau Sang Pangeran Muda memiliki wibawa menggiriskan
hati. Sepasang matanya yang tajam berkilat mengandung
pengaruh besar. Malah, Paksi Dilaga dan Raja Tuak
merasakan bulu kuduk mereka meremang. Sepasang mata
yang sinarnya amat tajam itu membuat orang tak kuat
menatapnya berlama-lama.
9
"Kepandaianmu lumayan juga, Sobat Kecil!" suara Sang
Pangeran Muda terdengar begitu dingin.
Nada bicara dan sikapnya demikian merendahkan Arya.
Tetapi Arya tetap tenang. Dia tak terpancing untuk
melakukan hal serupa.
"Tapi, perlu kuberitahukan padamu. Kau tak perlu
mencari penyakit dengan berani menentangku.
Kepandaianmu tak ada artinya bagiku. Menentang Sang
Pangeran Muda sama artinya kau telah bosan hidup.
Sayangilah nyawamu, Sobat Kecil. Jadilah anak buahku!
Untuk apa kau mengikuti langkah tua bangka yang tak bisa
berpikir jernih karena terlalu mabuk menenggak minuman
setannya!" lanjut Sang Pangeran Muda menyindir Raja
Tuak.
"Terima kasih atas perhatianmu, Sobat Besar. Sayang,
aku tak bisa memenuhinya. Sejak dulu aku telah bertekad
membasmi setiap angkara murka di muka bumi ini. Dan,
sejak dulu pula nyawa yang ada di tubuh ini bukan milikku
lagi. Telah kuberikan untuk membela orang-orang yang
tertindas!" sahut Arya, kalem.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap tenang, Raja
Tuak tidak. Kakek ini merasa tersinggung sekali. Perasaan
ini mendorong amarahnya dan membuat akal sehatnya
hilang. Rasa ngeri Raja Tuak terhadap Sang Pangeran
Muda menciut dengan cepat. Keinginannya yang
mendesak adalah melampiaskan amarah itu.
"Manusia sombong!" bentak Raja Tuak. Kakinya
melangkah maju dengan telunjuk menuding pada Sang
Pangeran Muda. "Kau kira aku takut padamu? Aku Raja
Tuak, bukan orang yang takut mati! Mampuslah!"
Wuuut... !
Kakek bermuka merah itu melancarkan pukulan kanan
kiri susul-menyusul ke arah dada.
Buk, buk!
Tubuh Sang Pangeran Muda tak bergeming sama
sekali, kendati kepalan Raja Tuak menghantamnya telak.
Pentolan kaum sesat ini tak tampak kesakitan. Padahal,
dia tak kelihatan mengerahkan tenaga.
Raja Tuak terkejut melihat hasil serangannya. Dia lebih
terkejut lagi ketika mengetahui sepasang tangannya
melekat pada dada lawan. Betapapun dikerahkan seluruh
tenaganya untuk menarik kembali, hasilnya sia-sia.
Sementara Sang Pangeran Muda tak tampak mengeluar¬
kan tenaga untuk mempertahankannya.
"Orang lancang sepertimu harus diberi pelajaran agar
kapok!" dengus Sang Pangeran Muda penuh ancaman.
Ucapannya menimbulkan perasaan kaget. Tidak hanya
pada Raja Tuak, tapi semua tokoh yang berada di situ.
Mereka tahu pasti adalah pantangan besar bagi orang yang
tengah mengadu tenaga dalam untuk berbicara.
Pengerahan tenaga jadi membuyar. Ini berbahaya sekali! Di
samping akan terkena serangan tenaga dalam lawan, juga
kemungkinan terpukul oleh tenaga dalamnya sendiri yang
membalik. Tapi, Sang Pangeran Muda mampu melakukan¬
nya.
Sekejap setelah mendapat ancaman Sang Pangeran
Muda, Raja Tuak mendapatkan buktinya. Kedua tangannya
seperti dimasukkan ke dalam tungku perapian. Panas
bukan main! Semakin lama semakin panas. Sehingga,
kakek ini menggeliat-geliat seperti cacing di abu panas.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Melihat kejadian yang dialami Raja Tuak, Dewa Arak
tak bisa tinggal diam. Sebelumnya pun dia bermaksud
mencegah tindakan kakek bermuka merah itu. Sayang, dia
terlambat. Sekarang Arya tak ingin terlambat lagi.
