Pengarang Teguh Santosa
SATU
GEROBAK yang ditarik seekor sapi itu dengan
santai menapak di atas jalan menuju pusat
perdagangan di Kadipaten Wonoboyo. Penumpangnya
ada tiga orang. Satu kusir pedati, yang lain sang
juragan dengan seorang anaknya laki-laki berumur
“Saya kira pasaran kali ini adalah pasaran yang
ramai, Ki,” kata si kusir pedati sambil menghentakkan
tali kekang kendali sapi yang menarik gerobak itu.
“Mudah-mudahan,” jawab sang juragan yang duduk
di sampingnya. “Hanya yang kukeluhkan itu tentang
pajak penjualan yang harus kita bayar kepada pamong
kadipaten. Kalau untuk kepentingan pembangunan,
aku tak keberatan. Tapi lha wong pajak itu dibajak
petugasnya untuk kantong sendiri. Hm, ini memang
menyangkut moral manusianya. Bagaimana pun
baiknya suatu peraturan kalau pelaksanannya terdiri
dari orang-orang yang berwatak tikus, ya rugi
kadipaten ini. Aku tahu betul adipati yang saat ini
memegang tampuk pemerintahan di kadipaten adalah
pimpinan yang wajib didukung kepemimpinannya.
Tapi tikus-tikus yang mengelilinginya itu yang sangat
membahayakan pemerintahannya.”
“Yang dimaksud dengan ‘tikus-tikus’ itu siapa, Ki?”
tanya kusir pedati.
“Lhadalah! Tikus yang kumaksud bukan tikus yang
berkaki empat dan berekor panjang, tapi....”
“Oh... ya, ya, saya mengerti Ki,” sela si kusir sambil
melepas ketawanya. Tapi tiba-tiba ketawanya terhenti
seketika. Pandangannya dengan tajam tertuju ke arah
depan sana, dimana terlihat sekelompok manusia
berdiri menghadang jalan.
“Begal!” kata si kusir sambil memberi isyarat
kepada juragannya yang sedang berbincang dengar
anaknya di belakang.
“Ada apa, Won?!” tanya sang juragan kepada kusir
pedati bernama Kliwon.
Tapi Ki Braja Amparan, sang juragan itu, tak perlu
menunggu jawaban Kliwon. Dia melihat dengan mata
sendiri apa yang dilihat kusirnya.
“Begal?! Masih saja mereka berani menghadang di
jalanan walaupun sudah berkali-kali ditindak oleh
pasukan bhayangkara kadipaten,” gerutu Ki Braja
Amparan sambil memberi isyarat kepada anaknya.
Bocah itu mengerti apa yang dimaksud ayahnya.
Dia menyambar sebuah pedang yang sewaktu-waktu
siap dipergunakan dalam menghadapi keadaan seperti
ini.
“Mereka cuma tahu bahwa di gerobak ini banyak
barang berharga. Tapi tidak tahu siapa aku,” kata Ki
Braja Amparan dengan mempersiapkan pedangnya.
“Kendalikan pedati ini agar lari kencang, Won.
Terjang saja mereka.”
Mendengar perintah itu, Kliwon segera memacu
pedatinya. Sapi penarik gerobak itu memang jenis sapi
pilihan. Dia bisa lari secepat kuda walaupun menarik
beban gerobak yang sarat muatan.
“Yheeeaah..!” teriak Kliwon memberi semangat
kepada binatang itu. Pecut di tangannya disabetkan di
udara.
Ctar! Ctaaarr! Ctaaarr!
“Edan! Nekad mereka. Awass!” teriak kepala begal
sambil berkelit ke samping pada saat gerobak itu
menerjang lari kencang.
Tujuh orang anak buahnya minggir menghindar.
“Ayoh, kejar!” teriak kepala begal begitu melihat
buronannya berlalu dengan cepat.
Serentak semua anak buahnya mengejar gerobak
itu. Pengejarannya berlangsung dengan seru. Betapa
tidak, sementara gerobak itu terus melesat di atas
jalanan, maka para begal dengan gesit pula memburu
di belakangnya.
Beberapa saat hal itu berlangsung. Tapi karena
jalan yang menembus hutan tidak begitu rata dan
berbatu-batu, maka laju pedati agak terganggu.
Akhirnya pada sebuah tikungan, roda pedati ketanggor
seonggok batu. Ini yang membuat gerobak itu terguling
setelah rodanya pecah berantakan.
“Ha ha ha ha ha...!” ledakan tawa menggema dari
mulut kepala begal begitu melihat buronannya
ketanggor musibah yang tak bisa terelakkan.
Untung ketiga penumpangnya selamat, karena
mereka jatuh menimpa semak belukar yang berdaun
lebat. Para begal segera menjarah barang-barang
dagangan yang berceceran di sana-sini.
Ki Braja Amparan dan anaknya, bernama Sikatan,
serta Kliwon, dengan terengah-engah bangkit dari
tempatnya.
“Bajingan tengik! Kalian para begal tidak jera
dengan hukum yang berlaku di wilayah ini! Kalian bisa
jadi buronan pengawal bhayangkara kalau merampok
barangku!” seru Ki Braja Amparan dengan berusaha
meraih senjatanya. Tapi hal itu hanya menambah
penderitaannya saja, sebab sebuah tendangan kaki
melanda pergelangan tangannya...
“Aahh!” hanya itu yang keluar dari mulut Ki Braja
Amparan. Selebihnya, tubuhnya terguling karena
lambung perutnya diterjang tendangan serupa.
“Masih ngotot mau bela ini? Ha ha ha ha ha...!” seru
kepala begal.
Ki Braja Amparan mencoba mengamati sosok tubuh
kepala begal yang mekangkang di depannya.
“Demit alasan! Kiranya kau, Jlitheng Kasongan.
Kukira kau telah mampus dibantai pengawal
bhayangkara kadipaten!” kata Ki Braja Amparan
dengan suara terengah-engah. Sementara anaknya,
Sikatan, dan kusir pedatinya, Kliwon, hanya jadi
penonton yang masih merasakan kesakitan karena
terlempar dari gerobak itu.
“Dibantai pengawal bhayangkara? Ha ha ha ha...!
Bagaimana mereka bisa membantai aku kalau mereka
butuh duit? Aku memang pernah tertangkap mereka,
tapi duit lebih berkuasa daripada peraturan yang
berlaku. Ha ha ha ha...! Duit adalah kekuatan!”
sumbar kepala begal bernama Jlitheng Kasongan.
“Ayo, ambil semua barang-barang itu dan cepat pergi
dari sini,” katanya lagi sambil beranjak dari sana
setelah meludahi wajah korbannya.
Tapi mendadak beberapa anak buahnya yang
mengangkut barang-barang jarahan itu berteriak
kesakitan dengan tubuh terlempar terjerembab ke
tanah. Ini karena tindakan berkelebatnya sesosok
tubuh sambil menendang ke arah mereka. Tendangan
itu rupanya menghunjam ke bagian tubuh yang rawan
sehingga rasa sakit yang menghinggapi cukup lama
bisa sirna. Mereka mrecang-mrecing sambil menggigit
bibir dengan mata mencari biang keladi siapa yang
telah campur tangan dalam peristiwa itu. Akhirnya
mata mereka melihat sesosok tubuh semampai
berkemben kuning nangkring di atas dahan pohon.
“Jahanam keparat! Siapa kau, brani-braninya unjuk
kebolehan terhadap kami, hah?!” seru Jlitheng
Kasongan setelah melihat beberapa orang anak
buahnya klekaran di tanah sambil mrecang-mrecing
kesakitan. “Ayo kalian cepat bangkit! Apamu yang
kena pukul anak ingusan itu, hah?! Kemaluanmu?!
Dasar!”
Jlitheng Kasongan benar-benar penasaran melihat
anak buahnya bisa dibuat mainan seperti itu. Sesosok
tubuh semampai berkemben kuning itu dengan
gerakan mulus lalu meloncat turun. Gerakannya
benar-benar membuat mata anggota begal tak
berkedip. Gerakan wanita muda itu meliuk seperti
burung walet meninggalkan sarang untuk mencari
mangsa. Siapa lagi punya gaya begini kalau bukan
seorang gadis pendekar bernama Pusparini yang punya
gelar kependekaran sebagai Walet Emas?
“Jlitheng Kasongan, kepala begal yang jadi buronan!
Kukira aku tak salah kalau ikut turut campur dalam
mengendus jejakmu. Kau telah menyuap beberapa
orang pengawal bhayangkara kadipaten sehingga bisa
meloloskan diri dari penjara. Petugas itu telah
ditindak, tapi kini kau yang jadi buronan,” kata
Pusparini dengan tenang.
“Ha ha ha ha ha...!” ketawa Jlitheng Kasongan
terdengar seakan-akan meremahkan omongan
Pusparini alias Walet Emas. “Banyak orang yang bisa
ngomong seperti kamu, Nduk! Mereka umumnya
berotot kekar dan bernyali besar. Tapi gagal meringkus
aku kembali. Dan kini kau nongol di sini sambil
mengumbar omongan busuk!”
“Boleh dibuktikan! Perintahkan anak buahmu
mengeroyok aku!” sumbar Pusparini dengan agak jijik
melihat perangai para begal yang rupanya berhari-hari
tidak mandi.
Lebih-lebih ketika disadari bahwa pandangan
mereka yang tertuju ke arahnya disertai pandangan
penuh nafsu berahi. Dalam hati Pusparini mengumpat,
mengapa setiap penjahat yang ditemui selalu punya
pandangan hina terhadap wanita. Mereka selalu
menganggap bahwa wanita hanya sarana pelampias
nafsu ranjang belaka. Sesaat kemudian renungan ini
mendadak dibuyarkan oleh teriakan para begal yang
bergerak menerjang ke arahnya.
Pusparini dengan sigap mengatasi serangan
mereka. Ujung tangan, siku, dan tendangan kaki
Pusparini bagaikan senjata ganda yang sulit
ditandingi. Hanya beberapa kali gebrakan, anak buah
Jlitheng Kasongan kehilangan nyali untuk menyerang
lagi.
“Goblok!” teriak Jlitheng Kasongan beringas. “Buat
apa golok-golok itu kalian simpan di pinggang? Bantai
dia! Jangan kedanan dengan keayuannya!”
Mendengar seruan dedengkot mereka, tak ayal lagi
para begal bergerak mencabut golok masing-masing.
Bunyi “shhriing!” beruntun terdengar dari golok para
begal yang telah tercabut dari sarungnya. Kemudian
mereka mendekat ke arah Pusparini yang telah siap
menghadapi serangan semacam itu.
Pusparini masih mempergunakan tangan kosong,
tapi tenaga pukulannya sudah dibebani tenaga dalam.
Pergelangan tangan lawan berhasil disentil dengan
pukulan sehingga golok terlepas dari tangan itu. Golok
terpelanting ke udara, dan disambar dengan
tendangan kaki Pusparini. Gerakan serangan semacam
ini sangat membingungkan lawan, sebab mereka tidak
tahu tendangan itu akan tertuju ke arah mana.
Tampaknya terlihat ke arah selatan. Tidak tahunya
dengan menggeser tendangan sedikit saja, maka golok
itu melesat ke arah yang berlawanan, yaitu utara, di
mana Jlitheng Kasongan masih berkacak pinggang
melihat sepak terjang anak buahnya.
Golok berhasil ditangkis oleh si Jlitheng dengan
sabetan golok yang memang telah lama berada di
tangannya. Golok itu mencelat, dan sialnya
menghunjam ke salah seorang anak buahnya sendiri.
Pusparini sempat melempar senyum melibat hal itu
sambil melesat ke atas menghindarkan serangan
empat orang lawan yang bergerak sekaligus.
Begitu tubuhnya melambung kembali ke bawah,
maka di tangan Pusparini telah terpegang Pedang
Merapi Dahana yang sejak tadi tersimpan rapi di
tempatnya, bertengger di punggungnya. Pedang yang
kena cahaya matahari bisa memancarkan sinar merah
itu, kini dibabatkan ke arah empat orang lawannya.
Bukan nyawa yang dia incar. Tapi golok lawan.
Keempat golok itu hancur berantakan kena babat
Pedang Merapi Dahana. Kontan semua terkesima
heran. Mereka plonga-plongo.
Sebelum sadar dengan apa yang terjadi, tendangan
Pusparini telah memualkan isi perut mereka.
Kawannya yang lain segera hengkang dari sana ketika
melihat kehebatan Pusparini menandangi mereka.
“Aku tak mau membunuh anak buahmu! Aku
masih punya rasa perikemanusiaan,” kata Pusparini
sambil mengawasi Jlitheng Kasongan. “Kini kau yang
seharusnya maju menghadapi aku!”
“Oh, pedang semacam itu yang pernah kudengar
kabar slentingan, hanya dimiliki oleh pendekar
bernama Walet Emas! Jadi... kaukah orangnya?” kata
Jlitheng Kasongan dengan nada suara gemetar. Tidak
imbang sama sekali dengan penampilannya yang galak
dengan kumis melintang. “Baik. Aku tak akan
melawan kau, Cah Ayu. Aku akan pergi. Dengan
kepergianku ini berarti aku telah takluk kepadamu.
Aku akan tobat tidak akan membegal lagi...!”
Jlitheng Kasongan segera memberi isyarat anak
buahnya yang masih berada di sana. Kemudian
mereka meninggalkan tempat itu dengan membawa
seorang temannya yang luka parah akibat sambaran
golok yang terpental.
“Mereka telah pergi, Pak!” seru Sikatan sambil
memapah ayahnya yang sejak tadi tersungkur di
tanah.
Kliwon membantu Ki Braja Amparan berdiri.
Kemudian mereka bertiga menghampiri Pusparini yang
telah menyarungkan pedangnya.
“Trima kasih. Trima kasih, Nduk!” ucap Ki Braja
dengan wajah kelelahan.
“Sudah menjadi tugas saya,” jawab Pusparini sambil
membenahi barang dagangan Ki Braja Amparan yang
berserakan.
Kliwon segera bertindak serupa. Kemudian mereka
sibuk membenahi dan mengumpulkan barang-barang
itu.
“Tadi... kudengar si Jlitheng itu menyebut namamu.
Enghmmm... Walet Emas? Nama gelar kependekaran?”
tanya Ki Braja.
“Nama saya Pusparini. Walet Emas adalah nama
kependekaran saya,” jawab Pusparini dengan mantap
tanpa mengalihkan perhatiannya yang sibuk
membantu Kliwon dan Sikatan.
“Saya tak akan lupa dengan pertolonganmu ini.
Kalau kau tak keberatan, kami akan mengundangmu
ke rumah. Hari ini aku tak akan pergi ke pusat
perdagangan. Bagaimana, Nduk?” kata Ki Braja penuh
harap.
Pusparini hanya tersenyum tanda setuju.
***
DUA
PUSPARINI dijamu keluarga Ki Braja Amparan.
Rasa terima kasih yang tak terhingga membuat
perjamuan itu dilaksanakan dengan semarak. Dalam
kesempatan ini tak henti-hentinya Ki Braja Amparan
menanyakan hal-hal tentang dunia pengembaraan
Pusparini yang banyak mengundang marabahaya.
Lain halnya dengan Sikatan, putra Ki Braja
Amparan yang berumur lima belas tahunan itu.
Sebagai remaja yang memasuki usia pancaroba, maka
yang menarik perhatiannya adalah penampilan
Pusparini sebagai pendekar muda yang cantik. Siapa
tidak kepencut dengan nilai-nilai keindahan wanita
yang dimiliki oleh Pusparini. Tanpa dipoles sarana
kecantikan saja Pusparini sudah menawan hati,
apalagi kalau dipoles dengan alat kecantikan seperti
putri-putri bangsawan. Ah, inilah yang membuat
Sikatan pemuda puber itu tidak bosan-bosannya
memandangi Pusparini kapan saja ada kesempatan.
“Dia lebih tua dari usiaku. Mungkin sekitar tiga
atau empat tahun di atasku,” renung Sikatan seorang
diri.
Seperti halnya malam ini, Sikatan melamun di
kamarnya. Di sebelahnya adalah kamar yang
diperuntukkan bagi Pusparini yang telah tiga hari ini
berada di rumah Ki Braja Amparan. Darah mudanya
mendorong dirinya untuk melakukan hal-hal yang tak
terpuji.
Dia mencoba mengintip kamar Pusparini dari sela-
sela dinding kamar yang terbuat dari anyaman bambu.
Tapi tak ada lubang secelah pun yang bisa dipakai
untuk mengintip ke dalam kamar Pusparini. Lalu
dilakukan cara nekat. Sikatan mencari alat untuk
melubangi dinding bambu itu. Dengan pelan dan hati-
hati dia mulai bertindak.
Di sisi lain, Pusparini yang inderanya peka, tiba-tiba
tersengat oleh bunyi yang mencurigakan di arah
dinding bambu yang dianyam dengan indah. Dia
menunggu apa yang bakal terjadi. Dan di arah suara
yang dicurigai itu, tiba-tiba terlihat sesuatu yang
muncul, yaitu ujung senjata tajam. Nyaris saja
Pusparini mengirim pukulan ke arah dinding itu.
Pikirannya curiga, bahwa ada lawan yang hendak
mengganggu dirinya. Tapi kemudian dia sadar. Di
sebelah itu adalah kamar Sikatan, putra Ki Braja
Amparan.
“Hm, apa yang dilakukan anak itu?” pikir Pusparini.
“Mengintip aku?” Pusparini seolah-olah tak tahu akan
hal itu. Dibiarkan lubang itu dikorek semakin lebar,
sehingga memungkinkan mata untuk mengintip.
“Dasar anak lelaki. Apa dikira aku tidur dengan
telanjang? Ah, mengapa aku berprasangka buruk?
Mungkin dia mengintip untuk melihat apakah aku
mengadakan latihan di kamar ini. Kemarin tak henti-
hentinya dia bertanya tentang jurus-jurus silat. Ya,
mungkin itu yang dia ingin ketahui. Pasti ingin tahu
apakah aku latihan dalam kamar ini,” Pusparini
mencoba menghilangkan prasangka buruknya
terhadap Sikatan.
Tapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Di kamar Sikatan terdengar jeritan.
Jelas itu suara Sikatan yang kedengaran dengan
nyata. Jeritan ketakutan, bukan jerit aduhan rasa
sakit.
