1
Desa Kali Sunyi terletak di Utara Gunung
Pengging. Desa itu adalah sebuah desa yang aman
dan tentram. Para penduduknya sebagian besar
ketentraman itu semakin dirasakan oleh para
penduduknya sejak berdirinya Perguruan Silat
Cempaka Biru.
Perguruan Cempaka Biru dipimpin oleh
Andikabirata. Dia seorang laki-laki setengah baya
yang gagah perkasa. Tubuhnya masih nampak
kekar. Dalam memimpin perguruannya dia begitu
arif dan bijaksana, sehingga semakin lama nama
perguruannya semakin tinggi menjulang.
Tidak hanya di sana saja, Andikabirata pun
selalu aktif hadir setiap kali ada undangan di Balai
Desa. Sehingga penduduk desa menyukainya dan
menyukai pula para anggota dari Perguruan
Cempaka Biru.
Nama Andikabirata pun semakin dihormati. Ki
Lurah Pati Negoro setiap kali ada sesuatu yang
mengganggu ketentraman desa selalu meminta
bantuannya.
Dan Andikabirata dengan senang hati
membantu.
"Karena aku telah lama berada di sini, dan aku
berhak dan berkewajiban untuk membantu apapun
yang terjadi!" katanya suatu hari di Balai Desa.
Memang, sebenarnya Andikabirata putra asli
yang dilahirkan di Desa Kali Sunyi ini. Namun sejak
berusia 17 tahun, dia pergi merantau. Dan dalam
perantauannya dia banyak belajar akan ilmu
kanuragan. Dalam setiap perantauannya pula dia
selalu membela kebenaran dan memerangi
kebatilan.
Itu dilakukan karena merasa itulah
kewajibannya. Namanya dan gelarnya si Toya Maut
pun mulai dikenal oleh banyak jago-jago rimba
persilatan. Bahkan dia disegani dalam setiap
pertemuan yang dihadiri oleh para jago.
Bukan hanya ilmunya saja yang tinggi, namun
juga kewibawaannya yang menjadikan dia disegani
oleh siapa pun. Dan itu merupakan ciri khasnya.
Dia selalu berpikir panjang bila menghadapi satu
persoalan. Tidak pernah main hantam begitu saja.
Dan setelah merasakan cukup dia pun kembali
ke Desa-Kali Sunyi dan mendirikan perguruan silat
yang diberi nama Perguruan Cempaka Biru.
Perguruan yang menggunakan senjata toya.
Bagi Andikabirata sendiri, memang dia ingin
menyumbangkan kebisaannya bagi banyak orang.
Karena dia merasa, bila ilmu yang dimilikinya tidak
disumbangkan pada orang lain, .maka ilmu akan
tumpul dan sia-sia.
Namun di balik semua itu sebenarnya ada yang
menyusahkan pikiran Andikabirata. Pikiran yang
telah lama mengganggu dan menyiksanya.
Di mana Perguruan Silat Cakram Maut telah
menuduh mereka mencuri pusaka kebanggaan
Cakram Maut. Sudah tentu Andikabirata menolak
tuduhan itu kala beberapa orang utusan Perguruan
Cakram Maut datang menanyakan hal itu. Bila
semata-mata hanya bertanya, mungkin
Andikabirata masih bisa menerima. Namun mereka
langsung memvonis dengan menuduh yang terasa
keji dan menyakitkan.
Akhirnya pertarungan pun tak bisa dihindari lagi
karena beberapa murid Perguruan Cempaka Biru
sudah tidak kuasa lagi menahan amarah.
Dalam pertarungan itu utusan dari Cakram Maut
berhasil dipukul mundur dan luka-luka. Begitu pula
halnya dengan beberapa murid Cempaka Biru.
Andikabirata sendiri tidak turun tangan, karena dia
tidak mau semua ini mengakibatkan sesuatu yang
mengerikan.
Namun akibat dari semua itu, beberapa hari
kemudian datang surat tantangan dari Perguruan
Cakram Maut, yang mana isinya menyatakan
bertarung dan bermusuhan dengan Perguruan
Cempaka Biru.
"Rupanya pertarungan ini tak akan bisa kita
dihindari lagi," kata Andikabirata pada para
muridnya setelah membicarakan perihal surat
tantangan dari Perguruan Cakram Maut.
"Apakah memang benar tidak bisa dihindari lagi,
Bapak," kata Juwitasari putri tunggalnya. Dia
adalah seorang gadis jelita yang cantik luar biasa.
Pesonanya sukar sekali untuk ditepiskan bagi
pemuda yang melihatnya.
"Mungkin sulit, Wita... kita jelas-jelas tidak bisa
menghindari semua ini. Dan sebaiknya kita bersiap-
siap bila suatu saat, para orang Cakram Maut
datang menyerang ke sini," kata Andikabirata
sambil mengusap dagunya.
Yang mendengarkan hanya mendesah.
Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Dan pasti
akan terjadi. Namun yang sungguh mengerikan
adalah akibat dari semua itu.
Yang ingin dihindari oleh Andikabirata, adalah
pertarungan yang akan membawa bencana bagi
para penduduk yang tak berdosa. Ini merupakan
sebuah beban yang berat baginya. Beban yang
mungkin akan terbawa terus bila suatu ketika
pertarungan yang tak terelakkan itu tiba waktunya.
Ini merupakan satu pemikiran yang
menyulitkan. Jalan pemecahan pun sudah
berulangkah dia lakukan. Dengan cara menjelaskan
pada ketua Perguruan Cakram Maut, Ki Renggono
Paksi. Namun tetap tuduhan yang dilontarkan Ki
Renggono Paksi jatuh pada Perguruan Cempaka
Biru.
Alasan Ki Renggono Paksi karena dia
menemukan beberapa toya yang berlambangkan
bunga cempaka di kedua ujungnya. Dan itu adalah
ciri khas dari senjata toya milik Perguruan Cempaka
Biru.
Andikabirata berpikir, mungkin ada orang yang
telah mencuri dan mengkambinghitam-kan
Perguruan Cempaka Biru. Namun satu pemikiran
lain pun tersirat di benak Andikabirata. Mungkinkah
bila ada murid Perguruan Silat Cempaka Biru yang
berkhianat?
Karena berpikir seperti inilah dia tidak berani
untuk meneruskan pikirannya lagi tentang orang
yang hendak mengkambinghi-tamkan
perguruannya. Namun bukannya dia tidak perduli
lagi dalam hal itu, dia sebenarnya masih
memikirkannya pula. Namun tidak berani secara
total.
Begitu pula halnya dengan Juwitasari. Sebagai
putri satu-satunya dari Andikabirata, dia pun dapat
merasakan kesulitan yang sedang dialami ayahnya.
Namun dia pun tidak bisa pula memikirkan lebih
lama.
"Tetapi yang kukuatirkan... bila benar
pertarungan itu terjadi. Ah, mengapa sejahat itu
orang-orang Cakram Maut menuduh kami?"
desisnya pilu di suatu malam. "Namun bila
memang demikian adanya, aku tidak akan tinggal
diam. Aku pun benci pada mereka karena tuduhan
keji yang mereka lontarkan. Tuduhan yang amat
menyakitkan sekali. Dan ini jelas tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberi
pelajaran!"
Wajah gadis yang cantik itu menjadi geram.
Tadi sore dia melihat ayahnya duduk melamun di
pendopo. Namun dia tidak berani untuk
mendekatinya. Karena kuatir ayahnya akan
terganggu. Karena jelas sekali ayahnya tengah
berpikir, terlihat dari keningnya yang berkerut.
"Kasihan, Bapak... kasihan dia.... Seharusnya di
usianya yang semakin senja ini.... Bapak tidak perlu
mengalami hal yang demikian rumit. Dia
seharusnya bersantai dan tenang-tenang
menikmati masanya."
Dan kegeraman Juwitasari terhadap orang-
orang Cakram Maut menjadi berlipat ganda. Karena
merekalah yang menyebarkan fitnah yang amat
keji. Fitnah benar-benar bisa membawa petaka
berkepanjangan.
Di samping itu pun Juwitasari tidak mau
merasakan akibat dari semua ini. Darah dan darah
yang akan mengalir. Semua ini terjadi karena
mempertahankan harga diri.
Namun bisakah harga diri itu dipertahankan
tanpa mengorbankan apa-apa? Apalagi
mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.
Sebagai gadis belia dengan darah muda yang
menggejolak, Juwitasari marah dengan semua
tuduhan yang dilontarkan oleh Perguruan Cakram
Maut.
Tetapi jelas dia tidak mau pertarungan ini
terjadi. Pertarungan yang bisa pula dikatakan
peperangan, yang hanya menelan korban-korban
tak bersalah dan menimbulkan kepedihan serta
kesengsaraan yang berkepanjangan.
"Oh... mungkin hanya Gusti Betara Agunglah
yang tahu siapa yang benar dan bersalah. Hanya
Dia pula yang bisa menghentikan semua ini.
Gusti... bila semua ini menjadi ke-hendak-Mu...
berikanlah jalan ke luarnya. Cobaan yang Kau
berikan ini terlalu besar dan berat bagi kami untuk
memikulnya. Namun kami tidak bisa mengelak bila
semua ini sudah Kau kehendaki. Karena hanya
Engkaulah yang menjadi tumpuan kami. Yang
mengatur semua permainan hidup di dunia ini...."
desisnya sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.
Namun dia tetap berharap, semua ini tidak akan
terjadi.
Juwitasari tidak bisa lagi memperpanjang
lamunannya tentang perang dan akibatnya. Dia
pun terlelap.
Dan pagi harinya gadis itu muncul dari dapur
dengan membawa dua buah cangkir berisikan kopi
pahit dan sepiring ubi rebus untuk ayahnya yang
sedang duduk sambil menghisap rokok
tembakaunya di Pendopo.
Sikap ayahnya nampak sedang memikirkan
sesuatu. Kasihan Bapak... desis Juwita dalam hati.
Tetapi aku akan membantunya sekuat tenaga
dengan resiko apapun. Dengan penuh tanggung
jawab. Lalu dengan anggunnya gadis itu
menghidangkan apa yang dia bawa di hadapan
ayahnya. Dia pun tersenyum manis sekali. Siapa
pun akan terkesan melihat senyum itu.
Andikabirata sendiri jadi terpecah pikirannya.
Dia membetulkan letak duduknya.
Andikabirata memperhatikan putrinya itu
menyediakan hidangan pagi untuknya. Betapa
senangnya dia. Putrinya kini telah tumbuh sebagai
gadis jelita dan berkepandaian tinggi.
Ah... dia mirip ibunya ketika muda dulu.
Andikabirata tersenyum sendiri mengenang
masa lalunya ketika dia mengejar-ngejar Ratih
Sudati, ibu putrinya ini. Ah, dia bagaikan orang gila
jika tidak bertemu dengan pujaannya itu. Melatinya
yang dia takut keburu dipetik orang lain. Siang
malam dia selalu menjaganya dengan hati-hati dan
merindukannya. Sampai dia berhasil memetik dan
menyuntingnya.
Ah... senyum itu mengembang lagi di bibirnya.
Juwitasari yang sudah selesai meletakkan
hidangan itu, heran melihat ayahnya tersenyum
sendiri. Tatapan ayah seperti kosong namun
bercahaya gembira. Ayah seperti orang yang
sedang mendapatkan suatu khayalan atau
renungan yang menyenangkan hati.
Pelan-pelan Juwitasari memanggil, "Bapak...."
Tetapi ayahnya masih tersenyum sendiri.
Kenangan itu begitu indah bagi Andikabirata. Di
malam pengantin itu pula dia berhasil memetik dan
mengambil apa yang dipersembahkan dengan
penuh kasih sayang dan ikhlas dari Ratih Sudati.
Namun benih yang ditanamnya sekian lama tidak
bertunas. Membuatnya gelisah dan malu, karena
ternyata tidak mampu memberikan Ratih Sudati
bibit yang unggul. Begitu pula dengan Ratih Sudati
sendiri. Dia malu karena ladangnya ternyata tidak
subur.
Namun berkat cinta kasih mereka yang tulus
dan mendalam, juga dengan panjatan doa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, benih itu tertanam pula
dengan sempurna. Betapa gembira mereka berdua.
Dalam perkawinan mereka yang ke-20 itulah baru
ada sebuah bibit yang tumbuh di ladang istrinya.
Dan ini membuat mereka seperti pengantin baru
lagi. Bercanda dengan keriangan sepanjang hari.
Juwitasari semakin heran karena sudah dua kali
dia memanggil ayahnya namun ayahnya masih
tetap tersenyum sendiri. "Bapak... Bapak...:"
Andikabirata masih mengenang masa lalu yang
indah itu.
Juwitasari semakin penasaran. Hati-hati dia
menyentuh lengan ayahnya."
"Bapak...."
Baru sekaranglah Andikabirata tersentak. Dia
mengerjap-ngerjapkan matanya dan buru-buru
mengisap rokok tembakaunya.
--ooo0dw0ooo---
Juwitasari menghela napas lega.
"Oh... ada apa, Wita?" tanya Andikabirata
setelah berhasil menenangkan diri.
"Bapak melamun?"
"Bapak tidak melamun."
"Bagaimana bapak tidak melamun? Ju-wita
sudah berulangkali memanggil bapak namun bapak
diam saja. Apakah yang bapak lamunkan? Itu pun
kalau bapak mau menerangkan dan Wita boleh
mendengarkannya."
Andikabirata tersenyum. Menatap wajah
putrinya yang seperti purnama di malam 15. Begitu
bercahaya dan membuat orang mudah terpesona.
Apalagi saat ini putrinya tengah memakai pakaian
kain kebaya yang ketat, sehingga nyata mencetak
tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Putrinya
seakan menjadi dua manusia dalam satu waktu.
Kadang dia menjadi seorang gadis anggun dan
cantik. Kadang dia menjadi seorang gadis yang
keras dan pemarah. Itu kalau dia sedang
menghadapi lawan-lawannya. Juga nampak seperti
seorang pendekar wanita yang gagah andaikata dia
memakai baju hitam dan celana panjang hitamnya
dengan toya pendek di bahunya.
Betapa cantiknya kau anakku.
Betapa beruntungnya aku memilikimu, Nak.
Betapa indahnya mata itu.
Alangkah beruntungnya kumbang yang berhasil
menyuntingmu, Nak.
"Bapak melamun lagi," kata Juwitasari yang sej
ak tadi menunggu jawaban bapaknya.
"Ah... Bapak sedang merenungi dirimu, Nak."
"Kenapa pula dengan diriku, Bapak? Apakah ada
sesuatu yang aneh? Atau yang salah pada diriku?"
tanya Juwitasari was-was. Dia kuatir tingkah
lakunya ada yang tidak berkenan pada hati
ayahnya. Padahal dia sudah berbuat sebaik
mungkin. Dia juga yakin tingkah lakunya tidak ada
yang jelek di mata ayahnya.
Tetapi dia kembali menghela napas lega setelah
melihat ayahnya menggelengkan kepala.
"Bukan ada yang aneh atau ada yang salah
padamu Juwita anakku."
"Lalu kenapa bapak menatapi diriku?" tanya
Juwitasari penasaran
"Kau...." Andikabirata terdiam sesaat
"Ya, Bapak."
