PAGI yang cerah begitu terasa indah ketika panorama alam terbentang luas di
depan mata, setidaknya hal itulah yang kini tengah di rasakan oleh pasangan muda mudi
yang sedang berjalan-jalan di sebuah bukit hijau yang sangat indah. Mereka bercanda
tawa begitu riangnya sambil menikmati keindahan alam ciptaan Sang Hyang Widi Jagad
“Adik, betapa cantiknya alam di tempat kita ini. Tenang dan sangat menyejukkan
hati,” ucap pemuda yang cukup tampan berkulit sawo matang dengan kumis tipis di
wajahnya. Perawakan pemuda ini sangat kekar dan menarik hati para wanita.
“Hmmm ...” gumam si gadis menanggapi ucapan sang pemuda acuh tak acuh.
“Alam ini seperti dirimu adik, cantik dan sangat menawan hatiku,” ucap pemuda itu
merayu.
Si gadis hanya tersenyum lembut mendengar rayuan dari pemuda itu. Hatinya
berbunga-bunga mendengar rayuan tersebut, namun tidak ia tunjukkan dalam raut
wajahnya yang ayu mempesona.
“Bagaimana menurutmu tempat ini, Adik Purbasari?” tanya pemuda tersebut kalem.
Gadis yang di panggil Purbasari itu hanya angkat bahu saja, tidak mau membuka
suara.
“Kelak jika kita menikah, aku ingin membangun rumah di tempat yang indah ini,”
ucap pemuda itu sambil menatap alam di depannya itu.
“Apa?! Menikah?!” seru Purbasari kaget.
“I ya, menikah.”
“Maksud, Kakang?” tanya Purbasari tidak mengerti.
“Jika kita menikah, aku ingin membangun rumah bagi kita berdua di tempat ini.
Pasti kita sangat bahagia,” ucap pemuda itu sambil tersenyum lembut.
“Apa?! Kita? Maksud Kakang aku menikah dengan Kakang?” ucap Purbasari masih
bingung.
Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk pelan.
“Heh! Kakang bermimpi apa!? Siapa yang mau menikah denganmu. Huh!” seru
Purbasari sengit.
“Kenapa? Apa kamu tidak mau kita menikah?” ucap pemuda itu sedikit terkejut
namun masih bersikap sabar.
“Maaf, Kakang! Bukannya aku mengecewakanmu, tapi aku tidak mencintai Kakang.
Sebaiknya Kakang cari saja calon istri yang bisa menerima Kakang dan mencintai
Kakang,” ucap Purbasari pelan.
“Tapi... aku mencintaimu, adik. Aku ingin menikahimu. Aku ingin kamu yang jadi
istriku,” ucap pemuda itu berapi-api.
“Maaf, Kakang ... aku tidak bisa.” Purbasari menyahuti dengan lembut.
“Tapi... ” pemuda itu jadi bingung sendiri. Mereka akhirnya sama-sama terdiam
larut dalam pikiran masing-masing.
“Permisi Kisanak Nisanak. Maaf mengganggu waktu kalian. Boleh saya numpang
bertanya?” ucap seseorang tiba-tiba tanpa mereka sadari kehadirannya.
Purbasari dan pemuda disampingnya saling pandang heran karena kemunculan
seseorang di depan mereka tidak mereka ketahui sebelumnya. Mereka sama-sama
berpikir pastilah orang yang hadir di depan mereka adalah orang yang memiliki ilmu
yang cukup tinggi, terbukti kehadirannya sama sekali tidak mereka rasakan sebelumnya.
“Maaf kalau saya mengejutkan kalian,” ucap orang yang datang tadi. Orang ini
adalah pemuda gagah dan tampan sekali, berpakaian putih agak ketat menampilkan
bentuk tubuhnya yang berotot, tampak gagang pedang berhulu matahari terlihat dari balik
punggungnya.
“Ekh, tidak. Tidak apa-apa Kisanak. Kami tidak terganggu, silakan Kisanak mau
bertanya apa?” sahut Purbasari cepat sambil tersenyum lembut.
“Oh, terima kasih. Saya hendak ke Perguruan Tongkat Emas, dimana tempatnya
kalau saya boleh tahu?” ucap pemuda tampan itu kalem. Pemuda ini tak lain dan tak
bukan adalah Surya atau yang lebih dikenal Pendekar Pedang Matahari dalam rimba
persilatan.
Purbasari dan pemuda disampingnya kembali saling pandang, mereka menatap
pemuda asing di depan mereka dari atas sampai bawah seolah sedang menyelidik.
“Mau apa Kisanak ke Perguruan Tongkat Emas?” tanya pemuda teman Purbasari
sedikit penuh curiga.
Surya tersenyum kecil.
“Saya ingin menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Guru Besar Perguruan
Tongkat Emas,” ucapnya memberitahu tujuannya.
“Oh, begitu. Kebetulan kami juga mau kesana. Bagaimana kalau kita bersama-sama
menuju kesana,” ucap Purbasari kalem sambil tersenyum lembut.
“Adik!” seru pemuda di samping Purbasari kaget. Dia tidak suka dengan sikap
Purbasari yang mengajak pemuda asing yang belum mereka kenal jalan bersama.
“Mari Kisanak,” ucap Purbasari lembut.
“Oh, terima kasih. Mari!” ucap Surya kalem.
Mereka lalu berjalan bersama menuju Perguruan Tongkat Emas.
“O ya siapa nama Kisanak dan apa tujuan Kisanak ke Perguruan kami?” tanya
Barda membuka obrolan.
“Eh ya maaf. Kenalkan saya Barda dan ini adik sePerguruan saya, Purbasari. Kami
murid Perguruan Tongkat Emas.” lanjut Barda mengenalkan diri dengan maksud agar
pemuda asing disampingnya tahu dan menghormatinya. Bagaimanapun juga Perguruan
Tongkat Emas cukup disegani di wilayah Gunung Bromo. Jelas itu adalah sikap jumawa
yang tidak sepatutnya ditunjukkan para murid Perguruan Tongkat Emas yang terkenal
santun.
Pemuda itu jelas sekali menangkap sikap yang agaknya kurang bersahabat dari
Barda, tapi pemuda itu tersenyum kalem menanggapinya. Yang jelas dia tidak mau cari
permusuhan sesama orang dari satu golongan.
“Kebetulan sekali saya bisa bertemu dengan kalian. Namaku Surya, tujuanku ke
Perguruan kalian sekedar silaturahmi dan datang dalam pertemuan yang diadakan
Perguruan kalian,” ucap Surya dengan lembut dan penuh persahabatan.
“Benarkah apa hanya itu. Kisanak?” tanya Barda cepat. Jelas sekali Barda seperti
mendakwa Surya.
“Maksud Kisanak apa?” sahut Surya heran tapi masih dengan sikap sopan.
“Bisa saja Kisanak punya tujuan lain. Seperti yang sudah-mudah.”
Surya mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Banyak yang datang ke Perguruan kami dengan niat baik awalnya, tapi setelah
tujuan dan maksud mereka tidak tercapai langsung berbalik memusuhui kami,” ucap
Barda tak terkontrol.
“Maaf, Kisanak. Saya benar-benar tidak mengerti maksud Kisanak apa,” ucap
Surya kalem seolah ingin minta penjelasan.
“Kakang!” seru Purbasari cepat. “Tidak sepantasnya Kakang bicara begitu. Yang
berhak memutuskan segala sesuatu mengenai Perguruan adalah ayah, bukan Kakang,”
kata Purbasari tidak suka dengan sikap Barda yang dinilainya sudah tidak sopan terhadap
tamu yang hendak berkunjung ke Perguruan Tongkat Emas.
“Adik. Kita wajib tahu siapa dan apa tujuan orang yang datang ke Perguruan. Apa
kamu tidak belajar dari pengalaman yang sudah-mudah!” sahut Barda cepat.
“Aku tahu. Tapi tidak sepantasnya Kakang bersikap tidak sopan seperti itu!” seru
Purbasari tegas. “Huh! Aku duluan. Hupp ... ”
Purbasari melesat cepat meninggalkan Barda dan Surya. Purbasari merasa kecewa
dengan sikap Barda yang keterlaluan terhadap orang yang hendak datang ke Perguruan.
“Adik!!” teriak Barda cepat tapi Purbasari sudah jauh dan hilang di tikungan jalan.
Barda menghela nafas cepat lalu menoleh ke arah Surya. “Kisanak! Aku peringatkan kau,
jika tujuanmu ingin mendapatkan adik Purbasari, jangan harap kau bisa!”
Surya terkejut mendengar omongan Barda yang buatnya bingung dan tidak
mengerti. Apa maksud Barda sebenarnya, kenapa bisa sampai Barda berkata seperti itu,
murid-murid Perguruan Tongkat Emas yang dikenal ramah dan sopan santun, kenapa
berbeda dengan apa yang dibicarakan orang. Sungguh sesuatu yang aneh. Itulah berbagai
macam pikiran dalam kepala Surya yang merasa heran dengan sikap Barda salah satu
murid Perguruan Tongkat Emas.
“Tunggu dulu Kisanak. Apa maksud Kisanak sebenarnya? Di antara kita belum
pemah saling ketemu dan tidak ada silang sengketa. Kenapa Kisanak seperti mencurigai
saya?” tanya Surya tenang tapi dengan suara sopan. Mungkin ini hanya salah paham saja,
pikir Surya dalam hati.
Barda menatap tajam pemuda disampingnya. Tanpa bicara lagi Barda melesat pergi
meninggalkan Surya yang masih heran dan bingung dengan dua orang yang baru saja ia
temui. Surya geleng-geleng kepala saja sambil terseyum tipis.
“Dasar orang-orang aneh. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba main tuduh saja.
Ha-ha-ha-ha.” Surya tertawa pelan menertawai kejadian yang baru saja di alaminya.
Mentari semakin beranjak tinggi, embun-embun yang menempel di dedaunan sudah
mengering. Tetapi kicauan burung masih mewarnai pagi yang mulai berganti siang.
—0O0—
BANGUNAN megah berdiri gagah di atas tanah lapang yang dikelilingi pagar
setinggi dua tombak, tampak di sekitar bangunan rumah besar berbentuk aula besar itu
juga berdiri rumah panjang yang berukuran lebih kecil di banding bangunan berbentuk
aula itu. Bangunan-bangunan itu tertata sangat rapi dan cukup terawat. Di bagian gerbang
pagar terdapat simbol tongkat emas yang menyilang. Itulah simbol dari Perguruan
Tongkat Emas yang namanya cukup terkenal di kawasan Gunung Bromo.
Di tiap-tiap dinding pagar juga terdapat umbul-umbul berjarak dua tombak dengan
posisi berjajar rapi. Dilihat dari umbul-umbul yang ada terlihat kalau Perguruan Tongkat
Emas tengah mengerjakan suatu hajat yang besar, karena tepat di hari ini Perguruan
Tongkat Emas meresmikan hari berdirinya Perguruan yang sudah menginjak lima belas
tahun. Selama itu pula Perguruan Tongkat Emas menelurkan pendekar-pendekar berbakat
yang mengharumkan nama Perguruan Tongkat Emas.
Di gerbang masuk, tampak beberapa murid Perguruan tengah berjaga sambil
menyalami para tamu yang datang karena ingin menghadiri peringatan berdirinya
Perguruan Tongkat Emas. Di antara tamu yang datang juga terlihat Surya yang dengan
tenang berjalan sendirian masuk ke dalam Perguruan. Dia disambut dengan hangat dan
ramah oleh para murid Perguruan. Karena belum ada yang mengenal Surya, maka Surya
hanya dilayani oleh murid-murid Perguruan yang bertugas saja. Sedang para sahabat dan
pendekar yang dikenal langsung disambut oleh Guru Besar Perguruan Tongkat Emas. Ki
Wonoyoso adalah pendiri sekaligus Guru Besar Perguruan Tongkat Emas. Di kalangan
persilatan beliau bergelar Malaikat Tongkat Emas dan gelar itu cukup disegani di daerah
timur, bahkan di wilayah utara dan selatan pun namanya cukup dikenal.
Surya duduk dengan tenang di tempat yang telah disediakan bagi para tamu. Surya
menyadari sedari tadi dia diperhatikan terus oleh seorang gadis jelita yang duduk di
tempat terhormat tak jauh dari Ki Wonoyoso berada. Selain gadis jelita itu yang ternyata
adalah Purbasari, ada juga memperhatikan Surya dengan pandangan tidak senang.
Sesekali orang itu melirik Purbasari lalu beralih melihat Surya, orang yang melihat
dengan pandangan tidak senang adalah Barda, murid yang cukup berbakat Perguruan
Tongkat Emas. Jelas Barda sangat cemburu pada Surya, karena berkali-kali Barda
melihat Purbasari selalu memandangi Surya, meskipun Surya diam dengan tenang
melihat ke arah panggung kehormatan tapi ini tetap membuat Barda terbakar hatinya.
Selain Barda ternyata ada beberapa orang yang menatap Surya, karena mereka yang
kagum akan kecantikan paras Purbasari jadi heran karena gadis yang mereka gilai sedang
memperhatikan seorang pemuda tampan tanpa berpaling sedikit pun.
Mereka adalah orang-orang yang gagal mendapatkan cinta sang gadis jelita
Purbasari!
Di tempat duduk terhormat seorang pria berumur juga memperhatikan kehadiran si
pemuda tampan yang telah membuat Purbasari tidak melepaskan pandangannya dari
pemuda yang duduk di tempat duduk umum. Pria berumur itu berbisik pada lelaki di
sebelahnya yaitu Ki Wonoyoso Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.
“Kakang! Perhatikan pemuda yang duduk di tempat duduk umum barisan ke lima
nomer tujuh,” ucap pria berumur itu yang bernama Ki Badmn, dia adalah adik
sePerguruan Ki Wonoyoso yang bergelar Si Golok Terbang yang juga cukup disegani
lawan maupun kawan.
Pria berumur 46 tahunan itu menoleh sejenak ke Ki Badmn lalu melihat ke arah
yang disebutkan Ki Badrun tadi.
“Ada apa dengan pemuda itu, Adi?” tanyanya tidak mengerti.
“Lihat Purbasari dari tadi terus memperhatikan pemuda itu,” ucap Ki Badrun yang
sesekali menunjuk ke arah Purbasari yang masih menatap Surya.
Ki Wonoyoso mengikuti arah yang ditunjuk Ki Badmn. Setelah memperhatikan
Purbasari yang tidak menoleh sedikitpun pandangannya terus melihat pemuda yang
duduk di tempat duduk umum dengan tenang sekali.
“Sepertinya ada yang aneh dengan Purbasari. Siapa pemuda itu, Adi Badrun? Apa
kau mengenalnya?”
“Tidak Kakang. Sepertinya aku belum pernah bertemu dengan pemuda itu.
Mungkin pemuda itu baru turun gunung,” kata Ki Badrun menggeleng pelan.
“Mungkin kau benar, Adi. Pemuda itu mungkin saja baru turun gunung.”
“Pemuda itu sangat tampan, mungkin Purbasari tertarik dengan pemuda itu,
Kakang.”
Ki Wonoyoso menatap Ki Badmn mengerutkan keningnya. Kemudian Ki
Wonoyoso manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya.
“Tolong kamu cari tahu siapa pemuda itu, Adi.”
“Baik, Kakang!” seru Ki Badrun cepat.
Tak berapa lama ada salah seorang naik ke atas mimbar panggung.
“Saudara-saudara yang hadir di sini, kami ucapkan selamat datang di hari jadi
Perguruan Tongkat Emas yang ke 15 tahun. Kami juga mengucapkan banyak terima
kasih atas kesediaan para saudara-saudara yang sudi hadir di tempat kami. Salam
sejahtera untuk kita semua. Silakan menikmati sajian-sajian yang kami hadirkan untuk
sarudara semua. Selamat menikmati,” kata orang di atas panggung yang ternyata selaku
pembawa acara hajatan ke 15 tahun berdirinya Perguruan Tongkat Emas.
Hari jadi ke 15 tahun Perguruan Tongkat Emas dimeriahkan oleh beberapa tarian
dan musik yang membuat semakin meriahnya acara tersebut. Ada juga pertunjukan
kepandaian dari beberapa murid pilihan. Menjelang sore hari acara itupun selesai, para
tamu undangan umumnya telah disediakan tempat untuk menginap, sedang tamu umum
diberi kebebasan untuk menginap ataupun tidak karena mereka bukan tamu undangan.
Rata-rata tamu umum adalah para penduduk sekitar Perguruan dan ada juga sedikit
orang-orang persilatan yang sengaja hadir untuk mengucapkan ucapan selamat kepada
Perguruan Tongkat Emas.
Sementara itu Surya yang sudah beranjak dari tempat duduknya segera berjalan
keluar dari aula besar Perguruan. Dengan tenang Surya berjalan menuju gerbang keluar
pintu Perguruan.
“Surya ... !!” seru suara memanggil Surya.
Surya menoleh ke asal suara. Surya melihat seorang gadis jelita tersenyum padanya.
Surya membalas tersenyum lembut dan mengangguk sopan. Ternyata gadis itu adalah
Purbasari, putri dari Ki Wonoyoso.
“Nisanak memanggil saya?” tanya Surya kalem.
Purbasari mengangguk pelan.
“Kamu mau kemana?”
“Saya hendak ke kembali ke desa tempat saya menginap. Nisanak ada perlu dengan
saya?”
“Panggil saja Purbasari. Itu namaku.”
Surya mengangguk dan tersenyum lembut.
“Desa mana kamu menginap?” tanya Purbasari.
“Di Desa Watu Ireng.”
“Oh ... cukup lumayan jauh dari sini. Sebaiknya menginap saja disini, hari sudah
sore banget. Malam baru tiba di Desa Watu Ireng kalau kamu kembali sekarang.”
Purbasari menawarkan pada Surya.
“Yang boleh menginap disini hanyalah para tamu undangan. Yang tidak di undang
harusnya sadar diri.” tiba-tiba datang Barda dan beberapa murid Perguruan. Ucapan
Barda barusan tidak enak didengar, bernada mengusir secara halus.
“Apa kau tamu di undang Kisanak?” seru Barda dengan nada suara merendahkan.
“Kakang Barda. Apa-apaan kamu ini!” seru Purbasari tegas tidak senang dengan
ucapan Barda yang sungguh merendahkan orang lain.
Surya tersenyum tipis saja mendengar ucapan Barda yang merendahkannya itu.
“Kamu benar, Barda. Tamu yang tidak di undang harus sadar diri. Heh!” seru
seorang pemuda gagah dengan berpakaian serba coklat. Pemuda ini bernama Bagus
Kalianjar, dia salah satu orang yang tergila-gila dengan Purbasari. Bagus Kalianjar
menepuk bahu Barda pelan.
“Bagus Kalianjar!” seru Purbasari keras.
Surya melihat pemuda bernama Bagus Kalianjar dengan heran, karena pemuda itu
juga kelihatannya tidak menyukai kehadiran dirinya.
“Ha-ha-ha-ha! Tentu saja, Bagus Kalianjar. Kecuali tamu tanpa undangan ini tidak
punya malu. Ha-ha-ha-ha!” ledek Barda tertawa.
“Ha-ha-ha-ha!” tawa semua yang ada di depan Surya.
Tapi Surya tetap tenang dan tersenyum tipis.
“Adi Bagus Kalianjar! Biar aku beri pelajaran pada tamu tak punya malu ini,” ucap
orang yang bersama Barda, bernama Sujiman. Tanpa menunggu persetujuan Barda dan
Bagus Kalianjar, orang yang bernama Sujiman dengan gerakan cepat menyerang Surya
tiba-tiba.
Serangan mendadak yang dilontarkan Sujiman membuat Surya cukup terkejut,
namun pukulan yang mengarah wajahnya itu dengan cepat dia elakan dengan menarik
kepalanya ke samping. Begitu pukulan Sujiman lewat dengan cepat Surya berputar
menjauhi Sujiman. Namun Sujiman dengan cepat berputar juga dengan kaki kanan
bergerak ke arah kepala Surya. Melihat serangan susulan itu Surya segera menarik
badannya ke belakang sehingga tumit kaki lawan lewat di depan kepala Surya.
Sujiman terus menyerang Surya dengan jurus-jurus yang dipelajarinya di Perguruan
Tongkat Emas. Namun Sujiman tidak tahu siapa yang tengah dia serang, padahal jika
Sujiman tahu yang diserangnya adalah pendekar yang sudah membuat geger dunia
persilatan dengan kemunculan mampu membunuh tokoh sesat golongan hitam yang
menjadi momok nomor satu selama puluhan tahun.
“Tunggu Kisanak! Kenapa kau menyerangku?” seru Surya sambil menghindari
serangan Sujiman dengan jurus “Sembilan Langkah Ajaib”.
Seruan Surya tidak dihiraukan oleh Sujiman, dia terus menyerang Surya dengan
jums-jurus berbahaya dari rangkaian jurus Perguruan Tongkat Emas.
Pertarungan itu kontan membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi kaget,
semua orang langsung melihat apa yang terjadi. Tak terkecuali Ki Wonoyoso dan Ki
Badmn serta para pendekar undangan segera menghampiri tempat terjadinya pertarungan
tersebut. Begitu melihat siapa yang bertarung membuat Ki Wonoyoso kaget.
“Hentikan!” bentak Ki Wonoyoso keras membuat dua orang yang bertarung
menghentikan pertarungan.
Ki Wonoyoso melangkah di antara dua orang yang bertarung.
“Kenapa kalian bertarung?!” seru Ki Wonoyoso tandas menatap tajam Sujiman dan
Surya.
Sujiman menunduk takut tidak berani memandang gurunya.
“Guru! Orang itu telah mengganggu adik Purbasari!” seru Barda mengadu.
Ki Wonoyoso menoleh ke arah Barda.
“Benar, Paman. Pemuda itu tadi kulihat hendak mencelakai Purbasari!” seru Bagus
Kalianjar menambahi.
Ki Wonoyoso menoleh ke arah Bagus Kalianjar sejenak lalu menatap Surya tajam.
Ki Wonoyoso menghampiri Surya.
“Anak muda, benar apa yang dikatakan oleh mereka?” tanya Ki Wonoyoso kalem
mencoba mencari tahu kenapa sampai ada pertarungan.
Surya membungkuk hormat.
“Maafkan saya Paman yang telah membuat kekacauan ini. Saya tidak punya
maksud mengganggu ketenangan hajat Paman. Sekali lagi saya mohon maaf,'’ ucap Surya
sopan sambil kembali sedikit membungkuk.
Ki Wonoyoso sedikit tersentak melihat sikap pemuda didepannya yang sangat
sopan. Apa benar yang dua orang tadi dikatakan? Melihat sikapnya yang sopan dan tulus,
rasanya itu sangat tidak mungkin kalau pemuda ini hendak mencelakai Purbasari, pikir Ki
Wonoyoso dalam hati.
“Ayah! Mereka bohong. Surya tidak mengganggu aku bahkan hendak
mencelakaiku!” seru Purbasari cepat menghampiri Surya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya
Purbasari kuatir dengan keadaan Surya.
“Tidak. Aku baik-baik saja Nisanak,” ucap Surya menggeleng pelan.
“Syukurlah,” ucap Purbasari lega. Purbasari menghadap ayahnya. “Ayah, pemuda
ini tidak mencelakaiku. Mereka yang mulai duluan mengganggu Surya.”
“Adik! Apa yang kamu katakan!” seru Barda cepat.
“Maaf, saya tidak ingin membuat kesalahpahaman ini berlarut-larut. Saya mohon
diri dulu. Sekali maafkan saya,” ucap Surya cepat lalu beranjak hendak berlalu dari
tempak itu.
“Nakmas Surya!” tiba-tiba ada orang memanggil Surya.
Surya menoleh ke arah suara yang memanggilnya, setelah melihat siapa yang
memanggilnya Surya langsung tersenyum senang.
“Nakmas kita ketemu lagi. Mana Nini Pandan Wangi? Tidak ikut?” tanya orang
berumur 30 tahunan.
“Ki Jarot! Pandan di penginapan Desa Watu Ireng. Maaf Ki, saya harus segera pergi
takut Pandan kelamaan menungguku.”
Ki Jarot mengangguk cepat.
“Titip salam sama Nimas Pandan Wangi.”
“Baik, Paman. Saya pergi.”
Surya langsung melesat cepat meninggalkan Perguruan Tongkat Emas.
Ki Jarot menatap kepergian Surya dengan perasaan senang bisa berjumpa lagi
dengan sosok pendekar muda yang sangat mengagumkan baginya. Tiba-tiba bahu Ki
Jarot di tepuk seseorang pelan.
“Adi Jarot! Adi kenal dengan pemuda tadi?” ucap orang yang menepuk bahu Ki
Jarot pelan.
Ki Jarot menoleh ke arah penepuk bahunya lalu tersenyum tipis.
“Maksud Kakang ... Nakmas Surya?” ucap Ki Jarot balik bertanya.
Si penepuk yang ternyata Ki Badrun mengangguk cepat.
“Oh namanya Surya.”
"Dialah yang bergelar Pendekar Pedang Matahari,” kata Ki Jarot menjelaskan.
“Apa?!” Ki Badrun tentu saja terlonjak kaget mendengar gelar pemuda tadi.
