SSAATTUU
Jalanan becek membuat Pusparini alias Walet Emas
mengendalikan lari kudanya dengan hati-hati. Hujan
baru saja reda. Dalam gerimis lembut dia nekad untuk
melanjutkan perjalanan. Tapi ketika gerimis itu men-
jelma menjadi butiran air hujan sebesar jagung, dia
“Tak kulihat sebuah pondok pun. Apalagi gubug,”
pikirnya sambil terus memacu lari kudanya.
Dan di saat itulah tiba-tiba sekilat lidah petir me-
nyambar pohon di depan sana. Pohon itu langsung
tumbang. Pusparini yang ketika terdengar ledakan pe-
tir tak jauh darinya, langsung terpental dari kuda. Un-
tung dia seorang pendekar. Kalau tidak, nasibnya jadi
lain. Dalam suasana limbung di udara, dia berhasil
menapakkan kakinya di tanah.
Tapi baru saja hal itu terjadi, inderanya segera me-
nangkap bahaya lain. Ternyata pohon yang disambar
petir itu tumbang. Batangnya terlihat nyata roboh ke
arah tempat Pusparini berada. Satu-satunya cara un-
tuk menghindar cuma segera melesat dari sana. Tapi
karena semuanya serba dadakan dalam suasana ribut,
maka gerakannya sulit memperhitungkan keadaan se-
kelilingnya. Ikat pinggangnya yang berbentuk selen-
dang kuning tersangkut pada dahan pohon di mana
dia menjatuhkan diri, dan ini mengakibatkan tubuh-
nya tersendat. Karena hal inilah dirinya merasa bagai-
kan ditarik oleh kekuatan besar sehingga terpelanting
ke arah yang tidak diperhitungkan.
“Ah!” hanya ini yang keluar dari mulutnya mengiri-
ngi hempasan tubuhnya yang melanda batu besar. Se-
benarnya Pusparini masih bisa untuk bangkit, tapi dia
terlalu payah. Dia sengaja untuk berbaring di sana,
sementara air hujan terus mengguyur tubuhnya...!
***
Suara ringkik kudanya membangunkan Pusparini
dari tidurnya. Hujan telah lama reda. Bahkan telah
kemarin redanya. Saat ini suasananya pagi hari. Dia
mencoba mengingat peristiwa yang telah terjadi. Lalu
dia bangkit dan menghampiri kudanya. Beruntung se-
kali kuda itu telah jinak terhadapnya. Boleh dikata su-
dah seperti majikan dan hambanya.
“Aku harus mandi dulu. Apakah kau melihat sungai
atau mata air dekat-dekat sini?” kata Pusparini kepa-
danya kudanya yang biasa diajak berdialog di saat-saat
sepi.
Tentu saja kuda itu tak mengerti dengan maksud
ucapan tuannya. Pengertiannya hanya terbatas pada
hal-hal tertentu yang menyangkut gerak, datang, pergi,
istirahat, merumput. Tapi entah bagaimana, saat itu
sepertinya si kuda mengerti apa yang diharapkan Pus-
parini, lalu berjalan pelan seolah memberi isyarat ke-
pada tuannya.
“Hei, ke mana? Kau tahu di sana ada sungai?” kata
Pusparini dengan mengikuti langkah kaki kudanya.
Pandangan Pusparini segera mengarah kepada tempat
yang semakin landai, dan diperkirakan ada sungai di
sana.
“Hm, kau benar-benar jeli. Walaupun baru hujan,
sungai itu tetap jernih. Jelas kawasan ini jauh dari
pemukiman penduduk. Biasanya kalau sebuah sungai
terlihat kotor, pasti dekat dengan pemukiman pede-
saan,” kata Pusparini sambil terus menuruni tempat
menuju sungai di depannya.
Tapi baru saja dia meneliti mencari tempat di mana
sebaiknya menanggalkan pakaiannya, mendadak ter-
dengar langkah-langkah mendekat ke tempat itu.
Langkah kaki yang terseret, terdengar tergesa-gesa.
Pusparini mendapat firasat ada sesuatu yang tidak
beres dengan kehadiran langkah kaki itu.
Benar saja. Sesaat kemudian terlihat seseorang
yang luka parah berpapasan dengannya. Orang itu
terperangah kaget.
“Oh, bukan aku! Bukan aku yang melakukan.
Sungguh. Ampuni aku...!” terdengar ucapan laki-laki
itu dengan nada ketakutan.
“Hei! Apa yang kaukatakan itu? Aku tak tahu apa-
apa!” jawab Pusparini.
“Aahh!” terdengar jeritan orang itu karena tiba-tiba
punggungnya dihunjam oleh sebilah cundrik, keris ke-
cil, dan langsung roboh.
Untung Pusparini cepat menyangga tubuh orang
itu. Kalau tidak, tubuh itu akan meluncur ke sungai.
Belum sempat Pusparini memeriksa dari mana da-
tangnya lemparan cundrik tersebut, muncullah bebe-
rapa orang dengan tampang angker. Melihat pakaian-
nya, mereka jelas dari kelompok orang berpengaruh di
wilayah itu.
“Seperti katamu yang kudengar, sebaiknya kau tak
tahu apa-apa,” kata seseorang yang terlihat sebagai si
pelempar cundrik, sebagai pula pemimpin dari orang-
orang itu.
Pusparini cepat mengambil kesimpulan bahwa diri-
nya merupakan saksi hidup dalam peristiwa itu. Kalau
orang-orang itu tidak menghendaki adanya saksi, pasti
mereka akan menindaknya. Kasarnya, membunuhnya!
Dan itu segera terjadi kalau Pusparini tidak waspa-
da. Gebrakan Pusparini segera melanda orang-orang
itu ketika dilihatnya beberapa di antara mereka akan
menindaknya. Beberapa orang di antaranya mencelat
sambil menebah dada ketika dilanda tangan dan siku
pendekar bergelar Walet Emas ini.
“Edan! Sudah kukatakan. Jangan meremehkan pa-
ras wanita ayu!” seru pentolan mereka yang berkumis
seperti rambut jagung.
Anak buahnya yang lain segera bertindak memban-
tu mereka yang blingsatan kesakitan. Tapi ini pun se-
tali tiga uang, alias sama! Masing-masing muntah da-
rah ketika Pusparini menghajar dada mereka.
“Tunggu! Aku harus tahu urusannya sebelum aku
bertindak lebih ganas lagi!” ancam Pusparini dengan
ketus.
Pemimpin mereka tampil ke depan. “Kau saksi! Se-
tiap saksi hidup harus mati!”
Seakhir dengan ucapan itu dia melompat dengan
garang. Sebagai pimpinan dia menganggap harus di
atas anak buahnya dalam segala tindakan. Termasuk
dalam menangani masalah ini. Maunya pamer, tapi
apa mau dikata. Tubuhnya yang banyak muat lemak
itu tak dapat mulus menghajar Pusparini. Perutnya
kena hajar, ditambah hantaman pada dagu, komplit
sudah untuk mengirim orang itu ke arah sungai.
Senyuman Pusparini yang masam membuat keder
orang-orang lain. Sangkanya Pusparini akan mengam-
bil tindakan terhadap mereka. Ternyata tidak.
“Cepat kalian pergi dari sini. Dan angkat orang yang
kalian bunuh itu dari sini. Kalau membangkang, isi
perut kalian akan kujadikan makanan ikan di sungai
itu!” ancam Pusparini sambil melirik pentolan orang-
orang itu yang dengan susah payah naik ke daratan.
Kemudian dengan pandangan memendam kebencian,
dia memerintahkan orang-orangnya meninggalkan
tempat itu dengan membawa korbannya.
“Kau akan merasakan balasan dari tindakan ini!”
ancam orang itu.
“Mengancam? Itu bukan pertama kali aku harus
berhadapan dengan orang seperti dirimu. Biasanya ka-
lian akan muncul lagi dengan membawa jago yang le-
bih bandot,” sumbar Pusparini dengan mengawasi ke-
pergian orang-orang itu.
“Hm. Pagi-pagi sudah sarapan melihat mayat dan
menghajar orang,” pikirnya sambil terus memper-
siapkan mandi.
Pusparini melepas pakaiannya. Rupanya kekejaman
seperti itu bukan barang baru baginya. Hidupnya me-
mang diwarnai kekejaman. Semburan darah, otak ber-
ceceran, tulang-belulang manusia, semua tak asing la-
gi kalau harus berhadapan dengan hal-hal seperti itu.
Air sungai yang dingin segera menciumi tubuhnya
yang bugil. Ah, enaknya jadi air sungai. Zat ini dengan
bebas menggumuli lekuk-lekuk tubuhnya.
Pusparini membiarkan tubuhnya hanyut untuk be-
berapa saat. Kemudian dia berenang. Semua dilaku-
kan dengan perasaan ayem. Dia tidak khawatir kalau
ada orang yang lewat di sana. Bahkan tidak cemas
apabila kelompok orang-orang tadi datang lagi. Toh ka-
lau mereka datang lagi, tidak akan secepat itu. Daerah
itu diperkirakan jauh dari pemukiman penduduk.
Tapi dugaan Pusparini salah! Tiba-tiba ada sesosok
tubuh berkelebat. Gerakannya yang cepat membuat
Pusparini tak sempat melihat tampang orang itu de-
ngan jelas. Tapi kalau disuruh mengenali, pasti bisa,
sebab tubuhnya dibalut dengan pakaian compang-
camping serta berpunggung bungkuk! Dia pastilah se-
orang wanita. Dan ini ditandai dengan gerai rambutnya
yang panjang, berwarna putih!
Itu ciri-ciri orang tersebut yang melekat dalam inga-
tan Pusparini. Maunya Pusparini hanya mengawasi
tanpa curiga. Tapi ketika orang itu melesat lagi, dis-
adari bahwa dia telah membawa semua perangkat pa-
kaian Pusparini beserta Pedang Merapi Dahana!
“Hei!” hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pus-
parini dengan pandangan tercekam. Mau berbuat apa?
Melesat mengejar orang itu? Gila! Hal inilah yang dis-
adari olehnya, sebab saat ini dirinya sedang dalam
keadaan bugil berendam dalam air sungai.
Pusparini panik. Dia bisa berhadapan dengan selu-
sin lawan untuk baku hantam. Tapi mengalami nasib
seperti ini sama halnya lehernya digorok tanpa ampun!
“Oh!” hanya keluhan ini yang bisa dilakukan.
Dengan nekad dia naik ke darat. Dilihatnya, ku-
danya bersembunyi di balik semak-semak. Hal ini yang
membuat lega. Sebab masih ada bungkusan yang di-
tambatkan pada pelana kudanya. Bungkusan itu ter-
simpan beberapa lembar pakaian cadangannya. Pus-
parini bernafas lega.
***
DUA
“Aku harus mencarinya!” pikir Pusparini setelah
mengenakan pakaian cadangannya. Dia memang me-
nyukai warna serba kuning sebagai jati diri Walet
Emas. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kalau
kudanya dicuri pula. Bisa tamat harga dirinya. Betapa
tidak. Kalau semua tercuri, satu-satunya harta milik-
nya hanya tubuh bugilnya saja. Tak ada lain! Dari ma-
salah ini dia hanya kehilangan pedangnya saja. Pedang
Merapi Dahana!
“Mudah-mudahan firasatku benar,” katanya sambil
memacu kudanya sesuai dengan bisikan hatinya. Pe-
doman Pusparini hanya mengikuti jejak-jejak kaki
yang terlihat masih baru di sana. Mengarah ke utara
jalan yang ditempuh, entah kemana sampainya. Seo-
rang wanita tua yang bungkuk, itulah sasarannya se-
karang. Mudah-mudahan ada orang yang mengenal ci-
ri-ciri seperti itu. Semua tindakan yang akan dilaku-
kan direncanakan matang-matang. Mungkinkah orang
itu tokoh silat di daerah ini? Mengapa begitu penge-
cutnya dengan mencuri pakaian beserta pedangnya?
Belum sirna pikiran itu dari benaknya, tiba-tiba
perhatiannya tertuju pada sekelompok orang yang
muncul dari tikungan jalan, dan langsung mengha-
dangnya.
“Itu dia!” seru salah seorang di antara mereka.
Pusparini menghentikan kudanya.
“Hm! Kita ketemu lagi!” kata Pusparini setelah me-
ngenali orang-orang itu. “Benar yang kuduga. Kalian
memanggil gaco untuk melawanku. Diakah orangnya?”
Pusparini menunjuk ke arah seseorang yang tampil
dengan langkah pethitha-pethithi. Orang yang kurus,
ceking. Ciri penampilannya serba panjang. Jidat, hi-
dung, roman muka, semua membentuk penampilan
sebagai orang yang memiliki perawakan tinggi.
Tengah mengawasi penampilan orang itu, Pusparini
lengah pada arah lainnya. Ternyata ada pembokong
yang hadir tanpa disadari. Kena tendangannya, tubuh
Pusparini mencelat dari punggung kuda. Tapi kalau
bukan pendekar bergelar Walet Emas, hal yang begitu
akan diatasi dengan mencari ancang-ancang untuk ja-
tuh. Justru yang begini menimpa dia, maka lentikan
tubuh karena hempasan tendangan pembokong mem-
buat dirinya meliuk bagaikan burung, dirinya meliuk
bagaikan burung walet terbang menuju sarang. Dan
sarang yang dimaksud di sini adalah tindakan balik
untuk menyerang lawan.
Sungguh tak terduga kalau Pusparini sampai bisa
meliukkan tubuh dengan meminjam tangan dari salah
seorang penyerang yang lain. Orang yang menambahi
serangan ini tidak menduga kalau Pusparini yang di-
pandang kehilangan penangkal, masih mampu bertin-
dak menguasai dirinya. Akibatnya, si pembokong yang
mencoba memberi serangan ganda, terpaksa merubah
posisinya ketika diketahui Pusparini telah menyerang
ke arahnya.
Perubahan keadaan ini benar-benar mengawali ben-
trokan yang kian seru. Kini Pusparini harus mengha-
dapi dua orang gaco lawan. Satu si ceking tinggi, dan
yang lain berperawakan sedang.
Tempat di mana baku hantam ini terjadi, berlang-
sung di jalan mulut desa. Jadi banyak menarik perha-
tian dari orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Ini
benar-benar suatu kesempatan bagi Pusparini untuk
menarik perhatian orang. Dia ingin agar orang yang te-
lah mencuri pakaian dan pedangnya bisa melihat dia.
Oleh sebab itu Pusparini sengaja mengulurkan baku
hantam ini walaupun dengan mudah bisa menga-
lahkan serangan dua orang yang berperawakan sedang
itu yang sebenarnya “tak ada apa-apa”-nya. Kalau
ukuran gaco seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana
rimpihnya nilai bela diri di tempat itu. Ataukah yang
benar jago yang merupakan gaco andalan belum ke-
luar? Boleh jadi!
Tapi bagaimanapun Pusparini memang sengaja pa-
mer kebolehan, agar orang yang telah mencuri pakaian
dan pedangnya jadi tahu siapa dia. Dan merupakan
ancaman terselubung agar si pencuri mengembalikan
dengan cara baik-baik.
Itu menurut pikiran Pusparini! Kalau saja dia tahu,
bahwa sebenarnya si pencuri itu tanpa sengaja telah
berada di sana pula dengan sikap hati-hati agar tidak
kepergok orang yang jadi korbannya, pasti Pusparini
telah mengalihkan perhatiannya dan mengejar si pen-
curi. Benar! Si pencuri berpunggung bungkuk itu sege-
ra menyelinap di antara orang-orang untuk meng-
hindarkan diri. Lalu dengan lincah dia melesat ke luar
desa...!
“Ah, percuma! Aku harus mengakhiri baku hantam
ini,” pikir Pusparini dengan mengirimkan pukulan te-
lak. Si ceking menerima bogem mentah di arah tenggo-
rokan sehingga muntah darah. Sedangkan si perawa-
kan sedang kena tonjok lambungnya sehingga sejeng-
kal kotorannya merasa mendapat curahan limpahan
dendam kesumat yang selama ini mereka pendam.
“Tahu rasa mereka sekarang. Nggak tahunya bisa
digojlok oleh pendekar wanita berkulit mulus,” seru sa-
lah seorang di antara kerumunan orang-orang di sana.
“Mau rasanya mengambil mantu,” komentar yang
lain.
“Mantu? Dapat anakmu yang suka main judi itu?”
jawab yang lain. “Ngomong mbok dipikir. Kalau dia itu
cocoknya ya dapat anakku, si Thole! Calon juragan be-
ras seperti bapaknya ini!”
Pusparini mendengar juga omongan-omongan se-
perti itu. Tapi dia tidak menggubris sedikitpun. Dua
orang yang berhasil dikalahkan dengan tergopoh-
gopoh meninggalkan tempat itu diikuti yang lainnya.
“Maaf, Pak, siapakah sebenarnya mereka itu?” ta-
nya Pusparini kepada salah seorang penduduk yang
sejak tadi asyik menonton.
“Lho? Bagaimana, to? Den Ayu telah bentrok de-
ngan mereka, tapi tidak tahu siapa mereka?” jawab
orang itu.
“Oh, jangan panggil saya ‘Den Ayu’, Pak. Saya orang
biasa. Tidak punya trah priyayi. Benar, saya tidak tahu
siapa mereka. Tahu-tahu mereka mengroyok saya.
Bahkan sejak pertama kali saya ketemu mereka di tepi
sungai, sudah menganggap saya musuhnya karena
menyaksikan orang yang terbunuh,” jawab Pusparini
dengan memancing keterangan.
“Enghh... jadi begitu?! Mereka itu orang-orangnya si
Jayenglaga. Seorang tuan tanah paling kaya di Pedu-
kuhan Glagah Jenar,” kata orang itu.
Pusparini manggut-manggut sambil membenahi pe-
lana kudanya. Masih ada sedikit uang. Sasarannya ha-
ri itu dia akan mencari sebuah warung murah untuk
sarapan.
***
Ternyata Pusparini mendapat makanan cuma-cuma
di warung yang dimasuki.
“Lho, Pak. Bagaimana saya bisa nggak bayar? Saya
sudah kenyang makan di sini, sudah sepantasnya ha-
rus membayar,” kata Pusparini.
“Karena kau tadi telah menghajar anak buah tuan
tanah itu, maka anggap saja sebagai imbalan uang le-
lah dari kami,” jawab orang tua itu.
Pusparini termenung. Kesimpulannya, bahwa o-
rang-orang di Glagah Jenar ini punya ganjalan terha-
dap tuan tanah bernama Jayenglaga.
“Pak, bolehkan saya menitipkan kuda saya di sini?”
kata Pusparini kepada pemilik warung.
“O, silakan! Silahkan, Nduk!” jawab orang tua itu
dengan ramah. Kemudian dia memanggil anaknya agar
membawa kuda Pusparini ke belakang. Kebetulan di
sana ada gubug kosong, dan di sanalah kuda Puspa-
rini dikandangkan.
“Saya akan lama di sini,” kata Pusparini kepada pe-
milik warung.
“Ah, kami akan senang sekali. Paling tidak jago-jago
kepruk Jayenglaga tak akan sembarangan mengumbar
tingkah di warung saya,” kata orang tua itu.
“Oh, Bapak jangan salah sangka dulu. Saya punya
urusan juga. Apakah Bapak pernah melihat orang
bungkuk di sini?” tanya Pusparini.
“Aneh! Tanya kok tentang orang bungkuk. Memang-
nya kenapa, Nduk pendekar?”
“Oh, tidak. Cuma nanya saja, Pak. Mungkin Bapak
pernah melihat, ada berapa orang bungkuk di sini?!”
tanya Pusparini dengan santai tapi sungguh-sungguh.
“Ada tiga!”
“Tiga?”
“Ya, tiga. Itu pun saya tidak mengenal mereka,” ja-
wab pemilik warung dengan heran. “Kenapa, Nduk?”
“Yang berambut putih, panjang?”
“Ooo... yang itu?!” jawab pemilik warung. “Namanya
Nyi Wungkuk!”
“Nyi Wungkuk?” kata Pusparini ingin meyakinkan.
