1
Sang surya baru saja muncul di ufuk timur dengan
sinarnya yang menyala. Perlahan sinarnya yang hangat
itu menyeruak ke persada alam. Sementara itu kicau
riang burung-burung terdengar riuh mengiringi lang-
kah tiga sosok tubuh yang baru keluar dari dalam Hu-
tan Karet. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seo-
rang wanita berusia sekitar empat puluhan. Gerakan
mereka sigap dan gesit. Senjata-senjata yang tersampir
di punggung dan terselip di pinggang cukup menjadi
Kini mereka berhadapan dengan padang ilalang
yang cukup luas. Tinggi ilalang yang hanya sebatas
pinggang itu, tak mengganggu pemandangan mereka.
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang,
tiga sosok itu menghentikan langkahnya. Pandangan
mereka tertuju lurus ke depan, di tengah-tengah ke-
rimbunan rerumputan. Di tempat itu tampak tertancap
sebuah tongkat hitam kelam. Pada bagian atas tongkat
terdapat tengkorak kepala manusia berwarna merah
darah! Tampak mengiriskan!
"Apakah aku tak salah lihat?!" desis salah seorang
lelaki yang berpakaian coklat. Tubuhnya jangkung dan
kurus.
Suaranya terdengar bergetar seperti tengah mena-
han luapan perasaan. Paras dan sinar matanya tam-
pak memperlihatkan keterkejutan, kegentaran, dan
kengerian hati!
"Apa artinya, Kang Abiyasa?!" tanya wanita berpa-
kaian hijau pupus yang berwajah cukup cantik meski
sudah berusia cukup lanjut. Tahi lalat cukup besar
yang terdapat di dagunya menambah kecantikannya.
Lelaki satunya lagi, yang mengenakan pakaian
abu-abu dan berkulit kehitaman, tak mengajukan per-
tanyaan. Tapi, paras dan sorot matanya yang tertuju
pada Abiyasa, menandakan pengertian yang sama.
Abiyasa malah menghela napas berat sebelum
memberikan jawaban. Seakan-akan ada sesuatu yang
memberatkan hatinya.
"Aku juga tak yakin akan dugaanku ini, Wati," ujar
lelaki berpakaian coklat itu bernada tak yakin. "Hanya
saja..., sepengetahuanku... ciri seperti itu merupakan
pertanda adanya Setan Tengkorak Merah...."
"Setan Tengkorak Merah?!" ulang lelaki berkulit
kehitaman, tanpa bisa menyembunyikan perasaan ka-
getnya.
"Setan Tengkorak Merah? Siapa dia, Kang Antase-
na? Julukannya demikian mengerikan?" tanya wanita
yang bernama lengkap Jembawati, lagi. Kali ini dituju-
kan pada lelaki berpakaian abu-abu.
Antasena mengangkat kedua bahunya, ketika ben-
trok pandangan dengan Jembawati yang sinar ma-
tanya menghendaki jawaban. Lelaki berkulit kehita-
man itu malah melemparkan pandangan pada Abiyasa.
"Entahlah, Wati. Aku hanya sedikit mengetahui pe-
rihal Setan Tengkorak Merah. Tapi, aku yakin Kakang
Abiyasa tahu banyak tentang tokoh yang terkenal sakti
dan amat kejam itu, jelas lelaki berkulit kehitaman ini,
sekadarnya.
"Tahu banyak sih, tidak, Anta," jawab Abiyasa, me-
rendah.
"Yang jelas berita tentang Setan Tengkorak Merah
yang kudengar. Dan, menurut berita yang sampai ke
telingaku, Setan Tengkorak Merah adalah seorang da-
tuk sesat yang memiliki kepandaian menakjubkan,
dan kekejaman yang tak masuk akal. Selentingan ka-
bar mengatakan kalau dia berasal dari pulau di sebe-
rang lautan. Tokoh itu berasal dari Aceh. Dia melari-
kan diri dari wilayah Kerajaan Aceh karena diburu oleh
orang-orang kerajaan. Dia dijuluki Setan Tengkorak
Merah setelah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa
Barat ini dan menyebarkan kekacauan! Entah siapa
nama aslinya, kurasa tak ada seorang pun yang tahu.
Bukan tak mungkin, iblis itu sendiri pun lupa, karena
dia berada di tanah Jawa Barat ini sudah hampir dua
puluh tahun."
"Apakah di tanah kelahirannya dia juga termasuk
tokoh hitam, Kang?!" tanya Jembawati lagi, penuh rasa
ingin tahu.
"Menurut berita yang kudengar sih, tidak," jawab
Abiyasa, ragu-ragu. "Dia diburu karena dulu sewaktu
Kerajaan Aceh masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Pedir, Setan Tengkorak Merah adalah seorang algojo,
yang mengirim banyak orang dari Kerajaan Aceh ke
akhirat."
Jembawati dan Antasena mengangguk-anggukkan
kepala seperti layaknya orang yang mengerti.
"Berarti..." Antasena membuka suara, lambat-
lambat. "Sudah lebih dari dua puluh tahun Setan
Tengkorak Darah tinggal di tanah Jawa Barat ini,
Kang?! Nama besarnya saja sudah terdengar dan men-
gakui dirinya sebagai salah seorang dari pentolan
kaum sesat sekitar dua puluh tahun."
"Ya, kira-kira demikianlah," ujar Abiyasa membe-
narkan, "Waktu pastinya aku tak yakin, tapi yang jelas
sekitar dua puluh tahunan," tambahnya.
Suasana kembali hening ketika Abiyasa tak berbi-
cara lagi. Keheningan yang tak menyenangkan, karena
ketiga orang itu tak berani melanjutkan langkahnya
lagi dan hanya terpaku menatap tongkat bergagang
tengkorak kepala manusia berwarna merah!
"Kudengar...," ujar Antasena tiba-tiba memecah
keheningan. "Setan Tengkorak Merah lenyap dari du-
nia persilatan beberapa bulan yang lalu."
"Benar, Anta," Abiyasa menganggukkan kepala.
"Menurut selentingan kabar, datuk sesat itu dikalah-
kan oleh seorang tokoh sakti! Setelah itu, beritanya
sudah tak terdengar lagi. Lenyap begitu saja bagai dite-
lan bumi."
"Ah...!" desis Antasena dan Jembawati, kaget.
Kedua orang itu saling berpandangan. Wajah me-
reka menampakkan perasaan terkejut. Sungguh tak
pernah disangka, terutama sekali oleh Antasena, kalau
Setan Tengkorak Merah dapat juga dikalahkan orang!
"Oleh karena itu," lanjut Abiyasa tanpa mempedu-
likan keterkejutan yang masih membelit hati Jemba-
wati dan Antasena. "Aku masih tak yakin kalau benda
itu ditancapkan oleh Setan Tengkorak Merah! Bukan-
kah dia sudah cukup lama lenyap?!"
***
"Ha ha ha...!"
Tawa keras yang menggelegar tiba-tiba, membuat
Abiyasa menghentikan ucapannya. Semula, lelaki itu
masih hendak melanjutkan bicaranya dan mencari ka-
ta-kata yang tepat untuk menyambung pendapatnya.
Abiyasa terkejut bukan main. Bahkan bukan
hanya dia saja. Antasena dan Jembawati pun demi-
kian. Tidak hanya rasa kaget, tapi juga perasaan te-
gang menyelimuti hati mereka semua.
"Benarkah Setan Tengkorak Merah yang datang?!
Setan Tengkorak Merahkah yang tertawa?!" tanya me-
reka dalam hati.
Dengan jantung berdetak kencang, mereka me-
nunggu keluarnya pemilik tawa itu. Tapi, sampai bebe-
rapa lama menunggu, orang yang mereka harapkan
tak juga keluar. Bahkan tanda-tanda kemunculannya
pun tak terlihat sama sekali.
Perasaan tak sabar untuk segera mengetahui pemi-
lik tawa itu membuat Abiyasa, Antasena, dan Jemba-
wati, mencoba untuk mengira-ngira tempat beradanya
orang yang mereka maksudkan. Setidak-tidaknya, asal
tawa itu. Tapi, betapapun ketiga orang itu sudah men-
gerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tak
mampu mengetahui asal suara itu. Tawa itu seperti be-
rasal dari delapan penjuru.
"Aku tak bisa memperkirakan asal tawa ini, Kang,"
ujar Antasena dengan suara putus asa.
"Aku pun tak bisa, Anta," sahut Antasena dengan
bola mata berputaran ke sana kemari untuk mencari
tahu keberadaan si pemilik tawa. "Tapi, aku yakin ka-
lau pemilik tawa itu adalah Setan Tengkorak Merah!"
"Mengapa kau menduga demikian, Kang?!"
Kali ini Jembawati yang mengajukan pertanyaan
tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.
"Menurut kabar yang kudengar, Setan Tengkorak
Merah memiliki Tenaga Dalam Delapan Sudut. Dan
aku yakin, Iblis itu menggunakan tenaga istimewanya
ketika tertawa sehingga membuat asal tawanya seperti
berasal dari delapan penjuru. Jadi, kupikir..., tak ada
gunanya lagi kita bertindak seperti ini. Lebih baik kita
menunggu dan bersikap waspada. Aku yakin, iblis ini
akan datang menemui kita, bila dia memang merasa
mempunyai keperluan dengan kita bertiga."
Antasena dan Jembawati tidak memberikan tang-
gapan sama sekali. Tapi, dari wajah mereka tampak
bahwa mereka membenarkan ucapan Antasena.
Setelah Antasena menghentikan ucapannya, secara
tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap. Sesaat kemudian,
berkelebat sesosok bayangan dari kerimbunan ilalang.
Gerakannya secepat kilat sehingga tak terlihat jelas
bentuknya. Yang tampak hanya sekelebatan bayangan
hitam. Dan terlihat jelas ketika sudah menghentikan
gerakannya dan berdiri di atas tongkat yang tertancap
di tanah dengan mempergunakan kepala. Sementara
kedua kaki sosok hitam itu menjulang ke angkasa.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati terperanjat me-
lihat tingkah sosok hitam yang aneh itu. "Mendarat sa-
ja kok, mesti menggunakan kepala. Apakah berlari pun
mempergunakan kepala?! Berjalan pun demikian?!"
tanya ketiga orang itu dalam hati
Keterkejutan akhirnya melanda mereka, karena
mengetahui sosok hitam itu memiliki kepandaian ting-
gi. Karena, hanya tokoh berkepandaian tinggi sajalah
yang dapat mendarat di ujung tongkat tanpa tubuh
atau pun tongkat bergeming sedikit pun juga.
Di samping terkejut, kelegaan hati pun melanda
ketiga orang itu, terutama Abiyasa. Semula mereka
mengira sosok yang akan muncul adalah sosok ringkih
seorang kakek. Ternyata dugaan mereka itu, keliru!
Di atas tongkat, menempel seorang pemuda bertu-
buh kecil pada bagian atas tengkorak kepala manusia
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi karena kurusnya
dan juga kulitnya yang pucat seperti orang penyakitan,
sehingga kelihatan menyolok dan menyeramkan!
"Apakah kalian murid-murid dari Empu Jangkar
Bumi?!" tanya pemuda berwajah pucat itu bernada
mengancam.
Sambil bertanya demikian, pemuda berpakaian hi-
tam itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya Abiyasa,
Antasena, dan Jembawati satu persatu dengan sinar
mata penuh selidik tapi terkesan memandang rendah!
Tetapi ketiga orang itu tidak memberikan jawaban.
Jembawati dan Antasena menyerahkan seluruh uru-
san pada Abiyasa. Di lain pihak, lelaki berpakaian cok-
lat itu masih balas memperhatikan orang yang menga-
jukan pertanyaan padanya.
Pemuda kecil itu ternyata bukan termasuk orang
yang memiliki kesabaran besar. Sepasang matanya
memancarkan maut saat menatap tiga orang di hada-
pannya yang belum juga memberikan jawaban atas
pertanyaannya.
"Anjing-anjing Tuli...! Apakah kalian murid-murid
anjing buduk yang bernama Keparat Empu Jangkar
Bumi?!" tanya pemuda berpakaian hitam lagi. Sua-
ranya kali ini lebih keras dan kasar.
"Tutup mulutmu, Manusia Penyakitan!" bentak Ab-
iyasa karena tak kuasa menahan amarahnya dihina
seperti itu. "Dengar baik-baik, kami bukan anjing-
anjing dan juga tidak tuli! Matamulah yang harus dipe-
riksa karena salah melihat! Pasang telingamu, agar tak
salah mendengar! Benar, kami adalah murid-murid da-
ri Empu Jangkar Bumi! Lalu, kau mau apa?!"
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali! Memang sudah lama
aku ingin bertemu dengan empu keparat itu atau den-
gan muridnya. Tak kusangka bisa bertemu di sini. Jadi
aku tak perlu repot-repot untuk mendatangi tempat
kalian yang buruk!" ejek pemuda berpakaian hitam
dengan suara lantang dan keras.
Abiyasa menggertakkan giginya menahan geram.
Ejekan yang diberikan pemuda jangkung terlalu me-
nyakitkan. Meskipun sudah dapat menduga kalau pe-
muda berpakaian hitam itu memiliki kepandaian luar
biasa, Abiyasa tak menjadi gentar. Kemarahannya ru-
panya menghilangkan pertimbangannya. Apalagi sete-
lah diyakini kalau pemuda yang berada di depannya
bukan Setan Tengkorak Merah! Tokoh sakti pelarian
dari Aceh itu diyakini Abiyasa sudah berusia lanjut!
Dan, pemuda di depannya paling banyak baru berusia
dua puluh delapan tahun!
Kemarahan besar yang melandanya dan keyakinan
kalau sosok di depannya itu bukan Setan Tengkorak
Merah, mendorong keberanian Abiyasa. Bahkan seka-
rang lelaki berpakaian coklat itu mengayunkan kaki
mendekati calon lawannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Manusia Penyakitan!"
bentak Abiyasa dengan suara bergetar karena kemara-
han yang menggelora. "Kami tak mengenalmu, dan
kami yakin, guru kami, Empu Jangkar Bumi pun tak
mengenalmu! Mengapa kau bersikap demikian kurang
ajar dan lancang?! Kami, selaku murid-murid beliau
tak bisa membiarkan hal ini! Kalau tak segera menca-
but ucapan-ucapanmu, terpaksa kami akan membuat
perhitungan denganmu!"
Pemuda berpakaian hitam tertawa dengan nada
menghina sekali. Ia tidak melakukan tindakan apa
pun, tapi tongkat di mana kepalanya bertumpu, sedikit
demi sedikit amblas ke dalam tanah! Tubuh si pemuda
itu sendiri tak bergeming sama sekali. Malah, ketika
yang tampak di permukaan tanah hanya tinggal teng-
korak kepala manusia, tubuh pemuda pucat itu tetap
tak bergoyang sama sekali!
Abiyasa dapat melihat itu secara jelas. Walaupun
begitu dia tak merasa gentar atau memperlihatkan ke-
kaguman. Tapi tidak demikian halnya dengan Antase-
na dan Jembawati. Kedua orang ini jelas-jelas memper-
lihatkan keterkejutan dan kekaguman yang bercampur
dengan kengerian!
Pemuda berpakaian hitam itu tak terlalu mempe-
dulikan tanggapan Abiyasa. Dengan kepala tetap di
bawah, ditatapnya Abiyasa yang sekarang sudah
menghentikan langkahnya ketika berjarak dua tombak
darinya.
"Kau hendak membuat perhitungan denganku?!
Mengapa hanya sendiri majunya?! Ajak kawan-
kawanmu biar urusan ini cepat selesai!" tantang pe-
muda bertubuh jangkung itu penuh kesombongan.
"Kalau hanya menghadapi kecoak-kecoak seperti ka-
lian, aku, Tengku Daud, dengan tanpa bergerak dari
tempat pun. Akan dapat mengusir kalian semua sekali
pun kalian maju berbarengan!" lanjutnya lagi.
"Sombong...!" seru Abiyasa keras, seraya melompat
menerjang Tengku Daud. Lelaki berpakaian coklat itu
tak bisa menahan kemarahannya lagi melihat sikap si
pemuda yang kelewatan menghinanya.
Diawali suara keras melengking nyaring, Abiyasa
menyerang Tengku Daud. Lelaki itu membuka seran-
gannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-
tubi ke arah leher. Dan memang seharusnya leher
yang menjadi sasaran cengkeraman Abiyasa. Tapi, ka-
rena Tengku Daud berdiri dengan kepala di bawah, se-
rangan itu jadi meluncur ke arah bawah pusar. Sasa-
ran serangan ini tak kalah besar akibatnya dibanding
dengan serangan terhadap leher. Menurut perhitungan
bila mengenai sasaran, nyawa Tengku Daud pasti akan
melayang karenanya.
Tapi, sebelum serangan Abiyasa mengenai sasa-
ran, ia merasakan adanya sebuah kekuatan tak tam-
pak yang menghimpit tubuhnya dari berbagai penjuru.
Himpitan itu kuat sekali tekanannya sehingga mem-
buat dada Abiyasa terasa sangat sesak.
Semakin dekat tubuh Abiyasa ke arah tubuh pe-
muda itu, kekuatan tak tampak yang menekannya se-
makin membesar pula. Betapapun sudah dikerahkan
seluruh kemampuannya untuk membebaskan diri dan
tekanan itu, tetap saja tak mampu.
Abiyasa segera sadar kalau kekuatan tak tampak
yang menekannya dari berbagai arah adalah hasil per-
buatan lawannya. Seketika itu pula ia teringat akan
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'! Ya, seperti inilah aki-
bat serangan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut'! Dengan
demikian, Tengku Daud pasti mempunyai hubungan
dengan Setan Tengkorak Merah! Pikir lelaki itu tersa-
dar.
"Mengapa aku demikian pelupa?!" maki Abiyasa da-
lam hati, ketika teringat akan nama pemuda di hada-
pannya. Bukankah nama atau gelar Tengku hanya di-
miliki oleh orang Aceh?! Setan Tengkorak Merah ada-
lah orang Aceh! Jadi, kemungkinan besar pemuda
sombong ini mempunyai hubungan dengan datuk yang
merupakan orang pelarian itu! Tak aneh kalau Tengku
Daud juga memiliki tenaga dalam khas milik Satan
Tengkorak Merah!"
Kenyataan yang terjadi pada dirinya dan nama
Tengku Daud, membuat Abiyasa yakin kalau telah
berhadapan sendiri dengan tenaga dalam unik yang
membuat Setan Tengkorak Merah amat ditakuti,
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'!
Selama ini, Abiyasa hanya mendengar cerita ten-
tang kehebatan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut', dan
belum pernah membuktikannya. Sama sekali tak dis-
angka kalau akan sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia
sudah dibuat tak berdaya. Tubuhnya bagaikan digen-
cet kekuatan raksasa. Padahal, Tengku Daud sama se-
kali tak menyerang. Bahkan tak terlihat adanya tanda-
tanda kalau ia melakukan perlawanan. Pemuda itu te-
tap diam di tempatnya seakan pasrah pada serangan
yang akan dilancarkan lawan.
Tapi Abiyasa tahu, kalau Tengku Daud tak berdiam
diri saja. Meskipun tampaknya tak melakukan apa
pun, lelaki berpakaian coklat itu yakin kalau Tengku
Daud memberikan sambutan atas serangannya. Seti-
dak-tidaknya, pemuda berpakaian hitam itu bersiap
untuk menerima serangan dengan menggunakan tena-
ga dalamnya. Dan, pengerahan tenaga dalam itulah
yang membuat Abiyasa mengalami tekanan berat.
Akibat tekanan yang melanda dari berbagai arah,
serangan Abiyasa akhirnya kandas sebelum mencapai
sasaran. Tekanan dari berbagai arah itu tak hanya
membuat dadanya sesak. Tapi juga membuat tenaga
dalamnya lenyap begitu saja. Seluruh urat-uratnya te-
rasa lemas dan sakit-sakit.
Lelaki berpakaian coklat itu sadar, kalau hal ini te-
rus berlangsung nyawanya pasti akan pergi mening-
galkan raganya. Dan, Abiyasa tak menginginkan hal
itu. Ia masih belum ingin mati.
Di saat yang gawat dan saat lelaki itu tengah me-
mutar otak mencari jalan untuk menyelamatkan nya-
wanya, terdengar tepukan tangan secara tiba-tiba. Tak
nyaring, tapi menggema ke sekitar tempat itu.
"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Seseorang yang
memiliki kemampuan, menggunakan kelebihan itu un-
tuk mempermainkan nyawa orang! Nyawa yang hanya
satu-satunya dan tak mampu dibuat oleh siapa pun!
Betapa kejinya...!"
Perkataan yang dikeluarkan dengan tenang dan tak
lantang itu juga menimbulkan gema ke seluruh penju-
ru. Bahkan ucapan yang terlontar seiring dengan le-
nyapnya bunyi tepukan tangan itu, mampu membuat
dada Antasena dan Jembawati tergetar hebat.
Akibat yang ditimbulkan memang luar biasa. Teng-
ku Daud merasakan pengerahan tenaga dalamnya
membuyar ketika tepukan itu usai. Dan, ketika perka-
taan yang melanjutkan tepukan tadi lenyap, tengkorak
yang menjadi tempat bertumpu kepalanya, hancur be-
rantakan!
Untungnya, Tengku Daud sudah lebih dulu bertin-
dak cepat. Sebelum ledakan tengkorak kepala itu ter-
jadi, dan saat pengerahan tenaga dalamnya mem-
buyar, ia melenting ke atas dan melompat menjauh.
Pemuda sombong itu pun selamat dari maut.
Pada saat yang bersamaan, Abiyasa pun melompat
mundur ketika kekuatan tak tampak yang menekan-
nya lenyap. Lelaki itu kembali pada dua rekannya dan
bersikap waspada untuk menjaga segala kemungkinan
yang akan terjadi.
"Apa yang telah terjadi, Kang?!" tanya Jembawati
tak sabar, ingin segera tahu.
"Aku juga belum tahu, Wati," jawab Abiyasa seraya
menggelengkan kepala. "Tapi, yang jelas orang yang
baru datang ini bermaksud baik. Setidak-tidaknya ke-
munculannya, dan tindakannya telah menyelamatkan
nyawaku...."
Ucapan Abiyasa terhenti di tengah jalan karena di-
lihatnya sesosok bayangan ungu berkelebat menda-
ratkan kaki di depannya, di tengah-tengah antara di-
rinya dengan Tengku Daud.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati tak bisa melihat
jelas sosok ungu itu. Karena ia berdiri membelakangi
mereka. Yang dapat mereka lihat hanya tubuh kekar-
nya, dari pakaian ungu yang membungkus tubuhnya.
Serta rambut putih panjang berkibaran yang sebagian
di antaranya menutupi guci yang tersampir di pung-
gungnya.
Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Tengku Daud dapat melihat dengan jelas sosok yang
telah mencampuri urusannya itu. Sinar mata Tengku
Daud penuh dengan kemarahan, dan bahkan seperti
memancarkan api. Pemuda berkulit kehitaman itu be-
nar-benar murka, karena maksudnya yang sudah
hampir tercapai untuk membunuh Abiyasa, kandas.
Sementara itu sosok bayangan ungu yang menjadi
penyelamat Abiyasa, sama sekali tak terpengaruh den-
gan sikap Tengku Daud. Sosok yang ternyata adalah
seorang pemuda tampan berwajah jantan itu, tetap
bersikap tenang. Sikap si pemuda berpakaian ungu,
semakin membuat amarah Tengku Daud berkobar.
"Siapa kau, Keparat?! Sungguh berani kau men-
campuri urusanku! Tak tahukah kau siapa aku?!" ben-
tak Tengku Daud setengah mengancam,
Dalam hatinya Tengku Daud merasa heran ketika
melihat orang yang mencampuri urusannya. Melihat
dari bentuk tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang
tampan dengan kulit yang masih kencang, sosok itu
adalah seorang pemuda. Tapi, bila melihat rambutnya,
sosok itu lebih pantas orang yang sudah berusia amat
lanjut, karena seluruh rambutnya sudah berwarna pu-
tih keperakan!
"Namaku Arya Buana. Aku sengaja mencampuri
urusanmu karena kulihat kau hendak bertindak sewe-
nang-wenang. Asal kau tahu saja, pantang bagiku
membiarkan terjadinya penindasan di depanku! Dan,
untuk menegakkan kebenaran, aku tak peduli siapa
adanya orang yang harus ku tentang! Sekarang kata-
kanlah, siapa kau agar aku bisa mengenalmu!" jawab
pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Dewa Arak.
2
Tengku Daud malah mengangguk-anggukkan ke-
pala, kemudian meludah di tanah dengan sikap me-
mandang rendah.
"Sekarang aku mengerti, mengapa kau mempunyai
sikap demikian sombong! Bukankah kau orang yang
berjuluk Dewa Arak?! Pendekar muda yang memiliki
julukan menggetarkan dunia persilatan?!" tanya si pe-
muda kecil kurus bernada mengejek.
"Dugaanmu sama sekali tak salah, Sobat, aku me-
mang orang yang kau maksudkan. Kuharap kau ber-
sedia mengenalkan diri. Aku yakin, orang dengan ting-
kat kepandaian sepertimu pasti terkenal di dunia per-
silatan. Setidak-tidaknya, orang yang mengajarimu
sampai mencapai tingkat kepandaian seperti ini, mem-
punyai julukan yang menggemparkan dunia persila-
tan," sahut Arya kalem.
Tengku Daud malah tertawa tergelak-gelak. Mem-
buat semua yang berada di tempat itu, kecuali Dewa
Arak, jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Tengku
Daud malah tertawa-tawa?! Gilakah dia?! Abiyasa dan
rekan-rekannya menatap Tengku Daud dengan dahi
berkernyit.
"Aku gembira mendengar jawabanmu Dewa Arak,
oleh karena itu aku tertawa. Perlu kau ketahui, sudah
lama aku mendengar nama besarmu. Sudah lama pula
aku ingin bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah
kebesaran julukanmu sebanding dengan tingkat ke-
pandaian yang kau miliki! Aku memang belum terkenal
sepertimu karena aku baru saja selesai berguru. Tapi
mungkin kau pernah mendengar nama ayahku. Dia di-
juluki orang Setan Tengkorak Merah! Sedangkan aku,
Tengku Daud!" jelas pemuda kecil kurus itu panjang
lebar.
Dewa Arak memang sudah mendengar julukan Iblis
Penghisap Darah. Dan, di dalam hatinya, pemudi itu
kaget bukan main. Ia juga tahu kalau Setan Tengkorak
Merah adalah pentolan kaum sesat yang terkenal me-
miliki kepandaian amat tinggi. Kendati demikian, Arya
mampu menyembunyikan keterkejutannya sehingga
tak tampak di wajahnya.
"Jadi kau putra dari datuk sesat yang terkenal
itu?!" Ujar Arya dengan suara hambar. "Rupanya kau
mengikuti jejak orangtua mu! Kau calon setan pula
Daud! Dan, sudah merupakan tekadku untuk mele-
nyapkan orang-orang semacammu!"