Meski belum pernah bertemu secara langsung dengan Pendekar Pedang Matahari
namun Ki Badrun sangat mengagumi sosok Pendekar Pedang Matahari. Tidak disangka
dirinya bisa melihat sosok pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Tapi sangat disayangkan kenapa harus terjadi pertengkaran yang cuma sepele saja
penyebabnya.
“Kakang Badrun. Aku pamit dulu, sampai jumpa lagi,” ucap Ki Jarot lalu beranjak
pergi.
Ki Badrun mengangguk cepat.
Semua orang yang tadi berkumpul melihat pertarungan kini sudah bubar. Para tamu
undangan di antar ke kamar tempat mereka menginap. Haripun beranjak senja dan
berganti malam.
—0O0—
SURYA masuk ke sebuah kamar tempat dia dengan Pandan Wangi menginap.
Begitu melihat Surya sudah kembali, maka Pandan Wangi segera beranjak bangun dari
tempat tidur.
“Gimana pertemuannya?” tanya Pandan pelan.
Surya tersenyum tipis lalu duduk di kursi dekat jendela. Perlahan jendela itu di
bukanya, malam baru saja hadir menyelimuti mayapada ini.
“Pertemuannya lancar Pandan, tapi... ” Surya menghentikan ucapannya. Dia lalu
memandang Pandan.
“Terjadi salah paham,” kata Surya pendek.
“Salah paham gimana?” sahut Pandan mengerutkan keningnya tidak mengerti.
Surya hanya mengangkat bahunya.
“Entahlah. Salah satu murid Perguruan Tongkat Emas menyangka kalau aku hendak
melamar putri Ki Wonoyoso,” ucap Surya pelan.
“Melamar?”
Surya mengangguk.
“Yach, mungkin juga dia mengira aku hendak merebut kekasihnya kali. Waktu
hendak kembali kesini, salah seorang murid Perguruan menyerang aku.”
“Apa?!”
“Tapi untungnya tidak sampai menimbulkan masalah yang terlalu besar.
Hehmmhh ... Sudahlah ... O, ya bagaimana dengan persiapanmu besok? Apa kamu sudah
siap bertemu dengan Rangga?” tanya Surya mengalihkan pembicaraan.
Pandan angkat bahu.
“Entahlah, Kakang. Tapi siap tidak siap aku memang harus menolong Kakang
Rangga. Seperti apa yang Kakang kasih tahu.” Pandan menghela nafas panjang.
Surya tersenyum lebar melihat Pandan yang sepertinya masih bingung.
“Kuatkan hatimu, Pandan. Pedang Rajawali Sakti saat ini bukanlah tandingan
Pedang Naga Suci-mu. Untuk menyempurnakan kekuatan Pedang Rajawali Sakti harus
bisa mengeluarkan makhluk yang bersemayam di dalam pedang itu dan itu hanya bisa
dilakukan dengan cara pertarungan antara Pedang Naga Suci dengan Pedang Rajawali
Sakti.”
“Tapi Kakang. Apa tidak ada cara lain?”
“Ada.”
“Apa?”
Surya kembali tersenyum tipis.
“Menyatukan Pedang Lima Unsur.”
“Menyatukan Pedang Lima Unsur? Maksud Kakang?” seru Pandan cepat.
Surya menghela nafas pendek.
“Menyatukan pedang yang memiliki lima unsur tertinggi dengan alam. Ada lima
pedang di dunia ini yang memiliki unsur alam. Yaitu api, angin, air, tanah dan petir. Jadi
pedang dengan unsur tersebut harus di satukan agar lima pedang tersebut bisa sempurna,”
jelas Surya.
Pandan diam mendengar itu.
“Kita gunakan saja cara itu Kakang!” seru Pandan cepat.
Surya tertawa kecil mengerti maksud Pandan.
“Boleh saja, tapi untuk menyatukan lima pedang itu butuh waktu sangat lama. Kita
juga tidak tahu dimana Pedang Lima Unsur yang lain. Kalau saja mereka ada disini pasti
akan sangat mudah memanggil pedang-pedang itu.”
“Mereka? Mereka siapa Kakang?”
“Lima orang muridku. Mereka adalah pemilik Pedang Lima Unsur itu.”
“Hmmkh?!”
Surya lalu menceritakan kebenaran yang selama ini tidak pemah disangka oleh
Pandan Wangi. Semua Surya ceritakan ke Pandan Wangi dengan detail sekali sampai
asal-usul sebenarnya tentang Pandan Wangi sendiri.
“Nah, itulah kebenaran yang sebenarnya terjadi Pandan,” kata Surya mengakhiri
ceritanya.
Pandan Wangi terdiam mendengar cerita Surya tersebut. Memang cerita Surya
susah untuk diterima dengan akal sehat dan logika. Tapi Pandan sepenuhnya
mempercayai cerita Surya, kakaknya itu.
“Tidurlah. Siapkan tenagamu untuk besok,” ucap Surya mengusap kepala Pandan
lembut penuh kasih sayang sebagai kakak.
Pandan mengangguk pelan, kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan yang
terbuat dari balai-balai bambu.
Surya sejenak memandang Pandan Wangi kemudian melangkah keluar kamar.
—0O0—
PAGI yang cerah telah menyambut datangnya hari. Mayapada kembali terang
seiring datangnya sang mata dewa menyinari bumi. Di sebuah jalan setapak di pinggiran
hutan kecil, tampak dua manusia tengah berjalan berjajar menyusuri jalan berumput yang
masih basah oleh embun pagi. Dua manusia berlainan jenis itu tampak lain dari biasanya,
di wajah mereka kini terpasang topeng perak tipis menutupi muka mereka. Sesekali tawa
mereka terdengar dalam candaan mereka selama berjalan menyusuri jalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah pertigaan jalan, mereka bertemu dengan seorang
gadis jelita berpakaian cukup bagus sedang menunggang kuda wama coklat gagah. Gadis
jelita itu segera turun dari punggung kuda begitu melihat dua orang sedang berjalan.
“Maaf, permisi. Apa kalian habis dari Desa Watu Ireng?” tanya gadis itu dengan
suara merdu bernada sopan.
Dua orang yang di tanya memandang gadis jelita itu.
“Benar,” sahut si gadis bertopeng yang ternyata adalah Pandan Wangi.
Gadis jelita itu tersenyum tipis.
“Apa kalian melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih dengan sebilah
pedang di punggungnya. Nama pemuda itu Surya.”
Pandan menoleh ke arah Surya sejenak dan melihat Surya hanya angkat bahu saja.
“Ya, betul. Pemuda itu siapanya Nisanak?” tanya Pandan ingin tahu apa maksud
gadis itu mencari Surya.
“Dia kekasihku,” ucap gadis jelita itu mantap. Gadis jelita itu tak lain adalah
Purbasari putri tunggal Ki Wonoyoso Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.
“Apa?!” Pandan tentu saja terkejut bukan main mendengar pengakuan gadis jelita
di depannya itu. Dalam hati Pandan memaki-maki gadis itu yang enak saja mengaku-
ngaku kekasih Surya, kakaknya itu. Pandan melirik Surya yang cuma geleng-geleng
kepala sambil tersenyum.
“Apa pemuda itu masih di Desa Watu Ireng?” tanya Purbasari cepat.
Pandan menghela nafas cepat. “Pemu ...”
“Kami lihat tadi dia sepertinya pergi terburu-buru ke arah timur saat ketemu dengan
kami,” sahut Surya cepat memotong ucapan Pandan Wangi.
“Ekh?! Kalau begitu makasih Kisanak. Saya permisi dulu.”
Purbasari langsung melompat ke punggung kuda dan menggebrak kudanya dengan
cepat. Kuda coklat itu meringkik keras lalu berlari cepat ke arah Desa Watu Ireng.
“Siapa gadis itu, Kakang? Kenapa dia mencarimu dan mengaku sebagai
kekasihmu?” tanya Pandan cepat setelah gadis jelita penunggang kuda itu jauh.
“Itu Purbasari putri tunggal Ki Wonoyoso,” sahut Surya.
“Ouh ternyata dia yang menyebabkan terjadinya salah paham itu, ya?”
“Sudahlah. Kita lanjutkan perjalanan lagi Pandan. Ayo.”
Surya melangkah pelan diikuti Pandan yang tertawa kecil.
Belum juga mereka melangkah tak begitu jauh tiba-tiba datang seorang pemuda
berkuda menghadang langkah mereka.
“Maaf, Kisanak. Apa tadi ada wanita berkuda lewat?” tanya pemuda itu cepat.
Pandan dan Surya saling Pandang.
“Ada. Dia ke arah Desa Watu Ireng baru saja lewat!” seru Pandan cepat.
“Brengsek. Purbasari pasti ingin menemui pemuda sialan itu. Hiaaa ... ” pemuda
berkuda itu tanpa mengucapkan terima kasih langsung menggebrak kudanya cepat.
Surya dan Pandan menatap kepergian pemuda berkuda itu dengan heran karena
sikapnya tidak sopan sekali.
“Sombong sekali orang itu. Tidak punya sopan santun.” maki Pandan jengkel.
“Sudahlah biarkan saja. Ayo,” ucap Surya sambil menarik tangan Pandan untuk
melanjutkan perjalanan lagi. Walau hatinya jengkel akhirnya Pandan mengikuti Surya
juga.
Mereka dengan berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf sempurna, menjadikan sosok mereka bagai bayangan yang berkelebatan
menembus sebuah hutan dengan pepohonan jarang. Menjelang siang hari mereka tiba di
atas bukit dengan tanah lapang yang luas. Hanya ada satu pohon besar yang tumbuh di
atas bukit itu.
Itulah Bukit Tandur tempat perjanjian antara Surya dengan Rangga, si Pendekar
Rajawali Sakti satu purnama yang lalu. Pandan dan Surya duduk di bawah pohon besar
itu dengan tenang tapi Pandan tampak gelisah sendiri karena akan bertemu dengan
Rangga kekasihnya setelah satu purnama tidak ketemu lagi.
“Tenanglah Pandan, jangan gelisah begitu. Sebentar lagi kamu pasti ketemu
dengan kekasihmu itu,” ucap Surya menenangkan.
Pandan hanya merengut saja mendengar itu, jauh dalam hatinya dia sangat tidak
ingin melakukan apa yang Surya suruh yaitu menolong Rangga dengan cara bertarung.
Tapi mau tidak mau Pandan harus melakukannya karena itu adalah jalan yang terbaik
untuk bisa menolong kekasihnya tersebut.
“Krraaagkh ...” tiba-tiba suara bagai halilintar menggelegar di angkasa.
Surya dan Pandan Wangi langsung berdiri melihat ke atas. Tampak seekor burung
rajawali putih raksasa melayang berputar-putar di angkasa. Dengan menukik cepat
burung raksasa itu dalam sekejap sudah mendarat tak jauh dari pohon besar tempat Surya
dan Pandan Wangi berada. Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih melompat turun
dari punggung rajawali putih itu. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu
menatap dua orang yang berdiri di bawah pohon besar. Pemuda yang bernama Rangga itu
melangkah pelan ke arah pohon besar dimana Surya dan Pandan berada. Rangga berhenti
setelah jaraknya dengan dua orang di depannya kurang lebih tujuh langkah.
Rangga menatap tajam pemuda bertopeng yang berdiri di depannya. Rangga masih
ingat bagaimana pemuda bertopeng itu bertarung melawan Pandan Wangi dan dengan
mudah mengalahkan Pandan Wangi bahkan pemuda bertopeng itu menculik Pandan
Wangi. Walau hatinya geram dan dendam dengan pemuda bertopeng itu, namun jiwa
kependekaran yang selalu mengutamakan kebaikan dan menegakkan kebenaran
membuatnya mampu bersikap tenang.
Sungguh jiwa seorang pendekar besar yang dikagumi banyak orang!
“Kita ketemu lagi, Sobat. Apa kau masih ingat padaku?” ucap Surya tenang sekali
membuka omongan.
Rangga mengangguk cepat.
“Mana Pandan, Kisanak?” seru Rangga cepat.
Rangga melirik ke gadis bertopeng di samping Surya.
“Hmmm ... apa gadis bertopeng itu Pandan Wangi? Dilihat dari postur tubuhnya
memang sama dengan Pandan. Tapi gadis bertopeng itu tidak membawa kipas sakti dan
Pedang Naga Geninya. Pedang yang ada di punggung gadis bertopeng itu memang
berkepala naga tapi itu bukan Pedang Naga Geni. Aku paham dengan Pedang Naga Geni
milik Pandan,” batin Rangga dalam hati mengira-ira siapa gadis bertopeng di samping
Surya.
Surya tertawa kecil melihat lirikan mata Rangga ke arah Pandan yang kini
memakai topeng.
“Hemmh! Soal Pandan Wangi kekasihmu, aku minta maaf karena gadis itu telah
tewas di tangan adikku ini, Dewi Topeng Perak. Aku menyesalkan atas kejadian naas
pada kekasihmu itu,” ucap Surya berbohong untuk memancing emosi Rangga.
“Apa?!” teriak Rangga kaget. “Kau jangan berdusta, Kisanak. Pandan tidak akan
mudah dikalahkan. Itu tidak mungkin terjadi!” teriak Rangga mulai gusar.
Surya tersenyum tipis melihat reaksi Rangga yang mulai gusar terpancing
omonganya.
“Kalau kau tidak percaya lihat ini buktinya.”
Surya memajukan dua tangannya yang dari tadi di belakang badannya. Tampak di
tangan Surya tergenggam Pedang Naga Geni dan kipas baja putih.
Rangga kontan terperanjat melihat dua senjata milik Pandan Wangi. Amarahnya
mulai tak bisa dia bendung lagi. Melihat dua senjata andalan Pandan Wangi dibawa
pemuda bertopeng itu jelas pasti Pandan Wangi telah tewas di tangan dua orang itu.
“Bangsat! Akan kubunuh kalian. Hiaaaattt... !”
Rangga berteriak nyaring penuh amarah langsung menerjang pemuda bertopeng
tapi belum sempat pukulannya mengenai Surya, dari arah samping berkelebat cepat
bayangan biru mematahkan pukulan Rangga.
“Baik! Kau yang akan kubunuh pertama kali!” teriak Rangga geram.
Sorot matanya begitu tajam bernafsu ingin membunuh lawannya. Mendengar
kekasih yang ia cintai tewas, membuat Rangga jadi murka dan tak bisa lagi mengontrol
emosinya.
Pandan yang melihat teriakan dan sikap Rangga yang begitu garang sesaat
membuatnya terkejut dengan perubahan sikap kekasihnya itu. Namun Pandan segera
menepis perasaan itu karena tujuannya adalah menolong Rangga kekasihnya itu.
“Hiaaaatt... !”
“Haiiitt!”
Rangga langsung menerjang gadis bertopeng dengan rangkaian jurus ‘Rajawali
Sakti’. Pandan mengimbangi dengan rangkaian jums ‘Naga Suci’. Pertarungan mereka
terlihat seimbang dan sangat sengit sekali. Sementara itu Surya dengan tenang duduk
bersandar di bawah pohon mengamati pertarungan Pandan dan Rangga. Surya melirik ke
arah burung rajawali raksasa yang sedari tadi terus menatap dirinya dengan pandangan
aneh.
“He-he-he! Ternyata si Putih sudah besar dan sepertinya dia mengenaliku,” ucap
Surya dalam hati.
Pertarungan Pandan dengan Rangga berlangsung semakin cepat dan meningkat
namun Rangga sangat heran karena jurus-jumsnya dapat dipatahkan terus oleh gadis
bertopeng. Apalagi gerakan jurus si gadis begitu unik dan sangat berbahaya.
Sriiiiiiing ... !
Rangga mencabut Pedang Rajawali Saktinya, tampak cahaya biru terang keluar dari
badan pedang. Pamornya kuat sekali. Pandan tidak mau ketinggalan, maka dengan cepat
dia mencabut Pedang Naga Sucinya. Tampak cahaya putih kemerahan mampu menekan
pamor dari Pedang Rajawali Sakti milik Rangga.
Dua pedang sakti beradu di udara, setiap sabetan selalu membuat satu ledakan keras
sehingga Bukit Tandur benar-benar bagai di landa gempa hebat. Deru angin berhembus
kencang menambah parahnya keadaan Bukit Tandur.
Rangga melompat ke belakang empat langkah.
“Gadis itu luar biasa hebat! Aku harus gunakan Ajian ‘Pedang Pemecah Sukma’!”
Rangga dengan cepat memutar Pedang Rajawali Saktinya di depan lalu menariknya
ke belakang. Sungguh luar biasa sekali, Rangga langsung jadi terlihat berlipat ganda dan
semakin banyak. Itulah Ajian ‘Pedang Pemecah Sukma’ yang mampu memperbanyak diri
tapi itu semua hanyalah bayangan belaka dan berguna untuk membingungkan lawan
karena Rangga terlihat jadi banyak.
“Ajian ‘Pedang Pemecah Sukma’! Akan gunakan jurus yang sama yaitu ‘Naga Suci
Pemecah Sukma’!” batin Pandan.
Dengan gerakan halus Pandan mengangkat Pedang Naga Sucinya tinggi-tinggi
kemudian tangannya memutar lebar dan berhenti di depan dada. Tiba-tiba tubuh Pandan
menjadi banyak sama halnya seperti Rangga.
Melihat kenyataan itu membuat Rangga jadi terkejut. Karena lawan juga memiliki
jurus yang bersifat sama. Sebenarnya ini tidak mengherankan karena semua ilmu yang
dimiliki oleh dua orang itu bersumber dari Surya.
Pertarungan dua pendekar sakti itu sudah menghabiskan ratusan jurus namun belum
ada yang kelihatan terdesak, tapi jika dilihat dengan teliti sebenarnya Rangga sudah
mencapai batas kemampuannya karena ilmu yang dikeluarkan selalu sama serta nafas
Rangga sudah tidak teratur, beda dengan Pandan Wangi yang masih teratur nafasnya serta
masih mampu mengeluarkan ilmu-ilmu baru.
Tak terasa pertarungan mereka sudah sampai malam, sementara itu Surya sudah
membuat api unggun untuk memanggang beberapa ikan dan ayam hutan yang Surya
tangkap dari bawah Bukit Tandur.
Pertarungan Pandan Wangi dengan Rangga berlangsung sangat sengit sekali karena
kedua pendekar kelas atas itu seimbang namun jika dilihat dengan seksama Pandan
Wangi lebih unggul sebab nafas Pandan masih teratur agak sedikit memburu sedangkan
Rangga nafasnya sudah memburu dan mulai kelelahan. Sudah ratusan jurus yang mereka
keluarkan tapi belum ada yang terdesak. Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti
tampak terheran-heran dengan lawannya kali ini. Biasanya Rangga akan selalu unggul
jika berhadapan musuh sekuat apapun, namun melawan seorang gadis bertopeng yang
belum pernah dia lihat dan terkenal Rangga malah kesulitan menghadapinya.
Berbagai macam jurus dan ilmu yang Rangga miliki tak mampu menjatuhkan gadis
bertopeng lawannya itu. Variasi serangannya selalu dapat dibaca dan dimentahkan oleh
gadis itu. Bahkan ilmu pamungkasnya yang sangat Rangga andalkan yaitu Ajian ‘Pedang
Pemecah Sukma’ juga tidak berguna karena si gadis juga memiliki ilmu yang sealiran
dengan Ilmu ‘Pedang Pemecah Sukma’ miliknya.
Menjelang larut malam dua pendekar itu tampak mulai kendur serangannya, sebab
batas ketahanan tubuh mereka sudah mencapai batasnya. Inilah yang sangat ditunggu
Surya karena jika batas ketahanan tubuh dua pendekar itu mencapai batasnya maka
otomatis kekuatan makhluk yang bersemayam dalam pedang mereka akan keluar untuk
menolong penggunanya. Benar yang Surya pikirkan, tak berapa lama kedua pendekar itu
kelelahan yang amat sangat kehabisan tenaga.
Dua pendekar kelas atas dunia persilatan itu roboh lalu pingsan!
Secara gaib dua pedang pusaka yaitu Naga Suci dan Rajawali Sakti melayang-
layang di udara saling bertarung. Bahkan dua pedang pusaka itu telah berubah ke bentuk
aslinya yaitu perwujudan naga putih besar bermata biru indah dan rajawali putih raksasa.
Dua hewan perwujudan dua pedang pusaka itu bertarung dengan kekuatan maha dahsyat
mengerikan. Bukit Tandur laksana terkena bencana alam hebat, semua porak-poranda
dihajar kekuatan dari dua hewan sakti tersebut.
Melihat keadaan yang semakin gawat itu membuat Surya segera bertindak cepat.
Sriiiiiiing ... !
Surya mencabut Pedang Matahari dari sarungnya. Seketika tempat itu menjadi
terang oleh cahaya kuning keemasan dari pamor Pedang Matahari.
Suiiiing ... !
Pedang Matahari milik Surya dilempar ke udara maka dengan gerakan agak cepat
Pedang Matahari itu berputar-putar di udara membentuk lingkaran besar. Tak berapa
lama lingkaran kuning besar itu meluruk cepat membungkus dua hewan sakti tersebut.
Naga Suci menggeliat-geliat terbungkus lingkaran kuning keemasan, begitu pula
dengan rajawali putih raksasa juga menggelihat seolah ingin meronta melepaskan diri
dari lingkaran kuning keemasan yang membungkus tubuh mereka. Semakin dua hewan
sakti itu meronta maka semakin erat pula tubuh mereka terbungkus lingkaran kuning
keemasan itu, hingga akhirnya dua hewan sakti itu diam tak meronta lagi.
Slaappp ... !
Dua hewan sakti itu tiba-tiba berubah menjadi sosok manusia. Naga Suci berubah
menjadi seorang gadis cantik jelita bermata biru indah, sedangkan rajawali putih raksasa
berubah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah bermata biru juga. Dua sosok
manusia perwujudan hewan gaib itu melayang di udara lalu perlahan-lahan melayang
turun di hadapan Surya.
Mereka merapatkan dua tangan masing-masing di depan hidung menunduk hormat.
“Hormat hamba, Yang Mulia Pangeran,” ucap mereka bersamaan.
Surya membuka topeng peraknya lalu mengangguk cepat.
“Naga Suci, Rajawali Sakti. Akhirnya kita bertemu lagi sejak kalian aku hukum di
dalam pedang. Wujud kalian sudah kembali ke wujud asli kalian. Mulai sekarang kalian
telah aku bebaskan dari hukuman yang selama ini aku jatuhkan pada kalian,” ucap Surya
penuh wibawa.
Naga Suci dan Rajawali Sakti kembali menunduk hormat.
“Sekarang kalian boleh kembali ke asal kalian. Sampaikan pesanku pada raja kalian
bahwa lima purnama ke depan, aku ingin Raja kalian menemuiku di Goa Lima Warna,”
ucap Surya lagi.
Mereka mengangguk pelan lalu merapatkan tangan di depan hidung.
“Pergilah. Jalani kehidupan kalian yang selama ini tidak kalian dapatkan.”
Mereka saling pandang, tetapi tak juga beranjak pergi dari hadapan Surya.
“Ada apa?” tanya Surya heran melihat mereka tak juga beranjak pergi.
“Ampun, Gusti. Apakah hamba boleh mengajukan satu permintaan Gusti.” Rajawali
Sakti membuka suara.
Surya mengerutkan keningnya heran.
“Ijinkan hamba untuk tetap menjadi Pedang Rajawali Sakti. Hamba ingin berbuat
jasa kepada bangsa kami dengan jalan membasmi keangkaramurkaan di dunia ini. Hamba
mohon Gusti Pangeran Matahari mengabulkan keinginan hamba,” Rajawali Sakti yang
berwujud pemuda gagah itu berlutut di depan Surya.
“Begitu pula dengan hamba, Gusti. Ijinkan hamba tetap menjadi Pedang Naga
Suci,” ucap Naga Suci juga berlutut di depan Surya.
Mendengar permintaan mereka Surya malah tersenyum lebar. Dia tidak menyangka
dua orang perwujudan hewan gaib itu mengajukan hal yang tidak wajar bagi bangsa
mereka.
“Hemm ... apa kalian sadar dengan permintaan kalian itu?” tanya Surya meyakinkan
permintaan mereka berdua. “Ketahuilah. Jika kalian tetap menjadi pedang sakti, maka
kalian tahu apa akibat yang kalian tanggung. Kalian tidak akan bisa kembali ke wujud
asal kalian lagi. Apa kalian mengerti itu?” tanya Surya ingin tahu kesungguhan hati
mereka.
Naga Suci dan Rajawali Sakti sejenak terdiam, mereka saling pandang lalu
mengangguk mantap dengan keinginan mereka itu.
“Tekad kami sudah bulat. Gusti. Kami siap menanggung segala akibatnya meski
kami tidak bisa kembali ke wujud asli kami!” seru mereka dengan penuh keyakinan.
Surya manggut-manggut melihat tekad mereka yang begitu kuat. Kemudian Surya
melangkah maju menghampiri mereka berdua. Sejenak Surya menatap tajam pada
mereka.
“Kembalilah ke istana. Minta pada Raja kalian Mustika Langit, katakan aku yang
mengutus kalian. Pergilah,” ucap Surya tenang penuh kewibawaan.
