1
Desa Babakan Hijau sebenarnya
adalah sebuah desa yang indah dan
permai. Para penduduknya sebagian
besar bertani, juga tak sedikit yang
berniaga. Semua penduduk saling tolong
Kehidupan di Desa Babakan Hijau
penuh kedamaian dan keikhlasan satu
sama lain. Mereka saling kasih
mengasihi. Penuh rasa cinta yang
mendalam sebagai sesama umat manusia.
Namun akhir-akhir ini desa yang
semula permai dan damai itu, kini
begitu mencekam. Karena di desa itu
telah berdatangan orang-orang dari
gerombolan yang kejam. Mereka
menamakan diri Gerombolan Golok Hitam!
Dan secara lambat laun,
gerombolan itu pun menguasai seisi
desa. Namun untungnya, mereka hanya
sekali-sekali saja datang kesana.
Menurut kabar, gerombolan itu bermukim
di Bukit Siguntang yang terletak cukup
jauh dari Desa Babakan Hijau. Tetapi
meskipun demikian, orang-orang di Desa
Babakan Hijau tak sepenuhnya bisa
tenang. Karena sekali-sekali orang-
orang kejam itu bermunculan. Dan
setiap kali mereka muncul, pasti ada
saja keributan yang mereka perbuat.
Orang-orang dari gerombolan itu
terdiri dari orang-orang yang kejam.
Mereka masing-masing memiliki ilmu
silat yang rata-rata cukup tinggi.
Hingga saat ini para penduduk di Desa
Babakan Hijau tak ada yang berani
mengusik mereka bila mereka datang.
Begitu pula dengan Ki Lurah Sen
Kawung yang hampir setiap malam
membahas masalah Gerombolan Golok
Hitam di balai desa. Namun rata-rata
mereka mengalami jalan buntu karena
tak ada yang berani mencoba untuk
menghalau atau pun mengusir orang-
orang kejam itu.
Pernah Ki Lurah Sen Kawung sekali
waktu nekad untuk mengusir orang-orang
itu dengan mengerahkan penduduk yang
mempunyai sedikit mental, namun mereka
tak berdaya apa-apa ketika orang-orang
Gerombolan Golok Hitam itu mengamuk.
Malah banyak warganya yang meninggal
atau pun luka parah.
Itulah sebabnya hingga saat ini,
Ki Lurah Sen Kawung tak lagi mencoba
untuk menentang sepak terjang mereka.
Malah seakan dia memberikan kebebasan
pada orang-orang Golok Hitam. Tak ada
jalan lain lagi, daripada mereka semua
mati dibantai oleh orang-orang kejam itu.
Yang penting, orang-orang itu
tidak setiap hari berdatangan ke Desa
Babakan Hijau. Ini masih memberikan
mereka sedikit bisa bernafas lega.
Tetapi bila orang-orang itu berda-
tangan, kesunyian yang mencekam akan
terasa menggigit setiap jantung
penduduk.
Dan Ki Lurah Sen Kawung hanya
bisa mendesah panjang saja bila
melihat keonaran itu terjadi. Dia
sudah tidak kuasa lagi untuk menentang
gerakan orang-orang.
Dan pagi ini lima orang dari
anggota gerombolan perampok Golok
Hitam sedang berjalan ke sebuah rumah
makan yang cukup ramai. Di Desa
Babakan Hijau, tepatnya di tengah desa
sebenarnya cukup banyak terdapat rumah
makan yang lebih besar dan mewah.
Namun sebagian besar laki-laki
nampaknya lebih senang untuk makan di
warung yang terletak di sudut jalan itu.
Semua itu disebabkan oleh Roro
Dewi, putri sang pemilik warung yang
berwajah cantik jelita. Kulitnya
kekuningan, menandakan hawa gunung
yang kerapkali menerpanya telah akrab
dengan kulitnya. Usianya kira-kira
baru 17 tahun. Dia memiliki sepasang
mata yang hitam dan jernih.
Alisnya pun hitam bak semut
beriring. Bibirnya yang mungil memerah
dengan hidung bangir di atasnya,
menambah kesempurnaan dari sosok tubuh
Roro Dewi. Tubuhnya pun sedang mekar-
mekarnya. Dengan sepasang buah dada
yang gempal seakan ingin menampakkan
kemekarannya. Dia adalah bunga Desa
Babakan Hijau, sekaligus bunga rumah
makan milik ayahnya.
Sekali-sekali Roro Dewi suka pula
melayani para pengunjung rumah makan
milik ayahnya itu, dan inilah yang
membuat para pengunjung menjadi senang
dan kerapkali menyempatkan diri untuk
berkunjung di sana.
Bagi mereka, bukan makanannya
yang menjadi sasaran utama, tetapi
melihat kecantikan wajah dan keelokan
tubuh Roro Dewilah yang menjadi tujuan
utama mereka. Di samping memang
hidangan yang ada di sana cukup lezat.
Dan setiap kali anggota
Gerombolan Golok Hitam berkunjung ke
sana, Roro Dewi diharuskan berada di
sana dan melayani mereka. Sudah tentu
ini sebenarnya merupakan satu siksaan
bagi Roro Dewi, karena dia tidak
pernah menyukai orang-orang yang kejam
itu. Di samping itu pula, tangan-
tangan mereka suka amat jahil sekali
hinggap pada bagian-bagian tubuhnya
yang sensitif. Terasa amat menyiksa
sekali. Namun mau tidak mau dia memang
harus melakukannya. Karena kuatir
orang-orang itu marah. Dan rumah makan
milik ayahnya bisa dibuat porak
poranda. Berani menentang keinginan
Gerombolan Golok Hitam, maka mautlah
taruhannya!
Dan semua itu dilakukan dengan
pasrah saja oleh Roro Dewi. Kepasrahan
yang sebenarnya amat dibencinya,
karena dia ingin sekali-sekali
berontak dari kungkungan orang-orang
biadab dan kejam itu!
Kelima orang anggota Gerombolan
Golok Hitam itu kini nampak berdiri di
muka halaman rumah makan itu. Membuat
orang-orang yang sedang makan menjadi
melirik dengan cukup kecut. Apalagi
ketika kelimanya dengan masih terbahak
mereka memasuki rumah makan itu dengan
sikap angkuh dan sombong.
Dan tertawa-tawa menduduki tempat
yang nampaknya sejak tadi tidak pernah
diduduki oleh pengunjung yang lain.
Terlihat jelas kalau tempat itu
sepertinya memang disediakan khusus
untuk orang-orang Golok Hitam.
Salah seorang dari sekian banyak
orang yang sedang menikmati makan pagi
di rumah makan itu, terlihat satu
sosok tubuh bercaping sedang asyik
pula menikmati makannya. Sosok itu
berpakaian putih-putih yang ringkas.
Dan di punggungnya terdapat sebuah
golok yang sarungnya nampak terbuat
dari batang kayu yang berlapiskan
timah kuning.
Wajah yang sebagian tertutup oleh
caping itu hanya mendengus saja
melihat kesombongan lima orang laki-
laki bertubuh besar yang baru datang
itu.
"Hmm... siapa mereka?" desisnya
dalam hati. Tetapi kemudian orang yang
mengenakan caping itu mengambil sikap
tidak perduli. Santai saja dia
menikmati makannya.
Dia tak lain adalah Pandu atau
Pendekar Gagak Rimang yang sedang
singgah di Desa Babakan Hijau. Murid
tunggal Eyang Ringkih Ireng dari
Gunung Kidul hanya sekilas memperha-
tikan sikap kelima orang itu, yang
langsung tidak berkenan di hati-nya.
Tetapi dia pun tidak perduli, buat apa
memperdulikan mereka, toh aku tidak
punya silang sengketa dengan mereka.
Namun sikap tak acuh dan santai
yang diperlihatkan oleh murid Eyang
Ringkih Ireng itu, lain halnya dengan
para pengunjung lainnya. Mereka
mendadak saja terlihat tidak bisa
bersikap santai seperti tadi. Malah
kini mereka terlihat amat terburu-buru
dengan sekali-sekali melirik orang-
orang itu dengan wajah ketakutan.
Lalu terlihat pula perlahan-lahan
satu per satu meninggalkan tempat itu.
Bahkan ada yang belum sempat
menghabiskan hidangannya sudah mening-
galkan tempat. Dan bergegas pula
membayar. Semua itu disebabkan karena
mereka tahu siapa orang-orang Golok
Hitam itu yang seringkali membuat
onar.
"Hei... mengapa jadi terburu-buru
cara mereka makan?" tanya Pandu dalam
hati yang melihat orang-orang di sana
berkeliaran meninggalkan tempat itu.
Kini pandangan di rumah makan itu
memang tidak terlihat seperti tadi.
Hanya tinggal beberapa orang saja yang
berani nekad meneruskan makannya.
Termasuk Pandu yang kemudian tidak
acuh kembali. Menikmati terus
hidangannya dengan nikmat dan tak
perduli.
Tiba-tiba salah seorang dari
kelima orang itu yang masing-masing di
pinggang mereka terdapat sebilah golok
tebal dengan sarung yang terbuat dari
kulit berwarna hitam, berseru-seru
sambil menggebrak-gebrak meja.
Perbuatannya nampak kasar sekali.
Tetapi tak seorang pun yang berani
menghalanginya, bahkan meliriknya.
Mereka seolah tidak merasa terganggu
oleh suara berisik yang ditimbulkan
akibat meja yang dipukul-pukul.
Hanya Pandulah yang mengerutkan
keningnya, karena merasa makannya
menjadi terganggu.
"Siapa sebenarnya mereka ini?
Nampak sekali kalau orang-orang di
sini takut pada mereka? Hmm... baiknya
kulihat saja apa yang akan dilakukan
oleh mereka di sini."
Orang itu masih berseru-seru.
"Hei, Wayan Tua! Wayan Tua!!"
Keras. sambil menggebrak meja.
"Mengapa kau bersembunyi saja, hah?!
Cepat keluar!! Hidangkan makanan yang
terlezat untuk tamu-tamumu yang
terhormat ini!! Wayan Tua! Ke mana kau
sembunyikan batang hidungmu, hah?!
Keluar cepat!!"
Suara itu menggelegar dengan
keras.
Pandu mendesis dalam hati.
"Sombong! Aku jadi penasaran siapa
sebenarnya mereka ini?"
"Wayan Tua!! Keluar cepat!!"
Suara itu kembali menggelegar.
Pemilik rumah makan yang bernama Wayan
Tua, terburu-buru ke luar sambil
membungkuk-bungkuk.
Jelas sekali kalau dia begitu
hormat dan ketakutan menghadapi para
tamunya ini.
"Selamat datang, Tuan... selamat
datang.,.." sapanya dengan nada takut-
takut dan rasa hormat yang luar biasa.
Bungkukannya seolah dia membungkuk
pada seorang raja. "Maaf... maafkan
saya, Tuan... baru bisa keluar
sekarang.... Saya... saya... ah, saya
sibuk, Tuan...."
Pandu bergumam kepada diri
sendiri. Hmm... rasanya aku menangkap
gelagat tidak baik yang sedang terjadi
di desa ini. Ada apa gerangan? Baiknya
aku lihat saja apa yang terjadi
kemudian... Benar-benar membuatku
penasaran...."
Orang-orang itu tertawa melihat
rasa hormat dan ketakutan yang
diperlihatkan Wayan Tua. Yang
berteriak tadi berkata lagi. Dia
bernama Penggekrawung. Wajah seram.
Penuh bintik-bintik kecil seperti
jerawat.
"Cepat kau hidangkan untuk kami
makanan yang termahal dan terlezat!
Dan jangan lupa... berapa kendi arak
yang terlezat!"
"Baik, baik.... Tuan...."
Wayan Tua akan berbalik lagi ke
dapur, tetapi tangan Penggekrawung
dengan cepat meraih tangannya.
"Hei, mau kemana kau?!"
bentaknya.
"Ke... ke belakang, Tuan...."
kata Wayan Tua sambil tetap
membungkuk.
"Mau apa?!"
"Meng... menghidangkan makanan
untuk tuan-tuan sekalian. Bukankah
begitu, Tuan?"
Penggekrawung tertawa ngakak.
"Ha ha ha... kau pikir kami mau
menikmati pelayananmu, Wayan Tua?! Ha
ha ha... tidak, kami tidak ingin
dilayani olehmu, Wayan Tua...."
Wayan Tua terburu-buru berkata,
"Iya... iya... maafkan saya, Tuan...
pelayan saya yang akan melayani tuan-
tuan...."
Tiba-tiba Penggekrawung mengeram.
"Kau sudah lupa dengan segala
kebiasaan kami, Wayan Tua! Kau sudah
lupa?!"
"Saya... saya...."
"Hhh! Mana putrimu si Roro Dewi?
Kenapa dia tidak keluar untuk
menyambut kedatangan kami, hah? Mana
dia? Suruh cepat ke luar! Atau... kami
obrak-abrik rumah makan ini? Cepat,
Wayan Tua!!"
. "Ma... maafkan saya, Tuan.
Putri saya Roro Dewi belum pulang dari
belajar menari...."
"Hei, sejak kapan dia belajar
menari, hah?! Kau jangan coba-coba
menipu kami, Wayan Tua?!"
"Sungguh, Tuan... sungguh... baru
seminggu lamanya dia belajar menari."
Penggekrawung terbahak.
"Aduh, Dewiku... rupanya kau
belajar menari, ya? Hhh! Di mana dia
belajar, hah?!"
"Di Padepokan Melati Putih milik
Nyai Ratih Alas Kembang, Tuan..."
sahut Wayan Tua hormat. Penggekrawung
terbahak.
"Ha ha ha... Nyai Ratih Alas
Kembang... bagus, bagus... kalau
begitu aku tidak marah. Ya, ya...
mudah-mudahan dari hasil belajar
menarinya tubuhnya semakin indah untuk
dipandang. Hhh! Wayan Tua... cepat
hidangkan masakan yang telah kami
pesan."
Wayan Tua terburu-buru masuk ke
dalam. Kelima orang itu tertawa keras,
merasa lucu karena orang itu nampak
begitu ketakutan. Gemetar dan pucat
wajahnya.
"Ha ha ha... tidak seorang pun
rupanya yang berani menghalangi semua
perbuatan kita!" terbahak Pengge-
krawung.
"Benar, Gerombolan Golok Hitam
akan terus menjadi momok di Desa
Babakan Hijau!!"
Orang-orang itu terbahak.
Mendadak muncul seorang pengemis
tua ke rumah makan itu. Tepat ketika
hidangan yang dipesan kelimanya
datang. Sudah tentu kelima orang itu
menjadi gusar, karena pakaian dari
pengemis gembel itu mengeluarkan bau
busuk. Bisa membuat selera makan
menjadi hilang seketika.
Salah seorang dari kelimanya
berdiri.
"Wayan Tua!!" geramnya keras.
Dari dalam kembali Wayan Tua
muncul dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Tuan? Ada apa?!"
serunya takut-takut, kuatir hidangan
yang mereka sediakan tidak mengundang
selera bagi kelima orang itu.
"Usir pengemis itu, cepat!!"
Wayan Tua melihat ke ambang
pintu.
"Oh, baik, Tuan... baik.,.."
Wayan Tua adalah seorang laki-
laki setengah baya yang baik hati.
Pengemis itu memang setiap hari datang
ke rumah makannya. Memang dia sendiri
yang menyuruhnya datang untuk dibagi
sisa makanan.
Dan keduanya telah menjalin
persahabatan yang akrab.
Tetapi kali ini si pengemis
muncul di saat kelima orang Gerombolan
Golok Hitam datang. Dan tepat di saat
mereka hendak makan.
Ini sangat gawat!!
Maka dengan berat hati Wayan Tua
mengusir pengemis itu yang tentu saja
menjadi keheranan.
"Apakah saudara telah berubah,
Wayan Tua?" tanyanya dengan suara
tersendat. Matanya menatap heran. Dan
penuh bertanya-tanya.
Wayan Tua mendesah panjang.
Sebenarnya dia tidak enak melakukan
hal ini, namun dia pun tak mau orang-
orang Golok Hitam menjadi marah dan
mengobrak-abrik rumah makannya.
Lalu katanya dengan suara pelan,
"Maafkan aku, Saudara... ada baiknya
kau pergi saja dari tempat ini
dulu...."
"Kalau aku tidak lapar, sudah
tentu aku tidak ke mari, Wayan
Tua...."
"Aku mengerti, Saudara... aku
mengerti... Bahkan aku sendiri yang
mengundangmu...."
"Lalu mengapa kau melakukan hal
ini padaku, Wayan Tua?"
"Aku...."
"Usir jembel itu, Wayan Tua!!"
Terdengar seruan keras dari dalam.
Wayan Tua semakin gugup. Wajahnya
berkeringat. Mau tak mau dia harus
mengusirnya. Harus. Maka dengan
bengisnya walau kelihatan gugup dan
gemetar, dia mengusir pengemis itu.
Hatinya pilu sekali melakukan satu
perbuatan yang tidak sesuai dengan
hatinya.
Tetapi pengemis itu hanya berdiri
saja mematung dengan tatapan heran.
Tak beranjak setapak pun.
"Wayan Tua...." desisnya pelan.
"Maafkan aku, Saudara... aku
terpaksa melakukannya...."
"Kau sampai sekejam itu, Wayan
Tua...."
"Maaf... maafkan aku, Saudara...
pergilah... pergilah dari sini...."
desis Wayan Tua serba salah.
"Perutku lapar, Wayan Tua...."
"Ya, ya... aku mengerti...."
"Kau tidak kasihan padaku, Wayan
Tua?"
"Saudara... kau... kau nanti saja
kembali lagi ke sini...."
"Kau lebih mementingkan rumah
makanmu daripada indahnya sebuah
persahabatan, Wayan Tua...."
Mendengar kata-kata itu hati
Wayan Tua menjadi pilu sekali. Apa
yang bisa diperbuatnya sekarang?
"Bukan... bukan itu maksudku...
aku hanya meminta pengertianmu...."
kata Wayan Tua bagai desahan belaka.
Dia melirik ke dalam dan melihat
Penggekrawung melotot dingin.
"Saudara... mengertilah akan posisiku
sekarang ini... pergilah... pergilah
dari sini...."
"Persahabatan yang telah kita
jalin dengan indahnya ini, harus
terputus begitu saja... Wayan Tua...
aku sebenarnya kemari bukan karena
lapar dan ingin meminta makan...
tetapi sebagai sahabat yang selalu
rindu akan sahabatnya. Kau mengerti,
Wayan Tua?"