Pusparini ragu-ragu untuk menengok. Jangan-
jangan itu hanya ulah permainan Sikatan untuk
mengecoh dia. Ketika didengar banyak langkah kaki
yang menuju kamar Sikatan, barulah Pusparini
beranjak ke sana. Terdengar suara menyeramkan,
serak bernada tinggi. Lalu disusul bunyi dinding jebol.
“Sikatan, buka pintunya! Apa yang terjadi?” teriak
Ki Braja Amparan yang diikuti orang-orang seisi
rumah.
Pusparini telah sampai di sana pula. Tidak srantan,
kemudian pintu kamar didobrak. Jebol berantakan.
Semua orang masuk ke dalam. Apa yang mereka temui
benar-benar membuat mata terbelalak. Betapa tidak?
Sebab jendela kamar Sikatan terlihat menganga lebar.
Angin malam menerpa ke dalam dengan suhu sangat
dingin. Dari kejauhan suara anjing melolong. Suasana
jadi menyeramkan. Bulu kuduk tiba-tiba meremang
tegak.
“Ada sesuatu yang masuk ke kamar ini,” kata
Pusparini sambil meneliti keadaan jendela yang sisi-
sisinya rusak.
“Dan sesuatu itu menculik Sikatan?” tanya Ki Braja
cemas. “Apakah mungkin para begal yang kita hadapi
kemarin lusa itu?”
“Banyak kemungkinannya Ki,” jawab Pusparini. “Ki
Braja dipandang sebagai saudagar kaya. Mungkin
penculik itu menghendaki tebusan. Sikatan adalah
putra tunggal. Jadi kemungkinan bisa saja terjadi.”
“Lalu... kemungkinan yang lain?” tanya Ki Braja
dengan nada putus asa.
“Entahlah. Saya tak bisa mengatakan dengan pasti,”
jawab Pusparini sambil mengawasi kegelapan malam
lewat jendela yang menganga rusak.
Terdengar isak tangis istri Ki Braja. Orang-orang
satu persatu meninggalkan ruangan itu. Tinggal
Pusparini sendirian. Matanya tak lepas menembus
kegelapan malam yang semakin dingin. Hati nuraninya
terusik oleh bau sesuatu yang aneh. Dia mencium bau
‘lengur’ yang masih menggenang di ruangan itu.
***
Esok harinya berita tentang hilangnya Sikatan jadi
buah perbincangan orang-orang di desa itu.
Kebanyakan orang menduga bahwa itu perbuatan para
begal yang tempo hari mencegat Ki Braja Amparan.
“Saya harap kau bisa bertindak menemukan
Jlitheng Kasongan itu,” saran Ki Braja. “Dia pasti biang
keladinya.”
“Maaf, Ki. Itu mungkin juga bisa terjadi. Tapi hati
nurani saya semalam terasa terusik oleh sesuatu yang
tidak semestinya. Sesuatu yang aneh yang
kelihatannya mustahil.”
“Maksudmu?”
“Bau yang tidak enak di kamar Sikatan.”
“Bau?”
“Bau lengur! Bau seperti bulu binatang!” jawab
Pusparini tegas.
“Aneh-aneh saja dugaanmu, Rini. Apakah naluri
kependekaranmu membuat inderamu lebih peka dari
kami semua? Kami tak mencium bau apa-apa di
kamar Sikatan. Mungkin itu bau orang yang telah
menculik Sikatan karena berhari-hari tidak mandi,”
sanggah Ki Bajra.
Baru saja Pusparini akan berkata lagi, tiba-tiba
muncul seorang abdi yang memberitahu Ki Bajra
bahwa ada tamu di luar.
“Kalau dia orang yang datang untuk cari
sumbangan, bilang lain kali saja. Seharusnya kau
katakan kepadanya bahwa kami baru kehilangan anak
karena diculik orang,” kata Ki Bajra dengan gemas.
“Justru hal itu telah saya katakan. Dan orang itu
datang kemari untuk membantu masalah tentang
hilangnya Den Sikatan,” jawab si abdi dengan terbata-
bata memberanikan diri.
Ki Braja termenung sejenak. Dia mengawasi
Pusparini seakan minta persetujuan untuk menerima
tamu itu atau tidak. Tapi rupanya Pusparini tidak
menanggapi apa-apa.
“Suruh tamu itu masuk,” kata Ki Braja.
Sesaat kemudian mereka melihat kehadiran
seseorang berperawakan ceking seolah tak punya
kekuatan apa-apa. Bahkan kesannya, kalau ditiup
orang itu bisa roboh! Pakaiannya agak kumal dengan
membawa bungkusan, pertanda telah menempuh
perjalanan jauh. Ki Bajra menyilakan tamunya untuk
duduk.
“Nama kisanak siapa?” tanya Ki Bajra dengan nada
datar.
“Panggil saja... Ki Catradana,” jawab orang itu
dengan penuh hormat.
“Ki Catradana? Nama itu kan... artinya ‘memberikan
payung’. Apakah namamu ada sangkut-pautnya
dengan tugasmu?” tanya Ki Bajra sambil matanya
menyelidik penampilan tamunya.
“Memang benar. Memberikan payung berarti
memberi perlindungan. Saya akan memberikan
perlindungan kepada keluarga ini. Saya mendengar
berita bahwa anak juragan telah diculik oleh
seseorang,” kata laki-laki bernama Catradana.
“Memberikan perlindungan? Dengan cara
bagaimana?” sela Pusparini.
Ki Catradana mengawasi Pusparini dengan awasan
menyelidik. Penampilan Pusparini mengundang
perhatiannya.
“Gendhuk ini siapa?” tanyanya.
“Saya juga tamu, Ki,” jawab Pusparini. “Saya juga
akan mencari Sikatan, putra Ki Braja ini.”
“Ketahuilah, hilangnya putra Ki Braja tidak
sendirian. Banyak pemuda seusia dia yang diculiknya,”
kata Ki Catradana.
“Yang Aki maksud siapa yang menculiknya?” tanya
Ki Braja yang mulai menaruh perhatian.
“Dewi Kelelawar!” jawab Ki Catradana mantap.
“Dewi Kelelawar?” tanya Ki Braja ragu-ragu. “Jjj...
jadi... dia benar-benar ada?”
“Orang mempergunjingkan sebagai dongengan
untuk menakut-nakuti anak yang tak mau tidur.
Mereka selalu menina-bobokan dengan dongeng
tentang Dewi Kelelawar yang ganas..!” kata Ki
Catradana. “Saya telah memburunya dari satu tempat
ke tempat lain. Tapi sampai sekarang tak pernah
berhasil mengetahui di mana sarangnya. Segenap
hutan saya jelajahi. Saya punya dendam kepadanya.
Satu-satunya anak lelaki saya telah menjadi
korbannya!”
“Korbannya? Oh, tidak! Hal itu tak boleh terjadi
terhadap anakku!” jerit Ki Braja.
“Tenang, Ki. Tenang!” bujuk Pusparini. “Kita akan
mencari Dewi Kelelawar itu dan mudah-mudahan tidak
terlambat menyelamatkan putra Ki Braja.”
“Lakukanlah! Lakukanlah! Berapa pun sarana yang
kalian butuhkan untuk menemukan siluman itu, akan
aku berikan. Oh..., anakku Sikatan. Malang benar
nasibmu...!” keluh Ki Braja Amparan yang akhirnya
tersungkur di tempat duduknya. Dia pingsan. Orang
seisi rumah bertambah bingung.
***
“Jadi kita berburu Dewi Kelelawar...?” tanya
Pusparini kepada Ki Catradana yang berjalan
beriringan dengan berkuda. Di belakang mereka ada
enam orang lagi yang disediakan oleh Ki Braja
Amparan untuk memperkuat tugas mencari sarang
Dewi Kelelawar yang tiba-tiba menjadi tumpuan
masalah.
“Hampir lima tahun aku mengejarnya. Dari desa
yang satu ke desa lain, selalu kupantau siapa-siapa
yang mengalami peristiwa tentang hilangnya setiap
pemuda desa yang dalam usia pancaroba,” kata Ki
Catradana.
“Lima tahun? Lama sekali?” Pusparini menggarami.
Mendengar kisah Ki Catradana tentang pemuda yang
memasuki usia pancaroba yang menjadi sasaran
penculikan Dewi Kelelawar, bisa dipastikan kalau hal
itu ada hubungannya dengan tumbal. “Apakah Dewi
Kelelawar menjadikan mereka sebagai tumbal?”
“Aku tak tahu. Yang penting kita harus
menemukannya agar tidak merajalela mencari
korbannya,” jawab Ki Catradana. Mereka bertujuan
memasuki hutan di sekitar tempat itu. Sudah
dipastikan bahwa Dewi Kelelawar selalu berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Dan menurut pengamatan
Ki Catradana, perpindahan itu terjadi enam bulan
sekali. “Daerahnya ya seputar Gunung Lawu,” kata Ki
Catradana lagi. “Dan dia tidak sendirian.”
“Tidak sendirian? Apa maksud Ki Catra? Atau...
pengikut Dewi Kelelawar itu banyak?” tanya Pusparini.
“Ada pengawalnya. Mereka manusia biasa seperti
kita-kita ini.”
“Hih, semakin tak mengerti aku. Dewi Kelelawar
tampaknya masalah asik untuk ditangani. Dan ini
benar-benar merupakan tantangan,” gumam Pusparini
membanggakan dirinya.
“Ya. Asal kita tidak menjadi korban keganasannya.
Dewi Kelelawar mempunyai ilmu iblis. Kau tahu, iblis
tak bisa dimatikan. Kita hanya bisa mengalahkannya,”
ucap Ki Catradana memberi tanggapan. Dalam hati
kecilnya dia bangga mendapat pendamping seperti
Pusparini. Biasanya orang enggan untuk diajak
berburu Dewi Kelelawar yang banyak menyebar maut
di sekitar Gunung Lawu.
***
TTIIGGAA
PERJALANAN mereka tiba di Desa Jumpolo.
Delapan orang berkuda memasuki desa seperti itu
jelas mengundang perhatian. Desa itu memang sangat
terbelakang kalau dibanding dengan desa lain. Ki
Catradana menyarankan untuk beristirahat di sana.
“Apa alasan Ki Catra untuk bermalam di desa ini?
Bukankah hari masih panjang untuk bisa melanjutkan
perjalanan?” tanya Pusparini sambil turun dari
kudanya.
“Aku punya kenalan di sini. Dia tahu banyak
tentang ilmu-ilmu hitam yang menyesatkan manusia,”
jawab Ki Catradana dengan menambatkan kudanya di
pagar tepi jalan.
Semua kuda mereka ditambatkan di sana.
Kemudian berjalan meniti jembatan dua batang glugu
untuk menyeberang ke halaman sebuah rumah yang
tampak tak terurus dengan baik.
“Spada?!” Ki Catradana uluk salam untuk orang
yang berada di dalam rumah.
Baru saja akan mengulang panggilannya, tiba-tiba
dari dalam rumah muncul seseorang dengan gerak
mencurigakan. Tentu saja bisa disebut demikian,
sebab larinya orang itu dengan mendobrak dinding
rumah. Orang itu melesat keluar dan menghindari
orang-orang yang baru datang ke sana.
Melihat hal ini Pusparini tak bisa menahan diri.
Langsung dia mengejar. Orang itu lari ke arah ladang
di belakang rumah. Gesit juga gerak larinya. Tapi
Pusparini tak mau kalah. Dia mengerahkan lari
Terbang Burung Walet, seolah kakinya hanya
menyentuh ujung rerumputan yang dilalui. Dan
gerakan ini tak memerlukan waktu lama untuk bisa
mencapai lawan.
Dengan sigap Pusparini berhasil mencengkal lengan
orang yang dikejarnya. Tapi perhitungan Pusparini
keliru kalau orang itu menyerah begitu saja. Ternyata
buronannya menggerakkan kaki kirinya untuk
melepaskan diri. Kaki itu melayang dengan ganas ke
leher Pusparini. Dan pasti akan menghunjam ke arah
sasaran kalau Pusparini tidak berkelit menghindar
dengan merebahkan tubuhnya. Dengan gerakan ini dia
mengimbangi mengirimkan sabetan pukulan ke arah
betis lawan yang nyaris melahap lehernya. Sang lawan
merasakan kesakitan karena tulang keringnya terasa
retak dilanda pukulan itu.
Rasa sakit ini segera diredam. Dengan
mengandalkan kegesitan gerak sikunya, orang itu ingin
memberi balasan serangan. Kali ini berhasil mengenai
dada Pusparini. Ada semacam rasa sesak kena
gamparan ujung siku lawan. Mengetahui Pusparini
agak kendor memberi perlawanan, sang lawan
mengulang serangan dengan tonjokan kepalan tangan.
Untung Pusparini berhasil menangkis dengan tapak
tangan yang sekaligus menyambar tangan itu, lalu
dipelintir sehingga tubuh lawan terseret meliuk ke
bawah. Dalam keadaan begini Pusparini menambahi
dengan tendangan lututnya. Persis mendarat ke dagu.
Kepala lawan mendongak. Lalu digampar dengan
pukulan tapak tangan.
Pusparini memang berniat meringkus orang itu.
Karenanya tak dibiarkan sejengkal pun sang lawan
menjauh dari dirinya. Tahu keadaan lawan sulit
mengatur diri, Pusparini mengunci serangan dengan
pukulan ke arah pusarnya. Orang itu langsung
menggeliat dan roboh!
“Bagaimana dia?” terdengar teguran di sampingnya.
Ki Catradana telah berada di dekatnya sambil
mengawasi biang kerok kegaduhan yang ndlosor di
tanah dalam keadaan pingsan.
“Ya... agak ngotot untuk melarikan diri. Ki Catra
kenal orang ini?” tanya Pusparini dengan membenahi
pakaiannya.
“Tidak. Tapi bisa kita korek keterangannya kalau
dia telah sadar. Rupanya dia mencari sesuatu dalam
rumah itu ketika tuan rumah tak ada di tempat,”
jawab Ki Catra dengan memeriksa keadaan orang yang
tetap tak berkutik.
“Jadi... kenalan Ki Catra tak ada di rumah?”
“Rupanya begitu. Kudapati keadaan rumah dalam
keadaan porak-poranda. Pasti perbuatan orang ini.”
Kemudian Ki Catra memanggil beberapa orang
pengikut agar orang itu dibawa ke dalam rumah.
“Siapakah nama orang yang kita datangi itu, Ki?”
tanya Pusparini dengan berjalan beriringan menuju
rumah itu.
“Sudamala! Tapi entah kemana. Kita tunggu saja di
sana,” jawab Ki Catra.
Mereka memasuki rumah itu. Pusparini mengawasi
keadaan di dalamnya. Penuh barang-barang yang
berkaitan dengan upacara ritual. Ada beberapa
tengkorak binatang digantungkan di blandar ruangan.
Bau dupa dan kembang tercium menusuk hidung.
Orang yang bikin kisruh tadi telah siuman. Itupun
karena disiram air oleh Pusparini. Dia tahu orang itu
telah sadar tapi pura-pura tetap pingsan.
“Jangan mencoba mengecoh kami lagi dengan
muslihatmu,” kata Pusparini. Kalau diamati agak
tampan juga wajahnya.
“Siapa kau sebenarnya maka masuk ke rumah Ki
Sudamala dengan niat buruk?” tanya Ki Catra.
“Akulah yang sebenarnya harus bertanya kepada
kalian mengapa datang ke tempat pamanku!” jawab
pemuda itu.
“Pamanmu? Ki Sudamala itu pamanmu? Ah, yang
bener. Jangan ngaku-ngaku. Kalau kau benar-benar
keponakan Ki Sudamala, mengapa kedatangan kami
membuatmu hengkang lari dengan cara itu? Kau
maling, ya?” tuduh Ki Catra.
“Aku menduga kalau kalian adalah orang-orang
yang tempo hari menculik pamanku,” jawab pemuda
itu dengan rasa putus asa.
Keadaan ini tiba-tiba merubah suasana. Dakwaan
serta kecurigaan terhadap pemuda itu berangsur sirna.
“Ehmm... ini... mungkin kesalah-pahaman,” sela
Pusparini. “Jawaban pemuda ini perlu dipertim-
bangkan. Atau... kita anggap dia sebagai tuan rumah
karena pamannya tak ada di sini.”
“Aku mengenal baik pamanmu. Tapi aku benar-
benar tak tahu kalau dia mempunyai keponakan.
Siapa namamu?” tanya Ki Catradana dengan suara
sareh. Agaknya dia menyesal dengan peristiwa yang
barusan terjadi. Tapi bagaimana pula kalau hal itu
memang di luar dugaan. Masing-masing memang
belum pernah bertemu, dan keadaan di sana
memungkinkan untuk saling mencurigai.
“Saya... Sancaka!” jawab pemuda itu dengan
membenahi diri karena pakaiannya basah disiram air
oleh Pusparini.
“Maafkan aku,” ucap Pusparini karena tindakannya
tadi. “Tapi... kau tadi kulihat sudah siuman, kenapa
pakai siasat tetap pura-pura pingsan?”
“Tempo hari dengan siasat itu aku bisa
mendengarkan omongan orang-orang yang menculik
pamanku,” jawab Sancaka.
“Ah, aku bisa menebak peristiwanya. Ketika itu kau
bersama pamanmu, kemudian muncul orang-orang
yang akan menculik pamanmu. Kau membela diri, tapi
berhasil dilumpuhkan. Atau... pura-pura pingsan, dan
sempat mendengarkan omongan mereka! Apakah
pamanmu tidak mengadakan perlawanan?” tanya
Pusparini.
“Ya! Aku mendengar omongan sebelum mereka
membawa pergi pamanku. Mereka mencari tongkat
dan lembaran kulit sapi yang bertulis mantra. Benda
itu diperoleh paman lewat seorang musafir dari
Hindustan Selatan yang kebetulan berkelana ke
tempat-tempat pemujaan di Jawadwipa. Dia mem-
berikan kedua benda itu sebelum dia meninggal
karena sakit mendadak. Kedua benda itu katanya
berasal dari pegunungan Erramala di Hindustan
Selatan sana untuk penangkal roh jahat,” ucapan ini
meluncur dari mulut Sancaka dengan lancar.
“Menyeramkan juga kedengarannya,” sela
Pusparini.
