Pengarang : Teguh Santosa
1
Hujan deras mengguyur bumi.
Matahari baru saja terbenam, tetapi
suasana desa itu sunyi senyap. Memang
tidak seperti biasanya. Beberapa waktu
menjadi penghalang bagi penduduk untuk
berlalu-lalang di jalanan. Tetapi
sudah tiga minggu ini segalanya
berubah. Ada semacam keengganan bagi
penduduk untuk keluar rumah setelah
matahari terbenam. Apalagi suasana
yang kian temaram diguyur hujan
seperti ini. Tak seorang pun yang
berani kelayapan. Kalaupun ada, pasti
ada keperluan yang teramat penting.
Itupun lewat pertimbangan berkali-kali
sebelum memutuskan untuk keluar rumah.
Lalu, ketika suasana kian pekat
ditelan kegelapan, lewat cahaya kilat
yang memancar bertalu talu, terlihat
sesosok tubuh tegak dengan angkuh
dihadapan puing-puing sebuah rumah.
Bangunan tersebut telah terbakar
beberapa waktu yang lalu.
Tak berapa lama kemudian muncul
pula sesosok tubuh yang lain dari
seberang sana. Dengan tenang dia
berjalan menuju seseorang yang telah
lama berdiri di depan puing bangunan
tadi. Tampaknya dia tidak memperdu-
likan keadaan di sekelilingnya. Juga
terhadap hujan yang kian deras
menyiram tubuhnya. Beberapa pasang
mata mengintip dari dalam rumah lewat
celah-celah dinding bambu menyaksikan
peristiwa itu. Mereka adalah para
penduduk yang tahu apa yang bakal
terjadi di sana. Malam itu akan ada
perang tanding dua orang pendekar
sesuai dengan tantangan yang telah
disepakati.
Akhirnya pendekar yang baru
datang itu berhenti kira-kira tiga
tombak jauhnya dari sesosok tubuh yang
telah menanti kedatangannya.
"Kau terlambat datang! Apakah
sibuk melepas perpisahan dengan istri-
mu?" kata pendekar yang telah lama
menunggu. "Sayang memang, meninggalkan
seorang istri yang bakal jadi janda.
Janda muda yang sintal! Istrimu adalah
sosok wanita idamanku, kau tahu itu ?
Jangan marah. Aku sekedar mengumbar
isi hati saja. Jangan khawatir, aku
akan merawat istrimu!"
Geraham pendekar yang baru datang
itu terkatup rapat. Ada perasaan geram
yang ditahan. Tetapi dia mencoba
mengendalikan diri. Dia tahu, lawannya
mencoba mengaduk-aduk kemarahannya.
Ini sangat berbahaya apabila dia
terseret arus pancingan kemarahan
seperti itu. Dalam suasana yang tidak
tenang, lawan akan dengan mudah menun-
dukkan dirinya. Tidak saja tunduk,
tetapi sampai pada kematiannya. Sebab
pertemuan kali ini adalah masalah
hidup dan mati!
Guntur menggelegar. Masing-masing
telah siap untuk mencabut senjata.
Ketegangan berkembang. Detik demi
detik berlalu. Tetapi begitu mereka
akan mencabut golok, tiba-tiba
terdengar suara tawa yang menggema
lantang. Suara itu mampu mengalahkan
suara derai air hujan, dan semakin
jelas terdengar mendekati mereka.
Sesosok tubuh berkelebat. Kedua Orang
yang hendak menyabung nyawa itu
mencelat dari tempatnya masing-masing
begitu bayangan hitam menerjang di
tengah-tengah mereka.
"Gila! Bayangan apa itu?" umpat
orang pertama yang tadi muncul sambil
mencoba membenahi dirinya. "Kau jangan
curang, Klungsu ! Kau membawa
pecundang untuk membantumu ?"
"Keparat, kau, Ragil!" kata orang
yang dipanggil dengan nama Klungsu.
"Kau yang membawa pembokong untuk
bikin curang dalam tanding tohpati
ini!"
"Tidak ! Aku datang dengan
jujur," jawab laki-laki bernama Ragil.
"Lalu siapa yang bikin ulah
tadi?" tanya Klungsu.
Sebelum memperoleh jawaban, tiba-
tiba bayangan yang berkelebat tadi
muncul kembali.....! Kali ini tidak
sekedar membuat kejutan, tetapi
bertindak fatal. Bayangan hitam yang
muncul sambil mengumbar tawa itu me-
ngibaskan jubahnya, sehingga pendekar
bernama Ragil dan Klungsu menggeliat
sambil menjeritkan suara aduhan. Kedua
tubuh itu terkapar tak bergerak
lagi......!.
Bayangan itu tidak terlihat lagi.
Hujan tetap mengguyur dengan deras.
Malam semakin larut, sementara
penduduk desa itu terbenam di dalam
rumah masing-masing.......!
***
Esok harinya, Penduduk gempar.
Mereka mendapati dua sosok tubuh yang
dikenal sebagai jago kepruk bayaran
terkapar di depan puing bangunan bekas
kebakaran.
"Ini kan Ragil dan Klangsu !
Bagaimana jago kepruk yang ditakuti
segenap desa ini bisa terkapar seperti
itu ? Jadi mereka tidak mati ? Cuma
pingsan ? Padahal kalau berada di
manapun, tak akan dibiarkan seekor
lalat mengusiknya," seorang penduduk
mengumbar omongan di antara kerumunan
orang-orang yang menengok keadaan di
sana.
"Ada apa kiranya, pak ?"
terdengar suara pertanyaan.
Laki-laki tua itu menoleh. Dili-
hatnya seorang wanila berkemben kuning
mengendalikan kuda. Pak tua itu
tertegun menyaksikan penampilan wanita
yang telah menegurnya. Paling tidak,
sebagai laki-laki yang telah berusia
tujuh puluhan, dia dapat menilai
kecantikan wanita muda berkendara kuda
itu.
"Dua jago kepruk yang kesohor di
desa ini, kedapatan pingsan terkapar.
Ada yang bilang mereka semalam akan
perang tanding. Tapi pagi ini keduanya
semaput dengan bekas membiru serupa di
kening mereka !" kata orang tua itu
lagi.
Yang menjadi masalah memang itu.
Di kedua kening Ragil dan Klungsu
terdapat tanda yang membiru sebesar
ibu jari.
"Coba saya periksa, pak !!!",
kata wanita muda itu sambil turun dari
kudanya. Orang-orang menyibak minggir
ketika dilihatnya wanita berkemben
kuning berniat memeriksa Ragil dan
Klungsu yang masih belum sadar dari
pingsannya.
"Hm. Ini totok jalan darah yang
membuat orang bisa tidur berminggu-
minggu lamanya," kata wanita berkemben
kuning setelah meraba kening dua orang
yang terkapar di hadapannya. "Sebenar-
nya tidak seberapa parah. Akan
kusadarkan mereka," katanya lagi
sambil memijat bagian tengkuk dan
pelipis salah seorang di antaranya.
Kemudian orang yang satunya.
"Lihat! Klungsu telah bangun,"
kata salah seorang penduduk
"Ragil juga mulai sadar. Wah,
ampuh benar pengobatannya gendhuk ayu
itu. Apakah dia seorang tabib ?" kata
yang lain.
"Hush ! Mana ada tabib berpakaian
seperti itu ? Penampilan seperti itu
hanya dilakukan oleh seorang pende-
kar," terdengar suara yang lain.
Wanita berkemben kuning itu
berdiri sementara Ragil dan Klungsu
telah sadar dan tampak blingsatan
karena dikerumuni penduduk.
Tiba-tiba Ragil tampak beringas.
Dia mencabut goloknya. ,
"Minggir semua!! Apa yang kalian
tonton, hah ?!, Hei, kau, Klungsu !
Apa yang telah kau lakukan terhadapku
sampai jadi tontonan orang-orang ini ?
Bukankah kita sepakat untuk
menyelesaikan masalah kita dengan
perang tanding secara ksatria?!"
"Jangan mengumbar seenak udelmu,
Ragil! Kaulah yang memanggil orang-
orang ini menjadl penonton! Tapi.....,
tapi semalam......aah.......!" Klungsu
ternyata orang paling menyadari
peristiwa yang terjadi semalam.
"Semalam ?! Oh......, ya....,
semalam itu....kita sudah berhadapan !
Tapi.....," kata Ragil seperti orang
linglung. Orang-orang mulai menying-
kir. Mereka tak mau terlibat lagi de-
ngan urusan Ragil dan Klungsu. Mereka
terkenal sebagai jago kepruk. Mereka
menjual tenaga kepada siapa saja yang
memerlukan tenaganya. Hanya sayang,
tenaga mereka hanya diandalkan untuk
menyakiti orang lain. Bahkan kalau
perlu membunuh! Teringat akan hal ini,
maka orang-orang tak mau mengurusi
lagi peristiwa yang menimpa kedua jago
kepruk itu.
Begitu orang-orang menyingkir,
pandangan mereka tertuju kepada
seorang wanita muda berkemben kuning.
"Kalian telah kena totok jalan
darah sehingga tertidur. Di kening
kalian masing-masing ada tanda
membiru. Itu totok jalan darah tingkat
tinggi yang membuat kalian bisa
tertidur berminggu-minggu. Tahu aki-
batnya kalau manusia tertidur terus?
Bisa mampus dalam buaian mimpi !" kata
wanita itu sambil beranjak pergi.
"Eh.....enghm.... gendhuk ayu.
Siapa namamu ?" kata Ragil yang sirna
keberingasannya.
"Pusparini ! jawab wanita itu
sambil menaiki kudanya.
"Hei, tunggu ! Kita perlu omong-
omong sedikit tentang hal ini!" kata
Ragil lagi.
"Aku perlu sarapan. Kalau ingin
berbicara, sebaiknya di warung itu,"
jawab Pusparini tanpa menoleh.
"Hei, Ragil! Bagaimana dengan
urusan kita. ?" tanya Klungsu dengan
lagak tetap sebagai seorang jagoan.
"Bisa kita selesaikan sewaktu-
waktu. Aku ada keperluan yang lebih
penting dari pada harus mencabut
nyawamu !" kata Ragil sambil terus
mengejar langkah Pusparini. Klungsu
meludah, mengimbangi penghinaan Ragil
dan membiarkan lawannya berlalu.
Benar-benar aneh pertikaian mereka.
Pusparini langsung memesan
makanan begitu dia mengambil tempat
duduknya di bangku panjang. Sesaat
kemudian jago kepruk bernama Ragil
telah menyusul dan langsung duduk di
sampingnya.
"Maaf. Aku ingin bertanya, siapa
kau sebenarnya," tanya Ragil tanpa
segan sedikitpun. Dia terus mengawasi
Pusparini yang kini telah melahap nasi
yang dipesan.
"Aku sekedar numpang lewat di
sini, dan kutemui kau dan orang yang
satunya itu terkapar jadi tontonan,"
jawab Pusparini tanpa menoleh sedikit
pun.
"Numpang lewat? Memangnya akan
kemana kau?"
"Ya... sepembawa kaki saja."
"Kau pasti mencari seseorang !"
desak Ragil.
"Sok tahu kau. Jangan sembrono.
Aku paling tidak suka dituduh macam-
macam oleh seseorang yang tidak
kukenal," jawab Pusparini yang kini
meneguk minumannya. "Jadi kau ke
warung ini tidak untuk makan? Hanya
untuk bertanya terhadap hal-hal yang
tak kusukai?"
"Hm. Ternyata kau bisa cepat
marah," Ragil memancing dengan ejekan.
"Namaku Ragil! Kalau kau tak
keberatan, tinggallah beberapa hari di
desa ini."
Pusparini mengusap mulutnya,
menghapus sisa makanan yang mungkin
menempel di bibirnya yang ranum sigar
jambe itu. Ragil menelan ludah melihat
bentuk bibir macam itu. Lalu matanya
menyapu dada Pusparini yang terbungkus
kemben kuning. Perasaannya berdetak.
"Terima kasih dengan tawaranmu.
Tetapi kalau aku ingin menginap, akan
kucari penginapan sendiri," kata
Pusparini sambil merogoh pundi-pundi
dan mengambil isinya. Pemilik warung
menerima pembayaran yang diberikan.
"Eenghmm.......gus Ragil tidak
makan?" tanya pemilik warung.
"Eh.... tidak. Tidak, pak," jawab
Ragil sambil meninggalkan tempatnya
karena melihat Pusparini telah memacu
kudanya meninggalkan waning Itu.
"Hei! Tungguu!!" Ragil lari
memburu. Pusparini lenyap di tikungan.
Ragil mengumpat. Dia tidak melanjutkan
pengejaran. Lalu berjalan menuju ke
suatu tempat mengarah ke luar desa.
Beberapa saat kemudian langkahnya
sampai di sebuah jembatan. Sungai yang
bening mengalir di bawahnya. Tak ada
pikiran apa-apa sampai dia menyebe-
rangi jembatan itu. Tetapi sesampai di
tengah jembatan, perhatiannya terusik.
Ragil mengawasi hulu sungai.
Dan...astaga! Sayem, istri Klungsu,
sedang mandi di sana sendirian.
Ragil, jago kepruk yang mata
kranjang, mengawasi wanita bernama
Sayem yang asyik merendam tubuhnya di
sungai. Kejalangan Ragil menyala.
Dengan langkah hati-hati dia mendekati
Sayem yang sedang mandi. Wanita ini
tak curiga sedikit pun kalau ada
sepasang mata yang terus mengawasi
gerak-geriknya. Kemudian Ragil bikin
ulah. Dia mengambil pakaian Sayem.
Dan beberapa saat kemudian....
"Oh ! Di mana pakaianku ?" kata
Sayem dalam hati sambil mengawasi
keadaan di sekitarnya. Tiba-tiba
perasaan semakin bergolak kaget ketika
dilihatnya Ragil dengan senyum simpul
berada di sana. Sayem membenamkan diri
lagi ke air.
"Yem! Aku bermurah hati kepada
Klungsu, suamimu. Dia kubiarkan hidup.
Bukankah pagi ini dia telah pulang ke
rumah ?" Ragil mengumbar kata.
"Kang Ragil! Berikan pakaianku!"
Sayem meratap.
"Keluarlah dari tempatmu, dan
datanglah kemari!" kata Ragil dengan
nada olok-olok. Dia tetap senyum-
senyum dengan mata jalang mengawasi
Sayem yang semakin membenamkan
tubuhnya ke dalam air sampai sebatas
leher.
"Kau tentunya tidak akan seharian
kumkum di situ, Yem!" ledek Ragil.
"Pasti ikan-ikan di sungai ini sedang
menonton tubuhmu. Aku jadi iri, Yem.
Bagaimana kalau ada ikan jantan lalu
nylonong ke sela pahamu?"
"Gendheng! Edan!" umpat Sayem.
"Kalau kang Klungsu tahu, pasti kau
dibantai!"
"Ah, kalau dia mampu pasti sudah
dilakukan dari dulu-dulu. Sampai tadi
malam pun, dia tak mampu melakukannya.
Bahkan kuberi dia kesempatan untuk
hidup!" ledek Ragil.
"Berikan pakaianku ! Kalau ada
orang yang melihat, kau akan dikeroyok
orang satu kampung," ancam Sayem
dengan sikap menakut-nakuti.
"Dikroyok orang satu kampung?
Satu desa pun akan kuladeni!"
Sayem tiba-tiba terperangah
melihat apa yang akan dilakukan Ragil.
"Kalau kau tak sudi datang
kemari, aku yang akan ke tempatmu,"
kata Ragil sambil melepas pakaiannya.
"Kang Ragil........ jangan!!"
keluh Sayem ketakutan.
Ragil tertawa terkekeh-kekeh
seperti kucing melihat dendeng. Tetapi
tiba-tiba suaranya tersendat. Itu
karena merasa tubuhnya melayang dan
mencelat. Sebuah tendangan telah
melanda punggungnya. Tubuh Ragil me-
layang ke arah sungai dan tercebur
tiga tombak jauhnya dari tempat Sayem.
Ragil tak tahu siapa yang melakukan
pembokongan itu. Ketika muncul dari
permukaan air maka umpatannya meledak.
Dia misuh-misuh selangit. Dilihatnya
Sayem telah naik ke tepian dan
seseorang memberikan kain kepadanya.
"Keparat kau, Ppp..... Puspa-
rini!!" teriak Ragil sambil
menggenjotkan tubuh keluar dari sungai
dan nangkring di atas padas. "Kau o-
ang baru masuk ke kawasan ini sudah
berani banyak tingkah terhadapku!"
Ya ! Pusparini yang telah meng-
hajar Ragil sampai mencelat ke sungai.
"Yang banyak tingkah itu kan
kamu. Mbakyu ini sudah punya suami.
Mengapa mesti hendak kau kurang ajari?
Sebagai sesama wanita, aku terpaksa
bertindak. Kau pikir wanita itu bisa
kau buat main-main seenak udelmu?
Kalau ingin main-main, ayo denganku !
Aku ladeni!" tantang Pusparini.
"Demit kapiran!!! Kau akan tahu
siapa aku..!!" teriak Ragil sambil
melesat ke arah Pusparini. Dan itu
adalah gerak yang ceroboh dilakukan
oleh Ragil. Dia terlalu jauh membuat
gerakan meloncat ke arah lawan.
Pusparini dapat mengetahui arah mana
yang hendak dituju Ragil. Oleh sebab
itu lowongan tersebut diisi jurus
untuk menghadapi tendangan lawan.
Akibatnya, Ragil terpaksa mengubah
serangan. Tetapi hal itu sulit
dilakukan karena semua peluang telah
dikuasai Pusparini. Kemana pun Ragil
berkelit, pasti kena gampar.
Dan itu benar-benar terjadi.
Serangan Ragil mendapat pukulan tangan
kanan Pusparini, sehingga tapak
kakinya kesemutan, yang disusul lagi
dengan sabetan tangan kiri. Semua itu
cukup membuat Ragil jempalitan di
udara, lalu menapak tanah kembali.
Tetapi sekejap kemudian dia melesat ke
udara sambil memusatkan tenaga pukulan
di tangannya yang langsung ditujukan
ke arah Pusparini. Tetapi wanita muda
ini memandang gaya serangan itu cuma
kelas tempe. Hal itu terbukti Puspari-
ni dengan mudah dapat mengimbangi
dengan tangkisan yang cukup fatal.
