1
Tiga kuntum bunga kamboja putih rontok keti-
ka sebuah sekop membentur pohon kamboja yang me-
naungi kubur Ki Linggar. Salah seorang dari tiga lelaki
yang tengah menggali kubur Ki Linggar ini menarik
napas dalam-dalam. Rasa lega menyejukkan rongga
dadanya sewaktu dilihatnya peti jenazah dalam kere-
mangan sinar bulan itu. Ini berarti pekerjaan menggali
liang lahat telah selesai. Tak diperlukannya lagi sekop
atau linggis. Untuk membuka tutup peti jenazah itu,
cukuplah dengan satu pukulan tangan. Meski peti je-
nazah itu terbuat dari kayu jati pilihan, lelaki itu me-
rasa pasti tenaga dalam yang dialirkan ke telapak tan-
gannya bisa membuat peti jenazah itu hancur berkep-
ing-keping.
’’Cukup! Biar kubuka di sini saja!” kata lelaki
itu kepada kedua temannya. Akan tetapi, sewaktu ia
mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil mengatur
pernapasan, salah seorang temannya mencengkeram
pergelangan tangan yang siap dihempaskan itu.
"Kita angkat dulu ke atas!” kata temannya yang
mencekal pergelangan tangannya.
’’Untuk apa? Buang-buang waktu! Toh sama
saja pecah di sini dan di atas” sahut lelaki itu seraya
mengibaskan tangan temannya.
”Aku khawatir, gundukan tanah itu rontok dan
mengotori kain kafan yang kita perlukan. Pesan Ki
Demang Kerpa, kain kafan itu harus bersih sewaktu
kita serahkan. Jangan sampai pekerjaan kita sia-sia
sebab jangan-jangan Ki Demang tidak mau membayar
upah kita!”
’’Betul kau!” sokong teman yang satunya lagi.
”Aku juga ingat pesan wanti-wanti Ki Demang Kerpa.
Katanya, jika kain itu terkena tanah kubur sedikit sa-
ja, tidak akan berguna lagi!”
’’Sebenarnya untuk apa Ki Demang Kerpa me-
nyuruh kita mengambil kain kafan Ki Linggar ini?”
tanya lelaki yang tadi hampir memukulkan tangannya
ke tutup peti Jenazah.
’’Mana aku tahu? Mungkin ada hubungannya
dengan pangkat demang yang dulu pernah disandang
Ki Linggar.”
”Apa hubungannya kain kafan itu dengan
pangkat demang?” bantah teman yang satunya lagi
sambil menahan tawa.
’’Bukan begitu maksudku. Ini hanya perkiraan
saja, kok. Mungkin, untuk bisa menjadi demang di De-
sa Sanareja dalam waktu yang lama, Ki Kerpa harus
bisa memiliki kain kafan bekas demang di desa itu.”
’’Siapa yang mengharuskan begitu?” sahut lela-
ki yang tadi membantah.
’’Kudengar Ki Demang Kerpa sedang berguru
ilmu setan....”
’’Alaaah, itu hanya perkiraanmu saja! Ayo, ce-
pat kita naikkan ke atas. Badanku terasa gatal-gatal.
Aku kepingin cepat-cepat mandi!” Lelaki yang bertin-
dak sebagai pimpinan penggalian menukas, la tak sa-
bar mendengar cerita temannya yang belum pasti be-
nar itu. la tahu Ki Demang Kerpa memang sedang ber-
guru ke Gunung Merapi. Tetapi, apa hubungannya
kain kafan dengan ilmu silat? Lalu, kenapa harus kain
kafan yang membungkus tulang-tulang Ki Linggar?
Akhirnya peti jenazah Ki Linggar mereka kelua-
rkan dari liang lahat. Mereka bertiga bergegas mem-
bersihkan sisa-sisa tanah merah yang menempel pada
tutup peti jenazah itu. Betapapun mereka ingin sece-
patnya membuka peti jenazah itu, mereka tetap ingat
keinginan Ki Demang Kerpa. Kalau sampai Ki Demang
Kerpa tidak mau membayar upah yang dijanjikannya,
mereka pun harus berpikir dua tiga kali untuk me-
maksa demang baru Desa Sanareja itu.
’’Congkel saja dengan linggis,” usul salah seo-
rang dari mereka.
”Tak perlu! Untuk apa kita belajar ilmu silat ka-
lau membuka peti saja pakai linggis? Ini bukan peti
besi, tolol!” sergah lelaki yang paling penasaran untuk
segera membuka peti jenazah itu.
”Ya, tapi bersihkan dulu tanganmu.”
Lelaki yang memimpin penggalian bergegas
membersihkan telapak tangannya dengan ujung kaki
celana pangsinya. Setelah yakin tangan itu tidak lagi
dilumuri tanah merah, ia mengangkat telapak tangan
itu tinggi tinggi, mengatur pernapasan, dan dengan se-
kuat tenaga ia menghantamkan sisi telapak tangannya
ke tutup peti jenazah.
Brettt! Wusss! Blukkk!
Setengah jengkal sebelum sisi telapak tangan
itu menyentuh tutup peti jenazah, tiba-tiba ada sesua-
tu yang melilit pergelangan tangan kanan lelaki itu. Se-
jurus kemudian tubuh lelaki itu terpelanting ke bela-
kang dan jatuh menimpa sebuah nisan. Seketika itu
juga lelaki itu tewas dengan perut tertembus nisan
runcing yang terbuat dari kayu nangka.
Dua orang temannya terbelalak memandangi
sosok bayangan putih yang kini berdiri tegap di hada-
pan mereka. Sejenak saja mereka diguncang rasa ka-
get. Selebihnya, mereka berdua secepat kilat menghu-
nus golok yang terselip di pinggang masing-masing se-
raya memasang kuda-kuda.
’’Iblis laknat! Bosan hidup!” seru salah seorang
dari mereka sambil membabatkan goloknya ke leher
sosok serba putih yang berdiri di depan mereka.
Akan tetapi, dengan mudahnya sabetan golok
itu dihindari oleh bayangan serba putih itu. Hanya
dengan sedikit membungkukkan badan maka golok itu
lewat di atas kepala dan hanya mengenai angin malam.
Namun, orang kedua segera memburu dengan
bacokan ke arah kepala yang menjulur ke depan itu.
Kali ini, bayangan serba putih itu membentur golok
lawan dengan gagang cambuknya.
Tring!
Golok di tangan lelaki itu patah menjadi dua,
dan lelaki itu membuang goloknya yang kutung sebab
jari-jari tangannya dirasakannya kejang dan nyeri.
Melihat temannya meringis sambil memegangi
pergelangan tangan kanannya, lelaki yang tadi lebih
dulu menyerang kini lebih waspada menghadapi lawan
yang ternyata berilmu tinggi itu. Kalaupun tadi ia ge-
gabah menyerang, hanya karena ia melihat lawan yang
dihadapinya bukanlah salah seorang dari orang-orang
sakti yang sudah dikenalnya. Lagi pula, dari terangnya
sinar bulan purnama, akhirnya bisa dikenali juga wa-
jah anak muda yang usianya tak lebih dari dua puluh
tiga tahun.
’’Kisanak, sebelum hilang kesabaranku, kupe-
ringatkan kau bahwa di antara kita tidak pernah ada
urusan!” kata lelaki itu untuk menutupi rasa takutnya.
”Di antara kita memang tidak ada urusan. Te-
tapi, aku punya urusan untuk memelihara kubur yang
kalian bongkar itu,” jawab anak muda itu sambil meli-
litkan kembali cambuknya ke pinggang.
”Tak ada yang berhak mengawasi kuburan ini
kecuali juru kunci di sini, Kisanak! Dan, akulah juru
kunci di kuburan ini!”
”Oh, jadi begitukah tugas juru kunci? Mem-
bongkar kuburan itukah tugas juru kunci desa ini?
Aneh! Lalu, siapa yang mengangkatmu sebagai juru
kunci di sini?”
’’Peduli apa kau dengan urusanku?”
’’Sudah kukatakan, aku memang tidak pernah
peduli dengan urusanmu. Tetapi, aku peduli dengan
kuburan yang baru saja kalian bongkar itu. Dan, sebe-
lum kalian bertiga ku masukkan ke liang lahat itu ber-
sama peti jenazah ini, harap kalian kubur kembali peti
jenazah ini dan mintalah maaf kepada arwah jenazah
yang ada dalam peti itu!”
’’Lancang benar mulutmu!” sergah lelaki itu.
’’Walaupun kau memiliki ilmu demit mana pun,
jangan kau kira aku takut menghadapimu!”
’’Kalau memang tidak takut, kenapa tak kau te-
ruskan serangan golokmu?”
Werrr!
Tiba-tiba lelaki yang tadi terdiam dan meringis-
ringis kesakitan, dengan tangan kirinya menyabetkan
linggis ke pelipis anak muda berpakaian serba putih
itu. Namun, untuk kesekian kalinya serangan itu ha-
nyalah membentur angin. Bahkan untuk yang kedua
kalinya lelaki itu meringis kesakitan sebab tangan
anak muda itu menampar pelipisnya.
’’Kalau masih juga menyerangku, pelipis mu
akan kubuat bolong dan otakmu akan berhamburan,
Pak Tua!” bentak anak muda itu memperingatkan.
Sewaktu ia menampar tadi, ia memang tidak
mengerahkan tenaga sepenuhnya sehingga tamparan
itu hanya membuat pelipis lelaki itu memerah dan pe-
dih. Kalau saja anak muda itu mengerahkan seluruh
tenaganya, sudah pasti pelipis lelaki itu pecah dan
nyawa lelaki itu melayang.
’’Mereka berdua memang bukan tandingan mu,
Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menghadapi seran-
ganku!”
’’Tunggu!” sahut anak muda berpakaian serba
putih itu. ’’Sekarang kita adakan perjanjian sebelum
kita teruskan perkelahian kita! Bagaimana?”.
’’Katakanlah, dan kau sendiri yang akan mene-
bus perjanjian yang kau buat itu!”
’’Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau akan
mengatakan siapa yang menyuruh kalian menggali
kuburan ini. Sebaliknya, jika aku kalah, sebelum kau
bunuh aku, aku sanggup merapikan kembali kuburan
ini setelah kalian dapatkan apa yang kalian inginkan.
Setuju?”
”Kau tidak akan pernah mendengar jawabanku,
Anak Muda! Karena kaulah yang harus menepati janji
yang kau buat sendiri!”
”Baik! Kita lihat saja nanti. Nah, aku sudah
bersiap!” Anak muda itu menarik kaki kirinya ke bela-
kang dan menyilangkan tangan kirinya di depan dada
serta melipat tangan kanannya hingga kepalan tangan
kanan itu berada persis di bawah ketiaknya.
’’Jangan terlalu pongah, Anak Muda! Apa kau
pikir aku tak layak berhadapan dengan cambuk di
tanganmu?”
Lelaki bodoh, pikir anak muda itu. Lalu, untuk
melegakan lawannya, ia terpaksa mengurai cambuk
yang melilit di pinggangnya. Namun anak muda itu
hanya menggunakan gagang cambuknya untuk me-
nangkis serangan golok lawan. Bunga api berpijaran
ketika gagang cambuk yang terbuat dari batu hitam itu
membentur mata golok lawan.
Lelaki itu diam-diam bersyukur tadi telah men-
gerahkan tenaga dalamnya sebelum menyerang lawan.
Kalau tidak, sudah pasti tenaga dalam yang dialirkan
ke gagang cambuk itu akan membuat tubuhnya ter-
pental dan tangan kanannya terkilir. Lebih dari itu, le-
laki itu juga semakin mawas diri. Ia tahu, anak muda
itu sengaja hanya menggunakan gagang cambuknya
sebab belum merasa perlu menggunakan ujung cam-
buknya yang sejak tadi digenggamnya. Entahlah apa
yang terkait di ujung cambuk itu. Hanya saja, selinta-
san tadi lelaki itu melihat sinar-sinar hijau kebiru-
biruan berpendar-pendar dari sela jari-jari tangan yang
menggenggam ujung cambuk itu.
Lelaki itu, juga dua orang temannya, tentu saja
tidak mengenal siapa sesungguhnya anak muda yang
mereka hadapi ini. Mereka bertiga adalah pendatang
baru di Desa Sanareja. Mereka adalah orang-orang se-
rakah yang memburu upah. Di desa asalnya, di Kaki
Gunung Merapi, mereka bertiga dikenal sebagai jago-
jago bayaran. Mereka bersedia membunuh siapa saja
asalkan dijanjikan upah yang memadai.
Tiga hari yang lalu, mereka mendengar kabar
bahwa Kerpa, demang yang menggantikan kedudukan
Ki Demang Sanareja alias Ki Linggar, menginginkan
kain kafan Ki Linggar dengan imbalan bayaran yang
memuaskan. Untuk apa kain kafan itu nantinya, me-
reka bertiga tidak ambil peduli. Bagi mereka, secepat-
nyalah mereka bertiga bisa membawa kain kafan itu
kepada Demang Desa Sanareja yang baru itu dan
mengambil upah mereka.
Akan tetapi, mereka bertiga tidak pernah me-
nyangka bakal berhadapan dengan Joko Sungsang
alias Pendekar Perisai Naga yang selalu mereka ingat
nama besarnya.
Rasa penasaran yang menggeluti dada Joko
Sungsang membuatnya ingin secepatnya menghenti-
kan perkelahian, ia ingin segera tahu siapa yang men-
ginginkan dibongkarnya kubur ayahnya itu. Ketika ta-
di ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang lelaki tengah
mengangkat telapak tangannya untuk memecahkan
peti jenazah itu. Maka tak ada jalan pintas untuk men-
cegah tangan itu kecuali dengan melilitkan Perisai Na-
ga ke tangan lelaki itu.
Tiga kali serangan golok lawan berhasil dite-
piskannya. Dan, Joko Sungsang semakin bisa mengu-
kur kekuatan lawannya. Kalau saja lelaki setengah
umur itu tidak berilmu cukup tinggi, sudah barang
tentu benturan-benturan gagang Perisai Naga akan
membuatnya terpental dan tak bangun lagi. Bahkan le-
laki itu masih bisa meloloskan diri dari serangan bala-
san yang dilancarkan Joko Sungsang dengan kecepa-
tan sulit diikuti mata. Namun begitu, Joko Sungsang
tetap harus bisa mengekang diri agar tidak melancar-
kan jurus-jurus yang mematikan. Toh ia menginginkan
pengakuan dari mulut lelaki itu.
Oleh sebab itu, untuk tidak mencelakakan la-
wan, Joko Sungsang terpaksa menggunakan lilitan Pe-
risai Naga nya. Sewaktu lawan untuk yang kesekian
kalinya membabatkan golok ke arah lehernya, Joko
Sungsang merunduk seraya melilitkan Perisai Naga ke
pinggang lawan. Lalu dengan sekuat tenaga tubuh itu
diputar sehingga lelaki itu kehilangan keseimbangan
dan terhuyung jatuh seraya muntah-muntah.
Sebelum laki-laki itu bangkit, gagang Perisai
Naga telah menempel di bagian belakang kepalanya.
’’Sedikit saja kau bergerak, kepalamu akan ber-
derak dan pecah, Pak Tua,” ancam Joko Sungsang.
”Aku mengaku kalah, Anak Muda. Tentu saja
aku akan menepati perjanjian yang sudah kita sepaka-
ti tadi,” kata lelaki setengah umur itu tanpa berani
bergerak sedikit pun.
Joko Sungsang menyimpan kembali Perisai Na-
ga di pinggangnya.
’’Sebelum kau jelaskan siapa yang menyuruh
kalian bertiga menggali kuburan ini, lebih dulu kalian
kembalikan peti jenazah itu ke tempatnya dan rapikan
kembali gundukan tanahnya seperti sediakala,” perin-
tah Joko Sungsang.
***
Joko Sungsang diam-diam menyesali tindakan-
nya lima tahun yang lalu, membiarkan Kerpa tetap hi-
dup. Dari penjelasan kedua orang upahan ini, jelas ba-
ginya bahwa Kerpa sekarang sedang berusaha mem-
perdalam ilmu silatnya. Usaha memperdalam ilmu silat
ini sudah barang pasti untuk berjaga-jaga diri. Sebagai
demang, agaknya ia tak ingin kehilangan kenikmatan
sehari-hari hanya karena dikalahkan oleh seseorang.
Dan, se-seorang yang dianggapnya musuh bebuyutan
tak lain adalah Joko Sungsang. Toh sudah bukan ra-
hasia lagi bahwa kematian Ki Linggar disebabkan oleh
fitnah yang ditebarkan Kerpa.
’’Tetapi, kalau boleh, kami ingin tahu siapa se-
sungguhnya Kisanak ini,” kata lelaki yang baru saja
menghentikan ceritanya.
’’Saya? Saya anak bekas demang desa ini,” ja-
wab Joko Sungsang tanpa mengalihkan pandang ma-
tanya. Mata anak muda itu menatap bulan purnama
yang berada di atas ubun-ubun mereka bertiga.
’’Jadi, benar kuburan yang baru saja kami gali
tadi kubur ayahmu, Kisanak?” lelaki itu bertanya den-
gan paras muka memucat. Takut jika anak muda itu
marah dan membunuh mereka bertiga.
’’Kalian berdua tetap menginginkan upah dari
demang itu?” tanya Joko Sungsang di luar dugaan me-
reka berdua.
’’Bagaimana mungkin kami mengharapkan
upah dari Ki Demang kalau nyatanya pekerjaan kami
gagal?”
’’Kalian tetap akan mendapatkan upah da-
rinya!” sahut Joko Sungsang.
Dua orang lelaki setengah umur itu melebarkan
mata.
’’Kalian ikut aku ke kademangan. Nanti aku
yang akan memintakan upah untuk kalian,” kata Joko
Sung sang seraya melangkah meninggalkan kuburan
itu. Dua orang lelaki upahan itu saling memandang
sebelum mereka mengangguk berbarengan dan men-
guntit langkah anak muda itu.
Setiba mereka di depan regol kademangan, Jo-
ko Sungsang memberikan isyarat agar kedua lelaki
upah an itu mendahului masuk regol. Setelah kedua-
nya masuk halaman kademangan, Joko Sungsang me-
nyelinap ke samping kademangan melompati tembok
samping Seperti yang pernah dilakukannya sewaktu
menculik Trinil, Joko Sungsang bertengger di genting,
persis dl atas pendopo kademangan. Dari tempat ini ia
bisa menguping pembicaraan antara Kerpa dengan dua
lelaki upahan itu.
’’Kalau memang kalian tidak berhasil menda-
patkan kain kafan Ki Linggar, kenapa kalian masih be-
rani menghadapku?” kata Ki Demang Kerpa.
’’Sebenarnya kami tidak akan menuntut upah
kami. Tetapi, ada seseorang yang menyuruh kami tetap
harus menuntut upah....’’
”Apa?” Mata Ki Demang Kerpa terbeliak dan
memerah. ’’Jadi, kalian mau merampokku? Kalian su-
dah punya nyawa rangkap?”
’’Sudah kubilang, ada seseorang yang menyu-
ruh kami berdua agar tetap menuntut upah dari Ki
Demang,” kata lelaki yang lebih tua sambil menoleh ke
belakang. Tetapi, kenapa anak muda itu tidak menyu-
sul mereka berdua?
’’Walaupun kalian disuruh oleh sundel bolong,
demit, setan, banaspati, apa kalian pikir aku lantas
memberikan uangku kepada kalian? Sebaiknya, kalian
pergi saja sebelum kesabaranku hilang!” Ki Demang
Kerpa meraba hulu pedangnya sambil menyibakkan
kumis yang berjuntai menutupi bibirnya.
Tanpa menimbulkan suara, Joko Sungsang
membuka dua buah genting. Kemudian ia mengurai
Perisai Naga dari pinggangnya. Maka sewaktu Ki De-
mang Kerpa menyabetkan pedangnya ke leher lelaki
upahan itu, secepat kilat Perisai Naga melilit pedang
Itu dan menariknya ke atas genting.
Ki Demang Kerpa, dua orang upahan itu, dan
dua orang pengawal Ki Demang Kerpa secara serentak
memandang ke atas. Tetapi, mereka hanya melihat dua
buah genting yang terbuka. Dan, sinar bulan purnama
menerobos masuk lewat lubang genteng itu.
’’Bedebah keparat! Bosan hidup!” Berkata begi-
ni Ki Demang Kerpa langsung melenting ke atas dan
menerobos lubang genting itu. Dua orang pengawalnya
berlarian ke halaman, bersiap-siap memberikan ban-
tuan.
”Anak muda itu benar-benar memiliki ilmu se-
tan,” kata salah seorang lelaki upahan itu sambil me-
langkah keluar.
Dari halaman pendopo kademangan, mereka
menyaksikan perkelahian seru antara Ki Demang Ker-
pa dengan Joko Sungsang. Mereka berdua berkelahi
dengan tangan kosong sebab mereka melihat pedang
milik Ki Demang Kerpa terselip di pinggang anak muda
yang berpakaian serba putih itu.
Sewaktu Joko Sungsang mengarahkan seran-
gannya ke kaki, Ki Demang Kerpa terpaksa berjumpali-
tan ke belakang dan akhirnya mendarat di halaman
kademangan. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja
Joko Sungsang telah berdiri di belakangnya seraya
menyapa,
”Aku di sini, Ki Demang.”
’Tangkap anak muda ini,” perintah Ki Demang
Kerpa kepada dua orang pengawalnya..
Dua ujung tombak bersamaan meluncur ke
arah dada Joko Sungsang. Namun, Joko Sungsang se-
perti menghilang dari pandang mata mereka. Sewaktu
anak muda itu menampakkan diri lagi, dua orang pen-
gawal Ki Demang Kerpa itu sudah tersungkur di tanah
sambil merintih-rintih. Kedua sisi telapak tangan Joko
Sungsang baru saja menggedor punggung mereka ber-
dua.
’’Jahanam keparat!” maki Ki Demang Kerpa, te-
tapi tak kunjung menyerang lawan yang sudah me-
nunggunya.
’’Rupanya pedang ini jadi barang andalanmu, Ki
Demang?” kata Joko Sungsang sembari melemparkan
pedang milik Ki Demang Kerpa.
Terhuyung dua langkah ke belakang Ki Demang
Kerpa ketika menangkap pedangnya. Ada tenaga yang
mendorongnya ketika pedang itu jatuh di telapak tan-
gannya. Sewaktu ia berhasil menguasai tubuhnya, tiba
tiba anak muda yang berpakaian serba putih itu telah
menimang-nimang cambuk yang ujungnya terkait bola
berduri.
’’Perisai Naga..?” Ki Demang Kerpa mendesis.
Tanpa disadarinya, kakinya bergerak mundur bebera-
pa langkah. la mengutuki ketololannya sendiri. Ya, ke-
napa tidak sejak tadi ia mengenali anak muda itu se-
bagai Pendekar Perisai Naga?
’’Sekarang kau tahu siapa aku, Ki Demang?”
kata Joko Sungsang setelah melilitkan Perisai Naga
kembali di pinggangnya.
”Den... Den...?”
”Tak usahlah memanggilku ’Den’, Ki Demang.
Aku bukan lagi anak demang yang terpaksa harus kau
hormati. Dan, tentunya kau sekarang ini menghendaki
kematianku, bukan?” tukas Joko Sungsang.
Ki Demang Kerpa menoleh ke kanan dan ke ki-
ri. Dua orang pengawalnya masih tergeletak di tanah.
Tak ada lagi orang yang diharapkan membantunya. Ti-
dak boleh tidak ia harus menghadapi musuh besarnya
ini seorang diri.
”Aku sudah siap jika kau memang menghenda-
ki nyawaku, Ki Demang,” kata Joko Sungsang seraya
memasang kuda-kuda. Kaki kiri anak muda itu terte-
kuk hingga tumitnya menyentuh pantat, sedangkan
kaki kanan tegak lurus menyanggah badan. Lalu tan-
gan kiri anak muda itu menyilang di depan dada se-
mentara siku tangan kanan ditarik ke belakang hingga
kepalan telapak tangan berada di ketiak. Inilah jurus
pembuka ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’!
”Nama besarmu memang sudah aku dengar,
Pendekar Perisai Naga. Tetapi, betapa tinggi hatimu ji-
ka nyatanya kau hanya dengan tangan kosong menco-
ba menghadapi ilmu pedangku?” kata Ki Demang Ker-
pa.
”Ha ha ha! Dasar mabuk pangkat kau, Ki De-
mang! Pikiranmu tak lagi bersih sebab dikotori oleh
keserakahan mu, rasa iri mu, dan rasa jahil mu! Baik-
lah, Ki Demang yang terhormat. Kalau kau memang
yakin ilmu pedangmu bisa mengalahkan silat tangan
kosong ku, aku turuti kemauanmu. Tetapi sebenarnya
aku juga menyangsikan silat tangan kosong mu. Jan-
gan-jangan kau menantangku adu senjata karena kau
sebenarnya tidak becus menggunakan tangan kosong
mu, Ki Demang!”