"Saudaraku... mengertilah...
kalau aku tidak menuruti perintah
orang-orang itu... mereka akan
mengganggu putriku yang bernama Roro
Dewi. Aku tak mau hal itu sampai
terjadi. Aku sangat mencintainya,
Saudaraku.... Kuminta pengertianmu
dalam hal ini...."
"Aku memang tidak menyesali semua
ini... dan maafkan aku bila
kedatanganku ini hanya menyusahkan
mu...."
"Saudara! Bukan, bukan itu
maksudku... tetapi...."
"Bangsaaaaattt." Terdengar benta-
kan yang keras dari dalam hingga Wayan
Tua merasakan jantungnya berhenti
berdetak sesaat. Teman Penggekrawung
yang bernama Rembaga, sudah berdiri di
samping Wayan Tua. Matanya melotot
marah kepada pengemis itu.
Tetapi si pengemis hanya berdiri
dengan tenangnya. Sedikit pun tidak
kelihatan ketakutan seperti yang
dialami Wayan Tua. Di kursinya, Pandu
yang berpura-pura masih menikmati
hidangannya, melirik. Sejak tadi
sebenarnya dia sudah tidak menyukai
sepak terjang orang-orang itu. Dan
sekarang dia menduga, sesuatu akan
segera terjadi di sini.
Makanya, bila sampai si pengemis
mengalami hal-hal yang tidak
mengenakan, Pandu akan siap untuk
membantu!
Dia sendiri tidak bersimpati
terhadap orang-orang kasar itu.
Didengarnya bentakan Rembaga.
"Jembel hina! Tidak tahu diri!
Mengapa kau masih berada di sini,
hah?!"
Tetapi pengemis itu tetap ter-
diam. Wayan Tua menjadi semakin
kebingungan. Dia kuatir terjadi hal
yang mengenakan terhadap si pengemis
yang menjadi sahabatnya. Wayan Tua pun
menyesali mengapa si pengemis datang
di saat orang-orang Gerombolan Golok
Hitam hendak makan.
Melihat sikap diam yang
diperlihatkan si pengemis, membuat
Rembaga menjadi naik pitam.
"Jembel busuk! Cepat pergi dari
sini sebelum kemarahanku memuncak!!"
Tetapi si pengemis tetap diam
saja. Hanya menatap Rembaga dengan
tatapannya yang menua dan sendu. Hal
ini membuat Rembaga semakin naik
darah.
Ia seakan diledek dengan tatapan
seorang jembel hina macam pengemis
itu. Dan dia merasa, semua itu harus
dibayar dengan kekerasan atau... nyawa
sebagai taruhannya!!
"Jembel busuk!! Cepat pergi dari
sini... atau... kubunuh kau!!"
Tetapi si pengemis tetap saja
berdiri di hadapannya. Hal itu membuat
Wayan Tua menjadi ketakutan. Dan dia
tidak tahu apa yang akan diperbutnya.
Sementara Pandu semakin ber-
waspada.
Dan melihat sikap si pengemis
yang nampak keras kepala membuat
Rembaga tidak kuasa lagi untuk menahan
amarahnya.
"Bangsat!!"
Dan dengan tiba-tiba saja
tangannya sudah bergerak.
"Des!!"
Dengan keras kepalan itu mengenai
wajah si pengemis yang langsung
terhuyung dengan bibir berdarah.
Tetapi sedikit pun tak keluar keluhan
atau jeritan kesakitannya.
Hal ini makin membuat Rembaga
naik pitam.
"Bangsat kau, Jembel hina!!"
Kembali dia menggerakkan
tangannya!
Wajahnya murka memerah. Keme-
rahannya sudah naik keubun-ubun
melihat si pengemis itu. Dan dia
merasa tak ada ampun lagi bagi si
pengemis untuk bisa menghindari
dirinya.
Tangannya pun siap untuk
menghajar kembali!
"Des!"
Kembali pukulannya menghantam
wajah si pengemis. Bibir itu semakin
berdarah, namun tak sepatah kata
mengaduh pun yang ke luar dari bibir
yang berdarah itu.
Wayan Tua mendesah pilu. Dia
bermaksud hendak menolong, tetapi
kuatir dengan Rembaga yang akan
berbalik marah padanya. Dia hanya
berdiri dengan sikap serba salah.
Dia hanya memekik menahan pilu
melihat dengan telengasnya Rembaga
menjatuhkan tangan dingin pada
pengemis itu, yang menerima tanpa
mampu membalas. Dan hanya menahan rasa
sakitnya tanpa mengeluarkan seruan
kesakitan sedikit pun.
Sudah tentu Rembaga yang sedang
naik pitam itu menjadikan si pengemis
bulan-bulanannya. Tinju dan
tendangannya pun berulangkali mengenai
bagian-bagian tubuh si pengemis.
Yang jatuh bangun dibuatnya.
Wayan Tua sendiri sudah tidak
tahan melihat perlakuan Rembaga pada
sahabatnya itu. Dia buru-buru berlari
ke dalam dan bersembunyi di kamarnya
dengan perasaan bersalah yang amat
sangat.
Mengapa dia tidak berani
membantu? Mengapa dia harus mengusir
sahabatnya? Mengapa dia membiarkan
sahabatnya dijadikan bulan-bulanan
seperti itu?
Ah, semua ini gara-gara orang-
orang kejam itu. Orang-orang yang
sepak terjangnya melebihi binatang!
Bila saja dia tidak mempunyai putri
seperti Roro Dewi, tentunya dia tidak
akan pernah mengalami hal susah
seperti ini.
Wayan Tua akan menyayangi
putrinya. Dan dia tidak mau putrinya
diganggu orang-orang itu.
Ah, persahabatan yang indah itu
pun terputus gara-gara orang-orang
kejam itu! Wayan Tua amat menyesali
semua yang terjadi.
Diluar, si pengemis masih
dijadikan bulan-bulanan oleh Rembaga.
Teman-teman Rembaga pun ikut
mempermainkan si pengemis. Mereka
tertawa-tawa seperti tengah memainkan
satu permainan yang mengasyikan. Si
pengemis benar-benar dijadikan bola
oleh mereka.
Dia dihajar ke sana ke mari
hingga terhuyung-huyung.
"Ha ha ha... lebih baik kau
mampus saja, Jembel busuk!!" bentak
Rembaga sambil menendang si pengemis.
Tubuh tua itu pun terhuyung dan salah
seorang temannya siap menyambut tubuh
itu dengan satu tendangan.
Namun mendadak saja dia merasakan
tubuhnya kaku. Dan ambruk seperti
pohon pisang.
Sudah tentu teman-temannya
terkejut melihat hal itu.
Penggekrawung bergegas memeriksa tubuh
temannya. Dia menemukan sebuah totokan
di salah satu urat belakang kawannya.
Sebuah totokan yang sangat hebat.
Dilakukan dari jarak jauh. Dan
hanya seorang yang mempunyai tenaga
dalam yang tinggi saja yang mampu
melakukan hal itu.
Penggekrawung lebih lebih
terkejut lagi setelah menemukan sebuah
tusuk gigi di dekat tubuh kawannya
yang ambruk kaku itu.
Luar biasa! Hanya dengan tusuk
gigi temannya ditotok dari jarak jauh!
Penggekrawung menggeram marah.
"Bangsat! Siapa yang melakukan
hal ini?!"
Teman-temannya pun kaget. Mereka
mengerumuni tubuh kawannya yang kaku
itu. Mereka seakan melupakan si
pengemis yang tadi dijadikan bulan-
bulanan.
"Bukan main! Yang melakukannya
hebat sekali!"
"Pasti berilmu tinggi!"
"Dan hanya dengan tusuk gigi dia
dapat melakukannya!!"
Seruan-seruan itu terdengar dari
mulut mereka yang mau tak mau menjadi
kagum pula. Satu pameran tenaga dalam
yang hebat diperlihatkan seseorang
yang menotok dari jarak jauh itu.
Penggekrawung menggeram jengkel.
Dia segera membebaskan temannya dari
totokan itu.
Semua disangkanya demikian mudah.
Namun setelah berkali-kali dia
melakukannya, temannya itu belum juga
terbebas dari totokan itu.
"Bangsat!!" makinya dan berusaha
kembali. Wajahnya mendadak keluar
keringat.
Dia pun berusaha sekuat tenaga.
Setelah dia mengeluarkan tenaga
dalamnya hampir semua yang dimili-
kinya, barulah totokan itu berhasil
dibebaskan.
"Anjing buduk! Siapa yang mau
jual tampang padaku seperti ini?!"
makinya geram. Dia mengalirkan sedikit
tenaga dalamnya pada temannya itu,
yang langsung merasakan kaku di
tubuhnya sebagian menghilang.
Setelah itu dia bergegas masuk ke
dalam, menduga-duga siapa kiranya yang
telah melakukan totokan itu.
Ada empat orang laki-laki di
rumah makan itu. Dan kesemuanya sudah
selesai menikmati hidangan.
Salah seorang dengan santainya
bangkit hendak membayar namun tiba-
tiba Penggekrawung mencabut golok dari
pinggangnya dan meloncat ke hadapan
orang itu. Mengacungkannya di wajah
orang itu dengan tatapan garang.
"Jawab yang jujur! Kepandaian apa
yang kau gunakan untuk menotok
temanku!"
Sudah tentu orang itu menjadi
ketakutan. Dia yang tidak tahu apa-apa
menjadi sasaran.
"Katakan cepat!"
"Apa... apa yang telah saya
lakukan," desisnya ketakutan dengan
wajah pucat.
"Jangan pura-pura! Nanti kutebas
lehermu!"
"Saya... saya...."
"Bangsat hina!!" Penggekrawung
mengangkat tangannya, dan mengibaskan
goloknya dengan kejam.
Tetapi mendadak sebuah sendok
melayang dan menghalangi laju kibasan
golok itu. Lemparan yang penuh dengan
sentakan tenaga, dan hanya bisa
dilakukan oleh seseorang yang ahli,
karena lemparan itu begitu tepat di
tepi tajamnya golok Penggekrawung.
"Trang!"
Penggekrawung sendiri terkejut,
karena golok yang dipegangnya sampai
bergetar.
Teman-temannya yang sudah masuk
pun terkejut melihat hal itu. Dan yang
mengherankan, mereka tak melihat siapa
yang telah melemparkan sendok itu!
Sementara itu si orang tadi yang
nasibnya sudah di ambang maut, segera
melarikan diri ketika mendapat
kesempatan. Begitu pula dengan yang
lain. Satu persatu dengan hati-hati
mereka meninggalkan tempat itu dengan
bergegas.
Dan tinggal Pandu yang juga
sedang bersiap-siap. Di dekatnya,
kelima anggota gerombolan itu saling
pandang. Hanya seorang yang berani
masih bertahan di sini. Dan tanpa
dikomando serentak mereka mendekati
Pandu.
Dan mengurungnya dengan sikap
angker.
Pandu masih tenang saja, tak
sedikit pun nampak kepanikan di
wajahnya yang ganteng. Ia mengangkat
kepalanya dan tersenyum kepada orang-
orang itu.
Penggekrawung menggeram, di
sangkanya pemuda ini akan langsung
tunduk.
"Hhh!" dengusnya marah.
Pandu masih tetap tersenyum.
"Maaf, Tuan-tuan yang perkasa.
Saya hendak pergi dari sini," katanya
hormat.
"Bangsat! Siapa kau orang muda?!
Begitu lancang kau terhadap kami! Kau
belum tahu rupanya nama Gerombolan
Golok Hitam!"
Pandu masih tetap tenang.
"Yah... saya baru mengetahuinya
sekarang. Maafkan saya, Ki Sanak. Saya
hendak membayar apa yang telah saya
makan."
"Bangggsaaat!!" Tanpa banyak
cakap lagi, Penggekrawung menyabetkan
goloknya ke arah leher Pandu.
Gerakannya sangat cepat dan bertenaga.
Tetapi dengan mudah saja Pandu
bersalto menghindari serangan itu. Dan
tanpa membalikkan tubuhnya melemparkan
dua keping uang yang tepat masuk ke
tempat penyimpanan uang di kasir itu.
Orang-orang itu terkejut.
"Kakang Penggekrawung!" seru
Rembaga setelah pulih dari keter-
kejutannya. "Pemuda lancang itu yang
telah membuat ulah!"
Penggekrawung sendiri juga
tanggap. Dia cepat berkelebat
mengurung Pandu yang sudah berada di
halaman depan rumah makan itu. Teman-
temannya pun mencabut golok mereka
masing-masing.
Pandu memperhatikan dengan
tatapan tenang.
"Ada apalagi ini, Ki Sanak?
Apakah kalian belum puas menghajar
pengemis itu!" seru Pandu sambil
menunjuk si pengemis yang masih
tergeletak di tanah dengan tubuh penuh
luka dan darah.
"Aku tak suka banyak cakap, Anak
muda? Siapa kau sebenarnya, heh?"
"Namaku Pandu...."
"Hhh! Kau sudah berani lancang
terhadap kami! Kau mengganggu
kesenangan kami! Bersiaplah untuk
mampus sekarang juga!"
Penggekrawung benar-benar seorang
yang pemarah. Dia langsung bergerak
dengan sabetan goloknya. Kembali Pandu
menghindari serangan itu. Kali ini
hanya memiringkan tubuhnya. Melihat
serangan kakangnya luput, yang lain
pun segera mengibaskan senjata mereka
masing-masing. Namun kembali Pandu
memperlihatkan kelincahannya dalam
berkelit.
Dia telah mengeluarkan jurus
berkelitnya yang ampuh, Kijang Kumala.
Serangan-serangan golok itu berkali-
kali tidak mencapai sasaran. Bahkan
terasa kalau orang-orang itu hanya
membuang-buang tenaga saja. Pandu
hendak membuat orang-orang sombong itu
kapok.
Makanya dia pun mulai
mengeluarkan jurus-jurus silatnya
dalam tahap rendah. Pukulan Patuk
Gagaknya yang sangat ampuh. Dalam
gerakan yang pelan itu, lawannya saja
sulit untuk melumpuhkannya, apalagi
kalau sudah pada tingkat tinggi. Jurus
Patuk Gagak Rimangnya bisa berkelebat
dengan cepat. Pandu hanya mengandalkan
jurus berkelitnya saja yang bagai
seekor kijang menghindari sergapan
pemburu. Begitu tangkas dan lincahnya.
"Ha ha ha. inikah anggota
Gerombolan Golok Hitam yang ditakuti
itu?" ejek Pandu sambil menghindari
sambaran golok lawan-lawannya.
Orang-orang itu semakin geram,
terutama Penggekrawung. Wajahnya merah
padam karena marahnya sudah membludak.
Ingin dicincang saja pemuda bangsat ini.
Tetapi sampai sekian jurus,
keadaan belum berubah. Pandu masih
mempermainkan lawan-lawannya.
Namun ketika dilihatnya matahari
sudah mulai menukik, barulah dia
memberikan sedikit hajaran pada lawan-
lawannya.
"Des! Des!"
Dua orang ambruk terkena
pukulannya.
Dan dengan cepat dia menghajar
yang lain. Orang-orang itu bingung
melihat gerakan Pandu yang berubah
menjadi sangat cepat.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Yang lain pun terhuyung dengan
dada terasa seakan mau pecah. Begitu
pula dengan Penggekrawung. Tetapi daya
tahannya lumayan besar.
Dia cepat bangkit dan menerjang
dengan pekikkan keras. Namun Pandu
hanya perlu bersalto sekali dan
menendang memutar hingga Penggekrawung
tersuruk ke depan termakan tenaganya
sendiri. Tubuhnya ambruk ke tanah
dengan keras. Dan tidak bangun lagi.
Orang bengis itu pingsan. Pandu
mendengus.
"Hhh! Manusia-manusia durjana!
Seenaknya saja berbuat dosa! Manusia-
manusia yang tak pernah mengetahui
tingginya langit dan dalamnya bumi!"
Setelah itu Pandu cepat-cepat
menolong si pengemis yang sekarang
kelihatan tersenyum lega. Dia merasa
bersyukur karena ada yang berani
menolongnya.
Kini dia tertawa kecil melihat
orang-orang yang menghajarnya tadi
sudah lumpuh semua.
Wayan Tua yang mengintip dari
dalam, buru-buru ke luar. Dia terkejut
melihat orang-orang Golok Hitam yang
bergeletakan di halaman depan rumah
makannya.
Ini kiamat namanya!
Berbahaya sekali.
Amat berbahaya.
Dia berpaling pada Pandu dan
berkata gugup.
"Oh, anak muda... lekas, lekas
kau tinggalkan tempat ini... sebelum
teman-teman mereka datang...."
Pandu hanya tersenyum. "Bapak...
tenanglah...."
"Bukan begitu, Anak muda. Kau
belum tahu siapa mereka...."
"Saya tahu, Bapak... mereka
orang-orang Golok Hitam yang sering
buat onar."
"Nah, mengapa kau tidak juga
pergi dari tempat ini setelah kau
melakukan semuanya...?"
"Baiklah, Bapak... semua ini jadi
urusan saya...."
"Cepat Anak muda... cepat...."
Pandu tidak ingin membuat Wayan
Tua menjadi gugup dan kebingungan.
Lalu dia menolong si pengemis itu
bangkit dan membantunya naik ke
kudanya. Lalu dia sendiri segera
melompat dan duduk di belakang si
pengemis.
Sebelum menggebrak lari kudanya
dia berkata pada Wayan Tua yang
menjadi ketakutan karena peristiwa
itu.
"Bapak... bila ada apa-apa, nanti
saya yang akan bertanggung jawab...."
"Iya, iya... pergilah dari sini,
Anak muda...."
Pandu menggebrak lari kudanya.
Dia merasa kasihan melihat Wayan Tua
menjadi gugup begitu. Tetapi Pandu
tidak bisa menahan diri lagi bila
melihat kekerasan dan kejahatan di
depan matanya.
Kalau begitu siapa yang hendak
disalahkan.
Dia harus menggebrak kudanya
membawa si pengemis yang
menelungkupkan tubuhnya di dada kuda
itu.
Sementara itu ketika Pandu dan si
pengemis sudah menjauh, Wayan Tua
terburu-buru masuk ke dalam dan
menutup warungnya saat itu juga.
Dia tidak mau terjadi apa-apa.
Dibiarkannya saja lima orang anggota
Golok Hitam tergeletak di tanah.
