Pengarang Teguh Santosa
1
Tubuh sintal yang dibalik kemben
kuning itu menarik berpasang-pasang
mata, begitu dia memasuki warung yang
merangkap sebagai penginapan. Terutama
urakan dengan cambang dan rambut tak
terurus. Dan wanita berkemben kuning
itu tanpa memperdulikan keadaan
sekelilingnya terus mengambil tempat
duduk di meja pojok sendiri. Di sana
serba lesehan di atas tikar. Bungkusan
dan bilah pedangnya diletakkan di
sampingnya.
"Wharagadah! Tiba-tiba saja
kantukku jadi sirna. Siapa sangka ada
bidadari jelita sudi mampir di tempat
ini?" Suara ini meluncur dari mulut
laki-laki bergigi tongos. Kemudian dia
beranjak dari tempatnya, dan melangkah
menuju wanita itu.
"Apa tidak salah masuk ? Atau....
mungkin butuh teman bercanda di sini
? "
Si wanita tetap diam. Melirik pun
tidak. Pandangannya tetap tertuju
kepada pemilik warung yang siap
melayani.
"Coba beri saya secangkir tuak,
pak!" terdengar suara si wanita.
"Hwahahahahahaha.kalian
dengar, kawan ? Gendhuk ayu ini
memesan tuak. Bukan main. Ini baru
betina sungguhan... hahahahaha...!!"
laki-laki bergigi tongos itu meledek
sambil mencoba menjamah dagu si
wanita. Tetapi sebelum tangan itu
berhasil menyentuh sasaran, tiba-tiba
tubuhnya meliuk ke belakang karena
sabetan tangan si wanita.
Bruaakk!!
Tubuh laki-laki itu mencelat
melanda meja yang dikelilingi teman-
temannya. Dengan sikap blingsatan dia
mencoba berdiri, walau agak
sempoyongan. Umpatannya meledak.
"Hhuuh!! Galak juga kau rupanya.
Jangan kira aku kapok. Ini membuat
birahiku menggelegak, cah ayu! Aku
suka sikapmu itu!" katanya sambil
memasang kuda-kuda. Seperti yang telah
diperhitungkan, lelaki ini terus
menerjang ke muka.
Tetapi si wanita cukup waspada.
Dengan tetap duduk di tempatnya,
tangannya berhasil membabat lambung
perut lawannya yang nyaris menerkam
buah dadanya. Si lelaki mengaduh. Kali
ini darah muncrat dari mulutnya.
Begitu mendadak. Ini menunjukkan
serangan si wanita dikerahkan secara
prima. Kemudian lelaki itu roboh.
Melihat keadaan ini teman-temannya
terperangah. Mereka bergerak membentuk
pagar betis.
"Hm. Apakah kalian manusia kebiri
yang cuma berani main keroyok ? Aku
bisa meladeni kalian. Tetapi aku tak
mau menanggung biaya kerusakan tempat
ini," tukas si wanita yang perangainya
mulai ketus.
"Jangan cari alasan! Seharusnya
sejak tadi kami hati-hati dengan
kehadiranmu di sini," kata salah
seorang di antara para lelaki yang
berperut buncit. "Sebut namamu sebelum
kau menyesal memasuki tempat ini! "
"Mengancam? Itu cuma gertakan
macan ompong!" ledek si wanita sambil
membuang senyum kecut.
Dan detik selanjutnya, tak ada
yang tahu siapa yang memulai menerjang
ke.muka di antara lelaki itu. Yang
jelas mereka bergerak serentak. Dan
serentak pula tubuh mereka saling
bertebaran ke belakang dan
terjerembab. Itu bukan serangan fatal
dari si wanita. Terbukti lawan-
lawannya cepat bangkit dari tempatnya.
Kali ini golok mereka diandalkan untuk
menghadapi si wanita yang dinilai
memang bukan wanita sembarangan,
walaupun penampilannya benar seorang
pendekar.
Dua orang maju serentak. Golok
mereka berkelebat mencari sasaran.
Tetapi dengan gesit si wanita melesat
dari tempatnya sambil mengirim pukulan
ke punggung lawan. Mereka terjerembab
melanda meja.
Kemudian yang lain menyusul
menyerang. Kali ini dengan gerak
pengepungan yang ketat. Tetapi lagi-
lagi si wanita masih di atas angin.
Unggul. Dengan gebrakan pukulan yang
sulit ditangkis, tiga laki-laki itu
terjerembab di lantai dengan aduhan
yang tersendat. sebab mereka terus
pingsan.
Enam laki-laki telah tersungkur
karena sepak terjang wanita itu. Tiba-
tiba terdengar suara tepuk tangan
tanda kekaguman.
Si wanita menoleh. Dengan
pandangan ketus dia mengawasi
datangnya suara tepuk tangan itu.
"Kalau bukan Walet Emas, tak
mungkin bisa bertindak seperti itu",
kata yang bertindak tepuk tangan.
"Ah, kau bisa menyebut nama Walet
Emas, bagaimanabisa tahu ?" ucap si
wanita.
"Wanita berkemben kuning dengan
ciri penampilanmu, telah menjadi buah
bibir para pendekar di kaki gunung
Merapi ini. Kau tahu, namamu menjadi
terkenal karena telah membunuh Gagak
Lodra, tokoh hitam yang sering bikin
onar di desa Awu-awu Langit. Tetapi
mungkin satu hal yang tak kau ketahui,
bahwa ada kabar slentingan Gagak Lodra
tidak mati," kata laki-laki berpakaian
rapi itu.
"Kata-katamu meluncur seperti air
pancuran dengan nada serba tahu. Siapa
kau sebenarnya ?" ujar si wanita yang
telah dibuktikan dengan nama gelar
Walet Emas.
"Aku tidak gembagus, sok tampan,
tetapi orang tuaku memberi nama Bagus
Tulada."
"Bagus Tulada?!"
"Ya! Apakah nama ini berarti bagimu?"
"Tidak!"
"Hmm!"
"Ada apa bilang Hmm?"
"Sekedar meyakinkan saja.
Tampaknya kau pura-pura tidak pernah
mendengar namaku."
"Jangan sok ! Aku memang tak
pernah mendengar namamu," kata Walet
Emas sambil menikmati hidangan
pesanannya. Sementara itu kelompok
laki-laki urakan yang telah dikalahkan
mulai sadar dari pingsannya. Mereka
satu persatu bangkit dengan gerakan
perlahan agar tidak menarik perhatian
Walet Emas.
"Apakah mereka anak buahmu ?"
tanya Walet Emas sambil melirik orang-
orang yang mulai hengkang keluar dari
warung itu.
"Jangan menghina. Aku tak punya
anak buah macam mereka," jawab Bagus
Tulada berusaha menyemarakkan suasana
menjadi ramah. "Bagaimana kalau kita
rayakan pertemuan ini ?"
Walet Emas meladeni. Kemudian
keduanya duduk lesehan semeja. Tuak
yang dihidangkan diteguk dengan tandas
oleh Walet Emas. Bagus Tulada
mengawasi dengan cermat tenggorokan
wanita ini yang meneguk tuak tanpa
ragu-ragu.
"Itu minuman kegemaranmu?" tanya
Bagus Tulada.
"Untuk obat."
"Obat?" Bagus Tulada ingin
meyakinkan, pasti ini ada hubungannya
dengan keracunan. Sebab ada jenis
racun ganas yang bisa ditawarkan
dengan minuman tuak. Apakah kau
keracunan ? Maaf kalau aku lancang
menduga, sebab tidak biasanya seorang
wanita menegak tuak seperti itu."
"Pengamatanmu jeli. Aku memang
keracunan. Kini aku yakin dengan
dugaanku barusan, kau pasti murid Ki
Sembur Adas, tabib kesohor itu,"
sambung si Walet Emas sambil menyeka
mulutnya berbibir menggemaskan,
mangar-mangar bagai tomat yang ranum.
"Kalau boleh aku tahu, kau
mengidap racun dari siapa? Memang
kulihat kau agak pucat"
"Dua hari yang lalu aku bentrok
dengan Sawung Cemani. Kau pernah
dengar nama itu?" kata Walet Emas
merasakan reaksi tuak yang baru
diminumnya. Sikap itu tak luput dari
perhatian Bagus Tulada. Dirasakan ada
sesuatu yang tak beres, cepat
tangannya mencengkal pergelangan
tangan Walet Emas.
"Tahan nafasmu sejenak," Bagus
Tulada memberi saran. "Seharusnya kau
makan nasi sebelum minum tuak itu.
Tentunya kerongkonganmu sampai perutmu
terasa panas."
Bagus Tulada meraba jakun
tenggorokan Walet Emas. Jari-jarinya
memijit dengan lembut. Anehnya, Walet
Emas pasrah saja dengan tindakan itu.
Beberapa orang di warung itu melihat
dengan penuh perhatian. Kemudian
tangan Bagus Tulada merayap ke dada,
yang kemudian meraba perut. Semua
gerakan mengandung pijitan lembut,
tetapi terisi tenaga dalam.
"Nah, agak mendingan bukan ?!"
kata Bagus Tulada dengan melepaskan
pijitannya.
Walet Emas menelan ludah. Dia
menghela napas lega. Ada perasaan
nyaman terlukis di wajahnya setelah
pijitan yang dilakukan oleh Bagus
Tulada.
"Terima kasih. Berapa aku harus
membayarmu?" tanya Walet Emas.
Bagus Tulada ketawa sambil
menjangkau makanan di meja.
"Mengapa setiap pertolongan harus
kau nilai dengan imbalan uang?"
"Bukankah tabib adalah
pekerj aanmu?"
"Sekedar keterampilan saja. Dan
aku bukan tabib."
"Kalau begitu, apa yang mesti
kulakukan untuk imbalan pengobatanmu?"
"Bersahabat saja. Imbalannya
persahabatan. Kau keberatan ?" tanya
Bagus Tulada.
"Itu tidak terlalu berat kurasa.
Tetapi.ini tak berarti kita harus
selalu bersama, bukan ?"
"Enghhng.... kukira tidak. Yang
penting kita telah saling berkenalan
dengan dasar saling menghormati,"
jawab Bagus Tulada sambil melempar
senyum.
Tetapi sebelum suasana penuh
persahabatan itu terjalin lewat
pembicaraan lebih lanjut, mendadak
terdengar hiruk-pikuk di ambang pintu
luar. Di sana terlihat sekelompok
manusia muncul dengan sikap brangasan.
Di anta-ranya terlihat laki-laki yang
pernah digampar oleh Walet Emas.
"Tuh dia orangnya," kata laki-
laki bergigi tongos.
Seorang tokoh di antara kelompok
orang-orang itu tampil ke depan.
Perawakannya tegap dengan bulu dada
sengaja dipamerkan sebagai lambang
kej antanan.
"Kudengar ada orang yang pamer
keperkasaan di sini" katanya sambil
menatap tajam ke arah Walet Emas dan
Bagus Tulada.
"Kalau yang kau maksud karena
laporan si tongos itu, maka persoalan
yang kau dengar keliru. Dia dan kawan-
kawannya punya tindak tidak sopan
terhadap teman wanitaku ini," tukas
Bagus Tulada.
"He, anak muda. Aku berbicara
tidak tertuju kepadamu. Tetapi kepada
wanita berkemben kuning itu. Atau....
kau lebih berkuasa dari dia dalam
mengatasi masalah ini?" kata laki-laki
kekar itu.
"Persoalannya adalah persoalanku
juga. Terutama yang ada hubungannya
dengan kekurang-ajaran yang telah
dilakukan oleh si tongos dan teman
temannya."
"Aku bapak buahnya, tahu... ? Dan
aku paling tak suka kalau ada orang
yang pamer ketangkasan di desa ini.
Kalau kalian pernah dengar nama
Branjang Geni, itulah aku!" ungkap
laki-laki tegap itu.
"Ini Walet Emas, dan aku Bagus
Tulada!"
"Bagus! Bagus! Kalian telah
mengenalkan diri. Jadi aku tak usah
repot-repot menjelaskan siapa nama
orang yang bakal jadi mayat oleh
tanganku."
"Ini namanya kekerasan berantai.
Semula cecungkuk macam si tongos itu
yang bikin ulah, kemudian kau muncul
untuk bertindak. Kalau kau nanti
runtuh juga oleh sepak terjang kami,
siapa lagi yang bakal muncul ?" tukas
Bagus Tulada. Walet Emas tetap
membisu. Tetapi dia telah menyiapkan
diri untuk menghadapi tindakan
sewaktu-waktu yang mungkin ada pihak
pembokong di antara orang-orang itu
selagi pembicaraan berlangsung.
"Aku adalah aku. Tak ada atasan
lagi. Disini ucapanku merupakan undang
undang."
"Ampuh benar ucapanmu. Nah, kita
coba saja, apakah ucapanmu masih
merupakan undang-undang di desa ini ?"
terdengar suara Walet Emas.
"Gendhuk tengil! Eman-eman kalau
kulitmu yang mulus itu terpaksa harus
lecet oleh gebrakan pukulanku.
Pantasnya cuma untuk dielus di
ranjang!" sahut Branjang Geni. Kata-
kata ini mendapat sambutan hiruk-pikuk
anak buahnya yang ketawa dengan nada
urakan.
Dan suara tawa itu tiba-tiba
menjelma menjadi suara aduhan ketika
Walet Emas menyiramkan tuak di guci
yang sejak tadi terhidang di
hadapannya. Siraman tuak dengan
hempasan tenaga dalam itu menyayat
muka mereka seperti sabetan pisau.
Beberapa orang kulit wajahnya melepuh
bagai tersiram air panas. Sedangkan
Branjang Geni yang cukup tangkas
berhasil mengelak dengan menggenjot
tubuhnya melambung ke atas.
Dia luput dari siraman tuak.
Tetapi bukan berarti lepas dari
bahaya, sebab Bagus Tulada segera
menghajarnya dengan lemparan cawan
berisi makanan. Cawan melesat ke
arahnya.
Tetapi memang Branjang Geni punya
embel-embel nama pendekar, sehingga
serangan Bagus Tulada dapat dielakkan
pula. Cawan melesat membobol dinding
warung. Begitu tubuh Branjang Geni
turun, dia mendapat serangan pukulan
Walet Emas yang menerjang ke muka.
Di sini keduanya lalu terlibat
perang tanding menggunakan tangan
kosong. Di sisi lain Bagus Tulada
meladeni serangan anak buah Branjang
Geni yang berhamburan mengroyoknya.
Warung menjadi ajang pertarungan.
Isinya berantakan. Dinding-dindingnya
jebol terlanda tubuh anak buah
Branjang Geni yang mencelat akibat
tendangan Bagus Tulada.
Pada suatu kesempatan, karena
keteter serangan Walet Emas, maka
Branjang Geni melesat ke luar.
Gerakannya membobol jende-la sehingga
jeruji kayunya berantakan. Walet Emas
memburu. Dengan gerakan bergulir di
udara agar lawan tidak dapat menyerang
ketika dia menerjang ke luar, Walet
Emas masih memiliki pertahanan untuk
membabat ke arah lawan.
Branjang Geni melihat gerakan
Walet Emas terpana sejenak. Dia tidak
menyangka kalau lawan terus memburu
secepat itu sebelum dia sempat
mengatur pertahanannya. Bagaimana juga
Branjang Geni terpaksa menggenjot
tubuhnya dan bergulir ke atas ketika
sabetan kaki Walet Emas menyapu ke
arah tubuhnya. Serangan ini luput.
Tetapi ketika tubuh Branjang Geni
melorot ke bawah maka kaki Walet Emas
yang sebelah telah menjegalnya. Tubuh
Branjang Geni oleng. Kesempatan ini
dipergunakan Walet Emas menerjangkan
pukulan tangan dengan gerak burung
Walet menyapu air, sehingga berhasil
mengena ke arah sasaran. Tepat ke arah
dada Branjang Geni. Kontan darah segar
muncrat dari mulut!
Branjang Geni mencoba menguasai
dirinya dengan mengeluarkan golok dari
sarungnya. Dengan pandangan beringas
terus menerjang ke arah lawan. Walet
Emas menggenjotkan tubuh ke atas
ketika sabetan golok bertubi-tubi
membabat ke arahnya. Tubuhnya limbung
berputar di udara, dan ketika melorot
ke bawah kakinya mengunjam ke tengkuk
lawannya.
Branjang Geni menggeliat. Tetapi
cepat menguasai keadaan dengan memutar
tubuh menghadapi lawan. Di sini
sebelum sempurna mengatur serangan
yang akan dilakukan, gerakan tangan
Walet Emas meliuk manis menyambar
lambungnya. Anehnya Branjang Geni
tampak mampu bertahan. Tetapi terlihat
bahwa dia menahan kesakitan yang amat
sangat. Lalu goloknya dipermainkan
untuk menggoyahkan perhatian lawan
sambil bergerak ke depan. Untuk
beberpa saat Walet Emas tak bisa
mengatasi serangan ini. Sulit mencari
peluang untuk mengimbangi serangan.
Dia hanya berkelit ke kanan kiri.
Merasa lawannya tak akan mampu lagi
menghadapi serangannya, maka Branjang
Geni melakukan serangan total.
Ditebaskan goloknya dengan perhitungan
mampu mencegah gerakan lawan sehingga
terjebak di ujung senjatanya.
Sayang, perhitungannya keliru.
Walet Emas tidak bergerak ke arah yang
diduga, tetapi merobohkan tubuhnya dan
mengirimkan pukulan telak ke arah
bawah pusar sehingga lawannya
menggeliat kehilangan keseimbangan.
Hal ini diisi lagi dengan pukulan
berikutnya ke arah tangan yang
menggenggam golok sehingga senjata
tersebut mencelat.
Senjata tersebut meluncur ke
tanah dengan hulu senjata di bawah.
Begitu menyentuh tanah, maka tubuh
Branjang Geni menimpanya. Akibatnya
ujung golok tersebut mengunjam
menembus punggungnya, langsung merobek
jantung. Aduhan meledak. Tubuh
Branjang Geni menggelepar sesaat
sebelum akhirnya diam direnggut ajal.
Sementara itu Bagus Tulada yang
meladeni beberapa orang anak buah
Branjang Geni berhasil pula mengakhiri
pertarungannya. Beberapa orang
melarikan diri, yang lain pingsan, dan
beberapa orang lagi mati konyol.