Dewa Arak tak berani bertindak sembrono seperti yang
dilakukan Raja Tuak, kendati dia memiliki tenaga dalam
dnggi. Tapi kalau tenaganya kalah kuat, dia akan
mengalami nasib serupa.
Pemuda berambut putih keperakan itu menenggak
araknya, lalu menyemburkannya pada Sang Pangeran
Muda. Arak yang meluncur tidak berbentuk cair, melainkan
agak panjang dan runcing seperti jarum. Banyaknya
ratusan.
Arya yang memiliki kecerdikan mengagumkan telah
memperkirakan serangan araknya tak dapat melukai kulit
Sang Pangeran Muda. Maka, serangan itu ditujukan pada
bagian-bagian tubuh paling lemah. Mata, ubun-ubun, dan
kerongkongan!
Memang, betapapun sakti dan kuatnya tenaga dalam
seseorang, bila matanya terkena serangan akan
mengakibatkan kebutaan. Sang Pangeran Muda pun tahu
hal itu. Maka, disambutnya serangan Dewa Arak dengan
tiupan. Percikan-percikan arak pun kembali seperti semula,
menjadi butiran-butiran arak yang kemudian runtuh ke
tanah.
Pengerahan tenaga untuk meniup membuat daya tarik
untuk melekatkan tangan Raja Tuak berkurang.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja
Tuak. Cepat ia menarik tangannya.
Kali ini usaha Raja Tuak berhasil. Tapi karena terlalu
kerasnya menarik, dia terhuyung-huyung ke belakang tak
bisa menguasai keseimbangan.
Sang Pangeran Muda tak mau membiarkan calon
korbannya selamat. Dia hendak mengirimkan serangan
maut. Tapi, Dewa Arak mendahului pentolan datuk sesat
itu. Diserangnya Sang Pangeran Muda dengan ayunan guci
ke arah kepala.
Plak!
Tangkisan yang dilakukan Sang Pangeran Muda
membuat Arya terputar lalu terpelanting. Gucinya hampir
terlepas dari pegangan, karena telapak tangannya terasa
panas dan sakit.
Sang Pangeran Muda benar-benar yakin akan
kemampuannya. Dia tak menggunakan kesempatan untuk
melancarkan serangan. Tokoh yang menggiriskan hati ini
menunggu lawannya memperbaiki kedudukan.
Dewa Arak merasakan jantungnya berdetak jauh lebih
cepat. Ketegangan melanda dirinya. Sejak semula dia telah
menyangka Sang Pangeran Muda memiliki kepandaian
tinggi. Tapi, sama sekali tak disangkanya akan demikian
hebat.
"Kau hebat, Pangeran Muda," puji Arya sejujurnya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Sobat Kecil.
Mumpung pendirianku belum berubah, kuberikan
kesempatan padamu untuk merubah jawaban. Kalau kau
masih bersikeras, aku akan mengirimmu ke akhirat!"
"Kau hanya membuang-buang waktu, Pangeran Muda.
Pendirianku tak akan berubah. Apa pun yang akan terjadi
aku tetap menentangmu!" tandas Arya.
Paras Sang Pangeran Muda membesi. Sorot sepasang
matanya memancarkan hawa maut ketika menatap Arya.
Dewa Arak tak menjadi gentar. Dia balas menatap.
Kemarahan Sang Pangeran Muda semakin menjadi.
Tangan dedengkot kaum sesat itu dijulurkan ke depan
sejajar bahu. Dewa Arak yang berdiri tiga tombak darinya
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi ketika
melihat tindakan dedengkot kaum sesat itu, dia bersikap
menunggu. Ingin diketahuinya maksud tindakan lawan.
"Ahhh.J"
Seruan kaget itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Paras dan
pancaran sepasang matanya menyiratkan keterkejutan
besar. Biji matanya bak hendak melompat keluar dari
rongga.