“Ya. Nyi Wungkuk. Apa pentingnya berurusan de-
ngan dia? Rumahnya di pohon Bendo Growong.”
“Di pohon Bendo Growong?” kata Pusparini semakin
tertarik. “Di mana, Pak?!”
“Di tepi sungai, dekat Kedung Bader,” jawab pemilik
warung.
Pusparini termenung. Hasrat untuk cepat-cepat ke
sana diendapkan. Dia tak ingin gegabah dalam bertin-
dak. Melihat keterangan yang diberikan oleh pemilik
warung, jelas Nyi Wungkuk ini yang punya ciri-ciri se-
bagai pencuri pakaian dan pedangnya.
“Siapa sebenarnya Nyi Wungkuk itu?” tanya Puspa-
rini.
“Dia seorang tua yang merana. Tiada sanak. Tiada
kadang. Makannya pun berkat bantuan orang-orang di
desa ini. Kenapa kau mencarinya?” tanya pemilik wa-
rung.
Pusparini termenung. Pikirannya terpengaruh pen-
jelasan tentang keadaan Nyi Wungkuk.
“Saya ingin tahu letak Kedung Bader itu, Pak. Bisa
menunjukkan?” tanya Pusparini.
“Si Thole, anak saya, bisa menunjukkan,” jawab pe-
milik warung.
***
Jalan menuju Kedung Bader ternyata sulit ditem-
puh oleh orang yang tak biasa klayapan ke sana. Si
Thole yang berumur 10 tahun itu dengan mudah me-
napak pada jalan yang licin. Kalau sering dilewati oleh
Nyi Wungkuk, pastilah tokoh yang dicari ini bukan
orang sembarangan. Banyak batu-batu runcing bagai
karang pantai berserakan di sana.
“Masih jauh?” tanya Pusparini.
Si Thole menunjukkan telunjuk jarinya. Di seberang
sana terlihat sebatang pohon bendo yang besar. Pada
bagian batang sebelah bawah terdapat lubang besar.
Orang menyebutnya ‘growong’.
“Thole! Tunggu di sini, ya? Nanti kita pulang sama-
sama. Aku harus ketemu dengan Nyi Wungkuk itu,”
kata Pusparini kepada si Thole ketika melihat sesosok
tubuh samar-samar di dalam batang pohon bendo
growong tersebut.
Si Thole mengangguk sambil mengawasi Pusparini
yang menghampiri pohon bendo growong itu. Tapi se-
belum Pusparini memberi uluk sapa, tiba-tiba dirasa-
kan angin pukulan melanda dirinya. Pusparini menco-
ba menangkis kalau serangan itu akan dilakukan ke-
dua kalinya. Dan benar, memang ada serangan kedua
kalinya. Kali ini lebih keras daripada yang pertama,
dan membuat Pusparini harus mengerahkan tenaga
agar tubuhnya tidak mencelat ke arah sungai. Usaha
Pusparini untuk menghindarkan dari serangan jarak
jauh itu akhirnya berhasil ketika dirinya berada di luar
jarak enam tombak dari batang pohon itu.
“Aneh! Kulihat sosok tubuh di dalam itu tidak ber-
gerak melancarkan serangan. Tapi aku mengalami se-
rangan pukulan jarak jauh. Ilmu apa yang dia kerah-
kan?” pikir Pusparini dengan berusaha tegak dari tem-
patnya.
“Itu karena pagar manteranya,” tiba-tiba terdengar
suara dari balik semak-semak.
Pusparini mencari dari mana datangnya suara itu.
Bertepatan dengan berpalingnya pandangan matanya,
maka di sana tegak seseorang dengan penampilan
yang sulit dikenali dengan cepat. Sebab topi lebarnya
menutupi seluruh wajahnya.
“Apa katamu? Pagar Mantera? Siapa kau?” tanya
Pusparini.
Orang itu menengadahkan wajahnya. Pusparini da-
pat melihat wajah orang itu yang ternyata seorang laki-
laki tua sekitar umur tujuh puluhan.
“Sabarlah, Nak. Aku pun ingin menemui Nyi Wung-
kuk itu. Tapi tempat di sekelilingnya telah ditaburi
ranjau mantera,” kata lelaki tua itu menjelaskan tanpa
diminta.
Pusparini termenung. Pikirannya mencoba meng-
hubungkan peristiwa yang dialami dengan keberadaan
Nyi Wungkuk yang tampak dengan tenang berada di
sarangnya. Dari basa-basi ini Pusparini mencoba me-
ngenalkan namanya kepada lelaki tua itu. Lalu men-
dapat imbalan balik.
“Ki Megatruh!” kata lelaki tua itu mengenalkan na-
manya.
“Saya berhubungan dengan Nyi Wungkuk karena
ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan tentang tin-
dakannya,” kata Pusparini ketika Ki Megatruh mena-
nyakan keperluannya datang ke sana.
Lelaki tua itu memandangnya dengan tatapan mata
tajam.
“Saya kehilangan barang. Dan Nyi Wungkuk saya
curigai sebagai pengambilnya,” kata Pusparini dengan
nada ragu. Sebab tidak enak rasanya menjelekkan
orang lain kepada orang yang baru dikenalnya. Lagi
pula saat ini masih dalam taraf penyelidikan.
“Baru kali ini kudengar berita mengatakan Nyi
Wungkuk sebagai pencuri,” kata Ki Megatruh.
“Jadi?!” tanya Pusparini. “Ki Megatruh meragukan
kata-kata saya?”
“Atas dasar apa maka kau bisa menuduh bahwa Nyi
Wungkuk yang mengambil barang-barangmu? Dia te-
lah seminggu ini tidak keluar dari Bendo Growong itu.
Dia sedang menyelesaikan syarat semadinya untuk ti-
dak bercakap-cakap dengan siapapun selama sepuluh
hari,” kata Ki Megatruh menjelaskan.
“Jadi... dia telah seminggu tidak keluar dari pohon
bendo itu?” tanya Pusparini.
“Demi saksiku terhadap langit dan bumi yang kuin-
jak, semoga bumi menelanku, dan langit menghujani
aku dengan api, kalau aku bohong dengan kata-
kataku!” kata Ki Megatruh dengan mantap. Suatu
sumpah yang puitis. Kata-kata itu benar-benar menu-
suk perasaan Pusparini, yang menumbuhkan keper-
cayaan tulus untuk mempercayai.
“Kalau begitu... saya minta maaf,” kata Pusparini
dengan wajah menunduk.
Pusparini beranjak pergi.
“Akan ke mana kau?” tanya Ki Megatruh.
“Mungkin yang saya lihat salah,” jawab Pusparini.
“Jangan terpengaruh kata-kataku tadi,” kata Ki Me-
gatruh. “Apakah kau lihat dengan jelas bahwa Nyi
Wungkuk mengambil barang-barangmu? Bolehkan
aku tahu macam barang yang diambilnya?”
“Pakaianku, dan sebilah pedang!” jawab Pusparini
tegas tapi penuh hormat. Dia tahu, sikap ini dilakukan
karena telah bisa mengambil kesan bahwa Ki Megatruh
adalah orang yang menampilkan sikap membuat orang
lain segan.
“Pasti ada orang yang mengkhianati,” kata Ki Mega-
truh. “Taruhlah umpama ada orang yang menyamar
sebagai Nyi Wungkuk untuk menjelekkan namanya....”
Pusparini yang sedianya ingin cepat meninggalkan
tempat itu, jadi terkesan oleh ucapan ini.
“Jadi begitu tanggapan Ki Megatruh?”
“Boleh jadi. Itu kalau peristiwa yang kau alami ter-
jadi dalam seminggu ini. Kalau lebih dari seminggu,
saya tak bisa mengambil kesimpulan begitu. Yang je-
las, aku sudah selama seminggu ini menunggu keluar-
nya Nyi Wungkuk dari pohon bendo itu. Dia telah me-
nyebarkan mantera di sekeliling pohon bendo growong
sehingga tak seorangpun bisa mendekat ke sana.”
“Kalau begitu urusan ini tidak seremeh yang saya
duga,” kata Pusparini. “Saya akan pamit dulu. Mung-
kin hari berikutnya saya akan kemari lagi.”
“Tunggu!” cegah Ki Megatruh ketika melihat Puspa-
rini beranjak pergi. “Ada baiknya kau tahu siapa mu-
suh-musuh Nyi Wungkuk.”
“Perlukah itu?” tanya Pusparini.
“Jelas tindakan itu adalah fitnah baginya,” jawab Ki
Megatruh.
Pusparini termenung. Dia mencoba memahami uca-
pan Ki Megatruh.
“Mohon dijelaskan, Ki!”
“Ada tiga orang. Klabang Ireng, Jrangkong Langit,
dan Sawer Jenar!” kata Ki Megatruh menyebut tiga
nama sebagai musuh Nyi Wungkuk. “Itu yang kuketa-
hui. Mungkin berguna bagimu untuk melacak hilang-
nya barang-barangmu.”
“Terima kasih atas bantuan Ki Megatruh,” kata Pus-
parini sambil pamit pergi.
Di seberang sana telah menunggu si Thole, anak
pemilik warung. Kemudian mereka berdua berlalu me-
ninggalkan kawasan Bendo Growong tempat Nyi
Wungkuk.
***
TIGA
Atas kebaikan pemilik warung, yang biasa dipanggil
Man Ndoplang oleh orang-orang di desa itu, Pusparini
mendapat tempat bermalam. Bahkan dengan bebas di-
beri tempat di sebuah rumah kosong tak jauh dari wa-
rung itu. Dulu rumah itu dihuni oleh saudara Man
Ndoplang. Tapi sejak pindah ke desa lain, maka tempat
itu tidak berpenghuni lagi, bahkan oleh Man Ndoplang
telah dibelinya.
“Biarlah Si Thole menemanimu,” kata Man Ndop-
lang.
“Terima kasih, Pak. Bapak telah berbuat banyak
untuk saya,” kata Pusparini sambil memasuki rumah
yang disediakan untuknya.
“Aku senang bisa menolongmu, Nduk pendekar,”
kata Man Ndoplang yang didampingi istrinya.
“Kami ini sudah lama ingin momong anak perem-
puan. Anak kami cuma si Thole itu. Kami memang ka-
win kasep. Maksudku, aku yang kasep kawin. Sudah
setua ini anakku baru berumur sepuluh tahun,” kata
Man Ndoplang sambil memandang istrinya yang ter-
paut umur sekitar lima belas tahun dengan dirinya.
Umur Man Ndoplang sendiri hampir lima puluh tahun.
“Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan memberitahu
kepada si Thole,” kata Man Ndoplang sambil berlalu
dari sana disertai istrinya.
“Thole! Kau senang aku berada di sini?” tanya Pus-
parini memancing.
“Oh, senang, Mbakyu! Mbakyu pendekar kan jempo-
lan. Bisa mengalahkan orang-orang jahat,” jawab si
Thole bangga.
“Ah, jangan panggil aku mbakyu pendekar. Panggil
saja Kak Rini!”
“Kalau saya panggil ‘mbak’ bagaimana? Mbak Rini
begitu?!”
“Mbak Rini juga boleh,” jawab Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole yang sigar jambe itu.
Pusparini yang kini hidup sebatang kara, kadang-
kadang sangat merindukan kehadiran seorang adik
seperti si Thole itu. Walaupun umur si Thole baru se-
puluh tahun, tapi bentuk badannya bongsor seperti
anak berumur limabelas tahun. Kekar lagi.
“Kau ini cocok jadi seorang pendekar. Tulang-tulang
tubuhmu cocok untuk itu,” kata Pusparini pada sore
harinya.
“Jadi seorang pendekar, Mbak? Mbak Rini bisa nga-
jari saya?” kata si Thole dengan perasaan bangga.
“Ayo kuajari dasar-dasarnya saja. Paling tidak bisa
digunakan untuk menggagalkan pencopet,” kata Pus-
parini.
“Menggagalkan pencopet, Mbak?” kata si Thole.
“Masak saya jadi pendekar pembrantas pencopet?!”
“Lho? Memangnya kenapa? Malu menghadapi pen-
copet? Pencopet itu juga penjahat. Maksudku, menga-
jari dengan tangkisan dan pukulan yang ringan-ringan
saja. Kalau sudah mahir, bisa ke jenjang jurus yang
lebih tinggi. Paling tidak dengan ilmu dasar itu kau
sudah bisa menghadapi pencopet atau maling ayam,”
kata Pusparini dengan mengumbar senyum. Dia tahu
bahwa ini akan menimbulkan olok-olok si Thole ketika
diberi tahu ilmu dasar itu bisa juga digunakan untuk
menghadapi maling ayam.
“Nah, begini, tirukan sikap ini,” kata Pusparini de-
ngan memberi contoh mengambil sikap awal. Si Thole
mencontoh gerak itu....
***
Sekitar dua jam, Pusparini mengajari si Thole de-
ngan gerakan-gerakan silat dasar. Si Thole cepat me-
nangkap pelajaran ala kadarnya itu. Lalu, tanpa con-
toh lagi, dibiarkan si Thole mengulangi gerak jurus-
jurus yang diajarkan.
“Besok kita lanjutkan lagi,” saran Pusparini sambil
masuk rumah.
Si Thole tetap ngotot berlatih. Dia tidak sadar bah-
wa ada berpasang-pasang mata mengawasi sejak Pus-
parini masuk pintu rumah.
Si Thole istirahat. Dia melemaskan ototnya. Ketika
terdengar bunyi “KRESEK” di halaman di balik semak-
semak tanaman hias, kontan dia pasang kuda-kuda
seperti yang diajarkan Pusparini.
“Siapa itu? Ayo, keluar! Kugampar kau nanti!” sum-
bar si Thole.
Sesaat kemudian lima orang nongol dari balik se-
mak-semak. Si Thole terperangah kaget. Tidak mendu-
ga kalau ada orang muncul dari sana. Sangkanya sua-
ra tadi suara anjing yang menerobos semak-semak
atau hewan lain.
“Siapa kalian?” tanya si Thole dengan sikap membe-
ranikan diri. Pertanyaan ini sebenarnya tak perlu dia
tanyakan, sebab sudah tahu siapa mereka, yang tak
lain anak buah Tuan Tanah Jayenglaga.
“Panggil gendhuk pendekar ayu itu!” kata salah seo-
rang di antara mereka.
Si Thole sebenarnya akan menjawab bahwa orang
yang mereka cari tidak ada di sana. Maunya berbo-
hong. Tapi niat itu dia urungkan ketika tiba-tiba dili-
hatnya Pusparini telah berada di belakang orang-orang
itu tanpa diketahui oleh mereka. Entah bagaimana ge-
rak yang dilakukan oleh Pusparini alias Walet Emas
ini, yang jelas si Thole telah melihatnya berada di bela-
kang orang-orang itu.
“Aku di sini!” kata Pusparini.
Kelima orang itu kaget njenggirat sambil siap-siap
mencabut golok.
“Jangan teruskan mencabut golok itu,” ancam Pus-
parini.
Yang dua orang nekad. Sebelum dia berbalik de-
ngan pas untuk melancarkan serangan, Pusparini te-
lah menggebrak dengan tendangan. Dua orang itu
nggeblag jumpalitan sekitar dua tombak. Yang lain se-
gera mengisi lowongan serangan. Tampak di sini bah-
wa kedatangan mereka benar-benar tidak bersahabat
alias cari perkara. Kalau hal ini didasari perintah si
Tuan Tanah Jayenglaga, maka buntutnya pasti gede.
“Tunggu!” gertak Pusparini. “Aku harus tahu masa-
lahnya mengapa kalian datang untuk bertindak ke-
kerasan.”
“Ini perintah Ki Jayenglaga,” kata salah seorang di
antara mereka.
“Aku belum pernah kenal dengan yang namanya Ki
Jayenglaga. Apakah dia tuan kalian? Apa urusannya
maka dia memerintahkan kalian untuk menindakku?”
“Itu di luar wewenangku untuk menjelaskan,” kata
salah seorang di antara mereka dengan memberi isya-
rat temannya untuk menyerang Pusparini.
Bentrokan berkembang lagi. Sampai begitu jauh
Pusparini masih mengandalkan gempuran tangan ko-
song. Paling-paling kalau terpaksa menggunakan sen-
jata tajam, itu dilakukan dengan meminjam gerakan
lawan yang memegang senjata untuk ditandingkan
dengan senjata lainnya. Tindakan ini semakin memberi
kesan bagaimana tangguh Pusparini menghadapi para
penyerangnya. Ada kesan dia masih ngeman nyawa la-
wannya. Dan itu memang benar.
“Aku ingin tahu alasannya! Katakan kepada tuan
kalian mengapa dia memusuhi aku!” kata Pusparini
sambil mengirimkan suatu pelajaran pada salah seo-
rang di antara mereka. Ternyata ‘pelajaran’ yang di-
kirim Pusparini berupa sayatan telinga salah seorang
di antara mereka. “Aku bisa memberi tanda mata itu
pada telinga kalian semua. Untuk kali ini cukup satu
saja. Katakan kepada tuan kalian!”
Kontan kelima orang itu ngeri melihat salah seorang
temannya yang kehilangan telinga, walaupun soal da-
rah sudah sering mereka tangani.
“Thole! Malam ini jangan ke mana-mana. Diam saja
dalam kamar. Mbak Rini akan berjaga-jaga. Pantas sa-
ja kalau tuan tanah bernama Ki Jayenglaga punya ba-
nyak musuh di desa ini dan dibenci banyak orang,” ka-
ta Pusparini dengan mengawasi kelima orang itu yang
menghilang dalam kegelapan malam.
***
Malam semakin larut....
Pusparini tetap berjaga di tempat tersembunyi di
halaman rumah. Dia nangkring di dahan pohon sawo.
“Gara-gara kehilangan pakaian dan pedang, aku ja-
di terlibat urusan begini,” pikir Pusparini dalam de-
kapan udara malam yang dingin.
Ada nama-nama yang kini bersemayam dalam be-
nak Pusparini. Mereka adalah Klabang Ireng, Jrang-
kong Langit, dan Sawer Jenar. Lalu ditambah nama
tuan tanah si Jayenglaga. Dia tak tahu apakah nama-
nama itu punya hubungan dengan hilangnya barang-
barangnya. Dia berharap agar orang yang mencuri Pe-
dang Merapi Dahana tak tahu dengan keampuhan pe-
dang tersebut.
Sampai larut malam tak terjadi apa-apa. Sampai
bosan rasanya dia menunggu. Hal yang begini memang
sudah sering dialami. Sebab dengan menunggu, pihak
lawan akan memanfaatkan keadaan itu untuk mengge-
rogoti mentalnya.
Tengah dalam keheningan malam yang semakin la-
rut, tiba-tiba Pusparini terusik oleh bayangan berkele-
bat tak jauh darinya. Sesosok tubuh berambut pan-
jang berwarna putih dengan nyata terlihat nangkring
di atas atap rumah. Cahaya bulan sepotong banyak
membantu Pusparini bisa dengan jelas melihat orang
itu.
Orang itulah yang pernah dilihat sewaktu dia mandi
di sungai ketika mencuri pakaian dan Pedang Merapi
Dahananya.
“Kalau penampilan itu disebut sebagai Nyi Wung-
kuk, maka pastilah dia Nyi Wungkuk tiruan. Sebab Nyi
Wungkuk yang asli saat ini sedang semadi di ‘sa-
rang’nya dalam pohon bendo growong,” pikir Pusparini
sambil berancang-ancang untuk menyergap orang itu.
Dan....
Pusparini melesat untuk menubruk orang tersebut.
Gerakan Pusparini dengan paduan ilmu meringankan
tubuh, membuat orang itu tak menduga kalau ada pi-
hak penyerang yang mengincar dirinya.
Tapi segalanya tidak semulus yang diduga Pusparini.
Kurang sejengkal dia berhasil menjambak rambut
itu, tiba-tiba keadaannya berubah. Orang itu menoleh
ke arah Pusparini dan geraknya yang cepat berhasil
menggagalkan renggutan tangan yang menjurus ke
arahnya.