"Bukan salah kita kalau hari ini
Sang Yamadipati, Dewa Maut, akan
dibuat sibuk di akherat mencatat nama-
nama mereka," kata Bagus Tulada sambil
mengawasi tubuh Branjang Geni yang
mati di tangan Walet Emas.
"Kupikir aku harus meninggalkan
desa ini sebelum senja," sela Walet
Emas sambil berlalu ke dalam warung
untuk mengambil bungkusannya.
"Kau hendak ke mana ?" Teguran
Bagus Tulada tak memperoleh jawaban.
Matanya mengekor langkah wanita itu.
Sekilas berhasil menangkap bentuk kaki
Walet Emas yang berbetis indah dengan
lekuk lembah di tungkai kakinya.
Bentuk kaki yang sempurna sesuai
dengan penilaian keindahan tubuh
wanita. Sulit dipercaya bahwa pemilik
kaki tersebut harus bergumul dengan
kebengisan dunia persilatan.
Lama Bagus Tulada menunggu
kemunculan Walet Emas. Ketika tidak
muncul juga sampai pada batas
kesabaran menunggu, dia menyusul ke
dalam.
Tidak terlihat Walet Emas di
sana. Kemudian dihampirinya pemilik
warung yang sibuk membenahi kerusakan
warungnya.
"Pak, wanita berkemben kuning
tadi ke mana?"
"Telah pergi, den, lewat pintu
belakang," jawab laki-laki tua itu.
"Baru kali ini saya memperoleh ganti
rugi karena tempat ini sering menjadi
ajang keonaran para pendekar. Lihat,
den, wanita itu telah memberi saya
sejumlah uang sebagai pengganti
kerusakan tempat ini. Kalau bukan
orang kaya, tak mungkin dia memberi
ganti rugi. Tapi... yhah, untuk
memberi ganti rugi, saya kira belum
tentu orang kaya. Dia pasti orang yang
punya tanggung jawab, dandermawan,"
kata pemilik tempat itu dengan
menimang nimang sekantung kecil uang
pemberian Walet Emas.
Bagus Tulada mengawasi kantung
berisi uang di tangan pemilik warung.
"Maaf, pak. Coba saya lihat
kantung itu," pintanya. Dia
memperhatikan dengan seksama ketika
kantung itu diperlihatkan.
"Hm. Ya! Terima kasih, pak!" kata
Bagus Tulada terus berlalu dari sana.
Di luar, dia menghampiri kuda
tunggangannya yang sejak tadi
ditambatkan di penitipan kuda. Seorang
bocah dengan berambut kuncung
menjaganya dengan setia. Setelah
memberi upah penunggu kepada bocah
itu, Bagus Tulada cepat memacu kudanya
untuk memburu jejak Walet Emas.
Senja kian temaram, menelan
kecerahan sang surya.
★ ★ ★
2
Lidah api di tumpukan ranting-
ranting yang menghangatkan keadaan
sekelilingnya, dicoba diperbesar oleh
jangkauan tangan yang berselimut kain
batik. Sekilas wajah terlihat di sana.
Wajah Walet Emas, yang kini sibuk
menghangatkan diri lewat perdiangan
api yang disusun dari ranting-ranting
kayu yang banyak bertebaran di sana.
Walet Emas di tempat itu
sendirian. Itu yang terjadi sekarang,
setelah meninggalkan warung tanpa
pamit lagi kepada Bagus Tulada. Dia
memang sengaja menjauhi Bagus Tulada
yang telah mengikrar diri sebagai
sahabat. Dia tak ingin keberadaannya
jadi terbebani karena kehadiran orang
lain. Sejak semula memang dia ingin
sendirian untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Dia berhasil menghindar
dari Bagus Tulada dengan ilmu larinya
"Walet Menembus Awan" sehingga sampai
di tempat yang sulit dijangkau
kendaraan apapun.
Nyala api itu dipandangnya dalam-
dalam. Pada keheningan malam di mana
terlihat nyala api, pikirannya selalu
tergugah pada peristiwa masa lampau,
sekitar tiga tahun yang lalu.
Suara hiruk pikuk menjagakan
dirinya dari tidur malam itu. Bau asap
menusuk hidung. Serta merta dia keluar
dari kamar, bertepatan dengan
peristiwa robohnya tubuh ibunya yang
terbabat sambaran golok dari seorang
laki-laki kekar bercambang lebat. Di
bagian sana ayahnya sedang terlibat
baku hantam dengan beberapa orang yang
mengeroyoknya. Ayahnya dengan gigih
berjuang dan semakin kalap ketika
mengetahui ibunya menjadi korban dalam
kekacauan itu. Kemudian sang ayah
berhasil mengatasi keadaan yang
mengancam jiwanya, di mana para
pengeroyok satu persatu tewas oleh
babatan goloknya. Disusul serangan
dari laki-laki yang telah membunuh
ibunya yang kini berhadapan dengan
sang ayah.
"Wibhangga! Rupanya kau memilih
mampus dari pada menyerahkan buku itu
?" seru laki-laki bertubuh kekar
kepada ayahnya.
"Cara apa pun yang kau lakukan,
kau tak akan memperoleh barang yang
kau cari, Cakraganta! Aku rela
keluargaku musnah, asal keselamatan
umat dapat terhindar dari kehancuran
karena kau memiliki buku itu," sahut
ayahnya sambil menangkis serangan
laki-laki bernama Cakraganta. Keduanya
terlihat perang tanding sementara
kebakaran terus melahap bangunan rumah
itu. Pada suatu kesempatan ayahnya
berhasil melukai Cakraganta dengan
sayatan golok merobek wajahnya.
Cakraganta menggeliat ke belakang.
Tetapi sebelum ayahnya akan
melancarkan serangan lagi, tiba-tiba
muncul seorang wanita membokong
ayahnya dengan sabetan senjata
membabat leher ayahnya sehingga
terpisah dari badannya.
Tiba-tiba lamunan Walet Emas
terpenggal. Kesadarannya pulih karena
indranya menangkap bunyi gemerisik.
Dia melirik ke arah datangnya suara
itu, dan secepatnya melesat ke atas
lalu nangkring di dahan pohon.
Gerakannya lembut sehingga tak sebutir
kerikil ikut tergeser serta tidak
menggoyangkan dahan yang diinjak. Itu
adalah gerakan "Kapas Tertiup Badai"
yang baru dilakukan dengan sempurna
beberapa bulan yang lalu.
Kemudian ditunggunya beberapa
saat dengan pandangan mata ditujukan
ke arah datangnya suara. Dalam
kegelapan malam yang dinaungi cahaya
bulan, Walet Emas melihat sesosok
tubuh berjalan mengendap-endap
mendekati nyala api unggun yang
dibuatnya. Diperhatikan dengan seksama
sosok tubuh itu. Dan tamu yang tak
diundang itu tanpa ragu-ragu lagi
menjangkau panggangan ikan di sana.
Sebelum santapan itu menyentuh
mulutnya, tiba-tiba Walet Emas melesat
ke bawah, tepat di sampingnya tanpa
menimbulkan bunyi yang mengagetkan.
Dan si pendatang itu terkejut setelah
mengetahui di sampingnya telah berdiri
sesosok tubuh. Gerakan njenggirat
dengan maksud untuk lari tak berhasil
dilakukan ketika Walet Emas dengan
trengginas mencengkal batang lehernya.
"Aaaaak.... ampuun! Ssss.saya
orang baik-baik....!" suara sosok
tubuh itu dengan melepaskan panggangan
ikan di tangannya.
"Orang baik-baik tidak akan
mengambil milik orang lain tanpa
permisi," tukas Walet Emas.
"Mmm.... maafkan saya....!"
"Siapa namamu ?" tanya Walet Emas
sambil melepaskan cengkeramannya.
"Www. . . .Wariga.! "
"Wariga ?"
"Iiyy... iya! Wariga. Ss.saya
orang baik-baik. Hanya saja sudah
seharian ini belum makan."
"Tampangmu lusuh. Mengapa belum
makan ?" tanya Walet Emas sambil
membenah api unggun yang hampir padam.
"Kalau kau belum makan, santap
saja ikan itu. Kalau kurang, cari
sendiri di sungai."
Tanpa tercegah lagi anak muda
bernama Wariga itu menjangkau sundukan
ikan yang semula diincar. Dengan lahap
dia makan ikan panggang itu. Sikapnya
tak luput dari pengawasan Walet Emas.
Terbetik perasaan iba melihat tingkah
pemuda kecil itu. Umurnya sekitar lima
belas tahun. Kain yang dipakai menutup
auratnya dikenakan seenaknya saja.
"Kau.pengemis ?" tanya Walet Emas .
Tiba-tiba sikap Wariga tegang.
Dipandangnya Walet Emas dengan tatapan
mata tajam.
"Saya bukan pengemis! Saya anak
orang kaya. Orang tua saya juragan di
pasar," katanya membela diri. Ucapan
ini dicetuskan Wariga dengan sikap
tegas. Bertolak belakang sekali dengan
sikapnya semula yang kelihatan penakut
ketika dipergoki Walet Emas.
"Jadi bagimana kau bisa tampak
begini?"
"Beberapa hari yang lalu rumah
kami dirampok. Kedua orang tua saya
terbunuh dalam kekacauan itu. Dan...
dan.... saya... yang berhasil
menyelamatkan diri....!" kata Wariga
dengan nada sedih.
Walet Emas termenung, teringat
dengan nasibnya sendiri.
"Malam telah larut. Aku ingin
tidur. Kau boleh berada di sini kalau
mau. Besok kita ngobrol lagi," kata
Walet Emas. Dengan perbekalannya, dia
mempersiapkan diri untuk bisa tidur
nyenyak. Dia tidak memperdulikan Wa-
riga untuk tidur di mana.
Wariga melihat keadaan Walet Emas
yang begitu cepat pulas, berusaha
mencari tempat untuk membaringkan
tubuhnya. Mungkin karena kelelahannya
juga yang membuat Wariga cepat
terseret kelelapan meskipun udara
dingin menyengat sekujur tubuhnya.
Tetapi sebenarnya Walet Emas
sendiri belum tertidur. Dia cuma pura-
pura tidur. Dia hanya ingin tahu sikap
pemuda bernama Wariga itu. Terselip
kecurigaan juga di sanubari Walet Emas
terhadap pendatang yang tiba-tiba
muncul di sana. Apakah Wariga seorang
mata-mata yang diselundupkan lawan
untuk mengikuti jejaknya ? Tampaknya
Wariga begitu polos dan jujur. Tetapi
bagaimana kalau hal itu hanya kedok
belaka?
Api unggun itu telah padam. Walet
Emas tak berniat menyalakannya lagi.
Keremangan cahaya bulan diandalkan
untuk melihat keadaan sekelilingnya,
di samping inderanya yang terlatih
peka untuk menangkap suara yang datang
dari jauh.
Beberapa saat ditunggu tak ada
peristiwa lagi yang mencurigakan.
Akhirnya Walet Emas terseret juga
dengan rasa kantuk yang membebani
matanya.
★ ★ ★
3
Tiba-tiba Walet Emas njenggirat
bangun. Dirasanya cahaya matahari
menerpa wajahnya. Dilihatnya hari
telah siang. Tidak biasanya dia bangun
kesiangan seperti itu. Biasanya dia
bangun ketika fajar pagi masih
meremang di ufuk timur.
Dilihatnya tempat Wariga di mana
pemuda kecil itu tidur semalam.
Kosong. Tak terlihat lagi Wariga
di sana. Kecurigaan Walet Emas timbul.
Dia cepat beranjak dari tempatnya dan
melesat ke atas dahan pohon. Dari sana
dia memeriksa keadaan sekelilingnya.
Pandangannya ditujukan kearah sungai
tak jauh dari tempatnya bermalam. Sepi
di sana. Dan pada saat itulah.
"Hah?" Walet Emas terperangah.
Di sebelah timur di mana terdapat
batu-batu terjal, muncul beberapa
sosok tubuh. Mereka bergerak ke
arahnya. Kelompok orang-orang itu
berpakaian seragam punggawa kadipaten
Rejodani.
"Mereka berhasil juga mencium
jejakku. Apakah ini ada hubungannya
dengan si Wariga?" pikir Walet Emas.
"Apapun sebabnya, aku tak ingin sepagi
ini harus baku hantam dengan penguasa
yang menyengsarakan rakyat. Secepatnya
akan kutinggalkan tempat ini."
Tubuhnya limbung ke bawah dengan
gerakan manis tanpa menimbulkan bunyi.
Dengan menyambar bungkusan dan
pedangnya, kemudian melesat ke
seberang sungai. Tiga lompatan dengan
menapak batu yang muncul di permukaan
air, Walet Emas telah sampai di
seberang.
Benar dugaannya. Kelompok
punggawa kadipaten Rejodani rupanya
akan menyergap keberadaannya di tempat
itu. Tetapi bagaimana ceritanya mereka
dapat mencium jejaknya, itu yang
menjadi pertanyaan. Kecurigaannya
bertumpu pada pemuda bernama Wariga
itu yang kini amblas tanpa jejak.
Walet Emas merasa terkecoh dengan
tindakan ini.
"Lihat bekas api unggun ini.
Rupanya dia bermalam di sini," kata
seseorang yang menjadi pimpinan para
punggawa Rejodani. Perawakannya ceking
dengan bentuk alis yang tebal.
"Jadi petunjuk itu benar adanya,"
sela anak buahnya. "Apakah kita
terlambat menyergapnya?"
"Seperti yang telah disarankan,
dia pasti telah lari ke timur,
menyeberang sungai itu," jawab
pemimpin mereka.
"Benar-benar petunjuk yang jitu.
Kalau selama ini tugas kita bisa
diarahkan berdasar ramalan, maka
setiap persoalan secepatnya akan
berhasil kita atasi, " kata yang lain
menggarami.
Laki-laki ceking beralis tebal
itu memandang ke seberang sungai.
Dia dikenal dengan nama Wiro
Brangasan.
Penampilannya kalem, tetapi kalau
sudah keslomot amarah, orang tak akan
percaya bahwa di dalam tubuhnya yang
ceking itu bisa meledakkan tindakan
yang sangat membahayakan bagi orang
lain.
"Tetapi saran itu pula yang
mengatakan kita tidak boleh
menyeberang sungai. Bisa membawa sial
kita. Kita harus bisa bergerak ke arah
timur tanpa harus menyeberangi
sungai," kata Wiro Brangasan lirih
dengan menatap tajam ke arah pepohonan
di seberang sungai yang airnya jernih
itu. "Aku telah mencium baunya, dia
memang ke sana."
Kata-kata ini membuat anak
buahnya terperangah. Mereka tahu, Wiro
Brangasan memang bergelar Kucing
Malaikat. Dia punya kelebihan bisa
mengendus bau seperti indera penciuman
kucing. Dengan penciumannya saja,
walau matanya ditutup, dia bisa tahu
siapa orang-orang yang berada di
sekitarnya.
"Ayo, kita cari jalan pintas
menuju ke timur tanpa menyeberangi
sungai ini," perintah Wiro Brangasan
sambil beranjak dari tempatnya.
Bagaimana dengan Walet Emas?
Ternyata dia masih bercokol di
seberang sungai di balik semak-semak
sambil mengawasi orang-orang yang
selama ini mengejarnya. Matanya dengan
jelas dapat melihat kehadiran Wiro
Brangasan dari tempatnya.
"Hm ! Jadi dia ikut turun
gelanggang untuk mengejar aku. Tetapi
mengapa mereka tidak terus
menyeberangi sungai ini ?" pikir Walet
Emas. "Persetan ! Aku jadi banyak
terlihat dengan pihak lain. Yang
penting aku harus dapat melaksanakan
tugasku yang utama. Menemukan tokoh
bernama Cakraganta dan tokoh wanita
yang telah membunuh ayahku. Sayang
sekali aku tak tahu nama tokoh wanita
itu. Tetapi wajahnya tak pernah aku
lupakan.! "
Walet Emas segera meninggalkan
tempat itu, seiring dengan lenyapnya
orang-orang kadipaten Rejodani dari
seberang sungai.
★ ★ ★
Kemudian di suatu desa yang
dikenal dengan nama Pophitu.
Hari pasaran, banyak orang
berbondong- bondong menuju pasar di
pusat desa Pohpitu. Lima hari sekali,
tempat itu menjadi ajang pertemuan
para penjual dan pembeli. Seperti yang
sudah tertera dalam peraturan desa,
para pedagang harus membayar pajak
untuk bisa berdagang di sana. Pajak
itu ditarik di pintu masuk.
"Hei, gendhuk ayu! Bayar dulu di
sini. Kau akan jualan apa?" tiba-tiba
teguran ini menyengat perhatian Walet
Emas yang sedang menginjak kawasan
pasar. Suara teguran itu datang dari
seorang berperut buncit dengan pusar
diparmerkan. Ikat pinggangnya sengaja
diplorotkan ke bawah. Dengan
penampilan seperti itu dia ingin
memberi kesan kepada orang lain, bawa
dirinya punya kuasa di sana. Tetapi
semua orang tahu, bahwa dia hanya
bawahan saja. Namanya Surogemblung.
Pas dengan penampilan orangnya.
"Aku tidak berjualan apa-apa,
pak!" jawab Walet Emas.
"Bungkusan yang kau bawa itu? Kau
pasti akan menjual sesuatu. Tampaknya
kau belum pernah datang ke tempat
ini, " kata Surogemblung lagi dengan
pandangan mata
menjelajahi celah dada Walet Emas
yang dibungkus kemben kuning. Tubuh
Walet Emas yang sintal itu memang
cepat mengundang perhatian lelaki.
Mata Surogemblung menyapu ke bawah.
Entah apa yang dinilai, yang pasti
jantungnya berdetak semakin cepat
melihat penampilan Walet Emas.
"Penampilanmu... kau pasti
menguasai ilmu bela diri," kata
Surogemblung lagi.
"Omongan bapak ini akan melantur
ke mana? Memeriksa diriku sebagai
pedagang, atau.... pendekar ?"
"Bisa dua-duanya. Kukira kau
perlu diperiksa," Surogemblung
mengumbar kata sambil memberi isyarat
kepada tiga orang yang sejak tadi
mematung di tempatnya. Dia banyak
berdiam diri ketimbang Surogemblung
sendiri yang banyak tingkah menghadapi
orang yang lalu-lalang di sana.
Tiga orang itu maju serentak.