’’Jahanam keparat bosan hidup!” seru Ki De-
mang Kerpa sebelum menyarungkan pedangnya. Lalu,
secepat kilat tubuhnya melayang ke atas kepala Joko
Sungsang sambil mengirimkan tendangan ke arah leh-
er.
Namun, sebelum sisi telapak kaki itu menyen-
tuh kulit lehernya, Joko Sungsang meraih pergelangan
kaki lawan dan dengan sekuat tenaga menghentakkan
kaki itu ke tanah.
"Desss!"
Kedua tumit Ki Demang Kerpa menghunjam
tanah. Tetapi, secepat kilat Ki Demang Kerpa melenting
lagi dan mengirimkan kedua tumitnya ke dada Joko
Sungsang.
"Desss! Desss! Blukkk!"
Kali ini tubuh Ki Demang Kerpa jatuh telak.
Untuk sejenak ia bergulingan di tanah. Dan, ketika ia
mencoba bangkit dan menapakkan tumit itu ke tanah,
ia merasakan kedua tulang tumitnya pecah. Seolah ba-
ru saja ia jatuh dari tebing dan kedua tumitnya meng-
hunjam karang. Maka kembali Ki Demang roboh dan
bergulingan di tanah.
Itulah akibat dari benturan ilmu ’Pukulan Om-
bak Laut Selatan’ yang tersalur pada punggung tangan
Joko Sungsang. Sewaktu Ki Demang menghunjamkan
kedua tumitnya ke dadanya, Joko Sungsang tidak
menghindar, tetapi melindungi dadanya dengan kedua
punggung tangannya. Kalau saja punggung kedua tan-
gan itu tidak dilambari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Se-
latan’, bisa dipastikan tulang-tulang kedua tangan itu-
lah yang patah.
”Kau lihat sendiri aku tetap bertangan kosong,
Ki Demang?” ejek Joko Sungsang sambil merentang-
kan kedua tangannya. Memang terasa sedikit ngilu ke-
dua punggung tangannya, tetapi cepat-cepat ia menga-
lirkan hawa murni untuk mengatasi rasa ngilu itu.
Ki Demang Kerpa menggigit bibirnya kuat-kuat.
Kemudian ia bangkit dengan bersitelekan pada pe-
dangnya. Hati-hati ia menapakkan kakinya agar tumit
malang itu tidak menyentuh kerikil yang berserakan di
halaman kademangan itu.
’’Bagaimana, Ki Demang? Masih pilih mencoba
silat tangan kosongku?” kata Joko Sungsang sembari
menyesali kebodohan lawannya. Betapapun sudah be-
lasan tahun malang-melintang di rimba persilatan,
nyatanya Ki Demang Kerpa belum mengenal ilmu silat
tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong yang
tersohor itu. Matanya masih tertutup!
***
2
Menghadapi Pendekar Perisai Naga, Ki Demang
Kerpa merasa menemukan lawan yang bukan tandin-
gannya. Selama lima tahun ia berguru kepada Ki Da-
nyang Bagaspati, ia telah mewarisi ilmu silat yang cu-
kup tinggi. Sayang ia belum berhasil menguasai jurus
pamungkas yang disebut jurus ’Selendang Mayat Pe-
nyapu Awan’. Akan tetapi, untuk menghadapi anak
muda seusia Pendekar Perisai Naga ini seharusnyalah
ia tak memerlukan jurus pamungkas itu.
Maka diam-diam Ki Demang Kerpa mengutuki
dirinya sendiri. Ya, kenapa tugas menggali kubur Ki
Linggar itu tidak dijalaninya sendiri? Kenapa ia takut
melakukannya? Kenapa ia menyuruh orang-orang
upahan yang akhirnya justru mendatangkan kesuli-
tan? Padahal, kalau saja ia telah mendapatkan kain
kafan Ki Linggar, ia hanya membutuhkan waktu tak
lebih dari sebulan untuk mempelajari jurus ’Selendang
Mayat Penyapu Awan’!
Dengan kedua tumit terangkat, Ki Demang Ker-
pa harus tetap mati-matian melawan Joko Sungsang.
Kini terpaksa ia meloloskan pedangnya sebab serangan
lawan makin lama semakin membahayakan. Tak
mungkin baginya terus-menerus berkelit menghindari
serangan lawan. Dengan pedangnya, ia akan menang-
kis serangan lawan tanpa harus berloncatan ke sana-
sini.
Kalaupun Joko Sungsang tetap bertahan pada
jurus-jurus tangan kosongnya, tidak berarti ia menye-
pelekan jurus-jurus pedang lawan. la memang sengaja
mempraktekkan ilmu silat tangan kosong yang dipela-
jarinya dari Ki Sempani baru baru ini. Seperti yang
pernah diceritakan Wiku Jaladri kepadanya, ia menga-
kui bahwa ilmu silat tangan kosong dari Padepokan
Karang Bolong memang boleh diandaikan. Belum lagi
jurus pamungkasnya yang disebut ilmu ’Pukulan Om-
bak Laut Selatan’. Pukulan yang tanpa meninggalkan
bekas, tetapi membuat seisi dada lawan rontok. Kalau-
pun mengenai anggota tubuh yang lain, maka tulang
yang ada di dalamnyalah yang pasti luluh lantak. Se-
perti yang baru saja diderita tumit Ki Demang Kerpa.
Tulang pada kedua tumit itu hancur akibat berbentu-
ran dengan punggung lengan Pendekar Perisai Naga
yang telah dialiri ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’.
Lalu, sewaktu Ki Demang Kerpa membabatkan
pedangnya ke kaki Joko Sungsang, kembali Demang
Desa Sanareja ini mengaduh sebab tulang lengannya
senasib dengan tulang pada kedua tumitnya. Tidak di-
duganya bahwa anak muda itu akan menghindar ma-
suk dan menabrak lengannya dengan sisi telapak kaki
kanannya.
Ki Demang Kerpa meloncat mundur sambil
memegangi lengannya yang tak berdaya lagi. Ia benar
benar tidak tahu, ilmu apa yang dipakai anak Ki Ling-
gar itu. Selama belasan tahun malang melintang di
dunia persilatan, baru kali ini ia merasa kewalahan
menghadapi lawan yang hanya bertangan kosong.
’’Bagaimana, Ki Demang? Masih ingin dite-
ruskan? Atau mungkin kau menghendaki aku me-
mainkan cambuk ku?” ejek Joko Sungsang.
Menghadapi Perisai Naga? Baru juga mengha-
dapi ilmu silat tangan kosong, ia sudah selayaknya
mengaku kalah. Bagaimana mungkin ia mengadu ju-
rus-jurus pedangnya dengan Perisai Naga!
’’Bedebah! Jangan cepat tinggi hati, Anak Mu-
da! Silat tangan kosong mu memang hebat. Tetapi be-
lum tentu permainan cambuk mu sehebat permainan
tangan kosong mu!” kata Ki Demang Kerpa untuk me-
nutupi rasa takutnya,
’’Baiklah! Karena aku sudah kenal baik den-
ganmu sebelum kau mencuri kedudukan demang di
desa ini, aku turuti kemauanmu. Nah, bersiaplah!” Jo-
ko Sungsang mengurai Perisai Naga nya dan memutar
cambuk itu di atas kepalanya. Bola berduri di ujung
cambuk itu meraung-raung. Warnanya menyilaukan
mata. Melihat warna hijau kebiru-biruan yang kini
berwujud lingkaran itu, serta merta Ki Demang Kerpa
ingat warna benda langit yang sering melintas-lintas
pada malam hari.
Ki Demang Kerpa memindahkan pedangnya ke
tangan kiri. Tangan kanannya ternyata betul-betul tak
berdaya lagi mengangkat pedang itu. Bahkan untuk di-
lipat pun tak bisa. Bagaimana bisa jika tulang yang
menyangga tangan itu hancur!
Lecutan Perisai Naga membuat Ki Demang Ker-
pa mengurungkan niatnya menyerang. Ia harus bergu-
lingan di tanah sebab ujung cambuk itu hampir saja
melibas pinggangnya. Namun, justru dalam keadaan
seperti inilah Ki Demang Kerpa merasa menemukan
kesempatan untuk menyerang. Maka cepat ia mengi-
baskan gagang pedangnya, dan meluncurlah beberapa
butir kerikil beracun dari gagang pedang itu. Inilah ke-
rikil beracun yang diambil dari Kepundan Gunung Me-
rapi!
"Sring! Sring! Sring!"
Tiga butir kerikil terbentur bola berduri di
ujung cambuk, sedangkan sisanya menyambar angin.
Sambil memutar Perisai Naga, Joko Sungsang berjum-
palitan ke udara.
Dua orang upahan yang sejak tadi mengikuti
jalannya pertarungan di halaman kademangan itu
kembali berdecak-decak kagum.
‘’Benar-benar ilmu setan!” bisik yang lebih tua
kepada temannya.
’’Untung kita tadi tidak nekad melawannya,
ya?”
’’Seharusnya Ki Demang Kerpa sudah menye-
rah sejak tadi. Tetapi, ia memang keras kepala! Ba-
ginya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup
bercermin bangkai! Bukan main!”
’’Tetapi, untuk apa mati-matian melawan kalau
akhirnya juga kalah?”
’’Semestinya Ki Demang Kerpa berpikiran seper-
ti kau. Lihat saja tangan kanan dan kedua tumitnya!”
" Desss! Blukkk!"
Tubuh Ki Demang Kerpa terhuyung-huyung
mundur. Pedangnya tergeletak di tanah, dan tangan
kirinya memegangi dada. Maka yang terjadi kemudian
membuat kedua penonton itu melongo. Betapa tidak!
Seperti kain basah, tubuh Ki Demang Kerpa pelan-
pelan terjatuh duduk dan akhirnya ngelimpruk tak
berdaya.
’’Gara-gara aku mendengarkan ocehanmu, ja-
dinya...!”
”Kau sendiri kenapa mendengarkannya pakai
mata, bukan pakai kuping, jangkrik!” sergah temannya
kesal.
’’Kalian geledah sakunya. Pasti ada uang di sa-
na!” perintah Joko Sungsang mengejutkan kedua
orang upahan itu.
’’Terima kasih, Kisanak,” ucap mereka berdua
bersamaan. Kemudian mereka berebut langkah meng-
hampiri mayat Ki Demang Kerpa.
***
Untuk sejenak Joko Sungsang termenung me-
mandangi lawannya yang terbaring di tanah dengan
mulut bersimbah darah. Begitu mengerikan ilmu ’Pu-
kulan Ombak Laut Selatan’. Meski Perisai Naga dalam
genggamannya, Joko Sungsang tetap ingin menjatuh-
kan lawannya dengan jurus pamungkas dari Padepo-
kan Karang Bolong itu. Itulah kenapa Ki Demang Ker-
pa tewas meski tanpa tersentuh Perisai Naga sedikit
pun.
Joko Sungsang mengelus punggung jari-jari
tangannya. Terasa sedikit nyeri. Sesungguhnyalah Ki
Demang Kerpa memiliki punggung yang kuat. Kalau
saja kepalan tangan Joko Sungsang tidak dilambari
ajian ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’, belum tentu
pukulan itu dirasakan oleh punggung Ki Demang Ker-
pa. Punggung itu hampir sekeras cadas gunung. Se-
waktu Joko Sungsang masih kanak-kanak, sering ia
melihat Kerpa memamerkan kekuatan punggungnya.
Pintu rumah yang terpalang bisa didobrak dengan ke-
kuatan punggung itu. Lebih-lebih setelah Kerpa belajar
ilmu silat, semakin berlipat ganda kekuatan pung-
gungnya.
’’Boleh kami menggeledah isi rumah, Kisanak?”
tanya salah seorang lelaki upahan itu setelah tak me-
nemukan sepeser pun uang di kantong Ki Demang
Kerpa.
’’Boleh. Tetapi, jangan ganggu seisi rumah ini
setelah kau dapatkan upah yang kau cari!” jawab Jo-
ko.
’’Kami berjanji, Kisanak!” Berkata begini kedu-
anya langsung berebut lebih dulu menggapai pintu
rumah.
Mereka mendobrak lemari pakaian, dan me-
mang di situlah Ki Demang Kerpa menyimpan ua-
ngnya. Mereka tertawa-tawa sambil menciumi uang di
telapak tangan.
’’Sayang, kita hanya boleh mengambil ua-
ngnya,” kata lelaki yang lebih muda.
”Itu pun sudah merupakan karunia! Kalau bu-
kan anak muda itu mana mungkin kita dibiarkan hi-
dup? Ha ha ha, betul-betul pendekar sejati! Beruntung
kita bisa bertemu dengan Pendekar Perisai Naga yang
kesohor itu, ya?”
Mereka kembali berada di pelataran kademan-
gan. Mereka ingin sekali lagi mengucapkan terima ka-
sih kepada anak muda berhati emas itu. Akan tetapi,
mereka tidak lagi melihat anak muda yang berpakaian
serba putih itu. Sebaliknya, mereka malahan melihat
lelaki tua yang berpakaian serba merah.
’’Empu Wadas Gempal...!”
”Ya, aku, cacing belang! Ha ha ha, ho ho ho, he
he he!” Empu Wadas Gempal berkacak pinggang sem-
bari tertawa terpingkal pingkal. Dia adalah gurunya
Hantu Lereng Lawu. Muridnya itu tewas di tangan Jo-
ko Sungsang karena itu dia sangat dendam pada Joko
Sungsang (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar
Perisai Naga dalam episode "Hantu Lereng Lawu”).
Kedua lelaki setengah umur yang baru saja ter-
tawa riang sebab mendapatkan uang yang tidak sedikit
jumlahnya itu kini berdiri dengan kaki menggigil. Me-
reka secepatnya menyadari bahwa sebentar lagi nyawa
mereka pasti melayang.
’’Cacing tanah!” bentak Empu Wadas Gempal
dengan mata melotot. ’’Katakan, siapa yang membu-
nuh Kerpa, demang goblok itu? Sebab aku yakin kalian
berdua tidak akan bisa membunuhnya!”
’’Kami... kami... kami tidak tahu....”
’’Goblok! Dungu! Otak kerbau! Kalian tak perlu
tahu namanya! Sebutkan saja ciri-ciri orangnya, cacing
dungu!”
’’Orangnya... eh, anak muda itu... anu... anu
masih muda....”
”Ha ha ha! Dasar pikiranmu masih bercampur
tanah! Dasar mata duitan! Bicara asal buka bacot!
Mana ada anak muda yang sudah tua, cacing kudi-
san!”
’’Maksud kami, anak muda itu... pakai baju pu-
tih-putih, dan senjatanya....”
’’Cambuk kambing?” tukas Empu Wadas Gem-
pal menebak.
”Betul, betul Ki Lurah. Ki Demang bilang, dia...
Pendekat Perisai....”
’’Perisai kambing!” sahut Empu Wadas Gempal.
’’Sekarang, di mana penggembala kambing itu, he?!”
’’Kami... kami juga... juga sedang mencari dia,
Ki Lurah. Kami kira tadi dia... dia masih di sini....”
”Mata kalian lantas buta kalau sudah melihat
uang!” Empu Wadas Gempal meloncat maju dan tiba-
tiba telah mencengkeram leher kedua lelaki upahan
itu.
’’Ampuni kami, Ki Lurah....”
”Tak ada ampun buat perampok macam kalian!
Mengerti?! Kalian cuma pantas dihabisi, bukan diam-
puni!”
Tangan kedua laki-laki upahan itu berusaha
meraih gagang golok yang mencuat dari balik baju me-
reka. Akan tetapi, sebelum jari-jari tangan itu menyen-
tuh tanduk kerbau itu, tubuh mereka terangkat tiga
jengkal dari tanah.
’’Jangan coba-coba kau gunakan akalmu untuk
melawanku, cacing kremi!” bentak Empu Wadas Gem-
pal sambil menurunkan kembali tubuh kedua lelaki itu
ke tanah.
”Ha ha ha! Rupanya ada juga rajawali yang
doyan cacing tanah!”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar
regol. kademangan.
Empu Wadas Gempal membuang tubuh kedua
lelaki itu seraya menoleh ke arah datangnya suara.
Meski pemilik suara itu berada di keremangan malam,
orang sesat dari Hutan Ketapang ini tetap saja bisa
mengenalinya.
’’Dari suaramu yang mirip burung gagak, aku
tahu kau Danyang Gunung Merapi!” kata Empu Wadas
Gempal. ’’Tetapi, apa urusanmu datang kemari men-
campuri urusanku, Bagaspati?”
Ki Danyang Bagaspati menampakkan dirinya di
samping obor yang menempel di tiang regol. Kini nam-
pak jelas perwujudan lelaki tua itu. Rambutnya yang
putih terbalut ikat kepala berwarna putih kusam. Di
tubuhnya yang kurus itu menyilang kain putih yang
juga berwarna kusam. Dan, dari pinggang hingga lutut
dibalut kain batik kawung.
’’Tentu saja aku jauh-jauh datang kemari kare-
na ada urusan, Wadas Gempal! Tetapi, sayang orang
yang punya urusan denganku sudah kau bunuh. Ka-
lau begitu, dengan kaulah aku harus berhadapan se-
karang!”
’’Jangan lancang bicara, Bagaspati! Buat apa
aku membunuh cacing macam Kerpa? Kalau tidak
percaya, tanyailah cacing-cacing ini!” Empu Wadas
Gempal menuding kedua lelaki yang telentang di tanah
tanpa berani bergerak itu.
’’Untuk apa aku harus mempedulikan jawa-
banmu, Wadas Gempal? Kau atau bukan yang mem-
bunuh Kerpa, tetap saja kau harus berurusan dengan-
ku. Kecuali jika kau berbaik hati meninggalkan tempat
ini...."
”Ho ho ho!” Tawa Empu Wadas Gempal menya-
hut. ’’Kita memang sama-sama punya urusan, Bagas-
pati! Kau datang ke sini karena Kerpa pernah berguru
kepadamu, bukan? Dan, aku datang ke sini karena
akulah yang menjadikannya demang di desa ini. Teta-
pi, kalau saja waktu itu aku mau menjadikannya mu-
rid, tak mungkin kau berada di tempat ini sekarang.”
”Jadi, kenapa tidak segera kau tinggalkan tem-
pat ini?”
’’Begini saja! Ini semua hanyalah urusan kecil.
Tetapi, kalau aku begitu saja pergi dari sini, kau pasti
mengira aku takut dengan kain bungkus mayatmu itu.
Nah, sekarang kita uji saja siapa yang paling pantas
tinggal di sini lebih lama. Setuju?”
”Ha ha ha, hmm! Usulan yang menarik! Maumu
apa, orang hutan?”
’’Kebutkan kain kafan mu, dan aku dorong
dengan angin puyuhku. Nah, siapa yang terdorong
mundur, itulah yang harus minggat lebih dulu dari
tempat ini!”
’’Bersiaplah, Wadas Gempal!” sahut Ki Danyang
Bagaspati, dan secepat kilat ia menyabetkan kain ka-
fan yang semula mengikat rambut di kepalanya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, Empu Wa-
das Gempal pun telah mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan dada. Inilah jurus ’Angin Puyuh
Melabrak Gunung’!
Wusss! Wusss! Desss!
Dua kekuatan angin bertabrakan. Kedua orang
sakti itu terpental mundur beberapa langkah. Dua
orang lelaki yang tadi telentang di tanah bergulingan
terbawa angin dan tubuh mereka membentur tiang
pendopo. Seketika itu juga mereka tewas dengan
punggung patah terganjal tiang pendopo.
”Apa perlu kita mengadu kekuatan kita yang
lain, Wadas Gempal?” Ki Danyang Bagaspati mendahu-
lui bertanya.
Suasana di pelataran kademangan itu kini re-
mang-remang. Dua buah obor yang menempel di tiang
regol seketika tadi mati terhembus angin yang mendo-
rong tubuh Ki Danyang Bagaspati. Namun begitu, ma-
ta kedua orang sakti itu terlalu tajam untuk menem-
bus kegelapan malam. Apalagi masih ada bantuan si-
nar bulan purnama yang berada di balik mendung.
”Ada baiknya orang tua bangka macam kita se-
sekali berlatih silat berdua, Bagaspati,” jawab Empu
Wadas Gempal.
’’Majulah. Dan, aku berjanji akan meninggalkan
tempat ini lebih dulu jika kau menyentuh kain ka-
wungku, Wadas Gempal!”
’’Bukan orang Hutan Ketapang kalau tidak bisa
menjambret kain lusuhmu itu, Wong Gunung!” sahut
Empu Wadas Gempal sebelum menerkam ke depan
dengan jari-jari tangan terkembang. Jari-jari yang se-
mula berwarna kecoklatan Itu kini berubah menjadi
hitam kebiru-biruan.
Menyadari betapa berbahayanya jari-jari tangan
orang tua dari Hutan Ketapang ini, Ki Danyang Bagas-
pati secepatnya merentangkan kain kafannya untuk
menyambut serangan lawan.
’’Hiyaaa!” Empu Wadas Gempal menarik kem-
bali kedua tangannya. Sebagai gantinya, ia mengirim-
kan tendangan ke arah lutut lawan.
”Bagus juga jurus tipuanmu, Wadas Gempal!”
seru Ki Danyang Bagaspati setelah berhasil mencegah
tendangan lawan dengan kain kafannya. Hampir saja
kain kafan itu membalut kaki Empu Wadas Gempal
kalau saja ia tidak sigap membelokkan tendangan ka-
kinya.
Ki Danyang Bagaspati memilin kain kafannya,
kemudian melecutkannya ke arah kaki Empu Wadas
Gempal. Dan, ketika orang sesat dari Hutan Ketapang
itu melenting ke udara maka kain kafan terpilin itu
pun sudah siap memburu ke udara. Empu Wadas
Gempal menyadari bahwa lawannya tak lagi sekedar
main-main. Kalau ia masih meladeninya dengan sikap
bersahabat, sama halnya menyerahkan nyawa dengan
cuma-cuma. Mengingat itu semua, Empu Wadas Gem-
pal menukik sambil mendorong lawan dengan jurus
’Angin Puyuh Melabrak Gunung’.
Sambaran angin yang begitu kuat membuat
kuda-kuda Ki Danyang Bagaspati goyah. Ia terhuyung
sehingga arah senjatanya melenceng. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Empu Wadas Gempal untuk menje-
jakkan kaki di tanah.
’’Menurutku, cukuplah latihan kita kali ini, Ba-
gaspati! Lain kali bolehlah kita teruskan!” kata Empu
Wadas Gempal.
’’Apakah tidak lebih enak didengar jika kau ka-
takan bahwa kau takut menghadapiku?” ejek Ki Da-
nyang Bagaspati.
"Katakan saja kapan kau siap bertarung sam-
pai mati, aku akan selalu melayanimu, kodok gunung!"
"Aku akan melabrakmu di Hutan Ketapang jika
hujan pertama turun nanti, babi hutan! Tetapi, sebe-
lum kau minggat dan sini, katakan siapa pembunuh
Demang Kerpa tolol ini agar aku tidak dendam pada-
mu, demit hutan'
”Ha ha ha! Kalaupun aku tahu, tidak akan ku-
katakan kepadamu, kodok gunung! Cecurut yang
membunuh murid mu itu harus mati di tanganku se-
bab ia pun pernah membunuh murid kesayanganku!”
sahut Empu Wadas Gempa!.
"Pendekar Perisai Naga?” bisik hati Ki Danyang
Bagaspati ia pernah mendengar cerita tentang tewas-
nya Hantu Lereng Lawu oleh lecutan Perisai Naga.
"Nah, aku tunggu kau di Hutan Ketapang jika
hujan pertama nanti turun, penggali kubur. Tetapi jika
kau ingkar janjimu, aku akan tatakan Gunung Merapi
biar kau mampus tertimbun di sana!” ujar Empu Wa-
das Gempal sebelum menghilang di keremangan ma-
lam.
Setelah mendapat keterangan tentang siapa
pembunuh Ki Demang Kerpa orang sesat dari Hutan
Ketapang ini berjanji dalam hati untuk secepatnya me-
nemukan Pendekar Perisai Naga.
Lima tahun sudah ia mencari pembunuh mu-
rid kesayangannya itu, tetapi rupanya baru sekarang
nama Pendekar Perisai Naga muncul lagi di dunia per-
silatan.
Tuntutan balas dendam atas kematian Hantu
Lereng Lawu ini menyebabkan Empu Wadas Gempal
tidak ingin meneruskan pertarungannya dengan Ki
Danyang Bagaspati. Dalam beberapa jurus tadi, ia su-
dah bisa mengukur tingkatan ilmu orang sakti dari
Gunung Merapi itu. Dengan senjata Selendang Mayat-
nya, Ki Danyang Bagaspati bukan lagi tawan yang bisa
diremehkan. Empu Wadas Gempal merasa tidak yakin
bisa mengalahkan lawan tangguh sesama golongan ini.
Bahkan bukan tidak mungkin ia sendiri yang tewas ji-
ka pertarungan tadi diteruskan. Dan, ini tidak dike-
hendakinya. Ia tidak ingin mati sia-sia sebelum berha-
sil membalaskan kematian murid kesayangannya.