Tangan kanannya membendung pukulan
Ragil, tetapi kaki kiri Pusparini
segera melesat dengan cepat ke atas,
langsung mengunjam ke lambung lawan.
Ragil menggeliat di udara. Sebelum dia
menginjak tanah, Pusparini telah
menyerangnya lagi dengan tendangan
kaki. Tubuh Ragil benar-benar jadi
bulan-bulanan, yang akhirnya mencelat
menimpa semak belukar.
"Mbakyu ! Cepat pulang sebelum
dia siuman. Kukira untuk beberapa saat
dia akan tertidur di situ," kata
Pusparini kepada Sayem yang sejak
terjadi pertarungan tadi menyaksikan
dari balik batang pohon.
"Ttt.... terima kasih... dd...
dik pendekar....!" kata Sayem sambil
secepatnya meninggalkan tempat itu.
Pusparini pun berlalu dari sana,
menghampiri kudanya yang ditambatkan
di bawah pohon.
***
2
Ternyata peristiwa baku hantam
Pusparini dengan Ragil ada yang
mengintip. Orang ini segera menyebar
luaskan kejadian itu.
"Jadi Ragil klenger?" tanya
temannya setelah mendengar kisah
tersebut.
"Bener? Sepak terjang wanita muda
itu.....whiih.....huebat banget. Cuma
beberapa kali gebrak, Ragil tak
berkutik."
"Kalau begitu.... dia orang yang
kita cari," kata seorang lelaki tua.
"Dicari untuk apa ?" tanya
orangyang memberi laporan.
"Kau akan tahu nanti. Ayo,
tunjukkan dimana pendekar wanita yang
kau ceritakan itu"
"Wah, ya nggak tahu. Setelah
menggasak Ragil, dia terus menaiki
kudanya entah pergi ke mana," jawab si
pelapor. Tetapi baru saja menutup
pembicaraan.
"Oh! Itu dia! Itu dia!"
Kemudian semua mata tertuju ke
arah jalan utama desa itu.
Pusparini tampak berkuda, yang
melihat gelagatnya akan meninggalkan
desa itu. Seorang penduduk yang punya
niat tadi segera memburu Pusparini.
"Berhenti dulu. Maaf, nduk, kalau
boleh aku ingin berbicara kepadamu,"
kata laki-laki itu.
Pusparini menghentikan kudanya.
"Oh ya? Ada apa, pak?!" tanya
Pusparini.
"Lebih baik di tempatku saja,
nduk. Ada sesuatu yang penting ingin
kubicarakan denganmu," kata laki-laki
itu.
"Tapi......siapakah bapak ini?"
tanya Pusparini.
"Aku Jaga Baya desa ini. Namaku
Ki Pandulu. Kau tak keberatan bukan ?"
"Baiklah !" kata Pusparini sambil
turun dari kudanya.
"Lho, kok turun. Rumahku di
seberang sungai Itu. Berjalan cukup
jauh."
"Bapak kan jalan kaki. Jadi lebih
enak kita omong-omong sambil jalan
kaki menuju rumah bapak," jawab
Pusparini dengan sopan.
Ki Pandulu tersenyum dan geleng-
geleng. Kesan terhadap Pusparini
menimbulkan rasa nyemanak. Artinya,
penuh rasa hormat serta kekeluargaan.
Beberapa saat ketika mereka
menempuh perjalanan itu, mereka
melewati puing bekas rumah terbakar.
"Kelihatannya puing ini belum
lama terjadi kebakaran. Warga desa
bernama Klungsu dan Ragil kemarin
didapati tertidur di sini. Bapak
mengerti mengapa terjadi kebakaran di
bekas rumah ini?" tanya Pusparini.
"Itulah yang nanti bapak
ceritakan. Tetapi tentang tertidurnya
Ragil dan Klungsu, kata orang bukan
tertidur biasa. Kena totokan jalan
darah, dan... enghmm... siapa namamu,
nduk?" kata Ki Pandulu.
"Pusparini, pak"
"Oh, nama yang indah."
"Mereka memang kena totokan jalan
darah. Orang yang melakukan pasti
berilmu tinggi. Tapi... tunggu,pak.
Saya ingin melihat bekas-bekas
kebakaran yang telah menghabiskan
rumah ini," pinta Pusparini.
Ki Pandulu tertegun sejenak. Ada
sesuatu yang dipikirkan.
"Silakan. Tapi sebaiknya kukata-
kan sekarang tentang puing-puing rumah
ini," kata Ki Pandulu sambil
mendampingi Pusparini memeriksa bekas-
bekas kebakaran. "Ini bekas rumah Ki
Bangah. Dia beserta istrinya tewas
terbakar."
"Oh, kasihan. Tidak ada keluarga
yang lain?" tanya Pusparini sambil
memungut sesuatu di antara puing-puing
itu. Sebuah logam. "Senjata rahasia,"
bisik Pusparini pelan.
"Ada seorang anak gadisnya yang
sampai saat ini tidak kami ketahui
nasibnya. Entah di mana dia sekarang.
Namanya Sriwening," Ki Pandulu terus
memberi penjelasan yang tiba-tiba
terkejut melihat Pusparini menemukan
sebuah logam yang diketahui sebagai
senjata rahasia, entah milik siapa.
"Berarti ada bentrokan sehubungan
dengan kebakaran itu, pak," kata
Pusparini sambil menunjukkan benda
itu. "Bapak pernah melihat senjata
rahasia ini?"
"Tidak. Oh, alangkah bodoh diriku
sampai tidak bisa menemukan benda itu
sewaktu tempo hari mengadakan
pemeriksaan setelah kebakaran itu
terjadi. Mungkin karena hujan maka
benda itu yang semula tertimbun abu,
jadi muncul di permukaan tanah."
"Kalau yang bapak maksud semua
itu ada kaitannya dengan peristiwa
terbunuhnya keluarga Ki Bangah, saya
akan membantu bapak untuk menyelidiki
hal ini. Mari kita terus ke rumah
bapak," ajak Pusparini.
Mereka segera meninggalkan tempat
itu. Sayangnya mereka tidak sadar
bahwa sepasang mata telah mengamati
gerak-gerik mereka dari kejauhan di
balik lorong gang.
Malam ini Pusparini bermalam di
rumah Ki Pandulu, jaga baya Desa
Sonogading. Sejak sore telah terjadi
pembicaraan antara Pusparini dengan Ki
Pandulu. Dan seperti biasanya, Desa
Sonogading setiap malam tetap diguyur
hujan Penduduk bilang, ini "mongso
rendeng", musim penghujan.
"Memang tak ada yang beres di
desa ini," pikir Pusparini di balik
selimut. Kalau tak salah desa ini
termasuk kadipaten Prambanan."
Pusparini meneliti lagi logam
senjata rahasia yang ditemukan di
puing rumah Ki Bangah.
"Menurut cerita Ki Pandulu tadi,
setiap malam desa ini disatroni oleh
sesosok tubuh tak dikenal yang
mengganggu rumah-rumah. Tapi tidak
merampok. Dia datang mengganggu anak
gadis. Anehnya, dia tidak memperkosa,
suatu hal yang sangat ditakutkan. Hm,
hanya mengganggu anak gadis. Dan
gadis-gadis itu menurut pengakuan
mereka, hanya ditelanjangi, kemudian
di tinggal pergi. Aneh!"
Pusparini mempertajam indera
pendengarannya. Hujan di luar mulai
reda. Malam semakin larut. Timbul
niatnya untuk memergoki tokoh aneh
yang sering kelayapan pada tengah
malam untuk mengganggu anak gadis
penduduk itu. Tetapi menurut kete-
rangan Ki Pandulu, tokoh aneh tersebut
tidak bisa dipastikan kemunculannya.
Tidak pada setiap malam. Tetapi cukup
membuat resah penduduk.
Pusparini memutuskan untuk keluar
rumah. Harapannya, dia ingin memergoki
tokoh aneh Itu. Untung-untungan. Kalau
tidak ketemu, ya sudah, begitu piker-
nya. Lalu Pusparini keluar ruangan
kamarnya. Dengan sekali genjot, dia
sudah nangkring di wuwungan rumah.
Ilmu mengentengkan tubuh diterapkan
agar tidak membuat berisik. Dia yakin,
tokoh aneh itu pasti memiliki ilmu
tinggi. Ki Pandulu juga belum bisa
memastikan apakah peristiwa kebakaran
yang terjadi di rumah Ki Bangah ada
hubungannya dengan tokoh aneh itu.
Gerimis kepyur tidak diindahkan
oleh Pusparini. Dia melesat dari
wuwungan yang satu ke wuwungan yang
lain. Semuanya dilakukan tanpa be-
risik. Hanya pakaiannya yang menim-
bulkan bunyi berkelebat karena terpaan
angin tatkala melompat.
Akhirnya dia nangkring di sebuah
wuwungan rumah yang bentuknya agak
mewah dari rumah lain. Di tempat ini
dia berdiri agak lama. Matanya menyapu
kegelapan malam. Tak ada secercah
cahaya pun dari dalam rumah penduduk
yang menembus keluar. Hanya cahaya
kilat yang sesekali menolongnya
sehingga tahu keadaan sekitarnya.
Tiba-tiba perasaan Pusparini
terusik Seperti ada sesuatu yang
bergerak di teritisan rumah-rumah tak
jauh dari tempat itu. Dia mencoba
menajamkan pandangan ke arah tempat
yang dicurigai. Harapannya mudah-
mudahan ada cahaya kilat di langit
sehingga dia bisa melihat dengan nyata
siapa yang bergerak di sana. Ternyata
tak ada kilat secercahpun. Karena
dipikir sosok tubuh yang dicurigai itu
semakin mendekat, maka Pusparini
melompat ke sana.
Tetapi sial. Sebelum Pusparini
tiba di tempat yang diincar, sosok
tubuh itu dengan cekatan menggerakkan
tangannya. Pusparini merasakan pukulan
melanda. bahunya. Tetapi dia cepat
menggulirkan tubuhnya agar tidak
mengalami serangan beruntun yang
dilakukan oleh sosok tubuh itu. Memang
agak sulit baginya untuk membaca
situasi dalam suasana gelap seperti
itu. Pusparini berusaha mengatasi
diri. Setelah bergulir menghindarkan
diri, dia pasang kuda-kuda. Matanya
dipertajam menembus kegelapan malam.
Dan secepat itu pula dilihatnya sosok
tubuh yang diserang tadi melesat ke
arahnya. Rupanya lawan ini menganggap
Pusparini perlu diladeni. Bentrokan
tak bisa dihindari. Pada kesempatan
inilah Pusparini dapat mengambil
kesimpulan bahwa lawannya seorang
wanita. Tetapi siapa gerangan?
"Kita harus bicara. Aku ingin
tahu siapa kau sebenarnya!" terdengar
suara sosok tubuh itu.
Pusparini menghentikan sepak
terjangnya. Tetapi dia tetap waspada,
takut kalau-kalau hal itu hanya
muslihat lawannya.
Kilat memancar di langit. Puspa-
rini bisa melihat dengan nyata sosok
tubuh lawannya. Dia memang seorang
wanita.
"Aku Sriwening. Putri Ki Bangah,"
kata wanita itu.
"Sriwening?" ucap Pusparini
seolah ingin kepastian. "Sriwening
putri Ki Bangah?!"
"Ada apa? Siapa kau sebenarnya
yang tiba-tiba saja menyerangku?"
tanya Sriwening dengan membenahi
pakaiannya.
"Sebaiknya kita ke tempat Ki
Pandulu, jagabaya desa ini. Aku
menginap di sana," kata Pusparini
mencoba mengawasi keadaan wanita
bernama Sriwening.
"Ki Pandulu? Oh, itu kebetulan
sekali. Sebenarnya aku hendak ke sana.
Aku baru saja datang ke desa ini. Aku
mendengar bahwa kedua orang tuaku
terbunuh," sambung Sriwening dengan
mengiringi langkah Pusparini. "Pantas
kalau Ki Pandulu mempunyai tenaga
pembantu seperti kau. Jaga baya
bertugas menjaga keamanan."
"Kata Ki Pandulu ada sesuatu yang
tidak beres di desa ini," kata
Pusparini.
"Itu sudah kuduga," sela
Sriwening.
"Hst!" tiba-tiba Pusparini
mencekal lengan Sriwening. "Aku
melihat seseorang mengendap-endap di
seberang jalan itu."
"Aku juga telah melihatnya tadi.
Tetapi mengapa kelihatannya kau
mencurigai semua yang kau lihat di
malam seperti ini?" tanya Sriwening.
"Pasti kau telah lama mening-
galkan tempat ini sehingga tidak tahu
perkembangan peristiwa yang menimpa
desa Sonogading," kata Pusparini
dengan terus mempertajam pengamatannya
kepada sesosok tubuh yang tetap
mengendap-endap di sana. "Ayo kita
sergap dia."
Pusparini dan Sriwening menyebar.
Sementara itu sosok tubuh yang
dicurigai melambungkan tubuhnya ke
atap rumah. Hal itu tak lepas dari
pengawasan Pusparini yang telah
melangkah terlebih dahulu. "Hm.
Berilmu juga dia. Jelas bukan maling
ayam," pikirnya.
Pusparini mengejar ke atap rumah.
Pada saat itulah sosok tubuh yang
dikejar mengetahui kehadirannya.
"Hei! Katakan siapa dirimu! Siapa
pun yang kelayapan dengan caramu itu,
pasti bukan manusia baik-baik!" tegur
Pusparini dengan nada tegas.
Kilat memancar. Dari cahaya ini
Pusparini sekilas dapat melihat dengan
jelas wajah sosok tubuh itu. Tetapi
wajah yang bertopeng.
"Hm! Bertopeng lagi. Bagaimana
aku bisa menyebutmu bahwa kemunculanmu
malam ini dengan maksud baik,"
sambungnya lagi. Kali ini Pusparini
mulai pasang kuda-kuda, sebab diper-
kirakan orang di hadapannya itu akan
menyerang. Dan benar! Manusia
bertopeng itu menerjang ke arah
Pusparini. Geraknya melesat bagai
punya sayap pada tubuhnya. Penampilan
yang terlihat bagaikan sayap itu
adalah jubah yang dipakainya. Gerakan-
nya membuat jubahnya mengembang se-
perti sayap kelelawar.
Pusparini berkelit sambil mengi-
rimkan pukulan ke arah lawan ketika
orang bertopeng itu mengayunkan
tangannya. Ayunan pukulan, serang dan
menangkis saling beruntun silih
berganti. Selang beberapa jurus, orang
bertopeng itu merasakan lambungnya
kena tendang. Tetapi tubuhnya tidak
oleng. Bahkan dia langsung mengirimkan
pukulan ke arah asal tendangan itu.
Ternyata yang bikin ulah adalah
Sriwening.
Kini dua lawan satu.
Bagi Pusparini sebenarnya hal ini
tidak enak. Dia belum bisa mengukur
kekuatan lawan. Mengapa harus menge-
royok? Oleh sebab itu untuk beberapa
saat dia berkelit menghindar, memberi
kesempatan kepada Sriwening agar mena-
ngani manusia bertopeng yang dicurigai
punya niat tidak baik.
Dari pengamatan Pusparini bahwa
manusia bertopeng itu cukup tangguh
dan berilmu tinggi. Cerakannya banyak
memancing Sriwening, sehingga perkela-
hian mereka berkembang dari atap rumah
yang satu ke atap rumah yang lain.
Melihat hal ini timbul hasrat
Pusparini untuk menjebak manusia
bertopeng itu. Rencananya, selagi
lawan itu sibuk menghadapi Sriwening,
dia akan menyambar topeng yang
melindungi wajahnya. Pusparini melesat
dengan diam-diam. Akan dilakukan dari
samping, sebab cara ini lebih mudah
dari pada harus membokong karena
terhalang jubah yang sering berkem-
bang. Tetapi baru saja Pusparini
nyaris mendekat, tiba-tiba manusia
bertopeng ini mengibaskan jubahnya
untuk menghalau tindakan itu.
Hebat. Pusparini merasakan kiba-
san itu merobek lengannya.
Ya, merobek! Sebab Pusparini
merasakan sesuatu yang pedih di
lengannya. Pusparini menduga bahwa
ujung jubah itu pasti ada logam tajam
sebagai senjata yang dirahasiakan
letaknya. Lalu kekhawatirannya timbul.
Bagaimana kalau senjata itu beracun?
Dia ingat peristiwa yang lalu ketika
harus berhadapan dengan tokoh bernama
Sawung Cemani yang memiliki senjata
tersembunyi pada tumitnya. Sawung
Cemani berarti 'ayam laga hitam'. Dan
jalu besi sebagai senjata yang tersem-
bunyi tersebut banyak menimbulkan
korban dengan akibat yang mengerikan.
Tetapi beberapa saat berikutnya
di saat Pusparini terpaksa harus
menghindar ke belakang, rangsangan
racun yang dikhawatirkan tidak ada.
Berarti goresan itu cuma luka biasa.
Pusparini bertindak lagi. Kali ini dia
lebih waspada. Dia menggenjotkan tubuh
melesat keatas. Pusparini yang punya
gelar pendekar sebagai Walet Emas ini,
mengerahkan jurus waletnya. Suatu
jurus serangan yang tampaknya lemah
gemulai, tetapi pada detik yang
menentukan akan bergerak dengan cepat
ke arah sasarannya.
Gerak melambung ke atas ini
memang tidak diwaspadai oleh manusia
bertopeng itu. Kemudian tubuh
Pusparini meliuk dengan manis ke arah
sasaran. Dan...
Sret!!
Topeng berhasil direnggut.
Terdengar suara umpatan dari
tokoh yang menjadi sasaran ini. Tahu
bahwa topengnya direnggut lawan,
dengan cepat dia menutup wajah dengan
jubahnya dan melesat menghindar.
Tetapi gerakannya agak ceroboh,
sehingga Sriwening yang sejak tadi
melawannya, berhasil menggasak
lambungnya.
"Dia meloloskan diri!" teriak
Sriwening.
"Biarkan!" cegah Pusparini.
"Tampaknya kau berhasil merenggut
topeng yang dipakainya."
"Ya. Untuk sementara kita akan
menyelidiki dari topeng ini. Kita tak
bisa gegabah bertindak secara tuntas.
Ayo, kita kembali ke tempat Ki
Pandulu," ajak Pusparini.
