SSAATTUU
PUSPARINI tak tahu mengapa tiba-tiba dirinya be-
rada di tempat itu. Tempat di sekelilingnya berkabut.
Yang dirasakan hanya kesepian semata. Dia merasa
dirinya terbaring di atas rerumputan. Dia ingin bang-
kit, tapi tak kuasa. Seolah ada beban berat membe-
Ketika dia mencoba mengawasi menembus kabut,
dengan samar-samar tampak sesosok tubuh mendeka-
tinya. Seorang laki-laki tanpa bisa dilihat wajahnya de-
ngan jelas, kini berdiri di hadapannya.
Kemudian dengan kasar laki-laki itu merenggut
kemben Pusparini tanpa mampu dicegah. Dia ingin
berteriak, tapi rasanya mulutnya bagai disumbat oleh
gumpalan yang menyesakkan napas.
Laki-laki itu kemudian bertindak lebih jauh. Dia
meraba dada yang terbuka membukit indah. Pusparini
mencoba meronta. Tapi kekuatan tenaga laki-laki itu
melindas geraknya. Dengan bernafsu sekali, laki-laki
itu melumat bagian tubuhnya yang mengundang gai-
rah. Yang mana saja! Baru saat tulah dia mampu ber-
teriak...!
Dan Pusparini terbangun! Tubuhnya tersentak, tegak
dari pembaringan.
“Ooohhh!” keluhnya pelan. “Untung hanya mimpi!”
Peluh dingin membasahi tubuhnya.
Dia masih termenung membayangkan mimpi yang
baru dialami. Terasa memusingkan kepala. Di sekeli-
lingnya sepi. Hanya suara serangga berdendang meng-
isi suasana malam. Pusparini turun dari balai-balai,
lalu mengambil air minum di kendi yang tersedia di po-
jok ruangan kamarnya. Diteguknya air itu, terasa se-
gar.
Sekilas pikirannya terkait pada mimpi yang baru di-
alami. Perasaannya bergidik kalau mengingatnya. Tem-
pat di mana dia berada sekarang adalah Desa Randu-
blatung. Orang bilang sebuah desa yang ‘loh jinawi’.
Makmur karena kesuburan tanahnya. Pengembaraan
yang dilakukan melibatkan dirinya selalu tinggal di su-
atu tempat untuk sementara waktu. Di sini dia mem-
bantu suatu keluarga menggarap tanah pertanian,
atau apa saja untuk mencari dana bekal perjalanan-
nya.
Seperti halnya di desa ini, dia berkenalan dengan
keluarga kalangan petani di Desa Randublatung. Per-
kenalan ini tidak sekedar perkenalan, tapi lewat suatu
peristiwa yang hampir mencelakakan anak gadis Ki
Langkir, petani itu....
Seekor kerbau telah lari dari kandangnya. Lari de-
ngan liar ke tengah jalan raya. Tak ada seorang pun
bisa menangkapnya. Beberapa pedagang di pinggir ja-
lan jadi korban amukan kerbau itu. Orang-orang panik.
Saat itu Ranti, anak Ki Langkir, sedang berbelanja
ke pasar. Kerbau yang kalap itu mengamuk di sana.
Pada saat akan menubruk Ranti, Pusparini bertindak
dengan menendang binatang tersebut. Kerbau itu
oleng dan roboh. Ranti terhindar dari bahaya. Tapi tak
berarti Pusparini memberi pertolongan hanya sampai
disitu. Karena kerbau tersebut bangkit lagi dan mulai
mengganas. Pusparini terpaksa bertindak fatal. Dia
melesat ke arah binatang itu dan mendarat di leher.
Tangannya segera menjangkau kedua tanduk kerbau.
Dengan berpegangan tanduk kerbau, Pusparini men-
coba mengendalikan keganasan binatang itu. Tapi ra-
sanya sulit sekali. Bahkan tubuhnya jadi bulan-bu-
lanan diguncang lonjakan tingkah polah sang kerbau.
Dicari akal lain. Kedua kakinya dijepitkan pada leh-
er kerbau dengan memberi tekanan dengan tenaga da-
lam. Usaha ini berhasil. Sang kerbau mulai tersengal
napasnya, dan ambruk.
Lalu berapa orang datang membawa tali dan mengi-
kat kerbau itu. Pemiliknya datang. Dan atas kesepaka-
tan orang-orang di sana, kerbau tersebut dibantai, ka-
rena pemiliknya tak dapat mengganti kerugian yang di-
timbulkan. Dagingnya jadi obralan siapa saja yang
menginginkannya. Pusparini tak bisa mencegah tinda-
kan orang-orang di sana. Ketika hendak berlalu me-
ninggalkan tempat itu, datanglah gadis yang ditolong-
nya tadi beserta orang tuanya.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Nduk!” ucap
orang tua si gadis, “Kalau tidak ada kau, bagaimana
jadinya anakku Ranti ini.”
Lalu dibuntuti pembicaraan singkat, yang akhirnya
membawa Pusparini dipersilahkan tinggal di rumah Ki
Langkir....
Itu peristiwa tiga hari yang lalu. Dan malam ini te-
lah tiga malam menempati kamar yang disediakan un-
tuk dirinya di rumah Ki Langkir. Malam ini pula dia
bermimpi yang sangat mengguncang perasaannya. Dia
nyaris diperkosa oleh seorang laki-laki yang tak bisa
dilihat dengan jelas raut wajahnya.
“Baru kali ini aku bermimpi seperti itu,” keluhnya
dalam hati.
Pusparini merenungkan keadaan dirinya. Gadis
seusianya kebanyakan telah menikah. Bahkan telah
mempunyai anak. Paling tidak sudah dua orang. Kini
umurnya telah sembilan belas tahun. Umur termasuk
golongan perawan kasep (perawan tua) pada zamannya.
Dan mimpi semacam tadi, benar-benar mengaduk
sanubarinya sebagai seorang gadis yang terkadang
rindu akan belaian lelaki. Selama pengembaraannya
ini memang ada beberapa orang yang bisa memberi pe-
luang untuk itu. Tapi bagaimana kelanjutannya? Lagi
pula dia belum menemukan sosok lelaki yang pas un-
tuk tambatan hatinya. Apakah pengembaraan ini ha-
nya untuk mencari jodoh setelah disadari tak ada sa-
nak keluarganya lagi?
“Ah, persetan dengan jodoh,” keluhnya lagi. “Kau
bukan dilahirkan untuk seperti gadis-gadis itu, Puspa-
rini. Kau punya embanan tugas demi kemanusiaan,”
katanya untuk dirinya sendiri....
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh derit pintu kamarnya
yang terbuka. Ditolehnya ke arah pintu. Di sana mun-
cul sesosok tubuh. Si Ranti.
“Kak Rini?! Kau tidak tidur semalaman?” tegur Ran-
ti dengan terus mendekat.
“Eh... enghmm... aku baru saja terbangun. Udara
terasa gerah malam ini. Mendung kalau tidak hujan ya
begini. Panas, walaupun malam hari. Kau sendiri ba-
gaimana? Belum tidur juga?” tanya Pusparini.
“Aku baru saja mimpi yang tidak mengenakkan,”
jawab Ranti sambil membenahi rambutnya yang kusut.
“Mimpi tidak mengenakkan? Mimpi apa itu? Digigit
ular?”
“Tidak. Bukan itu. Pokoknya... ngeri gitu.”
“Ngeri yang bagaimana?” desak Pusparini serius.
Ranti membisu, tidak cepat menjawab pertanyaan
itu.
“Aku... aku... diperkosa! Akan diperkosa oleh laki-
laki yang tidak saya kenal,” terdengar pengakuan Ranti
dengan suara lirih.
“Apa? Kau... mimpi akan diperkosa oleh seseorang?”
tanya Pusparini seakan tidak percaya dengan ucapan
Ranti.
Bicara soal mimpi memang tidak aneh. Tapi kalau
mimpi itu sama dengan yang baru saja dialami, itu
yang aneh... dan tidak wajar! Pusparini tidak cepat
menanggapi mimpi yang diceritakan oleh Ranti. Dia ti-
dak ingin membicarakan tentang mimpi macam gituan.
Rasanya ada tata krama yang harus dilakukan agar
pembicaraan tentang mimpi semacam itu tidak berla-
rut-larut dibuat masalah. Anggap saja sebagai ‘bunga
tidur’.
“Hari masih malam. Apakah Dik Ranti tidak ngan-
tuk? Atau... ingin tidur di sini?” kata Pusparini meng-
alihkan pembicaraan.
“Tidur di sini saja dengan Kak Rini. Boleh?”
“Boleh-boleh saja. Kan di sini rumahmu. Aku seke-
dar numpang tinggal untuk beberapa hari saja,” jawab
Pusparini dengan mengumbar senyum. Dia mengha-
rapkan Ranti tidak akan membicarakan tentang mimpi
tersebut. Dan ternyata gadis itu tidak mempedulikan
dengan mimpi yang baru diomongkan.
“Jadi... setelah ini, Kak Rini akan mengembara lagi?
Apa to, enaknya mengembara?” tanya Ranti dengan
melempar tubuhnya di atas balai-balai.
“Mengembara memang tidak ada enaknya. Apalagi
seperti aku yang kini tidak mempunyai sanak kelu-
arga. Rasanya seperti orang ‘kabur kanginan’. Oh, ya.
Bagaimana? Apakah kita besok jadi ke tempat nenek-
mu seperti yang kau katakan kemarin?”
“Tentu! Kalau dia tahu Kak Rini seorang pendekar,
wah, seneng banget. Sebab nenek dulu katanya punya
saudara yang juga pendekar. Tapi sekarang entah di
mana,” jawab Ranti dengan menguap lebar. Gadis be-
rumur lima tahun lebih muda dari Pusparini itu ke-
mudian lelap lagi dirangkul rasa kantuknya.
***
Kicau burung klangenan Ki Langkir mengusik teli-
nga Pusparini pada esok harinya. Dia cepat-cepat ter-
jaga. Dilihat, Ranti sudah tidak ada lagi di samping-
nya. Dia bangun kesiangan. Ini gara-gara semalam ter-
ganggu mimpi yang membuat setengah bergadang ka-
rena kedatangan Ranti. Seperti yang telah direncana-
kan, hari ini Pusparini akan mengantarkan Ranti men-
gunjungi neneknya yang bertempat tinggal di Desa
Bayeman yang setengah hari perjalanan dari Randu-
blatung.
“Nenekmu tinggal dengan siapa di sana?” tanya
Pusparini.
“Dengan Ken Akung dan para pembantu yang lain.”
“Ken Akung?! Masih termasuk keluarga?”
“Bukan. Kira-kira dua bulan lalu dia datang ke Ba-
yeman sebagai orang yang lontang-lantung. Lalu oleh
nenek disuruh tinggal di rumahnya sebagai teman. Dia
diberi tugas menggarap sawah,” kata Ranti menje-
laskan.
Pusparini hanya manggut-manggut mendengar ceri-
ta itu. Kiranya banyak juga orang yang lontang-lan-
tung yang akhirnya mengabdi kepada seseorang untuk
menyambung hidup. Tapi lontang-lantungnya Puspa-
rini lain. Dia bukan orang yang mencari pekerjaan. Dia
mengemban tugas demi kemanusiaan. Menjadi
bhayangkara masyarakat tanpa pamrih.
“Kita istirahat di warung itu,” kata Ranti dengan
menunjuk suatu warung di bawah pohon beringin.
Pusparini mengekor langkah Ranti, dan keduanya
cepat mengambil tempat duduk di bangku panjang.
Ranti memesan minuman, karena sarana itulah yang
sangat dibutuhkan pada saat matahari memanggang
bumi.
“Eh, kalian dari mana hendak kemana?” tanya sese-
orang yang duduk di bangku seberangnya.
Melihat penampilan Pusparini dan Ranti dengan wa-
jah enak dipandang, kontan keramah-tamahannya
muncul. Mereka terdiri dari tiga orang. Senjata mereka
terselip di pinggang. Lewat penampilan yang diamati,
Pusparini jadi tahu bahwa ketiga orang laki-laki itu
adalah orang yang sering terlibat dengan kerusuhan.
Orang urakan yang kerjanya bikin gara-gara. Atau
anak buah dari suatu kelompok persekutuan.
Pusparini menjawil Ranti agar tidak meladeni tegu-
ran orang itu.
“Hei, ditanya baik-baik tidak menjawab,” kata orang
itu lagi. “Kalau kalian akan melewati jembatan itu, ha-
rus membayar dulu dua kepeng kepada kami.”
Ranti terdesak untuk tahu. “Apa benar, Pak? Sejak
kapan peraturan itu berlaku? Rasanya dulu tidak begi-
tu.”
Tak jauh dari tempat itu memang terbentang jemba-
tan di atas sebuah sungai. Lalu lintas di sana terlihat
sepi. Tak ada seorang pun yang tampak melintas me-
lewati jembatan itu.
“Sekarang peraturannya, satu orang satu kepeng.
Kalau tidak, boleh ke seberang sana dengan melewati
jalan putar di sana itu. Lewat gumuk bukit kecil itu.
Jembatan itu pernah runtuh dan diperbaiki lagi oleh
Den Bagus Panggelaran,” kata orang itu lagi sambil
berdiri mendekati Pusparini. Tangannya usil meraba
pedang yang diletakkan Pusparini di sampingnya.
“Pedang yang bagus. Kau... berniat menjualnya?
Aku mau membelinya,” kata orang itu lagi dengan di-
dampingi dua orang kawan yang telah berdiri dari
bangku duduknya.
“Lepaskan tangamu dari pedangku,” kata Pusparini
dengan suara tenang.
Orang itu pura-pura tidak mendengar ucapan ter-
sebut. Dia tidak saja menyentuh pedang itu, bahkan
mengambilnya. Tapi begitu terangkat, yang dilihat ha-
nya sarung pedangnya. Sedang bilah pedang ternyata
sudah berada di tangan Pusparini. Dan pedang Merapi
Dahana yang punya ciri khas kalau tertimpa cahaya
matahari dapat memancarkan cahaya merah, maka
ketiga orang itu mundur ke belakang.
“Hah? Pep... pep... pedang itu bercahaya merah...!”
seru salah seorang di antara mereka.
Belum lenyap rasa terpukau mereka melihat kehe-
batan pedang di tangan Pusparini, maka dirasakan
kain yang mereka pakai kedodoran jatuh. Itu hanya
satu kali tebasan yang dilakukan oleh Pusparini untuk
memberi pelajaran kepada mereka.
“Aku bisa melakukan untuk yang kedua kalinya.
Untuk yang kedua, kalian akan telanjang bulat. Dan
kalau ingin pelajaran ketiga, maka nyawa kalian akan
melayang. Cepat berikan sarung pedangku, dan kalian
enyah dari hadapanku!” kata Pusparini dengan nada
ketus
“Iii... iiya. Ini... ss... sarung pedangmu. Jangan me-
lakukan lagi...!” kata salah seorang yang tadi banyak
berlagak. Dia menyerahkan sarung pedang kepada
Pusparini, lalu hengkang dari sana dengan langkah
cepat.
“Lho, Pak, jangan lakui. Saya tidak apa apa kok,”
kata Pusparini kepada pemilik warung yang ndepis di
pojok. “Orang macam itu memang perlu di beri pelaja-
ran. Jangan takut. Saya tidak akan menindak orang
yang baik-baik.”
Sementara peristiwa itu telah berlalu, yang terce-
kam kagum tidak saja pemilik warung dan pembantu-
nya, tapi juga Ranti.
“Whuuah! Bukan main!” seru Ranti yang tak henti-
hentinya mengawasi pedang milik Pusparini. “Pedang
ajaib!”
“Bukan ajaib. Cuma kekuatan alam yang tersimpan
dalam pedang ini,” kata Pusparini. “Lho, Pak! Mengapa
tetap ndepis di situ? Saya ingin membayar harga mi-
numan tadi.”
“Iii... ya. Mohon cepat pergi dari sini. Tidak usah
bayar ya nggak apa-apa. Cepat, Nduk Pendekar. Bisa
gawat nanti kalau mereka datang lagi kemari dengan
membawa banyak teman,” ratap si pemilik warung.
Pusparini mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang di-
pikirkan.
“Saya jadi ingin tahu tentang mereka, Pak,” kata
Pusparini. “Yang bikin gara-gara kan bukan saya. Ka-
mi berdua hanya akan menyeberang lewat jembatan
itu. Ini kan jalan umum. Bukan milik perseorangan?”
“Rupanya kalian ini belum tahu siapa Den Bagus
Panggelaran. Wah, pokoknya nyingkir saja, Nduk!” ka-
ta si pemilik dengan perangai was-was.
“Baik, Pak. Kalau itu yang Bapak takutkan, kami
akan segera berlalu dari sini,” kata Pusparini setelah
memberikan uang pembeli minuman.
Mereka berdua melewati jembatan yang memben-
tang sepanjang tak kurang dari seratus meter terbuat
dari kayu dan bambu. Mereka berjalan dengan tenang.
Sampai di tengah jembatan, mereka terpaksa ber-
henti, karena dari ujung sana muncul sekelompok
orang. Lalu dari ujung satunya muncul pula sekelom-
pok orang serupa. Dengan pelan mereka melangkah ke
arah Pusparini dan Ranti.
“Aku sudah menduga kalau yang begini bakal terja-
di. Jangan jauh-jauh dariku, Ranti. Kau akan tahu be-
tapa kejamnya hidup ini. Kadang-kadang orang terlalu
memandang rendah harga nyawa manusia,” kata Pus-
parini dengan membenahi dirinya.
Dia harus memperhitungkan serangan dari arah
yang berlawanan. Ditambah keberadaan Ranti maka
keadaannya harus diperhitungkan pula. Pusparini ti-
dak ingin basa-basi lagi. Dia melihat ketiga orang yang
tadi menghindarkan diri, kini muncul lagi. Hanya saja
langkahnya sudah berubah. Dengan didampingi ban-
tuan tenaga sebanyak itu, nyalinya jadi membengkak.
“Lewat jembatan ini kalian harus bayar tidak dua
kepeng lagi, tapi kalian harus ikut kami!” kata orang
itu dengan suara lantang.
“Minggirlah. Kami akan lewat. Kalau tidak, tukang
kubur akan borongan kerja karena akan mengubur
mayat kalian!” ancam Pusparini. Kali ini dia tak sudi
bermanis-manis lagi menghadapi orang-orang macam
itu. Selalu saja dia ketanggor dengan orang-orang yang
penampilannya kelas kambing pada awal petualangan-
nya.
“Kalian dengar itu omongannya?” kata orang itu ke-
pada teman di sampingnya. “Dia memang perlu diha-
jar. Kita harus bisa merampas pedangnya itu!”
Kemudian isyarat diberikan. Lawan di belakang
Pusparini bergerak serentak.
Tapi Pusparini waspada. Walaupun yang bergerak
adalah lawan dari belakang, tapi pandangannya tetap
ditujukan ke arah lawan yang berada di muka.
Ranti cemas. Dasar gadis ingusan yang tak tahu
taktik silat. Melihat lawan di belakang semakin dekat,
dia menjerit.
Tapi jeritan itu tidak menggoyahkan rencana Puspa-
rini yang tetap tenang. Indera telinganya memantau
langkah lawan dari arah belakang. Dia tahu, sudah be-
rapa dekat mereka akan menyerbu dari belakang. Ke-
tika perkiraannya sesuai dengan perhitungannya, Pus-
parini barulah mencabut pedangnya.
Shriing!!! Dan berpijarlah Pedang Merapi Dahana di-
timpa cahaya matahari. Bilah pedang bercahaya me-
rah.
Orang-orang yang akan menyerang dari belakang
kontan mundur beberapa langkah. Karena hal itu ter-
jadi karena terkejut dan panik, maka ada yang terlem-
par ke luar jembatan karena terdesak tubuh lawan.
Pagar jembatan bobol, dan orang itu tercebur ke su-
ngai.
Pusparini mengacungkan pedangnya ke depan, ke
arah lawan yang sejak tadi belum bergerak maju lagi.
Melihat acungan pedang yang membiaskan cahaya
merah, mereka pun mundur.
Pusparini terus maju dengan langkah pelan.
Orang-orang yang akan menyerang terus mundur.
Mundur dan mundur yang akhirnya ke luar dari jem-
batan.
Pusparini dengan leluasa menyeberang. Tapi tak be-
rarti hal itu aman baginya. Tiba-tiba terdengar de-
singan dari arah samping. Cepat dia menoleh. Dia tahu
apa yang sedang melewat ke arahnya.
Pusparini cepat menggaet tubuh Ranti untuk mele-
sat menghindar.
Benda yang melesat, menyambar pada tempat sasa-
ran yang kosong. Dalam kesempatan ini Pusparini
sempat melihat sebuah benda pipih berbentuk siku-
siku bergerak berputar sebagai senjata yang luput me-
nyerang dirinya. Anehnya benda itu dapat kembali ke-
pada pelemparnya setelah menerjang ke arah sasaran
yang kosong. Pusparini belum tahu bahwa senjata se-
macam itu namanya ‘boomerang’.
Rupanya pemilik boomerang masih penasaran ka-
rena serangannya luput. Untuk kedua kalinya senjata
itu dilemparkan lagi ke arah sasaran.
Pusparini segera mempersiapkan dirinya. Pedang
Merapi Dahana dipersiapkan untuk menghadapi boo-
merang. Dan....
Thrrraanngg!!!!
Boomerang terpental. Senjata itu juga terbuat dari
logam. Tapi kena gempuran pedang milik Pusparini ti-
dak hancur, berarti senjata boomerang itu terbuat dari
logam yang sama ampuhnya dengan yang dibuat un-
tuk membentuk Pedang Merapi Dahana.
Melihat senjatanya terpental, maka pemilik boome-
rang segera tampil mendekat. Langsung dia menerjang
ke arah Pusparini. Dia seorang wanita yang lebih tua
dari usia Pusparini, memakai kemben biru. Pedang
yang bertengger di punggungnya segera dicabut begitu
telah dekat dengan sasaran.
Masalahnya memang belum jelas siapa wanita itu.
Dugaan Pusparini, pasti sesepuh orang-orang yang
mencoba menghadangnya di tengah jembatan.
