1
Suara derap langkah kuda memecah
keheningan suasana. Keadaan yang sunyi
senyap itu pun harus terpecahkan oleh
hentakkan kaki kuda yang dijalankan den-
gan cepat, lalu suara itu pun melambat
dan perlahan-lahan. Hanya seperti bunyi
ketukan yang berirama.
Dan terdengar pula suara binatang
yang berlarian karena merasa ketenangan
mereka terganggu dengan terdengarnya de-
rap langkah kuda yang mendatangi tempat
Suasana hutan yang cukup lebat tadi
sebenarnya amat hening. Suasana di sana
pun teramat mencekam. Sepertinya hutan
itu, jarang didatangi orang.
Namun seorang pemuda yang berpa-
kaian putih-putih dengan wajah sebagian
yang tertutup-caping di kepalanya itu,
menghentikan laju kudanya. Nampak sepa-
sang mata bening yang awas itu memperha-
tikan sekelilingnya.
"Hmm... agaknya tempat ini cukup
cocok bagiku beristirahat," katanya dalam
hati. Lalu dia menjalankan kudanya perla-
han-lahan. Matanya tetap memperhatikan
sekelilingnya.
Tak lama kemudian pemuda berbaju
putih dengan sebuah golok di punggungnya
itu pun turun dari kudanya dan menam-
batkan kudanya pada sebatang pohon. Golok
yang ada di punggungnya nampak agak aneh.
Sarungnya terbuat dari kulit kayu yang
berlapiskan timah berwarna kuning.
Pemuda itu kembali memperhatikan
sekelilingnya. "Hmm... nampaknya hutan
ini tak pernah di jamah orang. Binatang-
bina-tang nampak begitu gembira berlarian
ke sana ke mari tanpa kuatir diganggu
oleh tangan-tangan manusia yang jahat.
Ah, kehidupan seperti inilah yang sebe-
narnya amat ku dambakan. Tenang. Bersih.
Jauh dari segala orang-orang yang bermak-
sud jahat dan hendak berbuat jahat. Tapi
agaknya, di muka bumi ini kejahatan itu
akan terus berlangsung selama manusia ma-
sih ada. Sampai kapan pun. Hingga akhir
kiamat nanti!" desisnya sambil mengusap
dagunya yang kukuh. Wajahnya tertutup
oleh sebagian caping yang menutupi kepa-
lanya. Namun melihat dari bentuk wajah
dan dagunya, sudah bertanda dia adalah
seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Lalu siapakah dia sebenarnya?
Pemuda berbaju putih dengan memakai
caping itu tak lain adalah Pandu atau
Pendekar Gagak Rimang. Murid dari Eyang
Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-
dul, memang sedang berkelana. Dalam pen-
gelanaannya dia sudah banyak terlibat da-
lam satu bentuk kehidupan manusia. Di ma-
na ada yang baik, berpura-pura baik dan
ada yang jahat. Sifat manusia itu sukar
dicari tolak ukurnya yang pasti. Karena
hanya Yang Maha Kuasalah yang mengetahui
apa yang tersimpan di dasar sanubari ma-
nusia.
Dan Pandu semakin yakin, bahwa ke-
hidupan ini sukar untuk berdampingannya
kejahatan dan kebaikan. Tidak akan pernah
bisa. Karena keduanya nampak saling ber-
musuhan.
Inilah sifat manusia yang mendasar
namun sukar untuk diketahui secara pasti.
Lalu murid Eyang Ringkih Ireng dari
Gunung Kidul itu pun melangkah ke mata
air yang terdapat di sana. Dia minum den-
gan sepuasnya dan membasuh mukanya. Tera-
sa sugar sekali.
Dan ketika dia baru saja hendak
kembali, tiba-tiba pendengarannya yang
terlatih mendengar gerakan-gerakan yang
mencurigakan. Pandu pun menjadi waspada.
Namun dia tetap melangkahkan kakinya den-
gan ketenangan yang meyakinkan dan pasti.
"Hm... rupanya ada manusia-manusia
iseng yang ingin bermain-main denganku,"
desisnya. "Hmm... baiknya aku lihat saja
siapa orang-orang ini. Dan apa yang mere-
ka inginkan dariku, hah?!"
Dan langkahnya semakin pasti. Pandu
bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa.
Dugaannya pun menemui kenyataan,
karena tiba-tiba saja meluncur tiga buah
tali yang di ujungnya terdapat sebuah be-
si tajam dan menuju deras ke arahnya.
"Siiinggg!!"
"Siiingg!!"
"Siiingg!!"
Merasakan ada desiran angin yang
keras menerpa ke arahnya, Pandu segera
mengempos tubuhnya berjumpalitan ke atas.
Dan ketika besi yang terikat di tiga buah
tali itu pun menancap ke tanah. Barulah
Pandu melihat benda apa yang menyerang-
nya. Dia menggeram.
"Bangsat! Apa maunya orang-orang
ini!"
Tiba-tiba saja ketiga besi yang me-
nancap di tanah itu tercabut. Dan bagai-
kan mempunyai mata yang bisa melihat sa-
sarannya, ketiga besi itu bergerak lagi
ke arah Pandu.
Bersamaan sehingga angin yang di-
timbulkan ketiga besi itu teramat kuat,
berdesir membuat bulu roma berdiri.
"Heit!" Pandu membentak seraya men-
gempos tubuhnya kembali ke udara. Gera-
kannya ringan sekali dan instingnya ber-
bicara penuh naluri. Ketiga besi itu lu-
put mengenai sasarannya. Namun sebelum
dia hinggap kembali di tanah, salah satu
besi itu berbalik dan meluncur kembali
dengan deras ke arah punggungnya.
Hampir saja punggung murid Eyang
Ringkih Ireng itu bolong bila saja dia
tidak segera berguling ke kiri.
"Bedebah!" makinya geram. Lalu den-
gan satu gerakan yang ringan pula dia
berdiri.
"Hei, manusia-manusia busuk! Ke
luaaaar kalian!"
Tak ada sahutan.
"Bangsat! Beraninya jangan hanya
main bokong saja!!" bentaknya pula, keras
dan suaranya menggema di seluruh hutan
itu, membedah keheningan.
Tetap tak ada sahutan.
Hanya desir angin yang terdengar.
Beberapa binatang malam pun segera
kembali ke sarang mereka, karena naluri
mereka seakan menangkap satu gerakan yang
berbahaya yang akan terjadi.
Menggeram marah Pandu membentak la-
gi, "Anjing-anjing kurap! Tampakkan ba-
tang hidung kalian yang tidak tahu malu
bisanya hanya membokong saja!"
Tetap tak ada sahutan. Sepertinya
orang-orang gelap yang menyerang itu me-
mang ingin mempermainkannya. Mereka mem-
biarkan saja pemuda bercaping itu berse-
ru-seru.
Menyadari hal itu, Pandu menggeram
dalam hati.
"Bangsat! Mereka memang ingin main-
main denganku," desisnya. "Tetapi menen-
tukan di mana posisi mereka, sulit juga
buatku."
Dia berseru kembali.
"Hei, bangsat-bangsat pengecut, ayo
tampakkan batang hidung kalian! Jangan
hanya bisanya main bokong secara pengecut
seperti anak perempuan!!"
Tetap tak ada sahutan.
Pandu semakin bertambah geram.
Dia kepalkan kedua tangannya. Ma-
tanya awas memperhatikan sekelilingnya.
Namun kegelapan malam membuatnya semakin
bertambah kegelapan. Bukan apa-apa, dia
memang telah digembleng oleh Eyang Ring-
kih Ireng untuk melihat dalam gelap. Na-
mun saat ini bukankah dia harus mencari
manusia yang membokongnya?
Pandu berseru lagi, "Bila kalian
memang jantan, tampakkan batang hidung
kalian! Bila memang kalian bersembunyi,
tentulah kalian adalah orang-orang yang
pengecut! Ayo tampakkan batang hidung ka-
lian!!"
Tetap tak ada sahutan.
Malah secara tiba-tiba sebagai ja-
waban dari bentakkannya, ketiga tab beru-
jung besi tajam itu meluncur kembali ke
arahnya.
"Bangsat!" maki Pandu seraya meng-
hindar.
Tetapi ketiga tali berujungkan besi
tajam itu seakan mempunyai mata. Kali ini
tak memberi kesempatan lagi bagi Pandu
untuk berdiam sedetik pun. Ketiganya te-
rus bergerak, kadang bersamaan kadang
berlainan arah datangnya, namun sasaran-
nya satu, tubuh Pandu!
Setiap detik agaknya maut bagi Pan-
du bila dia tidak bergerak dengan cepat.
Ujung-ujung tali itu siap untuk mencabut
nyawanya.
"Keparat!" maki Pandu yang tunggang
langgang menghindari serangan tali beru-
jung besi tajam itu.
Tiba-tiba salah sebuah tali melun-
cur ke arah kepalanya, Pandu berkelit.
Namun tali berujung besi itu secara tiba-
tiba memutar dan mengancam dari belakang.
"Sialan!!" makinya seraya bergulin-
gan. Dan tak ada kesempatan baginya untuk
bernafas sejenak.
Ketiga tali berujung besi tajam itu
kembali menyerangnya.
"Bangsat! Baiklah, kita lihat siapa
yang lebih unggul!!" maki Pandu.
Dia langsung melompat ke kiri begi-
tu sebuah tali mengarah padanya. Pandu
sengaja berkelit ke arah pohon. Dan keti-
ka tali berujungkan besi itu mengarah pa-
danya, dia langsung melompat.
"Cep!"
Ujung besi itu menancap di batang
pohon tadi. Sebelum tali itu bisa lepas,
Pandu segera bergerak cepat. Membentak
tali itu dengan keras. Dan dari salah sa-
tu pohon, meluncur sosok tubuh dengan
lengkingan keras ke tanah.
Pada saat itu dua buah tali beru-
jung besi yang lain tengah meluncur ke
arahnya! Pandu bergerak cepat dan bertin-
dak di luar dugaannya.
Dia menyongsong kedua besi tajam
itu sedang tangannya masih memegang tali
yang penyerangnya jatuh ke tanah. Ketika
kedua besi itu akan menancap ke tubuhnya,
tiba-tiba Pandu melenting lebih tinggi.
Dan menarik dengan keras tali yang dipe-
gangnya hingga pemiliknya terbawa dan me-
nyongsong kedua tali berujung besi tajam
itu. Tanpa ampun lagi, kedua besi tajam
itu menembus tepat di jantung dan tenggo-
rokan orang itu.
Seketika terdengar jeritan kematian
yang keras, merobek keheningan malam.
"Aaaaakkkkhhhh!!!"
Dari salah sebuah pohon yang ada di
sana terdengar seruan kaget, "Tambon!"
Pandu yang sudah hinggap di tanah,
melirik ke arah suara itu. Berarti manu-
sia penyerangnya itu bercokok di sana.
Dan samar-samar dia melihat sebuah bayan-
gan sosok tubuh yang berdiri di salah sa-
tu dahan.
Dengan gerakan yang cepat dia ber-
guling mengambil sebuah kerikil dan me-
nyambitkannya ke atas.
"Tuk!"
Kerikil itu tepat menotok urat kaku
si orang tadi, hingga orang itu terdiam
kaku. Dan tidak menyangka kalau pemuda
yang diserangnya dapat menotok dengan se-
buah kerikil kecil dari jarak jauh.
Tubuh kaku orang itu tidak sampai
jatuh, karena terhalang dahan pohon.
"Hm... tinggal yang seorang lagi,"
desis Pandu dalam hati. Tetapi Pandu ti-
dak perduli mencari karena orang itu su-
dah meloncat turun dan berdiri di hada-
pannya.
Dia seorang laki-laki bertubuh te-
gap dengan wajah yang menakutkan. Wajah-
nya penuh kumis, cambang dan brewok. Se-
perti gendoruwo kalau di lihat malam begini.
Wajah itu beringas dengan sepasang
mata berkilat-kilat berbahaya.
"Hahaha... akhirnya kau muncul ju-
ga, Setan!" Pandu terbahak begitu melihat
kemunculan orang itu.
Orang itu mengeram berat. Marah ka-
rena merasa diremehkan, dan marah karena
salah seorang kawannya harus mati di ma-
kan ujung tali yang terikat sebuah besi
miliknya sendiri.
"Jangan tertawa kau, Bangsat! Kau
telah membunuh temanku!!" geramnya.
"Hahaha... membunuh? Bukankah kau
sendiri yang membunuhnya dengan senjata
mu itu?!" balas Pandu seenaknya.
Yang membuat wajah laki-laki itu
memerah.
"Bangsat! Kau harus mengganti nyawa
temanku itu, Setan!!"
"Hahaha... baiklah, bila memang aku
yang membunuh, aku telah siap untuk meng-
ganti. Tapi... tentunya bila kau mampu
untuk mencabut nyawaku...."
"Kau terlalu sombong!!"
"Hahaha... baik, baik... tetapi ka-
takanlah dulu siapa kalian dan mengapa
kalian menyerangku? Setahuku, kita tak
pernah bertemu sebelumnya! Dan kita pun
tak punya silang sengketa!"
"Jangan banyak bacot, Bangsat! Bila
kau ingin selamat, serahkan Golok Cindar-
buana itu padaku! Kalau tidak, kugorok
lehermu!!"
Walau kini mengerti, mengapa orang-
orang itu menyerangnya tetapi Pandu he-
ran. Mengapa golok ini diincar orang-
orang ini? Hmm, ada apa dengan golok ini?
Dia kembali menatap. wajah seram di hada-
pannya.
"Kalau aku tidak memberikan, kau
mau apa?" kata Pandu dengan nada menan-
tang. Padahal dia bermaksud mengorek ke-
terangan lebih lanjut sebab apa orang-
orang ini menginginkan golok yang tersam-
pir di punggungnya.
"Akan kurebut secara paksa golok
itu! Dan kuhabisi nyawa kau, Pemuda gen-
deng!!"
"Hmm... apakah kau yakin golok yang
hendak kau rebut dari tanganku ini Golok
Cindarbuana?"
"Cepat serahkan golok itu padaku!!"
"Hahaha... mengapa kau tidak segera
mengambilnya dariku?!"
"Bangsat! Kubunuh kau!!"
"Hahaha... apakah kau mampu, heh?
Silakan, kedua tanganku terbuka untuk me-
nyambutmu!"
Diejek seperti itu, semakin mengge-
ram orang berwajah seram itu. Dia memang-
gil-manggil kawannya yang di atas, tetapi
sekian lama dia memanggil kawannya itu
tidak turun-turun.
Pandu mentertawakannya.
"Biar sampai habis suaramu, temanmu
tak akan muncul, Orang jelek! Dia telah
ku totok! Dan kini menjadi kaku seperti
batang pohon!!"
"Bangsaaaat!!" geram si jelek sam-
bil memutar tali berujung besinya dan me-
nimbulkan suara angin yang besar, berdes-
ing-desing.
Begitu dingin dan menyeramkan.
Pandu pun segera bersiap. Dia tetap
heran, kenapa orang ini menginginkan go-
lok pemberian gurunya, Golok Cindarbuana?
Mengapa? Kenapa?
Dan siapa sebenarnya orang ini?
Apakah memang dia dan temannya yang men-
ginginkan Golok Cindarbuana, ataukah ma-
sih ada orang lain yang menyuruhnya? Dan
apa sebenarnya yang diinginkan orang ini
dari golok pemberian gurunya ini?
Tetapi Pandu tidak sempat berpikir
panjang lagi, karena tali berujung besi
itu sebenarnya jauh lebih mudah, tetapi
jurus-jurus tali yang di mainkan lawannya
lebih dahsyat dari yang tadi. Nampaknya
dia lebih leluasa memainkan jurus-
jurusnya di tanah. Juga tidak terganggu
oleh kedua senjata kawannya tadi.
Pandu sendiri sudah memainkan jurus
berkelitnya dari rangkaian jurus Gagak
Rimang-nya. Hingga sukar bagi lawannya
untuk mengenai sasaran yang tepat. Ini
membuat lawannya murka.
Kembali dia memperlihatkan keheba-
tan permainan tali berujung besi tajam
itu. Ujung besi itu berdesing-desing
hingga menimbulkan suara seperti tawon
yang sedang marah.
Tetapi Pandu tidak mau ayal lagi,
mendadak dia melompat ke belakang dan me-
lontarkan pukulan sinar putihnya yang am-
puh! Sekaligus mencoba kembali!
Seberkas sinar terang melesat ke
arah tali berujung besi itu yang sedang
mengarah padanya.
"Tes!"
Sinar itu menyambar tepat dan memu-
tuskan tali itu hingga terpisah dari
ujung besinya.
Orang itu terkejut dan menggeram.
Biarpun senjatanya telah dimusnahkan te-
tapi dia tidak takut. Lawan Pandu ini
adalah orang yang telah matang dalam du-
nia kekerasan.
Maka dia pun segera melengking dan
melesat dengan jurus tangan kosongnya.
Pandu pun segera menyambutnya den-
gan jurus Patuk Bangaunya yang telah di-
latihnya selama sepuluh tahun lamanya.
Inilah jurus-jurus sakti dan telah ditu-
runkan Eyang Ringkih Ireng kepada murid
tunggalnya. Jurus Pukulan Patuk Gagak Ri-
mang.
Kembali di tempat itu terjadi per-
kelahian yang hebat. Kali ini masing-
masing bertangan kosong. Dan saling mem-
perlihatkan kehebatan mereka.
Kadang saling memukul, bertahan,
menendang, menangkis, menghantam, juga
menghindar. Keduanya benar-benar dalam
kondisi puncak bertarung.
Mendadak lawan Pandu berputar dan
tubuhnya berguling di tanah dan bergerak
dengan cepat sekali ke arah Pandu. Pandu
terkejut, dia berusaha untuk melompat ka-
lau tidak mau kemaluannya di sodok tangan
yang sekokoh besi.
Tetapi terlambat, karena meskipun
gagal mengenai sasaran yang diincar, tan-
gan orang itu telah menghantam betis Pan-
du, yang loncatannya menjadi kacau dan
hilang keseimbangannya.
Tubuh Pandu ambruk ke tanah. Sung-
guh aneh jurus yang di mainkan orang itu.
Orang itu berdiri kembali dan ta-
wanya pun menggema keras.
"Hahaha... lebih baik kau serahkan
Golok Cindarbuana padaku!!" serunya.
Pandu menahan rasa sakit di betis-
nya.
"Hhh! Sejengkal pun aku tak akan
mundur darimu! Dan tak akan pernah kube-
rikan golok ini padamu!!"
"Hahaha... jangan main-main dengan
Tiga Malaikat Pencabut Nyawa, Anak muda!
Bila kau penasaran ingin tahu siapa
aku... hahaha... namaku Jimbun. Kau telah
merasakan kehebatan Jimbun bukan?"