Namun Wayan Tua tahu, semua ini
pasti ada kelanjutannya. Dan dia cuma
bisa mendesah panjang ketika ingat apa
kelanjutan dari peristiwa ini.
Begitu menakutkan untuk
dibayangkan!
Wayan Tua hanya bisa berdoa, agar
peristiwa ini hanya sampai di sini.
Tetapi mungkinkah doanya itu terkabul,
sementara dia tahu siapa orang-orang
Golok Hitam itu?
Tetapi dia tetap terus berdoa.
Karena hanya itu yang bisa
dilakukannya. Dia pun tidak tau harus
melakukan apalagi! Ah, Gusti Allah...
lindungilah kami semua dari
cengkeraman orang-orang kejam itu?
* * *
2
Kuda yang digebrak Pandu terus
berlari dengan cepat. Sementara tubuh
si pengemis tua itu tergolek lemah di
depannya. Pandu memacu kudanya
sedemikian cepat, dia harus segera
mengobati luka-luka yang diderita si
pengemis tua ini.
Lalu diarahkannya kudanya ke luar
dari Desa Babakan Hijau, menuju ke
sebuah hutan kecil. Di sana Pandu
menghentikan kudanya. Lalu melompat
turun sambil membopong tubuh yang
nampak lemah.
Di atas rerumputan, dia mengobati
luka-luka si pengemis dan menca-
rikannya buah-buahan yang banyak
terdapat di hutan itu untuk mengisi
perut.
Si pengemis itu makan dengan
lahapnya, nampak jelas kalau dia lapar
sekali.
Pandu yang masih mengenakan
capingnya, tersenyum. Senang dia
melihat pengemis itu makan dengan
lahapnya.
Tiba-tiba pengemis itu
menghentikan makannya, dia menatap
Pandu. "Kau tidak makan, Anak muda?"
Pandu membuka capingnya dan
membiarkannya tergantung di lehernya
dan tersampir di punggungnya.
"Aku sudah, Paman... habisilah
buah-buahan itu... kau nampaknya lapar
sekali...."
"Aku memang lapar sekali, Anak
muda...."
"Kau habisilah, Paman...."
Si pengemis itu kembali menikmati
buah-buahan yang diambil Pandu tadi di
hutan. Dan setelah menghabisi sisa
buah yang terakhir dia berucap sambil
mengusapkan mulutnya dengan punggung
tangannya. "Terima kasih, Anak
muda...."
Pandu tersenyum.
"Maafkan saya, Paman... siapakah
paman ini sebenarnya?" ,
"Saya hanya seorang pengemis,
Anak muda...."
"Maksud saya... mengapa paman
tidak pergi saja daripada disiksa oleh
orang-orang itu?"
Pengemis itu tersenyum. Sungguh,
Pandu melihat sorot mata yang begitu
arif dan bijaksana dari mata yang
nampak sudah menua itu.
Dan entah mengapa hati Pandu
bergetar melihatnya. Mengingatkannya
pada seseorang, seorang kakek yang
hampir sepuluh tahun mendidik dan
menggemblengnya ilmu kanuragan.
Pertapa sakti yang bermukim di Gunung
Kidul, Eyang Ringkih Ireng. Guru yang
amat dihormatinya. Guru yang
memberinya segudang nasehat tentang
hakekat hidup yang sesungguhnya. "Aku
rindu padamu, Eyang...." desahnya
dalam hati.
Didengarnya suara si pengemis
menjawab pertanyaannya.
"Anak muda... apalah yang dapat
kuperbuat untuk menghadapi orang-orang
bengis seperti mereka?" katanya masih
tetap tersenyum.
"Anak muda... bagi orang seperti
aku, biasanya hanya mandah saja
diperlakukan macam apa pun oleh orang-
orang seperti itu. Karena aku tak
punya kebisaan apa-apa. Tetapi yang
perlu kau ingat, Anak muda... bila
Gusti Allah belum menghendaki nyawa
tuaku ini, hingga kapan pun aku tak
akan pernah mati. Nyawaku akan tetap
bersatu di jasadku. Yah... sekali pun
orang-orang tadi berbuat kejam padaku.
Tetapi bila Gusti Allah menghendaki
nyawaku, tanpa perlakuan orang-orang
itu pun aku bisa mati. Bahkan... saat
tidur pun bila Dia menghendaki
nyawaku, aku tak akan pernah bangun
kembali...."
Pandu menatap dalam kedua mata
tua itu. Dilihatnya lagi bibir itu
bergerak dan bersuara lagi.
"Mereka memang orang-orang yang
kejam, Anak muda. Tetapi... memang
sudah takdir mereka seperti itu. Hanya
yang disayangkan... mereka tidak mau
mengubah takdir. Bukankah kau tahu,
Gusti Allah tidak akan pernah merubah
nasib seseorang atau pun suatu kaum,
bila dia atau mereka tidak pernah mau
merubahnya.... Kau paham itu? Kau
tentunya amat paham sekali, Anak
muda...."
Pandu tercenung. Dia seakan tidak
percaya kata-kata itu keluar dari
mulut pengemis ini. Hmm... siapakah
pengemis ini sebenarnya?
Yang membuatnya semakin heran
saat dia mengobati pengemis tadi. Dia
sadar kalau sesungguhnya pengemis ini
bukanlah pengemis sembarangan. Tadi
pun ketika dia mengobati luka-luka
pengemis itu, dia menjadi heran karena
pengemis itu nampak tidak apa-apa.
Seolah luka-luka akibat perlakuan
orang-orang kejam itu lenyap dengan
sendirinya.
Jadi dia sebenarnya bukan
mengobati, malah membersihkan tubuh si
pengemis dari debu dan kotoran. Dan
baru sekaranglah Pandu tanggap kalau
pengemis ini bukan pengemis
sembarangan adanya.
Jadi siapa sebenarnya si pengemis
ini? Tentunya dia adalah seorang sakti
yang tengah menyamar. Ah, ini semakin
membuat Pandu insyaf, kalau masih
banyaknya orang sakti yang berlagak
dan tidak memamerkan keberadaan mereka
yang sesungguhnya.
Pandu hendak bertanya siapa
pengemis ini sebenarnya, tetapi seolah
tahu apa yang hendak ditanyakannya,
pengemis itu sudah lebih dulu berkata:
"Kau tidak perlu mengetahui
diriku yang sebenarnya saat ini, Anak
Muda. Yang kau perlu tahu, akulah yang
sekarang ini. Yah... suatu saat nanti
kau pasti akan tahu siapa aku ini,
Pandu...."
Tercengang Pandu segera berkata:
"Maafkan aku, Paman... sebenarnya aku
sungguh-sungguh amat penasaran.
Tetapi...yah, aku jadi maklum
sekarang."
Pengemis itu tersenyum.
"Hmmm... aku kagum denganmu, Anak
muda. Siapakah sebenarnya namamu...?"
"Namaku, Pandu, Paman...."
"Hmm... Pandu, tingkah lakumu
mencerminkan satu bentuk kepribadian
yang hakiki. Satu bentuk kepribadian
yang welas asih dan penuh kewibawaan."
"Paman terlalu memujiku...."
"Jarang aku menjumpai anak muda
seperti kau ini, Pandu. Dan sungguh-
sungguh kukatakan, kalau aku amat
kagum terhadapmu...."
"Ah, aku biasa saja, Paman.
Bahkan mungkin aku tidak seperti yang
paman duga...."
Pengemis itu terbahak. "Ha ha
ha... kata-katamu yang merendah itu
sudah membuktikan bahwa kau
sesungguhnya adalah pemuda yang sopan
dan bijaksana. Ya, ya... aku
menyukaimu, Pandu...."
"Terima kasih, Paman. Aku pun
menyukai orang seperti kau ini,
Paman...."
Pengemis itu manggut-manggut.
Matanya lekat menatap Pandu, seolah
hendak menembus caping yang menutupi
wajahnya.
Menyadari hal itu, Pandu pun
segera membuka capingnya.
"Pandu... ada yang hendak ingin
kutanyakan padamu tentang satu hal."
"Apakah itu, Paman?"
"Kau tidak marah, karena kupikir
ini tentunya menyangkut dirimu?"
"Aku belum bisa mengatakan aku
akan marah atau tidak, kalau aku belum
tahu apa yang hendak paman tanyakan
itu...."
"Baiklah... kulihat di punggungmu
ada sebilah golok yang nampaknya aku
kenal."
"Oh!"
"Kau tidak perlu terkejut,
Pandu...."
"Paman... bukankah aku belum
memperlihatkan golok yang ada di
punggungku ini padamu. Lalu bagaimana
kau bisa yakin sekali kalau kau amat
mengenai golok ini?"
"Ya, aku yakin hal itu. Yakin
sekali. Aku yakin mengenai golok yang
ada di punggungmu!"
"Sungguhkah, Paman?"
"Ya, aku mengenalnya."
Pandu hanya terdiam.
"Boleh aku melihat golok itu,
Pandu?"
Kali ini kelihatan jelas kalau
Pandu sepertinya kebingungan untuk
menjawab. Golok yang ada di
punggungnya adalah golok pemberian
gurunya, Eyang Ringkih Ireng yang
berdiam di Bukit Paringin, atau bagian
dari Gunung Kidul.
Terus terang sebenarnya Pandu
tidak mengerti tentang senjata yang
diberikan dari gurunya. Karena hampir
setiap orang merasa mengenal golok
itu. Padahal dia sendiri tidak tahu
ada apa sebenarnya dengan golok itu.
Ada apa di balik rahasianya. Hal
itulah yang membuat Pandu menjadi
berhati-hati pada siapa pun, karena
dia yakin, nampaknya banyak orang yang
berminat untuk merebut golok ini dari
tangannya.
Pandu bukanlah tidak mempercayai
pengemis yang telah membuatnya
tertarik untuk mengetahui siapa
sesungguhnya pengemis ini. Tetapi dia
tidak ingin terjadi kesulitan gara-
gara Golok Cindarbuana ini.
Sebenarnya hingga saat ini Pandu
belum mengerti dan tahu ada rahasia
apa sesungguhnya di balik Golok
Cindarbuananya ini. Ada rahasia apa?
Mengapa banyak yang tertarik
terhadap goloknya? Pengemis itu
tersenyum. Dan lagi-lagi seperti tahu
apa jalan pikiran yang ada di benak
Pandu, pengemis itu berkata:
"Kalau kau ragu-ragu untuk
memperlihatkannya padaku... tidak apa-
apa, Pandu. Aku sudah cukup puas
melihatnya dari sini. Dan keyakinanku
semakin bertambah, karena aku benar-
benar yakin kalau golok itu amat
kukenal...."
"Maafkan aku, Paman...."
"Aku mengerti. Dan kalau boleh,
aku akan menebak saja golok itu.
Yah... aku makin bertambah yakin
sekarang, golok yang ada di punggungmu
itu adalah Golok Cindarbuana. Benarkah
dugaanku, Pandu?"
"Yah... begitulah, Paman.... Kau
tidak salah menebak golok apa yang ada
di punggungku ini...."
"Oh, Tuhan... golok itu ternyata
masih ada di dunia ini. Golok
legendaris yang abadi sampai kapan pun
juga," kata pengemis itu seperti
mendesah lega. "Kau amat beruntung
memilikinya, Pandu...."
"Terima kasih, Paman...."
Dan seperti ingat akan sesuatu,
pengemis itu berkata:
"Maaf, Pandu... ada hubungan apa
kau dengan Eyang Ringkih Ireng majikan
Gunung Kidul?"
"Paman!" seru Pandu terkejut.
Pengemis itu pun mengenal gurunya.
Keyakinannya tentang siapa pengemis
ini semakin bertambah besar. Tentunya
pengemis ini bukan pengemis semba-
rangan adanya.
"Maafkan aku, Pandu... bila
pertanyaanku itu membuatmu terkejut."
"Tadi aku memang terkejut,
Paman.... Tetapi sekarang tidak.
Karena aku yakin, kau tentunya adalah
seorang sakti yang tengah
menyamar...."
Pengemis itu terbahak.
"Ha ha ha... kau salah besar,
Pandu... aku hanya seorang pengemis,
yang kerjanya hanya meminta-minta...."
Pandu tersenyum.
"Baiklah, Paman... kujawab
pertanyaanmu itu. Yah, Eyang Ringkih
Ireng adalah guruku...."
"Ha ha ha... pantas, pantas kau
memiliki golok sakti itu. Ha ha ha...
Ringkih.... Ringkih... ternyata kau
masih hidup. Di usia kita yang sama-
sama senja ini kita tak pernah lagi
saling menyambangi satu sama lain....
Bagaimana kabar si Ringkih itu
sekarang, Pandu?"
"Setahu saya.... Guru dalam
keadaan baik-baik saja, Paman. Paman
mengenalnya?"
"Ya, tentu saja aku mengenalnya.
Ah, sudahlah... kau amat beruntung
dapat mewarisi Golok Cindarbuana,
Pandu...."
Lagi-lagi Golok Cindarbuana. Ah,
golok itu berarti benar-benar
menyimpan satu misteri dan membuat
Pandu semakin penasaran untuk
menyingkap misteri itu. Ada apa
sesungguhnya di balik Golok
Cindarbuana ini? Karena banyak tokoh-
tokoh aneh yang mengenai golok ini.
Termasuk pengemis aneh ini!
Tetapi mengapa gurunya tidak
menceritakan tentang sesuatu yang
menjadi rahasia golok itu? Mengapa?
"Ha ha ha... kau tak perlu
memikirkan golok ini, Pandu. Biarkan
dia bersamamu. Biarkan dia menemanimu.
Kau pasti akan merasa bersyukur karena
golok itu ada yang menemani."
Pandu menelan ludahnya.
"Ya, Paman..."
"Nah, bila kau hendak melanjutkan
perjalananmu. lanjutkanlah. Tinggalkan
saja aku di sini."
Memang masih jauh pengembaraan
Pandu. Namun dia hendak kembali ke
Desa Babakan Hijau. Karena dia yakin,
kejahatan sedang berlangsung di sana.
"Kalau begitu. baiklah, Paman....
Nampaknya kita memang harus berpisah
sekarang...."
"Silahkan, Pandu. Tentunya kau
tahu apa yang harus kau kerjakan
selanjutnya...."
Pandu sebenarnya hendak bertanya
maksud dari kalimat yang baru saja
diucapkan pengemis itu. Namun belum
lagi mulutnya terbuka, sosok pengemis
itu telah lenyap dari pandangannya.
Membuat Pandu tercengang.
Tak sadar mulutnya terbuka.
Siapa sebenarnya pengemis itu?
Siapa dia?
Menyadari mulutnya masih
menganga, Pandu mendengus.
"Hus! Tutup mulutmu, nanti
kemasukan lalat bagaimana?!"
Lalu dia segera melompat dari
kudanya. Dia akan menyelidiki kejadian
apa yang sesungguhnya terjadi di Desa
Babakan Hijau. Lalu dia pun memacu
kudanya. Dua pertanyaan dan keheranan
muncul di benaknya.
Siapa sebenarnya pengemis itu?
Dia pastilah bukan orang sembarangan.
Sikapnya sungguh-sungguh arif dan
bijaksana. Dan kata-kata yang
diucapkannya tadi masih melekat di
benaknya. begitu sahdu dan penuh
makna.
Dan melihat dari sikapnya,
tentulah dia bukan pengemis
sembarangan.
Satu lagi, rahasia apa yang
sesungguhnya ada di balik Golok
Cindarbuana ini? Kalau memang ada
rahasianya, mengapa gurunya tidak
memberitahukannya?
Atau... gurunya menghendaki agar
dia mencari sendiri jawabannya.
"Iya, Eyang... suatu saat, aku
pasti akan menemukan jawabannya...."
desisnya pelan.
Kudanya pun terus dipacu.
* * *
3
"Bangsat!!" geram Gondeng sambil
menggebrak meja hingga isinya
berloncatan ke luar. "Siapa pemuda itu
sebenarnya ?!"
Takut takut Penggekrawung
menyembah.
"Maafkan kami, Ketua. Kami...
kami tidak mengenal siapa dia....
Dia... yah, kami baru pertama ini
melihatnya....".
"Lalu kalian gagal menyuruh Roro
Dewi kesini, heh?"
"Saat itu... kami sedang menunggu
Nimas Roro Dewi yang sedang belajar
menari."
"Belajar menari?"
"Ya, Ketua."
"Hmmm... di mana dia belajar?"
"Di Padepokan Melati Putih
pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang,
Ketua."
Tiba-tiba Gondeng tertawa lebar.
Dia seorang laki-laki yang berwajah
seram. Berberewok tebal dan berperut
besar. Bisa ditebak, dialah ketua
gerombolan Golok Hitam yang bermarkas
di sebuah hutan kecil yang sulit untuk
dimasuki. Karena untuk masuk ke sana,
harus bisa melalui sebuah sungai kecil
yang banyak buayanya dan juga banyak
pengawal Gondeng yang menjaga.
Itulah dulu ketika Ki Runding
Alam hendak menghancurkan Gerombolan
Golok Hitam, mereka lebih dulu masuk
kehutan itu. Dari menghilang dari
sergapan Ki Runding Alam.
Sekarang Gerombolan Golok Hitam
kembali berdiri dan mulai
mengembangkan sayap kekuasaannya.
"Bagus, bagus... biarkan bungaku
itu belajar menari. Nanti setelah dia
pandai suruh dia setiap saat
menghiburku menari di sini. Kau,
Penggekrawung. Saat ini juga kuminta
padamu, cari dan tangkap pemuda yang
membuatmu babak belur begitu! Jangan
kembali sebelum berhasil menangkapnya!
Ingat, aku tidak suka kegagalan!"
"Ketua...."
"Kau boleh membawa teman-temanmu
yang lain seberapa kau suka."
Penggekrawung tersenyum.
"Baiklah, Ketua. Sekarang juga
saya akan berangkat."
"Lebih cepat lebih baik, karena
aku sudah tidak tahan untuk melihat
wajah si pemuda itu."
Sekali lagi Penggekrawung meng-
angguk.
Gondeng bangkit dari tempat
duduknya. Dia berjalan menuju ke
kamarnya. Di mana seorang wanita muda
tengah menunggu dengan tidak sabar.
Dia tersenyum begitu melihat
Gondeng. Dan menyingkapkan selimut
yang menyelimuti tubuhnya yang tidak
berpakaian apa-apa, hingga telanjang
bulat sekarang.