Tetapi begitu mereka akan
beranjak pergi, tiba-tiba terdengar
suara tawa berkepanjangan dari
kejauhan sana.
"Suara siapa itu," kata Sriwening
lirih.
"Kedengarannya tambah menjauh!"
***
3
Ki Pandulu merasa senang dengan
kemunculan Sriwening yang telah
kembali ke desa Sonogading.
"Jadi selama ini kau dikirim
ayahmu berguru ilmu kependekaran ?"
tanya Ki Pandulu esok harinya.
"Benar, Ki. Baru seminggu yang
lalu saya mendengar berita tentang
ayah dan ibu saya. Apakah Ki Pandulu
belum berhasil mengung-kap latar
belakang peristiwa terbunuhnya kedua
orang tua saya?" tanya Sriwening
sementara Pusparini mengikuti pembi-
caraan itu dengan tekun. Berbicara
tentang kematian kedua orang tua,
Pusparini merasa prihatin, sebab
nasibnya tak beda jauh dengan yang
dialami Sriwening.
"Belum. Belum berhasil kami
ketahui. Bahkan kini kucoba menghu-
bungkan dengan peristiwa munculnya
tokoh yang telah kalian tangani
semalam. Kedua orang tuamu terbunuh
sebelum tokoh yang nyalawadi itu
muncul. Baru beberapa hari kemudian,
tokoh yang bikin resah itu muncul.
Inipun dengan alasan yang sulit diurai
nalar. Dia muncul di tengah malam
hanya untuk mengusik anak gadis orang.
Tetapi tidak ada tanda-tanda untuk
merusak kehormatan terhadap setiap
gadis yang dia telanjangi. Ya, hanya
begitu perlakuannya. Dan di desa
Sonogading ini telah sepertiga pen-
duduk mengalami hal itu," kata Ki
Pandulu sambil menyisipkan rangkuman
kinang di mulutnya.
"Hm. Aneh. Hanya ditelanjangi.
Kemudian ditinggal pergi. Sepertinya
ada sesuatu yang dicari dengan melihat
tubuh-tubuh yang tiada berbusana itu,"
sela Pusparini.
"Dan topeng ini akan mengawali
penyelidikan kita"
"Topeng bercat merah. Wajah tokoh
jahat yang sering dipentaskan dalam
pagelaran sendratari," sambung Sri-
wening.
"Sendratari?" tanya Pusparini
seakan-akan ada pelita menerangi
pikirannya.
"Ya, sendratari. Bukankah ini
topeng tokoh Rahwana? Kau tidak tahu?"
kata Sriwening.
"Sendratari! Ah, rupanya dari
sana kita harus beranjak," saran
Pusparini.
"Apakah mungkin topeng ini bera-
sal dari kelompok pemain sendratari
yang sering mempergelarkan diri di
Kadipaten?" tanya Ki Pandulu sambil
mengawasi topeng Rahwana itu dengan
teliti.
"Beberapa waktu yang lalu saya
pernah menyaksikannya," tukas Sri-
wening.
"Tetapi kapan sendratari itu
dipentaskan lagi ?" tanya Pusparini
yang agaknya mulai tertarik dengan
masalah itu. Soalnya sudah lama dia
ingin menyaksikan pagelaran itu.
Selama ini dia hanya mendengar cerita
orang-orang dari mulut ke mulut
tentang keindahan sendratari. Dan hal
itu hanya bisa diselenggarakan oleh
kalangan bangsawan. Kebanyakan kisah
yang dipentaskan adalah kisah dari
khasanah cerita Ramayana dan Maha-
bharata.
"Kukira kita tak perlu menye-
lidiki mengandalkan kapan sendra-
tarinya dipentaskan. Telapi kita cari
rombongan pemain sendratari itu. Di
sekitar kadipaten Prambanan ini hanya
satu kumpulan sendratari yang ter-
kenal. Namanya Krida Swara," kata
Sriwening menandaskan. Dia mengharap
usulnya tentang melacak tokoh berto-
peng itu bisa disetujui.
"Rupanya kau lebih menguasai
lapangan dari padaku, Sriwening. Buah
pikiranmu kusetujui. Bukankah begitu,
Ki?" kata Pusparini sambil melempar
pandang ke arah Ki Pandulu. Dan pada
saat yang bersamaan ini, pandangan
Pusparini berhasil melihat seseorang
berada di balik pilar pendopo.
"Oh, siapa itu, Ki. Tampaknya dia
sudah lama berada di situ. Mungkin ada
keperluan menemui Ki Pandulu," kata
Pusparini.
Merasa dipergoki, orang itu
muncul. Pusparini terjengah. Dia tahu
laki-laki itu. Si Klungsu, lawan
bentrokan Ragil.
"Klungsu !" tegur Ki Pandulu.
"Sudah lama kau di situ ? Kalau ada
perlu dengan aku, masuk saja."
Klungsu terlihat blingsatan, dan
melangkah ke depan, kemudian mengambil
tempat duduknya sambil bersila.
"Memang ada keperluan, Ki. Eh...
anu... Sayem, istri saya...," kata
Klungsu dengan tampak kebingungan.
"Ya ?! Kenapa dengan istrimu ?"
tanya Ki Pandulu.
"Eh...ss...semalam diculik oleh
seseorang...!" jawab Klungsu.
Penampilannya yang selama ini sebagai
jago kepruk, tiba-tiba l-nyap.
"Apa ? Yu Sayem diculik sese-
orang? Maksudmu...orang bertopeng?"
tanya Pusparini.
"Saya tak tahu. Semalam memang
saya tidak tidur di rumah. Saya men-
curigai Ragil. Tetapi sampai sekarang
saya tidak menjumpai Ragil," kata
Klungsu dengan penampilan yang tidak
seperti jago kepruk lagi. Dia tampak
loyo kehilangan semangat. Rupanya
Sayem sangat berarti dalam hidupnya.
"Klungsu, Klungsu. Kau ini ter-
kenal sebagai jago kepruk. Setiap
orang tidak berani menatap pandangan
matamu. Sekarang kehilangan istri
lapor ke mari. Mengapa tidak kau cari
saja sendiri?" kata Ki Pandulu.
"Maksud saya.... ingin minta
bantuan kepada... gendhuk ini...! Kata
Sayem sebelum dia hilang diculik,
gendhuk, ini menyelamatkan dirinya
dari kekurang ajaran Ragil," kata
Klungsu seperti orang tak berdaya.
"Baiklah!" penggal Pusparini.
"Mudah-mudahan istri kang Klungsu ada
hubungannya dengan tugas yang kami
emban. Aku dan Sriwening akan menuju
kadipaten Prambanan. Kalau kau ber-
tekad untuk mencari yu Sayem, bisa
bergabung dengan kami. Bagaimana?"
usul Pusparini.
"Bbb....baik! Baik, nduk!" jawab
Klungsu.
***
Kemudian mereka bertiga, Puspa-
rini, Sriwening dan Klungsu berangkat
menuju Kadipaten Prambanan dengan
seijin Ki Pandulu. Karena keterbatasan
kendaraan kuda, mereka berangkat jalan
kaki. Sedang kuda milik Pusparini
ditinggal di rumah Ki Pandulu.
Dalam perjalanan ini yang menjadi
petunjuk jalan adalah Sriwening,
karena semasa orang tuanya masih
hidup, dia sering pergi ke Kadipaten
Prambanan untuk melihat pagelaran
sendratari. Di samping itu Sriwening
masih punya sanak famili di kadipaten
ini.
Beberapa waktu kemudian.......
"Kita sudah masuk di wilayah
Kadipaten Prambanan," kata Sriwening
dengan mengajak berteduh di bawah
pohon. Di sana mereka membuka bekal
yang dibawa. Mereka bertiga segera
melahap bekal masing-masing.
"Sri! Apakah rumah familimu masih
jauh dari sini ?" tanya Pusparini
sambil mengakhiri makanannya. Bekal
lontong telah ludes dari bungkusannya.
"Di pinggir kadipaten sebelah
timur. Tetapi sebaiknya kita ke tempat
kelompok kumpulan sendratari itu dulu.
Mudah-mudahan tidak pindah," Sriwening
memberi jawaban. Diapun memakan bekal-
nya yang terakhir. Sedangkan Klungsu
tak banyak bicara. Bekalnya masih ada,
dan enggan memakannya.
"Nafsu makanku hilang. Rasanya
Sayem selalu tampak di pelupuk mataku.
Kalau ini benar-benar perbuatan Ragil,
akan kucincang sampai lumat si Ragil
itu," gerutu Klungsu sendirian. Tetapi
Pusparini mendengar gerutu itu.
"Apakah wanita bisa menghilangkan
semangat seorang lelaki, kang?"
tanyanya.
"Oh... eh... apa nduk?" kata
Klungsu blingsatan.
"Semangat ? Enghm... kukira...
iya... dan tidak...!"
"Tentu kang Klungsu sangat
mencintai yu Sayem", Sriwening
nimbrung ngomong.
"Dia itu sudah tidak 'pak' juga
tidak 'mbok'. Sebatang kara. Dan aku
suaminya, satu-satunya orang yang
harus melindungi," kata Klungsu
seperti mengenang masa lampaunya.
"Kami kawin baru enam bulan yang lalu.
Dan belum ada tanda-tanda Sayem
mengandung."
"Saya ikut prihatin, kang. Tetapi
percayalah. Kami berdua akan membantu
kang Klungsu agar yu Sayem dapat kita
temukan dalam keadaan selamat," kata
Pusparini.
"Kalau sudah hilang rasa letih,
sebaiknya kita terus jalan lagi," ajak
Sriwening.
Mereka berangkat. Perjalanan
mengarah ke utara. Dari jauh puncak
candi Prambanan tampak menjulang
dengan megah. Sayup-sayup terdengar
suara gamelan.
"Itu! Kalian dengar? Berarti
kumpulan kelompok sendratari Kridha
Swara belum pindah," ucap Sriwening.
Mereka mempercepat langkah.
"Hei! Kalian bertiga! Berhenti!"
terdengar suara lantang tiba-tiba dari
arah samping mereka.
Sekelompok orang muncul.
"Siapa mereka? Kau kenal, Sri?"
tanya Pusparini dengan wajah nyengir
menahan panas matahari yang tepat di
atas kepala.
"Entahlah! Tetapi melihat tampang
mereka yang seperti anjing-anjing
buduk, berarti kita akan mendapat
kesulitan," jawab Sriwening sambil
membenahi pakaiannya untuk siap
tempur.
Kelompok orang-orang itu telah
mendekat. Mereka berjumlah dua belas
orang, dan langsung mengambil tempat
mengepung.
"Kalau kalian yang disebut begal,
boleh rampas apapun yang ada pada
kami. Tetapi kalau orang baik-baik,
kuharap kalian menyingkir!" kata
Sriwening dengan suara lantang.
"Ck,ck,ck,ck........! Bukan main!
Ini ada anak baru gede sudah berani
sumbar menggebrak tankingan terhadap
Senggoro Macan!" sumbar seseorang yang
tampaknya sebagai pimpihan mereka.
"Kami bukan begal, nduk. Hanya yang
punya tlatah jalan yang akan kau lalui
ini. Kalian harus membayar sedikit
upeti!"
"Upeti! Peraturan mana itu?
Setahuku jalan ini adalah jalan umum
yang siapa pun boleh lewat sesuka
hatinya," sahut Sriwening tegas.
"Whuuehh! Belum ada seorang pun
berani menyangkal kehendak Senggoro
Macan. Lha kok kamu yang masih umbelen
sudah berani mengumbar omongan seperti
punya nyawa cadangan!" seru orang yang
bernama Senggoro Macan ini.
"Benar, kisanak," kata Klungsu
nimbrung, "tampaknya jalan ini adalah
jalan umum yang sembarang orang boleh
lewat. Saya pun punya otot kalau ingin
njajal!!!"
"Sikaatt!!" seru Senggoro Macan
dengan lantang. Serentak anak buahnya
yang sejak tadi siap tempur, langsung
menggebrak dengan terjangan. Baik kaki
maupun tangan.
Tetapi tindakan mereka segera
disambut hangat oleh Pusparini,
Sriwening, dan Klungsu. Baku hantam
teradi. Beberapa orang yang meremehkan
penampilan Pusparini dan Sriwening
yang diduga masih di bawah umur dalam
ilmu bela diri, sempat mencelat sambil
menebah perut dan dada. Bahkan ada
yang menebah kemaluannya karena kena
tendang kaki Pusparini. Kemudian yang
lain maju. Kali ini golok mereka
berperan. Tetapi dengan mudah
ditangkis dengan sentilan totok urat
pada pergelangan tangan, sehingga
beberapa golok mencelat dari tangan
pemegangnya.
Dalam kesempatan ini Klungsu
benar-benar menunjukkan peranan
dirinya yang digelari jago kepruk di
desanya. Kini dia terlihat ganas
dengan sabetan pukulan yang tak pernah
luput. Kadang dia kena sergap
pembokongan, tetapi dengan mudah
berhasil menghalau lawan.
Kini para pengroyok itu telah
semuanya mempergunakan senjata tajam.
Klungsu pun demikian. Goloknya telah
dikeluarkan dari sarungnya. Sedangkan
Sriwening dan Pusparini masih
mempergunakan tangan kosong untuk
menghadapi lawan. Dan apabila keduanya
terpaksa mempergunakan senjata tajam,
itu pun dengan merampas senjata lawan-
lawannya.
Melihat anak buahnya tak mampu
bertahan, maka Senggoro Macan turun
gelanggang. Langsung dia menggebrak ke
arah Sriwening. Ternyata Senggoro
Macan punya cakar yang mampu
menciutkan nyali lawan. Tetapi Sri-
wening tak gentar dengan penampilan
kuku-kuku Senggoro Macan yang mencuat
menakutkan itu. Sesuai dengan namanya,
maka Senggoro Macan banyak
mengeluarkan jurus harimau. Setiap
serangan selalu diiringi raungan, dan
ini memang suatu cara untuk
melumpuhkan nyali lawan.
Untuk mengimbangi pukulan lawan
yang bercakar itu, Sriwening terpaksa
mempergunakan golok yang diambil dari
golok anak buah Senggoro Macan yang
melarikan diri. Kini para pengroyok
telah berhasil dihalau. Tinggal
Senggoro Macan sendirian berhadapan
dengan Sriwening. Perkelahian ini
menjadi tontonan Pusparini dan
Klungsu.
"Kalau perlu dibantu, katakan
Sri!" seru Pusparini sambil
memperhatikan sepak terjang Sriwening.
"Menghadapi macan ompong semacam
ini bisa kuatasi sendiri," jawab
Sriwening sambil melesat ke atas
mengelak terkaman lawan. Begitu
tubuhnya limbung ke bawah, maka
kakinya menendang tengkuk Senggoro
Macan. Tentu saja sang lawan
terjengkang ke depan. Dan sebelum
tubuh Sriwening menginjak tanah, maka
kaki yang satu melesat mengunjam ke
leher lawan. Dua kali tendangan
membuat tubuh Senggoro Macan
terjerembab sambil berputar karena
tidak dapat menguasai diri lagi.
Tetapi dasar punya ilmu macan, maka
dalam keadaan kehilangan daya, dia
masih bisa secepatnya menghimpun
tenaganya untuk memberi balasan kepada
lawannya. Senggoro Macan memasang
kuda-kuda dengan trengginas. Matanya
melirik tajam. Mulutnya menyeringai
sehingga gigi-giginya yang kuning
tidak pernah dipelihara itu semakin
menambah bengis penampilannya. Lalu
Senggoro Macan menggenjotkan tubuh,
melesat ke arah lawan. Sriwening
bertindak serupa dengan mengandalkan
terjangan kaki. Tetapi begitu nyaris
beradu, dia berkelit ke samping dan
menonjok perut lawan. Kena! Senggoro
Macan bergulir pamer di udara menahan
rasa sakit sebab pukulan itu benar-
benar menghantam limpanya. Dan ini
secara kebetulan saja, bahwa dia
memang punya kelemahan di tubuh bagian
itu. Limpanya pernah cedera. Kali ini
Sriwening menggugatnya dengan hantaman
yang cukup keras, sehingga penyakit
itu kumat lagi. Sambil menyeringai
Senggoro Macan menjauh dari arena
laga.
"Aku akan datang lagi! Kalian tak
dapat lepas dari incaranku!!" sumbar
Senggoro Macan sambil ngeblas pergi.
"Lumayan dapat lawan seperti dia.
Sekedar 'makan siang," seloroh
Sriwening sambil membenahi pakaiannya.
"Kita terus jalan?” tanya Puspa-
rini.
"Ya ! Kau dengar itu ? Suara
gamelan masih berkumandang," jawab
Sriwening mengawali langkah. Mereka
bertiga meninggalkan tempat itu.
***
4
Suara gamelan mengalun mengiringi
gerak tari seorang wanita yang menjadi
tumpuhan perhatian di tengah panggung.
Gerak tangan wanita itu gemulai halus,
sementara lawan pasangannya mengim-
bangi dengan gerak serupa.
Itu hanya adegan latihan dari
kelompok sendratari Kridha Swara yang
bertepatan dengan munculnya Pusparini,
Sriwening dan Klungsu di tempat itu.
Karena penampilan yang lain dengan
orang-orang di sekitarnya, maka banyak
orang yang mengawasi Pusparini dan
Sriwening. Kesan mereka menyiratkan
bahwa tempat itu telah didatangi oleh
dua orang pendekar wanita.
"Rupanya kehadiran kita menarik
perhatian banyak orang," kata
Pusparini sambil menyapu pandang ke
sekelilingnya. "Lihat, kedua penari
itu mengenakan topeng menggambarkan
pria dan wanita."
"Itu menggambarkan tokoh Rama dan
Sinta," jawab Sriwening. Pusparini
manggut-manggut sementara Klungsu
seolah tidak mengedipkan mata sekejap
pun karena terpesona oleh gerak
gemulai penari wanita itu.
"Astaga... iit... itu... pasti
Sayem! Penari itu pasti Sayem,
istriku," kata Klungsu lirih. Tetapi
ucapan ini terdengar juga oleh
Pusparini dan Sriwening yang berada di
dekatnya.
"Edan, jangan ngawur, kang ! Kau
pasti terbayang-bayang oleh yu Sayem
yang kau nikah enam bulan yang lalu.
Maklum, masih bau pengantin baru.