"Bangsat!!"
"Hhh! Cepat serahkan golok itu pa-
daku?! Atau... kutebas lehermu itu!!"
"Kau banyak omong juga rupanya,
Jimbun! Bila kau memang menginginkan nya,
ambil dari tanganku!!"
"Bangsat! Kutebas lehermu!!"
"Kau belum membuktikan leherku kau
tebas!!" bentak Pandu tak kalah geramnya.
Dia baru saja turun gunung, dia masih be-
lum tahu akan kelicikan orang-orang di
dunia luar.
Dia belum tahu kalau ilmu yang te-
ramat keji, semacam ilmu yang dilancarkan
oleh orang yang bernama Jimbun tadi. Dia
kalah pengalaman, dan hal inilah yang
membuat pengalamannya bertambah.
Dia harus berhati-hati mengahadapi
jurus lawannya yang tadi!
Pandu mencoba berdiri. Hmmmp! Kaki
kanannya terasa agak sakit. Dan perlahan-
lahan dia mengalirkan tenaga dalamnya ke
kaki kanannya.
Dan perlahan-lahan pula dirasakan-
nya sudah agak membaik. Dan dia bergidik
mengingat jurus aneh yang dilancarkan
orang bernama Jimbun ini tadi!
Dan Pandu lebih terkejut mengingat
tugas yang diembannya belum mendapatkan
hasil apa-apa. Malah kini dia mendapat
halangan dari orang yang ingin merebut
Golok Cindarbuana.
Hmm... dia harus segera membereskan
orang ini. Lalu dia membentak, "Hhh! Ka-
takan... siapa yang menyuruhmu dan kedua
temanmu itu untuk merebut golokku ini?!"
"Hahaha... rupanya kau belum tahu
riwayat golok sakti itu, Anak muda!"
"Apa maksudmu?!"
"Perduli apa maksudku! Hhh! Dari
mana kau dapatkan golok itu?!"
"Itu urusanku!" sahut Pandu keras.
"Tak layak orang sepertimu diberitahu!"
"Jawab pertanyaanku. Kalau ti-
dak...."
Pandu telah memotong lebih cepat,
"Kau sudah mulai mengancam lagi? Tetapi
mengapa sejak tadi tidak kau buktikan an-
camanmu itu, hah?!"
"Bangsaaaat!! Kau memang mau mampus
rupanya! Cepat serahkan golok itu pada-
ku!!" Sambil membentak keras, tubuh Jim-
bun menyerbu maju dengan pukulan lurus ke
depan, ke arah dada Pandu.
Pandu hanya tersenyum saja. Meski-
pun nampaknya tenang, namun dia dapat me-
rasakan angin besar akibat tubuh dan do-
rongan tangan dari Jimbun.
Itu menandakan tenaga dalamnya te-
lah terkumpul di tangan dan membentak sa-
tu pertahanan tenaga yang amat kuat.
Tubuh itu pun semakin meluncur.
Pandu yang sudah mendapatkan penga-
laman pahit tadi, kini menjadi lebih ber-
hati-hati. Pada gebrakan pertama dia me-
nyambut pukulan Jimbun dengan tangkisan
tangan kanannya.
"Des!"
Pandu dapat merasakan kalau tenaga
dalam lawannya cukup besar. Jimbun sendi-
ri merasakan tangannya cukup ngilu. Dia
meneruskan serangannya dengan satu ten-
dangan yang cukup kuat.
Ke arah ulu hati Pandu.
Pandu menangkis serangan itu dengan
ayunan siku kanannya. Dan dengan gerakan
yang mendadak dia memutar, tangan kanan-
nya tadi diteruskan pada satu gerakan
yang cepat, mengarah hendak menyambar ke-
pala lawan.
Luput, karena Jimbun dengan cepat
menarik kepalanya. Dan langsung melancar-
kan pukulan lagi ke perut Pandu.
Diam-diam Pandu mendesis kagum da-
lam hati, "Hmm... rupanya manusia ini me-
miliki kepandaian yang cukup lumayan."
Serangan yang dilancarkan Jimbun
tadi dihindarinya dengan satu gerakan me-
miringkan tubuhnya dan menggeser kakinya
satu langkah. Gerakan itu sungguh cepat.
Keduanya saling serang.
Namun Pandu kali ini lebih mengan-
dalkan jurus berkelitnya. Tubuhnya dengan
lincah berkelit ke sana ke mari. Dengan
maksud hendak menguras tenaga Jimbun.
Jimbun sendiri menjadi penasaran.
Dia merasa dipermainkan karena sejak tadi
tak satu serangan pun yang berhasil men-
genai sasarannya.
"Anjing buduk!" makinya. "Jangan
hanya bisa menghindar saja kau, Setan!"
Pandu terbahak.
"Bukankah dengan begini ketahuan
bahwa kau sesungguhnya tidak memiliki ge-
rakan yang patut di andalkan, bukan?" se-
ru Pandu dan terus menghindar.
Mendengar kata-kata yang penuh eje-
kan itu, membuat Jimbun semakin meradang.
Dia pun menjadi buas. Dan serangan-
serangannya jadi sukar terkendalikan. Te-
naganya banyak yang terkuras karena ter-
lalu bernafsu menyerang.
Hal inilah yang sejak tadi diingin-
kan Pandu. Dengan banyak tenaga yang ter-
kuras dari Jimbun, semakin membuat seran-
gannya bertambah kacau balau. Banyak se-
rangannya yang tidak terarah lagi.
"Hahaha... lebih baik kau menyerah
saja dan berlutut mencium kakiku. Niscaya
aku akan memaafkanmu...." seru Pandu sam-
bil terus menghindar.
"Bangsat! Rupanya kau hanya bisa
menghindar saja, Pengecut!"
"Hahaha... baik, baik... bila kau
ingin melihat aku menyerang. Dan jangan
salahkan aku bila kau akan kewalahan. Bu-
kankah kau sendiri yang menginginkan-
nya!"
"Buktikan, pengecut!"
"Kau lihatlah. Tahan serangan!" se-
ru Pandu sambil berjumpalitan ke depan,
dan langsung menyerang begitu hinggap di
tanah.
Kecepatan jurus Pukulan Patuk Gagak
diperlihatkan dengan sempurna. Sejenak
Jimbun tertegun melihatnya. Namun di de-
tik lain dia pun harus berusaha menghin-
dari serangan yang secara beruntun itu di
lancarkan oleh Pandu. Ini membuatnya se-
dikit kewalahan.
Dan susah payah dia menghindari hal
itu.
Pandu terbahak melihat lawannya
tunggang langgang menghindar.
"Hahaha... maafkan aku, Kawan...
Bukankah kau yang meminta hal itu?"
"Anjing!"
"Hahaha... kini terimalah pelajaran
pertama dariku!" desis Pandu dan memper-
gencar serangannya.
Gerakannya semakin cepat.
Dua kali pukulan Patuk Gagak berha-
sil mengenai tubuh Jimbun hingga ter-
huyung. "Des!" "Des!"
Di saat tubuh itu masih terhuyung
kehilangan keseimbangannya, tubuh Pandu
bergerak lagi dengan cepat.
Menotok jalan darah Jimbun hingga
kaku.
Pandu menghentikan gerakannya. Wa-
jah yang sebagian tertutup caping itu
tersenyum.
Dihampirinya tubuh Jimbun yang ma-
sih dalam keadaan kaku.
"Maafkan aku, kawan. Bukankah kau
yang memaksaku untuk berbuat seperti
ini?"
"Anjing buduk! Lepaskan totokanmu!
Kita kembali bertarung!"
"Hmm... nampaknya kau sudah tidak
mampu untuk melawanku. Lebih baik kau te-
nang saja dalam keadaan dirimu yang se-
perti ini."
Sepasang mata itu terbelalak gusar.
Berpendar sinar marah dan dendam. Kala
mulut yang menguarkan bau busuk itu hen-
dak berucap lagi, dengan cepat Pandu
menggerakkan tangannya. menotok urat ga-
gunya hingga mulut itu kaku dan dalam po-
sisi terbuka.
Dan mata itu terlihat semakin kasar
melotot.
Pandu hanya tersenyum.
"Hhh... sayang, aku lagi malas bi-
cara. Bila tidak, kupaksa kau untuk men-
gatakan siapa yang menyuruhmu dan kedua
temanmu itu berbuat seperti ini padaku!"
Mulut itu tetap terbuka, tanpa men-
geluarkan suara. Matanya saja yang nampak
melotot, yang seakan menggantikan fungsi
mulutnya untuk bicara.
"Hahaha... kau kesal denganku, bu-
kan? Tak perlulah kau sesali. Bukankah
semua ini kau yang meminta?"
Sepasang mata itu semakin mendelik.
"Hmm... tadi kupikir aku bisa ber-
malam di sini, namun rupanya seleraku un-
tuk tidur di hutan ini jadi hilang. Tentu
kau tahu bukan, di mana desa yang terde-
kat dari sini? Hahaha... tak usah, tak
usahlah kau memberitahukannya padaku. Aku
akan mencarinya sendiri. Oh, Tuhan... aku
lupa... Maafkan aku, kawan... aku lupa,
kalau kau sekarang tidak bisa bicara,"
kata Pandu sambil menahan tawanya.
Kegeraman Jimbun semakin menjadi-
jadi. Namun dia sungguh tidak berdaya se-
karang. Matanya yang tadi garang itu, ki-
ni pun mulai meredup.
Merasa tak berdaya.
Pandu memalingkan wajahnya, menatap
gunung merapi yang dari kejauhan begitu
menyeramkan. Samar terselubung oleh kabut
dan suasana kegelapan yang amat pekat.
"Maafkan aku, Kawan... terpaksa kau
harus kutinggal di sini bertemankan din-
gin dan kegelapan. Hahaha... soalnya aku
sudah mengantuk dan perutku lapar tera-
sa!" kata Pandu kemudian. Lalu dia pun
mengambil kudanya. Dan dengan sekali me-
lompat sudah hinggap di atas kudanya.
Dijalankannya kudanya mendekati
Jimbun.
"Hmm... maafkan aku, kawan... Sela-
mat berdingin-dingin dan kau tentunya se-
nang bukan ditemani oleh nyamuk-nyamuk
nakal yang liar?"
Lalu dia pun menggebrak" kudanya
dengan diiringi tawanya yang mengejek.
Sementara Jimbun hanya bisa melotot
saja.
Sedangkan Pandu terus memacu ku-
danya menerobos kepekatan malam. Berkali-
kali dia mendengus karena keinginannya
untuk beristirahat ternyata terganggu.
"Sialan! Dasar manusia-manusia sab-
leng!
Kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja. Dan sungguh sialan, ada apa sebenar-
nya dengan Golok Cindarbuana ku ini!"
Memang, sebenarnya sudah lama Pandu
tidak mengerti. Mengapa banyak orang-
orang yang menginginkan golok pemberian
gurunya itu. Dia sungguh tidak tahu raha-
sia apa yang terpendam di balik golok
itu.
Gurunya sendiri tidak menjelaskan
apa-apa saat pertama dia turun gunung,
meninggalkan Gunung Kidul yang telah lama
di diami nya.
"Hmm... mulai saat ini, aku akan
mencari rahasia apa yang terdapat di ba-
lik Golok Cindarbuana ini," desisnya pe-
nuh keyakinan yang mendalam.
Lalu dipacunya kudanya dengan ce-
pat. Sebenarnya perutnya sudah cukup la-
par. Dan lelah menderanya. Dia sebenarnya
tidak mengerti mengapa tiba di hutan itu
tadi.
"Masa bodohlah, yang penting aku
bisa beristirahat sejenak. Ah, betapa ba-
nyaknya kejahatan di muka bumi ini. Dan
semuanya menjanjikan keangkaramurkaan."
Kudanya pun terus dipacu ke luar
dari hutan itu. Dia mengarahkan kudanya
menuju Tenggara. Beberapa saat kemudian,
Pandu cukup terkejut ketika melihat sinar
api dari kejauhan. Berkobar dengan hebat.
Dia menghentikan laju kudanya.
"Gila. Ada pesta apa hingga membuat
api demikian besarnya?" gumamnya "Atau
penduduk di desa itu memang gila berbuat
seperti itu? Bermain api? Hm... tapi men-
gapa nampaknya banyak dan seperti terpi-
sah?"
Api yang dari kejauhan di lihat
Pandu itu memang nampak besar. Dan terda-
pat di beberapa bagian.
Pandu jelas saja menjadi keheranan.
"Hmm... lebih baik aku lihat saja,
pesta apa yang tengah dirayakan oleh para
penduduk desa itu."
Lalu dipacunya kembali kudanya me-
nuju ke arah api yang besar itu. Dan se-
sampai di tengah desa itu, dia menjadi
tercengang.
Tak sadar dia menghentikan kudanya
dengan menarik kuat tali kekangnya hingga
kudanya berdiri dan meringkik keras.
"Tenang, Hitam... Tenang...." de-
sisnya.
Matanya kembali memperhatikan kea-
daan di depannya. Sungguh tragis sekali.
Api besar yang dilihatnya di beberapa ba-
gian itu bukan berasal dari sebuah api
unggun dalam satu pesta. Melainkan dari
beberapa rumah penduduk yang terbakar.
"Apa yang telah terjadi sini?" de-
sisnya.
Dia pun melihat sebagian besar pen-
duduk desa itu berlarian ke sana ke mari
dengan kepanikan yang luar biasa. Juga
matanya menangkap beberapa sosok tubuh
yang bergeletakan. Ada yang luka parah,
juga ada yang mati terbakar.
"Oh, Tuhan... siapa yang telah me-
lakukan semua ini?"
Pandu melihat seorang laki-laki se-
tengah baya yang tengah berusaha untuk
menenangkan orang-orang yang panik itu.
Dia nampaknya sedikit agak kewalahan ju-
ga, namun lama kelamaan dia pun berhasil
kelihatannya.
Dan para warga yang berlarian itu
pun berkumpul di depannya yang berdiri
tegak.
"Tenang... tenang semua!" serunya
lantang. "Usahakanlah agar kalian tidak
menjadi panik adanya. Lebih baik, kita
padamkan saja api yang masih menyala di
beberapa rumah! Untunglah Gerombolan Te-
lapak Bara sudah pergi meninggalkan desa
kita!"
"Tetapi bagaimana dengan anak-anak
gadis kami yang mereka culik, Ki Lurah?"
terdengar seruan keras itu di susul den-
gan suara yang ramai.
Pandu yang masih tegak di atas ku-
danya, menjadi paham sekarang. Laki-laki
yang nampak berwibawa itu bukan lain ada-
lah lurah di desa ini.
*
**
2
Dilihatnya Ki Lurah itu nampak
menghela nafas panjang. Jelas sekali dia
menjadi masygul dan gundah mendengar ka-
ta-kata yang diucapkan seseorang tadi.
"Yah... itu memang amat kusesali
sekali. Tetapi lebih baik, kita padamkan
saja api-api yang masih berkobar itu se-
belum merambat ke yang lainnya!"
Dan terlihatlah beberapa orang se-
gera berusaha memadamkan api. Pandu men-
desah. Dia jadi ingin mengetahui lebih
banyak apa yang telah terjadi.
Lalu perlahan-lahan di jalankannya
kudanya ke tengah kerumunan orang-orang
itu dan ki lurah yang tengah berkata-
kata, sudah tentu kemunculannya menarik
perhatian mereka. Dan beberapa orang nam-
paknya menjadi curiga, terlihat jelas da-
ri sikap dan tatapan mata mereka.
Pandu yang mengetahui kalau seba-
gian dari mereka menaruh curiga padanya,
segera turun dari kudanya dan membuka ca-
pingnya. Terlihatlah seraut wajah yang
tampan, dengan rambut tergerai yang teri-
kat berbentuk kucir kuda.
Beberapa orang gadis yang berada di
sana diam-diam mendesah dalam hati meli-
hat ketampanan wajah pemuda yang baru da-
tang itu.
"Bukan main, baru kali ini kulihat
pemuda begitu tampan," desis salah seo-
rang.
"Oh, Tuhan... Dewa Kamajayakah yang
hadir sekarang ini?" desis salah seorang.
Begitu pula dengan para ibu yang
memiliki anak gadis.
"Andaikata pemuda itu menjadi suami
Lastri, alangkah bahagianya aku. Dia bu-
kan hanya tampan, namun gagah pula. Oh,
siapakah dia?"
Namun sebagian pemuda atau laki-
laki yang berada di sana, masih menaruh
curiga. Siapa pemuda ini? Kapan dia mun-
cul? Mau apa dia muncul? Ataukah... dia
sesungguhnya adalah teman dari orang-
orang kejam yang menyerang desa kami ta-
di?
Pandu segera menjura.
"Maafkanlah bila kemunculanku men-
gejutkan kalian," katanya sopan. Lalu
berkata pada Ki Lurah, "Salam hormat dan
kenal dari ku, Ki Lurah...."
Laki-laki setengah baya yang nampak
masih gagah itu, mau tidak mau menaruh
rasa kagum pula melihat kesopanan yang di
tampilkan oleh si pemuda.
"Anak muda... siapakah kau gerangan
adanya?" tanyanya sambil memperhatikan
Pandu.
Pandu tersenyum. Hati beberapa ga-
dis yang berada di sana menjadi galau.
"Ki Lurah... aku datang dari Gunung
Kidul. Nama saya Pandu...." katanya so-
pan.
Dan beberapa orang gadis segera
mengingat-ingat nama itu dalam hati.
"Anak muda... namaku Perkoso. Aku
lurah di Desa Batang Muara ini," kata la-
ki-laki setengah baya itu.
Pandu masih memasang senyumnya.
"Ki Lurah... ada apa gerangan yang
terjadi di desa ini? Dari kejauhan sana
kulihat api berkobar dengan hebat, mem-
bumbung tinggi. Kupikir ada pesta yang
tengah diselenggarakan oleh penduduk di
sini. Namun yang mengherankan ku, mengapa
api unggunnya terlihat ada di beberapa
bagian.
Dan yang lebih membuatku terkejut
lagi, kala dekat kuperhatikan, bukannya
api unggun, namun api yang membakar bebe-
rapa rumah. Juga kelihatan keadaan yang
kacau balau. Ki Lurah, bila aku boleh ta-
hu. sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Ki Lurah Prakoso mendesah panjang.
Beberapa orang yang tadi diperintahkan
untuk memadamkan api, sudah kembali ber-
kumpul. Mereka keheranan melihat Pandu
berada di sana. Dengan berbisik-bisik me-
reka bertanya siapa dia dan mengetahui
jawabannya.
"Memang benar, Pandu. Desa ini baru
saja kedatangan orang-orang kejam yang
me-namakan diri Telapak Bara...."
"Telapak Bara?" potong Pandu.
