1
Desa Karangreja selalu ramai suasananya baik
Siang maupun malam. Maklumlah di desa ini tinggal
beberapa orang dermawan yang senang menyajikan
hiburan bagi penduduk desa. Artinya, para dermawan
penghibur yang didatangkan dari desa-desa lain. Dan,
hiburan yang paling digemari penduduk desa itu ada-
lah tayub. Para lelaki tentu saja gembira karena mere-
ka bisa menari-nari bersama tledek. Adapun para pe-
rempuan merasa bangga jika suami mereka bisa me-
nari dan berpasangan dengan tledek yang menjadi
primadona pertunjukan tayub itu. Tak ada rasa cem-
buru sekelumit pun meracuni hati mereka. Para pe-
rempuan desa yang lugu ini justru berharap agar anak
yang sedang mereka kandung, atau yang bakal mereka
kandung nantinya, lahir dengan paras secantik prima-
dona tayub itu.
Sewaktu Endang Cantikawerdi tiba di desa ke-
lahirannya ini, di halaman salah seorang dermawan
desa itu pun sedang berlangsung acara tayuban. Gadis
ini sebenarnya sama sekali tidak tertarik untuk me-
nonton, ia tahu, di tengah-tengah berlangsungnya aca-
ra tayub ini biasanya terjadi adegan-adegan yang me-
muakkan. Para lelaki yang meminum tuak sebelum
menari, biasanya akan berbuat tak senonoh terhadap
para tledek yang menjadi pasangan tayub mereka. Me-
reka tak akan malu-malu lagi memeluk dan mencium
para tledek itu. Bagi gadis perawan seusia Endang
Cantikawerdi, adegan ini jelas memuakkan.
Akan tetapi, gadis itu terpaksa menghentikan
langkahnya diantara kerumunan para penggemar
tayub itu sebab ia mendengar nama ayahnya disebut-
sebut sebagai calon peserta tayub, la kaget sebab baru
kali ini ayahnya tergiur oleh hiburan yang memuakkan
itu.
Dalam acara tayub memang hanya para lelaki
yang berkantong tebal yang diperbolehkan menari ber-
pasangan dengan primadona tayub. Dan, ayah Endang
Cantikawerdi memang termasuk salah satu orang ter-
kaya di Desa Karangreja. Malahan terbilang paling
kaya di antara mereka yang tercatat sebagai orang
kaya. Siapa yang tidak kenal dengan Ki Punjul Weda di
desa itu? Karena kekayaannya yang mencolok ini pula-
lah maka ia pernah dirampok dan hampir saja jiwanya
melayang jika tidak ditolong Cekel Janaloka beberapa
tahun yang lalu.
Hanya saja, semenjak dunia persilatan digem-
parkan lagi oleh munculnya tokoh-tokoh sesat, terpak-
salah Ki Punjul Weda menyisihkan sebagian ke-
kayaannya untuk upeti. Memang lebih baik menyedia-
kan upeti setiap bulannya daripada melihat harta ke-
kayaannya dijarah habis oleh orang orang sesat itu.
Malahan ia rela menyerahkan anak gadisnya kepada
Cekel Janaloka demi keselamatan harta kekayaannya
pula, la berharap, sepulang Endang Cantikawerdi dari
Perguruan Gunung Sumbing nanti, tak akan ada lagi
orang jahat yang berani mengganggu harta kekayaan-
nya itu.
Selama anak gadisnya tinggal di Perguruan
Gunung Sumbing, selama itu pula Ki Punjul Weda
membayar seseorang yang memiliki ilmu silat cukup
tinggi untuk menjaga rumahnya siang dan malam.
Tentu saja ia tak menginginkan adanya gangguan pe-
rampok lagi dalam rumahnya yang mewah dan me-
nyembunyikan benda-benda berharga pula. Namun
begitu, Ki Punjul Weda lupa bahwa suatu ketika pagar
bisa makan tanaman. Setidaknya, pertumbuhan ta-
naman itu sangatlah tergantung kepada kekokohan
pagar.
Bajra Luwuk, orang yang dipercaya menga-
mankan harta kekayaan Ki Punjul Weda, lambat-laun
tergiur untuk memiliki harta kekayaan yang menjadi
tanggung jawabnya itu. Terlebih karena ia mendapat
pengaruh dari Kerta Tungkel alias Klabang Seketi, gu-
runya.
Klabang Seketi sesungguhnya bukan orang ba-
ru dalam dunia persilatan. Sepuluh tahun yang lalu ia
pernah menguasai desa-desa di Kaki Gunung Sumb-
ing. la terpaksa meninggalkan Kaki Gunung Sumbing
sebab kalah dalam pertarungannya melawan Cekel Ja-
naloka. Toya dewondaru milik Cekel Janaloka berhasil
meremukkan lengan kirinya. Meski telah kehilangan
lengan kirinya, Kerta Tungkel alias Klabang Seketi bu-
kanlah lawan yang mudah dilumpuhkan. Itulah kena-
pa akhirnya Klabang Seketi berhasil melarikan diri dari
arena pertarungan. Sudah barang pasti ia bermaksud
memperdalam ilmu silatnya, dan kelak kemudian hari
berniat menebus kekalahannya.
Sepuluh tahun Klabang Seketi bersembunyi di
Gua Barong. Di dalam gua inilah ia memperdalam ilmu
silatnya dengan tekun. Lengan kirinya yang hancur
terpaksa ia potong sebab daging di sekujur lengan itu
membusuk. Kesadaran bahwa ia hanya berlengan se-
belah inilah yang membuatnya tekun memperdalam
ilmu silat. Dengan sepasang lengan saja ia kalah
menghadapi Cekel Janaloka, apalagi hanya dengan sa-
tu lengan. Maka tanpa didukung oleh ilmu silat yang
mumpuni, akan percumalah ia menantang kembali
musuh bebuyutannya itu.
Kepada orang sesat berlengan satu inilah Bajra
Luwuk berguru. Ilmu kekebalan yang dipelajarinya su-
dah cukup sempurna. Kalau hanya senjata tajam milik
penduduk desa, tak akan mempan menggores kulit-
nya. Meski ilmu silatnya belum sempurna, dengan ke-
kebalan kulit di tubuhnya, Bajra Luwuk berkali-kali
berhasil merobohkan lawan-lawannya.
’’Kekebalan kulitmu harus kau utamakan, Lu-
wuk. Dengan begitu, kau tak akan takut mendesak
maupun menangkis senjata lawan. Untuk apa susah-
susah menghindari serangan jika senjata itu tak mem-
pan mengenai kulit kita?’' kata Klabang Seketi yang se-
lalu diingat oleh Bajra Luwuk.
Sewaktu Endang Cantikawerdi meninggalkan
Desa Karangreja, nama Bajra Luwuk memang sudah
cukup disegani oleh penduduk desa. Bukan saja kare-
na ia bertubuh mirip badak, melainkan juga karena ia
tak kenal takut. Baginya, mati bukanlah perkara yang
harus ditakuti. Seolah-olah ia merasa percuma hidup
di dunia ini dengan hanya ditemani oleh kesengsaraan.
Sejak kecil ia telah ditinggal mati oleh kedua orang tu-
anya. Tak ada lagi sanak-famili yang bisa menolong
menghidupinya. Untuk makan sehari-hari pun ia ha-
rus berburu babi hutan. Pekerjaan berburu babi hutan
inilah yang kemudian mempertemukan Bajra Luwuk
dengan Klabang Seketi. Tanpa diduga-duga bahwa Gua
yang sering dipakai untuk tempat persembunyian babi
hutan itu dihuni deh orang sakti yang bernama Kla-
bang Seketi.
Kini nama Bajra Luwuk sangatlah ditakuti oleh
penduduk Desa Karangreja maupun desa-desa terde-
kat. Sampai-sampai penduduk desa itu menjuluki nya
’Ki Lurah'. Maka alis Endang Cantikawerdi naik turun
begitu mendengar sebutan bagi Bajra Luwuk ini. Tak
disangkanya bahwa orang yang dulu hampir mati ter-
seruduk babi hutan itu kini menjadi orang yang paling
ditakuti di Desa Karangreja.
’’Sebelum Ki Punjul dan Ki Lurah joget, tak
akan ada yang berani memasuki kalangan,” kata seo-
rang lelaki kepada teman yang berdiri di sampingnya.
’’Kalau sudah bosan hidup, silakan saja joget!”
sahut temannya sembari menahan tawa.
Endang Cantikawerdi melangkah mundur, la
mencari tempat yang agak gelap agar wajahnya tidak
dikenali penduduk desa. Bukan berarti ia takut dike-
nali sebagai anak gadis Ki Punjul Weda, melainkan ia
menyadari bahwa para lelaki di desa itu rata-rata mata
keranjang. Setelah yakin kegelapan malam mengabur-
kan pandangan para lelaki di dekatnya, Endang Canti-
kawerdi bertanya kepada salah seorang pemuda desa
itu, ’’Kisanak, siapa orang yang dipanggil sebagai Ki
Lurah di desa ini?”
Pemuda desa itu kaget mendengar suara merdu
seorang perempuan. ia merasa pasti bahwa pemilik
suara itu tentulah bukan penduduk Desa Karangreja.
Pemuda desa itu mencoba mengamat-amati wajah En-
dang Cantikawerdi, tetapi tempat itu terlalu gelap un-
tuk mengenali wajah seseorang. Dan, yang membuat
pemuda desa itu semakin penasaran, sebab orang as-
ing ini menanyakan nama asli Ki Lurah.
’’Kisanak dengar tidak saya bertanya?” kata
Endang Cantikawerdi lagi, agak kesal.
’’Untuk apa Kisanak tanya-tanya soal Ki Lu-
rah?” jawab pemuda desa itu dengan nada menyepele-
kan.
’’Karena saya harus membunuh orang itu!” sa-
hut Endang Cantikawerdi semakin kesal. Siapa tahu
dengan berkata keras begini ia akan mendapatkan ja-
waban yang diharapkannya.
”Apa? Ha-ha-ha! Jaga mulutmu kalau bicara,
Kisanak!” ujar pemuda itu. ’’Bukankah Kisanak ini
seorang perempuan? Atau, lelaki bersuara perem-
puan?”
"Ada apa ini?” Seseorang mendekati pemuda
itu.
”Ada pendekar kesasar yang mau membunuh
Ki Lurah!”
’’Mana? Mana orangnya?” Lelaki tinggi besar itu
langsung mencengkeram pundak lelaki yang tadi ber-
diri di samping Endang Cantikawerdi.
’’Bukan aku, Kang! Orangnya sudah pergi....”
Lelaki itu menggigil ketakutan.
Endang Cantikawerdi memang sudah beringsut
pergi. Tentu saja mereka tidak mengira gadis itu akan
menghilang begitu saja dari hadapan mereka.
’’Kita harus segera lapor pada Ki Lurah!” kata
lelaki tinggi besar itu.
’’Buat apa? Cecurut yang mencarinya hanyalah
seorang perempuan. Mungkin bekas istrinya....”
’’Tutup mulutmu, Boleng!” sergah lelaki tinggi
besar itu.
***
Agar tidak membuat gaduh suasana, Endang
Cantikawerdi terpaksa menotok jalan darah seorang le-
laki yang menjadi sasaran pertanyaan berikutnya. Ke-
mudian gadis itu membimbing lelaki itu ke tempat
yang sepi. la sengaja hanya menotok jalan darah pada
kedua bahu lelaki itu agar kedua tangan kokoh itu ti-
dak memberontak.
Merasa bahwa yang dihadapinya bukan semba-
rang perempuan, lelaki itu menurut saja sewaktu En-
dang Cantikawerdi menariknya ke tempat sepi. Apalagi
perempuan yang menariknya ini sudah mengancam,
’’Jangan teriak kalau kau memang belum bosan hi-
dup!”
Tiba di tempat yang sepi, di halaman sebuah
rumah kosong, Endang Cantikawerdi menaruh toya
dewondarunya di pundak lelaki itu. Kemudian ia sekali
lagi mengancam, ’’Ceritakan sejujur-jujurnya apa saja
yang kau ketahui tentang Ki Lurah! Sepatah kata saja
kau mencoba bohong, tongkat ini akan menghancur
kan kepalamu! Mengerti?”
”Ya, ya, mengerti,” jawab lelaki itu tergagap.
’’Siapa orang yang disebut-sebut sebagai Ki Lu-
rah di desa ini?”
”Ki Bajra Luwuk, Den Rara....”
’’Bajra Luwuk yang dulu suka cari babi hutan?”
Tukas Endang Cantikawerdi.
"Iya, Den Rara. Tapi, sekarang dia tidak lagi
berburu babi hutan. Dia sekarang sudah punya peker-
jaan, Den Rara.”
’’Bekerja? Di mana?”
”Dia jadi pengawal Ki Punjul, Den Rara.” En-
dang Cantikawerdi menahan-nahan kekagetannya.
Sama sekali tak disangkanya bahwa Bajra Luwuk se-
karang menjadi pengawal ayahnya. Tetapi, gadis itu
segera memaklumi sebab memang hanya Bajra Luwuk
seorang yang bisa diandalkan di desa itu.
”Maaf, aku terpaksa berbuat seperti ini karena
aku tidak ingin penduduk desa ini mengetahui siapa
aku,” kata Endang Cantikawerdi setelah mengetahui
bahwa lelaki yang ditanyainya ini sopan dan jujur.
’’Tetapi, kenapa tangan saya.'..?”
”Ya. Nanti aku pulihkan tangan... nama Paman
siapa?” tukas Endang Cantikawerdi cepat.
’’Saya... Kempul, Den Rara.”
’’Paman Kempul?” Agak kaget Endang Cantika-
werdi mendengar nama yang disebutkan lelaki itu. Se-
sungguhnyalah Kempul bukan orang asing lagi bagi Ki
Punjul Weda beserta anak-istrinya. Kalau saja tadi En-
dang Cantikawerdi membawa lelaki itu ke tempat yang
terang, sudah pasti ia akan mengenali siapa lelaki yang
ditawannya ini.
”Dan, Den Rara ini sebenarnya siapa?” tanya
Kempul hati-hati, la takut jika gadis ini marah men-
dengar pertanyaan darinya.
Untuk sejenak Endang Cantikawerdi dilanda
keragu-raguan. Namun, mengingat kehidupan lelaki
itu sehari-hari, rasanya tidak perlu lagi ia menyembu-
nyikan diri, menahan-nahan keterusterangannya.
”Aku Endang Cantikawerdi, Paman,” jawab En
dang Cantikawerdi pada akhirnya.
’’Gusti Allah! Kenapa tadi tidak berterus terang
saja kepada saya? Saya toh tidak mungkin.. ”
’’Paman,” tukas Endang Cantikawerdi, ”aku tadi
juga tidak mengenali Paman Kempul. Kita ketemu di
tempat gelap, dan sekarang pun masih di tempat yang
gelap. Tetapi, aku tidak bermaksud buruk, Paman.
Aku hanya tidak ingin orang-orang tahu kedatanganku
di desa ini.”
’’Kenapa? Mereka pasti senang. Mereka sudah
lama menunggu-nunggu kapan Den Rara Cantika pu-
lang dari Perguruan Gunung Sumbing. Sungguh!”
’’Paman, aku belum selesai bertanya. Ceritakan
dari awal bagaimana ayahku bisa mempekerjakan Ba-
jra Luwuk sebagai pengawalnya.”
”Apa tidak sebaiknya kita cari tempat yang te-
rang? Saya ingin sekali melihat wajah Den Rara. Su-
dah berapa tahun ya, kita tidak bertemu? Wah, untung
waktu itu datang guru Den Rara menolong Ki Punjul.
Kalau tidak, tentu sekarang kita tidak bisa bertemu la-
gi. Eh, kapan tangan saya ini bisa saya gerakkan, Den
Rara?” Endang Cantikawerdi cepat cepat membe-
baskan totokan pada kedua bahu lelaki itu
”Wah, pasti ilmu silat Den Rara ini tinggi sekali!
Hanya dengan sentuhan jari telunjuk saja Den Rara
bisa bikin tangan saya lumpuh.”
’’Paman, kita harus segera kembali ke tempat
tayuban. Aku ingin melihat bagaimana ayahku berjoget
dengan tledek!” geram Endang Cantikawerdi.
’’Sudah banyak perubahan di desa ini, Den Ra-
ra." Tiba tiba suara Kempul berubah sendu.
’’Itulah kenapa aku minta Paman bercerita se-
karang juga,” sahut Endang Cantikawerdi.
’’Singkat cerita, Ki Punjul berubah karena pen-
garuh dari Bajra Luwuk, Den Rara.”
”Aku sudah menyangka. Lalu, bagaimana den-
gan ibuku, Paman?”
’’Nyai Punjul sudah diceraikan.”
”Apa?” Bibir Endang Cantikawerdi bergetar Te-
lapak tangannya menggenggam toya kuat kuat.
”Ki Punjul yang sekarang bukan Ki Punjul yang
pernah Den Rara kenal beberapa tahun yang lalu,” lan-
jut Kempul. ’’Tetapi, semua itu terjadi karena adanya
Bajra Luwuk di rumah itu. Ki Punjul tidak akan berani
membantah apa saja yang dikatakan Bajra Luwuk.
Dan, orang-orang di desa ini pun tidak berani berbuat
apa-apa, Den Rara.”
’’Kita ke sana sekarang, Paman! Tapi, Paman
jangan sampai bilang siapa pun tentang aku!” Selesai
berkata begitu, Endang Cantikawerdi melesat dan hi-
lang dari pandang mata Kempul.
’’Mudah-mudahan Den Rara bisa mengusir Ba-
jra Luwuk dari desa ini,” ujar lelaki itu sambil beranjak
pergi.
***
2
Delapan buah obor menerangi arena tayub itu.
Suara gamelan yang ditingkahi suara gendang mulai
menggema. Nyi Tomblok, primadona tayub, turun ke
halaman diiringi tepuk sorak penonton. Para lelaki seo-
lah berlomba menelan ludah begitu melihat dandanan
Nyi Tomblok. Perempuan berusia tiga puluh tahun ini
mengenakan kain lereng yang dipadu dengan angkin
jumputan merah tua. Selendang tipis berwarna merah
jambu tersampir di pundaknya. Separuh bukit da-
danya nampak menggelembung sebab separuhnya lagi
terlilit angkin dengan ketatnya. Kulitnya yang kuning
langsat sungguh kontras berpadu dengan angkin me-
rah tua yang melilit pinggulnya. Dahi perempuan itu
agak panjul, tetapi serasi dengan bentuk hidungnya
yang runcing dan agak mendongak. Bibir tipis perem-
puan itu dipulas dengan pemerah bibir yang berwarna
merah darah. Matanya yang bulat tak bosan bosannya
melirik ke kanan-kiri, menyebabkan para lelaki yang
menatapnya semakin sering menelan ludah.
Empat sloki tuak telah melewati tenggorokan Ki
Punjul Weda. Darah di sekujur tubuhnya seolah naik
ke kepala. Wajah lelaki setengah tua itu merah bak ke-
piting bakar. Di sebelah lelaki kaya ini, duduk Bajra
Luwuk sambil memangku salah seorang tledek. Dua
orang lelaki dengan golok telanjang di tangan berdiri di
samping Bajra Luwuk. Mereka berdua inilah yang dis-
ebut-sebut sebagai Sepasang Elang dari Utara. Keke-
jaman mereka melebihi kekejaman Bajra Luwuk meski
ilmu silat mereka masih di bawah ilmu silat murid
Klabang Seketi itu.
Nyi Tomblok bergoyang pinggul mendekati Ki
Punjul Weda. Selendang merah jambu yang tadi ter-
sampir di pundaknya kini siap dikalungkan ke leher Ki
Punjul Weda. Tepuk sorak penonton kembali meledak.
Kemudian, seperti sapi yang dituntun ke pejagalan, Ki
Punjul Weda mengekor langkah Nyi Tomblok turun ke
arena tayub. Lelaki setengah tua itu mulai meleng-
gang-lenggok dengan pandang mata tertancap pada
bukit dada Nyi Tomblok.
Endang Cantikawerdi menatap ayahnya dengan
pandangan mata nanar. Tak tahan lagi ia melihat ulah
ayahnya yang menjijikkan itu. la ingin membunuh pe-
rempuan binal yang melenggak-lenggok di depan
ayahnya itu. Tentulah karena perempuan itu maka
ayahnya tega menceraikan ibunya. Tetapi, bukankah
Bajra Luwuk yang mengenalkan perempuan binal itu
kepada ayahnya? Kalau begitu, Bajra Luwuk lah yang
harus bertanggung jawab!
Dengan sekali lompat, tubuh Endang Cantika-
werdi melayang dan kemudian berdiri persis di depan
Bajra Luwuk sambil menimang-nimang toya dewonda-
runya.
”Hei, apa yang kau lakukan di situ?” bentak Ba-
jra Luwuk sambil menaruh gelas tuak di telapak tan-
gan tledek yang dipangkunya.
”Aku mencari manusia laknat yang bernama
Bajra Luwuk!’ jawab Endang Cantikawerdi berlagak be-
lum tahu yang mana lelaki yang dicarinya.
Tanpa menunggu perintah, dua orang lelaki
yang mengapit Bajra Luwuk itu melompat ke samping
kiri-kanan Endang Cantikawerdi. Lalu, golok telanjang
di tangan mereka siap menempel di leher gadis itu.
Akan tetapi, secepat kilat Endang Cantikawerdi me-
runduk dan langsung menyapu kaki kedua lelaki itu
dengan toyanya.
’’Desss! Bukkkk!”
Tubuh kedua lelaki itu terbanting ke tanah. Pe-
rempuan-perempuan yang mengitari arena tayub itu
menjerit bersamaan. Nyi Tomblok dan Ki Punjul mun-
dur setapak demi setapak. Mereka takut jika gadis itu
memutar toyanya lagi dan pecahlah kepala mereka.
Kedua lelaki pengawal Bajra Luwuk Itu bangkit,
dan sekali lagi golok di tangan mereka terayun. Dua bi-
lah golok mengancam pinggang gadis Itu. Namun, me-
reka berdua memang bukan tandingan murid Cekel
Janaloka ini. Begitu mudah Endang Cantikawerdi
menghindari ancaman golok-golok itu. Tubuh gadis itu
melenting ke udara sambil mengirimkan tendangan ke
pelipis kedua penyerangnya.
’’Aughhh!”
Kedua lelaki itu mengerang dan kemudian ter-
jerembab ke tanah. Mereka mencoba bangkit lagi, teta-
pi malahan tersungkur dan memuntahkan darah se-
gar. Jerit ngeri dari perempuan perempuan desa itu
kembali merobek malam.
’’Perempuan biadab!” ujar Bajra Luwuk seraya
melompat dari tempat duduknya. Tledek yang tadi di-
pangkunya terpelanting dan bergulingan di lantai pen-
dopo.
”Kau tak mengenaliku lagi, Bajra Luwuk?”
tanya Endang Cantikawerdi.
”Aku tak pernah kenal dengan kuntilanak bu-
suk macam kau! Katakan apa keperluanmu mencariku
sebelum kupecahkan batok kepalamu, perempuan ja-
hanam!” Bajra Luwuk melangkah maju tanpa merasa
takut tersambar toya di tangan gadis itu. Dan, ia me-
mang selalu mengandalkan kekebalan tubuhnya setiap
menghadapi lawan. Apalagi lawannya hanya seorang
perempuan!
’’Berhenti atau kupatahkan kakimu, Bajra Lu-
wuk!” seru Endang Cantikawerdi seraya menyilangkan
toyanya di depan dada
”Ha-ha-ha! Kau belum kenal Bajra Luwuk, te-
tapi kau berani gegabah di depanku, he? Ayo, pukul-
kan tongkat pengemismu itu ke tubuhku, pilih bagian
mana yang sekiranya mematikan!”
Tak heran jika Bajra Luwuk berlaku sembrono
di depan gadis yang tak dikenalnya ini. Ia memang be-
lum berpengalaman di dunia persilatan. Selama hi-
dupnya, ia hanya berpengalaman memilih babi hutan
yang mana yang gemuk dan mudah ditangkap. Padah-
al, seharusnya ia cepat-cepat mawas diri menghadapi
murid Cekel Janaloka ini. Tidakkah ia melihat bagai-
mana gadis itu dengan mudah merobohkan dua orang
pengawalnya tadi?
Terpaksa Endang Cantikawerdi mundur bebe-
rapa langkah. la tak ingin melihat lelaki itu roboh da-
lam satu gebrakan. Meski ia tahu kulit lelaki itu seteb-
al kulit badak, ia tak yakin toya dewondarunya tak
mempan di tubuh lelaki itu. Jangan dikata hanya tu-
buh Bajra Luwuk, sedangkan batu cadas pun bisa jadi
tepung tertimpa toya dewondaru!
”Aku tak ingin kau patah kaki sebelum aku me-
lihat kehebatan ilmu silatmu, Bajra Luwuk!” kata En-
dang Cantikawerdi sambil melangkah mengitari.
’’Menghadapi perempuan ingusan macam kau,
tak perlu aku mengeluarkan ilmu silatku! Tetapi, jika
kau mampu membuatku mundur selangkah saja, aku
akan turuti permintaanmu!” Bajra Luwuk memasang
kuda-kuda. Namun begitu, kedua tangannya tetap saja
tak mendukung kuda-kuda kakinya. Tak ada usaha
untuk melindungi dari serangan yang bakal datang.
’’Manusia tolol macam kau yang biasanya cepat
besar kepala, Bajra Luwuk!” Berkata begini, Endang
Cantikawerdi menggempur kuda-kuda lawannya den-
gan sisi telapak kaki kanannya.
’’Desss!”
Terbelalak mata gadis itu sebab ia merasa me-
nendang batang pohon yang tak mungkin tergoyahkan
oleh badai sebesar apa pun. Bahkan ia merasakan te-
lapak kakinya sedikit nyeri.
”Ha-ha-ha! Kakimu tak lebih kuat dari kaki be-
lalang, perempuan binal!” ujar Bajra Luwuk untuk
menutupi rasa kagetnya. Sungguh, ia tidak menyangka
tendangan kaki gadis itu mampu menembus kekebalan
kulit yang membungkus tulang keringnya. Dan, diam-
diam la bersyukur gadis itu tidak menggunakan senja-
tanya untuk menggempur kuda-kudanya. Lalu ia pun
ingat pesan gurunya, ’’Hati-hatilah menghadapi lawan
yang telah memiliki tenaga dalam, sekalipun ia hanya
seorang perempuan, Luwuk.”
’’Kuda-kudamu memang kokoh, Bajra Luwuk!
Tetapi, kekokohan kuda-kuda tidak menjamin kesela-
matanmu! Kau hanyalah ibarat pohon besar yang tak
akan mampu menghindari sambaran petir sengaja En-
dang Cantikawerdi menyulut kemarahan lelaki itu agar
mau menyerangnya.
’’Betina keparat!” sergah Bajra l.uwuk sambil
mengayunkan tangannya ke pelipis lawan.
Begitu deras pukulan itu dirasakan oleh En-
dang Cantikawerdi. Angin yang ditimbulkannya mem-
buat rambut gadis itu berkibar Kendatipun pukulan
Itu tidak dilambari tenaga dalam, cukuplah untuk
menghancur-kan tulang pipinya, jika tidak dihindari.
