SATU
Pergumulan itu membuat si wanita menjerit-jerit.
Tetapi apa daya seorang wanita seperti dia menghadapi
sosok tubuh laki-laki dempal yang kini menindih tu-
ben penutup dada si wanita telah dicampakkan secara
liar, dan bagian tubuh yang membukit itu diterkam
dengan pagutan bibirnya. Si wanita menjerit. Tetapi
suara itu mendadak dikalahkan oleh suara jeritan
yang mengaduh dari mulut laki-laki itu ketika tanpa
diduga sebuah tendangan melanda pelipisnya. Disusul
dengan sebuah tendangan lagi pada arah lambung,
membuat laki-laki itu mencelat melanda dinding ka-
mar sehingga jebol berantakan.
Laki-laki itu mengumpat selangit. Ucapan kotor dari
tahi kucing sampai kerbau meluncur dari mulutnya
yang dilingkari kumis dan brewok setengah ubanan.
Ketika matanya mampu melihat dengan nyata, di
hadapannya telah berdiri seorang wanita berkemben
kuning dengan menyandang pedang di punggungnya.
“Kalau wanita itu tidak berteriak minta tolong, pasti
aku tidak datang kemari,” kata wanita yang baru mun-
cul ini. “Jadi maaf saja kalau aku terpaksa bertindak.
Tugasku memang menolong kaum yang lemah dan ter-
tindas. Dan tindakanmu termasuk perbuatan sewe-
nang-wenang yang aku sangat tidak suka!”
“Jangan berkhotbah seperti pendeta. Kau pantas
jadi anakku begitu berani mengumbar omongan seperti
itu?” seru laki-laki itu dengan membenahi kainnya
yang kedodoran.
Wanita berkemben kuning memberi isyarat kepada
wanita di atas ranjang agar keluar dari ruangan itu.
Begitu beranjak melangkah, maka laki-laki itu menco-
ba menerkamnya. Tetapi tindakan itu tak pernah ke-
sampaian. Wanita berkemben kuning dengan gesit
mencegat dengan jegalan kaki sehingga laki-laki itu
terjerembab menghantam amben.
Untuk kedua kalinya dia misah-misuh sampai lu-
dahnya nyemprot dari mulutnya. Lalu, tanpa basa-basi
lagi menyambar goloknya yang menggeletak di sam-
pingnya. Dia menyerang si wanita berkemben kuning.
Tetapi wanita itu cepat melesat ke luar halaman mene-
robos jendela.
Baru saja dia menginjak tanah, wanita berkemben
kuning merasakan tendangan dari belakang. Ada se-
seorang yang membokongnya. Tendangan yang tak
terduga ini begitu kerasnya dan ‘berisi’ sampai mem-
buat wanita berkemben kuning harus mengatur posisi
dirinya dengan tiga kali bergulir jempalitan ke bela-
kang. Begitu merasa aman, dia langsung pasang kuda-
kuda. Matanya mengawasi dengan tajam ke arah si
pembokong. Lalu kepada laki-laki lawannya pertama
yang kini memburunya keluar. Rupanya mereka satu
komplotan.
“Rupanya kau kedodoran menghadapi wanita cilik
ini, Srenggi,” kata laki-laki yang telah membokong wa-
nita berkemben kuning.
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Srenggi men-
gusap mulutnya. “Dia kira bisa berbuat seenaknya.
Tambi, minggir saja kau! Rasanya perutku masih se-
nep kalau tidak bisa menandangi begejil betina cilik
ini.”
Laki-laki bernama Tambi mundur untuk memberi
kesempatan kepada Srenggi. Langsung dia menerjang
ke arah wanita berkemben kuning. Goloknya memba-
bat dengan gencar, tetapi wanita lawannya itu dengan
gesit melesat pula dengan lincah bagai burung walet.
Burung walet? Ya, siapa lagi kalau bukan Pusparini
yang mempunyai gelar kependekaran Walet Emas? Da-
lam pengembaraannya, ternyata dia telah sampai di
pesisir utara. Di daerah pesisir ini dia berada di per-
kampungan nelayan. Tempat itu disebut Desa Tengiri.
Rupanya Srenggi begitu penasaran untuk bisa
membunuh Pusparini sampai-sampai temannya ber-
nama Tambi hanya bisa menahan geram melihat kebo-
dohannya.
“Mengapa kau jadi banci berhadapan dengan si pre-
cil itu? Biar kaupandangi saja. Aku ingin menunduk-
kannya,” kata Tambi dengan mengambil alih pertarun-
gan.
Walaupun agak sengol, Srenggi terpaksa memberi
kesempatan kepada temannya.
Tambi mempergunakan senjata terbuat dari tulang
rusuk ikan hiu yang dipungut dari tempat sampah.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh matanya jlalatan me-
nyapu ke sekujur tubuh Pusparini. Memang benar,
Pusparini yang berumur menjelang duapuluh tahun
itu pantas jadi anaknya. Tetapi kejalangan laki-laki
urakan yang kerjanya hanya berjudi, mabuk-mabukan
serta main perempuan, tidak mengindahkan kaidah
tersebut. Wanita dianggapnya cuma alat pelampiasan
nafsu. Memandang lekuk tubuh Pusparini yang sintal
itu memang menimbulkan birahinya. Pikirannya dipe-
nuhi bagaimana bisa memeluk lawannya, dan apabila
bisa ditundukkan akan digagahi sekali!
“Ayo! Katanya kau akan mewakili temanmu berna-
ma Srenggi itu. Mengapa termenung saja di situ?” seru
Pusparini.
Tentu saja seruan ini sempat menggugah lamunan-
nya. Dengan menahan malu karena teguran itu, Tambi
menerjang ke depan. Senjatanya menyambar ke arah
Pusparini, tetapi si Walet Emas ini melesat ke atas dan
turun lagi sambil mengirimkan tendangan. Rahang
Tambi jadi sasaran. Tidak seperti Srenggi, ternyata dia
mampu bertahan dengan tendangan seperti itu. Sebe-
narnya Pusparini tidak tahu, bahwa laki-laki bernama
Tambi di tempat itu mendapat sebutan ‘Si Rahang
Hiu’. Pusparini tak habis pikir mengapa ada orang
yang baru kali ini dapat bertahan terhadap tendangan
kakinya. Bergeming pun tidak. Bahkan yang terdengar
adalah suara tawa si Tambi mencemoohkan tindakan
Pusparini.
“Kurang keras, Cah Ayu. Ayo ulangi lagi. Rasanya
seperti kau elus-elus saja,” sumbar si Tambi dengan
bersiap menyerang.
Pusparini siap menghadapi serangan itu. Dia tak
mau terkecoh dengan olok-olok yang merupakan pan-
cingan emosi. Tetapi di sisi lain si Tambi memang te-
ramat sulit untuk membabatkan senjatanya berupa tu-
lang rusuk ikan hiu. Kelincahan gadis pendekar yang
memiliki gelar Walet Emas ini gerakannya memperli-
hatkan gerak jurus walet.
Ketika Tambi terkuras tenaganya, barulah Pusparini
mencoba menyerang ke tenggorokan lawan dengan
sentilan dua jari tangannya. Pertimbangannya, di situ
biasanya kelemahan paling rawan yang tak pernah di-
perhatikan oleh lawan. Dugaan ini benar. Mendapat
serangan pada bagian itu, kontan si Tambi mendelik.
Tetapi serangan itu tidak mematikan, hanya mampu
membuat daya tahan lawan tidak prima lagi. Dalam
keadaan sempoyongan, Tambi mencoba menangani la-
wannya lagi. Kali ini dia menyerang tidak langsung, te-
tapi melemparkan rusuk tulang hiu senjatanya ke arah
Walet Emas.
Sasarannya memang tepat. Itu kalau Pusparini ti-
dak berkelit dan menampel tulang itu dengan tendan-
gan kakinya. Tulang melesat balik. Tetapi ternyata ti-
dak ke arah Tambi. Seperti yang diperhitungkan Pus-
parini, maka tulang itu melesat ke arah Srenggi yang
rupanya mencoba masuk ke rumah untuk melan-
jutkan niatnya menggagahi wanita tadi... dan meng-
hunjam ke arah betisnya!
Kontan jeritannya meledak. Tetapi baru saja Puspa-
rini hendak melanjutkan menangani Tambi, tiba-tiba
sebuah jaring menebar ke arahnya. Pusparini tak sem-
pat mengelak, sebab keadaan ini benar-benar di luar
perhitungannya. Dan yang menebar jala pun muncul
secara tiba-tiba dari balik rumah nelayan.
Pusparini berhasil diringkus! Melihat hal ini Tambi
dan Srenggi hendak mengadakan pembalasan. Tetapi
keduanya diurungkan niatnya ketika menyaksikan
siapa di belakang penebar jala tersebut. Si penebar jala
terdiri dari dua orang, sedangkan yang seorang lagi
muncul menyusul. Orang inilah yang membuat Srenggi
dan Tambi menghaturkan hormat.
“Apa pun alasan kalian, dia telah menjadi tawanan-
ku!” kata orang itu. Dia adalah seorang lelaki yang
umur-umurannya sekitar tigapuluhan. Pakaian yang
dikenakan menunjukkan bahwa dirinya bukan rakyat
biasa, tetapi seorang pejabat pemerintahan. Dialah
Rangga Lurukan, putra syahbandar pelabuhan. Kemu-
dian pandangannya ditujukan kepada Pusparini.
“Kalau kau berjanji tidak membuat keributan lagi,
aku akan melepaskanmu,” kata Rangga Lurukan.
“Yang membuat keributan bukan aku. Tetapi mere-
ka!” jawab Pusparini tanpa unggah-ungguh walaupun
tahu yang sedang dihadapi adalah pejabat. “Apakah
sudah menjadi kebiasaan di sini bahwa lelaki begitu
kurang-ajarnya memperlakukan wanita dengan see-
naknya padahal wanita itu bukan istrinya?”
Ucapan itu sangat menyengat perasaan Rangga Lu-
rukan. Tidak biasanya ada orang yang berani berkata
semacam itu terhadap dirinya. Seolah-olah dia harus
ikut tanggung jawab terhadap perbuatan Srenggi dan
Tambi yang memang dikenal sebagai ‘pembuat keona-
ran’.
“Karena aku tidak biasa menyelesaikan urusan di
jalanan, kau harus kubawa ke balai syahbandar. Juga
kalian berdua, Srenggi dan Tambi!” perintah Rangga
Lurukan dengan tegas.
Untuk tidak mempersulit, Pusparini menuruti pe-
rintah itu walaupun tubuhnya masih diringkus dengan
jala. Sejenak pikirannya melayang kepada kuda dan
perbekalannya, termasuk Pedang Merapi Dahana yang
dibungkus rapi, yang dititipkan kepada pemilik pengi-
napan ketika tiba di pesisir Desa Tengiri. Saat ini dia
hanya bersenjata pedang kecil untuk kelengkapan sa-
ja. Memang tak terduga kalau keberadaannya di sini
ketanggor masalah seperti itu. Di sini timbullah perta-
nyaan dalam hati tentang peranan laki-laki yang tam-
paknya dihormati oleh Srenggi dan Tambi. Yang jelas,
laki-laki itu seorang pejabat. Tetapi bagaimana peran-
gai dalam masyarakat, apakah berperan baik atau ti-
dak, belum diketahui.
Pusparini melirik ke arah laki-laki yang berjalan di
sampingnya, yaitu dua pengawal yang telah mering-
kusnya. Sebenarnya dengan kepandaiannya, Pusparini
bisa melepaskan diri dari jaring jala itu. Saat ini diper-
kirakan tangannya akan dengan mudah menjangkau
golok yang disandang orang itu. Dengan senjata yang
berada di luar jaring, dia mampu bertindak. Tetapi niat
itu diurungkan. Jiwa petualangannya berkembang in-
gin tahu peranan laki-laki pejabat pelabuhan itu.
Setelah berjalan beberapa saat lamanya, mereka ti-
ba di pemukiman di mana bangunan-bangunan yang
lebih besar terlihat bercokol di sana. Tak jauh dari
tempat itu terlihat pelabuhan dengan banyak perahu
sedang berlabuh di sana.
Rangga Lurukan memerintahkan agar Pusparini,
Srenggi dan Tambi dibawa ke tempat penyekapan.
“Sialan! Mengapa begini jadinya?” pikir Pusparini.
Srenggi dan Tambi terlihat ogah-ogahan ketika dipe-
rintahkan masuk ke ruang kerangkeng. Hanya un-
tungnya, Pusparini mendapat tempat terpisah.
Kemudian tempat itu sepi. Dua ruangan kerangkeng
yang kini dihuni oleh Pusparini serta Srenggi dan
Tambi tidak lengang lagi.
“Kau yang bikin gara-gara sehingga kami harus be-
rada di kandang tikus ini!” seru Srenggi dengan prin-
gas-pringis menahan sakit karena betisnya luka tertu-
suk tulang tusuk hiu. “Kita bisa melanjutkan kalau
nanti sudah lepas dari sini!”
“Hei, Pak! Pakai akal sehatmu!” kata Pusparini.
“Yang bikin gara-gara itu kan kamu!”
“Sudah! Jangan diterus-teruskan,” sela Tambi, yang
ucapan ini tentu saja mengundang perhatian Puspari-
ni. Bukan karena apa, tetapi agaknya ucapan itu men-
gandung penyesalan. Apakah orang semacam mereka
punya rasa menyesal? Tetapi tampaknya hanya Sreng-
gi yang terlihat bersungut-sungut. Maklum, dalam pe-
ristiwa itu dirinyalah yang mendapat ganjaran rasa sa-
kit.
“Hei, Nduk! Kau ini dari mana? Tampaknya aku be-
lum pernah melihatmu klayapan di kawasan ini,”
tanya Tambi kemudian.
Pusparini tak cepat menjawab. Dia masih memper-
timbangkan apakah pembicaraan itu akan menjurus
ke arah pertentangan atau tidak.
“Aku orang ‘kabur kanginan’!” jawab Pusparini. “Tak
punya tujuan ke mana aku harus pergi, dan asalku...
Padepokan Canggal, di kaki Gunung Merapi,” jawab
Pusparini.
“Apa? Padepokan Canggal di kaki Gunung Merapi?”
ucapan ini meluncur hampir serentak dari mulut Tam-
bi dan Srenggi dengan menancapkan pandangan ke
arah Pusparini.
Gelagat ini tentu saja mengundang perhatian Pus-
parini.
“Ada apa?” tanya Pusparini. “Kau mengenal tempat
itu? Pernah ke sana?”
“Astaga...! Jadi kau gemblengan Padepokan Cang-
gal? Murid Ki Suswara?” tanya Tambi.
“Rupanya kalian mengenal tempat itu,” jawab Pus-
parini.
“Tidak saja kenal. Tetapi... sudah njamur! Ki Sus-
wara itu... paman kami!” ucapan ini meluncur dari
mulut Tambi dengan mata berbinar-binar. Siapa sang-
ka kalau akhirnya mereka berdua, Tambi dan Srenggi,
bisa bertemu dengan orang yang mengenal Padepokan
Canggal bahkan berguru di sana?
“Hei! Kalian jangan gaduh! Den Rangga Lurukan
sedang menuju kemari!” seru seorang penjaga yang ti-
ba-tiba nongol dari balik tembok.
Pusparini, Tambi dan Srenggi, bungkam seketika.
Seperti ada kesepakatan, mereka tidak akan berbicara
tentang Padepokan Canggal apabila Rangga Lurukan
menanyakan hal-hal yang menyangkut daerah asal
dan masa lampau.
Akhirnya tokoh itu muncul.
“Aku bisa memberi pelajaran yang lebih menya-
kitkan kalau kalian bertiga tetap melanjutkan bentro-
kan seandainya kulepaskan,” kata Rangga Lurukan.
“Oh, tidak! Tidak, Den!” sela Srenggi yang tampak-
nya tak mengindahkan lagi rasa sakitnya.
Rangga Lurukan mengalihkan pandang ke arah
Pusparini.
“Kalau begitu, aku hanya perlu bertanya tentang di-
rimu,” katanya kemudian. “Siapa namamu?”
“Pusparini!”
“Asal?”
“Kadipaten Rejodani.”
“Hm. Masih dalam wilayah Kerajaan Medang,” kata
Rangga Lurukan. “Bagaimana kau bisa sampai di Desa
Tengiri?”
“Ya... hanya sepembawa kaki saja.”
“Mengembara?!”
“Begitulah,” jawab Pusparini singkat.
“Apakah kau bersedia bekerja di bawah perintah se-
seorang?”
“Melihat dulu siapa dan apa kepentingannya.”
Rangga Lurukan diam. Ada sesuatu yang dipikir-
kan. Tetapi matanya tak lepas menatap wajah Puspa-
rini.
“Aku membutuhkan tenaga bantuanmu,” katanya
kemudian.
“Sebagai... ‘jago kepruk’?” terdengar ucapan Puspa-
rini yang seperti mengandung sindiran.
“Nanti kukatakan kalau kedua orang itu telah kuke-
luarkan dari kerangkeng,” kata Rangga Lurukan den-
gan melempar pandang ke arah Tambi dan Srenggi
yang mengikuti pembicaraan itu.
“Apakah kami tidak boleh mendengarkan, Den?”
tanya Tambi yang melancangkan diri memancing per-
hatian.
“Begini, sebenarnya kedatanganku ke Desa Tengiri
memang mencari kalian berdua,” sambut Rangga Lu-
rukan. “Mungkin ini seperti sudah ditakdirkan bahwa
aku bisa bertemu dengan... eenghm... Pusparini. Sebe-
narnya lewat kalian aku juga akan minta tolong. Tetapi
setelah kujumpai Pusparini, masalah kalian jadi nomer
dua.”
“Tetapi... kalau demikian halnya, mengapa kami ti-
dak boleh ikut mendengarkan pembicaraan ini?” sela
Srenggi.
“Ada hal-hal yang tidak boleh kalian ketahui,” jawab
Rangga Lurukan.
Tambi dan Srenggi menyapu pandang ke arah Pus-
parini. Tambi melempar kerlingan mata.
“Baik, kalau hal itu di luar hak kami,” jawabnya
kemudian.
Rangga Lurukan memanggil penjaga agar mengelu-
arkan Tambi dan Srenggi dari kerangkeng. Menyusul
kemudian Pusparini.
“Kalian berdua menunggu di luar. Aku akan berbi-
cara empat mata dengan Pusparini,” kata Rangga Lu-
rukan kepada Tambi dan Srenggi.
Kedua orang itu menurut perintah.
“Kau tentu tidak menduga bahwa perkembangan
perkenalan kita akan berbuntut seperti ini,” kata
Rangga Lurukan kepada Pusparini yang meneguk mi-
numan yang disediakan di sana. “Aku... putra Ki Keka-
tang, syahbandar Tanjung Penyu ini,” sambungnya.
“Saat ini aku sedang mengemban tugas dari ayahan-
daku untuk menjemput kedatangan seorang tamu dari
mancanegara.”
“Tamu dari mancanegara?” sahut Pusparini.
“Benar. Dari Sriwijaya!” jawab Rangga Lurukan.
Tentang Sriwijaya, Pusparini memang pernah men-
dengar dari obrolan orang-orang yang pernah ditemui
dalam pengembaraannya. Konon Kerajaan Sriwijaya
menguasai lalu-lintas perdagangan di lautan.
“Lalu apa yang harus kukerjakan dengan kedatan-
gan tamu tersebut?” tanya Pusparini.
“Tamu itu harus kita selamatkan dari incaran seke-
lompok pembunuh,” jawab Rangga Lurukan.