Keterkejutan Paksi Dilaga tak menarik perhatian siapa
pun. Tokoh-tokoh yang ada di situ menunjukkan perhatian
pada Sang Pangeran Muda dan Dewa Arak. Terpancang di
benak mereka pertarungan yang akan terjadi benar-benar
dahsyat.
Arya yang semula bersikap menunggu terperanjat
ketika merasakan kekuatan tak nampak menekannya dari
segala arah! Kekuatan sihir luar biasa dahsyat seperti
hendak menghancurkan tubuhnya.
Dewa Arak menyadari adanya bahaya. Dia bermaksud
melesat menghindar. Tercekat hatinya ketika mengetahui
tak dapat melakukan hal itu. Kekuatan yang menghimpit
bak dinding yang menghalangi.
Karena tak mau mati konyol, Arya mengerahkan tenaga
dalam untuk menahan himpitan pada dirinya. Pertarungan
tenaga dalam secara langsung pun tak dapat dihindarkan
lagi.
Arya mengeluh dalam hati. Dia telah mengerahkan
seluruh tenaganya sehingga pengaruh yang menekan agak
berkurang. Bila hal ini terus berlangsung dia akan tewas
dengan isi dada hancur. Semua tokoh yang menyaksikan
jalannya pertarungan merasa tegang.
Di antara mereka, Paksi Dilaga yang paling tegang. Dia
mengenal baik bentuk serangan Sang Pangeran Muda.
Serangannya itu sering dilihatnya puluhan tahun lalu.
Hanya saja bukan dilakukan dedengkot kaum sesat itu,
melainkan kakeknya yang tewas karena kelicikan Raja Ular
Berbaju Emas.
Itulah sebabnya tadi, Paksi Dilaga berseru kaget. Lelaki
berpakaian putih itu segera menggali ingatannya. Kendati
tak menguasainya, Paksi Dilaga hafal dengan jurus-
jurusnya. Kini dia menguras seluruh ingatannya untuk
mencari kelemahan ilmu itu.
Beberapa saat kemudian, wajahnya tampak berseri-
seri. Dia telah berhasil mengingatnya.
"Jongkok, Arya! Jongkok! Rendahkan tubuhmu...!" seru
Paksi Dilaga keras, agar bisa didengar Arya.
Dewa Arak memang mendengarnya. Saat itu Arya
tengah berada dalam keadaan genting. Wajahnya telah
merah padam dan dari atas kepalanya mengepul uap
putih.
Tanpa pikir panjang lagi Dewa Arak segera berjongkok.
Dan memang, kekuatan yang menekannya langsung
lenyap. Arya pun mengerti kalau tekanan dari segala arah
itu hanya menyerang bagian pinggang ke atas!
Sang Pangeran Muda menggertakkan gigi. Sorot
matanya memancarkan maut ketika mengerling ke arah
Paksi Dilaga. Dia tahu yang memberikan petunjuk pada
Arya sehingga pemuda itu dapat lolos dan serangannya.
"Kau akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas
kelancanganmu ini, Paksi Dilaga!" desis Sang Pangeran
Muda. "Kau memang telah lama kucari-cari. Setelah
kukirim monyet kecil ini ke neraka, giliranmu akan tiba!"
Sang Pangeran tak bisa melanjutkan ucapannya. Dewa
Arak telah menyerangnya. Pemuda ini menggulingkan
tubuhnya, kemudian melancarkan tendangan ke arah
pusar.
Desss.J
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang, lalu terguling-
guling. Sang Pangeran Muda telah lebih dulu mengayunkan
kaki memapak! Dedengkot kaum sesat itu tergetar
tubuhnya.
Kali ini Sang Pangeran Muda tak bertindak murah hati
lagi. Tak diberinya kesempatan pada lawan untuk
memperbaiki kedudukan. Dewa Arak dikirimkannya
serangan bertubi-tubi. Serangan yang membuat Paksi
Dilaga tak henti-hentinya berseru kaget. Jurus-jurus sang
dedengkot kaum sesat itu dikenalinya sebagai ilmu milik
keluarganya.