’’Wuttt! Plakkk!”
Bajra Luwuk menghentikan serangannya. Se-
rangan balasan gadis Itu terasa panas menyengat kulit
lengannya. Untuk kedua kalinya ia merasa kaget me-
mikirkan gadis yang nampak lemah gemulai ini. Kepa-
lan tangannya ternyata lebih ganas dibandingkan den-
gan serudukan babi hutan. Tentu saja serudukan babi
hutan yang dirasakannya setelah ia mempelajari ilmu
kekebalan tubuh. Waktu itu ia memang pernah men-
guji kekebalan tubuhnya lewat serudukan babi hutan.
Akibatnya, babi hutan itu mengalami patah leher se-
mentara Bajra Luwuk tak merasakan sakit sedikit pun.
Ketajaman cula babi hutan itu tak berarti bagi kulit te-
lapak tangannya.
Menaksir-naksir tingkatan Ilmu lawan memang
belum pernah dilakukan oleh Bajra Luwuk. Selama ini
ia selalu menemukan lawan yang hanya mengandalkan
kekuatan fisik dan sedikit kelincahan menghindar. Itu-
lah kenapa ia begitu meremehkan Endang Cantika-
werdi yang dilihatnya sebagai gadis cantik bertubuh
mungil dan ringkih. Tak pernah terpikirkan olehnya
bahwa dalam tubuh gadis itu tersimpan tenaga dalam
yang mumpuni.
Bajra Luwuk mulai mawas diri. Tak berani lagi
ia mencoba membiarkan tangan dan kaki lawan me-
nyentuh kulitnya. Terlebih ketika lawan mulai meng-
gunakan toya merah kecoklat-coklatan itu. Bajra Lu-
wuk mengenali dari kayu pohon apa toya itu terbuat.
Ia bisa mengukur keuletan dan kekerasan kayu de-
wondaru.
Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi memang
ingin secepatnya menyudahi perkelahian, la tak mau
membiarkan ayahnya menghilang dari halaman rumah
itu. Ia ingin tahu ke mana lelaki itu pulang. Kalau be-
nar ia telah menceraikan istrinya, tentunya ia tidak
mungkin pulang ke rumah. Atau mungkin istrinya
yang diusir pergi dari rumah?
’’Wesss!”
Lagi-lagi kepalan tangan Bajra Luwuk berdesing
di samping telinga gadis itu. Namun, kali ini gadis itu
berhasil menyabetkan toyanya ke lengan Bajra Luwuk.
’’Krakkk!”
Bajra Luwuk melompat mundur sambil meme-
gangi lengan kanannya. Lengan itu patah oleh terjan-
gan toya di tangan Endang Cantikawerdi. Kekebalan
kulit lengan itu tak mampu menahan tenaga dalam
yang tersalurkan lewat toya dewondaru.
’’Keparat! Rasakan pembalasanku, perempuan
liar!” Bajra Luwuk menyumpah-nyumpah sembari me-
raih golok yang tadi ditaruh di tempat duduknya.
”Aku memang ingin melihat permainan golok
pemotong babi hutan itu, Bajra Luwuk!’’ ejek Endang
Cantikawerdi.
Hanya dengan tangan kirinya Bajra Luwuk
memainkan jurus-jurus golok yang dipelajarinya dari
Klabang Seketi. Tetapi, Endang Cantikawerdi tak bera-
ni meremehkan kehebatan jurus-jurus itu. Agaknya
Bajra Luwuk memang sudah terlatih menggunakan
sepasang golok. Hampir tak ada bedanya permainan
golok dengan tangan kiri maupun dengan tangan ka-
nan. Gerakan patah-patah yang terkendali itu mem-
buktikan bahwa tangan kiri lelaki itu sudah terlatih
memainkan golok.
Sementara Endang Cantikawerdi sibuk meng-
hadapi serangan golok Bajra Luwuk, di luar halaman
rumah itu pun Ki Punjul Weda sibuk menghadapi per-
tanyaan bertubi-tubi dari orang-orang di kanan-
kirinya. Entah sudah berapa kali ia menerima perta-
nyaan yang sama. Penduduk desa itu ternyata ada
yang bermata jeli. Mereka yang bermata jeli inilah yang
menyibukkan Ki Punjul Weda.
”Ya, aku yakin gadis itu putri Juragan!” kata
seseorang.
”Den Rara Cantika? Rasanya kau benar!" Ujar
lelaki yang berdiri di belakangnya.
”Aku tak bisa lupa wajahnya sekalipun tak me-
lihatnya seratus tahun!” kata yang lainnya lagi.
’’Kenapa juragan tidak mencoba menghentikan
perkelahian itu?” Lelaki yang berdiri paling dekat den-
gan Ki Punjul Weda menggamit pundak lelaki terkaya
di Desa Karangreja itu.
”Aku... aku... aku harus segera pergi....” Berka-
ta Ki Punjul Weda dengan paras muka ketakutan.
’’Jangan pergi, Juragan! Juragan tak perlu
khawatir. Pasti Den Rara Cantika yang akan meme-
nangkan perkelahian itu. Nah, lihat saja lengan Ki Lu-
rah Bajra sudah patah. Sebentar lagi kakinya mungkin
juga patah.” Kempul mencekal erat lengan Ki Punjul
Weda, la ikut-ikutan membuka mulut sebab ia merasa
percuma merahasiakan kedatangan Endang Cantika-
werdi.
’’Benar kata Kang Kempul, Juragan,” sokong
seseorang yang sedikit mengetahui ilmu silat. ’’Dilihat
dari gerakannya menghindari, jelas Den Hara menang
beberapa tingkat di atas Ki Lurah Bajra..’’
’’Lihat, Juragan!” seru Kempul sembari menun-
juk-nunjuk ke arena perkelahian.
Maka mereka bersamaan mengangakan mulut
begitu melihat Endang Cantikawerdi berjumpalitan di
udara sambil memutar toyanya. Seumur hidup mereka
baru kali ini mereka melihat seorang gadis muda belia
memiliki ilmu silat yang demikian tingginya Mereka
memang pernah mendengar cerita tentang Cekel Jana-
loka yang dalam beberapa gebrakan mampu menja-
tuhkan beberapa orang perampok di rumah Ki Punjul
Weda. Namun, itu semua hanya cerita. Sekarang, me-
reka menyaksikan sendiri bagaimana murid Cekel Ja-
naloka terbang dan menukik seperti burung srikatan.
Gerakan toya itu hampir tak bisa diikuti mata. Mereka
hanya melihat gulungan sinar merah kecoklat-coklatan
mengurung tubuh Bajra Luwuk. Kemudian gulungan
sinar merah kecoklat coklatan itu menukik dan mema-
tuk kepala Bajra Luwuk.
’’Wuttt! Wuttt! Crottt!”
Bajra Luwuk terhuyung-huyung sambil meme-
gangi kepalanya. Darah mengalir dari sela sela kesepu-
luh jari tangannya. Dan, sewaktu tumit Endang Canti-
kawerdi menghunjam tengkuk lelaki itu, selesailah per-
tarungan hidup dan mati di halaman rumah itu. Tu-
buh Bajra Luwuk terbanting ke tanah. Matanya terbe-
liak dan dari hidung, kuping, serta mulutnya mengelu-
arkan darah segar. Darah itu berkilat-kilat tertimpa
cahaya obor yang menerangi halaman rumah itu.
"Itulah imbalan atas jerih payahmu mengajari
ayahku berbuat maksiat, Ki Lurah!” ujar Endang Can-
tikawerdi.
”Jadi, kau... kau... Cantikawer...?” sahut Bajra
Luwuk sebelum berkelojotan dan terkulai lemah.
Perempuan-perempuan desa yang masih berta-
han menyaksikan perkelahian itu serentak menjerit
sambil menekap muka. Mimpi pun mereka tak pernah
bahwa mereka akan menyaksikan pemandangan yang
mengerikan itu. Lagi pula, sejak berangkat dari rumah
sore tadi, mereka telanjur membayangkan adegan joget
para peserta tayub. Syukur-syukur mereka bisa meli-
hat suami mereka berjoget dengan Nyi Tomblok. Sama
sekali mereka tak menyangka bahwa Endang Cantika-
werdi bakal muncul dan membunuh Ki Lurah Bajra.
Endang Cantikawerdi menyusut keringat yang
membasahi dahinya, la merasakan tenaganya terkuras
oleh Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat yang baru sa-
ja mengusir nyawa Bajra Luwuk dari raganya. Karena
gadis itu ingin secepatnya menyudahi pertarungan
maka jurus pamungkas itu terpaksa dikeluarkannya.
Padahal, tanpa Jurus pamungkas itu pun ia merasa
pasti bisa merobohkan lawannya. Akan tetapi, daya
tahan Bajra Luwuk memang melebihi daya tahan babi
hutan yang tengah terluka.
Suasana halaman itu menjadi riuh. Hampir
semua orang mengemukakan pendapatnya tentang il-
mu silat Endang Cantikawerdi. Sewaktu Endang Can-
tikawerdi mengangkat toyanya di atas kepala, barulah
celotehan mereka terhenti.
”Harap semuanya tenang! Jangan bubar dulu
sebelum aku membubarkan pertemuan ini! Jangan ta-
kut! Aku bukan perempuan jahat seperti kaki Ki Lurah
ini!” teriak Endang Cantikawerdi sambil mengitarkan
pandang matanya.
”Ya, ya, ya! Kalian tahu tidak gadis Itu den Rara
Cantika?" teriak Kempul sambil memanjat pundak sa-
lah seorang penduduk desa itu.
”Den Rara Cantika?” Seperti dikomando, mere-
ka berucap seraya menatap lekat lekat wajah gadis
muda belia yang berdiri gagah di halaman rumah itu.
’’Bukankah Den Rara Cantika berada di Gu-
nung Sumbing?” celetuk seseorang.
’’Goblok! Justru karena pernah di Padepokan
Gunung Sumbing itu maka ia bisa mengalahkan Bajra
Luwuk” sahut yang lainnya.
’’Sekali lagi, aku minta kalian semua tenang!
Dan, aku minta Ki Punjul Weda kembali ke halaman
sini!” seru Endang Cantikawerdi lagi.
Semua mulut bungkam. Semua pasang mata
berusaha mencari-cari di mana kiranya Ki Punjul We-
da berada. Kecuali sepasang mata milik Kempul.
”Ayo, Juragan. Maju saja! Mungkin Den Rara
sudah kangen ingin bertemu dengan Juragan,” kata
Kempul sembari mendorong dorong punggung ayah
Endang Cantikawerdi itu.
Karena yang mendorong-dorong punggungnya
semakin bertambah banyak, tak bisa lagi Ki Punjul
Weda memberontak. Akhirnya lelaki setengah tua itu
terdorong hingga berhadapan dengan anak gadisnya.
’’Maafkan aku, Ayah. Kedatanganku ternyata
membuat Ayah ketakutan. Tetapi, ini semua harus aku
lakukan agar aku bisa bertemu muka dengan Ayah
dan Ibu, ” kata Endang Cantikawerdi seraya memeluk
ayah-nya.
”Ki Punjul, Den Rara, apakah tidak sebaiknya
masuk saja ke dalam?" kata pemilik rumah itu. ’’Biar-
lah kami mengurus penguburan jenazah-jenazah ini.
Ayo, kita urusi ketiga mayat ini!”
’’Terima kasih, Paman. Tetapi, sebaliknya kami
langsung pulang saja. Aku yakin, Ibu sudah menden-
gar berita tentang kedatanganku,” kata gadis itu cepat.
’’Tetapi...?” Lelaki pemilik rumah itu tak mene-
ruskan ucapannya. Hampir saja ia mengatakan bahwa
Nyai Punjul Weda telah diusir pergi dari rumah itu.
’’Kenapa, Paman?” tanya Endang Cantikawerdi
curiga.
’’Cantika anakku, aku memang bukan lagi
ayahmu yang dulu. Kini aku hanyalah orang kotor
yang tak pantas mempunyai anak sepertimu,” kata Ki
Punjul Weda dengan pandang mata menghunjam ke
tanah.
’’Kenapa Ayah berkata seperti itu? Apa karena
Ayah sekarang suka minum tuak dan joget seperti ta-
di?”
”Ayo, bubar semua! Tidak ada lagi tayub-
tayuban! Bubar!” seru Kempul membubarkan orang-
orang yang mengerumuni ayah dan anak ini.
”Den Rara Cantika belum membolehkan kita
pulang!” protes seseorang.
’’Sekarang semuanya boleh pulang,” sahut En-
dang Cantikawerdi. Lalu katanya kepada Ki Punjul
Weda, ’’Kita bicara di rumah saja, Ayah.”
***
3
Dasar jurang Itu tak akan pernah nampak oleh
mata. Kabut begitu tebal menyelimuti permukaan ju-
rang. Terlebih jika musim penghujan tiba. Maka tak
mengherankan jika tidak seorang pun berani mende-
kati tubir jurang itu. Tak terkecuali mereka yang me-
miliki ilmu silat tinggi. Meski mereka bisa mengguna-
kan ilmu meringankan tubuh, mereka tetap perlu tahu
tempat mana yang harus mereka pijak untuk batu lon-
catan. Mereka tidak mungkin menaksir-naksir berapa
puluh tombakkah kedalaman jurang itu. Dan, benda
apakah yang sekiranya bakal terpijak nanti. Bagaima-
na jika mereka nekad melayang turun dan jatuh di sa-
rang binatang berbisa? Dan, masih banyak lagi anca-
man bagi mereka yang mencoba-coba mendekati tubir
Jurang Jero.
Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa da-
sar jurang itu tak pernah terinjak oleh manusia. Mala-
han pernah dihuni oleh dua orang manusia. Mereka
adalah guru dan murid yang oleh kalangan persilatan
dijuluki Pendekar Perisai Naga. Wiku Jaladri, sang
guru, bahkan puluhan tahun hidup di dasar jurang
Itu. Bukan berarti ia sengaja mengasingkan diri hidup
di dasar jurang maut ini. la terpaksa harus tinggal se-
lama tiga puluh tahun di dasar jurang ini sebab ia ha-
rus lebih dulu memperdalam ilmu meringankan tubuh
agar biasa mendaki tebing jurang yang terjal itu. Tanpa
dibekali ilmu meringankan tubuh yang sempurna,
mustahil ia bisa selamat hingga mencapai bibir Ju-
rang.
Di balik kemalangan kadang manusia Justru
menemukan keberuntungan. Seperti yang dialami oleh
Wiku Jaladri ini. la merasa malang sebab terjerumus
ke Jurang Jero. Sebaliknya, la merasa beruntung se-
bab justru di dasar jurang inilah ia berhasil memper-
dalam ilmu silatnya. Tanpa kemalangan, belum tentu
ia mau memaksakan diri untuk memperdalam ilmu si-
latnya.
Tiga puluh tahun hidup di dasar Jurang Jero,
berteman binatang berbisa, berselimutkan udara yang
menggigit tulang, tak mengenal sinar matahari, dan
bersantapkan daging ular maupun biawak, tak mem-
buat Wiku Jaladri Jera. la malahan menganggap dasar
jurang itulah tempat hidupnya. Dan, kemudian ia me-
namakan tempat itu sebagai Padepokan Jurang Jero.
Suatu malam, sewaktu ia menengok kehidupan
dunia luar, la melihat kesewenang-wenangan melanda
Desa Sanareja. Malahan demang di desa itu telah di-
bunuh deh orang sesat yang menamakan dirinya Kebo
Dungkul. Melihat suaminya mati dengan pelipis terbe-
lah, Nyai Demang seketika tak sadarkan diri. Sementa-
ra itu, anak tunggal mereka berada dalam gendongan
kaki tangan Kebo Dungkul. Bocah berusia sepuluh ta-
hun itu meronta-ronta dan memukul-mukul wajah le-
laki yang menggendongnya. Tersirap darah Wiku Jala-
dri menyaksikan adegan yang menyedihkan ini. Maka,
sewaktu lelaki itu hendak membanting tubuh bocah
malang itu ke tanah, secepat kilat Wiku Jaladri mele-
cutkan cambuk kulit ularnya ke arah lelaki itu. Tubuh
lelaki itu terbanting ke tanah, dan bocah yatim itu pun
berpindah ke dalam gendongan penolongnya.
Bocah laki-laki anak Demang Sanareja inilah
yang kemudian dikenal sebagai murid tunggal Wiku
Jaladri, dan berhak mewarisi julukan Pendekar Perisai
Naga. Namun begitu, semenjak ia menguasai ilmu silat
yang diturunkan Wiku Jaladri, ia menyadari bahwa ju-
lukan Pendekar Perisai Naga merupakan beban berat
baginya. Karena itulah ia lebih senang dipanggil den-
gan nama pemberian kedua orang tuanya: Joko Sung-
sang!
Tujuh tahun Joko Sungsang hidup di dasar ju-
rang bersama Wiku Jaladri, gurunya. Tujuh tahun ia
mendapat gemblengan jasmani maupun rohani dari
orang sakti yang bersenjatakan cambuk kulit ular san-
ca itu.
Tujuh tahun ia menyimpan dendam atas orang
sesat yang bernama Kebo Dungkul. Itulah kenapa ia
bergegas mencari musuh besarnya begitu Wiku Jaladri
mengizinkannya meninggalkan Jurang Jero.
Kini Joko Sungsang bukanlah anak kecil yang
hanya bisa meronta-ronta dalam gendongan seorang
penjahat. Ia adalah seorang anak muda yang perkasa,
berpakaian serba putih, menyandang cambuk di ping-
gangnya.
Cambuk yang melilit di pinggang anak muda itu
terbuat dari kulit ular sanca. Ujung cambuk itu dihiasi
dengan bola berduri sebesar buah kecubung dan ber-
warna hijau-kebiru-biruan.
Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga
adalah nama yang disegani sekaligus dibenci di kalan-
gan rimba persilatan akhir-akhir ini. Tentu saja dis-
egani oleh mereka yang bernaung di bawah panji-panji
golongan lurus, dan dibenci oleh mereka yang mena-
ruh dendam dan sakit hati.
Sekarang, dalam sungkupan kabut yang tebal,
Joko Sungsang berdiri di bibir Jurang Jero. Lima ta-
hun sudah ia tak mendatangi tempat ini. Setelah ber-
hasil menewaskan Ki Danyang Bagaspati, anak bekas
demang Desa Sanareja ini memutuskan untuk pergi
menengok Padepokan Jurang Jero. Betapapun ia telah
dipesan oleh Wiku Jaladri agar tidak kembali lagi ke
tempat ini, rasa bakti murid terhadap guru memak-
sanya nekad mendatangi jurang maut yang pernah
menghidupinya serta menggemblengnya ini.
Lagi pula, Ki Sempani tidak melarang sewaktu
Joko Sungsang mengatakan niatnya menengok bekas
padepokannya itu. Malahan Ki Sempani mengatakan,
”Aku memang bersahabat dengan gurumu sejak kecil.
Tetapi, terus terang aku tidak memahaminya luar-
dalam. Bahkan sampai sekarang pun aku tidak men-
gerti kenapa Kakang Wiku melarangmu menengoknya.
Apa mungkin ini suatu pertanda bahwa Gusti Allah te-
lah menghendakinya kembali ke sisi-Nya? Kalau me-
mang benar, kau harus secepatnya menengok gurumu.
Siapa lagi yang wajib merawat jenazahnya secara baik-
baik kalau bukan kau, Anakmas.”
"Benar, Kiai Saya memang harus secepatnya
menengok Guru. Mudah-mudahan saja Guru masih
sehat tak kurang suatu apa. Kalau memang Guru su-
dah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sayalah yang wa-
jib menguburkan jenazahnya secara layak,” kata Joko
Sungsang sebelum kemudian meninggalkan Padepo-
kan Karang Bolong.
Joko Sungsang memejamkan mata, mengatur
pernapasan, mempertemukan kedua telapak tangan-
nya di depan dada, dan kemudian mendorongkan ke-
dua telapak tangan itu ke depan. Maka kabut tebal
yang menyungkup permukaan Jurang itu tersibak oleh
hembusan angin yang keluar dari kedua belah telapak
tangan Pendekar Perisai Naga Ini. Lalu, samar-samar
nampaklah dasar Jurang yang hendak ditujunya.
Dengan cambuk siap di tangan, Joko Sungsang
melompat turun Cambuk di tangannya siap melilit da-
han-dahan pohon dan kemudian tubuh Joko Sung-
sang bergelayutan untuk mencari pijakan. Setelah me-
nemukan sesuatu yang bisa dijadikan pijakan, la kem-
bali melayang turun. Begitulah seterusnya yang la la-
kukan sehingga akhirnya la bisa mencapai dasar ju-
rang. Dan, begitu pula yang pernah dilakukan Wiku
Jaladri sewaktu la terjerumus ke dasar jurang itu un-
tuk menghindari serangan Empu Wadas Gempal dan
Hantu Lereng Lawu secara bersamaan. Guru dan mu-
rid dari golongan hitam ini memang merencanakan
menggiring Wiku Jaladri masuk ke dalam jurang maut
itu.
Tak sulit bagi Joko Sungsang untuk menemu-
kan mulut gua tempat tinggal Wiku Jaladri. Akan teta-
pi, untuk sejenak anak muda Ini terpana menatap mu-
lut gua yang menganga di hadapannya, la masih ingat,
lima tahun yang lalu ia menutup mulut gua itu dengan
bongkahan-bongkahan cadas. Itulah yang dilakukan-
nya sesuai dengan pesan gurunya. Akan tetapi, kenapa
bongkahan-bongkahan cadas. Itulah yang dilakukan-
tepung? Adakah seseorang yang sengaja menghancur-
kannya? Atau mungkin Guru sendiri yang menghan-
curkan tutup gua itu?
’’Tidak mungkin!” bantah Joko Sungsang dalam
hati. ’’Guru tidak akan menyuruhku menutup mulut
gua ini kalau toh akhirnya ia akan menghancurkan-
nya!”
Maka dengan sekali lompat, Joko Sungsang te-
lah berdiri di ambang mulut gua itu. Ia yakin, seseo-
rang telah mendatangi tempat ini. Dan, siapa tahu
orang itu memang datang untuk mencari Wiku Jaladri.
”Guru...!” seru Joko Sungsang sambil berlari
memasuki gua. Akan tetapi, ia tidak menjumpai orang
yang dicarinya. Malahan la menjumpai seekor ular
sanca bergelung di batu hitam tempat Wiku Jaladri bi-
asa semedi beberapa tahun yang lalu.
Joko Sungsang termangu-mangu di dekat ular
sanca yang sedang tidur Itu. la berani memastikan
bahwa tempat ini sudah lama tidak dihuni oleh gu-
runya. Tak akan mungkin ular itu dibiarkan masuk
gua jika Wiku Jaladri masih menempati tempat ini.
’’Tetapi, ke mana perginya Kiai?” tanya Joko
Sungsang kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di dalam
gua itu. Joko Sungsang melecutkan cambuknya begitu
ada gerakan yang mengarah ke tubuhnya. Bola berduri
di ujung cambuk itu meraung dan melabrak kepala
ular yang hendak mematuk betis anak muda itu. Ular
itu menggeliat dan kemudian diam. Rupanya tak cuma
seekor ular yang menghuni gua itu.
Joko Sungsang mempertajam pendengarannya.
Tempat itu memang gelap, tetapi dengan pendengaran
yang terlatih maka ia bisa mengetahui kehadiran bina-
tang-binatang melata di dalam gua itu. Akhirnya Joko
Sungsang bisa menentukan jumlah ular yang mendia-
mi gua itu. Maka ia semakin yakin bahwa sudah lama
sekali gua itu tidak dihuni oleh gurunya.
Agar tidak bertambah jumlah ular yang terpak-
sa harus dibunuhnya, Joko Sungsang memutuskan
untuk secepatnya meninggalkan gua bekas padepo-
kannya itu. Setiba kembali di luar gua, ia baru ingat
kubangan yang dulu dipakainya untuk berlatih merin-
gankan tubuh. Ia berharap, di sanalah gurunya bera-
da. Namun, kembali ia dilecut kekecewaan sebab di
tempat ini pun tak dijumpainya Wiku Jaladri. Tempat
itu bahkan tak lagi seperti dulu. Kubangan berlumpur
itu kini sudah berubah menjadi empang. Agaknya air
hujan berkumpul menjadi satu di tempat ini.
Merasa tak mungkin lagi menemukan gurunya
di dasar jurang itu, Joko Sungsang pun memutuskan
untuk meninggalkan tempat itu. Namun, ia berjanji
dalam hati akan mengunjungi bekas pedepokannya itu
lagi setelah nanti bertemu dengan Wiku Jaladri, entah
di mana.
***
Keluar dari Jurang Jero, Joko Sungsang tak bi-
sa memastikan langkah ke mana ia harus mencari gu-
runya. Mencari Wiku Jaladri yang suka melanglang
desa ibarat mencari sebatang jarum di tumpukan je-
rami. Lain daripada itu, Wiku Jaladri terkenal enggan
menampakkan diri di depan umum. Orang tua itu sa-
dar bahwa ujudnya menakutkan bagi orang-orang
yang melihatnya. Wajahnya yang cekung dihiasi kumis
dan jenggot yang dibiarkan terjurai-jurai. Masih di-
tambah lagi dengan rambutnya yang memutih dan
gondrong, yang juga dibiarkan berkibar kibar ditiup
angin Tubuh-nya yang kurus kering terbalut jubah
dan celana pangsi berwarna putih pula. Maka tak he-
ran jika orang orang yang pernah melihatnya lantas
menjulukinya sebagai mayat hidup bergentayangan.
Namun, Joko Sungsang masih punya sedikit
harapan. Ya, siapa tahu Wiku Jaladri ikut bertani di
Desa dadapsari bersama Wasi Ekacakra. Sebab, hanya
Wasi Ekacakra satu-satunya sahabat yang sering di-
kunjunginya. Karena itu pula kenapa Wiku Jaladri
menitipkan Nyai Demang Sanareja di rumah Wasi Eka-
cakra.
Perjalanan menuju Desa Dadapsari ternyata ti-
dak selancar yang dibayangkan Joko Sungsang. Di De-
sa Karang Lo, desa ketiga yang dilewatinya, Joko
Sungsang terpaksa berhenti sebab ia melihat kejangga-
lan-kejanggalan terjadi di desa itu. Meski desa ini ber-
penduduk padat, tak sebuah kedai minum pun nam-
pak. Selain itu, tak sebuah lampu teplok pun mene-
rangi halaman rumah-rumah penduduk. Maka Joko
Sungsang termangu-mangu berdiri di mulut desa itu.
la bingung harus bertanya kepada siapa. Tak seorang
pun nampak melintas di depan matanya. Padahal ia
juga butuh seteguk air untuk membasahi tenggoro-
kannya yang kering.
Hanya berbekal niat baik, ia memberanikan diri
mengetuk pintu rumah salah seorang penduduk desa.
la merasa pasti bahwa desa itu sedang terancam ma-
rabahaya. Entah marabahaya dalam ujud apa!
’’Siapa?" tanya seorang lelaki dari dalam ru-
mah.
’’Saya....”
’’Saya siapa?!” bentak lelaki di dalam rumah
itu.
’’Saya dari Desa Sanareja. Kalau boleh, saya
mau minta seteguk air,” jawab Joko Sungsang dengan
suara yang dibuat memelas.