"Kalau begitu, kau yang akan kusingkirkan, Dewa
Arak!" sentak Tengku Daud, keras.
"Hiyaaat...!"
Tengku Daud berseru keras, menutup ucapannya.
Pada saat yang bersamaan, ia menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar,
meluncur berbareng ke arah dada lawannya.
Cit, cit!
"Heh...?!
Dewa Arak tersentak kaget ketika merasakan ada
kekuatan tak tampak yang menekan tubuhnya dari
berbagai penjuru. Begitu kuat tekanan itu menghimpit
dadanya. Dan, seiring dengan semakin mendekatnya
serangan, kekuatan tak tampak yang menekan itu se-
makin kuat, dan bahkan menyesakkan dada Aiya.
Keadaan yang tadi menimpa Abiyasa, kini berulang
pada Dewa Arak. Hanya saja, pemuda berambut putih
keperakan ini mampu memberikan perlawanan yang
berarti. Sekali Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam-
nya, kekuatan yang menekannya pun berkurang jauh.
Dan secepat kilat Arya menolak serangan yang melun-
cur ke arah dadanya,
Prattt!
"Aah.,!"
Jeritan kesakitan tertahan itu keluar dari mulut
Tengku Daud, ketika benturan dua pasang tangan ter-
jadi. Tubuh putra Setan Tengkorak Merah itu ter-
huyung ke belakang dua langkah dengan tangan tera-
sa sakit. Di lain pihak, Arya hanya terhuyung selang-
kah. Rasa sakit pada tangannya yang berbenturan ta-
di, membuat Tengku Daud tak mampu menahan pekik
tertahannya.
Tengku Daud menggeram keras karena lawannya
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh-
nya terhuyung. Ia sama sekali tak pernah mimpi akan
mengalami kejadian seperti itu, terhuyung-huyung da-
lam benturan tenaga melawan seorang pemuda. Kare-
na dirinya adalah putra tunggal Setan Tengkorak Me-
rah, jadi pantang baginya disaingi orang. Apalagi dia
bertekad untuk menjadi datuk kaum sesat nomor satu!
***
Bunyi lengkingan nyaring dan tinggi, membuat
Tengku Daud yang telah bersiap untuk melancarkan
serangan kembali, jadi mengurungkan maksudnya.
Lengkingan itu memang luar biasa, cukup membuat
pendengaran Abiyasa, Antasena, dan Jembawati sakit
seperti ditusuk-tusuk jarum. Mereka terpaksa menu-
tup kedua telinga untuk sekadar mencegah pengaruh
teriakan itu.
Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Dewa Arak dan Tengku Daud sama sekali tak terpen-
garuh dengan bunyi lengkingan itu. Dengan tenaga da-
lam mereka yang sudah mencapai tingkatan amat
tinggi, pengaruh lengkingan itu dapat ditangkal, se-
hingga tak mampu masuk dan mempengaruhi bagian
dalam telinga.
Sebelum bunyi lengkingan itu usai, sesosok bayan-
gan tiba-tiba berkelebat dan menjejakkan kakinya di
sisi Dewa Arak dan Tengku Daud yang saling berhada-
pan. Keberadaan sosok bayangan yang baru muncul
itu membentuk empat mata angin, bila di depannya
berdiri sesosok lagi.
Sosok yang baru muncul dan menebarkan wangi
yang menyelimuti sekitar tempat itu, memiliki tubuh
ramping yang terbungkus pakaian hijau. Ternyata seo-
rang wanita. Wajahnya cantik dengan kulit yang putih
halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya yang menggiur-
kan semakin menambah daya tariknya. Apalagi ditam-
bah dengan rambutnya yang panjang hitam dan me-
nyebarkan wangi aneka bunga-bungaan.
Perhatian mereka semua yang ada di situ segera
beralih pada wanita yang usianya kira-kira baru dua
puluh tahun itu. Semuanya sama-sama mengernyitkan
dahi karena tak mengenai wanita berambut wangi itu.
Hanya Tengku Daud yang menampakkan sikap seperti
orang yang mempunyai dugaan.
"Hey, Denok! Rupanya kau mempunyai hubungan
yang erat dengan Dewi Berambut Wangi?! Kau ini mu-
ridnya atau putrinya, Denok?!" tanya pemuda dari
aneh itu tanpa mengurangi perasaan sombong yang
terpancar jelas.
Hi hi hik...!
Wanita berpakaian hijau itu tertawa dengan sikap
dibuat-buat. Tampak seperti wanita jalang dan genit.
"Kau rupanya cerdik juga, Monyet Pucat! Memang,
aku mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut
Wangi yang kau katakan itu. Sayangnya kau terlalu
buruk untuk mendapatkan jawaban dariku. Kau tahu,
hanya pemuda-pemuda berwajah tampan yang akan
mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diaju-
kannya padaku!" seru wanita itu mengejek.
Tengku Daud menggeram keras seperti seekor ha-
rimau yang sedang marah mendapatkan tanggapan
yang sama sekali tak disangkanya itu. Ia merasa ter-
singgung sekali dengan jawaban yang jelas-jelas meng-
hinanya itu. Sementara Dewa Arak dan Abiyasa terpe-
ranjat ketika mengetahui wanita pendatang baru itu
mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi.
Baik Dewa Arak maupun Abiyasa memang belum
pernah berjumpa dengan Dewi Berambut Wangi. Ken-
dati demikian, julukan tokoh itu telah lama mereka
dengar. Seperti juga Setan Tengkorak Merah, Dewi Be-
rambut Wangi muncul di dunia persilatan sekitar dua
puluh tahun lalu. Tak berbeda dengan tokoh pelarian
dari Aceh itu, Dewi Berambut Wangi juga menyebar
kekacauan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persila-
tan yang tewas di tangannya. Dan, menurut kabar
yang tersiar, Dewi Berambut Wangi belum pernah di-
kalahkan orang. Hanya saja sekitar dua tahun lalu,
kabarnya lenyap begitu saja. Dewi Berambut Wangi
seakan telah mati.
Hampir tak ada orang yang mengenal nama asli
Dewi Berambut Wangi. Orang-orang hanya mendengar
selentingan kabar kalau wanita sakti itu berasal dari
pulau seberang lautan pula, dari Bone, Sulawesi Sela-
tan.
Oleh karena itu, Dewa Arak dan Abiyasa terkejut
ketika mengetahui wanita yang baru datang itu mem-
punyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi. Arya
tahu, kalau wanita itu bisa bergabung dengan Tengku
Daud, akan merupakan lawan yang teramat tangguh
dan berat baginya. Putra Setan Tengkorak Merah itu
saja sudah memiliki tingkat kepandaian yang hanya
berselisih sedikit dari padanya. Arya bisa memperkira-
kan kalau tingkat kepandaian wanita berpakaian hijau
itu juga tak kalah dibanding Tengku Daud. Sedikit-
sedikitnya setingkat dengan putra Setan Tengkorak
Merah.
"Kau melakukan sebuah kesalahan yang teramat
besar, Wanita Liar!" maki Tengku Daud sambil meng-
geram marah. "Kau kira karena kau mempunyai hu-
bungan dengan Dewi Berambut Wangi lalu boleh ber-
tindak dan berbicara seenaknya?! Kau tahu, bagi
Tengku Daud, tak ada yang perlu ditakuti atau disega-
ni! Bahkan kalau saat ini Dewi Berambut Wangi ada di
depanku, aku mewakili ayahku, Setan Tengkorak Me-
rah, untuk membunuhnya. Agar dia tahu kalau Setan
Tengkorak Merahlah yang merupakan datuk kaum se-
sat yang sebenarnya!"
"Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau tertawa mengikik.
"Kau mengigau, Daud! Jangankan menghadapi
Dewi Berambut Wangi, menghadapi aku saja kau atau
ayahmu, atau sekaligus bersama-sama mengeroyok
tak akan mampu menang. Sayangnya, aku sedang tak
minat bertarung. Aku mempunyai urusan lain yang le-
bih penting ketimbang menghadapi cecoro sepertimu!"
"Tak perlu kau jelaskan pun aku sudah bisa mem-
perkirakannya dan pasti benar, Wanita Sundal! Kau
hendak berurusan dengan keturunan Empu Jangkar
Bumi, bukan?!" sergah Tengku Daud dengan nada
mengejek.
Senyum memikat yang sejak tadi menghias bibir
Wanita berpakaian hijau itu kini buyar. Sepasang ma-
tanya yang indah, seperti mengeluarkan api ketika
menatap putra Setan Tengkorak Merah itu.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan kedua
tokoh golongan hitam itu, jadi kaget ketika melihat
tanggapan yang diberikan Wanita Berambut Wangi.
Rahasia apakah yang terkandung dalam diri Empu
Jangkar Bumi, sehingga si wanita demikian marah ke-
tika Tengku Daud mengutarakan dugaannya. Aku ya-
kin ada hal-hal besar yang tersembunyi di sini?! Pikir
Arya, penuh perasaan tertarik.
"Mengapa masih berada di sini, Kang?!" tanya Arya
pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu mengirim su-
ara dari jauh. "Mumpung orang-orang yang mengincar
kau dan kawan-kawanmu itu tengah bersitegang, ku-
rasa lebih baik kau segera pergi dari sini. Aku tak ya-
kin akan mampu mencegah maksud mereka jika me-
reka bergabung melawanku. Cepat, mumpung ada
waktu...."
Abiyasa yang mendapat pemberitahuan itu, tersen-
tak. Tanpa berpikir lebih lama, ia segera dapat mendu-
ga kalau pengirim suara ke telinganya itu adalah Dewa
Arak. Sekilas, dikerlingnya Antasena, Jembawati, dan
Tengku Daud serta wanita berambut harum itu. Ia
khawatir kalau-kalau orang-orang itu, terutama sekali
Tengku Daud dan saingannya, mendengarnya. Tapi,
ternyata ia tak melihat adanya hal-hal yang dikhawa-
tirkannya itu. Ia pun segera tahu kalau pemberitahuan
itu dikirim hanya untuk dirinya.
"Benar-benar tak berlebihan berita yang mengata-
kan kalau Dewa Arak merupakan tokoh yang luar bi-
asa," puji Abiyasa dalam hati, penuh rasa kagum.
Murid Empu Jangkar Bumi ini mengerling sebentar
ke arah Aiya karena ingin memberi isyarat sebagai
ucapan terima kasih. Tapi, maksud baiknya itu tak
terkabul. Dewa Arak kelihatan tengah sibuk memper-
hatikan Tengku Daud dan saingannya.
"Jangan membuat hal-hal yang dapat menimbul-
kan kecurigaan, Kang. Segeralah tinggalkan tempat ini
mumpung ada kesempatan."
Suara yang sama mengiang kembali di telinga Ab-
iyasa. Lelaki ini pun tahu kalau maksudnya tak akan
terkabul. Keinginannya untuk menunggu Arya meno-
leh dan mengucapkan terima kasih dengan isyarat di-
urungkannya. Pemuda berambut putih keperakan itu
yang justru melarangnya.
Abiyasa mengerti maksud larangan yang diberikan.
Maka, ia tak merasa tersinggung. Justru kekaguman
yang mendera hatinya semakin besar. Bukti nyata ten-
tang kebenaran hati Dewa Arak yang tak mempeduli-
kan terima kasih orang, telah dialaminya sendiri. Ma-
ka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dengan gerak
isyarat, diajaknya Antasena dan Jembawati mening-
galkan tempat itu.
Keberuntungan tengah berpihak pada Abiyasa, An-
tasena dan Jembawati, tanpa banyak tanya atau apa
pun, segera mengikuti kemauannya. Dengan pelahan-
lahan dan mengendap-endap murid-murid Empu
Jangkar Bumi itu semakin menjauh.
"Hey...!"
Seruan keras bernada kaget itu keluar berbarengan
dari mulut Tengku Daud dan wanita berpakaian hijau.
Kedua tokoh muda sesat itu kaget bukan main ketika
melihat orang-orang yang mereka ributkan dan dijadi-
kan urusan, malah melarikan diri meninggalkan tem-
pat itu. Seketika itu juga, pertentangan yang terjadi di
antara mereka terhenti. Bagaikan berlomba keduanya
melesat mengejar.
Arya sudah memperhitungkan kejadian seperti itu.
Maka, dia dapat bertindak cepat. Cemas jika bertindak
lambat akan membuat keadaan menjadi runyam, Dewa
Arak segera melesat, menghalangi tujuan Tengku
Daud. Jika putra Setan Tengkorak Merah itu mene-
ruskan maksudnya, maka ia akan menumbuk tubuh
Arya.
Pada saat yang hampir bersamaan, sekejap sebe-
lumnya, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya
bergantian ke arah wanita berpakaian hijau. Angin
berhawa panas menyengat ke arah sasaran yang dituju
pemuda berambut putih keperakan itu.
Perhitungan Dewa Arak tak meleset. Tengku Daud
tak berani meneruskan langkahnya ketika dihadang.
Pemuda kecil kurus itu bersalto ke belakang, menjauh.
Putra Setan Tengkorak Merah itu tak berani mengadu
tenaga dalam karena tahu kalau pemuda di hadapan-
nya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Tapi, Dewa Arak tak sepenuhnya berhasil. Seran-
gan yang diberikannya terhadap wanita berpakaian hi-
jau ternyata, kandas. Dua kali pukulan jarak jauh
yang dilepaskannya kandas ketika wanita itu menge-
butkan rambutnya yang panjang. Angin-angin pukulan
berhawa panas itu lenyap begitu saja bagai ditelan oleh
sesuatu yang tidak tampak.
Lalu secepat kilat wanita itu melesat mengejar
Adiyasa dan rombongannya yang telah berjarak bela-
san tombak darinya.
Dewa Arak segera melihat adanya bahaya terhadap
murid-murid Empu Jangkar Bumi itu. Ia pun tahu ka-
lau kecepatan lari wanita berpakaian hijau itu jauh di
atas Abiyasa dan rekan-rekannya. Dalam waktu sing-
kat mereka pasti akan terkejar. Dan, Arya tak mengin-
ginkan hal itu terjadi. Pemuda berambut pun kepera-
kan itu segera bersalto ke belakang dan diteruskannya
dengan lompatan untuk mengejar wanita itu
Ternyata bukan Arya saja yang punya keinginan
itu. Tengku Daud pun tak ingin Abiyasa, Antasena dan
Jembawati diringkus oleh saingannya. Tapi, jaraknya
dengan wanita berpakaian hijau terlalu jauh. Arya saja
yang lebih dekat belum tentu dapat mencegah tinda-
kan wanita itu, apalagi dirinya. Karena itu, Tengku
Daud segera mengibaskan tangannya setelah terlebih
dulu memasukkannya ke balik pakaiannya.
Sing, sing, singng...!
Bunyi berdesing terdengar ketika beberapa buah
gelang putih mengkilat, meluncur dengan kecepatan
menakjubkan ke arah punggung dan belakang kepala
wanita berpakaian hijau.
Wanita berambut panjang itu menyadari akan
adanya bahaya mengancam. Ia yakin, kalau maksud-
nya dilanjutkan, sebelum tercapai, senjata-senjata
yang di lepaskan Tengku Daud akan lebih dulu men-
genainya. Dan, ia tak menginginkan hal itu terjadi.
Untuk kedua kalinya, wanita berambut panjang itu
melakukan tindakan yang menakjubkan. Sambil mem-
balikkan tubuh, rambutnya dikibaskan. Padahal, ge-
lang-gelang baja itu masih berjarak cukup jauh dari
sasaran.
Tak terdengar bunyi hembusan angin. Tapi, luncu-
ran gelang-gelang Tengku Daud terhenti di tengah ja-
lan, bagaikan menabrak dinding yang tak tampak oleh
mata. Saat itu pula, gelang-gelang tersebut berjatuhan
ke tanah. Serangan putra Setan Tengkorak Merah
kembali dapat digagalkan oleh lawannya.
Hanya sekejap saja wanita berpakaian hijau itu
menghentikan ayunan kakinya untuk menangkis se-
rangan lawannya tadi. Tapi, kesempatan yang sedikit
itu cukup bagi Dewa Arak. Dengan gerakan cepat pe-
muda berambut putih keperakan itu bersalto melewati
atas kepala wanita itu. Dan begitu menjejakkan ka-
kinya, dia sudah berdiri di hadapan saingan Tengku
Daud.
"Kau boleh mengejar mereka bila sudah melangka-
hi mayatku dulu, Sobat!" seru Arya mantap.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau
wanita berpakaian hijau memiliki kepandaian amat
tinggi. Oleh karena itu, ia bersikap waspada. Sekujur
urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang, ber-
siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan.
"Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau itu tertawa mengikik den-
gan nada genit. Bibir dan sepasang matanya menyam-
bar ke arah Dewa Arak dengan penuh daya pikat.
"Gagah nian sikapmu, Tampan! Aku jadi ingin tahu
apakah besarnya sesumbar mu dan ketampanan wa-
jahmu, sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!
Siapa kau sebenarnya, Tampan?! Dan, apa hubun-
ganmu dengan keturunan Empu Jangkar Bumi se-
hingga kau demikian mati-matian membelanya?!"
"Tingkahmu saja yang kelewatan, Wanita Sundal!"
Tengku Daud yang memberikan jawaban dengan nada
memaki. "Si tampan usilan sialan itu saja tidak kau
kenal?! Dia Dewa Arak! Orang yang selalu merasa di-
rinya paling suci dan benar di dunia ini!" timpalnya la-
gi-
Sepasang mata wanita berambut panjang itu me-
nyipit. Roman wajahnya tampak terkejut mendengar
pemberitahuan Tengku Daud yang sudah berdiri tak
jauh darinya.
"Benarkah itu, Tampan?!" tanya wanita berpakaian
hijau penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu Arya menganggukkan kepala.
"Kau sendiri siapa, Wanita Sundal?! Aku dan si
dewa sialan itu sudah memperkenalkan diri. Hanya
kau sendiri yang belum. Ataukah.., kau tak berani
memperkenalkan dirimu?!" ejek Tengku Daud, me-
mancing amarah saingannya.
Wanita berpakaian hijau menatap Tengku Daud
dengan sinar mata seperti mengeluarkan api. Tampak
jelas di wajahnya kalau ia merasa tersinggung oleh hi-
naan putra dari Setan Tengkorak Merah itu.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Kerdil! Akan ku-
buat kau menyesali sikapmu ini!" dengus wanita itu
keras. "Semula memang aku tak ingin memperkenal-
kan diri! Tapi, bukan karena aku takut! Kau tak pan-
tas untuk mengenalku, tahu?! Karena kau terlalu
mendesak, aku tak punya pilihan lagi. Namaku Dewi
Lanjar! Kau dengar?! Dan, sebagai ganjaran atas ke-
lancanganmu, kau akan pergi ke neraka, Monyet Ker-
dil! Sekarang ini juga seharusnya!" teriaknya lantang.
"Mengapa tidak kau lakukan, Wanita Sundal?!"
tantang Tengku Daud, tenang.
"Karena membunuhmu semudah aku membuang
ludah ke tanah!" jawab Dewi Lanjar lantang. "Jika ti-
dak sekarang pun, masih banyak kesempatan untuk
mengirim nyawamu ke neraka! Lagi pula, saat ini aku
sedang tidak berselera untuk bertarung dengan orang
yang memiliki kepandaian serendah dirimu! Kau terla-
lu hina dan rendah! Berbeda dengan Dewa Arak! Kalau
kesempatan kali ini ku lewatkan, bukan tak mungkin
seumur hidupku tak akan mendapatkannya lagi! Dia
bisa berada di mana saja bagaikan angin! Oleh karena
itu, sepatutnya kau berterima kasih padanya! Kebera-
daan dirinya menyebabkan nyawamu yang tak berhar-
ga itu tetap bertahan di badan!"
Tengku Daud dapat merasakan kebenaran mutlak
yang terkandung dalam ucapan Dewi Lanjar. Tapi, ke-
marahan besar yang melandanya karena tersinggung
mendengar ucapan Dewi Lanjar yang tajam, membuat
pemuda berpakaian hitam itu mengenyampingkan akal
sehatnya.
Tengku Daud yang sedang diamuk amarah, tak bi-
sa menahan diri lagi. Ia langsung melesat untuk me-
nerjang Dewi Lanjar. Tapi, tindakan itu terpaksa di-
urungkannya karena orang yang diserangnya, telah
terlebih dulu melesat menyerang Dewa Arak!
***
3
Wukkk
Angin berhembus keras ketika Dewi Lanjar meng-
goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang, hi-
tam, dan harum, menegang kaku laksana tongkat, me-
layang ke arah kepala Dewa Arak! Bunyi yang ditim-
bulkan babatan rambut itu, tak ubahnya babatan se-
batang tongkat baja yang berat dan diayunkan dengan
tenaga kuat!
Dewa Arak tak berani bertindak main-main. Wa-
laupun yang mengancam kepalanya hanya rambut; ka-
lau yang menggerakkannya adalah orang yang berte-
naga dalam kuat seperti Dewi Lanjar, serangan itu tak
kalah bahayanya dengan hantaman tongkat baja. Jan-
gankan kepala manusia, batu karang yang paling ke-
ras pun bisa hancur berantakan!
Atas dasar pertimbangan itulah, pemuda berambut
putih keperakan itu tak berani bertindak gegabah.
Dengan bertumpu pada kedua kaki, dilemparkannya
tubuhnya ke belakang untuk mengelak serangan la-
wan. Dan, saat berada di udara, Arya bersalto bebera-
pa kali, untuk berjaga-jaga dari serangan susulan la-
wannya.
Tindakan yang diambil Dewa Arak ternyata berala-
san! Begitu serangan pertamanya kandas, Dewi Lanjar
melesat mengejar lawannya. Wanita berpakaian Hijau
itu menggulingkan tubuhnya di tanah beberapa kali.
Kemudian, dengan sebuah gerakan indah, dia melent-
ing ke atas.
"Haiiitt...!"
Dibarengi jeritan keras yang mampu membuat te-
linga sakit seperti ditusuk puluhan jarum, Dewi Lanjar
melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis.
Sikap jari-jari kedua tangannya terkembang memben-
tuk cakar!
Arya yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah,
tak kekurangan akal untuk menyelamatkan nyawa.
Secepat kilat tubuhnya dirundukkan sehingga seran-
gan lawan menyambar tempat kosong beberapa jari di
atas kepalanya.
Kali ini Dewa Arak tak berdiam diri. Berbarengan
dengan lewatnya serangan Dewi Lanjar di atas kepa-
lanya, pemuda itu mengirimkan tendangan lurus ke
arah pusar lawannya. Serangan balasan yang cepat
dan tak terduga-duga datangnya itu membuat Dewi
Lanjar agak kelabakan, namun dapat mematahkannya
dengan melakukan lompatan harimau ke samping.
Wanita berpakaian hijau, itu mempergunakan kedua
tangannya untuk bertumpu pada tanah sebelum
menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Kiranya berita besar tentang dirimu tak terlalu
berlebihan, Dewa Arak!" ucap Dewi Lanjar setelah ber-
diri tegak di tanah.
Sepasang matanya menatap Arya dengan kekagu-
man yang semakin besar. Kepalanya pun mengangguk-
angguk seperti orang yang baru mengerti.
"Kepandaian yang kau miliki cukup hebat! Meski-
pun demikian, kau jangan besar kepala dulu! Tak akan
pernah ada orang yang bisa menandingi ku, tak terke-
cuali kau, Dewa Arak! Jelas! Akulah yang akan menja-
di orang tersakti di dunia persilatan! Hi hi hik..,!"
Dewi Lanjar dan Tengku Daud tak sempat mence-
gah kepergian Dewa Arak. Di samping karena jarak
pemuda itu cukup jauh juga kecepatan lesatannya
yang dalam sekejap sudah mencapai puluhan tombak,
membuat Dewi Lanjar dan Tengku Daud hanya sempat
melontarkan seruan pendek.
"Hey...!"
Seruan yang dilontarkan secara keras itu tentu sa-
ja terdengar jelas oleh Dewa Arak! Tapi pemuda be-
rambut putih keperakan itu tak mempedulikannya. Ia
tetap terus berlari dengan kecepatan tinggi. "Urusan
dengan Dewi Lanjar dan Tengku Daud dapat kuurus
belakangan. Toh, urusan itu tak terlalu mendesak. Ti-
dak demikian halnya dengan pemilik jeritan itu. Aku
yakin tengah terjadi tindakan kekerasan dan keribu-
tan. Bukan tak mungkin ada banyak orang yang nya-
wanya terancam!" pikir Arya, seiring dengan ayunan
kakinya Pemuda berambut putih keperakan itu terus
berlari tanpa mempedulikan seruan kaget Tengku
Daud dan Dewi Lanjar. Bahkan ketika dua tokoh sesat
yang sakti dan saling bersaingan itu memaki-makinya
ia tetap tak peduli. Toh, murid-murid Empu Jangkar
Bumi sudah tak terancam lagi!
"Dewa Arak...! Jangan lari kau, Pengecut...! Perta-
rungan di antara kita belum selesai...!" jerit Dewi Lan-
jar keras, sehingga membuat sekitar tempat itu berge-
tar hebat bak digoyang gempa.
"Hoi, Dewa Sialan...! Keberanianmu ternyata tak
sebesar julukanmu! Kalau kita bertemu lagi, aku,
Tengku Daud, akan mengirimmu ke akhirat! Kau tak
akan mempunyai kesempatan untuk kabur lagi, Dewa
Sialan...!" timpal putra Setan Tengkorak Merah, tak
mau kalah gertak dengan saingannya.
***
Arya terpaku bagai orang terkena sihir ketika meli-
hat pemandangan yang terpampang di hadapannya
yang berjarak tiga tombak. Pemuda berambut putih
keperakan yang biasanya dapat menguasai perasaan-
nya, kali ini ternyata tak mampu. Mata dan parasnya
memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat. Pa-
dahal, biasanya Arya bisa meredamnya.
Pemandangan yang terpampang memang menge-
jutkan hati dan menggetarkan jantung. Belasan sosok
bergeletakan di tanah bermandikan darah, Sekali lihat
saja, Dewa Arak tahu kalau sosok-sosok itu adalah
manusia. Tapi yang membuat pemuda itu terkejut bu-
kan alang kepalang, tak satu pun yang berada dalam
keadaan utuh. Sosok-sosok itu bergeletakan dalam
keadaan bagian-bagian tubuhnya tercerai-berai.
"Keji...! Hanya iblis saja yang dapat melakukan
perbuatan sekejam ini!" desis Arya menahan geram se-
telah dapat menenangkan perasaannya.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah mendekati
hamparan potongan tubuh-tubuh manusia itu. Seku-
jur urat-urat saraf pemuda itu menegang penuh ke-
waspadaan ia tahu, siapa pun pelakunya, di samping
memiliki kekejaman pasti juga memiliki kepandaian
tinggi.
