SATU
Roda pedati yang mulai merambah jalanan berbatu
membuat Pusparini terbangun dari tidurnya. Tubuh-
nya terguncang di pembaringan dalam ruang pedati
yang tidak berapa luas. Di sampingnya terdapat bung-
kusan barang dagangan milik pedagang yang kenda-
raannya sedang melaju dengan oleng karena berada di
“Hei, akhirnya kau terbangun juga,” kata kusir pe-
dati dengan menoleh sekilas ke arah Pusparini yang
menggeliat bangun. “Bukan maksudku untuk mem-
bangunkan kamu, tetapi jalanan ini memang bukan
main jeleknya. Apalagi kalau musim hujan, kita ter-
paksa mendorong kalau terperangkap genangan lum-
pur.”
“Tidak apa-apa. Kalau tidak begini aku tetap molor
tertidur. Sampai di desa mana ini?” kata Pusparini
sambil melongok keluar.
Di dekat kusir pedati itu duduk seorang setengah
umur yang terkantuk-kantuk. Rupanya ia sedang
mimpi yang tak terusik keadaan jalan seperti itu.
Mungkin sudah terbiasa. Dialah sang juragan yang
memiliki pedati itu.
“Kita sampai di Desa Klerek,” jawab kusir pedati.
“Kalau yang kau tuju Desa Manggisan, masih dua pu-
luh lima pal lagi.”
“Masih jauh juga,” sahut Pusparini dengan menga-
wasi daerah yang sedang dilalui.
“Kau belum pernah kemari?” tanya sang kusir.
“Baru sekali ini.”
“Lalu apa tujuanmu ke Desa Manggisan?”
“Mencari seorang teman. Sudah hampir sebulan ti-
dak kembali ke tempat pangkalan tugas,” jawab Pus-
parini.
“Kembali ke tempat pangkalan tugas?” sela kusir
pedati itu. “Tempat macam apa itu?”
“Ah, cuma tempat berkumpul saja, Pak.”
“Tetapi kedengarannya aneh.”
“Kami bekerja untuk membantu pemerintah Kera-
jaan Medang,” jawab Pusparini.
“Semacam laskar?”
“Enghm... ya! Semacam itu. Tetapi kami tidak teri-
kat pada tatacara keprajuritan.”
“Enak kalau begitu. Keponakanku juga seorang pra-
jurit Medang. Sudah lama tidak pulang ke rumah. Ka-
tanya kerajaan ini sedang gawat. Apa benar?” tanya si
kusir dengan ucapan menggebu-gebu.
“Sampai anaknya lahir dia tidak tahu,” tiba-tiba
terdengar suara sang juragan yang semula dikira terti-
dur sambil duduk.
“Eh, Ki Puluwatu tidak sedang tidur, to?” sahut si
kusir.
“Tidur pun aku bosan kalau dalam perjalanan se-
perti ini,” jawab sang juragan bernama Ki Puluwatu
itu. Kini dia benar-benar membuka matanya. Orang-
nya gendut, pencerminan lambang kemakmuran kehi-
dupannya.
“Jadi... kau nanti turun di Desa Manggisan?” tanya
Ki Puluwatu kepada Pusparini.
“Iya, Ki!”
“Aku senang kendaraan ini kau tumpangi. Melihat
penampilanmu, kau ini pasti seorang pendekar.”
Pusparini tidak menyanggah.
“Aku juga punya sanak famili yang kerjanya seperti
dirimu. Tetapi dia seorang pemuda. Kerjanya memang
‘toh nyawa’ (taruhan nyawa), harus berani korban
nyawa. Entah apa keuntungannya kerja semacam itu.
Kuajak hidup menjadi pedagang tidak mau.”
“Tetapi kalau itu sudah menjadi niatnya, maka ba-
haya apa pun tak pernah dirisaukan, Ki,” sahut Pus-
parini. “Siapa nama famili itu?”
“Adik ragilku. Namanya Ragapangus!” jawab sang
juragan.
“Ragapangus?”
“Pernah mendengar nama itu?”
“Tidak!” jawab Pusparini.
Tiba-tiba si kusir menyentak tali kekang pedatinya.
“Ada apa?!” tanya Ki Puluwatu.
“Lihat, Ki! Ada orang menggeletak di tengah jalan!”
“Astaga,” sahut lelaki gendut itu setelah mengamati
dengan teliti.
Pusparini juga memperhatikan.
“Tunggu! Biar aku yang memeriksa,” katanya.
Pusparini melompat dari atas pedati. Dengan sekali
gerak, ia sudah berada di tempat yang dituju. Lalu
membungkuk untuk memeriksa siapa yang menggele-
tak itu. Baru saja Pusparini akan menyentuh tubuh
orang itu, tiba-tiba yang dituju bergerak cepat mereng-
gut lengan Pusparini.
Pusparini yang sejak semula telah curiga, sebenar-
nya tidak begitu kaget. Renggutan tangan itu berhasil
ditepiskan dengan hantaman tapak tangannya, se-
hingga orang itu menyeringai kesakitan. Tetapi orang
itu cepat pula menyabetkan kakinya ke arah tubuh
Pusparini. Nyaris kena kalau ia tidak menggulirkan
tubuhnya ke samping sehingga serangan lawan mene-
robos ke tempat kosong. Untuk mengimbangi serangan
tersebut, Pusparini segera menghantam kaki yang ter-
julur itu dengan sikunya, tepat pada tulang kering la-
wan.
Jeritan menggema. Sang lawan melompat bergaya
belalang. Sambil bergerak, kakinya menerjang lagi. Te-
tapi lagi-lagi Pusparini berhasil menghindar. Serangan
segera disambut dengan mematahkan tendangan itu
dengan sabetan tangan yang menotok jalan darah sa-
lah satu kaki yang lengah tak terjaga.
Kontan orang itu roboh sambil menebah kakinya
yang lumpuh. Baru saja Pusparini akan bertindak me-
lumpuhkan secara total, tiba-tiba mendesing sebuah
senjata rahasia ke arahnya. Tetapi dengan sigap tan-
gan Pusparini berhasil menangkap senjata rahasia itu,
tepat dengan jepitan dua buah jarinya. Senjata itu se-
gera dilempar kembali ke tempat asalnya.
“Akh!” sebuah jeritan dari semak-semak terdengar.
Lalu sesosok tubuh muncul dari sana sambil menebah
salah satu matanya yang tertembus senjata rahasianya
sendiri.
Lawannya yang pertama, walaupun dengan kekua-
tan satu kaki, mencoba menyabetkan pedangnya ke
lambung Pusparini. Tetapi pendekar wanita ini men-
gempiskan perutnya sehingga tusukan itu lolos ke de-
pan. Untuk menangkal serangan ini disusul gebrakan
lututnya yang menghajar lambung lawan. Serangan
dengan tulang lutut ini disertai tenaga dalam yang cu-
kup mantap, sehingga lawannya muntah darah, dan
roboh tak berkutik. Limpanya pecah.
Pusparini segera melihat ke arah lawan lainnya
yang menebah luka di matanya. Orang itu segera mela-
rikan diri menembus semak-semak. Pusparini enggan
untuk mengejar.
“Mampus,” terdengar suara Pusparini pelan setelah
memeriksa keadaan lawannya berbareng dengan da-
tangnya Ki Puluwatu untuk melihat dari dekat.
“Ck, ck, ck! Bukan main tandangmu, Gendhuk. Be-
lum pernah kulihat tandang seorang pendekar seperti
itu,” kata Ki Puluwatu.
“Mari kita cepat meninggalkan tempat ini sebelum
yang lain muncul,” saran Pusparini.
“Apakah mereka begal?” tanya si kusir yang mende-
kat ingin tahu.
“Entahlah. Menurut Bapak bagaimana? Apakah hal
seperti ini sering terjadi? Maksud saya... penghadan-
gan seperti ini,” kata Pusparini.
“Tt... tidak pernah,” jawab Ki Puluwatu.
“Aneh! Jadi untuk apa mereka berbuat semacam
itu? Yang jelas ini adalah tindak penghadangan. Apa-
kah untuk membegal barang-barang Bapak?”
“Entahlah. Mungkin juga begitu. Atau... ada alasan
lain yang aku sendiri tidak tahu. Tetapi...,” Ki Puluwa-
tu tidak melanjutkan ucapannya.
“Tetapi apa?” sahut Pusparini yang merasa ada
yang tidak beres dengan ucapan saudagar gendut itu.
“Beberapa hari lalu... aku menerima surat anca-
man,” jawab Ki Puluwatu.
“Surat ancaman? Tentang apa?” tanya Pusparini.
“Untuk menyerahkan pusaka yang kumiliki,” jawab
saudagar itu.
“Pusaka? Pusaka yang sangat ampuh maksud Ba-
pak?”
“Aku tak tahu. Pusaka itu sebilah keris yang pernah
kutukar dengan sepasang kerbau.”
“Hm. Aneh. Ada orang yang menukar pusaka den-
gan sepasang kerbau, dan sekarang ada yang memin-
tanya kembali dengan ancaman,” sahut Pusparini.
“Ayolah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan. Biar-
kan korban itu. Pasti ada temannya yang kini mengin-
tip dari jauh yang nanti membereskannya.”
“Jadi... kita sekarang sedang dimata-matai?” tanya
si kusir.
“Aku melihat beberapa orang menyelinap di batang
pohon di sana itu. Ayo cepat kita tinggalkan tempat
ini,” saran Pusparini dengan mengawali naik ke atas
pedati.
Tak lama kemudian, pedati itu meluncur lagi. Kali
ini dengan laju yang cepat sebab dilecut dengan meng-
gebu oleh sang kusir.
***
DUA
Sebenarnya di Desa Manggisan, Ki Puluwatu tidak
berniat bermalam. Tetapi karena peristiwa itu, maka
diputuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya ke
tujuannya semula, ke Kambang Putih, yang kelak ber-
nama Tuban, di pesisir utara.
“Aku jadi berpikir bahwa surat ancaman itu benar
adanya,” kata Ki Puluwatu kepada Pusparini di sebuah
penginapan di Manggisan. Mereka akhirnya harus be-
rada dalam satu atap penginapan, karena Pusparini ti-
dak berhasil menemui kakak seperguruannya bernama
Narendra.
“Tentunya surat ancaman itu ada tanda pengenal-
nya,” kata Pusparini.
“Benar. Orang yang mengirim memakai nama sama-
ran sebagai ‘Barong Makara’,” jawab Ki Puluwatu.
“Barong Makara?!”
“Ya. Oh, ini. Secara kebetulan surat ancaman itu
kusimpan dalam ikat pinggang,” kata saudagar itu
dengan mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya.
“Ini.”
Kemudian lembaran kulit selebar sejengkal tangan
tersebut diserahkan kepada Pusparini. Kemudian di-
baca oleh yang bersangkutan.
“Hm. Ya,” jawabnya setelah membaca tulisan yang
tertera di sana. “Jadi Ki Pulu diharuskan menyerahkan
keris itu agar diletakkan di sanggar pamujan halaman
rumah? Mengapa tidak Bapak lakukan?”
“Menyerahkan begitu saja?” jawab Ki Puluwatu.
“Kalau barang itu barang dagangan, ya harus dibayar
dengan duit, atau ditukar dengan barang lain. Aku te-
lah mengeluarkan sepasang kerbau untuk penukaran-
nya. Kalau ditukar dengan kerbau, maka jumlahnya ya
harus lebih dari yang telah kukeluarkan.”
“Wah, ilmu dagang Ki Pulu njlimet benar. Tetapi ka-
lau hal ini sudah menyangkut nyawa, apakah tidak
ada pertimbangan yang lain?”
“Maksudmu?”
“Balas saja surat itu dengan kehendak Bapak se-
suai dengan cara dagang,” saran Pusparini.
“Dia tidak memberikan alamatnya yang jelas. Ba-
gaimana aku bisa menghubungi si pengirim surat?”
jawab Ki Puluwatu.
“Gampang!” kata Pusparini setelah termenung bebe-
rapa saat. “Ki Pulu hubungi lagi orang yang menjual
keris tersebut yang menukarnya dengan sepasang ker-
bau itu. Siapa dia, dan di mana rumahnya.”
“Namanya Wungsu, dari Desa Gaplek,” jawab Ki Pu-
luwatu.
“Nah! Ki Pulu tinggal mencarinya di sana untuk
minta penjelasan dari mana keris tersebut berasal,” sa-
ran Pusparini lebih lanjut. “Mengapa Bapak tampak
murung?” katanya lagi ketika dilihatnya saudagar itu
termenung.
“Justru hal-hal seperti itu yang aku tidak suka
mengurusi. Waktuku tersita oleh urusan dagang,” ja-
wab Ki Puluwatu.
“Kalau dibanding bahwa ini menyangkut keselama-
tan Bapak, lebih baik meluangkan waktu untuk itu,”
kata Pusparini.
Ki Puluwatu termenung lagi. Kali ini terlihat lebih
beku dengan perangai dirundung kekalutan. Berbagai
pertimbangan simpang siur dalam benaknya.
“Bagaimana kalau aku... minta tolong kepadamu?”
katanya kemudian.
“Apa maksud Bapak?”
“Aku minta tolong kepadamu!”
Pusparini membisu.
“Kau tentu mau melakukannya.”
“Saya tak bisa mengenyampingkan tugas saya
membantu menjaga keamanan Kerajaan Medang,” ja-
wab Pusparini.
“Untuk kerja sampingan saja. Kau bisa melacak je-
jak siapa yang mengirim surat tersebut di samping tu-
gas utamamu,” kata Ki Puluwatu.
“Mengapa Bapak tidak minta tolong kepada Raga-
pangus, adik Bapak itu?” saran Pusparini.
“Kalau saja dia kuketahui tempat tinggalnya, sudah
kemarin-kemarin kusuruh dia. Sudah hampir dua ta-
hun kami tak pernah bertemu. Paling akhir dia ber-
layar ke negeri seberang. Bahkan pernah ke negeri Ci-
na.”
“Sayang sekali!” sahut Pusparini. “Melihat pengem-
baraannya itu, pasti dia seorang pendekar yang linuwih
dari saya.”
“Ah, tidak juga. Dia disebut pendekar, tetapi aku
belum pernah melihat dia menghajar lawan di depan
mataku. Lain dengan kau. Tadi kulihat kau memba-
bak-belurkan dua orang itu... whuih... tandangmu am-
puh, nDhuk,” kata Ki Puluwatu memuji untuk men-
gambil hati Pusparini.
“Sayang sekali saya tidak bisa membantu Bapak,”
jawab Pusparini. “Nah, Pak, saya permisi kembali ke
kamar. Sudah ngantuk.”
Ki Puluwatu mengangguk mempersilakan. Ada se-
macam kekecewaan terlintas pada wajahnya dengan
pipinya yang mengendor.
***
Hari semakin larut. Malam tanpa bintang karena
langit terselimut awan. Pusparini masih terjaga. Ra-
sanya menyesal menolak permintaan Ki Puluwatu. Be-
lum pernah dia menghindari masalah yang terpam-
pang di depan matanya untuk ditolak. Tetapi bukan-
kah saat ini dia tetap mengemban amanah untuk
membela kebenaran? Kini dia telah mengabdi kepada
pemerintah Medang. Pemerintah kerajaan tumpah da-
rahnya. Semboyan ‘Benar atau Salah adalah Negaraku’
membuat tentang arti ‘kebenaran’ itu tak bisa ditawar
lagi.
Dirinya telah diberi tugas sebagai anggota laskar
prajurit Medang tanpa terikat jadwal hadir serta tata-
tertib keprajuritan yang berlaku. Tugas utamanya ada-
lah semacam telik sandi. Mapatih Satyawacana sendiri
tak bisa menyebut jabatan yang diberikan kepada
Pusparini. Yang jelas, nama Pusparini telah terdaftar
sebagai seorang yang paling dibutuhkan dalam perta-
hanan kekuatan Kerajaan Medang. Untuk ini dia
punya tanda pengenal khusus yang diberikan oleh
Mapatih apabila Pusparini bertugas ke daerah wilayah
Medang.
Ini semua tak luput dari jasa Tunggul Randi, seo-
rang telik sandi yang berkenalan dengan dirinya se-
waktu terlibat peristiwa ‘Dewi Selaksa Racun’. Sedang-
kan Narendra, kakak seperguruannya, yang dikenal-
nya dalam peristiwa ‘Siluman Kedung Brantas’, men-
dapat jabatan serupa. Kemudian dalam kalangan pra-
jurit laskar Medang, nama Pusparini dan Narendra di-
kenal sebagai ‘Pasangan Pendekar Asmarawan’, sebab
keduanya dijodoh-jodohkan sebagai pasangan yang co-
cok. Sesuai dalam penampilan. Dan serasi sebagai su-
ami-istri.
Tetapi kalau orang sudah memperolokkan tentang
ini, Pusparini tak pernah menggubris. Rasanya urusan
pribadinya tak ingin digembar-gemborkan. Bahkan dia
bisa marah kalau hal itu jadi pergunjingan murahan,
jadi bahan rerasan di warung-warung jalanan. Akhir-
nya orang-orang yang dekat dengan dirinya tak berani
lagi memperolokkan pembicaraan mengenai hubungan
Pusparini dan Narendra.
Pikiran tentang ini akhirnya terkikis dengan pulih-
nya perhatian kepada Ki Puluwatu. Ia ingin membantu.
Tetapi dalam waktu dekat ini dirinya harus mencari
Narendra yang sudah sebulan tidak hadir ke Medang.
Padahal Narendra akan diberi tugas untuk mengawal
para ‘amahat’ yang akan membuat prasasti di Waringin
Sapta.
“Mungkin tawaran Ki Puluwatu bisa dipertimbang-
kan lagi,” pikir Pusparini dengan menguap.
Rasa kantuk itu akhirnya menyeret dirinya. Tetapi
baru saja ia terhanyut suasana tidur, tiba-tiba terban-
gun karena adanya suara jeritan. Mulanya tak dihi-
raukan benar, sebab mungkin hanya pendengarannya
saja yang salah. Tetapi setelah didengar lagi dengan
cermat, jeritan itu terdengar lagi. Bahkan berkepan-
jangan.
“Itu suara Ki Puluwatu!” pikir Pusparini dengan
membenahi dirinya yang kemudian melesat ke luar.
Di sana sudah ada beberapa orang yang menengok
kamar saudagar itu. Bahkan si kusir pedatinya keliha-
tan panik meraung-raung.
“Apa yang terjadi?” tanya Pusparini menyibak ke-
rumunan orang-orang yang ingin menengok ke dalam
kamar penginapan.