Walau tidak mengerti apa maksud Surya tapi mereka segera pergi mengerjakan apa
yang di perintahkan oleh mereka itu.
Surya menatap Naga Suci dan Rajawali Sakti yang berubah jadi dua hewan raksasa
kemudian melesat ke angkasa, hilang ke dua arah yang berbeda. Naga Suci ke timur
sedang Rajawali Sakti ke arah selatan.
—0O0—
PAGI yang cerah menyambut datangnya hari, sang mata dewa bersinar hangat dari
ufuk timur cakrawala. Kicau burung bersahutan menyambut pagi yang sangat cerah ini.
Di atas sebuah bukit yang keadaannya porak-poranda dengan hanya menyisakan satu
pohon besar di atasnya tampak dua orang tengah terbaring pingsan di samping seekor
bumng rajawali putih raksasa. Tak jauh dari burung rajawali terdapat perapian yang
masih menyala. Dari arah timur bukit, tampak seorang pemuda bertopeng tengah berjalan
ringan sambil membawa beberapa ekor ikan di tangannya. Setelah sampai di perapian
pemuda bertopeng yang tak lain adalah Surya langsung memanggang ikan-ikan yang ia
bawa tadi. Bau harum daging ikan terbakar langsung menusuk hidung.
Bau harum pengundang nafsu makan langsung menusuk hidung dua orang yang
pingsan tadi. Perlahan-lahan salah satu orang yang pingsan tersadar siuman dari
pingsannya akibat sesuatu yang harum menusuk hidungnya. Pemuda berbaju rompi yaitu
Rangga bangkit dari tidurnya, pandangannya langsung tertuju pada burung rajawali putih
disampingnya.
“Putih. Kau masih disini sobat?” ucap Rangga pelan.
Rangga mengalihkan pandangannya ke samping, ia melihat di dekatnya gadis
bertopeng tengah terlelap tidur atau masih pingsan.
“Kau sudah sadar, Kisanak?” ucap Surya kalem setelah melihat Rangga sadar dari
pingsan.
“Ekh?!” Rangga terkejut melihat pemuda bertopeng tak jauh dari tempatnya.
Sejenak pikiran sehatnya bekerja.
“Pemuda itu masih disini. Sebenarnya siapa orang bertopeng itu? Dari golongan
mana dia sebenarnya? Benar-benar aneh.” batin Rangga dalam hati.
“Kemarilah. Aku sudah siapkan ikan bakar untukmu. Pasti kamu lapar setelah satu
hari satu malam bertarung,” ucap Surya tenang.
“Kisanak. Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau tidak membunuhku saat pingsan tadi?
Bukankah itu kesempatanmu!” seru Rangga dengan nada suara penuh tekanan. Matanya
tajam menatap orang bertopeng tak jauh darinya itu.
Surya tersenyum lembut mendengar pertanyaan Rangga itu. Dia malah melempar
gelas bambu yang berisi air ke Rangga. Sungguh luar biasa air dalam gelas dari bambu
itu tidak tumpah sedikitpun. Rangga dengan cepat menangkap gelas bambu berisi air
tersebut.
“Minumlah,” ucap Surya kalem.
Rangga agak ragu-ragu meminum air dalam gelas bambu itu namun akhirnya air
dalam gelas bambu itu ditenggaknya juga sampai habis. Rangga tidak takut diracuni
karena tubuhnya kebal terhadap racun jadi dia tenang saja.
Tak berapa lama gadis bertopeng di sebelah Rangga tersadar karena bau harum ikan
bakar membuatnya jadi siuman. Gadis bertopeng yaitu Pandan Wangi duduk dan
menguap lalu menggerakkan tangan dan tubuhnya untuk merenggangkan ototnya yang
kaku.
“Kau sudah sadar, Pandan?” seru Surya begitu melihat Pandan duduk sambil
merenggangkan otot. Sama seperti Rangga, Surya juga melemparkan gelas bambu berisi
air ke Pandan. Pandan langsung menangkap gelar bambu itu dan langsung menghabiskan
air dalam gelas itu.
“Uuhk, segarnya!” seru Pandan setelah menghabiskan air dalam gelas bambu.
“Pandan?!” ucap Rangga lirih terkejut mendengar orang bertopeng memanggil
gadis bertopeng dengan nama : Pandan. Rangga langsung menatap gadis bertopeng
dengan tajam.
“Pandan! Buka topengmu. Agaknya kekasihmu ingin sekali melihat wajahmu!” sem
Surya cepat.
Pandan membuka topeng yang melekat di wajahnya. Rangga melihat gadis
bertopeng itu membuka topengnya dengan perasaan tak menentu. Begitu topeng perak
lepas dari wajah si gadis, maka Rangga terkejut bukan main melihat wajah yang sangat ia
kenal dan sangat dirindukannya.
“Pandan?!” sem Rangga keras seolah tidak percaya dengan wajah yang ia lihat di
hadapannya.
“Kakang!” Pandan tersenyum lembut pada pemuda yang dicintainya tersebut.
“Pandan?! Benarkah ini kau? Pandan!” seru Rangga langsung memeluk Pandan
dengan erat.
Tanpa malu-malu Rangga menciumi wajah Pandan Wangi.
“Syukurlah kau selamat. Aku sangat khawatir sekali. Aku sangat merindukanmu,
Pandan.”
“Aku juga sangat merindukanmu, Kakang,” ucap Pandan sambil memeluk erat
pemuda yang sangat dicintainya.
Dua insan saling mencintai itu saling berpelukan erat melepas rasa rindu karena satu
purnama tidak ketemu. Mereka sampai melupakan kalau ada Surya di tempat itu juga.
“Sampai kapan kalian akan terus berpelukan. Apa kalian tidak lapar?” ucap Surya
menyadarkan dua insan saling mencinta itu.
“Ekh?! Kakang. Maaf sampai lupa kalau Kakang ada disini,” ucap Pandan tersipu
malu.
“Kalian makanlah. Ikan bakarnya sudah matang. Cukup untuk kalian berdua,” kata
Surya sambil berdiri.
Surya lalu melangkah mendekati rajawali putih tunggangan Rangga.
“Putih! Ayo kita jalan-jalan. Biarkan mereka disini melepas kangen,” ucap Surya
sambil mengusap leher rajawali putih itu.
“Khrrrrgghk ... ” suara rajawali mengerti ucapan Surya sambil kepalanya
mengangguk-angguk.
Surya naik ke punggung rajawali putih itu dan menyuruh rajawali itu terbang. Maka
dengan cepat rajawali putih raksasa itu melesat terbang ke angkasa.
Rangga yang dari tadi melihat orang bertopeng bicara dengan rajawalinya jadi
tersentak heran. Apalagi kini rajawali putih itu terbang tinggi bersama Surya, ini
membuat Rangga jadi tak habis pikir. Rajawali miliknya itu sangat sukar didekati apalagi
sampai naik di atas punggungnya, rajawalinya itu akan mengamuk dan tanpa ampun
menyerang orang yang coba mendekatinya. Tapi kini orang bertopeng yang tidak Rangga
kenal telah terbang di atas punggung rajawalinya. Bahkan rajawali itu begitu jinak dan
hormat sekali sama orang bertopeng itu.
“Kakang, ada apa?” tanya Pandan pelan melihat Rangga yang dari tadi terdiam
sambil menatap ke angkasa dimana burung rajawali miliknya terbang bersama orang lain.
Rangga tersadar lalu menoleh ke Pandan Wangi.
“Tidak. Tidak apa-apa,” ucap Rangga.
Pandan Wangi tersenyum lebar.
“Aku tahu. Kakang pasti heran dengan rajawali-mu yang begitu jinak terhadap
orang bertopeng itu. He-he-he-he. Itu wajar,” kata Pandan Wangi kalem.
“Wajar? Maksudmu?” seru Rangga penasaran.
“Sudahlah. Nanti akan aku ceritakan semua ke Kakang. Sebaiknya kita makan dulu
ikan bakar ini. Aku sudah kelaparan.”
Pandan Wangi langsung memakan ikan bakar di tangannya.
Rangga walau masih bingung akhirnya makan juga.
—0O0—
MALAM ini adalah malam bulan punama. Bulan begitu terang cahayanya di langit
malam yang begitu cerah. Semilir angin sepoi-sepoi berhembus begitu sejuknya. Suara
suara nyanyian serangga malam begitu merdu terdengar mengiri malam yang sangat
tenang itu.
Di kegelapan malam yang sunyi terlihat berkelebatan lima orang dengan pakaian
yang berlainan warna. Merah, hijau, biru, kuning dan putih. Lima orang yang ternyata
adalah gadis memakai topeng tipis menyerupai tengkorak membuat wajah mereka jadi
terlihat menyeramkan. Jika tidak teliti melihatnya, maka semua pasti mengira kalau lima
gadis itu berwajah menakutkan, ini akibat topeng mereka sangat tipis hampir tidak bisa
diterka kalau sebenarnya itu adalah topeng. Kelima gadis bewajah tengkorak itu bergerak
dengan cepat menembus kegelapan malam menuju ke sebuah Perguruan Silat Tongkat
Emas. Begitu sampai di depan gerbang Perguruan, kelima gadis berwajah tengkorak itu
langsung menghabisi penjaga gerbang Perguruan Tongkat Emas. Tidak hanya itu saja,
kelima gadis berwajah tengkorak tersebut langsung menyerbu masuk ke Perguruan
Tongkat Emas membantai siapa saja yang mereka temui.
Seluruh murid Perguruan Tongkat Emas langsung disibukkan dengan pertarungan
melawan lima gadis berwajah tengkorak tersebut. Keganasan lima gadis berwajah
tengkorak sungguh mengerikan, dalam tempo singkat, hampir setengah murid Perguruan
Tongkat Emas tewas dibantai dengan sadis oleh lima gadis berwajah tengkorak tersebut.
“Berhenti!” teriak seseorang keras.
Dia adalah Ki Wonoyoso atau si Malaikat Tongkat Emas. Matanya begitu tajam
menatap lima gadis berwajah tengkorak.
“Siapa kalian? Kenapa menyerang Perguruanku?” seru Ki Wonoyoso, geram.
“Ha-ha-ha-ha! Akhirnya kau keluar juga Malaikat Tongkat Emas!” seru gadis yang
berpakaian merah. Kelihatannya gadis berpakaian merah adalah pemimpin dari lima
gadis berwajah tengkorak itu. “Ha-ha-ha-ha. Kami adalah Lima Iblis Lembah
Tengkorak!” seru si gadis berpakaian merah menyebutkan nama mereka.
“Lima Iblis Lembah Tengkorak?!” seru Ki Wonoyoso pelan mengerutkan
keningnya.
“Malaikat Tongkat Emas! Malam ini nama besarmu akan berakhir. Ha-ha-ha-ha!”
“Huh! Jangan anggap enteng kemampuanku, Gadis Muka Tengkorak. Hari ini aku
bersumpah akan kubunuh kalian yang telah membantai murid-muridku!” ucap Ki
Wonoyoso geram sekali.
“Ha-ha-ha-ha! Majulah. Aku ingin lihat apa benar nama besar Malaikat Tongkat
Emas begitu hebat atau hanya omong kosong saja!” seru si Gadis Merah Muka
Tengkorak meremehkan.
Panaslah hati Ki Wonoyoso diremehkan oleh Gadis Muka Tengkorak.
“Tutup mulutmu. Gadis Muka Tengkorak. Akan kubuat kalian tidak bisa melihat
matahari esok lagi. Hiaaaatt... !”
Ki Wonoyoso langsung menerjang si gadis merah dengan senjata andalannya yaitu
Tongkat Emas yang selama ini telah banyak merobohkan tokoh-tokoh sakti dunia
persilatan. Senjata tongkat yang terbuat dari baja berlapis emas putih sangat keras tidak
mudah patah.
“Ha-ha-ha-ha. Serang ... !!” teriak Gadis Merah Muka Tengkorak memerintahkan
empat temannya menyerang Ki Wonoyoso.
Pertarungan lima melawan satu sungguh pertarungan yang tidak seimbang jika
dilihat dengan kasat mata, tetapi jika diamati pertarungan itu sangat seru dan berimbang.
Ki Wonoyoso yang bergelar Malaikat Tongkat Emas begitu lincah menangkis setiap
gempuran yang dilancarkan Lima Iblis Lembah Tengkorak. Murid-murid Perguruan
Tongkat Emas berdiri memegang senjata tongkat mengitari arena pertempuran Lima Iblis
Lembah Tengkorak melawan guru mereka, Ki Wonoyoso.
Jurus-jurus tingkat tinggi sudah dikeluarkan oleh Ki Wonoyoso dan ini membuat
Lima Iblis Lembah Tengkorak jadi terdesak. Lima Iblis Lembah Tengkorak berlompatan
ke belakang sejauh dua tombak di hadapan Ki Wonoyoso.
“Huh! Rupanya tidak sia-sia kau menyandang gelar Malaikat Tongkat Emas. Tapi
jangan senang dulu karena kami belum mengeluarkan seluruh ilmu kami. Bersiaplah!”
seru Gadis Muka Tengkorak.
“He-he. Majulah, keluarkan ilmu yang kalian miliki. Aku tidak takut,” ucap Ki
Wonoyoso tandas. Matanya begitu tajam bagai singa kelaparan mengintai buruannya.
“Keluarkan jums ‘Lima Kala Menari Membius Kematian’!” seru Gadis Merah
Muka Tengkorak cepat.
Kelima Gadis Muka Tengkorak bergerak membentuk formasi siap menyerang. Di
mulai dari gadis merah yang bergerak ke depan meliuk liukan tubuhnya bagai orang
menari membuat lawan jadi terlena karena gerakan lembut lima Gadis Muka Tengkorak
itu. Di dalam kelembutan gerakan mereka menyimpan bahaya kematian jika lawan
sampai terbius oleh gerakan mereka. Itulah efek yang ditimbulkan oleh jurus ‘Lima Kala
Menari Membius Kematian’. Sungguh jurus mematikan yang membuat lawan tidak
menyadari bahaya yang mengancam.
Ki Wonoyoso bukan pendekar kemarin sore, dengan pengalamannya selama
berkelana di dunia persilatan dulu membuat Ki Wonoyoso tahu akan bahaya yang
mengancam di setiap gerakan yang dilakukan lima Gadis Muka Tengkorak bagai orang
menari. Ki Wonoyoso langsung menggunakan jurus ‘Tongkat Emas Memukul Air’. Ini
jums yang jarang di keluarkannya.
Jurus ‘Tongkat Emas Memukul Air’ sungguh luar biasa sekali. Setiap sabetan selalu
menimbulkan desiran angin yang bergelombang. Suara angin yang ditimbulkan juga
mengerikan. Namun gerakan jurus ‘Lima Kala Menari Membius Kematian’ juga sangat
unik. Gerakannya-gerakan yang silih berganti oleh Lima Iblis Lembah Tengkorak sangat
membingungkan sekali, hingga di saat kuda-kuda Ki Wonoyoso agak limbung tiba-tiba
Gadis Merah Muka Tengkorak menyebarkan serbuk beracun. Seketika pernafasan Ki
Wonoyoso jadi tercekat, kepalanya pusing dan mata berkunang-kunang. Di sisi lain,
Gadis Muka Tengkorak berpakaian putih melemparkan senjata rahasia berupa jarum
hitam yang sangat beracun.
“Aaakh!” teriak Ki Wonoyoso keras terkena senjata rahasia.
Tubuh Ki Wonoyoso langsung menghitam roboh dan nyawanya melayang.
Sungguh licik sekali cara bertarung Lima Iblis Lembah Tengkorak.
“Kala Biru, Kala Putih! habisi murid Perguruan Tongkat Emas yang tersisa!” seru
Kala Merah cepat. “Kala Hitam dan Kala Kuning bakar Perguruan ini.”
Dengan cepat mereka membantai semua murid Perguruan Tongkat Emas tanpa ada
yang tersisa satupun. Rumah-rumah di bakar tanpa belas kasihan. Perguruan Tongkat
Emas musnah rata dengan tanah. Sungguh pembantaian yang sadis di bulan purnama
malam ini.
—0O0—
SIANG yang terik membuat bumi menjadi panas, sinar mentari langsung menyinari
bumi tanpa terhalang awan sedikitpun. Memang siang ini cuaca sangat cerah sekali.
Tiada sedikitpun awan yang memayungi bumi.
Di sebuah sungai yang cukup besar namun dangkal dan berbatu-batu memiliki air
yang sangat jernih. Di salah satu batu besar yang terletak di bawah pohon yang cukup
lebat daunnya, tampak seorang pemuda berbaju putih agak ketat dengan memakai topeng
perak di wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Surya alias Pendekar Pedang Matahari. Surya
duduk dengan tenang memandangi ikan-ikan yang berlarian di sela-sela batu sungai.
Tiba-tiba Surya lamat lamat mendengar suara ribut.
“Hemmm! Ada suara perkelahian. Siapa yang bertarung di tengah hutan yang sepi
ini?” batin Surya sambil mengerahkan ilmu ‘Pembeda Gerak Dan Suara’.
“Agaknya pertarungan terjadi di sebelah barat. Aku harus melihat siapa yang tengah
bertarung,” ucap Surya lirih.
Dengan cepat Surya beranjak dari atas batu melompat tinggi lalu berlari ke arah
barat. Begitu sampai di tanah yang cukup luas, Surya melihat seorang gadis sedang
dikeroyok lima orang pria yang rata-rata memiliki perawakan tegap dan berwajah sangar
dipenuhi cambang tebal serta codet di pipi mereka.
Tampak si gadis dengan lincah memainkan pedangnya menangkis setiap serangan
yang mengarah padanya. Gerakan jurusnya juga sangat cepat, hingga tak berapa lama
lima pria pengeroyoknya berhasil di robohkan. Secepat kilat lima pria itu kabur melarikan
diri. Si gadis dengan tenang memasukkan kembali pedannya ke dalam warangkanya.
Plok, plok, plok!
Suara tepuk tangan pelan terdengar dari tangan Surya yang kagum melihat
kemampuan silat si gadis yang sangat lincah sekali.
“Ekh?!” si gadis terkejut lalu berbalik ke arah suara tepuk tangan tadi.
“Luar biasa sekali.” puji Surya tulus. Surya berjalan mendekati si gadis dengan
tenang. “Maaf Nisanak jika aku mengagetkanmu.”
Si gadis menatap tajam pemuda bertopeng yang ia tidak kenal di hadapannya.
“Siapa kau? Apa kau teman mereka tadi?” ucap gadis itu tandas.
Surya tersenyum lembut mendengar si gadis yang mencurigai dirinya.
“Bukan. Aku tidak kenal mereka. Namaku Surya, Nisanak?”
Si gadis mendengus saja mendengar pemuda bertopeng itu mengenalkan diri. Tanpa
bicara si gadis melangkah pergi meninggalkan Surya.
“Eh, Nisanak ... tunggu!” seru Surya cepat.
Surya mencoba untuk mencegah gadis cantik itu pergi. Surya menjura hormat pada
gadis cantik tersebut.
“Maafkan saya, Nisanak. Jikalau saya mengganggu, Nisanak. Apakah hanya
sekedar tahu nama Nisanak saja tidak boleh,” ucap Surya lembut.
“Hai, apa maumu? Jangan halangi aku. Atau kalau tidak aku pecahkan kepalamu!”
bentak gadis cantik itu jengkel karena langkahnya dihadang oleh pemuda bertopeng yang
tak dikenalnya. Matanya mendelik mengisyaratkan kejengkelannya.
“Waduh! Masa’ cuma mau tahu nama saja musti dipecahkan kepalaku.” Surya
berlagak menutupi kepalanya.
Si gadis menatap tajam orang bertopeng di depannya.
“Apa maumu sebenarnya?” tanya si gadis jengkel.
Surya cengengesan saja sambil garuk-garuk kepala.
“Cuma pengen tahu namamu saja,” jawab Surya polos.
“Lalu mau apa kalau sudah tahu namaku?”
Surya malah jadi bingung sendiri hendak menjawab apa. Surya garuk-garuk kepala
yang tidak gatal. Ketika Surya bingung itulah digunakan si gadis pergi dari tempat itu
tanpa disadari Surya. Ketika Surya menoleh maka Surya jadi kaget melihat gadis yang
tadi di dekatnya sudah tidak ada hilang bagai di telan bumi.
“Hah! Siapa ya gadis tadi? Tl mu meringankan tubuhnya luar biasa. Bahkan aku
sendiri tidak menyadari kepergiannya. Sungguh gadis yang penuh misteri. Hemhmmm,”
ucap Surya lirih. Surya lalu beranjak menuju barat dengan berjalan tenang.
Di atas pohon ternyata si gadis tidak pergi tapi bersembunyi dari orang bertopeng
yang tidak dikenalnya.
“Orang bertopeng itu ada hubungan apa dengan perampok-perampok tadi. Jangan-
jangan dia salah satu mereka,” ucap si gadis pelan seolah untuk dirinya sendiri.
“Bukan! Aku tidak kenal mereka, Nisanak!” suara orang menyahuti tepat di
samping si gadis yang duduk di dahan pohon.
“Ekh?!” si gadis jelas kaget bukan kepalang. Karena orang bertopeng yang
dilihatnya pergi ke arah barat kini tiba-tiba sudah duduk disampingnya.
Surya tersenyum lembut sambil mengangkat tangan kanannya.
“Kau?! Bag ... bag ... bagaimana kau bisa ada disini?!” seru si gadis keheranan
sambil kepalanya menolah-noleh.
Surya tertawa kecil saja melihat raut muka si gadis yang kebingungan. Si gadis
melompat turun dari dahan pohon lalu tanpa menoleh segera berjalan pergi. Surya dengan
cepat melompat turun dari dahan pohon dan mengikuti si gadis. Kontan saja si gadis
makin jengkel dibuatnya. Si gadis berhenti dan menatap Surya dengan kesal.
“Baik. Aku katakan namaku, tapi jangan mengikuti aku lagi!” seru si gadis gregetan
kesal.
Surya cengengesan saja kemudian mengangguk cepat.
“Aku ... Lestari. Nah, aku sudah beritahu namaku, jadi jangan ikuti aku lagi!” seru
si gadis yang bernama Lestari itu. Lestari segera balik badan hendak pergi.
“Lestari, tunggu!” seru Surya cepat, mencegah Lestari yang hendak pergi.
Lestari balik badan lagi menghadap Surya.
“Apa lagi?!” bentak Lestari galak.
“Astaga, galaknya! Jangan marah-marah gitu, donk. Kalau marah-marah ntar cepat
tua, loh. He-he-he-he,” ucap Surya cengengesan.
“Edan! Bukan urusanmu!!” bentak Lestari mulai emosi, tangannya sudah dia
kepalkan tanda amarahnya sudah tinggi.
Surya kembali tertawa kecil.
“Tenanglah. Aku cuma mau tanya, kamu hendak kemana?”
“Sudah aku katakan bukan urusanmu. Aku mau kemana kek itu bukan urusanku.
Sudah jangan ganggu aku lagi.”
Lestari segera berlari meninggalkan Surya, tapi baru beberapa langkah tiba-tiba ada
orang muncul di depan Lestari.
“Lestari! Mau kemana kau?” seru orang baru datang cepat.
Orang ini adalah nenek-nenek dengan berpakaian serba merah. Sebuah tongkat
hitam tergenggam di tangan kanannya.
Lestari yang mengetahui siapa yang barusan muncul segera menjura hormat.
“Eyang Rakanini,” ucap Lestari menyebut nenek di hadapannya.
“Lestari! Kenapa kau kelihatan terburu-buru. Ada apa?” tanya Eyang Rakanini
dengan suara agak parau. Muka Eyang Rakanini ini cukup angker juga karena rongga
mata yang cekung serta warna kulit agak merah. Di dunia persilatan Eyang Rakanini
berjuluk Hantu Tongkat Hitam.
“Tidak, Eyang. Aku ... ” Lestari menghentikan ucapannya, sejenak Lestari melirik
ke arah pemuda bertopeng yang masih ada di situ.
Eyang Rakanini mengikuti arah lirikan mata Lestari. Eyang Rakanini tertawa
mengekeh melihat seorang pemuda bertopeng perak.
“Anak muda! Ada urusan apa kau dengan cucu ku? Apa kau menyukai cucuku?
Khe-khe-khe,” ucap Eyang Rakanini pelan namun di sertai tenaga dalam.
Surya merasakan tubuhnya seperti dihimpit tembok yang tidak terlihat, namun
dengan tertawa kecil Surya mengeluarkan ilmu ‘Sindat Tenze’ untuk membentengi diri
dari himpitan tenaga dalam yang dikirimkan oleh Eyang Rakanini. Tampak Surya berdiri
dengan tenang sekali tanpa pedulikan kalau sebuah kekuatan besar tengah menghimpit
dirinya namun di pihak lain tampak Eyang Rakanini bergetar tubuhnya karena tenaga
dalam yang ia keluarkan sudah hampir mencapai batas kemampuannya. Eyang Rakanini
tidak menyangka seorang anak muda memiliki tenaga dalam yang luar biasa tinggi,
tenaga dalamnya kalah tinggi dari anak muda itu.
“Sudah hentikan, Nisanak. Tidak ada gunanya diteruskan,” ucap Surya tenang
sekali.
