1
Alam telah gulita. Kesenyapan begitu hen-
ing terasa. Angin pun seakan enggan berhembus,
memberikan titik makna yang hilang.
Entah mengapa suasana mencekam me-
nyelimuti desa di lereng Gunung Kelud. Desa
yang biasanya ramai dan tentram, kini bagaikan
tengah menunggu datangnya hantu-hantu yang
Semua penduduk seakan merasakannya.
Namun di keheningan yang mencekam dan ma-
lam yang semakin larut, di balai desa suasana
cukup ramai. Karena nampak beberapa orang
pemuda dan laki-laki setengah baya tengah ber-
kumpul di sana. Hadir pula seorang laki-laki yang
berwajah lembut dan berwibawa. Dia adalah Pan-
du Kelana, seorang lurah yang tengah menginjak
usia 45 tahun. Sikapnya yang bijaksana dan pe-
nuh kewibawaan membuat orang-orang desa di
sana begitu menaruh hormat padanya.
Di balai desa itu hadir pula beberapa orang
tua yang nampaknya seperti sesepuh. Dari ra-
mainya keadaan di balai desa ditimpali dengan
wajah-wajah yang tegang, nampak jelas kalau di
sana tengah dibicarakan dan dibahas satu masa-
lah yang nampaknya amat rumit.
Laki-laki tua yang bernama Kendala Yoro
mendehem, membuat semua mata tertuju pa-
danya.
"Semakin hari kita semakin dicekam oleh
ketakutan dan teror yang mengerikan. Teror yang
setiap saat datang," katanya dengan suara pelan
namun berat. "Yah... kita memang tidak bisa me-
nyalahkan Juragan Banyu Biru yang menolak pi-
nangan dari ketua Sangkur Baja, terhadap pu-
trinya. Siapa pun orangnya tentu akan menolak
pinangan gerombolan kejam yang sadis itu.
Namun akibat dari semua ini, berulang-kali
orang-orang Sangkur Baja menebarkan terornya.
Sudah tentu Bojo Mayit, ketua Sangkur Baja me-
rasa terhina dan tidak bisa menerima apa yang
telah dikatakan Juragan Banyu Biru terhadap
utusan yang membawa pinangan nya. Jelas kita
tidak bisa menyalahkan Juragan Banyu Biru yang
mana akibat dari semua ini, seisi desa yang akan
bisa terkena sasaran...."
Hening, tak ada yang bersuara. Hanya an-
gin malam yang berkesiuran dingin. Siapa pun
akhirnya tahu, karena secara mendadak beberapa
kali desa mereka diserang oleh orang-orang yang
mengaku dari golongan Sangkur Baja. Namun se-
jauh itu mereka dapat menghalaunya. Dan kare-
na serbuan itu diadakan berulangkali, dan beru-
langkali pula mereka melihat sasaran yang dituju
adalah rum ah Juragan Banyu Biru. Ini membuat
mereka menjadi heran.
Lambat laun akhirnya mereka pun mulai
membicarakannya, akhirnya diambil keputusan
untuk bertanya langsung pada Juragan Banyu
Biru yang secara ragu-ragu pun menceritakan ke-
jadian sesungguhnya.
Mereka cukup terkejut mendengarnya. Di
samping tidak menyalahkan sikap diam Juragan
Banyu Biru juga amat geram mengingat putri
Juragan Banyu Biru yang bernama Sekar Perak,
putri jelita yang manis itu. Mereka pun seakan ti-
dak rela bila Sekar Perak harus menjadi pen-
damping manusia kejam Bojo Mayit yang berdiam
di sebelah Tenggara Gunung Kelud.
Dan mulai malam itu pula mereka semua
berjaga-jaga. Juragan Banyu Biru sendiri telah
menyewa beberapa orang jago-jago bayaran untuk
melindungi keluarganya.
Memang serangan dari orang-orang Sang-
kur Baja itu kembali datang, namun berkat kegi-
gihan mereka dibantu dengan jago-jago bayaran
yang didatangkan oleh Juragan Banyu Biru, se-
muanya bisa dihalau.
Tetapi biarpun begitu, mereka cukup te-
gang dan kuatir, bila suatu waktu orang-orang
Sangkur Baja datang dengan jumlah yang besar.
Selama ini Bojo Mayit memang belum turun tan-
gan. Dan inilah yang dikuatirkan mereka.
Di balai desa itu keheningan masih terasa.
Juragan Banyu Biru yang hadir pula di sa-
na, hanya mendesah panjang mendengar kata-
kata Kendala Yoro. Dia pun tidak menyalahkan
apa yang telah dikatakan Kendala Yoro itu. Kare-
na memang dia yang menjadi penyebab pangkal
semua ini.
Kembali Kendala Yoro berkata:
"Biarpun demikian, kita semua akan tetap
berusaha untuk menghalau sepak terjang mere-
ka. Kita tidak bisa berpangku tangan begitu saja.
Ini sudah menjadi kewajiban kita bermasyarakat."
Orang-orang yang hadir membenarkan ka-
ta-kata Kendala Yoro itu. Mereka pun berniat un-
tuk menghalau dan bersiaga penuh terhadap
orang-orang Sangkur Baja.
Sementara Juragan Banyu Biru tersentuh
hatinya. Mereka adalah orang-orang yang bersa-
habat, yang membuat satu arti hidup menjadi le-
bih matang.
"Saudara-saudaraku, terima kasih atas ke-
relaan kalian untuk membantuku. Terus terang,
aku tidak ingin menyusahkan kalian, tidak ingin
membuat kalian resah. Namun apa daya, aku tak
kuasa untuk membendungnya. Bila aku mau,
aku pun rela mengorbankan putriku untuk dija-
dikan istri oleh Bojo Mayit. Namun aku tak bisa
membayangkan bagaimana nasibnya nanti berada
di tangan seorang suami seperti dirinya, yang ba-
nyak bergelimang dosa dan melakukan sepak ter-
jang yang mengerikan. Sekali lagi, terima kasih
atas bantuan kalian...." Ki Lurah Pandu Kelana
mendehem. "Banyu Biru... sudah sepatutnya ka-
mi melakukan hal itu. Karena kami pun harus
mempertahankan diri. Kau dan keluargamu me-
rupakan bagian dari kami warga di sini. Tak perlu
kau risaukan kembali, karena kami siap untuk
membela...." "Terima kasih, Ki Lurah...."
"Dalam hal ini, aku minta," kata Ki Lurah
Pandu Kelana kemudian sambil memandang se-
mua yang hadir. "Kalian harus bersiap siaga. Ka-
lian harus menjaga desa ini hingga titik darah te-
rakhir. Kita jangan hanya melimpah kesalahan ini
pada Juragan Banyu Biru.
Dalam hal ini dia tidak bersalah. Ini bu-
kan kesalahan dan kemauannya. Bagi kita yang
mempunyai seorang anak perawan, pasti juga ti-
dak rela bila anak kita jatuh ke tangan seorang
laki-laki kejam seperti Bojo Mayit.
Di samping itu pula, kita harus bersatu.
Dengan bersatu kita akan menjadi lebih berarti."
Semua yang hadir rata-rata mengangguk-
kan kepalanya mendengar wejangan dari Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Mereka semakin menaruh
hormat padanya.
Sejak semula mereka memang sudah me-
naruh hormat. Ini membuktikan bahwa Ki Lurah
Pandu Kelana mempunyai wibawa dan kharisma
yang besar.
Kendala Yoro, orang yang di pertua di desa
itu pun diam-diam dalam hati bangga terhadap
Pandu Kelana. Dia tahu siapa Pandu Kelana. Tak
lain adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi. Disegani baik lawan mau-
pun kawan.
Kendala Yoro sendiri merasa yakin, bahwa
seorang seperti Pandu Kelana akan menjadi orang
yang dihormati siapa saja selamanya, karena jiwa
kepemimpinan nya, karena rasa simpatinya dan
wibawanya yang besar.
"Lalu apa rencanamu, Pandu?" tanyanya
kemudian.
Pandu Kelana menatap Kendala Yoro.
"Puan... tentunya kita harus bersiaga pe-
nuh. Untuk itu, aku akan mengatur beberapa
penjagaan yang lebih ketat. Agar kita bisa me-
mantau keadaan."
"Cara apa yang akan kau lakukan?"
"Pertama, kita akan menempatkan lima
orang di pintu masuk desa sebelah Utara, Timur,
Barat dan Selatan pun hal yang sama. Selain itu,
kita pun akan memberi bantuan khusus di rumah
Juragan Banyu Biru untuk membantu para jago-
jago bayaran-
Aku tahu siapa Bojo Mayit. Dia seorang la-
ki-laki kejam yang memiliki ilmu Sangkur Baja
yang amat hebat. Tubuhnya bisa menjadi kebal
dan tahan terhadap segala macam senjata. Juga
pukulan yang amat berbahaya sekalipun.
Untuk menghadapi hal ini, agaknya kita
masih perlu dan harus berani berkorban. Karena
aku tahu siapa Bojo Mayit itu."
Suasana kembali hening. Mereka seakan
mendengar nada suara kecut yang diucap-kan
oleh Ki Lurah Pandu Kelana. Namun diam-diam
mereka pun yakin akan kehebatan ilmu yang di-
miliki oleh Ki Lurah.
Mereka pun menjadi tenang.
Namun sebelum pembicaraan itu berlan-
jut, tiba-tiba muncul satu sosok tubuh tergesa-
gesa, bahkan terlihat sempoyongan. Tangan ka-
nannya mendekap tubuh bagian dada. Terlihat
pula tangan dan dada itu bersimbah cairan me-
rah.
Darah! Darah yang keluar dari dada itu.
Sosok itu tiba di balai desa dan langsung
ambruk setelah mendesis terbata-bata.
"Hei!" seru Ki Lurah Pandu Kelana terkejut
dan sigap bangkit menolong sosok tubuh yang
sedang menahan rasa sakit.
Yang lebih terkejut lagi adalah Juragan
Banyu Biru. Karena sosok yang terluka parah itu
adalah salah seorang jago bayaran yang dis-
ewanya.
"Kranggan!!" desisnya memburu. "Ada apa,
Kranggan? Ada apa?!" lanjutnya tergesa-gesa. Se-
ketika terlihat di wajahnya kepanikan. Hatinya ti-
ba-tiba menjadi tidak enak.
Sosok itu membuka matanya yang me-
mancarkan rasa kesakitan. Wajahnya seolah me-
nahan rasa sakit.
"Tuan...." desisnya.
"Ada apa, Kranggan? Katakan cepat! Apa
yang telah terjadi? Apa yang terjadi?!"
Kranggan menahan rasa sakitnya.
"Hgggh. Tuan... akh... mereka datang,
Tuan... mereka... akh...."
"Siapa?! Siapa, Kranggan?!"
"Mereka... mereka, Tuan.... Orang-orang
Sangkur Baja... akh... tiba-tiba saja mereka mun-
cul dan menyerang... kami secara membabi bu-
ta....
Teman-teman sedang... berusaha me-
nyelamatkan Putri Sekar dan Nyonya...."
Kepanikan itu semakin kentara di wajah
Juragan Banyu Biru. Tanpa berkata apa-apa dia
langsung berlari dengan cepat, menyusul di bela-
kangnya dua orang jago bayarannya yang nampak
sudah tidak sabar.
Ki Lurah Pandu Kelana segera bertindak
cepat. "Urus orang ini!" serunya lalu dia sendiri
berlari dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Di belakangnya berlarian pula orang-orang
dengan hati geram dan marah. Mereka sudah ti-
dak sabar ingin segera melumat manusia-
manusia kejam itu.
Bangsat! Manusia-manusia yang lebih
layak mati daripada hidup di muka bumi ini
membuat onar dan merugikan manusia lain.
Beberapa orang segera menolong Kranggan
yang kini pingsan karena kekurangan darah.
Kendala Yoro pun dengan cepat menotok bebera-
pa bagian tubuh dari Kranggan agar darah yang
keluar tidak mengalir lagi.
Lalu dia sendiri setelah itu segera berlari
menuju rumah Juragan Banyu Biru.
Tongkatnya yang berwarna putih seakan
membantunya dalam berlari karena dijadikan
tumpuan.
*
* *
2
Rumah Banyu Biru adalah rumah yang te-
rindah dan terbagus di desa itu. Namun di malam
ini, rumah indah itu seakan tidak nampak kein-
dahannya. Dari kejauhan malah terlihat api ber-
kobar menyala menjilat-jilat udara.
Api itu merayap di atas rumah Juragan
Banyu Biru.
Di halaman rumahnya terdengar suara
orang menjerit dan senjata beradu keras.
"Trang!"
"Trang!"
"Hahaha... lebih baik kalian menyerah saja,
Bodoh!" Terdengar makian keras sambil tertawa
membahana.
"Bangsat! Kalian adalah orang-orang bi-
adab yang kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja!"
Seruan-seruan itu semakin kuat terdengar.
Yang membentak pertama seorang laki-laki yang
berwajah seram. Seluruh wajahnya nampak ba-
gaikan berbulu. Dia bernama Rondeng, seorang
tangan kanan dari ketua Sangkur Baja, Bojo
Mayit.
Sedangkan yang membentak kedua adalah
salah seorang dari jago bayaran yang disewa oleh
Juragan Banyu Biru. Hanya tinggal dia sendiri!
Teman-temannya yang lain sudah mampus lebih
dulu. Mereka memang cukup terkejut ketika tiba-
tiba orang-orang itu hadir dan melancarkan se-
rangan yang membabi buta.
Namun bagi seorang jago bayaran yang te-
lah mencurahkan dirinya pada orang yang mem-
bayarnya, maka nyawalah taruhannya. Jago
bayaran itu pun semakin memperhebat seran-
gannya, meskipun dia yakin perbuatannya itu
akan sia-sia. Namun dia tak akan pernah mau
menyerah begitu saja.
"Hahaha... lebih baik kau membunuh diri
saja, Goblok!!" maki Rondeng sambil tertawa.
"Bunuh diri? Hahaha... kau bermimpi, Ka-
wan. Tak akan pernah aku mundur sejengkal pun
dari hadapanmu!" serunya sambil menghindar
dan membalas menyerang.
Serangan demi serangan dengan cepat ter-
jadi. Saling serang dan mengelak dengan hebat.
Sungguh suatu hal yang luar biasa diperlihatkan
oleh jago bayaran itu. Karena kini Rondeng diban-
tu oleh dua orang teman-nya.
"Kau masih main-main saja, Rondeng! Ha-
bisi!!" seru salah seorang temannya sambil maju
menyerang.
Jago bayaran itu pun dengan segenap ke-
kuatannya mencoba untuk bertahan.
"Kalian memang manusia-manusia pe-
ngecut!" makinya sambil terus bertahan dan seka-
li-sekali menyerang.
Namun karena kini lawannya bertiga, maka
dia jelas keteter dengan hebat. Senjata-senjata
lawannya sudah berkali-kali mengenai bagian-
bagian tubuhnya. Darah pun merembas ke luar.
Tubuhnya sudah sempoyongan dengan hebat.
"Hahaha... mampuslah kau!!" seru Ron-
deng keras membahana.
Sungguh malang nasib jago bayaran itu.
Dirinya dijadikan bulan-bulanan dengan hanta-
man-hantaman yang keras pada tubuhnya. Na-
mun sungguh mengagumkan ke-beranian yang
diperlihatkan oleh jago bayaran itu. Dengan bera-
ninya dia terus bertahan dan menyerang.
Kini dia melihat beberapa orang-orang itu
mulai masuk ke dalam rumah. Seketika pikiran-
nya tentang Sekar Perak dan istri majikannya.
Dengan sigap sambil menahan rasa sakitnya, dia
bersalto ke arah orang-orang yang hendak masuk
itu. Dan langsung menyabetkan pedangnya.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, ka-
rena pisau yang dilemparkan oleh Rondeng telah
menancap tepat di jantungnya!
Dan tubuh itu pun langsung menggelepar
dengan hebat diiringi suara menjerit mengerikan.
Lalu diam tak berkutik dengan sepasang mata
terbuka mendelik.
"Hhh! Mampuslah kau!!" bentak Rondeng.
Namun dia langsung berbalik ke kiri. Dan
matanya terbelalak tak percaya. Dari kejauhan
terdengar suara ramai dan derap kaki berdatan-
gan mendekat. Orang-orang Sangkur Baja yang
berjumlah delapan orang itu menjadi saling pan-
dang.
Betapa banyaknya orang-orang yang berda-
tangan. "Hancurkan!" "Bunuh!" "Ganyang!!"
"Jangan beri ampun manusia-manusia ke-
jam itu!!"
Seruan-seruan kalap itu sudah terdengar.
Membuat orang-orang Sangkur Baja menjadi ber-
siaga.
