SATU
Suara bende yang dipukul bertalu-talu membuat
orang-orang mendatangi tempat itu. Di sana, tepat hari
pasaran yang berlangsung lima hari sekali, diadakan
arena jual beli di oro-oro ombo. Kesempatan itu diper-
gunakan oleh petugas kadipaten untuk menyebarkan
pengumuman yang harus diketahui oleh segenap pen-
Bagaikan kerumunan semut, orang-orang di sana
mengitari seorang punggawa kadipaten yang berteng-
ger di atas punggung kuda. Sedangkan temannya yang
lain mengawasi orang-orang yang datang untuk men-
getahui maklumat yang akan diumumkan...
“Harap diketahui, wahai segenap penduduk Kadipa-
ten Argapura! Bahwa saat ini Sang Adipati berkenan
mencari para jagoan untuk dihimpun dalam laskar
khusus. Ini berkenaan dengan tugas yang harus dilak-
sanakan untuk menghadapi serangan musuh dari
luar!”
Begitu maklumat itu selesai, maka berkembanglah
pembicaraan dari mulut ke mulut.
“Apakah kadipaten kita akan diserang musuh?!”
tanya seseorang.
“Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu musuh mana
yang akan menyerang kadipaten kita,” jawab yang lain.
“Aneh! Selama ini tidak terdengar bahwa kita ber-
musuhan dengan kadipaten lain. Apakah ada masalah
yang terpendam sehingga kita sebagai rakyat biasa ba-
ru tahu saat ini.” tanggapan yang lain.
Orang yang diajak bicara hanya mengangkat bahu,
sementara matanya tertuju kepada seseorang yang
naik kuda muncul dari tikungan.
“Lihat, siapa yang berkemben kuning itu. Berkuda
lagi. Melihat pakaiannya, dia pasti seorang pendekar,”
kata orang itu dengan memancing perhatian temannya.
Orang-orang yang bergerombol di sana semua men-
gawasi si penunggang kuda itu.
“Apakah dia datang karena pengumuman tadi?”
tanya seseorang.
“Kan dia baru muncul? Mana dengar pengumuman?
Tapi... jangan-jangan dia mata-mata musuh yang akan
menyerang kadipaten ini!” komentar yang lain.
Dan itu adalah omongan yang menyulut. Berawal
dari prasangka iseng, lalu menyebar dari mulut ke mu-
lut.
“Apa? Dia mata-mata musuh?” tanggapan yang kian
berkembang semakin menyudutkan si penunggang
kuda itu.
Semua mata mengawasi sosok tubuh berkemben
kuning di atas punggung kudanya. Sikap ini tiba-tiba
menarik perhatiannya. Dia jadi merasa kikuk diawasi
banyak mata sepanjang geraknya. Lalu dia menghenti-
kan kudanya, serta turun mencari tempat tambatan
kuda. Dilihatnya ada batang bambu yang rupanya
memang disediakan untuk tambatan kuda. Tapi sebe-
lum dia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba terdengar sua-
ra teguran...
“Jangan kau tambatkan kudamu di sini. Tempat ini
terlarang bagi orang yang hendak memusuhi kami!”
ucapan ini keluar dari mulut seseorang bertubuh ke-
kar. Tampangnya serem, dengan cambang dan kumis
yang cukup membuat dirinya disegani orang-orang di
sana. Di tempat itu orang ini biasa dipanggil Warak.
“Maaf, Ki! Apa yang Aki ucapkan tadi?” tanya wanita
berkemben kuning.
“Ja-ngan tam-bat-kan ku-da-mu di-si-ni!” terdengar
suara si Warak dengan nada terpisah-pisah seakan
memperjelas kata-katanya tadi.
“Memangnya kenapa? Kalau tak salah... Aki tadi bi-
lang bahwa aku adalah musuh. Musuh siapa? Saya
pendatang baru di tempat ini. Saya tak punya musuh
di sini!” kata wanita berkemben kuning yang memben-
dung tuduhan.
Dilihatnya banyak orang yang datang melihatnya.
Firasatnya membisikkan, bahwa dia akan menghadapi
kesulitan di tempat itu. “Saya ingin keterangan yang
jelas!” katanya lagi.
“Kau mencoba mengelabui kami?” kata si Warak
menantang.
Tampak wajah jengkel dari wanita berkemben kun-
ing itu. Alisnya bertaut. Kalau sudah begini satu-
satunya pikiran yang ada dalam benaknya adalah ba-
ku hantam! Dia merasa ditantang dengan keadaan.
“Baik! Aku akan membuktikan bahwa aku bukan
musuh seperti yang kalian tuduhkan. Bagaimana ka-
lau aku kau ringkus saja? Tentunya aku akan membe-
la diri. Kalau kau bisa meringkusku, bawalah aku ke
hadapan penguasa kadipaten ini!” tantang wanita ber-
kemben kuning.
Si Warak ketawa nyekakak. Belum selesai suara ke-
tawanya, maka kakinya telah menendang ke arah wa-
nita berkemben kuning itu. Untung hal ini cepat di-
waspadai. Si wanita berkemben kuning berhasil me-
nangkis serangan tersebut. Sambil mengadakan tang-
kisan, maka kaki kanannya berkelebat ke tengah anta-
ra dua paha si Warak. Kontan laki-laki itu mengaduh
dan terjengkang ke belakang. ‘Si bapakne thole’ kena
gampar. Dan yang menyakitkan bahwa tendangan itu
tepat menghajar ke ‘butirannya’ yang sulit didapat di
pasar mana pun!
Sebenarnya wanita berkemben kuning ini bisa me-
lancarkan terus serangannya. Karena melihat si Warak
menggeliat roboh sambil terus menebah bagian tubuh-
nya yang jadi pelengkap penderita, dia tidak tega me-
lakukannya. Bahkan dia mencoba menolongnya untuk
bangkit. Tapi begitu wanita berkemben kuning ini me-
nyentuh pundaknya, tiba-tiba si Warak bangkit dengan
mengirimkan tinjunya.
Serangan yang tak diduga ini benar-benar merupa-
kan hal yang menyakitkan, karena tepat mengenai
buah dadanya. Si wanita berkemben kuning tergeser
ke belakang. Si Warak dengan mata beringas akan te-
rus berniat mengadakan hajaran secara beruntun. Ta-
pi si wanita cukup waspada. Tendangan kaki lawan
berhasil ditangkis. Bukan itu saja. Kali ini si wanita
benar-benar beringas dalam bertindak. Itu hanya gara-
gara dia kena gampar ketika mencoba menolong la-
wannya yang diduga menderita kesakitan.
Si Warak yang melihat lawannya bergerak bagai
banteng ketaton, agak miris juga untuk menghadapi.
Telah tiga kali tubuhnya kena gampar. Dia benar-
benar tak bisa membalas. Sampai akhirnya semua se-
rangan lawan dirasanya begitu menyiksa. Si Warak
mencelat ketika sebuah hantaman beruntun mengha-
jar dagu dan rahangnya. Kontan dua biji giginya rom-
pal. Tubuh si Warak ndlosor ke tengah kubangan air
yang menggenang di tengah jalan akibat hujan sema-
lam.
Melihat hal itu orang-orang yang menyaksikan baku
hantam menjauhkan diri. Sialnya, desas-desus tentang
mata-mata atau telik sandi lawan telah menyusup ke
Kadipaten Argapura kian menyebar
“Hai, kau, wanita berkemben kuning! Diam di tem-
patmu apabila menyayangi nyawamu!” suara lantang
tiba-tiba terdengar mengejutkan dirinya.
Belum usai dia melepaskan napas menghadapi si
Warak, kini dilihatnya selusin orang telah mengepung-
nya dengan acungan anak panah yang siap dilepaskan
dari busurnya.
Dia bukan sok jagoan. Sebenarnya dengan ancaman
panah seperti itu dia masih bisa melesat dengan mem-
berikan serangan kilas balik. Tapi dipertimbangkan
bahwa masalah dirinya yang dianggap sebagai musuh
perlu dijernihkan, maka ancaman itu dipatuhi. Dia
menyerahkan diri.
Beberapa orang maju ke muka hendak meringkus
dengan ikatan tali. Tapi dia menolak.
“Aku menyerahkan diri dengan baik-baik. Kalian
tak usah khawatir kalau aku akan mengadakan perla-
wanan. Aku memang ingin menghadap penguasa tem-
pat ini!” katanya tegas.
***
“Siapa namamu?” tanya seorang punggawa kadipa-
ten yang berpangkat Pimpinan Bhayangkara Kadipa-
ten. Orangnya berperawakan gendut dengan rompi
yang menganga memperlihatkan simbar dadanya yang
lebat. Demikian pula kumisnya yang njlaprang melin-
tang sampai di tengah kedua pipinya, menandakan
bahwa orang ini sugih rambut. Orang biasa memang-
gilnya dengan sebutan Ki Jlaprang.
“Pusparini!” terdengar jawaban singkat atas perta-
nyaan tadi.
“Pusparini?” kata punggawa itu mengulang. “Siapa
yang mengirimmu?”
“Mengirim saya? Oh, benar-benar pertanyaan aneh.
Saya seorang pengembara. Saya pergi ke mana saya
suka. Saya berteduh di mana saya ingin membaring-
kan diri. Saya bebas. Tak ada yang memerintah saya!”
kata Pusparini dengan tandas.
“Hm! Omonganmu lugas dan tegas. Tidak meragu-
kan. Tapi di mataku tak ada yang bisa berkata begitu.
Aku ingin pembuktian!” kata Ki Jlaprang.
“Apakah itu dengan tindak kekerasan?”
“Jangan menantang. Dengan isyarat yang kuberi-
kan, maka orang-orangku akan merejam tubuhmu
dengan anak-anak panah yang saat ini sedang men-
gincar lewat lubang-lubang pengintai itu,” kata Ki Jla-
prang dengan mempersilahkan Pusparini meneliti lu-
bang-lubang yang banyak terdapat di sekeliling tembok
ruangan itu.
“Baik! Sebelum kau mengadakan pembuktian bah-
wa diriku tak bersalah, kini jelaskan alasan mengapa
kalian menangkapku!” kata Pusparini dengan pandan-
gan mata menyapu mencari peluang untuk bisa lolos
dari tempat itu. Tapi kenyataannya tak ada peluang
yang bisa ditempuh.
“Maaf! Sebenarnya aku tidak punya niat buruk ter-
hadapmu,” kata Ki Jlaprang. “Saat ini memang kami
sedang mencari orang-orang tangguh yang mungkin
mampu kami bentuk dalam laskar khusus. Kami se-
dang bermusuhan dengan penguasa Kadipaten Ka-
ranggayam di seberang Bengawan Tambak Baya!” kata
Ki Jlaprang dengan mencoba mengurangi ketegangan
yang bersemi dalam hati Pusparini. Laki-laki ini cukup
mengerti apa yang sedang bergejolak dalam perasaan
Pusparini.
“Bermusuhan antar kadipaten? Bagaimana itu
mungkin? Apakah ini menyangkut masalah perbatasan
atau... hal-hal yang lain?” kata Pusparini yang agaknya
mulai tertarik dengan ucapan Ki Jlaprang.
Dari ucapan sekilas ini Ki Jlaprang dapat menyim-
pulkan bahwa Pusparini memiliki kecerdasan dalam
menilai sebuah masalah.
“Bukan masalah perbatasan. Tapi masalah yang pe-
lik. Kadipaten Argapura akan membangun sebuah
candi. Setelah dilakukan perhitungan penujuman, ma-
ka letaknya harus berada di kawasan Pegunungan
Embun Nirwana. Pegunungan itu saat ini dianggap wi-
layah bebas, tapi dikuasai oleh seorang pendekar sakti
yang menamakan diri Pendekar Kipas Akar Wangi,” ka-
ta Ki Jlaprang.
“Pendekar Kipas Akar Wangi?” sahut Pusparini.
“Ampuh benar julukannya.”
“Sebenarnya pihak kami pernah mengadakan pen-
dekatan dengan dia. Tapi tampaknya ada pihak lain
yang menghasut sehingga pembicaraan yang pernah
kami rintis menemui kegagalan. Dan pihak penghasut
itu adalah orang-orang Kadipaten Karanggayam.”
“Jadi begitu persoalannya?” kata Pusparini menco-
ba memancing pembicaraan lagi ketika diketahui Ki
Jlaprang berdiam diri cukup lama. “Pantas saja kalau
ada orang menuduhku sebagai mata-mata. Kalian kira
aku ini dari Kadipaten Karanggayam?”
“Aku pribadi tak tahu mengapa kau bisa dituduh
begitu. Kami hanya menerima laporan bahwa ada ma-
ta-mata musuh berada di oro-oro ombo,” kata Ki Jla-
prang.
“Kalau begitu keadaan di sini cukup rawan,” sela
Pusparini. “Apakah Ki Jlaprang sendiri tetap menu-
duhku sebagai mata-mata musuh?”
“Saat ini aku mencoba untuk tidak mempunyai
anggapan begitu. Ketahuilah, bahwa pasukan keama-
nan di kadipaten ini sangat lemah. Justru itu yang
membuat Sang Adipati memerintahkan kami untuk
membentuk laskar khusus untuk menghadapi masa-
lah ini. Kami tidak memerlukan banyak tenaga. Kami
menghendaki beberapa orang saja, tapi kekuatannya
mampu menghadapi pasukan lawan.”
“Boleh kutahu sudah berapa orang yang berhasil
dihimpun?” tanya Pusparini.
“Kalau kau orang yang berminat, maka kau menjadi
orang yang pertama,” jawab Ki Jlaprang.
“Oh ya?”
***
DUA
Hari berikutnya berbondong-bondong orang untuk
mendaftarkan diri sebagai anggota laskar khusus Ka-
dipaten Argapura. Tentu saja tidak semua orang bisa
diterima. Mereka harus melalui ujian dan penelitian
tentang kesehatan serta ketrampilan olah bela diri.
Yang mendaftar sekitar seratus orang, datang dari pel-
bagai pelosok. Baik dari Kadipaten Argapura sendiri
maupun dari wilayah lain. Hal ini menjadi kendala pu-
la, sebab dikhawatirkan ada telik sandi atau mata-
mata dari Kadipaten Karanggayam yang menyusup ke
dalam laskar khusus ini.
Tapi dari sejumlah pendaftar, ternyata yang berhasil
disaring hanya sepuluh orang saja. Itu pun sudah me-
lalui gemblengan, yang kadang-kadang mengundang
maut. Dan korban pun tidak terelakan. Ada enam
orang yang tewas, dua puluh satu luka berat, dan
lainnya luka ringan.
Dari sepuluh orang yang terpilih, termasuk Puspa-
rini sendiri. Sepuluh orang terdiri dari tiga wanita dan
tujuh laki-laki.
“Di antara sepuluh orang itu akan kita pilih lagi!”
kata Ki Jlaprang kepada bawahannya.
“Berarti... mereka harus saling mengalahkan?”
tanya punggawa bawahan itu.
“Apa boleh buat. Tapi sebenarnya sayang sekali ka-
lau harus ada korban lagi. Aku lebih cenderung untuk
tetap memakai sepuluh orang itu. Tapi Sang Adipati
hanya menghendaki tujuh orang saja!”
“Tujuh orang?”
“Ya. Tujuh, dipandang sebagai angka keramat kadi-
paten ini.”
Kemudian Ki Jlaprang mengumumkan ketentuan
tersebut.
Sepuluh orang pendekar yang kini bertempat dalam
barak penampungan saling memandang satu sama
lain. Dari penyaringan yang membuat sepuluh orang
terpilih, memang belum pernah berhadapan satu sama
lain. Tiga wanitanya adalah Pusparini sendiri, Roro Wi-
lis, dan Arumdalu. Sedangkan ketujuh laki-lakinya
adalah, Mahesa Alit, Dhandhang Gendis, Gumbrek,
Watangan, Prangbakat, Udel Bodong dan Jelantik.
Dari ketujuh laki-laki itu Mahesa Alit yang termuda.
Umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Sedangkan
yang lain sudah mendekati usia tiga puluhan. Bahkan
yang bernama Udel Bodong usianya hampir berkepala
empat, alias empat puluh tahun.
Kalau dinilai tentang keunggulan, boleh dikata me-
reka semua sejajar. Entah kalau di antara mereka ma-
sih menyimpan ilmu andalan. Tapi ketika Pusparini
mendengar keputusan bahwa yang akan diambil hanya
tujuh orang, dia bermaksud mengundurkan diri.
“Mengapa?” tanya Ki Jlaprang.
“Saya tidak tega lagi kalau harus ada korban di an-
tara yang terbaik ini,” jawab Pusparini sambil menga-
wasi sembilan orang lainnya.
“Kalau begitu aku juga akan mengundurkan diri,”
jawab Mahesa Alit.
“Aku juga,” Roro Wilis nimbrung mengemukakan
pendapatnya.
Sedangkan ketujuh orang lainnya cuma diam.
“Ah, keputusan yang macam itu tidak mungkin,”
kata Ki Jlaprang.
“Apanya yang tidak mungkin, Ki? Bukankah kini te-
lah ada tujuh orang seperti yang dikehendaki Sang
Adipati?” sela Mahesa Alit. “Disepakati atau tidak, ru-
panya kami bertiga telah memilih mengundurkan diri
daripada harus menyisihkan yang lain agar bisa tampil
dalam Laskar Khusus.”
“Baik, kalau hal itu menjadi keputusan kalian berti-
ga,” Ki Jlaprang cepat memberi tanggapan. Dia khawa-
tir dari ketujuh orang itu ada yang berniat mengikuti
jejak mengundurkan diri. Kalau hal itu terjadi, maka
runyamlah semua rencana. Ki Jlaprang tidak ingin
Sang Adipati Argapura akan menilainya sebagai Pimpi-
nan Bhayangkara Kadipaten yang tidak becus.
“Tapi... aku ingin bertemu dengan kalian bertiga
nanti,” pesan Ki Jlaprang sebelum meninggalkan tem-
pat itu untuk melaporkan kepada junjungannya.
Sepeninggal Ki Jlaprang, ketujuh orang yang telah
dianggap sebagai Laskar Khusus segera mendekati
Pusparini, Mahesa Alit, dan Roro Wilis.
“Kukira kau tadi berkata cuma main-main,” kata
Dhandhang Gendis menghadapi Pusparini.
“Main-main? Kau lihat sendiri, semuanya telah ter-
jadi bukan? Aku sendiri sebenarnya tak berniat untuk
masuk ke dalam jajaran Laskar Khusus Kadipaten Ar-
gapura ini. Aku datang kemari secara kebetulan saja.
Bahkan sempat dituduh sebagai mata-mata,” jawab
Pusparini.
Dan ucapan tentang mata-mata, tiba-tiba menjadi
pemikiran sebagian besar mereka yang berada di ba-
rak.
“Mata-mata?” sahut Watangan. “Sampai sebegitu-
kah masalah dalam pembentukan Laskar Khusus ini?”
“Penduduk yang sempat menuduhku sebagai mata-
mata. Tapi kini semua telah terselesaikan dengan
baik,” jawab Pusparini. “Nah, kukira kami yang bertiga
akan meninggalkan barak ini, bagaimana kalau kita
bersantai-santai sambil menunggu kedatangan Ki Jla-
prang lagi?”
“Gagasan yang baik!” sahut Arumdalu.
Mereka semua tahu, bahwa wanita ini adalah seo-
rang janda. Mereka tahu sewaktu setiap orang diperta-
nyakan tentang riwayat hidup masing-masing. Menu-
rut pengakuannya, suaminya yang juga seorang pen-
dekar, telah terbunuh dalam suatu bentrokan di suatu
tempat. Dan Arumdalu ternyata kelihatan akrab den-
gan Pusparini.
“Rupanya... kau memendam dendam,” kata Puspa-
rini sementara yang lain-lain ngobrol dengan berke-
lompok. Masing-masing menceritakan pengalaman se-
lama digembleng dalam perguruan.
“Kau sok tahu saja,” sahut Arumdalu.
“Aku melihat lewat sinar matamu. Apakah dengan
masuk menjadi anggota Laskar Khusus dendam itu
akan tersalurkan?”
Arumdalu tak cepat menjawab, karena memang
enggan menjawab.
“Berbicaralah tentang yang lain,” terdengar ucapan-
nya lirih.
“Kalau itu tadi menyinggung perasaanmu, aku min-
ta maaf,” jawab Pusparini.
“Sayang kau keluar dari laskar ini,” sambung
Arumdalu lagi. “Aku senang berteman dengan kau.”
“Kita bisa ketemu lagi,” Pusparini memberi kepas-
tian.
Lalu pandangannya ditujukan kepada Mahesa Alit
dan Roro Wilis yang asyik mengobrol. Dari sikap mere-
ka, Pusparini bisa mengambil kesimpulan bahwa Roro
Wilis sepertinya selalu mencari kesempatan untuk
berdekat-dekat dengan Mahesa Alit. Dia tak tahu, apa
yang akan mereka lakukan setelah tidak lagi masuk
dalam kesatuan Laskar Khusus.
“Baik! Semua telah kulaporkan kepada Sang Adipa-
ti!” tiba-tiba ucapan ini menggema lantang, menarik
perhatian mereka. Ki Jlaprang tampil di sana lagi den-
gan diiringi seorang punggawa.
“Ketujuh orang akan dilantik besok pagi. Sedang-
kan... tiga lainnya oleh Sang Adipati dipersilahkan un-
tuk menghadap sekarang,” kata Ki Jlaprang.
Kemudian, sementara yang tujuh orang tetap ting-
gal dalam barak, maka Pusparini, Mahesa Alit dan Ro-
ro Wilis, mengikuti langkah Ki Jlaprang untuk meng-
hadap Sang Adipati.