Sang Pangeran Muda memang hebat bukan main. Arya
membuktikannya sendiri. Dia dibuat terpontang-panting
dalam usahanya memberikan perlawanan. Seluruh
kemampuannya telah dikerahkan. Bahkan, ilmu 'Belalang
Sakti' andalannya dikeluarkan pula. Tapi, Arya harus
menerima kenyataan kalau lawan jauh lebih unggul.
Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya berada di
atasnya.
Hanya berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa
Arak mampu bertahan. Kendati demikian, lambat laun dia
terdesak juga. Apalagi setelah Sang Pangeran Muda
memecahkan rahasia jurus itu.
Plak!
Tubuh Arya terlempar. Tamparan Sang Pangeran Muda
menghantam bahunya. Darah menyembur dari mulut Dewa
Arak. Arya masih mampu mendarat dengan kedua kakinya.
Saat Dewa Arak dalam keadaan tak menguntungkan itu,
Sang Pangeran Muda menerkam bak seekor macan lapar.
Dewa Arak hendak melompat menghindari serangan.
Namun, kedua kakinya tak dapat diangkat. Telapak kaki itu
seakan melekat dengan tanah. Arya segera sadar peristiwa
aneh yang menimpanya tidak terjadi begitu saja.
Kemungkinan besar karena kedahsyatan jurus dedengkot
kaum sesat itu.
Dia tak bisa mengelak lagi. Jalan satu-satunya untuk
mematahkan serangan hanya dengan menangkis. Sayang,
sebelah tangannya tak dapat digunakan. Kalau
mempergunakan satu tangan yang lain, dia tak akan
mampu mementahkan gempuran Sang Pangeran Muda.
Nyawanya bagaikan telur di ujung tanduk!
Di saat-saat terakhir, dari belakang Dewa Arak melesat
sesosok bayangan kuning keemasan. Gerakannya cepat
bukan main yang terlihat hanya sekelebatan bayangan.
Sosok ini melesat memapak terjangan Sang Pangeran
Muda.
10
Bresss... !
Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan, getarannya
dirasakan oleh semua orang yang hadir. Untuk pertama
kalinya setiap pasang mata membelalak lebar. Tubuh Sang
Pangeran Muda terlempar ke belakang, seperti juga sosok
bayangan kuning keemasan. Dedengkot kaum sesat yang
luar biasa itu ternyata bisa juga terlempar.
Dan seperti juga penolong Dewa Arak, Sang Pangeran
Muda berhasil menjejak tanah dengan mantap. Dia
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terlempar.
Kedua kalinya semua orang membelalakkan mata.
Terutama Paksi Dilaga, Iblis Tanpa Bayangan, dan
Lelembut Berwajah Dewa! Pandangan mereka tertuju pada
sang penolong Dewa Arak. Sinar mata ketidakpercayaan
memancar di sana.
"T..., ti..., tidak mungkin...!" desis Paksi Dilaga dengan
bibir bergetar. Berusaha diyakinkan dirinya akan ketidak¬
benaran yang dilihatnya.
"Malaikat Tanpa Wajah?!" gumam Lelembut Berwajah
Dewwa dan Iblis Tanpa Bayangan, tanpa menyembunyikan
kegentaran dalam nada suaranya.
"Siapa kau, Keparat?!" bentak Sang Pangeran Muda,
setelah berhasil meredakan perasaan kagetnya. "Sungguh
berani kau menyamar sebagai Malaikat Tanpa Wajah!"
Penolong Dewa Arak yang dipanggil Malaikat Tanpa
Wajah terdengar mendengus. Sepasang matanya
mencorong tajam dan bersinar kehijauan tertuju lurus ke
arah Sang Pangeran Muda. Sorot mata ini sukar ditebak
maksudnya. Apalagi karena wajahnya terlindung selubung
kuning keemasan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Biang Keparat!" balas
Malaikat Tanpa Wajah tak kalah keras. "Perlu
kuberitahukan, sebelum memaki-maki sebaiknya kau
bercerminlah lebih dulu. Jelas-jelas kulihat ilmu yang kau
pergunakan adalah ilmu-ilmu milik Malaikat Tanpa Wajah.