“Wah, soal nyawa lagi!” sela Pusparini.
“Kalau sampai terbunuh, maka hubungan antara
Kerajaan Medang dan Sriwijaya bisa gawat. Itu bisa be-
rarti... perang!” jawab Rangga Lurukan.
“Perang?” Pusparini mengulangi kalimat itu seolah
tidak yakin apa yang didengar dari penjelasan Rangga
Lurukan. Perang antara Sriwijaya dengan Medang? Be-
lum pernah Pusparini merasakan datangnya persoalan
yang. menyangkut tentang perang. Selama ini dia me-
mang tak pernah kering dengan baku hantam, tetapi
kalau itu menyangkut soal perang yang akan meliputi
wahana yang sangat besar, baru kali ini didengarnya.
“Bagaimana? Sanggup?” tanya Rangga Lurukan.
Pusparini masih membisu.
“Mengapa justru aku yang kau pilih?” akhirnya
ucapannya terdengar setelah dengan sabar Rangga Lu-
rukan menunggu jawaban.
“Karena kau... seorang wanita. Dan itu sangat cocok
untuk menjaga keselamatannya,” jawab Rangga Luru-
kan.
Pusparini ketawa sinis. “Jadi begitu? Aku akan kau
suruh menjaga seorang tamu agung yang mungkin...
tugasku ada sampingannya yang lain?”
“Tugas sampingan yang lain? Apa yang kau mak-
sudkan?” tanya Rangga Lurukan.
“Kau berniat menjual diriku bukan?” jawab Puspa-
rini dengan ketus.
Rangga Lurukan mengerinyutkan dahi. Wajahnya
serius menatap mata Pusparini. Belum pernah ada
orang yang berani blak-blakan seperti itu. Tampaknya
Pusparini tidak segan-segan mendobrak unggah-
ungguh yang seharusnya menaruh hormat kepadanya.
Boleh dikata Pusparini kelewat kurang ajar membica-
rakan hal itu.
“Menjual dirimu? Mengapa prasangkamu seburuk
itu?” kata Rangga Lurukan.
“Pada setiap kesempatan tugas luar, biasanya peja-
bat tinggi akan mudah kesepian. Dan aku kau tu-
gaskan mendampingi demi keselamatannya? Siang ma-
lam?” kata Pusparini dengan melempar pandang ke
luar jendela.
“Hei, mengapa pikiranmu lari ke arah itu?”
“Aku sekedar menghubungkan cerita orang-orang
yang pernah kudengar,” jawab Pusparini.
“Yang harus kau jaga keselamatannya adalah seo-
rang wanita!” sela Rangga Lurukan.
Pusparini menoleh mengawasi Rangga Lurukan.
Tampaknya dia telah salah sangka terhadap tugas
yang ditawarkan.
“Seorang wanita?” katanya kemudian.
“Ya. Seorang wanita yang harus kau jaga keselama-
tannya,” jawab Rangga Lurukan.
Pusparini menundukkan wajahnya menekuri lantai
yang dipijaknya. Seperti dia ingin menutupi rasa malu
dengan prasangkanya tadi.
“Kuharap kau setuju dan bisa membantu aku,” kata
Rangga Lurukan. “Tentu saja imbalan yang akan kau
terima lebih dari pantas.”
“Berapa banyak yang bisa kuterima?!” sahut Puspa-
rini.
Aneh rasanya ketika hal ini dikemukakan. Selama
ini dia tak pernah berhubungan dengan imbalan jasa
pada setiap sumbangan tenaga yang dilakukan. Semua
tanpa pamrih. Baru kali ini ada pihak yang membica-
rakan hal itu. Dan ucapannya tadi hanya sekedar me-
ladeni omongan Rangga Lurukan.
“Mungkin sebanyak ini!” kata Rangga Lurukan den-
gan mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang
emas, dan diletakkan di atas meja. Melihat bungku-
sannya saja, orang bisa tahu apa dan bagaimana nilai
yang ada di dalamnya.
“Tampaknya kau tahu kemampuanku. Apakah hal
itu kau ukur ketika aku menghadapi Tambi dan
Srenggi?” kata Pusparini yang tidak menghiraukan
pundi-pundi di hadapannya.
“Sejak kau masuk ke Desa Tengiri yang kemudian
menitipkan kuda dan barang-barangmu di penginapan
‘Baruna’, dirimu telah menjadi perhatian kami,” jawab
Rangga Lurukan.
“Dan sebagai penguasa wilayah ini kemudian kau
memeriksa barang-barangku tanpa seijinku?”
“Tidak! Aku tidak bertindak sejauh itu.”
“Bisa kupercaya omonganmu?”
“Sumpah demi Sang Hyang Widhi!” jawab Rangga
Lurukan dengan mengangkat kedua tapak tangannya
dengan sikap menyembah.
“Aku heran, mengapa justru aku yang kau pilih.
Bukankah masih banyak para pendekar wanita yang
lain yang mungkin bisa menjaga keselamatan tamu
agung itu?” kata Pusparini.
“Aku telah mencari banyak pendekar wanita. Mere-
ka tidak memenuhi syarat.”
“Tentang ketangkasannya, maksudmu?”
“Tentang wajahnya!” jawab Rangga Lurukan. “Kau
hampir mirip dengannya.”
“Oh, jadi kau pernah bertemu dengan tamu agung
itu sebelumnya?”
“Aku pernah ke Sriwijaya, dan bertemu dengan dia
dalam suatu perjamuan.”
“Aku mengerti sekarang. Aku mendapat tugas tidak
saja menjaga keselamatannya, tetapi... bisa menyamar
seperti dia, bukan?” sahut Pusparini.
Rangga Lurukan manggut-manggut mengagumi ja-
lan pikiran Pusparini.
“Dan para pembunuh itu mengincar diriku?!” kata
Pusparini lagi.
Rangga Lurukan berdebar mendengar ucapan yang
terakhir ini. Apa yang diduga oleh Pusparini benar
adanya. Lalu timbul kekhawatiran bahwa Pusparini
akan menolak tawaran tugas itu.
“Aku senang dengan tugas ini...!” jawab Pusparini.
“Puji sukur kepada Sang Hyang Widhi! Kau tak
usah khawatir, pihak kami pun akan menjaga kesela-
matanmu,” kata Rangga Lurukan dengan memberikan
pundi-pundi berisi uang emas kepada Pusparini. “Kau
akan menerima sepundi lagi kalau tugas ini selesai...!”
***
DUA
Rangga Lurukan memberi pengarahan kepada Pus-
parini, Tambi dan Srenggi pada saat berikutnya. Keda-
tangan tamu agung dari Sriwijaya itu diperkirakan pal-
ing cepat tiga hari lagi kapal yang membawanya berla-
buh di Tanjung Penyu. Karena Pusparini telah men-
gemban tugas dari syahbandar setempat, maka dia di-
haruskan berada di perumahan yang telah disediakan.
Tentu saja hal ini membuat Pusparini mengambil ba-
rang-barangnya di penginapan ‘Baruna’. Ketika men-
gambil barang-barangnya, Tambi dan Srenggi mem-
buntuti. Terhadap dua orang itu, kini Pusparini ter-
paksa memanggil ‘Paman’, karena mereka adalah ke-
ponakan gurunya, Ki Suswara di Padepokan Canggal.
“Hei, mengapa paman berdua mengikuti aku? Nanti
bisa-bisa Rangga mencari kalian,” kata Pusparini. Dia
tetap tidak menganggap Rangga Lurukan sebagai ata-
sannya. Oleh sebab itu memanggil namanya pun, tak
memakai sebutan ‘Den’.
“Kami masih kangen dengan ceritamu tentang Pa-
depokan Canggal,” kata Tambi.
“Ah, mengapa paman berdua tidak sambang ke sa-
na saja? Lagian mengapa kalian bisa jadi urakan di
tempat ini?” sahut Pusparini sambil terus berjalan di-
iringi Tambi dan Srenggi.
“Ya... itu karena nasib saja. Aku dan Srenggi ini
adalah para keponakan Paman Suswara paling bandel.
Nyantrik di Padepokan Canggal tidak sampai selesai.
Maunya ngadu nasib jadi pedagang saja. Kau tahu,
kami berdua ini sebenarnya saudara sepupu. Kedua
orang tua kami telah meninggal semua. Harta benda
kami jual dan kami pergunakan berdagang di Tanjung
Penyu ini. Tetapi malah ludes. Nggak bakat. Yah, me-
mang nasib.”
“Saya kira itu bukan nasib. Tetapi salah jalan. Se-
bab kemarin ada punggawa syahbandar yang menceri-
takan kepada saya, bahwa paman berdua senang judi,
mabuk-mabukkan, dan... main perempuan. Betul?”
kata Pusparini tanpa segan membeberkan keterangan
yang didapat.
Ucapan Pusparini membuat kedua orang itu ‘klejin-
gan’, merasa malu. Dari sini Pusparini tahu betapa
memelas nasib kedua orang ‘paman’ itu.
Obrolan itu berkembang membangkitkan kenangan
di benak Tambi dan Srenggi. Kelihatannya mereka ber-
tiga terlihat akrab. Terlupa sudah bentrokan yang per-
nah terjadi di antara mereka beberapa saat lalu. Kalau
saja nama Padepokan Canggal tidak dijelaskan oleh
Pusparini, jelas bahwa permusuhan akan berkembang.
Selagi mereka mengobrol sambil berjalan, tiba-tiba
mendesing sebuah benda ke arah mereka. Pusparini
yang indranya lebih terlatih dari Tambi dan Srenggi,
cepat menangkap gejala tersebut. Dengan tangkas dia
mencabut senjatanya untuk menangkis benda yang
melesat ke arah mereka. Entah siapa yang dituju. Yang
jelas dengan tangkisan pedangnya, Pusparini berhasil
menggagalkan serangan tersebut. Ternyata sebuah se-
rangan senjata rahasia.
Merasa serangan pertama digagalkan, maka seran-
gan berikutnya dilancarkan lagi. Pusparini dengan
tangkas menangkisnya. Serangan berikutnya memang
lebih gencar. Ini yang membuat mereka bertiga men-
gambil posisi menyebar untuk membuyarkan perha-
tian lawan yang terlihat bergerak cepat dari balik pera-
hu-perahu rusak yang berjajar di atas pasir.
Pusparini memperhatikan bahwa si penyerang terdi-
ri dari satu orang dan kini bersembunyi di balik se-
buah perahu. Ditunggu beberapa saat. Tak ada seran-
gan senjata rahasia lagi. Pusparini memperhitungkan
serangan yang akan dilancarkan. Maunya perahu itu
akan didobrak dengan tendangan. Tetapi sebelum dia
bertindak, orang itu telah melesat keluar dari persem-
bunyiannya. Langkah Pusparini sudah terlanjur ber-
kembang. Akhirnya dua-duanya secara tidak diduga
telah saling menyerang. Satu-satunya cara untuk
mengatasi jurus yang berubah mendadak ini hanya
dengan mempergunakan kekuatan tangan. Dua pa-
sang anggota tangan saling berbenturan cukup keras.
Akibatnya masing-masing terpental ke belakang. Kare-
na hal semacam ini sudah diperhitungkan, maka Pus-
parini dengan cepat berhasil menguasai keadaan. De-
mikian pula sang lawan. Ternyata dia seorang pemuda
dengan bandu menghias ikatan rambutnya yang pan-
jang sampai sebatas punggung. Rompinya terbuat dari
kulit dengan manik-manik sepanjang belahan tengah-
nya. Lalu sebilah golok terselip di pinggang kiri. Ma-
tanya tajam mengawasi Pusparini.
“Aku bisa melakukan sekarang. Tetapi aku ingin ta-
hu alasanmu mengapa kau menyerang kami,” kata
Pusparini dengan menjaga segala kemungkinan seran-
gan.
“Karena kau antek si Rangga! Kalian anak buahnya
yang disewa untuk menjaga keselamatannya?” seru la-
ki-laki itu dengan pandangan mata beringas.
“Aku memang bekerja untuk dia. Tetapi aku tidak
bertugas untuk menjaga keselamatannya,” jawab Pus-
parini.
“Itu sama saja!” seru laki-laki itu dengan menghen-
takkan kaki dan menerjang ke arah Pusparini.
Pusparini waspada. Serangan bisa ditangkis dengan
mudah. Tetapi serangan berikut nyaris membuat ma-
tanya jadi sasaran serangan kalau tidak dengan lincah
meliukkan kepalanya ke samping. Melihat cara berke-
lahi, laki-laki itu menguasai betul jurus bangau. Dari
totolan ujung jari yang mencari sasaran sampai gaya
kepakan sayap bangau untuk menjebak serangan, ter-
lihat dengan jelas tentang penguasaan jurus yang di-
kuasai oleh lawan Pusparini.
Untuk mengimbangi, tentu saja Pusparini memper-
tunjukkan jurus burung walet yang sangat dia kuasai.
Kegesitannya membuat jurus bangau kedodoran sikap.
Bahkan tidak jarang Pusparini berhasil menghunjam-
kan serangannya ke bagian tubuh lawan. Ajang perta-
rungan melebar ke segenap penjuru. Ketika bentrokan
dengan tangan kosong merasa tak tertandingi, barulah
laki-laki itu mencabut goloknya.
Pusparini tetap bertahan tanpa senjata. Hal inilah
yang membuat Tambi dan Srenggi terkagum-kagum
terhadap ketangkasan Pusparini. Mereka merasa
bangga bahwa jebolan Padepokan Canggal bisa unjuk
gigi dalam bentrokan seperti itu.
Serangan-serangan golok untuk sementara berhasil
diatasi oleh Pusparini dengan menangkis mempergu-
nakan kayu-kayu yang banyak berserakan di sana. Hal
ini semakin membuat sang lawan penasaran. Sikap in-
ilah yang kiranya menimbulkan serangannya semakin
sulit dilancarkan dengan seksama. Tindakannya telah
tertimbun oleh emosi. Sampai akhirnya pada suatu ke-
sempatan Pusparini berhasil menggampar tangan la-
wannya. Golok mencelat. Pusparini berhasil menyam-
bar. Lalu melesat, yang kemudian dengan meliuk cepat
berhasil menikung ke arah lawan yang belum siap
mengubah posisinya. Dengan gebrakan kilat ini dia
berhasil menyambar. Lalu melesat, yang kemudian
dengan meliuk cepat berhasil menikung ke arah lawan
yang belum siap mengubah posisinya. Dengan gebra-
kan kilat ini dia berhasil menodongkan golok itu ke
leher lawannya.
“Nah! Bagaimana? Diteruskan atau tidak?” kata
Pusparini sambil melempar senyum kemenangan.
“Kuharap lidahmu masih bisa bergerak untuk berceri-
ta. Tetapi pertama kali sebut siapa namamu.”
Laki-laki itu belum mau menjawab.
“Jangan memaksaku merobekkan golok ini ke le-
hermu,” ancam Pusparini.
Tambi dan Srenggi ikut campur, “Kalau tindakanmu
ada yang mendalangi, lebih baik kau mengatakannya,”
kata Srenggi yang sudah melupakan luka di betisnya.
“Atau lebih baik kita serahkan saja kepada Rangga
Lurukan,” kata Pusparini.
“Baik! Aku akan berbicara. Asal kalian tidak menye-
rahkan aku kepada si Rangga,” akhirnya terdengar ju-
ga suara laki-laki itu.
“Ah, rupanya kau bisa ‘berkokok’ akhirnya,” sahut
Tambi sambil menthowel pipi laki-laki itu. “Sebut na-
mamu dulu sebelum bercerita lebih lanjut.”
“Sebaiknya kalian mempercayai aku. Lepaskan to-
dongan ini,” pinta laki-laki itu.
Pusparini tanpa ragu meluluskan permintaan itu.
Tetapi kalau hal itu merupakan siasat, dia sudah siap
untuk bertindak lebih lanjut.
“Ayo, ngomonglah!” kata Tambi.
“Namaku Tunggul Randi, dari Pedukuhan Watu Da-
kon,” jawab laki-laki itu.
“Tunggul Randi?” ulang Pusparini.
Laki-laki itu mengangguk. “Aku memang bermusu-
han dengan Rangga Lurukan.”
“Itu bukan urusanku. Tetapi kalau kau menganggap
kami sebagai anteknya, kau keliru. Kami bekerja demi
Kerajaan Medang,” kata Pusparini.
“Aku lebih tahu siapa Rangga Lurukan. Tadi aku
menyerang kalian hanya ingin tahu sampai berapa
tinggi ilmu kalian yang ingin diandalkan oleh Rangga
Lurukan,” sahut Tunggul Randi.
“Dan kau telah tahu bukan?” jawab Tambi. “Itu ba-
ru dia. Belum kami berdua.”
“Kalian akan diperalat!” sahut Tunggul Randi.
“Memang! Itu demi Kerajaan Medang. Kami bersedia
menerima karena kami semua warga Kerajaan Me-
dang!” kata Pusparini.
“Justru dialah musuh dalam selimut itu!” kata
Tunggul Randi.
“Hei! Bicara apa kau ini?” sela Srenggi yang sejak
tadi banyak berdiam diri.
“Rangga Lurukan musuh dalam selimut!” ulang
Tunggul Randi tanpa takut.
“Kuharap kau tidak mabuk mengatakan hal ini!” ka-
ta Pusparini.
“Demi Sang Hyang Widhi!” tukas Tunggul Randi.
“Mudahnya kau bersumpah. Lidah memang tak ber-
tulang,” sahut Pusparini.
“Apakah kalian ingin bukti? Aku bisa membawa ka-
lian kepada Ki Jalak Jenar,” Tunggul Randy mengum-
bar omongannya tanpa takut lagi. Agaknya semua ke-
terangan itu telah memancing perhatian lawan bica-
ranya. Dan dia tak khawatir lagi seandainya mereka
terpaksa memotong lidahnya karena mengumbar
omongan seperti itu.
Ucapan terakhir Tunggul Randi membuat Pusparini
berpikir. Demikian juga Tambi dan Srenggi. Ketiga
orang ini mencoba meresapkan keterangan yang di-
dengarnya. Betulkah Rangga Lurukan musuh dalam
selimut? Dari berbagai peristiwa yang pernah dialami,
maka masalah pemerintahan sangat jarang melibatkan
diri. Tetapi agaknya masalah tersebut akan menyeret
dirinya terlibat di dalamnya.
“Bagaimana, Paman? Apakah kita perlu bertemu
dengan orang bernama Ki Jalak Jenar itu sebelum ke
penginapan ‘Baruna’?” tanya Pusparini.
“Terserah kau saja,” jawab Srenggi dengan menge-
lus kumisnya.
Akhirnya Pusparini memutuskan untuk bertemu
dengan orang bernama Ki Jalak Jenar.
“Asal tidak jauh tempatnya, kami akan ke sana saat
ini juga,” katanya.
“Tidak jauh,” jawab Tunggul Randi. “Di perbatasan
Tanjung Penyu.”
“Kau tak punya niat menjebak kami di sana, bu-
kan?” sahut Tambi, yang sebenarnya ucapan ini ham-
pir dikatakan oleh Pusparini.
“Aku telah berkata dengan jujur. Terserah kalian
percaya atau tidak,” jawab Tunggul Randi mencoba
meyakinkan.
Karena merasa tak ada yang perlu diperdebatkan
lagi, mereka berempat menuju ke tempat perbatasan
Tanjung Penyu dengan Desa Tengiri. Tempatnya me-
mang tidak melelahkan ketika ditempuh dengan jalan
kaki. Sebuah rumah terlihat di sana, terpisah dengan
rumah yang lain.