Menilik dari potongan tubuh dan pakaian sebagian
kecil di antara mereka yang bisa dilihat. Arya yakin
mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Malah, sebuah
dugaan kecil bermain di benak pemuda berambut pu-
tih keperakan itu. Dewa Arak memperkirakan kalau
para korban itu berasal dari satu kelompok, karena ia
melihat pakaian para korban yang bisa dikenali mem-
punyai keseragaman satu sama lainnya.
Begitu berada di dekat potongan-potongan tubuh
manusia itu, Arya berjongkok agar bisa memeriksa se-
cara lebih jelas. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat
ketika melihat adanya kelainan pada para korban yang
berjumlah belasan orang itu. Bagian dadanya berlu-
bang, sehingga memperlihatkan bagian tubuh di sebe-
lah dalamnya yang hilang.
"Makhluk apakah yang telah melakukan kekejian
seperti ini?!" tanya Aiya dalam hati, bingung. "Mung-
kinkah manusia?! Jika benar, untuk apa?! Ataukah ini
perbuatan binatang buas?! Kalau betul, binatang ma-
cam apa yang dapat membunuh belasan tokoh persila-
tan ini?!" hatinya terus bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benaknya,
tanpa Dewa Arak mampu menjawabnya. Jangankan
jawaban, titik terang untuk mengungkap rahasia itu
saja belum didapatkannya, meskipun pemuda itu su-
dah menyapu sekitar tempat itu dengan pandangan
matanya.
" Aaarrrggghhh...!"
Geraman yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia, membuat Dewa Arak berjingkat bagai disengat ular
berbisa. Dalam sekejap pemuda itu sudah melesat me-
ninggalkan tempat itu menuju ke arah asal suara tadi.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak ingin ter-
lambat tiba di tempat kejadian, seperti sebelumnya.
Berbeda dengan sebelumnya, geraman itu berasal
dari tempat yang lebih jauh, dan melalui kerimbunan
semak-semak berduri yang lebat. Tapi hambatan itu
tak berarti sama sekali bagi Dewa Arak. Dengan kece-
patan larinya, jarak yang jauh dapat ditempuhnya da-
lam waktu sangat singkat. Dan, karena tenaga dalam
yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan tinggi,
membuat sekujur kulitnya tak terkoyak sedikit pun
meski menerabas kerimbunan semak-semak berduri.
Pemuda berpakaian ungu itu mengernyitkan alis-
nya ketika mendengar bunyi berkerosokan nyaring dari
rerimbunan semak di saat tengah berlari. Tak membu-
tuhkan banyak waktu bagi Dewa Arak untuk mengeta-
hui arahnya.
Masih di depannya, agak di sebelah kiri dilihatnya
kerimbunan semak-semak bergoyang-goyang bersera-
butan, seakan-akan ada sosok besar yang tengah me-
lintas di sekitar tempat itu.
Dewa Arak segera meningkatkan kewaspadaannya
sewaktu berlari. Tujuannya kini beralih ke arah rim-
bunan semak-semak yang seakan-akan tengah di lalui
oleh segerombolan binatang besar dan liar. Pemuda
berpakaian ungu itu sampai mengerahkan tenaga da-
lam pada kedua tangannya, bersiap-siap untuk melan-
carkan serangan dahsyat. Penemuan mayat-mayat
manusia dalam keadaan tercerai-berai tadi, membuat
Arya bersikap luar biasa waspada.
"Aaarrrggghhh..;!"
Tiba-tiba terdengar geraman luar biasa keras yang
mampu membuat sekitar tempat itu tergetar hebat
Dewa Arak pun sampai terjingkat kaget. Seiring den-
gan geraman itu, melesat sesosok bayangan besar ke
arah Dewa Arak. Sosok itu melesat dari kerimbunan
semak-semak di sebelah kanan si pemuda.
Arya menyadari akan adanya serangan gelap. Keti-
dakadaan deru angin sewaktu sosok itu melesat yang
membuat Arya tak mengetahui kedatangannya. Berkat
nalurinya yang setajam binatang buas, karena terbiasa
terlibat dalam pertarungan dan mempertaruhkan nya-
wa, yang membuat Dewa Arak mengetahui keberadaan
sosok bayangan besar pemilik geraman yang mengi-
riskan hati itu.
Secepat kilat tubuhnya dibalikkan ke kanan, sece-
pat itu pula Dewa Arak mengirimkan pukulan jarak
jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Bela-
lang'!
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat, menyebar
dari hentakan tangan Arya. Angin yang mampu mem-
buat semak-semak dan pepohonan yang letaknya be-
rada di sekitar tempat itu, mengering dan layu menda-
dak bagaikan terbakar.
Bresss!
Dengan telak dan keras, pukulan jarak jauh Dewa
Arak menghantam sosok bayangan besar yang ben-
tuknya tak jelas karena gerakannya sangat cepat. Arya
sendiri yang memiliki sepasang mata tajam tak mampu
melihat jelas, dan hanya tahu kalau sosok itu besar
dan kecoklatan.
Ciri-ciri sosok itu lebih dapat diketahuinya ketika
pukulan jarak jauhnya mengenai sasarannya secara
telak. Sosok kecoklatan itu terpental kembali ke bela-
kang, terguling-guling di tanah sambil memperdengar-
kan pekikan yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia.
Hanya sedikit ciri-ciri sosok bayangan itu yang da-
pat diketahui Dewa Arak. Karena, begitu tubuhnya ter-
guling-guling, sosok itu langsung menambahkannya
dengan gulingannya sendiri. Kemudian melesat cepat,
menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan
lebat di dekatnya.
Dewa Arak tak tinggal diam. Rasa penasaran besar
untuk mengetahui sosok kecoklatan, yang diyakini
memiliki tubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar dari-
pada manusia pada umumnya, membuatnya segera
melesat mengejar. Kerimbunan semak-semak dan pe-
pohonan yang tadi dilalui sosok itu diterobosnya.
Tapi Dewa Arak agak kebingungan. Ia tak melihat
adanya tanda-tanda arah yang ditempuh sosok bayan-
gan yang luar biasa besar itu. Diperhatikannya baik-
baik semak-semak dan pepohonan yang ada. Pemuda
itu mencoba mencari semak-semak yang bergoyang-
goyang, karena menjadi pertanda kalau sosok bayan-
gan yang luar biasa besarnya itu baru saja melaluinya.
Namun, usaha Arya sia-sia. Tanda-tanda yang dimak-
sudkannya sama sekali tak diketemukannya. Kenya-
taan itu membuatnya tak mempunyai patokan arah
untuk melakukan pengejaran.
Walau demikian Dewa Arak tak kehilangan akal.
Kegagalan dengan mempergunakan mata, tak mem-
buatnya putus asa. Ia segera menggunakan sepasang
telinganya. Arya mencoba untuk menangkap bunyi-
bunyi langkah kaki atau gerakan sosok bayangan itu
Kembali, Dewa Arak gagal. Tak sedikit pun telinganya
menangkap bunyi. Yang tertangkap hanya bunyi sepoi-
sepoi angin yang bertiup. Lainnya tidak!
Kenyataan seperti itu benar-benar mengejutkan
Dewa Arak. Sebagai tokoh persilatan yang mempunyai
tingkat kepandaian tinggi, Arya tahu kalau apa yang
dialaminya kali ini sepertinya mustahil. Betapapun
tingginya ilmu meringankan tubuh seseorang, tak
akan mungkin dalam sekejap langsung lenyap. Apalagi
tanpa menimbulkan tanda-tanda, baik yang terlihat
mau pun yang terdengar.
Rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar,
membuat pemuda berambut putih keperakan itu tetap
berada di situ. Seluruh akal sehatnya diputar untuk
memecahkan keanehan yang ditemuinya kali ini.
Arya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban
atas rahasia besar yang ditemuinya ini. Walaupun be-
gitu, kewaspadaannya tak ditinggalkan, untuk berjaga-
jaga terhadap kejadian-kejadian yang tak diinginkan.
Dewa Arak sempat tersentak ketika terpikir olehnya
kalau kejadian yang dilihatnya tadi terjadi karena so-
sok bayangan itu menggunakan ilmu sejenis 'Ilmu Ha-
limun' atau 'Sirna Raga'. (Untuk jelasnya mengenai il-
mu-ilmu seperti itu silakan baca episode: "Ilmu Hali-
mun"). Tapi, dugaan itu mulai diragukan ketika dike-
temukannya hal-hal yang memberatkan. Cukup lama
ia berada di situ, tak didengarnya sedikit pun gerakan
atau dengus napas.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya sedi-
kit bimbang. Kecurigaan yang melanda hatinya tetap
tak sirna. Sebagai tokoh persilatan yang memiliki ke-
pandaian menakjubkan, Arya tahu kalau bagi tokoh
tingkat tinggi, membuat gerakan tak terdengar atau
menahan napas bukan pekerjaan yang sulit.
"Hanya ada satu cara yang dapat membuktikan ka-
lau sosok bayangan itu sudah tak berada di sini lagi,"
pikir Arya yakin. "Dan, bila dengan cara ini sosok itu
tak juga menampakkan diri, atau menunjukkan tanda-
tanda keberadaannya, baru aku yakin kalau dia sudah
tak berada di sini. Entah dengan cara bagaimana..."
Usai berpikir demikian, Dewa Arak mengerahkan
tenaga dalamnya yang khas. 'Tenaga Dalam Inti Mata-
hari'. Tidak lama kemudian, dari sekujur tubuhnya
menyebar hawa panas yang kian meningkat kadar ke-
panasannya. Semak-semak dan pepohonan yang berja-
rak sekitar lima tombak dari pemuda berambut putih
keperakan itu, layu seperti lama tak tersiram air. Se-
saat kemudian, tetumbuhan itu mengering dan han-
gus!
Cukup lama Dewa Arak mengerahkan tenaga da-
lamnya, menciptakan hawa panas dengan sebuah ha-
rapan besar, sosok bayangan itu akan menampakkan
diri karena terpaksa melakukan perlawanan, untuk
menahan serangan hawa panas itu. Jika perlawanan
diberikan, sekecil apa pun dilakukan, dan sesedikit
apa pun gerakan yang dilakukan, akan tertangkap oleh
telinga Dewa Arak.
Dan jika itu terjadi, sekalipun tak dapat menang-
kap, mengalahkan, atau membunuhnya, Arya akan
merasa lega. Karena keberadaan sosok yang belum di-
ketahuinya jelas ada di situ. Dan ini akan mele-
nyapkan rasa bingungnya.
Ketidakberadaan penyerang gelapnya di tempat itu,
akan membuat Aiya bingung. Bagaimana sosok itu bi-
sa lenyap tanpa meninggalkan bekas sama sekali?
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan Dewa Arak
memang hebat. Tak hanya pepohonan dan semak-
semak yang layu, kering, dan mati. Tanah di sekitar
tempat Arya berada pun hangus. Di tempat itu seakan-
akan baru terjadi kebakaran besar. Dan, pemuda ini
pun menyadari kalau tindakannya terus dilakukan,
bukan tak mungkin medan di sekitar tempatnya bera-
da akan semakin rusak.
Arya tak menginginkan hal itu terjadi. Apalagi, ia
yakin kalau sosok yang luar biasa besar itu memang
tak berada di situ. Sosok itu tak bersembunyi dari
pandangan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu
menghilang. Kalau benar mempergunakan 'Ilmu Hali-
mun' atau 'Sirna Raga', pasti akan terkena pengaruh
serangan hawa panas Dewa Arak yang dahsyat, dan
sosok itu akan melakukan perlawanan.
Perlawanan yang diberikan tentu akan membuat
Arya mengetahui keberadaannya. Kenyataannya, Dewa
Arak tak mendengar suara gerakan sosok itu selirih
apa pun, selain dari hembusan angin, gemeretaknya
tetumbuhan yang layu, mengering, hangus, dan mati
karena pengaruh serangan tenaga dalamnya yang ber-
hawa panas.
Dewa Arak pun segera menghentikan pengerahan
tenaga dalamnya. Ia hanya menghela napas berat, tan-
da kecewa dan bingung. Hasil dari usahanya itu me-
nimbulkan tanda tanya besar di benak Arya. "Kemana-
kah perginya sosok tinggi besar itu? Bagaimana dia bi-
sa menghilang demikian cepat? Ilmu apa yang diper-
gunakannya?" Hatinya terus bertanya-tanya.
Karena menyadari kalau pertanyaan itu akan sulit
dijawabnya, Dewa Arak segera melupakannya. Ia juga
menyadari, titik terang untuk mengungkap rahasia itu
belum didapatkannya. Hanya dalam waktu singkat, ia
menghadapi dua masalah yang tak terjawab.
"Dua masalah?! Mungkinkah ada hubungannya sa-
tu sama lain?!"
Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Dewa
Arak, pemuda ini hendak beranjak meninggalkan tem-
patnya berada.
"Memang bukan tak mungkin kalau masalah ini
mempunyai hubungan satu sama lain. Bukan tak
mungkin kalau pelaku pembantaian keji adalah sosok
besar itu!"
Untuk ke sekian kalinya jawaban pasti bagi perta-
nyaan itu tak ditemukan Dewa Arak. Setelah menga-
mati keadaan sekitarnya sejenak. Arya melesat me-
ninggalkan tempat itu. Ia ingin kembali ke tempat di
mana asal geraman yang pertama kali tadi didengar-
nya.
Memang, Arya tak terlalu berharap akan menemu-
kan sosok besar pemilik geraman itu di sana. Tap bu-
kan tak mungkin kalau akan ditemukannya lagi kor-
ban dari keganasan sosok besar itu. Dan, hal itu bu-
kan mustahil. Bukankah sosok yang belum diketahui
Arya secara pasti jenisnya itu cukup ganas?! Bukti je-
las sendiri sudah didapatkannya. Sosok besar itu me-
nyerangnya! Padahal, bukan tak mungkin antara me-
reka berdua sama sekali tak ada urusan! Jangankan
urusan saling kenal pun belum tentu!
***
Abiyasa berdiri dengan kepala tertunduk. Hatinya
benar-benar sangat terpukul. Berjarak tiga tombak di
depannya, tergolek sesosok mayat yang sudah tak
utuh lagi. Bagian-bagian tubuh mayat malang itu tea
cerai-berai. Darah yang masih segar membasahi tanah
membuat pemandangan semakin menyeramkan.
"Anta...," keluh Abiyasa, penuh rasa duka. "Tak
kusangka nasibmu demikian buruk. Aku berjanji akan
membalas dendam atas kematianmu, siapa pun
adanya pelaku pembunuhan keji ini!"
Cukup lama Abiyasa tenggelam dalam kedukaan-
nya. Berdiri terpaku bagaikan patung batu. Hanya ge-
rakan pada bagian dadanya yang menunjukkan kalau
lelaki itu bukan patung. Sejenak Abiyasa mengalihkan
pandangan ke sekeliling tempat itu. Helaan napas be-
rat yang keluar dari mulut dan hidungnya mengiringi
gerakan bola matanya.
"Sama sekali tak kusangka kalau nasibmu demi-
kian buruk, Anta mudah-mudahan saja Jembawati tak
mengalami nasib seperti yang kau alami," gumam lela-
ki jangkung itu lagi dengan wajah menengadah ke atas
menatap langit.
Abiyasa baru mengalihkan perhatian, dan memba-
likkan tubuhnya ketika mendengar bunyi batuk-batuk
kecil di belakangnya. Batuk yang diketahuinya pasti
adalah batuk buatan.
"Ah... kiranya kau, Dewa Arak...!" seru Abiyasa
gembira.
Wajah lelaki itu kelihatan berseri-seri. Sungguh
pun demikian, kedukaan yang membayang pada wajah
dan sinar matanya tetap tampak.
"Kau mengejutkan ku saja. Hampir saja putus jan-
tungku karena tindakanmu...!" lanjutnya lagi.
Arya mengembangkan senyumnya. Tidak terlalu
lebar, dan tidak menampakkan perasaan yang terlalu
gembira. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
kalau Abiyasa tengah bersedih. Jadi, ia pun ikut me-
nunjukkan perasaan berkabungnya.
"Aku minta maaf kalau kau jadi terkejut karena
kedatanganku, Kang. Mungkin seharusnya tadi ku-
tunggu hingga kau selesai dengan urusanmu," sahut
Arya, sekenanya.
"Itu tak menjadi soal, Dewa Arak," timpal Abiyasa
buru-buru. "Aku memang kaget. Tapi perasaan gembi-
ra atas kedatanganmu, jauh lebih besar dari perasaan
terkejutku. Kau datang pada saat yang tepat!"
"Apa yang sebenarnya terjadi, Kang?" tanya Arya
seraya mengayunkan langkah mendekat dan memper-
hatikan mayat Antasena. Dan, seperti yang diduga De-
wa Arak, bagian dada Antasena berlubang besar,
memperlihatkan isi bagian dalam dada yang sudah ti-
dak terlihat lagi.
"Aku juga kurang begitu jelas dengan apa yang te-
lah terjadi, Dewa Arak," keluh Abiyasa. "Bukan tak
mungkin apa yang kuketahui sama dengan yang kau
ketahui...."
"Heh...?,!" Arya terkejut. "Mengapa bisa begitu
Kang?" tanyanya heran.
Abiyasa menghela napas berat sebelum memberi-
kan jawaban.
"Ini semua karena salahku, Dewa Arak. Kalau saja
aku tak keliru mengambil keputusan, mungkin semua
ini tak akan terjadi. Antasena tak perlu tewas dengan
cara demikian mengerikan, dan Jembawati tak pernah
lenyap bagai ditelan bumi...," jelas lelaki jangkung ini
penuh perasaan menyesal dan bergejolak.
"Jadi Jembawati lenyap? Pantas tak kulihat kebe-
radaannya di sini," pikir Arya, mengerti.
Sejak tadi, rasa ingin tahu di mana Jembawati be-
rada hampir saja dilontarkannya. Karena disadari ka-
lau pertanyaan mengenai nasib Antasena lebih pantas
diajukan, yang membuat Arya mengajukan pertanyaan
itu. Pertanyaan lainnya menyusul belakangan, telaah
pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Tidak baik terlalu menyalahkan diri sendiri Kang,"
hibur Arya untuk mengurangi beban batin Abiyasa.
"Aku yakin, orang sepertimu tak akan bertindak keliru.
Boleh aku tahu bagaimana ceritanya?"
***
4
"Seperti yang telah kau tahu, karena pertolongan-
mu kami dapat lolos dari ancaman Tengku Daud dan
Wanita berpakaian hijau itu, Dewa Arak," Abiyasa me-
mulai keterangannya. "Kami berlari terus, karena kha-
watir akan adanya pengejaran."
Sampai di sini, lelaki jangkung itu berhenti seje-
nak. Parasnya memperlihatkan penyesalan.
"Setelah beberapa lama berdiri, dan tak terlihat
adanya tanda-tanda orang yang mengejar, kuajak An-
tasena dan Jembawati untuk berhenti. Semula mereka
tak setuju. Tapi aku bersikeras dengan pendirianku
dan kukatakan kalau terus berlari, kami tak akan per-
nah sampai di tempat tujuan yang kami harapkan.
Alasan yang kuberikan membuat mereka bimbang.
Dan, untuk lebih menenangkan mereka, kukatakan
untuk memperhatikan sekeliling tempat ini. Jika, ada
hal-hal yang membahayakan, keputusan akan kuba-
talkan. Mereka setuju. Aku pun naik ke atas pohon
yang paling tinggi agar dapat mengawasi keadaan di
sekitar. Dari ketinggian, aku dapat melihat apa pun
walau jaraknya masih cukup jauh. Bukankah demi-
kian, Dewa Arak?!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengang-
gukkan kepalanya, pertanda menyetujui pendapat Ab-
iyasa.
"Sesampainya di puncak pohon, di kejauhan, aku
melihat kerimbunan semak-semak dan pepohonan
bergoyang-goyang keras seakan-akan ada angin besar
yang meniupnya. Karena penasaran, kuperhatikan ke-
rimbunan semak dan pepohonan di arah lainnya.
Hampir tak bergeming. Seketika itu pula aku yakin ka-
lau tak ada angin besar. Pasti ada sesuatu yang hen-
dak melewati kerimbunan semak dan pepohonan yang
bergoyang-goyang keras itu. Karena khawatir kalau-
kalau yang lewat di situ adalah Tengku Daud atau wa-
nita berpakaian hijau, aku memutuskan untuk turun
dan memberitahu Antasena serta Jembawati," Abiyasa
menghela napasnya sejenak, sebelum melanjutkan bi-
caranya.
"Saat itu pula, aku mendengar bunyi gerakan yang
luar biasa kerasnya. Geraman yang tak patut keluar
dari mulut manusia, dan membuat sekujur tubuh ku
lemas karena tenagaku sendiri lenyap entah kemana.
Yang lebih menggetarkan hatiku lagi, asal geraman de-
kat sekali dari tempatku berada. Sekelebatan aku te-
ringat akan Jembawati dan Antasena. Dan, aku yakin
geraman itu berasal dari tempat di mana kedua orang
itu berada. Setelah berhasil menguasai perasaan, dan
memulihkan tenaga, aku turun dari atas pohon. Ter-
nyata kekhawatiran ku beralasan. Antasena telah te-
was dalam keadaan mengerikan. Sedangkan Jembawa-
ti sama sekali tak kulihat keberadaannya. Entah apa
yang terjadi terhadapnya," keluh Abiyasa, penuh pera-
saan sesal bercampur sedih.
"Kalau begitu, kemungkinan besar Antasena dan
mayat-mayat cerai-berai yang kulihat tadi adalah kor-
ban dari sosok yang mempunyai kebiasaan menggeram
itu;" pikir Arya, mulai mendapatkan satu titik terang
untuk mengungkap masalah yang dihadapinya.
"Dan..., sepertinya sosok penggeram itu mempu-
nyai ciri serupa. Kemunculannya dari satu arah me-
nimbulkan tanda-tanda yang menyolok di arah lain-
nya. Abiyasa mengalami kejadian yang sama dengan
yang ku alami "
"Kurasa keselamatan Nyi Jembawati tak terlalu
mengkhawatirkan, Kang." timpal Arya penuh keyaki-
nan. "Bahkan aku lebih condong menduga kalau di-
rinya selamat, kendati hanya untuk beberapa waktu."
"Mengapa kau demikian yakin kalau Jembawati se-
lamat, Dewa Arak?!" tanya Abiyasa, penuh rasa ingin
tahu.
"Kalau Nyi Jembawati hendak dibunuh saat itu ju-
ga, mengapa mesti repot-repot membawanya, Kang?!"
Arya memberikan alasan kuat yang membuat Ab-
iyasa tak kuasa untuk menahan anggukan kepala tan-
da menyetujui.
"Dibawanya Nyi Jembawati menjadi pertanda kalau
sosok yang membawanya tak ingin membunuhnya saat
itu. Hanya saja, kita tak tahu kapan pembunuhan itu
dilakukannya," lanjut Arya lagi.
Abiyasa menghela napas berat untuk menekan
kekhawatiran yang mencekam hatinya.
"Khawatir memang wajar saja, Kang," ujar Arya,
tanpa bernada menasihati. "Tapi, terlalu berkhawatir
pun tak baik. Biar bagaimanapun juga Nyi Jembawati
belum, nyata-nyata tewas. Jadi kita masih mempunyai
harapan untuk menyelamatkannya. Dan bukan tak
mungkin, si pembunuh kejam itu tak sempat memba-
wanya. Barangkali saja, Nyi Jembawati sempat melari-
kan diri. Tapi kita tetap harus mencarinya. Kalau be-
nar dia terancam, akan kita usahakan untuk meno-
longnya...,"
"Kita...?" ulang Abiyasa setengah tak percaya se-
raya menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat. "Jadi, kau
mau membantu mencarikan, Dewa Arak?!" tanyanya
lagi.
Arya mengangguk dengan senyum tersungging bi-
bir.
"Bukankah sudah merupakan kewajiban kita sela-
ku manusia untuk saling menolong, Kang?!" sahut
Dewa Arak tenang.
"Kau benar, Dewa Arak... Kau benar...," sambut
Abiyasa, terbata-bata karena perasaan gembira yang
menggelora.
Lelaki itu menyadari, bantuan Arya amat berati ba-
ginya. Kalau penculik Jembawati memiliki kepandaian
setingkatan Tengku Daud, hanya Arya yang menjadi
andalannya.
"Aku juga tahu hal itu. Tapi, sama sekali tak ku
sangka kalau kau akan bersedia membantu sampai
masalahku tuntas...," lanjutnya gembira.
"Lupakanlah itu, Kang," kilah Arya halus. "Lagi pu-
la saat ini aku sedang tidak mempunyai urusan, dan
juga tak mempunyai tujuan. Jadi, tak ada sedikit pun
halangan bagiku jika kupergunakan waktu dan ke-
sempatan ini untuk membantumu."
"Terima kasih, Dewa Arak. Terima kasih.... Aku tak
tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa
syukur dan terima kasihku padamu...," ucap Abiyasa
suaranya semakin bergetar karena perasaan haru.
"Kalau begitu, tak usah ucapkan apa-apa, Kang,"
sahut Dewa Arak cepat dengan senyum terkulum. "Un-
tuk apa memaksakan diri untuk mengatakan hal yang
tak kau ketahui?!" lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Abiyasa tersenyum lebar. Sambutan Arya memang
lucu, dan lelaki jangkung itu merasa geli karenanya.
Kalau saja saat itu tidak tengah berduka, Abiyasa pasti
sudah tertawa terbahak-bahak.
"Menurutmu..., arah mana yang harus kita tuju,
Dewa Arak?" tanya murid Empu Jangkar Bumi itu, se-
telah berhasil menekan perasaan geli yang melanda
hatinya.
Arya mengarahkan pandangan berganti-ganti, ke
empat arah mata angin.
"Kalau aku tak salah duga, pembunuh Kakang An-
tasena adalah sosok yang menyergapku secara tiba-
tiba, namun melarikan diri ketika gagal. Sosok itu
memang luar biasa aneh. Aku tak tahu ke mana arah
yang ditujunya. Dan, karena aku tak mempunyai tu-
juan, kukira lebih baik kalau arah yang kita tempuh
sekarang adalah arah yang semula menjadi tujuanmu,
Kang," usul Arya setelah menjelaskannya panjang le-
bar. "O ya, hampir aku lupa, boleh kuketahui mengapa
Tengku Daud dan Dewi Lanjar begitu memusuhimu?!"
tanya Arya ingin tahu.
"Hhh..."
Abiyasa menghela napas berat
"Aku juga tak mengerti, Dewa Arak. Tengku Daud
dan Dewi Lanjar adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan erat dengan datuk-datuk dunia hitam. Un-
tuk apa mereka mengejar-ngejar kami. Padahal, apa
artinya kami bagi orang-orang seperti mereka?! Kepan-
daian yang kami miliki pun tak ada artinya bila diban-
dingkan mereka!" jelas Abiyasa tak mengerti.