Dari mana kau mendapatkannya, heh?!"
Sang Pangeran Muda terdiam. Di sekelilingnya, semua
tokoh persilatan mendengarkan jalannya perdebatan
dengan penuh minat. Mereka tertarik untuk mendengar
kelanjutannya. Terutama Paksi Dilaga, orang yang merasa
paling berkepentingan.
Keadaan di tempat ini pun jadi hening. Semua tokoh
yang ada berdiri mematung. Seakan khawatir kalau sedikit
gerakan yang mereka lakukan akan membuat jawaban
Sang Pangeran Muda tidak tertangkap. Bahkan bernapas
pun hampir-hampir ditahan.
"Kalau kukatakan dari mana ilmu-ilmu ini, kau mau
berjanji memperkenalkan diri dan membuka selubung¬
mu?!" tantang Sang Pangeran Muda.
"Tidak!" jawab Malaikat Tanpa Wajah, tanpa berpikir
lebih lama. "Aku tidak mau berjanji seperti itu. Lagi pula,
tanpa kau jawab pun aku tahu. Kau mencurinya, bukan?!"
"Tutup mulutmu, Keparat! Aku bukan orang semacam
itu!" bentak Sang Pangeran Muda. "Pantang bagiku
mencuri ilmu orang lain!"
"Memang bukan kau yang mencurinya. Tapi ayah,
kakek, atau gurumu. Kau mempelajari ilmu curian itu
darinya. Bukankah itu berarti kau mencurinya pula!"
"Mampuslah kau...!"
Dibarengi teriakan menggeledek, dedengkot kaum
sesat itu menerjang Malaikat Tanpa Wajah. Sebuah
tendangan terbang dikirimkannya.
Pertarungan dua tokoh yang memiliki kepandaian tinggi
itu segera terjadi. Padahal, saat itu Dewa Arak masih
berada di antara mereka. Kemungkinan besar dirinya akan
terkena serangan nyasar. Arya bergegas menggulingkan
tubuhnya menjauh.
Hampir tanpa selang waktu, Malaikat Tanpa Wajah ikut
melesat. Tokoh ini memapaki serangan Sang Pangeran
Muda dengan gerakan yang sama. Benturan yang terjadi
beberapa saat kemudian membuat tubuh mereka
terpental. Kemudian, keduanya kembali saling serang.
Semua pasang mata terhrju pada jalannya
pertarungan. Arya menoleh ke arah Paksi Dilaga dengan
sorot mata mengandung pertanyaan. Kemunculan Malaikat
Tanpa Wajah begitu mengejutkan. Bukankah orang terakhir
yang menjadi tokoh legenda itu adalah ayah Paksi Dilaga
dan telah tewas? Bagaimana mungkin dapat muncul
Malaikat Tanpa Wajah lainnya?!
Arya segera tahu tak akan mendapat jawaban yang
memuaskan. Dilihatnya sendiri Paksi Dilaga tak kalah
bingungnya. Perhatiannya pun kembali dialihkan pada
jalannya pertarungan.
Di kancah pertarungan, Sang Pangeran Muda dan
Malaikat Tanpa Wajah terlibat pertarungan unik. Seringkali
gerakan-gerakan mereka mirip satu sama lain, menunjuk¬
kan kalau ilmu keduanya berasal dari satu sumber.
Ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus,
Sang Pangeran Muda berteriak keras.
"Tunggu apa lagi? Habisi mereka!"
Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa
tersadar dari terkesimanya, seperti orang tertidur yang
diguyur air. Hampir berbarengan keduanya melesat
menyerang rombongan Raja Tuak.
Pertarungan pun terjadi. Dewa Arak kembali bertarung
dengan Iblis Tanpa Bayangan. Raja Tuak dan Paksi Dilaga
bekerjasama menghadapi Lelembut Berwajah Dewa.
Baru saja pertarungan berlangsung, muncul Tiga Hantu
Pantai Selatan. Tanpa banyak bicara mereka langsung
terjun ke dalam kancah pertarungan. Diserangnya Paksi
Dilaga dan Raja Tuak. Sebaliknya, Lelembut Berwajah
Dewa malah meninggalkan kancah pertarungan dan
menyerang Dewa Arak. Sehingga pemuda ini menghadapi
keroyokan dua orang lawan.
