SUARA lolongan anjing hutan begitu menggidikkan bulu kuduk bagi yang
mendengarnya. Memecah kesunyian malam yang begitu tenang dan damai. Di kaki Bukit
Setan selatan Gunung Bromo tampak sebuah desa yang terpencil namun cukup ramai
penduduknya. Setiap harinya para penduduk desa hidup dengan bertani dan berdagang.
Di antara rumah rumah penduduk tampak sebuah bayangan hitam berkelebat sambil
mengendap-endap dari satu rumah ke rumah yang lain. Sesekali bayangan hitam itu
berhenti sambil celingukan ke kanan kiri lalu kembali bergerak cepat ke rumah satu ke
rumah lain. Tepat di satu rumah yang berada paling ujung desa, bayangan itu berhenti di
samping rumah tepat di bawah jendela. Pelan-pelan bayangan itu membuka jendela
rumah lalu masuk setelah jendela berhasil di buka.
Di dalam rumah bayangan hitam segera menuju sebuah kamar yang cuma satu-
satunya di rumah itu. Pelan-pelan pintu kamar di bukanya. Tampak di dalam kamar yang
cuma di terangi lampu minyak kecil tidak cukup menerangi ruangan namun bagi
bayangan itu sudah lebih dari cukup untuk melihat seseutu yang tengah di carinya yaitu
segolek tubuh di atas ranjang yang terbuat dari balai-balai bambu. Tubuh seorang wanita
berumur 30 tahunan yang sedang terlelap tidur dengan pulas.
Bayangan hitam itu pelan-pelan mendekati ranjang bambu, matanya begitu liar
menatap tubuh wanita di atas ranjang, jakunnya naik turun seiring nafasnya yang sudah
menderu karena terbakar birahi. Tanpa pikir panjang bayangan itu dengan cepat menindih
tubuh wanita itu.
“Ekh?!” si wanita terbangun karena kaget tiba-tiba ada orang menindih tubuhnya.
“Emmhhppmm,” suara wanita itu tertahan karena mulutnya di bekap oleh orang
yang menindihnya.
Wanita itu coba berontak sekuat tenaga tapi apa daya kekuatan seorang wanita di
hadapan laki laki yang dirasuki iblis maka wanita tersebut menjadi tak berdaya dan harus
rela merasakan keberingasan bayangan hitam yang memperkosa dirinya. Wanita malang
tersebut hanya bisa merintih-rintih karena kehormatan yang dijaganya kini telah dirusak
iblis bejat yang menindih tubuhnya.
Bayangan hitam yang tengah menikmati tubuh mangsanya terus memperkosa
wanita malang itu dengan ganas sekali. Hingga pada satu saat bayangan hitam tersebut
mengejang hebat sambil melenguh panjang karena mencapai puncak kenikmatan. Begitu
puas memperkosa wanita malang tersebut, maka dengan sangat kejam bayangan hitam
tersebut membunuh wanita itu dengan menggigit leher wanita itu menghisap darahnya
sampai puas lalu pergi begitu saja.
Pagi ini suasana Desa Karang Asem tampak tidak seperti biasanya. Hampir seluruh
penduduk berkumpul di depan rumah yang paling ujung di Desa Karang Asem itu. Di
dalam rumah pun juga dipadati orang-orang yang penasaran dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Lontaran kata yang mengutuk keluar dari mulut orang yang tahu apa yang terjadi.
Sedang yang lain cuma bisik bisik saja.
Tiba-tiba ada orang yang datang dan dengan cepat menyingkirkan para penduduk
desa yang menghalangi jalannya. Para penduduk yang marah dan jengkel dengan orang
yang memaksa masuk tadi langsung reda dan mengangguk hormat, karena yang barusan
datang adalah kepala keamanan Desa Karang Asem yaitu Ki Jarot. Di belakang Ki Jarot
mengikuti dua bawahannya yaitu Prasmani dan Sartolo. Semua penduduk desa segera
memberi jalan kepada tiga orang keamanan desa itu.
“Apa yang terjadi?!” tanya Ki Jarot agak keras namun berwibawa.
“Anu Ki. Nyi Ratih mati.” sahut seorang penduduk yang paling dekat dengan Ki
Jarot. “Tapi matinya tidak wajar, Ki.” imbuh orang itu.
“Hemmp?!” Ki Jarot mengemtkan keningnya bingung. “Apa maksudmu?” seru Ki
Jarot cepat.
“Di leher Nyi Ratih ada bekas gigitan yang meninggalkan dua lubang besar. Tapi ...
“Sudah sudah biar aku periksa sendiri,” kata Ki Jarot cepat.
Ki Jarot ingin memastikan apa yang terjadi dengan Nyi Ratih. Ki Jarot segera
masuk ke dalam kamar Nyi Ratih di ikuti dua temannya. Orang-orang yang ada di dalam
ruangan segera menyinkir. Ki Jarot memeriksa mayat Nyi Ratih dengan teliti.
“Biadab!” kata Ki Jarot geram.
“Kakang! Sepertinya pelakunya bukan manusia biasa tapi orang yang menganut
ilmu hitam,” ucap Sartolo memberikan pendapatnya.
“Di lihat dari kondisinya, Nyi Ratih sebelum di bunuh di perkosa dulu baru di
bunuh dengan cara yang tidak wajar,” ucap Prasmani meneruskan.
Ki Jarot diam merenungkan ucapan dua temannya itu kemudian Ki Jarot
mengedarkan Pandangannya ke sekitar kamar dan beberapa orang yang ada di situ.
“Siapa yang pertama kali menemukan Nyi Ratih sudah meninggal?” seru Ki Jarot.
“Saya Ki.” sahut seorang wanita muda maju.
Ki Jarot menatap wanita muda itu.
“Ceritakan padaku,” ucap Ki Jarot.
“Tadi pagi saya bermaksud menghampiri Nyi Ratih karena tiap hari kami sering
pergi ke pasar bareng untuk jualan. Tapi saya panggil-panggil Nyi Ratih tidak menyahuti.
Pikir saya Nyi Ratih mungkin masih tidur karena capek. Saya masuk ternyata pintu tidak
di kunci dan ketika saya samperin ke kamarnya ternyata Nyi Ratih sudah kaku dan
pakaiannya berantakan. Karena saya panik dan juga takut akhirnya saya lapor ke para
tetangga. Begitu!” cerita wanita muda itu.
Ki Jarot manggut-manggut.
“Ya sudah. Tolong kalian urus mayat Nyi Ratih, aku akan melaporkan in ke Kepala
Desa,” ucap Ki Jarot.
“Baik, Ki.” sahut para penduduk desa.
Ki Jarot bersama dua temannya segera pergi dari tempat itu dan pergi ke tempat
Kepala Desa untuk melaporkan kejadian itu.
Sepasang mata yang tajam menatap kepergian Ki Jarot bersama dua temannya.
Sepasang mata itu juga menatap satu persatu wanita-wanita yang ada di tempat kejadian
naas itu. Senyumnya merekah dengan sesekali meleletkan lidah membasahi bibir begitu
melihat seorang wanita muda yang bertubuh agak gemuk berisi.
—0O0—
“Ki Jarot! Selidiki kejadian ini. Jangan sampai pelaku biadab itu merajalela,” ucap
Kepala Desa Karang Asem tegas.
“Baik.” sahut Ki Jarot mantap.
Ki Jarot melangkah keluar dari rumah Kepala Desa setelah melaporkan kejadian
meninggalnya Nyi Ratih dengan tidak wajar. Prasmani dan Sartolo mengikuti dari
belakang.
Di depan rumah Nyi Ratih, Ki Jarot berkata dengan lantang di hadapan para
penduduk Desa Karang Asem.
“Para penduduk sekalian! Saya mendapat amanat dari Kepala Desa mulai malam ini
kita akan melakukan ronda secara bergiliran. Kita jaga keamanan Desa Karang Asem
agar tidak jatuh korban lagi. Paham?!” teriak Ki Jarot.
“Paham ... !!!” seru para penduduk desa keras.
“Maaf, Ki Jarot. Siapa kira-kira orang biadab yang telah membunuh Nyi Ratih itu?”
tanya seorang penduduk yang berperawakan cukup gagah. Namanya Aji Kartiko.
“Hemmm ... Aku belum tahu. Tapi aku akan berusaha membekuk pembunuh biadab
itu!” seru Ki Jarot tegas dengan tangan mengepal erat tanda geram. “Ya sudah sebaiknya
kita kebumikan dulu Nyi Ratih. Ayo!” ucap Ki Jarot.
Semua penduduk segera bergegas mengebumikan jenasah Nyi Ratih.
Jelas para penduduk desa masih di liputi perasaan heran, bingung serta penasaran
atas kejadian yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding. Kini sore hari pun Desa
Karang Asem jadi sepi sekali padahal biasanya sampai menjelang malam masih ramai.
Tapi kenapa sekarang jadi sepi bagai tiada kehidupan?
Itu dikarenakan para penduduk desa was-was dengan kejadian yang menimpa Nyi
Ratih. Mereka takut kejadian itu bisa terjadi pada mereka khususnya para gadis desa.
Malam ini tampak para lelaki penduduk desa melakukan ronda malam. Padahal
mereka jarang ronda karena keamanan desa sudah ada Ki Jarot dengan dua temannya.
Selama ini Desa Karang Asem aman dan tenang tanpa ada suatu kejadian yang
meresahkan penduduk Desa Karang Asem.
Di sudut tempat gelap bawah pohon rindang dekat rumah penduduk tampak sesosok
bayangan hitam berdiri dengan sorot mata tajam ke arah para penduduk yang tengah
melakukan ronda malam. Matanya yang merah menyala tampak berputar melihat keadaan
sekitarnya. Ketika malam semakin larut tiba-tiba suara lolongan anjing hutan terdengar
sangat nyaring dan menyayat hati. Seolah-olah bakal ada kejadian yang mengerikan di
Desa Karang Asem.
Sosok bayangan hitam yang dari tadi hanya diam kini melesat cepat menyelinap di
antara rumah rumah penduduk. Sosok bayangan hitam itu berhenti di sebuah rumah kecil.
Dengan gerakan pelan bayangan hitam itu meneriksa jendela yang terletak di samping
rumah.
Jglekkk!
Jendela dengan mudah di buka maka bayangan hitam itu melompat masuk lewat
jendela kemudian menutupnya.
Bayangan hitam itu berdiri di samping ranjang yang terbuat dari bambu. Di ranjang
tampak seorang wanita muda tengah terlelap tidur dengan pulas sekali tanpa tahu bahaya
maut tengah mengancam jiwanya. Bayangan hitam itu segera menindih tubuh si wanita
muda dan melakukan aksi bejatnya memperkosa wanita muda tersebut. Setelah puas
merengguk madu dari wanita muda itu, maka bayangan hitam itu menggigit leher wanita
muda itu lalu menghisap darahnya hingga wanita muda itu tak bernafas lagi. Dengan
cepat bayangan hitam itu berlalu dari rumah korbannya.
—0O0—
Kembali Desa Karang Asem di buat gempar dengan ditemukannya seorang gadis
mati dengan kondisi yang sama, yaitu habis di perkosa lalu di gigit lehernya. Ini membuat
Desa Karang Asem jadi mencekam saat malam tiba. Para penduduk di landa ketakutan
yang luar biasa terutama para gadis gadis desa. Mereka takut jika jadi korban makhluk
yang mencari mangsa dengan cara memperkosa kemudian di bunuh secara mengerikan.