Lelaki pemilik rumah itu meraih golok sebelum
melangkah menuju pintu rumahnya. Mendengar suara
yang memelas itu, ia merasa agak lega. Kalau memang
yang datang orang jahat, pasti tidak akan bersuara le-
mah seperti itu.
’’Maafkan saya, terpaksa saya mengganggu se-
bab saya tidak melihat adanya kedai minum di desa
ini,” kata Joko Sungsang setelah pemilik rumah mem-
bukakan pintu.
Lelaki pemilik rumah itu tak segera menyahut.
Ia mengamati anak muda yang berdiri di depannya itu
dari ujung rambut hingga telapak kaki Dan, la sema-
kin merasa lega sebab anak muda itu tidak menyan-
dang golok di pinggangnya.
’’Silakan masuk,” kata lelaki itu mesti tetap ti-
dak ramah.
’Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf ”
’’Kisanak ini mau ke mana?” sahut lelaki itu tak
acuh.
’’Saya dalam perjalanan menuju Desa Dadapsa-
ri. Tetapi, saya merasa heran melihat desa ini gelap se-
kali dan hampir semua rumah pintunya tertutup. Pa-
dahal matahari belum lama tenggelam....’’
”Ya,” tukas lelaki itu. Lalu, sambil menaruh
kendi di meja, ia meneruskan, ’’Sebaiknya Kisanak se-
cepatnya meninggalkan desa ini. Jangan sampai Kisa-
nak tidak bisa meneruskan perjalanan sebab harus be-
rurusan dengan anak buah Lembu Pracona.”
’’Siapa Lembu Pracona itu, Paman?”
’’Minumlah dulu. Setelah itu, secepatnya tinggal
kan desa ini. Kalau memang masih ada jalan lain, lebih
baik jangan melintasi desa ini”
’’Terima kasih,” ucap Joko Sungsang seraya
meneguk air dalam kendi itu.
Sementara itu, lelaki pemilik rumah itu terus
menatap wajah anak muda yang berdiri di depannya.
Wajah yang tampan, seperti wajah anak-anak orang
kaya. Tetapi, anak orang kaya mana yang sudi mem-
bawa-bawa cambuk?
Dahi lelaki itu berkerut kerut ketika matanya
meneliti cambuk yang melilit pinggang anak muda di
hadapannya itu. Cambuk itu bukannya terbuat dari
bambu maupun serat pohon melinjo. Cambuk itu ter-
buat dari kulit ular!
Maka diam-diam lelaki itu meraba hulu golok-
nya yang tadi diselipkan di pinggangnya. Kini disada-
rinya, siapa anak muda yang sedang dihadapinya.
Jangan-jangan anak buah Lembu Pracona yang me-
nyamar sebagai pengembara. Yang jelas, anak muda
ini bukan penggembala sapi atau kerbau. Tak ada
penggembala yang berpakaian serba putih dan memili-
ki cambuk kulit ular!
’’Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih,
Paman. Dan, seperti anjuran Paman tadi, sebaiknya
saya memang secepatnya meninggalkan desa ini,” kata
Joko Sungsang setelah menaruh kendi di atas meja.
’’Tunggu!” Lelaki itu tiba-tiba bersikap garang.
’’Kisanak tadi mengaku dari Desa Sanareja?”
’’Betul, Paman. Apa Paman pernah ke desa
saya?”
”Aku tahu persis Desa Sanareja. Aku malahan
kenal dengan beberapa penduduk desa itu....”
’’Kalau begitu, mungkin Paman kenal dengan Ki
Linggar almarhum?” tukas Joko Sungsang. Ia berha-
rap, dengan menyebutkan nama ayahnya maka lelaki
itu bisa bersikap lunak dan bersahabat.
”Ki Linggar? Ki Linggar yang pernah jadi de-
mang?”
”Ya. Agaknya Paman kenal. Saya anak Ki Ling-
gar.”
’’Duduklah, Kisanak. Nama Kisanak?”
”Joko, Paman....”
”Joko Sungsang?” Mata lelaki itu melebar. Mu-
lutnya pun melongo.
"Begitulah nama yang diberikan oleh orang tua
saya.” Joko Sungsang merasa sedikit lega melihat
reaksi lelaki Itu.
Sebelum meneruskan pertanyaannya, lelaki itu
bergegas menutup pintu rumahnya. Lalu, ia mengajak
Joko Sungsang ke ruangan bagian belakang rumah
itu.
”Di sini kita lebih bebas bicara.”
’’Sebenarnya, apa yang telah terjadi di desa ini,
Paman?” tanya Joko Sungsang tak sabar.
"Orang sesat dari Pesisir Utara itu telah men-
guasai desa ini....”
’’Orang sesat dari Pesisir Utara? Siapa?” tukas
Joko Sungsang.
’’Penduduk desa ini akan bersyukur sekali jika
Lembu Pracona alias Singa Laut Utara itu menemui
ajalnya. Betapa banyak perempuan desa ini yang men-
jadi korban nafsu binatangnya!” kata lelaki itu geram.
”Di mana saya bisa menemuinya. Paman?”
Mata lelaki itu terbelalak. Seolah ia tak mem-
percayai pendengarannya sendiri. Maka katanya ke-
mudian, ’’Anakmas mau menemui Singa Laut Utara?
Jangan! Betapapun Anakmas pernah belajar ilmu silat,
jangan coba-coba cari perkara dengannya. Terhadap
lelaki, dia begitu kejam. Ah, sebaiknya lupakan saja
cerita tadi.”
’’Saya hanya ingin tahu di mana saya bisa me-
nemuinya,” sahut Joko Sungsang. Ia memang pernah
mendengar kehebatan ilmu silat orang sesat dari Pesi-
sir Utara itu. Namun, ia yakin bahwa ilmu tertinggi
hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Tak ada ilmu silat
yang tak tertandingi di bumi ini.
’’Malam ini Anakmas bisa menemuinya di Desa
Karangreja. Kabarnya, dua orang muridnya baru saja
terbunuh di desa itu. Sudah pasti ia harus menemu-
kan pembunuh kedua orang muridnya itu.”
’’Desa Karangreja?” Tiba-tiba Joko Sungsang
ingat Endang Cantikawerdi. Ya, ke desa itulah gadis
dari Perguruan Gunung Sumbing itu menengok kedua
orang tuanya.
”Ya, Desa Karangreja....”
’’Saya harus segera ke sana, Paman!” tukas Jo-
ko Sungsang seraya melompat lewat pintu belakang
dan hilang ditelan kegelapan malam.
***
4
Endang Cantikawerdi hampir saja meninggal-
kan Desa Karangreja ketika dilihatnya lidah api menju-
lang ke udara. Orang-orang desa berlarian sambil ber-
teriak-teriak,
’’Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!” Mereka
ada yang membawa ember, golok, bahkan batang pi-
sang. Maka tanpa mempedulikan lagi kesedihan hati
nya, Endang Cantikawerdi berlari menyusul langkah-
langkah yang berpacu di jalan yang membelah desa
itu. Seperti terbang gadis itu mendahului para pemuda
desa yang berlomba ingin lebih dulu tiba di tempat ke-
bakaran itu.
’’Rumah Ki Punjul!” teriak salah seorang lelaki
dengan napas memburu.
Endang Cantikawerdi menghentikan langkah-
nya. Ia menyambar lengan lelaki itu dan membentak-
nya, ’’Siapa yang membakar?”
”Anu... anu... orang dari Pesisir Utara...!” jawab
lelaki Itu ketakutan.
’’Siapa itu orang dari Pesisir Utara?”
’’Siapa lagi kalau bukan Singa Laut Utara...!”
’’Bedebah keparat!” Endang Cantikawerdi mele-
paskan cengkeraman di lengan lelaki itu, dan kembali
tubuhnya melesat ke arah rumahnya. Kemarin ia me-
mang sudah diperingatkan oleh ayahnya bahwa suatu
ketika pasti guru Bajra Luwuk akan membuat perhi-
tungan. Tetapi, guru Bajra Luwuk bukanlah manusia
keparat yang bernama Singa Laut Utara itu.
’’Belum lagi kalau guru dan dua orang pengaw-
al. Bajra Luwuk itu mendengar kabar tentang terbu-
nuhnya murid-muridnya," kata Ki Punjul Weda me-
nambahkan.
Rupanya guru Sepasang Elang dari Utara itulah
manusia yang bernama Singa Laut Utara ini, pikir En-
dang Cantikawerdi sambil menjejakkan kedua kakinya
ke tanah, dan melayanglah tubuh gadis itu ke udara.
Setelah sekali bersalto di udara, tubuh gadis itu hing-
gap di sebuah dahan pohon nangka yang berdiri kokoh
tak jauh dari api yang berkobar.
Dan, sebelum gadis Itu mengedarkan pandang
matanya, telinganya menangkap suara tawa menggema
dari balik kobaran api. Lalu kata lelaki yang baru saja
mengumbar tawa itu,
’’Menyerahlah tikus kecil, sebelum desa ini ha-
bis dilalap api!”
Endang Cantikawerdi selekasnya tanggap, sia-
pa yang dimaksud tikus kecil oleh suara itu. Oleh se-
bab itu, anak gadis Ki Punjul Weda itu bergegas me-
layang turun dari dahan tempatnya berpijak, la berlari
mengitari api. Dan, barulah kemudian ia mengetahui
apa yang telah terjadi di tempat ini.
’’Jahanam! Bosan hidup! seru gadis itu seraya
memutar toya dewondarunya. Lelaki berewok yang
menamakan dirinya Singa Laut Utara itu terkejut me-
nerima serangan yang tak diduga-duganya. Secepatnya
ia berjumpalitan ke belakang Untuk menghindari toya
yang mengancam pinggang dan lututnya.
”Ha-ha-ha! Rupanya kau yang bernama Endang
Cantikawerdi! Mudah-mudahan benar kabar yang aku
dengar! Benarkah kau yang telah membunuh sepasang
Elang dari Utara, Cah Ayu?”
Endang Cantikawerdi tak segera menyahut. Ia
mengitarkan pandang matanya. Nampak olehnya bebe-
rapa orang penduduk desa itu tewas. Merekalah yang
tadi berusaha memadamkan api. Tentunya mereka ti-
dak mengira bahwa maut telah menunggu di balik ko-
baran api Itu.
”Kau memang pantas bergelar Singa Laut!
Ujudmu memang manusia, tetapi kelakuanmu tak be-
da dengan kelakuan binatang buas!” kata Endang Can-
tikawerdi.
”Ha-ha-ha! Itulah hadiah bagi mereka yang
mencoba menghalangi pekerjaanku! Dan, kau tahu
apa yang akan kau terima setelah kau membunuh ke-
dua muridku Itu?”
’’Toyaku ini yang akan meremukkan kepalamu
sebelum kau melanjutkan angan-anganmu, binatang
keparat!” sergah Endang Cantikawerdi sebelum melan-
carkan serangan-serangan dengan toya dewondarunya.
Kaget juga Singa Laut Utara menerima seran-
gan-serangan yang mematikan itu. Tak disangkanya ia
bakal berhadapan dengan gadis cantik tetapi sungguh
ganas. Maka ia pun sadar bahwa lawan yang tengah
dihadapinya bukanlah lawan yang bisa diremehkan.
Tiga serangan beruntun itu hampir saja menghancur-
kan betisnya jika la tidak sigap melenting dan berjum-
palitan ke belakang.
”Wajar jika kedua muridku yang tolol itu mati
di ujung toyamu, gadis liar!” ujar Singa Laut Utara se-
raya melolos pedang bergerigi dari sarungnya. ”Nah,
mari kita adu toyamu Itu dengan paruh ikan cucutku
ini!”
’Trak! Trak! Trak!”
Dua senjata itu beradu. Endang Cantikawerdi
surut beberapa langkah. Telapak tangannya bergetar
dan terasa panas. Pedang lawan yang terbuat dari pa-
ruh ikan cucut itu seolah mampu mematahkan toya
dewondaru. Dan, dari tenaga dalam yang teralirkan le-
wat senjata aneh itu, Endang Cantikawerdi menyadari
kehebatan ilmu lawan.
Dalam pada itu, Singa Laut Utara pun merasa-
kan telapak tangannya sedikit nyeri. Kini ia tahu beta-
pa keras toya yang hanya terbuat dari kayu itu. Kenda-
tipun ia tahu toya itu terbuat dari kayu dewondaru,
semula ia tetap yakin bahwa pedang paruh cucutnya
akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, nyatanya
toya itu lebih keras dari akar bahar. Terlebih lagi toya
itu dialiri tenaga dalam yang cukup sempurna.
”Ki Punjul telah tewas!” Tiba-tiba telinga En-
dang Cantikawerdi menangkap teriakan salah seorang
penduduk desa yang mencoba memadamkan api. la
mencoba melirik arah datangnya suara itu. Namun, ia
hanya bisa melihat segerombol penduduk desa yang
melemparkan benda-benda basah ke kobaran api.
’’Jahanam keparat! Kau telah membunuh
ayahku?” Mata gadis itu menyala. Kemudian ia mema-
sang sikap pembuka Jurus Toya Sakti Pengusir Malai-
kat, la memang tak mau lagi melancarkan serangan-
serangan yang tak berarti bagi Singa Laut Utara. Ia ha-
rus segera menyudahi pertarungan itu. Ia harus sece-
patnya tahu bagaimana keadaan ayahnya.
Toya di tangan gadis itu tiba-tiba bergerak ce-
pat mengurung tubuh Singa Laut Utara. Sabetan-
sabetan menyilang yang dikombinasi dengan tusukan-
tusukan itu membuat Singa Laut Utara berkali kali
melompat surut ke belakang. Tak mungkin lagi ba-
ginya untuk menangkis serangan kombinasi ini. la te-
lah mencoba menjemput sabetan yang mengarah ke
lehernya, tetapi tiba-tiba gerakan toya itu berubah me-
nusuk dada. Bersyukur ia masih mampu membuang
tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
Melihat lawan terus-menerus menghindar
mundur, Endang Cantikawerdi semakin bersemangat
untuk mendesak. Semakin ganas toya dewondarunya
membabat dan mematuk. Ia merasa pasti pada akhir-
nya lawan akan mati langkah dan terpaksa menghin-
dar masuk. Saat itulah ia akan menemukan kesempa-
tan untuk menghunjamkan ujung toyanya ke pinggang
lawan.
Namun, di luar dugaan Endang Cantikawerdi
jika tiba-tiba Singa Laut Utara memutar senjatanya,
dan dari putaran itu keluar hawa dingin. Sewaktu ha-
wa dingin itu melabrak tubuhnya, tiba-tiba Endang
Cantikawerdi merasakan sendi tulang-tulangnya ngilu.
Terlebih sendi-sendi pada pergelangan tangan dan si-
ku-nya. Akibatnya, gerakan toya di tangannya semakin
mengendur.
”Ha-ha ha! Nah, cobalah lawan Jurus Inti Badai
ku, Cah Denok!” kata Singa Laut Utara setelah mera-
sakan serangan lawan mulai mengendur. Dan ia pun
semakin kuat memutar pedang paruh cucutnya. Kini
putaran itu tidak lagi membentuk payung, melainkan
membentuk kerucut. Sudut putaran senjata aneh itu
kian lama kian mengecil dan akhirnya berbentuk mirip
cahaya meteor.
Kini Endang Cantikawerdi bukan saja merasa-
kan sendi tulang-tulang di tubuhnya ngilu, melainkan
juga hawa dingin itu mulai mempengaruhi pandang
matanya. Hawa dingin yang menguningnya semakin
lama berubah menjadi kabut dan membaurkan pan-
dang matanya. Dan, sewaktu ia berjumpalitan ke bela-
kang, baru disadarinya bahwa udara dingin itu sam-
pai-sampai berhasil memadamkan kobaran api.
”Ha-ha-ha! Menyerahlah dan buang senjatamu
sebelum aku terpaksa membekukan sekujur tubuhmu,
Gadis Manis!” ujar Singa Laut Utara merasa di atas
angin.
Endang Cantikawerdi mencoba memutar
toyanya untuk menangkis serangan hawa dingin itu,
tetapi pergelangan tangannya benar-benar sudah
membeku. Ia tinggal bisa menusuk-nusukkan toya di
tangannya, tak lebih.
”Ayo, bebaskan dirimu dari Jurus Inti Badaiku
kalau nyata-nyata kau pendekar berilmu setan, Cah
Ayu!” ejek Singa Laut Utara.
Kembali Endang Cantikawerdi harus berjumpa-
litan ke belakang untuk menjauhi ujung pedang paruh
cucut yang mengarah ke dadanya. Namun, dalam se-
kejap senjata lawan telah berada kembali sejengkal di
depan dadanya. Tak ada jalan lain kecuali ia harus
menghindar masuk dan sekaligus menyerang lawan.
Maka gadis itu merunduk seraya memutar kaki ka-
nannya untuk menyerimpung kuda-kuda lawan.
’’Heiiit!” teriak Singa Laut Utara sambil menje-
jak tanah. Sambil melenting inilah orang sesat dari Pe-
sisir Utara ini menyabetkan pedang paruh cucutnya ke
leher lawan. Gerakan ini begitu cepat dan tanpa didu-
ga-duga oleh Endang Cantikawerdi. Tak ada lagi ba-
ginya kesempatan untuk menghindari serangan yang
mematikan ini. Untuk menangkis pun tak tersisa lagi
tenaga di pergelangan tangannya. Maka satu satunya
jalan, gadis itu hanya bisa menjatuhkan diri ke tanah.
Namun, pedang paruh cucut itu tetap memburunya.
Endang Cantikawerdi mencoba berguling ke kanan, te-
tapi udara dingin yang mengurungnya telah membe-
kukan seluruh urat di tubuhnya.
Endang Cantikawerdi hanya mampu memejam-
kan matanya sambil menunggu datangnya maut. Ia
membayangkan bagaimana lehernya nanti tergorok
oleh senjata bergerigi itu. Namun, pedang paruh cucut
itu tak kunjung menyentuh kulit lehernya. Malahan ia
mendengar ledakan cambuk memekakkan telinganya.
Kemudian menyusul terdengar kata kata kotor berlon-
catan dari mulut Singa Laut Utara,
’’Bedebah! Keparat! Bangsat!”
Endang Cantikawerdi membuka matanya. Be-
tapa kaget ketika dilihatnya seorang laki-laki muda
berpakaian serba putih telah berdiri sejengkal dari tu-
buhnya yang terbaring beku. Melihat senjata yang ber-
juntai di telapak tangan lelaki itu, tahulah Endang
Cantikawerdi siapa yang telah menolongnya.
’’Pendekar Perisai Naga...?” Mulut gadis itu ber-
desis tanpa bisa ditahannya.
’’Panggil aku Joko Sungsang,” sahut Joko
Sungsang tanpa mengalihkan pandang matanya.
’’Terima kasih, Joko....”
’’Kerahkan tenaga murnimu agar kau bisa ban-
gun, Cantika,” tukas Joko Sungsang sebelum mele-
cutkan cambuk Perisai Naganya, untuk menjemput se-
rangan lawan yang mengarah ke dadanya.
Singa laut Utara menarik kembali pedang pa-
ruh cucutnya sebab bola berduri yang memancarkan
sinar hijau-kebiru-biruan itu mengancam lututnya.
”Anak setan!” bentaknya setelah menarik kaki
kanannya ke belakang. ”Apa urusanmu mencampuri
perkara ini, he!"
”Aku hanya tidak Ingin melihat kau membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya. Itulah urusanku!"
jawab Joko Sungsang.
"Bedebah! Kau pikir kau akan mampu mence-
gah niatku membunuh gadis itu? Jangan takabur! Te-
tapi, sebelum kau bernasib sama dengan gadis malang
itu, katakan siapa namamu dan ada hubungan apa
dengan gadis anak ki Punjul itu!” ujar Singa Laut Uta-
ra kendatipun dalam hati mengagumi ilmu cambuk
lawan barunya ini. Tidak akan lecutan cambuk itu bisa
melindungi leher gadis itu dari tebasan pedang paruh
cucutnya jika tidak karena tangan seorang berilmu
tinggi yang melecutkannya. Dan, benarkah anak muda
¡ni yang bergelar Pendekar Perisai Naga?
’’Bukalah matamu lebar-lebar, Singa Laut. Tak
ada cambuk yang terbuat dari kulit ular kecuali cam-
buk dari Padepokan Jurang Jero!” jawab Joko Sung-
sang seraya menyimpan cambuk Perisai Naga di ping-
gangnya.
’’Bocah sombong! Bosan hidup! Kau pikir kau
tak memerlukan cambukmu itu untuk menghadapi se-
rangan-seranganku?” Tersinggung Singa Laut Utara
melihat lawannya menghadapinya hanya dengan tan-
gan kosong.
"Orang tolol!” desis Endang Cantikawerdi yang
sudah berhasil membebaskan diri dari serangan hawa
dingin yang membekukan tubuhnya.
”Nah, gadis itu pun menganggapmu tolol, bocah
sombong!” sahut Singa Laut Utara seraya tertawa ter-
bahak-bahak.
”Kau yang tolol, singa buta!” sergah Endang
Cantikawerdi.
’’Sudahlah. Biarkan dia menganggap remeh
tangan kosong ku,” kata Joko Sungsang menengahi.
’’Sebaiknya kau bantu penduduk desa mengurus kor-
ban-korban kebakaran itu, Cantikawerdi.”
Seperti dibangunkan dari mimpi buruk, gadis
itu serta-merta ingat ayahnya. Maka ia segera berlari
mendatangi kerumunan penduduk desa di seberang ja-
lan.
’’Ayah Den Rara sudah meninggal,” sambut
Kempul dengan wajah tertunduk.
Endang Cantikawerdi membalik langkah. la
urungkan niatnya menengok keadaan ayahnya. Kema-
rahannya kembali membeludak di dadanya. Sekalipun
ia membenci lelaki yang bernama Ki Punjul Weda itu,
tetap saja ia merasa harus membalaskan kematian
ayahnya ini. la tahu, karena ulah ayahnya maka ibu
yang melahirkannya kini hidup sengsara. Akan tetapi,
tidak akan ia membiarkan orang yang telah mengaki-
batkan kematian ayahnya pergi begitu saja.
Maka gadis itu kembali memutar toya dewonda-
runya dan langsung melambarinya dengan Jurus Toya
Sakti Pengusir Malaikat. Serangan-serangan toya ber-
warna merah-kecoklat-coklatan itu kembali mengu-
rung Singa Laut Utara. Endang Cantikawerdi tak pedu-
li lagi terhadap Jurus Inti Badai yang tadi hampir saja
mencelakakannya la bahkan memberikan isyarat ke-
pada Joko Sungsang agar menghentikan serangannya.
”Ha-ha-ha! Rupanya kalian tetap saja mere-
mehkan ku! Keroyoklah aku! Kenapa harus bergan-
tian?” ejek Singa Laut Utara begitu melihat Joko Sung-
sang melompat mundur dan kemudian menjadi penon-
ton.
’’Belum pantas buat binatang macam kau ber-
hadapan dengan Pendekar Perisai Naga, singa pongah!”
sergah Endang Cantikawerdi
Singa Laut Utara tak sempat lagi membuka mu-
lut sebab serangan-serangan lawan membuatnya ke-
sripuhan. Hampir saja ujung toya dewondaru itu me-
lubangi dahinya jika saja ia tidak secepatnya memben-
turkan pedang paruh cucutnya pada ujung toya itu.
Begitu merasakan benturan di ujung toyanya,
Endang Cantikawerdi secepat kilat menarik toyanya
dan melentingkan tubuhnya ke udara. Sambil turun,
ia menghunjamkan toya dewondaru ke tengkuk la-
wan.
’’Hiyaaa!” seru Singa Laut Utara sembari me-
mayungi tengkuknya dengan pedang paruh cucutnya.
’Trak! Irak! Trak!”
Kali ini benturan kedua senjata itu begitu
kuatnya. Tak pelak lagi Jika tubuh Singa Laut Utara
terdorong mundur beberapa langkah. Namun, orang
sesat dari Pesisir Utara ini segera bisa mengatasi rasa
nyeri yang menyerang telapak tangan kanannya, la
memang sudah siap menerima benturan tenaga dalam
lewat senjata mereka berdua.
Sebaliknya, Endang Cantikawerdi sama sekali
tak menduga jika lawannya masih sempat menangkis
hunjaman toya dewondarunya yang disertai Jurus
Toya Sakti Pengusir Malaikat itu. Oleh karenanya, ia
begitu kaget Dan, kekagetan ini membuatnya lupa un-
tuk segera mempersiapkan diri. Tubuh gadis itu ter-
pental beberapa tombak. Ketika tubuh itu hampir ter-
banting di tanah, Joko Sungsang dengan sigap melom-
pat dan menerima tubuh gadis itu.
”Dia memang bukan tandingan mu, ” kata Joko
Sungsang sambil menurunkan Endang Cantikawerdi
dari gendongannya.
”Ya. Dia mampu menangkal jurus andalan
toyaku!” kata Endang Cantikawerdi seraya meraba ba-
hu kanannya. Rasanya bahu itu seperti lepas dari tu-
buhnya.
’’Biar aku yang menghadapinya,” kata Joko
Sungsang sambil mengurai cambuk kulit ular yang
melilit di pinggangnya.
’’Sudah kukatakan, sebaiknya kalian maju ber-
samaan!”
’’Tutup mulutmu, singa jahanam! Kita lihat saja
bisakah pedang paruh cucut mu menaklukkan cam-
buk Perisai Nagaku!” Joko Sungsang langsung me-
mainkan Jurus Naga Melilit Gunung. Cambuk yang
terbuat dari kulit ular sanca itu meliuk-liuk bagaikan
ular yang sedang berenang menempuh arus. Akan te-
tapi, lambat-laun gerakan liukan cambuk itu tak terli-
hat lagi. Yang nampak hanyalah gulungan sinar ber-
warna hijau-kebiru-biruan.
Beberapa kali Singa Laut Utara memang bisa
menghindari lilitan cambuk itu. Namun, sewaktu Joko
Sungsang menggenjot tanah dan tubuhnya melayang
ke udara, orang sesat dari Pesisir Utara itu terpaksa
harus menggunakan pedang paruh cucutnya untuk
memagari tubuhnya. Pada saat itulah cambuk Perisai
Naga berhasil melilit senjata lawan.
Namun begitu, Singa Laut Utara ternyata bu-
kan lawan yang bisa diremehkan. Dengan tenaga da-
lam yang dimilikinya, guru Sepasang Elang dari Utara
ini berhasil menahan hentakan cambuk yang melilit
senjatanya. Sebaliknya, ia Justru berhasil menghen-
takkan tubuh Joko Sungsang meluncur ke tanah.
’’Wuuut! Desss!”
Joko Sungsang seketika mengerahkan Ilmu Pu-
kulan Ombak Laut Selatan untuk menabrak tubuh la-
wan. Perkiraan Joko Sungsang memang tidak meleset.
Ketika tubuhnya meluncur deras akibat hentakan sen-
jata lawan yang terlilit cambuk, dengan sigap Singa
Laut Utara menyongsong tubuh itu dengan tendangan.
Benturan antara tumit Joko Sungsang dan betis Singa
Laut Utara tak terelakkan lagi. Akibatnya sudah bisa
dibayangkan oleh Endang Cantikawerdi yang menyak-
sikan pertarungan itu dari jarak lima tombak.