Tetapi jangan lantas ngawur ngaku
bahwa wanita penari bertopeng itu
adalah yu Sayem," omongan Sriwening
menderas memperingatkan Klungsu yang
terus tak berkedip menyaksikan penari
wanita itu.
"Aku mengenal Sayem lebih baik
dari orang lain sebab aku adalah
suaminya yang sah! Coba lihat, pantat
itu, pantatnya Sayem, Pinggang itu
pinggangnya Sayem. Dada Itu dadanya
Sayem. Tangan itu tangannya Sayem.
Semua punya Sayem, karena dia adalah
Sayem istriku.....!" kata Klungsu
sambil beranjak dari tempatnya dan
melangkah ke depan.
"Hei, kang Klungsu. Jangan ke
sana," cegah Sriwening.
Klungsu nekad. Dia terus
melangkah. Agar tak menimbulkan perha-
tian, maka Pusparini dan Sriwening
tidak mengikuti langkah Klungsu yang
semakin nekad mendekat kearah
panggung.
"Sayem !!" teriak Klungsu sambil
menaiki tangga panggung. Jelas,
perbuatan Klungsu menimbulkan perha-
tian banyak orang. Dia terus naik ke
atas pentas dan menghampiri penari
bertopeng yang memerankan Dewi Sinta.
"Hei! Cegah orang itu!! Apa yang
akan dilakukan di situ?" teriak
seseorang yang dikenal sebagai Dalang
panggung. "Suruh turun dia!!"
Beberapa orang naik ke atas
panggung untuk mencegah tindakan
Klungsu.
"Turun kau!! Jangan ganggu
latihan ini. Ini gladi resik untuk
pementasan nanti malam yang akan
disaksikan Sang Adipati! Kepalamu bisa
dipenggal pengawal kadipaten kalau kau
merusak acara latihan ini!!" seru
salah seorang yang berhasil mencekal
lengan Klungsu. Tetapi dengan cepat
Klungsu mengibaskan cekalan itu
sehingga orang tersebut tersungkur ke
belakang. Temannya yang mencoba
membantu meringkus Klungsu menjadikan
panggung berubah dipenuhi keributan.
Dua orang penari segera turun. Suara
gamelan berhenti. Panggung menjadi
ajang perkelahian. Klungsu dikroyok
lima orang.
Melihat penari wanita turun dari
panggung, membuat Klungsu semakin
beringas. Dia tak mau kehilangan
Sayem. Lalu sepak terjangnya membabi
buta. Orang-orang yang mengroyoknya
dibuyarkan dengan ketangkasan sebagai
jago kepruk yang disegani. Tentu saja
para pengroyok yang umumnya anak
wayang perkumpulan sendratari, tak
mampu berbuat banyak untuk mengatasi
amukan Klungsu. Semangat Klungsu bagai
api yang disiram minyak. Tambah
berkobar. Tambah kalap.
"Wah, tambah gawat," celetuk
Pusparini "Apakah kita akan bantu
dia?"
"Jangan. Kukira hanya perkelahian
biasa. Tak akan memakan korban jiwa.
Bukankah kau tak ingin rencana kita
berantakan karena perbuatan Klungsu?"
jawab Sriwening sambil beranjak dari
sana.
"Kemana kita ?" tanya Pusparini
yang tanpa diperintah mengekor langkah
Sriwening.
"Kita temui Ki Dalang itu. Nah,
dia di sana. Tuh. Agaknya ada yang
dicemaskan dengan amukan kang
Klungsu."
"Sri! Lihat!" tiba-tiba tangan
Pusparini menarik tangan Sriwening.
"Ada apa ?"
"Lihat tuh!!" jawab Pusparini
dengan heran. "Wanita penari bertopeng
itu telah melepaskan topengnya. Dan
lihat..., dia benar-benar yu Sayem !"
Sriwening terjengah sambil
mengawasi wanita yang berdiri di dekat
perangkat gamelan. "Itukah yu Sayem ?
Aku memang belum pernah mengenal dan
melihatnya meskipun aku penduduk asli
desa Sonogading."
"Dia benar-benar yu Sayem !"
jawab Pusparini meyakinkan.
Sementara itu di atas panggung
Klungsu terlihat semakin kalap. Dengan
trengginas dia berhasil mcrobohkan
para pengroyoknya.
Mata Klungsu jelalatan mencari
wanita yang dicurigai sebagai Sayem.
"Sayem !!" teriaknya ketika
dilihat wanita berdiri di balik
peralatan gong gamelan. Yang ditegur
terkejut. Lalu seorang laki-laki,
pasangan mainnya, menyeret wanita itu
menjauh dari sana.
"Dia pasti orang tidak waras,"
kata laki-laki itu.
"Sayem!!" teriak Klungsu beranjak
mengejar. Perangkat gamelan jadi ajang
injakan kakinya. Dan pada saat
itulah......
Shwwwtt.......
jeb!!!
Sebuah senjata rahasia mengunjam
ke tubuh Klungsu bagian paha. Langsung
Klungsu terjungkal. Perangkat gamelan
berantakan terlanda tubuhnya.
Pusparini dan Sriwening
menyaksikan peristiwa itu.
"O-o, ini tidak boleh dibiarkan
lagi. Ayoh, Sri!" kata Pusparini
sambil melesat ke depart Sriwening
mengikuti. Sekejap kemudian dua orang
gadis ini telah berada di dekat
Klungsu.
"Kang Klungsu ! Kau terluka?"
tanya Pusparini sambil mengawasi paha
Klungsu yang mengucurkan darah. Ada
sesuatu yang sangat mengejutkan Puspa-
rini, yaitu sebuah senjata rahasia
yang menancap di paha yang berdarah
itu. Serupa dengan senjata rahasia
yang ditemukan di puing rumah
Sriwening. Pusparini segera memasang
mata, mengawasi keadaan di sekeliling-
nya. Semua anak buah perkumpulan
sendratari berlarian menyelamatkan
diri. Kini yang ada hanya beberapa
orang saja. Tetapi mereka bukan lagi
orang yang pandai berkesenian. Dan
tepatnya para pembunuh, sebab di
tangan mereka tergenggam senjata tajam
dengan berbagai bentuk.
"Ini semakin menyingkap selubung
teka-teki yang hendak kita cari
jawabannya," kata Pusparini pelan
sambil mempersiapkan diri menjaga
setiap kemungkinan yang bisa m-
renggutkan nyawa. Sriwening bertindak
serupa. Dua gadis ini segera mengambil
sikap untuk menghadapi orang-orang
yang terlihat tidak ramah. Seorang
yang dipandang sebagai pimpinan
kelompok, terlihat menyebar tawa,
melecehkan dua wanita muda yang
dipandang sebagai mangsa untuk digelut
di atas ranjang.
"Eman-eman ayumu, nduk! Wanita
secantik kalian seharusnya tak usah
terjun ke urusan yang ditangani
lelaki," kata orang itu sambil menge-
lus brewoknya. "Kau cuma mengantar
nyawa kalau kelayapan ke tempat ini
dengan urusan seenak udelmu."
"Aku memang punya urusan. Tetapi
tidak seenak udelku. Aku punya
pertimbangan dengan pemikiran otak
yang jernih. Kalau omonganmu itu kau
keluarkan setelah minum arak, maka
kami perlu menggampar kepalamu agar
kau bisa tidur nyenyak!" sumbar
Pusparini dengan congkak. Dia tahu,
bahwa lawan seperti itu mudah sekali
dipancing dengan ejekan. Kalau sudah
begitu, maka akal sehatnya pasti sirna
dengan tindakan sembrono. Pancingan
ini benar.
"Sikat lonte kecil itu!!!" teriak
sang pimpinan.
"Heeeaaaa...!" serentak anak
buahnya melesat sambil meledakkan
semangat tempur.
Tetapi yang diterima pada jurus
pertama malahan rasa sakit. Sebab
dengan gerakan Berirama, maka
Pusparini dan Sriwening mengibaskan
tangan dan menyapukan kaki ke arah
mereka. Hal ini berhasil dilakukan
karena dua pendekar wanita muda ini
bergerak sambil menjebak dan
menghindarkan sasaran sehingga lawan
terkecoh dengan sasaran yang diincar.
Mereka menyerang pada sasaran yang
kosong. Tetapi begitu lawan-lawan
terjungkal, mereka cepat bangkit lagi.
Langsung mengisi serangan yang
dipersiapkan dua pendekar ini. Tampak-
nya serangan balasan ini agak
berhasil. Terbukti Pusparini dan
Sriwening harus berusaha mengimbangi
dengan jurus lain. Dan ini masih
merupakan kebanggaan, sebab keduanya
masih mempergunakan tangan kosong
dalam menghadapi lawan yang bersenjata
tajam. Ini memang ajaran guru mereka.
Bahwa ilmu bela diri yang mereka
kuasai bukan untuk membunuh lawan,
kecuali terpaksa.
Beberapa jurus telah berlangsung.
Gebrakan demi gebrakan untuk
mengalahkan saling tumpang tindih
menyulam pertarungan itu. Tetapi
sampai begitu jauh sang tokoh yang
memimpin orang-orang itu belum
bertindak apa-apa. Klungsu yang
terluka berusaha bertindak membantu
walaupun banyak mendapat perlindungan
dari Pusparini dan Sriwening. Tiba-
tiba dalam pertarungan ini Pusparini
melihat kehadiran Senggoro Macan yang
datang sambil membawa peralatan
senjata rantai berbandul besi
berbentuk cakar. Dia kini berdiri di
samping tokoh kelompok orang-orang
itu.
"Hm, rupanya mereka ada hubungan
dengan Senggoro Macan," pikir
Pusparini sambil menggebrak lawan, dan
orang itu mencelat ke arah sang
pemimpin. "Akan kupancing mereka agar
cepat turun ke gelanggang pertarungan.
Sungguh pengecut. Mereka menguras
tenagaku dengan mengerahkan anak
buahnya sebelum dia sendiri turun
langsung. Terpaksa aku mengeluarkan
Pedang Merapi Dahana...."
Shringg !!!
Pusparini mengeluarkan pedang di
punggungnya yang selama peristiwa ini
belum pernah dipergunakan. Cahaya
matahari yang menimpa bilah pedang
tersebut membuat pancaran warna merah
berkilau.
"Hahhh ?!" seru semua orang yang
menyaksikan pedang di tangan Puspa-
rini. Tak kalah herannya Sriwening
sendiri. Dia tak menyangka kalau
rekannya itu memiliki pedang semacam
itu. Dikiranya hanya pedang biasa.
"Astaga! Cahaya pedang itu
mengingatkan pada cerita guru. Apakah
itu yang disebut Pedang Merapi
Dahana?" pikir Sriwening sambil meng-
gampar lawan. "Jadi Pusparini yang
memiliki Pedang Merapi Dahana?"
"Senggoro Macan. Mengapa kau
tidak menceritakan bahwa dia punya
pedang aneh seperti itu?" tanya sang
pemimpin.
"Dia tidak mengeluarkan pedangnya
ketika bentrok dengan orang-orangku,
Bango Thonthong!" jawab Senggoro
Macan.
"Melihat caranya itu, mereka
memang tak boleh diremehkan. Jadi
benar laporan yang kuterima, bahwa ada
pihak pendatang di desa Sonogading
yang akan menyelidiki manusia
bertopeng. Termasuk kematian Ki
Bangah," kata sang pemimpin yang
dipanggil dengan Bango Thonthong.
"Biar kujajal dengan senjataku
ini, Bango!" kata Senggoro Macan
sambil melesat ke depan, langsung ke
arah Pusparini. Sementara itu Sri-
wening yang tertegun beberapa saat,
kini telah terlibat kembali dengan
lawan-lawannya yang sebagian besar
lelah tersungkur bermandi darah.
Senggoro Macan mengayunkan senja-
tanya yang berupa rantai berbandul
cakar.
Sshhwwissh!
Senjata itu menerjang ke arah
Pusparini. Untuk sekedar memberi angin
kepada lawan, Pusparini menghindar ke
atas. Dan ketika turun, langsung
kakinya menginjak rantai itu sehingga
tertekan ke tanah. Senggoro Macan
berusaha menarik Tetapi pijakan lawan
cukup kuat. Barulah dengan mengerahkan
tenaga ganda, Senggoro Macan berhasil
menarik senjatanya. Kemudian diayunkan
ke arah lawan lagi. Kali ini dengan
kecepatan tinggi. Pusparini waspada.
Dari cara ini Pusparini tahu bahwa
taktik yang dilakukan lawan mengandal-
kan pancingan reaksi serangan.
Senggoro Macan punya tahapan dalam
melakukan serangan. Dimulai dengan
tingkat rendah yang memacu semakin
tinggi. Entah sampai dimana puncak
kekuatan lawan ini. Yang jelas sewaktu
berhadapan dengan Sriwening tadi,
Senggoro Macan sedang tidak membawa
senjata andalannya. Kalau sekarang dia
muncul lagi dengan membawa senjatanya,
boleh jadi tempat ini merupakan sarang
komplotan mereka.
Pusparini tak ambil resiko lagi.
Kalau mampu, dia akan mengakhiri
pertarungan ini secepatnya. Kemudian
disabetkan pedangnya di saat Senggoro
Macan mengayunkan rantainya secara
kilat, sehingga benturan kedua senjata
itu menimbulkan pancaran api. Tetapi
yang membuat memukau banyak orang
adalah berantakannya rantai Senggoro
Macan tersebut akibat sabetan pedang
Pusparini. Sedangkan bandul cakarnya
melayang terus mengarah pada sasaran,
yakni ke leher Pusparini. Sadar akan
hal ini Pusparini mengelakkan diri
sambil mengayunkan pedangnya lagi.
Bandul cakar itu disabet dengan angin
pukulan pedangnya sehingga berbalik
arah. Dan....
Crash !!!
Leher Senggoro Macan diterkam
bandul cakar senjatanya sendiri.
Beberapa saat dia hanya bisa
melototkan mata. Darah mengucur deras
dari lehernya. Rupanya ada urat nadi
leher yang putus total. Baru kemudian
terdengar suara "Ghrookh...!" dari
mulutnya.
Kemudian roboh dengan gerak
sekarat. Lalu mati!
"Dia punya pedang ampuh....!"
pikir Bango Thonthong sambil melangkah
menyelinap di antara dinding bangunan,
"Aku harus mengatakan hal ini kepada
Danyang Delapan Neraka, bahwa ada
wanita muda memiliki pedang yang
memancarkan cahaya merah. Apakah itu
yang disebut Pedang Merapi Dahana?!"
Langkah Bango Thontong terus
memasuki lorong-lorong bekas bangunan
kuno. Semak belukar yang menyelimuti
daerah itu membuat enggan siapa saja
yang berniat ke sana. Hanya orang-
orang tertentu yang sering lewat di
situ. Termasuk Bango Thontong yang
akan menemui orang bergelar Danyang
Delapan Neraka. Itupun harus dilakukan
dengan langkah hati-hati. Sebab kalau
tidak, maka jebakan yang penuh senjata
rahasia akan menewaskannya.
Dengan mengungkit sebuah batu
yang mencuat, maka sebuah pintu
terbuat dari batu yang diselimuti
semak belukar, terbuka dengan pelan.
Bango Thonthong terus masuk setelah
mengawasi kanan kiri untuk meyakinkan
bahwa jejaknya tidak diikuti oleh
orang lain.
Tetapi anggapan itu keliru.
Sebenarnya ada orang yang telah
mengikutinya sejak dia meninggalkan
tempat baku hantam tadi Orang itu
ternyata Sriwening!
"Hm! Jadi begini perkembangannya.
Tak salah lagi, pasti manusia
bertopeng mempunyai sarang di sini,"
pikir Sriwening sambil terus melangkah
ke depan. Tetapi...seperti yang telah
diceritakan tadi, tempat itu banyak
jebakannya. Dan Sriwening tanpa
sengaja telah menyentuh kunci
penggerak sebuah jebakan yang ada di
sana...! Maka sejumlah lembing tiba-
tiba melesat dari tempat tersembunyi,
menuju ke arah sasaran. Sriwening
pasti sudah menjadi korban lembing-
lembing itu kalau tidak dengan tiba-
tiba pula muncul sesosok tubuh yang
menyambarnya menghindar. Sriwening
sempat tersentak kaget. Tubuhnya
terasa melayang. Dan tanpa disadari
dia telah berada di atas dahan sebuah
pohon besar. Sedangkan seseorang yang
dirasa memeluknya, mulai melepaskan
pegangannya. Sriwening belum bisa
mengucap kata sepatahpun ketika
melihat siapa yang menolong dirinya.
"Kau ceroboh. Sembrono. Tempat
seperti itu jangan dibuat lenggang
kangkung," kata orang itu. Dia seorang
pemuda dengan paras bersih. Penam-
pilannya menunjukkan bahwa dia dari
keluarga berada. Dan kalau Sriwening
bisa diperlakukan seperti itu,
pastilah pemuda itu punya ilmu cukup
tinggi.
"Terima kasih, atas pertolongan-
mu. Siapa namamu maka tahu tempat
seperti ini?" tanya Sriwening dengan
tanpa lepas memandangi pemuda itu.
"Namaku Wanda Bayu," jawab pemuda
itu dengan mengumbar senyum, "Kau ?"
"Sriwening!"
"Sriwening? Ah, sebuah nama yang
bagus. Lalu apa hubunganmu dengan
wanita yang memiliki pedang bercahaya
merah di sana tadi?"
"Jadi... kau tahu semua?" tanya
Sriwening.
"Sejak peristiwa keributan di
panggung itu aku tahu keadaan kalian,"
jawab pemuda bernama Wanda Bayu.
"Jadi kau menyatroni tempat ini
juga? Kalau benar, atas dasar
kepentingan apa?"
"Enghm.......iseng saja!"
"Iseng ? Ah, mustahil. Kau pasti
punya urusan. Atau.... kau di pihak
mereka !" kata Sriwening dengan
melesat turun. Tanpa menoleh lagi dia
terus meninggalkan tempat itu, kembali
menengok Pusparini.
Dan sesampai di tempat baku
hantam tadi......dilihatnya keadaan
telah usai. Pusparini terlihat sedang
membalut luka Klungsu, sedang para
pengroyok tak terlihat batang
hidungnya lagi.
"Sri! Dari mana kau? Apakah kau
melihat kemana larinya yu Sayem dan
orang yang di samping Senggoro Macan
tadi?" tanya Pusparini.