Tiba-tiba terdengar seruan Rondeng,
"Mangkoro! Ikut aku! Kalian hadang mereka!"
Rondeng dan Mangkoro segera menyelinap
ke dalam rumah itu. Mereka mencari Sekar Perak
dan ibunya. Sementara yang lain segera berhan-
tam dengan para penduduk yang kalap. Ki Lurah
Pandu Kelana dengan tangkasnya segera mener-
junkan diri dan bergerak dengan cepat.
Tangan dan kakinya bergerak dengan cepat
mencari sasarannya, bagaikan memiliki mata be-
laka. Dia seakan mencari sasaran yang empuk.
Sasaran dari orang-orang yang telah berulangkali
meneror mereka.
Sungguh hebat apa yang dilakukan Ki Lu-
rah Pandu Kelana. Kendala Yoro sendiri segera
menerjunkan diri. Begitu pula dengan yang lain.
Kembali di halaman depan rumah Juragan
Banyu Biru terjadi pertarungan yang hebat.
Banyu Biru sendiri bermaksud menyelinap masuk
ke dalam rumahnya, untuk menyelamatkan putri
dan istrinya.
Namun orang-orang Sangkur Baja itu sea-
kan mengetahui maksudnya. Karena mereka ber-
kali-kali menghalanginya dengan sabetan-sabetan
senjatanya.
Sehingga membuat Banyu Biru menjadi ra-
gu untuk masuk. Dia pun lama kelamaan menja-
di geram adanya. Dengan seruan yang keras, dia
melompat menerjang orang yang menghalanginya.
"Mampuslah kau manusia busuk!"
Serangan yang dilancarkan oleh Banyu Bi-
ru sungguh hebat. Dan cepat. Bahkan orang-
orang seakan baru tahu kalau Banyu Biru sebe-
narnya memiliki kesaktian yang cukup lumayan.
Namun selama ini ditutupi-nya.
Orang yang menghalanginya masuk itu
pun keteter dengan cepat. Dan harus meregang
nyawa karena tangan Banyu Biru yang mengan-
dung tenaga dalam yang kuat menghantam tepat
di wajah dan jantungnya.
"Akkhhhhh!!"
Orang itu pun ambruk. Banyu Biru segera
masuk ke dalam rumahnya. Sementara pertarun-
gan itu semakin seru berjalan. Masing-masing be-
rusaha untuk mempertahankan diri dan menga-
lahkan lawan-lawannya.
Malam yang gulita kini bagaikan terang
benderang.
"Jangan beri ampun manusia-manusia ini!"
Terdengar seruan dari Pandu Kelana yang mem-
beri semangat.
Namun jelas terlihat lama kelamaan orang-
orang Sangkur Baja tergeser. Di samping mereka
sudah lelah, juga jumlah penduduk desa yang
banyak yang dengan geram hendak mencabut
nyawa mereka.
Sebentar saja mereka sudah terdesak. Se-
ruan-seruan keras kini berpadu dengan jerit ke-
sakitan.
Dan akhirnya satu per satu pun harus te-
was setelah menjerit dengan hebat.
Bersamaan dengan berakhirnya lawan-
lawan itu, muncul Banyu Biru dari dalam. Wa-
jahnya kelihatan amat panik. Dia bagaikan anak
ayam kehilangan induk.
Ki Lurah Pandu Kelana sigap segera men-
dekatinya.
"Ada apa, Bayu?"
"Anakku... istriku...." desis Banyu Biru ba-
gaikan orang bodoh belaka. Kepalanya berkeliling
seakan yakin kalau anak dan istrinya berada di
sekitar sana.
"Mengapa mereka?" desis Pandu Kelana
cemas. "Apakah mereka... oh, tidak!"
"Mereka... mereka tidak ada, Pandu.... Me-
reka tidak ada.... Oh! Ke mana kalian permata ha-
tiku?"
Pandu Kelana segera menenangkan Banyu
Biru. "Bawa dia masuk ke rumahnya."
Beberapa orang penduduk segera mem-
bawa Banyu Biru ke kamarnya. Lalu mereka
kembali ke halaman depan, di mana Pandu Kela-
na dan yang lainnya masih berada di ^ Hana dan
sedang terlibat dalam satu obrolan yang panjang.
"Hmmm... agaknya kita harus mencari ma-
lam ini juga, Saudara-saudaraku!" kata Pandu
Kelana lantang.
Sahutan-sahutan setuju pun terdengar
ramai.
"Benar, kita harus mencari mereka!"
"Ya, kita pun akan menyerang orang-orang
Sangkur Baja!"
"Bunuh mereka!"
"Hancurkan mereka!"
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku...."
kata Pandu Kelana menenangkan warga-nya. "Ki-
ta memang harus berusaha untuk menghancur-
kan Sangkur Baja. Namun pada saat ini, tugas ki-
ta adalah untuk mencari dan menemukan Sekar
Perak serta istri dari Banyu Biru. Bila semuanya
sudah berhasil, barulah kita mendatangi Per-
kumpulan Sangkur Baja! Kita hancurkan mereka!
Setuju?!!"
"Setuju!!!"
"Bagus, malam ini pula kita harus segera
berangkat mencari. Jangan sampai luput satu
tempat pun!"
"Setuju!!"
"Bagus, marilah kita mulai!!"
Orang-orang itu pun segera berpencar un-
tuk mencari Sekar Perak dan istri dari Banyu Bi-
ru. Sementara Pandu Kelana dan Kendala Yoro
masuk menemui Banyu Biru yang terbaring le-
mah seakan tiada daya.
Sepasang matanya memancarkan sinar ke-
pedihan dan ketidakberdayaan. Dia seperti kehi-
langan hatinya hingga membuatnya terdiam da-
lam kepasrahan.
Ki Lurah Pandu Kelana hanya berkata pe-
lan, "Banyu... mudah-mudahan putri dan istrimu
ditemukan dalam keadaan selamat."
Hanya pancaran mata Banyu Birulah yang
berkata. Mudah-mudahan. Selebihnya hanya pa-
srah.
Kendala Yoro pun mendehem. Lalu berka-
ta:
"Kuatkanlah hatimu, Banyu.... Banyaklah
berdoa kepada Gusti Allah, bahwa anak dan is-
trimu dalam keadaan selamat."
Namun tepat ketika ayam jantan berkokok
menandakan waktu telah pagi, terdengar kabar,
istri Juragan Banyu Biru telah ditemukan. Na-
mun dia telah tewas dalam keadaan yang amat
menyedihkan.
Diperkosa terlebih dulu sebelum dibunuh!
*
* *
3
"Tolong... tolong... ampun... aku mau di-
bawa ke mana... huhuhu.... Bapa tolong aku... to-
long aku, Bapa...." Seruan keras di iringi dengan
isak tangis itu terdengar. Dan sosok tubuh yang
dipanggul di bahu yang kekar itu meronta-ronta
minta dilepaskan. "Tolong... tolong aku!!"
"Bangsat!!" Sosok yang memanggul itu
menggeram marah. "Diam!"
"Tolong! Lepaskan... lepaskan aku!!"
"Anjing kurapan! Diaaam!!"
Meskipun dibentak seperti itu, namun so-
sok itu terus menjerit-jerit. Membuat orang yang
memanggulnya dengan lari ter-gesa-gesa menjadi
jengkel. Tiba-tiba saja dia berhenti, lalu menyen-
takkan turun sosok tubuh yang dipanggulnya itu.
"Diam! Bila kau tidak diam juga, kami akan
menyeretmu dengan paksa!"
"Huhuhu... lepaskan aku, lepaskan aku!!"
"Setttannnn!!" Orang itu semakin jengkel
dan dengan paksa kini menyeretnya.
"Lepaskan, lepaskan!!" seru sosok tubuh
itu sambil mencoba menahan dirinya, namun te-
naga laki-laki yang menyeretnya amat kuat dan
mau tak mau kakinya harus terseret mengikuti
tarikan tangan laki-laki itu bila dia tidak mau ter-
jerembab.
"Brengsek! Jangan ribut!!"
"Huhuhu... aku mau dibawa ke mana...."
"Diam!!"
Seruan-seruan itu terlontar dari mulut Se-
kar Perak dan Rondeng. Ternyata Rondeng dan
Mangkoro masuk ke rumah Banyu Biru untuk
membawa lari Sekar Perak dan ibunya, yang telah
mereka perkosa sebelum mereka bunuh.
Rondeng dan Mangkoro tidak berani me-
lakukan hal itu terhadap Sekar Perak, karena Bo-
jo Mayit menginginkannya. Bila mereka mengusik
Sekar Perak sedikit saja, maka mautlah taruhan-
nya.
Itulah sebabnya mereka memperkosa dan
membunuh ibu Sekar Perak daripada hanya me-
nyusahkan mereka saja.
Rondeng mengusulkan untuk menyem-
bunyikan Sekar Perak di Goa Alas Bantan sebe-
lum membawanya kepada ketua mereka. Karena
dia yakin, saat ini keduanya tengah dicari oleh
warga desa.
Goa Alas Bantan adalah sebuah goa yang
berada amat jauh dari desa itu. Sebuah goa yang
dikelilingi oleh hutan yang amat lebat.
Sebuah goa yang amat mengerikan.
Konon goa itu dulu tempat bertempurnya
para tokoh sakti antara golongan putih dan hi-
tam. Mereka hendak memperebutkan goa itu se-
bagai kekuasaan. Di mana golongan putih amat
menentang sekali perbuatan orang-orang golon-
gan hitam.
Pertempuran itu amat hebat dan ber-
langsung selama berhari-hari. Namun di saat per-
tempuran itu terjadi, mendadak saja semua
orang-orang itu meninggal. Dan tak seorang pun
yang tahu sebab musabab yang sesungguhnya
sehingga orang-orang itu mati. Mereka hanya
menduga, para jago itu mati karena saling bunuh
dalam pertempuran.
Berita tentang goa itu hingga sekarang ti-
dak terdengar lagi. Namun Rondeng diam-diam
tahu tentang hal itu. Dan dia yakin goa itu masih
ada dan hingga sekarang belum ada yang memili-
ki.
Itu merupakan sebuah tempat persembu-
nyian yang amat aman sekali.
"Masih jauhkah goa itu, Rondeng?" tanya
Mangkoro sambil terus mengikuti langkah Ron-
deng.
"Cukup jauh juga!"
"Kita harus lebih cepat! Karena aku yakin,
orang-orang desa akan tetap mencari kita! Dan bi-
la suasana sudah aman, barulah kita muncul dari
goa itu dan menyerahkan gadis cantik ini untuk
ketua. Hmm... sayang sekali... bila bukan untuk
ketua, sudah ku-ganyang gadis ini. Tubuhnya
amat menggiurkan sekali...."
"Hahaha... bila kau nekad, nyawamu akan
mampus di tangannya!"
"Ya, ya... aku pun masih sayang dengan
nyawaku!"
"Hhh! Lebih baik kau bopong gadis ini,
Mangkoro! Lumayan, tubuhnya yang meng-
giurkan itu akan menempel di tubuhmu!"
"Hhh! Keenakan dia! Biar saja sini aku
yang ganti menyeret!" seru Mangkoro. "Biar dia
tahu rasa, sejak tadi aku tidak tahan mendengar
jeritannya!!"
Lalu dengan kasarnya Mangkoro menyeret
Sekar Perak. Hal ini semakin membuat Sekar Pe-
rak menjadi ketakutan. Dia tidak pernah mem-
bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Menurut-
nya. keluargnya baik pada siapa pun. Dan tak
pernah punya silang sengketa.
Namun lamaran yang datang dari ketua
penjahat itu membuat semuanya berubah. Dan
ketakutannya semakin menjadi. Makanya dia
menjerit-jerit untuk menghilangkan rasa takut-
nya.
"Tolong... tolong! Lepaskan, lepaskan aku,
Orang jahat!" jeritnya keras. Dia amat takut sekali
dengan orang-orang jahat ini.
Apalagi dengan orang yang kini menyeret-
nya, yang tak punya perikemanusiaan. Kakinya
sampai lecet-lecet karena harus tergesa-gesa
mengikuti langkah orang itu.
Tubuhnya sudah amat lemah. Sempo-
yongan, mau tak mau dia terus melangkah se-
mentara pergelangan tangannya terasa sakit se-
kali akibat cekalan yang keras.
Dia terus tersaruk-saruk mengikuti
langkah laki-laki yang menyeretnya. Tenaganya
dirasakan sudah hilang sama sekali. Kini dia
bahkan terhuyung belaka.
"Tolong... lepaskan aku... lepaskan aku...
ampuni aku...." Kini suaranya bukan lagi jeritan,
tetapi permohonan belas kasihan.
"Jangan rewel!" membentak Mangkoro ka-
rena jengkel. "Kalau kau masih bicara terus, ku
perkosa dan kubunuh kau seperti ibu mu, hah?!"
"Oh! Lepaskan aku... ku mohon lepaskan
aku... huhuhu... apa salahku? Apa salah keluar-
gaku? Kalian adalah manusia-manusia laknat!
Jahat!"
"Diam!"
"Huhuhu... lepaskan aku... kalian jahat!
Kalian jahat!!" "Diam! Diam!" "Lepaskan aku...."
"Plak!"
Tamparan itu melayang di pipinya. Meski-
pun dirasakannya sakit, Sekar Perak tetap merin-
tih memohon dilepaskan.
"Bangsat! Bila kau tidak mau diam juga...
kubunuh kau?!" bentak Mangkoro saking jeng-
kelnya. Telinganya benar-benar tidak tahan men-
dengar rengekan seperti itu.
Kini Sekar Perak hanya terdiam dan me-
nangis terguguk karena tidak mau dibentak dan
dipukuli lagi. Dia sudah tak mampu lagi untuk
berkata-kata. Dia hanya bisa memaksakan sisa-
sisa tenaganya untuk melangkah, mengikuti
langkah kedua orang yang berada di depannya
itu.
Tiba-tiba Mangkoro berhenti melangkah.
Sekar Perak yang hanya mengikuti dengan lang-
kah sempoyongan terkejut hingga menabrak
Mangkoro.
"Bangsat! Kubunuh kau?!" bentak Mangkoro.
"Oh!"
"Diam!!"
"Sudahlah, Mangkoro... aku pun tidak ta-
han sebenarnya, tapi karena dia milik ketua, mau
apa lagi?" kata Rondeng.
Mangkoro mendengus.
"Hhh! Masih jauhkah tempatnya, Ron-
deng?" tanyanya malas-malasan. Rasanya ingin
dibunuh saja gadis itu yang membuatnya jengkel
dan harus menyeret-nyeret yang dirasakan bagai-
kan beban belaka.
"Cukup lumayan."
"Aku sudah bosan menyeret-nyeret gadis
yang cerewet ini?!" makinya sambil melirik Sekar
Perak yang menggunakan kesempatan itu untuk
bisa bernafas dengan lega.
"Hahaha... itu sudah tugasmu, bukan?"
"Hhh! Jangan tertawa!"
"Hahaha... bukankah lebih asyik mem-
bawa seorang gadis montok seperti dia dari pada
membawa seorang laki-laki seperti aku?"
"Sialan! Baiknya diapakan gadis ini, hah?!"
"Terserah! Asal jangan kau perkosa dan
kau bunuh! Karena nyawamu sebagai taruhan-
nya!"
"Bangsat!"
"Sudahlah! Ayo kita terus! Kita nanti akan
sampai di hutan Alas Bantan. Di ujung hutan itu-
lah, Goa Alas Bantan yang amat tersembunyi be-
rada!"
"Baiklah!"
Kembali Mangkoro menyeret tubuh Sekar
Perak yang lagi-lagi harus tersaruk-saruk mengi-
kuti langkahnya. Dia benar-benar sudah merasa
amat tidak berdaya.
Rondeng yang melangkah di belakang ke-
duanya terbahak-bahak. Dan diam-diam dia
memperhatikan bentuk tubuh Sekar Perak dari
belakang. Sebuah tubuh yang amat menggiurkan.
Gairahnya seakan bangkit perlahan-lahan.
Namun dia masih bisa bertahan dan sadar
kalau gadis ini adalah milik ketuanya. Bila saja
bukan, sudah dinikmatinya tubuh yang menggi-
urkan dan mengundang selera itu.
"Sialan!" makinya dalam hati.
Hutan Alas Bantan yang kini mereka ma-
suki hampir sama lebatnya dengan Hutan Alas
Roban. Tetapi hutan Alas Bantan lebih nampak
bagaikan menyimpan misteri yang amat mengeri-
kan. Entah apa misteri itu. Yang pasti, Goa Alas
Bantan terletak di ujungnya, yang pasti, Rondeng
merasakan bulu remangnya berdiri.