"Benar. Mereka amat kejam dan te-
lengas sekali. Dan... oh, Tuhan... mereka
membunuhi siapa saja. Dan mereka juga
menculik beberapa anak gadis kami yang
entah di bawa ke mana."
"Siapakah sebenarnya mereka, Ki?"
"Aku tak tahu. Karena tiba-tiba sa-
ja mereka muncul dan dengan ganasnya me-
nyerang."
"Apa yang mereka inginkan?" "Mereka
menginginkan anak-anak gadis kami." "Gi-
la!"
"Yang lebih gila lagi, bila permin-
taan mereka tidak kami penuhi...."
"Apa yang akan mereka lakukan?"
"Mereka akan membakar hangus seisi
desa ini. Dan apa yang mereka lakukan ta-
di adalah sebagai peringatan...."
"Rupanya ancaman mereka tidak bisa
di anggap main-main, Ki...."
"Benar. Dan kami kebingungan meng-
hadapi masalah seperti ini Pandu...."
Pandu terdiam sejenak. Hmm, agaknya
dia pun harus terlibat dalam masalah ini.
Masalah dengan orang-orang yang menye-
rangnya di hutan itu saja tadi masih mem-
bingungkannya.
Siapa sebenarnya mereka? Dan menga-
pa mereka menginginkan goloknya? Masih
belum tuntas dia selesaikan. Hmm, lebih
baik nanti dia kembali ke sana dan mena-
nyai mereka.
Lalu di tatapnya Ki Lurah Perkoso.
"Ki Lurah... aku hanyalah seorang kelana.
Namun... bila Ki Lurah mengizinkan... aku
bermaksud untuk membantu Desa Batang Mua-
ra ini dari orang-orang Telapak Bara itu.
Bagaimana, Ki Lurah? Yah... mungkin ban-
tuanku ini tak seberapa..."
Ki Lurah Perkoso yang sejak tadi
sudah kagum dengan sikap dan tutur kata
pemuda itu, mengembangkan senyumnya.
"Anak muda... bila kau jujur dan
tulus ingin membantu kami menghadapi
orang-orang itu, tentu saja akan kami te-
rima dengan senang hati. Tapi yang perlu
kau ingat, kami tidak punya sesuatu yang
patut untuk diberikan kepadamu sebagai
imbalannya...."
Pandu tersenyum.
Perlahan menggelengkan kepalanya.
"Aku tulus membantumu, Ki Lurah...
karena kupikir dalam hidup ini kita harus
saling tolong menolong, bukan?"
Kembali Ki Lurah Perkoso tersenyum.
Dia tak kuasa lagi untuk membendung rasa
kagumnya.
"Pandu.... Rasanya baru kali ini
aku bertemu dengan seorang pemuda seperti
kau. Biarpun kita baru saling bertemu na-
mun hati kecilku telah mempercayaimu se-
bagai seorang pemuda yang bertanggungja-
wab."
"Terima kasih, Ki Lurah...."
Dan diam-diam salah seorang gadis
yang bernama Lastri yang sejak pertama
melihat Pandu sudah tertarik, semakin
tertarik pula melihat sikap dan tutur ka-
tanya. Dan hatinya semakin berbunga-bunga
kala dia mendengar kata-kata Ki Lurah se-
lanjutnya.
"Sebaiknya... kau tinggallah bersa-
ma kami, Pandu. Dan kau bisa menumpang
untuk sementara di rumah Nyai Kasi-
mah...."
Pandu hanya mengangguk.
"Baiklah, Ki Lurah...."
Dan dada Lastri ingin meledak ra-
sanya. Nyai Kasimah itu adalah ibunya.
Berarti pemuda itu akan tinggal di rumah-
nya. Bukankah itu akan membuatnya lebih
banyak berdekatan dengan pemuda itu. Tan-
pa sadar dia melirik Pandu yang juga se-
dang melihatnya karena Ki Lurah tengah
menunjuk Nyai Kasimah dan putrinya.
Hati Lastri galau. Gemuruh hatinya
semakin menjadi-jadi bertalu-talu, ber-
goyang. Apalagi setelah pemuda itu mema-
merkan senyumnya.
Hati Lastri seakan mau runtuh.
"Bagaimana, Pandu? Kau bersedia me-
numpang di sana?" tanya ki lurah.
"Bila segala sesuatunya memungkin-
kan, saya bersedia ki lurah. Dan sebalik-
nya kita harus segera menyusun segala se-
suatunya."
"Ya, sebaiknya memang begitu...."
sahut Ki Lurah Perkoso. Lalu dia berseru
pada warganya, "Sebaiknya kalian yang pe-
rempuan masuk kembali ke rumah! Dan bagi
yang rumahnya terbakar sebaiknya menum-
pang di rumah yang lain! Bawa masuk juga
anak-anak kalian! Sementara yang laki-
laki menguburkan mayat-mayat itu malam
ini juga!"
Seruan itu pun di patuhi. Lastri
masih sempat menatap Pandu sebelum dia
melangkahkan kakinya. Rasanya dia sudah
tidak sabar menunggu Pandu tinggal di ru-
mahnya.
Ah, mengapa perasaannya menjadi ga-
lau seperti ini? Jarang sekali dia menga-
lami hal seperti ini.
Pandu sendiri hanya tersenyum saja.
Lalu keisengannya timbul. Dia mengedipkan
matanya pada Lastri hingga gadis itu se-
makin galau. Dan buru-buru menunduk, se-
mentara langkahnya makin bergegas.
Setelah mayat-mayat di kuburkan,
Pandu menghampiri Ki Lurah Perkoso.
"Ki lurah... aku ada urusan seben-
tar di hutan sana. Dalam waktu beberapa
jam nanti, aku akan kembali ke sini...."
katanya yang tiba-tiba saja teringat akan
para penyerangnya yang dalam keadaan ter-
totok.
Dia bermaksud hendak langsung saja
menanyai mereka siapa yang menyuruh mere-
ka hendak merebut Golok Cindarbuana dari
tangannya. Karena sesungguhnya Pandu ma-
sih amat heran dengan golok itu.
Ada rahasia apa sebenarnya.
Ki lurah tersenyum.
"Pandu... bila kulihat dari kea-
daanmu, kau nampaknya amat lapar dan le-
lah. Tidak bisakah untuk sementara uru-
sanmu itu di tunda dulu kau beristira-
hat?"
"Ki lurah... bukan aku menampak ta-
waranmu, tapi sungguh, aku harus menyele-
saikan urusanku ini. Demi Gusti Batara
Agung, aku berjanji untuk membantu kalian
menghalau orang-orang Telapak Bara itu."
Ki lurah tersenyum.
"Pergilah, Pandu... dan kembalilah
ke sini!"
"Baik, Ki!" sahut Pandu sambil ter-
senyum. Lalu dipasangnya kembali caping-
nya dan dia berjumpalitan naik ke kudanya
hingga membuat orang-orang itu berdecak
kagum.
Ki lurah sendiri mendesis, "Agaknya
pemuda itu memang di datangkan Dewata un-
tuk menolong kita. Buktinya, bertepatan
desa kita di serang orang-orang kejam
itu, dia datang dan menawarkan diri untuk
membantu.
"Ah, siapa pun adanya kau Pandu...
sikapmu sudah membuat hatiku tertarik!"
Sementara itu murid Eyang Ringkih
Ireng dari Gunung Kidul semakin memperce-
pat laju kudanya. Dalam hatinya menden-
gus, "Sialan, perutku melilit sekali ra-
sanya! Tetapi bila aku tidak menyelesai-
kan masalah ini satu persatu bisa runyam
semuanya. Yang paling penting adalah men-
cari jawaban rahasia apa yang ada di ba-
lik Golok Cindarbuana ini. Sekaligus me-
nolong mereka dari ancaman orang-orang
Telapak Bara!"
Kembali Pandu mengarahkan kudanya
ke jalan semula. Di pacunya dengan ken-
cang menerobos kepekatan malam.
Beberapa saat kemudian, dia sudah
tiba di tempat tadi, di mana dia dibokong
secara liar oleh tiga orang seram dengan
bersenjata tali yang ujungnya terdapat
besi tajam.
Namun betapa terkejutnya Pandu ke-
tika melihat tak satu sosok tubuh pun
yang ada di sana.
"Hmm... ke mana larinya mereka?"
desisnya. Bahkan mayat salah seorang dari
ketiga nya sudah tidak ada di tempatnya.
Pandu menengadah ke atas, mencari sosok
tubuh yang telah kaku tertotok olehnya.
Namun lenyap.
Semuanya lenyap.
Kening Pandu berkerut.
"Hmm... apa yang telah terjadi?
Mengapa mereka menghilang begitu saja?
Bila yang tertotok tadi membebaskan toto-
kan dengan tangannya sendiri, rasanya
mustahil. Karena tak akan mungkin bisa.
Yang kugunakan itu adalah totokan satu
jari!
"Lalu bila begini, siapakah yang
telah membebaskan mereka? Aneh sekali.
Dan nampaknya aku kalah cepat dengan
orang itu. Ya, keyakinanku semakin ber-
tambah, kalau ketiga pembokongku tadi itu
adalah orang-orang suruhan atau orang-
orang bawahan dari seorang yang jago.
Hmm... aku jadi penasaran sekali dalam
hal ini. Baiknya kucoba saja mencari yang
mungkin bisa kutemukan."
Namun jejak itu pun tak ada sedikit
pun. Tak ada tanda-tanda yang menggembi-
rakan baginya untuk mengetahui siapakah
yang telah menolong orang-orang itu.
"Sialan!" dengusnya. "Orang itu
terlalu pintar, dan agaknya dia memiliki
tenaga dalam yang lumayan!"
Memang, sungguh hebat orang yang
biasa membebaskan dua orang yang telah
tertotok itu.
Pandu mendengus. Lalu kembali dia
menaiki kudanya. Lebih baik dia segera
saja ke Desa Batang Muara, karena dia ya-
kin, ki lurah masih menunggu.
Dan begitu dia tiba di desa itu,
pagi telah menjelang dengan sinar mataha-
ri yang menyinari seluruh desa.
Gunung merapi di kejauhan sana nam-
pak begitu angkuh dan menyimpan misteri
yang mengerikan.
*
* *
3
Di Utara Desa Batang Muara, yang
letaknya cukup jauh, ada sebuah gunung
merapi yang masih aktif. Bila hendak per-
gi ke sana dari Desa Batang Muara, membu-
tuhkan waktu kira-kira tiga hari lamanya.
Suasana di sekitar lereng gunung
itu amat sepi dan menyeramkan. Tak seo-
rang manusia pun yang berani untuk menda-
tangi tempat itu. Padahal tanah di seki-
tar lereng gunung merapi itu amat subur.
Apapun yang di tanam di sana akan tumbuh.
Namun tak seorang pun yang tertarik
untuk tinggal di sana. Bagi mereka, ha-
nyalah kematian yang akan didapati bila
nekad untuk tinggal di sana.
Bahkan sepertinya gunung merapi itu
nampak menyimpan satu misteri yang hingga
sekarang belum terungkap oleh siapa pun.
Dia tetap tegar dengan keangkuhan yang
amat tinggi menjulang.
Gunung itu dikelilingi hutan yang
lebat, masih banyak terdapat binatang
buas di sana. Seperti monyet, ular dan
harimau. Di sana-sininya pun banyak ter-
dapat jurang dan lembah yang terjal dan
dalam.
Sungguh suatu keadaan yang amat
mengerikan. Membuat orang harus berpikir
sepuluh kali untuk mendatangi tempat itu.
Dulu di sekitar lereng gunung mera-
pi itu memang banyak penduduk yang men-
diaminya. Mereka hidup dari bercocok ta-
nam dan rata-rata hidup serba kecukupan.
Mereka hidup rukun dan damai. Sal-
ing hormat menghormati satu sama lain.
Namun sekitar dua tahun kemudian,
suasana kehidupan yang ten tram dan damai
itu pun harus porak poranda dengan da-
tangnya ke tempat itu gerombolan yang ke-
jam dan ganas.
Mereka membuat hancur semuanya. Me-
reka membunuhi siapa saja yang ada di sa-
na. Tidak tua maupun muda. Mereka bengis
dan kejam. Semua mereka bantai.
Ladang dan sawah yang di tanami
tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh dengan
subur, mereka bakar dan bumi hanguskan.
Yang amat kasihan dan mengenaskan
tentulah nasib para wanitanya. Mereka di
buat menjadi bulan-bulanan nafsu binatang
para gerombolan itu. Orang-orang itu den-
gan buasnya menggumuli mereka. Bergan-
tian. Sungguh amat tragis apa yang diala-
mi oleh kaum wanita di sana pada kala
itu.
Sifat dan perangai orang-orang ke-
jam itu tak ubahnya seperti binatang be-
laka. Mereka tidak mengenal kasihan. Me-
reka tak menghiraukan jerit dan tangis
minta dilepaskan dari para wanita yang
merasakan dunia ini runtuh tepat menimpa
kepalanya.
Orang-orang itu bagaikan srigala
yang tengah menggarap kelinci-kelinci
mungil nan lembut. Dengan tawa birahi
yang membludak diiringi dengan desis se-
tan merasuk jiwa, mereka hancurkan hidup
mereka!
Karena tak kuasa menahan siksaan
yang amat keji dan memalukan itu, tak ja-
rang para wanitanya yang banyak membunuh
diri. Sesudah atau sebelum diperkosa dan
di gilir.
Sungguh amat menyedihkan nasib me-
reka. Tetapi tidak sedikit pula yang
hingga melahirkan. Namun setelah itu mem-
bunuh diri sambil menatap anak yang baru
saja mereka lahirkan. Anak yang kelahi-
rannya mereka tidak inginkan. Anak yang
terlahir dari hasil nafsu binatang laki-
laki, bukan dari perpaduan kasih sayang
antara dua insan manusia yang berbeda.
Namun dari nafsu binatang dan ketidakber-
dayaan perempuan.
Namun anak-anak yang mereka lahir-
kan itu, lebih banyak mati kemudian dari
pada hidup. Karena tak ada seorang manu-
sia pun yang menurunkan kasih sayang ke-
pada mereka.
Sungguh memang amat mengerikan apa
yang telah terjadi beberapa tahun yang
lalu. Satu peristiwa yang tak mungkin
terlupakan.
Namun siapa yang bisa mengingatnya
lagi, karena tempat itu sudah tidak ber-
penghuni lagi. Atau tepatnya, sesungguh-
nya tidak ada yang tahu kalau tempat itu
sebenarnya berpenghuni.
Dan hanya orang-orang itulah yang
masih bisa mengingat peristiwa beberapa
tahun yang lalu.
Karena di salah satu tempat di gu-
nung merapi itu, dekat sebuah lembah yang
terjal dan curam, bermukimlah gerombolan
kejam itu yang telah memporak-porandakan
desa yang ada di sana beberapa tahun yang
lalu. Mereka tidak meninggalkan tempat
itu rupanya. Karena bagi mereka ini ada-
lah satu tempat yang amat strategis untuk
di jadikan kediaman.
Hidup mereka pun begitu mudah. Me-
reka tinggal menyerang beberapa buah desa
yang letaknya berada di sekitar sana atau
pun harus ke luar dari tempat mereka.
Bukankah hal ini amat menyenangkan?
Terlalu bodoh bila mereka meninggalkan
tempat itu!
Gerombolan kejam itu dipimpin oleh
seorang laki-laki yang bernama Ki Pancang
Jalak. Dia adalah seorang laki-laki yang
sudah berusia lima puluhan. Namun masih
nampak gagah dan kuat. Semua itu berkat
kesaktiannya. Dialah yang memimpin gerom-
bolannya untuk menghabisi para penduduk
yang hidup di sekitar lereng Gunung Bera-
pi itu beberapa tahun yang lalu.
Dia adalah seseorang laki-laki yang
teramat kejam.
"Tak seorang pun yang bisa menga-
lahkan aku di muka bumi ini!" serunya
sombong
Dan dia pula yang menyuruh dan me-
merintahkan puluhan orang anak buahnya
untuk menyerang desa-desa. Sekadar mem-
buat mereka takluk dan keder. Namun tidak
hanya sampai di sana saja tindakan yang
dilakukan Ki Pancang Jalak.
"Bunuh semuanya, siapa saja yang
berani membantah perintahku!"
Dan kekejamannya itu pun menular
pada diri anak buahnya.
"Bawa gadis-gadis cantik ke sini!
Jadikan mereka perhiasan dan pajangan
buat istana kita!" seru Ki Pancang Jalak.
Memang sudah puluhan gadis yang me-
reka culik dan mereka paksa untuk menjadi
dayang-dayang atau pun pelayan di sana.
Namun nasib mereka tidaklah enak seperti
yang dibayangkan.
Karena di samping itu, mereka harus
bersedia melayani nafsu binatang siapa
saja dari gerombolan itu. Dan bila mereka
menolak maka mautlah sebagai ganjarannya.
Memang banyak yang menolak dan mati
dengan leher patah. Namun tak sedikit pu-
la yang masih berusaha bertahan hidup
dengan merelakan harga diri dan kehorma-
tannya diinjak-injak oleh mereka.
Namun di hati mereka, dendam dan
sakit hati itu sudah amat membludak dan
sepertinya siap untuk di muntahkan.
Tetapi tak satupun yang berani me-
nantang Ki Pancang Jalak. Manusia yang
bersifat dan bersikap seperti binatang.
Dia tak ubahnya seperti seekor srigala
lapar yang siap dan kapan saja menampak-
kan taring-taring giginya yang tajam dan
kuku-kukunya yang seperti pisau.
Dia adalah manusia harimau yang kejam.
Sejarah telah membuktikannya di
saat dia menghancurkan hidup para pendu-
duk yang tak berdosa dan tak bersalah
yang hidup di sekitar lereng gunung mera-
pi di sekitar beberapa tahun yang lalu.
Dia adalah orang yang kejam dan mena-
kutkan. Siapa pun yang membangkangnya
akan dihabisinya.
Tak seorang pun anak buahnya yang
berani mencoba-coba untuk membangkang pe-
rintah darinya. Ki Panjang Jalak adalah
seorang pemimpin yang mempunyai ilmu ke-
saktian yang hebat. Dari tangannya bisa
mengeluarkan panas yang bukan main me-
nyengatnya. Bila sesuatu atau apa pun
terkena sentuhan tangan itu, maka niscaya
akan hangus seketika.
Hingga dia sering dijuluki oleh ka-
wan maupun lawan dengan sebutan Hantu
Bertangan Bara. Ki Pancang Jalak bangga
dengan sebutan itu. Dan dia semakin mem-
buat namanya menjulang menembus ke langit
tujuh yang begitu menggetarkan.
Dan sepak terjangnya amat menge-
naskan.
Begitu pula dengan para anak buah-
nya yang dipimpinnya dalam panji kebesa-
ran Telapak Bara. Dan rata-rata para anak
buahnya mewarisi ilmu ketua mereka walau
masih jauh berada di bawah Ki Pancang Ja-
lak, namun cukup mampu untuk membuat la-
wan-lawan mereka ngeri untuk menghadapi.