Dalam keadaan terluka, Arya segera terdesak hebat.
Keadaan Dewa Arak ternyata tak luput dari perhatian
Malaikat Tanpa Wajah. Sorot matanya memancarkan
kecemasan besar. Cara pertarungannya pun berubah.
Tokoh misterius ini menyerang tanpa mempedulikan
pertahanan dirinya.
Sang Pangeran terperanjat melihat tindakan nekat
lawannya. Tapi dia juga merasa gembira. Apalagi ketika
dilihatnya pertahanan lawan banyak mempunyai celah-
celah yang dapat dijatuhi serangan.
"Hih.J"
Sang Pangeran melancarkan pukulan tangan kanan
lurus ke arah dada yang tak terlindungi. Sudah terbayang di
benak dedengkot kaum sesat ini kalau lawannya terlempar
jauh dan terluka dalam yang parah.
Dugaan Sang Pangeran Muda tak sepenuhnya tercapai.
Di saat terakhir, Malaikat Tanpa Wajah memiringkan tubuh.
Bersamaan dengan itu dikirimkannya bacokan ke arah
tengkuk dengan sisi telapak tangan. Karuan saja, Sang
Pangeran Muda tercekat hatinya. Dia sama sekali tak
menyangka kejadiannya akan seperti ini.
Duk, des!
Kejadian itu berlangsung hampir berbarengan. Pukulan
Sang Pangeran Muda menyerempet dada Malaikat Tanpa
Wajah, tapi tengkuhnya terkena bacokan lawan. Tubuh
Malaikat Tanpa Wajah dan Sang Pangeran Muda
terhuyung-huyung.
Malaikat Tanpa Wajah masih mampu berdiri kendati
agak limbung. Sebaliknya, Sang Pangeran Muda ambruk ke
tanah. Dedengkot kaum sesat ini tewas karena tulang
lehernya patah.
Tanpa mempedulikannya rasa sakit yang mendera,
Malaikat Tanpa Wajah memasuki kancah pertarungan
Dewa Arak. Arya tengah terhuyung-huyung, sedangkan dua
lawannya meluruk ke arahnya dengan serangan maut.
Malaikat Tanpa Wajah melancarkan gedoran ke arah
Iblis Tanpa Bayangan.
Duk, des!
Tubuh Iblis Tanpa Bayangan terpental jauh. Terhantam
gedoran Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, di saat yang
bersamaan tokoh legenda itu terkena pukulan Lelembut
Berwajah Dewa. Malaikat Tanpa Wajah pun terlempar.
Arya terpukul melihat kenekatan Maiaikat Tanpa Wajah
untuk menolong dirinya. Pemuda berambut putih
keperakan ini pun menghentakkan kedua tangannya,
melancarkan jurus 'Pukulan Belalang’.
Wusss... !
Bresss!
Lelembut Berwajah Dewa menjerit menyayat hati.
Pukulan jarak jauh Dewa Arak telah menghantamnya. Saat
tubuhnya melayang, nyawanya pun ikut melayang. Kulit
tubuhnya gosong dan bau hangus daging menyebar.
Arya tak rnempedulikan korban serangannya. Dia
melesat ke arah Malaikat Tanpa Wajah yang tergolek di
tanah. Dilihatnya bagian pinggang atas tokoh legenda itu
hangus dan menyebarkan bau amis. Tampaknya serangan
Lelembut Berwajah Dewa mengadung racun!
Karena mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tanpa
Wajah, Dewa Arak merobek pakaian di bagian yangterluka.
Dia hendak menyedot racun yang belum menjalar jauh itu.
Arya tak peduli kendati orang yang akan ditolongnya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan, Arya...."
Bret.J
Arya merobeknya agak lebar sampai ke dada. Seketika
pemuda itu terperanjat. Wajahnya merah padam. Dada
Malaikat Tanpa Wajah terlihat membusung. Putih halus
dengan putting susu merah segar. Tokoh yang luar biasa ini
ternyata seorang wanita!