Beberapa orang tampak berdiri di tempat-tempat
tertentu seolah-olah mewaspadai semua orang yang
bersliweran di sana. Dan memang hal itu benar
adanya. Mereka mengawasi kedatangan Tunggul Randi
yang diiringi Pusparini, Tambi dan Srenggi. Kemudian
Tanggul Randi mengawali memasuki rumah itu.
Begitu masuk rumah, Pusparini sesaat dibuat ka-
gum dengan keadaan di dalamnya. Rumah yang tam-
paknya seperti rumah nelayan di luarnya itu, dan
berkesan dihuni oleh orang yang tidak berada, ternyata
lain. Di dalamnya, orang bisa menyaksikan keadaan-
nya cukup berada.
Seorang lelaki berusia enampuluhan terlihat duduk
di amben. Tiga orang duduk di bawah. Rupanya mere-
ka sedang merundingkan sesuatu ketika Pusparini
sampai di sana. Tunggul Randi menghaturkan sem-
bah. Dengan cara ini terlihat bahwa orang tersebut cu-
kup dihormati oleh orang-orang di sana.
“Ki Jalak Jenar, inilah orang-orang yang kini sedang
dirangkul oleh Rangga Lurukan,” kata Tunggul Randi.
“Mereka ingin membicarakan sesuatu dengan Ki Jalak.
Saya mohon maaf apabila telah membeberkan semua
masalah kita terhadap mereka.”
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Ki Jalak Je-
nar mengawasi Pusparini dan kedua ‘pamannya’.
“Apa benar kalian telah memperoleh penjelasan dari
Tunggul Randi?” tanya Ki Jalak Jenar dengan mata te-
tap menyelidik kepada ketiga tamunya. Ada semacam
kecurigaan. Tetapi kalau hal itu telah dipilih Tunggul
Randi membawa mereka menghadap, pasti telah ada
pembicaraan yang telah dibeberkan. Dan itu memang
tidak mudah kalau sampai ada orang luar bisa dibawa
Tunggul Randi menghadap Ki Jalak Jenar.
“Tentunya Tunggul Randi telah mempersulit kalian.
Aku ingin tahu sampai berapa jauh kesulitan itu bisa
terjadi,” ucap Ki Jalak Jenar dengan melempar sebuah
cawan di sampingnya ke arah Pusparini.
Bagi orang biasa, pastilah hal itu akan membuat ce-
laka orang yang jadi sasaran. Tetapi ini adalah Puspa-
rini, pendekar yang punya gelar Walet Emas. Begitu
cawan tersebut sampai pada arah lehernya, maka tan-
gannya cepat menangkap benda itu. Cawan tersebut
berisi air. Dan tak ada sepercik air pun yang nyiprat
keluar.
“Maaf, Ki. Sebelum berangkat kemari, aku telah mi-
num di sebuah warung,” kata Pusparini dengan me-
lempar cawan itu kembali kepada Ki Jalak Jenar.
Dan orang itu berhasil menangkap pula dengan
tangannya. Sejenak dia tersenyum sambil mengawasi
Pusparini dengan pandangan mata menyipit. Pandang
yang penuh selidik. Nalurinya mengatakan bahwa dari
ketiga tamunya ini, hanya si wanitalah yang punya ke-
lebihan ilmu beladiri kalau dibanding dengan dua laki-
laki lainnya.
Di pihak lain, bagi Pusparini tokoh bernama Ki Ja-
lak Jenar ini memang bukan orang sembarangan. Me-
lempar cawan berisi air tanpa bergoyang, apalagi nyi-
prat keluar, sungguh orang yang punya ilmu lumayan
walaupun dia bisa bertindak serupa.
“Kalau kau telah minum, kalau begitu kita tinggal
bicara saja,” sahut Ki Jalak Jenar dengan memberi
isyarat agar Pusparini duduk di tempat yang tersedia.
“Nah, kini sampai berapa jauh Tunggul Randi bercerita
tentang kelompok kami,” lanjutnya setelah Pusparini
dengan kedua pamannya duduk bersila.
“Ada musuh dalam selimut. Dan orang itu adalah
Rangga Lurukan. Apakah hal itu bisa dipercaya?” kata
Pusparini.
“Kami tidak akan memaksa kalian untuk bisa per-
caya. Yang jelas, kalau Rangga Lurukan akan men-
gambil tenaga orang lain untuk membantu menyele-
saikan masalahnya sendiri, kami tidak bisa tinggal di-
am. Maksudku... memperingatkan kalian agar tidak
bertindak bodoh dan ceroboh,” kata Ki Jalak Jenar
dengan menyisipkan ramuan kinang ke dalam mulut-
nya.
“Semua masih perlu dibuktikan,” sahut Tambi.
“Itu adalah hak kalian,” ucap Ki Jalak Jenar dengan
meludahkan cairan kinang yang dikunyah ke dalam
paidon sampingnya.
“Kalau begitu, kami menyampaikan terima kasih
kalau hal ini dianggap sebagai suatu peringatan. Teta-
pi... apakah boleh aku tahu apa yang melatar-
belakangi kelompok yang Ki Jalak Jenar pimpin ini?”
tanya Pusparini.
Ki Jalak Jenar tidak cepat menjawab. Baginya per-
temuan itu bisa menguntungkan kelompoknya, juga
bisa tidak. Menguntungkan apabila tamu yang datang
itu bisa diajak kerja sama. Merugikan, kalau sampai
ketiga orang itu menjadi mata pisau yang akan mem-
beberkan kegiatannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’
kepada kelompok Rangga Lurukan.
“Kami adalah orang-orang yang menjaga keselama-
tan Kerajaan Medang tanpa melewati keputusan Sang
Raja karena beliau dikelilingi oleh para penjilat!” kata
Ki Jalak Jenar dengan suara mantap. “Boleh dikata,
kami adalah kelompok orang yang disingkirkan. Tetapi
tanggung jawab kami terhadap kerajaan ini tak kalah
hebatnya dengan para pejuang lain yang sepaham.”
“Pejuang lain yang sepaham?” tanya Pusparini.
“Benar. Kami tahu bahwa banyak orang lain yang
sepaham dengan kelompok kami, tetapi sulit menga-
krabkan diri. Kami khawatir adanya pisau bermata
dua,” jawab Ki Jalak Jenar.
“Pisau bermata dua yang bagaimana?” tanya Puspa-
rini.
“Mungkin mereka akan mengkhianati kalau ambang
keberhasilan untuk menyingkirkan para penjilat terca-
pai. Itu sebabnya lebih baik kami berjuang dengan
orang-orang yang telah kami kenal dengan baik,” kata
Ki Jalak Jenar.
“Hm. Aku jadi semakin tahu kiprahnya orang-orang
yang terlibat dalam kancah pemerintahan. Benar-
benar tak kuduga bahwa Kerajaan Medang yang aman
tentram ini ternyata banyak pihak yang saling menjadi
srigala. Yang satu, tega memakan yang lain,” ucap
Pusparini sambil berdiri yang kemudian diikuti oleh
Tambi dan Srenggi. “Kalau begitu, kami akan mohon
diri.”
“Mudah-mudahan kami bisa mempercayai kamu
bertiga bahwa tidak akan menceritakan keberadaan
kami di sini,” kata Ki Jalak Jenar.
“Aku menganggap pertemuan ini tak pernah terjadi,
Ki Jalak Jenar,” jawab Pusparini.
Ki Jalak Jenar mengantar kepergian Pusparini den-
gan pandangan mata penuh keyakinan. Jarang dia bi-
sa bersikap seperti itu. Dia sulit mempercayai orang
yang baru dikenalnya. Tetapi ketika berhadapan den-
gan Pusparini, rasanya dia melihat seseorang yang
mampu mengerti dirinya. Sebelum Pusparini sampai di
pintu keluar, Ki Jalak Jenar berseru, “Kau belum me-
nyebutkan namamu!”
Pusparini menghentikan langkah. “Nama saya Pus-
parini!” katanya terus berlalu dari sana.
“Pusparini?!” terdengar suara Ki Jalak Jenar men-
gulangi ucapan dengan lirih.
Sedangkan Tunggul Randi tidak bersikap apa-apa
kecuali patuh bersila di tempatnya.
“Jadi kau bisa dikalahkan olehnya?” terdengar per-
tanyaan yang ditujukan kepada Tunggul Randi.
“Hanya kehilangan kesempatan ketika dia dengan
tiba-tiba merubah arah serangan setelah berhasil me-
rampas golok saya,” jawab Tunggul Randi.
“Karena matamu sejak awal telah dipengaruhi ke-
cantikannya?” sela Ki Jalak Jenar.
Tunggul Randi menunduk malu.
“Sekarang lanjutkan memata-matai mereka. Mu-
dah-mudahan semua yang kujelaskan bisa membuat-
nya waspada berkenalan dengan Rangga Lurukan.
Apakah orang-orang kita telah memperoleh persenja-
taan yang kita butuhkan?” kata Ki Jalak Jenar.
“Setiap tukang pande-besi yang saya hubungi keba-
nyakan mengeluh kekurangan bahan logam,” jawab
Tunggul Randi.
Ki Jalak Jenar manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya mendengar laporan tersebut. Pikirannya
bergolak mencari jalan keluar bagaimana menda-
patkan persenjataan untuk memperkuat barisan ke-
lompoknya. Lalu pandangannya menatap pada lam-
bang yang melukiskan seekor burung laut berwarna
putih yang menempel di dinding sebelah kanannya.
Lambang “Camar Putih”!
***
TTIIGGAA
“Kau mempercayai semua omongan Ki Jalak Jenar
itu?” kata Srenggi sesampai di perumahan syahbandar
setelah mengambil perlengkapan Pusparini di pengina-
pan ‘Baruna’.
“Perlu dikaji kebenarannya. Dan itu tugas kita un-
tuk membuktikan,” jawab Pusparini dengan memper-
baiki bungkusan pedangnya.
Di dalam bungkusan itu tersimpan Pedang Merapi
Dahana. Sejak banyak orang yang tahu tentang pe-
dang tersebut, Pusparini selalu menyimpan pedangnya
dalam bungkusan yang rapi sehingga tak ada seorang
pun menyangka berisi pedang ampuh. Sedangkan pe-
dangnya yang lain adalah sebuah pedang biasa. Inilah
yang dibawa kemana dia pergi apabila berada di suatu
tempat dan mendapatkan tempat menginap.
Dalam hari berikutnya sambil menunggu kedatan-
gan tamu agung dari Sriwijaya, Pusparini sering memi-
kirkan penjelasan yang didapat dari Ki Jalak Jenar.
Semua merupakan gambaran peristiwa yang harus di-
hadapi. Kini tinggal mengkaji, siapa pihak yang benar
dan perlu dibela. Kalau ditinjau dari pandangan Rang-
ga Lurukan, apakah mungkin pihak Ki Jalak Jenar
yang akan membunuh tamu agung itu? Tetapi menga-
pa Ki Jalak Jenar memberitahu bahwa Rangga Luru-
kan adalah musuh dalam selimut?
Berpikir tentang masalah ini, semakin membuat
bingung saja. Maka untuk mengawali tugasnya, dia
akan mengikuti arus peristiwa dari perintah Rangga
Lurukan dulu.
“Besok diperkirakan tamu itu datang,” pikir Puspa-
rini di pembaringannya.
Hari telah larut malam. Dan seperti biasanya, kalau
ada persoalan yang menjadi beban pikirannya, maka
Pusparini sulit tidur. Seperti halnya malam ini. Karena
dia diserahi perihal keamanan, maka kebiasaannya
untuk mengamati suasana pada waktu malam tak
pernah dilewatkan.
Pusparini melesat keluar ruangan dan nangkring di
wuwungan rumah. Bulan sabit menggantung di langit.
Lampu-lampu oncor menerangi di berbagai tempat.
Rupanya Rangga Lurukan telah memerintahkan untuk
memasang oncor-oncor minyak jarak secara menyelu-
ruh di tempat-tempat yang harus dijaga keselamatan-
nya. Terutama gudang pelabuhan serta tempat yang
nantinya dipakai untuk menjemput tamu agung.
Tengah termenung di wuwungan rumah, tiba-tiba
Pusparini melihat seseorang melesat dari sudut ban-
gunan di kejauhan sana, seakan-akan takut diketahui
oleh orang lain. Tampak jelas di mata Pusparini bahwa
sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Kecurigaan
Pusparini mendorong dirinya untuk menyelidiki.
Dia segera melesat dengan perhitungan dapat men-
cegat orang itu. Tetapi baru saja dia bergerak, tanpa
diduga ada pihak pembokong yang menyerang dirinya.
Serangannya diperhitungkan sekali untuk dapat me-
lumpuhkannya. Pusparini terlambat mengelak. Seran-
gan yang mengunjam ke tengkuknya itu membuat ke-
sadarannya buntu seketika. Tubuh Pusparini limbung
ke bawah. Tetapi dengan cepat si pembokong menang-
kapnya. Sedangkan sosok tubuh wanita yang semula
diintip Pusparini, segera menghampiri.
“Apa yang kau lakukan? Siapa wanita ini?” tanya si
wanita yang wajahnya ditutup cadar sebatas di bawah
mata.
“Dia mengintipmu di wuwungan itu. Aku berhasil
melumpuhkannya,” kata si pembokong yang wajahnya
juga bercadar, yang ternyata seorang lelaki.
“Mengapa dia tetap kau bopong? Lempar saja dia!”
ujar si wanita.
“Dia akan jadi saksi kehadiran kita,” jawab si lelaki.
“Kalau begitu bunuh saja,” kata si wanita yang si-
kapnya tidak sabar lagi.
“Dialah yang ditunjuk oleh Rangga Lurukan untuk
menyamar tamu agung itu!” kata si lelaki.
“Dia?” ujar si wanita seakan tak percaya. “Kalau be-
gitu kerja kita tak banyak susah. Wanita muda ini bisa
mempersingkat urusan kita. Ayoh kita bawa dia untuk
dipertontonkan kepada Sang Putri kelak. Dia pasti su-
ka.”
“Katanya yang harus kita culik Rangga Lurukan!”
tanya si lelaki dengan membuntuti si wanita melesat
meninggalkan tempat itu.
Si wanita tak menjawab karena geraknya terlebih
dulu meninggalkan kawan lelakinya yang membopong
Pusparini. Dan laki-laki ini baru saja menjangkah un-
tuk melesat, ketika tiba-tiba tubuhnya terasa digerogo-
ti kekuatan yang menghisap tenaganya. Dia roboh.
Dan seketika itu juga Pusparini melompat dari bopon-
gannya.
“Kerja yang ceroboh!” sahut Pusparini yang tampak
segar bugar menyaksikan. “Untung aku cepat bisa
menguasai keadaan. Rupanya menotok jalan darah
pada tubuhmu tak begitu sulit sehingga kau bisa ku-
lumpuhkan.”
Pusparini mengawasi tubuh lawannya yang mengge-
letak dengan mata tetap terbuka. Totokan jalan darah
yang dilakukan memang untuk melumpuhkan tenaga
gerak anggota badan saja.
“Kau pakai cadar segala seperti mau main pentas.
Apakah kau tidak mempunyai hidung sehingga harus
kau tutup wajahmu ini?” kata Pusparini dengan berge-
rak untuk merenggut cadar yang menutup wajah la-
wannya.
Begitu berhasil dibuka, betapa kaget dia.
“Tunggul Randi?!” seru Pusparini dengan pandan-
gan melotot.
Tunggul Randi yang kini tak bisa menggerakkan tu-
buhnya selain memandang dan berbicara, merasa ma-
lu dengan keadaan itu.
“Apa maksud semua ini?” tanya Pusparini.
“Siapa wanita itu tadi?”
“Maafkan aku!” hanya ini yang diucapkan oleh
Tunggul Randi. Tak ada jawaban lagi untuk menje-
laskan atas pertanyaan Pusparini.
“Jangan memaksaku bertindak yang lebih menya-
kitkan,” ancam Pusparini. “Jadi pihakmu yang berniat
jahat. Bukan Rangga Lurukan!”
“Maafkan aku. Aku tak dapat menjelaskan. Lebih
baik kau bunuh saja aku sekarang!” kata Tunggul
Randi.
“Sebut saja nama wanita itu. Dan itu tidak akan
mencelakakanmu,” kata Pusparini.
“Kau tidak mengerti. Aku terikat sumpah mantera
untuk kesetiaan pengabdianku kepadanya,” jawab
Tanggul Randi dengan suara gemetar.
“Sumpah mantera?” tanya Pusparini. “Sumpah ma-
cam apa itu?”
“Di tubuhku telah ditulis ranjau mantera. Apabila
kubeberkan tentang kelompok ini, maka mantera itu
akan membunuhku!” jawab Tunggul Randi dengan na-
pas tersengal.
“Bukankah kau terlibat dalam kelompok Ki Jalak
Jenar?” tanya Pusparini yang semakin ingin tahu.
“Aku... telik sandi, mata-mata, ganda...!”
“Astaga! Sikapmu ini benar-benar iblis. Kau tak
punya sikap dalam pengabdian. Siapa yang lebih men-
guntungkan, itu yang kau patuhi. Dan itu akan berba-
lik lagi kalau pihak lain bisa menguntungkan,” kata
Pusparini dengan nada menggebu-gebu.
Dan ucapan ini tak berlanjut lagi, sebab tiba-tiba
inderanya menangkap serangan jarak jauh yang terdiri
dari lemparan senjata rahasia. Pusparini melompat
menghindari logam-logam tajam yang menuju ke arah-
nya. Begitu gencarnya serangan itu bertubi-tubi se-
hingga tak sempat memperhatikan Tunggul Randi yang
disrobot oleh sesosok tubuh lain dan dibawa pergi dari
sana.
Pusparini baru bisa menguasai diri ketika serangan
senjata rahasia itu surut. Dia cepat melesat ke tempat
Tunggul Randi yang terkapar. Tetapi sesampai di sana
orang yang dicari tidak diketemukan lagi.
Pusparini mengumpat dalam hati. Pada saat itu
muncullah Srenggi yang didampingi Tambi karena me-
rasa terganggu tidurnya oleh suara dekat kamarnya.
“Pusparini, apa yang terjadi?” tanya Srenggi.
“Tempat ini telah disatroni musuh. Ada yang hen-
dak menculik Rangga Lurukan,” jawab Pusparini sam-
bil membenahi pakaiannya. “Tentu paman tidak per-
caya kalau kuberitahu bahwa Tunggul Randi terlibat
pula dalam urusan malam ini. Dia adalah mata-mata
ganda, yang bersedia bekerja sama dengan pihak ma-
napun asal imbalannya memuaskan.”
“Bukankah dia anak buah Ki Jalak Jenar?” kata
Tambi.
“Ternyata dia tidak hanya bekerja untuk Ki Jalak
Jenar. Rupanya kita akan berhadapan dengan kekua-
tan adikodrati,” kata Pusparini.
“Kekuatan adikodrati?” tanya Srenggi.
“Tunggul Randi sempat menjelaskan bahwa dirinya
dikungkung dengan tulisan ranjau mantera pada tu-
buhnya. Apabila dia membeberkan siapa wanita berca-
dar yang bersamanya barusan tadi, dia akan mampus
direjam kekuatan mantera yang tertulis pada tubuh-
nya.”
“Wah. Maut kalau begitu,” sahut Srenggi. “Lalu apa
tindakan kita?”