Tiba-tiba Andikabirata menarik napas. Matanya
tak lepas dari wajah putrinya yang jelita. Ia
menghisap rokok tembakaunya, lalu mematikannya
dengan diinjak.
Dan menyeruput sedikit kopi pahitnya.
"Bapak... Bapak semakin membuatku
penasaran. Apa sih yang bapak lihat dalam diriku
ini? Katakanlah, Bapak, biar aku bisa melihat apa
kekuranganku."
Andibirata tertawa pelan.
"Sedikit pun tak kulihat kekurangan pada dirimu,
Wita. Kau begitu pandai, anggun, cantik, tegar, ah,
sulit untuk mengatakan semua kelebihanmu."
Juwitasari tersipu, "Ah, Bapak. Kau membuatku
malu saja, Bapak."
"Kau cantik sekali, Wita. Mirip dengan ibumu."
Mendengar kata ibunya disebutkan, Juwita tak
berkedip memandang ayahnya. "Apakah Bapak
memikirkan soal ibu?”
Kali ini Andikabirata tidak bisa mengelak lagi.
Dia menganggukkan kepalanya.
"Yah... aku memikirkan ibumu. Alangkah
bahagianya kita jika ibumu berada di sisi kita
semua. Ah, sesuatu yang tak mungkin bisa kita
lakukan sekarang. Karena ibumu hampir 18 tahun
pulang ke tempat asalnya, kembali ke pangkuan
pemiliknya. Yah... dan tak mungkin kembali...."
Wajah Andikabirata nampak sendu. Ia
menyalakan lagi rokok tembakaunya. Lalu
menyeruput kembali kopi pahitnya. Angin sore
berhembus semilir, masuk melalui jendela pendopo
itu.
Sayup-sayup terdengar suara bentakan di
halaman depan.
Andikabirata menatap muka anaknya. "Kau tidak
berlatih, Juwita?"
"Tadi pagi sudah, Bapak. Sore ini aku ingin
menemanimu duduk di pendopo ini."
"Aku yakin, kemajuan ilmu toyamu akan sukar
dicari tandingannya, Wita." kata Andikabirata
sambil tersenyum. Dan dia memang sungguh yakin
dengan kata-katanya, melihat putrinya setiap hari
semakin giat berlatih.
"Ah, Bapak...." desis Juwitasari malu tersipu
karena dipuji seperti itu. "Aku hanya seorang anak
gadis, manalah bisa memainkan ilmu toya tanpa
tandingan, Bapak... Bapak terlalu mengada-ada
dan memuji demi menyenangkan aku...."
Andikabirata tertawa.
"Aku tidak sedang memujimu, Wita... aku
mengatakan apa adanya...."
"Bapak...."
Kembali Andikabirata tersenyum melihat
putrinya tersipu. Senang dia melihat putrinya selalu
merendah. Namun di balik sikapnya itu,
tersembunyi sifat keras kepala dan keperkasaan
seorang wanita. Ah, siapakah kelak yang akan
berhasil menyunting dan mencuri hati si Jelita ini.
Andikabirata masih tersenyum kala putrinya
bertanya, "Bapak... bagaimana dengan tantangan
dari Perguruan Cakram Maut. Apakah kita hanya
diam berpangku tangan saja? Ataukah membiarkan
mereka menuduh kita dengan keji tanpa bukti yang
kuat? Bagaimana, Bapak?"
Mendengar pertanyaan putrinya, senyum
Andikabirata menghilang seketika. Namun dia tidak
menyalahkan putrinya yang bertanya seperti itu.
Memang sudah sepatutnyalah bila putrinya
bertanya.
Lagi pula, bukankah dengan sikap seperti itu
menunjukkah bahwa putrinya punya perhatian
yang besar terhadapnya?
"Aku pun tidak tahu apa yang harus kita
lakukan, Wita? Namun semua ini telah terjadi. Dan
kita harus bersiap-siap menghadapi «egala
kemungkinan yang ada. Bila memang benar terjadi,
kita pun tidak akan bisa menghindarinya...."
"Apakah tidak ada jalan lain, Bapak?"
"Kemungkinan tidak ada, Wita... Bukankah kau
tahu, usaha yang aku lakukan semuanya sia-sia
belaka. Dan sedikit pun tidak menunjukkan hasil
yang memadai...."
Juwitasari mendesah pelan, masygul. Terbayang
kembali akibat perang yang mengerikan.
"Kalau memang demikian kenyataannya Bapak...
apa yang bisa kita perbuat dalam hal ini?"
"Tak ada jalan lain, Wita... kita tetap akan
menyambut kedatangan mereka."
"Bapak... apakah bapak tidak tahu akibat
perang? Perang yang akan terjadi di antara kita ini
dengan Perguruan Cakram Maut, hanya akan
menimbulkan korban dan membuat orang ketiga
tertawa melihat perpecahan ini."
"Apa maksudmu dengan orang ketiga itu, Wita?"
tanya Andikabirata sambil tersenyum. Diam-diam
dia kagum terhadap putrinya yang berpikiran sudah
sejauh itu. Bukankah dia sendiri pun telah
memikirkan hal yang sama? Hanya mungkin, dia
masih dipenuhi pikiran bahwa bisa saja salah
seorang murid atau beberapa murid Perguruan
Cempaka Biru yang berkhianat?
"Bapak... apakah bapak benar tidak tahu,
ataukah hanya ingin menguji saya?" Andikabirata
terbahak. "Kau memang pintar, Wita... Tidak, tidak
ada maksud Bapak untuk mengujimu. Nah, bila kau
punya pendapat lain, katakanlah biar bapak
tahu...."
"Bapak... Perguruan Cakram Maut telah
menuduh kita mencuri pusaka milik mereka. Dan
kita tetap bersikeras membantah, karena pada
kenyataannya kita memang tidak mencuri apa-apa
seperti tuduhan mereka...."
"Lalu apa maksudmu, Wita...."
"Belum mengertikah Bapak?"
Andikabirata kembali terbahak.
"Jadi maksudmu... ada orang lain atau kelompok
lain yang telah mencuri pusaka Perguruan Cakram
Maut dan membuat kambing hitam kepada kita?"
"Begitulah dugaanku, Bapak... Betapa enaknya
orang ketiga itu yang tertawa berhasil melihat
kerjanya mengadu domba antara kita dengan
Cakram Maut."
"Mungkin dugaanmu itu benar, Wita...."
"Mengapa mungkin, Bapak?"
Andikabirata mendesah panjang.
"Wita... tidak sampaikah pikiran bila memang
benar ada di antara kita yang mencuri pusaka milik
Perguruan Cakram Maut?"
"Apa maksudmu, Bapak...."
"Mungkin ini hanya dugaan. Bukankah kita
berbicara tentang dugaan, Wita? Nah, Bapak pun
mempunyai dugaan seperti itu. Ada di antara murid
Perguruan Cempaka Biru yang memang berbuat
seperti itu. Hal inilah yang sebenarnya
memusingkan bapak, Wita...."
"Memang benar demikian adanya, bukankah
sebaiknya kita selidiki saja, Bapak...."
"Itu pun secara diam-diam telah aku lakukan,
Wita... Hanya saja aku tidak tega dan sampai hati
bila benar memang ada murid Perguruan Cempaka
Biru yang berkhianat."
Juwitasari terdiam. Baru dia berpikir sampai ke
sana Selama ini dia tidak berpikir tentang itu
karena tidak menduga hal itu. Dalam pikiran
Juwitasari, mana mungkin ada murid Perguruan
Cempaka Biru yang berkhianat.
Namun memang bila pada kenyataannya seperti
itu, .ini adalah suatu hal yang amat menjengkelkan
sekali.
"Bapak...."
"Ya, Wita...."
"Tahukah Bapak siapa kira-kira yang telah
berbuat seperti itu?"
"Aku sedang menyelidikinya, Wita. Kau memang
putriku yang memiliki otak yang cerdas...."
"Aku hanya mencari kemungkinan yang mungkin
terlewatkan, Bapak... Dan aku tidak ingin
ketegangan ini makin merayap dan bisa menyebar
kepada para penduduk...."
Andikabirata tersenyum.
"Kau memang gadis yang cerdas, Juwita. Ya,
ya... kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi
siapakah kira-kira orang yang telah membuat
perpecahan ini? Wita... aku pun tidak menyukai
adanya peperangan. Sudah kenyang rasanya aku
makan derita dari hasil perang. Tetapi semua
sudah terbayang. Bukankah kita tidak mau tanah
ini diserang begitu saja? Kita punya dua tangan
dan dua kaki, kita bisa membela diri. Dan kita
harus mempertahankannya, bukankah begitu,
Wita?"
"Ya, Bapak."
"Nah, sekarang aku hendak bertanya."
"Silahkan, Bapak."
"Maukah kau membela Cempaka Biru jika orang-
orang Cakram Maut menyerang ke sini?"
Juwitasari tidak langsung menjawab. Kelihatan
ia agak bingung untuk menjawab.
"Kau ragu, Wita?" tanya ayahnya.
"Aku tidak ragu, Bapak. Kalau memang untuk
membela negara, aku bersedia melakukannya. Yah,
aku bersedia... Di tanah ini aku hidup. Aku akan
membelanya, Bapak."
"Bagus. Jika pertempuran memang tidak bisa
dihindarkan lagi, kau toh tidak akan ragu lagi.
Karena aku sudah mendengar jawaban seperti ini
dua kali dari mulutmu. Bukan begitu, Wita?"
"Ya, Bapak."
Angin berhembus pelan. Suara murid-murid
Cempaka Biru yang sedang latihan di halaman
depan terdengar. Juwitasari mengangkat
kepalanya.
"Ubi rebusnya masih hangat, Bapak. Si-lahkan
dicicipi. Saya sendiri yang merebusnya, Bapak."
"Lho, ke mana Nyai Asih?"
"Biarkan dia beristirahat Bapak. Kasihan wanita
tua itu, nampaknya terlalu letih bekerja."
"Ya, ya...." Andikabirata mengambil sepotong
ubi rebus. Belum lagi dia mencicipinya, tiba-tiba
muncul salah seorang murid Perguruan Cempaka
Biru.
Andikabirata meletakkan kembali ubi yang
dipegangnya. Menatap pemuda yang baru datang
itu. Nampaknya begitu lelah seperti habis berlari
karena napasnya terengah-engah juga peluhnya
yang mengalir di sekitar wajahnya. Pemuda itu
menunduk hormat.
"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata dengan
suaranya yang terdengar berwibawa. Matanya lekat
menatap pemuda yang baru datang itu.
Sikap Juwitasari sendiri pun sudah serius sekali
ingin mendengarkan apa yang sebenarnya telah
terjadi.
Pemuda yang bernama Priatana itu mengatur
napasnya. Dia adalah salah seorang murid terbaik
Perguruan Cempaka Biru. Yang ditugaskan oleh
Andikabirata untuk menjaga di perbatasan Desa
Kali Sunyi.
Bersama salah seorang murid Perguruan
Cempaka Biru lainnya yang bernama Yan-tara,
Priatna pun menjaga di ujung perbatasan Desa Kali
Sunyi, untuk memata-matai orang-orang yang
bermaksud jahat, sehingga setiap kejahatan yang
akan terjadi bisa segera diketahui dan segera dapat
ditanggulangi. Karena penjagaan yang ketat dan
sistem pengawasan yang hebat itu sampai
sekarang ini Desa Kali Sunyi selalu aman dari
gangguan orang-orang jahat.
Namun tugas yang diberikannya kepada Priatna
dan Yantara adalah untuk memata-matai orang-
orang Cakram Maut yang kemungkinan besar
sudah datang menyerang Desa Kali Sunyi.
Kembali dia menatap Priatna dan melihat mulut
pemuda itu terbuka, "Maafkan kami Ketua... yang
mengganggu ketenangan Ketua bersama Rayi
Juwita...."
Juwitasari tersenyum. "Kau tidak perlu berbasa
basi seperti itu, Kakang Priatna. Katakanlah, apa
yang me-nyebabkanmu sampai terengah-engah
begitu. Katakanlah, Kakang Priatna... biar kami
tidak bertanya-tanya lagi...."
Mendengar suara Juwitasari hati Priatna diam-
diam bergetar. Sebenarnya sejak lama dia sudah
menaruh hati pada putri gurunya yang jelita itu.
Namun hingga saat ini, Priatna tidak berani untuk
mengutarakan cintanya.
Karena dia tahu siapa dirinya dan siapa
Juwitasari. Meskipun begitu, siang dan malam
Priatna selalu menyimpan rasa cintanya pada
Juwitasari. Dan yang membuatnya makin tidak
mengerti, semakin lama dia simpan cinta itu, malah
semakin besar terasa.
Dan semakin dia berusaha untuk
menghilangkannya, malah semakin sukar sekali.
Namun dia tetap untuk memendamnya. Karena dia
belum punya keberanian untuk mengutarakan isi
hatinya pada Juwitasari.
Tadi pun dia melihat Juwitasari tersenyum
padanya. Duh, ini seakan menambah rasa cintanya
saja pada gadis itu.
Priatna pun membalas tersenyum.
"Baik, Rayi...." Lalu katanya pada Andikabirata.
"Ketua... di perbatasan desa sana, kami melihat
anggota Cakram Maut yang akan segera memasuki
desa kita ini, Ketua...." kata Priatna setelah
mengatur napasnya. "Dan jumlah mereka sungguh
demikian banyak jumlahnya, Ketua...."
"Apa?!" Suara Andikabirata terdengar demikian
keras pertanda dia sungguh-sungguh terkejut.
Juwitasari pun terkejut. Priatna cuma mendesah.
---ooo0dw0ooo---
2
Lalu dengan hati-hati dia menceritakan apa yang
telah dilihatnya di perbatasan ujung Desa Kali
Sunyi.
Andikabirata mendesah panjang. Dia sampai
bangkit dari duduknya karena kaget tadi.
"Orang-orang Cakram Maut sudah tiba di sini?!"
ulangnya lagi. Lalu mengusap-usap dagunya. Benar
dugaannya kalau begitu, dan ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja.
"Begitulah kenyataannya, Ketua...." kata Priatna
tetap dengan suara hormat.
"Kau yakin?"
"Yakin sekali, Ketua. Kami melihat lambang
Perguruan Cakram Maut dari bendera yang dibawa
beberapa orang anggotanya. Agaknya, mereka
hendak menyerang desa kita ini, Ketua. Dan
kemungkinan besar desa kita ini dijadikan markas
oleh mereka."
Andikabirata manggut-manggut. Dia mengusap-
usap dagunya sambil memandang ke luar jendela.
Nampak di halaman para muridnya sudah selesai
berlatih, karena hari sudah menjelang malam.
Kegeraman nampak jelas di wajah Andikabirata.
Juwitasari memperhatikan ayahnya dengan hati
yang geram pula.
"Tepat dugaanku semula," desis Andikabirata.
"Pasti orang-orang itu akan terus menyerang
perguruan kita. Hhh! Anjing-anjing Cakram Maut!"
"Apa yang bisa kita lakukan, Bapak?" tanya
Juwitasari.
Andikabirata terdiam. Lalu berkata pada Priatna.