Arya kebingungan. Ditutupnya lagi robekan pakaian itu.
Dia teringat akan ucapan Malaikat Tanpa Wajah tadi.
Seketika keheranannya timbul.
"Dari mana kau tahu namaku!"
"Bukalah selubungku ini, Arya...," kata Malaikat Tanpa
Wajah, tak menjawab pertanyaan Arya.
Di saat Dewa Arak melepas selubung itu, Paksi Dilaga
dan Raja Tuak ikut mendekat. Tiga Hantu Pantai Selatan
telah berhasil mereka tewaskan. Tubuh tokoh-tokoh sesat
itu bergeletakan di tanah. Sekarang kedua tokoh golongan
putih itu menanti dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka
tak sabar ingin melihat wajah orang yang berada di balik
selubung.
"Pringgani!"
Seruan kaget itu dikeluarkan Arya dan Paksi Dilaga.
Seraut wajah cantik di balik selubung itu memang
wajah Pringgani. Mulut, hidung dan telinganya mengalirkan
darah segar. Napas gadis ini telah tersengal-sengal.
Kendati demikian, bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Ayah..., " desis Pringgani, lirih. "Mungkin Ayah kaget
mengapa aku bisa seperti ini..."
Paksi Dilaga hanya bisa mengangguk-anggukkan
kepala. Dia tak sanggup bicara lagi. Kesedihan dan
keharuan besar melanda hatinya. Kerongkongannya terasa
tercekik. Kalau saja tak ingat akan malu, lelaki ini telah
menangis meraung-raung melihat keadaan Pringgani.
Kendati demikian sepasang matanya yang berkaca-kaca
tak dapat dihindarkan.
Arya sendiri, bahkan Raja Tuak, ikut dililit perasaan
haru.
"Kau pun mungkin kebingungan dengan hilangnya
diriku, Aryu," ujar Pringgani lagi. Yang segera dibalas
dengan anggukan kepala oleh Arya.
"Tentu saja, Gani. Aku dan ayahmu mencarimu ke
mana-mana," jawab Arya.
Pringgani tersenyum. Tapi, yang terlihat adalah seringai
kesakitan. Arya buru-buru menotok beberapa jalan darah di
tubuh gadis itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Bahkan,
disalurkan hawa murni untuk mengusir racun dalam tubuh
Pringgani. Asap hitam mengepul dari bagian tubuh yang
terluka, mula-mula hitam pekat. Tapi, semakin lama
semakin memudar warnanya. Berbarengan dengan itu,
warna hitam pada bagian pinggang Pringgani berangsur-
angsur lenyap.
"Aku akan menceritakan kejadiannya," kata Pringgani.
Diberinya isyarat agar Dewa Arak menghentikan
penyaluran hawa murninya. "Sudah lebih baik, Arya,"
ujarnya.
Pringgani tercenung mengingat-ingat kejadian yang
dialami sebelum mulai bercerita.
***
Pringgani yang telah tak berpakaian berusaha secepat
mungkin mengenakan pakaian pemberian Dewa Arak. Tapi,
mendadak punggungnya seperti tersentuh sesuatu.
Seketika itu pula gadis ini merasakan sekujur tubuhnya
lemas tak bertenaga. Ada seseorang yang telah
menotoknya dari belakang! Totokan itu membuat Pringgani
tak kuasa untuk berdiri. Bak sehelai kain basah, tubuhnya
ambruk ke tanah.
Tapi sebelum tubuh putri Paksi Dilaga itu berbenturan
dengan tanah, sehelai sabuk hitam melilit pinggangnya.
Pringgani yang sudah tak berdaya tak mampu menolak
ketika tubuhnya ditarik ke belakang. Kejadian berturut-
turut itu berlangsung demikian cepat. Namun Pringgani
masih mampu berpikir jernih. Hal ini yang membuatnya
dapat meredam keterkejutan. Padahal, jeritan meminta
tolong telah berada di ujung lidah.
Apabila dia mehjerit, Dewa Arak pasti akan menoleh.