’Tamatlah riwayatmu, binatang jalang!” desis
gadis itu refleks.
Tubuh Singa Laut Utara bergulingan di tanah.
Dan, sewaktu ia nekad bangun, barulah disadarinya
bahwa betis kanannya telah hancur. Kembali tubuh
orang sesat dari Pesisir Utara itu bergulingan di tanah.
"Jahanam terkutuk!” sungut Singa Laut Utara
sembari bangkit dengan bersitelekan pada pedang pa-
ruh cucutnya. ’’Rasakan Jurus Inti Badaiku, keparat!”
Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga bu-
kanlah Endang Cantikawerdi yang mudah terpengaruh
oleh hawa dingin yang keluar dari putaran senjata Sin-
ga Laut Utara. Ia pernah hidup selama tujuh tahun di
dasar Jurang Jero yang berhawa teramat dingin. Ia ju-
ga pernah bergulat dengan Ombak Laut Selatan sela-
ma berbulan-bulan ketika menempuh dasar-dasar Il-
mu Pukulan Ombak Laut Selatan. Dan lagi, ia berda-
rah panas sebab ia sudah terbiasa makan binatang
melata. Oleh sebab itulah, dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, Joko Sungsang memperkuat ketahanan
tubuhnya terhadap serangan hawa dingin yang mener-
panya.
Terbelalak mata Singa Laut Utara melihat anak
muda itu tak beranjak dari tempatnya berdiri. Jangan
lagi jatuh, sedangkan bergeser sedikit pun tidak. Pa-
dahal anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga
itu tak berusaha memagari tubuhnya dengan cambuk
yang terkenal bisa menjadi perisai itu. Ia pernah men-
dengar kabar bahwa cambuk yang terbuat dari kulit
ular itu betul-betul merupakan perisai bagi tuannya.
Akan tetapi, kali ini anak muda itu hanya merentang-
kan cambuknya di depan dada. Padahal Singa Laut
Utara sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya sehingga putaran pedang paruh cucut itu
membentuk gulungan berwarna putih. Lebih dahsyat
dari putaran yang dipergunakan untuk menyerang
Endang Cantikawerdi.
’’Anak setan!" desis Singa Laut Utara sambil
mengubah arah putaran senjatanya. Kini senjata yang
terbuat dari paruh ikan cucut Itu berputar di tangan
kirinya sementara tangan kanannya didorong kuat
kuat ke depan. Inilah Jurus Inti Badai dalam tingkat
akhir. Dan, kalau saja bukan pendekar hebat seperti
Pendekar Perisai Naga yang menandingi serangan ju-
rus ini, sudah barang tentu tubuhnya akan membeku
mirip patung es.
Joko Sungsang mengubah kuda-kudanya. An-
gin yang keluar dari telapak tangan lawan berhasil
mendorongkan tubuhnya Hawa dingin memang tidak
mempengaruhi kuda-kuda kakinya. Tetapi, dorongan
angin yang tak diduga-duga datangnya itu memerlu-
kan perlawanan tersendiri. Untuk itulah ia merasa per-
lu mengeluarkan Jurus Membendung Badai Menjala
Ikan.
Singa Laut Utara merasa percuma mengelua-
rkan jurus andalannya. Maka ia memutuskan untuk
menggempur pertahanan lawan dengan jurus lain. Itu-
lah kenapa tiba-tiba ia mengubah putaran pedang pa-
ruh cucutnya dan membabatkannya ke kaki lawan.
Begitu cepat dan begitu tiba-tiba sabetan senjata itu
mengarah ke kaki Joko Sungsang.
’’Modarlah kau, bocah sombong!” seru Singa
Laut Utara merasa pasti serangannya kali ini berhasil
merobohkan lawan.
’Trangngng!”
Senjata Singa Laut Utara terpental. Dengan ge-
rakan yang tidak bisa diikuti mata, Joko Sungsang me-
lecutkan cambuk sambil berjumpalitan ke udara. Dan,
sebelum lawan menguasai keadaan, Joko Sungsang
menerapkan Jurus Mematuk Elang dalam Mega. Maka
bola berduri yang mirip buah kecubung itu tanpa am-
pun lagi menyambar pelipis kanan Singa Laut Utara.
”Tasss"
"Aughhh...!”
Tubuh Singa Laut Utara terhuyung-huyung.
Dan, karena tubuh itu hanya disangga oleh satu kaki,
dengan mudah Joko Sungsang merobohkannya. Satu
lecutan susulan membelit kaki yang menyangga tubuh
lawan dan dihentakkannya kuat-kuat.
"Bresss!”
Tubuh Singa Laut Utara alias Lembu Pracona
terbanting ke tanah. Melihat orang sakti dari Pesisir
Utara ini belum juga tewas, Endang Cantikawerdi me-
lompat dan menghantamkan toya dewondarunya ke
leher pembunuh Ki Punjul Weda ini.
’’Cukup, Cantikawerdi! Dia sudah tak bernya-
wa!” tegur Joko Sungsang mencegah kekejian yang me-
racuni hati gadis itu. Inilah sisa-sisa warisan dari Ce-
kel Janaloka. Belum puas jika melihat tubuh lawan
yang roboh tetap utuh.
’’Arwahmu akan terbang ke neraka bersama
burung gagak, singa jahanam!” kutuk Endang Canti-
kawerdi sebelum menendang tubuh tak bernyawa itu.
***
5
’’Sudah kau urus Jenazah ayahmu, Cantika-
werdi?” tegur Joko Sungsang mengusik Endang Canti-
kawerdi yang masih terpaku memandangi mayat Singa
Laut Utara.
”Oh..., maaf!” Gadis itu menoleh dan tersenyum
tipis. ’Terima kasih kau telah membantuku memba-
laskan dendamku, Pendekar Perisai Naga....”
’’Panggil aku Joko Sungsang!” tukas Joko
Sungsang cepat.
’Ya, ya, terima kasih, Joko. Tak tahu apa yang
bakal menimpaku jika kau tidak segera datang. ”
’Tuhan telah menyelamatkanmu lewat tangan-
ku, Cantikawerdi,” sahut Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi menunduk menghindari
tatap mata anak muda yang dikaguminya itu. Diam-
diam dia memuji kerendahhatian anak muda yang ber-
gelar Pendekar Perisai Naga itu. Meski la berilmu ting-
gi, tetap saja ia mengatasnamakan Tuhan pada setiap
kemenangannya menghadapi musuh.
Atau memang begitukah sikap semua pendekar
yang beraliran lurus? Gadis itu menanyai dirinya sen-
diri. Serta-merta ia ingat ilmu macam apa yang telah
dipelajari selama ini. Lalu, ia pun mengutuk dirinya
sendiri sebab tak pernah menyadari bahwa selama ber-
tahun-tahun ia telah terjerumus ke dalam lingkungan
orang-orang sesat.
’’Bagaimana dengan bahu kananmu, Cantika-
werdi?” Lagi-lagi suara Joko Sungsang memenggal la-
munan gadis itu.
”Oh, tak apa-apa Aku sudah bisa mengatasi ra-
sa nyeri itu. Syukurlah kau memberiku kesempatan
untuk mengatasinya, Joko.”
’’Sebaiknya segera kita urus jenazah ayahmu. ”
Joko Sungsang mendahului langkah mendatangi ke-
rumunan penduduk desa di seberang jalan.
”Atas nama penduduk desa ini, saya mengu-
capkan terima kasih kepada Anakmas Pendekar ...”
"Pendekar Perisai Naga!” sahut Endang Canti-
kawerdi meneruskan
’’Panggil saya Joko Sungsang, Paman,” kata Jo-
ko Sungsang merasa risih mendengar sebutan Itu.
Endang Cantikawerdi meneteskan air mata be-
gitu melihat tubuh ayahnya yang menghitam persis
arang itu. Kembali batinnya mengutuk Singa Laut Uta-
ra yang telah menyebabkan tewasnya Ki Punjul Weda.
Namun, gadis itu juga menyesal sebab semuanya itu
terjadi oleh karena kesembronoan dirinya. Kalau saja
ia tidak meninggalkan rumah itu, tak akan Singa Laut
Utara sempat membakar rumah dan seisinya itu. Se-
harusnyalah ia menahan kebencian yang meracuni ha-
tinya. Kebencian yang tiba-tiba saja muncul sebab ia
tahu ayahnya telah mengusir ibu yang melahirkannya.
Seharusnyalah ia menyadari bahwa ayahnya tidak
akan berbuat sekeji itu jika tidak tertekan oleh anca-
man Bajra Luwuk. Seharusnyalah ia menimpakan ke-
salahan itu kepada Bajra Luwuk seorang.
’’Kita harus tetap mawas diri, Cantikawerdi.
Ancaman balas dendam bukan hanya dari Singa Laut
Utara,” kata Joko Sungsang setelah mereka selesai
mengurus jenazah para korban itu.
”Ya. Masih ada lagi yang harus aku hadapi,”
sahut Endang Cantikawerdi. Serta-merta muncul
bayangan Klabang Seketi dalam benaknya. Guru Bajra
Luwuk itu tentu saja tidak akan tinggal diam setelah
mendengar murid kesayangannya tewas.
’’Klabang Seketi bukan saja menaruh dendam
atas kematian Bajra Luwuk. Lebih dari itu, ia juga me-
nyimpan dendam atas kekalahannya menghadapi gu-
rumu beberapa tahun yang lalu.” Kembali Joko Sung-
sang mengingatkan gadis Itu.
”Aku sudah mendengar dari cerita Ayah.”
”Kau belum menunjukkan kepadaku yang ma-
na ibumu.” Tiba-tiba Joko Sungsang mencium suatu
kejanggalan. Sejak penduduk desa itu meributkan ke-
matian Ki Punjul Weda, tak dilihatnya seseorang yang
seharusnya paling menyesali kematian ayah Endang
Cantikawerdi itu. Tak dilihatnya perempuan yang se-
harusnya menangis meraung-raung sebab telah diting-
gal pergi suami untuk selamanya.
’’Ibuku pergi dari desa Ini. Entah ke mana," ja-
wab Endang Cantikawerdi dengan suara parau. Rasa
sedih dan menyesal kembali menyesaki rongga dada
gadis itu. ia tak tahu ke mana harus mencari ibunya,
la tak menyangka bahwa ayahnya akan tega membiar-
kan perempuan itu pergi.
’’Maksudmu, ibumu meninggalkan ayahmu?”
tanya Joko Sungsang hati-hati agar tidak menambah
kesedihan di hati gadis itu.
’’Entahlah kenapa ini bisa terjadi. Ayah mence-
raikan Ibu hanya karena ancaman Bajra Luwuk.”
’’Kenapa harus pergi dari desa ini?"
’’Ibu tidak akan tahan melihat kelakuan Ayah
akhir-akhir ini. Selain setiap hari mabuk mabukan,
ayah juga tergila-gila kepada tledek anggota rombon-
gan tayub yang sering didatangkan ke desa Ini. Karena
tak tahan melihat kelakuan Ayah pula maka aku kehi-
langan kesabaranku. Aku bunuh Bajra Luwuk di tem-
pat tanggapan tayub. ”
Joko Sungsang menghirup napas panjang
Membicarakan perihal ibu Endang Cantikawerdi, la in-
gat ibunya. Ibunya pun kini menjanda. Hanya saja,
menjanda bukan karena diceraikan suami. Tetapi, apa
bedanya? Sekarang pun ibu Endang Cantikawerdi di-
tinggal mati suaminya. Sama-sama mati terbunuh oleh
orang sesat.
”Aku harus menemukan ibuku,” kata Endang
Cantikawerdi memecah kebisuan sesaat.
”Aku akan bantu kau menemukan ibumu,” sa-
hut Joko Sungsang.
Ada secuil kebahagiaan menyejuki rongga dada
gadis itu. Tak pernah dibayangkannya bahwa ia akan
pergi berdua dengan Pendekar Perisai Naga yang dika-
guminya itu. Pergi berdua menjelajah desa-desa.
"Tetapi, sebaiknya kau istirahat dulu barang
semalam. Pagi-pagi besok kita bisa berangkat. Dan,
siapa tahu dalam semalam ini kita mendapatkan berita
di mana ibumu berada,” usul Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi mengangguk setuju.
"Aku akan berjaga jaga barangkali masih ada
orang yang datang hendak menuntut balas,” lanjut Jo-
ko Sungsang.
’’Klabang Seketi?” tanya Endang Cantikawerdi
kurang paham.
’’Bukan tidak mungkin ia datang malam ini ju-
ga. Tidurlah, tak usah kau pikirkan kemungkinan
munculnya Klabang Seketi malam ini. Mungkin aku
masih bisa menghadapinya seorang diri.”
’’Tetapi, kau pun perlu istirahat, Joko.”
Joko Sungsang menggeleng sambil tertawa.
”Aku sudah terbiasa tidur sambil berjalan,” ka-
ta nya. Tentu saja ia hanya bergurau untuk memanc-
ing senyum gadis itu.
Endang Cantikawerdi memang tersenyum
meski tipis dan kaku.
’’Tiba-tiba aku berpikiran lain,” ujar gadis itu
kemudian.
’’Membatalkan rencana kita mencari ibumu?”
tebak Joko Sungsang.
”Aku mengkhawatirkan nasib orang-orang di
desa Ini. Rasanya aku tidak akan tega membiarkan
mereka menerima balas dendam dari Klabang Seketi.
Ya, pastilah guru Bajra Luwuk itu akan murka jika ti-
dak menemukan pembunuh muridnya di desa ini.
Dan, kau tentu tahu akibatnya ...”
’’Lalu?” pintas Joko Sungsang
”Aku akan tinggal beberapa hari di desa ini. Ka-
lau memang Klabang Seketi berniat balas dendam, ten-
tu dia akan muncul dalam beberapa hari ini.”
’’Mungkin aku bisa menolongmu mencari kabar
di mana ibumu berada?”
”Aku kira itu bisa kita lakukan nanti. Maksud-
ku, aku ingin lebih dulu ...” Gadis itu tidak mene-
ruskan Ucapannya.
’’Ingin lebih dulu...?” pancing Joko Sungsang.
’’Kalau kau tidak keberatan, aku ingin... ingin
belajar ilmu silat darimu. Setidaknya, mungkin
kau bisa memberi ku beberapa petunjuk tata gerak
untuk memperdalam ilmu toyaku. ”
Joko Sungsang tertawa.
’’Apakah aku tidak pantas menjadi muridmu?”
tanya Endang Cantikawerdi merasa tidak enak hati.
’’Bukan. Bukan begitu maksudku. Tentu saja
aku akan merasa senang jika aku bisa membantumu
memperdalam ilmu toyamu. Bahkan aku merasa
bangga jika ilmu silatku kau anggap lebih baik daripa-
da ilmu silat Perguruan Gunung Sumbing.”
’’Jadi, kenapa kau tertawa?”
’’Karena aku merasakan bahwa kau mulai me-
ragukan kehebatan ilmu silat warisan gurumu Karena
orang-orang menganggap ilmu yang kau warisi itu ilmu
sesat? Bukankah sudah aku katakan bahwa sesat
atau lurus itu tergantung manusianya? Meskipun kau
murid orang sesat macam Cekel Janaloka, tidak berarti
kau harus menjadi orang sesat pula. Memang ada ilmu
yang benar-benar dinamakan ilmu sesat Ilmu yang di-
miliki Ki Danyang Bagaspati, misalnya.”
”Apa bedanya Ki Danyang Bagaspati dengan
guruku?”
’’Jelas berbeda. Gurumu memang orang sesat,
tetapi ilmu silat yang dimilikinya tidak bisa dipastikan
sebagai ilmu sesat atau ilmu hitam. Sebaliknya, ilmu
yang dipelajari Ki Danyang Bagaspati jelas-jelas ilmu
hitam. Kau tahu senjata apa yang dipergunakan Ki
Danyang Bagaspati? Kau tahu juga manusia macam
mana yang mewariskan ilmu silat kepada tokoh hitam
dari Gunung Merapi itu?”
Endang Cantikawerdi menggeleng lamban.
’Tidak lama setelah kau pergi dari pinggiran kali
itu, datang Bagaspati menghadangku. Aku segera
mengenalinya sebab aku melihat senjata yang dipa-
kainya untuk menyerangku. Senjata itu berupa kain,
tetapi bukan sembarang kain. Itulah kain kafan yang
didapatkannya dari membongkar kubur orang yang di-
bencinya. Dan, kain kafan yang sama hampir saja di-
dapat kan oleh Ki Demang Kerpa dari kubur ayahku.
Syukurlah aku berhasil mencegahnya.”
”Dan, kain kafan itu yang melahirkan Jurus Se-
lendang Mayat Penyapu Awan?”
’Tepat sekali!” sahut Joko Sungsang.
“Lalu, kenapa kau menyebutnya sebagai ilmu
hitam yang asli?”
”Ilmu hitam atau ilmu sesat, biasanya didasari
oleh persyaratan yang merugikan pihak lain. Atau, bisa
juga persyaratan yang ada hubungannya dengan se-
tan. Nah, apakah kau merasa bahwa ilmu silat yang
kau pelajari dari Perguruan Gunung Sumbing itu ada
hubungannya dengan setan? Atau, paling tidak dengan
persyaratan yang merugikan pihak lain?”
Gadis itu menggeleng.
’Tetapi, aku tetap ingin mempelajari ilmu silat
dari Padepokan Jurang Jero," katanya bersikeras. ’’Ka-
lau mungkin, aku pun ingin mempelajari ilmu silat
tangan kosongmu yang luar biasa itu. ”
’’Untuk ilmu silat Padepokan Jurang Jero,
mungkin aku tidak merasa bersalah jika mengajar-
kannya kepadamu. Tetapi, untuk ilmu silat Padepokan
Karang Bolong, sebaiknya aku pertemukan kau den-
gan Ki Sempani langsung.”
’’Maksudmu, gurumu yang pernah memakai ge-
lar Pendekar Perisai Naga itu sudah meninggal?”
”Aku tidak tahu persis. ”
’’Bagaimana mungkin?”
Maka Joko Sungsang pun menceritakan penga-
lamannya mengunjungi Jurang Jero beberapa hari
yang lalu. Dan, karena terlalu banyak hal hal yang di-
pertanyakan Endang Cantikawerdi, tanpa terasa mere-
ka berdua telah melewati malam.
’’Kita beristirahat sebentar. Setelah Itu, kita cari
tempat yang cocok untuk berlatih,” kata Joko Sung-
sang setelah mendengar kentongan yang dibunyikan
pen-duduk desa dari gardu peronda.
Langit di ufuk Timur telah berwarna semburat
jingga. Sebentar lagi matahari akan mengintip di ca-
krawala. Angin pagi yang dingin membuat Endang
Cantikawerdi terlena dalam tidurnya.
***
Otak dan hati Klabang Seketi seolah terbakar
bara arang tempurung kelapa. Kabar tentang tewasnya
Bajra Luwuk itu begitu mengagetkannya. Sungguh, tak
disangkanya Bajra Luwuk akan tewas dalam pertarun-
gan hidup dan mati melawan seorang gadis muda be-
lia. Seorang gadis muda belia berhasil merobohkan Ba-
jra Luwuk yang memiliki ilmu kekebalan tubuh? Ten-
tulah gadis itu berilmu tinggi. Boleh jadi berilmu setan,
dedemit, tetekan, gendruwo, dan sejenisnya Maka ke-
marahan Klabang Seketi pun mencapai puncaknya be-
gitu didengarnya bahwa gadis yang bernama Endang
Cantikawerdi itu murid Cekel Janaloka. Dendam yang
telah sekian tahun teronggok dalam lekuk hatinya
membeludak. Dicekiknya leher laki-laki yang melapor
itu.
’’Kenapa tidak kau kabari aku selagi gadis setan
itu berkelahi melawan Bajra Luwuk?” kata Klabang
Seketi sambil mengguncang guncang leher lelaki ma-
lang itu.
’’Saya... saya....” Lelaki itu tidak mampu menge-
luarkan suara sebab cekikan di lehernya semakin
mengencang. Napasnya tinggal satu-dua melewati lu-
bang hidungnya.
Klabang Seketi mendorong tubuh anak buah
Bajra Luwuk itu ke sudut ruangan Tubuh kekar itu
terjerembab. Mati.
”Heii Jangan mampus dulu sebelum kau cerita-
kan semuanya, monyet!” bentak Klabang Seketi.
Akan tetapi, tak ada jawaban dari lelaki itu. Ba-
rulah Klabang Seketi menyadari bahwa lelaki malang
itu telah mati. Dari warna lehernya yang membiru, ta-
hulah Klabang Seketi bahwa lelaki itu mati karena ce-
kikan telapak tangannya yang dialiri ajian Lintah
Sayuta.
Dua orang kaki-tangan Klabang Seketi tak be-
rani mengangkat muka. Mereka hanya berdiri kaku
sambil menghunjamkan pandang matanya ke lantai.
Mereka menyadari bahwa kemarahan orang sakti dari
Gua Barong itu berarti maut bagi siapa saja yang be-
rada di depannya. Lelaki malang anak buah Bajra Lu-
wuk itu contohnya. Ia yang menyampaikan kabar ten-
tang kematian Bajra Luwuk bukannya mendapatkan
ucapan terima kasih, melainkan malah dibunuh.
’’Kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan?”
tanya Klabang Seketi memecah keheningan sesaat.
”Ya, Ki Lurah,” jawab dua lelaki itu bersamaan.
’’Pergi ke Desa Karangreja. Cari anak gadis Ki
Punjul Weda. Bawa kemari hidup-hidup. Ingat, jika ka-
lian tidak berhasil membawa gadis liar itu, kalianlah
yang harus menebus kematian Bajra Luwuk!”
”Baik, Ki Lurah. Kalau kami boleh tahu, siapa
nama gadis anak Ki Punjul Weda itu, Ki Lurah?” kata
lelaki yang berikat kepala merah darah
”Kau Sudah tuli? Ke mana kupingmu sewaktu
tikus jelek itu menyebut-nyebut nama gadis liar itu?
Kau juga tuli?” Klabang Seketi menuding lelaki yang
berikat kepala abu-abu.
’’Setahu saya, anak gadis Ki Punjul Weda hanya
satu, Ki Lurah. Tentu saja. ..”
"Bagus! Sekarang juga kalian berangkat. Kalau
memang gadis liar itu tidak ada, bunuh semua pendu-
duk Desa Karangreja. Mengerti?”
’’Mengerti, Ki Lurah.” Mereka berdua mengang-
guk bersamaan. Lalu, dengan langkah bergegas mere-
ka meninggalkan Gua Barong. Sepanjang jalan menuju
Desa Karangreja, mereka tak henti-hentinya mensyu-
kuri nasib baik yang mereka terima.
’’Beruntung Ki Lurah tidak membunuh kita,”
kata lelaki yang berikat kepala merah.
’’Beruntung aku tadi masih bisa menjawab per-
tanyaan Ki Lurah. Coba kalau aku tidak tahu Ki Pun-
jul Weda cuma punya anak satu,” sahut temannya.
”Aku tahu bahwa anak gadis Ki Punjul Weda
hanya satu. Aku cuma tidak tahu siapa nama gadis
itu. "
’’Kabarnya ilmu silat gadis itu lumayan juga.
Kalau tidak, mana bisa ia membunuh Ki Bajra Lu-
wuk?” ’’Kalau Ki Bajra Luwuk saja kalah, mana mung-
kin kita menangkap gadis itu hidup-hidup?”
”Aku juga berpikir begitu. Tetapi, daripada mati
dicekik Ki Lurah, lebih baik kita mati dalam pertarun-
gan melawan gadis itu. Bukan begitu?”
”Kau tahu anakku masih kecil-kecil?” kata lela-
ki yang berikat kepala merah.
”Ya. Tetapi, selama Ini kita hidup dari belas ka-
sihan Ki Lurah. Masih untung kita diberi kesempatan
untuk mengabdi kepadanya. Kalau saja waktu itu kita
dibunuhnya, mana sempat kau kawin dan punya
anak?”
Lelaki yang berikat kepala merah darah mang-
gut-manggut. Terbayang kembali peristiwa yang terjadi
lima tahun yang lalu. Waktu itu, seperti biasanya, me-
reka menebang kayu di hutan untuk kemudian dijual.
Akan tetapi, nasib malang mengekor langkah mereka
ke hutan. Tiba-tiba saja seseorang menghadang lang-
kah mereka. Mereka kaget sebab baru kali ini mereka
bertemu seorang kakek-kakek di tengah hutan. Apa-
kah mungkin kakek bertangan satu ini makhluk halus
yang menguasai hutan itu?
”Mulai hari ini, aku melarang kalian memasuki
hutan ini. Aku tidak ingin hutan ini menjadi gundul
karena ulah kalian. Mengerti?” kata kakek-kakek ber-
lengan satu itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
”Kau dengar apa yang dikatakannya?” Lelaki
yang lebih dulu menghunus golok bertanya kepada
teman seperjalanannya.
”Kek, kami tidak tahu siapa Kakek. Dan, untuk
apa Kakek berada di hutan ini? Di sini banyak bina-
tang buas....”
”Tutup mulutmu! Berani kau membantahku?
Minggatlah sebelum aku terpaksa memenggal kepala
kalian!” tukas Klabang Seketi, kakek-kakek itu.
”Apa? Ha-ha-ha! Jangan bermimpi, Kek. Berdiri
saja kau hampir jatuh, tetapi kau berani mengancam
kami?” sergah lelaki yang telah menimang-nimang go-
loknya.
”Ha-ha-ha! Tikus busuk berani melawan hari-
mau! Apa yang bisa kalian perbuat dengan golok butut
kalian itu?”
”Kek, kuperingatkan sekali lagi, harap Kakek
minggir dan pergi dari hutan ini. Kalau tidak juga
minggir, terpaksa kami tega terhadapmu,” kata lelaki
yang satunya lagi. Berkata begini, ia pun menghunus
goloknya dan mengusap usap mata golok yang berki-
lat-kilat itu.
’’Sudah kubilang, kalian ini hanya tikus busuk.
Dan, kalian sedang berhadapan dengan harimau la-
par..
’’Bedebah! Kukirim nyawamu ke neraka!” ben-
tak lelaki yang sejak tadi sudah kehilangan kesaba-
rannya. Lalu, golok di tangan lelaki itu berkelebat ke
arah Klabang Seketi.
’’Desss!”
Mata lelaki itu terbelalak. Leher kakek itu tidak
tergores sedikit pun. Leher itu lebih keras dari kayu
meranti. Bahkan goloknyalah yang terluka. Golok yang
terbuat dari per delman itu, yang bisa merobohkan po-
hon sebesar badan lelaki dewasa, yang tak pernah lupa
diasah, kini golok itu tak ada artinya sama sekali bagi
kulit orang tua berlengan satu ini.
”He-he-he, ho ho ho, masih lebih sakit digigit
semut. Masih ingin mencoba membacokku lagi?” ejek
Klabang Seketi.
Lelaki bergolok itu menggeleng sambil melang-
kah mundur. Ia merasa pasti sedang berhadapan den-
gan siluman. Kalau memang yang dihadapinya manu-
sia, sudah barang tentu lehernya yang keriput itu akan
tertebas golok.