Dengan kasar dia merenggut bungkusan
yang disandang Walet Emas. Dibiarkan
saja mereka bertindak seperti itu.
Bungkusan segera diduduh. Isinya hanya
perlengkapan untuk keperluan pribadi.
Lalu mata ketiga orang itu mengikuti
pada bungkusan lain sebesar kelapa
yang masih di tangan Walet Emas.
"Yang itu?" tanya yang seorang
sambil mengulurkan tangan untuk
menjangkau bungkusan tersebut.
Tetapi sebelum sampai lebih
lanjut, lutut Walet Emas telah
menerjang kemaluan laki-laki itu.
Kontan menjerit dengan membungkukkan
badan. Kedua teman yang lain segera
bertindak untuk meringkus, tetapi
tangan Walet Emas telah berkelebat
menyikat rahang mereka dengan
kecepatan yang sulit dilihat. Keduanya
menggeliat saling bertubrukan. Sebelum
keduanya jatuh, disusui lagi dengan
tendangan sehingga mencelat ke arah
Surogemblung.
Peristiwa itu menimbulkan
perhatian banyak orang. Beberapa orang
bersorak kegirangan karena melihat
tindakan Walet Emas.
"Bener itu, jeng ! Gebrak saja
tukang kepruk itu. Banyak pajak pasar
yang masuk untuk perutnya sendiri,"
terdengar suara di antara hingar
bingar orang yang menonton.
"Keparat!!" teriak Surogemblung
sambil beranjak ke depan. Langkahnya
tak begitu gesit karena tambun
perutnya menyimpan banyak lemak.
Begitu dekat ke arah Walet Emas,
tangannya berniat mehcengkeram tubuh
wanita yang semula dikagumi karena
kesintalannya. Tetapi sebelum kedua
tangan Surogemblung sampai pada
sasaran, tendangan kaki Walet Emas
mengunjam perutnya.
Aneh! Surogemblung tak bergiming
sedikit pun. Seakan-akan Walet Emas
menendang batu padas yang kokoh
tertanam di tanah.
"Hehehehehehehe.! Baru
tahu siapa aku ya?! Surogemblung! Nah,
sudah tahu namaku? Kini sebut namamu,
cah ayu, sebelum kulitmu kubuat lecet
karena berani kurang ajar di sini."
Walet Emas tak menjawab.
Tendangannya berbicara lagi. Kali ini
yang menjadi sasaran dada
Surogemblung. Ternyata tokoh berperut
buncit itu tak bisa dirobohkan dengan
tendangan seperti itu.
"Ayo, teruskan. Kuras tenagamu.
Pilih yang mana yang hendak kau
jadikan sasaran. Rasanya enak kena
tendanganmu. Kayak dipijit. Ayo lagi!
Mengapa belum bertindak juga?" sumbar
si gendut dengan suara lantang.
Melihat hal ini orang-orang yang
semula berpihak kepada Walet Emas,
mulai membisu. Dalam hati mereka
mengakui bahwa Surogemblung bukan
orang sembarangan. Pantas saja dia
diberi wewenang menarik pajak pasar.
Suara tawa Surogemblung masih
nyekakak dengan nada kebanggaan
berkibar di dadanya. Tetapi pada saat
itulah, tiba-tiba dia merasakan
sengatan pukulan yang benar-benar
membuat matanya berkunang-kunang. Dan
kesakitan itu dirasakan pada
kemaluannya. Ya, benar! Kiranya Walet
Emas telah melancarkan tendangan ke
arah itu. Tubuh Surogemblung oleng.
Dia tak bisa lagi mengatur kekuatan
pertahanannya. Pada kesempatan ini
Walet Emas mundur beberapa langkah,
Kemudian dengan menggenjot kekuatan
prima, dia mengunjamkan tendangan ke
arah dada Surogemblung. Kontan laki-
laki gendut ini mencelat roboh. Orang-
orang bersorak-sorai. Nama
Surogemblung jadi ejekan. Tetapi hal
itu tak berlangsung lama. Suara orang-
orang membungkam serentak. Semua mata
tertuju kepada sosok laki-laki berkuda
muncul di sana. Orang-orang pada
minggir dengan sikap hormat, penuh
keengganan. Tepatnya, mereka terpaksa
menghormat.
"Hah? Dia? Bagus Tulada?! " pikir
Walet Emas setelah melihat siapa yang
muncul di sana.
"Walet Emas!" seru Bagus Tulada.
"Apa kerjamu di sini? Kemarin kau
pergi tanpa pamit"
"Aku punya urusan yang tak bisa
didampingi orang lain," jawabnya.
"Urusan? Menangani Surogemblung?
Bagaimana kau bisa terlibat bentrokan
dengan dia? Dia pasti melaporkan hal
ini kepada ayahku. Dan itu yang tak
kuharapkan."
"Jadi ... ayahmu penguasa tempat ini?"
Bagus Tulada menggangguk. "Ayo
kita tinggalkan tempat ini. Kita cari
tempat tenang untuk berbicara."
Ajakan Bagus Tulada mendapat
sambutan. Kemudian keduanya menuju
tempat semacam pesanggrahan. Ketika
Walet Emas memasuki tempat itu,
berulah tahu bahwa itu tempat
penginapan bagi para pedagang yang
sering kemalaman apabila harus
bercokol di sini. Tetapi dengan
melihat keadaannya. Walet Emas tahu
bahwa tidak sembarang bisa menginap di
sana. Ini menyangkut soal martabat dan
kekayaan.
"Nah, kita berbicara lagi di
sini. Kau bisa pula menginap di sini,"
kata Bagus Tulada dengan sikap ramah.
Tindakan itu menunjukkan bahwa dia
berkuasa di sana. Beberapa orang
pelayan menghidangkan minuman dan
makanan. Itu berlangsung setelah Bagus
Tulada memberi isyarat yang cukup
dipahami oleh mereka.
"Apa urusanmu maka kini orang-
orang tertentu mempergunjingkan
namamu?" tanya Bagus Tulada.
"Oh ya? Begitukah yang kau
dengar? Karena hal itu maka kau
tertarik padaku?" jawab Walet Emas
sambil menikmati minumannya.
"Namamu terdengar santer menjadi
pergunjingan tokoh persilatan dalam
beberapa bulan ini. Pada awalnya
tersebar berita, kau berhasil
membinasakan Gagak Lodra di desa Awu-
awu Langit."
"Kau menjelaskan bahwa Gagak
Lodra belum mati. Aku berhasil
menghunjamkan senjataku ke tubuhnya,
lalu dia tercebur sungai. Mungkin juga
berita yang kau sampaikan benar. Dia
belum mati. Mungkin menyelamatkan
diri, dan mengobati luka-lukanya.
Tetapi bagaimanapun, dia tokoh hitam
yang secara tak sengaja terpaksa
bentrok denganku begitu aku turun
gunung dari perguruanku. Aku mengambil
sikap untuk berpihak pada kelompok
putih yang membasmi kejahatan dan
kebatilan," ucapan ini dicetuskan
Walet Emas dengan nada kesungguhan
dengan pandangan tajam tertuju kepada
Bagus Tulada.
"Wah. Hatiku jadi mengkirik
mendengar tekadmu."
"Apakah ucapanku bertentangan
dengan nuranimu?" Bagus Tulada tak
cepat menjawab. Hening beberapa saat.
"Aku punya pandangan hidup,
apabila ada sesuatu yang merugikan
diriku, maka itu berarti memusuhiku,"
katanya kemudian.
"Walau datangnya dari pihak
kebenaran?"
"Kebenaran yang mana? Kebenaran
yang timbul karena suara terbanyak?
Karena kekuasaan ?" tanya Bagus Tulada
mencari ketegasan.
"Ini bisa berkepanjangan apabila
kita berdebat tentang kebenaran. Yang
jelas, sebaiknya kita mengurusi diri
masing-masing saja," jawab Walet Emas.
"Akur! Tetapi sementara ini,
tentunya kau tak keberatan kalau aku
ingin tahu banyak tentang dirimu,"
Bagus Tulada berkata dengan nada
mengharap.
"Kau sudah tahu bahwa aku adalah
Walet Emas."
"Walet Emas kurasa cuma gelar.
Siapa nama aslimu?" Pertanyaan Bagus
Tulada tak cepat memperoleh jawaban.
Tetapi dirasakan pandangan mata Walet
Emas yang mengandung banyak teka-teki
ini bisa mengganti jawaban yang enggan
untuk dikatakan.
"Baiklah. Memang aku tak ingin
memaksakan kehendak. Karena kurasa kau
perlu istirahat, kau boleh menginap di
sini. Aku akan pamit dulu untuk pergi
ke kelurahan," kata Bagus Tulada
dengan terus bangkit dari duduknya.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Bagus
Tulada berpesan kepada para pelayan
agar menyediakan sebuah kamar untuk
Walet Emas.
★ ★ ★
4
Malam hari. Walet Emas
menggeletak di pembaringan. Pikirannya
masih dibebani oleh pertemuannya
dengan Bagus Tulada yang terjadi siang
tadi. Memang tak diduga, yang akhirnya
dapat terbeber bahwa Bagus Tulada
adalah putra Lurah desa Pohpitu.
Melihat penampilannya, bisa dipastikan
bahwa Lurah Pohpitu seorang pejabat
yang kaya. Dan itu tercermin oleh
penampilan Bagus Tulada sendiri.
Akhirnya pikiran Walet Emas
tertambat kepada pertanyaan Bagus
Tulada yang ingin tahu lebih banyak
tentang dirinya. Hal ini yang menyeret
lamunannya kepada masa lampau.
Ketika ayahnya terbunuh di depan
komplotan Cakraganta, maka dirinya
adalah satu-satunya orang yang masih
hidup di antara keluarganya yang telah
binasa dalam peristiwa itu. Sebuah
buku menjadi sengketa. Buku tentang
rumus pembuatan sebilah pedang sebagai
warisan dari keturunan raja-raja
wangsa Syailendra beberapa ratus tahun
yang lalu.
"Pusparini! Aku mendapat firasat
bahwa ketentraman keluarga kita akan
terancam bencana. Kalau ada peristiwa
di luar kemampuan kita untuk
menanggulangi, kau harus bisa
menyelamatkan diri," kata ayahnya,
Wibhangga, pada suatu hari kepadanya.
"Ayah merasa bahwa pusaka yang disebut
"Tosan Aji" kini sedang diincar pihak
lain yang menginginkan. Buku itu ayah
simpan baik-baik dengan harapan tidak
jatuh ke tangan orang berwatak jahat."
"Buku Tosan Aji itu buku apa,
ayah ?" tanya Pusparini yang saat itu
berumur tiga belas tahun.
"Buku dari kumpalan lontar yang
berisi rahasia bagaimana meramu logam
untuk senjata yang ampuh. Buku itu
disusun oleh seorang Mpu pembuat keris
di zaman wangsa Syailendra. Dahulu,
ada dua wangsa atau keturunan raja,
yang bernama Sanjaya dan Syailendra.
Buku Tosan Aji itu menjadi terkenal
ketika pemerintahan keturunan
Syailendra bernama Samaratungga yang
mendirikan candi Borobudur. Entah
bagaimana kisahnya, yang jelas buku
tersebut akhirnya berada di tangan
salah seorang kakek buyutmu. Kemudian
diturunkan kepadaku. Karena kau anak
tunggal, dan aku tak mempunyai anak
laki-laki, maka kaulah yang harus
menj aganya."
"Ayah menjelaskan bahwa buku
Tosan Aji memuat rumusan cara membuat
senjata yang ampuh. Apakah selama ini
sudah banyak senjata yang dihasilkan?"
tanya Pusparini yang kemudian memakai
gelar Walet Emas.
"Menurut dongeng turun temurun,
baru sebilah pedang yang berhasil
dibuat berdasarkan rumusan yang
tertulis dalam buku Tosan Aji. Pedang
itu dinamakan oleh pembuatnya sebagai
Pedang Merapi Dahana. Dia memakai nama
Merapi sebab logam yang diramu, unsur
salah satunya adalah pijaran lahar
gunung Merapi
"Wah, sulit kalau begitu membuat
pedang ampuh semacam itu," sahut
Pusparini.
"Ya! Oleh sebab itu tidak semua
orang bisa membuatnya. Untuk mendapat
pijaran lahar Merapi sangat sulit
kalau gunung itu tidak kebetulan
meletus. Dan itu berarti toh nyawa
untuk mendapatkan. Kemudian unsur
lainnya adalah batu karang yang bisa
didapat di Laut Selatan. Karang
berwarna merah! Kau bisa membayangkan
betapa sulitnya untuk mendapatkan
sarana seperti itu. Orang harus
menyelam menakhlukkan ombak besar. Dan
unsur lain masih banyak yang kau kelak
bisa mengetahuinya sendiri dalam buku
itu. "
"Lalu.pedang yang disebut
Pedang Merapi Dahana yang pernah
dibuat di zaman raja Samaratungga,
sekarang di mana?"
"Pedang itu memang ampuh. Menurut
cerita, raja Samaratungga sendiri
berkenan memiliki, tetapi tak pernah
terlaksana. Oleh Mpu pembuatnya,
pedang tersebut diwariskan kepada
putranya sendiri. Kini sekitar dua
ratus tahun kisah itu begitu. Konon
keturunan wangsa Sanjaya dan wangsa
Syailendra terus saling bermusuhan.
Untuk memperoleh keunggulan, mereka
telah berlomba untuk mendapatkan buku
Tosan Aji tersebut setelah Pedang
Merapi Dahana yang pernah diciptakan
hilang tak tentu rimbanya!"
Lamunan Walet Emas yang kini kita
ketahui memiliki nama asli Pusparini,
terhenti. Ada sesuatu yang mengusik
perasaannya. Ada sesuatu yang tiba-
tiba membuatnya pusing. Kecurigaaannya
timbul. Dia menyelidik ruangan itu.
Terasa tercium bau asap seperti
belerang barcampur dupa.
Pusparini mencoba untuk bangun.
Terlambat! Bau asap itu telah merasuk
ke paru-parunya. Kesadarannya goyah.
Dia tahu, pasti ada pihak lain yang
melakukan pembiusan.
"Aku harus secepatnya keluar dari
ruangan ini," pikirnya sambil berjalan
sempoyongan untuk menjangkau
pedangnya. Tetapi niatnya kandas. Dia
tak kuat bertahan. Dan ambruk ke
lantai.!
★ ★ ★
Entah berapa lama Pusparini tak
sadarkan diri. Yang jelas ketika
siuman, dirinya merasa terikat di
sebuah tonggak. Bau pengap menusuk
hidung. Dia berada di suatu tempat
kotor. Paling tidak sebuah gudang yang
tak terurus.
Ketika pandangannya pulih dengan
sempurna, maka sesosok tubuh terlihat
di hadapannya.
"Gagak Lodra?!" suara Pusparini
menyebut nama laki-laki yang
dilihatnya. "Kau benar-benar masih
hidup.! "
"Kukira kau akan menduga melihat
hantu. Jadi kau tahu bahwa aku masih
hidup?" kata tokoh bernama Gagak
Lodra.
"Bagaimana kau bisa membuatku tak
berdaya seperti ini?" Pusparini
mencoba mengorek keterangan lebih
lanjut.
"Atau.
"Kau kenal baik dengan Bagus
Tulada?"
"'Kemudahan yang kuperoleh atas
usahaku sendiri. Nama Bagus Tulada
memang kuketahui. Tetapi aku tidak
kenal kepadanya. Hanya secara
kebetulan, kau menginap di tempat
miliknya. Dan aku telah lama
menyatroni dirimu, Pusparini alias
Walet Emas!!" kata Gagak Lodra dengan
sikap angkuh.
Sekilas Pusparini teringat bagaimana asal
mula bentrokan dengan Gagak Lodra
Langit di desa Awu-awu.
Setelah dia terhindar dari
pembantaian yang dilakukan oleh
kelompok Cakraganta, dia diasuh oleh
seorang pimpinan perguruan bernama Ki
Suswara di padepokan Canggal. Inipun
awalnya secara kebetulan ketika Pus-
parini sewaktu melarikan diri menjadi
buronan orang-orang Cakraganta dan
diselamatkan oleh Ki Suswara. Kemudian
Pusparini diangkat sebagai murid, dan
dididik kurang lebih tiga tahun di
padepokan Canggal. Ketika turun
gunung, Pusparini yang memakai gelar
Walet Emas, bentrokan dengan Gagak
Lodra.!
"Jadi kau akan balas dendam?"
tanya Pusparini menghapus lamunannya
masa lalu.
"Apapun namanya, aku kini menjadi
salah satu dari sekian banyak orang
yang menghendaki buku Tosan Aji itu,
Pusparini! Memang awalnya tak aku
duga, bahwa buku yang dicari banyak
orang itu berada di tanganmu. Sekarang
mana buku itu, cah ayu ?" kata Gagak
Lodra sambil meraba dada Pusparini
secara kurang ajar. Pusparini yang tak
berdaya karena ikatan, hanya
mengatupkan geraham. Dan tangan Gagak
Lodra kian nakal menyusup ke dalam
sebelah kembennya.
"Tetapi bagaimana kalau sebelum
kepada tujuan utama berbicara tentang
buku itu, kita bermain cinta dulu?"
rayu Gagak Lodra dengan remasan
tangannya yang semakin menggila di
dada Pusparini. Napas Pusparini turun
naik. Terlukis jelas lewat gerak
dadanya yang diremas Gagak Lodra.
"Kau benar-benar manusia bejat!!
Laki-laki pengecut! Hanya berani
menghadapi wanita yang tak
berdaya.!" debat Pusparini.
"Memangnya ada hukum yang
melarang?" ejek Gagak Lodra. "Sebagai
wanita kau sedang ranum-ranumnya.
Bibirmu merah seperti tomat. Dadamu
nyengkir gading. Pinggangmu nawon
kemit. Betismu indah. Tak pantas jadi
pendekar!"
"Bedebah! Manusiabejat!!"
Pusparini mencoba berontak. Semakin
beringas dia berusaha lepas dari
ikatan, semakin menggila pula Gagak
Lodra mencengkeram dadanya.
Dan pada saat itulah...., tiba-
tiba dinding tempat itu jebol! Sesosok
tubuh melesat kedalam. Sebelum Gagak
Lodra sadar apa yang terjadi,
pendatang itu menggenjotkan tubuhnya
dan berputar di udara, yang
selanjutnya kakinya berkelebat
mengunjam ke dagu Gagak Lodra.