Pusparini tak sulit memperoleh jawabannya. Pan-
dangannya segera melihat apa yang menimpa Ki Pulu-
watu. Lehernya terbelah dan mengantarkan nyawa
meninggalkan raganya.
“Terlambat!” bisik Pusparini dengan wajah penyesa-
lannya. “Mengapa dia mesti terbunuh kalau mereka
menghendaki keris itu? Bukankah dengan keadaan ini
maka keterangan yang mereka kehendaki jadi sirna?
Atau Ki Puluwatu telah menjelaskan di mana disim-
pannya keris tersebut, dan dia lantas dibunuh?” pikir-
nya lebih lanjut.
“Apakah Bapak melihat seseorang yang melakukan-
nya?” tanya Pusparini kepada si kusir pedati.
“Saya tidur di emperan sini. Tahu-tahu terdengar
suara jeritan. Lalu saya terbangun untuk membuka
pintu kamarnya. Pada saat itu pintu terbuka, dan se-
seorang menerjang keluar sehingga saya mencelat,” ka-
ta si kusir pedati.
“Bagaimana penampilan orang itu?” tanya Puspari-
ni.
“Berpakaian serba hitam. Belum pernah saya meli-
hat orang berpakaian seperti itu.”
Pusparini memeriksa barang-barang pribadi si kor-
ban. Tak ada tanda-tanda perampokan. Jelas bahwa
hal itu adalah masalah keris yang pernah diceritakan
kepadanya. Tetapi ketika Pusparini mencari surat yang
pernah ditunjukkan kepadanya, lembaran kulit itu ti-
dak diketemukan.
“Apa mungkin surat itu dibawa kabur oleh si pem-
bunuh?” pikir Pusparini.
Kemudian diputuskan untuk membawa jenasah Ki
Puluwatu kembali ke desanya besok pagi. Mau tidak
mau Pusparini terpaksa mendampingi mengantar jena-
sah itu. Ketika hal ini dikatakan kepada si kusir peda-
ti, orang ini terima kasihnya bukan main. Dia benar-
benar tak tahu apa yang harus diperbuat untuk meng-
hadapi hal ini.
***
TIGA
Ciri-ciri orang sebagai pembunuh Ki Puluwatu san-
gat menarik perhatian Pusparini. Sampai hari kedua
setiba di rumah saudagar malang itu, Pusparini masih
berada di sana. Atas kehendak istri Ki Puluwatu, ia di-
harapkan menangani persoalan suaminya yang dipan-
dang sebagai peristiwa pembunuhan yang harus ditan-
gani pihak yang berwajib. Pihak Bhayangkara kadipa-
ten juga bertindak menangani. Tetapi tampaknya gerak
mereka terbatas. Hal bunuh-membunuh pada saat itu
rupanya bukan barang baru lagi. Memang ada semen-
tara orang beranggapan bahwa masalah ini umumnya
diselesaikan dengan cara hukum rimba walaupun di
Medang telah ada sarana hukum yang mengaturnya.
Itu sebabnya istri almarhum tidak begitu percaya ka-
lau hal ini diserahkan kepada yang berwajib. Karena
dilihatnya Pusparini bisa bertindak lewat jalur hukum
dan juga bisa bertindak sesuai dengan ‘keadaan yang
memaksa’ yang berkaitan dengan dunia persilatan,
maka ia lebih condong mengandalkan kemampuan
Pusparini.
Kemudian pemburuan terhadap pembunuh itu dila-
cak mulai dari orang yang memiliki keris tersebut. Se-
dangkan keris yang menjadi biang malapetaka itu di-
minta oleh Pusparini sebagai sarana perburuan.
“Saya tidak dapat menyangkal kalau Nyi Pulu me-
naruh dendam terhadap siapa saja yang mengaki-
batkan terbunuhnya suami Nyai. Tetapi kalau saya
disuruh membawa kepala yang terpenggal dari si pem-
bunuh, saya tidak bisa melaksanakan walaupun saya
mampu melakukan,” kata Pusparini ketika mendengar
permintaan istri almarhum saudagar itu.
“Baiklah. Lakukan tugasmu. Datanglah kembali
kemari kalau kau telah berhasil membunuhnya. Hu-
tang nyawa, harus dibayar nyawa!” kata wanita janda
itu.
“Saya melakukan atas dasar permintaan Ki Puluwa-
tu yang tidak saya sanggupi. Kini saya melibatkan diri
karena saya merasa terpanggil untuk bertindak. Saya
tidak akan mengharapkan imbalan apa-apa,” jawab
Pusparini. “Kalau Nyai didatangi oleh orang yang tak
dikenal dan menanyakan keris tersebut, katakan,
bahwa Walet Emas yang membawanya.”
“Walet Emas?” sahut wanita itu.
“Nama kependekaran saya!” jawab Pusparini seraya
meninggalkan tempat itu. “Mereka pasti mencari saya.
Dan itu yang saya kehendaki.”
Boleh dikata istri almarhum saudagar itu sangat
memanjakan Pusparini. Untuk tugas ini ia diberi see-
kor kuda beserta perbekalan dalam perjalanan. Berbi-
cara tentang kuda, Pusparini bisa mengambil man-
faatnya ketika mencari Narendra dan membonceng ke-
reta pedati milik Ki Puluwatu. Seandainya dia berang-
kat berkuda, pasti tidak akan membonceng kendaraan
saudagar itu, dan masalah ini tak bakal diketahuinya.
Nama Wungsu dari Desa Gaplek menjadi sasaran
pertama. Dialah yang menjual keris tersebut dengan
imbalan pertukaran sepasang kerbau. Untuk pergi ke
desa itu memang tidak mengalami hambatan. Kesuli-
tannya hanya, ketika datang ke rumah orang bernama
Wungsu, ternyata orang yang dicari ini kata para te-
tangga telah meninggal sepuluh hari yang lalu. Dia
terbunuh dalam suatu bentrokan bersenjata dengan
beberapa orang yang mengroyoknya.
“Pasti ada yang tidak beres dengan kematiannya,”
pikir Pusparini. “Kalau sepuluh hari yang lalu, berarti
sebelum Ki Puluwatu terbunuh. Rupanya ada pihak
yang tidak menghendaki soal keris itu agar tidak dike-
tahui oleh mereka yang pernah menyimpannya. Dan
membunuh Ki Puluwatu sebenarnya tindakan yang sa-
lah kalau mereka menginginkan keris itu.”
Menghadapi hal ini sepertinya Pusparini mengalami
jalan buntu. Dan Pusparini bukanlah Walet Emas ka-
lau tidak dilecut oleh hasrat yang membara untuk me-
nangani hal ini. Dua jiwa telah melayang. Ini telah cu-
kup untuk mencari kelompok yang menamakan diri
sebagai ‘Barong Makara’ itu.
Pusparini meninggalkan Desa Gaplek. Tak ada sa-
nak famili Wungsu yang bisa memberi penjelasan dari
mana almarhum mendapatkan sebuah keris yang di-
tukar dengan sepasang kerbau. Dan hari itu rasa haus
Pusparini memaksanya untuk singgah di sebuah ke-
dai. Baru saja ia turun dari kuda, seseorang mendeka-
tinya.
“Saya saudara ipar Wungsu,” kata orang itu. Seo-
rang lelaki yang berpenampilan sebagai petani dengan
sikap ragu mencoba berbicara dengan Pusparini.
“Maaf. Aku tadi tak sempat menemuimu ketika kau da-
tang ke rumah saudara iparku itu. Ketika aku diberi
tahu istrinya, buru-buru aku mencarimu.”
“Oh. Kebetulan sekali. Kita bisa berbicara dalam
kedai itu,” kata Pusparini.
“Jangan di situ. Di dalam ada beberapa orang yang
kulihat tempo hari mengroyok Wungsu. Tetapi yang
membunuh bukan mereka.”
Ini namanya ‘pucuk dicinta ulam tiba’ pikir Puspa-
rini. Tanpa diduga telah datang penjelasan secara be-
runtun yang penanganannya bisa dimulai. Tentu saja
dari orang-orang yang mengroyok Wungsu. Tetapi Pus-
parini ingin bahan lebih lanjut dari orang yang menye-
but dirinya sebagai saudara ipar Wungsu. Orang itu
memperkenalkan namanya.
“Pak Gumoh?”
“Ya!” jawab laki-laki setengah baya itu.
“Bapak tahu dari mana Wungsu mendapatkan keris
itu?” tanya Pusparini.
“Enghmm... sebenarnya, eh sebenarnya... Wungsu
menemukan di sebuah kereta yang terguling,” jawab
Gumoh.
“Kereta yang terguling?”
“Ya! Saat itu kami berdua sedang berangkat ke sa-
wah. Tiba-tiba di tengah jalan kami melihat sebuah ke-
reta terjerumus ke jurang. Entah kapan terjadinya.
Kami selidiki, dan ternyata milik saudagar Keling!”
“Saudagar Keling? Yang kau maksud orang Hindus-
tan?”
“Iya! Rupanya kereta itu dirampok habis-habisan
oleh sekelompok begal. Tiga orang jenasah kami temu-
kan di sana. Dan secara kebetulan Wungsu menemu-
kan sebilah keris.”
“Hm. Jadi begitu ceritanya. Terima kasih atas penje-
lasan Bapak. Sekarang aku mengerti. Coba Bapak me-
nyingkir dari sini. Aku akan mengurusi orang-orang
yang pernah mengroyok Wungsu,” kata Pusparini den-
gan melangkah masuk ke dalam kedai.
Kemunculan Pusparini mengundang perhatian. Bi-
asa, dia jadi wanita satu-satunya di tempat itu, selain
istri pemilik kedai. Di samping itu pakaian kependeka-
rannya yang membalut tubuhnya yang sintal padat,
membuat setiap mata mengekor geraknya. Pusparini
langsung memesan minuman dan duduk lesehan di
pojok. Untuk lebih menarik perhatian, langsung Pus-
parini memesan minuman tuak. Dia pilih yang paling
keras.
“Hei! Kalian dengar apa yang dipesan? Tuak paling
keras!” sahut seorang dari kelompok laki-laki yang
akan menjadi sasaran penyelidikannya. “Ia pesan satu
bumbung penuh. Apa hendak dibuat mandi? Hahaha-
haha...! Bisa teler kau, nDhuk!”
“O ya? Maksudku... minuman yang kupesan untuk
nraktir kalian!”
“Wah, dermawan benar kau. Belum pernah kutemui
wanita cantik mau nraktir kami,” sahut laki-laki be-
rambut panjang yang dikuncir kepang. Panjang ram-
butnya sampai pantat.
Umumnya kelima orang itu berpakaian nyentrik pa-
da zamannya. Ada yang jidatnya diberi warna pemerah
bibir. Ada yang telinganya ditindik dan digantungi ant-
ing-anting besar. Seorang lagi yang jenggotnya panjang
sampai menyentuh dada, dijalin pada ujungnya dan
diberi bandul besi yang runcing.
Pusparini mengawasi satu per satu kelima laki-laki
itu. Jelas bahwa kelengkapan yang mereka pakai bu-
kan sekedar untuk nyentrik-nyentrikan, tetapi meru-
pakan senjata sampingan yang tersembunyi.
“Mari, kalau kalian ingin menikmati. Silakan!” sam-
but Pusparini mencoba bersikap ramah.
Tanpa ragu kelima orang itu nimbrung ke tempat
Pusparini. Ada beberapa orang yang menganggap Pus-
parini sebagai wanita murahan dan berusaha menge-
lus pundaknya. Tetapi dengan tenang Pusparini men-
cekal tangan itu agar tidak bergerak berlarut-larut
yang naga-naganya akan mlorot dengan rabaan sema-
kin ke bawah. Kelihatannya memang tenang. Tetapi
Pusparini telah mencekalnya dengan tenaga dalam se-
hingga laki-laki itu nyengir kesakitan. Teman-
temannya yang lain menyambut dengan tawa urakan.
“Dia memang kami juluki ‘si tangan jahil’. Sukanya
meraba-raba. Jangan takut. Cuma begitu yang bisa dia
lakukan. Lainnya sudah kendor, hahahahaha...!”
Olok-olok itu membuat merah wajah ‘si tangan ja-
hil’. Yang lain mencoba menggoda dengan mengelus
pantat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi da-
ri belakang. Pusparini tak tinggal diam. Tangan yang
usil itu langsung diduduki sehingga yang punya sikap
menjerit kesakitan. Lagi-lagi hal seperti itu disambut
gelak tawa dari teman-temannya yang lain. Sedangkan
Pusparini sepertinya tidak mengalami apa-apa. Semua
dihadapi dengan tenang.
“Ayo, minum!” ajak Pusparini mengawali.
Tanpa sungkan kelima laki-laki itu meneguk tuak
yang disediakan. Tanpa setahu mereka, sebenarnya
Pusparini hanya menyentuhkan bibirnya saja kepada
cangkir minumannya yang terbuat dari gerabah. Ini
membutuhkan kesabaran untuk membuat kelima laki-
laki itu menjadi teler. Hampir setengah losin tegukan
cangkir yang telah masuk ke dalam perut mereka. Se-
dangkan Pusparini belum seteguk pun. Dan anehnya
kelima orang itu belum ada tanda-tanda teler! Ia mulai
cemas. Jangan-jangan usahanya gagal. Bau tuak itu
benar-benar menyebar ke seluruh ruangan. Terbukti
jenis tuak yang keras.
Selama berkubang dalam perjamuan yang mema-
bukkan itu percakapan-percakapan membuih dalam
iringan gelak tawa. Kebanyakan memancing-mancing
Pusparini yang tetap dianggap sebagai wanita gampan-
gan.
“Masa nggak mau?” kata seorang yang rambutnya
panjang. “Aku baru dapat ceperan.”
“O ya. Dari siapa?” tanya Pusparini mulai merasa
dapat peluang ke arah sasaran.
“Pasupata!”
“Pasupata? Siapa Pasupata?!” tanya Pusparini.
“Akulah Pasupata!” tiba-tiba terdengar suara di am-
bang pintu.
Seorang yang berperawakan tinggi besar berdiri di
sana. Seorang berkebangsaan Keling, Hindustan.
Rompinya mirip jubah, sedangkan pakaian bawahnya
semacam cawat yang berjumbai panjang di tengahnya,
mirip selendang, warnanya merah. Rambutnya dikun-
cir, berkumis sampai menyentuh pipinya. Matanya
menyorot tajam.
“Kau baik hati benar menjamu mereka,” kata laki-
laki bernama Pasupata tanpa beranjak dari tempatnya.
“Dan kau cukup kaya memberi ceperan untuk me-
reka. Pasti suatu kerja yang teramat penting yang telah
mereka lakukan atas perintahmu. Kerja apa itu?”
tanya Pusparini.
“Aku benci kepada orang yang sok ingin tahu,
meskipun kau wanita cantik,” jawab Pasupata.
“Aku hanya ingin tahu siapa yang membunuh
Wungsu,” kata Pusparini.
Pasupata mengerutkan dahinya. “Kau jadi melewati
batas.” Dan ucapan ini disertai isyarat.
Pusparini merasakan sebuah tangan tiba-tiba men-
cekal lengannya. Ini memang tidak main-main, sebab
yang lain berusaha menggapit lehernya. Tindakan itu
tidak berlanjut sebab Pusparini segera bergerak den-
gan segenap anggota tubuhnya sehingga kelima orang
yang mengepungnya mencelat ke belakang. Sekejap se-
telah itu, ia langsung ke arah Pasupata. Pusparini tahu
bahwa laki-laki Keling ini yang pegang peranan terbu-
nuhnya Wungsu.
Pasupata berusaha berkelit. Tetapi terjangan Pus-
parini lebih dulu menggampar dagunya. Kontan dia
terjerembab ke belakang tetapi dengan cepat mampu
menguasai diri dan pasang kuda-kuda.
Sebelum Pusparini melancarkan serangan berikut-
nya, Pasupata telah bergerak mendahului menyerang.
Untuk beberapa saat keduanya terlibat baku hantam
untuk mencari peluang kelemahan lawan. Gerakan Pa-
supata agak lambat. Tetapi daya pukulannya deras.
Bahkan sudah tiga kali Pusparini merasakan hanta-
man laki-laki berkebangsaan Keling itu. Setiap berhasil
memukul lawan, Pasupata seperti kehilangan daya.
Dia sendiri heran apa sebabnya. Ternyata Pusparini
mampu memusatkan tenaga pada sasaran yang dituju
lawan sehingga daya tahan tubuh memiliki semacam
serangan kilas balik, walaupun tidak besar, sehingga
lawan mendapat imbasan serangannya sendiri.
Ilmu ini memang tidak diajarkan di Padepokan
Canggal. Pusparini menciptakan sendiri jurus perta-
hanan ini berdasar pengalaman setiap kali ketanggor
lawan yang memiliki daya pukulan hebat. Ya. Pada
pukulan yang keras saja hal itu bisa dilakukan. Tetapi
daya tahan Pusparini juga terbatas. Dirinya tak mung-
kin terus-menerus melakukan pertahanan seperti itu.
Menghadapi hal semacam ini, Pasupata mengelua-
rkan senjata tajamnya. Semacam keris, tetapi luk-nya
hanya tiga walaupun bentuknya lebih panjang. Hu-
lunya menunjukkan bahwa senjata itu bukan ciri sen-
jata Jawadwipa. Begitu dikeluarkan dari sarungnya,
Pusparini langsung menghadapi dengan senjatanya
pula walaupun yang dikeluarkan bukan Pedang Merapi
Dahana.
Dua senjata beradu, dan baku hantam ini semakin
menjadi tontonan orang-orang di sana. Kelincahan
Pusparini terlihat dengan manis dalam babak ini. Dia
memang bertujuan untuk mengorek keterangan, dan
tidak ingin membunuh lawan. Paling tidak harus bisa
memaksa lawan ‘berkicau’ tentang manfaat keris yang
diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Shret! Pusparini berhasil melukai lawan pada len-
gannya. Ini membuat Pasupata semakin penasaran.
Dengan sikap menggebu-gebu lelaki Keling ini menco-
ba menyergap Pusparini dengan jurus-jurus simpa-
nannya. Tetapi di mata Pusparini hal itu tak berarti
sama sekali, sebab medan laga benar-benar miliknya
sekarang. Pasupata terdesak terus, yang akhirnya sen-
jata di tangannya terpental ketika dengan gesit berha-
sil dicokel dari genggamannya.
Sadar bahwa posisinya terdesak, Pasupata segera
memberi peluang kepada anak buahnya untuk men-
groyok Pusparini.
Kelima orang maju serentak, langsung dengan se-
rangan senjata tajam. Tetapi Pusparini juga waspada
bahwa di antara mereka ada yang memiliki senjata
sampingan yang berupa kelengkapan perhiasan mere-
ka yang nyentrik.