”Kau!” Klabang Seketi menuding lelaki yang sa-
tu nya lagi. ’’Majulah, aku ingin merasakan bacokan
golokmu!”
Lelaki itu masih terpaku dengan mulut men-
ganga. Keheranannya belum habis juga Ketika Klabang
Seketi kembali menudingnya, barulah ia sadar bahwa
orang tua berlengan satu itu memanggilnya.
”Kau mau mencoba membacokku seperti te-
manmu ini?”
’’Tidak... tidak, Kek!”
’’Sekali lagi kau memanggilku ’Kakek’, kurobek
mulutmu yang lancang itu!” hardik Klabang Sketi. ”Ka-
lian harus tahu bahwa hutan ini sudah menjadi milik-
ku. Akulah yang berkuasa di hutan ini. Karena itu,
aku tidak mau lagi melihat pencuri-pencuri kayu ma-
can kalian. Mengerti?”
’’Mengerti, Ki...?”
’’Panggil aku ’Ki Lurah’!”
”Ya, ya, Ki Lurah.” Kedua lelaki itu mengangguk
dalam-dalam.
”Dosa kalian aku maafkan Tetapi, kalian harus
menjadi jongosku. Kalian berdua harus tinggal bersa-
maku di Gua Barong. ”
”Gua Barong?” Kedua lelaki itu berseru dalam
hati. Mereka sudah sering mendengar cerita tentang
Gua Barong. Gua itu dinamakan Gua Barong sebab di
situlah tempat bersembunyinya macan. Dan, sekarang
mereka diharuskan tinggal di gua itu? Sungguh men-
gerikan!
’Tapi, kami berdua harus mencarikan makan
buat anak-anak kami, Ki Lurah,” kata lelaki yang tadi
membacok orang tua itu.
’’Mencari makan dengan mencuri kayu di hu-
tan? Ha-ha-ha, sungguh memalukan! Tidak! Mulai se-
karang kalian tak perlu lagi menjadi pencuri kayu Ka-
lian ikut aku, dan kalian akan aku beri upah."
Orang tua buntung ini bisa memberikan upah?
Kedua lelaki itu tidak begitu saja percaya. Dari mana
orang tua itu mendapatkan uang! Apa dia bisa menyu-
lap daun menjadi uang?
’’Kalian tidak percaya bahwa aku bisa memberi
kalian upah? Dasar otak udang! Karena aku sudah
peyot dan tanganku hanya satu maka kailan mere-
mehkan ku? Berapa batang pohon yang kalian da-
patkan dalam sehari? Aku bisa merobohkan semua
pohon yang ada di hutan ini dalam sehari. Tidak per-
caya? Lihat!” Klabang Seketi mendorongkan telapak
tangannya yang tinggal sebelah itu ke depan, dan ro-
bohlah sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa.
Kedua lelaki itu semakin kagum dibuatnya. Ba-
gaimana jika pukulan jarak jauh itu mengenai mak-
hluk hidup? Pohon sebesar itu saja roboh dengan se-
kali dorong!
"Kami tidak ragu lagi, Ki Lurah,” kata lelaki
yang tadi membacok Klabang Seketi, sekaligus mewa-
kili temannya.
Setelah beberapa hari tinggal di Gua Barong
bersama Klabang Seketi, tahulah kedua lelaki itu, dari
mana Klabang Seketi mendapatkan segala yang diin-
ginkannya. Hampir tujuh hari sekali orang suruhan
Bajra Luwuk mengirimkan bahan makanan dan ba-
rang-barang yang dibutuhkan Klabang Seketi. Dan,
kemudian kedua lelaki itu pun tahu dari siapa Bajra
Luwuk mendapatkan semuanya itu.
Kini Bajra Luwuk tewas. Sudah barang pasti
penguasa Gua Barong Itu berang. Selain Bajra Luwuk
murid terkasihnya, Juga menjadi sumber kehidupan
baginya.
Dan, sewaktu kedua orang suruhan Klabang
Seketi itu memasuki mulut Desa Karangreja, mereka
pun tahu bahwa Ki Punjul Weda telah tewas pula. Se-
makin bersemangat mereka mencari ahli waris orang
terkaya di Desa Karangreja itu.
"Jika kita bisa menangkap gadis itu, berarti pu-
la kita bisa menguasai harta warisan Ki Punjul Weda,”
kata lelaki yang berikat kepala merah.
”Kau yakin bisa mengalahkan gadis itu? Selin-
tasan aku pernah mendengar kabar bahwa gadis itu
pernah berguru ke Gunung Sumbing. ”
”Ke mana pun ia pernah berguru, aku tidak pe-
duli. Yang harus kita pedulikan, gadis itu berhasil
membunuh Ki Bajra Luwuk.”
’Ya. Tetapi, siapa tahu Ki Bajra Luwuk terkena
tipu muslihat”
"Tipu muslihat?”
’’Mungkin saja gadis Itu pandai merayu sehing-
ga Ki Bajra Luwuk lengah karena mabuk kepayang.”
’’Mungkin. Sayang, orang yang membawa ka-
bar tentang tewasnya Ki Bajra Luwuk tidak diberi ke-
sempatan untuk bercerita panjang lebar.”
Mereka berdua memasuki kedai minum. Orang-
orang yang semula berbincang-bincang di kedai itu se-
ketika bubar. Mereka tahu siapa kedua lelaki yang ba-
ru saja memasuki kedai itu.
’’Sebaiknya kita lapor pada Den Rara Cantika,”
bisik seorang lelaki kepada teman yang duduk di de-
katnya.
’’Belum tentu mereka ini mau cari perkara. Kita
lihat saja dulu apa yang akan mereka lakukan di kedai
ini,” jawab temannya.
”Apa yang kalian bicarakan? Belum tahu siapa
aku ya?” bentak lelaki berikat kepala abu abu begitu
melihat dua orang penduduk desa itu saling berbisik.
’’Kita pergi saja,” bisik lelaki yang tadi mengu-
sulkan agar melaporkan kedatangan dua orang anak
buah Klabang Sekati itu kepada Endang Cantikawerdi.
’’Masih juga bisik-bisik? Hei, ke sini kau!” Lela-
ki yang berikat kepala merah meraba gagang goloknya.
Gemetaran tubuh kedua orang penduduk desa
itu. Lalu, kata salah seorang dari mereka,
’’Kami sudah sejak sore tadi di kedai ini. Kami
mau pulang, Juragan. ”
”Apa? Kau bilang aku juragan?"
"Sebelum temanku ini memenggal leher kalian,
sebaiknya kalian segera pergi. Katakan kepada anak
gadis Ki Punjul Weda bahwa kami mencarinya. Awas
kalau kalian coba coba menipuku. Mengerti?” kata le-
laki yang berikat kepala abu-abu menengahi.
Kedua orang penduduk desa itu hanya men-
gangguk dan kemudian bersijingkat meninggalkan ke-
dai itu. Mereka langsung menuju rumah Ki Punjul We-
da. Mereka ingin secepatnya melihat kedua orang anak
buah Klabang Seketi itu tewas di tangan Endang Can-
tikawerdi.
***
6
Sudah tiga malam berturut-turut Endang Can-
tikawerdi berlatih silat di bawah pengawasan Joko
Sungsang. Sewaktu Cekel Janaloka tewas, Endang
Cantikawerdi memang belum mewarisi seluruh ilmu si-
lat yang dimiliki tokoh hitam dari Gunung Sumbing
itu. Itulah kenapa Joko Sungsang masih menemukan
kelemahan-kelemahan jurus jurus yang pernah dipe-
ragakan gadis murid Cekel Janaloka itu. Kelemahan-
kelemahan Inilah yang berusaha disempurnakan oleh
Joko Sungsang. Selain itu, Endang Cantikawerdi juga
memulai berlatih jurus-jurus Perisai Naga dari Pade-
pokan Jurang Jero.
Pada malam keempat Endang Cantikawerdi
menjalani latihan, tiba-tiba muncul salah seorang pen-
duduk desa yang mengabarkan bahwa dua orang anak
buah Klabang Seketi menunggu gadis itu di sebuah
kedai minum. Mendidih darah gadis itu mendengar la-
poran yang mengandung tantangan Itu Maka tanpa
meminta saran dari Joko Sungsang, gadis itu melesat
meninggalkan tempat latihan. Tak ada lagi tujuan lain
kecuali melabrak dua orang anak buah Klabang Seketi
yang menunggunya di kedai minum.
Namun, belum lagi sepuluh tombak gadis itu
berlari, Joko Sungsang telah mendahuluinya dan
menghadang langkah gadis itu.
”Kau meragukan aku bisa mengalahkan cecu-
rut-cecurut itu?” tanya Endang Cantikawerdi.
”Sama sekali tidak. Aku hanya ingin mengin-
gatkan agar kau bisa menghilangkan kebiasaan bu-
rukmu.”
’’Kebiasaan buruk?”
”Ya. Betapapun kemarahan kita memuncak, ki-
ta harus tetap berkepala dingin. Hati boleh panas, te-
tapi otak tetap harus dingin. Tanpa otak yang dingin,
tak akan kita bisa berpikir sewajarnya.”
’’Mereka hanya orang suruhan Klabang Seketi!”
’’Itulah satu bukti bahwa kau tidak bisa berke-
pala dingin. Meremehkan lawan sama halnya dengan
menghilangkan usaha untuk mawas diri. Mengerti
maksudku?”
Gadis Itu mengangguk.
’’Lalu, tidak seharusnya aku mendatangi mere-
ka? Bagaimana jika mereka menganggapku takut, dan
kemudian mereka berbuat sekehendak hati di desa
ini?” kata Endang Cantikawerdi kemudian.
’’Bukan itu maksudku. Kau tetap harus meme-
nuhi tantangan mereka. Tetapi, jangan sampai kau da-
tang dengan kemarahan yang meluap-luap. Kemara-
han akan membuat pikiran kita buntu, membuat pera-
saan welas-asih kita hilang. Padahal kita tahu dua
orang yang menunggumu itu hanyalah orang-orang
suruhan. Mereka tidak layak menerima luapan kema-
rahanmu terhadap Klabang Seketi, guru Bajra Luwuk
itu. ”
”Aku mengerti. Tetapi, aku tetap harus sece-
patnya sampai di kedai itu agar pemilik kedai itu me-
rasa aman!”
”Aku ada usul. Tentu saja Jika kau setuju, ”,
sahut Joko Sungsang.
’’Maksudmu?”
’’Teruslah kau berlatih. Aku yang akan menda-
tangi orang-orang dari Gua Barong Itu. Akan aku ta-
nyakan apa maksud kedatangan mereka di desa Ini,
dan untuk apa dia mencarimu. Tidak lama. Aku akan
cepat kembali ke tempat latihan.”
”Aku sekaligus ingin membuktikan keampuhan
jurus-jurus yang baru saja aku latih.”
"Artinya, kau meragukan kehebatan jurus-
jurus dari Padepokan Jurang Jero? Kenapa tidak kau
suruh aku membuktikan keampuhan jurus-jurus itu?”
”Maaf, bukan maksudku begitu.” Gadis itu me-
nunduk malu. ’’Baiklah, aku akan kembali berlatih.
Tetapi, rasanya aku lebih puas berlatih dengan lawan
sungguhan. ”
"Percayalah, mereka ini bukan tandinganmu,”
sahut Joko Sungsang sebelum meninggalkan gadis itu.
Seakan terbang, Joko Sungsang mendatangi kedai mi-
num yang ditujunya.
Ketika Joko Sungsang tiba di halaman kedai
itu, dua orang anak buah Klabang Seketi sedang me-
mamerkan kekebalan tubuh mereka. Satu cerek air
mendidih mereka pakai untuk mencuci tangan. Mata
pemilik kedai itu seolah hampir meloncat keluar dari
pelupuknya. Dua orang kebal dari Gua Barong itu ter-
tawa puas begitu melihat pemilik kedai itu terheran-
heran.
”Nah, apa kau pernah lihat anak gadis Ki Pun-
jul Weda itu mencuci tangan dengan air mendidih?”
tanya lelaki yang berikat kepala abu-abu.
Pemilik kedai itu menggeleng. Tetapi, dalam ha-
ti ia berkata, ”Tapi, gadis itu bisa membunuh Bajra
Luwuk yang katanya juga kebal!”
”Kau tahu kenapa Bajra Luwuk mampus di
tangan gadis itu?”
Pemilik kedai itu terkejut. Dia pikir, lelaki beri-
kat kepala abu-abu itu bisa membaca pikirannya.
’’Hei. kau budeg ya?” bentak lelaki berikat kepa-
la merah.
”Ya, ya....” Pemilik kedai itu menjawab dengan
suara gagap.
Kembali dua orang anak buah Klabang Seketi
itu tertawa. Namun, tawa mereka tiba-tiba terhenti be-
gitu mereka melihat seorang anak muda memasuki
kedai dan kemudian duduk seenaknya. Maka mereka
berdua bersamaan menggebrak meja.
”Hei, monyet jelek!” bentak lelaki yang berikat
kepala merah. ’’Siapa suruh kau duduk di situ?”
Anak muda berpakaian petani Itu berpura pura
tidak mendengar teguran lelaki Itu. Ia malahan me-
nyambar pisang dan mengupasnya.
’’Dasar monyet budeg!” bentak lelaki berikat
kepala abu abu. Lalu, la melompat dan berdiri di meja,
persis di depan hidung anak muda berpakaian petani
Itu.
Anak muda itu, yang tak lain adalah Joko
Sungsang, menengadahkan muka, memandangi wajah
lelaki yang kakinya terpacak di depan hidungnya.
’’Berani kau melihat mukaku? Ini, lihat baik-
baik sebelum kau kukirim ke neraka!” Lelaki itu me-
nyorongkan wajahnya ke depan mata Joko Sungsang.
Sambil tertawa, Joko Sungsang menendang ka-
ki meja. Seketika itu juga kaki meja patah dan meja itu
melesak ke lantai. Dengan sigap lelaki itu bersalto ke
belakang. Akan tetapi, ketika kaki lelaki itu menyentuh
lantai, tubuhnya seperti terayun dan kemudian terje-
rembab. Tentu saja lelaki itu tidak mengira bahwa
anak muda berpakaian petani itu mampu dengan tepat
melemparkan kulit pisang ke tempat kakinya bakal
mendarat.
"Bedebah! Bosan hidup!” Lelaki berikat kepala
merah langsung mengayunkan kepalan tangannya ke
muka Joko Sungsang.
’’Wuuut! Crottt!”
Pisang yang telah terkupas itu menambal ke-
dua mata lelaki berikat kepala merah itu. Dan, sewak-
tu pisang itu dikibaskannya dari matanya, ia tidak lagi
melihat anak muda berpakaian petani yang telah
menghinanya itu.
’’Bangsat! Jangan lari!” Berteriak begini, lelaki
berikat kepala merah itu melompat keluar dan mem-
buru bayangan anak muda berpakaian petani Itu. Se-
langkah di belakangnya, lelaki berikat kepala abu-abu
pun berlarian sambil menyumpah nyumpah,
’’Bangsat, keparat, tikus busuk! Kucincang
kau!”
Langkah mereka berdua terhenti. Mereka tidak
lagi melihat bayangan anak muda berpakaian petani
itu. Kemarahan mereka semakin membeludak. Segala
macam makian kotor berloncatan dari mulut mereka.
Akan tetapi, anak muda yang mereka cari tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
’’Baiklah!” kata lelaki yang berikat kepala abu-
abu. ’’Kalau memang kau tidak mau keluar dari per-
sembunyianmu, aku bakar desa ini! Dan, kau akan di-
kutuk seluruh penduduk desa ini, monyet busuk!”
Joko Sungsang melayang turun dari dahan su-
kun yang didudukinya. Dua orang anak buah Klabang
Seketi itu berlompatan mundur. Namun, dengan se-
rentak mereka menyerang bayangan hitam yang baru
saja menjejakkan kaki di tanah itu.
’’Singngng! Singngng!”
Dua bilah golok berdesing di atas kepala Joko
Sungsang. Sambil merunduk, Joko sungsang memutar
kaki kanannya. Akan tetapi, kedua orang lawannya
dengan lincahnya berhasil menghindari tendangan bal-
ing-balingnya. Bahkan secara bersamaan mereka me-
nusukkan golok ke dada Joko Sungsang
"Wuttt! Bresss!”
Tubuh keduanya terpelanting ke belakang.
Tanpa mereka duga bahwa anak muda berpakaian pe-
tani itu dengan gerak yang tak bisa diikuti mata me-
lenting ke udara dan dengan derasnya menghunjam-
kan kedua tumitnya ke punggung mereka berdua. Kini
mereka menyadari bahwa lawan yang mereka hadapi
bukan sembarang lawan. Mereka mulai mencurigai
bahwa pakaian petani yang dikenakan anak muda itu
hanyalah pakaian untuk penyamaran.
Sambil memperbaiki kuda-kuda, lelaki yang be-
rikat kepala abu-abu berkata, ’’Kami berdua datang ke
desa ini bukan untuk berurusan denganmu, Anak Mu-
da! Bahkan kami juga tidak mengenal siapa kau! Kare-
nanya, sebelum kami kehilangan kesabaran, lebih baik
kau tinggalkan desa ini!”
’’Kenapa kau tiba-tiba jadi sopan, Pak Tua? Aku
juga tidak mengenalmu Tetapi, aku mengenal baik
penduduk desa ini Aku wajib menjaga desa ini dari
gangguan orang-orang macam kalian,” sahut Joko
Sungsang.
’Temanku sudah memperingatkanmu, Anak
Muda! Sekali lagi kau berani buka mulut, jangan harap
kami memaafkanmu!” Kini lelaki yang berikat kepala
merah yang angkat bicara.
’’Tuhan memberiku mulut, tetapi tak pernah la
melarangku membuka mulut. Kenapa kau yang ber-
mulut kotor justru berani melarangku? Lakukanlah
kalau memang kalian hendak menghukumku!”
”Kau memang pantas dicincang, tikus busuk!”
seru lelaki yang berikat kepala merah sambil mener-
jang dengan goloknya.
’’Desss!”
Sisi telapak tangan kanan Joko Sungsang
menggempur lengan lelaki itu setelah ia berkelit ke
samping. Akan tetapi, kali ini lelaki itu malahan terta-
wa. Joko Sungsang tahu bahwa lelaki itu mulai mene-
rapkan ilmu kekebalan tubuhnya. Dan, ia memang
merasakan telapak tangannya seolah menghantam ba-
tu.
”Kau akan menyesal jika tidak secepatnya
minggat dari hadapanku, monyet!” bentak lelaki itu se-
telah puas tertawa.
"Aku pasti minggat dari desa ini asalkan kau
berani menyongsong seranganku dengan dadamu!” ka-
ta Joko Sungsang memancing kepongahan lelaki itu.
”Ha-ha-ha! Dasar monyet dungu! Jangan lagi
serangan tangan kosongmu! Ayo, keluarkan senjata
andalanmu, dan aku tetap akan menahannya dengan
dadaku, kunyuk!” Lelaki itu berkacak pinggang, mem-
biarkan dadanya terbuka untuk menerima serangan.
Joko Sungsang tertawa dalam hati. Begitu to-
lolnya lelaki dari Gua Barong ini, pikirnya. Betapapun
tubuhnya kebal senjata tajam, seharusnya ia mawas
diri terhadap lawan yang belum dikenalnya. Tidakkah
ia pernah mendengar perihal ilmu Pukulan Ombak
Laut Selatan?
Meski lawan telah menyediakan diri untuk ma-
ti, tetap saja Joko Sungsang tidak ingin melihat la-
wannya roboh dengan isi dada rontok. Oleh sebab itu,
ia hanya mengalirkan ilmu Pukulan Ombak Laut Sela-
tan pada ujung jari telunjuknya. Lalu katanya sambil
melangkah maju,
”Kau sudah siap, Pak Tua?”
"Panggil aku Bajang Ijo, kunyuk!” sergah lelaki
itu.
”Oh, maaf Sudah siap kau, Bajang Ijo Kunyuk?”
"Bangsat! Keluarkan senjatamu sebelum kupa-
tah-kan lehermu!”
”Aku tidak punya senjata. Senjataku hanya
cangkul yang tentunya tidak akan mempan mengenai
kulitmu. Inilah senjata bawaan dari gua garba ibuku!”
kata Joko Sungsang seraya menyodokkan Jari telun-
juknya ke dada Bajang Ijo.
"Crottt!”
Bajang Ijo membeliakkan matanya sambil me-
ringis. Jari telunjuk itu ternyata masuk ke sela-sela
iganya. Dan, sebelum ia tahu harus berbuat apa, satu
tendangan Joko Sungsang membuat tubuhnya oleng
dan kemudian bergulingan di tanah.
Lelaki yang berikat kepala abu-abu, yang sejak
tadi sudah menyadari kehebatan ilmu silat anak muda
berpakaian petani itu, secepat kilat melompat ke sisi
tubuh temannya yang berkelojotan di tanah
”Kau terluka?” tanyanya sembari berusaha
membuka telapak tangan Bajang Ijo yang menekap da-
da. Dan, ketika telapak tangan itu berhasil disingkir-
kan dari dada, nampak olehnya darah segar mengucur
dari lubang di sela-sela tulang iga Bajang Ijo. Tersirap
darah lelaki berikat kepala abu-abu itu.
”Kau juga ingin memamerkan kekebalan dada-
mu, Bajang Abu-Abu?” kata Joko Sungsang meman-
dang lelaki berikat kepala abu-abu itu.
’’Jangan cepat besar kepala, Anak Muda! Kau
bisa melukainya karena la memang bersedia kau lu-
kai!” sergah lelaki itu.
’’Bukankah kalian orang-orang Gua Barong
yang terkenal kebal?”
”Anak Muda, mengakulah siapa namamu sebe-
lum aku mewakili temanku Ini mencincang tubuhmu!"
”Aku tidak ingin namaku kau kenal. Aku bah-
kan tidak ingin meneruskan pertikaian kita. Aku tahu,
kalian berdua sesungguhnya tidak punya kepentingan
dengan anak gadis Ki Punjul Weda. Kalian hanya dipe-
ralat oleh Klabang Seketi, bukan? Nah, bawalah te-
manmu pulang ke Gua Barong, sekaligus katakan ke-
pada Klabang Seketi bahwa aku menunggunya di Le-
reng Gunung Sumbing purnama nanti” Joko Sungsang
tak membelikan kesempatan kepada lawannya untuk
membantah. Ia langsung melesat pergi dari halaman
kedai itu, dan kembali ke tempat Endang Cantikawerdi
berlatih silat.
Begitu anak muda berpakaian petani itu hilang
dari pandang matanya, diam-diam lelaki berikat kepala
abu-abu itu bersyukur telah terhindar dari maut Beta-
papun kegusaran hampir memecahkan batok kepa-
lanya, la tetap sadar bahwa yang baru saja dihada-
pinya bukanlah lawan tandingnya. Andai pun Klabang
Seketi sendiri yang menghadapi anak muda berpa-
kaian petani itu, ia tetap tidak yakin orang sakti dari
Gua Barong itu bisa mengalahkannya.
Lalu, ia berani memastikan bahwa anak muda
berpakaian petani itu tentulah kakak seperguruan ga-
dis yang menewaskan Bajra Luwuk itu. Gadis itu ma-
sih menggunakan senjata sewaktu membunuh Bajra
Luwuk. Tetapi, anak muda itu hanya menggunakan ja-
ri telunjuknya untuk melubangi dada Bajang Ijo yang
kebal. Benar-benar ilmu setan!
***
Kaget bukan kepalang Klabang Seketi menden-
gar cerita tentang anak muda berpakaian petani di ke-
dai minum itu. Selama ia malang-melintang di rimba
persilatan, belum pernah ia menjumpai bahkan men-
dengar kabar perihal anak muda berpakaian petani ini.
Memang ada pendekar dari golongan lurus yang selalu
mengenakan pakaian petani, tetapi ia bukan anak mu-
da lagi, la bahkan sudah dikenal sebagai Orang Tua
Sakti dari Desa Dadapsari.
Atau mungkin Wasi Ekacakra mempunyai mu-
rid? Tetapi, untuk apa ia mengangkat seseorang men-
jadi muridnya jika nyatanya ia sendiri hidup menjadi
petani di Desa Dadapsari? Mungkinkah di Desa Da-
dapsari telah berdiri padepokan yang menggembleng
anak-anak muda menjadi pendekar? Atau, barangkali
anak muda itu hanya menyamar sebagai petani? Lalu,
siapakah anak muda itu sesungguhnya?
Terpaku di tempat duduk dengan pertanyaan-
pertanyaan melintas di benaknya, orang sesat dari Gua
Barong ini. Semakin ia berusaha mencari jawabannya,
semakin ia gusar. Siapa pun anak muda itu, ia harus
mengenyahkannya dari muka bumi ini.
’’Tikus tolol!” Tiba-tiba Klabang Seketi ingat se-
suatu yang harus ditanyakan kepada Bajang Kerek,
'Tidakkah kau melihat senjata anak muda keparat itu?
Atau memang matamu sudah picak?”
”Ki Lurah, sudah saya bilang berkali kali bahwa
anak muda itu tidak bersenjata. Kalau saja anak muda
itu bersenjata, mungkin kami berdua tak sempat pergi
dari desa itu,” jawab Bajang Kerek.
’’Tidakkah kau lihat ada cambuk melilit di ping-
gangnya?”
”Sama sekali tidak, Ki Lurah. Maksud Ki Lurah,
barangkali anak muda itu Pendekar Perisai Naga?”
Klabang Seketi tidak menjawab. Agak lega ia
mendengar jawaban anak buahnya ini. Betapapun ia
merasa kebal, ia tetap harus waspada menghadapi
Pendekar Perisai Naga. Ia tahu, beberapa orang pende-
kar dari golongan hitam tewas di ujung cambuk anak
muda dari Padepokan Jurang Jero itu. Malahan baru-
baru ini ia mendengar kabar bahwa anak muda itu
berguru pula ke Padepokan Karang Bolong. Betapa
dahsyat jika Jurus Perisai Naga digabungkan dengan
Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan!
”Ki Lurah, bagaimana dengan luka Bajang Ijo?”
kata Bajang Kerek membuyarkan lamunan Klabang
Seketi.
’’Biar saja dia modar! Kalau kau memang setia
kepada temanmu itu, kenapa kau tidak bela pati? Ke-
napa kau tidak modar sekalian?” sergah Klabang Seke-
ti.
’’Kalau saja kami tidak harus menyampaikan
pesan buai Ki Lurah, mungkin anak muda itu tidak
akan membiarkan kami tetap hidup, Ki Lurah.”
’’Pesan? Pesan apa?”
‘Anak muda itu menantang Ki Lurah besok
purnama di Lereng Gunung Sumbing ...”
”Di mana? Lereng Gunung Sumbing? Kalau be-
gitu, matamu yang buta! Tentu anak muda itulah gadis
yang seharusnya kau bawa kemari hidup hidup! Untuk
apa ia menantangku bertarung di Lereng Gunung
Sumbing kalau bukan karena dia dari Perguruan Gu-
nung Sumbing? Dasar tikus tolol!” Klabang Seketi me-
nukas dengan geram.
”Ki Lurah, kami memang menghendaki gadis
itu yang muncul. Tetapi, entah kenapa anak muda
berpakaian petani Itu yang muncul. Dia laki laki, Ki
Lurah. Ki Lurah bisa menanyakan kepada pemilik ke-
dai minum itu.