“Heh. Aku belum kalah anak muda. Jangan kau anggap remeh diriku!” seru
Rakanini tandas.
“Hmmm. Jikalau begitu aku yang mengaku kalah, Nisanak. Maaf,” ucap Surya
sambil melompat tinggi di atas dahan pohon lalu melesat cepat tinggalkan tempat itu.
Bruaaakk ... !
Pohon sebesar dua dekapan tangan manusia hancur lalu roboh karena tenaga dalam
yang dikeluarkan Rakanini meleset dari sasaran hingga langsung menghantam pohon
besar di belakang Surya berdiri tadi.
Rakanini terengah-engah nafasnya, keringat membanjiri dahinya.
“Eyang!” seru Lestari yang keheranan melihat Eyang Rakanini terengah-engah
bagai habis berlari jauh.
Rakanini menoleh ke arah Lestari.
“Sebaiknya kita pergi dari sini, Lestari.”
Lestari mengangguk cepat. Mereka melesat cepat ke arah barat dimana Surya
melesat pergi.
—0O0—
SEPAK terjang Lima Iblis Lembah Tengkorak kian merajalela, tidak hanya
Perguruan Tongkat Emas yang mereka bantai, tapi juga Perguruan-Perguruan di sekitar
Gunung Puting mereka hancurkan. Sudah lima Perguruan yang mereka hancurkan selama
satu purnama ini, Lima Iblis Lembah Tengkorak kini menjadi momok menakutkan bagi
dunia persilatan. Bahkan para penduduk desa yang berada di wilayah Gunung Puting juga
ikut was-was jikalau sampai orang-orang Lembah Tengkorak tidak hanya membantai
Perguruan silat tetapi juga para penduduk desa, itulah yang membuat para penduduk desa
menjadi dicekam rasa ketakutan.
“Kakang!” seru wanita cantik bagai bidadari dengan pakaian serba hijau.
Gadis cantik tersebut berlarian kecil dari arah sungai ke sebuah batu sebesar kerbau
dimana seorang pemuda tampan berjubah putih duduk dengan tenang sambil tersenyum
lembut ke arah gadis cantik yang berlarian kecil ke arahnya.
“Kakang! Aku dapat dua ikan besar di sungai. Kita bakar ya buat pengganjal perut!”
seru si gadis sambil menunjukkan dua ikan besar yang ia bawa dari sungai.
“Kau dapat dari mana dua ikan itu, Kenanga?” ucap pemuda itu lembut.
“Di sungai dekat air terjun itu, Kakang,” sahut si gadis yang dipanggil Kenanga
menunjuk ke arah dimana dia mendapatkan dua ikan tersebut.
Si pemuda memandang mengikuti arah yang ditunjuk si gadis.
“Hmmm. Baiklah, ayo kita panggang ikan itu lumayan bisa mengganjal perut,”
ucap pemuda itu.
Mereka segera membuat perapian dengan kayu-kayu yang berserakan di sekitar
tempat itu, begitu api menyala maka dua ikan besar itu mereka panggang.
“Kakang! Kemana tujuan kita sekarang?”
Pemuda itu menatap Kenanga dengan lembut.
“Ke Desa Kaliadem,” ucapnya pendek sambil membolak-balikkan ikan yang
dipanggangnya di atas api.
“Desa Kaliadem?! Mau ngapain kita kesana?” ucap Kenanga mengerutkan
keningnya.
“Mengunjungi teman lama.”
“Siapa?”
“Nanti kau akan tahu sendiri Kenanga,” ucap pemuda itu kalem lalu mulai
memakan ikan bakarnya yang sudah matang itu.
Kenanga hanya merengut menghela nafas pendek. Pemuda berjubah putih itu
tersenyum saja melihat kekasihnya yang merengut.
Hari semakin sore menjelang senja berarti malam akan segera tiba. Dua insan
berlainan jenis itu terus mengobrol hingga tak terasa malam telah datang menyelimuti
bumi. Sang Dewi malam bersinar redup di langit malam yang berhiaskan bintang.
—0O0—
Slapp! Tak... !!!
Sebuah benda menancap di tiang pilar pendopo yang berbentuk joglo. Lima orang
yang berada di pendopo itu tersentak kaget langsung berdiri menghadap ke arah
datangnya asal benda yang menancap di pilar pendopo. Orang berpakaian warna coklat
dengan blangkon di kepala melesat cepat keluar dari pendopo menuju asal benda tadi
datang. Laki-laki separuh baya dengan janggut agak panjang berjubah coklat hitam
mengambil benda yang menancap di tiang pilar pendopo. Ternyata benda itu adalah pisau
kecil berwarna hitam dengan panjang setengah jengkal, ada kain putih kecil di gagang
pisau tersebut.
“Guru, hati-hati. Kelihatannya pisau beracun!” seru seorang pemuda mengingatkan
orang separuh baya yang dipanggil guru tadi.
“Aku tahu, Sagara,” ucap orang tua itu kalem.
Orang tua yang dipanggil guru oleh pemuda yang bernama Sagara itu adalah Ki
Handoyo, beliau adalah guru Padepokan Silat Ruyung Sakti di daerah Kaliadem. Ki
Handoyo memungut kain putih di gagang pisau lalu membukanya. Ternyata itu adalah
sebuah undangan yang di tulis dengan darah.
Bunyi tulisan yang tertera di kain putih itu ...
DATANGLAH PADA HARI KE 15 DI LEMBAH TENGKORAK ...
DEWI LEMBAH TENGKORAK
“Guru. Apa rencana Guru mengenai undangan itu?” tanya Sagara setelah membaca
tulisan di kain putih yang ternyata adalah sebuah undangan.
Ki Handoyo mengusap-usap janggutnya sambil mondar-mandir tenang. Sesekali
beliau menghela nafas pelan.
“Orangnya tidak ketemu, Guru. Mungkin sudah pergi setelah melempar pisau tadi,”
kata pria berbaju coklat cepat setelah sampai di pendopo. Pria ini yang tadi melesat keluar
pendopo untuk mengejar si pelempar pisau tadi.
“Apa kau melihat orang yang melempar pisau tadi, Kakang Sadewo?” seru Sagara
cepat pada orang yang dipanggil Sadewo.
Sadewo menoleh ke arah Sagara yang juga adik sePerguruannya.
“Sekilas saja, Adi. Seorang wanita berbaju putih berwajah tengkorak,” sahut
Sadewo cepat.
“Apa?! Berwajah tengkorak?” seru Sagara kaget.
Dua orang yang lain juga ikut kaget mendengar hal itu, hanya Ki Handoyo saja
yang masih berdiri tenang.
“Aku merasa undangan ini menyimpan misteri yang bisa mendatangkan maut. Dewi
Lembah Tengkorak? Siapa adanya dia, aku tidak pernah mendengar nama itu
sebelumnya,” ucap Ki Handoyo pelan namun bisa didengar oleh empat orang murid
utamanya.
“Guru! Sebaiknya tidak usah pedulikan undangan itu. Paling itu kerjaan orang iseng
saja!” seru Sagara.
“Dewi Lembah Tengkorak?!” gumam Sadewo sambil mengingat-ingat sesuatu
dalam pikirannya.
“Tidak. Aku merasa bakal terjadi peristiwa besar di dunia persilatan dengan
dikirimkannya undangan ini. Sagara, pergilah kau ke Perguruan Tongkat Emas. Apa
mereka juga mendapatkan undangan seperti ini juga!” seru Ki Handoyo.
“Baik, Guru.” Sagara segera berlalu dari pendopo itu.
“Sudiro dan Putu Ayu, kalian pergilah ke Desa Kaliadem dan juga Desa Kalideres.
Cari tahu berita yang berhubungan dengan undangan ini!” seru Ki Handoyo pada dua
muridnya yaitu Sudiro dan Putu Ayu.
“Baik, Guru,” sahut mereka bersamaan lalu beranjak pergi.
“Guru,” ucap Sadewo pelan.
“Sadewo! Suruh semua murid untuk waspada dan perketat penjagaan. Aku
memiliki firasat tidak enak.”
“Tapi, Guru ... ?”
“Lakukan saja, Sadewo.”
“Baik, Guru!” seru Sadewo lalu bergegas pergi.
Tak berapa lama datang seorang murid ke pendopo itu.
“Maaf, Guru. Ada dua orang yang ingin bertemu Guru,” ucap orang itu
membungkuk hormat.
“Siapa?” tanya Ki Handoyo cepat.
“Seorang pemuda dengan seorang wanita. Namanya Panji, Guru. Katanya dia teman
Guru,” ucap orang itu menjelaskan.
“Panji?!” gumam Ki Handoyo pelan. “Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?” tanya Ki
Handoyo kemudian dengan cepat.
“Tampan, berjubah putih dan memiliki pedang kepala naga di punggungnya.
Usianya kurang lebih dua puluh tahun.”
“Pendekar Naga Putih?!” seru Ki Handoyo sumringah mengenali ciri-ciri pemuda
yang disebutkan muridnya itu. “Cepat, suruh masuk.”
“Baik, Guru.”
Orang itu segera berlalu dari hadapan Ki Handoyo. Lalu tak berapa lama orang itu
kembali lagi bersama dua orang.
Ki Handoyo tersenyum lebar melihat dua orang yang sangat ia kenal.
“Nakmas Panji dan Nimas Kenanga. Apa kabar kalian? Sudah lama kita tidak
berjumpa. Ha-ha-ha-ha,” ucap Ki Handoyo senang.
“Ha-ha-ha-ha. Baik, Paman. Paman sendiri gimana?” ucap Panji bersalaman dengan
Ki Handoyo.
“Ha-ha-ha. Aku juga baik. Mari silakan masuk.”
“Terima kasih, Paman.”
Mereka lalu masuk ke dalam pendopo dan duduk di kursi ruang tamu pendopo
tersebut.
“Sudah lama kita ketemu, sejak peristiwa melawan Partai Kelabang Ireng,” ucap Ki
Handoyo membuka obrolan.
“Benar, Paman. Sejak saat kita tidak saling ketemu. O ya maaf Paman, tadi aku lihat
penjagaan di perketat. Apa yang terjadi Paman?” tanya Panji lembut.
Ki Handoyo menghela nafas panjang kemudian berdiri dan berjalan ke pilar
pendopo. Tampak Ki Handoyo sedikit gelisah.
“Ada apa Paman? Maaf jika pertanyaanku menyinggung Paman,” ucap Panji
merasa tidak enak hati melihat perubahan Ki Handoyo.
“Tidak. Bukan Nakmas. Tadi sebelum Nakmas datang aku mendapatkan undangan
yang dikirim oleh orang tak dikenal.”
“Undangan?!”
“Benar. Ini undangannya.”
Ki Handoyo menunjukkan kain yang bertuliskan darah.
Panji menerima kain putih tersebut dan melihat apa yang tertulis.
“Hmmm ... ini undangan yang aneh. Di tulis dengan darah. Hari ke 15 di Lembah
Tengkorak.” gumam Panji pelan mencermati isi undangan tersebut. “Dewi Lembah
Tengkorak. Siapa dia, Paman?”
“Aku juga tidak tahu, Nakmas. Lembah Tengkorak cukup jauh dari sini. Apa
maksud Dewi Lembah Tengkorak mengirimkan undangan seperti ini,” ucap Ki Handoyo
kalem.
“Hmmm. Apapun itu, ini tidak bisa dianggap angin lalu saja. Undangan ini
mengandung maksud yang tersembunyi.”
“Aku juga berpikir begitu, Nakmas. Tapi apa itu aku juga belum mengetahuinya.”
“Lalu apa tanggapan, Paman? Memenuhi undangan itu atau mengabaikannya.”
“Entahlah.” Ki Handoyo kembali duduk di tempatnya.
“Sebaiknya abaikan saja. Paman,” ucap Kenanga menimpali setelah dari tadi diam
saja.
Panji dan Ki Handoyo menoleh ke arah Kenanga. Mereka sama-sama tersenyum
lebar.
“Kenapa?” seru Kenanga yang heran melihat Panji dan Ki Handoyo malah
tersenyum lebar.
Tak berapa lama Sadewo datang ke ruang tamu pendopo.
“Guru! Semua aku tempatkan sesuai perintah Guru.”
“He-em.” Ki Handoyo mengangguk. “Sadewo. Kenalkan ini orang yang Guru
sering ceritakan yaitu Panji, Pendekar Naga Putih.”
Sadewo menoleh ke arah Panji.
“Oh, sungguh tak ku duga hari ini saya bisa bertemu dengan pendekar kesohor di
dunia persilatan. Salam hormat saya pada Pendekar Naga Putih,” ucap Sadewo menunduk
hormat.
“Kisanak terlalu berlebihan, saya tidaklah seperti apa yang orang bicarakan. Saya
hanya manusia biasa saja. Di atas langit masih ada langit, jadi apa yang bisa saya
banggakan. Jangan sungkan Kisanak,” ucap Panji dengan tutur kata yang halus.
“Ah, selain kesohor rupanya Pendekar Naga Putih bersifat rendah hati. Sungguh
mulia sekali,” ucap Sadewo kagum dengan sifat Panji yang sopan santun.
“Panggil saya Panji saja, Kisanak,” ucap Panji kalem tersenyum.
“Baik. Saya ... Sadewo.”
“Ini Kenanga, temanku.” Panji mengenalkan Kenanga pada Sadewo.
“Nini Kenanga. Salam.”
Kenanga mengangguk pelan saja.
“Paman. Apakah Paman sudah berjumpa dengan pendekar yang dulu membantu
kita waktu menghancurkan Partai Kelabang Ireng?” tanya Panji mengalihkan
pembicaraan.
“Maksud Nakmas ... Pendekar Pedang Matahari?” ucap Ki Handoyo.
Panji mengangguk cepat.
“Belum, Nakmas.”
“Sewaktu kami singgah di Kadipaten Jatiluhur. Kami mendengar Pendekar Pedang
Matahari juga membantu menggulingkan kekuasaan Adipati yang memberontak dan kini
pewaris sah Kadipaten Jatiluhur kembali menduduki singgasana kadipaten.”
“Benarkah itu, Nakmas?” seru Ki Handoyo cepat.
Panji mengangguk.
“Kini Kadipaten Jatiluhur sudah berdiri sendiri menjadi sebuah kerajaan dengan
rajanya Arya Soma. Orang-orang di sana sering membicarakan sepak terjang Pendekar
Pedang Matahari dan nama pendekar itu adalah Surya.”
“Hmmm! Pendekar Pedang Matahari. Orang baru di rimba persilatan yang langsung
menggegerkan dunia persilatan. Kesaktiannya sukar dijajaki dan berhasil membinasakan
tokoh sesat yang selama puluhan tahun menjadi momok di dunia persilatan,” ucap Ki
Handoyo lirih namun masih bisa didengar jelas.
“Benar, Paman. Dia dengan mudah dapat mengalahkan Datuk Sesat yang hampir
saja mengalahkan aku.” Panji manggut-manggut.
Sejenak pendopo itu menjadi sunyi karena semua larut dalam pikirannya masing-
masing.
—0O0—
DI sebuah kedai makan yang terletak di Desa Kalianget tampak seorang pemuda
bertopeng perak tengah asyik menyantap hidangan yang ada di depannya. Dia dengan
asyik makan tanpa peduli sepasang mata tengah memperhatikan dirinya. Sepasang mata
seorang wanita muda berpakaian biru kuning dengan ikat kepala warna biru. Sebilah
pedang terlihat dari punggung gadis itu, paras cantik gadis itu membuat mata para lelaki
sejenak melihat dirinya namun gadis itu cuek saja malah memperhatikan pemuda
bertopeng yang lagi asyik makan.
Pemuda bertopeng perak dengan pedang bergagang matahari yang tak lain adalah
Surya segera beranjak pergi dari kedai makan tersebut setelah membayar makanan itu. Di
lain pihak si gadis yang dari tadi memperhatikan Surya juga bergegas beranjak dari
tempat duduknya namun tiba-tiba ada seorang pria datang mencegah gadis itu.
“Hai, Cah Ayu. Mau kemana kamu. Temani aku disini janganlah buru-buru pergi.
He-he-he,” ucap pria yang memiliki perawakan tegap dengan bulu dada yang tebal. Mata
kiri di tutupi penutup mata dan ada codet melintang di pipi kanannya. Tampangnya keras
dan sangar sekali. Si gadis menatap pria bercodet itu dengan pandangan tidak suka karena
merasa terganggu.
“Ha-ha-ha-ha. Janganlah memasang wajah masam gitu, nanti wajah ayu-mu jadi
tidak ayu lagi. He-he-he,” ucap pria bercodet tersenyum.
Walaupun pria bercodet itu tersenyum tapi tetap saja tidak merubah tampangnya
yang sangar.
Malah jadi terlihat semakin angker!
“Mau apa kau?” seru si gadis cepat dengan tatapan mata tajam ke arah pria bercodet.
Pria bercodet itu senyum-senyum sambil pandangannya menyusuri setiap jengkal
tubuh si gadis. Merasa risih dipandangi orang begitu rupa membuat gadis itu segera
beranjak pergi tapi lagi-lagi pria bercodet itu kembali menghalanginya bahkan pria
bercodet itu sudah berani memegang tangan si gadis.
“He-he-he. Mau kemana, Cah Ayu. Disini saja bersamaku, aku traktir deh. He-he-
he,” ucap pria bercodet sambil tertawa kecil.
“Lepaskan!!” bentak si gadis keras.
Bentakan gadis itu membuat pengunjung di kedai tersebut jadi melihat kearah
mereka berdua.
“Lepaskan!!” bentak si gadis kembali sambil menarik tangannya yang dipegang pria
bercodet.
“Ha-ha-ha-ha, Kakang Bergola Ireng! Agaknya gadis itu tidak menyukaimu. Sudah,
bawa saja langsung. Ha-ha-ha-ha!” seru seorang pria yang berpakaian hampir sama
dengan pria bercodet namun pria ini memiliki cambang lebat di dagunya.
“Benar, Kakang. Agaknya hari ini rejekimu besar sekali, Kakang. Kami pun juga
mau dapat sisanya. Ha-ha-ha-ha!” seru pria yang lain dengan ikat hitam melingkar di
kepalanya.
“Ha-ha-ha-ha. Rupanya kau juga kepengen juga dengan gadis ini, Jampari! Sampai-
sampai kau mau sisanya juga. Ha-ha-ha-ha.” tawa orang bercodet yang di panggil dengan
nama Bergola Ireng.
“Ha-ha-ha-ha. Tentu saja Kakang. Atau Kakang bermurah hati padaku agar aku
yang mencobanya dulu!” seru orang dipanggil Jampari.
“Ha-ha-ha-ha. Kau sendiri gimana, Bedul?” seru Bergola Ireng pada orang bernama
Bedul.
“Atur ajalah. Yang penting beres,” sahut Bedul tanpa menoleh sedikitpun.
“Ha-ha-ha-ha.” mereka bertiga ketawa bersama dengan lantang.
Mendengar perkataan ketiga orang itu membuat si gadis jadi geram. Hatinya panas
sekali karena merasa dilecehkan di depan banyak orang, dengan gerakan cepat gadis itu
mengibaskan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam yang ia miliki sehingga membuat
pria bercodet jadi tersungkur menabarak meja.
“Huh! Dasar manusia-manusia sampah. Sebaiknya bercermin dulu sebelum unjukan
muka buruk kalian padaku!” seru si gadis keras karena jengkel sekali mendengar ucapan
yang sangat melecehkan dirinya.
Bergola Ireng bangkit berdiri dengan sikap yang marah karena telah di buat jatuh
tersungkur, dia sangat malu di hadapan banyak orang telah di jatuhkan oleh gadis yang
kelihatannya lemah itu.
“Kurang ajar. Rupanya kau harus diberi pelajaran, Gadis Sundel!” teriak Bergola
Ireng geram.
“Hehh! Apa katamu?! Kurang ajar!!” seru si gadis marah mendengar dirinya di
panggil Gadis Sundel.
“Hiaaatt.”
Gadis cantik itu menerjang menyerang Bergola Ireng dengan mengarahkan
pukulannya ke arah muka Bergola Ireng. Pukulan si gadis hampir mengenai sasaran
namun dengan gerakan cepat Bergola Ireng memiringkan tubuhnya menghindari pukulan
yang mengarah ke mukanya. Di tengah jalan tiba-tiba pukulan si gadis berubah menjadi
tamparan ke arah pipi Bergola Ireng.
Plakk!!
Suara tamparan mengenai pipi Bergola Ireng yang tidak sempat menghindari
tamparan si gadis.
Bergola Ireng meringis mengusap pipinya yang terkena tamparan si gadis.
“Bedebah!!” maki Bergola Ireng keras. “Akan kubuat kau menyesal seumur hidup
Gadis Sundel. Hiaaatt!!”
Dengan teriakan lantang Bergola Ireng menerjang si gadis dengan jurus-jurus
berbahaya yang mengancam wajah si gadis. Tangan yang membentuk cakar bergerak
cepat menyerang si gadis. Jelas Bergola Ireng ingin membuat cacat wajah si gadis, namun
si gadis dengan tenang menghindar dari cakar Bergola Ireng yang mengarah ke wajahnya.
Tapi di tengah jalan arah serangan cakar Bergola Ireng berubah ke lambung si gadis, ini
membuat si gadis kaget namun dengan sigap dia melompat ke samping sehingga cakar
Bergola Ireng hanya lewat di samping si gadis.
Begitu serangannya dapat dihindari si gadis maka dengan gerakan memutar cepat
Bergola Ireng mengarahkan tendangan putarnya ke perut si gadis. Gerakan memutar yang
cepat dari Bergola Ireng cukup membuat si gadis terlonjak kaget, maka dengan susah
payah si gadis melompat menghindari tendangan memutar Bergola Ireng. Begitu lolos
dari tendangan Bergola Ireng maka dengan cepat si gadis melesat keluar dari kedai
makan. Bergola Ireng juga melesat cepat menyusul si gadis keluar dari kedai makan.
Kini mereka saling berhadapan dengan kuda-kuda siap menyerang.
“Bersiaplah menemui dewa kematian, Gadis Sundel!” seru Bergola Ireng tandas.
Si gadis menyeringai sinis dengan sorot matanya tajam bagai seekor elang
mengincar mangsa.
Tiba-tiba Jampari dan Bedul sudah berdiri di samping Bergola Ireng.
“Kakang! Kita ringkus saja gadis itu lalu kita bawa ke hutan Bukit Tunggul,” ucap
Jampari cepat.
“Benar, Kakang! Sungguh sangat sayang jika gadis secantik dia dibunuh!” seru
Bedul menambahkan.
“Hmmm. Baiklah. Kita serang gadis itu dengan jurus ‘Serigala Menangkap
Mangsa’!” ucap Bergola Ireng sambil mengangguk cepat.
“Baik,” sahut Bedul dan Jampari cepat.
Ketiga orang itu dengan cepat mengurung gadis cantik itu, mereka sudah tidak mau
main-main lagi dan ingin secepatannya meringkus gadis cantik tersebut.
Bergola Ireng menerjang mengarahkan cakarnya ke arah leher si gadis sedang
Jampari dan Bedul mengarahkan cakarnya ke lambung dan kaki si gadis. Di serang tiga
orang dengan tiga sasaran yang mengancam keselamatan jiwanya, maka dengan cepat si
gadis melompat tinggi bersalto di udara lalu mendarat mulus di tanah. Serangan tiga
orang itu terus mengarah ke arah-arah berbahaya di bagian tubuh si gadis.
Dikeroyok begitu rupa tidak membuat si gadis gentar, dengan tenang dia
menghindari setiap serangan yang mengarah ke daerah vital tubuhnya. Kian lama
pertarungan mereka sudah cepat sekali dan kali ini si gadis jadi semakin terpojok hingga
suatu ketika seseorang dari tiga pria tersebut berhasil menyarangkan totokan tepat di
leher si gadis, seketika gadis itu jadi kaku tidak bisa bergerak.
“Ha-ha-ha-ha. Akhirnya tertangkap juga kau Gadis Sundel.” Bergola Ireng tertawa
penuh kemenangan.
“Bangsat. Lepaskan aku!” teriak si gadis marah.
“Ha-ha-ha-ha. Tenanglah, Cah Ayu. Sebentar lagi kita akan bersenang senang. Ha-
ha-ha-ha.”
“Ayo kita bawa gadis itu, Kakang!” seru Jampari.
“Bangsat! Lepaskan aku! Lepaskan! Akan kubunuh kalian. Lepaskan!!!” maki si
gadis marah-marah.
Dengan memondong gadis itu mereka melesat pergi meninggalkan tempat itu. Para
penduduk Desa Kalianget yang kebetulan menyaksikan kejadian itu hanya bisa menghela
nafas panjang karena kasihan melihat nasib buruk yang akan menimpa si gadis.
Tiga orang, Bergola Ireng dengan dua temannya berlarian cepat menyusuri
pinggiran hutan Bukit Tunggul, saat tiba di ujung jalan mereka masuk menerobos
kelebatan hutan Bukit Tunggul. Tanpa mereka sadari ada seorang pemuda tengah
mengikuti mereka dari tempat yang cukup jauh sehingga mereka tidak sadar kalau sedang
di ikuti. Pemuda itu berhenti di balik pohon besar ketika tiga orang yang di ikutinya
berhenti di sebuah pondok kayu. Pemuda itu langsung melompat ke dahan pohon yang
cukup rimbun untuk tempat bersembunyi.