“Untuk sementara sebaiknya kita berdiri di luar pi-
hak-pihak yang berkepentingan walaupun kita secara
resmi bekerja di pihak Rangga Lurukan,” jawab Puspa-
rini dengan memberi isyarat agar pembicaraan itu di-
lanjutkan di dalam ruangan.
Tentu saja penjelasan Pusparini mulanya sulit di-
mengerti oleh kedua paman itu. Tetapi setelah mereka
membicarakan lebih tuntas, barulah hal itu dipahami.
“Kekuatan adikodrati itu sulit ditandingi oleh ilmu
kanuragan yang biasa kita pelajari. Biasanya ilmu se-
macam itu ada sangkut pautnya dengan kekuatan ib-
lis,” sambung Tambi yang sebenarnya banyak tertarik
dengan hal-hal semacam itu. Dulu dia pernah berguru
kepada seseorang untuk memperdalam ilmu semacam
itu. Tetapi ketika diketahui sarana imbalannya adalah
tumbal nyawa manusia, dia mengundurkan diri.
“Besok diperkirakan tamu agung itu datang,” sela
Pusparini. “Paman berdua tentu sudah tahu tugas
masing-masing. Masih ada waktu untuk beristirahat.
Saya akan masuk kamar dulu. Kalau paman berdua
bersedia begadang, terserah.”
“Beristirahatlah. Kami akan begadang di sini,” sela
Srenggi dengan meneliti keadaan di sekitarnya.
Dia khawatir ada orang yang tak dikehendaki keha-
dirannya bersembunyi di dekat-dekat situ untuk men-
curi dengar pembicaraan mereka. Yang jelas, agaknya
mereka dihadapkan pada masalah pelik untuk menge-
tahui siapa kawan, dan siapa lawan.
Tambi melesat ke atas wuwungan. Dari tempat itu
bisa terlihat pelabuhan yang diterangi oncor-oncor ra-
tusan banyaknya. Dan kira-kira sepuluh rumah dari
situ terletak bangunan yang ditempati Rangga Luru-
kan. Ketika melayangkan pandang ke bangunan itu,
perasaan Tambi terusik. Sepertinya dia melihat berke-
lebatnya beberapa sosok tubuh yang menyelinap dari
wuwungan yang satu ke wuwungan yang lain.
“Srenggi, panggillah Pusparini, cepat!” seru Tambi
dengan nada tertahan.
Seperti telah terbiasa dengan keadaan tersebut,
Srenggi beranjak cepat menuju kamar Pusparini. Di-
dapati pintu kamar terbuka. Ketika menjenguk ke da-
lam, Pusparini tak terlihat di kamarnya. Srenggi sece-
patnya kembali menemui Tambi, yang ternyata sudah
tidak terlihat lagi di wuwungan rumah. Srenggi melesat
ke atas wuwungan untuk memeriksa keadaan di seki-
tarnya. Dia tak mungkin berteriak memanggil nama
Tambi dengan pertimbangan akan mengundang kega-
duhan.
Srenggi pun melesat dari wuwungan yang satu ke
wuwungan rumah yang lain. Senjata telah digenggam
di tangannya. Perasaannya terusik bahwa marabahaya
sedang mengancam di sekitarnya. Sayang, Srenggi ter-
lambat menyadari ketika dengan tiba-tiba sebuah han-
taman menggodam tengkuknya yang disertai pengera-
han tenaga dalam secara prima. Srenggi roboh!
***
EMPAT
Ketika Srenggi siuman, yang dilihat pertama kali
adalah wajah Pusparini. Kagetnya bukan main. Tetapi
untuk bangun secepat itu rasa pusing kepalanya ma-
sih menggrogoti pelipisnya.
“Apa yang telah terjadi?” tanya Srenggi dengan pan-
dangan menatap nanar ke sekelilingnya.
“Semua telah beres. Ternyata peristiwa munculnya
Tunggul Randi masih ada buntutnya. Ketika aku me-
masuki kamar, kulihat ada bayangan berkelebat. Aku
buru dia, yang akhirnya ketanggor bentrokan di pela-
buhan sana. Kemudian muncul paman Tambi mem-
bantu. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa mereka ada-
lah anak buah wanita bercadar yang muncul bersama-
sama Tunggul Randi,” kata Pusparini didampingi Tam-
bi.
Terasa benar udara subuh menggigit kulit. Ketiga
orang itu masuk ke dalam ruangan. Srenggi baru me-
nyadari bahwa buntut bentrokan yang tidak diketahui
rupanya lebih seru tatkala dirinya tidak sadarkan diri.
Kelihatannya bentrokan yang tidak diketahui itu meli-
batkan pula para penjaga syahbandar. Sedangkan
Rangga Lurukan yang diberitahu bahwa dirinya akan
diculik oleh kelompok orang-orang bercadar, telah
memperkuat penjagaan tempat tinggalnya.
Saat ini Rangga Lurukan termenung di tempat ke-
diamannya. Kelompok orang-orang bercadar nyaris
menculik dirinya. Berkat tindakan Pusparini dan Tam-
bi mereka berhasil dihalau. Tetapi Rangga Lurukan ti-
dak mengetahui peristiwa keseluruhan bahwa Puspa-
rini telah berhasil menyingkap salah seorang pela-
kunya, yakni Tunggul Randi.
Rangga Lurukan masih termenung ketika tanpa di-
duga pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia agak pe-
nasaran, sebab telah berpesan kepada abdinya saat itu
dirinya tak mau diganggu. Nyaris dia mengomel untuk
membentak orang yang melanggar perintahnya ketika
pintu itu terbuka, Pusparini telah berdiri di sana.
“Oh, kukira siapa. Masuklah,” sambut Rangga Lu-
rukan dengan mengumbar senyum. “Tak salah aku
memilihmu untuk bergabung dengan kelompokku.”
Pusparini menghampiri Rangga Lurukan, seakan
ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh didengar
orang lain.
“Saya ingin tahu pihak-pihak yang memusuhi diri-
mu!” kata Pusparini dengan nada tegas.
“Hei, bicara apa kau ini?” tukas Rangga Lurukan
seraya bangkit dari duduknya.
“Kau tentu punya banyak musuh!” kata Pusparini.
“Aku orang pemerintah. Tentu saja musuhku ada-
lah mereka yang tidak senang pada pemerintah,” jawab
Rangga Lurukan.
“Maksudku... yang tidak ada sangkut pautnya den-
gan pemerintah Kerajaan Medang,” sela Pusparini ka-
rena nadanya Rangga Lurukan ingin mengelakkan ja-
waban atas pertanyaannya.
“Maksudmu... musuh pribadi?”
“Ya. Entah apa namanya..., yang jelas ada pihak
lain yang kau tak mengatakan padaku bahwa mereka
adalah musuhmu.”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari mata dan telingaku sendiri!” jawab Pusparini
tegas.
Rangga Lurukan terdiam. Otaknya mencoba mene-
bak sejauh mana Pusparini telah melangkah sehingga
bisa menyodorkan omongan seperti itu.
“Kau pasti telah bertemu dengan orang-orang yang
tidak menyukai diriku,” jawab Rangga Lurukan.
“Aku hanya menghendaki kejujuranmu. Kau tahu,
aku warga Kerajaan Medang yang diperintah oleh Pra-
bu Dharmawangsa. Sebagai kawula Medang, aku me-
matuhi dan setia kepada pemerintahan Sang Baginda
Raja. Dia kuanggap dapat membimbing rakyat untuk
menanjak pada kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab
itu apabila ada pihak yang mencoba merongrong kewi-
bawaannya, tentu saja aku tak akan tinggal diam,” ka-
ta Pusparini bernada patriotis.
Rangga Lurukan memandang tajam ke mata Puspa-
rini yang sejak awal bicaranya juga menatap tajam ke-
padanya.
“Mereka telah meracuni sikapmu agar mencurigai-
ku,” kata Rangga Lurukan. “Katakan, siapa mereka
itu!”
“Jawabannya ada dalam hatimu kalau kau sadar
siapa mereka,” kata Pusparini sambil beranjak pergi.
“Tunggu!” sergap Rangga Lurukan dengan mencekal
lengan Pusparini. “Apakah ini keputusanmu untuk ti-
dak menerima tugas yang kubebankan kepadamu?”
“Aku masih patuh dengan tugas yang kau berikan.
Hanya saja kau jangan mencoba mempergunakan diri-
ku sebagai alat untuk kepentingan pribadimu,” jawab
Pusparini sambil menghentakkan tangan Rangga Lu-
rukan yang mencekal lengannya.
Rangga Lurukan merasa terpukul dengan sikap dan
ucapan Pusparini. Belum pernah ada seorang pun be-
rani bertindak seperti itu terhadap dirinya. Tetapi en-
tahlah, meskipun sikap Pusparini yang begitu dinilai
kurang ajar sebagai bawahan, dia tetapi merasa mem-
butuhkan kehadiran Pusparini di sampingnya. Ada se-
suatu yang dia tak bisa mengatakan, mengapa kebera-
daan Pusparini di dekatnya membuatnya merasa kra-
san untuk berbincang-bincang, walaupun hal seperti
yang baru saja terjadi sangat menyinggung perasaan-
nya. Sampai begitu jauh Rangga Lurukan belum ber-
tindak tegas untuk membendung sikap Pusparini yang
dipandang telah tahu begitu banyak terhadap hal-hal
yang menyangkut kepentingannya. Dia yakin masih bi-
sa mengendalikan Pusparini. Itu harapannya. Sebab
hanya Pusparini yang bisa menyamar sebagai tamu
agung dari Sriwijaya. Dan itu merupakan kunci dari
rencananya.
“Karena kau masih di sini, aku tak akan pernah
khawatir dengan rencana ini, Pusparini. Kau akan ter-
kejut dari sikap-sikapmu yang kini mulai mencurigai-
ku,” pikir Rangga Lurukan yang kemudian memanggil
seorang abdi untuk mempersiapkan sarana mandi.
Hari semakin cerah dengan bias sinar matahari mu-
lai mengintip dari ufuk timur. Hari itu, diperkirakan
tamu agung tersebut sudah bisa sampai di pelabuhan
Tanjung Penyu.
Matahari telah membakar ubun-ubun setiap orang
yang sejak pagi mulai mempersiapkan diri untuk me-
nyambut kedatangan tamu agung dari Sriwijaya.
“Kau pikir perjalanan mereka terganggu oleh cuaca
buruk di laut?” kata Tambi membuka percakapan ke-
tika berbicara soal keterlambatan itu sudah semakin
basi.
Orang sudah mulai jenuh dan bosan karena telah
setengah hari merasa dipajang untuk menunggu keda-
tangan tamu tersebut. Terlihat di sebelah sana seke-
lompok laskar kerajaan yang baru datang ketika mata-
hari sepenggalah tingginya. Sebenarnya laskar tersebut
sudah harus datang sejak kemarin. Tetapi perwira
tamtama, bernama Jalu Rangkah, mengatakan bahwa
perjalanannya terganggu oleh hadangan sekelompok
pengacau yang terdiri dari para begal. Mungkin para
begal memperkirakan bahwa iring-iringan laskar terse-
but membawa barang-barang berharga sarana perda-
gangan untuk dikirim ke mancanegara. Tetapi nya-
tanya tidak. Mereka hanya untuk menjemput tamu
agung dari Sriwijaya yang akan menghadap Sang Ba-
ginda Raja Prabu Dharmawangsa.
“Mereka berhasil kami halau,” kata Perwira Tamta-
ma Jalu Rangkah yang berbincang-bincang dengan
Rangga Lurukan.
Pusparini pun tak ketinggalan nimbrung dalam per-
cakapan itu. Tetapi sejak Jalu Rangkah membicarakan
tentang gangguan perjalanan, pikiran Pusparini meng-
hubungkan dengan peristiwa adanya kelompok yang
hendak mengacaukan kedatangan tamu agung terse-
but.
Rangga Lurukan sendiri sempat melirik ke arah
Pusparini ketika hal itu dibeberkan oleh Jalu Rangkah,
tetapi pendekar wanita yang bergelar Walet Emas ini
pura-pura tidak mengerti.
Tentu saja berita itu memperkaya Pusparini dengan
bahan pertimbangan sampai di mana kebenaran
omongan-omongan tentang ‘musuh dalam selimut’
yang akan menghancurkan Kerajaan Medang.
“Saya akan ke belakang sebentar,” pamit Pusparini
dengan meninggalkan tempatnya.
Kepergian Pusparini diawasi Rangga Lurukan.
“Cantik juga dia,” tanggapan Perwira Tamtama Jalu
Rangkah. “Tak kuduga kau bisa mendapat anak buah
seperti itu. Sudah berapa lama dia berada di sini?”
“Enghm... cukup lama,” dalih Rangga Lurukan.
“Bagaimana kalau setelah tugas ini dia diangkat da-
lam kesatuan laskar istana? Ketika melihat dia, timbul
rencanaku untuk mengusulkan kepada Panglima Ma-
patih, agar dibentuk satuan laskar yang terdiri dari
pendekar wanita,” kata Jalu Rangkah.
“Kalau yang kau cari ukuran seperti dia, akan sulit.
Mungkin di kawasan Kerajaan Medang jumlahnya tak
lebih dari jumlah ibu jari tangan,” jawab Rangga Luru-
kan dengan nada tidak senang dengan omongan Jalu
Rangkah.
Perwira muda yang telah menduduki jabatan tinggi
ini hanya manggut-manggut. Penampilan Pusparini te-
lah menggigit benaknya ketika pertama kali bertemu
dalam acara penyambutan kedatangan tadi.
“Gusti, ada laporan pengawas bahwa mereka telah
melihat sebuah kapal sedang menuju kemari,” ucapan
ini menyadarkan Jalu Rangkah dari lamunannya.
Tak kurang terkejutnya adalah Rangga Lurukan
sendiri. Seharusnya yang memberi laporan adalah
anak buahnya. Mengapa justru anak buah Jalu Rang-
kah yang datang melapor? Terasa wibawa kekuasaan-
nya dilangkahi oleh pihak Jalu Rangkah. Untuk men-
gatasi hal ini Rangga Lurukan segera menuju ke ban-
gunan pengawas. Ternyata tempat itu telah ditempati
anak buah Jalu Rangkah.
“Apa wewenang kalian berada di anjungan penga-
was pantai ini?” kata Rangga Lurukan dengan nada
berang. Tak seorang pun terlihat anak buahnya berada
di tempat itu.
“Aku yang memerintahkan mereka menempati an-
jungan pengawas itu, Rangga!” terdengar suara di be-
lakangnya, yang ketika ditoleh Perwira Tamtama Jalu
Rangkah telah mengikuti langkahnya. “Aku punya we-
wenang atas perintah Mapatih untuk bertindak tanpa
harus berembug denganmu. Aku membawa surat pe-
rintah dari beliau.”
“Seharusnya kau menunjukkannya begitu kita ber-
temu,” sanggah Rangga Lurukan.
“Itu caraku. Dan aku senang dengan kejutan. Apa-
bila tidak percaya, inilah surat perintah dari Mapatih
di Medang, Dewan Penasihat Kerajaan. Apakah kau
akan menyanggah?” kata Jalu Rangkah sambil menge-
luarkan gulungan kulit dari balik rompinya.
Sekilas Rangga Lurukan melihat bentuknya, bahwa
itu memang dari pejabat atas di Kerajaan Medang. Un-
tuk tetap menjaga wibawanya, dengan cepat dia me-
renggut surat itu dari tangan Jalu Rangkah. Lalu diba-
canya. Hanya sekilas, tidak seluruhnya. Tetapi kesim-
pulannya sudah dipahami. Mapatih memang menu-
gaskan kepada Perwira Tamtama Jalu Rangkah untuk
mengambil alih sarana tugas di Tanjung Penyu selama
kedatangan tamu agung dari Kerajaan Sriwijaya.
“Masih ada waktu untuk membenahi sarana pen-
jemputan sampai kapal yang datang itu merapat kema-
ri,” kata Jalu Rangkah dengan mengawasi Rangga Lu-
rukan yang wajahnya tegang menghadapi hal di luar
dugaannya. “Mulai saat ini kau menjadi bawahanku.
Termasuk pendekar wanita bernama Pusparini itu.”
Rangga Lurukan mengatupkan geraham. Tidak di-
duga bahwa perkembangan keadaan di Tanjung Penyu
sangat menyudutkan dirinya. Ketika dia akan mening-
galkan tempat itu, dilihatnya Pusparini berdiri tak jauh
darinya, di bawah bayangan atap anjungan pengawas.
Tentu saja Pusparini mendengar pula pembicaraan ta-
di. Lalu Rangga Lurukan melanjutkan langkahnya me-
ninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Kapal yang terlihat dari jauh itu benar-benar kapal
dari Kerajaan Sriwijaya. Bentuknya perpaduan dari je-
nis ‘jung’ dan ‘pinisi’. Pada layar utama tergambar
lambang Kerajaan Sriwijaya dengan warna merah dan
kuning, menggambarkan bunga dan sejenis bentuk
‘makara’. Kapal itu menunjukkan kebesaran Kerajaan
Sriwijaya. Panji-panji kebesaran berkibar di berbagai
sudut kapal.
Dengan berdesak orang-orang yang menyambut ta-
mu agung itu berpajang di tepian dermaga. Kapal kian
merapat. Sauh diturunkan. Pagar samping kapal yang
merupakan pintu, dibuka. Tangga penghubung diju-
lurkan mencapai tepi dermaga. Beberapa orang laskar
mengawali turun. Kemudian orang yang ditunggu
muncul.
Dia seorang wanita yang berpakaian serba mewah.
Menurut zamannya, dia berpakaian dengan gaya te-
rakhir, dan sulit untuk dikembari. Pakaiannya perpa-
duan dari gaya Cina dan Sriwijaya setempat. Semua
orang berdecak kagum menyaksikannya.
Tak luput pula adalah Pusparini. Bayangan tentang
keindahan pakaian yang disaksikan itu melambung-
kan khayalnya tentang kehidupan istana yang penuh
gemerlapan. Tidak seperti dirinya yang serba acak-
acakan dengan kemben kuning, jarit, dan celana pen-
dek. Rambutnya pun hanya dikuncir ekor kuda. Tetapi
walaupun begitu Pusparini tidak sadar, justru penam-
pilan macam itu yang membuat sebagian lelaki
‘nggendhengi’, atau tergila-gila. Apalagi kalau mata le-
laki yang ‘ahli’ sudah menilai sosok tubuhnya, dari da-
da, pinggang, pinggul sampai betis tumit kaki Puspari-
ni. Maka semua itu tak membuat bosan bagi mereka
yang kranjingan bentuk keindahan makhluk yang ter-
cipta dari tulang rusuk lelaki.
“Kami semua mengucapkan selamat datang kepada
Putri. Salam sejahtera kami, atas nama Sang Baginda
Raja Prabu Dharmawangsa,” sambut Perwira Tamtama
Jalu Rangkah dengan sopan,
“Atas nama Sang Baginda di Sriwijaya, kami ber-
kunjung untuk mengulas satu masalah yang selama
ini menjadi kendala antara Sriwijaya dan Medang. Ka-
mi menginjak kaki di bumi Medang dengan menabur
salam dari Sang Baginda di Sriwijaya,” kata wanita
yang dipanggil dengan sebutan ‘Putri’ itu.
Setelah tegur sapa secara duta kenegaraan itu be-
rakhir, kemudian Jalu Rangkah mempersilahkan ta-
mu-tamunya untuk menuju ke balai peristirahatan.
Pusparini mengawal dari samping. Sejenak utusan
wanita itu menatap ke arah Pusparini. Ada semacam
tanda tanya yang bercokol dalam benaknya. Pusparini
mencoba tersenyum, tetapi utusan itu tetap membe-
kukan bibirnya.