Benar juga, pikir Klabang Seketi. Kalau me-
mang gadis itu menyamar sebagai pemuda, ia tetap ti-
dak akan bisa menyembunyikan toya andalannya. Ia
bisa membunuh Bajra Luwuk karena ia bersenjatakan
toya dewondaru itu Kalaupun ia sengaja menyembu-
nyikan senjata andalan Perguruan Gunung Sumbing
itu, tak akan mampu ia merobohkan Bajang Ijo hanya
dengan jari telunjuknya. Jangan lagi gadis itu, sedang-
kan Cekel Janaloka pun belum tentu bisa menembus
kekebalan kulit Bajang Ijo.
”Apa sebaiknya saya menyelidiki lagi ke Desa
Karangreja untuk mengetahui siapa sesungguhnya
anak muda berpakaian petani itu, Ki Lurah?” tanya
Bajang Kerek.
’’Kau kira ilmu silatmu lebih tinggi daripada il-
mu bocah lancang itu? Sebelum kau menemukannya,
kau yang akan lebih dulu dilihatnya. Biar aku sendiri
yang mencari tahu siapa dia!” Setelah berkata begini,
Klabang Seketi melesat pergi meninggalkan Gua Ba-
rong.
Malam telah larut. Bulan setengah bulat men-
gintip di sela-sela ranting pepohonan. Babi hutan mu-
lai berbaris pulang ke tempat persembunyiannya. Akan
tetapi, di rumahnya, Endang Cantikawerdi masih te-
kun bersamadi. Sudah beberapa malam ini, sepulang
dari berlatih silat di pinggiran desa, ia selalu melan-
jutkan latihan pernapasan di kamar tidurnya. Ia me-
mang sudah bertekad untuk secepatnya bisa mengua-
sai ilmu silat Padepokan Jurang Jero yang diajarkan
Joko Sungsang. Dan, tekad itu semakin membara sete-
lah tadi ia mendengar cerita tentang bagaimana Joko
Sungsang memberikan pelajaran kepada orang-orang
suruhan Klabang Seketi.
Benar-benar ilmu tenaga dalam yang mumpuni,
pikir gadis itu sebelum memulai latihan pernapasan-
nya. Bayangkan! Hanya dengan jari telunjuk Pendekar
Perisai Naga mampu merobohkan orang Gua Barong
yang terkenal kebal itu. Bagaimana kalau sampai anak
muda itu mengurai cambuk Perisai Naganya itu?
Begitu tekunnya berlatih sehingga Endang Can-
tikawerdi tak mendengar langkah-langkah kaki yang
mendekati jendela kamarnya. Sekalipun langkah-
langkah kaki itu begitu ringan, tetap saja telinga gadis
itu akan mampu menangkap suara telapak kaki itu ji-
ka saja ia tidak sedang tekun berlatih pernapasan.
Bayangan yang sedang melangkah mendekati
jendela kamar itu memang bukan sembarang orang.
Dialah orang sakti dari Gua Barong yang bernama Kla-
bang Seketi. Dalam perjalanannya menuju Desa Ka-
rangreja, tiba-tiba saja pikirannya berubah, la tak lagi
bernafsu untuk mengetahui siapa anak muda berpa-
kaian petani itu. Anak muda berilmu setan itu toh
akan diketahuinya juga besok malam purnama. Bah-
kan sebelum malam purnama tiba, anak muda itu
akan muncul ke Gua Barong jika tahu anak gadis Ki
Punjul Weda lenyap dari Desa Karangreja.
Pemikiran itulah yang menyebabkan Klabang
Seketi mengubah tujuannya ke Desa Karangreja Ia ha-
rus menculik anak gadis Ki Punjul Weda, la bisa mem-
pergunakan gadis Itu sebagai tameng dalam mengha-
dapi anak muda berilmu setan itu. Bukan tidak mung-
kin anak muda Itu menyerah sebelum bertarung sebab
memikirkan keselamatan gadis yang barangkali dicin-
tainya Itu.
Klabang Seketi tertawa dalam hati sambil me-
nempelkan telinganya ke daun jendela. la merasa pasti
bisa menculik Endang Cantikawerdi dan membawanya
ke Gua Barong. Dengan menahan gadis itu, ia merasa
pasti tetap bisa menyelamatkan diri seandainya ilmu
silat anak muda berpakaian petani itu ternyata lebih
tinggi. Setidaknya, ia bisa membunuh gadis itu terlebih
dahulu sebelum ia sendiri terbunuh!
Dengan mudah Klabang Seketi membuka daun
jendela yang terpalang dari dalam itu. Sengaja ia men-
jebol daun jendela itu agar gadis yang tidur di dalam
kamar itu terbangun dan mengejarnya. Dan, apa yang
diharapkan Klabang Seketi memang menjadi kenya-
taan. Begitu mendengar palang jendela jatuh, dan me-
lihat daun jendela terbuka, Endang Cantikawerdi me-
lesat keluar dari kamarnya dan mengejar bayangan
yang berlari pontang-panting.
Semula gadis itu mengira bakal dengan mudah
menangkap bayangan yang dikejarnya. Akan tetapi,
ternyata semakin lama semakin cepat bayangan itu
’’Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku, Klabang Seketi!” hardik Endang
Cantikawerdi sambil bersiap menyerang lawannya!
’Tingkahmu tak lebih dari seorang pengecut yang be-
raninya hanya dengan seorang gadis!” berlari. Maka ia
pun menyadari bahwa yang sedang dikejarnya bukan-
lah maling atau orang jahat yang hanya menginginkan
harta. Tentulah bayangan itu orang yang memiliki ilmu
berlari cepat. Namun begitu, Endang Cantikawerdi ti-
dak lantas membiarkan orang yang dikejarnya pergi
begitu saja.
’’Kau pikir aku tidak bisa menyamai ilmu berla-
ri mu, keparat?” kata hati Endang Cantikawerdi seraya
menggenjotkan kakinya ke tanah, dan tubuh gadis itu
pun seolah terbang.
Setelah berada di luar desa, Klabang Seketi
mengurangi kecepatan larinya. Ini disengaja agar gadis
yang mengejarnya menyangka ia kalah dalam adu ke-
cepatan berlari. Selain itu, ia memang bertujuan me-
mancing gadis itu keluar dari Desa Karangreja.
’’Klabang Seketi?” kata Endang Cantikawerdi
setelah melihat orang yang dikejarnya ternyata berlen-
gan satu.
”Ya, akulah Klabang Seketi!” kata Klabang Se-
keti seraya menghentikan langkahnya dan membalik
badan.
”Tak kusangka jika tingkahmu tak lebih dari
seorang maling kelaparan, Klabang Seketi!” hardik En-
dang Cantikawerdi
”Ha-ha ha! aku memang kelaparan! Tetapi, ke-
laparan bukan karena kurang makan! Kelaparan kare-
na sudah lama tidak mendapatkan gadis secantik kau,
Cah Ayu!”
’’Dasar otak kotor! Jangan berharap kau bisa
menyentuh kulitku sebelum nyawaku hilang dari raga-
ku, Klabang Seketi!”
"Hmmm, kesombonganmu setingkat dengan ke-
sombongan gurumu! Mungkin karena gurumu pernah
mendongeng bahwa ia bisa mengalahkan aku? Ho ho,
itu dulu! Sekarang, kalau saja gurumu masih hidup,
kau keroyok aku berdua dengan gurumu pun aku ti-
dak akan mundur!”
’’Mulut besar! Tak perlu kau menyebut-nyebut
nama orang yang sudah mati! Kecuali jika kau me-
mang merasa ajalmu sudah tiba, Klabang Jahanam!”
sergah Endang Cantikawerdi seraya menerjang dada
lawan dengan tendangan kaki kanannya.
’’Haittt!”
Dengan mudah Klabang Seketi mengurungkan
tendangan gadis itu. Sambil berkelit ke samping, tela-
pak tangan kirinya siap mencengkeram betis mungil
yang menjulur di depan dadanya. Akan tetapi, secepat
kilat Endang Cantikawerdi menarik kembali kaki ka-
nannya. Sebagai gantinya, ia menyapu kaki lawannya
dengan toya dewondarunya.
’’Desss!”
Di luar dugaan gadis itu bahwa Klabang Seketi
membiarkan kakinya tersambar toya dewondaru. Ke-
kebalan tubuh orang tua itu ternyata memang jauh di
atas kekebalan tubuh Bajra Luwuk. Sekalipun toya itu
belum dialiri tenaga dalam, seharusnya Klabang Seketi
tetap akan meringis kesakitan. Akan tetapi, yang terja-
di justru sebaliknya. Orang sesat dari Gua Barong itu
tertawa terbahak-bahak sementara Endang Cantika-
werdi merasakan telapak tangannya panas. Sabetan
toya itu seolah membentur tiang baja. Maka getaran
toya pun meremas telapak tangan gadis itu sendiri.
”Ha-ha-ha! Pantas jika Bajra Luwuk dungu itu
mati di tangan mu, gadis liar! Pukulan toya mu me-
mang lumayan! Tetapi, tidak untuk kakiku!” ujar Kla-
bang Seketi setelah puas tertawa.
Merah padam muka Endang Cantikawerdi. Ia
menyesal kenapa tidak sejak tadi mengerahkan tenaga
dalamnya.. Kalau saja toya itu sejak tadi telah dialiri
tenaga dalam, bukan tidak mungkin kaki lawan akan
patah.
”Aku akui tubuhmu memang kebal, Klabang
Seketi! Tetapi, cobalah untuk mengadu kekuatan seka-
li lagi dengan toyaku! Kalau memang kakimu tidak be-
ranjak dari tempat, biarlah aku mengaku kalah!" kata
Endang Cantikawerdi memancing kepongahan lawan.
Namun, Klabang Seketi adalah tokoh hitam
yang sudah kenyang makan asam-garamnya dunia
persilatan. Ia tahu bahwa lawannya telah mengerah-
kan tenaga dalam dan menyalurkannya ke senjatanya.
Betapapun tubuhnya kebal, tetap saja tenaga dalam
yang sempurna akan berhasil menembusnya Yang pas-
ti, ia tidak mau menjadi korban keganasan toya de-
wondaru itu untuk yang kedua kalinya.
Maka Klabang Seketi tak mau meladeni tantan-
gan gadis itu. Ia menjejakkan kakinya ke tanah, ber-
jumpalitan di udara dan turun sambil mengirimkan to-
tokan jalan darah di punggung lawan. Ia memang ingin
menangkap gadis itu hidup-hidup untuk kemudian di-
bawa pulang ke Gua Barong.
Melihat lawan melenting ke udara, secepatnya
Endang Cantikawerdi memutar toyanya di atas kepala.
Itulah kenapa Klabang Seketi terpaksa mengurungkan
niatnya menotok jalan darah di punggung gadis itu.
Sebagai gantinya, ia mengibaskan lengan kiri bajunya
untuk melilit senjata gadis itu.
"Srettt!"
Toya dewondaru berhasil terlilit lengan baju
Klabang Seketi. Hampir saja senjata gadis itu pindah
ke tangan Klabang Seketi jika tidak diingatnya salah
satu Jurus Perisai Naga yang baru saja dipelajarinya
dari Pendekar Perisai Naga. Oleh sebab itulah, Endang
Cantikawerdi mengendorkan tenaganya, mengikuti ta-
rikan lawan, dan kemudian sekuat tenaga ia menggen-
jot tubuhnya ke udara.
’’Desss!”
Kedua tumit Endang Cantikawerdi menghun-
jam ke punggung Klabang Seketi. Serangan yang begi-
tu tiba-tiba ini sama sekali tak terduga oleh Klabang
Seketi. Tubuh orang sesat dari Gua Barong itu terdo-
rong maju beberapa langkah. Namun, kekebalan tubuh
Klabang Seketi jauh lebih sempurna dibandingkan
dengan kekebalan tubuh anak buahnya. Tak menghe-
rankan jika ia hanya terdorong beberapa langkah tan-
pa harus menderita cedera punggung.
Kaget bukan kepalang Endang Cantikawerdi
melihat lawan tetap berdiri di atas kuda-kudanya.
Hunjaman kedua tumit itu seolah tak dirasakannya
sama sekali. Namun, kemudian ia cepat menyadari
bahwa sejak tadi ia memang memusatkan tenaga da-
lamnya di ujung toya dewondarunya.
”Ha-ha-ha! Tendangan yang luar biasa! Kalau
saja bukan aku yang menerima sepasang tumitmu,
tentu sudah sekarat, Cah Ayu!” kata Klabang Seketi.
’Tak usah banyak mulut, Klabang Seketi! Teri-
malah Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat!” sahut En-
dang Cantikawerdi seraya membuka jurus pamung-
kasnya.
’’Gurumu memang pernah meremukkan tulang
lengan kiriku sepuluh tahun yang lalu dengan jurus
yang sama! Tetapi, jangan harap jurus warisan guru-
mu itu kini bisa menyentuh kulitku! Nah, mulailah!”
Klabang Seketi membuka lima jari tangannya yang te-
lah dialiri ajian Lintah Sayuta. Hanya dengan ajian itu
maka ia berharap bisa menyedot senjata lawan yang
berbahaya itu. Maka jari-jari tangan yang terkembang
itu pun bergerak-gerak cepat memagari sekujur badan.
Sekali saja toya gadis itu menyentuh jari-jari tangan
itu, ajian Lintah Sayuta akan menyedotnya.
Toya dewondaru di tangan Endang Cantikawer-
di mulai bergerak aneh. Kadang terlihat memutar, lalu
tiba-tiba berubah menjadi menusuk-nusuk Meski ia
belum kenyang pengalaman di dunia persilatan, ia ta-
hu bahwa lawannya kali ini berusaha merebut toya
dewondaru di tangannya. Oleh sebab itu, Endang Can-
tikawerdi secepat kilat menarik senjatanya begitu tera-
sa ujung senjata itu bersentuhan dengan jari-jari tan-
gan Klabang Seketi.
Kini gerakan toya itu lebih sering mengarah ke
kaki lawan ketimbang ke dada ataupun kepala. Ke-
mungkinan untuk meraih toya itu ke arah bawah lebih
sulit dibandingkan dengan menangkap ujung toya
yang menjulur di depan dada maupun kepala.
Kemudian Endang Cantikawerdi mulai melan-
carkan gerak tipu untuk mengecoh lawan. Ia julurkan
toyanya ke arah tulang kering lawan, tetapi secepat ki-
lat ujung toya yang lain menyabet dari arah atas.
’’Srettt!”
Kembali lengan baju kiri Klabang Seketi melilit
ujung toya dewondaru. Di luar dugaan Endang Canti-
kawerdi bahwa Klabang Seketi akan mempergunakan
lengan bajunya untuk menjemput serangan inti yang
direncanakannya.
”Kau akan mencoba menjejak punggungku lagi,
Bocah Denok?” kata Klabang Seketi sambil menahan
tarikan toya yang terbelit lengan bajunya.
Endang Cantikawerdi tak mungkin berbuat bo-
doh Lawan sudah bisa membaca apa yang akan dila-
kukan nya. Sudah pasti orang tua penguasa Gua Ba-
rong itu mempersiapkan sesuatu untuk melindungi
punggung nya. Tetapi, untuk meladeni adu tenaga da-
lam tarik menarik ini, jelas ia tak akan mampu menga-
lahkan tenaga tokoh hitam yang sudah berpengalaman
di dunia persilatan itu.
"Kalau kau tidak mau lagi membebaskan toya-
mu dari lengan bajuku, biarlah aku yang melakukan-
nya!” Berkata begini, Klabang Seketi menarik lengan
bajunya kuat kuat sementara tangan kanannya den-
gan cepat menjulur ke arah dada Endang Cantikawer-
di.
’’Wuttt! Wurrr!”
Dalam keadaan terpojok, Endang Cantikawerdi
ingat sesuatu yang kemungkinan bisa menyelamatkan
dirinya dari sambaran jari-jari maut itu, tanpa harus
kehilangan toya dewondarunya. Sebenarnya, ia bisa
saja berkelit atau berjumpalitan ke belakang untuk
menghindar. Tetapi, gerak menghindar ini harus men-
gorbankan toya dewondarunya. Tanpa melepaskan
senjata di tangannya, tidak mungkin ia bisa menghin-
dari serangan lawan. Padahal, untuk menangkis se-
rangan lawan pun baginya tidak mungkin. Menangkis
berarti menyerahkan tangannya untuk disedot ajian
Lintah Sayuta!
Mengingat ini semua, Endang Cantikawerdi se-
cepat kilat menaburkan pasir beracun ke arah kaki la-
wan Akan tetapi, bukan namanya Klabang Seketi jika
mudah terkecoh gerakan lawan. Pengalaman mengha-
dapi Cekel Janaloka sepuluh tahun yang lalu mem-
buatnya semakin berhati-hati dalam menghadapi la-
wan. Maka orang tua dari Gua Barong itu melenting ke
udara begitu dilihatnya tangan kiri Endang Cantika-
werdi bergerak menaburkan sesuatu. Sambil berjum-
palitan inilah Klabang Seketi menghentakkan lengan
kiri bajunya bersamaan dengan hentakan tangan ka-
nannya yang telah mencengkeram ujung toya dewon-
daru.
Hentakan yang begitu kuat membuat tubuh
Endang Cantikawerdi terhuyung-huyung dan kemu-
dian bergulingan di tanah. Dan, sebelum la melenting
bangkit, sebuah totokan di punggungnya membuat tu-
buhnya kejang. Gadis itu hanya mampu menggerak-
gerakkan bola matanya, tanpa daya untuk bangkit
berdiri.
”He-he-he, akhirnya berhasil juga aku menebus
kekalahanku sepuluh tahun yang lalu!” ujar Klabang
Seketi sambil menimang-nimang toya dewondaru di
tangannya.
’’Bunuhlah aku kalau memang kematianku se-
bagai tujuan balas dendammu!” sergah Endang Canti-
kawerdi pasrah.
Ya, gadis itu memang tak berharap ada seseo-
rang yang bisa menyelamatkannya dari ancaman Kla-
bang Seketi. Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Na-
ga telah pergi jauh meninggalkan Desa Karangreja. Se-
lesai berlatih, anak muda Itu pamit untuk pergi me-
nengok ibunya di Desa Dadapsari Apalagi yang bisa di-
perbuat gadis itu kecuali pasrah?
***
7
Tawa Klabang Seketi kembali membahana. Se-
perti tawa hantu di sela-sela cuatan batu nisan di pe-
kuburan. Lalu kata orang sesat dari Gua Barong itu,
’’Membunuhmu katamu? Ho-ho-ho! Kau pikir aku se-
bodoh yang kau kira? Membunuhmu adalah pekerjaan
yang paling muda. Seperti membalikkan telapak tan-
gan! Tetapi, bukan itu maksudku, Cah Ayu. Kau boleh
mati setelah aku menangkap bocah lancang yang me-
lukai anak buahku di kedai minum itu! Nah, sebaiknya
kau beristirahat dulu di Gua Barong, sambil menung-
gu penolongmu itu muncul menyelamatkanmu!”
’’Iblis licik! Nama besarmu memang hanya pan-
tas untuk menakut-nakuti tikus, Klabang Seketi!” ge-
ram Endang Cantikawerdi.
’Tak usahlah kau memancing kemarahanku.
Aku tidak akan marah sekalipun kau meludahi muka-
ku. Kalaupun aku marah, aku tetap ingat bahwa aku
harus membiarkan mu hidup sampai nanti dewa pe-
nyelamat-mu datang ke Gua Barong!”
’’Kembalikan toyaku jika kau memang merasa
tak terkalahkan oleh ku!”
”He-he-he! Kau kira toya ini berguna buatku?
Tetapi bagaimana mungkin kau bisa memainkan Jurus
Toya Sakti Pengusir Malaikat jika menggerakkan tan-
gan saja kau tidak bisa? Nah, cobalah kau terima
toyamu!” kata Klabang Seketi seraya melemparkan
toya dewondaru ke sisi tubuh Endang Cantikawerdi.
Endang Cantikawerdi menggigit bibirnya kuat-
kuat untuk melampiaskan kemarahan yang membakar
hati-nya. Marah bukan karena ia dikalahkan oleh
orang tua dari Gua Barong itu. Kalah menghadapi Kla-
bang Seketi, baginya bukan hal yang memalukan. Jan-
gan lagi dirinya, sedangkan seandainya Cekel Janaloka
masih hidup pun tak akan mampu melawan tokoh hi-
tam guru Bajra Luwuk ini. la marah sebab Klabang
Seketi merencanakan menjebak Joko Sungsang. Oh,
betapa licik orang orang dari golongan hitam!
”Lho, kenapa tak kau ambil senjata andalan-
mu? Bukankah aku sudah memberikan apa yang kau
minta?” ejek Klabang Seketi.
Endang Cantikawerdi hanya bisa melirik toya
dewondarunya yang terbujur diam di sisi tubuhnya
Bagaimana mungkin ia meraih senjata itu jika mengge-
rakkan jari-jari tangan pun ia tak mampu! Totokan ja-
lan darah di punggungnya benar-benar membuat se-
kujur tubuhnya tak berdaya. Hanya tinggal bibir dan
matanya yang mampu ia gerakkan. Maka kemudian ia
ingat bagaimana dulu Empu Wadas Gempal pernah
menotoknya di pinggiran Hutan Ketapang. Kalau saja
waktu itu tidak muncul anak muda yang berpakaian
serba putih itu, entahlah apa yang bakal menimpa di-
rinya. Dan, sekarang anak muda yang bergelar Pende-
kar Perisai Naga itu tak mungkin lagi menolongnya. Ti-
dak juga orang lain Kalaupun ada penduduk desa yang
melihatnya pun, tidak akan bisa mengubah nasib bu-
ruknya.
’’Hampir pagi,” desis Klabang Seketi. ’’Sebaik-
nya kita segera pulang ke Gua Barong, bocah moblong.
Di sana kau akan lebih merasa enak ketimbang harus
tiduran di sini. Hm, terpaksa aku harus membungkam
mulutmu yang cerewet itu biar tidak mengganggu per-
jalanan kita!”
Berdiri bulu kuduk gadis itu begitu mem-
bayangkan tubuhnya berada dalam gendongan orang
tua buntung itu. Tak pernah terbayangkan olehnya
bahwa ia bakal mengalami nasib seburuk ini. Bukan-
kah lebih baik mati daripada digendong manusia jel-
maan iblis ini?
Klabang Seketi mendekati tubuh Endang Can-
tikawerdi. Suara telapak kaki orang sesat dari Gua Ba-
rong itu membuat jantung Endang Cantikawerdi se-
makin menggelepar. Maka gadis itu mencoba sekali la-
gi untuk memancing kemarahan Klabang Seketi. Siapa
tahu kali ini ia lantas dibunuhnya.
’’Klabang Seketi! Ujudmu memang manusia, te-
tapi hatimu tidak lebih bersih dari hati babi hutan!
Otakmu tidak lebih baik dari otak kancil! Kau tahu
dongeng binatang yang bernama kancil, bukan? Bina-
tang kecil, tak punya kekuatan, tetapi selalu menang
karena punya kelicikan yang pilih tanding!” ejek En-
dang Cantikawerdi.
’Terserahlah kau mau bicara apa. Mau kau ka-
takan aku selicik kancil, sedungu kerbau, semalas
buaya, terserah! Apa ruginya aku mendengarkan oce-
hanmu?” sahut Klabang Seketi seraya menjulurkan
tangan tunggalnya hendak meraih pinggang gadis itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Klabang Seketi melompat
ke belakang hingga beberapa tombak. Dan, sewaktu ia
mengamati benda apa yang hampir saja meremukkan
batok kepalanya itu, ia melihat seseorang yang berpa-
kaian serba putih, berambut putih, jenggotnya pun
menjulur panjang dan berwarna putih pula. Bahkan
alis yang menyilang di atas kedua mata orang aneh itu
berwarna putih pula.
’’Iblis laknat! Sekalipun seribu mayat hidup se-
pertimu bangkit dari kubur, jangan kira aku takut
menghadapimu, bangkai keparat!” hardik Klabang Se-
keti tanpa mau tahu siapa yang tengah dihadapinya.
Orang tua yang lebih mirip mayat hidup itu tak
menanggapi umpatan Klabang Seketi. Ia malahan me-
munggungi Klabang Seketi sebab ia harus membe-
baskan totokan Jalan darah di punggung Endang Can-
tikawerdi.
’’Kembalilah ke kamar tidurmu. Biarkan aku
yang memaksanya pulang ke Gua Barong, ” kata orang
tua berpakaian serba putih itu kepada Endang Canti-
kawerdi.
’’Bukankah Kiai... guru Pendekar Perisai Naga
dari Padepokan Jurang Jero?” Tiba-tiba Endang Canti-
kawerdi ingat cerita tentang orang tua yang lebih pan-
tas disebut mayat hidup itu.
Orang tua itu, yang tak lain adalah Wiku Jala-
dri, tidak menjawab pertanyaan Endang Cantikawerdi.
Ia memungut toya dewondaru dan menaruh di telapak
tangan gadis pemiliknya itu.
’’Pulanglah sebelum aku dikalahkan orang tua
dari Gua Barong itu," kata Wiku Jaladri sambil mendo-
rong tubuh Endang Cantikawerdi agar cepat pergi.
’’Mana mungkin Kiai dikalahkan setan licik
itu?” kata Endang Cantikawerdi membantah. Meski
begitu, ia tak berani menentang perintah orang sakti
dari Jurang Jero itu. Kendatipun ia ingin sekali meli-
hat pertarungan kedua tokoh sakti itu, tetap saja ka-
kinya melangkah mundur meninggalkan kedua tokoh
dunia persilatan yang telah siap bertarung hidup dan
mati itu.
’’Nyawamulah yang akan menggantikan nyawa
gadis itu, setan kubur!" seru Klabang Seketi seraya
menerjang Wiku Jaladri dengan jari-jari tangan ter-
kembang,
’’Wuttt! Wusss!”
Klabang Seketi terpaksa mengurungkan seran-
gannya sebab tiba-tiba ada angin yang menyambar da-
danya. Orang sesat dari Gua Barong itu merunduk,
kemudian memutar tubuhnya sambil mengirimkan
tendangan ke kaki lawan.
’’Desss!”
Kini tubuh Klabang Seketi bergulingan ke bela-
kang. Sisi telapak kaki kanannya seolah baru saja
membentur benda keras yang berpegas. Ia mulai ber-
pikir, orang tua yang lebih mirip mayat hidup ini ter-
nyata memiliki ilmu silat yang sungguh-sungguh sem-
purna. Hanya dengan sedikit memajukan lututnya,
orang tua serba putih itu berhasil melemparkannya.
’’Klabang Seketi,” kata Wiku Jaladri setelah
berdiri tegak dengan kedua tangan menyilang di dada.
”Orang tua macam kita ini, sudah selayaknya berbuat
kebajikan. Setidaknya, memberikan contoh kepada
yang muda untuk berbuat ksatria. Kau tahu apa yang
kumaksudkan?”
’’Peduli setan dengan kebajikan! Apa pedulimu
jika aku berbuat sekehendak hatiku?” sahut Klabang
Seketi gusar.