Sepertinya Ki Pancang Jalak memang
sengaja mewarisi ilmu Tangan Baranya ke-
pada beberapa anak buah pilihannya.
Tempat persembunyian mereka yang
sukar dijamah dan sukar diketahui orang,
lebih memungkinkan bagi mereka untuk men-
gepak dan mengembangkan sayap, Melatih
anggota baru atau pun lama dengan ilmu
andalan gerombolan itu, yaitu ilmu Tela-
pak Bara, pengembangan dari ilmu Ki Pan-
cang Jalak atau yang bergelar Hantu Ber-
tangan Bara.
Ini merupakan satu tempat yang aman
bagi Ki Pancang Jalak dan para anggotanya
untuk berdiam.
Hari ini, Ki Pancang Jalak sedang
berhadapan dengan tiga orang anak buahnya
di pendoponya yang mirip dengan istana.
Dari pembicaraan itu, nampak jelas sekali
kalau Ki Pancang Jalak amat serius men-
dengarkan salah seorang anak buahnya yang
bernama Wayaluta berkata-kata.
Berkali-kali Ki Pancang Jalak mang-
gut-manggut dan sekali-sekali pula dia
menyela.
"Jadi kau tidak tahu siapa dia,
Wayaluta?" terdengar suara Ki Pancang Ja-
lak kemudian.
Wayaluta mengangguk hormat.
"Begitulah, Ketua. Aku tidak tahu
siapa pemuda itu sebenarnya. Agaknya pe-
muda itu murid seorang tua yang gagah
perkasa. Atau...."
"Atau apa, Wayaluta?" tanya Ki Pan-
cang Jalak karena Wayaluta menghentikan
kata-katanya. Sepertinya pemuda itu te-
ringat akan sesuatu.
"Dialah yang mewarisi Golok Cindar-
buana itu berikut ilmu dahsyat yang ter-
pendam di dalam golok itu, Ketua!"
Terlihat kepala Ki Pancang Jalak
menggeleng.
"Tidak mungkin!" potongnya cepat.
"Bagaimana tidak mungkin, Ketua!
Golok Cindarbuana itu berada di tangan-
nya!"
"Tetapi tidak mungkin, Wayaluta.
Golok Cindarbuana adalah milik sepasang
kakek nenek dari Tiongkok, yang hilang
begitu saja ketika sepasang kakek nenek
itu lengah. Mereka tidak tahu siapa yang
telah mencuri Golok Cindarbuana. Dan me-
reka bersumpah, akan membunuh orang yang
telah mengambil golok itu. Tetapi sayang,
mereka keburu mati. Maut telah mengundang
mereka terlalu cepat sebelum mereka tahu
siapa yang telah mencuri golok sakti
itu."
"Lalu bagaimana golok itu bisa be-
rada pada pemuda itu, Ketua?"
"Aku pun tidak tahu," kata Ki Pan-
cang Jalak. Lalu berpaling pada dua orang
yang duduk di sebelah Wayaluta. "Jimbun
dan Rimbin... apakah kalian yakin Golok
Cindarbuana yang ada di tangan pemuda
sakti itu?"
"Begitulah, Ketua...." kata Jimbun
hormat. Juga temannya yang bernama Rim-
bin.
"Kau yakin?"
"Saya yakin sekali, Ketua. Yang ada
di punggung pemuda yang bernama Pandu itu
adalah Golok Cindarbuana. Golok yang pu-
luhan tahun yang lalu telah hilang dan
tak seorang pun yang tahu siapa pencu-
rinya. Seperti yang ketua pernah cerita-
kan kepada kami dulu...."
Ki Pancang Jalak manggut-manggut.
Usapkan tangannya pada jenggotnya yang
memutih.
Rupanya yang duduk di sebelah Waya-
luta adalah dua manusia yang ingin mere-
but Golok Cindarbuana dari tangan Pandu.
Jimbun dan Rimbin serta seorang teman me-
reka yang tewas di tangan Pandu dalam
perkelahian di hutan lebat yang jauh dari
Desa Pareden.
Ketiga penyerang Pandu itu bergelar
Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa. Pandu
yang bermaksud hendak beristirahat dis-
erang begitu saja oleh ketiganya, yang
ternyata hanya merebut Golok Cindarbuana
pemberian gurunya, Eyang Ringkih Ireng
atau sesepuh Gunung Kidul.
Dan dalam perkelahian itu Pandu
berhasil menang. Namun kala dia kembali
hendak mengorek siapa mereka sebenarnya,
bukan main terkejutnya Pandu karena
orang-orang itu sudah tidak ada di tem-
patnya.
Orang yang membebaskan Jimbun dan
Rimbin dari totokan Pandu adalah Wayalu-
ta.
Dialah yang telah membuat neraka
bagi penduduk Desa Batang Muara, dengan
beberapa gerombolannya.
Ketika mereka melewati hutan lebat
itu, mereka secara tak sengaja melihat
Jimbun dan Rimbin dalam keadaan tertotok.
Dan Wayaluta menjadi amat geram se-
kali mendengar kata-kata Rimbin. Dan ke-
geramannya berubah menjadi keterkejutan,
setelah Rimbin berkata-kata tentang Golok
Cindarbuana. Golok sakti yang tengah di
cari ketua mereka, Ki Pancang Jalak!
Tetapi mengapa mereka tidak berpa-
pasan dengan Pandu atau Pendekar Tangan
Malaikat yang tengah ke luar dari hutan
lebat itu?
Tentu saja tidak, karena Pandu men-
gambil arah ke Tenggara, sedangkan orang-
orang itu melalui Barat Daya, karena me-
reka membuat onar lagi di sebuah desa
yang ada di arah Barat Daya.
Lalu Wayaluta segera memerintahkan
para anggotanya untuk kembali ke markas
mereka. Dia bermaksud hendak mencegat
Pandu untuk merebut langsung Golok Cin-
darbuana bersama Jimbun dan Rimbin.
Tetapi kemudian, Wayaluta merasa
lebih baik mereka melaporkan hal itu pada
Ki Pancang Jalak. Dan menguburkan mayat
Tambon.
Hal itu pun segera di laporkan ke-
pada Ki Pancang Jalak, yang juga merupa-
kan pimpinan dari Tiga Malaikat Tali Pen-
cabut Nyawa.
Walau sedikitnya geram dan marah
karena mengetahui Tambon tewas, namun Ki
Pancang Jalak masih bisa tertawa gembira
mendengar tentang golok sakti yang berta-
hun-tahun lamanya dia cari. Bahkan sele-
ranya terhadap wanita yang di culik pun
menjadi lenyap begitu saja.
Tak sabar dia untuk mengetahui ke-
jadian apa selanjutnya. Bukankah telah
lama dia mencari tentang golok sakti itu?
Dan sekarang telah didengarnya di mana
golok itu berada, tentu saja dia tidak
akan menyia-nyiakannya.
Dan dia sudah membayangkan kalau
dirinya akan menjadi seorang jago yang
tak terkalahkan.
Dengan golok sakti itu, tentunya
tak seorang manusia pun yang akan bisa
mengalahkannya.
Sekarang pun dia membicarakan masa-
lah itu lagi. Dari raut wajahnya sudah
tergambar rasa ketidaksabaran yang mem-
bludak.
"Kalau benar Golok Cindarbuana yang
di-bawa oleh pemuda itu, kita harus sege-
ra merebutnya. Golok itu adalah golok
yang teramat sakti."
"Ketua... sebenarnya rahasia apa
yang terdapat di balik Golok Cindarbuana
itu?" tanya Wayaluta.
"Aku sendiri tidak tahu secara pas-
ti. Konon golok itu adalah sebuah golok
yang hebat. Benda sekeras dan sehebat apa
pun akan patah dan musnah di tebas oleh
golok itu. Dan konon ada sebuah rahasia
yang hingga sekarang belum terpecahkan.
Karena sepasang kakek itu telah pergi se-
belum ada yang tahu apa rahasia itu."
"Apa kira-kira rahasia itu, Ke-
tua...."
"Entahlah... aku sendiri tidak ya-
kin, karena golok itu belum ada padaku.
Dan tak lama lagi rahasia itu akan kuke-
tahui, karena sebentar lagi golok itu
akan pindah tangan kepadaku, bukan?"
Ki Pancang Jalak terbahak-bahak.
Penuh keyakinan akan berhasil memiliki
Golok Cindarbuana itu
*
**
4
Ketiga bawahannya itu pun ikut ter-
tawa. Mereka begitu heran sebenarnya me-
lihat Ki Pancang Jalak begitu gembira.
Rupanya laki-laki setengah baya itu
memang amat berharap dan berkeinginan un-
tuk berhasil memiliki Golok Cindarbuana.
Yang konon tak ada satu benda pun yang
dapat menandingi kehebatannya.
"Ketua... kita rebut golok itu,"
kata Jimbun. "Dan kita bunuh pemuda ber-
caping itu!"
"Benar, Ketua," lanjut Rimbin. "Ka-
mi hendak membalas dendam atas kematian
adik kami Tambon. Kami tidak akan pernah
merasakan kegembiraan dalam hidup ini,
selama pemuda itu masih hidup. Dan adik
seperguruan kami tidak akan tenang dalam
kuburnya sebelum nyawa pemuda itu datang
menemainya. Hhh! Aku sudah tidak sabar
rasanya untuk bertemu dan membalaskan ke-
matian Tambon pada pemuda bercaping yang
juga mengaku Pendekar Tangan Malaikat!"
Mendengar nama itu disebutkan, te-
linga Ki Pancang Jalak kelihatan menegak.
Samar-samar dia pernah mendengar akan se-
buah julukan yang akhir-akhir ini menjadi
pembicaraan orang ramai. Karena julukan
itu telah mendatangkan bencana bagi
orang-orang golongan hitam
Ah, persetan dengan semua itu. Yang
pasti, dia harus merebut dan memiliki Go-
lok Cindarbuana. Dan membunuh pemuda sia-
lan itu bila benar dia Pendekar Tangan
Malaikat adanya.
Ki Pancang Jalak memperhatikan Jim-
bun dan Rimbin yang ucapan keduanya ter-
dengar begitu berapi-api. Dari kedua mata
mereka terlihat sinar dendam yang menya-
la-nyala, yang siap untuk ditumpahkan.
"Hmm... ya, kalian kutugaskan untuk
membunuh pemuda itu. Dan rebutlah Golok
Cindarbuana untukku," katanya kemudian.
"Ketua... lebih cepat lebih baik.
Izinkanlah kami pergi mencarinya," kata
Jimbun.
"Baiklah, kalian memang kuizinkan
untuk pergi," kata Ki Pancang Jalak. "Te-
tapi mendengar cerita kau berdua, ilmu
pemuda itu agaknya cukup tinggi. Dan la-
gi, bila benar dia adalah Pendekar Tangan
Malaikat yang namanya sudah sering dibi-
carakan orang, kalian harus lebih berha-
ti-hati lagi. Dan ada baiknya bila Waya-
luta ikut menemani kalian. Kuminta pada
kalian untuk menyelesaikan tugas ini den-
gan baik!"
"Baik, Ketua. Saya pun penasaran
hendak melihat siapa dia adanya, juga
sampai seberapa tinggi kesaktiannya," ka-
ta Wayaluta.
"Jangan lupa... selain nyawa pemuda
itu, Golok Cindarbuana sasarannya."
"Saya akan ingat pesan, Ketua."
"Dan aku tidak suka dengan kegaga-
lan kalau tidak terpaksa."
"Kami akan berusaha merebutnya. Ka-
mi yakin, akan berhasil mendapatkan golok
itu."
"Aku pun yakin akan hal itu. Kau
Wayaluta, adalah orang ke satu di bawah-
ku. Ilmu Telapak Bara pun sudah sedemi-
kian tinggi. Aku harapkan kau bisa men-
gambil golok yang kuidam-idamkan. Dan
persiapkan kau sendiri bagaimana, Jimbun,
Rimbin?"
Kedua orang itu menyembah hormat.
"Maafkan kami, Ketua," kata Jimbun.
"Dengan Adik Tambon, kami adalah Tiga Ma-
laikat Tali Pencabut Nyawa. Kami terlalu
sombong, hingga tidak mau mempelajari Il-
mu Telapak Bara yang ketua ajarkan. Teta-
pi sekarang, kami telah mempelajarinya.
Sudah cukup kami rasa dalam waktu tiga
bulan mempelajarinya."
Ki Pancang Jalak manggut-manggut.
"Waktu itu sudah cukup memang. Ku-
lihat kalian berdua belajar dengan sung-
guh-sungguh. Nah, lakukan sekarang juga.
Pergilah, rebut Golok Cindarbuana itu."
"Kami akan penuhi harapan, Ketua,"
kata Jimbun dan Rimbin bersamaan. "Kami
akan membawa pula mayat pemuda itu di ha-
dapan ketua...."
"Kami tak ingin melihat ketua kece-
wa," sambung Wayaluta.
Dan kata-kata ketiga orang itu mem-
buat Ki Pancang Jalak tertawa lebar. Se-
nang dia anak buahnya begitu patuh.
Hmm... sebentar lagi golok itu akan men-
jadi miliknya. Dia akan berusaha memecah-
kan rahasia golok itu.
Dia akan menjadi orang nomor satu
dalam hal ilmu kesaktian. Olah kanuragan
yang di dambakan oleh setiap manusia. Il-
mu yang memang perlu dimiliki oleh siapa
saja. Namun alangkah salahnya jika ilmu
kesaktian itu dibuat untuk membunuh, me-
nyakiti atau melukai sesamanya. Olah ka-
nuragan hanya dipakai untuk membela diri,
tanpa menyakiti sesamanya, selain pula
untuk olahraga, mencari kesegaran jasma-
niah dan rohaniah.
Tetapi orang-orang yang memiliki
ilmu kesaktian atau olah kanuragan lebih
banyak sombongnya daripada menyembunyikan
kepandaiannya itu. Mereka lebih suka un-
tuk berseru-seru menyatakan diri mereka
kuat. Diri mereka gagah. Diri mereka mam-
pu menghadapi apa pun dan siapa pun.
Mereka merasa lebih dari siapa pun!
Dan mereka tidak memakai ilmu padi,
yang semakin berisi malah semakin merun-
duk.
Kita mengalah belum tentu kalah.
Kita merunduk belum tentu takut. Tetapi
lebih baik menghindari perkelahian yang
menyakiti sesama daripada harus terlibat
perkelahian yang sebenarnya tidak ada gu-
nanya.
Tidak seperti Ki Pancang Jalak yang
memiliki ilmu kesaktian untuk menyerang
sesama, menyakiti sesama dan membunuh se
sama. Betapa sangat di sayangkannya
ilmu yang di milikinya itu hanya untuk
menyakiti sesamanya.
Dia lupa akan kodratnya sebagai ma-
nusia yang lemah, yang sebenarnya tidak
bisa berbuat apa-apa bila takdir buruk
telah menimpa dirinya.
Ki Pancang Jalak telah menyatakan
dirinya sebagai orang yang ditakuti, den-
gan gelar Hantu Bertangan Bara. Sebagai
orang yang berkuasa. Dan gerombolan yang
dipimpinnya pun ditakuti oleh kawan mau-
pun lawan.
Terdengar lagi dia berkata pada ke-
tiga bawahannya.
"Gagal, aku paling benci dengan ka-
ta-kata itu. Dan aku tak ingin kalian
gagal."
"Seperti janji kami tadi, Ketua...
kami tak akan membuat ketua kecewa," kata
Wayaluta.
"Bagus!"
"Dan kami berjanji akan membuat ke-
tua tersenyum senang dan gembira," sam-
bung Jimbun.
Ki Pancang Jalak terbahak.
"Hahaha... bagus, bagus sekali. Aku
suka dengan semua kata-kata kalian itu.
Nah, rebutlah golok itu. Kalau perlu bu-
nuh siapa saja yang akan menghalangi ka-
lian. Jangan bertindak tanggung-tanggung
lagi. Tunjukkan bahwa kalian adalah
orang-orang yang kejam! Bantai semuanya!
Darah sebagai taruhannya?!! Mengerti ka-
lian?!!"
Ketiganya mengangguk.
"Kami mengerti, Ketua!" kata Wayaluta.
Terdengar Ki Pancang Jalak kembali
terbahak. Dia merasa bangga pada dirinya
sendiri karena para anak buahnya amat
menghormati dan menaruh rasa segan yang
besar terhadapnya. Bukankah ini merupakan
satu kesenangan yang luar biasa?
Terlihat ketiga kepala mengangguk
kembali. Dengan yakin dan pasti akan me-
menuhi semua keinginan sang ketua dan ti-
dak akan mengecewakan mereka.
Lalu sore itu pula mereka berangkat
dengan kuda yang tinggi dan gagah untuk
men-cari Pandu. Untuk merebut Golok Cin-
darbuana dan sekaligus membunuh Pandu!
Namun yang pasti, untuk menyenang-
kan hati ketua mereka, Ki Pancang Jalak.
Sementara. Ki Pancang Jalak lang-
sung melangkahkan kakinya ke kamarnya. Di
kamarnya telah terdapat dua orang gadis
manis yang matanya sembab karena terlalu
banyak menangis.
Keduanya adalah gadis-gadis yang
baru di culik oleh Wayaluta. Dan melihat
kemunculan laki-laki seram itu, membuat
hati kedua gadis itu semakin ketakutan.
Wajah mereka pias.
Tak sadar mereka mundur ke sudut
kamar begitu Ki Pancang Jalak menyerin-
gai.
Dan ketakutan mereka semakin menja-
di-jadi ketika laki-laki itu membuka ba-
junya.
"Hehehe... mengapa harus ketakutan,
Manis? Kalian adalah hidanganku sore ini.
Ayo... berbuatlah yang mengenakan hatiku.
Hehehe... kalian memang ayam-ayam montok
yang menggairahkan!"
Langkah Ki Pancang Jalak semakin
dekat.
*
**
5
Malam yang larut itu pun berganti
dengan secercah matahari keesokan pa-
ginya. Suasana begitu asri dan damai. Ma-
tahari menyinari sebagian besar Desa Ba-
tang Muara yang kini nampak kembali ce-
rah.
Sudah hampir lima malam keamanan
desa diperketat sejak munculnya penyerang
an sadis yang dilakukan oleh orang-orang
gerombolan Telapak Bara. Dan dengan gerak
cepat pula Pandu telah melatih beberapa
orang warga desa dengan satu bentuk for-
masi pertahanan yang bagus dan cukup kuat
dipakai untuk menghadang dan menahan.
Dan hingga sejauh ini, orang-orang
Telapak Bara tidak lagi muncul. Ataukah
mereka tengah menyerang desa lainnya?