"Pasti ada alasan yang membuat mereka mengejar
kau dan rombonganmu, Kang," tandas Arya, yakin.
"Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja ada perkataan
mereka yang menunjukkan alasan mengapa mereka
bersusah payah menghadang perjalanan kalian...!"
Abiyasa mengernyitkan kening sebentar seperti
orang yang tengah berpikir.
"Ada kemungkinan kalau urusan yang tercipta an-
tara kami dan tokoh-tokoh sesat itu disebabkan oleh
guru kami. Jelas-jelas kudengar, mereka menanyakan
apakah kami bertiga merupakan murid-murid dari
Empu Jangkar Bumi. Setelah itu, mereka berminat un-
tuk menangkap kami."
"Apakah antara Empu Jangkar Bumi dan datuk-
datuk kaum sesat itu ada urusan, Kang?!" tanya Arya
ingin tahu lebih jelas.
"Entahlah, Dewa Arak, aku tak pernah mengeta-
huinya. Almarhum guruku adalah orang yang tertutup.
Hampir tak pernah menceritakan sesuatu tentang di-
rinya. Kami sendiri, selaku murid-muridnya, tak begitu
mengenalnya."
"Almarhum...?!" sentak Dewa Arak, agak kaget.
"Jadi Empu Jangkar Bumi sudah meninggal?!" ta-
nyanya.
"Benar, Dewa Arak, kira-kira seminggu yang lalu.
Aku, Antasena, dan Jembawati pun tak mengetahui
penyebab kematiannya. Beliau tewas secara penuh ra-
hasia," jelas Abiyasa, lebih gamblang.
"Apakah tidak ada pesan-pesan dari Empu Jangkar
Bumi sebelum menghembuskan napasnya yang terak-
hir?" desak Arya, setelah berpikir sejenak.
"Pesan-pesan sih tidak, Dewa Arak. Tapi, beliau
meninggalkan sepucuk surat yang isinya memerintah-
kan kami untuk pergi ke tempat yang tertulis pada su-
ratnya...."
"Sayang, sebelum sampai tujuan, Tengku Daud
dan Dewi Lanjar telah lebih dulu menghadang. Bukan-
kah begitu, Kang?!" lanjut Arya, ketika melihat Abiyasa
tampak agak bimbang untuk melanjutkan ceritanya.
Dewa Arak tak merasa tersinggung melihat sikap
Abiyasa yang masih belum terlalu percaya padanya.
Dia bisa memakluminya, karena dirinya sendiri pun
mungkin akan bertindak serupa jika berada di pihak
lelaki jangkung itu.
Abiyasa mengangguk, sebagai jawaban atas perta-
nyaan Arya tadi.
"Apakah kau tak keberatan aku ikut serta dalam
perjalananmu, Kang? Percayalah, aku akan tersing-
gung. Aku sudah paham, tiap orang mempunyai raha-
sia yang terkadang orang terdekat pun tak boleh men-
getahuinya. Oleh karena itu, bila ini termasuk rahasia,
jangan segan-segan untuk mengatakannya padaku,"
kata Dewa Arak, terus terang.
"Sama sekali tidak, Dewa Arak," sahut Abiyasa ce-
pat. "Tidak ada hal yang rahasia sama sekali. Lagi pu-
la, bagaimana aku tahu ini rahasia bila aku sendiri
pun belum tahu mengapa aku harus ke sana?! Itu ala-
san pertama. Alasan keduanya, bagaimana mungkin
kau bisa membantuku mencari jejak Jembawati kalau
kau tak ikut?!"
"Bisa saja, Kang," jawab Arya kalem. "Kita melaku-
kan perjalanan sendiri-sendiri. Dan...."
"Kurasa tak perlu seperti itu, Dewa Arak," potong
Abiyasa cepat. "Aku lebih suka kalau kita melakukan
perjalanan bersama. Jadi, kau tak perlu merasa tak
enak. Aku minta maaf padamu karena telah bersikap
yang membuatmu merasa tak enak."
"Lupakanlah, Kang, aku bisa memakluminya kok,"
sahut Arya tenang.
"Kalau begitu..., apa lagi yang harus kita tunggu
Dewa Arak...?!" cetus Abiyasa, setengah mengingatkan.
***
Malam telah larut dan bahkan telah mendekati dini
hari, ketika seorang pemuda berambut putih kepera-
kan dan seorang lelaki setengah baya bertubuh jang-
kung, keluar dari pintu sebuah bangunan sederhana
yang hanya terbuat dari papan.
"Hhh...!"
Lelaki jangkung itu menghela napas berat. Paras-
nya yang terlihat lesu, memperlihatkan kekecewaan
hatinya yang besar. Dari wajahnya, tampaknya ia lelah
sekali. Bahkan bukan itu saja, kelelahan yang besar
juga melanda batinnya.
"Bagaimana, Kang?! Semua bangunan yang ada di
sini sudah kita periksa. Apakah ada di antaranya yang
memberikan petunjuk mengenai pesan yang diberikan
gurumu?!" tanya si pemuda yang berambut putih ke-
perakan itu berbasa-basi karena sudah bisa memper-
kirakan kalau apa yang dicari tak sesuai dengan kein-
ginan.
"Entahlah, Dewa Arak," sahut Abiyasa, si lelaki
jangkung, bernada bingung.
"Heh...?!" Arya tersentak.
Dengan perasaan heran ditatapnya murid Empu
Jangkar Bumi itu tepat pada bola matanya. Pemuda
berambut putih keperakan itu ingin mengetahui ke-
sungguhan jawaban yang diberikan Abiyasa.
"Mengapa bisa begitu, Kang?!" tanyanya.
"Tak terlalu mengherankan, Dewa Arak," jawab le-
laki berpakaian coklat itu, kalem. "Aku sendiri tak ta-
hu apa yang tengah kucari di tempat ini, jadi bagaima-
na mungkin bisa menemukannya?!"
Arya melongo. Bingung. Dan, Abiyasa yang bisa
mengetahui perasaan yang bergayut di hati Arya, bu-
ru-buru memberikan keterangan tambahan.
"Sejak semula aku sendiri tak yakin akan keberha-
silan dari kepergianku ini, Dewa Arak. Tapi, keinginan
untuk menyingkap rahasia, dan kewajibanku sebagai
seorang murid untuk memenuhi pesan sang guru, apa-
lagi yang merupakan pesan terakhir, membuatku ber-
sikeras melakukannya...."
"Maaf, Kang, bukannya aku bermaksud lancang
mencampuri urusanmu, tapi..., sebenarnya apakah
pesan yang ditinggalkan gurumu itu?!" tanya Arya ha-
ti-hati.
"Hanya pesan singkat untuk pergi ke tempat ini,
Dewa Arak," keluh Abiyasa, seraya mengeluarkan seca-
rik kulit binatang dari bagian dalam pakaiannya dan
mengangsurkannya pada Arya.
Tanpa ragu si pemuda menerima kulit binatang itu.
Dilihatnya, ada tulisan sembarangan di atasnya. Arya
membacanya dalam hati.
Pergilah ke Banten. Cari orang yang bernama si
Tongkat Halilintar. Beritahukan kalau kau mendapat
perintah dariku. Kalau dia tak percaya, sebut namaku.
Tongkat Halilintar akan memberitahukan mengenai hal-
hal yang selama ini ingin kau ketahui. Bukankah kau
dan yang lain-lain ingin tahu keanehan atas diri Na-
wang Wulan? Tongkat Halilintar akan menjelaskan pa-
damu.
Arya mengembalikan kulit binatang itu lagi pada
Abiyasa.
"Petunjuk yang kita dapatkan memberitahukan ka-
lau si Tongkat Halilintar bertempat tinggal di sini dan
membuka usaha pengawalan dengan bayaran. Tapi
kenyataannya yang kita temukan sekarang berbeda
jauh, Dewa Arak. Jangankan sekelompok orang yang
seharusnya ada, sepotong manusia pun tak tampak!"
Cetus Abiyasa, tanpa menyembunyikan rasa heran dan
kecewanya.
"Menilik dari keadaan tempat ini... aku yakin si
Tongkat Halilintar dan kelompoknya benar tinggal di
sini. Banyaknya bangunan, menandakan jumlah me-
reka yang cukup banyak. Melihat dari tanda-tanda
yang terlihat, ketidakberadaan mereka tampaknya be-
lum lama terjadi. Dengan kata lain, jika benar mereka
semua pergi, pasti belum terlalu lama. Keadaan tempat
dan bangunan masih cukup rapi," timpal Dewa Arak
mengajukan pendapatnya.
"Mungkinkah merekah semua tewas dibunuh
orang?!" celetuk Abiyasa, tiba-tiba.
"Meskipun kemungkinan itu ada tapi sangat kecil
Kang," bantah Arya. "Jumlah kelompok si Tongkat Ha-
lilintar yang cukup banyak, setidak-tidaknya akan me-
nimbulkan bekas-bekas, jika terjadi pembunuhan. Se-
dangkan keadaan di sekitar tempat ini kulihat cukup
rapi dan tak memperlihatkan adanya tanda-tanda per-
nah terjadi keributan."
Abiyasa pun diam. Ia menyadari alasan yang dike-
mukakan oleh Dewa Arak memang benar dan masuk
akal.
"Selain kau. siapa lagi yang tahu mengenai isi surat
itu, Kang?" tanya Arya, yang berusaha untuk mencari
jawabannya.
"Hanya kami bertiga, Dewa Arak. Aku, Antasena,
dan Jembawati. Mereka berdua adalah adik-adik se-
perguruanku, sama-sama murid Empu Jangkar Bumi.
Selain dari mereka berdua dan aku, kurasa tak ada la-
gi. Mengapa kau bertanya demikian?!" Abiyasa malah
balas bertanya.
"Aku mempunyai dugaan kalau kita sudah didahu-
lui orang. Dan, aku mempunyai alasan yang kuat un-
tuk itu. Pertama, ada orang atau sekelompok orang
yang mengetahui pesan Empu Jangkar Bumi. Dan
orang atau sekelompok orang itu sudah membunuh
semua orang yang ada di sini dan melenyapkan
mayatnya. Kemungkinan kedua, seisi tempat ini pergi
meninggalkan tempat bernaung mereka. Entah, karena
alasan apa...."
"Dugaan-dugaan yang kau lontarkan beralasan
kuat, Dewa Arak. Aku yakin, salah satu di antaranya
benar. Tapi, kurasa hal itu tak perlu terlalu kita pikir-
kan. Yang paling penting adalah apa yang harus kita
lakukan sekarang?! Satu-satunya petunjuk untuk
mengetahui hal yang tersembunyi dari kematian guru
dan pesannya sudah lenyap. Dan, aku tak tahu harus
memulai dari mana lagi untuk mengungkapnya," keluh
murid pertama Empu Jangkar Bumi itu, putus asa.
Arya terdiam. Pemuda ini menyadari kebenaran
ucapan Abiyasa. Dicobanya untuk memikirkan tinda-
kan mereka selanjutnya. Si lelaki jangkung juga mela-
kukan hal serupa, sehingga keheningan menyelimuti
tempat itu. Yang terdengar sekarang hanya desir angin
malam dan bunyi kepak kelelawar, serta serangga ma-
lam lainnya.
Mendadak Dewa Arak merasakan keanehan dalam
dirinya. Ia merasa seakan-akan ada orang yang tengah
memperhatikan mereka berdua. Arya tahu, kalau pe-
rasaannya luar biasa peka, terkadang dirinya tak
ubahnya binatang yang mempunyai naluri. Dan, hal
itu terjadi karena belalang raksasa di alam gaib yang
telah beberapa kali merasuk ke dalam dirinya (Untuk
jelasnya silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis," dan "Makhluk dari Dunia Asing").
Menyadari keadaan dirinya, pemuda berambut pu-
tih keperakan itu segera mengedarkan pandangan ber-
keliling. Dan, ternyata perasaannya tak keliru. Di ping-
gir atap salah satu bangunan, tampak sesosok tubuh
tengah berdiri tegak. Rembulan bulat yang berada te-
pat di belakangnya, membuat sosok itu terlihat pekat.
"Di tempat ini kita tidak hanya berdua, Kang," ujar
Arya lirih, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok
hitam yang berjarak sekitar lima tombak darinya. Aiya
khawatir sewaktu perhatiannya dialihkan, sosok itu
akan melancarkan serangan.
"Ssss... siapa dia, Dewa Arak...?" tanya Abiyasa
dengan suara berdesis dan bergetar. Penampilan sosok
di atap bangunan itu memang mampu menciutkan ke-
beranian tokoh mana pun.
Arya hanya menggeleng perlahan, karena ia me-
mang belum mengenalnya. Ada kemungkinan sosok itu
dikenalnya. Tapi, keberadaannya yang hanya tampak
bentuk tubuhnya dan sepasang matanya, membuat ia
tak mengenalnya.
Sepasang mata sosok hitam itu terlihat jelas kare-
na mencorong tajam bak mata seekor harimau dalam
gelap. Kelihatan menyeramkan, karena keadaan ma-
lam yang sunyi, hening, dan mencekam. Tambahan la-
gi, sikap sosok hitam itu tampak angker.
Dewa Arak merasakan detak jantungnya berpacu
jauh lebih cepat dari biasanya. Sorot sepasang mata
pendatang gelap itu sudah menunjukkan kepandaian-
nya yang tinggi. Karena, hanya tokoh yang memiliki
tenaga dalam yang sukar diukur, yang bisa mempu-
nyai mata bersorot demikian.
Sesaat kemudian, sosok hitam itu melesat, dalam
keadaan tubuh tegak! Seperti layaknya sebatang bam-
bu! Tak terlihat kakinya ditekuk atau tubuhnya di-
bungkukkan!
Tindakan yang dilakukan sosok hitam itu tak
hanya membuat Abiyasa terkejut. Dewa Arak pun di
dalam hatinya memuji kepandaian yang dimiliki pen-
datang gelap itu. Ia mengakui sosok yang masih penuh
rahasia itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. So-
rot matanya saja sudah menunjukkan kekuatan tena-
ga dalamnya. Dan sekarang, lompatan uniknya mem-
perlihatkan keluarbiasaan ilmu meringankan tubuh-
nya. Tanpa memiliki tingkat ilmu meringankan tubuh
yang sukar diukur, tak mungkin dapat melakukan tin-
dakan seperti yang diperlihatkan sosok hitam itu.
Abiyasa tanpa sadar melangkah mundur ketika so-
sok itu menjejakkan kakinya di tanah. Juga tanpa me-
nekuk kaki atau membungkukkan tubuhnya sewaktu
mendaratkan kakinya di tanah. Ia tak ubahnya seba-
tang kayu atau besi!
"Siapa di antara kalian yang mempunyai hubungan
dengan Empu Jangkar Bumi?!"
Bulu kuduk Abiyasa seketika berdiri ketika men-
dengar pertanyaan itu. Bukan hanya karena suara
yang bernada serak, berat, dan bergaung itu. Tapi, ka-
rena melihat sosok hitam itu menatapnya lekat-lekat!
Tindakan orang itu sudah menunjukkan kalau ia
sudah tahu Abiyasalah orang yang mempunyai hu-
bungan dengan Empu Jangkar Bumi.
Bukannya memberikan jawaban, Abiyasa malah
melongo seperti orang melihat hantu di siang hari. Se-
dangkan Dewa Arak, tidak memberikan tanggapan ka-
rena merasa dirinya kurang berhak. Lelaki jangkung di
belakangnya yang lebih berhak untuk memberikan ja-
waban. Pemuda berambut putih keperakan itu malah
mempergunakan kesempatan yang ada untuk mem-
perhatikan sosok kurus kering di depannya.
Sosok hitam yang kedatangannya mendebarkan
jantung itu ternyata kurus kering seperti cecak kelapa-
ran. Tulang-tulang tubuhnya bertonjolan di sana-sini
saking kurusnya. Dan, semua itu tampak jelas karena
yang dikenakannya hanya celana panjang hitam! Kea-
daan penutup tubuh ini pun ala kadarnya, karena su-
dah compang-camping di sana-sini.
Sosok kurus kering yang ternyata seorang kakek
yang sudah berusia amat tua itu, merasa tersinggung
karena tak adanya jawaban yang diterima setelah me-
nunggu beberapa saat.
Ia menggeram pelan seperti seekor harimau. Sung-
guh pun demikian, tanah, pohon-pohon, dan bangu-
nannya yang ada di sekitar tempat itu bergetar hebat
bagaikan dilanda gempa. Malah, Abiyasa terhuyung
mundur karena merasakan kedua kakinya mendadak
lemas akibat pengaruh geraman itu.
Tapi Dewa Arak tampaknya tak terpengaruh. Pe-
muda berambut putih keperakan itu buru-buru men-
gerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ge-
raman kakek kurus kering, untuk mencegah hal-hal
yang tak diinginkannya. Arya bahkan mampu untuk
bersikap tenang, meskipun sekujur urat-urat sarafnya
sudah bersiap-siap untuk menghadapi segala macam
kemungkinan yang tak diinginkan.
5
Kakek kurus kering itu ternyata tak kuasa mena-
han perasaan marahnya. Begitu geramnya sirna, den-
gannya segera diulurkan. Jari-jari tangannya yang ku-
rus, berkuku panjang, dan terkembang membentuk
cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun Abiyasa. Bunyi
yang menyakitkan telinga mencicit seperti suara tikus
mengiringi meluncurnya serangan itu.
Dewa Arak yang sudah bersiap-siap sejak tadi, ti-
dak tinggal diam melihat ancaman maut terhadap mu-
rid Empu Jangkar Bumi itu. Kakinya segera dilang-
kahkan ke kiri, sehingga menghadang serangan si ka-
kek. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya di-
ayunkan untuk menangkis serangan.
Takkk...!
Bunyi keras seperti dua batang logam yang saling
berbenturan terdengar ketika dua batang tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu saling be-
radu. Baik Dewa Arak maupun lawannya sama-sama
terhuyung selangkah ke belakang.
"Keparat! Siapa kau...?!" tanya kakek kurus kering,
setengah membentak seraya menatap Arya penuh seli-
dik.
Si kakek tak melanjutkan penyerangan ketika ke-
kuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai. Ka-
kek itu murka bercampur terkejut melihat seorang
pemuda mampu membuatnya terhuyung dalam bentu-
ran! Padahal, tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Dan, rasa penasaran pun menggulung di
dalam dadanya. Itulah sebabnya, ia melontarkan per-
tanyaan kepada pemuda berambut putih keperakan
itu.
"Namaku Arya Buana. Tapi orang-orang biasa me-
manggilku Arya," jawab pemuda berpakaian ungu itu
kalem.
"Hak hak hak...!"
Kakek kurus kering tertawa. Tawa yang aneh kare-
na lebih patut keluar dari mulut binatang daripada
mulut manusia. Tawa yang mengerikan! Tapi, yang le-
bih mengiriskan hati adalah tetap terkatupnya sepa-
sang bibir si kakek. Mulut yang telah berkeriput itu
sama sekali tak bergerak!
"Jadi kau orang sombong yang berjuluk Dewa Arak
itu, heh?! Sungguh kebetulan sekali! Menurut berita
yang kudengar, kau sudah banyak merobohkan lawan.
Bahkan menurut selentingan kabar, kau adalah jagoan
nomor satu di dunia persilatan. Dan kau tak akan bisa
dikalahkan orang. Aku penasaran sekali! Ingin kubuk-
tikan sendiri kebenaran berita itu. Sayang, aku tak
pernah beruntung bertemu denganmu! Sama sekali
tak kusangka kalau di saat aku mencari keturunan
dan murid-murid Empu Jangkar Bumi sialan itu ma-
lah bertemu kau! Padahal, sewaktu kucari-cari kau
malah tak kutemukan! Aku gembira sekali, Dewa Arak!
Hak hak hak...!"
"Berita yang tersebar terlalu berlebihan. Kek," kilah
Dewa Arak, malu hati. "Siapa bilang aku tak pernah
kalah?! Beberapa kali aku hampir mati ketika meng-
hadapi lawan! Aku bukan jago nomor satu, Kek."
"Aku tak peduli itu, Dewa Arak! Yang penting kalau
sudah bertarung denganmu, aku puas. Roboh di tan-
ganmu pun bukan merupakan satu hal yang memalu-
kan! Walaupun demikian, jangan mimpi untuk bisa
merobohkanku, Dewa Arak! Aku, Darsakala, belum
pernah dikalahkan orang! Malah, andaikata bertemu
dengan Setan Tengkorak Merah atau Dewi Berambut
Wangi, akan kutunjukkan pada mereka dan dunia per-
silatan, kalau aku jauh lebih unggul daripada mereka!"
seru si kakek sesumbar.
"Sebelum kita bertarung, boleh ku ajukan perta-
nyaan padamu, Kala?!" tanya Arya, karena tahu pe-
cahnya pertarungan tak akan bisa dihindarkannya la-
gi-
"Silakan, Dewa Arak. Selama bisa kujawab, akan
kuberikan jawabannya. Anggap saja kebaikan hatiku
ini karena aku terlalu gembira bisa bertemu dengan-
mu," timpal Darsakala ringan.
"Terima kasih atas penghormatan berlebihan yang
kuterima, Kala," Arya tersenyum samar. "Aku hanya
ingin tahu mengapa kau kelihatannya memusuhi ka-
wanku ini?!" tanyanya ingin tahu.
"Seperti yang kukatakan tadi, Dewa Arak, karena
dia mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bu-
mi. Bahkan kalau aku tak salah terka, orang ini adalah
murid empu sialan si terkutuk itu, kan?!" sahut Dar-
sakala berapi-api.
"Lalu kenapa kalau kawanku ini mempunyai hu-
bungan dengan Empu Jangkar Bumi?!" Arya balas,
bertanya bukannya memberikan jawaban.
"Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan
si keparat Jangkar Bumi itu akan kubunuh! Karena,
empu sialan itu telah demikian tega hati membunuh
putraku!" tandas Darsakala dengan sinar mata seperti
mengeluarkan api.
"Tidak mungkin!" tukas Abiyasa tak percaya. Lelaki
jangkung itu merasa tersinggung mendengar gurunya
terus-menerus dihina. Sedikit demi sedikit kebera-
niannya timbul. "Itu hanya fitnah belaka!" tambahnya.
"Perlukah gurumu itu untuk memberikan jawaban
yang sama denganku?!" rutuk Darsakala dengan ge-
ram. "Dan perlu kau ketahui, bukan hanya aku saja
yang akan memberikan jawaban seperti ini! Kau boleh
tanya pada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Lebih je-
lasnya kau boleh tanyakan pada tokoh-tokoh golongan
hitam!" teriak Darsakala dengan suara keras.
Abiyasa hendak memberikan bantahan lagi. Tapi,
keinginan itu ditahannya ketika mengingat beberapa
tokoh-tokoh sesat yang memburunya.
"Benarkah apa yang dikatakan Darsakala itu?!" pi-
kir lelaki jangkung itu, bimbang.
Kesempatan belum adanya tanggapan dari Abiyasa,
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Pemuda
berpakaian ungu itu merasa gembira karena sudah
mendapatkan sebuah titik terang untuk mengungkap
rahasia tentang Empu Jangkar Bumi dan masalah
yang melibatnya.
"Kita lupakan siapa yang benar dan salah dulu, Ka-
la. Masalahnya, kalau diperdebatkan tak akan ada ha-
bisnya. Yang jelas, setiap ada akibat pasti ada sebab.
Lagi pula, masing-masing pasti menganggap diri dan
pihaknya sendiri yang benar. Tentu saja benar menu-
rut anggapan diri dan pikirannya sendiri," ujar Arya
menengahi. "Tapi, mengapa kau kemari?! Kalau kau
mempunyai urusan dengan Empu Jangkar Bumi,
mengapa datang ke tempat ini. Apakah kau tak tahu
kalau sang Empu tak tinggal di sini...?" lanjutnya.
"Aku telah mendatangi tempat tinggalnya, Dewa
Arak!" potong Darsakala, tak sabar. "Tapi, tempat itu
sudah kosong! Tak ada satu orang pun. Karena si
Tongkat Halilintar adalah kawan baik si empu sialan
itu, aku bergegas pergi kemari. Setidak-tidaknya, akan
kudapatkan petunjuk penting di sini."
"Empu Jangkar Bumi sudah meninggal, Kala," ujar
Arya tenang.
"Aku pun sudah mendengar berita itu, Dewa Arak!
Dan, kau kira aku percaya dengan lelucon murahan
itu?!" dengus Darsakala, melecehkan.
Aiya terkejut. Tapi, di wajahnya tak tampak pera-
saan apa pun. Tetap kelihatan tenang. Pemuda itu
berhasil menguasai perasaannya, sehingga apa yang
bergejolak di hati tak tampak pada wajahnya.
Sikap seperti itu tak tampak pada Abiyasa. Murid
Empu Jangkar Bumi itu kelihatan kaget bercampur
marah.
"Tutup mulutmu, Kakek Jahat! Kau memang hanya
menyebarkan ketidakbenaran! Semula kau katakan
guruku membunuh putramu. Tuduhan itu saja sudah
merupakan fitnah! Sekarang, kau tambah lagi dengan
ketidakpercayaanmu akan kematian beliau! Perlu ku
tegaskan sekali lagi padamu. Empu Jangkar Bumi gu-
ruku, sudah tewas beberapa waktu yang lalu! Jelas?!"
serunya penuh kemarahan.
"Aku tak mau bicara dengan orang yang tak men-
gerti apa pun!" sergah Darsakala. "Meskipun demikian,
kau tetap tidak akan selamat dari tanganku. Tunggu
kesempatanmu, Monyet Bodoh! Aku lebih suka untuk
berurusan dengan Dewa Arak lebih dulu! Jelas?! Me-
nyingkirlah kalau kau memang masih sayang dengan
nyawamu!"
Abiyasa ingin berbicara lagi. Tapi, segera diurung-
kan ketika melihat Dewa Arak memberinya isyarat un-
tuk menjauhi tempat itu. Ia tahu, kalau tetap berada di
tempatnya sekarang ini, akan celaka! Pertarungan an-
tara dua tokoh sakti itu akan menimbulkan akibat be-
sar pada sekitarnya. Dan, bila dirinya terkena seran-
gan nyasar, maut akan mengincarnya.
***
"Haaat...!"
Dengan didahului teriakan keras menggelegar,
yang anehnya dilakukan tanpa menggerakkan bibir,
Darsakala melompat menerjang Dewa Arak. Begitu be-
rada di tengah jalan, di udara, tubuhnya dibalikkan. Di
saat yang sama, kaki kanannya dikibaskan ke arah pe-
lipis lawan.
Serangan yang dilancarkan Darsakala membuat
Arya yakin kalau kakek itu tak bermain-main. Seran-
gan yang dilancarkan, jangankan mengenai sasaran,
baru menyerempetnya saja sudah cukup untuk mengi-
rim nyawa Arya ke alam baka. Oleh karena itu, ia tak
berani bertindak gegabah.