“Justru kedatangan kita kemari untuk
membicarakan hal itu dengan Ki Sudamala,” kata Ki
Catradana. “Tempo hari dia pernah menjelaskan hal
itu kepadaku. Tapi aku tidak menanggapi karena
merasa tidak berkepentingan. Dunia gaib bukan
bidangku. Sampai akhirnya aku sendiri ketanggor
masalah yang kupikir ada hubungannya dengan roh-
roh jahat, maka aku teringat dengan Ki Sudamala yang
berkecimpung dengan masalah dunia kegelapan, dunia
roh yang tak bisa mati.”
***
Hari berikutnya, Ki Catradana masih memutuskan
untuk tinggal di tempat Ki Sudamala.
Dengan adanya Sancaka, mereka tidak rikuh
berada di sana. Dan ini tidak untuk beristirahat
dengan santai, tapi membicarakan langkah-langkah
yang akan ditempuh. Mengingat keberadaan tentang
Dewi Kelelawar yang jadi masalah, maka kalau
dihubungkan, rasanya ada kaitannya satu sama lain.
Tapi apakah demikian, belum bisa dipastikan.
Langkah pertama, mereka akan mencari para penculik
Ki Sudamala. Walaupun kedengarannya agak
menyimpang dari tujuan semula, dengan keberadaan
Ki Sudamala yang diharapkan bisa diketemukan,
maka tujuan mereka untuk mencari Dewi Kelelawar
dan menghadapinya, ada yang bisa diandalkan.
Pagi itu Pusparini merendamkan tubuhnya di
sungai tak jauh dari rumah Ki Sudamala. Air sungai
yang bening membuat Pusparini kerasan merendam
diri berlama-lama menikmati sejuknya suasana. Tanpa
rasa was-was dia berenang ke sana ke mari. Tapi kalau
dia berpikir tak akan ada orang yang melihat
keberadaannya di sana, maka anggapan itu keliru. Ada
sepasang mata yang mengawasi. Dan itu adalah mata
si Sancaka.
Dari tempat ketinggian di atas padas, Sancaka
memperhatikan dengan seksama lemah gemulai tubuh
Pusparini yang terendam air. Dengan pemandangan
dari atas itu, Sancaka secara samar-samar bisa
menyaksikan lekuk-lekuk tubuh Pusparini. Darah
mudanya bergetar. Sampai dia tidak sadar kalau
kakinya beringsut dengan pelan makin ke depan dan
melongsorkan kerikil-kerikil kecil. Hal itu membuat
ketenangan Pusparini terusik. Dia mendongak ke atas.
Perasaannya tersirap ketika mengetahui Sancaka
mengintip dirinya.
“Jaga moralmu, Sancaka! Apakah pantas mengintip
orang lagi mandi?” seru Pusparini dengan berusaha
menyilangkan kedua tangan menutup dadanya.
Tak ada jawaban dari Sancaka. Bahkan pemuda ini
tiba-tiba membelalakkan mata dan menerjunkan diri
ke sungai.
“Jangan gila kau!” seru Pusparini.
Sancaka telah menyembulkan tubuhnya di
permukaan air dap terus berenang ke arah Pusparini.
Si Walet Emas ini kontan merinding walaupun dia
seorang pendekar yang bisa mengatasi serangan
lawan. Tapi apakah menghadapi Sancaka harus tanpa
busana? Belum sadar apa yang hendak dilakukan
Sancaka terhadap dirinya, maka Pusparini berusaha
menghindar.
Aneh! Sancaka tidak menyergap dirinya seperti yang
dikhawatirkan. Tapi pemuda itu yang terus berenang
ke arah lurus, tiba-tiba bergulat dengan sesuatu.
Pusparini terbelalak kaget. Ternyata yang dihadapi
Sancaka adalah ular! Ya, ular! Binatang itu cukup
besar dan disebut ular Sanca.
Pusparini benar-benar tak tahu apa yang harus
diperbuat. Membantu Sancaka yang bergelut dengan
ular yang dipastikan tadi mengincar dirinya, jelas tak
mungkin. Dia dalam keadaan tanpa busana. Pakaian
dan pedangnya terletak jauh di seberang sana. Melihat
keadaan Sancaka rupanya sulit menghadapi ular
sebesar itu, maka Pusparini nekat membantu
walaupun keadaan dirinya serba polos tak tertutup
selembar kain pun. Sasaran yang diincar Pusparini
adalah kepala ular itu, yang tampaknya dipegang
dengan dua belah tangan Sancaka. Sebab apabila
Sancaka tidak memegang kepala ular itu, sudah bisa
dipastikan tubuhnya akan dicaplok.
“Dongakkan ke atas kepala ular itu!” seru
Pusparini.
“Sulit! Binatang ini terus meronta dan lilitannya
semakin menghimpit tubuhku...!” ucapan Sancaka
terdengar dengan susah payah karena napasnya
semakin sesak.
Akhirnya Pusparini yang harus mencari peluang itu.
Satu-satunya untuk mendekati kepala ular di tangan
Sancaka hanya dengan merapatkan tubuhnya ke
pemuda itu. Padahal dirinya dalam keadaan telanjang.
Dia harus membuang jauh-jauh tentang moral dan
kesopan-santunan. Dia langsung mendekat ke
Sancaka dan mengincar kepala ular tersebut.
“Yhiieaaa...!” jeritan Pusparini terdengar mengiringi
tenaga dalam yang disalurkan lewat tangannya. Dan
pukulannya mendarat tepat di kepala ular sasarannya.
“Phrraakk!”
Darah muncrat dari kepala ular itu dengan disertai
gumpalan putih. Yang putih adalah otak ular yang
berantakan. Akibat dari peristiwa itu bukan menjadi
selesai, tapi sang ular tampaknya masih sekarat dan
sempat menggerakkan tubuhnya. Celakanya, hal itu
menambah eratnya belitannya ke tubuh Sancaka.
“Aaahh...,” jerit Sancaka.
Pusparini bertindak menarik tubuh ular yang melilit
Sancaka. Dengan usaha keras, akhirnya belitan itu
mengendor. Kemudian dengan terengah-engah
keduanya berenang ke tepian. Pusparini lebih awal
sampai. Dengan cepat dia meraih pakaiannya.
Kemudian Sancaka mencapai tepian. Pemuda ini
langsung tertelungkup di atas padas dengan napas
terengah-engah.
Pusparini yang kini berpakaian ala kadarnya segera
mendekati Sancaka. Dia khawatir Sancaka mengalami
patah tulang rusuk akibat belitan ular.
“Sancaka? Kau tidak apa-apa?” suara Pusparini
lirih terdengar.
Sancaka tak menjawab.
“Sancaka..., jawablah!” keluh Pusparini lirih sambil
meraba-raba dada dan perut Sancaka yang
dikhawatirkan ada kelainan patah tulang.
Sancaka masih tak menjawab. Lalu tubuhnya
ditelentangkan oleh Pusparini.
“Sancaka...!” bisik Pusparini. “Sadarlah! Aku sangat
berterima kasih karena kau telah menyelamatkan
diriku dari sergapan ular itu. Jangan berpura-pura
pingsan lagi. Sadarlah agar aku lega bahwa kau tidak
apa-apa!”
Sancaka masih pada sikapnya yang tak bergerak
sedikit pun kecuali napasnya yang turun naik terlihat
pada dadanya. Pusparini mengguncang-guncang tubuh
Sancaka dengan cemas.
“Sancaka! Sadarlah!”
Tiba-tiba Sancaka membuka matanya dengan
pelan. Dia melihat Pusparini di hadapannya dengan
tubuh yang basah.
Pusparini tersenyum. “Sukurlah kau telah sadar.
Apamu yang sakit?”
“Kukira ada tulang rusukku yang patah...,” keluh
Sancaka.
“Sebelah mana? Yang di sini?” sela Pusparini sambil
meraba bagian perut di mana tangan Sancaka
menempel di sana.
“Aku tak tahu sebelah mana. Tapi rasanya sakit
semua.”
Pusparini bertindak untuk mengurangi rasa sakit.
Sedikit banyak, Pusparini pernah diajari gurunya
untuk mengobati tulang keseleo atau salah urat. Dia
memijit-mijit bagian tubuh Sancaka yang dikeluhkan.
Tampaknya Pusparini sungguh-sungguh dalam
bertindak sehingga tidak mempedulikan dirinya. Kain
yang dikenakan menutup tubuh sekedarnya, tanpa
disadari telah melorot ke bawah sehingga dadanya
yang membukit indah itu tersibak. Sadar akan hal ini
cepat-cepat dia membenahi diri. Wajahnya merah
padam, sebab pemandangan itu sempat tertangkap
pandangan mata Sancaka. Pemuda itu tersenyum.
Pusparini cepat berdiri. “Jangan mengaku-ngaku
sakit, Sancaka. Aku tahu sebenarnya kau tak apa-
apa.”
Pusparini cepat meninggalkan tempat itu dan
menyambar pakaiannya yang lain.
“Sialan! Dia berprasangka buruk. Dia tak percaya
kalau aku benar-benar kesakitan,” keluh Sancaka
sambil berdiri tertatih-tatih. Dilihatnya Pusparini
sudah pergi dari tempatnya. Kemudian, dengan
langkah gontai dia berjalan menuju rumah.
***
EEMMPPAATT
PUSPARINI yang telah selesai berpakaian segera
melangkahkan kaki menuju rumah Ki Sudamala. Ini
bukan karena dia ingin cepat-cepat meninggalkan
Sancaka, tapi karena melihat asap mengepul di rumah
itu.
“Kebakaran? Apa yang telah terjadi di sana?” pikir
Pusparini sambil terus melesat mempercepat langkah.
Hiruk-pikuk memang terjadi disana. Keadaan gawat
menimpa Ki Catradana dan para pengikutnya. Mereka
terlibat bentrokan dengan sekelompok orang yang
berpakaian seragam entah dari mana asalnya.
Sedangkan rumah Ki Sudamala bagian belakang,
tepatnya arah dapur, dilahap api. Untung bangunan
itu letaknya tidak berhimpitan. Kalau tidak, pasti
bangunan rumah utama dilahap api juga.
Melihat situasinya, kalau tidak ditindak secara
fatal, pasti pihaknya akan kalah dengan serangan
orang-orang berseragam itu. Maka Pusparini bertindak
langsung. Pedang Merapi Dahana dikeluarkan dari
sarungnya. Cahaya matahari yang menimpanya
membuat bilah pedang itu memancarkan cahaya
merah. Inilah yang tiba-tiba menarik perhatian semua
orang.
“Katakan apa kepentingan kalian maka menyerbu
rumah ini!” seru Pusparini dengan lantang.
Semua yang baku hantam terhenti. Belum ada
korban jiwa yang jatuh selain babak belur saja.
“Kuharap pemimpin kalian maju untuk berbicara
padaku!” seru Pusparini lagi dengan mata menyapu
sekelilingnya mencari orang yang dia maksud.
“Aku yang memimpin orang-orangku!” tiba-tiba
terdengar suara dari arah lain dengan disusul
kemunculan yang punya suara itu. Gerakannya
melayang dengan lompatan bergulir yang tujuannya
pameran bahwa dia menguasai ilmu bela diri dengan
baik.
Pusparini mengawasi tokoh yang baru muncul ini.
Dia seorang laki-laki sebaya dengan Ki Catradana. Tapi
perawakannya agak kekar. Pedangnya berukuran
besar melintang di punggungnya. Hulunya berkepala
kelelawar!
“Kau muncul dengan pamer pedangmu yang
membiaskan cahaya merah. Aku kenal pedang
semacam itu. Pedang Merapi Dahana!”
“Tentunya kau tahu kehebatan pedang milikku ini,”
kata Pusparini dengan pandangan ketus.
Kecurigaannya bahwa kelompok yang dihadapi
adalah orang-orang berniat jahat, atas dasar bukti
hulu pedang pimpinan mereka. Hulu pedang berkepala
kelelawar itu sangat meyakinkan sekali.
Sebelum terdengar pembicaraan lagi, tiba-tiba
Sancaka muncul di sana.
“Merekalah yang menculik Ki Sudamala!” kata
Sancaka dengan berdiri di samping Pusparini. Sejenak
dia terkesima heran menyaksikan pedang yang
memancarkan cahaya merah di tangan gadis pendekar
itu.
“Hai, bocah tengik! Sejak kapan nyalimu jadi
membengkak, hah? Tempo hari dengan sekali gebrak
oleh anak buahku kau sudah klenger. Kini tampaknya
kau bregas-akas karena ada pendekar yang punya
pedang ampuh. Kiramu dengan pedang itu dia mampu
mengalahkan kami? Menggagalkan rencana kami,
hah?! Tidak bakalan terjadi. Lihat pedangku ini!”
sumbar laki-laki itu sembari mencabut pedangnya.
“Shhriinngg!”
Pedang di tangan laki-laki itu tiba-tiba
mengeluarkan asap hitam.
“Ha ha ha ha...” terdengar suara tawanya. “Kalau
ingin tahu, inilah Pedang Kelelawar! Dan namaku
adalah Lowo Brangah!” sehabis berkata begitu,
langsung dia melompat ke arah Pusparini.
Thhrraanngg! Dua pedang beradu. Pedang
Kelelawar dan Pedang Merapi Dahana saling
menunjukkan kekuatannya.
Pusparini terperangah. Dalam naungan sinar
matahari ternyata ada pedang yang mampu bertahan
terhadap gempuran pedangnya. Selama ini memang
Pedang Merapi Dahana tidak bisa menghancurkan
pedang lain selama hal itu terjadi di luar jangkauan
cahaya matahari. Tapi kini masih ada masalah lain
yang mampu bertahan. Pedang Kelelawar milik Lowo
Brangah ternyata mampu bertahan. Pasti ada sarana
lain yang membuat Pedang Kelelawar mampu bertahan
seperti itu.
Kemudian Pusparini dan Lowo Brangah terlibat
pertarungan seru. Pedang mereka saling beradu.
Setiap kesempatan dipergunakan untuk bisa
menerobos pertahanan lawan. Bukan itu saja, gerak
kelincahan kaki pun menentukan. Keduanya saling
menggunakan kaki sebagai senjata tambahan. Jelas
terlihat jurus-jurus yang mereka kembangkan adalah
jurus gerakan Kelelawar dan Walet. Caranya meliuk,
caranya menerjang dan mengelak benar-benar
seimbang. Baru kali ini Pusparini ketanggor lawan
yang bisa membaca jurus-jurus yang hendak
diserangkan. Dan asap hitam yang keluar dari Pedang
Kelelawar itu hanya menghambat pandangan saja.
Semula asap itu dicurigai sebagai asap beracun.
Ternyata tidak.
Selama dua tokoh ini terlibat perang tanding, maka
yang lain telah melarutkan diri dalam baku hantam
yang tidak kalah serunya. Ki Catradana yang berbadan
ceking itu ternyata memiliki ketangkasan dalam ilmu
bela diri. Beberapa lawan berhasil dilumpuhkan
dengan sodokan ujung jarinya. Banyak orang yang
tidak tahu bahwa Ki Catradana inilah yang digelari
orang Pendekar Bangau Jenar. Sodokan jari-jari
tangannya yang bagaikan paruh burung bangau itu
bisa mencoblos mata lawan dengan gerakan yang sulit
diikuti mata.
Di sisi lain, Sancaka menunjukkan kebolehannya
pula. Pemuda ini sebenarnya agak rendah hati ketika
menyaksikan sepak terjang Pusparini yang tangguh
dalam menghadapi Lowo Brangah.
Tengah adegan baku hantam itu berlangsung, tiba-
tiba Lowo Brangah merasakan dirinya kehilangan
tenaga untuk melanjutkan perang tandingnya.
“Sialan! Ternyata belum sempurna juga ilmu ini!”
keluhnya dalam hati. “Kalau dia tahu kelemahanku,
bisa celaka aku. Akan kucari peluang untuk
meninggalkan kancah perang tanding ini.”
Maka yang dilakukan Lowo Brangah mengadakan
gerak pancingan agar Pusparini terlibat dengan anak
buahnya sehingga mereka menyerang Pusparini.
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Lowo
Brangah untuk meninggalkan arena baku hantam.
Pusparini kini harus menangani anak buah Lowo
Brangah ketika dilihatnya lawan tangguhnya itu
meloloskan diri. Tentu saja dengan perlawanan
Pusparini, maka senjata anak buah Lowo Brangah tak
ada yang mampu menandingi. Semua senjata hancur
berantakan dibabat Pedang Merapi Dahana.
“Kita harus bisa mengorek keterangan dari mulut
mereka!” seru Ki Catradana.
Tapi harapannya sia-sia. Kiranya anak buah Lowo
Brangah lebih baik mati daripada harus memberi
keterangan kepada pihak lawan. Ketika melihat anak
buah Lowo Brangah semua bunuh diri, tahulah
Pusparini bahwa mereka rupanya telah terikat sumpah
untuk mati berkalang tanah daripada harus tunduk
kepada lawan.
***
Ki Catradana termenung mengawasi para korban
yang berserakan di sana. Sebagian besar adalah anak
buah Lowo Brangah. Sedangkan di pihak mereka
hanya seorang yang tewas, dua lainnya luka-luka
ringan.
“Lalu sekarang bagaimana? Apakah kemunculan
Lowo Brangah tadi telah memberi gambaran kepada Ki
Catra tentang tugas kita?” tanya Pusparini.
“Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu sampai
sejauh mana peranan Lowo Brangah kalau hal ini ada
sangkut paut dengan Dewi Kelelawar,” jawab Ki
Catradana dengan menghela napas berat. Berbagai
pertimbangan kini ada dalam benaknya “Semua ada
kaitannya. Tak bisa disangsikan lagi, kini kita harus
mencari jejak Lowo Brangah itu. Kulihat dia
meloloskan diri ke arah timur laut. Ke Gunung Lawu!”
“Ki Catra pikir apa tujuan Lowo Brangah tadi
kemari?” tanya Pusparini.
“Pasti tetap mencari barang milik Ki Sudamala
pemberian musafir dari Hindustan itu.”
“Jadi kau sendiri benar-benar tidak tahu di mana
barang tersebut disimpan?” tanya Pusparini kepada
Sancaka.
“Aku tidak tahu. Aku sendiri dalam beberapa hari
ini mencari benda itu, tapi tak kuketemukan,” jawab
Sancaka.
“Tapi kau pernah melihat benda itu, bukan?”
“Ki Sudamala memang pernah memperlihatkan
kepadaku. Tongkat itu terbuat dari jenis logam ringan.
Ketika dicoba dicobloskan ke batang beringin, bisa
amblas tembus. Sungguh tak masuk akal kalau dilihat
ringannya logam yang dipakai sebagai bahannya.