Mereka melewati lorong panjang yang kanan kirinya
terhampar taman yang indah. Terlihat nyata bahwa
warga Kadipaten Argapura ini selalu bergelut dengan
kesenian. Apakah itu seni tari dan gamelannya, atau
seni ukir yang diwujudkan dalam bentuk patung, se-
mua bisa dilihat di dalam arena kawasan kadipaten.
Ketika mereka melewati lorong panjang ini, terdengar
sayup-sayup suara gamelan mengisi keheningan sua-
sana.
“Pantas saja kalau di sini mengabaikan kekuatan
laskar. Orang-orang di sini lebih mengutamakan kese-
niannya,” kata Mahesa Alit mencoba memberi wawa-
san.
Ki Jlaprang yang mendengar ucapan itu segera me-
nimpali, “Pandanganmu benar! Semula kami berpikir
tentang tiadanya bahaya dari pihak luar selama kita
tidak bertindak jahat. Akhirnya kami sadari bahwa
anggapan itu keliru. Untung saja kelemahan kekuatan
laskar kadipaten ini belum diketahui pihak luar. Mu-
dah-mudahan kami belum terlambat untuk membena-
hi diri.”
Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah
ruangan yang disebut ruang paseban. Di sana Sang
Adipati telah menunggu kedatangan mereka.
Setelah yang menghadap mengambil tempat mas-
ing-masing, maka Sang Adipati mulai berbicara, “Jadi
kalian yang mengundurkan diri sehingga terwujud
jumlah tujuh orang yang tergabung dalam Laskar
Khusus?”
“Benar, Gusti Adipati. Inilah mereka,” sambut Ki
Jlaprang yang kemudian memperkenalkan nama me-
reka satu persatu.
Sang Adipati yang telah berusia hampir enam puluh
tahun itu manggut-manggut sambil menatap tiga
orang pendekar yang dengan rela mengundurkan diri.
“Justru di situlah terlihat jiwa besar kalian,” kata
Sang Adipati. “Namun tak berarti kalian bertiga harus
tersingkir begitu saja. Aku telah mengambil keputu-
san, bahwa kalian akan kuangkat sebagai Laskar Ke-
hormatan.”
“Laskar Kehormatan?” sela Pusparini. “Laskar ma-
cam apa itu?”
“Kalian bisa bertindak demi keamanan dan keutu-
han kadipaten ini tanpa harus menunggu perintah,”
kata Sang Adipati.
“Itu... itu sangat berlebihan saya rasa,” sela Puspa-
rini dengan berani.
“Tidak berlebihan! Kuharap kalian bertiga sadar,
bahwa kami sangat membutuhkan pengabdian kalian,”
tandas Sang Adipati.
Mendengar ketegasan keputusan Sang Adipati, me-
reka bertiga hanya saling pandang. Dalam benak mas-
ing-masing terukir pendapat bahwa jabatan itu bisa
lebih tinggi daripada mereka menjadi anggota Laskar
Khusus.
Karena hal itu telah dianggap selesai, maka Ki Jla-
prang menggiring mereka ke ruangan lain.
“Saya benar-benar tidak menduga kalau hal ini ber-
kembang seperti itu,” kata Roro Wilis yang semula ba-
nyak berdiam diri.
“Nah! Di sini ada ruangan kamar tempat tinggal ka-
lian. Masing-masing sebuah kamar. Beristirahatlah.
Setelah kami melantik Laskar Khusus besok pagi, ka-
lian akan mendapat ‘santiaji’ tentang tugas yang harus
kalian lakukan,” kata Ki Jlaprang dengan mengumbar
senyum sebelum meninggalkan mereka.
“Hm! Sekarang kita masing-masing harus memilih
kamar,” kata Pusparini setelah ditinggalkan oleh Ki
Jlaprang. “Kupikir... ini ada ketentuan yang disebut
Sendang Ngapit Pancuran.”
“Sendang Ngapit Pancuran? Apa itu?” tanya Roro
Wilis
“Sebutan itu lazim digunakan untuk menandai su-
ami istri yang mempunyai anak perempuan, laki-laki,
perempuan. Anak tiga orang, yang sulung perempuan,
yang kedua laki-laki, yang ketiga perempuan. Yang pe-
rempuan ibarat sendang, sedangkan laki-laki ibarat
pancuran!” jawab Pusparini dengan melempar senyum.
“Aha, aku jadi mengerti sekarang. Jadi Mahesa Alit
harus menempati kamar yang di tengah?” sahut Roro
Wilis.
“Itu memang yang terbaik!” sambung Mahesa Alit
sambil terus nyelonong memasuki kamar tengah.
Kemudian Pusparini dan Roro Wilis menempati ka-
mar di kanan kirinya....
***
TIGA
Malam hari. Pusparini terbaring di atas tempat ti-
durnya. Orang-orang di kawasan kadipaten sudah di-
pastikan telah lelap tertidur, kecuali para petugas jaga.
Atau mungkin beberapa orang lagi yang juga belum ti-
dur. Yang pasti Pusparini sendiri sangat sulit meme-
jamkan matanya untuk tidur. Orang bilang hal seperti
itu disebut kancilen.
Tapi kalau Pusparini sampai tidak bisa tidur, bi-
asanya ada masalah yang dipikirkan. Sejak Ki Jla-
prang menyebut nama Pendekar Kipas Akar Wangi, di-
rinya telah didesak untuk ingin tahu lebih banyak ten-
tang tokoh itu. Perasaan yang mendesak ini lahir dari
keinginannya sendiri. Dia jadi teringat cerita gurunya,
Ki Susrawa, sebelum turun dari padepokan. Gurunya
pernah bercerita tentang seorang pendekar yang me-
nyebut dirinya Pendekar Kipas Akar Wangi yang ber-
mukim di pegunungan Embun Nirwana. Disebut Em-
bun Nirwana, karena tempat itu selalu berkabut. Boleh
dikata cahaya matahari sangat sulit menembus pegu-
nungan itu.
Tapi masalah yang menggigit otaknya bukan ten-
tang kabut abadi itu. Menurut cerita gurunya, bahwa
Pendekar Kipas Akar Wangi masih berdarah siluman!
Artinya keturunan siluman. Kalau sudah menyangkut
soal siluman, orang lantas berpikir tentang peran-
gainya yang berkubang dalam soal kejahatan. Tapi ini
lain! Pendekar Kipas Akar Wangi adalah seseorang
berhati mulia, tak pernah bertindak kejam terhadap
sesamanya, kecuali kalau dia disakiti terlebih dahulu.
Pandangan hidupnya adalah “jangan mencubit kalau
tidak ingin dicubit”. Sebenarnya hal yang seperti itu ti-
dak terlalu istimewa. Tapi pendekar ini sabarnya tidak
ketulungan. Sabar sekali. Bahkan nyamuk pun hanya
dia usir seandainya menggigit tubuhnya.
Itulah yang diketahui oleh Pusparini tentang Pende-
kar Kipas Akar Wangi. Hanya saja Pusparini tidak
mengatakan wawasan sedikit pun kepada Ki Jlaprang
ketika nama pendekar itu disebut di hadapannya.
Pikiran-pikiran tentang pendekar yang bermukim di
pegunungan Embun Nirwana itu akhirnya menyeret
rasa ngantuknya. Tapi begitu gejala alami ini merang-
sang otaknya, tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh kehadi-
ran seseorang yang begitu saja diketahui telah berada
dalam kamarnya. Dengan munculnya sosok tubuh itu,
menyebar pula bau harum yang melenakan perasaan.
“Mengapa kau memikirkan diriku?” tiba-tiba sosok
tubuh itu membuka percakapan.
Pusparini mencoba mengawasi orang itu. Sesosok
tubuh tegap dengan bertelanjang dada terlihat berdiri
di pojok ruangan. Rambutnya terurai sebatas bahu.
Wajahnya menampilkan bentuk rahang yang kuat.
Otot-otot tubuhnya mengimbangi penampilannya se-
hingga membuat mata setiap wanita krasan menikma-
tinya.
Pusparini benar-benar terpesona.
“Siapa... namamu?” terdengar ucapan Pusparini
tanpa sadar walaupun pikirannya bisa menyimpulkan
siapa yang telah datang di sana. Barusan dia memikir-
kan tentang Pendekar Kipas Akar Wangi, dan kini se-
seorang telah muncul menanyakan mengapa dia telah
berpikir selangit tentang pendekar itu.
“Kau... Pendekar Kipas Akar Wangi?” tanya Puspa-
rini ketika pertanyaannya semula tidak terjawab.
“Bangga sekali rasanya namaku disebut oleh seo-
rang wanita secantik kau,” jawab laki-laki itu.
“Jadi kau benar-benar Pendekar Kipas Akar Wan-
gi?” Pusparini mencoba mencari kepastian.
Laki-laki itu tak menjawab. Dia cuma melempar se-
nyum. Lalu tangannya dijulurkan. Dan anehnya, Pus-
parini segera menyambutnya. Dia bangkit.
“Aku bangga bahwa ada wanita secantik kau telah
memikirkan aku. Maka aku bisa hadir di sini. Tanpa
kau berpikir tentang aku, tak mungkin kehadiran ini
bisa terjadi,” kata laki-laki dengan panggilan Pendekar
Kipas Akar Wangi itu.
“Telah lama aku merindukan pendamping. Merin-
dukan kehadiran seseorang yang kelak melahirkan
anak-anakku. Kiranya... aku telah menemukanmu.
Siapa namamu?”
“Pusparini...!” jawab Pusparini hampir-hampir tak
terdengar karena pelannya ucapan itu meluncur dari
bibirnya yang kemudian dipagut dengan lembut oleh
Pendekar Kipas Akar Wangi.
Sesaat Pusparini tergagap kaget. Tidak menduga
berlangsung peristiwa seperti itu. Dia tak sempat ber-
pikir lagi, kecuali hanya merasakan... bagaimana lem-
butnya bibir Pendekar Kipas Akar Wangi melumat den-
gan mesra. Dia merasa dibimbing untuk mengimbangi.
Pusparini sering mendengar tentang kata ‘kemesraan’.
Beginikah kemesraan itu? Pusparini benar-benar ter-
hanyut. Apalagi ketika kecupan itu merambat ke le-
hernya.
Rasanya aneh sekali. Sulit untuk dilukiskan. Pus-
parini hanya bisa merasakan bagaimana kecupan se-
putar leher itu semakin membuat matanya terpejam.
Apalagi ketika dirasakan gigitan-gigitan lembut... Pus-
parini mendesahkan keluhan-keluhan lirih. Dia benar-
benar terlena dan lupa keadaan sekelilingnya. Dia tak
akan peduli seandainya saat itu ada ledakan petir
menghunjam di sampingnya. Bahkan dia sudah tak
peduli lagi ketika tangan Pendekar Kipas Akar Wangi
mulai merambat melepaskan kembennya. Dan rasanya
dingin menusuk kulit tubuhnya ketika kemben itu le-
pas total. Lalu yang dirasakan berubah jadi kehanga-
tan. Hal itu terjadi ketika kawasan dadanya jadi medan
penyapuan kecupan secara menyeluruh. Boleh dikata
tak ada seinci pun bidang dadanya yang luput dari ge-
lutan lembut yang dilakukan oleh Pendekar Kipas Akar
Wangi...!
Hal-hal yang lembut akhirnya berubah jadi sikap
yang membadai. Tempat itu bagaikan diterjang gempa
karena pergumulan dalam arus kemesraan yang tiada
kendali lagi. Sampai pada sikap ketika tangan Pende-
kar Kipas Akar Wangi merenggut seluruh pakaian-
nya... tiba-tiba Pusparini tersentak kaget!
Satu-satunya perasaan yang menyengat otaknya
adalah kesadaran. Napas Pusparini masih berpacu
dengan denyut jantungnya. Matanya terbuka lebar. Di
sana tak ada siapa-siapa kecuali dirinya.
Dia telah bermimpi!
“Oh...!” hanya keluhan ini yang meluncur dari bibirnya.
Mimpi? Benarkah itu semua adalah mimpi?
Pusparini memeriksa dirinya. Dia benar-benar kaget
ketika segenap pakaiannya tercampak semua. Da-
danya tidak tertutup kemben lagi. Kain yang dipa-
kainya lepas. Dia nyaris telanjang!
Mimpi? Apakah yang telah terjadi itu mimpi?
Pusparini menggigit bibirnya. Seperti ada rasa kelu
di bibir itu. Rasa njarem. Seperti baru dilumat oleh se-
seorang. Bagaimana mungkin kalau peristiwa yang te-
lah dialami itu hanya mimpi tapi meninggalkan bekas
yang nyata?
Lalu dirabanya dadanya yang terbuka. Dia mem-
bayangkan bagaimana kecupan-kecupan yang dilaku-
kan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai
Pendekar Kipas Akar Wangi. Kawasan dadanya yang
sintal nyengkir gading itu baru saja membuat dirinya
melambung ke dunia yang sulit terlukiskan. Semuanya
telah dilakukan oleh laki-laki itu.
Dan bau harum itu... masih menyengat indera pen-
ciumannya. Bau harum kayu cendana. Jelas terasa
ada benda yang mengeluarkan bau seperti itu di de-
katnya.
Pusparini segera memeriksa tempat di sekitarnya.
Ketika dia membuka bantal, di situ terdapat sebuah
kipas yang terbuat dari akar wangi!
“Mustahil!” keluhnya pelan. “Aku tak yakin kalau
kipas ini sudah ada sebelum aku masuk kemari.”
Pusparini hanya mengeluh panjang. Apakah hal ini
akan diceritakan kepada Mahesa Alit dan Roro Wilis?
Rasanya malu sekali.
Kipas akar wangi itu diamati dengan teliti, yang ke-
mudian disimpan dalam bungkusan perbekalannya.
Dia berniat akan menyelidiki peristiwa ini. Tapi ca-
ranya dilakukan dengan tidak gegabah. Dia khawatir
perihal mimpinya bisa diketahui orang lain walaupun
itu bisa dianggap sebagai ‘bunga tidur’.
Kemudian dibenahi pakaiannya yang semrawut. Dia
tak tahu sudah berapa panjang malam itu merambat
untuk menyongsong fajar pagi.
Pusparini memutuskan untuk melanjutkan tidur-
nya. Dia ingin tahu apakah mimpinya akan berlanjut
lagi. Ternyata dalam kelelapan tidur itu, dia tak ber-
mimpi apa-apa. Hal ini diyakini betul ketika esok ha-
rinya dia terbangun.
***
EMPAT
Laskar Khusus yang terdiri dari tujuh orang pende-
kar itu dilantik pada esok harinya. Ketujuh orang itu
akan di bawah pimpinan langsung Ki Jlaprang.
“Jadi kalian bertiga kini diangkat menjadi Laskar
Kehormatan?” tanya Dhandhang Gendis seusai pelan-
tikan dan menemui ketiga orang yang semula men-
gundurkan diri. “Wah, hebat kalau begitu.”
“Tak ada yang hebat. Sebenarnya kita semua sama
dalam mengabdi pada kadipaten ini,” jawab Pusparini.
“Kalian besok jadi berangkat ke pegunungan Embun
Nirwana?”
“Ya!” jawab Arumdalu. “Lalu kalian bertiga sendiri
bagaimana?”
“Belum mendapat pengarahan” sahut Mahesa Alit
yang tiba-tiba nimbrung.
Mereka tampak akrab sekali. Benar saja keputusan
Pusparini yang semula mengundurkan diri dari Laskar
Khusus. Kalau tidak, pasti terjadi korban dalam pemi-
lihan siapa yang harus masuk dalam kelompok tujuh
orang itu.
Dalam keadaan keakraban itu, Arumdalu mengajak
Pusparini untuk berbicara empat mata. Tentu saja hal
ini tidak dilakukan dengan ajakan yang mencolok. Me-
reka bertemu lagi ketika masa istirahat siang berlang-
sung di sana. Pembicaraan dilakukan dalam taman sa-
ri.
“Mengapa kau mengajakku berbicara di sini,
Arum?” tanya Pusparini setelah mereka duduk dalam
naungan pohon yang rindang.
“Aku tak ingin masalah ini diketahui oleh orang
lain. Mungkin bisa saja kau memandang masalah ini
menyangkut tentang pribadiku sendiri. Yang jelas, aku
membutuhkan pertolonganmu.”
“Pertolongan?”
“Ya. Kau tahu bukan tentang masa lampauku? Aku
seorang janda. Suamiku telah tewas dalam suatu ben-
trokan. Dari jenazah suamiku kudapati pula sebuah
senjata rahasia yang menancap pada dadanya di
samping luka lain yang berupa sabetan pedang. Dan
kemarin, aku menemukan sebuah senjata rahasia
yang tercecer di dalam barak. Senjata rahasia itu mirip
dengan senjata rahasia yang menancap di dada sua-
miku,” kata Arumdalu sambil mengeluarkan sebuah
benda dari ikat pinggangnya. “Ini!”
Pusparini mengambil alih benda itu dari tangan
Arumdalu. Sebuah senjata rahasia berbentuk mirip
cakra.
“Jadi kau pikir lawan suamimu berada di dalam ba-
rak itu, yang berarti salah seorang di antara mereka
yang tergabung dalam Laskar Khusus?” kata Puspari-
ni.
“Ucapanmu seperti anggapanku. Kau duga hal itu
benar, bukan?” kata Arumdalu.
Pusparini membisu. Dia belum bisa memastikan
anggapan yang berdasar tuduhan semacam itu benar
adanya. Pertimbangannya, sebab barak itu bisa saja
dimasuki oleh sembarang orang. Bukan mereka yang
tergabung dalam Laskar Khusus saja. Dan pandangan
yang seperti ini dikatakan kepada Arumdalu.
“Jadi kau tidak sependapat denganku?” tanya
Arumdalu setelah Pusparini memberikan pandangan
lebih lanjut.
“Kau lihat saja di antara enam orang itu. Adakah
yang sikapnya agak ‘sengit’ terhadapmu? Atau... ada
yang memancing-mancing permusuhan?” kata Puspa-
rini.
Arumdalu menggeleng.
“Kalau begitu, jangan gegabah!” kata Pusparini lagi.
“Tapi jangan khawatir, aku akan membantumu untuk
menemukan pembunuh suamimu.”
“Hei! Ngobrol apa kalian di situ?!”
Tiba-tiba terdengar suara teguran beserta muncul-
nya Dhandhang Gendis didampingi Jelantik.
“Kami sibuk mencarimu, Arum. Tidak tahunya kau
ngobrol di sini.”
“Kita semua di suruh berkumpul oleh Ki Jlaprang,”
Jelantik menimpali.
“Sekarang?” tanya Arumdalu.
“Ya, sekarang. Ayoh!” kata Dhandhang Gendis
“Pergilah, Arum!” saran Pusparini yang masih kra-
san berangin-angin di tempat itu.
Arumdalu beranjak dari sana diiringkan Dhandhang
dan Jelantik.
***
Sore harinya barulah Pusparini tahu bahwa Laskar
Khusus telah diberangkatkan menuju pegunungan
Embun Nirwana. Dan malam hari itu, Pusparini, Ma-
hesa Alit dan Roro Wilis ditatar dengan ‘santiaji’ oleh
Sang Adipati. Ki Jlaprang tidak terlihat lagi di sana.
Dia telah mendampingi Laskar Khusus menjalankan
tugas.
“Terus terang, saat ini Ki Jlaprang dan Laskar Khu-
sus kuperintahkan untuk menyusup ke Kadipaten Ka-
ranggayam,” kata Sang Adipati.
“Jadi mereka tidak ke pegunungan Embun Nirwa-
na?” tanya Mahesa Alit.
“Tidak! Kalianlah yang akan menemui Pendekar Ki-
pas Akar Wangi itu di pegunungan Embun Nirwana,”
jawab Sang Adipati.
“Jadi kesimpulannya Pendekar Kipas Akar Wangi
telah berpihak pada Kadipaten Karanggayam?” tanya
Pusparini.
“Tampaknya begitu. Tapi mendengar tentang peran-
gai si Pendekar yang katanya tak akan bermusuhan
dengan siapa pun, kuharap kalian bisa membujuk ha-
tinya, agar aku bisa membangun sebuah candi pemu-
jaan di sana,” jawab Sang Adipati.
“Sang Adipati,” sela Pusparini, “bukankah Kadipa-
ten Argapura dan Karanggayam ini bagian dari Kera-
jaan Medang? Mengapa hal pembangunan candi tidak
dilaporkan saja kepada Sang Raja di Medang agar ti-
dak menimbulkan masalah seperti ini?”
“Sang Baginda Raja telah memberi wewenang kepa-
da segenap adipati untuk melaksanakan tugas peme-
rintahan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah diga-
riskan dari pusat. Termasuk pembangunan tempat pe-
ribadatan. Harap kalian ketahui bahwa kawasan pe-
gunungan Embun Nirwana adalah daerah perdikan.
Artinya daerah bebas. Konon daerah itu sudah disepa-
kati oleh Kerajaan Medang dan Kerajaan Wengker yang
saling berbatasan untuk dimiliki oleh Pendekar Kipas
Akar Wangi. Tapi di sisi lain daerah itu menjadi batas
antara kadipaten ini dengan Kadipaten Karanggayam,”
kata Sang Adipati.
“Rupanya ada persaingan antara Argapura dengan
Karanggayam,” Pusparini memberi tanggapan.
“Ya! Paling akhir kami memperoleh kesan bahwa
Kadipaten Karanggayam dengan diam-diam akan me-
lepaskan diri dari Kerajaan Medang untuk bergabung
dengan Wengker. Saat ini kami hanya membutuhkan
bukti-bukti nyata. Kalau hal itu bisa kami peroleh,
maka segera akan kami laporan ke pemerintah pusat
kepada Baginda Raja.”