"Lama sekali? Ada apa?" tanyanya
bagaikan desahan belaka. Matanya
bersinar penuh gairah. Bibirnya
mengundang birahi yang berkepanjangan.
Mata Gondeng pun nanar. Tubuh itu
bukan main indahnya. Dan kini bayi
dewasa telah lahir dihadapannya. Siapa
yang tidak akan mabuk melihat tubuh
yang indah bertelanjang bulat itu?
Tubuh itu padat dan kulitnya putih
mulus.
"Ha ha ha... manis, manis... ada
urusan sedikit...."
"Sedikit kok lama sekali?"
"Ha ha ha... bukankah aku sudah
muncul sekarang?"
"Kenapa tidak segera berbuat?"
desah wanita itu dengan suara seperti
malu-malu.
Gondeng terbahak. "Oh, Manis...
aku sudah tidak tahan," desisnya
dengan suara tenggorokan. Lalu
terburu-buru dia membuka pakaiannya.
Dan langsung menubruk menggeluti tubuh
yang telanjang bulat itu.
Wanita itu memekik lirih dan
tertawa kayak kuntilanak, membuat
Gondeng semakin beringas dan bernafsu.
Mereka adalah orang-orang yang
mempertuhankan nafsu. Nafsu bila sudah
membelenggu akan sukar untuk
dikalahkan. Bahkan perang yang paling
besar adalah perang melawan hawa
nafsu. Bila manusia dapat mengalahkan
nafsunya, maka dia akan menjadi
manusia yang arif dan bijaksana.
Manusia yang sabar dan berserah diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya
sayang, sebagian besar manusia malah
menuruti hawa nafsunya belaka. Nafsu
yang merusak dan menghancurkan diri
sendiri.
Di luar kamar itu, Penggekrawung
sudah selesai mengumpulkan teman-
temannya sebanyak sepuluh orang
termasuk dirinya. Mereka dipersiapkan
secara matang.
Mereka segera menaiki kuda
masing-masing. Membawa sebilah golok
lambang keperkasaan Gerombolan Golok
Hitam. Gerombolan perampok nomor satu
di tanah Kediri!
"Kita jangan bertindak tanggung
lagi! Kita bekuk pemuda lancang itu!!"
kata Penggekrawung dengan geram sambil
menaiki kudanya.
"Jangan takut, Kakang. Biar
kuhajar habis orang itu!!" sahut salah
seorang temannya yang berambut
panjang.
"Hhh! macam mana orangnya?!"
Penggekrawung tersenyum. "Aku pun
berharap kau bisa melakukannya,
Sembarita!"
Sembarita manggut-manggut dengan
senyum pongah. Lalu mereka pun
mengikuti laju kuda Penggekrawung yang
sudah bergerak lebih dulu.
Dada Penggekrawung dipenuhi oleh
sejuta dendam akan kekalahannya. Dia
bersumpah, akan menghancurkan dan
menelan hati pemuda itu mentah-mentah
bila berhasil dikalahkannya.
Dia tidak terima diperlakukan
seperti itu. Apalagi di hadapan orang-
orang banyak. Bukankah ini merupakan
suatu penghinaan bagi Partai Golok
Hitam? Dia harus membunuh pemuda itu!
Harus!
Makanya dia semakin menggebrak
dan mempercepat laju kudanya. Sepuluh
ekor kuda dengan masing-masing
penunggangnya, berderap ramai di jalan
setapak dan menimbulkan tanda tanya
bagi yang diam-diam melihatnya.
Namun melihat wajah para
penunggangnya yang seram dan murka,
mereka dapat menduga kalau akan
terjadi sesuatu yang tidak meng-
gembirakan. Siapa yang belum mengenai
sepak terjaring manusia-manusia ganas
dari Gerombolan Golok Hitam itu?
Yang bengis dan kejam!
Tidak pandang bulu dalam
menggarap mangsanya. Orang-orang yang
melihat itu hanya bisa berdoa semoga
tidak terjadi sesuatu pada orang yang
mereka kenal.
Penggekrawung bermaksud hendak ke
rumah makan Wayan Tua dulu. Mungkin
dari sana dia bisa mendapatkan suatu
keterangan yang berguna mengenai si
pemuda. Hhh! Bukan main geramnya bila
dia teringat akan kekalahannya. Lima
orang dikalahkan satu orang? Bukan
main, ini suatu penghinaan!!
Tak berapa lama kemudian, mereka
tiba di sana. Rumah makan itu seperti
biasanya ramai. Apalagi sekarang Roro
Dewi ikut pula melayani para
pengunjung.
Duh! Betapa menggetarkan
kecantikan yang dimiliki oleh gadis
belia itu. Benar-benar membiuskan.
Mengalahkan kecantikan para bidadari
dari kahyangan dalam dongeng.
Siapa yang tidak bergetar
melihat. kecantikan yang dimiliki oleh
Roro Dewi? Siapa? Kulit gadis itu
putih dan halus. Gerakannya gemulai
dan menggairahkan. Dia telah tumbuh
menjadi gadis remaja yang sopan dan
manis. Semua orang menyenanginya.
Termasuk salah seorang pemuda yang
berada di salah satu kursi rumah makan
itu.
Tetapi pemuda itu mampu
menyembunyikan perasaannya meskipun
rumahnya tak jauh dari rumah makan
milik ayahnya Roro Dewi.
Dia seorang pemuda putera petani.
Tubuhnya tegap. Kekar. Wajahnya tampan
walau agak hitam, mungkin tersengat
oleh matahari kalau dia bekerja di
sawah.
Dia bernama Joko Bara. Seorang
pemuda gagah yang diam-diam mencintai
Roro Dewi namun sampai sekarang masih
dipendamnya karena dia tidak berani
mengutarakannya kepada Roro Dewi,
lantaran Roro Dewi tidak pernah
berlaku manis atau berlebihan
kepadanya. Sikapnya tetap sama seperti
dia menyambut para pengunjung yang
lain.
Ini membuatnya merasa sangat
tersiksa. Setiap kali melihat Roro
Dewi, hatinya selalu bergetar.
Batinnya menjerit, mencoba memanggil.
"Dewi.... Dewiku sayang...." Namun
suara itu tak pernah ke luar sepatah
pun. Terpendam dengan rapat di
hatinya.
Di luar terdengar derap kuda yang
berhenti dan ringkikannya. Sepuluh
orang Gerombolan Golok Hitam itu
segera masuk ke rumah makan itu.
Seketika orang-orang yang sedang
makan menjadi tidak enak. Gelisah. Dan
merasakan masakan itu pun jadi tidak
enak. Biarpun dilayani oleh Roro Dewi,
kedatangan orang-orang Golok Hitam
tetap menjadi momok.
Wayan Tua yang sedang tersenyum
melihat kelincahan putrinya melayani
pengunjung, menjadi ikutan gelisah
begitu orang-orang itu muncul.
"Ha-ha-ha!" Penggekrawung tertawa
ngakak di ambang pintu. "Enak sekali
kelihatannya pengunjung di warung ini!
Dilayani oleh seorang putri jelita
yang gemulai dengan senyum aduhai
menghidangkan hidangan.... Apa kabar,
Nimas Roro Dewi?"
Roro Dewi menyambut dengan
senyum, walaupun dia sangat jengkel
sekali.
"Kabar baik, Kakang. Silahkan
duduk, Kakang."
Penggekrawung tertawa. Ia segera
mencari tempat duduk. Salah seorang
temannya menendang ke luar dua orang
pemuda yang sedang makan dan hanya
memandang dengan geram namun tak
berani berbuat apa-apa. Orang-orang
itu segera menempati tempat duduk
mereka.
Sembarita segera menarik lengan halus
Roro Dewi yang mengikutinya dengan
terpaksa. Ia mencolek dagu Roro Dewi.
"He-he-he... sediakan hidangan
yang enak, Roro.... Kakangmu ingin
segera makan...."
"Ba.. baik.... Kakang." Roro Dewi
buru-buru masuk ke dalam sementara
orang-orang itu tertawa. Para
pengunjung yang lain hanya diam saja,
tidak berani ikut campur. Namun ada
salah seorang yang teramat geram. Dia
Joko Bara yang hanya menggeram pelan
melihat pujaannya dipermainkan
demikian.
Wayan Tua buru-buru ke luar
menemui orang-orang itu. Ia
membungkuk-bungkuk dengan hormat.
"Oh.... Tuan-tuan sekalian. Apa
kabar, Tuan-tuan?"
Orang-orang itu berhenti tertawa.
Penggekrawung berdiri menghampiri
Wayan Tua.
"Hmm... anakmu cantik sekali,
Wayan...."
"Ya, ya, Tuan...."
"Hmm... ketua kami, Yang Mulia
Tuan Gondeng titip salam untuk
anakmu...."
"Iya, iya.. nanti saya
sampaikan."
"Hmm... begini, Wayan Tua.
Mengenai soal pemuda yang menghajar
kami dua hari yang lalu. Siapa
sebenarnya dia, Wayan Tua?"
"Oh, bukankah tuan-tuan sudah
menanyakan hal itu.... Saya, saya
benar tidak tahu siapa dia...?"
"Kami tidak main-main, Wayan
Tua...."
"Saya sungguhan, Tuan. Saya tidak
tahu."
"Dan ke mana orang itu pergi?"
"Tuan, tuan sudah mendengar
jawabannya, bukan? Sepertinya...
pemuda itu pergi ke arah istana."
"Hmm... ini yang membuat kami
tidak percaya? Ke istana. Mau apa dia
kesana? Lalu bagaimana dengan pengemis
jembel itu?"
"Dia... dia pun pergi. Entah ke
mana... sampai sekarang saya tidak
melihatnya lagi...."
"Sekali lagi, Wayan Tua. Kau
benar-benar tidak tahu ke mana
perginya pemuda itu?"
"Sungguh, Tuan.... Sungguh saya
tidak tahu.... Mengenalnya pun
tidak...." kata Wayan Tua dengan sikap
yang amat hormat luar biasa.
Penggekrawung menepuk-nepuk bahu
Wayan Tua yang semakin membungkuk.
Dadanya kebat kebit. Dia ngeri bila
melihat laki-laki berwajah seram itu
mendadak marah.
"Aku yakin... kau tentunya tidak
berbohong padaku, Wayan Tua...."
"Iya, Tuan...."
"Dan tentunya kau pun tahu akibat
apa yang akan kau dapatkan bila kau
ketahuan berbohong padaku...."
"Iya, Tuan...."
"Bagus, Wayan Tua.... Bagus! Aku
bangga padamu!!"
Wayan Tua semakin membungkuk,
karena tepukan tangan Penggekrawung di
bahunya semakin keras terasa. Dia
kuatir bila laki-laki ini marah.
"Nah, Wayan Tua... bila kau
melihat pemuda itu, cepat kau beritahu
kami. Kau mengerti?"
"Ya, iya... Tuan...."
Penggekrawung terbahak.
"Hahaha... kau memang penurut
sekali. Ya, ya... bagus, bagus itu...
aku menyukaimu, Wayan Tua...." Dia
kembali terbahak. Disusul dengan
teman-temannya yang tertawa bersamaan,
membuat hati Wayan Tua bertambah
kecut.
Dari arah dalam muncul dua orang
pelayan yang membawa masakan untuk
orang-orang itu. Namun kedatangan
mereka justru malah memancing
kemarahan orang-orang itu.
Sembarita menggebrak meja.
"Bangsat! Mau apa kalian, heh?!"
bentaknya dengan suara yang
menggelegar keras.
Kedua pelayan wanita itu menjadi
gugup. Wajah mereka pias. Jantung
mereka seakan mau copot dari
tempatnya.
"Kami... kami...." sahut salah
seorang dengan takut-takut, namun tak
berhasil menyelesaikan kalimatnya
karena sudah keburu dipotong
Sembarita.
"Suruh keluar Roro Dewi! Bukan
kalian yang melayani kami, tetapi dia!
Harus dia yang melayani kami! Kalian
mengerti, Pelayan busuk?!"
Dengan sisa keberanian yang
tinggal setengah, salah seorang dari
mereka menyahut dengan takut-takut.
"Den... Roro sedang mandi,
Tuan...."
"Hhh! Katakan padanya, cepat!
Kami tidak sabar lagi untuk
menunggu!!" bentak Sembarita marah.
Lalu menoleh pada Wayan Tua yang
merasakan tubuhnya menjadi semakin
kecil saja. Ngeri dengan tatapan yang
membara marah itu, "Wayan Tua... kami
tidak main-main dalam hal ini! Kau
mengerti?!!"
"Iya... iya, Tuan... nanti saya
panggilkan agar dia segera cepat
menyelesaikan mandinya...." sahut
Wayan Tua sambil menyuruh kedua
pelayannya masuk.
"Bagus!"
"Iya, Tuan...."
"Lalu mengapa kau masih berada di
sini, hah? Kau menunggu kami marah,
Wayan Tua?!"
"Oh, iya... iya, Tuan! Iya...."
Tergopoh-gopoh Wayan Tua berlari ke
belakang. Sepak terjang orang-orang
itu amat mengerikannya.
Dia sungguh-sungguh takut yang
luar biasa. Dan sedikitnya dia
menyalahi pemuda yang pernah mengerjai
orang-orang itu. Karena Wayan Tua
yakin, sesungguhnya orang-orang itu
marah pada si pemuda.
Orang-orang itu terbahak. Senang
mereka bisa mempermainkan orang-orang
yang takut pada mereka. Dan ini
merupakan satu bentuk kenikmatan
tersendiri.
Di kursinya, wajah Joko Bara
memerah. Dia semakin membenci sikap
dari orang-orang itu. Dan dia pun
sudah tidak bisa lagi menahan marah
dan jengkelnya.
Dengan kaki dihentakkan lebih
dulu dan tangan terkepal erat, dia
bangkit. Kaku kakinya dibawanya
mendekati orang-orang yang masih
tertawa itu.
Kejengkelannya memuncak! Orang-
orang yang sedang tertawa itu jelas
saja tidak memperdulikannya. Mereka
masih tertawa-tawa. Namun ketika Joko
Bara masih berdiri di sana dan tidak
kembali ke tempatnya, memancing
perhatian Rembaga yang langsung
menghentikan tawanya dan menoleh.
"Hei... mau apa kau di sini,
hah?!"
Joko Bara hanya terdiam.
Tatapannya lah yang berbicara akan
kejengkelannya.
"Settan!!" Rembaga menggeram.
"Cepat kembali ke tempatmu, hah? Di
sini bukan tempatmu!!"
Tetap Joko Bara terdiam.
Terpancinglah amarah Rembaga.
"Bangsat! Mau apa kau
sebenarnya?!"
"Hmm... mauku?!"
"Katakan cepat, sebelum kulempar
kau ke luar dari sini!!" bentak
Rembaga.
"Hmm... aku adalah orang yang
tidak suka dengan perbuatan kalian,"
sahut Joko Bara dengan suara angker.
"Dan mauku... kalianlah yang segera
angkat kaki dari tempat ini!!"
"Bangsat!! Apa-apaan kau ini?!"
"Kau sudah mendengar kata-kataku
barusan! Apakah kau mesti memakai alat
pendengar agar telingamu lebih terang
untuk mendengar?!"
Rembaga menggebrak meja dengan
keras sambil berdiri. Tatapannya
nyalang,
"Hhh! Siapa kau sebenarnya?!"
"Namaku Joko Bara...."
"Dan kau seorang jago rupanya!"
"Aku hanyalah seorang petani
biasa...."
"Petani mau coba-coba jadi
pahlawan!" potong Sembarita seraya
berdiri dan tangannya bergerak
mengirimkan sebuah pukulan ke wajah
Joko Bara. Sembarita orangnya memang
panasan, dan tidak suka bertele-tele.
Dia pikir, dengan sekali pukul
saja pemuda itu akan rubuh dan
menjerit-jerit minta ampun. Karena
biasanya hanya lagak saja yang
ditampilkan.
Namun dia sungguh terkejut ketika
dengan tiba-tiba saja pemuda itu
menarik kepalanya ke samping dan
menangkap tangan Sembarita dan
menariknya ke depan hingga tersuruk
menabrak kursi dan jatuh bergulingan.
"Brak!!"
"Anjing buduk!" geramnya.
Sudah tentu teman-teman Sembarita
menjadi marah. Serentak mereka bangkit
dengan geram dan mengurung Joko Bara
yang menjadi waspada.
"Bangsat!! Pantas kau berani
berlagak? Rupanya punya kelebihan juga
kau, ya?!" bentak Rembaga sambil
menggebrak meja yang diduduki Joko
Bara.
Joko Bara mendengus. Perkelahian
ini memang tidak bisa dielakkan lagi.
Dia pun mengerti kalau
perkelahian bila terjadi di sini bisa
merusak kursi dan meja, atau barang-
barang yang lainnya. Ini bisa
mengakibatkan kerugian pada Wayan Tua.
Makanya dia mendadak melesat ke
luar, ke halaman rumah makan itu.
Orang-orang yang mengurungnya
cukup kaget, karena gerakan yang tiba-
tiba diperlihatkan oleh Joko Bara.
Dengan hati murka mereka serentak
berlari ke sana dan kembali
mengurungnya.
Joko Bara memperhatikan mereka
dengan waspada. Namun sikapnya cukup
tenang. Sikapnya itu membuktikan kalau
dia seorang yang gagah berani dan
perkasa.
"Aku bukan seorang pahlawan,
tetapi aku paling tidak suka melihat
kelakuan kalian! Kalian telah berbuat
onar terus menerus di Desa Babakan
Hijau ini. Kalian telah menganggap
diri kalian sebagai dewa, sebagai
Tuhan yang berkehendak apa saja!"
"Jangan berkhotbah!!" bentak
Penggekrawung.
"Aku bukan berkhotbah! Aku hanya
memperingatkan kalian, betapa
banyaknya dosa yang telah kalian
perbuat?! Dosa yang telah kalian
lakukan dengan telengas! Tangan-tangan
kalian telah penuh dosa yang sukar
untuk diampuni! Mungkin hanya Tuhanlah
yang tahu berapa banyak dosa-dosa yang
telah kalian lakukan selama ini!
Kalian memang manusia-manusia
durjana!!"
"Petani buduk!! Kau berani
berkata begitu pada kami, orang-orang
Gerombolan Golok Hitam?!"
"Untuk apa takut, bila aku berada
di pihak yang benar!!" balas Joko Bara
dengan berani.
"Bangsat! Berarti kau minta
mampus!!"
"Semula tak terpikir di benakku
untuk menghentikan sepak terjang
kalian! Namun semua yang kalian
lakukan hanyalah membuat onar semata!