Gebrakan demi gebrakan berhasil dilakukan Puspa-
rini untuk membuyarkan serangan lawan. Ternyata
mereka tak punya kelebihan ketrampilan bela diri yang
andal. Tetapi tak berarti semua bisa diremehkan begitu
saja. Salah seorang yang berambut panjang, nyaris sa-
ja rambutnya yang dijalin melilit leher Pusparini. Se-
rangan sabetan yang membahayakan itu berhasil diga-
galkan dengan memutuskan rambut itu dengan teba-
san pedang.
Yang punya rambut meraung karena penasaran.
Ketika nekad menerjang ke arah Pusparini, perutnya
jadi sarang tendangan. Yang lain melarikan diri. Meli-
hat hal ini Pusparini cepat mengambil sikap untuk
menyandera salah seorang di antaranya.
Berhasil. Yang digelari teman-temannya dengan se-
butan ‘si tangan jahil’ berhasil diringkus setelah me-
nundukkan dengan menendang kemaluannya. Empat
orang lainnya dan Pasupata sendiri sudah tak terlihat
batang hidungnya lagi. Mereka telah hengkang dengan
menyebar sehingga Pusparini akan sulit memperoleh
jejak untuk mengejar mereka. Kecuali yang satu ini.
Dengan meringkus tangan lawan ke belakang, Puspa-
rini membuat ‘si tangan jahil’ tak berkutik sedikit pun.
“Kalian perlu berguru lagi untuk mengalahkan aku,
tahu!” sumbar Pusparini. “Dengan sekali plintir, tan-
ganmu akan patah, dan gelarmu ‘si tangan jahil’ tak
berlaku lagi!”
“Jangan! Aku mau berbicara untuk memberi penje-
lasan apa yang kau butuhkan,” kata laki-laki itu den-
gan napas tersengal karena jakunnya pun jadi sasaran
cekalan jari-jari Pusparini. Kalau perlu, jari-jari si Wa-
let Emas ini bisa membuat remuk jakun lawan di leher
itu.
“Siapa atasan si Pasupata!” gertak Pusparini.
“Yang itu... aku tak tahu!”
“Jangan bohong. Pilih! Tanganmu yang patah, atau
jakun lehermu ini yang pecah sehingga kau tak bisa
menelan makanan lagi.”
“Sss... sungguh. Aku hanya tahu si Pasupata orang
Keling itu.”
“Katakan tempat tinggalnya!”
“Ak... ak... aku pun tak tahu. Ttt... tapi... biasanya
dia menghubungi kami di Candi Bar... Aakhh!!!”
Suara ‘si tangan jahil’ tersendat karena tiba-tiba se-
buah senjata rahasia melesat dan menancap di ke-
ningnya. Langsung laki-laki itu mendelik tak berkutik
lagi.
Pusparini cepat mencari dari mana datangnya se-
rangan tersebut. Tak terlihat seorang pun yang mencu-
rigakan yang dituduh sebagai pelakunya. Orang-orang
yang menyaksikan peristiwa itu satu per satu me-
nyingkir.
“Cara kuno! Setiap saksi mata selalu kena bokong
penyerang gelap!” terdengar ucapan tak jauh dari tem-
pat Pusparini.
Si pendekar yang punya gelar Walet Emas ini meno-
leh. Seseorang terlihat berdiri dengan sikap santai
sambil meneguk minuman yang disandangnya. Ru-
panya ke mana-mana ia selalu membawa alat minum-
nya itu. Dia seorang wanita.
“Siapa kau?” tanya Pusparini.
“Apakah penampilanku belum memberi gambaran
kepadamu?” kata wanita itu.
“Pendekar... pemabuk?!” terka Pusparini. “Tetapi ke-
lihatannya janggal kalau hal itu ditampilkan oleh wani-
ta semacam kau.”
“Apa salahnya? Apakah kebiasaan macam begini
hanya dihaki oleh lelaki? Wanita berhak untuk mabuk.
Wanita berhak untuk jadi penyandang gelar ‘penunduk
lelaki’. Dan wanita berhak ‘di atas’. Ah, rupanya obro-
lan macam ini tidak akan kau mengerti karena kau
masih bau kencur!” kata wanita itu.
Pusparini memang tidak bisa mengerti arti keselu-
ruhan omongan wanita itu. Kesannya ganjil, kalau ada
wanita yang punya kebiasaan tak mau kalah dengan
sikap lelaki.
“Sudah. Aku tak ada urusan denganmu. Aku masih
ada kerja,” kata Pusparini dengan menghampiri ku-
danya.
Ternyata laki-laki bernama Gumoh, saudara ipar
Wungsu, dengan setia menunggu kudanya.
“Bapak tahu apa yang diucapkan laki-laki yang te-
lah mampus oleh serangan gelap itu?” tanya Pusparini.
“Dia menyebut Candi Bar... begitu!”
“Candi Barong!” tiba-tiba wanita pendekar pemabuk
itu nyeletuk lagi.
Pusparini tampak tak suka dengan turut campur-
nya wanita itu dalam pembicaraannya. Tetapi karena
ucapan itu sangat berarti baginya, ia ingin bicara lagi
dengan wanita itu.
“Candi Barong?! Aku juga pernah mendengar nama
itu. Tetapi tak tahu tempatnya,” kata Pusparini.
“Jodoh! Ini namanya ada jodoh antara kau dan
aku,” kata wanita itu.
“Jodoh? Jangan gila kau,” tangkis Pusparini.
“Jodoh dalam melaksanakan tugas! Aku juga ada
kepentingan ke Candi Barong!”
“Apa?”
“Aku ada kepentingan juga ke Candi Barong!” jawab
pendekar wanita pemabuk.
Pusparini termenung. Pikirannya tertuju kepada
wanita pendekar pemabuk yang punya tujuan sama.
Apakah itu mungkin? Apakah tidak mengada-ada?
Ataukah ini suatu jebakan? Apakah yang melempar
senjata rahasia itu bukan wanita ini sendiri? Pusparini
jadi ragu untuk menggalang kerja sama yang dikata-
kan ‘ada jodoh’ itu.
“Uruslah urusanmu sendiri,” kata Pusparini.
“Aku tahu tempat itu,” kata si pendekar wanita pe-
mabuk.
“Aku bisa tanya kepada orang lain.”
“Bandel! Kukira kita punya urusan yang sama, te-
tapi dengan kepentingan yang berbeda!” jawab si wani-
ta itu.
Pusparini berpikir sejenak.
“Jadi begitu?” katanya kemudian. “Katakan dulu
apa kepentinganmu!”
“Tak bisa sekarang. Bagaimana? Masih tak mau
seiring sejalan ke Candi Barong?”
“Janji?! Hanya seiring sejalan. Tidak seurusan! Aku
tak mau kalau urusanku dicampuri orang lain,” tawar
Pusparini. “Dan kau tak perlu mempengaruhi aku un-
tuk jadi pemabuk!”
Wanita pendekar pemabuk tersenyum. “Bagaimana
aku harus memanggil namamu?”
“Pusparini!” jawab Pusparini.
“Kau bisa panggil aku Samresti. Gelarku ‘Bidadari
Pemabuk’!”
“Wah. Pantas saja. Berapa guci tuak yang kau lahap
setiap hari?”
“Melihat keadaan,” kata Bidadari Pemabuk dengan
mengumbar senyum. Kemudian dia meneguk arak di
gucinya yang mirip kendi. Sepertinya tak ada pengaruh
bahwa kepalanya akan nggliyeng yang membuat di-
rinya teler. “Kita berangkat sekarang,” lanjutnya.
Kemudian terlihat dua orang wanita berkuda me-
ninggalkan Desa Gaplek. Sedang ipar Wungsu berna-
ma Gumoh mengawasi dengan penuh tanda tanya se-
telah dipamiti.
***
EMPAT
Candi Barong!
Tempatnya di atas Bukit Putir, didirikan semasa
pemerintahan Raja Pu Sindok. Candi yang bangunan-
nya terbengkalai karena keadaan tanahnya labil, kini
bagaikan puing-puing yang tak terurus. Tempatnya
yang terpencil membuat bangunan itu jadi sarang para
penjahat. Karena menjadi daerah tak bertuan, maka
sudah beberapa kali tempat itu berpindah kekuasaan
di antara mereka yang kuat untuk mempertahankan
sebagai pemukiman pertemuan.
Kini Pusparini dengan Samresti alias Bidadari Pe-
mabuk telah sampai di sana. Perjalanan yang melelah-
kan itu berhasil ditempuh dengan tabah. Sudah dua
kali selama perjalanan itu Samresti mengisi gucinya
dengan tuak yang dibeli di kedai pinggir jalan. Puspa-
rini tak habis pikir bagaimana Samresti bisa kecan-
duan seperti itu.
“Ini sebenarnya obat bagiku,” kata Samresti pada
malam harinya ketika mereka begadang di Candi Ba-
rong menunggu pihak lain yang mungkin hadir di sa-
na.
“Obat?” ulang Pusparini.
“Aku pernah bentrok dengan seseorang. Dia lolos!
Tetapi akibat yang ditimbulkan adalah penderitaan.
Aku mengidap racun dari lawan yang meloloskan diri.
Racun itu ternyata sejenis binatang lintah yang berha-
sil dimasukkan ke dalam mulutku. Kini binatang itu
tetap mendekam dalam lambungku. Dia mengisap sari
makanan apa yang kumakan. Dan kotorannya meru-
pakan racun yang membuatku bisa mampus!” kata
Samresti.
“Hih!”
“Kau ngeri mendengarnya, bukan?”
“Ya!” jawab Pusparini. Dia membayangkan binatang
itu pasti pipih dan berlendir.
“Untung ada seseorang yang menolongku untuk
mengatasi hal ini. Katanya binatang itu tidak akan bi-
sa dikeluarkan kalau sudah menempel di lambung pe-
rut. Tetapi racun yang ditimbulkan dari kotorannya itu
hanya bisa dilawan dengan tuak. Oleh sebab itu kini
aku selalu meminum tuak setiap harinya kalau tidak
ingin mampus!”
Pusparini bergidik mendengar cerita itu. Dunia per-
silatan memang dunia penuh kekejaman. Berbagai sa-
rana diciptakan orang untuk bisa dipakai mengalah-
kan lawan dalam setiap bentrokan. Dari senjata raha-
sia selembut lugut bambu sampai sekasar batu karang,
bisa diciptakan oleh mereka. Tujuannya hanya satu.
Menjadi pendekar pilih tanding. Tak terkalahkan wa-
laupun pepatah ‘Di atas langit masih ada langit’ per-
nah singgah di telinga mereka. Justru pepatah ini yang
memaksa mereka selalu menyempurnakan ilmu-
ilmunya. Baik ilmu kanuragan atau ilmu olah kepraju-
ritannya. Dan senjata maut itupun sampai tergali dari
binatang yang kini mendekam dalam lambung Samres-
ti.
“Kalau begitu, nyawamu bagai telur di ujung tanduk
kalau sampai tidak ada tuak,” kata Pusparini dengan
nada prihatin.
“Justru itu aku datang ke tempat Candi Barong ini,”
sahut Samresti.
“Kau... mencari penawar racun itu yang lebih baik
daripada tuak?”
“Ya!”
“Siapa orang yang kau maksud bisa menyembuh-
kanmu?”
“Mithara!”
“Mithara?”
“Orang dari Atap Dunia!”
“Negeri mana itu?”
“Mithara artinya sama dengan Surya, Dewa Mataha-
ri. Dan negeri Atap Dunia terletak di utara Hindustan.
Negeri yang penuh hamparan permadani putih. Dia
sudah beberapa bulan ini mengembara di Jawadwipa
mencari pusaka leluhurnya.”
“Pusaka leluhurnya?” tanya Pusparini.
Sejenak ia berpikir tentang keris yang saat ini dis-
impannya. Kalau itu keris pusaka yang dimaksud, pas-
tilah punya nilai sendiri sehingga banyak pihak yang
menghendakinya. Tetapi Pusparini masih merahasia-
kan keris tersebut. Ia takut kalau bukan itu barang
yang jadi sengketa.
“Dari mana kau tahu tentang orang bernama...
eehmm... Mithara itu?” kata Pusparini lebih lanjut.
“Dari hasilku mencuri dengar pembicaraan sarese-
han para tabib di Kambang Putih,” jawab Samresti
dengan menyantap daging burung panggang dari api
unggun. “Mithara selalu muncul di sini setiap bulan
purnama. Entah benar entah tidak, aku datang kemari
hanya untuk mencoba.”
“Lalu apa pikiranmu tentang kedatanganku kemari?
Kau pikir aku ingin ketemu Mithara?” kata Pusparini
untuk menjajagi pengetahuan Samresti tentang tugas-
nya.
“Kau mencari dalang suatu peristiwa pembunuhan,
bukan? Karena sanderamu berbicara tentang Candi
Barong, maka sudah dipastikan otak mereka berada di
tempat ini,” jawab Samresti.
“Kau mengira ini ada hubungannya dengan Mithara?”
“Enghm... kayaknya begitu. Atau mungkin, tidak.”
“Jadi kau benar-benar tak tahu?”
“Hanya secara kebetulan sanderamu menyebut
Candi Bar... begitu. Candi mana lagi kalau bukan
Candi Barong?”
“Aku pernah mendengar Barong Makara. Apakah
kau bisa memberi penjelasan?” tanya Pusparini untuk
memancing pendapat.
“Barong Makara? Yang jelas ada hubungannya den-
gan tempat ini. Kau lihat itu hiasan ‘makara’ pada
candi ini? Mungkin ini nama suatu kelompok, atau
nama seseorang, aku tak tahu. Yang jelas, ada kata
‘barong’ pasti berhubungan candi ini. Tak diragukan
lagi, bahwa nama ‘Barong Makara’ pasti ada sangkut
pautnya dengan Candi Barong,” jawab Samresti.
“Kalau begitu, berarti aku berada di sarang lawan,”
sela Pusparini sambil beranjak berdiri.
Dirinya merasa jadi tidak enak. Sepertinya ada ber-
pasang-pasang mata mengawasi keberadaannya di ke-
gelapan di sekelilingnya.
“Apa yang akan kau lakukan seandainya bertemu
dengan Mithara?” lanjutnya.
“Akan kukatakan terus terang bahwa aku membu-
tuhkan jampi ramuannya untuk menghalau racun di
tubuhku.”
“Kalau Mithara tidak mau?”
“Mungkin aku bisa memaksanya.”
“Galak benar kedengarannya.”
“Hidup suatu perjuangan, Pusparini. Untuk tujuan
apa pun, perlu diperjuangkan,” jawab Samresti tegas.
Sebenarnya Pusparini ingin memberi tanggapan
atas ucapan itu. Tetapi tiba-tiba perasaannya terusik
oleh bunyi lembut yang mencurigakan dari kegelapan
di sebelah selatan candi.
“Kita diawasi,” bisik Pusparini.
“Ya. Sejak tadi. Kau tidak tahu?”
Mendengar jawaban Samresti ini, Pusparini jadi
klencutan. Ia merasa dibodohi terhadap keadaan yang
sebenarnya telah diketahui.
“Tenang saja,” saran Samresti. “Mereka cuma dela-
pan orang dan hanya begadang di kegelapan.”
Untuk kedua kalinya Pusparini dibuat mati kutu
dengan pengamatan Bidadari Pemabuk ini. Ternyata
wanita itu punya indera pengamatan lebih tajam dari
dirinya. Ataukah mereka itu anak buah Samresti sen-
diri? Pusparini jadi curiga dengan sikap-sikap teman
wanitanya ini. Tetapi untuk mendobrak teka-teki itu ia
agak bimbang. Samresti berkata dengan jujur, bisa-
bisa keadaannya jadi salah kaprah.
Tiba-tiba Samresti tegak, seolah ada sesuatu yang
sangat mengganggu.
“Mereka mulai bergerak kemari. Persiapkan dirimu,”
katanya.
Pusparini juga merasakan hal itu. Tidak lama di-
rinya bersikap waspada, tiba-tiba orang-orang yang te-
lah dicurigai kehadirannya itu muncul serentak. Nyata
sekali bahwa kemunculan mereka atas perintah dari
orang ke sembilan yang muncul dari jauh dan kini be-
lum tampil ke depan.
Delapan orang yang muncul serentak itu disambut
dengan sikap bertahan dari Pusparini dan Bidadari
Pemabuk. Baku hantam dalam kegelapan malam ter-
jadi. Api unggun yang menjadi penerangan sangat
membantu dua pendekar wanita ini untuk menyidik
pertahanan lawan. Sejak awal kemunculan delapan
lawan mereka, yang membuat kaget adalah pakaian
yang dikenakan. Mereka berpakaian serba hitam, dan
hanya mata saja yang tampak tak terlindung. Orang-
orang ini pasti sekelompok dengan orang yang telah
membunuh Ki Puluwatu di penginapan. Kalau begitu,
inilah kelompok yang menamakan diri ‘Barong Makara’
seperti tertera dalam surat ancaman yang pernah dibe-
rikan kepada Ki Puluwatu.
Beberapa belas jurus telah berlalu. Tetapi tampak-
nya delapan orang ini sangat tangguh. Begitu juga pa-
sangan Pusparini dan Samresti. Dua pendekar wanita
ini amat susah untuk ditundukkan begitu saja. Keliha-
tan sekali bahwa lawan mereka punya cara penyeran-
gan secara seragam. Artinya, jurus-jurus yang dilaku-
kan yang serentak itu mempunyai cara yang sama dan
berirama. Satu lawan empat.
Setelah disadari oleh Pusparini bahwa serangan la-
wan selalu dengan gerakan serentak, maka kunci un-
tuk menjebol pertahanan lawan bisa diketahui. Lalu
serangan dipusatkan pada satu orang sementara yang
lain hanya diberi tangkisan saja. Satu orang ini diteter
terus. Setelah kualahan, ternyata serangan mereka ti-
dak kompak lagi. Pada saat itulah Pusparini memberi-
kan gebrakan dengan menyapukan tendangan berantai
ke tiga orang lainnya, sehingga susunan kekuatan
buyar berantakan.
Kiranya taktik seperti itu dilakukan juga oleh Sa-
mresti, padahal antara keduanya tidak ada yang saling
menyontek jurus. Hal inilah yang akhirnya membuyar-
kan pertahanan pihak lawan yang berpakaian serba hi-
tam. Mereka lalu mundur serentak. Tetapi jelas mereka
belum kalah.
Entah siasat apalagi yang akan dilancarkan. Kedua
pendekar wanita ini menunggu. Dan itu tak terlalu la-
ma, sebab seseorang akhirnya muncul pula. Hanya sa-
ja pakaiannya tidak hitam. Tetapi serba merah walau-
pun dengan model yang serupa. Di dadanya ada gam-
bar ‘makara’ selebar tapak tangan berwarna kuning.