Sambil berloncatan meninggalkan Desa Sanare-
ja, Empu Wadas Gempal terus menaksir naksir, di
mana kiranya ia bisa menemukan Pendekar Perisai
Naga. Kemudian, ia mengutuk kemunculan Wasi Eka-
cakra di mulut Desa Cemara Pitu lima tahun yang lalu.
Kalau saja petani dari Desa Dadapsari itu tidak mun-
cul malam itu, sudah pasti Pendekar Perisai Naga mati
di tangannya. Tidak akan Pendekar Perisai Naga mam-
pu menghadapi guru dan murid dari Hutan Ketapang.
Toh menghadapi keroyokan Hantu Lereng Lawu dan
Kebo Dungkul saja Joko Sungsang sudah kerepotan.
Andaikata saja tidak muncul gadis bertombak pendek
itu, belum tentu Pendekar Perisai Naga mampu mero-
bohkan Hantu Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Peri-
sai Naga dalam episode ’’Hantu Lereng Lawu”).
’’Terkutuk pulalah kau, gadis binal!” dengus
Empu Wadas Gempal sembari mempercepat langkah-
nya.
***
3
Sepeninggal Empu Wadas Gempal, bergegas Ki
Danyang Bagaspati meneliti sosok tubuh yang berge-
limpangan di pelataran kademangan itu. Ia harus tahu
siapa pembunuh Ki Demang Kerpa. Ia berharap salah
seorang dari mereka bisa memberikan keterangan yang
diperlukannya.
Sewaktu ia membalikkan tubuh salah seorang
pengawal Ki Demang Kerpa, saat itulah terdengar
erangan kesakitan.
”Ha, masih hidup rupanya kau!” seru Ki Da-
nyang Bagaspati kegirangan. ”Nah, katakan cecurut
mana yang telah membunuh Demang Kerpa, he?”
Orang itu menggerakkan bibirnya. Suaranya
terdengar bisik-bisik. Ki Danyang Bagaspati mende-
katkan telinganya ke mulut lelaki malang itu.
”Siapa?” tanyanya sambil menggoyang-goyang
paha lelaki yang tengah sekarat itu.
’’Pendekar... Perisai... Na... Na....” Dan, kepala
pengawal Ki Demang Kerpa itu terkulai.
’’Pendekar Perisai Naga?” ujar Ki Danyang Ba-
gaspati sambil memicingkan mata. Lalu buru-buru ia
meneliti kembali mayat Ki Demang Kerpa. la sangsi se-
bab pada mayat itu tidak terdapat jejak Perisai Naga
seperti yang pernah didengarnya dari mulut ke mulut.
Tak ada sayatan-sayatan dengan garis-garis biru di
kanan kiri luka. Mayat itu bahkan utuh. Hanya ada
darah , yang sudah mengering di bibir dan dagu. Itu
pun darah muntahan.
Setaraf dengan tingkatan ilmu silat yang dimili-
kinya, Ki Danyang Bagaspati berani menyimpulkan
bahwa Ki Demang Kerpa mati akibat terkena pukulan
yang hanya menimbulkan luka dalam. Dan pukulan
itu begitu sempurna sehingga tidak meninggalkan be-
kas apa pun di kulit korban.
’’’Pukulan Ombak Laut Selatan’!” dengus Ki Da-
nyang Bagaspati. Kemudian ia ingat akan Ki Sempani,
satu-satunya tokoh dalam dunia persilatan yang ber-
hasil mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’.
Dan, ia pun ingat masih punya urusan dengan
orang sakti dari Padepokan Karang Bolong itu. Untuk
bisa mengalahkan Ki Sempani inilah ia harus mencuri
kain kafan di kuburan sebagai sarana mempelajari ju-
rus ’Selendang Mayat Penyapu Awan’. Enam tahun ia
berdiam di Kaki Gunung Merapi demi memperdalam
ilmu ini.
Enam tahun yang lalu, Ki Danyang Bagaspati
terlibat pertempuran hidup dan mati dengan Ki Sem-
pani di Pesisir Laut Selatan. Ia yang datang ke tempat
itu untuk mengajarkan ilmu sesat kepada penduduk
desa di pinggiran laut itu, tidak boleh tidak harus be-
rurusan dengan Ki Sempani. Sebagai pendekar yang
mengabdi pada kepentingan rakyat banyak, Ki Sempa-
ni terpaksa turun tangan mencegah kejahatan yang
meracuni Pesisir Laut Selatan dan sekitarnya. Maka
pertarungan hidup dan mati dengan Ki Danyang Ba-
gaspati tak bisa dielakkannya lagi. Da-lam pertarungan
inilah Ki Danyang Bagaspati terdesak dan tergiring ke
dalam pelukan ombak laut Selatan yang ganas itu.
Akan tetapi, nasib baik masih mengekornya Seseorang
yang mengaku sebagai kaki tangan penguasa Laut Se-
latan menyelamatkannya Malahan kemudian menu-
runkan ilmu silat yang disertai 'aji pamungkas berna-
ma jurus ’Selendang Mayat Penyapu Awan' kepadanya.
’’Untuk bisa menguasai jurus ini, kau harus bi-
sa mendapatkan kain kafan yang membungkus mayat
orang yang paling kau benci, Bagaspati,'' kata sang
guru
’Kain kafan?" Bulu kuduk Ki Danyang Bagaspa-
ti berdiri. Sungguh, tak pernah bisa membayangkan
bakal mendapat perintah membongkar kuburan dan
mengambil kain kafan yang membungkus mayat peng-
huni kuburan itu.
”Kau takut? Hi hi hik! Kalau untuk membong-
kar kuburan seseorang saja kau takut. bagaimana
mungkin kau bisa mengalahkan musuh besarmu?
’’Tidak, tidak Guru Saya hanya kaget menden-
gar persyaratan yang sangat aneh ini" sahut Ki Da-
nyang Bagaspati untuk menutupi rasa malunya.
Bagus Kalau begitu, malam Jum’at Kliwon nan-
ti kau harus sudah menyerahkan kain kafan yang
membungkus mayat orang yang paling kau benci Dan
kain kafan itu harus sudah terkubur lebih dari tiga ta-
hun. Paham?”
”Paham, paham, Guru ” Ki Danyang Bagaspati
mengangguk berulang-ulang.
"Jangan sampai lupa pesan-pesanku tadi. Sa-
lah ambil, tidak akan berfaedah kain kafan itu!”
’’Saya mengerti, Guru. Saya harus menda-
patkan kain kafan orang yang paling saya benci, dan
kain kafan itu harus sudah terkubur di liang lahat se-
lama lebih dari tiga tahun. Benar begitu, Guru?”
Begitulah kenapa akhirnya orang sesat dari Ka-
ki Gunung Merapi ini berhasil menguasai jurus ’Selen-
dang Mayat Penyapu Awan’ Dan hampir saja jurus
maut itu diturunkan kepada Ki Demang Kerpa.
Ki Danyang Ragaspati menyeringai. Lalu ia ter-
tawa terbahak-bahak sambil melompat pergi mening-
galkan halaman kademangan. Bayangan Ki Sempani
memajang di pelupuk matanya Hatinya girang sebab ia
melihat jejak-jejak munculnya murid Ki Sempani.
"Dari muridnya inilah aku bisa memaksa kepit-
ing pantai itu untuk menongolkan dirinya!” kata hati
Ki Danyang Ragaspati.
***
Bulan tak lagi tampak penuh. Purnama sudah
berlalu beberapa hari yang lalu. Peristiwa di Kademan-
gan Desa Sanareja itu sudah dilupakan oleh Joko
Sungsang. Kalaupun Ki Demang Kerpa terbunuh da-
lam pertarungan di halaman kademangan itu, ini se-
mua di luar rencana anak bekas demang Desa Sanare-
ja ini. Di luar dugaannya jika malam itu dia akan beru-
rusan dengan Ki Demang Kerpa, bahkan sampai mem-
bunuhnya.
Lima tahun yang lalu Joko Sungsang telah
memaafkan Kerpa. Meski ia tahu bahwa tewasnya Ki
Linggar karena fitnah yang ditebarkan Kerpa, tetap sa-
ja ia menganggap bahwa Hantu Lereng Lawu dan anak
buahnyalah yang harus menebus kematian Ki Linggar.
Itulah kenapa Joko Sungsang membiarkan Kerpa tetap
hidup setelah ia berhasil membunuh Hantu Lereng
Lawu.
Malam itu, setelah berhasil membunuh Hantu
Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam
episode ’’Hantu Lereng Lawu”) di mulut Desa Cemara
Pitu, Joko Sungsang mengantarkan Sekar Arum kem-
bali ke Padepokan Karang Bolong. Ia terpaksa me-
nangguhkan rasa rindunya bertemu dengan ibunya
sebab ia merasa harus lebih mengutamakan kepentin-
gan orang lain. Ia harus secepatnya menggiring Sekar
Arum kembali ke Karang Bolong demi keselamatan ga-
dis itu. Tanpa ilmu silat yang tinggi, belum selayaknya-
lah Sekar Arum malang-melintang di dunia persilatan.
Dan, gadis itu pun mengaku bahwa hampir saja ia ce-
laka di tangan Kebo Dungkul jika tidak muncul Wiku
Jaladri menolongnya.
”Aku yakin, jika kau sudah menguasai seluruh
ilmu yang diajarkan Ki Sempani, jangan lagi seorang
Kebo Dungkul, sedangkan Hantu Lereng Lawu pun
akan roboh berhadapan denganmu, Arum,” kata Joko
Sungsang.
’’Mungkin,” kata gadis itu sambil mengerling.
’’Bukan mungkin lagi Pasti!” sahut Joko Sung-
sang. ’’Siapa orangnya yang tak kenal ilmu ’Pukulan
Ombak Laut Selatan’? Guruku sendiri mengakui bah-
wa ilmu pukulan tangan kosong itu tidak ada duanya
di dunia persilatan.”
’’Tetapi, tidak gampang mempelajari ilmu puku-
lan yang satu itu.”
’’Karena tidak gampang dipelajari itulah maka
tidak gampang juga dicarikan tandingannya, Arum.”
”Ya. Tetapi, sudah berkali-kali aku gagal me-
nempuh.”
’’Cobalah sekali lagi. Siapa tahu sekaranglah
saatnya kau berhasil menguasai ilmu pukulan maut
itu. Dan, kalau memang Ki Sempani mengizinkan aku
bersedia belajar denganmu.”
Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia mena-
tap tidak percaya wajah anak muda yang berada di
sampingnya itu.
"Kau sudah bergelar Pendekar Perisai Naga.
Kau sudah menguras semua ilmu yang dimiliki Kiai
Wiku Jaladri. Bahkan kau dengan mudah bisa mem-
bunuh Hantu Lereng Lawu dan Mahesa Lawung den-
gan jurus ‘Perisai Naga’ mu. Kenapa kau masih ingin
mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’?” kata
gadis itu seolah tidak percaya mendengarkan penga-
kuan Joko Sungsang.
”Tak ada sesuatu pun yang paling hebat di mu-
ka bumi ini, Arum Begitu pula tak ada ilmu silat yang
paling hebat di muka bumi ini. Memang benar aku te-
lah mewarisi seluruh ilmu silat yang dimiliki Kiai Wiku
Jaladri. Tetapi, pantaskah aku merasa menjadi orang
yang paling sakti di muka bumi ini? Tidak, Arum.
Bahkan aku merasa tidak mungkin mampu mengha-
dapi Empu Wadas Gempal jika tidak datang Kiai Wasi
Ekacakra menolongku,” jawab Joko Sungsang tulus.
Diam-diam Sekar Arum mengagumi kerenda-
han hati anak muda ini. Meski anak muda ini sudah
bergelar Pendekar Perisai Naga, tetap saja ia merasa ti-
dak akan bisa mengalahkan Empu Wadas Gempal,
guru Hantu Lereng Lawu. Padahal gadis itu melihat
sendiri bagaimana anak muda itu memainkan Perisai
Naga di tangannya. Karena itu pula ia menganggap
bahwa anak muda ini memang pantas bergelar sebagai
Pendekar Perisai Naga.
Lalu gadis itu menengok dirinya sendiri. Lalu ia
merasa kecil sekali berada di samping Pendekar Perisai
Naga, la yang hanya memiliki ilmu silat sekuku hitam
sudah berani kiprah di dunia persilatan, la bahkan
sudah berani meninggalkan Padepokan Karang Bolong
sebab merasa sudah memiliki ilmu silat yang hebat.
Tetapi, nyatanya hampir saja ia celaka dan diperkosa
oleh Kebo Dungkul.
”Aku merasa malu sekali bertemu denganmu,
Joko,” ucap gadis itu seraya menundukkan kepala.
”Malu?” Joko Sungsang mengangkat kedua
alisnya.
”Ya. Aku terlalu pongah dengan ilmu silatku
yang....”
’’Arum,” tukas Joko Sungsang. ’’Menurutku, il-
mu silatmu sangatlah tangguh. Permainan tombak
pendek-mu mengagumkan. Buktinya Kebo Dungkul
akhirnya tewas tertikam tombak pendekmu. Kalaupun
beberapa waktu yang lalu guruku terpaksa menolong-
mu, itu karena dia melihat kecurangan dalam perta-
rungan di depan kedai itu. Aku yakin, tanpa bantuan
Hantu Lereng Lawu, tak mungkin Kebo Dungkul lolos
dari aji pamungkas tombak pendekmu.”
Sekar Arum membenarkan ucapan anak muda
itu. Ya, kalau saja tidak datang Hantu Lereng Lawu
membantu, tentulah Kebo Dungkul sudah tewas di de-
pan kedai itu. Tewas oleh jurus ’Memancing Mangsa
Keluar Sarang’!
’’Maksudku, aku malu kenapa aku tidak berpi-
kiran sepertimu. Kau yang sudah menguasai seluruh
ilmu Padepokan Jurang Jero saja masih ingin belajar
dari padepokan lain. Tapi, .kenapa aku yang belum
berhasil menguasai seluruh ilmu yang diajarkan Ki
Sempani...?”
’’Penyesalan tidak ada gunanya, Arum.” Kemba-
li Joko Sungsang memotong keluhan gadis itu. ’’Yang
penting sekarang kau berniat kembali ke Karang Bo-
long, dan berjanji akan lebih tekun lagi belajar. Bukan
begitu?”
’’Dengan bantuanmu, semoga kali ini aku tidak
patah semangat!” ujar gadis itu sambil mempercepat
langkah.
Menjelang pagi hari, mereka tiba di Padepokan
Karang Bodong. Ki Sempani terkejut melihat kedatan-
gan Sekar Arum disertai seorang anak muda yang ber-
senjatakan Perisai Naga. Tak disangka-sangka ia bakal
melihat lagi kemunculan Pendekar Perisai Naga dimu-
ka bumi ini.
’’Kisanak, kalau mata tuaku ini tidak salah li-
hat, cambuk yang melilit di pinggang Kisanak itu tidak
lain dari Perisai Naga,” kata Ki Sempani sebelum Sekar
Arum sempat memperkenalkan Joko Sungsang kepada
gurunya.
’’Kalaupun pandang mata Kiai terpengaruh oleh
bertambahnya usia Kiai, tetapi saya percaya mata hati
Kiai tidak akan salah melihat,” jawab Joko Sungsang
seraya mengangguk hormat.
’’Jadi, benar aku sedang berhadapan dengan
Pendekar Perisai Naga?”
’’Begitulah kalau memang Kiai mengizinkan
saya mewarisi gelar dari Kiai Wiku Jaladri. ”
’’Gusti Allah Maha agung!” desis orang tua itu.
’’Sejak dulu aku tidak percaya Kakang Wiku Jaladri
tewas di dasar jurang itu. Suatu ketika pasti dia mun-
cul lagi untuk membangun bumi yang bobrok ini.”
’’Sewaktu saya meninggalkan Padepokan Ju-
rang Jero, keadaan Guru sehat walafiat, Kiai. Malahan
Guru mengirimkan salam teruntuk Kiai di Padepokan
Karang Bolong sini.”
”Ha ha ha, rasanya umurku bertambah panjang
mendengar kabar baik tentang Kakang Wiku Jaladri!
Apalagi kabar baik itu disampaikan oleh muridnya
yang bergelar Pendekar Perisai Naga! Oh, siapa nama
Kisanak... eh, Anakmas ini?”
’’Joko Sungsang, Kiai.”
’’Joko Sungsang? Wah, wah, pasti Anakmas ini
ketika lahir dalam keadaan sungsang. Artinya, Anak
mas lahir dengan kaki mendahului kepala. Betul begi-
tu?”
’’Menurut pengakuan ayah saya, memang begi-
tulah alasannya kenapa saya diberi nama Joko Sung-
sang, Kiai.”
’Tetapi, saya lebih suka memanggilnya Pende-
kar Perisai Naga, Guru,” sela Sekar Arum sambil meli-
rik Joko Sungsang.
”Ya, ya, ya. Kalau aku tadi menanyakan nama
lahir, tidak berarti aku menganggap Anakmas Joko
Sungsang ini tidak pantas bergelar Pendekar Perisai
Naga, Arum. Hanya saja, aku percaya Anakmas Joko
Sungsang akan merasa risih jika aku memanggilnya
dengan Anakmas Pendekar Perisai Naga! Bukan begitu,
Anakmas?”
”Betul sekali, Kiai. Apalah artinya gelar saya ji-
ka saya sedang berhadapan dengan pertapa sakti ma-
cam Kiai?” sahut Joko Sungsang merasa tidak enak
hati. Tentu saja ia merasa kecil sekali berhadapan
dengan Ki Sempani. Dan, selama ini toh musuh-
musuhnya yang menggelarinya Pendekar Perisai Naga.
Sesungguhnya, ia sendiri merasa belum pantas me-
nyandang gelar warisan dari gurunya itu.
”Ho ho ho, tidak juga begitu, Anakmas. Kalau
memang Anakmas Joko Sungsang benar-benar telah
mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki Kakang Wiku Ja-
ladri, tidak perlu Anakmas merasa kecil hati berhada-
pan denganku. Aku ini hanyalah orang tua yang tidak
tahu diri. Sudah seharusnya aku ini hidup menyepi,
jauh dari kekotoran dunia. Tetapi, aku masih saja in-
gin campur tangan. Tidak seperti Kakang Wiku Jaladri
maupun Dimas Wasi Ekacakra. Bukan begitu, Anak-
mas?”
”Maaf, Kiai. Saya tidak berani membenarkan
ucapan Kiai. Sebab, menurut saya, justru orang-orang
sakti macam Kiai ini sedang dibutuhkan oleh rakyat
yang tertindas, Kiai. Tentang Guru dan Kiai Ekacakra,
sebenarnya mereka pun tidak tega melihat orang-orang
sesat menyebarkan penderitaan dari desa ke desa. Kiai
boleh bertanya kepada Arum, siapa yang menolong
kami berdua sewaktu Empu Wadas Gempal mencam-
puri urusan kami berdua dengan Hantu Lereng Lawu,
kalau bukan Kiai Wasi Ekacakra!”
’’Betul, Guru. Kami yang muda ini masih tetap
membutuhkan dukungan dari sesepuh macam Guru.
Malahan Pendekar Perisai Naga jauh-jauh datang dari
Padepokan Jurang Jero kemari karena ingin belajar
ilmu silat lagi dari Guru,” kata Sekar Arum menimpali.
”Ha ha ha, kojur, kojur! Susah memang bicara '
dengan anak muda macam kalian ini,” Ki Sempani
menggeleng-gelengkan kepala. Lengan bajunya yang
komprang bergoyang goyang.
”Apa yang dikatakan Arum memang benar, Kiai.
Saya datang kemari memang dengan niat berguru ke
pada Kiai. Tetapi, tentu saja jika Kiai tidak merasa hi-
na menerima saya sebagai murid,” kata Joko Sungsang
menegaskan.
"Anakmas, tentu saja aku akan besar kepala
punya murid macam Anakmas. Tetapi, apa lagi yang
bisa aku ajarkan? Semua yang aku punyai pasti sudah
dipunyai oleh Kakang Wiku Jaladri, dan sudah diajar-
kan kepada Anakmas Joko Sungsang....”
”Guru, ” tukas Sekar Arum. ’’Kalau memang
benar ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’ merupakan
jurus andalan Padepokan Karang Bolong, berarti Joko
Sungsang tidak mungkin mendapatkan ilmu itu dari
gurunya!”
”Ho ho ho, itu hanyalah jurus mainan anak ke-
cil, Anakmas,” sahut Ki Sempani.
’’Kalau begitu, aku ini hanya bayi kemarin
sore!” sergah Sekar Arum sambil memberengut.
”Lha, kenapa begitu?” Mata Ki Sempani yang
sipit itu melebar.
”Guru bilang bahwa ilmu ’Pukulan Ombak Laut
Selatan’ hanyalah mainan anak-anak kecil. Tetapi
sampai sekarang aku tidak....”
”Ha ha ha!” Tawa Ki Sempani memenggal uca-
pan muridnya. ’’Bukan itu maksudku, Arum. Aku ka-
takan ilmu itu hanyalah mainan anak-anak kecil, ka-
rena aku sedang berbicara dengan Pendekar Perisai
Naga. Kalau aku bicara dengan musuhku, tentu akan
kukatakan bahwa ilmu itu paling jempolan di muka
bumi ini! Mengerti?”
Sekar Arum tetap memberengut. Joko Sung-
sang merasa tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya
menatap guru dan murid itu bergantian.
’’Lagi pula, dengan tombak pendekmu itu kau
sebenarnya mempunyai senjata andalan yang tak ku-
rang ampuhnya jika dibandingkan dengan ilmu ’Puku-
lan Ombak Laut Selatan’, Arum. Bukan begitu, Anak-
mas Joko Sungsang?”
’’Tepat sekali, Kiai!” Joko Sungsang manggut-
manggut. ’’Saya sudah melihat sendiri bagaimana
Arum memainkan tombak pendeknya, Kiai. Saya me-
rasa pasti, andai saja jurus-jurus tombak pendek itu
diperdalam, akan sulit dicarikan tandingannya, Kiai.”
’’Apakah berarti Guru tidak mengizinkan aku
mencoba mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Sela-
tan’ lagi?”
”Cah Denok, kapan saja kau mau mempelaja-
rinya, aku selalu mengizinkan. Tetapi, kali ini kau ha-
rus berjanji, tidak akan meninggalkan Padepokan Ka-
rang Bolong lagi sebelum kau berhasil dalam latihan-
mu Bagaimana?”
”Aku berjanji!” Sekar Arum menyahut tegas.
***
4
Akan tetapi, Sekar Arum ternyata mengingkari
janjinya. Ia diam-diam pergi meninggalkan padepokan
setelah untuk kedua kalinya gagal dalam latihannya.
Gadis keras kepala dan keras hati ini merasa malu dan
minder melihat keberhasilan Joko Sungsang mempela-
jari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’.
Oleh sebab itulah Joko Sungsang ditugaskan
oleh Ki Sempani untuk mencari gadis itu dan membu-
juknya agar mau kembali ke Padepokan Karang Bo-
long. Dan, sebelum menemukan adik seperguruannya
ini, Joko Sungsang lebih dulu menemukan orang-
orang upahan yang menggali kubur ayahnya. Maka tak
bisa dihindari lagi pertarungan hidup dan mati mela-
wan Ki Demang Kerpa di halaman kademangan itu.
Sementara Joko Sungsang melacak jejak Sekar
Arum dari desa ke desa, dunia persilatan sedang di-
landa pergolakan. Tokoh-tokoh dari golongan hitam
bermunculan dan berebut untuk bisa menduduki desa
desa tertentu yang mereka pandang makmur. Di samp-
ing itu, mereka juga berlomba untuk bisa menda-
patkan julukan sebagai tokoh dunia persilatan yang
paling disegani. Maka tak jarang terjadi pertarungan
hidup dan mati antar sesama tokoh sesat.
Seperti yang terjadi di Desa Gedong Alit malam
itu. Dua orang tokoh dari golongan hitam bertarung
untuk bisa saling menaklukkan satu sama lain. Mere-
ka berdua tak lain adalah Empu Wadas Gempal mela-
wan Cekel Janaloka.
Sewaktu Joko Sungsang tiba di tempat itu, ia
melihat Empu Wadas Gempal sudah berhasil mende-
sak lawannya. Jari-jari mautnya bahkan sudah berha-
sil melukai pundak Cekel Janaloka.
”Tak perlu aku membunuhmu, besok pagi juga
kau bakal sekarat, Janaloka!” seru Empu Wadas Gem-
par sambil berkelit menghindari ruyung hitam yang
mematuk kepalanya.
’’Jangan banyak bacot, demit hutan! Selama
kau tidak lari, kaulah yang akan lebih dulu modar!”
sahut Cekel Janaloka sebelum mengubah arah senja-
tanya. Kini ruyung hitam yang ujungnya dihiasi baja
mirip mata kail itu mengancam perut Empu Wadas
Gempal.
”Ho ho! Kau pikir aku ini mujair di kali?” Empu
Wadas Gempal menangkis senjata lawan dengan tan-
gan kanannya yang seolah telah berubah menjadi besi.