Gagak Lodra tergeser dari
tempatnya sambil mengatur diri untuk
mencegah serangan berikutnya. Dia
melihat bagaimana sosok tubuh yang
muncul tiba-tiba ini melepaskan ikatan
tali yang melilit di tubuh Pusparini
dengan sayatan cudrik, keris kecil,
sekali tebas. Tali yang melilit di
tubuh Pusparini terurai lepas.
"Hah? Kau.?" Pusparini
terpana. Tetapi keheranan ini cepat
sirna seiring dengan tindakan
melepaskan diri dari tempatnya untuk
memberi bantuan, karena melihat Gagak
Lodra telah bergerak melancarkan
balasan kepada si penyerang tadi.
Tetapi sebelum Pusparini melaksanakan
bantuannya, tokoh penyelamat itu
berhasil mengatasi serangan Gagak
Lodra dengan menggelindingkan tubuhnya
menghindarkan diri dari tendangan
beruntun lawannya.
Pusparini mencegah gerak Gagak
Lodra dengan sapuan kaki ke arah
lambung lawan. Tindakan pencegahan ini
berhasil, tetapi segera mengalihkan
perhatian Gagak Lodra ke arahnya.
"Jadi kalian saling mengenal,
hah?!" seru Gagak Lodra sambil
mengimbangi serangan Pusparini.
Melihat Gagak Lodra kini ganti
berhadapan dengan Pusparini, maka si
penyelamat untuk beberapa saat menjadi
penonton. Dia tersenyum cengar-cengir
melihat adegan baku hantam yang sedang
berlangsung.
"Wariga! Kau akan kutandangi
sampai modar kalau Walet Emas ini
berhasil kuringkus lagi!" seru Gagak
Lodra sambil terus dengan gencar
mengirimkan serangan ke arah lawan.
Ya! Wariga si penyelamat itu!
Beberapa saat tadi Pusparini sempat
dibuat heran, karena tidak menduga
bahwa Wariga yang muncul. Wariga yang
pernah dikenali kemarin lusa yang
kehadirannya seperti bocah clola-cloco
seperti pengemis, ternyata punya
kemampuan tak terduga. Atau memang hal
itu menjadi sikap Wariga yang tidak
sok pamer dengan kemampuan dirinya?
Wariga yang pernah mencuri ikan
panggang di api unggun, benar-benar
merupakan malaikat penolong. Apa
jadinya kalau bocah itu tidak muncul?
Keperawanan Pusparini pasti amblas
dilahap Gagak Lodra yang konon
mendapat julukan Si Pemetik Bunga,
alias doyan merusak anak gadis orang
di desa-desa yang dilaluinya.
"Aku tidak ingin disebut
pengecut, oleh sebab itu aku tidak
membantumu menangani Si Pemetik Bunga
itu!" seru Wariga di tempatnya sambil
terus menonton.
Sementara itu baku hantam telah
menjebol dinding ruangan itu, dan kini
beralih di luar. Untuk beberapa jurus,
kekuatan mereka seimbang. Tetapi
kemudian terlihat beberapa pukulan
dari Pusparini mulai banyak bersarang
ke tubuh Gagak Lodra.
"Hm! Gadis ini tetap tegar
walaupun baru kena pembiusanku. Tenaga
dalam yang dimiliki pasti ampuh, "
pikir Gagak Lodra sambil mengelakkan
pukulan lawannya. "Umumnya murid-murid
perguruan Canggal memiliki daya
penangkal racun tingkat tinggi. Toh
kemarin dia berhasil kubius dengan
ramuan baru temuanku." Gagak Lodra
tetap hanyut dalam pikirannya sambil
mencari peluang untuk melakukan
serangan balasan. Tetapi kenyataannya
pertahanan Pusparini sulit ditembus.
Dan pada saat itulah.
"Ahh ! " terdengar aduhan dari
mulut Pusparini. Dia merasakan angin
pukulan mengenai lambungnya. Sekilas
dia mencari dari mana datangnya
pembokong yang menyerang dirinya
secara pengecut. Di sisi lain, karena
melihat Pusparini tak menguasai diri
lagi, maka Gagak Lodra berniat
melancarkan serangan balasan. Tetapi
tindakan ini tidak kesampaian. Sebab
dirinya pun mendapat serangan serupa,
yakni pukulan jarak jauh yang
dilakukan oleh orang yang menyerang
Pusparini.
Tertimpa pukulan ini Gagak Lodra
limbung beberapa langkah ke belakang.
Dia tahu ada pihak ketiga yang
mencampuri baku hantam ini. Matanya
jelalatan mencari datangnya si
penyerang. Akhirnya diketahui bahwa
ada seseorang telah muncul di atas
dahan pohon. Pusparini pun melihat
tokoh yang baru muncul. Dan tak luput
pula si Wariga, juga menyaksikan
campur tangan orang itu. Tiga pasang
mata mengawasi ke arah tokoh yang baru
muncul tersebut.
"Kalian kecewa aku turut campur?"
tanya tokoh itu.
Pusparini mengenalinya.
"Sawung Cemani?!"
"Kau tak menduga kalau kita bisa
bertemu lagi, Walet Emas ?" kata tokoh
bernama Sawung Cemani.
Beberapa waktu yang lalu terjadi
juga bentrokan Pusparini dengan tokoh
bernama Sawung Cemani ini. Pusparini
terkena pukulan "Jalu Beracun" yang
dimiliki Sawung Cemani sehingga
tubuhnya sedikit keracunan. Tetapi di
sisi lain Pusparini berhasil melukai
Sawung Cemani cukup parah dengan
sabetan pedang. Kemudian keduanya
mengundurkan diri. Dalam perjalanan,
akhirnya Pusparini berjumpa dengan
Bagus Tulada di warung penginapan yang
melibatkan bentrokan dengan Branjang
Geni .
Kini, Sawung Cemani muncul lagi!
Gagak Lodra menahan geram. Dia merasa
disepelekan dengan munculnya orang
yang ikut campur dalam
pertarungannya. Apalagi ketika
Pusparini menyebut nama orang itu,
yang tiada lain Sawung Cemani. Dan
tokoh ini diketahui juga memburu buku
Tosan Aji.
Semua orang menghendaki buku
Tosan Aji. Dan diketahui bahwa
Pusparini alias Walet Emas yang
menyimpannya.
"Sawung Cemani! Antara kita
memang belum pernah berkenalan. Tetapi
aku tahu, kalau kau menghendaki buku
Tosan Aji, kau harus mundur dulu. Saat
ini giliranku untuk merebut dari
tangan si sintal ini," seru Gagak
Lodra.
"Hahahahahaha.! Cepat benar
kau mengambil kesimpulan begitu...
eee.siapa namamu, kisanak?" ucap
Sawung Cemani sambil melompat dari
dahan di atas pohon.
"Terang sekali bahwa lingkunganmu
seperti katak dalam terpurung kalau
tidak kenal nama Gagak Lodra!" jawab
Gagak Lodra dengan nada angkuh.
"Ah, ya, ya! Gagak Lodra! Aku
pernah dengar itu. Tetapi kau jangan
lantas bangga punya nama seperti itu,
sebab namamu tak masuk hitungan dalam
kancah orang-orang penting di sekitar
gunung Merapi ini," jawab Sawung
Cemani. Sindiran seperti ini terang
saja memanaskan telinga Gagak Lodra
yang sifatnya brangasan. Tak ayal
lagi, kontan dia menghentakkan
kakinya, dan melesat ke arah Sawung
Cemani.
Sawing Cemani cukup waspada.
Sebelum tendangan lawan tertuju ke
dadanya, dia membungkukkan badannya ke
samping sambil menghentakkan kaki
kanannya memapag tendangan lawan. Dan
kaki yang dibungkus kulit ini, tiba-
tiba mencuatkan jalu besi di atas
tumitnya. Inilah yang disebut "Jalu
Beracun"!
Gagak Lodra terlambat menyadari
adanya senjata lawan tersebut.
Akibatnya kakinya robek oleh senjata
yang berbentuk jalu itu. Kalau tempo
hari Pusparini pernah mengalami
mengidap racun dari jalu ini, itu
hanya terkena tendangannya saja.
Tetapi tendangan ini menyemburkan
bubuk beracun yang terisap
pernafasannya. Dan kini lain halnya
dengan Gagak Lodra. Dia benar-benar
kena sabetan jalu besi itu !
Gagak Lodra merasakan seperti ada
api membakar kakinya. Ketika dilihat
sambil mencari peluang untuk mengatur
pertahanannya kembali, kakinya telah
mengucurkan darah. Darah berwarna
kehitaman. Dia sadar, luka itu telah
dicemari racun. Begitu cepat
perkembangannya. Darahnya langsung
berwarna kehitaman. Melihat keadaan
ini Gagak Lodra secepatnya menotok
aliran darah di atas luka tersebut
untuk menghambat racun yang mungkin
menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia
berhasil melakukan, tetapi akibatnya
membuat kaki itu sukar digerakkan
untuk melancarkan serangan lagi.
"Percuma kau menghadapi aku lagi,
Gagak Lodra. Menyingkir saja dari
percaturan orang-orang yang hendak
merebut buku Tosan Aji dari Walet
Emas," seru Sawung Cemani yang nama
ini berarti Ayam Laga Hitam. "Dalam
keadaan seperti itu dengan mudah aku
bisa membabat nyawamu terbang ke
akherat. Kuberi kau waktu untuk
hengkang dari hadapanku."
Mendengar ancaman yang sangat
merendahkan dirinya, maka Gagak Lodra
meledakkan suara jeritan. Sawung
Cemani untuk sesaat sempat dibuat
kaget dengan suara itu, sebab nada
getaran suara tersebut mengandung te-
naga dalam untuk membuyarkan
perhatian.
Benar saja, dengan teriakan
seperti itu Gagak Lodra berusaha
mengadakan serangan walaupun kakinya
yang terluka sukar digerakkan. Benar-
benar suatu upaya yang nekad. Tubuhnya
bisa meluncur ke arah lawan. Tetapi
Sawung Cemani bukan tokoh kelas teri
yang bisa dikecoh dengan gertakan
seperti itu. Dia dengan trengginas
mempersiapkan diri menghadapi serangan
tersebut dengan meregangkan tapak
tangannya. Tapak tangan ini berhasil
menyambar tendangan kaki Gagak lodra,
dan mencengkeram pergelangan kaki.
Gerak Gagak Lodra terasa ketanggor
batu padas yang membuat aliran darah
di bagian kakinya terasa membeku.
Tidak itu saja. Tiba-tiba terasa
tulang kaki yang dicengkeram Sawung
Cemani berdetak. Tulang kaki di bagian
itu remuk kena cengkeraman tangan
lawan. Benar-benar suatu kesialan yang
beruntun. Kini dia benar-benar lumpuh!
Sementara Sawung Cemani dapat
membendung serangan Gagak Lodra, tiba-
tiba Wariga yang sejak tadi tenang
asyik menyaksikan pergulatan tersebut,
kini menggebrak dengan terjangan ke
punggung Sawung Cemani. Tentu saja
keadaan ini benar-benar mengagetkan
tokoh yang kali ini menjadi pusat
perhatian karena keunggulannya
menangani Gagak Lodra.
Sambil melempar tubuh Gagak
Lodra, Sawung Cemani berusaha
menangkis serangan yang tiada terduga
itu, yang kemungkinan akan dilakukan
secara beruntun oleh pihak penyerang.
Sesaat dia menduga bahwa yang
menyerang adalah Pusparini alias Walet
Emas. Ternyata bocah laki-laki yang
tak pernah diperhatikan sama sekali
walaupun sejak tadi berada di sana.
Tendangan kaki Wariga cukup
menyakitkan. Terbukti Sawung Cemani
mengatupkan gerahamnya mengatur
pernapasan untuk mengendalikan rasa
sakit. Rupanya bocah itu cukup jeli di
mana bagian tubuh lawan yang bisa
diserang sehingga menggoyahkan
pertahanan.
"Bocah edan! Jadi kaupun ingin
ambil bagian dalam masalah ini?" seru
Sawung Cemani setelah dirinya
melimbungkan tubuhnya yang kemudian
berpijak ke tanah kembali untuk
mempersiapkan serangan balasan.
"Aku cuma penonton! Sebagai
penonton akan tidak senang kalau ada
tindakan para pemain yang akan
memborong nilai permainan dengan
serakah dan curang!" kata Wariga tanpa
gentar sedikit pun.
"Jangan sok kau bocah. Apa maksud
kata-katamu memborong nilai permainan
dengan serakah?" tanya Sawung Cemani
dengan mata melotot menahan geram.
Kulitnya yang kehitaman menambah
seramnya penampilan dalam rangkaian
pakaiannya yang berwarna hitam dan
merah.
"Belum lima jurus, kau telah
mengeluarkan senjata rahasiamu ! Jalu
besi di atas tumitmu terlalu cepat kau
gunakan. Apa kau tak punya kebolehan
ilmu bela diri dengan tangan kosong
untuk pemanasan perang tanding? Caramu
itu sah-sah saja. Tetapi kurang
ksatria. Kalau dinilai sepak terjangmu
dapat angka tiga!"
"Umurmu masih ingusan sudah bisa
ngumbar omongan seperti itu ! Dengar,
bocah ! Aku pantang bertarung dengan
pengemis seperti dirimu! Kau tadi
telah menendangku. Itu kumaafkan.
Kalau kau ingin panjang umur, cepat
menyingkir dari sini!" sanggah si Sa-
wung Cemani.
"Cobalah kau usir tidak dengan
omongan ! Itu yang kukehendaki!"
"Jahanam keparat!!" teriak Sawung
Cemani sambil terus menggerakkan
tubuhnya menerjang ke arah Wariga.
Benar-benar tak disangka.
Ternyata Wariga mampu berkelit dengan
gesit mengelakkan serangan Sawung
Cemani. Gerakannya begitu lincah, dan
ternyata dia menguasai Ilmu Kera. Ini
benar-benar diperhatikan oleh Pus-
parini yang terus memantau peristiwa
itu. Wariga yang berpenampilan seorang
pengemis sangat menguasai Ilmu Kera.
Ilmu itu dikembangkan oleh Perguruan
Anoman yang konon padepokannya berada
di puncak Gunung Dieng.
Mengetahui kepastian akan hal ini
Pusparini tak meragukan lagi dengan
keberadaan Wariga yang telah
menolongnya. Dia tahu betul bahwa
Perguruan Anoman mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Perguruan Canggal
yang dipimpin oleh Ki Suswara, orang
yang telah mendidiknya sampai menjadi
seorang pendekar pilih tanding.
Sementara itu Sawung Cemani yang
nenyaksikan gerakan-gerakan bela diri
si Wariga, cukup membuat perasaannya
terkesima. Dia mengenal jurus kera.
Tetapi yang dimiliki oleh Wariga bukan
main tangkas dan lincahnya. Sulit
diramal ke arah mana setiap gerak yang
dilancarkan akan menuju. Sebab tanpa
diduga, serangan yang diperkirakan
menjurus ke kanan, bisa berubah ke
arah kiri atau ke arah atas atau
bawah. Konon jurus seperti ini disebut
jurus Kera Siluman, suatu sempalan
ilmu bela diri yang dicangkok dari
Negeri Atas Angin. Tempat ini kemudian
dikenal pula dengan nama Himalaya, di
kawasan India sana. Di tempat itulah
menurut legenda setempat, tempat
lahirnya tokoh manusia kera bernama
Hanuman, yang kemudian di Jawa dikenal
dengan nama Anoman.
Sawung Cemani benar-benar
kuwalahan menghadapi gerak kelincahan
si Wariga. Ini ibarat pertarungan
antara ayam jago dengan kera. Betapa
dahsyat. Si jago dengan jurus kepakan
sayapnya mencoba memberikan pukulan
fatal. Belum lagi ditambah jurus
tendangan kaki yang berjalu beracun
itu. Sementara si kera dengan cakaran
lewat tendangan tangan dan kaki, semua
itu menambah sengitnya pertarungan.
Tetapi kalau diukur dengan usia, maka
Wariga mendapat angka jempol. Sebab
dengan usianya begitu muda, dia dapat
menandingi Sawung Cemani yang sudah
boleh dibilang kampiun dalam rimba
persilatan. Sampai pada akhirnya.
Tiba-tiba mereka merasakan bumi
bergetar! Semua yang berada di sana
menghentikan sikap, memantau keadaan
alam yang tiba-tiba dirasakan tidak
seperti biasanya.
Gempa bumi!
Ya. Itulah yang terjadi. Tidak
cukup keras memang, tetapi hal ini
menimbulkan perhatian yang sangat
serius, karena setiap mata tiba-tiba
mengarah kepada puncak gunung Merapi
di sebelah barat sana.
Gunung Merapi meletus. Jelas
kelihatan kepulan asap kelabu yang
tebal dengan gerak pelan membumbung ke
angkasa.
Dan entah siapa yang membuat
prakarsa, semua pihak segera melesat
meninggalkan tempat itu, menuju arah
gunung Merapi.
Tentu saja tidak semua. Hanya
Gagak Lodra yang tak bisa bertindak
apa-apa. Pertarungannya dengan Sawung
Cemani membual dirinya lumpuh tak
berdaya.
Pusparini cepat mengambil
kesimpulan mengapa Wariga dan Sawung
Cemani melesat lari ke arah gunung
Merapi. Mereka pasti mengerti tentang
rumusan dalam buku Tosan Aji. Apalagi
kalau tidak begitu ? Sebab dalam ru-
musan itu tercantum catatan adanya
unsur batu lahar berpijar untuk
menciptakan sebilah pedang yang ampuh.
Sedangkan rumusan yang lain berisi
ramuan tidak diketahui oleh siapa pun,
kecuali kalau sudah memiliki buku
tersebut.
Kini Wariga dan Sawung Cemani
telah melesat lari ke arah gunung
Merapi yang sedang meletus.
"Jadi si Wariga mengerti juga.
Pasti dia menghendaki buku tersebut.
Tetapi mengapa dia tampak baik-baik
saja terhadapku? Apakah ada maksud
tersembunyi yang aku tidak tahu dengan
sikapnya itu? Bagaimanapun, siapa yang
berkepentingan untuk memperoleh batu
lahar berpijar, pasti menghendaki buku
Tosan Aji!" pikir Pusparini sambil
terus berlari.