Wukkk...!
Kibasan kaki kakek kurus kering itu lewat di atas
kepala ketika Dewa Arak membungkukkan tubuh den-
gan menekuk kedua lututnya. Dan, secepat itu pula
pemuda berpakaian ungu itu mengirimkan serangan
balasan berupa tusukan jari-jari tangan terbuka ke
arah ulu hati Darsakala.
Plakkk!
Benturan keras terjadi ketika Darsakala yang tak
mempunyai kesempatan untuk mengelak itu mema-
paknya. Akibatnya, baik Arya maupun Darsakala sa-
ma-sama mundur.
"Kau memang hebat, Dewa Arak. Tapi, jangan ber-
besar hati dulu. Itu masih belum seberapa," ucap Dar-
sakala ketika sudah berhasil mematahkan kekuatan
lawan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
Arya yang juga menatap lawannya dan tak lang-
sung membuka pertarungan, hanya tersenyum ham-
bar.
"Aku percaya, Kala. Tapi, tidakkah pertarungan ini
kita hentikan saja?! Antara kita berdua tak ada masa-
lah, untuk apa mempertaruhkan nyawa?!" ucap Arya
memberi usul.
"Siapa bilang tak ada masalah, Dewa Arak?!" tukas
Darsakala. "Saat ini saja kita sudah berada di pihak
yang saling bertentangan. Kalau kau bersedia me-
nyingkir dan tak membela murid Jangkar Bumi sialan
itu, mungkin kita tak perlu bertarung. Oleh karena itu,
kalau kau bersedia menyingkir dari tempatmu dan
membiarkan aku membunuh monyet buduk itu, den-
gan senang hati kubatalkan maksudku untuk berta-
rung denganmu...."
Arya terdiam. Dan, Darsakala yang memang tahu
betul kalau Dewa Arak tak akan membiarkan Abiyasa
terbunuh, tersenyum penuh kemenangan. Alasan yang
diajukannya membuat pemuda berambut putih kepe-
rakan itu mau tak mau harus bertarung dengannya.
"Tidakkah kau memikirkan tindakan yang akan
kau lakukan itu, Kala?!" ujar Arya setelah berpikir se-
jenak "Mungkin saja urusan antara kau dan Empu
Jangkar Bumi hanya salah paham belaka? Siapa tahu
ada orang yang bermaksud mengadu domba, memanc-
ing di air keruh?!" kata Arya berpendapat.
"Kau tak mengerti, Dewa Arak. Dan, aku tak mem-
punyai waktu dan kesabaran untuk menjelaskannya
padamu! Yang jelas, tak ada salah paham. Apa yang
kukatakan itu benar! Dan, sebagai tambahan, antara
kita sebenarnya ada urusan. Kau sudah membunuh
sahabat baikku, Arya. Dan, karena alasan itu sudah
cukup untukmu. Jadi, tak ada alasan untuk tak berta-
rung lagi. Jelas?!" ucap Darsakala penuh kemenangan.
Arya menghela napas berat. Disadarinya kalau
niatnya untuk mengurungkan pertarungan itu akan
sia-sia. Tak ada jalan lain, kecuali bertarung dan men-
galahkan Darsakala, dengan sedapat mungkin tanpa
membunuhnya atau melukainya terlalu berat. Di lain
pihak, Darsakala yang sudah tak sabar lagi untuk me-
lanjutkan pertarungan, kembali melompat menerjang.
Untuk kedua kalinya, ketika berada di udara, di ten-
gah perjalanan, kakek itu kembali membalikkan tu-
buh. Kali ini tak hanya sebentar, melainkan terus-
menerus. Darsakala berputar seperti gasing. Inilah il-
mu yang menjadi andalan si kakek, yang diberinya
nama ilmu 'Badai dan Petir'.
Hebat bukan kepalang ilmu 'Badai dan Petir' itu.
Bunyi menderu dan meledak-ledak mengiringi berpu-
tarnya tubuh kakek kurus kering itu. Dan, seiring
dengan itu bertiuplah angin keras membawa debu. Ini
salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup mem-
buat pandangan lawan terhalang, sementara serangan
yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya.
Tubuh Darsakala yang berputaran, membuatnya kesu-
litan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terli-
hat hanya segulung bayangan hitam yang berputaran.
Memang, Dewa Arak sudah beberapa kali menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu seperti ini. Tapi tetap
saja dia bingung dan mengalami kesulitan untuk
menghadapinya. Dan, belum lagi perasaan bingungnya
lenyap, dari balik putaran itu terjulur sebuah tangan.
Seakan-akan itu tangan hantu yang keluar dari lubang
kuburan.
Karena putaran tubuh itu, serangan yang melun-
cur jadi terlihat mendadak. Tambahan lagi, gerakan
Darsakala memang luar biasa cepat. Dewa Arak sendiri
hanya melihat sekelebatan bayangan meluncur jelas ke
arah ubun-ubunnya.
Meskipun serangan itu demikian mendadak dan
tak disangka-sangka, namun Arya mampu membukti-
kan kalau dirinya adalah seorang pendekar muda yang
memiliki julukan besar di dunia persilatan dan tak
hanya besar namanya saja. Pemuda berpakaian ungu
ini mampu menyentakkan tangannya untuk menang-
kis serangan lawan.
Tapi, seperti juga munculnya, lenyapnya tangan
Darsakala pun hampir tak terlihat, sewaktu menghin-
darkan tangan Dewa Arak. Tangan itu lenyap begitu
saja ke dalam putaran tubuh kakek kurus kering itu!
Arya tak terlalu terkejut lagi ketika serangan tan-
gannya mengenai tempat kosong. Bahkan ketika dari
tubuh yang berputar itu mencuat kaki yang meluncur
ke arah perutnya, pemuda itu melempar tubuhnya ke
belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauh-
kan diri.
Dewa Arak tahu, menghadapi ilmu aneh lawannya
dari arah dekat amat berbahaya. Karena akan menjadi
sasaran empuk lawannya. Sebaliknya, Darsakala amat
sukar untuk diserang, Putaran yang dilakukan mem-
buat lawan sukar untuk mendaratkan serangan kare-
na tak dapat melihat sasaran yang bakal dituju.
Dan sekarang, untuk menghindari kemungkinan
yang tak diinginkan, Dewa Arak menghadapi serbuan
lawan dengan elakan-elakan jauh. Untuk beberapa ju-
rus lamanya, pemuda itu hanya mengelak saja, dan
hanya sesekali melancarkan serangan balasan. Itu pun
hanya pukulan-pukulan jarak jauh, yang beberapa di
antaranya merupakan jurus 'Pukulan Belalang',
Memang hanya berupa pukulan-pukulan jarak
jauh yang bisa dilakukan Dewa Arak. Karena jarak
yang tercipta antara dirinya dengan Darsakala, tak
memungkinkan untuk melakukan serangan-serangan
biasa.
Di lain pihak, Darsakala tak kalah cerdik dengan
Dewa Arak. Kakek itu terus-menerus bergerak mende-
kati lawannya dengan tubuh yang terus berputaran.
Pertarungan antara kedua orang itu seperti permainan
kejar-kejaran. Di satu pihak, Dewa Arak terus-
menerus menjauh seraya melepaskan pukulan-
pukulan jarak jauh untuk mencegah lawan mendekati,
sekaligus mengirimkan serangan. Di pihak lain, Dar-
sakala yang mengandalkan keanehan ilmunya terus
mendekati Arya.
Abiyasa, satu-satunya orang yang menyaksikan ja-
lannya pertarungan tingkat tinggi itu, merasa khawatir
atas keselamatan Dewa Arak. Memang, sepasang ma-
tanya tak mampu melihat mereka dengan jelas. Tapi,
dari bayangan yang terlihat dapat diketahuinya mana
Dewa Arak dan mana lawannya. Karena itu, Abiyasa
tahu kalau Arya mulai terdesak. Arya menyadari kea-
daannya yang tak menguntungkan. Ia juga sadar, ka-
lau keadaan itu terus berlangsung, ia akan celaka di
tangan lawannya. Melancarkan pukulan jarak jauh te-
rus-menerus akan membuatnya cepat lelah. Dan, bila
itu terjadi, Darsaka akan dengan mudah mengalah-
kannya.
Sambil memberikan perlawanan, Dewa Arak me-
mutar otaknya, mencari cara untuk menghadapi ilmu
Darsakala yang unik dan aneh. Dan, karena disadari
kalau waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan ra-
hasia itu cukup lama, Dewa Arak segera meraih gu-
cinya kemudian meneguknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki muda
berambut putih keperakan itu sudah tidak menapak
secara tetap lagi di tanah. Itu pertanda kalau ilmu
'Belalang Sakti' sudah siap untuk dipergunakan.
Darsakala tahu kalau Dewa Arak sudah memper-
siapkan ilmu andalannya. Tapi, ia tak merasa gentar
sama sekali. Sekarang, ia mengerti mengapa sebelum-
nya pemuda berambut putih keperakan itu mengirim-
kan serangan jarak jauh bertubi-tubi. Rupanya senga-
ja membuatnya sibuk dan menciptakan kesempatan
untuk mempersiapkan ilmu andalan.
Pertarungan kembali berlangsung, dan lebih seru
daripada sebelumnya. Dengan menggunakan ilmu
'Belalang Sakti', Arya tak hanya menggunakan puku-
lan jarak jauh untuk mengurangi tekanan Darsakala.
Tapi juga kadang dengan semburan araknya, yang ba-
hayanya tak kalah dengan serangan senjata rahasia.
Tak terasa, pertarungan sudah menginjak jurus
yang ketujuh puluh. Dan pada saat itu, Arya menemu-
kan cara yang diyakininya dapat dipergunakan untuk
menekan ilmu lawannya. Tanpa menunggu lebih lama
lagi, ia segera mempergunakannya.
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk mengerah-
kan seluruh kemampuannya sampai di puncak. Sesaat
kemudian, ia melesat berputar mengelilingi Darsakala
yang tengah berputar. Arah putarannya berlawanan
dengan arah putaran yang dilakukan Darsakala.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak terlalu keliru. Be-
gitu cara ini dipergunakan, Darsakala kelabakan. Ge-
rakan Dewa Arak yang berputar mengelilinginya,
membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan.
Tetapi keadaannya berbeda dengan Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari
mengelilingi lawannya terkadang melancarkan seran-
gan balasan. Tak sampai dua puluh jurus, ganti Dar-
sakala yang berada di pihak yang terdesak. Memang
bila diperbandingkan, putaran tubuh Dewa Arak yang
tidak di satu tempat, membuatnya lebih mudah untuk
menyerang daripada diserang.
Keadaan yang tak menguntungkan itu membuat
Darsakala kehilangan kesabaran. Ia menyadari Dewa
Arak sudah berhasil menemukan celah-celah kelema-
han ilmunya. Terus bertahan tanpa melakukan peru-
bahan, tentu akan merugikan dirinya sendiri. Maka,
rasa tak sabar membuat Darsakala nekat. Dengan
perhitungan matang seorang tokoh tingkat tinggi, ia
melancarkan serangan berbahaya. Serangan yang bo-
leh dibilang sebagai serangan orang yang mengadu
nyawa.
Prattt! Plakkk! Desss!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika Dewa
Arak yang tak mempunyai kesempatan untuk menge-
lak karena Darsakala sudah menghimpitnya sedemi-
kian rupa, balas melancarkan serangan, yang dibaren-
gi dengan tangkisan terhadap serangan-serangan la-
wannya. Beberapa kali tangan dan kaki mereka saling
berbenturan, tapi masing-masing pihak tetap tak dapat
mencegah bersarangnya serangan yang dilancarkan
oleh pihak lawan.
Hampir berbarengan, tubuh Dewa Arak dan Darsa-
kala sama-sama terhuyung beberapa langkah ke bela-
kang. Dari mulut masing-masing mengalir darah segar,
walaupun lebih banyak darah yang keluar dari mulut
Darsakala.
Kakek kurus kering itu menerima gedoran tangan
Arya pada dada kanan bagian atasnya. Sedangkan
Dewa Arak terkena tendangan pada pahanya. Maka ja-
lannya pertarungan terhenti seketika.
"Aku mengaku kalah, Kala. Kau memang hebat,!"
ucap Arya sambil mengusap darah yang membasahi
sudut bibirnya. "Dan, kurasa tak ada lagi gunanya per-
tarungan ini dilanjutkan."
Darsakala tersenyum pahit. Diam-diam perasaan
suka dan kagumnya terhadap Arya semakin membe-
sar.
"Kau terlalu rendah hati, Dewa Arak Akulah yang
sebenarnya kalah. Tapi, aku tak penasaran kalah
olehmu. Kau memang pendekar luar biasa. Dan, me-
mandang dirimu, untuk kali ini kulepaskan murid
Empu Jangkar Bumi itu. Tapi, janjiku ini tak berlaku
seterusnya. Yang jelas, selama kau berada dengannya,
janjiku berlaku. Di lain keadaan, aku tak menjamin
keselamatannya."
"Kuucapkan terima kasih atas pengertianmu dan
penghargaan yang kau berikan padaku, Kala. Tapi, bi-
sakah kau menceritakan secara jelas penyebab permu-
suhan mu dengan Empu Jangkar Bumi? Dan siapa
pula kawanmu yang tewas olehku, Kala?!" tanya Aiya
karena merasa belum puas dengan keterangan yang
didapatnya dari kakek kurus kering itu.
"Aku mendapatkan seorang putra yang kudapatkan
dari hasil perkawinanku. Perkawinan yang membuatku
tersadar dari kotornya dunia hitam yang semula ku ge-
luti. Sedikit kuberitahukan Dewa Arak, dulu, sekitar
tiga puluh lima tahun yang lalu, aku adalah tokoh be-
sar dunia hitam yang ditakuti, pada masa sebelum ke-
datangan Setan Tengkorak Merah dan yang lain-
lainnya."
Darsakala menghentikan ceritanya sebentar, men-
gusap darah yang membasahi sebagian mulutnya, ke-
mudian mencari pohon tumbang untuk dijadikan tem-
pat duduknya. Arya pun melakukan hal yang sama.
Begitu juga Abiyasa. Bahkan lelaki jangkung itu kini
berani mendekat, dan duduk di dekat mereka berdua.
Abiyasa ingin mendengar sendiri cerita mengenai se-
pak-terjang gurunya.
"Aku sadar dari dunia hitam karena istriku dan la-
hirnya anakku. Aku ingin hidup tenang, dan tak ingin
terlibat lagi dengan kerasnya dunia persilatan. Istriku
yang tak henti-hentinya menasihatiku untuk mening-
galkan kotornya dunia hitam, ditambah lagi dengan
munculnya kesadaran dalam diriku, maka ku boyong
istri dan anakku untuk pergi ke tempat terasing yang
jauh dari kerasnya dunia persilatan. Sayang, masalah
datang kembali melibat kehidupan kami, meski kami
sudah hidup tenang selama beberapa tahun."
Arya dan Abiyasa dapat merasakan adanya kepahi-
tan dan kekecewaan besar dalam ucapan Darsakala
kali ini. Tapi, keduanya tak menanyakannya. Mereka
membiarkan saja, dan menunggu kakek kurus kering
itu melanjutkan ceritanya, yang dapat mengungkap
rahasia permusuhannya dengan Empu Jangkar Bumi.
***
6
"Istriku meninggal karena penyakit yang tak kuke-
tahui. Aku hampir kehilangan keinginan untuk hidup.
Untungnya, dia sempat berpesan untuk menjaga anak
kami. Maka, ku kuatkan hati dan kupergunakan sisa
hidup untuk mendidik anakku, agar tak menjadi se-
perti diriku. Aku yakin, kematian atas istriku merupa-
kan hukuman dari Tuhan. Tapi ternyata hukuman itu
tak hanya sampai di situ. Anak yang ku besarkan ter-
nyata menderita kelainan jiwa. Otaknya kurang waras.
Jadi, sampai besar dia tak mengerti sendiri, mana yang
baik dan mana buruk."
Abiyasa dan Arya saling berpandangan ketika Dar-
sakala menundukkan kepala karena kesedihan yang
melingkupi hatinya. Mereka sama sekali tak menyang-
ka akan demikian besar serangan batin yang melanda
lelaki tua itu.
"Sekitar setahun yang lalu, saat putraku sudah be-
rusia dua puluh tahun, untuk menjadi kawan baginya
ku carikan pemuda desa yang tak mempunyai keluar-
ga. Pemuda baik-baik dan kubawa tinggal di tempatku.
Ku didik dia dengan ilmu-ilmu kepandaian agar dia be-
tah. Sama sekali tak kusangka kalau aku malah men-
ciptakan masalah baru. Setelah lima tahun berlatih,
pemuda itu mengajak putraku yang tak mengerti apa-
apa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan
mengandalkan kepandaian dariku. Aku tak tahu apa-
apa, karena terlalu percaya pada pemuda desa itu."
Arya menghela napas berat. Diam-diam ia merasa
kasihan pada kakek kurus kering yang tak henti-
hentinya dilanda masalah itu. Arya tahu, Darsakala
bercerita yang sebenarnya. Kebenaran cerita itu bisa
Arya rasakan. Paras dan sinar mata yang memancar
dari wajah Darsakala menyiratkan kesungguhan dan
kebenarannya.
Setelah berdiam agak lama, Darsakala kembali me-
lanjutkan ceritanya
"Kenyataan yang menghancurkan hatiku baru aku
ketahui sewaktu aku mendengar bunyi khas pertarun-
gan di sekitar tempatku tinggal. Saat itu aku tengah
bersemadi. Rasa ingin tahu membuatku mendatangi
asal keributan. Dan, kutemui putra dan muridku ten-
gah bertarung dengan seorang kakek sakti yang bela-
kangan kuketahui bernama Empu Jangkar Bumi, gu-
rumu," Darsakala mengalihkan perhatian pada Abiya-
sa.
"Aku tak ingin merendahkan kepandaian Empu
Jangkar Bumi, dalam cerita ku ini, tapi itu memang
kenyataan sebenarnya. Pertarungan yang berlangsung
itu, kalau berjalan dengan sebenarnya, akan mene-
waskan Empu Jangkar Bumi...."
"Itu tak terlalu aneh! Bukankah beliau menghadapi
pengeroyokan?!" bantah Abiyasa cepat.
"Kelihatannya memang demikian. Tapi itu terjadi
karena putraku tak melawan sepenuh hati. Dia menge-
royok, karena tak ingin temannya tewas. Jadi, pen-
groyokan yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan
kawannya. Putraku hampir tak pernah melancarkan
serangan, kecuali untuk menolong kawannya. Itu pun
hanya serangan-serangan yang tak terlalu berbahaya.
Abiyasa menggertakkan gigi, geram, mendengar
guru yang dihormatinya direndahkan. Hanya sampai di
situ yang dilakukannya. Karena, ia menyadari kalau
kemampuannya jauh berada di bawah kakek kurus
kering itu.
"Asal kalian tahu saja, meski mempunyai kelainan
jiwa, bakatnya terhadap ilmu silat luar biasa besar.
Dalam usia semuda itu semua kepandaianku telah
diserapnya. Bahkan, dia mampu memberikan tamba-
han-tambahan, membuat ilmu-ilmu yang dimilikinya
jauh lebih dahsyat dari semula. Dan, aku tahu pasti
kalau Empu Jangkar Bumi bukan tandingannya," Dar-
sakala terdiam sejenak, sambil menarik napas panjang
dan menghembuskannya perlahan.
"Meski demikian, aku yakin, bila ku diamkan terus,
kemungkinan ada yang terluka. Maka, sebelum berla-
rut-larut kuhentikan pertarungan itu. Dan, secara
baik-baik kutanya Empu Jangkar Bumi apa yang men-
jadi penyebab pertarungan itu. Dan, jawaban yang ku-
terima benar-benar mengejutkan! Murid dan putraku
ternyata telah memperkosa anak Empu Jangkar Bu-
mi!" jelas kakek itu dengan suara meninggi.
Abiyasa tersentak bak disengat kalajengking. Arya
menatapnya tanpa bicara apa pun. Tapi, lelaki jang-
kung itu tahu kalau sinar mata Dewa Arak mengaju-
kan pertanyaan mengenai benar tidaknya Empu Jang-
kar Bumi mempunyai anak. Tanpa bicara, Abiyasa
mengangguk.
"Saat itu aku benar-benar bingung untuk membe-
rikan keputusan. Butuh waktu beberapa saat sebelum
akhirnya kuizinkan Empu Jangkar Bumi untuk mem-
balas sakit hatinya. Dia kubiarkan bertarung dengan
muridku yang sejak kedatanganku telah ketakutan se-
tengah mati. Dan, dengan disaksikan anakku yang ke-
bingungan melihat keputusan yang kuambil, pertarun-
gan pun berlangsung. Dan, seperti yang sudah kudu-
ga, Empu Jangkar Bumi berhasil membunuh muridku.
Putraku, seperti yang telah kuperhitungkan sebelum-
nya, kelihatan demikian terpukul. Dia menangis me-
raung-raung, meratapi mayat kawannya. Untung den-
gan wibawa yang masih ada, putraku itu bisa ku te-
nangkan.
Aku yang tak menginginkan peristiwa yang lebih ti-
dak menyenangkan itu terjadi lagi, meminta Empu
Jangkar Bumi untuk segera pergi. Kukatakan menge-
nai penyakit putraku, dan permohonan maaf sebesar-
besarnya kepadanya. Dan, aku berjanji untuk lebih
memperhatikan putraku serta menjamin tak akan ada
keonaran lagi, karena tak ada lagi yang memberinya
contoh tak baik. Bahkan, secara diam-diam karena
khawatir diketahui putraku, kukirimkan pesan pa-
danya untuk kembali ke rumah, dan aku akan datang
dan bersedia menerima hukuman darinya. Sayang...."
Detak jantung Abiyasa semakin cepat. Ia memang
tak mendengar cerita seperti ini dari mulut gurunya.
Tapi, ia yakin cerita itu benar. Perlahan-lahan lelaki
jangkung itu mulai mengerti, mengapa Empu Jangkar
Bumi, saat itu mulai berubah menjadi pemurung dan
pendiam!
"Kiranya ia sedang menghadapi persoalan," Abiyasa
berkata-kata sendiri dalam hatinya.
"Empu Jangkar Bumi rupanya tak mendengar ka-
ta-kataku. Dia ingin persoalan diselesaikan saat itu ju-
ga. Putraku ingin dibunuhnya. Terpaksa kukatakan
kalau akulah yang menggantikannya menerima huku-
man. Dia bersikeras menolak, dan menganggapku
pengecut. Putraku pun dikatakannya pengecut! Karena
tak ada jalan lain, kubiarkan dia memuaskan keingi-
nannya. Pertarungan dengan putraku pun berlang-
sung. Dan, seperti yang ku perkirakan, dia tak ber-
daya. Kalau tak ku cegah, dan hal itu kulakukan den-
gan susah payah, Empu Jangkar Bumi akan tewas di
tangan putraku. Dia berhasil selamat, tapi beberapa
tahun kemudian kembali dan berusaha membunuh
putraku dan juga diriku. Aku berhasil selamat, sampai
sekarang. Tapi putraku tewas..."
Keadaan menjadi hening setelah Darsakala meng-
hentikan ceritanya Abiyasa dan Arya sama-sama tak
tahu harus berkata apa saat itu.
"Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang, Dewa Arak.
Aku takut berubah pikiran lagi dengan janji yang kuu-
capkan. Selamat tinggal...."
"Selamat jalan Kala..."
Hanya ucapan itu yang diberikan Dewa Arak kare-
na Darsakala telah lebih dulu melesat. Di tempat itu,
sekarang yang tinggal hanya Dewa Arak dan. Abiyasa.
Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
***
"Jadi Empu Jangkar Bumi mempunyai anak,
Kang?!" tanya Arya, setelah terlebih dahulu menghela
napas berat.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Lalu..., mengapa hanya kalian bertiga yang mela-
kukan perjalanan ke tempat ini?! Mengapa putri Empu
Jangkar Bumi tak ikut serta?!"
"Dia tak ada di sana, lenyap begitu saja tanpa kami
ketahui ke mana perginya sebelum Guru meninggal.
Bahkan, ketika Guru meninggal pun, dia tak tahu.
Semula aku, Antasena, dan Jembawati tak tahu, men-
gapa dia meninggalkan kediamannya tanpa pamit.
Hhh...! Aku tak pernah mimpi kalau nasib dirinya de-
mikian buruk, Dewa Arak...," desah Abiyasa sedih,
"Tak seorang pun yang tahu nasib yang menim-
panya, Kang. Dan, kita tak bisa menyalahkan keper-
gian putri Empu Jangkar Bumi. Apa yang menimpanya
terlalu mengerikan...," ujar Arya, ikut prihatin.
Abiyasa mengangguk-anggukkan kepala, membe-
narkan ucapan Arya.
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan atau da-
patkan di sini, Kang," ujar Arya, setengah mengin-
gatkan.
"Kau benar, Dewa Arak. Tak ada gunanya lagi be-
rada di sini. Lebih baik kalau kita mencari tahu ke
mana perginya orang-orang di tempat ini. Barangkali
saja kita bisa mendapatkan keterangan untuk men-
gungkap masalah ini, Tapi..., apakah kau tidak ingin
beristirahat dulu?!" tanya Abiyasa agak cemas, karena
melihat darah yang masih mengalir di sudut mulut
pemuda berpakaian ungu itu.
"Hanya luka kecil, Kang. Dan, ini bisa ku atasi
sambil kita mencari keterangan," tolak Arya halus.
Abiyasa tak membantah lagi, selain menyetujui.
Lagi pula, menurut pemikirannya, keterangan itu tak
akan terlalu jauh dari tempat ini. Menurut perhitun-
gannya, penduduk daerah ini pun pasti tahu ke mana
perginya kelompok si Tongkat Halilintar. Tapi, justru
ingatan itulah yang membuatnya berpikiran lain
"Kurasa, sebaiknya besok pagi saja kita meninggal-
kan tempat ini. Arya. Sebentar lagi matahari akan
muncul, dan para penduduk akan bermunculan.
Mungkin mereka dapat memberitahu kita tentang ke-
jadian di tempat ini."
"Begitu juga boleh, Kang. Biarlah kupergunakan
waktu yang tersisa untuk mengobati luka dalamku dan
memulihkan tenaga," ujar Dewa Arak menyetujui.
***
Abiyasa menguap lebar-lebar, dan mengerjap-
ngerjapkan matanya ketika sang suiya mengenai wa-
jahnya. Meski belum panas, tapi cukup membuatnya
merasa silau dan terjaga dari tidur sebentarnya. Di se-
belahnya, Dewa Arak pun sudah membuka matanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan
semadinya dan menoleh ke arah murid Empu Jangkar
Bumi.
"Ada orang yang tengah menuju ke tempat ini...,"
kata Dewa Arak lirih.