Perang tanding jurus pertama terawali. Seperti hal-
nya senjata boomerang tadi, maka pedang wanita ber-
kemben biru ini juga mampu bertahan terhadap gem-
puran Pedang Merapi Dahana di tangan Pusparini. Ju-
rus-jurus berikutnya masih dalam penjajakan mengu-
kur kemampuan lawan.
Baru pada jurus kesekian kalinya, jurus yang dite-
rapkan mulai mengarah pada usaha untuk melukai
lawan. Tapi tiba-tiba Pusparini terpaksa menghentikan
perang tandingnya ketika terdengar suara ancaman.
“Hentikan perkelahian kalian! Atau gadis ini kuban-
tai dengan golokku!”
Suara itu berkumandang dengan keras. Perang tan-
ding terhenti. Satu hal yang tak dimengerti oleh Puspa-
rini, yaitu sikap lawannya, si wanita berkemben biru,
yang tampaknya tak bisa bertindak apa-apa terhadap
tindakan orang-orang yang kini menyandera Ratih.
Pusparini mencoba menguak teka-teki ini. “Orang-
orangmu pengecut!”
“Apa kau bilang? Mereka bukan kelompokku!” sa-
hut wanita berkemben biru.
“Bukan kelompokmu? Kau bukan sesepuh mere-
ka?” tanya Pusparini.
“Jangan menghina. Kalau aku butuh anak buah, ti-
dak akan memilih macam mereka!” jawab wanita itu
dengan ketus.
“Jadi?”
“Akan kubantu kau untuk membebaskan saudara-
mu itu,” kata wanita berkemben biru dengan meng-
ambil sesuatu dari dalam stagen ikat pinggangnya. Ge-
raknya begitu cepat. Dan detik selanjutnya, orang yang
menyandera Ratih menggeliat dengan meneriakkan
aduhan. Kiranya wanita itu telah mencabut senjata ra-
hasianya, dan dilempar ke arah penyandera.
Teman-temannya yang melihat peristiwa ini terpe-
rangah. Yang lain mencoba menggaet Ratih. Tapi gerak
mereka tersendat di saat sebuah logam kecil berbentuk
bintang menancap pada dahi mereka. Ratih segera
menghindar dari mereka dan bergabung dengan Pus-
parini.
Sisa orang-orang itu belum jera. Mereka nekad un-
tuk menyerang secara serentak. Melihat kemapuan la-
wan cuma dipandang sebagai tenaga kelas kambing,
wanita berkemben biru itu menghadapi lawan hanya
dengan tangan kosong.
Prak! Dhieg! Djes!!!
Pukulan beruntun hanya dilakukan dengan sekali
gebrak telah menyikat tiga rahang lawan. Lalu yang
lain mencoba membantu. Tapi yang ini segera disam-
but oleh Pusparini dengan klebatan hantaman dengan
gaya gemulai. Siapa sangka kalau gerakan seperti ta-
ngan penari itu mampu merontokkan gigi lawan?
Tak banyak tenaga untuk menghadapi mereka. Ke-
ringat pun tak banyak menetes. Lawan-lawan itu cuma
‘bondo-nekad’ untuk menghadapi Pusparini dan wanita
berkemben biru. Karena dipandang sia-sia, maka me-
reka mengundurkan diri.
Pusparini kini harus tahu siapa wanita berkemben
biru itu. Sebelum dia bertanya, wanita itu telah mem-
beri penjelasan, seakan-akan tahu apa yang hendak
diucapkan Pusparini.
“Namaku Sri Tanjung.”
“Aku Pusparini.”
Wanita bernama Sri Tanjung tertawa.
“Mengapa ketawa?” tanya Pusparini.
“Lucu sekali pertemuan ini. Nama kita sama-sama
dari kelompok bunga.”
“Bunga mencerminkan keharuman dan kelembu-
tan. Kuharap namamu punya arti yang bisa mencer-
minkan perangaimu,” sambut Pusparini dengan mak-
sud menjajaki siapa sebenarnya wanita bernama Sri
Tanjung ini.
“Kau pasti menuduhku orang yang senang bikin ga-
ra-gara. Aku tadi menyerangmu untuk menjajaki sam-
pai di mana keampuhan pedang yang memiliki panca-
ran cahaya merah itu. Kudengar senjata semacam itu
disebut Pedang Merapi Dahana. Pedang itu sudah be-
rumur ratusan tahun, dibuat sekitar kurun waktu
pembuatan Candi Borobudur,” Sri Tanjung memberi-
kan pandangannya.
“Jadi kau tahu juga perihal Pedang Merapi Dahana.
Apakah... lalu kau ingin memiliki dan merampas dari
tanganku?” tanya Pusparini.
“Oh, tidak! Tidak sama sekali. Aku dengar pedang
itu harus ‘ada jodo’ bagi pemiliknya. Kalau tidak, ma-
lah akan bikin celaka. Dan kulihat, pedang itu ada jo-
do denganmu,” Sri Tanjung menjelaskan. Terdengar
kejujuran dari ucapannya.
Pusparini mulai menaruh kepercayaan.
“Kalau boleh tahu, sebenarnya kau sedang dalam
perjalanan ke mana?” tanya Pusparini.
“Mencari Dewa Mimpi!”
“Dewa Mimpi? Siapa itu?”
“Kau belum tahu bahwa tokoh itu telah bikin geger?
Konon dia mempunyai ilmu kanuragan yang bisa me-
nyusup ke dalam mimpi seseorang,” Sri Tanjung men-
jelaskan sambil mengajak ke tempat yang agak teduh.
Panas semakin membakar dengan keberadaan mata-
hari di atas ubun-ubun kepala.
“Dia bisa menyusup ke dalam mimpi seseorang?”
tanya Pusparini lirih. Ada sesuatu yang mengusik pe-
rasaannya dengan perihal mimpi. Dia pernah bermimpi
yang sama dengan mimpi Ranti. Mimpi di mana dia
nyaris diperkosa. Apakah itu ada hubungannya de-
ngan Dewa Mimpi yang disebut oleh Sri Tanjung?
“Lalu... kau hendak ke mana?” tanya Sri Tanjung.
“Mengantar Ranti ke rumah neneknya di Desa
Bayeman,” jawab Pusparini.
“Ah, kebetulan sekali. Kita bisa sejalan kalau begitu.
Aku pun sedang menuju ke sana. Maksudku, desa itu
akan kulewati.”
***
DDUUAA
DESA BAYEMAN terlihat tenang dan damai. Seba-
gian besar dari penduduknya yang hidup sebagai pe-
tani, membuat lumbung-lumbung tempat penyimpa-
nan padi terlihat pada halaman rumah penduduk.
Termasuk rumah nenek Ranti, di mana orang tua ini
menyambut dengan gembira kedatangan cucunya.
Langsung kedatangan mereka disambut dengan
perjamuan yang sangat akrab. Sedangkan Sri Tanjung
terpaksa singgah sebentar di sana setelah diharap un-
tuk sekedar mencicipi hidangan yang disediakan.
Dalam kesempatan ini mereka bertemu dengan pe-
muda bernama Ken Akung yang telah tinggal beberapa
bulan lalu di sana. Pertemuannya dengan Ken Akung
membuat Sri Tanjung dibebani teka-teki tentang pe-
muda itu.
“Mengapa kau tertarik dengan Ken Akung?” tanya
Pusparini.
“Rasanya aku pernah melihat pemuda itu. Tapi en-
tah di mana,” kata Sri Tanjung sambil mengingat-ingat
tentang pemuda itu yang tampaknya bersikap acuh tak
acuh terhadap kedatangan mereka.
“Lalu setelah pernah melihat dia di suatu tempat,
kau hendak mengapa?” tanya Pusparini.
“Dia itu bukan pemuda biasa yang tampaknya ha-
nya pandai mencangkul.”
“Oh, ya?!”
“Dia memiliki ilmu bela diri!”
“Sangat hebat?”
“Mungkin tak pernah kau bayangkan apa yang bisa
dia lakukan.”
“Kehebatannya di mana?”
“Ilmu kanuragannya!” jawab Sri Tanjung mulai ya-
kin bahwa yang pernah di lihat dalam peristiwa bebe-
rapa waktu yang lalu adalah pemuda bernama Ken
Akung itu.
Pusparini termenung. Kalau ada orang berbicara
soal kanuragan, pasti menyangkut kemampuan bela
diri yang lebih ampuh, sebab hal-hal yang menyangkut
penyadapan kekuatan alam akan ikut berperan. Orang
bisa mengeluarkan kobaran api pada telapak tangan-
nya, sebab orang yang bersangkutan dapat menyadap
kekuatan alam unsur api yang berasal dari bumi.
Karena adanya Ken Akung di tempat itu, maka Sri
Tanjung minta ijin untuk menginap barang satu atau
dua malam di sana.
Tentu saja permintaan tersebut mendapat sambu-
tan dengan baik. Rumah nenek Ranti yang besar itu
tak akan jadi masalah untuk menampung keinginan
Sri Tanjung. Tentu saja alasannya tidak dikatakan ka-
rena adanya Ken Akung di sana. Sampai pada malam
harinya....
Sri Tanjung sudah terlihat mendekam di kamarnya
sejak malam mulai merangkak, sementara Pusparini
dan Ranti masih omong-omong di ruangan tengah. Ken
Akung sendiri masih sibuk di belakang rumah. Ada sa-
ja yang dikerjakan pemuda itu walaupun sudah di-
sarankan untuk istirahat.
“Apakah Ken Akung selalu begitu setiap hari, Nyai?”
tanya Pusparini kepada nenek Ranti yang dipanggil
dengan sebutan Nyai. Namanya sendiri adalah Nyai
Sandhing.
“Wah, kalau Ken Akung belum beres tugas-tugas-
nya, dia tak mau istirahat. Tampaknya dia tak punya
udel. Tak punya rasa lelah, maksudku. Lihat saja lum-
bung padi di halaman rumah itu. Semua ditata dengan
rapi sehingga pembantu yang lain menganggapnya se-
bagai pekerja yang patut diteladani. Semua segan ter-
hadap Ken Akung,” kata Nyai Sandhing dengan me-
nikmati ramuan kinang di mulutnya. “Eh, kau tidak
ngantuk, Nduk?” katanya lagi kepada cucunya si Ran-
ti.
“Sebenarnya ngantuk. Tapi senang mendengarkan
orang ngobrol,” jawab Ranti sambil menguap. Dia me-
langkah ke kamarnya. “Kak Rini tidak tidur?” katanya
kepada Pusparini.
“Lho! Kalau ngantuk silakan tidur lo, Nak Rini. Aku
tidak biasa tidur sore. Tengah malam nanti nenek baru
tidur, dan bangun sebelum fajar menyingsing. Itu ‘ilmu
tuwo’ yang mungkin sudah jarang dianut oleh orang-
orang sekarang,” ujar Nyai Sandhing.
Akhirnya Pusparini mohon pamit untuk masuk ka-
mar. Dia sekamar dengan Ranti walaupun telah dise-
diakan kamar sendiri. Rantilah yang ingin sekamar.
Ketika Pusparini memasuki ruang kamarnya, ter-
nyata Ranti telah terlelap tidur. Di kamar itu ada dua
balai-balai yang jaraknya terpisah. Sejenak pikirannya
menerawang memikirkan masalah-masalah yang baru
dialami. Tentang Sri Tanjung yang hendak mencari se-
seorang yang menyebut dirinya sebagai ‘Dewa Mimpi’
yang memiliki ilmu kanuragan bisa menembus mimpi
seseorang!
Itu peristiwa aneh yang menarik perhatiannya. Se-
bab beberapa waktu lalu dia dan Ranti telah bermimpi
dengan peristiwa yang sama. Nyaris diperkosa oleh se-
seorang. Apakah ini ada kaitannya dengan Dewa Mim-
pi? Untung saja dia tidak menceritakan kepada Ranti
bahwa dia telah mimpi serupa. Kalau tidak, gadis itu
pasti telah panik ketika Sri Tanjung mencari orang
yang bergelar Dewa Mimpi yang bisa menyusup masuk
ke dalam mimpi seseorang. Dan malam ini Pusparini
berniat untuk tidak tidur. Dia ingin tahu apa yang ter-
jadi terhadap Ranti. Mungkinkah gadis itu bermimpi
seperti itu lagi?
Sedang tekunnya Pusparini bergadang dalam ka-
mar, tiba-tiba perasaannya terusik oleh langkah te-
nang sedang menuju ke kamarnya. Dia menunggu be-
berapa saat dan mengawasi arah pintu. Ditunggu seje-
nak, tak ada perkembangan apa-apa. Tapi dia tahu
bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di balik pin-
tu di luar kamarnya. Kemudian dirasanya bahwa orang
itu menjauhi tempat itu. Pusparini mempertajam inde-
ra pendengarannya.
“Dia telah pergi,” pikir Pusparini, “Sebaiknya ku-
selidiki siapa dia.”
Pusparini dengan langkah hati-hati mencoba meng-
intai. Dia terlambat mengetahui sebab sosok tubuh itu
telah melesat keluar. Pusparini semakin penasaran.
Dia membuntuti langkah sosok tubuh itu. Bayangan
berkelebat dia lihat menuju halaman belakang. Akhir-
nya sosok tubuh itu bisa dilihat dengan nyata walau-
pun cuma sekelebat.
“Sri Tanjung?” pikir Pusparini. “Apa kerjanya dia
berlaku melapati kamarku yang kemudian ke halaman
belakang itu? Bukankah di sana tempat kamar Ken
Akung? Waktu siang tadi perhatiannya tiba-tiba saja
beralih kepada pemuda itu. Katanya dengan alasan il-
mu kanuragan yang pernah dilakukan oleh Ken
Akung. Akan kuikuti saja dari jauh. Siapa buntut pe-
ristiwanya membuatku harus turun tangan?!” pikir
Pusparini yang kini telah bertengger di atas atap ru-
mah.
Sementara itu Sri Tanjung yang mengendap ke arah
kamar Ken Akung telah sampai di depan pintu. De-
ngan tindak hati-hati dia memeriksa pintu kamar ter-
sebut. Ternyata tidak dikunci.
“Gila,” pikir Pusparini yang mengawasi dari atas
atap. “Sri Tanjung masuk ke kamar itu!”
Apa yang terjadi di dalam kamar, Pusparini tidak
tahu. Dia menunggu beberapa saat. Tak ada peristiwa
apa-apa.
“Aneh! Sri Tanjung nggak keluar-keluar. Apakah
mereka... oh, tak mungkin! Sri Tanjung berkata kalau
dia belum kenal dengan Ken Akung sebelumnya. Ha-
nya tahu bahwa pemuda itu pernah dilihatnya me-
ngerahkan ilmu kanuragan sewaktu membela diri pada
suatu bentrokan. Ataukah perkenalan siang tadi mem-
buat malam ini mereka bisa berkenalan lebih intim?”
Pikiran Pusparini tiba-tiba menjadi kacau. Hal-hal be-
gini membuat perasaannya tiba-tiba menggelegak. Ada
rangsangan yang membuat napasnya berpacu dengan
cepat.
Kemudian dia nekad! Dengan gerakan meringankan
tubuh secermat mungkin dia mendekati kamar itu. Dia
ingin mengintip ke dalam!
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini. Dia
tidak melanjutkan intipannya. Dia bergerak menghin-
dari tempat itu. Semua dilakukan dengan cepat tanpa
suara. Lalu masuk kamar. Napas Pusparini berpadu.
Dia memejamkan mata, seolah ingin menghapus pe-
mandangan yang baru dilihatnya. Tapi bagaimanapun
dia berusaha melupakan, gambaran tersebut semakin
nyata membenam dalam ingatannya.
“Tak kuduga!” bisik hatinya. “Bagaimana Sri Tan-
jung bisa terlibat dalam perbuatan itu? Pasti dia bo-
hong kalau tidak kenal dengan Ken Akung. Tampaknya
mereka telah kenal cukup lama. Tak mungkin kalau
belum saling bengenal bisa bertindak seperti itu...!”
“Kak, Rini?!”
Pusparini terkejut. Dilihat Ranti terjaga dari tidur-
nya mengawasi dirinya.
“Ranti?! Kau... mimpi buruk lagi?”
“Tidak! Hanya tiba-tiba terjaga. Dan kulihat kau be-
lum tidur,” kata Ranti sambil bangkit dari tidurnya.
Ranti turun dari balai-balai dan hendak keluar ka-
mar.
“Mau ke mana?” tanya Pusparini.
“Pipis!” jawab Ranti singkat. “Bisa mengantar, Kak?”
Pusparini menghela napas. Dia tahu kamar mandi
rumah itu terletak di belakang. Dan kamar mandi ter-
sebut tak jauh dari kamar Ken Akung. Tiba-tiba piki-
ran Pusparini usil. Dia mau saja mengantar Ranti un-
tuk ke belakang dengan harapan memergoki Sri Tan-
jung seandainya keluar kamar.
Mereka berdua melangkah ke sana. Tak ada perca-
kapan. Tapi hati Pusparini harap-harap cemas se-
sampai di depan kamar Ken Akung. Kamar itu masih
tertutup. Pusparini membayangkan apa yang terjadi di
dalamnya. Dan selama Ranti masuk ke kamar mandi,
maka Pusparini tetap tegak di depan kamar Ken
Akung.
Dia berdehem kecil agar mengundang perhatian me-
reka yang ada di dalam. Lalu mondar-mandir di sana.
Inderanya dipertajam untuk memantau suara-suara di
dalam kamar Ken Akung. Kalau bukan orang yang ter-
latih, pasti tidak akan bisa mendengarkan seperti itu.
Bahkan sebatang jarum akan bisa didengar sean-
dainya jatuh di dalam kamar yang tertutup tersebut.
Dan Pusparini memang mendengar suara-suara di
dalam kamar. Tampaknya keadaan di dalam tidak
mempedulikan apapun yang terjadi di luar. Lalu sikap
usil pun dilakukan oleh Pusparini.
“Cepetan Ranti, kalau pipis! Aku kedinginan di luar.
Mendingan di dalam kamar. Anget!” kata Pusparini
dengan ketawa cekikikan dalam hatinya sendiri. Dili-
hatnya Ranti telah keluar dari kamar mandi.
“Sudah?!” tanya Pusparini.
Ranti mengangguk. Tapi gadis itu heran ketika dili-
hatnya Pusparini tetap berlama-lama di depan pintu
kamar Ken Akung.
“Ayoh, Kak! Katanya dingin di luar. Aku sudah sele-
sai pipis, kok!” kata Ranti.
Mereka berdua kembali ke dalam. Tapi sesampai di
depan kamar Sri Tanjung, Pusparini berhenti.
“Ada apa?” tanya Ranti.
“Aku ingin menengok Sri Tanjung,” jawab Pusparini.
Dia tahu bahwa Sri Tanjung tidak bakalan ada di
dalam kamarnya. Sri Tanjung sekarang berada dalam
dekapan Ken Akung di kamar belakang. Mereka se-
dang bercinta di sana. Dan semua itu persetan bagi
Pusparini. Dia merasa dikibuli oleh Sri Tanjung yang
katanya tidak mengenal Ken Akung. Hanya pernah me-
lihat sewaktu pemuda itu mengerahkan ilmu kanu-
ragan dalam suatu bentrokan. Tak lebih dari itu. Dan
siang tadi ada kesempatan untuk berkenalan. Siapa
menyangka kalau buntutnya dilanjutkan dengan ber-
main cinta pada malam harinya. Dan Pusparini meli-
hat bahwa Sri Tanjung berada di pihak yang penasa-
ran. Sri Tanjung masuk ke dalam kamar Ken Akung!
Lalu kamar Sri Tanjung dibuka oleh Pusparini. Ka-
mar yang daun pintunya tidak dikunci itu kini terkuak
lebar. Dugaan yang mengarah kepada balai-balai yang
pasti tidak ditempati, ternyata meleset. Di sana terlihat
sesosok tubuh terbaring! Perasaan Pusparini tersirap.
“Sri?! Sri Tanjung?” sapa Pusparini ragu-ragu.
Sri Tanjung tampak pulas tidur. Tiba-tiba perasaan
Pusparini tercekam rasa curiga. Jadi siapa yang berada
di kamar Ken Akung? Padahal terlihat dengan jelas be-
berapa saat yang lalu Sri Tanjung memasuki kamar
Ken Akung, dan di sana terjadi peristiwa yang Puspa-
rini sendiri tak bisa membayangkan.
“Ini pasti ada yang tidak beres,” pikir Pusparini.
Ranti yang sejak tadi mengawasi, jadi heran melihat
Pusparini tiba-tiba berlari ke belakang rumah. Sesam-
pai di depan kamar Ken Akung, langsung Pusparini
menggedor pintu.
“Ken Akung! Buka pintunya!” seru Pusparini tegas.
Pintu terbuka. Ken Akung muncul di ambang pintu.
“Pusparini? Ada apa?” tanyanya.
Pusparini menjengukkan kepala ke dalam. Dia ce-
pat-cepat menarik tubuhnya keluar, “Maaf! Kukira ada
pencuri masuk ke kamarmu.”
Pusparini berlalu dari sana. Langkahnya diawasi
dengan pandangan tajam oleh Ken Akung. Lalu terlihat
sesungging senyum menghias bibir pemuda ini sambil
kembali masuk ke dalam kamar.
***
Esok harinya....
Sejak subuh Pusparini telah menyatroni depan ka-
mar Sri Tanjung. Dia melihat Sri Tanjung keluar ka-
mar untuk pergi mandi.
“Nyenyak tidurmu semalam?” tanya Pusparini.
Sri Tanjung menguap.
“Tampaknya begitu. Aku hampir saja kesiangan ka-
lau tak kudengar suaramu di depan kamar. Tumben
kau pagi-pagi sudah necis!”
“Aku mau pergi!”
“O, ya? Ke mana?” tanya Sri Tanjung menunda
langkahnya yang hendak terus ke kamar mandi.
“Ya... ada urusan sedikit.”
“Ranti ikut?”
“Tidak!” jawab Pusparini singkat. “Justru kalau kau
masih berada di sini, aku minta tolong agar dia kau
awasi.”
Sri Tanjung tak sempat berkata apa-apa di saat
Pusparini melangkahkan kaki dari sana.
Apa yang akan dilakukan oleh Pusparini? Yang je-
las, sampai sore dia belum kembali ke sana. Sampai
pada malam harinya, juga belum muncul.