”Kau memang orang tua yang tak pernah mau
menyembunyikan kebodohan. Tetapi, kalau memang
kau ingin aku memaksamu pulang ke Gua Barong, apa
boleh buat! Hanya saja, kau akan menyesal sebab aku
harus melemparkan mu dan tubuhmu akan hancur
sebelum kau menghadapi lawanmu yang sesungguh-
nya. Bukankah kau harus menghadapi lawanmu pur-
nama besok?”
”Apa itu berarti kau menganggap dirimu lebih
hebat? Kau pikir kau bisa mengatur ku semudah itu?”
"Sudah kukatakan bahwa orang tua macam ki-
ta ini tinggal punya waktu beberapa saat untuk ber-
buat kebajikan, bukan? Apakah namanya kebajikan ji-
ka aku menganggap remeh orang lain?”
”Aku tak butuh nasihatmu! Bersiaplah kembali
ke kuburmu, bangkai laknat!” Kembali Klabang Seketi
menerjang maju. Kali ini ia mengirimkan tendangan
yang dikombinasi dengan sabetan lengan baju kirinya.
’’Wuttt! Srettt! Bukkk!”
Dengan menggeser kaki kanannya ke arah de-
pan kaki kirinya, Wiku Jaladri terbebas dari tendangan
kaki lawan. Kemudian secepat kilat tangannya terjulur,
meraih lengan baju yang mengancam mukanya, dan
menghentakkannya ke belakang tubuhnya.
Tubuh Klabang Seketi terbanting ke tanah. Se-
telah bergulingan beberapa tombak, tokoh hitam dari
Gua Barong itu melenting dan berdiri di atas kuda ku-
danya lagi.
”Maaf jika aku tidak bisa melayanimu lebih la-
ma lagi, Klabang Seketi!” kata Wiku Jaladri. ”Aku ha-
rus menghormati hakmu untuk menghadapi lawanmu
purnama besok di Lereng Gunung Sumbing”
Dalam sekejap mata, tubuh kurus kering itu te-
lah lenyap dari hadapan Klabang Seketi. Klabang Seke-
ti terpaku di tempatnya memikirkan tingkatan ilmu si-
lat lawan yang tak dikenalnya itu. Ia telah banyak
mengenal tokoh persilatan baik dari golongan hitam
mau pun golongan putih. Akan tetapi, ia belum pernah
mendengar cerita tentang orang tua serba putih yang
lebih mirip mayat hidup itu.
Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi begitu
menyesali kepergian Joko Sungsang ke Desa Dadapsa-
ri. Kalau saja anak muda itu mau menunda keper-
giannya semalam saja maka ia akan bertemu dengan
Wiku Jaladri. Endang Cantikawerdi tahu bahwa keper-
gian Joko Sungsang ke Desa Dadapsari juga bertujuan
mencari berita di mana kiranya Wiku Jaladri berada.
Dari Wasi Ekacara-lah ia berharap berita itu dida-
patkannya.
Selain daripada itu, gadis murid Cekel Janaloka
itu juga menyesal tidak bisa menyaksikan pertarungan
antara tokoh sakti dari Padepokan Jurang Jero itu me-
lawan Klabang Seketi. Betapapun ia sering mendengar
cerita tentang kesaktian Wiku Jaladri, ia merasa belum
puas jika belum melihat sendiri bagaimana sepak ter-
jang guru Joko Sungsang itu.
Setiba di kamar tidurnya, Endang Cantikawerdi
merasa tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Un-
tuk meneruskan latihan pernapasan, tidak mungkin
lagi sebab pikirannya sudah telanjur bercabang-
cabang. Kejadian yang baru saja dialaminya mem-
buatnya gelisah. Andai saja tidak muncul Wiku Jala-
dri, entah nasib buruk macam apa yang bakal menim-
panya. Yang pasti, orang tua buntung dari Gua Barong
itu akan membawanya pergi dari Desa Karangreja. Te-
tapi, bukan tidak mungkin Klabang Seketi membu-
nuhnya atau menodainya. Dan, jika ia sampai terta-
wan oleh tokoh hitam itu, berarti keselamatan Joko
Sungsang pun akan terancam, la tahu bahwa anak
muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu akan
mengutamakan keselamatan gadis yang harus dito-
longnya ketimbang memikirkan keselamatan dirinya
sendiri.
Tanpa melakukan tipu muslihat, tak mungkin
Klabang Seketi bisa mengalahkan Pendekar Perisai Na-
ga, pikir gadis itu. Kalau memang guru Bajra Luwuk
itu tidak takut menghadapi Joko Sungsang, tak perlu-
lah ia berbuat licik. Entahlah cerita apa yang dilapor-
kan dua orang suruhannya itu kepadanya sehingga
Klabang Seketi ketakutan menghadapi Joko Sungsang
secara jantan.
Terdorong oleh keinginannya untuk menyam-
paikan berita tentang kemunculan Wiku Jaladri di De-
sa Karangreja, Endang Cantikawerdi akhirnya memu-
tuskan untuk pergi ke Desa Dadapsari, menyusul Joko
Sungsang. Maka gadis itu kembali melesat keluar, me-
ninggalkan kamar tidurnya.
***
Nyai Linggar menyambut kedatangan anak
tunggalnya dengan penuh kerinduan. Perempuan tua
itu memeluk Joko Sungsang yang hampir saja tak di-
kenalinya lagi Sepuluh tahun lebih mereka tidak ber-
temu. Sejak Ki Linggar mati terbunuh oleh Kebo Dung-
kul, sejak itulah mereka berpisah. Dan, kalau saja
waktu itu Wiku Jaladri tidak muncul dan membunuh
anak buah Kebo Dungkul, tidak akan mereka sekarang
berangkulan sambil melepaskan rindu.
’’Ibu sekarang bisa kembali ke Sanareja, ” kata
Joko Sungsang setelah melepaskan pelukannya.
Nyai Linggar menyusut air matanya Air mata
kebahagiaan tentu saja. Lalu kata istri bekas demang
itu, ’’Rasanya aku tidak bisa lagi meninggalkan desa
ini, Joko. Biarlah aku tetap di sini bersama pamanmu
”
Joko Sungsang menoleh ke arah Wasi Ekacakra
’’Apakah sekiranya tidak merepotkan Paman?" ka
tanya kemudian.
’’Sejak dulu Paman menerima kedatangan ibu-
mu dengan senang hati, Anakmas. Sampai kapan pun
ibu mu ingin tinggal di sini, Paman tetap akan mene-
rima nya dengan senang hati,” jawab Wasi Ekacakra.
’’Bagaimana kabar Kiai Wiku Jaladri, Joko?”
tanya Nyai Linggar.
’’Saya ke sini justru ingin menanyakan tentang
Guru kepada Paman.”
”Lho, ada apa dengan Kakang Wiku?” sahut
Wasi Ekacakra kaget
"Sewaktu saya menengoknya ke Jurang Jero,
Guru tidak ada lagi di gua itu. Malahan gua itu seka-
rang menjadi sarang binatang melata, Paman. Saya in-
gin mencarinya, tetapi saya tidak tahu harus ke mana
mencarinya. Lalu saya putuskan kemari, barangkali
saja Paman tahu di mana kira-kira Guru berada.”
Wasi Ekacakra tertawa lirih. Nyai Linggar dan
Joko Sungsang menatapnya sambil menunggu apa
yang bakal dikatakan teman seperguruan Wiku Jaladri
itu. Tetapi, melihat wajah Wasi Ekacakra yang Cerah,
mereka berani berharap bahwa kabar baik tentang Wi-
ku Jaladri-lah yang hendak mereka dengar dari penje-
lasan orang tua sakti dari Desa Dadapsari itu.
"Sejak kami masih sama-sama muda, kelakuan
Kakang Wiku memang sulit dimengerti, ” kata Wasi
Ekacakra setelah menyeruput teh gula batunya.
’’Maksud Paman, Guru tidak bisa ditebak ke
mana perginya dan kapan kembalinya?” tanya Joko
Sung-sang.
”Itu hanya sebagian kecil kelakuan anehnya.
Ah, tetapi tak perlu kita khawatirkan nasibnya, la bisa
muncul kapan saja di antara kita. Lagi pula, ia juga
sudah berjanji kepada Paman untuk berkumpul di sini
jika ia telah merasa ajalnya tiba.”
’’Syukurlah jika itu memang kehendak Guru,”
sahut Joko Sungsang lega.
Nyai Linggar pun ikut bernapas lega begitu
mendengar keterangan dari Wasi Ekacakra. Betapapun
Wiku Jaladri bukan sanak kadangnya, ia merasa ber-
hutang nyawa kepada orang sakti dari Jurang Jero itu.
Masih tergambar di pelupuk mata Nyai Linggar
bagaimana orang tua yang lebih pantas disebut mayat
hidup itu muncul di kademangan dan mengatakan
bahwa Joko Sungsang dalam lindungannya. Nyai Ling-
gar memang tidak melihat bagaimana Wiku Jaladri
merebut Joko Sungsang dari gendongan kaki-tangan
Kebo Dungkul. Tetapi, ia merasa pasti bahwa orang
tua serba putih yang bisa terbang mirip bangau itu
bukan sembarang orang.
’’Menurut cerita Guru, Ibu waktu itu pingsan.
Aku mengira Ibu sudah tewas seperti Ayah,” kata Joko
Sungsang menengok pengalaman mereka berdua dua
belas tahun yang lalu.
”Ya, Ibu pingsan karena melihat ayahmu tewas
terkena kampak Kebo Dungkul. Tak tahan lagi Ibu me-
lihat luka di pelipis ayahmu yang menganga. Kalau sa-
ja Ibu punya kekuatan untuk melawan, tentulah ma-
lam itu juga Kebo Dungkul tewas di tanganku. ”
’’Kebo Dungkul sudah tewas, Ibu.”
’’Siapa yang membunuhnya? Kiai Wiku Jaladri
juga?”
’’Kebo Dungkul mati di ujung senjata seorang
gadis dari Padepokan Karang Bolong.”
’’Pastilah murid Kakang Sempani,” sahut Wasi
Ekacakra menimpali
’’Benar kata Paman. Dan, sekarang gadis itu te-
lah menjadi adik seperguruan saya, Paman.”
’’Maksud Anakmas, ilmu silat Padepokan Ka-
rang Bolong juga sudah Anakmas pelajari?”
’’Berkat restu dari Guru maka saya pun bergu-
ru kepada Ki Sempani, Paman.”
’’Paman ikut senang jika Anakmas bisa menya-
tukan ilmu dari Padepokan Jurang Jero dengan ilmu
Padepokan Karang Bolong. Paman tahu bagaimana
hebatnya ilmu tangan kosong dari Padepokan Karang
Bolong. ”
’’Gabungan ilmu yang Paman maksudkan su-
dah menewaskan tokoh hitam yang bernama Empu
Wadas Gempal dan Ki Danyang Bagaspati alias Selen-
dang Mayat. ”
’’Benar benar ilmu silat yang pilih tanding!” de-
sis Wasi Ekacakra.
Setelah dirasa cukup pertemuannya dengan
ibunya maupun Wasi Ekacakra, Joko Sungsang pun
berpamitan untuk kembali ke Desa Karangreja. Ia ma-
sih harus menjaga desa itu dari amukan Klabang Se-
keti yang bisa terjadi kapan saja.
"Kalau memang Anakmas Joko merasa tidak
mungkin menemui Kakang Wiku, tidak ada bedanya
Anakmas datang kepada Paman di sini,” pesan Wasi
Ekacakra sebelum melepaskan kepergian Joko Sung-
sang.
’’Terima kasih, Paman. Jika Gusti Allah membe-
ri kita panjang umur, suatu ketika pasti saya meminta
pertolongan Paman ”
Meski dengan air mata berlinang, Nyai Linggar
tetap saja melepaskan kepergian anak tunggalnya itu.
Perempuan tua ini sadar bahwa perjalanan hidup
anak-nya tidak sama dengan perjalanan hidup sua-
minya. Joko Sungsang tetap harus berkelana untuk
mengamalkan ilmu silatnya demi ketenteraman orang
orang lemah yang menjadi incaran para angkara mur-
ka.
Berkat nasihat-nasihat dari Wasi Ekacakra, pe-
rempuan tua itu tidak lagi mengkhawatirkan kesela-
matan Joko Sungsang. la sudah bisa menyakini bahwa
mati dan hidup manusia bukan ditentukan oleh ting-
kah manusia itu sendiri, melainkan telah digariskan
oleh Gusti Allah!
***
8
Sambil melangkah menyeberangi kali, Endang
Cantikawerdi masih terus memikirkan Joko Sungsang
dan Wiku Jaladri. Menurutnya, murid dan guru dari
Padepokan Jurang Jero itu adalah orang-orang yang
aneh Setelah murid dianggap cukup dalam mempelaja-
ri ilmu silat yang diajarkan gurunya, hubungan mere-
ka seakan putus begitu saja. Mereka kembali menjadi
dua orang asing yang saling tidak mengetahui kabar
satu sama lain. Joko Sungsang yang telah mewarisi ge-
lar Pendekar Perisai Naga itu begitu tega meninggalkan
gurunya selama lima tahun lebih tanpa berusaha
mengetahui bagaimana kabar gurunya. Tega atau ka-
rena terlalu patuh memegang pesan gurunya? Dan,
Wiku Jaladri pun seakan tidak ingin tahu bagaimana
polah-tingkah murid tunggalnya di dunia persilatan
Lalu gadis itu juga ingat tentang hubungan an-
tara dirinya sebagai murid dengan Cekel Janaloka se-
bagai guru. Selama menjadi murid Cekel Janaloka, be-
lum pernah sekali pun gadis itu terpisah dari gurunya
lebih dari sehari. Kalau memang Cekel Janaloka harus
meninggalkan Perguruan Gunung Sumbing selama
berhari-hari, sudah pasti Endang Cantikawerdi diajak-
nya serta. Sebaliknya, jika Endang Cantikawerdi me-
ninggalkan Gunung Sumbing, selalu gurunya mem-
bayang bayangi dari belakang Dan, ini terus berlang-
sung hingga kemudian Endang Cantikawerdi menden-
gar kabar tentang tewasnya Cekel Janaloka di Desa
Gedong Tengen.
Namun, betapapun ia merasa selalu dilindungi
oleh gurunya, tetap saja ia merasa perlindungan Joko
Sungsang terhadap dirinya melebihi perlindungan yang
pernah diterimanya dari Cekel Janaloka. Barangkali
wajar jika seorang guru berusaha menyelamatkan mu-
ridnya dari ancaman pihak lawan. Tetapi, wajarkah ji-
ka seorang Joko Sungsang yang baru dikenalnya telah
menyelamatkannya dari ancaman tangan maut Empu
Wadas Gempal dan Singa Laut Utara?
Ya, dua kali aku telah diselamatkan oleh Pen-
dekar Perisai Naga itu, pikir Endang Cantikawerdi.
Dan, untuk ketiga kalinya malahan gurunya yang me-
nolongku dari ancaman Klabang Seketi yang mengeri-
kan itu. Seolah guru dan murid itu telah sepakat un-
tuk bergantian melindungiku. Lalu, kenapa kau ini se-
lalu menjadi beban bagi orang lain? Dan, kenapa pula
Joko Sungsang seakan selalu membayang bayangi
langkah-ku?
Ada desiran halus menjalari lekuk hati gadis itu
manakala ia memikirkan kebaikan Joko Sungsang ter-
hadap dirinya. Namun, gadis itu tidak mempunyai ke-
beranian untuk bertanya kepada dirinya sendiri, ’’Cin-
takah ia kepadaku?”
Rasa rendah diri menghadapi anak muda yang
bergelar Pendekar Perisai Naga itu lambat-laun me-
mang bisa lenyap dari rongga dada Endang Cantika-
werdi. Ia sudah berhasil menghilangkan perasaan
bahwa ia datang dari golongan sesat sementara' Joko
Sungsang jelas-jelas dari golongan lurus. la tak lagi
khawatir mendapatkan julukan sebagai murid orang
sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, la merasa pan-
tas untuk mencintai dan dicintai pendekar tersohor
macam Pendekar Perisai Naga.
’’Tetapi, bagaimana dengan gadis yang bernama
Sekar Arum itu?” Pertanyaan ini yang tak bisa dihi-
langkan Endang Cantikawerdi.
Meski dalam beberapa hari terakhir ini ia mera-
sa dekat sekali dengan Joko Sungsang, tak sekelumit
pun ia berani berpikir bahwa mereka berdua kelak
akan menjadi sepasang kekasih. Bayangan Sekar
Arum selalu melintas-lintas di pelupuk mata setiap ia
menikmati kebahagiaan bisa berdekatan dengan Joko
Sungsang. Ia merasa pasti bahwa antara Sekar Arum
dan Joko Sungsang telah terjalin hubungan batin yang
erat sekali.
Kecamuk dalam hati Endang Cantikawerdi tiba-
tiba terhenti. Gadis itu menajamkan pendengarannya.
Semakin jelas tertangkap oleh telinganya suara suara
senjata beradu. Ada pertarungan seru terjadi tak jauh
dari tempatnya berdiri. Maka gadis itu mengendap-
endap mendekati arah datangnya suara. Sekilas-pintas
gadis itu berpikir bahwa telah terjadi perampokan. Ak-
hir-akhir ini memang sering terjadi perampokan di luar
desa. Masih banyak anak buah tokoh hitam yang tetap
nekad menjadi perusuh sekalipun pimpinan mereka
telah tewas di tangan pendekar-pendekar dari golon-
gan lurus. Hanya saja, mereka memang tidak berani
lagi bermarkas di desa desa.
Tebakan Endang Cantikawerdi memang tidak
jauh meleset. Di sana, di bawah pohon trembesi, ten-
gah berlangsung pertarungan antara sekawanan pe-
rampok melawan seorang gadis berpakaian serba pu-
tih. Tak sulit bagi Endang Cantikawerdi untuk menge-
nali siapa gadis yang sedang dikeroyok orang-orang
kasar itu. Baru saja bayangan gadis itu lepas dari be-
naknya.
’’Sekar Arum!” desis Endang Cantikawerdi se-
raya mencari tempat persembunyian yang lebih aman.
Tak ada keinginan Endang Cantikawerdi untuk
ikut terjun dalam kancah pertarungan itu Tak ada ala-
san baginya untuk mencampuri urusan mereka. Gadis
Padepokan Karang Bolong itu terlalu perkasa bagi la-
wan lawannya. Dalam beberapa jurus, tombak pendek
di tangan gadis itu telah merobohkan dua orang la-
wannya.
"Jahanam keparat!” seru lelaki berikat kepala
abu-abu seraya menusukkan goloknya ke arah dada
Sekar Arum.
Akan tetapi, dengan mudah gadis itu mengelak,
dan satu patukan mata tombak membuat lelaki itu ha-
rus membuang tubuhnya ke belakang. Mata Endang
Cantikawerdi terbelalak ketika dilihatnya tendangan
gadis itu bersarang di pinggang lelaki berikat kepala
abu abu itu, namun seakan lelaki itu tak merasakan
kesakitan sama sekali.
”Ha ha ha! Pijatanmu enak juga, bocah ayu bi-
nal!” kata lelaki berikat kepala abu abu itu.
’’Rupanya kau belum pernah kenal nama Ba-
jang Kerek, ya?”
’’Bajang Kerek?” desis Endang Cantikawerdi.
Rasanya ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut
oleh Joko Sungsang Ah, pastilah lelaki ini yang bersa-
ma Bajang Ijo mengeroyok Joko Sungsang di kedai mi-
num itu!
Serta merta darah gadis itu mendidih Kali ini
tak ada yang akan mencegahnya jika ia melabrak lelaki
anak buah Klabang Seketi itu. Maka Endang Cantika-
werdi mencengkeram erat erat toya dewondarunya.
Hampir saja ia melompat keluar dari tempat persem-
bunyiannya kalau tidak terjadi sesuatu yang mencegah
niatnya. Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya,
berdiri Joko Sungsang di pinggir ajang pertarungan
itu. Dan, begitu melihat Joko Sungsang muncul, lelaki
yang mengaku bernama Bajang Kerek bergerak mun-
dur. Lalu ia mengisyaratkan sesuatu kepada teman-
temannya agar segera meninggalkan tempat itu.
’’Biar aku yang menghadapi anak muda itu,
Kakang!” ujar salah seorang temannya.
’’Pergi kataku!" bentak Bajang Kerek seraya
mendahului teman-temannya meninggalkan Sekar
Arum.
’’Tahan, Arum!” seru Joko Sungsang demi meli-
hat gadis itu hendak memburu lawan-lawannya.
’’Kenapa harus membiarkan mereka pergi?” Se-
kar Arum memandang tak mengerti.
’’Untuk apa? Jelas mereka takut menghadapi-
mu. ”
’’Mereka takut melihatmu! Seharusnya kau
jangan menampakkan diri sebelum aku merobohkan
cecurut yang kebal pukulan tadi!”
”Ia tidak kebal, Arum. Salah seorang temannya
pernah aku lukai dengan jari tanganku.”
’’Karena itu mereka takut melihatmu! Tetapi,
mereka tidak takut mengeroyokku! Mereka harus dibe-
ri pelajaran agar tidak berbuat seenak perut mereka!”
Endang Cantikawerdi tak tahan lagi menden-
garkan perdebatan Joko Sungsang dan Sekar Arum.
Terlebih ia tak tahan melihat tingkah Sekar Arum yang
menurutnya semakin memuakkan itu. Ingin sebenar-
nya ia memberi pelajaran kepada gadis itu agar mau
sedikit rendah hati. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin
dilakukannya selama di antara mereka terdapat Joko
Sungsang.
Maka Endang Cantikawerdi bergegas mening-
galkan tempat persembunyiannya, la melesat ke arah
Bajang Kerek berlari. Sudah jelas baginya bahwa lelaki
berikat kepala abu-abu itulah yang pernah menca-
rinya. Kemarahan begitu cepat berkobar di relung hati
gadis itu. Bukan saja marah melihat Bajang Kerek, me-
lainkan Juga marah karena gagal menjumpai Joko
Sungsang. Apa yang direncanakan dari rumah urung
sebab gadis bertombak pendek itu bersama Joko
Sungsang. Padahal ia ingin sekali melihat kegembiraan
di wajah Joko Sungsang sewaktu ia bercerita tentang
kemunculan Wiku Jaladri malam itu.
’’Jangan lari, Bajang Kerek!” seru Endang Can-
tikawerdi begitu terlihat sosok orang yang dikejarnya.
Masih sambil berlari, Bajang Kerek menoleh.
Namun, la segera menghentikan langkahnya begitu
melihat siapa yang memanggilnya.
”He he he! rupanya ada juga gadis cantik yang
ingin berkenalan dengan Bajang Kerek!” katanya sem-
bari mengelus cambang yang hampir menutupi seku-
jur bibirnya
’’Kalau kau masih waras, dan ingatanmu masih
bisa kau pakai, akulah anak Ki Punjul Weda yang per-
nah kau cari-cari!”
”Oh, ya? Wah, wah, wah! Kenapa aku begitu
bodoh? Ya, aku memang pernah menunggumu di kedai
minum itu! Tetapi, kenapa kau suruh bocah keparat
itu
yang menemuiku?”
’’Jaga mulutmu, Bajang keparat! Aku tahu, tadi
kau lari terbirit-birit karena kau lihat Pendekar Perisai
Naga berdiri di belakangmu!”
”Ha-ha-ha! Jadi, kau anggap aku takut meng-
hadapi bocah ingusan itu?”
’’Dasar mulut kotori" sahut Endang Cantika-
werdi sambil menerjang lelaki itu dengan sabetan
toyanya.
Kaget bukan kepalang Bajang Kerek mengha-
dapi serangan yang begitu mendadak dan cepat itu.
Namun, anak buah Klabang Seketi ini masih mampu
berkelit dan bahkan mengirimkan serangan balasan.
’Trakkk!”
Ujung toya dewondaru bertemu dengan golok
milik Bajang Kerek. Terbelalak mata Bajang Kerek se-
bab benturan itu menyebabkan ujung goloknya ku-
tung. Sungguh tidak masuk di akal jika toya yang
hanya terbuat dari kayu itu mampu mematahkan go-
lok yang terbuai dari per delman.
Endang Cantikawerdi tertawa dalam hati. Da-
lam gebrakan pertama tadi ia memang langsung men-
gerahkan tenaga dalam dan dipusatkan di ujung
toyanya. Dan, ia memang mengharapkan lawan me-
nangkis toyanya dengan golok.
’’Masih juga kau gunakan golokmu yang buruk
itu, Bajang Kerek?” ejek gadis itu sambil mencibir.
’’Jahanam keparat!” dengus Bajang Kerek.
’’Jangan besar kepala kau, gadis binal! Rasakan jari-
jari mautku!”
Endang Cantikawerdi tahu bahwa lawan telah
mengerahkan ajian kekebalan. Untuk itu, ia tak ingin
memberikan kesempatan kepada lawan untuk mem-
banggakan ilmu kebal tubuhnya. Maka ia pun menge-
rahkan Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat Inilah ju-
rus andalan yang pernah menewaskan Bajra Luwuk
beberapa waktu yang lalu.
”Ho ho ho! Kucing kelaparan berusaha melawan
rajawali! Minggirlah Bajang Kerek! Kau tak akan mam-
pu menahan Jurus Toya Sakti Pengusir Malaikat!” Ti-
ba-tiba terderu suara dari kerimbunan semak semak.
Lalu, muncullah Klabang Seketi seraya mendorong tu-
buh Bajang Kerek agar menyingkir dari arena perta-
rungan.
Tanpa mengulur waktu, Endang Cantikawerdi
langsung memburu Klabang Seketi dengan toyanya. la
tak ingin memberikan peluang bagi orang sesat dari
Gua Barong itu untuk mempersiapkan diri Namun be-
gitu, Klabang Seketi bukanlah Bajang Kerek yang tak
mampu memperhitungkan serangan lawan la tahu
persis bagaimana ganasnya toya di tangan gadis itu ji-
ka sudah dilambari jurus andalannya Gerakan toya itu
mirip gerakan ular kobra. Sesekali meluncur mirip
anak panah
Dalam pada itu, Endang Cantikawerdi bersikap
lebih hati hati. Tak mau ia tersandung untuk yang ke-
dua kalinya. Pengalaman yang mengerikan di pinggiran
Desa Karangreja itu tak pernah lekang dari benaknya.
Bisa dibayangkan bagaimana nasibnya jika malam itu
Wiku Jaladri tidak muncul menolongnya.
Mengingat itu semua, Endang Cantikawerdi
sangat memperhitungkan gerak lengan kiri baju lawan
yang siap melilit toyanya kapan saja Ia segera memutar
toyanya setiap dilihatnya lengan baju lawan hampir
melilit toya itu Maka pertarungan berjalan semakin
sengit. Klabang Seketi yang telah mengerahkan ajian
Lintah Sayuta semakin geram sebab baik jari jari tan-
gannya maupun lengan kiri bajunya tak kunjung me-
nemui sasaran.
Sementara Endang Cantikawerdi bertarung
sengit melawan Klabang Seketi, tak jauh dari kancah
pertarungan itu, Joko Sungsang masih juga belum
berhasil melunakkan kekerasan hati Sekar Arum. Ga-
dis itu bersikeras mengelana seorang diri sekalipun
Joko Sungsang bersedia menemani.