Dia memperhatikan tiga orang yang tengah bicara di depan pondok.
“Jampari, Bedul! Kalian jaga di luar, begitu aku selesai menikmati gadis ini, maka
giliran kalian nanti yang juga menikmatinya,” ucap Bergola Ireng, cepat.
“Baik, Kakang!” sahut Jampari dan Bedul bareng.
Bergola Ireng melangkah masuk ke dalam pondok kayu sambil memodong si gadis
yang yang sudah tak berdaya di punggungnya. Di dalam pondok kayu terdapat
pembaringan yang terbuat dari balai-balai bambu. Bergola Ireng membaringkan tubuh
gadis itu di atas balai-balai bambu.
Tampak si gadis melotot marah ke arah Bergola Ireng.
“He-he-he. Sebentar lagi akan kuajak kau menikmati sorga dunia, Cah Ayu. Kamu
pasti senang dan akan minta lagi setelah merasakan nikmatnya sorga dunia. He-he-he,”
ucap Bergola Ireng menatap wajah gadis cantik di pembaringan dengan tatapan penuh
birahi.
Dia mengusap rambut, pipi dan bibir si gadis dengan lembut lalu mulai turun ke
leher. Tangan Bergola Ireng meremas payudara indah si gadis yang menonjol di dada si
gadis yang masih terbungkus pakaian. Remasan itu lembut lalu agak keras karena gemas
sekali.
Si gadis memaki menyumpah habis-habisan dalam hati. Dia tidak bisa berontak
karena tertotok. Air matanya mengalir dari sela matanya karena nasib buruk yang
sebentar lagi akan menimpa dirinya. Nasib akan di gagahi oleh orang yang tidak ia kenal.
Dalam hati si gadis bersumpah akan bunuh diri jika kehormatannya direnggut oleh
Bergola Ireng.
Bergola Ireng yang sudah terbakar nafsu dengan kasar merobek kain penutup dada
si gadis, sehingga payudara si gadis tampak membusung indah di dada si gadis. Melihat
payudara putih membusung di dada si gadis membuat nafsu Bergola Ireng jadi meledak,
maka dengan cepat Bergola Ireng menindih tubuh si gadis.
Bruaakkk ... !!!
Pintu pondok tiba-tiba hancur berantakan, dua sosok tubuh melayang jatuh di dekat
pembaringan dimana Bergola Ireng tengah menindih si gadis. Suara keras hancurnya
pintu pondok membuat Bergola Ireng terlonjak kaget sampai turun dari atas balai-balai
bambu. Lalu tak lama dari luar muncul seorang pemuda bertopeng perak berdiri dengan
tenang di ambang pintu yang hancur berantakan.
“Bangsat! Setan alas! Siapa kau? Berani sekali mengganggu kesenanganku!” teriak
Bergola Ireng berang.
“Aku Malaikat Kematian-mu, manusia iblis!” ucap pemuda bertopeng itu penuh
tekanan.
“Bedebah!”
“Sebentar lagi kau akan menyusul dua temanmu itu, manusia iblis,” ucap pemuda
bertopeng itu tandas.
Bergola Ireng menatap dua temannya. Dia tersentak karena melihat dua temannya
sudah menjadi mayat dengan dada hitam remuk. Mendidihlah darah Bergola Ireng
melihat kematian dua temannya yang sudah tewas.
“Kubunuh kau, bangsat. Hiaaat!”
Bergola Ireng melompat mengarahkan pukulannya ke muka pemuda bertopeng,
namun dengan ringan pemuda bertopeng itu memiringkan kepalanya lalu dengan gerakan
kilat pemuda bertopeng itu mengirimkan pukulan ke dada Bergola Ireng.
Diegkh !!
“Aakh ... !” jerit Bergola Ireng terkena pukulan di dadanya.
Bruaakk!!!
Dinding pondok jebol di tabrak tubuh Bergola Ireng yang terpental.
Dinding kayu itu jebol dan tubuh Bergola Ireng terlempar keluar dari pondok akibat
pukulan yang dilepaskan pemuda bertopeng dengan tenaga dalam itu. Pemuda bertopeng
itu segera menghampiri si gadis dan membebaskan totokan si gadis.
Begitu si gadis terbebas dari totokan, maka dengan cepat gadis itu melesat keluar
menerjang Bergola Ireng yang berdiri limbung akibat luka dalam yang dideritanya. Tak
ampun lagi Bergola Ireng di hajar habis-habisan oleh si gadis yang kalap, karena marah
akibat perbuatan Bergola Ireng yang hampir saja di rusak kehormatannya oleh Bergola
Ireng. Dengan penuh emosi si gadis mencabut pedang di punggungnya lalu menyabetkan
pedang itu ke arah leher Bergola Ireng.
Crass ... !!
“Aakh ... !” jerit Bergola Ireng tercekat lalu suaranya lenyap seiring kepalanya
menggelinding putus dari raganya.
Tak puas dengan memutus leher Bergola Ireng, si gadis menendang keras tubuh
Bergola Ireng hingga mencelat menabrak pohon. Si gadis berdiri menatap tajam tubuh
Bergola Ireng dengan nafas terengah-engah. Hatinya masih belum puas maka dia
melompat menuju ke tubuh Bergola Ireng.
“Hentikan!” teriak seseorang menghentikan si gadis yang hendak melompat
menerjang tubuh Bergola Ireng. “Sudah hentikan, Nisanak. Tidak ada gunanya kau
teruskan. Dia sudah menjadi mayat,” ucap pemuda itu lalu melemparkan sesuatu ke arah
si gadis.
Si gadis menangkap sesuatu yang di lemparkan pemuda bertopeng itu.
“Aku belum puas sebelum mencincang orang itu sampai hancur!” seru si gadis
dengan nada yang masih menunjukkan kemarahan.
Pemuda bertopeng itu tersenyum lembut.
“Aku tahu perasaanmu, Nisanak. Tapi pakailah baju itu agar auratmu tidak kau
biarkan terlihat begitu saja,” ucapnya mengingatkan keadaan si gadis yang masih tidak
sadar akan aurat atasnya masih terlihat akibat bajunya dirobek oleh Bergola Ireng tadi.
“Ekh?!” si gadis tersentak kaget menyadari keadaan dirinya, buru-buru dia menutup
dadanya dengan dua tangannya lalu berlari di balik di sebuah pohon besar.
Pemuda bertopeng itu tertawa kecil melihat tingkah si gadis yang panik. Surya lalu
berjalan pergi dari tempat itu.
“Tunggu!!” teriak si gadis mencegah pemuda bertopeng itu pergi.
“Tunggu!” seru si gadis kembali sambil berlari mengejar pemuda bertopeng tadi.
Pemuda bertopeng itu membalikkan tubuhnya menghadap si gadis.
“Nisanak ada perlu denganku?” tanyanya kalem tersenyum lembut.
Si gadis menatap pemuda bertopeng sejenak.
“Terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang budi padamu, entah dengan apa
aku bisa membalasnya.”
Si gadis menunduk sedikit menghormati orang yang telah menolong dirinya.
“Aku ... Intan Ayu. Nama Kisanak siapa?”
Pemuda bertopeng menatap lembut gadis cantik di depannya yang mengaku
bernama Intan Ayu.
“Aku Surya,” sahut Surya kalem.
“Surya. Sekali lagi terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi.”
“Tidak usah dipikirkan, Nisanak Intan Ayu. Hanya kebetulan saja aku lewat tempat
ini dan melihat Nisanak di bawa oleh tiga orang tadi,” ucap Surya lembut.
“Apapun itu aku sangat berterima kasih padamu,” sahut si gadis yang bernama
Intan Ayu. “Kalau tidak ada kamu entah apa jadinya diriku. Mungkin aku sudah ... ”
Intan menghentikan ucapannya. Tampak tangannya terkepal erat menahan kejengkelan
hatinya akibat kejadian buruk yang hampir menimpa dirinya kalau tidak di tolong oleh
Surya.
“O ya, Nisanak mau kemana?” ucap Surya mengalihkan pembicaraan.
Intan menatap pemuda bertopeng itu sejenak. Lalu dia menghela nafas pendek.
“Aku sebenarnya sedang mencari kakakku. Mungkin Kisanak pemah bertemu
dengan dia, namanya Lestari, dia bersama Eyang Rakanini atau orang menjulukinya
Hantu Tongkat Hitam.”
Surya memegang dagunya berpikir sejenak. Sepertinya dia pemah bertemu dengan
seorang gadis bernama Lestari dan juga wanita tua bernama Rakanini. Apakah mereka
orang yang tengah di cari oleh Intan Ayu, batin Surya.
“Kamu pemah bertemu mereka?” tanya si gadis kalem.
Surya melirik Intan Ayu, dia menggeleng pelan saja.
“Sebaiknya kita keluar dari hutan ini dulu. Mari.”
Surya melangkah ringan di ikuti Intan Ayu. Dalam perjalanan mereka banyak
ngobrol dan becanda.
“Jadi kamu juga mendapat undangan dari orang-orang Lembah Tengkorak? Hmmm.
Agaknya aku memiliki firasat buruk tentang undangan itu. Bisa saja itu adalah undangan
maut,” ucap Intan Ayu pelan. Dia diam merenung mencermati arti dari undangan maut
tersebut.
“Hari ke 15 tinggal 3 hari lagi. Mari kita sama-sama ke Lembah Tengkorak, aku
penasaran dengan undangan itu. Bagaimana?” tanya Surya menatap Intan yang terdiam
karena merenung.
Intan menoleh menatap pemuda bertopeng itu beberapa lama lalu mengangguk
sedikit. Intan sebenarnya merasa ragu namun rasa penasarannya akan undangan itu
membuatnya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan si Pengirim Undangan yang
mengatas namakan dirinya Dewi Lembah Tengkorak.
Tak terasa matahari bergulir sangat cepat sehingga sorepun telah tiba. Mereka terus
berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebuah desa yang berada di kawasan Gunung
Puting timur.
—0O0—
MALAM ini Desa Ngasinan tampak lain dari biasanya, desa yang biasanya tidak
terlalu ramai jika malam hari, sekarang jadi tampak ramai karena malam ini banyak
sekali para pengunjung yang singgah di desa tersebut. Umumnya para pengunjung itu
adalah para pengembara dan ada juga dari beberapa orang-orang kerajaan. Mereka rata-
rata memiliki tujuan yang sama yaitu hadir dalam undangan yang di kirim oleh orang
yang menamakan dirinya Dewi Lembah Tengkorak.
Di sudut ruang kedai yang terletak di ujung jalan desa tampak dua orang tengah
duduk menikmati hidangan yang tersedia di depan mereka. Si gadis sesekali memandang
ke sekitar dalam kedai yang di penuhi orang-orang dari rimbar persilatan yang berbeda
aliran. Si pemuda bertopeng perak malah asyik menyantap ayam goreng yang ada di
piring. Dia tidak pedulikan orang-orang yang juga ada di dalam kedai. Si gadis menepuk
bahu pemuda bertopeng perak.
“Surya! Lihat yang datang ke kedai ini rata-rata orang persilatan yang cukup
memiliki nama. Yang duduk di dekat jendela itu adalah Malaikat Biru Kali Gede sedang
dua orang yang bersamanya adalah Sepasang Pendekar Pedang Timur. Tak jauh dari
tempat mereka itu adalah si Tongkat Ular Sanca lalu disampingnya Dewa Tangan Api.”
Si gadis yang tak lain adalah Intan Ayu menyebut nama nama tokoh yang ada di
dalam kedai. Si pemuda yang tak lain adalah Surya, Pendekar Pedang Matahari hanya
berguman acuh tak acuh saja.
“Mereka pasti juga penasaran dengan undangan dari Dewi Lembah Tengkorak,”
ucap si gadis kalem.
Surya melirik gadis cantik yang beberapa hari ini bersamanya.
“Tujuan mereka sama dengan kita, Intan. Mereka juga ikut hadir dalam undangan
yang misterius itu,” ucapnya pelan lalu kembali menyantap ayam gorengnya.
Intan Ayu mengangguk cepat lalu mulai menyantap makanannya.
Tak berapa lama datang dua orang ke kedai makan itu, satu orang tua berjubah
putih dengan jenggot putih agak panjang. Yang satu gadis cantik dengan berpakaian hijau
biru terdapat sebilah pedang di punggungnya. Dua orang itu menuju ke meja dimana
Surya dan Intan Ayu berada.
“Maaf Kisanak dan Nisanak. Boleh kami ikut duduk disini karena kami tidak dapat
tempat duduk,” ucap orang tua itu lembut penuh keramahan.
“Silakan,” sahut Intan ramah.
“Terima kasih.”
Orang tua dan gadis cantik itu lalu duduk berhadapan dengan Surya dan Intan Ayu.
Tampak sejenak si gadis melirik ke arah Surya dengan lirikan penuh arti. Entah apa arti
lirikan itu dan hanya si gadis mengetahuinya. Lalu si gadis mengalihkan pandangannya
ke orang tua di sebelahnya.
“Mudah-mudahan saja kita bisa bertemu dengan Pangeran Matahari di Lembah
Tengkorak nanti, Gayatri. Di Kitab Babad Tanah Leluhur tertulis dengan kalau Pangeran
Matahari akan muncul kembali 200 tahun setelah Istana Tapak Suci mengalami
kehancuran,” ucap kakek tua berjubah putih tersebut.
“Ekh?!” Surya tersentak kaget mendengar kakek tua di depannya menyebut
Pangeran Matahari. Surya bertanya-tanya dalam hati kenapa kakek tua itu menyebut soal
Pangeran Matahari dan juga Istana Tapak Suci. Ini adalah hal yang aneh menurutnya.
“Ya, tapi di kitab itu tidak menyebutkan ciri-ciri Pangeran Matahari tersebut, Guru.
Di situ hanya disebutkan Pangeran Matahari akan muncul kembali di masa 200 tahun
setelah Istana Tapak Suci hancur. Sangat sulit Guru menemukan orang di maksud.
Sedangkan ibu harus terbaring menahan sakit menunggu Pangeran Matahari muncul
mengobati beliau,” ucap si gadis yang bernama Gayatri dengan nada putus asa.
“Selagi kita berusaha maka Sang Hyang Widi pasti menunjukkan jalan untuk kita.
Janganlah kamu berputus asa. Kuatkan hatimu Gayatri,” ucap si kakek sambil menepuk
bahu Gayatri lembut untuk menenangkan hati Gayatri.
Gayatri menghela nafas pendek, dia kembali melirik ke arah pemuda bertopeng
perak dan secara kebetulan pemuda bertopeng perak itu juga melirik Gayatri sehingga
pandangan mereka sejenak bertemu lalu mereka sama-sama menghindar, ada suatu
perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di hati Gayatri, seolah seperti perasaan kangen,
rindu dan juga seperti merasa sudah dekat dengan pemuda bertopeng tersebut.
“Kita kembali ke penginapan yuk,” ucap Intan Ayu sambil beranjak berdiri.
Surya menoleh ke Intan Ayu, lalu mengangguk pelan. Surya dan Intan Ayu segera
beranjak pergi dari kedai tersebut. Kembali ketika melirik pandangan Surya bertemu
dengan pandangan Gayatri yang juga melirik padanya. Sejenak mereka saling pandang
kemudian Surya melangkah mengikuti Intan Ayu yang sudah duluan keluar.
Gayatri menatap pemuda bertopeng yang melangkah keluar dari dalam kedai.
Gayatri benar-benar merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba menjalar merasuki
hatinya, tapi perasaan apa itu Gayatri tidak bisa mengartikannya.
“Gayatri. Ada apa?” tanya kakek tua cepat melihat Gayatri yang bersikap sedikit
aneh.
Gayatri menoleh ke kakek tua di sebelahnya lalu menggeleng sedikit.
“Tidak. Tidak apa-apa Guru,” ucapnya cepat.
“Dari tadi Guru lihat kamu memperhatikan pemuda bertopeng terus. Apa kamu
kenal dia?” tanya kakek tua itu menyelidik.
Gayatri menggeleng cepat.
“Tidak. Aku tidak kenal orang bertopeng itu,” sahut Gayatri.
“Hmmmm. Ya, sudah. Kita makan saja dulu setelah itu kembali ke penginapan.”
“Baik. Guru.”
Mereka lalu mulai melahap makanan yang telah disediakan pemilik kedai.
—0O0—
Duaaarr ... !!!
Suara ledakan keras menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.
“Ha-ha-ha-ha. Mampus kau, Rejo Warang. Ha-ha-ha-ha!” tawa seorang kakek tua
berpakaian serba hitam.
Tongkat berbentuk ular tergenggam di tangan kanannya. Rupanya tongkat inilah
yang mengeluarkan sinar kehijauan dan mengenai pohon hingga hancur berkeping-keping.
Di depan kakek tua itu ada orang tua terduduk memegangi dadanya yang sakit akibat adu
tenaga dalam dengan kakek tua tersebut. Di samping orang tua itu ada seorang gadis
memegangi bahu orang tua itu.
“Uhuk ... uhuk. Jalak Ireng! Apa maumu sebenarnya?” seru si orang tua yang
bernama Rejo Warang dengan suara parau.
“Mauku?! Ha-ha-ha-ha. Tentu saja membunuhmu tapi sebelum itu katakan dimana
kau sembunyikan Pusaka Pedang Samudra itu. Atau kau ingin aku siksa dulu Rejo
Warang. Katakan!!” bentak Jalak Ireng garang.
“Manusia terkutuk! Kami tidak takut mati. Hiaaatt!” teriak si gadis yang ternyata
adalah Gayatri. Tanpa tanggung-tanggung Gayatri mencabut pedang di punggungnya.
“Gayatri, jangan. Dia bukan tandinganmu!” teriak Rejo Warang parau.
“Ha-ha-ha-ha. Nyalimu besar juga, Cah Ayu. Ayo majulah. Ha-ha-ha-ha!” ejek
Jalak Ireng meremehkan serangan Gayatri.
Dengan ilmu yang di dapat dari Gurunya yaitu Rejo Warang, Gayatri memainkan
jurus-jurus pedang dengan kecepatan tinggi. Tampak sekali kilatan-kilatan cahaya yang
berkilau dari pedang membuat Gayatri bagai bidadari menari. Secepat kilat Gayatri
menyerang daerah-daerah vital Jalak Ireng. Serangannya sungguh berbahaya sekali
namun yang tengah ia hadapi bukanlah tokoh sembarangan. Gurunya saja di buat
tersungkur apa lagi Gayatri yang hanya seorang murid pasti bukanlah tandingan si Jalak
Ireng.
Agaknya Jalak Ireng sengaja mempermainkan si gadis karena dia hanya melawan
dengan tangan kiri saja, setiap serangan yang datang dengan mudah sekali dipatahkan.
Sebenarnya Gayatri juga tidak bisa di anggap remeh, sebab semua ilmu Gurunya telah ia
kuasai dengan sempurna. Namun menghadapi tokoh kosen yang di dunia persilatan di
juluki Datuk Tongkat Ular ini membuat Gayatri hanya jadi mainan saja oleh Jalak Ireng.
“Ha-ha-ha-ha! Ayo anak manis keluarkan semua kemampuanmu. Ha-ha-ha-ha.”
ledek Ki Jalak Ireng meremehkan Gayatri.
“Huh! Jangan sombong kau orang tua. Tahan pukulanku!!” seru Gayatri geram.
Dengan gerakan cepat Gayatri mengumpulkan tenaga dalamnya di tangan kanan,
kaki kanan di tarik ke belakang, Gayatri bersiap melepaskan pukulan sakti jarak jauh
dengan tenaga dalam penuh. Maka dari tangan kanan Gayatri melesatlah sinar merah
menerjang ke arah Datuk Tongkat Ular. Itulah pukulan sakti yang diturunkan Gurunya Ki
Rejo Warang yang bergelar Malaikat Tangan Besi. Pukulan sakti itu bernama Pukulan
‘Telapak Kematian’. Pukulan ‘Telapak Kematian’ dulu sempat menggegerkan dunia
persilatan karena keganasannya. Dalam sekali pukulan saja mampu membunuh lima ekor
kerbau dewasa dengan tubuh hangus.
“Pukulan ‘Telapak Kematian’?!” seru Ki Jalak Ireng tersentak kaget.
Maka kali ini Ki Jalak Ireng tidak mau berlaku ayal, dengan cepat dia gerakkan
Tongkat Ularnya berputar tiga kali lalu disentakkan Tongkat Ular itu ke depan, dari ujung
tongkat yang berkepala ular itu melesatlah sinar hijau yang memapaki sinar merah
Pukulan ‘Telapak Kematian’. Sinar hijau yang bernama Ajian ‘Ular Hijau Mematuk
Mangsa’ itu bertemu di udara dalam satu titik.
Duaaaarr!!!
Ledakan dahsyat terjadi begitu dua pukulan sakti beradu, tempat itu bergetar bagai
terkena lindu.
“Aaakh!” jerit Gayatri terpental dua tombak ke belakang.
Tiba-tiba sekelebat bayangan putih menyambar tubuh Gayatri yang hampir saja
menabrak pohon.
Ki Jalak Ireng hanya sedikit limbung saja namun dadanya agak terasa sakit akibat
benturan tenaga dalam tadi, dengan cepat Ki Jalak Ireng mengerahkan hawa mumi guna
mengusir rasa sakit di dadanya.
Sementara itu Gayatri yang muntah darah terluka dalam tengah diberi hawa murni
oleh seorang pemuda bertopeng perak yang tak lain adalah Surya. Di tempat lain tampak
Intan Ayu tengah menolong kakek tua Ki Rejo Warang untuk berdiri.
“Terima kasih, Nisanak,” ucap Ki Rejo Warang parau.
“Kakek tidak apa-apa?” ucap Intan Ayu pelan.
“Tidak. Aku tidak apa-apa.” Ki Rejo Warang menoleh ke arah Gayatri yang tengah
diberi hawa murni. “Gayatri!” serunya pelan.
Ki Rejo Warang menghampiri Gayatri muridnya itu.
“Kisanak! Terima kasih banyak Kisanak telah menolong muridku, Gayatri.”
Surya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Surya menoleh
ke arah orang tua yang tadi bertanya. Dia mengangguk sedikit lalu berdiri.
“Untung muridmu cepat di tolong kalau terlambat sedikit saja nyawanya pasti
melayang. Benar-benar pukulan yang sangat mengerikan,” ucap Surya dengan tenang.
“Ouh, terima kasih Kisanak terima kasih.”
“Uhuk ... uhuk. Guru,” ucap Gayatri terbatuk-batuk.
“Gayatri. Kamu tidak apa-apa?” ucap Ki Rejo Warang mencemaskan keadaan
muridnya itu.
Gayatri menggeleng cepat.
“Aku tidak apa-apa, Guru,” ucapnya pelan.
“Sebaiknya kalian bersemedilah untuk memulihkan tenaga kalian,” ucap Surya
kalem. Surya berbalik badan menghadap kakek tua pemegang Tongkat Ular.
“Hati-hati, Kisanak. Dia sangat berbahaya. Tongkat Ularnya mampu
menghancurkan batu besar, jadi berhati-hatilah,” ucap Ki Rejo Warang mengingatkan
Surya.
Surya menoleh ke arah Ki Rejo Warang lalu mengangguk cepat.
“Intan. Kamu jaga mereka disini!” seru Surya pada Intan Ayu.
“Baik,” sahut Intan Ayu mengangguk cepat.
Surya melangkah lima tindak ke arah Ki Jalak Ireng yang sudah berdiri dari
duduknya sehabis mengobati luka dalamnya akibat beradu tenaga dalam dengan Gayatri.
“Orang tua! Sebaiknya hentikan saja semua ini. Tidak ada untungnya meneruskan
permasalahan yang ada,” ucap Surya tenang mengajak jalan berdamai.
Ki Jalak Ireng menatap pemuda bertopeng dengan tajam. Ki Jalak Ireng mendengus
saja mendengar ucapan si pemuda yang mengajak berdamai.
“Heh! Siapa kau bocah? Jangan jadi pahlawan kesiangan. Lekas pergi dari
hadapanku kalau masih ingin melihat matahari esok hari,” ucap Ki Jalak Ireng ketus.
Surya tersenyum lembut mendengar ucapan orang tua yang jelas-jelas meremehkan
dirinya namun Surya tak mau terpancing maka dengan sabar dia masih menginginkan
jalan damai daripada harus terjadi pertumpahan darah yang sia-sia saja.
“Hmmm. Kita manusia hanya memiliki selembar nyawa jadi untuk apa tidak
gunakan hidup ini di jalan kebenaran dan berbuat kebajikan,” ucap Surya kalem.
“Heh! Jangan mengguruiku, Bocah. Tahu apa kau soal hidup? Jadi jangan sok
berlagak di hadapanku. Lekas minggat dari hadapanku kalau masih sayang nyawa!”
bentak Ki Jalak Ireng garang.
Surya kembali tersenyum.
“Kenapa musti harus ada pertumpahan darah jika jalan damai masih terbentang ... ”
“Jangan banyak bacot kau. Bocah. Diberi madu malah minta racun. Rasakan
tongkat ini!” sergah Ki Jalak Ireng.