Membuat kejahatan yang begitu kejam
dan menyedihkan! Maafkan bila aku,
Joko Bara mencoba untuk menentang
sikap kalian yang durjana ini dan
mencoba menghentikan sepak terjang
kalian!!" seru Joko Bara mantap. Dan
dia sendiri pun merasa bahwa tak ada
jalan lain kecuali untuk bertarung.
"Hhh! Pemuda congek!! Mampuslah
kau hari ini!!" geram Penggekrawung
seraya hendak menyerang.
Namun sebelum tubuhnya
berkelebat, terdengar seruan:
"Tunggu!!" Sembarita melayang dan
orangnya sudah berdiri di samping
teman-temannya. Dengan geram dia
menuding Joko Bara, "Kau harus
menghadapiku, Bangsat!!"
"Siapa pun akan kulayani!!"
"Jangan sok jago kau, Setan!"
"Hhh! Kenapa masih banyak bacot
pula! Majulah bila kau benar-benar
ingin bertarung denganku!!" sahut Joko
Bara dengan suara keras.
Wajah Sembarita memerah. "Anjing
buduk!! Benar-benar minta mampus
kau!!" geramnya. Tiba-tiba dia
memekik,
"Tahan serangan, Anjing buduk!!"
"Hhh! Majulah!!" sahut Joko Bara
dengan tenangnya, karena dia sudah
siap menghadapi resiko apa pun. Yang
penting baginya, berusaha untuk bisa
mengusir mereka. Karena sesungguhnya
dia sudah tidak tahan dengan perlakuan
orang-orang kejam ini terhadap warga
Desa Babakan Hijau.
Memang tidak ada jalan lain
kecuali menghadapi mereka!
Dengan cepat Sembarita melesat
dengan melancarkan sebuah pukulan
lurus ke wajah Joko Bara. Joko Bara
yang sejak tadi berwaspada cepat
berkelit. Dan membalas dengan satu
tendangan ke perut.
Membuat Sembarita segera menarik
tangannya dan menghantam kaki Joko
bara.
"Des!"
Belum lagi serangan itu terhenti,
dengan tiba-tiba saja dia bergerak
dengan satu gerakan yang amat
menakjubkan. Berputar dua kali dari
bawah ke atas dan begitu meluncur ke
arah Joko Bara, kaki Sembarita sudah
terarah lurus!
Joko Bara sedikit terkejut
melihat serangan itu. Diam-diam dia
mendesis kagum melihat pameran
kehebatan yang diperlihatkan
Sembarita.
Dan sebelum serangan yang
dilancarkan Sembarita mengenai
sasarannya, Joko Bara sudah
menggulingkan tubuhnya ke kiri. Kali
ini Sembarita yang terkejut karena
tidak menyangka pemuda itu bisa
mengelakkan serangannya.
Kini dia sadar kalau pemuda itu
tidak bisa dianggap remeh. Dan ini
merupakan sebuah penghinaan untuknya!
"Anjing buduk! Rupanya kau memang
benar-benar punya kelebihan!!" makinya
geram setelah hinggap di tanah dan
berhadapan dengan Joko Bara.
Joko Bara terbahak. "Hahaha...
agaknya kau memang benar-benar kaget,
Iblis! Lumayan bukan, ilmuku cukup
untuk menghentikan sepak terjang
manusia busuk macam kau!!"
Mendengar kata-kata itu Sembarita
semakin memerah wajahnya. Lalu dia pun
menerjang kembali diiringi dengan
pekikan yang keras.
Sembarita pun merasa ini bukanlah
main-main lagi, karena pemuda itu
benar-benar tangguh. Dan membuktikan
ucapannya.
Joko Bara sendiri pun segera
melesat memapaki serangan Sembarita.
Pertarungan antara keduanya
berlangsung dengan sengit dan hebat.
Masing-masing memperlihatkan
kehebatannya.
Jurus demi jurus pun berlangsung
dengan ketat. Saling serang dan saling
menghindar.
Penggekrawung yang melihat
kawannya itu belum juga bisa mengatasi
si pemuda berseru, "Sembarita! Jangan
membuang waktu lagi!!"
Sembarita pun mempergencar
serangannya, Namun Joko Bara bukanlah
pemuda kemarin sore, dia seorang
pemuda yang rupanya benar-benar
menguasai ilmu bela diri. Sampai
sejauh itu dia masih bisa bertahan
bahkan membalas.
Dan dalam satu kesempatan, tiba-
tiba Joko Bara memekik keras. Memapaki
jotosan Sembarita dengan tangan
kanannya. Dan dengan satu gerakan yang
tak terduga, tiba-tiba dia berputar,
kakinya mengayun.
Seketika Sembarita terpana. Dan
sebelum dia menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba dirasakannya
dadanya sakit. Ayunan kaki Joko Bara
dengan telak mengenai dadanya.
Membuat laki-laki sombong itu
terhuyung ke belakang.
Teman-temannya terkejut melihat
hal itu. Sembarita dapat dipecundangi?
Joko Bara sendiri sudah terbahak
melihat hasil kerjanya.
"Hahaha... rupanya kau memang
orang yang sombong yang ternyata
kosong melompong, Sembarita! Lebih
baik kau kembali saja ke partaimu! Dan
katakan pada ketuamu, agar lebih baik
angkat kaki dari Desa Babakan Hijau!!"
Wajah Sembarita semakin memerah.
Kegeramannya sudah sampai ke kepala.
Hatinya penuh dendam. Di samping malu
pada teman-temannya karena dia bisa
dikalahkan, juga merasa tersinggung
karena perlakuan pemuda itu.
Lalu dia pun berdiri tegak.
Tatapannya memancarkan sinar ber-
bahaya.
"Pemuda sombong! Mampuslah kau!!"
geramnya seraya menyerbu menyerang.
Joko Bara hanya terbahak. Kembali
keduanya bertarung dengan hebat. Namun
lagi-lagi terlihat kalau Sembarita
yang terdesak kali ini.
Dan sekali lagi tendangan yang
dilancarkan oleh Joko Bara mengenai
sasarannya.
Begitu Sembarita terhuyung,
teman-temannya pun segera berlompatan
mengurung Joko Bara. Tetapi pemuda itu
hanya terbahak saja.
"Hahaha... kini sudah terlihat
bukan, kalau kalian adalah orang-orang
pengecut!"
"Anjing kurapan!" memaki Pengge-
krawung dengan geram. Harga dirinya
pun tersinggung dengan kata-kata
pemuda itu. Lalu dia mengangkat
tangannya pada teman-temannya. "Mundur
kalian semua, biar kuhajar pemuda tak
tahu diri ini!!"
Serentak teman-temannya mundur.
Joko Bara terbahak lagi dan melihat
tatapan Penggekrawung yang buas dan
berbahaya padanya.
"Hahaha... rupanya kau punya
nyali juga, Orang jelek! Apakah kau
menginginkan nasib seperti kawanmu
itu?!" tertawa Joko Bara sambil
menunjuk Sembarita yang tengah menahan
sakit di dada. Bahkan dia tidak
sanggup untuk bangkit karena dadanya
dirasakan sakit sekali.
Wajah Penggekrawung memerah
marah.
"Bedebah! Mampuslah kau!!"
geramnya marah dan menyerbu ke depan.
Joko Bara pun segera melayaninya.
Kini perkelahian terjadi kembali.
Teman-teman Penggekrawung hanya bisa
menahan marah dan mengepal tangannya
karena sudah gatal untuk menghajar
pemuda sombong itu. Sementara salah
seorang menolong Sembarita.
Penggekrawung sendiri tidak mau
menganggap enteng pemuda ini. Karena
dia sudah tahu kekuatan yang dimiliki
pemuda ini. Maka dia pun bertindak
dengan hati-hati. Namun serangan-
serangannya amat kejam dan telengas.
Joko Bara sendiri pun cukup
terkejut ketika merasakan angin dingin
keluar dari tangan Penggekrawung kala
laki-laki itu menggerakkan tangannya.
Dan dia pun dapat menduga, kalau ilmu
kanuragan yang dimiliki Penggekrawung
lebih tinggi daripada yang dimiliki
Sembarita.
"Hahaha... kau mau lari ke mana,
Bocah?!" Terbahak Penggekrawung kala
Joko Bara bersalto berulang kali
menghindari pukulan, jotosan dan
tendangan yang dilancarkan oleh
Penggekrawung.
Serangan-serangan itu begitu
cepat.
Tetapi Joko Bara memang sudah
membulatkan tekad, untuk berusaha
membasmi manusia-manusia durjana itu.
Dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga
dia berusaha bertahan.
Bahkan dia pun mencoba untuk
membalas.
Namun desakan yang gencar dilan-
carkan oleh Penggekrawung membuatnya
kewalahan juga. Ternyata lain
Sembarita lain pula Penggekrawung.
Menyadari lawannya tengah kebingungan
karena terdesak, Penggekrawung
terbahak.
"Hahaha... lebih baik kau
membunuh diri saja, Bocah sombong!
Sebelum tanganku begitu telengas
membunuhmu! Hhhh! Jangan salahkan aku
bila semua itu terjadi?! Ini
dikarenakan perbuatan usilmu yang
ingin campur tangan urusan orang
lain!!" bentak Penggekrawung sambil
terus mencecar Joko Bara dengan
cepatnya.
"Jangan kau pikir aku takut,
Manusia busuk!!" balas Joko Bara tak
mau kalah. Dia berkelit ke kiri dengan
cepat kala tangan Penggekrawung
bergerak ke arah dadanya. Lalu dia pun
bersalto ke belakang kala kaki
Penggekrawung bergerak ke arah kedua
kakinya, meneruskan rangkaian serangan
tadi.
"Ke mana pun kau lari akan
kukejar!!"
"Hhh! Kemana pun kau kejar aku
akan lari... hahahaha!!" terbahak Joko
Bara meskipun dalam keadaan terdesak.
Dan mendengar kata-kata yang
diputar balikkan itu, membuat dada
Penggekrawung semakin membara.
Darahnya seketika mendidih.
"Anjing buduk! Kau tak akan bisa
lepas dari tanganku!!" makinya geram
sambil menyerbu. Joko Bara pun segera
mengimbangi kembali.
Jurus demi jurus pun tetap
berlangsung. Dan Joko Bara lah yang
kelihatan terdesak. Tetapi sampai saat
itu, Penggekrawung belum juga bisa
menjatuhkannya. Hal ini makin
membuatnya buas dan marah.
"Hehehe... mengapa kau tidak
segera buktikan ucapanmu, Orang
jelek?!" terkekeh Joko Bara sambil
bersalto menghindari pukulan lurus
yang dilontarkan oleh Penggekrawung.
Namun Penggekrawung yang telah
geram mencecar secara membabi buta,
segera melancarkan satu tendangan ke
arah perut Joko Bara. Joko Bara
berhasil menghindari tendangan itu,
namun karena tenaganya sudah cukup
terkuras, entah bagaimana dia
kehilangan keseimbangannya saat
menghindar.
Dan posisi demikian,
Penggekrawung bergerak cepat. Melayang
ke arahnya. Satu jotosan tangannya
menghantam Joko Bara yang makin
terhuyung.
Lalu ambruk ke tanah karena
benar-benar hilang keseimbangannya.
Penggekrawung terkekeh. Karena
berhasil juga menjatuhkan pemuda
sombong itu.
"Hahaha... rupanya hanya sampai
di situ saja kebiasaanmu, Pemuda
sombong!!"
Joko Bara pun perlahan-lahan
mengumpulkan lagi segenap tenaganya.
Lalu bangkit. Kedua tangannya
mengepal. Dia berdiri gagah dengan
sepasang mata terbuka, nyalang.
"Hhh! Orang sepertimu juga tak
layak untuk hidup lebih lama!"
balasnya.
"Monyet jelek! Kau benar-benar
minta mampus?!"
Joko Bara mendengus walaupun dia
menahan sakit di dadanya. "Hhh! Kau
pikir aku takut mati, Orang jelek?!
Aku lebih suka mati berkalang tanah
dari pada hidup melihat kalian
berpetualang minta darah dan
kematian!!"
"Bangsat! Rupanya aku tidak perlu
main-main lagi!!" geram Penggekrawung.
"Hmm... apakah sejak tadi kau
main-main, Orang jelek?"
"Kurap!"
Penggekrawung mencabut goloknya.
Golok itu tebal dan berkilat-kilat.
Gagangnya berwarna hitam.
"Hmm... tak sanggup untuk
membunuh ku dengan tangan kosong,
harus memakai senjata rupanya. Tapi
baiklah, tak sejengkal pun aku akan
mundur dari hadapan wajahmu yang busuk
itu!!"
"Setan!!" maki Penggekrawung dan
tubuhnya pun sudah melesat ke depan,
dengan satu kibasan golok yang seakan
hendak membelah tubuh Joko Bara dari
kepala ke bawah.
Joko Bara pun berkelit ke kiri.
Namun bersamaan dengan itu, golok di
tangan Penggekrawung pun bergerak ke
kiri. Kibasan angin yang
ditimbulkannya cukup membuat bulu
kuduk berdiri.
Golok itu seakan mempunyai mata,
karena ke mana Joko Bara berkelit,
pasti golok itu bergerak menyusul. Dan
ini sungguh-sungguh merepotkannya.
Rupanya Penggekrawung seorang yang
ahli dalam memainkan ilmu golok.
"Hahaha... kau akan mampus di
tanganku, Pemuda kurapan!" makinya
sambil terus mencecar.
"Tetapi sejak tadi, kau belum
membuatku mampus!!" balas Joko Bara
sambil terus menghindar.
Serangan golok yang dilancarkan
oleh Penggekrawung benar-benar hebat.
Joko Bara hingga saat ini berhasil
menghindarinya. Namun satu ketika
terdengar seruan dari Penggekrawung
yang cukup keras. Dan tubuhnya pun
tiba-tiba melayang deras ke arah Joko
Bara.
Joko Bara terkejut. Dia langsung
bersalto ke depan. Namun sungguh di
luar dugaan, Penggekrawung pun tiba-
tiba bersalto ke belakang. Bergerak
menyusul Joko Bara dengan golok di
tangannya.
"Hait!!" pekik Penggekrawung.
"Hei!!" jerit Joko Bara kaget.
Karena hanya beberapa senti saja golok
di tangan Penggekrawung berada di
dekat tubuhnya. Itu pun dia cepat
menjatuhkan diri ke tanah, bila saja
dia terlambat, maka mampuslah Joko
Bara!
Namun satu pameran ilmu golok
yang dipamerkan oleh Penggekrawung
tidak hanya sampai di sana saja. Tiba-
tiba dia berputar bagaikan angin ke
arah Joko Bara dan goloknya pun
kembali menebas.
"Wut!"
Joko Bara berhasil merunduk
menghindari tebasan golok itu, namun
satu tendangan yang dilancarkan secara
bersamaan oleh Penggekrawung sukar
untuk dihindarinya. Tak ayal lagi
dadanya pun terhantam tendangan itu.
"Des!"
Kembali tubuh Joko Bara terhuyung
kebelakang. Saat dia berhasil
menguasai keseimbangannya, nampak dia
muntah darah. Nafasnya sudah terengah-
engah. Tenaganya benar-benar terkuras
habis. Dan matanya berkunang-kunang.
Sementara Penggekrawung terbahak
melihat pemuda itu muntah darah.
"Hhh! Mampus kau!!" bentaknya
karena tak ingin membuang waktu lagi.
Diiringi satu pekikan yang keras,
tubuhnya pun melayang dengan golok
lurus di tangan.
Keadaan Joko Bara memang sudah
memprihatinkan. Dia sudah tidak mampu
lagi untuk menghindar. Jangankan untuk
menghindar dengan cara bersalto,
menggeser tubuhnya saja pun dia sudah
tidak sanggup.
Ajal sepertinya siap untuk
menjemput Joko Bara.
Namun tanpa diduga siapa pun,
sesosok bayangan hitam berkelebat dan
membawa pergi tubuh Joko Bara.
Golok Penggekrawung menghunjam di
tanah.
"Hei!!" seru Penggekrawung
terkejut.
Namun bayangan hitam itu terus
berkelebat pergi dengan membawa tubuh
Joko Bara dan samar-samar nampak
secarik kertas melayang-layang di
udara dan jatuh di tanah.
Rembaga mengambil kertas itu. Ada
beberapa baris tulisan. Dia
membacanya.
"Kehancuran untuk Golok Hitam
sudah diambang pintu. Si Tua Tongkat
Kayu."
Orang-orang itu berpandangan. Si
Tua Tongkat Kayu. Siapa dia? Mengapa
begitu berani ikut campur tangan
urusan Golok Hitam? Hhh! Pasti seorang
tua yang iseng dan tak punya kemampuan
apa-apa!
Mereka kembali ke rumah makan
itu. Orang-orang yang diam-diam
menonton tadi, buru-buru menghadapi
hidangannya. Roro Dewi kali ini yang
melayani mereka. Orang-orang beringas
itu makan dengan sepuasnya dan sekali-
sekali mencolek lengan, pipi, dagu,
hidung Roro Dewi, yang hanya
menerimanya dengan pasrah saja, namun
dengan perasaan muak di hati.
Apalagi suara orang-orang itu
demikian kerasnya, membuat gendang
telinga Roro Dewi seakan mau pecah.
Dan dengan congkaknya Penggekrawung
memuji dirinya sendiri karena berhasil
mengalahkan pemuda itu.
Setelah puas makan dan minum,
barulah orang-orang itu berangkat
tanpa membayar sepeser pun. Sedangkan
Roro Dewi kembali mandi lagi untuk
menghilangkan kuman yang tertinggal di
wajahnya dari tangan orang-orang itu.
Lalu dia pun segera berangkat ke
Padepokan Melati Putih untuk
meneruskan belajar menarinya. Roro
Dewi mempunyai cita-cita ingin
menghibur baginda raja di keraton.
Atau kalau bisa, Roro Dewi ingin
sekali menjadi selirnya!
Itulah sebabnya dia selalu giat
berlatih menari di Padepokan Melati
Putih pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.
Sekali waktu dia memang amat
cemas dengan perlakuan orang-orang
Golok Hitam terhadap diri dan ayahnya.
Juga terhadap warga desa lainnya.
Namun dia berusaha untuk
menghilangkan semua ketakutan itu.