Pusparini berhasil menguasai keadaan yang tidak
menguntungkan ini. Karena tekadnya sudah mengge-
bu untuk meringkus orang itu, maka akibat apapun
dia tak peduli. Pusparini menganggap kesempatan ini-
lah satu-satunya jalan untuk membuka kedok peris-
tiwa yang merugikan dirinya.
Pusparini terus menyerang dengan sabetan kaki.
Harapannya, dengan sabetan pada arah kaki ini bisa
menggoyahkan pertahanan lawan. Perhitungannya, to-
koh-tokoh tua selalu rapuh pada jasmani tulangnya.
Dan gerak kaki adalah sasaran yang fatal apabila bisa
dilumpuhkan pada bagian itu.
Tapi kenyataannya lain. Kena sabetan kaki yang be-
gitu fatal, orang itu tetap tegar. Bahkan Pusparini
mendapat serangan kilas balik yang tak terduga.
“Dia tidak setua yang kuduga! Aku harus yakin apa-
kah dia ini Nyi Wungkuk asli atau palsu. Tapi yang je-
las kehadirannya sangat mencurigakan,” pikir Puspa-
rini sambil terus menghindar mencari peluang.
Baru pada saat terjadi jarak yang cukup renggang
dan bisa mengawasi satu sama lain dengan jelas, maka
orang itu menghentikan serangannya.
“Tunggu!” seru orang itu. “Apakah kau yang kehi-
langan pakaian dan pedang?”
“Apakah aku berhadapan dengan Nyi Wungkuk?”
Pusparini balik bertanya.
“Dia adalah Nyi Wungkuk!” Tiba-tiba terdengar sua-
ra di belakang Pusparini.
Si Walet Emas menoleh dari mana datangnya suara.
Tak jauh darinya, terlihat sosok tubuh bercapil lebar.
“Ki Megatruh?!” tanya Pusparini.
“Dia Nyi Wungkuk yang siang tadi masih melan-
jutkan semadinya. Dia telah kuberitahu masalahmu,
lalu kami memutuskan untuk mencari tempatmu,” ka-
ta Ki Megatruh menjelaskan dengan suaranya yang
mantap.
“Dia... Nyi Wungkuk?”
Terdengar suara Pusparini sambil mengawasi orang
berambut putih dengan punggung bongkok.
“Ya. Dia perlu turun tangan karena ada orang yang
mencemarkan namanya,” kata Ki Megatruh.
Pusparini tak habis pikir. Menurut Man Ndoplang,
Nyi Wungkuk adalah orang yang hidupnya sehari-hari
tergantung dari belas kasih orang-orang di desa itu.
Artinya, Nyi Wungkuk pastilah seseorang yang tua ren-
ta tak bisa mengurusi dirinya sendiri. Tapi mengapa
tiba-tiba Nyi Wungkuk malam ini terlihat hadir dengan
ketegarannya? Jelas terlihat oleh Pusparini, bahwa Nyi
Wungkuk ini adalah seorang wanita tua berumur
hampir tujuh puluh tahun. Belum terlalu tua untuk
bisa disebut wanita jompo.
“Bagaimana jika kita berbicara di dalam?”
Pusparini mempersilahkan kedua ‘tamu’nya. Atas
pertimbangan agar tidak memancing perhatian orang
lain, maka Ki Megatruh menyetujui tawaran Pusparini.
Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam ruangan
tamu.
“Maafkan, kalau saya menuduh Nyai mengambil ba-
rang-barang saya. Kalau tidak ada Ki Megatruh, mung-
kin saya masih penasaran dengan tuduhan saya,” kata
Pusparini mengawali percakapan.
“Tidak apa. Kau orang baru di desa ini,” jawab Nyi
Wungkuk.
Dalam cahaya lampu minyak yang menerangi rua-
ngan itu, Pusparini mencoba mengawasi dengan teliti
wajah orang tua bernama Nyi Wungkuk itu. Terlihat
bekas garis-garis kecantikan pada masa lampau. Ken-
tara sekali bahwa Nyi Wungkuk adalah seorang wanita
yang cantik pada usia mudanya.
Pusparini tak tahu, apakah cacad bongkok pada
punggung Nyi Wungkuk itu cacad sejak lahir atau ka-
rena akibat suatu peristiwa. Tentu saja hal ini tak pan-
tas ditanyakan. Tapi Pusparini yakin, suatu saat raha-
sia tersebut akan bisa diketahui. Paling tidak, peristi-
wanya pasti menarik, kalau akibat cacad tersebut bisa
dikisahkan.
“Nyai merasa punya banyak musuh sehingga ada
pihak yang tega memfitnah Nyai?” tanya Pusparini
sambil memberi isyarat kepada si Thole yang terba-
ngun dari tidurnya agar tetap tenang di tempatnya.
“Kukira Ki Megatruh telah memberitahu kepadamu
tentang nama-nama mereka,” jawab Nyi Wungkuk.
Pusparini mengangguk.
“Nah, sekarang bagaimana kalau kau membantu
aku untuk menangani masalah ini? Kita bahu-mem-
bahu, saling menolong,” saran Nyi Wungkuk. “Pertama
akan kita cari orang yang telah menyamar sebagai di-
riku.”
“Itu gagasan yang baik,” jawab Pusparini dengan
gembira. Paling tidak keberadaannya di desa ini telah
mendapat pendukung.
***
EMPAT
Untuk mengawali kerja tersebut, Pusparini akan
melacak sendirian dulu. Sedangkan Nyi Wungkuk dan
Ki Megatruh akan bertindak sebagai bayang-bayang
untuk memberi bantuan kalau dipandang peristiwanya
semakin membahayakan Pusparini.
Malam itu juga Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh me-
ninggalkan tempat di mana Pusparini bertempat ting-
gal atas kemurahan hati Man Ndoplang.
Tapi tanpa diduga, seperti yang semalam diha-
rapkan Pusparini, ternyata orang-orang Ki Jayenglaga
muncul pada esok harinya.
“Hm! Jadi kalian utusan tuan tanah itu?” tanya
Pusparini.
“Ki Jayenglaga mengundangmu. Ini suratnya!” kata
seorang utusan berperawakan gendut.
Pusparini menerima surat undangan itu. “Unda-
ngan apa ini?! Oh, kukira undangan makan. Tidak ta-
hunya undangan pertandingan ketangkasan.”
“Kami harap kau bisa datang!” kata orang itu.
“Tentu! Katakan kepada tuanmu!” jawab Pusparini
dengan melepas pandangan mengiringi kepergian utu-
san itu.
“Jadi Mbak Rini akan ikut pertandingan itu?” tanya
si Thole.
“Iya! Mengapa kau tampak cemas?”
“Itu pertandingan maut, Mbak.”
“Pertandingan maut?”
“Ya! Tempo hari banyak yang tewas. Tuan tanah itu
hanya mencari jago-jago agar bisa diperalat menjadi
anteknya. Begitu omongan yang banyak kudengar dari
orang-orang yang sering membicarakan,” kata si Thole
menjelaskan dengan wajah serius.
“Benar, Nduk. Hati-hati menerima ajakan tuan ta-
nah itu,” terdengar suara menimpali, yang ternyata
Man Ndoplang yang muncul.
“Oh, Bapak juga mendengar agaknya,” kata Puspa-
rini dengan memberi salam kepada Man Ndoplang yang
baru datang untuk menengok Pusparini.
“Baru kemarin aku mendengar adanya pertandi-
ngan itu. Biasanya dilakukan pada bulan Srada. Tidak
tahunya sebulan lebih cepat. Ini pasti ada sangkut
pautnya dengan kehadiranmu di desa ini,” kata Man
Ndoplang yang sepagi itu datang ke sana memang un-
tuk memberitahukan hal itu kepada Pusparini.
“Saya akan berhati-hati. Doakan saja,” jawab Pus-
parini.
“Aku ikut lihat ya, Mbak?!” pinta si Thole.
“Jangan dekat-dekat panggung. Siapa tahu ada sen-
jata yang nyasar kepada penonton,” jawab Pusparini
sambil mempersiapkan diri.
Sejenak dia termenung. Bayangan sekilas tertuju
kepada Pedang Merapi Dahananya yang hilang. Kini
tanpa senjata itu, dia akan ikut pertandingan yang di-
laksanakan oleh Tuan Tanah Jayenglaga.
Dalam bungkusan yang tersisa di pelana kudanya,
masih ada sebuah senjata lagi sebilah golok miliknya.
Senjata itu dimiliki sebelum dia memperoleh Pedang
Merapi Dahana.
“Kini kau kugunakan lagi seperti pertama kali aku
turun dari Padepokan Canggal,” kata Pusparini sambil
mengelus senjata itu. “Maafkan aku yang selama ini te-
lah menganak-tirikan padamu. Kau tidak marah, bu-
kan?!”
Senjata itu dibelai seperti boneka. Si Thole melihat
perbuatan Pusparini dengan pandang penuh tanda
tanya.
“Apakah senjata bisa diajak berbicara, Mbak?”
tanya si Thole.
“Ya tidak. Ini hanya pendekatan naluri saja. Kalau
ada ‘jodo’, biasanya senjata itu bisa membantu kita
untuk mengatasi segala kesulitan,” jawab Pusparini
dengan pandangan yang terbatas. Sebab hal-hal yang
begini tak bisa diuraikan dengan sekilas ucapan. “Ke-
kuatan alam yang sering kita lihat adalah sebagian ke-
cil dari pancaran kekuasaan Sang Hyang Widhi. Apabi-
la hal itu terpancar lewat sebuah pusaka, maka itu
adalah sebagian kecil dari kekuatanNya juga. Tapi ka-
dang-kadang kekuatan iblis ikut berperan untuk me-
nyesatkan. Maka jadilah senjata itu sebagai alat pem-
binasa tanpa landasan moral,” kata Pusparini lebih
lanjut tanpa peduli apakah si Thole mengerti ulasan-
nya apa tidak.
***
Seperti yang tercantum dalam undangan, maka
Pusparini harus siap di sana sebelum acara utama di-
mulai. Acara utama adalah acara pertandingan antar
jago-jago persilatan. Dan sebelum itu, suasana diisi
dengan acara tari untuk menyemarakkan suasana.
Kesempatan inilah yang dipergunakan Pusparini
untuk melihat tampang Ki Jayenglaga lebih dekat.
Gambarannya bahwa tampang Ki Jayenglaga adalah
seorang tokoh tua dengan tampang kejam, ternyata ke-
liru. Setelah dilihat dengan mata kepala sendiri, ter-
nyata yang dipanggil sebagai tuan tanah ini adalah
seorang laki-laki muda dan tampan. Kulitnya bersih
tanpa cambang dan kumis seperti layaknya tokoh-
tokoh urakan yang bikin sengsara penduduk.
Ki Jayenglaga telah diberitahu tentang kedatangan
Pusparini. Kemudian laki-laki itu mempersilahkan
Pusparini menuju ke tempatnya.
“Maaf, kalau selama ini kau dibuat sibuk oleh anak
buahku,” kata Jayenglaga. “Mungkin itu hanya kesa-
lah-pahaman belaka. Apakah kiranya kau berkenan
mengisi acara yang kuselenggarakan?”
“Tentu, kalau aturan mainnya jujur. Artinya, tak
ada niat-niat yang terselubung dari acara ini. Biasanya
acara begini diselenggarakan oleh kelompok perguruan
persilatan. Tapi di sini tak kulihat tanda-tanda bahwa
penyelenggaranya adalah suatu kelompok perguruan
silat,” kata Pusparini dengan mengumbar pandangan
ke tempat sekelilingnya. Di sana terlihat jago-jago silat
yang bisa diketahui lewat penampilan masing-masing.
“Ini sekedar pertemuan kangen-kangenan saja,” ka-
ta Jayenglaga. “Kukira kau tak keberatan kalau ku-
minta untuk meramaikan. Bagaimana?”
“Aku minta pada nomor terakhir saja,” kata Puspa-
rini mengajukan syarat.
Jayenglaga tersenyum puas sambil mengangguk.
“Kalau begitu, kupersilahkan duduk di sini dulu
sambil menanti giliranmu.”
Pusparini mengambil tempat duduk yang dise-
diakan. Ketika ada hidangan minuman yang disajikan,
dia menolak untuk minum. Dia cukup waspada de-
ngan basa-basi seperti ini. Pengalaman telah cukup
menggembleng dirinya agar waspada dengan tawaran
yang serba manis. Boleh jadi di balik omongan manis
itu terpendam racun yang menggunung.
Pertunjukan pertandingan dimulai dengan pemuku-
lan gong besar. Suaranya berkumandang menarik per-
hatian semua orang. Lalu satu persatu adu ketangka-
san bela diri dipertunjukkan. Dari sini Pusparini baru
tahu, bahwa semakin menginjak urutan nomor ter-
akhir, sarananya semakin berat. Artinya, jago-jago silat
itu semakin dituntut mempergunakan senjata paling
andal. Bahkan tokoh-tokohnya pun semakin memiliki
kemampuan tingkat tinggi.
Karena setiap pemenang namanya diumumkan,
Pusparini jadi tahu siapa-siapa mereka yang menjadi
pemenang. Sampai pada tingkat akhir maka muncul-
lah nama-nama Klabang Ireng, Jrangkong Langit, dan
Sawer Jenar!
Satu persatu tokoh-tokoh ini berhasil memenang-
kan pertandingan. Akhirnya bisa diketahui oleh Puspa-
rini bahwa pertandingan itu hanya untuk merebut
nomor pemenang tiga nama besar! Berarti kalau dia
menghendaki termasuk tiga besar, Pusparini harus
mengalahkan salah seorang di antara mereka
Sebelum giliran Pusparini tampil ke depan, tiba-tiba
melesat sebuah benda kecil dan menancap di sisinya.
Semula Pusparini mengira bahwa benda itu adalah
senjata rahasia yang luput mengenai sasaran. Setelah
diteliti ternyata ada buntalan lontar pada benda yang
menancap di sampingnya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Pusparini
mengambilnya dengan hati-hati dan mencoba membu-
ka buntalan lontar tersebut. Di sana tertulis: ‘Klabang
Ireng, Jrangkong Langit, Sawer Jenar adalah Tiga Se-
rangkai. Hati-hati menghadapinya!’
“Hm! Suatu peringatan yang tampaknya bersaha-
bat. Apakah Ki Megatruh yang mengirimkan?” pikir
Pusparini. Paling tidak pesan itu bisa membuat Puspa-
rini bertindak hati-hati. Tapi dengan lawan perta-
manya, dia belum tahu.
Ketika nama-nama itu diumumkan sebagai nama
tiga besar yang tetap menduduki kejuaraan, kini Pus-
parini dinyatakan sebagai penantang utama.
Tentu saja hal ini menimbulkan protes dari bebe-
rapa pihak karena tampilnya Pusparini dianggap me-
nyalahi ketentuan yang biasa berlaku. Hanya berkat
wewenang Ki Jayenglaga maka semua protes bisa di-
gugurkan. Pusparini dianggap penantang kehormatan.
“Semua seperti telah direncanakan bahwa aku akan
berhadapan dengan ketiga tokoh itu. Tapi mengapa
aku tadi memilih nomor terakhir? Tapi kalau si Ja-
yenglaga punya wewenang seperti itu, tampaknya se-
mua akan berlangsung seperti apa yang dikehendaki,”
pikir Pusparini sambil mempersiapkan dirinya.
Undian pertama ternyata jatuh pada Sawer Jenar
yang harus berhadapan dengan Pusparini.
Sawer Jenar berperawakan seperti orang yang ‘tidak
ada apa-apanya’. Tubuhnya biasa saja. Rambutnya se-
bahu berwarna agak kecoklatan. Pandangan matanya
seperti orang yang selalu ngantuk. Tapi dua alisnya
yang bertaut itu membuat penampilannya bisa ditakuti
lawan. Ibarat ular, dia bisa menyerang tanpa memberi
tanda bahaya terlebih dahulu.
Ketika berhadapan dengan Pusparini, dia hanya pa-
sang kuda-kuda merenggangkan kaki saja. Kedua tan-
gannya lunglai sejajar dengan pinggangnya. Tapi ketika
Pusparini mencoba menggertak dengan gerak kemban-
gan, kontan si Sawer Jenar mengambil gerakan dengan
melebarkan rentangan tangannya. Kedua tangannya
bergerak gemulai, menggambarkan patukan dua ekor
ular yang siap menghadapi lawan.
Mulanya Pusparini sangat sulit membaca taktik la-
wan. Paling tidak dia akan mengeluarkan jurus walet-
nya dengan liukan gerak yang gesit untuk membuka
jurus serangan pertama ini.
Dan itu benar-benar dilakukan Pusparini.
Melihat serangan lawan, maka si Sawer Jenar me-
ngembangkan jebakan agar si penyerang terperangkap
pada jurus ‘Belitan Naga Mabuk’.
Tapi si Walet Emas waspada. Sebelum dia masuk
perangkap, maka tendangan kakinya telah menghun-
jam ke dada lawan. Akibatnya, jurus jebakan si Sawer
Jenar buyar berantakan dengan limbungnya tubuh ke
belakang.
Untung dia cepat menguasai keadaan dengan me-
maku pijakan di tanah. Rupanya disini dia telah me-
ngerahkan semacam ilmu kanuragan ‘paku bumi’ agar
tubuhnya tidak berlarut-larut terpental.
Pusparini yang memperkirakan pihak lawan akan
mencelat sekitar tiga tombak kena tendangan kakinya,
kini jadi tahu kebolehan lawan. Untuk tidak memberi
kesempatan pada lawan mengatur serangan, maka
Pusparini menggenjot lagi dengan terjangan jurus ‘Wa-
let Menukik Mangsa’. Artinya, dengan gerak me-
lambung ke atas maka rentangan tangan Pusparini
akan menyerang bagaikan sergapan supit urang. Se-
dangkan kedua kakinya siap pula menerjang kalau
sergapan ini dibuyarkan oleh tangkisan lawan.
Melihat jurus serangan macam ini maka Sawer Je-
nar mencoba mengecoh lawan dengan pancingan gerak
tipu. Karena dia menguasai jurus ular dan sebang-
sanya, maka tubuhnya ditekuk ke belakang. Dengan
gerakan ini, maka lawan akan ragu-ragu arah mana
yang akan dilontarkan oleh Sawer Jenar.
Ketika Pusparini sudah terlanjur menukik, maka
Sawer menggerakkan tubuhnya meliuk ke kiri yang se-
lanjutnya mengadakan ‘pagutan’ lewat sergapan ta-
ngan yang mengarah pada lambung lawan.
Tapi Pusparini yang sudah memperhitungkan se-
mua serangan lawan, maka kakinyalah yang kini ber-
peran. Sergapan Sawer Jenar dibuyarkan dengan terja-
ngan putaran kaki yang menyabit, sehingga kedua ta-
ngan lawan bergetar karena dilanda hantaman cada-
ngan ini.
Setiap orang yang menyaksikan taktik ini sempat
dibuat terperangah. Tidak biasanya Sawer Jenar meng-
alami keteledoran seperti itu. Ini yang membuat dia
semakin kehilangan kendali. Apalagi dianggapnya la-
wannya kali ini cuma seorang wanita yang masih ‘hi-
jau’, maka dirinya yang merasa dipecundangi kini
menjadi kalap.
Melihat sikap Sawer Jenar ini Pusparini segera
mempersiapkan diri dengan berancang-ancang meng-
ubah jurus serangan dengan mengincar lambung la-
wan. Sebab sejak tadi si Sawer Jenar agaknya selalu
melindungi lambung kanannya yang kelihatan dibalut
ketat.
Pusparini memang mempertaruhkan serangannya,
bahwa di bagian tubuh itu terletak kelemahan lawan.
Kalau perhitungannya benar, dia akan bisa memperce-
pat menyelesaikan pertarungan ini.
Serentak dengan berakhirnya perhitungan ini, maka
terlihat Sawer Jenar menegang ke arah Pusparini. Si
Walet Emas yang telah mempersiapkan taktik sera-
ngan segera merobohkan tubuhnya ke depan. Dia akan
melancarkan serangan ‘Tukikan Burung Walet ke Atas
Air’. Gerakannya yang akan berkembang dengan li-
ukan ke atas, diharapkan akan mampu ‘menyendok’
tubuh Sawer Jenar.