“Aneh. Kak Rini pergi tanpa memberi tahu untuk
urusan apa,” kata Ranti kepada Sri Tanjung yang me-
nemani tidur pada malam harinya.
“Siapa tahu urusan orang, Dik Ranti”, jawab Sri
Tanjung. “Sudah, ah. Aku mau tidur!”
Ranti masih belum memejamkan mata ketika dili-
hatnya Sri Tanjung telah lelap terseret rasa ngantuk.
Ranti merasa tidak seperti biasanya. Walaupun ada
yang menunggu tidur sekamar, rasanya tidak tenang.
Sebentar tengkurap, sebentar terlentang. Dan sikap ini
ternyata dilirik oleh Sri Tanjung yang sebenarnya pura-
pura tidur.
“Tidak bisa tidur, Dik Ranti?” sapa Sri Tanjung.
“Oh! Enghm... sukar untuk tidur. Kak Sri belum ti-
dur juga?”
“Tadi cuma sekelebat saja tertidur. Aku agak terjaga
ketika kulihat kau masih resah,” kata Sri Tanjung
sambil bangkit dari balai-balainya. “Kalau sukar tidur,
aku punya obatnya.”
“Obat tidur?” tanya Ranti sungguh-sungguh.
“Yah, semacam itu. Tapi caraku lain. Mau coba?”
Ranti mengawasi Sri Tanjung dengan penuh ragu-
ragu.
“Baik! Dengan cara apa?”
“Pijit!” jawab Sri Tanjung singkat. “Tenang. Seka-
rang terlentanglah.”
Ranti menurut apa yang dikatakan Sri Tanjung.
Kemudian tangan Sri Tanjung menotok urat jalan da-
rah Ranti pada leher dan kening. Sekejap kemudian
gadis ini memejamkan mata. Tertidur!
Sri Tanjung tersenyum. “Apa susahnya membuat
orang tertidur? Kalau tidak begitu, akan menjadi peng-
ganggu acaraku.” Lalu dia keluar kamar. Dengan lang-
kah tenang, Sri Tanjung menuju kamar belakang. Ke
kamar Ken Akung!
“Kukira kau tidak datang lagi,” sambut Ken Akung
terlentang di balai-balai.
“Ya, hampir saja, kalau Ranti tak tidur-tidur. Aku
terpaksa menotok jalan darahnya agar dia tertidur,”
jawab Sri Tanjung yang langsung bertengger di atas
perut Ken Akung.
“Kau tetap saja binal, seperti kemarin malam itu,”
kata Ken Akung dengan membiarkan Sri Tanjung
membelai-belai dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu ha-
lus. “Kemarin kita tak sempat bercakap-cakap kecuali
kau sibuk menggelutiku. Itu luapan kerinduanmu?”
“Ledakan birahiku!” jawab Sri Tanjung terus mema-
gut bibir Ken Akung.
Laki-laki ini mengimbangi. Untuk beberapa saat tak
terdengar pembicaraan. Hanya desah napas yang kian
berpacu. Dan mereka tak peduli keadaan di sekitarnya,
karena mereka merasa aman. Dan balai-balai itu un-
tuk selama dua malam menjadi saksi bisu perbuatan
mereka.
Saksi bisu? Betulkah?
Tidak!!! Ternyata ada saksi lain yang hidup. Ya, hi-
dup. Dia sebagai orang ketiga di kamar itu. Dia mena-
han napas dan perasaan selama dua insan itu
mengobral kedahagaan birahi. Sebab, dia berada di ko-
long tempat tidur itu. Bersembunyi di sana sejak pagi.
Sejak Ken Akung pergi ke sawah, dia dengan cepat
menyelinap ke dalam kamar itu. Siapakah dia? Tiada
lain adalah Pusparini!!! Ya, si gadis pendekar yang ber-
gelar Walet Emas, telah berada di sana. Dia bertindak
begitu untuk mengungkap rahasia Sri Tanjung dan
Ken Akung. Dia ingin menjebak, karena merasa dike-
labuhi. Betapa mangkelnya dia ketika Sri Tanjung
mengaku bahwa tidak kenal dengan Ken Kaung. Ka-
tanya hanya tahu sewaktu pemuda itu mengerahkan
ilmu kanuragan sewaktu bentrok dengan seseorang.
“Seseorang tahi kucing,” gerutu Pusparini dalam ha-
ti yang tetap tenang bersembunyi di kolong tempat ti-
dur. Dia dengan tekun mengikuti apa saja yang diden-
garnya. Mulai desah napas, rintihan, sampai tingkah
polah sehingga balai-balai itu terasa seperti dilanda
gempa bumi, semua direkam dengan baik dalam inga-
tannya. Dan hampir semalaman Pusparini merasa ter-
siksa. Bukannya karena lapar karena sehari semalam
tidak makan dan minum, tapi tersiksa mendengar sua-
ra-suara Sri Tanjung dan Ken Akung bermain cinta di
atasnya, sementara dia sendiri mendekam di kolong
balai-balai.
“Bagaimana dengan Pusparini? Pergi kemana dia?”
terdengar suara Ken Akung.
Dan entah apa yang dilakukan, tiba-tiba terdengar
suara rintihan Sri Tanjung kegelian. Lalu diam bebe-
rapa saat. Hanya napas berpacu yang terdengar. Ke-
mudian hening lagi.
“Pusparini ada urusan. Entah kemana dia,” terde-
ngar suara Sri Tanjung. Dia menghela napas panjang.
“Aku tak tahu apa kerjanya selama ini. Kelihatannya
menghayati naluri kependekaran dengan mengembara.
Orang seperti dia biasanya lebih condong membela ke-
pada kaum yang lemah. Dan dia cukup tangguh.”
“Lalu kau sendiri bagaimana setelah beberapa bu-
lan ini kita berpisah? Apakah jejak mencari Dewa Mim-
pi telah kau peroleh?” tanya Ken Akung.
“Belum. Tapi kudengar berita slentingan, bahwa
Dewa Mimpi bercokol di daerah sekitar Gunung Wilis,”
sahut Sri Tanjung dengan suara mendesah pelan, lalu
merintih, dan merintih. Dan napas keletihan terdengar
serentak.
Pusparini menggigit bibirnya. Peluh dinginnya ke-
luar. Mau rasanya dia keluar dari kolong balai-balai
dan menghajar mereka. Tapi benarkah tindakannya?
Apalagi kalau dia diketahui berada di kolong balai-
balai untuk memata-matai kedua insan yang lagi
asyik-masyuk itu. Lantas yang tak bermoral siapa? Dia
atau mereka?
Kemudian tak terdengar percakapan lagi. Pusparini
menunggu lama sekali.
“Mereka tertidur?” pikirnya.
Dengan hati-hati Pusparini mengubah posisi tubuh-
nya yang sejak tadi tertelungkup. Kini dia terlentang di
bawah balai-balai. Timbul rasa was-wasnya kalau ge-
rakannya terdengar oleh mereka. Kalau mau mereka
pasti bisa mempertajam indera pendengarannya dan
mengetahui apa yang terdapat di kolong balai-balai.
Ternyata tidak. Mereka tak curiga sedikit pun, dan
tak pernah terbetik prasangka bahwa ada seseorang
yang menyaksikan perbuatan mereka, walaupun lewat
pendengaran semata.
Dan... ketika fajar hampir merekah....
“Sialan! Hampir saja kesiangan. Sri, cepat kembali
ke kamarmu!” gugah Ken Akung dengan menggosok-
gosok punggung Sri Tanjung.
“Mengapa mesti cemas? Pusparini yang suka ba-
ngun pagi itu sedang tidak ada. Sedang Nyai Sandhing
tidak akan ke rumah belakang kalau matahari belum
tinggi. Itu kebiasaannya seperti yang kau katakan ke-
padaku. Tapi kemarin, Pusparini nyaris memergoki
aku. Untung aku cepat melesat keluar dari kamarmu
lewat jendela. Dan aku masuk kamar lewat jendela pu-
la. Tampaknya dia curiga. Tapi tak bisa membuktikan
bahwa kita telah tidur bersama,” kata Sri Tanjung
sambil bangkit dari balai-balai. Dia membenahi pa-
kaiannya.
Selagi asyik begitu, tiba-tiba tusuk kondenya jatuh.
Perasaan Pusparini tersirap. Dia melihat tusuk konde
Sri Tanjung jatuh. Kalau Sri Tanjung mengambilnya,
pasti akan melongok ke bawah. Tapi ternyata tidak.
Ken Akung yang mengambilkan, tanpa melongok ke
bawah! Pusparini bernapas lega. Kemudian dilihatnya
kaki Sri Tanjung melangkah keluar. Lalu tak berapa
lama kemudian diikuti Ken Akung.
Kini kamar itu sepi. Tak ada siapa-siapa kecuali
Pusparini yang masih mendekam di bawah balai-balai.
“Aku harus keluar sekarang sebelum Ken Akung da-
tang lagi ke kamarnya. Pasti dia sedang mandi,” pikir
Pusparini yang kemudian keluar dari tempat itu.
Pusparini terus melesat ke teritisan rumah. Dia
akan berlaku seolah-olah baru datang dari kepergi-
annya kemarin.
Memang tak ada yang curiga. Bahkan nyai Sandh-
ing menyapa ketika berpapasan di halaman. Pusparini
terus memasuki halaman belakang. Di sini dia melihat
Sri Tanjung keluar dari kamar Ranti.
“Hei, kau sepagi ini sudah datang. Bagaimana hasil
kerjamu?” tanya Sri Tanjung.
“Lumayan,” jawab Pusparini terus berlalu untuk
masuk kamar.
“Lumayan bagaimana?” tanya Sri Tanjung yang ti-
dak mengerti sama sekali tujuan kepergian Pusparini.
“Lumayan yang... ya... mengasyikkan sekali. Tapi...,
mengapa kau kelihatan awut-awutan pagi ini? Apakah
tidurmu semalam gelisah?” ledek Pusparini dengan
melempar senyum penuh arti.
“Eh, aku... ya, memang sulit tidur. Semalam rasa-
nya gerah sekali. Panas!” jawab Sri Tanjung terus me-
nuju kamar mandi.
Pusparini mengawasi langkah Sri Tanjung yang
ngeblas ke belakang. Dia berharap sindiran itu me-
nyengat perasaan Sri Tanjung.
“Tampaknya dia tetap stel ndableg (masa bodoh,
cuek bebek),” pikir Pusparini sambil menghempaskan
diri di atas balai-balai kamarnya.
Tempat itu semalam tidak dihuni oleh Sri Tanjung.
Wanita itu mendekam di kamar Ken Akung. Sedang-
kan Ranti sudah tak ada di kamarnya lagi. Rupanya
Sri Tanjung telah melepaskan totok jalan darahnya,
sehingga bisa bangun lagi dan gadis itu pergi mandi.
Di rumah itu terdapat dua buah sumur dan bebera-
pa kamar mandi. Satu sumur untuk laki-laki, yang sa-
tu untuk wanita. Nyai Sandhing termasuk tokoh tua
yang kolot. Jadi hal-hal seperti itu diperhatikan betul.
Tapi sejak kedatangan Pusparini dan Sri Tanjung, di
sana telah terjadi peristiwa di luar sepengetahuannya.
Kalau saja hal itu dipergoki oleh Nyai Sandhing, Pus-
parini tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi.
Hari itu suatu rahasia telah tergenggam di tangan
Pusparini.
***
TTIIGGAA
KETIKA Sri Tanjung mendesak Pusparini dengan tu-
juan kepergiannya kemarin lalu dijawab mencari se-
seorang ke Gunung Wilis, rasanya jawaban itu sangat
menarik perhatiannya. Padahal Pusparini hanya me-
nyindir Sri Tanjung sendiri tentang Gunung Wilis, di
mana masalah tersebut dijawab ketika Ken Akung ber-
tanya tentang Dewa Mimpi.
“Kau akan mencari seseorang ke Gunung Wilis?
Siapa yang kau cari?” tanya Sri Tanjung mulai ter-
pancing.
“Kekasihku! Sebetulnya kami akan menikah dua
bulan lalu. Entah karena apa maka dia sampai seka-
rang belum pulang dari Gunung Wilis,” kata Pusparini
berbohong. Hati kecilnya ketawa ketika melihat Sri
Tanjung tampak serius menanggapi.
“Kekasihmu ke Gunung Wilis? Siapa namanya?” de-
sak Sri Tanjung.
“Namanya...? Enghm... kukira aku berhak meraha-
siakan. Jadi maaf saja,” jawab Pusparini dengan nada
santai. “Itu rahasia pribadi, Sri! Kalau aku bertanya
kepadamu siapa kekasihmu, maukah kau menjawab
dengan jujur? Tidak, bukan? Aku tahu itu.”
“Aku juga hendak ke Gunung Wilis,” kata Sri Tan-
jung.
“Oh, ya?” sela Pusparini. “Kapan berangkat?”
“Dalam satu atau dua hari ini. Atau kalau ada pe-
rubahan pikiran, bisa lebih cepat. Mungkin besok,” ka-
ta Sri Tanjung yang rupanya mencoba mengimbangi
omongan Pusparini. Dia ingin memberi kesan bahwa
dirinya pun punya urusan lebih penting.
“Apakah itu tentang... Dewa mimpi?”
“Oh, ya! Bukankah aku pernah mengatakan hal itu
kepadamu, bukan? Memang itu urusanku. Tapi... aku
tak akan sendirian lagi. Ken Akung akan menemani
aku,” kata Sri Tanjung dengan menggigit-gigit bibirnya
menandakan bahwa dia pun tidak mau kalah kalau
Pusparini telah berbicara soal kekasih.
“Dengan Ken Akung? Ah, bukan main. Begitu ce-
patnya kau berakrab-akrab dengan pemuda itu. Tentu
kau akan minta ijin Nyai Sandhing untuk memba-
wanya,” reaksi Pusparini ketika mendengar rencana Sri
Tanjung.
“Kau pikir aku akan menghadapi kesulitan untuk
minta ijin kepada beliau?” sanggah Sri Tanjung.
Pusparini hanya mengangkat bahu, lalu ngeluyur
pergi. Langkahnya dilirik oleh Sri Tanjung dengan
pandangan ketus. Sri Tanjung merasa omongan Pus-
parini seperti penuh nada sindiran. Dia khawatir Pus-
parini telah tahu banyak tentang hubungannya dengan
Ken Akung. Tapi benar-benar tak menduga kalau Pus-
parini telah nekad mendekam di bawah balai-balai Ken
Akung selama sehari semalam. Kalau saja tahu... ah...!
“Melamun?!” teguran ini membuat Sri Tanjung ka-
get. Ranti menegurnya sehabis mandi. “Ayo, cepetan
makan. Kata Nenek akan ada perlombaan tanding di
Oro-oro Ombo. Aku ingin sekali melihat. Setelah sara-
pan, Nenek mengajakku ke sana. Kak Sri tidak ikut
nonton?” Lalu mata gadis ini berpaling. Dia melihat
Pusparini membenahi bungkusannya. Lalu pedang am-
puhnya yang disebut Pedang Merapi Dahana dibersih-
kan dengan menggosok celah ukiran sarungnya.
“Jadi ikut nonton perlombaan tanding?” tanya Ranti
kepada Pusparini.
Perlombaan tanding adalah keramaian tradisi se-
tempat yang menunjukkan adu ketangkasan untuk
menyambut saat panen. Dan lima hari lagi Desa Ba-
yeman memasuki masa panen padi. Seperti yang telah
direncanakan, Nyai Sandhing dan Ranti berangkat ke
Oro-oro Ombo yang terletak di tengah Desa Bayeman.
Di sana ada lapangan sangat luas. Kedua orang ini
membaur di antara orang-orang yang berjubel untuk
menyaksikan perlombaan tanding.
Pusparini, Sri Tanjung, dan Ken Akung menyusul
belakangan. Mereka bertiga berangkat bersama, tapi
sesampai di sana, Sri Tanjung memisahkan diri, entah
ke mana. Sedang Pusparini dengan Ken Akung masih
berdua di tengah berjubel orang-orang yang menonton
di sana.
“Sri Tanjung ke mana?” tanya Ken Akung pura-pura
tak tahu tentang Sri Tanjung, padahal ketika memi-
sahkan diri sempat memberi isyarat.
“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu,” jawab
Pusparini.
Ken Akung merasa tersindir. Dalam desakan orang-
orang di sana, mereka berdua terpaksa berhimpitan
sewaktu tegak melongokkan leher agar bisa jelas me-
nyaksikan acara pertunjukan. Dada Ken Akung me-
nempel ke punggung Pusparini. Terasa bahwa Ken
Akung mempergunakan kesempatan ini untuk bisa
berhimpit-himpitan dengan Pusparini.
Tangan Ken Akung entah usil atau tidak, yang jelas
Pusparini merasakan bahwa tangan laki-laki itu telah
mengelus pantatnya. Untuk beberapa saat Pusparini
membiarkan tangan itu bergerak seenaknya. Dan ke-
simpulannya, memang Ken Akung telah dengan se-
ngaja berbuat seperti itu.
“Kau memang pemuda kurang ajar,” kata Pusparini
lirih tanpa melihat Ken Akung. Pandangannya tetap
tertuju ke depan.
Ucapan ini belum mengendorkan sikap Ken Akung.
Tangan itu tetap mengelus dengan lembut, bahkan
merayap kemana-mana. Kadang-kadang disertai teka-
nan dengan ujung-ujung jarinya.
“Mengapa kau bersembunyi di kolong tempat tidur-
ku dan memata-matai perbuatanku dengan Sri Tan-
jung?” kata Ken Akung membuka rahasia.
Kalau saat itu ada halilintar meledak, Pusparini ti-
dak akan terkejut. Justru ucapan Ken Akung dirasa-
kan sebagai ledakan seribu halilintar di sampingnya.
Betapa malunya dia! Jadi Ken Akung tahu? Bagaimana
mungkin? Mengapa dia tidak menindak perbuatannya
yang bersembunyi di kolong tempat tidur Ken Akung
pada saat itu?
“Kau... mengetahui kehadiranku di sana?” terdengar
suara Pusparini lirih dan tersendat di tenggorokannya.
Tubuhnya rasanya lunglai kehilangan otot penyangga.
Kalau tidak disangga Ken Akung, mungkin tubuhnya
telah limbung ke tanah. Betapa perkasanya Pusparini
sebagai pendekar, tapi ketika ketanggor masalah ini,
dia benar-benar kehilangan muka. Oh, betapa malu-
nya dia! Mau ditaruh ke mana mukanya?
Orang-orang bersorak-sorai menyaksikan pertunju-
kan ketangkasan di sana. Ada panahan, gulat, meniti
tambang dan lain-lain. Tapi semua itu sirna dari mata
Pusparini. Semua itu tak ada yang mengusik indranya
yang kini terasa dibelenggu rasa malu yang tidak ketu-
lungan!
“Kau tadi bilang aku pemuda kurang ajar. Apakah
aku kini boleh bilang bahwa kau pemudi yang kurang
ajar?” kata Ken Akung tanpa menghentikan tindakan-
nya yang kian berani meraba-raba pinggulnya di an-
tara himpitan orang-orang yang berjubel di kanan-
kirinya. “Apa yang harus dikatakan terhadap seorang
gadis semacam kau yang dengan sengaja memasuki
kamar laki-laki hanya untuk mengintip orang bermain
cinta?”
Pusparini mencoba menguasai perasaannya yang
terguncang. Masalah itu harus diselesaikan tanpa te-
deng aling-aling. Artinya, dia akan berterus-terang ke-
pada Ken Akung mengapa dirinya sampai berbuat se-
perti itu. Dia hanya ingin membuktikan kebohongan
Sri Tanjung. Bahwa Sri Tanjung mengatakan tidak
pernah kenal dengan Ken Akung. Tapi kenyataannya?
Mereka terlibat main cinta di ranjang.
“Jadi begitu alasannya?” bisik Ken Akung di sam-
ping telinga Pusparini. “Lalu kesimpulanmu bagaima-
na? Adakah yang membahayakan dirimu setelah tahu
bahwa kami sebenarnya saling mengenal?”
“Sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang me-
ngandung teka-teki, hal itu selalu menggelitik hasrat-
ku untuk kuselidiki. Siapa tahu akan mempunyai
dampak membahayakan orang lain?” ungkap Puspari-
ni mencoba mencari jalan keluar dari perasaannya
yang masih tercekam.
“Hei! Kalian masih di situ?” tiba-tiba teriakan ini
menyadarkan mereka. Suara teguran Sri Tanjung. Dia
datang lagi menghampiri Ken Akung dan Pusparini.
Melihat Sri Tanjung muncul, cepat-cepat Ken Akung
merenggangkan tubuhnya dari tubuh Pusparini yang
sejak tadi dihimpit. Orang-orang di sekitarnya memberi
jalan kepada Sri Tanjung.
“Aku telah mendaftar untuk ikut lomba itu. Kalian
juga sudah kudaftar,” kata Sri Tanjung tanpa curiga
sedikit pun terhadap Ken Akung dan Pusparini yang
telah mengungkap peristiwa itu.
“Kau gila!” sanggah Ken Akung. “Aku tak mau jadi
tontonan.”
“Aku juga, Sri. Seharusnya kau mengatakan hal itu
terlebih dulu. Jangan hantam kromo,” seru Pusparini
pula. Keadaan ini ada untungnya. Sebab masalah de-
ngan Ken Akung terhadap peristiwa tersebut, agaknya
tergeser. Kesimpulan lain yang bisa diketahui oleh
Pusparini, bahwa Ken Akung tidak membeberkan per-
buatan Pusparini tersebut kepada Sri Tanjung. Ini
yang membuat Pusparini agak lega.
“Hei, kalian jangan memalukan aku,” sahut Sri Tan-
jung. “Hei, Rini, kau tau nggak, siapa orang yang
menggelar adu tanding ini? Dia adalah kepala pimpi-
nan orang-orang yang bentrok denganmu di jembatan
beberapa hari yang lalu! Namanya Den Bagus Pangge-
laran!”
“Den Bagus Panggelaran?” tanya Pusparini ingin
kepastian. Walaupun dia belum tahu dan kenal de-
ngan tokoh ini, menurut cerita pemilik warung tempo
hari, bahwa dia tak boleh main-main apabila telah be-
rurusan dengannya. “Nah, tuh, kalian lihat beberapa
laki-laki bertampang kasar yang melihat ke arah kita?