Desa Karang Asem benar-benar di landa kegalauan yang teramat sangat.
Sementara itu di rumah Kepala Desa Ki Sarmin tampak Ki Sarmin tengah
berkumpul dengan Ki Jarot serta beberapa orang penduduk.
“Ini benar-benar sudah gawat. Jika dibiarkan bisa-bisa banyak anak gadis yang jadi
korban. Ki Jarot apa yang harus kita lakukan untuk mencegah semua kejadian ini?” kata
Ki Sarmin ke Ki Jarot selaku kepala keamanan Desa Karang Asem.
Ki Jarot menghela nafas panjang.
“Makhluk terkutuk itu benar-benar membuatku geram. Siapa sebenarnya makhluk
itu?” ucap Ki Jarot seolah untuk dirinya sendiri.
“Yang pasti kita belum tahu wujud dari makhluk terkutuk itu. Sebaiknya kita minta
bantuan ke Perguruan Silat Ular Emas untuk membantu kita dalam menangkap makhluk
misterius itu,” kata Ki Sarmin memberi usul.
“Ya. Saya setuju, Ki. Kebetulan Perguruan Silat Ular Emas sangat baik pada kita.”
sahut Ki Jarot setuju dengan usul Ki Sarmin.
“Maaf Ki, bukankah Perguruan Silat Ular Emas sangat jauh dari desa. Perlu 1 hari
perjalanan berkuda lalu siapa yang akan pergi?” sela Aji Kartiko cepat.
Aji Kartiko adalah pemuda yang cukup di segani, selain tampan dia juga salah satu
tokoh pemuda di Desa Karang Asem.
Ki Sarmin dan yang lain menatap Aji Kartiko, mereka manggut-manggut
membenarkan ucapan pemuda itu.
“Nakmas Aji Kartiko. Kamu benar juga, Perguruan Silat Ular Emas memang cukup
jauh dari sini dan juga di antara penduduk desa cuma Ki Jarot, Prasmani dan Sartolo serta
Nakmas sendiri yang pandai menunggang kuda dengan baik,” ucap Ki Sarmin bersikap
tenang. “Hemmm ... Sebaiknya siapa di antara kalian yang pergi?” tanya Ki Sarmin.
“Biar saya yang pergi, Paman!” seru Aji Kartiko cepat.
Ki Sarmin menatap Aji Kartiko sejenak.
“Baik tapi Nakmas jangan pergi sendiri, harus ada yang menemani.”
“Biar saya yang menemani Aji Kartiko.” sahut Ki Jarot cepat.
“Baik. Segeralah kalian berangkat. Mumpung hari masih terang.”
“Baik... !!”
Ki Jarot dan Aji Kartiko segera bergegas pergi dari rumah Kepala Desa untuk
persiapan menuju Perguruan Silat Ular Emas.
—0O0—
SIANG ini di Gunung Bromo cuacanya sangat cerah, matahari bersinar terik seolah
ingin membakar bumi. Angin yang berhembus sepoi-sepoi mampu memberikan
kesejukan di cuaca yang panas di Gunung Bromo. Di sebuah lereng timur Gunung Bromo
tampak seorang gadis jelita tengah berlatih dengan keras. Walau cuaca cukup menyengat
tapi tak di pedulikan oleh gadis itu. Tubuh ramping yang di balut pakaian warna biru
tampak berkelebatan di antara batu satu ke batu yang lain.
Gerakan tubuhnya sungguh lincah sekali meliuk liut bagai menari. Bila ada yang
melihat sudah pasti akan mengira ada bidadari sedang menari. Setiap gerakan gadis itu
yang sangat lembut selalu di iringi deburan angin sehingga di tempat itu jadi terasa dingin.
“Hiaaaaatt!” terdengar teriakan si gadis keras sambil mendorong tangannya ke arah
sebuah batu besar.
Blaarrr... !
Sebuah batu besar hancur berantakan terkena angin yang keluar dari tangan gadis
cantik itu. Gadis itu lalu melompat tinggi sambil mencabut pedang di punggungnya.
Sriiiiiing ... !
Sebilah pedang yang memancarkan cahaya keputihan terang tergenggam di tangan
kanan gadis itu. Dengan gerakan sangat cepat gadis itu memainkan pedang itu. Setiap
tebasan yang dilakukan gadis itu menimbulkan deru angin yang mencicit dan terjadi
ledakan-ledakan yang memporak-porandakan tempat itu. Sungguh luar biasa dahsyat
kekuatan pedang di tangan gadis itu.
Kemudian gadis itu berdiri tegak di atas tanah lapang sambil memasukkan kembali
pedang di tangannya ke sarung pedang yang ada di balik punggungnya. Gadis itu jadi
terhenyak sendiri setelah melihat sekitarnya yang porak-poranda bagai terkena bencana
alam.
Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan dari arah belakang gadis itu. Gadis baju biru dengan cepat
berbalik lalu tersenyum indah ke seorang pemuda tampan yang tadi bertepuk tangan.
“Kakang!” seru gadis itu.
Pemuda tampan itu menghampiri si gadis.
“Kau sudah menguasai semua ilmu dari Pedang Naga Suci itu dengan cepat
Pandan,” kata pemuda tampan itu yang ternyata adalah Surya atau Pendekar Pedang
Matahari. “Bahkan kekuatanmu meningkat tajam 3 kali lipat di banding kamu masih
memakai Pedang Naga Geni.” imbuhnya sambil menepuk pundak Pandan Wangi pelan.
Pandan Wangi tersenyum senang mendengar itu.
“Terima kasih, Kakang.”
Surya mengangguk cepat.
“Tapi ingat. Gunakan Pedang Naga Suci jika kamu benar-benar terdesak.”
“Baik, Kakang.” sahut Pandan Wangi mengangguk cepat.
“Ayo ikut aku sebentar,” kata Surya sambil berlalu dari hadapan Pandan Wangi
“kemana?” tanya Pandan Wangi cepat.
Tapi Surya keburu jauh dari tempatnya berada maka dengan cepat Pandan Wangi
menyusul Surya yang sudah agak jauh pergi.
Di dalam Goa Setan tampak Surya duduk bersila di atas batu pipih dengan tenang,
Pandan Wangi segera duduk di depan Surya dan menunggu apa yang ingin di bicarakan
oleh pemuda tampan di depannya itu.
Surya mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya cepat seperti
melepas suatu beban berat di dadanya.
“Sudah lebih dari satu purnama kamu tinggal di sini. Ada satu rahasia besar yang
ingin aku sampaikan padamu. Tapi... “ Surya diam tidak meneruskan ucapannya. Pandan
Wangi diam menunggu kelanjutan ucapan Surya. Surya kembali menghela nafas kuat-
kuat. Setelah beberapa Surya mulai membuka suara lagi. “ ... Tapi sepertinya ini bukan
saat yang tepat untuk mengatakan rahasia besar itu,” ucap Surya pelan.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya karena heran dengan sikap Surya yang
sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu yang sulit untuk dikatakan.
“Ada apa sebenarnya Kakang?” tanya Pandan Wangi penasaran.
Surya menatap Pandan Wangi beberapa lama.
“Akh ... sudahlah,” ucap Surya sambil menggeleng cepat. “Pandan! Boleh aku tahu
apa maksud tanda mawar hitam dalam lingkaran yang ada di lengan kirimu itu?” tanya
Surya pelan.
Pandan Wangi langsung melihat ke lengan kirinya.
“Aku juga tidak tahu Kakang. Tanda ini sudah ada sejak aku masih bayi,” ucap
Pandan Wangi pelan.
Surya mengangguk-angguk saja mendengar itu.
“Memang kenapa dengan tanda ini?” tanya Pandan Wangi cepat.
Surya kembali menghela nafas pelan kemudian dia membuka baju di depan dada.
Tampak di dada kiri Surya juga ada tanda gambar mawar hitam dalam lingkaran. Pandan
Wangi yang melihat Surya juga punya tanda yang sama dengan dirinya jadi tersentak
kaget.
“Kau juga punya tanda yang sama denganku, Kakang?” tanya Pandan Wangi cepat
tak bisa menyembunyikan keterkejutanya itu.
Surya mengangguk pelan.
“Tap ... tap ... tapi?” Pandan Wangi malah jadi bingung sendiri.
“Tapi kenapa Pandan?” tanya Surya heran.
Pandan Wangi menatap Surya sejenak, ada bayangan keraguan di pikirannya.
“Sejak kapan Kakang punya tanda itu?” tanyanya ingin memastikan apakah apa
yang ada di dalam pikirannya benar.
Surya mengerutkan keningnya.
“Apakah ada yang aneh dengan tanda ini, Pandan?” tanya Surya balik.
“Jawab saja, Kakang!” seru Pandan Wangi cepat.
Surya diam saja tidak mau menjawab pertanyaan Pandan Wangi. Malah dia
membalikkan tubuhnya membelakangi Pandan Wangi,
Surya perlahan membuka bajunya. Tampak ada gambar matahari berjumlah
sembilan buah yang mengitari mahkota di tengah lingkaran di punggung Surya. Pandan
Wangi begitu melihat gambar di punggung Surya malah terkejut bukan main, perlahan air
matanya keluar dari dua matanya. Dengan perasaan yang sukar di bayangkan yang
bergejolak di dalam dadanya, Pandan Wangi langsung memeluk Surya dari belakang
dengan erat. Tangisnya pun langsung meledak keras.
Ada apa sebenarnya?!!.
Pandan Wangi ingat dengan pesan terakhir kakeknya sebelum meninggal.
“Cucuku Pandan Wangi. Akan kakek ceritakan sebuah rahasia besar tentang
dirimu. Sesungguhnya kamu masih memiliki saudara. Carilah saudaramu itu jika kamu
sudah besar nanti. Saudaramu itu memiliki tanda yang sama seperti tanda di lengan
kamu selain itu tanda yang paling kuat adalah berada di punggung yaitu tanda sembilan
matahari yang mengitari mahkota dalam lingkaran. Dialah Pangeran Matahari
kakakmu ,” ucap sang kakek Pandan Wangi.
Pandan Wangi masih menangis memeluk Surya erat dari belakang. Surya hanya
diam saja membiarkan Pandan Wangi menumpahkan segala perasaannya yang
mengganjal selama bertahun-tahun. Ini wajar saja karena sudah sejak lama Pandan Wangi
mencari kakaknya agar rahasia tentang jati diri kehidupannya dapat terungkap. Karena
kelelahan akhirnya Pandan Wangi pingsan. Surya langsung menangkap tubuh Pandan
Wangi agar tidak jatuh membentur lantai goa.
—0O0—
Dua anak muda -satu wanita dan satu pria- tampak sedang menyusuri jalan setapak
menumn di lereng timur Gunung Bromo. Mereka adalah Surya dan Pandan Wangi yang
sudah meninggalkan Goa Setan. Matahari siang ini tampak sedikit terhalang oleh awan
putih di langit.
“Kakang! Kenapa kamu tidak memakai topeng perakmu lagi?” tanya Pandan Wangi
membuka suara setelah mereka jauh dari Goa Setan.
Surya cuma melirik saja sejenak kemudian Pandangannya di arahkan ke langit.
“Hehhmm ... tidak, Pandan,” jawab Surya pelan.
“Kenapa?” sahut Pandan heran.
Surya menghela nafas berat. Pandan Wangi memperhatikan sikap Surya yang
sepertinya menyembunyikan sesuatu yang enggan untuk dibicarakan. Akhirnya Pandan
Wangi memilih untuk diam saja.