"Priatna, kita akan menyambut kedatangan
mereka! Beri mereka pelajaran!!" "Baik, Guru!"
sahut Priatna hormat. "Pimpin teman-temanmu ke
perbatasan
Desa Kali Sunyi!" perintahnya lagi. "Jangan
sampai terlambat! Sebelum orang-orang Cakram
Maut itu tiba di perbatasan desa ini'"
"Baik, Guru! Saya akan melakukannya dengan
baik!"
"Nah, lakukanlah!"
"Baik, Guru!" kata Priatna seraya hendak
meninggalkan tempat itu.
"Kakang!" Terdengar suara Juwitasari
memanggil dan membuat Priatna membalik dan
memandangnya. Duh, wajah itu demikian cantik.
Sementara Andikabirata memperhatikan putrinya.
"Oh, ada apa, Rayi?" tanya Priatna. Kembali
hatinya berdebar.
"Apakah Kakang yakin mereka adalah orang-
orang Cakram Maut?"
"Begitulah kenyataannya, Rayi.... Lambang
perguruan mereka yang tertera di bendera yang
mereka bawa, sudah cukup sebagai bukti!"
"Hm... berapa jumlah mereka?"
"Kira-kira... seratus orang lebih, Rayi. Mereka
nampaknya sudah dalam keadaan siap tempur!"
Juwitasari mengangguk-angguk. Semakin cantik
saja di mata Priatna. Tetapi pemuda itu tidak mau
untuk memikirkan kecantikan Juwitasari lebih lama.
Dia pun buru-buru menyingkir. Lalu segera
mengumpulkan te-m an-temanny a.
Tak lama kemudian tiga puluh pemuda dengan
bersenjatakan toya telah berkumpul di halaman
pendopo. Priatna segera memimpin teman-
temannya itu untuk langsung bergerak ke
perbatasan Desa Kali Sunyi.
Sementara itu di pendopo, Juwitasari sedang
berkata pada ayahnya, "Saya akan segera
membantu Kakang Priatna, Bapak.... Jumlah
mereka terlalu banyak. Saya kuatir, banyak di
antara kita yang akan menjadi korban...."
"Mereka murid-murid pilihan, Juwita...." kata
Andikabirata. "Percayalah... kalau mereka mampu
menjaga dan mempertahankan nyawa mereka...."
"Tetapi jumlah mereka sedikit, Bapak...."
"Karena hanya sekian orang yang dibawa oleh
Priatna, Juwita?" sahut Andikabirata sambil
tersenyum. Padahal dalam hatinya dia tengah
gembira dan berkata, "Hmm... agaknya jiwa
kepahlawanan dalam hati anakku begitu besar. Dia
tidak mau jika terjadi perang, namun ketika orang-
orang itu datang menyerang, dia tidak bisa
mengekang rasa perikemanusiaan dalam dirinya.
Biar kuuji lagi keinginannya itu, jangan-jangan
hanya dorongan karena ingin menunjukkan
kehebatannya saja di depan murid-murid yang lain.
Hal ini tidak boleh terjadi. Tetapi bila itu timbul dari
rasa jiwa kesatriamu, Wita... Bapak salut dan
bangga padamu...."
Juwita yang tidak tahu akan hal itu, terus
mendesak ayahnya ingin membantu. Memang dia
sendiri bukannya ingin menunjukkan
kepandaiannya, tetapi dia jelas tidak suka jika
desanya atau dirinya diserang orang-orang itu. Dia
harus mempertahankan, karena dengan begini
bukan dia yang memulai bertempur. Dia
mempertahankan haknya dan hal itu
diperbolehkan.
"Bagaimana, Bapak?" tanyanya lagi karena
ayahnya masih diam saja. "Aku ingin sekali
membantu mereka, Bapak. Mereka teman-temanku
sejak kecil? Aku tidak bisa berdiam diri saja melihat
mereka semua bertempur dan rela berkorban
nyawa dan tenaga mereka, Bapak."
"Bukankah kau tidak menginginkan pertempuran
atau pertumpahan darah, Anakku?" tanya
Andikabirata pula.
"Itu tidak bisa kupungkiri, Bapak. Tetapi aku
tidak bisa berpangku tangan saja jika orang
menyerang desa kita ini, Bapak."
"Lalu kau hendak menyusul mereka?"
"Ya, Bapak."
Semakin berbunga-bunga hati Andikabirata.
Perlahan dia menarik senyumnya dan
menganggukkan kepala.
"Kalau kau yakin dan mantap akan kepu-
tusanmu itu, pergilah. Bantulah mereka. Bapak
yakin akan kemampuanmu. Cuma ingat, jangan
terkejut jika kau melihat darah."
"Baik, Bapak."
Lalu gadis jelita itu undur diri. Juwitasari masuk
ke kamarnya dan mengganti pakaiannya. Kali ini
dia memakai pakaian seperti seorang pria. Dia pun
memakai ikat kepala. Lalu menyangkutkan toya
kecil yang jika ditarik kedua ujungnya bisa menjadi
panjang.
Saat memakai baju itu, secara tak sengaja dia
berhadapan dengan sebuah cermin besar. Dan,
ah... buah dadanya telah semakin subur tumbuh,
mengkal dan membulat. Sejenak dikaguminya buah
dadanya itu. Dan tak sadar dia membuka kembali
seluruh pakaiannya hingga bertelanjang bulat di
hadapan cermin itu.
Ah betapa indah dan bagusnya bentuk
tubuhnya. Begitu ramping pinggangnya dan begitu
indah pinggulnya. Padat dan menggairahkan. Juga
sepasang buah dadanya yang bergelayut indah,
mengkal dan mengundang I birahi bagi yang
melihatnya.
Sejak kapan dia mulai mengagumi tubuhnya ini?
Yah, sejak dia sering melihat teman-teman
gadisnya yang selalu pergi ke sawah, mencuci di
sungai dan mandi telanjang bulat bersama-sama
dengan riangnya. Mereka pun sering minum jamu
untuk menjaga keindahan tubuh mereka.
Sedangkan dia? Ah, dia sepertinya tidak pernah
merawat tubuhnya, meskipun dia berlaku seperti
seorang gadis lazimnya di rumah. Dia lebih sering
berlatih ilmu olah kanuragan daripada memikirkan
bentuk tubuhnya. Tapi nyatanya sekarang, dia
memiliki bentuk tubuh yang indah dan bagus. Ah...
betapa senangnya dia memandangi tubuhnya yang
indah di cermin. Lalu sayangkah dia hendak
melukai tubuhnya sendiri jika bertempur dengan
orang-orang Kediri? Ah, jangan, jangan kau lukai
tubuhku ini.
Namun bayangan teman-temannya yang
mungkin saat ini sedang bertempur antara hidup
dan mati membuatnya segera memakai pakaiannya
kembali.
Tidak, biar bagaimana pun dia harus berhati-hati
dan membantu mereka.
Bukankah ayahnya sendiri akan terjun
langsung?
Mengingat itu buru-buru dia mempersiapkan
segala sesuatunya dan masih sempat sekilas
mengagumi kembali bentuk payudaranya yang
indah dan bulat dengan putingnya yang merah dan
keras.
Lalu dia keluar kamar.
Ayahnya sudah menunggu di halaman dengan
siap di kudanya.
Juwitasari pun segera menaiki kudanya.
Saat dia menaiki kudanya ayahnya sedang
berkata-kata pada salah seorang muridnya.
"Kalian harus mempertahankan Perguruan
Cempaka Biru ini! Jangan biarkan orang-orang itu
sampai ke sini! Ingat, kami bisa gagal. Dan kalian
jangan mengulangi kegagalan itu."
"Baik, Guru. Kami akan menjaga kemegahan
Perguruan Cempaka Biru sebagai abdi Singasari."
"Bagus! Mari, Wita! Kita segera berangkat!"
Juwita menggebrak kudanya mengikuti lari kuda
ayahnya. Dia adalah seorang gadis yang tangkas
dan berpendirian tegar.
Dia mampu menggunakan kuda dengan lihai.
Dalam lari kencang pun dia bisa melompat menaiki
punggung kudanya. Juwitasari adalah gadis yang
bisa segalanya. Di satu segi dia bisa tampil sebagai
seorang pria. Di segi lain dia bisa pula tampil
sebagai seorang gadis.
Seperti gadis-gadis lain, dia pun suka
mengagumi tubuhnya sendiri dan berupaya untuk
merawatnya. Namun untuk membela desa, negara
dan harga dirinya, dia bisa melupakan hal itu. Lupa
bahwa dia seorang gadis. Lupa bahwa dia harus
selalu merawat bentuk tubuhnya, agar kelihatan
menarik. Biarpun wajah seorang gadis itu jelita
namun jika tidak memiliki bentuk tubuh yang
bagus, masih kurang sedap dipandang mata.
Angin berhembus dingin.
Kuda Juwitasari sudah bisa menjajari kuda
ayahnya. Dan keduanya memacu terus kuda-kuda
mereka menuju perbatasan Desa Kali Sunyi.
Juwitasari bertekad akan menghancurkan orang-
orang Kediri itu. Orang-orang yang suka mencari
gara-gara. Orang yang suka menuduh tanpa bukti.
Betapa harga diri itu harus dijaga dan
dipertahankan.
Sejak lama Juwitasari setuju akan hal itu.
Dan dia tetap tidak mau perang itu terjadi.
Namun mau diapakan lagi, karena kini semuanya
sudah jelas di ambang mata. Bukankah inilah yang
dinamakan dilema? Bila mereka diam, maka
hancurlah mereka dibantai lawan. Bahkan bila
mereka pun menye-
rang dan membalas, bisa pula hancur karena
lawan begitu kuat.
Perang tidak enak. Amat menyedihkan
akibatnya. Namun semua kini sudah ada di depan
mata. Tak akan bisa untuk dihindari lagi.
---ooo0dw0ooo---
3
Murid-murid Perguruan silat Cempaka Biru yang
dipimpin oleh Priatna sudah tiba di perbatasan
Desa Kali Sunyi. Yantara yang sejak tadi mengintai
terus, memberitahu kalau pasukan itu sekitar lima
menit lagi akan *iba di perbatasan ini. Dan jumlah
mereka pun cukup banyak.
"Kita harus bersiaga, Priatna," kata Yantara.
"Baik! Kita harus mempertahankan tanah Desa
Kali Sunyi ini!"
"Apa kata Guru?"
"Seperti yang kuucapkan tadi!" Lalu Priatna
segera bergerak cepat. Dengan sigapnya dia
memerintahkan teman-temannya untuk berpencar.
Sekaligus mencari posisi untuk menyerang dan
bertempur.
Dan masing-masing pun segera mengambil
posisi yang baik dan mempersiapkan senjata
mereka. Mereka bersenjata toya, senjata andalan
Perguruan Cempaka Biru.
Priatna sendiri ditemani lima orang temannya.
Mereka pun nampak bersiaga. Yan-tara yang
bersembunyi di sampingnya, hampir-hampir tidak
mendengar desah napas Priatna. Rupanya
ketegangan itu sudah mulai merambat. Dan
masing-masing pun memang merasakan
ketegangan yang sama. Benar-benar satu kejadian
yang amat mencekam.
Untunglah hari sudah semakin sore. Dan mulai
merangkak malam sehingga orang-orang sudah
kembali ke rumah masing-masing dari pekerjaan
mereka. Ini menguntungkan, karena tentunya
orang-orang itu tidak akan merepotkan mereka.
Suasana benar-benar semakin hening. Benar-
benar mencekam. Orang-orang yang bersembunyi
dan menunggu di sana seolah tidak merasakan
hembusan angin yang dingin. Dan masing-masing
merasakan detak jantung mereka semaki keras.
Tak ada yang bersuara, bahkan desah napas
mereka saja seolah tertelan kembali. Mereka
seakan tidak menghiraukan teman lagi yang ada di
samping mereka. Semua tatapan mata tertuju ke
depan menanti pasukan Kediri yang datang.
Hanya itu satu-satunya yang kini ada di hati
mereka menanti munculnya pasukan Kediri dan
bertempur mati-matian!
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah dari
kejauhan dan semakin lama suaranya terdengar
semakin mendekat. Dengan hati-hati Priatna
mengintip dari tempat persem-bunyiaannya.
Orang-orang Cakram Maut sudah tiba dengan
pasukannya yang berjumlah banyak.
Priatna mendesah panjang.
Dalam hatinya ada rasa ciut juga mengingat
jumlah teman-temannya. Tiga berbanding satu.
Duh, mampukah mereka menghadapi sekian
banyak orang-orang Cakram Maut yang nampak
beringas dan kejam?
Orang-orang Cakram Maut memang bagaikan
binatang buas belaka. Siap untuk mencakar habis
siapa saja yang berada di dekatnya.
Tetapi Priatna yakin, mereka adalah murid-
murid Perguruan Cempaka Biru yang tidak
mengenal takut dan putus asa. Meskipun jumlah
mereka sedikit, namun mereka adalah manusia-
manusia yang berjiwa kesatria. Dan punya
keinginan sekuat baja untuk menunjukkan rasa
kemanusiaan dan kesatriaan mereka yang tinggi.
Mereka tak mengenal takut dan berani
menghadapi orang-orang yang telah memfitnah
Perguruan Cempaka Biru. Yang sekaligus
mengotori pula Desa Kali Sunyi. Di mana mereka
dilahirkan untuk menjadi manusia yang berguna.
Manusia gagah berani dan perkasa. Manusia yang
dilahirkan dari rahim seorang bunda yang welas
asih ke tanah Kali Sunyi ini.
Tiba-tiba saja Priatna bersalto keluar dari
tempat persembunyiannya. Sekali bersalto dia
sudah berdiri di jalan berumput itu dengan sikap
gagah. Toyanya tersampir di punggung dan
dengan sigap akan dipergunakannya bila keadaan
amat memaksa. Pandangannya amat geram sekali
terhadap orang-orang yang dengan kejinya
memfitnah Perguruan Cempaka Biru.
Orang-orang yang tak akan pernah bisa
dimaafkannya. Namun di balik kegeraman dan
ketegangannya itu tersimpan satu ketenangan
yang luar biasa dalam menghadapi lawan-
lawannya. Matanya waspada dan bagaikan elang
menyambar.
Bukankah sikap yang ditujukan oleh Priatna itu
sudah merupakan bukti kalau dia seorang yang
gagah berani.
Sementara teman-temannya hanya
memperhatikan saja. Dan bersiap membantu bila
terjadi sesuatu pada kawan yang mereka hormati
itu.
Orang-orang Cakram Maut yang telah tiba dan
siap menggempur Perguruan Kali Sunyi dipimpin
oleh seorang laki-laki gagah perkasa. Dia sebaya
dengan Priatna. Namanya Marayuda. Seorang
pemuda yang tampan.
Dari kejauhan pemuda itu pun segera melihat
seseorang yang berdiri gagah. Dengan kedua kaki
terbuka melintang. Sikapnya menantang dan semu
itu menunjukkan kalau dia memang sedang
menghadang.