Di tempat peristirahatan rombongan tamu agung
diperlakukan dengan sambutan kebesaran. Mulai dari
hidangan sampai hiburan ringan yang berupa gending
dan tari, diselenggarakan dengan takaran melebihi dari
biasanya. Tempo hari pernah berlangsung penyambu-
tan tamu agung dari Cina, tetapi suasananya tidak se-
perti ini. Dulu utusan dari Cina membicarakan soal
perdagangan. Tetapi dari Sriwijaya ini menyangkut soal
keberadaan kekuatan kerajaan, yang setiap perselisi-
han pendapat bisa membangkitkan ketegangan tidak
menguntungkan. Dan itu artinya perang!
“Baru kali ini aku berkubang dalam kancah orang
besar,” kata Pusparini kepada Tambi dan Srenggi yang
mendampingi mengawasi keamanan jalannya perja-
muan di balai peristirahatan.
“Jadi mereka akan beristirahat semalam di sini dan
esok harinya melanjutkan perjalanan darat ke Ibukota
Medang?” tanya Srenggi dengan mengunyah ramuan
kinang.
“Ya. Mulai detik ini jangan lengah mengawasi Putri
itu,” jawab Pusparini.
“Siapa nama Putri itu sebenarnya, hah? Apakah
‘Putri’ adalah namanya? Bukan panggilannya?” tanya
Tambi.
“Tadi Jalu Rangkah memberitahu aku bahwa nama
tamu kita adalah Damayanti,” jawab Pusparini yang
tak lepas memandangi tingkah gerak tamu yang harus
dilindungi itu.
Sekilas pandangannya dilemparkan ke arah Rangga
Lurukan yang kini seolah kehilangan kekuasaan den-
gan tampilnya Jalu Rangkah. Rangga Lurukan berada
tidak jauh dari tamu agung bernama Damayanti. Bah-
kan terlihat tamu agung wanita ini banyak melayang-
kan pandang kepada Rangga Lurukan. Tetapi gara-
gara keberadaan Perwira Tamtama Jalu Rangkah, ma-
ka kesempatan berbincang agaknya tersita.
Di samping itu, Pusparini telah membicarakan ten-
tang langkah-langkah yang akan diambil nantinya.
Pertama adalah melindungi tamu agung itu. Kedua
membongkar komplotan yang benar-benar ‘musuh da-
lam selimut’ bagi Kerajaan Medang. Sebab perkemban-
gan peristiwa mengharuskan mereka menilai kebera-
daan beberapa pihak yang hendak mengail di air keruh
dengan kedatangan tamu agung tersebut.
Pertama, tentang kelompok yang dipimpin Ki Jalak
Jenar yang memimpin “Camar Putih”. Kedua, tentang
kelompok wanita bercadar yang belum diketahui rin-
cian jati dirinya. Ketiga, pihak Rangga Lurukan sendiri.
Keempat tentang keberadaan Tunggul Randi yang
menjadi mata-mata ganda.
“Kita akan bingung menghadapi mereka,” jawab
Tambi ketika membicarakan hal itu.
“Tidak usah bingung, Paman. Garis tegas kita ada-
lah membela Kerajaan Medang, dan kita setia kepada
Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa Teguh Anan-
ta–wikrama–tunggadewa,” jawab Pusparini dengan me-
nyebut nama kepanjangan rajanya.
“Iya, dah! Kami yakin kau bisa memilah-milah un-
tuk memutuskan sesuatu. Santiaji yang pernah ditu-
runkan oleh Ki Suswara, pasti bisa dijadikan pedoman
untuk bertindak menghadapi masalah seperti ini,” kata
Srenggi yang semakin memperlihatkan diri sebagai be-
kas murid Padepokan Canggal. Sikap urakan dan ma-
sa depan yang mengambang, kini sirna dari penampi-
lan Tambi dan Srenggi sejak mereka berkenalan den-
gan Pusparini.
“Nanti malam kita perketat pengawasan,” kata Pus-
parini. Lalu angannya melayang tentang pengarahan
Rangga Lurukan di mana dia harus menyamar sebagai
Damayanti. Untuk inilah pada sore harinya dia mene-
mui Rangga Lurukan.
Tetapi apa jawaban yang diperoleh? Ternyata Rang-
ga Lurukan tidak mau tahu lagi dengan rencana men-
jaga keselamatan tamu agung tersebut. Persoalannya
segera dipahami oleh Pusparini. Itu karena wewenang-
nya telah digeser oleh Jalu Rangkah.
Lalu, pada malam harinya, ketika Pusparini sedang
dalam tugas jaganya, dia melihat tamu agung itu be-
rangin-angin di beranda ruang yang disediakan ba-
ginya. Kemunculannya tentu saja mengejutkan Puspa-
rini.
“Jadi tugasmu menjaga keselamatanku?” kata Da-
mayanti, tamu agung itu.
“Benar. Apakah... Gusti memerlukan sesuatu?”
tanya Pusparini dengan bersikap merendahkan diri
penuh sopan santun.
Terlihat senyuman Damayanti. Senyum pertama
yang ditujukan kepadanya. Prasangkanya bahwa wani-
ta ini sombong dan angkuh, sirna dengan penampilan
sikap ini. Pusparini jadi krasan untuk berbicara den-
gannya. Apalagi ketika Damayanti menghendaki agar
Pusparini tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Gusti’.
Awal sekali memang kikuk untuk menganggap Da-
mayanti sebagai ‘orang biasa’. Dia benar-benar tak
mengerti mengapa tamu agung dari Sriwijaya itu bersi-
kap demikian.
“Sejak dari Sriwijaya aku selalu dihadapkan kepada
hal-hal yang sifatnya membatasi gerakku. Semua serba
unggah-ungguh. Saling menghormat. Bicara penuh ke-
sopanan. Menyungging senyum walau hati tertekan.
Oh, aku muak dengan semua itu,” terdengar keluhan
Damayanti seakan mengumbar isi hatinya. Dan itu
memang keluhan dari hati nurani paling dasar. Hanya
sesama wanita yang bisa merasakan hal ini.
“Aku hampir-hampir tak percaya kalau hal itu me-
rupakan bebanmu selama ini,” jawab Pusparini setelah
terlibat pembicaraan panjang sehingga batas antara
abdi dan gusti terdobrak oleh keakraban.
“Sebenarnya aku hanya mewakili ayahku. Beliau
wafat empat bulan yang lalu karena sakit. Ayah mewa-
riskan jabatannya kepadaku dan hal itu disetujui oleh
Baginda Sri Udayadityawarman. Akulah salah seorang
duta dari Kerajaan Sriwijaya yang termuda, dan wanita
satu-satunya,” kata Damayanti. “Selama menjabat du-
ta ini, sudah dua kali aku melanglang ke mancanega-
ra. Pertama kali ke negeri Cina. Kedua kalinya ke Jawa
Dwipa ini, ke Kerajaan Medang.”
“Apakah tugas itu berat? Bukankah hal itu hanya
menyampaikan pesan raja?” kata Pusparini sambil
menerima tawaran minum yang diajukan oleh Da-
mayanti.
Sikap ini semakin menumbuhkan rasa simpati ke-
pada tamu agung yang ternyata memiliki sifat mera-
kyat. Bagaimana mungkin sikap seperti ini bisa me-
numbuhkan peperangan antara Sriwijaya dengan Me-
dang seandainya dalam pembicaraan nantinya tidak
membuahkan kesepakatan?
“Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?” tanya
Pusparini berlanjut ketika hal itu memenuhi benaknya.
“Tentang apa?”
“Keselamatan dirimu!”
“Keselamatan diriku?”
“Ya! Apakah kau tidak khawatir terhadap orang-
orang yang mungkin bisa membunuhmu? Aku men-
dengar berita bahwa kedatanganmu ke Medang banyak
mengundang bahaya. Itu sebabnya kami mengadakan
pengawalan yang ketat terhadap kedatanganmu,” kata
Pusparini.
Ucapan ini rupanya tidak menimbulkan perubahan
sikap Damayanti yang semula dikhawatirkan oleh
Pusparini. Tampaknya hal seperti itu sudah disadari
sebagai beban yang harus ditanggungnya.
“Beban itu aku tahu. Semasa hidupnya, ayah sering
bercerita kepadaku tentang tugas-tugas yang diem-
bannya. Termasuk ancaman marabahaya yang sewak-
tu-waktu bisa merenggut nyawa,” jawab Damayanti.
“Seharusnya aku menyamar sebagai dirimu dalam
perjalanan darat menuju Ibukota Medang,” kata Pus-
parini memperjelas tugasnya.
“O ya? Untuk mengelabuhi orang bertindak jahat,
maksudmu?” kata Damayanti dengan pandangan tak
percaya terhadap omongan Pusparini. “Mengapa Perwi-
ra Tamtama Jalu Rangkah tidak menjelaskan kepada-
ku?”
“Tentu saja tidak. Tetapi... sudahlah. Kau tak perlu
cemas dengan keadaan ini. Yang penting, besok kau
akan diberangkatkan melewati jalur lain. Sedangkan
jalan yang diperuntukkan bagi tamu agung menuju
Ibukota Medang, akulah yang akan mengisi. Oleh se-
bab itu... mungkin kau tak keberatan kalau beberapa
pakaianmu kupinjam.”
Damayanti menggeleng. “Tidak! Aku tak mau cara
seperti itu. Kuharap kau melaporkan kepada Perwira
Tamtama atau kepada siapa saja yang berwenang me-
rencanakan tugas seperti itu, bahwa aku tak sudi di-
perlakukan dengan tindak penyelamatan penyamaran
dengan cara kebocahan.”
“Cara kebocahan? Ini demi keselamatanmu!” kata
Pusparini yang begitu heran dengan ucapan Damayan-
ti yang kedengarannya berubah jadi garang.
“Cara menjaga keselamatan cukup dengan menja-
gaku. Jangan memakai cara seperti itu. Aku sangat ti-
dak suka,” kata Damayanti mulai kelihatan sifat ke-
tusnya.
Pusparini sempat dibuat heran dengan sikap yang
berubah ini. Apakah itu semacam harga diri? Apakah
orang-orang Sriwijaya pantang dengan cara penjagaan
tamu agung yang katanya bersifat kebocahan? Ru-
panya pihak Sriwijaya mau menguji sampai di mana
kemampuan laskar Medang dalam menghadapi tan-
tangan menyambut tamu agung dari mancanegara.
“Baik, kalau hal itu tidak berkenan di hati gusti,”
kata Pusparini dengan meninggalkan tempat itu. Kata
‘gusti’ sengaja dia tampilkan lagi mengingat Damayanti
memperlihatkan kekuasaannya kembali.
“Pusparini!” seru Damayanti mencegah langkah
Pusparini yang hampir lenyap dari balik pintu.
Pusparini menghentikan langkah dan memandang
kepada Damayanti. Terasa pandangan Pusparini san-
gat menyengat tidak mengenakkan. Terjadi ketegangan
sesaat.
“Aku masih membutuhkan bantuanmu. Tetapi jan-
gan dengan cara seperti itu,” kata Damayanti mencoba
ramah kembali.
Tetapi Pusparini cepat menghilang dari balik pintu.
Damayanti termenung. Dia mencoba memahami si-
kap Pusparini. Lalu sesungging senyum menghias bi-
birnya. Sayang tak ada yang melihat senyum itu. Se-
bab pada penampilan wajahnya tiba-tiba itu tercermin
perangai bengis, menenggelamkan paras ayunya.
***
ENAM
Semua yang direncanakan oleh Rangga Lurukan
buyar berantakan. Pusparini tidak jadi menyamar se-
bagai tamu agung. Dan pagi harinya orang-orang di-
buat sibuk untuk mencari Rangga Lurukan yang kini
tidak terlihat keberadaannya. Padahal dia harus mele-
pas tamu agung yang meninggalkan Tanjung Penyu
untuk menuju Ibukota Medang yang memakan waktu
dua hari perjalanan darat ke arah selatan.
“Aku tak mau keberangkatan tamu agung kita ter-
tunda gara-gara kepergian Rangga Lurukan,” kata Jalu
Rangkah di atas kudanya. “Kita berangkat sekarang!”
Maka berangkatlah rombongan itu. Sebuah tandu
yang dipikul delapan orang bermuatan Putri Damayan-
ti, sang tamu agung. Tandu terukir indah dengan para
pemikul masing-masing empat orang di sebelah kanan
dan kiri secara memanjang, dikawal dengan ketat dan
rapi oleh laskar Medang. Sedangkan anggota tamu
agung yang juga disertai laskar Sriwijaya, hanya terdiri
dari sepuluh orang saja. Itupun yang empat orang ter-
diri dari pejabat pendamping.
“Mengapa kau memilih berada di belakang?” tanya
Tambi kepada Pusparini setelah iring-iringan keluar
dari perbatasan Tanjung Penyu.
Pusparini yang diapit Tambi dan Srenggi, ketiganya
berkuda dan berada di belakang barisan.
“Namanya saja pengawal. Tempatnya ya harus di
belakang,” jawab Pusparini yang berniat memancing
senda gurau. “Hitung-hitung kita ini ‘kawula cilik’, apa
pantas harus pethitha-pethithi di depan tamu agung?”
Srenggi menggarami dengan ketawa. Sedangkan
Tambi hanya nyengir. Mereka berseloroh tentang kebe-
radaannya yang tampaknya kini jadi pelengkap saja.
Rupanya keadaan telah berubah di luar dugaan. Juga
tentang kepergian Rangga Lurukan yang tanpa diketa-
hui kemana rimbanya.
Tentang hal ini hanya Pusparini yang bisa memasti-
kan, bahwa Rangga Lurukan kemungkinan besar tidak
pergi dengan niatnya sendiri. Tetapi dia diculik. Pasti
diculik oleh orang-orang yang tempo hari bentrok den-
gannya. Mereka adalah orang-orang bercadar, dan sa-
lah seorang di antaranya terdapat Tunggul Randi. Me-
mang banyak hal-hal yang bersimpang siur perihal pi-
hak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari
kedatangan tamu agung ini.
“Jadi kau memilih barisan di belakang ini juga
hanya untuk melamun?” tanya Srenggi.
Pusparini tergagap kaget. Dia sekilas memang ter-
hanyut lamunan memikirkan peristiwa yang sedang
dihadapi.
“Aku memikirkan Rangga Lurukan,” jawab Puspari-
ni.
“Memangnya ada perlunya memikirkan orang sema-
cam dia?” kata Tambi.
“Tentu Paman setuju dengan pendapatku bahwa hi-
langnya Rangga Lurukan karena dia diculik!”
“Cocok sekali. Aku pun punya dugaan begitu. Bu-
kankah beberapa waktu yang lalu kita bentrok dengan
orang-orang bercadar yang mencoba menculik di-
rinya?” jawab Tambi.
“Kesimpulannya sekarang, ada dua pihak yang per-
lu diwaspadai. Kelompok orang bercadar dan kelompok
‘Camar Putih’ pimpinan Ki Jalak Jenar,” jawab Puspa-
rini.
“Ah. Aku lebih setuju kalau kita tidak berpusing-
pusing memikirkan mereka. Tugas kita hanya men-
gawal tamu agung ini. Titik. Sampai di Ibukota Me-
dang, tugas selesai. Titik. Dan kita bebas pergi. Titik!”
jawab Srenggi yang senang memancing guyonan. Lain
sekali perangainya ketika pertama kali baru berkena-
lan dengan Pusparini.
Pembicaraan mereka memang kemudian beralih ke
hal lain. Mereka mengobrol tentang upah jerih payah
dalam tugas pengawalan ini. Tambi dan Srenggi me-
rencanakan untuk ‘tirah’ atau berkunjung ke Padepo-
kan Canggal setelah tugas selesai.
***
Ketika perjalanan sampai di Desa Gambiran, mere-
ka beristirahat. Hari memang telah senja. Rombongan
menuju ke tempat peristirahatan di rumah kepala de-
sa. Kedatangan tamu agung disambut dengan jamuan
yang telah disediakan. Daerah itu memang tempat per-
singgahan bagi perjalanan menuju Ibukota Medang
yang berawal dari Tanjung Penyu.
Ini bukan berarti pengawalan jadi lengah. Bahkan
lebih ketat dan berhati-hati. Seperti halnya malam itu,
ketika semua beristirahat melepaskan lelah setelah
menikmati perjamuan. Pusparini mengambil prakarsa
nangkring lagi di atas wuwungan. Suatu cara yang pal-
ing disukai untuk bisa mengawasi tempat di sekitar-
nya.
Apakah mentang-mentang dia seorang pendekar
bergelar Walet Emas maka mempunyai kebiasaan se-
perti itu? Kiranya tidak. Hal itu melihat suasananya.
Seperti keadaan malam ini di mana tempat penginapan
tamu agung itu mudah sekali menjadi sasaran seran-
gan orang-orang yang berniat jahat. Menurut keteran-
gan Jalu Rangkah, tempat menginapnya setiap tamu
agung tidak di rumah itu. Tetapi karena bangunan
yang biasa dipergunakan telah terbakar seminggu yang
lalu, maka terpaksa dipindahkan ke sebuah rumah
joglo yang biasa dipergunakan sebagai balai persidan-
gan desa. Tentu saja bangunan itu dibenahi sedemi-
kian rupa sehingga layak untuk penginapan seorang
tamu agung.
Tetapi justru hal itulah yang membuat Pusparini
bersikap waspada. Karena keberadaan rumah joglo itu
keamanannya jadi rawan. Dinding-dindingnya mudah
diterobos. Sepertinya ada niat untuk menjadikan tamu
agung agar diinapkan di rumah joglo dengan sengaja
membakar rumah penginapan yang sarananya aman.
“Hm! Kalau bocah ingusan pasti tak berpikir ten-
tang hal ini,” kata Pusparini dalam hati. “Pasti ada
tangan-tangan jahil yang membakar rumah itu, dan
kedatangan tamu agung memang ditunggu di tempat
ini... untuk dicelakakan!”
Dan penjagaan itu memang dilakukan oleh Puspa-
rini tanpa setahu Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama.
Sedangkan Tambi dan Srenggi telah ditugaskan men-
jaga jalur masuk dan keluar gerbang rumah kepala de-
sa.
Walaupun pihak Jalu Rangkah sendiri telah menge-
rahkan laskarnya untuk menjaga keamanan, tetapi
Pusparini mempunyai cara lain memperketat kewaspa-
daan. Sepertinya Pusparini tidak percaya dengan pihak
lain, walaupun itu terdiri dari laskar Medang sendiri.
Siapa tahu bahwa di antaranya terdapat musuh dalam
selimut yang justru di depan hidung sendiri.
Selagi termenung itulah, maka tiba-tiba Pusparini
menangkap bunyi desiran ke arahnya. Tak ayal lagi,
ternyata sebuah pisau terbang melesat dari kegelapan
menuju ke arahnya. Pusparini berkelit dengan lompa-
tan ringan agar tidak menimbulkan perhatian. Gera-
kannya bagai sehelai daun runtuh dari tangkai, tetapi
sulit ditebak ke mana arah jatuhnya. Begitu gemulai,
seakan-akan memperolok pihak penyerang.
Pusparini tahu bahwa pihak penyerang tidak hanya
sekali melakukan serangan setelah serangan perta-
manya luput. Dugaannya benar. Serangan berikutnya
terjadi. Tetapi untuk kesekian kalinya berhasil dihin-
dari. Bahkan sebuah pisau berhasil ditangkap dan di-
lemparkan ke arah lawan yang berada dalam kegela-
pan. Kalau sang lawan lengah, pasti kena.