Kemungkinan itu pun dibicarakan
orang-orang atau warga desa itu di balai
desa. Pandu pun hadir di sana.
"Bila memang benar kenyataannya,
bahwa orang-orang itu menyerang desa
lainnya, betapa mengenaskannya. Sementara
kita menunggu di sini dan siap memperta-
ruhkan nyawa untuk melawan mereka semua,
namun nyawanya tak satu pun wajah orang-
orang itu nongol," kata Ki Lurah Perkoso.
Wajahnya sedikit terlihat pancaran lega,
namun juga terlihat pancaran kesal.
"Lalu apa yang akan kita perbuat,
Ki Lurah?" tanya salah seorang.
"Bila kau bertanya tentang itu, ja-
wabku hanya satu... kita tetap menunggu
di sini dan siap menyambut kedatangan me-
reka bila mereka datang. Yah... mungkin
ini agak membosankan bagi kita, namun bi-
la kita perhitungkan dengan matang, maka
sesungguhnya ini merupakan satu keharusan
yang tetap kita jalankan."
"Ki lurah... apakah sebagai manusia
yang berbudi dan beradab, kita tidak men-
coba membantu para penduduk yang lain,
bila mereka memang benar tengah diteror
oleh orang-orang sialan itu?" berseru sa-
lah seorang.
"Benar, Ki Lurah!" lanjut salah
seorang. "Kita tidak akan membiarkan me-
reka pun berbuat sewenang-wenang mereka
saja terhadap sesama. Apakah lalu kita
akan diam saja bila kita tahu kalau
orang-orang itu tengah menyebarkan teror-
nya?"
Sahutan-sahutan ramai pun terdengar.
Ki Lurah Perkoso hanya mendesah.
Sementara Pandu, murid dari Eyang
Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-
dul hanya mencoba untuk menjadi pendengar
yang setia.
Dilihatnya ki lurah seperti hendak
berkata. Dan di dengarkannya dengan sek-
sama apa yang dikatakan ki lurah itu.
"Yah... tentunya kita tidak akan
berbuat seperti itu. Namun yang perlu di-
tanyakan, apakah kita tahu di mana dan
desa mana yang tengah diserang oleh ge-
rombolan liar itu? Dan bila kita tahu,
apakah kita harus segera ke sana, semen-
tara desa kita sepi tanpa warganya?
Yah... aku pun masih punya rasa pe-
rikemanusiaan sebenarnya. Namun bagiku,
desa dan wargaku inilah yang teramat
penting nasib dan kehidupannya.
Sekali lagi kukatakan, aku bukannya
hendak mengalihkan atau tidak mengindah-
kan apa yang tengah dialami oleh warga
desa lainnya. Namun nasib kita di sinilah
yang harus kita jaga. Karena aku tidak
mau bila suatu saat kita meninjau ke desa
yang tengah di landa kesengsaraan, desa
kita kosong melompong. Dan orang-orang
liar itu mendadak saja mengalihkan penye-
rangan ke desa kita.
Bukankah itu amat menakutkan sekali?
Jadi... kupikir, lebih baik kita
tetap saja berjaga-jaga dan menunggu ke-
datangan mereka di sini!"
Orang-orang itu terdiam. Mereka pun
akhirnya memaklumi apa yang dikatakan Ki
Lurah Perkoso. Dan ini bukanlah demi ke-
pentingan mereka sendiri. Namun yang me-
reka takutkan, bila nyatanya yang dikata-
kan ki lurah benar.
"Lalu apa yang akan kita lakukan,
Ki Lurah?" bertanya salah seorang. Dia
sebenarnya seusia dengan ki lurah. Namun
hanya bedanya dia nampak lebih tua dari
ki lurah. "Apakah kita akan membiarkan
saja sementara beberapa orang anak gadis
kita dibawa mereka. Dan aku tidak yakin
mereka akan mendapatkan satu kebahagiaan
di sana. Tentunya... oh, mereka akan di-
jadikan pelampiasan nafsu orang-orang be-
jat itu!"
Kali ini ki lurah mendesah panjang.
Dia sebenarnya pun memikirkan hal
itu. Namun ke mana mereka akan bisa men-
cari jejak orang-orang jahat yang tak
berperikemanusiaan itu?
Anginnya saja pun tidak tahu ke ma-
na anak-anak gadis mereka di bawa.
"Pak Martono... yah, mungkin sebe-
narnya inilah yang menyusahkan hatiku.
Aku pun teramat was-was memikirkan nasib
mereka. Tapi apa yang bisa kita perbuat,
sementara hatiku sendiri begitu cemas?"
Orang-orang pun terdiam. Ki lurah
mendesah masygul. Yah, dia pun tidak tahu
apa yang hendak diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara pelan na-
mun berwibawa, semuanya menoleh pada Pan-
du, pemuda gagah yang mengenakan caping.
"Maafkan kelancanganku bicara sebe-
lumnya," desis Pandu.
Ki lurah tersenyum. Sikap pemuda
ini meskipun sudah di terima sepenuhnya
oleh mereka, tetap saja memperlihatkan
sikap yang santun.
"Silahkan Pandu... katakanlah apa
yang ingin kau katakan...." kata Ki Lurah
Perkoso.
Pandu membuka capingnya. Dan meli-
hat orang-orang yang duduk di lantai itu
memperhatikannya. Angin berhembus sejuk
dari luar dan masuk melalui celah-celah
pagar yang dijadikan dinding balai desa
itu.
"Bila ternyata kita semua mengua-
tirkan nasib para anak gadis kita, ada
baiknya bila salah seorang atau beberapa
orang dari kita untuk mencari jejak mere-
ka. Kupikir, kita memang tak perlu lagi
membuang waktu sia-sia menunggu kedatan-
gan mereka. Yah, kita harus segera men-
gambil satu keputusan yang tepat. Bila
kita membuat waktu lebih lama lagi, kupi-
kir nasib para gadis yang dibawa oleh
orang-orang jahat itu akan sukar untuk
dilindungi...."
Pandu mengedarkan tatapannya pada
orang-orang yang masih memperhatikannya.
"Yah, untuk tugas penyelidikan
ini... aku bersedia untuk melakukannya...."
Dari keheningan karena mendengar
kata-kata Pandu itu, berubah menjadi sua-
ra riuh.
Ki lurah menenangkan warganya.
"Pandu... bila benar kau mengingin-
kan hal itu dan bersedia melakukannya,
kami mengucapkan banyak terima kasih. Te-
tapi bila kau memerlukan bantuan beberapa
orang pemuda warga desa ini, kami pun
bersedia membantu."
Pandu tersenyum.
"Tidak perlu, Ki. Maaf... bukannya
aku tidak memerlukan bantuan kalian dan
tidak mengindahkan rasa berterima kasih,
tetapi aku lebih suka melakukannya sendi-
ri."
"Yah... bila itu maumu, silahkan-
lah, Pandu...." kata Ki Lurah Perkoso.
Dan berita Pandu hendak mencari ke-
diaman orang-orang kejam itu sampai di
telinga Lastri.
Hati gadis itu menjadi gundah dan
gelisah. Dia dapat merasakan kekejaman
dari orang-orang Gerombolan Telapak Bara
itu. Dan dia tidak menghendaki Pandu men-
jadi korban dari kekejaman mereka.
Maka ketika pemuda itu muncul di
rumahnya, dia langsung bertanya, "Kakang
Pandu... benarkah kau hendak mencari mar-
kas orang-orang kejam itu?"
Pandu yang telah mengikat kudanya
membuka capingnya. Dia tersenyum yang
membuat Lastri jadi gelagapan tersipu.
Dan tanpa sadar dia menunduk dengan wajah
merona merah.
Ih, dia jadi benci sendiri pada dirinya.
Mengapa dia begitu gelisah sekali?
Mengapa dia cemas? Ah, tidak tahukah Pan-
du, kalau aku menyukaimu?"
"Rayi Lastri...." kata Pandu masih
tetap tersenyum. "Memang itulah adanya,
aku memang hendak mencari mereka. Karena
di samping itu, aku juga amat gelisah
dengan gadis-gadis yang mereka culik."
Mendengar kalimat itu wajah Lastri
menegak. Cemas akan gadis-gadis? Oh, su-
dah kenalkah Pandu dengan mereka? Mengapa
pemuda ini begitu cemas? Ataukah dia se-
cara diam-diam telah mengenal salah seo-
rang dari mereka? Dan maksud kedatangan-
nya yang sebenarnya adalah untuk menjum-
pai gadis itu?
Bermacam pikiran jelek singgah di
benak Lastri. Dia begitu kuatir sekali
nampaknya.
Melihat gadis itu terdiam, Pandu
berkata, "Mengapa, Rayi? Mengapa kau ter-
diam? Adakah kata-kataku yang menyinggung
perasaanmu?"
Gadis itu tanpa sadar menggelengkan
kepalanya. Terlalu cepat dilakukannya,
desis Pandu dalam hati.
"Adakah kata-kataku yang menying-
gung perasaanmu, Rayi?" ulang Pandu.
"Oh, tidak, Kakang... tidak... ti-
dak ada apa-apa...."
"Lalu mengapa kau terdiam, Rayi?"
"Ah, sungguh tidak ada apa-apa, Ka-
kang..." "Benar kah?" "Iya, Kakang...."
Sebenarnya Pandu sudah tahu apa
yang membuat gadis ini terdiam. Tentunya
gadis ini cemburu kala dia berkata mence-
maskan gadis-gadis yang diculik oleh ge-
rombolan Telapak Bara yang kejam itu..
Namun bagi Pandu itu bukanlah satu hal
yang bagus. Bukan-kah memang patut dia
mencemaskan keselamatan para gadis yang
entah bagaimana nasibnya hingga saat ini?
Dan kemudian gadis itu yang kedua,
tentunya dia cemas dengan perginya Pandu
untuk mencari orang-orang kejam itu. Ka-
rena itu sama saja dengan mengantarkan
nyawa percuma.
Tetapi bagi Pandu yang yakin menga-
pa gadis itu menjadi cemas, tentunya ka-
rena gadis itu menyayanginya menjadi ser-
ba salah mengikuti sikap dan tingkah ga-
dis itu.
Dari sikap yang diperlihatkan gadis
itu sehari-hari selama dia berada di ru-
mah itu, begitu besar sekali. Dari makan
hingga tidurnya pun diperhatikan.
Sebenarnya Pandu risih dengan sikap
yang diperlihatkan oleh Lastri. Karena
dia tahu semua itu dilakukan atas dasar
cinta. Sedangkan dia? Ah, cinta... apakah
dia cinta sama Lastri? Pandu tidak tahu
dan tidak pernah mengerti. Dia memang su-
ka bila berdekatan dan berduaan dengan
Lastri. Tetapi tidak bermaksud untuk men-
gakrabkan hubungan itu dengan satu tali
percintaan yang bisa mengikat.
Pandu tidak ingin seperti itu.
Cinta baginya hanyalah cinta seba-
gai seorang kakak dan adik. Atau cinta
anak pada orang tua. Bukannya cinta seo-
rang laki-laki dan seorang perempuan.
Terlalu berat, terlalu berat resiko
yang tentu akan ditanggungnya nanti. Tak
mungkin dalam pengembaraannya ini dia
membawa seorang istri. Tak akan mungkin.
Bagaimana pula dia bisa bebas men-
gembara, bila di benaknya dipenuhi oleh
nasib anak dan istrinya nanti? Pandu
menghela nafas panjang.
"Ah, Lastri... maafkan aku...." de-
sisnya dalam hati.
Lalu ditatapnya gadis itu yang ma-
sih menundukkan kepalanya. Dan perlahan-
lahan serta hati-hati pula dia memegang
dagu gadis itu yang langsung tersentak
kaget dan tanpa sadar mengangkat kepa-
lanya.
Pandu dapat melihat kerjapan malu
dan senang pada sepasang mata yang bening
dan cerah itu.
Dan secepat dia mengangkat wajah-
nya, secepat itu pula dia menurunkan wa-
jahnya. Gelagapan tersipu. Dengan satu
gerakan lembut yang sopan dan mampu mem-
buat hati Lastri bergetar, Pandu menaik-
kan wajahnya.
Hingga mau tidak mau gadis itu ter-
paksa menatapnya. Sepasang mata itu sema-
kin tersipu. Ah, rasanya tak kuasa Lastri
menolaknya bila Pandu mengecupnya atau
menarik tubuhnya ke dalam rangkulannya.
Dan dia memang mengharapkan pemuda itu
melakukannya.
Namun pemuda itu masih tegak mena-
tapnya. Tidak melakukan apa-apa biarpun
tangannya masih memegang dagunya. Hal itu
membuat Lastri semakin kagum karena pemu-
da itu tidak ceriwis dan tidak mengguna-
kan kesempatan yang ada.
Jarang dia menemui pemuda seperti
Pandu. Justru dari sikap Pandu itulah
yang membuat Lastri semakin menjadi pena-
saran untuk dipeluk dan di rangkul.
Ataupun... ih, dikecup!
Tetapi pemuda itu tidak berbuat
apa-apa. Lastri mendengar pemuda itu ber-
kata, "Rayi... mengapa kau nampaknya ce-
mas padaku? Mengapa kau nampaknya tidak
rela bila aku mencari orang-orang kejam
itu? Bukankah kau tahu, bila orang-orang
itu dibiarkan terus berkeliaran, maka na-
sib orang banyak akan jadi malapetaka
yang luar biasa. Kau sudah menyaksikan
bagaimana kekejaman mereka bukan, Rayi?
Dan kau tentunya dapat merasakan kepedi-
han bagaimana yang dialami orang-orang
yang terkena gangguan mereka? Pilu dan
luka, Rayi. Apalagi dengan nasib para ga-
dis yang mereka culik? Mungkin sudah ra-
tusan jumlahnya gadis-gadis yang mereka
culik dari berbagai desa itu tanpa seo-
rang pun yang tahu bagaimana nasib mere-
ka. Ini amat memprihatinkan, bukan?"
"Tapi, Kakang...." suara gadis itu
bergetar. "Aku kuatir denganmu...."
"Mengapa kau kuatir, Rayi? Mengapa?"
Ditembak dengan pertanyaan yang
langsung pada sasaran dan tatapan mata
yang menikam, membuat Lastri menunduk.
Dan tiba-tiba saja dia berlari masuk ke
dalam tersipu dan berujar, "Karena... aku
sayang padamu, Kakang...."
"Benar dugaanku," desah Pandu dalam
hati. "Yah, memang sudah kuduga hal itu
sebenarnya. Namun aku tidak mau terlibat
percintaan seperti itu. Maafkan aku, Rayi
Lastri."
Lalu dia menaiki kudanya dan meng-
gebrak larinya dengan cepat. Dari balik
gorden Lastri mengintip dengan hati pilu.
"Mengapa Pandu tidak pamit lagi padaku?"
Desisnya di hati.
Sementara pemuda itu terus memacu
kudanya dengan cepat. Baginya dia merasa
tidak perlu memikirkan Lastri. Biarlah
gadis itu akan menyadari sendiri, bahwa
aku tidak pantas untuknya.
Tidak mungkin gadis lembut seperti
dia bisa kuajak mengembara, dan kalau pun
bisa mungkinkah aku akan tega melakukan-
nya.
Mengajaknya bertualang? Ah, bukan-
kah dalam pengembaraanku ini akan banyak
kujumpai kendala dan halangan yang amat
susah? Bisakah kulakukan bersama Lastri?
Bisakah?
Pandu mendesah panjang dan melari-
kan kudanya kencang-kencang. Dia tidak
mau lagi mengingat gadis itu. Biarlah ga-
dis itu, biarlah dia tenggelam dalam an-
gannya. Dan aku tak mau menambah angan
itu semakin dalam.
Kala siang hari saat matahari sudah
merambah dunia dengan kegarangan sinar-
nya, Pandu menghentikan kudanya di suatu
tempat yang cukup sepi. Pohon-pohon besar
dan tinggi cukup menghalangi sinar mata-
hari yang datang menyengat.
Setelah menambatkan kudanya, Pandu
lalu merebahkan tubuhnya di rerumputan,
namun setelah beberapa saat berlalu, ti-
ba-tiba di dengarnya derap langkah kuda
yang bergegas ke arahnya dengan bergemu-
ruh dan cepat.
Menimbulkan tanda tanya.
Pandu pun segera bangkit untuk me-
lihat siapa yang datang. Dan batinnya
berbicara, bahwa akan terjadi sesuatu
yang tidak menggembirakan.
*
**
6
Semula Pandu tidak melihat dengan
jelas siapa orang-orang yang menunggangi
kuda-kuda itu. Namun ketika tinggal bebe-
rapa tindak lagi, barulah dia mengenali
dua orang penunggang kuda itu yang pernah
mau merebut Golok Cindarbuana yang ter-
sampir di punggungnya.
Dan dia memang benar, orang-orang
itu adakah Wayaluta, Jimbun dan Rimbin.
Yang setelah mendapat tugas dari Ki Pan-
cang Jalak atau Hantu Bertangan Bara un-
tuk membunuh Pandu dan merebut Golok Cin-
darbuana dari tangannya, telah tiba di sini.
Mereka hampir seminggu lamanya me-
macu kuda-kuda mereka dengan rasa penasa-
ran dan tidak sabar untuk bertemu dengan
pemuda yang mereka cari!
Dan sudah tentu mereka gembira kala
secara tidak sengaja bertemu dengan pemu-
da itu di sini! Bukankah ini merupakan
satu keberuntungan sehingga mereka tidak
perlu bersusah payah lagi?!
Serentak ketiganya memperlambat la-
ri kuda mereka. Dan betapa geramnya Jim-
bun dan Rimbin begitu melihat siapa pemu-
da yang tengah beristirahat dengan santai
dan wajah yang sebagian tertutup caping
yang dikenakannya. Namun kali ini sudah
berdiri dengan gagah.
"Bangsat! Rupanya kau berada di si-
ni, pemuda busuk!" membentak Jimbun den-
gan marahnya. Wajahnya seketika beringas.
Dan nafasnya mendengus-dengus. Dendamnya
semakin menjadi-jadi dengan besar sekali.
Pandu hanya tersenyum. Hingga seka-
rang ini dia masih tetap heran bagaimana
kedua manusia jelek ini bisa terlepas da-
ri totokannya.
"Hmmm... rupanya Tiga Malaikat Tali
Pencabut Nyawa yang ada di hadapanku se-
karang ini! Tetapi kini tinggal Dua Ma-
laikat Tali Pencabut Nyawa dan seorang ki
sanak yang tak kukenal. Hmm... ada apakah
gerangan hingga kalian tidak segera me-
lanjutkan perjalanan?!"
Lalu mengapa kalian menuduh aku
yang membunuh? Rupanya kalian berdua ini
orang-orang yang pelupa sekali. Adik se-
perguruan kalian mati oleh tangan kalian
sendiri?!"