Dengan gerakan kilat Ki Jalak Ireng mengayunkan Tongkat Ularnya ke kepala
Surya. Deru angin berhembus cepat ketika Tongkat Ular itu bergerak cepat. Tinggal
sejengkal lagi tongkat itu memecahkan kepala Surya, tiba-tiba tangan Surya bergerak
kilat menahan tongkat tersebut hanya dengan satu jari saja. Surya berbuat begitu agar Ki
Jalak Ireng sadar dan bisa di ajak berdamai.
“Ekh?!”
Justru perbuatan Surya itu membuat semua orang yang ada tempat itu jadi tersentak
kaget. Itu adalah kejadian yang membuat takjub bagi siapa saja yang melihatnya. Padahal
tanpa Surya sadari telah ada beberapa orang yang berdatangan di tempat itu. Mereka
terpana melihat kejadian yang ada di depan mereka.
Tongkat Ular milik Datuk Tongkat Ular yang terkenal sakti hanya di tahan dengan
satu jari saja, ini sungguh luar biasa hebat. Semua pada bertanya-tanya siapakah pemuda
bertopeng yang mampu menahan Tongkat Ular milik Ki Jalak Ireng. Pastilah orang itu
memiliki tingkat tenaga dalam yang maha sempurna karena sangat mustahil menahan
Tongkat Ular Sakti hanya dengan satu jari saja. Benar-benar menakjubkan dan itu benar-
benar terjadi di hadapan mereka semua.
Datuk Tongkat Ular mengerahkan seluruh tenaga dalamnya namun tak sedikitpun
tongkatnya bisa bergerak. Kini Ki Jalak Ireng mulai sadar kalau tenaga dalam lawan jauh
lebih tinggi dibanding tenaga dalamnya maka Ki Jalak Ireng mulai bergetar hatinya
gentar. Tapi bila dia mundur atau melarikan diri maka mukanya mau di taruh mana, pasti
orang-orang persilatan akan menertawakan dirinya. Akhirnya Ki Jalak Ireng nekat juga
akan bertarung hidup mati melawan pemuda bertopeng itu.
“Huh! Hari ini aku mengadu kesaktian denganmu, bocah!” seru Ki Jalak Ireng
menarik Tongkat Ularnya lalu melompat lima langkah ke belakang.
Surya menghela nafas pendek. Surya sadar dengan ucapan Ki Jalak Ireng yang
berarti pertarungan ini di tentukan siapa yang mati dialah yang kalah. Tak ada jalan
damai sama sekali. Dalam hati Surya sangat menyesalkan kecerobohannya yang berbuat
seperti itu tadi.
“Terimalah pukulan ‘Ular Hijau Memburu Kematian’-ku, Bocah!!” seru Ki Jalak
Ireng lantang.
Ki Jalak Ireng memutar Tongkat Ularnya di depan, tubuhnya bergetar hebat
mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Ki Jalak Ireng benar-benar ingin mengadu
kesaktian dengan Surya sampai mati.
Surya menghela nafas pendek, tak ada jalan baginya untuk menghindari
pertarungan adu kesaktian dengan Ki Jalak Ireng, mau tidak mau Surya harus
menghadapinya dengan jalan ksatria. Maka dengan cepat tangan kanan Surya di angkat
ke atas dengan telapak tangan terbuka mengerahkan tenaga dalam di telapak tangan, lalu
telapak tangan itu tergenggam erat hingga berwarna keperakan. Itulah Pukulan ‘Matahari’
tingkat terakhir dari rangkaian Ilmu ‘Sembilan Matahari’. Sengaja Surya menggunakan
Pukulan ‘Matahari’ tingkat terakhir untuk menghormati lawannya.
Melihat dua orang yang tengah melakukan pengerahan pukulan dengan tenaga
dalam tinggi membuat semua orang yang ada di tempat itu langsung beranjak menjauhi
tempat itu, mereka sadar bila berada di dekat dua orang yang tengah adu kesaktian itu
bisa membahayakan diri mereka sendiri, salah salah mereka bisa terkena pukulan nyasar.
Jadi mereka berlaku mencari aman dengan jalan menjauh dari tempat pertarungan adu
kesaktian tersebut.
“Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!” seru salah seorang di antara mereka begitu
melihat siapa yang sedang adu kesaktian dengan Datuk Tongkat Ular.
“Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!!” seru semua tercekat kaget mendengar ada
yang menyebut gelar Pendekar Pedang Matahari.
Siapa yang tak kenal dengan gelar tersebut, gelar Pendekar Pedang Matahari yang
telah menggegerkan dunia persilatan. Mereka menoleh ke arah pemuda berjubah putih
dengan pedang bergagang kepala naga di punggungnya.
“Pendekar Naga Putih?!” seru orang separuh baya cepat. “Apa benar pemuda
bertopeng perak itu Pendekar Pedang Matahari?” ucap orang tua itu.
Pendekar Naga Putih menoleh ke orang separuh baya.
“Paman Santiko Aji!” seru Panji mengenal orang separuh baya tersebut. “Benar,
Paman. Dialah yang Pendekar Pedang Matahari,” ucap Panji kemudian.
Mereka kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan Surya dengan Ki
Jalak Ireng.
“Ajian ‘Ular Hijau Memburu Kematian’!” teriak Ki Jalak Ireng keras.
Dari ujung tongkat yang berbentuk kepala ular melesak sinar hijau yang menderu
menerjang ke arah Surya.
“Pukulan ‘Matahari’!” teriak Surya lantang.
Dari tangan kanan Surya tergenggam keperakan melesat sinar putih keperakan
mengandung hawa panas luar biasa menerjang ke arah Ki Jalak Ireng. Dua sinar pukulan
sakti berada di satu garis lurus lalu bertemu di satu titik.
Duaarrr... !!!
Ledakan maha dahsyat terdengar keras membuat tanah di tempat itu bergetar bagai
terkena gempa. Efek pukulan sakti yang beradu itu sampai ke tempat orang-orang yang
menyaksikan pertarungan itu. Mereka sampai mengerahkan tenaga dalam untuk meredam
efek yang ditimbulkan beradunya dua pukulan sakti tersebut. Orang yang memiliki
tenaga dalam menengah langsung roboh tidak kuat menahan efek dahsyat dua pukulan
sakti tersebut. Sedang orang-orang yang memiliki tenaga dalam yang dapat di andalkan
tidak mengalami goncangan yang berarti.
Tampak sinar putih keperakan Pukulan ‘Matahari’ menekan dan menembus sinar
hijau ajian ‘Ular Hijau Memburu Kematian’ dan langsung melabrak tubuh Ki Jalak Ireng.
“Uaaagkh ...” jerit Ki Jalak Ireng.
Tubuh Ki Jalak Ireng terpental sepuluh tombak menabraki pohon-pohon hingga
bertumbangan, tubuh Ki Jalak Ireng baru berhenti setelah menabrak batu besar. Tampak
tubuh Ki Jalak Ireng jadi hitam gosong kemudian meleleh jadi abu hitam. Benar-benar
mengerikan akibat terkena Pukulan ‘Matahari’.
Surya hanya terseret ke belakang tiga langkah saja, dia merasakan dadanya agak
nyeri di dalam, dengan cepat Surya bersila mengobati luka dalamnya dengan pengerahan
hawa murni ke setiap aliran darahnya agar kembali normal.
“Uhuk-uhuk.” Surya terbatuk pelan. “Agaknya aku terlalu memforsir tenaga
dalamku. Dalam 7 hari kedepan aku tak mungkin lagi bisa menggunakan pelindung sakti
ku. Yaitu ‘Sindat Tenze’. Mulai sekarang aku harus berhati-hati. Dalam 7 hari kedepan
aku hanya bisa melindungi diriku dengan Ilmu ‘Sembilan Bulan’ saja. Ilmu ‘Sembilan
Matahari’ tidak akan bisa keluarkan selama 7 hari kedepan,” batin Surya dalam hati.
Itulah kelemahan ilmu yang Surya miliki, bila dia menggunakan salah satu dari tiga
Ilmu ‘Dewa’ maka ilmu yang beraliran dengan yang di gunakan Ilmu ‘Dewa’ tersebut
akan musnah selama beberapa hari. Ini tergantung besar kecilnya tenga dalam yang
dikeluarkan. Bemntung tadi Surya hanya menggunakan sepertiga tenaga dalamnya
karena tadi sewaktu mengerahkan Pukulan ‘Matahari’ Surya melindungi dirinya dengan
Ilmu ‘Pelindung Raga’. Sehingga efek pukulan lawan dapat di buyarkan oleh ilmu
tersebut, namun akibatnya Surya harus kehilangan dua ilmunya untuk sementara waktu.
Yaitu Ilmu ‘Sembilan Matahari’nya dan Ilmu ‘Pelindung Raga’ atau ‘Sindat Tenze’.
“Anak muda kamu baik-baik saja?” ucap Ki Rejo Warang kalem sambil menyentuh
pundak Surya. Ki Rejo Warang agak mencemaskan keadaan penolongnya tersebut.
Surya membuka matanya dan menatap orang tua itu lembut.
“Tidak. Aku tidak apa-apa,” ucapnya kalem menenangkan kecemasan orang tua di
depannya itu.
“Syukurlah tuan pendekar baik-baik saja. Saya mengira tuan pendekar terluka
dalam akibat bentrokan tenaga dalam dengan Ki Jalak Ireng tadi,” ucap Ki Rejo Warang.
Surya beranjak berdiri dari bersila.
“Tidak. Saya baik-baik saja.”
“Surya. Kamu tidak apa-apa?” seru Intan Ayu cepat setelah sampai di samping
Surya.
Surya menoleh ke arah Intan Ayu lalu menggeleng cepat.
“Syukurlah kamu baik-baik saja. Aku sudah cemas tadi melihat pertarungan adu
kesaktianmu dengan orang tua itu,” ucap Intan Ayu menarik nafas lega.
Surya tersenyum lebar mendengar itu.
“Pendekar Pedang Matahari memang luar biasa sekali. Hebat!”
“Pendekar Pedang Matahari?!” seru Ki Rejo Warang dan beberapa orang yang ada
tempat terkejut.
Mereka tidak menyangka kalau pemuda bertopeng perak di depan mereka adalah
tokoh pendekar yang saat ini telah membuat geger dunia persilatan wilayah timur dengan
sepang terjangnya yang membuat semua jadi kagum.
“Benarkah Kisanak ini adalah pendekar besar yang saat sedang ramai dibicarakan
orang? Sungguh anugrah bagi kami bisa bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari,”
ucap Ki Rejo Warang menjura hormat sedikit membungkuk.
Surya tersenyum tipis lalu mengangguk pelan.
“Maaf. Kami mohon permisi dulu. Intan, ayo!” ucap Surya lalu tanpa menunggu
jawaban semua orang segera menggandeng tangan Intan lalu melesat cepat dari tempat
tersebut.
Semua orang hanya diam terpana dengan gerakan kilat Pendekar Pedang Matahari
yang sungguh luar biasa cepat bagai hilang di telan bumi.
“Hmmm! Sungguh luar biasa hebat ilmu meringankan tubuhnya.” guman beberapa
orang sambil geleng-geleng kepala kagum.
Semua orang yang ada tempat itu segera beranjak pergi ke arah timur menuju ke
Lembah Tengkorak.
Sementara itu Surya yang berlari cepat dengan menggandeng tangan Intan Ayu
sudah keluar dari hutan kecil itu. Mereka sampai di sebuah anak sungai yang airnya
mengalir sangat jemih, di batu besar di bawah pohon cempedak yang tumbuh menjorok
ke arah sungai mereka berhenti, tampak nafas Surya sangat memburu tidak seperti
biasanya, agaknya Surya menyembunyikan sesuatu.
“Hah-hah-hah. Aku tidak kuat lagi,” ucap Surya dengan nafas yang terengah-engah.
“Surya! Surya! Kamu tidak apa-apa?” seru Intan Ayu heran dengan keadaan Surya
yang tidak seperti biasanya.
Intan memegang tangan Surya.
“Ekh?!” seru Intan Ayu tersentak kaget. “Tubuhmu panas. Apa yang terjadi?”
Intan mulai merasa cemas melihat keadaan Surya yang suhu tubuhnya panas.
“Uhuk-uhuk!!” Surya batuk lalu muntah darah segar dari mulutnya. “Hehh ... aahh.”
Surya mendesah lalu roboh pingsan di atas batu.
“Surya! Surya! Surya!” teriak Intan Ayu panik.
Intan Ayu panik sekali melihat Surya roboh pingsan. Dengan cepat Intan Ayu
mengangkat tubuh Surya, Intan merasakan suhu tubuh Surya semakin tambah panas.
Dalam bingungnya Intan Ayu sekilas melihat di tebing ada goa kecil maka dengan cepat
Intan Ayu membawa Surya dengan sekuat tenaga menuju goa kecil tersebut.
Matahari semakin merambat naik tepat di atas kepala. Gemericik air sungai
terdengar memecah kesunyian siang bolong. Kembali tempat itu menjadi sunyi kembali.
—0O0—
KUDA putih tegap dan gagah berlari kencang menembus angin laksana anak panah
yang terlepas dari busurnya, tanah yang ditinggalkannya tampak debu tebal menggulung-
gulung karena habis di lewati kuda putih tersebut. Sang penunggang kuda putih ternyata
adalah gadis jelita dengan paras yang cantik bagai bidadari dari khayangan, tampak
semakin anggun di atas kuda putih betina tersebut. Sesekali kepala gadis itu menengok ke
belakang memastikan tidak ada lagi yang mengikuti dirinya.
“Heaa ! Heaa ... !”
Si gadis semakin memacu kuda putihnya dengan cepat karena hari sudah beranjak
siang, ini terlihat dari matahari yang sudah mencapai atas kepala. Kuda putih itu
meringkik keras lalu dengan cepat menerobos kelebatan hutan, hingga tak berapa lama
telah keluar dari hutan tersebut. Di pengkolan jalan si gadis mengambil arah ke kanan
menuju ke sebuah pemukiman penduduk yaitu Desa Ngampon. Memasuki mulut gerbang
desa maka si gadis membawa kuda putihnya pelan-pelan. Tampak para penduduk desa
yang berpapasan membungkuk hormat tanda penduduk Desa Ngampon sangat ramah dan
sopan serta menghormati orang lain. Sampai di tengah desa si gadis berhenti di sebuah
kedai yang cukup besar, tampak dari dalam kedai keluar orang tua setengah baya
langsung menghampiri si gadis jelita. Orang tua itu membungkuk hormat lalu memegang
tali kekang kuda putih tersebut. Si gadis turun dari kuda putihnya.
“Mangga, Den Ayu. Silakan!” ucap orang tua separuh baya tersebut penuh sopan
santun dan ramah.
Si gadis mengangguk sedikit kemudian melangkah memasuki kedai makan tersebut
yang kebetulan agak sedikit sepi. Biasanya kedai tersebut cukup ramai di datangi
pengunjung karena masakannya terkenal enak. Si gadis dengan tenang duduk di pojok
ruangan dekat dengan jendela. Si gadis mengedarkan pandangannya ke luar kedai sejenak
lalu menoleh ke samping karena ada orang yang mendekati tempat dia duduk.
“Den Ayu mau pesan apa?” ucap pelayan kedai tersebut kalem.
“Satu porsi makan dan minum,” sahut si gadis lembut. Nada suaranya terdengar
enak sekali di telinga.
“Baik. Saya persiapkan dulu.” si pelayan kembali menuju belakang kedai.
Si gadis menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskannya dengan cepat.
“Hehh mmm ... Sudah hampir seminggu aku meninggalkan Salatiga. Semoga saja
mereka tidak bemsaha lagi mencariku. Aku capek dan bosen harus terus tinggal di istana
kadipaten. Aku ingin merasakan dunia luas ini tanpa harus terikat segala aturan yang
membuatku bagai di penjara. Hehhmm ...” ucap gadis itu lirih sekali.
Si gadis menghempaskan tubuhnya ke belakang bersandar pada dinding kedai yang
terbuat dari kayu. Dia menghela nafas panjang seolah melepas kepenatan setelah seharian
berkuda. Tak berapa lama pelayan kedai menghampiri si gadis.
“Lembah Tengkorak masih sangat jauh dari Desa Ngampon ini. Haruskah aku
kesana atau langsung ke Gunung Gede?” batin si gadis dalam hati. “Ahhh ... aku coba ke
Lembah Tengkorak saja. Aku penasaran dengan desas-desus tentang undangan misterius
yang hingga sampai ke wilayah tengah. Ya aku akan kesana. Harus!” ucap si gadis lirih
yang hampir tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
“Ini Den Ayu pesanannya. Silakan!” ucap pelayan kedai yang datang membawa
pesanan si gadis jelita itu.
“Terima kasih.” si gadis mengangguk sedikit.
Dia segera menyantap makanan yang telah disediakan oleh pelayan kedai tadi.
Tak berapa lama datang dua orang memasuki kedai tersebut.
“Pendekar Pedang Matahari memang sangat luar biasa hebat. Datuk Tongkat Ular
dapat dikalahkan dengan begitu mudahnya. Padahal Datuk Tongkat Ular adalah salah
dedengkot golongan hitam yang sudah sangat tersohor di dunia persilatan Tanah Jawa
ini,” kata orang yang sebelah kanan. Orang ini memiliki perawakan tegap dan cukup
gagah. Sebilah pedang tersampir di pinggangnya.
“Kau benar, Barong. Di usianya yang masih muda sudah memiliki ilmu yang
begitu tinggi. Aku kagum dengan pemuda itu. Luar biasa!” sahut orang yang sebelah kiri.
Orang ini bernama Sukiran. Mereka adalah Sepasang Pendekar Pedang Dari Timur.
“Aku rasa untuk berhadapan dengan Pendekar Pedang Matahari pasti berpikir
seribu kali,” ucap Barong.
“Pendekar Pedang Matahari?!” gumam si gadis lirih dengan kening mengerut.
Dengan cepat si gadis menghampiri dua orang yang baru datang tadi.
“Maaf Kisanak mengganggu sebentar ... ” ucap si gadis kalem.
Dua orang tadi sama-sama menoleh ke arah si gadis.
“Siapa itu Pendekar Pedang Matahari? Dimana aku bisa menemuinya?” tanya si
gadis dengan nada suara kalem.
Dua orang itu saling Pandang sejenak lalu kembali menatap ke arah si gadis.
“Maaf. Siapa Nisanak?” tanya Sukiran dengan mimik ingin tahu maksud si gadis
jelita.
“Namaku Dewi Sekarwati. Aku sedang mencari orang yang bergelar Pendekar
Pedang Matahari. Apakah Kisanak berdua tahu dimana aku bisa menemuinya?” ucap si
gadis cepat.
“Oh! Kami tidak tahu dimana Nisanak bisa ketemu dengan Pendekar Pedang
Matahari. Tapi kami tadi melihat Pendekar Pedang Matahari pergi ke arah utara Hutan
Welirang. Ada urusan apa Nisanak ingin bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari?”
sahut Sukiran cepat.
“Oh! Terima kasih Kisanak!” ucap si gadis cepat lalu segera melesat keluar dari
kedai menghampiri kuda putihnya.
Dengan cepat si gadis naik ke punggung kuda lalu menggebrak kuda putihnya
menuju Hutan Welirang. Begitu matahari sudah condong ke barat si gadis baru sampai di
pinggiran Hutan Welirang. Si gadis agak bimbang juga melihat Hutan Welirang yang
begitu lebat apa lagi hari sudah sore menjelang senja. Akhirnya si gadis memutuskan
untuk kembali ke desa dan mencari penginapan, dia tidak mau ambil resiko jika tetap
nekat masuk ke Hutan Welirang yang juga terkenal sangat angker.
—0O0—
API unggun kecil tampak menyala di ruangan goa, apinya cukup menerangi
ruangan goa tersebut. Bau harum daging panggang tampak menyengat di hidung dan
membuat selera makan jadi tergugah. Tampak Intan Ayu sedang membolak balik kelinci
hutan yang tengah di panggangnya. Sesekali Intan Ayu menoleh ke arah sudut goa
dimana Surya tergeletak belum sadarkan diri. Intan menghela nafas panjang karena masih
bingung dan cemas dengan keadaan Surya belum sadarkan diri dari tadi siang. Intan Ayu
lalu beranjak mendekati Surya dan duduk di samping pemuda yang selalu menutupi
wajahnya dengan topeng perak.
“Heehhh! Suhu tubuhnya masih tinggi. Aku kuatir Surya dengan keadaannya yang
mencemaskan itu. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Surya? Apa dia terkena racun
jahat setelah bertarung dengan Datuk Tongkat Ular tadi?” ucap Intan Ayu lirih.
Intan Ayu meletakkan kelinci panggangnya di atas daun pisang yang ada di atas
batu. Nafsu makannya jadi hilang setelah melihat keadaan Surya yang begitu
mencemaskan. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong Surya karena dia tidak
tahu tentang ilmu pengobatan.
“Ehm-ehm ... Tidak usah cemas Nisanak! Dia baik-baik saja!” tiba-tiba ada suara
orang bicara dari arah mulut goa.
Kontan saja Intan Ayu jadi terkejut dan langsung berdiri menghadap ke arah mulut
goa. Tangannya segera memegang gagang pedang untuk berjaga-jaga. Tampak di mulut
goa berdiri seorang kakek dengan berjubah putih memegang tongkat berliku liku di
tangan kanannya.
“Heh. Siapa kau?” seru Intan Ayu dengan sorot mata tajam menatap orang tua
berjubah putih di mulut goa.
Kakek berjubah putih tersenyum lembut sambil melangkah pelan ke arah Intan Ayu.
“Berhenti! Jangan berani mendekat atau aku harus bersikap kasar padamu, Orang
Tua!” seru Intan Ayu cepat.
Kembali kakek tua tersebut tersenyum lembut.
“Kita satu golongan. Tidak perlu menaruh wasangka yang bukan bukan. Nisanak!”
ucap kakek tua itu dengan suara halus menunjukkan sikap bersahabat.
Intan Ayu tidak mau berlaku lengah karena bisa saja sikap ramah si kakek hanyalah
pura-pura belaka dan di kala dirinya lengah bisa saja si kakek menyerang dirinya dan
juga Surya yang tengah pingsan tidak berdaya. Setiap orang yang hendak berniat jahat
pasti menghalalkan segala cara meskipun itu dengan cara licik. Intan tidak mau
kecolongan dengan hal ini dan memilih bersikap waspada.
“Tenanglah, Nisanak! Aku bukan orang jahat. Aku hendak menolong temanmu itu.
Kalau tidak segera di tolong aku kuatir sakitnya tambah parah!” ucang kakek berjubah
putih tersebut dengan nada suara tenang dan lembut.
Intan Ayu sejenak menoleh ke arah Surya lalu kembali menatap orang tua di
depannya penuh selidik.
“Katakan dulu siapa kau orang tua!” seru Intan Ayu cepat.
Kakek tua itu tersenyum lembut sambil mengusap janggut putihnya yang panjang.
“Hehhm ... aku Ki Wanengpati. Orang-orang menjulukiku : Tabib Putih Delapan
Penjuru Angin,” ucap orang tua itu lembut mengenalkan siapa dirinya.
“Hah?!” Intan Ayu terperanjat mendengar julukan orang tua di depannya itu.
Siapa yang tidak tahu dengan julukan Tabib Putih Delapan Penjuru Angin, seluruh
dunia persilatan Tanah Jawa pasti mengenal dengan julukan itu. Orang tua sakti dari
daratan Jawa bagian tengah yang terkenal akan kemahirannya dalam mengobati segala
macam penyakit. Tapi untuk menemui orang sakti itu sangatlah sulit karena orang tua
sakti itu selalu mengembara di setiap pelosok daratan Tanah Jawa ini. Kemunculannya di
goa tempat Intan Ayu dan Surya berada pasti suatu takdir yang membawanya ke goa itu.
“Apakah aku boleh memeriksa temanmu itu, Nisanak?” ucap Ki Wanengpati
memecah lamunan Intan Ayu.
Intan Ayu diam saja dan hanya bergerak agak menyingkir memberi jalan pada
orang tua tersebut.
Ki Wanengpati melangkah perlahan ke arah Surya yang tergeletak. Sejenak Ki
Wanengpati mengamati Surya dari atas sampai bawah.
“Hehhhm! Sungguh luar biasa ilmu pemuda ini. Kekuatan yang ada di tubuhnya
adalah murni kekuatan dari mata batinnya. Bukan kekuatan yang di dapat dari hasil
berlatih ataupun pemberian orang lain namun murni kekuatan yang benar-benar lahir dari
mata batinnya. Bisa dikatakan pemuda ini memiliki kekuatan di atas dewa sekalipun.
Tidak aku sangka ada manusia yang seperti ini hidup di dunia ini. Mungkin hanya ada
satu manusia saja yang bisa memiliki kekuatan seperti ini dalam sejarah hidup manusia
selama ini. Sungguh tidak dapat di percaya ada manusia seperti ini jika aku tidak
melihatnya secara langsung. Hehhhm ... ” ucap Ki Wanengpati dalam hati.
Orang tua itu menengok ke arah gadis cantik di sebelahnya itu sejenak. Kemudian
dia mengusap dada Surya tiga kali. Usapan itu bukan hanya usapan biasa namun di iringi
pengerahan hawa murni.