“Jadi kesimpulannya pembangunan candi itu hanya
untuk membuka tabir apakah Karanggayam benar-
benar patuh pada pemerintah Medang?” pancing Pus-
parini yang semakin penasaran ingin tahu inti persoa-
lannya.
“Rentetannya memang mengarah pada persoalan
itu. Ketika kalian bertiga dengan rela mengundurkan
diri dari kelompok Laskar Khusus, tiba-tiba terbetik
niat untuk membentuk Laskar Kehormatan yang akan
kuberi wewenang sesuai dengan garis kebijaksanaan
yang kutetapkan,” jawab Sang Adipati. “Oleh sebab itu,
kalau kalian bertiga telah bersedia menerima pengang-
katan ini, lakukanlah tugas kalian dengan baik.”
***
‘Santiaji’ secara kilat telah mereka terima. Hari be-
rikutnya mereka bertiga berangkat menuju pegunun-
gan Embun Nirwana.
Kepergian mereka dilepas dengan diam-diam. Den-
gan tiga ekor kuda, mereka berangkat ketika fajar me-
nyingsing. Tak ada hambatan apa-apa sampai perjala-
nan itu mencapai lembah di bawah pegunungan Em-
bun Nirwana.
“Kita beristirahat saja di sini,” saran Pusparini.
Atas kebijaksanaan Sang Adipati, Pusparini diserahi
sebagai pimpinan kelompok itu meskipun dalam usia
masih kalah dengan Mahesa Alit. Pertimbangan Sang
Adipati, karena Pusparini yang mempunyai gagasan
pertama untuk mengundurkan diri sehingga terwujud
gagasan tersebut.
“Rupanya kita akan mendapat hambatan kalau
memakai kuda untuk terus mendaki ke sana,” kata
Roro Wilis dengan mengawasi daerah yang menanjak
tinggi berbatu-batu itu.
“Kukira bisa. Tampaknya di sebelah sana bisa kita
tempuh dengan berkuda,” sela Mahesa Alit sambil me-
nunjuk ke arah selatan. “Dengan memutar, kita bisa
sampai ke puncak.”
Pembicaraan kedua orang itu tak sempat berlanjut,
karena tiba-tiba Pusparini memberi isyarat dengan te-
lunjuk yang ditempelkan pada bibirnya.
Mahesa Alit dan Roro Wilis segera tanggap dengan
isyarat tersebut. Pusparini memberi isyarat lagi agar
mereka menyebar. Kedua temannya bergerak untuk
memecah sasaran, sebab telah diyakini bahwa kebera-
daan mereka dalam kepungan sekelompok orang yang
datang dengan mengendap-endap. Siapa pun mereka
adanya, yang jelas keadaan itu membuat ketiganya
mempersiapkan diri untuk menjaga kemungkinan
yang tidak mengenakkan.
Dan itu benar...!
Sekelompok orang dengan bersenjata golok melesat
dari tempatnya masing-masing langsung mengepung
sasarannya. Pusparini, Mahesa Alit dan Roro Wilis
yang telah menjaga kemungkinan itu mencoba berba-
sa-basi menanyakan sikap mereka yang bermusuhan.
Ternyata tanggapannya adalah serangan tanpa ampun
lagi. Tentu saja hal yang demikian tak bisa disambut
dengan remeh.
Pusparini membuat point pertama dengan mengge-
brak lawan ketika dua orang maju serentak menye-
rangnya dengan sambaran golok. Sekali tendang dua
orang itu mencelat ke belakang karena sapuan kaki
yang berhasil melanda dada mereka secara beruntun.
Sedangkan Mahesa Alit mengawali sambutan serangan
lawan dengan melesat ke atas, yang ketika terjun ke
bawah berhasil menggojlok dengan tendangan pula. Di
sisi lain Roro Wilis tetap berada di tempatnya, tapi ke-
tika lawan mendekat, maka pedangnya yang berbicara.
Seorang langsung mati konyol, sedang yang lain seka-
rat.
Jurus pertama, ketiga pendekar ini unggul. Melihat
hal ini lawan berikutnya maju lebih gencar lagi. Tam-
paknya kelompok orang-orang itu mampu membaca
jurus yang akan dilancarkan oleh Pusparini dan kedua
kawannya. Terbukti pada serangan berikutnya mereka
menggunakan siasat lain. Walaupun begitu orang-
orang itu belum berhasil menyudutkan sasarannya.
Baku hantam kian menggila. Walaupun begitu Pus-
parini belum mengeluarkan Pedang Merapi Daha-
nanya, sementara Mahesa Alit dan Roro Wilis telah
menghunus senjatanya untuk menghadapi lawan yang
kian membanjir. Sekitar tiga lusin lawan telah mem-
bludak di sana. Ketika jurus serangan menginjak ke
sekian puluh kali, maka korban di pihak lawan telah
jatuh hampir separonya. Dan pada saat itulah muncul
dedengkot yang memimpin kelompok orang-orang itu.
Dia seorang wanita...!
“Minggir semua!” terdengar suara lantang dari wani-
ta itu.
Seakan-akan ada tenaga gaibnya, maka semua
orang yang mengroyok Pusparini dan kedua temannya
mematuhi perintah itu.
“Hebat!” kata wanita itu lagi. Penampilannya ang-
gun, tinggi semampai. Tapi wajahnya keras. Ada tore-
han luka yang memanjang dari dahi memotong sampai
pipi kirinya. Umur-umurannya sekitar tiga-puluhan.
“Apakah kau yang memimpin orang-orang itu?”
tanya Pusparini.
“Benar! Karena kalian telah memasuki daerah terla-
rang,” jawab wanita itu dengan cantas.
“Daerah terlarang? Rasa-rasanya kau terlalu men-
gada-ada dengan ucapanmu. Belum pernah kudengar
bahwa daerah ini terlarang bagi siapa pun,” sanggah
Pusparini dengan suara tegar. Dia ingin menunjukkan
bahwa kehadirannya di tempat itu tak bisa digertak
dengan omongan gombal.
“Memang tidak pernah diumumkan. Dan kalian ha-
rus tahu sekarang,” kata wanita itu lagi
“Baik, kalau itu larangan yang kau bentangkan di
sini, maka kami akan mendobraknya. Dan demi keso-
panan, bagaimana kalau kau sebutkan namamu dulu
sebelum jantungmu terbelah oleh pedangku?” tantang
Pusparini.
“Kau sebut namamu dulu, baru kusebut namaku!”
sanggah wanita itu dengan nada bicara angkuh.
“Dari nada bicaramu, aku bisa mengambil kesimpu-
lan bahwa kau wanita yang keras kepala. Baik, kalau
kau ingin tahu namaku. Buka telingamu lebar-lebar!
Aku... Walet Emas!” kata Pusparini dengan cantas.
“Walet Emas? Aha, tak kuduga aku bisa menemu-
kan dirimu di sini. Jadi kau yang memegang Pedang
Merapi Dahana?” kata wanita itu. “Dengar, namaku
Dyah Keningar. Nama besarmu pernah kudengar, bo-
cah! Tapi jangan gegabah mengandalkan senjatamu.
Senjataku bisa menandingi pedangmu!”
Shriingg!
Wanita bernama Dyah Keningar mencabut pedang-
nya. Begitu senjata tersebut keluar dari sarungnya,
muncul asap putih dari bilahnya yang berkilau ditimpa
cahaya matahari.
Pusparini masih belum bertindak. Sementara di sisi
lain, Mahesa Alit dan Roro Wilis terpaku di tempatnya.
Dua orang ini sangat terkejut ketika mengetahui bah-
wa Pusparini adalah orang yang punya gelar kepende-
karan Walet Emas yang memiliki Pedang Merapi Daha-
na. Pedang yang sering menjadi pergunjingan para
pendekar karena berasal dari zaman raja Samaratung-
ga yang mendirikan Candi Borobudur. Dan kalau dihi-
tung sampai saat ini sudah berselang sekitar lebih dari
duaratus tahun.
“Hayo, cabut pedangmu!” seru Dyah Keningar.
“Apakah kau takut melihat pedangku? Kini banyak pe-
dang yang bisa menandingi pedangmu, Walet Emas.
Jadi kau jangan pongah. Di antaranya pedangku ini
yang bisa menandingi milikmu!”
Karena melihat gelagat bahwa lawan akan mener-
jang ke arahnya, maka Pusparini segera mencabut pe-
dangnya pula!
Shhrriingg!
Cahaya merah memancar dari Pedang Merapi Da-
hana! Ini karena sinar matahari telah menimpa bilah
pedangnya.
Pusparini alias Pendekar Walet Emas mengambil si-
kap bertahan ketika Dyah Keningar betul-betul melesat
ke arahnya. Dua senjata beradu. Bunga-bunga api
berpijar. Dan ini adalah perang tanding, yang tak seo-
rang pun pihak lain boleh membantu. Jurus-jurus aw-
al diisi dengan siasat penjajakan kemampuan lawan.
Kemudian dicoba memancing siasat untuk mengecoh
serangan lawan. Ternyata kekuatan mereka seimbang.
Dan ini membuat masing-masing kian beringas untuk
menundukkan lawan. Kalau sikap ingin menundukkan
terlihat dari serangan Pusparini, maka sikap bernafsu
membunuh terkesan dari terjangan-terjangan seran-
gan yang dilakukan oleh Dyah Keningar.
“Kau lihat itu? Seharusnya Pusparini punya kesem-
patan untuk menusuk lambung lawannya. Tapi men-
gapa dia tidak melakukannya?” bisik Roro Wilis kepada
Mahesa Alit yang tekun menyaksikan perang tanding
itu.
“Mungkin Pusparini berniat hanya ingin mengalah-
kan. Tidak membunuhnya,” kata Mahesa Alit. “Sayang
sekali memang. Tapi mungkin Pusparini punya renca-
na sendiri dengan caranya itu.”
Dan Pusparini memang meneter dengan sabetan-
sabetan pedangnya tanpa ampun lagi. Kalau senjata
lain, pasti sudah rontok dengan tebasan Pedang Mera-
pi Dahana. Agaknya senjata milik Dyah Keningar ini
punya penangkal untuk bisa bertahan. Entah ramuan
logam apa yang dibuat untuk membentuk pedangnya
yang sekali-kali mengeluarkan asap putih itu. Yang je-
las dengan senjata itu Dyah Keningar merasa bangga
menghadapi Pusparini alias Walet Emas yang memiliki
Pedang Merapi Dahana.
Serangan gencar yang dilakukan oleh Pusparini ak-
hirnya benar-benar disadari oleh Dyah Keningar. Te-
naganya betul-betul terkuras untuk menghindar serta
menangkis serangan si Walet Emas. Rasanya peluang
menyiasati lawan tak ada lagi. Setiap celah selalu ter-
kunci oleh gerakan Pusparini.
Dyah Keningar mulai mempergunakan anggota ba-
dan lainnya. Kakinya ikut berperan. Nyaris saja sabe-
tannya bisa merubah suasana karena kakinya yang le-
bih panjang jangkauannya daripada Pusparini. Un-
tungnya Pusparini pandai mengimbangi dengan elakan
jurus walet sehingga setiap pendobrak serangan dari
Dyah Keningar bisa diatasi.
Dan sampai akhirnya hal yang tak terduga terjadi,
walaupun hal ini telah menjadi tujuan serangan Pus-
parini. Pada suatu celah kosong, Pusparini berhasil
mencongkel pedang Dyah Keningar sehingga senjata
itu lepas dari tangannya. Senjata tersebut mencelat
yang dengan kecepatan seimbang Pusparini melesat
untuk menangkapnya.
Kena!
Dyah Keningar blingsatan melihat ketrengginasan
lawannya yang lincah. Pantas saja kalau Pusparini
memiliki gelar kependekaran Walet Emas. Lincah dan
gesit, itulah kesan yang bisa terlukiskan.
“Nah, bagaimana? Apakah kau ingin melanjutkan
perang tanding ini?” seru Pusparini yang kini berhasil
merampas senjata lawannya.
Semua menduga bahwa Dyah Keningar akan pasrah
bongkokan. Artinya, menyerah tanpa syarat. Ternyata
dugaan itu keliru. Dengan cepat pula Dyah Keningar
melesat sambil menebarkan senjata rahasia. Untung
Pusparini waspada dengan gerakan tangan yang sejak
tadi tak lepas dari pengawasannya. Logam-logam yang
bertebaran dari tangan Dyah Keningar berhasil ditang-
kis. Satu dua yang nyaris nyasar ke tubuhnya, tapi
yang ini dihindari dengan merobohkan tubuhnya ke
samping.
Melihat pimpinannya lolos, maka sisa anak buah-
nya segera melarikan diri pula. Pusparini tak ada niat
untuk mengejar.
“Hebat kau!” puji Mahesa Alit sambil mendekat ke
arah Pusparini. “Tak kusangka kaulah pendekar yang
memiliki gelar Walet Emas. Aku bangga sekali bisa
berteman denganmu, Pusparini.”
“Jangan berlebihan. Tak ada keistimewaannya,”
tangkis Pusparini sambil menyarungkan pedangnya.
Sedangkan senjata Dyah Keningar yang berhasil di-
rampas diamati dengan teliti. “Setiap senjata pasti
memiliki nama. Aku tak tahu apa nama pedang ini.
Yang jelas ramuan logamnya pasti tidak sembaran-
gan.”
“Kukira persoalan ini akan berkembang lebih mem-
bahayakan kalau Dyah Keningar muncul lagi,” kata
Roro Wilis.
“Mungkin dia akan muncul lagi dengan bantuan
orang lain,” kata Pusparini. “Hal seperti itu agaknya ti-
dak aneh lagi. Begitu kita terjun ke dalam sebuah per-
soalan, harus siap untuk berbasah-basah. Tapi jangan
sampai tenggelam untuk mati konyol. Ayoh, kita me-
lanjutkan perjalanan. Aku sudah bisa menduga bahwa
Dyah Keningar ada sangkut pautnya dengan campur
tangan dari pihak Karanggayam.”
Tak ada komentar dari Mahesa Alit dan Roro Wilis
yang siap menaiki punggung kudanya.
Tapi Pusparini yang semula telah berada di atas
kudanya, malahan turun lagi ketika matanya menang-
kap sesuatu yang berkilat di tanah. Dia menghampiri
benda itu, yang ternyata senjata rahasia. Serupa den-
gan senjata rahasia yang pernah diketemukan oleh
Arumdalu di dalam barak. Berbentuk seperti cakra!
Untuk sesaat Pusparini mencoba mengambil kesim-
pulan tentang senjata rahasia milik Dyah Keningar
dengan yang diketemukan oleh Arumdalu yang telah
menewaskan suaminya. Dia jadi terseret anggapan
bahwa Kadipaten Argapura telah kesusupan mata-
mata. Apakah di antara ketujuh Laskar Khusus telah
bercokol mata-mata seperti yang dikatakan Arumdalu?
“Ayoh, Rini! Mengapa kau termenung di situ? Kau
menemukan sesuatu?” terdengar teguran Mahesa Alit.
“Ini, cuma senjata rahasia yang tadi dilempar oleh
Dyah Keningar. Aku tertarik bentuknya saja,” dalih
Pusparini sambil menaiki kudanya kembali.
Kemudian mereka bertiga menempuh jalan yang
memungkinkan bisa mencapai puncak pegunungan
Embun Nirwana. Setelah menapak ketinggian bebera-
pa saat, akhirnya terlihat dataran tinggi pegunungan
itu. Di sana memang berkabut. Semakin ke atas jalan
yang ditempuh, membuat perasaan Pusparini semakin
berdebar. Dia teringat akan mimpinya yang telah ber-
temu dengan Pendekar Kipas Akar Wangi...!
***
LIMA
Sementara itu di suatu tempat di tepi sebuah sun-
gai yang menjadi batas Kadipaten Argapura dan Ka-
ranggayam...!
“Kita bermalam di sini dulu sambil menyelidiki kea-
daan di seberang sana,” kata Ki Jlaprang yang me-
mimpin Laskar Khususnya.
“Kalau kita berniat menyusup ke sana, mengapa ti-
dak kita lakukan pada malam hari saja?” kata Dhand-
hang Gendis.
“Redam dulu semangat kalian. Kita tak bisa gega-
bah masuk ke sana. Tempat kita berada sekarang, te-
pat di belakang bangunan kadipaten tempat tinggal
Adipati Karanggayam. Bangunan belakang kadipaten
dibentengi rerimbunan pohon bambu duri yang tak bi-
sa ditembus. Satu-satunya cara hanya meniti puncak
pohon bambu untuk bisa menerobos dari belakang. Itu
sebabnya ketika diadakan pemilihan laskar ini lebih di-
tekankan untuk mendapatkan orang-orang yang men-
guasai ilmu enteng tubuh tingkat tinggi, di samping
bela diri lainnya,” kata Ki Jlaprang mulai membeber-
kan rahasia tugas mereka.
“Lalu apa yang akan kita lakukan setelah berhasil
masuk ke dalam kadipaten?” tanya Arumdalu.
“Itu tugasku!” sahut Ki Jlaprang singkat.
Ketujuh orang itu terdiam. Pandangan mereka men-
gawasi dengan seksama kepada sosok Ki Jlaprang.
Dengan keterangannya tadi, mereka bisa menyimpul-
kan bahwa Ki Jlaprang paling tidak punya ilmu anda-
lan yang sejajar dengan mereka. Atau bahkan lebih
tinggi. Tapi mengapa dalam mengelola Kadipaten Arga-
pura tidak digalakkan benar tentang keunggulan pra-
jurit bhayangkaranya? Mengapa baru sekarang ketika
menghadapi masalah pelik?
“Kalau hal itu yang kalian tanyakan, karena sebe-
narnya kami tidak suka dengan kekerasan,” jawab Ki
Jlaprang ketika hal itu dengan berani ditanyakan oleh
Jelantik, salah seorang di antara ketujuh Laskar Khu-
sus.
“Tegasnya, jadi Kadipaten Argapura baru sadar
bahwa pertahanan diri harus dimiliki meskipun tidak
akan bertindak dengan kekerasan terhadap pihak
lain,” sahut anggota yang lain bernama Prangbakat.
“Karena kalian telah memperoleh jawabannya, se-
baiknya kalian beristirahat dulu sambil menyelidiki
perkembangan keadaan di sini. Siapa tahu kedatangan
kita telah tercium oleh mereka. Jadi harap waspada
saja,” kata Ki Jlaprang dengan mencari tempat untuk
beristirahat. Dipilihnya tempat agak tinggi agar bisa
mengawasi keadaan di sekitarnya.
Anggota Laskar Khusus yang lain segera mencari
tempat istirahat masing-masing. Delapan ekor kuda
kendaraan mereka ditambatkan di tempat tersem-
bunyi. Senja kian temaram. Bianglala semakin menghi-
tam. Suara serangga mulai mengusik telinga.
Lalu, inti masalah bertumpu pada keberadaan
Arumdalu.
Pendekar wanita ini beristirahat memencilkan diri
dari anggota lainnya. Kini dia satu-satunya wanita di
sana. Mulanya dia enggan untuk meneruskan menjadi
anggota Laskar Khusus. Tapi ketika menemukan se-
buah senjata rahasia mirip dengan yang menancap di
tubuh jenazah suaminya, dia jadi penasaran ingin me-
nyelidiki. Dugaannya masih berprasangka bahwa kee-
nam anggota Laskar Khusus itu ada yang terlibat da-
lam tewasnya suaminya. Satu persatu diteliti perangai
sikap mereka selama bergaul dalam kesatuan Laskar
Khusus. Dhandhang Gendis, Gumbrek, Watangan,
Prangbakat, Udel Bodong dan Jelantik. Nama-nama itu
yang oleh Arumdalu menjadi sasarannya. Tapi rasanya
sulit sekali untuk menjatuhkan kecurigaan. Tak ada
sikap-sikap yang mencolok yang bisa didakwakan se-
bagai musuh suaminya. Semua bersikap baik terha-
dapnya. Ataukah lantaran tidak ada yang tahu bahwa
dia adalah janda pendekar Aragani?
“Belum tidur juga kau, Arum?!”
Arumdalu njenggirat kaget. Dilihatnya Prangbakat
telah berdiri tak jauh dari sampingnya. Kalau sampai
hal itu terjadi, pasti Prangbakat mempergunakan ilmu
enteng tubuh sewaktu mendatangi tempat itu sehingga
tak menimbulkan bunyi sedikit pun. Tapi apa mak-
sudnya bertindak seperti itu? Perasaan Arumdalu jadi
tidak enak dengan kehadiran laki-laki itu.
“Aku tak bisa tidur. Aku ingin ngobrol denganmu.
Boleh?” kata Prangbakat yang dengan lancang telah
duduk tak jauh dari Arumdalu.
Arumdalu tak sempat untuk berdalih bahwa dirinya
ingin sendiri malam itu. Cahaya bulan meluangkan ke-
sempatan menerangi kegelapan malam.
“Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,” kata
Prangbakat sambil menatap tajam.
“Tentang apa?” tanya Arumdalu tanpa mengubah
sikap dan tetap menatap bulan yang berkabut sutra.
“Kematian suamimu!”
Ucapan ini benar-benar menyengat perhatiannya.
Dia berpaling ke arah Prangbakat yang tiba-tiba men-
gungkap kematian suaminya.
“Mengapa kau merasa tertarik dengan hal itu?”
tanya Arumdalu.
“Aku pernah punya sahabat bernama Aragani. Apa-
kah... itu nama suamimu?”
“Nama almarhum suamiku memang Aragani. Be-
narkah kau kenal dengan dia? Atau Aragani yang
lain?”