Hutan itu seakan hidup dan kesal karena
dimasuki oleh tamu-tamu yang tak di undang.
Karena begitu mereka memasukinya, angin ber-
hembus kencang, menggesek dedaunan yang me-
nimbulkan irama mengerikan.
Wajah Sekar Perak seketika pucat karena
ketakutan. Dia benar-benar ngeri mengalami hal
seperti ini. Sungguh suatu kejadian yang tak per-
nah dia bayangkan sebelumnya. Dan dia tak per-
nah mengerti mengapa justru dia yang harus
mengalaminya. "Oh, Tuhan... kapankah berakhir-
nya ketegangan ini?"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang
amat mengerikan. Yang mampu membuat bulu
roma berdiri.
"Hik... hik... hik...!!"
Tawa itu menggema ke seluruh hutan. Ter-
bawa angin hingga ke segenap penjuru. Tawa
yang seakan mengundang dan menyebarkan ha-
wa maut!
*
* *
4
Tawa itu terdengar lagi. "Hik... hik... hik...!"
Mengerikan. Seketika Sekar Perak men-
jerit dengan tubuh lemas. Takutnya bukan alang
kepalang. Dia seorang gadis yang jarang sekali ke
luar rumah. Bila pun iya, paling diantar oleh em-
bannya. Namun sekarang, selagi dia ke luar ru-
mah, merupakan sebuah kejadian yang amat me-
nyiksanya.
Sementara Rondeng dan Mangkoro segera
waspada. Keduanya mencium sesuatu yang akan
terjadi.
"Bersiap, Rondeng...."
"Ya... demikian pula dengan kau, Mangkoro...."
Dan benar saja, tiba-tiba di hadapannya
berlompatan delapan orang laki-laki seram den-
gan golok besar di tangan. Bukan, bukan para
warga desa. Orang-orang ini bagaikan makhluk
mengerikan yang siap mencabut nyawa. Mata me-
reka begitu buas, lebih-lebih setelah menatap Se-
kar Perak yang semakin menggigil.
Tiba-tiba dari salah sebuah pohon bersalto
satu sosok tubuh dengan lincahnya dan hinggap
di hadapan orang-orang itu dengan ringannya.
Rondeng sudah menduga, betapa tingginya ilmu
meringankan tubuh orang Itu. Dia pun memper-
hatikan dengan seksama.
Orang yang bersalto itu bertubuh ramping
dan gemulai. Rambutnya terurai indah. Wajahnya
cantik dan bibir yang mungil. Di pinggangnya ter-
lilit sebuah angkin berwarna merah. Dan di pung-
gungnya terdapat sebuah pedang tipis yang amat
tajam.
Rondeng segera mendapat kesimpulan, ga-
dis inilah yang memimpin delapan orang seram
itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Sekar Perak
bila diganggu orang-orang itu. Makanya Rondeng
merasa lebih baik mati mempertahankan Sekar
Perak daripada harus mati di tangan Bojo Mayit.
Gadis yang berdiri di hadapan mereka itu
terkikik. Wajahnya sungguh cantik sekali.
"Hik... hik... siapakah kalian yang berani-
beraninya memasuki hutan ini, heh?!" tanyanya
dengan suara yang genit dan lirikan mata yang
mengundang gairah. "Agaknya kalian belum ta-
hu... kalau hutan ini akulah pemiliknya. Akulah
yang berkuasa. Segala sesuatu yang terjadi atau
akan terjadi di hutan ini, harus melalui aku. Hi-
hi... kalian mengerti, bukan?"
Kedua laki-laki itu berpandangan.
Rondeng yang tidak mau mencari ribut se-
gera menjura dengan hormat. "Maafkan kami,
Nona...."
Belum habis kalimatnya, gadis itu sudah
tertawa.
"Hik... hik... dia memanggilku Nona. No-
na... hik... hik... Nona... Nona...." Seperti orang gi-
la gadis itu menari dengan gembira. Mulutnya te-
rus berucap "Nona".
Rondeng menjadi keheranan. Juga Mang-
koro, kenapa gadis ini senang dipanggil Nona?
Apakah baru kali ini ada yang memanggilnya
dengan sebutan itu?
Gadis edan itu sudah berhenti menari. Dan
kembali matanya dengan genit melirik.
"Karena kau sudah memanggilku Nona,
kau kuterima dengan baik. Tapi katakan dulu apa
maksud kalian datang ke mari?"
"Kami... ingin ke Goa Alas Bantan." kata
Rondeng.
Mendengar kata Goa Alas Bantan, wajah
gadis itu berubah. Menjadi serius dan sengit.
Orang-orang di belakangnya pun segera bersiap.
Nampaknya mereka tidak suka ada orang yang
menyebutkan nama goa itu.
"Apa maksud kalian hendak ke sana?" sua-
ranya tinggi.
"Kami tidak bisa mengatakannya kepada
kalian...."
"Hhh! Kalau kalian hendak ke sana, lain
persoalan! Tak seorang pun yang kami izinkan ke
sana!"
"Apakah sekarang sudah menjadi goa la-
rangan?"
"Ya! Dan kalian tidak boleh tahu apa pe-
nyebabnya?"
"Tapi kami perlu sekali ke sana."
"Dan kalian harus melalui kami!" Kedua
tangan gadis itu terangkat ke atas. Serentak
Orang-orang yang di belakangnya menyebar den-
gan posisi mengepung, Rondeng dan Mangkoro
pun segera bersiap. Dilarang begini, membuat ke-
duanya menjadi semakin penasaran. Ada apa se-
benarnya di goa itu?
"Apakah pertempuran ini harus terjadi?"
seru Mangkoro.
Gadis itu menatapnya dengan lekat. "Ya!
Selagi kalian terus memaksa!"
"Baik! Tak ada jalan lain! Kami memang in-
gin ke sana, dan harus ke sana!"
Sehabis Mangkoro berkata demikian, gadis
itu sudah mengibaskan tangannya ke depan. Se-
buah angin besar datang dengan cepat ke arah
Mangkoro. Mangkoro segera berguling dengan
menarik tangan Sekar Perak. Akibatnya, pohon
yang berada di belakangnya, rubuh seketika.
Suatu pukulan jarak jauh yang menga-
gumkan!
"Hmmm... rupanya kau punya jurus an-
dalan juga, Orang jelek!" bentak si gadis sementa-
ra Mangkoro sudah membuka jurusnya.
"Kalian boleh mengganyang kami! Tapi
kuminta, kalian jangan mengganggu gadis ini!"
bentak Ki Mangkoro.
Kata-katanya itu hanya disambut dengan
tertawa oleh gadis itu.
"Hihihi... tidak mengganggu gadis itu? hi-
hihi...."
"Apa maksudmu?!"
"Hihihi... orang jelek, orang jelek... laki-laki
mana yang tidak suka dengan gadis secantik dia,
hah?! Kami suka padanya”.
"Gadis macam apa kau suka dengan seo-
rang gadis, hah?!" bentak Rondeng setengah jeng-
kel dan setengah heran.
"Hihihi... kalian telah tertipu rupanya...."
"Apa maksudmu?!"
"Hihihi... namaku Nimas Andini atau yang
bergelar, Nona Berwujud Lain...."
"Hah?!"
"Hihihi... ya, ya... gelarku Nona Berwujud
Lain!"
Rondeng makin tersentak kaget. "Kau...
banci...?"
Dan meradanglah gadis itu dengan gusar.
Tatapannya memerah karena murka. Dia paling
pantang disebut banci!
Dia memang seorang laki-laki yang pernah
berguru pada seorang wanita yang kesemua mu-
ridnya wanita pula.
Semula guru wanita itu menolaknya untuk
dijadikan murid. Namun Nimas Andini yang sebe-
lumnya bernama Jaka Purnama meyakinkan
guru wanita itu, kalau dia akan belajar dengan
baik dan sopan.
Akhirnya guru wanita itu pun mengizinkannya
menjadi murid di perguruannya.
Karena semua temannya wanita, lambat
laun pun Jaka Purnama bertingkah laku seperti
wanita. Namun dia tetap seorang laki-laki. Dan
dia tetap tidak bisa meninggalkan nafsu birahi la-
ki-lakinya terhadap wanita.
Mulailah dia merayu beberapa orang murid
wanita. Dan hampir semua murid di perguruan
itu pernah dinodainya. Dan tak satu pun yang
mengadu pada guru mereka, karena mereka sen-
diri pun menyukainya. Bahkan kedatangan Jaka
Purnama dirasakan sebagai angin segar yang
membawa kenikmatan di dalam Perguruan Pera-
wan Mustika.
Namun sepintar-pintarnya orang me-
nyembunyikan bangkai, baunya akan tetap me-
nusuk pula. Akhirnya sang guru pun mengetahui
semua perbuatannya. Dia tak mungkin mengu-
sir hampir semua muridnya. Maka Jaka Purna-
malah yang diusirnya karena telah merusak citra
Perguruan Perawan Mustika.
Hal ini membuat Nimas Andini marah be-
sar. Dengan kepandaiannya dia berhasil menun-
dukkan delapan orang kepala perampok dari ber-
bagai tempat. Dan dia pun segera menyusun ren-
cana untuk menyikat habis Perguruan Perawan
Mustika. Perguruannya sendiri di mana selama
tiga tahun tinggal di sana dia telah mendapatkan
banyak ilmu.
Dan kala malam telah larut, mereka pun
segera menyerang. Dengan buas orang-orang itu
menyerang dan menghancurkan mereka. Sia-sia
perlawanan mereka karena orang-orang itu da-
tang kala mereka masih mengantuk dan tidak
siap.
Dalam waktu singkat mereka berhasil di-
kuasai. Jaka Purnama sendiri dengan bernafsu
memperkosa gurunya sendiri. Buas dan kejam
hingga pingsan.
Lalu dia menyuruh anak buahnya untuk
bergantian memperkosa gurunya. Masih dalam
keadaan pingsan, gurunya yang setengah baya,
namun berwajah cantik dan masih perawan, diga-
rap bergantian. Lalu Jaka Purnama sendiri
menghilang beserta anak buahnya.
Ketika wanita setengah baya itu bangun
dari pingsannya, melihat keadaan di sekelilingnya
membuat hatinya serasa hancur ber-keping-
keping.
Terlalu mengerikan!
Hampir semua muridnya mati di tangan
orang-orang biadab itu. Dan sebagian besar di-
perkosa dengan buas.
Menyadari dirinya mengalami hal yang sa-
ma, wanita itu bergidik ngeri dan menangis. Han-
cur! Hancur sudah semuanya!
Tak tahan melihat semua itu dan kejadian
yang menimpa dirinya, dia segera menggigit li-
dahnya sendiri hingga putus. Dan nyawanya pun
melayang. Hilanglah nama Perguruan Perawan
Mustika!!
Sementara itu wajah si Banci Nimas Andini
semakin memerah.
Lalu terdengar bentakannya.
"Bangsat! Apa kau bilang?!!"
Rondeng kini terbahak. "Hahaha... rupanya
aku bertemu banci! Kau banci, bukan?!"
"Banci?!" Menggeram murka Nimas Andini
kata-kata yang dibencinya itu terdengar lagi.
"Bangsaaattt!!"
"Hahaha... ada banci marah rupanya!"
"Anjing kurap! Hancurkan mereka!! Serah-
kan gadis itu untukku!!"
Setelah mendengar perintah dari Nimas
Andini, orang-orang yang tadinya perampok, sege-
ra maju menerjang dengan golok mereka. Delapan
buah golok yang amat tajam berkilatan di timpa
cahaya matahari. Begitu mengerikan dan begitu
cepat.
Sekar Perak menjerit ketakutan meli-
hatnya.
Rondeng segera mengambil tempat yang
agak terbuka. Dia bersalto ke depan dengan lin-
cahnya. Dan empat buah golok segera menyam-
bar berbalik ke arahnya. Lagi-lagi dia bersalto dan
sambil bersalto itu dia mematahkan batang kayu
yang agak besar. Dengan senjata kayu itu dia
menghadapi lawan-lawannya dengan jurus yang
amat hebat.
Begitu hebat dan tangguh, mampu mem-
buat keder hati para penyerangnya. Namun mere-
ka bukanlah orang-orang yang pengecut. Mereka
terus mencecar dengan membabi buta.
*
**
5
Sementara itu Mangkoro segera menyusuli
Sekar Perak untuk menjauh ketika serangan da-
tang ke arahnya. Dia pun segera mengambil tem-
pat yang agak lapang dan menghadapi lawan-
lawannya dengan jurus Tangan Bayangannya.
Mangkoro mempunyai keuntungan sedikit,
karena ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas
lawan-lawannya. Dengan mengandalkan ilmunya
itu dia menghindar dan sekali-sekali menghantam
dengan jurus Lengan Delapannya.
Pertarungan dua orang penculik itu dengan
delapan orang bekas perampok itu benar-benar
hebat. Masing-masing terus melancarkan seran-
gan demi serangan dengan seruan yang keras.
Nimas Andini atau Nona Berwujud Lain
tertawa menyaksikan pertempuran itu.
"Hihihi... kalian tidak akan bisa lari dari
kejaran kami? Hihihi... lebih baik kalian mampus
daripada membuang tenaga dengan percuma!"
"Banci buduk! Jangan hanya tertawa saja
kau?!" maki Rondeng geram.
"Hihihi... kau kini masih bisa memaki juga,
Orang jelek?!" Makin tertawa lebar Nimas Andini
setelah melihat Rondeng terdesak. Batang kayu
yang dipakai sebagai senjata sudah terlepas. Dan
kilatan golok semakin sering datang padanya.
Rondeng terus berusaha untuk meng-
hindar. Namun empat penyerangnya bukanlah
lawan yang patut diremehkan. Mereka lebih baik
mati daripada kalah. Itulah sebabnya mereka
dengan nekat terus menyerang.
"Aaaaaahhh!!" Tiba-tiba terdengar jeritan
Rondeng keras. Kakinya terkena sedikit sabetan
golok lawannya.
Rondeng bersalto ke belakang. Dan me-
naikkan jurus Garuda pada tingkat akhir. Men-
dadak tangannya mengeluarkan asap putih.
Orang-orang itu berpandangan sejenak, tetapi se-
gera menyerbu kembali dengan pekikan yang ke-
ras.
Rondeng pun menyongsong. Kembali terja-
di pertempuran yang hebat, hingga suatu ketika
Rondeng berhasil menyarangkan sebuah puku-
lannya ke tubuh pengeroyoknya yang langsung
membiru dan mati.
Ketiga lawannya yang lain sejenak meng-
hentikan serangannya. Agak ngeri melihat puku-
lan yang ampuh itu. Tetapi mereka segera menye-
rang kembali, tidak memperdulikan maut yang
siap menjemputnya. Setan telah menebarkan ha-
wa kematian yang sip mengundang mereka.
Benar saja, belum sepuluh jurus, dua
orang sudah terkena pukulan maut Rondeng. Dan
keduanya ambruk dengan pekikan melolong. Se-
kar yang sangat ketakutan tak kuasa melihatnya.
Dia menjerit-jerit dia menangis.
Mangkoro pun sudah merubuhkan dua
Orang lawannya. Jurus tangan kosong Lengan
Bayangannya begitu hebat. Tangannya seakan
menjadi banyak dan bergerak dengan kecepatan
luar biasa. Mengandung kekuatan yang luar biasa
pula.
Melihat hal itu, Nimas Andini menggeram
marah. Dia bersalto ke depan seraya membentak.
"Mundur!!"
Anak buahnya yang bersisa tiga orang itu
pun bersalto ke belakang. Rondeng dan Mangkoro
saling mendekat. Nimas Andini atau Nona Berwu-
jud Lain memperhatikan keduanya dengan sikap
seorang jagoan. Tiba-tiba dia tersenyum. Dan
mendadak kedua tangannya mengibas ke depan.
Serangkum angin besar datang dari masing-
masing tangannya ke arah kedua pentolan Bojo
Mayit itu.
Keduanya terkejut dan reflek saling ber-
gulingan. Kembali dua buah pohon di belakang
mereka tumbang seketika.
Nimas Andini terkekeh.
"Kalian jangan harap bisa keluar dari sini!"
Suaranya tajam dan penuh ancaman. "Nyawa
anak buahku yang terbunuh, harus kalian bayar
lunas!"
"Banci, jangan banyak bacot kau!" bentak
Mangkoro yang lebih bernafsuan daripada Ron-
deng. Dia memang tidak sabaran. Apalagi merasa
perjalanan menuju Goa Alas Bantan terhambat
total. Belum lagi harus menguras tenaga!
Wajah Nimas Andini memerah seperti ke-
piting rebus dipanggil dengan sebutan yang san-
gat dibencinya.
