1
Pandu terus berlari dengan kencang. Kepalanya
penuh dengan berjuta pikiran. Kesalahan apa yang te-
lah dilakukannya sehingga dia harus mengalami hal
seperti ini? Terlibat dalam satu perkelahian dengan
Nimas Andini atau si Banci Murah Senyum. Terlibat
masalah dengan Sekar Perak dan kini terlibat dengan
Yang jadi masalah, dia tidak tahu siapa orang
yang telah memfitnahnya. Rencananya untuk mencari
tahu tentang rahasia Goa Alas Bantan kini seakan le-
nyap begitu saja.
Pandu merasa amat pusing memikirkan semua
itu. Dia merasa lebih baik kembali ke Goa Alas Bantan
di mana Sekar Perak sudah menunggu.
Gadis manis itu sudah tentu kaget, karena me-
nurut perkiraannya Pandu akan meninggalkannya se-
lama tiga hari. Namun di samping itu dia pun merasa
amat bahagia karena diam-diam dia memang mencin-
tai murid Eyang Ringkih Ireng, majikan Gunung Kidul.
"Kakang... mengapa kau sudah kembali?" ta-
nyanya dengan nada suaranya tidak bisa menyembu-
nyikan betapa bahagianya dia.
Pandu hanya tersenyum.
"Karena aku tidak mau meninggalkan mu terla-
lu lama, Rayi...."
Dada Sekar Perak semakin bergemuruh ken-
cang. Benarkah apa yang dikatakannya? Tidak tahu-
kah pemuda itu bila dia benar-benar mencintainya?
"Kau nampaknya lelah sekali, Kakang... sebaik-
nya kau makan saja dulu. Kebetulan aku baru saja se-
lesai masak," kata Sekar Perak sambil menundukkan
kepalanya. Dia benar-benar sudah jatuh hati pada pe-
nolongnya ini.
Dari balik caping yang dikenakannya, Pandu
dapat melihat pancaran mata kebahagiaan pada sepa-
sang mata jernih milik Sekar Perak. Hatinya bergu-
mam pelan, "Kau memang cantik, Rayi Sekar... diam-
diam aku pun menaruh hati padamu."
Lalu murid Eyang Ringkih Ireng itu mengajak
Sekar Perak untuk masuk ke dalam goa. Goa Alas
Bantan yang telah direbutnya dari tangan Nimas Andi-
ni secara tidak disengaja.
Sekar Perak dalam melayani Pandu begitu tela-
ten dan penuh perasaan. Dia pun bagaikan seorang is-
tri yang sedang melayani suaminya yang baru saja pu-
lang dari bekerja. Padahal dari cerita yang didengar da-
ri mulut Sekar Perak sendiri, Pandu yakin kalau orang
tua gadis itu adalah orang yang kaya.
"Kakang Pandu... bila kau sudah mengantuk,
lebih baik tidurlah...." kata Sekar Perak sambil me-
nundukkan kepala kala Pandu sudah selesai bersan-
tap.
Pandu tersenyum.
"Rayi Sekar... aku belum mengantuk. Masih
banyak pikiran yang menghantui benakku. Sungguh,
amat memusingkan sekali," kata Pandu sambil mena-
tap wajah Sekar Perak. Oh, betapa cantiknya wajah
itu. Wajah yang diingini oleh Bojo Mayit atau ketua
Sangkur Baja yang membuat teror hingga semuanya
jadi berantakan. Dan secara tidak sengaja dia bertemu
dengan Sekar Perak yang tengah diculik.
Hati-hati Sekar Perak duduk bersimpuh di ha-
dapan Pandu yang duduk bersila dan telah membuka
capingnya.
Lalu hati-hati pula dia mengangkat wajahnya.
"Ada apakah, Kakang? Boleh aku tahu masalah
apa yang sedang mengganggu pikiranmu?"
"Rayi... biarlah pikiran ini menemaniku. Aku ti-
dak ingin kau pun menjadi ikut memikirkannya."
"Kakang... atau tidak pantas bagiku untuk
mengetahui masalah yang sedang kau hadapi?"
"Bukan itu masalahnya, Rayi...."
"Lalu apa, Kakang?"
"Rayi...."
Sekar Perak menundukkan kepalanya. Dia tahu
kalau Pandu sedang tidak mau diganggu. Diam-diam
dia menjadi malu sendiri dengan sikapnya yang nam-
pak bagaikan memaksa. Pandu bukan apa-apanya.
Mereka baru saja saling kenal selama dua minggu kala
Pandu menyelamatkan secara tidak sengaja dari pen-
culikan yang dilakukan oleh anak buah Bojo Mayit
atau ketua dari Sangkur Baja.
Begitu pula dengan Pandu yang baru juga men-
genal Sekar Perak. Namun bagi Sekar Perak, perkena-
lan yang singkat itu dia sudah dapat mengetahui sikap
dan tutur sapa dari Pandu yang begitu arif dan bijak-
sana.
Dan perkenalan yang singkat itu pula telah
menumbuhkan benih kasih di hatinya. Dia bahkan ti-
dak ingin kembali ke rumahnya, karena dia ingin ting-
gal di sini bersama Pandu atau Pendekar Gagak Ri-
mang.
Namun diam-diam Sekar Perak pun sadar ka-
lau pemuda yang tengah duduk di hadapannya ini bu-
kan apa-apanya. Bukan pula adik atau kakaknya. Dia
hanyalah seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seo-
rang pemuda yang begitu arif tingkah lakunya. Dan
seorang pemuda yang diam-diam telah meruntuhkan
hatinya.
Itulah sebabnya mengapa Sekar Perak diam-
diam menjadi malu sendiri karena merasa Pandu bu-
kan apa-apanya. Bahkan menganggap dia bukan apa-
apa selain teman belaka.
"Maafkan aku, Kakang...." desisnya pelan den-
gan suara bergetar.
Pandu mendesah panjang. Dia menjadi serba
salah. Di satu segi dia tidak ingin memberitahukan
masalah apa yang baru saja dialaminya. Dia difitnah
memperkosa seorang gadis. Dan warga desa kini telah
mencarinya.
Di segi lain, dia pun tak ingin kegelisahannya
ini menjadi miliknya sendiri. Dia memang hendak
mencari orang yang telah memfitnahnya, yang telah
membuatnya terperangkap dalam kesulitan. Yah, dia
pun tak ingin memberati gadis secantik Sekar Perak
yang baru saja mengalami kejadian yang amat menge-
rikan.
Dia dilamar oleh Bojo Mayit, ketua Sangkur Ba-
ja yang kejam. Siapa pun pasti akan menolak lamaran
Bojo Mayit. Begitu pula yang dilakukan oleh Juragan
Banyu Biru. Namun akibat dari penolakannya, dia ha-
rus membayar dengan harga yang mahal.
Berulang kali orang-orang Sangkur Baja mem-
buat onar. Namun kepala desa Ki Lurah Pandu Kelana
dengan semangat bajanya berhasil mengusir orang-
orang jahat itu. Dia pun mengajak warga desa lainnya
untuk saling membantu, terutama membantu Juragan
Banyu Biru.
Namun semuanya itu pun gagal mereka laku-
kan. Karena orang-orang Sangkur Baja dengan tiba-
tiba menyerang rumah Juragan Banyu Biru. Para jago
bayaran yang disewa oleh Banyu Biru semuanya te-
was.
Rumahnya dibakar. Meskipun warga desa den-
gan dipimpin oleh Ki Lurah Pandu Kelana dan Kendala
Yoro, orang yang dinomorsatukan setelah Ki Lurah
Pandu Kelana berhasil menyelamatkan, namun istri
dari Banyu Biru telah diculik oleh orang-orang kejam
itu bersama putrinya Sekar Perak.
Yang lebih mengerikan lagi, mereka menemu-
kan istri Banyu Biru dalam keadaan yang amat me-
nyedihkan. Dia diperkosa sebelum dibunuh.
Pandu mendengar semua itu dari Sekar Perak
yang kala itu diculik oleh dua orang anak buah Bojo
Mayit dan bertemu dengannya kala mereka berkelahi
dengan Nimas Andini, hingga Pandu pun akhirnya ter-
libat perkelahian dengan banci itu.
Karena perasaan tidak enak, hati-hati Pandu
berkata: "Maafkan aku, Rayi...."
"Tidak apa-apa, Kakang... aku mengerti.... Ka-
rena aku bukanlah apa-apamu...." Suara Sekar Perak
terdengar tersendat. Nampak dia amat malu dan kece-
wa dengan perlakuan dari Pandu. Namun dia pun ti-
dak bisa menyalahkan pemuda itu, karena memang
bukan salah pemuda itu. Dan dia sungguh malu kare-
na dia yakin Pandu akan menganggapnya lancang ber-
tanya.
"Maafkan aku, Kakang... bila aku begitu men-
desak di matamu...."
Pandu mendesah.
"Mengapa kau berkata begitu, Rayi?"
"Bukankah memang seperti itu yang kau mak-
sudkan, Kakang?"
"Tidak, sungguh tidak, Rayi... aku tidak ber-
maksud begitu...."
Sekar Perak tetap menundukkan kepalanya.
Dia tetap berkeyakinan kalau pemuda yang duduk di
hadapannya menganggapnya lancang. Oh, mau dita-
ruh di mana wajahnya ini memang bila benar demi-
kian?
Pandu jadi serba salah. Dia selama ini tidak
pernah mendapatkan kesulitan dengan seorang gadis.
Dan di kala dia mengalaminya terasa begitu susah se-
kali.
Dia tahu, Sekar Perak tentunya seorang gadis
yang manja. Namun beberapa hari hidup bersama
dengannya, Pandu tidak melihat tanda-tanda itu. Se-
kar Perak bagaikan seorang gadis yang telah matang,
yang banyak ditimpa oleh pengalaman hidup yang pe-
nuh suka dan duka.
"Rayi... tak pernah aku menganggap kau orang
lain seperti yang kau sangka itu," katanya sambil
mendesah. "Beberapa hari saja hidup denganmu, aku
sudah yakin, kalau kau bisa menghadapi segala tan-
tangan kehidupan ini. Kau seorang gadis yang tegar,
Rayi. Kau punya kemauan dan pendirian yang kukuh.
Maka ku mohon sekali lagi, hilangkan pikiran di be-
nakmu yang mengira aku menganggapmu hanya orang
lain belaka."
Dada Sekar Perak berdebar.
Lalu dengan suara yang terdengar amat pelan
dia berkata lirih:
"Lalu... kau menganggap aku sebagai apa, Kakang...?"
Kali ini Pandu benar-benar mendesah panjang.
Bingung harus menjawab apa. Bila dia mau jujur, dia
sebenarnya menaruh hati pada Sekar Perak. Namun
apakah kejujurannya itu harus dikatakan terus terang?
Rasanya mustahil. Pandu sekali waktu memang
pernah berpikir, untuk menghentikan petualangannya.
Dan hidup rukun dengan seorang istri dan anak-anak
yang manis yang menemaninya sepanjang hidupnya.
Namun sekarang, di kala dia sudah mencintai
petualangannya, sanggupkah dia menghentikan dan
mewujudkan keinginan yang pernah timbul di benak-
nya dulu?
Rasanya tidak mungkin. Bila dia menikah,
Pandu tidak mau anak dan istrinya harus selalu di-
tinggalkannya.
"Rayi Sekar... kau adalah seorang gadis yang
manis. Cantik dan berwatak lembut. Siapa pun akan
menyukaimu, Rayi.... Yah, aku pun menyayangi mu,
Rayi.... Hanya saja...."
"Hanya apa, Kakang?" Terburu-buru Sekar Pe-
rak mengangkat kepalanya, menatap wajah tampan di
hadapannya. Caping yang selalu dikenakan Pandu su-
dah dibuka.
Pandu menebarkan senyum. Maksudnya agar
Sekar Perak tenang. Namun dari senyum itu justru
semakin memikat hati Sekar Perak dan sukar baginya
untuk melupakan.
"Aku memang menyayangi mu, Rayi Sekar...
namun aku tidak bisa menyayangi mu seperti halnya
seorang laki-laki terhadap seorang wanita. Aku hanya
menyayangi mu terbatas seorang kakak dengan seo-
rang adik. Kasih sayang yang tulus antara seorang ka-
kak dengan adiknya. Kau mengerti, Rayi Sekar?"
"Oh!"
"Kenapa, Rayi?"
Terburu-buru Sekar Perak menggelengkan ke-
palanya: Di hatinya ada sesuatu yang hancur yang di-
rasakannya mampu membuat hatinya berkeping-
keping.
Diusahakannya agar air matanya tidak jatuh.
Kata-kata itu betapa menyakitkannya, betapa memus-
nahkan segala harapan dan impiannya. Betapa satu
kejadian yang tak pernah dibayangkan dan diharapkan
sebelumnya.
Pandu jadi kebingungan sejenak. Namun tiba-
tiba dia pun tersadar, kalau kata-kata yang di-
ucapkannya terlalu amat menyakitkan Sekar Perak.
Tetapi dia bisa berbuat apa lagi? Tak mungkin dia
mengatakan mencintai gadis itu meskipun dia tahu be-
tapa gadis itu amat mengharapkan cintanya.
Namun dia tetap menjadi tidak enak karena ga-
dis itu nampak begitu bersalah dan amat tertekan se-
kali. Makanya dengan hati-hati Pandu menjulurkan
tangannya, mengangkat dagu gadis itu hingga mena-
tapnya. Dari sepasang mata bening yang jernih itu ter-
lihat riak kesedihan, malu dan galau yang menyatu di
dada. Ini semakin membuat Pandu menjadi semakin
tidak enak.
"Rayi... adakah kata-kataku yang salah hingga
menyinggung perasaanmu?" tanyanya berlagak tidak
mengerti, karena dia tidak ingin menambah rasa geli-
sah di hati Sekar Perak.
Karena memang tidak ada kata-kata Pandu
yang menyinggung perasaannya maka gadis itu pun
menggelengkan kepala.
"Tidak, Kakang...." desisnya lirih bagaikan de-
sahan belaka.
"Lalu mengapa tiba-tiba kau terdiam?" "Oh, ti-
dak, Kakang... tidak ada apa-apa...."
"Rayi... katakanlah, bila ada sesuatu yang
mengganjal di hatimu. Bicarakanlah padaku, seperti
halnya masalah yang sedang kuhadapi ini. Ini pun ku-
bicarakan denganmu. Bukankah dengan cara seperti
itu akan memudahkan kita untuk mencari jalan keluar
bagi permasalahan yang ada?" ujar Pandu dengan sua-
ra lembut. "Bukankah begitu, Rayi?"
Tetapi gadis itu lagi-lagi malah menundukkan
kepalanya. Yah, dia pun harus menyadari kalau den-
gan sikapnya yang seperti ini sudah tentu akan mem-
buat Pandu heran. Dan murid Eyang Ringkih Ireng
yang dijuluki oleh orang-orang rimba persilatan den-
gan julukan Pendekar Gagak Rimang itu pun menjadi
semakin tidak enak hati.
Perlahan-lahan Sekar Perak kembali mengang-
kat wajahnya.
"Maafkan aku, Kakang...." "Rayi Sekar... apa
pula yang harus ku maafkan? Kau tidak mempunyai
salah sedikit pun terhadapku. Mana mungkin aku bisa
memaafkan bila aku sendiri tidak tahu apa yang harus
dimaafkan? Katakanlah, Rayi...."
"Aku... aku...." "Kenapa denganmu, Rayi?" Ga-
dis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan perlahan
Pandu mendengar isaknya. Hatinya menjadi terenyuh
dan tidak tahan melihat Sekar Perak gelisah.
Dengan hati-hati dirangkulnya gadis itu.
"Maafkan aku, Rayi... aku bukannya tidak
mencintaimu... namun aku tetap tidak bisa mencin-
taimu...." kata Pandu akhirnya karena tidak mau meli-
hat gadis itu terus menerus nampak gelisah dan galau.
Terdengar suara lirih gadis yang berada dalam
dekapan dada yang bidang itu. "Mengapa, Kakang?"
"Rayi... kau tahu siapa aku bukan? Aku hanyalah seo-
rang kelana yang tidak memiliki tempat naungan yang
indah dan memuaskan. Memang, sekali waktu aku
pernah berpikir untuk menghentikan pengembaraan-
ku. Berhenti dalam satu rumah yang indah dengan
memiliki seorang istri dan beberapa orang anak yang
lucu...."
Tiba-tiba Sekar Perak menarik kepalanya. Ma-
tanya lekat menatap Pandu.
"Mengapa tidak kau wujudkan keinginanmu itu
sekarang, Kakang? Aku... aku bersedia membantu...."
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir gadis itu me-
nundukkan kepalanya.
Pandu mendesah panjang.
"Yah., sesungguhnya hati kecilku memang
menginginkan demikian. Namun aku tak kuasa untuk
melakukannya."
"Kenapa?"
"Karena... yah, aku sudah tentu tak akan bisa
berdiam diri di rumah. Jiwaku seakan terpanggil un-
tuk menolong sesama. Juga untuk bersatu dengan
alam bebas merdeka ini...."
"Kakang... aku bersedia mengikuti mu ke mana
saja...."
"Perjalananku masih cukup panjang, Rayi...
kau tak akan kuasa untuk mengikuti langkahku...."
"Kakang... tekadku sudah bulat untuk hidup
bersamamu... aku rela meskipun kita selalu singgah
dari satu tempat ke tempat lain. Aku rela, Kakang...
asal... bersama mu...."
Hati Pandu semakin terenyuh mendengarnya.
Gadis ini sudah pasrah padanya. Sudah bertekad akan
menyerahkan seluruh jiwa dan raganya untuknya.
Namun tetap masih ada yang mengganjal di hatinya.
Kalau memang Sekar Perak akan menjadi istrinya atau
dia akan memiliki seorang istri sudah tentu tak akan
dibiarkan istrinya mengikuti langkahnya. Langkah
yang belum tentu selalu mulus. Karena kendala atau
pun kejahatan masih merajalela di muka bumi ini.