Pusparini sadar bahwa serangan balasannya tidak
mengenai sasaran. Bukan berarti kurang trampil.
Hikmahnya bisa didapat saat berikutnya. Terlihat sang
lawan mencoba bergerak memperbaiki posisi. Justru
hal ini cepat dipahami Pusparini yang dengan cepat
melemparkan senjata rahasianya sendiri.
“Akh!” terdengar suara aduhan tertahan.
Terlihat tubuh lawan limbung dari persembunyian-
nya di dahan pohon. Tetapi sesampai di tanah dia me-
larikan diri. Pusparini berusaha mengejar. Walaupun
dalam keadaan terluka, sang lawan masih mampu ber-
lari dengan gesit.
“Aku harus bisa menangkapnya untuk mengorek
keterangan,” pikir Pusparini dengan mempercepat
langkahnya.
Kegelapan ditrobos. Dia yakin gerak lawan itu berla-
ri terus menuju arah barat. Hanya beberapa tombak
dia akan berhasil menjangkau lawannya. Ketika diper-
kirakan mampu, Pusparini melompat. Tangannya ber-
hasil mencekal leher lawan. Tetapi aneh. Mendadak
yang dipegang serba dingin dan licin. Ketika diperiksa
ternyata gedebok batang pisang!
“Keparat! Ilmu apa ini?” gerutu Pusparini sambil
mencampakkan batang pisang itu.
Saat itu juga terdengar suara tawa. Jelas sekali
bahwa yang punya suara adalah seorang wanita. Suara
gemanya memantul ke berbagai penjuru. Tetapi berkat
pengamatan terlatih, Pusparini bisa mengetahui arah
yang pasti datangnya suara itu. Orang itu berdiri dekat
pohon besar.
Tanpa membuang waktu lagi Pusparini melesat ke
arah orang itu. Pedang Merapi Dahananya langsung
dicabut. Gebrakan serangannya melaju dengan pesat.
Ini gara-gara dia merasa terkecoh oleh ‘permainan’ la-
wan yang diduga memiliki ilmu sihir, atau apapun na-
manya.
Serangan Pusparini disambut dengan perlawanan.
Pada saat itulah dia tahu bahwa lawan yang dihadapi
adalah wanita yang bercadar. Pedang Merapi Daha-
nanya memang tidak seampuh kalau dipergunakan
pada saat siang hari di mana matahari bersinar cerah.
Walaupun begitu Pusparini tetap gencar menyerang
lawannya. Dia memang ingin menguak teka-teki sela-
ma ini untuk mengungkap musuh dalam selimut.
Di lain pihak wanita bercadar itu tak kurang ga-
rangnya menghadapi Pusparini. Pedangnya berkelebat
mencari sasaran. Jelas sekali bahwa dia sangat men-
guasai ilmu pedang. Sabetan yang tampaknya sekali,
ternyata merupakan serangan ganda sehingga nyaris
membobolkan pertahanan Pusparini. Kemudian sete-
lah menyadari siasat lawan, Pusparini merubah jurus
serangan. Dia membuat gerak tipu sehingga lawan ter-
seret menyerang ke arah itu. Tidak tahunya dengan
cepat dialihkan ke bagian lain. Baru pada tindak per-
tama saja Pusparini telah berhasil menjambret cadar
lawan dengan ujung pedangnya.
Cadar tersingkap. Dalam keremangan malam lewat
cahaya bulan di langit, Pusparini bisa mengenali wajah
itu. Detak jantungnya bergetar lebih cepat ketika dis-
adari siapa lawannya itu.
“Damayanti?! Tamu agung dari Sriwijaya?!” seru
Pusparini dengan suara tertahan.
Saat lengah sekejap ini cukup memberi peluang ba-
gi lawannya mengirimkan serangan. Sebuah sambaran
pedang membabat lengan Pusparini. Dia tak sempat
mengaduh sebab disusul tendangan kaki lawan meng-
hunjam ke perutnya. Tubuh Pusparini mencelat ke be-
lakang.
Maunya sang lawan dengan keadaan ini dia akan
dengan mudah bisa melancarkan serangan dengan tu-
sukan pedang. Tetapi sebelum dia bertindak lebih lan-
jut, tiba-tiba tubuh wanita itu menggeliat dengan sem-
buran aduhan tertahan. Itu karena lehernya tertembus
bilah pedang dilemparkan. Pedang Merapi Dahana!
Dan tubuh itu roboh diiringi suara mengerikan, seperti
kambing disembelih.
Pusparini nyaris menjerit histeris. Tetapi tangannya
cepat menutup mulutnya sendiri. Betapa tidak. Sebab
dia merasa telah membunuh tamu agung itu. Seha-
rusnya sewaktu wanita itu hendak menyerang lagi, dia
bertindak berkelit sehingga kematian fatal itu tak ter-
jadi. Tetapi bagaimana kalau lawannya terus membabi
buta melancarkan serangan sehingga dirinya sendiri
yang tewas?
Dengan tabah Pusparini mencoba menenangkan di-
rinya. Dia beranjak untuk memeriksa wanita itu yang
kini menggeletak tak bergerak lagi. Pedang Merapi Da-
hana dicabut dari leher lawannya. Lalu dengan teliti
diawasi wajah itu.
Tiba-tiba ada sesuatu yang mencurigakan. Wajah
itu terkelupas. Artinya, ada yang lepas dari wajah itu.
Ketika dipegang, ternyata sebuah topeng menutup wa-
jah aslinya. Topeng direnggutkan, dan kini terlihat wa-
jah yang bukan wajah tamu agung. Tetapi wajah orang
lain yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sedang-
kan topeng itu adalah bentuk topeng yang mirip wajah
tamu agung dari Sriwijaya. Topeng itu terbuat dari ku-
lit yang cara pembuatannya bisa dinilai sebagai karya
seni yang agung.
Pusparini cepat memutuskan untuk melaporkan hal
ini kepada Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama. Len-
gannya yang berdarah segera dibalut dengan ikat ping-
gangnya yang berbentuk selendang kecil. Tetapi baru
saja dia menapakkan kaki untuk bergerak cepat, ada
sosok tubuh lain yang menghadang jalan.
Pusparini siap siaga. Dia tak mau ambil resiko un-
tuk berlama-lama menghadapi lawan dengan tangan
kosong yang biasanya dipergunakan menjajagi lawan
sebelum serangan utama dilancarkan. Saat ini waktu
sangat berharga. Melihat sosok tubuh itu, langsung
Pusparini menyerang. Tetapi tampaknya lawan yang
diserang berkelit tanpa mengadakan perlawanan. Bah-
kan terdengar teguran, “Hentikan!”
Pusparini tidak mengindahkan seruan itu. Pedang-
nya dibabatkan ke arah lambung lawan. Orang yang
diserang dengan lincah mengelak. Kegelapan agak me-
nebal, sebab bulan dihalangi awan yang berarak ke ti-
mur.
“Aku Tunggul Randi!” seru orang itu.
Pusparini menghentikan serangannya, tetapi ke-
waspadaan tetap terjaga.
“Kau Tunggul Randi?” seru Pusparini. “Kau bersa-
ma orang-orang bercadar menyerbu kemari?”
“Tenang! Aku ingin berbicara sebagai pihak yang ti-
dak bermusuhan denganmu. Kulihat kau telah berha-
sil menewaskan Dyah Kumpi,” kata Tunggul Randi.
“Dia...? Dyah Kumpi? Siapa Dyah Kumpi?!” tanya
Pusparini.
“Aku sudah pernah bercerita kepadamu tentang
wanita yang memberi mantera kepadaku sehingga aku
harus setia kepadanya,” jawab Tunggul Randi.
Bulan bersih dari halangan awan. Kini Pusparini
dengan jelas bisa melihat sosok Tunggul Randi.
“Kau tahu bahwa Dyah Kumpi menyamar dirinya
sebagai... wajah tamu agung dari Sriwijaya?” tanya
Pusparini.
“Tahu! Dan itu baru dilakukan malam ini. Sebenar-
nya dia hendak menyusup ke dalam kamar tamu
agung itu,” jawab Tunggul Randi.
“Hendak membunuh Putri Damayanti, tamu agung
itu?”
“Tidak!”
“Lalu untuk apa?”
“Aku sendiri belum berhasil mengorek keterangan
itu,” jawab Tunggul Randi. “Yang jelas, antara Dyah
Kumpi dan Putri Damayanti sebenarnya ada hubungan
kerja sama. Kau tahu, Dyah Kumpi adalah kawula
Sriwijaya yang menyusup ke Medang.”
“Jadi begitu? Bagaimana dengan hilangnya Rangga
Lurukan?” tanya Pusparini tidak srantan.
“Orang-orang Dyah Kumpi telah menculiknya sete-
lah pesta penyambutan tamu agung itu.”
“Bicaramu mulai menarik perhatianku, Tunggul
Randi. Sebenarnya kau ini bekerja untuk siapa, hah?
Untuk kelompok Ki Jalak Jenar dengan ‘Camar Putih’
nya?”.
“Aku tak menyalahkan dirimu kalau bimbang ter-
hadap diriku. Semula kau bisa menyimpulkan bahwa
aku mata-mata ganda, berbuat untuk pihak yang
menguntungkan. Tetapi sebenarnya aku ‘telik sandi’,
mata-mata dari Kerajaan Medang sendiri. Langsung di
bawah perintah Mapatih Satyawacana, Dewan Penasi-
hat Raja. Ini tanda pengenalku,” kata Tunggul Randi
sambil mengeluarkan sekeping logam yang diikat ran-
tai halus.
Bulan membantu Pusparini meneliti benda itu. Ter-
tera simbol Kerajaan Medang di sisi satunya. Sedang-
kan sisi yang lain menyebutkan tentang jabatan yang
diemban Tunggul Randi.
“Kalau ada cahaya lebih terang, kau bisa membaca
namaku di kepingan logam tanda pengenal itu,” kata
Tunggul Randi lagi.
“Tetapi mengapa kau sampai disandera oleh Dyah
Kumpi?”
“Dia berhasil mengetahui siapa diriku. Dengan ran-
jau mantera ditulis pada tubuhku, aku bagaikan ker-
bau tercocok hidung saja. Aku diperintahkan menyu-
sup ke dalam kelompok Ki Jalak Jenar. Itulah cerita
yang sesungguhnya tentang anggapan diriku sebagai
telik sandi ganda.”
“Terima kasih! Berarti dengan tewasnya Dyah Kum-
pi mantera di tubuhmu telah sirna. Begitu?” kata Pus-
parini.
“Ya. Kini aku bisa berjalan pada tugas semula. Tu-
gasku memang untuk melacak pihak-pihak yang men-
jadi musuh pemerintah Medang. Terutama yang dis-
ebut ‘musuh dalam selimut’ itu.”
“Artinya... pihak Ki Jalak Jenar dengan ‘Camar Pu-
tihnya’ bukan lawan yang memusuhi raja?” tanya Pus-
parini mencoba mendapatkan kepastian, walaupun hal
itu pernah diungkap oleh Ki Jalak Jenar sendiri.
“Ki Jalak Jenar adalah kelompok yang ‘bersih’. Ten-
tang Rangga Lurukan memang perlu dicurigai,” kata
Tunggul Randi. “Dyah Kumpi menculiknya hanya un-
tuk menagih pertanggungan jawab tentang persekong-
kolannya untuk melumpuhkan perdagangan Kerajaan
Medang yang dimasukkan lewat Tanjung Penyu.”
Sebenarnya Pusparini ingin tahu lebih banyak ten-
tang cerita Tunggul Randi. Tetapi tiba-tiba terlihat bias
cahaya merah di sebelah timur.
“Kebakaran! Mereka telah bertindak!” kata Tunggul
Randi dengan beranjak dari tempat itu.
Pusparini mengekor di belakang. Mereka menuju
pemukiman tamu agung.
***
TUJUH
Kebakaran memang sedang berkobar di pemukiman
kepala desa Gambiran. Terutama pada bangunan joglo
tempat tamu agung bermalam. Kebakaran berkembang
ke bangunan lain. Bentrokan berkecamuk. Rupanya
laskar Medang di bawah pimpinan Perwira Tamtama
Jalu Rangkah sedang baku hantam dengan orang-
orang bercadar di bawah pimpinan Dyah Kumpi. Tetapi
mereka tidak tahu bahwa Dyah Kumpi sendiri telah
tewas.
Ini merupakan hal yang aneh. Biasanya kematian
pemimpin membuat kendor semangat anak buahnya.
Di sini terlihat orang-orang bercadar itu masih sigap
menghadapi laskar pemerintah Medang.
“Mereka masih kompak. Bagaimana itu bisa terja-
di?” tanya Pusparini sesampai di sana, tanpa berniat
untuk melibatkan diri dalam bentrokan berdarah itu.
“Sepertinya kau belum paham dengan keadaan ini.
Mereka patuh pada Dewi Selaksa Racun!” Tunggul
Randi memberi jawaban.
“Dewi Selaksa Racun? Siapa lagi itu?” tanya Puspa-
rini penasaran.
Topeng wajah tamu agung masih tetap dipegangnya.
Pedang Merapi Dahana telah disimpan ke dalam sa-
rungnya yang bertengger di punggung. Letak pedang-
nya diatur sedemikian rupa sehingga mudah dicabut
dengan gerakan cepat.
“Dewi Selaksa Racun adalah gelar Putri Damayanti,
sang tamu agung itu!” jawab Tunggul Randi dengan
membayangkan bahwa sebutan itu pasti sangat men-
gejutkan Pusparini. Dan itu memang benar.
“Mengerikan sekali namanya,” tanggapan Pusparini
dengan memandang topeng wajah Damayanti alias
Dewi Selaksa Racun. “Tampaknya kedatangannya ke-
mari bukan untuk sebagai duta Kerajaan Sriwijaya.”
“Memang tidak! Begitu tiba di istana, dia akan
membunuh Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa!”
jawab Tunggul Randi.
Perasaan Pusparini bergetar mendengar penjelasan
yang semakin rinci. Tentu saja hal itu berkat kebera-
daan Tunggul Randi selama dia berada dalam kelom-
pok Dyah Kumpi. Tak percuma Tunggul Randi menjadi
anggota kelompok itu walaupun dalam keadaan ter-
sandera ranjau mantera. Dan mantera itu begitu am-
puhnya, yang meliputi bisa mendatangkan maut kalau
sampai Tunggul Randi membeberkan apa yang diketa-
hui tentang komplotan Dyah Kumpi.
“Kalau begitu kita harus memberitahukan hal ini
kepada Jalu Rangkah,” kata Pusparini sambil mele-
satkan diri ke kancah pergolakan.
Tunggul Randi terpaksa mengekor di belakangnya
walaupun dia sebenarnya lebih memiliki wewenang
menghubungi Jalu Rangkah. Sementara dia melang-
kah di belakang Pusparini, sempat dipesankan agar ti-
dak mengatakan peranan dirinya kepada Jalu Rang-
kah. Ketika Pusparini menanyakan sebabnya, Tunggul
Randi memberitahukan bahwa itu merupakan seba-
gian tugas agar laskar pemerintah Medang sendiri ti-
dak mengetahui siapa dia sebenarnya.
Begitulah. Ketika Pusparini sibuk mencari Perwira
Tamtama Jalu Rangkah, maka Tunggul Randi memi-
sahkan diri tanpa setahu dirinya.
Bentrokan antara laskar Medang di bawah pimpi-
nan Jalu Rangkah dengan kelompok orang-orang ber-
cadar masih berlangsung dengan seru.
Tiba-tiba Pusparini melihat Putri Damayanti, si ta-
mu agung, yang punya gelar ‘Dewi Selaksa Racun’.
Tamu agung itu tampak tenang menyaksikan hiruk-
pikuk di sekitarnya. Di sampingnya berdiri empat
orang pembantunya. Kelima orang itu sepertinya tidak
terganggu oleh pihak-pihak yang saling bentrok. Tentu
saja, sebab orang-orang bercadar itu memang seku-
tunya.
Di lain pihak, laskar Medang belum mengetahui pe-
ranan Putri Damayanti. Mereka masih menganggap
sebagai tamu yang harus dijaga keselamatannya.
Pusparini mengamati dari kejauhan di balik sudut
rumah. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh
tamu agung itu. Dalam pengamatan ini mendadak ter-
lihat Tambi mendekati Putri Damayanti. Rupanya
Tambi berusaha melindungi tamu agungnya.
“Putri! Bersembunyilah! Orang-orang bercadar itu
tampaknya jumlahnya kian bertambah. Entah dari
mana datangnya mereka,” seru Tambi.
Putri Damayanti hanya melempar senyum. Kebaka-
ran yang berkobar di sana memungkinkan keadaan
terlihat dengan nyata. Tambi tetap siap siaga, menjaga
kalau-kalau ada lawan yang mendekat ke arah tamu
agung.
Tambi melihat bahwa Putri Damayanti mendekat
kepadanya. Rasa harga dirinya melonjak. Tambi mera-
sa bahwa tamu agung itu minta dilindungi dari mara-
bahaya.
“Putri lebih baik berada di dekat saya. Jangan jauh-
jauh,” kata Tambi tanpa melihat wanita itu yang kian
mendekat.
Yang dirasakan Tambi kemudian adalah sentuhan
tangan Putri Damayanti yang memegang bahunya.
Agak kaget dia. Dan hal itu dibiarkan saja. Nyaman ra-
sanya kalau ada seorang wanita ingin minta perlin-
dungan. Itu kalau wajar. Yang tidak wajar adalah
renggutan tangan Putri Damayanti yang dirasakan se-
makin kuat mencekal bahunya. Itu bukan sekedar
sentuhan. Tetapi serangan tenaga dalam!
“Aakhh... Pp... Putri! Apa yang Putri lakukan ini?”
seru Tambi sambil menyeringai kejang. Disusul mata
yang melotot, semua membuat penampilan wajah
Tambi jadi berubah. Otot-otot wajahnya menyembul
keluar. Roman mukanya jadi merah seperti udang di-
rebus. Dan sesaat kemudian otot-otot yang kelihatan
itu pecah. Darah menyembur. Mata, hidung dan mulut
mengeluarkan darah!
Pusparini yang menyaksikan dari jauh menahan di-
ri untuk tidak bertindak walaupun untuk itu terpaksa
mengorbankan Tambi. Dia ingin tahu sejauh mana il-
mu simpanan Dewi Selaksa Racun yang berperan se-
bagai tamu agung dari Sriwijaya.
Kemudian terlihat tubuh Tambi dicampakkan sete-
lah sekujur tubuh itu berlumur darah yang keluar dari
delapan lubang pelepasan.
Perasaan Pusparini menggelegak. Dia membayang-
kan apa jadinya kalau wanita itu turun ke gelanggang
menangani laskar Medang.
“Cari Perwira Tamtama itu” terdengar ucapan Putri
Damayanti kepada empat orang pembantunya.
Empat orang itu dikenal dengan nama masing-
masing Rake Pagaresi, Rake Kalungwarak, Rake Lam-
pi, Rake Sikhalan. Mereka bergerak menyebar.
Sementara itu Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-
dang menghadapi lawan yang mengepung dirinya. Di
sampingnya terdapat Srenggi, yang dengan susah
payah membantu Jalu Rangkah.
“Di mana Pusparini?” seru Jalu Rangkah kepada
Srenggi.
“Entahlah. Tampaknya dia pun sedang menangani
seorang lawan yang dikejarnya ke arah barat,” jawab
Srenggi sambil membabatkan pedang kepada lawan-
nya.