Dengan memekik dia menerjang ke depan.
Kedua tangannya mengembang mengancam ke
arah tenggorokan lawan. Mangkoro langsung me-
rebahkan tubuhnya dan kakinya menyapu ke ba-
gian bawah Nimas Andini. Sedangkan Rondeng
menangkis dan membalas dengan pukulan ke
arah kepala.
Kedua serangan balasan itu dielakkan den-
gan bagus sekali oleh Nimas Andini. Dan tokoh
banci yang sakti itu ternyata mampu mengimban-
gi kedua jurus-jurus dari kedua orang Kediri itu.
Bahkan dia bisa berada di atas angin.
Selain tenaga keduanya sudah terkuras ta-
di, juga kalah sakti ilmu silat mereka. Rondeng
sendiri heran, baru kali ini dia melihat seorang
tokoh muda yang kosen. Yang begitu tangguh dan
matang dalam setiap gerakannya. Yang secara tak
disangka mampu melebihi tingkat kesaktian me-
reka. Jurus-jurus Naga yang diperlihatkan Nimas
Andini sangat ampuh. Gerakannya aneh dan
mengandung tenaga yang sangat besar. Juga ilmu
meringan tubuhnya yang luar biasa tinggi. Kece-
patan geraknya pun luar biasa. Salah satu keun-
tungan untuk Nimas Andini, dia masih muda ma-
sih bisa bergerak demikian lincah.
Pada jurus yang ketiga puluh, sebuah pu-
kulannya mampir di bahu Mangkoro yang ter-
huyung beberapa tindak. Dia merasa seperti di-
hantam oleh godam yang besar. Dan ketika se-
rangan selanjutnya menyusul. Rondeng berusaha
memapaki dengan jurus Rajawali Tiwikrawanya.
"Des! Duaaarrr!"
Luar biasa. Benturan kedua jurus yang
ampuh itu menimbulkan bunyi seperti ledakan.
Dan yang amat mengagumkan, Rajawali Tiwikra-
wa Rondeng tak mampu untuk merubuhkan Ni-
mas Andini!
Orang itu terkekeh.
"Sudah kubilang tadi', kalau nyawa kalian
akan kupetik saat ini juga! Nah, bersiaplah seka-
rang! Aku tidak akan bertindak tanggung lagi!!"
Keduanya pun bersiap. Masih menahan ra-
sa sakitnya. Mangkoro membuka jurusnya lagi.
Nimas Andini hanya memperhatikan sambil ter-
tawa.
Tiba-tiba dia terdiam. Menatap dengan ta-
jam penuh ancaman. Mendadak mulutnya menge-
luarkan desisan mirip ular. Dan tangannya pun
bergerak bagai ular, membentuk kepala ular yang
siap mematuk.
"Kalian akan merasakan keampuhan jurus
Dewa Ular Putih...."
Sampai di situ Nimas Andini bicara, kedu-
anya terpekik kaget. Jurus Dewa Ular Putih!! Ju-
rus yang tak asing lagi di telinga keduanya. Jurus
yang dimiliki oleh si Dewa Ular Putih. Tokoh sakti
yang menjadi legendaris. Si Dewa Ular Putih, to-
koh yang menjadi momok setiap lawan dan ka-
wan. Jurus-jurusnya sangat ampuh. Dengan se-
kali totok dia mampu menghancurkan batu sebe-
sar kerbau. Dan dengan sekali kibas, pohon bisa
tumbang. Jurus Dewa Ular Putih yang ditakuti.
Lalu bagaimana bisa dikuasai oleh si banci ini.
Sedangkan Dewa Ular Putih sudah meninggal le-
bih dari lima puluh tahun!
Bagaimana caranya? Melihat kedua lawan-
nya tercengang dan nampak kaget, Nimas Andini
terkekeh. "Jangan heran, hai monyet-monyet!
Dewa Ular Putih adalah guruku yang ter-amat
sakti!"
Rondeng tak kuasa menahan untuk ber-
tanya, "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?!"
"Hik... hik... hik... itulah sebabnya kalian
ku larang masuk ke Goa Alas Bantan, karena se-
mua rahasia itu kudapat dari sana! Aku telah
menemukan buku silat yang aneh, yang terdiri
dari, ilmu meringankan tubuh, jurus Naga dan
jurus Dewa Ular Putih! Lima tahun lamanya aku
mendiami goa itu untuk mempelajari isi buku.
Dan kalian lihat hasilnya, aku benar-benar telah
menjadi seorang manusia yang sakti! Dan kalian
beruntung karena akan kuperlihatkan jurus De-
wa Ular Putih!"
"Tunggu!" bentak Mangkoro. "Kau manusia
iblis, kau telah mengacak kesucian Goa Alas Ban-
tan!"
"Hik... hik... bukankah kalian hendak ke
sana? Apakah kalian tidak ingin mengacak! Su-
dah, jangan banyak bacot aku sudah ingin me-
renggut nyawa kalian!!"
Dan si banci pun membuka jurus sakti
yang ditakuti hampir oleh seluruh jagoan di za-
man dulu dan zaman sekarang. Mau tak mau ke-
duanya pun segera bersiap untuk menyambut se-
rangan itu.
Dan benar-benar luar biasa, si Banci me-
mainkan jurus yang ampuh dengan cepat dan
dahsyat. Keduanya hanya mempergunakan kelin-
cahan mereka bergerak saja dan sekali-sekali be-
rusaha untuk membalas. Dalam lima jurus saja,
nampak keduanya terdesak hebat. Pohon dan ba-
tu besar sudah ambruk terhantam pukulan dah-
syat Itu.
Tak terasa mereka bertempur sudah sekian
lama, karena malam mendadak saja turun, meng-
ganti senja yang mulai redup. Malam pun meng-
gantikan pekerjaan matahari yang nampak sudah
lelah pula. Tapi pertempuran itu masih terus ber-
jalan. Akhirnya dapat terlihat, kalau keduanya itu
terdesak hebat. Nimas Andini tidak menyianyia-
kan kesempatan itu untuk mendesak terus kedu-
anya. Dan akibatnya amat mengerikan!
Mangkoro yang nampak lelah, terjatuh be-
berapa tindak. Dan kesempatan itu dipakai Nimas
Andini untuk menghantam kati Ki Manggada.
"Heittt!!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Mangkoro
untuk mengelak atau pun menyongsong serangan
itu. Begitu tiba-tiba dan amat cepat.
Saat yang menentukan bagi Mangkoro.
Rondeng hanya mampu menghalangi se-
bentar dengan melemparkan kayu besar yang te-
lah dialiri tenaga dalamnya. Kayu itu kini ibarat
baja yang siap merenggut nyawa lawannya.
Namun kayu besar yang dialiri tenaga da-
lam itu, hanya dikibaskan saja oleh Nona Berwu-
jud Lain dengan satu tangannya, dan selebihnya
hanya membuat Rondeng pasrah.
Tubuhnya pun sudah letih. Tidak ada ke-
kuatan lagi untuk menyelamatkan Mangkoro dari
ancaman maut Nimas Andini.
Maut bagi Ki Manggada memang sudah di
ambang mata. Tubuh Nimas Andini meluncur
dengan deras! Tangannya siap mencabut nyawa
Ki Manggada!!
"Mampuslah kau, Orang busuk!!"
Mangkoro hanya bisa memejamkan ma-
tanya, menanti ajal yang siap menjemputnya.
*
**
6
"Sreeett!!"
Mendadak selarik sinar putih melesat,
menghalangi langkah tubuh Nimas Andini hingga
membuat si banci itu buru-buru bersalto ke bela-
kang.
Rondeng terkejut melihat hal itu.
Mangkoro yang menyangka dirinya akan
mampus, perlahan-lahan membuka mata-nya ke-
tika dia merasakan tidak ada sesuatu yang men-
genai tubuhnya. Dan kini dia melihat Nimas An-
dini sedang bersalto ke belakang.
Tak jauh dari mereka, tiba-tiba muncul
seorang pemuda bertubuh gagah dengan menge-
nakan caping hingga sebagian wajahnya tertutup.
Di punggungnya terdapat sebilah golok yang
aneh. Golok itu bersarung dari kulit kayu yang
bersinar kekuningan. Pemuda yang tak lain murid
tunggal Eyang Ringkih Ireng dari Bukit Paringin
itu menjura. Dia adalah Pandu atau yang digelari
oleh orang-orang rimba persilatan sebagai Pende-
kar Gagak Rimang.
Dan Nimas Andini yang bersalto dengan
lincah menghindari serangan pukulan sinar putih
yang dilepaskan Pandu.
"Siapa kau, hah?!" menggeram banci itu
marah. "Berani-beraninya kau mengganggu uru-
sanku! Orang yang berani berbuat seperti itu, ma-
tilah sebagai ganjarannya!"
Meskipun dalam gelap, Pandu bisa melihat
kalau gadis yang berdiri di hadapannya lumayan
cantik.
"Maafkan saya, Nona... saya hanya kebe-
tulan lewat... dan sungguh, saya tidak menyukai
perbuatan nona yang sungguh kejam...."
"Sombong! Itu urusanku!"
"Dan menjadi urusan saya, Nona!" Suara
Pandu terdengar berwibawa.
"Hmm... jadi dengan kata lain, kau ingin di
anggap sebagai pahlawan?"
Pandu hanya tersenyum. Sementara Ron-
deng dan Mangkoro merasa tidak mengenal laki-
laki itu. Namun biarpun mereka orang kejam,
namun mereka masih punya rasa terima kasih.
Bila terjadi apa-apa dengan pemuda itu, mereka
rela membantu.
"Terserah apa kata-kata nona! Yang pasti,
aku tak pernah menyukai kekerasan! Bila lawan
sudah kalah, tidak sepatutnya untuk dibunuh!!"
"Hhh! Baik, Pahlawan. Kini kau harus me-
nerima ganjarannya! Dan mengganti nyawa anak
buahku!!" bentaknya keras. Lalu berseru pada
anak buahnya yang bersisa tiga orang. "Kalian
ganyang keduanya! Dan cabut nyawa mereka! Bi-
ar pemuda usil ini aku yang menangani!!"
Sehabis berkata begitu, Nimas Andini ber-
salto ke arah Pandu yang langsung mengirimkan
satu pukulan. Pandu menjadi serba salah. Mak-
sudnya tadi menghalangi serangan gadis itu pada
orang tua yang tak berdaya itu, agar menyelesai-
kan persoalan secara damai.
Tetapi kini persoalan menjadi runyam. Dan
dia tidak mungkin dapat menghindar lagi. Mau
tak mau terpaksa dia harus melawan.
Kini sasaran Nimas Andini adalah langsung
memusnahkan lawan. Dia tetap menggunakan ju-
rus Dewa Ular Putih!
"Anak muda!!" seru Ki Runding Alam. "Hin-
darkan dirimu untuk bersentuhan dengannya!!"
"Bangsat kau!!" geram Nimas Andini se-
raya mengibaskan tangannya. Dengan cepat Ki
Runding Alam bersalto ke samping. Angin besar
yang datang ke arahnya itu menghantam sebuah
pohon hingga tumbang. Dan ketika kakinya hing-
gap di bumi, anak buah si banci itu sudah me-
nyerangnya dengan bertubi-tubi.
Menghadapi orang-orang ini, bagi Ki Rund-
ing Alam dan Ki Manggada amatlah mudah. Apa-
lagi kini mereka berdua menggempur. Dan sisa
lawannya pun tinggal tiga orang.
Dalam waktu yang singkat saja ketiganya
berhasil mereka bantai. Rondeng buru-buru
menggotong tubuh Sekar Perak yang masih ping-
san. Dan membawanya ke tempat yang agak jauh
dari pertempuran itu.
Mangkoro sendiri langsung terjun mem-
bantu Pandu menghadapi Nimas Andini.
"Hati-hati, Kawan!!" serunya memper-
ingatkan. "Jurus-jurusnya amat mengerikan! Se-
kali saja kau bersentuhan dengannya, maka kau
bisa mati dibuatnya!"
"Terima kasih, Kawan!" sahut Pandu sema-
kin berhati-hati.
Justru Nimas Andini yang menjadi murka.
Dia menyerang keduanya dengan hebat dan ce-
pat. Meskipun dikeroyok, namun banci itu benar-
benar tangguh. Jurus-jurus Dewa Ular Putihnya
membuat kedua lawannya ngeri. Pandu sendiri
merasakan angin panas menerpa ke arahnya ke-
tika tangan Nimas Andini bergerak.
Itu menandakan satu jurus yang dahsyat!!
Pandu sendiri sudah mengeluarkan jurus
berkelitnya yang teramat hebat, jurus Gagak Ter-
bang Lalu. Dia berusaha menghindari serangan
Nimas Andini dengan lincah.
Namun lama kelamaan Pandu berfikir, te-
naganya bisa terkuras habis karena selalu meng-
hindar. Dan tiba-tiba dia melenting ke angkasa.
Kali ini dia melontarkan Pukulan Sinar Putihnya.
"Sreeet!!"
"Sreeet!!"
Serangan sinar putih itu ternyata memba-
wa hasil. Nimas Andini tunggang langgang meng-
hindarinya.
"Bangsat!!" geramnya marah dan kembali
pontang panting menghindari Pukulan Sinar Pu-
tih yang dilepaskan oleh Pandu.
"Hahaha... mau lari ke mana kau, Gadis?!"
terkekeh Pandu. Sementara Mangkoro bisa berna-
fas lega melihat apa yang dilakukan anak muda
itu.
Dengan sinar putih itu, Pandu bisa mem-
buat jarak yang cukup bagi Nimas Andini untuk
mendekat. Dan cukup kerepotan banci itu di-
buatnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan un-
tuk maju.
Ini merupakan satu keuntungan bagi Pan-
du. Dia terus mempergencar serangannya.
"Bangsat! Kubalas kau nanti!" geram Nimas
Andini terus menghindar.
"Hahaha... mengapa tidak segera kau la-
kukan, hah? Mengapa kau masih bermain akro-
bat seperti itu?!"
"Anjing sialan!!"
"Hahaha... dan kini anjing itu mampu
membuat kau jatuh bangun, bukan?!"
Nimas Andini menggeram hebat. Namun
sulit baginya untuk menerobos ke depan. Hingga
suatu ketika kakinya terserempet Pukulan Sinar
Putih itu. Seketika banci itu ambruk sambil me-
ringis kesakitan.
Barulah Pandu menghentikan serangannya.
"Hmm.... Nona... aku bisa membunuhmu
saat ini juga! Tapi aku bukan seorang pemuda
yang telengas menurunkan tangan! Aku bukan
seorang pembunuh! Maka pergilah kau dari sini,
jangan sampai aku menjadi seorang pembunuh!
Cepat!!" serunya dengan nafas kembang kempis!
Nimas Andini memandang dengan geram.
Dia bermaksud hendak memberi perlawanan lagi,
tapi kakinya terasa perih sekali.
"Aku mengakui kalah, Sobat! Tapi nanti...
kau tunggu pembalasanku! Goa Alas Bantan kini
menjadi milik kalian, tapi aku akan datang kem-
bali untuk merebutnya!"
Setelah berkata begitu, Nimas Andini
bangkit dan pergi meninggalkan tempat yang te-
lah didiaminya selama lima tahun. Rondeng dan
Mangkoro menghela nafas lega.
Pandu sendiri menggeleng-gelengkan ke-
palanya, secara tidak disengaja dia sudah mena-
namkan bibit permusuhan pada diri gadis itu.
Sungguh sulit menjadi pembela kebenaran. Untuk
menjadi orang pendamai. Karena tidak setiap
orang suka karena ada yang membenci sikap se-
perti itu!
Sementara Rondeng dan Mangkoro seakan
disadarkan oleh kesalahan-kesalahan yang sela-
ma ini mereka perbuat. Mereka telah banyak ber-
buat dosa dan kejahatan. Kini semua itu seperti
disadarkan oleh satu hal, di mana mereka melihat
betapa pemuda ini dengan suka rela membela
mereka.
Padahal bila pemuda ini tahu siapa mere-
ka, apakah pemuda ini akan tetap membelanya?
Namun melihat dari sikap dan tutur kata pemuda
itu, mereka yakin bila pemuda itu adalah seorang
yang bijaksana dan pemaaf.
Tiba-tiba Rondeng berkata. "Ki Sanak... be-
ribu terima kasih kami ucapkan kepada mu yang
telah menolong kami dari maut...."
Pandu tersenyum.
"Ki Sanak... tak perlulah kau mengucap-
kan terima kasih seperti itu padaku, karena me-
mang sudah kewajibankulah untuk menolong se-
sama..." sahut Pandu. "Yah... aku hanya kebetu-
lan lewat. Lagipula, bila kalian tidak membantu
pun aku akan sukar untuk mengalahkan manu-
sia sakti itu...."