Sudah barang pasti ia menangkis tepat pada sambun-
gan yang menghubungkan ruyung hitam itu dengan
mata kail sebesar sabit itu.
“Desss! Krakkk!”
Akibatnya sungguh di luar dugaan mereka yang
menyaksikan pertarungan itu. Joko Sungsang sendiri
heran melihat ruyung hitam itu patah berbenturan
dengan sisi telapak tangan orang sakti dari Hutan Ke-
tapang itu.
Merasa senjata andalannya kutung, Cekel Ja-
naloka mundur beberapa langkah. Selain ia merasa
kehilangan senjata, ia juga merasakan nyeri di pundak
kirinya semakin menjadi-jadi. Kini bahkan terasa pa-
nas bak tersengat bara. Inilah akibat cakaran jari-jari
Empu Wadas Gempal yang dilumuri racun laba-laba
hitam dari Hutan Ketapang.
”He he he, Janaloka! Menyerahlah agar aku bi-
sa mengampunimu dan memberimu obat penangkal
racun laba-laba hitamku!”
“Singgg!”
Cekel Janaloka menyambitkan sisa ruyung hi-
tam yang masih dipegangnya. Penggalan ruyung itu
berputar dan mengarah ke leher Empu Wadas Gempal.
Namun, seketika itu juga tubuh orang sesat dari Hutan
Ketapang itu berputar searah putaran ruyung.
’’Jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’!” bi-
sik hati Joko Sungsang. Serta-merta ia ingat Hantu Le-
reng Lawu yang menggunakan jurus ini untuk me-
nangkal lilitan Perisai Naga. Lima tahun yang lalu, se-
lama Hantu Lereng Lawu berputar mirip gasing maka
selama itu pula Perisai Naga tak akan berhasil membe-
litnya. Untuk itu Joko Sungsang lantas menggunakan
jurus ’Mematuk Elang Dalam Mega’ untuk menghenti-
kan putaran tubuh murid Empu Wadas Gempal itu.
Ruyung hitam itu berputar-putar dan berbenturan
dengan tubuh Empu Wadas Gempal yang juga berpu-
tar. Namun, tak diduga-duga oleh siapa pun jika
ruyung itu akan mental dan melabrak leher tuannya
sendiri.
Cekel Janaloka berjumpalitan ke belakang
menghindari serangan balik senjatanya. Sayang, ia ti-
dak bersiap-siap bahwa Empu Wadas Gempal akan
memburunya dengan tendangan kakinya.
”Augh!” Cekel Janaloka bergulingan di tanah
dengan bahu kanan patah.
”Kau tinggal bisa menggunakan kedua kakimu,
Janaloka!” ujar Empu Wadas Gempal sambil mengu-
sap kumisnya yang basah oleh keringat.
Tertatih-tatih Cekel Janaloka bangkit dengan
kedua bahu tak bertenaga lagi. Meski demikian, tetap
saja tokoh hitam dari Gunung Sumbing ini berusaha
menyerang lawan. Kaki kanannya ditarik jauh-jauh ke
belakang, telapak tangan kiri menyerong ke kiri, dan
tiba-tiba tubuhnya melenting mengirimkan tendangan
beruntun.
’’Ciaaat!” Desss!”
Tubuh Cekel Janaloka terbanting ke tanah
dengan mulut memuntahkan darah segar. Kali ini Em-
pu Wadas Gempal membenturkan siku tangan kanan-
nya ke tulang kering lawan. Dan, sebelum lawan turun
dari udara, secepat kilat sisi telapak tangannya me-
nimpa punggung lawan.
’’Karena kau tetap tidak mau menyerah, aku
harus menyatukan tubuhmu dengan debu, Janaloka!”
Berkata begini, Empu Wadas Gempal siap merobek-
robek tubuh lawannya dengan kuku-kuku jari tangan-
nya.
Tetapi, sebelum kelima jari maut itu tertanam
di tubuh Cekel Janaloka, tiba-tiba berkelebat bayan-
gan putih dari balik semak-semak dan langsung mela-
brak lengan kanan Empu Wadas Gempal.
’’Haiyaaa!” Empu Wadas Gempal mengegoskan
tubuhnya hingga tumit kaki yang mengarah ke len-
gannya lewat begitu saja. Berdesing di atas telinganya.
”Arum!” teriak Joko Sungsang tertahan. Lalu,
secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke arah tubuh
gadis itu. Cambuk itu melilit pinggang Sekar Arum,
dan dengan sekali sentak tubuh gadis itu tertarik ke
balik semak-semak tempat Joko Sungsang bersem-
bunyi.
’’Kenapa...?”
Joko Sungsang tidak menjawab, la menarik
lengan gadis itu dan dibawanya tubuh gadis itu me-
lenting ke kerimbunan dahan jati. Dari dahan ke da-
han Joko Sungsang terus melarikan Sekar Arum men-
jauhi tempat pertarungan itu.
”Dia bukan lawanmu, Arum, ” kata Joko Sung-
sang setelah yakin Empu Wadas Gempal tak mungkin
menemukan mereka.
’’Tetapi, dia iblis kejam! Aku tidak tega melihat-
nya...!”
”Aku pun demikian, Arum, ” tukas Joko Sung-
sang.
’’Tapi, kau mungkin tidak tahu siapa lawan
Empu Wadas Gempal itu.”
’’Cekel Janaloka, bukan?”
’’Betul. Maksudku, Cekel Janaloka pun sebe-
narnya manusia kejam. Apa salahnya jika ia mendapat
balasan atas kekejaman yang pernah dibuatnya.”
’’Maksudmu, dia juga tega membunuh lawan
yang sudah tidak berdaya?”
’’Membunuh dan menghancurkan tubuhnya
dengan cabikan besi di ujung ruyung hitamnya!”
’’Hiiih!” Gadis itu mengedikkan bahunya.
”Nah, sekarang ceritakan kenapa kau bisa be-
rada di tempat itu, Arum?” kata Joko Sungsang setelah
mereka kembali menginjakkan kaki di tanah.
”Lho, seharusnya aku yang bertanya, kenapa
kau juga ada di tempat Itu? Kalau aku, memang sudah
tiga malam aku menginap di Desa Gedong Alit”
’’Tiga malam? Ada apa rupanya sampai kau ke-
rasan tinggal di desa itu selama tiga malam?” Joko
Sungsang memperlambat langkah kakinya.
’’Jawab dulu pertanyaanku!” Sekar Arum bersi-
keras.
’’Kebetulan saja aku lewat di desa itu. Dan, ru-
panya firasatku benar bahwa orang yang aku cari se-
lama ini ada di desa itu!”
’’Siapa?” Sekar Arum berpura-pura.
’’Bidadari Karang Bolong!”
Sekar Arum mencubit pinggang anak muda itu.
Tak dihindari cubitan itu sebab Joko Sungsang me-
mang ingin sekali menikmati cubitan gadis yang dicin-
tainya ini. Sudah puluhan hari ia tidak bercanda den-
gan gadis pautan hatinya itu. Tepatnya, sejak gadis itu
meninggalkan Padepokan Karang Bolong karena gagal
mempelajari ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’.
Joko Sungsang memaklumi jika Sekar Arum ti-
dak tahan bermalam-malam harus bergulat dengan
ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak pernah digem-
bleng di dasar jurang yang udaranya menggigit-gigit
tulang, sudah pasti ia pun akan gagal seperti halnya
gadis itu. Maka Joko Sungsang bersyukur telah dipak-
sa oleh Wiku Jaladri hidup di dasar jurang di Gunung
Lawu itu. Ia bukan saja terlatih dengan udara dingin,
melainkan juga darahnya menjadi panas sebab setiap
hari ia makan daging ular sanca. Bahkan tak jarang ia
harus makan daging biawak. Suhu darahnya yang lain
dengan suhu darah Sekar Arum inilah yang membuat-
nya tahan bermalam-malam bergelut dengan ombak.
Sebaliknya, Sekar Arum yang tubuhnya cepat
menggigil, dengan mudah terpelanting dihantam om-
bak. Kendatipun ia berhasil bangkit lagi, tetapi ombak
akan terus membuatnya terhempas ke pasir pantai.
Padahal, ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’ harus di-
dasari oleh kekuatan kuda-kuda dalam menahan
hempasan ombak. Tanpa kuda-kuda yang benar, mus-
tahil tenaga inti jasmani akan bisa dilontarkan. Lonta-
ran tenaga inti jasmani inilah yang nantinya akan me-
rontokkan apa saja yang tersembunyi di dalam anggota
tubuh manusia, tanpa harus melukai bagian luar ang-
gota tubuh itu sendiri.
”Kau pasti disuruh Guru untuk mengajakku
pulang ke padepokan lagi,” kata Sekar Arum mem-
buyarkan lamunan Joko Sungsang.
"Syukurlah jika kau sudah berpikir begitu."
’Tetapi, aku tidak akan sudi dipermalukan un-
tuk yang kedua kalinya, Pendekar Perisai Naga!” Tiba-
tiba nada bicara gadis itu meninggi. Malahan Joko
Sungsang melihat sorot mata gadis itu menjadi agak
liar.
’’Arum, siapa yang sebenarnya kau anggap
membuatmu malu?” tanya Joko Sungsang hati-hati.
’’Siapa lagi kalau bukan ombak keparat itu!”
”Dan, kau malu kepada siapa?”
”Aku murid tunggal di padepokan itu sebelum
kau datang! Akulah yang semestinya mewarisi ilmu
’Pukulan Ombak Laut Selatan’! Tetapi, nyatanya justru
kau yang lebih dulu mewarisinya!”
’’Arum, aku sama sekali tidak merasa menjadi
ahli waris ilmu Padepokan Karang Bolong. Sungguh,
Arum. Aku belajar di sana juga atas izinmu. Dan, se-
benarnya aku ke sana hanyalah semata-mata karena
ingin menyampaikan kabar baik guruku kepada guru-
mu. Kalau memang sekarang kau malu terhadapku,
biarlah aku berjanji tak akan menggunakan aji pa-
mungkas dari Padepokan Karang Bolong itu. Biarlah
aku cukup mengandalkan jurus-jurus Perisai Naga
ku.”
’’Bukan itu yang kumaksudkan! Aku senang
kau bisa merangkap dua ilmu dari dua perguruan se-
kaligus! Aku bangga jika kau menjadi pendekar yang
tidak terkalahkan di kolong langit ini! Aku... ah!” Gadis
itu mendekap mukanya dengan kain parang rusak
yang membalut pinggulnya.
Joko Sungsang semakin kebingungan mengha-
dapi ulah gadis itu. Seumur hidupnya, belum pernah
ia melihat dan mengetahui bagaimana cara menghen-
tikan tangis seorang gadis. Terlebih gadis yang diam-
diam dicintainya.
”Aku tidak akan kembali ke Karang Bolong, ”
kata Sekar Arum di sela isak tangisnya. ”Aku hanya
akan mempermalukan Guru di depan musuh-
musuhnya. Mereka mengira aku telah mewarisi ilmu
’Pukulan Ombak Laut Selatan’. Tetapi, nyatanya aku
tidak pernah berhasil!”
”Arum, dengarlah penjelasan dariku. Beri aku
waktu untuk menjelaskan kenapa oleh Ki Sempani kau
dipersenjatai tombak pendek itu. Kau mau menden-
garkannya?”
Sekar Arum menyusut air matanya. Kini pan-
dang matanya tak lagi galak dan liar. Mata itu sedikit
sembab, tetapi tidak mengurangi daya tarik wajah ga-
dis itu.
’’Tombak pendek yang sekarang terselip di
pinggangmu itu, sebenarnya bukan sembarang tom-
bak, Arum. Tombak itu tidak terbuat dari sembarang
besi atau baja seperti umumnya tombak. Tombak itu
terbuat dari tanah liat dari liang kubur seorang pende-
kar yang dibentuk menjadi tombak bermata dua, lalu
dibakar di kawah gunung. Setelah itu, barulah diren-
dam pasir pantai selama puluhan tahun. Nah, cobalah
kau teliti sekali lagi tombak pendekmu. Kau timang-
timang, benarkah berat tombak itu cocok dengan ba-
han bakunya. Maksudku, jika tombak itu terbuat dari
baja atau besi, belum tentu tangan semungil tangan-
mu akan mampu memainkan dengan lincah dan gesit.”
Sekar Arum melolos tombak pendeknya dari
balik kain parang rusak di pinggangnya la mengamati
dua mata tombak pendek itu. Ada cahaya kebiru-
biruan yang diseling warna merah bata. Maka ia ingat
warna batu bata yang terlampau lama terbakar, yang
disebut bata leleh.
’’Tapi, kenapa Guru mewariskannya kepada-
ku?” tanya gadis itu setelah mempercayai berita yang
dituturkan Joko Sungsang.
’’Hanya murid kesayangannya yang akan mene-
rima tombak pendek itu, Arum.”
’’Tapi, kenapa asal-usul tombak ini tidak per-
nah diceritakan kepadaku oleh Guru sendiri?”
’’Karena Ki Sempani takut kau menuduh cerita
itu hanya untuk menghiburmu.”
”Aku tidak mengerti maksudmu.”
”Arum, sebenarnya sejak semula Ki Sempani ti-
dak yakin bahwa kau bakal bisa mewarisi ilmu ’Puku-
lan Ombak Laut Selatan’. Sebagai gantinya, Ki Sempa-
ni menciptakan jurus-jurus tombak pendek khusus
untukmu. Itulah kenapa Ki Sempani sendiri tidak per-
nah dikenal sebagai Pendekar Bertombak Pendek di
rimba persilatan. Sebab, sebelum kau menjadi murid-
nya, Ki Sempani sama sekali tidak mengenal jurus ju-
rus tombak pendek. Sampai-sampai kalangan persila-
tan menjulukinya sebagai pendekar bertangan kosong
yang sulit dicari tandingannya. Dan, kau tahu kenapa
Ki Sempani tidak pernah mau menggunakan senjata
dalam bertarung?”
Gadis itu menggeleng pelahan. Lehernya yang
jenjang semakin memikat mata Joko Sungsang.
Goyangan leher kuning langsat itu benar-benar mem-
buat darah anak muda itu tersirap. Ingin rasanya anak
muda itu mencium leher yang mulus itu.
’’Pantang bagi Ki Sempani melihat darah lawan,
Arum. ”
Mata gadis itu membulat. Bulu matanya yang
lebat bergerak-gerak seperti daun songgo langit.
”Dari mana kau tahu kalau Guru takut melihat
darah?”
’’Dari guruku tentu saja. Mereka berdua teman
sejati sejak mereka masih kanak-kanak. Sudah pasti
mereka mengenal lebih dalam satu sama lain.”
’’Tentu ada sesuatu yang membuat Guru takut
melihat darah.”
’’Darah membuat Ki Sempani ingat pada den-
damnya yang tak kesampaian.”
’’Dendam tak kesampaian?”
”Ya. Ki Sempani mengurung diri di Padepokan
Karang Bolong karena ingin membalaskan kematian
kedua orang tuanya. Tetapi, sewaktu ia merasa mam-
pu menandingi musuh bebuyutannya itu, orang yang
dicarinya itu telah bunuh diri dengan pedang merobek-
robek dada. Orang itu mati dengan sekujur tubuh di-
lumuri darah!
***
’’Bedebah! Ular busuk! Kau tambahi dosamu
sendiri dengan mencuri mangsaku! Aku ratakan wa-
jahmu jika kutemukan kau, gembala sapi!” rungut
Empu Wadas Gempal begitu menyadari bahwa lawan
barunya ditolong deh Joko Sungsang alias Pendekar
Perisai Naga.
Hutan jati itu dikitarinya, diselusupinya, tetapi
tak diketemukannya gadis belia dan anak muda yang
telah membunuh murid kesayangannya itu. Kemara-
han Empu Wadas Gempal semakin menjadi-jadi. Maka
dengan jari-jari tangannya dirobohkannya beberapa
pohon jati yang dianggapnya telah menyembunyikan
buruannya.
”Guru dan murid sama saja! Sama-sama pen-
gecutnya! Ayo, lawan Empu Wadas Gempal jika kau
memang pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! Atau,
kau lebih seriang aku sebut Pendekar Perisai Kerbau?
Sapi? Kuda? Kambing? Bebek? Ayo, keluar! Ledakkan
cambukmu di kepalaku!” Suara Penguasa Hutan Keta-
pang itu bergema. Hewan-hewan yang hidup di hutan
jati itu berlarian.
Lalu sepi. Hanya terdengar kesiur angin ber-
campur dengan suara daun-daun jati bergesekan.
Daun-daun yang kering melahirkan suara yang me-
nyakitkan gen-dang telinga.
’’Kucincang dan ku gantung lehermu dengan
cambuk kambing mu sendiri, dan kusuruh telan bola
berduri yang menghiasi ujung cambuk mu!” Masih ju-
ga Empu Wadas Gempal bersumpah-serapah ketika
melangkah meninggalkan pinggiran hutan jati yang
membatasi Desa Gedong Alit dengan Desa Gedong
Tengen itu.
Tiba-tiba mendung menutup cahaya bulan.
Empu Wadas Gempal menadahkan telapak tangannya.
Beberapa titik air hujan membasahi telapak tangan
itu.
’’Hujan pertama? Hujan pertama, aku ada janji.
Tapi, dengan siapa? Di mana? Janji apa?” Orang sesat
dari Hutan Ketapang itu menepuk-nepuk jidatnya.
Namun begitu, apa yang berusaha diingatnya tak per-
nah muncul di batok kepalanya.
Syukurlah gerimis segera berhenti. Angin ken-
cang membuyarkan mendung hitam yang memayungi
hutan jati itu. Empu Wadas Gempal tertawa tergelak-
gelak. Justru sewaktu gerimis berhenti, ia ingat jan-
jinya dengan Ki Danyang Bagaspati.
’’Tetapi, aku belum berhasil mencincang si
Gembala Kambing itu, Bagaspati,” ujarnya dalam hati.
Kemudian ia membayangkan adegan pertarungannya
nanti dengan Ki Danyang Bagaspati. Bagaimanapun
juga ia merasa was-was menghadapi orang tua berilmu
demit itu. Banyak senjata di muka bumi ini, tetapi
orang aneh dari Gunung Merapi itu justru memakai
kain kafan sebagai senjata andalan. Meskipun hanya
kain kafan, kain lusuh yang tentunya sudah tak ulet
lagi, jika sudah dipilin dan dialiri tenaga dalam maka
akan menjadi ancaman bagi benda apa saja yang dis-
entuhnya.
Belum lagi jika kain kafan itu berpasangan
dengan senjata rahasia kerikil kepundan yang setiap
butirnya mampu menembus kulit dan meracuni darah
dalam tubuh. Sebutir saja kerikil beracun itu merobek
kulit maka tubuh akan kejang dan mata terbeliak mi-
rip orang ayan.
"Biarlah aku mati di tangan demit itu asalkan
aku lebih dulu bisa membunuh Pendekar Perisai Na-
ga,” keluh Empu Wadas Gempal setelah menaksir-
naksir tingkatan ilmu Ki Danyang Bagaspati.
***
5
Tewasnya Cekel Janaloka membuat murid
tunggalnya gusar bukan kepalang. Ia seorang gadis
yang berusia kurang dari dua puluh tahun. Namun
demikian, tingkatan ilmu silatnya hampir bisa diseja-
jarkan dengan ilmu silat yang dimiliki gurunya. Kalau
bisa dianggap sebagai satu kelebihan jika dibanding-
kan dengan Cekel Janaloka, gadis ini memiliki senjata
andalan berupa toya, terbuat dari kayu dewondaru.
Toya ini berwarna merah-kecoklat coklatan dan tak
akan mungkin terlukai oleh segala jenis senjata tajam.
Serat-serat kayu dewondaru memungkinkan toya itu
tidak mudah terpatahkan. Selama senjata andalan
Perguruan Gunung Sumbing ini berada di tangan Ce-
kel Janaloka, belum sekali pun terlukai oleh senjata
lawan, apalagi terpatahkan. Oleh sebab itulah, tanpa
senjata andalannya ini, Cekel Janaloka tak mampu
bertahan melawan Empu Wadas Gempal. Kalau saja
orang sakti dari Gunung Sumbing ini belum mewa-
riskan toya dewondarunya kepada murid tunggalnya,
bukan tidak mungkin telapak tangan Empu Wadas
Gempal yang hancur dalam pertarungan di Desa Ge-
dong Alit malam itu.
Endang Cantikawerdi, gadis murid Cekel Jana-
loka itu, langsung berniat mencari Empu Wadas Gem-
pal di Hutan Ketapang. Dari keterangan yang dida-
patkannya, ia tidak ragu lagi bahwa Empu Wadas
Gempallah yang harus menebus kematian Cekel Jana-
loka.
Dalam perjalanan menuju Hutan Ketapang in-
ilah Endang Cantikawerdi terpaksa harus berurusan
dengan Sekar Arum. Meski merasa harus secepatnya
tiba di Hutan Ketapang, melihat kegaduhan di hala-
man kedai minum itu, ia menyempatkan diri untuk
melihat-lihat.
Meluap kemarahan Endang Cantikawerdi begi-
tu melihat seorang gadis merobohkan tiga orang lelaki
yang diketahuinya sebagai penduduk Kaki Gunung
Sumbing. Maka gadis murid Cekel Janaloka ini lang-
sung memutar toyanya dan menyongsong serangan
tombak pendek yang sejengkal lagi merobek dada seo-
rang lelaki yang masih mampu bertahan.
“Trang! Trang! Trang!”
Tombak pendek bermata dua itu bertemu den-
gan toya dewondaru milik Endang Cantikawerdi. Aki-
batnya kedua gadis itu sama-sama berjumpalitan ke
belakang untuk kemudian memasang kuda-kuda.
’’Gadis liar yang tak tahu adat! Katakan nama-
mu sebelum toyaku ini menggebuk pantatmu dan
mengempiskan dadamu!” hardik Endang Cantikawerdi
dengan pandang mata mirip pandang mata harimau
lapar.
’’Perempuan jalang bermulut kotor! Siapa pun
namaku, aku tak ada urusan denganmu! Dan, jangan
berkhayal tongkat penggebuk anjingmu itu bisa me-
nyentuh kulitku!” Sekar Arum tak kalah gertak.
’’Kuntilanak busuk!” bentak Endang Cantika-
werdi, yang langsung menerjang dengan sodokan
toyanya ke arah ulu hati Sekar Arum
Secepat Itu pula Sekar Arum melompat ke
samping, dan segera mengeluarkan senjata andalan-
nya yang berbentuk tombak pendek mata dua!
Menyadari bahwa lawan langsung melancarkan
serangan yang mematikan, Sekar Arum melompat ke
samping dan mengirimkan serangan balasan. Namun,
gadis liar yang tidak dikenalnya ini ternyata sudah siap
menerima serangan balasan. Dengan sigap ia menarik
toyanya dan membenturkannya pada mata tombak
yang mengancam pelipisnya. Tangkisan yang disertai
aliran tenaga dalam yang sempurna ini membuat Se-
kar Arum mengaduh mundur beberapa langkah. Kini
ia benar-benar meyakini bahwa lawannya memang
menghendaki kematiannya, Maka secepatnya ia men-
galirkan tenaga murni untuk mengusir rasa nyeri di
bahu kanannya.
’ Hi hi hik! Rupanya besar mulutmu tak sesuai
dengan besar tenagamu, sundel bolong!” ejek Endang
Cantikawerdi yang merasa di atas angin.
Joko Sungsang yang menyaksikan pertarungan
itu dari dalam kedai menyesali sikap Sekar Arum yang
mudah meremehkan lawan. Seharusnya, gadis itu tak
cukup hanya mengandalkan kecepatan dalam menye-
rang tetapi juga harus menyertai serangan itu dengan
tenaga dalam. Rupanya ia lupa bahwa yang dihadapi
nya bukan lagi lelaki-lelaki hidung belang yang hanya
mengandalkan otot itu.
Setelah rasa nyeri di bahu kanannya teratasi
Sekar Arum kembali menerjang dengan tombak pen-
deknya. Dua mata tombaknya susul-menyusul men-
gancam pinggang lawan. Serangan itu memang ditung-
gu oleh Endang Cantikawerdi. Itulah kenapa ia tadi
membuka pinggangnya agar lawan mengiranya lena. Ia
ingin mengadu lagi toya dewondaru-nya dengan tom-
bak pendek milik lawan.
“Trang! Trang!”
Kedua mata tombak pendek itu bertemu lagi
dengan kedua ujung toya berwarna merah kecoklat-
coklatan itu. Namun, kali ini tubuh kedua gadis itu
sama-sama terpental ke belakang dan bergulingan di
tanah. Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat dua
senjata bertemu.
’’Cukup!” Dalam sekejap mata, Joko Sungsang
tiba-tiba saja telah berdiri di antara kedua gadis itu.
Mata Endang Cantikawerdi terbelalak meman-
dangi anak muda yang berpakaian serba putih dan di
pinggangnya terlilit Perisai Naga. Kendatipun gadis ini
belum lama terjun di dunia persilatan, setidaknya ia
pernah mendengar cerita dari gurunya perihal Pende-
kar Perisai Naga ini.