Rencana Pusparini berhasil. Karena semua dilaku-
kan dengan cepat di luar perhitungan lawan, akhirnya
Sawer Jenar kena gampar arah lambungnya sehingga
meliuk ke atas. Belum sempat dia mengatur pertaha-
nan lagi, si Walet Emas telah mengulangi dengan gam-
paran yang beruntun sehingga Sawer Jenar menjerit
kesakitan.
Memang benar. Pada arah lambung itu terletak ke-
lemahan Sawer Jenar, karena pernah terluka sewaktu
berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh.
Dari kejauhan ada seorang penonton yang terse-
nyum menyaksikan keadaan itu, orang yang bercapil
lebar yang tiada lain adalah Ki Megatruh.
“Bagus! Lambung itu memang pernah terluka oleh
golokku,” kata Ki Megatruh lirih yang seakan-akan per-
cakapan itu hanya untuk didengar sendiri.
Tapi orang yang berada di sebelahnya cukup men-
dengar.
“Dia memang bisa diandalkan. Mudah-mudahan ini
akan mendobrak jalan yang selama ini sulit kita tem-
bus,” kata orang itu yang tiada lain adalah Nyi Wung-
kuk. Tampilnya Nyi Wungkuk di sana tidak banyak
menarik perhatian orang, sebab dia tampil dengan pe-
nyamaran kerudungnya. “Dia harus selalu waspada
dengan tindakan-tindakan licik dari Tiga Serangkai
itu.”
“Aku sudah memperingatkannya. Mudah-mudahan
dia cukup waspada,” kata Ki Megatruh.
Kekalahan Sawer Jenar mengharuskan Jrangkong
Langit tampil menggantikannya. Langsung tokoh ini
menggelar sikap dengan serbuan badai gurun. Jrang-
kong Langit memang menguasai angin pukulan yang
bisa menimbulkan semburan pasir.
Melihat keadaan ini, kontan Walet Emas mengeluar-
kan jurus terbangnya. Dia meliuk ke atas lalu bergulir
untuk membuyarkan pertahanan lawan, yang kemu-
dian menerobos ke belakang. Lawan yang kesulitan
mengimbangi gerakan ini, akan dengan mudah bisa di-
lumpuhkan dari belakang.
Tapi ternyata perhitungan Pusparini keliru.
Jrangkong Langit masih mampu menguasai diri
sambil terus mengibaskan pukulan angin pasirnya.
Pusparini mencoba mengatasi dengan berkelit lagi
ke atas. Tapi gerak inipun diburu terus oleh sambaran
pukulan Jrangkong Langit.
Pusparini agak kewalahan. Untung ada pikiran un-
tuk menerobos ke samping kanan, suatu peluang yang
dibiarkan kosong oleh Jrangkong Langit ketika menco-
ba memberi jebakan ke arah Pusparini dengan ‘Kiba-
san Kupu Tarung’. Pada posisi ini Pusparini mendapat
peluang untuk menohok ke arah dada lawan.
Mendapat serangan macam ini, si Jrangkong Langit
kehilangan kuasa diri. Tapi secepat itu pula dia men-
coba menguasai keadaan dengan mencabut senjatanya
yang bertengger di punggungnya.
Shring! Trang! Dua bilah senjata beradu.
Itu terjadi tatkala Pusparini pun bertindak serupa
ketika dilihatnya lawan telah mencabut senjatanya.
Kemudian terjadilah baku hantam dengan saling tebas
dengan pedang.
Keadaan inilah yang paling disenangi para penon-
ton, sebab arena tandingnya akan menjalar ke atas
tonggak-tonggak runcing.
Dalam kesempatan ini Jrangkong Langit benar-be-
nar pamer kebolehan. Setiap orang tahu bahwa yang
begini sangat diharapkannya, karena dengan mudah
akan bisa menundukkan lawannya.
Tapi benarkah akan semudah itu bisa menunduk-
kan si Walet Emas? Ternyata Jrangkong Langit meng-
alami hambatan ketika melakukan serangan gencar
seperti yang lazim dia lakukan. Sepertinya Pusparini
dapat membaca setiap rencana geraknya sehingga se-
mua serangannya bisa digagalkan.
Melihat hal ini Klabang Ireng segera melesat ke te-
ngah gelanggang.
Tentu saja sambutan cemoohan segera meledak.
Tindakan mengroyok dipandang sebagai perbuatan ku-
rang ksatria. Tapi kalau hal itu diperkenankan oleh pi-
hak penyelenggara, maka semua cemoohan akan di-
anggap angin lalu saja.
Setiap orang tahu bahwa pertandingan ini adalah
tontonan yang tidak bermutu. Mereka tahu bahwa
Tuan Tanah Ki Jayenglaga hanya mencari jago andalan
saja yang mungkin bisa dimasukkan ke dalam kelom-
pok kaki tangannya. Dan sampai begitu jauh, hanya
Klabang Ireng, Jrangkong Langit dan Sawer Jenar yang
setia mendampingi.
Selama Pusparini dikeroyok Jrangkong Langit dan
Klabang Ireng, maka Jayenglaga memperhatikan de-
ngan seksama tanpa melewatkan satu juruspun. Hati
kecilnya sangat memuji ketangkasan Pusparini yang
semula dipandang sebagai orang yang harus disingkir-
kan, karena melihat anak buahnya membunuh buro-
nannya.
Jayenglaga memang memutuskan untuk bertindak
hati-hati dalam menangani kehadiran Pusparini. Pada
awalnya telah dikirim anak buahnya yang cuma kelas
teri untuk menjajagi siapa sebenarnya Pusparini.
Dan pembunuhan itu sendiri seharusnya tak boleh
ada saksi di luar orang-orangnya. Dia telah menindak
seorang punggawa pamong praja sampai terbunuh da-
lam peristiwa di pinggir sungai tempo hari. Kalau sam-
pai hal ini tercium oleh pihak pamong praja yang ber-
kuasa di kadipaten, pasti dirinya akan ditindak. Itulah
alasannya mengapa dia harus berhati-hati untuk me-
nindak Pusparini.
Di sisi lain Pusparini yang belum tahu tujuan akhir
dari permainan ini, hanya meladeni saja. Kalau hal ini
sampai terjadi pertumpahan darah dengan renggutan
nyawa, maka akan banyak saksi yang melihat. Tapi
rupanya pertandingan ini tidak akan sampai mengarah
ke sana, walaupun senjata tajam telah mereka pergu-
nakan. Sebab kalau sampai melukai dengan keadaan
parah, maka pertandingan akan dihentikan.
Itu adalah peraturan semula. Soal menghentikan
atau tidak, akan tergantung keputusan Jayenglaga
sendiri. Dia akan melambaikan kain merah sebagai
tanda bahwa yang tak berdaya boleh dibunuh di arena
itu. Peraturan seperti itu telah dipahami oleh Pusparini
sebelum dia terjun ke gelanggang. Peraturan yang ter-
tulis telah dibacanya sambil menyaksikan pertandi-
ngan pemula yang sudah lewat tadi. Itu sebabnya dia
merasa lega ketika telah memutuskan memilih nomor
terakhir pertandingan itu.
“Dia memang tangguh,” bisik Ki Jayenglaga kepada
pembantu dekatnya yang duduk di sampingnya. “De-
ngan cara ini kita sulit untuk menyingkirkannya.”
“Saya kira ada gagasan lain untuk membuat dia tak
bisa berkutik,” saran pembantunya.
“Apa itu?” tanya Jayenglaga tanpa mengalihkan per-
hatiannya terhadap Pusparini yang dengan gencar
menghadapi serangan Jrangkong Langit dan Klabang
Ireng.
“Jelas sangat sulit kita menggacokan Tiga Serangkai
untuk menindaknya. Kita harus mencari cara lain. Be-
berapa waktu yang lalu, saya telah memasang ‘telik
sandi’ untuk selalu mengikuti gerak-geriknya. Ternyata
dia telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk!” kata
pembantu Jayenglaga.
“Apa? Dia telah berhubungan dengan Nyi Wung-
kuk?!” sahut Jayenglaga dengan nada meninggi se-
hingga anak buahnya yang lain menoleh ke arahnya.
“Bagaimana dia bisa melangkah sejauh itu? Selama ini
Nyi Wungkuk kita ketahui sebagai wanita tua yang ti-
dak mau kita rangkul. Kita tahu Nyi Wungkuk punya
kebolehan yang tetap dipendam. Kalau sampai gadis
itu telah berhubungan dengan Nyi Wungkuk, kita akan
bertambah kesulitan besar. Kalian harus cari jalan un-
tuk menyingkirkannya tanpa dicurigai oleh siapa pun!”
Pesan sekilas itu rupanya jadi perintah resmi.
Sementara pertandingan masih berlangsung, tiba-
tiba di suatu bagian dari arena pertunjukan itu timbul
kebakaran. Tentu saja hal ini menimbulkan kepanikan
para penonton. Mereka berhamburan untuk menyela-
matkan diri. Para anak buah Jayenglaga yang punya
tugas menjaga keamanan dibuat sibuk karena peris-
tiwa ini.
“Kita hentikan pertandingan ini!” seru Klabang Ireng
kepada Pusparini.
“Baik! Harap diketahui, aku belum kalian kalahkan.
Bahkan nomor ini masih aku menangkan karena ka-
lian mengroyok aku!” sumbar Pusparini.
“Akan kita lanjutkan dengan cara kita sendiri, tanpa
wasit dan penyelenggara!” tangkis Klabang Ireng. De-
ngan sekali genjot, maka kepergiannya diikuti oleh dua
rekannya, yakni Jrangkong Langit dan Sawer Jenar.
“Hei, ke mana kalian?!” seru Ki Jayenglaga yang me-
lihat gaconya meninggalkan gelanggang.
Klabang Ireng masih sempat meninggalkan pesan,
“Kami akan menyelesaikan dengan cara kami sendiri.
Maafkan kami!” Lalu Tiga Serangkai itu tidak terlihat
sosok tubuhnya lagi.
Kini tinggal Pusparini yang masih tegak di sana
sambil mengawasi Jayenglaga.
“Sayang aku tidak bisa meladeni acaramu. Maaf,
aku harus pergi pula,” kata Pusparini sambil melesat
meninggalkan tempat itu.
Sementara anak buahnya sibuk memadamkan ke-
bakaran, maka si tuan tanah ini tegak di tempatnya
sambil memendam kemarahan. Dia segera menaruh
curiga, jangan-jangan kebakaran itu adalah ulah ta-
ngan-tangan jahil yang sengaja mengacaukan pertan-
dingan itu.
***
LIMA
Pusparini baru tahu bahwa yang menyulut kebaka-
ran itu adalah si Thole. Hal itu diketahui sesampai di
rumah Man Ndoplang dan diceritakan oleh si Thole
sendiri.
“Bagaimana kau begitu berani melakukannya?” ta-
nya Pusparini.
“Nyi Wungkuk yang menyuruh,” jawab si Thole.
Pusparini termenung. Dia sudah menduga. Tapi tak
pernah berpikir kalau hal itu dilakukan lewat tangan si
Thole.
“Bagus. Kau telah berjasa,” kata Pusparini sambil
menthowel dagu si Thole. “Apakah tidak ada pesan dari
Nyi Wungkuk?”
“Mbak Rini disuruh ke Bendo Growong,” kata si
Thole.
“Baik. Aku segera ke sana,” kata Pusparini yang be-
ranjak pergi.
“Tidak sekarang, Mbak. Tapi nanti malam.”
“Nanti malam? Ah, yang bener. Kau tidak salah
dengar?”
“Tidak. Ini benar-benar pesan Nyi Wungkuk,” kata
si Thole meyakinkan.
Pusparini termenung lagi. Banyak masalah yang dia
tidak mengerti. Keterlibatannya dengan tokoh bernama
Jayenglaga dan Nyi Wungkuk sendiri belum menimbul-
kan titik terang di mana dia akan menemukan Pedang
Merapi Dahana yang dicuri orang.
***
Ketika saat yang dinanti telah tiba, maka malam
harinya Pusparini berangkat ke tempat Nyi Wungkuk.
Pergi ke sana pada malam hari memang membuat eng-
gan. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang menguntung-
kan dirinya dengan kedatangannya ke Bendo Growong
itu? Dengan tindak hati-hati Pusparini menapak jala-
nan yang gelap. Suasana tidak segelap bayangannya.
Bulan memberi penerangan yang agak lumayan mes-
kipun dirinya berjalan tanpa mempergunakan obor.
Tapi sebelum sampai di tempat yang dituju, tiba-
tiba Pusparini melihat sesosok tubuh menghadang ja-
lannya. Sesaat kecurigaan timbul. Tapi setelah diamati
dengan teliti, ternyata sosok tubuh itu adalah orang
yang dikenalnya.
“Ki Megatruh?!” kata Pusparini.
“Hendak ke mana kau malam-malam begini?” tanya
laki-laki itu.
“Nyi Wungkuk berpesan agar saya datang ke Bendo
Growong malam ini,” jawab Pusparini.
Ki Megatruh agak heran mendengar pesan itu.
“Siang tadi kami memang bersama-sama menyatroni
pertandinganmu,” kata Ki Megatruh. “Karena dia tak
ingin dirimu terjebak berlarut-larut dalam kancah per-
tandingan, maka dilakukan tindakan seperti itu.”
“Dia menyuruh si Thole membakar pondok di bela-
kang panggung itu, bukan?” kata Pusparini untuk me-
yakinkan cerita si Thole.
“Yha!”
“Dan Nyi Wungkuk berpesan agar aku menemuinya
malam ini di Bendo Growong,” kata Pusparini lagi.
“Oh, begitu? Pesan yang seperti itu aku tidak men-
dengar. Mungkin saat itu aku agak menjauh darinya,
sehingga tidak kudengar pesan seperti itu,” kata Ki
Megatruh. “Tapi... ketahuilah. Aku baru saja ke sana
sore tadi. Sampai malam ini pun tak kulihat Nyi Wung-
kuk di tempat kediamannya.”
“Tidak ada di tempatnya?” kata Pusparini. “Ke ma-
na?”
“Aku tak tahu. Selama ini aku memang menjaga ke-
selamatannya. Ini memang mengandung latar belakang
masa lampau yang panjang,” kata Ki Megatruh dengan
suara berat, seakan-akan memendam perasaan yang
tertekan.
“Saya jadi ingin mengetahui latar belakang riwayat-
nya,” kata Pusparini sambil menuruti ajakan Ki Mega-
truh untuk duduk di bawah lindungan pohon blinjo.
Tempat itu jauh dari pemukiman. Lalu dibuatnya api
unggun di tempat itu.
“Jadi.... Ki Megatruh ini... pengawal Nyi Wungkuk?”
tanya Pusparini. “Kalau disebut pengawal, pasti ada
hubungannya antara abdi dan tuannya.”
“Nyi Wungkuk itu masih berdarah biru, masih turu-
nan bangsawan. Hanya nasib buruk saja yang mem-
buat dia tersingkir dari lingkungan priyayi!” kata Ki
Megatruh membuka percakapan.
“Dan cacat itu pasti bukan sejak lahir,” tanya Pus-
parini memancing, karena dilihatnya Ki Megatruh ma-
sih belum melanjutkan ceritanya.
“Memang bukan! Itu karena penyiksaan yang dila-
kukan oleh Nyi Blengoh.”
“Nyi Blengoh? Siapakah Nyi Blengoh itu?”
“Isteri muda Adipati Agung Sedayu,” jawab Ki Me-
gatruh dengan suara bergetar.
“Jadi Nyi Wungkuk dulunya istri Adipati Agung Se-
dayu yang pertama?”
“Benar!”
“Astaga! Istri seorang Adipati?” terdengar suara
Pusparini dengan nada kagum. “Kapan terjadinya?”
“Saat ini usia Nyi Wungkuk hampir tujuh puluh ta-
hun. Peristiwa itu sendiri telah berlalu dari empat pu-
luh tahun yang lalu,” kata Ki Megatruh lebih lanjut.
“Dia tersisih dari kalangan ningrat, dan kini memen-
dam dendam. Tapi Nyi Blengoh sampai saat inipun ti-
dak tinggal diam. Masing-masing sedang menanti saat
untuk meledakkan dendamnya.”
“Tak kuduga kalau sampai begitu memilukan nasib
yang menimpa Nyi Wungkuk,” gumam Pusparini de-
ngan perasaan yang larut dalam kesedihan. “Lalu, di
manakah Nyi Blengoh sekarang?”
“Tentu saja masih berada di Kadipaten Sedayu. Se-
dangkan Adipati Agung Sedayu sendiri telah mangkat
beberapa tahun yang lalu,” kata Ki Megatruh. “Nama
Nyi Wungkuk yang kini dikenal banyak orang hanya
sebutan perlindungan saja. Nama sebenarnya adalah
Nyi Saraswati.”
“Nyi Saraswati? Nama yang indah. Tentunya Nyi
Wungkuk pada masa mudanya merupakan wanita
yang cantik,” sela Pusparini memberi penilaian.
“Ya! Dia memang wanita cantik...!” kata Ki Megatruh
pelan.
Hening sesaat. Pusparini mencoba meresapkan ke-
terangan-keterangan itu yang berkaitan dengan kebe-
radaan Nyi Wungkuk, lalu mencoba mengambil kesim-
pulan tentang peranan Ki Megatruh yang tetap setia
mendampingi Nyi Wungkuk.
“Pasti... Ki Megatruh bukan abdi Nyi Wungkuk,” ti-
ba-tiba Pusparini memecah kesunyian.
Laki-laki itu menoleh. Bayangan api unggun yang
memberi penerangan antara tampak dan tiada, mem-
beri kesan misterius pada wajah laki-laki ini.
“Apa maksud pertanyaanmu, Nduk?” tanyanya.
Dipanggil ‘nduk’ yang merupakan singkatan dari
‘gendhuk’, Pusparini tiba-tiba merasa akrab dengan
laki-laki bernama Ki Megatruh. Sekilas dia teringat
akan sosok penampilan almarhum ayahnya sendiri.
Tegap dan kekar walaupun sudah berusia tujuh pulu-
han. Tak jauh beda dengan Ki Megatruh.
“Maaf, atas kelancangan pertanyaan saya, Ki. Tapi
saya ingin tahu lebih banyak tentang hubungan Ki Me-
gatruh dengan Nyi Wung... eh... Saraswati itu!” kata
Pusparini dengan pandangan tajam seperti ingin me-
nembus benak Ki Megatruh untuk mengetahui segala
rahasia yang terselubung.
“Pertanyaan nakal,” jawab Ki Megatruh sambil ter-
senyum. “Pertanyaanmu terdorong oleh gejolak usia-
mu. Apakah kau sendiri pernah jatuh cinta?”
Pusparini menunduk sambil mengawasi api un-
ggun. Tangannya mempermainkan ujung kembennya
yang terjuntai. Pertanyaan kilas balik dari Ki Megatruh
sangat menggigit perasaannya. Ya! Pernahkah ia jatuh
cinta? Pernahkah? Pertanyaan inilah yang membuat
dirinya menunduk menekuri nasibnya sendiri. Dia ta-
hu, wanita seusianya sudah seharusnya membina ru-
mah tangga. Tapi bagaimana pula, kalau hal itu belum
memungkinkan untuk berpikir ke sana? Keadaan yang
digeluti membuat dirinya tak ada kesempatan untuk
merenungkan masalah itu. Walau pada saat-saat sepi
sekalipun.
“Wanita selalu malu kalau disuruh mengungkap pe-
rasaannya,” terdengar suara Ki Megatruh. “Tapi kalau
hal itu kau tanyakan padaku, aku akan menjawab tan-
pa tedeng aling-aling, bahwa aku sangat mencintai Nyi
Saraswati, yang dikenal oleh orang-orang kini dengan
panggilan Nyi Wungkuk! Aku mencintai sejak dulu,
pertama kali bertemu sebelum dia dipersunting oleh
Adipati Agung Sedayu, bahkan sampai sekarang dalam
keadaannya yang terbuang itu.”