Betapa rendahnya hati pemuda ini. Hal itu
pun semakin membuat Rondeng dan Mangkoro
sadar, kalau selama ini mereka telah bersikap
congkak dan sombong. Telah bergelimang banyak
dosa dari hasil kejahatan yang mereka perbuat.
Mereka menjadi malu dan menyesal. Pa-
dahal bila mereka tidak membantu pun mereka
yakin kalau pemuda ini akan mampu menakluk-
kan banci itu. Mereka bahkan merasa hanya
mengganggu gerak pemuda itu saja tadi.
Dan keduanya merasa amat rendah sekali
berhadapan dengan pemuda bercaping ini.
"Siapakah sebenarnya kisanak ini?" tanya
Rondeng.
"Hmm... namaku Pandu!"
"Pandu... sekali lagi kami ucapkan banyak
terima kasih padamu. Namaku Rondeng dan ini
kawanku.... Mangkoro...."
Belum lagi Pandu berkata, tiba-tiba mun-
cul Sekar Perak yang langsung memaki-maki
Rondeng dan Mangkoro.
"Manusia-manusia jahat! Jahat! Kalian le-
bih baik mampus!" serunya, lalu berpaling pada
Pandu. "Ki Sanak... mengapa kau menolong
orang-orang jahat seperti mereka? Mereka tak
layak untuk hidup! Bunuh mereka! Bunuh!"
Pandu yang tidak mengerti hanya kerut-
kan kening.
Sekar Perak masih membentak-bentak.
"Bunuh mereka! Bunuh! Mereka adalah orang-
orang jahat yang tidak patut dibela! Mengapa kau
membela mereka, hah? Apakah kau orang jahat
juga yang saling sekongkol?!"
Sekar Perak terus menjerit-jerit kalap.
Pandu akhirnya berkata karena dia semakin bin-
gung.
"Maafkan aku, Nona... siapakah nona se-
benarnya?"
"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku sebe-
narnya? Yang perlu kau tahu, kedua manusia ini
adalah orang-orang jahat! Mereka menculik aku!
Mereka membakar rumahku! Bahkan mereka
memperkosa dan membunuh ibuku!!" seru Sekar
Perak kalap hingga suaranya hilang. Lalu tubuh-
nya terjatuh dan dia terguguk sedih yang berke-
panjangan.
Pandu mendesah panjang.
Rondeng dan Mangkoro hanya menunduk-
kan kepalanya. Keduanya kini benar-benar sadar
bahwa yang telah mereka lakukan selama ini ada-
lah hanya kebejatan belaka.
Pandu menatap keduanya.
"Ki Sanak... ceritakanlah apa yang se-
sungguhnya telah terjadi? Aku tidak mengerti
mengapa gadis ini mengatakan kalian orang-
orang jahat? Benarkah apa yang telah dikatakan
oleh gadis ini, Ki Sanak? Ceritakanlah... jangan
membuatku jadi semakin bertanya-tanya ada apa
gerangan...."
Rondeng dan Mangkoro kini bagaikan anak
kecil belaka. Tidak terlihat lagi kegarangan dan
kekejamannya. Mereka semakin sadar bahwa se-
lama ini mereka telah salah melangkah. Langkah
mereka telah terlalu jauh menyimpang dari jalan
kebenaran. Semua ini mereka lakukan karena
mereka takut pada Bojo Mayit, ketua Perkumpu-
lan Sangkur Baja.
Bila mereka keluar dari perkumpulan itu,
sudah tentu Bojo Mayit akan mencari dan mem-
bunuh mereka. Ini merupakan di lema buat me-
reka. Karena tidak tahu sikap yang bagaimana
yang harus mereka perlihatkan.
Rondeng mendesah sebelum angkat bicara.
"Maafkan kami sebelumnya, Ki Sanak....
Kami memang telah banyak berbuat kesalahan.
Dan apa yang dikatakan oleh gadis itu adalah be-
nar adanya...."
"Jadi?"
"Sekarang kami sadar, Ki Sanak... bahwa
apa yang telah kami lakukan selama ini salah be-
sar. Dan kami seakan baru melihat titik terang itu
pada dirimu... sehingga kami menyadari apa yang
telah kami jalani hanyalah membuat dosa dan ke-
salahan...."
Pandu mendesah. Walaupun baru kalimat
itu yang dilontarkan oleh Rondeng, dia dapat
memakluminya. Gadis itu benar. Dan mereka te-
lah sadar serta mengerti bahwa apa yang telah
mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar.
"Dan kami ingin minta maaf atas kesalahan
yang telah kami perbuat selama ini...."
Pandu sekali lagi mendesah. Lalu berpaling
pada Sekar Perak yang masih terduduk di tanah
sambil terisak.
"Nona... kau dengar kata-kata itu?"
Sekar Perak tetap terguguk. Bayangan ru-
mahnya yang terbakar, ibunya yang mati terbu-
nuh dan diperkosa, semuanya bersatu di benak-
nya. Dia masih tidak bisa menerima keadaan itu.
Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya un-
tuk menatap Pandu.
"Pendekar budiman... hatiku hancur oleh
semua yang telah dilakukan mereka.... Sulit bagi-
ku untuk memaafkan mereka.... Aku tak kuasa
menahan semua ini.... Dan dendamku akan terus
ada sebelum mereka mati...."
"Mereka sudah menyesali semua kesa-
lahannya...."
"Mengapa mereka tidak sadar bahwa yang
mereka lakukan itu berdosa? Mengapa kesadaran
itu tidak muncul sebelumnya, sehingga ibuku
masih hidup? Keluargaku tentram dan aman?
Mengapa?!" Kali ini suara itu bagaikan menuntut.
"Itu kesalahan mereka, Nona...."
"Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus bila
mereka sudah mati!"
"Mereka sudah minta maaf, Nona...."
"Kata maaf hanya kamuflase saja. Bila
keadaan sudah amat mendesak, kata maaf itu ba-
ru dilontarkan. Tapi, Tuan pendekar... apakah ka-
ta maaf itu bisa dijadikan pegangan? Apakah
yang dimintai maaf itu langsung menerima? Ti-
dak, tak akan pernah aku memaafkan mereka!!"
kata Sekar Perak tegas dengan mata beringas.
Pandu hanya mendesah panjang.
Mendadak terdengar jeritan yang amat keras
dan menyayat sekali. Pandu terkejut dan lebih
terkejut lagi ketika melihat Rondeng dan Mangko-
ro sudah terkapar dengan leher hampir putus.
Keduanya secara diam-diam memungut golok
yang tergeletak di dekat kaki mereka.
Dan menggorok lehernya sendiri untuk bu-
nuh diri.
Sekar Perak sendiri terkejut. Dan menjerit,
"Akkhhhhh!!" Sebenarnya dia tidak ingin melihat
hal itu. Dia tidak ingin melihat orang-orang itu
mati.
Tadi yang dilontarkan hanyalah emosi-nya
belaka. Dia pun menangis panjang karena ngeri
dan menyesal.
Dengan hati-hati Pandu merangkulnya.
"Nona.., kau lihatlah... betapa mereka begitu tu-
lus untuk meminta maaf dan menyesali perbua-
tannya....
Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi.
Lebih baik, kuantar kau kembali ke rumahmu...."
*
**
7
Bulan di langit sepotong. Sebagian tersaput
oleh awan gelap. Suasana langit begitu suram.
Suasana sepi. Mendadak dari Istana Kediri me-
lompat sosok tubuh dengan ringannya. Dan ber-
kelebat dengan cepat menerobos kepekatan ma-
lam.
Rupanya orang itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang amat sempurna, karena gera-
kannya hampir-hampir tidak menimbulkan suara.
Orang itu terus berlari dengan cepatnya,
menuju ke arah sungai yang sepi, yang jaraknya
lumayan jauh dari Kerajaan Kediri.
Di dekat sebuah sungai ada satu pondokan
yang kecil. Dari kejauhan terlihat ada sinar yang
agak remang-remang. Menandakan pondokan itu
berpenghuni.
Orang yang berlari itu bergegas ke pondo-
kan tadi. Lalu dengan hati-hati dia mengetuk pin-
tu perlahan. Delapan kali. Diketuk secara lambat-
lambat. Seperti merupakan satu ketukan isyarat.
Agak berapa lama terdengar pula sahut-an
ketukan dari dalam dua kali. Dan orang yang ba-
ru datang itu pun kembali mengetuk tiga kali. Ba-
rulah kemudian pintu itu terbuka.
Sosok tubuh kecil berdiri di ambang pintu.
Dia menyuruh orang yang baru datang itu
agar segera masuk, dan dia sendiri melihat sekeli-
lingnya, sedang mencari apakah ada yang melihat
kedatangan tamu itu.
Ketika akan menutup pintu lagi, tiba-tiba
dia mengibaskan tangan kirinya ke depan. Dan
semak-semak yang bergerak hingga membuatnya
curiga, hancur berantakan terkena pukulan jarak
jauhnya. Dan seekor binatang malam menggele-
par lalu mati dengan tubuh hancur lumat.
Orang itu mendengus. Lalu menutup pintu.
Orang yang datang tadi segera menegur.
“Bagaimana, Nimas? Barang itu aman?"
Yang dipanggil ikutan duduk.
"Kemungkinan besar masih aman, Kawan.
Tapi..."
"Tapi kenapa, Nimas?"
"Ada kejadian yang memalukan."
"Apa maksudmu?"
"Maafkan aku, Kawan. Yah... tempat itu
sudah dikuasai oleh orang-orang Kediri."
"Hei, kenapa bisa begitu?"
"Kami gagal mempertahankannya."
"Apa maksudmu?" Suara orang yang baru
datang itu meninggi. Wajahnya meradang.
"Maafkan aku, Kawan... sebenarnya kami
mampu menghabisi Rondeng, Mangkoro, dan seo-
rang gadis cantik...."
"Rondeng dan Mangkoro?!" Orang itu me-
motong dengan suara terkejut.
"Ya! Dia yang menyerang kami!"
"Lalu?"
"Saat itu kami sudah berada di atas angin
dan mampu mengalahkan mereka. Tetapi kemu-
dian mendadak muncul seorang pemuda yang ga-
gah perkasa. Dia membuat barisan kami porak
poranda. Bahkan dia berhasil melukai kaki kiriku
ini dengan Pukulan Sinar Putihnya. Yah... Goa
Alas Bantan berhasil mereka rebut."
Dari rasa terkejut kembali orang itu me-
maki geram. Nafasnya mendengus-dengus. Tan-
gannya mengepal.
"Kau bodoh, Nimas! Kau tidak bisa men-
jalankan tugas yang kuberikan!"
"Maafkan aku, Kawan.... Aku sudah mela-
kukannya semampuku. Sebisaku. Dengan tekad
bulat untuk menangkapnya. Tetapi pemuda itu
benar-benar tangguh. Di samping tenaga kami
sudah terkuras, juga kehebatan pemuda itu se-
pertinya amat sakti. Seperti seorang dewa. Dan
dia menguasai Pukulan Patuk Gagak yang amat
tangguh. Delapan orang anak buahku mampus di
tangan mereka. Tetapi bila Pendekar Gagak Ri-
mang...."
"Pendekar Gagak Rimang?" potong orang
itu lagi.
"Ya, dialah pendekar muda yang berjuluk
Pendekar Gagak Rimang. Bila saja dia tidak ada,
mungkin Goa Alas Bantan masih berada di tan-
gan kita!"
"Lalu bagaimana dengan barang itu?!"
"Barang itu aman!"
"Bagaimana kau bisa seyakin itu, hah?!"
"Ingat, Kawan... aku sudah lama men-
diami Goa Alas Bantan dan aku tahu seluk beluk
rahasianya."
"Kau bisa menjamin?"
"Jiwa dan ragaku sebagai taruhannya! Goa
Alas Bantan hanya akulah yang mengetahui ra-
hasianya. Di sana pula aku mendapatkan ilmu-
ilmu yang sangat berbahaya dan tangguh. Barang
itu pasti aman. Mereka tidak ada yang tahu di
mana barang itu ku sembunyikan. Kau sendiri
pun tidak tahu, bukan?"
Orang yang baru datang itu mendesah. Ke-
lihatan lega.
"Tapi ingat, Nimas... barang itu jangan
sampai hilang. Sudah lama aku mengidamkan-
nya. Dan tak lama lagi aku akan menjadi raja di
dunia persilatan yang gagah perkasa. Hmmm...
maksud kedatanganku ke sini begini, Nimas. Se-
benarnya, aku masih dan ingin mengambil barang
itu sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk mem-
pelajarinya. Dan bila selesai akan ku tantang se-
mua jago-jago di rimba persilatan ini. Ingat, Ni-
mas... tak ada yang boleh tahu siapa yang telah
mencuri Kitab Lembayung Naga Langit itu."
"Hihihi... tak seorang pun yang akan tahu.
Dan kau bisa mempelajarinya dengan seksama.
Dan bila sudah tamat, jurus Dewa Ular Putih
yang ku temukan secara tidak sengaja di Goa Alas
Bantan pun dapat kau taklukkan...."
"Ya, ya... inilah mungkin yang bisa ku la-
kukan...."
"Hihihi.... dan tentunya kau tidak akan lu-
pa bukan dengan upah yang akan kau janjikan?"
"Hhh! Kau selalu mengeruk bagian dari-
ku? Menjaga barang itu saja kau tidak mampu!"
"Hihihi... jangan kuatir, aku akan segera
mengambilnya. Tetapi bagianku kurang.... Kau
tentunya tidak lupa dengan bagianku, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Hihihi... kau lupa kalau begitu...."
"Menurut perasaanku, semua yang kau
minta telah kuberikan padamu. Apa lagi yang ku-
rang?"
"Hihihi... mana lagi wanita-wanita yang
akan kau kirimkan padaku, hah? Mana? Kau lu-
pa dengan janjimu itu? Dan sialan, salah seorang
wanita yang kau kirimkan padaku pekan lalu su-
dah tidak perawan! Tetapi... hihihi... ya, enak juga
untuk dicicipi!"
"Sialan!"
Keduanya terbahak.
"Hahaha... baiklah, bila kau berhasil me-
rebut kembali Goa Alas Bantan dan mengambil
barang itu atau Kitab Lembayung Naga Langit,
semua yang kau inginkan akan terpenuhi. Kau
akan mendapatkan harta yang banyak dan pera-
wan-perawan cantik yang akan menemanimu se-
tiap saat. Kau suka itu, bukan?"
"Hihihi... kau membuatku malu, Kawan...
aku ini seorang gadis, masa kau akan memberi-
kan para gadis cantik?" Banci itu tertawa ngikik.
Tersipu-sipu bagaikan seorang gadis yang
tengah dilamar oleh pemuda idamannya.
Dan banci itu adalah seorang laki-laki yang
penuh nafsu birahi!! Banci itu menampilkan wa-
jah tersipu-sipu.
Orang yang datang itu tertawa keras. Nam-
pak lucu mendengar kata-kata si banci.
"Hua-ha-ha... kau ini, Nimas... kau ini laki-
laki tulen, biar seperti wanita lagakmu, tapi naf-
sumu gede jika lihat perempuan cantik! Sudah-
lah, jangan berlagak seperti wanita! Lakukan pe-
rintahku ini dengan cepat. Dan aku tidak ingin
kau melaporkan hal ini dalam usaha yang gagal.
Aku harus kembali sekarang. Aku tidak in-
gin ada yang tahu siapa aku sesungguhnya. Na-
mun rencanaku ini sudah kau ketahui semuanya.
Nah, Nimas. Kau rebut kembali Goa Alas
Bantan dan jangan sampai lupa tentang Kitab
Lembayung Naga Langit. Aku sudah tidak sabar
untuk mempelajarinya.
Tak lama lagi aku akan menjadi jago di
rimba persilatan! Aku akan menjadi raja....! Hua-
ha-ha-ha...."
Kedua orang yang punya rencana busuk
itu tertawa panjang lebar. Nimas Andini berjanji
akan menjalankan perintah itu dengan baik.
Tak lama kemudian, laki-laki yang datang
tadi segera berpamitan. Dia bergerak dengan ce-
pat menuju istana dan masuk ke sana tanpa seo-
rang pun melihat dan mengetahuinya, siapa
orang itu.
Sementara itu Nimas Andini menutup pin-
tu kembali. Dan berpikir bagaimana caranya un-
tuk membunuh Prabu Kediri. Dia harus berhasil.
Harus berhasil.
Dia sudah malu karena gagal memper-
tahankan Goa Alas Bantan. Dia berjanji akan me-
rebutnya lagi. Dan dia tidak ingin kegagalan itu
terjadi lagi, maka dia harus berhasil membunuh
sang Prabu Kediri!