"Rayi...."
"Kakang...."
Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu
bertemu, seakan memperlihatkan satu bentuk yang
ada. Di mata Sekar Perak terlihat gelora cinta, kepa-
srahan dan keinginan yang mendalam. Sedangkan di
mata Pendekar Tangan Malaikat terlihat satu riak cinta
yang berpadu dengan keraguan.
Sepasang mata itu semakin lekat. Dan entah
siapa yang memulainya lebih dulu, kedua kepala itu
saling mendekat. Dan bibir mereka pun bertemu dalam
satu cinta yang suci.
Namun ketika keesokan paginya Sekar Perak
terbangun, dia tidak menemukan Pandu berada di si-
sinya. Semula dia menyangka Pandu sedang mandi di
sungai. Namun hingga matahari sepenggalah pemuda
itu tidak muncul-muncul juga.
Hatinya pun menjadi galau dan cemas.
Dia pun bangkit untuk mencari pemuda itu.
Namun di sungai tidak terlihat sosok tubuh siapa pun.
Hatinya mulai risau dan merasa tidak enak.
"Kakang.... Kakang Pandu...." serunya keras
namun hanya gema suaranya saja yang terdengar me-
mantul kembali. Dia makin bertambah galau. "Kakang
Pandu! Kakaaaanggggg!!!" Kembali hanya gema sua-
ranya saja yang terdengar. Tak ada nada lain kecuali
bunyi gemuruh air sungai dan suara burung-burung
pagi yang berdendang riang.
Gadis itu merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Dan dia pun kini menyadari kalau pemuda itu
sudah tidak ada di sisinya. Sekar Perak jatuh terdu-
duk. Dia hanya bisa menangis terguguk.
"Kakang... kakang...."
*
**
2
Lima orang laki-laki itu terus melangkah den-
gan cepatnya, karena mereka melihat cuaca yang bu-
ruk sementara langit di atas sana menggumpal hitam
dan bergerak cepat dihembus angin yang kencang.
Nampak sebentar lagi akan turun hujan. Yang mereka
kuatirkan, bila mereka kehujanan di tengah jalan se-
mentara tugas yang mereka emban belum terlihat titik
hasilnya.
"Ki Lurah...." memanggil salah seorang pada la-
ki-laki setengah baya gagah yang melangkah di depan-
nya. "Apakah tidak sebaiknya kita berhenti dulu? Saya
melihat di sana ada hutan yang cukup lebat, mungkin
dedaunan pepohonannya bisa menangkal air hujan."
"Memang, maksudku seperti itu," sahut laki-
laki yang dipanggil Ki Lurah. "Ayo kita ke sana. Tapi
perlu diingat, konon Hutan Alas Bantan menyimpan
satu misteri yang mengerikan...."
Kelima orang itu pun bergerak dengan cepat
mengikuti langkah Ki Lurah yang tak lain adalah Ki
Lurah Pandu Kelana. Setelah menyadari istri dan putri
dari Juragan Banyu Biru diculik oleh anak buah Bojo
Mayit atau ketua Sangkur Baja, Ki Lurah pun segera
memimpin warga desa untuk mencari. Hingga tidak te-
rasa mereka kini tiba di Hutan Alas Bantan.
Begitu kaki mereka memasuki hutan itu, seki-
las bulu kuduk mereka meremang. Hutan ini sungguh
amat menyeramkan sekali. Padahal hari masih siang.
Bila saja langit tidak menggumpal hitam, mungkin
akan terlihat jelas sang matahari yang berdiri tegak te-
pat di atas kepala. Namun Ki Lurah Pandu Kelana
sendiri yakin, bila matahari bersinar, tetap saja sinar-
nya tidak bisa menembus hutan luas dengan pohon-
pohon jati yang berdiri tegak menjulang seakan ingin
memperlihatkan keperkasaannya untuk menantang
langit.
"Ki Lurah... saya merasa kita seperti diintip oleh
ribuan mata yang bersinar kejam," kata salah seorang.
"Ya, Ki Lurah... hutan ini benar-benar menyim-
pan misteri yang mengerikan," kata salah seorang.
"Tenanglah kalian. Memang, aku pun sudah
mendengar tentang Hutan Alas Bantan yang mengeri-
kan ini. Menurut kabar konon di penghujung hutan ini
terdapat sebuah goa yang cukup lebar dan mengeri-
kan. Konon pula goa itu dulunya sebagai tempat perta-
rungan para pendekar sakti yang meninggal semua se-
cara mendadak. Konon pula ada kabar bahwa di sana
terdapat banyak peninggalan ilmu-ilmu silat yang ma-
ha tinggi, terutama jurus Dewa Ular Putih milik men-
diang si Dewa Ular. Hanya kini terdengar kabar goa itu
tidak berpenghuni, karena tak seorang pun yang bera-
ni untuk singgah maupun tinggal di sana," sahut Ki
Lurah Pandu Kelana sambil terus melangkah sementa-
ra matanya amat waspada di samping kesal dan me-
nyesali karena hujan nampak sebentar lagi akan tu-
run.
"Ki Lurah... apakah tidak sebaiknya kita mem-
percepat langkah untuk tiba di sana. Meskipun goa itu
menyeramkan, nampaknya lebih baik sebagai tempat
berteduh karena cuaca yang amat buruk seperti ini?"
"Ya, sebaiknya kita cari saja goa itu. Kalau ti-
dak salah, letaknya memang di penghujung hutan le-
bar ini...." sahut Ki Lurah. "Ayo!"
Lalu kelima orang itu pun segera mempercepat
langkah mereka. Di samping udara yang semakin din-
gin juga rasanya tidak enak berada di hutan seperti
ini. Pohon-pohon besar yang berdiri tegak bagaikan
raksasa-raksasa yang siap untuk bangun dari tidur
mereka. Juga langit kelam dan hujan yang sebentar la-
gi akan menumpahkan ribuan airnya dengan deras.
Namun mendadak saja Ki Lurah menghentikan
langkahnya. Dia memasang telinganya. Lapat-lapat di-
iringi dengan desir angin yang menggesek daun-daun
jati dia mendengar suara orang menangis.
Suara orang menangis? Di hutan lebat menge-
rikan seperti ini? Dan terdengar seperti suara seorang
perempuan? Nampaknya amat mustahil. Mustahil ada
wanita yang mau bermain-main ke hutan seperti ini.
Empat laki-laki lainnya pun mendengar suara
tangis itu, dan mereka pun berpandangan dengan hati
bertanya-tanya. Kala kesimpulan mereka singgah pada
sesuatu yang mengerikan, mereka menjadi tegang.
Agaknya Ki Lurah pun mengalami hal yang sa-
ma. Namun dia bisa bersikap lebih tenang.
"Tenang... jangan panik...." desisnya waspada
dan telinganya jelas-jelas menangkap suara orang
mengisak. Suara yang semakin lama semakin lirih.
"Suara apakah itu, Ki Lurah?"
"Suara seorang wanita sedang menangis."
"Mungkinkah ada seorang wanita yang iseng
bermain-main ke sini?"
"Mungkin dia tersasar."
"Kalau pun tersasar mengapa harus tiba di hu-
tan seperti ini?"
"Entahlah."
"Ki Lurah...."
"Ya?"
"Jangan-jangan...." Orang itu ragu untuk mene-
ruskan kata-katanya.
"Joko... jangan mengada-ngada. Sebaiknya kita
cari saja dari mana datangnya sumber suara itu. Ba-
gaimana?" tanya Ki Lurah sambil memperhatikan
keempat laki-laki yang ikut serta dengannya.
Keempat laki-laki itu berpandangan, lalu saling
mengangguk. Joko mewakili teman-temannya. "Baik-
lah... kami tidak takut dengan segala macam hantu.
Kami percaya kepada Gusti Allah yang akan melindun-
gi umat-Nya dari segala resiko gangguan hantu. Bu-
kankah begitu adanya, Ki Lurah?"
"Benar. Ayo!"
Lalu mereka pun melangkah kembali. Mungkin
dalam pikiran masing-masing hanya terpusat dari ma-
na dan siapa orang yang sedang menangis itu. Pikiran
tentang yang lain-lainnya lenyap entah ke mana.
"Suara itu berasal dari arah kiri," kata Ki Lurah
pelan.
Kembali semuanya melangkah. Bahkan dari ra-
sa tegang karena kuatir menjumpai makhluk yang
mengerikan, mereka akhirnya pun tegang bila ternyata
yang menangis itu adalah manusia yang hendak ber-
buat jahat dengan cara memancing mereka. Itulah se-
babnya masing-masing telah siap menggenggam hulu
golok yang terselip di balik angkin yang mereka kena-
kan.
Kini semakin lama suara isak itu semakin jelas
terdengar. Langkah mereka pun kini makin diperlam-
bat, dengan jalan melangkah perlahan.
Tak jauh dari mereka ada sebuah sungai yang
cukup deras airnya. Gemuruh suaranya yang mengalir
deras telah menerpa telinga mereka. Dan nampaknya
suara isak itu berasal dari sana. Terbawa oleh angin
yang bertiup ke arah mereka hingga mereka semua
mendengarnya.
Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang tengah
terduduk di tanah. Sosok itulah yang menangis.
Ini membuat hati mereka menjadi bertambah tegang.
Seorang perempuan? Di hutan lebat? Seorang diri?
Hiii... pastilah hantu adanya.
Namun karena Ki Lurah Pandu Kelana sudah
melangkah, mereka pun mau tak mau mengikutinya.
Suara langkah mereka itu memancing pendengaran
dari gadis yang sedang terisak. Serentak gadis itu
mengangkat kepalanya.
Dua orang menjerit kaget karena saking te-
gangnya.
Ki Lurah pun menjerit. Namun bukan jeritan
terkejut, tegang maupun heran. Jeritan gembira kare-
na dia mengenali sosok tubuh yang tengah terduduk
sambil menangis itu.
"Dik Sekar Perak?" serunya dengan suara yang
sedikit ragu dan sedikit gembira.
Sosok tubuh yang menangis itu memang tak
lain dari Sekar Perak adanya. Dia sudah satu harian
berada di tempat itu dan menangis. Hatinya masih ga-
lau karena ditinggal oleh murid Eyang Ringkih Ireng.
Sekar Perak pun mengenali Ki Lurah Pandu Ke-
lana.
"Paman Lurah...." desisnya pelan.
Ki Lurah Pandu Kelana pun segera memburu,
begitu pula dengan yang lainnya. Kegembiraan itu me-
luap karena yang mereka cari secara tidak sengaja me-
reka temukan di sini.
Ki Lurah pun bertanya bagaimana cara Sekar
Perak bisa meloloskan diri dari dua orang penculik
anak buah dari Bojo Mayit. Dengan tersendat-sendat,
Sekar Perak pun menceritakan semuanya.
"Lalu di mana sekarang pemuda itu, Sekar?"
tanya Ki Lurah sambil memperhatikan sekelilingnya
dan tak melihat orang lain kecuali mereka.
Kali ini Sekar Perak menundukkan kepalanya
dan kembali isaknya terdengar lagi.
"Huhuhuhu.... dia pergi, Paman Lurah... dia
pergi meninggalkan aku.... Pemuda itu jahat... huhu-
hu... dia jahat, Paman Lurah... dia jahat."
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah. Dia dapat
memaklumi dan mengerti apa yang sedang dialami
oleh putri Banyu Biru ini. Pasti Sekar Perak sedang ja-
tuh cinta dan merana karena pemuda itu meninggal-
kannya. Dalam hati Ki Lurah mendesah, "Hmm... bo-
doh sekali pemuda itu menyia-nyiakan cinta seorang
gadis secantik Sekar Perak ini...."
Hati-hati dirangkulnya gadis itu yang merasa
damai karena ada yang mau mendengar ceritanya, di
samping sebenarnya sejak tadi dia sudah amat ketaku-
tan dengan suasana mengerikan di hutan ini.
"Dik Sekar... lebih baik kita pulang saja. Ayah-
mu sudah amat cemas menunggu. Marilah, Dik Se-
kar...."
Sekar Perak mengangkat kepalanya, menatap
Ki Lurah. Ki Lurah dapat melihat sepasang mata indah
yang nampak memerah bengkak karena terlalu lama
menangis.
"Mengapa ayah tidak mencariku, Paman Lurah
...?" tanyanya pelan. Kali ini di matanya terlihat sinar
kecewa.
"Ayahmu sedang menunggumu, Sekar...."
"Tetapi mengapa dia tidak mencari dan men-
jemputku, Paman Lurah... apakah ayah tidak sayang
padaku?"
"Sudah tentu dia sayang padamu, Dik Sekar...."
sahut Ki Lurah sambil menundukkan kepala. Dia me-
mang menyembunyikan sesuatu tentang diri Juragan
Banyu Biru dan dia tidak tega untuk mengatakan yang
sebenarnya pada Sekar Perak. Karena saat ini Juragan
Banyu Biru sedang terbaring sakit karena shock den-
gan apa yang telah dialaminya. Kesehatannya setiap
hari semakin memburuk. Makannya pun tak beratu-
ran lagi hingga tubuhnya nampak makin kurus. Dan
setiap malam dia selalu mengigau panjang.
Memang pada dasarnya Sekar Perak adalah ga-
dis yang manja, tetap saja dalam keadaan seperti ini
dia masih bermanja.
"Ayah jahat... jahat... kalau dia sayang padaku
sudah tentu dia akan menjemputku, bukan? Tetapi
mengapa ayah tidak datang menjemputku? Hhh! Aku
tidak mau pulang!" Gadis itu merengut. Hilang sudah
tanda-tanda bahwa dia habis menangis panjang.
"Jangan begitu, Dik Sekar... ayahmu amat rin-
du padamu... dan dia selalu menanti kedatanganmu,
Dik Sekar.... Lebih baik ayo kita pulang daripada harus
terus menerus berada di hutan yang menyeramkan
ini...." kata Ki Lurah masih tetap merahasiakan kea-
daan diri Juragan Banyu Biru.
Namun Sekar Perak tetap pada keputusannya.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan
yang cepat. Wajahnya masih tidak sedap dipandang.
"Tidak, aku tidak akan mau pulang bila bukan
ayah yang menjemputku ke mari...." katanya sambil
merengut.
"Ayolah, Dik Sekar... lebih baik kita kembali se-
karang sebelum hujan turun...."
"Tidak, aku tidak mau... aku baru pulang bila
ayah yang menjemput ke mari...."
Ki Lurah Pandu Kelana mendesah panjang. Dia
menjadi serba salah menghadapi kekeraskepalaan ga-
dis ini. Bila dia menceritakan keadaan diri Juragan
Banyu Biru sesungguhnya, dia kuatir gadis ini akan
kaget. Terlihat jelas kalau jiwa gadis ini sedang labil.
Namun bila dia tidak menceritakan yang sesungguh-
nya, gadis ini akan tetap menolak untuk diajak pulang.
Padahal dia berharap kesehatan Banyu Biru akan
membaik bila melihat putrinya kembali dalam. kea-
daan selamat. Namun gadis manja ini memang keras
kepala sekali.
Yang lain pun tidak bisa berbuat apa-apa. Me-
reka pun menyadari bagaimana bingungnya Ki Lurah
sekarang ini. Sedikit banyaknya mereka bersyukur ka-
rena bukan mereka yang membujuk gadis keras kepala
ini.
"Dik Sekar... apakah kau tidak lihat kalau se-
bentar lagi hujan akan turun?"
"Aku tahu."
"Lalu mengapa kau tidak ingin segera kembali
padahal ayahmu menunggu di rumah?"
"Kalau bukan ayah yang datang menjemputku
ke mari, aku merasa lebih baik tinggal di sini...."
Ki Lurah mendesah panjang. Tak ada jalan lain.
Apalagi gemuruh petir sudah terdengar sambar me-
nyambar. Bila seperti ini torus menerus, niscaya tak
akan selesai dan hujan pasti akan segera turun den-
gan lebatnya. Dan bila hujan sudah turun, kemungki-
nan mereka untuk lekas kembali akan terlambat.
Tak ada jalan lain. Dia memang harus menga-
takan yang sesungguhnya bila tidak ingin berlarut-
larut. Karena menghadapi gadis keras kepala ini harus
berterus terang dan tegas. Tidak perlu bertele-tele.
Ki Lurah masih melirik empat orang warganya
yang juga tegang menunggu seakan meminta pendapat
mereka. Keempatnya bagaikan sudah mengetahui
maksud dari Ki Lurah. Tanpa berucap banyak keem-
patnya mengangguk secara bersamaan.
Bersamaan dengan helaan nafasnya, dia pun
berkata dengan hati-hati.
"Dik Sekar... ketahuilah... kalau kesehatan
ayahmu sudah amat payah sekali karena memikirkan
nasibmu...."
"Apa?!" Suara itu terdengar cukup keras. Kepa-
la yang tak acuh itu menoleh cepat ke arah Ki Lurah
Pandu Kelana yang sudah menduga hal seperti ini
akan terjadi. Sepasang mata yang indah meskipun te-
lah terbalut bengkak, membelalak tak percaya. "Apa,
Paman Lurah? Ayah sakit? Ayah sakit? Oh, tidak... ti-
dak.... Paman Lurah... benarkah ucapanmu itu?"
Ki Lurah Pandu Kelana hanya mendesah pan-
jang. Benar dugaannya, gadis ini akan terkejut. Namun
memang tak ada jalan lain agar gadis ini mau pulang
bersama-sama mereka.
Ditatapnya gadis itu yang juga balas menatap-
nya, menunggu jawabannya dengan tegang. Perlahan-
lahan Ki Lurah Pandu Kelana menganggukkan kepa-
lanya.
"Benar ayah sakit, Paman Lurah?"
"Benar, Dik Sekar... sejak penculikan dirimu
dan ibumu, apalagi setelah mengetahui ibumu mati di-
bunuh dengan diperkosa terlebih dahulu, ayahmu ja-
tuh sakit...."