Karena giatnya, dengan rasa ketakutan
atau pun tidak, orang-orang itu tetap
akan menyebarkan terornya pada siapa
saja yang membangkang mereka. Jadi
buat apa dia ketakutan? Sebenarnya
Roro Dewi sejak tadi memperhatikan
sejak terjang dari Joko Bara. Dia
menjadi amat kagum dengan keberanian
pemuda itu.
"Tapi sayang. aku tidak mencintai
pemuda itu. Bila saja aku punya rasa
simpati, pastilah aku amat bangga
terhadapnya.... Dan tentulah aku amat
menginginkan dia menjadi pendamping
dan pelindungku...." desisnya. "Tapi
sayang... aku tak punya perasaan apa-
apa...."
* * *
4
Kuda hitam itu berhenti tepat
didepan rumah makan milik Wayan Tua.
Pandu turun dari sana. Namun dia
sungguh terkejut karena dengan tiba-
tiba saja, Wayan Tua menyuruhnya untuk
meninggalkan kedainya.
"Ada apa, Bapa?" tanyanya
keheranan.
"Anak muda... cepatlah kau
tinggalkan kedai ini.... Cepatlah...."
desis Wayan Tua dengan ketakutan.
Kepalanya mencari-cari sesuatu yang
nampaknya mampu membuatnya menjadi
ketakutan seperti itu.
"Kenapa, Bapa?" tanya Pandu pula.
"Apakah kedatangan saya mengganggu?"
"Ya, kedatanganmu mengganggu
sekali di sini, Anak muda!" kata Wayan
Tua tegas.
"Tapi, Bapa...."
"Anak muda... akibat perlakuanmu
itu, orang-orang Golok Hitam semakin
telengas menurunkan tangan. Sebaiknya
kau pergi saja dari sini. Cepat!"
"Apa yang telah mereka lakukan,
Bapa?"
"Tak perlulah kau banyak
bertanya! Cepat tinggalkan tempat
ini!"
Pandu dapat menangkap kalau wajah
si Bapa ini amat ketakutan sekali. Dan
Pandu pun dapat mengira-ngira apa dan
siapa yang membuatnya ketakutan.
Golok Hitam.... Hmm... mereka
merupakan satu momok abadi yang amat
menakutkan dan mampu membuat orang
terkencing-kencing mendengarnya. Dalam
lubuk hati Pandu, rasa penasaran untuk
membasmi orang-orang itu semakin
besar.
Lalu untuk mengenakan hati si
Wayan Tua, Pandu pun menaiki kudanya
kembali. Sebelum dia menggebrak
kudanya, dia berkata:
"Bapa maafkan bila perbuatanku
tempo hari malah menyulitkanmu...."
Si Wayan Tua hanya diam saja.
Sebagian bebannya seolah lenyap dengan
perginya anak muda itu. Tetapi dia pun
menjadi amat was-was karena kini tak
ada lagi yang berani untuk mencoba
menentang atau pun menghadapi sepak
terjang dari orang-orang Golok Hitam.
Dua pemuda yang gagah perkasa pun
harus pergi dari sini. Pertama, pemuda
bercaping itu. Bahkan dia sendiri yang
mengusirnya. Kedua Joko Bara... pemuda
petani yang gagah berani, namun sia-
sia belaka.
Wayan Tua pun kembali masuk ke
kedainya. Sejak kejadian beruntun
beberapa hari yang lalu, kedainya
semakin lama semakin sepi saja
dirasakan. Para penduduk yang biasa
sering makan di kedainya, nampak sudah
amat ketakutan karena sepak terjang
orang-orang Golok Hitam semakin kejam
saja. Sedangkan para pendatang yang
hendak makan di kedai itu, setelah
mengetahui keadaan yang sesungguhnya
menjadi undur diri. Mereka lebih suka
makan di tempat lain, sekali pun
mereka merasa sayang karena mereka
mendengar kabar betapa cantiknya
Roro Dewi putri dari Wayan Tua.
Wayan Tua mengeluh dalam. Namun
belum lagi keluhannya putus, tiba-tiba
pintu kedainya digebrak dari luar.
Sembarita, Rembaga dan Penggekrawung
berdiri dengan wajah angker. Terkejut
Wayan Tua menoleh ke belakang.
"Oh! Selamat... selamat pagi,
Tuan-tuan...." katanya dengan suara
bernada takut.
"Pagi!" suara Penggekrawung
angker terasa. Mengejutkan. Wajahnya
pun semakin garang saja kelihatannya.
"Oh, silahkan... silahkan duduk,
Tuan-tuan...."
"Hhh!!" Menggeram Penggekrawung.
"Wayan Tua... apakah kau sekarang
masih ingin mungkir, kalau kau
berhubungan dengan pemuda sialan
itu?!"
"Pemuda... pemuda yang mana,
Tuan?"
"Jangan banyak cingcong! Dan
jangan jual lagak di depan kami!!"
"Sungguh, Tuan... saya tidak tahu
maksud tuan...."
"Settan!!" Tangan Penggekrawung
bergerak, melayang dan hinggap di pipi
Wayan Tua.
"Plak!!"
Tubuh yang cukup tua dengan rasa
takut yang luar biasa, terpental kala
tangan itu menyambar pipinya. Sungguh
penderitaan semacam inilah yang amat
ditakutkan Wayan Tua.
Penggekrawung memburu dan
menginjak dada yang renta itu.
"Katakan cepat! Dan jangan banyak
menjual lagak lagi, bila kau masih
ingin dadamu ini utuh dan tidak hancur
diinjak kakiku!!"
"Sungguh, Tuan... saya tidak
berhubungan dengannya...." meringis
Wayan Tua menahan sakit.
"Bangsat!! Kau pikir orang kami
buta sehingga salah melihat, Wayan
Tua?!"
"Tapi... pemuda itu datang tanpa
kuundang, Tuan.... Dia bahkan aku usir
untuk segera meninggalkan kedaiku
ini!" Penggekrawung terbahak.
"Bagus, bagus apa yang telah kau
lakukan, Wayan Tua... Tapi mengapa kau
harus berbohong padaku, hah?! Mengapa
kau tidak melaporkan semua itu padaku,
hah?! Mengapa kau tidak melaporkan
semua itu padaku, hah?! Kau mau coba-
coba dengan kami, Wayan Tua?!"
"Tidak, Tuan.... Tidak.... Semula
aku memang berniat untuk
memberitahukan kalian. Namun kedaiku
ini tidak ada yang menjaga. Semua
pelayan dan pembantuku sedang belanja
di kota. Lalu... lalu kupikir, nanti
siang atau sorelah aku baru melaporkan
hal ini pada tuan...." Sembarita
terbahak. Dan mengangkat kakinya dari
dada yang tua itu. Wayan Tua merayap
bangun perlahan sambil meringis.
"Bagus, bagus.... Lalu dimana
putrimu itu si Roro Dewi?"
"Oh, dia... dia ada di kamarnya,
Tuan...."
"Cepat suruh dia keluar! Dan
katakan padanya, kami ingin dilayani
olehnya!!"
Tak berani membantah karena
kuatir tangan kekar dan kejam itu
melayang kembali, Wayan Tua bergegas
masuk ke kamar putrinya. Ketiga orang
itu terbahak sambil menuju ke tempat
duduk. Sikap mereka benar-benar begitu
kejam dan amat kurang ajar.
Sementara di kamar putrinya,
Wayan Tua berusaha keras untuk
membujuk Roro Dewi agar dia mau keluar
untuk menemani ketiga orang itu.
"Tapi Bapa... aku sesungguhnya
takut dengan mereka, Bapak...." kata
Roro Dewi bagaikan keluhan belaka.
"Begitu pula aku, Roro.... Aku
pun tak bisa berbuat apa-apa
menghadapi mereka. Yah... mungkin aku
terlalu lemah sebagai seorang laki-
laki, juga sebagai seorang ayah yang
tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melindungi keluarganya. Yah... maafkan
Bapa, Roro...."
Roro Dewi menjadi tidak tahan
melihat ayahnya bersikap seperti itu.
Sungguh mati, sebenarnya dia tidak
tahan diperlakukan semuanya saja oleh
orang-orang seram itu. Bahkan tindakan
mereka selalu amat kurang ajar.
Namun dia pun pasrah pada keadaan
yang tengah menjeratnya. Dan semua itu
mau tidak mau harus dihadapinya. Lalu
dihampirinya ayahnya.
"Bapa... tenanglah... Janganlah
Bapa berkata seperti itu. Ini mungkin
sudah nasib kita, Bapa.... Biarlah
semua kita jalankan semampu kita. Bapa
mengerti, bukan?"
Wayan Tua hanya mendesah saja.
Jelas dia malu dengan apa yang
terjadi di sini. Apa yang menimpa
keluarganya. Namun sebagai laki-laki
dia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun
tidak sepenuhnya Wayan Tua tidak bisa
berbuat apa-apa.
Karena dia mengambil sikap
mengalah ini, demi anaknya. Demi
putrinya tercinta. Maka dia biarkanlah
semua harga dirinya jatuh terinjak,
yang penting baginya... putri
kesayangannya itu, putrinya semata
wayang, tidak diperlakukan dengan cara
yang amat kurang ajar. Meskipun Wayan
Tua sebenarnya tidak tahan bila
melihat perlakuan orang-orang itu
terhadap putrinya.
Ditatapnya wajah putrinya yang
amat jelita. Tanpa sadar dia jadi
teringat dengan mendiang istinya yang
harus membayar semua ini dengan mahal.
Teramat mahal, karena dia berjuang
antara hidup dan mati untuk melahir-
kan Roro Dewi 17 tahun yang lalu.
Dan semua itu memang harus
dibayar dengan mahal. Karena begitu
Roro Dewi dilahirkan, maka tak lama
kemudian nyawanya pun melayang.
Tanpa sadar pula air matanya
mengalir.
Roro Dewi melihat hal itu.
"Mengapa, Bapa? Mengapa Bapa
menangis?" tanyanya pelan namun
hatinya pilu. Dia yakin, tangis
ayahnya itu bukanlah satu bentuk
tangis kebahagiaan, melainkan tangis
kepedihan dan kesusahan.
Wayan Tua bergegas mengusap air
matanya. Malu dia terlihat menangis
oleh putrinya.
Dia tersenyum walau terasa sekali
di mata Roro Dewi kalau semua itu
dipaksakan.
"Aku tidak apa-apa, Roro...."
"Lalu mengapa Bapa menangis?"
tanya Roro Dewi tidak tahan dan
menjadi penasaran.
Wayan Tua sekali lagi mendesah.
"Aku teringat akan ibumu, Roro...
Yah, sudahlah... tidak perlu lagi
diingat masa yang telah lewat. Dan
kesedihanku yang sekarang ini, aku
seolah membiarkan saja kau masuk ke
perangkap dan ke sarang macan orang-
orang Golok Hitam.... Aku sedih
sekali, Roro...."
"Bapa... sudahlah, jangan terlalu
dipikirkan. Bila aku tidak melakukan
hal itu, maka kita semua ini akan
hancur binasa. Untungnya, mereka tidak
melakukan hal yang teramat kurang
ajar, meskipun hatiku terasa pedih dan
teramat sakit bila mengingat
perlakukan mereka itu...."
"Maafkan Bapa, Roro.... Bapak
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bila
Bapa menentang mereka, maka yang Bapa
kuatirkan adalah nasib kau. Nasib kau
sesungguhnya berada di tangan Bapa. Di
sikap Bapa. Dan begitu pula
sebaliknya. Nasib Bapa pun berada di
tangan kau. Dari sikap kau terhadap
orang-orang itu. Bila kita sedikit
saja melakukan kesalahan bersikap,
maka habislah kita...."
"Wayan Tuaaa!!!" Terdengar seruan
itu. "Mengapa kau begitu lama, hah?!"
"Cepatlah, Roro... manusia-
manusia itu sudah tidak sabar lagi
untuk kau temani...."
"Baiklah, Bapa... untuk saat ini
kita harus menurut pada mereka. Namun
suatu ketika, kita akan terbebas dari
mereka..,." kata Roro Dewi mantap
dengan nada yang amat yakin sekali
akan kemungkinan itu.
Wayan Tua sendiri terperangah
mendengar kata-kata yang dilontarkan
dengan nada yang meyakinkan.
Lalu dia melihat Roro Dewi telah
bersalin dari balik kamarnya. Dan
dilihatnya pula langkah ringan
putrinya berjalan ke arah orang-orang
yang menunggu itu. Wayan Tua merasa
seakan melepas putrinya ke sarang
macan. Dan dia hanya bisa menunggu
dengan hati yang teramat cemas.
"Tuhan, lindungilah kami dari ke-
kejaman orang-orang telengas ini...."
desisnya pilu dan hampir selalu dia
mengucapkan doa itu.
Dan dia hanya bisa memperhatikan
dengan hati yang pilu melihat putrinya
diperlakukan dengan kurang ajar oleh
orang-orang itu sambil terbahak-bahak.
Wayan Tua pun dapat merasakan
kesedihan apa yang diderita oleh
putrinya. Rasa malu dan rasa marah
tentunya bercampur dengan rasa tidak
berdaya.
"Maafkan Bapak, Roro...."
* * *
5
"Mulai besok malam, Roro Dewi
sudah berada di sini! Mengerti?!"
Membentak Gondeng dengan suaranya yang
keras. Membuat anak buahnya terkejut.
"Baik, Ketua," sahut
Penggekrawung. "Dan aku tidak ingin
kalian berlambat-lambat lagi! Mencari
pemuda bercaping itu saja hingga
sekarang kalian belum berhasil juga!
Apa sebenarnya yang bisa kalian
lakukan, hah?!"
Mereka hanya menundukkan kepala.
Tak ada satu pun yang berani mendeham,
menyahut. Bahkan bernafas saja mereka
seakan kesusahan. Namun dalam hati
mereka menggerutu, "Sialan... siapa
pun mau sama Roro Dewi yang cantik
itu...." Namun sudah tentu hal itu
tidak mereka kemukakan.
Karena bila mereka lakukan itu,
maka artinya mereka tengah mencoba
menentang maut.
Jadi yang bisa mereka lakukan
sekarang, hanyalah menganggukkan
kepala saja. Karena tak ada lagi yang
dapat mereka lakukan.
"Hhh! Kalian ini adalah kambing-
kambing congek yang tak punya malu!
Bisa kalian hanya mengangguk dan
berjanji untuk memenuhi semua
keinginanku. Namun mencari pemuda
bercaping itu saja kalian tidak tahu!
Goblok semuanya!! Dan apakah kalian
akan gagal pula membawa Roro Dewi ke
sini?!"
Penggekrawung menyahut. "Tidak,
Ketua... Kami tidak akan pernah
gagal...."
"Hmm... bagus, aku amat senang
mendengar omongan seperti itu. Tetapi
aku amat tidak senang bila melihat
hasil yang kalian perbuat nol belaka!
Kosong melompong tanpa satu bentuk
yang membanggakan! Mengerti?"
"Ya, Ketua!"
"Hmm... lebih baik kalian
keluarlah dari sini! Aku muak melihat
tampang bodoh kalian!!"
Satu persatu mereka keluar
meninggalkan ruangan itu. Lalu Gondeng
sendiri segera masuk ke kamarnya. Di
mana di sana sudah menunggu dua orang
wanita muda dengan pakaian minim yang
merangsang dan wajah tidak sabar.
Gondeng tertawa melihatnya.
Tak lama kemudian di kamar itu
pun terdengar desah mesum dan tawa
yang dapat menggoda napsu birahi.
Malam semakin larut.
Suara mesum dari kamar itu makin
jelas terdengar. Membuat gairah makin
memuncak.
"Wayan Tua!! Panggil Roro Dewi ke
mari! Cepat!!" Terdengar seruan itu
demikian keras. Mengejutkan telinga
Wayan Tua yang berada di ruang tengah.
Juga membuat terkejut Roro Dewi yang
tengah bersiap-siap untuk berlatih
menari di Padepokan Melati Putih
pimpinan Nyi Ratih Alas Kembang.
Tergopoh-gopoh Wayan Tua muncul
dari dalam. Terbungkuk-bungkuk dia
berkata, "Oh, selamat datang, Tuan-
tuan.... selamat datang...."
Penggekrawung menendang sebuah
kursi.
"Panggil Roro Dewi keluar!"
"Oh, dia... dia...."
"Panggil cepat!!"
"Putriku... sedang... bersiap-
siap hendak latihan menari, Tuan...."
"Perduli setan! Cepat panggil dia
keluar! Aku tidak mau bertele-tele,
Wayan Tua!"
"Tapi, Tuan...."
"Bangsat!!" Tangan Penggekrawung
melayang. Panas sekali Wayan Tua
terasa di pipi. "Jangan coba-coba
membantah, Wayan Tua! Panggil dia!"
"Roro Dewi...."
"Plak!"
Kali ini dengan hentakan tubuh
yang terpelanting.
"Orang bodoh! Goblok! Panggil
Roro Dewi, cepat!!"
Namun Wayan Tua tetap menolak.
Dia yakin sekali kalau orang-orang ini
punya maksud yang amat tidak baik.
Karena melihat dari sikap mereka yang
berangasan seperti ini. Entah mengapa
Wayan Tua merasakan kalau putrinya
hendak diculik oleh orang-orang
beringas itu!
Maka dia bersikeras untuk tidak
memanggil. Sembarita mendengus keras.
Kakinya melayang.
"Des!"
Tubuh tua yang hendak bangkit itu
terpelanting kembali.
"Banyak cingcong!" geram
Sembarita,
"Biar aku cari gadis itu"
dengusnya pula seraya melangkah ke
dalam.
Wayan Tua yang yakin kalau
putrinya hendak diculik berusaha
menahan langkah Sembarita. Dia
menubruk kaki Sembarita. Dan
memegangnya dengan erat sekali.
"Anjing buduk!" geram Sembarita
seraya menendang. Namun dekapan tangan
yang amat kuat itu tak terlepas.
Membuat Sembarita semakin jengkel.
"Bangsat!!" Dia menendang lagi. Dan
lagi. Semua itu dilakukan dengan
kekejaman yang luar biasa. "Mampuslah
kau, orang tak berguna!!" dengusnya
dan menjejakkan kakinya ketangan yang
masih berusaha untuk menahan
langkahnya itu. Namun genggaman tangan
itu bagaikan dekapan belaka. Teramat
kuat mengikat.
Kegeraman Sembarita semakin
menjadi-jadi. Dengan ganas dan
berulangkali tanpa rasa kasihan
sedikit pun, dia menjejak-jejakkan
kakinya terus menerus. Hingga tangan
itu pun luka dan mengeluarkan darah
segar.