“Kukenal Aragani sewaktu sama-sama berguru di
Padepokan Tegal Arum,” jawab Prangbakat ingin
meyakinkan.
“Astaga. Benar juga. Dia memang murid Padepokan
Tegal Arum. Jadi... kau saudara seperguruannya?” ka-
ta Arumdalu yang perhatiannya kian terseret penga-
kuan Prangbakat.
“Aku mendengar dia telah tewas. Tapi aku tak men-
duga bahwa kau adalah istri Aragani,” sahut Prangba-
kat.
“Dia tewas dalam suatu bentrokan. Lalu kutemukan
jenazahnya. Kelihatannya telah terjadi perkelahian
yang tidak jujur,” kata Arumdalu.
“Tidak jujur? Bagaimana kau bisa tahu? Ada yang
mengungkapkan kejadian itu?”
“Kuteliti keadaannya. Yang mencurigakan adanya
sebuah senjata rahasia yang menancap di dadanya di
samping luka-luka sabetan pedang. Kau tentu menger-
ti bahwa senjata rahasia hanya dikeluarkan oleh mere-
ka yang merasa terpojok, atau tak mampu menindak
lawan dalam jarak dekat.”
“Hm. Jadi begitu penilaianmu?”
“Dan beberapa waktu yang lalu kutemukan senjata
rahasia di barak yang mirip dengan terdapat di dada
suamiku. Senjata rahasia berbentuk cakra!” kata
Arumdalu cantas. Dia ingin meyakinkan kepada
Prangbakat bahwa dirinya begitu mendendam karena
kematian suaminya.
“Jadi kau mencurigai bahwa di antara keenam ang-
gota Laskar Khusus terdapat salah seorang lawan su-
amimu?”
“Aku belum bisa memastikan,” jawab Arumdalu
singkat.
“Hm. Aku jadi mencium ketegangan di sini. Setiap
orang jadi kau curigai,” kata Prangbakat.
“Kalau kau berniat membantu aku, jangan katakan
hal ini kepada siapa pun!”
Prangbakat termenung di tempatnya. Lalu meman-
dang Arumdalu. Sejak pertama kali dia melihat Arum-
dalu, hatinya telah terpikat. Akhirnya diketahui bahwa
wanita ini adalah janda saudara seperguruannya.
“Kau jangan bertindak gegabah dalam menyelidiki
siapa orang yang telah membunuh Aragani. Aku akan
membantumu,” kata Prangbakat sebelum dirinya me-
ninggalkan tempat itu. Tapi belum dua langkah dia
berjalan, tiba-tiba inderanya terusik oleh kehadiran
yang mencurigakan.
Arumdalu yang juga merasakan hal itu menyapu-
kan pandang ke tempat sekitarnya.
Lalu, entah bagaimana mulanya, terdengar suara
teriakan dari sebelah sana. Teriakan menandakan ke-
sakitan. Dan sekejap kemudian tempat itu berubah te-
risi baku hantam!
“Kita diserang!” kata Arumdalu dengan melesatkan
diri untuk memberi pertolongan kepada teman-
temannya yang telah terlibat baku hantam. Langkah-
nya diikuti Prangbakat.
Segerombolan penyerang muncul di sana. Baku
hantam itu berlangsung dengan kejam. Para penyerang
mempergunakan senjata tajam, yang tanpa ampun in-
gin menghabisi nyawa Laskar Khusus. Sepertinya ke-
hadiran Laskar Khusus telah diketahui keberadaannya
dan diamati sejak mulai beristirahat di sana.
Tapi keadaan ini menimbulkan anggapan lain bagi
Arumdalu. Kecurigaan tentang seseorang yang menjadi
musuh suaminya berkembang menjadi dugaan adanya
mata-mata lawan dalam kelompok itu.
Berpikir tentang hal ini nyaris saja leher Arumdalu
dibabat oleh golok lawan. Untung saja Prangbakat
dengan jeli menghabisi orang tersebut.
“Terima kasih. Kau menyelamatkan nyawaku,” ter-
dengar ucapan Arumdalu sambil menghunuskan sen-
jatanya ke arah lawan yang lain. Dalam tawuran ini
Arumdalu mencoba mengetahui siapa lawan yang se-
dang dihadapi sekarang.
Apakah orang-orang Kadipaten Karanggayam?
Tampaknya bukan! Orang-orang itu tidak mengenakan
seragam laskar Kadipaten Karanggayam, tapi berpa-
kaian serba hitam dengan gambar tengkorak sebesar
kepalan tangan pada dada kiri mereka.
Salah seorang anggota Laskar Khusus bernama
Gumbrek ambil bagian dengan menggojlok lawannya
dengan tangan kosong. Hebat dia. Sikunya bagai dila-
pisi logam berhasil membuat rahang lawan rompal se-
mua. Begitu juga Watangan. Dia unjuk kebolehan den-
gan senjata trisulanya. Sudah empat orang lawan yang
nyawanya terbang karena kegesitan serangan senja-
tanya. Udel Bodong dengan senjata toya berhasil me-
nyodok leher lawan sehingga melesatkan lidah. Se-
dangkan Jelantik mempergunakan senjata berupa ran-
tai berbandul bola besi sebesar kepalan tangan, telah
beberapa kali membuat gegar otak kepala lawan.
Dhandhang Gendis bersenjata pedang dengan pung-
gung bergerigi, telah beberapa kali pula membuat lam-
bung lawan robek tak ketulungan lagi.
Bagaimana dengan Ki Jlaprang? Pimpinan Laskar
Khusus itu hanya bertindak seperlunya dengan meng-
gunakan semua anggota badannya kapan saja ada la-
wan yang menyerang dirinya. Tenaga dalam yang dike-
rahkan cukup membuat remuk tulang dada lawan.
Melihat sepak terjang delapan orang itu, pihak pe-
nyerang mengundurkan diri dalam kegelapan. Ada se-
kitar dua lusin lawan telah jadi korban dalam tawuran
itu.
“Jangan kejar. Tetap di tempat masing-masing,” se-
ru Ki Jlaprang.
Tapi tak urung Arumdalu dan Prangbakat telah ter-
lanjur mengejar. Kedua orang ini tidak mendengar se-
ruan Ki Jlaprang. Sedangkan lainnya masih tinggal di
tempat.
“Siapa yang menerobos mengejar?” seru Ki Jla-
prang.
Tak seorang pun memberi jawaban. Setelah saling
berkumpul, tahulah mereka siapa yang tak ada di sa-
na.
“Arumdalu dan Prangbakat rupanya mengejar me-
reka,” kata Dhandhang Gendis.
Terlihat wajah tegang dari roman muka Ki Jlaprang.
Dia merasa perintahnya tidak digubris oleh Arumdalu
dan Prangbakat. Ataukah mereka tidak mendengar pe-
rintahnya?
“Kita tunggu saja kemunculan mereka kembali,” sa-
ran Ki Jlaprang.
Ketegangan masih mencekam walaupun lawan telah
tersingkir. Mereka berjaga-jaga kalau ada serangan
yang berikutnya dengan kekuatan yang lebih unggul.
“Mungkinkah para penyerang ini dari Kadipaten Ka-
ranggayam? Mereka memakai seragam dengan tanda
tengkorak di dada kiri,” kata Gumbrek.
“Pasti ini pasukan khusus yang dibentuk oleh pihak
Kadipaten Karanggayam,” kata Udel Bodong.
“Rasanya bukan. Tapi hal itu perlu kita buktikan,”
kata Ki Jlaprang.
Baru saja mereka menyudahi percakapan, tiba-tiba
tercium bau harum. Mula-mula bau menyengat hidung
secara lunak, tapi lama-kelamaan kian keras.
“Kalian mencium bau ini?” tanya Ki Jlaprang.
“Ya! Seperti harumnya kayu cendana,” sambut
Dhandhang Gendis.
“Bukan kayu cendana saja. Rasanya bercampur
dengan bau bunga kenanga,” sahut Gumbrek.
“Tercampur juga bau kemenyan!” sela Watangan.
“Ah, yang begini bisa membuat kepalaku pusing!”
kata Udel Bodong dengan menebah kepalanya.
Dan perbuatan seperti itu tidak saja Udel Bodong
yang melakukan, tapi juga yang lain-lain. Akhirnya
disadari bahwa bau harum yang sulit diketahui jenis-
nya ini telah membuat kepala mereka pusing. Rasanya
pelipis mereka didera oleh rasa sakit yang menekan
kepala, berdenyut-denyut tak karuan...!
“Ini bukan bau sembarangan. Tapi serangan tenaga
dalam lewat penciuman!” seru Watangan sambil me-
nyeringai.
Mereka baru sadar apa yang menyerang mereka,
bau harum untuk melumpuhkan syaraf.
Seseorang telah melakukan serangan dari jarak
jauh dan mengandalkan tenaga angin malam. Keenam
orang itu blingsatan memegangi kepala mereka mas-
ing-masing. Kalau serangan tenaga dalam lewat geta-
ran suara bisa diatasi dengan menutup telinga, bagai-
mana menangkis bau harum yang berisi tenaga da-
lam? Apakah mereka akan menutup hidung mereka?
Itu berarti mati konyol!
Beberapa orang di antaranya akhirnya roboh den-
gan darah meleleh dari hidung dan telinga. Ki Jlaprang
yang berusaha bertahan dengan mengerahkan tenaga
dalam membendung indera penciumannya, juga tak
berhasil mengatasi.
Hanya Dhandhang Gendis dan Jelantik yang terli-
hat bertahan. Kedua orang ini dengan merangkak
mencoba menjauhi tempat itu. Benar-benar perjuan-
gan yang berat. Seperti ada kesepakatan, keduanya
bergerak menuju arah sungai, dan menceburkan diri
mengikuti arus yang deras.
***
ENAM
Kabut di pegunungan Embun Nirwana semakin ter-
lihat jelas. Tiga ekor kuda dengan langkah hati-hati
menembus kawasan di sana. Hawa dingin melumat se-
luruh tubuh. Pusparini, Mahesa Alit dan Roro Wilis
mulai menggigil. Untuk mengatasi hawa dingin ini ke-
tiganya mengambil selimut dari buntalan perbekalan
mereka. Selimut itu terbuat dari tenunan benang-
benang yang kasar sehingga bisa menyerap kehanga-
tan. Karena tebalnya kabut, mereka hanya bisa meli-
hat ke depan sejauh dua tombak.
“Hati-hati. Mungkin ada lubang di depan kita,” kata
Pusparini memperingatkan Mahesa Alit yang berada
paling depan. Sedangkan Roro Wilis yang berada di
tengah sejak mereka menembus kabut itu tak banyak
berbicara. Dia menyelimuti tubuhnya sehingga mata
saja yang disisakan untuk memantau pandangan.
Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan mereka
sampai di tempat sebagai pemukiman Pendekar Kipas
Akar Wangi. Suasana hening, dan jalanan semakin
menanjak ke atas.
“Aku tak habis pikir mengapa Sang Adipati Argapu-
ra ingin membangun candi tempat peribadatan di sini,”
kata Roro Wilis. “Bagaimana bisa mengucapkan doa
dalam kedinginan seperti ini?”
“Kukira bukan di bagian ini yang akan dibangun
candi itu. Mungkin di sebelah atas dataran di mana si-
nar matahari bisa leluasa mengembangkan ca-
hayanya,” jawab Mahesa Alit.
Dugaan ucapan itu akhirnya terbukti. Beberapa
waktu kemudian setelah mereka mendaki dataran
yang menanjak, akhirnya sampai di tempat di mana
kabut tidak sepekat lagi.
“Lihat, di sana,” telunjuk Mahesa Alit menjulur
membarengi ucapannya.
Ketiga pasang mata mengawasi punggung bukit
yang terlihat subur di mana sinar matahari meman-
carkan sinarnya dengan leluasa.
“Jadi pegunungan Embun Nirwana ini dikelilingi
kabut seperti sabuk, sedang puncaknya terhampar
nyata,” terdengar ucapan Pusparini. “Sekarang menca-
ri tanda-tanda pemukiman Pendekar Kipas Akar Wan-
gi. Menurut penjelasan Ki Jlaprang, kita harus mencari
pohon beringin kembar yang disebut Waringin Kem-
bar.”
Mereka segera memacu kuda masing-masing den-
gan langkah cepat. Hal itu memungkinkan sekali sebab
kawasan yang dirambah berupa padang rumput se-
tinggi lutut. Sedangkan di seberang sana terlihat dere-
tan pohon-pohon yang diperhitungkan terdapat pohon
beringin kembar.
Semakin dekat dengan tempat yang dituju, pera-
saan Pusparini semakin berdebar. Ingatannya tentang
mimpinya bertemu dengan Pendekar Kipas Akar Wangi
semakin menggigit. Apakah benar pendekar itu seperti
yang dilihatnya dalam mimpi?
Padang rumput berhasil mereka lewati. Kini di ha-
dapan mereka terdapat segugusan pohon yang mem-
bentuk hutan kecil.
“Kita harus menerobos masuk,” kata Pusparini yang
tanpa ragu terus menuju ke depan. Sedangkan Mahesa
Alit dan Roro Wilis masih tercekam dengan pohon-
pohon yang tegak di hadapan mereka. Pohon bagaikan
kaki-kaki raksasa itu memiliki sulur akar gantung
yang malang melintang. Ada yang sampai menghunjam
ke tanah sehingga membentuk batang baru. Dan
anehnya, Pusparini seperti sudah pernah mengenal
tempat itu, dengan enak saja menerobos ke dalam hu-
tan.
“Rini! Tunggu!” seru Mahesa Alit.
Tapi Pusparini telah nggeblas tak terlihat lagi. Ma-
hesa Alit dan Roro Wilis mengekor jejak.
“Di mana dia?” tanya Roro Wilis setelah beberapa
saat kemudian memburu jejak Pusparini, tapi yang di-
ikuti tak terlihat sosok tubuhnya lagi.
“Jangan-jangan kita yang kesasar.”
“Tak mungkin,” jawab Mahesa Alit. “Tadi kulihat
nyata mengarah pada jalur ini.”
“Iya. Tapi coba kau lihat di depan. Dia tak terlihat
lagi bukan?” sanggah Roro Wilis.
Mahesa Alit mulai ragu-ragu. Mereka berhenti. Roro
Wilis menengadah ke atas melihat batang pohon yang
menaunginya. Batang pohon itu dengan sulur-sulur
akar gantungnya telah membentuk seperti sebuah gua.
Enak untuk berteduh kalau hujan.
“Kita ngaso di sini saja,” kata Roro Wilis yang tanpa
persetujuan Mahesa Alit telah turun dari kudanya.
Mahesa Alit masih meneliti keadaan sekelilingnya.
Kemudian dia berteriak memanggil nama Pusparini.
Suara gema memantul ke pelosok hutan.
“Sudah. Nanti kan ketemu. Lihat, kudamu berke-
ringat. Dia perlu ngaso,” kata Roro Wilis.
Terdengar sekali gaya bicara Roro Wilis yang manja.
Dan ini dianggap Mahesa Alit tidak seperti biasanya.
Tapi saran itu benar adanya. Kudanya perlu istirahat.
“Ya. Toh nanti bisa ketemu. Kukira tak ada persoa-
lan yang gawat untuk bertemu dengan pendekar itu,”
kata Mahesa Alit sembari turun dari punggung ku-
danya.
Di sekitar tempat itu ada rumput, dan kudanya di-
biarkan merumput. Ketika menoleh ke arah Roro Wilis,
gadis itu terlihat telah memejamkan matanya. Entah
tertidur atau tidak, yang jelas enak sekali sosok gadis
itu dipandangi lama-lama. Dari ujung rambut sampai
ujung kaki, sosok tubuh Roro Wilis jadi sapuan pan-
dangan mata Mahesa Alit. Roro Wilis terbaring terlen-
tang dengan kedua tangannya dinaikkan sebagai pe-
nyangga kepala. Sedang kaki kanannya tegak menekuk
sementara kaki yang satu terbujur lurus.
Dengan sikap kedua tangan menyangga kepalanya,
maka dada Roro Wilis jadi membusung menantang.
Lembah buah dadanya terlihat sebagian dan mema-
merkan kulitnya yang mulus. Mahesa Alit menarik na-
pas dalam. Kemudian dia duduk tak jauh dari Roro Wi-
lis. Mungkin sejauh sedepa. Dan apabila dia melu-
ruskan kaki, maka kakinya akan menyentuh ujung
kaki gadis itu. Tapi Mahesa Alit punya pertimbangan
untuk tidak mengganggu gadis itu dengan sentuhan
ujung kakinya. Tapi matanya tetap nakal mengawasi
segenap sosok tubuh Roro Wilis yang hari-hari terakhir
ini sangat dekat dengan dirinya.
Roro Wilis bisa berbicara akrab dengan dirinya apa-
bila Pusparini tak ada di dekat mereka. Karena segan?
Entahlah. Mahesa Alit mencoba meraba sikap tersebut.
Apakah Roro Wilis menaruh hati kepadanya? Ah, mana
mungkin ada wanita jatuh hati kepada dirinya? Terus
terang, Mahesa Alit punya sikap rendah kalau berha-
dapan dengan wanita. Tapi sikap-sikap Roro Wilis pada
hari-hari terakhir ini sempat membuat perasaannya
terguncang.
Pada setiap kesempatan keduanya bekerja bersama
membenahi sesuatu, maka sentuhan tubuh mereka
menimbulkan gerak yang agresif dari Roro Wilis. Apa-
kah itu sikap pancingan?
Tiba-tiba lamunan Mahesa Alit terhenti karena kaki
Roro Wilis ganti posisi, dan gerakan ini membuat kaki
mereka beradu. Roro Wilis seperti kaget karena ada se-
suatu yang menyentuh kakinya. Kaget? Atau pura-
pura kaget?
“Oh, kukira kau memburu Pusparini,” kata Roro Wi-
lis dengan melonjorkan kaki sehingga menghimpit kaki
Mahesa Alit. Seperti hal itu tidak disadari, dan kakinya
dibiarkan dengan keadaan tetap begitu.
“Seperti saranmu, kuda kita perlu istirahat, bu-
kan?” sahut Mahesa Alit.
Roro Wilis cuma melempar senyum. Sejenak ma-
tanya dipejamkan lagi. Lama dia bersikap seperti itu.
Ah, kalau saja Mahesa Alit tahu apa yang sedang dipi-
kirkan oleh Roro Wilis ini, di mana denyut jantungnya
kian berpacu cepat...!
Dan seperti tak percaya apa yang dia rasakan, tiba-
tiba Roro Wilis membuka matanya. Itu karena tersirap
oleh sentuhan tubuh Mahesa Alit yang kini menghim-
pit di sampingnya.
Roro Wilis beradu pandang dengan mata Mahesa
Alit. Tak ada sepatah kata pun mampu meluncur un-
tuk mengawali berbicara. Perlukah hal itu diantar den-
gan pembicaraan lagi? Rasanya tidak. Dan peradaban
yang universal untuk melepaskan gelora yang menggu-
ruh di dada, kiranya terjadi pada mereka. Entah siapa
yang memberi pelajaran, yang jelas sentuhan bibir me-
reka telah melambungkan perasaan ke awang-awang.
Diawali dengan sentuhan lembut, lalu kian ketat, se-
hingga napas mereka saling berbenturan. Dan itu ber-
langsung lama sekali. Masing-masing tak ada tanda-
tanda untuk saling merenggangkan diri. Sampai ak-
hirnya... sikap akhir itu dilakukan oleh Mahesa Alit.
Perasaan Roro Wilis tersendat. Nyata terlihat lewat
pandangan matanya yang redup dengan bibir lemas
terbuka.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” terdengar
suara Roro Wilis lirih.
Mahesa Alit tegak. Dia duduk di samping gadis itu
yang sisa kesadarannya belum pulih benar.
“Maafkan aku,” kata Mahesa Alit dengan suara ber-
getar.
“Untuk apa?”
“Aku telah berbuat tidak senonoh. Melanggar keso-
panan. Mendobrak susila.”
“Omong apa kau ini?”
“Omong tentang itu tadi. Aku telah menciummu.”
“Aku juga ingin kau cium.”
“Edan!” pikir Mahesa Alit. Tapi bukankah semua te-
lah terjadi?
“Ada apa sebenarnya kita ini?” tanya Mahesa Alit.
“Aku tak tahu. Pokoknya senang kalau selalu ber-
dekat-dekat dengan kau,” jawab Roro Wilis. “Kau ba-
gaimana?”
Mahesa Alit membisu. Pikirannya kacau.
“Kau... belum punya gadis idaman? Atau... sudah
ada yang mengikatmu?” tanya Roro Wilis.
“Seharusnya aku yang bertanya tentang hal itu,”
tukas Mahesa Alit.
“Aku tidak ingin pamer membaik-baikkan diri. Yang
jelas hatiku sedang kosong,” jawab Roro Wilis seraya
bangkit dan duduk di samping Mahesa Alit. Kemudian
dengan berani dirinya menyandarkan kepalanya ke
bahu pemuda itu. “Mengapa kita harus membohongi
diri sendiri?” lanjut Roro Wilis.
“Aku selalu takut kalau ingin pacaran,” kata Mahe-
sa Alit.
“Takut? Sepertinya kau tadi pandai melakukannya.”
“Oh, ya? Apakah kau telah memperbandingkan
dengan cara pemuda lain yang melakukan kepadamu?”
“Percayalah! Itu yang pertama kulakukan.”
“Bohong!” sanggah Mahesa Alit dengan menatap ta-
jam mata Roro Wilis yang cuma berjarak sejengkal dari
wajahnya.