"Oh, tidak... tidak.... Ayaaaaahhhhh!!!" seru Se-
kar Perak memekik kuat. Dan mendadak tubuhnya
limbung lalu ambruk. Untunglah Ki Lurah Pandu Ke-
lana dengan cepat menangkap tubuh itu.
Bersamaan dengan itu hujan pun turun dengan
lebatnya.
"Ayo cepat, kita cari goa itu!" seru Ki Lurah
mengomando sambil membopong tubuh Sekar Perak
yang dalam keadaan pingsan. Serentak mereka berla-
rian mencari goa dan mendapatkannya.
*
**
3
Pengemis yang melangkah dengan pincang den-
gan tubuh yang sedikit bongkok itu terus saja dengan
santainya melangkah, tanpa menghiraukan ejekan dan
cemooh orang-orang yang kebetulan berpapasan den-
gannya. Dia tak acuh saja, sepertinya tidak ada keja-
dian apa-apa.
"Cih! Mau apa pengemis busuk itu datang ke
desa kita?!" ejek seorang gadis yang berdandan cukup
menor itu pada teman pemudanya yang berdiri di
sampingnya. Gayanya pun genit, sama halnya dengan
si pemuda.
"Hhh! Tak layak nampaknya desa kita dimasuki
oleh gembel bongkok dan pincang itu!" sahut si pemu-
da dengan suara yang mengejek pula.
Namun si pengemis itu tetap dengan santainya
melangkah. Kaki kanannya yang pincang memang ter-
lihat jelas sebagai penghambat dari langkahnya. Na-
mun tetap saja dia menyeretnya dengan ringan. Kata-
kata ejekan dari pemuda-pemudi sombong itu diang-
gapnya hanyalah angin lalu belaka.
"Hei, dia tuli juga rupanya!" seru si pemudi.
"Atau... dia tengah mengejek kita dengan ber-
pura-pura menjadi tuli!" sahut si pemuda dengan sua-
ra yang terdengar sedikit mangkel.
"Sialan kalau begitu! Hajar saja dia! Biar dia
tahu rasa dan kapok berbuat seperti itu!" kata si pe-
mudi memanas-manasi si pemuda.
Pemuda itu memang seorang yang panasan.
Yang merasa tak seorang pun boleh merendahkannya
atau pun menyamainya. Maka diapun menjadi panas.
Dengan gusar dia memburu si pengemis yang terpin-
cang-pincang melangkah itu dan berdiri di depannya
dengan sikap sok jago dengan kedua kaki terbuka le-
bar.
"Berhenti!" serunya keras.
Si pengemis bongkok itu pun berhenti melang-
kah. Wajahnya yang nampak penuh luka mengering
itu diangkatnya untuk menatap si pemuda yang som-
bong menghadang langkahnya. Sementara si pemudi
nampak sudah tidak sabar ingin melihat si pemuda
menghajar pengemis bongkok itu.
"Sudah, hajar saja! Hajar!" serunya mengoman-
do yang membuat si pemuda semakin panas.
"Hhh! Gembel busuk! Lebih baik kau angkat
kaki saja dari desa ini sebelum aku marah!!" serunya
kasar.
Pengemis itu hanya memamerkan senyumnya.
"Hei, tersenyum lagi kau?!"
"Sobat... mengapa kau melarang aku untuk
singgah sejenak di desa ini?" tanya pengemis itu den-
gan suara yang terdengar sopan. Namun malah mem-
buat si pemuda menjadi berang, karena merasa pen-
gemis itu tidak pantas untuk bicara dengannya.
"Hei, berani bicara pula kau ini!"
"Mengapa, Sobat? Apakah di desa ini ada laran-
gan bagi seorang pengemis untuk singgah?"
"Karena kau hanya mengotori desa ini saja!
"Apakah orang sepertiku ini tak layak untuk
mencari makan di sini?"
"Ya! Karena kau hanya mengemis, pekerjaan
bagi orang yang malas!"
Pengemis itu menggelengkan kepalanya, masih
tetap tersenyum.
"Tidak, Sobat... aku datang untuk membeli se-
dikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelapa-
ran ini...."
Pemuda itu tiba-tiba terbahak. Dia menoleh
sama si pemudi lalu berkata dengan sombongnya.
"Kau dengar apa katanya tadi? Dia hendak membeli
makanan di sini? Ha ha ha... hei, Pengemis busuk!
Mana mampu kau membeli makanan bila tidak dengan
cara mengemis, hah?! Kau ini sedang mengigau atau
sedang bermimpi menjadi orang kaya...?"
"Aku mempunyai sedikit uang, Sobat.... Yang
kupikir dapat ku tukarkan dengan sedikit makanan...."
"Hahaha... kau memang tengah mengigau ru-
panya!" Masih tertawa si pemuda itu mengejek. "Perli-
hatkan padaku, bila kau memang punya uang?"
"Apakah bila benar aku punya uang kau mem-
perkenankan aku untuk singgah di desa ini untuk
mencari makan?"
"Sudah tentu, asal tidak dengan cara menge-
mis! Tetapi nampaknya mustahil kau memiliki uang
meskipun hanya sedikit!"
"Kupegang kata-katamu itu, Sobat...."
"Hhhh! Perlihatkanlah padaku!" seru pemuda
itu setengah geram dan setengah geli.
Sekali lagi pengemis itu menatap si pemuda.
Lalu dengan hati-hati pula dia memasukkan tangan-
nya ke tas kumal yang tersampir di bahu kirinya.
Kala tangan itu keluar dari tas kumalnya, di
genggamannya sudah ada beberapa keping uang emas
yang disodorkannya di depan wajah pemuda itu yang
jadi terbelalak tak percaya.
"Hei, kau mencuri di mana uang emas itu,
hah?!"
Pengemis itu menyeringai. Memperlihatkan wa-
jah yang tegang tak percaya. Belum pula dengan si
pemudi yang sempat meneriakkan kata terkejut dan
tak percaya.
"Aku tidak mencurinya, Sobat.... Uang ini me-
mang milikku, pemberian seorang sahabat yang baik
hati padaku...."
"Tidak mungkin! Kau bukan hanya seorang
pengemis, tetapi juga seorang pencuri! Dosamu tak
akan pernah dimaafkan!"
"Hmm... kau mengada-ada, Sobat.... Bukankah
tadi kau mengatakan, bila aku bisa membuktikan
bahwa aku memiliki uang, maka kau akan memperbo-
lehkan aku untuk mencari makan di sini? Apakah kau
lupa dengan kata-kata yang baru saja kau ucapkan
itu, Sobat?"
Wajah pemuda itu merah padam. Sebenarnya
dia menuduh pencuri itu untuk menutupi keterkejutan
dan kekalahannya. Namun dia memang seorang pe-
muda yang sombong, yang tak pernah mau mengalah
atau dikalahkan.
"Pencuri busuk! Berikan uang itu pada ku!" se-
runya geram dengan tangan terkepal.
"Mengapa pula harus kuberikan pada mu?"
"Anjing buduk! Rasakan ini!" serunya si pemu-
da sambil melayangkan pukulannya lurus ke wajah si
pengemis.
Namun sungguh di luar dugaannya, karena
mendadak saja pukulannya tidak mengenai sasaran.
Melompong mengenai angin.
"Hei!" serunya terkejut.
Dan dia lebih terkejut lagi karena menyadari si
pengemis sudah tidak berada di dekatnya. Pemuda itu
celingukan dan melihat si pengemis tengah berjalan
dengan santainya meninggalkannya. Hal itu membuat
si pemuda semakin menjadi geram.
"Anjing keparat! Kau ingin bermain-main den-
ganku rupanya, hah!" serunya sambil mencegat lang-
kah si pengemis. Namun pengemis itu tetap saja te-
nang. Dia hanya tersenyum.
"Mengapa kau masih marah kepadaku?" ujar-
nya lembut. "Bukankah kau sudah mengizinkan aku
untuk mencari makan di sini?"
"Pengemis sialan! Rupanya kau punya kebisaan
juga, hah?!" bentak si pemuda jengkel. "Bagus, aku in-
gin melihat sampai di mana kebisaan mu itu, hah?!"
"Sobat... mengapa jadi begini? Mengapa kau ja-
di berang seperti ini? Apakah aku mempunyai salah
kepadamu?!"
"Setttaaannn! Berikan uang itu padaku, hah?!
Dan kau boleh meninggalkan tempat ini dalam kea-
daan selamat!"
"Hmmm... aku tahu sekarang, rupanya uang ini
yang membuatmu menjadi berang kepadaku? Mengapa
kau masih berbasa-basi menuduhku sebagai pencuri?"
"Kau memang pencuri! Berikan uang itu kepa-
daku!!"
Pengemis itu tersenyum.
"Tak akan pernah kuberikan kepadamu uang
milikku ini...."
"Hhhh!" Pemuda itu mendengus. "Rupanya kau
memang ingin mengenalku lebih dalam! Baik! Lihat se-
rangan!!"
Sesudah berkata begitu, si pemuda dengan ge-
rakan yang sungguh cepat menggerakkan tangan ka-
nannya lurus ke wajah si pengemis. Namun sama se-
perti halnya tadi, pukulannya pun tidak mengenai sa-
sarannya. Dan lagi-lagi tanpa terlihat si pengemis su-
dah berpindah tempat. Hal ini semakin membuat si
pemuda menjadi marah besar.
"Anjing! Rupanya kau memang hendak menjual
lagak di depanku, hah?!" serunya berang dan dengan
kalapnya dia kembali menyerang. Kali ini dengan kece-
patan yang tinggi dan serangan yang membabi buta.
Kejadian itu perlahan-lahan banyak mengun-
dang minat orang untuk menonton. Maka sebentar sa-
ja sudah ramai mereka bersorak sorai membentuk
lingkaran. Rata-rata mengejek si pemuda yang selalu
gagal dalam menyerangnya. Dan semua itu mereka la-
kukan karena sebenarnya mereka sendiri tidak suka
dengan sikap si pemuda yang selalu membuat onar
dan menyombongkan diri. Sementara si pemudi men-
jadi tegang memperhatikan. Namun sedikit banyaknya
dia menjadi malu karena pemuda itu selalu menyerang
pada sasaran kosong belaka.
"Prangkulo... kau hanya besar mulut saja!" Ak-
hirnya terlontar kata-kata itu dari mulut si pemudi
yang tidak tahan karena banyak yang mengejek si pe-
muda.
Mendengar seruan itu, si pemuda yang berna-
ma Prangkulo menjadi semakin kalap. Dia terus me-
nyerang secara membabibuta. Namun sejauh itu tak
satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Hanya
nafasnya yang kini terdengar terengah-engah. Gera-
kannya pun mulai terlihat kacau. Hanya semacam do-
rongan kesombongannya saja yang ada.
Sorak-sorakan mengejek semakin ramai.
"Prangkulo... kau hanya berani bila bersama teman-
temanmu!"
"Hahaha... menghadapi seorang pengemis saja
kau gagal! Tahu rasa kau!"
"Lebih baik pulang saja dan rubah kelakuanmu
yang sombong itu!"
"Kena batunya kau sekarang, Prangkulo!"
Sorakan mengejek yang diiringi dengan tepukan
gemuruh itu semakin membahana. Meskipun geram
bukan alang kepalang, namun Prangkulo masih beru-
saha untuk menjatuhkan pukulannya pada si penge-
mis. Agaknya pengemis pincang yang bungkuk itu bu-
kanlah pengemis sembarangan, karena gerakan-
gerakan yang dilakukannya untuk menghindari seran-
gan itu tidak terlihat oleh mata.
Agaknya pula kalau pengemis itu memang ber-
niat hendak memberi pelajaran pada Prangkulo si pe-
muda sombong. Maka dia pun terus menerus meng-
hindar dengan maksud membuat si pemuda jera akan
tingkah lakunya selama ini yang lama kelamaan men-
jadi kelelahan karena tenaganya terus menerus terku-
ras. Hingga lambat laun dia menjadi sempoyongan dan
gerakannya semakin kacau.
Mendadak tubuhnya limbung.
Lalu ambruk setelah sempoyongan dua kali ke
kiri dan ke kanan. Bersamaan dengan itu terdengar so-
rakan ramai dari pada penonton.
"Hahaha... lebih baik kau mampus saja!"
"Prangkulo... kau hanya besar mulut!"
Sementara itu si pemudi menjadi jengkel bukan
kepalang di samping malu yang tak terhingga karena
kekasihnya itu kini menjadi bahan ejekan. Agaknya
pula kalau para penduduk telah lama menunggu ke-
sempatan untuk mengejek Prangkulo yang diam-diam
mereka tidak suka karena seringkali membuat onar.
Belum lagi tingkahnya yang memuakkan sekali. Bah-
kan dia sering meminta pajak pada para pedagang.
Setelah pemuda itu ambruk dan pingsan kare-
na kecapaian, si pengemis pun dengan santainya me-
ninggalkan tempat itu. Sikapnya benar-benar tenang
luar biasa. Seperti tidak mengalami hal apa-apa.
Para penduduk pun seakan tidak memperduli-
kannya. Namun ada seseorang yang sejak tadi mem-
perhatikan. Dia adalah seorang laki-laki setengah
baya, bertubuh tegap. Dia adalah Barejo ayah dari
Priatsih, yang diperkosa lalu dibunuh. Barejo masih
ingat wajah dan ciri pemuda yang memperkosa anak-
nya. Dia laki-laki tampan, di punggungnya terdapat
sebilah pedang. Dan dia adalah Pandu atau Pendekar
Gagak Rimang yang difitnah oleh Nimas Andini atau si
Banci Murah Senyum. Sebenarnya Nimas Andinilah
yang memperkosa Priatsih lalu membunuhnya yang
kemudian memfitnah Pandu karena beberapa kali dia
dikalahkan oleh Pendekar Gagak Rimang itu dalam
perkelahian.
Hingga sekarang Barejo masih amat menden-
dam pada pemuda yang telah menghancurkan hidup
putrinya. Dia tak akan pernah menerima. Siang dan
malam dia terus mencari pemuda itu. Tak akan pernah
puas hatinya bila belum bisa membalas sakit hati pu-
trinya.
Dan kini dia melihat ada seorang yang amat
sakti. Meskipun dia hanyalah seorang pengemis na-
mun kesaktiannya patut diperhitungkan. Timbul minat
dalam hati Barejo untuk meminta pertolongan dari si
pengemis untuk mencari pemerkosa putrinya.
Dia memang sudah lama menunggu orang yang
amat perkasa. Namun dia menjadi ragu sendiri, pa-
tutkah dia meminta pertolongan dari seorang penge-
mis? Namun dia tidak perduli, yang penting dia bisa
menemukan pemerkosa dan penghancur hidup pu-
trinya. Dan bila ini tidak dilakukannya maka dendam-
nya tak akan pernah tuntas, dendam yang amat abadi.
Maka dengan hati-hati dia mengikuti langkah si
pengemis dari belakang. Pengemis itu terlihat sedang
memasuki sebuah kedai. Nampaknya dia ingin makan.
Di kedai, tak seorang pun yang kembali mengejeknya.
Malah si pengemis disambut dengan baik. Mereka sea-
kan mengerti kalau pengemis itu adalah bukan semba-
rangan pengemis.
Barejo menunggunya hingga selesai makan. La-
lu dia kembali mengikutinya. Tiba di jalan setapak, dia
menjadi celingukan. Karena mendadak saja pengemis
itu telah lenyap dari pandangannya.
"Hei, ke mana dia?!" serunya terkejut.
"Aku berada di belakangmu, Sobat!" Terdengar
suara bernada bersahabat dari belakangnya.
*
* *
4
Seketika Barejo membalikkan tubuhnya ke be-
lakang dan melihat si pengemis telah berdiri di bela-
kangnya. Gila, luar biasa, dia tidak melihat gerakan si
pengemis yang demikian cepatnya!
Dia kuatir pengemis itu akan menjadi marah
karena dibuntuti. Dan yang lebih membuatnya kuatir,
bila si pengemis menganggap perbuatannya adalah se-
buah perbuatan yang salah. Dia ingin meminta ban-
tuan pengemis itu, bukannya ingin mencari sikap per-
musuhan. Namun Barejo cukup bisa bernafas dengan
lega karena terlihat pengemis itu tersenyum.
"Ada apakah gerangan, Sobat? Mengapa kau
mengikutiku?" tanyanya dengan suara yang tetap ber-
sahabat, tidak terkesan sedikit pun kalau dia marah
karena dibuntuti secara diam-diam.
Barejo menjadi sedikit tenang. Dia pun menye-
barkan senyumnya sebagai tanda persahabatan.
"Maafkan aku, Sobat... yang telah lancang
mengikuti langkahmu. Namaku Barejo... tidak mem-
punyai maksud jahat terhadapmu. Percayalah...."
"Sobat Barejo... sudah tentu aku percaya. Nah,
kau bisa memanggilku si Tanpa Nama. Katakanlah...
ada keperluan apa hingga kau mau bersusah payah
mengikuti langkahku yang terseok-seok ini...."
"Sekali lagi maafkan aku... tak ada maksudku
untuk berbuat jahat padamu. Hmm... bagaimana bila
kita ke rumahku saja. Agaknya di sana kita bisa lebih
leluasa bercerita panjang lebar daripada di jalan ini."
"Kelihatannya kau sedang kebingungan, Bare-
jo.... Nampak jelas sekali masalah itu terbayang di ma-
tamu. Bila memang itu yang kau inginkan, baiklah...
kita bisa segera ke rumahmu dan berbicara panjang
lebar...."
"Oh, terima kasih, Sobat. Mari!" sahut Barejo
gembira. Lalu dia pun melangkah diiringi dengan lang-
kah si pengemis yang terseok-seok karena kaki sebelah
kanannya pincang.
Sesampai di rumah istri Barejo yang sebelum-
nya sudah diterangkan siapa si pengemis itu segera
menyiapkan hidangan. Lalu dia pun menemani sua-
minya untuk bercakap-cakap dengan si pengemis.