"Aku pun mendengarnya, Dewa Arak. Dan, seper-
tinya orang ini tak terlalu berbahaya, langkah kakinya
terdengar jelas oleh telingaku," timpal Abiyasa tenang.
Lelaki jangkung itu tahu, gerak langkah yang ter-
dengar menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tu-
buh yang dimiliki orang itu masih rendah. Dan itu me-
nunjukkan kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya
pun tak tinggi. Setidak-tidaknya, Abiyasa yakin kalau
akan dapat menandinginya.
"Kurasa sebaiknya kita bersembunyi dulu, Kang,"
saran Arya. "Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan-
nya di tempat Ini. Kalau kita terlihat, kemungkinan be-
sar ia akan membatalkan maksudnya."
Usai berkata begitu, Dewa Arak melesat ke atas
genteng dan mendarat di sana tanpa suara. Hanya
berbeda sesaat saja, Abiyasa ikut menyusulnya. Dan
dari tempat persembunyian itu, keduanya mengintai
ke arah pintu gerbang.
Tak lama menunggu, daun pintu gerbang yang ter-
buat dari kayu tebal dan berat, tiba-tiba bergerak ter-
buka. Bunyi berderak yang cukup nyaring dari daun
pintu itu mengiringi langkah masuk seorang lelaki se-
tengah tua berpakaian sederhana warna coklat.
Arya dan Abiyasa saling berpandangan dengan si-
nar mata kecewa. Dari pakaian yang dikenakan dan
gerak-geriknya, kedua orang itu bisa menduga kalau
lelaki setengah baya yang baru saja masuk bukan
orang yang terbiasa dengan kerasnya kancah dunia
persilatan
Keyakinan Arya dan murid Empu Jangkar Bumi
semakin membesar ketika melihat lelaki berpakaian
coklat itu mengambil sapu lidi yang pada bagian pang-
kalnya diikatkan pada sepotong kayu sepanjang seten-
gah tombak. Tambahan kayu itu membuat sapu jadi
lebih panjang. Dan, dengan sapu di tangan, lelaki se-
tengah baya itu mulai membersihkan halaman!
"Kurasa tak ada gunanya lagi kita mengintai lebih
jauh, Dewa Arak," ujar Abiyasa, lirih, "Lelaki itu bukan
termasuk orang yang mempunyai urusan seperti kita.
Tapi, setidak-tidaknya dia mempunyai hubungan den-
gan kelompok si Tongkat Halilintar. Mungkin dia bisa
memberi keterangan yang jelas mengenai ketidak-
beradaan orang-orang di sini," lanjut Abiyasa menam-
bahkan
Arya tersenyum lebar dan menganggukkan kepa-
lanya pertanda setuju. Dan, dengan didahului oleh Ab-
iyasa, kedua orang itu melompat dan mendarat di ta-
nah.
Bunyi yang ditimbulkan kaki Abiyasa, membuat le-
laki berpakaian coklat itu menoleh. Pekerjaannya lang-
sung dihentikan. Tapi, sebelum lelaki itu bertindak
atau berbicara apa pun, Abiyasa sudah mendahului
"Jangan cemas, Sobat. Kami berdua tak bermak-
sud jahat," ujar Abiyasa ramah.
"Mengapa kalian berada di tempat ini, dan apa
yang kalian inginkan dariku?!" tanya lelaki berpakaian
coklat, seraya menatap Arya dan Abiyasa berganti-
panti. Sinar matanya penuh selidik dan kecurigaan.
"Aku dan kawanku ini mendapat perintah dari gu-
ruku untuk bertemu dengan pemilik tempat ini yaitu si
Tongkat Halilintar. Guruku adalah sahabat baik be-
liau," jelas Abiyasa cepat-cepat agar tak terjadi peristi-
wa yang tak diharapkan.
"Boleh ku tahu siapa gurumu Sobat?" tanya lelaki
setengah baya lagi tanpa mengurangi perasaan curi-
ganya.
"Perlukah itu?" tanya Abiyasa dengan alis bertaut,
karena kurang setuju
"Perlu sekali karena akulah yang diberikan wewe-
nang dan tanggung jawab penuh dari si Tongkat Hali-
lintar," jawab lelaki berpakaian coklat dengan nada
kaku. "Kalau kau tak mau memberitahu, silakan ang-
kat kaki dari tempat ini!" serunya gusar.
"Baiklah kalau demikian," keluh Abiyasa sambil
menghela napas berat. "Tapi aku ingin tahu, apakah
kau mengenal atau setidak-tidaknya tahu sahabat-
sahabat si Tongkat Halilintar?!" tanya Abiyasa ingin
tahu.
"Katakan saja, Sobat. Beliau sudah banyak menga-
takan padaku mengenai siapa sahabat-sahabatnya, te-
rutama yang terbaik," kilah si lelaki setengah baya.
"Aku murid dari Empu Jangkar Bumi," Jawab Ab-
iyasa kalem seraya memperhatikan wajah lawan bica-
ranya lekat-lekat untuk melihat reaksinya.
Apa yang diharapkan Abiyasa memang terkabul.
Wajah orang yang dipercayakan si Tongkat Halilintar
itu tampak beriak memperlihatkan keterkejutannya.
"Itu belum merupakan jaminan, Sobat," bantah le-
laki berbaju coklat itu halus. "Setiap orang bisa saja
menyebut Empu Jangkar Bumi. Dan, hampir setiap
orang tahu kalau empu itu adalah sahabat dari si
Tongkat Halilintar. Kalau kau benar muridnya, kata-
kana siapa nama aslinya," desak lelaki setengah baya
itu masih belum percaya.
"Narotama," jawab Abiyasa singkat. "Bagaimana?!
Masih kurang percaya?!"
"Sekarang aku sudah percaya, Abiyasa," ujar wakil
si Tongkat Halilintar dengan suara yang mulai melem-
but dan wajah berseri-seri. "Maafkan kalau sambutan-
ku kurang berkenan di hatimu. Tapi, hal itu kulaku-
kan dengan sangat terpaksa. O, ya, panggil saja aku
Sawunggaling," ujar lelaki itu lagi memperkenalkan di-
ri.
"Tak mengapa, Sawung. Aku bisa memaklumi
mengapa kau bertindak seperti itu. Sekarang, boleh ku
tahu, mengapa tempat ini sepi?!"
"Mereka semua sudah pergi," jelas Sawunggiling li-
rih. "Mula-mula rombongan murid-murid si Tongkat
Halilintar yang meninggalkan tempat ini. Mereka
menggunakan kuda dan kereta. Di dalam kereta itu
terdapat seorang wanita muda. Kepergian mereka san-
gat tergesa-gesa, entah mengapa aku sendiri tak tahu.
Lalu beberapa hari kemudian, si Tongkat Halilintar
pun pergi. Dia hanya berpesan padaku, agar setiap ha-
ri menengok tempat ini, menunggu kedatangan utusan
Empu Jangkar Bumi. Syukurlah kau sudah datang,
sehingga amanat yang membebani ku sirna sudah..."
kata Sawunggaling senang.
"Apakah rombongan si Tongkat Halilintar itu ber-
pakaian seragam coklat, Paman?!" tanya Arya, ketika
Sawunggaling sudah menghentikan ceritanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu teringat pa-
da mayat-mayat yang tubuhnya tercerai-berai, yang
semula merupakan teka-teki baginya. Ia teringat kem-
bali kalau di antara mayat-mayat itu bergeletakan po-
tongan-potongan tongkat besi dan kayu yang pada sa-
lah satu potongannya tergurat gambar kilat
"Benar, Anak Muda. Di samping itu mereka semu-
anya bersenjatakan tongkat. Murid-murid yang sudah
mencapai tingkatan lebih tinggi bersenjatakan tongkat
kayu, sisanya tongkat besi. Tapi pada bagian tiap
tongkat terdapat guratan bergambar kilat halilintar."
jelas Sawunggaling cepat. Apakah kau bertemu dengan
mereka?!" tanyanya kemudian penuh harap.
Arya tak segera menjawab pertanyaan itu. Ia malah
menghela napas berat dengan wajah menyiratkan ke-
dukaan. Melihat itu, Sawunggaling yang menunggu ja-
waban dari mulut Arya, dapat menduga telah terjadi
sesuatu yang tak menyenangkan. Sungguh pun demi-
kian sebelum didengarnya sendiri jawaban yang pasti,
lelaki setengah baya itu belum merasa yakin.
"Katakanlah, Anak Muda. Apa yang telah terjadi
atas mereka?! Katakan saja agar hatiku tenang. Per-
cayalah aku telah siap mendengar apa yang akan kau
katakan, sekalipun merupakan berita terburuk," desak
Sawunggaling tak sabar.
"Mereka semua telah tewas," jelas Arya lirih.
Kemudian, secara singkat tapi jelas, pemuda men-
ceritakan semua yang diketahuinya.
Sawunggaling mendengarkan semua cerita Arya.
Tak seluruhnya bisa ditangkap. Sepasang telinganya
memang mendengar, tapi otaknya yang seperti beku
ketika mendengar berita kematian murid-murid Tong-
kat Halilintar itu, membuatnya seperti orang kehilan-
gan akal.
Sampai Arya menyelesaikan ceritanya, Sawunggal-
ing masih terpaku dengan sinar mata kosong. Tampak
jelas perasaan terpukulnya. Melihat kenyataan ini De-
wa Arak segera memberikan isyarat pada Abiyasa.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan
Sawung. Percayalah, bantuan yang kau berikan besar
artinya buat kami. Sekarang, kami akan pergi untuk
melanjutkan usaha menyingkap rahasia ini. Selamat
tinggal," ujar Abiyasa lambat-lambat dan pelan.
Sawunggaling kelabakan. Ucapan Abiyasa mem-
buatnya tersadar kembali kalau di tempat itu masih
ada orang lain.
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima ka-
sih pada kalian. Dan, harap maafkan sambutan yang
mungkin kurang berkenan. Kudoakan Kalian berhasil
dalam menyingkap rahasia ini," sahut lelaki setengah
baya itu terbata-bata.
"Mudah-mudahan, Paman," ujar Arya memberikan
tanggapan, sebelum melangkah meninggalkan tempat
itu diikuti oleh Abiyasa
Tapi, baru beberapa langkah meninggalkan pintu
gerbang, tiba-tiba Dewa Arak menghentikan langkah-
nya. Abiyasa yang berjalan di sebelahnya, mau tak
mau ikut melakukan hal yang sama. Sepasang mata
murid Empu Jangkar Bumi itu menyiratkan sinar pe-
nuh selidik dan keheranan ketika menatap Arya.
"Ada apa, Arya?" tanya Abiyasa tanpa menyembu-
nyikan rasa ingin tahu dan rasa khawatirnya.
Dengan gerak isyarat, Arya meminta Abiyasa untuk
bersabar. Kemudian, tanpa menunggu tanggapan mu-
rid Empu Jangkar Bumi itu, Dewa Arak memusatkan
perhatian pada pendengarannya. Kali ini apa yang ter-
tangkap oleh telinganya, terdengar lebih jelas.
"Aku mendengar suara orang merintih-rintih.
Sayang, suaranya tak begitu jelas. Mungkin masih
jauh juga dari tempat ini. Aku yakin, ada orang yang
membutuhkan pertolongan. Sayangnya, aku tak bisa
melacak asal suara itu," sesal Arya, setengah memberi-
tahu Abiyasa.
"Mengapa mesti bingung, Dewa Arak?! Serukan sa-
ja pemberitahuan keras, sehingga terdengar sampai
jauh, dan terdengar oleh orang yang terluka. Kau min-
ta dia mengeluarkan bunyi-bunyian sampai kau dapat
melacak arahnya," usul Abiyasa, setelah berpikir seje-
nak.
"Iya, kalau orang itu percaya kita berniat meno-
longnya, Kang. Bagaimana kalau orang itu malah me-
nyangka kita, yang meneriakkan pemberitahuan itu,
sengaja menjebaknya?! Siapa tahu, orang itu malah
menyangka teriakan yang ku keluarkan adalah teria-
kan dari lawannya?!" tanya Dewa Arak, tak setuju den-
gan usul yang diajukan oleh murid Empu Jangkar
Bumi itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu kemudian
mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia dan Abiyasa
berdiri di atas tanah berdebu. Di sekelilingnya, di de-
pan, kanan, dan kirinya berupa dataran turunan yang
tak rata. Rerumputan, semak-semak, dan pepohonan,
terdapat di segala penjuru.
Abiyasa membiarkan saja pemuda berambut putih
keperakan itu mengerjakan apa yang diinginkannya.
Apalagi ketika dilihatnya Arya memejamkan sepasang
matanya, murid Empu Jangkar Bumi itu sampai-
sampai menahan napas karena khawatir mengganggu
Arya yang tengah memusatkan seluruh perhatian pada
pendengarannya agar dapat menangkap bunyi yang li-
rih sekalipun!
"Kudapatkan arahnya, Kang!" seru Arya tiba-tiba.
Abiyasa sampai terjingkat ke belakang saking kagetnya
ketika mendengar seruan Arya yang mendadak itu.
Pemuda berpakaian ungu itu membuka sepasang ma-
tanya dan mengarahkannya ke depan, agak ke sebelah
kiri di mana terdapat dataran naik turun bergelom-
bang dengan ditumbuhi rumput-rumput hijau setinggi
betis.
"Kali ini bukan hanya bunyi rintihan, tapi langkah.
Langkah lambat-lambat. Sepertinya, orang itu tengah
menderita luka yang cukup parah," ujar Arya yakin.
Bersamaan dengan itu, secepat kilat Arya melesat
ke arah yang diyakininya. Abiyasa tak mau ketingga-
lan. Pemuda itu agak membatasi kecepatan larinya
agar Abiyasa tak terlalu jauh tertinggal.
Setelah melalui medan naik turun bergelombang
sejauh belasan tombak, Dewa Arak baru melihat kebe-
naran apa yang didengarnya. Di kejauhan dilihatnya
sesosok manusia dengan pakaian coklat tengah berlari
terhuyung-huyung ke arah yang baru saja ia tinggal-
kan.
Sosok yang belum jelas terlihat oleh Arya itu bebe-
rapa kali hampir terguling. Tapi, berkat tongkat di tan-
gannya yang dijadikan tempat bertahan dengan mene-
kankannya ke tanah dan bertelekan pada tongkat itu,
tubuhnya tak sampai terguling.
Sosok coklat itu ternyata juga telah melihat kehadi-
ran Arya. Berbeda dengan Arya yang terus melesat, so-
sok itu menghentikan larinya dan malah membalikkan
tubuhnya kembali ke tempatnya semula.
Arya tahu kalau sosok itu salah paham. Tapi, dis-
adarinya penjelasannya akan kurang berguna tanpa
disertai tindakan. Maka, kecepatan larinya pun ditam-
bah, sampai akhirnya ia melewati sosok coklat itu,
membalikkan tubuh dan menghadang larinya.
***
7
"Tenang, Paman, aku tak bermaksud jahat. Per-
cayalah! Bahkan aku bermaksud menolongmu!" seru
Aiya cepat ketika melihat sosok itu yang ternyata ada-
lah seorang lelaki setengah baya yang bermaksud me-
lancarkan serangan dengan tongkatnya.
Lelaki berkumis melintang dan kening lebar itu se-
gera hentikan gerakannya. Meskipun demikian, sikap-
nya masih memperlihatkan kecurigaan besar. Tongkat
bambunya tercekal erat di tangan kanannya.
"Bukankah kau orang yang mendapat julukan si
Tongkat Halilintar, Paman?" tanya Dewa Arak mener-
ka, setelah memperhatikan pakaian dan tongkatnya
yang berguratkan lukisan kilat. Ia semakin yakin akan,
dugaannya ketika menatap matanya. Sorot mata itu
bagai mata harimau dalam gelap. Arya tahu, murid-
murid si Tongkat Halilintar tak akan mungkin memiliki
sinar mata seperti itu. Karena itulah, dugaannya jatuh
pada si Tongkat Halilintar.
"Siapa kau, Anak Muda?! Aku tak mengenalmu,"
bentak lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan
jawaban.
"Aku Arya, kawan dari murid Empu Jangkar Bumi,
Paman," jelas Arya cepat, karena tak menginginkan
terjadinya salah paham. "Nah! Itu Abiyasa, kawanku,
murid dari Empu Jangkar Bumi yang menjadi sahabat
baikmu," lanjut Arya sambil menunjuk Abiyasa yang
sedang berlari ke tempat itu.
Lelaki berkumis melintang yang sudah terluka pa-
rah dengan darah kering tampak di sekujur tubuh dan
pakaiannya, menoleh ke belakang. Tapi sedikit pun ia
tak mengalihkan perhatiannya dari Dewa Arak. Ru-
panya dia merasa khawatir akan dibokong dari bela-
kang oleh pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi Arya memang tak menipu. Di belakang lelaki
berpakaian coklat itu, tampak Abiyasa tengah berlari-
lari mendekati mereka. Sesaat kemudian, murid Empu
Jangkar Bumi sudah berada di dekat keduanya.
"Benarkah kau murid Empu Jangkar Bumi?!"
tanya lelaki berkumis melintang, dengan suara berge-
tar dan penuh harapan.
"Benar. Dan kau sendiri benarkah si Tongkat Hali-
lintar yang menjadi sahabat guruku?!" Abiyasa balik
bertanya setelah memberitahukan nama asli gurunya
dan nama dirinya sendiri.
"Tidak salah, Abiyasa. Akulah si Tongkat Halilintar
yang mempunyai nama asli Subarnaga," jelas lelaki
berpakaian coklat itu bernada gembira.
Abiyasa pun merasa gembira bukan main dengan
pertemuan itu. Kemudian ia memperkenalkannya pada
Arya. Si Tongkat Halilintar kaget bercampur gembira
dan kagum ketika mengetahui siapa sebenarnya si
pemuda berambut putih keperakan itu. Hanya dalam
waktu sebentar saja, mereka bertiga sudah menjadi
akrab.
"Apa yang terjadi atas dirimu, Paman, sehingga kau
bisa luka-luka begitu?" tanya Abiyasa, setelah perca-
kapan pembukaan telah usai dan Arya sudah membe-
rikan pertolongan sekadarnya agar luka si Tongkat Ha-
lilintar tak bertambah parah. Dengan pengerahan ha-
wa murninya, Dewa Arak sudah meringankan luka-
luka yang diderita Subarnaga.
"Ceritanya cukup panjang, Abiyasa," sahut Tongkat
Halilintar setelah terlebih dulu menghela napas berat.
Ditatapnya wajah Arya dan Abiyasa berganta ganti.
"Dan, hal ini sekaligus menjawab ketidaktahuan mu
mengenai Nawang Wulan."
"Ceritakanlah, Paman, kami siap mendengarnya,!"
sahut Abiyasa antusias, mengingat rahasia mengenai
gurunya akan segera tersingkap
"Beberapa tahun lalu gurumu, Empu Jangkar Bu-
mi datang ke tempatku bersama dengan putrinya, Na-
wang Wulan. Si empu itu menitipkan putrinya padaku,
karena menderita sakit kurang waras. Nawang Wulara
gila...."
Abiyasa merasakan dadanya bagai ditabrak seekor
kerbau liar, sesak. Sama sekali tak disangkanya akan
mendengar cerita seperti itu. Kalau bukan si Tongkat
Halilintar yang memberitahukan, dia pasti tak akan
percaya.
"Narotama membawa Nawang Wulan padaku untuk
disembuhkan penyakitnya. Memang, aku cukup mahir
dalam ilmu pengobatan. Usahaku ternyata tak sia-sia.
Dalam beberapa bulan gadis itu sudah berhasil sem-
buh. Tapi, tak lama kemudian kambuh lagi, bahkan
lebih parah."
"Kenyataan itu membuatku sadar tak akan mampu
menyembuhkan penyakit Nawang Wulan. Kendati de-
mikian, aku tak putus asa! Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan memang terbatas. Tapi, tak demikian den-
gan paman guruku. Hampir tak ada penyakit yang tak
bisa disembuhkannya. Kemampuanku dalam ilmu
pengobatan pun ku peroleh darinya. Sayang, aku
hanya mempelajarinya sebentar...."
"Karena tempat tinggal paman guruku amat jauh.
Lagi pula, aku tak yakin beliau masih di tempatnya
yang kuketahui karena kesukaannya berpindah-
pindah tempat, kuperintahkan sebagian muridku un-
tuk membawa Nawang Wulan pada ayahnya, Empu
Jangkar Bumi. Bisma, putraku, berkeras ikut dalam
rombongan. Aku tak bisa melarangnya. Aku tahu dia
telah jatuh hati pada Nawang Wulan."
"Sepeninggal mereka, aku pergi untuk mencari
paman guruku. Sebelum pergi, kuperintahkan murid-
muridku yang tersisa untuk meninggalkan tempat me-
reka bernaung selama ini. Aku tak ingin terjadi sesua-
tu yang tak diinginkan pada mereka. Tapi, kupesankan
pada salah seorang di antara mereka untuk mengawasi
tempat itu...."
Aiya dan Abiyasa saling berpandangan. Sekarang
mereka mengerti, mengapa tempat tinggal Tongkat Ha-
lilintar tak berpenghuni sama sekali
"Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang
mencari paman guruku. Dan ternyata aku datang ter-
lambat. Seorang tokoh sesat telah lebih dulu menahan
beliau. Semula aku tak tahu maksudnya. Tapi, bela-
kangan kuketahui kalau tokoh itu bermaksud memin-
ta keterangan pada paman guruku mengenai Empu
Jangkar Bumi, yang secara mengejutkan jadi memiliki
kepandaian luar biasa tingginya. Paman guruku itu, di
samping memiliki ilmu pengobatan, juga memiliki ilmu
meramal yang mengagumkan! Hanya sayangnya, ke-
pandaiannya tak setinggi ilmu pengobatan dan mera-
malnya. Aku yang tak ingin beliau celaka, segera me-
nyerang tokoh sesat itu."
"Sayangnya, aku bukan tandingannya. Dia lihai
bukan main. Dalam beberapa puluh jurus aku sudah
dilukainya. Karena yakin tak bakal menang mengha-
dapinya, aku melarikan diri. Tokoh sesat itu tak men-
gejar, tapi aku yakin kalau dia akan mencariku."
"Apakah kau mengenalnya, Paman?!" tanya Arya
ingin tahu.
"Kenal sih tidak. Tapi, dia memperkenalkan diri se-
bagai putra dari Setan Tengkorak Merah."
"Itu pasti Tengku Daud...," gumam Arya dan Abiya-
sa hampir berbarengan.
"Jadi, orang itu pula yang hampir mencelakaimu
itu, Abiyasa?!" tanya si Tongkat Halilintar ketika terin-
gat akan cerita Abiyasa. Murid Empu Jangkar Bumi itu
memang sudah menceritakan semua kejadian yang di-
alaminya.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Sama sekali tak kusangka kalau rahasia yang me-
lingkupi masalah pesan Guru semakin bertambah, bu-
kannya tersingkap. Sekarang, kita mesti mencari tahu
ke mana lenyapnya Nawang Wulan dan Jembawati.
Mungkinkah mereka berdua diculik oleh sosok coklat
yang gemar menggeram itu?!" ujarnya setengah menge-
luh.
"Maaf, Kang. Apakah kau tak tersinggung bila ku
ajukan sebuah pertanyaan?!" tanya Arya hati-hati se-
kali.
"Mengapa harus tersinggung, Dewa Arak?!" Abiyasa
malah balas bertanya. "Tak usah ragu-ragu, katakan
saja!"
"Begini, Kang, benarkah kau sudah melihat sendiri
kalau Empu Jangkar Bumi sudah tewas?!"
"Tentu saja, Dewa Arak. Bahkan aku telah mengu-
burkannya!" jawab Abiyasa, mantap. "Boleh ku tahu
mengapa kau bertanya demikian?!" tanya Abiyasa he-
ran.
"Ucapan Darsakala, Kang," jawab Arya, puas men-
dapat jawaban mantap dari murid Empu Jangkar Bu-
mi itu. "Kakek itu sama sekali tak percaya kalau Empu
Jangkar Bumi sudah mati. Aku ingin tahu apa alasan-
nya!"
"Aku yakin tak ada alasan sama sekali, Dewa Arak.
Darsakala mengada-ada sendiri! Dia tak ingin Empu
Jangkar Bumi mati, kecuali oleh tangannya sendiri!
Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk membantah
keteranganku! Kematian Empu Jangkar Bumi mem-
buatnya sia-sia melatih diri selama ini! Aku yakin, Ka-
kek itu telah berusaha mati-matian untuk menambah
kepandaian agar bisa membalaskan kematian pu-
tranya. "
Penjelasan panjang lebar Abiyasa memang masuk
akal. Mau tak mau, Arya pun dapat menerima kebena-
ran ucapan itu.
Mendadak sekelebatan dugaan muncul di benak
Dewa Arak. Ia menduga sosok coklat yang gemar
menggeram itu adalah salah satu dari dua orang yang
ada di dekatnya. Masing-masing mereka, mempunyai
dasar untuk dijadikan tertuduh.
Abiyasa berada dekat dengan kejadian di mana
Dewa Arak mendapat penyerangan dari sosok coklat
yang luar biasa itu. Dan, siapa yang bisa menjamin ce-
rita Abiyasa benar? Tak ada! Di lain pihak, si Tongkat
Halilintar mempunyai alasan kuat untuk dijadikan ter-
tuduh karena pakaian serba coklat yang dikenakan-
nya. Bukankah sosok yang gemar menggeram itu ber-
warna coklat?!
Arya membantah dugaan yang muncul di benaknya
secara sekelebatan. Ia menyadari kalau dugaan itu ter-
lalu mengada-ada. Bukankah sosok coklat itu berke-
pandaian luar biasa tinggi dan berperawakan besar,
yang sudah pasti jauh lebih besar daripada Abiyasa
atau pun si Tongkat Halilintar!
Tapi bantahan yang muncul itu terbantah lagi keti-
ka Dewa Arak teringat akan pengalamannya. Ia pernah
bertemu dengan tokoh sesat yang mampu mengubah
tubuhnya menjadi jauh lebih besar. Dan, dengan tu-
buh yang membesar itu, tokoh tersebut memiliki ke-
pandaian berlipat. Tokoh itu bernama Samukti, dan
ilmu luar biasa itu 'Urai Raga' (Untuk jelasnya menge-
nai tokoh Samukti dan ilmunya silakan baca episode:
"Sengketa Guci Pusaka"). Bukan tak mungkin kalau
kejadian seperti Samukti berulang pada tokoh lainnya.
Di saat dugaan yang muncul sekelebatan itu membuat
batin Arya berperang, terdengar bunyi geraman keras
yang telah akrab di telinga Arya dan Abiyasa. Kedua
orang itu sudah pernah mendengarnya, dan tak
mungkin lupa.
Wajah Arya, Abiyasa, dan Tongkat Halilintar beru-
bah seketika. Begitu mendengar geraman itu, Dewa
Arak langsung memaki dirinya sendiri di dalam ha-
tinya. Memaki dirinya karena sudah menduga yang
bukan-bukan terhadap Abiyasa dan si Tongkat Halilin-
tar.