"Manusia keparat!" geram Marayuda
mendengus. Geram hatinya bila mengingat pusaka
Perguruan Cakram Maut yang berupa Cakram Emas
hilang dari perguruan mereka. Sebagai orang
kepercayaan ketua Perguruan Cakram Maut,
Marayuda sudah tentu geram bukan main. Dan dia
siap menghadapi semuanya dengan resiko apapun
juga.
"Cempaka Biru keparat! Akan kubumiratakan
kalian dengan tanah!"
Marayuda segera mengangkat tangan kanannya
ke atas, tanda menghentikan para anak buahnya
yang di wajah masing-masing memperlihatkan
kegeraman. Mereka pun telah melihat seorang
pemuda yang berdiri di tengah jalan berumput itu.
Hal ini semakin membuat mereka bertambah
geram adanya. Di samping muak dengan sikap
Priatna juga geram karena mereka yakin orang-
orang perguruan Cempaka Birulah yang telah
mencuri pusaka milik mereka.
Pusaka Cakram Emas yang amat mereka
agungkan dan mereka banggakan.
Marayuda sendiri pun segera maju menghampiri
Priatna. Langkahnya tegang dan kaku. Sikapnya
gagah. Senjata cakramnya tersampir di
pinggangnya. Dari sorot matanya kegeraman itu
terpancar kuat dan penuh kemarahan.
Dia sekarang sudah berdiri di hadapan Priatna.
Kedua pemuda itu kini saling bertatapan, mata
mereka menyambar bagaikan mata elang. Kedua
pemuda itu seperti sedang mengukur tingkat
kepandaian masing-masing.
Dan bila diperhatikan lebih seksama, keduanya
sebaya. Sama-sama tampan dan gagah perkasa.
Marayuda memasang wajah angker. Kegeraman
di wajahnya kian nyata. Begitu pula dengan
Priatna. Suasana cukup tegang dan mengalirkan
hawa kengerian ke seluruh tubuh.
Sikap keduanyajelas dan tidak bersahabat.
Masing-masing jengkel terhadap mereka. Terutama
Marayuda. Karena sikap pemuda di hadapannya ini
seperti melecehkannya. Mengejeknya. Dan
menganggapnya ringan.
Begitu pula dengan Priatna. Dia pun tak kalah
jengkelnya melihat sikap pemuda yang berdiri di
hadapannya ini seperti menantang. Settannn!
Makinya dalam hati!
Priatna pun tidak mau kalah. Dia pun memasang
wajah yang tak kalah angkernya. Kedua tangannya
terpancang di pinggang. Si- j kapnya itu benar-
benar menjengkelkan Ma-rayuda. Namun Priatna
seolah tak acuh saja. Malah dia memang sengaja
ingin memancing kemarahan Marayuda.
Benar saja, beberapa saat kemudian, anak
muda yang pemarah itu berkata, "Hm... siapa
gerangan adanya Ki Sanak? Kenapa sikap Ki Sanak
seperti sedang menghadang perjalanan kami?
Apakah Ki Sanak memang bermaksud demikian?"
Priatna hanya memperhatikan pemuda yang
berdiri, di hadapannya. Mulutnya tidak terbuka.
Terkatup rapat dengan kegeraman yang amat
sangat. Tatapannya dingin, sedingin wajahnya
yang tak bersahabat. Marayuda mendengus dalam
hati.
"Ki Sanak... Tidak dengarkah Ki Sanak kalau aku
bertanya?!" desisnya menahan geram.
Tetapi Priatna tetap terdiam. Hanya tatapannya
yang dingin yang bicara.
"Ki Sanak... apakah Ki Sanak tidak bisa
menjawab pertanyaanku?" Marayuda sudah mulai
jengkel.
Namun Priatna yang memang' sengaja ingin
membuatnya jengkel tetap terdiam.
Dan ini membangkitkan kemarahan Marayuda.
"Bangsat! Kiranya Ki Sanak memang sedang
menghadang perjalanan kami!"
Priatna tetap terdiam.
"Anjing kurap! Apa maumu sebenarnya, lah?!"
membentak Marayuda dengan kejengkelan yang
luar biasa.
Kali ini Priatna membuka suaranya, angker.
"Mauku, kalian tinggalkan tempat ini dengan
segera!"
"Apa maksudmu?!"
"Tadi kau bertanya bukan, apa mauku? Nah,
mauku menyuruh kalian untuk pergi meninggalkan
Desa Kali Sunyi ini sekarang j juga. Tanpa kecuali!"
"Hmm."
"Orang-orang Cakram Maut yang tidak tahu diri.
Berani-beraninya kalian lancang J menginjak Desa
Kali Sunyi ini!"
"Hmm...."
"Orang-orang lancang tukang membuat fitnah!"
"Hem...."
"Seenaknya saja menuduh Cempaka Biru
sebagai pencuri!"
"Hmmm...."
"Jangan hanya bergumam saja, Ki Sanak!"
bentak Priatna yang mulai jengkel dan sebal
mendengar kata-katanya hanya disambut dengan
gumaman saja oleh Marayuda.
"Hmmm...."
Hawa panas pun makin mengalir.
Hawa kemarahan pun menebar.
Wajah Priatna memerah.
"Kami orang-orang Desa Kali Sunyi sekaligus
abdi setia Perguruan Cempaka Biru... tidak akan
membiarkan kalian, orang-orangl busuk Cakram
Maut memasuki wilayah Kali Sunyi ini!" serunya
berapi-api.
"Hmm....."
"Dan akan membela Cempaka Biru dengan
segenap kemampuan kami!" "Hmmm...."
"Kau memuakkan aku, Ki Sanak!" geram Priatna
penuh dengan kemarahan yang membludak. Dan
segera saja dia menyerang Marayuda dengan
gebrakan cepat dan hebat. "Mampuslah kau,
manusia sombong!"
Tetapi Marayuda pun di samping sikapnya yang
acuh tak acuh itu sebenarnya telah bersiaga penuh.
Maka dengan gerakan yang cepat pula Marayuda
menarik kepalanya ke belakang, menghindari
jotosan tangan kanan Priatna yang mengarah pada
wajahnya.
"Heit!"
Lalu dia pun dengan cepat segera kirimkan
serangan balasan.
Priatna sendiri segera melayaninya dengan
ketangkasannya. Tidak percuma dia menjadi murid
unggulan pertama di Perguruan Silat Cempaka
Biru. Dengan tangkasnya dia menghadapi
serangan-serangan Marayuda dengan gebrakan
yang cepat dan tangguh pula.
Keduanya pun memperlihatkan ketangguhan
dan kehebatan mereka.
"Hahaha... kau rupanya memiliki kebisaan pula,
Ki Sanak!" tertawa Marayuda sambil melayani pula
gebrakan-gebrakan dahsyat yang dilakukan
Priatna.
"Nah, mengapa kau tidak segera mengajak anak
buahmu untuk angkat kaki dari Desa Kali Sunyi ini,
hah?! Apakah kau ingin mati konyol?!"
"Hahaha... jangan terlalu sesumbar dulu, Ki
Sanak! Kau belum merasakan kelanjutan-
"Sombong! Mengapa tidak segera kau keluarkan
semua kemampuanmu, hah?! Kalian memang
manusia-manusia busuk yang bisanya hanya
memfitnah saja!"
"Hhhh! Ini bukan fitnah, Ki Sanak! Namun
kalianlah yang telah mencuri Cakram Emas milik
perguruan kami! Dan kami tak akan pernah
mengampuni siapa pun orang yang berada di
bawah naungan Perguruan Cempaka Biru!"
"Bangsat!"
Dan gebrakan-gebrakan yang keduanya lakukan
semakin cepat dan hebat. Masing-masing
memperlihatkan segenap kemampuan yang meraka
miliki. Saling serang. Saling tangkis.
Seakan mereka tidak ingin memberi kesempatan
pada lawan-lawannya untuk bisa bernapas sejenak.
Karena serangan-serangan yang mereka lakukan
beruntun dan cepat.
Sementara teman-teman Priatna sudah tidak
sabar untuk membantu. Namun Yantara menyuruh
mereka untuk bisa menahan diri, karena dia sendiri
yakin Priatna akan mampu menghadapi pemuda
pemarah dan memuakkan itu.
Juga karena pasukan Kediri tak satu pun yang
bergerak membantu. Rupanya mereka terlalu taat,
jika belum diperintahkan, maka mereka tidak akan
bergerak.
Perkelahian antara Priatna dengan Marayuda
semakin seru. Ketangkasan, kepandaian dan
kelihaian keduanya sudah mereka tampilkan.
Benar-benar indah dan mengagumkan. Sampai
saat ini keduanya nampak seimbang dan masih
menggunakan tangan kosong.
Malam pun sudah merambat turun.
Dan tiba-tiba saja Marayuda menyerang dengan
gencar, membuat Priatna agak kewalahan. Namun
dia masih bisa menghindar dengan lincah. Suatu
saat, ketika dia sedang bersalto di udara, Marayuda
mendadak berguling mengejar. Dan tempat di
tempat yang akan dipakai Priatna untuk
menjejakkan kaki, mendadak saja Marayuda
mencabut pedangnya dan mengelebatkan ke atas.
Sudah tentu Priatna terkejut bukan main, tidak
menyangka serangan yang demikian itu. Namun
sedetik dia terlambat, hilanglah nyawanya.
Teman-temannya pun sudah membayangkan
hal-hal yang mengerikan bagi Priatna. Terlalu
menakutkan.
Namun kemudian semuanya menghela nafas
lega. Karena dengan tangkasnya Priatna
melolorkan toyanya dan dengan ujung toya itu dia
menangkis sabetan pedang Marayuda. Dan,
"Trak!"
Dengan lincahnya kemudian Priatna menggenjot
tubuhnya dengan tumpuan toya itu pada tanah.
Dan bersalto ke depan dan berdiri dengan sigap.
Menghadap Marayuda dengan penuh tantangan.
Bibirnya menyungging senyum ejekan.
Marayuda sendiri sangat terkejut karena tidak
menyangka pemuda itu bisa meloloskan diri.
"Bangsat! Rupanya kau punya kepandaian pula
hingga berani menghadang perjalanan kami! Baik!
Kami adalah orang-orang Kediri yang akan
membantai Singasari dan merebut kembali pusaka
milik kami! Dan kami akan bergerak perlahn-lahan
dengan menduduki setiap desa yang berada di sini.
Satu per satu kami akan menguasainya. Dan
kesempatan pertama, Desa Kali Sunyi ini yang akan
kami gulung!"
"Mimpi di siang bolonglah kau dengan anak
buahmu itu!" balas Priatna tak kalah kerasnya.
"Hanya Tuhanlah yang bisa meratakan Desa Kali
Sunyi ini!"
Merah padam wajah Marayuda. Dia meludah
dengan tatapan geram.
"Bangsat!" bentaknya kalap. "Kami akan
buktikan kekuatan ini!"
"Kami?" ejek Priatna tenang. "Bukannya kau?
Hmm.... rupanya tak ada keberanianmu lagi
menghadapiku sekarang! Bagus! Perempuanlah
kau semestinya! Dan berlarilah pulang dengan
tunggang langgang bagai perempuan yang buah
dadanya dipegang tangan laki-laki jahil!"
Semakin panas wajah Marayuda dirasakannya.
Untungnya malam mulai menyelimuti. Dan cahaya
rembulan pun hanya redup saja, seperti enggan
menyaksikan pertempuran itu. Ah, rembulan pun
enggan melihat darah yang sebentar lagi akan
tumpah.
Namun mengapa manusia itu lebih suka
berperang daripada berdamai. Apakah mereka lupa
kalau Tuhan menciptkan mereka untuk saling
mengasihi satu sama lain? Mereka telah dibuai oleh
ambisi diri sendiri. Perang. Perang. Perang. Terlalu
menakutkan untuk dibayangkan. Terlalu
mengerikan untuk dihadapi. Terlalu mematikan
untuk terjun ke dalamnya, namun mereka masih
menyukai perang. Seakan tanpa perang arti hidup
tidak ada lagi, tidak ada lagi yang akan bisa
mereka perlihatkan. Karena dalam perang
kepandaian, kegagahan dan kejantanan
diperlihatkan. Begitukah caranya untuk meyakinkan
diri, meyakin pada orang lain, meyakinkan pada
dunia, bahwa dia adalah lelaki jantan? Tidak
adakah cara lain? Perang.... kau hanya membawa
berita kematian pada orang-orang yang tak
bersalah.
"Baik! Akan kubuktikan sekarang!" terdengar
suara Marayuda geram. Dan dengan pedang di
tangannya dia pun kembali menyerang.
Kali ini dengan toya di tangannya pula Priatna
memapaki serangan itu. Dan dengan kedua senjata
di tangan masing-masing, keduanya nampak
semakin tangguh dan hebat. Toya yang dipegang
Priatna sukar sekali ditebak ke mana arahnya.
Begitu cepat dan berulang-ulang. Kadang-kadang
toya itu menusuk, memukul, menyabet, berdiri
tegak dan kadang-kadang bergerak baling-baling
yang menimbulkan suara keras dan berde-sing-
desing. Bagaikan ribuan tawon yang menyerbu.
Sungguh luar biasa apa yang diperlihatkan
Priatna. Dia benar-benar membuktikan diri, bahwa
dia memang patut menjadi murid nomor satu di
Perguruan Silat Cempaka Biru.
Gebrakan toya yang begitu hebat diperlihatkan
Priatna, membuat Marayuda sejenak tertegun. Dan
dia menjadi agak kewalahan. Sekaligus juga
keheranan melihat jurus-jurus toya yang
ditampilkan oleh Priatna. Toya itu seakan
mempunyai mata. Karena ke mana tubuhnya pergi,
ke sana pula toya itu mengejar.
Amat hebat!
Dengan pedang di tangannya, Sebisanya
Marayuda mencoba mengimbangi serangan-
serangan yang berbahaya, aneh dan cepat itu.
Namun ujung toya di tangan Priatna memiliki dua
kutub. Satu berkelebat, yang lainnya cepat
menyusul, secepat apa yang digerakkan oleh
pemiliknya. Lain halnya dengan pedang di tangan
Marayuda yang hanya memiliki satu kutub yang
bisa digunakan.
Dan hal ini benar-benar membuatnya
kewalahan. Karena selain toya itu memiliki dua
kutub yang keras, juga lebih panjang dari
pedangnya. Sehingga menyulitkan Marayuda untuk
menyerang dari jarak dekat, karena kedua ujung
toya itu seakan menghentikan gerakannya bila
ingin mendekat.
Sedangkan Priatna semakin berada di atas angin
dengan memperlihatkan kehebatan permainan ilmu
toyanya.
"Hahahah... sudah kukatakan sejak tadi, lebih
baik kau angkat kaki dari sini!!" ejeknya sambil
terus mencecar.
"Wut!"
"Wut!"
Dua sambaran itu berhasil dielakkan oleh
Marayuda, dengan jalan melompat. Dan masih
melompat dia mencoba menyerang dengan satu
tusukan ke arah wajah Priatna.
Namun dengan manisnya Priatna memutar
toyanya.
"Traaaaakkk!"
Dan dengan gerakan yang cepat dan sulit, tiba-
tiba ujung toyanya sudah menggedor perut
Marayuda hingga terhuyung.
"Heikkk!!"
"Hahahah.... lumayan bukan apa yang kau
rasakan itu?!" mengejek Priatna yang semkin
membuat Marayuda bukan main marahnya.