Setelah berhasil menemukan caranya, tiba-
tiba dia bangkit, membuka pintu dan memperha-
tikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Sunyi.
Tiba-tiba dia berkelebat ke luar.
Hanya lima menit dia keluar dan kembali
lagi. Kali ini bersama seorang perempuan muda
yang terkulai lemah di bahunya karena tertotok.
Wajah perempuan muda itu amat cantik. Matanya
kelihatan habis menangis dan sayu.
Nimas Andini tertawa. Dia laki-laki tulen!
Bahkan kadar gairah birahinya begitu be-
sar sekali. Daripada terbengong sendirian tanpa
ada kerjaan, lebih baik dia puaskan nafsunya sa-
ja. Urusan pembunuhan itu gampang dan sudah
ditemukan caranya.
Dan keesokan harinya, desa itu gempar ka-
rena seorang perempuan muda ditemukan tewas
di tengah sawah dalam keadaan telanjang bulat
dan darah di selangkangannya!
Para gadis-gadis di sana menjadi ngeri me-
lihatnya. Dan para laki-lakinya berjaga-jaga agar
jangan kejadian itu sampai terulang lagi,
Namun sore harinya, ditemukan lagi se-
sosok mayat wanita dalam keadaan tergantung di
pohon dengan tubuh telanjang bulat dan selang-
kangan berdarah pula.
Benar-benar kejam banci itu!
Dia sudah memperkosa, kini membunuh
pula! Hanya Dewata yang tahu hukuman apa
yang pantas untuk manusia kejam seperti Nimas
Andini!
*
* *
8
Bojo Mayit adalah seorang laki-laki yang
berwajah seram. Di kepalanya terdapat sebuah
ikatan berwarna merah. Di kedua tangannya yang
besar dan gempal melingkar gelang-gelang yang
terbuat dari akar bahar. Tubuhnya gempal dan
kekar. Dia memiliki ilmu Sangkur Baja, yang
mampu membuat tubuhnya kebal terhadap senja-
ta dan ilmu apa pun.
Sudah tiga hari ini Bojo Mayit menunggu
para anak buahnya yang disuruhnya untuk men-
culik Sekar Perak dan membuat huru hara di de-
sa itu.
Namun hingga kini, belum seorang pun
yang menampakkan diri. Dia menjadi amat marah
karena merasa dipermainkan.
Anak buahnya tidak ada yang berani untuk
menenangkannya. Begitu pula dengan para selir-
nya yang berjumlah 12 orang yang hanya bisa
mengelus dada saja dan harus melayani kemauan
Bojo Mayit. Karena bila dia sudah teramat kesal,
dia pun menggumuli selirnya dengan penuh ke-
biadaban.
Hari ini pun dia marah-marah.
"Gembolo! Ke sini kau?!" bentaknya uring-
uringan sambil hilir mudik. Dia sudah tidak sabar
ingin menggumuli diri Sekar Perak yang pernah
dilihatnya beberapa bulan yang lalu.
Dia memang sudah mengirimkan utusan
untuk melamar Sekar Perak, namun hasilnya ni-
hil. Dan ini membuatnya geram, hingga dia pun
memerintahkan anak buahnya untuk membuat
onar di desa itu.
Yang membuatnya geram, karena orang-
orang desa seperti bersatu. Dan malam itu dia
pun menyuruh langsung untuk menculik Sekar
Perak. Namun hingga kini utusannya belum ada
yang kembali membawa kabar yang menggembi-
rakan.
Yang dipanggil Gembolo tadi muncul den-
gan tergesa-gesa. Dia menjatuhkan diri di depan
Bojo Mayit setelah menjura dengan hormat.
"Ada apa, Ketua?"
"Hhh! Kau cari orang-orang yang ku utus
untuk menculik calon istriku itu! Harus dapat!
Dan ingat, bila kau gagal, kau akan mampus se-
cara mengerikan, Gembolo!"
"Baik, Ketua!"
"Sekarang pula kau berangkat mencari me-
reka!"
"Baik, Ketua!"
"Dan ingat dengan sangsi yang akan ku-
jatuhkan padamu itu!"
"Baik, Ketua!" sahut Gembolo dengan pe-
nuh hormat. Lalu dia pun mundur untuk melak-
sanakan tugas yang diberikan oleh ke-tuanya.
Sungguh suatu tugas yang dirasakan amat sulit
sebenarnya. Apalagi dengan ancaman yang cukup
mengerikan.
Gembolo pun membawa beberapa orang
teman untuk mendampinginya. Dia pernah ikut
dalam satu serangan yang mereka lakukan, dan
orang-orang desa sudah bersatu dan bersiap un-
tuk menghadapi mereka. Itulah sebabnya dia
membawa teman.
Sementara itu Bojo Mayit segera bangkit
dan berjalan sambil menyeret salah seorang selir-
nya untuk dibawa ke kamar.
Sang selir hanya bisa mendesah panjang
dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia yakin, tu-
buhnya akan semakin hancur diganyang oleh
manusia biadab ini!
*
* *
"Kau tetap tidak mau kembali ke rumah-
mu?" tanya Pandu dengan suara yang ramah.
Sekar Perak menundukkan kepalanya. La-
lu memandang sekeliling hutan. Mereka baru saja
keluar dari Goa Alas Bantan.' Sudah dua hari me-
reka berada di sana.
Dan dua hari pula Pandu membujuk Sekar
Perak untuk segera pulang. Karena dari peristiwa
yang terjadi, Pandu dapat membayangkan bagai-
mana bingungnya orang tua Sekar Perak si Banyu
Biru.
Namun gadis itu malah menolak. Dia tidak
mau kembali ke rumah dengan alasan tidak mau
melihat lagi pertumpahan darah yang mengeri-
kan.
Bunuh diri yang dilakukan Rondeng dan
Mangkoro masih membekas di hatinya. Dia amat
menyesal hingga keduanya nekad membunuh di-
ri. Seharusnya dia memaafkannya.
Namun dia begitu keras kepala. Dan sung-
guh, Sekar Perak terus menyesali kejadian itu.
Hati-hati diangkatnya kepalanya. Di tatap-
nya Pandu yang membuka capingnya. Wajah itu
begitu tampannya. Sekar Perak sebenarnya lebih
suka berada di tempat ini berduaan dengan Pan-
du. Dua hari mereka tinggal bersama, sudah me-
numbuhkan benih kasih di hati Sekar Perak.
Pemuda ini begitu baik padanya.
Namun sudah tentu sebagaimana seorang
gadis, amat malu untuk menunjukkan bahwa dia
menyayangi lawan jenisnya bila lawan jenisnya
belum memulai.
"Tidak, Kakang... aku tidak ingin kembali
ke rumah...." katanya.
"Rayi, Sekar... tidakkah kau kasihan pada
ayahmu yang sudah tentu amat cemas menanti
kedatanganmu dan berpikir-pikir tentang diri-
mu?"
"Aku tahu soal itu, Kakang?"
"Lalu mengapa kau tidak ingin kembali pu-
lang?"
"Aku merasa lebih baik di sini."
"Mengapa?"
"Di sini jauh dari keramaian. Di sini aman,
tenang dan damai. Tidak ada orang-orang jahat
yang selalu berkeliaran. Aku menyukai tempat ini,
Kakang...."
Aku juga menyukai tempat ini, Rayi... kata
Pandu dalam hati. Namun jiwa yang sudah mele-
kat pada diriku adalah jiwa petualang. Jiwa yang
selalu mengembara. Dan aku tidak pernah me-
nyukai tempat untuk berdiam diri kecuali Bukit
Paringin, di mana aku merasa tentram di sisi
Eyang Ringkih Ireng.
Eyang... aku rindu padamu....
Sekar Perak yang melihat Pandu terdiam
jadi bertanya, "Ada apa, Kakang? Mengapa kau
diam? Adakah kata-kataku yang salah?"
Pandu buru-buru tersenyum.
"Tidak, Rayi... tidak ada apa-apa...."
"Kakang marah karena aku tidak mau pu-
lang?"
"Tidak."
"Atau... atau Kakang tidak mau menema-
niku di sini?"
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Jawablah, Kakang... bukankah begitu?"
Pandu tersenyum. Tangannya disentuh-
kan kepada bahu Sekar Perak. Yang disentuh jadi
merinding. Karena dia memang amat mengha-
rapkan sentuhan tangan dari Pandu.
"Tidak, Rayi... sungguh aku suka me-
nemanimu di sini. Namun aku tidak mau bila
ayahmu begitu menjadi cemas terhadapmu
Sekali lagi bukannya aku melarangmu atau
tidak suka kau tinggal di sini, namun aku tidak
ingin terjadi apa-apa di antara kita...."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Rayi... tidak sadarkah kau bahwa kita
hanya berdua?"
"Lalu?"
"Aku kuatir... akan terjadi apa-apa di anta-
ra kita. Kita masih sama-sama berjiwa muda, ge-
jolak nafsu birahi kadang bisa muncul kapan saja
dan aku kuatir kita tidak akan bisa mengekang-
nya."
"Mengapa demikian, Kakang?"
"Aku pun tidak mengerti. Yang pasti hal
itulah yang aku kuatirkan, Rayi...."
Sekar Perak menundukkan kepalanya.
"Malah aku suka bila hal itu benar terjadi, Ka-
kang. Aku malah mengharapkannya. Kakang
Pandu... diam-diam aku semakin kagum padamu.
Rasa simpati dan benih kasih yang tumbuh di ha-
tiku bisa menjadi subur, Kakang."
Namun tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya
menangkap satu gerakan yang mencurigakan.
Namun dia tetap tenang, karena tidak ingin mem-
buat Sekar Perak menjadi cemas.
Maka dengan hati-hati dia berkata, "Rayi...
sebaiknya kau masuk ke dalam saja."
"Mengapa, Kakang? Aku suka berada di si-
ni?"
"Aku ingin berdiam sendiri di sini."
"Oh, kau tidak suka bila kita berdua, Kakang?"
"Bukan itu maksudku, Rayi... aku kuatir
bila kita selalu berdua, akan terjadi apa-apa. Kau
mengerti bukan maksudku, Rayi?"
*
**
Sekar Perak mengangguk. Lalu perlahan-
lahan dia bangkit masuk ke dalam goa. Di am-
bang mulut goa dia masih menoleh ke belakang
untuk melihat Pandu.
Pandu hanya tersenyum. Setelah Sekar Pe-
rak hilang dari pandangan, dia pun segera berja-
lan ke arah hutan. Karena telinganya menangkap
gerakan yang mencurigakan.
Lalu dia berkata pelan. "Yang mengintai...
silahkan keluar, mengapa harus pakai sembunyi
segala?"
Mendadak satu sosok tubuh melompat dari
atas pohon. Dia adalah Nimas Andini yang datang
kembali untuk membalas dendam sekaligus me-
rebut "barang" yang ada di Goa Alas Bantan.
Sejak tadi dia sudah mengintip keduanya.
Pikirnya dia aman-aman saja. Karena sikap Pan-
du sepertinya tidak mengetahui kedatangannya.
Namun dia salah sangka. Dia terlalu remeh
menganggap Pandu. Inilah akibatnya.
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-
mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Andini
untuk menampakkan diri.
Pandu tertawa melihat Nimas Andini muncul.
"Ha... ha... rupanya Banci Murah Senyum
yang main kucing-kucingan."
Wajah Nimas Andini memerah, benar-
benar dia yang bodoh, pengintaiannya rupanya
sejak semula diketahui Pandu. Tetap dia hanya
mendengus, menganggap remeh Pandu.
Pandu berkata lagi. "Nona yang gagah per-
kasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-
sembunyian. Ada apakah gerangan?"
Semakin memerah wajah Nimas Andini.
Matanya melotot gusar, tetapi Pandu hanya ter-
tawa. Dia tahu kenapa Banci Murah Senyum ini
mengintainya. Dendam! Namun sebelum dia ber-
kata, Nimas Andini sudah membentak keras.
"Aku memang sengaja datang lagi... Pandu.
Kau tahu kenapa?"
Pandu tersenyum.
"Aku ingin membunuhmu!" Suara Nimas
Andini kejam dan menusuk. Matanya me-
mancarkan nafsu membunuh. Apalagi teringat
kekalahannya beberapa hari yang lalu.
Pandu melengak sebentar tapi kemudian
tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak
berbuat demikian? Padahal aku tahu, kita tak
pernah berselisih!"
"Hhh! Kau harus mampus, Pandu! Seka-
rang bersiaplah kau! Sudah lama aku ingin men-
jajal kesaktian Pendekar Gagak Rimang. Tahan
serangan!" membentak Nimas Andini dan melesat
dengan pukulan lurus ke wajah Pandu. Tak ada
jalan lain buat Pandu kecuali melawan. Dia pun
merunduk dan menangkis lalu balas menyerang
lebih cepat. Nimas Andini berkelit dengan cekatan
dan kakinya menyambar. Pandu memperlihatkan
ilmu meringankan tubuhnya dengan melompat ke
sana ke mari menghindari serangan Nimas Andi-
ni. Nimas Andini pun meningkatkan serangan-
serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-
ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah
memperlihatkan kelincahannya dan kesaktiannya.
Dan keduanya sama-sama masih bertahan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang.
Nimas Andini maju menyerbu dengan dorongan
kedua tangannya. Pandu tidak mengelak, dia ma-
lah menyambut dengan dorongan yang sama.
"Dess...!"
Kedua tenaga besar itu saling bertemu
dengan hebatnya. Tubuh Nimas Andini mental ke
belakang dengan deras, sedangkan Pandu hanya
terhuyung lima langkah. Itu saja sudah menan-
dakan, kalau tingkat tenaga dalam Nimas Andini
masih jauh berada di bawah Pandu.
Nimas Andini mengusap darah yang ke-
luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan
menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-
barangan dan tidak boleh diang-gap ringan. Nama
besar Pandu memang suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri.
Namun biar begitu Nimas Andini tidak gentar,
dia malah penasaran. Tiba-tiba dia membuka
angkinnya. Angkin itu diuraikan dan menjadi se-
buah selendang. Dia mengebut-ngebutkan selen-
dangnya, rupanya akan dijadikan senjata.
Pandu hanya tersenyum saja.
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang
menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya
sebelum Nimas Andini menyerang. Namun Nimas
Andini tidak mau menjawab. Dia malah terkikik.
Dan mengibaskan angkinnya dengan cepat.
Angkin itu bagaikan digerakkan oleh tena-
ga magnit, bisa bergerak dan menangkis dengan
cepat. Rupanya itu memang senjata andalan Ni-
mas Andini.
Pandu pun bergerak dengan cepat meng-
hindarkan serangan selendang itu yang kadang
melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang
seperti tombak. Namun dengan jurus Gagak Ter-
bang lalu kembali Pandu bisa menghindarkan se-
rangan-serangan itu dan membuat Nimas Andini
semakin penasaran.
Suatu ketika Pandu membentak keras dan
tubuhnya melentik ke atas, bersamaan dengan itu
Nimas Andini mengibaskan angkinnya yang men-
dadak menjadi tombak dan siap menembus leher
Pandu.
Masih di udara Pandu bersalto dan ber-
balik menyambar ujung angkin itu. Terjadilah adu
tenaga yang kuat, masing-masing hendak mem-
pertahankan ujung angkinnya yang dipegangnya.
Nimas Andini yakin dia akan kalah dalam
hal adu tenaga dalam. Maka dia membiarkan
angkinnya dibetot oleh Pandu. Dan bersamaan
dengan itu dia menggenjot tubuhnya ke depan
dengan tangan dan kaki menyerang.
Pandu sedikit terkejut dengan serangan
demikian. Dia tidak menduga sama sekali.
Dengan gerakan yang amat cepat dia me-
lempar tubuhnya ke samping. Namun Nimas An-
dini telah" lebih dulu memburu dengan cepat.
"Des!"
Tangan kanannya menghantam dada Pan-
du hingga bergulingan.
"Hihihi... hanya begitu saja kehebatan Pen-
dekar Gagak Rimang rupanya!"
Pandu mendengus seraya bangkit.
"Kau memang hebat, Banci! Sayang... ilmu
yang amat hebat itu kau gunakan untuk jalan ke-
sesatan!"
"Jangan banyak omong!"
"Hmm... agaknya aku pun menjadi pena-
saran terhadapmu!" *
"Aku akan lebih penasaran bila belum
membunuhmu, Pandu!" geram Nimas Andini.
"Hhh! Tahan serangan!!" serunya pula.
Lalu dia menyerbu kembali diiringi dengan
pekikan yang amat keras. Pandu pun segera me-
mapakinya. Kembali keduanya saling serang den-
gan cepat.
Hebat.
Tangkas.