“Jadi kau pimpinan mereka?” tanya Pusparini.
“Kau... pemimpin kelompok yang menamakan diri Ba-
rong Makara yang memberi ancaman kepada Ki Pulu-
watu?”
“Kukira kau telah mengerti jawabannya. Ada berita
yang kuperoleh bahwa kau telah ikut campur dalam
urusan ini. Kemarin aku dengar ada pendekar wanita
sesumbar menyebutkan gelar kependekarannya seba-
gai Walet Emas. Kaukah itu?”
Ucapan itu membuat Samresti kaget juga. Jadi wa-
nita muda ini yang punya gelar kependekaran Walet
Emas, pikirnya. Ada semacam perasaan menggelegak
yang tiba-tiba membakar dadanya. Tetapi dicoba dita-
han setelah tahu bahwa Pusparini adalah Walet Emas.
“Ya. Akulah Walet Emas. Kalau kau ingin menda-
patkan keris tersebut, harus berhubungan dengan
aku!” jawab Pusparini dengan nada sombong.
Ini memang sengaja dilakukan untuk menggoyah-
kan nyali lawan. Biasanya kelompok yang menyembu-
nyikan jati dirinya punya pertimbangan agar tidak di-
kenal oleh masyarakat banyak, sebab keberadaannya
memang akrab dengan kehidupan sehari-hari di ka-
langan penduduk. Kesombongan yang dipamerkan di-
harapkan bisa menggoyahkan sikap mereka yang eng-
gan tampil secara terang-terangan.
“Kalau begitu, serahkan keris pusaka itu,” kata so-
sok tubuh itu.
“Cuma begitu? Bagaimana dengan Ki Puluwatu
yang telah tewas?” jawab Pusparini.
“Itu bukan kerjaku. Ada pihak lain yang ingin men-
gacaukan tugas kami,” kata orang itu.
“Aku tak percaya!” tukas Pusparini. “Kalau kau me-
rasa bahwa itu kerja pihak lain, maka kau harus bisa
membuktikan dengan menyeret pelakunya di hada-
panku. Baru kemudian aku serahkan keris itu kepa-
damu!”
“Hm! Begitu?”
“Mudah, bukan? Kau sanggup memenuhi sya-
ratku?”
“Baik! Tunggu tiga hari lagi di sini,” kata sosok tu-
buh yang dibalut samaran kain merah itu.
“Tiga hari? Lama benar,” sanggah Pusparini.
“Apa kau pikir kami menangkap kodok?”
“Hei, kau bisa melawak juga. Kuberi waktu dua ha-
ri!”
Orang itu termenung.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Dua hari lagi. Tung-
gu di sini.”
Orang itu melesat pergi diikuti anak buahnya yang
sejak tadi menyaksikan dari tempat persembunyian.
Kemudian tempat itu sepi kembali.
“Samresti! Mengapa kau mematung di situ? Menga-
pa tidak nimbrung ngomong? Mungkin orang yang
berkedok tadi adalah orang yang kau cari. Mithara!”
kata Pusparini.
“Tampaknya bukan.”
“Kau yakin?”
“Mithara tidak merahasiakan dirinya, dan tidak
berpakaian seperti itu.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari pembicaraan yang pernah kudengar di Kam-
bang Putih.”
“Orang tadi mencari pusaka yang pernah disimpan
Ki Puluwatu,” kata Pusparini menekankan persoalan.
“Katamu Mithara pun mencari pusaka leluhurnya. Bu-
kankah peristiwa itu merupakan satu mata rantai?”
“Aku tidak berkepentingan tentang keris pusaka itu.
Aku hanya ingin bertemu dengan Mithara untuk pe-
nyembuhan sakitku,” jawab Samresti.
“Jadi itu maksud ucapanmu bahwa kita punya uru-
san sama tetapi dengan kepentingan berbeda?”
“Kalau kau telah menyadari, kita masih diharuskan
menunggu di sini,” kata Samresti dengan menyelonjor-
kan untuk tidur tanpa menghiraukan Pusparini lagi.
Tanpa menghiraukan? Sepertinya tidak. Setelah ia
tahu bahwa Pusparini adalah pendekar yang punya ge-
lar Walet Emas, ada getaran perasaan yang menggele-
gak dalam dadanya. Hanya pendekar wanita Walet
Emas yang memegang Pedang Merapi Dahana. Dan
pedang itu pernah dipersengketakan oleh para lelu-
hurnya! Secara tidak langsung, dia bisa menggugah
permusuhan dengan si Walet Emas ini atas dasar
memperebutkan Pedang Merapi Dahana.
“Tetapi waktunya tidak sekarang, Pusparini. Tidak
sekarang. Aku masih perlu penyembuhan diriku. Se-
bab kalau kau kugebrak sekarang, kau telah tahu apa
kelemahan tubuhku!” pikir Samresti dengan mata yang
semakin meredup.
***
LIMA
Cahaya matahari bersinar cerah membakar bumi.
Hari masih pagi. Udara sejuk. Di sebuah mata air yang
tak jauh dari Candi Barong, Pusparini membersihkan
tubuhnya. Rupanya Samresti lebih awal mandi di sa-
na. Dalam keadaan ini Samresti punya kesempatan
untuk menyatroni perbekalan Pusparini yang dibung-
kus tergantung di pelana kudanya. Tanpa sepengeta-
huan pemiliknya, Samresti memeriksa barang-barang
Pusparini.
“Hm. Ini pasti Pedang Merapi Dahana. Dia mem-
bungkusnya rapi. Sedangkan pedang yang satu ini ru-
panya untuk senjata sampingan saja. Oh, dan ini ada
sebuah keris. Apakah ini pusaka yang diperebutkan
itu?” pikir Samresti.
Pikirannya segera memutuskan untuk mengambil
senjata tersebut. Bukan hanya Pedang Merapi Dahana,
tetapi juga keris yang berbentuk aneh. Kemudian ngeb-
las meninggalkan Candi Barong...!
Pusparini tidak menduga dengan tindakan
pengkhianatan itu. Ia masih menikmati segarnya air
pancuran. Sambil mandi tak lupa menyuarakan tem-
bang klangenannya yang syair-syairnya berisi kisah
dua asmarawan yang sedang dimabuk cinta. Lalu,
mengeringkan tubuhnya.
Baru saja hal itu dilakukan, tiba-tiba matanya me-
lihat sesosok tubuh berkelebat. Penampilannya sangat
mencurigakan seakan-akan menghindar dari pengama-
tan Pusparini. Dengan membungkus tubuhnya dengan
jarit, ia segera melesat membuntuti orang itu.
Betapa terkejut Pusparini ketika dilihatnya orang
itu kemudian nyengklak kuda miliknya yang ditam-
batkan.
“Hei!” hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-
parini.
Lalu dengan gesit segera dikejarnya maling kuda
itu. Ilmu larinya dikerahkan secara prima. Dengan
memperhitungkan untuk mencegat pada arah lain,
Pusparini segera menggenjotkan tubuhnya ke atas teb-
ing. Dari sini ia meluncur ke bawah untuk mencegat si
pencuri kudanya.
Perhitungannya benar. Dan si pencuri kuda yang
tidak menduga siasat Pusparini begitu kagetnya ketika
sesosok tubuh muncul menghadang dengan terjangan.
Kontan tubuhnya mencelat. Tetapi dengan gerak manis
orang itu berhasil mendaratkan tubuhnya di tanah
tanpa terguling.
“Belajar dulu kalau ingin jadi pencuri kuda,” seru
Pusparini dengan wajah ketus. “Ayo, majulah kalau
pagi-pagi ingin sarapan tapak tanganku.”
“Sialan! Kau benar-benar harus dikasihani!” jawab
laki-laki itu. “Aku berniat menolongmu, tahu?!”
“Apa katamu? Menolongku? Menolong apa?” sahut
Pusparini dengan sorot mata yang tajam.
Tangannya membetulkan letak jarit yang mem-
bungkus tubuhnya sekenanya. Ikatan jarit tepat pada
dadanya yang sintal itu terkesan melorot karena gera-
kan menerjang kepada laki-laki yang telah menyerang
kudanya. Laki-laki itu tersenyum melihat kerepotan
Pusparini. Pikirannya mengumbar khayal terhadap
bentuk tubuh wanita di hadapannya. Kalau bentrokan
dilangsungkan, pasti lawan wanitanya itu kedodoran
sikap, sebab ia akan dengan mudah menjambret kain
yang dikenakan.
“Periksa isi perbekalanmu!” perintah laki-laki itu
seperti seorang panglima kepada bawahannya.
“Kurang ajar kau. Berani-beraninya kau memberi
perintah seperti itu. Kau kira aku ini apamu, hah?
Kenal pun tidak,” tukas Pusparini semakin ketus.
Tetapi tiba-tiba Pusparini tertarik dengan kuda dan
perbekalannya yang tak jauh darinya. Ia segera meme-
riksa perbekalan yang menggantung di sisi kudanya,
sementara laki-laki itu mengumbar senyumnya.
“Sialan! Kau mencuri senjataku dan keris itu!” seru
Pusparini dengan siap menerkam ke arah orang yang
baru dikenalnya itu.
“Tunggu. Jangan lakukan itu. Kalau aku menye-
rangmu, yang kujadikan sasaran adalah kain penutup
tubuhmu. Kalau itu berhasil kutarik, kau akan telan-
jang bulat, sebab aku tahu hanya selembar kain itu
yang kau pakai.”
“Keparat! Apakah kau pendekar cabul? Dan di per-
guruanmu hanya diajari untuk menelanjangi wanita?!”
gertak Pusparini tanpa takut apa yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
Pikir Pusparini, dirinya masih mampu bertahan
seandainya laki-laki itu menyerang hanya untuk men-
jambret kainnya. Bukankah dalam peristiwa Siluman
Kedung Brantas ia mampu menggagalkan tangan-
tangan yang jahil yang mencoba mencolek pantatnya
dalam arena tari, dan hal itu disayembarakan?
“Ayo, cobalah jambret kainku ini!” katanya lagi.
“Tidak! Akhlakku tidak serendah itu,” jawab si laki-
laki itu. “Dan aku bukan pencuri.”
“Buktinya! Senjataku telah hilang. Kau telah mela-
rikan kuda itu. Kalau tidak kucegah, kau pasti sudah
ngeblas jauh.”
“Memang. Tetapi aku hanya ingin mengejar orang
yang mencuri senjatamu. Dia mungkin teman seperja-
lananmu sendiri.”
“Apa?” sahut Pusparini.
Kini disadari keteledorannya. Ia tidak melihat Sa-
mresti di sana. Baik orang maupun kudanya. Mengapa
Samresti pergi tanpa pamit? Benarkah Samresti telah
mengambil senjata Pedang Merapi Dahananya. Juga
keris yang dibungkus itu?
Sikap Pusparini yang tiba-tiba lunak, menarik per-
hatian laki-laki itu.
“Kau sadar apa yang telah terjadi?” kata laki-laki
itu. “Dengar. Aku baru saja sampai di candi itu ketika
seorang wanita mengambil barang-barang berupa pe-
dang yang semula dibungkus, dan sebuah bungkusan
lagi yang setelah dibuka lalu dibungkus lagi dan dipin-
dahkan ke tempat perbekalannya sendiri. Dari jauh
aku amati kerjanya itu. Karena aku keburu untuk ke
pancuran, maka langkahku kuteruskan menuju pe-
mandian. Tetapi kulihat ada kamu sedang mandi. Ke-
mudian aku balik ke tempat tambatan kuda hanya se-
kedar ingin berkenalan. Sesampai di situ, kulihat te-
man wanitamu itu telah ngeblas pergi. Aku mendapat
firasat buruk. Mungkin dugaanku terlalu pagi kalau
menuduh temanmu telah berlaku buruk terhadap ba-
rang milikmu. Lalu kuputuskan untuk mengejar dia
dengan meminjam kudamu.”
Laki-laki itu mengakhiri pengakuannya.
Pusparini masih membisu. Rasanya jadi kikuk ha-
rus berkata apa terhadap orang itu.
“Kau percaya dengan pengakuanku?”
Pusparini tidak menjawab. Kemudian menuju candi
dengan mencengklak kudanya.
Ada dua hal yang dilakukan Pusparini dengan sikap
ini. Pertama untuk menenangkan perasaannya karena
mendengar pengakuan laki-laki itu. Kedua untuk ganti
pakaian.
Ketika laki-laki itu sampai di pelataran candi, Pus-
parini telah selesai merapikan dirinya. Ia dengan sen-
gaja menanti kedatangan laki-laki itu. Ia memang ingin
berbicara.
“Kau akan memburu teman wanitamu itu?” tanya
laki-laki itu.
“Ya, setelah ini. Aku ingin tahu siapa dirimu, dan
mengapa sampai klayapan kemari.”
Laki-laki itu tersenyum. Rupanya punya pemba-
waan tenang.
“Namaku Ragapangus!”
“Ragapangus? Kk... kau adik ragil Ki Puluwatu? Be-
nar?” sahut Pusparini.
“Jadi dia pernah mengatakan perihal diriku kepa-
damu?”
Pusparini jadi bertambah ramah. Tak diduga ia bisa
bertemu dengan adik ragil almarhum Ki Puluwatu yang
katanya hidup sebagai pendekar pengembara. Bahkan
pernah sampai ke negeri Cina.
Lalu kedua orang itu jadi akrab. Ragapangus men-
ceritakan bahwa secara kebetulan saja ia kembali me-
nengok kampung halamannya. Sesampai di rumah di-
beritahu bahwa saudara sulungnya tewas terbunuh.
Lewat cerita keluarganya, ia tahu bahwa seorang pen-
dekar wanita bernama Walet Emas telah menangani
peristiwa itu. Kemudian Ragapangus mencari sisik me-
lik untuk mencari Pusparini. Akhirnya berhasil mene-
mui Pak Gumoh, saudara Wungsu. Dari orang ini Ra-
gapangus tahu bahwa Candi Barong adalah tempat
yang dituju Pusparini.
“Dan kini keris yang jadi sumber sengketa itu di
tangan Samresti, wanita yang akan kau kejar tadi,” ka-
ta Pusparini. “Termasuk senjata andalanku dicurinya
pula. Pasti ia tahu tentang senjataku. Kalau tidak, ba-
gaimana mungkin diambilnya juga?”
“Mengapa kau tidak berniat untuk mengejarnya?”
tanya Ragapangus.
“Dengan Mempertimbangkan bahwa pasti ia kemari
lagi. Dirinya punya rencana menemui tokoh bernama
Mithara untuk penyembuhan racun yang bersarang di
tubuhnya. Selama ini racun itu masih bisa ditawarkan
dengan minuman tuak. Kalau kukejar, kemungkinan
menghabiskan tenaga. Dia pasti kemari lagi karena Mi-
thara setiap bulan purnama muncul di sini.”
“Mudah-mudahan perhitunganmu tidak keliru,” ka-
ta Ragapangus.
“Lalu rencanamu?” Pusparini balik bertanya.
“Mencari pembunuh itu.”
“Tak usah repot-repot. Nanti ada orang yang men-
gantarkan pembunuh itu kemari.”
“Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?”
“Semalam aku bentrok dengan kelompok yang tahu
siapa pembunuh Ki Puluwatu. Dan aku menjanjikan
memberikan keris itu kalau si pembunuh diserahkan.”
“Bukankah keris tersebut dilarikan Samresti?”
“Ya. Itulah masalahnya sekarang.”
“Sebaiknya kita berbagi tugas,” saran Ragapangus.
“Aku akan mencari Samresti. Bagaimana?”
Pusparini membisu. Jelas tampak sedang berpikir
untuk menilai rencana Ragapangus. “Kalau begitu, kau
bisa memakai kudaku.”
“Biar aku berjalan kaki saja. Kalau perkiraanmu
benar, maka Samresti berada tidak jauh dari tempat
ini. Aku akan menyatroni dari jauh, dan menangkap-
nya.”
“Ada waktu sampai lusa malam. Pembunuh itu kata
mereka akan dibawa kemari lusa malam.”
“Akan kucoba. Doakan!” kata Ragapangus dengan
melesatkan diri meninggalkan Candi Barong.
Sepeninggal Ragapangus kesepian di sana benar-
benar dirasakan oleh Pusparini. Sampai menjelang ma-
lam nanti dia tak punya kerja apa-apa selain menung-
gu. Itupun mungkin tak ada hubungannya dengan tu-
gasnya. Malam nanti, bulan purnama, orang bernama
Mithara diduga akan muncul untuk mengadakan per-
temuan dengan orang-orang yang biasa dihubungi. Da-
ri peristiwa ini Pusparini bisa menduga bahwa ada ba-
nyak pihak yang menghendaki keris itu. Satu kelom-
pok ‘Barong Makara’ yang dipimpin tokoh berkedok
merah, dan yang lain kelompok Mithara yang punya
anak buah bernama Pasupata. Mithara juga mencari
pusaka yang konon pusaka leluhurnya. Kemudian
Pusparini mencoba mengaitkan antara ‘Barong Maka-
ra’ dengan Mithara dari negeri Atap Dunia itu. Mung-
kin mereka satu mata rantai, tetapi ada niat terselu-
bung yang satu sama lain tidak akur, alias saling me-
mentingkan keperluannya sendiri.
Akhirnya Pusparini akan mengikuti saja perkem-
bangan peristiwa yang dasarnya untuk membekuk
pembunuh Ki Puluwatu. Waktu masih setengah hari
lagi menjelang bulan purnama. Kerjanya kini hanya
menunggu. Dan itu merupakan kebosanan yang me-
nyakitkan perasaan.
***
ENAM
Malam bulan purnama!
Pusparini mempersiapkan diri menghadapi peristi-
wa yang lama ditunggu. Kudanya ditambatkan di tem-
pat persembunyian yang agak jauh agar tidak menim-
bulkan kecurigaan. Sedangkan ia sendiri bersembunyi
di tempat pada bagian candi yang memungkinkan bisa
mengintip pertemuan orang yang ditunggu.
Waktu kian merayap, dan ketika bulan tepat di
puncak langit, muncullah beberapa sosok tubuh dari
kegelapan sana. Setelah dekat, salah seorang di antara
mereka adalah Pasupata, orang Keling. Mereka men-
gambil tempat duduk yang rupanya menjadi kebiasaan
dalam pertemuan-pertemuan yang lalu. Mereka me-
nunggu. Dan beberapa saat kemudian muncul sesosok
tubuh, yang tanpa diketahui bagaimana caranya, telah
bertengger di puncak bangunan Candi Barong. Secara
kebetulan Pusparini mengawasi puncak candi ketika
sosok tubuh itu telah muncul di sana.