Endang Cantikawerdi melenting bangkit, ke-
mudian menyilangkan toyanya di depan dada. Matanya
meneliti sosok anak muda yang berdiri menghadapnya.
Ia berani memastikan anak muda ini kawan baik gadis
bertombak pendek itu!
”Aku sudah mendengar nama besarmu, Pende-
kar Perisai Naga! Tetapi, kalaupun kau hendak meng-
gantikan gadismu itu menghadapiku, jangan kau pikir
aku takut!” ujar gadis itu seraya memutar toya dewon-
darunya.
’’Jangan buruk sangka. Aku terpaksa menghen-
tikan perkelahian ini sebab aku tidak melihat alasan
kalian berdua mesti berkelahi hidup dan mati. Aku le-
bih dulu berada di tempat ini sebelum....”
’’Bagaimana mungkin kau yang bergelar Pende-
kar Perisai Naga membiarkan gadis liar itu membunuh
penduduk desa yang tidak bersalah? Atau, memang
kau senang melihat kekejaman terjadi di depan mata-
mu?” tukas Endang Cantikawerdi.
"Bagaimana mungkin kau menyimpulkan bah-
wa para lelaki hidung belang itu tidak bersalah?” balik
Joko Sungsang.
’’Sudahlah, Joko! Biarkan dia memuaskan ke-
hendaknya! Dia pikir aku gentar menghadapinya!” sela
Sekar Arum.
’’Tidak, Arum. Kita tidak punya perselisihan
dengannya. ”
’’Siapa bilang? Ayo, keroyoklah aku kalau me-
mang kalian takut menghadapiku satu lawan satu!”
sahut Endang Cantikawerdi.
”Aku tahu kau seorang pendekar budiman. Kau
ingin melindungi penduduk desa yang tertindas. Teta-
pi, apakah tidak lebih baik kau tanyakan dulu kenapa
mereka sampai terlibat perkelahian dengan gadis ini?”
kata Joko Sungsang menunjuk Sekar Arum yang ber-
diri di sampingnya.
Endang Cantikawerdi bimbang sejenak. Bagai-
manapun juga ia tidak ingin gegabah menanam per-
musuhan dengan Pendekar Perisai Naga yang kesohor
ini. Lagi pula, ia masih punya urusan dengan Empu
Wadas Gempal. Seharusnyalah ia menanamkan per-
saudaraan terhadap anak muda murid Wiku Jaladri
ini.
”Hei, kemari kau!” Endang Cantikawerdi menu-
dingkan tongkatnya ke arah lelaki yang berdiri di anta-
ra mayat teman-temannya.
Lelaki itu takut-takut mendekati gadis murid
Cekel Janaloka itu.
”Apa yang telah kalian perbuat sehingga kalian
berurusan dengan gadis ini?” tanya Endang Cantika-
werdi sambil menaruh toyanya di pundak lelaki itu.
’’Kami... kami... hanya bergurau menggo-
danya....”
’’Bohong!” tukas Sekar Arum cepat.
’Tangan kotor tikus-tikus itu hampir saja me-
nodai bajuku!”
’’Kembali kau ke desamu, bawa serta mayat te-
man-temanmu itu sebelum kuhancurkan batok kepa-
lamu dengan toyaku ini!” Endang Cantikawerdi mendo-
rong dada lelaki itu dengan toyanya. Tubuh lelaki itu
terhuyung dan kemudian jatuh terduduk di tanah.
”Nah, kiranya di antara kita memang tidak ada
yang harus diperselisihkan,” kata Joko Sungsang. ’’Ka-
lau begitu, izinkan kami meninggalkan desa ini. Tetapi,
alangkah bangga hati kami jika kami tahu dengan sia-
pa kami berhadapan sekarang ini.”
Sekar Arum memberengut. la jengkel melihat
Joko Sungsang begitu merendahkan diri di depan ga-
dis binal ini. Kenapa mesti ingin tahu nama perem-
puan jalang bermulut kotor ini?
”Aku memang bukan pendekar terkenal seper-
timu. Tetapi, nama Perguruan Gunung Sumbing sudah
cukup dikenal di rimba persilatan. Maaf, aku masih
punya urusan!” Endang Cantikawerdi melompat pergi,
meninggalkan halaman kedai minum itu.
***
Joko Sungsang kebingungan menentukan
langkah. Semula ia ingin mengajak Sekar Arum mem-
buntuti gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing
itu. Akan tetapi, di luar dugaannya, Sekar Arum sendi-
ri menghilang ke arah yang berlawanan dengan arah
kepergian gadis murid Cekel Janaloka itu. Sungguh,
anak muda itu tidak mengira bahwa Sekar Arum akan
tersinggung dan lari meninggalkannya.
Sudah barang pasti Sekar Arum tersinggung
melihat perlakuan Joko Sungsang terhadap gadis liar
itu. Meski ia merasa belum tentu bisa mengalahkan
gadis bertoya itu, setidaknya ia merasa belum berhasil
membalas rasa nyeri di bahu kanannya. Padahal ham-
pir-hampir Sekar Arum tadi mengeluarkan aji pa-
mungkas nya ketika tiba-tiba Joko Sungsang datang
melerai perkelahian kedua gadis itu. Dengan jurus
’Memancing Mangsa Keluar Sarang’, Sekar Arum me-
rasa pasti bisa merobohkan gadis binal dari Perguruan
Gunung Sumbing itu. la tidak yakin gadis binal itu il-
mu silatnya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat Kebo
Dungkul. Kalau nyatanya Kebo Dungkul tewas oleh aji
pamungkasnya, kenapa gadis binal ini tidak?
Lebih dari itu, Sekar Arum merasa dibanding-
bandingkan dengan gadis bertoya itu. Karena gadis itu
cantik maka Joko Sungsang memaafkan perbuatannya
dan membiarkan gadis itu pergi? Karena gadis itu ber-
tubuh molek maka Joko Sungsang lantas merendah-
kan diri dan berusaha tahu nama gadis itu? Atau
mungkin Joko Sungsang menganggap gadis itu ilmu
silatnya hebat.
Sekar Arum terus berlari. Ia mengerahkan ilmu
meringankan tubuh sekuatnya. Maka yang tampak
hanyalah bayangan putih berkelebat. Dan, Sekar Arum
baru mengurangi kecepatan larinya setelah yakin Joko
Sungsang tidak mengejarnya.
’’Atau, jangan-jangan ia mengejar perempuan
jalang itu!” kata Sekar Arum terkesiap. Kemudian ia
menghentikan langkahnya, menajamkan pendenga-
rannya, sambil dalam hati berharap mudah-mudahan
Joko Sungsang mengejarnya.
Namun, harga diri gadis itu berkata lain. Untuk
apa ia harus menunggu orang yang belum tentu men-
cintainya? Apalagi orang itu sekarang sedang menaruh
perhatian kepada gadis lain!
”Ya, pasti ia mengejar perempuan jalang itu!”
kata hati Sekar Arum sambil kembali melangkah. Ia
yang beberapa waktu yang lalu sudah memutuskan
untuk kembali ke Padepokan Karang Bolong, kini
mengubah keputusan itu. Ia harus pergi jauh agar ti-
dak terbujuk lagi oleh kata-kata manis Joko Sungsang!
Sekar Arum mengayun langkahnya sambil me-
naksir-naksir bagaimana kiranya perasaan Joko Sung-
sang terhadapnya. Dia memang penuh perhatian ter-
hadapku. Tetapi, pada saat-saat tertentu, Joko Sung-
sang seperti tak ambil peduli. Seperti ketika sikapnya
di kedai sewaktu para lelaki mata keranjang itu meng-
godaku, pikir gadis itu.
Kendatipun Sekar Arum yakin bisa mengatasi
lelaki-lelaki kasar itu, setidaknya ia berharap Joko
Sungsang merasa cemburu dan lantas melabrak mere-
ka. Namun, toh yang terjadi justru sebaliknya. Joko
Sungsang malahan menahan-nahan tawanya ketika
dua dari empat orang lelaki kasar itu mulai mencolek-
colek lengan baju Sekar Arum. Bahkan sewaktu Sekar
Arum bereaksi, dan empat orang lelaki kasar itu men-
gurungnya, tetap saja Joko Sungsang tidak beranjak
dari duduknya.
’’Itukah yang namanya cinta? Itukah bukti cin-
ta lelaki terhadap wanita yang dicintainya?” kata hati
Sekar Arum lagi. Lalu gadis itu menyesal kenapa tadi
ia membiarkan saja perempuan jalang dari Perguruan
Gunung Sumbing itu berlalu. Seharusnya ia tak perlu
mempedulikan ucapan-ucapan Joko Sungsang. Seha-
rusnya ia memburu perempuan jalang itu dan menga-
jaknya bertarung hingga salah satu dari mereka mati.
Lebih baik mati daripada hidup hanya untuk diband-
ing-bandingkan dengan gadis lain!
Tidak mustahil jika Sekar Arum cemburu meli-
hat Endang Cantikawerdi. Gadis muda belia dari Per-
guruan Gunung Sumbing ini memang tak kalah cantik
jika dibandingkan dengan gadis murid Ki Sempani itu.
Dengan pakaian yang serba jingga, Endang Cantika-
werdi nampak begitu cantik dan menggemaskan. Bi-
birnya yang tipis sungguh selaras dengan matanya
yang sedikit sipit. Apalagi jika dipadukan dengan hi-
dungnya yang runcing dan sedikit mendongak. Kulit-
nya kuning langsat, kontras dengan warna rambutnya
yang hitam legam. Pinggulnya yang menggemaskan
terbungkus kain lereng berwarna merah bata. Nampak
sekali kalau saja gadis itu tidak membawa-bawa toya
dewondarunya, tak akan mereka yang melihat me-
nyangka bahwa gadis itu murid orang sesat macam
Cekel Janaloka. Sungguh amat disesalkan jika gadis
semolek itu ternyata seorang pembunuh kejam berali-
ran sesat!.
Tak ada yang tahu kenapa Endang Cantikawer-
di terseret ke lingkungan orang-orang sesat kecuali
Cekel Janaloka sendiri. Bahkan kedua orang tuanya
pun tidak tahu bahwa ilmu silat gadis itu beraliran hi-
tam. Mereka hanya tahu bahwa anak mereka berada di
bawah asuhan orang sakti dari Perguruan Gunung
Sumbing.
Lima tahun yang lalu, sewaktu Endang Canti-
kawerdi berusia empat belas tahun, seorang kepala
rampok hampir saja menodai gadis itu di depan mata
kedua orang tuanya yang terikat tak berdaya. Ketika
kepala rampok itu sudah berhasil merobek baju bagian
dada pakaian gadis itu, muncullah Cekel Janaloka
menyelamatkannya. Dengan sekali ayun, tongkat de-
wondaru di tangan Cekel Janaloka membuat pelipis
kepala rampok itu pecah. Dan, dalam beberapa jurus
kemudian sembilan anak buahnya menyusul roboh.
Orang tua Endang Cantikawerdi yang tidak
mengenal dunia persilatan itu sama sekali tidak bisa
membedakan mana pendekar yang beraliran sesat dan
mana pendekar yang beraliran lurus. Itulah kenapa
mereka tanpa sungkan-sungkan lagi menyerahkan
anak gadisnya kepada Cekel Janaloka untuk dijadikan
murid.
”Ha ha ha, kebetulan sekali! Kedatanganku ke
desa ini memang terdorong oleh mimpiku semalam!
Kalian tahu aku bermimpi apa?” kata Cekel Janaloka
kegirangan.
Kedua orang tua Endang Cantikawerdi mengge-
leng bersamaan.
”Aku bermimpi melihat mutiara yang belum di-
asah tersembunyi di rumah ini! Nah, nyatanya anak
gadis kalian yang sesungguhnya berbakat menjadi
pendekar, tetapi sama sekali tak melawan menghadapi
kambing-kambing bandot itu!”
’’Jadi, Kiai tidak keberatan jika kami menye-
rahkan anak gadis kami untuk Kiai gembleng di Pergu-
ruan...?”
’’Perguruan Gunung Sumbing!” timpal Cekel
Janaloka meneruskan ucapan ayah Endang Cantika-
werdi yang terputus oleh ketidaktahuannya. ’Ya, ya!
Sudah lama sekali aku mencari-cari anak gadis yang
sekiranya cocok menjadi murid tunggalku. Tetapi ru-
panya anak gadis kalianlah yang berjodoh mewarisi il-
mu silatku. Ha ha ha!”
’’Terima kasih. Kiai. Selain Kiai telah menyela-
matkan harta dan nyawa kami sekeluarga, Kiai juga
mengabulkan permintaan kami. Kami berdua memang
orang-orang bodoh yang tidak menyadari betapa keja-
hatan semakin merajalela di muka bumi ini. Kami hi-
dup hanya untuk memburu harta, tanpa tahu bagai-
mana cara melindunginya, Kiai,” ratap ayah Endang
Cantikawerdi sambil bersujud di depan kaki Cekel Ja-
naloka.
***
6
Sebelum Endang Cantikawerdi menyebutkan
nama perguruannya, sebenarnya Joko Sungsang su-
dah bisa menebak murid siapakah gadis yang bersen-
jatakan toya itu. Jurus-jurus silat yang digunakan ga-
dis itu sewaktu melawan Sekar Arum tak beda dengan
jurus-jurus yang diterapkan Cekel Janaloka dalam
pertarungannya melawan Empu Wadas Gempal di De-
sa Gedong Alit. Oleh sebab itulah, Joko Sungsang
sempat mencemaskan pertahanan Sekar Arum sewak-
tu melawan gadis yang berpakaian serba jingga itu. Ka-
lau saja murid Cekel Janaloka itu tidak memberikan
kesempatan kepada Sekar Arum untuk mengalirkan
tenaga mumi ke pundaknya yang terasa nyeri, bukan
tidak mungkin Sekar Arum akan tewas seketika itu ju-
ga.
Joko Sungsang tak habis pikir, kenapa gadis
molek itu bisa mewarisi ilmu sesat. Mana mungkin ia
tidak tahu bahwa Cekel Janaloka adalah tokoh aliran
sesat! Atau mungkin, gadis itu memang benar-benar
tidak tahu? Atau, gadis itu menaruh dendam terhadap
salah seorang pendekar golongan lurus? Atau, adakah
kemungkinan gadis itu dipaksa oleh Cekel Janaloka
agar mewarisi ilmu sesatnya.
Untuk menemukan jawaban yang tepat, tidak
boleh tidak Joko Sungsang harus berusaha kenal lebih
dekat dengan gadis itu. Tetapi, bagaimana dengan
pengawasannya terhadap Sekar Arum? Bukankah ia
sudah berjanji di depan Ki Sempani untuk membawa
Sekar Arum kembali ke Padepokan Karang Bolong?.
Joko Sungsang untuk sejenak dilanda keragu-
raguan. Tak mungkin ia bisa menguntit kepergian ga-
dis murid Cekel Janaloka itu tanpa mengabaikan pen-
gawasannya terhadap Sekar Arum. Sebaliknya, tak
mungkin ia bisa mengawasi Sekar Arum tanpa melu-
pakan gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing
itu.
Akan tetapi, setelah menghubung-hubungkan
kemunculan gadis itu dengan kematian Cekel Janaloka
di Desa Gedong Alit, tahulah Joko Sungsang langkah
mana yang harus ditempuhnya lebih dulu. Pengeja-
rannya terhadap Sekar Arum masih mungkin ditun-
danya. Sebaliknya, ia tidak mungkin membiarkan ga-
dis murid Cekel Janaloka itu memasuki Hutan Keta-
pang dan berhadapan dengan Empu Wadas Gempal.
Tak ada tujuan lain gadis itu kecuali Hutan Ketapang!.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sulit di-
carikan tandingannya, Joko Sungsang dengan cepat
berhasil menyusul langkah Endang Cantikawerdi. Se-
belum gadis itu memasuki kawasan Hutan Ketapang,
Joko Sungsang telah menangkap bayangan Jingga
yang berkelebat di sela-sela pepohonan.
Sampai kemudian jarak mereka tinggal bebera-
pa tombak, Joko Sungsang belum menemukan cara
mencegah gadis itu menemui Empu Wadas Gempal.
Bersyukurlah Pendekar Perisai Naga ini begitu ingat
cerita penyamaran Wiku Jaladri sewaktu menyela-
matkan Sekar Arum dari ancaman Kebo Dungkul lima
tahun yang lalu. Maka buru-buru ia menanggalkan ba-
ju putihnya, ikat kepala dari kulit ular yang menjadi
ciri khasnya, dan yang terpenting menyembunyikan
Perisai Naga dari penglihatan gadis itu.
Baju putih itu kini membalut separuh wajah-
nya, rambutnya yang biasa terikat di atas kepala kini
tergerai melewati pundak, dan Perisai Naga yang semu-
la melilit pinggangnya berpindah melilit paha kanan
dalam lindungan celana pangsi komprang. Adapun ikat
kepala yang biasanya melingkar di atas alis mata itu
kini mengikat paha kirinya, tersembunyi di balik cela-
na pangsi putih itu.
Endang Cantikawerdi menimang-nimang
toyanya sambil mengamati lelaki aneh yang mengha-
dang langkahnya.
’’Kalaupun kau menutup seluruh mukamu, aku
akan tetap melabrakmu, gembel busuk!” ujar gadis itu
yang menganggap lelaki di hadapannya itu mencoba
menakut-nakutinya.
”He he he, jangan lantaran kau cantik dan pa-
kaianmu indah maka kau menganggapku gembel!”
Ujar Joko Sungsang sengaja meniru suara kebanyakan
tokoh dari golongan hitam.
’’Kalau kau ingin kuanggap sebagai orang wa-
ras, bukalah tutup mukamu! Tetapi, kalau kau me-
mang malu karena bibirmu sumbing, aku maafkan
tingkahmu yang memuakkan itu!" Endang Cantika-
werdi tersenyum sinis.
”Ha ha ha, ho ho ho, hm! Apa urusanmu bila
aku tutup sekujur badanku atau aku buka semua pa-
kaianku? Ah, rupanya di Gunung Sumbing tidak ada
orang aneh sepertiku....”
’’Tutup mulutmu, jahanam!” sergah gadis itu
sembari menyabetkan toyanya ke arah mulut Joko
Sungsang.
’’Sejak tadi aku sudah menutup mulutku, ma-
can betina!” sahut Joko Sungsang sambil menarik ke-
palanya ke belakang. Hampir saja tutup mukanya ter-
sambar toya merah-kecoklat-coklatan itu. Bahkan an-
gin yang terbawa gerakan toya itu cukup kuat untuk
menerbangkan penutup muka itu kalau saja Joko
Sungsang tidak kuat menalikannya ke belakang telin-
ga.
’’Badut keparat! Bosan hidup!” Semakin ganas
serangan Endang Cantikawerdi. Kini toya dewonda-
runya menyambar leher, dada, dan kaki lawan secara
beruntun.
Karena merasa tidak mungkin lagi merunduk,
melompat ke samping kiri atau kanan, Joko Sungsang
mengenjot tanah dan tubuhnya berjumpalitan di uda-
ra. Dan, sewaktu kakinya hampir mendarat lagi di ta-
nah, gadis itu menyambutnya dengan sodokan toya ke
arah lutut.
“Desss!”
Terpaksa Joko Sungsang mengadu tumit ka-
kinya dengan toya peninggalan Cekel Janaloka itu.
Tentu saja ia lebih dulu mengisi tumitnya dengan te-
naga dalam yang didasari ilmu ’Pukulan Ombak Laut
Selatan’, Sengaja ia menggunakan ilmu silat dari Pade-
pokan Karang Bolong agar penyamarannya tidak ter-
cium oleh gadis murid Perguruan Gunung Sumbing
ini.
Cepat-cepat Endang Cantikawerdi menarik
tongkatnya yang sempat tergencet tumit Joko Sung-
sang. Dan, kalau saja ia tidak mengerahkan tenaga da-
lamnya, ia pastikan toya itu terlepas dari genggaman
tangannya. Mulailah gadis itu menyadari bahwa la-
wannya kali ini bukan lelaki sembarangan yang hanya
mengandalkan keberanian.
”Luar biasa jurus seranganmu, Cah Denok! An-
dai saja gurumu masih bisa menyaksikan, dia akan
bangga. Sayang, dia buru-buru pulang ke asalnya!”
ujar Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi kaget bukan kepalang.
Siapa sebenarnya lelaki bertopeng ini? Kenapa ia tahu
Perguruan Gunung Sumbing baru saja kehilangan Ce-
kel Janaloka? Dan, ada hubungan apa lelaki bertopeng
ini dengan Empu Wadas Gempal?
’’Kisanak, sebenarnya apa maksudmu mengha-
lang-halangi perjalananku? Bukankah di antara kita
tidak pernah ada urusan?” Endang Cantikawerdi me-
nahan-nahan kemarahannya. Bagaimanapun juga la-
wannya kali ini tidak mungkin dihadapinya dengan
membabibuta.
”Siapa bilang kita tidak ada urusan?” balik Jo-
ko Sungsang. "Selama kau melintasi daerah ini, berarti
kau harus berurusan denganku! Akulah penguasa
pinggiran Hutan Ketapang ini, mawar gunung!”
”Manusia licik!” sergah Endang sigap. ”Buka
kedokmu kalau memang kau ingin bertarung secara
jantan! Tidak sudi aku membunuh manusia yang tidak
aku ketahui asal-usulnya, dan apa urusannya!”
”Ho ho, jadi kau tetap yakin bisa menjatuhkan-
ku?” ejek Joko Sungsang. ”Nah, kalau kau bisa me-
nyentuh kulitku dengan toyamu itu aku berjanji akan
membuka tutup wajahku! Bagaimana?”
’’Bersiaplah, manusia pongah! Bukan saja ku-
litmu yang akan tersentuh toyaku, melainkan juga jan-
tungmu!” Endang Cantikawerdi benar-benar telah ke-
hilangan kesabarannya. Kali ini ia menyerang dengan
jurus ’Toya Sakti Pengusir Malaikat’. Gerakan toya itu
begitu aneh sehingga Joko Sungsang kerepotan mene-
bak ke arah mana serangan tawan kali ini. Untuk itu,
terpaksa ia melenting ke udara dan menyambar rant-
ing pohon untuk menjaga kulitnya dari sentuhan toya
maut itu.
“Trak! Trak! Krak!”
Ranting sebesar gagang Perisai Naga itu patah
menjadi dua begitu berbenturan dengan toya merah-
kecoklat-coklatan itu. Hal ini memang sudah ada da-
lam perhitungan Joko Sungsang. Apalah artinya seba-
tang ranting jika diadu dengan toya yang terbuat dari
kayu dewondaru!
Melihat lawan berjumpalitan ke belakang, En-
dang Cantikawerdi semakin bersemangat untuk me-
nyerang. Maka semakin garang ia menyerang dengan
jurus andalannya. Betapapun lawan begitu lincah
menghindar, ia merasa pasti bisa menyentuhkan
toyanya ke kulit tawan. Jika tawan terpaksa menang-
kis serangannya, ini berarti tawan terpaksa menyentuh
toya!
Namun, semuanya sudah ada dalam muslihat
Joko Sungsang. Ia sengaja menghindar terus agar ga-
dis itu terus pula memburunya. Maka tanpa disadari
oleh gadis itu, Hutan Ketapang akan semakin jauh di-
tinggalkannya. Apalagi Sesekali Joko Sungsang berlari
kencang dengan lagak ketakutan.
Hanya saja, rencana Joko Sungsang ternyata
berjalan tidak semulus yang diharapkan. Justru se-
waktu Hutan Ketapang sudah jauh ketinggalan di be-
lakang mereka, tiba-tiba muncul Empu Wadas Gempal
membuyarkan rencana Joko Sungsang.
”Ho ho ho! Rupanya ada belalang sedang dike-
jar-kejar burung merak! Tetapi, sayangnya si Merak
terlalu bodoh!” Suara Empu Wadas Gempal membuat
Endang Cantikawerdi menghentikan putaran toyanya.
Lalu, begitu mengenali siapa yang bertengger di
atas dahan, gadis itu langsung bersumpah serapah,
’’Gembel busuk! Kebetulan jika kau ada di sini, orang
hutan! Turunlah biar ku pecah batok kepalamu!”
”He he he! Kenapa kau tidak minta tolong aku
saja untuk menangkap belalang itu, Cah Ayu? Apa kau
kira dengan marah-marah begitu...?”
”Tutup mulutmu, Empu Wadas Gempal!” tukas
Endang Cantikawerdi. Bersamaan dengan itu, ia me-
nyabetkan toyanya ke tanah, dan melayanglah batu hi-
tam sebesar kepalan tangan ke arah dahi Empu Wadas
Gempal.
’’Heiiit!”
“ Plak!”
Dengan mengandalkan tenaga angin yang ke-
luar dari telapak tangannya, Empu Wadas Gempal
berhasil menjinakkan luncuran batu itu. Kini batu hi-
tam itu berada dalam genggamannya.