Merah padam wajah Rimbin. Memang,
mereka juga kaget ketika menyadari senja-
ta tali berujungkan besi lancip yang men-
jadi senjata andalan mereka menancap di
tubuh Tambon. Namun semua itu semua itu
karena si pemuda setan ini!!
"Perduli setan! Semuanya kaulah
yang menjadi gara-gara!"
"Aku? Hahaha... sejak semula sudah
ku katakan, kita tidak punya saling seng-
keta. Namun kalian yang datang ingin mem-
bunuhku dan merebut Golok Cindarbuana mi-
likku ini! Nah, bagaimana aku bisa menye-
rahkan nyawa dan golokku ini begitu saja
pada kalian? Mustahil bukan! Tapi... aku
kagum dengan kalian berdua, rupanya ka-
lian bisa membebaskan diri juga, bukan?
Tapi... tidak mungkin rasanya bila tidak
ada yang menolong. Dan dugaanku, kaulah
ki sanak yang telah menolong mereka...."
Wayaluta yang merasa pandangan mata
Pandu tertuju padanya hanya menyeringai.
"Hehehe... memang aku yang telah
membebaskan mereka dari totokanmu, Anak
muda... Tapi perduli setan dengan semua-
nya. Yang kami inginkan sekarang, berikan
Golok Cindarbuana itu pada kami! Dan se-
telah itu, kau boleh membunuh diri!!"
Pandu tersenyum walau dalam hati
berkata, lagi-lagi golok ini. Ada rahasia
apa sebenarnya di batik golok ini?
"Tidak mungkin sepertinya menda-
patkan golok ini dari tanganku...."
"Bila benar adanya demikian, maka
kau menantang orang-orang Telapak Bara!"
seru Wayaluta dengan suara yang angker.
"Telapak Bara? Apa pula itu?" tanya
Pandu tidak mengerti.
Dia memang sungguh-sungguh tidak
mengerti. Namun Wayaluta menganggapnya
sebagai suatu penghinaan dan ejekan. Ka-
rena ternyata masih ada orang yang tidak
tahu tentang Gerombolan Telapak Bara.
"Pemuda busuk! Sombong pula kau ru-
panya! Ketahuilah, Telapak Bara adalah
sebuah gerombolan yang bermukim di Gunung
Merapi. Dan dipimpin oleh Ki Pancang Ja-
lak atau yang bergelar Hantu Bertangan
Bara!"
"Apakah dia yang menyuruh kalian
untuk merebut Golok Cindarbuana dari tan-
ganku ini?"
"Tanpa diperintah oleh dia pun kami
datang memang untuk membunuhmu!!" seru
Jimbun dan tangannya sudah bergerak, me-
mainkan senjata talinya yang ujungnya te-
rikat sebuah besi tajam.
Desingan senjata itu cukup keras.
Pandu serentak berjumpalitan ke samping.
Dalam hatinya dia menggerutu, "Sialan!
Sebenarnya ada rahasia apa di balik
Golok Cindarbuana ini? Benar-benar aneh!
Aneh sekali!"
Dan melihat Jimbun sudah menyerang,
Rimbin pun segera menggerakkan senjata
tali berujungkan besinya. Kini dua senja-
ta itu pun berputar-putar berdesing den-
gan hebatnya. Menyambar dengan cepat ke
arah Pandu. Sungguh luar biasa cepatnya.
Angin yang ditimbulkan akibat desingan
senjata itu cukup keras.
Pandu sendiri sudah menggunakan ju-
rus menghindarnya, Bangau Terbang. Lalu.
Namun kedua senjata itu tetap mengejar
dengan hebatnya.
Belum lagi ketika Wayulata sudah
membantu dengan jurus Telapak Baranya.
Setiap tangannya bergerak, terasa hawa
panas yang cukup menyengat menerpa kulit
Pandu.
Hal ini benar-benar membuatnya kerepotan.
"Celaka! Aku tidak bisa bertahan
lama-lama kalau begini! Mereka terus me-
nyerangku! Enak saja, aku tidak di beri
kesempatan untuk menyerang! Baiklah, kita
lihat sekarang!!" desis pemuda berbaju
putih itu dalam hati.
Tiba-tiba saja dia berjumpalitan ke
belakang dan sebelum hinggap di bumi dia
sudah melepaskan pukulan sinar putihnya.
Selarik sinar putih itu mampu mengurung-
kan niat Wayaluta untuk menerobos masuk
menyerbu.
"Haittt!!" serunya seraya menghindar ke kiri.
"Bangsat!!" geram Jimbun dan segera
menyerang lagi dengan senjatanya. Kali
ini Pandu pun kembali mencecarnya dengan
Pukulan Sinar Putihnya. Namun Jimbun yang
dalam hal ini ditemani oleh Rimbin, tidak
mengenal takut. Keduanya terus menerobos
masuk. Membuat Pandu menjadi kebingungan
sendiri. Karena jarak yang mereka perli-
hatkan begitu dekat, begitu memudahkan
mereka untuk menyerang dengan lebih lelu-
asa, karena senjata mereka itu bisa digu-
nakan dalam menyerang jarak panjang mau-
pun jarak pendek.
"Brengsek!!" dengusnya apalagi se-
telah Wayaluta merangsek masuk. Membuat-
nya jadi kewalahan. Tak satu pun dari se-
rangan ketiganya yang berani di tangkis-
nya, hanya dihindarinya saja.
Dan Pandu pun membuka Pukulan Patuk
Gagak. Semua pukulan itu mampu mengimban-
gi ketiganya dengan kecepatan handal yang
diperlihatkan. Gerakannya sungguh-sungguh
amat cepat dan mengagumkan.
Dan kaki tangannya seolah berubah
menjadi gerakan Burung Gagak Rimang yang
kadang gemulai dan. kadang keras. Cepat
dan hebat. Sejenak Pandu berhasil mengua-
sai pertarungan. Namun karena dia tak be-
rani bersentuhan tangan dengan Wayaluta
yang telah mengeluarkan pukulan Telapak
Baranya sejak tadi, inilah yang membuat-
nya menjadi menjaga jarak.
Dan akhirnya dia kembali terdesak.
"Celaka! Mereka benar-benar tang-
guh! Huh! Mengapa harus ada orang yang
bisa menggunakan Telapak Bara itu? Il-
munya sungguh hebat sekali! Sulit bagiku
untuk melawannya. Hei... apakah mesti ku-
gunakan Ajian Tangan Malaikat ku?"
Sambil memikir-mikirkan hal itu,
Pandu masih berusaha untuk mengimbangi
serangan-serangan ketiga lawannya. Dan
dia pun tak dapat membendung serangan ke-
tiga lawannya.
Memang tidak ada jalan lain lagi
kalau begini. Terpaksa ilmu andalannya
yang diturunkan oleh gurunya, Mpu Daga,
harus digunakannya. Selama ini dia memang
belum pernah menggunakan Ajian Tangan Ma-
laikatnya. Dan kali inilah kesempatan itu.
Tiba-tiba saja Pandu melompat ke
kiri, kala tangan Wayaluta sudah hendak
menyambar tubuhnya. Lalu dia berjumpali-
tan ke belakang ketika dua senjata yang
dilepaskan Jimbun dan Rimbin mencecar ke
arahnya.
Dalam hal ini Pandu bisa saja meng-
gunakan Golok Cindarbuana yang ada di
punggungnya. Ilmu golok pun lumayan he-
bat. Namun karena masih penasaran ada ra-
hasia apa sesungguhnya di balik Golok
Cindarbuana itu, membuat Pandu menjadi
enggan untuk menggunakannya.
Memang tidak ada jalan lain untuk
menghadapi mereka. Ajian Tangan Malaikat-
nya harus segera dia gunakan.
Dan begitu dia berhasil menghindari
serangan-serangan itu, Pandu langsung me-
rangkum kedua tangannya di dada. Nampak
dia seperti tengah bersemedi. Ketiga la-
wannya saling pandang tidak mengerti. Na-
mun kemudian mereka langsung menyerang.
Sungguh luar biasa. Karena tiba-
tiba saja tubuh Pandu melenting ke atas.
Dan saat hinggap di tanah kedua tangannya
mengepulkan asap berwarna putih.
Ketiga lawannya tahu, kalau pemuda
itu tengah mengeluarkan jurus andalannya.
Dan ini membuat mereka semakin berhati-
hati menyerang. Namun mereka telah ber-
janji, untuk tidak mengecewakan hati Ki
Pancang Jalak.
Mereka pun tetap menyerbu dengan
maksud merebut Golok Cindarbuana dan mem-
bunuh pemuda itu.
"Pemuda edan! Lebih baik serahkan
saja golok itu pada kami, bila tidak in-
gin kau mati dalam keadaan yang menya-
kitkan!!" seru Wayaluta sambil menyerbu.
"Hahaha... tak akan pernah kuberi-
kan golok ini pada siapa pun yang bermak-
sud jahat denganku!" sahut Pandu sambil
menghindari serangan itu dan mencoba mem-
balasnya lewat satu jotosan tangan kanan-
nya. Wayaluta langsung menghindar pula
karena dia merasakan hawa yang sungguh-
sungguh panas luar biasa menguar dari
tangan itu. Dan ini membuatnya menjadi
pucat. Pandu melihat hal itu, "Hahaha...
rupanya Telapak Baramu tak ada gunanya
bukan melawan ilmu Cakar Gagak Rimang
yang kumiliki ini?"
"Bangsat! Apa pula dengan ilmu Ca-
kar Gagak Rimang itu?!" bentak Wayaluta.
"Hahaha... mengapa harus sungkan-
sungkan bertanya, hah? Semua ini tak per-
lu kujelaskan, karena sebentar lagi ka-
lian akan merasakan ilmu itu. Dan kalian
akan tahu siapa aku... hahaha!!"
"Sombong!!" dengus Jimbun sambil
melontarkan lagi senjatanya. Namun sung-
guh di luar dugaannya, karena begitu sen-
jata itu dekat dengannya, tiba-tiba saja
Pandu seperti gerakan membelah, tangan
kanannya mengibas ke arah besi yang ten-
gah meluncur itu ke arahnya.
"Trass!!"
Tali itu terputus terpotong. Namun
ujung besinya terus meluncur ke arah Pan-
du. Dengan satu gerakan yang luar biasa
cepat dan sigapnya, tubuh Pandu berputar
dua kali ke belakang menghindari ujung
besi itu. Dan.... "Des!!" Tangan kanannya
mengibas, tepat menghantam ujung besi itu
hingga berbalik dengan cepat.
Lebih cepat dari datangnya dan me-
luncur ke arah pemiliknya!
Jimbun terkejut.
Sungguh dia amat tidak menyangka
kalau senjatanya akan berbalik ke arah-
nya.
Dan dia pun seolah terpaku oleh
senjatanya yang datang kembali ke arah-
nya. Tanpa ampun lagi besi itu pun menan-
cap tepat di jantungnya.
Terdengar lolongan keras yang amat
menyayat di pagi hari ini.
Melihat kawannya mati, Rimbin men-
jadi buas dan marah. Dia mencecar Pandu
dengan segala kecepatannya. Ujung talinya
yang berbentuk besi itu menyambar-nyambar
dengan cepat. Menimbulkan desingan angin
yang kuat, atau pun seperti gemuruh tawon
yang datang beramai-ramai.
"Kau harus membayar nyawa Jimbun,
Pemuda sombong!!" serunya kalap dan terus
mencecar.
Pandu pun menghindarinya dengan ce-
pat dan sigap. Dan tiba-tiba dia terdiam
ketika ujung besi itu mengarah padanya.
Namun lima senti ujung besi itu tepat
menghujam jantungnya, tiba-tiba tubuhnya
bergerak ke atas. Tangan kanannya menyam-
bar ujung besi itu dan dijadikannya seba-
gai batu tumpuan untuk mengempos tubuh-
nya.
Dan tubuhnya itu pun terempos ke
atas. Langsung meluncur ke arah Rimbin
yang kini bisa jadi terpaku. Dan tanpa
ampun lagi telapak tangan Pandu yang ter-
buka itu tepat mengenai dadanya.
Terdengar lolongan bagaikan orang
digigit seorang srigala lapar.
Dan tak lama kemudian tubuh Rimbin
menggelepar, lalu ambruk terdiam. Dan ti-
ba-tiba saja tubuh itu mengempos-ngempis.
Lalu tiba-tiba meledak!
Pandu terkejut. Ya Tuhan... begitu
kejam kah Ajian Cakar Gagak Rimang milik-
nya. Benar-benar amat mengerikan. Pantas,
gurunya melarangnya menggunakan ilmu itu
sembarangan Karena akibatnya sungguh-
sungguh di luar dugaan.
Bau sengit pun menguar karena tubuh
itu berubah menjadi hangus.
Wayaluta sendiri pun terkejut. Tadi
dia menduga, Ajian Cakar Gagak Rimang
yang dimiliki pemuda itu hanya satu ilmu
yang menimbulkan hawa panas. Sama seperti
yang dimilikinya ini. Dan ilmu Tangan Ma-
laikat itu pasti jauh berada di bawah il-
mu si Hantu Bertangan Bara. Namun melihat
hasil dari satu pukulan yang dilepaskan
pemuda itu pada Rimbin tadi, sungguh amat
mengejutkannya.
Terus terang dia mengakui, ilmu si
Hantu Bertangan Bara masih kalah oleh
ajian milik si pemuda ini.
Karena merasa tak sanggup untuk
menghadapinya lagi, Wayaluta hanya bisa
mendengus.
"Pandu... suatu saat nanti, kita
akan berjumpa lagi!"
"Ki Sanak... mengapa kiranya ki sa-
nak bernafsu untuk memiliki Golok Cindar-
buana ini, dan begitu bernafsu ingin mem-
bunuhku? Ada apa dengan golok ini? Dan
mengapa nyawaku begitu amat diinginkan
oleh ki sanak untuk di cabut?"
Wayaluta mendengus.
"Persetan dengan semua pertanyaan-
mu! Jawablah sendiri! Karena kau pun se-
benarnya tahu apa jawabannya!"
"Sungguh, ki sanak... aku tidak ta-
hu apa jawabannya! Masalah misteri apa
yang terpendam di balik golok ini saja
sudah amat membingungkanku!"
"Hmm... kau sungguh hebat berka-
ta...." "Ki Sanak... aku sungguh bingung
dengan semua ini. Belum lagi mengapa ka-
lian begitu bernafsu untuk membunuhku?
Padahal sejak semula aku tidak memiliki
silang sengketa dengan kalian? Ini benar-
benar merupakan satu teka-teki yang sulit
untuk kujawab!"
"Hmm... bila kau penasaran, baik-
lah akan kujawab pertanyaanmu itu. Kami
memang menginginkan nyawamu! Karena kami
memang menginginkan kau mati! Sedangkan
kenapa kami menginginkan golok itu, kare-
na kau tak pantas memilikinya! Tak pantas
golok itu berada di tanganmu, mengerti?!"
"Belum, Ki Sanak. Aku belum menger-
ti sepenuhnya. Sebenarnya aku tidak mau
terlibat perkelahian terus menerus den-
ganmu atau dengan siapa saja karena golok
ini. Aku ingin kita hidup berdampingan.
Tidak saling mencari silang sengketa yang
berkepanjangan!"
"Selama kau masih memiliki Golok
Cindarbuana itu, maka selamanya orang
akan mencarimu! Demikian pula aku, Waya-
luta, anggota dari Gerombolan Telapak Ba-
ra yang akan membuatmu musnah dari muka
bumi ini!"
Tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya
seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. Anggota Telapak Bara? Oh, bu-
kankah dia memang sedang mencari orang-
orang itu? Ataukah... ya, ya... tentunya
dia memang anggota Telapak Bara mengingat
dari ilmu yang digunakannya tadi.
Untuk meyakinkan Pandu bertanya,
separuh geram dan separuh menyelidik.
"Wayaluta... benarkah kau anggota
perkumpulan kejam yang menamakan dirinya
Gerombolan Telapak Bara?"
Wayaluta terbahak.
"Hahaha... agaknya kau jeri menden-
gar nama gerombolanku yang sudah begitu
hebat, hah? Nah, bukankah lebih baik kau
segera saja menyembah berlutut kepadaku,
hah? Cepat, sebelum ajalmu datang!"
Pandu mendesah dalam hati.
"Wayaluta... apakah orang-orangmu
yang menyerbu dan membumihanguskan Desa
Batang Muara?"
"Hahaha... aku sudah tidak ingat
lagi nama desa-desa yang kupimpin untuk
kuhancurkan! Batang Muara? Ya, ya... ra-
sanya aku pernah mendengar nama itu. Te-
tapi entahlah benar atau tidak... Haha-
ha... soalnya aku sudah lupa. Karena ter-
lalu banyak desa-desa yang kami ratakan
dengan tanah!" kata Wayaluta terbahak.
Pandu yang tadi semula sudah mena-
han dirinya lagi, kini kembali menjadi
emosi. Hhh! Kalau tak percuma dia bertemu
dengan manusia-manusia kejam ini. Bukan-
kah ini akan membuatnya mudah melakukan
rencananya?
"Wayaluta... ingatkah kau dengan
seorang kepala desa yang bernama Ki Lurah
Perkoso?" pancing Pandu untuk meyakinkan
bahwa Desa Batang Muara dihancurkan oleh
Wayaluta yang memang orang-orang dari Te-
lapak Bara. "Ingatkah kau akan hal itu,
Wayaluta?!"
Wayaluta terlihat terdiam. Lalu ke-
mudian terdengar tawanya yang keras.
"Hahaha... ya, ya... aku ingat, aku
ingat sekarang! Benar, kalau begitu Desa
Batang Muaralah yang kami hancurkan baru-
baru ini. Hei, pemuda tengik! Ketahuilah,
bahwa gadis-gadis dari Desa Batang Muara
begitu cantik menggairahkan!
Bahkan ketua kami, Ki Pancang Jalak
amat menyukai mereka! Hahaha, ya, ya...."
Terbahak Wayaluta namun tiba-tiba tawanya
terhenti. Sepasang matanya tajam menatap
Pandu. "Hhh! Lalu kau mau apa sebenar-
nya?! Apa kau pikir kaulah dewa penyela-
mat bagi setiap manusia yang kami teror
hah? Jangan bermimpi pemuda tengik!!"
"Wayaluta... agaknya petualangan
kekejaman kau, ketuamu dan gerombolanmu
akan segera berakhir! Selama aku masih
ada di bumi ini, tak kubiarkan kalian te-
rus-menerus menebarkan teror yang kejam!"
"Hahaha! Kau tengah bermimpi di
siang belong, Pandu!"
"Katakan pada ketuamu yang bernama
Ki Pancang Jalak itu! Bila dia memang
jantan adanya, kutunggu dia di Lembah
Maut saat purnama pertama bulan ini! Dan
bila dia menolak tantanganku, maka lebih
baik tinggalkan dunia ini dan jangan kem-
bali lagi!"