“Tampaknya keadaan semakin buruk, Mithara!”
sambut Pasupata ketika sosok tubuh itu muncul.
“Mithara?” pikir Pusparini. “Itukah Mithara?”
Matanya terus dipertajam untuk mengamati kea-
daan orang itu.
“Semakin buruk? Apa maksudmu?” tanya Mithara
dengan melesat turun dari puncak candi. Gerakannya
begitu lembut, bagaikan kapas jatuh.
“Seorang wanita berkemben kuning rupanya akan
menjadi kesulitan bagi kita,” jawab Pasupata.
“Ceritakan pengalamanmu.”
Sejenak Pasupata menceritakan pengalamannya.
“Hm, begitu?!” kata Mithara setelah Pasupata men-
gakhiri ceritanya. “Kalian tak akan bersusah payah
apabila ingin balas dendam terhadap wanita itu. Sebab
ia berada di dekat kita.”
Pusparini yang mendengarkan pembicaraan mereka
di tempat persembunyian, kontan merinding menden-
gar ucapan Mithara. Jadi dirinya telah diketahui? Mi-
thara tahu ia bersembunyi di situ? Pusparini masih
bertahan di persembunyiannya. Ia khawatir itu hanya
gertak sambal belaka. Bagaimana Mithara tahu dirinya
bersembunyi di situ?
“Keluarlah kau dari persembunyianmu!” terdengar
suara Mithara.
Pusparini masih membeku dalam persembunyian-
nya. Malu sekali rasanya terkecoh lawan seperti itu.
Jadi selama ini Mithara tahu ia bersembunyi di candi?
Apakah sejak siang Mithara telah menyatroni tempat
itu dan mengerti kehadiran Pusparini di tempat itu?
“Ayolah keluar. Atau aku yang akan memaksamu
keluar!” terdengar perintah Mithara lagi.
Dengan kikuk Pusparini keluar dari persembu-
nyiannya.
“Begitu lebih baik. Kita bisa omong-omong dengan
leluasa. Sikapmu menunjukkan bahwa kau menggali
permusuhan denganku. Begitukah?” kata Mithara.
“Pasupata menceritakan kisah yang salah,” tukas
Pusparini. “Bukan aku yang bikin gara-gara menan-
tang kau. Aku masuk ke warung ketika itu, memesan
sebumbung tuak, lalu beberapa orang ‘tukang kepruk’
datang nimbrung minum. Dari mulut mereka keluar
pernyataan bahwa mereka pernah dibayar Pasupata
untuk mengroyok Wungsu. Yang kulihat di sini bukan
orang-orang yang tempo hari kujumpai di warung. Ke-
lihatannya mereka orang baru, kecuali Pasupata sendi-
ri.”
“Pasupata! Bagaimana dengan pengakuan wanita
ini?” tegur Mithara setelah Pusparini mengakhiri ceri-
tanya. “Dia tidak menantangku, bukan?”
“Mm... maaf Mithara. Saya hanya mengambil ke-
simpulannya saja. Paling tidak dia akan menghalangi
kita untuk mencari keris itu,” dalih Pasupata.
“Mithara! Sebenarnya keris itu telah berada di tan-
ganku. Diberikan oleh istri Ki Puluwatu kepadaku. Aku
diharapkan mencari pembunuh suaminya,” terdengar
ucapan Pusparini menyela pembicaraan karena tak
mau lagi mendengar omongan Pasupata.
“O ya. Mana keris itu sekarang? Kalau kau serah-
kan baik-baik kepadaku, aku akan berterima kasih se-
kali. Aku punya imbalan yang memuaskan,” jawab Mi-
thara.
“Maaf. Keris itu telah dilarikan oleh pendekar Bida-
dari Pemabuk, orang yang baru kukenal. Dia telah
minggat. Tetapi punya rencana untuk bertemu dengan
kau sehubungan dengan tubuhnya yang mengidap ra-
cun.”
Mithara tersenyum. “Apa dikira aku ini tabib?”
“Dia pernah tahu apa yang kau omongkan di Kam-
bang Putih,” jawab Pusparini.
“O ya?”
“Maaf, Mithara. Tidak pantas kita mempercayai
omongan wanita itu,” tukas Pasupata si orang Keling.
Mithara termenung sejenak. Wajahnya bersih.
Orang banyak yang menganggap sebagai orang Keling,
tetapi kulitnya kuning. Sebutan orang Keling biasa di-
peruntukkan bagi orang Hindustan yang berkulit ge-
lap. Pantas saja kalau Mithara berkulit kuning, sebab
dirinya berasal dari negeri yang disebut Atap Dunia, di
Hindustan utara sana. Pakaiannya pun perpaduan an-
tara pakaian tradisional negerinya dengan pakaian
orang-orang Jawadwipa. Ia masuk ke daratan Jawad-
wipa dikenal sebagai pedagang. Memang umumnya
orang-orang asing yang datang ke Jawadwipa keba-
nyakan berstatus sebagai pedagang, yang kadangkala
punya maksud-maksud tertentu yang terselubung. Se-
perti misalnya Mithara sendiri.
“Jangan terlalu mencurigai wanita ini, Pasupata.
Aku mencium kejujuran dari kata-katanya. Seperti
halnya aku hanya bisa mengendus kehadirannya di
tempat ini lewat penciumanku,” kata Mithara dengan
nada arif.
Pasupata merasa terpojok. Sebenarnya ia ingin ba-
nyak mengambil hati terhadap Mithara. Maklum, Pa-
supata cuma bawahan saja. Dalam kesempatan ini Mi-
thara bertanya nama Pusparini, yang kemudian dija-
wab gelar kependekarannya saja.
“Walet Emas?” ulang Mithara. “Nama yang indah. Di
negeriku juga banyak burung walet. Alangkah indah-
nya seandainya burung-burung itu berbulu emas.”
“Boleh aku mengutarakan sesuatu?” kata Pusparini
yang sudah berani mengumbar gagasannya setelah ta-
hu perangai Mithara yang tidak sejahat yang diperki-
rakan. Tetapi dalam hati kecilnya Pusparini terbetik
sikap waspada. Jangan-jangan perangai manis Mithara
hanya kedok saja. Ia sudah berulang kali ketanggor pe-
ristiwa tokoh-tokoh yang awalnya dikenal manis, yang
ternyata berperangai iblis. Dan sifat iblis memang sela-
lu manis untuk menjerat korbannya.
“Katakan apa yang ingin kau utarakan,” jawab Mi-
thara.
“Tentang kelompok yang menamakan diri ‘Barong
Makara’! Mereka juga menghendaki keris itu.”
“Barong Makara? Oh, rupanya kau telah tahu ba-
nyak tentang masalah peristiwa ini. ‘Barong Makara’
adalah bayang-bayang saja.”
“Bayang-bayang?”
“Seperti halnya manusia, selalu punya bayang-
bayang. Begitu juga sifat suatu kelompok. Barong Ma-
kara adalah bayang-bayang pihakku. Hanya bedanya,
kalau manusia tak bisa dipisahkan dengan bayang-
bayangnya, maka Barong Makara bisa kusingkirkan
sewaktu-waktu atas kemauanku sendiri!”
“Apakah terbunuhnya Ki Puluwatu atas perintahmu
juga?”
“Itu tanggung jawab Barong Makara. Ini sebenarnya
suatu perlombaan untuk mendapatkan keris itu. Aku,
atau Barong Makara yang bisa memperolehnya. Ke-
lompok itu punya nama begitu karena dikaitkan den-
gan tempat ini, di mana pertama kali kami mempergu-
nakan kawasan ini untuk melacak hilangnya keris ter-
sebut.”
“Menurut kisah yang kudengar, Wungsu dan Gu-
moh menemukan kereta yang terjerumus ke dalam ju-
rang. Menurut tanda-tandanya seperti bekas diram-
pok. Wungsu menemukan sebuah keris,” kata Puspa-
rini memancing penjelasan lagi.
“Kereta itu milik Kawasa, tokoh pencuri ulung dari
Agat, salah satu tempat di Hindustan. Yang merusak
kereta itu adalah Barong Makara yang memang men-
cari keris tersebut. Tetapi rupanya Kawasa dengan rapi
menyimpan keris itu sehingga ditemukan oleh orang
bernama Wungsu. Beberapa waktu kemudian kami ta-
hu ada seorang petani menemukan keris pada kereta
yang hancur di jurang dan ditukar dengan sepasang
kerbau kepada seorang saudagar. Itulah kisah yang
kami peroleh sehingga menimbulkan peristiwa ini,” ka-
ta Mithara.
“Apakah Kawasa menjadi korban dalam musibah
itu?” tanya Pusparini.
“Kami tidak menemukan mayat Kawasa. Kemungki-
nan dia masih hidup dan bersembunyi di suatu tem-
pat,” jawab Mithara dengan mengawasi bulan yang
mulai condong ke barat.
“Aku ingin tahu siapa orang yang berkedok kain
merah seluruh badannya yang menjadi pimpinan Ba-
rong Makara itu.”
“Kau tentu tak percaya kalau kuberitahu bahwa
aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku biasa me-
manggilnya Agni!”
“Aneh. Benar-benar aneh!” sahut Pusparini. “Den-
gan sosok bayanganmu saja kau tidak kenal.”
“Dia memang begitu keadaannya. Tak seorang pun
pernah melihat wajahnya. Juga semua anak buahnya.”
Pusparini menanti ucapan Mithara lebih lanjut. Te-
tapi laki-laki itu tidak bicara lagi. Semua masih belum
tuntas diketahui oleh Pusparini. Masih banyak teka-
tekinya.
“Kalau bulan tenggelam di balik gunung itu aku
akan pergi,” kata Mithara. “Kau tetap di sini?”
“Ya. Sampai lusa malam! Agni berjanji membawa
pembunuh Ki Puluwatu kemari,” jawab Pusparini.
“Hm. Jadi telah begitu jauh kau berkenalan tokoh
merah yang bernama Agni itu?” kata Mithara. “Kau
berhasil bertemu dengannya sebelum ketemu aku. Ku-
kira aku perlu mengubah keputusanku.”
“Keputusanmu yang bagaimana?”
“Aku harus menundukkanmu!” kata Mithara den-
gan menjulurkan tangannya.
Dan tangan tersebut begitu anehnya, karena tapak
tangan Mithara muncul serat-serat bagaikan benang
sutra yang menjerat ke tubuh Pusparini. Si Walet
Emas ini terlambat menyadari. Tetapi ia berusaha be-
rontak. Semakin berontak, maka serat-serat tipis itu
semakin lebat menjerat tubuhnya. Pusparini tak bisa
berkutik lagi.
Mithara menyunggingkan senyuman.
“Kau akan diurus Pasupata,” katanya.
Mithara melesat pergi. Kemudian Pasupata dan
anak buahnya tampil mendekati Pusparini. Sepertinya
mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan terha-
dap tawanan semacam Pusparini.
“Akhirnya sampai juga pada tahap yang kuha-
rapkan,” kata Pasupata. “Kau akan tahu balasan yang
setimpal karena pernah mempecundangi aku.”
Peluh dingin Pusparini membasahi tubuhnya.
Bayangan tentang sikap yang akan dilakukan Pasupa-
ta terhadap dirinya, terbayang mengerikan. Apakah dia
akan diperkosa beramai-ramai? Yang jelas, tiba-tiba
tangan Pasupata merenggut kembennya sehingga
tanggal. Benang-benang halus tetapi liat dan kuat itu
hanya membelenggu tangan dan pinggangnya. Di ba-
wah cahaya bulan, dada Pusparini yang polos mengo-
barkan birahi mereka. Napas Pasupata berpacu.
“Bedebah kau!” jerit Pusparini ketika dengan jalang
dan kurang ajar tangan Pasupata mengelus dadanya.
Pusparini berontak. Karena dirasa kakinya masih
bisa bergerak leluasa, maka kaki itu dipergunakan un-
tuk menyerang. Langsung ditendangkan ke arah kema-
luan Pasupata. Kontan laki-laki ini meraung sambil
menebah burung kesayangannya.
Lainnya akan menyergap. Tetapi Pusparini telah
mendapat peluang untuk lolos. Dia melesat walaupun
kedua tangannya terikat lekat pada pinggangnya.
“Tangkaaapp! Telanjangi diaa!!!” raung Pasupata
dengan menahan rasa sakit.
Malam yang hening jadi hingar-bingar. Anak buah
Pasupata mencoba meringkus si Walet Emas. Tetapi
Pusparini ternyata tidak selemah yang mereka duga.
Dengan kedua kakinya ia masih cukup membahaya-
kan. Gerakannya tetap lincah. Seorang lawannya ber-
hasil kena gampar dagunya dengan sabetan kaki ki-
rinya ketika berniat menubruk. Hal ini membuat lain-
nya jadi penasaran. Justru yang begini semakin men-
gobarkan nafsu mereka. Aneh sekali memang. Sikap-
sikap Pusparini yang garang dan jalang dalam mem-
pertahankan diri semakin membangkitkan birahi.
Pada suatu kesempatan Pusparini berhasil melesat
ke atas puncak candi walaupun dalam keadaan tangan
terikat. Lima orang itu berniat memburu ke sana. Te-
tapi justru hal ini mengundang maut baginya. Tendan-
gan Pusparini menyambut tubuh mereka yang menco-
ba menguber ke atas. Sang lawan mencelat. Kepalanya
membentur arca candi, pecah.
Dalam keadaan begini sebenarnya Pusparini masih
mampu mengatasi dirinya. Yang membuat ngeri adalah
sikap-sikap lawannya. Ternyata mereka tidak berniat
membunuhnya, tetapi untuk memperkosanya. Ini yang
membuat ngeri. Masalah yang satu ini sering diala-
minya. Mengapa sasaran laki-laki berandalan selalu
tertuju kepada kesenangan satu itu?
Membayangkan tentang hal itu sekilas, nyaris seo-
rang lawannya berhasil menyergap dari belakang. Te-
tapi Pusparini berhasil mengelak sehingga tubuh la-
wan menubruk ke tempat kosong dan meluncur ke
bawah. Orang ini mampus ketika tubuhnya menghun-
jam di kepala arca yang berhias mahkota agak runcing.
Melihat anak buahnya satu per satu tewas di tan-
gan Walet Emas, Pasupata bangkit dari tempatnya
sambil menghunus pedang. Rupanya nafsu birahi itu
telah berubah menjadi nafsu membunuh. Ia melesat ke
atas candi yang menjadi pertahanan Pusparini paling
strategis dalam keadaan anggota tangannya terikat.
Sabetan pedang Pasupata nyaris membabat leher-
nya. Pusparini berkelit, dan hal ini menimbulkan piki-
ran bahwa senjata lawan bisa dimanfaatkan untuk
membebaskan diri. Lalu setiap serangan lawan diper-
gunakan agar bisa membabat ke arah jerat yang melilit
tangannya.
Berkali-kali Pusparini menggunakan kesempatan ini
tanpa disadari oleh Pasupata yang sudah mata gelap.
Pasupata baru menyadari siasat Pusparini ketika dili-
hatnya jerat itu kian mengendor, di mana dengan satu
hentakan maka serat pengikat itu putus total.
Pusparini tak menghiraukan tubuhnya yang berte-
lanjang dada. Suasana malam masih memberikan per-
lindungan bayangan sehingga sikapnya tidak begitu ri-
kuh dalam menghadapi lawan.
Pasupata makin beringas. Tetapi dengan serangan
yang ke sekian kalinya hal itu tidak membuat posi-
sinya lebih baik. Pusparini berhasil menerjang leher-
nya. Orang Keling ini sempoyongan. Sedangkan anak
buahnya yang masih tegar mencoba membantu. Den-
gan gerak lincah, Pusparini berhasil meminjam tenaga
Pasupata yang tangannya mencekal pedang. Tangan
itu ditendang sehingga pedangnya mengarah pada
anak buah yang menerjang ke depan. Tentu saja tu-
buhnya jadi santapan pedang Pasupata seperti disate
saja. Tepat menembus perut.
Pasupata semakin uring-uringan. Pedang dicabut
dan secepat kilat diserangkan ke arah lawannya. Pus-
parini yang telah memperhitungkan hal ini meliukkan
tubuh. Dengan hantaman pada lambung lawan, maka
Pasupata menggeliat ke belakang. Belum puas dengan
hal ini, kaki Pusparini menjebol selangkang lawan. Un-
tuk kedua kalinya bagian celah paha Pasupata jadi sa-
saran serangan Pusparini.
Ada suara berdetak dalam serangan itu. Dan kesa-
kitan yang selangit hanya Pasupata yang merasakan.
Sudah dipastikan ada dua butiran yang pecah dan se-
buah tongkat otot yang hancur. Itu terbukti dengan
terlihatnya darah muncrat dari bagian tubuh itu. Pa-
supata menggeliat sekarat.
Pusparini benar-benar terlihat sadisnya. Itu karena
lawan yang begitu lancang mencoba menelanjangi un-
tuk memperkosanya. Dalam keadaan sekarat kesaki-
tan Pasupata masih mencoba melawan dengan sabetan
pedang walaupun tubuhnya terkapar di lantai candi.
Pada saat yang bersamaan, seorang anak buahnya
yang masih hidup mencoba membokong Pusparini. Te-
tapi si Walet Emas ini waspada. Ia berkelit sehingga se-
rangan pembokong nyeplos ke depan. Tepat ke arah
Pasupata yang sedang mengayunkan senjatanya. Dua
serangan beradu. Dan dua tubuh saling dihunjam sen-
jata. Pasupata dan anak buahnya saling membunuh,
terjebak siasat si Walet Emas. Baku hantam berakhir.
Setelah itu Pusparini menyelonjorkan tubuhnya un-
tuk istirahat. Belum terpikir olehnya untuk membena-
hi tubuhnya yang terbuka bagian dadanya. Cahaya bu-
lan yang semakin condong ke barat masih mampu me-
nyinari bukit dadanya yang sintal nyengkir gading. Ia
benar-benar lelah. Sejenak kemudian barulah ia ban-
gun untuk mengambil kembennya yang tercecer.
Pusparini melangkah meninggalkan pelataran candi
setelah kain kembennya dikenakan menutup dadanya
kembali. Ia menuju tempat kuda yang ditambatkan se-
cara tersembunyi. Ia ingin istirahat. Untuk sementara,
lawan tak mungkin muncul lagi. Angin fajar pagi mulai
terasa. Justru saat itu rasa kantuk Pusparini kian
menggigil. Pusparini tertidur...!