Semakin marah Endang Cantikawerdi melihat
kelihaian orang tua dari Hutan Ketapang itu. Kini toya
di tangannya berkelebat dan robohlah pohon yang me-
nyangga tubuh Empu Wadas Gempal.
”He he he, kukira burung merak, tidak tahunya
ular beludak!” ujar Empu Wadas Gempal sembari me-
layang turun mendahului gerak pohon tumbang. Sam-
bil melayang turun inilah Penguasa Hutan Ketapang
itu mengirimkan angin dari kedua telapak tangannya
ke arah betina liar yang tidak dikenalnya itu.
Cepat-cepat Endang Cantikawerdi memutar
toyanya untuk melindungi tubuhnya dari serangan la-
wan. Namun begitu, tetap saja tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang hingga beberapa tombak.
”Ular betina tidak tahu tatakrama! Sebenarnya
ada urusan apa kau tiba-tiba berbelok menyerangku?
Bukankah kau harus menangkap belalang tanpa baju
itu?” Empu Wadas Gempal menuding ke arah Joko
Sungsang. Tetapi, ketika matanya memandang ke arah
tudingan jari tangannya, anak muda itu sudah tidak
berada di tempatnya.
’’Urusanku dengannya hanyalah urusan kecil,
Wadas Gempal! Tetapi, urusanku denganmu adalah
urusan hidup dan mati!”
”Apa? Ha ha ha Apa kupingku yang tua ini ti-
dak salah dengar?”
’’Lebarkan lubang telingamu kalau memang
kau ingin tahu siapa aku, dan kenapa aku menan-
tangmu, kakek pikun!”
”Ha ha ha! Kau tentu bidadari kahyangan yang
ingin membagikan kebahagiaan kepadaku! Bukan be-
gitu?” Empu Wadas Gempal merapikan jubah merah-
nya seakan sedang berhadapan dengan wanita yang
dihormatinya.
’’Kalau kau rasa neraka itu membahagiakanmu,
bacotmu memang tidak salah, kakek gembel!”
”Wah, rupanya ada juga bidadari yang mulut-
nya kotor! He he he! Tapi, tak apalah! Kepingin juga
rasanya menikmati cubitan gadis cantik macam kau!
He he he!”
“Rasakan toya dewondaruku, iblis hutan!” sa-
hut Endang Cantikawerdi seraya menerjang perut la-
wan dengan sodokan-sodokan toyanya.
”Hei, ada hubungan apa kau dengan Cekel Ja-
naloka, Cah Ayu?” Empu Wadas Gempal sama sekali
tak menggeser kuda-kudanya. Ia hanya merendahkan
tubuhnya sambil mendorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan Meski demikian, angin yang keluar
dari telapak tangan itu mampu membuat ujung toya
dewondaru melenceng ke samping kirinya hingga dua
jengkal.
Endang Cantikawerdi menarik kembali toyanya,
menaruh kedua telapak tangannya pada satu ujung
toya, dan menggunakan ujung yang lain untuk menje-
jak tanah. Kalau saja Empu Wadas Gempal belum per-
nah berhadapan dengan Cekel Janaloka, tentu ia tidak
akan mengira bahwa gadis itu akan mengirimkan ten-
dangan ke arah mukanya.
“Plak! Plak!”
Tubuh Endang Cantikawerdi bergulingan di ta-
nah. Sungguh, ia tidak mengira bahwa serangan kilat
kedua tumitnya akan terbaca oleh orang sakti dari Hu-
tan Ketapang itu. Dengan sigapnya Empu Wadas Gem-
pal menepiskan kedua betis gadis itu setelah menarik
kepalanya sejengkal ke arah kanan. Beruntung gadis
itu sebab Empu Wadas Gempal belum menggunakan
jurus jari-jari mautnya yang mengandung racun.
“Tahu aku sekarang, kenapa kau bernafsu se-
kali membunuhku, Cah Denok! Rupanya kau ingin
membalaskan kematian gurumu, ya?” ujar Empu Wa-
das Gempal.
Endang Cantikawerdi merasakan kedua betis-
nya sedikit nyeri. Namun, dengan cepat ia berhasil
mengalirkan tenaga mumi untuk mengatasi rasa nyeri
itu. Kemudian, tanpa mempedulikan ucapan-ucapan
lawannya, kembali ia menerjangkan kedua ujung
toyanya susul-menyusul. Inilah jurus ’Toya Sakti Pen-
gusir Malaikat’ yang beberapa saat yang lalu mere-
potkan pertahanan Joko Sungsang. Kombinasi antara
sodokan dan pukulan toya ini tak lagi diremehkan oleh
Empu Wadas Gempal. Tak mungkin lagi baginya untuk
menangkis serangan lawan dengan kedua telapak tan-
gannya. Maka Penguasa Hutan Ketapang ini melompat
ke belakang dua tombak, dan kemudian menyongsong
serangan lawan dengan putaran tubuhnya. Angin yang
ditimbulkan oleh putaran tubuh ini menyebabkan
ujung toya gadis itu seakan memukul roda karet yang
tengah berputar kencang.
“Trak! Trak! Trak!”
Endang Cantikawerdi menghentikan serangan-
nya, dan tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk
menghindari putaran tubuh Empu Wadas Gempal
yang mendesaknya. Ia memang pernah mendengar ce-
rita tentang jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’
ini, tetapi ia tidak mengira bahwa jurus pertahanan ini
sekaligus bisa dijadikan jurus untuk menyerang.
”Nah, sudah berapa jurus aku membiarkanmu
menyerangku terus-menerus, Cah Ayu? Sekarang, ba-
gaimana kalau aku dapat giliran menyerangmu?” ujar
Empu Wadas Gempal setelah menghentikan putaran
tubuhnya.
’’Sejak tadi aku sudah bersiap menerima seran-
ganmu, kakek pikun!” sahut Endang Cantikawerdi te-
tap garang. Betapapun ia mengakui bahwa lawannya
kali ini ternyata bukan tandingannya, tetap saja ia
pantang mengaku kalah. Bagaimana mungkin ia bisa
memenangkan pertarungan ini jika nyatanya lawan tak
mempan diterjang dengan jurus ’Toya Sakti Pengusir
Malaikat’ yang diandalkannya?
’’Bersiaplah menyusul gurumu ke neraka, kuc-
ing betina!" ujar Empu Wadas Gempal seraya men-
gembangkan kesepuluh jari tangannya. Dalam sekejap
jari-jari tangan Penguasa Hutan Ketapang ini berubah
warna. Inilah pertanda racun laba-laba hitam Hutan
Ketapang telah mengaliri kesepuluh jari tangan itu.
Endang Cantikawerdi memegang toyanya erat-
erat. Selintasan ia memang pernah mendengar cerita
bahwa gurunya mati bermula karena cakaran jari-jari
maut ini. Malahan ruyung hitam dari Gunung Sumb-
ing pun patah berbenturan dengan jari-jari beracun
ini!
Namun begitu, gadis dari Perguruan Gunung
Sumbing ini merasa pasti bahwa toya dewondarunya
masih mampu menahan keganasan cakar Iblis Hutan
Ketapang ini.
Ketika serangan Empu Wadas Gempal bertubi-
tubi mengurungnya, tak ada jalan lain bagi Endang
Cantikawerdi kecuali menghadang jari-jari lawan den-
gan kedua ujung toyanya. Maka sembari bersalto, ia
memagari tubuhnya dengan putaran toyanya.
“Trak! Trak! Trak!”
Kedua ujung toya dewondaru susul-menyusul
membentur jari-jari maut Empu Wadas Gempal. Na-
mun, orang sesat dari Hutan Ketapang ini seolah tak
merasakan benturan toya pada kesepuluh jari tangan-
nya. Ia malahan semakin mendesak maju, memburu
lawan yang masih berjumpalitan di udara. Hampir saja
Empu Wadas Gempal berhasil menanamkan jari-jari
mautnya ke paha gadis itu ketika tiba-tiba dari tangan
gadis itu menyembur Pasir Beracun Gunung Sumbing.
Inilah pertahanan terakhir yang dimiliki Endang Can-
tikawerdi!
’’Hiyaaat!” seru Empu Wadas Gempal sembari
mengebutkan jubah merahnya untuk menangkis sem-
buran senjata rahasia lawan.
Tubuh Endang Cantikawerdi kembali mendarat
di tanah. Kalaupun pasir beracun itu akhirnya gugur
ke tanah, setidaknya ia memiliki kesempatan untuk
mendaratkan kaki dan memasang kuda-kuda kembali.
”Nah, apa lagi yang bisa kau pamerkan, pera-
wan gunung?” ejek Empu Wadas Gempal sambil men-
gibas-ngibaskan jubah. Beberapa butir pasir sempat
menempel di jubah merah itu.
”Kau memang bukan tandinganku, Wadas
Gempal! Tetapi, jangan harap aku menyerah begitu sa-
ja! Selama toya ini berada di tanganku, jangan beran-
gan-angan kau bisa menyentuh kulitku!”
”Ha ha ha! Kalau begitu, akan ku paksa kau
menyerahkan tongkat pengemismu itu! Nah, pegang
erat-erat tongkatmu kalau tidak ingin cepat-cepat kehi-
langan senjata andalanmu, Cah Denok!” Empu Wadas
Gempal secepat kilat memutar tubuhnya dan mener-
jang toya yang menyilang di depan dada gadis itu.
“Brettt! Dukkk!”
Tubuh Endang Cantikawerdi terpelanting ke
samping dan toya dewondaru-nya telah berpindah ke
tangan lawan. Sengaja Empu Wadas Gempal menotok
jalan darah di pundak gadis itu agar dengan mudah ia
bisa menguasai toya yang diincarnya.
Endang Cantikawerdi ingin bangkit, tetapi ia
merasakan sekujur badannya kejang. Barulah ia me-
nyadari bahwa kedua tangannya tak lagi bisa digerak-
kan. Sementara itu, kedua pergelangan kakinya terte-
kan kedua ujung toya, dan telapak kaki Empu Wadas
Gempal bertengger di tengah-tengah toya yang menyi-
lang itu.
’’Kalau kugenjot sedikit saja kaki kananku, pa-
tahlah kedua kakimu yang menggairahkan ini, gadis
bengal!” hardik Empu Wadas Gempal.
”Tua bangka keparat! Lakukanlah kalau me-
mang kau mampu melakukannya!” tantang Endang
Cantikawerdi. Meski ia sudah putus asa, tetap saja ia
mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke pergelangan
kakinya yang terancam patah.
”Ha ha ha! Untuk apa aku menyakiti gadis can-
tik macam kau? Tidakkah lebih baik aku nikmati ke-
cantikan dan keindahan tubuhmu?” kata Empu Wadas
Gempal seraya mengirimkan dua totokan lagi untuk
melumpuhkan kaki gadis itu
"Iblis cabul mata bakul! Terkutuklah kau jika
kau
berani melakukan niat busukmu!” Sengaja En-
dang Cantikawerdi melontarkan sumpah serapan agar
orang tua mata keranjang itu marah dan membunuh-
nya.
”Ho ho ho, apa perlu mulutmu yang menggai-
rahkan itu aku bungkam agar aku tenang menikmati
keindahan tubuhmu, Cah Denok?”
’’Nama besarmu tak sesuai dengan moralmu
yang bejat, Wadas Gempal1”
"Sesukamulah kau memaki makiku, sebelum
kubuat mulutmu senasib dengan tangan dan kakimu!
Tapi, sayangnya aku tidak banyak waktu untuk me-
manjakanmu! Nah, ingin kulihat apa yang bisa kau la-
kukan jika kulucuti pakaianmu yang indah ini!” Kedua
tangan Empu Wadas Gempal terjulur ke arah kain Se-
reng yang membelit pinggang gadis itu Lalu dengan se-
kali sentak terlepaslah lilitan kain lereng itu Maka ma-
ta Empu Wadas Gempal membelalak memandangi pe-
rut berwarna kuning langsat yang dihiasi pusar mun-
gil.
Empu Wadas Gempal menelan ludahnya yang
tiba-tiba menyumpal tenggorokan. Kini tangannya
menjulur ke arah dada Endang Cantikawerdi Tali jing-
ga yang tersimpul di dada gadis itu pun ditariknya.
***
7
Akan tetapi, ketika jari-jari tangannya hendak
menyingkapkan kain jingga penutup dada gadis itu,
satu ledakan cambuk mengharuskan Empu Wadas
Gempal membuang tubuhnya dari atas tubuh mang-
sanya. Tubuh itu bergulingan dari tubuh gadis yang
tak berdaya itu. Sengaja Joko Sungsang hanya mele-
dakkan Perisai Naganya di dekat kuping sebelah kanan
Penguasa Hutan Ketapang itu. Pantang baginya mem-
bokong lawan.
’’Kadal buntung! Jahanam keparat!” maki Em-
pu Wadas Gempal setelah berdiri di atas kuda-kuda
kalanya. Dan, melihat siapa yang berjongkok di sisi
tubuh gadis Itu, mata orang sesat dari Hutan Ketapang
ini menyala-nyala. Serta-merta ia mengembangkan ke-
sepuluh jari tangannya dan menerkam Joko Sungsang.
Sambil bergulingan menghindar Joko Sungsang
merengkuh tubuh Endang Cantikawerdi untuk kemu-
dian melemparkan tubuh gadis itu ke tumpukan daun
kering. Sengaja ia tak membebaskan totokan di tubuh
Endang Cantikawerdi agar gadis itu nantinya tidak
mencampuri pertarungannya dengan Empu Wadas
Gempal.
”Maaf, terpaksa untuk sementara kau jadi pe-
nonton saja!” seru Joko Sungsang sambil bersalto
bangkit.
”Ha ha ha! Rupanya kau juga menghendaki tu-
buh mulus gadis itu, gembala kambing!” ejek Empu
Wadas Gempal. Tetapi, sebelum kau berangan-angan
menikmatinya, nyawamu akan kukirim ke neraka me-
nemui muridku yang kau bunuh lima tahun yang la-
lu!” Joko Sungsang tidak menyahut. Ia berlagak sibuk
merapikan lilitan Perisai Naga di pinggangnya, la me-
rasa belum membutuhkan cambuk itu. Agaknya ilmu
silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong
perlu dipertunjukkan di depan mata Iblis Hutan Keta-
pang ini.
’’Bocah pongah, kenapa kau simpan lagi cam-
buk kambingmu? Bukankah kau pikir batu akik di
ujung cambukmu itu bisa menghancurkan pelipisku?”
’’Hancurkan pelipis itu dengan Perisai Naga-mu,
Pendekar Perisai Naga!” teriak Endang Cantikawerdi
dari tempatnya berbaring. Murid Perguruan Gunung
Sumbing ini ingin sekali melihat kehebatan Perisai Na-
ga seperti yang pernah diceritakan oleh gurunya. Baru
mendengar ledakannya pun Iblis Hutan Ketapang itu
terbirit-birit menghindar, apalagi jika bola berduri di
ujung cambuk itu mematuk pelipisnya.
Namun, harapan Endang Cantikawerdi tetap
saja terbatas pada harapan. Anak muda yang bergelar
Pendekar Perisai Naga itu tetap membiarkan cambuk-
nya melingkari pinggangnya, la hanya mengandalkan
kelincahannya menghindar ketika serangan-serangan
Empu Wadas Gempal mulai mengurungnya. Bahkan
kemudian ia berani membenturkan sisi telapak tan-
gannya pada punggung tangan yang dialiri racun itu.
“Desss!”
Tubuh Joko Sungsang terpental satu tombak
ke belakang. Ia merasakan dorongan angin yang mele-
bihi dorongan ombak Laut Selatan. Kalau saja ia tidak
biasa menerima terjangan ombak Laut Selatan, sudah
barang pasti tubuhnya akan terbanting ke tanah dan
tulang punggungnya akan luluh lantak. Secepatnya
Joko Sungsang mengalirkan tenaga murni untuk men-
cegah racun menjalari telapak tangannya.
Seperti halnya yang dialami Joko Sungsang,
tubuh Empu Wadas Gempal pun terdorong mundur.
Tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini diam-diam men-
gagumi ilmu pukulan yang dilancarkan lawan. Dan,
rasanya ia pernah mendengar kehebatan ilmu pukulan
ini. Yang pasti ini bukan ilmu pukulan tangan kosong
dari Padepokan Jurang Jero. Belum pernah ia merasa-
kan berbenturan tangan dengan Wiku Jaladari hingga
terdorong tiga langkah ke belakang seperti sekarang
ini.
’’Pantas saja muridku mati di tanganmu, gem-
bala kerbau! Rupanya kau mewarisi pula ilmu setan
dari Pesisir Laut Selatan!” Tiba-tiba Empu Wadas
Gempal ingat seseorang yang sudah lama tidak dijum-
painya. Siapa lagi kalau bukan Ki Sempani, orang sakti
dari Pesisir Laut Selatan.
”Mari, kita adu cakar iblismu dengan ilmu ’Pu-
kulan Ombak Laut Selatan’, Wadas Gempal!” Joko
Sungsang menyilangkan tangan kirinya ke depan da-
da, kaki kanannya dilipat ke depan, dan tangan ka-
nannya dilipat ke belakang dengan tinju persis berada
di bawah ketiak.
”Ho ho ho! Rupanya cambuk kambingmu sudah
tidak manjur lagi makanya kau berguru lagi, Anak
Demang!” Berkata begini Empu Wadas Gempal mendo-
rongkan kedua telapak tangannya ke depan.
“Wusss!”
Joko Sungsang terpaksa melenting ke udara
untuk menghindari sambaran angin yang menerjang
sekujur tubuhnya. Ketika turun, tumit kanannya
menghunjam ke arah tengkuk lawan. Namun, dengan
jari-jari tangan kanannya, Empu Wadas Gempal me-
nyongsong hunjaman tumit itu.
“Desss!”
Secepat kilat Joko Sungsang membelokkan
arah tumit kanannya, kemudian dengan sisi telapak
kaki kanannya pula ia menendang bahu lawan. Tubuh
Empu Wadas Gempal bergulingan di tanah. Di luar
dugaan Joko Sungsang jika Iblis Hutan Ketapang itu
masih mampu bersalto dan berdiri di atas kuda-
kudanya.
”Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silat tangan ko-
song dari Pantai Selatan! Kalau saja bukan aku yang
menerima tendanganmu, rontoklah isi dada ini!” Empu
Wadas Gempal menyingsingkan lengan jubahnya, dan
lagi-lagi ia menyerang dengan jurus ’Angin Puyuh Me-
nabrak Gunung’. Hanya saja, kali ini angin itu hanya
mengarah ke lutut Joko Sungsang.
Meski belum pernah mengalami menerima se-
rangan semacam ini, Joko Sungsang merasa pasti
bahwa ini hanyalah serangan tipuan. Maka ia pun ber-
jumpalitan di udara sambil menunggu serangan susu-
lan dari lawan. Dan, serangan susulan yang merupa-
kan serangan inti itu terlampau cepat datangnya se-
hingga Joko Sungsang tak sempat lagi mengelakkan-
nya. Benturan keempat tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam itu tak terelakkan lagi.
“Desss! Desss!”
Tubuh Joko Sungsang melayang turun dan ter-
guling-guling di tanah. Sementara itu, Empu Wadas
Gempal masih mampu turun dengan kaki dalam posi-
si-kuda-kuda. Namun, kedua telapak tangannya tak
mampu lagi mengembangkan kesepuluh jarinya. Ilmu
’Pukulan Ombak Laut Selatan’ telah meremukkan tu-
lang yang menghidupkan kesepuluh jari maut itu.
Joko Sungsang bersalto bangkit, untuk kemu-
dian mengatur kuda-kuda. Akan tetapi, ia merasakan
seribu jarum menusuk-nusuk sisi kedua belah telapak
tangannya. Inilah akibat dari cakaran jari-jari Empu
Wadas Gempal yang mengandung racun laba-laba hi-
tam dari Hutan Ketapang.
’Tanganmu keracunan, Pendekar Perisai Naga!
Bebaskan totokan keparat di tubuhku ini biar aku am-
bilkan penawar racun untukmu!” teriak Endang Canti-
kawerdi dari tempatnya berbaring.
Mendengar teriakan gadis itu, semangat Joko
Sungsang bangkit kembali. Seganas apapun racun la-
ba-laba hitam itu, ia masih tetap punya waktu untuk
menyudahi pertarungan hidup dan mati itu.
’’Untuk mempercepat sekaratmu, terimalah
hunjaman kedua siku tanganku, gembala sapi!” ujar
Empu Wadas Gempal seraya melipat kedua tangannya,
merapatkan kedua siku tangan itu, dan berputarlah
tubuhnya yang gemuk itu.
Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang untuk
menghadapi jurus ’Bidadari Mengurai Benang Kusut’
ini kecuali dengan Perisai Naga nya. Sigap ia mengurai
Perisai Naga dari pinggangnya, dan meraung-raung bo-
la berduri di ujung cambuk itu. Ketika putaran tubuh
Empu Wadas Gempal yang menyerupai putaran roda
bertombak itu menerjangnya, Joko Sungsang mele-
cutkan Perisai Naga-nya dengan jurus ’Mematuk Elang
Dalam Mega’.
Tarrr! Tarrr! Tasss!
Pada lecutan yang ketiga, bola berduri di ujung
Perisai Naga mematuk dahi Empu Wadas Gempal Pu-
taran tubuh Iblis Hutan Ketapang ini tak lagi terarah.
Dan, sewaktu putaran itu melambat, Perisai Naga telah
siap membelit kedua lutut yang merapat menjadi satu
itu. Maka dengan sekali hentak, tubuh orang sesat dari
Hutan Ketapang itu terpelanting dan akhirnya terbant-
ing di tanah.
’’Cepat bebaskan totokan keparat ini kalau kau
tidak ingin terbunuh oleh racun itu, Pendekar Perisai
Naga!” Sekali lagi Endang Cantikawerdi mengingatkan.
Joko Sungsang melompat ke sisi gadis itu,
membalikkan tubuh gadis itu, dan membebaskan
keempat totokan jalan darah pada tubuh gadis dari
Perguruan Gunung Sumbing ini.
***
Endang Cantikawerdi mengeluarkan serbuk anti
racun dari balik kain lerengnya. Ramuan khusus
yang dibuat deh Cekel Janaloka ini memang mampu
melawan segala jenis racun binatang.
Joko Sungsang tak bisa lagi memikirkan siapa-
kah gadis yang berusaha menolongnya ini. Tak lagi
terpikir olehnya bahwa gadis murid tokoh sesat ini ju-
stru bisa mempercepat kematiannya dengan racun
yang lebih ganas lagi. Racun laba-laba hitam dari Hu-
tan Ketapang itu membuat kepalanya berputar. Kesa-
darannya mulai mengambang. Wajah gadis yang bera-
da di hadapannya nampak kabur. Pakaian berwarna
jingga yang dikenakan gadis itu berubah menjadi hi-
tam. Pepohonan di sekitarnya pun berwarna hitam.
Dan, akhirnya gelap menyelimuti segalanya.
Endang Cantikawerdi cepat-cepat menaburkan
serbuk anti racun pada luka-luka yang menganga pada
sisi telapak tangan anak muda yang baru saja dikenal-
nya ini. Sudah ada gambaran dalam benaknya bahwa
anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini
akan mengalami hilang ingatan. Meskipun demikian,
diam-diam ia memuji daya tahan anak muda murid
Wiku Jaladri ini. Dengan racun laba-laba hitam yang
mulai menyerang aliran darah di tubuhnya, ia masih
mampu memainkan jurus andalan Perisai Naga-nya.
’’Perempuan jalang berotak kotor!” Tiba-tiba
muncul bayangan serba putih dan langsung menye-
rang Endang Cantikawerdi.
“Trang! Trang! Trang!”
Sambil bergulingan di tanah, Endang Cantika-
werdi memutar toya dewondaru-nya untuk melindungi
tubuhnya dari hunjaman tombak pendek bermata dua
di tangan Sekar Arum.
’’Betina liar tak punya otak! Kau pikir apa yang
aku lakukan terhadap temanmu ini?” Mata Endang
Cantikawerdi berapi-api menatap Sekar Arum.
”Apa lagi yang kau lakukan kalau bukan hen-
dak berbuat mesum, perempuan sesat!” sahut Sekar
Arum. Ia tetap yakin bahwa gadis murid Cekel Janalo-
ka ini hendak melampiaskan nafsu binatangnya kepa-
da Joko Sungsang yang tidak berdaya itu.
’’Mulutmu memang pantas dihancurkan dengan
ujung toya ini, ular betina!” kata Endang Cantikawerdi
seraya menyabetkan ujung toyanya ke mulut Sekar
Arum.
Namun, gadis dari Padepokan Karang Bolong
ini sudah meramalkan akan datangnya serangan. Be-
tapapun sabetan toya itu sulit diikuti mata, dengan
mudah Sekar Arum membebaskan mulutnya dari an-
caman toya Dewondaru itu. Dengan merundukkan ke-
pala, Sekar Arum maju selangkah sambil memutar ka-
ki kanannya. Tendangan baling-baling yang mengarah
ke betisnya ini memaksa Endang Cantikawerdi harus
mengubah arah senjatanya. Kini toya berwarna me-
rah-kecoklat-coklatan itu berkelebat membabat kaki
Sekar Arum.