Wajah Wayan Tua meringis menahan
sakit yang amat luar biasa. Namun dia
masih berusaha untuk menahan langkah
Sembarita.
Sayup berat dan samar dia
berseru, "Roro... Roro... cepat
tinggalkan tempat ini! Cepat, Roro!"
Sebenarnya tanpa diperintahkan
seperti itu pun Roro Dewi sudah
melihat kejadian yang menimpa ayahnya.
Keadaan ayahnya amat menyedihkan
sekali. Dia dapat melihat pula kedua
tangan ayahnya yang erat menggenggam
kaki Sembarita telah penuh dengan
darah.
Dan dia pun melihat pula sebelah
kaki Sembarita yang bebas,
berulangkali menjejak di kedua tangan
ayahnya.
Pilu Roro Dewi mendesah,
"Tuhan... selamatkan nyawa ayahku dari
orang-orang beringas itu...."
Lalu dia pun segera berkemas. Dan
kala dilihatnya Penggekrawung dan
Rembaga bergegas menuju ke dalam, dia
pun berlari melalui pintu belakang.
Sebenarnya dia tak kuasa untuk
meninggalkan ayahnya dalam keadaan
disiksa seperti itu. Namun mau tak mau
dia memang harus meninggalkannya.
Menurutnya, dia atau ayahnya yang
harus berkorban. Bila kedua-duanya
yang berkorban, maka akan terasa makin
sia-sia.
Sambil terus berlari dia mendesah
pelan, "Maafkan aku, Bapa...."
Sementara Penggekrawung dan
Rembaga mendengus hebat menyadari Roro
Dewi sudah tidak ada di tempatnya.
"Bangsat!" Menggeram
Penggekrawung sambil menendang ranjang
milik Roro Dewi hingga hancur
berantakan.
Lalu dia pun mengacak-ngacak
seisi kamar itu, sedangkan Rembaga
telah berlari ke luar. Dan tidak
melihat bayangan Roro Dewi yang masih
nampak.
"Anjing!! Setan!" Dia pun
mendengus hebat. Tangannya melayang ke
dinding belakang rumah Wayan Tua,
dinding itu pun bolong seketika.
Lalu dengan wajah panas dan
kejengkelan yang amat luar biasa,
keduanya kembali ke dalam. Dan melihat
Sembarita sudah berhasil membebaskan
diri, dan tengah menendang dada Wayan
Tua hingga terpelanting muntah darah.
"Bagaimana? Mengapa Roro Dewi
tidak bersama kalian?" tanyanya
melihat kedua temannya kembali tanpa
Roro Dewi.
"Dia sudah melarikan diri!" geram
Rembaga. Dan menghampiri Wayan Tua
yang nampak sedikit tersenyum
mendengar hal itu.
"Ini semua gara-gara kau, laki-
laki tak berguna!!" Lalu kakinya
melayang dengan deras.
"Des!"
Kembali sosok tua itu harus
terpelanting ke belakang dan kembali
muntah darah.
Menyadari hal itu, Sembarita pun
menjadi semakin buas. Demikian pula
dengan Penggekrawung. Dan ketiganya
pun menjadikan tubuh Wayan Tua seperti
bola yang dioper ke sana ke mari
belaka.
Namun meskipun mengalami siksaan
yang amat hebat, sekali pun tidak
terdengar seruan kesakitan dari mulut
Wayan Tua. Dia sepertinya mandah dan
pasrah saja pada Tuhan akan nasib yang
akan dideritanya.
Hal ini semakin membuat orang-
orang itu marah.
"Anjing!" bentak Penggekrawung.
"Bunuh saja manusia tak berguna ini!"
Rembaga pun segera meloloskan
goloknya yang besar.
"Memang tak layak hidup manusia
seperti ini!" geramnya. Dan tangannya
pun mengayun, goloknya siap mengancam.
Wayan Tua yang tak berdaya hanya bisa
memejamkan matanya belaka.
Namun tiba-tiba saja ayunan
tangan yang memegang golok besar itu
terhenti. Dan kaku dengan tangan dan
golok yang masih terangkat.
Lalu terdengar suara benda jatuh
di dekat kaki Rembaga. Ketika mereka
lihat, sebuah kerikil yang jatuh tadi.
Dan kerikil itulah yang membuat tubuh
Rembaga menjadi kaku. Rupanya ada
seseorang yang melemparkan kerikil itu
dari jarak jauh untuk menotok Rembaga.
"Bangsat!! Siapa yang berani buat
ulah seperti ini, hah?!" Menggeram
Penggekrawung dengan mata bersiaga.
"Keluar kau, Manusia pengecut!"
Namun Penggekrawung tak perlu
lagi untuk meneriakkan kata yang sama
untuk kedua kalinya, karena mendadak
saja bagai ada angin keras yang
datang, tiba-tiba terlihat satu sosok
tubuh berdiri tegak di hadapan mereka.
Wayan Tua cukup terkejut melihat
sosok itu. Tadi pun dia heran dan
membuka matanya karena merasa golok
Rembaga tidak segera menjalankan
tugasnya.
Sosok itu seorang pemuda gagah.
Dia berbaju putih. Di punggungnya
terdapat sebilah golok yang sarungnya
terbuat dari batang kayu yang
berlapiskan timah kuning.
Dan dia mengenakan caping yang
menutupi sebagian wajahnya. Dia adalah
Pandu, Pendekar Gagak Rimang.
"Anak muda!" desis Wayan Tua
tidak sadar.
Sementara orang-orang itu pun tak
kalah terkejutnya melihat siapa yang
datang dan siapa yang telah membuat
kawan mereka menjadi kaku seperti itu.
Pemuda yang telah lama mereka cari.
"Kau?" dengus Penggekrawung.
Wajah yang sebagian hampir
tertutup oleh caping itu, mendengus.
"Ya, aku yang datang. Dan akan
menghentikan sepak terjang kalian!"
"Sombong!"
"Hmm... kalian akan melihat
seperti apa omongan yang baru saja
kuucapkan tadi! Dan aku bukanlah orang
pengecut seperti kalian, yang hanya
bisa mengeroyok orang yang lemah tak
berdaya! Aku juga bukan orang yang
kejam, yang telengas menurunkan
tangan! Bila kalian ingin bertobat dan
berjanji tidak akan melakukan hal
seperti ini lagi, maka aku akan
mengampuni semua perbuatan kotor
kalian!"
Tetapi kata-kata itu malah
membuat mereka menjadi geram dengan
wajah memerah. Lalu disusul dengan
tawa yang keras.
"Hahaha... sombong! Kita buktikan
dulu apa yang bisa kau perbuat, hah?"
"Apakah kalian masih belum kapok
atau sudah lupa yang kalian alami
beberapa minggu yang lalu? Atau kalian
masih ingin merasakan kerasnya kepalan
tanganku?!"
"Sombong!" geram Sembarita dan
mencoba untuk melepaskan totokan pada
tubuh Rembaga. Namun dia terkejut,
karena totokan itu sukar untuk
dilepaskan. Mestinya menurut Sembarita
totokan itu akan mudah dilepaskan,
mengingat totokan itu dilakukan dari
jarak jauh dengan sebuah kerikil kecil
pula.
Namun totokan itu memang
dilakukan oleh seorang yang ahli,
sehingga sulit untuk dilepaskan. Dan
Pandu sudah amat ahli dengan segala
bentuk totokan, meskipun dilakukannya
dari jauh maupun dekat.
Sekali lagi Sembarita
melakukannya. Namun lagi-lagi totokan
itu tidak bisa terlepas. Hingga dia
mengeluarkan tenaga dalamnya pun
totokan itu tetap pada tempatnya.
Malah membuat Rembaga meringis
kesakitan akibat totokan itu.
Pandulah menarik senyumnya.
"Hmm... kau nampaknya masih harus
belajar lebih banyak lagi, Ki
Sanak...." desisnya yang membuat
Sembarita langsung menoleh dengan mata
terbelalak garang.
"Sombong!" dengusnya.
"Kubunuh kau!"
"Hahaha... majulah, Ki Sanak...."
"Tunggu!" Tahan Penggekrawung
sebelum Sembarita menyerang. Namun
golok itu telah diloloskan dari
sarungnya. Penggekrewung mendengus
tajam, "Anak muda... katakanlah siapa
kau sesungguhnya?"
"Dulu... bukankah sudah pernah
kukatakan siapa namaku. Baiklah... aku
mengulanginya lagi. Namaku Pandu. Dan
orang menjulukiku Pendekar Gagak
Rimang. Puas? Atau... ya, tentunya kau
tidak puas, bukan? Baiklah... akulah
yang akan menghentikan sepak terjang
kejam yang telah kalian lakukan. Juga
bagi semua orang-orang Golok Hitam!"
Kali ini Sembara tak bisa lagi
menahan emosinya. Maka dengan satu
jeritan keras, dia pun menerjang.
Golok besar di tangannya yang berwarna
hitam itu berkelebat dengan ganas
menyerbu.
"Hati-hati dengan golok itu, Ki
Sanak...." sahut Pandu sambil terus
menghindar. Golok itu memang seakan
memiliki mata, namun naluri berkelebat
menghindar milik Pandu pun berjalan
dengan penuh konsentrasi.
Melihat kawannya hanya dijadikan
mainan belaka oleh Pandu,
Penggekrawung pun datang membantu.
Keduanya bergerak dengan cepat.
Membabi buta dengan gerakan dan
serangan yang amat berbahaya.
Pandu pun merasa harus segera
memberikan pelajaran bagi kedua orang
itu. Kini dia tidak hanya menghindar
saja, dia pun mulai membalas dengan
jurus Pukulan Patuk Gagak Rimang. Kali
ini kedua lawannya benar-benar
kebingungan dan kewalahan.
Kedua tangannya yang membentuk
paruh mirip gagak berkelebat dengan
gerakan yang amat fantastis sekali.
Cepat, tangkas dan hebat.
"Hahaha... di mana nama besar
orang-orang Golok Hitam bila tingkah
laku kalian begitu pengecut seperti
ini?!"
Seruan mengejek Pandu itu membuat
keduanya semakin ganas menyerang,
sementara Rembaga masih terdiam kaku.
Dia sungguh geram sekali menyadari
dirinya tak berguna sama sekali.
Pandu lama kelamaan merasa bosan
dengan cara berlama yang dia lakukan
sendiri. Semula dia hendak membuat
jera kedua manusia ini dengan cara
mempermainkan mereka. Namun lama
kelamaan dia sendiri yang merasa
bosan. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya
berjumpalitan ke belakang, kala golok
Penggekrawung dengan kejamnya mencoba
menyabet kedua kakinya dan golok
Sembarita bergerak hendak menusuk
perutnya.
Dan begitu kakinya hinggap di
lantai, tubuhnya melenting kembali,
dengan kedua tangan berbentuk patuk
gagak yang siap menghantam sasarannya.
Kedua lawannya terkejut dengan
gerakan yang diperlihatkan Pandu.
Sebisanya keduanya menyabetkan golok
yang mereka pegang untuk menghalau
serangan itu. Namun lagi-lagi gerakan
yang aneh diperlihatkan Pandu. Begitu
kedua golok lawannya berkelebat di
dada, dengan menurunkan sedikit posisi
tangannya, Pandu menangkap pergelangan
tangan kedua lawannya yang memegang
golok.
Lalu memuntirnya, semua gerakan
itu dilakukannya dengan cepat.
Dan kedua golok itu pun terlepas
karena kedua lawannya tidak mau kalau
tangan kanan mereka patah.
Tidak hanya sampai di situ saja
yang dilakukan Pandu, begitu kedua
golok lawannya berhasil pindah tangan,
dia menekuk kedua tangan dan
menghantam dada kedua lawannya dengan
tangkai golok itu.
"Des!"
"Des!"
Kedua lawannya tersuruk ke bela-
kang dengan masing-masing merasakan
dadanya sakit bukan kepalang. Hantaman
tadi mereka rasakan bagaikan gedoran
sebuah godam besar.
Pandu mendengus seraya melem-
parkan golok itu ke belakang. Dan
hebatnya, kedua golok itu menancap di
tembok yang terbuat dari batu hingga
setengahnya. Pertunjukan tenaga dalam
yang hebat diperlihatkan Pandu.
"Hmm... lebih baik kalian segera
pergi dari sini. Aku bukanlah orang
yang kejam, yang suka menurunkan
tangan telengas pada siapa pun.
Termasuk kalian. Namun bila kalian,
masih keras kepala juga, maka aku tak
kuasa untuk menahan marahku berlama-
lama.
Cepatlah kalian pergi dari sini.
Dan katakan pada pimpinan kalian...
kalau aku, Pandu... akan menghentikan
segala kegiatan busuknya hingga ke
akar-akarnya!"
Penggekrawung dan Sembarita yang
merasa tidak akan mampu untuk
menghadapi Pandu segera bergegas
melarikan diri, tanpa menghiraukan
Rembaga yang masih dalam keadaan
tertotok.
Pandu tersenyum seraya mendekati
Rembaga.
"Hmm... bukankah kau lihat, bahwa
sesungguhnya kedua temanmu itu amat
pengecut? Bila saja aku ingin membunuh
kalian, tak ada susahnya sedikit pun.
Namun aku bukanlah kalian, juga bukan
kau yang telengas menurunkan tangan.
Nah, pergilah dari sini, katakan pada
pemimpin kalian, kalau aku akan datang
ke tempat kediamannya untuk
menghentikan sepak terjang kejamnya.
Nah, pergilah!" desis Pandu seraya
melepaskan totokan pada Rembaga.
Tubuh yang kaku itu pun dapat
digerakkan kembali.
"Terima kasih, Pendekar...."
desisnya lalu beranjak hendak
meninggalkan tempat itu. Namun baru
dua tindak dia melangkah, tiba-tiba
saja dia membalikkan tubuhnya dengan
cepat, seraya menyabetkan goloknya.
Sekali pun Pandu sedang
membelakanginya, namun angin yang
cukup keras akibat sabetan golok itu
dapat dirasakannya. Mendadak saja dia
melenting ke belakang dan langsung
menghantamkan tangannya ke leher
Rembaga saat dia masih posisi di
udara.
Terdengar suara "Krak" yang cukup
keras. Leher Rembaga patah. Dan
tubuhnya menggelosor ke lantai.
Pandu mendesah panjang.
"Maafkan aku, Ki Sanak... bukan
maksudku untuk membunuh. Namun kau
sendiri yang memaksaku untuk berbuat
seperti itu," desahnya pilu.
Lalu perlahan-lahan dihampirinya
Wayan Tua yang tengah menahan rasa
sakitnya. Pandu menotok beberapa jalan
darahnya untuk mengurangi rasa sakit
yang diderita Wayan Tua. Dan
mengalirkan sedikit tenaga dalamnya
melalui kedua tapak tangan Wayan Tua.
Perlahan-lahan terlihat kalau
wajah itu mulai sedikit bersinar dan
tidak meringis kesakitan seperti tadi.
Hanya suaranya yang masih lemah.
"Kau...." desisnya pelan.
"Bapa sudah kukatakan sejak
semula padamu, biarkan aku berada di
sini. Bila kita tidak mencoba melawan
mereka, niscaya kita akan selalu
mereka tekan, Bapa...."
"Kau benar, Anak muda...."
"Perbuatan mereka itu tidak bisa
kita biarkan begitu saja, Bapa... Kita
harus melawan...."
"Ya, ya... seharusnya aku memang
berani melawan mereka. Dan karena
kepengecutankulah... maka semua ini
terjadi."
"Bapa... aku tahu, apa yang
terjadi. Aku pun sudah menghubungi Ki
Lurah Sen Kawung. Dia sendiri angkat
tangan. Apalagi engkau. Namun mulai
detik ini kita akan mencoba untuk
menentang mereka. Ki Lurah Sen Kawung
sendiri menyetujui usulku itu...."
"Anak muda... siapakah kau
sebenarnya?" tanya Wayan Tua sambil
menatap lekat pada Pandu.
"Aku hanyalah seorang pengelana
dari Gunung Kidul, Bapa....
Kedatanganku ke Desa Babakan Hijau ini
secara tidak sengaja. Dan melihat
adanya kezaliman yang sedang terjadi
di sini, aku tidak bisa lagi untuk
segera melanjutkan perjalanan. Karena
belum merasa tenang bila masih melihat
dan mengingat keadaan desa ini...."
"Sungguh mulia hatimu, Anak
muda...."
"Karena sebagai umat manusia,
kita harus tolong menolong, bukan? Kau
bersedia untuk menentang mereka,
Bapa?"
"Ya, Anak muda.... Tentu aku
bersedia...." Dan tiba-tiba saja Wayan
Tua tertegun.
Pandu melihat itu dan menangkap
satu perubahan yang drastis.
Penasaran dia bertanya, "Ada apa,
Bapa?"
"Roro Dewi...."
"Apa, Bapa?"
Kepala Wayan Tua terangkat,
menatap Pandu.
"Anakku..."
"Mengapa dengan anakmu, Bapa?"
"Oh! Roro Dewi!"
Pandu mengerti sekarang, putri
laki-laki inilah yang ada di pikiran
Wayan Tua.
"Mengapa dengan putrimu? Mengapa
dengan Roro Dewi?" tanyanya cepat.
Wayan Tua menyaut, "Putriku
melarikan diri, Anak muda...."
"Maksudmu?"
"Entahlah yang sebenarnya
bagaimana. Namun yang kutahu, saat
orang-orang kejam itu hendak menculik
putriku, mereka kembali tanpa membawa
putriku dari kamarnya. Kata salah
seorang, putriku sudah melarikan diri.
Tapi entahlah bagaimana
sesungguhnya...."
Pandu mendesah.
"Ke mana dia pergi, Bapa?"
"Aku tidak tahu, Anak muda...
tadi aku senang mendengar kabar
putriku melarikan diri, namun sekarang
aku cemas memikirkan nasibnya.
Tentunya orang-orang itu tak akan
membiarkan dia lolos begitu saja."
"Pernahkah dia ngambek pada
Bapa?"
"Apa maksud dari pertanyaanmu
itu, Anak muda?"
"Jawablah, Bapa... Pernah atau
tidak."
"Pernah."
"Hmm... bila dia sedang ngambek,
apa yang dilakukan?"
"Hmm... biasanya, dia mening-
galkan rumah."
"Bapa tahu ke mana dia pergi?"
"Oh, ya... ya... aku tahu.