“Lalu... tanggapan Nyi Saraswati bagaimana?” desak
Pusparini yang penasaran ingin tahu tentang kisah
asmara Ki Megatruh.
“Sejak dulu dia tahu perasaanku. Tapi hatinya telah
tertambat oleh Adipati Agung Sedayu itu. Kami pernah
seperguruan ketika masih remaja. Lalu dia dipersun-
ting oleh Adipati itu. Untuk beberapa waktu, kami ber-
pisah. Perkawinannya dengan Adipati Agung Sedayu
hanya membuahkan seorang putra. Tapi anak itu pada
usia tiga tahun diculik oleh gerombolan pengacau yang
didedengkoti oleh Simbar Menjangan. Karena tidak
mendapat putra lagi, maka Adipati Agung Sedayu
mempersunting wanita lagi. Dialah Nyi Blengoh. Wani-
ta ini pun berasal dari suatu perguruan. Jadi boleh di-
kata, Adipati Agung Sedayu selalu mendambakan wa-
nita yang paling tidak bisa menguasai ilmu bela diri.
Dari perkawinannya dengan Nyi Blengoh, sang Adipati
mendapat dua orang keturunan. Seorang putra dan se-
orang putri. Kini masing-masing telah ‘jadi orang’ dan
memegang jabatan penting di jajaran Kadipaten Se-
dayu.”
“Tapi bagaimana kisahnya tentang Nyi Saraswati
yang sampai tersingkirkan dari kadipaten?” tanya Pus-
parini setelah untuk beberapa saat Ki Megatruh ber-
diam diri.
“Sifat dengki ternyata bercokol di lubuk hati Nyi
Blengoh. Rupanya dia ingin menghaki peranannya se-
bagai permaisuri tunggal di Kadipaten Sedayu. Dia be-
nar-benar berupaya untuk itu...!” kata Ki Megatruh
dengan batuk-batuk kecil.
Ternyata batuk-batuk kecil ini hanya suatu tipuan
saja untuk menghentikan ceritanya. Ki Megatruh tahu
bahwa ada seseorang yang datang ke sana yang tiada
lain Nyi Wungkuk yang sedang jadi bahan pembicara-
annya.
Pusparini cepat berdiri dari tempatnya ketika meli-
hat tokoh wanita tua berpunggung bungkuk itu. Seki-
las hatinya terharu kalau teringat pengakuan Ki Me-
gatruh tentang wanita itu.
“Rupanya kau telah menceritakannya,” terdengar
suara Nyi Wungkuk dengan menghela napas panjang.
“Maafkan aku,” kata Ki Megatruh.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” jawab Nyi Wung-
kuk. “Aku telah memanggil Pusparini yang tujuannya
memang untuk itu. Aku juga ingin menceritakan latar
belakang semua peristiwa yang membuatku begini. Ka-
rena kini tiba saatnya aku akan bertindak mengada-
kan perhitungan.”
“Jadi benar yang telah diceritakan oleh Ki Mega-
truh?” kata Pusparini.
“Jadi kau tadi masih meragukan?” tanya Nyi Wung-
kuk dengan suara iba.
“Tt... tidak! Hanya saja hampir-hampir tak percaya
ada nasib begitu malang menimpa diri Nyi Saraswa-
ti...!” jawab Pusparini dengan nada kelu. Terasa ada
kabut keprihatinan menyapu wajah si Walet Emas ini.
“Hsstt...! Jangan panggil namaku yang itu. Saras-
wati telah mati. Saraswati yang dulu dicintai oleh pe-
muda bernama Megatruh, telah mati. Saraswati yang
tidak mengindahkan cinta pemuda Megatruh telah tia-
da....! Oh, alangkah sakit penyesalan itu. Aku hanya
memburu kedudukan dan sanjungan. Suatu impian
setiap gadis di Pedukuhan Klampis. Siapa yang tidak
gandrung dengan hidup yang serba gemerlapan? Tapi
semua tidak selanggeng yang kuimpikan. Malapetaka
itu datang dengan rentetan peristiwa yang tak ku-
bayangkan. Dan akhirnya inilah aku, terhempas sam-
pai di sini...!” ucapan ini meluncur dari suara Nyi
Wungkuk dengan nada bergetar. Jelas terasa ada nada
kesedihan yang diperam dalam panas api dendam yang
membara.
“Beberapa hari yang lalu saya telah kehilangan pe-
dang. Seseorang telah mengambilnya dengan sosok pe-
nampilan bagai Nyi Wungkuk. Apakah ini bukan ulah
seseorang yang ingin mencemarkan nama Nyi Wung-
kuk?” kata Pusparini.
“Mulanya aku tak percaya dengan penjelasan Ki Me-
gatruh bahwa ada orang yang menyamar seperti pe-
nampilanku. Hal ini telah menimbulkan kecurigaanku,
pasti keberadaanku di sini telah tercium oleh Nyi Ble-
ngoh,” kata Nyi Wungkuk.
“Tapi Ki Megatruh pernah menjelaskan kepada saya
bahwa ada musuh-musuh Nyi Wungkuk di sini. Me-
reka adalah Jrangkong Langit, Klabang Ireng dan Sa-
wer Jenar. Yang saya ingin tahu, sampai berapa jauh
permusuhan itu terhadap Nyi Wungkuk?” tanya Pus-
parini dengan menumpuk kayu api unggun agar nya-
lanya berkobar kembali.
“Belum sampai pada tingkat yang parah. Tapi me-
reka telah lama menyatroni aku. Mungkin keberada-
annya di desa ini hanya untuk menyelidiki siapa aku
sebenarnya. Dugaanku, pasti mereka dikirim oleh Nyai
Blengoh. Dan di sini mereka menyamar diri sebagai ja-
goan yang dipelihara oleh Jayenglaga, si tuan tanah
itu.”
“Kalau begitu, masalahnya tinggal siapa yang terle-
bih dulu menggebrak dengan tindakan. Memang sulit
diramal, apakah Tiga Serangkai itu telah tahu siapa
Nyai sebenarnya,” kata Pusparini mencoba memberi
pandangan sambil mengawasi Ki Megatruh yang sejak
kehadiran Nyi Wungkuk, laki-laki itu tetap membisu.
“Aku pernah bentrok dengan salah seorang di an-
tara mereka, yaitu si Sawer Jenar. Lambungnya per-
nah terluka oleh senjataku. Itu sebabnya sampai saat
ini perutnya selalu dibalut dengan ketat,” terdengar
suara Ki Megatruh mengisi percakapan. “Siasatmu se-
waktu melumpuhkan dia sangat jempol. Memang di
bagian lambung kelemahan dirinya sekarang.”
“Jadi kalau mereka suatu ketika berpapasan de-
ngan Ki Megatruh, pasti terjadi bentrokan, bukankah
begitu?” tanya Pusparini memancing. Sebab kalau saja
Tiga Serangkai mau klayapan di kawasan Bendo Gro-
wong, pasti dengan mudah bisa berhadapan dengan Ki
Megatruh, dan bentrokan terjadi.
Ternyata penilaian Pusparini keliru.
“Tidak,” jawab Ki Megatruh. “Sampai demikian jauh
mereka tak berani memulai lagi untuk bikin kericuhan
terlebih dulu. Aku sendiri mulanya tidak tahu apa se-
babnya. Tapi akhirnya sikap mereka bisa kulacak. Itu
karena perintah Nyi Blengoh! Jelas sudah bahwa me-
reka adalah mata-mata yang dipanjer oleh Nyi Blengoh
untuk mengawasi Nyi Wungkuk. Yang bisa kuraba,
pasti Nyi Blengoh sedang mempersiapkan diri untuk
bisa menindak Nyi Wungkuk. Saat ini mungkin dia
masih ragu-ragu, apakah Nyi Wungkuk adalah Nyi Sa-
raswati yang dahulu pernah disingkirkan.”
“Suatu rahasia yang sebenarnya dengan mudah bi-
sa dilacak,” kata Pusparini.
“Ini soal harga diri, Nduk,” sela Ki Megatruh. “Akan
tercela kalau dia sampai bertindak gegabah. Di Kadipa-
ten Sedayu, putranya yang bernama Basunanda men-
jadi adipati pengganti ayahnya. Sedangkan anak pu-
trinya, Pandansari, menjadi wakil adipati. Sampai saat
ini anak gadisnya tetap tidak berniat disanding oleh
pria. Memang tak ada seorang pria pun yang berani
mendekatinya. Dia dikenal seorang wanita yang judes
dan tinggi hati.”
“Rupanya mereka sedang menanamkan trah kelu-
arga agar langgeng dalam lingkungan kadipaten. Tapi
satu hal yang saya belum tahu, bagaimana Nyi Wung-
kuk bisa tersingkir? Apakah hal itu tidak bisa ditang-
gulangi sejak awal?” tanya Pusparini yang semakin
menggebu ingin tahu.
“Kalau itu suatu pengkhianatan, pastilah telah di-
rencanakan dengan matang. Dan benar-benar terjadi
menimpaku. Aku difitnah sehingga Adipati Agung Se-
dayu murka. Aku dikatakan punya niat untuk menying-
kirkan kedua anak mereka. Tentu saja aku mengelak
tuduhannya. Tapi si Blengoh bersikeras bisa membuk-
tikan fitnahan itu. Aku diadili dengan tuduhan yang
dibuat-buat. Aku dipaksa meminum minuman yang
beracun. Aku nekad membuktikan bahwa itu bukan
kerjaku. Itu cuma fitnah. Tapi sang Adipati yang telah
mabuk kepayang dengan cumbu rayu si Blengoh, tetap
menghendaki pengadilan itu. Akhirnya aku meminum
minuman beracun itu sebagai bukti bahwa aku tak
bersalah.”
“Lalu?” tanya Pusparini tidak sabar lagi karena Nyi
Wungkuk menghentikan kisahnya.
“Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian setelah
minuman itu kuminum. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika aku sadar, telah kulihat Ki Megatruh berada di
sampingku. Aku telah berada di tempat lain...!” terde-
ngar ucapan Nyi Wungkuk memberi penjelasan.
“Nyi Saraswati dibuang ke dalam jurang...!” sela Ki
Megatruh. “Seorang pertapa menemukan dirinya ter-
sangkut di pepohonan. Pertapa itu bekas guruku. Na-
manya Ki Ageng Lejar Manyura. Dia menghubungi aku.
Nyawa Nyi Saraswati berhasil kami selamatkan. Hanya
cacat punggungnya itu yang tetap menandai seumur
hidupnya, sebagai kenangan atas peristiwa tersebut...!”
***
ENAM
Pusparini terbaring di tempat tidurnya. Sesaat yang
lalu telah berlangsung pertemuannya dengan Nyi
Wungkuk yang mengungkapkan masa lampaunya. Se-
benarnya hal semacam itu bisa saja terjadi pada setiap
orang. Keterlibatannya, karena dia akan mencari siapa
yang mencuri Pedang Merapi Dahana.
Malam yang semakin larut bahkan tidak bisa mem-
buat Pusparini tidur. Timbul firasatnya bahwa akan
ada sesuatu yang terjadi. Dan itu tidak seperti bia-
sanya meskipun hampir sehari semalam tenaganya be-
lum mengalami istirahat. Siang tadi dia berhadapan
dengan Tiga Serangkai. Malam harinya bergadang se-
bentar dengan Nyi Wungkuk yang mengungkap masa
lampaunya. Ketika malam semakin bergeser, dia baru
kembali ke tempat penginapannya.
Seperti firasatnya yang terasa terusik, maka Puspa-
rini mempertajam indranya untuk mendengarkan
langkah-langkah lembut yang dicurigai menapak di
atas atap rumah. Dia segera beranjak dengan langkah
lembut. Jendela dibuka dengan pelan, lalu melesat ke-
luar dengan gerakan ringan. Dari tempatnya berpijak,
dia melihat sosok tubuh berambut putih mengendap di
atas atap rumah.
“Nyi Wungkuk?!” pikir Pusparini ragu-ragu.
Prasangkanya lalu timbul bahwa itu bukan Nyi
Wungkuk yang baru saja ditemui. Kalaulah Nyi Wung-
kuk datang lagi untuk menemui, mustahil dengan cara
dan saat seperti ini. Didorong oleh prasangka buruk-
nya, maka Pusparini segera melesat dengan terjangan
ke arah sosok tubuh berambut pulih itu.
Tapi rupanya sasaran yang dituju cukup waspada
dengan serangan itu. Sebelum kakinya menghunjam
ke arah sasaran, maka sosok tubuh berambut putih
telah berkelit sambil mengirim pukulan.
Mendapat sambutan semacam ini Pusparini tak bi-
sa berkutik untuk mengatasi diri. Betisnya kena gam-
par karena tak sempat mengubah gerak. Tapi tak be-
rarti harus menyerah begitu saja. Dalam keadaan kehi-
langan keseimbangan, dia mencoba bergulir ke kiri,
sebab peluang ini yang tampak bisa diandalkan.
Tapi mendadak arah ini dikunci oleh lawannya, se-
hingga untuk kedua kalinya Pusparini kehilangan daya
menangkal serangan.
Melihat Pusparini kedodoran sikap, sang lawan te-
rus mendesak dengan terjangan-terjangan yang mema-
tikan. Pusparini terus melemparkan tubuhnya ke ba-
wah.
Medan laga kini beralih di darat. Di sini Pusparini
mendapat kesempatan untuk membenahi posisinya.
“Kau bukan Nyi Wungkuk!” seru Pusparini sambil
memberi gebrakan serangan. Sekilas terlihat bahwa
orang itu memakai topeng dengan wajah seorang tua.
“Kau yang mencuri pedangku!”.
Pusparini terus ngomel dengan memberi serangan.
Perasaan menggelegak ini sangat membantu dirinya
dalam melancarkan serangan. Paling tidak ingin mele-
mahkan mental lawan yang penyamarannya telah di-
ketahui. Tapi siapa di balik kedok itu, memerlukan
waktu dan tenaga untuk menyingkapnya.
Dan tekad Pusparini malam ini diharapkan sudah
bisa disingkap tabir penyamaran itu.
“Dengan penyamaranmu, menunjukkan betapa pe-
ngecut dirimu!” seru Pusparini lagi.
Kali ini lawannya benar-benar kehilangan kesempa-
tan untuk menanggulangi serangan si Walet Emas
yang makin menggila. Jurus ‘Walet Terbang Malam’
sangat mengecoh lawan, sebab serangan ini dilancar-
kan dengan gerak tipu liukan tubuh yang sulit dipan-
tau. Apalagi dalam suasana malam, jurus itu sangat
cocok dalam suasana seperti ini. Dan sasaran Puspa-
rini hanya ingin menjambret kedok itu. Tapi alangkah
sulitnya.
“Kalau kau klayapan kemari pasti punya tujuan ter-
tentu! Katakan apa maumu!” gertak Pusparini lagi.
Baru saat inilah, sosok tubuh yang menyamar se-
bagai Nyi Wungkuk menghentikan serangannya. Agak-
nya kata-kata itu meyakinkan dirinya. Ditambah sikap
Pusparini sendiri yang tidak melanjutkan serangan,
maka orang bertopeng itu membuka kedoknya.
Pusparini mencoba menyimak wajah yang kini ter-
buka.... Wajah seorang laki-laki.
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa menyamar seba-
gai Nyi Wungkuk?” tanya Pusparini.
“Jadi kita bisa bicara baik-baik ?” terdengar ucapan
laki-laki itu.
“Kau boleh jadi tamuku. Ayo masuk. Tidak baik
berbicara di luar, asal kau tidak kurang ajar lagi!”
Aneh! Ketegangan itu telah mencair jadi keramah-
tamahan. Tapi Pusparini tetap waspada.
“Terus terang saja, bukankah kau yang mencuri pe-
dang dan pakaianku?!” tuduh Pusparini.
“Ya! Dan aku bermaksud mengembalikan,” kata la-
ki-laki itu.
“Apa aku tidak salah dengar?” sela Pusparini.
Semula dia memang menghendaki bisa menemukan
pedangnya kembali. Tapi ketika mendengar pengakuan
laki-laki itu, maka kecurigaannya timbul.
“Lalu apa maksud semua tindakanmu? Kau telah
merepotkan aku sehingga terlibat dalam urusan Nyi
Wungkuk. Siapa kau sebenarnya, hah?!”
“Namaku Biyantara!” jawab laki-laki itu.
“Biyantara?!” kata Pusparini mengulang.
“Jangan sebut namamu. Aku telah tahu namamu,”
kata laki-laki bernama Biyantara.
“Oh, ya?! Jadi sudah tahu? Tentunya kau banyak
menyelidiki tentang diriku.”
“Sejak kau memasuki kawasan ini, kau telah ku-
buntuti. Bahkan ketika petir menyambar sehingga kau
terlempar dari kudamu, aku berada tak jauh darimu.”
Tiba-tiba Pusparini merasa tidak enak dengan peng-
akuan itu. Rasa-rasanya dirinya telah dimata-matai
oleh seorang yang tidak dikenal tanpa alasan yang je-
las.
“Mengapa kau memata-matai aku? Apa yang kau
lakukan ketika aku tertidur setelah sambaran petir
itu?” tanya Pusparini penasaran.
“Hanya memandangimu saja,” jawab Biyantara.
“Cuma itu?”
“Ya. Hanya memandangimu saja. Menikmati roman
mukamu yang lelah, terpejam.”
“Kalau begitu kau kurang ajar,” sela Pusparini.
“Apa ada undang-undang yang melarang meman-
dangi orang lagi tidur?”
“Itu tidak sopan!”
“Aku tidak berbuat apa-apa. Menyentuhmu pun ti-
dak.”
“Kemudian kau berniat mencuri pedangku? Me-
ngapa tidak kau lakukan pada saat itu juga?”
“Belum terpikir olehku untuk mencuri pedangmu!”
“Lalu mengapa kau lakukan di kala aku sedang
mandi? Kau curi pula bajuku. Itu namanya sudah ke-
terlaluan,” kata Pusparini menggebu. “Kini kuminta
pedangku. Pakaianku kurelakan seandainya telah kau
rombengkan!”
“Semua masih wutuh!” kata Biyantara dengan mem-
benahi punggungnya yang menyerupai orang bungkuk.
Ketika jubah itu dibuka, ternyata ada sebuntal bung-
kusan di punggungnya. “Ini pakaianmu. Masih seperti
semula.”
Pusparini geleng-geleng melihat perbuatan laki-laki
itu. Sejenak dia mengawasi laki-laki bernama Biyanta-
ra. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi enak dilihat.
Raut mukanya mencerminkan seseorang yang keras
hati yang terselubung sifat lembut. Alisnya tebal. Da-
gunya terlihat jelas tempat persemaian cambang yang
tidak dicukur bersih. Dan melihat penampilannya, Bi-
yantara adalah seorang laki-laki yang umurnya hampir
mencapai kepala empat. Jauh di atas usia Pusparini.
Tapi gayanya masih ‘mbocahi’.
“Di mana pedangku?” tanya Pusparini setelah meli-
hat pakaiannya diserahkan kembali oleh Biyantara.
“Justru itu yang membuat aku datang ke tempat ini
untuk menemuimu,” jawab laki-laki itu.
“Oh, kata-katamu mencemaskan aku. Kau ingin
berkata bahwa pedang itu tidak di tanganmu lagi alias
hilang?” kata Pusparini menderas ingin tahu.
“Pedang itu... telah jatuh ke tangan Adipati Basu-
nanda!” jawab Biyantara dengan suara berat.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” meluncur kata-
kata Pusparini dengan nada heran. Dia tahu siapa
Adipati Basunanda. Kalau benar senjata itu telah be-
rada di tangan Adipati itu, berarti dirinya benar-benar
akan terlibat dengan urusan Nyi Wungkuk.
“Katakan, bagaimana Adipati itu bisa mengambil
pedang tersebut?”
“Karena dia tahu keampuhannya ketika kupergu-
nakan untuk menjajal pedang lawan tandingku!”
“Gila! Sedang apa kau saat itu? Bertanding dan dili-
hat oleh Adipati itu?” tanya Pusparini yang makin pe-
nasaran.