Tanpa menghiraukan rasa mual di perutnya,
Marayuda kembali menyerbu dengan pekikan yang
cukup keras. Priatna pun segera melayaninya
dengan permainan toyanya yang hebat.
Kembali keduanya bertarung bagaikan dua ekor
ayam di dalam kalangan.
Namun Marayuda benar-benar kewalahan
menghadapi permainan ilmu toya yang
diperlihatkan oleh Priatna. Kini dia hanya bisa
mencoba menggerakkan pedangnya saja untuk
menangkis, tanpa bisa menyerang lagi.
Sampai suatu ketika, toya di tangan Priatna
dengan cepat bergerak memutar, mencoba
mengancam bagian leher Marayuda. Marayuda
cepat merunduk. Namun tiba-tiba saja Priatna
sudah melompat ke atas dengan kedua tangan
yang menggenggam ujung toyanya dan siap
menghantam kepada Marayuda.
Gerakan yang cepat itu membuat Marayuda
terkejut dan dengan memegang kedua pedangnya
dia mengangkat ke atas dan menangkis pukulan
toya Priatna.
Namun selagi kedua tangannya yang memegang
pedang itu berada di atas, dengan tidak terduga
tiba-tiba tubuh Priatna dan kakinya dengan cepat
menyambar ke dada Marayuda. Pemuda itu
terkejut, namun sulit baginya untuk menghindari
serangan itu!
Dan tanpa ampun lagi kaki Priatna menghantam
sasarannya dengan keras.
"Des! Heiikkk!!"
Seketika tubuh Marayuda terdorong oleh sebuah
tenaga yang cukup kuat ke belakang dengan deras.
Lalu terbanting ke tanah. Debu mengepul dan
langsung hinggap di bagian baju dan sedikit
wajahnya.
Melihat lawannya sudah terjatuh, Priatna
menarik kakinya dan berdiri dengan senyum
mengejek. Tidak menyerang lagi. Toyanya diputar
sebelum dipancangkan di sebelah kaki kanannya
dengan tangan kanannya memegang bagian toya
itu.
"Maafkan aku, Ki Sanak. Sebenarnya bukan
salah aku. Tetapi kau yang lengah. Dan dalam hal
ini, kau harus lebih banyak lagi belajar."
Marayuda geram bukan main. Dia mengusap
bibirnya yang mengeluarkan darah. Dadanya terasa
sesak. Namun yang lebih menyakitkan ejekan yang
dilakukan Priatna tadi.
Perlahan-lahan dia bangkit.
Tatapannya demikian geram.
Dan dengan tiba-tiba dia mengangkat tangan
kanannya ke atas. Dengan serentak | anak
buahnya yang sejak tadi menunggu dengan tidak
sabar berlarian menyerbu Priatna | dengan suara
yang gegap gempita.
Melihat pasukan Kediri sudah menyerang,
Yantara pun tidak mau kalah. Dengan memekik
keras dia beserta teman-temannya segera keluar
dari persembunyiannya dan segera menyambut
orang-orang Kediri itu.
"Serrrbuuuu!!"
Di malam yang sunyi ini, pertempuran besar
terjadilah. Perbatasan Desa Kali Sunyi yang
biasanya sepi kali ini ramai dengan teriakan yang
hiruk pikuk, juga suara senjata yang ramai beradu.
Suasana amat gegap gempita.
Kadang terdengar suara memekik.
Kangan terdengar suara menjerit.
Kadang terdengar suara mengaduh.
Kadang terdengar suara senjata bertemu.
Keras dan menyayat.
Semua menjadi satu dengan kegelapan malam.
Namun orang-orang itu terus saja saling
menyerang dengan buas. Masing-masing ingin
segera melumpuhkan lawannya. Semakin buas dan
kejamlah mereka.
Mereka yang tengah bertempur itu tidak
memperdulikan malam yang semakin merambat.
Hanya satu keinginan mereka, mengalahkan lawan
mereka masing-masing.
Jumlah pasukan Kediri yang lebih banyak tidak
membuat gentar murud-murid Cempaka Biru,
dengan beraninya mereka menghalau setiap
serangan lawan. Tak sedikit yang mendapat
sekaligus dua orang.
Dalam hal ini, Priatna dan Yantara bergerak
dengan cepat. Merekalah yang menjadi motor
penggerak teman-teman mereka yang lain..
Toya-toya yang berada di tangan mereka, bagai
hidup saja. Ke mana lawan bergerak, ke sana
pulalah toya itu bergerak. Membuat keduanya
ditakuti. Karena setiap toyanya bergerak, pasti ada
yang mengaduh.
Melihat hal itu Marayuda menjadi geram.
Dengan mengibaskan pedangnya ke sana ke mari
dia berusaha mencapai Priatna. Dia masih geram
karena pemuda itu mampu menendangnya tadi.
Apalagi sekarang mempo-rak porandakan
pasukannya.
"Hadapi aku, setan!" geram Marayuda ketika
sudah berhadapan dengan Priatna dan langsung
menyerang dengan pedangnya. Buas dan bernafsu.
Priatna sendiri pun segera meninggalkan lawan-
lawannya. Dia pun menyambut kembali serangan
Marayuda. Kembali kedua pemuda gagah itu
bertempur dengan tangkas.
Sementara kedua kelompok itu sudah semakin
menenggelamkan diri dalam pertempuran. Sudah
banyak pula yang berguguran baik dari pihak Kediri
maupun murid-murid Cempaka Biru.
Dan pertempuran itu sudah berjalan hampir dua
jam.
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kuda
yang cepat. Andikabirata dan Juwitasari yang baru
saja tiba. Keduanya terkejut melihat pertempuran
itu. Dan tanpa banyak cakap lagi keduanya segera
melompat turun dan menerjunkan diri ke dalam
pertempuran itu.
Melihat guru dan Rayu Juwitasari datang,
memberi semangat bagi murid-murid Cempaka
Biru. Mereka kembali menyerang dengan cepat
seolah mendapatkan tenaga baru.
Andikabirata atau si Toya Kilat dengan gerakan
yang sangat cepat sudah merubuhkan lima orang
prajurit Kediri. Begitu pula dengan putrinya, yang
sudah menarik toya kecilnya menjadi panjang.
Dengan gerakan yang manis dan tangkas pula
dia menghajar setiap lawan yang mendekat
padanya.
Dengan bantuan kedua orang gagah itu,
kemenangan sudah nampak di ambang pintu bagi
Perguruan Cempaka Biru, walaupun banyak pula
murid-murid perguruan itu yang gugur dan luka-
luka.
Sementara itu Priatna masih bertarung dengan
Marayuda. Wajah pemuda pemarah itu pias melihat
kedatangan dua orang sakti itu, yang membuat
pasukannya porak poran-da dan sebentar saja
sudah dipukul ambruk. Mereka tidak berani lagi
mengangkat senjata.
Namun biar bagaimana pun dia tidak gentar. Dia
tidak memperdulikan dirinya yang kini sudah
benar-benar terkepung dalam lingkaran murid-
murid Cempaka Biru. Sedangkan pasukannya
sudah menyerah kalah, bahkan yang takut mati
lebih rela ditawan. Atau pura-pura pingsan.
Marayuda tetap menahan dan membalas
serangan Priatna. Pertempuran keduanya sudah
memakan waktu yang lama. Ini membuat
Juwitasari menjadi jengkel.
Kalau dia yang melawan, tak lebih dari lima
jurus orang Kediri itu akan ambruk, begitu katanya
dalam hati. Dan pertarungan kedua pemuda itu
terasa membosankannya. Dengan tiba-tiba saja dia
menggerakkan tangan kirinya.
Siung!'
Sebuah jarum berbisa melayang ke arah
Marayuda yang sedang terdesak dan menancap di
bahunya.
"Aduh!"
Marayuda terhuyung sambil menekap bahunya.
Dan pedangnya terlepas karena terkejut, sehingga
serangan Priatna selanjutnya tidak bisa dibendung
lagi.
"Des! Des!"
Dua kali dadanya dihantam dengan keras oleh
kaki Priatna, membuatnya terhuyung dan ambruk.
Namun sambil menahan rasa sakit yang bukan
main, dia berusaha untuk bangkit dan menyeringai
kesal pada Juwitasari. Namun tubuhnya benar-
benar lelah, tenaganya telah habis diperas
sehingga dia pun ambruk kembali.
Priatna tidak tahu kalau lawannya itu telah
terkena jarum berbisa milik Juwitasari. Dia
tersenyum puas karena bisa membuktikan diri di
hadapan guru dan putri gurunya bahwa dia mampu
mengalahkan orang Kediri.
Tetapi Juwitasari tidak sekali pun meliriknya.
Gadis itu seolah tidak mau tahu akan kebanggaan
Priatna yang berhasil mengalahkan lawannya.
Begitu pula dengan Andikabirata. Walaupun
sukar untuk diikuti oleh mata gerakan yang
dilakukan Juwitasari tadi, namun dia sempat
melihat sekilas gerakan tangan putrinya. Dan dia
pun menduga bahwa putrinya sedang menyerang
dengan senjata rahasianya. Benar saja, orang
Cakram Maut itu tiba-tiba menekap tangan
kanannya.
Sambil berbisik tenang, Andikabirata berkata
pada putrinya, "Kau tidak boleh berbuat curang,
Wita...."
Juwitasari sedikit kaget. Oh, ayahnya
mengetahui perbuatannya tadi. Buru-buru dia
menunduk, lalu perlahan-lahan kembali
mengangkat kepalanya. Dan terlihat wajahnya
yang cantik tersaput ketersipuan.
"Aku tidak sabar melihat Kakang Priatna yang
lambat begitu, Bapak.... hanya lawan seperti itu
saja dia sulit untuk menjatuhkannya."
Andikabirat tersenyum. Hatinya sedikit bangga
karena putrinya menuruni sifatnya yang sedikit
keras. Namun dia tidak mau putrinya melakukan
hal seperti itu. Menyerang musuh secara diam-
diam adalah pengecut.
"Tapi kau telah berbuat curang, Wita... Dan
seingatku, aku tak pernah mengajarkan kau
berbuat seperti itu. Kau pun tentunya tahu hal itu,
Wita....."
"Biarkan saja, Bapak.... aku muak dengan
orang-orang Cakram Maut. Mereka seenaknya saja
berbuat dan bersikap seperti itu. Apakah aku
terima dengan senang hati?" Suara Juwitasari
sedikit mengandung keras kepala.
Andikabirata menghela napas. Putrinya sudah
benar-benar terbawa arus jiwa mudanya, yang
tidak bisa membendung rasa marahnya jika hal
yang tidak bisa diterimanya. Apalgi dalam hal ini,
kejadian yang amat menyinggung jiwa dan
raganya.
Akhirnya Andikabirata mendiamkan saja putrinya
yang masih nampak sebal. Lalu dia berjalan
menghampiri Marayuda yang sedang meringis
kesakitan.
Andikabirata mencoba tersenyum.
"Maafkan putriku, Anak muda... dia terlalu
lancang mencampuri perkelahianmu...."
Tetapi Marayuda mendengus marah. Matanya
bersinar mengejek. Biar bagaimana pun laki-laki
yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang
telah mencuri pusaka Cakram Emas milik
Perguruan Cakram Maut.
"Hhh! Tak perlu berbasa basi dan menjual lagak,
Orang tua! Katakan pada anakmu itu, kalau ingin
membunuh aku, lakukan saja! Tidak perlau
melakukan serangan keji dan pengecut ini! Hhh!
Memang sudah kuduga, orang-orang Cempaka Biru
adalah manusia curang dan pengecut!!"
"Dia masih muda, Anak muda... jiwanya masih
mudah dikuasai emosi," suara Andikabirata masih
pelan dan bibirnya tetap tersenyum.
Namun Marayuda yang geram itu tidak
memperdulikannya. Dia tengah dendam. Tengah
menyimpan kemarahan yang berat. Malah dia
meludah dengan sikap menyakitkan.
"Cih! Biar mampus anakmu, Orang tua!!"
Andikabirata untunglah seorang laki-laki yang
sabar. Sikap Marayuda sebenarnya sudah amat
kurang ajar sekali. Namun dia masih bersikap
santai. Dengan bibir yang selalu tersenyum.
"Anak keras kepala," desisnya dalam hati sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Tetapi dia tetap sabar dan tersenyum. "Bisa
jarum itu bisa menjalar ke seluruh tubuhnya, Anak
muda. Dalam waktu setengah jam lagi, kau akan
menemui ajalmu dengan tubuh menegang biru."
"Lalu apa urusanmu, Orang tua!" geram
Marayuda. "Biar dosanya ditanggung oleh anakmu
itu!"
"Aku bermaksud hendak mengobatinya. Marilah,
ikut aku ke rumahku. Di sana lebih leluasa untuk
mengobati luka-lukamu dan menghilangkan bisa
jarum itu."
"Cih! Tak sudi aku menerima bantuan dari orang
yang hendak mencelakakanku dan abdi Singasari
yang telah mencuri Pusaka Patung Pualam milik
kerajaan Kediri! Tak sudi aku!!"
Melihat ayahnya dibentak dengan suara yang
keras itu, Juwitasari menghampiri dengan jengkel.
"Kenapa tidak dibunuh saja orang ini, Bapak?"
serunya marah. "Biar mampus sekalian di sini
daripada merepotkan kita!"
"Ya, bunuh saja aku! Bunuh saja! Kenapa kau
menunggu waktu lagi, hah? Kenapa?!" bentak
Marayuda keras. "Ayo lakukan, lakukan!!"
"Bangsat!" seru Juwitasari. "Kau pikir aku main-
main, hah?!"
"Lakukan, lakukan! Aku muak berada dalam
tawananmu! Lebih baik aku mati daripada hidup
bersama orang-orang yang tak beradab! Secara
curang menyerang orang selagi lengah! Mana
keberanian kalian, selain hanya membokong saja,
hah?! Mana?!"
Dengan geram Juwitasari mencabut toya-nya
dan menggerakkan dengan cepat. Pemuda ini
membuatnya sangat jengkel. Biar mampus saja.
Sedangkan Marayuda dengan tenang saja
menerima apa yang akan terjadi pada dirinya.
Bahkan dia memejamkan matanya saja pun tidak.
Biar dia mati daripada ditawan oleh musuh Kediri
ini.
Namun mendadak saja sebuah benda
menghalangi laju toya Juwitasari.
"Traaak!"
Tangan Juwitasari agak bergetar menerima
tangkisan yang bertenaga itu pada toya-nya. Dan
dia sangat terkejut begitu tahu siapa yang
menahan tongkat toyanya.
"Bapak?!" suaranya bergetar, tak percaya. "Aku
tidak pernah mengajarkan kau untuk menyerang
orang yang telah kalah, Juwita. Apakah kau lupa
kalau itu tak pernah kuajarkan padamu?"
"Tetapi dia menghinaku, Bapak!" suara
Juwitasari tersendat, bagai menangis belaka.
Malunya bukan main karena yang menahan
serangannya itu ayahnya sendiri. Dan ini sulit
baginya untuk marah. Malu di hatinya semakin
bertambah besar saja. Mengapa bapak membuatku
malu? mengapa? Isaknya di hati tidak mengerti.