***
TUJUH
Samresti yang bergelar Bidadari Pemabuk terlihat
memasuki sebuah desa di sebelah selatan kota pela-
buhan yang disebut Kambang Putih. Hampir seharian
dia memacu kudanya menghindari pengejaran sean-
dainya Pusparini alias Walet Emas itu memburu di-
rinya. Sikapnya telah jelas. Kini dia bisa dianggap mal-
ing karena telah mencuri Pedang Merapi Dahana dan
sebuah keris.
Karena merasa lelah, maka dicarinya sebuah kedai
untuk mengisi perutnya, terutama mencari tuak. Teta-
pi begitu jauh, sudah selusin kedai yang dimasuki, tak
ada sebuah pun yang menjual tuak.
“Aneh! Apakah di tempat ini ada larangan untuk
menjual tuak di kedai-kedai?” pikir Samresti.
Dia memeriksa guci tuaknya yang isinya tinggal be-
berapa teguk saja. Perasaannya jadi cemas. Tak men-
duga bahwa dia sampai tiba di suatu desa yang tidak
terdapat kedai yang menjual tuak. Dan desa itu me-
mang desa pertama kali ia masuki. Jadi tidak menghe-
rankan kalau hal-hal begini baru diketahui sekarang.
Terpikir olehnya untuk melanjutkan saja perjalanan
sampai di kota pelabuhan Kambang Putih. Tetapi un-
tuk ke sana, baru bisa dilakukan besok pagi, karena
hari telah senja. Dan perjalanan ke Kambang Putih di-
perkirakan memakan waktu setengah hari. Itu diketa-
hui dari keterangan penduduk. Baru saat itulah Sa-
mresti merasa menyesal mengapa memilih jalur mele-
wati tempat itu. Seharusnya, seperti biasanya, ia me-
lewati Desa Kuncen untuk menuju Kambang Putih.
Hanya lantaran ingin mempersingkat jarak, maka Sa-
mresti melewati Desa Gadangan ini. Tidak tahunya
malah ketanggor kesulitan seperti itu. Tak menemui
penjual tuak.
“Ada yang bisa saya tolong?” tiba-tiba ucapan ini
terdengar tak jauh dari tempatnya.
Samresti menoleh. Dirinya masih bertengger di
punggung kuda yang seakan orang kebingungan. Seo-
rang laki-laki dengan penampilan sebagai warga desa
telah menegur. Penampilannya misterius, karena wa-
jahnya tertutup topi lebar yang menelan seluruh wa-
jahnya, dan tak terlihat kalau diawasi dari atas.
“Aku mencari kedai penjual tuak,” kata Samresti.
“Penjual tuak? Di sini tidak diizinkan lagi menjual
tuak,” jawab laki-laki itu.
“Tidak diizinkan? Siapa yang melarang? Kepala
Desa?”
“Aku yang melarang!” jawab orang itu lagi.
Tanda tanya melingkar dalam benak Samresti.
“Jangan ngawur kau! Siapa sebenarnya kau, hah?!”
“Orang yang tahu penyakitmu!” jawab laki-laki itu
dengan memperbaiki letak pedangnya yang tersem-
bunyi sehingga tidak terlihat Samresti.
Samresti seperti orang terhipnotis, masih terpaku di
punggung kudanya. Ia tak menduga ada orang yang
tahu tentang penyakitnya. Selama ini hal itu hanya
pernah dikatakan kepada Walet Emas. Bagaimana
orang itu tahu apa yang diidapnya? Yang lebih menga-
nehkan, bagaimana ia bisa melarang seluruh kedai di
desa ini untuk tidak menjual tuak? Pejabat pentingkah
orang itu?
“Katakan dirimu sebenarnya!” kata Samresti dengan
nada sengol mengandung ancaman.
“Aku adalah orang yang melarang menjual tuak di
Desa Gadangan ini!”
“Perananmu dalam desa ini?!”
“Yhah, secara kebetulan kepala desa di sini masih
sanak keluargaku, dan mereka prihatin atas kematian
Ki Puluwatu!”
“Apa hubungannya denganku? Dengan... dengan
tuak yang kubutuhkan?” sela Samresti.
Hatinya mulai curiga, bahwa laki-laki bertopi lebar
ini mulai menghubungkan dengan nama Ki Puluwatu
yang diketahui masalahnya dari Walet Emas.
“Kau tentu tahu siapa Walet Emas yang bertugas
mencari pembunuh Ki Puluwatu,” kata laki-laki yang
tetap menyembunyikan wajahnya di balik topi lebar.
“Walet Emas?” sahut Samresti terperangah. Orang
ini tahu tentang penyakitnya, dan mengenal nama Wa-
let Emas. Samresti semakin heran.
“Jangan pura-pura tidak mengerti, Bidadari Pema-
buk!” kata orang itu lagi.
“Hm. Kau tahu nama gelar kependekaranku pula!
Sebut namamu sebelum aku bertindak kasar terha-
dapmu!”
“Rupanya tuak telah membuat perangaimu jadi liar.
Karena tuak, kau jadi pencuri. Akuilah itu!”
“Aku... pencuri? Pencuri apa?”
“Mana ada pencuri ngaku di jagad ini?” ejek laki-
laki itu.
Samresti keslomot api tuduhan yang sebenarnya te-
lah disadari. Tanpa buang kesempatan ia menghen-
takkan tali kekang kudanya. Maunya agar kuda yang
ditunggangi ini melonjak ke atas dan kakinya mengha-
jar laki-laki bertopi lebar itu.
Tetapi laki-laki ini waspada. Ia berkelit menghindar
sambil bergulir ke samping depan di sisi Samresti. Ka-
ki Bidadari Pemabuk ini berayun menerjang. Tetapi lu-
put. Laki-laki itu bergerak ke arah sasaran. Ia ada ren-
cana menotok jalan darah kaki kuda.
Usahanya berhasil. Kuda yang ditumpangi Samresti
menggeliat roboh. Untung Samresti cepat melompat.
Dengan gerakan ini ia menjambret topi lebar lawannya.
Kena. Kini terlihat wajah laki-laki itu dengan nyata.
Samresti memang tidak dan belum mengenalnya.
“Sebut namamu sebelum nyawamu kubetot dari
jantungmu!” ancam Samresti.
“Ragapangus, adik ragil Puluwatu yang terbunuh,
sahabat Walet Emas!” jawab laki-laki itu yang tiada
lain adalah Ragapangus.
Ia sampai di desa itu berdasar perhitungan untung-
untungan. Samresti pasti ke Kambang Putih untuk
menemui Mithara yang diduga sering muncul di sana.
Dan menuju Kambang Putih yang paling dekat dari
Candi Barong harus melewati Desa Gadangan ini. Dan
perhitungan Ragapangus benar. Kini dirinya bisa ber-
temu dengan Samresti yang ketika mengambil senjata
milik Walet Emas berhasil ia pergoki.
“Aku tak akan membiarkan omong besarmu itu
mempecundangi rencanaku,” sahut Bidadari Pemabuk
sembari unjuk ketangkasan dengan menerjang ke arah
Ragapangus.
Dua orang ini lantas terlibat baku hantam. Diawali
dengan serangan-serangan pukulan tangan. Lalu sabe-
tan kaki. Disulam lagi dengan serangan perpaduan se-
genap anggota badan yang memungkinkan bisa meng-
gojlok lawan. Tampaknya kedua orang ini seimbang.
Atau memang dalam penjajagan kekuatan ini mereka
belum mengeluarkan ilmu bela diri andalannya. Hal itu
akan terbukti pada detik selanjutnya.
Dan benarlah. Ketika Samresti merasa keteter se-
rangan lawan, ia mulai beringas. Pada suatu kesempa-
tan Samresti meneguk tuaknya dan disemburkan ke
arah Ragapangus. Laki-laki ini berhasil menangkis
dengan kebutan topinya yang berhasil disambar. Angin
kebutan itu melanda semburan tuak sehingga menjadi
serangan kilas balik. Air tuak nyiprat kembali kepada
asalnya. Kontan Samresti mengaduh, sebab semburan
tuaknya memang berisi tenaga dalamnya. Ditambah
dengan hempasan tangkisan Ragapangus yang juga
mengerahkan tenaga dalam, maka serangan itu jadi
berlipat ganda.
Ragapangus tidak menyia-nyiakan keadaan ini. Se-
rangan berikutnya dilancarkan dengan menendang ke
arah perut lawan. Dalam keadaan tidak siap, serangan
ini bisa membuat napas tersengal. Bahkan mungkin
kehilangan daya untuk mengatur pernapasan guna
mengadakan pertahanan apabila lawan mengadakan
serangan ganda.
Semua telah diperhitungkan Ragapangus dengan
tepat, sehingga serangan berikutnya ia berhasil me-
ringkus Samresti. Kedua tangan Bidadari Pemabuk ini
berhasil dikunci ke belakang tubuh, sedangkan tangan
Ragapangus yang lain siap mencomplong mata wanita
itu seandainya berontak melepaskan diri.
Samresti sadar dengan ancaman ini.
“Pedang yang kau curi dan keris itu, harus kau se-
rahkan padaku,” kata Ragapangus. “Atau tanpa keke-
rasan pun kau akan kuikat, sampai kau membutuh-
kan tuak untuk menyelamatkan tubuhmu. Dan kau
akan mati keracunan.”
Rasanya ancaman itu sangat berarti bagi keselama-
tannya. Samresti tak punya pilihan lain.
“Baik...! Aku menyerah! Berjanjilah, bahwa kau
akan memberi tuak kepadaku setelah pedang dan keris
itu kuserahkan,” katanya.
“Hm. Akhirnya kau bisa jinak juga. Aku menyimpan
tuak di rumah kosong itu,” kata Ragapangus.
Dalam keadaan tersandera, Samresti digiring ke da-
lam rumah kosong. Kudanya yang lumpuh karena ke-
na totokan jalan darah tetap terkapar tak jauh dari
bangunan itu. Sesampai di dalam, tubuh Samresti di-
dorong ke muka yang sebelumnya telah ditotok jalan
darah kakinya agar tidak bisa meloloskan diri.
“Kau tidak mempercayaiku?!” kata Samresti dengan
nada kesal.
“Cuma kewaspadaan saja. Ngasolah di sini dulu.
Aku akan mengambil pedang dan keris di kudamu,”
kata Ragapangus sambil meninggalkan Samresti yang
tak berdaya.
Seperginya Ragapangus, Samresti mengawasi den-
gan teliti keadaan ruangan rumah kosong itu. Di se-
buah sudut terdapat segentong tuak. Samresti bisa
memastikan karena baunya mengambar dalam ruan-
gan. Dengan kaki terseret ia mencoba mendekati gen-
tong itu. Kemudian dengan mencoba menggapai tutup
gentong, tubuhnya diusahakan untuk bisa tegak.
“Sialan, tangan ini pun dilumpuhkan oleh Ragapan-
gus,” gerutu Samresti.
Karena usaha ini sulit dilakukan, maka tubuhnya
roboh melanda gentong. Tentu saja benda itu terguling
dan isinya tumpah. Sekujur tubuh Samresti terguyur
tuak. Karena hausnya, maka dengan rakus ia melahap
tuak yang tercurah ke lantai.
“Hm. Ternyata kau tidak sabaran,” terdengar tegu-
ran yang ternyata Ragapangus telah masuk kembali
dengan membawa Pedang Merapi Dahana dan sebuah
keris. Semua tetap dalam keadaan terbungkus.
Samresti tak menghiraukan teguran itu. Ia terus
meneguk tuak yang tumpah pada genangan yang ter-
dapat dalam pecahan gentong. Ia butuh minuman itu
untuk memulihkan tenaganya. Setelah puas, barulah
beringsut menjauhi tempat yang basah. Tetapi tak
urung tubuhnya telah basah kuyup. Ragapangus he-
ran melihat wanita itu tidak mabuk setelah minum
tuak sebanyak itu. Orang bisa teler. Tetapi Samresti ti-
dak.
“Aku perlu ganti pakaian,” kata Samresti. “Aku per-
lu mandi juga.”
Ragapangus masih tegak, tidak menyahut menang-
gapi ucapan Samresti.
“Hei! Kau dengar apa yang kukatakan? Aku ingin
mandi dan ganti pakaian. Tuak ini akan mendatang-
kan semut!” kata Samresti lagi. Matanya menyorot ta-
jam. Matanya pun tidak merah seperti halnya orang
yang baru minum tuak. Bidadari Pemabuk benar-
benar tidak mabuk!
“Aku yang akan memandikan kau!” kata Ragapan-
gus dengan bergerak mendekati.
“Hei, jangan gila kau!” cegah Samresti.
Bidadari Pemabuk ini berusaha berontak ketika Ra-
gapangus membopongnya.
“Kau... jahanam keparat! Lepaskan aku.”
“Katanya kau perlu mandi?” jawab Ragapangus
tanpa mempedulikan Samresti yang berontak dalam
bopongannya.
Ya, hanya berontak dengan tenaga terbatas, sebab
tangan dan kakinya telah ditotok sehingga bagian tu-
buh itu lumpuh total.
Ragapangus membawanya ke tempat mandi di bela-
kang rumah itu. Walaupun hari semakin gelap ia tak
peduli. Maunya tubuh wanita itu harus diceburkan ke
dalam kolam mandi yang cukup lebar. Airnya tetap
mengalir yang didapat dari pancuran buatan.
Tetapi karena tempat itu rupanya tidak terurus, se-
sampai di tepi kolam kaki Ragapangus terpeleset. Kon-
tan tubuhnya terjerumus ke dalam kolam bersama tu-
buh Samresti yang tetap dalam bopongannya.
Kolam itu hanya sedalam sampai di dada. Walau-
pun begitu, hal itu tidak menguntungkan bagi Samres-
ti. Dia bisa tenggelam karena kakinya lumpuh. Terpak-
sa Ragapangus menjaganya tetap dalam bopongan.
“Gila! Aku tak sudi mandi dengan kau!!!” seru Bida-
dari Pemabuk.
“Aku tadi terpeleset! Siapa yang mau mandi den-
ganmu, hai wanita peminum tuak?!” ejek Ragapangus.
Samresti berontak. Ragapangus melepaskan bopon-
gannya. Maka akibatnya tubuh wanita itu tenggelam
ke dalam kolam. Ia gelagapan. Untuk sesaat Ragapan-
gus membiarkannya. Kemudian diangkat setelah kea-
daan semakin payah.
“Kk... kau... hhh, akan... mem... bunuhku dengan
cara ini?” terdengar suara Samresti yang kemudian
disusul suara batuk-batuk kesengalan. “Bunuh aku!
Bunuuh!!!” Samresti berontak lagi walaupun kaki dan
tangannya tak bisa bergerak. Yang bergoyang keras
hanya tubuhnya saja.
Ragapangus tetap mempertahankan bopongannya.
Dan tubuh yang saling bersentuhan dengan keras itu
menimbulkan perasaan-perasaan aneh. Apalagi kem-
ben Samresti yang kian melorot karena tingkah-
polahnya sendiri. Dadanya mulai menyibak. Ini sangat
tidak disadari. Yang sadar hanya Ragapangus, sebab
dada yang kian lepas dari lindungan kain bersentuhan
dengan bidang dadanya sendiri.
Sentuhan keras dua kulit yang tersibak tanpa pem-
batas itu akhirnya berubah menjadi sentuhan lembut.
Sangat lembut, ketika keduanya sadar bahwa hal itu
semakin melenakan diri masing-masing. Lalu dua ma-
ta saling memandang dengan detak perasaan yang
kian berdebar. Ada semacam hasrat yang ragu ingin
dilakukan. Masing-masing enggan untuk mendahului.
Lebih-lebih di pihak Samresti. Bidadari Pemabuk ini
begitu pasrah dalam bopongan Ragapangus. Ketenan-
gannya mengundang keberanian laki-laki yang mem-
bopongnya. Dalam air yang dingin itu, tubuh mereka
terasa panas. Itu karena bakaran api birahi yang me-
nyala.
Kemudian ada tindakan Ragapangus di luar du-
gaan. Tangan dan kaki Samresti dilepas totokan jalan
darahnya sehingga pulih kembali. Lalu wanita itu dile-
pas dari bopongannya. Samresti pulih kembali, dan ki-
ni bisa tegak di kolam.
“Sekarang kau bisa mandi sesukamu,” kata Raga-
pangus dengan beranjak untuk keluar dari dalam ko-
lam.
Samresti masih mematung di tempatnya. Dia tak
menyangka dengan ucapan yang barusan terdengar.
Dia tidak mempedulikan air kolam yang dingin mem-
belenggu sebagian tubuhnya dari kaki sampai sebatas
dada. Ia juga tidak mempedulikan bahwa kain kem-
bennya telah lepas sehingga dadanya terbuka menan-
tang. Keremangan di sana sangat mengundang suasa-
na romantis.
“Ragapangus,” terdengar suara Samresti lirih. Tetapi
suasana hening di sana membuat panggilan itu ter-
dengar nyata.
Ragapangus menoleh. Matanya tertuju ke arah wa-
nita yang bergelar Bidadari Pemabuk itu. Keheningan
mencekam. Dua pasang mata saling bertatapan me-
mendam gelora perasaan yang kian menggelegak.
“Tuak yang tadi menempel di punggungku pasti su-
lit untuk dibersihkan,” kata Samresti. “Kau bisa meno-
long menggosokkan?”
Tak ada jawaban dari Ragapangus. Tetapi laki-laki
ini dengan pelan melangkah maju. Sesaat kemudian
tubuhnya telah terendam air.
Kini dua insan saling berhadapan. Kalau ada gera-
kan, itu karena tangan Samresti memegang tangan
Ragapangus yang sejak menceburkan diri dalam kolam
tidak bertindak apa-apa. Lalu tangan itu ditariknya.
Ditempelkan ke bukit dadanya.
Ragapangus sebagai seorang pendekar pengembara
memang bukan bocah lagi. Bahkan sangat dewasa da-
lam kancah malang-melintangnya kehidupan. Asam
garam pengalaman hidupnya bisa disebut sebagai laki-
laki yang tidak ‘bersih’ lagi.
Begitu pula si Bidadari Pemabuk ini. Ia sebenarnya
telah terjerumus ke dalam lumpur noda sejak masa
gadisnya direnggut oleh pamannya sendiri. Ternyata
sang paman tak bertanggung jawab. Tetapi gadis mana
yang bisa menolak seorang paman yang tampan ketika
kesempatan berdua terjalin karena bujukan sang iblis?
Sejak itu Samresti minggat dari rumah dengan rasa
putus asa. Namanya mungkin akan menjadi kenangan
kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar tua ketika
mencoba bunuh diri ke dalam jurang. Ia digembleng
oleh pendekar tua itu menjadi seorang pendekar wani-
ta.