Mereka anak buahnya. Mereka telah tahu kita semua
akan ikut adu tanding. Tak boleh ada yang surut meng-
undurkan diri kalau sudah tercatat sebagai peserta,”
kata Sri Tanjung menganggap ringan masalah itu.
“Kau gila, Sri,” sahut Pusparini jengkel.
Ken Akung cuma diam. Dia merasa keberatan un-
tuk tampil ke sana. “Kalian saja yang tampil duluan.
Aku nanti menyusul.”
“Apa? Sekarang ini kita ke sana untuk mengambil
nomor undian. Di sana nanti akan tahu lomba apa
yang harus kita lakukan,” gertak Sri Tanjung. “Jangan
mempermalu aku. Hadiah bagi yang menang kukira
cukup lumayan. Sapi sepasang!”
“Tak kuduga kau cuma tergiur hadiahnya. Kau ti-
dak mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Ku-
kira adu tanding ini berlatar belakang mencari orang-
orang tangguh,” sela Pusparini.
“Aku sependapat begitu,” sambung Ken Akung.
“Wah, wah! Baru beberapa kejap saja kalian kuting-
gal, rupanya telah sehati untuk menentang kehendak-
ku,” kata Sri Tanjung dengan nada sengol.
“Hei! Kalian bertiga!” tiba-tiba terdengar seruan dari
orang yang sejak tadi memperhatikan mereka. “Jangan
buang waktu. Ayo ambil nomor undian!”
“Dia yang ikut lomba. Bukan aku!” sanggah Puspa-
rini.
“Tidak bisa!” seru orang brewok itu lagi. “Kalian ta-
hu apa akibatnya kalau merusak acara ini?”
“Rini! Sebaiknya kita ikuti saja,” kata Ken Akung
dengan tatapan mata penuh arti kepada Pusparini.
Wanita yang punya gelar kependekaran Walet Emas
ini mengerti. Dia jadi segan terhadap Ken Akung. Dia
khawatir kalau Ken Akung membuka rahasia tersebut
kepada Sri Tanjung.
“Baik! Mari kita ke sana,” jawab Pusparini enggan.
Sri Tanjung melempar senyum lega. Kemudian me-
reka bertiga beranjak dari sana menuju ke tempat pa-
nitia.
***
EEMMPPAATT
ADALAH seorang tokoh bernama Den Bagus Pang-
gelaran yang duduk dengan penuh kebesaran di pang-
gung yang menghadap tempat arena adu tanding. Laki-
laki berumur sekitar empat puluhan tahun ini berwa-
jah klimis, artinya pesolek. Tak ada kumis dan jenggot
seperti anggota bawahannya yang banyak bertampang
angker.
Ketika Pusparini, Sri Tanjung dan Ken Akung tampil
untuk mengambil nomor undian, seseorang membisik-
kan kepada Den Bagus Panggelaran dengan panda-
ngan mata ditujukan ke arah Pusparini. Den Bagus
Panggelaran manggut-manggut dengan melempar pan-
dangan dingin ke arah Pusparini. Kemudian tokoh ini
memberi isyarat kepada salah seorang bawahannya
yang berpakaian sangat minim, cuma mengenakan
cawat berwarna merah. Sosok tubuhnya dempal, wa-
laupun agak gendut. Ternyata orang inilah yang akan
memberikan undian kepada Pusparini, Sri Tanjung
dan Ken Akung.
Beberapa pertunjukan adu tanding telah terjalani
dengan baik. Semua mengandung hiburan, dan peme-
nangnya mendapat imbalan hadiah seekor sapi pada
urutan pertama, lalu kambing, ayam, dan bebek.
Kini mereka bertiga telah mengambil undian berupa
lembaran daun lontar yang berada di sebuah kendil.
Lalu masing-masing membaca tulisan yang tertulis di
situ. Sesaat kemudian mereka bertiga berpandangan.
“Pertandingan khusus?!” Ken Akung mencetuskan
omongan yang ditujukan kepada dua wanita di sam-
pingnya.
“Aku juga,” sahut Sri Tanjung. “Kau, Rini?”
“Pertandingan khusus juga. Apa artinya ini? Coba
kau tanyakan kepada si cawat merah itu,” kata Puspa-
rini kepada Ken Akung.
Pemuda ini segera menghadap laki-laki bercawat
merah. “Kami tidak mengerti dengan ‘Pertandingan
Khusus’ yang harus kami hadapi.”
Laki-laki bercawat merah mengumbar senyum. Ter-
lihat gigi-giginya yang besar dan jarang. Bibirnya yang
tebal mengembang. “Kalau kalian ingin tahu arti ‘Per-
tandingan Khusus’, itu artinya bertarung menghadapi
aku!” katanya dengan bangga.
Pusparini, Sri Tanjung, dan Ken Akung saling ber-
pandangan dan mengangkat bahu. Karena mereka ber-
tiga datang ke tempat itu tanpa membawa senjata,
maka sudah dipastikan mereka akan bertarung de-
ngan tangan kosong. Kecuali kalau pihak penyelengga-
ra menyediakan sarananya.
“Di sana tempatnya,” kata laki-laki bercawat merah
dengan menunjuk ke suatu tempat.
Di sana terdapat sebatang kayu pohon jambe yang
ditanam tegak di tengah kubangan pasir. Batang jambe
itu sebelumnya dilumuri dengan lemak sehingga licin
apabila dipanjat. Sedangkan pada pasir di sekeliling-
nya disiram dengan minyak. Di ujung atas batang po-
hon jambe setinggi dua belas meter itu dibangun pang-
gung kecil yang cukup diduduki oleh satu orang. Jadi
pertandingannya, siapa yang bisa mencapai tempat di
atas dan duduk di panggung kecil itu, maka dialah
pemenangnya. Sedangkan yang kalah akan mengalami
nasib celaka, sebab pasir yang berminyak itu akan di-
bakar. Pusparini, Sri Tanjung dan Ken Akung harus
berlomba naik ke atas sana kalau tubuhnya tidak in-
gin dijilat api. Sedangkan peranan laki-laki bercawat
merah itu hanya menggagalkan atau menghalang-
halangi agar ketiganya tidak bisa memanjat batang po-
hon jambe itu. Jarak pasir yang akan menyala api
dengan batang jambe hanya sekitar satu depa. Di ba-
wah batang pohon itu berdiri laki-laki bercawat merah.
Sebelum pasir berminyak dibakar, secara aman Puspa-
rini, Sri Tanjung, dan Ken Akung dengan leluasa bisa
tegak di sana. Tapi kalau api sudah dinyalakan, mere-
ka harus berlomba naik ke atas!
“Hm, maut juga acaranya,” komentar Sri Tajung.
“Kita berlomba untuk bisa naik ke atas dan duduk di
sana. Berarti ada empat masalah. Pertama, kita tak in-
gin terbakar. Dua, di antara kita harus berebut naik ke
atas. Tiga, si cawat merah akan menggagalkan kita.
Empat, batang berlemak itu sangat licin untuk dipan-
jat!”
“Ya, ini gara-garamu juga. Sok usil mendaftarkan
diri dalam lomba. Kalau kita menolak, kita bisa berha-
dapan dengan jago-jago kepruknya itu. Tapi terhadap
warga desa kalau kita tidak melakukan, bisa dituduh
penghinaan terhadap adat setempat,” komentar Puspa-
rini ketus.
Dalam hati mereka sebenarnya punya jalan keluar.
Apa susahnya memanjat batang pohon jambe yang li-
cin berlemak itu? Bukankah dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh hal itu bisa teratasi? Masalah-
nya sekarang adalah, mereka harus saling berebut, be-
lum lagi halangan dari laki-laki bercawat merah itu.
Mereka harus memanjat. Tidak boleh melompat ke
atas walaupun kemampuan untuk itu bisa mereka la-
kukan.
Sebelum pertandingan dimulai, seseorang tampil
memberi pengumuman, bahwa seperti tahun-tahun
kemarin di mana lomba macam ini telah diselenggara-
kan, belum pernah ada seorang pun yang berhasil
memanjat ke atas. Beberapa orang telah tewas terba-
kar. Paling tidak menderita luka bakar yang cukup pa-
rah, cacat seumur hidup. Untuk itu hadiah lomba dis-
ediakan semakin tinggi saja. Kali ini hadiahnya sebuah
sabuk emas!
Semua telah diumumkan. Baik penonton maupun
peserta lomba telah memahami aturan main serta ha-
diahnya.
“Gila! Itu kan Kak Rini dan Sri Tanjung serta Ken
Akung!” seru Ranti di samping neneknya, Nyai Sandh-
ing.
Orang tua ini hanya menyipitkan mata mengawasi
panggung tempat Den Bagus Panggelaran duduk dike-
lilingi anak buahnya,
“Dia rupanya semakin kaya saja,” gumamnya dalam
hati. Dengan langkah pelan dia menuju ke depan agar
bisa melihat dengan jelas jalannya pertandingan.
Ranti sangat heran melihat sikap neneknya. Kalau
tadi dia hadir secara sambil lalu, kini tampaknya sung-
guh-sungguh untuk ingin tahu lebih banyak. Apakah
karena hal ini karena tampilnya ketiga orang yang
menginap di rumahnya? Merasa tidak dipedulikan oleh
neneknya, maka Ranti mengekor saja di belakang
orang tua itu.
Pertandingan dimulai dengan awalan penabuhan
gong yang besar. Kemudian keempat orang bersiap di
dekat batang pohon jambe yang lemaknya telah dicair-
kan sehingga licin kalau dipanjat. Disusul dengan
pembakaran pasir berminyak yang mengelilingi me-
reka. Kubangan pasir seluas lingkaran bergaris tengah
enam tombak, segera dijilat api yang kian berkobar ga-
nas.
Begitu api menyala, Pusparini, Sri Tanjung dan Ken
Akung segera berebut untuk memanjat batang pohon
jambe itu. Tentu saja tindakan mereka dihalangi oleh
laki-laki bercawat merah. Para penonton bersorak-
sorai. Meerka tidak menghiraukan bahwa tontonan
yang mereka nikmati mengundang resiko nyawa.
Tegasnya, laki-laki bercawat merah itu pada babak
pertama menghadapi tiga orang pengroyok. Tak ayal
lagi, baku hantam terjadi di sana. Kiranya tidak per-
cuma Den Bagus Panggelaran memasang gaco seperti
laki-laki bercawat merah itu. Tenaganya ampuh. Puku-
lan ketiga orang yang mencoba menyingkirkan dirinya,
tak membuat dirinya bergetar sedikitpun. Bahkan Ken
Akung yang mencoba mencari kelemahan lawannya
dengan memukul ke arah kemaluan, tak membuahkan
hasil. Entah makan apa orang bercawat merah itu se-
hingga punya tenaga seperti sepuluh ekor gajah. Tapi
ketiga pengroyok itu, Pusparini, Sri Tanjung serta Ken
Akung, harus waspada dengan gerakan tangan lawan
yang bisa melemparkan tubuh mereka ke tengah api
yang berkobar.
Pada akhirnya mereka bertiga terpaksa mengerah-
kan tenaga dalam lewat pukulan yang dilancarkan se-
cara bertubi-tubi kepada laki-laki bercawat merah. Di
sini sumber penghalang itu agak goyah, tapi dia segera
bisa menguasai keadaan. Kentara sekali bahwa dia
pun mengimbangi dengan serangan tenaga dalam pula.
Memang tak bisa diremehkan dia.
Di sisi lain Pusparini mencoba menjajagi taktik la-
wan. Dia memberi peluang kepada Sri Tanjung dan
Ken Akung menghadapi orang tersebut. Sebenarnya ini
tidak jujur. Kesannya hanya mencari peluang secara
enak sementara yang lain berusaha menghilangkan si
penghalang itu. Sekilas Pusparini bisa melihat, bahwa
sudah sekujur tubuh laki-laki bercawat merah itu ke-
na serangan. Tapi rasanya semua kebal. Sepertinya
punya tameng yang tak terlihat. Tapi Pusparini yakin,
ilmu apapun, pasti ada kelemahannya.
Baku hantam dalam jarak dekat itu memang sulit
untuk membaca kelemahan lawan. Apalagi mereka
bertiga juga ingin mendapatkan kesempatan pertama
untuk bisa merobohkan sang penghalang itu. Sebab
dengan berhasil merobohkan si penghalang, maka
orang yang bersangkutan bisa memanjat batang jambe
yang berlemak itu pada kesempatan pertama.
Pusparini tidak berleha terlalu lama untuk menjaja-
gi kelemahan lawan. Sekilas dia mengetahui bagian
tubuh si penghalang yang belum terjamah serangan,
yaitu arah tenggorokan, tepatnya pada jakun di leher.
Punya pilihan pada sasaran ini, maka dia menerjang
ke depan dan memberi serangan pada jakun si peng-
halang dengan tonjokan dua jari tangan kanannya.
Chraass!!!
Kontan darah muncrat dari mulut si penghalang.
Tubuh gendut itu oleng, dan kesempatan ini dipakai
oleh Pusparini untuk melesat memanjat batang jambe.
Mengetahui Pusparini berhasil melumpuhkan si
penghalang, Sri Tanjung berusaha memburunya de-
ngan memanjat batang jambe itu. Sedangkan Ken
Akung yang akan menyusul memanjat, tiba-tiba harus
menghadapi sergapan si penghalang yang menyambar
kakinya. Tak diduga bahwa si penghalang masih mam-
pu bergerak yang semula terlihat ndlosor di bawah ba-
tang jambe itu.
Karena keadaannya telah luka parah akibat tonjo-
kan Pusparini pada arah jakunnya, maka tindakannya
itu tidak dapat berhasil dengan baik. Bahkan menam-
bah sengsaranya saja, sebab tendangan kaki Ken
Akung segera menghunjam ke rahangnya, sehingga
merompalkan beberapa giginya. Kemudian Ken Akung
hanya melihat Pusparini dan Sri Tanjung yang saling
berebut untuk naik lebih tinggi. Meskipun masing-
masing mengerahkan ilmu mengentengkan tubuh, tapi
dalam keadaan berebut seperti itu ternyata mendapat
kesulitan untuk bisa dengan cepat sampai ke atas sa-
na. Mereka saling menghalangi, dan sementara itu ma-
sih terlihat jujur.
Jujur? Benar! Sebab dalam peluang seperti itu se-
benarnya di antara mereka dapat bertindak lebih keras
dengan menendang saingannya. Peristiwa inilah yang
mengundang sorak-sorai penonton.
“Salah satu harus mengalah, Rini! Kalau tidak,
sampai ubanan kita akan berebut seperti ini,” kata Sri
Tanjung dengan menarik kaki Pusparini.
Yang ditarik terpaksa melorot ke bawah. Tapi de-
ngan cepat dia berjuang untuk naik ke atas lagi de-
ngan membebani lengan Sri Tanjung agar tidak dapat
lebih ke atas.
“Aku harus menolong salah seorang di antara me-
reka,” pikir Ken Akung yang tetap menyaksikan dari
bawah.
Banyak suara penonton yang menyerukan agar Ken
Akung memanjat batang jambe itu, tapi dia tidak me-
lakukannya. Lalu dengan diam-diam Ken Akung me-
ngerahkan ilmu kanuragannya. Dengan gerak cepat
yang tak bisa dilihat dengan mata manusia biasa, kini
di tangannya telah tergenggam sebutir batu kecil di
dekat kakinya yang berhasil digenggamnya. Kemudian
batu kecil itu disentilkan ke atas. Tujuannya untuk
menotok jalan darah Pusparini agar geraknya tersen-
dat tanpa menimbulkan kecurigaan.
Thasshh!!!
Batu kecil itu melesat ke atas! Hanya sekejap peris-
tiwanya berlangsung. Batu kecil itu memang meluncur
ke arah kaki Pusparini. Tapi mendadak dalam kecepa-
tan serupa Sri Tanjung tanpa sengaja bergerak untuk
meraih kaki Pusparini. Maunya menarik agar sai-
ngannya ini melorot ke bawah. Tepat dengan peristiwa
itu, lemparan batu kecil mengenai bahu Sri Tanjung.
Kontan wanita ini tersendat geraknya, sebab batu kecil
tersebut menotok jalan darahnya sehingga gerakannya
lumpuh.
Sri Tanjung meluncur ke bawah. Keadaan ini mem-
buat Ken Akung terkejut dan cepat menangkap tubuh
yang sial itu. Sorak-sorai penonton terdengar gegap
gempita, sebab mereka melihat Pusparini dengan cepat
meraih puncak dan duduk di panggung kecil di atas
batang jambe itu.
“Sial! Ada yang mencundangi aku!” seru Sri Tanjung
yang kini berhasil ditahan dengan bopongan Ken
Akung. Kalau tidak, tubuhnya pasti menimpa tubuh
laki-laki bercawat merah yang ndlosor tak sadarkan di-
ri.
“Nek, Kak Rini berhasil!” seru Ranti jingkrak-jing-
krak.
Nyai Sandhing tetap tenang.
“Nenek tidak gembira?” tanya Ranti ketika melihat
neneknya tak ada gairah kegirangan melihat Pusparini
berhasil duduk di panggung itu.
“Mereka sebenarnya seimbang. Sayang ada yang usil!”
kata Nyai Sandhing lirih.
“Apa kata Nenek?” tanya Ranti. “Usil? Siapa yang
usil?”
Sayang, Ranti tak tahu, bahwa neneknya yang se-
lama ini dipandang tak tahu apa-apa, ternyata mampu
melihat peristiwa yang membuat Pusparini berhasil
meraih kemenangan. Tapi satu hal yang tak diketahui
oleh orang tua ini yaitu, kepada siapa lemparan batu
kecil itu sebenarnya diperuntukkan?
***
LLIIMMAA
PUSPARINI menerima hadiah sabuk emas dari Den
Bagus Panggelaran. Penyerahan hadiah tidak dilaku-
kan pada saat itu seperti hadiah lain-lainnya, tapi dia
diundang khusus lewat suatu perjamuan. Ketika me-
nerima hadiah ini, dia mengajak Ranti saja, sebab Ken
Akung dan Sri Tanjung tak mau menemani.
“Mereka nggondok rupanya,” kata Pusparini kepada
Ranti ketika sore harinya berangkat ke tempat Den Ba-
gus Panggelaran.
Rupanya ada perlakuan khusus di sini, sebab me-
reka dijemput dengan kereta. Perjamuan itu cukup
meriah, diselenggarakan sebagai puncak acara. Den
Bagus Panggelaran menyerahkan hadiah itu dan me-
ngenakan sabuk emas ke pinggang Pusparini.
“Aku tak menduga bahwa hadiah ini jatuh pada wa-
nita secantik kau,” kata Den Bagus Panggelaran. “Be-
berapa anak buahku telah menceritakan peristiwa di
jembatan itu.”
“Oh, ya?! Lalu bagaimana? Saya harus juga mem-
bayar ‘dua kepeng’ karena belum membayar pajak-
nya?” jawab Pusparini berseloroh.
“Ah, jangan menghinaku. Bagaimana aku bisa me-
nerima pembayaran ‘dua kepeng’ di sini? Sebenarnya
itu tidak terlalu ketat. Kalau orang tidak mampu, boleh
saja lewat di sana tanpa membayar. Hanya orang-
orangku yang rupanya sangat patuh pada perintah
yang kucanangkan. Tapi untuk membebaskan begitu
saja agar tidak dikenakan pajak siapa saja yang lewat
di sana, rasanya tidak adil. Jembatan itu yang mem-
bangun aku. Bukan pihak kadipaten yang menguasai
wilayah ini.”
Kalau saja Pusparini mau berdebat soal tersebut,
pasti bisa bertele-tele. Karena dia ingin cepat kembali
ke tempat Nyai Sandhing, maka dirinya mohon pamit.
“Oh, tentu saja kalian berdua boleh meninggalkan
acara pesta ini. Tapi apakah tidak sebaiknya kita me-
nikmati hidangan yang telah disajikan oleh pelayan-
pelayan? Mari. Jangan mengecewakan kami,” tutur
Den Bagus Panggelaran dengan ramah.
Karena dipikir waktunya masih sore, maka tawaran
tersebut diterima oleh Pusparini. Hidangan makan dis-
ajikan dengan cara lesehan. Beberapa wanita muda
melayani perjamuan itu. Suara gending menyemarak-
kan suasana, membuat Pusparini jadi krasan di sana.
Maulah rasanya untuk berlama-lama di sana menik-
mati suasana yang menyenangkan ini. Tapi pertimba-
ngan untuk pulang tidak terlalu larut malam, mem-
buat Pusparini cepat-cepat mohon pamit setelah per-
jamuan makan selesai.
Den Bagus Panggelaran mempersilahkan. Pusparini
dan Ranti diantar dengan kereta. Dalam perjalanan
pulang, mereka terlibat obrolan tiada berkesudahan.
“Enakan tidak pulang ya, Kak?!” kata Ranti.
“Maunya begitu. Tapi nenekmu pasti mencari kita.
Rupanya Den Bagus Panggelaran menikmati hidup se-
perti di kalangan istana raja. Sangat berkecukupan,”
kata Pusparini dengan membetulkan letak pedangnya
yang disanding.
“Apakah Kak Rini tidak pernah meninggalkan senja-
ta itu di manapun berada?” tanya Ranti.
“Ya... melihat keadaan. Seperti tadi siang, aku tidak
membawanya ketika melihat adu tanding yang kemu-
dian terlibat di dalamnya.”
“Tapi... sewaktu menerima hadiahnya, mengapa ha-
rus membawa pedang segala?” tanya Ranti yang sok
ingin tahu.
“Hmmm... untuk jaga-jaga saja. Kau ingat ketika ki-
ta terlibat pertikaian dengan orang-orang Den Bagus
Panggelaran di jembatan itu? Tadi aku khawatir semua
itu hanya topeng untuk menjebak kita. Tidak tahunya
aku benar-benar menerima hadiah sabuk emas ini. Bi-
sa dibayangkan nanti bagaimana nggondok Sri Tan-
jung melihat hadiah ini. Kan semua gara-gara dia sen-
diri?” kata Pusparini.
Maunya dia akan berbicara lagi. Tapi tiba tiba ke-
reta berhenti. Pusparini melongokkan kepalanya ke-
luar. “Ada apa, Pak? Mengapa berhenti di sini?”