“Sungguh!”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Dan napas Roro Wilis tersengal sesaat ketika den-
gan cepat Mahesa Alit memagut bibirnya yang mangar-
mangar...! Dan kemesraan itu berlanjut, diarungi ber-
sama dalam dekap kehangatan.
Mereka terlena, sampai tidak sadar bahwa berpa-
sang-pasang mata telah hadir di sana. Kalau tidak ter-
dengar ringkik kuda, pasti mereka tak tahu bahwa be-
berapa sosok tubuh telah cukup lama menyaksikan
perbuatan itu. Dan keduanya njenggirat! Belum sem-
pat mereka membenahi diri, kelompok orang-orang itu
telah menebar jaring ke arah mereka.
Mahesa Alit dan Roro Wilis tak punya kesempatan
untuk mencabut senjatanya. Dalam keadaan tak ber-
daya, mereka hanya bisa mengawasi orang-orang yang
telah meringkusnya. Mereka berpakaian serba hitam
dengan gambar tengkorak pada dada kiri.
Lalu yang rupanya menjadi pimpinan kelompok
muncul. Pakaiannya serupa. Hanya gambar tengkorak
itu yang berwarna merah, sedangkan yang lain putih.
“Kalian bisa melanjutkan kemesraan itu dalam
krangkeng nanti! Ayoh berdiri!” seru pimpinan orang-
orang itu.
Tik ada pilihan lain kecuali mematuhi perintah itu.
Kemudian Mahesa Alit dan Roro Wilis digiring ke suatu
tempat.
***
TUJUH
Pusparini terus menerobos di antara pepohonan.
Dia tidak menghiraukan keadaan Mahesa Alit dan Roro
Wilis yang diduga tetap membuntuti di belakangnya.
Dia baru sadar bahwa kedua temannya tidak lagi ber-
samanya ketika sampai pada hamparan lahan di mana
terlihat dua buah pohon beringin kembar. Pohon itu
tumbuh berdampingan dan batangnya saling melilit.
Tapi yang menarik perhatian, bahwa di atas pohon itu
terdapat bangunan tempat tinggal seseorang. Di ban-
gunan dengan sarana yang ada di sekitar tempat itu,
tak ada tangga untuk naik ke sana. Hal ini hanya di-
mungkinkan bagi mereka yang memiliki ilmu persila-
tan saja. Tapi itu pun akan terbatas pada orang-orang
tertentu, karena begitu tingginya bangunan tersebut.
“Mungkin sekitar enam tombak tingginya. Atau le-
bih,” pikir Pusparini. “Tapi bagaimana aku harus men-
gawali datang sebagai tamu?”
Pusparini turun dari punggung kudanya. Kemudian
melangkah ke depan.
“Spaadaaaa!” serunya diarahkan ke bangunan di
atas sana.
Sepi tak ada jawaban. Lalu seruan itu diulangi
sampai tiga kali. Baru saat itulah Pusparini dibuat ka-
get, sebab tiba-tiba telah tegak seseorang di belakang-
nya.
“Oh!” hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
Orang yang hadir tanpa diketahui kemunculannya itu
benar-benar seseorang yang pernah dilihat dalam
mimpinya.
“Maaf, apakah aku berhadapan dengan Pendekar
Kipas Akar Wangi?”
“Kau akan tahu nanti,” jawab laki-laki itu. “Kalau
kau menjadi tamuku, mari ke atas sana.”
Pusparini masih terpaku di tempatnya ketika orang
yang dianggap bernama Pendekar Kipas Akar Wangi
itu melesat ke atas dan nangkring di anjungan.
“Ayo!” seru Pendekar Kipas Akar Wangi dengan
memberi isyarat agar Pusparini naik.
Sesaat kemudian Pusparini melesat ke atas... Hup!
Dengan gerakan mulus tiba di anjungan.
“Mari masuk,” kata si Pendekar.
Tanpa ragu Pusparini masuk ke dalam ruangan
yang berdinding terbuat dari akar-akar gantung pohon
beringin. Pantas saja kalau laki-laki itu bergelar Pen-
dekar Kipas Akar Wangi. Ruangannya pun berbau ha-
rum. Tapi perasaan Pusparini bergidik ketika teringat
penjelasan bahwa orang itu masih keturunan siluman!
“Tak banyak tamu yang mampu datang ke tempat
ini,” kata si Pendekar. “Apa maksud kedatanganmu ke
tempat ini?”
Tegur sapanya tidak mencerminkan sesuatu yang
menakutkan. Ucapan itu kedengaran ramah. Sambil
berancang-ancang untuk menjawab, Pusparini tak
berkesudahan meneliti penampilan si Pendekar. Begi-
nikah bentuk manusia keturunan siluman? Sopankah
apabila dia menanyakan tentang hal itu?
“Mengapa masih diam?” tanya si Pendekar memanc-
ing pembicaraan.
“Oh... ehmm... aku utusan dari Kadipaten Argapura.”
“Kadipaten Argapura...? Ah tentu soal pembangu-
nan candi itu. Mau apa lagi? Bukankah sudah kukata-
kan bahwa aku keberatan kalau kawasan Embun Nir-
wana ini didirikan sebuah candi untuk pemujaan?”
“Kami ingin tahu rincian tentang keberatan itu. Bu-
kankah kau pernah mengatakan setuju ketika pertama
kali pihak Kadipaten Argapura menyampaikan usulan
tersebut?” kata Pusparini membentangkan masalah
seperti yang dianjurkan oleh Sang Adipati Argapura.
“Kadang-kadang angin bisa berubah arah. Demikian
juga sikap manusia,” kata si Pendekar.
“Tapi manusia bisa disebut berbudi luhur apabila
meneguhi perkataan janjinya,” sahut Pusparini.
“Itu bagi manusia lain. Tidak bagiku!”
“Karena... karena... kau berdarah siluman?” kata
Pusparini dengan bimbang.
Pendekar Kipas Akar Wangi yang selama itu bersi-
kap lunak, tiba-tiba memandang Pusparini dengan ma-
ta beringas. Pandangan itu begitu menakutkan sehing-
ga Pusparini nyaris saja menjangkau pedangnya. Kete-
gangan berkembang di antara mereka.
“Bagaimana kau tahu hal itu? Aku tidak menyesal
kau menyebutku begitu. Aku hanya takut bahwa aku
akan membunuhmu karena kau mengatakan siapa di-
riku!”
Dugaan bahwa si Pendekar akan menerkamnya,
ternyata keliru. Pusparini melihat laki-laki di hada-
pannya itu bersimpuh dengan menutup wajahnya.
Semua berbalik menumbuhkan teka-teki. Pusparini
merasakan telah menghadapi tokoh yang aneh. Untuk
beberapa saat dia menunggu perkembangan sikap si
Pendekar. Laki-laki itu tetap bersimpuh. Pertemuan
yang berselang sesaat ini memang belum memungkin-
kan bagi Pusparini memecahkan masalah yang diem-
bannya secara tuntas. Mengapa semua jadi berubah
ketika pembicaraan itu menyangkut soal kemanu-
siaan?
“Kau bisa membunuh orang yang mengatakan bah-
wa kau berdarah siluman?” tanya Pusparini mencoba
membuka percakapan lagi. Hanya ini yang bisa dika-
takan, sebab menyangkut hal yang membuat si Pende-
kar berubah sikap tanpa dipahami duduk perkaranya.
“Ini benar-benar siksaan bagiku. Seharusnya aku
sudah membunuhmu karena kau mengatakan rahasia
keberadaanku!” terdengar suara si Pendekar dengan
suara serak dengan wajah yang tetap ditutup dengan
kedua belah tangannya.
“Mengapa kau tidak bertindak?” kata Pusparini
dengan mempersiapkan diri kalau-kalau si Pendekar
bertindak di luar perhitungannya.
“Karena aku takut membunuh! Aku tidak ingin ter-
seret ke dalam malapetaka. Oohhh, kalau saja kau ta-
hu apa yang menjadi masalah yang selama ini meron-
grong diriku...,” kata si Pendekar.
“Baik. Kukira... kita bisa berbicara untuk menjer-
nihkan hal ini. Mungkin aku bisa membantumu,” sa-
hut Pusparini dengan nada sareh.
Si Pendekar masih tetap pada sikapnya, bersimpuh
dengan menutup wajahnya. Lalu sikap ini pudar.
Dia melepaskan tangannya dan masih duduk ber-
simpuh. Matanya mengawasi Pusparini. Terlihat wajah
sendu pada si Pendekar. Untuk menghormati si tuan
rumah, Pusparini pun duduk bersimpuh pula.
“Kau... bisa membantuku?” tanya si Pendekar.
“Kalau mengerti persoalannya, dan itu seandainya
bisa kulakukan,” jawab si Walet Emas.
“Baru pertama kali ini ada orang mau berbicara
baik-baik kepadaku,” kata Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Siapa namamu?”
“Pusparini!”
“Pusparini? Mengapa dalam menangani masalah ini
maka seorang pendekar wanita yang dikirimkan?”
“Secara kebetulan saja,” jawab Pusparini dengan
menjaga suasana omongan. Hal ini jadi pertimbangan-
nya, sebab merasakan tentang perangai aneh yang be-
lum dipahami dari sifat Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Jadi telah banyak orang yang tahu siapa diriku,
tentang... aku ini keturunan apa,” terdengar suara si
Pendekar. “Kau pasti bisa mengambil kesimpulan se-
tiap makhluk lahir ke dunia bukan lantaran kehen-
daknya sendiri, bukan? Kita tercipta, lalu harus meng-
hadapi semua kendala kehidupan. Kemudian tanggun-
gan yang harus dipikul, kita bakal masuk neraka atau
nirwana.”
“Ah, jangan omong tentang filsafat. Bisa-bisa aku
tidak mengerti,” kata Pusparini. “Katakanlah semua
masalahmu dengan cara yang mudah dan tidak berbe-
lit-belit. Kau kira... aku datang untuk mendengar ceri-
ta yang membuat kepala pusing?”
Sungguh tak terduga kalau ucapan Pusparini ini
menimbulkan tawa si Pendekar.
“Ada yang lucu?” tukas Pusparini.
“Tidak. Aku menertawakan kebodohanku sendiri,”
jawab si Pendekar. “Baik! Aku akan berbicara dengan
dasar siapa diriku yang membuat akhirnya kau dikirim
kemari. Begitu?”
“Ya!”
“Begini. Aku keturunan siluman. Itu karena ibuku,
seorang manusia, telah diculik oleh... makhluk silu-
man, yang akhirnya lahirlah aku.”
“Diculik... dibawa ke alam siluman?” sela Pusparini.
“Ya. Tapi pihak kelompok siluman akhirnya mem-
buat keputusan bahwa ibuku harus dikembalikan ke
dunia ini. Siluman yang menculik ibuku mematuhi ke-
putusan itu. Ibuku dikembalikan, tapi sudah dalam
keadaan mengandung. Di tempat inilah ibuku dikem-
balikan, yang beberapa bulan kemudian... aku lahir!”
“Di mana ibumu sekarang?”
“Beliau sudah meninggal.”
“Kapan itu?”
“Ketika aku berumur sepuluh tahun, dan ibu me-
ninggal seratus tahun yang lalu.”
“Apa? Eh, coba kau ulangi kata-katamu. Mungkin
aku salah dengar,” sela Pusparini.
“Ibuku meninggal ketika aku berumur sepuluh ta-
hun, dan itu terjadi seratus tahun yang lalu!” kata si
Pendekar dengan wajah sendu. Tampaknya dia tidak
main-main mengakui hal itu.
“Ah, jangan mbanyol! Aku ingin mengetahui siapa
dirimu dengan sebenarnya, dan kau kuharap berkata
dengan jujur.”
“Aku telah berkata dengan jujur. Kau tidak per-
caya?”
“Tentang ibumu yang meninggal ketika kau beru-
mur sepuluh tahun, aku percaya. Tapi peristiwa itu
terjadi se-ra-tus ta-hun yang lalu? Oh...!”
“Aku telah berkata dengan jujur!” sahut si Pendekar.
Pusparini mengawasi laki-laki di hadapannya yang
bernama Pendekar Kipas Akar Wangi itu. Pendekar
berdarah siluman. Pendekar yang hidupnya terpencil
dan punya daerah kekuasaan tanah perdikan. Pende-
kar yang menjadi sumber sengketa antara dua kadipa-
ten. Dan pendekar yang... ibunya meninggal ketika di-
rinya berumur sepuluh tahun dan itu terjadi seratus
tahun yang lalu!
“Oh..., aku yang bodoh,” tiba-tiba Pusparini menya-
dari keadaan itu.
“Kau mengakui bodoh. Mengapa?”
“Seharusnya aku sadar siapa dirimu yang dengan
keberadaannya, kau seperti manusia masih berumur
likuran tahun,” kata Pusparini dengan menatap tajam
ke arah si Pendekar. “Kalau begitu, umurmu telah le-
bih dari seratus tahun. Tepatnya... sekitar seratus se-
puluh tahun!”
“Ya!”
“Manusia seperti aku sudah keriput dalam usia se-
lanjut itu,” kata Pusparini.
“Justru itu yang membuat aku harus hidup dengan
bersikap baik,” sahut si Pendekar. “Kalau aku terseret
ke kancah kejahatan, aku bisa musnah dari muka
bumi!”
“Oh,” hanya ini yang meluncur dari mulut Puspari-
ni.
Dia benar-benar sedang berhadapan dengan masa-
lah yang aneh. Bahkan sudah merembet pada luar du-
nianya. Apakah sudah banyak makhluk-makhluk si-
luman yang merambah ke dalam kehidupan manusia
dan melahirkan orang-orang seperti laki-laki bernama
Pendekar Kipas Akar Wangi ini? Pusparini enggan ber-
tanya tentang hal ini. Tapi kalau benar, apakah tidak
akan membahayakan kehidupan manusia seperti di-
rinya?
Selama ini dia paham tentang siluman yang dipuja
oleh manusia, atau bekerja sama dengan manusia un-
tuk kepentingan manusia itu sendiri. Tapi siluman
membuat seorang wanita melahirkan anak siluman,
baru kali ini dia ketahui!
“Jadi kau bisa musnah kalau berbuat kejahatan?”
tanya Pusparini lebih lanjut.
“Ya. Ayahku yang mengatakan ketika pada suatu
saat menemuiku.”
“Ayahmu yang membuka rahasia itu? Kalau begi-
tu... berapa batas usia siluman itu? Apakah mereka
bertampang angker menakutkan?”
“Kebetulan tidak! Dalam alam siluman terdapat
berbagai wujud. Seperti halnya dunia manusia. Du-
niamu ada orang berkulit kuning, putih atau hitam.
Bermata sipit dan tidak. Bertampang jelek dan bagus
serta ayu. Di dunia manusia terdapat berbagai bangsa.
Di alam siluman pun begitu juga. Ada yang bertam-
pang seram dan ganas. Ada yang berhati lembut dan
baik. Hanya saja... para siluman itu memiliki kekuatan
yang tak dimiliki oleh manusia, menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan apa yang disebut ‘kesaktian’,”
kata si Pendekar yang kemudian disusul lagi dengan
uraian panjang lebar tentang dunia siluman.
“Dan kau... bisa menembus ke alam siluman?”
“Sekarang tidak lagi. Ketika tahun-tahun lalu aku
masih bisa melakukan, sekarang tidak lagi. Ayahku
yang membuat aku tidak bisa lagi menembus ke sana.
Tubuhku telah dirajah dengan mantera yang tidak
memungkinkan lagi aku bisa menembus ke sana,” kata
si Pendekar sambil menunjukkan rajah mantera di da-
danya di balik rompinya.
“Rajah mantera?!” sahut Pusparini dengan meneliti
gambar dan tulisan aneh yang dirajah pada kulit dada
si Pendekar. “Mengapa ayahmu melakukannya?”
“Demi keselamatanku sendiri. Di sana ada pihak-
pihak yang tak menyukai keberadaanku.”
“Lalu mengapa kau mengingkari perjanjian yang te-
lah disepakati dengan pihak Kadipaten Argapura?”
“Aku terpaksa. Ada ancaman yang membuatku ha-
rus tunduk kepada pihak ketiga.”
“Adipati Karanggayam?”
“Ya! Tapi dia melakukannya dengan bantuan pihak
lain.”
“Siapa?”
“Saudaraku sendiri!” jawab si Pendekar dengan me-
lepas napas panjang. Seperti ada beban yang dile-
paskan dengan uraian tersebut.
“Saudaramu? Kau punya saudara? Mengapa tidak
kau ceritakan sejak awal bahwa ibumu mempunyai
anak lain selain dirimu?”
“Maksudku... ah, tentu kau tak mempercayai kea-
daan ini. Kau akan banyak mengetahui dari peristiwa
ini hal-hal yang menurut pikiran manusia serba tidak
mungkin!”
“Tidak! Aku percaya. Aku akan mempercayai semua
ceritamu,” desak Pusparini.
Pendekar Kipas Akar Wangi termenung. Tampaknya
dia ragu-ragu untuk menceritakan hal itu. Di sisi lain,
dia merasa mendapat jalur pelepas untuk mengelua-
rkan semua masalah yang selama ini dipendam dan
menjadi beban pikirannya.
“Kau tentu pernah mendengar japa-mantra yang di-
ucapkan oleh orang-orang yang mengatakan tentang
Kakang kawah Adi ari-ari Sedulur papat Lima Pancer.
Artinya, kita ini mempunyai ‘saudara lain’ yang lahir
bersama-sama, dan itu bukan saudara kembar. Ka-
kang kawah adalah cairan yang keluar dari rahim ibu
sebelum kita sendiri lahir. Kemudian kita lahir, disusul
dengan lahirnya pula ari-ari. Dalam diri kita sebenar-
nya mempunyai ‘saudara’ lagi yang tak terlihat. Semua
ada lima. Masing-masing menjaga kita pada keempat
kiblat. Dan yang kelima berada dalam tubuh kita,” ka-
ta si Pendekar menguraikan tentang hal-hal yang gaib
sehubungan dengan kelahiran manusia.
“Hal itu pernah kudengar dari para pinisepuh,” sela
Pusparini.
“Nah, baik. Paling tidak kau telah memahami hal
itu. Tapi yang menjadi kau tak akan percaya, bahwa
Adi ari-ari itulah yang kini menjelma menjadi saudara-
ku!”
“Ari-ari... menjelma menjadi saudaramu? Menjadi...
manusia?” tanya Pusparini yang tiba-tiba merasa sulit
untuk mempercayai kelanjutan cerita si Pendekar.
“Apa kataku? Agaknya kau tak mempercayainya,
bukan?”
“Eh... apa benar, ari-arimu telah menjelma menjadi
manusia? Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Sudah. Aku tak akan melanjutkan cerita ini.
Mungkin kau lapar. Ayo, kita makan dulu,” kata si
Pendekar seraya berdiri untuk menuju ke pojok sana
yang terdapat hidangan makanan persediaannya. “Se-
telah makan, kau boleh pergi!”
“Tidak! Aku ingin tahu tentang... saudaramu itu!”
kata Pusparini.
Si Pendekar menghentikan langkahnya.
“Aku percaya kau punya saudara. Tapi jelaskan ba-
gaimana ‘ari-arimu’ bisa menjelma menjadi manusia,”
kata Pusparini dengan nada penuh harap.
Si Pendekar menghampiri Pusparini lagi. “Ari-ariku
dibawa oleh ayahku ke alam siluman. Aku tak tahu
bagaimana kejadiannya. Yang jelas ari-ari tersebut te-
lah dijelmakan menjadi manusia yang seusiaku!”
Si Pendekar menghentikan ceritanya.
“Kau tidak percaya?” katanya lebih lanjut.
Pusparini cuma mengangguk pelan. “Ya, aku per-
caya!”
“Sukurlah, kau bisa percaya. Pikiran manusia me-
mang tak bisa menerima hal ini. Tapi dunia siluman
adalah dunia dengan seribu satu macam keajaiban.”
“Di mana saudaramu sekarang?”
“Justru itu yang aku tak bisa menjelaskan,” jawab
si Pendekar. “Dan dia menjadi masalah bagiku.”
“Berterus teranglah. Seperti kau menyembunyikan
sesuatu tentang dirinya. Bukankah aku kau harapkan
bisa menolong masalahmu?” kata Pusparini.
Setelah termenung sejenak, Si Pendekar mulai ber-
cerita lagi. “Dialah yang menyebabkan masalah ten-
tang pembangunan candi itu menghadapi kendala se-
hingga aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terbentur
pada takdir tentang diriku yang bisa musnah secara
mengerikan apabila sampai membunuh manusia. Dan
itu menjadi pantanganku. Anehnya, hal itu tak berlaku
bagi saudaraku. Justru hal itu yang membuat kejaha-
tan berkembang di wilayah ini. Sekarang dia meli-
batkan diri demi kepentingan Raja Wengker!”
“Jadi Raja Wengker ada kaitannya dengan masalah
ini? Bukan Kadipaten Karanggayam...?” seru Pusparini
yang semula menaruh kecurigaan terhadap Kadipaten
Karanggayam yang diduga mendalangi masalah ham-
batan tentang pembangunan candi.
“Sudah kukatakan, di sini telah berkembang sesua-
tu yang bisa mencelakakan diriku. Dan adikku sudah
bertindak di luar batas sehingga aku tak mampu men-
cegahnya lagi. Sementara ini dia telah bekerja sama
dengan pihak Kerajaan Wengker. Aku tahu benar jalan
pikirannya. Raja Wengker tak tahu bahwa pada akhir-
nya nanti dialah yang akan menjadi korban keresa-
hannya...!” kata si Pendekar.
“Boleh aku mengajukan suatu pertanyaan?” tanya
Pusparini.
“Tentang apa?”
“Seseorang yang bernama Dyah Keningar!”