Pada sore hari mereka tiba di sebuah desa di kaki Gunung Bromo. Mereka segera
mencari kedai untuk melepas lelah dan mengisi perut yang sudah dari tadi teriak-teriak
minta jatah makanan.
Di kedai tengah desa mereka melepas lelah dan mengisi perut yang lapar. Begitu
duduk kursi di dekat jendela pemilik kedai mendatangi mereka.
“Silakan Aden berdua mau pesan apa?” tanya Paman pemilik kedai ramah.
“Kami ingin makan, Ki. Tolong kami pesan makannya,” kata Surya sopan.
“Baik. Sebentar saya siapkan dulu,” kata pemilik kedai lalu beranjak masuk ke
dalam kedai.
“Kakang! Kemana tujuan kita sekarang?” tanya Pandan Wangi pelan sambil melihat
keluar lewat jendela dekatnya.
Surya bersandar di dinding kedai yang terbuat dari anyaman bambu.
“Ke Bukit Tandur,” jawab Surya pelan.
“Bukit Tandur?! Mau apa kita kesana?” tanya Pandan Wangi penasaran.
Surya menoleh ke arah Pandan Wangi lalu tersenyum saja.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya karena heran dengan Surya yang cuma
seyum saja.
“Kenapa?” ucap Pandan Wangi cepat.
“Nanti kamu juga akan tahu Pandan,” ucap Surya acuh tak acuh.
Tentu saja Pandan Wangi jadi jengkel sendiri di buatnya, wajahnya langsung di
tekuk cemberut dengan sikap Surya itu.
“Kita menginap dimana? Di hutan atau kita cari penginapan?” tanya Surya tenang
tak hiraukan Pandan Wangi yang cemberut.
“Tahu ... akh,” sahut Pandan Wangi masa bodo.
Surya tertawa kecil saja mendengar Pandan Wangi yang cemberut.
Tak berapa lama pemilik kedai datang membawa makanan ke meja mereka.
“Nah ini Den, silakan di nikmati,” kata pemilik kedai tersebut ramah.
“Terima kasih ki,” ucap Surya sopan.
“Saya permisi dulu,” pemilik kedai itu hendak pergi tapi buru-buru di cegah Surya.
“Maaf sebentar, Paman.” cegah Surya cepat.
“Ya, Den. Mau pesan apa lagi?”
“Oh, tidak. Kami bukan pesan lagi. Oya Paman ... ”
“Saya Ki Tarto. Panggil Ki Tarto saja.” potong pemilik kedai yang bernama Ki
Tarto.
“Ki Tarto! Maaf apa di desa ini ada penginapan, ya?”
Ki Tarto diam sejenak sambil melihat dua orang di depannya itu.
“Aduh maaf. Maaf den. Di sini tidak ada penginapan. Maklum, Den desa inikan
jarang di lewati orang dari luar desa jadi ya, tidak ada penginapan,” kata Ki Tarto ramah
sekali.
“Oh, begitu ya, Ki,” kata Surya pelan manggut-manggut.
“Maaf, Aden berdua ini hendak kemana?” tanya Ki Tarto pelan.
“Kami hendak ke Bukit Tandur, Ki,” jawab Pandan Wangi.
Ki Tarto menoleh ke Pandan Wangi.
“Bukit Tandur?! Wah, Bukit Tandur masih 3 hari perjalanan dari sini,” kata Ki
Tarto pelan. “Tapi kalau aden berdua mau menginap, mungkin gubuk saya bisa kalau
aden berdua mau,” kata Ki Tarto kemudian.
“Wah, terima kasih Ki. Jadi merepotkan,” kata Surya basa basi.
“Iya Ki maaf kalau merepotkan Ki Tarto,” kata Pandan Wangi menambahi.
“Tidak apa-apa, Den. Saya malah senang bisa membantu orang lain yang
membutuhkan,” ucap Ki Tarto lembut. “Ya sudah saya permisi dulu.”
“Silakan, Ki.” sahut Surya dan Pandan Wangi bareng.
Surya dan Pandan Wangi kemudian menyantap makanan yang tadi di hidangkan
oleh Ki Tarto.
Di sudut tempat lain kedai itu sepasang mata tak henti-hentinya menatap ke arah
Surya dan Pandan Wangi berada, terutama sepasang mata itu menatap lekat ke Pandan
Wangi, karena kecantikan Pandan Wangi yang bagai bidadari dari khayangan membuat
pandangan mata itu ingin sekali mendapatkan gadis cantik yaitu Pandan Wangi. Tak
berapa lama si pemilik sepasang mata itu beranjak meninggalkan kedai Ki Tarto.
Hari sudah semakin sore hampir mendekati senja. Cahaya mentari sudah berubah
jadi warna jingga, berati sebentar lagi malam akan tiba menyelimuti maya pada ini
dengan kegelapannya.
—0O0—
“Mari Den, ini gubuk saya. Maaf gubuk reot jadi cuma ala kadarnya saja,” kata Ki
Tarto sambil mempersilakan Surya dan Pandan Wangi masuk ke dalam rumah Ki Tarto
yang hanya terbuat dari anyaman bambu dan beratap daun rumbia yang di tata secara rapi.
Mereka segera masuk ke dalam gubuk, ternyata Ki Tarto tinggal bersama istri dan
anaknya yang hampir sebaya dengan Pandan Wangi.
“Ini istri dan anak saya,” kata Ki Tarto mengenalkan istri dan anak gadisnya.
Mereka kemudian bincang-bincang di ruang tamu di atas balai-balai bambu yang
cukup besar.
“Oya aden berdua ini namanya siapa, ya? Ko dari tadi ngobrol belum tahu namanya.
He-he-he ... ” kata Ki Tarto sambil tertawa kecil.
“Saya Surya dan ini adik saya Pandan,” kata Surya mengenakan diri.
“Oh Den Surya dan Den Ayu Pandan. Ha-ha ha!” kata Ki Tarto ketawa.
“Oya, Ki. Kenapa kedainya tutupnya awal padahal hari masih sore. Apa memang
biasa tutup sore hari, Ki?” tanya Pandan cepat.
Ki Tarto tidak langsung menjawab, ia diam sambil menghela nafas berat. Sejenak
Ki Tarto melihat istrinya yang duduk di sampingnya. Istri Ki Tarto juga diam dan
menghela nafas pendek.
“Ada apa, Ki?” tanya Pandan Wangi heran dengan perubahan sikap Ki Tarto dan
istrinya.
Surya menyentuh pundak Pandan Wangi dan menekan pelan mengisyaratkan agar
tidak terlalu banyak bertanya. Pandan Wangi menoleh ke arah Surya dengan Pandangan
tidak mengerti. Surya hanya melirik sebentar kemudian menatap Ki Tarto.
“Maafkan Pandan, Ki. Kalau pertanyaannya tadi menyinggung hati Ki Tarto dan
Nyi Darsi,” ucap Surya lembut.
“Oh, tidak tidak den. Tidak kok.” sahut Ki Tarto cepat.
“Sebaiknya ceritakan saja, pak,” kata Nyi Darsi pelan.
Ki Tarto menatap istrinya lalu mengangguk.
Surya dan Pandan Wangi sama-sama mengerutkan keningnya mendengar ucapan
nyi dari istri Ki Tarto itu. Dalam hati mereka penuh dengan pertanyaan yang tidak bisa
mereka jawab sendiri.
“Sebenarnya begini den ... “ Ki Tarto mulai menceritakan tentang kejadian yang
menimpa Desa Karang Asem yang menyebabkan penduduk desa di landa ketakutan yang
mencekam.
Surya dan Pandan Wangi mendengarkan dengan penuh keseriusan karena mereka
merasa ini adalah peristiwa yang membangkitkan jiwa kependekaran mereka yang tidak
mau berpangku tangan untuk membantu orang lain yang sangat membutuhkan bantuan.
Ki Tarto juga mengutarakan yang mengganjal hatinya tentang keselamatan putri satu-
satunya yang sangat mereka sayangi.
“Begitulah den ceritanya. Sampai sekarang belum ada yang mampu mencegahnya,”
ucap Ki Tarto mengakhiri ceritanya.
Surya manggut-manggut mendengar cerita Ki Tarto itu.
“Apa ada yang sudah melihat makhluk itu ki?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Pernah satu kali, Nini. Yaitu Ki Jarot dan tiga murid Perguruan Silat Ular Emas
memergoki makhluk itu ketika hendak masuk ke rumah salah satu penduduk Desa
Karang Asem ini,” jawab Ki Tarto.
“Ki Jarot? Murid Perguruan Silat Ular Emas? Siapa mereka itu, Ki?” seru Pandan
Wangi cepat.
Surya dengan cepat menekan bahu Pandan Wangi agar Pandan Wangi tidak banyak
bertanya. Pandan Wangi menoleh dan hanya tertawa kecil.
“Ki Jarot adalah kepala keamanan di desa ini sedang murid Perguruan Silat Ular
Emas adalah orang-orang yang dimintai bantuan oleh Kepala Desa,” jawab Ki Tarto.
“Bagaimana dengan mahluk itu Ki, apakah ada yang melawan dia?” seru Pandan
lagi.
Kali ini Surya mencubit bahu Pandan Wangi sehingga Pandan Wangi mengeluh
kesakitan. Wajahnya langsung cemberut menatap Surya.
“Ada apa, Nini Pandan?” sem Nyi Darsi cepat melihat Pandan Wangi meringis
kesakitan.
’Tidak apa-apa, Nyi. Pandan cuma kelelahan saja pengen istirahat,” ucap Surya
cuek saja tidak menggubris Pandan Wangi yang cemberut.
“Oh, gitu. Ya sudah sebaiknya Nini Pandan tidur dengan Asih di kamar. Biar ada
temannya,” kata Nyi Darsi lembut
“Ekh, tapi... “ ucap Pandan bingung.
“Sudah sana tidur. Temani Asih biar aman,” kata Surya memotong Pandan Wangi.
Tentu saja Pandan Wangi makin cemberut mendengar itu. Dengan malas-malasan
Pandan Wangi beranjak berdiri menghampiri Asih yang duduk di dekat ibunya.
Tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
“Kau jaga Asih karena aku merasa ada bahaya yang sedang mengancam dia. Jangan
sampai lengah,” kata suara itu.
Pandan Wangi langsung menoleh ke belakang dan dia melihat Surya masih ngobrol
dengan Ki Tarto jadi suara itu hanya dirinya saja yang mendengarnya. Tapi Pandan
Wangi yakin itu pasti Surya yang mengirimkan suara tadi. Namun apa maksudnya
dengan bahaya yang sedang mengancam asih? Batin Pandan Wangi bingung.
Surya merenung sejenak mendengar cerita Ki Tarto yang sangat ganjil sekali tapi
Surya bersikap tenang saja.
“Jadi semenjak makhluk itu mengganggu desa maka semenjak itu pula desa ini jadi
sepi bila malam tiba,” kata Surya pelan manggut-manggut.
“Benar, Den. Bila malam tiba kami selalu was-was kalau-kalau makhluk itu datang
kesini dan ... Hehhmh,” kata Ki Tarto tidak meneruskan ucapannya lalu menghela nafas
berat.
Mereka lalu sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Tak berapa lama
suara pintu di ketuk dari luar maka Ki Tarto buru-buru mendekat ke pintu.
“Siapa?” seru Ki Tarto.