Pusparini curiga, karena kereta berhenti dengan
tersentak. Kusir kereta itu tetap tegak di tempatnya.
Dia tidak menjawab pertanyaan Pusparini.
“Pak Kusir! Ada apa?” ulang Pusparini sambil keluar
kereta. Tapi begitu dia menginjak tanah, tiba-tiba tu-
buh kusir kereta itu roboh dan jatuh ke tanah. Puspa-
rini terperangah. Dia memeriksa keadaan kusir kereta
yang tidak bernyawa lagi. Sebuah benda tajam menan-
cap tepat di antara dua matanya.
“Ranti! Berlindunglah,” seru Pusparini. Matanya se-
gera menyapu keadaan di sekelilingnya. Untung ada
bulan sepotong di langit. Dengan penerangan cahaya
bulan, Pusparini dapat mengetahui keadaan sekitar-
nya. Dia berada di tengah bulak dengan beberapa po-
hon menjulang tinggi. Pandangan matanya sempat
menangkap beberapa sosok tubuh muncul dari alang-
alang setinggi pusar, Mereka langsung menyerbu ke
arahnya.
Pusparini tak tinggal diam. Siapa pun mereka, niat-
nya telah diketahui. Itu sebabnya dia tak ambil resiko
untuk mengulur waktu menghadapi lawan. Dengan
spontan dia mencabut pedangnya.
Shriingg!!!
Pedang Merapi Dahana keluar dari sarungnya. Te-
pat seseorang telah sampai di dekatnya, langsung ro-
boh karena diterjang sambaran pedang tersebut. Ranti
menjerit menyaksikan peristiwa tersebut.
“Ranti, cepat ke dekatku!” seru Pusparini.
Nyaris gadis itu menjadi korban serangan kalau ti-
dak dengan cepat keluar dari kereta dan berada di
samping si Walet Emas. Orang yang hendak menikam
Ranti terjerembab ke tanah karena perutnya robek
disambar sabetan pedang Pusparini.
Ada sekitar delapan orang yang muncul di sana
mengajak main-main dengan maut terhadap Pusparini.
Dua orang telah jadi korban. Yang lain masih penasa-
ran untuk melaksanakan niatnya. Tapi Pusparini bu-
kan pendekar yang bisa digebrak dengan serangan
pendadakan semacam ini. Apalagi pada waktu malam.
Untuk ke sekian kalinya Pusparini masih unggul.
Tapi ketika lawan tinggal empat orang, maka sisa ini
yang agak tangguh. Sebenarnya hal ini bisa diselesai-
kan dengan tuntas. Berhubung dia harus melindungi
Ranti, maka geraknya jadi tidak leluasa.
Salah seorang dari keempat orang lawannya, ter-
nyata ada yang paling tangguh. Dia pada awalnya tidak
turun gelanggang. Ketika ketiga orang lainnya keteter
serangan Pusparini, barulah dia unjuk kebolehan.
Sambil membimbing Ranti, Pusparini mencoba
mencari peluang untuk mencapai kereta. Di sini pula
tololnya dia, mengapa sejak awal tidak langsung saja
mengendalikan kereta tersebut untuk lolos dari sana?
Kini pikiran ke arah itu semakin menebal. Dia harus
mencapai kereta yang sejak awal baku hantam ku-
danya lari menjauh dan berhenti dekat sebatang po-
hon.
Dia sendiri tak tahu, mengapa malam ini gerakan-
nya tidak bisa mulus untuk menghadapi lawan yang
tak seberapa tangguh. Ada sesuatu yang tidak beres
dengan tenaganya. Begitupun terhadap Ranti. Gadis
yang dilindungi ini sepertinya bertambah lemas saja.
“Ranti...! Ranti...! Sadarlah...!” seru Pusparini de-
ngan suara terengah-engah. Dirasa tubuhnya sendiri
kian lemas. Dalam keadaan begini barulah dia menya-
dari tentang apa penyebabnya. “Makanan itu! Maka-
nan yang dihidangkan oleh Den Bagus Panggelaran...
pasti mengandung racun!” kata Pusparini lirih. “Ini
semua pasti ulah kerjanya! Benar-benar iblis bermuka
malaikat!”
Pusparini samar-samar mendengar suara tawa. Ka-
lau saja dia mampu mengawasi, pasti akan terkejut
siapa yang mengumbar tawa itu. Dan ini tak jauh dari
prasangkanya yang terlintas dalam pikirannya sebelum
dia roboh tak sadarkan diri...! Pusparini dan Ranti ter-
kapar di sana.
Entah berapa lama Pusparini tak ingat apa-apa lagi
terhadap keadaan di sekitarnya. Kesadarannya pulih
ketika dirasakan siraman air membasahi sekujur tu-
buhnya.
“Hm! Baru dengan cara ini dia bisa sadar. Yang aku
khawatirkan, dia hanya pura-pura pingsan. Sebab ra-
cun yang kuberikan adalah jenis yang kerjanya lam-
bat. Tidak mematikan. Cuma bisa membuat teler yang
bersangkutan untuk beberapa waktu saja. Tak lebih
dari setengah hari,” suara ini terdengar nyata oleh Pus-
parini ketika dia sadar dari pingsannya.
Seorang lelaki bertubuh kurus dengan janggut se-
perti jenggot kambing, tertawa terkekeh-kekeh setelah
melihat Pusparini siuman. Matanya jalang mengawasi
dada Pusparini yang dibalut kemben kuning itu. De-
ngan siraman air yang mengguyur tubuhnya, membuat
kemben itu kian ketat dan semakin menonjolkan ben-
tuk buah dadanya yang sintal. Dan tangan laki-laki
kurus yang penampilannya norak dengan pakaian
yang serba ‘trendy’ zaman itu, meraba dada Pusparini.
Tidak sekali ini Pusparini mendapat perlakuan ma-
cam itu. Pikirannya segera menyudutkan pandangan-
nya terhadap lelaki yang menjadikan wanita sebagai
alat pemuas nafsu.
“Coba lalukan dalam keadaan diriku tidak terikat
seperti ini,” ancam Pusparini dengan nada garang.
“Hehehe...! Jangan judes, Nduk!” ujar laki-laki itu
yang ternyata hanya sendirian di ruangan itu. “Kalau
mau, kau tadi sudah kutelanjangi. Hanya karena Den
Bagus Panggelaran yang punya kuasa, aku cuma bisa
meraba dadamu, hehehe...!”
“Laki-laki bejat! Jadi kau bawahan si Panggelaran
itu?!” tukas Pusparini yang semakin bisa menangkap
persoalannya.
“Jangan sembrono memanggil dia begitu. Jangan
lupa panggilan ‘Den Bagus’-nya. Dia memang banyak
teman wanitanya. Tapi yang macam dirimu, baru seka-
rang ini. Kau golongan pendekar. Biasanya wanita
yang digauli adalah wanita yang serba manut dan pa-
srah bongkokan. Tidak banyak cingcong seperti kamu!”
ujar laki-laki itu yang kini tangannya merambat ke da-
gu Pusparini dan mengelusnya sampai merambat ke
pipi. Nikmat sekali rasanya dia bisa berbuat seperti itu,
sampai akhirnya dia menjerit ketika tangannya digigit
oleh Pusparini.
Gigitan Pusparini demikian ketatnya sehingga dua
jari-jari laki-laki itu mengucurkan darah. Bahkan nya-
ris putus. Sedangkan usaha untuk melepaskan dari
gigitan itu, laki-laki ini hanya memukul-mukul tubuh
Pusparini. Dari sini kentara sekali bahwa laki-laki ku-
rus itu tidak menguasai ilmu bela diri. Jeritannya se-
makin menjadi-jadi ketika dua jarinya benar-benar pu-
tus digigit Pusparini alias Walet Emas ini. Kemudian
dua buah jari yang terputus disemburkan ke arah laki
laki itu dengan hentakkan tenaga dalam.
Potongan dua jari melesat, dan menembus mata sa-
sarannya. Kontan laki-laki kurus itu menjerit kian kla-
bakan sambil menebah matanya. Baru keadaan inilah
yang membuat orang-orang berdatangan ke tempat itu.
Pusparini melihat ke arah mereka. Ternyata Den
Bagus Panggelaran tidak tampak di sana.
“Wisang! Astaga! Apa yang terjadi?” seru di antara
orang-orang itu dengan berusaha menolong laki-laki
kurus yang ternyata bernama Wisang. Lalu orang-
orang itu menoleh ke arah Pusparini yang mulutnya
berlepotan darah.
“Wanita muda ini jelmaan iblis!” kata salah seorang
di antara mereka. “Lihat mulutnya! Pasti Wisang men-
jadi korban keganasannya.”
“Kita laporkan kepada Den Bagus!” seru yang lain.
Tak beberapa lama kemudian, Den Bagus Panggela-
ran muncul setelah dua orang menyusulnya. Dia men-
dapat laporan sepihak, dan itu membuatnya nyaris un-
tuk menghukum Pusparini dengan sabetan cambuk.
Ketika anak buahnya menghampiri dengan membawa
cambuk, maka alat penyiksa tersebut diminta olehnya.
“Pusparini! Mengapa sampai hal ini terjadi?” tanya
Den Bagus Panggelaran sambil mengendapkan kema-
rahannya.
“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, menga-
pa sampai aku disekap di sini!” kata Pusparini dengan
melempar pandangan tajam.
Den Bagus Panggelaran tersenyum. Dari cara terse-
nyumnya ini bisa diambil kesimpulan tentang sifat-
sifat yang mengendap dalam sanubarinya.
“Itu semua liku-liku peristiwa. Sejak anak buahku
melaporkan bahwa kau bikin ulah di jembatan itu, aku
bersumpah untuk meringkusmu. Tapi aku ingin seni
tersendiri dalam menjalankan rencanaku. Dan jalan
peristiwanya cukup mengasyikkan!”
“Di mana Ranti?!” tanya Pusparini dengan nada ga-
rang. Matanya tak berkedip mengawasi Den Bagus
Panggelaran.
Pertanyaan ini mengundang tawa pria nomer satu di
tempat itu. “Dia aman. Percayalah. Bahkan telah kube-
rikan kenikmatan yang mungkin selama ini dia rindu-
kan. Gadis dalam masa pancaroba tak bakalan me-
nampik tawaranku.”
“Gila! Kau telah menodainya?” seru Pusparini.
“Bukan aku yang melakukan,” jawab Den Bagus
Panggelaran dengan enak sambil melempar pandang
dingin ke arah Pusparini.
“Bukan kau? Lantas siapa?”
“Pernah mendengar tentang nama Dewa Mimpi? Dia
yang melakukannya!”
“Apa? Dewa Mimpi?” Pusparini terperangah.
“Hm. Agaknya kau pernah mendengar nama itu.
Hanya saja tentunya tak pernah kau bayangkan bahwa
ada rangkaiannya dengan kegiatanku.” ucap Den Ba-
gus Panggelaran dengan memberi isyarat agar semua
anak buahnya keluar dari ruangan itu.
Kini tempat itu sepi. Hanya Pusparini dan Den Ba-
gus Panggelaran yang berada di sana. Dan laki-laki ini
menyeka mulut Pusparini yang berlumur darah Wi-
sang yang muncrat ketika menggigitnya sampai putus.
“Bibirmu ranum,” ucap Den Bagus Panggelaran
mencoba memancing keramah tamahan. “Pernah ada
yang mengecupnya?”
Omongan gila! Demikian gerutu Pusparini dalam
hati. Dalam hatinya timbul rencana untuk menggigit
jari-jari laki-laki ini kalau sikap mengelus wajahnya itu
akan dekat dengan mulutnya.
Tapi rupanya Den Bagus Panggelaran tidak sebodoh
itu.
“Aku bisa menjinakkan kamu,” kata laki-laki itu,
“Dengan menotok jalan darah pada bagian lehermu ini,
kau tak akan bisa menggerakkan otot-otot sekitar ke-
palamu. Kau hanya bisa berkedip dan membuka bibir-
mu, tapi... tak bisa menggigitku. Bayangkan itu! Lalu
dengan leluasa aku bisa menciummu. Dan kembenmu
yang basah ini akan kubuka. Bahkan aku bisa mele-
pas seluruh pakaianmu. Akan kupandangi lekuk-lekuk
tubuhmu yang indah sementara kau tak akan mampu
untuk berbuat sesuatu, bahkan menolak apapun yang
kulakukan terhadapmu!”
Sampai di sini Den Bagus Panggelaran diam. Dia
ingin agar Pusparini meresapi kata-katanya. Dia ingin
menanamkan rasa takut pada gadis ini. Takut yang se-
tengah mati. Bahkan kalau perlu minta ampun agar
dia tidak melakukan rencananya.
“Tentunya kau masih perawan...!” terdengar lagi su-
ara Den Bagus Panggelaran dengan nada lirih.
Pusparini menelan ludah ketika tangan laki-laki itu
mengelus batang lehernya. Akankah dia segera mela-
kukan totok jalan darah agar dirinya dapat diperlaku-
kan seperti yang dikatakan tadi? Ditunggunya bebe-
rapa saat. Ternyata tangan itu cuma mengelus. Belum
melakukan totokan.
“Tapi satu hal yang tak kusukai. Dengan cara itu
berarti aku bercumbu dengan barang mati. Seperti
mempermainkan batang pisang! Padahal aku ingin
yang hidup. Yang menggairahkan lewat sikap yang
membara...!”
Sampai di sini Den Bagus Panggelaran berhenti lagi.
Dia memandang mata Pusparini, dan si Walet Emas ini
membalas pandangan dengan mata penuh kebera-
ngan, tak takut dengan ancaman.
“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tanya
Den Bagus Panggelaran. “Pandanganmu begitu garang.
Atau... kau tak takut aku bisa bertindak seperti yang
kukatakan tadi?”
“Kau... iblis bertampang malaikat! Sudah berapa ba-
nyak wanita yang jadi korbanmu?”
“Berapa banyak?” ucapan ini dibuntuti dengan sua-
ra tawa. Suara tawa ini persis seperti yang didengar
sewaktu pencegatan di bulak itu. Kini jelas bahwa Den
Bagus Panggelaran memimpin langsung pencegatan itu
sehingga dirinya tertangkap sewaktu tidak sadar. “Se-
leraku tinggi. Dan kau adalah wanita idamanku yang
selama ini kurindukan. Aku sering membayangkan ke-
lak ingin mempunyai istri seperti kau, Walet Emas!”
Dheg! Perasaan Pusparini tersirap. Ternyata laki-
laki itu mengenal nama kependekarannya.
“Jangan heran kalau aku pun bisa tahu gelar ke-
pendekaranmu. Nama Walet Emas memang kesohor
akhir-akhir ini, sebagai pendekar wanita yang memiliki
Pedang Merapi Dahana. Mengapa kau tidak pasrah sa-
ja kepadaku sehingga semua itu bisa terlaksana tanpa
kekerasan? Dan itu akan membuatku bahagia. Dan
satu hal lagi, bahwa aku tak ingin kau menjadi korban
Dewa mimpi.”
Sampai di sini Pusparini merasa tak punya arti lagi.
Itu benar-benar dirasakan karena tahu bahwa Pedang
Merapi Dahana telah jatuh ke tangan Den Bagus Pang-
gelaran. Pedang itu telah sejiwa dengannya. Semangat-
nya terasa loyo kalau harus kehilangan pedang terse-
but. Ditambah lagi dengan masalah tentang Dewa
Mimpi yang dikatakan oleh Den Bagus Panggelaran,
semua kian membuat dirinya seperti barang rongso-
kan. Tak berarti lagi. Dia tak tahu bahaya macam apa
yang dihubungkan dengan keberadaan Dewa Mimpi.
Sri Tanjung pun sedang memburu tokoh ini. Masalah
yang semula tak banyak mengundang perhatian, ter-
nyata kini dirinya benar-benar terperangkap di dalam-
nya. Dan langsung akan berhadapan dengan Dewa
Mimpi seperti yang dikatakan oleh Den Bagus Pangge-
laran tadi.
Dalam kesempatan ini Pusparini berpikir tentang
Sri Tanjung dan Ken Akung terhadap ketidak-pu-
langannya setelah menerima hadiah sabuk emas itu.
Apakah orang seisi rumah Nyai Sandhing tidak menca-
rinya?
Kalau kini dirinya berada di tempat kekuasaan Den
Bagus Panggelaran, di bagian mana tempatnya? Tam-
paknya dirinya disekap dalam kamar ruang dalam ta-
hanan. Itu terlihat lewat dinding ruangan yang seperti
goa. Atau dirinya memang disekap dalam sebuah goa?
Tapi di mana?
Dalam saat pikirannya berkecamuk ini, mendadak
dirasakan tangan Den Bagus Panggelaran meraba da-
danya. Pusparini tersentak. Perasaanya terguncang ke-
tika dirasanya tangan itu menyusup ke dalam kem-
bennya. Tangan itu berada di celah dadanya. Terasa
sekali dua buah jari Den Bagus Panggelaran menekan
tulang dadanya. Detak jantungnya dirasa berpacu
dengan cepat. Lalu tangan itu merambat keluar. Dari
sini terus meraba sampai di tenggorokannya. Dan di
sinilah kedua jari Den Bagus Panggelaran menotok
urat lehernya. Perasaan Pusparini terguncang. Kepala-
nya terasa pusing. Tapi kesadarannya masih ada...!
Dia bisa merasakan dan melihat apa yang dilakukan
oleh Den Bagus Panggelaran terhadap dirinya.
Pusparini sadar, bahwa tangan laki-laki itu kini te-
lah merenggutkan kembennya. Tapi dia tak mampu
berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menutup mata meng-
alami nasib naas ini. Dia merasakan bagaimana Den
Bagus Panggelaran membelai dadanya dengan kecu-
pan lembut...! Tapi itu tak berkelanjutan. Pusparini
benar-benar tahu itu, bahwa laki-laki yang bernafsu
ini tiba-tiba mencelat dari hadapannya. Tubuhnya lim-
bung sekitar tiga tombak, yang akhirnya menghantam
dinding ruangan.
Sumpah serapahnya segera meledak sembari men-
cari penyebab yang membuat dirinya menderita seperti
itu. Seseorang telah muncul. Tubuhnya dibalut dengan
kain serba putih bagai seorang pendeta. Rambutnya
putih terurai panjang sebagai ekor dari gelungannya.
Tapi wajahnya sulit dikenali karena ditutup dengan
cadar.
“Keparat! Siapa kau maka unjuk nyali di sini, hah?!”
seru Den Bagus Panggelaran seraya bangkit dari tem-
patnya.
Tokoh berpakaian serba putih ini telah berkelebat
lagi ke arah Pusparini. Dia melepaskan totok jalan da-
rah, sehingga si Walet Emas ini sadar dan bisa berge-
rak lagi. Disusul hentakan dengan tangannya, maka
tali-temali yang mengikat tubuh Pusparini mengendor
semua.
Dengan cepat Pusparini membenahi diri sebelum
Den Bagus Panggelaran memberi pertanda kepada se-
mua anak buahnya yang berada di luar. Tanda itu be-
rupa tali yang menghubungkan sebuah genta di luar.
Dan genta pun bergema, sekejap kemudian tempat itu
sudah penuh dengan orang-orang yang siap mengga-
nyang tokoh yang berpakaian serba putih.
Rupanya tokoh berpakaian serba putih ini tak mau
urusan lebih lama dengan Den Bagus Panggelaran. Dia
segera memberi isyarat kepada Pusparini meninggal-
kan ruangan itu. Sekali genjot keduanya berhasil ke-
luar dari sana lewat lubang angin-angin yang berling-
karan dua depa di sebelah atap. Kemudian keduanya
melesat di atas atap bangunan yang berderetan di sa-
na. Lalu melompat rerimbunan pohon.
Di sini mereka menunggu. Dari tempat ini mereka
bisa mengawasi keadaan anak buah Den Bagus Pang-
gelaran yang berhamburan seperti semut untuk men-
cari jejak mereka.
“Mereka tak bakalan bisa menemukan kita,” kata
tokoh berpakaian serba putih di samping Pusparini.
Sejenak Pusparini punya kesempatan untuk menge-
nali orang yang menyelamatkan dirinya ini. Dia seo-
rang wanita. Dan suaranya tak membuat pangling bagi
Pusparini....
“Maaf, nenek pasti Nyai Sandhing!” terka Pusparini.
Tokoh itu membuka cadarnya yang menutup seba-
gian wajahnya.
Pusparini terperangah dengan mengumbar panda-
ngan ceria. “Nyai Sandhing!”
“Bukan! Aku saudara kembarnya,” jawab wanita tua
itu.
“Oh! Ss... saudara... kembarnya?” kata Pusparini
hampir-hampir tak percaya. “Selama beberapa hari
saya di sana, Nyai Sandhing tak pernah bercerita ten-
tang Nyai.... Eh, nama Nyai siapa? Boleh saya tahu?”
“Nyai Asih. Selama kau di sana aku juga tampil di
rumah itu. Aku berpakaian seperti Nyai Sandhing, dan
kami memang sepakat untuk tidak muncul secara ber-
samaan. Sehingga di rumah itu aku mengerti segala
permasalahan. Seperti halnya kemarin, setelah kalian
berdua tidak muncul kembali setelah menerima hadiah
sabuk emas dari Panggelaran, langsung aku mencari
kalian. Aku memang sudah lama menyatroni orang
bernama Den Bagus Panggelaran itu. Apabila kau per-
nah mendengar nama Dewa Mimpi, maka dialah sau-
dara kembarnya.”
“Saudara kembarnya? Oh, sangat menakjubkan. Di
sini aku terlibat dengan tokoh-tokoh yang punya sau-
dara kembar,” kata Pusparini dengan membenahi pa-
kaiannya. “Bagaimana dengan Ranti?”
“Justru itu yang masih menjadi beban. Aku tak ta-
hu di mana Ranti disekap. Dan apabila kau tak kebe-
ratan, aku minta bantuanmu mendampingi aku untuk
mencarinya,” kata Nyai Asih.
“Saya tidak keberatan. Tapi terus terang, saya akan
mencari pedang saya dahulu. Senjata itu pasti disim-
pan oleh Panggelaran,” kata Pusparini dengan menga-
wasi orang-orang di seberang sana yang masih heboh
mencari mereka.