Dari peristiwa ini bisa
diketahui, bahwa Pusparini, Wariga dan
Sawung Cemani memiliki ilmu yang
tinggi dalam mengerahkan tenaga
larinya. Entah jurus lari apa namanya,
yang jelas semua itu telah mereka
kerahkan untuk mencapai tempat yang
dituju.
5
Gunung Merapi meletus! Awan
kelabu membumbung tinggi. Karena angin
berembus ke arah barat, maka asap
letusan itu meliuk ke barat. Lelehan
lahar terlihat jelas menuruni lereng
di sebelah selatan. Banyak penduduk
yang menyaksikan peristiwa itu dengan
harap-harap cemas. Mereka khawatir
kalau letusan itu semakin besar
seperti beberapa waktu yang lalu,
seperti yang pernah didongengkan oleh
para leluhur mereka. Beberapa puluh
tahun yang lalu gunung Merapi pernah
meletus dengan dahsyat sehingga abunya
menyelimuti daerah sekitarnya.
Sedangkan candi-candi yang
terdapat di sekeliling kawasan Merapi
sampai tertimbun abu lahar setebal dua
jengkal.
Suara gemuruh semakin nyata
terdengar begitu Pusparini bertambah
dekat dengan gunung tersebut. Daerah
yang diterobos semakin menanjak
tinggi. Langkahpun kian berat menapak
batu-batu yang menghadang jalan. Dari
sini dia tahu bahwa Wariga dan Sawung
Cemani sudah berpencar. Entah kemana.
"Hm ! Jelas sudah. Mereka pasti
akan mencari lahar berpijar dari
gunung Merapi ini untuk membuat pedang
ampuh", pikir Pusparini sambil terus
melompat ke atas. Kini gerakannya
dilakukan dengan cara melompat dari
batu satu ke batu yang lain yang letak
tempatnya kian menanjak. Kawasan yang
dilalui mulai berbau belerang, dan
pandangan tak bisa melihat jelas
sejauh lima tombak.
"Oh.... aku sulit bernafas dengan
nyaman. Udara di sini telah bercampur
uap belerang," pikir Pusparini sambil
melepas selendang ikat pinggangnya
untuk menutup hidung.
"Memang tak begitu mudah untuk
mendapatkan sarana pedang tersebut!"
Keluhan-keluhan mulai dirasakan.
Siapa yang mampu melawan kekuatan
alam? Tetapi hal itu belum membuat
Pusparini putus asa. Dia terus
memanjat dengan gerak lompatan semakin
ke atas. Kadang-kadang perhitungannya
meleset, sebab batu yang diinjak tiba-
tiba longsor ke bawah. Beberapa kali
dia mengalami hal itu. Dia yakin di
suatu tempat di atas sana ada daerah
yang bisa dibuat tempat untuk
mendapatkan pijaran lahar.
Tiba-tiba dirasakan dentuman
hebat. Pusparini yang semula baru akan
melompat ke atas, tubuhnya terpental
karena hempasan dentuman tersebut. Itu
adalah dentuman letusan untuk kesekian
kalinya. Membuktikan adanya limpahan
lahar yang dikeluarkan lewat kepundan
gunung Merapi.
"Astaga! Ada lahar yang menuju ke
tempatku!" kata Pusparini dalam hati.
Ada rasa panik mencekam hatinya.
Dia memang mendapat bekal ajaran
sebagai pendekar pilih tanding. Tetapi
menghadapi keganasan alam yang begini
tak pernah diajarkan. Walaupun begitu
Pusparini tak cepat putus asa. Dia
menganggap aliran lahar itu sebagai
lawan yang menyerang dirinya. Maka
dengan menggenjot tubuhnya ke atas,
dia mencoba menghindarkan diri dari
terjangan lahar tersebut. Usahanya
berhasil. Kini tubuhnya nangkring di
atas batu padas, sementara aliran
lahar mulai menerjang di bawahnya.
Semua disaksikannya dengan
perasaan berdebar. Pijaran lahar yang
dicari dengan jelas terpapar di
hadapannya. Tinggal mengambil saja.
Tetapi dengan alat apa? Tiba-tiba
dirasakan betapa tolol dirinya
menghadapi semua ini.
Konon pernah didengar cerita dari
ayahnya, bahwa empu pembuat senjata
bisa dengan mudah meraup pijaran lahar
itu dengan tangan telanjang. Tanpa
bantuan alat apa-apa. Tentunya orang
semacam itu adalah orang yang sakti.
"Jadi sia-sia saja aku berada di
sini!" pikirnya.
Mendadak Pusparini teringat akan
Sawung Cemani dan Wariga. Dia ingin
tahu apa yang telah dikerjakan mereka.
"Akan kucari mereka. Aku ingin
tahu dengan cara apa mereka mengambil
lahar berpijar ini," kata Pusparini
dalam hati sambil melesat meninggalkan
tempat itu.
Pusparini melompati batu-batu
yang bertonjolan di lereng Merapi
sementara lahar berpijar meluncur ke
bawahnya. Belum lama dia bertindak,
tiba-tiba pandangannya tertuju kepada
sesosok tubuh berkelebat di seberang
sana.
"Wariga!" teriak Pusparini.
Wariga menoleh. Senyumnya menghias
bibir.
"Apa yang akan kau lakukan di
tempat ini?" tanya Pusparini sambil
melompat mendekat ke arah bocah itu.
"Mungkin.... seperti yang akan
kau lakukan juga," jawab Wariga sambil
memandangi aliran lahar berpijar di
kakinya.
"Mengambil lahar ini?" Pusparini
menyelidik.
"Maaf. Aku juga mempunyai
kepentingan yang sama," Wariga
menjawab dengan nada bicara berwibawa.
Seakan-akan dirinya bukan bocah
seperti yang dikenal Pusparini. Juga
suara Wariga terdengar mantap seperti
suara orang dewasa.
"Bagaimana kau akan mengambil
lahar berpijar ini?" tanya Pusparini
dengan mengerutkan dahi. Tiba-tiba
dirasakan Wariga yang dikenal beberapa
hari yang lalu, seperti bukan Wariga
lagi. Ada perubahan sikap yang tidak
dimengerti oleh Pusparini.
"Akan kuambilkan untukmu!" jawab
Wariga sambil melangkah turun
mendengati aliran lahar berpijar.
"Dengan alat apa?"
"Lihat saja apa yang bisa
kulakukan untukmu," jawab Wariga
dengan sikap santai.
Kemudian Wariga berjongkok. Lama
dia termenung mengawasi lahar berpijar
yang mengalir di depannya. Orang biasa
akan merasakan betapa panas udara di
dekat lahar yang mengalir itu.
Tampaknya Wariga tidak merasakan hal
itu. Pusparini mengawasi dengan tekun.
Wariga seperti sibuk membaca
mantera-mantera. Perhatiannya tertuju
ke arah pijaran lahar yang mengalir di
hadapannya. Dan kemudian yang
dilakukan Wariga membuat perasaan
Pusparini berdetak cepat. Tanpa ragu
Wariga meraup lahar berpijar itu
dengan tangannya!
Kedua tangan Wariga kini memapah
pijaran lahar. Dan tangan itu tak
cedera sedikitpun! Kemudian dia
bangkit dari sana, mendekati
Pusparini.
"Www.. Wariga.. . . ! Bagaimana kau
bisa melakukan hal ini? Kau... tidak
sesepele yang kuduga. Kau.punya
banyak keunggulan dari padaku. Siapa
kau sebenarnya?" tanya Pusparini
sambil mengawasi kedua tangan yang
membawa setumpuk lahar berpijar.
Tetapi pijaran lahar itu berangsur-
angsur menghitam, dan suhu panasnya
kian merendah.
"Aku telah berkata, aku
mengambilkan untukmu," jawab Wariga
yang suaranya tidak seperti bocah
lagi. "Ayo, kita tinggalkan tempat
ini. Udara di sini tidak baik untuk
kesehatan."
Kemudian mereka beranjak
meninggalkan tempat itu dengan
lompatan-lompatan menuju ke bawah.
Langkah ini kelihatannya lebih mudah
dari pada mereka harus mendaki. Tetapi
yang diperkirakan tidaklah demikian.
Hujan abu yang semakin deras
karena arus angin yang berbalik ke
arah mereka membuat pandangan semakin
terhalang.
"Jangan terlalu jauh denganku,
Pusparini!" kata Wariga sambil memberi
isyarat dengan gerakan kepala agar
Pusparini mendekat ke arahnya.
Pusparini yang kini seperti
seorang bocah yang tidak tahu apa-apa,
menuruti saran itu. Dia mengekor
langkah Wariga sementara suara gemuruh
terdengar lagi dengan dahsyat. Ini
pertanda ada muntahan lahar lagi dari
kepundan gunung.
"Kita jangan sampai terjebak
udara beracun! Harus kita cari tempat
yang sesuai dengan arah angin
bertiup!" saran Wariga.
"Lahar berpijar di tanganmu
rupanya telah dingin dan warnanya
berubah menghitam !" sela Pusparini.
"Tak menjadi masalah. Yang
penting, syarat bahwa pengambilan
lahar ini harus diambil dengan tangan
telanjang sewaktu masih dalam keadaan
berpijar. Ah, sudahlah. Kita jangan
mengomongkan masalah ini dulu. Yang
penting kita harus meninggalkan kawas-
an ini secepatnya." Wariga terus
melangkah sambil mengakhiri ucapannya.
Mereka berdua terus menuruni
lereng Merapi. Seperti ada yang
mengingatkan, tiba-tiba Pusparini
teringat akan Sawung Cemani. Apakah
dia juga berhasil mendapatkan lahar
berpijar? Mungkinkah dia juga
mempunyai kemampuan seperti Wariga
yang bisa mengambil pijaran lahar
dengan tangan telanjang?
Ya! Siapa tahu? Dalam dunia
persilatan, kadang-kadang seseorang
yang kelihatan tidak memiliki
kemampuan tangguh, ternyata memyimpan
kehebatan ilmu yang jarang dikuasai
orang lain. Dan kini dilihatnya Sawung
Cemani belum juga terlihat batang
hidungnya lagi. Apakah dia tewas
diterjang lahar? Atau sudah berhasil
mendapatkan tetapi kini masih berada
di tempat lain ? Pusparini benar-benar
dihadapkan kepada tugas yang penuh
tantangan. Disadari kini bahwa dirinya
menjadi tumpuan perhatian orang-orang
yang mengerti akan buku Tosan Aji.
Tetapi tentang Wariga, walaupun
tampaknya bocah itu berpihak
kepadanya, dia tetap menaruh
kecurigaan. Siapa tahu bahwa semua itu
cuma kedok untuk mengelabui dirinya?
Pusparini tetap mengingat pesan
gurunya, Ki Suswara, agar tidak
mempercayai siapapun dalam suatu
urusan. Maksudnya, agar hati-hati.
Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan
persahabatan yang terdapat masalah
terselubung, yang mengandung teka-
teki . Dan Wariga adalah seorang bocah
yang masih menjadi teka-teki baginya.
Wariga adalah seseorang yang
berpenampilan seperti seorang bocah
dengan sifat kebocahannya, tetapi
kadang-kadang terlihat seperti
seseorang yang telah dewasa, dengan
nada suara kedewasaannya. Ini sangat
aneh!
"Kita berteduh di situ saja,"
ajak si Wariga sambil memberi isyarat
ke arah sebuah gua.
Pusparini tetap mengekor langkah
bocah itu. Gua yang dituju dikelilingi
dahan-dahan pohon yang meranggas
kering, dengan selimut abu gunung
menebal.
"Huh ! Baru bisa bernafas lega di
sini," keluh Wariga sambil mencari
tempat untuk meletakkan lahar yang
telah membeku di tangannya. "Kau bisa
membuat api unggun?"
Pusparini bertindak. Aneh! Kini
api yang dibutuhkan, padahal tadi
keduanya terbirit-birit menghindari
lahar panas. Dengan ketrampilannya,
Pusparini segera mempersiapkan api
unggun dengan dahan-dahan kayu yang
mudah diperoleh di sekitar tempat itu.
Dengan menggosok-gosokkan dua batang
kayu kering, maka terciptalah api.
Begitu api berkobar, Wariga segera
membenamkan batu lahar yang telah
membeku ke dalam api itu.
"Untuk apa? Mengapa harus
begitu?" tanya Pusparini.
"Agar pamor batu itu tetap ada,
harus diperlakukan seperti itu. Harus
tetap hangat. Tidak boleh dingin
membeku. Kalau tidak ada api, kita
harus selalu menggenggamnya, karena
tubuh kita juga mengandung unsur api.
Hal itu berlangsung sampai batu lahar
ini siap ditempa sesuai dengan
campuran sarana yang lain....!" Wariga
mengumbar omongan seakan-akan
menggurui masalah yang buku kuncinya
terletak di tangan Pusparini.
"Pasti kau juga menghendaki buku
Tosan Aji itu," terka Pusparini dengan
pandangan menyelidik. "Aku benar-benar
tak mengerti siapa kau sebenarnya,
Wariga. Penampilanmu sungguh asing dan
mengundang teka-teki. Sulit dikatakan
bahwa kau seorang bocah seperti
terlihat pada bentuk lahirmu."
Terdengar suara tawa Wariga.
"Mengapa ketawa? Ada yang lucu
dengan pertanyaanku tadi ?" tanya
Pusparini seakan-akan merasa
disepelekan dengan sikap Wariga.
"Kau pasti mencurigai aku. Sudah
kukatakan, aku hanya ingin menolongmu.
Tak lebih dari itu. Ketika secara
kebetulan gunung Merapi itu meletus,
kau pasti menghendaki lahar berpijar
untuk sarana pembuatan senjata ampuh
seperti yang tertulis dalam kitab
Tosan Aji," Wariga menambahi
penjelasan.
"Kini katakan, siapa kau
sebenarnya?!"
"Aku? Namaku sudah kau kenal.
Asalku? Enghmm.sebut saja sebagai
Manusia Kabur Kanginan.. Orang yang
tak diketahui asal-usulnya. Nah, puas ? "
"Tidak!"
"Tidak?! Ya sudah. Tak ada yang
bisa kuceritakan padamu lagi.
Seseorang berhak menyimpan suatu
rahasia bukan? Apalagi kalau hal itu
menyangkut tentang diri pribadi nya, "
kata Wariga dengan sikap tak acuh. Dia
bangkit untuk memeriksa keadaan di
luar gua. "Kelihatannya kita terpaksa
bermalam di sini. Merapi masih belum
reda dari krodanya."
"Apa pikiranmu tentang Sawung
Cemani?" tanya Pusparini. Dia
mengharapkan bahwa Wariga yang
menyimpan banyak rahasia ini dapat
memberi penjelasan.
"Aku tak tahu apakah dia bisa
mengambil lahar berpijar dengan
tangannya sesuai dengan persyaratan.
Tetapi melihat gelagatnya ketika dia
begitu terburu-buru ingin mendapatkan
pijaran lahar itu, bisa dipastikan,
dia mampu melakukan!" ujar Wariga
meyakinkan. "Seperti halnya dengan
yang lain, maka sebagian isi buku
Tosan Aji sudah banyak orang yang
tahu. Dan yang paling utama adalah
sarana lahar berpijar dari gunung
Merapi."
"Jadi.batu lahar ini akan kau
berikan padaku?" Pusparini menyelidik.
"Ambillah ! Itu memang kucarikan
untukmu," jawab Wariga sambil mencari
tempat untuk tidur.
"Kau pikir aku berniat membuat
pedang sesuai dengan rumusan dalam
buku Tosan Aji?" tanya Pusparini lagi.
Wariga tak menjawab.
"Wariga?.... Kau sudah tidur?"
terdengar suara Pusparini.
Tak terdengar jawaban.
Dipandanginya tubuh Wariga yang
terbaring dengan berbantal tangan.
Tubuh yang tak berbaju. Hanya bagian
bawah saja yang tertutup kain. Itu pun
kain yang sudah lusuh. Penampilan
macam itu akan menimbulkan kesimpulan
bahwa Wariga adalah seorang
gelandangan. Kasarnya pengemis. Tetapi
Pusparini tidak menganggap lagi
pandangan seperti itu. Wariga
mempunyai banyak kelebihan. Dan
mungkin tidak semua yang ditonjolkan.
Hanya saja tentang suara yang pernah
didengar ketika mengambil pijaran
lahar itu, benar-benar membuat heran
Pusparini. Suara Wariga terdengar
tidak seperti bocah seusianya. Tetapi
terdengar seperti suara orang dewasa!
Memikirkan banyak hal tentang
teka-teki yang menyangkut diri Wariga,
membuat Pusparini terseret rasa
ngantuk. Akhirnya dia tertidur.
★ ★ ★
6
Pusparini njenggirat kaget.
Kesadarannya cepat pulih di saat dia
terbangun dari tidurnya. Rasanya ada
seseorang yang membangunkan. Tetapi
ketika diselidiki keadaan sekitarnya,
tak ada seorangpun yang terlihat. Juga
si Wariga!
"Wariga?!" panggilnya. Tak ada
sahutan. Tak terlihat sosok tubuh
Wariga. Tempat di mana Wariga tidur,
terlihat kosong.
Pusparini mengawasi tempat api
unggun. Di situ masih terdapat batu
lahar. Api unggun telah padam, tetapi
terasa masih hangat sisa-sisanya.
"Kemana lagi dia ?" pikir
Pusparini. "Selalu begini. Tempo hari
ketika aku bangun, dia sudah lenyap.
Kali ini lagi. Tetapi dengan adanya
batu lahar tetap di tempatnya, agaknya
kata-katanya bisa dipercaya."
Pusparini memeriksa ke luar gua.
Letusan telah mereda walaupun sisa-
sisa berupa genangan kabut masih
menebal di sekitar tempat itu.
"Warigaaaa!!!" teriak Pusparini.
Gema suaranya bergaung memantul lereng
tebing gunung. Berkali-kali dia
memanggil nama Wariga, tetapi orang
yang dipanggil tak kunjung muncul.
Akhirnya Pusparini memutuskan
untuk turun gunung. Batu lahar itu
disimpan dalam bungkusan selendang
ikat pinggangnya. Dari hal ini
Pusparini baru tahu betapa berat batu
lahar tersebut, kira-kira 30 kati.