“Trang!”
Sekar Arum menyambut serangan lawan den-
gan putaran tombak pendeknya. Endang Cantikawerdi
melompat mundur. Matanya liar menatap Sekar Arum.
Ini adalah perkelahian mereka untuk yang ke-
dua kalinya. Pada perkelahian pertama kemarin, En-
dang Cantikawerdi merasa telah memaafkan gadis te-
man Pendekar Perisai Naga ini. Kalau saja bukan Pen-
dekar Perisai Naga yang melerai mereka kemarin, tidak
akan ia meninggalkan begitu saja lawannya. Namun,
kali ini agaknya tak diperlukan lagi sikap bersahabat.
Sikap mengalah hanya akan membuat gadis bertom-
bak pendek itu semakin besar kepala. Lagi pula, En-
dang Cantikawerdi merasa sangat tersinggung men-
dengar tuduhan Sekar Arum pada awal pertemuan me-
reka tadi. Padahal, ia telah berbuat baik dengan mem-
berikan obat pemunah racun kepada Pendekar Perisai
Naga. Tetapi apa balasan gadis temannya itu? Tudu-
han yang begitu menyalatkan! la merasa dituduh hen-
dak memperkosa Pendekar Perisai Naga yang sedang
tidak berdaya?
’’Perempuan keparat! Lancang mulut! Terimalah
jurus ’Toya Sakti Pengusir Malaikat’ jika kau merasa
sakti dan berhati suci!” seru Endang Cantikawerdi se-
raya membuka jurus andalan toya dewondarunya.
’’Sejak tadi aku siap menghadapi tongkat pen-
gusir anjingmu itu, perempuan jalang! Tetapi, sayang-
nya aku bukan anjing yang dengan mudah bisa kau
usir!” sahut Sekar Arum. Dan, melihat lawan telah
mengeluarkan jurus andalannya, ia pun bersiap-siap
dengan jurus ’Memancing Mangsa Keluar Sarang’.
"Arum, tunggu!” Suara Joko Sungsang menga-
getkan mereka berdua. Masih dengan langkah lim-
bung, anak muda ini mendekati 'Sekar Arum dan En-
dang Cantikawerdi.
’’Biarkan aku habisi riwayat iblis betina ini! Ka-
lau tidak, bumi ini akan semakin dikotori oleh ting-
kahnya yang menjijikkan!” kata Sekar Arum.
”Kau salah sangka, Arum. Dia baru saja mem-
beriku obat penangkal racun. Karena aku memang su-
dah tidak berdaya lagi, terpaksa ia membubuhkan obat
itu ke luka luka di telapak tanganku....”
”Dia tidak membutuhkan penjelasan! Sejak
kemarin dia memang ingin menanam permusuhan
denganku, Pendekar Perisai Naga!” tukas Endang Can-
tikawerdi sigap.
’’Mana mungkin murid tokoh sesat berbuat ke-
bajikan? ’ bantah Sekar Arum.
’’Arum, lihatlah mayat siapa yang tergeletak di
belakangmu.”
Sekar Arum malas-malasan menoleh. Akan te-
tapi, matanya lantas membelalak begitu melihat mayat
siapa yang menggeletak dengan dahi pecah itu.
’’Penguasa Hutan Ketapang...?” desis Sekar
Arum
”Ya. Dari jari-jari mautnyalah aku terkena ra-
cun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang Tetapi, syu-
kurlah ada yang berbudi baik memberikan obat pemu-
nahnya. Jadi, yang baru saja kau lihat bukan seperti
yang kau bayangkan, Arum,” jelas Joko Sungsang.
Semburat merah mewarnai seluas pipi Sekar
Arum. Rasa malu membuat gadis itu bungkam. Bah-
kan untuk berdiam diri di depan Joko Sungsang dan
Endang Cantikawerdi pun ia tak lagi mempunyai kebe-
ranian. Maka Sekar Arum membalikkan badan dan
meloncat pergi meninggalkan mereka berdua.
:”Arum!” Joko Sungsang hanya bisa mencegah
dengan suaranya. Ia bimbang. Untuk meninggalkan
gadis murid Cekel Janaloka ini begitu saja, rasanya
sangatlah tidak sopan. Gadis itu telah menyelamatkan
jiwanya. Ucapan terima kasih pun belum terlontarkan
dari mulutnya. Tetapi untuk membiarkan Sekar Arum
pergi untuk yang kedua kalinya, rasanya terlalu masa
bodoh terhadap adik seperguruan yang harus diawa-
sinya. Lebih dari itu, sesungguhnya ia merasa sedih ji-
ka harus berjauhan dengan gadis yang telah merebut
hatinya itu.
’’Pergilah menyusul dia. Biarkan aku mene-
ruskan perjalananku,” kata Endang Cantikawerdi.
"Terima kasih atas budi baikmu menyela-
matkan nyawaku dan racun itu. Dan, sekali lagi aku
ingin tahu dengan siapa aku sekarang ini berhadapan,’
ucap Joko Sungsang.
’Namaku memang tidak ada artinya jika diban-
dingkan dengan namamu yang kesohor, Pendekar Pe-
risai Naga....”
’’Panggil saja aku ’Joko’. Joko Sungsang, itulah
namaku sejak aku dilahirkan di bumi ini,” tukas Joko
Sungsang merasa risi menerima julukan Pendekar Pe-
risai Naga. Selain itu, ia juga sedang bersiasat agar ga-
dis itu mau menyebutkan namanya
’ Aku lahir di kaki gunung. Anak gadis yang la-
hir di kaki gunung biasanya dinamai Endang. Aku En-
dang Cantikawerdi,” kata gadis itu setelah sejenak di-
landa keraguan.
”Aku akan selalu mengingat namamu, Endang
Cantikawerdi. Dan, sekali lagi aku mengucapkan teri-
ma kasih atas pertolonganmu. ”
”Kau lebih dulu menolongku, Joko. Tanpa per-
tolonganmu maka aku tidak mungkin bisa menolong-
mu Terima kasih. Maaf, aku harus pergi, dan kau juga
harus mengejar gadis temanmu itu ”
***
8
Joko Sungsang semakin yakin bahwa Endang
Cantikawerdi bukan murid yang tepat bagi Cekel Jana-
loka yang berilmu sesat. Meski gadis itu menguasai il-
mu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, tetap saja
ia tak mau sembarangan mengumbar kekejaman. Ter-
bukti dua kali ia membiarkan Sekar Arum lolos dari
Jurus mautnya. Ia juga tahu membalas budi orang
yang belum dikenalnya. Kalau saja ia memang menji-
wai ilmu sesat, tak akan ia mau memberikan obat pe-
munah racun bagi siapa saja yang beraliran lurus.
Tidak berarti Joko Sungsang meremehkan ilmu
silat Sekar Arum. Hanya saja, jika dibandingkan den-
gan ilmu silat Endang Cantikawerdi, apa yang dida-
patkan Sekar Arum dari Padepokan Karang Bolong be-
lum bisa disejajarkan dengan ilmu silat dari Perguruan
Gunung Sumbing itu. Betapapun Sekar Arum tangkas
menggunakan tombak pendeknya, belum tentu ia
mampu menghadapi jurus ’Toya Sakti Pengusir Malai-
kat. Apalagi jika jurus itu digabung dengan senjata ra-
hasia yang berupa pasir beracun dari Gunung Sumb-
ing itu. Joko Sungsang sendiri melihat betapa cepatnya
tangan gadis itu menyebarkan pasir beracunnya ke tu-
buh Empu Wadas Gempal. Andai saja bukan Empu
Wadas Gempal yang diserang dengan senjata rahasia
itu, belum tentu mampu mencampakkan pasir bera-
cun itu ke tanah.
Benar-benar Joko Sungsang ingin mengetahui
lebih jauh lagi siapa sesungguhnya Endang Cantika-
werdi itu. Melihat usia gadis Itu, rasanya memang ada
kemungkinan ia tidak tahu ilmu silat yang diwarisinya
adalah ilmu sesat. Ilmu silat Perguruan Gunung
Sumbing hanya layak dimiliki oleh golongan hitam
yang selalu menebarkan kejahatan di sana-sini. Sung-
guh amat disayangkan jika ilmu sesat dari Perguruan
Gunung Sumbing telanjur meracuni gadis macam En-
dang Cantikawerdi.
’’Selain membasmi kejahatan, membela kebena-
ran, dari melindungi orang-orang yang tertindas, tu-
gas-mu juga meluruskan segala sesuatu yang me-
nyimpang, Joko. Kalau kau melihat orang yang bersa-
lah dan tidak menyadari tindakannya yang salah, tu-
gasmulah mengingatkannya. ” Terngiang kembali di te-
linga Joko Sungsang sebagian dari pesan serta nasihat
Wiku Jaladri.
Maka Joko Sungsang kembali memutuskan un-
tuk membuntuti ke mana gadis bertoya itu pergi Akan
halnya tugas untuk mengawasi Sekar Arum, agaknya
tidak harus diutamakan lagi. Setelah Empu Wadas
Gempal tewas, bahaya besar bagi gadis lewatlah su-
dah. Sebaliknya, jika ia membiarkan Endang Cantika-
werdi lebih lama lagi, ilmu sesat gadis itu akan sema-
kin menjerumuskan gadis itu sendiri.
Meski punya julukan Pendekar Perisai Naga,
meski lawan dan kawan segan mendengar julukan itu,
tetap saja Joko Sungsang masih ’ingusan’ di dunia
persilatan. Kurangnya pengalaman di dunia persilatan
membuatnya kurang tahu persis tokoh-tokoh jahat
mana yang harus diperhitungkannya. Baik dari Wiku
Jaladri maupun Ki Sempani, ia telah mendengar ba-
nyak nama tokoh sesat dari golongan hitam yang beru-
saha merajai dunia persilatan Akan tetapi, ia kurang
memperhitungkan bahwa tokoh-tokoh sesat yang dice-
ritakan gurunya tadi kapan saja bisa muncul dan
mengancam siapa saja yang mereka anggap sebagai
pihak lawan.
Seperti halnya tokoh sesat dari Kaki Gunung
Merapi, yang lebih dikenal sebagai Orang Sesat Berse-
lendang Mayat alias Ki Danyang Bagaspati ini. Menu-
rut penuturan Ki Sempani, orang sesat dari Kaki Gu-
nung Merapi ini sudah tewas tertelan ombak Laut Se-
latan. Akan tetapi, tidak seharusnya Joko Sungsang
menganggap Ki Danyang Bagaspati sudah lenyap dari
muka bumi. Banyak tokoh-tokoh dari dunia persilatan
yang dikabarkan tewas, ternyata muncul kembali den-
gan ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Tak jauh berbeda
dengan yang dialami oleh Wiku Jaladri sendiri. Orang
sakti yang melahirkan julukan Pendekar Perisai Naga
ini pernah dikabarkan tewas ditelan kedalaman Jurang
Jero. Tetapi, toh akhirnya muncul lagi dan menggem-
parkan dunia peralatan dengan jurus-jurus Perisai Na-
ganya yang diperdalam selama puluhan tahun di Pa-
depokan Jurang Jero.
Pengalaman malang-melintang di dunia persila-
tan, sayangnya belum dimiliki oleh Joko Sungsang. Ia
memang lebih banyak bersembunyi di Padepokan Ju-
rang Jero, dan lima tahun ia berada dalam gemblengan
Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong. Tidak meng-
herankan jika ia mudah beranggapan bahwa tewasnya
Empu Wadas Gempal berarti musnahnya bahaya besar
bagi Sekar Arum.
Maka Joko Sungsang sangatlah kaget begitu
mendengar kabar tentang kemunculan Ki Danyang
Bagaspati dari penduduk Desa Gedong Tengen.
’’Apakah saya tidak salah dengar?” tanya Joko
Sungsang kurang yakin.
’’Betul, Kisanak. Siapa lagi yang memakai kain
kafan sebagai senjata kalau bukan Ki Danyang Bagas-
pati?”
’’Tetapi, lima tahun yang lalu ombak Laut Sela-
tan telah menewaskannya.”
”Apa Kisanak melihat mayatnya?”
’’Memang tidak.”
’’Sebelum kita melihat mayatnya, sebaiknya
jangan percaya begitu saja kabar tentang tewasnya
orang-orang sakti. Banyak orang sakti yang dikabar-
kan tewas, tetapi nyatanya masih hidup. Seperti um-
pamanya kabar tentang tewasnya Pendekar Perisai Na-
ga puluhan tahun yang lalu. Kisanak pernah menden-
garnya?”
”Ya, ya! Saya memang pernah mendengar,” sa-
hut Joko Sungsang sebelum menutup Perisai Naga di
pinggangnya dengan lengan bajunya. la bersyukur le-
laki di depannya ini belum mengenal macam mana
senjata yang disebut Perisai Naga. Kalaupun lelaki itu
melihat, pastilah ia menganggap cambuk di pinggang
Joko Sungsang itu hanyalah Perisai Naga tiruan. Sa-
lah-salah malah menuduh Joko Sungsang mencuri
cambuk itu!
’’Sebaiknya Kisanak jangan sampai mencampu-
ri urusan Ki Danyang Bagaspati. Sudah banyak anak
muda yang tewas di tangannya. Mereka yang baru be-
lajar ilmu silat sehari-dua hari, tetapi mereka sudah
berani mencampuri urusan orang sakti macam Ki Da-
nyang Bagaspati.”
Joko Sungsang hanya mengangguk dalam-
dalam. ’’Seperti yang terjadi siang tadi di mulut desa
ini,” lanjut lelaki berpakaian petani itu.
”Ada apa siang tadi, Ki?” tanya Joko Sungsang
menyahut cepat
’’Seorang gadis mencoba membela penduduk
desa ini yang hampir dibunuh Ki Danyang Bagaspati.”
’’Seorang gadis? Bagaimana ciri-ciri gadis itu,
Ki? Maksud saya pakaian gadis itu, mungkin senja-
tanya?”
"Pakaiannya putih putih, senjatanya tombak
pendek..„”
’’Boleh saya tahu di mana gadis itu sekarang,
Ki?” tukas Joko Sungsang was-was.
’’Nasib baik masih melindungi gadis itu! Ada se-
seorang yang menyelamatkannya. Tetapi, hampir se-
mua penduduk desa yang melihat perkelahian itu ti-
dak bisa menerangkan bagaimana ujud pendekar yang
menyelamatkan gadis itu. Kejadiannya begitu cepat
berlalu. Orang sakti itu hanya seperti bayangan. Mak-
sud saya, hanya merupakan bayangan berwarna putih,
dan lalu hilang di balik rumah penduduk desa.”
’’Mungkinkah Ki Sempani yang menyelamatkan
Sekar Arum?” tanya Joko Sungsang kepada dirinya
sendiri. ’Tapi, bagaimana jika yang membawa lari Se-
kar Arum tadi tokoh jahat lainnya?”
Maka bergegas Joko Sungsang meninggalkan
Desa Gedong Tengen. Ia harus mendapat keterangan
yang lebih jelas tentang siapa yang telah menyela-
matkan Sekar Arum dari ancaman Ki Danyang Bagas-
pati!
***
Endang Cantikawerdi benar-benar tidak me-
mahami perasaannya sendiri. Perasaan aneh yang
seumur hidupnya baru dialaminya sekarang ini. Kena-
pa ia merasa berat hati meninggalkan anak muda yang
bergelar Pendekar Perisai Naga itu? Kenapa sosok anak
muda itu terus melintas-lintas di pelupuk matanya?
Kenapa pula ia membenci gadis bertombak pendek itu?
Hanya karena gadis itu lebih dekat dengan Pendekar
Perisai Naga? Karena Pendekar Perisai Naga telah me-
nyelamatkan nyawanyakah? Atau, karena anak muda
itu ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu
silat yang dimilikinya?
Padahal, sudah seharusnya ia marah melihat
Pendekar Perisai Naga membunuh Empu Wadas Gem-
pal. Seharusnya ia merasa bahwa musuh besarnya te-
lah direbut oleh anak muda murid Wiku Jaladri itu.
Atau, setidaknya ia harus malu sebab musuh besarnya
tewas bukan oleh tangannya sendiri. Maka sudah se-
layaknya jika ia melupakan anak muda yang telah
mempermalukannya itu!
Endang Cantikawerdi menyabetkan toya de-
wondarunya ke batu sebesar kepala kerbau yang
menghadang langkahnya. Batu yang tak aus oleh kiki-
san arus sungai itu hancur berkeping-keping. Maka
perasaan gadis itu sedikit lega. Seolah ia telah mem-
buang perasaan aneh dalam dadanya lewat sabetan
toyanya. Dan, andai saja ia menjumpai lawan, ia ingin
menjadikan kepala lawannya senasib dengan batu itu.
Tetapi, siapakah lawan yang harus dicarinya? Adakah
musuh bebuyutan bagi dirinya? Pernahkah ia mena-
nam permusuhan dengan seseorang? Atau, mungkin
seseorang itulah yang menanam permusuhan dengan-
nya?
Keinginannya membunuh makhluk hidup yang
tidak disenanginya tiba-tiba meracuni hati gadis murid
Perguruan Gunung Sumbing itu. Matanya liar menatap
sekeliling. Dan, ketika pandang mata itu membentur
pada sesuatu yang bergerak melata ke arahnya, gadis
itu melompat dan menusukkan ujung toya dewonda-
runya ke kepala ular sanca yang malang itu.
’’Sekalipun kau keluarkan jurus andalan toya-
mu, ia tak akan mungkin melawanmu, gadis kejam!”
teriak seseorang mengejutkan gadis itu.
Endang Cantikawerdi menoleh ke arah datang-
nya suara. Di sana, di atas sebongkah batu cadas,
berdiri seorang lelaki dengan wajah separuh tertutup.
Rambutnya yang panjang tergerai melewati bahu, ber-
kibar-kibar tertiup angin.
’’Manusia licik! Memang kau yang sebenarnya
hendak aku bunuh!” sergah Endang Cantikawerdi se-
raya melayang ke arah lelaki itu sambil mengirimkan
serangan.
Namun, dengan tenangnya lelaki berkedok se-
paruh wajah itu menarik kaki kanannya ke belakang,
dan lewatlah ujung toya gadis itu sejengkal di depan
matanya.
’’Katakan apa sebenarnya maumu mengikutiku
terus!” hardik Endang Cantikawerdi sambil bersiap
menyerang lagi.
”Aku berhak melarangmu duduk-duduk di
pinggir kali ini. Sebab, kali ini masih termasuk wilayah
yang harus....”
’’Jahanam keparat!” Kali ini Endang Cantika-
werdi menyerang dengan pasir beracunnya, la memang
ingin agar lelaki itu secepatnya roboh.
’’Hiyaaat!” seru lelaki itu sambil melenting ke
udara.
Endang Cantikawerdi benar-benar tak ingin
melihat lelaki itu lebih lama lagi. Maka ia secepatnya
menyusul ke udara sambil-menyabetkan toya dewon-
daru-nya ke arah tubuh yang tengah berjumpalitan
itu.
“Desss! Desss!”
Lelaki itu, yang tak lain adalah Joko Sungsang,
terpaksa membenturkan kedua punggung tangannya
untuk menangkis serangan lawan. Dua tenaga dalam
yang berbenturan mengakibatkan tubuh mereka ber-
dua mental berlawanan arah.
Endang Cantikawerdi merasakan nyeri yang
bukan kepalang menyerang telapak tangannya. Toya
yang dipegangnya seolah berbalik menyerang dirinya
sendiri. Di lain pihak, Joko Sungsang pun merasakan
kedua punggung tangannya ngilu bukan main: Ra-
sanya toya dewondaru itu telah meremukkan tulang-
tulang tangannya. Bisa dibayangkan akibat dari bentu-
ran itu pada dirinya jika ia tadi tidak mengaliri kedua
tangannya dengan ilmu ’Pukulan Ombak Laut Selatan’.
Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri di tela-
pak tangan kanannya, Endang Cantikawerdi menatap
tajam sosok lelaki yang sudah bersiap lagi menunggu
serangan. Tiba-tiba ia merasa harus lebih berhati-hati
menghadapi lawan yang tak dikenalnya ini. Dari ujud
badannya yang telanjang, jelas lelaki itu masih teramat
muda. Dadanya yang bidang belum sedikit pun me-
nampakkan kerut-merut. Usia lelaki ini tak akan lebih
dari dua puluh lima tahun. Tetapi, tenaga dalamnya
begitu sempurna. Rasanya ia belum pernah bertemu
dengan lawan yang berani membenturkan anggota tu-
buhnya pada toya dewondaru.
’’Kenapa diam saja, Perawan Gunung Sumb-
ing?” usik Joko Sungsang begitu melihat gadis itu
hanya menatapnya tanpa usaha untuk menyerangnya
kembali.
Endang Cantikawerdi tak mengacuhkan uca-
pan lelaki itu. Ia masih terus memeras otak, mengin-
gat-ingat siapa kiranya lelaki muda usia yang begitu
sempurna tenaga dalamnya. Tak ada lagi, kecuali Pen-
dekar Perisai Naga!
”Aku sama sekali tidak mengira bahwa Pende-
kar Perisai Naga senang mempermainkan wanita!”
dengus Endang Cantikawerdi.
’’Maafkan aku, Cantikawerdi,” kata Joko Sung-
sang setelah membuka tutup wajahnya. ”Aku hanya
ingin mengatakan kepadamu bahwa akulah yang men-
cegatmu di pinggiran Hutan Ketapang waktu itu. Tan-
pa bertingkah seperti tadi, mustahil kau akan mem-
percayai pengakuanku.”
Endang Cantikawerdi menghela napas lega. Le-
ga bahwa tebakannya ternyata tidak meleset. Tetapi, ia
pun merasa malu sebab begitu mudahnya ia diper-
mainkan anak muda ini. Seharusnya, sudah sejak di
pinggiran Hutan Ketapang itu ia tahu siapa sebenar-
nya lelaki berkedok separuh wajah itu.
”Kau masih tetap ingin membunuhku?” Kemba-
li Joko Sungsang yang membuka suara.
Endang Cantikawerdi menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Pertanyaan itu dirasakannya sebagai
ejekan. Bagaimana mungkin ia berani berangan-angan
membunuh Pendekar Perisai Naga yang dikaguminya!
Sejak pertemuan mereka di depan kedai minum itu,
Endang Cantikawerdi langsung memutuskan untuk ti-
dak menanam permusuhan dengan Pendekar Perisai
Naga ini. Terlebih lagi setelah mereka bertemu kembali
di Hutan Ketapang, dan Pendekar Perisai Naga ini telah
menyelamatkannya dari ancaman nafsu hewani Empu
Wadas Gempal.
”Aku ingin membunuh lelaki yang berkedok,
bukan Pendekar Perisai Naga,” jawab gadis itu sambil
menahan senyum.
"Panggil aku Joko Sungsang saja. Julukan Pen-
dekar Perisai Naga itu sebenarnya hanya pantas dis-
andang oleh guruku,” sahut Joko Sungsang.
”Para pendekar berlomba-lomba mengadu ilmu
untuk mencari nama besar. Tetapi, kau justru meno-
lak.”
’’Apalah artinya nama besar jika ilmu yang kita
miliki hanya sebesar biji sawi?”
’’Meskipun aku baru saja turun dari gunung,
tetapi aku percaya ilmu silatmu tidak ada yang bisa
menandingi!”
’’Meskipun kau baru saja turun gunung, tetapi
ilmu toyamu amat luar biasa!” Joko Sungsang tak mau
kalah bicara.
”Ya, luar biasa. Tetapi, apalah artinya gebukan
toya ini jika berhadapan dengan ilmu ’Pukulan Ombak
Laut Selatan’? Tiba-tiba saja toya ini berubah menjadi
sebatang lidi!”
’’Baiklah. Bukan berarti aku membenarkan
ucapanmu. Hanya saja, aku memang tidak pandai ber-
silat lidah. Aku kalah.” Joko Sungsang membungkuk-
kan badannya sebagai penghormatan.
”Aku, bocah gunung yang tidak tahu diri inilah
yang lebih pantas mengaku kalah.” Endang Cantika-
werdi membalas penghormatan anak muda itu.
***
9
Matahari telah melompat ke belahan bumi ba-
gian Barat Sinarnya keperak-perakan dipantulkan oleh
air kali yang bening itu. Mata Endang Cantikawerdi
mengerjap-ngerjap memandangi bayangan matahari di
permukaan kali itu. Selama tinggal di Gunung Sumb-
ing, hampir tak pernah ia menatap langsung bulatan
matahari. Maka mata indah itu agak kaget menerima
sergapan pantulan cahaya matahari yang berkilat ta-
jam itu.