Kena! Sang lawan roboh. Disusul serangan dari
yang lain. Tetapi kali ini membutuhkan tenaga tamba-
han karena lawannya lebih trampil dengan gerak ber-
kelit. Sedangkan Srenggi yang perawakannya agak
gendut sangat sulit untuk bergerak lincah. Tetapi teba-
san sambaran pedangnya memiliki tenaga kuat.
Tiba-tiba Jalu Rangkah melihat empat pejabat tamu
agung Sriwijaya muncul. Semula Jalu Rangkah akan
memberi peringatan agar bersikap hati-hati. Tetapi di-
lihatnya orang-orang bercadar yang kebetulan lewat di
samping mereka, tidak bertindak apa-apa.
Serentak keempat orang itu datang mendekat, maka
orang-orang bercadar yang mengroyok Jalu Rangkah
dan Srenggi pada mundur. Ini merupakan keanehan
lagi, yang akhirnya menebalkan kecurigaan bahwa ada
yang tidak beres dengan keadaan yang sedang ber-
langsung di sana.
“Perwira Tamtama Jalu Rangkah! Putri Damayanti
memanggilmu!” kata salah seorang yang bernama Rake
Pagaresi.
“Katakan dulu, apa sebenarnya yang telah terjadi?
Mengapa orang-orang bercadar itu tidak menyerang
kalian?” kata Jalu Rangkah.
“Mengapa kau sulit untuk mengerti?” jawab Rake
Pagaresi.
“Jadi... orang-orang bercadar itu... sekutu kalian?”
“Lebih baik kau bicarakan dengan Putri Damayanti.
Dia sedang menunggumu.”
Jalu Rangkah ragu-ragu bertindak. Benarkah yang
didengar itu? Rasanya seperti mimpi. Semua di luar
dugaan. Semua santiaji, pesan-pesan, yang diperoleh
dari Mapatih Satyawacana memang ada benarnya
bahwa saat ini sedang terjadi penyusupan besar-
besaran dari pihak Sriwijaya yang hendak menggem-
pur Medang. Dia mencurigai Rangga Lurukan sebagai
penguasa muda syahbandar sebagai jalur lawan. Teta-
pi kenyataannya hal yang dikhawatirkan tiba-tiba ber-
cokol di depan matanya di luar dugaan.
“Ayo. Kau tak perlu memikirkan anak buahmu. Se-
bentar lagi mereka kalah. Sedangkan kau masih punya
peluang untuk hidup kalau menuruti kemauan Putri
Damayanti,” kata Rake Pagaresi.
Jalu Rangkah memandang kepada Srenggi. Kedua
orang ini saling berpandangan. Lalu seperti ada kese-
pakatan, mereka berdua melangkah mengikuti perin-
tah keempat orang itu.
Putri Damayanti terlihat menunggu kedatangan me-
reka setelah pertemuan itu terjadi. Dengan enggan dan
ragu Jalu Rangkah mendekat ke arah putri tamu
agung.
“Kuharap kau tidak menganggap hal ini sebagai
mimpi,” kata Putri Damayanti dengan pandangan din-
gin. “Kisahnya telah berubah. Tetapi aku menghendaki
kau tetap hidup. Jangan paksa aku melakukan hal-hal
yang tak kau kehendaki.”
Pandangan Putri Damayanti beralih ke sosok tubuh
yang terkapar di tanah. Hal ini menyeret pandangan
Jalu Rangkah dan Srenggi. Dan Srenggilah orang yang
bergetar perasaannya ketika menyaksikan sosok tubuh
itu.
“Tambi!” serunya sambil menubruk tubuh yang
menggeletak di tanah.
“Itu sekedar contoh!” kata Putri Damayanti.
“Kau... harus menebus dengan nyawamu!” seru
Srenggi sambil menubruk wanita yang punya gelar
Dewi Selaksa Racun itu.
Srenggi bertindak tanpa perhitungan. Tidak mem-
perhitungkan lagi keberadaan wanita itu sebagai tamu
agung, dan tidak peduli tentang seberapa kemampuan
orang yang telah membuat Tambi menemui ajal. Se-
dangkan Jalu Rangkah tak bisa berbuat banyak kare-
na dirinya setelah diancam dengan pedang oleh Rake
Sikhalan.
Srenggi menubruk wanita itu, tetapi dengan tang-
kas tangan si wanita menyambar lengannya. Kontan
Srenggi menjerit. Tubuhnya bergetar bagaikan teraliri
arus listrik. Tubuh Srenggi berasap dan kulitnya
menghitam kering!
Semua itu tetap dalam pengamatan Pusparini dari
persembunyiannya di balik sudut rumah. Perasaan
Pusparini bergidik menyaksikan tindakan Dewi Selak-
sa Racun. Tindakannya seperti sepele, tetapi akibatnya
sangat fatal!
“Bagaimana?” kata Putri Damayanti kepada Jalu
Rangkah dengan mencampakkan tubuh Srenggi yang
telah jadi arang.
“Apa maumu?” Jalu Rangkah baru bisa mengelua-
rkan ucapannya setelah membisu beberapa saat.
“Kau tetap pada jabatanmu. Bantu aku memasuki
istana Medang untuk menghadap raja. Dan orang-
orangku menyamar sebagai laskarmu. Kujamin kau te-
tap panjang umur selama kau tunduk pada perintah-
ku!” kata Putri Damayanti.
Jalu Rangkah mengamati wajah wanita tamu agung
yang semula dihormati. Dan pandangan mata wanita
itu balik mengawasi dirinya dengan pandangan tak ka-
lah tajamnya. Tajam bukan sembarang pandangan ta-
jam. Tetapi ada sesuatu yang terpancar dari mata itu
walaupun tidak bersinar. Pancaran suatu kekuatan
untuk melumpuhkan otak yang mengendalikan semua
kegiatan tubuh. Dan Jalu Rangkah telah terperangkap
oleh pandangan itu.
“Sukurlah kalau kau punya pengertian,” kata Dewi
Selaksa Racun ketika mengetahui sikap Jalu Rangkah
yang pasrah.
Tetapi hal itu belum sepenuhnya memenuhi syarat
bahwa Jalu Rangkah telah tunduk kepada kehendak-
nya. Kemudian Putri Damayanti memerintahkan kepa-
da keempat pembantunya untuk membawa Jalu Rang-
kah ke suatu tempat, ke sebuah rumah yang masih
utuh. Yang dimaksud adalah rumah kepala desa Gam-
biran yang tak jauh dari sana.
Rumah kepala desa Gambiran memang tetap tegak
tak terusik. Tetapi semua penghuninya telah dibantai
oleh orang-orang bercadar. Ke sanalah Jalu Rangkah
digiring oleh keempat pengawal Putri Damayanti. Itu
semua dilakukan setelah semua keadaan berhasil di-
kuasai oleh pihak orang-orang bercadar. Semua anak
buah Jalu Rangkah berhasil ditumpas.
Pusparini tetap mengawasi perkembangan keadaan
dengan cara menyelinap untuk mengetahui apa yang
akan mereka perbuat terhadap Jalu Rangkah yang
tampaknya kini seperti tak punya daya.
“Ah. Dia dibawa masuk ke rumah itu. Tak mungkin
aku bisa tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi...
mungkin ada cara lain yang bisa kutempuh,” pikir
Pusparini dengan melesat menuju ke belakang rumah
kepala desa Gambiran.
Sepanjang jalan terlihat sosok-sosok tubuh yang te-
lah menjadi mayat. Di tempat itu terlihat benar yang
jadi korban adalah perabot desa, termasuk kepala de-
sanya sendiri yang diketemukan tegak tak bernyawa
lagi tertancap di sebuah pilar dengan sebuah tombak
menembus lehernya. Sedangkan anggota keluarganya
menggeletak tak jauh dari tempat itu, termasuk istri
dan dua orang anaknya.
Pusparini menyelinap lewat kamar belakang. Ilmu
enteng tubuhnya dikerahkan secara prima sehingga ti-
dak menimbulkan bunyi sedikit pun sewaktu menapak
di lantai rumah. Dia melihat Jalu Rangkah diperintah-
kan masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama kemu-
dian terlihat Dewi Selaksa Racun datang ke sana, dan
masuk ke dalam kamar tersebut.
“Apa yang mereka lakukan di kamar itu? Menyiksa
Jalu Rangkah? Tetapi mengapa hanya wanita itu yang
masuk sedangkan keempat pengawalnya keluar ru-
mah?” pikir Pusparini dari tempat persembunyiannya
di balik amben yang terguling.
Dan kamar itu bersebelahan dengan kamar di mana
Jalu Rangkah dan Putri Damayanti berada. Pusparini
mencari peluang untuk bisa mengintip ke dalam ka-
mar di sebelah tempatnya bersembunyi.
Tetapi rasanya untuk bergerak sangat takut. Terlalu
menimbulkan resiko kalau wanita itu benar-benar
mengerahkan indera pendengarannya untuk meman-
tau keadaan sekitarnya.
Diputuskan nekad untuk bertindak. Pusparini ber-
gerak cepat menghampiri dinding kamar yang terbuat
dari anyaman bambu. Sesaat dia membekukan sikap
setelah sampai di tempat yang dituju. Dia menunggu
perkembangan. Ternyata tak ada reaksi dari kamar se-
belah. Lalu dicari lubang untuk mengintip. Ada satu
celah kecil, cukup untuk melempar pandangan ke ka-
mar sebelah...!
“Aku tahu kau akan tunduk kepada perintahku. Te-
tapi di hadapan raja nanti, mungkin kau berkilah dan
menggagalkan semua rencanaku,” terdengar ucapan
Putri Damayanti. “Dan aku tak senang dengan kegaga-
lan. Nah, kau akan melakukan apa yang kukehendaki
di kamar ini sebagai sarana memantapkan pengaruh
manteraku kepadamu.”
Jalu Rangkah kini tak lebih seperti sebuah robot.
Yang mengendalikan adalah pikiran Putri Damayanti.
Seperti halnya saat dia menanggalkan pakaiannya,
semua atas perintah lewat ‘telepati’ wanita asal Sriwi-
jaya itu.
Pusparini melepaskan intipannya ketika mengeta-
hui bahwa Jalu Rangkah kini tak berbusana selembar
pun! Pikirannya mencoba menelusuri tindakan yang
akan terjadi di kamar itu. Menanamkan mantera pen-
garuh? Seperti yang telah dialami oleh Tunggul Randi
di bawah pengaruh Dyah Kumpi? Dan mantera itu sir-
na setelah si pemberi mantera binasa, seperti yang
menimpa nasib Dyah Kumpi yang berhasil dibunuh-
nya? Tetapi bagaimana cara memberi manteranya?
Dan... ketika Pusparini mengintip lagi, perasaannya
bergetar. Betapa tidak. Sebab yang disaksikan seka-
rang adalah Putri Damayanti yang tidak berbusana la-
gi.
Cepat-cepat Pusparini menghindari pemandangan
itu.
“Edan!” bisiknya dalam hati. Tak tahan dia menyak-
sikan pemandangan seperti itu.
Pusparini memang memutuskan untuk tidak men-
gintip apa yang terjadi di sana. Dia tidak akan tahu
bahwa tubuh Jalu Rangkah kini terlentang, sementara
Dewi Selaksa Racun itu menindihnya dengan tubuh
saling berhadapan.
“Kau telah melakukan dengan baik, Jalu Rangkah,”
kata wanita itu. Lewat perintah mata batinnya, dia
memang mengendalikan tindakan Jalu Rangkah. Sua-
tu peristiwa sanggami untuk menanamkan pengaruh
mantera. Dalam keadaan bersatu Dewi Selaksa Racun
mengambil air susunya yang menetes dan dibuat me-
nulis mantera pada dada Jalu Rangkah dengan ujung
jarinya. Tulisan yang terdiri dari air susu itu meresap
ke dalam pori-pori kulit dan meninggalkan bekas ke-
coklatan. Huruf-huruf berwarna coklat itu hanya bisa
dikenal oleh mereka yang menguasai ilmu tersebut. Se-
jenis huruf ‘Pallawa’, tetapi ada gaya tulisan huruf Ci-
na kuno, semirip dengan tulisan yang bisa diketemu-
kan oleh kuil-kuil di Tibet.
Ketika tulisan itu selesai dibuat, maka Dewi Selaksa
Racun tersenyum.
“Selesai sudah!” kata wanita itu. “Tetapi tidakkah
kau menghendaki sesuatu yang belum pernah kau ra-
sakan bersama wanita...? Dengan istrimu mungkin?
Aku bisa membuatmu pada rasa jenjang nirwana yang
belum pernah kau alami. Tak ada seorang pun wanita
yang bisa membuatmu merasakan hal itu. Mari kita
buktikan.”
Tiba-tiba Pusparini mendengar suara sitar. Kadang-
kadang diselingi irama seruling, yang mengalun syah-
du. Kemudian tepukan tabla, alat musik serupa ken-
dang. Datangnya alunan musik itu jelas dari dalam
kamar sebelah. Tetapi siapa yang memainkannya?
Iringan musik ilmu ibliskah itu?
Pusparini penasaran lagi. Dia mengintip lagi. Tak
terlihat pemain musik di sana. Yang terlihat hanya dua
sosok tubuh saling berhimpitan tanpa busana. Dewi
Selaksa Racun dan Jalu Rangkah! Kali ini perbuatan
itu disaksikan dengan nyata oleh Pusparini sehingga
napasnya sendiri berpacu dengan cepat. Justru napas
inilah yang mengundang perhatian Dewi Selaksa Ra-
cun. Dia menoleh ke arah tempat Pusparini.
“Kurang ajar!” seru Dewi Selaksa Racun dengan me-
lepaskan angin pukulan. Serangan berisi tenaga dalam
itu bisa membuat Pusparini menemui ajal kalau dia ti-
dak dengan sigap melesat dari tempatnya.
Dinding itu jebol. Pusparini berhasil menghindar
dan melesat ke luar rumah menembus atap. Sesampai
di luar dia terus menghindari tempat itu. Dia belum
siap menghadapi wanita yang memiliki ilmu iblis se-
macam itu.
Dewi Selaksa Racun penasaran. Dengan cepat dia
mengenakan pakaian seadanya. Hanya selembar kain
sutera yang semula dibuat jarit, dipakai sebatas da-
danya yang membukit. Lalu melesat keluar. Untuk se-
mentara dia nangkring di atas wuwungan dengan mata
nanar mengawasi sekelilingnya. Indera penciumannya
mengendus mencari jejak buronannya. Sesungging se-
nyum menghias bibirnya. Aroma buronannya telah di-
ketahui. Dan dia mengenalnya...!
***
DELAPAN
Suasana malam kian menggelincir. Beberapa waktu
lagi subuh akan tiba. Tetapi keadaan di sana tampak-
nya belum usai walaupun sudah dipastikan kemenan-
gan berada di pihak orang-orang bercadar.
Dewi Selaksa Racun segera memerintahkan kepada
Rake Pagaresi agar semua orang dikumpulkan. Tetapi
baru saja perintah tersebut akan dilaksanakan, tiba-
tiba dikejutkan oleh datangnya penyerbu yang tak di-
kenal dari mana asalnya. Yang jelas mereka adalah
orang-orang yang mengenakan bandu ikat kepala ber-
tanda burung camar putih! Kelompok ini langsung
menyerbu ke arah orang-orang bercadar.
Pusparini kebetulan saja melongok dari persembu-
nyiannya di ketinggian batang pohon kelapa ketika
bentrokan tanpa basa basi itu terjadi. Rasa ingin tahu
membengkak dalam benaknya.
“Penyerbu dari mana itu? Tampaknya bentrokan
berkobar lagi,” pikir Pusparini sambil melesat turun
dari puncak pohon kelapa. Begitu menginjak tanah,
dia dikejutkan oleh langkah kaki menuju ke arahnya.
Pusparini mempersiapkan dirinya.
“Tahan! Ini aku! Tunggul Randi,” terdengar suara
dari sosok yang nyaris dihajar oleh Pusparini.
“Astaga! Hampir saja. Dari mana saja kau?” tanya
Pusparini.
“Mulanya aku berniat menghubungi Ki Jalak Jenar.
Tetapi ternyata mereka kutemui sedang dalam perjala-
nan ke mari. Kuberitahu apa yang telah terjadi di sini.
Dan inilah yang terjadi sekarang!” kata Tunggul Randi.
“Ya! Dan aku sempat menyaksikan bagaimana cara
memantrai seseorang sehingga tak bisa berkutik,” ja-
wab Pusparini.
“Kau...? Menyaksikannya...? Siapa yang kena ran-
jau mantera itu?” tanya Tunggul Randi.
“Perwira Tamtama Jalu Rangkah!”
“Apa?!”
Dan pembicaraan ini tidak berlanjut, sebab Puspa-
rini memberi isyarat kepada Tunggul Randi bahwa ada
langkah kaki sedang menuju ke arah mereka.
“Dia berhenti di sana,” bisik Pusparini.
“Mungkinkah Dewi Selaksa Racun sedang menge-
jarmu?” sambut Tunggul Randi dengan suara pelan
pula.
Pusparini memberi isyarat agar Tunggul Randi me-
nyebar. Ini tentu saja untuk memancing perhatian
orang yang sedang dicurigai berada tak jauh dari me-
reka yang tampaknya ragu-ragu, atau sedang menyeli-
dik sesuatu.
Tunggul Randi bergerak. Jelas sekali bahwa orang
itu terkejut dengan adanya gerakan orang yang tak
jauh darinya. Pada saat itulah Pusparini nekad mener-
jang dengan menghunuskan pedangnya. Pusparini le-
bih mengkhawatirkan bahwa orang itu adalah Dewi Se-
laksa Racun. Oleh sebab itu ketika dia menerjang,
langsung mencabut Pedang Merapi Dahana. Begitu ter-
lihat, orang yang sedang diincar mengeluarkan pe-
dangnya. Tetapi dia bukan Dewi Selaksa Racun.
“Rangga Lurukan!” seru Pusparini.
“Kau... Pusparini?!” seru laki-laki itu pula yang ter-
nyata Rangga Lurukan yang kabarnya telah diculik
oleh orang-orang bercadar.
“Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini? Kuden-
gar pengakuan dari seseorang bahwa kau telah diculik
oleh komplotan Dyah Kumpi yang selalu tampil dengan
cadar menutup wajahnya,” tanya Pusparini tanpa ber-
niat menyarungkan pedangnya. Sebab dia tahu bahwa
Rangga Lurukan ternyata punya jalinan kerja sama
dengan orang-orang Sriwijaya.
“Apa yang telah kau ketahui lagi?” tanya Rangga
Lurukan yang tampaknya sangat payah.
“Jadi kau benar-benar diculik, atau telah dile-
paskan?” pancing Pusparini.
“Aku berhasil melarikan diri! Katakan, apa yang te-
lah kau ketahui tentang diriku lagi?”
“Bahwa kau telah menjual harga dirimu sebagai
penguasa syahbandar!” terdengar suara dari belakang
Rangga Lurukan.
Ternyata Tunggul Randi menengahi percakapan itu
dengan muncul dari tempatnya. Tentu saja hal ini san-
gat mengejutkan Rangga Lurukan.
“Siapa kau?” tanya Rangga Lurukan.
“Aku tahu siapa kau. Tetapi kau tidak tahu siapa
aku. Namaku Tunggul Randi, telik sandi Mapatih Sa-
tyawacana!” jawab Tunggul Randi tegas.
“Setiap orang bisa mengaku sebagai orang penting
di sini,” sanggah Rangga Lurukan.