“Aku adalah seorang Abdi Bhayangkara Kadipaten
Sedayu. Ketika ada para begal yang hendak merampok
iring-iringan Sang Adipati, kami, Abdi Bhayangkara se-
gera bertindak. Aku mempergunakan pedangmu...
yang ternyata sangat mengejutkan aku ketika kucabut
dari sarungnya. Pedang itu memancarkan cahaya me-
rah. Dan senjata para begal berhasil kurontokkan se-
hingga mereka bercerai-berai. Saat itu Sang Adipati
memanggil aku dan menanyakan soal pedang itu. Ku-
jawab, senjata itu adalah warisan leluhurku. Tapi dia
tidak percaya. Dia menyebut pedang itu Pedang Merapi
Dahana! Ternyata dia mengenal ciri-cirinya.”
“Dan pedang itu kau serahkan kepadanya?”
“Ya! Karena dia menghendaki dengan imbalan uang.
Tapi aku menolaknya. Aku hanya memohon jabatanku
bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Kini pangkatku
adalah Perwira Tamtama Kadipaten yang membawahi
Laskar Bhayangkara,” kata Biyantara.
“Itu jabatan yang kau capai dengan cara kotor!” cela
Pusparini. “Itu tak berarti kau kini harus sudah lepas
dari tanggung jawabmu. Aku tetap akan menuntut
kembalinya pedang itu!”
“Dengar, Pusparini! Aku kemari didorong oleh rasa
tanggung jawab pula. Aku benar-benar menyesal kare-
na pedang itu telah jatuh ke tangan sang Adipati. Ka-
lau tidak, pasti aku tidak akan kemari,” tangkis Biyan-
tara.
“Sikapmu memang aneh! Aku jadi curiga kepada-
mu. Tindakanmu perlu diadili. Kau telah bersalah ter-
hadapku dan bersalah kepada Nyi Wungkuk. Tahukah
kamu, bahwa dengan penyamaranmu sebagai Nyi
Wungkuk, maka orang akan berpikir lain terhadap
orang tua yang bernasib malang itu?” sergap Pusparini
dengan tuduhan yang menyudutkan.
“Apakah kau berpikir bahwa Nyi Wungkuk itu ha-
nya seorang tua yang loyo?” kini ganti Biyantara yang
mencoba memancing pertanyaan. “Dia adalah tokoh
yang terselubung, dan aku hanya ingin memancing
perhatian orang-orang, terutama orang yang mungkin
mengerti dengan keberadaannya di Bendo Growong
itu.”
Pusparini menatap tajam kepada Biyantara. Tiba-
tiba banyak yang ingin diketahui dari laki-laki yang
agaknya menyimpan rencana yang terselubung itu.
“Siapa sebenarnya kau ini, Biyantara? Mengapa
mencoba membangkitkan Nyi Wungkuk dari ‘tidur-
nya’? Pasti kau tahu tentang masa lampau wanita tua
itu!”
“Aku adalah anak Simbar Menjangan! Apakah nama
ini punya arti bagimu?” kata Biyantara dengan tegas.
“Anak Simbar Menjangan?” ulang Pusparini dengan
nada terperangah. Sebab seberapa saat yang lalu nama
Simbar Menjangan pernah didengarnya dari penga-
kuan Ki Megatruh.
“Apakah kau juga mengenal nama Ki Megatruh yang
selama ini mendampingi Nyi Wungkuk? Ketahuilah,
nama Simbar Menjangan beberapa saat yang lalu ku-
dengar dari pengakuan Ki Megatruh.”
“Oh, ya? Apa yang dikatakannya?” desak Biyantara
yang ganti penasaran ingin tahu.
“Aku telah banyak tahu tentang masa lampau Nyi
Wungkuk. Dikatakannya, bahwa Nyi Wungkuk pernah
kehilangan putranya yang berusia tiga tahun, diculik
oleh gerombolan pengacau bernama Simbar Menja-
ngan.”
Hening. Tak ada percakapan lagi. Biyantara sebe-
narnya bisa terkejut mendengar penjelasan Pusparini.
Tapi karena dia telah menjaga semua kemungkinan
yang diketahui orang lain, maka dicoba meredam pera-
saannya untuk tidak terkejut.
“Kuharap semua ini tidak menjadi masalah yang
terselubung lagi,” sambung Pusparini. “Apakah dengan
penjelasan ini kau merasa lega? Atau... ada hal yang
kau ingin jelaskan lagi?”
“Kukira... kau akan menjadi orang pertama yang
memberi pandangan bahwa aku adalah anak yang
pernah diculik oleh Simbar Menjangan. Beginikah yang
kau pikirkan?” kata Biyantara.
Tapi ternyata Pusparini tidak cepat menanggapi
bahwa hal itu mungkin benar, mungkin juga tidak.
“Kau berpikir bahwa aku adalah anak yang diculik
itu?” ulang Biyantara ketika diketahui Pusparini tetap
membisu.
“Kuncinya terletak pada perasaanmu sendiri! Ini
bukan masalahku. Masalahku hanya mengupayakan
agar pedang itu kembali lagi kepadaku!” jawab Puspa-
rini tegas.
“Cobalah memberi pandangan,” terdengar suara Bi-
yantara dengan nada penuh harap.
“Kedengarannya kau putus asa. Tidak imbang sama
sekali dengan penampilanmu yang pertama kali ben-
trok denganku,” kata Pusparini yang sebenarnya me-
nyimpan rasa terkejut ketika Biyantara mengaku seba-
gai anak Simbar Menjangan.
“Ini menjadi masalah yang terselubung bagiku sete-
lah kematian Simbar Menjangan dalam suatu bentro-
kan dengan sesama para pengacau. Ketika dia tewas,
aku masih berumur sepuluh tahun. Kemudian aku di-
asuh oleh salah seorang anak buahnya yang kemudian
menjadi petani. Kalau aku dianggap menjadi seorang
anak hasil dari penculikan, rasanya hal itu tak akan
begitu sulit untuk dibuktikan. Yang membuat ragu
adalah, bahwa ada anak lain dari Simbar Menjangan
yang juga diselamatkan oleh salah seorang anak
buahnya. Hal itu kuketahui setelah aku menginjak de-
wasa.”
“Hm! Rumit juga kedengarannya. Kalau begitu kau
tidak tahu bahwa Simbar Menjangan mempunyai anak
lain selain dirimu?” tanya Pusparini.
“Tidak! Sebab aku pun selama itu tak pernah dekat
dengan Simbar Menjangan. Aku diasuh di desa lain.
Tapi selalu diberitahu bahwa aku adalah anak Simbar
Menjangan. Paling akhir anak Simbar Menjangan yang
lain itu kuketahui telah menjadi orang terkenal di desa
ini, namanya Jayenglaga!”
“Jayenglaga, tuan tanah itu?!” sela Pusparini.
“Yha!!”
“Benar-benar tak kuduga kalau ada masalah rumit
seperti itu. Jadi kehadiranmu kemari untuk mengung-
kap masalah ini kepadaku?” tanya Pusparini. “Me-
ngapa aku yang kau datangi? Mengapa tidak kepada Ki
Megatruh, atau langsung mengungkap hal ini kepada
Nyi Wungkuk?”
“Sementara ini memang ada kecurigaan, bahwa Nyi
Wungkuk diduga sebagai bekas istri dari Adipati Agung
Sedayu yang telah tewas. Yang meragukan hanya, ba-
gaimana dia bisa dinyatakan hidup lagi!” kata Biyanta-
ra.
“Kini aku mengerti!” kata Pusparini. “Kau mempu-
nyai masalah tentang kerinduan terhadap seorang
ibu!”
“Yha! Sebab sampai begitu jauh, selama aku diang-
gap sebagai anak Simbar Menjangan, tak pernah ku-
temukan sosok seorang ibu, kecuali seorang wanita
yang mengasuhku, istri anak buahnya!”
“Seharusnya kau menemui Jayenglaga si tuan ta-
nah itu untuk mengungkap masalah ini!” saran Puspa-
rini.
“Sudah! Tapi aku dianggap orang tidak waras. Ra-
sanya dia merasa terhina kalau dianggap keturunan
Simbar Menjangan yang kesohor sebagai dedengkot
pengacau masa lalu!”
“Keterlibatanku dengan dia karena aku pernah me-
mergoki anak buahnya membunuh seseorang. Pasti
orang itu memegang rahasia yang tak boleh diketahui
orang lain.” sela Pusparini untuk memberi penjelasan
kepada Biyantara yang tampaknya membutuhkan ke-
terangan sampai berapa jauh pengetahuannya menge-
nal Jayenglaga. “Rupanya dia tetap mengincar nya-
waku. Sayang, aku tak tahu peranan orang yang ter-
bunuh itu.”
“Begini! Dari pihak Bhayangkara Kadipaten Sedayu
telah tahu akan hal itu. Kami menyelidiki bahwa orang
tua asuh Jayenglaga telah dibunuh orang. Dan sak-
sinya adalah laki-laki bernama Klungsur.”
“Klungsur?” sela Pusparini.
“Ya, Klungsur, orang yang kau lihat dibunuh di tepi
sungai itu!” jawab Biyantara.
“Ohh,” gumam Pusparini lirih, yang agaknya telah
dapat mengambil kesimpulan dari mata rantai semua
peristiwa yang terkait. “Kini persoalannya siapa di an-
tara kalian berdua yang benar-benar putra Nyi Wung-
kuk yang pernah diculik oleh Simbar Menjangan!”
Biyantara tetap membisu.
Pusparini mengawasi laki-laki itu dengan berbagai
penilaian. Kiranya laki-laki bernama Biyantara ini te-
lah menguntit dirinya sejak dia memasuki desa itu.
Herannya, dia sampai tak bisa tahu.
Kini teka-teki tentang korban pembunuhan di tepi
sungai telah diketahui. Yang jelas, Tuan Tanah Ja-
yenglaga pasti tetap mencari kesempatan untuk mem-
bunuhnya agar rahasia tersebut tidak menyebar dari
mulut orang itu.
“Aku akan mengungkapkan hal ini kepada Nyi
Wungkuk,” kata Pusparini kemudian.
“Kuharap jangan kau lakukan. Biar aku yang meng-
ungkapkannya. Aku khawatir dia bahkan tidak per-
caya dengan semua cerita yang didengarnya. Lagipula,
aku masih ragu apakah aku ini anaknya yang pernah
hilang diculik oleh Simbar Menjangan,” kata Biyantara
dengan nada lesu.
“Kalau bukan kau... pasti si Jayenglaga!” terka Pus-
parini.
Biyantara mengangguk pelan. “Yang penting, akan
kuusahakan bagaimana pedangmu bisa kembali lagi
ke tanganmu!”
“Pasti tak akan begitu mudah. Terima kasih atas ke-
jujuranmu!” kata Pusparini. “Tapi aku pun akan men-
cari jalan sendiri untuk mendapatkannya. Kuharap
kau membantuku. Maksudku, kalau aku sampai bisa
masuk ke Kadipaten, perlonggarlah penjagaan di sa-
na.”
Biyantara tersenyum. “Aneh rasanya. Sikapku jadi
seperti layang-layang putus. Aku seperti kehilangan
pegangan. Yang kudambakan hanya satu, apakah Nyi
Wungkuk itu ibuku atau bukan. Itu saja. Nah, sampai
di sini dulu. Aku akan kembali ke tempatku.”
Mereka berpisah. Biyantara melesat meninggalkan
tempat itu sementara fajar mulai merekah di ufuk ti-
mur.
Pusparini menghela napas panjang ketika sosok tu-
buh laki-laki bernama Biyantara itu lenyap di tikungan
sana.
Baru pada saat inilah rasa kantuk itu tiba-tiba me-
nyerang dirinya. Dia berniat untuk merebahkan diri-
nya di balai-balai. Dia bertekad untuk mbangkong hari
itu, bangun pada siang hari. Tubuhnya terlalu le-
mah...!
***
TUJUH
Di Kadipaten Sedayu terlihat lengang. Hujan sema-
kin membekukan suasana di sana. Senja kian tema-
ram.
Di sebuah ruangan keluarga, terjadi pertemuan da-
lam percakapan yang tegang.
“Aku sudah tidak tahan lagi untuk menunda-nunda
tindakan ini,” kata seorang wanita yang sangat ber-
pengaruh di kadipaten itu. Dia tiada lain adalah Nyi
Blengoh, janda Adipati Agung Sedayu. Di sana hadir
pula kedua putranya, Basunanda dan Pandansari.
“Ibu harus dapat menahan diri. Apa jadinya kalau
orang yang kita curigai itu bukan Nyi Saraswati?” kata
Basunanda, putranya yang kini menjabat adipati di
Kadipaten Sedayu.
“Apa susahnya menindak dia seandainya dia benar-
benar Nyi Saraswati? Kuharap Ibu jangan khawatir.
Kedudukan kita semakin kuat. Maksudku... aku telah
memiliki senjata andalan. Apakah Ibu pernah mende-
ngar Pedang Merapi Dahana?”
“Pedang Merapi Dahana?” kata Nyi Blengoh. “Bu-
kankah itu pedang yang sering jadi dongengan?”
“Bukan dongengan lagi. Pedang itu telah berada di
tanganku!” kata Basunanda dengan membuka sebuah
bungkusan yang berbentuk panjang. Setelah kain yang
membungkusnya dibuka, kini terlihat sebilah pedang
yang sarung dan hulunya diukir dengan indah. “Inilah
Pedang Merapi Dahana yang dibuat pada zaman Raja
Samaratungga, pendiri Candi Borobudur!”
Nyi Blengoh dan Pandansari terperangah menyaksi-
kan pedang itu.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan pedang ini?
Mungkin kau terkecoh oleh bentuk-bentuk yang mirip.
Katakanlah, pedang ini palsu dan kau lelah membe-
linya dari seseorang. Begitu?” kata Nyi Blengoh dengan
merenggut pedang itu dari tangan anaknya. Lalu de-
ngan tidak srantan, pedang itu dikeluarkan dari sa-
rungnya.
“Pedang ini akan memancarkan cahaya merah apa-
bila tertimpa sinar matahari,” kata Basunanda membe-
ri wawasan. “Kalau sudah begitu, tak akan ada logam
yang bisa menandingi!”
“Hm! Tampaknya begitu. Tapi kini dengan perpa-
duan mantera, seseorang telah bisa menciptakan pe-
dang untuk menandinginya,” kata Nyi Blengoh sambil
menyarungkan pedang tersebut.
“Kita memiliki Pedang Merapi Dahana atau tidak,
maka wanita yang bernama Nyi Wungkuk itu harus
kita tindak sekarang!” sela Pandansari.
Tampak wajah judesnya yang membuat setiap lelaki
enggan mendekatinya, sehingga menjadi perawan ka-
sep.
Meskipun kedudukannya sebagai Wakil Adipati Ka-
dipaten Sedayu, tapi kekuasaan ini tak bisa membuat-
nya bahagia apabila sudah berfikir tentang laki-laki
pendamping. Oleh sebab itu, dicarinya cara lain untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan apabila hasrat bi-
rahinya menggelegak. Dia ‘membeli’ laki-laki. Umum-
nya pemuda-pemudi yang berusia pancaroba. Dan ini
bukan menjadi rahasia umum lagi. Hanya saja tak ada
seorang pun yang berani mencemoohkan tindakannya
secara terang-terangan.
Sedangkan Adipati Basunanda juga begitu. Sampai
sekarang belum ada seorang wanita yang dijadikan is-
trinya. Tapi sudah berapa banyak setiap gadis yang ja-
di korbannya, hanya dia yang tahu. Dan penduduk
cuma bisa bungkam saja. Dan di kadipaten itu, kebeja-
tan moral mendapat porsi utama!
“Aku ingin tahu dari mana kau mendapatkan pe-
dang itu!” tanya Nyi Blengoh.
Basunanda tersenyum. Tampak senyum ini men-
cerminkan senyum orang yang berkuasa di mana tak
seorang pun boleh menantang kehendaknya.
“Ibu tahu orang bernama Biyantara yang kini men-
duduki jabatan Perwira Tamtama Kadipaten? Dialah
yang memiliki pedang tersebut. Hal itu kuketahui keti-
ka dalam perjalananku ada sekelompok pengacau
hendak membegal aku. Biyantara bertindak dengan
mengeluarkan pedangnya. Pedang itu bercahaya me-
rah ketika ditimpa sinar matahari, dan semua pedang
lawan berantakan semua!”
“Kau semborono! Bagaimana seseorang yang memi-
liki pedang seampuh itu kau beri jabatan tinggi?!” sela
Nyi Blengoh dengan nada sengol.
“Sabar, Bu! Ini semua menjadi tanggung jawabku.
Itu adalah imbalan yang dia harapkan. Dan rupanya
dia cukup bahagia dengan jabatannya,” kata Basu-
nanda.
Nyi Blengoh memandang tajam kepada anaknya
yang baru saja memberi wawasan.
“Baik! Untuk urusan Kadipaten ini memang tugas-
mu. Tapi kau jangan lagi mencegahku untuk me-
nyatroni Nyi Wungkuk itu,” kata Nyi Blengoh. “Kalau
saja aku tidak mendapat berita dari seorang murid dari
Perguruan Cempaka Putih yang dipimpin oleh Ki Ageng
Lejar Manyura, aku tidak penasaran seperti ini. Sa-
yang, orang itu tak kuketahui ke mana perginya, se-
hingga aku tak dapat menyelidiki dengan pasti tentang
omongannya itu. Sebab, kalau kuselidiki, jangan-ja-
ngan ada pihak lain yang tahu rahasia tersebut.”
“Nah, Ibupun punya perasaan was-was juga. Kita
jangan gegabah. Kelihatannya selama ini belum ada
tanda-tanda yang menimbulkan kecurigaan. Ibu telah
memasang mata-mata yang kini jadi kaki tangan Ja-
yenglaga. Dari laporan mereka pun belum ada yang bi-
sa meyakinkan bahwa orang yang kita curigai adalah
orang yang dulu bernama Nyi Saraswati. Hanya saja si
Sawer Jenar pernah bentrok dengan laki-laki bernama
Ki Megatruh yang selalu mendampingi wanita tua itu,”
kata Pandansari yang mulai buka suara dengan gen-
car. Sejak tadi dia hanya bicara seperlunya, karena te-
lah bosan membicarakan masalah ibunya.
“Apa kau bilang? Coba, kau tadi menyebut nama
siapa?” tanya Nyi Blengoh.
“Ki Megatruh!” jawab Pandansari tegas.
“Astaga! Orang itu yang pernah memberitahu aku
tentang Nyi Saraswati yang masih hidup!” kata Nyi Ble-
ngoh. “Ya, dialah murid Ki Lejar Manyura yang pernah
bertemu dengan aku beberapa belas tahun yang lalu.
Dikatakannya, bahwa Nyi Saraswati sedang memper-
tinggi ilmunya untuk membalas dendam. Itu sebabnya
aku pun tidak tinggal diam. Kusempurnakan ilmu ka-
nuraganku untuk menjaga sewaktu-waktu Nyi Saras-
wati muncul!”
“Kalau begitu kita cari laki-laki bernama Ki Mega-
truh itu!” Basunanda memberi sara. “Kalau dia pernah
bentrok dengan Sawer Jenar, kukira tak begitu sulit
untuk melacak jejaknya!”
***
Nama Ki Megatruh kini jadi tumpuan perhatian. E-
sok harinya Basunanda dan Pandansari menuju ke
rumah Ki Jayenglaga, si tuan tanah.
Tentu saja kedatangan dua orang penting dari Ka-
dipaten Sedayu ini sangat mengejutkannya.
“Tumben sang Adipati sepagi ini hadir di pondok
saya. Angin apa gerangan yang meniupkan langkah
paduka berdua?” sambut Jayenglaga dengan penuh
keramah-tamahan.
“Ada sesuatu yang sangat penting. Itu sebabnya aku
berkenan hadir sendiri kemari,” kata Adipati Basunan-
da. “Aku hanya ingin bertemu dengan anak buah ke-
percayaanmu, si Tiga Serangkai itu. Terutama dengan
Sawer Jenar!”