Dalam pada itu, Joko Sungsang belum lagi me-
nemukan kalimat untuk mengisi kebisuan mereka
berdua. Entahlah, ia merasa tidak lagi pandai bicara
berada di depan gadis berpakaian serba jingga itu. Ti-
dak seperti halnya jika berhadapan dengan Sekar
Arum. Barangkali karena Sekar Arum sudah diang-
gapnya sebagai saudara? Dan lagi, mereka berdua
memang satu perguruan. Sama-sama berguru kepada
Ki Sempani.
’’Jadi, kenapa kau waktu itu mencegatku di
pinggiran Hutan Ketapang, Pendekar... eh, Joko Sung
sang?” Suara Endang Cantikawerdi memecah kehenin-
gan.
”Aku tidak ingin kau terlibat permusuhan den-
gan Penguasa Hutan Ketapang itu, Cantikawerdi.”
’’Karena ilmu silatku masih begitu rendahkah?”
’’Jangan salah mengartikan. Maksudku, sebe-
narnya tak ada alasan bagimu untuk membalaskan
kematian gurumu. Gurumu tewas melawan Empu Wa-
das Gempal karena memang sudah dikehendakinya.”
Mata Endang Cantikawerdi membulat Bulu mata-nya
yang indah itu hampir bersentuhan dengan alis ma-
tanya yang rimbun.
”Aku tidak mengerti maksudmu. Setahuku, tak
pernah guruku ingin mati di tangan Iblis Hutan Keta-
pang itu!” Agak meninggi suara Endang Cantikawerdi.
’’Mereka yang berlomba mengadu kesaktian
demi mendapatkan sebutan ’paling sakti’, tentunya
sudah didasari niat membunuh atau kesediaan dibu-
nuh. Nah, siapa bisa menyalahkan pihak yang mem-
bunuh jika pertarungan itu sudah mereka sepakati
bersama? Lain halnya jika kematian seseorang tadi
disebabkan oleh kesewenang-wenangan orang lain.
Mungkin, untuk kejadian seperti inilah balas dendam
perlu ditegakkan. Seperti penyebab balas dendamku
terhadap Hantu Lereng Lawu lima tahun yang lalu, mi-
salnya. Ayahku yang sama sekali tidak pernah beruru-
san dengannya, tiba-tiba saja dibunuh. Tanpa ada per-
lawanan sebab ayahku memang tidak memiliki ilmu si-
lat secuil pun. Paham maksudku?”
’’Bukan seperti itu nasihat yang pernah aku te-
rima dari guruku,” sahut Endang Cantikawerdi meski-
pun samar-samar ia bisa memahami maksud penutu-
ran Joko Sungsang.
“Ya. Perbedaan antara nasihat yang kau terima
dari gurumu dengan nasihat yang aku terima dari gu-
ruku tentu ada. Bukan tidak mungkin berlawanan. Ya,
karena memang kita berbeda aliran. Tetapi, aku tidak
percaya kau sengaja mempelajari aliran yang berbeda
dengan aliran yang aku pelajari, ” Joko Sungsang me-
nemukan kesempatan baik untuk memancing penga-
kuan gadis itu.
’’Maksudmu, ilmu silat yang aku pelajari terma-
suk aliran hitam?” tanya Endang Cantikawerdi agak
tersendat.
"Aku tidak mengatakan begitu. Tetapi, bukan
rahasia lagi bahwa penduduk desa, juga orang-orang
yang telah lama malang-melintang di rimba persilatan
mengatakan bahwa Cekel Janaloka termasuk tokoh
sesat dari golongan hitam. Sekali lagi aku katakan
bahwa aku tak bermaksud menuduhmu berilmu sesat,
Cantikawerdi. ”
"Bukankah aku murid salah seorang tokoh se-
sat seperti yang dikatakan orang banyak tadi?’’
"Menurutku, ukuran sesat atau lurus tidak se-
gampang yang kita ketahui. Bisa saja aku tersesat dan
akhirnya aku menggunakan ilmu silatku untuk me-
nyebarkan kejahatan. Nah, apa bisa dikatakan bahwa
aku ini berilmu lurus? Padahal sudah jelas, guruku
dikenal sebagai pendekar dari golongan lurus. Sebalik-
nya, selama kau mempergunakan ilmu silatmu untuk
kebajikan, hanya orang bodoh yang akan mengatakan
bahwa kau berilmu sesat. Ah maaf, agaknya aku terla-
lu. ..”
”Aku paham,” tukas Endang Cantikawerdi.
”Dan, sebenarnya selama ini aku sendiri bingung me-
mikirkan nasibku. Bagaimana aku bisa sampai tidak
menyadari telah berguru kepada tokoh sesat? Tetapi,
mana mungkin aku melupakan begitu saja ilmu si-
latku sedangkan aku merasakan kehebatan ilmu si-
latku? Pemikiran seperti ini yang membuatku tak
mempunyai keberanian untuk pulang menghadap ke-
dua orang tua-ku... ”
’’Jadi?” tukas Joko Sungsang kaget. ’’Maksud-
mu, kau takut jika kedua orang tuamu...?”
”Ya.” Endang Cantikawerdi menyahut sigap.
’’Kalau memang benar guruku dikenal orang banyak
sebagai orang sesat, sudah sepantasnya kedua orang
tuaku pun akan menuduhku berilmu sesat.”
”Kau menjadi murid Cekel Janaloka tanpa se-
pengetahuan orang tuamu? Maksudku, tanpa izin me-
reka?”
’’Justru merekalah yang menyerahkan aku ke-
pada guruku. Tetapi, aku percaya mereka tidak tahu
bahwa orang sakti yang telah menyelamatkan kami se-
keluarga waktu itu ternyata orang sesat.”
”Aku percaya, kedua orang tuamu bisa memak-
lumi. Malahan, bukan tidak mungkin mereka hanya
bisa menyalahkan diri mereka sendiri. Tetapi, tentunya
bukan itu yang kita harapkan.”
’’Lalu, apa yang bisa aku lakukan?” tanya En-
dang Cantikawerdi semakin terbuka. Meski ia baru be-
berapa hari mengenal Pendekar Perisai Naga ini, ia me-
rasa tak perlu lagi menyembunyikan sesuatu di hada-
pan anak muda ini.
”Apa yang bisa kau lakukan? Temui kedua
orang tuamu, buktikan kepada mereka bahwa ilmu si-
latmu hanya akan kau pergunakan untuk berbuat ke-
bajikan,” jawab Joko Sungsang.
Endang Cantikawerdi tak ragu lagi untuk me-
nentukan langkahnya. Lima tahun ia memendam ke-
rinduan. Lima tahun lebih ia tidak melihat bagaimana
ujud kedua orang tuanya. Selama ini, ia hanya men-
dengar kabar tentang kesehatan ayah ibunya dari mu-
lut Cekel Janaloka.
’’Kita masih bisa bertemu lagi, Joko Sungsang?”
kata Endang Cantikawerdi sambil bersiap-siap me-
ninggalkan pinggiran kali itu.
’’Pasti! Kita mempunyai tugas yang sama, Can-
tikawerdi. Bertahun-tahun kita digembleng oleh guru
kita hanya karena kita diharapkan bisa menjadi pelin-
dung bagi mereka yang lemah. Kita pasti bertemu lagi,
dan bukan sebagai lawan!”
”Kau sendiri hendak ke mana, Joko?”
”Aku harus kembali dulu ke Karang Bolong. Ba-
ru saja aku mendapat kabar bahwa Sekar Arum dis-
elamatkan oleh seseorang....”
’’Gadis temanmu itu?” tukas Endang-
Cantikawerdi dengan harapan akan mendapatkan pen-
jelasan, siapakah gadis itu sebenarnya bagi Pendekar
Perisai Naga.
’’Sekar Arum adalah adik seperguruanku. Se-
benarnya ia lebih dulu berguru kepada Ki Sempani, te-
tapi sifat keras kepalanya menghambat kemajuannya
belajar ilmu silat. Aku yang memintakan maaf jika kau
merasa sakit hati melihat ulahnya. ”
”Kau merasa pasti yang menyelamatkannya itu
guru kalian?”
’’Itulah yang ingin aku pastikan. Kalau memang
benar Ki Sempani yang menyelamatkannya, berarti se-
karang juga Sekar Arum sudah berada kembali di Pa-
depokan Karang Bolong.”
”Aku berharap, memang begitulah yang terjadi.”
’’Kita saling berharap, saling memohon agar
Gusti Yang Maha asih senantiasa melindungi orang-
orang yang kita cintai.”
”Dan, aku selalu berharap bahwa kita akan ber-
temu lagi.”
’’Begitu pula aku.”
Dengan berat hati, Endang Cantikawerdi me-
langkahkan kaki meninggalkan anak muda yang dika-
gumi-nya itu. Dan, dalam perjalanan menuju Desa Ka-
rangreja, ia mulai berandai-andai. ”Ya, andaikata saja
aku diperbolehkan mempelajari ilmu silat Pendekar Pe-
risai Naga, aku akan tinggalkan ilmu silat yang kuda-
patkan dari Perguruan Gunung Sumbing!”
***
Rasa lega menyejukkan hati Joko Sungsang.
Lega bahwa ia telah berhasil menasehati Endang Can-
tikawerdi yang hampir saja terperosok ke dunia orang-
orang sesat. Melangkahkan kaki pun rasanya ringan
sekali. Tak ada lagi jalan simpang yang menghadang-
nya. Tak perlu bingung lagi ke mana ia harus melang-
kahkan kakinya. Ke mana lagi kalau bukan ke Pade-
pokan Karang Bolong!
Namun, baru beberapa tombak ia melangkah,
tiba-tiba ada angin kencang menerpanya. Ini jelas bu-
kan angin yang ditimbulkan oleh perjalanan alam se-
mesta. Ini pastilah angin yang keluar dari tubuh seseo-
rang untuk mencelakakannya. Maka secepat kilat Joko
Sungsang mengurai Perisai Naga dari pinggangnya,
melecutkan cambuk itu ke sebuah dahan besar, dan
tubuhnya pun bergelayutan sambil berpegangan pada
gagang Perisai Naga.
”Ha ha ha! Rupanya yang kucari selama ini ha-
nyalah anak bau kencur!” ujar Ki Danyang Bagaspati
sambil melompat keluar dari persembunyiannya.
”Kau, Ki Danyang Bagaspati! Tidak kuduga
orang dari Gunung Merapi hanya pandai membokong!”
Joko Sungsang melayang turun, dan mendarat persis
di hadapan Ki Danyang Bagaspati.
’’Hanya berani membokong? Ha ha ha! Kalau
memang aku berniat membokongmu, sejak kau duduk
berdua dengan gadismu tadi, pendekar ingusan!”
’’Bagaspati, kau bilang mencariku? Apa kau ti-
dak salah ucap?”
’’Salah ucap? Ho ho! Aku memang sudah tua,
tetapi ingatanku lebih baik daripada ingatanmu, Anak
Muda! Kau agaknya sudah lupa dengan peristiwa di
halaman Kademangan Sanareja malam itu? Nah, se-
dangkan aku yang sudah tua masih ingat! Bagaimana
mungkin kau mengatakan aku salah ucap?”
’’Karena aku membunuh Demang Kerpa? Kalau
begitu, kaulah yang memesan kain kafan itu!”
’’Bagus! Dan, karena kau sudah mengerti pe-
nyebab kenapa aku mesti mencarimu, bersiaplah un-
tuk menebus dosa-dosamu, Pendekar Perisai Naga!”
’’Sebelum aku atau kau yang mati, akan sedikit
mengurangi dosa-dosamu jika kau mau mengatakan di
mana sekarang gadis bertombak pendek yang kau te-
mui di Desa Gedong Tenge itu, Bagaspati! ” Tiba-tiba
Joko Sungsang ingat cerita tentang perkelahian antara
Sekat Arum dengan orang sesat dari Gunung Merapi
ini.
"Ada sangkut paut apa kau dengan gadis itu?
Kau pikir kau terlalu gagah untuk dicintai gadis-gadis
cantik?”
’Dia adik seperguruanku, Bagaspati!”
”Ho ho! Jadi, benar kau berguru kepada kepit-
ing pantai itu?” tukas Ki Danyang Bagaspati dengan
mata berbinar-binar.
’’Jangan gegabah memberikan julukan buat gu-
ruku, Bagaspati! Langkahi dulu mayatku sebelum kau
sebut-sebut nama guruku!
’’Baiklah! Sebelum ku langkahi mayatmu, me-
mang ada baiknya kau tahu bahwa gadis bertombak
pendek itu telah diselamatkan gurumu. Tetapi, sebe-
lum malam nanti, mereka pun akan mengalami nasib
yang sama denganmu...”
”Lancang mulut!’' sergah Joko Sungsang sambil
melecutkan Perisai Naga ke mulut Ki Danyang Bagas-
pati.
Brettt!
Begitu cepat Ki Danyang Bagaspati menyambar
kain kafan yang mengikat kepalanya dan memben-
tangkan gulungan kain itu untuk menangkis ujung Pe-
risai Naga.
’Tariklah cambuk mu, dan jika aku maju se-
langkah saja, artinya kau bisa mengalahkanku, Anak
Muda!” tantang Ki Danyang Bagaspati sambil menahan
lilitan Perisai Naga pada kain kafannya.
Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melawan tenaga dalam lawan. yang dialirkan
lewat kain kafannya. Kemudian ia mencoba menghen-
takkan Perisai Naga, tetapi tubuh orang tua dari Gu-
nung Merapi itu sama sekali tidak bergeming.
”Ha ha ha! Nama besar Pendekar Perisai Naga
ternyata hanya digembar-gemborkan oleh orang-orang
tolol! Omong kosong mereka!” ejek Ki Danyang Bagas-
pati.
Kesempatan inilah yang memang ditunggu-
tunggu Joko Sungsang. Pada saat la wan berbicara, ia
melihat pertahanan lawan sedikit kendur Maka ia
menjejakkan kedua kakinya ke tanah, dan sambil
menghentakkan Perisai Naga nya, ia bersalto ke udara.
Sewaktu turun, kedua tumitnya menerjang sepasang
bahu ki Danyang Bagaspati.
’’Haladalah!” dengus Ki Danyang Bagaspati
sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Terpaksa ia
melepaskan sebelah ujung kain kafannya agar bisa
membebaskan diri dari terjangan tumit lawan.
Begitu kedua tumitnya menyentuh tanah, Joko
Sung-sang kembali melentingkan tubuh ke udara. Se-
bab kain kafan di tangan Ki Danyang Bagaspati telah
siap menyambar kedua lututnya! Sambil melompat, dia
pun melontarkan Perisai Naga-nya!
”Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silatmu, Anak
Muda! Rasanya aku boleh percaya bahwa kaulah yang
merobohkan Demit Hutan Ketapang itu! Kalau benar
begitu, artinya dosamu tambah satu lagi! Kau telah
merebut calon korban Selendang Mayatku!”
“Tak akan ada dosa bagi pembunuh iblis pe-
nyebar maut macam kau, Bagaspati!” sahut Joko
Sungsang.
“Terimalah pahala dariku kalau memang paha-
la yang kau harapkan, pendekar ingusan bau kencur!”
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum memilin-milin kain
kafannya, dan kemudian menyabetkannya ke kepala
Joko Sungsang.
Joko Sungsang merunduk sembari merentang-
kan Perisai Naga-nya di atas kepala. Maka ketika kain
ka~ fan itu berubah haluan, menghantam ke arah ba-
wah, kembali dua senjata itu bertemu. Hanya saja, kali
ini Perisai Naga lah yang terbelit kain kafan itu.
Namun, sebelum Ki Danyang Bagaspati me-
nyentakkan kain kafannya, Joko Sungsang telah men-
dahului membabat sepasang kaki keriput itu dengan
balingan kaki kanannya.
Desss! Bukkk!
Tubuh Ki Danyang Bagaspati terbanting ke ta-
nah. Namun, bak seekor belalang, orang tua kurus
kering itu melenting dan kembali berdiri di atas kuda-
kuda kakinya.
’’Jahanam keparat! Jangan berpikir kau akan
bisa menyentuh kulitku lagi, anak setan!” maki Ki Da-
nyang Bagaspati seraya memutar senjatanya di samp-
ing badannya. Inilah jurus ’Selendang Mayat Penyapu
Awan’
yang diandaikan orang sesat dari Gunung Me-
rapi itu.
Dari mendengarkan suara berciutan yang di-
timbulkan kain kafan itu, tahulah Joko Sungsang
bahwa lawannya telah melancarkan jurus andalannya.
Maka segera ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
meredam suara aneh yang menyerang telinganya. la
yakin, suara itu akan mampu merobohkan lawan yang
hanya mengandalkan kekuatan jasmani. Orang-orang
dari golongan hitam memang berusaha menempuh se-
gala -cara untuk bisa secepatnya membunuh lawan.
’’Hiyaaat!” sambil berteriak lantang, Ki Danyang
Bagaspati menyabetkan kain kafannya dengan dah-
syat-nya. Sabetan yang membentuk angka delapan ini
memaksa Joko Sungsang harus membuang tubuhnya
ke belakang, dan kemudian berjumpalitan ke udara
untuk balas menyerang. Namun, sewaktu ia mele-
cutkan Perisai Naga ke arah kepala lawan, dengan ce-
katan orang sesat dari Gunung Merapi itu memben-
tangkan kain kafannya di atas kepala. Untuk yang ke-
sekian kalinya ujung Perisai Naga terkait senjata la-
wan.
Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya
untuk membebaskan Perisai Naga dari belitan kain ka-
fan itu. Sambil menghentakkan Perisai Naga, ia mem-
buang tubuhnya ke bawah dan mengirimkan tendan-
gan ke betis lawan.
Wusss!
Ki Danyang Bagaspati rupanya telah membaca
gerakan lawan. Oleh sebab itu, begitu Joko Sungsang
menghentakkan cambuknya, Ki Danyang Bagaspati
menggenjot tanah sembari mengirimkan angin dari
telapak tangannya.
Hampir saja tubuh Joko Sungsang terbentur
batu cadas kalau tidak secepatnya ia menghancurkan
batu cadas itu dengan bola berduri di ujung cambuk-
nya. Begitu deras dorongan angin dari telapak tangan
lawan sebab masih ditambah lagi dengan tenaga lun-
curan tendangan Joko Sungsang sendiri.
Melihat batu cadas sebesar tubuh kerbau itu
hancur lebur, tersirap darah Ki Danyang Bagaspati.
Sungguh-sungguh ia tidak mengira bahwa bola berduri
sebesar buah kecubung itu ternyata mampu melebur
batu cadas sebesar itu. Namun demikian, ia tak mau
lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk ber-
siap diri. Oleh karenanya, secepatnya pula ia menye-
rimpung kaki Joko Sungsang dengan kain kafannya
begitu kaki anak muda itu menyentuh tanah.
Akan tetapi, pada saat yang sama cambuk d
tangan Joko Sungsang berputar memagari kedua ka-
kinya.
Srettt! Krekkk!
Kali ini perhitungan Joko Sungsang tidak mele-
set lagi. Bola berduri di ujung cambuknya bertemu
dengan kain kafan itu. Tak pernah terbayangkan oleh
Ki Danyang Bagaspati bahwa bola berduri itu berhasil
merobek kain kafannya.
"Jahanam busuk! Kau robekkan kain kafan-
ku?” dengus Ki Danyang Bagaspati setelah bersalto ke
belakang untuk mengambil jarak.
’’Bukankah kain itu memang sudah rapuh dari
sananya, Bagaspati?” ejek Joko Sungsang.
’’Jangan besar kepala, anak setan! Sekalipun
kau bisa membelah kain kafanku ini, tetap saja aku
bakal bisa memecahkan batok kepalamu!” Ki Danyang
Bagaspati menarik kain selempang di dadanya dan
menjadikannya sebagai senjata pengganti kain ikat ke-
palanya yang robek.
Serangan tokoh hitam dari Gunung Merapi itu
semakin ganas mengurung Joko Sungsang. Panjang
kain selempang itu dua kali lipat panjang kain kafan
yang mengikat kepala. Sudah barang pasti angin yang
ditimbulkannya pun lebih kencang dibandingkan angin
yang menyembur dari ikat kepala itu.
Tak pelak lagi, Joko Sungsang semakin kehi-
langan ruang untuk menghindar. Ke mana pun ia me-
lompat, ke situlah kain kafan itu memburunya. Berka-
li-kali ia terpaksa bersalto ke belakang untuk meng-
hindari ganasnya terjangan senjata lawan. Melihat la-
wan berkali-kali surut ke belakang inilah Ki Danyang
Bagaspati merasa dirinya berada di atas angin. Terle-
bih lagi ketika ia berhasil menggiring Joko Sungsang
ke tebing kali yang curam.
’’Sekaranglah ajalmu tiba, pendekar bau ken-
cur!” ujar Ki Danyang Bagaspati yang mengira lawan
tidak mungkin lagi menghindar mundur.
Sebenarnya tak ada masalah bagi Joko Sung-
sang menghadapi kecuraman tebing kali itu. Diban-
dingkan dengan kedalaman Jurang Jero, jelas tak ada
seperlimanya. Namun, ia tidak ingin meninggalkan la-
wannya. Untuk itulah ia harus menepis serangan la-
wan yang mengurungnya. Maka tak ada jalan lain ba-
ginya kecuali mengeluarkan ilmu ’Pukulan Ombak
Laut Selatan’. Sambil melecutkan Perisai Naga nya,
tumit Joko Sungsang melabrak perut Ki Danyang Ba-
gaspati.
Brettt! Desss!
Tubuh Ki Danyang Bagaspati terpelanting bebe-
rapa tombak ke belakang dan kemudian terbanting ke
tanah. Perut orang sesat dari Gunung Merapi ini men-
jadi sasaran empuk tumit Joko Sungsang, sebab tan-
gan kiri yang semestinya melindungi perut itu terpaksa
memegangi ujung kain kafan yang lain, untuk mena-
han lecutan Perisai Naga.
Ki Danyang Bagaspati tertatih-tatih bangun se-
belum memuntahkan darah segar dari mulutnya. Na-
mun begitu, tangan kanannya masih mampu memutar
kain kafannya untuk melindungi tubuhnya dari anca-
man bola berduri yang mematuk dari segala arah.
Bahkan tangan kiri orang tua itu masih sempat mene-
barkan kerikil beracun.
Sring! Sring! Sring!
Melihat gerakan tangan kiri Ki Danyang Bagas-
pati, Joko Sungsang secepatnya memagari tubuhnya
dengan putaran Perisai Naga-nya. Sejak semula ia
memang sudah menebak bahwa di balik kain batik
kawung itu tersimpan senjata rahasia. Inilah kerikil
beracun yang berasal dari Kepundan Gunung Merapi!
Dan, luncuran senjata rahasia ini tentu saja lebih ga-
nas jika dibandingkan dengan luncuran senjata raha-
sia dari tangan Ki Demang Kerpa.
Diam-diam Joko Sungsang kagum melihat daya
tahan Ki Danyang Bagaspati ini. Meski perutnya telah
terkena tendangan yang dialiri ilmu ’Pukulan Ombak
Laut Selatan’, tetap saja ia masih mampu bertahan.
’Tendanganmu memang menghancurkan isi pe-
rutku, Anak Muda! Tetapi, aku belum mau mati sebe-
lum ku gantung lehermu dengan kain kafanku ini!”
ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum menyerang mem-
babi buta. Dan, hampir saja kain kafan itu berhasil
melilit leher Joko Sungsang kalau saja gagang Perisai
Naga tidak menghalanginya.
Ketika kain kafan itu membelit gagang Perisai
Naga, saat itulah Joko Sungsang menyambitkan bola
berduri di ujung Perisai Naga-nya ke pelipis lawan.
Meski Ki Danyang Bagaspati berhasil menghindari bola
berduri itu, di luar dugaan tendangan kaki kanan Joko
Sungsang kembali bersarang di perutnya. Sambitan
bola berduri tadi memang hanya sebagai tipuan agar Ki
Danyang Bagaspati lengah melindungi perutnya.
Tghhh!”
Ki Danyang Bagaspati melepaskan pegangan
pada kain kafannya. Ia surut beberapa langkah ke be-
lakang sambil mendekap perutnya dengan tangan ka-
nannya. Sementara itu, tangan kirinya kembali meng-
genggam kerikil beracun dan siap disambitkan. Na-
mun, dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Perisai
Naga meledak dan melilit leher orang sesat dari Gu-
nung Merapi itu.
Srettt!
Darah menyembur dari leher Ki Danyang Ba-
gaspati bersamaan dengan terjerembabnya tubuh ku-
rus kering itu ke tanah. Duri-duri pada bola yang
menghiasi ujung Perisai Naga memotong urat-urat leh-
er yang menyangga kepala Ki Danyang Bagaspati.
’’Anggap saja ini semua Balasan dari Sekar
Arum penghinaanmu di Desa Gedong Tengen, Bagas-
pati!” kata Joko Sungsang sambil menyimpan kembali
Perisai Naganya di pinggang.
Ketika Ki Danyang Bagaspati tengah sekarat
meregang maut, Joko Sungsang telah pergi meninggal-
kannya. Dia kembali melanjutkan pengembaraannya.
Melanjutkan tugas kependekarannya yang dinanti-
nanti oleh rakyat banyak.
SELESAI
Emoticon