"Namanya Bango Thontong!"
terdengar jawaban dan yang punya suara
tahu-tahu sudah berada di samping
Sriwening.
Sriwening sendiri kaget. Dia tak
menduga kalau dibuntuti pemuda yang
baru dikenalnya.
"Eh, siapa dia, Sri?" tanya
Pusparini sambil mengawasi pemuda itu
tanpa kedip. Yang dipandang mengumbar
senyum. Tak ayal lagi, Pusparini pun
terseret membalas dengan senyum.
"Dia Wanda Bayu. Baru saja
kukenal. Dia telah menyelamatkan
diriku dari jebakan rahasia ketika
kubuntuti orang yang bernama...
engh.... Bango Thonthong itu," jawab
Sriwening yang kemudian membantu
Klungsu berdiri. "Dia telah tahu kita
sejak kita bentrok di sini," sambung
Sriwening lagi.
"Oh ya " kata Pusparini dengan
terus menyelidiki penampilan Wanda
Bayu.
"Kalau boleh tahu namamu.....?"
tanya Wanda Bayu.
"Pusparini! Ini kang Klungsu,"
jawab Pusparini. "Aku harus tahu lebih
banyak apabila ada orang yang
berkenalan dengan kami. Jelasnya, kau
ini siapa, dari mana, hendak kemana,
mau apa!"
"Wah. Ini perlu waktu khusus
kalau kalian ingin tahu apa dan
siapanya aku," jawab Wanda Bayu.
"Paling tidak, katakan kau dari
mana!" kata Pusparini mulai tegas
dengan nada bicaranya.
"Kau pasti yang memimpin kelompok
tiga ini. Benar ?" kata Wanda Bayu.
"Kalau kau ingin tahu... ya... aku ini
dari Kawasan Pesisir Utara."
"Kawasan Pesisir Utara?" tanya
Sriwening menimpali.
"Ya! Tepatnya Pantai Teluk Penyu.
Itu sebuah kota pelabuhan. Banyak
saudagar asing yang berlabuh di sana
yang kemudian pergi ke pedal aman."
"Lalu... bagaimana kau bisa di
tempat ini ?" tanya Pusparini.
"Ah.... secara kebetulan saja."
"Secara kebetulan? Bagaimana kau
bisa tahu tempat itu merupakan tempat
berbahaya ketika menyelamatkan
diriku?" Sriwening menggugat.
Wanda Bayu tidak cepat menjawab.
Ini menimbulkan kecurigaan mereka
bertiga.
"Maaf, Wanda Bayu. Tanpa mengu-
rangi rasa terima kasih kami kareka
kau telah menyelamatkan Sriwening,
kuharap kau jangan mengganggu kami.
Kami punya tugas cukup berbahaya,"
kata Pusparini.
"Justru akupun senang dengan hal-
hal yang mengundang bahaya !" jawab
Wanda Bayu tangkas.
"Bagaimana? Dia boleh ngikut
kita?" tanya Sriwening ketika
Pusparini tak memberimjawaban kepas-
tiannya. Semua jadi menunggu keputusan
Pusparini.
"Baik! Apapun urusanmu, selama
tidak merugikan kami, kau boleh dekat-
dekat dengan kami. Tetapi begitu kau
menyalahi peraturan dan mengganggu
kami, maka kami bisa bertindak tegas!"
kata Pusparini.
"Baik. Baik. Aku senang dengan
peraturan yang tegas. Selama ini
memang aku selalu sendirian. Jadi
keberadaan kalian bertiga, sangat
bermanfaat bagi lidahku. Maksudku....
ada yang bisa diajak ngomong!" Wanda
Bayu menimpali.
***
5
Akhirnya Pusparini memutuskan
ingin mendatangi tempat yang diceri-
takan Sriwening untuk melacak jejak
orang bernama Bango Thonthong. Tentang
nama ini memang diperoleh dari Wanda
Bayu. Ketika ditanya dari mana Wanda
Bayu tahu nama itu, dia mengatakan
tahu lewat pembicaraan yang didengar
antara Senggoro Macan dengan yang
bersangkutan ketika akan menumpas
Pusparini dan kawan-kawannya.
Sementara itu, mereka berempat
telah tiba di tempat yang dituju.
Tetapi aneh, tempat yang didatangi
untuk kedua kalinya oleh Sriwening,
kelihatannya sudah berubah.
"Ada tambahan semak belukar yang
kelihatannya baru saja dilakukan oleh
seseorang atau suatu kerja kelompok,"
kata Sriwening. Tetapi ketika
diselidiki semak belukar itu yang
kemungkinan hanya potongan dedaunan
dan semak yang diletakkan begitu saja
untuk menutupi jebakan-jebakan yang
dipasang, ternyata tumbuhan-tumbuhan
itu tertanam dengan erat ke tanah.
Berarti bukan tanaman baru, atau
potongan semak yang sengaja diletakkan
di sana.
"Aneh. Tempat ini jadi tidak
seperti yang kudatangi," keluh
Sriwening. "Wanda! Apa pikirmu tentang
hal ini ? Kau satu-satunya saksi yang
kuandalkan untuk menjelaskan teka-teki
ini."
"Aku sendiri tak tahu. Arahnya
memang betul seperti keberadaan kita
tadi. Tetapi suasananya jadi lain.
Pintu masuk yang diselimuti semak
belukar, kini tak terlihat lagi,"
jawab Wanda Bayu dengan sungguh-
sungguh. Dari penampilannya, Pusparini
bisa mengambil kesimpulan bahwa Wanda
Bayu tidak sering kelayapan ke tempat
itu. Jadi dia baru pertama kali ke
sana. Pertolongannya terhadap Sriwe-
ning berkat kewaspadaannya saja.
Bukannya tahu bahwa di sana dipasang
jebakan.
"Tempat ini pasti dikelola ber-
dasar sarang laba-laba," kata Klungsu
memecah kesunyian yang selama ini
banyak berdiam diri.
"Sarang laba-laba? Apa maksudmu,
kang?" tanya Pusparini.
"Kau tahu bagaimana bentuk sarang
laba-laba, bukan? Nah, dengan memasuki
salah satu jalurnya, kau akan
dihadapkan kepada teka-teki tentang
jalur-jalur lain yang kelihatannya
sama, tetapi sebenarnya berbeda. Dalam
hal ini mungkin perjalanan yang
ditempuh Pusparini dan Wanda Bayu
sepertinya benar, tetapi sebenarnya
salah masuk pada jalur pertama. Dan
hal itu belum menjadi jaminan kalau
toh kita masuk ke jalan yang benar.
Sebab simpangan yang lain akan
menjebak kita ke arah yang salah kalau
kita tidak teliti," kata Klungsu yang
kedengarannya arif dengan pandangan
yang diberikan.
"Astaga! Kau benar, kang. Aku
memang tidak memperhatikan adanya
simpangan simpangan yang tampaknya
membingungkan ketika masuk kedua
kalinya ke tempat ini," sahut
Sriwening. "Kau sendiri bagaimana,
Wanda? Apakah kau tidak ingat
sesuatu?"
"Seingatku kita tadi keluar
dengan mudah. Dan aku telah mencoba
mengingat tentang simpangan yang kita
lewati di sana tadi," jawab Wanda Bayu
yang benaknya kelihatan mulai dibebani
masalah ini. "Ah, pasti kita keliru
menempuh jalan ini. Dekat pohon di
sana seharusnya kita berbelok. Ya, aku
ingat itu. Ayoh!"
Mereka berempat menuju jalan yang
dikatakan Wanda Bayu. Dan beberapa
saat kemudian...
"Oh, bukan juga. Aneh. Mengapa
kita jadi linglung?!" ujar Wanda Bayu
dengan tatapan mata serius ditujukan
ke arah sekeliling tempat itu. "Tempat
ini tak jauh dari pemukiman penduduk,
tetapi memiliki keunikan begini.
Apakah tidak ada orang lain kesasar
kemari?"
"Kukira kuncinya hanya satu. Kita
cari tempat yang sekiranya terdapat
jebakan yang bisa membunuh pendatang,"
sahut Sriwening. "Bagaimana?"
"Kalau begitu, kita harus
menyebar," saran Pusparini. "Sebaiknya
berpasang-pasangan Sri, kau
berpasangan dengan....."
"Dengan siapa?. Kang Klungsu?"
Sriwening menyela ketika Pusparini
ragu memberi keputusan.
"Tidak. Kau berpasangan dengan
Wanda Bayu saja," jawab Pusparini
dengan menelan ludah. Dia tak tahu
mengapa lidahnya terasa kelu untuk
mengatakan hal itu. Sepertinya ada
sesuatu yang mengganjal di tenggo-
rokannya.
Akhirnya mereka menyebar dengan
pasangan masing-masing.
"Pahamu tidak sakit, kang?" tanya
Pusparini yang berpasangan dengan
Klungsu.
"Bisa kuatasi, nduk. Kau tahu,
kalau aku tadi tidak melihat Sayem,
semangatku pasti loyo. Karena kulihat
Sayem, maka apapun yang terjadi, akan
kuhadapi. Apakah kau menduga Sayem
dibawa masuk ke tempat rahasia yang
dikajtakan tadi?" celoteh Klungsu
dengan langkah pincang.
"Tak tahu, kang. Tokoh bernama
Bango Thonthong itu apakah membawa
lari Sayem, aku tak tahu. Tetapi
agaknya tadi kulihat dia selalu
bersama dengan pasangan mainnya. Entah
siapa dia. Diapun juga telah melepas-
kan topengnya ketika keributan
terjadi. Anehnya yu Sayem kok lantas
lari juga ya? Seperti tidak kenal
dengan kang Klungsu," kata Pusparini
dengan terus melangkah hati-hati.
"Mungkin Sayem sudah kena bius
japa mantra. Tetapi setahuku Sayem
tidak bisa menari. Ah, aneh juga,"
gerutu Klungsu di belakang Pusparini.
Mereka terus melangkah dengan
hati-hati. Dan pada saat itulah, tanpa
diduga, Pusparini melihat sesosok
tubuh berkelebat di antara dahan-dahan
pohon. Tanpa berpikir lebih lanjut
Pusparini cepat memburu. Dia melesat
ke atas dahan pohon, dan melakukan
pengejaran. Sedangkan Klungsu tak bisa
berbuat banyak. Dia tetap pada
tempatnya.
"Hei! Berhenti kau!" teriak
Pusparini sambil terus mengejar.
Tetapi gerakan Pusparini tidak bisa
mulus lagi sebab sosok tubuh yang
dikejar itu mendadak meliukkan
tubuhnya sambil melempar senjata
rahasia. Pusparini berkelit menghin-
dar. Kemudian mengejar lagi setelah
desingan senjata rahasia itu luput
dari sasarannya. Sesuatu tak terduga
terjadi. Sesaat kemudian sosok tubuh
yang dikejar Pusparini ini berbalik
arah. Pubparini tak menduga de ngan
gerakan ini. Jadinya dia terpaksa
mengerahkan tendangan untuk menyambut
datangnya serangan lawan. Benturan
terjadi di udara. Hempasan berlangsung
dengan masing-masing meluncur ke
tanah. Tetapi begitu tubuh Pusparini
menginjak tanah, maka semak belukar di
sisi kanannya bergerak dan menyembul-
lah anyaman batang dengan ujung-ujung
pisau menyeringai berjajar rapat, siap
merejam ke arahnya. Pusparini bergulir
ke samping menghindarkan hempasan
jebakan yang mendatangkan maut itu.
Berhasil! Kemudian dia menghimpun
tenaganya dengan memasang kuda-kuda
menjaga kemungkinan serangan lawan
berikutnya. Tetapi tanpa sadar,
sewaktu membenahi diri, kakinya
menyentuh jebakan yang lain.
Akibatnya, dari samping kiri muncul
selosin tombak yang melesat ke
arahnya. Pusparini menggenjotkan tubuh
melanting ke atas, dan kemudian turun
lagi, tepat menginjak salah satu
tombak yang masih bergerak ke arahnya.
Dengan meminjam tenaga luncuran
tombak, Pusparini berhasil menjauhi
sarang jebakan tersebut. Tombak
menancap di pohon sebelah sana. Tanpa
membuang waktu lagi, dia melesat ke
atas dahan. Dari sini dia mencoba
mencari sosok tubuh yang dlkejarnya.
Baru saja dia menoleh ke samping kiri,
dilihatnya sosok tubuh yang diburu
tadi telah bergerak melaju ke arahnya.
Pusparini trengginas menyambut sera-
ngan tersebut dengan melesatkan tubuh
bergaya Walet Menyambar Serangga.
Akibatnya si penyerang hanya berhasil
menyerang tempat kosong, sedang
Pusparini mampu mengirimkan pukulan
telak ke tengkuk lawan. Suara
"Aakkhh...." meledak dari bibir
lawan dengan diiringi meluncurnya
tubuh ke tanah. Pusparini terus
menyambar ke bawah, menukik dengan
manis, namun berbekal himpunan tenaga
dalam untuk menggojlok lawan yang
dilihat masih belum siap mengadakan
serangan lagi.
"Dhiegh!!!" tendangan Pusparini
mendarat di dada lawan yang saat itu
baru saja akan menyelidik
keberadaannya. Tak ayal lagi, sang la-
wan jungkir balik menahan rasa sakit
yang membakar seluruh tubuhnya. Tetapi
dalam keadaan ini dia sempat melihat
Pusparini akan menyerang dirinya bgi.
Dengan cepat dia menarik seutas tali
yang tertanam dalam semak belukar.
Akibat yang ditimbulkan adalah muncul-
nya juluran tali-temali datang dari
berbagai arah dengan ujung seperti
jangkar. Tali-temali ini bergerak
lurus tetapi saling menyilang sehingga
membentuk jaring dan melilit ke tubuh
Pusparini. Pendekar yang bergelar
Walet Emas ini pasti teringkus oleh
belitan jaring itu kalau saja dia
tidak trengginas meraih pedangnya.
Maka dengan Pedang Merapi Dahana yang
kesohor itu, Pusparini membabat tali-
temali yang melilit tubuhnya. Hanya
dua kali tebas, di arah kanan dan
kiri, maka tali-temali itu putus
berantakan.
Pusparini sadar bahwa tempat di
sekelilingnya adalah tempat yang penuh
dengan jebakan maut. Berarti tempat
ini dekat dengan pintu masuk yang
sedang mereka cari. Yaitu pintu masuk
menuju sarang rahasia lawan.
"Oh, pedang itu lagi! Aku tak
mungkin dapat menandingi. Aku tahu
kehebatannya," pikir lawan Pusparini
yang tiada lain adalah Bango
Thonthong.
"Hei, kau kiranya. Kau tentunya
yang bernama Bango Thonthong!" seru
Pusparini dengan kcthus. "Kalau kau
ingin menjaga nyawamu, lebih baik kau
katakan di mana tempat sarangmu itu.
Jangan ingkar, aku tahu kau punya
sarang di sekitar tempat ini!"
"Jangan mengumbar nyali meskipun
kau punya pedang semacam itu! Kau
tahu, di atas langit masih ada langit.
Kau akan berhadapan dengan Danyang
Delapan Neraka kalau ikut campur dalam
urusan ini," ancam Bango Thonthong
seraya berdiri. Dalam sikapnya ini de-
ngan cepat dia melempar sebutir ramuan
kearah Pusparini, dan.....
"Jhhuusshhh !!!"
Ledakan asap terjadi. Pusparini
mencoba menghindari kepulan asap yang
menghalangi pandangan di sekeliling-
nya. Dia melesat ke atas dahan pohon.
"Assemm !!" umpatnya, "Tak kuduga
kalau dia punya perisai macam itu.
Paling tidak dia gertakan untuk
meloloskan diri. Cara yang lihai.
Tempat ini pasti dekat dengan pintu
rahasia yang kami cari."
Pusparini menyelidiki keadaan di
sekelilingnya.
"Oh, ada sesuatu yang bergerak di
sana," tanpa pikir panjang, dia terus
melesat mengejar dari dahan ke dahan
sementara pandang annya ditujukan ke
arah bawah yang dipenuhi semak-semak
Lalu semuanya terhenti. Tak ada yang
bergerak lagi di semak-semak itu. Pus-
parini turun dari atas dahan dengan
pedang tetap di tangan.
"Di tempat ini gerakan itu
lenyap. Coba kuselidiki," pikir
Pusparini sambil menyibakkan semak-
semak. Dan...
"Astaga! Ini seperti pintu batu
penutup lubang gua! Tetapi bagaimana
cara membukanya? Menurut cerita
Sriwening, Bango Thonthong masuk
dengan menggerakkan pengungkit batu
yang menonjol. Di mana batu yang harus
ditekan, ya?" pikir Pusparini dengan
mata menyelidik "Oh, barangkali ini!"
Gghhrrgg!!
Begitu batu yang mencuat bagai
cula badak itu ditekan, maka
mengangalah sebuah lubang setelah
penutupnya membuka.
Perasaan Pusparini berdebar
ketika mengawali melangkah masuk.
Cahaya remang-remang dalam gua itu
adalah pancaran cahaya obor yang
terdapat di sana-sini.
"Hm! Ini memang sarang persembu-
nyian dari orang-orang yang bermaksud
jahat. Anehnya tempat ini tak jauh
dari kawasan Prambanan. Tetapi kalau
dipertimbangkan lagi, kawasan ini
memang tepi hutan rimba," pikir
Pusparini dalam hati dengan terus me-
langkah.
"Seperti yang dikatakan oleh
Bango Thonthong, pasti di sini bisa
kujumpai tokoh yang bergelar Danyang
Delapan Neraka itu. Berarti, aku akan
bertempur di sarang lawan. Kalau saja
aku sempat memanggil Sriwening dan
Wanda Bayu serta kang Klungsu, pasti
lebih enakan, bisa bertempur rame-
rame!"
Tengah berbicara dalam hati
dengan dirinya sendiri, tiba-tiba
terdengar suara berdetak dari atas.
Pusparini sempat mendongak. Dan dia
atas, sebuah perangkap siap menerkam
tubuhnya. Bilah pisau-pisau sekitar
selusin buah, melesat ke bawah. Dengan
trengginas Pusparini membabatkan
pedangnya ke arah pencabut nyawa yang
nyaris melahap jiwanya.
Thraang!
Shhriing!
Shwwtth!