Kini ia berhadapan dengan seorang lelaki lagi.
“Apa yang kau harapkan?” terdengar suara Raga-
pangus lirih.
“Menggosok punggungku,” jawab Samresti.
“Tetapi ini bukan punggung.”
“Kau bisa mengawali dari sini.”
Ragapangus terdiam. Tetapi jari-jari tangannya ti-
dak diam lagi. Dan itu adalah awal pendobrakan dind-
ing pembatas yang sejak tadi membentang...!
***
DELAPAN
Saat yang ditunggu Pusparini tiba, walaupun per-
temuannya dengan kelompok Barong Makara mungkin
terjadi pada malam harinya. Tetapi perasaannya was-
was juga ketika teringat akan sarana yang harus dibe-
rikan kepada kelompok itu kalau seandainya pembu-
nuh Ki Puluwatu bisa diseret ke hadapannya. Kecema-
sannya terletak pada keris yang seharusnya diberikan
kepada kelompok itu yang saat ini telah raib dari tan-
gannya karena ulah Samresti alias Bidadari Pemabuk.
Mayat-mayat masih bergelimpangan di pelataran
Candi Barong. Lalat-lalat beterbangan mengerumuni
tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi. Hal itu pasti
akan mengundang perhatian kalau kelompok Barong
Makara tiba.
Dugaan bahwa kelompok itu akan tiba pada malam
harinya, ternyata meleset. Mereka telah muncul ketika
matahari mulai condong ke barat. Agni, tokoh berke-
dok merah itu tampil dengan cara mengejutkan. Ia
muncul dengan diawali ledakan asap.
“Selamat datang, Agni!” sambut Pusparini.
Tentu saja sebutan nama itu sangat mengejutkan
bagi sosok tubuh yang berkedok merah. Tujuh orang
anak buahnya tetap mengenakan cadar hitam sekujur
tubuhnya.
“Di mana si pembunuh itu? Menurut saksi mata,
dia berkedok hitam sekujur tubuhnya. Apakah dia sa-
lah seorang di antara orang-orang itu?” kata Pusparini
mencoba menguasai suasana.
Ia menduga, kalau sampai si Agni tahu bahwa keris
itu tidak ada pada dirinya, ini berarti kesulitan harus
dihadapi.
“Tunggu dulu, Walet Emas! Aku selama ini tak per-
nah menyebutkan nama kepadamu. Mengapa kau
panggil aku Agni? Siapa yang memberitahumu? Apa-
kah Mithara telah bertemu dengan kau? Sebab hanya
dirinya yang mengerti panggilan itu!” kata orang ber-
kedok merah yang bernama Agni.
“Ya! Mithara yang mengatakan padaku. Kau lihat
mayat-mayat yang bergelimpangan itu? Bukankah di
antaranya kau kenal? Atau tidak?” kata Pusparini lagi
untuk membelokkan percakapan agar tidak menjurus
kepada si pembunuh yang dikehendaki.
Sebenarnya si Agni sudah menduga ketika melihat
mayat-mayat yang bergelimpangan yang di antaranya
terdapat Pasupata, orang kepercayaan Mithara, bahwa
sekutunya yang dianggap api dalam sekam, telah hadir
di sana.
Tiba-tiba Agni tertawa. Walaupun mulutnya tertu-
tup cadar, suara itu keras terdengar.
“Jadi kau telah membinasakan anak buahnya?” ka-
tanya. “Jadi kau telah bermusuhan dengannya?”
“Mungkin dia pikir sekarang aku telah mati,” jawab
Pusparini.
“Apakah itu berarti Mithara pergi sebelum anak
buahnya berhasil kau tumpas?”
“Aku tidak gentar berhadapan dengan siapa pun.
Aku begitu benci kalau ada orang yang akan merusak
diriku.”
“Itu memang kedoyanan Pasupata.”
“Lalu bagaimana dengan janjimu? Mana si pembu-
nuh itu?” Pusparini nekad bertanya.
“Maaf, secara jujur kuakui, kami sulit menemukan-
nya. Rupanya sejak membunuh saudagar itu, ia me-
nyembunyikan diri,” jawab Agni.
Pusparini tersenyum mengejek, seolah melempar-
kan hinaan terhadap kerja yang tak becus, padahal
hatinya was-was kalau pembunuh itu ternyata berhasil
diseret ke hadapannya, dirinya benar-benar mati kutu.
“Kalau begitu perjanjian kita batal,” dalih Pusparini.
“Kau menganggap begitu juga boleh. Selama ini ka-
mi berusaha berbuat jujur. Perlu kau ketahui, bahwa
keris itu tak akan berguna bagi orang lain. Hanya ka-
mi, orang-orang dari Atap Dunia yang mengerti kegu-
naannya. Mengapa kau akan mempertahankannya?
Tidakkah bisa kita runding berdasar imbalan yang kau
minta umpamanya?” kata Agni nada jujur.
“Aku telah berjanji untuk membawa pembunuh itu
ke hadapan istri almarhum Ki Puluwatu,” jawab Pus-
parini. “Imbalannya telah kukatakan padamu. Bawalah
pembunuh ke hadapanku. Jadi bukan ‘emas picis raja
brana’!”
“Rupanya percuma kita berdebat. Selama ini aku
berusaha jujur. Tetapi kalau terpaksa bertindak den-
gan cara kekerasan, sebenarnya bukan kemauanku.”
“Jadi kau akan merampas dari tanganku?”
“Maaf. Terpaksa,” kata Agni sambil memberi isyarat
kepada anak buahnya.
“Tunggu!” tiba-tiba Pusparini mencegah.
“Ada apa? Kau berubah pikiran?”
“Keadaannya telah berubah. Ketika aku kemari, ke-
ris itu telah dicuri oleh teman seperjalananku,” kata
Pusparini dengan mengawasi orang-orang bercadar hi-
tam yang mulai bergerak mengepungnya.
“Bicara apa kau ini?”
“Keris itu sudah tidak berada di tanganku lagi. Seo-
rang pendekar wanita bergelar Bidadari pemabuk, ia
mengambilnya ketika aku sedang mandi. Juga senjata
andalanku!”
Agni memberi isyarat lagi. Orang-orang berpakaian
serba hitam itu menghentikan langkahnya. Sementara
Pusparini sendiri telah siap siaga seandainya usaha
pencegahannya gagal.
“Bidadari Pemabuk?” terdengar ucapan Agni.
“Ya. Bidadari Pemabuk. Nama aslinya Samresti!”
“Apakah hal itu bisa kupercaya?”
“Kita bisa memburunya bersama-sama. Harap kau
ketahui, seorang temanku saat ini sedang mengejar-
nya. Itu sebabnya aku menunggu di sini.”
Agni termenung.
“Aku bisa percaya omonganmu,” katanya. “Tetapi
untuk bergerak bersama, tak mungkin. Kau bukan go-
longanku!”
“Bukan golonganmu?”
“Suatu saat kau akan mengerti mengapa kami ber-
cadar dengan ketat semacam ini.”
“Apakah... orang-orang Atap Dunia lain dengan
orang-orang Jawadwipa?”
“Kau tak akan mengerti apabila kujelaskan. Seka-
rang tunjukkan denah tempat yang biasa dituju oleh...
Bidadari Pemabuk itu!”
“Dia pasti ke Kambang Putih. Kota pelabuhan di
pantai utara sana!”
***
Agni dan orang-orangnya melesat pergi. Gerakannya
memang tidak ada ubahnya seperti para pendekar ka-
lau bergerak pergi. Tetapi gerak itu lebih cepat. Atau
boleh dikata seperti ditelan angin saja. Blas..., tak ter-
lihat lagi! Kalau itu merupakan ilmu kanuragan, Pus-
parini tak habis pikir, ilmu kanuragan macam apa
yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengaku
dari negeri Atap Dunia itu.
Tengah berpikir sendirian, mendadak dikejutkan
oleh munculnya sosok tubuh lain yang muncul dari
arah sisi candi. Rupanya kedatangannya mengambil
jalan trabasan dari puncak tebing.
“Ragapangus!” seru Pusparini dengan beranjak
menjemput kedatangan laki-laki itu. “Bagaimana ha-
silnya? Rasanya berbulan-bulan menunggu kemuncu-
lanmu.”
Ragapangus muncul sendirian. Perangainya tampak
loyo dan lesu.
“Kau... tak berhasil menemukan Samresti!?”
“Ketemu!”
“Mana dia?”
“Dia benar-benar wanita iblis!”
“Wanita iblis? Maksudmu... ia memiliki ilmu kanu-
ragan pemberian iblis?”
“Wataknya.”
“Hei! Kau cerita hanya sepotong-sepotong. Berceri-
talah apa yang telah menimpamu.”
Ragapangus yang muncul sendirian itu kemudian
menceritakan peristiwa yang dialami. Tanpa tedeng al-
ing-aling, blak-blakan saja. Ketika sampai pada bagian
mandi bersama, Pusparini berdehem agar cerita yang
macam begituan tidak dibeberkan secara rinci.
“Maaf! Tetapi karena peristiwa itu aku jadi sadar
bahwa aku telah terjerat rayuan Bidadari Pemabuk
berhati iblis!”
“Dan ia meloloskan diri ketika kau terlena?”
Ragapangus mengangguk lesu. “Pedang Merapi Da-
hanamu masih di tangannya. Tetapi keris itu berhasil
kutahan karena pada waktu itu kuletakkan agak ter-
sembunyi. Rupanya dia pergi terburu-buru.”
Pusparini mengambil alih keris yang menjadi sumb-
er sengketa dari tangan Ragapangus.
“Jadi kau dijebak dengan rayuan? Penyakit kelema-
han macam itu bisa-bisanya tak kau sadari? Kurang
pengalaman?”
“Justru kebanyakan pengalaman!” jawab Ragapan-
gus menyentil rasa gurauan. “Tetapi yang seperti Sa-
mresti baru kali ini.”
Pusparini melengos dan mangkel. Tetapi apa boleh
buat. Untuk sejenak matanya mengamati keris di tan-
gannya. Baru kali ini ia merasa perlu meneliti senjata
yang menjadi persengketaan. Sebenarnya tak ada
keunggulan apa-apa. Baik bentuk maupun tata nilai
seni perkerisan. Apanya yang istimewa? Apakah keris
itu berasal dari negeri Atap Dunia?
“Apakah kau sependapat denganku bahwa keris ini
sebenarnya tidak terlalu istimewa?” tanya Pusparini.
“Ya!” jawab Ragapangus. Sikapnya masih terbeleng-
gu rasa sesal karena peristiwa mandi bersama Samres-
ti ternyata merupakan perangkap baginya. Ia hampir-
hampir tak percaya. Begitu pasrahnya Samresti mem-
biarkan tubuhnya digelut penuh nafsu. Bahkan di sini
Ragapangus menilai bahwa Samresti punya banyak ke-
lebihan dalam menghadapi laki-laki. Ia begitu ganas
dan rasanya tak pernah terpuasi. Akhirnya Ragapan-
gus sendiri yang terkapar. Ini benar-benar jebakan dari
Bidadari Pemabuk.
“Dia benar-benar bidadari yang memabukkan lelaki.
Tetapi bagiku cukup sampai di situ. Ketemu lagi, dia
bakal minta ampun padaku!” gerutu Ragapangus.
“Hei, kalau sudah begini kau nggrundel seperti bo-
cah kepleset kulit pisang. Seharusnya kau waspada se-
jak awal!”
Ragapangus membaringkan diri. Rupanya ia sangat
kelelahan. Dalam keadaan ini Pusparini tekun meneliti
keris tersebut. Dari hulu yang terbuat dari gading, ke-
mudian diteliti bagian sambungan yang disebut ‘ganja’
yang ada bentuk ‘eri pandhan’, ‘thingil’, ‘rondha’, pada
ekornya. Banyak istilah perihal keris yang dipahami
oleh Pusparini, seperti ‘elis’, ‘kruwingan’, ‘gusen’, dan
lain sebagainya. Yang terakhir ini bagian dari ‘wi-
lah’nya.
“Hm. Apa yang istimewa dari keris ini?!” pikirnya.
Tengah berpikir seperti itu mendadak tangannya
memutar hulu keris. Ganja, bagian yang terletak di
pangkal keris, bergeser! Hal ini membuat tangan Pus-
parini semakin usil. Bagian keris itu diputar berkali-
kali yang akhirnya hulu keris terlepas. Hulu tangkai
keris yang terbuat dari gading itu berongga. Dan rong-
ga itu tersumpal gulungan seperti kain sutra. Ketika
dikeluarkan, memang kain sutra yang bertuliskan hu-
ruf-huruf yang tak dikenal oleh Pusparini.
“Hei?! Kau apakan keris itu?” tanya Ragapangus ke-
tika rasa penatnya semakin pudar.
“Inilah rahasianya mengapa keris ini jadi sengketa.
Ada rahasianya di hulu keris. Lihat apa yang kutemu-
kan di sini.”
Lembaran kain sutra tipis yang dibeber itu ternyata
selebar seluas tapak tangan. Dan di sana tertera tuli-
san dengan huruf yang sangat asing.
“Astaga. Kau benar,” sahut Ragapangus serentak
melihat lembaran kain sutera itu.
“Hurufnya lembut sekali,” sambut Pusparini. “Kau
bisa membacanya?”
Ragapangus menggeleng.
“Aku punya rencana,” kata Pusparini kemudian.
“Kita ke Kambang Putih, sebab di sana akan jadi tem-
pat pertemuan orang-orang yang menghendaki keris
ini.”
“Bagaimana kau tahu hal itu?” tanya Ragapangus.
“Pertama, di sana dipastikan tempat mangkal Mi-
thara. Kedua, aku telah mengatakan kepada Agni,
orang yang bercadar merah, bahwa pencuri pusaka da-
ri tanganku yang bernama Bidadari Pemabuk, pasti ke
Kambang Putih untuk mencari Mithara guna penyem-
buhan racun yang mendekam dalam tubuhnya.”
“Hm. Kalau begitu kita tak usah membuang waktu.
Sebaiknya kita ke Kambang Putih.”
“Tetapi... hanya ada seekor kuda.”
“Aku membawa kuda. Kutambatkan di kelok jalan
sana. Kuda pinjaman dari Kepala Desa Gadangan yang
masih famili sendiri.”
Keduanya lalu berkemas meninggalkan Candi Barong.
Lalu berangkat menuju Kambang Putih.
***
SEMBILAN
Kambang Putih, sebuah kota pelabuhan yang kelak
kemudian bernama Tuban, tampak ramai. Bukan saja
kapal-kapal yang berlabuh di sana, tetapi padatnya
manusia hilir mudik yang selalu memenuhi jalanan se-
tiap harinya. Di sana banyak orang mengadu nasibnya,
mencari dengan berbagai cara. Ada yang halal, ada
yang tidak. Bahkan ada yang terselubung dengan
maksud tertentu yang alasannya dia sendiri yang tahu.
Kota itu di bawah wilayah Kerajaan Medang. Karena
timbul ketegangan dengan kerajaan Sriwijaya, maka
para pendatang asing sangat diawasi dengan ketat.
“Apa kataku? Pasti ia berada di sini. Lihat itu!” kata
Pusparini sesampai di Kambang Putih dan menelusuri
keramaian pelabuhan.
“Siapa yang kau maksud?” tanya Ragapangus.
“Mithara!”
Di suatu tempat, terlihat sebuah tenda yang banyak
dikerumuni banyak orang. Tertera tulisan di sana. ‘Mi-
thara, tabib negeri Atap Dunia’. Tulisan itu sendiri su-
dah merupakan daya tarik. Lebih-lebih nama negeri
asalnya: Atap Dunia! Orang menghubungkan dengan
hal-hal yang magis. Kebanyakan yang hadir di sana
memang mencari kesembuhan. Kalau berbicara hal
itu, tampaknya manusia getol sekali untuk bisa sehat
terus. Tak mempan penyakit. Tetapi kadang manusia
lupa, bahwa penyakit itu bisa datang karena perbua-
tan karma. Jadi bukan karena sarana hidup yang ku-
rang memadai. Buktinya, di sana tampak menunggu
giliran para orang kaya dan pejabat. Bukankah untuk
hidup sehat mereka itu bisa terlaksana? Mengapa bisa
sakit? Nah, hal itu mungkin ada hukum karmanya.
Siapa tahu dalam memperoleh kekayaan itu mereka
bertindak tidak jujur? Ada juga yang kerjanya mem-
bungakan uang dengan nilai tinggi alias lintah darat.
Uang melimpah. Tetapi boleh dikata setiap minggu apel
mencari kesembuhan di berbagai tempat.
Tengah Pusparini menyaksikan orang-orang yang
berjubel di sana, tiba-tiba melintas Samresti di antara
orang-orang itu.
“Lihat di pojok tiang itu. Samresti!” kata Pusparini
kepada Ragapangus.
“Dia bisa kabur kalau melihatku atau melihatmu,”
jawab laki-laki yang pernah terkecoh rayuan Samresti.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Orang hiruk-
pikuk karena ada copet. Seseorang telah kena copet. Si
pencopet berusaha melarikan diri dan membaur di
tengah orang-orang yang lalu-lalang di sana. Pusparini
berhasil mengawasi pencopet itu. Ini yang membuat
dia turun tangan. Dia kejar orang itu. Dengan sekali
gebrak, si pencopet ndlosor ke tanah tak berkutik.
Orang-orang segera mengerumuni pencopet yang ba-
rang buktinya masih di tangan. Si pemilik barang da-
tang dan mengucapkan terima kasih kepada Pusparini.
Justru tindakan tersebut telah mengundang perhatian
Samresti alias Bidadari Pemabuk. Melihat Pusparini
berada di sana, kontan ia mencoba menyembunyikan
diri. Tetapi Ragapangus telah melihat kelebatnya.
“Kita ketemu lagi, Bidadari,” tegur Ragapangus.
Samresti njenggirat kaget. Secepat itu pula gerakan
tangannya mengayun ke arah Ragapangus yang hen-
dak meringkusnya. Laki-laki yang pernah dikecohnya
ini menangkis. Ternyata gerak itu mengawali baku
hantam. Orang-orang yang berada di dekat sana sem-
burat menyingkirkan diri. Dekat-dekat dari pendekar
yang baku hantam bisa berabe.
“Kau tak akan lepas dari tanganku kali ini, Bidada-
ri!” ejek Ragapangus yang bertindak serius menghada-
pi lawan perempuannya.
Pusparini segera mengetahui peristiwa ini. Ia menu-
ju ke tempat baku hantam.
“Kalian akan mengroyokku?” seru Samresti ketika
melihat kemunculan Pusparini.