Berbahaya.
Penuh dengan serangan-serangan tipuan.
Sejauh ini nampak keduanya berimbang.
Tiba-tiba Nimas Andini bersalto ke belakang dan
begitu hinggap di tanah langsung menggenjot tu-
buhnya kembali. Kali ini jurus Dewa Ular Putih-
nya sudah siap hendak dijotoskan kepada Pandu.
Pandu sendiri melihat keadaan yang amat
kritis itu. Tak ada jalan lain. "Maafkan aku,
Eyang. Terpaksa kugunakan Pukulan Cakar Ga-
gak Rimang untuk menghadapi lawan yang se-
dang gila ini."
Lalu dia pun menderu maju memapaki se-
rangan Nimas Andini. Dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya dua ilmu yang amat tinggi itu berte-
mu dalam gempuran tenaga yang hebat. Suasana
menjadi amat mencekam.
"Duaaarrrr!!"
Terdengar suara bagaikan ledakan belaka
kala kedua ilmu itu bertemu.
Terlihat pula asap putih mengepul tebal.
Daun-daun berguguran. Dan dari balik asap tebal
itu terlontar dua sosok tubuh ke belakang.
Nimas Andini muntah darah begitu jatuh
ke tanah. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak me-
nyangka Pandu berani memapakinya dan tenaga
Pandu demikian hebat.
Sementara Pandu pun merasakan hal yang
sama. Dia tidak menyangka Pukulan Cakar Ga-
gak Rimang mampu ditandingi oleh Dewa Ular
Putih.
Berarti di atas langit masih ada langit.
Bagi Nimas Andini bila dia masih nekad
untuk melawan, pastilah dia akan berakhir. Lalu
dengan dipaksakan atas sisa-sisa tenaga yang
ada, perlahan-lahan dia bangkit sambil meme-
gang dadanya.
"Kau... hhh... hari ini... kau menang kem-
bali, Pandu... tetapi ingat... sampai kapan pun
aku akan datang untuk membalas semua ini...."
Lalu tubuhnya pun melesat dengan cepat,
membawa luka di dadanya.
Sementara bagi Pandu itu adalah suatu hal
yang amat baik sekali. Karena dia pun merasakan
nyeri di dadanya. Lalu dengan terhuyung diba-
wanya langkahnya ke Goa Alas Bantan.
Sudah tentu Sekar Perak amat terkejut me-
lihat keadaannya yang terluka. Sebelum gadis itu
berkata apa-apa, Pandu sudah ambruk pingsan.
"Kakang!!"
*
* *
9
Sesosok tubuh itu menyelinap di kege-
lapan malam. Berlari menuju sebuah gubuk kecil
yang di belakangnya ada sebuah sungai. Orang
itu meninggalkan kudanya tak jauh dari gubuk
itu. Angin malam berhembus dingin. Suara aliran
sungai agak keras terdengar.
Dia mengetuk pintu gubuk itu delapan kali.
Sebuah isyarat untuk temannya yang di dalam,
bahwa dia yang datang.
Dari dalam pun terdengar ketukan ba-
lasan sebanyak tiga kali. Tanda orang di dalam
gubuk itu mengiyakan. Dan perlahan pintu itu
terbuka.
Orang yang datang tadi segera menyelinap
masuk. Perlahan pintu tertutup kembali.
"Bagaimana, Nimas? Kau berhasil membu-
nuhnya?" tanyanya kepada Nimas Andini yang ja-
di serba salah. Orang ini menjadi penasaran. Dia
mendekati Nona Berwujud Lain itu.
"Bagaimana, Nimas? Kau sudah berhasil
membunuhnya, bukan? Katakan secepatnya, aku
tidak punya waktu banyak sekarang. Malam ini
pula aku harus segera pergi."
Orang itu menunggu dengan gelisah kare-
na Nimas Andini tidak segera menjawab.
Banci itu berkali-kali menghela nafas. Dan
dia perlahan mengangkat wajahnya. Sorot ma-
tanya penuh penyesalan, sehingga orang itu sege-
ra bisa menebaknya.
"Kau gagal lagi, Nimas?" tekannya dengan
suara geram.
"Maafkan aku, Kawan," Suara Nimas Andi-
ni pelan.
"Bagaimana kau sampai gagal? Kau adalah
orang kepercayaan ku, Nimas!"
"Lagi-lagi pemuda itu datang bagai setan,
Kawan."
"Pemuda yang mengalahkanmu dan mere-
but Goa Alas Bantan?" seru orang itu panas.
Nimas Andini mengangguk.
"Bangsat! Siapa dia adanya?"
"Yang ku tahu dia bernama Pandu. Dia
memiliki kesaktian yang tinggi. Juga Golok Cin-
darbuana."
Seketika orang itu berpaling dan dengan
suara kaget berkata, "Apa?"
"Golok Cindarbuana, Kawan."
"Golok Cindarbuana? Golok pusaka yang
hilang 20 tahun yang lalu? Bagaimana kau bisa
tahu dia memilikinya?"
"Dia menyerangku dengan golok itu. Ilmu
goloknya pun hebat dan tangguh, hingga menyu-
litkanku untuk menaklukkannya."
"Hhh!" Orang itu mendengus. "Siapa pe-
muda itu sebenarnya. Dia bisa jadi 'duri pengha-
lang bagi kita untuk menjadi jago nomor satu,
Nimas... secepatnya kau harus mengetahui siapa
sebenarnya pemuda itu. Di mana posisi dia sebe-
narnya."
"Secepatnya, Kawan."
"Aku tidak mau kau gagal lagi, Nimas. Kita
harus bergerak dengan cepat."
"Aku berjanji akan melaksanakannya den-
gan baik."
"Aku tidak mau hanya janji saja. Kau ha-
rus membuktikan!"
"Aku akan membuktikan."
"Bagus!"
"Dan secepatnya kau akan mendapat ke-
terangan lengkap mengenai pemuda itu."
"Baik! Aku pergi sekarang!" kata orang itu
dan keluar menyelinap di kegelapan malam dan
banyaknya pepohonan. Dia menaiki kudanya
kembali. Padahal dia betapa geramnya karena
orang suruhannya itu gagal kembali. Hhh! Seha-
rusnya dibunuh saja Nimas Andini itu. Tapi dia
tidak mau melakukannya sekarang, karena tena-
ga Nimas Andini masih diperlukan. Kalau dia su-
dah tidak memerlukan atau banci itu gagal lagi
menjalankan tugasnya, akan segera dihabisinya
manusia yang tak berguna itu.
Lalu orang itu menggebrak kudanya den-
gan kencang. Menerobos malam dan angin yang
dingin.
Dan angin dingin itu menusuk kulit Nimas
Andini yang masih berdiri di ambang pintu, me-
natap hilangnya orang yang datang tadi.
Ini gara-gara pemuda yang bernama Pandu
itu. Bah! Dia harus bisa membalaskan dendam
ini. Dia tidak ingin mengalami kegagalan terus
menerus.
Dia akan mencari pemuda itu sebelum pe-
muda itu menemukan atau mencarinya di gu-
buknya ini. Tapi toh gubuknya ini terhalang oleh
pepohonan yang rimbun. Dia pasti amam dan
tempat ini tidak bisa diketahui orang.
Hawa dingin yang menusuk itu memer-
cikkan gairah birahi di hati si banci. Dalam kea-
daan dingin begini, lebih asyik mendekap seorang
gadis cantik dan menggumulinya sampai puas.
Sampai tergeletak dengan peluh berluruhan.
Dia tersenyum sendiri.
Lalu menutup pintu.
Dan berkelebat dengan cepat menerobos
malam yang pekat. Seperti biasa kalau birahinya
sudah datang, dia sukar untuk membendungnya.
Dia harus melampiaskannya. Apalagi hatinya se-
dang geram begini, melihat gadis cantik yang di-
gumulinya nanti menangis dan menjerit-jerit an-
tara sakit dan nikmat, bisa menghilangkan kege-
ramannya.
Apalagi juga karena udara yang sangat
dingin ini. Seorang gadis bertubuh padat dan mu-
lus lebih enak dirasakan menggelinjang dalam
dekapannya. Menggairahkan darahnya yang bisa
mengalir panas.
Dan di tengah kegelapan malam itu terden-
gar pekikan keras.
"Tolong... tolong...!"
Dan dalam bayangan bulan nampak se-
sosok tubuh tengah memanggul seorang gadis
manis. Sosok tubuh itu adalah Nimas Andini yang
karena terlalu bernafsu lupa untuk menotok si
gadis, yang kini meronta-ronta dalam panggulan-
nya.
Namun pekikan gadis itu sudah terdengar
dan memecahkan keheningan malam. Menarik
perhatian para peronda yang sedang berpatroli
dan menjaga di posnya.
Mereka segera bergerak mencari sumber
suaranya itu.
Samar-samar nampak di sebuah rumah
kecil seorang laki-laki dan wanita tua tengah
menjerit-jerit minta tolong dan me-manggil-
manggil sebuah nama.
"Priatsih! Priatsih! Hu-hu-hu... tolong, to-
long anak gadisku...!"
Para peronda itu sampai ke dekat mereka.
Salah seorang bertanya tergesa.
"Apa yang terjadi, Pak tua?"
Laki-laki tua itu menyahut tersendat,
"Anakku... anakku.... Priatsih... dia diculik
orang. Oh, tolong, tolong anakku...."
Para peronda itu segera bergerak dengan
cepat, setelah ditunjukkan ke mana arah larinya
penculik itu. Dengan membawa obor dan parang
mereka bergegas. Mereka geram sekali. Sudah
sering terjadi penculikan para gadis remaja di si-
ni. Dan sampai sekarang belum diketahui siapa
yang telah melakukannya. Itulah sebabnya sudah
beberapa minggu ini penjagaan diperketat. Tapi
toh mereka masih kecolongan juga.
Kasihan para gadis remaja di desa itu. Me-
reka selalu ngeri dibayangi penculikan dan perko-
saan. Karena jika malamnya ada penculikan, ma-
ka besok paginya gadis itu ditemukan sudah mati
dengan selangkangan berdarah. Rupanya pencu-
lik itu memperkosa begitu kejam, hingga darah
itu terus menetes dari kemaluan sang perawan
meskipun dia sudah meninggal. Tentunya meru-
pakan satu siksaan bagi si perawan di kala dia
masih hidup dan disiksa.
Ini sudah tentu membuat para peronda
semakin geram. Mereka bersumpah, bila mene-
mukan penculik dan pemerkosa itu akan mencin-
cangnya sampai mati. Bahkan mayatnya akan
diseret oleh kuda!!
Sementara itu, Nimas Andini sudah makin
menjauh dari sana. Dia sudah menotok gadis
yang dipanggulnya, yang kini terdiam kaku.
Dia menyesali kecerobohannya tadi. Bang-
sat! Mengapa dia sampai lupa untuk menotok ta-
di? Juga kedua orang tua gadis itu. Sialan! Ham-
pir saja dia terpergoki!
Tetapi Nimas Andini yakin kalau sekarang
dia sedang dicari, sedang menjadi buronan. Apa-
lagi samar-samar dari kejauhan dilihatnya cahaya
yang sedang berjalan ke arahnya.
Sialan! Ini bisa mengganggu keasyikan-ku
saja! Makinya jengkel. Lalu dia bergegas berlari
lagi.
Di suatu tempat yang cukup sepi, Nimas
Andini melompat ke balik semak. Gadis itu dire-
bahkannya di rumput. Dia terkekeh. Hmm... me-
lihat gadis yang montok ini, nafsu birahinya seke-
tika muncul dan sukar untuk dibendung lagi.
Tetapi kalau disikat di sini, orang-orang
yang mencarinya bisa memergokinya. Dia hanya
mampu menelan liurnya saja melihat dada gadis
yang montok itu dan pahanya yang mulus karena
kainnya sudah tersingkap.
Berdebar hati Nimas Andini melihatnya.
"Sialan! Aku hanya jadi penonton saja tu-
buh yang mulus dan aduhai ini!!" makinya jeng-
kel. Dia menggaruk-garuk kepalanya.
Sekali lagi dia menelan ludahnya. Jakun-
nya turun naik. Debaran jantungnya semakin ke-
ras terdengar. Bergedebuk.
"Kurap! Monyet! Sialan!!" makinya karena
jengkel. Nafsu birahinya sudah benar-benar naik.
Gara-gara orang-orang yang mengejarnya itu dia
tidak berani langsung menggarap korbannya. Pa-
dahal hidangan itu sudah tersedia di hadapan-
nya. '
Nimas Andini tidak mau menanggung resi-
ko untuk berkelahi. Padahal baginya tentu mudah
untuk membunuh para pengejarnya itu. Namun
dia enggan untuk membuang tenaga banyak
menghadapi mereka. Untuk menikmati hidangan
ini saja, bukankah membutuhkan tenaga yang
banyak?
Nimas Andini terkikik karena merasa geli
sendiri. Dan kembali dia memaki-maki.
Orang-orang yang mencarinya sudah se-
makin dekat padanya. Nampak karena obor yang
dibawa mereka menampakkan cahaya yang me-
nandakan mereka sudah semakin dekat.
Sekali-sekali mereka melihat ke kanan dan
ke kiri. Barangkali saja penculik itu berada tak
jauh dari mereka.
Nimas Andini terkikik.
Namun tiba-tiba telinganya yang terlatih
menangkap sebuah langkah dari arah kirinya.
Langkah yang ringan dan tenang.
"Hhh! Siapa lagi ini? Kayaknya bukan dari
para pengejar itu?" geramnya gusar.
Lalu dengan hati-hati dia menyibakkan
semak itu sedikit, untuk mengintip siapa yang da-
tang!
*
* *
10
Tiba-tiba nampak wajahnya yang terkejut
begitu melihat dan mengenali siapa yang datang.
Pemuda yang dibencinya! Pemuda yang berkali-
kali mempercundanginya.
Bangsat!
Yang datang itu memang Pandu. Setelah
pingsan dan terluka akibat perkelahiannya den-
gan Nimas Andini, selama dua malam dia beristi-
rahat. Dan Sekar Perak dengan penuh kasih
sayang merawatnya.
Sudah tentu dengan penuh kasih sayang,
karena gadis itu memang mencintainya. Dia begi-
tu telaten sekali. Dan berkali-kali di menatap wa-
jah Pandu selagi pemuda itu pingsan.
Ingin didekapnya.
Ingin dibelainya. Ingin dikecupnya.
Namun dia tidak berani melakukannya
meskipun Pandu dalam keadaan pingsan.
Ketika pemuda itu siuman, betapa gem-
biranya Sekar Perak. Barulah saat itu dia meme-
luk Pandu karena terlalu gembira. Tetapi kemu-
dian buru-buru dilepaskannya sambil menjerit
kecil tersipu.
"Oh!"
Pandu hanya tersenyum kecil walau di-
rasakannya kasih sayang yang terpancar dari wa-
jah Sekar Perak. Dan kehangatan rangkulan yang
baru saja dia rasakan.
Namun Pandu tetap menahan perasaan-
nya. Kalau mau jujur dia pun sebenarnya menyu-
kai gadis itu. Namun dia tidak berani pula untuk
mengatakannya. Bukannya tidak berani, namun
bagi Pandu bercinta dan berpacaran itu pun bila
sampai berakhir ke pernikahan, akan membuat-
nya terbelenggu dan tidak merasa bebas me-
layang bagaikan burung terbang lepas.
Dan yang membuat Sekar Perak terkejut,
ketika malam harinya Pandu berkata: "Rayi... aku
bermaksud untuk keluar dari hutan ini...."
"Mengapa, Kakang?" "Aku tidak bisa terlalu
lama berdiam di-sini. Aku semakin tidak mengerti
dan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi."
kata Pandu.
"Lalu bagaimana denganku, Kakang?"
"Kau tetap saja di sini."
"Mengapa, Kakang?"
"Karena kupikir kau lebih aman di sini."
"Tanpa mu kau yakin aku akan aman, Kakang?"
"Ya, Rayi..."
"Lalu kau sendiri?"
"Aku hanya ingin mengetahui mengapa
semua ini terjadi? Siapa sebenarnya orang yang
berdiri di balik semua ini."
"Sudah kuceritakan padamu, Kakang....
Bojo Mayitlah yang menjadi momok semua itu."
"Mungkin dia. Mungkin pula bukan."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Aku tidak mengerti tentang Nimas Andini.
Mengapa dia begitu mendendam."
"Karena kau mengalahkannya."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa, Kakang?"
"Ada rahasia apa di goa ini."
"Bukankah kau sudah mengeceknya? Dan
tak ada satu pun yang mencurigakan?" Pandu
mendesah.
"Benar."
"Lalu?"