"Maafkan aku, Sobat...." kata Barejo sebelum
bicara pada pokok persoalan. "Sekali lagi maafkan aku
karena telah mengganggu mu..."
"Tidak apa-apa... bukankah sebagai manusia
kita harus saling bantu membantu? Nah, Sobat Bare-
jo... kemukakanlah masalah mu, barangkali saja aku
bisa membantu...."
"Benar, aku memang membutuhkan bantuan-
mu.... Baiklah, lebih baik kuceritakan saja padamu,"
kata Barejo sambil mendesah. Lalu dia pun mencerita-
kan kejadian beberapa minggu yang lalu di mana pu-
trinya Priatsih telah diculik, diperkosa dan dibunuh
orang. Barejo merasa yakin kalau dia mengenali orang
jahat itu. "Nah, maksudku adalah ingin meminta ban-
tuanmu, Sobat... meminta pertolonganmu untuk men-
cari orang jahat yang telah menghancurkan putri ter-
sayang ku...."
"Hmm... secara pasti aku belum bisa mengeta-
hui duduk permasalahannya... namun aku sudah pa-
ham. Bagaimanakah ciri-ciri orang yang telah berbuat
jahat pada putri mu itu?"
"Dia seorang pemuda yang gagah. Berwajah
tampan. Di punggungnya terdapat sebilah golok. Dia
mengenakan pakaian berwarna putih. Dan dia pun
memiliki caping menutup kepala yang tergantung di
punggungnya...."
"Kau sudah yakin kalau pemuda itu yang ber-
buat jahat pada putri mu?"
"Ya."
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Karena dari balik semak di mana kutemukan
mayat putri ku dalam keadaan menyedihkan, pemuda
itu muncul dengan pakaian yang robek-robek...."
"Lalu?"
"Bukankah pakaian yang robek itu sudah seba-
gai tanda kalau putri ku melawan kala hendak diper-
kosa?"
"Hmm... baiklah.... Bila aku bisa bertemu den-
gan pemuda jahanam itu... aku akan menangkapnya...."
"Terimakasih atas pertolongan mu, Sobat...."
"Masih adakah yang perlu dibicarakan lagi?"
"Kurasa tidak. Sekali lagi terima kasih atas ke-
sediaanmu untuk membantu kami," kata Barejo setu-
lus hati.
Begitu pula dengan istrinya.
"Terima kasih, Saudara pengemis...."
"Bila tak ada yang dibicarakan lagi, sebaiknya
aku pergi saja... karena perasaanku mengatakan akan
terjadi sesuatu. Perasaanku tidak enak," kata si pen-
gemis seraya bangkit dari duduknya.
Dan perasaannya memang benar. Karena keti-
ka kakinya tiba di luar rumah Barejo, di halaman ru-
mah itu telah berdiri dengan sikap garang beberapa
pemuda dengan memegang golok yang amat tajam.
Dan salah seorang pemuda itu adalah Prangkulo!!
Prangkulo amat mendendam sekali. Setelah si-
uman dari pingsannya, dia segera mencari teman-
temannya untuk menghabisi si pengemis. Dan kebetu-
lan salah seorang temannya melihat si pengemis pergi
bersama Barejo ke rumahnya. Maka serentak Prangku-
lo memerintahkan ke sana.
Barejo menjadi panik melihat keadaan itu. Is-
trinya langsung merangkulnya erat-erat karena keta-
kutan. Dan sikap orang-orang yang berdiri di halaman
rumahnya dengan golok di tangan, siap untuk menya-
bet siapa saja yang berani membangkang.
Prangkulo terbahak.
"Hahaha... rupanya kau memang mempunyai
nyali, Pengemis busuk! Kau masih berani berada di si-
ni! Dan kau akan merasakan akibat yang amat pedih
dari perbuatan mu terhadapku!" serunya sambil ber-
kacak pinggang.
Pengemis itu tersenyum, sedikit pun tidak terli-
hat kesan bahwa dia sedang ketakutan. Malah begitu
tenang.
"Rupanya kau masih penasaran terhadapku,
Sobat...."
"Aku akan tetap penasaran bila belum membu-
nuhmu!"
"Oh! Keji sekali keinginanmu itu, Sobat____"
"Anjing buduk! Kau memang pandai berbicara!"
"Hmm... bila kau memang berniat untuk mem-
bunuhku, mengapa harus kau bawa teman-temanmu?
Apakah kau takut untuk menghadapiku sendiri? Di
mana nyalimu, Sobat...."
"Setttaaannn!" "Hmm... bila tadi aku hanya
menghindar saja, kali ini kau akan ku pukul hingga
merangkak! Nah, perintahkanlah kepada teman-
temanmu itu untuk segera menghajar dan membu-
nuhku!"
Tidak bisa dilukiskan lagi keberangan Prangku-
lo mendengar kata-kata si pengemis yang mengejek-
nya. Dengan penuh geram dan dendam yang amat
sangat, dia pun berseru:
"Hajar pengemis itu hingga mampus!!"
Serentak teman-temannya menyerbu dengan
golok di tangan. Golok-golok yang tajam itu pun berke-
lebatan dengan cepat.
"Wuuutt!!"
"Wuuutt!!"
Si pengemis itu pun tak mau kalau dirinya
menjadi sasaran empuk golok-golok yang tajam. Maka
dia pun segera menghindar dengan cepat dan tangkas.
"Hahaha... mengapa kalian hanya menyerang
angin saja?" serunya mengejek sambil terus menghin-
dar yang membuat para penyerangnya menjadi buas
dan kalap.
"Mampuslah kau!!"
Namun hingga sejauh itu tak satu pun golok ta-
jam di tangan teman-teman Barejo yang mengenai sa-
sarannya. Karena si pengemis dengan lincahnya
menghindar. Bahkan kini terlihat kalau dia pun mulai
membalas. Agaknya kakinya yang pincang dan tubuh-
nya yang bungkuk bukan merupakan satu halangan
yang berarti baginya untuk menghindar maupun
membalas.
Karena tidak terlihat seperti beban. Malah den-
gan ringannya dia bergerak ke sana ke mari. Dan bebe-
rapa kali tangannya pun mulai bergerak mencari sasa-
ran.
"Des!"
"Des!"
Dua kali tangannya bergerak, dua kali pula
mengenai sasaran. Dan dua jeritan pun terdengar be-
runtun disusul dengan tubuh yang sempoyongan.
Pengemis itu terbahak mengejek. "Hahaha...
orang seperti inikah yang kau andalkan untuk mem-
bunuhku?!"
Wajah Prangkulo merah padam. Dia berseru-
seru geram, "Hei, bunuh dia! Kalian kubayar bukannya
untuk berjoget di depannya! Bunuh dia!!"
Mendengar seruan itu semangat teman-
temannya makin berkobar, namun mereka tak punya
daya lagi untuk menghadapi si pengemis. Karena kini
mereka yang menjadi bulan-bulanan tinju dan kaki si
pengemis. "Buk!" "Buk!" "Des!"
Sementara itu Barejo kini bisa bernafas dengan
lega karena rupanya si pengemis bisa mengatasi orang-
orang itu. Terlihat pula di wajah Barejo pengharapan
yang semakin besar kalau si pengemis itu mampu me-
nangkap pemerkosa putrinya. Begitu halnya dengan is-
trinya yang kini perlahan-lahan melepaskan rangku-
lannya dari tangan suaminya. Harapan untuk mene-
mukan pemerkosa putrinya kini semakin menguak dan
mendapatkan jalan.
Prangkulo kini yang menjadi cemas dan men-
ciut nyalinya. Ketika temannya yang terakhir pun ha-
rus terjengkang dan pingsan karena dua pukulan si
pengemis bersarang di dadanya, dia pun bermaksud
untuk melarikan diri.
Buru-buru dia membalikkan tubuhnya untuk
mengambil langkah seribu. Namun belum lagi kakinya
melangkah, tiba-tiba saja si pengemis sudah berdiri
menghadang di hadapannya.
Prangkulo menjadi panik. Dia celingukan ke
sana ke mari tanpa tahu apa yang bisa diperbuatnya.
Pengemis itu menyeringai.
"Hmm... agaknya orang seperti kau ini tidak pa-
tut untuk diberi ampun! Kau hanya patut bila dibunuh
saja!"
Semakin jeri Prangkulo mendengar kata-kata.
Nyalinya sudah hilang sama sekali. Kesombongannya
tidak terlihat lagi. Tiba-tiba dia jatuh terduduk. Lalu
meratap-rapat menangis minta ampun.
"Ampun... ampunkan aku... jangan, jangan pu-
kul... jangan bunuh aku.... Ampun... ampunkan
aku...."
Pengemis itu menyeringai.
"Orang seperti kau ini tak patut untuk diampu-
ni... kau memang harus diberi pelajaran, Prangkulo.
Agar kau tidak bersikap terus menerus seperti ini...."
"Ampun... ampunkan aku...."
"Aku tak akan pernah mengampuni orang som-
bong seperti kau! Di samping itu, kau begitu congkak
dan merasa sok jago! Aku tidak pernah menyukai
orang yang bersikap demikian seperti kau ini, Prang-
kulo!"
"Maafkan... maafkan aku... ku mohon ampun-
kan aku... ampunkan aku...."
"Hhh! Kau hanyalah memohon satu permintaan
yang sia-sia, Prangkulo...."
Mendengar ucapan itu kali ini Prangkulo bukan
hanya meratap dan memohon, namun dia juga me-
nangis tersedu-sedu. Menangis bagaikan bocah kecil
karena ibunya tidak membelikan permen seperti kein-
ginannya.
"Huhuhu... ampun aku... ampunkan aku...."
"Aku akan mengampunkan dan memaafkanmu,
Prangkulo... hanya saja kau mau berjanji padaku...."
"Ya, ya... aku berjanji padamu...."
"Benar kau mau berjanji?"
"Ya, ya... aku akan berjanji...."
"Apa saja?"
"Apa saja!"
"Nah, berjanjilah bahwa kau mau ku bunuh!"
"Oh!" Terbelalak Prangkulo. "Tidak, tidak aku
tidak mau berjanji yang itu!"
"Bukankah kau tadi sudah mengatakannya,
bahwa kau mau berjanji apa saja!"
"Iya, iya... aku mau berjanji... tapi tidak yang
itu... aku belum mau mati...."
"Lalu kau mau berjanji seperti apa?"
"Apa saja... di luar itu!"
"Bagaimana bila kau berjanji mau ku pukul
sampai sekarat?"
"Oh, tidak... jangan... aku tidak mau berjanji
yang itu! Jangan!"
"Kau berdusta padaku, Prangkulo!"
"Jangan, jangan paksa aku berjanji yang itu!
Aku tidak mau, aku tidak mau!"
Pengemis itu tersenyum. Kini dia tahu siapa
sebenarnya Prangkulo. Pemuda itu hanyalah seorang
yang besar mulut saja. Yang hanya mengandalkan ke-
sombongan dan teman-temannya saja. Rasanya sudah
cukup bagi si pengemis untuk mempermainkan Prang-
kulo.
Lalu dia pun berkata, "Baiklah... berjanjilah di
hadapanku sekarang.... Sementara Barejo dan istrinya
menjadi saksi. Bagaimana?"
"Ya, ya...." sahut Prangkulo cepat.
"Berjanjilah untuk tidak membuat onar lagi.
Bersikaplah biasa saja. Jangan terlalu angkat kepala
dan juga jangan terlalu tundukkan kepala. Jadilah
manusia yang berguna. Janganlah bersikap sombong.
Jangan pula menjadi manusia yang merasa jago dan
memiliki segalanya. Bagaimana? Maukah kau berjanji
hal yang ringan seperti itu?"
"Ya, ya... aku berjanji...." sahut Prangkulo cepat
sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali. Dia
merasa sudah tidak berdaya. Dan perlahan-lahan di
hatinya tumbuh rasa penyesalan yang mendalam akan
sikapnya selama ini. Maka dia pun menganggukkan
kepalanya dengan sikap yang tulus.
"Bagus! Aku akan pegang janjimu itu, dan Ba-
rejo beserta istri menjadi saksi! Bila kau kulihat atau
kudengar melanggar janji itu, maka akan ku cabut se-
mua sikapku sekarang ini. Bagaimana? Kau setuju?"
Perlahan Prangkulo menganggukkan kepa-
lanya.
"Ya, aku setuju... dan aku amat menyesal dengan
sikapku yang sombong selama ini...." katanya den-
gan suara yang tulus dan penuh penyesalan.
"Bagus! Nah, kau sekarang boleh pergi dari sini.
Bersikaplah sebagaimana yang di inginkan Gusti Allah
kepada umat-Nya. Dia tentu akan marah bila kita me-
langgar keinginanNya. Jadilah pemuda yang baik dan
berguna bagi desa ini...."
"Ya... terima kasih, Sobat... kau mau memban-
tuku untuk menyadari kekeliruan ku selama ini...." ka-
ta Prangkulo sambil perlahan-lahan berdiri. Ditatapnya
pengemis itu yang juga sedang menatapnya. "Terima
kasih, Sobat...." "Pulanglah...."
Lalu dengan langkah tegap yang pasti, Prang-
kulo pun meninggalkan tempat itu. Dia merasa amat
menyesal dan malu mengingat sikapnya selama ini.
Dan dia sungguh-sungguh berjanji tidak akan mengu-
langi lagi sikapnya selama ini.
Sementara itu Barejo dan istrinya mendesah le-
ga, karena si pengemis ternyata tadi hanya menggertak
saja. Kala keduanya mengangkat kepala hendak meli-
hat si pengemis, mendadak saja mereka terkejut. Ka-
rena si pengemis sudah tidak berada di tempatnya
berdiri!
Dan hal ini semakin membuat keduanya ber-
tambah kagum. Mereka jadi bertanya-tanya, siapakah
sesungguhnya pengemis pincang dan bongkok yang
sakti dan arif bijaksana itu?
*
**
5
Keadaan Juragan Banyu Biru semakin lama
semakin bertambah menguatirkan sekali. Dia terus
tergolek sepanjang hari di kamarnya. Tubuhnya sema-
kin lama semakin kurus. Sudah puluhan tabib yang
mencoba mengobatinya, gagal. Dan siang malam dia
hanya menggumamkan nama istri dan putrinya. Agak-
nya peristiwa yang telah terjadi itu amat mengganggu
pikirannya dan membuat jiwanya goncang. Semakin
lama dirinya semakin tak bertenaga. Terlihat pula dia
amat tak berdaya.
Sementara itu laki-laki setengah baya yang di-
pertuan selain Ki Lurah Pandu Kelana di desa itu,
Kendala Yoro, hanya bisa mendesah panjang. Hatinya
pun galau dan bingung memikirkan nasib Juragan
Banyu Biru. Kendala Yorolah yang selama ini menjaga
Juragan Banyu Biru di samping warga desa yang siang
dan malam bergantian menjaga di sekeliling rumah Ju-
ragan Banyu Biru. Karena yang dikuatirkan, orang-
orang Sangkur Baja akan datang menyerang secara ti-
ba-tiba. Yang lebih dikuatirkan lagi bila Bojo Mayit
yang memiliki ilmu kebal itu yang turun tangan sendi-
ri. Ini akan menjadi suatu peristiwa yang amat menge-
rikan, meskipun Kendala Yoro sendiri yakin akan ke-
mampuan dirinya. Namun dia menguatirkan keadaan
warga yang lainnya.
Makanya di kala ada waktu senggang, Kendala
Yoro melatih para penduduk desa dalam hal ilmu bela
diri. Karena dia berpikir, di samping para penduduk
bisa menjaga dirinya sendiri, juga akan bisa memban-
tunya menghadapi orang-orang Sangkur Baja bila sua-
tu waktu mereka muncul menyerang.
Sore ini Kendala Yoro sedang berada di beranda
rumah Juragan Banyu Biru. Dia tengah bercakap-
cakap dengan dua orang warga desa yang baru saja
melaporkan hal yang amat menarik menurutnya. Ter-
lihat pula kalau Kendala Yoro manggut-manggut men-
dengarkan kata-kata salah seorang dari dua lawan bi-
caranya.
"Benarkah demikian, Subra?" tanyanya setelah
orang itu selesai bicara.
"Benar, Puan," sahut yang dipanggil Subra.
"Saya sendiri menyaksikan pengemis sakti itu mem-
permainkan pemuda sombong di desa sebelah Tengga-
ra sana. Saya pikir, pengemis itu bisa menolong diri
Juragan Banyu Biru. Karena sudah tentu bila dia he-
bat memainkan ilmu kanuragan, tentu pula dia memi-
liki ilmu pengobatan yang amat hebat."
"Sungguh menarik sekali. Mudah-mudahan apa
yang kau pikirkan itu memang benar adanya, Subra."
"Saya yakin soal itu, Puan."
"Bisakah kau menemuinya dan memintanya
untuk mengobati Juragan Banyu Biru?" tanya Kendala
Yoro. "Karena aku sendiri sebenarnya sudah bingung
dengan keadaan Juragan Banyu Biru. Kesehatannya
semakin lama semakin memburuk sekali."
"Kalau soal itu saya bisa, Puan.:. namun saya
tidak tahu apakah dia mau datang ke mari untuk
mengobati Juragan Banyu Biru atau tidak.... Bukan-
kah dia sendiri yang menentukan hal itu?"
"Kau benar, Subra.... Memang dia yang menen-
tukannya dan kita tidak bisa memaksanya untuk mau
datang ke mari dan mengobati Juragan Banyu Biru.
Namun bukankah kau bisa mencobanya, Subra? Siapa
tahu dia bersedia.... Bagaimana, Subra?"
"Bisa, Puan...."
"Nah, berangkatlah kau bersama Jagar. Jangan
banyak membuang waktu dalam perjalanan. Lekaslah
temukan pengemis sakti itu."
"Baik, Puan...."
"Pergilah dan lekaslah kembali dengan penge-
mis sakti itu!" kata Kendala Yoro.
"Baik, Puan...." kata Subra sambil menghormat
dan undur diri. Begitu pula dengan Jagar yang sejak
tadi hanya diam saja mendengarkan percakapan itu.