“Untuk seorang maling tak perlu dikroyok. Orang
yang kerjanya maling sifatnya selalu pengecut. Men-
gambil milik orang lain selagi pemiliknya lengah, apa
itu bukan tindakan pengecut?” ejek Pusparini.
Tiba-tiba Samresti mencabut Pedang Merapi Daha-
na.
Sshhrriiingg!!!
Pedang itu memancarkan bias warna merah karena
ditimpa cahaya matahari. Orang-orang yang melihat
kejadian itu terperangah kagum dan heran.
“Pedang ini pernah dipersengketakan leluhurku ju-
ga, Walet Emas. Dan aku akan melanjutkan hasrat pa-
ra leluhur itu yang belum pernah kesampaian. Kini
senjata ini telah jatuh ke tanganku. Ayo, majulah, ka-
lau kau benar-benar singa betina!” sumbar Samresti.
“Aku bukan singa betina, tetapi Walet Emas!” berka-
ta begitu Pusparini menggenjotkan tubuh, langsung
meliuk ke atas bagaikan burung walet. “Minggir, Raga-
pangus. Biar kuhadapi Bidadari Pemabuk ini!”
Ragapangus menyingkir untuk memberi kesempa-
tan kepada Pusparini. Gadis itu juga punya hak untuk
menangani Bidadari Pemabuk. Sedangkan Ragapangus
hanya ingin melampiaskan dendam saja, karena terke-
coh rayuan di kolam mandi.
Seruan Pusparini dengan menyebut nama Bidadari
Pemabuk, membuat orang-orang tahu siapa nama dua
pendekar wanita itu. Juga gelar Walet Emas. Mereka
terkagum dengan sepak terjang dua wanita yang se-
dang baku hantam.
Keributan di sana tentu saja mengundang perhatian
banyak orang. Termasuk Mithara, yang saat itu sedang
menyembuhkan pasiennya di dalam tenda.
“Ada apa ribut-ribut di luar?” tanya Mithara kepada
seorang pembantunya.
“Dua orang sedang baku hantam. Orang-orang me-
nyebut Walet Emas dengan Bidadari Pemabuk sedang
bentrokan di sana.”
Penjelasan itu membuat Mithara terhenyak.
“Dia masih hidup? Kalau begitu Pasupata bisa dika-
lahkan. Dan yang satu... Bidadari Pemabuk? Orang
yang mencuri keris tersebut dari tangan Walet Emas,”
pikirnya.
Mithara tersenyum dengan melangkah keluar sete-
lah pasien yang ditangani selesai diobati. Kemudian
kerja penyembuhan itu ditutup untuk hari itu.
Di sana, tepat di pinggiran pesisir, baku hantam an-
tara Pusparini dengan Samresti berlangsung dengan
seru. Menghadapi Pedang Merapi Dahana yang bisa
menghancurkan senjata lain, memang sulit untuk di-
tanggulangi. Memang ada senjata tertentu yang sang-
gup bertahan, tetapi pada saat itu rupanya tidak ada
sebilah pun yang bisa bertahan. Apalagi kalau sinar
matahari dengan gencar-gencarnya memancar me-
manggang bumi.
“Ayo! Jangan jumpalitan saja menghindari pedang
ini,” seru Samresti sambil terus menghajar Pusparini
dengan sabetan Pedang Merapi Dahana.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh hantaman pedang
itu cukup parah. Banyak perahu nelayan yang dida-
ratkan di atas pasir, hancur oleh sabetan Pedang Me-
rapi Dahana.
“Pusparini! Coba dengan keris ini!” seru Ragapan-
gus sambil melempar keris pusaka yang jadi sumber
sengketa orang-orang dari negeri Atap Dunia.
Keris tersebut berhasil ditangkap dengan trenggi-
nas. Pusparini ragu-ragu apakah keris itu mampu ber-
tahan terhadap gempuran Pedang Merapi Dahana.
Maka dengan nekad, ia menghadang gempuran Sa-
mresti dengan keris tersebut.
Claangg!!!
Dua buah senjata beradu! Dan keris itu tidak hancur!
Menurut Ki Suswara, guru Pusparini, memang ada
logam tertentu yang bisa bertahan terhadap gempuran
Pedang Merapi Dahana. Dan Pusparini memang telah
beberapa kali membuktikan sebelum peristiwa ini.
Melihat hal ini Samresti heran. Bagaimana mungkin
ada senjata yang bisa bertahan terhadap Pedang Me-
rapi Dahana? Ia memang awam terhadap rahasia pe-
dang tersebut. Tahunya hanya keampuhannya saja.
Bahkan ia tidak tahu kalau Pedang Merapi Dahana
yang dipegangnya itu hanya ampuh kalau ditimpa ca-
haya matahari.
Sementara itu Mithara telah tampil melihat mereka
yang sedang baku hantam. Melihat keris yang dicari
selama ini di tangan Pusparini alias Walet Emas, tim-
bul niatnya untuk merebut. Tanpa membuang waktu
lagi, tangannya dijulurkan, yang sejenak kemudian
meluncur serat-serat seperti benang sutra dan menje-
rat ke keris di tangan Pusparini. Lalu dihentakkan
dengan keras.
Keris terlepas. Peristiwa ini sangat mengejutkan.
Tampilnya Mithara membuat gembira Samresti. Betapa
tidak. Dengan begitu ia akan bisa berhubungan lang-
sung dengan orang yang diharapkan bisa menyem-
buhkan ketergantungannya dengan tuak.
Tanpa ada yang memberi aba-aba atau mendahului
bertindak, baku hantam itu terhenti. Tiga pihak saling
tegak di atas pesisir.
“Keris itu telah jatuh ke tanganku. Terima kasih.
Sekarang aku tak ada urusan dengan kalian lagi,” kata
Mithara dengan menimang keris di tangannya.
Pusparini berdebar dengan tindakan yang akan di-
lakukan oleh Mithara. Laki-laki itu menggerakkan hu-
lu keris tersebut, seperti yang diperkirakan oleh Pus-
parini.
“Ke mana isinya?” terdengar suara Mithara setelah
hulu keris tersebut dilepas. Hulu gagang keris ternyata
kosong melompong.
“Isi apa?” sahut Pusparini pura-pura tak tahu.
“Lembaran sutra. Tertulis mantera untuk menyem-
buhkan Putri Raja Atap Dunia. Laksmi Dewi!” seru Mi-
thara dengan pandangan nanar yang ditujukan kepada
Pusparini. “Pasti kau telah mengambilnya!”
“Aneh! Katanya kau tabib. Tetapi kerepotan menda-
patkan mantera penyembuhan. Apakah kau tergan-
tung dengan mantera itu? Atau kau tabib yang tak be-
gitu menguasai ilmu ketabiban dengan sempurna?”
sahut Pusparini.
Mendadak ucapan itu terhalang dengan tampilnya
sosok-sosok bercadar hitam yang kemudian disusul
dengan munculnya si Agni! Kehadiran mereka dengan
kecepatan tinggi sehingga kelihatannya muncul dari
dalam pasir. Hanya penampilan si Agni diawali dengan
ledakan asap merah. Kemudian Agni memberi isyarat
kepada anak buahnya yang meringkus seseorang yang
berpakaian hitam pula. Sebelum dilempar ke hadapan
Pusparini, cadar orang itu dilepas paksa...!
Tubuh itu terguling ke hadapan Pusparini. Wajah
seorang Keling.
“Kawasa?!” seru Mithara.
“Ya. Dia Kawasa. Pencuri ulung dari Agat. Dialah
pencuri keris tersebut. Dia lari ke Jawadwipa ini untuk
menghindari pengejaran. Kehidupannya yang mewah
memungkinkan dia bisa hidup seperti bangsawan. Di-
alah yang menenung Putri Laksmi Dewi karena cin-
tanya ditolak. Dia menenung lewat seorang dukun
Agat. Dan dialah pembunuh saudagar bernama Pulu-
watu, Walet Emas!” kata si Agni yang penjelasan ini le-
bih banyak ditujukan kepada Pusparini.
Kawasa, si pembunuh Ki Puluwatu, memandang
nanar di sekitarnya. Dirinya berhasil ditangkap oleh
kelompok Barong Makara karena kepergok ketika hen-
dak menuju Kambang Putih. Pada kesempatan yang
membuat dirinya tak berkutik, dilihatnya Pedang Me-
rapi Dahana yang bersinar merah terlihat lena di tan-
gan pemegangnya. Tanpa buang waktu ia melompat
merebut.
Samresti tergagap kaget melihat hal itu, sebab piki-
rannya sejak tadi tertuju kepada Mithara yang diharap
bisa menyembuhkan sakitnya. Pedang Merapi Dahana
berhasil dirampas. Tubuh Samresti ditendang sehingga
terjengkang. Lalu dengan pedang tersebut Kawasa me-
nyerang Agni. Tokoh bercadar merah ini mencoba ber-
kelit. Tetapi terlambat. Ujung Pedang Merapi telah me-
robek cadarnya. Kain merah itu tersibak, dan terlihat-
lah wajah yang seakan tidak berkulit. Hanya otot dan
daging saja yang terlihat.
Melihat hal itu Mithara segera bertindak. Tangan-
nya dijulurkan. Sekejap kemudian serat-serat halus
keluar dari tangan itu. Tangan yang ditutup lengan ju-
bah panjang menyibak karena ditiup angin. Dari sini
orang tahu bahwa serat-serat halus itu ternyata dike-
luarkan dari semacam gelang yang terlindung. Dengan
bagian yang berada di telapak tangannya, maka jari
tengahnya menekan semacam pengumpil, dan dari lo-
bang di bawah gelang meluncurlah benang-benang su-
tra yang halus ke arah sasaran.
Kawasa yang tidak sadar akan serangan semacam
ini baru tahu ketika pedang di tangannya telah terje-
rat. Ia berusaha mempertahankan senjata tersebut.
Karena serat halus itu rasanya bermuatan getaran
yang menyengat, maka tangannya tak kuasa lagi ber-
tahan.
Kiranya getaran yang menyengat itu adalah tenaga
dalam yang disalurkan oleh Mithara. Kawasa meraung
kesakitan, dan pedang terlepas dari tangan. Tetapi
Kawasa cerdik. Dengan melepaskan pedang tersebut
sebenarnya dia juga melemparkan ke arah sasarannya,
yakni kepada Mithara. Akibatnya, Pedang Merapi Da-
hana meluncur tak terkendali, dan melesat ke arah
leher Mithara.
Kontan tokoh ini terhenyak dan tak bisa mengelua-
rkan suaranya kecuali bunyi “Ghhhrrokhh!” disertai
semburan darah bagai air mancur.
Lalu, detik berikutnya berlangsung dengan cepat.
Pusparini melompat dengan liukan tubuh yang manis
dan menyambar Pedang Merapi Dahana. Senjata ini
berhasil dicabut dari leher Mithara sebelum tabib ini
terjerembab ke tanah.
Kini dengan Pedang Merapi Dahana di tangan, Pus-
parini ganti mengincar Kawasa.
“Aku berjanji kepada istri Ki Puluwatu untuk me-
laksanakan dendamnya,” kata Pusparini dengan mele-
sat ke arah Kawasa.
Orang Keling ini sadar akan bahaya yang mengan-
cam. Dia berusaha meloloskan diri. Tetapi tiba-tiba di-
rasakan ada semburan tuak melanda tubuhnya dari
belakang. Ternyata semburan tuak itu berasal dari
Samresti! Tubuh Kawasa mencelat, karena semburan
itu tersalur tenaga dalam yang bukan main-main.
Mencelatnya tubuh Kawasa meluncur ke arah Puspa-
rini yang siap dengan acungan Pedang Merapi Dahana,
dan... Jhrraass!!!
Pedang Merapi Dahana yang membiaskan cahaya
merah itu menghunjam tepat pada ubun-ubunnya!
Pusparini terpaksa menahan dengan kedua tangannya
ketika ujung pedangnya dimuati tubuh Kawasa yang
tertusuk bagaikan sate raksasa!
Kawasa mampus!
Pusparini mencabut dengan rasa bergidik, sebab
darah yang tercecer di hadapannya bercampur dengan
serpihan otak Kawasa yang hancur.
Suasana tegang berakhir...!
Pusparini memandang Samresti. Kedua pandangan
wanita yang semula tegang ini tiba-tiba tersiram kera-
mahan. Keduanya sama-sama tersenyum. Entah siapa
yang memulai. Rupanya senyum itu mengibarkan per-
damaian antara keduanya.
“Maafkan aku, Pusparini!” kata Samresti.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” jawab si Walet
Emas.
Lalu Pusparini menghadapi Agni yang kini menge-
nakan cadar kembali.
Selama baku hantam tadi terjadi, Agni dan anak
buahnya hanya menanti kesempatan terakhir untuk
menghadapi lawan. Tetapi kiranya Pusparini telah ber-
hasil mengatasi.
“Ini mungkin yang kalian cari,” kata Pusparini sam-
bil mengeluarkan selembar kain sutra bertulis mantra.
“Terimalah! Aku percaya, kau utusan Baginda Raja
Atap Dunia untuk mencari kesembuhan putrinya,
Laksmi Dewi!” sambungnya sambil menyerahkan lem-
baran sutra itu kepada Agni. “Dan ini kerisnya untuk
tempat penyimpannya!”
Agni memandang dengan haru atas sikap Pusparini.
“Kami tak tahu harus berkata bagaimana untuk
mengucapkan terima kasih,” terdengar suara Agni di
balik cadarnya.
“Salamku saja sampaikan kepada Putri Laksmi De-
wi apabila telah sembuh.”
“Akan kujunjung pesan itu.”
“Tetapi... apa yang membuat kalian harus berca-
dar?” tiba-tiba Ragapangus nimbrung.
“Kulit kami tidak tahan dengan alam panas di Ja-
wadwipa. Kau lihat tadi sewaktu cadar ini tersingkap,
bukan?” jawab Agni.
“Tetapi Mithara tidak begitu,” kata Pusparini.
“Sebenarnya dia bukan warga Atap Dunia. Dia
hanya ingin melamar Putri Laksmi Dewi. Boleh dikata
kedatangannya kemari hanya untuk berlomba mencari
keris itu,” jawab Agni sambil memberi isyarat kepada
anak buahnya.
Orang yang diberi isyarat lalu beranjak pergi. Ten-
tang hal itu segera diketahui ketika sebuah perahu cu-
kup besar muncul dari balik perahu-perahu yang ber-
jajar di dermaga. Rupanya keberangkatan kembali ke
negeri Atap Dunia akan dilakukan hari itu juga.
“Kami telah menghubungi syahbandar di sini,” ja-
wab Agni.
Pusparini tak menduga bahwa kedatangan mereka
di Medang berlangsung secara resmi. Bukan menye-
lundupkan diri.
Tak berapa lama kemudian perahu yang mirip ‘jung’
itu berangkat berlayar meninggalkan bandar Kambang
Putih...!
***
SEPULUH
Pusparini baru sadar bahwa dirinya telah sendirian
di ujung anjungan dermaga, ketika menoleh diketahui
Ragapangus tak ada lagi di tempatnya.
“Kemana dia? Juga Samresti tak kulihat!”
Pusparini sibuk mencari.
“Jangan-jangan mereka terlibat bentrokan melan-
jutkan urusannya,” pikir si Walet Emas ini dengan te-
rus mencari mereka.
Kemudian langkahnya dialihkan ke tenda tempat
Mithara melayani pasien-pasiennya. Tempat itu sepi.
Hanya seorang pembantu warga Kambang Pulih yang
diupah untuk menjaga tempat itu. Kini tenda itu tak
bertuan.
“Bapak tahu dua orang teman saya yang... satu wa-
nita pemabuk itu?” tanya Pusparini kepada penjaga
tenda.
Orang itu rupanya enggan menjawab. Timbul kesan
takut untuk berbicara.
“Jangan takut. Saya tidak akan membunuh Bapak
walau bekas pesuruh Mithara. Kulihat dua ekor kuda
ditambatkan dekat tenda ini. Apakah mereka... di da-
lam?”
Orang tua itu tetap canggung untuk menjawab.
“Baik. Bapak memang takut menjawab. Saya akan
memeriksa ke dalam,” kata Pusparini dengan ndlujur
masuk tanpa permisi lagi.
Dan sesampai di dalam... benar-benar astaga!
Ragapangus dan Samresti sedang bergumul di atas
permadani. Bukan bergumul baku hantam berdarah.
Tetapi rupanya ada masalah yang harus dilanjutkan
dengan urusan mereka.
Ketika Pusparini balik melangkah, tiba-tiba terden-
gar teguran Ragapangus, “Maaf! Aku tak lihat kau ma-
suk.”
“Apakah kalian pikir aku pantas mengganggu?” kata
Pusparini tanpa melihat dua orang itu yang saling
membenahi pakaiannya yang semua nyaris tercampak
lepas. “Kalau kalian berdua telah akur, aku ikut se-
nang. Aku akan segera kembali ke istana Medang. Dan
tentang urusan dengan Nyi Puluwatu telah jadi tang-
gung jawabmu, Ragapangus. Laporkan kepada istrinya
bahwa kerjaku telah selesai.”
Sebelum melangkah pergi Pusparini berkata lagi,
“Bagaimana tentang racun yang kau idap, Samresti?”
Samresti muncul. Baru berani menghadapi Puspa-
rini setelah kembennya terbenahi kembali.
“Orang tua penjaga itu memberitahu aku bahwa da-
lam menyembuhkan sakit, Mithara hanya mempergu-
nakan ramuan butiran di guci ini. Semua penyakit
diobati dengan memberikan butiran ini kepada semua
orang yang sakit. Dan aku telah menelan beberapa bu-
tir. Rasanya... kesehatanku pulih!” kata Samresti.
“Dan setelah itu?” tanya Pusparini.
“Kami akan... menikah!” sahut Ragapangus yang
muncul nimbrung.
Tiga orang itu mengumbar tawa.
“Apakah kau masih menghendaki pedangku?” tanya
Pusparini.
“Ah. Lupakan itu, Pusparini. Apa gunanya melan-
jutkan urusan orang-orang tua zaman dulu? Kau me-
mang berhak menyandang Pedang Merapi Dahana itu!”
jawab Samresti yang dipeluk Ragapangus dari bela-
kang.
Pusparini pergi meninggalkan mereka.
Dengan berkuda ia menuju ke istana Medang. Ia pi-
kir Narendra pasti sudah muncul di istana menemui
Mapatih Satyawacana sehubungan dengan tugas pem-
buatan prasasti. Selama perjalanan, ingin rasanya ce-
pat-cepat bertemu dengan Narendra. Sebulan berpisah
rasanya kangen sudah menggunung.
***
SAMPAI JUMPA DI LAIN KISAH
Emoticon