Sedangkan lembaran kulit sapi itu disimpan di dalam
kantung. Ada sederetan tulisan, yang katanya rapalan
mantra,” jawab Sancaka dengan gerak tangan untuk
meyakinkan pendengarnya.
“Sancaka, tidaklah kau pernah melihat suatu
tempat rahasia di rumah ini?” tanya Ki Catradana.
“Tempat rahasia?” jawab Sancaka dengan
mengerutkan dahinya. Terlihat bahwa dia sungguh-
sungguh untuk mengingat-ingat apakah pertanyaan
tersebut dapat diperoleh jawaban yang bisa memberi
jalan keluar. “Seingat saya..., enghm... tidak...! Tidak
sama sekali! Tapi... tunggu...! Saya pernah lihat
beberapa kali Ki Sudamala pergi ke tempat di pinggir
sungai itu. Di sana ada batu yang menjulang tinggi.
Pada saat-saat bulan purnama beliau sering semadi di
sana.”
“Tempat di pinggir sungai?” tanya Pusparini.
Dan omongan itu akhirnya menyeret mereka untuk
menyelidiki tempat yang diceritakan oleh Sancaka.
“Inilah tempatnya,” kata Sancaka setelah mereka
tiba di tempat yang dituju.
Mereka menyelidiki tempat itu. Di sana, di tepi
sungai, memang terdapat tanah ketinggian sehingga
kalau berada di tempat itu bisa dengan jelas
mengawasi keadaan di sekelilingnya. Apalagi kalau
berdiri di atas batu yang menjulang tinggi di sana. Dan
batu itu satu-satunya tempat yang sering
dipergunakan oleh Ki Sudamala untuk mengheningkan
diri di kala bulan purnama.
Pusparini satu-satunya orang yang terlihat
memeriksa dengan teliti di sekitar tempat itu. Setiap
relung batu dan bagian-bagian yang sekiranya bisa
dipakai untuk menyembunyikan sesuatu, dia amati
dengan teliti.
“Kau temukan sesuatu?” tanya Ki Catradana
kepada Pusparini yang tampak asyik mengamati
bagian sisi batu yang sering diduduki Ki Sudamala
untuk semadi.
“Tampaknya sisi batu ini dapat diambil bagian
atasnya. Akan saya buka,” kata Pusparini sambil
menyungkit dengan pisau kecil celah yang melingkar
sebesar kelapa itu.
Tidak terlalu sulit. Dengan mudah penutup batu itu
bisa dilepas, dan kini terlihat sebuah lubang yang
cukup dalam. Dengan hati-hati Pusparini merogohkan
tangannya ke dalam.
Ada sesuatu yang tersentuh oleh ujung jarinya.
“Agaknya kita menemukannya!” katanya dengan
mata berbinar gembira. Kemudian ditarik tangannya
yang telah memegang sesuatu yang dapat diraih dari
lubang itu.
“Ini dia!” katanya lagi sambil menarik sebuah benda
yang berupa tongkat logam berwarna putih. Dan pada
tongkat itu terdapat ikatan bungkusan.
“Ini dia benda yang diincar Lowo Brangah,” kata
Pusparini sambil mengamati benda itu dengan teliti.
Sancaka tak kalah pula telitinya mengamati benda
itu meskipun dia sudah pernah melihatnya. Kemudian
Ki Catradana meraih bungkusannya, dan dari dalam
dikeluarkan lembaran kulit sapi bertulis mantera-
mantera. Dan beberapa saat kemudian...
“Hm. Ini tulisan huruf Pallawa yang masih
dipengaruhi bentuk-bentuk huruf Hindustan Utara,”
kata Ki Catradana.
Dari peristiwa ini Pusparini baru tahu bahwa Ki
Catradana adalah seorang ‘Mpu’ yang menguasai
sastra kuno mancanegara. Terutama dari Hindustan.
“Ki Catra bisa membacanya, bukan?” tanya
Sancaka.
“Kebetulan bisa. Ini memang mantera untuk
memerangi roh jahat, yang tingkatnya tinggi,” jawab Ki
Catradana sambil meneliti tulisan-tulisan yang ditulis
dengan warna merah. “Tapi harus berani menanggung
akibatnya.”
“Menanggung akibat bagaimana?” tanya Pusparini.
Sejenak Ki Catradana meneruskan membaca tulisan
tersebut. Terlihat dia mengerutkan dahi. Ada
pemilahan perangai tercermin di wajahnya.
“Ada apa, Ki? Apakah ada sesuatu yang tidak
beres?” tanya Pusparini.
“Mantera ini bisa menyerang balik kepada
pembacanya apabila lawan yang kita hadapi mengerti
kunci penangkalnya...!” jawab Ki Catradana dengan
suara pelan.
***
LLIIMMAA
AKHIRNYA mereka memutuskan untuk memburu
Lowo Brangah. Arah yang mereka tempuh menuju
Gunung Lawu, atau oleh penduduk di sana menurut
kisah para leluhur disebut Gunung Katong.
Mula-mula jalan setapak yang biasa dilalui oleh
para pemburu dibuat pegangan untuk menuju Gunung
Katong. Lama-lama jalan setapak itu tak ada lagi, dan
terhamparlah kawasan ‘gung lewang lewung’ yang
harus ditempuh.
Mereka menempuh perjalanan itu secara naluri
saja. Tanpa pengetahuan sedikit pun dimana letak
sarang Lowo Brangah. Mereka menembus hutan
rimba.
“Bagaimana kalau Lowo Brangah ini tak ada
hubungan dengan Dewi Kelelawar yang kita kejar sejak
semula?” tanya Pusparini.
“Kita memang dihadapkan pada masalah yang
rumit. Tapi mudah-mudahan Sang Hyang Widhi
memberi bimbingan kepada kita,” jawab Ki Catradana.
Perjalanan mereka memang penuh hambatan. Satu-
satunya pegangan yang dipakai adalah mencari jejak
orang yang pernah melewati daerah itu. Jejak tersebut
bisa berupa bekas tapak kaki di tanah atau
rerumputan. Boleh juga pada semak belukar yang
daun serta dahan-dahannya bekas dilanda tubuh
seseorang.
Akhirnya pada suatu malam setelah dua hari
berjalan...
Sancaka mendapat giliran jaga. Api unggun
diperbesar nyalanya agar menambah kehangatan di
sekelilingnya. Semua tidur di bawah, kecuali
Pusparini. Si Walet Emas ini memilih tempat tidurnya
di atas pohon. Tapi kalau diamati, tindakan Pusparini
bukan kerja yang ugal-ugalan. Dia memilih tempat
tidur di atas pohon karena ingin mengawasi keamanan
keadaan di sekelilingnya. Seperti halnya saat ini,
ketika semua tidur lelap dan Sancaka masih terjaga di
tempatnya, maka mata Pusparini tak sekejap pun
terpejam. Dia memasang indera pendengarannya,
menjaga kalau-kalau ada pendatang yang menyatroni
tempat itu dengan tujuan tidak bersahabat.
Sampai akhirnya...
Tiba-tiba indera pendengaran Pusparini terusik oleh
sesuatu yang melintas di atas pohon tempatnya
berbaring. Sesosok bayangan hitam tampak terbang
mengitari tempat itu. Karena bentuknya yang besar
maka gerak terbangnya menimbulkan desau angin
agak keras. Hal ini membuat api unggun meliuk-liuk
tak tentu arah. Perhatian Sancaka tertuju ke atas
untuk melihat sesuatu yang bergerak di angkasa. Dia
membangunkan Ki Catradana dan orang-orang
lainnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Ki Catradana sambil
mengusap matanya.
“Sesuatu melintas di atas sana. Bentuknya besar
sekali,” jawab Sancaka. “Seharusnya Pusparini
melihatnya, kalau dia tidak tertidur.”
Sesungguhnya Pusparini sejak tadi sudah siap siaga
begitu sosok tubuh yang melintas terbang di atas
tempat itu sudah membuat gaduh dengan kepakan
sayapnya.
Sesosok tubuh dengan rentangan sayap yang lebar,
dan bulan yang sepotong di langit, cukup memberi
penerangan tentang bentuk yang menjadi perhatian
mereka.
“Kelelawar!” seru di antara mereka yang melihat
sesuatu dengan kepakan sayap yang lebar.
“Apakah itu Dewi Kelelawar yang kita buru?” kata
yang lain.
“Dia terbang berputar-putar saja di atas kita,” kata
Sancaka. “Apakah Pusparini tidak melihatnya?”
“Kukira Pusparini siap di tempatnya,” sela Ki
Catradana.
“Mengapa Ki Catra tidak membaca mantera
tersebut?” tanya seorang pengikut mereka.
“Kita tunggu sampai makhluk itu bertindak
terhadap kita,” jawab Ki Catra. “Lihat, itu Pusparini
melesat dari satu pohon ke pohon yang lain. Rupanya
dia mencari peluang untuk bisa mendekat gerak
terbang makhluk kelelawar itu.”
Yang sempat dilihat oleh Ki Catradana memang
benar. Pusparini mencari pijakan tempat agar leluasa
melihat makhluk kelelawar itu. Paling tidak dia
berharap agar makhluk itu melihat dirinya. Apapun
akibat yang ditimbulkan, Pusparini telah siap
menghadapi.
Harapan yang diinginkan Pusparini berhasil.
Makhluk kelelawar itu rupanya melihat Pusparini dan
terbang mendekat.
Pusparini menunggu dengan perasaan berdebar.
Makhluk kelelawar itu akhirnya hinggap di atas dahan.
Baru sekarang Pusparini dapat melihat dengan jelas
sosok makhluk yang dihadapi. Ternyata makhluk
kelelawar itu berbadan seorang wanita. Lengan
tangannya terpaut dengan sayap. Dan sayap itu
melebar sampai ke pahanya, serta seluruh tubuhnya
tak tertutup selembar busana pun.
Naluri Pusparini menyiratkan pasti makhluk di
hadapannya ini akan menyerangnya. Itu sebabnya dia
dengan cepat mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Pedang Merapi Dahana berkilat putih dalam terpaan
cahaya bulan yang sepotong. Pusparini siap siaga.
Tapi...
“Tolonglah aku...! Aku tak bermaksud jahat pada
kalian...!” terdengar suara makhluk itu yang
menyiratkan ucapan yang tak diduga oleh Pusparini.
“Apa katamu?” tanya Pusparini ragu-ragu.
“Tolonglah aku. Aku sangat menderita...!” terdengar
suara manusia kelelawar itu lagi.
“Siapa kau sebenarnya? Apakah kau disebut Dewi
Kelelawar?” tanya Pusparini yang ketegangannya
mengendor karena mendengar ucapan makhluk itu.
“Ohh... dia datang mengejar! Aku harus cepat-cepat
meninggalkan tempat ini. Tolong aku! Carilah aku di
Goa Mulut Naga di lereng utara Gunung Katong...!”
kata manusia kelelawar dengan mengawasi arah timur
yang kemudian dengan cepat melesat ke angkasa.
Pusparini masih tercekam keheranan dengan
peristiwa yang dihadapi. Pandangannya mengikuti
manusia kelelawar yang terbang semakin jauh dan
akhirnya ditelan kegelapan. Belum usai
penglihatannya lepas dari sana, maka muncul
bayangan hitam dari arah timur. Kiranya ini yang
dikhawatirkan oleh manusia kelelawar tadi. Pusparini
mencoba mengawasi dengan teliti perwujudan
makhluk itu, walaupun dia sudah yakin bahwa ini
adalah makhluk yang sejenis dengan yang baru
dihadapi tadi. Hanya saja yang ini lebih kecil, sebesar
jenis kelelawar yang disebut ‘kalong’. Dan yang dilihat
Pusparini ternyata benar-benar binatang kelelawar.
Bukan manusia kelelawar!
“Dia menyerangku!” gumam Pusparini sambil
mengelakkan diri ketika binatang itu melesat ke arah
dirinya.
Hal ini terpaksa harus dihadapi dengan kekerasan.
Ketika binatang itu terbang melingkar untuk
menyerang kedua kalinya, Pusparini telah siap dengan
ayunan pedangnya... dan....
Whhett.... Shwwhetth....
Pedang Pusparini berkelebat membabat ke arah
binatang itu.
“Oh, luput!” gumam Pusparini lirih.
Ternyata binatang itu punya indera tajam dalam
menghadapi serangan pedang Pusparini. Hal ini
membuat dirinya penasaran. Dengan manusia dia
mampu menebas dengan sekali pukulan, tapi binatang
ini mampu mengelakkan. Tentu saja, sebab keadaan
Pusparini berada di atas dahan pohon sehingga
pikirannya tidak penuh ditujukan ke arah lawan yang
bergerak dengan gesit seperti itu. Atau boleh dikata,
Pusparini bertarung di dunia lawan. Tapi sikap
kependekarannya mengharuskan dia pantang mundur.
Untuk itu dia memasang ancang-ancang guna
menghadapi binatang yang masih mengincar dirinya.
Jelas, ini pasti bukan sembarang kalong. Ada
‘sesuatu’ yang menggerakkan binatang tersebut hingga
mampu menyerang manusia dengan memakai
perhitungan. Tentang ‘sesuatu’ itu apa dan bagaimana,
Pusparini belum tahu.
Sementara Pusparini menghadapi kalong yang sulit
dikalahkan, maka Ki Catradana merapal mantera yang
tertulis di kulit sapi. Sejak awal dia memperhatikan
tindakan Pusparini yang kalang kabut menghadapi
kalong yang tidak semestinya itu. Rapalan mantera
terus membuih di bibir Ki Catradana tanpa henti.
Sampai akhirnya….
“Eeeaaarrkkhkh...!” terdengar kalong meledakkan
jeritan.
Pusparini terkejut. Dia tak tahu apa yang
menyebabkan binatang itu tiba-tiba mengeluarkan
jeritan seperti itu. Dalam keadaan masih di udara,
kalong tersebut menggelepar-gelepar. Kesempatan ini
tidak disia-siakan. Dengan sekali tebas maka tubuh
binatang itu terbelah jadi dua, dan jatuh meluncur ke
bawah.
“Bhwueg...!”
“Hah?!” Semua heran. Seperti tidak masuk akal
kalau binatang tersebut jatuh dengan mengeluarkan
bunyi seperti itu. Kedengarannya berbobot lebih dari
setengah kwintal.
Lewat cahaya api unggun, mereka baru tahu apa
yang terjadi kemudian. Mereka melihat tubuh kalong
itu terbelah menjadi dua menggeletak di tanah.
Kemudian terlihat berangsur-angsur ada perubahan
pada wujudnya. Berubah menjadi bentuk seorang
bocah laki-laki, berumur lima tahunan!
Pada saat itu bersamaan dengan turunnya
Pusparini dari atas pohon, dia sempat terpekik pelan
menyaksikan perubahan wujud kalong yang mati
terbelah menjadi dua akibat tebasan pedangnya.
“Ini pasti ilmu iblis!” ucap Ki Catradana pelan.
Kalau semua dihinggapi perasaan merinding, itu
lantaran adanya perubahan yang berwujud bocah laki-
laki.
Dengan tabah Sancaka menyelidiki lebih dekat.
Diamati wajah anak yang tewas dengan tubuh terbelah
jadi dua itu.
“Kukira dia bukan anak kecil. Tapi manusia cebol.
Manusia kate. Coba teliti wajahnya itu. Bukan wajah
seorang anak-anak. Tapi wajah manusia dewasa!” kata
Sancaka dengan pelan. Kemudian tubuh telanjang
yang terbelah itu disatukan kembali.
Bukan main tangkasnya Pusparini memainkan
pedangnya ketika menebas lawannya. Tepat di tengah.
Mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur! Pusparini
yang selama ini berkecimpung dalam arena kubangan
darah di dunia persilatan, perasaannya bergidik
menyaksikan tubuh korbannya...!
***
EENNAAMM
PUSPARINI merasa lesu pada esok harinya setelah
semalaman tak tidur sekejap pun. Apalagi karena
ketanggor peristiwa yang tidak semestinya dan
pertama kali dialami.
“Jadi kau mendengar kelelawar bertubuh wanita itu
minta tolong?” tanya Ki Catradana ketika mendengar
kisah Pusparini yang diceritakan semalam.
“Benar, Ki. Tampaknya dia menderita sekali.
Suaranya terdengar sendu penuh harap. Ketika
hendak berkata lebih lanjut, maka muncullah manusia
kalong itu,” kata Pusparini mengulang kisahnya.
“Sekarang sasaran kita adalah mencari Goa Mulut
Naga di lereng utara Gunung Katong atau Lawu!” sela
Sancaka. “Berarti kita harus sampai di lereng gunung
dulu yang di sebelah utara, lalu mencari goa itu. Paling
tidak, sesuai dengan namanya, goa itu pasti bentuknya
seperti mulut naga!”
“Wanita kelelawar itu harus kita selidiki apakah dia
yang bernama Dewi Kelelawar. Kalau selama ini Dewi
Kelelawar didesas-desuskan sebagai makhluk
penyebar bencana, sangat mengherankan kalau wanita
kelelawar itu adalah Dewi Kelelawar,” kata Ki
Catradana. “Dan semalam, mantera yang kubaca pasti
berpengaruh pada kelelawar jadi-jadian yang telah
terbunuh oleh pedang Pusparini.”
“Kalau begitu, apakah kita berangkat sekarang?”
usul Sancaka.
“Bagaimana, Rini?” tanya Ki Catradana dengan
mengawasi Pusparini yang masih termenung.
“Boleh! Tapi jarak kita harus berjauhan. Rasanya
kalau berjalan beriringan akan menjadi sasaran
empuk lawan, seandainya kita diserang. Ingat, kita
akan menerobos ke sarang lawan. Banyak hal yang
tidak kita ketahui dan mengandung teka-teki.”
Usul Pusparini disetujui. Sebagai pengaman, maka
Pusparini berjalan di baris belakang. Sedangkan
Sancaka menjadi pembuka jalan mencari tempat yang
disebut Goa Mulut Naga.
Hutan yang ‘gung lewang-lewung’ segera menjadi
sasaran untuk ditembus. Gunung Katong atau
Gunung Lawu sejak dulu memang sering dipilih oleh
kaum pertapa untuk bersemadi. Justru tempat-tempat
yang penuh tantangan itu menjadi idaman para
pertapa. Dan dalam perjalanan itu mereka sering
menemukan tempat-tempat bekas pertapa. Adakalanya
mereka mendapati seorang pertapa sedang bersemadi.