Bilah-bilah pisau itu hancur
berantakan dibabat Pedang Merapi
Dahana. Kemudian diam. Sepi. Pusparini
menunggu. Telinganya dipasang untul
meneliti gerakan yang mungkin ada dari
mana saja yang bisa membahayakan
jiwanya. Karena tidak ada sesuatupun,
maka diputuskan untuk melangkah lagi.
Tetapi belum ada lima belas
langkah....
Pusparini benar-benar dibuat
kaget. Sebab di hadapannya tiba-tiba
muncul sebuah lubang menganga begitu
kakinya menginjak hamparan yang lunak.
Sebuah perangkap dengan bentuk lubang!
Pikirannya cepat bereaksi tentang
ujung-ujung benda tajam yang akan
menyambut tubuhnya di bawah sana.
Dengan cepat dia menancapkan pedangnya
ke arah belakang dirinya.
Jhbbh!
Tepat mengenai dinding padas. Hal
ini menghambat tubuhnya yang sesaat
tadi meluncur ke bawah. Kini tubuh
Pusparini bergelantungan. Di bawah,
ternyata tidak terdapat sesuatu yang
mencuat tajam. Tetapi terlihat
permukaan air.
"Tampaknya di bawah itu ada
bagian sungai atau kolam dalam gua.
Mungkin ada rongga yang menembus
tempat lain. Untung-untungan. Berbagai
cara akan kucoba agar bisa sampai ke
tempat lawan. Mungkinbisa kuterobos
dari bawah. Sebab kuperkirakan lorong
atas Itu akan penuh jebakan lagi,"
pikir Pusparini sambil menarik pedang
yang jadi pegangannya. Pedang dicabut,
dan meluncurlah tubuhnya ke bawah.
Dengan gerakan beranting menjejakkan
kakinya dari tepi-tepi lubang, -
khirnya Pusparini tiba di bawah.
Dugaannya benar. Ternyata di sana
terdapat lorong bawah tanah di mana
terdapat sungai yang arusnya tenang.
Bahkan tak terlihat kalau mengalir.
"Ah! Di sinipun terpasang obor
penerangan. Ini benar-benar sarang
merangkap tempat tinggal yang nyaman,
tetapi menjadi perangkap maut terhadap
orang yang tak dikehendaki
kehadirannya," pikir Pusparini. "Dan
aku pasti termasuk orang yang tak
dikehendaki hadir di sini...!"
Benar! Kalau lubang menganga itu
hanya akan membuat Pusparini kecebur
di sungai bawah tanah, pasti suatu
kehadiran yang dikehendaki oleh
penguasa setempat. Tetapi kalau tiba-
tiba dilihatnya ada beberapa kelompok
buaya yang mengendap berjalan
mendekatinya, ini yang tidak mengenak-
kan. Berarti kehadirannya memang tidak
dikehendaki.
"Aku memang tak pernah suka
dengan binatang yang disebut buaya,
Juga panggilannya yang diperuntukkan
bagi laki-laki," gerulu Pusparini
sambil menggenjotkan tubuh mencari
tempat yang aman dari sambaran buaya.
Tetapi sial. Justru begitu dia
menghindari buaya yang telah
mengepungnya, tidak tahunya mendarat
di punggung seekor buaya yang lain.
"Aawwh.....!" jeritnya. Pusparini
tercekam histeris geli karena
menginjak binatang yang paling
dibencinya. Sang buaya menggeliat
dengan mulut siap mencaplok. Sambil
melesat menghindar, Pusparini
menyabetkan pedangnya ke moncong buaya
itu. Sekali tebas, maka rontoklah
moncong sang binatang.
"Huuhh!"gerutunya, "Ini benar-
benar tempat neraka. Sebaiknya aku
cepat meninggalkan tempat ini."
Tetapi begitu dia melesat ke
sebuah lorong yang diperkirakan
menjadi jalan keluar, maka muncul
beberapa sosok tubuh dengan bertopeng
merah. Semua mengenakan topeng
Rahwana!
"Hm! Jadi kedatanganku memang
ditunggu. Kalau kalian melihatku masih
segar bugar, tentunya kehadiran kalian
hanya untuk mencabut nyawaku!" sumbar
Pusparini. "Apa gunanya topeng-topeng
itu, hah? Aku bukan bocah yang bisa
kalian takut-takuti dengan topeng
macam itu. Kuharap kalau di antara ka-
lian ada yang bernama Bango Thonthong,
coba buka topengnya. Tak perlu dia
bertopeng di hadapanku, sebab aku
sudah tahu tampang busuknya itu!"
Ternyata tantangan itu tak
menimbulkan tindakan apa-apa di antara
mereka yang bertopeng. Tak seorang pun
yang membuka topengnya. Bahkan yang
dilihat Pusparini adalah gerakan
sekelompok orang-orang bertopeng itu
yang mencabut senjatanya masing-
masing, lalu bergerak dengan cepat ke
arahnya.
"Seharusnya kalian tahu bahwa
pedangku mampu menghancurkan senjata
dari logam apapun!" kata Pusparini
dengan suara lantang. Dengan
trengginas dia mengayunkan pedangnya
membabat senjata-senjata yang
bentuknya aneh itu.
Thhraang!
Shhwwtth!
Sshhrraakk!
Cringg!
Suara logam yang merupakan
senjata pencabut nyawa saling beradu
menghadapi Pedang Merapi Dahana di
tangan Pusparini. Pada saat itulah
Pusparini tersentak kaget. Dia melihat
senjata lawan-lawahnya yang berbentuk
aneh itu tetap utuh walaupun telah be-
benturan dengan senjatanya.
"Ini pasti ada sesuatu yang tidak
beres. Senjata mereka mampu menghadapi
Pedang Merapi Dahana," pikir Pusparini
sambil terus menghadapi lawan-lawanya.
Jurus demi jurus terlewati dengan
seru. Dan selama itu lawan-lawan
Pusparini tetap tegar. Belum ada seo-
rang pun yang berhasil dikalahkan.
Tenaga Pusparini benar-benar terkuras!
Pada saat itulah, dikala dia
memikirkan taktik untuk mencari
kelemahan kepungan lawan, mendadak
posisi lawan di sebelah kanan porak
poranda.
"Kami datang, Rini!!" terdengar
suara tak jauh darinya.
Ternyata Sriwening dan Wanda Bayu
muncul dari sebuah terowongan yang
lain.
Mereka belum sempat basa-basi
bagaimana Sriwening dan Wanda Bayu
bisa sampai ke tempat itu.
"Kami menemukannya karena pintu
itu dalam keadaan terbuka," seru
Sriwening sambil membabatkan pedangnya
ke arah lawan ketika berdekatan dengan
Pusparini. "Aku yakin kau telah masuk
ke dalam."
"Kalau begitu kang Klungsu masih
berada di tempat semula. Kau ketemu
dia?"
"Tidak!" jawab Sriwening dengan
menghindar jauh. Dia mengharapkan
lawan akan memecah kekuatan. Tujuh
lawan tiga. Tak begitu berat. Tetapi
tampaknya ketujuh lawan itu adalah
orang-orang yang tangguh. Bahkan pada
suatu kesempatan Pusparini terdesak
sampai ke tempat di mana buaya-buaya
yang tadi disingkiri berada.
"Tampaknya mereka tahu apa yang
kutakutkan. Dan mereka mencoba
mendesakku kemari," pikir Pusparini
dengan mencari posisi agar dirinya
tidak terdesak ke arah buaya-buaya
yang beberapa di antaranya mulai
mengangakan moncongnya.
Seorang lawan dari ketiga orang
yang mengroyoknya mencoba memberikan
serangan fatal. Sang lawan rupanya
berharap bahwa serangannya akan
membuat Pusparini terpelosok ke dalam
kubangan buaya. Tetapi perhitungannya
meleset. Pusparini dapat membaca
taktik itu. Maka dengan gebrakan
mengayunkan pedang yang diharap akan
memperoleh serangan balasan, Pusparini
menggenjotkan tubuh melesat ke atas.
Akibatnya, lawan yang menyerang dengan
kekuatan penuh ini terpa-sa menyerang
tempat kosong, dan tubuhnya meluncur
ke bawah. Sadar akan hal ini, orang
yang terkecoh itu berusaha menguasai
keadaan dengan meringankan tubuh agar
dirinya tidak terlampau cepat jatuh
terbawa daya dorongnya sendiri. Memang
bisa, tetapi dia tak mampu menghadapi
moncong mulut buaya yang siap menerima
tubuhnya. Dan kepala orang itu persis
jatuh di mulut buaya!! Tak ada yang
bisa diperbuat lagi. Sang buaya terus
mengatupkan mulutnya, sementara buaya
yang lain menyambar kakinya. Dan
kelompok buaya di bawah sana berpesta
melahap mangsa.
Setelah hal itu berlalu bukan
berarti per-awanan musuh jadi kendor.
Bahkan rupanya semakin gencar. Hal ini
menimbulkan niatan Pusparini untuk
mempergunakan buaya-buaya itu mengha-
bisi lawannya. Maka dicarinya muslihat
untuk menjebak lawan agar bisa dikecoh
serangan serupa. Pancingan Pusparini
berhasil. Seorang lawan lagi bisa
dijebak taktik perlawanan sehingga
mengalami nasib serupa dengan kawannya
yang telah dilahap buaya. Kini tinggal
seorang. Tahu akan taktik Pusparini,
orang yang satu ini menjauh dari
kubangan buaya.
"Hei, jangan lari kau! Takut
disantap buaya, hah?" seru Pusparini
dengan mengejar lawan yang menjauhi
dirinya.
Pusparini menghentikan langkahnya
karena melihat Sriwening dan Wanda
Bayu baru saja menghabisi nyawa
lawannya.
"Selesai?" tanya Pusparini.
"Ya! Tapi kami kebobolan masing-
masing seorang. Mereka melarikan
diri," jawab Wanda Bayu. Pusparini
melihat luka merobek lengan Sriwening.
Tetapi tampaknya tidak apa-apa. Dari
hal ini bisa disimpulkan bahwa manusia
bertopeng yang mereka hadapi mempunyai
kelihaian cukup tangguh dalam ilmu
bela diri.
"Meraka lari ke sana. Ayoh kita
kejar. Hati-hati, mungkin masih banyak
jebakan yang belum kita ketahui," kata
Pusparini dengan mengawali melangkah
maju.
Mereka bertiga terus menerobos
lorong-lorong gua bawah tanah. Siapa
sangka di daerah Prambanan ada tempat
seperti ini? terowongan gua itu
terbentuk secara alamiah, tetapi pada
bagian tertentu ada yang digarap oleh
tangan manusia. Semakin ke dalam,
tampaknya tanah yang mereka lalui
semakin menanjak ke atas. Dan tak
berapa lama kemudian tiba di tempat
terbuka.
"Astaga ! Kita berada di tengah
bangunan yang letaknya di atas tanah.
Lubang ini tepat di tengah bangunan
tembok yang mengelilingnya. Tempat apa
ini ?" kata Pusparini memberi wawasan
apa yang dilihatnya. "Hati-hati. Di
tempat terbuka macam ini serangan
panah dari pihak lawan bisa terjadi."
Baru saja mulut itu terbungkam,
tiba-tiba mendesing dari berbagai
penjuru anak-anak panah yang
dilepaskan dari atas tembok. Lusinan
orang tiba-tiba muncul di sana sambil
melepas panah bertubi-tubi. Karena
sudah menyadari bahaya macam ini,
Pusparini segera mengibaskan Pedang
Merapi Dahana ke segenap penjuru. Juga
Sriwening dan Wanda Bayu bertindak
serupa. Agar tidak bertumpu pada
sasaran lawan, maka mereka bertiga
segera menyebar. Kini lawan terpaksa
membelah pe-hatiannya menjadi tiga.
Detik selanjutnya Pusparini bahkan
bertekad melesat ke atas tembok.
Dengan kalap dia membabat lawan-
lawannya tanpa ampun. Di sisi lain,
Sriwening dan Wanda Bayu bertindak
serupa. Keduanya melesat ke atas
tembok. Serangan lawan lewat anak
panah dapat di atasi, kini beralih
dengan pertarungan pedang. Jumlah
lawan yang jumlahnya lusinan itu hanya
mengantar nyawa saja ketika berhadapan
dengan amukan tiga pendekar yang belum
diketahui apa urusannya. Yang jelas,
siapapun yang kelayapan ke sana, harus
dibunuh.
"Cukup! Hentikan!!" tiba-tiba
terdengar seruan lantang. Kalau orang
biasa pasti tidak bisa berteriak
sekeras itu. Seruan itu tidak sekedar
seruan, tetapi luapan ucapan yang
disertai tenaga dalam. Yang tidak
terbiasa menghadapi suara macam itu,
pasti pecah gendang telinganya. Karena
suara itu, semua gerak terhenti tiba-
tiba. Bagai diperintah oleh tenaga
gaib, para penyerang itu mundur dengan
cepat, dan menghilang di balik pilar-
pilar bangunan yang banyak terdapat di
sana.
"Anak-anak muda yang bernyali
besar. Aku benar-benar kagum dengan
sepak terjang kalian. Apapun urusan
kalian sehingga berani menjamah
kawasan ini, akibat yang harus
disandang adalah maut!" kata sesosok
tubuh tinggi besar dengan memakai
topeng Rahwana. Hanya bedanya, topeng
yang dipakainya lebih mewah karena ada
hiasan-hiasan keemasan pada ukiran
jamangnya. Jelas, ini adalah dedengkot
dari kelompok orang-orang yang pernah
dihadapi Pusparini dan kawan-kawannya.
Mata Pusparini jelalatan mencari orang
yang bernama Bango Thonthong. Dan
orang itu ternyata berdiri tak jauh
dari sesosok manusia bertubuh besar
itu.
"Anak-anak muda! Katakan apa
urusanmu yang sebenarnya!!" kata orang
itu dengan lantang.
"Kami akan menyingkap kematian
keluarga Ki Bangah dan hilangnya
wanita bernama Sayem!" jawab Pusparini
sebagai juru bicara.
"Hua ha ha ha ha ha...," ledakan
tawa dari orang tinggi besar itu
membahana. "Menyingkap kematian dan
mencari wanita yang hilang? Mengapa
kau berpikir bahwa semua itu harus kau
urus di sini?"
"Topeng Rahwana, dan senjata
rahasia ini," jawab Pusparini sambil
mengacungkan sebuah senjata rahasia.
"Senjata rahasia ini kutemukan di
puing reruntuhan rumah Ki Bangah!"
Sriwening terkejut. Dia mengawasi
Pusparini. "Mengapa hal ini tidak kau
katakan padaku?" tanyanya.
"Tak ada apa-apa. Aku cuma ingin
kau tak banyak pikiran untuk
mengungkap kematian keluargamu," jawab
Pusparini lirih sambil tetap mengawasi
tokoh berbadan besar itu.
"Hm! Jadi atas dasar itu? Pinter
kamu. Otakmu encer. Aku suka dengan
anak muda yang berotak encer. Sayang
kalau kalian harus menentang tujuan
kelompokku," kata orang bertubuh besar
itu.
"Aku telah mencurigai orang yang
bernama Bango Thonthong. Dia yang
memiliki senjata rahasia ini. Dia
melukai temanku bernama Klungsu dengan
senjata serupa. Dia memakai topeng
Rahwana untuk menimbulkan keresahan
penduduk Sonogading! Penduduk resah
karena dia muncul pada malam hari ha-
nya untuk melihat kebugilan tubuh
gadis-gadis desa itu. Walaupun dia
tidak menodai, tindakan itu perlu
ditindak. Untuk apa sebenarnya?" tanya
Pusparini.
"Jadi kau butuh penjelasan
walaupun seandainya itu bukan urusan
yang menyangkut kelompok ini? Hm !
Berarti kau cuma menebak-nebak saja.
Menghubung hubungkan satu peristiwa
satu dengan yang lain.....! Tapi, se-
perti sudah kukatakan awal itu, kau
memang berotak encer, anak muda. Dan
aku tak akan segan untuk menjelas-
kannya. Tapi harap tahu, ini sekedar
penglipur hati saja. Anggap saja
sebagai 'permintaan terakhir' sebelum
nyawamu terbang oleh tangan Danyang
Delapan Neraka ! Hua ha ha ha ha
ha...!!!" seru orang bertopeng.
"Rekaan pikiranmu itu benar adanya.
Dengar baik-baik, aku akan
menjelaskan!!"
"Jadi kau yang bergelar Danyang
Delapan Neraka! Sudah kuduga beberapa
saat yang lalu. Jelaskan, akan
kudengar dengan baik-baik pengakuan-
mu!!" kata Pusparini sambil memasukkan
Pedang Merapi Dahana ke dalam
sarungnya.
Kalau saja Pusparini jeli, pasti
dia tahu bahwa selama Danyang Delapan
Neraka itu berbicara, matanya tak
lepas dari pedang di tangannya.
"Ah! Rupanya kau punya tata krama
juga. Kau masukkan pedangmu selama aku
akan mengatakan rahasia ini...! Itu
sangat kuhargai. Benar-benar kuhargai,
cah ayu!! Dan kupikir, kalau kita
berbicara dengan sikap begini, agaknya
menjadi tidak sopan. Bagaimana kalau
kita berbicara di balairung perjamuan
di tempatku yang resmi?"
"Hati-hati, Rini. Tawaran ini
bisa mencelakakan kita," bisik Wanda
Bayu.
"Aku tahu. Tapi apa salahnya kita
coba menerima tawaran itu? Pertim-
bangkan, kita ini telah berada di
sarang lawan. Siapa tahu kita bisa
mengungkap lebih banyak dari pada yang
kita duga," jawab Pusparini lirih.
"Bagaimana? Aku telah memutuskan
agar kalian lebih banyak tahu dengan
tujuan kelompok kami. Siapa tahu,
kalian bisa berbalik arah untuk
berpihak kepadaku," kata Danyang De-
lapan Neraka itu.
"Baik! Kami terima tawaranmu,"
jawab Pusparini. "Dan aku tak ingin
ada siasat licik!"
"Hua ha ha ha ha ha ha....! Kita
cuma berbicara baik-baik. Kalau
buntutnya membuat pembicaraan jadi
runyam, apa boleh buat...!" jawab
Danyang Delapan Neraka.
"Katakan, di mana kita harus
berbicara," seru Pusparini lagi.