"Tetapi dia telah kalah, Wita. Kau tidak boleh
menyerangnya lagi. Bila kau masih melakukannya,
kau tidak ksatria. Seorang ksatria sejati, pantang
menjatuhkan tangan telengasnya pada lawan yang
sudah kalah. Dan kau harus bersikap seperti itu,
Wita. Jangan main sembarang menurunkan tangan
telengas pada lawan yang telah kalah...."
"Tapi, Bapak...."
"Bapak yakin, kau akan menuruti kata-kata
bapak," kata Andikabirata sambil tersenyum. Dia
tahu sifat putrinya ini yang keras kepala dan
manja. Namun dia tidak suka bila putrinya
menurunkan tangan telengasnya pada lawan yang
sudah kalah. Andikabirata menginginkan putrinya
agar menjadi seorang kesatria sejati.
"Bapak...."
Juwitasari tidak meneruskan kata-katanya
karena mendengar suara tawa Marayuda yang
mengejeknya. Dan kala tatapan Juwitasari beradu
dengan tatapan mata yang mengejeknya itu,
membuatnya ingin menangis karena malu.
Betapa menjengkelkannya. Dan begitu
mengejeknya!
"Heheheh.... lakukanlah, Nona.... lakukanlah....
bukankah kau ingin membunuhku? Heheheh....
ayo, bunuhlah aku.... lakukanlah... ayo, Nona....
ayo...."
Juwitasari hanya bisa menghentakkan kakinya
dengan jengkel ke bumi. Lalu dia berpaling pada
ayahnya.
"Bapak.... kau dengar itu, dia mengejekku?!"
Andikabirata hanya tersenyum.
Sementara Marayuda masih terkekeh-kekeh
dengan kata-kata ejekannya.
"Heheheh.... mengapa kau diam saja, Nona?
Ayo, mana kepandaianmu? Apakah kau takut untuk
membunuhku, hah? Heheheh.... maka-nya jangan
terlalu sesumbar, Nona... Hehehe... atau kau
memang pengecut hingga tak mau melakukannya?
"
Merah padam seluruh wajah Juwitasari.
Kegeramannya amat luar biasa. Sayang dia pun
amat menghormati ayahnya, bila tidak, sudah tentu
akan dibunuhnya pemuda yang mengejeknya dan
membuat sakit hatinya ini.
"Kau?!" Hanya itu yang bisa terlontar dari
sepasang bibir memerah yang mungil itu.
Tersendat. Matanya memerah. Begitu pula dengan
wajahnya. Untunglah rembulan tidak begitu terang
bersinar, kalau cukup terang, mungkin pemuda
ceriwis itu akan terus mengejeknya. Namun
suaranya yang tersendat itu bisa dengan mudah
diketahui kalau dia ingin menangis.
Hati Juwitasari benar-benar kesal dan mangkel.
Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Marayuda masih terkekeh.
"Hehehe.....menangis, ya? Hehehe... bunuhlah
aku, Nona... Hehehe... cengeng sekali kau!!"
Kali ini Juwitasari tidak bisa lagi menahan
kemarahannya. "Kubunuh kau?!" serunya keras
sambil menggerakkan toyanya ke arah Marayuda.
Malunya tidak ketulungan lagi. Dia harus melenyap
pemuda ini dari muka bumi!!
Dan toya itu pun melesat ke arah Marayuda!
Namun belum toya itu mengenai sasarannya,
Juwitasari merasakan satu benda menghalangi laju
toyanya. Dan bukan main terkejut dan malunya,
karena lagi-lagi ayahnya yang menahan serangan
itu. Membuat rasa malunya semakin besar.
"Bapak!" serunya tersendat.
Dan tiba-tiba dia berlari melompat ke kudanya
sambil terisak. Lalu menggebraknya sehingga kuda
itu melesat bagaikan anak panah yang lepas dari
gendewanya.
Dia malu.
Malu karena diejek seperti itu.
Malu karena justru ayahnya yang menahan
setiap serangan yang dilakukannya. Oh, mengapa
ayahnya membuatnya malu? Mengapa? Ayahnya
jahat kalau begitu! Tega membuat putrinya sendiri
menanggung malu di depan pemuda ceriwis itu.
Kalau setiap serangannya tidak ditahan ayahnya
sendiri, tentunya pemuda itu akan dibunuhnya!
Priatna yang baru mendekat setelah
pertempuran itu, mencoba menahannya karena
dilihatnya Juwitasari begitu kesal. Namun gadis itu
mendorongnya hingga jatuh. Dan pemuda itu
hanya bisa berdiri kembali sambil memanggil-
manggil. "Wita! Juwita! Juwita!"
Namun bayangan gadis itu beserta kudanya
sudah menghilang dari pandangannya. Ada apa
dengan gadis itu? Desis Priatna dalam hati.
Akh, dia tidak pernah suka melihat gadis itu
bermuram durja atau pun kesal.
Dengan tidak mengerti Priatna menghampiri
gurunya.
"Ada apa dengan Juwita, Guru?"
Andikabirata hanya tersenyum.
"Tidak ada apa-apa. Rayimu memang begitu?"
"Tetapi dia seperti menangis, Guru...."
"Biarkan saja."
"Saya tidak mengerti, Guru."
"Aku sendiri tidak mengerti apa maunya putriku
itu, Priatna," kata Andikabirata sambil tersenyum.
"Tapi, Guru...."
Namun sebelum Andikabirata sempat membuka
mulut, Marayuda sudah terkekeh. "Heheheh...
kasihan gadis cantik itu. Dia malu, pasti malu
sekali. Heheheh... ingin sekali aku melihatnya
dalam keadaan malu begitu. Pasti wajahnya yang
cantik itu akan memerah dan begitu mempesona.
Gadis itu memang cantik. Sungguh cantik.
Wajahnya begitu mempesona. Ah, sayang
rembulan sedang segan bersinar. Jika dia lebih
berbaik hati padaku, pasti dia akan menerangi
wajah rupawan itu. Ah, sayang, sayang...."
Kata-kata Marayuda membuat keberangan
Pritna menjadi naik kembali. Bangsat! Pemuda
pemarah itu mendadak menjadi perayu sekali. Dan
dia berani memuji Juwitasari di hadapannya.
Sungguh keterlaluan!
Priatna yang diam-diam mencintai gadis itu
menjadi amat tersinggung. Sejak lama dia
mencintai Juwitasari. Mungkin sudah hampir tiga
tahun. Waktu yang cukup lama baginya untuk
memendang cinta itu di lubuk hatinya yang teramat
dalam.
Tersimpan rapat.
Setiap malam dia selalu membayangkan wajah
cantik milik Juwitasari. Betapa senangnya
andaikata dia bisa menatap wajah itu lebih lama.
Betapa senangnya andaikata dia bisa mengecup
bibir mungil yang indah itu.
Ah, ah....
Dan sekarang gadis pujaannya itu dipuji lelaki
lain di hadapannya. Ini membuatnya tersinggung.
Namun lain bagi Andikabirata. Diam-diam dia
tersenyum dalam hatinya. Betapa lucunya pemuda
ini menurutnya. Seperti dirinya di masa muda dulu
ketika merayu Ratih Sudati gadis yang dicintainya.
Begitu nekad. Begitu lucu.
Lucu, lucu.
Dan tanpa sadar bibirnya membentuk sebuah
senyuman. Namun begitu mendengar dengusan
Priatna buru-buru dia menghilangkan senyum itu.
Dan didengarnya suara Priatna yang menekan.
"Kau laki-laki ceriwis! Kau beraninya hanya pada
seorang gadis!"
Marayuda yang masih terbaring di tanah dengan
menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya terkekeh
pelan.
"Hehehe... tak ada salahnya bukan, kalau aku
memuji gadis secantik dia?"
"Tetapi kau telah membuatnya tersinggung!"
"Apa yang telah kulakukan kepadanya, hah?
Gadis itu yang menangis dan berlari meninggalkan
tempat ini. Kau pikir aku menggodanya heh? Tidak,
sama sekali tidak. Aku tidak akan bisa mencintai
gadis jahat itu. Maaf, lain kali saja!" Terkekeh lagi
membuat Priatna semakin bertambah geram.
"Kau pikir gadis itu mencintaimu, hah?!" seru
Priatna makin jengkel.
"Siapa tahu?!" jawaban yang dilontarkan
Marayuda itu begitu santai dan ringannya.
Bahkan di dalam suaranya tersimpan nada yang
amat yakin sekali. Hal ini membuat Priatna semkin
geram dan jengkel. Ingin rasanya dia segera
menghantamkan kepalannya kepada manusia
ceriwis ini. Sayang ada gurunya di dekatnya, bila
tidak dia tak akan kompromi lagi.
"Jangan terlalu banyak berharap, Kawan!" sahut
Priatna padahal hatinya cemas dan cemburu.
"Heheheh.... aku tak prnah berharap. Tetapi...
hehehe... tentunya gadis itu yang mengharapkan
aku, bukan?"
"Brengsek...!"
"Hei, hei... mengapa kau harus marah? Apakah
kau tidak yakin kalau sesungguhnya gadis itu jatuh
cinta padaku?"
Sebelum Priatna membuka mulut, Andikabirata
segera menenangkan persoalan itu. Dia berkata
pada Marayuda, "Anak muda... siapa namamu
sebenarnya?"
Suara yang bertanya itu amat lembut, namun
dibalas dengan suara yang kasar oleh Marayuda.
"Buat apa kau mengetahui namaku, Orang tua?
Dan kau pikir aku mau mengatakannya, heh?!
Tidak akan pernah aku mengatakannya padamu,
Orang tua! Kau boleh berharap banyak, tapi jangan
kau pikir akan tercapai harapanmu itu!"
Priatna menyangka gurunya akan marah karena
kata-kata itu diucapkan dengan kasar. Tetapi
malah kelihatannya gurunya tenang-tenang saja.
"Kau tidak mau mengatakannya?"
"Buat apa, hah?!"
Andikabirata tersenyum.
"Baiklah... mari ikut aku ke Perguruan Cempaka
Biru. Bila terlambat, jarum berbisa itu akan segera
menyerangmu dan bisa mematikanmu."
"Biarkan saja! Apa urusannya denganmu, Orang
tua? Biarkan aku di sini! Biarkan aku mampus! Apa
perdulimu sebenarnya? Kau toh malah senang
bukan, karena anak gadis itu berhasi membunuhku
dengan jarum bangsatnya? Bukan, begitu? Hei,
jangan hanya diam saja, Orang tua! Apa kau takut
mengakuinya, heh?! Dan kau tak mau disalahkan
kalau sebenarnya kau suka dan bangga melihat
hasil kerja jarum anak gadis itu, bukan?!"
Mendengar kata-kata itu jantung Priatna
berdetak lebih cepat. Seakan dia habis berlari jauh
sekali. Jarum berbisa? Juwitasari? Oh, kalau begitu
pemuda ini telah diserang oleh jarum berbisa yang
dilepaskan Juwitasari. Oh, betapa malunya karena
dia menyangka pemuda itu telah berhasil
dijatuhkannya.
Betapa malunya!
Padahal dia sudah amat bangga tadi. Pantas,
kala itu Juwitasari tidak membalas senyumnya.
Rupanya tangan gadis itulah yang telah mengakhiri
perlawanan Marayuda terhadapnya.
Ini sungguh-sungguh amat memalukan sekali!
Dan dengan perasaan yang amat geram sekali,
dia ingin segera menyumpal mulut pemuda yang
mendadak berubah menjadi ceriwis itu!
Namun sudah tentu tidak akan mungkin
dilakukannya sekarang.
"Tetapi bisa yang terdapat pada jarum itu akan
mematikanmu, Anak muda," Didengarnya lagi
suara gurunya berkata. Betapa lembutnya. Oh,
gurunya kenapa menjadi begitu bersimpati pada
pemuda ini? Mengapa? Desis Priatna geram dan
heran dalam hati.
Bukankah pemuda itu musuh mereka? Orang
Cakram Maut yang hina? Orang yang telah
menyerang Perguruan Cempaka Biru? Mengapa
harus bertindak sungkan-sungkan? Mengapa tidak
dibunuh saja? Priatna menjadi bingung dengan
semunya.
---ooo0dw0ooo---
4
Lagi-lagi kekehan yang terdengar dari mulut
Marayuda. Ini kebali membuat Priatna menjadi
jengkel. Sebenarnya maksud dari Marayuda adalah
hendak mengulur waktu. Dia mencoba tengah
mencari sela untuk melarikan diri.
Namun sejak tadi, rasanya tidak mungkin dia
bisa melarikan diri.
Maka dia pun bersikap semakin kurang ajar
pada Andikabirata, yang membuat Priatna menjadi
geram adanya.
"Hehehe... mengapa kau menghiraukan aku,
Orang tua? Apakah dengan cara seperti ini kau
pikir aku akan tunduk padamu? Hehehe... tak akan
pernah, Orang tua! Tak akan pernah! Aku muak
melihat wajahmu, tahu!!"
Andikabirata mendesah panjang.
"Kau tak pernah berterima kasih, Anak muda...."
"Terima kasih? Untuk apa aku berterima kasih?
Apa lagi terhadap orang sepertimu? Hehehe...
jangan terlalu mengkhayal, Orang tua! Bila kau
berani, bunuhlah aku! Biarkan aku mampus!
Bukankah itu lebih baik untukmu daripada aku
hidup? Hehehe... jangan jual lagak, Orang tua!"
"Kau keras kepala, Anak muda...." kata
Andikabirata tetap dengan suara yang terdengar
sabar.
"Hehehe... mengapa kau masih berpura-pura,
Orang tua? Mengapa? Jangan kau pikir aku tidak
tahu permaianan sandiwaramu ini, hah?! Biarkan
saja! Biarkan aku mampus di sini! Bukankah
putrimu akan gembira bila mendengar aku
mampus? Nah, mengapa kau masih berpura-
pura?!" Marayuda terkekeh dengan suara yang
mampu membuat singa jinak sekalipun menjadi
murka.
Tetapi suara Andikabirata tetap lembut.
"Kau sungguh keras kepala...."
"Heh? Keras kepala? Hehehe... bukankah ini
yang kau tunggu? Bunuh saja aku! Bunuh saja! Aku
sudah bosan dengan permainan sandiwaramu itu!
Biarkan putrimu senang mendengarnya bila aku
sudah mati! Mengapa kau masih belum
melakukannya, hah? Mengapa? Atau kau
menghendaki aku bunuh diri? Ciih! Pantang aku
melakukannya di depan orang-orang hina seperti
kalian! Ayo bunuh saja aku! Bunuh saja! Hehehe....
kau memang pengecut, Orang tua! Ayo, bunuh
aku! Putrimu akan senang, bukan? Dan kau juga
senang bukan melihatnya?!"
"Dia tidak seperti yang kau duga, Anak muda...."
"Apa yang tidak seperti aku duga, heh?"
Marayuda mengejek menyakitkan. "Dia
menyerangku seperti itu sudah jelas, bahwa
putrimu itu seorang gadis yang jahat! Dia....
aughkk!!!"