Dalam kesempatan ini sang pertapa ada yang dengan
lapang hati memberi petunjuk tentang keadaan daerah
sekitarnya.
“Bagaimana tentang berita Dewi Kelelawar?!” tanya
Ki Catradana kepada sang pertapa.
“Saya tak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Yang
pasti, kalian harus berhati-hati sejak memasuki
kawasan di sini. Sering saya lihat sekelompok orang
datang melewati tempat ini, tapi kemudian tak saya
ketahui kembalinya. Entah kalau mereka pulang
melewati jalur lain. Yang jelas saya banyak mencium
bau maut yang bertebaran di kawasan sekitar Gunung
Katong sebelah utara sana,” kata sang pertapa
menjelaskan.
Keterangan itu menambah kewaspadaan mereka.
Dan masih berhari-hari lagi mereka menembus hutan
belantara. Akhirnya pada hari ke tujuh, tibalah mereka
di suatu tempat yang agak lapang. Suatu hamparan
padang rumput dengan semak belukar menggunung di
sana-sini, telah memberi pemandangan lain yang
selama berhari-hari disuguhi suasana hutan yang
penuh pohon-pohon besar.
“Lihat di atas itu,” seru Sancaka sambil menunjuk
ke angkasa dengan langit biru tak berawan.
Sekelompok burung gagak terbang mengitar di
angkasa. Orang yang paham hal ini segera tahu bahwa
di bawah sana ada mayat atau bangkai yang
tergeletak, atau mereka yang sedang sekarat!
“Mari kita lihat,” kata Sancaka.
Mereka segera bergegas ke sana. Dan tak berapa
lama kemudian...
“Astaga!” Pusparini melepaskan ucapan tanpa
sadar. Perasaannya tersirap.
Bahkan semua orang yang melihat hal itu
berperasaan serupa. Betapa tidak, sebab di hadapan
mereka terpampang beberapa sosok tubuh yang telah
menjadi mayat. Dan ketika angin bertiup ke arah
mereka, maka bau busuk mengusik penciuman
mereka. Mayat-mayat itu mengalami cedera serupa.
Dada mereka bolong. Rupanya jantung mereka telah
sengaja diambil!
Setelah memeriksa sejenak keadaan mayat-mayat
itu, Ki Catradana menyarankan untuk melanjutkan
perjalanan. Tapi baru saja bertindak beberapa
langkah, mendadak muncul sekelompok orang-orang
cebol dari balik semak-semak. Kemunculan mereka
segera diwaspadai oleh Pusparini sebagai munculnya
mara bahaya, sebab dengan sikap garang orang-orang
cebol itu langsung menyerang mereka. Tak ayal lagi,
baku hantam terjadi di sana.
Orang-orang cebol itu punya gerak lincah bagaikan
kera. Pakaian mereka hanya selembar kain yang
menutup aurat mereka. Rambut mereka berwarna
coklat dan panjang sebatas bahu. Kuku-kuku mereka
tajam dan dijadikan senjata andalan untuk
menghadapi lawan. Menghadapi manusia cebol
semacam itu Pusparini tak ambil resiko lagi. Cuaca
cerah dengan sinar matahari bersinar terang di langit
membuat dia terangsang untuk menggunakan Pedang
Merapi Dahana. Sekejap kemudian pedang itu telah
dikeluarkan dari sarungnya.
Shhrriinngg!
Dan berpijarlah bilah pedang itu tertimpa cahaya
matahari. Cahaya merah membias menyilaukan mata
siapa saja yang melihatnya.
Orang-orang cebol itu dibuat kaget sejenak karena
keadaan ini. Beberapa orang di antaranya mundur
dengan menutup mata mereka. Tapi ada yang nekad
untuk melompat ke arah Pusparini dengan ganas.
Maunya untuk merebut pedang itu. Tapi Pusparini
dengan trengginas mengayunkan pedangnya. Yang
terjadi kemudian adalah darah muncrat, dan tubuh
yang jadi korban mencelat jadi dua.
Sungguh mengerikan! Tapi bagaimana lagi. Kali ini
persoalannya adalah dibunuh atau membunuh.
Dihadapi dengan tangan kosong hanya menambah
bengisnya sikap orang-orang cebol itu. Sebab mereka
mengira Pusparini dan kawan-kawannya tak lebih dari
manusia seperti mereka yang telah jadi korbannya.
Orang-orang cebol itu pemakan jantung manusia.
Entah bagaimana ada kelompok manusia semacam itu
di sekitar Gunung Katong atau Lawu itu.
Korban yang diakibatkan sabetan pedang Pusparini
semula membuat jera yang lain. Tapi kemudian
mereka beringas lagi tanpa mempedulikan maut yang
menyeringai di ujung Pedang Merapi Dahana. Orang-
orang cebol itu sepertinya mendapat perintah oleh
suatu kekuatan dari jauh. Ini terbukti dari mereka
yang semula mengundurkan diri karena melihat
Pedang Merapi Dahana, yang kemudian maju lagi
dengan sikap lebih beringas. Dan jumlah mereka sulit
diduga, sebab begitu yang satu jadi korban, maka yang
lain muncul lagi entah dari mana datangnya.
Sancaka memperhatikan sekali hal itu. Bahkan dia
mencurigai bahwa di sana ada tempat yang menjadi
sarang berkumpulnya orang-orang cebol itu. Senjata
Sancaka pun sudah beberapa kali menewaskan
musuh. Bahkan suatu saat dia sempat melihat seorang
pengikutnya jadi korban orang-orang cebol itu. Orang
ini diterkam dari belakang. Yang lain dari depan, dan
langsung menerkam dada. Sungguh terkaman yang
mengerikan. Sekali terjang, maka dada orang itu jebol.
Ketika tangannya ditarik, sudah tergenggam jantung
korbannya. Jantung itu dibawa lari entah kemana.
Hal itulah yang membuat Sancaka harus berjuang
mati-matian. Termasuk Pusparini yang terlihat
dihinggapi rasa ngeri melihat kebuasan orang-orang
cebol itu. Di sisi lain, Ki Catradana mengandalkan
tongkat di tangannya. Kiranya tubuhnya yang ceking
itu memiliki kelincahan gerak menggunakan tongkat
tersebut. Terlintas dalam benaknya untuk merapal
mantera di kulit sapi yang disimpannya. Tapi
kesempatan tidak ada.
Manusia cebol di sekelilingnya seolah tak memberi
kesempatan pada lawannya untuk santai sejenak.
Bahkan bernapas untuk menghimpun tenaga. Tapi
kalau diamati, orang cebol itu tak akan bisa dihadapi
dengan mantera. Mereka bukan makhluk siluman atau
jadi-jadian. Lain halnya dengan kalong yang beberapa
waktu lalu menyerang Pusparini. Tapi kalau dikaitkan,
antara orang-orang cebol ini dengan kalong yang
pernah dihadapi Pusparini, pasti ada sangkut pautnya.
Hanya jalurnya bagaimana, itu yang harus mereka
selidiki.
Tengah berlangsung baku hantam yang belum ada
titik terang cepat terselesaikan, tiba-tiba muncul
seseorang dengan dibarengi teriakan nyaring...
“Hiieeeaaaahhhh...!”
Tentu saja ini menyengat perhatian Pusparini. Dan
perasaannya terusik. Sebab yang dilihat adalah
munculnya Jlitheng Kasongan, kepala begal yang
pernah dihadapi tempo hari. Kecurigaan Pusparini
mencuat. Jlitheng Kasongan yang berakhlak bejat itu
pasti yang mendalangi orang-orang cebol. Sejenak
perhatian Pusparini tertuju kepada kehadiran Jlitheng
Kasongan. Tapi apa yang dilihat sangat
mengherankan. Ternyata Jlitheng Kasongan memer-
angi orang-orang cebol itu. Senjata di tangannya
ditebaskan ke arah mereka yang tiba-tiba
menyerangnya.
“Ternyata Jlitheng bukan sekutu orang-orang cebol
ini,” pikir Pusparini sambil mengayunkan pedangnya
ke arah lawan yang nyaris membokong. Lengah sedikit
saja, pasti punggungnya tercengkeram lawan.
Untunglah semua terlihat mengendor. Seperti ada
suara seruling dari kejauhan yang memberi isyarat,
maka orang-orang cebol itu mengundurkan diri.
Mereka lari dengan gesit menerobos semak belukar.
Gerak mereka berpencar. Jadi sulit bagi Pusparini
untuk memburu jejak lari agar dapat mengendus ke
sarang mereka. Dan tak berapa lama kemudian,
tempat itu sunyi senyap. Pusparini dan kawan-
kawannya menunggu perkembangan lebih lanjut.
Ternyata sepi. Tak ada apa-apa. Satu-satunya
perhatian akhirnya tertuju kepada Jlitheng Kasongan
yang tiba-tiba muncul di sana membantu mereka.
“Jlitheng, bagaimana kau bisa sampai di tempat
ini?” tegur Pusparini setelah menyarungkan
pedangnya.
“Justru aku yang harus bertanya mengapa kau dan
kawan-kawanmu sampai di sini,” jawab Jlitheng
Kasongan yang terlihat sangat payah.
“Aku akan menuju Goa Mulut Naga,” jawab
Pusparini dengan pandangan menyelidik ke arah
penampilan kepala begal yang pernah ditundukkan
tempo hari. “Tampaknya ada sesuatu yang
menimpamu. Boleh aku tahu, Theng?”
“Kau lihat mayat-mayat dengan dada bolong karena
jantungnya diambil oleh orang-orang cebol itu? Mereka
adalah anak buahku,” kata Jlitheng.
“Oh,” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
“Banyak orang berbicara tentang Dewi Kelelawar.
Banyak pemuda dalam usia pancaroba jadi korban
penculikannya. Itulah kabar yang kudengar. Banyak
putra kaum bangsawan yang hilang dan akhirnya
keluar berbagai sayembara temuan. Hadiahnya
menggiurkan. Itu sebabnya aku dan kawan-kawanku
terjun ke masalah ini. Boleh dikata, ganti haluan kerja.
Kalau dulu begal, sekarang pemburu hadiah temuan,”
kata Jlitheng Kasongan dengan menyeka keringatnya
yang bercucuran di dahi.
“Lalu sampai berapa jauh hasil usahamu?” tanya
Pusparini.
“Seperti yang kau lihat, anak buahku semua jadi
korban.”
“Bagaimana kau bisa selamat dari keganasan
mereka?”
“Saat itu aku berada di Dukuh Gondolayu.”
“Dukuh Gondolayu? Di mana itu?”
“Di seberang curah sebelah barat itu,” jawab
Jlitheng Kasongan dengan melempar pandang ke arah
yang dimaksud.
Pusparini termenung sejenak. “Bagaimana kalau
kau tunjukkan tempat itu kepada kami? Rasanya aku
ingin tahu tempat itu.”
“Itu tempat sangar! Angker! Pedukuhan itu ibarat
kuburan saja walaupun dihuni oleh penduduk,” jawab
Jlitheng Kasongan membayangkan tempat yang
pernah didatangi. “Tapi kalau kalian ingin ke sana,
aku bisa mengantarkan.”
***
TTUUJJUUHH
JLITHENG KASONGAN menjadi penunjuk jalan
untuk menuju Dukuh Gondolayu. Tempat yang
mereka tuju merambah dataran rendah berbatu-batu.
Ada anak sungai yang jernih airnya mengalir deras
yang harus mereka lewati. Karena di tengah banyak
batu-batu, maka penyeberangannya bisa dilakukan
tanpa hambatan.
“Itu dukuhnya,” kata Jlitheng Kasongan setelah
sampai di tempat ketinggian sambil menunjuk ke arah
lembah. “Aku ke sana sewaktu mengejar seseorang
yang kulihat, sementara anak buahku kutinggalkan di
tempat kejadian tadi.”
“Dan kau datang lagi tapi anak buahmu telah jadi
mayat?” tanya Sancaka menggarami pembicaraan.
“Ya. Sempat kulihat seorang manusia cebol merogoh
jantung anak buahku. Tak tahan melihat peristiwa itu,
kemudian aku lari kemari lagi.”
“Tentunya penduduk di sana bisa memberi
keterangan tentang orang-orang cebol itu,” Pusparini
menimpali.
“Mereka tak mau berbicara apa-apa kalau diminta
menjelaskan tentang orang-orang cebol itu. Sepertinya
mereka ketakutan kalau berbicara tentang hal itu,”
kata Jlitheng Kasongan sambil mengawali langkahnya.
Mereka mengekor langkah bekas kepala begal itu.
Dukuh yang punya nama Gondolayu itu terlihat sepi.
Satu-satunya pertanda adanya kehidupan di sana
hanya kepulan asap dapur yang tampak dari beberapa
rumah yang atapnya terbuat dari alang-alang. Sesekali
ada anjing melintas. Menyalak sebentar karena melihat
kehadiran orang asing, lalu lari menghindar. Tak
terlihat seorang pun.
“Kemana penduduknya?” tanya Ki Catradana.
“Penduduk di sini hanya wanita! Tak kulihat kaum
lakinya,” jawab Jlitheng Kasongan sambil melangkah
menuju ke sebuah rumah. Langkahnya segera diikuti
yang lain.
“Hanya wanita?” sela Pusparini sambil melayangkan
pandang ke tempat sekitarnya. Dia melihat beberapa
sosok wajah yang mengintip dari ambang pintu rumah
masing-masing, lalu menenggelamkan diri dengan
menutup pintu.
“Kau tentu telah mengenal penghuni rumah ini
ketika pertama kali mendatanginya,” kata Ki
Catradana ditujukan kepada Jlitheng yang mencoba
membuka daun pintu rumah itu.
“Dia yang mencoba menyembunyikan aku. Berhari-
hari aku bersembunyi di tempat ini atas
kehendaknya,” jawab Jlitheng.
Pintu terbuka.
“Sruti!” Jlitheng Kasongan memanggil seseorang.
Seseorang wanita muncul. Berkain hanya sebatas
lutut. Dibiarkan perutnya di atas pusarnya terbuka.
Lalu buah dadanya hanya ditutup dengan semacam
tempurung kecil entah terbuat dari buah apa.
Wajahnya biasa saja. Tapi dada yang putingnya diberi
tutup tempurung kecil semacam itu mengundang
perhatian mata lelaki. Buah dada yang membukit
kenyal. Pantas kalau Jlitheng Kasongan yang bekas
begal itu krasan bersembunyi di sini walaupun
marabahaya mengancam di sekitarnya. Bahaya dari
keganasan orang-orang cebol.
“Sruti, kenalkan ini kawan-kawanku,” kata Jlitheng
memperkenalkan wanita itu.
Wanita bernama Sruti hanya mengangguk.
Tercermin rasa tidak gembira dengan kedatangan
Jlitheng Kasongan yang disertai Pusparini dan orang-
orang lain.
“Ni Sruti, saya ingin bertanya. Bisa memberi
penjelasan?” tanya Pusparini.
“Dia tak akan banyak memberi jawaban kalau yang
kau tanyakan tentang orang cebol dan Dewi Kelelawar.
Bertanyalah yang lain,” saran Jlitheng.
“Hm. Baik. Rupanya kita harus sabar menghadapi
penduduk di sini,” kata Pusparini. “Ni Sruti, apakah
kau bisa menjelaskan siapa penduduk di sini yang
pandai bermain seruling?”
Pertanyaan yang aneh! Tapi tidak aneh sebenarnya.
Semua orang yang berada di sana tidak mengerti
mengapa Pusparini bertanya seperti itu. Alasannya
hanya Pusparini yang tahu.
Sruti masih membisu. Hanya matanya yang tajam
mengawasi Pusparini.
“Yang kau maksud... kau ingin bertemu dengan
Kakek Werti Kandayun?” tanya Sruti berbalik
menebak.
“Iii... iya!” jawab Pusparini tiba-tiba. Pikirannya
cepat mengambil kesimpulan. “Kakek Werti Kandayun!
Di mana aku bisa menjumpainya?”
“Dia tak mau ditemui banyak orang. Kalau ingin
ketemu, kukira hanya kau yang diperbolehkan,” jawab
Sruti.
“Baiklah. Aku saja yang akan menghadap beliau,”
jawab Pusparini menunjukkan rasa sopannya. Paling
tidak ini hanya untuk memberi kesan agar tak banyak
menghadapi kesulitan dalam memecahkan teka-teki
yang dihadapi. Terutama dengan suara seruling yang
pernah didengar sewaktu menghadapi orang-orang
cebol itu.
Kemudian atas kesepakatan, Pusparini yang
diijinkan mengikuti Sruti untuk menemui seseorang
yang dipanggil Kakek Wreti Kandayun. Lain-lainnya
tinggal di pondok itu. Sruti dan Pusparini menuju ke
suatu tempat. Arahnya menyusuri jalan di tengah
pedukuhan. Kemudian dari sini menyimpang ke jalan
setapak yang rupanya jarang dilalui orang. Makin lama
makin mendaki ke atas, menembus alang-alang
setinggi dada.
“Masih jauh?” tanya Pusparini.
“Tidak. Lihat di balik alang-alang berbunga itu,”
tunjuk Sruti.
Hampir saja Pusparini terpekik gembira. Sebab
ketika mereka menengok di balik alang-alang
berbunga, di sana terlihat sebuah mulut goa. Dan goa
itu dipahat membentuk mulut seekor naga.
“Goa Mulut Naga!” kata Pusparini lirih.
“Apa kau bilang?” tanya Sruti.
“Goa Mulut Naga! Betulkah ini yang disebut Goa
Mulut Naga?” tanya Pusparini ingin meyakinkan. Tapi
jawaban yang diperoleh di luar dugaan...
Dhieg!!!
Pusparini menerima hantaman dari Sruti. Tentu
saja tindakan yang tak terduga ini membuat Pusparini
mencelat. Tidak saja karena di luar dugaan, tapi
pukulan Sruti benar-benar berisi. Pusparini segera
membenahi diri begitu tegak kembali.
“Sruti, apa maksudmu?” tanya Pusparini dengan
harapan kejadian itu bukan awal dari petaka yang
harus dihadapi. “Apakah ini tindakan jebakan?”
“Kau tahu nama tempat ini. Berarti kedatanganmu
tidak saja ingin ketemu dengan Kakek Wreti
Kandayun. Kau musuh yang harus kucegah memasuki
tempat ini. Karena sudah terlanjur, terpaksa aku
bertindak keras kepadamu.”