Dan sore itu pula dia memacu kudanya bersa-
ma Jagar menuju desa di sebelah Tenggara. Keduanya
dengan cepat memacu kuda mereka seakan sedang di-
kejar wabah penyakit yang amat mengerikan.
Kendala Yoro mendesah panjang, dia memang
tidak bisa berharap banyak. Namun meskipun demi-
kian dia tetap menaruh harapan pada pengemis sakti
itu. Karena memang hanya dialah yang kini bisa dija-
dikan harapan.
Harapan yang masih belum terlihat wujudnya.
Hanya bayangannya saja yang bisa dirasakan.
Belum lagi dia bisa memikirkan hal itu lebih
lama, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari bela-
kang rumah Juragan Banyu Biru yang memiliki hala-
man demikian luasnya. Suara itu demikian keras, di-
iringi dengan bunyi senjata beradu dan suara teriakan
disusul dengan jerit kesakitan.
Segera saja Kendala Yoro berlari ke sana. Ha-
tinya mengatakan sesuatu yang tidak enak sedang ter-
jadi. Benar saja dugaannya itu. Meskipun dia sudah
menduga namun tak urung betapa terkejutnya dia me-
lihat beberapa warga desa yang menjaga di bagian be-
lakang tengah mati-matian menghadapi beberapa
orang yang dengan bengisnya membantai mereka. Dan
Kendala Yoro masih melihat seorang warga desa yang
ambruk dengan dada robek bersimbah darah akibat
sabetan senjata tajam orang-orang itu.
Di samping hatinya teriris, Kendala Yoro jug a
menjadi geram. Dan dia pun tidak bisa mendiamkan
hal itu terlalu lama lagi. Lalu dia pun bersalto bebera-
pa kali untuk hinggap di sana. Dan langsung mengha-
lau serangan-serangan kejam itu terhadap warga desa.
Namun dia terlambat, karena tiga orang warga desa itu
telah menemui ajalnya.
Sementara itu pun berlarian beberapa orang
yang menjaga di sekeliling rumah itu. Mereka pun ber-
diri di samping Kendala Yoro dengan mata terbelalak
melihat kawan mereka yang mati dan pandangan ge-
ram terhadap orang-orang yang membunuh mereka
itu!
Kendala Yoro bisa bersikap lebih tenang meski-
pun dia geram bukan main. Hanya matanya saja yang
tidak bisa menutupi betapa geramnya dia. Kala dia
berkata, suaranya terdengar merandek sangar penuh
amarah.
"Hhh! Agaknya orang-orang Sangkur Baja su-
dah sampai di sini pula? Tidakkah kalian menyesal te-
lah membuat onar seperti ini?"
Salah seorang dari orang-orang yang berpa-
kaian merah-merah itu mendengus.
Dia bernama Pratiko. Seorang tangan kanan
dari Bojo Mayit.
"Hhh! Memang kesukaan kami berbuat hal se-
perti itu? Hmm... bila kau tidak suka dengan hal itu,
mengapa kau hanya berdiam diri saja tidak melarang
perbuatan kami, hah? Hmm... nampaknya kau lebih
baik bersiap-siap saja beristirahat di rumah untuk
menunggu ajal yang sebentar lagi akan tiba daripada
harus berkeliaran seperti ini!"
"Aku akan merasa sia-sia hidup bila ku lihat
masih ada keangkaramurkaan di muka bumi ini! Apa-
lagi bila orang-orang keji seperti kalian yang telah me-
lakukannya! Sampai mati pun aku tak akan rela!"
"Hahaha... kau bermimpi, Orang tua! Kau lupa
siapa yang kau hadapi ini?"
"Sombong!"
"Karena memang sebentar lagi akan aku bukti-
kan, bahwa orang seperti kau lebih baik mampus saja!
Hajar dia!!"
Mendengar perintah itu, dua orang dari Per-
kumpulan Sangkur Baja segera maju menyerbu ke
arah Kendala Yoro. Kendala Yoro yang sejak tadi sudah
siap menghadapi segala sesuatunya pun segera me-
nyambut serangan itu.
Dua serangan yang dilakukan dengan cepat
dan hebat itu berhasil dihindarinya dengan jalan men-
gelak. Dan dengan kecepatan yang luar biasa pula dia
menggerakkan tongkat yang dipegangnya dengan satu
gerakan yang hebat.
"Wuuut!"
"Wuuuutttt!!"
Dua kali tongkat itu bergerak. Namun dua la-
wannya bukanlah orang sembarangan, mereka berha-
sil menghindari serangan itu bahkan dengan cepatnya
membalas. Namun Kendala Yoro bukanlah seorang tua
yang kosong, pukulan tangan kanan lurus yang ditu-
jukan ke wajahnya di halaunya dengan sapuan tong-
katnya, lalu tongkat itu bergerak menyodok.
"Des!"
Serangan itu tepat mengenai sasarannya mem-
buat seorang lawannya harus menahan rasa sakit dan
mual di perutnya. Yang seorang lagi masih terus me-
nyerang. Namun dua kali Kendala Yoro menggerakkan
tongkatnya, dia pun harus mundur dengan tulang ker-
ing yang rasanya mau patah.
Kendala Yoro menyeringai pada Pratiko.
"Hmm... apakah kau masih mau menganggap
ringan orang tua seperti aku ini?"
Mendengar kata-kata itu dan melihat dua anak
buahnya harus mundur dalam beberapa gebrakan sa-
ja, wajah Pratiko memerah gusar. Dia menggeram he-
bat.
"Bangsat! Kubunuh kau, Bangsat!!" serunya se-
raya menyerbu dengan gerakan cepat. Tangan kanan-
nya yang penuh tenaga mengarah pada wajah Kendala
Yoro. Kendala Yoro sendiri dengan sigapnya mengge-
rakkan tongkatnya untuk menghalau serangan itu. Se-
rentak Pratiko menarik tangannya, bersalto sekali dan
meluncur kembali ke arah Kendala Yoro, kali ini kaki
kanannya yang siap menjebol dada Kendala Yoro.
Namun lagi-lagi Kendala Yoro menggerakkan
tongkatnya, kali ini dengan bersalto. "Trakkk!!"
Tongkat itu tepat menghantam kaki Pratiko.
Yang sedikit merasakan ngilu. Bila saja dia tidak me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke kaki, maka kaki itu
niscaya akan remuk. Dia bersalto ke belakang dan kala
hinggap di bumi dia kembali merasakan ngilu di ka-
kinya.
Hal ini semakin membuatnya geram. "Bunuh
manusia itu!" serunya pada anak buahnya. Serentak
mereka menyerbu ke arah Kendala Yoro, namun para
penduduk desa yang bersiaga sejak tadi pun tak mau
ketinggalan. Serempak pula mereka menyerbu meng-
halau serangan mereka.
Di tempat itu pun terjadilah pertempuran yang
sengit dan hebat. Pratiko sendiri sudah kembali me-
nyerang Kendala Yoro. Keduanya kembali saling gem-
pur dengan hebat. Masing-masing memperlihatkan ke-
hebatannya. Meskipun sudah cukup berumur, namun
Kendala Yoro masih mampu bertahan bahkan memba-
las dengan gigih dan tak kalah hebatnya.
Pratiko sekali ini merasa kena batunya karena
tidak menyangka hal itu. Pikirnya tadi laki-laki beru-
mur itu hanya mampu bertahan dalam beberapa ge-
brak saja. Namun sekarang terbukti kalau laki-laki itu
mampu bertahan beberapa lama. Hal ini semakin
membuat bertambah geram.
"Tak kusangka kau masih mampu bertahan,
Orang tua!" serunya geram sambil mempergencar se-
rangannya.
"Hahaha... kini kau tahu bukan siapa aku se-
benarnya? Lebih baik kau menyerah dan minta maaf
padaku, Orang jahat! Untuk apa kau berbuat onar se-
perti ini terus menerus? Apakah kau sudah tidak
punya keinginan untuk berbuat baik, hah?!" balas
Kendala Yoro sambil terus menghindar dan balas me-
nyerang.
"Kau tak perlu berkhotbah, Orang tua! Kau le-
bih baik yang menyerah dan membunuh diri di hada-
panku! Bila tidak kau lakukan, kau akan kubunuh!"
seru Pratiko sambil terus mengeluarkan segenap ke-
mampuannya.
Kendala Yoro hanya tertawa saja.
"Membunuhku? Hahaha... sejauh ini saja kau
belum berhasil untuk memukul ku mundur, apalagi
untuk membunuhku! Hahaha... jangan bermimpi di
siang bolong, Orang jelek!"
Makin murkalah Pratiko. Kalap dia menyerang.
Namun hal itu malah memudahkan bagi Kendala Yoro
untuk menyerang dengan hebat, menekan dan mende-
sak.
Sementara itu anak buahnya terus bertempur
dengan sengitnya melawan para penduduk desa yang
dengan gigih bertahan dan balas menyerang. Mereka
pun tak ingin dijadikan sasaran pukulan, tendangan
mau pun sabetan senjata yang dipegang oleh lawan-
lawannya.
Mereka juga tidak ingin membiarkan orang-
orang itu hidup terus menerus dan membuat onar.
Makanya dengan penuh semangat yang membaja me-
reka terus membalas dan menyerang. Bagi mereka le-
bih baik mati daripada membiarkan orang-orang kejam
itu hidup sepanjang masa.
Sedangkan pertarungan antara Kendala Yoro
dengan Pratiko terus berlangsung dengan serunya.
Kendala Yoro terus menyerang dengan hebat Pratiko
yang kelihatan mulai terdesak dengan hebat. Dan dua
jurus kemudian terlihat kalau Pratiko sudah mulai
terdesak hebat. Berkali-kali tongkat di tangan Kendala
Yoro dengan cepat berkelebat ke sana ke mari mence-
car bagian-bagian tubuh dari Pratiko yang dengan su-
sah payah berusaha menghindar. Namun lambat laun
dia mulai dengan tetap terdesak. Hingga dua kali tong-
kat di tangan Kendala Yoro mengenai sasarannya.
"Des!"
"Des!"
Tubuh Pratiko terhuyung karena dadanya di-
hantam dengan keras oleh dua sodokan yang cepat
dan dilakukan sekaligus oleh Kendala Yoro.
"Hahaha... bukankah tadi sudah kukatakan,
lebih baik kau menyerah saja daripada harus mati ko-
nyol sekarang! Jangan bermimpi untuk bisa menga-
lahkan aku, Kawan!"
"Anjing buduk!" menggeram Pratiko sambil me-
nyerang kembali dengan ganasnya. Namun lagi-lagi dia
harus menerima pukulan keras dari tongkat yang di-
mainkan dengan hebatnya oleh Kendala Yoro.
"Des!"
Satu sodokan keras menggedor dada dari Prati-
ko yang kembali terhuyung. Kali ini dia merasakan
yang amat sakit sekali. Lalu "Huak!" Dia pun muntah
darah.
Kendala Yoro yang sedang geram pun dengan
beringasnya bergerak maju untuk menghabisi diri Pra-
tiko. Karena dia berpikir manusia seperti Pratiko bila
dibiarkan hidup akan terus membuat onar yang tak
pernah berkesudahan.
"Hhh! Mampuslah kau, Manusia jahanam!!"
Tubuh itu meluncur dengan deras ke arah Pra-
tiko. Siap untuk menghancurkannya. Tongkat yang
tergenggam di tangannya dipegang erat oleh dua tan-
gan dan siap untuk diayunkan ke kepala Pratiko yang
hanya bisa menyaksikan dalam keadaan pasrah. Ber-
maksud menghindar pun tiada guna lagi karena tu-
buhnya dirasakan amat sakit sekali.
Terdengar jeritan yang cukup keras. Namun
bukan dari mulut Pratiko, melainkan dari mulut Ken-
dala Yoro disusul dengan meluncurnya tubuhnya ke
belakang dengan deras.
"Aaaakkkhhh!!"
Dia ambruk dan dengan menahan rasa sakit-
nya dia berdiri tegak kembali. Matanya mencari-cari
siapa yang telah menghalangi serangannya. Dan mata
itu menangkap satu sosok tubuh yang tinggi kekar
dengan wajah menyeramkan di hadapannya. Dia ada-
lah Bojo Mayit atau ketua Sangkur Baja!
Kini manusia seram itu terbahak-bahak dengan
kerasnya. Perutnya yang buncit terguncang karena ge-
rakan tubuhnya.
"Hahaha... kakek tua... lebih baik kau mampus
saja daripada menjual lagak di depanku, hah! Hmm...
aku sebenarnya cukup
bangga denganmu, dalam waktu yang setua ini
kau masih mampu untuk bertahan melawan tangan
kananku, bahkan kau bisa menjatuhkannya!"
Kendala Yoro sadar dengan siapa kini dia ber-
hadapan. Dia sebenarnya sudah lama mendengar na-
ma Bojo Mayit yang amat tinggi kesaktiannya. Namun
meskipun demikian dia tidak takut menghadapi ma-
nusia itu. Bahkan dia pun bermaksud untuk menjajal
sampai seberapa tinggi ilmu yang dimiliki Bojo Mayit
yang namanya sudah terdengar lama.
Dia mendengus dengan sikap yang gagah.
"Hhh! Rupanya kau yang bernama Bojo Mayit!
Bagus, aku pun sudah lama ingin menjajal keheba-
tanmu!"
Mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh
Kendala Yoro, malah membuat Bojo Mayit terbahak-
bahak karena geli.
"Hahaha... kau rupanya amat pemimpi, Orang
tua!" serunya. "Kau tidak melihat betapa tingginya lan-
git dan betapa dalamnya lautan! Kau hanya akan
membuang nyawa dengan percuma!"
"Manusia keparat! Menghadapimu aku tidak
takut mati! Bahkan aku akan menyesali hidupku se-
panjang masa bila belum membunuhmu!" geram Ken-
dala Yoro.
"Hahaha... mengapa tidak segera kau buktikan,
Monyet tua! Mengapa kau hanya berkomentar saja,
hah?!"
Merah padam wajah Kendala Yoro mendengar
ejekan seperti itu.
Dia mendengus.
"Anjing buduk! Kita lihat nanti siapa yang akan
mampus berkalang tanah!"
"Hahaha... aku suka sekali dengan kata-
katamu itu! Bagus, aku pun ingin tahu sampai di ma-
na kebenaran kata-katamu yang penuh bunga dan se-
sumbar itu!"
"Anjing!"
"Hahaha... mengapa kau masih berkomentar
dan memaki-maki saja, Monyet tua!!"
"Baik! Lihat serangan! Haaaiiiiittt!!!"
*
**
6
Sambil menjerit keras tubuh Kendala Yoro den-
gan derasnya meluncur ke arah Bojo Mayit yang masih
tertawa. Tongkat di tangannya siap bergerak menghan-
tam kepala dari Bojo Mayit.
Namun meskipun sambil tertawa dengan san-
tai, serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro seakan
dianggapnya hanyalah satu serangan anak kecil bela-
ka. Karena masih tetap tertawa, Bojo Mayit menggeser
posisi berdirinya. Serangan yang dilakukan oleh Ken-
dala Yoro tidak mengenai sasarannya.
"Hahaha... tongkat untuk memukul anjing gila
kau gunakan kepadaku, Monyet tua!"
"Seetttaan!!"
Dengan geramnya Kendala Yoro memutar tong-
katnya kembali, mengincar sasaran pada kaki Bojo
Mayit. Ketua Sangkur Baja itu dengan lincahnya men-
gangkat kakinya dan dengan satu gerakan yang amat
luar biasa, bersamaan dengan mengangkat kakinya,
dia bersalto ke belakang sekali dan kaki kirinya men-
gayun menghantam dada Kendala Yoro.
"Buk!"
Kendala Yoro tidak menyangka hal itu, sehing-
ga dadanya berhasil digedor oleh Bojo Mayit. Cukup
menyakitkan, mampu membuat dadanya sesak untuk
sementara.
Bojo Mayit yang telah hinggap kembali di bumi,
terbahak-bahak melihat Kendala Yoro mengusap-
ngusap dadanya.
"Hahaha... bagaimana... apakah kau sudah
mengakui kehebatanku, Monyet tua!"
Sepasang mata tua itu menyipit dengan garang.
Hatinya penuh dendam dan begitu terbakar sekali.
"Sampai mati pun aku akan bertarung den-
ganmu, Manusia busuk!" serunya dengan suara yang
amat geram sekali. Lalu dengan kecepatan yang amat
cepat, Kendala Yoro kembali menyerang.
Namun kali ini Bojo Mayit tidak mau berbuat
ringan lagi, dia segera membalas perlakukan Kendala
Yoro dengan gerakan yang amat cepat pula menyerang.
Pertarungan itu jelas tidak seimbang, karena Bojo
Mayit sudah menggunakan ilmu kebal Sangkur Ba-
janya, hingga semua serangan yang dilakukan Kendala
Yoro menjadi sia-sia belaka.
"Hahaha... tak satu pukulan atau pun senjata
yang bisa mengalahkan aku! Kau jangan terlalu ba-
nyak bermimpi yang terlalu indah dan muluk, Manusia
busuk!"
Kendala Yoro memang telah melakukan semu-
anya dengan penuh susah payah. Namun dia masih
amat penasaran dengan hal itu. Kini dia pun bertekad
untuk mengadu nyawa dengan Bojo Mayit.
Maka diayunkannya tongkatnya dengan gera-
kan yang amat cepat dan tangkas.
"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Bangsat!"
"Hahaha... kau hanya mengorbankan nyawa
yang tak berguna, Monyet tua!" seru Bojo Mayit sambil
terus menghindari serangan-serangan yang dilakukan
oleh Kendala Yoro. Baginya hal itu adalah sebuah pen-
gorbanan yang amat besar. Bila pun dia harus mam-
pus di tangan Bojo Mayit dia tak akan pernah menyes-
al menghadapi maut sekali pun. Yang pasti dia akan
merasa satu pengorbanan yang amat besar.