“Bagaimana kau tahu nama itu?”
“Aku telah bentrok dengannya sebelum sampai di
sini. Pedangnya berhasil kurampas!” kata Pusparini
dengan memandang tajam kepada si Pendekar yang
berpaling darinya.
Sesaat belum terjadi jawaban.
“Katakan, siapa Dyah Keningar! Pasti kau tahu ten-
tang dia karena kujumpai tak jauh dari wilayah ini,”
desah Pusparini.
“Dyah Keningar... tangan kanan adikku!”
“Apa? Jadi... secara tidak langsung aku telah ber-
hadapan dengan pengikut adikmu?”
“Tampaknya begitu. Dan ini akan membahayakan
dirimu. Kau harus hati-hati,” kata si Pendekar.
“Siapa nama adikmu?”
“Sebenarnya... dialah yang bernama PENDEKAR
KIPAS AKAR WANGI!” kata si Pendekar.
“Apa? Dia yang bernama... Pendekar Kipas Akar
Wangi?” sahut Pusparini dengan cepat.
Dia benar-benar tak mengerti dengan alur peristiwa
yang menyangkut manusia berdarah siluman ini. Dia
merasa terkecoh. Jangan-jangan soal keturunan silu-
man itu pun merupakan isapan jempol belaka.
“Mengapa kau tidak terus terang sejak awal?” sam-
but Pusparini.
“Dengar! Ketika pertama kau datang ke tempat ini,
kau berkata kepadaku apakah aku yang bernama
‘Pendekar Kipas Akar Wangi’. Aku menjawab ‘Kau akan
tahu nanti’. Bukankah dengan begitu aku belum me-
nyebut namaku? Jadi selama pembicaraan ini kau
menganggap aku yang bernama Pendekar Akar Wangi.”
“Sialan!” gerutu Pusparini dengan berancang-
ancang hendak pergi.
“Semua yang kuceritakan benar adanya. Hanya saja
kau terlalu terburu-buru menganggapku sebagai ‘Pen-
dekar Kipas Akar Wangi’”, kata si Pendekar.
“Aku pernah bermimpi dengan seseorang yang ber-
nama ‘Pendekar Akar Wangi’ dan penampilannya tak
beda dengan dirimu!” sanggah Pusparini.
“Mimpi? Kau pernah bermimpi... melihat aku?”
“Tidak saja melihat. Tapi mimpi itu sangat mence-
maskan terhadapku!” sahut Pusparini yang tiba-tiba
saja merasa menyesal mengatakan hal itu.
“Mimpi yang bagaimana?” desak si Pendekar.
“Maaf, aku tak bisa mengatakan,” jawab Pusparini
dengan melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja
semua dilakukan dengan perasaan mendongkol. Dia
telah berbicara cukup lama dengan laki-laki itu yang
diduga sebagai ‘Pendekar Kipas Akar Wangi’, dan itu
tak akan dilanjutkan lagi.
Tapi begitu Pusparini menginjak tanah lagi di ba-
wah pohon beringin itu, si Pendekar telah berada di
sana. Pusparini terperangah kaget.
“Kau akan memerlukan diriku,” kata si Pendekar.
“Waktuku banyak terbuang karena obrolanmu sa-
ja,” tukas Pusparini dengan memperlihatkan perangai
yang ketus.
“Kau tak akan mampu menghadapi adikku, si Pen-
dekar Kipas Akar Wangi itu!” sahut si Pendekar dengan
mencekal lengan Pusparini
“O, ya?!” sambut Pusparini. “Aku telah mengalah-
kan pacarnya! Kukira aku sanggup menghadapinya
untuk menyelesaikan masalah ini.”
Si Pendekar yang belum diketahui dengan pasti sia-
pa namanya ini melepaskan cengkalan tangan yang
semula memegang lengan Pusparini
“Ketahuilah, kemarin orang-orang Pendekar Kipas
Akar Wangi berhasil meringkus enam orang dari Kadi-
paten Argapura,” kata si Pendekar.
“Meringkus enam orang dari Kadipaten Argapura?”
ulang Pusparini.
Sekilas pikirannya tertuju kepada Laskar Khusus
yang dipimpin oleh Ki Jlaprang. Tujuh orang Laskar
Khusus dan Ki Jlaprang sebagai pimpinannya maka
semua berjumlah delapan orang. Kalau hal itu benar,
siapa dua orang yang tidak tertangkap?
“Jadi... Pendekar Kipas Akar Wangi telah menghim-
pun beberapa orang pengikut?”
“Bukan beberapa orang. Tapi banyak orang, dan itu
telah menjadi semacam laskar!” sahut si Pendekar.
Pusparini termenung. Tentu perkembangan seperti
ini tidak diketahui oleh Ki Jlaprang.
Tiba-tiba Pusparini teringat dengan Mahesa Alit dan
Roro Wilis.
“Ada yang kau pikirkan?” tanya si Pendekar.
Ah, tahu saja dia bahwa aku sedang memikirkan
sesuatu, pikir Pusparini. “Ya! Aku memikirkan kedua
temanku yang seharusnya sudah sampai di tempat
ini,” katanya kemudian. “Aku khawatir mereka terse-
sat.”
“Dua orang temanmu?” kata si Pendekar sambil
memejamkan mata serta telunjuk jari kanannya dite-
kankan pada kening.
Sikap ini menjadi perhatian Pusparini.
“Mereka tertangkap,” kata si Pendekar dengan
membuka matanya.
“Apa? Kau... tahu dengan caramu tadi? Maksud-
ku... kau bisa melihat dengan mata hatimu?” sahut
Pusparini.
“Kau harus ingat, aku berdarah siluman,” jawab si
Pendekar tenang.
Pusparini menggeleng sambil membuang muka.
“Aku yang bodoh,” katanya kemudian. “Saat ini aku
berada di tempat yang tak kukenal sama sekali. Baik
keadaannya maupun penghuni-penghuninya,” helaan
napas dilepaskan seakhir dengan ucapan itu.
“Makanya, itu sangat membahayakan dirimu kalau
kau bertindak gegabah,” kata si Pendekar.
“Apakah... kedua temanku tersebut ditangkap oleh
orang-orang Pendekar Kipas Akar Wangi?”
“Ya!”
“Aku ingin tahu sarang mereka!” sahut Pusparini.
“Aku tak akan memberitahu di mana letaknya kalau
kau tak mau menuruti saranku!”
“Aku akan mencarinya sendiri,” jawab Pusparini
sambil melesat pergi.
Tapi tindakan ini ketanggor sambaran tangan si
Pendekar sehingga tubuhnya jatuh dalam pelukan la-
ki-laki itu.
Pusparini tergagap kaget. Untuk beberapa saat dia
tak bisa berbuat sesuatu. Bahkan untuk berbicara ra-
sanya tak sepatah kata pun mampu diucapkan. Piki-
rannya melayang kepada mimpi yang pernah dialami.
Dia benar-benar bermimpi dengan laki-laki ini! Kea-
daan yang begini tiba-tiba menimbulkan perasaan
aneh terhadap Pusparini. Rasanya dia tak menghen-
daki laki-laki itu melepaskan pelukannya. Laki-laki itu
memeluknya dari belakang. Terasa sekali napasnya
menyentuh tengkuknya, dan terasa merambat ke leher.
Dan itu memang benar. Laki-laki yang semula didu-
ga bernama ‘Pendekar Kipas Akar Wangi’ mengecup le-
hernya. Lama kecupan itu bertumpu pada suatu tem-
pat, lalu merambat ke belakang telinga. Pusparini
sempat dibuat agak menggelinjang karena ciuman di
bagian itu membuat dirinya mendesis sehingga pan-
dangannya tak mampu menatap keadaan di sekitar-
nya. Lalu... semua disadari lagi ketika tiba-tiba terden-
gar ringkik kuda.
Pusparini berontak melepaskan diri. Kudanya terli-
hat muncul tak jauh dari tempat mereka. Si Pendekar
tak bertindak apa-apa lagi begitu Pusparini mele-
paskan diri dari pelukannya.
“Apa yang kau lakukan tadi terhadapku?” seru Pus-
parini dengan mengatur napas.
“Entah! Kau sendiri merasakan apa?!” jawab si Pen-
dekar.
Wajah Pusparini merona merah. Tubuhnya berpe-
luh. Rambut-rambut halusnya terurai di seputar ke-
ningnya. Ada beberapa butir keringat meleleh pada wa-
jahnya. Oh, alangkah cantik Pusparini dalam keadaan
seperti itu. Matanya menyorot tajam kepada si Pende-
kar.
“Sebut, siapa namamu yang sebenarnya. Itu yang
kuharapkan sebelum aku meninggalkan tempat ini,”
kata Pusparini tegas.
Si Pendekar masih membisu. Perasaan masih ter-
paku kepada penampilan Pusparini yang saat ini terli-
hat berang, tapi menawan. Si Pendekar mengambil
cundrik (keris kecil) yang terselip di pinggangnya. Lalu
dia menulis di udara. Tindakan ini memang menak-
jubkan. Betapa tidak. Gerakkan tangan si Pendekar
yang menulis sesuatu di udara dengan cundriknya itu
menimbulkan percikan bunga-bunga api berwarna me-
rah. Dan di sana tertulis sebuah nama!
“Dahana Putra?” terdengar ucapan Pusparini mem-
baca tulisan itu, yang beberapa saat kemudian lenyap
tak berbekas. Tapi bau asapnya tercium harum sekali.
Baru saat inilah Pusparini sadar sedang berhada-
pan dengan siapa. Manusia lumrah tak akan mampu
bertindak seperti itu.
“Terima kasih!” hanya ini yang diucapkan oleh Pus-
parini dengan menaiki punggung kudanya. Tapi dia ti-
ba-tiba ragu untuk mengambil arah. “Tunjukkan aku
arah tempat saudaramu itu!”
Dahana Putra masih terpaku di tempat. Kemudian
dengan pelan dia memalingkan kepalanya ke arah ba-
rat.
Entah itu suatu petunjuk atau bukan, yang jelas
Pusparini segera menghentakkan tali kekang kudanya
ke arah barat. Dahana Putra mengawasi kepergian
Pusparini sampai gadis itu lenyap di balik pepoho-
nan...!
***
DELAPAN
Tak jauh dari kawasan hutan di pegunungan Em-
bun Nirwana terdapat tebing batu dengan pilar-pilar
penyanggahan sehingga membentuk sebuah relung
goa. Anehnya tempat itu hanya terlihat seperti tebing
batu saja. Baru kalau diteliti sekitar dua puluh tombak
jauhnya, akan terlihat pilar-pilar yang menyangga re-
lung itu.
Pada saat ini terlihat beberapa kelompok manusia
berpakaian serba hitam dengan tanda tengkorak putih
sebesar kepalan tangan pada dada kiri. Mereka ber-
bondong-bondong masuk ke sana mengiringkan bebe-
rapa orang tawanan, yang tiada lain adalah Ki Jla-
prang dan tiga orang anggota Laskar Khususnya. Ke-
mudian menyusul Mahesa Alit dan Roro Wilis.
Dyah Keningar, orang yang pernah dikalahkan oleh
Pusparini, berdiri dengan angkuh sambil mengawasi
orang-orang itu.
Sedangkan Ki Jlaprang dan anggota Laskar Khu-
susnya yang baru saja sadar dari pingsannya, sangat
terkejut ketika melihat Mahesa Alit dan Roro Wilis da-
lam keadaan terikat dengan jaring. Karena letaknya
yang agak berjauhan, tak memungkinkan mereka un-
tuk bisa saling berbicara. Tapi dengan melihat keadaan
mereka masing-masing, timbul pertanyaan tentang
kawan-kawannya yang lain. Ki Jlaprang yang melihat
Mahesa Alit dengan Roro Wilis, terbebani pertanyaan
tentang keberadaan Pusparini.
Sedangkan di pihak Mahesa Alit sendiri bertanya-
tanya tentang anggota Laskar Khusus yang tidak ter-
dapat di sana. Tewaskah mereka?
“Kumpulkan para tawanan di sana!” terdengar pe-
rintah Dyah Keningar dengan mengacungkan telun-
juknya.
Tempat yang dimaksud adalah sebuah relung seper-
ti mulut naga dengan kanan kiri terdapat jambangan
yang berisi cairan minyak. Setelah para tawanan di-
kumpulkan jadi satu, maka kedua jambangan itu dis-
ulut dan berkobarlah api di kanan kiri mulut ruangan
yang seperti mulut naga itu.
Para tawanan dilepas dari ikatannya masing-
masing. Hanya senjata mereka yang dilucuti. Keadaan
para tawanan itu sepertinya dibiarkan seakan-akan bi-
sa meloloskan diri. Tapi sebenarnya tidak. Dan Dyah
Keningar tidak akan khawatir tentang hal itu.
“Kalau kalian ingin mati konyol, boleh lolos dari
tempat itu,” seru Dyah Keningar. “Tempat itu terdapat
ranjau mantra. Siapa pun yang melewati ambang pin-
tu, tahu sendiri akibatnya!”
“Hm! Kalian dengar itu? Setidak-tidaknya kita su-
dah tahu bahaya apa yang menanti kita di depan re-
lung ini,” kata Ki Jlaprang. “Mudah-mudahan masih
ada peluang untuk lolos dari tempat ini.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Udel Bodong.
“Berdoalah agar yang lain masih hidup untuk bisa
menolong kita,” jawab Ki Jlaprang dengan mengawasi
ambang pintu yang katanya beranjau mantra.
Di seberang sana Dyah Keningar mengawasi mere-
ka. Tampaknya ada yang sedang ditunggu oleh wanita
yang punya cacat pada wajahnya.
“Jadi dia sedang merampungkan semadinya?” tanya
Dyah Keningar kepada seorang di sampingnya yang
berbadan ceking berjidat lebar dengan mata plolong
dengan hidung seperti paruh betet. Dia biasa dipanggil
‘Thengul’.
“Ya. Mungkin sebentar lagi usai,” jawab orang itu.
Dyah Keningar terdiam. Tak ada perlunya lagi
membuka percakapan untuk mengorek tentang kebe-
radaan orang yang sedang mereka tunggu.
Mereka memang dituntut sabar untuk menunggu
kehadiran ‘junjungannya’. Bahkan kesabaran itu ha-
rus tercermin lahir batin. Pernah suatu saat ada seo-
rang anak buah yang ‘nggondok’ menunggu kemuncu-
lannya. Perasaan itu dipendam dalam hati. Tapi aki-
batnya, perasaan semacam itu bisa ‘dideteksi’ oleh jun-
jungan mereka. Anak buah itu mendapat hukuman di-
bakar hidup-hidup...!
Tiba-tiba Dyah Keningar terusik oleh laporan seo-
rang anak buahnya yang mengatakan ada utusan dari
Kerajaan Wengker.
“Panglima Kuda Walungan dari Wengker? Suruh dia
masuk!” perintah Dyah Keningar.
Tak berapa lama kemudian tokoh bernama Pangli-
ma Kuda Walungan dari Wengker muncul di sana di-
dampingi oleh dua orang.,
“Selamat datang, Kuda Walungan! Lama kita tak
bertemu,” sambut Dyah Keningar.
Panglima Kuda Walungan tidak kaget dengan tegur
sapa Dyah Keningar yang tidak menyertakan jabatan-
nya ‘Panglima’. Mereka adalah sahabat akrab sejak ke-
cil.
“Aku hendak menghadap Sang Pendekar!” kata Ku-
da Walungan.
“Silahkan duduk dulu. Sebentar lagi dia hadir ke-
mari,” jawab Dyah Keningar sambil mengawasi kedua
orang di samping Panglima Kuda Walungan.
Terhadap kedua orang itu Dyah Keningar memper-
lihatkan perhatian khusus.
“Untung kalian bisa menyelamatkan diri, Dhand-
hang Gendis dan Jelantik”, tegurnya. “Bagaimana ka-
lian bisa muncul secara serentak di sini?”
“Siapa gerangan mereka ini?” tanya Kuda Walun-
gan. “Di luar tadi secara bersamaan kami dipersilah-
kan masuk.”
“Mereka berdua ‘telik sandi’, mata-mata, yang ber-
hasil menyelundup ke dalam Laskar Argapura!” kata
Dyah Keningar dengan melempar senyum angkuh.
Dan... di seberang sana, di tempat para tawanan...
“Ki Jlaprang! Lihat siapa di sana itu! Apakah mata-
ku tidak salah lihat? Mereka Dhandhang Gendis dan
Jelantik!” kata Gumbrek bagai melihat setan bertan-
duk.
Semua mata mengawasi orang-orang yang sedang
berbicara dengan Dyah Keningar.
“Mereka mata-mata!” desis Watangan. “Aku pernah
mendapat firasat bahwa laskar kita pasti kesusupan
mata-mata. Baru sekarang kuketahui siapa mereka
sebenarnya.”
Tak kalah geramnya adalah Ki Jlaprang.
“Pantas saja kedatangan kita ke tempat ini seperti
sudah dicium oleh pihak lawan. Tidak tahunya ada
musuh dalam selimut. Aku benar-benar tak tahu ba-
gaimana mereka menghubungi kelompok yang mering-
kus kita.” Sampai di sini Ki Jlaprang memenggal uca-
pannya. Matanya dipertajam untuk mengawasi orang
yang satunya lagi yang asyik berbicara dengan Dyah
Keningar.
“Orang itu kalau tidak salah... Panglima Wengker.
Namanya Kuda Walungan,” katanya kemudian.
“Ki Jlaprang kenal?” tanya Gumbrek.
“Tidak kenal. Tapi tahu,” jawab Ki Jlaprang sambil
mengutuk dalam hati terhadap Dhandhang Gendis dan
Jelantik.
“Mereka berdua seolah-olah tidak tahu tentang ke-
beradaan kita,” sambung Mahesa Alit.
“Kalau saja kita bisa lolos, maka kedua orang itu
akan jadi sasaranku terlebih dulu,” kata Roro Wilis
mengumandangkan dendamnya. Dia masih belum bisa
melupakan saat sewaktu tertangkap ketika menjalin
kemesraan dengan Mahesa Alit.
“Sekarang tinggal Pusparini, Arumdalu dan Prang-
bakat!” sela Gumbrek.
“Kau pikir ketiganya juga mata-mata karena sampai
saat ini tidak lagi bersama kita?” tanya Udel Bodong.
Tak ada yang bisa menjawab. Tapi harapan mereka,
nasib ketiga orang yang masih belum diketahui kebe-
radaannya, tidak sejelek apa yang mereka alami.
***
SEMBILAN
Akhirnya tokoh yang ditunggu muncul! Dialah
orang yang menyandang gelar Pendekar Kipas Akar
Wangi!
Semua menaruh hormat ketika tokoh ini muncul
dari rongga yang selalu mengepulkan semacam uap.
Rongga itu berada tepat di belakang dampar tempat
duduk yang dialasi dengan permadani berbulu tebal.
Dari arah para tawanan, tempat itu bisa dilihat dengan
jelas. Hal ini memang diatur sedemikian rupa sehingga
bisa terjadi hubungan pembicaraan kalau sang tokoh
itu menginginkan percakapan dengan mereka yang di-
tawan tanpa harus datang mendekat.
“Itukah Pendekar Kipas Akar Wangi?” tanya Mahesa
Alit.
Ki Jlaprang yang konon pernah bertemu dengan to-
koh yang menamakan Pendekar Kipas Akar Wangi,
mengerinyutkan dahi.
“Mengapa Ki Jlaprang sepertinya belum pernah
mengenal orang itu?” tanya Mahesa Alit.
“Tampaknya yang kutemui tempo hari bukan dia.
Dan tidak pula di tempat ini. Aku bertemu dengan
Pendekar Kipas Akar Wangi di pohon beringin kem-
bar!” jawab Ki Jlaprang.
Tokoh yang menjadi rerasan berpenampilan tenang.
Wajahnya mencerminkan seseorang yang tak pernah
membuat dosa. Dia seorang wanita!
“Aku yakin bukan dia. Tapi mengapa orang-orang di
sini menghormati dia dan menyebut namanya sebagai
‘Pendekar Kipas Akar Wangi’?” kata Ki Jlaprang yang
herannya tiada berkesudahan.
Terdengar pembicaraan di seberang sana antara to-
koh bernama Pendekar Kipas Akar Wangi dengan para
pembantunya serta tamu dari Kerajaan Wengker.
“Dyah! Orang-orangmu perlu ditingkatkan daya
tempurnya. Dalam waktu sebulan harus sudah ada
peningkatan. Coba, kalau aku tidak turun tangan sen-
diri menangani apa yang disebut sebagai Laskar Khu-
sus Kadipaten Argapura. Semua bisa jadi berantakan,
walaupun rencana mereka untuk menyusup ke Kadi-
paten Karanggayam,” kata Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Seharusnya mereka kau biarkan agar terjadi ben-
trokan antara Argapura dan Karanggayam. Bukankah
selama ini mereka belum ada yang tahu bahwa musuh
utama adalah dari pihak Wengker?” kata Panglima Ku-
da Walungan.
Pendekar Kipas Akar Wangi melemparkan pandang
dingin ke arah para tawanan di seberang sana.
“Ketika kudengar pihak Argapura membentuk
Laskar Khusus, tanganku sudah gatal untuk bertin-
dak. Di samping itu ada keinginan menguji orang-
orang asuhan Dyah Keningar. Dan buktinya? Dyah
Keningar kehilangan senjatanya, serta semua anak
buahnya kedodoran dalam menghadapi lawan-lawan
itu. Yah, anggap saja itu sebagai tolok ukur. Tapi aku
tak mau hal itu berlarut-larut. Aku harus punya pasu-
kan tangguh!”