“Bangunlah! Anakku, bangunlah! Bangunlah!” ucap Ki Wanengpati lembut.
Tampak Surya mulai siuman, kepalanya bergerak pelan di iringi erangan dari
mulutnya. Matanya perlahan terbuka. Ki Wanengpati tersenyum senang melihat Surya
sudah mulai siuman.
“Bangunlah, anakku!” ucapnya lembut.
Surya mengerjapkan matanya lalu mulai merayapi seluruh ruangan goa sampai
matanya melihat dua orang disampingnya.
“Ehhhmm...”
Surya beranjak dari berbaringnya untuk duduk. Setelah duduk bersila Surya
melakukan semedi ini bertujuan mengembalikan tenaganya dan mengatur jalan darahnya
yang tidak teratur. Tak berapa lama Surya membuka matanya.
“Ki Wanengpati?” ucap Surya kalem. “Terima kasih sudah menolongku.”
“Hemm.” Ki Wanengpati bergumam mengangguk. “Apa yang terjadi, anakku?”
tanyanya kemudian.
Surya menghela nafas panjang. Hidungnya kembang kempis membaui bau harum
yang menggugah rasa laparnya.
“Ada bau harum. Apa ini?” ucapnya cepat.
Intan Ayu cepat cepat mengambil kelinci bakar yang ada di atas daun pisang.
“Kau lapar? Ini makanlah!” ucap Intan Ayu menyerahkan kelinci bakarnya pada
Surya.
Tanpa ragu-ragu Surya langsung menyambar kelinci panggang di tangan Intan dan
langsung melahapnya dengan cepat. Maklum perutnya sangat kelaparan. Intan Ayu dan
Ki Wanengpati hanya tertawa kecil melihat Surya yang sangat lahap makannya itu.
“Ini minumnya.”
Intan Ayu menyodorkan bambu yang berisi air putih.
Gluk gluk gluk ... !
Suara air yang di minum Surya.
“Ahh, kenyang,” ucapnya tanpa malu-malu.
Kembali Intan Ayu dan Ki Wanengpati tertawa kecil melihat hal itu.
“Apa yang terjadi, anakku?” tanya Ki Wanengpati lagi.
Surya menatap orang tua di depannya lembut.
“Hehhh. Aku terlalu ceroboh Ki,” ucapnya pelan bagai untuk dirinya sendiri.
Ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Aku ceroboh telah melanggar pantangan,” ucap Surya lagi.
“Apa maksudmu, anakku? Pantangan apa?” ucap Ki Wanengpati tidak mengerti.
Surya menghela nafas panjang.
“Pantangan untuk tidak menggunakan tiga ilmu ‘Dewa’. Aku telah memagari tiga
Ilmu ‘Dewa’ tersebut agar tidak aku gunakan tapi aku telah melanggarnya,” ucap Surya.
Ki Wanengpati manggut-manggut mendengar hal itu.
“Apa yang terjadi bila kau sudah melanggar pantangan itu, anakku?” tanya Ki
Wanengpati ingin tahu.
“Semua ilmu yang bersumber dari tiga Ilmu ‘Dewa’ itu akan musnah.”
“Apa?!” Ki Wanengpati dan Intan Ayu sampai terlonjak kaget mendengar itu.
“Semua ilmumu akan musnah?!” seru Ki Wanengpati ingin kejelasan.
Surya diam dan menunduk menekuri tanah.
Ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap Surya dengan seribu pertanyaan di dada.
Tanpa mereka ketahui ternyata ada sesorang yang mendengarkan pembicaraan mereka.
Orang itu tersenyum penuh arti lalu berkelebat pergi dari tempat itu.
Surya kembali menatap Ki Wanengpati.
“Tidak semua ilmuku musnah, Ki. Hanya Ilmu ‘Matahari’-ku saja yang sementara
ini tidak bisa aku keluarkan, sebab aku telah menggunakan Pukulan ‘Matahari’. Dalam
tujuh hari ke depan aku tidak dapat menggunakan Ilmu ‘Matahari’-ku,” ucap Surya.
“Maksudmu?”
“Setiap kali aku gunakan salah satu dari ilmu ‘Dewa’ maka saat itu juga ilmuku
akan musnah untuk beberapa lama. Tergantung dari besar kecilnya tenaga dalam yang
aku gunakan.”
Ki Wanengpati manggut-manggut paham.
“Begitu. Lalu apa yang sekarang kamu gunakan?”
“Hanya Ilmu ‘Sembilan Bulan’ dan berapa ilmu lain yang tidak beraliran dengan
Ilmu ‘Matahari’.”
“Ilmu ‘Sembilan Bulan’ termasuk ilmu yang luar biasa dahsyat. Aku rasa dengan
ilmu itu kamu tidak perlu kuatir dalam pengembaraanmu. Apa lagi Pedang Matahari
masih di tanganmu. Jadi tidak ada masalah lagi.”
“Tidak!! Pedang Matahari sudah tidak ada gunanya jika ilmu ‘Matahari’-ku belum
kembali. Lihatlah!” Surya mengambil Pedang Mataharinya dari punggung.
Sring!!
Pedang Matahari tercabut dari sarungnya. Tampak Pedang Matahari tidak seperti
biasanya yang memancarkan pamor kuning keemasan. Pedang itu kini tak lebih hanya
pedang biasa yang tidak memiliki kesaktian apa-apa.
“Ki Wanengpati lihat sendiri. Pamor Pedang Matahari juga ikut lenyap. Pedang ini
tak lebih hanya sebuah pedang biasa saja.”
Ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap Pedang Matahari di tangan Surya yang
memang berubah jadi pedang biasa saja.
Surya meletakkan Pedang Mataharinya di tanah bersama samngnya.
Sungguh ajaib!
Tiba-tiba pedang dan sarung Pedang Matahari amblas masuk ke dalam tanah.
“Untuk sementara ini Pedang Matahari telah kembali ke tempatnya dan akan
muncul lagi jika kekuatan ilmu ‘Matahari’-ku sudah kembali,” ucap Surya kalem. “Aku
akan bersemedi malam ini dan aku harap kalian menjauh dari sini,” ucapnya lagi.
Ki Wanengpati mengangguk paham kemudian beranjak berdiri.
“Sebaiknya kita keluar dari goa ini, Cah Ayu!” ucapnya pada Intan Ayu.
Ki Wanengpati melangkah keluar sedang Intan Ayu masih bingung dan menatap
Surya yang sudah mulai bersemedi. Mau tidak mau akhirnya Intan Ayu beranjak juga
keluar dari goa tersebut. Di mulut goa Intan menatap Surya sejenak lalu kembali
melangkah keluar hingga tubuhnya hilang dari mulut goa.
—0O0—
SEBUAH panggung megah tampak berdiri di tanah yang lapang, umbul-umbul
warna warni tampak menghiasi sudut-sudut panggung serta jalanan yang menuju area
lapang dimana panggung megah itu berada. Panji-panji kebesaran bergambar
kalajengking hitam tampak berkibar gagah di belakang panggung. Di depan panggung
terdapat kursi-kursi yang di tata rapi. Di kanan kiri panggung juga terdapat kursi-kursi
berjajar dengan rapi. Agaknya tempat itu akan ada hajat secara besar-besaran yang
diselenggarakan tuan rumah yaitu Dewi Lembah Tengkorak.
Siang itu tampak tempat duduk depan panggung sudah di isi oleh para tamu
undangan dari kalangan persilatan dan juga dari beberapa wakil kerajaan. Mereka
umumnya orang-orang dari golongan putih. Sedang di kanan panggung juga sudah di isi
oleh orang-orang berbaju hitam, mereka dari golongan hitam. Di kiri panggung juga
sudah di isi orang-orang yang berbaju biru merah. Mereka adalah orang-orang dari
Lembah Tengkorak. Sementara itu di suatu tempat tak jauh dari tempat panggung berada.
“Bagaimana, apa persiapan sudah selesai?” tanya seorang wanita yang sangat cantik
berbaju biru anggun dengan mahkota kecil di kepalanya. Gayanya sangat anggun dan
wajahnya sangat cantik sekali bagai seorang dewi dari khayangan. Dia duduk di kursi
empuk dengan setengah berbaring. Di kanan kiri tempat ia duduk ada dua orang gadis
kecil yang sibuk mengipasi wanita itu.
Wanita inilah yang bernama Dewi Lembah Tengkorak!
“Sudah semua, Ratu!” sahut seorang wanita berpakaian merah. Wajah wanita ini
sangat mengerikan karena mirip tengkorak. Sebenarnya gadis ini hanya memakai topeng
tipis saja yang menyerupai wajah tengkorak.
Dialah Kala Merah!
“Bagus ! Ha-ha-ha-ha!” Dewi Lembah Tengkorak tertawa renyah lalu menatap
empat orang di depannya yang merupakan muridnya. Dewi Lembah Tengkorak
mengerutkan keningnya. “Hmmm. Aku tidak melihat Kala Putih. Dimana dia?”
“Ampun, Ratu. Adik Kala Putih belum kembali dari tugasnya. Mungkin dia
mengalami rintangan di jalan. Sehingga terlambat kembali kesini,” ucap Kala Merah
takut-takut.
“Goblok!” bentak Dewi Lembah Tengkorak keras. “Tugas ringan begitu saja tidak
bisa diselesaikan dengan cepat. Akan aku jatuhi hukuman jika nanti dia kembali!” seru
Dewi Lembah Tengkorak, marah.
Tampak semua menunduk takut dan tidak berani buka suara lagi.
“Sudah! Kalian segera laksanakan tugas yang telah aku berikan pada kalian.
Cepat!” seru Dewi Lembah Tengkorak keras.
Tanpa banyak bicara empat gadis itu segera berlalu dari hadapan Ratu mereka yaitu
Dewi Lembah Tengkorak. Tak berapa lama datang seorang gadis berpakaian serba putih
namun wajahnya berupa tengkorak mengerikan.
“Kala Putih menghadap Ratu!” ucap gadis itu menjura dalam dalam.
“Kala Putih! Dari mana saja kau baru datang?!” seru Dewi Lembah Tengkorak
keras karena marah melihat muridnya si Kala Putih terlambat datang.
Kala Putih menjura hormat dengan takut-takut.
“Ampuni saya, Ratu. Ada berita yang hendak saya laporkan pada Ratu.”
Dewi Lembah Tengkorak menatap tajam pada Kala Putih.
“Katakan! Berita apa yang hendak kamu sampaikan. Apa berita penting?”
“Ini menyangkut Pendekar Pedang Matahari, Ratu.”
“Pendekar Pedang Matahari?! Kau bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari?
Dimana?”
“Di Hutan Welirang.”
“Hutan Welirang. Berita apa itu?”
“Ketika saya dalam perjalanan kembali kesini, secara tidak sengaja saya melihat
dua orang yang sedang mengadu kesaktian. Dua orang itu adalah Ki Jalak Ireng yang
berjuluk Datuk Tongkat Ular melawan seorang pemuda bertopeng perak yang baru saya
ketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar Pedang Matahari.”
Kala Putih lalu menceritakan kejadian yang dia temui ketika kembali ke Lembah
Tengkorak.
“Begitulah Ratu yang saya dengar dari telinga saya sendiri,” Kala Putih mengakhiri
ceritanya.
“Ha-ha-ha-ha!! Langit berpihak pada kita. Sekarang tidak ada penghalang lagi
untukku menguasai dunia persilatan! Ha-ha-ha-ha!” Dewi Lembah Tengkorak tertawa
keras karena senang mendengar berita dari Kala Putih itu. “Ha-ha-ha-ha! Akulah
penguasa dunia persilatan! Ha-ha-ha-ha!”
Kala Putih tetap diam saja melihat ratunya tertawa keras setelah mendengar berita
darinya.
“Kala Putih! Lekas kau bergabung dengan yang lain. Ingat dengan rencana yang
sudah lama kita persiapkan!” seru Dewi Lembah Tengkorak cepat memerintahkan Kala
Putih untuk bergabung dengan empat rekannya yang sudah berada di tempat pertemuan.
“Baik, Ratu!”
Kala Putih membungkuk hormat lalu segera berlalu dari tempat itu. Tinggal Dewi
Lembah Tengkorak bersama dua pelayannya yang mengipasi dirinya.
Plok, plok, plok!
Suara tepuk tangan pelan dari arah samping pintu ruangan yang bernuansa serba
biru tersebut. Dewi Lembah Tengkorak menoleh ke kanan arah suara tepuk tangan
tersebut, wajahnya langsung berseri ceria, senyumnya mengembang lebar setelah melihat
orang yang bertepuk tangan tadi. Tampak di pintu samping berdiri seorang pria gagah
dengan perawakan tegap dan berwajah tampan. Dadanya bidang terlihat dari belahan
bajunya yang tidak berkancing. Otot-ototnya tampak kekar menambah kegagahan
tubuhnya.
“Kakang Bagus Sampumo!” seru Dewi Lembah Tengkorak sumringah menyebut
nama pemuda tersebut.
Pemuda yang bernama Bagus Sampurno itu berjalan tenang menghampiri Dewi
Lembah Tengkorak.
“Kemana saja kau Kakang tiga hari ini tidak muncul menemuiku?”
Bagus Sampurno hanya tersenyum lembut saja, dia meraih tangan Dewi Lembah
Tengkorak lalu mencium punggung tangannya dengan kecupan mesra membuat gadis
cantik itu bersemu merah karena bahagia. Si gadis memejamkan matanya ketika wajah
Bagus Sampumo mendekat ke wajahnya dan tak lama dia merasakan sesuatu yang
lembut telah melumat bibirnya. Nafas jadi agak memburu dan dadanya jadi bergemuruh.
“Aku merindukanmu. Dewi,” ucap Bagus Sampurno lembut di telinga Dewi
Lembah Tengkorak.
“Aku juga merindukanmu Kakang,” sahut Dewi Lembah Tengkorak lirih. “Aku
senang sebentar lagi impian kita akan tercapai. Impian untuk menguasai dunia
persilatan.”
“Iya Kakang. Apa lagi penghalang kita Pendekar Pedang Matahari telah musnah
ilmunya akibat melanggar pantangan.”
“Ya! Aku sudah mendengarnya tadi,” ucap Bagus Sampumo lalu mengecup bibir
Dewi Lembah Tengkorak. “Sekarang kau cepatlah ke tempat pertemuan. Aku lihat semua
pendekar sudah berkumpul di sana.”
Dewi Lembah Tengkorak mengangguk pelan. “Kau sendiri mau ngapain Kakang?”
“Ada yang harus aku kerjakan. Aku sudah membuat jebakan-jebakan di sekitar
lembah. Akan aku buat Lembah Tengkorak menjadi neraka dan kuburan bagi para
pendekar yang menentang kita,” ucap Bagus Sampumo tersenyum licik penuh arti.
Dewi Lembah Tengkorak juga tersenyum penuh kelicikan.
“Baiklah ! Aku kesana dulu Kakang.”
Dewi Lembah Tengkorak beranjak berdiri lalu melangkah menuju pintu belakang
singgasananya.
Begitu sosok Dewi Lembah Tengkorak hilang di balik pintu maka Bagus Sampurno
menghempaskan tubuhnya di singgasana kebesaran istana Lembah Tengkorak. Dia
memandang ke sekeliling ruangan yang bernuansa serba biru itu dengan senyum
kelicikan. Matanya melirik ke arah gadis belia yang tadi mengipasi Dewi Lembah
Tengkorak. Gadis belia yang mungkin berusia tiga belas tahun namun memiliki tubuh
sintal menggemaskan. Dengan cepat Bagus Sampurno menarik gadis itu kepangkuannya.
“Siapa namamu, Manis?” tanya Bagus Sampumo sambil mengelus rambut pipi dan
dagu gadis itu.
“Bunga, Raden,” sahut gadis itu takut-takut.
“Oh, Bunga! Nama yang cantik secantik dirimu. He-he-he!”
Bagus Sampurno mencium bibir gadis itu dan tangannya meremasi bagian yang
membusung indah di dada si gadis belia yang bernama Bunga. Bunga sangat ketakutan
sekali namun apa daya bagi dirinya yang tidak bisa apa-apa. Dia hanya bisa menggigit
bibirnya ketika laki-laki itu menelanjangi dirinya. Bunga berteriak tinggi saat merasakan
benda yang keras lunak menerobos paksa pada kemaluaannya. Bunga hanya menggigit
bibir untuk mereda rasa perih di kemaluannya saat benda asing mengobok-obok lubang
kencingnya. Deru nafas Bagus Sampumo begitu cepat saat menggauli gadis belia yang
bernama Bunga tersebut. Hingga pada suatu ketika dia bagai tersengat listrik dan
tubuhnya tegang mendesah panjang. Lalu tak berapa lama tubunya lunglai menindih
Bunga. Setelah itu Bagus Sampumo merapikan pakaiannya lalu pergi tanpa peduli
dengan gadis belia yang ia perkosa tadi.
Sungguh biadab sekali kelakuan Bagus Sampurno itu!
—0O0—
TEMPAT pertemuan di Lembah Tengkorak terlihat begitu ramai sekali. Di antara
para undangan yang datang tampak beberapa tokoh persilatan yang sudah terkenal
gelarnya, ada Pengemis Tongkat Putih, Dewa Tangan Api, si Jari Malaikat dan beberapa
tokoh yang sudah kawakan di dunia persilatan.
Tampak juga Surya hadir di antara para pendekar golongan putih. Di samping Surya
terlihat Intan Ayu dan Ki Wanengpati alias Tabib Putih Delapan Penjuru Angin. Tak jauh
dari Surya terlihat Pendekar Naga Putih bersama Kenanga serta beberapa murid
Padepokan Ruyung Sakti. Di barisan agak ke depan ada Ki Rejo Warang bersama
muridnya Gayatri. Mereka berdua tengah mengamati setiap orang yang hadir di tempat
itu. Di barisan belakang ada gadis cantik yaitu Dewi Sekarwati, ada juga Rakanini dan
Lestari.
“Intan! Itu orang yang kamu cari. Eyang Rakanini dan kakakmu Lestari,” ucap
Surya pelan menunjuk ke arah Rakanini dan Lestari.
Intan Ayu menoleh ke arah yang ditunjuk Surya.
“Ekh ... ! Iya itu Eyang Rakanini dan kak Lestari!” seru Intan Ayu cepat.
“Sebaiknya kamu hampiri mereka Intan,” ucap Surya.
Intan Ayu menatap Surya sejenak seolah minta persetujuan. Surya mengangguk
sedikit.
“Aku tidak apa-apa. Hampiri mereka mumpung kalian bisa ketemu.”
“Kamu tidak apa-apa?” ucap Intan Ayu meyakinkan.
“He-em!” Surya mengangguk cepat.
Intan Ayu nampak agak ragu-ragu untuk beranjak dari tempatnya namun akhirnya
Intan Ayu tidak jadi berniat menemui Eyang Rakanini dan kakaknya Lestari. Dia malah
duduk bersandar dengan sikap acuh.
Surya mengerutkan keningnya karena heran dengan sikap Intan Ayu yang malah
acuh saja.
“Kenapa?” tanya Surya penasaran.
Intan Ayu melirik Surya lalu geleng-geleng kepala tanda tidak apa-apa.
Surya angkat bahu saja lalu menghela nafas panjang.
Tak berapa lama datang rombongan menuju ke arah kursi di sisi kiri panggung.
Tampak seorang wanita cantik jelita berpakaian serba biru dan berhiaskan mahkota kecil
di atas kepalanya berjalan di iringi beberapa gadis cantik dan juga pengawal enam orang
yang rata-rata berpenampilan sangar dengan sebilah golok tergantung di pinggangnya.
Sesaat semua mata pandangannya beralih ke arah wanita yang datang bersama
rombongan tersebut. Mereka berbisik-bisik bertanya-tanya dalam hati siapa adanya
wanita cantik tersebut.
”Surya. Kamu tahu siapakah wanita yang datang bersama rombongan itu? Aku rasa
dialah Dewi Lembah Tengkorak!” ucap Ki Wanengpati pelan ke arah Surya.
“Kamu benar, Ki! Aku juga rasa juga begitu,” sahut Surya setengah berbisik.
“Hmmm. Aku tidak menyangka gadis semuda dia biang keladi semua kejadian
berdarah yang selama ini terjadi, sungguh tidak di sangka.”
“Coba perhatikan baik-baik sekitar mata dan juga bawah telinganya, Ki.”
“Ekh! Apa maksudmu?” Ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti
tapi dia tetap melihat dengan teliti ke tempat yang ditunjuk Surya. “Hehm?! Gadis itu
memakai topeng tipis yang benar-benar sempurna. Jika diperhatikan wanita itu mirip
seorang gadis muda. Apa yang kamu lihat, Surya?”
“Wanita itu memakai penyamaran yang mampu mengelabuhi mata semua orang. Di
balik topeng tipisnya tersembunyi wajah aslinya. Tapi... ” Surya menggantung
ucapannya.
Dia memandang ke setiap sudut tempat pertemuan tersebut dengan seksama.
“Tapi apa?” sahut Ki Wanengpati cepat.
“Coba lihat tempat ini baik-baik, Ki! Ada banyak sekali alat jebakan yang terpasang
dan terhubung dengan pemicu yang entah berada dimana. Aku merasa tempat ini sebentar
lagi akan menjadi neraka bagi semua orang yang hadir di tempat ini,” ucap Surya kalem.
“Aku juga sudah melihatnya. Kita harus waspada menjaga segala sesuatu yang tidak
di inginkan!” sahut Ki Wanengpati pelan.
Surya mengangguk cepat. “Ya, Ki!”
Dari arah samping kiri panggung ada seorang pria naik ke atas panggung. Laki-laki
separuh baya berjubah coklat dan memegang sebuah tongkat di tangan kanannya. Pria ini
berdiri di tengah tengah panggung memandang ke semua para tamu yang hadir dalam
pertemuaan tersebut. Setelah berdehem beberapa kali pria separuh baya tersebut mulai
membuka suara.
“Selamat siang dan selamat datang di Lembah Tengkorak kepada para pendekar
yang telah hadir di tempat ini. Perkenalkan nama saya Ki Arjo Seno dan julukanku : si
Tongkat Iblis,” kata orang itu lantang membuka acara serta mengenalkan dirinya.
Setelah diam sejenak Ki Arjo Seno mulai buka suara kembali.
“Kalian pasti penasaran dan bertanya-tanya kenapa kalian di undang di Lembah
Tengkorak ini. Baik akan saya beritahukan pada para pendekar sekalian. Kami atas nama
Partai Lembah Tengkorak mengajak kalian untuk bergabung dengan kami dan mulai hari
ini kami mengumumkan bahwa Partai Lembah Tengkorak adalah penguasa dunia
persilatan!!” seru Ki Arjo Seno lantang dan mantap.
War wer wor ... !
Kontan saja semua orang yang hadir di tempat itu jadi geger mendengar
pengumuman yang membuat mereka kaget. Sejenak tempat itu jadi ramai dengan
omongan-omongan yang bernada bermacam macam tanggapan. Ada yang setuju dan ada
juga yang mencela serta ada juga yang menentang keputusan gila tersebut.
“Tenang! Tenang! Tenang!” seru Ki Arjo Seno keras di barengi pengerahan tenaga
dalam.
Seketika tempat itu kembali tenang. Ki Arjo Seno menatap tajam ke semua orang
yang hadir di tempat itu.
“Dengar baik-baik! Bagi siapa saja yang ingin bergabung kami persilakan
mengambil ikat kepala berwarna biru yang ada di bawah tempat duduk kalian!”
Beberapa orang mengambil ikat kepala warna biru yang ada di bawah tempat duduk
mereka lalu memakainya. Mereka rata-rata hanya dari golongan hitam saja, sedang orang
dari golongan putih memilih tetap diam. Ki Arjo Seno mendengus pelan melihat orang-
orang dari golongan putih yang sama sekali tidak menyentuh ikat kepala warna biru
lambang Partai Lembah Tengkorak tersebut.
Maka seketika pertempuran tidak bisa di hindarkan lagi!
Orang-orang Lembah Tengkorak menyerbu para orang golongan putih yang
menentang Partai Lembah Tengkorak menjadi penguasa dunia persilatan. Orang-orang
golongan hitam yang bergabung dengan Lembah Tengkorak juga ikut menyerbu orang-
orang golongan putih. Lembah Tengkorak seketika menjadi ajang pertumpahan darah
antar dua golongan yang selama ini bersiteru. Dentuman benda keras mewarnai
pertempuran yang di iringi teriakan teriakan keras dari mereka.
“Hiaaatt!!”
“Hiaaaatt !!”
Teriakan teriakan keras menggelegar mewarnai pertempuran yang memeka kk an
telinga namun menambah semangat pertempuran mereka. Lembah Tengkorak benar-
benar bagai sebuah neraka karena jerit kematian silih berganti menghiasi aroma
pertumpahan darah itu.
“Munduuuur ... !!” teriak keras dari pihak Partai Lembah Tengkorak.
Seketika orang-orang Lembah Tengkorak berlompatan mudur menjauh dari arena
pertempuran.