“Kalau perkiraan senjatamu berada di tangan Pang-
gelaran, kiranya tak begitu sulit untuk menemukan-
nya,” ujar Nyai Asih. “Apakah Panggelaran tadi tidak
berkata tentang Ranti?”
“Dia ada mengatakan bahwa Ranti berada di tangan
Dewa Mimpi, saudaranya!” jawab Pusparini.
“Oh, jadi begitu? Ini berarti kita harus ke Gunung
Wilis. Aku tahu tempat Dewa Mimpi. Pertahanannya
sangat ketat. Banyak ranjau mantera di sekelilingnya,”
kata Nyai Asih dengan mata berbinar. Harapannya un-
tuk melacak hilangnya Ranti akan segera diketahui.
“Jadi kita segera ke sana? Ke Gunung Wilis?!” tanya
Pusparini.
Nyai Asih tak segera menjawab. Pandangannya ter-
paku pada kelompok orang yang sedang berlalu-lalang
mencari mereka. Kemudian terlihat Den Bagus Pangge-
laran muncul dengan naik kuda.
“Lihat itu,” kata Nyai Asih. “Panggelaran siap be-
rangkat. Pasti mereka akan ke Gunung Wilis.”
Pusparini mencoba mengawasi mereka yang berada
di kejauhan. Di sana memang terjadi kesibukan. Tapi
untuk tahu satu persatu melihat dengan teliti sangat
sulit. Kalau sampai Nyai Asih dapat melihat jelas, pasti
pandangan mata wanita tua yang umurnya sekitar tu-
juh puluh tahun ini lebih tajam dari dirinya.
“Sekarang kita mengikuti jejak mereka dari bela-
kang.”
***
EENNAAMM
TENTANG ketidak-pulangan Pusparini dan Ranti
dari tempat Den Bagus Panggelaran untuk mengambil
hadiah sabuk emas, akhirnya menjadi pemikiran Ken
Akung dan Sri Tanjung juga. Dua orang ini sejak meng-
alami kekalahan dalam lomba memanjat pohon jambe
sempat uring-uringan. Bagaimana tidak? Sri Tanjung
merasa bahwa bahunya kena totok jalan darah lewat
lemparan sebuah batu. Dan dia secara naluri telah
menduga, pasti tindakan tersebut perbuatan Ken
Akung. Tentu saja Ken Akung mulanya tidak mengaku.
Sri Tanjung mencoba mengupas masalahnya dengan
tindakan Ken Akung yang pada waktu itu memapah
tubuhnya sewaktu dirinya jatuh dari atas. Ken Akung
yang menyadari salah sasaran untuk menotok jalan
darah, dengan cepat memulihkan totokannya begitu
Sri Tanjung berhasil dibopong. Dari hal inilah Sri Tan-
jung menuduh Ken Akung.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku kena totok dari ja-
rak jauh lewat lemparan batu? Kau mau mencundangi
aku dan berpihak kepada Pusparini?” kata Sri Tanjung
dengan ketus. “Kau sudah ‘sir’ kepadanya bukan?”
“Jangan berkata macam-macam. Kau harus sadar
bahwa semua itu berkat ulahmu juga. Tanpa ulahmu,
Pusparini tak akan menang. Tanpa ulahmu, mereka
tak akan mengalami nasib buruk yang sampai kini me-
reka belum kembali ke rumah,” tangkis Ken Akung.
“Dan kini Nyai Sandhing menghimbau kita untuk men-
cari mereka.”
Sri Tanjung ngambek. Dia benar-benar uring-uri-
ngan. Dia tak mau melaksanakan himbauan Nyai
Sandhing agar mencari Ranti dan Pusparini.
“Baik! Kalau itu sikapmu, berarti kita akan jalan
sendiri-sendiri. Aku akan mencari mereka. Tentu kau
tak menduga tentang sesuatu hal yang kulihat tadi pa-
gi,” kata Ken Akung sambil membenahi perbekalannya.
Sri Tanjung pura-pura tak mau tahu, padahal ha-
tinya ingin sekali mengetahui apa yang hendak dikata-
kan oleh Ken Akung.
“Ternyata Nyai Sandhing punya saudara kembar.
Namanya Nyai Asih. Jadi selama aku di sini mereka se-
lalu ada. Karena tidak pernah muncul bersama, jadi
tak kuketahui keberadaanya,” sambung Ken Akung la-
gi. Dia mengambil pedang dan diselipkan pada sabuk
pinggangnya.
Ketika akan keluar ruangan itu, Sri Tanjung men-
cegahnya, “Tunggu! Apa kau bilang tadi? Nyai Sandh-
ing mempunyai saudara kembar?”
“Ya. Kita benar-benar tak tahu akan hal itu. Mereka
selalu serumah dan tak pernah muncul di depan
umum secara bersamaan. Bahkan Ranti pun mungkin
tak tahu. Ranti hanya mengerti bahwa neneknya mem-
punyai saudara, tapi entah di mana,” kata Ken Akung
menunda langkah. “Apakah semua ini punya arti ba-
gimu?”
“Tentang saudara kembar itu... memang iya! Kau
tentu tahu bahwa kita mendapat tugas dari guru kita
untuk melacak adanya Dewa Mimpi. Kita bertugas
sendiri-sendiri yang akhirnya bertemu di tempat ini.
Paling akhir setelah keberangkatanmu tempo hari, aku
mendapat ‘sisik melik’ dari guru kita agar aku mencari
Pasangan Pendekar Kembar wanita tua di sekitar kaki
Gunung Wilis. Merekalah yang menyimpan Senjata
Pamungkas apabila kita ingin membinasakan Dewa
Mimpi. Apakah kau berpikir bahwa Pasangan Pendekar
Kembar itu adalah Nyai Sandhing dan saudaranya
itu?” kata Sri Tanjung dengan perasaan cerah. Hal ini
rupanya telah melupakan kecemburuannya terhadap
perilaku Ken Akung yang sejak tadi disuguhi muka
cemberut.
“Jadi begitu pesan terakhir guru kita?” kata Ken
Akung.
Sri Tanjung mengangguk dengan mata ceria.
“Bagaimana pikiranmu kalau kita sekarang mene-
mui Nyai Sandhing? Kita beberkan rahasia ini!”
Ken Akung termenung sejenak. Dia mengangguk pe-
lan, lalu mengajak Sri Tanjung menemui Nyai Sandh-
ing yang biasanya hari-hari seperti itu berada di gand-
hok belakang rumah.
Nyai Sandhing memang berada di sana. Kedatangan
kedua pendekar itu tidak terlalu mengejutkan. Bahkan
mereka disambut dengan ucapan penyambutan di luar
dugaan mereka.
“Kalian akan mencari Senjata Pamungkas itu?”
sambut Nyai Sandhing ketika melihat kedatangan me-
reka.
Ken Akung dan Sri Tanjung saling berpandangan.
Mereka berdua heran bagaimana orang tua itu tahu
rencana mereka.
“Tak usah heran. Yang perlu kalian harus sadar,
bahwa di rumah ini tidak segamblang yang kalian du-
ga. Selama kalian berada di sini, boleh dikata tak ada
rahasia yang tidak kuketahui. Tentu kalian malu apa-
bila kubeberkan rahasia apa yang kalian lakukan di
kamar itu.”
Bukan main malu kedua orang ini mendengar uca-
pan Nyai Sandhing. Mau ditaruh di mana muka itu?
Dari peristiwa ini mereka tahu bahwa tokoh yang di-
hadapi ini bukan orang sembarangan. Selama ini me-
reka menganggap Nyai Sandhing sebagai ‘manula’ yang
tinggal menunggu hari-hari terakhirnya. Ternyata du-
gaan itu meleset sama sekali. Bahkan mereka diha-
dapkan pada kenyataan yang selama ini tersembunyi.
“Sudahlah! Mengapa kalian ndlahom seperti kera
kesasar? Tak perlu disesalkan. Aku tahu bahwa moral
murid-murid Perguruan Pring Sewu sebagian besar
brengsek!” kata Nyai Sandhing dengan nada mengadili
mereka. Bukan main! Orang tua ini tau nama pergu-
ruan mereka. Bahkan menuduhnya ‘brengsek’! Dari-
mana dia tahu bahwa mereka berasal dari Perguruan
Pring Sewu? Ken Akung tak sempat bertanya soal ini
sebab Nyai Sandhing segera membeberkan semuanya.
“Guru kalian bernama Ki Bangsacara. Sampai setua
itu dia hidup ‘wadat’, tidak kawin. Apabila dia tahu
bahwa yang menyimpan Senjata Pamungkas itu aku,
pasti dia mencarinya sendiri. Dia tidak menyangka ka-
lau yang disebut Pasangan Pendekar Kembar adalah
orang yang pernah dikenalnya. Itu karena dia tak tahu
bahwa aku mempunyai saudara kembar, yaitu Nyai
Asih.”
Sampai di sini Nyai Sandhing diam. Dia menunggu
reaksi kedua pendekar muda itu. Rupanya mereka te-
lah tertelanjangi tentang perbuatannya, maka tak be-
rani menyanggah ucapan wanita tua ini.
“Nah, apakah kalian akan merampas Senjata Pa-
mungkas itu dariku?” tanya Nyai Sandhing lagi. “Perhi-
tungkan baik-baik. Kalian akan berhadapan dengan
aku, yang mungkin ilmuku setaraf dengan gurumu!”
Belum ada reaksi dari Ken Akung dan Sri Tanjung.
“Kita punya musuh yang sama, yaitu Dewa Mimpi,
saudara kembar Panggelaran. Kusarankan kalian be-
rangkat saja ke Gunung Wilis. Sebab, mungkin Puspa-
rini dan saudara kembarku dalam perjalanan ke sana.
Itu kalau Nyai Asih berhasil membebaskan Pusparini
dari sekapan Panggelaran. Kalau tidak, Nyai Asih akan
sendirian ke Gunung Wilis,” kata Nyai Sandhing den-
gan santai seakan memandang enteng setiap persoa-
lan.
“Maaf, Nyai Sandhing. Saya ingin menanyakan se-
suatu hal. Yaitu tentang Senjata Pamungkas untuk
menghadapi Dewa Mimpi. Kalau senjata tersebut dapat
dipergunakan untuk menghadapi Dewa Mimpi, me-
ngapa Nyai tidak bertindak sejak dulu? Seperti kita ke-
tahui, bahwa Dewa Mimpi dapat menyusup ke dalam
mimpi seseorang. Dia dapat berbuat apa saja terhadap
siapapun dalam mimpi yang dia masuki. Dan orang
yang dihadapi tidak akan berdaya sedikitpun,” kata
Ken Akung dengan penuh hormat agar memberi kesan
bahwa dia sebenarnya tidak sebrengsek yang dituduh-
kan, sebab masalah bermain cinta adalah masalah
manusiawi, apalagi kalau itu dilandasi suka sama su-
ka, begitu menurut pikiran Ken Akung. Tapi kalau hal
ini dikedepankan, pasti timbul perdebatan tentang
moral, di mana kaum tua akan memberi pandangan
yang bertentangan dengan dirinya.
“Senjata pamungkas itu akan bisa bermanfaat pada
sewindu sekali. Setiap delapan tahun sekali. Dan ta-
hun ini adalah tahun ke delapan. Tepatnya, kurang li-
ma hari lagi!” kata Nyai Sandhing dengan suara berge-
tar seolah-olah memendam dendam. “Memang ada la-
tar belakang yang mewarnai. Kami adalah tiga se-
rangkai. Aku, Ki Bangsacara dan Panembahan Ma-
taun.”
“Panembahan Mataun? Siapakah dia?” tanya Sri
Tanjung yang mulai berani membuka suara. Sejak tadi
dia membisu ketika orang tua itu membeberkan peri-
laku mereka tanpa tedeng aling-aling. Dasar orang tua
nyinyir, begitu pikirnya semula. Tapi setelah tahu ke-
beradaan Nyai Asih, dia jadi menghormati orang tua
itu.
“Panembahan Mataun adalah orang tua Den Bagus
Panggelaran dan si Dewa Mimpi itu. Dewa Mimpi sen-
diri nama sebenarnya Den Bagus Purusada. Saat itu
Eyang Sepuh guru kami, akan menguraikan ilmu ka-
nuragan yang disebut “Ngrogoh Sukma”. Ilmu itu hasil
temuannya dan akan ditrapkan. Kami bertiga akan di-
ajarkan ilmu tersebut. Tapi pada saat yang ditentukan,
buku yang memuat mantera-mantera ilmu kanuragan
“Ngrogoh Sukma” hilang. Yang lebih menyedihkan,
Eyang Sepuh kami dapati dalam keadaan sekarat keti-
ka kami temukan. Racun ganas telah menggerogoti tu-
buhnya. Dalam menjelang ajal, dia sempat membisik-
kan suatu pesan kepadaku. Kau tahu apa yang dibi-
sikkan? Kitab itu dicuri oleh Panembahan Mataun!”
Sampai di sini Nyai Sandhing menghentikan omo-
ngannya. Matanya menerawang jauh, seakan-akan
mengumpulkan ingatannya yang lapuk termakan usia.
Tapi tidak. Ingatan Nyai Sandhing tidak lapuk. Semua
masih diingatnya. Suasana masih terasa segar. Peris-
tiwa itu seperti baru kemarin terjadi. Seperti halnya
pesan gurunya, Eyang Sepuh, yang dibisikan kepada-
nya untuk menanggulangi ilmu kanuragan “Ngrogoh
Sukma” itu.
“Eyang Sepuh mengatakan padaku bahwa ilmu ka-
nuragan “Ngrogoh Sukma” adalah ilmu yang sangat
berbahaya kalau sampai jatuh ke tangan orang berwa-
tak jahat. Karena buku ilmu kanuragan tersebut telah
lepas dari tangannya, maka akan sulit didapatnya
kembali. Itu sudah kodrat namanya. Dari bisikan E-
yang Sepuh, aku mendapat petunjuk agar menemui
seseorang bernama Mpu Kuturan di lembah Jurang
Grawah. Di sana akan kudapatkan Senjata Pamungkas
untuk menghadapi ilmu kanuragan “Ngrogoh Sukma”
itu.”
“Mpu Kuturan? Nama itu pernah diceritakan oleh
guru kami, Ki Bangsacara. Tapi beliau terlambat me-
nuju ke tempat itu. Kiranya Nyai yang mendapatkan
senjata tersebut,” kata Ken Akung.
“Ah, gurumu pasti bercerita mengada-ada. Yang di-
beritahu tentang nama Mpu Kuturan dan tempat ting-
galnya hanya aku. Gurumu tahu setelah kuberitahu.
Itu pun setelah senjata tersebut kuperoleh. Kepadanya
kuberitahu bahwa senjata tersebut telah berada di
tangan Pasangan Pendekar Kembar. Mpu Kuturan me-
ninggal karena sakit. Tapi sebelum meninggalnya, aku
masih sempat menghadap beliau, dan menyampaikan
pesan Eyang Sepuh. Kemudian Senjata Pamungkas
tersebut diserahkan kepadaku beserta keterangan per-
syaratannya.”
Sampai di sini Nyai Sandhing berhenti lagi. Kalau
tadi dia bercerita sambil memandang jauh ke seberang
persawahan, kali ini dipandangnya Ken Akung tajam-
tajam. “Ketika kau datang pertama kali aku sudah ta-
hu bahwa kau adalah murid Perguruan Pring Sewu,
karena kau memakai ikat kepala plintiran tali berwar-
na merah. Hanya saja aku tidak menunjukkan perha-
tian tentang kependekaranmu. Ketika kau memohon
untuk tinggal di sini sebagai pembantu, dugaanku se-
makin terbukti bahwa kau adalah murid Ki Bangsaca-
ra. Gurumu itu memang pernah menaruh hati kepa-
daku. Tapi aku menolaknya. Aku sudah punya pilihan.
Suamiku meninggal lima tahun yang lalu. Dia tewas
dalam suatu bentrokan sewaktu menghadapi perusuh
dari Bengawan Kedung Naga. Hanya lantaran pesan
almarhum suamiku aku tidak bisa menindak pencuri
buku ilmu kanuragan “Ngrogoh Sukma”. Ternyata Ma-
taun, yang namanya pada usia tuanya diembel-embeli
‘Panembahan’, adalah saudara kandungnya. Panem-
bahan Mataun pun telah meninggal karena usia tua-
nya...!”
Nyai Sandhing mengakhiri ceritanya dengan me-
nundukkan wajahnya. Ken Akung dan Sri Tanjung tak
menduga bisa mengetahui kisah yang saling membelit
para pelakunya. Dari uraian kisah tersebut, mereka
kini tahu bahwa Den Bagus Panggelaran dan Den Ba-
gus Purusada yang bergelar Dewa Mimpi, masih ada
hubungan kelurga dengan Nyai Sandhing.
“Tapi...” kata Sri Tanjung membuka percakapan la-
gi, “bagaimana Den Bagus Purusada mendapat gelar
Dewa Mimpi? Apakah Nyai Sandhing tahu nalarnya?”
“Ya! Tahu benar! Buku ilmu kanuragan “Ngrogoh
Sukma” ternyata disimpan oleh pihak sulung putra
kembar Panembahan Mataun yang kini bergelar Dewa
Mimpi. Sepuluh tahun yang lalu setelah Panembahan
Mataun meninggal, mereka pindah di kadipaten ini.
Rupanya sampai meninggalnya Panembahan Mataun,
mereka tidak tahu bahwa ayah mereka masih saudara
kandung suamiku. Ternyata Den Bagus Purusada le-
bih mengutamakan ilmu-ilmu kanuragannya daripada
hidup sebagai manusia lumrah. Itu sebabnya dia me-
milih tempatnya di Gunung Wilis. Kudengar, ketika
Purusada mengetrapkan ilmu kanuragan tersebut, ter-
jadi penyimpangan yang ternyata hasilnya lebih am-
puh. Mulanya ilmu kanuragan “Ngrogoh Sukma” ha-
nya bisa menghentikan denyut jantung lawan dari ja-
rak jauh, kini berkembang bisa menembus alam piki-
ran seseorang. Dan cara penembusan itu ternyata le-
wat mimpi. Hal inilah yang menggetarkan pihak-pihak
dari mereka yang bermusuhan dengan Purusada. Tan-
pa pergi ke suatu tempat untuk membinasakan orang
yang dianggap lawannya, Purusada tak perlu beranjak
dari tempatnya. Tapi Sang Hyang Widhi Maha Adil.
Akibat pengetrapan ilmu tersebut jasmani Purusada
semakin tua saja. Paling akhir kudengar dia kelihatan
seperti kakek-kakek berumur seratus tahun. Badan-
nya ringkih sampai tak bisa bangkit dari duduknya.”
“Astaga! Jadi begitu ceritanya?” sela Sri Tanjung.
“Yang ini mungkin tak diketahui guru kami Ki Bangsa-
cara.”
“Gurumu tahu. Tapi mungkin tidak menceritakan
hal ini secara lengkap kepada kalian. Sekitar lima ta-
hun yang lalu aku pernah berjumpa dengan gurumu.
Mungkin saat itu kalian belum berguru di Pring Sewu.
Aku memberitahu kepadanya tentang perkembangan
ilmu kanuragan “Ngrogoh Sukma” yang kini dimiliki
oleh orang yang bergelar Dewa Mimpi. Bahkan gurumu
masih percaya bahwa Senjata Pamungkas untuk
menghadapi ajian kanuragan “Ngrogoh Sukma”, tetap
dipegang oleh Pasangan Pendekar Kembar. Untungnya
selama ini Dewa Mimpi tak pernah berpikir tentang
siapa yang memegang Senjata Pamungkas. Ataupun
kalau dia berusaha menyelidiki siapa yang meme-
gangnya, tidak bakalan tahu. Aku telah dibekali sara-
na oleh Mpu Kuturan agar keberadaan Senjata Pa-
mungkas tidak diketahui oleh pemilik ilmu kanuragan
“Ngrogoh Sukma.” Kalau saat ini kalian tahu aku be-
lum berangkat ke Gunung Wilis, ini adalah salah satu
sarananya untuk mengamankan senjata Pamungkas.
Sebab apabila tidak, Purusada yang bergelar Dewa
Mimpi itu akan bisa mengetahui keberadaanya. Dia
akan dengan mudah membunuhku dengan cara mera-
suk ke dalam mimpiku di mana aku tak akan berdaya
sama sekali.”
Sampai di sini hening lagi. Sri Tanjung dan Ken
Akung masing-masing mencoba merenungkan alur pe-
ristiwa masa lampau yang menyeret mereka harus me-
lakukan pelacakan secara rahasia tentang adanya De-
wa Mimpi dan senjata yang disebut Senjata Pamung-
kas tersebut.
“Apakah ada hal lain yang Nyai ketahui tentang De-
wa Mimpi itu?” tanya Ken Akung yang semakin pena-
saran ingin tahu lebih banyak. Sepertinya dia seorang
bocah yang ingin mendengar sebuah dongeng yang
sangat menarik.
“Ya! Seperti kukatakan tadi, karena pengetrapan il-
mu kanuragan “Ngrogoh Sukma” itu, jasmani Purusa-
da semakin tua renta. Tapi rupanya dia tak putus asa
untuk memulihkan agar dapat sewujud seusianya. Pal-
ing akhir dia melakukan pengetrapan “Aji Tumbal.” Dia
mencari gadis yang mempunyai rajah tangan Dewi Sri.”
“Gadis yang mempunyai rajah tangan Dewi Sri? Un-
tuk apa?” sela Sri Tanjung cemas, karena nama ‘Sri’
punya persamaan dengan namanya.
“Aku tahu bentuk rajah tangan Dewi Sri. Ada tanda
khususnya. Kalian tahu, bahwa Dewi Sri adalah dewi
padi, lambang kesuburan. Oleh sebab itu Dewa Mimpi
mencari gadis berajah tangan Dewi Sri untuk menang-
gulangi kerentaan jasmaninya. Dia harus mandi de-
ngan darah gadis itu!”
“Mengerikan sekali!” sela Sri Tanjung lagi. Dia me-
mang wanita pendekar, tapi mendengar kisah sema-
cam itu, perasaannya tak luput dari rasa ngeri. “Ba-
gaimana kalau rajah tangan saya berajah tangan Dewi
Sri? Pasti aku yang diburu,” kata Sri Tanjung, walau-
pun menyadari dirinya bukan gadis lagi.