Bagai sudah disepakati sebelumnya, Dewa Arak,
Abiyasa, dan Tongkat Halilintar melesat ke arah asal
geraman itu. Arya yang memiliki ilmu lari paling tinggi,
berada jauh di depan. Abiyasa dan si Tongkat Halilin-
tar berlari berjajar. Si Tongkat Halilintar sebenarnya
memiliki kemampuan jauh di atas Abiyasa, tapi karena
saat itu ia sedang tak berada dalam keadaan biasanya,
gerakannya jadi agak berkurang.
Tak sampai lima puluh tombak, setelah melewati
kerimbunan semak-semak, Dewa Arak melihat sesosok
hitam melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali
di udara. Pada saat yang bersamaan, terdengar bunyi
angin menderu yang luar biasa kerasnya.
Brakkk!
Pohon besar berbatang lima pelukan orang dewasa
yang berada di dekat situ hancur berantakan dan ja-
tuh di tanah menimbulkan bunyi berisik disertai bau
hangus terbakar. Dewa Arak yang berada kira-kira tiga
tombak dari tempat itu, sempat terkejut dan melompat
ke belakang.
Tapi secepat itu pula Dewa Arak melesat mendekati
tempat asal angin menderu, yang diyakininya merupa-
kan lontaran pukulan jarak jauh seseorang yang me-
miliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Dan, dilihatnya
sosok hitam itu melesat turun seraya mengirimkan se-
rangan berupa tusukan, ke arah sosok yang ada di
bawahnya. Di tangan sosok hitam itu tergenggam sen-
jata, yang meskipun hanya terlihat berupa bayangan
karena gerakannya sangat cepat, Arya tahu kalau itu
adalah rencong! Bahkan Arya kini tahu kalau sosok hi-
tam itu adalah Tengku Daud! Rupanya putra Setan
Tengkorak Merah itu sudah menyadari kalau lawan
yang dihadapinya amat tangguh, sehingga sampai
mengeluarkan senjata andalannya. Senjata khas dari
daerah kelahirannya, Aceh!
Arya tak kaget melihat keberadaan Tengku Daud,
mau pun serangannya yang dahsyat. Pemuda berpa-
kaian ungu itu justru terpaku ketika melihat sosok
yang menjadi lawan putra Setan Tengkorak Merah itu.
Sosok yang diyakini betul oleh Arya sebagai sosok cok-
lat yang dulu menyerangnya, dan yang selalu mengge-
ram. Tapi ia sama sekali tak menyangka kalau sosok
itu demikian mengiriskan hati!
Sosok itu berdiri di atas tanah, berjarak tiga tom-
bak dari Arya dan hanya dipisahkan oleh kerimbunan,
semak-semak. Sosok itu tinggi besar, hampir mencapai
satu setengah tombak! Sekujur tubuh sosok itu diseli-
muti bulu coklat. Sosok yang biasanya terlihat sebagai
bayangan coklat itu ternyata adalah seekor monyet be-
sar! Monyet berbulu coklat yang kelihatan demikian
ganas dan menakutkan!
Mata Arya tak berkedip ketika ujung rencong Teng-
ku Daud semakin mendekati sasaran, yaitu ulu hati si
monyet besar, dengan kecepatan menakjubkan.
Monyet coklat mengayunkan tangannya ketika ren-
cong semakin mendekat. Terdengar bunyi berderak ke-
tika pergelangan tangan Tengku Daud tertangkap jari-
jari tangan yang luar biasa besarnya itu. Tengku Daud
tak kuasa menahan keluarnya jeritan tertahan, karena
terkejut luar biasa.
Tapi Tengku Daud tak tinggal diam. Dengan tangan
yang satunya dan sepasang kakinya, ia ingin melan-
carkan serangan susulan agar dapat membebaskan
tangannya dari cekalan makhluk itu. Tapi Tengku
Daud kalah cepat bertindak. Makhluk yang luar biasa
kuatnya itu menggerakkan tangannya, memutarkan
tubuh pemuda berpakaian hitam itu mengelilingi tu-
buhnya.
Putaran itu ditopang oleh tenaganya yang luar bi-
asa kuat. Betapa pun Tengku Daud berusaha mena-
hannya, dia tetap tak mampu. Tubuhnya berputar
dengan cepat. Semula memang tak terlalu berpenga-
ruh. Tapi, beberapa lama kemudian, Tengku Daud mu-
lai merasa pusing dan mual. Belum lagi dengan rasa
sakit yang luar biasa pada pergelangan tangannya
yang dicekal oleh monyet besar itu. Apalagi ketika ak-
hirnya tulang tangan itu hancur berantakan. Sekujur
wajah dan tubuh Tengku Daud seketika dipenuhi pe-
luh sebesar biji kedelai!
Semakin lama semakin tak ada perlawanan yang
diberikan putra Setan Tengkorak Merah itu. Tenaganya
melemah dengan cepat, karena tindakan makhluk rak-
sasa yang luar biasa itu. Dalam keadaan seperti itu
Tengku Daud masih sempat melihat tangan monyet
yang satunya meluncur ke arahnya.
Putra Setan Tengkorak Merah itu berusaha untuk
mengelak atau menangkis, tapi sia-sia. Ia merasakan
pergelangan tangannya yang sebelah lagi kini tercekal
oleh tangan si makhluk berbulu coklat yang besar itu.
Sesaat kemudian, pemuda itu merasakan tubuhnya
diangkat ke atas dan diayunkan ke bawah.
Arya yang melihat kejadian itu secara jelas, bisa
memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh monyet
besar itu ketika tubuh Tengku Daud dengan bagian
punggung lebih dulu, diayunkan menuju salah satu
pahanya yang dipalangkan.
Dewa Arak yang memutuskan untuk menolong
Tengku Daud dan mengirimkan pukulan maut ke arah
monyet coklat itu, mengurungkan maksudnya ketika
melihat keberadaan kakek berpakaian serba putih se-
derhana, bersandar pada batang pohon tak jauh dari
monyet itu. "Inikah paman guru si Tongkat Halilin-
tar?!" pikir Arya dalam hati.
Melihat itu, Arya segera memutuskan untuk me-
nyelamatkan yang lebih penting diselamatkan. Tapi ba-
ru saja ia hendak melesat, sesosok bayangan hijau te-
lah lebih dulu melesat menyambar tubuh si kakek
Kekhawatiran akan keselamatan paman guru
Tongkat Halilintar, membuat Dewa Arak melesat ke-
luar dari tempat persembunyiannya dan menghadang-
nya.
Sosok bayangan hijau terperanjat melihat kenya-
taan yang tak diduganya itu. Kendati demikian, ia tak
menjadi gugup. Dengan sebelah tangan dikirimkannya
gedoran ke arah rusuk Dewa Arak!
Arya tak berani memandang rendah serangan yang
tertuju ke arahnya. Apalagi setelah melihat kalau so-
sok hijau itu adalah Dewi Lanjar. Maka pemuda be-
rambut putih keperakan itu mengerahkan seluruh te-
naganya, ketika melakukan tangkisan!
Blarrr...!
Bersamaan dengan terjadinya benturan itu, ter-
dengar bunyi berderak keras disertai lolong kematian
dari mulut Tengku Daud. Tulang pinggang pemuda
berpakaian hitam itu hancur berantakan ketika ber-
benturan dengan tulang paha monyet besar. Darah
menyembur deras dari mulutnya, dan seketika itu pula
Tengku Daud tewas.
Sementara itu tangkisan yang dilakukan oleh Dewa
Arak, membuat tubuhnya dan tubuh Dewi Lanjar ter-
lempar ke belakang. Dewi Lanjar bernasib sial. Lonta-
ran tubuhnya ternyata menuju ke tempat monyet be-
sar berbulu coklat itu berada,
Dewi Lanjar baru menyadari akan adanya ancaman
bahaya ketika tubuhnya yang melayang itu mendadak
berhenti! Ada sepasang tangan kuat, besar, dan berbu-
lu yang mencengkeram kedua bahunya. Keras sekali
sehingga membuatnya kesakitan.
Dewi Lanjar bertindak cepat. Ia berusaha keras
meronta untuk melepaskan diri sambil mengirimkan
tendangan ke belakang dengan sasaran dada monyet
yang mencekalnya. Kedua kaki wanita berpakaian hi-
jau ini memang bebas, tergantung beberapa jengkal
dari permukaan tanah.
Tindakan yang dilakukan Dewi Lanjar ternyata
berbarengan dengan yang dilakukan monyet itu. Bina-
tang raksasa itu mengayunkan tubuh Dewi Lanjar ke
arah pahanya. Rupanya ia ingin membunuh Dewi Lan-
jar dengan cara yang sama seperti ia membinasakan
Tengku Daud!
Kesialan yang dialami Dewi Lanjar berlanjut. Kedu-
dukannya kurang menguntungkan. Tambahan lagi te-
naga monyet raksasa jauh lebih besar. Dan, jeritan
menyayat hati pun keluar dari mulutnya ketika tulang-
tulangnya hancur berantakan! Nyawa Dewi Lanjar me-
layang seketika itu juga.
Tanpa mempedulikan mayat Dewi Lanjar lagi, mo-
nyet berbulu coklat itu menatap Dewa Arak yang saat
itu baru berhasil mematahkan kekuatan yang mem-
buat tubuhnya melayang. Binatang raksasa itu mena-
tap Dewa Arak seraya mempertunjukkan giginya yang
runcing dan besar-besar.
Tanpa sadar Dewa Arak melangkah mundur, kare-
na bentuk monyet besar yang sangat mengerikan itu.
Walaupun demikian, pemuda itu tak merasa gentar.
Yang timbul dalam hatinya malah hasrat untuk mele-
nyapkan monyet besar itu agar pembantaian yang me-
rajalela itu dapat berakhir.
"Grrrhhh...!"
Makhluk itu tiba-tiba menggeram keras, membuat
daun-daun berjatuhan dari atas pepohonan. Apalagi
ketika sepasang tangannya yang besar dan terkepal itu
dipukulkan bertubi-tubi pada dadanya, sehingga me-
nimbulkan bunyi berdebuk keras yang membuat ba-
nyak pohon bergoyang-goyang seakan-akan sedang di-
landa gempa!
Dewa Arak tahu, bahaya besar sesaat lagi akan
menimpanya. Binatang yang luar biasa kuat itu tam-
paknya ingin melakukan sebuah serangan. Dan Arya
tak ingin didahuluinya. Buru-buru kedua tangannya
dihentakkan dengan mengeluarkan jurus 'Pukulan Be-
lalang'!
Menurut perhitungan, seekor binatang, betapa pun
cerdiknya tak akan dapat menguasai tenaga dalamnya.
Namun, apa yang ditunjukkan monyet besar itu ber-
lainan dengan kenyataan yang seharusnya terjadi. Bi-
natang yang mampu berdiri dengan kedua kaki itu, ju-
ga menghentakkan kedua tangannya melakukan tin-
dakan yang sama dengan Dewa Arak.
Dan yang lebih mengejutkan hati lagi, dari kedua
tangan yang jari-jarinya setengah terbuka itu berhem-
bus angin keras yang mengandung hawa panas luar
biasa. Malah masih lebih panas dari hawa yang me-
mancar dari pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Akibatnya, di tempat itu seperti tengah terjadi ke-
bakaran hutan. Hawa yang luar biasa panasnya me-
lingkupi sekitar tempat itu. Semak-semak dan pepoho-
nan, seketika itu pula layu dan hangus. Bahkan seba-
gian di antaranya terbakar. Padahal yang menyebab-
kan hal itu semua hanya pukulan angin. Itu pun tak
telak kenanya, malah menyerempet pun tidak!
Blarrr...!
Bumi bagaikan runtuh ketika dua rangkum angin
pukulan dahsyat berbenturan di tengah jalan diiringi
bunyi menggelegar keras seakan-akan sebuah gunung
sedang meletus.
Dewa Arak merasakan seperti menabrak dinding
baja yang luar biasa keras. Ia terpental ke belakang
dengan sekujur tubuh terutama tangan, sakit-sakit
dan ngilu. Dadanya sesak dan agak terguncang. Di
damping itu hawa panas pun merayapi sekujur tubuh-
nya, dengan kadar panas yang melebihi panas tenaga
dalamnya.
Luncuran tubuh pemuda berambut putih kepera-
kan itu baru terhenti ketika punggungnya membentur
sebatang pohon besar! Untung saja tenaga dalamnya
langsung menyebar ke sekujur tubuhnya sebelum
menghantam pohon itu. Jika tidak, benturan yang ke-
ras itu akan membuat punggung Arya luka-luka.
Arya masih mampu memperlihatkan kelihayannya
dengan berdiri tegak di atas tanah dengan mempergu-
nakan kedua kakinya. Memang, ia merasa pusing se-
kali. Pandangannya pun berkunang-kunang, karena
pengaruh benturan dan serangan hawa panas di selu-
ruh bagian tubuhnya. Meskipun demikian, ia tetap
memaksakan dirinya untuk melanjutkan pertarungan.
Di lain pihak, monyet besar berbulu coklat itu
tampaknya tidak terpengaruh dengan benturan dua
gundukan tak tampak dari pukulan jarak jauh itu. Bi-
natang yang mengerikan itu mengeluarkan suara ge-
raman bernada kemenangan, dan bersiap mengirim-
kan serangan lanjutan.
Arya merasakan detakan jantungnya mendadak
berpacu lebih cepat. Pemuda itu menyadari akan kea-
daannya yang berbahaya. Ia tak yakin akan mampu
menanggulangi serangan lanjutan makhluk besar yang
luar biasa itu.
Di saat-saat yang menegangkan itulah, terdengar
derap langkah dua pasang kaki. Arya mengerling se-
bentar, sedangkan monyet raksasa itu menoleh sambil
menggeram penuh kemarahan karena merasa tergang-
gu.
Tapi mendadak kemarahan monyet besar itu ber-
ganti dengan geraman lirih. Seperti halnya bunyi yang
dikeluarkan oleh binatang yang merasa ketakutan dan
gelisah!
Karuan saja tingkah binatang yang luar biasa itu
mengherankan Arya. Padahal, pemilik langkah-
langkah kaki itu adalah Abiyasa dan Tongkat Halilin-
tar! Dua lawan yang boleh dibilang sama sekali tak ada
artinya!
Tingkah monyet raksasa itu bahkan semakin
mengherankan. Binatang itu sambil menggeram lirih
memperdengarkan kegentaran dan kebingungannya,
binatang itu melangkah mundur. Di lain pihak, Abiya-
sa dan si Tongkat Halilintar terpaku kaku di tempat-
nya bagai orang kena sihir! Semangat dan nyali mereka
seperti lenyap entah ke mana begitu berpandangan
dengan sosok yang sama sekali tak mereka perkirakan!
Keheranan Arya semakin menjadi-jadi ketika meli-
hat monyet besar itu membalikkan tubuh dan melesat
meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang me-
nakjubkan. Padahal, binatang itu berlari dengan mem-
pergunakan keempat kakinya.
Dewa Arak, satu-satunya orang yang masih sadar
sepenuhnya baru mengerti akan teka-teki yang selama
ini tak terjawab. Dilihatnya makhluk yang mengerikan
itu melesat menerobos kerimbunan semak-semak di
sebelah kanan. Tapi anehnya, semak-semak dan pepo-
honan yang seakan dilanda badai adalah yang berada
di sebelah kiri. Entah dengan ilmu dan cara bagaimana
binatang yang luar biasa besarnya itu bisa melaku-
kannya, Arya tak mengerti, dan tak bisa menjawabnya.
Yang jelas, keanehan yang dulu membuatnya bingung,
telah terjawab.
"Hhh,..!"
Sambil menghela napas berat dan mengerahkan
hawa murni untuk mengusir hawa panas di sekujur
tubuhnya, pemuda berpakaian ungu itu menghampiri
Abiyasa dan si Tongkat Halilintar yang masih terpaku
di tempatnya. Rupanya dua orang itu benar-benar ter-
kejut ketika melihat monyet coklat yang sangat menye-
ramkan dan merindingkan bulu kuduk itu.
"Aku bersyukur sekali kalian berdua datang pada
saat yang tepat," ucap Arya pelan, ketika diyakininya
sergapan hawa panas itu sudah hilang dan tak mem-
bahayakannya lagi. Ia telah lolos dari kemungkinan
terluka dalam.
Abiyasa dan si Tongkat Halilintar bagaikan orang
tidur diguyur panas, kelabakan dan kebingungan. Arya
memang tak hanya sekadar berbicara. Meski hanya pe-
lan, tapi dengan tenaga dalamnya yang tinggi, pemuda
berpakaian ungu itu mampu mengguncang bagian
otak yang berhubungan dengan kesadaran, sehingga
dua lelaki setengah baya itu tersadar dari keterpa-
kuannya.
8
"Ke mana perginya monyet raksasa itu, Dewa
Arak?" tanya Abiyasa tergagap.
Kegagapannya disebabkan karena kesadaran di-
rinya yang dilakukan secara paksa oleh Dewa Arak,
dan juga karena teringat kembali akan monyet besar
berbulu coklat yang dilihatnya.
Murid Empu Jangkar Bumi dan juga si Tongkat
Halilintar mengedarkan pandangan ke sana kemari,
mencari-cari makhluk yang luar biasa besarnya itu.
Tapi sampai lelah bola mata mereka berputar, tak juga
menemukan binatang yang dicarinya.
"Binatang itu sudah pergi," jelas Arya. "Binatang
itulah yang telah membantai semua muridmu, Paman.
Dan, bahkan telah membantai Antasena, murid Empu
Jangkar Bumi yang lainnya."
"Tidak masuk di akal, Dewa Arak!" desis si Tongkat
Halilintar, tak sependapat. "Betapapun perkasanya bi-
natang raksasa itu, tapi menghadapi tokoh-tokoh silat
yang terlatih baik, rasanya mustahil menang."
"Tapi itulah kenyataannya, Paman," tegas Arya "Ka-
lau saja Paman dan Kakang Abiyasa tak segera datang,
mungkin aku pun sudah menjadi mayat yang tak utuh
lagi, menyusul Tengku Daud."
"Tokoh sesat sakti itu mati di tangan monyet rak-
sasa?!" tanya si Tongkat Halilintar tanpa menyembu-
nyikan ketidakpercayaannya. Tapi ia memang tak bisa
untuk tak percaya, karena bukti jelasnya tergolek di
depannya. Lagi pula, orang seperti Dewa Arak mana
mungkin berbohong. "Kalau tak mendengar dari mu-
lutmu, aku tak akan percaya, Dewa Arak," ujar si
Tongkat Halilintar lagi.
"Memang sulit untuk dipercaya, Paman. Aku pun
merasa, tak akan mungkin seekor monyet besar mem-
punyai kemampuan seperti itu. Akan membuat geger
dunia persilatan kalau seekor monyet menjadi jago
nomor satu!" tegas Arya. "Tapi, kemungkinan itu bisa
terjadi, tapi dengan satu syarat."
"Apakah syarat itu, Dewa Arak?" tanya Abiyasa
angkat bicara.
"Syaratnya atau kemungkinannya, bisa saja mo-
nyet besar yang memang memiliki kemampuan besar
itu adalah bukan binatang sewajarnya."
"Apa maksudmu, Dewa Arak? Aku masih belum
mengerti," tanya Abiyasa lagi penasaran.
"Apakah yang kau maksudkan monyet itu adalah
binatang jejadian, Dewa Arak?!"
Si Tongkat Halilintar yang bisa menangkap maksud
Dewa Arak, langsung mengajukan dugaannya.
"Benar, Paman," jawab Arya sambil mengangguk-
kan kepala.
"Mungkinkah itu...?!" tanya Abiyasa setengah ber-
gumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Bukan hanya mungkin, tapi memang! Monyet be-
sar itu adalah binatang jejadian!"
Hampir berbarengan Dewa Arak, Abiyasa, dan si
Tongkat Halilintar mengarahkan pandangannya ke
arah asal suara itu. Suara yang terdengar belakangan
itu memang bukan keluar dari mulut salah seorang
dari mereka.
Arya dan Abiyasa mengernyitkan keningnya ketika
mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Keduanya
merasa seakan-akan sudah pernah mendengar suara
itu sebelumnya. Hanya saja, kapan dan di mana kedu-
anya lupa. Yang jelas, Dewa Arak merasa yakin kalau
pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi. Jika ti-
dak, walau ia sedang bercakap-cakap pun langkah ka-
kinya pasti akan terdengar, bila orang tersebut memili-
ki tingkat kepandaian di bawahnya.
Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menje-
jakkan kakinya berjarak lima tombak dari kelompok
Dewa Arak.
"Kiranya kau, Kala," ucap Aiya tenang, setelah me-
lihat jelas sang pemilik suara tadi.
Darsakala, pemilik suara yang baru datang itu
hanya tersenyum hambar.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Syukur kalau
kau sudah sadar akan kekeliruan mu."
"Kekeliruan?!" ulang Arya dengan sepasang alis
bertaut "Aku tak mengerti apa yang, kau maksudkan
Kala. Kekeliruan apa yang telah kulakukan?!" ta-
nyanya kemudian.
"Bukankah kau semula percaya kalau Empu Jang-
kar Bumi sudah tewas?! Dan sekarang terbukti apa
yang kukatakan, Empu Jangkar Bumi masih hidup.
Kau sudah membuktikannya sendiri, kan?!" cetus Dar-
sakala penuh kemenangan.
"Kapan aku telah melihat Empu Jangkar Bumi, Ka-
la?! Kau yang keliru!"
"Eh?! Bukankah baru saja kau telah melihat empu
sialan itu?! Bahkan kau katakan tadi hampir mati di
tangannya!" tandas Darsakala lagi, mantap.
Bukan hanya Arya saja yang terkejut mendengar
jawaban yang diberikan Darsakala. Abiyasa dan Tong-
kat Halilintar pun terperanjat. Abiyasa sendiri malah
kaget bercampur marah karena guru yang dihorma-
tinya dan telah wafat itu masih dipermalukan! Darsa-
kala mengira monyet raksasa itu sebagai Empu Jang-
kar Bumi! Sungguh merupakan penghinaan yang luar
biasa besarnya!
"Jadi..., maksudmu... monyet besar tadi adalah
penjelmaan dari Empu Jangkar Bumi?!" tanya Arya,
meminta penjelasan.
"Tepat sekali!" jawab Darsakala mantap. "Agar je-
lasnya mungkin perlu kuberitahukan sedikit. Empu
yang telah diamuk dendam itu tak mempedulikan jalan
benar dan salah. Agar dendamnya terlampiaskan, dia
bersekutu dengan setan. Oleh karena itulah dalam
waktu singkat, kepandaiannya meningkat luar biasa.
Dan dia berhasil membalas sakit hatinya. Tapi, akibat
perjanjiannya dengan setan itu dia harus menerima
akibatnya, berubah menjadi makhluk yang menjijikkan
itu. Setan yang dipujanya, dalam alam nyata berupa
monyet yang jauh lebih besar lagi. Karena itu, empu
terkutuk itu menjelma menjadi monyet!"
Darsakala mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Dia tak terlihat terkejut, melihat dua sosok bergeleta-
kan di tanah yang dikenalinya sebagai tokoh-tokoh se-
sat tingkat tinggi. Sepengetahuannya, kedua orang itu
mempunyai hubungan erat dengan datuk-datuk sesat
persilatan. Tengku Daud adalah putra dari Setan
Tengkorak Merah. Sedangkan Dewi Lanjar adalah mu-
rid terkasih dari Dewi Berambut Wangi!
"Fitnah! Itu fitnahan yang luar biasa keji! Kau ma-
nusia terkutuk, Darsakala! Biar aku mengadu jiwa
denganmu!" teriak Abiyasa karena tak kuat menahan
amarahnya lagi. Ia mulai bersiap-siap untuk menye-
rang kakek kurus kering itu. Tapi Arya segera menyen-
tuh pergelangan tangannya dan memberikannya isya-
rat untuk bersabar. Murid Empu Jangkar Bumi itu
pun mengurungkan maksudnya, dan hanya menatap
Darsakala dengan sinar mata seperti mengeluarkan
api!
"Boleh ku tahu alasan yang menyebabkan mu
menduga demikian, Kala?! Perlu kau tahu, setiap tu-
duhan harus mempunyai alasan yang jelas!" tanya
Arya agar masalahnya menjadi jelas.
"Tentu saja, Dewa Arak. Kau kira aku demikian
sembrono melemparkan tuduhan?! Kau tahu, begitu
berhasil selamat dari tangan maut empu keparat itu
aku mencari tahu mengenai tindakan yang dilakukan-
nya sehingga mempunyai kepandaian yang demikian
tinggi dalam waktu singkat. Akhirnya setelah berbu-
lan-bulan berusaha keras aku dapat mengorek raha-
sianya. Dia bertapa di sebuah pohon beringin angker di
sebuah dataran yang dulu menjadi tempat penyembah -
penyembah setan. Di sana dia meminta kesaktian! Pa-
dahal taruhan bagi permintaan di tempat itu teramat
besar! Ketidakberhasilan dalam menghadapi godaan di
sana, akan menimbulkan akibat yang mengerikan
kendati mungkin permintaan yang diinginkan terka-
bul! Si pemuja bisa menjadi gila, separo manusia sepa-
ro siluman. Atau makhluk jejadian seperti yang dialami
oleh Empu Jangkar Bumi!"
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar saling
pandang. Mereka memang telah mendengar berita
simpang-siur mengenai tempat seperti itu. Namun,
sama sekali tak menyangka akan mengetahui adanya
orang yang terlibat.
"Bahkan menurut penduduk desa terdekat, bukan
hanya Empu Jangkar Bumi seorang yang pernah pergi
ke tempat itu. Tapi, masih ada seorang lainnya.
Sayang, mereka tak bisa memberitahukan ciri-cirinya.
Orang kedua ini sepertinya sengaja menyembunyikan
diri agar tak bisa dikenali. Nah! Bukti apa lagi yang
kau inginkan, Dewa Arak?!"
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan, Kala.
Mungkin benar Empu Jangkar Bumi pergi ke tempat
dari mana kau tahu kalau monyet besar itu adalah
Empu Jangkar Bumi? Apakah kau telah melihatnya
waktu berubah wujud?!" tantang Arya, meminta
kepastian.
Darsakala tampak kebingungan. "Aku memang tak
melihat sendiri perubahan wujud Empu Jangkar Bumi
menjadi monyet besar itu. Tapi, aku bersedia mengajak
kalian untuk membuktikan benar tidaknya dugaanku!
Sebagai informasi bagi kalian perlu kuberitahukan ka-
lau aku cukup banyak mengetahui mengenai hal-hal
seperti itu. Dan, aku sudah banyak melihat hal-hal
ganjil di sini."