Pikirnya, kalau pembicaraan itu dengan
diikuti perjamuan, akan lebih
mendingan. Paling tidak saat ini
tenggorokannya terasa kering setelah
menguras tenaga menghadapi anak buah
Danyang Delapan Neraka. Dan kini dia
menerima tawaran perjamuan lawannya.
***
6
Danyang Delapan Neraka tetap
mengenakan topeng Rahwana. Agaknya
penampilan itu sudah menjadi ciri jati
dirinya. Tak seorangpun tahu bagaimana
wajah Danyang Delapan Neraka yang
sebenarnya.
Suara gamelan mengiringi suasana
perjamuan itu.
Banyak mata yang mengawasi
kehadiran Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu. Mereka bertiga duduk
secara lesehan menghadapi seperangkat
hidangan yang memancing selera. Mulai
dari buah-buahan segar sampai pang-
gang ayam dan minuman tersedia di
sana.
"Jauhkanlah prasangka kalian
kalau berpikir bahwa makanan itu
beracun. Tidak sama sekali. Kalau
curiga, anak buahku bisa mencicipi
terlebih dulu," kata Danyang Delapan
Neraka di seberang mereka. Perjamuan
itu diatur secara berhadapan, tetapi
dengan jarak sekitar dua tombak
jauhnya. Danyang Delapan Neraka selalu
didampingi Bango Thonthong. Karena
tokoh yang satu ini telah dicurigai
sebagai pembunuh Ki Bangah, maka tak
henti-hentinya Sriwening mengawasinya.
Dalam hati Sriwening menggelegak
dendam yang siap meledak kalau saja
ada kesempatan berhadapan dengan si
Bango Thonthong itu.
Dengan ragu-ragu Pusparini menga-
wali menyentuh hidangan yang
disajikan. Minuman dicicipi dengan
ujung lidahnya. Rasanya seperti tuak,
tetapi agak ringan sedikit. Dirasakan
sejenak, lalu disruput, ditelan dengan
perasaan berdebar. Tindakan ini
dilirik saja oleh Sriwening dan Wanda
Bayu. Karena sepertinya tak ada apa-
apa, mereka berdua mengikuti minum-
minuman yang dihidangkan.
"Ha ha ha ha ha ha ha....,"
terdengar suara tawa Danyang Delapan
Neraka.
Pusparini kaget. Jangan-jangan
dia telah masuk perangkap dengan minum
minuman itu.
"Bagus! Kau telah bertindak yang
mungkin tak berani dilakukan oleh
orang lain. Kulihat kedua temanmu itu
baru mau menjamah setelah kau
melakukannya. Nah, tidak beracun,
bukan? Aku memang bisa membunuh orang
dengan kepala dingin, tapi aku tak
suka meracun orang!" kata Danyang
Delapan Neraka sambil meneguk
minumannya. Karena topeng yang dipakai
itu tidak menutupi mulutnya,maka
kegiatan makan minum tidak
mengganggunya. Jenggotnya yang
setengah beruban bisa menunjukkan
bahwa usia Danyang Delapan Neraka
sekitar enam puluh tahunan.
"Ayo, silakan menyantap hidangan
yang lain," katanya lagi. Dia sendiri
segera menjamah panggang ayam dan
dilahap dengan rakus.
Bersamaan dengan itu terlihat
para penari keluar. Mereka menarikan
tarian semacam gambyong yang terdiri
dari enam orang wanita. Tanpa
bertopeng. Pusparini bisa melihat de-
ngan nyata bahwa salah seorang di
antaranya terdapat wanita seperti
Sayem.
"Apakah benar dia yu Sayem ?"
pikir Pusparini. "Kalau benar, mengapa
dia seakan-akan tak pernah mengenal
aku. Dan lagi, menurut keterangan kang
Klungsu, yu Sayem tidak bisa menari.
Ataukah dia orang lain yang mirip yu
Sayem? Atau... kembaran yu Sayem? Ah,
mustahil. Inipun tak dijelaskan kang
Klungsu kalau yu Sayem punya saudara
kembar."
Seusai tarian tersebut maka
kelima penari masuk ke dalam ruangan.
Kini yang tinggal hanya wanita yang
mirip Sayem. Suara gamelan beralih
irama. Kedengarannya lebih keras,
bagaikan mengiringi tari perang. Dan
wanita itu kemudian melepas kemben
yang menutupi dadanya.
Adegan ini membuat mata Pusparini
dan kedua temannya terbelalak Betapa
tidak. Buah dada wanita itu benar-
benar terbuka sekarang. Hanya pada
kedua putingnya ada semacam cungkup
kecil terbuat dari logam keemasan.
Mereka tahu, bahwa pada zaman itu
banyak wanita yang tidak berkemben.
Tetapi keadaan wanita yang berkemben
yang kemudian tiba-tiba dibuka, memang
membuat berdebar perasaan semua mata
yang melihatnya. Apalagi mata itu mata
lelaki. Dan buah dada itu benar-benar
indah, nyaris sempurna dalam penilaian
pemuja keindahan.
Wanita itu menari sesuai dengan
irama gamelan. Akhirnya pada suatu
irama, maka muncullah dua orang lelaki
sambil membawa sebungkus karung. Benda
itu diletakkan di tengah panggung. Di
dalam karung ada sesuatu yang ber-
gerak. Tampaknya seperti ada dua
manusia di dalamnya.
Kini gerak tari wanita itu
tertuju kepada karung di hadapannya.
Dengan trengginas tangannya meraih
bilah pisau yang terselip dipingg-
angnya. Dan.......
Shrettht!
Sekali tebas, maka ikatan simpul
yang mengikat karung terlepas. Karung
kendor dan nongollah dua sosok tubuh
manusia. Dua orang laki-laki!
"Kang Klungsu! Ragil?" terlempar
ucapan dari bibir Pusparini. Sriwening
pun tak ketinggalan keslomot rasa
heran melihat Klungsu dalam keadaan
terikat berada di sana.
Begitu karung terbuka, serentak
Klungsu dan Ragil memanggil nama
wanita itu...
"Sayemmm!!" Tetapi yang dipanggil
tak mengadakan reaksi kecuali terus
menari menghanyutkan diri dalam alunan
suara gamelan yang kian bertempo
cepat. Klungsu dan Ragil tak bisa
berbuat apa-apa karena tubuh mereka
terikat satu sama lainnya.
"Bagaimana mereka bisa diringkus
macam itu ?" bisik Sriwening agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
"Tentunya kang Klungsu tertangkap
sewaktu mencoba mencari jalan masuk
pintu rahasia. Tetapi tentang si
Ragil, entahlah. Aku tak bisa mengerti
mengapa dia tertangkap juga. Beberapa
waktu yang lalu dia lenyap tak
seorangpun tahu. Paling akhir aku
bentrok dengan dia di pinggir kali
sewaktu akan bertindak kurang ajar
terhadap yu Sayem yang sedang mandi.
Kutinggalkan dia dalam keadaan
pingsan," Pusparini menjelaskan dengan
mata mengawasi keadaan sekelilingnya.
Tak ada yang memancing kecurigaan
selain semua perhatian tertuju kepada
adegan diatas panggung.
"Sayem!! Apa yang kau lakukan di
sini?" seru Klungsu dengan berusaha
melepaskan diri. Demikian juga Ragil.
Karena diikat satu ikatan dengan
Klungsu, mulutnya misuh-misuh tiada
berkesudahan. Tetapi kemudian mereka
tersentak kaget ketika dilihatnya
gerak tari wanita yang dipanggil Sayem
kian ganas dan menunjukkan akan
mengunjamkan pisau di tangannya ke
arah mereka.
"Ini pasti sudah direncanakan,"
bisik Pusparini kepada Sriwening.
"Entah bagaimana keduanya tertangkap,
hal ini menimbulkan ilham bagi Danyang
Delapan Neraka untuk menjadikan
tontonan kepada kita."
Wanita itu terus menari dengan
gerakan erotis dan sadis. Sadisnya
bisa dilihat bagaimana dia dengan
menyayat sedikit demi sedikit bagian
tubuh Klungsu dan Ragil. Erotisnya,
tercermin dari gerakan pinggul yang
memancing bayangan pikiran tentang
adegan ranjang. Ragil yang keedanan
terhadap Sayem, adegan tersebut
membuat napasnya naik-turun walaupun
darah mengucur dari lukanya yang
disayat belati oleh penari itu.
"Sayem sayangku....," ucap Ragil,
"kau ambil jantungku pun aku rela asal
kau pertunjukkan kepolosan lekuk-lekuk
tubuhmu.....!"
"Gila kau, Gil! Dalam keadaan
begini kau tetap mabuk gandrung dengan
Sayem istriku!" gerutu Klungsu.
"Istrimu? Kalau istrimu mengapa
dia ber buat seperti itu?" kata Ragil
dengan mata tiada berkedip memandangi
gerakan Sayem yang menari dengan
gemulai. Dan suasananya semakin
membakar mata ketika wanita itu
membelah kain yang dipakainya dengan
pisau di tangannya. Akibat belahan
kain ini, maka betis sampai pahanya
tersingkap dengan nyata. Dan gerakan
tari yang semakin merangsang membuat
pandangan mata Ragil bertambah teler.
Paha mulus itu hilang-hilang tampak
akibat gerakan tari yang menggila.
Sampai akhirnya........
Sshhwwtt!
Sayatan pisau merobek pipi Ragil!
Darah mengucur.
"Hentikan itu!! Tarian apa itu!!"
teriak Pusparini tiba-tiba sambil
berdiri dari tempat duduknya. Seketika
itu juga suara gamelan terhenti. Juga
gerak tari wanita itu.
"Hua ha ha ha ha ha...!" meledak
tawa Danyang Delapan Neraka. "Itu
belum seberapa. Aku bisa menyajikan
pertunjukan yang lebih indah dari
tarian itu. Oh, seharusnya kau tidak
berteriak seperti itu, Walet Emas!"
Perasaan Pusparini tersirap. Baru
kali ini nama gelarnya disebut oleh
orang yang dianggap lawan, padahal dia
tak pernah mengenalkan nama itu.
"Kau heran aku bisa tahu dengan
gelarmu, Cah ayu ?” kata Danyang
Delapan Neraka dengan memberi isyarat
kepada Bango Thonthong. Dan isyarat
ini diteruskan kepada yang lain.
"Kau punya Pedang Merapi Dahana.
Siapa lagi kalau pemegangnya bukan
pendekar bergelar Walet Emas? Ah, tak
usah merisaukan benar apa yang
kuketahui. Bahkan seharusnya kau bang-
ga bahwa namamu dikenal dalam dunia
persilatan sebagai pendekar punya
kharisma," kata Danyang Delapan
Neraka.
Tiba-tiba semua pandangan tertuju
ke arah munculnya anak buah Danyang
Delapan Neraka yang mengawal sese-
orang.
"Ss......Sayem?" Klungsu orang
yang pertama kali yang mengucapkan
nama itu. Orang yang pernah
mengenalnya memang akan memanggilnya
dengan nama Sayem. Tetapi bagaimana
dengan wanita satunya yang bisa juga
dikenal sebagai Sayem?
Kini ada dua orang Sayem. Dua
manusia kembar! Nyata bahwa yang
muncul terakhir ini benar-benar Sayem
ketika dia langsung hendak mendekat ke
arah Klungsu..
"Kang Klungsu!" jeritnya.
"Sayem!! Bagaimana kau bisa
berada di sini? Apakah orang-orang ini
telah menculikmu ?"
Sayem tak sempat berbicara lagi
karena ditarik oleh Danyang Delapan
Neraka.
"Inilah kunci permasalahannya,
Walet Emas! Semua karena wanita
bernama Sayem! Sayem yang punya
saudara kembar bernama Thiwul!" kata
Danyang Delapan Neraka. Lalu dengan
ganas dia menarik kemben yang menutupi
tubuh Sayem sehingga keadaannya
setengah bugil. Tubuh Sayem dibalikkan
sehingga bisa dilihat dengan nyata
oleh setiap orang. Punggung Sayem
seperti ada rajah yang sengaja
dituliskan secara samar-samar. Kemu-
dian Bango Thonthong memberikan
bubukan kuning seperti sari bunga
kepada Danyang Delapan Neraka. Kemu-
dian punggung Sayem diborehi dengan
bubuk kuning tersebut. Ajaibnya, di
punggung itu tiba-tiba muncul rajah
tulisan dengan nyata!
Klungsu satu-satunya orang yang
mengumbar kata, "Oh, aku tak pernah
melihatnya. Rajah apa itu? Siapa yang
menuliskan di situ?"
Terdengar suara tawa Danyang
Delapan Neraka. Kemudian dia memberi
isyarat kepada wanita yang dikatakan
sebagai kembaran Sayem.
"Thiwul! Kemari kau!!" terdengar
suara si Danyang. Wanita bernama
Thiwul mendekat. Si Danyang menyingkap
kain yang robek, dan terlihatlah paha
mulus si Thiwul. Di sini, kalau
diamati dengan teliti, memang ada
semacam rajah yang dituliskan. Kemu-
dian Danyang Delapan Neraka memborehi
paha Thiwul dengan bubuk kuning.
Sesaat kemudian terlihatlah tulisan
rajah dengan nyata, tetapi lain
bentuknya dengan yang tertera di
punggung Sayem.
"Apa maksud semua ini?" tanya
Pusparini mulai buka suara lagi.
"Sayem dan Thiwul adalah saudara
kembar yang mempunyai rajah rahasia
yang pernah dituliskan oleh Ki Bangah.
Aku kenal baik dengan Ki Bangah. Dia
punya istri piaraan yang kemudian
melahirkan Sayem dan Thiwul ini.
"Apa? Ayahku pnnya istri piaraan
dan mempunyai anak kembar? Sss...
Sayem dan Thiwul?" Sriwening menengahi
dengan tercengang.
"Aha! Jadi kau juga anak Ki
Bangah? Ah, jadi kau yang tentunya
bernama Sriwening. Aku pernah dengar
bahwa kau dikirim oleh ayahmu berguru
untuk membekali diri dengan ilmu bela
diri. Hendaknya kau jangan menggugat
ayahmu yang ternyata punya istri
piaraan sehingga melahirkan Sayem dan
Thiwul ini," kata Danyang Delapan
Neraka. "Ayahmu telah tewas!"
"Aku akan balas kematian ayahku!!
Aku tahu kini, ayahku mati di tangan
Bango Thonthong itu. Senjata
rahasianya yang ditemukan Pusparini
bisa dijadikan bukti!!" Sriwening
menggebrak ucapan dengan kethus.
"Hm! Persoalan ini jadi
mengasyikkan. Sebelum sampai pada
akhir pertemuan ini, akan kuberitahu
tentang rajah yang tertera di punggung
dan paha wanita kembar ini. Gabungan
tulisan dan gambar yang ada di sana
menunjukkan tempat peninggalan harta
karun Ratu Sima!" kata si Danyang.
"Harta karun Ratu Sima?!" sela
Pusparini ingin meyakinkan peristiwa
yang melatar belakangi kejadian-
kejadian yang telah berlalu.
"Ki Bangah adalah orang terakhir
yang menyimpan petunjuk itu. Untuk
menyimpan rahasia tersebut, maka
dituliskan ke bagian tubuh kedua anak
kembarnya. Dia menuliskannya ketika
Sayem dan Thiwul berumur sepuluh
tahun. Thiwul berhasil kuculik dan
kuasuh. Hanya Sayem yang berhasil
disembunyikan oleh Ki Bangah. Sejak
itu aku kehilangan jejak. Tetapi aku
yakin keberadaan Ki Bangah tidak jauh
dari Prambanan ini," si Danyang
memberi penjelasan tanpa ragu-ragu.
Seakan-akan dia telah berhasil
menguasai segalanya, dan kisah itu
diungkap demi kebanggaan dirinya
sendiri.
"Berlangsungnya memang lucu
sekali. Aku perintahkan Bango
Thonthong untuk mencari anak perempuan
Ki Bangah yang bukan kembaran dari
satu desa ke desa lain. Setiap malam
dia menyamar karena tak mungkin secara
terang-terangan membuka punggung
setiap anak perawan. Semula aku
menduga bahwa bagian lain peta rajah
itu dituliskan oleh Ki Bangah kepada
anak perempuannya yang lain yang bukan
kembaran Thiwul. Yang kumaksud adalah
Sriwening, yang tidak tahunya di kirim
untuk berguru. Hal ini kulakukan
karena aku mendengar kabar slentingan
bahwa Ki Bangah telah menyembunyikan
anak-anaknya yang lain agar rahasia
rajah peta tidak bisa dilacak oleh
orang lain," kata Danyang Delapan
Neraka dengan mengenyahkan tubuh
Thiwul. Sepertinya dia tidak
memerlukan lagi tentang rajah yang
tertera di paha Thiwul.
"Bagaimana kau tahu bahwa bagian
yang lain ternyata ada pada anak
kembar satunya bernama Sayem?" tanya
Pusparini sambil mengawasi keadaan
sekitarnya. Adalah tidak mungkin kalau
Danyang Delapan Neraka akan membiarkan
peristiwa ini berlalu begitu saja
setelah segalanya diceritakan secara
gamblang. Cepat atau lambat si Danyang
pasti akan memerintahkan anak buahnya
untuk mengganyang dirinya, atau dengan
kata lain menumpas habis terhadap
pihak luar yang telah tahu hal ini.
"Aku tahu bahwa hal itu ditulis
pada kembaran Thiwul karena keterangan
Ki Bisma. Sayang, aku harus membunuh
laki-laki ini karena dia pun ternyata
mengincar harta tersebut," jawab si
Danyang dengan suara datar.
"Aku adalah anak Ki Bisma,
Danyang keparat!" tiba-tiba Wanda Bayu
yang selama ini banyak bungkam, mulai
buka suara. Dan ini tidak sekedar
mengeluarkan ucapan bagaikan hawa
kentut keluar dari dubur, tetapi
benar-benar seperti geledek di telinga
Danyang Delapan Neraka. Sriwening dan
Pusparini jadi dibuat terperangah oleh
ucapan Wanda Bayu.
Sejenak wajah Danyang Delapan
Neraka tegang. Kemudian mengumbar tawa
berkepanjangan...
"Jadi kau akan menuntut balas,
thole? Pasti kau bernama Wanda Bayu.
Aku memang tak pernah memperhatikan
keluarga si Bisma. Aku benar-benar
bahagia bahwa dalam kesempatan ini
telah berkumpul manusia-manusia yang
akan menuntut balas.