“Tunggu! Kukira kau tahu lebih banyak dengan
keadaan di sini. Tidak sekedar penduduk pedukuhan
terpencil. Kalau ini gara-gara karena aku tahu nama
tempat ini, pasti kau tahu tentang Dewi Kelelawar.
Pasti tahu dengan Lowo Brangah! Bukan begitu?” kata
Pusparini memancing sikap Sruti.
“Kau benar-benar tahu lebih banyak!” kata Sruti
dengan menerjang ke arah Pusparini.
Tentu saja Pendekar Walet Emas tak tinggal diam.
Terjangan Sruti disambut dengan tangkisan tangan
kanan, lalu mengadakan imbangan serangan dengan
ayunan tangan kiri yang melanda betis. Sruti
menyeringai kesakitan sambil meliukkan tubuh untuk
menerjang dengan kaki satunya. Tapi peluang ini
segera dikunci oleh Pusparini dengan tangkisan kaki.
Sruti menggeliat di udara yang akhirnya terjerembab
ke tanah. Pusparini tidak cepat bertindak lagi. Dia
memberi kesempatan pada Sruti agar menyerang
terlebih dulu. Rencananya, dengan serangan dari
pihak lawan, dia akan meringkusnya, kalau serangan
yang dilakukan semacam tadi. Ternyata Sruti tidak
menyerang. Dia tetap pada sikapnya yang berjongkok
di tanah sambil mengawasi Pusparini.
“Kukira kau memiliki ilmu bela diri melebihi diriku.
Maaf, aku tadi hanya menjajal apakah kau seorang
wanita yang bisa diajak kerja sama,” kata Sruti sambil
beranjak berdiri. “Maafkan sikapku tadi. Penduduk
Pedukuhan Gondolayu sudah lama ingin lepas dari
kebengisan Lowo Brangah.”
“Sruti, kau sungguh-sungguh? Jadi semua ini biang
keladinya Lowo Brangah? Bagaimana dengan Dewi
Kelelawar?” tanya Pusparini dengan harapan bahwa
semua ini menjadi jalan peluang untuk menuntaskan
masalah.
Sruti memberi isyarat kepada Pusparini agar
mengikutinya. Lalu keduanya mengambil tempat
sembunyi di sisi batu dekat mulut goa. Tak berapa
lama kemudian terlihat tiga orang cebol melintas
masuk ke dalam goa.
“Jadi sarang mereka di sini?” tanya Pusparini.
“Tidak. Pasti ada suruhan dari Lowo Brangah untuk
mengirim pesan bagi Kakek Wreti Kandayun. Kita
tunggu sampai mereka keluar lagi,” saran Sruti.
Mereka menunggu. Tampaknya Sruti juga tak bebas
memasuki tempat itu kalau ada orang-orang cebol di
sana. Dalam kesempatan ini, Pusparini mengajukan
saran untuk masuk ke dalam goa dengan menyelinap.
Dia ingin tahu pesan apa yang disampaikan Lowo
Brangah kepada Kakek Wreti Kandayun.
“Jangan sembrono! Keteledoran akan mencelakakan
kau dan kawan-kawanmu!” kata Sruti.
“Aku biasa menghadapi bahaya,” bisik Pusparini
sambil mengawasi pintu goa.
“Aku sudah memberi saran. Sekali teledor, semua
akan binasa,” kata Sruti dengan tajam.
“Baik! Baik, Sruti. Tapi harap kau tahu, kita tak
bisa sampai malam berada di tempat ini. Lihat, hari
semakin sore saja. Keadaannya akan sulit kalau
sampai malam kita menyelidiki hal ini. Yang kita
hadapi adalah kekuatan yang berpeluang jaya kalau
mereka bergerak di waktu malam.”
Sruti termenung. Ada sesuatu yang dipikirkan
dengan ucapan Pusparini.
“Baik! Yang kau katakan itu memang benar. Ayo
kita terus masuk. Ada tempat sembunyi di dalam goa
di mana kita bisa menyelinap tanpa diketahui siapa
pun,” ucap Sruti sambil terus beranjak dari sana.
Tapi begitu mereka keluar dari persembunyian,
mendadak tiga orang cebol tadi telah keluar dari dalam
goa. Mereka memergoki Pusparini dan Sruti.
“Celaka!” seru Sruti.
Tapi Pusparini cepat tanggap dengan keadaan yang
di luar dugaan ini. Dengan ayunan Pedang Merapi
Dahana, dia berhasil membereskan ketiga lawannya.
Cuma dengan sekali tebas!
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Sruti. Betapa
tercengangnya dia menyaksikan gerak kilat dalam
menangani tiga orang cebol itu.
“Cepat, kita singkirkan mereka,” kata Pusparini
sambil menyeret korbannya ke dalam semak-semak.
Sruti membantu menangani. Kemudian mereka
masuk ke dalam goa.
Sruti menarik tangan Pusparini. “Ke sini!”
Pusparini mengekor langkah Sruti.
“Di situ ada jebakan.”
Pusparini melihat ke arah yang ditunjuk Sruti. Tak
ada terlihat sesuatu pun yang mencurigakan di sana.
Tentu saja. Kalau di sana ada jebakan, pasti segalanya
diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan. Di sana hanya terlihat tanah datar seperti
tak ada apa-apanya. Keduanya melewati jalan samping
yang makin menjorok ke atas. Lalu menikung, dan
mengarah ke bawah lagi. Di sini ternyata terdapat
tempat luas dengan penerangan obor di dinding-
dindingnya.
“Itu Kakek Werti Kandayun,” Sruti memberi
petunjuk ketika dilihatnya seorang laki-laki muncul
dari sebuah ruangan.
“Kita bisa menemuinya tanpa mengundang
bahaya?” tanya Pusparini.
Sruti mengangguk. Kemudian mereka berdua
muncul terang-terangan.
“Kakek!” sapa Sruti dengan suara hati-hati.
Laki-laki bernama Kakek Wreti Kandayun menoleh.
Pandangannya dipertajam dengan mengerutkan dahi.
“Sruti?!”
“Ya, Kek! Saya Sruti... dengan seorang teman,”
jawab Sruti dengan perasaan berdebar. “Namanya
Pusparini!”
“Mengapa kau datang bersama dia?” tanya Kakek
Wreti Kandayun.
“Saya telah mendapat seorang teman yang bisa
dipercaya. Dia tahu nama tempat ini. Dia punya
urusan dengan Lowo Brangah, dan ingin bertemu
dengan Dewi Kelelawar...,” Sruti menjelaskan dengan
perkataan hati-hati agar laki-laki tua itu
mendengarkan dengan seksama.
“Seperti ramalan yang membisik hatiku, bahwa
akan ada seseorang yang datang ke tempat ini dengan
menyandang pedang api bumi...,” ucap Kakek Wreti
Kandayun sambil mendekat ke arah Pusparini.
Pusparini segera dapat mengambil kesimpulan,
bahwa yang dimaksud oleh orang tua itu pastilah
senjata Pedang Merapi Dahana. Bukankah pedang
tersebut salah satu unsur logamnya terdiri dari lahar
gunung berapi? Dan lahar asalnya dari dalam bumi?
“Namamu.. Pusparini?” tanya Kakek Wreti
Kandayun lagi.
“Benar, Kek. Saya pernah bertemu dengan seorang
wanita bertubuh kelelawar. Dia tampak tersiksa, dan
minta pertolongan kepadaku. Siapakah wanita
kelelawar itu? Apakah dia yang dipanggil sebagai Dewi
Kelelawar?” Pusparini menjelaskan.
“Ya! Kau telah bertemu dengan wanita yang disebut
Dewi Kelelawar. Inderanya tahu bahwa orang yang
diajaknya berbicara waktu itu adalah orang yang
sudah diramalkan bisa melepaskan dia dari
penderitaannya. Kaulah wanita itu!” kata Kakek Wreti
Kandayun dengan mempersilakan Pusparini duduk di
hadapannya. “Dewi Kelelawar adalah saudara si Sruti.
Semua ini karena ilmu hitam yang sedang ditempuh
oleh Lowo Brangah.”
“Dia... saudara Sruti?” tanya Pusparini yang
semakin ingin tahu lebih banyak tentang rahasia yang
semua terselubung bagi orang luar.
“Semua bertumpu pada nafsu iblis Lowo Brangah.
Dia ingin menciptakan pedang ampuh tak tertandingi.
Banyak syarat untuk mewujudkan impiannya itu.
Pertama, dia harus bisa memberi wujud badan kasar
dari siluman kelelawar. Kedua, mencari jantung para
jejaka. Kedua syarat itu telah diwujudkan oleh Lowo
Brangah. Setiap bulan purnama pedang itu harus
digosok dengan jantung para jejaka untuk
mempertebal pamor ampuhnya. Itu sebabnya banyak
para jejaka di sekitar kawasan ini yang telah menjadi
korban. Dan saudara si Sruti bernama Kendit, oleh
Lowo Brangah dikorbankan kepada iblis Siluman
Kelelawar. Siluman itu menyatu dengan tubuh si
Kendit sehingga terwujud jasad seperti yang kau lihat,
dan gelarnya menjadi Dewi Kelelawar...!” ucapan Kakek
Wreti Kandayun terhenti sejenak. Rupanya dia
mengharapkan agar Pusparini dapat memahami
dengan seksama peristiwa itu.
“Tapi ketika bertemu dengan saya, Dewi Kelelawar
minta pertolongan kepada saya. Ucapannya terdengar
memelas sekali,” kata Pusparini.
“Itu adalah dorongan pribadi si Kendit! Dalam
penampilan Dewi Kelelawar ada dua pribadi di
dalamnya. Satu adalah Siluman Kelelawar, dan
satunya adalah si Kendit. Tapi akhir-akhir ini kulihat
pribadi si Kendit banyak tampil menguasai jasmani itu
sehingga kesempatan ini dipergunakan untuk lolos
dari pengawasan Lowo Brangah,” kata Kakek Wreti
Kandayun dengan memperlihatkan seruling kepada
Pusparini. “Inderamu benar-benar tajam. Kau mencari
peniup seruling sehingga terkuak pertemuan ini.”
“Benar. Saya mendengar suara seruling ketika
berhadapan dengan orang-orang cebol itu. Mereka
kemudian mengundurkan diri. Lalu apa hubungannya
Kakek Wreti Kandayun dengan mereka?” kata
Pusparini dengan mengawasi seruling di tangan orang
tua itu. Batang seruling itu diukir indah dan diberi
warna merah dan kuning. Ada kuncir dan manik-
maniknya.
“Seruling ini memang alat mengendalikan mereka
dari jarak jauh. Jiwa mereka tak ubahnya seperti
boneka. Tapi harap kau ketahui, Lowo Brangah yang
menguasai semuanya. Termasuk aku di bawah
kekuasaannya.”
“Mengapa tidak berusaha melawan, tapi malah
bersekutu dengan iblis itu?” tanya Pusparini.
“Si Kendit dan si Sruti itu adalah cucu-cucuku!
Orang tua mereka telah binasa di tangan Lowo
Brangah. Mereka telah jadi sandera,” ujar si Kakek.
“Enghmmm... ada sesuatu yang ingin saya
tanyakan. Apakah Kakek Wreti tahu tentang seseorang
bernama Ki Sudamala? Dia adalah korban penculikan
Lowo Brangah.”
Pusparini menanti jawaban atas pertanyaan ini.
Tapi agaknya Kakek Wreti Kandayun enggan
menjawab.
“Saya tahu Lowo Brangah telah menculiknya.
Tahukah Kakek di mana dia disekap?” tanya Pusparini
lebih lanjut.
Masih belum ada jawaban. Suasana hening. Sampai
akhirnya...
“Dia telah senasib dengan si Kendit... menjadi
manusia kelelawar,” jawab Kakek Wreti Kandayun
dengan suara serak.
“Siapa saja yang dijelmakan menjadi manusia
kelelawar?” tanya Pusparini penasaran setelah
perasaannya terguncang karena mengetahui nasib Ki
Sudamala.
“Ada beberapa orang lain. Aku tak tahu siapa saja
mereka,” jawab Kakek Wreti dengan tarikan napas
berat. “Baru kemarin kuketahui bahwa Lowo Brangah
akan menciptakan pasukan kelelawar. Dia akan
membentuk suatu kerajaan di kaki Gunung Katong
ini.”
Perasaan Pusparini bergidik. Sekilas dia
membayangkan rencana Lowo Brangah. Besar
kemungkinan bisa terwujud kalau tidak cepat-cepat
ditangani dengan tuntas. Dan kuncinya kini berada di
tangan Ki Catradana, yaitu tongkat dan rapalan
mantera dari Hindustan itu.
“Kita tak boleh membuang waktu lagi. Tiga orang
cebol tadi kubinasakan karena memergoki kami,” kata
Pusparini dengan beranjak berdiri.
“Apa? Kau telah membunuh mereka?” ucap Kakek
Wreti seakan tak percaya tentang ucapan Pusparini.
“Lowo Brangah pasti cepat kemari kalau ketiga
utusannya tidak kembali lagi kepadanya.”
“Apa yang Kakek terima dari ketiga utusan tadi?”
tanya Pusparini dengan sikap waspada.
“Besok bulan purnama tiba. Itu saatnya untuk
mempertebal pamor Pedang Kelelawarnya dengan
gosokan jantung jejaka. Korban yang akan diambil
jantungnya tinggal seorang, yaitu jejaka bernama
Sikatan.”
“Sikatan? Putra Ki Braja Amparan?” ucap Pusparini
dengan nada cemas.
“Aku tak tahu siapa dia. Yang jelas anak muda itu
bernama Sikatan. Menurut Lowo Brangah, kalau
gosokan pamor ini belum juga mewujudkan Pedang
Kelelawarnya seperti yang diharapkan, maka akan
dilakukan penyempurnaan dengan cara lain,” Kakek
Wreti berkata dengan pandangan sayu. Jelas ada
tekanan batin dalam diri orang tua itu. Penderitaannya
tak lain adalah kebengisan si Lowo Brangah.
“Cara lain yang bagaimana?” tanya Pusparini tidak
srantan.
“Akan diganti dengan korban dari golongan anak
perawan!” jawab Kakek Wreti menandaskan.
“Benar-benar iblis laknat!” keluh Pusparini dengan
lirih yang semakin menyadari tentang kekuatan iblis
kian mencaplok keberadaan manusia.
Belum tuntas sikap ini, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh gema teriakan.
“Apa itu?” Pusparini terjengah.
“Ada yang terperosok perangkap,” jawab Sruti.
“Orang yang tak tahu tentang liku-liku goa ini pasti
terperosok perangkap yang nyaris kau lewati tadi.”
“Hah? Itu pasti kawan-kawanku,” kata Pusparini
dengan terus beranjak dari sana.
Sruti membuntuti. Sesaat kemudian mereka tiba di
sana. Pusparini melihat hamparan lantai goa berpasir
yang semula rata kini terlihat mencekung seakan ada
sesuatu yang terperosok ke dalamnya. Dan tanah
berpasir itu dengan pelan merata kembali.
“Hah? Jebakan macam apa ini, Sruti?” tanya
Pusparini dengan nada cemas.
“Jebakan undur-undur!” jawab Sruti dengan
menyeret Pusparini untuk berlalu dari sana. “Kita
masih bisa menolong mereka lewat terowongan lain.
Kalau tidak terlambat!”
Diberi gambaran semacam itu Pusparini semakin
cepat melarikan langkahnya mengikuti Sruti. Mereka
memasuki lorong bawah tanah.
Udara pengap dan gelap. Tapi Sruti yang agaknya
sering melewati tempat itu membuat langkah terasa
lancar menerobos jalan yang ditempuh. Beberapa saat
kemudian, mereka sampai di tempat yang dituju.
Rongga goa di sana rupanya mengandung zat fosfor
sehingga ada cahaya remang yang menerangi. Suatu
keajaiban alam yang pertama dilihat oleh Pusparini.
“Dimana mereka?” tanya Pusparini.
Sruti tidak menjawab pertanyaan itu. Dia terus
melangkah menuju ke arah lubang yang bergaris
tengah sekitar satu setengah meter yang menjorok ke
atas. Di sekitar tempat itu terdiri dari pasir.
Terowongan tersebut menganga ke permukaan
genangan air yang merupakan sungai bawah tanah
berarus deras. Bisa dibayangkan, siapa yang
kecemplung ke sana, kalau tidak sigap pasti terseret
arus yang menghilang di tepian dinding goa.
“Mereka pasti telah kecebur air selepas dari lorong
itu,” kata Sruti menjelaskan.
Apa pun yang terjadi di sana, bagi Pusparini goa itu
penuh hal-hal yang menganehkan.
“Ini sungai bawah tanah yang sangat deras
arusnya,” lanjutnya. “Tak ada yang pernah selamat
siapa pun yang tercebur ke sini.”
“Jadi mereka telah tercebur di sini dan terseret arus
tanpa sempat meraih tepian?” tanya Pusparini dengan
nada ingin kepastian. “Kau pasti tahu arus ini menuju
ke mana.”
“Tentu saja menuju ke sungai di luar sana. Tapi
sebelum itu, arus sungai bawah tanah ini melewati
tempat kediaman Lowo Brangah,” jawab Sruti.
Ini yang membuat perasaan Pusparini semakin
terguncang. Kalau benar, berarti tamat sudah
harapan-harapan yang diandalkan. Sruti
memperhatikan wajah Pusparini yang tampak
kehilangan semangat.
“Aku tak tahu apakah mampu berjuang sendirian
menghadapi kekuatan iblis yang menggerakkan tindak
angkara Lowo Brangah,” keluh Pusparini.
Dengan rasa putus asa dia mengawasi arus deras
yang diperkirakan telah menyeret Ki Catradana,
Jlitheng Kasongan, dan Sancaka, serta beberapa orang
pengikut yang masih hidup sejak mereka memasuki
Dukuh Gondolayu.
Tengah termenung begitu, tiba-tiba perhatian
Pusparini terseret pada butir-butir pasir yang jatuh
dari lubang terowongan tempat lepasan genangan pasir
yang menjadi jebakan bagi pendatang ke Goa Mulut
Naga. Diperhatikan, butir-butir pasir yang berjatuhan
itu semakin deras. Lalu tak terjadi lagi.
Pusparini segera menyelidiki untuk mengetahui
keadaan lubang terowongan. Tiba-tiba terdengar suara
dari sana, yang nadanya sedang berupaya untuk turun
melewati terowongan tersebut.