"Anjing keparat! Sampai mati pun aku berani
mengadu jiwa denganmu!" serunya kalap sambil terus
menyerang dengan membabi buta.
Namun hingga sejauh itu, Bojo Mayit tak per-
nah mengelak atau menghindar, dia hanya mengan-
dalkan ilmu kebalnya saja. Dan sampai sejauh itu pula
semua serangan yang dilakukan oleh Kendala Yoro
hanya sia-sia belaka.
Sementara itu warga desa yang mencoba untuk
menahan setiap serangan dari orang-orang itu pun
hanya bisa bertahan sejenak, karena tak lama kemu-
dian mereka pun harus mengorbankan nyawa. Namun
karena mati dengan penuh rasa bangga karena merasa
tidak percuma membuang nyawa sekalipun.
Sedangkan Kendala Yoro kembali merasakan
sia-sia menghadapi semua serangan yang dilakukan
oleh Bojo Mayit, karena ketua Sangkur Baja itu sudah
mulai membalas menyerang dan berkali-kali menu-
runkan tangan telengasnya.
Hingga kemudian Kendala Yoro pun harus me-
nerima satu hajaran dari tangan yang kuat itu.
"Des!"
Dadanya dirasakan bagaikan digedor oleh satu
hantaman baja yang amat kuat sekali, yang sanggup
menghancurkan batu sebesar gajah. Bila saja Kendala
Yoro tidak memiliki tenaga dalam yang cukup lu-
mayan, sudah tentu dadanya hancur digedor oleh pu-
kulan yang amat keras itu.
Namun tak urung dia merasakan sakit yang
amat luar biasa sekali.
Terbahak-bahak Bojo Mayit melihat keadaan-
nya.
"Hahaha... Monyet tua... sudah ku katakan...
lebih baik kau membunuh diri saja di hadapanku da-
ripada harus mampus berkalang tanah dengan tubuh
yang mengerikan!"
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Kenda-
la Yoro mendengus. "Anjing buduk! Sekali pun aku
mampus di tanganmu, aku tak akan pernah menyesal!"
"Hahaha... kau hanya bisa berkomentar dan
besar mulut belaka! Buktikan bila kau memang mam-
pu untuk menghadapiku!"
"Anjing setttan! Mampuslah kau!!" seru Kendala
Yoro kalap dan dengan beringas dia kembali menye-
rang. Namun lagi-lagi serangannya harus mengalami
kegagalan, karena ilmu kebal yang dimiliki oleh Bojo
Mayit menjadikan setiap serangan dari Kendala Yoro
tak banyak artinya.
"Hahaha... teruskan seranganmu, Monyet tua!
Teruskan!!"
Hal itu semakin membuat Kendala Yoro menja-
di geram namun dia tidak bisa berbuat banyak lagi.
Karena sukar baginya untuk menaklukkan Bojo Mayit
yang begitu perkasa dengan ilmu kebalnya yang tiada
bandingnya. Sungguh merupakan sebuah ilmu kebal
yang cukup dan amat hebat dimiliki oleh Bojo Mayit.
Dan ini bagi Kendala Yoro hanyalah sebuah serangan
yang amat sia-sia belaka saja.
"Anjing buduk! Kau memiliki ilmu iblis yang
amat kejam dan mengerikan! Jahanam!" serunya yang
berusaha untuk mencari titik kelemahan dari Bojo
Mayit yang demikian hebat itu. Namun semuanya ha-
nyalah sia-sia belaka saja, karena dia tetap
tidak dapat mengungguli Bojo Mayit. Sebuah
serangan yang tak banyak gunanya bagi Kendala Yoro
yang terus menerus berusaha untuk mengalahkan
manusia itu.
Bojo Mayit sendiri lama kelamaan menjadi bo-
san dengan sikap Kendala Yoro yang tak mau menga-
lah. Dia bahkan dengan ringannya menggerakkan tan-
gan kanannya untuk menangkis serangan gencar yang
dilakukan oleh Kendala Yoro.
Hingga suatu ketika, tongkat yang dipegang
oleh Kendala Yoro terpotong menjadi dua akibat keras-
nya tenaga benturan yang terjadi.
"Trak!!" Potongan tongkat itu satu terpental ke
angkasa satu lagi meluncur deras ke arah Kendala Yo-
ro yang menjadi terkejut bukan kepalang. Untungnya
dia masih bisa menguasai dirinya dengan seksama.
Meskipun sempat tergedor oleh ujung tongkat itu, dia
masih bisa menangkis.
Namun di luar dugaannya, Bojo Mayit yang ti-
dak mau berbuat ayal lagi, dengan kecepatan yang su-
kar diikuti oleh mata meluncur dengan kecepatan yang
cukup deras. Dua pukulan beruntun sekaligus dengan
cepat hendak dilakukannya.
Kali ini Kendala Yoro tidak bisa berbuat ba-
nyak. Maka tanpa ampun lagi dua pukulan yang men-
gandung tenaga dalam cukup lumayan itu menggedor
bagian dada dari tubuhnya.
"Des!"
"Des!"
Tubuh tua itu terhuyung ke belakang karena
dorongan yang cukup keras. Sementara Bojo Mayit
dengan ringannya telah bersalto ke belakang.
Tawanya mengumandang ke angkasa.
"Hahaha... sudah kukatakan sejak tadi, jangan
terlalu sesumbar dengan kebohongan yang amat san-
gat! Hhh! Kini terimalah ajalmu, Monyet tua!!"
Dengan diiringi oleh pekikan yang cukup keras
tubuh itu pun meluncur. Serangkum tenaga dalam
yang cukup tinggi tergenggam di kepalan tangan ka-
nannya, siap untuk di hajarkan pada Kendala Yoro
yang hanya bisa mandah dan pasrah menerima.
Memang tidak ada jalan lain lagi baginya untuk
menghindar. Tubuhnya sungguh-sungguh dirasakan
amat sakit sekali. Di samping itu dia pun seakan tidak
mampu untuk bergerak. Menatap pun rasanya sulit.
Namun memang Kendala Yoro seorang laki-laki
berumur yang telah matang oleh pengalaman hidup.
Dengan gagahnya dia membuka matanya perlahan-
lahan.
Melihat tubuh dengan pukulan yang siap di-
hantamkan itu mengarah padanya. Melihat ajal yang
sebentar lagi menjemputnya.
"Gusti Allah... bila memang hari ini aku harus
mati, maka pasti aku akan mati. Tetapi bila Kau masih
melindungiku dari maut, maka aku akan tetap hidup,"
doanya dalam hati.
Dan matanya tetap terbuka melihat ajal yang
datang!
***
7
"Haaaaiiiiittttt!!" Seruan Bojo Mayit menggema
keras. Membelah angkasa yang! sunyi dan keheningan
langit biru. Dan tanpa ampun lagi pukulan yang men-
gandung tenaga dalam tinggi itu pun mendarat ke sa-
sarannya.
Terdengar pula pekikan keras yang menyayat
hati. Sungguh memilukan. Dan tubuh tua itu pun ter-
pental ke belakang dengan derasnya. Disusul dengan
darah yang terlontar kuat dari mulutnya. Tubuh itu
menabrak tembok yang ada di belakangnya. Lalu ter-
pental kembali ke depan dan ambruk.
Beberapa saat tubuhnya masih kuat di angkat.
Matanya memancarkan sinar dendam pada Bojo Mayit
yang terbahak. Gemetar tangan tua yang lemah tak
berdaya itu menunjuk, sebelum akhirnya terkulai dan
meregang nyawa.
"Hahaha... tak seorang pun yang akan bisa
mengalahkan Bojo Mayit!!" serunya sombong dengan
tawa yang menggelegar. Namun tiba-tiba dia merandek
kepada anak buahnya. "Hhh! Mengapa kalian masih
berada di sini, hah?! Cepat cari si tua Banyu Biru! Se-
ret dia ke mari dan bunuh!!"
Para anak buahnya terkejut. Pratiko serentak
mengomando, "Cepaaaatttt!!"
Serentak pula mereka menerobos masuk ke da-
lam. Mengobrak-abrik rumah Juragan Banyu Biru.
Namun ketika mereka melongok ke kamar di mana
Banyu Biru terbaring, tidak nampak sosok itu di sana.
Kamar itu kosong melompong!
"Cari ke tempat lain!" seru Pratiko karena tidak
mau Bojo Mayit akan menjadi murka.
Mereka pun berpencar ke penjuru rumah itu,
namun Banyu Biru tidak ditemukan. Jangankan un-
tuk menemukan orangnya, bayangannya saja pun ti-
dak nampak.
Bojo Mayit yang mendengar pemberitahuan itu
dari Pratiko menggeram murka, "Bangsaaat!! Ke mana
larinya keparat itu, hah?!"
Para anak buahnya tak ada yang berani berko-
mentar. Mereka hanya tundukkan kepala dengan sikap
tegang. Bila Bojo Mayit sudah seperti ini, maka semu-
anya akan bisa menjadi berantakan. Makanya tak seo-
rang pun yang berani berkomentar. Mereka merasa le-
bih baik diam daripada kena sasaran kemarahan Bojo
Mayit.
Dan benar saja dugaan mereka, dengan geram-
nya Bojo Mayit menghancurkan apa saja yang berada
di dekatnya hingga berantakan. Lalu terdengar benta-
kannya yang amat keras. "Cari keparat itu sampai da-
pat!"
Serentak para anak buahnya berlarian serabutan.
Merasa lebih baik menjauhi Bojo Mayit daripada
kena sasaran!
*
* *
Malam telah larut. Suara binatang malam ter-
dengar ramai bersahut-sahutan. Keadaan begitu men-
cekam sekali. Suasana di sekitar tempat itu menye-
ramkan. Suara air sungai yang mengalir perlahan me-
nambah keseraman itu. Belum lagi udara yang dingin
menusuk.
Samar-samar terlihat satu sosok tubuh yang
bergerak lincah diterangi oleh sinar bulan menuju ke
gubuk jelek yang ada di sana. Lalu sosok tubuh itu
mengetuk pintu gubuk.
Tak lama terdengar pula suara ketukan mem-
balas dari dalam. Agaknya ketukan-ketukan itu seba-
gai isyarat bagi siapa yang datang. Hanya orang-orang
itulah yang mengetahui ketukan isyarat itu.
Perlahan. pintu gubuk itu terkuak setelah si
pendatang membalas ketukan isyarat pula.
Bila diperhatikan dari dekat, terlihatlah wajah
si pendatang wajah Nimas Andini atau Banci Murah
Senyum. Setelah berhasil memfitnah Pandu atau Pen-
dekar Gagak Rimang yang berkali-kali mengalahkan-
nya, dia pun segera menghilang beberapa saat.
Sementara dia masih tetap terus memantau
keadaan Goa Alas Bantan. Dan dia baru mengetahui
kalau Goa Alas Bantan kini dihuni oleh beberapa
orang. Itulah dia sebabnya mendatangi orang yang
menyuruhnya dengan membayar.
"Ada apa, Nimas? Mengapa kau menyuruhku
untuk datang malam ini ke sini?" tanya sosok tubuh
yang wajahnya tertutupi oleh kain hitam. Hanya sepa-
sang matanya saja yang nampak bersinar. "Apakah
kau sudah berhasil mendapatkan Kitab Lembayung
Sakti yang kau sembunyikan di Goa Alas Bantan?"
"Belum, Sobat...."
"Hah? Lalu mengapa kau menyuruhku untuk
datang sekarang?" dengus sosok yang wajahnya tertu-
tup kain hitam itu. Kali ini sepasang matanya bersinar
geram.
Nimas Andini terbahak. Banci yang telah
menghancurkan Perguruan Perawan Mustika itu ber-
kata:
"Hahaha... sabar, sabar... sebentar lagi aku
pasti akan mendapatkannya..."
"Lalu ada apa sekarang?"
"Ada kabar yang baik sekali. Pendekar Gagak
Rimang tidak ada di Goa Alas Bantan."
"Lalu maksudmu?"
"Goa itu kini dihuni oleh empat orang laki-laki
dan gadis yang hendak ku... hihihi... ku cicipi dulu....
Bukankah hal ini malah memudahkan kita untuk
mendapatkan barang yang kau inginkan...?"
"Aku memang sudah lama menginginkan itu....
Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin mempelaja-
rinya."
"Sebentar lagi, Sobat... sebentar lagi kau akan
mendapatkannya. Setelah itu, aku akan mencari Pen-
dekar Gagak Rimang untuk kuhancurkan dan kubu-
miratakan!! Sepak terjangnya sangat mengganggu ke-
giatan orang-orang seperti kita! Dan Pendekar Gagak
Rimang merupakan musuh abadi kita!" seru Nimas
Andini sambil terbahak-bahak.
Sosok berkedok hitam itu pun terbahak. Ba-
ginya tidak penting apa yang hendak dilakukan oleh
Nimas Andini, yang diinginkannya hanyalah Kitab
Lembayung Sakti yang telah dicurinya. Memang hingga
saat ini belum terdengar suara dari Perguruan Lem-
bayung Sakti bahwa mereka telah kehilangan kitab
saktinya. Nanti kita akan mengikutinya dalam serial
Pendekar Gagak Rimang yang berjudul, (Petaka Kitab
Pusaka).
"Bagus kalau begitu! Lalu kapan kau akan mu-
lai hendak mengambil kitab itu?" "Hihihi... kau nam-
paknya begitu tidak sabaran sekali, Sobat...." kata Ni-
mas Andini sambil tersenyum genit yang membuat si
Kedok Hitam menjadi mendengus.
"Kau minta upah lagi, hah?"
"Agaknya kau memang mengerti keinginanku
itu. Yah... aku memang meminta upah lagi," Kali ini
Nimas Andini tersenyum malu-malu. Padahal dia kini
takut bila hendak menculik perawan dan memperko-
sanya, seperti kebiasaannya. Karena dia kuatir akan
bertemu dengan Pendekar Gagak Rimang yang tengah
dicari oleh Barejo dan warga desanya karena fitnah
yang dilakukannya.
"Maafkan aku, Sobat... kali ini aku tidak bisa
memberimu upah terlebih dulu sebelum aku yakin kau
sudah mendapatkan Kitab Lembayung Sakti itu. Bu-
kannya aku melanggar janji, namun kau tak pernah
menepati janjimu pula. Bukankah adil sekarang bila
kita sama-sama tidak saling memenuhi?"
Nimas Andini terkikik.
"Bila begitu maumu, baiklah...." katanya kemu-
dian. "Malam ini juga aku akan kembali ke Goa Alas
Bantan untuk mengambil kitab itu. Hihihi... ya, ya...
aku lupa... bukankah di sana ada seorang gadis yang
amat cantik? Dia bisa kujadikan pelampiasan nafsu
binatang ku sekarang!"
"Bila itu maumu terserah. Aku tidak perduli
kau mau apakan gadis itu. Yang ku inginkan hanyalah
kitab pusaka itu. Kau mengerti, Nimas?"
"Sudah tentu aku mengerti, Sobat.... Dan aku
akan memenuhi janji ku itu padamu."
"Bagus!"
"Dan kau jangan lupa dengan segala janjimu?"
"Bila kau mendapatkan kitab itu, maka aku
akan memenuhi janji ku. Percayalah...."
"Hihihi... sudah tentu aku percaya padamu.
Dan sudah tentu pula bukan bila kau percaya pada-
ku?"
"Ya."
"Hihihi... kalau begini adil namanya. Kita tidak
saling mengikat dan terikat!"
Diam-diam dalam hati si Kedok Hitam menjadi
geram. Dia mengerti maksud dari kata-kata terselu-
bung Nimas Andini itu. Mengikat dan terikat. "Hhh!
Sudah tentu aku yang terikat padamu, Nimas... karena
pada kaulah aku bergantung. Kali ini aku akan tetap
berbaik hati padamu. Namun lihat nanti, bila sudah
kudapatkan kitab itu, maka kau akan menerima gan-
jaran yang pantas akibat perbuatanmu yang selalu
mempermainkan aku!" geram si Kedok Hitam dalam
hati.
Karena jelas-jelas dialah yang terikat oleh si
Banci ini. Kalau si Banci ini memutuskan hubungan,
berarti gagal lah dia mendapatkan kitab sakti itu.
Namun dalam hatinya dia telah menyusun sua-
tu rencana untuk menyingkirkan dan membalas den-
damnya pada si Banci ini.
"Yah... kita memang tidak saling mengikat dan
terikat," desisnya menyembunyikan rasa geramnya.
"Namun sudah tentu kita tidak akan mengingkari janji,
bukan?"
Si Banci terkikik dengan tersipu bak seorang
gadis belaka,
"Mengapa kau berkata demikian, Sobat? Apa-
kah kau kuatir aku akan mengingkari janji?"
Semakin panas hati si Kedok Hitam mendengar
suara yang bernada mengejek itu.
"Ya, sudah tentu kau tidak akan mengingkari
janjimu. Namun aku tak ingin kita saling bertemu da-
lam permusuhan yang dalam," katanya tetap me-
nyembunyikan kegeramannya.
"Hihihi... dari nada suaramu, aku menangkap
kesan bahwa kau sebenarnya begitu marah sekali. Be-
narkah dugaanku ini, Sobat?"
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, sebaiknya
kau pergi saja sekarang untuk mengambil kitab itu.
Aku sudah tidak sabar ingin segera mempelajarinya!
Karena yang ku tahu, Perguruan Lembayung Sakti be-
lum ada yang mempelajari isi kitab itu...."
"Hihihi... baiklah bila itu maumu. Aku jelas
bersedia membantumu...." kata Nimas Andini terus
terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah lenyap dari
pandangannya. Hanya suara kikiknya yang menggema
keras.
Si Kedok Hitam mendengus. Lalu diam-diam
dia pun segera mengikuti ke mana Nimas Andini pergi!
*
* *
8
Malam terus bergerak. Semakin lama semakin
muram. Langit pun seakan tak berbintang. Bulan telah
tersaput oleh awan hitam yang menggumpal dan digu-
lung oleh angin.