“Ini aku, Ki Jarot.” sahut suara dari luar.
Buru-buru Ki Tarto membuka pintu setelah tahu siapa yang datang malam-malam
gini di rumahnya.
“Oh, Ki Jarot. Ada apa ya, Ki?” ucap Ki Tarto cepat.
“Maaf, Ki Tarto ganggu malam-malam begini aku datang. Ada satu hal yang ingin
saya tanyakan pada Ki Tarto. Benar Ki Tarto membawa dua orang asing ke dalam
rumah?” tanya Ki Jarot agak menekan suaranya tapi masih cukup ramah juga.
“Oh iya benar, Ki. Masuk dulu, mereka ada kok. Silakan,” kata Ki Tarto pelan.
Rupanya Ki Jarot kepala keamanan desa yang datang bersama dua orang di
belakannya. Salah satu dari dua orang bersama Ki Jarot adalah murid Perguruan Silat
Ular Emas yang bernama Suro Manik. Mereka lalu masuk ke dalam rumah Ki Tarto dan
duduk di balai-balai bambu dimana Surya berada.
“Ada apa ya Ki Jarot dan aden-aden ini kemari?” tanya Ki Tarto kalem.
“Begini Ki Tarto. Kami kemari karena dapat laporan kalau di rumah Ki Tarto ada
dua orang asing yang menginap. Apa itu betul?” tanya Ki Jarot membuka omongan
tentang maksud kedatangannya bersama dua orang temannya.
“Iya betul. Ini orangnya sedang yang satu sudah istirahat bersama Asih di kamar,”
jawab Ki Tarto pelan.
“Di kamar bersama Asih?” seru Ki Jarot agak heran.
“Iya Ki. Ehk ... dia seorang wanita kok, Ki,” kata Ki Tarto cepat menangkap
keheranan Ki Jarot.
“Oh.” Ki Jarot manggut-manggut. Ki Jarot lalu menoleh ke arah Surya. “Maaf
Kisanak. Siapa nama Kisanak dan hendak kemana tujuan Kisanak?”
Surya menghela nafas panjang.
“Saya Surya, Ki. Saya seorang pengembara.” sahut Surya kalem.
Ki Jarot manggut-manggut mengerti arti jawaban Surya itu.seorang pengembara
memang tidak mempunyai arah tujuan yang pasti.ia akan mengikuti kemana kaki
melangkah.
“Maaf Nakmas Surya. Terus terang kami sebagai keamanan desa harus menanyai
setiap orang asing yang datang karena desa sekarang sedang kurang aman,” ucap Ki Jarot
pelan sambil mengusap janggutnya.
“Iya Ki. Ki Tarto sudah menceritakan pada saya,” kata Surya mengerti maksud Ki
Jarot.
“Begitu? Hehmm ... Kami harap Nakmas maklum. Seluruh penduduk sedang di
landa perasaan mencekam. Bukan maksud kami mencurigai Nakmas tapi ini harus kami
lakukan demi keamanan desa ini,” kata Ki Jarot menjelaskan. “Kami sedang menghadapi
bahaya yang setiap saat bisa mengancam gadis-gadis di desa ini.” imbuh Ki Jarot.
“Iya Ki,” jawab Surya singkat.
Tiba-tiba ada seorang penduduk datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ki ... Ki ... Ki Jarot gawat ... Ki ... gawat!” seru orang yang datang itu dengan
nafas tersengal-sengal.
“Dirman. Ada apa? Apa yang gawat?” sahut Ki Jarot cepat.
“Itu ki itu ... makhluk itu muncul lagi.”
“Apa?!!” seru semua kaget.
“Dimana?” tanya Ki Jarot sambil terlonjak berdiri.
“Di rumah Ngadimen, Ki. Makhluk itu sedang bertarung dengan murid Perguruan
Silat Ular Emas.”
“Apa?! Kita sebaiknya pergi kesana. Ayo!!” seru Ki Jarot cepat.
Semua lalu segera keluar dari rumah Ki Tarto.
“Maaf, Ki. Apa saya boleh ikut?” seru Surya cepat sebelum semua pergi.
Ki Jarot menoleh ke arah Surya lalu mengangguk cepat. Maka Surya segera ikut
dengan Ki Jarot dengan yang lain. Mereka berlari menerobos kegelapan malam dengan
tergesa-gesa. Seolah di kejar setan saja mereka terus berlari cepat hingga tak berapa lama
mereka sampai di tempat kerumunan penduduk yang sudah menghunus senjata masing-
masing. Ada yang membawa cangkul, sabit dan juga kayu.
—0O0—
Di samping sebuah rumah tampak dua orang berpakaian coklat memakai ikat kepala
warna kuning emas tengah bertarung mengeroyok seseorang berpakaian serba hitam
dengan rambut panjang dan juga wajahnya penuh dengan bulu hitam banyak, sorot mata
makhluk itu berwarna merah menyala. Sepasang taring tampak mencuat di sela-sela
bibirnya yang hitam.
“Iblis Bukit Setan?!!” seru Ki Jarot agak keras. “Semuanya kepung iblis itu jangan
sampai lolos lagi.” teriak Ki Jarot lantang.
Mendengar teriakan Ki Jarot yang keras itu mak para penduduk segera mengepung
tempat pertarungan Iblis Bukit Setan dengan cepat.
Dikepung begitu rupa, maka si Iblis Bukit Setan mana mungkin lagi bisa lolos.
Pertarungan sengit terus berlangsung antara dua orang dari Perguruan Silat Ular Emas
melawan Iblis Bukit Setan. Dikeroyok dua orang dengan kepandaian silat yang bisa
dikatakan cukup tinggi tak membuat Iblis Bukit Setan jadi gentar, malah gerakan Iblis
Bukit Setan kelihatan tenang dalam menghadapi lawannya. Beberapa kali pukulan dan
sabetan pedang tidak membuatnya terluka. Rupanya Iblis Bukit Setan kebal senjata tajam
dan daya tahan tubuhnya sungguh mengagumkan. Ini hanya disadari oleh Surya yang
memperhatikan pertarungan mereka. Surya melihat lihat dengan teliti untuk mencari
kelemahan Iblis Bukit Setan itu.
“Aaaarghh!”
Teriak dua murid Perguruan Silat Ular Emas terpental jatuh terkena tendangan si
Iblis Bukit Setan yang dialiri tenaga dalam. Dua murid Perguruan Silat Ular Emas
langsung muntah darah segar dari mulut mereka.
“Kurang ajar. Hiaaaatt!” teriak Suro Manik keras menerjang Iblis Bukit Setan.
Sabetan pedang mengarah leher Iblis Bukit Setan. Ini bisa membuat Iblis Bukit
Setan mati dengan terpotong lehernya. Namun semua orang malah kaget bukan main
karena bukan leher yang terbelah tapi pedangnya yang patah. Dengan gerakan cepat Iblis
Bukit Setan memutar badan sambil tangannya bergerak ke arah dada Suro Manik
menghantam keras.
Dugh ... !
“Aaaahkk!” teriak keras Suro Manik terkena pukulan terbuka si Iblis Bukit Setan.
Begitu tersungkur di tanah Suro Manik langsung muntah darah.
“Hoeekh!”
Gerakan Iblis Bukit Setan tidak sampai di situ saja, dia langsung menerjang Suro
Manik yang tersungkur dengan tangannya yang berkuku panjang runcing mengarah ke
leher, jelas si Iblis Bukit Setan hendak merobek leher Suro Manik. Karena gerakannya
yang cepat maka Suro Manik tidak sempat lagi untuk menghindar, dia hanya bisa
memejamkan matanya pasrah pada maut yang siap mencabut nyawanya. Semua orang
yang terkesiap menyaksikan itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Suro Manik.
Sejengkal lagi cakar tajam si Iblis Bukit Setan siap merobek leher Suro Manik, tiba-
tiba sekelebat bayangan putih menyambar tubuh Suro Manik.
“Kisanak tidak apa-apa?” tanya bayangan putih yang ternyata adalah Surya setelah
menyandarkan Suro Manik di bawah pohon.
Suro Manik yang sudah pasrah akan terkena cakaran Iblis Bukit Setan jadi kaget
karena ada seseorang yang menolong dirinya.
“Ekh?!” semnya tertahan. Suro Manik menatap pemuda tampan yang menolongnya
itu.
Surya berdiri tenang di hadapan si Iblis Bukit Setan yang menatap dirinya dengan
mata tajam merah menyala. Surya pun menatap Iblis Bukit Setan dengan tajam juga
seolah ingin memastikan sosok di depannya itu setan beneran atau jadi-jadian saja.
Surya langsung mengeluarkan Ajian ‘Menembus Pandang’ untuk melihat wujud
asli Iblis Bukit Setan, tampak di hadapan Surya wujud Iblis Bukit Setan berubah jadi
seorang pemuda.
“Hemm ... wujud asli makhluk ini ternyata seorang pemuda. Jadi makhluk ini
bersekutu dengan iblis.” batin Surya dalam hati.
“Greaaookk!” di iringi teriakan menggidikan bagai binatang buas. Iblis Bukit Setan
langsung menerjang cepat ke arah Surya. Tampak makhluk jejadian itu sangat marah
karena tidak berhasil membunuh mangsanya.
Surya menghadapai serangan Iblis Bukit Setan dengan jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’-nya. Jurus itu sangat ampuh untuk bertahan karena levelnya akan semakin
meningkat seiring meningkatnya jurus lawan. Serangan Iblis Bukit Setan dengan sangat
mudah dipatahkan Surya dan ini semakin membuat Iblis Bukit Setan jadi semakin ganas
serangannya. Di jurus yang sudah mencapai empat puluh tujuh. Iblis Bukit Setan
melompat tinggi bersalto lalu mendarat di dahan pohon. Secarik sinar merah melesat
keluar dengan cepat ke arah Surya.
Buummm ... !!!
Suara ledakan keras ketika sinar merah yang keluar dari mata makhluk hitam
menghantam tanah. Beruntung Surya tanggap dan melopat tinggi begitu sinar merah
melesat ke arahnya. Tampak di tanah yang terkena jums ’Mata Merah’ Iblis Bukit Setan
tampak berlubang sebesar kerbau dewasa. Dapat dibayangkan jika sinar merah itu kena
tubuh maka niscaya orang yang terkena jums itu bisa langsung mati.
Para penduduk desa jadi menjauh dari tempat pertarungan itu. Sedang yang
memiliki ilmu tenaga dalam hanya diam saja di tempat pertarungan tadi.
Surya melihat ke arah Iblis Bukit Setan yang berdiri di dahan sebuah pohon cukup
besar.
“Jurus mata?! Hmmmm ... Rupanya makhluk itu memiliki jurus yang dahsyat.”
batin Surya dalam hati.
Tampak Iblis Bukit Setan kembali menyerang Surya dengan jurus ’Mata Merah’.
Sinar merah kembali melesat cepat dari mata Iblis Bukit Setan ke arah Surya.
“Hup ... !!”
Surya kembali melompat tinggi menghindari jurus ’Mata Merah’ itu. Tapi kali ini
Surya dengan cepat mengeluarkan jurus pukulan jarak jauh.
“Pukulan ’Tameng Sinar Matahari’!” seru Surya langsung mengarahkan
Pukulan ’Tameng Sinar Matahari’ ke arah si Iblis Bukit Setan.
Si Iblis Bukit Setan menggembor lalu memapaki pukulan jauh Surya.