Tiba-tiba saja Marayuda muntah darah. Rupanya
bisa jarum itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Mendadak dia merasakan tubuhnya menggigil.
Bergetar. Namun dia berusaha untuk tertawa.
Dan lagi-lagi dia munta darah. "Augghkhghh!!"
"Kau tidak menuruti kata-kataku, Anak muda."
"Biarkan aku di sini!"
"Guru.... kita biarkan saja pemuda ini di sini.
Toh dia musuh kita. Dia bukan apa-apa kita, Guru."
kata Priatna yang sudah geram bukan main. Kalau
tidak ada gurunya akan disepak sampai mampus
pemuda ini. Biarkan saja dia tergeletak di sini!
Tetapi gurunya menggeleng.
"Tidak, aku tidak akan membiarkannya di sini.
Dia menjadi tanggung jawabku, Priatna."
"Tetapi dia manusia yang tak berguna, Guru.
Dia hanya membuat onar saja."
Lagi-lagi Andikabirata menggelengkan
kepalanya.
"Tidak, aku akan membawanya ke Perguruan
Cempaka Biru."
"Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau kau
rawat! Biarkan aku mampus di sini! Biarkan!"
bentak Marayuda yang menahan rasa nyerinya
yang sakit luar biasa. Dia menggeliat ngilu. Tulang-
tulangnya dirasakan bagai direjam jarum tajam
yang jumlahnya ribuan. Dan napasnya pun mulai
dirasakan sesak.
Rupanya bisa yang terdapat di jarum itu sudah
menyerang tubuhnya.
Dan mendadak dia kembali muntah darah. Kali
ini darahnya lebih banyak yang keluar. Kental. Ini
membuat Andikabirata semakin kuatir dan
dilihatnya pemuda itu pingsan, tergolek dengan
lemah.
"Yantara! Bawa pemuda ini dengan kuda. Cepat!
Bisa jarum beracun itu bisa mengakibatkan
kematian pada dirinya! Cepat!"
Yantara segera bergerak sigap. Dia mengambil
kuda yang ditunggangi gurunya dan membopong
tubuh Marayuda ke atas kudanya.
Setelah selesai dengan sigap Andikabirata
meloncat ke kudanya dan menggeprak kudanya
hingga lari begitu kencang setelah menyuruh
Priatna dan Yantara memimpin dan membawa
murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang luka-
luka.
Sementara para tawanannya pun digiring.
Kuda yang membawa Andikabirata telah tiba di
rumahnya. Dengan bergegas dia membawa masuk
pemuda itu dan membaringkannya di pendopo.
Lalu dengan cepat pula dia meramu obat-
obatan. Dan begitu selesai meminumkannya pada
pemuda itu. Terlihat kerja obat itu begitu cepat dan
berkhasiat. Karena dalam waktu lima menit, biru-
biru di sekujur tubuh pemuda itu mulai
menghilang.
Dan dia pun bernapas dengan normal kembali.
Andikabirata menghela napas panjang.
"Akh... hampir saja aku terlambat. Pemuda ini
paling sedikit harus beristirahat selama dua hari."
Di dalam kamarnya, Juwitasari yang sedang
menangis di bantal akibat perbuatan Marayuda tadi
mengintip perbuatan ayahnya. Dia mendengar
ketika ayahnya pulang tadi.
Betapa jengkelnya dia ketika melihat ayahnya
tengah mengobati pemuda itu!
Huh! Ayahnya rupanya hendak membuat dia
malu lagi. Bukankah dengan begitu pemuda itu
harus tinggal di sini untuk memulihkan tenaganya
dan memulihkan racun yang menyerangnya itu.
Ini membuat Juwitasari tidak menyenangi hal
itu. Dia- bertekad akan membalas sakit hatinya.
Dia belum puas bila belum membalas semua
perlakukan pemuda itu padanya. Sungguh panas
dan malu hatinya dibuat bahan ejekan seperti itu.
Dan Juwitasari sungguh-sungguh tidak
mengerti, mengapa ayahnya mau merawat dan
mengobati pemuda yang sudah jelas-jelas
penyebar fitnah pada Cempaka Biru.
Pemuda yang datang untuk menyerang Desa
Kali Sunyi! Lalu mengapa harus ditolong? Ini benar-
benar membingungkan Juwitasari.
"Aneh Bapak ini... bukannya dibunuh saja
pemuda itu, malah ditolongnya," desisnya dalam
hati. Dan keesokan harinya pun Juwitasari melihat
sikap yang sama diperlihatkan ayahnya pada
pemuda itu. Bahkan terlihat jelas kalau ayahnya
begitu telaten memeriksa keadaan tubuh pemuda
itu.
Ini membuatnya semakin jengkel saja.
Dan perasaannya untuk membalas dendam
semakin lama semakin besar saja. Hanya sayang,
ayahnya selalu berada di dekat pemuda itu. Ini
membuat Juwitasari hanya bisa menunggu saat
yang tepat.
Dia berjanji, akan tetap membalas sakit hatinya
atas perlakuan pemuda itu.
Bila saatnya yang tepat tiba?
---ooo0dw0ooo---
5
Derap langakah kuda itu memecah kesunyian
malam. Kecepatan larinya amat sukar untuk diikuti
oleh mata. Terlihat walaupun samar satu sosok
tubuh yang menunggang kuda itu. Melihat bentuk
tubuhnya jelas dia seorang pemuda. Di punggung
penunggang kuda itu terdapat sebilah golok yang
nampak agak aneh. Sarungnya terbuat dari kulit
kayu yang berlapiskan timah berwarna kuning.
Pemuda ini pun terlihat mengenakan caping. Dia
adalah Pandu, murid dari Eyang Ringkih Ireng
majikan Gunung Kidul.
Secara tidak sengaja pemuda itu telah
memasuki batas Desa Kali Sunyi. Dan karena
terlalu penat, dia pun bermaksud hendak
beristirahat.
"Kita beristirahat dulu di sini, Hitam." katanya
pada kudanya serya melompat turun. Namun
belum lagi dia melangkah, mendadak telah muncul
di hadapannya beberapa orang laki-laki yang
memegang toya.
Kening Pandu berkerut. Apa-apaan ini? Apalagi
setelah dilihatnya wajah mereka yang tidak
menandakan tanda persahabatan.
Wajah mereka tegang dan kaku.
"Hmm.... kesulitan apa yang akan kuhadapi lagi
ini?" desisnya dalam hati.
"Manusia lancang, berani-beraninya kau
menyatroni Desa Kali Sunyi malam hari, hah?!"
bentak salah seorang. Dia adalah Priatna yang
tengah bertugas berjaga-jaga di perbatasan Kali
Sunyi.
Dan bisa ditebak, yang lainnya adalah teman-
teman seperguruannya. Priatna sebenarnya masih
jengkel dan dendam pada Marayuda. Namun
hingga tiga hari pemuda musuh itu berada di
tengah-tengah mereka, gurunya belum juga
menjatuhkan hukuman.
Ini membuat Priatna heran.
Dan kali ini Pandu yang heran. Murid Eyang
Ringkih Ireng itu menebarkan senyum. Wajahnya
sebagian tertutup oleh capingnya.
"Hmm.... maafkan aku, Ki Sanak.... aku
hanyalah pengelana yang sedang kemalaman. Dan
bermaksud hendak beristirahat di sini...." sahutnya
sopan.
"Manusia busuk, jangan jual lagak di depan
kami! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau
sebenarnya, hah?! Jangan berlagak!"
Eyang.... kesulitan apa yang akan kualami ini....
"Maafkan aku, Ki Sanak... Mungkin aku lancang
karena memasuki desa ini tanpa izin. Namun bila Ki
Sanak tidak berkenan mengizinkan aku untuk
melepas lelah di sini, tak apa... lebih baik aku pergi
saja...."
Belum lagi Pandu melangkah, terdengar
bentakan yang amat keras. "Tunggu!"
"Ada apa lagi, Ki Sanak?"
"Jangan kau pikir semudah itu kau bisa
meninggalkan tempat ini. Kau sudah memasuki
kalangan, dan berarti kau siap menerimanya!"
Pandu mendesah. Dia merasa memang sedang
terlibat dalam satu kesulitan.
Namun dia tak ingin kesulitan itu lagi-lagi
membelenggunya. Maka dia pun berpikir, lebih baik
segera pergi saja. Maka tanpa mengacuhkan
bentakan dari Priatna, dia bermaksud hendak
melompat ke kudanya.
Tetapi datang sambaran angin keras ke arah
kakinya. Sigap Pandu melompat dan bersalto sekali
kemudian hingga di bumi dengan ringannya.
Priatna mendengus.
"Hhh! Pantas kau berani jual lagak! Rupanya
kau punya kebisaan juga, hah!"
"Ki Sanak... kita tidak saling kenal adanya, lalu
mengapa kau hendak membunuhku? Dari sikapmu
itu, kau nampak begitu murka!"
"Ya, selama orang-orang Cakram Maut masih
menebarkan fitnahnya, selamanya aku akan
murka!"
"Orang Cakram Maut? Ooo.... Ki Sanak....
rupanya kau salah duga, aku bukanlah orang dari
perguruan yang kau sebutkan itu. Aku adalah
seorang pengelana. O ya, namaku Pandu, dari
Gunung Kidul...."
"Siapa pun kau adanya, kau tetap menjual lagak
di depanku! Nah, orang Cakram Maut, bersiaplah
untuk mampus di sini!"
"Tahan!" seru Pandu.
Tetapi Priatna telah menderu maju dengan toya
di tangannya. Sudah tentu Pandu tidak ingin
tubuhnya dijadikan sasaran toya yang nampaknya
amat keras dan telah dialiri tenaga dalam itu.
Maka dia pun segera menghindarinya dengan
satu gerakan yang hebat dan cepat, membuat
Priatna menjadi semakin marah dan murka.
"Anjing keparat!"
Dia pun segera meningkatkan kemampuannya.
Serangan-serangan toyanya amat dahsyat. Angin
yang keluar setiap kali toya itu berkelebat sungguh
amat keras dan menebarkan hawa kematian.
Pandu sendiri dengan susah payah menghindari
serangan toya itu. Namun sejauh ini dia belum
membalas, karena merasa orang yang
menyerangnya tengah kalap dan berada dalam
satu kesalahpahaman.
Hal ini justru yang membuat Priatna semakin
marah.
"Jangan hanya menghindar saja, Setaa-annnn!"
makinya dan semakin membabi buta. Melihat sejak
tadi Priatna masih belum juga berhasil mendesak
lawannya, teman-temannya yang berjumlah lima
orang itu segera datang membantu.
"Ini tidak dianggap main-main lagi rupanya,"
desis Pandu dalam hati.
Dia pun dengan jurus Gagak Terbang, lalu
menghindari serangan-serangan yang datang
dengan cepat dan beruntun itu. Namun mereka
adalah murid-murid Perguruan Cempaka Biru yang
telah mendapat kepercayaan dari Andikabirata
untuk mengawasi Desa Kali Sunyi.
Sudah tentu ilmu yang mereka miliki tidak
tanggung-tanggung lagi. Tentu tangguh.
Pandu sendiri akhirnya berinisiatif untuk
menyerang. Karena bila begini terus-menerus,
maka dia akan kewalahan. Tenaganya perlahan-
lahan akan terkuras habis.
Maka tiba-tiba dia bersalto dua kali ke belakang,
menjaga jarak serang dari orang-orang yang kalap
itu.
"Maafkan aku, Ki Sanak sekalian... kalian yang
telah memaksaku untuk membalas...."
"Setttaaaaan!" maki Priatna. "Tangkap dan
bunuh orang itu!" serunya pula.
Lalu mereka pun kembali menerjang, dan kali ini
Pandu sendiri dengan tiba-tiba menyongsong
terjangan orang-orang itu.
Kebali mereka bertempur dengan hebat. Namun
kali ini Pandu pun mulai membalas.
Jurus Patuk Rimang warisan gurunya Eyang
Ringkih Ireng dipergunakannya dengan hebat.
Membuat para penyerangnya menjadi kaget.
Namun mereka pun diam-diam amat kagum,
dan dalam hati mereka pula terbersit satu
kenyataan, bahwa orang ini bukanlah orang
Cakram Maut yang amat mereka benci.
Puluhan jurus telah berlalu. Pandu sendiri
akhirnya bermaksud menyudahi perlawanan
mereka. Maka dengan satu gerakan yang amat
cepat dan hebat, dia pun bersalto dan melompat
menotok.
Lima orang tertotok.
Priatna berhasil meloloskan diri namun dengan
cepat Pandu terus mendesaknya dan berhasil
mendaratkan satu tendangan ke dadanya, yang
membuat Priatna terguling ke; belakang dan
muntah darah.
Pandu sendiri telah berdiri sigap.
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Engkaulah yang telah
memaksaku untuk berbuat seperti itu...." katanya
lembut dan sedikit menyesal, karena dia yakin
orang itu dalam satu kesalah pahaman.
Priatna yang telah bangkit menatap murka dan
tangan kirinya mengusap darah yang mengalir dari
mulutnya.
"Katakan siapa kau sebenarnya?!"
"Tadi sudah kukatakan, Ki Sanak. Namaku
Pandu, pengelana dari Gunung Kidul...."
"Hhh! Bila kau memang benar bukan orang
Cakram Maut, beranikah kau kuhadapkan kepada
guruku?!"
Pandu terdiam sejenak. Dia kini malah jadi
penasaran untuk mengetahui apa yang sebenarnya
tengah terjadi.
---oo0dw0ooo---
"Bila itu maumu, tentu dengan senang hati aku
akan menurut padamu."
"Bagus!"
"Tetapi... bisakah kau menjelaskan mengapa
terjadi hal seperti ini?!"
"Persetan dengan permintaanmu itu! Sebaiknya
kau ikut kami menghadap guru!"
"Baiklah...!"
"Lepaskan totokanmu pada teman-temanku!"
Pandu hanya menurut dan rasa penasarannya
semakin besar. Dia pun ikut saja kala kudanya
dipegang tali kekangnya oleh Priatna. Sementara
dia berjalan kaki bersama lima orang murid
Perguruan Cempaka Biru yang berjalan di
belakangnya.
Hati Pandu semakin bertanya-tanya, ada apa
sebenarnya ini? Mengapa orang-orang yang
nampak dari satu perguruan itu begitu membenci
Perguruan Cakram Maut?
Dugaan Pandu, mereka berada dalam satu
sengketa. Yang nampaknya sudah amat mendarah
daging;vdan menimbulkan kemarahan yang luar
biasa.
Dilihat dari sikap orang-orang itu kala
menyambutnya tadi. Sepertinya mereka amat
berhati-hati sekali. Ataukah orang Cakram Maut itu
dalam menebarkan terornya selalu menyamar?
Pandu jadi semakin ingin mengetahui duduk
persoalannya lebih lanjut.
Maka dia pun segera mengikutinya saja tanpa
banyak bertanya lagi.
Ada apa sebenarnya ini?
Andikabirata sudan tentu heran begitu melihat
rombongan yang mendekati pendopo-nya. Sejak
kejadian yang ditebarkan oleh orang-orang Cakram
Maut terhadap Cempaka Biru, dia jadi tidak bisa
tidur dengan tenang.