Suasana amat mencekam.
Begitu pula dengan suasana Hutan Alas Bantan
begitu mengerikan. Siang maupun malam memang
keadaannya amat mengerikan sekali. Dalam Goa Alas
Bantan Ki Lurah Pandu Kelana tengah termenung. Su-
dah sehari semalam mereka berada di sini. Sebenarnya
Ki Lurah hendak pergi sore tadi, sebelum malam da-
tang. Namun Sekar Perak tertidur pulas. Jelas sekali
kalau gadis itu amat mengantuk. Dari raut wajahnya
masih membayang duka yang amat sangat, membekas
pula hingga ke keningnya yang nampak berkerut da-
lam tidur menandakan dia amat gelisah.
Joko yang sejak tadi memperhatikan Ki Lurah
yang termenung, perlahan-lahan mendekatinya.
"Ki Lurah...." desisnya pelan karena tidak ingin
melihat Ki Lurah tersentak kaget.
Ki Lurah Pandu Kelana tersenyum, menoleh
pada Joko.
"Ada apa, Joko?"
"Apakah kita tidak sebaiknya meninggalkan
tempat ini? Perasaanku tidak enak dan mengatakan
telah terjadi sesuatu di rumah Juragan Banyu Biru se-
peninggal kita."
Ki Lurah mendesah.
"Kau benar, Joko... perasaanku pun mengata-
kan telah terjadi sesuatu di sana... Memang, aku pun
berniat hendak kembali, namun Dik Sekar masih terti-
dur pulas...."
"Aku kuatir dengan keadaan teman-teman di
sana, Ki Lurah," kata Joko pula.
"Ya, aku pun demikian adanya. Namun aku ti-
dak ingin kita membawa Dik Sekar dalam keadaan se-
perti itu. Jiwanya sedang labil dan aku menyesal telah
memberitahunya tentang keadaan ayahnya sekarang.
Biarlah dia tidur terlebih dulu, kemarin seharian dia
hanya duduk termenung saja...."
Belum lagi Joko menjawab, tiba-tiba Ki Lurah
menekap mulut pemuda itu dan langsung menempel-
kan jari telunjuk ke bibirnya. "Jangan berisik," desis-
nya lalu perlahan-lahan dia bangkit. Telinganya yang
cukup terlatih menangkap suara orang yang datang.
Tidak hanya satu orang, bisa beberapa orang. Karena
suara-suara yang tertangkap oleh telinganya berupa
suara orang bercakap-cakap.
Joko yang mengerti mengapa Ki Lurah Pandu
Kelana bersikap seperti itu, segera membangunkan ti-
ga orang temannya. Dan langsung berbisik. "Jangan
ribut! Ada yang datang! Kita bersiap-siap sekarang!"
Serentak ketiganya bangkit dan menyiapkan
golok mereka. Lalu berhati-hati melangkah ke mulut
goa di mana Ki Lurah Pandu Kelana berada di sana.
"Ada apa, Ki Lurah," tanya salah seorang.
"Jangan ribut, aku mendengar ada orang yang
datang ke sini...." sahut Ki Lurah dengan membisik pu-
la. Lalu dia kembali menajamkan pendengarannya.
Dan telinganya semakin yakin kalau dia jelas-jelas
mendengar suara orang yang datang.
"Hhh! Goa apa lagi ini, Pratiko!" Terdengar sua-
ra bernada geram, dan berkesan malas-malasan. "Su-
dah kukatakan agar segera mencari Banyu Biru! Aku
sudah tidak sabar untuk membunuhnya! Hhh! Anjing
keparat! Ke mana perginya Sekar Perak gadis impian
ku itu?!"
Pratiko hanya bisa menyembunyikan kepalanya
saja. Tadi pun kakinya tidak sengaja memasuki Hutan
Alas Bantan. Entah mengapa dia sepertinya yakin ka-
lau di hutan sanalah Juragan Banyu Biru berada. Atau
bila beruntung bisa bertemu dengan Sekar Perak-gadis
pujaan dari Bojo Mayit.
Tiba-tiba dia berseru. "Hei! Bukankah di balik
rimbunnya pepohonan itu mirip sebuah goa? Coba ku-
lihat sebentar!" Pratiko berlari menuju tempat itu. "Hei,
benar! Ketua, benar ini sebuah goa!" serunya.
Orang-orang itu pun berjalan ke arah Pratiko.
Bojo Mayit terbahak-bahak. "Hahaha... bagus, bagus...
goa itu bisa kita jadikan sebagai tempat beristirahat
semalaman!"
Orang-orang itu tertawa. Sementara di dalam
goa itu Ki Lurah Pandu Kelana berbisik dengan sikap
waspada. "Joko... bangunkan Dik Sekar. Jangan sam-
pai dia terkejut. Berbahaya."
Joko segera melaksanakan perintah itu. Tak
lama kemudian dia sudah kembali ke tempat semula
bersama Sekar Perak. Sebelum Sekar Perak bertanya,
Ki Lurah sudah berkata: "Dik Sekar... nampaknya kea-
daan gawat sekarang...."
"Mengapa, Ki Lurah?"
"Hmm... yah... aku memang harus memberita-
hukan siapa yang datang sebenarnya...."
"Siapa, Ki Lurah?" Kali ini bukan hanya Sekar
Perak yang bertanya, tetapi semuanya. Hampir serem-
pak.
"Hmm... mereka adalah orang-orang Sangkur
Baja. Dan salah seorang adalah Bojo Mayit, ketua
Sangkur Baja," kata Ki Lurah Pandu Kelana pelan.
Namun tak urung Sekar Perak menjerit. Un-
tunglah Ki Lurah cepat menekapkan tangannya ke mu-
lut Sekar Perak.
"Jangan tegang, Dik Sekar.... Kami akan beru-
saha menyelamatkanmu. Joko, nasib Dik Sekar berada
di tanganmu sekarang. Bila kami sedang melawan me-
reka, kau berusahalah untuk menyelamatkan Sekar
perak."
"Baik, Ki Lurah...." kata Joko patuh.
Sementara ketegangan di hati Sekar Perak se-
makin menjadi-jadi. Betapa mengerikannya. Manusia
laknat yang telah menyebabkan semua keonaran ini
terjadi, kini telah tiba di sini. "Oh Tuhan... bila ini se-
mua kehendak-Mu... aku rela menerimanya," desisnya
di hati pasrah.
Sementara itu pula terdengar suara Bojo Mayit.
"Bujang Toko... periksa keadaan goa itu! Dan aku tidak
mau terjadi sesuatu di sana sebelum kita mengetahui
ada apa di dalam goa yang cukup mengerikan itu."
Anak buahnya yang bernama Bujang Toko itu
pun segera melangkah. Langkahnya bagaikan seorang
jumawa yang amat hebat. Kakinya pun perlahan mulai
masuk ke Goa Alas Bantan. Gelap menyeruaknya. Ma-
tanya mencari dan tangannya menggapai-gapai. Na-
mun dia amat terkejut ketika kakinya melangkah lagi,
tiba-tiba dirasakannya tangannya ada yang menarik.
Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi.
Tiba-tiba dirasakannya sesuatu yang keras
menghantam tengkuknya. Dan dia pun tak ingat apa-
apa lagi. Pingsan!
Ki Lurah Pandu Kelana berbisik. "Seret dia ke
sana!"
Sementara di luar Bojo Mayit menunggu den-
gan kesal. "Bujang Toko! Sedang apa kau di dalam sa-
na, hah?! Cepat keluar!! Hei, Bujang! Mau mampus
kau rupanya!"
Suaranya menggema di seluruh hutan, menga-
getkan binatang-binatang malam yang sedang berke-
liaran sehingga mereka langsung berlari masuk ke sa-
rang kembali.
Yang lainnya mendengus dalam hati. Konyol si
Bujang Toko ini! Pikir mereka. Mau mampus rupanya!
Namun yang dipanggil tidak muncul-muncul
juga. Hal ini semakin membuat Bojo Mayit menggeram
marah.
"Kusuro! Periksa tempat itu! Dan bunuh manu-
sia laknat itu!"
Yang diperintah kali ini tergesa-gesa melaku-
kannya. Dia ngeri sebenarnya mendapatkan perintah
untuk membunuh Bujang Toko, namun dia lebih ngeri
lagi bila harus mampus dengan kepala terpenggal.
Dia masih sayang nyawanya. Apalagi teringat
istri mudanya yang baru saja dinikahinya. Masih han-
gat-hangatnya.
Kakinya pun tergesa melangkah. Namun sama
seperti yang dialami oleh Bujang Toko, dia pun mera-
sakan tangannya ditarik dan lehernya dihantam puku-
lan keras dari belakang. Dia pun jatuh pingsan.
"Sudah dua orang yang kita lumpuhkan," desis
Ki Lurah Pandu Kelana dalam gelap. Karena peneran-
gan yang ada di sana sudah dipadamkan. "Mudah-
mudahan orang-orang itu terus berbuat seperti-ini. Ki-
ta akan bisa melumpuhkannya satu persatu. Ini me-
mudahkan kita untuk menaklukkan mereka."
"Benar, Ki Lurah," desis Joko.
Di luar goa sana Bojo Mayit menjadi semakin
geram sekali. Karena yang ditunggu tidak keluar juga.
"Anjing keparat! Mau mampus rupanya kalian
berdua!!" geramnya penuh amarah. "Hhh! Berani sekali
kalian melawan kehendakku! Lebih baik kalian mam-
pus di dalam goa itu! Daripada harus susah payah ku
bunuh! Kuhancurkan goa keparat itu!!!"
Tiba-tiba Bojo Mayit terdiam. Matanya berkon-
sentrasi. Kedua tangannya bersatu di dada. Siap me-
lontarkan tenaga dalamnya yang tinggi.
Sementara di dalam goa Ki. Lurah Pandu Kela-
na menjadi amat terkejut. "Lekas, lekas keluar! Goa ini
akan dihancurkannya!!" serunya mengomando sambil
melesat keluar.
Serentak yang lainnya keluar. Joko langsung
menarik dengan keras tangan Sekar Perak yang mau
tak mau terpaksa mengikutinya. Dua kali dia terjatuh.
Bojo Mayit yang sedang berkonsentrasi penuh
mengurungkan gerakan tangannya untuk menghan-
curkan goa itu, karena matanya menangkap beberapa
sosok tubuh yang berlarian ke luar.
"Bangsat! Siapa pula kalian?!" serunya dengan
suara mengguntur.
Ki Lurah Pandu Kelana yang merasa sudah
percuma untuk menyembunyikan diri terus menerus
menghentikan larinya, begitu pula dengan yang lain.
"Joko... terus kau bawa lari Dik Sekar!" desisnya.
Namun terlambat, karena mata belo Bojo Mayit
telah melihat sosok Sekar Perak. Dia terbahak.
"Hahaha... tak kusangka, dinda ku Sekar Perak
rupanya bersembunyi di sini? Hahaha... bagus, ba-
gus... Dinda, mengapa kau melarikan diri dari Kanda,
hah? Mengapa, Dindaku? Tidak tahukah kau bahwa
Kanda mu ini telah lama mencari dan merindui mu,
Dindaku?"
Ki Lurah Pandu Kelana terus berseru, "Joko!
Mengapa kau masih berada di sini, hah? Cepat kau
pergi dari sini!"
Namun lagi-lagi terlambat, karena dengan seka-
li bersalto Bojo Mayit sudah berdiri di hadapan mere-
ka. Menghalangi langkah Joko yang hendak menarik
tangan Sekar Perak.
"Hahaha... tak kusangka dan tak kuduga... ka-
lau akan berjumpa denganmu, Dinda Sekar.... Haha-
ha.... Tuhan memang maha adil. Ya, ya... sudah tentu
dengan hal seperti ini kau sudah pasti akan menjadi
jodohku!"
Wajah Sekar Perak memerah antara geram dan
jijik. Dia geram bila teringat manusia inilah yang
menghancurkan keluarganya. Yang membuatnya terpi-
sah dari ayahnya. Yang membuatnya harus berpisah
dari ibunya selama-lamanya.
Dan yang membuatnya jijik, karena manusia
bejat inilah yang melamarnya.
"Oh, Tuhan... mengapa peristiwa mengerikan
ini Kau berikan padaku?"
"Manusia keparat! Belum cukup puaskah kau
menghancurkan keluargaku?! Belum cukup puaskah
kau berbuat onar terus menerus di muka bumi ini?!"
serunya berang dengan kemarahan yang amat sangat.
"Hohoho... mengapa kau membentak ku seperti
itu, Dinda ku? Bukankah aku calon suamimu ter-
sayang? Kemarilah kau...."
"Setan belang! Lebih baik aku mati daripada
menjadi istrimu!" geram Sekar Perak.
"Hohoho... tak akan pernah bisa kau menghin-
dar dariku, Manisku?"
Ki Lurah Pandu Kelana yang sejak tadi mem-
perhatikan, langsung melangkah ke depan, sambil lalu
dia berbisik pada Joko. "Bila ada kesempatan, larikan
Sekar Perak!" Lalu dia berkata pada Bojo Mayit. "Hhh!
Bojo Mayit... kau masih belum puas juga membuat
onar di muka bumi ini! Lebih baik enyahlah kau dari
sini sebelum kemarahanku semakin menjadi!"
"Hahaha.... Ki Lurah, kaulah yang berulangkali
menggagalkan keinginanku. Kau pula yang mengge-
rakkan warga desa untuk bersatu menentang keingi-
nanku! Hhh! Aku tak akan pernah membiarkan ada
yang menghalangi keinginanku!"
"Bojo Mayit! Siapa pun orangnya akan menen-
tang keinginanmu itu! Keinginan busuk yang tak akan
pernah dimaafkan oleh Gusti Allah! Lebih baik kau
pergi ke neraka!"
Merah padam wajah Bojo Mayit. Udara yang
dingin malah membuat darahnya semakin mendidih.
"Bangsat! Aku jadi penasaran ingin melihat il-
mu yang kau miliki itu!"
"Hhh! Aku pun jadi penasaran ingin menyaksi-
kan sendiri semua yang kau banggakan, Manusia bu-
suk!"
"Anjing keparat!. Bunuh manusia itu!" seru Bo-
jo Mayit berang.
Dengan serentak Pratiko bergerak bersama dua
orang temannya. Begitu mendengar Bojo Mayit mem-
beri perintah, Ki Lurah Pandu Kelana segera bersalto
ke tempat yang agak lapang. Meskipun gelap, matanya
yang cukup terlatih untuk melihat dalam gelap bisa
melihat tiga laki-laki yang mengurungnya dengan sen-
jata yang siap didaratkan pada tubuhnya.
Di samping itu dia pun bermaksud memberi
kesempatan bagi Joko untuk melarikan Sekar Perak
dari manusia kejam itu. Baginya jiwa Sekar Peraklah
yang paling penting sekarang.
Pratiko mendengus.
"Lurah tua! Mampuslah kau!!" serunya seraya
menyerang dengan pukulan yang beruntun yang siap
akan dilakukannya.
Ki Lurah pun bersiaga dengan mata was-pada.
*
**
9
Ki Lurah Pandu Kelana tidak mau mengambil
resiko yang berbahaya. Dia menggeser sedikit tubuh-
nya. Serangan yang dilakukan oleh Bojo Mayit memang
luput dari sasaran. Namun serangan yang lain pun
berdatangan. Membuat Ki Lurah Pandu Kelana harus
segera mengubah posisi.
Perkelahian tiga lawan satu itu pun terjadi dengan
sengitnya. Sementara itu Bojo Mayit terkekeh pada
Sekar Perak yang tengah dilindungi oleh empat orang
warga desa. Belum lagi mereka sadar, Bojo Mayit su-
dah menggerakkan tangannya.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Tiga sosok tubuh terpental dan mampus tanpa
sempat tahu tangan atau kaki yang menghantam da-
danya, tanpa sempat menjerit pula.
Sekar Perak terpekik. Joko mendengus geram.
Dia tidak menyangka kalau Bojo Mayit akan menye-
rang dengan cepat seperti itu. Sungguh suatu ilmu
yang amat hebat sekali dimiliki oleh Bojo Mayit.
Gerakannya tidak terlihat, namun sungguh
berbahaya sekali. Meskipun demikian dia tidak takut
untuk menghadapinya, sekalipun Joko tahu bahwa dia
tak akan mampu menghadapi manusia itu.
"Manusia keparat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!!" geramnya sambil meloloskan goloknya.
Namun lagi-lagi tanpa sempat terlihat gerakan apa
yang dilakukan oleh Bojo Mayit, tubuh Joko mendadak
terpental dan mampus.
Bojo Mayit terbahak.
"Hahaha... mampuslah kalian semua!"
Kini matanya yang kejam dan jalang tertuju
pada Sekar Perak. "Hhh! Bila kau masih belum berse-
dia juga menjadi istriku, lebih baik ku perkosa kau!!"
desisnya sambil melangkah mendekati Sekar Perak
yang mundur ketakutan.
"Jangan, jangan ganggu aku, Orang jahat!"
Bojo Mayit hanya terkekeh. Dan dengan tiba-
tiba dia melompat menyergap. Sekar Perak tak bisa
menghindar lagi. Tubuhnya jatuh tertindih tubuh Bojo
Mayit yang besar dan kekar itu.
Dia meronta. "Lepaskan, lepaskan aku!!"
"Hehehe... tak akan pernah kau akan kule-
paskan!" desisnya lalu dengan garangnya dia merobek
baju bagian dada dari Sekar Perak hingga nampaklah
bukit dadanya yang putih mencuat indah.
"Lepaskah, lepaskan aku!!" seru gadis itu kala
Bojo Mayit menciumi bagian dadanya dengan penuh
nafsu sambil terkekeh.
"Hehehe... tak akan pernah... hehehe...
heigkh!!" Tiba-tiba tawanya terputus karena dirasa-
kannya sesuatu menghantam bagian punggungnya.