Des ... des ... !
Pukulan Surya mengenai Iblis Bukit Setan hingga terpeNtal jauh. Dengan teriakan
keras Iblis Bukit Setan langsung berlari untuk melarikan diri.
“Iblis itu melarikan diri. Kejaaar!!” teriak beberapa orang penduduk.
“Jangan!” seru Ki Jarot keras. “Tidak usah di kejar.”
“Tapi. Ki?!” seru salah seorang penduduk.
“Berbahaya kalau kita mengejarnya. Iblis itu pasti kembali ke Bukit Setan.” sahut
Ki Jarot cepat. “Kalau kita nekat mengejarnya ke Bukit Setan, bisa-bisa kita akan
terbunuh. Kita tidak tahu apa yang terjadi jika kita ke Bukit Setan. Sebaiknya kita tetap
berjaga-jaga malam ini.”
“Benar. Mungkin makhluk itu beberapa hari ini tidak akan muncul lagi. Jadi untuk
beberapa hari ini kita akan aman!” sem Surya menenangkan para penduduk.
Semua langsung melihat ke arah Surya dan bertanya-tanya dalam hati siapa pemuda
yang di hadapan mereka itu.
“Tolong sebagian tetap di sini. Sebagian lagi berjaga seperti biasa. Jika ada sesuatu
yang mencurigakan segera beri tahu aku,” ucap Ki Jarot penuh wibawa.
“Nakmas Surya! Sebaiknya Nakmas ikut kami sebentar ke rumah Kepala Desa. Kita
akan ngobrol di sana,” ucap Ki Jarot setelah menghampiri Surya.
Surya mengangguk pelan kemudian menoleh ke arah Ki Tarto.
“Ki Tarto. Tolong beri tahu ke Pandan kalau saya di tempat Kepala Desa,” kata
Surya kalem.
“Baik, Den.” sahut Ki Tarto mengangguk.
Ki Jarot dan yang lain segera beranjak menuju ke rumah Kepala Desa Karang Asem.
—0O0—
Di dalam sebuah rumah yang cukup besar dan tertata rapi tampak beberapa orang
tengah berbincang bincang di ruangan tengah. Itulah rumah Ki Sarmin, Kepala Desa
Karang Asem.
“Benar, Nakmas. Kami harap Nakmas bersedia tinggal sementara waktu di desa ini.
Bantuan Nakmas sangat kami butuhkan. Jadi kami harap Nakmas mau
mempertimbangkannya,” ucap Ki Sarmin penuh dengan kewibawaan.
“Sebagai seorang pendekar apa Nakmas tega membiarkan para penduduk di cekam
ketakutan akibat perbuatan Iblis Bukit Setan itu?” ucap Ki Jarot pelan.
Surya terdiam mendengar itu.
Sebenarnya Surya mau saja membantu tapi Surya merasa kurang enak hati sama
tiga murid Perguruan Silat Ular Emas yang lebih dulu dimintai bantuan. Sebagai sesama
orang persilatan Surya tahu bagaimana harga diri sebuah aliran maupun kemampuan diri
dipertaruhkan. Surya tidak mau sampai menimbulkan rasa dendam sesama golongan
cuma gara-gara salah paham saja.
Surya kemudian menghela nafas panjang seolah melepas beban berat. Surya
menatap Ki Jarot dan Kepala Desa bergantian.
“Maaf, Ki. Sekali lagi saya minta maaf. Umsan saya benar-benar mendesak dan
tidak dapat saya tinggalkan. Lagi pula di desa ini ada saudara-saudara dari Perguruan
Silat Ular Emas, jadi saya rasa keamanan desa bisa terjamin,” ucap Surya kalem.
Ki Jarot kaget, bagai diingatkan kalau selain Surya, di dalam rumah masih ada tiga
orang murid Perguruan Silat Ular Emas. Ki Jarot sekarang paham kenapa Surya tidak
mau tinggal di Desa Karang Asem beberapa waktu untuk dimintai tolong, sebab Surya
tidak mau sampai melukai hati tiga orang murid Perguruan Silat Ular Emas. Sebagai
orang yang pernah menikmati asam garam dunia persilatan maka Ki Jarot akhirnya
memaklumi sikap Surya itu.
“Tapi... “ ucap Ki Sarmin.
“Saya paham Nakmas,” ucap Ki Jarot memotong ucapan Kepala Desa. “Tidak
sepantasnya kami bicara seperti tadi pada Nakmas. Maafkan kami Nakmas.” Ki Jarot
menjura hormat minta maaf atas kelancangannya tadi.
Surya tersenyum dan mengangguk pelan.
“Oh, rupanya Ki Jarot mengerti adat istiadat dunia persilatan.” batin Surya dalam
hati.
“Ki Jarot, apa maksudmu?!” seru Kepala Desa heran dengan sikap dan ucapan Ki
Jarot yang mendadak berubah.
“Maaf, Ki. Kita harus menghargai keputusan Nakmas Surya. Kita tidak bisa
memaksakan kehendak kita pada orang lain,” ucap Ki Jarot pelan.
“Ya tapi... ” Ki Sarmin tidak melanjutkan ucapannya lalu menghela nafas berat.
“Saudara Surya! Sudah sepantasnya kita satu golongan saling membantu. Janganlah
saudara Surya merasa tidak enak hati pada kami, justru kami sangat senang bila saudara
mau membantu kami,” seru Suro Langu selaku pimpinan dari tiga orang Perguruan Silat
Ular Emas itu.
Surya menoleh ke arah orang yang berusia 30 tahunan itu. Perawakan Suro Langu
gagah dan sopan.
“Sebagai orang persilatan aku paham dengan apa yang Kisanak pikirkan. Kami
tidak merasa tersinggung ataupun dikecilkan. Bagi kami kepentingan umum lebih
didahulukan dibanding kepentingan sendiri karena ini menyangkut hidup orang banyak,”
ucap Suro Langu tenang sekali.
Surya terdiam merenungkan kata-kata murid Perguruan Silat Ular Emas itu. Tak
berapa lama Surya mengangguk pelan.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Surya akhirnya bersedia membantu.
“Terima kasih Nakmas atas kebesaran hati Nakmas bersedia membantu kami,” ucap
Kepala Desa senang.
Surya mengangguk pelan. Semua terlihat senang karena ada orang lagi yang
membantu penduduk Karang Asem dari ancaman Iblis Bukit Setan.
“Oya ya Nakmas. Jika diperkenankan boleh kami tahu apa gelar kependekaran
Nakmas ini?” tanya Ki Jarot setelah mereka ngobrol banyak. “Dulu sewaktu saya
mengembara, orang persilatan mengenal saya dengan julukan Trisula Bayangan.”
“Saya hanya pengembara biasa. Paman. Saya masih hijau di dunia persilatan ini.
Ilmu yang saya miliki tidak seberapa tinggi, yang penting cukup untuk bisa menjaga diri
saja,” kata Surya merendah.
“Maaf, saudara Surya! Jika menilik dari pertarungan tadi antara saudara Surya
dengan iblis itu, aku rasa ilmu yang kamu miliki bisa diandalkan dan mungkin ilmumu
jauh di atas kami,” kata Suro Langu pelan.
“Itu betul, Suro Langu. Seperti yang sudah ketahui kesaktian iblis itu begitu tinggi
bahkan Suro Manik hampir saja terbunuh jika tidak ditolong Nakmas Surya,” ucap Ki
Jarot menambahkan.
“Ah, kalian berlebihan. Itu hanya suatu kebetulan saja,” jawab Surya kalem.
“Jika aku menilik dari ciri-ciri saudara Surya ini, apakah benar kalau kami ini
sedang berhadapan dengan pendekar yang saat ini jadi buah bibir di mana-mana. Seorang
pendatang baru yang sudah menggegerkan dunia persilatan wilayah timur ini,” ucap Suro
Manik ikut buka suara.
“Maksud Adi Suro Manik siapa?” tanya Suro Langu cepat.
“Pendekar Pedang Matahari.” sahut Suro Manik pelan.
“Pendekar Pedang Matahari?!!” seru semua cepat.
Mereka lalu memperhatikan Surya dari bawah sampai atas meyakinkan diri
benarkah apa kata Suro Manik tadi.
Surya hanya tersenyum lembut saja melihat semua orang memperhatikan dirinya.
“Benarkah Nakmas Surya ini adalah pendekar yang telah membuat geger dunia
persilatan dan menghancurkan tokoh sesat digdaya Datuk Sesat yaitu Pendekar Pedang
Matahari?!” ucap Ki Jarot dengan sikap penuh selidik dan serius.
Surya mengangguk sambil tersenyum saja.
“Oh, tidak di sangka kalau kami tengah berhadapan dengan pendekar sakti yang
kesohor. Terimalah salam hormat kami. Pendekar Pedang Matahari.” Ki Jarot dan yang
lain membungkuk hormat.
Mereka memang sangat mengagumi dengan Pendekar Pedang Matahari, kini
pendekar yang mereka kagumi ada di hadapan mereka dan sedang bincang-bincang
dengan mereka, tentu mereka sangat senang sekali.
“Tolong jangan di buat berlebihan. Walau bagaimanapun saya tetaplah manusia
biasa sama seperti kalian. Jadi tidak selayaknya saling membedakan satu sama lain,” ucap
Surya kalem terdengar lembut namun penuh makna.
Inilah yang membuat semua jadi tambah kagum dengan Surya karena sifat rendah
diri dan tidak mau membedakan satu sama lain.
“Saya harap kalian panggil saya seperti biasa saja biar jauh lebih akrab dan dekat.”
Semua mengangguk cepat kemudian tertawa bersama.
—0O0—
SIANG ini Surya mengajak Pandan Wangi ke sebuah bukit yang terletak tak jauh
dari Desa Karang Asem, bukit yang terletak di sebelah timur desa ini di kenal dengan
nama Bukit Setan, menurut cerita Kepala Desa dan Ki Tarto serta beberapa orang
penduduk, bukit itu dinamakan Bukit Setan karena bukit itu sangat angker dan tak ada
satu orang penduduk yang berani mendekati bukit itu. Di lihat dari struktur medannya
pun memang sangat sulit untuk di lalui manusia bila tidak mempunyai kepandaian
meringankan tubuh. Keadaan yang berbatu juga di dukung rumput ilalang yang tinggi
menunjukkan bukit ini memang tidak pemah di jamah manusia.
“Hemmm ... Tidak ada cara lain. Terpaksa harus minta bantuan dia ... “ ucap Surya
kalem seperti untuk dirinya sendiri.
“Bantuan dia?! Dia siapa Kakang?!” tanya Pandan Wangi bingung.
Surya tidak menghiraukan pertanyaan Pandan Wangi, Surya melangkah maju ke
depan beberapa langkah kemudian memandang ke langit sambil berputar pelan.
“Suiiiiiit... Suit... Suit... Suiiiit!”
Suara lengkingan tinggi tak beraturan terdengar sangat nyaring. Tak berapa lama
tampak di di angkasa terlihat titik hitam yang lama-lama semakin membesar. Surya
tersenyum senang melihat benda yang melayang tinggi di awan itu.
“Krraaaagh!”
Suara keras sekali terdengar di angkasa. Ternyata itu adalah seekor burung rajawali
raksasa dengan bulu hitam putih. Tak berapa lama burung raksasa itu menukik cepat
hinggap tak jauh di depan Surya.
“Akhirnya kau datang juga sobat,” ucap Surya sambil mengelus leher burung
rajawali itu.