“Itu suara Ki Catradana!” seru Pusparini yang
mencoba menengok ke lubang terowongan dengan
kemiringan hampir tegak lurus menjorok ke atas di
atas permukaan sungai.
“Ki Catradana!” teriak Pusparini. “Hati-hati jangan
tercebur ke dalam air! Sungai ini deras arusnya!”
“Hooii...! Pusparinikah itu?” terdengar suara
bergema dari dalam terowongan. Suara Ki Catradana.
“Kami berhimpitan di dalam terowongan ini sejak
terjerumus ke dalam pasir terapung ketika memasuki
mulut goa!”
“Hati-hati kalau merayap turun!” seru Pusparini
dengan perasaan berdebar. Dia tak tahu bagaimana
keadaan terowongan itu sebab letaknya persis di atas
permukaan air yang deras arusnya.
“Mudah-mudahan mereka bisa turun dengan
berpegangan pada bibir batu yang agak menonjol itu,”
katanya lirih yang ditujukan kepada Sruti. “Kita harus
berupaya membantu mereka.”
Pusparini melihat keadaan sekelilingnya. Tak ada
sesuatu yang dapat dipakai untuk membantu Ki
Catradana yang berusaha menuruni terowongan.
Akhirnya terlihat ujung kaki yang menjulur ke luar
terowongan. Kaki Ki Catradana, yang dengan pelan
mencoba mencari tempat berpijak. Karena sudah
diperingatkan oleh Pusparini, maka dengan hati-hati
dia mencoba keluar dari sana. Terlihat kini Ki
Catradana keluar dengan menggelantung berpegangan
di bibir terowongan yang sebelumnya melempar
tongkat di tangannya ke arah Pusparini. Tongkat
berhasil ditangkap. Setelah itu dengan gaya manis, Ki
Catradana berayun melompat ke tanah.
Kemudian muncul lagi seseorang. Ternyata Jlitheng
Kasongan. Dengan gerak serupa dia berhasil keluar
dari sana. Pusparini menunggu. Tak ada lagi yang
keluar dari sana.
“Di mana yang lain?” tanya Pusparini.
“Sancaka dan tiga orang lainnya tak bisa bertahan
di terowongan itu. Mereka terus meluncur jatuh!”
keluh Ki Catradana.
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
Bayangannya tentang Sancaka dan tiga orang anak
buahnya yang tercebur di sungai yang berarus deras
itu tergambar sekilas sesuai dengan keterangan yang
diberikan Sruti. Lalu bagaimana nasib mereka kalau
kepergok Lowo Brangah?
Dalam kesempatan itu, kemudian Pusparini
menceritakan kepada Ki Catradana tentang
pertemuannya dengan Kakek Wreti Kandayun.
Kesimpulannya kini hanya satu tindakan cepat.
Menyerbu ke tempat Lowo Brangah sebelum yang
bersangkutan bertindak lebih lanjut! Sruti adalah
tenaga andalan untuk menuju tempat Lowo Brangah.
Semua harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
Sementara mereka mulai beranjak dari sana, maka
kegelapan malam telah semakin merayap. Di ufuk
timur telah bertengger bulan purnama yang semakin
merayap ke atas langit.
***
DDEELLAAPPAANN
LOWO BRANGAH tertawa terbahak-bahak. Gema
suaranya memantul di dinding-dinding goa
pemukimannya. Goa ini ternyata punya hubungan
jalur dengan Goa Mulut Naga, lewat lorong rahasia.
Tidak sembarang orang boleh ke sana kecuali orang-
orang atas seijinnya. Kalau tidak, orang harus lewat
jalan di luar goa kalau hendak ke tempat tinggal Lowo
Brangah yang merangkap istananya itu. Dia pun
sudah mempersiapkan sebuah bangunan di puncak
Goa Mulut Naga dengan latar belakang Gunung Katong
atau Lawu.
Ketika Lowo Brangah tertawa terbahak-bahak itu
karena dia melihat beberapa sosok tubuh terhanyut
oleh arus deras sungai bawah tanah yang melintas di
Taman Sarinya. Empat orang kini dalam keadaan
pingsan menggeletak di hadapannya setelah berhasil
diangkat dari dalam sungai. Beberapa orang anak
buahnya terdiri dari campuran orang cebol dan orang
normal bertubuh jangkung, berjajar mengelilinginya.
“Rupanya sudah ada orang luar yang berani
klayapan kemari,” ujar Lowo Brangah. “Ikat mereka di
ruang penyiksaan. Kebetulan malam ini saat kita
melaksanakan upacara. Kita akan meramaikannya
dengan ‘sate jantung’. Ha ha ha ha ha...! Sate jantung
mereka... ha ha hah...!”
Kemudian Lowo Brangah memberi perintah kepada
para pengawal andalan untuk memperketat penjagaan
di sana.
Tempat-tempat yang selama ini luput dari
perhatian, disebar dengan para penjaga. Dan orang-
orang cebol yang punya gerak gesit itu ditugaskan
untuk selalu mengadakan patroli tanpa henti.
Kelihatannya Lowo Brangah seperti menguasai
keadaan. Tapi di hati kecilnya dia merasa khawatir
kalau yang menyusup ke dalam sarangnya ini ada
orang-orang yang membawa sarana penangkal iblis.
Untuk itu dia perlu mengorek keterangan dari orang-
orang yang berhasil ditangkap.
“Hm. Yang satu ini tampaknya aku pernah lihat.
Tapi di mana, ya?” kata Lowo Brangah dengan
mengawasi dengan cermat wajah Sancaka. “Ah, ya!
Aku ingat sekarang. Desa Jumpolo! Ya, Desa Jumpolo
tempat Ki Sudamala. Den bagus ini pernah kita kejar
dan menghilang!”
Sancaka dan ketiga orang lainnya telah siuman dan
mendapati dirinya dipasung pada jepitan balok kayu
pada kaki dan tangannya.
“Kau pasti kerabat Ki Sudamala!” kata Lowo
Brangah dengan menatap tajam. “Kau pasti datang
dengan teman-temanmu yang lain. Dimana pendekar
wanita yang memiliki Pedang Merapi Dahana itu, hah?!
Apakah dia kemari dan klayapan untuk menyatroni
aku?! Harap jangan mimpi. Pedang Merapi Dahana tak
akan ada apa-apanya kalau diandalkan di sini! Saat ini
tak ada cahaya matahari. Sedangkan ada cahaya
matahari saja pedang itu tidak mampu
menghancurkan Pedang Kelelawar milikku!”
“Nasibmu sebentar lagi usai, Lowo Brangah. Kami
berhasil menembus kemari dengan sarana kekuatan
yang tak akan kau duga!” gertak Sancaka
memberanikan diri walaupun dipasung dengan ketat.
“Mereka akan membebaskan pamanku, Ki Sudamala!”
“Bagus! Itu bagus! Kau telah mengatakan rencana
mereka. Dan aku akan merencanakan penyambutan
untuk mereka. Penyambutan yang hangat. Ha hah ha
ha ha..!” ketawa nyekakak Lowo Brangah
berkumandang, bergema memantul ke dinding-dinding
goa.
Kemudian Lowo Brangah memberi isyarat. Sancaka
menunggu apa yang bakal terjadi. Ternyata dua orang
cebol muncul dengan menyeret tali yang mengikat
seseorang di belakangnya. Dan orang itu tiada lain
adalah Ki Sudamala.
“Kumpulkan dengan mereka,” perintah Lowo
Brangah.
Ki Sudamala diseret dengan kasar dan dijadikan
satu dengan kelompok Sancaka.
“San... caka..?!” ucap Ki Sudamala lirih dengan
semangat loyo. Tampaknya dia mendapat siksaan
bertubi-tubi. Darah telah menghitam mewarnai
tubuhnya di sana-sini. Kemudian muncul lagi tawanan
lain. Dia adalah Sikatan, putra Ki Braja Amparan.
Hanya saja tawanan yang ini tidak dikumpulkan
dengan lain-lainnya. Dia dipisah dan diikat pada tiang
utama yang tampaknya dipersiapkan untuk acara
khusus.
“Ha ha ha hah...! Tampaknya semua umpan telah
kita pasang. Sekarang tinggal menjebak mangsa saja!”
sumbar Lowo Brangah dengan memandangi satu-
persatu para tawanannya.
Akhirnya puncak penampilan adalah muncul sosok
tubuh yang melayang dari atas rongga goa. Wanita
kelelawar yang digelari Dewi Kelelawar! Dia
mengepakkan sayap dengan tenang, dan meluncur
turun bagai pesawat gantole. Tepat di hadapan Lowo
Brangah.
“Ooww, Dewiku..!” sapa Lowo Brangah dengan
melangkah maju.
Tanpa segan terhadap orang-orang di sekitarnya,
kedua tangannya memegang pipi Dewi Kelelawar dan
mencium keningnya, kemudian merambat ke pucuk
hidung, dan pada klimaksnya merenggut bibir yang
merona merah alami. Perlakuan ini disambut dengan
dingin oleh Dewi Kelelawar, tapi justru ini yang
membuat sikap Lowo Brangah kian beringas. Sesaat
tindakan itu berlangsung, lalu ciuman yang bernafsu
itu dilepaskan. Lowo Brangah menatap tajam ke arah
mata Dewi Kelelawar.
“Mengapa kau belum muncul pada saat upacara
yang sebentar lagi dilaksanakan?” tanyanya kepada
Dewi Kelelawar yang berpenampilan dingin itu.
Tak banyak orang yang paham dengan keadaan ini
kecuali Lowo Brangah sendiri. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa dalam tubuh wanita kelelawar ini ada
dua pribadi yang bersemayam. Satu pribadi si Kendit,
dan yang lain adalah iblis Siluman Kelelawar sendiri.
Dengan penampilan Dewi Kelelawar yang tampak
dingin, Lowo Brangah tahu bahwa pribadi Kendit yang
tampil disini.
“Baik! Aku mengerti. Kau tak menghendaki laki-laki
bernama Ki Sudamala itu dikembalikan ke dalam
bentuk asalnya. Beberapa hari lalu dia telah kau seret
menjadi makhluk jenismu, yakni manusia kelelawar.
Harap kau tahu, malam ini aku menghendaki dia
dalam wujud aslinya. Menjadi manusia Ki Sudamala
yang utuh! Dia akan kupergunakan untuk memancing
mangsa. Ada pihak yang telah menyusup kemari
untuk menghancurkan kita...!” kata-kata Lowo
Brangah ini diucapkan dengan nada sabar dan kasih
sayang, seakan memberi pengertian kepada orang yang
paling dia cintai. “Aku tahu kau menyukai laki-laki
bernama Ki Sudamala itu. Laki-laki macam dia
ternyata idamanmu. Perawakannya yang lebih tinggi
dariku itu yang mungkin kau sukai. Hidungnya
mancung lagi. Semua penampilannya mencerminkan
pemuas birahi untuk kaum betina!” kata Lowo
Brangah melanjutkan wawasannya. “Aku tidak
cemburu. Akan kupersilakan kau bercinta dengan dia
seperti sewaktu Ki Sudamala kita ubah wujudnya
menjadi manusia kelelawar, dan kalian menggalang
cinta yang penuh gejolak nafsu birahi. Tapi setelah
malam ini! Rupanya nafsu-nafsumu terpuaskan
olehnya bukan?”
Kata-kata Lowo Brangah terhenti lagi. Dia menanti
reaksi ucapannya yang ditujukan kepada Iblis Siluman
Kelelawar yang saat ini masih belum muncul dalam
penampilan lewat Dewi Kelelawar.
Di lain pihak, Sancaka yang mendengar omongan
Lowo Brangah, sempat bergidik perasaannya karena
tahu apa yang telah menimpa diri pamannya. Tak
kurang sedihnya adalah Ki Sudamala sendiri.
Omongan Lowo Brangah membuatnya merasa menjadi
manusia yang tak berharga lagi. Dia dibuat semacam
boneka untuk melampiaskan nafsu iblis Siluman
Kelelawar. Dan itu mungkin akan berlanjut lagi...!
Tengah hening beberapa saat ini, tiba-tiba perangai
Dewi Kelelawar berubah. Dia tampak beringas. Terlihat
lewat tanda pada penampilan matanya yang semula
seperti manusia biasa, kini berubah seperti orang sakit
mata. Merah! Sedangkan bulatan hitamnya kian
mengecil sehingga tampak bengis. Itupun disusul lagi
dengan taring yang mencuat, dan tampak sewaktu
menyeringai.
“Aku telah datang Lowo Brangah!”
Suara tawa Lowo Brangah berkumandang
keriangan. “Aku tahu kau telah datang, Dewiku! Kau
harus belajar mengendapkan perangai ngambekmu
dalam menghadapi masalah semacam ini. Itu namanya
muslihat, sebab lawan lawan-kita cukup cerdik untuk
mengalahkan kita.”
“Bulan purnama hampir tinggi. Kini lakukan
tugasmu,” kata Dewi Kelelawar.
Lowo Brangah terlihat bersemangat menanggapi
ucapan Dewi Kelelawar. Dia melangkah menuju ke
arah tawanannya yang terikat di tiang utama. Di sana
terikat seorang pemuda bernama Sikatan.
“Malam ini adalah giliranmu, Den Bagus! Relakan
jantungmu untuk kuambil demi keampuhan
pedangku. Pedang Kelelawar!” kata Lowo Brangah
dengan napas kembang kempis menahan kegembiraan
yang meluap.
Lowo Brangah menandai dada Sikatan dengan
goresan kukunya dengan tanda silang, tepat di arah
jantungnya. Goresan kuku tersebut mengeluarkan
darah merah segar.
Darah ini menimbulkan selera Dewi Kelelawar. Dia
terlihat menyeringai beringas. Seperti upacara-upacara
terdahulu, rentetan adegan ini akan diikuti dengan
terbangnya Dewi Kelelawar berputar-putar di rongga
ruangan goa itu dengan tujuh kali putaran. Kemudian
dia akan turun di hadapan korbannya yang terikat di
tiang utama. Lalu dengan gerak pancingan yang lemah
gemulai, dia akan membangkitkan birahi jejaka
tersebut. Kemudian dengan tegak mereka berdua akan
bermain cinta. Pada puncaknya, maka tangan Dewi
Kelelawar akan menghunjam ke dada korbannya
untuk diambil jantungnya...! Itulah yang akan terjadi
pada Sikatan malam ini!
Sikatan sendiri berdebar menanti peristiwa yang
bakal dialami. Dia sudah pasrah, bahwa ajalnya akan
tiba dengan cara yang mengerikan, menjadi tumbal
upacara.
Peristiwa yang akan dialami sudah pernah
disaksikan sewaktu Lowo Brangah mengadakan
upacara serupa sebelum dirinya sekarang ini. Hanya
saja waktu itu tidak bertepatan dengan saat bulan
purnama. Lowo Brangah melaksanakan setelah tidak
mampu menandingi pedang milik Pusparini alias Walet
Emas. Sekedar untuk menangkal kesialan yang baru
dialami.
Sikatan kini melihat Dewi Kelelawar telah turun di
hadapannya setelah berputar-putar di udara. Pada
tahap kedua, perwujudan siluman kelelawar itu akan
merangsang birahinya. Tangan Dewi Kelelawar mulai
beraksi. Rabaan yang sensual menggrayangi seluruh
tubuhnya yang hanya selembar kain menutupi
auratnya. Darah yang meleleh di dadanya akibat
goresan kuku Lowo Brangah dijilati oleh Dewi
Kelelawar dengan permainan lidahnya yang
menggelitik.
Sikatan hanya memejamkan mata. Napasnya mulai
berpacu. Bagaimanapun usahanya untuk mengalihkan
perhatian dari tindakan Dewi Kelelawar yang liar ini,
ternyata tak berhasil. Sikatan kini benar-benar terseret
arus. Dia membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan
birahi makhluk iblis itu.
Para tawanan tak ada yang tahan melihat peristiwa
ini. Mereka berpaling sambil memejamkan mata. Ki
Sudamala menitikkan air matanya. Sancaka bergidik
ngeri. Dia membayangkan akan mengalami nasib
serupa. Tempat itu dirasa sebagai neraka kengerian...!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan Dewi
Kelelawar. Jeritan yang nyaring. Lowo Brangah
tersenyum. Perangai seperti itu biasanya Dewi
Kelelawar mengalami kepuasan puncak.
Tapi rupanya Lowo Brangah terpedaya!
Itu bukan jeritan kepuasan puncak. Tapi jeritan
kesakitan. Jeritan ini disusul raungan bagai suara
seribu serigala bergema dalam goa itu. Dewi Kelelawar
menggeliat dan terpental dari hadapan Sikatan.
Lowo Brangah mengumbar mata ke sekelilingnya.
Dia mencari penyebab peristiwa itu. Ada sesuatu yang
telah menggagalkan upacara yang sedang
dilaksanakan.
“Jahanam! Kita kebobolan!” seru Lowo Brangah. Dia
merasakan pula adanya hawa yang menyelinap dalam
raungan itu. Hawa perbawa yang tersalur dari luar
untuk mengalahkan kekuatan magisnya.
“Cari siapa pun yang menyelinap kemari!”
Serentak segenap anak buahnya menyebar sesuai
dengan perintah. Belum jauh mereka bergerak, maka
Pusparini dengan Pedang Merapi Dahananya telah
melesat menerjang mereka.
Pusparini, Ki Catradana, Jlitheng Kasongan dan
Sruti tampil dengan semangat meluap.
“Jadi kalian, hah?!” seru Lowo Brangah.
Pusparini didampingi Jlitheng Kasongan segera
melabrak ke arah lawan yang berbondong-bondong ke
arahnya. Lawan mereka terdiri dari orang cebol dan
jangkung. Sedangkan Ki Catradana didampingi Sruti
mencari peluang untuk mendekati para tawanan. Tapi
niat mereka tidak bisa berjalan dengan mulus. Banyak
lawan menghadang jalanan.
“Aku akan melakukan dari sini saja,” kata Ki
Catradana, sementara Sruti membentengi agar tidak
ada lawan yang mendekati.
Ki Catradana membuka lembaran mantera yang
tertulis di kulit sapi, sedangkan tongkat logam itu
dibawa oleh Sruti. Dengan senjata ini Sruti menghalau
lawan-lawannya. Memang ada semacam daya aneh
dari tongkat logam tersebut. Dengan tebasan tongkat
itu banyak lawan mampu disingkirkan.