“Kau bisa menggunakan prajurit Wengker!” saran
Kuda Walungan.
“Aku tak mau terikat. Kau tahu itu!” tukas Pende-
kar Kipas Akar Wangi.
“Maaf, Sang Pendekar. Ada seseorang yang kua-
nggap paling utama yang harus segera kita tangani,”
sela Dyah Keningar.
“Gadis yang punya gelar kependekaran Walet Emas
seperti yang kau ceritakan kemarin?” Kata Pendekar
Kipas Akar Wangi.
“Benar! Aku khawatir dia telah bertemu dengan
saudaramu,” sahut Dyah Keningar.
“Apa yang kalian bicarakan? Kalian menyebut Walet
Emas?” sela Kuda Walungan.
“Ya. Walet Emas. Menurut keterangan Dhandhang
Gendis, nama aslinya Pusparini,” kata Dyah Keningar
sambil memandang Dhandhang Gendis yang duduk
berdampingan dengan Jelantik.
Kedua mata-mata ini di tengah para penggede me-
reka tampaknya tidak berani banyak omong kalau ti-
dak ditanya.
“Betul Pusparini, Dhandhang?” lanjutnya.
“I... i... iya! Iya! Nama aslinya Pusparini, dari Pade-
pokan Canggal di kaki Gunung Merapi!” jawab Dhand-
hang Gendis.
“Aku jadi penasaran ingin menghadapinya. Aku ke-
ranjingan sekali dengan Pedang Merapi Dahana yang
saat ini berada di tangan Walet Emas. Kalian tahu?
Pedang itu pedang tua. Umurnya sekitar dua ratus ta-
hun. Dibuat ketika zaman raja Samaratungga, pendiri
Borobudur!” kata Kuda Walungan yang tiada sadar
bahwa kata-katanya itu membuat perasaan Pendekar
Kipas Akar Wangi jadi muak.
“Aku tidak ingin ada nama pendekar lain yang di-
agul-agulkan di hadapanku!” kata Pendekar Kipas Akar
Wangi dengan pandangan judes. “Kalau begitu, saat ini
kuputuskan bahwa Walet Emas jadi sasaran utama
sebelum kita melanjutkan rencana kita semula!”
“Tapi bagaimana kalau saudaramu telah bertemu
dengan si Walet Emas? Tampaknya gadis itu telah
mengendarai kudanya ke arah Waringin Kembar,” kata
Dyah Keningar. “Kalau saja tidak ada larangan bagi
kami untuk tidak memasuki daerah itu lagi, pasti kami
akan mengejarnya terus,” lanjutnya dengan perasaan
cemas. Dia khawatir kata-katanya akan membang-
kitkan amarah Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Keterlaluan sekali kalau sampai Dahana Putra,
saudaraku itu, ikut campur dalam urusan ini. Tempo
hari utusan Kadipaten Argapura pernah datang kepa-
danya dengan amanah untuk minta izin mendirikan
candi di pegunungan Embun Nirwana. Tolol sekali dia.
Dikiranya utusan orang-orang Argapura itu main-
main. Dia mengijinkan begitu saja, bahkan mengenal-
kan dirinya sebagai Pendekar Kipas Akar Wangi! Aku
pernah menegur sikapnya itu. Tapi dia berdalih, ka-
tanya untuk menjaga nama baikku! Apa itu tidak
edan? Apa dikira aku punya nama jelek?? Macam-
macam saja!” Pendekar Kipas Akar Wangi mengumbar
omongan.
“Dyah Keningar! Sekarang kita bertindak serentak
untuk meringkus si Walet Emas itu. Kalau menurut
keterangan Jelantik ada yang masih berkeliaran di
samping Pusparini, mereka harus kita bereskan sekali-
gus! Siapa nama mereka?” kata Pendekar Kipas Akar
Wangi dengan pandangan dilempar ke arah Dhand-
hang Gendis.
“Arumdalu dan Prangbakat!” jawab Dhandhang
Gendis singkat tanpa embel-embel lagi.
“Arumdalu?” sela Dyah Keningar. “Ya. Nama itu
yang hampir kulupa. Dia jandanya si Aragani. Laki-laki
yang pernah kutewaskan. Dia membuat cacat wajahku
seperti ini. Kalau benar apa yang dikatakan bahwa
Arumdalu itu janda si Aragani, maka dia kuminta se-
bagai bagianku!”
“Edan! Dendam! Dendam! Dendam! Kalau kau ber-
tindak dengan alasan itu kau bisa celaka!” seru Pende-
kar Kipas Akar Wangi.
“Terima kasih atas peringatannya. Justru itu yang
membuat aku akan berhati-hati,” sahut Dyah Kenin-
gar.
“Bagaimana dengan senjata yang akan kau pakai?”
tanya si Pendekar Kipas Akar Wangi yang belum puas
dengan rundingan itu.
Dyah Keningar terdiam. Rupanya dia tadi terlalu
menggebu mengeluarkan uneg-uneg hatinya sehingga
lupa bahwa senjata andalannya kini telah jatuh di tan-
gan Pusparini alias Walet Emas.
Mengerti dengan keadaan ini maka Pendekar Kipas
Akar Wangi melemparkan sebuah kipas kepada Dyah
Keningar. “Pakailah sebagai senjata. Walaupun terbuat
dari anyaman akar wangi, itu bisa menandingi kekua-
tan baja apa pun. Itu akar wangi adalah tanaman dari
alam siluman, yang tak ada di dunia ini!”
Dyah Keningar mengamat-amati kipas yang kini be-
rada di tangannya. Kipas itu kalau dilipat menjadi se-
perti golok pendek. Kalau Pendekar Kipas Akar Wangi
sudah berbicara tentang ‘siluman’, maka orang-orang
di sana sudah ‘miris’ membayangkan tentang hal-hal
yang serem. Kemudian dengan singkat Pendekar Kipas
Akar Wangi memberi tahu tentang kegunaan senjata
Kipas Akar Wangi itu. Kibasan baunya bisa membuat
pusing lawan. Kalau dikebutkan, akan keluar bulu-
bulu halus seperti ‘lugut bambu’ dan itu beracun seka-
li.
Mendengar penjelasan seperti itu Dyah Keningar
mengumbar senyum.
“Mengapa tidak dari dulu aku diberi senjata seperti
ini?” katanya.
“Jangan keburu bangga. Senjata itu bisa membu-
nuhmu apabila kau salah menggunakannya,” kata
Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Menggunakan salah yang bagaimana?”
“Jangan kau gunakan menentang arah angin se-
waktu kau mengebutkan ke arah lawan!” jawab wanita
yang jadi biang kerok peristiwa ini.
“Aku akan mendampingimu agar kau tidak ceroboh
menggunakannya,” sela Panglima Kuda Walungan
dengan nada bergurau.
“Nah, sekarang dengar apa yang kurencanakan un-
tuk meringkus mereka yang masih berkeliaran...!” sa-
hut Pendekar Kipas Akar Wangi.
Kemudian mereka merundingkan siasat...!
***
SEPULUH
Pusparini mengendarai kudanya terus ke arah ba-
rat. Tapi sampai begitu jauh belum ada tanda-tanda
yang menunjukkan adanya tempat yang menjadi pe-
mukiman Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Mungkin dia menipuku!” pikir Pusparini dengan
menghentikan kudanya. “Tempat yang semakin ke ba-
rat membuat perasaanku curiga. Ini bisa membuatku
keluar dari pegunungan Embun Nirwana, sebab di se-
berang itu sudah terlihat genangan kabut.”
Di sini Pusparini termenung memikirkan perte-
muannya dengan Dahana Putra yang semula diduga
Pendekar Kipas Akar Wangi. Akhirnya diputuskan un-
tuk kembali ke arah timur, berarti ke tempat Waringin
Kembar. Dia menyadari kebodohannya mengapa tidak
mencari Mahesa Alit dan Roro Wilis sebelum mening-
galkan Waringin kembar.
Kini diputuskan untuk mencari kedua temannya
itu. Kembali Pusparini menerobos hutan. Perasaannya
harap-harap cemas, jangan-jangan Mahesa Alit dan
Roro Wilis terseret bahaya di luar kemampuan mereka
untuk mengatasi. Terlintas pikirannya untuk menemui
Dahana Putra kembali, tapi hatinya bimbang. Jangan-
jangan hal itu menimbulkan kesulitan baginya.
Tanpa terasa Pusparini sampai di tempat yang di-
duga dijadikan peristirahatan oleh Mahesa Alit dan Ro-
ro Wilis. Sejenak dia memeriksa tempat itu. Dia meli-
hat tanda-tanda bahwa Mahesa Alit dan Roro Wilis
memang telah beristirahat di situ. Tapi sesuatu telah
terjadi menimpa mereka. Nyata sekali bekas-bekas ta-
pak kaki dari banyak orang.
“Apakah mereka diringkus lawan?” pikir Pusparini.
Begitu pikiran ini melintas, tiba-tiba inderanya te-
rusik dengan kehadiran langkah kaki yang mendekat
ke tempat itu. Pusparini segera melesat dari punggung
kudanya. Gerakan tubuhnya ringan melambung ke
atas, yang kemudian nangkring di atas dahan. Dia ber-
siaga bertindak sesuatu sebab dilihatnya dua sosok
tubuh melesat pula ke atas pohon di seberang sana.
Dan pada saat setelah terlihat nyata...
“Arumdalu, Prangbakat!” seru Pusparini.
“Pusparini!” seru dari seberang sana serentak.
“Bagaimana kalian bisa berada di tempat ini?” Pus-
parini melesat menghampiri.
Ketiganya tetap bertengger di atas pohon.
“Kami diserang dengan cara unik!” kata Arumdalu.
“Bau harum yang tak bisa kita ketahui jenisnya telah
melumpuhkan teman-teman yang lain.”
“Tak bisa dipungkiri lagi, itu adalah tindakan Pen-
dekar Kipas Akar Wangi,” sela Pusparini.
Kemudian diceritakan semua pengalamannya kepa-
da Arumdalu dan Prangbakat. Akhir kesepakatan, ma-
ka diputuskan untuk mencari sarang Pendekar Kipas
Akar Wangi! Untung sekali mereka berhasil menemu-
kan dua ekor kuda tunggangan milik Mahesa Alit dan
Roro Wilis yang rupanya tak sempat diringkus oleh la-
wan.
Tanpa membuang kesempatan lagi, mereka berge-
rak ke arah timur. Dalam perjalanan ini Pusparini
memberitahukan kepada Arumdalu bahwa dia telah
menemukan senjata rahasia berbentuk cakra sewaktu
diserang oleh Dyah Keningar, tangan kanan Pendekar
Kipas Akar Wangi. Dan hal ini akhirnya dapat disim-
pulkan bahwa Laskar Khusus pasti telah kesusupan
‘telik sandi’, mata-mata. Tapi rasanya tidak mungkin
kalau Dyah Keningar bisa menyusup ke Kadipaten Ar-
gapura. Jadi jelasnya, ada mata-mata yang berkeliaran
di sana.
Mendengar uraian ini perasaan Arumdalu semakin
menggelegak. Siapa yang menjadi mata-mata dalam
Laskar Khusus? Begitu rapi kerja mereka sehingga hal
yang seperti itu tak bisa terungkap. Hanya secara ke-
betulan Arumdalu punya masalah pribadi maka perih-
al telik sandi atau mata-mata itu berhasil diketahui.
“Pusparini! Lihat!” seru Prangbakat dengan menun-
juk ke seberang tanah ketinggian di sisi mereka.
Semua mata mengarah kepada telunjuk Prangba-
kat. Apa yang mereka lihat?
“Cepat, kita sembunyi di balik padas itu,” perintah
Pusparini setelah melihat sekelompok manusia berpa-
kaian serba hitam muncul dari tikungan di atas sana.
Untung sekali orang-orang itu tidak melihat mereka
bertiga. Pusparini segera memerintahkan agar kuda
mereka disembunyikan di tempat aman. Prangbakat
menemukan segerumbulan semak yang cocok untuk
itu. Kemudian mereka bertiga mengintip kemunculan
orang-orang di sana.
“Astaga! Itu Dyah Keningar!” bisik Pusparini.
Mendengar nama itu Arumdalu nyaris melesat ke
luar, tapi keburu dicegah oleh Pusparini.
“Jangan tolol! Lihat siapa orang lainnya itu!” sela
Pusparini ketika tampak pula orang-orang yang dike-
nalnya.
“Dhandhang Gendis dan Jelantik?!” desis Arumda-
lu. “Merekakah mata-mata itu? Keparat! Tempo hari
aku pernah mencurigai mereka. Tapi tak bisa mem-
buktikan apa-apa!”
Pusparini memerintahkan Arumdalu untuk men-
gendalikan perasaannya.
Kini ganti Prangbakat yang merasa gelisah ketika
menyaksikan seseorang yang lain dalam kelompok
orang-orang itu.
“Itu Panglima Kuda Walungan!” bisik Prangbakat.
“Pejabat Wengker!”
Jelas sudah duduk perkaranya. Dari pengamatan
ini Pusparini bisa mengambil kesimpulan bahwa di pe-
gunungan Embun Nirwana telah bercokol suatu perse-
kutuan untuk menggasak Kerajaan Medang, di mana
Kadipaten Argapura dan Karanggayam termasuk di da-
lamnya. Hanya secara kebetulan Adipati Argapura dan
Karanggayam terjadi perang dingin sehingga musuh
yang utama luput dari pengamatan.
Pusparini merasa bersukur bahwa sinar matahari
memancar dengan gencar saat itu. Berarti Pedang Me-
rapi Dahana bisa berperan lebih tuntas.
Tapi di sisi lain, Dyah Keningar yang juga punya in-
dera tajam, segera mengetahui bahwa kemunculannya
telah diintai oleh lawan. Dia segera memberi isyarat
kepada semua anak buahnya untuk menyebar. Dyah
Keningar mengenduskan hidung, mencoba mencium
bau pihak lawan yang dicurigai sedang mengintai me-
reka.
“Walet Emas! Aku tahu kau sedang mengintipku!
Ayo, keluar!” seru Dyah Keningar dengan suara lan-
tang. Saking lantangnya tebing padas yang ada di seki-
tarnya menggogrogkan butiran-butiran kerikil, rumput
pun bergoyang ke arah tersebarnya suara itu ke sege-
nap penjuru.
Mengetahui hal ini Pusparini dengan didampingi
Arumdalu dan Prangbakat keluar dari persembunyian-
nya. Untuk mengimbangi gertakan lawan, mereka ke-
luar dengan pamer ketangkasan melesat ke udara dan
bergulir bagaikan pemain akrobat. Kemudian keti-
ganya mendarat di hadapan lawan sekitar tiga tombak
jauhnya.
“Mengapa mengintip-intip seperti tikus, Walet
Emas? Kini kita lanjutkan lagi urusan kita,” kata Dyah
Keningar.
“Dan untuk itu kau memborong tenaga demikian
banyak? Termasuk coro-coro yang kau susupkan ke
dalam Laskar Khusus Kadipaten Argapura?” sambut
Pusparini dengan melempar pandang kepada Dhand-
hang Gendis dan Jelantik yang kelihatan rikuh tampil
di sana. “Kalau kau tanya tentang pedangmu, senjata
itu telah kubesi-tuakan. Sekarang cuma pantas jadi
barang loak!”
“Sangkamu aku getun dengan kehilangan pedang
itu?” dengus Dyah Keningar. “Dan kulihat ada wanita
lain di sampingmu. Apakah dia yang bernama Arumda-
lu? Bilang padanya, bahwa akulah yang telah mene-
waskan Aragani, suaminya! Kalau dia punya nyali be-
sar, suruh menghadapiku! Suaminya telah membuat
cacat di wajahku ini. Dia boleh bangga kalau mau! Ta-
pi yang harus dia ketahui, sangkanya si Aragani seo-
rang suami yang jujur? Dia pernah bergendakan den-
gan aku!”
Tak tahan mendengar kicauan seperti itu, kontan
Arumdalu melesat ke depan. Tapi yang dituju adalah
Panglima Kuda Walungan. Sedangkan Prangbakat me-
nerjang ke arah Dhandhang Gendis dan Jelantik.
Dyah Keningar menyambut serangan Arumdalu
dengan gempuran tangan kosong. Dan mereka yang
terlibat baku hantam masih menggunakan cara ini.
Anak buah Dyah Keningar masih menjadi penonton.
Rupanya mereka hanya menanti perintah pimpinannya
kapan harus terjun ke palagan.
Paling deras serangannya adalah Arumdalu sendiri.
Dia begitu penasaran terhadap Dyah Keningar yang te-
lah mengaku sebagai pembunuh suaminya. Apapun
alasannya, dia punya dendam yang harus dipadam-
kan. Dan itu hanya bisa dilakukan apabila Dyah Ke-
ningar bisa mampus di tangannya. Soal suaminya
yang dikatakan pernah gendakan dengan Dyah Kenin-
gar, hal itu sulit dipercaya. Bisa dipastikan hanya olok-
olok agar Arumdalu marah dan penasaran. Atau
mungkin benar. Tapi apa pedulinya? Yang penting
Dyah Keningar harus mampus di tangannya.
Di sisi lain, Pusparini tidak hanya baku hantam
dengan Kuda Walungan. Ada kalanya dia nyrempet
menyerang ke arah Jelantik atau Dhandhang Gendis
yang berhadapan dengan Prangbakat.
Pada suatu kesempatan Arumdalu mendapat seran-
gan beruntun yang sulit dicari lowongnya untuk mem-
beri balasan. Hal itu karena Dyah Keningar telah men-
geluarkan Kipas Akar Wanginya yang dipergunakan
sebagai senjata mengimbangi Arumdalu yang beberapa
jurus tadi telah menggunakan pedangnya. Bau harum
yang menyengat penciumannya membuat pusing kepa-
lanya. Jarak perang tanding mereka berjauhan dengan
keberadaan Pusparini serta Prangbakat yang juga se-
dang menghadapi lawan. Tapi mereka masih menggu-
nakan baku hantam tangan kosong.
Keadaan ini tercium juga oleh Pusparini.
“Rupanya Dyah Keningar memiliki lagi senjata an-
dalan,” pikir Pusparini dengan mencabut Pedang Me-
rapi Dahananya. Begitu pedang tersebut keluar dari
sarungnya, maka cahaya merah memancar dari bilah
pedangnya. Telah diketahui oleh siapa saja yang tahu
keampuhan Pedang Merapi Dahana, apabila pedang
tersebut kena cahaya matahari akan memancarkan
cahaya merah.
Panglima Kuda Walungan yang mengetahui kilatan
merah dari Pedang Merapi Dahana mencoba mengha-
dapi dengan senjata andalannya. Pedangnya yang ber-
hulu panjang dan hanya bisa dikendalikan dengan
genggaman dua buah tangan itu, rontok sekaligus di-
terjang gempuran Pedang Merapi Dahana milik Walet
Emas.
Melihat senjatanya hancur berkeping-keping, dia
mengeluarkan ikat pinggangnya yang ternyata bisa di-
andalkan sebagai cambuk! Hal yang tiada terduga ini
sempat membuat Pusparini kecolongan peluang. Len-
gannya disambar lecutan cambuk sehingga pedang di
tangannya terpental.
Dan sialnya secara kebetulan Dhandhang Gendis
yang berhasil melihat hal itu segera menyambar. Pus-
parini tak punya kesempatan untuk merebut kembali,
sebab lecutan cambuk Kuda Walungan yang bertubi-
tubi sangat merepotkan dirinya.
Dhandhang Gendis yang kini memegang Pedang
Merapi Dahana dengan kesombongan selangit mem-
pergunakan senjata itu untuk menggempur Prangba-
kat. Tapi Prangbakat lebih waspada. Dia tahu keheba-
tan senjata itu. Oleh sebab itu tak akan menghadapi
dengan senjata yang membutuhkan kontak langsung.
Dicarinya akal. Akhirnya dia terpaksa mengeluarkan
senjata rahasia untuk membendung serangan Dhand-
hang Gendis.
Balasan senjata rahasia miliknya dilemparkan ke
arah lawan. Dan hebatnya Dhandhang Gendis mampu
menangkis, menghancurkan logam-logam tersebut.
Karena kehabisan senjata rahasia, Prangbakat terpak-
sa menggunakan pedangnya. Tapi baru satu tebasan,
pedangnya telah berkeping-keping oleh sambaran Pe-
dang Merapi Dahana. Peristiwa selanjutnya Prangbakat
hanya mampu berkelit dan melesat ke udara untuk
menghindari serangan Dhandhang Gendis.
Pada waktu yang bersamaan Pusparini yang semula
diributkan oleh lecutan-lecutan cambuk Kuda Walun-
gan, akhirnya berhasil menangkap ujung cambuk ter-
sebut. Tarik-menarik terjadi sesaat.
Tapi ketika Pusparini mulai menyalur tenaga da-
lamnya, maka hentakannya berhasil menyeret tubuh
Kuda Walungan yang mencelat, tanpa diduga tersam-
bar Pedang Merapi Dahana di tangan Dhandhang Gen-
dis yang saat itu sedang ditebaskan ke arah Prangba-
kat. Kontan leher Kuda Walungan menyemburkan da-
rah, ketika kepalanya mencelat dari tubuhnya. Sembu-
ran darah itu begitu derasnya sehingga muncrat ke
wajah Dhandhang Gendis sehingga klabakan.
Prangbakat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dia segera menyerang lawannya yang kehilangan per-
hatian karena matanya pedih tersiram darah Kuda Wa-
lungan. Prangbakat berhasil merebut Pedang Merapi
Dahana dari tangan Dhandhang Gendis. Kemudian
dengan gerakan memutar, ujung senjata itu dihun-
jamkan ke lambung lawan, lalu diputar-putar di ba-
gian tubuh itu sehingga semua ‘jeroan’ tubuh Dhand-
hang Gendis lumat bagaikan bergedel.