Dengan geram dia menoleh dan melihat sosok
tubuh yang sedang tersenyum genit. Dia adalah Nimas
Andini atau Banci Murah Senyum.
"Siapa kau, hah?!" serunya sambil berdiri. Ni-
mas Andini terkikik.
"Hihihi... agaknya kau tidak mengenali ku, Bojo
Mayit?"
Bojo Mayit mendengus. "Hhh! Rupanya kau
banci yang kerjanya selalu mengganggu kesenangan
orang lain!"
"Aku bukannya bermaksud mengganggu kerja-
mu, namun aku tidak ingin melihat kau menikmati tu-
buh gadis incaran ku itu... hihihi... kau mengerti bu-
kan maksudku?"
Bojo Mayit menggeram. Sementara Sekar Perak
beringsut ketakutan. Sekar Perak merapikan letak ba-
junya. Semula dia bersyukur karena ada yang meno-
longnya, namun begitu dia mengetahui yang meno-
longnya Nimas Andini, yang dua kali berkelahi dengan
Pendekar Gagak Rimang, dia hanya bisa mendesah
panjang. Tiba-tiba dia jadi teringat dengan Pandu. Pe-
muda yang telah membuatnya jatuh hati.
"Gusti Allah... mengapa Kakang Pandu harus
menjauh dariku?" desisnya dan dia yakin akan merasa
lebih tenang bila yang datang itu adalah pemuda yang
dicintainya. Namun sekarang, pemuda itu entah di
mana berada.
Bojo Mayit mendengus marah. Dia jengkel me-
lihat sikap Nimas Andini yang seperti menantangnya.
"Kau membuatku muak, Nimas!"
"Hihihi begitu pula dengan aku bila kau masih
ingin meneruskan niat busukmu itu!" terkikik Nimas
Andini. "Hihihi... janganlah berbuat nekat di depanku,
Bojo Mayit! Kau akan merasakan akibatnya bila terus
melakukannya!"
"Anjing keparat! Mampuslah kau!!" seru Bojo
Mayit sambil menggeram dengan hebat dia pun menye-
rang Nimas Andini yang sambil terkikik bersalto
menghindar.
"Hihihi... tak kusangka kita akan bertarung se-
perti ini, Bojo Mayit!"
Pertarungan memang tidak bisa dihindarkan
lagi. Keduanya bertarung dengan hebat. Masing-
masing mengeluarkan ilmu yang teramat dahsyat. Bojo
Mayit sendiri sudah menggunakan ilmu kebalnya
Sangkur Baja. Sementara Nimas Andini pun menye-
rang dengan jurus Dewa Ular Putihnya. Jurus yang di-
dapatnya dari kitab yang ditemukannya di Goa Alas
Bantan.
Hingga suatu kali keduanya memekik keras
sambil menerjang dengan hebatnya. Masing-masing te-
lah merangkum tenaga sakti di tangan. Siap untuk
sating membunuh.
Dan keduanya sudah nekat untuk mengadu ji-
wa.
Namun tiba-tiba berkelebat sosok tubuh dan
langsung bergerak ke arah keduanya. Dan langsung
memapaki serangan yang di lancarkan keduanya.
"Des!"
"Des!"
Keduanya terpental ke belakang. Dan masing-
masing muntah darah. Benturan tenaga pendatang itu
amat kuat sekali. Dan keduanya terbelalak ketika me-
lihat siapa yang datang.
Seorang pengemis bongkok! Yang sekarang se-
dang menyeringai pada keduanya.
"Hehehe... untuk apa kalian harus membunuh
diri seperti itu? Agaknya kalian sudah tidak sayang
dengan nyawa kalian sendiri...." terkekeh si pengemis.
Bojo Mayit mengeram. "Bangsat! Siapa pula
kau, hah?!" bentaknya dengan kejengkelan yang amat
luar biasa.
"Hehehe... aku hanyalah seorang pengemis
bongkok yang tak punya arti apa-apa!"
Lain halnya dengan Nimas Andini yang terke-
keh. "Hehehe... tahu rasa kau sekarang, Bojo Mayit!
Itulah akibatnya bila suka memperkosa anak orang!
Hihihi... namun cara kerjamu itu sungguh buruk seka-
li, Bojo Mayit!"
"Hhh! Bukankah kau demikian pula, Banci je-
lek?!"
"Hehehe... cara kerjaku lain. Aku memang
memperkosa, namun orang lain yang terkena getah-
nya!" sahut Nimas Andini bangga.
"Apa maksudmu?"
"Hihihi... Pendekar Gagak Rimang... dialah yang
terkena getahnya akibat ulah ku memperkosa perawan
desa yang bernama Priatsih!"
Bojo Mayit mendengus.
"Hhh! Aku tidak punya pikiran sejelek itu!"
Sementara itu si pengemis tersentak. Diakah
yang memperkosa Priatsih, putri dari Barejo? Anjing
terkutuk! Tiba-tiba saja si pengemis menggerakkan ke-
dua tangannya. Dan perlahan-lahan tubuhnya mene-
gak.
"Banci keparat! Rupanya kau yang telah mem-
fitnah aku, hah?!" suara si pengemis berubah. Tan-
gannya menarik topeng yang menutupi wajahnya.
Dan... terlihatlah wajah Pandu si Pendekar Gagak Ri-
mang!
Nimas Andini terkejut. Sekar Perak tersentak.
Mulutnya kontan bersuara: "Kakang Pandu!!"
Murid Eyang Ringkih Ireng yang menyamar se-
bagai seorang pengemis, tersenyum pada Sekar Perak.
"Kau aman sekarang, Rayi...."
"Kakang...."
Pandu berbalik pada Nimas Andini yang terke-
jut. Pendekar Gagak Rimang mendengus.
"Hhh! Kali ini kau tak akan kuampuni, Nimas!"
seru Pandu dengan suara sangar.
Meskipun terkejut namun Nimas Andini tetap
tenang. Dia malah berkata pada Bojo Mayit. "Hihihi...
kau beruntung, Bojo Mayit! Kau bisa melihat langsung
laki-laki bodoh yang menjadi korban perbuatanku!"
Bojo Mayit pun terbahak. "Hahaha... rupanya
kaulah yang bergelar Pendekar Gagak Rimang! Bagus!
Kau akan mampus sekarang!"
"Hihihi... bagus, bagus, Bojo Mayit.... Kita ha-
rus bersatu menghadapi manusia ini!" terkikik Nimas
Andini dengan nada memancing, karena dia tetap me-
rasa tak akan mampu menghadapi pemuda perkasa ini
seorang diri.
Pandu mendengus. Dia membuka baju penya-
marannya. Dan nampaklah tangkai golok Cindarbuana
dan capingnya yang membuat tubuhnya menjadi
bongkok. Lalu dia kembali mengenakan caping itu. Kali
ini terlihat jelas sosok pendekar perkasa itu.
"Hhh! Kau memang pandai menghasut, Banci!
Bagus! Aku pun ingin melihat sampai di mana keheba-
tan manusia yang selalu membuat onar! Kaulah
orangnya, Bojo Mayit!!"
Bojo Mayit menggeram murka. "Manusia kepa-
rat! Mampuslah kau!!" geramnya sambil melompat me-
nyerang. Sepasang tangannya yang kekar telah ter-
himpun tenaga Sangkur Baja. Dia tidak mau bertindak
ringan lagi karena dia tahu siapa yang dihadapinya.
Nama Pendekar Gagak Rimang memang pernah ter-
dengar oleh telinganya. Pendekar budiman yang selalu
menolong kaum yang tertindas. Maka dia pun tak mau
bertindak tanggung lagi.
Pandu merasakan desiran angin yang amat ke-
ras sekali kala tangan itu bergerak mengancamnya.
Dengan jurus Gagak Terbang. Lalu dia pun menghin-
dari serangan itu. Namun belum lagi dia hinggap di
bumi, Nimas Andini sudah menyerbu dengan jurus
Dewa Ular Putih.
Dua lawan yang kini menjadi kawan, masing-
masing mengeluarkan kehebatannya untuk menggem-
pur murid Eyang Ringkih Ireng. Pertarungan sengit
terjadi.. Mereka saling serang dengan ganas. Masing-
masing berambisi untuk menjatuhkan lawan. Bahkan
dengan cara yang keji dan licik sekalipun.
Sementara itu Ki Lurah Pandu Kelana sudah
menjatuhkan lawan-lawannya. Dan Pratiko yang masih
berusaha bertahan pun harus mampus ketika golok di
tangan Ki Lurah membabat lehernya hingga buntung.
"Mampuslah kau!" dengusnya dengan dada
kembang kempis. Lalu dia pun memperhatikan perta-
rungan yang sedang terjadi. Dia tidak tahu siapa sebe-
narnya pemuda bercaping itu. Namun melihat gelagat-
nya pemuda itu berada di pihaknya. Dia pun berdoa
untuk keselamatan pemuda gagah itu.
Pertarungan itu semakin lama semakin sengit.
Pandu sendiri lama-lama merasakan desakan demi de-
sakan yang datang beruntun. Silih berganti dengan
gencarnya. Dia pun sudah menggunakan Pukulan Si-
nar Putihnya, yang mampu membuat kedua lawannya
harus kocar-kacir dan kesempatan itu digunakannya
untuk menghindar. Menjaga jarak. .
"Hhh! Sepertinya aku tidak bisa bertindak
tanggung-tanggung lagi terhadap kalian!" dengusnya.
Wajah yang sebagian tertutup caping itu memerah ka-
rena marah dan geram. Hatinya terbakar. Jiwanya be-
rontak untuk memusnahkan kedua manusia busuk ini
dari muka bumi.
Perlahan malam pun berganti. Fajar di ufuk
Timur sana sudah menampakkan biasnya. Kokok
ayam jantan di kejauhan terdengar silih berganti. Ber-
sahut-sahutan.
"Hihihi... kau sudah terdesak hebat, Bocah gan-
teng!" terkikik Nimas Andini.
"Dan sebentar lagi kau akan mampus sekarat!!"
suara Bojo Mayit tak kalah garangnya.
"Hh! Kita lihat sekarang, siapa yang akan
mampus! Kalian berdua atau aku! Kalian sungguh
memuakkan sekali!!" seru Pandu geram.
Kedua lawannya terbahak.
"Kita lihat siapa yang masih bisa menikmati
matahari siang nanti!!" seru Bojo Mayit. Lalu dia segera
mengeluarkan ilmu Sangkur Bajanya tingkat tinggi.
Terangkum di tangan dan seluruh tubuhnya yang
menjadi kebal.
Sementara Nimas Andini pun mengeluarkan ilmu Dewa
Ular Putihnya dalam tingkat tinggi. Mulutnya
mendesis-desis bagaikan ular. Dan sepasang matanya
menyala berkilat-kilat penuh amarah yang berkobar.
"Hihihi... sebentar lagi nama Pendekar Gagak
Rimang akan punah dari muka bumi ini!! Hihihi... tak
ada harapan lagi, tak akan ada harapan lagi...."
Pandu sendiri merasakan bahaya yang men-
gancam dirinya begitu berat sekali. Memang tak ada ja-
lan lain. Sambil mendesis dalam hati dia pun menge-
luarkan pukulan andalannya. Pukulan Cakar Gagak
Rimang yang amat dahsyat warisan dari gurunya
Eyang Ringkih Ireng.
"Maafkan aku, Eyang... nampaknya tidak ada
jalan lain bagiku untuk menghadapi mereka," desisnya
di hati. "Aku tidak mau mati konyol, Eyang.... Malam
ini... aku yang mati ataukah mereka yang mati.... Ber-
katilah aku, Eyang.... Sekali lagi maafkan aku, Eyang...
maafkan aku...."
Kini tenaga Cakar Gagak Rimang pun tersalur
di kedua tangannya. Siap untuk menumpahkan semu-
anya. Tenaga yang amat sakti. Yang bisa menghancur-
kan gunung batu yang kokoh.
"Nimas Andini... dan kau Bojo Mayit, agaknya
kita memang harus melihat siapakah yang bisa melihat
matahari siang nanti!" seru Pandu gagah.
"Hihihi... jangan terlalu sesumbar, Bocah! Na-
sibmu berada di tangan kami hari ini!!" terkikik Nimas
Andini. "Hihihi... itulah akibatnya bila sok menjadi
pahlawan dan berani menentang perbuatan kami!"
"Berdoalah semoga kau masih sempat bernafas
sehari lagi!" seru Bojo Mayit sambil terbahak. "Namun
rasanya, sudah tidak ada harapan lagi bagimu untuk
bisa mendapatkan hal itu, Anjing! Bernafaslah sepuas-
puasmu sekarang ini, selagi kau bisa melakukannya!!"
Pandu hanya memicingkan matanya. Dia sebe-
narnya tidak merasa pasti kalau akan bisa menandingi
kedua manusia ini. Memang tidak ada jalan lain lagi.
Karena belum lagi Pandu bisa memikirkan lebih pan-
jang lagi, tiba-tiba terdengar pekikkan keras yang be-
runtun.
Bertalu-talu. Mengerikan.
Dua sosok tubuh melesat cepat bagaikan anak
panah mengarah padanya.
Pandu sendiri segera mengempos tubuhnya
bersamaan dengan teriakannya yang keras pula.
Ki Lurah Pandu Kelana hanya memperhatikan
dengan hati cemas. Sebuah tenaga sakti akan melawan
dua tenaga sakti sekaligus.
Mampukah?
Sementara Sekar Perak hanya bisa memejam-
kan matanya dengan kengerian yang amat sangat.
Tiba tubuh itu pun saling menerjang!!
*
**
10
Tanpa ampun lagi ketiga tubuh itu pun saling
menghantam dengan kerasnya. Terdengar bunyi suara
keras bagaikan ledakan. Daun-daun pun berguguran.
Bahkan ada beberapa cabang pohon yang tumbang.
Dari tempat ketiganya bertemu dengan pukulan yang
amat mengerikan, terlihat asap tebal mengepul bersatu
dengan debu yang mampu membuat mata menjadi bu-
ta sejenak.
Mendadak saja dari balik asap dan debu tebal
itu, terpental tiga sosok tubuh ke belakang. Diiringi
dengan jeritan masing-masing.
Dan ketiganya ambruk dengan berdebam.
Nimas Andini langsung mampus dengan luka
mengoyak bagian dada.
Pandu harus merasakan sakit yang luar biasa.
Meskipun dia masih mampu bertahan, namun rasa
nyeri di dadanya menyengat bukan main.
Hanya si Bojo Mayitlah yang kemudian bangun
setelah ambruk ke tanah. Dia terkekeh. Ilmu kebal
Sangkur Bajanya mampu melindungi tubuhnya.
"Hehehe... kini mampuslah kau, Pandu!!" ge-
ramnya sambil menyerbu menyerang Pandu. Pandu
sudah merasa tidak mampu lagi untuk menghindar
maupun menangkis serangan itu.
Tubuh Bojo Mayit meluncur dengan deras.
Terdengar pekikan yang amat hebat sekali. Be-
gitu memilukan hati.
"Aaaakkhhhh!!!"
Tubuh Bojo Mayit ambruk. Kepalanya mengge-
linding. Pandu mendesah. Di tangannya telah tergeng-
gam Golok Cindarbuana yang di ujungnya masih me-
netes darah segar. Bila saja dia terlambat mencabut
golok itu, maka mampuslah dia.
Sekar Perak yang tadi menutup mata karena
ngeri, saat membuka matanya menjadi kaget, karena
dia melihat pemuda yang dicintainya masih hidup
meskipun terluka parah.
Berlari dia memburu dan menjatuhkan tubuh-
nya ke pelukan Pandu. "Kakang...."
Pandu menahan sakit yang luar biasa di da-
danya. Sementara Ki Lurah Pandu Kelana mendesah
panjang.
Namun belum lagi mereka bisa menikmati kea-
daan itu, tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh dan
hinggap tak jauh dari mereka. Sosok tubuh itu menge-
nakan pakaian ringkas dengan wajah tertutup kedok
hitam.
Dia terkekeh melihat mayat Nimas Andini. "He-
hehe... itulah akibatnya bila berani mempermainkan
aku, Nimas...." Lalu dia mendengus pada orang-orang
yang memperhatikannya. "Hhh! Bagus, Anak muda!
Kau meringankan tugasku untuk membunuh manusia
itu! Dan kau memudahkan pula bagiku untuk men-
gambil Kitab Lembayung Sakti yang disembunyikan si
Banci ini di dalam Goa Alas Bantan.... Hahaha...."
Pandu mendengus. Rupanya itulah rahasia Goa
Larangan ini. Namun dia pun tidak menginginkan ma-
nusia berkedok itu mengambil Kitab Lembayung Sakti.
Maka ketika si Kedok Hitam melompat hendak masuk
ke dalam goa, dengan cepat Pandu mengibaskan tan-
gannya. Dan meluncurkan pukulan sinar putih yang
melesat dengan cepat.
Si Kedok Hitam tidak melihat hal itu. Maka
tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar dan hangus.
Jeritannya tinggi menyayat hati.
"Aaaakkkhhh!!"
Lalu ambruk tak bernyawa.
Pandu mendesah. Dia sebenarnya tidak ber-
maksud membunuh, namun si Kedok Hitam agaknya
terlalu bernafsu sekali. Ki Lurah Pandu Kelana berge-
rak menghampiri dan mencabut kedok yang menutupi
wajah orang itu.
Pekikannya terdengar: "Juragan Banyu Biru!!"
Mendengar suara itu, Sekar Perak seketika me-
noleh, dan melihat wajah ayahnya di balik kedok itu.
"Bapaaaakkkk!"
Memburu dia berlari. Menangis tersedu-sedu.
Ki Lurah mendesah panjang dan kala dia menoleh ke
arah Pandu pemuda itu sudah tidak nampak di tem-
patnya.
Tangis Sekar Perak berkepanjangan.
Lagi Ki Lurah mendesah: "Tak kusangka.... Ju-
ragan Banyu Biru sendirilah yang mengatur semua
ini...."
Matahari pun nampak buram bersinar.
TAMAT
Emoticon