"Sombong!!" Wayaluta menggeram mur-
ka dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat
menerjang dengan ganas. Dia kembali meng-
gunakan Ajian Telapak Baranya. Namun Pan-
du yang tengah kesal dan kejam, mengim-
banginya dengan Ajian Tangan Malaikatnya
tingkat pertama. Dan gebrakan Wayaluta
tak ada gunanya. Dia pun harus kalah da-
lam gebrakan pertama. Mulutnya mengalir-
kan darah segar saat dia muntah.
Matanya tajam menatap. Penuh kege-
raman yang amat sakit di dada.
Pandu tersenyum.
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Katakan-
lah pada ketuamu tentang tantanganku itu!
Dan sebaiknya, kau tak perlu ikut campur
dalam masalah ini!!"
"Persetan denganmu!" geram Wayalu-
ta. "Ingat, Pandu... suatu saat nanti,
kita akan bertemu lagi! Dan kau harus me-
nyerahkan nyawamu dan Golok Cindarbuana
itu padaku! Mengerti?!"
"Ki Sanak...."
Namun tubuh Wayaluta telah menghi-
lang dengan membawa dendam dan amarahnya
yang luar biasa. Juga luka dalam yang di
deritanya di dada. Bukannya berhasil men-
dapatkan apa yang mereka inginkan, malah
mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin.
Bahkan sebenarnya secara diam-diam Waya-
luta kagum dengan keberanian dan ketega-
ran pemuda itu.
Dan dia pun mengakui kalau pemuda
itu amat tangguh. Apalagi dengan Ajian
Cakar Gagak Rimang. Hmm... jadi dugaan
ketua benar, kalau saat ini ada seorang
pendekar kelana yang bergelar Pendekar
Gagak Rimang, desisnya dalam hati. Dan
gelar itu bukanlah gelar kosong belaka!
Gelar yang amat menggetarkan bagi
yang mendengarnya! Dan akan membuat orang
lari terbirit-birit bila sudah menyaksi-
kan kehebatan ilmunya!
Sementara Pandu mendesah panjang.
Rupanya secara kebetulan tugasnya
mencari orang-orang kejam itu berakhir
hingga di sini, karena dia akan menantang
Ki Pancang Jalak untuk bertarung di Lem-
bah Maut.
Dan secara tidak sengaja pula, dia
dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang
begitu penasaran untuk merebut Golok Cin-
darbuana itu.
Kini Tiga Malaikat Tali Pencabut
Nyawa telah mampus. Dan dia siap untuk
menghadapi Ki Pancang Jalak atau Hantu
Bertangan Bara demi keadilan dan kebena-
ran.
Baginya hidupnya tidak akan tenang
bila dia tidak menghentikan sepak terjang
orang-orang itu.
Lalu Pandu segera menaiki kudanya
dan melarikan lagi kudanya. Kembali ke
Desa Batang Muara.
Sesampai di sana, dia segera mela-
porkan semuanya pada Ki Lurah Perkoso.
"Jadi kau akan datang ke Lembah
Maut itu, Pandu?" tanya ki lurah.
"Benar, Ki. Aku akan ke sana. Jan-
gan ada seorang pun yang meninggalkan de-
sa. Karena menurutku, keadaan kini lebih
gawat dari sebelumnya. Dugaanku, orang-
orang itu akan segera menyerang ke mari."
"Tapi, Anak muda... tegakah hati
kami melepaskan kau pergi seorang diri?"
"Ki lurah... percayalah, aku sudah
berjanji akan menolong orang-orang di de-
sa ini dari keangkaramurkaan yang dilaku-
kan orang-orang kejam itu. Nah, aku akan
tunaikan janjiku itu.
Biarlah semuanya aku yang tanggung.
Bila Gusti Batara Agung masih memperbo-
lehkan aku hidup, maka aku akan tetap hi-
dup. Percayalah, Gusti Batara Agung akan
menjaga umat-Nya yang berlindung pada-
Nya.
Tak ada yang bersuara.
Dan tentang pertarungan itu pun
terdengar oleh Lastri. Gadis itu hanya
bisa menangis berkepanjangan.
Dia amat mencintai pemuda itu.
Amat mencintainya!
*
* *
7
Ki Pancang Jalak alias Hantu Ber-
tangan Bara menggebrak meja yang ada di
hadapannya hingga hancur berantakan.
Wayaluta yang duduk di hadapannya tanpa
sadar menggigil. Dan tanpa sadar pula dia
langsung menundukkan kepalanya begitu ta-
tapannya berbenturan dengan tatapan mata
Ki Pancang Jalak yang bukan main dingin-
nya.
"Bodoh! Goblok! Menghadapi pemuda
itu saja kau gagal, hah?! Bahkan harus
mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin! Be-
nar-benar tolol! Sungguh tolol!!" seru Ki
Pancang Jalak dengan suara murka.
Wayaluta hanya menunduk. Tadi pun
dia ragu sebenarnya untuk mengatakan hal
itu. Namun ketuanya bisa-bisa marah besar
bila dia terlambat memberi keterangan
yang sesungguhnya. Hal seperti itu saja,
padahal dia tidak terlambat, murkanya su-
dah bukan alang kepalang lagi. Ini amat
berbahaya.
"Maafkan saya, Ketua... pemuda itu
amat tangguh sekali," kata Wayaluta den-
gan suara mendesis. Bagaikan desahan be-
laka. Wajahnya nampak pias dan ketakutan.
"Bodoh! Tolol! Kau benar-benar ti-
dak berguna, Wayaluta! Kau bisa membunuh-
nya! Kau hanya omong besar, Wayaluta!!"
"Ketua...." kata Wayaluta sambil
menahan rasa takutnya. "Pemuda itu sung-
guh tangguh sekali, Ketua. Dia... dia...
memiliki ilmu Tangan Malaikat, Ketua...."
Ki Pancang Jalak yang sedang mondar
mandir dengan perasaan kesal seketika
berhenti melangkah. Berbalik menatap
Wayaluta dengan tatapan terbelalak.
"Apa katamu?!"
"Dia... dia memiliki ilmu Cakar Ga-
gak Rimang, Ketua...."
"Kau tidak salah, Wayaluta?"
"Ketua.,.. Ketualah yang pernah
menceritakan hal itu padaku, kalau ilmu
itu adalah satu ilmu yang amat langka di
muka bumi ini. Bahkan dikabarkan ilmu itu
sudah tidak ada sama sekali
Dan aku pun tahu bagaimana ciri-
ciri dari ilmu itu. Bukankah ketua sendi-
ri yang menceritakannya padaku? Dia sung-
guh-sungguh memiliki ilmu yang amat lang-
ka itu, Ketua! Ilmu Cakar Gagak Rimang.
Ki Pancang Jalak terdiam. Ilmu Ca-
kar Gagak Rimang? Oh, ilmu yang pernah
menggemparkan dunia puluhan tahun yang
silam. Lalu mengapa sekarang ada seorang
pemuda yang menguasai ilmu itu? Siapakah
pemuda itu sebenarnya?
Apakah selama ini desas-desus yang
mengabarkan adanya seorang pemuda kelana
yang tangguh dan bergelar Pendekar Gagak
Rimang benar adanya.
Wajah Ki Pancang Jalak semakin me-
rona memerah kala mendengar kata-kata da-
ri Wayaluta selanjutnya.
"Ketua... bahkan pemuda itu menan-
tang ketua untuk bertanding di Lembah
Maut kala purnama pertama di bulan ini."
"Anjing buduk.'!" geram Ki Pancang
Jalak hingga berdiri. Wajahnya menampak-
kan kegeraman yang amat luar biasa. Ma-
tanya beringas dengan nafas yang menden-
gus-dengus menyeramkan.
Wayaluta menjadi ngeri. Dan tanpa
sadar dia menundukkan kepalanya. "Benar,
Ketua...."
"Setttan!! Pemuda itu belum tahu
siapa aku rupanya, hah?! Baik, aku akan
terima tantangan bertarung di Lembah Maut
itu!" desisnya menggeram menakutkan.
"Ketua...." kata Wayaluta sambil
perlahan-lahan. "Bukannya saya meremehkan
ketua... saya yakin, ilmu Tangan Bara ke-
tua tidak ada tandingannya. Namun...."
"Hhh! Aku mengerti maksudmu, Waya-
luta! Nah, pergilah kau ke Gunung Semeru!
Temui kakak seperguruanku yang sedang
bersemedi di sana!"
"Baik, Ketua. Tapi...."
"Apa, Wayaluta?"
"Bagaimana caranya hingga saya men-
getahui dia adanya? Bukankah selama ini
saya tidak pernah berjumpa dengannya?"
"Dia bernama Ki Kerto Ijo atau yang
berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa! Dia
tengah bersemedi di puncak Gunung Semeru.
Katakanlah padanya, kalau aku amat membu-
tuhkan segala bantuannya. Mengerti?"
"Ya, Ketua... tetapi jalan menuju
ke Gunung Semeru demikian sulitnya. Dan
aku tidak yakin bila tidak banyak penjeg-
al di sana."
"Bawa beberapa anak buahmu! Cepat,
Wayaluta!" Deru Ki Pancang Jalak. "Bunuh
siapa saja yang menghalangi langkahmu!
Persetan dengan mereka! Penghinaan ini
tidak pernah aku terima!
Cepatlah, Wayaluta! Ilmu Cakar Ga-
gak Rimang yang dimiliki pemuda itu hanya
bisa dilawan oleh ilmu kakak sepergurua-
nku si Malaikat Pencabut Nyawa!"
"Baik, Ketua!" kata Wayaluta hor-
mat. Lalu dia mengumpulkan tiga orang te-
man atau anak buahnya. Dan saat itu juga
dia berangkat menuju Gunung Semeru.
Ki Pancang Jalak hanya mendesah
panjang. Lalu dia memasuki kamar yang ada
di kediamannya itu. Satu sosok tubuh te-
lanjang bulat sudah menunggunya dalam
keadaan tidak sadar.
*
* *
Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut
Nyawa memiliki tubuh tinggi besar. Wajah-
nya amat menyeramkan. Di dadanya tersam-
pir kalung tengkorak yang menyala berwar-
na merah kedua matanya. Di dua pergelan-
gan tangannya terdapat dua belah gelang
yang besar dan tebal. Begitu pula di ke-
dua pergelangan kakinya.
Ki Pancang Jalak menyambut kakak
seperguruannya itu dengan tertawa gembi-
ra. Keduanya berpelukan karena sekian la-
ma tidak berjumpa.
Ki Kerto Ijo disuguhi anak perawan
yang masih murni, dan anak perawan itu
hanya bisa menangis sedih. Setelah itu,
keduanya bercakap-cakap.
Sekali-kali terlihat wajah Ki Kerto
Ijo geram bukan main. Dan kala mendengar
kata-kata Ki Pancang Jalak tentang Golok
Cindarbuana yang dimiliki pemuda itu wa-
jahnya menjadi gembira.
Dia terbahak-bahak keras.
"Hahaha... ini berita yang menggem-
birakan bagiku, Jalak! Bagus, bagus! Ya,
ya... aku sudah tidak sabar rasanya untuk
melumat ratakan dengan tanah pemuda busuk
yang bergelar si Tangan Malaikat itu!
Namun yang kutahu, di dunia ini
hanya seorang yang memiliki ilmu Cakar
Gagak Rimang. Dia adalah pertapa sakti
Eyang Ringkih Ireng atau majikan Gunung
Kidul di Bukit Paringin. Bila dikaitkan
dengan pemuda itu, sudah bisa dipastikan
kalau dia adalah murid tunggal Eyang
Ringkih Ireng.
Hmm, agaknya memang benar adanya.
Ya, ya... Pukulan Sinar Putihnya pun amat
tangguh. Tentunya semua ilmu yang dimili-
ki oleh Eyang Ringkih Ireng telah ditu-
runkan kepadanya, mengingat pemuda itu
pun memiliki ilmu yang amat hebat itu!"
"Benar, Kakang Kerto.... Dan aku
yakin, ilmu Malaikat Pencabut Nyawa yang
akan bisa menandingi kehebatan ilmu dari
Pendekar Gagak Rimang!"
Mendengar pujian itu, Ki Kerto Ijo
terbahak lebar. Ternyata saat tertawa pun
tidak mengurangi keseraman wajahnya yang
menakutkan itu.
"Hahaha... jangan kuatir soal itu,
Adi Jalak! Semuanya akan beres aku tanga-
ni! Hmm, ya, ya... rasanya aku pun sudah
tidak sabar menunggu bulan ini!"
"Benar, Kakang!" kata Ki Pancang
Jalak yang sebenarnya masih mengira-
ngira dan mengukur kehebatan ilmu Tangan
Malaikat yang mampu menggetarkan siapa
saja yang mendengar nama itu.
Namun dia membesarkan dirinya, bah-
wa ilmu Tangan Baranya akan mampu mem-
bungkamkan sepak terjang Pendekar Gagak
Rimang.
"Kurasa... kau sendiri mampu mela-
kukan, Adi Jalak!" kata Ki Kerto Ijo.
"Tetapi bukankah bila ada kau, ke-
kuatan ku malah bertambah, Kakang?" kata
Ki Pancang Jalak menyeringai.
Ki Kerto Ijo terbahak keras.
"Lembah Maut akan menjadi saksi ke-
matian dari Pendekar Gagak Rimang, yang
namanya kini telah beranjak naik ke per-
mukaan.
Dan nama Ki Kerto Ijo alias Malai-
kat Pencabut Nyawa akan menggebrak naik
menjadi jago nomor satu di rimba persila-
tan ini... hahaha!!"
Ki Pancang Jalak pun terbahak-
bahak. Rasanya keyakinannya bertambah un-
tuk memiliki Golok Cindarbuana. Namun se-
kali waktu dia berpikir, apakah golok
sakti itu akan jatuh ke tangannya bila
kakaknya pun ingin memiliki golok itu?
Ki Pancang Jalak hanya mendesah
panjang.
*
**
8
Bila mendengar nama Lembah Maut di
sebutkan, orang sudah bergetar hatinya.
Bahkan bisa kuncup melempem. Jangankan
untuk mendatangi tempat itu, mendengar
namanya saja orang sudah ngeri dan berpi-
kir seribu kali untuk pergi ke sana.
Konon di Lembah Maut pernah terjadi
pertarungan yang amat hebat antara dua
tokoh dari Tiongkok. Dan kedua orang sak-
ti itu pun sama-sama tewas setelah ber-
tempur seratus hari seratus malam tanpa
beristirahat.
Bahkan ada yang menduga, kalau Lem-
bah Maut itu pun akan menjadi makam abadi
bagi yang mendatanginya.
Namun di kala rembulan tepat berada
di atas kepala, sinarnya cemerlang dan
bersinar purnama, nampak dua sosok tubuh
berada di lembah itu. Lembah yang sekeli-
lingnya kosong melompong dan di penuhi
oleh batu-batu cadas yang tajam dan ter-
jal. Bila malam hari angin dingin berhem-
bus menembus hingga ke tulang sumsum. Na-
mun bila siang hari, panas yang luar bi-
asa akan menyengat menyakitkan.
Tetapi di tengah dinginnya angin
yang berhembus dan pekatnya kabut yang
cukup tebal, sekilas nampak dua sosok tu-
buh yang berdiri tegar. Seakan tidak
menghiraukan hembusan angin itu. Bahkan
terlihat keduanya nampak begitu tenang
dan tidak merasa terganggu.
Mata keduanya nampak begitu waspada
memperhatikan sekelilingnya.
"Hmm... agaknya manusia itu adalah
manusia pengecut, Adi Jalak!" terdengar
suara bernada seram.
"Benar, Kakang! Sudah cukup lama
kita menunggu di sini, namun manusia itu
belum muncul juga!!" terdengar sahutan
yang di tanya tadi,
Keduanya adalah Ki Kerto Ijo dan Ki
Pancang Jalak. Purnama telah tiba berarti
tantangan itu pun akan segera terlaksana.
Sudah hampir seperminum teh mereka berada
di sana, namun sedikit pun mereka tidak
melihat bayangan Pandu.
Namun tiba-tiba terlihat sekilas
cahaya berwarna putih melesat ke angkasa.
Keduanya tersentak.
"Apa itu, Kakang?" tanya Ki Pancang
Jalak.
"Entahlah, aku pun baru melihat ca-
haya putih bersinar seperti itu!"
Selagi keduanya sibuk untuk menge-
tahui cahaya apa yang baru saja berkele-
bat, mendadak saja satu sosok tubuh me-
lenting ke angkasa dan hinggap di dekat
keduanya.
Keduanya cukup terkejut, karena ge-
rakan sosok tubuh itu begitu cepat tanpa
menimbulkan sedikit suara. Yang lebih
terkejut lagi, Ki Pancang Jalak ketika
mendengar suara angker bertanya.
"Hmm, kaukah Ki Pancang Jalak alias
Hantu Bertangan Bara? Bila memang benar
adanya, apakah kau telah menjadi manusia
pengecut hingga menerima tantanganku den-
gan membawa teman, hah?!"
Dari rasa keterkejutannya segera
beralih pada kegeraman. Seketika Ki Pan-
cang Jalak segera tahu siapa manusia yang
tengah berdiri di hadapannya ini. Meski-
pun matanya susah untuk melihat wajah
yang bersuara tadi karena tertutup oleh
caping yang dikenakan, namun Ki Pancang
Jalak dapat merasakan sorot tajam dari
mata yang hanya terlihat sedikit itu.
"Hhh! Rupanya Pendekar Gagak Rimang
telah berdiri di hadapanku!!"
"Memang benar adanya, Ki Pancang
Jalak! Aku tidak mau panjang lebar sebe-
narnya, hentikan sepak terjangmu menye-
barkan teror di muka bumi ini, niscaya
nyawamu akan kuampuni! Namun bila tidak,
kau tak akan pernah lagi melihat dunia
yang begitu indah ini, Ki Pancang Jalak!"
Dan satu hal itu, katakan... ada
rahasia apa di balik Golok Cindarbuana
ini? Dan mengapa kau begitu bernafsu un-
tuk memilikinya?
"Demikian pula dengan para kerocomu
yang nekad membuang nyawa percuma di tan-
ganku!"
Wajah Ki Pancang Jalak memerah,
terlihat jelas karena purnama bersinar
terang. Dan terdengar geraman hebat dari
sisinya.
Ki Kerto Ijo menggeram bagaikan de-
sisan srigala lapar. Kedua tangannya yang
besar dan kekar mengepal, menandakan dia
telah marah.
Pandu hanya tersenyum. Dan dia da-
pat mengetahui kalau ilmu yang dimiliki
laki-laki menyeramkan ini lebih tinggi
dari ilmu kesaktian Ki Pancang Jalak.