Pusparini yang kini berhadapan dengan Jelantik se-
gera mendapatkan Pedang Merapi Dahana kembali ke-
tika Prangbakat melemparkan pedang tersebut kepa-
danya.
“Terima kasih!” seru Pusparini dengan melesat me-
nangkap senjata itu.
Begitu senjata andalannya terpegang di tangan,
langsung dihunjamkan ke arah Jelantik yang ketika
itu juga berniat merebut Pedang Merapi Dahana. Je-
lantik mendelik sesaat ketika dirasakan ada benda pa-
nas menembus dadanya. Dia kalah cepat dengan Pus-
parini dalam merebut senjata tersebut. Tubuh Jelantik
ambruk ke tanah yang diawali dengan gerak sekarat
yang kemudian ndlosor tak berkutik.
Dyah Keningar yang masih menghadapi Arumdalu
segera memerintahkan anak buahnya untuk turun ke
palagan. Sebenarnya anak buahnya miris juga kalau
melihat keampuhan Pedang Merapi Dahana di tangan
Pusparini yang dengan mudah merontokkan semua
senjata logam yang dipergunakan di sana untuk me-
renggut nyawa. Hanya karena kepatuhan saja maka
mereka tetap bersikeras untuk menghadapi Pusparini
dan Prangbakat.
Sebenarnya Pusparini tidak sampai hati kalau ha-
rus menggunakan Pedang Merapi Dahana untuk me-
nyikat habis nyawa lawan yang tingkatan kepandaian
bela dirinya berkelas kacangan. Tapi apa boleh buat,
kali ini dia harus bertindak kejam mengingat lawan
yang begitu banyak kelihatan bernafsu sekali untuk
membunuhnya. Sebagian besar berhasil dibunuh, se-
dangkan yang masih punya pertimbangan ingin hidup
segera melarikan diri.
“Prangbakat,” seru Pusparini, “tangani sisa orang-
orang ini. Aku akan membantu Arumdalu!”
Memang sejak tadi Pusparini memperhatikan kea-
daan Arumdalu yang tampaknya sudah kehilangan
daya menghadapi Dyah Keningar.
Begitu melihat Pusparini datang mendekat, lang-
sung Dyah Keningar memapak dengan terjangan. Ki-
pas Akar Wanginya memang mampu menghadapi Pe-
dang Merapi Dahana walaupun senjata itu terbuat dari
jenis akar wangi. Tapi tumbuhan itu berasal dari alam
siluman. Dalam kesempatan ini memang Dyah Kenin-
gar belum memanfaatkan senjatanya seprima mung-
kin. Pusparini heran ketika melihat ada senjata seperti
kipas akar wangi yang mampu bertahan terhadap
gempuran pedangnya. Di sisi lain bau yang disebarkan
telah membuat kepalanya pusing. Pusparini dan
Arumdalu terpaksa mengroyok Dyah Keningar dan
mencoba bertahan terhadap bau yang memusingkan
kepala mereka.
Jurus-jurus serangan saling membelit. Akhirnya
pada suatu kesempatan Pusparini berhasil menendang
lambung Dyah Keningar, dan disusul pada dadanya.
Tendangan beruntun ini sempat membuat Dyah Ke-
ningar blingsatan. Apalagi dari pihak Arumdalu pun
melancarkan serangan dengan sabetan pedang yang
berhasil melukai lengannya.
Untuk mengatasi hal ini Dyah Keningar melesat ke
belakang untuk memperbaiki posisinya. Begitu mem-
peroleh peluang, dia segera mengebutkan kipasnya.
Dari kipas tersebut berhamburan senjata rahasia se-
perti “lugut” bambu yang teramat halus sehingga tak
bisa dilihat oleh mata karena bentuknya yang lembut
serta kecepatan melesat yang deras.
Sesuai pesan Pendekar Kipas Akar Wangi, bahwa
Dyah Keningar harus memperhatikan arah angin kalau
hendak melancarkan jurus tersebut. Dan inilah sial-
nya... Dia lupa memperhitungkan arah angin. Angin
sedang bertiup ke arahnya sendiri. Dan tentu saja se-
rangan itu menjadi ‘senjata makan tuan’!
Pusparini dan Arumdalu benar-benar tidak sadar
dengan serangan tersebut. Yang diketahui kemudian,
bahwa tubuh Dyah Keningar menggeliat kejang dengan
mata melotot. Tubuh itu tetap berdiri dengan gemetar.
Sesaat kemudian dari wajahnya mengucur darah, yang
seakan-akan keluar dari pori-pori kulitnya. Juga leher
dan dada di atas balutan kembennya.
“Apa yang terjadi?” bisik Arumdalu keheranan.
“Tak tahu!” jawab Pusparini sambil mendekat ke
arah Dyah Keningar yang tetap tegak dengan gemetar.
Kipas di tangannya jatuh. Kedua tangannya juga
mengucur darah. Tiba-tiba Dyah Keningar menjerit
histeris! Jeritan ini pun membuat pemandangan ber-
tambah mengerikan, sebab jeritan tersebut diiringi
semburan darah segar... lalu tubuh Dyah Keningar
ambruk tak berkutik lagi!
“Dia keracunan!” kata Pusparini ketika menghampi-
ri Dyah Keningar yang telah jadi mayat.
Ketika didekati, kini tahulah mereka bahwa sekujur
tubuh Dyah Keningar tertancapi senjata rahasia yang
sangat lembut bagaikan lugut bambu. Benda-benda
lembut itu terlihat nyata pada kain kembennya. Puspa-
rini mencoba mengambil kesimpulan tentang nasib
naas yang menimpa Dyah Keningar.
Baru saja hal itu dipahami, mendadak tercium bau
harum lagi.
Pusparini, Arumdalu, dan Prangbakat yang telah
berhasil menghalau anak buah Dyah Keningar, sadar
bahwa bau itu mengandung tenaga dalam untuk me-
lumpuhkan mereka. Tapi setelah ditunggu beberapa
saat lamanya, bau itu hanya menyebar tanpa berpen-
garuh apa-apa.
Dengan perasaan berdebar mereka menunggu per-
kembangan berikutnya. Tapi yang jelas, dipastikan
Pendekar Kipas Akar Wangi akan muncul sebentar la-
gi. Untuk itu mereka bertiga mempersiapkan diri den-
gan pandangan mata menyapu ke arah sekelilingnya.
Baru saja hal itu dilakukan, mendadak muncul seke-
lompok orang dari arah yang berlainan. Ada enam so-
sok tubuh muncul mengepung mereka.
“Hei! Itu teman-teman kita!” seru Pusparini sambil
beranjak ke arah orang yang dikenalnya.
Arumdalu dan Prangbakat bertindak serupa. Betapa
tidak. Yang mereka lihat adalah Ki Jlaprang, Mahesa
Alit, Roro Wilis, Watangan, Udel Bodong, dan Gumb-
rek.
Tapi baru beberapa langkah kemudian, Pusparini
merasa ada yang tidak beres dengan kemunculan
orang-orang yang dikenalnya.
“Tunggu!” cegahnya. “Lihat mata mereka!”
Arumdalu dan Prangbakat mengawasi dengan teliti
mata orang-orang itu. Mata mereka terlihat merah, po-
los! Tak ada bulatan hitamnya.
“Ini pasti perbuatan Pendekar Kipas Akar Wangi.
Hati-hati, mereka telah di bawah pengaruhnya,” bisik
Pusparini dengan nada cemas. Betapa tidak?! Sebab,
kalau mereka menyerang, berarti akan terjadi bentro-
kan dengan teman sendiri!
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Arumdalu.
“Kita terpaksa melawan mereka. Tapi jangan mema-
kai senjata tajam!” jawab Pusparini yang kemudian
melesat ke atas ketika Mahesa Alit yang bermata me-
rah itu menyerang dirinya. Juga yang lain-lain.
Mereka yang kini berada dalam pengaruh Pendekar
Kipas Akar Wangi tanpa sadar harus berhadapan den-
gan Pusparini dan dua orang kawannya. Peristiwa yang
belum bisa dicari cara penyelesaiannya ini dalam bebe-
rapa saat memang memeras tenaga Pusparini dan
Arumdalu serta Prangbakat. Apalagi mereka bertiga te-
lah sepakat untuk tidak menggunakan senjata tajam.
Tapi ketika para penyerang itu mengeluarkan senjata
tajam, barulah terpikir untuk menghindari para penye-
rang. Pusparini melihat bahwa Arumdalu dan Prang-
bakat telah terkepung. Tak ada pilihan lain bagi Pus-
parini selain mencabut Pedang Merapi Dahana untuk
menolong mereka.
Apakah Pusparini telah tega dengan orang-orang
yang kini dalam pengaruh Pendekar Kipas Akar Wan-
gi? Rupanya dia punya muslihat lain untuk mengu-
rangi keganasan para penyerang yang seperti orang
kesurupan itu. Dengan gerakan gesit Pusparini mener-
jang ke arah lawan yang mengepung Arumdalu dan
Prangbakat. Kilatan Pedang Merapi Dahana yang ber-
sinar merah karena ditimpa cahaya matahari, segera
dibabatkan ke arah senjata teman-temannya yang ke-
surupan. Tak ayal lagi, semua senjata rontok dibuat-
nya.
“Cepat hindari mereka!” seru Pusparini sambil me-
nendang Gumbrek yang nyaris meringkusnya. Dia
agak kesulitan untuk keluar, sebab Udel Bodong ber-
hasil mencekal lengannya. Terpaksa Pusparini bertin-
dak nekad. Pedang Merapi Dahana ditebaskan ke tan-
gan Udel Bodong. Tapi serangan itu tidak mematikan.
Hanya melukai, yang membuat Udel Bodong mele-
paskan cengkalannya.
“Lebih baik aku berhadapan dengan lusinan musuh
daripada harus menghadapi orang yang kukenal den-
gan baik!” kata Pusparini sambil menonjok Roro Wilis
yang mencoba mencegatnya. Kemudian dia baru ber-
hasil lolos dari kepungan orang-orang itu dan berga-
bung dengan Arumdalu serta Prangbakat.
“Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus meng-
hadapi mereka,” kata Pusparini dengan napas teren-
gah-engah.
“Aku yang akan menyelesaikan!” tiba-tiba terdengar
suara di belakang mereka.
Ketiganya menoleh. Di belakang mereka telah tegak
seseorang yang hanya Pusparini yang mengenalnya.
“Dahana Putra?!” desah ucapan Pusparini setelah
melihat orang itu.
“Biarlah aku yang menyelesaikan!” kata Dahana Pu-
tra dengan tenang. Sikapnya kalem, lalu mengawasi
enam orang yang kesurupan pengaruh Pendekar Kipas
Akar Wangi yang merangkak naik ke tempat mereka.
Dahana Putra segera bertindak. Dia tegak di tem-
patnya sambil membaca mantera seiring dengan gera-
kan tangan kanannya yang diletakkan di depan wa-
jahnya dengan jari-jari saling merapat secara tegak lu-
rus. Tampak tangan itu bergetar dan mengeluarkan
asap hijau. Lalu dengan kekuatan prima dihantamkan
ke arah orang-orang yang di bawah pengaruh Pendekar
Kipas Akar Wangi.
Kontan keenam orang itu mencelat roboh! Di atas
tanah keenam orang itu menggelepar sejenak, yang
akhirnya lenyap!
“Dahana Putra, kau membinasakan mereka? Bu-
kankah kau telah bersumpah untuk tidak membunuh
manusia?” seru Pusparini.
“Mereka hanya bayangan saja. Tubuh yang sebe-
narnya masih berada di dalam krangkeng!” kata Daha-
na Putra dengan tenang. “Minggirlah kalian bertiga
dengan jarak agak jauh. Dia akan muncul!”
“Dia? Dia siapa?” desak Pusparini, yang agaknya
ucapan ini telah membuat Dahana Putra agak kesal
karena sarannya tidak cepat dipatuhi.
Dan akibatnya memang di luar dugaan. Suatu
hembusan angin yang sangat kencang menerjang ke
sana. Pusparini yang tidak menduga akan hal itu,
langsung mencelat dan tubuhnya menghantam padas.
Dahana Putra cepat bertindak untuk mengatasi
keadaan. Dia telah tahu bahwa Pendekar Kipas Akar
Wangi, saudaranya, telah hadir di sana untuk menin-
dak dirinya. Kehadirannya memang berbareng dengan
datangnya hembusan angin tadi. Kini sosok tubuh wa-
nita dengan berselendang panjang tegak di hadapan
Dahana Putra.
“Kau memang tak bisa dieman lagi, Kakang Daha-
na!” sahut si wanita yang tiada lain adalah Pendekar
Kipas Akar Wangi. Pandangannya ketus ditujukan ke
arah Pusparini yang berusaha bangkit. “Apakah kau
akan membela kepentingannya?”
“Maaf! Aku tak bisa membiarkan tindakanmu.
Omongan para pinisepuh di alam kita mungkin benar,
bahwa kita tidak sesuai kalau bercokol di alam manu-
sia walaupun dalam diri kita mengalir darah antara
manusia dan siluman. Lebih-lebih dirimu, yang tercip-
ta oleh ari-ariku. Ternyata kau condong untuk mengo-
barkan sisi lain dari sifat jahat yang berusaha kuku-
bur,” kata Dahana Putra.
“Bukan salahku kalau aku tercipta. Kau jangan
menyalahkan aku!” jawab Pendekar Kipas Akar
“Aku tidak menyalahkan kau, tapi akan menghan-
curkan sifat jahat yang bersarang dalam ari-ariku!”
sahut Dahana Putra.
“Kau hanya cari malapetaka dengan omonganmu
itu. Kau tahu, aku tak akan tinggal diam.”
Dahana Putra waspada bahwa saudaranya akan
bertindak. Maka untuk mencegah tindakan tersebut
dia telah terlebih dulu menggelar tirai penolak. Tapi
Pendekar Kipas Akar Wangi teramat lihai dalam men-
gatasi hal itu. Dia mengibaskan tangannya, dan seke-
jap kemudian telah terpegang sebuah kipas terbuat
dari akar wangi.
“Jangan kau lakukan itu, saudaraku! Kita semua
bisa celaka!” seru Dahana Putra dengan nada penuh
harap.
Semua itu disaksikan oleh Pusparini yang dengan
sisa-sisa kekuatannya ingin pula bertindak. Dengan
kecepatan yang dikerahkan secara total, dia melesat
sambil mencabut Pedang Merapi Dahana.
Kecepatan gerak Pusparini mungkin hebat di hada-
pan manusia, tapi tidak pada makhluk seperti Pende-
kar Kipas Akar Wangi yang tercipta dari ari-ari keturu-
nan manusia dan siluman. Pusparini terasa dihantam
palu godam raksasa ketika tubuhnya berbenturan
dengan kibasan tangan yang memegang kipas akar
wangi. Tapi dia masih mampu bertahan dengan me-
minjam tenaga dari dinding padas di mana tubuhnya
terhempas. Tenaga balik ini tidak diduga oleh Pende-
kar Kipas Akar Wangi. Akibatnya, Pusparini berhasil
meneroboskan serangannya dengan mengerahkan ju-
rus walet emas. Sabetan pedangnya melukai lengan
Pendekar Kipas Akar Wangi!
Betapa marahnya si Pendekar ini. Apalagi melihat
darah telah mengucur dari lengannya. Pusparini meli-
hat hal itu juga heran. Sebab yang dilihat bukan darah
berwarna merah, tapi hijau!
“Astaga! Ini benar-benar bukan manusia!” pikir
Pusparini yang selanjutnya mencelat karena Pendekar
Kipas Akar Wangi mengirimkan angin pukulan yang
sangat fatal ke arahnya.
Pusparini terhempas ke tanah dengan muntah da-
rah. Tak tega melihat keadaan itu, Arumdalu dengan
Prangbakat turun ke gelanggang palagan. Tapi kedua-
nya tak bisa berbuat banyak selain harus mengalami
nasib naas. Mereka juga muntah darah ketika dihan-
tam pukulan oleh Pendekar Kipas Akar Wangi.
Di mana Dahana Putra selama peristiwa itu ber-
langsung?
Pendekar Kipas Akar Wangi mencari saudaranya.
Matanya menyapu ke tempat di sekelilingnya. Akhirnya
dilihat Dahana Putra telah melakukan sesuatu di luar
dugaannya. Di sana Dahana Putra kelihatan tegak di
atas sebilah pedang yang tertancap di tanah. Kakinya
yang kiri menapak hulu pedang, sementara yang ka-
nan dalam keadaan ditekuk seperti orang bersila. Se-
dangkan kedua tapak tangannya saling merapat seper-
ti orang menyembah dan ditekan di hadapan dadanya.
Dan kedua tapak tangan itu mengeluarkan cahaya
kuning.
“Kakang Dahana Putra! Kau telah nekad?!” seru
Pendekar Kipas Akar Wangi.
“Aku terpaksa, adikku! Tindakanmu terlalu jauh!”
kata Dahana Putra dengan tenang.
“Kau bisa binasa kalau membunuhku!” seru Pende-
kar Kipas Akar wangi dengan nada berang tapi men-
gandung kekhawatiran.
“Itu telah kusadari!” kata Dahana Putra yang tam-
pak perubahan pada wajahnya.
Roman mukanya yang semula bersih seperti ular,
kemudian matanya bersinar tajam disertai hentakan
tubuhnya melesat ke atas. Pedang yang dipijak tadi
ikut tersedot dan akhirnya ditendang ke arah Pendekar
Kipas Akar Wangi yang siap dengan bentangan kipas
akar wanginya. Pedang itu melaju dengan deras serta
menerjang bentangan kipas akar wangi yang diusaha-
kan sebagai perisai.
Usaha itu sia-sia. Pedang milik Dahana Putra ber-
hasil menerjang, dan menembus kipas tersebut, yang
selanjutnya menghunjam ke dada Pendekar Kipas Akar
Wangi. Jeritannya menggema mengiringi semburan da-
rah berwarna hijau...!
“Lihat betapa mengerikan!” seru Arumdalu yang
semula terkapar dan menyaksikan peristiwa itu.
Pusparini dan Prangbakat dengan terengah-engah
berusaha untuk bangkit dari tanah. Mereka bertiga
menyaksikan bagaimana tingkah polah Pendekar Kipas
Akar Wangi yang sekarat menjelang ajal menahan rasa
sakitnya. Tubuhnya berasap dan menjadikan peman-
dangan berubah mengerikan ketika dengan pelan me-
leleh bagaikan lemak terbakar... sampai akhirnya lele-
han itu lenyap terserap ke dalam tanah tanpa bekas!
Pusparini mengawasi Dahana Putra yang tetap te-
gak di tempatnya. Timbul semacam perasaan ngeri ka-
rena Pusparini menyaksikan wajah dan tubuh Dahana
Putra yang bersisik seperti ular...!
“Waktunya telah tiba, Pusparini! Ajalku segera tiba.
Maafkan aku... selama beberapa saat yang lalu...
mungkin tindakanku tak berkenan di hatimu...!” sam-
pai di sini terdiam. Dahana Putra sepertinya menahan
rasa sakit yang tiada terkira. Kemudian berusaha un-
tuk bisa berbicara lagi... “Teman-temanmu masih da-
lam sekapan krangkeng mantra dalam goa itu...! Kalau
ingin membebaskan mereka, kau harus memadamkan
kedua tungku api di kanan kiri pintu masuknya...!”
Sampai di sini Dahana Putra diam. Pusparini men-
gawasi dengan seksama. Bayangan tentang mimpi
yang pernah dialami dengan Dahana Putra sekilas me-
nerjang ingatannya.
“Selamat tinggal, Pusparini...,” terdengar suara Da-
hana Putra dengan nada mendesah hampir-hampir tak
terdengar. Lalu tubuhnya roboh ke tanah... dan lenyap
bagaikan ditelan bumi...! Tanah di tempat itu membara
sejenak... yang akhirnya pulih seperti sediakala seperti
tak pernah terjadi apa-apa di sana,
***
“Jadi kau tidak ingin menetap di sini?” tanya Roro
Wilis yang didampingi Mahesa Alit.
“Untuk sementara aku belum bisa menetap di suatu
tempat,” jawab Pusparini.
Pembicaraan ini terjadi seminggu kemudian dalam
acara pelepasan keberangkatan Pusparini. Sebenarnya
Ki Jlaprang sudah berusaha untuk mempengaruhi
Pusparini agar tetap tinggal di Kadipaten Argapura, ta-
pi si Walet Emas ini tetap bersikeras untuk melan-
jutkan pengembaraannya.
“Mereka sudah cukup tangguh kalau Laskar Khu-
sus hanya diperkuat dengan tenaga yang kini tetap tu-
juh orang itu dengan masuknya Mahesa Alit dengan
Roro Wilis,” kata Pusparini.
“Kami tak akan melupakan jasa-jasamu, Pusparini.
Peristiwa itu merupakan tamparan bagi Kerajaan
Wengker yang ingin mencundangi Kerajaan Medang di
mana kadipaten ini termasuk di dalamnya,” sambut Ki
Jlaprang.
Ketika Pusparini benar-benar berangkat meninggal-
kan Kadipaten Argapura, maka pasangan Mahesa Alit
dan Roro Wilis serta Arumdalu dan Prangbakat men-
gantar sampai di perbatasan.
“Mudah-mudahan kalian cepat dianugrahi momon-
gan kalau kelak menginjak pelaminan,” kata Pusparini
yang kemudian memacu kudanya meninggalkan Kadi-
paten Argapura.
SELESAI
Emoticon