"Aku ingin mencari tahu di luar sana, ten-
tang Goa Alas Bantan."
"Jadi?"
"Ya, aku akan tetap keluar."
"Berarti aku sendiri di sini?"
"Untuk sementara ya, Rayi. Aku tidak la-
ma. Bila sudah kudapatkan informasi tentang
Goa Alas Bantan. Aku akan cepat kembali."
Sekar Perak menunduk.
"Aku yakin, kau adalah gadis yang pem-
berani, Rayi. Dan aku yakin pula bahwa kau akan
menungguku di sini."
"Benarkah kakang akan kembali?"
"Selama kau mengenalku, pernahkah aku
berbohong padamu, Rayi?"
Sekar Perak menggelengkan kepala.
"Belum."
"Bahkan tidak dan tidak akan pernah. Per-
cayalah padaku, Rayi."
"Baiklah, Kakang.... Kapan kakang akan
pergi mencari informasi itu...."
"Malam ini, Rayi...."
"Malam ini?"
"Ya."
"Oh!"
"Kenapa, Rayi?"
"Secepat itu, Kakang?"
"Ya, biar aku semakin cepat kembali ke si-
ni," kata Pandu.
"Tapi, Kakang...?"
Pandu tersenyum.
"Baiklah, Rayi... besok pagi aku akan pergi...."
Dan keesokan paginya Pandu pun be-
rangkat. Sekar Perak hanya bisa memperhatikan
dengan hati yang sedih. Tetapi dia berbahagia ka-
rena Pandu berjanji untuk kembali.
Pandu pun tidak menggunakan kuda-nya.
Dia berjalan kaki. Dan tak terasa dia sudah berja-
lan cukup jauh.
Sementara itu Nimas Andini masih mem-
perhatikan pemuda yang datang itu. Dia lalu
mendengus. Hhh! Lagi-lagi manusia itu!
Tiba-tiba bibir Nimas Andini membentuk
seulas senyum. Dia mendapat satu pikiran yang
jahat. Ya, dia akan melakukannya sekarang ini
juga!
Tanpa memperdulikan resiko bahaya-nya,
pikiran Nimas Andini berbalik seratus delapan
puluh derajat. Dengan buasnya dia memperkosa
gadis itu saat itu juga. Dengan buas tanpa men-
genal ampun.
Gadis itu hanya menahan sakitnya. Me-
nangis, namun air matanya tidak keluar. Dia me-
nahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit di hatinya
lebih-lebih lagi, bagai di rejam oleh ribuan jarum
yang sangat tajam.
Tadi dia mengira penculiknya itu tidak
akan memperkosanya karena sejak tadi dia ter-
diam. Dan gadis itu berharap para pencarinya se-
gera menemukannya. Namun harapan itu hanya-
lah kosong belaka.
Sementara Nimas Andini semakin buas
memperkosanya. Kegeramannya seakan di-
tumpahkan kepada gadis itu. Hancurlah pertaha-
nan perawan yang menjaga kehormatannya, yang
akan mempersembahkan kepada suaminya nanti.
Hancur sudah! Berkeping!
Dan karena tak kuasa menahan sakit dan
malunya, dia pingsan sementara Nimas Andini
masih asyik memperkosanya.
"Hmmm... kebetulan sekali gadis ini pingsan,"
desisnya setelah selesai memuaskan nafsunya.
Tubuhnya agak lemas. Dan saat itulah
Pandu tiba di dekatnya. Berjalan dengan tenang.
Namun tiba-tiba sebuah serangan bergerak
ke arahnya. Pandu yang pendengarannya pun te-
lah terlatih, segera reflek berguling ke kiri. Justru
inilah yang dikehendaki oleh Nimas Andini, kare-
na pemuda itu berguling ke tempat Priatsih ping-
san. Dan dengan satu gerakan yang cepat, Nimas
Andini bergerak dan tangannya menyambar baju
Pandu.
Pandu yang terkejut karena melihat sosok
tubuh yang terdiam di dekatnya, tidak sempat
mengelakkan sambaran tangan si Banci.
"Brek!!"
Baju itu robek di bagian dada. Setelah ber-
hasil, Nimas Andini pun segera berkelebat pergi.
Pandu berusaha mengejar.
"Hei!"
Namun bayangan itu sudah berkelebat
dengan cepat dan sebentar saja menghilang.
Sedikit pun Pandu tidak sempat melihat
siapa orang itu sebenarnya.
Pandu mengurungkan niatnya untuk men-
gejar, mengingat seorang gadis yang di lihatnya
tadi kala dia bergulingan. Gadis itu sepertinya
pingsan.
Entah apa yang telah dilakukan orang tadi
terhadap gadis itu. Lalu Pandu pun segera meng-
hampiri ke balik semak untuk melihat keadaan
gadis itu. Benar, gadis itu pingsan. Keadaan ga-
dis itu begitu menyedihkan. Pakaiannya robek,
dengan kain yang tersingkap hingga ke atas. Pan-
du terkejut melihat ada noda darah di kain gadis
itu.
Setelah dia dapat mengerti mengapa terjadi
seperti itu. Pandu semakin terkejut. Ya Tuhan...
orang tadi telah memperkosanya! Ya, ya... sung-
guh kejam! Buas dan tega!
Pandu menggeram. Ah, kalau saja dia da-
tang tidak terlambat? Sesalnya dalam hati. Orang
itu telah memperkosa gadis ini dengan kejam,
hingga pingsan pula! Biadab!
Sungguh biadab! Hatinya pilu melihat kea-
daan gadis ini. Betapa mengenaskannya. Kasihan
gadis manis ini. Wajah gadis itu memang cantik.
Ah, kasihan kau, Manis.
Nyatanya badai besar telah menghadang
mu sebelum sampai ke tujuan.
Tiba-tiba Pandu melihat cahaya terang da-
tang mendekatinya.
Pandu yang tidak tahu apa sebenarnya
yang tengah terjadi, berdiri, menyembulkan kepa-
lanya dari semak itu.
"Bapak.... Bapak...." Panggilnya tanpa me-
rasa akan terjadi sesuatu pada dirinya.
Orang-orang itu segera menoleh. Dan se-
rentak wajah mereka menjadi beringas. Dengan
marah mereka mengacungkan parang yang dipe-
gangnya.
Salah seorang yang ternyata pimpinan pe-
ronda itu, membentak, "Di mana kau sembunyi-
kan Priatsih?!"
Pandu yang tidak tahu apa-apa, kebingungan.
"Saya tidak tahu apa... apa maksud anda...?"
Orang yang bernama Barejo itu menggeram
marah.
"Jangan berpura-pura, penculik busuk! Di
mana kau sembunyikan Priatsih! Atau... parang-
parang ini akan ikut menanyakan mu?!"
Pandu semakin bingung. Ada apa sebenar-
nya ini? Ada apa? Tadi ada orang yang menye-
rangnya. Lalu gadis yang pingsan diperkosa ini.
Belum lagi orang yang muncul ini dan marah-
marah padanya. Oh... ada apa ini?
Tiba-tiba setitik kesadaran memercik mun-
cul. Dan membuat Pandu menjadi kuatir akan di-
rinya.
Orang yang memperkosa ini ternyata seo-
rang bajingan tulen. Dia ingin melemparkan kesa-
lahannya pada dirinya. Ingin membuat kambing
hitam pada dirinya. Dan orang-orang inilah yang
mencari gadis itu. Sudah tentu dia tidak bisa
mengelak dari tuduhan yang dilontarkan mereka.
Karena hanya dirinyalah yang berada di sini.
"Hhh! Bangsat orang tadi!"
"Hei, katakan di mana Priatsih?!" bentak
Barejo gusar.
Tiba-tiba seorang temannya meloncat ke
semak itu. Dan dia terkejut melihat Priatsih da-
lam keadaan pingsan dengan baju yang compang-
camping.
"Kakang Barejo!" serunya sambil meme-
riksa tubuh Priatsih. "Jangan lepaskan pemuda
itu! Dia telah memperkosa Priatsih!"
Serentak orang-orang itu segera me-
ngurung Pandu. Pandu yang merasa sulit meng-
hindari mencoba menerangkan apa yang telah
terjadi.
Sudah tentu orang-orang yang geram itu
tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
Bukti telah nyata, itu yang penting bagi mereka.
Bukannya penjelasan.
"Sungguh, Bapak-bapak. Begitulah keja-
dian yang sebenarnya."
"Jangan mungkir, Anak muda!" geram Ba-
rejo. "Semua sudah jelas dan terbukti!!"
"Tapi... bukan saya yang melakukan per-
kosaan kejam itu. Seseorang telah menyerang
saya dan membuat kambing hitam pada saya!"
"Hhh! Kau tidak bisa lari dari bukti itu,
Anak muda. Kami mendengar suara ribut-ribut
tadi!"
"Karena aku berkelahi melawan orang tadi."
"Jangan berpura-pura!" bentak salah seo-
rang yang memegang obor. Dia sudah ingin mem-
bakar saja wajah pemuda yang tampan itu. "Keri-
butan tadi pasti antara kau dengan Priatsih! Ka-
rena Priatsih menolak apa yang hendak kau laku-
kan padanya! Perbuatan keji!"
"Percayalah, Bapak-bapak," kata Pandu se-
bisanya. Dia masih berusaha untuk meyakinkan
keadaan yang sebenarnya. Dia pun tidak ingin
bentrok dengan penduduk di desa ini. "Bukan
aku yang melakukannya. Bebaskan aku seka-
rang, aku akan mencari orang itu."
"Bangsat! Membebaskan?! Enak sekali kau
bicara, Anak muda! Dari pakaianmu yang robek
itu pun sudah merupakan sebuah bukti bahwa
Priatsih menolak apa yang hendak kau lakukan
padanya!"
"Tapi...!"
"Bangsat! Kau masih mungkir juga! Se-
rang dia!" seru Barejo panas.
Dan serentak ketujuh parang itu berke-
lebat ke arah Pandu. Pandu segera bersalto ke
depan. Namun mereka segera mengurungnya
kembali. Mereka adalah peronda-peronda keper-
cayaan yang juga memiliki kepandaian bersilat.
Sudah tentu tidak mudah bagi Pandu untuk lari
dari kepungan itu. Namun dia tidak bisa lagi
menghindari perkelahian ini. Orang-orang itu su-
dah marah besar. Dan mereka merasa telah me-
nemukan orang yang selama ini membuat onar di
desa mereka. Sudah tentu mereka tidak akan me-
lepaskan manusia bejat ini. Mereka harus bisa
membekuk dan memberi pelajaran baginya. Atau
paling tidak, hukuman yang setimpal bagi si pe-
merkosa.
Tetapi rupanya para peronda itu belum ta-
hu siapa yang dihadapinya. Nimas Andini berhasil
membuat kambing hitam pada Pandu. Dan Pandu
tidak memiliki kesempatan lagi untuk membela
diri. Parang-parang itu terus berkelebatan dengan
cepat. Kilatannya nyata terlihat karena cahaya
rembulan. Para peronda itu geram sekali karena
sudah beberapa lama tapi si pemuda bejat ini be-
lum juga mampu mereka lumpuhkan.
Pandu sendiri biarpun berhasil meng-
hindari setiap serangan itu merasa lama kela-
maan dia bisa terdesak pula. Tenaganya makin
lama semakin melemah. Apalagi orang-orang itu
banyak, tenaga mereka masih besar. Mereka me-
nyerang secara beruntun dan bergantian. Sudah
tentu menghemat tenaga.
Dia pun mulai berusaha membalas namun
tidak dengan pukulan mematikan. Hanya berusa-
ha untuk meloloskan diri. Tetapi biarpun telah
berhasil, orang-orang itu telah mencapnya seba-
gai pemerkosa. Dan mereka tentu tak akan melu-
pakannya. Pemuda yang memakai baju putih-
putih dan berikat kepala biru.
Tiba-tiba salah seorang dari penyerang-nya
itu mengibaskan tangan kirinya, melempar obor-
nya dengan gerakan cepat.
Pandu terkejut. Apalagi jaraknya dengan
orang itu begitu dekat. Hanya refleknya sajalah
yang membuatnya bisa menghindarkan api itu.
Dia berguling dengan cepat dan kakinya menyapu
orang yang melemparkan obor itu.
"Des!"
Orang itu berguling ambruk. Melihat te-
mannya berhasil dilumpuhkan, keenam orang itu
semakin garam. Serangan mereka semakin kacau
balau namun sangat mematikan.
Dengan mengandalkan jurus berkelit-nya
Kijang Kumala, Pandu berhasil menghindari se-
rangan itu.
Sementara api obor yang dilempar orang
tadi, sudah mulai membakar rerumputan. Namun
orang-orang itu seakan tak perduli, mereka terus
mencecar pemuda bejat ini. Mereka harus berha-
sil membekuknya dan mengadilinya seberat-
beratnya.
Melihat api itu semakin besar, Pandu me-
rasa hanya api itulah yang bisa menolong. Selain
tidak mau melukai orang-orang ini, dia juga su-
dah mulai letih. Hampir dua jam dia menghindari
serangan itu. Juga hal ini menghambat perjala-
nannya menuju Goa Alas Bantan.
Sambil menghindar serangan itu, dia ber-
seru, "Api! Api! Api itu semakin besar!"
Dan seperti tersadar orang-orang itu
menghentikan serangannya. Mereka terkejut me-
lihat api yang sudah membesar. Lebih terkejut la-
gi kalau di semak itu ada Priatsih yang masih da-
lam keadaan pingsan.
Barejo berseru, "Padamkan api itu! Sela-
matkan Priatsih!"
Tiga orang segera berusaha memadamkan
api, sementara Barejo sendiri beserta kedua te-
mannya menghadapi Pandu. Hal ini mengun-
tungkan Pandu, karena serangan tidak begitu lagi
rapat.
Sambil mengibaskan tangan dan kakinya,
dia membuat jalan keluar. Dan tiba-tiba dengan
sangat ringannya dia melenting ke atas, meng-
hindari kepungan itu. Dan dengan cepat dia su-
dah menghilang dalam kegelapan malam.
Barejo terkejut dan berusaha mengejar,
namun bayangan pemuda itu telah menghilang.
Dia memaki-maki sendiri. Jengkel. Semen-
tara api sudah berhasil dipadam-kan. Priatsih su-
dah diangkat dan dipindahkan ke tempat yang
agak lapang.
Dengan menghentakkan kakinya jengkel,
Barejo kembali menemui teman-temannya.
"Kita gagal lagi, Kawan-kawan. Bangsat itu
ternyata pemuda yang berkepandaian tinggi," ka-
tanya dengan suara menyesali.
"Kita tidak bisa tinggal diam, Kakang Bare-
jo. Kita harus segera mencari pemuda itu."
"Kita laporkan kejadian ini kepada Ki Lu-
rah."
"Ya, kita laporkan kejadian ini pada Ki Lu-
rah. Mudah-mudahan Ki Lurah bisa membawa
persoalan ini kepada Prabu Sri Jayarasa."
Barejo masih kelihatan geram. Tetapi ke-
mudian dia segera memerintahkan teman-
temannya untuk kembali. Apalagi nampak fajar
sudah mulai menyingsing. Lalu mereka segera
meninggalkan tempat itu. Tiga orang membopong
Priatsih dan tiga orang lagi membopong teman
mereka yang pingsan.
Hati mereka geram dan marah.
Sementara Barejo masih menyesali ke-
kalahan mereka sehingga tidak bisa membekuk
Durjana Pemetik Bunga itu. Berarti manusia bu-
suk itu masih berkeliaran. Dan ini tidak bisa di-
biarkan berlarut-larut. Karena amat membahaya-
kan jiwa para anak perawan.
Dan Barejo tidak bisa menahan pilunya
mendengar tangis dan ratapan orangtua Priatsih.
Mereka malah lebih rela kalau anak-nya mening-
gal saja, daripada hidup tetapi menanggung malu
yang teramat menyiksanya. Yang bisa merendah-
kan harga diri anak tunggal mereka. Yang harus
menanggung malu seumur hidup. Yang harus
melahirkan bila hasil perko-saan itu membuah di
rahimnya.
Tuhan... kesalahan apa yang telah di laku-
kan anaknya itu. Dan kesalahan apa yang telah
mereka lakukan? Tangis dan ratapan itu masih
terdengar. Memilukan dan menyayat hati.
Diam-diam Barejo meninggalkan tempat itu
dengan kepala menunduk: Dia tak akan pernah
melupakan wajah pemuda bejat itu.
Sampai kapan pun dia akan mencarinya.
Ketika dia sampai di rumahnya, terdengar bunyi
kokok ayam jantan yang keras. Peristiwa itu akan
diingatnya sampai kapanpun juga. Dia tak akan
pernah memaafkannya.
TAMAT
Emoticon