Tetapi dengan mudah Wariga membawanya
seperti membawa kapas saja. Dengan
besar sekitar lima genggam dan
beratnya 30 kati, bisa dibayangkan
bagaimana batu lahar itu memiliki
kekuatan sebagai sarana pembuatan
pedang. Dan hanya lahar Merapi yang
mempunyai syarat sempurna!
Pusparini telah jauh meninggalkan
kawasan gunung Merapi. Cuaca masih
diselimuti kabut. Tak diragukan lagi,
hari telah tinggi. Keputusan
Pusparini, bahwa dia akan menuju desa
Pohpitu, sebab sewaktu dia diculik
oleh Gagak Lodra barang-barangnya
diperkirakan masih tertinggal di
penginapan milik Bagus Tulada.
Desa Pohpitu kelihatan sepi
ketika Pusparini tiba di sana. Suasana
di ambang senja ini memang tidak
menggembirakan penduduk setempat,
karena suasana letusan Merapi juga
terasa di sana. Abu bertebaran di
pelosok tempat.
Langkah Pusparini langsung menuju
ke penginapan. Tetapi beberapa orang
tiba-tiba muncul dari dalam bangunan
itu, langsung mengepungnya.
Perasaan Pusparini tersirap. Dia
melihat pakaian seragam orang-orang
yang mengepungnya. Mereka para
punggawa kadipaten Rejodani yang telah
lama memburunya. Ini namanya "ulo
marani gebuk" alis ular mencari
gebukan! Tetapi siapa sangka kalau
bahaya yang tak dikehendaki tiba-tiba
saja menanti di depan mata? Dan para
punggawa kadipaten Rejodani itu
dipimpin langsung oleh seorang tokoh
bernama Wiro Brangasan yang mendapat
gelar Kucing Malaikat. Dan tokoh itu
muncul dengan langkah penuh berwibawa.
"Aku tak akan bisa melupakan
baumu, cah ayu! Kalau kau mengerti
akan gelarku. Kucing Malaikat, tentu
kau tak akan sembrono memunculkan diri
di sini. Kini kau harus mempertanggung
jawabkan perbuatanmu yang pernah
memasuki ruang perbendaraan kadipaten
Rejodani dan menjarah isinya.
Kasarnya, kau telah merampok harta
benda kadipaten!"
"Tunggu dulu. Ini adalah kesalah
pahaman!" sanggah Pusparini sambil
melirik keadaan di sekelilingnya.
Bagaimanapun, dia harus dapat
menguasai keadaan kalau nanti
pembicaraan ini harus diselesaikan
dengan ujung senjata.
Mengapa Pusparini sampai terlibat
masalah tersebut?
Hal ini memang diluar kehendak
Pusparini. Inipun gara-gara Gagak
Lodra yang pertama kaki bentrokan
dengan Pusparini.
Saat itu Pusparini memang berada
di kadipaten Rejodani begitu dia
menyelesaikan pendidikannya sebagai
murid Ki Suswara di padepokan Canggal.
Dia berada di sana hanya sekedar
numpang lewat untuk menuju desa
kelahirannya kembali. Ketika malam
tiba, dia melihat sesosok tubuh
menyatroni sebuah bangunan kadipaten.
Setelah diselidiki, ternyata seseorang
yang hendak merampok di ruang
bendahara. Si pelaku berhasil
menggasak barang yang diinginkan,
yaitu seperti uang yang cukup lumayan
nilainya. Pusparini terpaksa bertindak
untuk meringkus perampok itu.
Bentrokan terjadi. Dan si perampok
berhasil dikalahkan. Si perampok kabur
dengan barang jarahan yang tercecer.
Tetapi Pusparini tidak terus mengejar.
Dia mencoba memungut beberapa pundi-
pundi uang yang tercecer. Pada saat
itulah pada punggawa Rejodani yang
dipimpin Wiro Brangasan muncul. Mereka
langsung mencurigai Pusparini sebagai
biang keladi perampokan itu. Bentrokan
terjadi ketika Pusparini tak berhasil
meyakinkan mereka bahwa bukan dia yang
merampok di tempat perbendaharaan
kadipaten Rejodani. Pusparini tidak
ingin memperpanjang permasalahan.
Kemudian dia melarikan diri dari
gelanggang pertarungan. Tekatnya, dia
hendak meringkus si perampok tadi.
Niat Pusparini berhasil. Akhirnya
dia bertemu dengan orang yang diburu.
Orang itu tak lain adalah Gagak Lodra.
Dalam kesempatan ini terjadi
pembicaraan lebih gamblang antara
Pusparini dengan Gagak Lodra.
"Apa salahnya aku menjarah harta
pemerintah yang mengisap darah rakyat
lewat pajak-pajak yang tak
berperikemanusiaan?" kata Gagak Lodra
pada waktu itu.
Dari sini Pusparini baru tahu
bagaimana keadaan penguasa kadipaten
Rejodani dalam memerintah rakyatnya.
Tetapi di sisi lain, akhirnya Gagak
Lodra tahu siapa Pusparini yang
memakai gelar Walet Emas tersebut.
Ternyata seseorang yang menyimpan buku
Tosan Aji yang diincar banyak orang di
kawasan itu sejak Wibhangga, ayah
Pusparini terbunuh oleh komplotan yang
dipimpin Cakraganta. Peristiwa
selanjutnya, dalam bentrokan lagi,
Gagak Lodra berhasil dilukai oleh
Pusparini dan terlempar ke sungai....
Itulah latar belakang masalah
Pusparini dengan para punggawa
kadipaten Rejodani.
"Kau tak bisa keluar dengan
selamat lagi, cahayu!" kata Wiro
Brangasan. Tokoh ini memberi isyarat
kepada anak buahnya. Dan sekejap
kemudian orang-orang yang mengepung
Pusparini maju serentak.
Sayang. Tindakan mereka buyar
berantakan, karena Pusparini telah
bergerak dengan tangkas mengayunkan
bungkusan yang berisi batu lahar.
Benda seberat 30 kati itu menghantam
tubuh-tubuh yang mencoba meringkusnya.
Jeritan meledak dari mulut mereka. Tak
seorangpun luput dari sabetan ayunan
itu. Lalu beberapa orang mencoba
menggunakan senjatanya. Tetapi inipun
tak berhasil menghentikan sepak
terjang Pusparini.
Tentu saja hal ini menimbulkan
amarah Wiro Brangasan alias Kucing
Malaikat yang bertubuh ceking beralis
tebal sehingga dua ujungnya saling
bertaut. Dengan menyeringai bagaikan
seekor kucing menghadapi lawan, dia
melesat ke muka. Dia memang menguasai
jurus kucing dengan sempurna. Kedua
tangan nya dihiasi kuku-kuku yang
mencuat tajam. Anggota badan inilah
yang pertama kali dipergunakan sebagai
senjata untuk menandangi Pusparini
alias Walet Emas.
Pusparini sadar dengan kehadiran
pentolan punggawa Rejodani ini. Batu
lahar dalam bungkusan tetap dipakai
senjata untuk menghadapi serangan
lawan. Beberapa kali Wiro Brangasan
dapat menghindari sabetan bungkusan
Pusparini. Sementara itu tak ada
seorangpun tahu apa isi bungkusan yang
dipegang Pusparini. Tetapi ketika Wiro
Brangasan mencoba menerkam lawannya,
dengan gaya burung walet meliuk di
permukaan air Pusparini berhasil
menghindar, sekaligus mengirimkan
serangan berupa tendangan kaki yang
mengunjam tengkuk. Wiro Brangasan
terguling. Tetapi ibarat kucing,
jatuhnya selalu bertumpu kepada
kakinya. Bahkan dengan cepat pula dia
menggenjotkan tubuh untuk memberi
serangan balik ke arah Pusparini.
Tetapi usaha ini mendadak tersendat.
Tiba-tiba dia melihat seseorang muncul
dengan gerakan limbung melaju ke
arahnya. Keadaan yang mendadak ini
tentu saja sulit dihindarkan, sebab
dia memperhitungkan pula serangan dari
Pusparini. Akibatnya, sosok tubuh yang
baru muncul itu menghantamnya. Wiro
Brangasan mencelat tertimpa tubuh itu.
Tetapi dia mencoba mengatasi dengan
cengkraman kuku-kuku tangannya kalau
orang yang menerjangnya itu memberikan
serangan bertubi-tubi dengan jurus
yang tak bisa dilacak geraknya. Tetapi
tidak. Orang itu tidak menyerang.
Bahkan terlihat tak berdaya sama
sekali. Wiro Brangasan terperangah
kaget. Dia mengenali siapa orang itu.
"Gagak Lodra?!" desisnya sambil
mengenyahkan tubuh orang yang
dikenalnya.
Tak kurang herannya demikian juga
di pihak Pusparini. Dia melihat tubuh
Gagak Lodra tergeletak tak bergerak.
"Dialah yang merampok di
kadipaten Rejodani!" Suara ini
dibarengi munculnya seseorang dengan
gerak melambung, dan mendarat di
antara Pusparini dan Wiro Brangasan.
"Bagus Tulada?!" terdengar hampir
bersamaan ucapan ini meluncur dari
mulut Pusparini dan Wiro Brangasan.
Ya. Bagus Tulada yang muncul. Dia
mengaku bahwa dirinyalah yang melempar
tubuh Gagak Lodra untuk melerai
pertarungan yang telah terjadi.
"Maaf, ki Wiro. Kukira saya
terpaksa bertindak demikian, karena
tak ingin para punggawa Rejodani
menindak orang yang tak bersalah,"
kata Bagus Tulada dengan nada
meyakinkan.
"Bagus Tulada ! Apakah kau tahu
mengapa Gagak Lodra sampai tak berdaya
begitu? Ketahuilah, itu akibat
pertarungannya dengan Sawung Cemani
sebelum letusan Merapi," ucap
Pusparini sambil mengawasi Bagus
Tulada yang mungkin akan unjuk jasa
dalam peristiwa ini.
"Kau pikir aku akan mengelabuhi
latar belakangnya?" sanggah Bagus
Tulada. "Dia telah mengaku apa yang
dilakukan. Kutemui dia dalam keadaan
sekarat di saat letusan Merapi itu
terjadi. Dia menceritakan tentang
dirimu, dan juga Sawung Cemani. Dan
kubawa agar mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Dan kukira.... saat ini
Gagak Lodra tetap dalam keadaan
pingsan."
"Mudah-mudahan keteranganmu bisa
melunakkan para punggawa itu," jawab
Pusparini sambil beranjak masuk ke
penginapan. "Maaf, aku akan mengambil
barang-barang yang lain. Semua masih
di sini ketika Gagak Lodra menculikku.
Itu kalau tidak ada tangan jahil yang
mengambilnya. "
"Barang-barangmu telah kusimpan
di suatu tempat yang aman," kata Bagus
Tulada dengan menyambar lengan
Pusparini yang beranjak masuk ke
penginapan.
"Apa?!"
"Barang-barangmu tidak lagi di
penginapan ini."
"Kau begitu lancang!"
"Ah, seharusnya kau berterima
kasih, dari pada barang-barangmu itu
digrayangi isinya oleh orang-orang
yang tak bertanggung jawab."
Pusparini terdiam. Dia mengawasi
Bagus Tulada dengan tajam.
"Dan kau punya kesempatan untuk
mendudah barang-barangku, bukan?"
"Ayo ikut aku. Tak baik
membicarakan hal itu di sini," kata
Bagus Tulada tanpa mengindahkan lagi
para punggawa Rejodani yang dipimpin
Wiro Brangasan itu.
Pusparini sempat melihat Wiro
Brangasan memerintahkan anak buahnya
agar mengangkut tubuh Gagak Lodra
dalam keadaan pingsan sebelum dia
mengikuti langkah Bagus Tulada.
Langkah mereka menuju suatu jalan
yang kanan kirinya banyak dipasang
obor untuk penerangan jalan. Suasana
malam kian pekat. Dan dari jauh
yang Pusparini melihat bangunan
berpenerangan dengan mewah.
"Itukah rumahmu?" tanyanya.
Tetapi Bagus Tulada tidak menjawab
sepatah pun sampai mereka memasuki
halaman rumah itu.
"Ayo, masuk. Silakan. Jangan
ragu," Bagus Tulada mulai membuka
omongan.
Pusparini masih berdiri di ambang
pintu halaman. Matanya menyapu keadaan
sekitar-nya.
"Kau pikir rumah ini penuh
jebakan?" kata Bagus Tulada lagi. "Kau
aman di sini. Seharusnya sejak semula
kau kuajak kemari dari pada menginap
di penginapan itu."
"Tetapi itu adalah penginapan
milikmu. Seharusnya kau bisa menjaga
keamanannya."
"Sebenarnya bukan milikku, tetapi
milik ayahku!"
"Dan ini rumah ayahmu bukan?"
"Tidak. Ini milikku sendiri.
Tempat tinggal pribadi."
"Ow. Kalau begitu, kau tinggal
bersama istrimu," Pusparini berkata
dan langkahnya tersendat karena ragu
dengan ucapannya sendiri.
"Aku belum beristri" jawab Bagus
Tulada tegas dengan melempar senyum.
Pusparini mengekor langkah laki-
laki itu. Matanya jelalatan mengawasi
keadaan isi bangunan yang tampak mewah
untuk ukuran desa itu.
"Kau sendirian di sini? Engm....
maksudku... siapa saja yang berada di
rumah ini?" tanya Pusparini.
"Cuma seorang pelayan penjaga
rumah. Nah, sebelah itu adalah
kamarmu. Barang-barangmu ada di
dalam," kata Bagus Tulada dengan sikap
ramah. Justru ini yang tiba-tiba
menimbulkan kecurigaan Pusparini.Hati
nuraninya memperingatkan agar dia
berhati hati. Ini salah satu pelajaran
dari Ki Suswara yang mengatakan, di
suatu tempat di mana dua orang pria
dan wanita berada, maka pihak ketiga
adalah setan! Suatu peringatan yang
dikaitkan dengan moral.
"Tolong, ambilkan barangku di
dalam ruangan itu," kata Pusparini
dengan menghentikan langkahnya.
Kemudian diawasinya Bagus Tulada, yang
rupanya ada perubahan pada wajahnya
ketika mendengar ucapan si Walet Emas.
Keduanya saling berpandangan. Suatu
bentrokan sikap antara kecurigaan dan
maksud yang terselubung. Hal ini
dirasakan benar oleh Walet Emas alias
Pusparini.
Kecurigaannya semkin menebal
karena sampai sebegitu jauh Bagus
Tulada tak pernah menanyakan batu
lahar yang dibawa Pusparini dalam
bungkusan, di samping masalah buku
Tosan Aji yang menjadi banyak incaran
Tulada pihak-pihak tertentu.
Kini terlihat Bagus mengumbar senyum.
"Kau mencurigaiku, Walet Emas?"
"Sebagai tamu, tak baik kalau aku
blusak-blusuk semaunya meskipun kau
ijinkan," jawab Pusparini tegas.
"Baik. Kuambilkan barang-
barangmu, " kata Bagus Tulada sambil
melangkah ke depan. Tetapi begitu dia
berada di samping Pusparini, tangannya
mendorong tubuh wanita yang bergelar
Walet Emas itu. Pusparini yang tidak
menduga perlakuan ini terdorong ke
depan dan menabrak daun pintu di
depannya. Pintu menganga, dan tubuh
Pusparini meluncur kebawah. Ya,
meluncur ke bawah, sebab ruangan itu
tidak berlantai, tetapi sebuah lubang
yang menganga! Ditambah dengan berat
batu lahar yang berada dalam bungkusan
yang dibawanya, membuat tubuh
Pusparini semakin cepat meluncur ke
bawah. Tak ada sarana untuk
menyelamatkan diri. Dalam saat yang
sedemikian cepat, dia sempat berpikir
tentang apa yang menanti di bawah
lubang itu. Ujung-ujung tombakkah?
Atau tanah yang keras? Atau air?
Jawabannya segera diketahui begitu
tubuhnya terhempas di bawah. Ternyata
sebuah jaring.!
★ ★ ★
7
Untuk beberapa saat Pusparini
terbaring dalam lilitan jaring yang
menyangga tubuhnya. Dia mencoba
menenangkan perasaannya dan menanti
peristiwa selanjutnya. Sepi. Tak ada
apa-apa yang terjadi lagi. Kini
tubuhnya bergelantungan tersekap
jaring. Baru saja dia mencoba berpikir
untuk meloloskan diri dari tempat itu,
tiba-tiba tercium bau aroma yang tak
sedap.
"Uap beracun!" desis Pusparini
sambil mencoba menutup hidungnya
dengan selendang pembungkus batu
lahar.
"Bagus Tulada ternyata tak lebih
dari sekian banyak orang yang hendak
mengecoh diriku. Apalagi kalau tidak
dengan alasan buku Tosan Aji itu?
Untung buku itu kusimpan di suatu
tempat dengan rapi. Kalau kubawa-bawa
terus, pasti telah lama jatuh ke
tangan pihak lain. Dan untuk kedua
kalinya aku harus berhadapan dengan
uap seperti ini. Suatu cara agar aku
lebih tak berdaya....!"
Dan kesadaran Pusparini hanya
sampai di situ.!
Lalu, satu-satunya perasaan yang
menyengat kesadarannya adalah bau
harum yang mengusik hidungnya. Dengan
pelan dibukanya matanya yang masih
terasa berat. Tetapi begitu dia bisa
melihat nyata, perasaannya tersentak
kaget.
Bagus Tulada berada dihadapannya,
sementara tubuhnya sendiri dalam
keadaan terikat di tiang sebuah
bangunan.
"Dia telah siuman, ayah .
terdengar ucapan Bagus Tulada kepada
seseorang yang dipanggil sebagai ayah.
Pusparini mencoba mengawasi
keadaan di sekitarnya. Ada dua orang
lagi yang berada di sana di samping
Bagus Tulada. Seorang laki-laki
setengah umur, dan lainnya seorang
wanita yang hampir sebaya. Laki-laki
itu berperawakan gembrot dengan
pakaian mewah. Juga si wanita di
sampingnya. Tetapi yang membuat
Pusparini tersengat rasa kaget bukan
kehadiran mereka. Tiada lain adalah
siapa kedua orang itu!
"Ki Cakraganta, dan si wanita
itu! Mereka terlibat dalam pembantaian
keluargaku. Dan wanita itu yang
membunuh ayahku.! ! "
geram Pusparini dalam hati. Ini
semua membuat perasaannya membara.