“Tidak. Bukan kau. Aku tahu pasti. Beberapa bulan
lalu seorang peramal memberitahu tentang bentuk ra-
jah itu,” kata Nyai Sandhing dengan tenang. Inilah
yang sangat diherankan oleh Sri Tanjung dan Ken
Akung. Pada saat suasana semakin gawat, orang tua
ini adem-ayem saja.
“Siapa Nyai?!” tanya Ken Akung semakin penasaran.
“Saudara kembarku sendiri... Nyai Asih!”
***
TTUUJJUUHH
UCAPAN itu yang membuat Sri Tanjung dan Ken
Akung semakin geleng-geleng. Semua cerita Nyai
Sandhing telah memberi jawab semuanya. Tapi sebegi-
tu jauh orang tua itu tidak menunjukkan kecemasan
menghadapi masalah yang mungkin bisa berkembang
membahayakan jiwa orang lain. Apalagi ketika dikata-
kan bahwa orang yang memiliki rajah tangan Dewi Sri
ternyata saudara kembarnya sendiri, yaitu Nyai Asih.
Dalam kesempatan ini Nyai Sandhing menjelaskan,
meskipun mereka saudara kembar, ternyata ada hal-
hal yang mengandung perbedaan. Satu pada rajah
tangan! Pada Nyai Asih terlihat jelas garis tangan yang
menggambarkan bentuk bulir padi. Sedangkan Nyai
Sandhing tidak. Nyai Sandhing telah mengalami masa
perkawinan, sedangkan Nyai Asih sampai sekarang be-
lum pernah menikah. Berarti sampai setua itu dia ma-
sih perawan! Olok-olok ‘perawan tua’ rupanya tidak
menjadikan dirinya rendah hati. Ini disebabkan ketika
berguru pada suatu padepokan, mereka tidak sepergu-
ruan. Tapi Nyai Asih nyempal ke tempat lain, di se-
buah padepokan di Gunung Kombang. Dia berguru di
sana memakan waktu lama. Melebihi waktu yang di-
pergunakan oleh Nyai Sandhing ketika berguru kepada
Eyang Sepuh. Dan hasilnya memang lumayan. Dalam
beberapa hal Nyai Sandhing bisa mengakui keunggu-
lan kebolehan Nyai Asih. Di antaranya dalam kegesitan
gerak memipihkan tubuh untuk menghindari serangan
lawan dengan senjata tajam. Kesannya, tubuh itu se-
perti tak bertulang. Dan lagi, Nyai Asih memiliki “Ilmu
Bunglon” yang dapat menyamarkan diri dengan kea-
daan sekelilingnya. Keterangan tersebut diceritakan
kepada Ken Akung dan Sri Tanjung.
“Yang jelas, diperlukan waktu yang tepat untuk
menghadapi Dewa Mimpi,” kata Nyai Sandhing meya-
kinkan. “Waktu yang sewindu sekali itu yang membuat
kami harus bertahan tidak gegabah untuk bertindak.
Oleh sebab itu, kalau kalian berdua berniat mengem-
ban amanat Ki Bangsacara, laksanakan tugas kalian
untuk mendahului kerja. Tapi ingat, jangan sampai
merusak suasana. Aku akan bergerak dalam waktu
yang tepat, agar tidak dapat dipantau oleh Dewa Mimpi
itu. Pergilah ke Gunung Wilis. Ada pohon beringin
kembar sebagai pertanda tempat sarangnya setelah ka-
lian menyebrangi Sungai Nyambik.”
Akhirnya Sri Tanjung dan Ken Akung berangkat ke
Gunung Wilis. Meskipun peranan mereka dalam masa-
lah ini tak berarti, paling tidak akan mendukung terja-
dinya perkembangan.
Begitulah, setelah mereka berdua menempuh perja-
lanan secara cermat, akhirnya sampai di sebuah sun-
gai yang disebut Sungai Nyambik. Disebut Nyambik,
karena di sana banyak biawaknya. Ada sebuah jemba-
tan terentang, terbuat dari akar-akar pohon yang sal-
ing dililitkan dari ujung ke ujung. Melihat bentuknya,
jembatan itu sudah berumur puluhan tahun, bahkan
ratusan tahun, karena melihat lumut-lumut yang
menghijau, dan hanya bisa dilewati dengan jalan kaki.
Baru saja mereka selesai meniti jembatan itu, tiba-
tiba dikejutkan oleh hiruk-pikuk.
“Ada yang bentrok! Di sebelah sana!” kata Sri Tan-
jung tanpa menunggu sikap Ken Akung yang mencoba
memeriksa keadaan sekelilingnya. Wanita pendekar itu
terus ngeblas menerobos semak-semak. Yang diperki-
rakan benar. Di sana ada bentrokan.
“Pusparini!” seru Sri Tanjung terus membaurkan di-
ri. Apapun masalahnya, dia akan berpihak pada si Wa-
let Emas itu. Di sana Pusparini dikroyok tak kurang
dari sepuluh orang lawan. Sebagian ada wanitanya
dengan pakaian sewarna dengan kaum lelakinya, cok-
lat dan merah.
Gebrakan yang dilakukan oleh Sri Tanjung belum
mendukung bahwa para pengroyok semakin kendor
semangatnya, bahkan semakin mengganas. Tak berapa
lama kemudian muncul Ken Akung. Gebrakan laki-laki
ini sempat membuat mencelat dua wanita lawan yang
ditonjok tepat pada buah dadanya. Tapi yang lain ce-
pat nimbrung mengisi kekosongan perlawanan, sehing-
ga Ken Akung tak sempat membobol lawan yang sibuk
menangani Sri Tanjung dan Pusparini. Kelihatannya
lawan-lawan ini adalah tenaga pilihan. Mereka sampai
begitu jauh masih mempergunakan tangan kosong.
“Apakah kau datang kemari bersama Nyai Asih?”
tanya Sri Tanjung ketika sempat bergerak di samping
Pusparini.
“Kau tahu siapa dia?” seru Pusparini dengan mengi-
rimkan pukulan ke lambung lawan. Ketika lawannya
menggeliat, ditambah dengan hentakan sabetan kaki
menyambar leher, kontan lawannya ini muntah darah.
“Kami kemari atas dorongan Nyai Sandhing. Dia
akan muncul pada waktunya!” jawab Sri Tanjung de-
ngan membabat leher lawan dengan tendangan kaki.
Sang lawan limbung ke samping, lalu dipapag dengan
kaki satunya. Orang ini kehilangan pertahanan. Tapi
seperti yang lain-lain, bagaimanapun terlihat pihak la-
wan keteter serangan yang mematikan, tampaknya pa-
ra pengroyok itu mempunyai tenaga cadangan dan
menyerang dengan gencar kembali.
“Gila! Manusia apa ini?!” seru Sri Tanjung. “Biasa-
nya tak ada orang yang kuat menghadapi sepakanku
semacam itu.”
“Justru ini yang membuat aku keteter sejak pagi,”
jawab Pusparini yang kedatangannya ke sana bersama
Nyai Asih untuk memburu Den Bagus Panggelaran.
“Nyai Asih telah memisahkan diri memburu Panggela-
ran. Ranti dipastikan jadi sandera Dewa Mimpi!” kata
Pusparini yang telah berkali-kali berasa bisa mero-
bohkan lawan yang ternyata mereka semakin tegar sa-
ja.
“Kalau kuamati sejak tadi, mereka sepertinya ingin
menangkapmu hidup-hidup!” kata Ken Akung dengan
mengirim pukulan ke arah lawan. Di sini tampaknya
naluri lawan jenis terpanggil. Ternyata dalam bentro-
kan itu pihak lawan laki-laki menghadapi Pusparini
dan Sri Tanjung. Sedangkan lawan wanita lebih se-
nang berhadapan dengan Ken Akung.
“Aku bosan. Aku akan menggunakan pedangku!”
seru Sri Tanjung dengan mencabut pedangnya. Tapi
begitu dia mencabut senjatanya, lawannyapun meng-
imbangi. Sedangkan Pusparini yang senjatanya bisa
dipastikan berada di tangan Panggelaran, tak bisa ber-
buat banyak selain menghadapi lawan dengan tangan
kosong. Dan sepuluh orang itu bukan lawan semba-
rangan.
Tak kurang kesalnya adalah Ken Akung juga. Pe-
muda ini pun mencabut senjatanya. Lawan pun meng-
imbangi.
“Hm! Mereka bertindak ksatria juga. Aku yang tan-
pa senjata tajam, tetap saja dihadapi dengan tangan
kosong,” pikir Pusparini setelah melihat perkembangan
bentrokan itu.
Chrraasshh!!!
Senjata Sri Tanjung membabat lengan lawan sampai
putus.
“Gila! Sepertinya dia tidak merasakan rasa sakit!”
pikir Sri Tanjung yang menyaksikan hasil kerjanya
sendiri. “Darahnya tak banyak menyembur!”
Di sisi lain, Ken Akung berhasil menjebol dada la-
wan dengan tusukan senjatanya. Darah hanya meleleh
sedikit.
Penasaran dengan keadaan ini, maka leher lawan
berhasil ditebas dengan sabetan fatal setelah beberapa
kali harus berkelit yang ternyata lawannya semakin
beringas setelah terluka. Kepala lawan lepas dari le-
hernya, mencelat ke semak-semak!
“Gila! Dia tidak roboh!” seru Ken Akung setelah me-
lihat lawannya yang tanpa kepala itu tetap tegak, tapi
tidak mengadakan perlawanan lagi. Bahkan anehnya,
ketika Ken Akung pergi menjauh, maka sosok tubuh
yang tidak berkepala itu berjalan tertatih-tatih. Dia
mencari kepalanya di semak-semak!
“Astaga!” hanya ini yang keluar dari mulut mereka
bertiga sambil menghadapi lawan yang lain.
“Apakah mereka memiliki Ajian Rawarontek?!” seru
Pusparini yang sempat juga menyaksikan lawan Ken
Akung tadi.
Ken Akung tak sempat membicarakan lebih lanjut,
sebab lawan yang lain segera mengroyoknya. Karena
peristiwa itu, maka mereka bertiga tak mau lagi berla-
rut-larut terjebak oleh lawan-lawan yang adikodrati
tanpa tahu harus dituntaskan dengan cara apa. Sri
Tanjung dan Ken Akung mengambil kesempatan agar
bisa memenggal semua kepala lawan. Sebab dengan
cara ini lawan yang rupanya dibekali Ajian Rawarontek
akan kesulitan untuk menghimpun diri.
Di sisi lain, Pusparini yang punya pandangan dan
pernah mendengar kehebatan Ajian Rawanontek, se-
gera mencari peluang untuk menyalakan api. Dia se-
gera memisahkan diri. Dengan bekal cabang dan ran-
ting, Pusparini mencoba membuat api. Usahanya ber-
hasil, walaupun untuk itu dia nyaris diterkam lawan
yang kehilangan sebelah tangannya. Api berkobar me-
lahap alang-alang. Dan semua lawan yang sebagian
besar telah terpenggal kepalanya, dengan langkah gon-
tai mencari kepala mereka yang mencelat ke tengah
alang-alang yang terbakar. Akibatnya bisa dibayang-
kan. Mereka terbakar dilahap api...!
“Usahamu jempol! Hebat! Kalau sudah jadi abu,
Ajian Rawarontek tak bakalan berfungsi lagi,” kata Ken
Akung yang juga menyadari akan ajian tersebut.
“Ayo kita cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada
hal lain yang bisa mengungkung kita berada di sini te-
rus. Kau tahu ke mana Nyai Asih perginya?” kata Sri
Tanjung.
“Ke sana!” tunjuk Pusparini dengan mengambil go-
lok lawan yang terserak di tanah.
“Rupanya tanpa pedangmu sendiri kau merasa
canggung. Kau sadar bahwa di sini tak bisa dihadapi
dengan tangan kosong,” sela Sri Tanjung dengan mem-
buntuti langkah Pusparini.
Mereka melangkah dengan hati-hati. Siapa tahu ada
pembokong yang menjegal mereka. Kawasan itu adalah
daerah kekuasaan Dewa Mimpi.
“Itu pohon beringin kembar, seperti yang dikatakan
Nyai Sandhing!” seru Sri Tanjung.
“Rupanya kalian telah mendapat santi aji dari Nyai
Sandhing,” kata Pusparini.
“Lebih dari santi aji!” jawab Ken Akung, “Kami ber-
dua terasa ditatar dan disuguhi cerita yang cukup pan-
jang. Asyik didengar menjelang tidur untuk dongeng
anak cucu. Orang tua itu tidak seremeh yang kita du-
ga. Boleh dikata semut pun menjadi perhatiannya di
rumah itu,” kata Ken Akung mengakhiri omongannya
sambil melirik ke arah Pusparini.
Pusparini masih juga belum mengerti dengan uca-
pan Ken Akung. Pikirannya saat itu lebih tertuju ke-
pada Pedang Merapi Dahananya, serta tugas untuk
membebaskan Ranti. Tak berapa lama sesampai diba-
wah pohon beringin kembar, mereka melihat sebuah
jalan lurus. Dan di sepanjang jalan itu berserakan tu-
lang belulang! Tengkorak manusia...!
“Seperti ada pembantaian massal di sepanjang jalan
ini. Tulang belulang manusia agaknya sebagai perma-
dani menuju ke tempat Dewa Mimpi,” kata Pusparini
lirih dengan perasaan tercekam. Betapa tidak. Melihat
tulang belulang manusia yang bertaburan seperti sam-
pah, tidak terbayangkan beberapa puluh atau ratus
manusia yang kerangkanya berserakan di sepanjang
jalan menuju tempat Dewa Mimpi. Dan suasananya
memang lengang. Sepi. Hanya bunyi serangga lalat
atau sebangsanya yang senang dengan suasana seperti
itu. Dengan perasaan mantap, mereka bertiga terus
menerobos ke sana.
“Kita harus berhati-hati dengan suasana sepi seper-
ti ini. Tidak mustahil gerak-gerik kita telah dipantau
dari tempat tersembunyi,” kata Sri Tanjung menggurui.
Sedangkan Pusparini tanpa banyak omong terus me-
langkah tegar menapak di atas kerangka tulang belu-
lang manusia itu. Dari sinilah langkahnya makin lama
makin pelan. Terlihat nyata bahwa semakin dekat den-
gan tempat yang dituju, keadaan tulang belulang itu
wujudnya semakin lain, artinya bukan tulang lagi, tapi
masih berwujud mayat membusuk! Dari sinilah bau
tak sedap mulai menusuk hidung.
“Apakah kita akan terus masuk ke sana?” tanya Sri
Tanjung tampak enggan melangkahkan kaki lebih jauh
sementara tanganya sibuk menutup hidungnya.
“Ya! Kalau kalian enggan, biar aku saja yang terus!”
jawab Pusparini singkat tanpa mempedulikan lagi kea-
daan di sekitarnya yang tampak sebagai neraka dunia!
Pusparini menggenjot tubuhnya langsung melesat ke
dalam sana. Yang jelas, gambaran tentang hamparan
tulang-belulang sampai ke mayat yang baru membu-
suk, rupanya suatu peringatan bagi siapa saja yang
berani menentang kehendak Dewa Mimpi.
Di dalam goa yang merupakan lorong pendek, Pus-
parini dihadapkan suatu pemandangan yang tak begi-
tu mengagetkan. Di sana berdiri seseorang yang dike-
nalnya, yaitu Den Bagus Panggelaran, yang dengan
pongah memegang Pedang Merapi Dahana!
“Kita bertemu lagi, Nimas Ayu! Kalau kedatangan-
mu kali ini untuk mengambil pedangmu, dengan rela
hati kuberikan, asal kau mau kujadikan istriku!” ucap
Panggelaran dengan senyum manis. “Ketahuilah, di si-
ni kau jangan bertindak macam-macam. Aku punya
sarana pendukung yang membuatmu tak akan ber-
kutik. Kalau kau nekad, kau akan berhadapan dengan
Dewa Mimpi, saudaraku!”
“Ancaman demi ancaman sudah membuatku kebal
selama petualanganku. Jangan kau tambahi lagi de-
ngan omong kosongmu!” tukas Pusparini.
Selagi sumbar-sesumbar ini belum tuntas, maka
Ken Akung dan Sri Tanjung telah sampai pula di sana.
“Wah, pertunjukan bakal rame. Terima kasih kalian
datang juga. Aku masih geli kalau teringat kalian ber-
dua keroyokan memanjat jambe yang berlemak. Setiap
pendekar pasti mudah melakukan. Tapi kalian tak ta-
hu bahwa itu bukan lemak sapi. Tapi lemak manusia
yang kuawetkan dan sengaja kubuat untuk pertunju-
kan seperti itu. Lemak macam itu mengandung man-
tera. Bagaimana rasanya ketika kalian memanjat? Su-
kar, bukan? Hehehehe...! Aku memang suka bermain-
main dengan bagian dari mayat manusia...!”
“Kau benar-benar manusia berwatak iblis. Aku tak
tahu bagaimana bapakmu, Si Durjana Mataun, bisa
mengukir jiwa ragamu menjadi manusia macam dirimu
dan saudaramu!” sela Pusparini. Ya, Pusparinipun ta-
hu tentang riwayat itu, ketika kemarin Nyai Asih ber-
samanya menunggu di tempat persembunyian untuk
mencari peluang meniti jembatan gantung sementara
anak buah Dewa Mimpi masih berkeliaran di sekitar-
nya. Dalam kesempatan itu Nyai Asih, seperti halnya
Nyai Sandhing, telah membuka rahasia masa lam-
paunya. Kemudian setelah keadaan di sekitarnya di-
pandang aman, barulah mereka melanjutkan menyu-
sup untuk menyatroni tempat itu. Nyai Asih kini telah
bergerak entah kemana, sementara Pusparini menyem-
pal ke bagian lain yang akhirnya ketanggor sepuluh
orang lawan yang memiliki ilmu Rawarontek itu.
“Kau... tahu siapa nama ayahku?” tanya Den Bagus
Panggelaran dengan mata mendelik. “Kau sebut ayah-
ku tanpa gelar keagungannya ‘Panembahan’. Tapi kau
sebut ‘si Durjana’! Whuah! Kau pamer nyali dengan
gaya keterlaluan!”
“Ini tentang masa lampau, Panggelaran! Mungkin
selama ini kau menganggap ilmu kanuragan yang di-
miliki Dewa Mimpi alias Purusada hasil olahan lelu-
hurmu. Itu barang curian. Maka lebih pantas kalau
ayahmu mendapat gelar ‘Durjana’ daripada ‘Panemba-
han’. Durjana adalah gelar yang cocok bagi almarhum
ayahmu. Sebab dia tidak saja mencuri buku itu, tapi
juga membunuh pemilik buku kanuragan tersebut,
yaitu gurunya sendiri!” kata Pusparini membuka tabir
masa lampau lawannya. Tentu saja ini dicurahkan un-
tuk mengaduk kemarahan lawan, sebab dia tahu, Pe-
dang Merapi Dahana tidak akan berguna di tangan
pemegangnya apabila orang yang bersangkutan dalam
keadaan amukan amarah.
“J a h a n a a a m... kau...!” teriak Panggelaran
sambil berniat mencabut Pedang Merapi Dahana dari
sarungnya.
Tapi seperti yang menjadi ciri senjata itu, seperti
harapan Pusparini, maka pedang itu tak hisa dicabut
dari sarungnya. Melihat hal ini Panggelaran semakin
murka. “Senjata celaka! Senjata apa ini? Pedang-
pedangan kayu?” teriak Panggelaran lagi dengan me-
lempar senjata itu ke arah Pusparini.
Tentu saja keadaan ini segera disambut dengan
tangkapan tangan yang tangkas oleh pemiliknya sen-
diri. Kini Pedang Merapi Dahana telah berada di ta-
ngan Pusparini. Sebelum Panggelaran melesat maju
untuk menghajar Pusparini dengan senjatanya sendiri,
maka Walet Emas ini telah mencabut Pedang Merapi
Dahananya.
Shhriingg!
Pedang Merapi Dahana berkilau merah diterpa sinar
matahari yang menerobos ke celah goa. Den Bagus
Panggelaran masih sempat melihat pedang tersebut
dengan gerakan melesat ke arah Pusparini. Senjatanya
sendiri juga siap ditebaskan ke arah pendekar bergelar
Walet Emas itu. Tapi cahaya merah yang menyilaukan
terpancar dari Pedang Merapi Dahana membuat diri-
nya terjengah beberapa kejap. Dan ini cukup meng-
goyahkan posisinya. Ketika keduanya beradu, hanya
sambaran cepat yang terjadi. Pusparini merunduk. Di
sebelah sana Panggelaran menapak tanah dengan si-
kap tegak. Pedangnya masih terpegang di tangan.
Sri Tanjung dan Ken Akung menyaksikan peristiwa
itu dengan rasa takjub. Suatu gerakan adu tanding
tingkat tinggi baru saja berlangsung. Bagi mata yang
terlatih akan tahu siapa yang menderita kekalahan.
Semua mata tertuju ke arah Den Bagus Panggela-
ran yang masih tegak. Tapi beberapa saat kemudian
pedang di tangannya tanggal. Dan sejajar dengan batas
tanggalnya pedang tersebut, terlihat darah mengucur
yang kian deras seluas lebar dadanya. Dari pinggang
kanan mengarah ke atas jantung pada bagian dada kiri
telah terjadi potongan tubuhnya. Di bagian tubuh ini
terdapat belahan akibat sabetan Pedang Merapi Daha-
na!
Herannya, tubuh itu tetap tegak terpadu. Tapi ke-
tika Pusparini mendorongkan tangan mengirim angin
pukulan, barulah tubuh Panggelaran roboh menjadi
dua! Suatu pandangan yang mengerikan membuat si
pendekar sendiri tak tega menyaksikan lebih lama.
“Ayo kita cari Dewa Mimpi!” ajak Pusparini.
Mereka segera meninggalkan tempat itu. Suasana
sepi dan hening. Di mana anak buah lawan yang lain?
“Suasana begini yang paling tak kusukai. Mencuri-
gakan!” kata Ken Akung.