Namun tiba-tiba ratusan anak panah beterbangan menghujani para pendekar
golongan putih di susul senjata-senjata tajam berupa paku-paku hitam yang datang
laksana gelombang. Orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan
kemampuan yang memadai mampu menghindari serbuan anak panah dan paku-paku
yang datang laksana gelombang badai tersebut. Dengan susah payah mereka terus
menghindari dan mematahkan anak panah dan paku-paku terbang itu. Belum selesai anak
panah dan paku-paku menghujani mereka tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dahsyat
yang menewaskan hampir sebagian besar orang-orang golongan putih.
Lembah Tengkorak berubah jadi neraka bagi orang-orang golongan putih!
“Biadab!” seru Surya melihat kekejaman Partai Lembah Tengkorak yang telah
berlaku licik.
Surya melompat tinggi lalu mengerahkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah
tempat tempat alat-alat rahasia yang di siapkan orang-orang Lembah Tengkorak.
“Pukulan ‘Es Pembeku Raga’!” seru Surya lantang.
Dari tangan Surya melesat sinar putih yang menyebar ke arah tempat tempat yang
di anggapnya tempat alat rahasia berada. Sungguh luar biasa tiba-tiba tempat yang
terkena Pukulan ‘Es Pembeku Raga’ jadi beku bagai di lumuri es salju sehingga alat-alat
rahasia itu tidak berfungsi lagi. Maka hujan anak panah dan paku-paku terbang serta
ledakan jadi berhenti.
Surya melesat ke arah orang-orang Lembah Tengkorak mundur tadi. Di belakang
nampak beberapa orang juga mengejar orang-orang Lembah Tengkorak. Begitu sampai di
sebuah bangunan megah mereka di serang orang-orang Lembah Tengkorak.
“Hiaaatt!!”
“Hiaatt!!”
Pertempuran kembali berlangsung sengit. Surya langsung melancarkan Pukulan ‘Es
Pembeku Raga’ dengan cepat maka orang-orang yang terkena pukulan itu langsung
membeku laksana dibungkus es. Surya melompat tinggi di ikuti sebuah bayangan putih
yang tak lain adalah Panji alias Pendekar Naga Putih. Mereka bergerak bagai malaikat
maut yang hendak mencabut nyawa siapa saja yang mereka temui. Tiba di ruangan yang
serba biru mereka di hadang oleh lima gadis bermuka tengkorak.
“Biar aku yang melawan mereka. Kalian kejar pimpinan mereka!” seru orang tua
keras.
Orang tua berjubah putih ternyata adalah Ki Wanengpati. Di belakangnya ada
Rakanini dan Pengemis Tongkat Putih. Surya menoleh ke belakang lalu mengangguk
setelah tahu siapa yang teriak tadi. Surya menoleh ke arah Panji.
“Ayo, Kisanak!” seru Surya.
Panji mengangguk cepat lalu mengikuti Surya yang sudah melesat menuju pintu di
belakang singgasana Dewi Lembah Tengkorak.
Mereka sampai di sebuah tempat yang berbatu-batu dan beberapa pohon besar
tumbuh. Mereka berdiri sejajar dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka melihat
tidak ada orang di tempat itu namun mereka yakin Dewi Lembah Tengkorak
bersembunyi di salah satu sudut tempat itu.
”Hati-hati ! Aku merasa Dewi Lembah Tengkorak sedang mengawasi kita di tempat
tersembunyi!” seru Panji dengan sikap penuh kewaspadaan.
Surya mengangguk. Tidak di kasih tahu pun sebenarnya Surya sudah paham dengan
bahaya yang sedang mengintai mereka. Pandangan mereka begitu tajam merayapi setiap
sudut tempat itu. Tiba-tiba ada desiran angin halus ke arah mereka. Mereka segera
menoleh ke arah suara itu, dengan gerakan cepat mereka berkelit menghindari benda
kecil-kecil yang beterbangan mengancam tubuh mereka. Benda itu adalah jarum-jarum
hitam yang meluncur dengan cepat sekali laksana hujan.
“Pukulan ‘Tameng Sakti Menerpa Hujan’!” teriak Surya sambil melompat
mengarahkan pukulan jarak jauhnya ke arah jarum-jarum beracun itu berdatangan.
Serangkum angin menderu ganas memporak-porandakan jarum-jarum beracun
tersebut. Tidak sampai di situ saja gerakan Surya, tangan kirinya segera melepaskan
pukulan sakti yang lain ke arah sumber datangnya jarum-jarum beracun tadi berasal.
“Pukulan ‘Naga Langit Melebur Batu Karang’!”
Selarik sinar putih melesat menuju batu besar.
Blaarrr... !!!
Batu itu hancur berkeping-keping berantakan. Debu tebal membumbung tinggi
akibat hancurnya batu besar yang terkena pukulan jarak jauh Surya yang bernama
Pukulan ‘Naga Langit Melebur Batu Karang’.
Dari debu yang membumbung melesat bayangan biru yang tiba-tiba berdiri di
depan Surya dan Panji dalam beberapa langkah.
Dialah Dewi Lembah Tengkorak!
Sebenarnya waktu Surya melepaskan pukulan naga langit melebur batu karang
membuat Panji tersentak kaget karena Pukulan ‘Naga Langit Melebur Batu Karang’
adalah salah satu pukulan saktinya dalam rangkaian Tl mu ‘Naga Sakti’. Dalam hati Panji
bertanya-tanya bagaimana mungkin Pendekar Pedang Matahari memiliki pukulan sakti
tersebut, jelas ini sangat membingungkan hati Panji. Tapi Panji menghiraukan rasa
bingungnya itu dulu karena ini bukan saatnya untuk mencari tahu semua itu. Di
hadapannya kini berdiri pimpinan Partai Lembah Tengkorak.
“Ha-ha-ha-ha! Nyali kalian besar juga berani mengejarku sampai disini!” ucap
Dewi Lembah Tengkorak dengan tatapan mata yang sangat tajam menggetarkan hati
siapa saja yang melihatnya.
“Huh! Hari ini akan kuhentikan kekejamanmu, Dewi Lembah Tengkorak!” ucap
Surya tandas. Tatapan matanya tak kalah tajam dengan tatapan Dewi Lembah Tengkorak.
“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Pedang Matahari. Aku tahu kau tak akan sanggup
melawanku. Sebaiknya lekas minggat dari hadapanku.”
“Oh ya?”
“Aku tahu semua Tim u ‘Matahari’-mu sudah musnah karena kau telah melanggar
pantangan! Benarkan kataku?” seru Dewi Lembah Tengkorak.
“Ekh?!” Surya tersentak kaget mendengar itu. “Dari mana dia tahu kalau Tim u
‘Matahari’-ku sudah musnah?” batin Surya dalam hati.
“Ha-ha-ha-ha! Kenapa? Apa kau kaget aku tahu ilmumu sudah musnah? Ha-ha-ha-
ha!”
Surya terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Memang benar apa yang dikatakan Dewi
Lembah Tengkorak. Tim u ‘Matahari’-nya memang sudah musnah karena melanggar
pantangan. Tapi Dewi Lembah Tengkorak tidak mengetahui kalau ilmu Surya tidak
semuanya ikut musnah, masih ada Ilmu ‘Sembilan Bulan’ yang kekuatannya setingkat
dengan Ilmu ‘Matahari’ karena Ilmu ‘Sembilan Bulan’ adalah pasangan dari Tim u
‘Sembilan Matahari’.
Surya menatap tajam Dewi Lembah Tengkorak.
“Biar aku yang menghadapinya, Kisanak!” ucap Panji tiba-tiba sambil memegang
pundak Surya.
Surya menoleh ke arah Pendekar Naga Putih.
“Baiklah! Hati-hati,” ucap Surya mengangguk sedikit.
Panji mengangguk lalu maju dua tindak ke depan.
“Aku yang akan melawanmu!” seru Panji tenang.
“Hmmm. Pendekar Naga Putih ! Tl mu ‘Naga Sakti’-mu sudah kuketahui
kelemahannya. Majulah! Akan kukirim kau ke neraka menyusul Gurumu!” tandas sekali
ucapan Dewi Lembah Tengkorak. Jelas tujuannya untuk memancing amarah Pendekar
Naga Putih.
Panji tersenyum tipis menanggapi pancingan Dewi Lembah Tengkorak.
“Hehh! Aku takut malah kau yang nanti bertemu setan neraka duluan!” ucap Panji
tenang.
“Huh! Sombong kau, Bocah! Rasakan jurusku!” teriak Dewi Lembah Tengkorak
murka.
Dengan gerakan bagai kilat Dewi Lembah Tengkorak melesat menerjang dengan
mengarahkan pukulannya ke arah kepala Panji. Serangkum angin yang menderu kencang
juga mengikuti gerakan pukulan Dewi Lembah Tengkorak, ini menunjukkan pukulan
Dewi Lembah Tengkorak di sertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Panji dengan gesit berkelit memiringkan kepalanya ke samping namun angin yang
menderu dahsyat harus membuatnya melompat ke atas untuk menghindari terjangan
tenaga dalam Dewi Lembah Tengkorak. Tiba-tiba serangan Dewi Lembah Tengkorak
berubah arah ke samping dimana Panji menghindar, tentu saja ini mengejutkan Panji.
Namun dengan gerakan cepat Panji mau tidak mau harus menangkis pukulan Dewi
Lembah Tengkorak.
Diegkh ... !!
Dua tangan bertenaga dalam tinggi beradu di udara. Mereka sama-sama terpental ke
belakang akibat beradu tenaga dalam. Panji manis sekali menjejakkan kakinya di tanah
tanpa terpengaruh benturan tenaga dalam tadi. Sedang Dewi Lembah Tengkorak agak
limbung begitu menjejakan kaki di tanah. Ini menunjukkan bahwa tenaga dalam Panji
sedikit lebih unggul di atas Dewi Lembah Tengkorak.
“Hyaaaatt!!”
“Hiaaaatt!!”
Dengan teriakan nyaring dua pendekar kelas atas melesat melancarkan jurus-jurus
tingkat tinggi yang mereka kuasai. Jika dilihat pertarungan mereka seimbang karena
belum ada yang terdesak sejauh ini, tapi tiba-tiba dari arah pohon tak jauh dari mereka
bertarung melesat sinar merah darah menerjang Panji dan ini tidak di sadari Panji sama
sekali. Sesaat sinar merah darah hampir mengenai tubuh Panji tiba-tiba dari arah samping
melesat sinar putih cepat sekali membelokkan arah sinar merah darah tadi yang hampir
mengenai Panji.
Duaaarr... !!!
Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu sehingga tempat itu laksana di terjang
gempa, sebuah batu besar hancur berantakan terkena sinar merah darah yang di belo kk an
arahnya oleh sinar putih.
Panji melompat mundur beberapa langkah tepat di samping Surya.
“Terima kasih kau sudah menolongku!” ucap Panji cepat karena dia tahu siapa yang
telah melancarkan sinar putih dan membelokkan sinar merah yang hampir saja
mencelakai dirinya.
“Pengecut!” maki Surya geram karena ada seseorang yang membokong Panji dari
suatu tempat yang tidak terlihat. Itu adalah tindakan licik dan pengecut.
Serangan secara membokong begitu adalah cara-cara yang dilakukan oleh orang-
orang yang berjiwa picik serta pengecut. Mereka rata-rata menghalalkan segala cara agar
lawan bisa kalah bahkan tewas jika perlu. Sungguh tindakan yang tidak bisa di toleransi,
Surya sangat membenci orang-orang yang berlaku curang seperti tadi.
“Ha-ha-ha-ha! Kau beruntung bisa selamat dari Pukulan ‘Ular Merah’-ku, Pendekar
Naga Putih!” terdengar suara membahana dari empat penjuru di sertai tenaga dalam
tinggi. Lalu tak berapa lama muncul seseorang dari balik pohon dan berdiri di samping
Dewi Lembah Tengkorak. Seorang pemuda yang berumur 30 tahunan dengan memakai
baju bagus warna coklat hitam dan berbelangkon di kepala. Sebilah pedang tersampir di
pinggangnya.
“Hari ini kalian akan aku lenyapkan dari muka bumi ini. Akan aku balaskan
dendam Guru serta saudara-saudaraku yang telah kalian bunuh ! Aku bersumpah pada
Guru dan saudara-saudaraku!” ucap pria itu dengan dingin sekali, matanya tajam sekali
seolah ingin melumat sampai hancur pada dua orang di depannya itu. Jelas sekali
matanya menyiratkan kemarahan dan api dendam yang begitu membara.
“Kakang!” seru Dewi Lembah Tengkorak tersenyum senang melihat pria yang
berdiri di sampingnya.
“Siapa kau Kisanak?” seru Surya cepat pada orang yang baru datang tersebut.
“Huh! Pendekar Pedang Matahari. Kau harus mati di tanganku! Akan kukorek
jantungmu untuk menebus kematian Guru dan saudara-saudaraku yang telah kau bunuh!”
dingin sekali ucapan orang itu dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk hati.
“Aku Bagus Sampumo! Aku adalah murid Datuk Pulau Ular dan adik ke Lima Kelabang
Ireng!” lanjutnya.
Surya dan Panji terdiam mendengar hal itu. Tidak di sangka kalau ada murid Datuk
Pulau Ular dan adik dari Lima Kelabang Ireng yang telah mereka binasakan kini datang
untuk menuntut balas atas kematian Guru dan saudara-saudaranya.
“Pendekar Pedang Matahari! Rasakan seranganku! Hiaaaaatt!” teriak Bagus
Sampumo keras langsung melesat cepat menerjang Surya.
Dewi Lembah Tengkorak pun juga ikut melesat menerjang Pendekar Naga Putih.
Pertarungan empat orang yang memiliki ilmu dan jurus-jurus tingkat tinggi
berlangsung sangat sengit. Panji menghadapi serangan Dewi Lembah Tengkorak dengan
menggunakan jurus ‘Naga Sakti’-nya, Tenaga Dalam Gerhana Bulan’-nya tampak
melindungi tubuh Panji, seketika tempat itu menjadi dingin akibat ‘Tenaga Dalam
Gerhana Bulan’ yang dikeluarkan oleh Panji. Tubuh Panji mengeluarkan sinar keperakan
berhawa dingin.
Surya menyambut serangan ganas Bagus Sampurno menggunak rangkaian jurus
‘Sembilan Langkah Ajaib’ dengan ‘Tenaga Dalam Ilmu Sembilan Bulan’. Seketika tubuh
Surya mengeluarkan hawa dingin juga sama seperti yang dikeluarkan Panji tapi bedanya
tubuh Panji diselimuti sinar keperakan karena mengeluarkan ‘Tenaga Dalam Gerhana
Bulan’ sedang tubuh Surya tidak mengeluarkan cahaya keperakan seperti Panji. Namun
yang nampak berubah pada diri Surya adalah rambut Surya berubah jadi berwarna kuning
keemasan. Inilah wujud Surya jika berubah menjadi Pangeran Es bila menggunakan Tim u
‘Sembilan Bulan’. Tiap kali Surya menggunakan tenaga dalam dari ‘Sembilan Bulan’
maka Surya akan berubah menjadi Pangeran Es dimana rambut Surya menjadi berwarna
kuning keemasan. Bila menggunakan tenaga dalam Ilmu ‘Sembilan Matahari’ maka
Surya berubah menjadi Pangeran Matahari yang tidak mengeluarkan ciri seperti Pangeran
Es.
Dua hawa dingin yang bersatu menyebabkan tempat pertarungan itu menjadi dingin
sedingin salju di kutub. Bagus Sampumo yang menyangka kalau lawannya yaitu
Pendekar Pedang Matahari telah musnah ilmunya jadi terperanjat kaget karena tidak
menyangka lawanya masih mampu mengimbangi setiap serangannya. Bahkan sampai
jurus ke delapan puluh dia belum mampu mendesak Surya malah dia yang berkali-kali
kena pukulan balasan Surya. Bagus Sampurno dengan gerakan cepat melompat ke
belakang menjauh dari Surya. Dia berdiri dengan tatapan mata tajam ke arah Surya.
“Hebat juga kau. Tim u apa yang kau gunakan itu? Bukakan ilmumu sudah
musnah?” seru Bagus Sampumo penasaran.
Surya tersenyum sinis dan dingin.
“Kau kira semua ilmuku musnah. Heh, tidak semua ilmuku musnah. Apa kau ingin
tahu ilmu apa yang kugunakan sekarang?”
“Katakan saja, bangsat!”
Surya kembali tersenyum sinis.
“Apa kau pemah mendengar Tim u ‘Sembilan Bulan’? Itulah ilmu yang aku gunakan
sekarang!”
“Ekh?! Apa?!” Bagus Sampumo terperanjat kaget bukan main mendengar nama
Ilmu ‘Sembilan Bulan’. Bagus Sampumo tidak menyangka Pendekar Pedang Matahari
memiliki ilmu langka yang hampir punah tersebut. Bagus Sampumo jadi teringat ucapan
Gurunya dulu.
“Ilmu ‘Sembilan Bulan’ adalah sumber kekuatan dari ilmu-ilmu Ular yang Guru
miliki. Semua ilmuku akan sangat tidak berdaya bila berhadapan dengan orang yang
memiliki Ilmu ‘Sembilan Bulan’ secara sempurna. Di dunia ini hanya tiga orang yang
memiliki Ilmu ‘Sembilan Bulan’ secara sempurna yaitu Pangeran Es, Putri Bulan dan
raja dari segala bangsa siluman yaitu Ksatria Naga Emas. Tapi... ”
Datuk Pulau Ular menghentikan ucapannya sejenak lalu mulai buka suara lagi.
“Tapi tiga orang itu sudah tidak akan muncul lagi di dunia ini. Pangeran Es dan Putri
Bulan sudah menghilang 200 tahun yang lalu sedangkan Ksatria Naga Emas adalah raja
dari segala siluman di dunia tidak akan mengganggu manusia karena itu adalah
larangan baginya. Jadi tidak akan ada yang bisa menghalangi ilmu ’Ular’-ku ,” ucap
Datuk Pulau Ular.
Bagus Sampumo terngiang ucapan Gumnya itu. Dia menatap tajam Surya dengan
seribu pertanyaan di hatinya.
“Dari mana Pendekar Pedang Matahari bisa mendapatkan Ilmu ‘Sembilan Bulan’
itu? Bukankah Ilmu ‘Sembilan Bulan’ adalah ilmu yang berlawanan dengan Tim u
‘Matahari’ yang dimilikinya. Ini sungguh tidak masuk akal. Lebih baik aku menghindar
saja dari pada aku celaka,” batin Bagus Sampurno dalam hati.
Bagus Sampumo mengedarkan pandangannya ke sekeliling, rupanya tanpa dia
sadari semua orang golongan putih sudah berdatangan mengurung tempat itu. Tidak ada
jalan baginya untuk kabur.
“Bangsat! Tidak celah untuk kabur dari sini. Lebih baik adu nyawa dengan
Pendekar Pedang Matahari!” batin Bagus Sampurno geram.
“Pendekar Pedang Matahari. Aku beradu kesaktian denganmu! Bersiaplah!” seru
Bagus Sampurno lantang.
Surya tersenyun sinis.
“Akan kulayani! Keluarkan semua kesaktianmu!” balas Surya dengan tenang.
Bagus Sampurno menyatukan telapak tangannya di depan dada sambil mulutnya
komat-kamit merapal ajian yang hendak di keluarkannya. Badannya agak merunduk lalu
kedua tangannya di tarik kesamping tubuhnya dengan terkepal, kaki kanan sedikit di tarik
ke belakang. Tatapan matanya tajam lurus menatap Surya.
Surya merentangkan tangan kanannya lurus kesamping, tangan kirinya terbuka di
depan dada, tangan kanannya di tarik kebelakan lalu di putar ke depan di barengi kaki
kanan mundur ke belakang.
Mereka bersamaan memukulkan tangan kanan mereka ke depan di ikuti teriakan
lantang.
“Pukulan ‘Ular Merah’!”
“Pukulan ‘Gerhana Bulan’!”
Dari kepalan tangan Bagus Sampumo yang berwarna merah membara tanda Bagus
Sampumo mengerahkan seluruh tenaga dalam penuh melesat sinar merah darah ke arah
Surya. Sedangkan kepalan Surya yang berwarna keemasan juga melesat sinar kuning
keemasan ke arah Bagus Sampurno. Dua sinar tersebut bertemu di udara dalam satu titik.
Dieesss!!
Blaaarr!!
Duaaarr!!
Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu saat dua sinar pukulan sakti beradu di
udara dalam satu titik. Dua sinar beradu di udara itu menimbulkan percikan bunga api ke
segala arah. Benar-benar dua kekuatan dahsyat yang saling tindih menindih saling
mengalahkan. Hingga akhirnya sinar kuning keemasan mampu mendorong sinar merah
darah lalu melabrak dada Bagus Sampurno.
“Aaakhh ... !!” jerit Bagus Sampurno menyayat hati terkena sinar kuning keemasan
Pukulan ‘Gerhana Bulan’.
Tubuh Bagus Sampurno terpental jauh ke belakang tiga tombak, tenaga dorongan
masih terasa menyeret tubuh Bagus Sampumo, baru berhenti setelah menabrak pohon
hingga tumbang. Bagus Sampumo tewas seketika dengan sekujur tubuh pucat membeku.
Itulah akibat yang ditimbulkan dari Pukulan ‘Gerhana Bulan’, membuat lawan yang
terkena pukulan itu akan langsung membeku kaku.
Surya sendiri bukannya tidak apa-apa tapi Surya juga terserek dua langkah ke
belakang lalu jatuh berlutut dan muntah darah, tanda Surya juga mengalami luka dalam
akibat efek beradunya dua pukulan sakti tadi. Surya segera menotok beberapa tempat di
dadanya kemudian bersila mengalirkan hawa murni guna menyembuhkan luka dalam
yang dia alami.
Di tempat lain, pertarungan Panji dengan Dewi Lembah Tengkorak juga sudah
sampai penggunaan pukulan-pukulan sakti mereka. Jeritan Bagus Sampurno membuat
Dewi Lembah Tengkorak kaget dan ini mengakibatkan fatal bagi dirinya, karena
kelengahannya itu sebuah sinar putih Pukulan ‘Naga Langit Meluruk Bumi’ langsung
menghantam tubuh Dewi lembah tengkoraj.
“Aaakhh ... !!” jerit Dewi Lembah Tengkorak menggidikkan bulu kuduk yang
mendengarkan.
Tak ayal lagi Dewi Lembah Tengkorak langsung terpental ke belakang terkena
sapuan pukulan sakti tingkat tinggi milik Panji. Tubuh Dewi Lembah Tengkorak
menabrak batu besar hingga hancur dan langsung tewas seketika.
Panji segera bersila mengalirkan hawa mumi di dadanya guna meredam getaran
akibat dari efek beradunya dua pukulan hebat tersebut.
“Kakang!!” seru Kenanga panik langsung menghampiri Panji.
“Surya!!” seru Intan Ayu cepat menghampiri Surya yang tengah mengalirkan hawa
mumi di tubuhnya.
“Intan!” seru Eyang Rakanini dan Lestari.
Mereka menghampiri Intan Ayu yang berada di samping Surya.
“Eyang! Kak Lestari!” ucap Intan Ayu menoleh ke arah Rakanini dan Lestari.
“Kenapa kau bisa ada disini intan? Kau pergi dari Perguruan lagi?” ucap Lestari
memarahi Intan Ayu.
“Surya, kau baik-baik saja?” ucap Ki Wanengpati setelah melihat Surya membuka
matanya.
Surya menatap Ki Wanengpati lalu menggeleng pelan.
“Aku tidak apa-apa.”
“Surya. Kamu tidak apa-apakan?” seru Intan Ayu cemas.
Surya tersenyum lembut lalu menggeleng pelan.
“Kau sendiri tidak terluka, kan?” tanya Surya kalem.
“Tidak! Aku tidak apa-apa,” sahut Intan Ayu menggeleng cepat.
“Intan!” seru Lestari.
Surya menoleh ke arah arah gadis cantik yang bernama Lestari itu, Surya tersenyum
lembut ketika Lestari melihat dirinya. Tampak Lestari jadi kikuk melihat Surya yang juga
menatap dirinya, buru-buru Lestari membuang muka menghindari tatapan langsung
dengan Surya.
“Intan. Ayo pulang!” seru Eyang Rakanini.
Intan menatap Surya sejenak seolah enggan berpisah dengan pemuda yang sudah
sangat dekat dengan dirinya itu.
Surya diam saja tidak pedulikan Intan Ayu yang menatap dirinya karena merasa
berat untuk berpisah. Surya malah menghampiri Ki Wanengpati.
“Kita pergi, Ki!” ucap Surya.
Ki Wanengpati mengangguk cepat. Surya dan Ki Wanengpati segera melesat cepat
meninggalkan tempat tesebut.
“Surya!” teriak Intan Ayu cepat coba mencegah Surya namun Surya sudah hilang
dari tempatnya bersama Ki Wanengpati.
Satu persatu semua orang yang berada di Lembah Tengkorak melangkah pergi dari
tempat tersebut meninggalkan reruntuhan bangunan di Lembah Tengkorak tersebut.
--TAMAT-
SEGERA HADIR KISAH PENDEKAR PEDANG MATAHARI DALAM EPISODE :
“PRAHARA DARAH BIRU”
Emoticon