Hahahahahahaha........!"
Seakhir dengan ucapan itu Danyang
Delapan Neraka mencabut pedangnya dan
disabetkan ke arah Thiwul dan Sayem.
Tentu saja tindakan yang tak
terbayangkan sebelumnya membuat semua
orang kaget dan terperangah.
Tubuh Sayem dan Thiwul langsung
roboh. Sabetan dengan gerakan ilmu
tinggi itu tampak nya hanya sekali
tebas. Mata jeli seorang pendekar akan
tahu bahwa sabetan pedang itu di-
lakukan dengan cepat mengandung empat
gerakan. Punggung Sayem dan paha
Thiwul yang jadi sasaran sehingga
bagian tubuhnya menganga secara
mengerikan. Pedang itu paling tidak
mengandung racun, sebab kedua wanita
yang jadi korban tidak bergerak lagi
begitu jatuh terkapar.
Klungsu satu-satunya orang yang
berteriak histeris. Melihat keadaan
itu dia meronta hebat. Perasaannya
meledak mengakibatkan munculnya
kekuatan yang tidak semestinya
sehingga dia berhasil melepaskan diri
dari ikatannya. Ragil pun terlepas
dari ikatan. Bagaimanapun dia tak bisa
membiarkan diri melihat wanita yang
digandrungi walaupun sudah bersuami,
terbunuh dengan cara itu.
Dan keributan berkobar ! Baku
hantam meledak Masing-masing mencari
lawan.
Pusparini, Sriwening serta Wanda
Bayu segera bertindak. Dalam kesem-
patan ini Pusparini baru sadar mengapa
senjatanya, Pedang Merapi Dahana,
tidak mampu menghancurkan senjata
lawan-lawannya. Dia ingat pesan
gurunya, bahwa Pedang Merapi Dahana
sangat ampuh kalau dipergunakan di
bawah naungan cahaya matahari. Sebab
matahari merupakan sumber panas yang
mampu membakar pamor pedang sehingga
mengeluarkan cahaya merah membara. Itu
sebabnya di dalam sarang Danyang
Delapan Neraka yang terselubung dari
cahaya matahari, pedang Pusparini
tidak menunjukkan keampuhannya. Tetapi
tetap mengundang maut kalau diper-
gunakan menghadapi lawan. Seperti
halnya kali ini, dia telah menghabisi
lima orang anak buah si Danyang.
Dalam pada itu, Sriwening yang
dendamnya sudah keslomot, terus men-
cari kesempatan untuk dapat berhadapan
dengan Bango Thonthong, si pembantai
keluarganya. Dua orang ini berhadapan
dengan seru di tempat yang agak
tersisih. Sedangkan Wanda Bayu,
Klungsu dan Ragil, terlibat perke-
lahian dengan Danyang Delapan Neraka.
Pusparini meladeni anak buah si
Danyang yang jumlahnya lusinan.
Sebenarnya Wanda Bayu tidak men-
jadi lebih enak dengan turut campurnya
Klungsu dan Ragil dalam menangani
Danyang Delapan Neraka. Tetapi apa mau
dikata, Klungsu dan Ragil juga punya
dendam dengan si Danyang.
"Ayo, mengapa cuma bertiga?
Tunjukkan kelihaianmu. Rahwana adalah
tokoh pujaanku. Dia punya kepala sepu-
luh dan tangan dua puluh. Kesaktian
Rahwana ada padaku.... hahahahaha...!"
sumbar si Danyang untuk mengecoh nyali
lawan. Seperti tokoh Rahwana, meskipun
kejam, dia punya rasa humor. Oleh
sebab itu dalam pertarungan ini si
Danyang banyak memancing lawakan.
Setiap mengucapkan lawakan, pasti
berhasil melukai lawan. Buktinya,
Ragil dan Klungsu yang dalam ukuran
kependekaran hanya kelas jago kepruk
di desa Sonogading, telah luka parah
kena babat pedang si Danyang.
Sedangkan Wanda Bayu karena merasa
terhalang oleh gerakan kedua jago
kepruk itu, dia banyak berada di luar
serangan pedang lawan. Lama-lama si
Danyang merasa disepelekan kalau harus
berhadapan dengan dua jago kepruk
semacam Klungsu dan Ragil. Maka
diambil tindakan tegas. Dengan
mengeluarkan jurus pamungkas, Danyang
Delapan Neraka membabat leher Ragil
dan Klungsu. Bagaikan buah kelapa
jatuh dari pohon, kepala mereka
mencelat lepas dari badannya. Sungguh
mengerikan!
Hal ini semakin membakar semangat
Wanda Bayu. Dengan berteriak
mengobarkan semangat, dia menerjang ke
arah lawan. Si Danyang agak kuwalahan
menghadapi jurus awut-awutan dari
lawannya. Disebut awut-awutan karena
sulit dibaca rumus serangannya. Diduga
serangan dari atas, tidak tahunya mun-
cul pukulan dari bawah. Dan apabila
dari bawah, Wanda Bayu banyak
menggunakan tendangan kaki memberi
rangkaian pembobolan pertahanan si
Danyang yang rupanya sangat lihai
dengan ilmu pedangnya. Tetapi lama-
kelamaan si Danyang dapat membaca
taktik Wanda Bayu. Maka dengan
serangan jurus pamungkas, dia menya-
betkan pedangnya ke leher lawan.
Tetapi di luar dugaan Wanda Bayu mampu
melemparkan tubuhnya ke belakang.
Dengan bergulir tiga kali di udara,
makajarak serangan si Danyang dapat
dihindari.
"Hm! Dia selalu menggunakan jurus
pamungkas di arah leher lawannya,"
pikir Wanda Bayu dengan mengatur
siasat lain.
Sementara itu Bango Thonthong
terlihat sangat keteter serangan
Sriwening. Dendam memang mengalahkan
segalanya. Mengalahkan rasa takut.
Mengalahkan akal sehat. Inilah modal
tindakan Sriwening. Akibatnya, Bango
Thonthong dibuat tak berkutik dalam
menghadapi lawannya yang semula
dipandang masih ingusan dalam ilmu
bela diri. Sampai pada akhirnya, baku
hantam mereka tiba di kubangan dekat
sungai bawah tanah di mana buaya-buaya
yang kelaparan mengangakan moncongnya.
Geram suaranya sangat menyeramkan.
Mungkin karena begitu dendamnya Sri-
wening terhadap Bango Thonthong,
sehingga pada kesempatan di sini dia
kurang waspada. Tanah yang licin di
luar perhitungannya. Sampai ketika
lawannya melancarkan tendangan, Sri-
wening tergelincir sewaktu akan
mengelak. Dia terpeleset jatuh ke
bawah. Dan jatuh sekitar dua depa dari
seekor buaya yang moncongnya menganga.
Sang buaya melihat ada mangsa di
dekatnya, langsung bersiap menyantap.
Tetapi Sriwening dengan gesit
melantingkan tubuhnya ke samping.
Dengan dua kali gerakan, dia telah
menghadang langkah Bango Thonthong
yang akan meninggalkan tempat itu
karena menduga lawannya disantap
buaya.
"Aku masih belum mampus, Bango,"
seru Sriwening, "Buaya lebih suka
dengan daging burung. Di sini tak ada
burung. Yang ada manusia bernama
burung!"
Bango Thonthong benar-benar kaget
dengan kemunculan Sriwening. Sebelum
dia sadar, maka gadis ini telah
mengirimkan pukulan fatal lewat
tendangan kaki. Bango Thonthong yang
semula sudah tidak mengira akan
berhadapan dengan Sriwening lagi, tak
sempat mengelak Tendangan itu
mengunjam dengan keras ke dadanya
sampai dia muntah darah. Dan detik
selanjutnya tubuhnya mencelat ke
bawah, ke kubangan buaya. Bango
Thonthong sebenarnya bisa menghen-
takkan kakinya begitu dia sampai di
bawah untuk dapat naik kembali, tetapi
ketika tindakan tersebut dilakukan,
dengan cepat kakinya disambar buaya.
Jeritan terdengar dengan robohnya si
Bango, yang kemudian tubuhnya dicaplok
moncong-moncong yang kelaparan. Bango
Thonthong jadi ajang pesta di sana.
Tubuhnya dicabik-cabik buaya...!
Yakin bahwa lawannya telah tewas,
Sriwening segera melesat untuk
membantu kawan-kawannya. Ketika sampai
di arena pertarungan, dilihatnya Wanda
Bayu keteter oleh serangan Danyang
Delapan Neraka. Dia langsung membantu.
Dengan dua kali lompatan, dia telah
terlibat dengan ujung pedang si Da-
nyang. Bahkan nyaris lehernya kena
babat. Untung dia waspada. Dengan
membuang tubuh ke samping, sabetan
pedang lawan membabat ke tempat
kosong.
Sementara itu Pusparini telah
berhasil menyikat habis anak buah
Danyang Delapan Neraka. Tidak semua.
Mereka ada yang melarikan diri cari
selamat.
"Hm, tinggal dedengkotnya. Tang-
guh juga dia. Dikroyok dua orang
tenaganya kelihatan tetap tegar,"
pikir Pusparini dengan melangkah ke
sana.
Melihat kehadiran Pusparini si
Danyang tertawa sambil menjauh.
"Tunggu! Kini kalian akan
mengroyok aku? Boleh! Ayo. Tetapi
sebelumnya akan kuberitahu tentang
racun yang telah bersarang dalam perut
kalian!" seru Danyang Delapan Neraka
dengan berkacak pinggang.
"Racun? Lewat makanan tadi?" kata
Pusparini, "Kau bilang meracun orang
tak pernah kau lakukan. Kau berkata
itu tindakan pengecut. Mengapa kini
kau mengaku ada racun dalam tubuh kami
yang kesannya terdapat di dalam
makanan?" sahut Pusparini dengan meng-
awasi kedua temannya. Dia khawatir
Sriwening dan Wanda Bayu telah
merasakan reaksi racun yang dikatakan
si Danyang. Dia khawatir racun yang
diberikan lewat makanan reaksinya
lambat, tetapi mematikan. Di pihak
lain Wanda Bayu dan Sriwening saling
memandang. Tiba-tiba keduanya menebah
perut, tubuh mereka sempoyongan.
Pusparini yang melihat kedua temannya
mengalami hal itu, timbul rasa
cemasnya.
"Huahahahahaha...! Kau lihat
itu!" seru Danyang Delapan Neraka
dengan girang, "kedua temanmu telah
sempoyongan. Reaksi racun itu memang
dibuat lambat agar tidak mencurigakan.
Sebentar lagi pasti kau menyusul,
Walet Emas!!"
"Celaka! Mereka benar-benar
keracunan," pikir Pusparini dengan
terus bersikap waspa-da. Tiba-tiba
diapun bertindak serupa. Menebah perut
dan sempoyongan...
Melihat hal ini tawa Danyang
Delapan Neraka meledak lagi. Dengan
langkah pethitha-pethithi dia mengham-
piri ketiga lawannya yang tampaknya
kini tak berdaya.
"Sebentar lagi kalian akan
berangkat ke akherat. Tubuh kalian
akan melepuh seperti kesiram air
panas. Kemudian daging kalian akan
mlonyoh mengandung nanah. Lalu satu
persatu anggota badan kalian akan
lepas dari persendiannya. Benar-benar
cara mati yang sangat mengerikan!
Sangat mengerikan! Tetapi aku senang
menyaksikannya. Hahaha...!" seru
Danyang Delapan Neraka dengan terus
menghampiri mereka.
Kini Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu benar-benar ndlosor di
lantai. Kelihatannya mereka bertiga
sudah tidak berdaya lagi.
"Tetapi aku masih berbaik hati.
Aku kasihan melihat kalian harus mati
dengan cara menjijikkan dan
menyakitkan. Aku akan menolong kalian
dengan cara mati yang cepat. Mengerti
maksudku? Kepala kalian akan kupenggal
satu persatu! Ah, tidak. Akan
kupenggal secara bersamaan dengan
sekali tebas! Lihat pedangku ini.
Pedang berbentuk kepala makara pada
ujungnya. Makara penyebar maut!" kata
si Danyang dengan mempersiapkan sen-
jatanya yang mingis-mingis tajam.
Pedang yang katanya bisa membelah
rambut.
"Sekaranglah waktunya!!" suara
Danyang Delapan Neraka sangat lantang
terdengar sambil mengayunkan pedang-
nya.
Dan sebelum si Danyang mengayun-
kan pedangnya, tiba-tiba Pusparini,
Sriwening dan Wanda Bayu bergerak
serentak mengayunkan pedang masing-
masing. Pedang Pusparini mengunjam ke
jantung. Pedang Sriwening menancap
pada leher. Dan pedang Wanda Bayu
merobek perut! Mereka bukanlah bunuh
diri, tetapi pedang mereka telah
bersarang ke tubuh lawan. Ketubuh
Danyang Delapan Neraka yang nyaris
mengayunkan pedangnya ke kepala mereka
bertiga.
Kontan si Danyang roboh, yang
sebelumnya sempat melotot seakan-akan
tak percaya apa yang menimpa dirinya.
Dia terkapar dengan gerak sekarat,
lalu tak bergerak lagi. Mati!!
Mereka bertiga tiba-tiba saling
mengawasi diri.
"Sri! Bukankah kau tadi
keracunan? Dan juga kau.... Wanda?"
seru Pusparini yang me-lihat Sriwening
dan Wanda Bayu dalam keadaan segar
bugar.
"Bahkan kami berdua mengira
kaulah yang keracunan, Rini," seru
Sriwening pula. "Kami berdua tetap
waspada tidak memakan serta minum
minuman yang dihidangkan tadi walaupun
kau telah mencicipi yang kemudian kau
lahap."
"Sangkamu begitu? Aku cuma
mencicipi. Tetapi tidak kutelan. Semua
makanan yang kelihatan kumakan,
sebenarnya kubuang di bawah meja,"
Pusparini mengaku.
"Aku juga!" jawab Sriwening.
"Aku juga begitu," Wanda Bayu
menimpali.
Mereka bertiga tertawa terharu!
Kemudian memandang tubuh Danyang
Delapan Neraka yang terkapar.
"Aku benar-benar tak mengerti
tindakan si Danyang yang membunuh
Sayem dan Thiwul. Dengan tindakannya
berarti rajah tulisan dan peta tentang
harta karun Ratu Sima tak bisa terbaca
lagi. Entah kalau dia telah menyalin
dan menyimpan," kata Pusparini dengan
membersihkan pedangnya sebelum
dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Lihat! Itu ada semacam ruas
bambu di sarung pedang si Danyang,"
seru Wanda Bayu. Dia segera mengambil
sarung pedang si Danyang yang dilekati
seruas bambu sebesar pergelangan
tangan bayi. Setelah diteliti ternyata
tabung bambu yang tertutup. Bambu itu
diukir indah. Tutup dibuka, dan
terlihat gulungan dari kulit kambing.
"Nah, apa kataku ?" ucap Wanda
sambil memperlihatkan barang temuan-
nya. "Ini peta dan tulisan tentang
harta karun Ratu Sima yang telah
dipadukan dari rajah di paha Thiwul
dan punggung Sayem!"
Mereka bertiga dengan tekun
meneliti lembaran yang bertulis dan
bergambar yang tertera di kulit
kambing.
"Benarkah ini bisa menunjukkan ke
tempat harta karun Ratu Sima?" kata
Pusparini dengan tekun membaca tulisan
yang memberi keterangan gambar denah
tempatnya.
"Sekarang tidak lagi!" tiba-tiba
terdengar suara di belakang mereka.
Suara itu sangat mereka kenal.
"Ki Pandulu?!" seru Sriwening dan
Pusparini serentak.
"Bagaimana Ki Pandulu bisa sampai
kemari ?" lanjut Pusparini.
"Sebagai jagabaya aku wajib
mengikuti jejak kalian," kata Ki
Pandulu. "Kuharap kalian tidak lagi
mempersoalkan harta karun itu. Coba
kulihat," katanya sambil mengacungkan
tangan agar mereka memberikan peta
itu.
Tanpa curiga Pusparini memberikan
peta tersebut kepada Ki Pandulu.
Sejenak Ki Pandulu memperhatikan
lembaran di tangannya. Lalu dia
melangkah menuju perdiangan api. Tanpa
diduga oleh mereka, maka Ki Pandulu
membakar lembaran kulit kambing itu.
"Ki!!! Apa yang telah Ki
lakukan?" seru Pusparini.
"Seperti yang kalian lihat, aku
membakar peta itu," jawab Ki Pandulu
dengan tenang.
"Ttt... tapi...," ucapan
Sriwening tak berlanjut.
"Sekarang tidak akan ada lagi
orang yang memburu harta karun Ratu
Sima. Aku sebagai keturunannya,
melarang siapa pun yang akan
mencarinya. Aku tak ingin harta lelu-
hurku yang dikubur untuk menghindarkan
keserakahan manusia, jadi rebutan
sehingga menimbulkan pertumpahan
darah."
"Jadi.....Ki Pandulu ini
keturunan Ratu Sima ?" tanya Sriwening
seperti tidak percaya. Sementara itu
kulit kambing yang dibakar telah jadi
abu. Lalu Ki Pandulu menatap ketiga
pendekar muda di hadapannya.
"Ratu Sima yang ratusan tahun
memerintah di Kerajaan Kalingga dekat
kawasan pesisir utara sana, adalah
leluhurku! Kalian boleh mempercayai,
boleh juga tidak," kata Ki Pandulu
dengan suara arif. "Ratu Sima berhasil
memerintah negerinya sehingga menjadi
negeri yang adil dan makmur, terkenal
sampai ke negeri Cina. Sepeninggalnya,
banyak pihak yang akan menjarah harta
kekayaannya. Tetapi Ratu Sima bijak-
sana. Sebagian besar harta lalu
dikuburkan di tempat yang diraha-
siakan...! Begitulah latar belakang-
nya."
Hening sejenak. Ketiga pendekar
muda itu terasa hanyut oleh pengakuan
Ki Pandulu. Memang benar, harta
membuat manusia jadi serakah.
Kemudian setelah mereka membakar
jenazah Sayem, Klungsu, Thiwul dan
Ragil, mereka kembali ke Sonogading
mengiringkan Ki Pandulu....!
SELESAI
Serial Walet Emas
Emoticon