“Krrrrrrrrkkk!” burung itu hanya mengereng mengerti apa yang Surya ucapkan.
Pandan Wangi masih terbengong melihat burung rajawali raksasa di depannya itu.
Burung rajawali itu mirip si Putih rajawali tunggangan Rangga kekasihnya. Selama ini
Pandan hanya tahu ada dua burung rajawali raksasa yaitu rajawali putih milik Rangga dan
rajawali hitam milik Putri Rajawali Hitam. Pandan Wangi tidak menyangka kalau masih
ada rajawali raksasa lagi selain si Hitam dan si Putih.
“Pandan, ayo!” seru Surya agak keras membuyarkan lamunan Pandan Wangi.
“Ekh?!” Pandan Wangi tersadar dari lamunannya tentang rajawali itu. “Hupp ... !!”
Pandan Wangi melompat di atas punggung rajawali itu.
“Ayo sobat kita selidiki bukit itu,” kata Surya sambil menepuk-nepuk punggung
rajawalinya.
“Krrrrrrkk!”
Burung rajawali raksasa itu mengkerek sebentar kemudian langsung mengangkasa
tinggi.
Dari angkasa Surya menatap kawasan Bukit Setan itu menggunakan
ilmu ’Menembus Pandang’. Dengan ilmu itu Surya dapat melihat dengan jelas setiap
sudut kawasan Bukit Setan itu. Surya cuma melihat pepohonan dan area berbatuan yang
terjal di setiap sudut Bukit Setan itu.
“Kakang! Suruh rendahkan terbang rajawalimu. Aku tidak bisa melihat dengan jelas
jika terbang terlalu tinggi!” seru Pandan Wangi keras, karena bagi Pandan, terbang
burung rajawali itu terlalu tinggi sehingga yang terlihat di bawah hanya kecil kecil saja.
Surya tertawa kecil mendengar itu.
“Gunakan Ajian ‘Mata Naga Suci’-mu Pandan,” kata Surya memberi tahu kalau
dalam rangkaian Ilmu ‘Naga Suci’ juga ada ilmu yang sejenis dengan Ilmu ‘Menembus
Pandang’ miliknya.
“Ajian ‘Mata Naga Suci’?!” seru Pandan tidak mengerti.
“Alirkan hawa murnimu ke mata maka kamu akan dapat melihat dengan jelas benda
yang sangat jauh!” seru Surya cepat.
Pandan Wangi mengikuti kata Surya, dia memejamkan matanya dan segera
mengalirkan Hawa Murni ‘Naga Suci’ ke matanya. Setelah membuka mata, maka
pandangan mata Pandan Wangi jadi lebih terang dan jelas, seolah bukit yang tadi terlihat
kecil kini bagai di depan matanya. Selain itu matanya terasa dingin dan sejuk. Itulah salah
satu keampuhan Ilmu ‘Naga Suci’ yang kini telah ia kuasai berkat pertapaannya di Goa
Setan Gunung Bromo.
Rajawali raksasa itu terus berputar-putar di angkasa menyusuri kawasan Bukit
Setan. Surya dan Pandan Wangi terus memperhatikan setiap sudut area Bukit Setan itu
tapi tidak menemukan keganjilan di bukit yang konon sangat angker itu. Akhirnya
mereka memutuskan untuk kembali ke Desa Karang Asem.
—0O0—
“Hemmm ... Jadi Nakmas dan Nini tidak menemukan apa-apa di bukit itu?” tanya
Ki Jarot pelan.
Kepalanya manggut-manggut pelan sambil merenung dengan laporan Surya setelah
menyelidiki Bukit Setan.
“Benar, Paman. Kami tidak menemukan keganjilan di bukit itu,” ucap Surya.
“Lalu dimana sarang iblis itu?” tanya Ki Sarmin Kepala Desa Karang Asem.
Tiba-tiba datang seorang pemuda ke tempat pertemuan di rumah Kepala Desa itu.
“Saya pulang, Paman,” ucap pemuda itu.
“Oh, kamu sudah pulang Aji Kartiko,” ucap Ki Sarmin tersenyum senang melihat
Aji Kartiko sudah pulang. “Bagaimana perjalananmu, apakah ada rintangan?” tanya Ki
Sarmin setelah berdiri dan menghampiri pemuda yang cukup tampan itu yang bernama
Aji Kartiko.
“Tidak, Paman. Semua lancar,” jawab Aji Kartiko kalem.
“Syukurlah kalau perjalananmu tidak menemui halangan di jalan.” Ki Sarmin
menepuk bahu Aji Kartiko pelan. “O ya. Aku kenal kan pada dua orang pemuda ini
mereka Surya dan Pandan Wangi.”
Aji Kartiko menoleh ke tempat Surya dan Pandan Wangi, kemudian tatapan mata
Aji Kartiko sangat tajam ke arah Surya.
“Siapa mereka. Paman?” tanya Aji Kartiko cepat.
“Mereka ini yang di dunia persilatan bergelar Pendekar Pedang Matahari dan si
Kipas Maut,” jawab Ki Sarmin.
“Ekh?!” Aji Kartiko tersentak kaget mendengar gelar yang disebutkan Pamanya Ki
Sarmin itu. “Pendekar Pedang Matahari?! Aku harus kasih tahu guru cepat,” ucap Aji
Kartiko dalam hati. “Maaf Paman. Aku mau istirahat dulu di rumah,” ucap Aji Kartiko
cepat.
Ki Sarmin mengangguk.
Aji Kartiko langsung berlalu dengan cepat tanpa melihat orang-orang yang ada di
tempat itu.
“Ada apa dengan Aji Kartiko, kenapa dia sepertinya tergesa-gesa begitu?” kata Ki
Sarmin pelan seperti bicara untuk dirinya sendiri. Ki Sarmin menghela nafas lalu kembali
duduk di tempat duduknya.
“Maaf, Ki dan semuanya. Kami mohon diri juga,” ucap Surya.
“Mau kemana Nakmas?” tanya Ki Sarmin cepat.
“Kami mau kembali ke tempat Ki Tarto dulu, Ki. Dari tadi pagi kami belum
kembali ke sana. Kami tidak enak kalau Ki Tarto mencari kami.”
“Oh ya. Silakan Nakmas,” kata Ki Sarmin mengerti.
Surya dan Pandan Wangi segera undur diri dari rumah Kepala Desa tersebut.
—0O0—
MALAM ini Surya tampak termenung di serambi depan rumah Ki Tarto.
Pikirannya tertuju pada misteri yang terjadi di Desa Karang Asem ini. Surya ingat dengan
Iblis Bukit Setan yang beberapa waktu lalu bertarung dengan dirinya. Dengan
menggunakan ilmuu ‘Menembus Pandang’, Surya dapat melihat wujud asli makhluk itu.
Wujud asli Iblis Bukit Setan itu adalah seorang pemuda dan pemuda itu mirip dengan
pemuda yang tadi Surya temui di rumah Kepala Desa yaitu Aji Kartiko.
“Pemuda itu mungkinkah wujud asli Iblis Bukit Setan itu. Hemmm ... Aku harus
cari tahu siapa pemuda yang bernama Aji Kartiko itu,” kata Surya seperti bergumam.
“Kakang.” suara Pandan Wangi yang memanggil Surya setelah gadis cantik itu
duduk di dekat Surya. “Kakang sedang apa?”
Surya hanya sedikit menoleh ke arah Pandan Wangi. Surya menghela nafas pelan.
Pandan Wangi memperhatikan pemuda tampan di sampingnya dengan heran dan
bingung sebab sejak dari tempat Kepala Desa siang tadi Surya cuma diam dan tidak
banyak bicara seperti ada sesuatu yang di sembunyikan.
“Kakang. Ada apa? Apakah ada sesuatu yang Kakang risaukan?” tanya Pandan
pelan.
Surya menoleh ke Pandan lalu tersenyum tipis.
“Pandan! Malam ini sepertinya kamu harus mempersiapkan dirimu.”
“Hemm?! Maksud Kakang apa?” tanya Pandan Wangi heran.
Surya kembali menghela nafas pelan.
“Selalu waspadalah dan lindungi dirimu dengan Ajian ‘Naga Suci Pemecah
Sukma’.”
Pandan Wangi mengeratkan keningnya karena bingung dengan kata Surya itu.
“Aku pergi dulu,” kata Surya lalu berdiri kemudian melesat dengan cepat
menerobos kegelapan malam.
“Kakang tunggu!” seru Pandan cepat tapi Surya sudah keburu menghilang di
kegelapan malam.
Pandan hanya bisa menghela nafas panjang heran.
“Apa sebenarnya maksud Kakang Surya, apa yang dia pikirkan?” gumam Pandan
Wangi pelan.
Walau masih diliputi perasaan heran dan bingung tapi Pandan Wangi mengikuti
kata Surya itu juga. Dengan cepat dia merapatkan dua telapak tangannya di depan dada
sambil merapal sesuatu. “Ajian ‘Naga Suci Pemecah Sukma’!” ucapnya pelan menyebut
nama ilmu yang ia keluarkan.
Ilmu ‘Naga Suci Pemecah Sukma’ adalah ilmu yang berguna melindungi diri dari
segala ilmu yang bersifat gaib, entah itu guna-guna ataupun gangguan dari mahkluk gaib.
Jika ada sesuatu yang gaib hendak mencelakai maka ilmu itu akan langsung bereaksi
dengan cara memperbanyak si pemilik ilmu itu sehingga yang diserang hanyalah
bayangan saja.
Iblis Bukit Setan adalah makhluk jejadian yang bersekutu dengan iblis, maka itulah
kenapa Surya menyuruh Pandan Wangi menggunakan Ilmu ‘Naga Suci Pemecah Sukma’,
jadi Pandan Wangi bisa terlindungi jikalau Iblis Bukit Setan menyerang Pandan Wangi.
Sementara itu Surya yang tengah berlari menembus kegelapan malam terus berlari
dengan menggunakan Ilmu ‘Menembus Pandang’. Dengan ilmu itu Surya dapat melihat
jelas di tempat yang gelap. Pemuda tampan yang sebenarnya adalah seorang Pangeran itu
tiba-tiba berhenti di bawah pohon besar, lalu dia melompat ke dahan dan duduk
menghadap ke sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya berada.
”Hmmm ... rumah ini cukup jauh juga dengan rumah-rumah penduduk. Aku harus
gunakan Ilmu ’Pembeda Gerak Dan Suara’ untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam
rumah itu,” gumam Surya perlahan.
Surya kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada, Surya mengeluarkan
Ilmu ’Pembeda Gerak Dan Suara’ dan juga Ilmu ‘Menembus Pandang’. Sehingga dengan
jelas dia dapat melihat ke dalam rumah dan juga mendengar segala suara di rumah itu.
Di dalam rumah yang lumayan besar dan cukup bagus bangunannya namun
keadaan di luar tidak terawat rapi, sehingga rumah itu jadi kelihat cukup seram juga. Di
ruang tengah rumah itu tampak Aji Kartiko tengah bersila, di depannya ada baskom yang
berisi air dengan kembang warna-warni. Di sekitar baskom ada segala macam sesajen.
Sebuah pelita kecil tampak menerangi ruangan dimana Aji Kartiko berada. Sesekali Aji
Kartiko menabur sesuatu di atas perapian yang terbuat dari tanah lihat. Asap kecil
langsung keluar dari perapian itu. Mulutnya komat-kamit membaca mantera.