"Kalau ada apa-apa yang menimpamu, akulah
yang akan dipersalahkan Ki Sempani, Arum. Sejak kita
bertemu beberapa tahun yang lalu, Ki Sempani selalu
meminta ku untuk mengawasi mu....”
’’Karena ilmu silatku tidak setinggi ilmu silat
gadis murid orang sesat. itu, bukan?” tukas Sekar
Arum sengit.
’’Cantikawerdi maksudmu?”
Sekar Arum tidak menjawab. Ia mulai melang-
kah lagi. Namun, Joko Sungsang sigap mencegat lang-
kah gadis itu.
’’Baiklah kalau memang kau membenciku ka-
rena-aku membuat musuh-musuhmu lari,” kata Joko
Sungsang kemudian. ’’Tetapi, sekali lagi aku ingatkan
bahwa sebaiknya kau segera pulang ke padepokan se-
telah kau bertemu dengan kedua orang tuamu.”
’’Kenapa aku harus pulang ke padepokan? Apa
kau dan Guru menganggapku belum pantas berkela-
na? Apa hanya kau yang telah menguasai Ilmu Puku-
lan Ombak Laut Selatan yang pantas berkeliaran ke
sana-sini?”
’’Arum, kalaupun aku bersedia menemanimu
pulang ke desa kelahiranmu, tidak berarti aku
mengkhawatirkan mu tidak mampu menghadapi ba-
haya. Sungguh, aku ingin juga berkenalan dengan ke-
dua orang tuamu, Arum.”
’’Buat apa? Bukankah kau telah berkenalan
dengan orang tua gadis Gunung Sumbing itu?”
Ingin sebenarnya Joko Sungsang tertawa, tetapi
ditahannya. Sekarang barulah ia tahu kenapa Sekar
Arum bersikap senyil terhadapnya. Cemburu atau apa-
lah namanya Tetapi, yang pasti Sekar Arum tidak me-
nyukai kehadiran Endang Cantikawerdi di antara me-
reka berdua.
’’Arum, tinggal semalam lagi bulan purnama
akan tiba. Cobalah kau tunda dulu kepentingamnu Se-
tidaknya, biarkan aku mengantarmu sebelum aku ha-
rus bertarung hidup dan mati dengan Klabang Seketi.”
Sekar Arum menoleh begitu Joko Sungsang menyebut
nyebut nama Klabang Seketi Ia pernah mendengar ce-
rita tentang orang buntung dari Gua Barong ini. Tak
bisa diremehkan begitu saja sebab Klabang Seketi
memiliki ilmu kekebalan tubuh.
’’Maksudmu, kau menantang Klabang Seketi
pada purnama nanti?” tanya gadis itu setelah untuk
sejenak merenung.
’’Hanya agar dia tidak salah alamat dalam me-
lampiaskan dendam,” jawab Joko Sungsang alias Pen-
dekar Perisai Naga
’’Apakah kau mempunyai urusan dengan orang
sesat dari Gua Barong itu?”
’’Salah seorang muridnya aku kalahkan bebe-
rapa hari yang lalu.”
Sekar Arum menundukkan wajahnya. Bagai-
manapun kesalnya hati gadis itu, tetap saja ia merasa
tidak tega mengecewakan hati Joko Sungsang. Kalau
saja Joko Sungsang menang dalam pertarungan hidup
dan mati melawan Klabang Seketi nanti, memang tidak
ada masalah. Tetapi, kalau sampai ia terbunuh?
’’Mati dan hidup manusia ada di tangan Gusti
Allah. Rezeki dan maut datangnya tak bisa kita ramal-
kan. Oleh sebab itu, jangan sekali-sekali merasa bah-
wa ilmu silat kalian tak ada yang bisa menandingi Tak
ada ilmu apa pun yang tidak tertandingi di dunia ini,”
pesan Ki Sempani terngiang kembali di telinga Sekar
Arum.
”Aku akan datang purnama nanti,” kata gadis
itu pada akhirnya.
’’Jadi, kau tetap tidak memperbolehkan aku
mengantarmu menemui kedua orang tuamu?”
’’Katakan di mana aku harus menemuimu pada
malam purnama nanti!” sahut Sekar Arum tanpa
mempedulikan pertanyaan Joko Sungsang.
”Kau bisa menemuiku di Lereng Gunung Sumb-
ing, Arum,” jawab Joko Sungsang setelah menghela
napas panjang.
’’Bukankah itu wilayah Perguruan Gunung
Sumbing?”
’’Perguruan Gunung Sumbing tidak ada lagi
semenjak Cekel Janatoka tewas Arum.”
’’Masih ada ahli warisnya yang wajib memeliha-
ra kelanggengan perguruan orang sesat itu!”
”Aku hanya ingin mencari tempat yang paling
tepat untuk bertarung hidup dan mati. Jadi, tak ada
hubungannya dengan Perguruan Gunung Sumbing.
Bukankah Gunung Sumbing bukan hanya milik orang-
orang Perguruan Gunung Sumbing?”
”Ya Aku akan ke sana purnama nanti!” sahut
Sekar Arum seraya melompat pergi.
Tak ada lagi alasan bagi Joko Sungsang untuk
mencegah kepergian gadis itu seorang diri. Maka ia
terpaksa menegakkan kepergian gadis itu sambil ber-
doa dalam hati, "Semoga kau dalam lindungan-Nya,
Arum.
***
Joko Sungsang melesat berlawanan dengan
arah kepergian Sekar Arum Tak ada tujuan lain kecua-
li ingin melacak kepergian Endang Cantikawerdi. Meski
Kembang Desa Karangreja itu bersembunyi sewaktu
menyaksikan pertarungan Sekar Arum melawan Ba-
jang Kerek dan kawan kawannya, sepintas kilas Joko
Sungsang melihatnya. Karena itulah ia buru-buru me-
nampakkan diri sebelum gadis itu turun ke kancah
pertarungan membantu Sekar Arum. Joko Sungsang
memaklumi betapa Sekar Arum tidak mudah meneri-
ma pertolongan dari siapa pun sebelum ia merasa ter-
desak oleh lawan. Terlebih pertolongan dari Endang
Cantikawerdi yang tak disukainya. Salah-salah mala-
han bisa timbul pertarungan segi tiga antara Sekar
Arum, Bajang Kerek dan kawan-kawannya, serta En-
dang Cantikawerdi Kalau ini sampai terjadi, jelas tidak
mudah bagi Joko Sungsang untuk mengatasinya.
Belum seratus tombak Joko Sungsang melang-
kah, telinganya telah mendengar suara tawa Klabang
Seketi. Dan, suara tawa itu jelas menandakan bahwa
orang sesat dari Gua Barong itu tengah unggul dalam
sebuah pertarungan. Maka Joko Sungsang melenting
ke sebuah dahan, mencari-cari arah suara tawa Kla-
bang Se-keti.
’’Jahanam licik!” desisnya begitu melihat siapa
yang sedang dipecundangi Klabang Seketi dan Bajang
Kerek.
Endang Cantikawerdi bergulingan di tanah ka-
rena desakan Klabang Seketi sementara Bajang Kerek
siap menerkam tubuh gadis itu. Untuk menghalau Ba-
jang Kerek, gadis itu memutar toya dewondarunya
Akan tetapi lengan kiri baju Klabang Seketi berhasil
melilit pergelangan kaki gadis itu. Untuk menjaga ke-
seimbangan tubuhnya akibat hentakan lengan baju
itu, Endang Cantikawerdi terpaksa menghentikan pu-
taran toyanya Ketika itulah Bajang Kerek menyarang-
kan tendangan ke punggung gadis itu
’’Desss!”
Tendangan telak itu membuat tubuh Endang
Cantikawerdi terlempar beberapa tombak Tubuh gadis
itu terbanting ke tanah, dan sebelum ia menguasai
keadaan, secepat kilat lengan baju Klabang Seketi me-
nyerobot toya dewondarunya.
Ha ha-ha! Kau lebih menawan jika tanpa me-
nyandang toya ini, Cah Ayu!” ujar Klabang Seketi se-
raya meleletkan lidah di bibir.
"Jahanam busuk! Sebelum nyawaku melayang,
aku tidak akan mengaku kalah melawan binatang-
binatang macam kalian! ” sergah Endang Cantikawerdi
dengan kemarahan mendesak ubun-ubun
"Binatang? Ha ha ha! Kalau aku binatang, tak
akan timbul keinginanku untuk memondongmu, Cah
Moblong!” sahut Bajang Kerek diiringi tawa gurunya.
Lalu, dengan gerak serentak guru dan murid itu me-
langkah maju mendekati Endang Cantikawerdi yang
telah kehilangan separuh tenaganya.
’’Biar ku ikat dia dengan lengan bajuku, baru
kau bisa membopongnya, Bajang goblok!” kata Klabang
Seketi sambil mengibas-ngibaskan lengan kiri bajunya.
Akan tetapi, sewaktu lengan baju Itu meluncur
ke arah pinggang gadis itu, tiba-tiba terdengar ledakan
cambuk, dan lengan kiri baju Klabang Seketi berham-
buran dalam ujud serpihan-serpihan.
Terbelalak mata Klabang Seketi dan Bajang Ke-
rek memandangi siapa yang berdiri di samping Endang
Cantikawerdi. Meski mereka pernah mendengar nama
besar Pendekar Perisai Naga, baru kali Ini mereka bisa
bertatap muka.
’’Bukankah aku sedang berhadapan dengan
Pendekar Perisai Naga?" tanya Klabang Seketi sambil
meneliti anak muda berpakaian serba putih dan men-
gikat rambut di kepalanya dengan kulit ular sanca itu.
"Siapa pun boleh memberikan julukan apa saja
buatku. Tetapi, namaku Joko Sungsang!” jawab Joko
Sungsang.
”He he-he, tak salah lagi! Memang sering aku
dengar bahwa Pendekar Perisai Naga lebih senang di-
panggil dengan nama pemberian orang tuanya!”
”Ki Lurah, inilah anak muda yang melukai Ba-
jang Ijo malam itu!” bisik Bajang Kerek.
"Hei! Rupanya Pendekar Perisai Naga suka juga
menyamar menjadi petani? Benar begitu, Anak Muda?”
"Akulah yang menantangmu besok purnama
naik di Lereng Gunung Sumbing.”
”Ha-ha-ha! Nama besarmu sebanding dengan
kesombonganmu, Anak Muda! Tetapi, tak apalah aku
merasa mendapat kehormatan jika bisa menandingi
mu!”
’’Klabang Seketi, kembalikan toya dewondaru
itu kepada pemiliknya, dan kita bertemu lagi di lereng
Gunung Sumbing purnama nanti.”
’’Kenapa mesti menunggu bulan purnama?
Apakah ilmu silatmu takut dengan sinar matahari?”
’’Maksudmu, kita bisa tuntaskan urusan kita
sekarang juga?”
”Kau sudah mengutungkan lengan bajuku.
Tentu saja kau tidak akan membiarkanmu pergi begitu
saja, Anak Muda! Kecuali jika kau bisa menyulap len-
gan bajuku ini menjadi utuh kembali!”
’’Bersiaplah, Klabang Seketi,” kata Joko Sung-
sang seraya melilitkan cambuk Perisai Naga ke ping-
gang nya.
’’Kenapa kau malu mempergunakan senjata-
mu? Aku bisa menggunakan toya ini untuk menandin-
gi cambuk ularmu itu, Anak muda!”
’’Sudah kukatakan, kembalikan toya itu kepada
pemiliknya, Klabang Seketi!” hardik Joko Sungsang
’’Baiklah! Akan lebih mulia jika aku bisa mem-
bunuh Pendekar Perisai Naga dengan tangan kosong
ku!” Berkata begini Klabang Seketi lantas mengang-
surkan toya dewondaru kepada Endang Cantikawerdi
Setelah itu, secepat kilat ia menerjang Joko Sungsang
dengan lima jari kanannya terkembang.
Angin panas yang keluar dari kelima jari tangan
itu menyadarkan Joko Sungsang bahwa tokoh hitam
dan Gua Barong itu telah menerapkan ajian Lintah
Sayuta yang diandalkannya. Maka Joko Sungsang pun
tidak berani gegabah menyepelekan serangan lawan.
Ia bergerak merunduk sambil menjulurkan tin-
junya ke perut Klabang Seketi.
’’Wuuut! Wusss!"
Kedua serangan itu sama-sama mengenai tem-
pat kosong. Kemudian kembali Klabang Seketi mener-
jang.
Kali ini ia menggeram disertai tendangan kaki
ke arah pelipis Joko Sungsang. Dengan gesit Joko
Sungsang memiringkan tubuhnya ke kiri. Namun, se-
cepat kilat tangan kanan Klabang Seketi menjulur ke
arah paha kanannya. Angin panas terasa menyengat
kulit ketika lima jari maut Itu setengah jengkal mele-
wati paha kanannya. Joko Sungsang bisa membayang-
kan akibatnya jika kelima jari tangan lawan berhasil
mencengkeram pahanya. Dalam beberapa tarikan na-
pas, sejuta lintah seolah menyerbu tubuh yang ter-
cengkeram kelima jari tokoh hitam dari Gua Barong
itu. Maka sejuta lintah itu akan menguras habis darah
yang terkandung dalam tubuh mangsanya.
Melihat pertarungan kedua tokoh sakti dari
rimba persilatan itu, Bajang Kerek hampir-hampir tak
sempat mengerdipkan mata. Dalam mimpi pun belum
pernah ia menyaksikan pertarungan seseru itu. Dan,
semakin lama tubuh kedua pendekar berlawanan ali-
ran itu semakin tak nampak ujudnya. Yang nampak
tinggal bayangan berwarna putih bersih dan bayangan
berwarna kelabu saling menyambar.
Tak jauh dari tempat Bajang Kerek terlongong-
longong, Endang Cantikawerdi pun merasa kagum
menyaksikan pertarungan kedua tokoh rimba persila-
tan itu. Hanya saja, ia masih bisa mengikuti gerak tan-
gan dan kaki Joko Sungsang maupun Klabang Seketi.
Dari itu, diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dalam
beberapa hari terakhir ini ia sempat memperdalam il-
mu silatnya di bawah bimbingan Pendekar Perisai Na-
ga. Malahan ia sudah memulai mempelajari jurus ju-
rus dari Padepokan Jurang Jero Dan, kalau saja ma-
lam itu tidak muncul Bajang Ijo dan Bajang Kerek di
kedai minum itu, tentulah mereka berdua hingga seka-
rang masih berkutat dengan latihan-latihan yang ke-
tat.
"Dukkk!”
Tumit kaki kiri Joko Sungsang bersarang di pe-
rut Klabang Seketi. Akan tetapi, penguasa Gua Barong
itu bukannya mengaduh, melainkan malah tertawa geli
mirip orang digelitik.
Menyadari bahwa lawan telah mengerahkan il-
mu kebalnya, Joko Sungsang melompat mundur bebe-
rapa tombak dan mempersiapkan ilmu andalan Pade-
pokan Karang Bolong. Hanya dengan Ilmu Pukulan
Ombak Laut Selatan maka ia akan mampu menembus
benteng lawan.
Melihat gerak tangan dan kaki Joko Sungsang
yang aneh itu, Klabang Seketi semakin mawas diri. Ia
memang pernah mendengar kebesaran nama Pendekar
Perisai Naga, tetapi ia tak pernah tahu jurus andalan
macam apa yang bakal dilancarkan anak muda itu
tanpa cambuk di tangannya. Maka Klabang Seketi ba-
ru menyadari bahwa lengan kiri bajunya tak bisa lagi
membantunya sewaktu ia ingin merangkapi ajian Lin-
tah Sayutanya dengan lengan baju itu. Untuk itu, ia
terpaksa menggunakan ikat kepalanya sebagai ganti
lengan kiri bajunya yang telah hancur tercabik cabik
ujung cambuk.
Berkenit dahi Endang Cantikawerdi melihat to-
koh hitam dari Gua Barong itu mengikatkan ikat kepa-
lanya ke pergelangan tangan kanannya. Begitu tangkas
gerakan itu meskipun hanya dilakukan dengan gigi.
Gadis itu semakin jeli mengamati gerak tangan kanan
Klabang Seketi. Juntaian ikat kepala itu ternyata sela-
lu menyusul gerakan jari jari tangan yang gagal me-
nemui sasaran.
’’Srettt!”
”Awas, Joko!" teriak Endang Cantikawerdi tak
bisa ditahan ketika terlihat olehnya ikat kepala itu
berhasil membelit pergelangan tangan kiri Joko Sung-
sang.
Joko Sungsang harus memutar tubuhnya di
udara untuk bisa melepaskan lilitan ikat kepala di per-
gelangan tangannya. Dan. ketika kakinya kembali
menginjak tanah, di telapak tangan kanan anak muda
itu telah tergenggam gagang cambuk yang terbuat dari
batu hitam. Sementara itu, bola berduri berwarna hi-
jau-kebiru biruan tergenggam di telapak tangan yang
lain.
Melihat lawan telah bersiap-siap dengan cam-
buk andalannya, Klabang Seketi berpikir dua kali un-
tuk kembali menerjang. Ia mulai membayangkan, apa
jadinya jika bola berduri di ujung cambuk itu nanti
menyambar kepala atau anggota tubuhnya yang lain.
Kalau nyatanya jalinan benang saja bisa tercabik, ba-
gaimana nasib daging tubuh yang sempat tersambar
benda aneh itu?
”Ha-ha-ha! Rupanya kau tak tahan juga meng-
hadapiku hanya dengan tangan kosong, Pendekar
sombong!” gertak Klabang Seketi berusaha mengecil-
kan tekad juang lawan. Kemudian ia membuka telapak
tangannya, menarik hingga dada, dan mendorongnya
kuat-kuat ke depan.
’’Wusss!”
Angin panas begitu dahsyat menyambar dada
Joko Sungsang. Namun, gerak telapak tangan Klabang
Seketi ini begitu cepat terbaca olehnya la pastikan
bahwa tokoh hitam berlengan tunggal itu hanya akan
melawannya dari jarak jauh. Oleh sebab itu, begitu
nampak gerak telapak tangan lawan, Joko Sungsang
membuang tubuhnya ke samping sembari melecutkan
cambuk kulit ularnya. Bola berduri yang mirip buah
kecubung itu menyambar pergelangan tangan Klabang
Seketi.
’’Brettt!”
Klabang Seketi berhasil membebaskan perge-
langan tangannya dari sambaran ujung cambuk Joko
Sungsang, tetapi ikat kepala yang terjuntai di perge-
langan tangan itu masih terburu. Kembali Klabang Se-
keti harus melihat senjata serepnya tercabik-cabik.
’’Setan, gendruwo, demit, kuntilanak, sundel
bolong!” sumpah serapah tokoh hitam dari Gua Barong
itu berloncatan dari mulutnya.
’’Mungkin celana pangsimu bisa kau perguna-
kan sebagai ganti ikat kepalamu, Klabang Seketi?” ejek
Joko Sungsang membuat Endang Cantikawerdi terta-
wa mengikik.
’’Bocah sombong! Kerahkan semua jurus cam-
buk-mu, dan kau akan tahu dengan siapa kau berha-
dapan!” ujar Klabang Seketi dengan muka memerah.
Lalu, dalam beberapa helaan napas, warna merah di
wajah orang tua buntung itu menjalar ke leher, lengan,
dan akhirnya menyatu dengan warna merah di telapak
tangan. Inilah aji pamungkas yang hanya bisa keluar
jika pemiliknya dilanda rasa putus asa.
"Ajian Klabang Dahana” desis Joko Sungsang
dalam hati Maka ia ingat penuturan Ki Sempani ten-
tang ajian ini. Jangan lagi tubuh manusia sampai ter-
sentuh, sedangkan pohon pun bila tersentuh seketika
bisa hangus. Dan, jika ajian ini dibarengi dengan ajian
Lintah Sayuta, maka jadilah arang pohon itu.
Joko Sungsang yang semula hendak memper-
gunakan Jurus Naga Melilit Gunung, terpaksa mengu-
rungkannya. Celaka jika sampai cambuk kulit ularnya
berubah menjadi arang Karena itu ia harus mengha-
dapi ajian Klabang Dahana itu dengan jurus gabungan
antara Ilmu Pukulan Ombak Laut Selatan dengan Ju-
rus Mematuk Elang dalam Mega la merasa pasti bahwa
bola berduri yang terbuat dari batu cincin itu tak akan
hangus oleh sengatan Klabang Dahana.
Dan, sewaktu Klabang Seketi menerjang maju
dengan cakaran jari jari tangannya, Joko Sungsang
menyongsongnya dengan Jurus Mematuk Elang dalam
Mega. Bola berduri berwarna hijau kebiru biruan itu
bagai kilat menyambar telapak tangan Klabang Seketi.
Akibat benturan batu cincin melawan telapak tangan
itu sungguh mengejutkan Endang Cantikawerdi dan
Bajang Kerek. Ada percikan api berwarna biru muda
menyilaukan mata keduanya.
Klabang Seketi menarik mundur telapak tangan
nya. Sengatan bola berduri itu serasa membelah tela-
pak tangannya ia membuang telapak tangannya ke be-
lakang berbarengan dengan tendangan kaki kirinya
mengarah ke lengan Joko Sungsang yang terjulur
’’Desss'”
Benturan punggung telapak kaki dan lengan
kanan itu tak bisa dielakkan Dua ajian yang melamban
kedua anggota tubuh itu beradu Cambuk di tangan
Joko Sungsang terlepas sebab telapak tangan yang
menggenggamnya seketika kejang. Akan tetapi, secepat
kilat tangan kiri Joko Sungsang menyambar gagang
cambuk itu kembali Dan, secepat kilat pula tangan kiri
Joko Sungsang melecutkan cambuk itu.
’Tasss!”
Kini bola berduri di ujung cambuk itu mematuk
bahu kanan Klabang Seketi. Tubuh tokoh hitam ber-
lengan tunggal itu terhuyung-huyung Dan, sebelum
tubuh Itu tersangga kuda-kuda kembali, tumit Joko
Sungsang melabrak dada yang tak lagi terlindungi itu.
Tangan kanan Klabang Seketi memang tak bisa lagi
melindungi dada sebab sengatan bola berduri di bahu
kanan itu membuat sekujur tangan itu lumpuh
’’Desss! Huuukkk!”
Kini tubuh Klabang Seketi terpelanting ke bela-
kang dan membentur pokok pohon tanjung Seketika
itu juga pohon itu hangus tersentuh ajian Klabang Da-
hana yang masih tersisa.
Melihat lawan tak bergerak lagi, Joko Sungsang
mencengkeram lengan kanannya, tubuhnya pelahan
turun, dan akhirnya ia terduduk dengan berlandaskan
kedua tulang keringnya.
Terlonjak Cantikawerdi dari tempatnya duduk,
dan dengan sekali lompat ia berhasil menahan tubuh
Joko Sungsang agar tidak roboh.
”Kau masih tahan, Joko?” tanya gadis itu ce-
mas.
“Tak apa apa. Aku hanya sedikit lemas Sentu-
han kaki jahanam itu seolah menyedot separuh darah
yang ada di tubuhku ”
’’Lintah Sayuta !” Berdesah Endang Cantika-
werdi. Lalu gadis itu menoleh ke arah Klabang Seketi.
Tubuh orang tua itu tak lagi merah. Kini justru memu-
cat seputih telapak kaki.
’Tak kau kejar Bajang Kerek?” tanya Joko
Sungsang.
”Ah! Kenapa aku lupa melihat-lihat cecurut
itu?” Endang Cantikawerdi mengedarkan pandang ma-
tanya, tetapi tak dilihatnya bayangan orang yang dica-
rinya.
’’Biarlah ia tetap hidup. Mudah-mudahan ia sa-
dar untuk kembali menjadi orang baik-baik,” kata Joko
Sungsang sebelum bersila dan berniat memusatkan
hawa murni untuk melawan cedera di lengan kanan-
nya.
"Jangan kau lawan dengan hawa murnimu, Jo-
ko. ” Suara ini begitu lirih, tetapi bagai petir bagi telin-
ga Joko Sungsang. Suara yang selama ini sangat dike-
nalnya. Suara yang selalu bernada sabar dan pasrah.
”Guru. ..!” seru Joko Sungsang seraya berlutut
di depan kaki Wiku Jaladri.
"Bangunlah. Gadis ini bisa menolong menyem-
buhkan lengan kananmu," kata Wiku Jaladri sambil
menunjuk Endang Cantikawerdi
"Saya, Kiai?” Endang Cantikawerdi menganga-
kan mulutnya.
"Pasir kepundan Gunung Sumbing itu bisa me-
nyedot getah lintah yang menempel di lengan Joko
Sungsang,” jelas Wiku Jaladri.
Endang Cantikawerdi memandang Joko Sung-
sang. Gadis itu seolah tidak percaya pada apa yang di-
katakan guru Joko Sungsang itu.
”Kau bawa pasir itu?” tanya Joko Sungsang
dengan pandang mata penuh harap.
Endang Cantikawerdi mengangguk seraya men-
gambil kantong yang selalu disembunyikan di balik
kain lereng yang membalut pinggulnya. Kemudian dis-
erahkannya kantong kain berisi pasir beracun itu ke-
pada Wiku Jaladri.
’’Hanya telapak tanganmu yang tahan terhadap
racun pasir ini, bukan?” Wiku Jaladri membuka kan-
tong dan menyodorkan kepada Endang Cantikawerdi.
"Balurkan ke lengan Joko Kerahkan tenaga dalam yang
pernah kau pelajari dari gurumu.”
Endang Cantikawerdi dengan cekatan menja-
lankan perintah orang tua yang lebih mirip mayat hi-
dup itu. Dalam pada itu, Joko Sungsang sedikit demi
sedikit mulai merasakan pulihnya tenaga pada lengan-
nya. Dimulai dari ujung jari-jari tangannya, kemudian
naik ke pergelangan tangan, dan akhirnya menjalar
hingga bahu.
’’Cukup,” kata Joko Sungsang.
’’Tunggu!” seru Wiku Jaladri. ’’Sekarang saat
mengerahkan hawa murni dalam tubuhmu.”
Joko Sungsang kembali bersila, memejamkan
mata, dan mulailah mengatur pernapasan. Setelah
hawa murni berkumpul dalam rongga dadanya, ia me-
nyebarkannya ke bahu kanan dan kiri. Endang Canti-
kawerdi terlonjak sebab tiba-tiba ada hawa dingin me-
nolak telapak tangannya yang masih menempel di len-
gan anak muda itu.
’’Cukup,” kata Wiku Jaladri.
Endang Cantikawerdi dan Joko Sungsang ber-
samaan menarik napas lega. Lalu keduanya meman-
dang Wiku Jaladri sambil menunggu perintah orang-
tua itu selanjutnya.
Akan tetapi, Wiku Jaladri hanya berkata,
’’Orang-orang sesat semakin menjamur. Kalian yang
masih muda harus memanfaatkan tenaga muda kalian
untuk berlatih sekeras mungkin.”
Dengan wajah tertunduk, Joko Sungsang dan
Endang Cantikawerdi menunggu kelanjutan nasihat
itu. Akan tetapi, lama sekali Wiku Jaladri tetap ter-
diam. Sewaktu mereka berdua mendongak, mereka
hanya melihat segumpal awan yang tadi terhalang tu-
buh orang tua serba putih itu.
SELESAI
Emoticon