Tapi hal itu tak diinginkannya. Dia tengah berada dalam
keadaan tanpa busana. Gadis ini lalu memutuskan untuk
melihat keadaan lebih dulu. Belum terlambat baginya
untuk menjerit bila keadaannya terancam.
"Penculikku ternyata seorang nenek, " jelas Pringgani.
"Dia membawaku ke tempat tinggalnya setelah lebih dulu
membuatku tak bersuara. Di kediamannya nenek itu
memberitahukan tentang dirinya. Dia adalah kakak dari
kakeknya ayah. Anak yang disia-siakan oleh ayahnya
sendiri, yaitu kakek dari kakekku."
Paksi Dilaga terkejut mendengar penjelasan putrinya.
Dia sama sekali tak ingat kalau kakeknya mempunyai
kakak perempuan. Anak yang disia-siakan. Memang, dalam
keluarga mereka anak lelakilah yang diharap-harapkan
kelahirannya.
"Nenek yang disia-siakan itu kabur dari rumah ketika
ibunya meninggal. Bertahun-tahun dia terlunta-lunta.
Sampai akhirnya, disuatu malam beliau bermimpi bertemu
dengan leluhurnya yang pertama kali. Leluhur itu
mengajarinya mantera-mantera yang terdapat pada
lembaran kitab. Beliau belajar dari leluhurnya sehingga
menjadi sakti. Bahkan, beliau sampai mempunyai ilmu
yang dapat memindahkan semua ilmu yang dimilikinya
pada orang lain. Kepadakulah ilmu-ilmu itu diwariskan,
Ayah. Setelah mewariskan semua ilmunya, beliau pun
wafat."
Pringgani juga menceritakan kalau si nenek
mengetahui dari leluhurnya bahwa ada orang yang mencuri
ilmu-ilmu keluarga mereka. Orang itu adalah pelayan ayah
si nenek. Dia memperhatikan setiap kali buyut Pringgani
mengajari kakeknya. Belakangan dia kabur dengan
membawa kitab-kitab ilmu keluarga. Kepada Sang
Pangeran Muda ilmu curian itu diwariskan. Karena itu,
Sang Pangeran Muda mengejar-ngejar Pringgani dan
ayahnya. Dia tahu, mereka berdualah keturunan terakhir.
"Ahhh.J" desah Paksi Dilaga dan Arya. Kaget
bercampur haru mengingat nasib yang diderita sang nenek.
Raja Tuak yang tak tahu apa-apa berdiam diri saja dan
terus mendengarkan.
"Mengapa kau sampai berkorban demikian besar untuk
menolongku, Gani," keluh Arya, seakan menyesali tindakan
Pringgani.
Pringgani mengulas senyum. Sesaat sepasang matanya
berbinar-binar.
"Tidakkah kau dapat menduganya, Arya?" tanya gadis
itu lirih. Wajahnya merah padam karena rasa malu. "Aku...,
aku mencintaimu..., Arya...."
Arya merasa terharu sekali dengan pengorbanan gadis
berpakaian merah itu. Dengan penuh rasa terima kasih,
dikecupnya kening Pringgani.
Paksi Dilaga tersenyum. Pringgani pun ikut tersenyum.
Tapi, luka yang diderita membuat senyum Pringgani tidak
manis. Gadis ini tampak tak ambil peduli. Dia terlalu
bahagia mendapat kecupan dari Arya. Hal ini membuatnya
bersemangat. Untuk menjawab pertanyaan Paksi Dilaga
mengenai tingkahnya yang mondar-mandir ke gua.
Pringgani tengah mencarikan obat untuk Arya.
Keharuan kembali menyeruak di hati Dewa Arak. Obat itu
adalah untuk menawarkan racun serangan Raja Ular
Berbaju Emas. Pemberian obat yang mesti teratur. Pagi
dan sore selama tiga hari, hingga membuat gadis itu harus
mondar-mandir.
Arya menatap ke langit. Hatinya begitu gundah. Ada
satu pertanyaan bergayut di hatinya.
"Adakah cinta untuk Pringgani kalau di lubuk hatiku
hanya ada bayangan Melati?!"
SELESAI
Emoticon