“Eyang Jasad Biru datanglah, datanglah. Aku memanggilmu. Datanglah.
Datanglah ... ” Aji Kartiko terus komat-kamit membaca mantra.
Tak lama ruangan itu dipenuhi asap putih kebiruan yang semakin lama semakin
tebal. Lalu bagai ada hembusan angin yang menyibakan kepulan asap putih kebiruan.
Asap itu lama kelamaan hilang dan yang tertinggal sesosok tinggi menyeramkan dengan
sekujur tubuh berwarna biru kehitaman. Muka berwarna hitam dan bagian mata hanyalah
lubang saja namun memancarkan cahaya kemerahan. Sedang bagian yang lain tertutup
bulu hitam yang tebal menutupi muka. Mata sosok tinggi menyeramkan yang dipanggil
Eyang Jasad Biru itu tampak tajam memandang Aji Kartiko yang bersila di depannya itu.
“Anak manusia yang bernama Aji Kartiko, ada apa kau memanggilku?!” kata sosok
tinggi itu dengan suara berat memperlihatkan barisan gigi yang bertaring.
Aji Kartiko membuka matanya lalu membungkuk hormat pada sosok di depannya.
“Ampuni saya Eyang Jasad Biru yang telah mengganggu ketenteraman Eyang,”
ucap Aji Kartiko kembali membungkuk. “Saya membutuhkan bantuan Eyang.”
“Grrrrhmm ... bantuan apa?” suara Eyang Jasad Biru menggelegar berat.
“Ada seseorang yang sangat hebat menghalangi balas dendam saya Eyang.”
“Siapa?”
“Orang itu bergelar Pendekar Pedang Matahari.”
“Pendekar Pedang Matahari?!”
“Benar, Eyang.”
“Bukankah kau telah aku turungkan ilmu kebal senjata tajam dan segala jenis
pukulan sakti. Dengan ilmu itu kau bisa membalaskan dendammu tanpa bisa di lukai oleh
orang lain.”
“Benar Eyang, tapi orang yang menghalangi saya ini sangat hebat. Ilmunya sangat
tinggi. Beberapa hari yang lalu saya hampir dapat dikalahkannya. Jadi saya mohon Eyang
mau menolong saya.”
Mata Eyang Jasad Biru tampak semakin menyala tanda kemarahannya naik. Eyang
Jasad Biru menggereng keras sampai-sampai ruangan itu bergetar. Sungguh luar biasa
tenaga dalam yang dimiliki makhluk menyeramkan itu. Sejenak Eyang Jasad Biru
memejamkan matanya menerawang jauh seperti bersemedi. Mendadak Eyang Jasad Biru
tersentak kaget.
“Pangeran Matahari?!” serunya tercekat dan tubuhnya bergetar.
“Ada apa, Eyang?” seru Aji Kartiko heran dengan tingkah Eyang Jasad Biru yang
seperti tersentak kaget.
Eyang Jasad Biru menatap Aji Kartiko tajam.
“Aku tidak dapat menolongmu, Aji Kartiko. Sebab orang yang sedang kamu hadapi
adalah bukan orang biasa. Orang itu adalah Pangeran Matahari, penguasa dua alam. Alam
nyata dan alam gaib. Sebaiknya kamu batalkan niat balas dendammu,” ucap Eyang Jasad
Biru lemah.
Aji Kartiko tampak terkejut mendengar Eyang Jasad Biru menyuruhnya
membatalkan niat balas dendamnya.
“Tidak, Eyang!” seru Aji Kartiko cepat. “Niatku untuk membalas sakit hati orang
tuaku pada para penduduk Desa Karang Asem sudah bulat. Aku tidak peduli dengan
apapun yang terjadi. Dendam mereka harus di balas!” seru Aji Kartiko mantap dan tegas
dengan wajah yang menyiratkan kekerasan tekadnya.
Eyang Jasad Biru diam dan menatap Aji Kartiko. Niat Aji Kartiko sudah begitu kuat
untuk balas dendam atas kematian dua orang tuanya. Eyang Jasad Biru mengambil
sesuatu dari balik pinggangnya.
“Jika tekad mu memang sudah bulat maka aku hanya bisa membantumu dengan
pusaka ini. Terimalah,” ucap Eyang Jasad Biru sambil menyodorkan sebuah pedang kecil
ke arah Aji Kartiko.
Aji Kartiko menerima pedang kecil itu dari Eyang Jasad Bim.
“Pusaka itu bernama Pedang Penghancur Roh. Dengan pedang itu kekuatanmu akan
bertambah.”
“Terima kasih, Eyang.”
“Aku pergi dulu. Selamat tinggal.”
Sosok Eyang Jasad Biru perlahan-lahan berubah jadi asap putih kebiruan kemudian
hilang dari ruangan rumah Aji Kartiko itu.
Aji Kartiko menatap pedang kecil sepanjang dua jengkal pemberian Eyang Jasad
Bim sambil menimang-nimangnya. Senyum liciknya langsung merekah lebar.
“Dengan pedang ini akan aku bunuh siapa saja yang berani menghalangiku. Eyang
terima kasih banyak,” ucap Aji Kartiko lalu kembali tersenyum licik. “Malam ini juga
yang bakal jadi tumbalmu adalah gadis cantik yang bersama Pendekar Pedang Matahari.
Akan aku perkosa dia lalu kucabut nyawanya dengan Pedang Penghancur Roh ini. Ha-ha-
ha!” Aji Kartiko tertawa lebar sambil mengangkat pedang itu tinggi-tinggi.
Kegelapan malam semakin larut. Langit semakin pekat dengan adanya awan hitam
mendung seolah memayungi kawasan Desa Karang Asem. Seolah akan menjadi saksi
peristiwa berdarah yang akan segera terjadi, peristiwa karena dendam dan pantas disebut
dendam berdarah.
Surya yang dari duduk di dahan pohon mendengarkan serta melihat kejadian di
dalam rumah Aji Kartiko tadi jadi terkejut. Dengan gerakan cepat dia melompat dari
dahan pohon itu dan segera berlari cepat menembus kepekatan malam menuju rumah Ki
Tarto tempat Pandan Wangi berada. Surya harus memberitahu Pandan kalau Iblis Bukit
Setan kini tengah mengincar Pandan Wangi.
—0O0—
“Kemana Nakmas Surya, Nini Pandan?” tanya orang bertubuh tegap dengan kumis
di bawah hidungnya. Orang itu duduk bersila di depan Pandan Wangi dengan sikap
tenang.
“Saya tidak tahu, Ki. Tadi Kakang pergi begitu saja. Tampaknya ada sesuatu yang
sedang dia selidiki.” sahut Pandan Wangi kalem.
“Benar, Ki Jarot. Tadi Denmas Surya seperti buru-buru. Entah dia hendak kemana,”
ucap Ki Tarto menambahi.
Ki Jarot manggut-manggut pelan.
“Begitu? Hemm ... padahal Kepala Desa ingin meminta Nakmas Surya datang ke
rumahnya. Tapi... ”
“Apa ada hal yang penting yang hendak Kepala Desa sampaikan, Ki?” potong
Pandan cepat.
“Benar, Nimas.”
“Hal apa itu, Ki?”
“Tentang Iblis Bukit Setan itu, Nimas.”
“Tentang Iblis Bukit Setan? Apakah sudah ada titik terang tentang makhluk itu,
Ki?”
“Hmm ... belum Nimas. Iblis Bukit Setan itu masih misteri.”
Tiba-tiba Surya datang dengan tergesa-gesa. Semua memandang Surya dengan
perasaan senang bercampur heran karena Surya tampak tergesa-gesa.
“Kakang!” seru Pandan langsung berdiri menghampiri Surya.
“Nakmas! Syukurlah kau sudah kembali,” ucap Ki Jarot juga berdiri.
Surya mengangguk pelan.
“Paman. Iblis itu sebentar lagi akan muncul kemari. Tolong cepat suruh para
penduduk desa yang berjaga untuk bersiap-siap!” seru Surya cepat.
“Apa?!!” seru semua kaget.
“Apa maksudmu, Nakmas?” tanya Ki Jarot cepat.
“Saya tidak dapat menjelaskannya sekarang, Paman. Iblis itu sebentar lagi datang.
Cepat Paman,” kata Surya cepat.
“Tapi... ”
“Ha-ha-ha-ha ... ” tiba-tiba terdengar suara ketawa keras yang disertai tenaga dalam.
Membuat rumah Ki Tarto begetar bagai terjadi lindu.
“Terlambat. Iblis itu sudah tiba di sini. Pandan hadapi iblis itu, gunakan pedangmu
jika iblis menggunakan pedangnya!” seru Surya keras.
Semua tampak menutup telinga karena suara ketawa Iblis Bukit Setan itu membuat
telinga mereka jadi sakit bahkan yang tidak punya kepandaian jadi kelabakan tidak kuat
mendengar suara ketawa iblis itu.
“Cepat keluar, Pandan. Redam suara ketawa iblis itu dengan ilmu ‘Naga Suci’-mu.”
teriak Surya cepat.
Tanpa menunggu perintah Surya lagi Pandan Wangi segera melompak keluar dari
pintu. Sementara itu Surya dengan cepat menolong Ki Tarto dan istri Ki Tarto serta
anaknya yang kelabakan tidak kuat menahan suara tawa Iblis Bukit Setan itu. Surya
menyalurkan tenaga dalamnya ke mereka untuk meredam kekuatan tawa iblis itu.
Di luar Pandan Wangi dengan cepat mengeluarkan ‘Raungan Naga Suci Membelah
Air’. Terdengar suara lengkingan halus dari mulutnya tapi mampu membuyarkan suara
ketawa Iblis Bukit Setan. Tak berapa suara ketawa iblis itu lenyap dan kini tak jauh dari
hadapan Pandan berdiri tegak dengan sikap menantang sesosok makhluk hitam berjarak
tujuh langkah.
Itulah Iblis Bukit Setan yang telah meneror para penduduk Desa Karang Asem!
“Ha-ha-ha-ha! Kau yang akan jadi tumbal ku malam ini, Cah Ayu. Ikutlah
denganku, kau pasti akan bisa merasakan kenikmatan sorga dunia. Ha-ha-ha-ha!” kata
Iblis Bukit Setan dengan suara berat sambil tertawa.
Pandan Wangi menatap tajam mahluk di depannya.
“Puih! Siapa sudi ikut denganmu, iblis muka jelek. Kambing pun tak sudi ikut
denganmu!” seru Pandan merendahkan mahluk di depannya.
“Ha-ha-ha-ha! Besar juga nyalimu, Cah Ayu. Aku suka dengan wanita pemberani
sepertimu!” sem iblis itu sambil mendekati Pandan Wangi.
Pandan Wangi berlaku hati-hati dan tidak mau lengah menghadapi Iblis Bukit Setan
itu.
“Huppp ... !!” tiba-tiba Iblis Bukit Setan menyergap Pandan Wangi dengan cepat
dengan tangan mengarah ke dada Pandan. Jelas sergapan itu bermaksud menyentuh buah
dada Pandan.
Pandan mengelak ke samping, lalu dengan cepat melancarkan pukulan ke arah
lambung iblis itu namun iblis itu dengan mudah mengelak menghindari pukulan yang
mengarah ke lambungnya malah dengan gerakan memutar, iblis itu menggerakan
tangannya ke pinggul Pandan dengan maksud meremas pantat Pandan. Jelas ini membuat
Pandan jadi merah padam. Dengan melompat ke belakang Pandan mencabut kipas baja
dari selipan ikat pinggangnya.