"Pandu!" seru Ki Kerto Ijo. "Lebih
baik kau segera menyerahkan Golok Cindar-
buana itu padaku, setelah itu kau boleh
pergi dengan tenang!
Namun bila kau melanggar perintahku
ini, maka nyawa dan jasadmu akan terpisah
selama-lamanya!"
Mendengar ancaman itu Pandu hanya
membuang tawa.
"Lucu, lucu sekali! Siapakah kau
sebenarnya, manusia jelek lagi seram?
Apakah kau merasa yakin bisa merebut Go-
lok Cindarbuana dari tanganku ini, hah?"
Demikian pula dengan kau, Ki Pan-
cang Jalak! Meskipun kau minta bantuan
manusia kerbau seperti dia itu, tak akan
mungkin kau bisa mengalahkan aku!!"
"Anjing!" geram Ki Pancang Jalak.
"Katakan... ada rahasia apa di ba-
lik Golok Cindarbuana ini?!"
"Persetan dengan permintaanmu itu!
Cepat serahkan golok itu pada kami!"
"Hahaha... agaknya kau pun menjadi
pemimpi, Ki Pancang Jalak! Ceritakan ra-
hasia apa yang terpendam pada golok ini,
Ki Pancang Jalak?!"
"Anjing buduk! Lebih baik kau mam-
pus saja!" maki Ki Pancang Jalak dan tu-
buhnya pun menderu maju dengan kecepatan
laksana angin kencang.
Pandu yang sejak tadi telah ber-
siap, hanya tersenyum saja. Dan begitu
serangan Ki Pancang Jalak hendak mengenai
tubuhnya mendadak saja, Pandu berputar
dan tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke
atas hinggap di tanah.
Ki Pancang Jalak menggeram hebat,
merasa pendekar itu tengah mempermainkan-
nya dengan memperlihatkan ilmu peringan
tubuhnya.
"Bedebah!" menggeram dia seraya
membalikkan tubuhnya. Dan agaknya Ki Pan-
cang Jalak sudah tidak mau bertindak
tanggung lagi. Apalagi di depan kakak se-
perguruannya. Ibaratnya dia dipercundan-
gi dengan sekali menghindar oleh pemuda
sialan itu!
Lalu dia pun merapal Ajian Tangan
Baranya yang amat kejam. Seketika terli-
hat dari siku hingga jari jemarinya warna
seperti bara.
Dan mengeluarkan hawa panas yang
cukup menyengat.
Pandu dapat mengira-ngira kalau il-
mu itu amat mengerikan. Tetapi dia hanya
tertawa saja.
"Bangsat! Mampuslah kau!" sambil
menggeram kembali Ki Pancang Jalak me-
nyerbu. Pandu pun segera mengeluarkan il-
mu menghindarnya. Gagak Rimang Terbang
Lalu.
Namun serangan dan ilmu yang diper-
lihatkan oleh Ki Pancang Jalak sungguh
suatu ilmu yang dahsyat, kejam dan menge-
rikan. Angin yang timbul setiap kali dia
menggerakkan tangannya, menebarkan hawa
panas yang menyengat. Biarpun Pandu dapat
menghindari serangan-serangan itu, namun
hawa panas yang timbul amat mengganggu
gerakannya.
Lama kelamaan dia menjadi cukup ke-
panasan. Dan secara tiba-tiba saja kala
Ki Pancang Jalak menyerbu, dia pun lang-
sung melenting ke angkasa. Dan diki-
baskannya tangan kanannya. Selarik sinar
putih melesat ke arah Ki Pancang Jalak
yang nampaknya hendak menyerang lagi.
Namun laki-laki ketua dari Telapak
Bara itu harus mengurungkan niatnya me-
nyerang bila tidak ingin tubuhnya diterpa
dan hangus oleh Pukulan Sinar Putih itu.
"Setttannnn!" dengusnya seraya ber-
salto menghindar.
Pandu dapat sejenak bernafas.
Namun hanya beberapa detik saja,
karena detik berikutnya Ki Pancang Jalak
sudah menyerbu ke depan dengan pekikan
melengking yang menyayat hati.
Pandu pun tidak mau bertindak tang-
gung pula. Hanya satu yang bisa menghen-
tikan Ajian Tangan Bara milik Ki Pancang
Jalak. Berpikiran demikian, maka dia pun
mengeluarkan Ajian Cakar Gagak Rimang.
Dan langsung memekik pula menyong-
song ke depan, ke arah Ki Pancang Jalak
yang juga sedang menyerbu.
Tanpa ampun lagi dua pukulan sakti
itu pun bertemu. Menimbulkan suara leda-
kan yang cukup keras. Pasir yang ada di
sekitar Lembah Maut beterbangan.
Dan dua sosok tubuh terpental ke
belakang. Sungguh hebat dan mengerikan
dua ajian sakti itu bila bertemu dalam
satu bentuk permusuhan dan menganggap se-
bagai lawan belaka.
Bergulingan.
Dan berhenti.
Kala keduanya bangkit, terlihat ke-
duanya muntah darah. Keadaan Ki Pancang
Jalak lebih parah rupanya, karena dia me-
rasakan sekujur tubuhnya panas menyengat.
Dia menjerit-jerit bergulingan un-
tuk mengusir rasa panas yang menyengat.
Ki Kerto Ijo segera bertindak ce-
pat. Dia pun mengalirkan tenaga dalamnya
pada adik seperguruannya itu dengan mak-
sud untuk mengusir hawa panas dari tubuh
Ki Pancang Jalak.
Beberapa saat kemudian terlihat tu-
buh Ki Pancang Jalak yang bergulingan he-
bat itu terdiam. Dan perlahan-lahan ma-
tanya yang terpejam ketat untuk menghi-
langkan dan menahan hawa panas itu terbu-
ka.
Dia kini bisa bernafas dengan lega.
Lalu dia bersemedi untuk memulihkan tena-
ga dan jalan darahnya.
Sementara Ki Kerto Ijo tengah mena-
tap Pandu yang bangkit perlahan-lahan.
Dia masih beruntung karena Ajian Cakar
Gagak Rimang berada satu tingkat di atas
Ajian Tangan Bara Ki Pancang Jalak.
"Anak muda... ilmu Cakar Gagak Ri-
mang sungguh luar biasa!" serunya jumawa
sambil berkacak pinggang. Jubah hitamnya
berkibar dihembus angin malam. "Bila aku
tidak salah duga, kau tentunya murid dari
Eyang Ringkih
Ireng, pertapa sakti yang kini ber-
diam di Gunung Kidul, karena sudah merasa
tua dan tidak mampu untuk berada di kera-
maian rimba persilatan!
Malam ini... aku hendak mencoba
Ajian Tangan Malaikat milik Eyang Ringkih
Ireng yang pernah menggetarkan dunia per-
silatan puluhan tahun yang silam.
"Karena engkaulah pewaris tunggal
dari pertapa sakti itu, maka engkaulah
yang menjadi sasarannya!"
Pandu yang diam-diam terluka dalam,
mendesah. Dia memang belum tahu kehebatan
Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut Nya-
wa. Namun biarpun begitu, dia sudah dapat
mengira-ngira tentu amat tinggi kesaktian
dari ilmu Ki Kerto Ijo. Dan berarti ini
bukanlah satu hal untuk main-main.
"Ki Kerto Ijo... kau dan adik se-
perguruan mu itu memusuhiku karena ingin
merebut Golok Cindarbuana, bukan? Namun
secara pribadi... aku pun mengatakan bah-
wa aku tidak menyukai sepak terjang yang
kejam yang telah di lakukan kau Ki Pan-
cang Jalak dan anggota gerombolan mu yang
buas itu!
"Hmm... sesungguhnya ada apakah di
balik Golok Cindarbuana ini?"
Ki Kerto Ijo terbahak.
"Hahaha... kau belum tahu rupanya,
Pandu? Goblok! Amat tolol kau! Hhh! Cepat
kau berikan golok itu padaku, sebelum
nyawamu kucabut dan kau tak pernah akan
mengetahui rahasia apa yang ada di balik
golok itu. Cepat!!
Saat ini yang ada di benak Pandu
bukanlah untuk mempertahankan diri, me-
lainkan untuk mengetahui rahasia apa yang
ada di balik Golok Cindarbuana.
"Kalau begitu... aku harus menye-
rang, karena diam pun percuma. Malah sea-
kan aku mengantarkan nyawa belaka!" de-
sisnya dalam hati. "Maafkan aku, Eyang...
dua manusia ini teramat sakti untukku!"
"Kau tidak dengar kata-kataku,
hah?!" membentak lagi Ki Kerto Ijo.
"Agaknya kita memang diharuskan un-
tuk bertarung Ki Kerto Ijo. Aku tak akan
mundur selangkah ke belakang pun untuk
menghadapimu!"
"Bagus! Nah, kau bersiaplah!" seru
Ki Kerto Ijo. Kini sepasang matanya mena-
tap mengerikan dan siap memuntahkan kema-
rahan yang luar biasa dalam dan dahsyat-
nya. Pandu pun bersiap.
Dan kala tubuh Ki Kerto Ijo mener-
jang ke depan, dia pun segera melesat.
Terjadi lagi pertempuran di tempat
itu. Serangan demi serangan keduanya la-
kukan dengan cepat.
Dahsyat. Dan berbahaya.
Ki Kerto Ijo memang membuktikan
ucapannya. Dia memang bukan omong kosong
belaka. Karena serangan-serangan Pukulan
Patuk Bangau yang dilakukan Pandu berha-
sil dipatahkannya.
"Hahaha... lebih baik kau menyerah
saja dan menyerahkan Golok Cindarbuana
padaku!"
"Bangsat!" memaki Pandu sambil
menghindari pukulan Ki Kerto Ijo.
"Eyang... ujian ini sungguh berat bagi-
ku," desis Pandu dalam hati.
Dalam serangan-serangan berikutnya
terlihat Pandu terdesak hebat. Dia memang
berusaha bertahan, namun berkali-kali pu-
kulan atau pun tendangan yang dilakukan
Ki Kerto Ijo mengenai sasarannya.
"Goblok! Cepat kau keluarkan Ajian
Cakar Gagak Rimang, hah? Cepat!"
Memang, mungkin hanya itu yang bisa
membuatnya bertahan. Tiba-tiba tubuh Pan-
du melenting ke angkasa. Dan kala dia
hinggap di bumi, ilmu Cakar Gagak Rimang
telah terangkum di tangannya.
"Hahaha... mengapa tidak sejak ta-
di, hah? Nah, kita buktikan... apakah il-
mu mu mampu mengalahkan Ajian Malaikat
Pencabut Nyawa milikku!" seru Ki Kerto
Ijo.
Beberapa saat kemudian terlihat dia
terdiam. Matanya terpejam. Dan mendadak
tangannya berputar bagaikan baling-baling
lalu disusul dengan tubuhnya.
Sungguh dahsyat angin yang ditim-
bulkan oleh tangan dan tubuh yang berpu-
tar itu. Pandu sedikit jeri melihatnya.
Mampukah ajian Cakar Gagak Rimang menahan
serangan yang nampak begitu. hebat dan
mengerikan?
"Bersiaplah untuk mampus, Pandu!"
seru Ki Kerto Ijo dan tubuhnya pun sudah
melesat menyerbu. Sungguh hebat sekali,
karena gebrakannya terus berputar. Mampu
membuat lawan menjadi kebingungan dan sa-
mar-samar mata yang melihat dan menjadi
gelap.
Begitu pula yang dialami Pandu. Na-
mun dia tetap berkonsentrasi penuh.
Tiba-tiba dia pun memekik dan me-
nyongsong serangan itu. "Bantu aku,
Eyang...."
Dan tanpa ampun lagi keduanya pun
bertemu. Kali ini lebih hebat dan bentu-
ran tenaga sakti Cakar Gagak Rimang dan
Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak.
"Duuuuaaarrr!!!"
Terdengar ledakan yang amat hebat
dan kuat. Bumi seakan bergoncang dan me-
nimbulkan kepulan debu yang amat tebal.
Dari balik kepulan itu satu sosok tubuh
terdorong ke belakang dengan kuat.
Tubuh Pandu, yang kini ambruk den-
gan dada terasa jebol dan seluruh tubuh
yang ngilu. Dan kala debu yang tebal itu
mulai menipis, terlihatlah sosok Ki Kerto
Ijo yang tegar berdiri.
Lalu mengumandanglah tawanya yang
keras luar biasa, menebar ke seluruh Lem-
bah Maut.
Pandu dengan susah payah untuk
bangkit. Sakit. Sakit yang amat luar bi-
asa dideritanya. Capingnya terlepas. Dan
terlihat tatapan mata yang mengandung si-
nar marah dan nyeri.
"Bangsat!" makinya lemah. "Aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
Dan tangannya pun bergerak, menca-
but Golok Cindarbuana dari sarungnya. Ki
Kerto Ijo dan Ki Pancang Jalak mendesis
kagum melihat golok yang luar biasa itu
dan mengeluarkan cahaya.
Mata Ki Kerto Ijo makin berkilat-
kilat. "Serahkan golok itu padaku!"
"Hmm... rebutlah dari tanganku!"
"Anjing!" maki Ki Kerto Ijo dan
kembali menyerbu.
Pandu pun melayaninya dengan ilmu
goloknya yang amat hebat. Namun karena
tenaganya sudah melemah dan tubuhnya yang
kesakitan, gerakannya menjadi kacau. Da-
lam dua gebrakan berikutnya, dia sudah
terhuyung dan terpelanting jatuh.
Goloknya terlepas.
Sigap Ki Kerto Ijo menyambarnya.
Dan mengelus-ngelusnya kagum dengan tawa
yang menggelegar.
"Hahaha... akhirnya golok ini men-
jadi milikku! Dan rahasia yang selama ini
terpendam akan menjadi milikku pula! Hhh,
Pandu... kini kau akan segera tahu raha-
sia apa yang ada di balik Golok Cindarbu-
ana ini.
Ketahuilah, ujung golok ini mengan-
dung sari sakti yang amat hebat. Dua
tetes air yang keluar dari ujung golok
ini mengandung ilmu
yang kuat. Bila orang beruntung
mendapatkannya, maka dia akan kebal oleh
akibat sari sakti itu. Pukulan dan benda
apa pun tak akan mampu mengalahkannya.
"Dan akulah orang yang mampu menga-
lahkannya!"
Lalu terlihat Ki Kerto Ijo mengo-
sok-gosok ujung golok itu dengan menenga-
dah, tepat meletakkan ujung golok itu ke
rongga mulutnya.
Pandu mendesah panjang. Ini tidak
boleh terjadi. Dan dia pun tahu akhirnya
rahasia yang terpendam di balik Golok
Cindarbuana itu. Namun dia tidak kuasa
untuk menahannya. Dia hanya bisa memper-
hatikan dengan hati pedih.
Sari sakti yang ada di ujung Golok
Cindarbuana itu akan tertelan oleh Ki
Kerto Ijo. Yang dikuatirkan Pandu, karena
Ki Kerto Ijo tentunya akan menggunakan
kesaktiannya untuk berbuat jahat.
"Maafkan aku, Eyang... aku tak kua-
sa untuk mencegahnya," desisnya pilu.
Namun mendadak terdengar jeritan
kesakitan dari mulut Ki Kerto Ijo yang
terhempas ke depan. Golok yang dipegang-
nya terlepas.
Ki Pancang Jalak berdiri gagah usai
menyambar golok yang terlepas itu. Dialah
yang menghantam kakak seperguruannya dari
belakang dengan Tangan Baranya. Dia tidak
ingin sari sakti Golok Cindarbuana terte-
lan oleh kakaknya.
Sejak semula dia memang telah me-
rencanakan semua itu. Dia akan menikam
dari belakang kakak seperguruannya.
Ki Kerto Ijo yang merasakan tubuh
bagian belakangnya hangus menoleh dengan
geram. "Kau?!" Hanya itu yang bisa di-
ucapkannya, karena detik berikutnya tu-
buhnya sudah ambruk. Racun Tangan Bara
milik Ki Pancang Jalak sudah mengenai
jantungnya.
Kini Ki Pancang Jalak terbahak-
bahak.
"Hahaha... akulah yang akan memili-
ki kesaktian ilmu kebal dari sari sakti
Golok Cindarbuana ini!" Lalu dia pun
menggosok-gosok ujung golok itu dengan
cara yang sama yang tadi dilakukan oleh
kakak seperguruannya.
Manusia ini sungguh licik, desis
Pandu yang tidak mengira Ki Pancang Jalak
akan melakukan pembokongan yang mengeri-
kan itu.
Dan manusia itu masih tertawa. Tan-
gannya masih menggosok-gosok ujung golok
itu. Namun mendadak saja terdengar leng-
kingan kesakitannya.
Tubuhnya terhuyung. Jalannya lim-
bung. Pandu melihat enam buah anak panah
menancap di punggung Ki Pancang Jalak.
Lalu nampaklah beberapa orang yang memba-
wa busur ke arahnya. Ki Lurah Perkoso dan
beberapa orang penduduk.
Ki Pancang Jalak masih berusaha un-
tuk bertahan, namun jantungnya telah ter-
tembus anak panah itu. Limbung. Dan ter-
dengar lolongan yang keras saat tubuhnya
ambruk ke tanah.
Darah segar bermuncratan. Nyawanya
pun melayang.
Pandu mendesah lega. Kelicikan itu
telah terbalas.
Ki Lurah Perkoso bergegas menghampiri.
Hatinya pilu melihat Pandu yang ke-
sakitan dan terluka! "Pandu...."
"Tenanglah, Ki....tolong ambil go-
lok itu."
Ki lurah menyerahkannya. Pandu
menggosok-gosok ujung golok itu. Dan lama
kelamaan menetes dua buah air dari ujung-
nya, yang langsung ditelannya.
Rahasia Golok Cindarbuana telah te-
rungkap. Dan dia pula yang beruntung men-
dapatkannya.
Tubuhnya seketika terasa segar.
Sungguh ajaib sari sakti yang terdapat
dari Golok Cindarbuana ini. Rasa sakitnya
pun menghilang. Pandu mengambil capingnya
dan memasukkan golok itu ke sarungnya.
Lalu dia berdiri. Ditatapnya ki lurah.
"Ki lurah... kurasa Sudah saatnya
kita berpisah. Terima kasih atas pelaya-
nan yang telah diberikan kepadaku."
"Anak muda...."
Tetapi sosok itu telah lenyap. Dan
dari kejauhan hanya terdengar ringkik ku-
da saja. Membuat orang-orang menjadi ka-
gum. Walau sesungguhnya mereka masih ber-
tanya, siapakah sebenarnya pemuda itu!
Dan di rumahnya, Lastri terus me-
nunggu yang berkepanjangan.
SELESAI
Ikutilah serial:
Pendekar Gagak Rimang berikutnya, dalam
episode:
Emoticon