“Melihat keadaannya, rupanya tinggal Dewa Mimpi
yang harus kita hadapi,” bisik Sri Tanjung dengan ma-
ta jlalatan menyapu ke tempat sekitarnya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka bergerak tan-
pa ada gangguan. Tempat-tempat yang diperkirakan
mengandung jebakan, ternyata tak ada apa-apanya.
Langkah mereka akhirnya menjurus ke suatu tempat
terbuka. Suatu hamparan gersang dengan banyak ba-
tang pohon yang meranggas, tak berdaun, terhampar
di hadapan mereka. Dan di seberang sana ada tempat
yang agak tinggi terdiri dari susunan balok batu yang
ditata seperti altar pamujan.
Ada sesosok tubuh yang terbaring di sana. Itu se-
babnya mereka bertiga bergegas untuk mendekati, ka-
rena merasa kenal dengan sosoknya. Tubuh si Ranti!
“Ranti!” seru Pusparini dengan menggoyang tubuh
yang kelihatannya tertidur pulas.
“Dia tertidur, atau dibius untuk tidur?” kata Sri
Tanjung setelah usaha Pusparini membangunkan ga-
dis itu sia-sia. Mereka tahu bahwa Ranti telah dibuat
untuk tidur. Jelas sekali terlihat bagaimana napasnya
turun naik secara beraturan. Dia tertidur. Bukan ping-
san.
“Tidur? Apakah dia dalam keadaan sedang mimpi?”
bisik Pusparini. “Dewa mimpi itu pasti sedang berada
dalam mimpinya.”
“Pasti begitu. Kalau saja kita bisa melihat apa yang
sedang terjadi dalam mimpi si Ranti...!” kata Ken
Akung dengan nada mengharapkan jalan keluar untuk
mengatasi teka-teki itu. “Kita berhadapan dengan ilmu
yang adikodrati!”
“Hei, lihat di jambangan air itu!” seru Pusparini
dengan menunjuk pada sebuah jambangan air terbuat
dari tembaga yang luasnya sekitar satu depa berben-
tuk lingkaran. Sejak awal mereka bertiga memang te-
lah melihat jambangan tersebut. Tapi ketika ada ‘sesu-
atu’ yang tampak di permukaan airnya, perhatian Pus-
parini terusik. Kemudian mereka bertiga melihat ke
permukaan dalam jambangan tersebut.
“Astaga! Kita bisa melihat suatu peristiwa di permu-
kaan air ini,” bisik Sri Tanjung dengan rasa takjub. Di
sana mereka melihat Ranti!
Ya, Ranti. Gadis itu terlihat berjalan sendirian di
tengah padang yang tak terbatas. Sekelilingnya dige-
nangi kabut. Tiba-tiba perasaan Pusparini tersirap.
Pemandangan seperti itu pernah dirasakan dalam
mimpinya tempo hari, yang ketika itu nyaris diperkosa
oleh seseorang yang tak begitu bisa dilihat jelas roman
mukanya.
“Pasti ini yang terjadi dalam mimpi Ranti,” bisik Ken
Akung. “Dewa Mimpi rupanya dengan sengaja menye-
diakan sarana ini agar bisa kita ketahui.”
“Artinya... dia benar-benar mengharapkan agar kita
tahu apa yang dia lakukan?” tanya Sri Tanjung.
“Ya!” terdengar jawaban di luar jalur percakapan
mereka.
Mereka bertiga menoleh ke arah datangnya suara.
Tak jauh dari tempat mereka, tegak seseorang de-
ngan tubuh tua renta yang memberi jawaban tadi. Dari
penampilannya, mereka bertiga bisa mengambil ke-
simpulan bahwa orang yang muncul ini pastilah Den
Bagus Purusada alias Dewa Mimpi.
“Kalian memang besar nyali. Apa yang membuat ka-
lian berani menerobos ke tempat ini?” kata orang tua
itu.
“Dewa Mimpi! Semua orang punya sikap dan pan-
dangan walaupun apa saja rintangannya,” Pusparini
membuka suara. “Kami bertiga memang tak suka omo-
ngan muluk-muluk, tapi kalau ada orang bertanya di
mana kami harus berpijak, maka arah kami berlawa-
nan dengan yang kau kehendaki!”
“Omongan yang selangit. Dan itu sering kudengar
dari mulut setiap pendekar yang mencoba menentang-
ku. Kalian lihat hamparan tulang belulang yang berse-
rakan menuju pintu masuk kemari? Merekalah yang
mencoba menentangku!” kata Dewa Mimpi dengan su-
ara serak-serak basah.
“Kau bisa berbuat apa saja untuk menangani seseo-
rang dengan menyusup lewat mimpi. Tapi kami tak
akan gentar!” kata Pusparini lagi.
Rupanya dari berbagai pengalaman, dia bisa me-
manfaatkan keadaan untuk merusak daya pertahanan
lawan dengan cara gertak sambal walaupun hati kecil-
nya miris juga.
Melihat cara berbicara lawan seperti ini, Dewa Mim-
pi sempat berpikir tentang bobot orang yang sedang
dihadapi. Jangan-jangan lawan yang satu ini telah
berbekal sarana ampuh yang bisa membinasakan di-
rinya. Lalu terdengar suara Pusparini lagi...,
“Jangan sangka aku tidak tahu semua rahasiamu!
Saat ini kau sedang mencari gadis berajah tangan Dewi
Sri agar bisa memulihkan jasmanimu yang tua renta
karena dimakan oleh ilmu kanuraganmu sendiri!”
“Cukup!! Hentikan omonganmu!” seru Dewa Mimpi
beringas. “Aku tahu kalian kemari dengan tujuan uta-
ma membebaskan gadis cilik itu! Dia dalam kekua-
saanku! Dia bisa tidur sepanjang hidupnya kalau aku
sampai terbunuh!”
“Bagus! Kau telah memberi ancaman. Tapi apa pe-
duliku terhadap satu nyawa kalau dibandingkan de-
ngan banyak nyawa lain yang akan binasa selama kau
tetap hidup?” tangkis Pusparini lagi.
Ancaman omongan yang ini rupanya mulai mem-
pengaruhi sikap Dewa Mimpi. Dia tahu. Saat ini adalah
saat windu delapan tahun sekali dalam masa naasnya.
Dewa Mimpi belum pernah ketanggor lawan yang
criwis seperti ini.
“Aku memang sedang mencari wanita berajah ta-
ngan Dewi Sri untuk memulihkan jasmaniku. Apabila
gadis berajah tangan Dewai Sri itu adalah dirimu sen-
diri, alangkah bahagianya aku. Sebab dengan segala
dayaku akan kuusahakan untuk mandi dengan da-
rahmu!” kini ganti Dewa Mimpi memberi gertak anca-
man.
“Akulah wanita yang berajah tangan Dewi Sri,” ter-
dengar suara menggema, dan ini sangat mengejutkan
Dewa Mimpi.
Semua mata mencari arah datangnya suara. Dari
puncak batang pohon yang meranggas, terlihat seso-
sok tubuh berpakaian serba putih. Lalu sosok tubuh
itu melesat dan mendarat dekat Ranti yang sedang ti-
dur pulas.
“Akulah wanita yang kau cari....!” kata wanita itu
yang tiada lain adalah Nyai Asih, kembaran Nyai
Sandhing. “Kau sendiri tak tahu bagaimana bentuk ra-
jah tangan Dewi Sri, bukan? Kau hanya dengar, tapi
tak tahu cirinya!”
“Jangan membodohiku!” seru Dewa Mimpi. “Siapa
kau sebenarnya, hah?!”
“Salah seorang Pasangan Pendekar Kembar yang
mengetahui semua masalahmu! Aku Nyai Asih, kemba-
ran Nyai Sandhing!”
“Hah? Apa?” Dewa Mimpi terperangah dengan lang-
kah mundur.
“Tampaknya kau baru sadar dengan nama-nama
itu?” tanya Nyai Asih. “Lihat ini, rajah tanganku! Inilah
rajah tangan Dewi Sri! Garis bulir padi ada pada ta-
nganku, tanda kesuburan pertiwi. Ini yang kau ha-
rapkan. Darahku bisa memulihkan jasmanimu!”
Tampak Dewa Mimpi ragu-ragu.
“Aku masih gadis. Belum pernah menikah atau ber-
hubungan dengan laki-laki!” sambung Nyai Asih lagi.
“Ambil pedangmu, dan bunuhlah aku. Kau akan bisa
membuktikan sendiri!”
“Kau... main-main! Ini urusan antara hidup dan
mati!” terdengar suara Dewa Mimpi bergetar.
“Aku tidak main-main. Aku hanya tidak ingin ada
korban lebih banyak lagi. Tulang-belulang tengkorak
manusia yang berserakan itu pertanda bahwa kau ber-
susah payah mencari gadis yang berajah tangan Dewi
Sri! Berapa puluh lagi yang harus dikorbankan?”
Sepi. Tak ada percakapan. Dewa Mimpi alias Den
Bagus Purusada mencoba meyakinkan diri bahwa apa
yang sedang dihadapi benar adanya!
Ya, gambarnya adalah garis-garis yang menunjuk-
kan bulir padi. Padi tanda kesuburan. Dan kesuburan
akan memulihkan jasmaninya!
“Tapi aku punya satu syarat!” tiba-tiba terdengar
suara Nyai Asih.
“Syarat?” tanya Dewa Mimpi.
“Ya. Syarat! Bebaskan gadis ini dari tidur abadinya!”
Dewa Mimpi tak cepat menjawab.
“Bagaimana?”
Sepi. Semua menunggu jawaban Dewa Mimpi.
Pusparini dan kedua temannya tercekam ketega-
ngan. Mengapa Nyai Asih kembaran Nyai Sandhing
mengadakan keputusan semacam itu? Mengorbankan
diri?
“Baik! Kupenuhi tuntutanmu. Tapi sebelum itu kau
harus kubelenggu di altar itu sebagai penggantinya,”
terdengar suara Dewa Mimpi.
Nyai Asih mengangguk.
Kemudian Dewa Mimpi datang mendekatinya dan
memeriksa rajah tangan Nyai Asih. Dipandangi telapak
tangan itu dengan teliti, jangan-jangan hanya coretan
buatan. Kemudian tangan Nyai Asih dibelenggu.
“Bangunkan gadis ini,” hardik Nyai Asih.
“Pasti kubangunkan,” jawab Dewa Mimpi tenang.
Terlihat biang kerok keonaran ini mendekati ubun-
ubun Ranti. Dengan baca mantera beberapa kalimat,
lalu ubun-ubun itu diusap.
Pusparini memandang permukaan air di jamba-
ngan. Di sana tak terlihat lagi gambaran tentang Ranti.
Berarti Ranti tidak dalam keadaan mimpi lagi.
Ranti membuka matanya. Dia tampak bingung.
Pusparini segera memapahnya berdiri dan diajak men-
jauhi tempat itu sesuai dengan isyarat yang diberikan
Dewa Mimpi. Sri Tanjung dan Ken Akung menjauh dari
tempat itu pula.
“Sebenarnya kita punya kesempatan untuk menggo-
rok Dewa Mimpi itu selagi dia memerintahkan kita
menjauh dari sana,” bisik Ken Akung.
“Dan aku juga bisa melemparkan bumerang dari si-
ni,” sela Sri Tanjung.
“Hst! Kali ini kita hanya jadi penonton,” saran Pus-
parini sambil membimbing Ranti.
Mereka berempat menjauhi tempat itu. Seolah ada
kesepakatan, akhirnya mereka berhenti pada suatu
tempat, yang dalam perhitungan masih bisa berperan
kalau terjadi sesuatu di luar dugaan mereka.
Kini semua mata tertuju kepada tindakan Dewa
Mimpi. Tampak dia mengambil sebilah senjata yang
aneh bentuknya. Dengan bilah ketajaman sekitar tiga
jengkal yang penuh ukiran berisi tulisan mantera, ma-
ka senjata itu siap dihunjamkan ke dada Nyai Asih.
Semua menahan napas. Mereka menanti gerakan
tangan Dewa Mimpi. Tapi sampai begitu jauh belum
terlihat tanda-tanda tangan itu akan bergerak menuju
ke arah sasarannya.
Dan tiba-tiba....
“Hhhhaaaaaaaaaaaaaa....!!”
Jeritan panjang meledak dari bibir Dewa Mimpi. Se-
perti ada sesuatu yang dirasakan membuat dia ber-
teriak seperti itu. Terlihat tubuhnya bergetar.
Nyai Asih mengerutkan dahi. Seperti ada tanda
tanya dalam benaknya melihat sikap Dewa Mimpi se-
perti itu! Tapi dia tetap tenang. Kalau semua ini seperti
yang telah direncanakan dengan saudara kembarnya,
Nyai Sandhing, dia hanya ingin menanti lanjutannya.
Ada perhitungan meleset dari rencana, berarti dia be-
nar-benar harus binasa di tangan Dewa Mimpi,
Tapi melihat sesuatu yang menimpa Dewa Mimpi
dengan jeritan tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa
saudara kembarnya telah bertindak!
Lalu dengan cara apa dan bagaimana? Inilah teka-
teki yang selama ini tak pernah diungkap oleh sauda-
ranya sendiri. Tapi konon hanya diberi tahu bahwa
Senjata Pamungkas yang bisa dilawankan kepada De-
wa Mimpi mempunya pamor ampuh delapan tahun se-
kali alias sewindu! Itupun dia sendiri tak pernah diberi
tahu wujudnya.
Keadaan Dewa Mimpi semakin parah. Kelihatan tu-
buhnya berasap. Baru dari peristiwa inilah kelihatan
Nyai Asih tampak gelisah. Apakah ini semua akibat da-
ri perbuatan saudara kembarnya?
“Ohh! Mengapa bisa terjadi seperti itu?” kata Sri
Tanjung.
“Ini di luar kemampuan kita. Walaupun bisa, akan
sangat membahayakan. Kita sudah dipesan agar tidak
turun tangan membantu mereka, kecuali untuk me-
nyelamatkan Ranti,” kata Pusparini.
Dari peristiwa selanjutnya, kini terlihat Dewa Mimpi
berjalan sempoyongan mendekati jambangan air. Di
sana akan menceburkan tubuhnya yang berasap. Bisa
ditebak, bahwa asap yang mengepul dari tubuhnya,
pasti karena panas yang membakar yang tidak diketa-
hui asalnya.
Tapi aneh! Begitu dia menceburkan diri ke dalam
jambangan, bahkan di sana timbul kobaran api yang
hebat!!
“Lihat! Bukankah di sana tadi terdapat air? Apakah
bukan air..., tapi minyak?” seru Ken Akung.
Semua tercekam melihat peristiwa yang banyak me-
ngandung teka-teki.
“Aku yakin air!” kata Pusparini meyakinkan. “Kita
tidak mencium bau minyak di sana. Kalau ada air bisa
membakar, kita benar-benar dihadapkan pada kekua-
tan adikodrati di luar kemampuan kita. Aku tahu Nyai
Sandhing telah melakukan tugasnya. Tapi di mana dia
gerangan, kita tidak tahu.”
Sementara itu kobaran api kian melahap tubuh De-
wa Mimpi disertai jeritan yang menyayat. Tubuh Dewa
Mimpi yang terbakar itu tertelan dalam jambangan air.
Ya, tertelan di sana. Seperti jambangan itu punya da-
sar yang amat dalam, yang sebenarnya tidak.
“Kau benar-benar telah melakukannya, saudara-
ku...!” bisik Nyai Asih ketika melihat tubuh Dewa
Mimpi yang terbakar lenyap dalam jambangan air.
Baru setelah peristiwa itu berlalu, maka Pusparini
dan kawan-kawannya beranjak untuk menolong Nyai
Asih.
“Apakah dia telah binasa?” tanya Pusparini sambil
melepaskan belenggu pada wanita tua kembaran Nyai
Sandhing..
“Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu bagaimana
Nyai Sandhing melakukannya.”
Baru saja mereka akan beranjak meninggalkan tem-
pat itu, tiba-tiba permukaan air dalam jambangan ber-
golak...! Suaranya yang bergemuruh membuat semua
perhatian menoleh ke arah tempat itu. Dan dari jam-
bangan air itu ada sesuatu yang muncul! Sesosok tu-
buh muncul dari sana.
Sulit diurai nalar bagaimana hal itu mungkin. Se-
bab dasar jambangan itu hanya sedalam dua jengkal
dari permukaan airnya.
Sosok tubuh yang sangat mengerikan, sebab nyata
sekali tidak terbungkus kulit. Terlihat berkas otot dari
dagingnya yang mengelupas. Semua itu akibat dari lu-
ka bakar!
“Awas! Dia akan menyerang kita!” seru Pusparini
ketika mereka menyaksikan tubuh itu semakin mun-
cul dari dalam air dan berancang-ancang bertindak.
Benar saja! Sosok tubuh itu melesat ke arah me-
reka. Pusparini yang semula sadar akan hal ini telah
mencabut Pedang Merapi Dahananya. Begitu sosok tu-
buh itu menerjang, maka langsung disambut sabetan
pedang!
Nyata sekali tubuh itu terbabat dengan lugas se-
hingga bisa dibayangkan nasibnya akan seperti kema-
tian Den Bagus Panggelaran. Yang terlihat kemudian
tubuh tersebut terlontar ke atas yang kemudian men-
darat di tanah, dan berdiri tegak!
Semua pandangan mata tertuju ke arah sosok tu-
buh itu. Memang sulit dikenali, tapi mereka yakin
bahwa yang muncul ini adalah Dewa Mimpi.
Suasana hening beberapa saat.
Mereka menanti perkembangan selanjutnya.
Dan detik berikutnya mereka terperangah, sebab
sosok tubuh itu bergerak dengan pelan. Langkah kaki-
nya gontai tapi mantap.
“Dia masih hidup!” bisik Sri Tanjung dengan men-
cekal hulu senjatanya dan siap untuk membantu Pus-
parini apabila keadaan tidak teratasi.
Sosok tubuh itu hanya bergerak lima langkah... dan
kemudian roboh!!! Hempasannya ke tanah membuat
tubuh itu terpotong jadi tiga!
“Ah, kau hebat, Walet Emas!”
Terdengar sapaan yang tak jauh dari mereka di kala
peristiwa itu berlalu...!
Semua orang memandang ke arah suara itu. Dan
tak jauh dari sana, di samping batang pohon, terlihat
Nyai Sandhing berdiri dengan tubuh memendam deri-
ta.
“Nyai!!!” seru Pusparini yang pertama kali meng-
hampiri. Kemudian diikuti yang lain-lain ikut memban-
tu memapah wanita itu.
“Kami tahu, Nyai telah melakukan peperangan de-
ngan Dewa Mimpi dalam jarak jauh,” ujar Pusparini.
“Ya! Aku berada di balik pilar batu itu. Delapan ta-
hun sekali Senjata Pamungkas untuk melawannya ba-
ru bisa digunakan,” jawab Nyai Sandhing. “Semua te-
lah kurunding dengan Asih, adik kembarku. Sebenar-
nya ini adalah peperangan kami. Kalian hanya peleng-
kap. Tapi akhirnya kusadari beberapa saat barusan,
bahwa yang menentukan kemenangan ini adalah pe-
dangmu, Walet Emas...!” Wanita tua ini batuk-batuk
pelan yang agaknya menahan rasa sakit.
“Nyai terluka dalam?!” tanya Pusparini meyakinkan
prasangkanya, sebab dia melihat mata wanita tua itu
semakin cekung membiru.
“Tak apa-apa. Semua telah kusadari,” jawabnya li-
rih sambil menjilat bibirnya yang pucat dengan lidah-
nya. Dari warna lidah yang terlihat hitam itu bisa dike-
tahui betapa dahsyat luka dalam yang diderita Nyai
Sandhing.
“Sandhing, saudaraku! Mengapa yang begini tidak
kau ceritakan padaku? Senjata Pamungkas yang ba-
gaimana kau pergunakan untuk menghadapi Dewa
Mimpi sehingga kau mengalami luka dalam macam
ini?” kata Nyai Asih dengan nada sendu.
“Bukan dengan senjata tajam. Tapi dengan ilmu ka-
nuragan juga. Karena yang kuperangi ilmu ‘Ngrogoh
Sukma’, maka tandingannya adalah ‘Nguntal Raga’! Ini
semua adalah ilmu kanuragan tingkat tinggi yang tak
bisa dipelajari satu atau dua tahun. Sudahlah... semua
telah berakhir. Tapi kalau Pusparini tidak bertindak,
mungkin Dewa Mimpi tetap hidup ketika keluar dari
jambangan itu! Bawalah aku keluar dari tempat ini...!
Aku tak ingin mati di sini...!” pesan Nyai Sandhing
yang suaranya kian lemah.
***
Empat puluh hari kemudian....
“Jadi kau akan melanjutkan pengembaraanmu?!”
tanya Sri Tanjung kepada Pusparini yang mengemasi
barang-barangnya.
“Ya,” jawab Pusparini. “Peristiwa dengan Dewa Mim-
pi telah selesai. Masa berkabung telah rampung, dan
kukira tak ada alasanku untuk berlama-lama di sini.
Kau sendiri bagaimana?”
Sri Tanjung hanya tersenyum di samping Ken A-
kung yang sejak tadi berdiam diri.
“Kami akan seatap terus, Rini,” malah Ken Akung
yang memberi jawaban.
“Untuk sementara kami berdua akan tinggal di
Bayeman, sesuai dengan amanah almarhum Nyai
Sandhing. Kami di sini akan menemani Nyai Asih, se-
mentara kalau nanti Ranti mendapat jodohnya, mung-
kin kami akan mendirikan padepokan, entah di mana.”
“Aku senang mendengar rencana kalian,” kata Pus-
parini yang telah siap untuk berangkat.
“Kalau ada umur panjang dan kesempatan, pasti
kusambangi kalian. Mau mengantar aku sampai per-
batasan desa?”
Kedua pasangan pendekar, Ken Akung dan Sri Tan-
jung, mengangguk. Kemudian Pusparini pamit kepada
Nyai Asih dan Ranti yang didampingi kedua orang tua-
nya, Ki Langkir.
Dan di perbatasan Desa Bayeman, Ken Akung sam-
bil menggandeng Sri Tanjung melambaikan tangan ke-
pada Pusparini yang mengendarai kudanya dengan
hentakan langkah yang mantap, meninggalkan kawa-
san di kaki Gunung Wilis...!
SELESAI EPISODE INI
Emoticon