Padepokan Melati Putih. Tempat dia
belajar menari. Ya, ya... dia selalu
pergi ke sana bila sedang ngambek atau
pun kena marah. Nyai Ratih Alas
Kembang amat mengasihinya."
"Kalau begitu... biar saya yang
mencarinya ke sana. Lebih baik bapa
istirahat saja dulu."
"Ya, ya... Anak muda... Tolong
carikan putriku. Dan jaga
keselamatannya," kata Wayan Tua. Lalu
dengan suara mantap dan penuh
keyakinan, dia berkata sambil menatap
Pandu. "Anak muda... kuserahkan jiwa
dan raga milik putriku itu padamu.
Jagalah dia, Anak muda...."
Namun Pandu sudah tidak mendengar
lagi kata-kata selanjutnya, karena
tubuhnya sudah melesat pergi dengan
cepat. Dan menyadari sosok pemuda
bercaping itu sudah tidak ada di
tempatnya, Wayan Tua hanya bisa
melongo. Namun dari rasa kaget itu
beralih ke rasa kagum.
"Kau benar, Anak muda,... Bila
kita tidak berusaha untuk melawan,
maka selamanyalah kita akan ditindas
oleh orang-orang kejam itu...."
desisnya. "Ah, andaikata saja kau
berjodoh dengan Roro Dewi... alangkah
senangnya aku mempunyai menantu
seorang gagah perkasa dan baik budi
seperti kau, Anak muda... Mudah-
mudahan semua keinginanku itu
tercapai...."
Sementara itu kuda yang dipacu
Pandu sudah melesat. Dia memang
menemukan Roro Dewi berada di
Padepokan Melati Putih milik Nyai
Ratih Alas Kembang.
Semula Roro Dewi ragu untuk
menemuinya karena dia kuatir pemuda
itu merupakan salah seorang dari
gerombolan kejam itu. Namun setelah
Pandu menjelaskan semuanya, barulah
rasa kuatirnya perlahan-lahan sirna.
"Lalu... bagaimana dengan bapa,
Kakang?" tanya Roro Dewi cemas.
"Tenanglah, Roro... Kupikir,
ayahmu tidak mengalami kurang suatu
apa. Kondisinya sudah cukup sehat."
"Terima kasih, Kakang," kata Roro
Dewi sambil berusaha menatap wajah
yang sebagian tertutup caping itu.
Namun tidak berhasil. Hati kecilnya
berkata, "Aku berani bertaruh... pasti
wajah itu begitu tampannya...."
"Roro... kalau begitu, kau tetap
saja di sini. Kau nampaknya aman. Dan
tersembunyi. Bila keadaan diluar sudah
betul-betul, aman barulah kau bisa
keluar dan kembali ke rumah." kata
Pandu yang diam-diam mengagumi pula
kecantikan wajah Roro Dewi.
"Iya, Kakang."
"Kalau begitu, aku permisi,
Roro!" kata Pandu sopan, lalu mundur
dan menaiki kudanya. Digebraknya
kudanya tanpa menoleh lagi pada Roro
Dewi padahal gadis itu berharap tadi,
mungkin dari bawah bisa melihat wajah
pemuda itu.
Roro Dewi hanya mendesah panjang.
Entah mengapa dia sudah menaruh
rasa kagum terhadap pemuda itu.
Padahal dia baru kali ini melihatnya.
Melihat wajahnya? Ah, tidak sedikit
pun dia bisa melihat secara utuh.
Namun dia yakin, wajah pemuda itu
pasti tampan.
Ih, memikirkan hal itu wajah Roro
Dewi memerah.
Lalu buru-buru dia masuk ke dalam
Padepokan Melati Putih milik Nyi Ratih
Alas Kembang, yang menerima
kedatangannya dengan senang hati.
Dia pun diberikan sebuah kamar.
Dan di kamar itulah langkahnya
mendadak terhenti. Tertegun. Dan
mulutnya terbuka.
Dia belum tahu nama pemuda itu!
* * *
6
Bukit Siguntang malam hari.
Gondeng menggeram hebat ketika
Penggekrawung dan Sembarita melaporkan
hasil kerjanya. Wajah laki-laki seram
itu semakin menyeramkan saja.
"Bodoh! Goblok!!" makinya.
Penggekrawung dan Sembarita hanya
terdiam. Lalu terdengar suara
Penggekrawung berkata, "Maafkan kami,
Ketua... lagi-lagi pemuda itu yang
menghalangi sepak terjang kami."
"Goblok! Mengapa tidak kalian
tangkap saja, hah?!"
"Kesaktiannya amat tinggi,
Ketua...."
"Bodoh! Hmm... Pandu, siapa kau
sebenarnya...."
"Dia mengaku bernama Pendekar
Gagak Rimang, Ketua...."
Godeng yang sedang melangkah
mondar mandir, seketika langkahnya
terhenti dan menoleh cepat.
"Apa?!"
"Ya, Ketua... dia bergelar
Pendekar Gagak Rimang...."
Gondeng mengusap-usap dagunya.
"Hm... ya, ya... aku kini tahu
siapa dia. Beberapa bulan yang lalu,
kala kudengar sengketa antara Keraton
Utara dan Keraton Selatan, dengan
pengkhianatan yang dilakukan oleh
salah seorang Keraton Utara yang
bermaksud hendak menggulingkan Prabu
Sri Jayarasa... seorang pemuda
bercaping... hei, benarkah dia
mengenakan caping?"
"Ya, Ketua...."
"Ya, ya... pemuda bercaping
itulah yang menyelamatkan kedua
keraton itu dari salah paham mereka.
Dan dia mengaku bergelar Pendekar
Gagak Rimang...."
Apa yang dikatakan Gondeng itu
memang benar adanya. Dalam mulai turun
gunungnya, Pandu sudah terlibat dalam
satu pertikaian hebat antara Keraton
Utara dan Keraton Selatan, yang mana
ternyata semua itu ditimbulkan oleh
salah seorang panglima yang ingin
menggulingkan keraton. (Baca: Lahirnya
sang Pendekar & Genta Perebutan
Kekuasaan)
Mereka terdiam. Gondeng pun
nampaknya tengah memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba dia memukulkan tangannya ke
meja hingga meja itu hancur
berantakan.
"Hmm... aku ingin mengenal pemuda
itu lebih dekat. Dan ingin kutahu
sampai di mana kehebatan ilmunya.
Hahaha... mampukah dia menghadapi ilmu
golokku dan kesaktian Mestika Golok
Hitam? Hahaha... kau akan segera
mampus, Pendekar Gagak Rimang...."
Gondeng tertawa hebat. Namun
seketika tawanya terhenti, karena
diluar terdengar suara ribut-ribut.
Seperti orang sedang berkelahi.
Penggekrawung dan Sembarita sudah
melesat ke luar. Dan mereka melihat
sepuluh orang pemuda tengah bertarung
sengit dengan anggota Golok Hitam yang
menjaga. Di antara mereka terdapat Ki
Lurah Sen Kawung. Dan salah seorang
pemuda itu adalah sosok berpakaian
putih yang mengenakan caping.
Rupanya Pandu sudah berhasil
menyusun satu pasukan yang gagah
berani, termasuk Ki Lurah Sen Kawung
sendiri. Malam ini pula dia segera
mengajak orang-orang itu untuk
menyerbu ke Bukit Siguntang, di mana
anggota Gerombolan Golok Hitam
bermukim.
Melihat hal itu, Penggekrawung
dan Sembarita segera menerjunkan diri
dalam pertempuran. Suara senjata
beradu ramai terdengar.
Bukit yang kelihatan sepi itu
malam ini seperti bagaikan ada sebuah
pesta yang meriah.
"Trang!"
"Trang!"
"Cras!"
"Aduh!"
"Akkkhhh!!"
"Serbuuuu!!"
Seruan-seruan itu bercampur baur
dengan hentakan hebat yang mereka
lakukan. Ki Lurah Sen Kawung seperti
menemukan sosok dirinya di zaman
mudanya, yang gagah berani dan
perkasa.
Namun begitu masuknya Pengge-
krawung dan Sembarita, kelihatan
mereka cukup terdesak. Pandu yang
bermaksud hendak masuk ke bangunan
besar itu untuk mencari Gondeng,
mengurungkan niatnya.
Namun begitu dia hendak mendekati
Penggekrawung dan Sembarita, terdengar
seruan keras disusul dengan dua sosok
tubuh yang bersalto memasuki
pertempuran.
"Anak muda... biar orang-orang
ini aku yang mengurus!"
Lalu disusul dengan sebuah
kibasan tongkat.
"Trang!"
Pandu melihat yang berseru itu
adalah si Pengemis. Dia tersenyum.
"Baiklah, Paman!"
"Nah, cepatlah kau ke dalam,
sebelum bangsat pimpinan itu melarikan
diri!"
"Baik, Paman!"
Pandu pun melesat ke dalam.
Sementara si pengemis itu pun
segera memutar tongkat kayunya dan
mengibaskannya pada anggota gerombolan
itu.
"Hahaha... kalian, akan mampus
semua! Akulah si Tua Tongkat Kayu yang
bermaksud memusnahkan kalian!!"
Sedangkan yang seorang lagi
adalah Joko Bara, pemuda gagah berani
yang mencoba menentang sikap orang-
orang itu di kedai milik Wayan Tua.
Melihat di antara orang-orang itu
adalah warga desanya, maka dengan
penuh semangat Joko Bara pun masuk ke
kancah pertempuran.
Dengan datangnya dua orang itu,
kedudukan orang-orang Golok Hitam
nampak terdesak hebat. Belum lagi kayu
yang ada di tangan pengemis itu, yang
mengibas gila dengan cepat. Dan sekali
tongkatnya berkelebat, maka akan
terdengar suara jeritan kesakitan.
"Hahahaha... kalian memang
manusia-manusia durjana yang nampaknya
lebih baik mampus daripada hidup hanya
membuat onar saja!"
Penggekrawung menggeram.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pengemis busuk!" geramnya seraya
menyerbu.
Sementara itu Pandu telah
menemukan di mana Gondeng berada. Dia
melihat sosok tubuh itu sedang duduk
di sebuah kursi yang layaknya mirip
sebuah singgasana dengan kaki terlipat
menumpuk. Di tangan kanannya adalah
sebuah golok besar berwarna hitam yang
mengeluarkan cahaya tertekan ujungnya
ke lantai.
"Hahaha... selamat datang di
tempat kediamanku ini, Pemuda
bercaping...."
Pandu menjura.
"Salam kenal dariku untuk ketua
Gerombolan Golok Hitam...." sahut
Pandu.
"Hahaha... Mengapa harus
bersungkan-sungkan, Pendekar?"
"Sebagai seorang tamu yang sopan,
maka aku pun bertindak seperti
itu...."
"Baik, baiklah... namun aku
yakin, kedatanganmu bukanlah sebagai
seorang tamu..."
"Bila kau sudah mengetahui maksud
kedatanganku, mengapa kau tidak segera
menghentikan semua sepak terjangmu ini
dan meninggalkan Desa Babakan Hijau
ini...." sahut Pandu dengan suara yang
terdengar angker.
"Meninggalkan desa ini?" Gondeng
bangkit sambil mendengus. "Rasanya aku
enggan untuk meninggalkan desa ini
yang mana di sini semua kebutuhanku
terpenuhi! Hhh! Kau telah lancang ikut
campur dalam urusanku ini, Pandu! Dan
kau layak untuk mampus!" geram Gondeng
dengan suara yang tiba-tiba berubah
kasar dan keras. Lalu mendadak dia
melompat menyerang.
Pandu pun segera menyambutnya.
Meskipun memegang sebuah golok yang
belum digunakan, namun Gondeng dapat
memainkan ilmu tangan kosong yang
lumayan hebat.
Pandu sendiri sudah mengeluarkan
Pukulan Patuk Gagaknya. Serang
menyerang di antara mereka begitu
hebat dan ketat. Masing-masing seakan
hendak memperlihatkan kemampuan yang
keduanya miliki.
Dan agaknya dengan tangan kosong
seperti itu keduanya berimbang.
Mendadak saja, Gondang bersalto ke
belakang dan kini golok besarnya
tergenggam dan terpancang ke atas.
"Hmm... kulihat di balik
punggungmu ada sebuah golok. Pandu!"
desisnya. "Cabutlah, ingin kulihat
sampai di mana kehebatan ilmu golokmu
itu!!"
"Bila memang sudah kurasakan
perlu, maka aku akan mencabutnya.
Silahkan!"
Gondeng pun menderu dengan
sabetan golok yang hebat. Golok besar
itu amat mengerikan sekali. Sekali
menyapu terdengar deruan bagaikan
tawon yang sedang menyerang. Belum
lagi angin dingin yang ditimbulkan
akibat sabetan golok itu.
Pandu setelah dua jurus berlalu
pun merasa dia harus mencabut
goloknya. Golok Cindarbuana yang
hingga saat ini dia belum tahu ada
rahasia apa di baliknya.
Tiba-tiba saja dia melenting ke
belakang dan kala hinggap di bumi
goloknya sudah tergenggam di tangan.
"Hahaha... mengapa harus sungkan,
Pandu. Ayo, lakukanlah!"
Dan dengan senjata di tangan,
keduanya segera bertarung kembali.
Sungguh cepat permainan golok yang
diperlihatkan oleh Gondeng. Golok
mestikanya itu sungguh suatu golok
yang amat istimewa. Namun golok
Cindarbuana di tangan Pandu pun tak
kalah istimewanya. Karena golok tipis
yang kecil itu mampu menahan sapuan
golok yang besar itu.
Semula Gondeng sendiri saja
terkejut. Namun rasa terkejutnya itu
berubah menjadi penasaran. Namun
hasilnya tetap sama, golok di tangan
Pandu tetap kokoh dan kuat.
"Hahaha... jangan kaget, Orang
busuk! Bila kau ingin mengetahui golok
di tanganku ini, namanya golok
Cindarbuana!"
"Apa?! Golok Cindarbuana? Golok
yang sakti yang menjadi impianku sejak
lama! Bangsat! Berikan golok itu
padaku cepat!!" serunya dengan kalap
lantas menyerang lagi dengan membabi
buta. Pandu pun segera melayaninya
kembali. Hingga suatu ketika dia dapat
memukul jatuh golok yang dipegang oleh
Gondeng, lalu dengan cepat Pandu
menerjang dan menghantamkan golok
Cindarbuana ke tubuh yang masih
kesakitan.
Namun sungguh di luar dugaannya,
karena tubuh itu masih bisa
menghindar.
"Hhh!" dengus Gondeng. "Bila kau
berani... janganlah pakai senjata!"
"Hammm...." Pandu tersenyum. "Aku
tak pernah takut, Orang busuk!"
desisnya seraya memasukkan goloknya
kembali ke sarungnya. "Majulah!"
Gondeng menggeram. Tiba-tiba dia
nampak terdiam, berkonsentarasi akan
satu ilmu. Nampaknya ilmu simpanan.
Kemudian terlihatkan kalau tangan
hingga sikunya berwarna hitam.
Lalu dia mendengus dengan tatapan
garang.
"Hhh!" desisnya seram. "Terimalah
ajian pemungkasku ini, Pandu! Aji
Pemusnah Rasa!"
Pandu sendiri dapat merasakan
betapa hebatnya ilmu itu tentunya.
Lalu diam-diam dia pun merangkum ilmu
pamungkasnya, ilmu Gagak Rimang.
Dan terdengar seruan keras dari
Gondeng diiringi dengan tubuh yang
melesat. Pandu pun segera berbuat yang
sama. Tubuh keduanya melesat. Geraman
keras terdengar.
Kemudian kedua pukulan sakti itu
pun berbenturan.
Sungguh hebat. Dan teramat hebat.
Karena kemudian terdengar suara
seperti ledakan belaka.
"Duaaaarrr!!"
Dinding bangunan itu seakan
goyang. Atap-atapnya pun berguguran.
Dan dari kepulan asap putih yang
terjadi kala keduanya berbenturan,
terpental dua sosok tubuh ke belakang.
Pandu merasakan dadanya sakit
yang luar biasa.
Sementara Gondeng sudah bisa
menguasai dirinya!
Dia terbahak melihat Pandu
memegangi dadanya. Pandu sendiri
mendesis dalam hati. "Gila... Tangan
Malaikat tak mampu menandingi Pemusnah
Rasa miliknya. Gawat kalau begini!"
"Hahaha... itulah ilmu Cakar
Gagak Rimang, Pandu? Tak ada gunanya,
tak ada gunanya sama sekali. Kini
terimalah ajalmu. Hmm... nah,
mampuslah kau... oh... akhh...
auggh... akkkhhh!!!" Tiba-tiba saja
tubuh yang hendak menyerang itu
lunglai sambil memegangi dadanya. Lalu
ambruk.
Pandu mendesah panjang. Sungguh
luar biasa daya tahan tubuh yang
dimiliki oleh Gondeng.
Tiba-tiba terdengar suara ramai
di belakang. Ki Lurah Sen Kawung,
Pengemis Tua Tongkat Kayu, dan Joko
Bara berdiri di belakang mereka.
Dengan beberapa orang desa yang
tersisa. Mereka mendesah lega melihat
Gondeng telah tewas menjadi mayat.
Pengemis itu tersenyum. Pandu
melangkah sambil menahan rasa sakit di
dadanya. Kini semua dapat melihat
wajah yang begitu tampan karena caping
itu terbuka kala bertempur.
"Paman...." desis Pandu.
"Masihkah kau merahasiakan siapa
dirimu ini..." Pengemis itu hanya
tersenyum.
"Anak muda... waktu itu aku
pernah mengatakan, suatu saat nanti
kau akan mengetahui siapa aku. Namun
tidak sekarang. Maafkan aku, Anak
muda...." Dan tiba-tiba saja tubuh itu
melesat menghilang membuat semuanya
melongo dan berdecak kagum.
Sementara Pandu sendiri tengah
berjalan kekudanya. Dia tak
menghiraukan kata-kata Ki Lurah yang
memintanya untuk singgah ke desa
mereka dan merawat luka dadanya.
Pandu hanya tersenyum. Memasang
capingnya.
"Joko Bara... Roro Dewi ada di
Padepokan Melati Putih!" menggebrak
kudanya.
Joko Bara tertegun.
Roro Dewi?
Dan kuda yang membawa tubuh
Pendekar Gagak Rimang terus berlari
dengan kencangnya.
TAMAT
Ikutilah serial berikutnya,
dalam episode :
Emoticon