"Pusparini alias Walet Emas! Hmm,
siapa sangka kalau kau yang menjadi
kunci masalah selama ini?!" terdengar
suara Cakraganta yang kemudian disusul
ketawa dengan nada ejekan. "Rupanya
kau telah menjelma menjadi seorang
gadis dewasa yang banyak tingkah. Aku
memang telah lama menyatroni dirimu
dari jauh beberapa minggu ini setelah
kudengar ada seseorang dari keturunan
Wibhangga yang ternyata menyimpan buku
Tosan Aji yang menimbulkan
persengketaan itu."
"Tentunya usahamu itu tidak
tanggung-tanggung. Tentu kau menyebar
banyak orang untuk mendapatkan buku
Tosan Aji. Dan paling akhir, ternyata
Bagus Tulada ini yang dapat menyeretku
ke hadapanmu sehingga aku pun bisa
bertemu dengan orang yang kucari
selama ini sebagai pembantai keluarga-
ku. Terutama wanita di sampingmu ini!"
kata Pusparini dengan pandangan penuh
dendam.
"Dia Nyi Sanghata. Kau tahu apa
arti 'Sanghata'? Artinya suka
membunuh. Kau tentunya sangat
mendendam kepadanya. Aku tak tahu
ketika itu kau berada di mana ketika
kami datang untuk membantai keluargamu
karena tidak mau menyerahkan buku
Tosan Aji. Kau tentu menduga bahwa
hasratku untuk mendapatkan buku Tosan
Aji dengan tujuan ingin menciptakan
pedang ampuh seperti yang rumus-
rumusnya tertulis dalam buku tersebut.
Kau keliru. Keliru besar, cah ayu ! !
Aku hanya ingin membinasakan buku itu
agar tak ada orang yang membuat pedang
ampuh lagi yang disebut Pedang Merapi
Dahana!" kata Cakraganta dengan suara
terkekeh diakhir ucapannya yang
dibumbui ketawa.
"Pedang Merapi Dahana berada di
tanganku. Aku dari keturunan wangsa
keturunan Sanjaya yang selalu
bermusuhan dengan pihak Syailendra,
tak menginginkan adanya pedang yang
menyamai keampuhan Pedang Merapi
Dahana!" sela wanita bernama Nyi
Sanghata.
"Jadi kau yang lebih berkuasa
dari pada Cakraganta ini?" tanya
Pusparini dengan harapan bisa
mendapatkan pengetahuan lebih banyak
tentang permusuhan turun-temurun yang
pernah diceritakan oleh almarhum
ayahnya.
"Tak kuduga bahwa Cakraganta yang
selama ini kucari ternyata hanya
begundalnya seorang wanita. Huh!!"
Dan.... cplas!! Sebuah tamparan
mendarat di pipi Pusparini. Tangan
Cakraganta telah mdayang tanpa
terkendali lagi karena ucapan itu.
"Ayah berjanji tidak akan
menyakitinya dalam keadaan tak
berdaya," sela Bagus Tulada dengan
sikap mencegah tindakan ayahnya lebih
lanjut.
"Hmm! Rupanya kecantikan Walet
Emas ini telah melumpuhkan kesetiaanmu
kepada wangsa keturunan Sanjaya.
Mungkin itu sebabnya kau terlibat
waktu yang lama untuk meringkus gadis
ini walaupun ada kesempatan
melakukannya. Aku tak suka kau
bersikap loyo. Bagus ! Kukira Sawung
Cemani yang tak kuperhatikan serta
kuabaikan kesetiaannya, mungkin lebih
tegas dalam bertindak dari padamu ! "
kata Cakraganta dengan pandangan mata
melecehkan sikap anaknya.
"Sawung Cemani?" tercetus ucapan
ini dalam hati Pusparini. "Jadi Sawung
Cemani ada hubungannya dengan
Cakraganta? Oh, kalau begitu semua itu
terdiri satu kelompok saja. Termasuk
Gagak Lodra tentunya? Tetapi mengapa
Sawung Cemani bentrok juga dengan
Gagak Lodra ? Atau memang Gagak Lodra
berdiri di pihak lain untuk
kepentingannya sendiri? Mungkin!"
Inilah yang bisa disimpulkan oleh
Pusparini saat ini. Tengah berpikir
tentang Sawung Cemani, tiba-tiba orang
yang menjadi buah pikiran ini muncul
pula di tempat itu. Penampilannya
tampak tenang. Dia muncul dengan
memberikan hormat terlebih dulu kepada
Nyi Sanghata. Jelas sekali bahwa Nyi
Sanghata lebih tinggi derajatnya dari
pada Cakraganta. Tetapi bagaimana
Sawung Cemani bisa muncul di sana, itu
yang tidak diketahui.
Sebab paling akhir Pusparini
melihat Sawung Cemani lari ke arah
gunung Merapi ketika gunung itu
meletus beberapa hari yang lalu. Dia
menduga bahwa Sawung Cemani akan
mendapatkan lahar berpijar.
Kenyataannya sampai begitu jauh, dia
tidak melihat Sawung Cemani lagi,
sampai akhirnya orang itu muncul pula
di sini.
"Saya mendapat laporan dari
orang-orang bahwa Walet Emas telah
tertangkap. Itu sebabnya saya
menghadap kemari untuk membuktikan
kebenarannya," kata Sawung Cemani
sambil mengawasi Pusparini yang tak
berdaya dalam ikatan.
"Kalau dia kini memiliki batu
lahar, hal itu karena bantuan seorang
bocah yang berpenampilan pengemis.
Tetapi digdayanya bukan main. Kulihat
dari tempat persembunyianku bagaimana
dia mengambil lahar panas itu dengan
tangan telanjang tanpa alas apa-apa,"
kata Sawung Cemani memberi kesaksian.
"Seorang bocah pengemis katamu?!"
sela Nyi Sanghata.
"Iya, Nyi! Seorang bocah!" ucap
Sawung Cemani. "Aku sempat bentrok
dengan dia sebelum terjadi letusan
gunung Merapi."
"Dia bukan seorang bocah. Namanya
pasti Wariga. Dia bukan seorang bocah
walaupun penampilannya seperti itu.
Aku tahu betul dengan si Wariga itu.
Umurnya telah delapan puluh tahun.
Jadi lebih tua dari pada kita-kita
ini. Dia seorang empu pembuat Keris!!"
debat Nyi Sanghata dengan nada ketus.
"Wariga berumur delapan puluh
tahun?" pikir Pusparini yang pernah
bergaul akrab dengan laki-laki yang
diduga masih bocah itu. Wariga pernah
mengecoh lewat penampilannya dan
mengaku sebagai seorang yang kini
hidup melarat karena seluruh
keluarganya dibunuh oleh perampok.
Tentunya hal ini bohong belaka untuk
merahasiakan siapa dirinya di hadapan
Pusparini.
"Lalu apa yang akan kita lakukan
terhadap penyimpan buku Tosan Aji
ini?" tanya Sawung Cemani dengan
mengawasi Pusparini yang secara
kebetulan melirik ke arahnya.
"Tentu saja akan kita paksa agar
dia berbicara !" sahut Nyi Sanghata.
"Tidak!! Jangan lakukan itu!"
cegah Bagul Tulada. "Dia bisa kita
perlakukan dengan baik-baik agar
menyerahkan buku itu. Aku berhasil
menangkapnya dan menyerahkan kepada
kalian karena janji bahwa dia tidak
akan disakiti."
"Membujuknya secara baik-baik
katamu? Dengan cara apa? Kau akan
merayunya? Akan kau beri kenikmatan
dia dengan cumbu rayu di atas ranjang?
Owwh, nak Bagus. Mengapa semangatmu
jadi betina?" cela Nyi Sanghata sambil
membelai pipi pemuda itu. Kemudian dia
meraih tangan Bagus Tulada dan
ditempelkan ke atas buah dadanya.
"Ayahmu bisa cemburu karena
melihat tanganmu membelai buah dadaku,
Bagus. Sebenarnya aku lebih suka tidur
denganmu dari pada harus menuruti
hasrat ayahmu yang selama ini tak
berani dia lakukan karena aku tak sudi
melayaninya sebelum buku Tosan Aji itu
jatuh ke tanganku dan kuhancurkan!"
kata Nyi Sanghata sambil memaksa
tangan Bagus Tulada agar membelai buah
dadanya yang membukit di balik
kembennya. Walaupun usia Nyi Sanghata
ini sudah kepala lima, tetapi
penampilannya tidak kalah dengan gadis
remaja. Bahkan penampilannya yang
mencerminkan 'wanita matang' sangat
menggoyahkan iman lawan jenisnya.
Melihat tindakan Nyi Sanghata dan
mendengar omonganhya, tentunya harga
diri Cakraganta terasa tercoreng.
Tetapi apa mau dikata, Nyi Sanghata
adalah orang yang berpengaruh serta
berkuasa dalam kelompok yang menamakan
diri sebagai orang-orang keturunan
wangsa Sanjaya. Di sisi lain, Puspa-
rini terpaksa memalingkan wajahnya
karena tindakan Nyi Sanghata yang
merobek kesopanan itu.
Dan tiba-tiba Nyi Sanghata
mendorong dengan keras tubuh Bagus
Tulada.
"Ki Cakraganta! Aku tak suka
perangai anakmu ini! Kalau kau sebagai
orang mengaku anak kepadanya, beri
pelajaran dia!!" kata Nyi Sanghata
sambil memandang bengis ke arah Bagus
Tulada yang kehilangan peranan di
tengah orang-orang itu.
Cakraganta seperti kerbau dicocok
hidung, serta merta menggampar kepala
Bagus Tulada. Dia benar-benar
kehilangan muka atas peristiwa ini.
Dan untuk menjaga kedudukannya
dihadapan Nyi Sanghata, dia tak segan-
segan melakukan perintah tersebut.
Tubuh Bagus Tulada oleng ke belakang.
Tetapi ketika ayahnya akan bertindak
kedua kalinya, dia mempertahankan diri
dengan mengelak sehingga pukulan
ayahnya menerobos tempat terbuka.
"Kurang ajar!!" umpat Cakraganta.
"Maaf, aku tak bisa diperlakukan
seperti binatang karena ayah terlalu
gandrung dengan wanita itu!" jawab
Bagus Tulada dengan berang.
"Ayah terlalu diperbudak olehnya.
Aku tak suka itu. Kini aku mengerti
mengapa ibu sampai meninggal karena
sakit. Karena ayah tidak sungguh-
sungguh mencari upaya penyembuhan agar
ibu sehat kembali. Ayah telah
terbelenggu oleh iblis betina ini!!"
Benar-benar tak diduga kalau
Bagus Tulada akan berkata seperti itu.
Cakraganta tak bisa mengendalikan
dirinya lagi. Pedangnya kini berperan.
Bagitu lepas dari sarungnya, langsung
disabetkan ke arah anaknya. Tetapi
Bagus Tulada berhasil mengelakkan. Dia
menggelindingkan tubuhnya ke samping
sambil melemparkan pisaunya ke arah
tali yang melilit tubuh Pusparini.
Lemparan pisau menyayat lilitan tali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
Pusparini untuk melepaskan diri. Dan
berhasil ! Semua terjadi dengan cepat
sehingga tak seorang pun sadar akan
tindakan Bagus Tulada yang tiba-tiba
berbalik arah menentang mereka.
Nyi Sanghatalah orang yang
pertama kali mencoba membendung
gerakan Pusparini ketika diketahui
gadis itu lepas dari ikatannya. Tetapi
tindakannya kalah gesit dengan gadis
yang bergelar Walet Emas itu. Nyi
Sanghata maju ke muka, tetapi
tendangan Pusparini yang menyambutnya.
Tepat ke lambung perut. Wanita yang
membanggakan dirinya sebagai keturunan
wangsa Sanjaya ini menggeliat sambil
menebah perutnya. Tetapi secepat itu
pula dia berhasil menguasai dirinya.
Detik selanjutnya semua terlibat
pertarungan. Nyi Sanghata, Cakraganta
dan Sawung Cemani di satu pihak,
melawan Pusparini serta Bagus Tulada.
Ini benar-benar satu kesempatan yang
ditunggu oleh Pusparini. Telah lama
dia mencari pembantai keluarganya.
Kini kesempatan itu terjadi walaupun
belum tahu sampai di mana ketangkasan
lawan yang harus dihadapi. Sasaran
pertama adalah Nyi Sanghata. Dia terus
melabrak ke arah wanita itu sementara
Bagus Tulada terlihat berhadapan
dengan ayah kandungnya sendiri yang
dibantu Sawung Cemani. Dendam memang
mengalahkan pikiran sehat. Pusparini
tidak memperdulikan dirinya lagi dalam
menghadapi lawan. Akibatnya Nyi
Sanghata sampai kuwalahan menangkis
serangan-serangan si Walet Emas yang
banyak mengandalkan jurus-jurus
waletnya. Bisa dibayangkan betapa
gesit kalau seekor burung walet
menyambar. Begitu juga dengan sepak
terjang Pusparini. Ruangan tempat
mereka bertarung jadi porak poranda.
Kini mereka melebarkan gerak di tempat
terbuka.
Melihat Nyi Sanghata terus
keteter serangan Pusparini, Cakraganta
mencoba memberi bantuan. Parhatian
Walet Emas kini bercabang harus
menghadapi dua arah serangan. Rupanya
Cakraganta ingin unjuk keperkasaan di
hadapan Nyi Sanghata. Medan laga
diambil alih agar Nyi Sanghata dapat
menghindarkan diri. Paling tidak untuk
mengatur perlawanan lebih lanjut. Hal
ini benar-benar disadari karena sepak
terjang Pusparini bagaikan banteng
kedaton yang tidak memperdulikan
dirinya lagi.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Nyi Sanghata untuk mengundurkan diri.
Entah kemana perginya. Yang jelas
Pusparini tidak melihat wanita itu
lagi .
"Aku harus melumpuhkan Cakraganta
ini terlebih dahulu, " pikir Pusparini
sambil mengelakkan diri karena sabetan
senjata lawan nyaris membabat arah
lehernya. Sejak awal Cakraganta telah
menggunakan pedangnya sementara
Pusparini masih lawaran tanpa senjata
selain mengandalkan anggota badannya,
baik tangan maupun kakinya. Sekilas
Pusparini berhasil melihat pertarungan
antara Sawung Cemani dengan Bagus
Tulada yang dengan susah payah harus
menghindari tendangan kaki lawan yang
jalu besinya telah mencuat untuk
senjata. Keduanya telah menggunakan
bilah senjata tajam. Masing-masing
telah terlibat pertarungan dengan
bilah pedang. Tetapi Sawung cemani
memperguna kan pula senjatanya yang
lain, yaitu jalu besinya yang
mengandung racun. Di sini terlihat
bagaimana Bagus Tulada menghindari
tendangan kaki lawan dengan sikap
hati-hati. Sebab kalau salah
perhitungan, dirinya bisa terjebak
oleh kaki berjalu yang lain.
Melihat lawannya merasa keteter
dengan serangannya, maka Sawung Cemani
ingin memberi serangan yang mematikan.
Dia mengadakan gerak jebakan agar
lawan menghindar ke samping kiri. Dari
sini dia akan mengecoh Bagus Tulada
yang kemudian akan diserang dengan
jepitan kedua kakinya yang berjalu.
Bisa dipastikan leher lawan akan
berhasil ditembus oleh jalu yang
mencual di atas tumit kakinya. Siasat
serangan dijalankan. Tetapi tiba-tiba
Sawung Cemani merasa betisnya
tersambar pedang lawan. Tentu saja,
sebab ternyata Bagus Tulada bisa
menebak gerak serangan yang dilakukan
oleh Sawung Cemani. Kena sabetan
pedang, kontan kaki kanan Sawung
Cemani terpental. Kaki itu putus
mencelat empat tombak jauhnya.
Jeritannya meledak. Tetapi secepat itu
pula dia berhasil menguasai keadaan.
Pedangnya menyambar ke arah lawan yang
masih terlena dengan kemenangannya.
Pedang Sawung Cemani berhasil membabat
bahu Bagus Tulada sehingga tangan yang
memegang pedang itu terkulai
menyemburkan darah. Kini keduanya
saling terluka. Keduanya masih sama-
sama beringas. Dengan menahan rasa
sakit keduanya masih berniat menyerang
ke pihak lawan.
Semua itu sempat disaksikan oleh
Pusparini sambil menghadapi
Cakraganta. Pusparini benar-benar
terharu dengan pengorbanan Bagus
Tulada. Siapa sangka kalau pemuda itu
berani menentang sikap ayah kandungnya
sendiri? Tetapi inilah sialnya. Karena
perhatiannya tertuju kepada Bagus
Tulada, Pusparini lengah sejenak
sehingga pedang Cakraganta menyambar
lengannya. Hanya tergores. Darah
mengucur. Tetapi tak dihiraukan oleh
Pusparini, sebab lawannya terus
melabrak dengan sabetan yang beruntun.
Pusparini benar-benar kewalahan sebab
tidak berhasil mendapatkan peluang
untuk membendung serangan tersebut.
Kalau saja dia memegang senjata, pasti
mampu menangkis sabetan pedang
Cakraganta. Dalam gerak menghindar
dengan jurus waletnya, Pusparini
melihat sempalan kaki Sawung Cemani
yang menggeletak putus akibat sabetan
pedang Bagus Tulada. Dengan cepat
sempalan kaki sebatas lutut itu
disambarnya, dan dengan kecepatan yang
sulit diduga oleh Cakraganta sendiri,
bagian tubuh Sawung Cemani itu melesat
ke arahnya.
Dan.... crass!!! Tepat mengenai
leher Cakraganta. Jalu beracun yang
mencuat itu menancap di situ. Jeritan
meledak. Cakraganta menggeliat, tetapi
dia tetap berusaha untuk bisa berdiri.
Dia mencabut benda yang menjijikkan
itu. Sempalan kaki berjalu yang
melukainya dilemparkan. Dengan mata
arah beringas dia memandang ke
Pusparini.
Sementara itu Bagus Tulada sempat
pula menyaksikan keadaan ayahnya.
Tiba-tiba timbul rasa ibanya.
Bagaimanapun, dia tak sampai hati
melihat ayahnya terluka seperti itu.
Karena hal inilah, di saat Bagus
Tulada lengah, maka Sawung Cemani
mengunjamkan pedangnya ke arah lawan.