“Bagiku tak ada waktu untuk menjelaskan lagi.
Pusparini bisa menjawab untuk meyakinkanmu. Atau
aku yang memaksa kau untuk kuringkus yang kemu-
dian baru tahu siapa aku setelah kau kubawa meng-
hadap kepada Mapatih Satyawacana!” kata Tunggul
Randi dengan tegas. Pedangnya pun telah dikeluarkan
dari sarungnya.
Tampak sekali wajah Rangga Lurukan yang telah
berhasil melarikan diri dari sekapan orang-orang ber-
cadar, terlihat loyo tak bersemangat. Tetapi setelah
mendengar ucapan Tunggul Randi, tenaganya merasa
digugah. Kedoknya tersingkap di hadapan kedua orang
itu. Hal yang diduga terjadi.
Tunggul Randi siap menangkis serangan Rangga
Lurukan ketika penguasa syahbandar itu menebaskan
pedang ke arahnya. Perang tanding di antara keduanya
berlangsung. Pusparini tidak mau mencampuri, sebab
hal itu lebih cocok kalau mereka berdua yang terlibat
dalam bentrokan. Bukankah mereka adalah abdi nega-
ra yang bertolak belakang dalam pengabdiannya?
“Selesaikan urusanmu, Randi! Aku akan mencari
tamu agung itu!” seru Pusparini sambil melesat me-
ninggalkan mereka yang berbaku hantam dengan pe-
dang.
***
Bentrokan yang terjadi sekarang rupanya lebih be-
sar dari peristiwa semula. Orang-orang ‘Camar Putih’
bisa mengimbangi sepak terjang kelompok orang ber-
cadar. Ketika Pusparini sampai di sana, terlihat Ki Ja-
lak Jenar sedang bentrok dengan keempat pembantu
Dewi Selaksa Racun. Sedangkan wanita yang memiliki
ilmu iblis itu tidak diketahui berada di mana.
Tiba-tiba terlintas pikiran Pusparini untuk melaku-
kan kekisruhan. Dia mengenakan topeng wajah Dewi
Selaksa Racun dan akan terjun mengacaukan kelom-
pok orang-orang bercadar. Tindakan itu segera dilak-
sanakan. Kemudian nimbrung dalam baku hantam.
Hadirnya Pusparini dengan topeng itu, dalam sua-
sana malam yang hanya diterangi kobaran api kebaka-
ran, bisa benar-benar mengecoh bahwa itu adalah Pu-
tri Damayanti dari Sriwijaya.
Beberapa orang dari kelompok orang-orang berca-
dar sempat kaget. Dan semakin kaget ketika diketahui
‘Putri Damayanti’ menyerang mereka. Beberapa orang
telah jadi korban.
Mengetahui hal ini keempat orang yang mengroyok
Ki Jalak Jenar sebagian terhenyak kaget. Rake Pagare-
si dan Rake Kalungwarak segera berkelebat untuk
menghampiri ‘Putri Damayanti’. Dua orang ini sangat
waspada bahwa ada seseorang yang telah menyamar
sebagai junjungannya.
“Buka kedokmu!” seru Rake Pagaresi sambil menye-
rang.
Pusparini berhasil berkelit. Tetapi geraknya diha-
dang dengan serangan yang lain, yakni dari Rake Ka-
lungwarak. Pusparini tidak menjawab, hanya pedang-
nya yang berbicara. Kedua orang itu cukup waspada
bahwa orang bertopeng mirip Putri Damayanti adalah
Pusparini. Hal itu ditandai dengan pakaian kemben
kuning. Tetapi kalau sampai Pusparini bisa memiliki
topeng itu, berarti nyawa Dyah Kumpi telah melayang
oleh wanita ini.
Kedua orang ini tampaknya sulit membendung se-
rangan Pusparini. Ketika Rake Kalungwarak berhasil
dibinasakan, barulah Rake Pagaresi sadar bahwa dia
sedang menghadapi pendekar wanita yang punya gerak
gesit bagaikan burung walet! Gerak lincah itu sangat
mengagumkan dirinya. Karena terbuai kekaguman itu-
lah yang membuat Rake Pagaresi lengah, sehingga per-
tahanannya kebobolan serangan yang membuat lam-
bungnya robek oleh sabetan Pedang Merapi Dahana.
Hanya sekali sabet, dan lambung itu benar-benar ter-
burai pecah! Rake Pagaresi roboh.
“Dia belum muncul juga!” gerutu Pusparini.
Kali ini, dia benar-benar mengharapkan kemuncu-
lan Putri Damayanti alias Dewi Selaksa Racun. Ketika
Pusparini menoleh ke arah Ki Jalak Jenar, ternyata
orang tua itu telah berhasil menghabisi nyawa Rake
Lampi. Kini tinggal Rake Sikhalan yang masih berta-
han. Yang ini agaknya membutuhkan waktu lama un-
tuk mengalahkan. Rake Sikhalan mempunyai gerak ti-
pu sehingga menyulitkan Ki Jalak Jenar untuk mem-
bendung serangan. Dengan lawan ini Ki Jalak Jenar
mendapat luka pada dadanya. Tetapi orang tua itu
mampu bertahan.
“Aku akan mencari Dewi Selaksa Racun itu, seka-
rang!” gumam Pusparini dalam hati.
Dia terus melesat ke tempat kediaman kepala desa
Gambiran di mana pernah mengintip tindakan wanita
itu sedang mengetrapkan belenggu mantera kepada
Jalu Rangkah. Topeng yang dipakai, dilepas dan di-
buang.
Pusparini sendiri tak tahu, mengapa tiba-tiba di-
rinya mendapat semangat untuk menghadapi wanita
itu. Semula dia ragu-ragu ketika diketahui wanita itu
memiliki ilmu yang adikodrati, yang melebihi ilmu ka-
nuragan.
Pusparini telah memasuki rumah itu. Langkahnya
sengaja dibuat gaduh untuk memancing kemunculan
Dewi Selaksa Racun. Dan dugaannya benar!
“Kau mencariku?” terdengar suara dalam kamar.
“Masuklah.”
Pusparini nekad menerobos masuk. Tetapi begitu
pandangannya tertuju kepada sasarannya, secepat itu
pula wajahnya dipalingkan. Tak tahan dia menyaksi-
kan adegan itu. Di sana Dewi Selaksa Racun sedang
bercumbu dengan Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-
bagai kelanjutan tindakan beberapa saat yang lalu.
Perwira Kerajaan Medang itu benar-benar terbius oleh
mantera wanita itu. Tindakannya seperti anjing saja,
menjilati sesuatu yang sangat digemari. Karena dia
bukan anjing, dan yang dihadapi adalah tubuh mulus,
maka sikap yang demikian itu membuat Pusparini ce-
pat-cepat hengkang dari sana.
Itu maunya!
Tetapi Dewi Selaksa Racun dengan cepat men-
gayunkan tangannya sehingga angin pukulannya ber-
hasil menotok jalan darah Pusparini di bagian kaki,
yang membuat tak mampu bergerak.
“Kau perlu menyaksikan peristiwa ini, Pusparini!
Jangan sok alim kau! Malu menyaksikan, hah?” kata
Dewi Selaksa Racun yang dibumbui suara ketawa
mencemoohkan bernada gembira. “Kau perlu disiksa
dengan cara ini. Setiap pendekar bisa mati karena sen-
jata. Kini kau akan tahu bahwa hal itu tak bakal kau
alami. Yang aku inginkan sekarang, kau bisa mampus
melihat apa yang kau lihat di sini!”
Pusparini kehilangan daya untuk meninggalkan
tempat itu. Dia tak tahan menyaksikan peristiwa yang
terjadi di hadapannya. Dewi Selaksa Racun benar-
benar wanita bejad. Dan terdengar suara tawanya
menggelitik birahi. Hal itu memang sengaja dilakukan
oleh wanita itu agar Pusparini tersiksa oleh naluri ke-
wanitaannya sehingga terseret kepada suatu hasrat ge-
lora birahi.
Pusparini mencoba menutup segala inderanya den-
gan menekan tenaga yang disalurkan kepada bagian-
bagian tubuhnya yang peka. Suara tawa yang diku-
mandangkan oleh Dewi Selaksa Racun memang meng-
gelitik kepekaannya. Tawa yang mengandung tenaga
dalam, membuai, mengelus ke segenap pori-pori kulit-
nya. Itu memang sangat sulit diatasi. Gurunya tak
pernah mengajarkan bagaimana untuk mengatasi se-
rangan semacam ini. Belum pernah terdengar ada
orang yang menghendaki kematian lawannya dengan
cara mengobarkan hasrat birahi yang tak terpuasi.
Orang bisa mati karena ketagihan candu. Bagaimana
orang bisa mati karena tak terpenuhi hasrat bira-
hinya? Inilah sasaran Dewi Selaksa Racun sekarang!
Sebenarnya dengan cengkalan tangan saja dia bisa
membuat mampus Pusparini, seperti yang telah me-
nimpa nasib Tambi dan Srenggi. Tetapi dia menghen-
daki Pusparini mampus dengan caranya ini!
Tiba-tiba suara tawa Dewi Selaksa Racun terhenti.
Matanya memandang ke arah Pusparini. Hal itu kare-
na wanita ini melihat sesuatu yang timbul dari sikap
Pusparini. Sikapnya dipacu dengan napas yang mem-
buru. Bibirnya bergetar. Matanya terbuka, tetapi yang
terlihat hanya segaris putih. Lalu Pusparini merenggut
kembennya. Pedang Merapi Dahananya terlempar di
lantai.
Dewi Selaksa Racun senyum puas melihat tindakan
Pusparini. Usahanya berhasil. Pusparini telah terbakar
birahi. Rintihannya mendesis, mengharapkan sesuatu
yang didambakan. Pusparini benar-benar seperti wani-
ta lupa diri. Kemben yang telah terlepas itu menampil-
kan dadanya yang polos membukit.
Keadaan inilah yang tiba-tiba Dewi Selaksa Racun
mencampakkan tubuh Jalu Rangkah yang sejak tadi
bertindak seperti anjing. Tubuh Jalu Rangkah tergul-
ing. Karena dia dalam belenggu mantera, maka sikap-
nya pasrah saja. Kini dia mematung di tempatnya. Se-
dangkan Dewi Selaksa Racun kini berdiri tegak, tanpa
busana selembar pun.
“Sayang kalau kau cepat-cepat mampus dengan ca-
ra ini! Kau mungkin tidak tahu bahwa di Sriwijaya aku
punya selir!” terdengar suara wanita berhati iblis ini.
“Apakah wanita bisa bermesraan dengan wanita? Bisa.
Mengapa tidak. Dan penampilanmu benar-benar
menggelorakan hasratku. Aku jadi benci dengan lela-
ki!”
Dewi Selaksa Racun lalu menghampiri Pusparini.
Segera dipeluknya. Sasaran ciumannya adalah leher.
Dipagut habis-habisan bagian itu. Lalu merambat ke
bawah, di bagian dada. Pakaian Pusparini direnggut
sehingga lepas seluruhnya.
Tetapi sampai demikian jauh, Pusparini tidak men-
gadakan imbangan sikap. Dia pasrah saja. Hal ini me-
nimbulkan perasaan aneh bagi Dewi Selaksa Racun
kalau mengingat bahwa wanita yang dipeluknya ini se-
jak tadi telah sekarat diamuk birahi.
“Mungkin aku telah berbuat kesalahan,” bisik Dewi
Selaksa Racun yang kemudian melepaskan totok jalan
darah yang membelenggu kaki Pusparini. “Nah, kau te-
lah bebas bisa bergerak leluasa. Ayo, peluklah aku.
Aku akan memberikan apa yang kau dambakan.”
Peristiwa yang terjadi di Desa Gambiran telah me-
rambat ke waktu pagi. Cahaya matahari tampak mene-
robos lubang-lubang atap rumah itu. Tetapi Dewi Se-
laksa Racun belum puas menggeluti tubuh Pusparini
yang tetap pasrah saja.
Sehingga suatu saat seberkas cahaya matahari me-
nerobos ke kamar itu dan menimpa Pedang Merapi
Dahana.
Seperti kodratnya, bahwa Pedang Merapi Dahana
akan membiaskan cahaya merah apabila tertimpa ca-
haya matahari. Dan itu terjadi sekarang.
Dewi Selaksa Racun terkejut. Tetapi hal itu tak
sempat mengalihkan perhatiannya secara prima. Se-
bab tangan Pusparini telah mencekal hulu Pedang Me-
rapi Dahana yang kemudian pedang itu ditebaskan ke
arah leher Dewi Selaksa Racun! Kontan kepala itu
mencelat dari lehernya! Darah menyembur deras. Pus-
parini dengan cepat beranjak dari pembaringannya
dengan menendang tubuh tanpa kepala yang menin-
dihnya. Tubuh Pusparini yang polos itu basah oleh da-
rah Dewi Selaksa Racun.
“Aku tidak selengah yang kau duga, wanita iblis!”
gerutu Pusparini. Kemudian dia mengambil pakaian-
nya yang tercecer dan dikenakan kembali setelah
membersihkan tubuhnya yang berlumur darah, lalu
keluar kamar.
Di sudut kamar, Jalu Rangkah tiba-tiba sadar den-
gan keadaan dirinya. Itu karena Dewi Selaksa Racun
telah dibinasakan oleh Pusparini sehingga terbebas da-
ri belenggu mantera. Menyadari keadaan tubuhnya
yang tiada berpakaian, dia segera mencari pakaiannya.
Di sini dia sempat melihat tubuh Dewi Selaksa Racun
yang telah tewas dengan kepala terpenggal. Dan kepala
itu menggeletak di pojok kamar!
Di luar keadaan telah sepi. Matahari semakin tinggi.
Semula Pusparini menduga bahwa akan berhadapan
dengan lawan lagi. Kiranya hal itu tidak terjadi. Sangat
mengherankan sekali bahwa tak seorang pun yang hi-
dup di sana. Seluas mata memandang, Pusparini
hanya melihat tubuh-tubuh yang berserakan telah
menjadi mayat. Baik itu dari orang-orang bercadar
maupun dari kelompok ‘Camar Putih’. Belum pernah
Pusparini melihat mayat bergelimpangan sebanyak ini.
Tiba-tiba perhatiannya tertuju ke sosok tubuh yang
bergerak dari tumpukan mayat. Pusparini memperha-
tikan dengan seksama. Kiranya tubuh Ki Jalak Jenar.
“Ki Jalak!” seru Pusparini dengan bergerak meno-
long. Orang tua itu tampak kepayahan. Luka-lukanya
‘arang kranjang’. Tampaknya dia telah mengalami pen-
groyokan secara massal. Dia memang mengalami hal
itu setelah berhasil menewaskan Rake Sikhalan.
“Sampaikan pesanku kepada Baginda Raja Dhar-
mawangsa, bahwa aku tetap setia kepada beliau wa-
laupun dengan cara kami sendiri...!”
Dan itu adalah pesan terakhirnya sebelum meng-
hembuskan napas yang terakhir.
Perasaan Pusparini tersendat dan trenyuh.
Lalu dia berdiri. Dilayangkan perhatiannya ke arah
rumah di mana dirinya telah bentrok dengan Dewi Se-
laksa Racun. Dia tahu bahwa Jalu Rangkah masih hi-
dup dan kini sadar kembali. Diharapkan laki-laki itu
segera keluar dari sana.
Baru saja berpikir tentang Jalu Rangkah, mendadak
terlihat Tunggul Randi muncul. Keadaannya lebih pa-
rah lagi. Sebelah tangan kirinya putus akibat terbabat
pedang. Ketika bertemu dengan Pusparini, diceritakan
bahwa itu akibat bentrokannya dengan Rangga Luru-
kan. Tetapi dia berhasil menewaskan lawannya.
“Ini semua akan kulaporkan kepada Mapatih Sa-
tyawacana,” kata Tunggul Randi. “Jadi si Perwira Tam-
tama masih hidup?” katanya lagi setelah diberi tahu
oleh Pusparini, pengalamannya bagaimana sampai bi-
sa mengalahkan Dewi Selaksa Racun. Tentu saja hal-
hal yang secara rinci tidak diceritakan, apalagi menge-
nai kepura-puraannya yang seolah-olah dirinya telah
hanyut dalam pengaruh mantera birahi wanita iblis
itu.
Ya! Sesungguhnya Pusparini telah berjuang penuh
siksaan ketika menghadapi serangan Dewi Selaksa Ra-
cun. Untungnya dia menyadari taktik lawan sehingga
dia pura-pura terkungkung birahi. Kadang geli sendiri
memikirkan hal itu. Dia tak tahu bagaimana bisa me-
merankan sikap seperti wanita yang sedang ketagi-
han...! Rasanya cukup sampai di situ pengalaman pa-
hitnya. Lebih baik berhadapan dengan berlusin-lusin
lawan daripada harus menghadapi lawan dengan cara
seperti itu.
Selagi mereka masih terlibat pembicaraan, tiba-tiba
terdengar jeritan dari dalam rumah itu. Pusparini dan
Tunggul Randi segera melesat ke sana.
“Ohh...!” hanya itu yang tercurah dari bibir Puspa-
rini sambil membenamkan wajah ke dada Tunggul
Randi.
Apa yang mereka lihat di sana sungguh pemandan-
gan yang mengerikan serta... mungkin menjijikkan.
Sebab yang mereka lihat adalah Tubuh Perwira Tam-
tama Jalu Rangkah terkapar terlentang. Dan di bawah
pusarnya tergeletak kepala Dewi Selaksa Racun yang
sudah terpenggal itu dalam keadaan menggigit bagian
tubuh di antara pahanya. Mata Jalu Rangkah melotot,
dan tubuhnya tak bernapas!
Entah apa yang telah terjadi. Apakah kepala wanita
itu hidup lagi dalam keadaan terpenggal dan menye-
rang Jalu Rangkah? Mereka tak bisa membayangkan!
Tetapi sikap penasaran itu sempat bercokol di benak
Pusparini. Dengan cepat dia mencabut pedangnya, dan
kepala Dewi Selaksa Racun segera dibelahnya! Gera-
kan tebasan bagaikan pemain ????, sehingga kepala
itu hancur berantakan dilanda Pedang Merapi Dahana,
bercahaya merah ditimpa cahaya matahari yang me-
nyusup ke dalam ruangan itu...!
“Mari kita tinggalkan tempat ini!” ajak Tunggul
Randi.
Dengan langkah gontai Pusparini melangkah keluar.
Ketika menoleh lagi, dilihatnya rumah itu telah dilahap
api. Rupanya Tunggul Randi telah membakarnya.
Tak ada yang perlu dibicarakan lagi oleh mereka
berdua. Pikiran masing-masing masih dipenuhi peris-
tiwa yang baru berlalu. Langkah kaki membawa mere-
ka mencari kuda untuk dipergunakan kembali ke Ke-
rajaan Medang. Ini berarti tugas berat bagi Tunggul
Randi untuk memberi laporan kepada atasannya. Bagi
Pusparini sendiri tak ada masalah. Dia hanya merasa
bangga bisa berbuat untuk negara di mana dia hidup
sebagai warganya. Warga Kerajaan Medang.
Biasanya Pusparini selalu melanjutkan perjalanan-
nya setiap menyelesaikan suatu peristiwa. Dan itu di-
lakukan seorang diri. Entah mengapa kali ini bersedia
diajak Tunggul Randi pergi ke Ibukota Medang. Atau-
kah dia ingin melihat ibukota kerajaan itu? Yang jelas,
petualangannya akan terus berkembang.
SELESAI
Emoticon