"Kuketahui, monyet besar itu selalu mencuri ba-
gian jantung dari korban-korbannya, aku yakin itu ada
alasannya. Aku yakin, monyet raksasa itu ingin kem-
bali ke bentuknya semula sebagai Empu Jangkar Bu-
mi. Dan, jantung-jantung itu sebagai syaratnya."
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar mulai per-
caya akan keterangan yang diberikan Darsakala. Se-
muanya kelihatan demikian masuk akal. Sejak semula
pun mereka tak yakin kalau monyet raksasa yang me-
reka lihat itu merupakan binatang biasa. Ada kesan
mengerikan dan menyeramkan yang memancar.
Pemberitahuan Darsakala mengenai jantung,
membuat Arya dan rombongannya teringat akan le-
nyapnya putri Empu Jangkar Bumi dan Jembawati.
Mungkinkah kedua wanita itu pun menjadi salah satu
syarat agar monyet raksasa itu dapat berubah bentuk
menjadi manusia kembali, dan orang itu adalah Empu
Jangkar Bumi?!
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Arya, dengan nada suara mulai lunak.
"Nanti malam adalah malam purnama. Dan, bi-
asanya upacara-upacara yang mempunyai hubungan
dengan setan, terjadi pada malam itu. Di saat upacara
ini kita akan menangkap basah empu sialan itu. Me-
nurut pendapatku, kita harus gagalkan upacara yang
akan dilakukan. Kegagalan upacara akan membuat se-
tan pemberi kekuatan marah karena merasa ditipu.
Kemarahan yang timbul akan membuatnya mengambil
kemampuan yang diberikannya. Bila itu terjadi, amat
mudah untuk membunuhnya, bukan?!"
"Bicara memang mudah, tapi bagaimana kita bisa
mengetahui tempat yang akan dipergunakan untuk
melakukan upacara?!" sergah Abiyasa, tapi dengan su-
ara yang lebih pelan dan lembut daripada sebelumnya.
"Mengapa harus ditanyakan lagi?! Jawaban perta-
nyaan ini amat mudah. Makhluk yang menjijikkan itu
pasti akan membawa alat-alat upacara dan persemba-
hannya ke tempat di mana dulu dia meminta kekua-
tan!"
"Jauhkah tempat itu dari sini, Kala?!" tanya Aiya
bernada cemas karena khawatir waktu yang mereka
miliki tak cukup.
"Tak terlalu jauh, Dewa Arak. Aku yakin kita akan
dapat tiba di sana saat upacara belum dimulai. Tentu
saja hal ini hanya dapat terjadi kalau waktu yang ter-
sisa ini tak kita isi dengan percakapan tak berguna,
atau dengan perjalanan yang tidak keras." sindir Dar-
sakala, seenaknya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi?!" Arya malah balas
mengajukan tantangan.
Tanpa banyak bicara, Darsakala melesat mening-
galkan tempat itu dengan kecepatan menakjubkan.
Arya mengernyitkan alisnya melihat hal ini, karena ta-
hu Abiyasa dan si Tongkat Halilintar akan tertinggal
amat jauh, jika dibiarkan berlari sendiri. Dan, bila itu
terjadi, kedua orang itu akan kehilangan jejak.
"Maaf..."
Setelah terlebih dahulu mengucapkan perkataan
demikian, Dewa Arak menyambar tangan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar. Abiyasa dicekal pada pergelangan
kirinya, sedangkan si Tongkat Halilintar pada tangan
yang satunya lagi.
Hampir tak berselisih waktu, pemuda berpakaian
ungu itu segera melesat cepat menyusul Darsakala.
Cepatnya lari Dewa Arak, membuat Abiyasa dan si
Tongkat Halilintar memejamkan mata karena merasa
ngeri. Angin berciutan nyaring dan keras beberapa
kali, menyambar tubuh mereka. Di lain pihak, Arya,
yang membawa kedua orang itu berlari, kelihatan de-
mikian tenang.
Tak lama sepeninggal Dewa Arak dan rombongan,
sosok seorang kakek berpakaian putih keluar dari ba-
lik kerimbunan semak-semak yang lebat. Dia adalah
paman guru Tongkat Halilintar, yang terlempar dari
panggulan Dewi Lanjar, ketika terjadi benturan antara
wanita sesat itu dengan Dewa Arak. Benturan yang ter-
jadi dengan dahsyat membuat tubuh si kakek terlem-
par ke dalam semak-semak dalam keadaan pingsan.
Keberadaan kakek berpakaian putih yang bersem-
bunyi dari pandangan, dan masalah menarik yang di-
perbincangkan oleh Dewa Arak dan yang lain-lain
membuat si kakek terlupakan! Tak seorang pun yang
teringat padanya!
Kakek berpakaian putih mengedarkan pandangan
berkeliling sebentar. Kemudian, dia melesat mening-
galkan tempat itu untuk kembali ke tempat tinggalnya.
***
Malam telah cukup lama menyelimuti bumi. Sang
dewi malam yang kali ini muncul di langit dalam ben-
tuknya yang purnama, memancarkan sinarnya yang
lembut dan kuning keemasan. Saat itu, Darsakala dan
Dewa Arak yang membawa Abiyasa dan si Tongkat Ha-
lilintar, tiba di tempat seperti yang dimaksudkan oleh
kakek kurus kering itu.
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar merasakan
sekujur bulu kuduk mereka berdiri ketika memperha-
tikan sekeliling tempat mereka berada. Saat itu, mere-
ka semua sudah berjalan biasa karena Darsakala pun
demikian. Arya sudah melepas cekalan tangannya dan
mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Hanya Darsakala yang bersikap tenang. Kakek itu
kelihatan tak begitu peduli dengan keadaan sekitar-
nya. Kakinya dilangkahkan seenaknya dengan pan-
dangan tertuju lurus ke depan.
"Apakah tempat ini yang kau maksudkan, Kala?!"
Hanya Arya dengan suara yang amat lirih.
"Mengapa kau menduga demikian?! Apakah karena
aku tak mengajak mu berlari lagi seperti sebelum-
nya?!" Darsakala malah balas mengajukan pertanyaan
"Tidak. Hanya aku merasakan adanya kelainan pa-
da tempat ini. Meski yang terlihat hanya bebatuan be-
sar kecil dan tanah lapang luas dengan sedikit tum-
buh-tumbuhan di sana-sini, aku merasakan adanya
sesuatu yang lain di sini. Tempat ini demikian menye-
ramkan," ujar Arya.
Darsakala tak memberikan tanggapan. Tapi Dewa
Arak yakin si kakek mendengarnya. Meskipun demi-
kian Arya tak merasa kecil hati sama sekali.
"Kau tahu, mengapa Empu Jangkar Bumi banyak
menarik perhatian tokoh-tokoh sesat besar dunia per-
silatan, ketika terdengar kabar kematiannya?!" tanya
Darsakala lagi, tetap dengan ayunan kakinya menyu-
suri dataran berupa tanah keras, yang pada beberapa
bagian tempat terdapat gundukan-gundukan batu be-
sar kecil.
Arya menggelengkan kepala. Bahkan Abiyasa dan
si Tongkat Halilintar yang tak ikut ditanya mengge-
lengkan kepala pula
"Mereka ingin mengetahui kepastian tewasnya em-
pu itu. Karena, seperti juga diriku, mereka tahu kalau
Empu Jangkar Bumi sudah bersekutu dengan setan di
tempat ini. Mereka ingin tahu kebenaran tewasnya
empu sialan itu dan karena apa dia tewas."
"Dari mana mereka tahu mengenai Empu Jangkar
Bumi?!" tanya Arya ingin tahu. "Padahal, menurut
yang kuketahui, tokoh itu tak termasuk orang yang
merajai di dunia persilatan, menonjol di dunia persila-
tan...."
"Mulanya memang demikian, Dewa Arak," jawab
Darsakala bernada keluh. "Tapi, setelah kejadian yang
menimpa putrinya dia menjadi terkenal. Dia jadi se-
perti kehilangan akal sehatnya dan membenci semua
tokoh golongan hitam. Begitu memiliki kepandaian
mukjizat, dia menebar bencana di dunia hitam. Tak
terhitung tokoh-tokoh hitam yang tewas di tangannya.
Dan termasuk di antara mereka adalah Setan Tengko-
rak Merah dan Dewi Berambut Wangi!" Darsakala ber-
henti sejenak mengambil napas panjang, lalu meng-
hembuskannya perlahan-lahan.
"Setelah dua pentolan kaum sesat ini terbunuh,
baru tindakan semaunya Empu Jangkar Bumi men-
gendur drastis, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Belakangan, tokoh-tokoh yang senantiasa mengikuti
perkembangannya, mendengar kabar bahwa dia tewas.
Tokoh yang ingin mendapat kesaktian seperti yang di-
miliki Empu Jangkar Bumi, berusaha untuk mencari
tahu, bagaimana kakek itu dapat memperoleh kesak-
tian dan setan penunggu tempat ini tanpa terjadi hal-
hal yang mengerikan terhadapnya!" lanjutnya.
"Bisa kau jelaskan mengenai hal-hal yang mengeri-
kan itu, Kala?!" tanya Arya penasaran.
"Macam-macam, Dewa Arak. Ada yang menjadi gi-
la, tak mampu berbicara kecuali mengeluarkan bunyi
binatang dari mulutnya, dan ada juga yang senantiasa
mengeluarkan lendir berbau busuk dari mulut, hi-
dung, dan telinganya. Itu pun masih ditambah dengan
bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuhnya,"
jelas Darsakala panjang lebar. "Malah, ada di anta-
ranya yang mungkin menjadi binatang jejadian," tam-
bahnya.
Dewa Arak, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar seje-
nak saling berpandangan.
"Jangan ada yang berbicara lagi. Kita sudah berada
dekat sekali dengan tempat tinggal setan penunggu
yang dipuja-puja Empu Jangkar Bumi. Tingkatkan
kewaspadaan kalian.... Kurangi gerak-gerik yang dapat
membuat kita diketahui.... Di gundukan batu besar itu
kita berhenti," pesan Darsakala pada ketiga orang itu.
Tidak ada jawaban atas ucapan Darsakala. Tapi si
kakek sama sekali tak berkecil hati. Ia menyadari ka-
lau perkataannya cukup jelas untuk dapat terdengar
dan dimengerti. Oleh karena itu dia bersikap tak pedu-
li.
Kakek kurus kering itu baru menghentikan lang-
kahnya ketika sudah berada di gundukan batu besar
yang dimaksudkannya. Dan dari balik batu diarahkan
pandangannya ke depan. Arya, Abiyasa, dan si Tongkat
Halilintar pun melakukan hal yang sama dari gundu-
kan batu lainnya.
Terlihat oleh mereka sosok besar yang berbulu cok-
lat sedang berlutut di depan sebuah pohon yang luar
biasa besarnya dan tampak menyeramkan. Arya, Ab-
iyasa, dan si Tongkat Halilintar, dan bahkan Darsakala
sendiri, merasakan sekujur bulu di sekujur tubuh me-
reka berdiri ketika menatap pohon itu. Perasaan takut
muncul begitu saja tanpa dapat dicegah atau dikuasai!
Di sebelah kanan dan kiri monyet raksasa itu ter-
golek dua sosok ramping. Arya mengenali salah satu
sosok itu sebagai Jembawati. Sedangkan si Tongkat
Halilintar mengenali kedua sosok itu. Sosok yang sa-
tunya adalah putri Empu Jangkar Bumi, Nawang Wu-
lan. Apa yang dikatakan Darsakala ternyata memang
tak keliru!
"Apa yang harus kita lakukan, Kala?" tanya Arya
dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.
"Kita harus cegah terjadinya upacara itu. Makhluk
itu memang terlalu lihai untuk dihadapi sendiri-
sendiri. Tapi aku yakin, bila dihadapi berdua kita akan
dapati menahannya. Asal kau dan aku mampu berta-
han hingga matahari muncul, makhluk itu akan tewas.
Upacara yang tak terlaksana yang menjadi penyebab-
nya," jelas Darsakala, juga dengan menggunakan ilmu
pengiriman suara dari jarak jauh. "Dan untuk melaku-
kan hal itu, tunggu saja isyarat dariku," lanjutnya.
Arya memberitahukan apa yang dikatakan Darsa-
kala pada Abiyasa dan si Tongkat Halilintar.
Keempat tokoh persilatan itu terus memperhatikan
semua gerak-gerik binatang berbulu coklat di hadapan
mereka yang berjarak kira-kira sepuluh tombak. Ter-
dengar oleh telinga mereka masing-masing suara ge-
raman-geraman yang keluar dari mulut monyet besar
itu.
***
"Sekarang, Dewa Arak...!"
Perintah yang dikirim Darsakala melalui penggu-
naan ilmu pengirim suara dari jauh itu, membuat De-
wa Arak melesat dari tempatnya. Di saat yang hampir
bersamaan itu Darsakala melesat lebih dulu.
Darsakala dan Dewa Arak mengeluarkan seluruh
ilmu lari cepatnya untuk mendekati tempat monyet be-
sar itu berada secepat mungkin. Sambil berlari, Arya
pun tak lupa menenggak arak dari gucinya, agar dapat
segera mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang
menjadi andalannya.
Beberapa tombak lagi jarak antara Darsakala dan
Dewa Arak dari monyet raksasa, binatang berbulu cok-
lat itu sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu yang
tak diundang itu. Sambil mengeluarkan geraman yang
mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat,
monyet besar itu membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak dan Darsakala langsung menghentikan
larinya ketika dilihatnya monyet raksasa itu sudah
berdiri menghadap mereka. Sepasang mata binatang
itu tampak menyimpan kemarahan dan kebencian
yang besar. Sepasang matanya yang merah membara,
seperti mengeluarkan api.
Arya dan Darsakala kini berpencar ke kiri dan ke
kanan, agar dapat menghadapi makhluk itu dari dua
arah.
"Bila kami sudah terlibat dalam pertarungan, cepat
bawa dan selamatkan kedua tawanan itu, Kang," ujar
Arya pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu pengi-
rim suara dari jarak jauh.
Baru saja berkata begitu, monyet raksasa itu su-
dah melompat menerkam Dewa Arak, laksana seekor
harimau menerkam mangsanya. Diiringi oleh suara ge-
raman yang keras keluar dari mulut binatang itu.
Dewa Arak yang memang sudah sering berhadapan
dengan bahaya maut, dan bahkan nyawanya tak ja-
rang berada di ujung tanduk, selalu mampu bersikap
tenang. Tapi kali ini sikap seperti itu tak mampu dila-
kukannya lagi.
Serangan monyet besar itu ternyata tak hanya
mengandung kekuatan nyata, tapi juga kekuatan gaib!
Dan, Arya dapat merasakan pengaruhnya. Angin yang
berhembus ternyata mampu membuat sekujur tubuh-
nya kaku, tak bisa digerakkan. Bahkan isi kepalanya
pun buntu, tak dapat dipergunakan untuk berpikir.
Hanya ada sekelebatan pikiran samar yang mem-
beritahukannya kalau nyawanya tengah terancam. Ta-
pi tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukannya. Pe-
muda berambut putih keperakan itu seperti pasrah
menunggu datangnya maut!
Wuttt...!
Terkaman monyet raksasa hanya mengenai tempat
kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tak berada di
situ lagi. Di saat-saat yang menentukan, Darsakala
bertindak cepat. Kakek itu mendorongkan kedua tan-
gannya, menimbulkan deru angin keras yang mampu
membuat tubuh Dewa Arak terpental dan terguling-
guling namun tanpa terluka sama sekali! Tindakan
yang dilakukan Darsakala hanya untuk membuat De-
wa Arak pindah dari tempatnya sehingga lolos dari
maut
Tindakan yang diperbuat Darsakala ternyata tak
hanya memindahkan tubuh Dewa Arak. Tapi juga
membuat pemuda berambut putih keperakan itu kem-
bali dapat berpikir jernih. Dan, di saat tubuhnya ten-
gah terguling-guling, Arya memusatkan perhatian un-
tuk mengerahkan tenaga dalamnya di pusar. Begitu
tenaga itu timbul, Arya segera mengerahkan dan men-
galirkannya ke berbagai bagian tubuhnya. Dan ketika
berhasil bangkit kembali, ia sudah siap untuk berta-
rung!
Tetapi Dewa Arak ketinggalan! Monyet raksasa itu
sudah sibuk bertarung dengan Darsakala. Memang,
ketika terkamannya berhasil digagalkan kakek kurus
kering itu, si monyet besar segera mengalihkan seran-
gannya pada Darsakala. Darsakala terpaksa berjuang
keras agar tak kehilangan nyawanya. Dan kini tam-
paknya ia mulai terdesak. Monyet raksasa itu memang
benar-benar menakjubkan!
Di saat Dewa Arak melesat ke dalam kancah perta-
rungan untuk membantu Darsakala, si monyet raksa-
sa tengah mengirimkan pukulan keras ke arah pelipis
kakek kurus kering itu.
Plakkk!
Darsakala yang tak mempunyai pilihan lagi hanya
dapat menangkis serangan itu. Akibatnya, tubuhnya
terbanting ke samping terbawa ayunan serangan la-
wannya. Ia merasakan sekujur tangannya lumpuh dan
dadanya sesak.
Monyet Raksasa tak memberikan kesempatan dan
melesat dengan kecepatan menakjubkan untuk meng-
habisi nyawa Darsakala. Di saat yang genting, Dewa
Arak segera bertindak. Pemuda itu menghentakkan
kedua tangannya mengirimkan pukulan jarak jauh
dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'
Deru angin keras berhawa panas seketika menyen-
gat, menyadarkan monyet besar akan adanya ancaman
bahaya terhadapnya. Tubuhnya segera dibalikkan se-
raya kedua tangannya dihentakkan untuk menangkis
serangan itu. Untuk kedua kalinya terdengar deru an-
gin keras, dan ketika akhirnya terjadi benturan di ten-
gah jalan menimbulkan bunyi menggelegar serta seki-
tar tempat itu bergetar. Tubuh Dewa Arak melayang
jauh ke belakang bagaikan daun kering diterbangkan
angin. Sementara monyet raksasa itu sendiri, tak ber-
geming sama sekali.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak
dan terbanting keras di atas tanah, Arya bangkit berdi-
ri dengan susah payah. Getaran yang timbul akibat
benturan itu, membuat dadanya sesak bukan main.
Meskipun demikian, pemuda itu merasa gembira kare-
na, Darsakala berhasil diselamatkannya.
Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir rasa sesak di dada agar tak menyebabkan
terjadinya luka dalam. Hanya sebentar hal itu dilaku-
kannya, kemampuannya pun pulih kembali. Dan dia
segera melesat kembali ke dalam kancah pertarungan
membantu Darsakala yang sudah mulai terdesak.
Untuk pertama kalinya terjadi, seekor binatang di-
keroyok oleh dua tokoh besar dunia persilatan. Dan
yang mengherankan, binatang itu sama sekali tak ter-
desak! Malah, Dewa Arak dan Darsakala yang dibuat
pontang-panting ke sana kemari untuk menyela-
matkan nyawanya.
Untungnya, walau tak pernah bertarung bersama-
sama menghadapi lawan, Dewa Arak dan Darsakala
mampu bekerja sama secara baik. Kerja sama untuk
saling memperdahsyat serangan dan memperkuat per-
tahanan. Dan, berkat pengalaman mereka masing-
masing, kedua tokoh itu memutuskan untuk menitik-
beratkan pada pertahanan agar pertarungan berlang-
sung lama.
Jurus demi jurus sudah berlangsung dengan cepat.
Dan sekarang pertarungan sudah berlangsung seratus
lima puluh jurus lebih. Selama itu tak terhitung sudah
Dewa Arak maupun Darsakala terpental dan terguling
akibat benturan tangan atau kaki si monyet besar.
Namun demikian, serangan kedua tokoh ini pun bebe-
rapa kali mengenai berbagai bagian tubuh lawannya.
Tapi, makhluk yang mengerikan itu ternyata tak ter-
pengaruh sama sekali.
Bunyi mencicit, menderu dan mengaung mengiringi
jalannya pertarungan itu. Belum lagi ditambah dengan
suara-suara berupa gerengan dan geraman dari mulut
si monyet besar. Keriuhan yang terjadi membuat tem-
pat itu bagai dilanda badai, porak poranda.
Semakin bertambah jumlah jurus pertarungan,
monyet raksasa tampak semakin kalap. Serangan-
serangannya semakin dahsyat dan mengerikan, karena
malam semakin mendekati dini hari! Dengan nalu-
rinya, binatang itu tahu kalau keadaan sudah memba-
hayakan dirinya.
Di lain pihak, Arya dan Darsakala yang memang
bermaksud mengulur-ulur waktu hingga terbit mata-
hari, semakin berbesar hati. Kelelahan yang mendera
seperti lenyap begitu saja apalagi ketika di ufuk timur
sana tampak bias kemerahan mulai tampak.
"Arrrggghhh...!"
Monyet raksasa meraung keras bagaikan hendak
mengguncangkan isi bumi. Sekitar tempat itu bergetar
hebat. Bahkan Arya dan Darsakala sendiri sampai ja-
tuh, dan berdiri dengan mempergunakan kedua lutut-
nya.
Sang surya muncul di kaki langit sebelah timur
dan memancarkan sinarnya yang lembut. Sinar yang
membuat monyet besar meraung-raung dan menggele-
par-gelepar seperti ayam disembelih. Semua kejadian
itu disaksikan oleh Arya, Darsakala, si Tongkat Halilin-
tar, dan Abiyasa dengan penuh perasaan ngeri.
Diiringi bunyi berdebuk keras tubuh monyet besar
itu jatuh ke tanah. Sesaat kemudian, terjadi peruba-
han pada wajah dan sebelah tangannya bagian kanan.
Menjadi wajah dan tangan manusia!
Hampir berbarengan keempat orang itu melesat
menghampiri. Mereka semua ingin tahu orang yang te-
lah menjadi monyet jejadian itu. Jantung mereka mas-
ing-masing dirasakan berdetak jauh lebih cepat karena
perasaan tegang untuk mengetahui orang yang berada
di balik semua kejadian mengerikan ini.
Tapi, ketika melihat wajah yang berada di atas tu-
buh monyet besar itu, Darsakala mengeluarkan seruan
heran. Arya menatap Abiyasa. Dan dilihatnya pada wa-
jah lelaki itu tak tampak perasaan apa pun, kecuali
senyum kemenangan yang ditujukan pada Darsakala.
"Masih tak percayakah kau kalau kukatakan guru-
ku sudah meninggal?!" ejek Abiyasa penuh perasaan
menang.
Semua yang berada di situ tahu, manusia bertu-
buh monyet itu belum mati. Tapi mereka pun sadar
kalau binatang jejadian itu tak mampu berbuat apa
pun lagi. Makhluk itu sudah sekarat dan hanya tinggal
menunggu ajal saja!
"Bisma.... Bisma...! Apa yang terjadi...?! Mengapa
kau bisa jadi begini...?! Mengapa, Anakku...?!"
Ratapan yang keluar dari mulut si Tongkat Halilin-
tar secara tiba-tiba membuat Dewa Arak, Abiyasa, dan
Darsakala terjingkat bagaikan mendengar bunyi hali-
lintar di dekat situ. Dengan mata membelalak lebar
dan mulut keluar karena kaget, ketiga orang itu mena-
tap si Tongkat Halilintar.
"Maafkan aku, Ayah," sahut monyet berkepala ma-
nusia yang bernama Bisma, terbata-bata dan lirih.
"Aku terpaksa melakukan hal ini agar Nawang Wulan
kembali menjadi perawan dan sembuh dari penyakit-
nya...."
"Dari mana kau tahu tempat ini?!" tanya si Tongkat
Halilintar dengan wajah, suara, dan sorot mata menyi-
ratkan kedukaan yang besar.
"Empu Jangkar Bumi, Ayah. Tapi, beliau menjadi
sakti tanpa ada masalah sepertiku karena berhasil lu-
lus dalam ujian-ujian mengerikan ketika bertapa. Dia
meninggal sebagaimana manusia umumnya. Aku sial,
Ayah. Aku gagal dalam ujian ketika bertapa."
"Mengapa kau lakukan hal bodoh seperti ini, Bis-
ma?!" tanya Tongkat Halilintar, setengah mengeluh.
Suaranya terdengar parau. "Apakah Empu Jangkar
Bumi yang menyuruhmu?!" tanya Tongkat Halilintar.
"Tidak, Ayah! Bahkan beliau berusaha melarangku.
Tapi, aku bersikeras! Aku mencintai Nawang Wulan,
Ayah. Aku ingin mengawininya."
Napas Bisma mulai tersengal-sengal. Ucapannya
pun mulai terbata-bata, pelan dan hampir tak terden-
gar. Tongkat Halilintar menatapnya dengan wajah se-
pucat mayat! Lelaki itu tahu, ajal putranya sudah de-
kat
"Empu Jangkar Bumi mengingatkan ku akan aki-
bat mengerikan yang akan menimpa ku, Ayah. Tapi,
aku tetap bersikeras. Kekhawatirannya ternyata benar!
Aku gagal, dan berubah menjadi makhluk seperti ini!
Akal sehatku pun hampir sepenuhnya hilang, berganti
dengan keinginan membunuh seperti seekor binatang
buas yang haus darah!" Bisma terdiam sejenak mena-
han sakit di sekujur tubuhnya. Lalu dengan terbata-
bata dia melanjutkan lagi. "Aku hampir putus asa,
Ayah. Tapi, penunggu pohon ini mengatakan aku akan
kembali menjadi manusia, dan Nawang Wulan akan
sembuh dari penyakitnya, asal memenuhi persyara-
tannya. Kalau saja akal sehatku dapat bekerja dengan
baik, tak akan ku penuhi syarat ini. Akan kucari cara
lainnya. Syarat itu terlalu mengerikan, Ayah. Aku ha-
rus mempersambahkan seorang wanita dan tiga belas
jantung manusia. Maka, kupersembahkan Nyi Jemba-
wati. Menurut penunggu pohon itu, setelah upacara
persembahan ini Nawang Wulan akan menjadi pera-
wan kembali dan sembuh dari penyakit gilanya. Dan,
aku kembali menjadi manusia serta sakti. Tapi...
akh...!"
"Bisma...!" seru si Tongkat Halilintar, kaget ber-
campur pilu. Dan, karena guncangan batinnya yang
demikian besar, lelaki ini jatuh pingsan!
Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala saling berpan-
dangan melihat hasil akhir dari peristiwa berdarah itu.
Tanpa bicara apa pun, Darsakala meninggalkan tem-
pat itu diikuti Dewa Arak. Sementara Abiyasa meng-
hampiri Jembawati dan Nawang Wulan yang masih tak
sadarkan diri.
Angin berhembus pelan, seakan ikut merasa ber-
duka dengan apa yang tengah terjadi. Sang suiya pun
mulai meredup sinarnya ketika kelompok awan gelap
yang ditiup angin menutupi sinarnya. Alam seperti ikut
berduka.
SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
MALAIKAT TANPA WAJAH
Emoticon