Sementara itu Dewi Kelelawar yang semula
terjerembab karena kekuatan aneh, mulai berusaha
bangkit dari tempatnya. Sedangkan Lowo Brangah
dengan langkah gontai mencari sumber petaka yang
membuat dirinya kehilangan tenaga. Dan akhirnya
mata Lowo Brangah melihat tongkat di tangan Sruti.
Inderanya segera memantau kekuatan yang terpancar
dari tongkat tersebut.
“Tongkat itu... seperti yang kulihat dalam mimpi,
harus kuhancurkan,” gumam Lowo Brangah dengan
suara tertahan. “Dewi Kelelawar, himpun kekuatanmu
untuk merampas tongkat itu...!”
Suara itu memang tak begitu keras terdengar,
apalagi suara hiruk-pikuk keributan baku hantam dari
anak buah Lowo Brangah yang mengeroyok Pusparini
dan Jlitheng Kasongan. Tapi seruan Lowo Brangah
mempunyai jalur khusus yang hanya bisa didengar
oleh Dewi Kelelawar.
Mendengar seruan ini, maka Dewi Kelelawar
mempertajam matanya. Mata itu tiba-tiba bagaikan
menyimpan bara api di dalamnya. Terlihat menyala.
Itu adalah pancaran tenaga dalam yang ditujukan ke
arah sasaran. Dan sasarannya adalah Sruti!
Sruti sendiri baru sadar bahwa ada kekuatan aneh
yang seolah membisikkan agar dia menyerahkan
tongkat itu. Sruti telah tersihir! Maka dengan langkah
pelan dia menuju ke arah Dewi Kelelawar berada...!
Hal itu tentu saja sangat mengejutkan Ki Catradana
yang sedang merapal mantera berdasar tulisan-tulisan
yang tertera di atas kulit sapi. Rapalannya terhenti dan
kini harus bertindak menghadapi lawan-lawan yang
mulai mengeroyoknya. Agak kuwalahan dia.
Dan para pengroyok itu rupanya tahu apa yang
harus didapatkan dari Ki Catradana. Mereka
mengincar tulisan mantera tersebut. Jelas semua telah
terperintah dari satu sumber. Yang tiada lain dari Lowo
Brangah yang berada di puncak patung batu
berbentuk kepala kelelawar yang diukir dengan wujud
menyeringai ganas. Di sini Lowo Brangah duduk
bersila dengan sikap semedi.
Kalau diamati dengan teliti selama dia berada di
tempat itu untuk mengendalikan semua anak buahnya
lewat jalan pikiran, maka terjadi perubahan pada
jasmaninya. Sekujur tubuhnya dengan pelan telah
ditumbuhi bulu-bulu halus. Lalu wajahnya mulai
berubah pula. Telinganya tumbuh lebih lebar, seperti
telinga kelelawar...!
Sementara Pusparini alias Walet Emas dengan
semangat meluap tak memberi kesempatan pada
lawan-lawannya untuk mempertahankan diri. Keadaan
di sana tidak memungkinkan berpikir memberi
pertimbangan tentang belas kasihan. Sebab disadari,
dia berhadapan dengan kekuatan iblis. Dan iblis tak
pernah kompromi!
Akhirnya dari sepak terjang Pusparini dan Jlitheng
Kasongan telah dua pertiga kekuatan anak buah Lowo
Brangah berhasil dilumpuhkan. Dan kekuatan di
pihak Pusparini bertambah ketika Jlitheng Kasongan
berhasil membebaskan para tawanan, kecuali Sikatan
yang masih terikat di tiang utama. Pemuda ini sulit
didekati karena Dewi Kelelawar berada tak jauh
darinya.
Terlihat dalam kesempatan ini Dewi Kelelawar
masih disibukkan mencoba mempengaruhi dengan
kekuatan sihirnya terhadap Sruti yang membawa
tongkat logam tersebut. Sruti semakin dekat dengan
Dewi Kelelawar. Makhluk jelmaan iblis ini merasa
yakin akan dapat merebut tongkat yang diincar dari
tangan Sruti.
Ketika tangannya akan menjangkau tongkat
tersebut, tiba-tiba dadanya terasa sesak dibarengi
dengan tubuhnya yang menggeliat dan roboh ke
samping. Itu karena sebuah tendangan. Dan pembuat
kegagalannya untuk meraih tongkat tersebut adalah
Pusparini.
Dewi Kelelawar menyeringai bengis. Matanya tertuju
ke arah lawan yang baru saja mengecohnya dengan
tendangan. Pusparini berhasil membebaskan pengaruh
sihir yang membelenggu Sruti.
“Jauhi dia!” seru Pusparini kepada Sruti.
Sruti menghindari Dewi Kelelawar yang berusaha
bertindak merebut tongkat tersebut. Tapi agaknya
Sruti kurang cepat bertindak. Tongkat berhasil
terpegang ujungnya oleh Dewi Kelelawar. Terjadi tarik-
menarik sebentar.
Mendadak tubuh Sruti terangkat ke atas. Hal itu
karena Dewi Kelelawar menarik tongkat dengan gerak
melambung ke atas. Dia terbang. Dalam keadaan
tergantung Sruti berusaha mempertahankan diri.
Sedangkan Pusparini tak sempat bertindak menolong
karena harus menghadapi lawan yang tiba-tiba
menyerang dirinya.
Setelah lawan ini berhasil dibereskan, Pusparini
segera bertindak untuk membantu Sruti. Dia mencari
peluang untuk bisa menjebak Dewi Kelelawar.
Akhirnya peluang untuk itu didapatinya. Dia harus
melesat ke atas sana dengan berpijak pada tonjolan
dinding-dinding goa. Dengan gerak beranting Pusparini
dapat memperoleh peluang yang dikehendaki. Dia
berhasil melesat ke arah Dewi Kelelawar. Dengan
pedang terhunus maka ditebasnya sayap Siluman
Kelelawar itu.
Shrrakkh!!!
Maka sayap itu terbelah.
Karena peluang di udara masih memungkinkan
bertindak lagi, maka tebasan kedua membabat tangan
yang memegangi ujung tongkat tersebut.
Chraassh!!!
Tangan Dewi Kelelawar terpenggal. Semua
berlangsung cepat sekali dan sulit diikuti mata. Yang
terlihat hanya gerakan Dewi Kelelawar menjadi oleng
disertai jeritannya yang menggema. Sruti terpelanting,
tapi berhasil mempertahankan tongkat itu. Tubuh
Dewi Kelelawar terhempas ke bawah!
Lowo Brangah njenggirat kaget. Pandangannya
diarahkan kepada tubuh Dewi Kelelawar yang luka
parah di bawah sana. Tanpa membuang waktu dia
segera bertindak. Raut wajahnya yang telah ditumbuhi
bulu-bulu itu menyeringai bengis. Dengan mencabut
pedangnya dia melesat memburu Sruti.
Untunglah hal ini sempat dilihat Pusparini.
Pendekar Walet Emas ini melesat untuk membendung
gerak Lowo Brangah. Terjadi benturan dan itu
merupakan beradunya Pedang Merapi Dahana dengan
Pedang Kelelawar. Bunga-bunga api berpijar dari dua
senjata yang saling beradu. Kini perhatian Lowo
Brangah tersita untuk meladeni Pusparini.
Perang tanding kedua tokoh ini memporak-
porandakan apapun yang berada di sana. Semua
menyingkir menghindar. Ada kalanya anak buah Lowo
Brangah mencoba membokong Pusparini. Tapi dengan
tangkas Pendekar Walet Emas ini berhasil menindak si
pembokong. Untuk memberi pelajaran pada
pembokong yang lain, sengaja Pusparini memberi
perlawanan dengan menebas leher lawan sehingga
kepala mereka terpental dari tubuhnya. Sungguh
mengerikan. Nilai perikemanusiaan telah sirna.
Keadaan telah membuat Pusparini terseret kekejaman
tanpa ampun. Sebab kalau tidak begitu, maka dirinya
yang akan menjadi korban.
Dalam kekacauan itu Dewi Kelelawar mencoba
menghimpun tenaganya. Tapi tindakan itu kiranya
akan sulit dilakukan. Sebab dia melihat seseorang
telah datang ke arahnya. Orang itu tiada lain adalah Ki
Sudamala yang di tangannya terpegang tongkat logam.
Semua telah terjadi peralihan dengan cepat.
Ki Sudamala kini yang tampil setelah tongkat itu
oleh Sruti diberikan kepadanya. Bukan itu saja.
Lembaran mantera yang sejak semula berada di
tangan Ki Catradana, kini telah diberikan kepada Ki
Sudamala...!
“Hanya aku yang tahu bagaimana mempergunakan
perpaduan senjata ini!” kata Ki Sudamala ditujukan
kepada Dewi Kelelawar yang berusaha menghindar.
Tapi rasanya otot-ototnya lunglai tak berdaya untuk
bergerak.
“Tidak! Ampuni akuuu...!” terdengar suara Dewi
Kelelawar meratap.
“Musafir dari tanah Hindustan itu berasal dari
Kerajaan Karnataka. Dia datang sampai ke Jawadwipa
ini hanya untuk mengejarmu. Kau iblis Siluman
Kelelawar telah menimbulkan malapetaka di sana.
Sayang musafir itu meninggal karena sakit ketika aku
menjumpainya. Dan tongkat logam beserta rapalan
mantera yang ditulis di kulit sapi itu diberikan
kepadaku. Kini aku mengambil alih tugasnya...!” kata
Ki Sudamala dengan penuh wibawa. Luka-luka di
tubuhnya tak dihiraukan lagi. Rasanya dia mendapat
kekuatan dengan memegang senjata ampuh yang
selama ini diincar oleh Lowo Brangah. Tentu saja
untuk dihancurkan atas perintah Siluman Kelelawar
yang perwujudannya menjadi Dewi Kelelawar.
Bagaimana rahasia perpaduan tongkat logam dan
tulisan mantera pada kulit sapi itu? Sebelum Ki
Sudamala tampil untuk memerangi Dewi Kelelawar,
dia telah memadukan dua benda itu agar
menimbulkan kekuatan ampuh. Semua itu berkat
rahasia yang telah dibeberkan oleh musafir Hindustan.
Ternyata tongkat logam itu berongga dan di dalamnya
terdapat air. Konon air itu diambil dari kuil suci di
Kerajaan Karnataka. Kemudian kulit sapi bertuliskan
mantera tersebut dimasukkan ke dalam rongga
tongkat yang berisi air suci. Lalu terjadi proses kimiawi
kekuatan alam yang tak akan bisa dipecahkan oleh
nalar manusia. Di dalam rongga tongkat itu, kulit sapi
tersebut lebur larut jadi satu. Dan anehnya, ketika
tutup tongkat itu dipasang kembali, maka di ujung
tongkat satunya mencuat sebilah benda runcing.
Benda itu mencuat sekitar empat jengkal dan
bertuliskan mantera-mantera yang terukir. Itulah
senjata yang ditakuti Siluman Kelelawar yang
bertahun-tahun meloloskan diri dari kawasan
Kerajaan Karnataka di Hindustan Selatan.
“Sekarang terimalah ajalmu!” seru Ki Sudamala
dengan mengarahkan ujung tongkat yang runcing itu.
Dan...
“Aahhh...!”
Suara ini bukan dari jeritan Dewi Kelelawar, tapi
dari mulut Ki Sudamala sendiri. Kiranya dia lengah.
Sewaktu mengancam Dewi Kelelawar, maka tangan
wanita siluman ini berhasil menjangkau sebilah golok
di sampingnya dengan tangannya yang masih utuh.
Pedang tersebut dilempar ke arah Ki Sudamala dan
menancap di dada. Tapi dengan menahan rasa sakit,
Ki Sudamala masih berusaha untuk melanjutkan
tugasnya.
Semua memang tidak semudah yang dibayangkan
walaupun tinggal melancarkan serangan satu jurus
saja untuk membinasakan Dewi Kelelawar. Ternyata
Lowo Brangah yang sedang terlibat perang tanding
dengan Pusparini berhasil meninggalkan gelanggang
untuk menolong Dewi Kelelawar. Dia melesat untuk
merebut tongkat itu di tangan Ki Sudamala yang
terlihat gontai karena serangan lawan yang tak
terduga. Tinggal satu depa lagi Lowo Brangah di
pastikan bisa merebut tongkat itu.
Tapi mendadak tubuh Lowo Brangah njenggirat
meliuk ke belakang dengan meledakkan jeritan. Hal itu
karena sebuah pedang telah meluncur dan menancap
di punggungnya, dan tembus dada tepat pada
jantungnya. Ternyata Pedang Merapi Dahana milik
Walet Emas berhasil mengirim nyawa Lowo Brangah ke
akherat! Tubuh Lowo Brangah terjerembab ke bawah.
Kesempatan yang serba cepat ini maunya
dipergunakan oleh Dewi Kelelawar untuk menjauhi Ki
Sudamala yang tampaknya bertahan untuk
membunuhnya. Dewi Kelelawar mencoba berkelit
melesat sekuat tenaga. Tapi hal itu tak berhasil karena
kaki Ki Sudamala dengan cepat menginjak sayapnya.
Gerak Dewi Kelelawar tersendat, dan kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Ki Sudamala. Dengan cepat dia
menghunjamkan ujung tongkatnya ke dada lawan!
Jhheebbh!!!
Darah muncrat. Jeritan Dewi Kelelawar
berkumandang memekakkan telinga. Ujung tongkat
yang runcing itu amblas menembus jantung, dan kian
tertanam di sana karena dibebani berat badan Ki
Sudamala yang juga ambruk. Dia tewas pada puncak
tugasnya. Dewi Kelelawar tak bergerak lagi setelah
meregang nyawa dengan gerak sekarat.
Semua itu disaksikan oleh mereka yang masih
hidup. Mereka tercekam rasa ngeri. Apalagi ketika
dilihatnya tubuh Dewi Kelelawar itu berangsur-angsur
membusuk di bawah tindihan badan Ki Sudamala.
Dan yang lebih mengherankan adalah munculnya
cahaya hijau dari kepala Dewi Kelelawar yang berubah
menjadi tengkorak itu. Cahaya tersebut melesat keluar
dan berputar-putar dalam rongga goa diikuti dengan
terdengarnya suara tawa nyekakak. Suara Siluman
Iblis Kelelawar yang tanpa wujud badan kasar...!
Sekejap setelah peristiwa itu terjadi getaran dalam
goa tersebut.
“Gempa!!!” seru Pusparini dengan cemas. Dia tahu
Siluman Iblis Kelelawar itu akan mengadakan
pembalasan dengan cara lain. “Cepat tinggalkan
tempat ini...!”
Semua orang berlarian keluar. Pusparini masih
sempat melepaskan Sikatan yang ketika itu tetap
terikat di tiang utama tempat upacara. Lalu keduanya
mengikuti jejak orang-orang yang telah terlebih dulu
keluar dari sana.
Suara gemuruh kian dahsyat. Seakan-akan Gunung
Katong sendiri yang akan meletus, padahal gunung itu
sudah bertahun-tahun sudah lelap ‘tidur’.
Mereka semua dengan selamat telah sampai di luar
goa. Goa tempat pemukiman Lowo Brangah telah
runtuh. Semua hancur lebur.
***
Dengan peristiwa itu maka tuntas sudah peristiwa
yang bersumber dari keganasan Siluman Iblis
Kelelawar yang konon datang melarikan diri dari
Hindustan dan berhasil bersekutu dengan Lowo
Brangah, seorang tokoh hitam yang mengidamkan
pedang ampuh.
“Saya ikut berduka atas meninggalnya Kendit,” kata
Pusparini kepada Kakek Wreti Kandayun. Kendit,
mbakyunya Sruti, telah jadi korban dalam penjelmaan
menjadi perwujudan Dewi Kelelawar.
“Setiap perjuangan pasti ada korban. Aku rela atas
kepergiannya,” ujar orang tua itu.
“Kami akan membangun Pedukuhan Gondolayu
lagi. Para penduduk laki-lakinya selama ini
bersembunyi ke tempat lain karena ancaman
keselamatan dari Lowo Brangah. Aku yakin mereka
akan kembali lagi kemari.”
“Kalau begitu... Sruti sudah bersuami?” tanya
Pusparini karena dia teringat hubungan Sruti dengan
Jlitheng Kasongan.
“Suami si Sruti telah tewas karena kekejaman Lowo
Brangah. Mengapa kau tanyakan hal itu?” jawab
Kakek Wreti sambil berjalan di samping Pusparini.
Mereka menyaksikan penduduk Gondolayu
membenahi rumah masing-masing yang tak pernah
terurus karena dicekam ketakutan selama kekuasaan
Lowo Brangah.
Kakek Wreti Kandayun segera mengerti maksud
pertanyaan Pusparini tadi. Pandangannya terpaku
pada Sruti dan Jlitheng Kasongan yang tampak rukun
membenahi pekarangan rumah.
“Jlitheng Kasongan telah memutuskan untuk
tinggal disini,” kata Pusparini. “Dia memang bekas
seorang begal. Tapi saya yakin dengan keberadaan
Sruti di sampingnya akan merubah pandangan
hidupnya.”
“Aku mengerti. Mudah-Mudahan Sruti dapat
memperoleh harapannya kembali,” ujar orang tua itu.
***
Hari berikutnya, terjadilah perpisahan itu.
Pusparini, Ki Catradana, Sikatan dan Sancaka serta
dua orang pengikut yang selamat, kembali ke
Wonoboyo. Tak ada peristiwa penting lagi yang bisa
diceritakan di sini. Yang jelas Pusparini tak bisa
ditahan lagi dengan niatnya yang melanjutkan
perjalanan menurut sepembawa kakinya.
“Apakah kita bisa berjumpa lagi?” tanya Sancaka
yang harus tinggal di Jumpolo mewarisi peninggalan
pamannya.
“Rasanya sulit. Untuk sementara ini aku tak ingin
terpaku pada suatu tempat. Petualanganku hanya
untuk melupakan semua keluargaku yang telah
binasa. Justru setiap kejahatan itu yang harus
kuperangi...!” kata Pusparini dengan menghentakkan
tali kekang kudanya menuju arah timur.
Sancaka mengawasinya sampai gadis berkemben
kuning itu lenyap dari pandangan.
“Aku tak akan melupakanmu, Walet Emas,” bisik
Sancaka.
SELESAI
Emoticon