“Ah! Ini benar-benar menyesalkan kalau hari ini pa-
duka menanyakan mereka,” jawab Jayenglaga. “Sudah
beberapa hari ini mereka bertiga tidak muncul di sini
sejak kami mengadakan pertunjukan adu pertandi-
ngan tempo hari.”
“Ki Jayenglaga, kau tahu bahwa aku tak pernah
gagal dalam mencari seseorang? Kuharap hal ini tidak
menimbulkan kesulitanku. Aku menghendaki mereka
hadir di hadapanku secepatnya!” kata Basunanda de-
ngan suara mantap.
Jayenglaga yang mengerti sifat adipati itu segera
memerintahkan anak buahnya untuk mencari Tiga Se-
rangkai.
***
“Mohon paduka sabar. Tidak biasanya mereka se-
perti ini. Biasanya mereka selalu hadir di sini setiap
harinya,” kata Jayenglaga dengan memberi isyarat ke-
pada pelayannya agar mengeluarkan hidangan yang le-
bih semarak.
Tapi belum berapa lama mereka menanti kedata-
ngan Tiga Serangkai, tiba-tiba utusan yang disuruh
mencari Tiga Serangkai telah kembali dengan napas te-
rengah-engah.
“Ketiwasan, Ki Jayeng! Mmm... me... reka... tt... te-
lah tewas semua!”
“Apa katamu?!” seru Jayenglaga.
“Mm... mer.. mereka saya dapati terkapar di pon-
doknya! Rupanya mereka telah tewas beberapa hari
yang lalu!” kata utusan itu dengan nada bergelut.
Mendengar laporan seperti itu, tanpa pikir panjang
Adipati Basunanda berangkat agar diantar ke tempat
Tiga Serangkai.
Ki Jayenglaga mengiringi dengan mengerahkan
anak buahnya agar mencari sisik-melik berita tentang
kejadian tersebut.
Tak berapa lama kemudian, mereka telah tiba di
tempat yang dituju. Mereka langsung memeriksa isi
rumah.
Bau tak sedap menyebar. Karena rumah itu terpen-
cil letaknya dari pemukiman penduduk yang lain, jadi
hal seperti itu tak diketahui oleh orang lain. Lagipula
jarang ada penduduk yang berani klayapan ke tempat
itu karena perangai Tiga Serangkai yang galak.
Tapi mengapa sampai mereka bisa jadi korban se-
perti itu? Inilah teka-teki yang ingin mereka ungkap!
“Kau pikir siapa yang melakukannya?” tanya Adipa-
ti Basunanda dengan memeriksa luka yang merobek
tubuh ketiga pendekar yang disebut Tiga Serangkai.
Luka mereka nyaris sama, yaitu sabetan pedang
pada arah leher yang dengan cermat telah memutus-
kan urat nadinya.
“Aku punya dugaan bahwa ini perbuatan pendekar
yang mempunyai gelar Walet Emas!” kata Jayenglaga.
“Apa?!” tanya Pandansari, sementara kakaknya
yang adipati itu juga tertarik dengan ucapan Jayeng-
laga. “Walet Emas?”
“Ya, Walet Emas! Beberapa hari yang lalu dia ber-
hadapan dengan ketiga pendekar ini dalam acara adu
pertandingan. Pertandingan itu sendiri belum tuntas
karena adanya kebakaran,” kata Jayenglaga.
“Namanya sendiri Pusparini. Sewaktu saya undang
untuk hadir dalam adu pertandingan, ternyata dia
muncul memenuhi undangan. Dia telah menuliskan
namanya dan nama kependekarannya di buku tamu.”
“Wale Emas? Jadi dia seorang wanita?” tanya Pan-
dansari dengan perasaan terpancing. Sebab kalau ada
‘betina’ yang dianggap jagoan, kontan perasaannya
merasa tersaingi. “Apakah kau yakin bahwa ini perbu-
atannya?”
“Hanya prakiraan saja. Sebab siapa lagi yang bikin
ulah terhadap Tiga Serangkai dengan alasan adu per-
tandingan yang tidak terselesaikan itu? Ketika saya li-
hat masing-masing meninggalkan gelanggang, tampak-
nya di antara mereka memendam dendam!” kata Ja-
yenglaga dengan memberi perintah anak buahnya agar
membenahi mayat ketiga pendekar itu.
Adipati Basunanda keluar dari pondok itu diiringi
adiknya, Pandansari.
“Aku ingin ketemu si Walet Emas,” kata Pandansari
kepada Jayenglaga. “Pasti kau tahu tempatnya. Panggil
dia agar datang ke rumahmu!”
“Bagaimana, Jeng Sari?” tanya Jayenglaga pura-
pura tidak mendengar perintah tadi. Jayenglaga ini se-
benarnya pernah naksir terhadap Pandansari. Bahkan
sering memberikan upeti-upeti hadiah kepadanya. Tapi
sampai sebegitu jauh hanya dianggap angin oleh Pan-
dansari.
“Undang dia ke rumahmu!” kata Pandansari lagi.
“Kau tahu di mana dia, bukan?”
“Dia bertempat tinggal di rumah Man Ndoplang,”
jawab Jayenglaga.
“Man Ndoplang? Jangan buang waktu. Aku ingin
menjajal dia di arena pertandinganmu! Panggil dia ke
sini!” kata Pandansari.
“Baik. Baik, akan saya panggil dia!” jawab Jayeng-
laga.
***
Pusparini yang mendapat undangan agar datang ke
tempat Jayenglaga untuk melanjutkan adu pertandi-
ngan, segera minta pertimbangan kepada Ki Megatruh
yang kebetulan berada di sana.
“Jelas tidak mungkin kalau kau harus bertemu lagi
dengan Tiga Serangkai itu,” kata Ki Megatruh.
“Mengapa?”
“Tiga Serangkai itu telah tewas!” jawab Ki Megatruh.
“Aku yang membunuh mereka!”
“Apa?!”
“Aku tak bisa membiarkan adanya banyak pihak
yang dipasang oleh Nyi Blengoh untuk memata-matai
Nyi Wungkuk. Dulu, aku pernah mencoba mengacau-
kan ketenangan Nyi Blengoh dengan mengatakan bah-
wa Nyi Saraswati masih hidup dan akan menuntut ba-
las. Tidak tahunya bahwa tindakanku itu telah mem-
buat dirinya mempertinggi ilmunya untuk menjaga
munculnya Nyi Saraswati,” kata Ki Megatruh. “Seha-
rusnya aku tidak mengatakan hal itu. Tempo hari aku
hanya ingin kepastian, apakah peristiwa tersingkirnya
Nyi Saraswati merupakan fitnah yang dilakukan oleh
Nyi Blengoh. Kalau dia berhati mulia, pasti tidak sepe-
nasaran seperti itu ketika kuberitahu bahwa Nyi Sa-
raswati masih hidup berkat pertolongan seseorang.”
Pusparini hanya terdiam. Kata-kata yang baru saja
diungkapkan oleh Ki Megatruh menimbulkan pikiran
tentang keberadaan laki-laki itu terhadap peristiwa
yang sedang berkembang di Kadipaten Sedayu ini. Ki
Megatruh ternyata banyak berperan dalam peristiwa
ini. Kalau Tiga Serangkai berhasil dibunuhnya, bukan
tidak mungkin Ki Megatruh ini adalah tokoh persilatan
yang tangguh.
“Tapi mengapa Jayenglaga mengundang saya?”
tanya Pusparini menghendaki agar Ki Megatruh mem-
berikan pandangan.
“Aku belum mendapat gambarannya. Tapi kalau
kau ke sana, jaga dirimu baik-baik. Mungkin mereka
telah mendapati mayat Tiga Serangkai itu.”
“Apakah mereka mencurigai saya?”
“Mungkin saja. Sebab kau adalah orang terakhir
yang pernah berhadapan dengan mereka dalam suatu
bentrokan, walaupun dilakukan dalam adu pertandi-
ngan,” kata Ki Megatruh sambil memberikan sesuatu
kepada Pusparini.
“Benda apa ini?”
“Kau bisa menggunakannya untuk menghindarkan
diri dari hadapan lawanmu! Lemparkan benda itu, dan
segera meledakkan asap tebal. Itu ramuan yang per-
nah diajarkan oleh Pendeta Budha dari Cina ketika
berkelana di Jawadwipa,” kata Ki Megatruh.
Pusparini mengawasi lima butir ramuan peledak se-
besar buah jambe yang kini berada di tangannya.
“Kalau begitu saya akan berangkat sekarang,” kata
Pusparini.
“Apakah Mbak Rini memerlukan tenaga saya?” ta-
nya si Thole yang sejak tadi mendengarkan pembica-
raan.
“Tak usah. Ini mungkin sangat membahayakan,”
jawab Pusparini yang kemudian mempersiapkan pera-
latannya.
Sejenak dia teringat Pedang Merapi Dahana yang ti-
dak ada di sampingnya lagi. Tapi kini dia tahu di mana
senjata itu berada.
Kali ini keberangkatan ke tempat Ki Jayenglaga di-
lakukan dengan berkuda, dan sekalian pamit kepada
Man Ndoplang.
“Lho, Nduk? Jadi nanti kau tidak kembali kemari
lagi?” kata Man Ndoplang.
“Mudah-mudahan saja bisa. Tapi kalau nasib meng-
hendaki lain, mungkin ini pertemuan kita yang ter-
akhir,” kata Pusparini dengan menghentakkan kakinya
agar kudanya bergerak meninggalkan tempat itu.
Kepergian Pusparini dilepas oleh pandangan si Tho-
le, Man Ndoplang beserta isterinya. Sedang Ki Mega-
truh telah melesat pergi begitu Pusparini berangkat
menuju ke tempat Ki Jayenglaga.
***
DELAPAN
Ketika Pusparini tiba di tempat Ki Jayenglaga, sua-
sana sepi di sana. Tak ada seorang pun yang tampak.
Cuaca pun tidak menunjang kehadirannya. Awan
kelabu merata di langit. Tanpa memperdulikan keada-
an di sana, Pusparini terus memasuki halaman utama
dari pelataran rumah Jayenglaga yang luas bagai alun-
alun.
Sesampai di tengah halaman, Pusparini menghenti-
kan kudanya. Dia menunggu perkembangan suasana
dengan harapan ada yang muncul di sana.
Sesaat kemudian harapannya terkabul. Dia melihat
seseorang muncul dengan gerak cepat menuju ke
arahnya.
Pusparini waspada.
Sebelum orang itu tepat melancarkan serangannya,
Pusparini telah menangkis dengan sabetan pukulan.
Akibatnya dua kekuatan beradu, sehingga Pusparini
sendiri terpental dari kudanya. Si kuda melonjak de-
ngan liar dan lari menjauhi tempat itu. Sedangkan pi-
hak penyerang yang juga terpental, kini berhasil me-
napakkan kakinya ke tanah.
Seorang wanita dengan pakaian serba mewah ber-
kacak pinggang dengan sikap menantang.
“Siapa kau maka menggali permusuhan denganku?”
tanya Pusparini.
“Kalau diurut kejadiannya memang kau tak ada
sangkut pautnya dengan masalah kami. Tapi aku tak
suka kalau ada betina lain yang unjuk kebolehan di
kawasan Kadipaten Sedayu. Namaku Pandansari. Apa-
kah nama ini punya arti bagimu?”
“Pandansari? Jadi kau yang disebut orang sebagai
wakil adipati di sini? Kau adalah adik Basunanda?”
berkata Pusparini dengan nada tegar yang ingin me-
nunjukkan sikap bahwa dia tidak takut menghadapi
bahaya apapun di tempat itu.
“Hm! Jadi pengetahuanmu cukup lumayan telah
mengetahui keadaan orang-orang di Kadipaten Se-
dayu,” Pandansari mengimbangi dengan ketegarannya
pula. Dadanya yang padat itu dibusungkan seolah me-
nantang tanpa banyak omong.
Pusparini tak mau membuang waktu lagi. Jelas ke-
datangannya telah ditunggu oleh Pandansari, walau-
pun alasannya belum diketahui.
Yang pasti, Pandansari merasa tersaingi kalau ada
jagoan wanita lain yang agaknya membayangi na-
manya di daerah itu.
Seperti ada wasit yang memberi aba-aba, maka ke-
duanya serentak saling melesat maju. Perang tanding
berkembang dengan seru. Boleh dikata semua anggota
badan mereka tak ada yang tidak berfungsi. Anggota
badan mulai dari tangan sampai kaki memerankan tu-
gas masing-masing untuk menggojlok lawan. Saling
tonjok, saling menangkis, menendang, menggampar,
semua berkembang mengisi jurus-jurus yang dis-
erangkan terhadap lawan.
Selama perang tanding itu berlangsung, ternyata
banyak mata yang menyaksikan. Mereka berada di ba-
lik persembunyian di dalam bangunan-bangunan. Te-
rutama Adipati Basunanda yang dengan cermat men-
gawasi sepak terjang saudaranya dalam menghadapi
pendekar yang punya gelar Walet Emas. Sayang Basu-
nanda belum menyadari bahwa Pedang Merapi Dahana
yang berada di tangannya adalah milik si Walet Emas
ini.
Di sisi lain, sebagai penonton adalah Ki Jayenglaga
sendiri. Dalam hati kecilnya benar-benar mengagumi
Pusparini yang terlihat bergerak lincah dalam mengha-
dapi Pandansari. Apalagi pertarungan kedua pendekar
wanita itu telah berkembang mempergunakan senjata
tajam. Mereka masing-masing telah mencabut pedang-
nya. Dentang dari beradunya senjata mereka bergema
memantul di antara tembok-tembok bangunan yang
ada di sana. Medan laga pun berkembang ke segenap
penjuru. Kadang-kadang terpaksa menerobos rumah,
dan sekali-kali melesat ke atas atap, dan kerusakan
pun tak terhindarkan lagi.
Tapi pada saat itulah, ketika mulai terlihat tanda-
tanda bahwa Pandansari mulai keteter oleh serangan
Pusparini, maka Basunanda tampi keluar. Hal itu me-
narik perhatian Pusparini. Apalagi dengan kemuncu-
lannya itu Basunanda mencabut Pedang Merapi Daha-
na. Hanya sayang, saat itu cuaca mendung, sehingga
pedang itu tidak dapat memancarkan sinar merah.
Tersitanya perhatian Pusparini membuat Pandansa-
ri mempergunakan kesempatan ini untuk menjegal ju-
rus yang kosong. Pusparini terjengkal ke tanah. Me-
lihat hal itu, dengan nafsu membunuh yang meluap
Pandansari terus melancarkan serangannya.
Tapi Pusparini tidak selengah yang diduga. Begitu
Pandansari menubruk dengan tusukan pedang, maka
Pusparini telah terlebih dulu membabatkan pedangnya
ke arah lawan.
Serangan fatal ini berhasil menembus jantung Pan-
dansari!
“Sariiiiii!!!” seruan ini meledak dari bibir Basunan-
da. Langsung dia melesat untuk menindak Pusparini.
Dengan mencabut pedangnya yang menghunjam
dari dada Pandansari, maka Pusparini berancang-
ancang menghadapi munculnya laki-laki itu. Sekilas
dilihatnya Pedang Merapi Dahana berada di tangan
orang yang baru muncul itu.
“Ini pasti yang bernama Basunanda, Adipati Se-
dayu,” pikir Pusparini sambil berkelit karena tahu ter-
jangan lawan akan langsung menuju arahnya.
Ternyata gerakan Basunanda hanya untuk melihat
keadaan adiknya yang dadanya bersimbah darah.
Pandansari tak tertolong lagi. Tak ada kesempatan un-
tuk menyampaikan ucapan terakhir. Tusukan Puspa-
rini telah mengoyak jantung wanita itu.
“Kau harus membayar dengan nyawamu!” kata Ba-
sunanda sambil menghunuskan pedang yang dipe-
gangnya ke arah Pusparini.
Pedang Merapi Dahana itu untuk sejenak mence-
ngangkan Pusparini. Dia sendiri hampir-hampir tak
percaya kalau pedang miliknya berada di tangan orang
lain, dan akan merenggut nyawanya.
“Untung matahari terhalang mendung. Kalau tidak,
senjata itu akan merontokkan pedang di tanganku!”
pikir Pusparini sambil menangkis serangan Basunan-
da.
Serangan Basunanda dilakukan dengan kalap.
Hampir-hampir Pusparini tidak mendapat peluang un-
tuk menghindarkan diri. Dan pikirannya selalu was-
was kalau-kalau sinar matahari tiba-tiba muncul dari
balik mendung yang kelabu.
Dalam keadaan ini, tanpa diduga tiba-tiba muncul
sesosok tubuh yang lain dan menerjang ke arah Basu-
nanda. Tentu saja keadaan yang tidak diduga ini mem-
buat Basunanda terjerembab dari posisinya yang de-
ngan gencar menyerang Pusparini.
“Biyantara!” seru Pusparini setelah tahu siapa yang
mendobrak serangan Basunanda. Dan laki-laki ini te-
rus bertindak untuk mengambil alih peluang Puspari-
ni.
Tentu saja kehadiran Biyantara sangat mengejutkan
Basunanda.
“Tunggu! Apa-apaan ini?! Apa kau sudah edan?!
Aku Basunanda, adipatimu! Mengapa kau serang aku,
hah?!” seru Basunanda dengan mata melotot ke arah
lawannya itu.
“Maaf! Saya tidak ingin pedang itu paduka gunakan
untuk menghadapi gadis itu!” kata Biyantara yang ka-
ta-katanya masih mengandung rasa hormat.
“Senjata ini telah menjadi milikku, dan kau tak ber-
hak melarang-larangku. Lagi pula kau ini siapa, hah?!
Kau bawahanku! Berani benar menentang kehendak-
ku. Apakah kau sudah tidak sayang dengan jabatan-
mu?!” seru Basunanda semakin berang.
“Pedang Merapi Dahana adalah milik gadis itu!” ka-
ta Biyantara dengan tenang. Tapi di balik ketenangan-
nya ini dia menyimpan sikap waspada yang siap meng-
hadapi tindakan Basunanda.
“Jangan nglindur! Kau akan mengacaukan perhati-
anku mentang-mentang dia cantik?!” kata Basunanda.
“Kau sudah kasmaran dengannya? Sejak kapan kau
mengenalnya, hah?!”
“Maaf! Antara kita tak ada hubungan lagi. Jangan
anggap aku sebagai bawahanmu lagi!” kata Biyantara
yang bicaranya telah mengesampingkan tata-krama
antara tuan dan bawahannya.
“Berapa gadis itu telah membayarmu sehingga kau
berpaling kepadanya, hah?!” seru Basunanda dengan
nada lebih keras.
Keadaan ini membuat munculnya Jayenglaga dari tem-
patnya. Kemunculan Jayenglaga diikuti anak buahnya.
“Apakah ada yang bisa saya bantu?” katanya den-
gan memandang tajam ke arah dua orang yang sedang
bersitegang kata itu.
“Minggir saja kalian! Urusan ini bisa kuselesaikan
sendiri!” hardik Basunanda kepada Jayenglaga.
“Begitukah? Apakah sang Adipati tidak melihat sia-
pa yang di atas atap rumah itu?” kata Jayenglaga den-
gan menunjuk dua sosok tubuh yang baru saja mun-
cul.
Basunanda mengekor telunjuk Jayenglaga. Di sana
tegak dua orang dengan sikap tegar, walaupun yang
seorang bertubuh bungkuk. Mereka tiada lain adalah
Nyi Wungkuk dan Ki Megatruh.
“Jahanam!” kata Basunanda. “Kiranya di sini jadi
ajang pertemuan. Bukankah yang berambut putih itu
Nyi Wungkuk?”
“Ya! Tapi saya tidak tahu siapa orang satunya.
Orang bercapil itu sering kulihat, tapi siapa gerangan
dia, tidak saya ketahui,” jawab Jayenglaga.
Dan suasana jadi bertambah gerah ketika tiba-tiba
pula muncul seseorang yang melesat dengan cepat ke
arah Nyi Wungkuk!