Kipas baja terkembang dan langsung menyabet ke arah tangan Iblis Bukit Setan.
Bukk !!!
Brett... !
Ujung kipas yang runcing menyayat kulit tangan iblis itu, tapi sungguh luar biasa
sekali. Iblis Bukit Setan cuma oleng ke samping tanpa terluka sedikitpun di tangannya.
Padahal jelas sekali ujung-ujung kipas yang runcing dan tajam bagai pisau menyayat kulit
tangan iblis itu, tapi Iblis Bukit Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini sempat membuat
Pandan Wangi kaget melihat senjatanya tidak mempan terhadap Iblis Bukit Setan.
Padahal selama ini kipas saktinya telah memakan korban tokoh-tokoh persilatan. Di
hadapan iblis itu, kipas saktinya tidak ada gunanya sama sekali.
Iblis Bukit Setan terkekeh kecil. Kembali Iblis Bukit Setan menyerang Pandan
Wangi dan arah serangannya selalu terarah di setiap bagian tubuh terlarang Pandan
Wangi. Melihat serangan yang jorok itu membuat Pandan Wangi tak bisa menahan
emosinya, maka dengan gerakan cepat Pandan langsung menggunakan rangkaian
jurus ’Naga Suci’ yang di padukan dengan kipas saktinya. Jurus itu cukup berhasil dan
membuat Iblis Bukit Setan berkali-kali jatuh bangun terkena pukulan dan tendangan
Pandan Wangi. Tapi semua tak ada yang membuat Iblis Bukit Setan cidera bahkan lecet
sedikitpun tidak.
Tak terasa pertarungan Pandan Wangi dengan Iblis Bukit Setan sudah mencapai
puluhan jurus namun belum ada yang terdesak sama sekali. Tempat pertarungan yang
semula sepi kini telah ramai di datangi para penduduk desa yang ingin menangkap iblis
pembawa bencana itu.
Surya tems memperhatikan jalannya pertarungan itu. Dalam hati ia merasa
bersyukur karena Pandan sudah melindungi diri dengan Ilmu ‘Naga Suci Pemecah
Sukma’ sehingga dapat terhindar dari kekuatan gaib yang keluar dari Iblis Bukit Setan itu.
Surya mendekati Ki Jarot yang terdiam menyaksikan pertarungan tingkat tinggi
dengan penuh kagum.
”Ki Jarot,” panggil Surya pelan.
Ki Jarot menoleh ke arah Surya.
“Pertarungan sepertinya akan sangat berbahaya sekali. Aku kuatir para penduduk
bisa kena serangan yang nyasar. Sebaiknya kita suruh para penduduk menjauh, ini demi
keselamatan mereka juga.”
“Aku mengerti, Nakmas,” ucap Ki Jarot mengangguk cepat mengerti maksud Surya.
Dengan cepat Ki Jarot menyuruh para penduduk menjauh dari tempat pertarungan.
Begitu tahu para penduduk desa sudah jauh dari tempat pertarungan, maka Pandan
Wangi segera meningkatkan intensitas serangannya. Bahkan Pandan sudah menggunakan
jurus ketiga dari lima rangkaian jurus ’Naga Suci’. Dengan jurus ketiga ’Naga Suci’ ini
tampak Pandan mulai unggul dan berkali-kali pukulan dan tendangan yang di aliri tenaga
dalam tinggi membuat Iblis Bukit Setan kewalahan dan muntah darah. Rupanya inti
tenaga dalam ’Naga Suci’ mampu menembus lapisan ilmu kebal Iblis Bukit Setan itu.
“Hiaaaatt !”
Dugkk ... Begk ... Plakkk ... !
Suara Pukulan ’Naga Suci Menembus Mega’ berhasil bersarang di dada Iblis Bukit
Setan. Iblis itu terpental ke belakang sejauh tiga tombak.
Braakkk!!!
Iblis Bukit Setan menabrak pohon hingga pohon sebesar dekapan orang dewasa itu
roboh. Sungguh dahsyat kekuatan Pukulan ’Naga Suci Menembus Mega’ itu. Iblis Bukit
Setan bergerak bangkit kembali, nafsu membunuhnya terpancar jelas dari sorot matanya
yang merah mengerikan. Perlahan Iblis Bukit Setan mencabut pedang pendek yang
terselip di pinggangnya.
Sriing ... !
Cahaya bim kehitaman terpancar begitu menggidikkan dari pedang pendek yang
bernama Pedang Penghancur Roh yang didapat dari Eyang Jasad Biru.
“Cabut Pedang Naga Suci-mu, Pandan!” seru suara Surya terngiang di telinga
Pandan Wangi.
Sejenak Pandan menoleh ke arah Surya dan melihat pemuda itu menganggukan
kepala pelan.
Slapppp ... !
Cahaya putih terang agak kemerahan terpancar hebat dari Pedang Naga Suci begitu
tercabut dari sarungnya. Seketika tempat pertarungan itu jadi terang, bumi bergetar
dengan angin berhembus kencang begitu Pedang Naga Suci keluar dari tempatnya. Pamor
Pedang Naga Suci sungguh dahsyat dan mengalahkan pamor Pedang Penghancur Roh
milik Iblis Bukit Setan.
Ki Jarot dan yang lain terkesiap melihat kedahsyatan pamor Pedang Naga Suci,
membuat dada mereka bergetar hebat karena takjub dengan pamor Pedang Naga Suci
tersebut.
“Sungguh pamor pedang yang luar biasa hebat,” gumam Ki Jarot memuji kekuatan
pamor Pedang Naga Suci milik Pandan Wangi.
Semua yang menonton pertarungan juga berpikir sama dengan Ki Jarot.
Iblis Bukit Setan menerjang ke depan dengan mengibaskan Pedang Penghancur Roh
di tangan Iblis Bukit Setan itu. Begitu dikibaskan maka serangkum angin menderu cepat
ke arah Pandan Wangi.
Pandan tak tinggal diam, dengan cepat dia meluruskan Pedang Naga Suci di depan
dada. Dengan teiakan senjata pusaka Naga Suci ia kibaskan menyongsong Pedang
Penghancur Roh.
Tang, tang, tang!
Blarrr! Blarrr!
Ledakan-ledakan keras memporak-porandakan area pertarungan maha dahsya itu.
Ledakan keras terjadi ketika dua pedang pusaka itu beradu mengadu kesaktian.
Tempat itu jadi porak-poranda hancur bagai habis kena bencana alam. Pandan tersurut ke
belakang tiga langkah sedang Iblis Bukit Setan terpental beberapa tombak dan langsung
menghantam pohon besar. Pedang Penghancur Roh terpental dari tangan dan seketika itu
Pedang Penghancur Roh meledak hancur berantakan.
Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat Pandan
memutar Pedang Naga Suci di depan dada.
“Ajian ‘Pembelah Sukma’!” seru Pandan Wangi.
Ajian ‘Pembelah Sukma’ adalah ilmu pamungkas dari rangkaian Naga Suci, ilmu
ini membuat lawan tidak berdaya dan tersedot habis kesaktiannya jika terkena Ajian
‘Pembelah Sukma’. Dari ujung pedang melesat sinar putih kemerahan yang langsung
menghantam Iblis Bukit Setan. Sinar putih kemerahan membungkus tubuh iblis itu.
Iblis Bukit Setan menggeliat-geliat karena tenaganya tersedot suatu kekuatan besar.
Seluruh tulang tulangnya bagai remuk. Tak lama Iblis Bukit Setan diam tak bergerak lagi.
“Cukup Pandan. Hentikan!!” teriak Surya keras.
Pandan Wangi segera melepaskan ajian pembelah sukmanya. Cahaya putih
kemerahan langsung hilang dari tubuh Iblis Bukit Setan. Bersamaan dengan itu Pedang
Naga Suci kembali di sarungkan oleh Pandan Wangi.
Surya menghampiri Pandan yang masih menatap tajam tubuh Iblis Bukit Setan yang
sudah terkulai tidak berdaya, “tidak semua musuh harus kau bunuh Pandan,” ucap Surya
kalem sambil menepuk bahu Pandan pelan. Surya tersenyum lembut saat Pandan Wangi
menoleh ke arahnya.
Pandan Wangi hanya menghela nafas cepat karena masih jengkel dengan Iblis Bukit
Setan yang menyerangnya dengan kurang ajar.
Surya menepuk nepuk bahu Pandan Wangi menenangkan.
“Iblis Bukit Setan sudah kalah!!!” teriak semua penduduk bersorak senang.
Pantaslah para penduduk bersorak senang karena dengan kalahnya iblis yang
meneror para penduduk itu maka mereka terbebas dari perasaan mencekam yang mereka
alami selama ini.
Tampak Ki Jarot menghampiri tubuh iblis itu yang terkulai tak berdaya. Setelah
diperhatikan Ki Jarot melihat di leher iblis itu seperti terkelupas. Dengan hati-hati Ki
Jarot memeriksa leher iblis itu. Keningnya berkerut karena yang terkelupas bukan kulit,
tapi sesuatu yang tipis melindungi kepala iblis itu. Ki Jarot menarik kelupasan itu,
semakin lama semakin lebar dan kelupasan itu mirip topeng tipis. Dengan cepat Ki Jarot
menarik topeng tipis itu dan tampaklah wujud asli Iblis Bukit Setan.
Wajah yang sangat mereka kenal!
“Aji Kartiko?!!” seru beberapa orang tercekat karena kaget dengan wujud asli Iblis
Bukit Setan yang selama ini meneror mereka.
”Aji Kartiko?!” seru Ki Sarmin Kepala Desa Karang Asem terkejut.
Ki Sarmin menatap dengan penuh ketidakpercayaan kalau wujud Iblis Bukit Setan
adalah Aji Kartiko.
“Nakmas Aji Kartiko! Kenapa Nakmas melakukan semua ini. Kenapa?” ucap Ki
Sarmin terpukul dan menangis sambil memeluk tubuh Aji Kartiko.
Tampak para penduduk tertunduk, mereka juga tidak menyangka kalau pemuda
yang dikenal baik sopan dan ramah itu adalah wujud asli iblis yang mencekam mereka.
Dalam hati mereka bertanya-tanya kenapa?
Aji Kartiko memandang semua penduduk dengan mata sayu, kemudian Aji Kartiko
menatap Ki Sarmin yang juga Pamannya sendiri.
“Paman. Maafkan aku. Aku melakukan semua ini karena dendam orang tuaku yang
telah kalian bunuh. Maafkan aku Paman,” ucap Aji Kartiko sengau dan serak.
Aji Kartiko tersenyum lalu lunglai tak bergerak lagi alias nyawanya telah hilang
dari raganya.
“Nakmas! Nakmas Aji Kartiko!” seru Ki Sarmin berulang-ulang namun keburu Aji
Kartiko menghembuskan nafas terakhir.
Seluruh penduduk desa walau jengkel tapi juga merasa sedih melihat Kepala Desa
mereka berduka cita atas meninggalnya Aji Kartiko. Malam itu juga Aji Kartiko di
makamkan selayaknya manusia pada umumnya. Desa Karang Asem kini telah terbebas
dari ketakutan yang selama ini mencekam para penduduk desa.
--TAMAT-
SEGERA HADIR KISAH PENDEKAR PEDANG MATAHARI DALAM EPISODE
“NERAKA LEMBAH TENGKORAK”
Emoticon