Pedang itu menembus perut Bagus
Tulada. Dan dengan buasnya pedang yang
mengunjam ke perut itu diputar-
putarkan sehingga menimbulkan luka
yang lebar. Boleh dikata isi perut
Bagus Tulada diaduk-aduk sehingga
ususnya terburai keluar. Perbuatan
Sawung Cemani benar-benar ganas. Dalam
berdiri dengan satu kaki dia menyiksa
lawannya yang semakin tak berdaya.
Akhirnya tubuh Bagus Tulada terjerem-
bab ke tanah.!
Puas memandangi lawan yang sudah
tak berdaya, Sawung Cemani mengalihkan
perhatiannya kepada Pusparini yang
tercekam tegang menyaksikan keadaan
Cakraganta. Laki-laki ini tampak
mengerikan karena merasakan rasukan
racun yang menggerogoti kepalanya. Dan
kepala Cakraganta terlihat melepuh di
sana sini. Kulit wajahnya mengelupas
dengan mengucurkan darah hitam akibat
keganasan racun. Pusparini menahan
jeritnya ketika tiba-tiba menyaksikan
kedua mata Cakraganta melotot keluar.
Ya, keluar ! Yang kemudian copot dari
tempatnya. Disusul dengan mulut
Cakraganta yang menganga lebar
mengumandangkan jeritan dengan suara
parau menyeramkan. Dan mulut inipun
terkelupas kulitnya sehingga
menampakkan gigi giginya dengan lidah
yang menjulur mcm-bengkak. Keadaan
inilah yang mengakhiri riwayat
Cakraganta, yang kemudian roboh.
Belum sirna rasa ngeri
menyaksikan kematian Cakraganta, tiba-
tiba Pusparini dikejutkan oleh
sambaran angin pukulan. Ketika
menoleh, dilihatnya Sawung Cemani
telah menyerang dirinya. Untung saja
serangan pertama ini tidak berhasil
karena gerak Sawung Cemani yang sudah
tidak prima lagi. Dia kehilangan
banyak darah pada kakinya yang buntung
sebelah. Ketika Sawung Cemani
menyerang lagi, Pusparini telah siap
dengan tendangan kaki. Tetapi gerakan
tendangan ini tidak dia lanjutkan,
sebab dengan gesit Sawung Cemani
mencoba menahan dengan kaki yang
berjalu. Tentu saja hal ini dilakukan
dengan gerak melambungkan tubuhnya
untuk keseimbangan. Pusparini
menghindar. Dia tahu benar keganasan
racun j alu Sawung Cemani yang rupanya
lebih ampuh dari pada tempo hari.
Untungnya, dalam menghindarkan diri
ini Pusparini mendapat kesempatan
meraih pedang milik Cakraganta. Dengan
mengerahkan tenaganya, Pusparini
melemparkan pedang tersebut ke arah
lawan.
Jhebb!!!
Pedang mengunjam tepat di arah
jantung. Sawung Cemani
sempoyongan dengan wajah menyeringah
Dengan kakinya yang tinggal sebelah
dia mencoba menguasai diri. Dia hendak
menerjang ke arah Pusparini dengan
menggenjotkan tubuhnya. Tetapi
Pusparini telah terlebih dulu
bertindak. Dengan melesat ke udara
mengeluarkan jurus waletnya, Pusparini
berhasil menerjang ujung senjata yang
menancap di dada Sawung Cemani.
Akibatnya pedang itu semakin melesak
ke dalam dada, dan tubuh Sawung Cemani
roboh ke tanah dan menemui ajal dengan
cara itu.
Pusparini terkulai kepayahan.
Pandangannya menyapu ke arah tubuh-
tubuh terkapar tak bernyawa lagi.
Tetapi tunggu. Ada seseorang yang
masih bergerak. Itu tubuh Bagus
Tulada. Pusparini menghampiri.
"Bagus Tulada!" kata Pusparini.
"Kau telah berkorban untukku....!"
"Kk. . . . karena.. . aku
mencintaimu..!" jawab Bagus Tulada
lirih.
Hanya sampai di situ. Tak
terdengar lagi suara Bagus Tulada. Dia
menghembuskan napas terakhir di
pangkuan Pusparini.
Dan pada saat itulah... terasa
ada sesuatu yang menyengat
perasaannya, Pusparini menoleh....!
Nyi Sanghata muncul lagi. Kini
kelihatan lebih bangga dengan dirinya.
Kemunculannya dengan menanting sebuah
pedang yang masih tersimpan di dalam
sarungnya. Sarung pedang itu berwarna
merah dengan hiasan keemasan. Hulunya
berkepala makara.
"Rupanya aku terlambat datang.
Kalau tadi pedang ini kubawa,
peristiwanya tidak seburuk ini. Tetapi
yang penting aku harus membinasakan
kau, Walet Emas, meskipun buku Tosan
Aji tak akan kutemukan lagi. Atau bisa
kutemukan setelah kematianmu dengan
pedang ini. Lihat! Pedang inilah yang
disebut Pedang Merapi Dahana!!"
terdengar suara lantang Nyi Sanghata
sambil mengeluarkan pedang itu dari
sarungnya.
Shhrringg!!
Pedang lepas dari sarungnya.
Sinar matahari yang menerangi membuat
bilah pedang tersebut memantulkan
cahaya merah. Konon pedang tersebut
hanya ampuh kalau dipergunakan pada
siang hari saja. Artinya, benda apapun
yang ditebas pasti terpental putus.
Oleh sebab itu tak ada logam lain yang
mampu bertahan dengan tebasannya.
"Pedang ini tak bisa dimasukkan
ke dalam sarungnya lagi kalau belum
berlumur darah manusia, Walet Emas,"
terdengar suara Nyi Sanghata dengan
lantang. Langkahnya dengan pelan terus
mendekat ke arah Pusparini.
Pusparini tertegun menyaksikan
yang memancar dari Pedang Merapi
Dahana.! tentang bagaimana
keampuhan pedang tersebut, telah
diketahui pula lewat buku Tosan Aji
yang dia simpan.
"Dengan apa aku harus menghadapi
nya?" pikir Pusparini. Tanpa pikir
panjang, dia menjangkau pedang di
sampingnya ketika dilihatnya Nyi
Sanghata semakin dekat ke arahnya.
Sekejap kemudian pedangnya telah
beradu dengan Pedang Merapi Dahana.
Trangg!!
Sekali tebas, pedang di tangan
Pusparini terpenggal. Hanya karena Nyi
Sanghata lamban mengadakan serangan
kedua kalinya, Pusparini berhasil
berkelit dan melesatkan tubuhnya
dengan gaya burung walet menjauhi
lawannya. Untuk kedua kalinya
Pusparini menjangkau pedang yang
lain. diambil dari genggaman tangan
Cakraganta yang telah jadi mayat.
Pedang milik Cakraganta berbentuk agak
besar.
"Ayo, carilah seribu pedang untuk
melawanku," sumbar Nyi Sanghata dengan
lantang. Sekejap berikutnya tubuhnya
telah melesat ke arah Pusparini yang
masih ragu untuk menggunakan pedang di
tangannya. Pusparini bergulir ke
samping ketika Nyi Sanghata menerjang
ke arahnya. Tetapi sebelum dia
mempersiapkan diri lagi, dilihatnya
Nyi Sanghata siap mengayunkan pedang
Merapi Dahana ke arahnya. Pusparini
berusaha menangkis pedang itu. Dan
untuk kedua kalinya pedang di
tangannya terpenggal. Melihat keadaan
ini dia mencoba menghindar. Tetapi Nyi
Sanghata berhasil menjegal geraknya
dengan tendangan kaki. Pusparini
terjerembab. Pandangannya sempat
menangkap bagaimana Nyi Sanghata
dengan bernafsu sekali akan menebaskan
pedang ke arahnya. Lalu diusahakan
daya upaya untuk menghindari. Tetapi
kaki Nyi Sanghata berperan lagi. Kali
ini berhasil menginjak ujung kainnya
sehingga kain itu robek karena
hentakan dirinya yang mencoba
menghindar.
"Ohh, Aku tahu sampai kapan
pedang itu mempunyai keampuhan. Selama
sinar matahari bersinar tak akan ada
benda yang dapat menahan tebasannya.
Tetapi hari masih tinggi. Kuatkah aku
menghadapinya sampai matahari
terbenam? Tenagaku akan terkuras
habis!" pikir Pusparini sambil terus
mengelak dengan berbagai gaya
menghindari tebasan pedang Merapi
Dahana yang diserangkan ke arahnya
oleh Nyi Sanghata.
"Ayo, larilah sampai ke ujung
jagad, aku akan terus memburumu, Walet
Emas !" teriak Nyi Sanghata. Kali ini
tebasan pedangnya nyaris membabat
lambung buronannya. Tetapi Pusparini
masih mampu berkelit sampai dirinya
menggulirkan tubuhnya ke tanah dan
menyentuh potongan kaki Sawung Cemani.
Tanpa pikir panjang lagi dia
menjangkau potongan kaki itu dan
dilempar ke arah Nyi Sanghata. Tetapi
wanita ini waspada. Pedang ditebaskan
untuk menahan potongan kaki yang
melesat ke arahnya. Kena. Potongan
kaki Sawung Cemani hancur berantakan,
tetapi jalu beracun yang mencuat itu
mencelat menggores bahunya!
Nyi Sanghata tersentak kaget. Dia
tahu bagaimana ampuhnya racun jalu
besi yang dimiliki Sawung Cemani.
Kemudian dia menotok jalan darah di
bahunya agar racun itu tidak cepat
menjalar. Tetapi akibat totokan jalan
darah ini dia tak bisa menggerakkan
tangan kirinya lagi, padahal
penggunaan pedang Merapi Dahana hanya
bisa dipergunakan dengan sempurna
apabila dipegang dengan dua belah
tangan. Pusparini melihat gelagat ini.
Dia tidak ingin membuang kesempatan.
Dengan tekad yang menggebu dia melesat
ke arah Nyi Sanghata. Tujuannya untuk
merebut pedang itu yang kini hanya
dipegang sebelah tangan kanan saja.
Melihat gerak Pusparini, Nyi Sanghata
hendak mengayunkan pedang tersebut.
Tetapi Pusparini lebih cepat meraih
tangannya. Kini terjadi pergulatan
untuk merebut pedang. Dari peristiwa
ini Pusparini baru tahu betapa hebat
kekuatan Nyi Sanghata. Gerak bela
dirinya memang agak lambat, tetapi Nyi
Sanghata mempunyai kekuatan otot
seperti laki-laki. Bertentangan sekali
dengan penampilannya yang menggiurkan.
Walaupun hanya dengan sebelah tangan,
Nyi Sanghata mampu memegang ketat
pedang tersebut. Pusparini menempel
terus. Dia tak boleh merenggangkan
tubuhnya menjauhi lawan. Sebab apabila
hal itu dilakukan, maka dengan mudah
Nyi Sanghata akan menjulurkan pedang
ke arahnya.
Dua tubuh itu kini bergulir di
tanah setelah keduanya roboh serentak.
Peristiwanya berlangsung lama. Pakaian
mereka telah terobek awut-awutan
karena hempasan-hempasan tubuh mereka
sendiri dalam mencari kelemahan lawan.
Tetapi tiba-tiba... Nyi Sanghata
tersentak kejang! Pegangannya pada
pedang merenggang. Kesempatan ini
dipergunakan Pusparini untuk merebut
Pedang Merapi Dahana dari cengkeraman
lawannya. Dan berhasil, sementara Nyi
Sanghata sendiri blingsatan di tanah
seperti cacing kepanasan.
"Aku berhasil melepaskan totok
jalan darahnya sehingga racun itu
tanpa disadari menjalar ke segenap
tubuhnya....!" kata Pusparini kepada
dirinya sendiri. Dia terus mengawasi
keadaan Nyi Sanghata yang dalam
keadaan pola tidak karuan. Bagian
tubuh pada bahunya mulai melepuh, lalu
menjalar kekepala.! Peristiwa
semuanya sama dengan yang dialami
Cakraganta. Kedua biji matanya melotot
keluar dan lepas dari tempatnya.
Disusul kemudian dengan lepasnya kulit
dan daging di kepala Nyi
Sanghata.! Kemudian wanita yang
selama ini menyimpan Pedang Merapi
Dahana menemui ajalnya....!
"Tetapi pedang ini tak dapat
dimasukkan ke dalam sarungnya sebelum
merenggut nyawa manusia. Padahal semua
orang telah tewas.!" keluh
Pusparini sambil mengawasi pedang yang
menimbulkan sengketa berdarah.
"Jangan khawatir, Pusparini!"
tiba-tiba terdengar suara dari
kejauhan.
Pusparini menoleh. Dilihatnya
Wariga berdiri tegak di seberang sana
didampingi seseorang, yang dikenal
sebagai gurunya, yaitu Ki Suswara.
Pusparini berniat mendatangi kedua
orang itu, tetapi geraknya terganggu
oleh pedang di tangannya. Pedang
Merapi Dahana itu seperti memiliki
tenaga dan mengendalikan tangan
Pusparini.... berayun kesana kemari
dengan liar.
"Ohh, apa yang terjadi dengan
pedang ini? Benda ini seperti mau
lepas dari tanganku!" jerit Pusparini
dengan cemas.
Wariga dan Ki Suswara bertindak.
Pusparini melihat Wariga membawa batu
lahar yang dikenali sebagai benda yang
pernah diberikan kepadanya.
"Untung aku menemukan batu lahar
ini di sana. Jangan khawatir. Terus
pegang dengan erat pedang itu dan
tebaskan ke arah batu ini!" ujar
Wariga dengan tenang sambil meletakkan
batu lahar tersebut di tanah.
Pusparini segera menebaskan
Pedang Merapi Dahana ke arah batu
lahar. Dan.
Bbhllaarrr !!!
Tubuh Pusparini terpental. Tetapi
tangannya masih menggenggam pedang
itu. Dengan ragu dia mencoba bangkit
sambil mengawasi pedang di tangannya.
Pedang Merapi Dahana tidak bergolak
lagi.
"Hh. Bagaimana bisa begitu?
Pedang ini.tiba-tiba terasa
ringan di tangan saya," ujar Pusparini
seperti seorang bocah mendapat sebuah
mainan yang didambakan. Lain memandang
Wariga yang tetap memandangnya dengan
tenang. Sedangkan gurunya dengan
senyum kebanggaan melangkah
menghampirinya.
"Sang Hyang Widhi rupanya
menghendaki semua ini, Pusparini. Buku
Tosan Aji yang kau titipkan padaku
agar tidak jatuh ke tangan orang-orang
berwatak angkara, telah kupelajari.
Kemudian aku mencari seorang sahabat
untuk membicarakan hal ini. Kau tahu
siapa dia bukan? Ki Wariga ! Itulah
orangnya yang kau kenal dengan Wariga
si pengemis. Dia memang suka
memperdaya orang. Tetapi siapa
menyangka kalau dia telah berumur
lebih dari delapan puluh tahun? Dia
memiliki ajian ampuh sehingga
penampilannya seperti bocah," kata Ki
Suswara.
"Saya telah mengetahuinya dari
cerita Nyi Sanghata," jawab Pusparini
yang kini bersikap hormat kepada Ki
Wariga.
"Aku dengan Ki Wariga berhasil
memecahkan rahasia pedang itu
bagaimana cara mengendalikan. Dan kau
lihat sendiri. Pedang Merapi Dahana
tidak dapat ditenangkan begitu dia
dikeluarkan dari sarungnya sebelum
membinasakan nyawa manusia. Cara
mengatasi harus ditebaskan ke batu
lahar. Kau lihat, batu itupun tidak
cuil sedikitpun. Sebab batu lahar itu
salah satu unsur senyawanya," Ki
Suswara terus menjelaskan.
"Dan kita akan membuat sarung
pedang dengan menggunakan batu lahar
itu agar bisa mengamankan keganasan
Pedang Merapi Dahana. ! Maksudku,
kalau pedang itu terlanjur lepas dari
sarungnya, dan tidak mendapatkan
mangsa nyawa, bisa dimasukkan kembali
ke dalam sarungnya. Nah, kini masukkan
pedang tersebut ke dalam sarungnya,
sementara dalam beberapa hari ini aku
dan Ki Wariga akan membuat sarung
pgdang dari bahan batu lahar itu, "
kata Ki Wariga dengan nada suara
dewasa.
"Sebaiknya kita secepatnya
meninggalkan tempat ini sebelum ada
pihak lain mencium peristiwa ini.
Mari" ajak Ki Suswara. Kemudian mereka
berangkat menuju padepokan
Canggal....!
★ ★ ★
Beberapa hari kemudian.
Terlihat Pusparini berdiri di
samping kudanya yang akan membawa dia
pergi meninggalkan padepokan.
"Pedang Merapi Dahana kini
menjadi milikmu, Pusparini. Sarung
pedangnya yang telah berhasil kami
buat, akan mengamankannya. Tetapi
tidak berarti kau bisa semena-mena
mempergunakannya. Senjata ampuh tidak
boleh dipergunakan sembarangan, " kata
Ki Wariga. Terbayang sekilas bagaimana
Ki Wariga dan Ki Suswara menciptakan
sarung Pedang Merapi Dahana. Pusparini
mengakui kehebatan Ki Wariga bagaimana
dia membentuk batu lahar yang
dicairkan lewat tungku dan hanya
dipenyet-penyet dengan tangan
telanjang. Dan Ki Suswara mengukir
hiasannya dengan tambahan kayu untuk
memperindah bentuknya. Akhirnya
tercipta penampilan pedang yang tampak
berwibawa....!
"Kau bukan orang pertama yang
akan menjadi pendekar pembasmi
kejahatan, Tetapi.jadilah yang
terbaik !" pesan Ki Suswara.
"Jaga dirimu baik-baik, Walet
Emas....!"
"Mohon doa restu. Saya akan
berangkat sekarang," ucap Pusparini
lirih dengan penuh hormat.
Pusparini segera menaiki kudanya.
Dengan hentakan kakinya dia
memerintahkan kuda bergerak.
Langkahnya tenang meninggalkan
padepokan Canggal, dilepas dengan
pandangan Ki Wariga dan Ki Suswara
sementara cakrawala Timur membiaskan
warna jingga.! Hari semakin
cerah. Dan kehidupan menantang
Pusparini alias Walet Emas di seberang.
SELESAI
Serial Walet Emas
Emoticon