“Ibu!” seru Basunanda ketika melihat siapa yang
muncul lagi di sana. Ternyata Nyi Blengoh, dengan
kemunculannya ini langsung menggebrak dengan se-
rangan yang ditujukan kepada Nyi Wungkuk.
“Awas, Nyi!” seru Ki Megatruh memberi peringatan
kepada Nyi Wungkuk.
Tanpa diberitahu, Nyi Wungkuk telah siap pula.
Memang sejak tadi dia bersama Ki Megatruh telah me-
nyatroni tempat itu dengan cara sembunyi-sembunyi.
Pada saat itu, dia melihat pula kehadiran Nyi Blengoh
yang tidak mempedulikan keadaan Pandansari yang
diketahui telah tewas di tangan Pusparini. Rupanya
wanita ini hatinya telah membara, sehingga nasib
anaknya yang malang tidak diratapi lagi. Pikirannya
hanya pada Nyi Saraswati yang dicurigai telah tampil
sebagai Nyi Wungkuk!
Terjangannya ke arah Nyi Wungkuk mendapat
tangkisan hebat. Nyi Blengoh merasakan betul bagai-
mana gempurannya mendapat tangkisan yang begitu
dahsyat dari Nyi Wungkuk.
Dua kekuatan ilmu kanuragan telah saling berben-
turan, dan masing-masing terpental dari titik temu
gempuran itu. Sedangkan Ki Megatruh yang berada
dekat tempat itu merasakan pula imbasannya. Dia
mencoba menjauh.
Sekilas Nyi Blengoh sempat melihat dengan nyata
wajah seorang lelaki yang pernah dikenalnya dan
memberi tahu bahwa Nyi Saraswati masih hidup.
“Kau? Kaukah itu, Megatruh?!” kata Nyi Blengoh
sambil mengawasi dengan tajam ke arah laki-laki yang
dikenalnya walaupun peristiwa itu telah berlangsung
lama. “Katakan dengan jujur! Diakah Nyi Saraswati?”
“Kukira hati nuranimu telah meyakinkan daripada
aku harus membuka mulut!” kata Ki Megatruh.
“Kurang ajar!!” seru Nyi Blengoh sambil mengirim-
kan angin pukulan, dan... dinding itu jebol kena imbas
pukulan ketika Ki Megatruh melompat menghindari.
Ini membuat Nyi Blengoh semakin penasaran. Tapi dia
tidak lagi menyerang Ki Megatruh.
Kini serangannya ditujukan kepada Nyi Wungkuk
yang telah diyakini sebagai Nyi Saraswati. Dia mener-
jang ke arah wanita berpunggung bungkuk itu.
Barulah sekarang keduanya terlibat baku hantam
dengan saling menerjang ke arah peluang yang diduga
bisa melumpuhkan lawan. Tapi kenyataannya kedua-
nya belum mampu merontokkan lawannya.
Untuk beberapa jurus pertarungan Nyi Wungkuk
dan Nyi Blengoh menjadi tontonan orang-orang yang
berada di sana.
Tapi Pusparini yang melihat peluang ini, tidak mem-
biarkan hasratnya yang semula ingin merebut kembali
Pedang Merapi Dahana yang kini berada di tangan Ba-
sunanda. Dia langsung melesat ke arah Basunanda.
Sayangnya si lawan ini sempat tahu gerakannya.
Pedang Merapi Dahana segera diayunkan ke arah Pus-
parini. Untung Pusparini menangkis dengan senja-
tanya. Dan masih untung pula bahwa Pedang Merapi
Dahana belum menunjukkan keampuhannya karena
tiadanya cahaya matahari saat itu. Cuaca masih dili-
puti mendung. Tapi ada tanda-tanda bahwa kea-
daannya akan bisa cerah, karena angin dengan pelan
mulai mengikis awan kelabu yang menutupi sinar ma-
tahari.
Pusparini agak berdebar melihat perkembangan cu-
aca itu.
“Ayoh, bertahanlah terus! Kau tahu sendiri keadaan
pedang ini, bukan?” kata Basunanda sambil terus me-
nyerang ke arah Pusparini.
Didorong oleh semangat bahwa dia tak boleh mem-
biarkan Pedang Merapi Dahana jatuh ke tangan orang
lain, maka semangat Pusparini kian menggebu. Basu-
nanda sendiri heran dengan keadaan lawan yang se-
perti kesurupan setan tak mempan jurus mematikan.
Di lain pihak, Jayenglaga sudah gatal ingin meli-
batkan diri ke tengah bahu hantam. Tapi kepada siapa
dia akan berpihak?
Sebagai tuan tanah tentu saja dia menghendaki
kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan kehen-
daknya apabila harus berhadapan dengan pihak pe-
nguasa. Oleh sebab itu diputuskan untuk membantu
Adipati Basunanda. Tapi rasanya tidak ksatria kalau
harus nimbrung dan mengroyok Pusparini. Untuk
mengambil muka, dia tahu apa yang harus dilakukan,
maka diperintahkan semua anak buahnya untuk me-
nindak laki-laki bercapil lebar itu, yang tiada lain Ki
Megatruh.
Tahu bahwa anak buah Jayenglaga dengan diam-
diam bergerak ke arahnya, maka Ki Megatruh tak ting-
gal diam. Dia segera meladeni serangan itu. Baku han-
tam semakin melebar. Suasana semakin riuh.
Melihat hal itu Biyantara pun tak tinggal diam. Per-
hatiannya ditujukan kepada Jayenglaga yang masih
mengawasi anak buahnya mengroyok Ki Megatruh.
“Jayenglaga!” seru Biyantara. “Kini kita lanjutkan
urusan kita sendiri!”
“Apa maumu, Biyantara?!”
“Tantanganku tempo hari belum kau jawab. Kita ini
pernah dianggap sebagai anak dedengkot pengacau
bernama Simbar Menjangan!” seru Biyantara.
“Senangnya kau mengungkit-ungkit masalah basi
seperti itu! Apakah kau ingin menjatuhkan martabatku
bahwa aku anak dedengkot pengacau?”
“Bukan itu! Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya
anak Simbar Menjangan yang asli. Kau tahu, aku pun
merasa sebagai anak Simbar Menjangan!”
“Apa? Kau anak Simbar Menjangan? Lucu! Di lain
pihak tentunya tak ada orang yang sudi dianggap se-
bagai anak Simbar Menjangan yang pengacau itu, ma-
lah kau mengaku sebagai anaknya!”
“Dengar dan pasang telingamu baik-baik! Almar-
hum Simbar Menjangan dikabarkan orang punya anak
dua orang. Yang satu hasil penculikan anak seorang
tokoh di Kadipaten Sedayu. Anak itu putra Adipati
Agung Sedayu yang kini juga telah mangkat. Tapi se-
lanjutnya anak itu diasuh oleh anak buah Simbar
Menjangan. Kau pun tentu tahu bahwa kau sejak ke-
cilmu diasuh oleh anak buah Simbar Menjangan. Ter-
sebar berita bahwa istri Simbar Menjangan meninggal
setelah melahirkan anak laki-lakinya. Kemudian anak
itu diasuh oleh pembantunya. Aku hanya ingin tahu,
siapa sebenarnya anak adipati yang diculik itu!” kata
Biyantara dengan nada menggebu.
Baru saat itulah Jayenglaga mengerti duduk persoa-
lannya. Tentu saja kesempatan ini akan dipergunakan
untuk mengangkat derajat dirinya.
“Alangkah tololnya kau berkata begitu. Dari kea-
daanku saja orang akan tahu bahwa akulah yang di-
pandang sebagai putra Adipati Agung Sedayu yang se-
masa kecilnya pernah diculik Simbar Menjangan!” kata
Jayenglaga bangga.
Omongan itu sempat didengar oleh Basunanda yang
sedang menghadapi Pusparini. Tentu saja hal itu sa-
ngat menyengat perasaannya. Bagi Basunanda, kebe-
radaan putra Nyi Saraswati dipandang sebagai ganja-
lan, lebih berbahaya ketimbang saat itu menghadapi
Pusparini. Maka tanpa direncanakan, Basunanda
membelokkan perhatiannya kepada Jayenglaga yang
sedang membanggakan diri bahwa dialah putra Adipati
Agung Sedayu.
Jayenglaga benar-benar tak menduga bahwa tiba-
tiba napasnya jadi sesak ketika dirasakan sebuah ben-
da tajam menembus punggungnya! Lalu disusul teba-
san lagi pada arah leher ketika dia sempat melihat sia-
pa yang melakukan!
“Mampuslah kau, anak yang terculik!!” seru Basu-
nanda dengan mengawasi tubuh Jayenglaga roboh ke
tanah.
Tak kalah terkejutnya adalah Biyantara! Secepatnya
dia menjaga jarak agar tidak terlibat serangan Basu-
nanda yang kelihatan mata gelap.
Pusparini sendiri sangat digelisahkan oleh tersibak-
nya awan kelabu di langit yang secara pelan mulai me-
nampakkan cahaya matahari. Begitu cahaya matahari
bersinar cerah, maka memancarlah cahaya merah dari
Pedang Merapi Dahana.
“Hahahahahaha... lihat! Inilah pancaran Pedang
Merapi Dahana! Dia mendapat tenaganya dari sinar
matahari!” seru Basunanda sambil melirik ke arah
Pusparini. “Kau akan dibantai oleh pedangmu sendiri,
Walet Emassss!!!” Basunanda mengakhiri ucapannya
dengan melesat ke arah Pusparini.
Sejenak Pusparini berpikir untuk menghadapi se-
rangan Basunanda dengan tangkisan pedangnya. Tapi
niat itu dibatalkan dengan tindakan cepat yang lain.
Dia melemparkan butiran yang diberikan oleh Ki Mega-
truh kepadanya. Dan....
Bhusshhh...!
Ledakan asap menghalangi pandangan Basunanda.
Kemudian disusul lemparan kedua, sehingga peman-
dangan semakin menyulitkan Basunanda.
Pada saat itulah Pusparini melesat maju. Dia berte-
kad merebut pedang itu dari tangan lawannya.
Basunanda masih mencoba mengatasi asap yang
menyerang pandangannya ketika tiba-tiba dirasakan
renggutan tangan yang mencoba merampas Pedang
Merapi Dahana dari tangannya. Dia mencoba memper-
tahankan. Pergumulan terjadi. Hulu Pedang Merapi
Dahana tercekam oleh dua pasang tangan. Di antara
keduanya saling merebut. Sungguh sulit untuk meng-
awasi keadaan ini.
Pada suatu kesempatan Basunanda berbuat cu-
rang. Tapi bukankah berbuat curang itu dihalalkan da-
lam berkelahi? Dan itulah yang dilakukan Basunanda.
Dia menyikat payudara Pusparini! Oh..., alangkah sa-
kit rasanya.
Pusparini menyeringai menahan sakit. Tapi sesaat
kemudian akalnyapun berkembang. Dia ganti mener-
jang kemaluan Basunanda dengan ujung lututnya.
Basunanda mengaduh. Pada saat itulah Pusparini
mempertinggi hentakan tangannya untuk merebut pe-
dang yang saling dicekam. Untuk ini dia mengulangi
menerjang kemaluan Basunanda untuk kedua kalinya.
Tapi Basunanda menjaga kemungkinan ini, membuat
serangan Pusparini ini luput dari sasaran.
Justru ketika Basunanda mencoba menggagalkan
serangan Pusparini, malahan perutnya yang kena. Un-
tuk sesaat Basunanda menyeringai dan dicoba menga-
tasi dengan mengatur pernapasannya.
Tentu saja hal ini merupakan kesempatan untuk
menggalakkan serangan. Sikut Pusparini melesat ke
dagu Basunanda sehingga laki-laki ini tersentak ke be-
lakang.
Pegangan yang dirasa renggang pada hulu Pedang
Merapi Dahana, cepat dihentakkan oleh Pusparini
dengan tambahan terjangan kaki ke dada Basunanda
yang tubuhnya merenggang dari himpitan!
Tindakan ini membuat pegangan Basunanda terle-
pas. Pedang Merapi Dahana berhasil direbut Pusparini!
“Hah?!” hanya ini yang keluar dari mulut Basunan-
da.
Melihat Pedang Merapi Dahana yang memancarkan
cahaya merah, membuat Basunanda kehilangan se-
mangat. Pada saat inilah tanpa diduga Biyantara me-
nerjang ke arah Basunanda!
“Aku bukan bawahanmu lagi!” teriak Biyantara
sambil menggampar dagu Basunanda dengan tumit
kakinya.
Basunanda terguling. Justru gerakannya ini mem-
buat dirinya berhasil meraih sebilah pedang dekat ma-
yat adiknya, Pandansari. Pedang itu dipergunakan un-
tuk mempertahankan diri.
“Hadapi dia, Biyantara! Aku akan menjadi wasit da-
lam masalah ini!” seru Pusparini.
Biyantara melesat ke arah Basunanda. Keduanya
terlibat perang tanding dengan pedang.
Karena Basunanda telah mengerahkan tenaganya
dalam menghadapi Pusparini, maka menghadapi Bi-
yantara dia agak kedodoran. Serangannya banyak yang
meleset.
Tapi Basunanda dapat meraih serangan yang nyaris
menerbangkan nyawa Biyantara. Tebasan pedang Ba-
sunanda merobek rompi Biyantara sehingga tersibak
punggungnya.
Rompi yang koyak itu direnggutkan sehingga terli-
hat telanjang dadanya. Sedangkan punggungnya telah
mengalir darah karena sabetan pedang Basunanda.
Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat pe-
nasaran Biyantara untuk mengadakan balasan.
Selama semua terlibat bentrokan, Pusparini kini
hanya sebagai penonton. Di seberang sana terlihat Ki
Megatruh masih sibuk menghadapi anak buah Jayeng-
laga. Di sisi lain Nyi Wungkuk dan Nyi Blengoh masih
gencar dengan serangan masing-masing.
Tak berapa lama kemudian, terjadi perkembangan
lagi. Anak buah Jayenglaga banyak yang menyerah.
Sebagian lagi ada yang melarikan diri. Mereka merasa
tidak tahu lagi bertempur untuk siapa setelah diketa-
hui juragannya telah tewas.
“Kelihatannya kau asyik sekali melihat pertarungan
mereka!” terdengar suara yang membuat Pusparini
mengalihkan pandangan dari mana datangnya teguran
itu.
Ternyata Ki Megatruh telah berada di dekatnya.
“Saya merasa tidak berhak lagi mencampuri. Saya
telah menemukan senjata saya,” kata Pusparini de-
ngan menimang Pedang Merapi Dahana.
“Apa pikiranmu tentang Biyantara?” tanya Ki Mega-
truh.
“Saya belum tahu. Tampaknya dia ingin suatu ke-
pastian siapa dirinya yang sebenarnya,” jawab Puspa-
rini sambil mengawasi Biyantara yang terus melancar-
kan serangan terhadap Basunanda.
“Dia adalah putra Nyi Saraswati yang terculik!” kata
Ki Megatruh.
“Bagaimana Ki Megatruh bisa yakin begitu?”
“Lihatlah tanda hitam di punggung Biyantara. Itu
‘toh’ yang sejak lahir dimiliki oleh putra Nyi Saraswati.
Hal itu pernah diceritakannya kepadaku oleh Nyi Sa-
raswati, bahwa anaknya yang terculik memiliki ‘toh’
seperti bunga mawar!”
“Mudah-mudahan Nyi Saraswati sempat melihat
tanda itu selagi sedang berhadapan dengan Nyi Ble-
ngoh,” kata Pusparini. Tentu saja harapannya agar Nyi
Saraswati yang dikenal sebagai Nyi Wungkuk dapat
memenangkan pertarungan itu.
Sementara itu keadaan Basunanda telah semakin
payah. Dia benar-benar tak kuasa lagi menangkis se-
rangan Biyantara. Sampai akhirnya serangan yang cu-
kup fatal harus diterima dari lawannya. Pedang Biyan-
tara berhasil menebas lehernya, lalu disusul tusukan
pada dada, tepat di arah jantungnya. Basunanda ro-
boh!
Pada saat peristiwa itu terjadi, Nyi Blengoh sempat
melihat adegan tersebut. Baru kali ini dia tersendat
dan hatinya merasa terguncang...! Dua orang anaknya
telah tewas! Bagaimana itu semua bisa terjadi dalam
waktu singkat? Rasanya seperti karma yang harus di-
bayar mahal pada hari itu juga.
Pada saat yang lengah ini, Nyi Wungkuk tidak me-
nyia-nyiakan peluang. Pukulan yang diisi tenaga dalam
dihunjamkan ke tubuh lawannya.
Kontan tubuh Nyi Blengoh terpental dengan me-
nyemburkan darah segar dari mulutnya. Dan tubuh
itu akhirnya terpaku pada sebuah ujung kayu yang
runcing, tembus dari punggung sampai ke dada!
Nyi Saraswati tercekam oleh peristiwa itu. Pada ak-
hirnya dia memenangkan pertikaian yang berkembang
lebih dari tiga puluh tahun!
“Semua sudah berakhir...!” terdengar suara di de-
katnya.
Nyi Saraswati menoleh. Dilihatnya Pusparini yang
didampingi Ki Megatruh telah berada di sampingnya,
lalu, tak berapa lama kemudian Biyantara mendekati
mereka.
“Nyi!” kata Ki Megatruh. “Masih ingatkah dengan
ucapanmu tentang anakmu yang hilang? Kau pernah
berkata tentang ‘toh’ di punggung anakmu yang me-
nyerupai bentuk bunga mawar. Sekarang kau bisa me-
lihat seseorang yang memiliki tanda seperti itu. Terse-
rah kau mempercayainya atau tidak.”
“Nyi! Biyantara ini telah lama mencari siapa ibunya
yang sebenarnya. Lihatlah tanda itu di punggungnya,”
tambah Pusparini.
Nyi Saraswati mengawasi Biyantara.
“Rasanya tanpa melihat ‘toh’ itu, akupun melihat
sinar mata Kangmas Agung pada matanya. Tapi na-
mamu dulu bukan Biyantara, tapi Bawaleksana...!” ka-
ta Nyi Saraswati. “Kukira orang yang menculikmu ti-
dak tahu nama itu...!”
“Jadi... Ibu yakin bahwa aku adalah Bawaleksana
anak Ibu yang hilang itu?” terdengar suara Biyantara
dengan nada ragu.
“Perasaanku mengatakan bahwa kau anakku yang
hilang...!” kata Nyi Saraswati dengan suara tertelan
memendam kebahagiaan yang sulit dicetuskan.
Biyantara lalu memeluk wanita tua itu...!
***
Beberapa hari kemudian... terlihat Pusparini telah
dalam perjalanan meninggalkan Kadipaten Sedayu.
Dalam perjalanan ini masih terngiang suara Biyantara
yang tiada henti-hentinya mengucap syukur atas ban-
tuan Pusparini dalam memulihkan suasana di Kadipa-
ten Sedayu.
“Jangan bersyukur kepada saya. Ini semua telah
dikehendaki Sang Hyang Widhi!” kata Pusparini. “Saya
hanya pelengkap saja dalam peristiwa itu.”
“Mengapa kau tidak tinggal di kadipaten ini saja?
Sampai berapa lama kau harus menuruti kata hatimu
untuk mengembara?” kata Biyantara alias Bawaleksa-
na yang kini menjabat adipati di Kadipaten Sedayu,
sebagai pewaris trah dari almarhum Adipati Agung Se-
dayu.
“Suatu saat pasti saya akan menetap di suatu tem-
pat,” kata Pusparini sambil menghentakkan tali ke-
kang kudanya.
Semua mata mengawasi keberangkatan Pusparini
yang punya gelar kependekaran Walet Emas. Nyi Sa-
raswati melepas keberangkatan itu dengan linangan air
mata. Sedangkan Ki Megatruh dengan tatapan mata
sendu. Dan Biyantara sendiri mengantar dengan doa...!
Dan Pusparini terus menghentakkan lari kudanya
untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Dia belum
berniat untuk tinggal di suatu tempat...!
***
SELESAI EPISODE INI
Emoticon