Dan setiap malam datang, dia selalu gelisah tak
menentu. Akhirnya setelah kejadian itu yang terus-
menerus datang, dia jadi tidak bisa tidur.
Dia pun sigap segera bangkit dari duduk
bersilanya dan menghampiri rombongan yang
datang.
Priatna menjura hormat, "Maafkan kami, Guru...
yang mengganggu kesendirianmu...."
"Ada apa, Priatna?" tanya Andikabirata sambil
memperhatikan satu sosok yang asing di matanya.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemuda itu?
Priatna segera menceritakan kejadian yang baru
saja terjadi. Andikabirata manggut-manggut.
Dia menatap Pandu.
"Siapakah gerangan kau adanya, Anak muda...."
tanyanya dengan tutur suara yang lembut.
Pandu pun menjura dan bersikap dengan sopan.
"Maafkan saya, Paman... Saya pun tidak
menyangka akan terjadi hal seperti ini...."
"Ceritakanlah...."
Pandu pun bercerita yang sesungguhnya.
"Nama saya Pandu, Paman... pengelana dari
Gunung Kidul...."
Tiba-tiba terlihat kening Andikabirata berkerut.
Nampaknya dia seperti tengah memikirkan sesuatu
yang mengganggu pikirannya.
Mendadak dia bertanya, "Apakah.... bila aku
tidak salah... Kau Pandu yang bergelar.... Pendekar
Gagak Rimang?"
"Ah, Paman... itu hanyalah sebuah gelar yang
tak banyak arti...."
"Jadi benar kau Pandu... Pendekar Gagak
Rimang itu?" Kali ini suara Andikabirata
mengandung kekaguman.
"Orang-orang yang menggelari aku seperti itu,
Paman...."
"Oh, Gusti Betara Agung... sudah lama aku
mendengar namamu Pandu... namun tak pernah
kusangka kalau aku pun mempunyai kesempatan
untuk bertemu denganmu...."
Pandu tersenyum.
"Paman... janganlah terlalu membesarkan
namaku... Aku bukanlah orang seperti yang kau
duga... Aku tak pernah menganggap sesuatu itu
terjadi dengan pasti... Dalam hal ini adalah julukan
yang diberikan oleh orang-orang... Itu hanyalah
julukan belaka...."
Diam-diam dalam hatinya Andikabirata
tersenyum.
"Anak muda... nama besarmu sudah melekat di
hatiku... Dan sikapmu itu semakin membuatku
bertambah pasti dan yakin, bahwa kau memang
orang pilihan yang begitu hebat dan pantas
menyandang gelar seperti itu....
Pandu kembali menjura.
"Bila memang demikian anggapanmu, Paman...
aku mengucapkan banyak terima kasih...."
Mereka pun masuk ke pendopo. Priatna dan
kawan-kawannya segera mengucapkan maaf pada
Pandu.
Pandu bertanya tentang kesalah paham-an yang
terjadi. Dari penjelasan yang disampaikan
Andikabirata, dia pun akhirnya tahu apa yang telah
terjadi.
"Lalu bagaimana, Paman?"
"Orang-orang Cakram Maut tetap pada terornya.
Dan mereka pun tetap berkeyakinan, bahwa orang-
orang Cempaka Birulah yang telah mencuri pusaka
Cakram Emas...."
"Dan hingga saat ini belum terlihat atau
terdengar kabar, bahwa ada orang ketiga yang
berbuat seperti ini?"
Belum lagi Andikabirata menjawab, tiba-tiba
didengarnya suara derap langkah tergesa-gesa. Ki
Lurah Pati Negoro datang bersama beberapa orang
anak buahnya.
"Maafkan kelancanganku, Andikabirata...." kata
Ki Lurah begitu berdiri di depan Andikabirata.
"Oh, silahkan masuk, Ki Lurah... Nampaknya ada
kejadian yang telah menyusahkan Ki Lurah?"
"Benar, Andikabirata. Tiba-tiba saja datang
segerombolan orang-orang bersenjatakan cakram
menyerbu ke balai desa...."
Andikabirata terkejut.
"Benarkah itu, Ki Lurah?"
"Memang benar adanya. Dan saya tidak
mengerti mengapa tiba-tiba saja desa kita diserang
oleh orang-orang bersenjata cakram itu...."
Memang jelas Ki Lurah Pati Negoro tidak
mengerti akan hal itu, karena selama ini
Andikabirata belum memberitahukan masalah yang
tengah dihadapinya.
"Maafkan aku sebelumnya, Ki Lurah.... memang
aku selama ini mendiamkan saja masalah yang
tengah kuhadapi. Karena aku tak ingin masyarakat
desa gempar karena masalah yang tengah terjadi
ini...."
"Masalah apa gerangan?"
Andikabirata pun segera menceritakan kejadian
yang sesungguhnya. Setelah itu dia memerintahkan
Priatna untuk mengumpulkan hampir semua murid
Perguruan Cempaka Biru.
Setelah itu mereka pun segera bergerak ke
sumber yang mengerikan. Pandu sendiri segera
menaiki kudanya.
Hiruk pikuk terjadi dengan cepat dan gencar.
Suasana menjadi kacau balau. Api pun membakar
atap-atap rumah sehingga penghuninya berlarian
ke luar.
Suasana tegang dan kacau balau.
Jerit tangis yang mengerikan menyayat
terdengar dari segala penjuru. Orang-orang
Cakram Maut memang hebat. Dia memasuki Desa
Kali Sunyi lewat desa seberang, dan menyeberangi
kali besar yang dijadikan harapan oleh Perguruan
Cempaka Biru untuk menghambat mereka.
Namun mereka salah perhitungan, karena
orang-orang Cakram Biru sudah memasuki Desa
Kali Sunyi. Mereka sengaja meng-obrak abirk desa
agar orang-orang Cempaka Biru keluar dari sarang.
Di tengah-tengah kacau balau yang amat sangat
itu, terlihat seorang laki-laki berwajah seram.
Dengan kumis dan cambang yang lebat tengah
terbahak-bahak.
Dia adalah Ki Renggono Paksi ketua dari
Perguruan Cakram Maut.
"Hancurkan semuanya!" serunya. "Hancurkan
hingga rata dengan bumi!"
Semakin kacaulah keadaannya.
Senjata cakram berkelebat berulangkah
menyambar nyawa rakyat yang tak berdosa. Yang
mempunya keberanian sedikit pun nekad untuk
melawan. Namun semuanya itu sia-sia belaka
karena mereka pun harus meragang nyawa dengan
bersimbah darah yang mengalir deras.
Orang-orang Cempaka Biru tiba di sana.
Andikabirata segera memerintahkan para muridnya
untuk maju menyerang. Kini pertarungan.antara
dua perguruan itu pun tak dapat dihindari lagi.
Keadaan semakin membahana dalam satu
kengerian yang menyengat.
Ki Renggono Paksi langsung merah padam
wajahnya dengan kegeraman yang membludak
begitu melihat Andikabirata. Dia pun dengan sigap
melompat maju ke arah Andikabirata.
Andikabirata hanya tersenyum saja, semakin
membuat Ki Renggono Paksi marah.
"Manusia busuk!" makinya. "Akhirnya kau
menampakkan diri juga!"
"Hm.... apa kabar, Renggono? Lama kita tidak
berjumpa. Nampaknya di saat perjumpaan ini kita
dalam suasana yang tidak enak dan memanas...."
"Bangsat! Kau masih bisa menjual mulut manis
juga rupanya, Andikabirata! Apakah kau tidak tahu
kalau ajalmu sudah tiba hingga di sini?!"
"Hmm... agaknya bila kita memakai darah
panas, sudah tentu semua ini tidak akan berjalan
dengan lancar. Bagaimana bila kita membicarakan
masalah ini dengan kepala dingin, Renggono?!"
Wajah Ki Renggono Paksi semakin memerah
dengan kegeraman yang luar biasa. Dia melirik
pemuda yang sejak tadi diam berdiri di sisi
Andikabirata. Namun kemudian dia meludah tak
acuh:
"Andikabirata sebaiknya kau kembalikanlah
pusaka Cakram Emas milikku. Bila semuanya beres,
aku akan tenang dan tak akan mengganggu hidup
kalian lagi!"
"Renggono... bagaimana caraku untuk
mengembalikan pusaka itu bila aku sendiri tidak
mengetahuinya...."
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata!"
"Renggono... dasar tuduhanmu karena kau
menemukan toya lambang Perguruan Cempaka
Biru.... tidak terpikirkah olehmu, bila ada orang
ketiga yang tengah mengadu domba kita? Aku
yakin, sebenarnya kau sudah singgah pada pikiran
itu. Namun kau tidak mau menggunakan akal
sehatmu untuk mengetahui lebih lanjut!"
"Jangan berlagak, Andikabirata! Kembalikan
pusaka milikku, atau bila tidak... kumusnahkan
kalian hingga ke akar-akarnya...."
Andikabirata mendengus. Namun belum lagi dia
bicara, tiba-tiba dilihatnya Ki Renggono Paksi
bersalto dua kali ke belakang. Sekilas Andikabirata
melihat beberapa batang jarum berbisa mengarah
pada Ki Renggono Paksi. Dan tiba-tiba saja di
sisinya telah berdiri Juwitasari yang melihat dengan
geram ke arah Ki Renggono Paksi yang telah
berhasil menyelamatkan diri dari serangan
gelapnya.
Dia marah dan jengkel karena serangannya
gagal.
"Wita...." desis Andikabirata karena merasa tidak
senang dengan perbuatan putrinya. Dengan begitu,
putrinya memancing kemarahan yang membludak
dari Ki Renggono Paksi.
"Maafkan aku, Bapak...." desis Juwitasari yang
yakin ayahnya marah atas perbuatannya.
Namun dimaafkan atau tidak, Ki Renggono Paksi
sudah sampai pada puncak kemarahannya.
"Manusia keparat! Kubunuh kalian semua!"
serunya sambil menderu maju ke arah Juwitasari.
Andikabirata tanggap, kalau putrinya ini tak
akan pernah menang melawan Ki Renggono Paksi.
Maka dia pun segera bergerak memapaki
serangan Ki Renggono Paksi.
"Des!"
"Des!"
Tenaga keduanya berbenturan dengan keras.
Namun masing-masing langsung saling
menyerang. Pertarungan antara dua jago itu
sungguh hebat dan cepat.
Saling menghindar.
Saling menyerang.
Yang dilakukan dengan gerakan yang amat
fantastis.
Pandu hanya memperhatikan saja. Hingga saat
ini dia belum tahu harus berpihak pada siapa.
Begitu pula dengan Juwitasari. Meskipun dia
geram, namun dia diam saja. Karena memang jelas
dia tak akan menang bila melawan Ki Renggono
Paksi.
Hingga kemudian baru disadarinya, kalau di
sisinya sejak tadi berdiri seorang pemuda
bercaping. Siapa dia? Mau apa dia? Karena merasa
pemuda ini asing baginya, sikap Juwitasari pun
menjadi kasar.
Dia menatap Pandu dengan geram. Yang ditatap
hanya memperhatikan pertarungan antara
Andikabirata dengan Ki Renggono Paksi tanpa
melirik Juwitasari sedikit pun.
Hal ini membuat Juwitasari menjadi jengkel.
"Hei, siapa kau gerangan adanya?!" bentaknya.
Pandu hanya diam saja. Dia tetap mengikuti
gerak dan laga kedua jago itu.
"Hei! Kau tuli, ya?!" bentak Juwitasari pula.
Namun Pandu tetap berdiam.
Masih berkonsentrasi memperhatikan
pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono
Paksi.
Hal ini semakin membuat Juwitasari bertambah
geram.
Tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya ke
dada Pandu. Namun yang membuatnya terkejut,
karena serangannya mengenai tempat kosong.
---oo0dw0ooo---
Padahal sungguh mati, dia tidak melihat pemuda
itu bergerak atau pun bergeser sedikit pun. Kini
malah pemuda itu tetap dengan perhatiannya pada
pertarungan Andikabirata dengan Ki Renggono
Paksi.
"Settaaannnn!" geram Juwitasari setelah
menyadari kalau pemuda ini tengah
mempermainkannya. Lalu diambilnya senjatanya
yang tersampir di punggung dan ditariknya
memanjang.
Kembali diserangnya Pandu dengan cepat.
Namun belum lagi satu gebrakan, toya itu sudah
berhasil ditangkap. Dan sulit dilepaskan oleh
Juwitasari.
"Aku tidak memihak siapa pun, Nona....
Janganlah memusuhiku.... aku adalah tamu
ayahmu...."
Lalu dilepaskannya genggamannya dari toya
milik Juwitasari, yang langsung menariknya dengan
bibir cemberut.
Pertarungan antara Andikabirata dengan Ki
Renggono Paksi sudah pada puncaknya.
Keduanya kini sudah menggunakan senjata
masing-masing. Berulangkah Ki Renggono
melemparkan cakramnya ke arah Andikabirata
yang juga telah berulangkah pula menghalau
cakram itu dengan toyanya.
"Trang!"
"Trang!"
"Trang!"
Kini masing-masing memperlihatkan kehebatan
mereka dengan serangan-serangan yang
berbahaya.
"Renggono.... tidak bisakah kita menghadapi
semua ini dengan kepala dingin? Dengan satu
penjelasan yang mungkin bisa kitajadikan jalan
keluar?!" seru Andikabirata sambil menghindari laju
cakram dan mengayunkan toyanya ke leher Ki
Renggono Paksi.
Ki Renggono Paksi merunduk dengan sigap.
"Bila kau sudah mengembalikan pusaka Cakram
Emas, bolehlah kita berbincang dengan kepala
dingin!"
"Sejak semula sudah kukatakan, kalau aku
maupun murid-murid Perguruan Cempaka Biru
tidak pernah berbuat licik dan keji seperti itu!"
"Kau memang bisa menjual lagak, Andikabirata.
Bila belum kau kembalikan pusaka itu, maka aku
pun tak akan menghentikan pertikaian di antara
kita!"
Kembali pertarungan keduanya semakin sengit
dan menjadi-jadi. Masing-masing sudah
memperlihatkan dan mengeluarkan segenap
kemampuan mereka.
Pandu masih tenang memperhatikan.
Dia tidak bisa menentukan siapa yang keluar
sebagai pemenang dalam pertarungan itu.
Namun tiba-tiba matanya menangkap satu
gerakan aneh yang dilakukan oleh Ki Lurah Pati
Negoro. Gerakan yang menurutnya janggal.
Sejak tadi dia memang memperhatikan Ki Lurah
Pati Negoro membantu melawan orang-orang
Cakram Maut. Namun gerakan itu sungguh diluar
dugaannya. Karena tiba-tiba saja Ki Lurah Pati
Negoro berputar dan perlahan-lahan tubuhnya
melenyap.
"Oh, Tuhan!" desisnya. "Ada apa ini?"
Pandu pun segera membuka mata batinnya
setelah mengeluarkan dan mengalirkan hawa
murninya. Terlihat bayangan Ki Lurah
Pati Negoro menyelinap ke luar dari
pertempuran itu.
"Hmm.... sebaiknya kuikuti saja apa maunya, Ki
Lurah itu?" desisnya.
---ooo0dw0ooo---
6
Melalui mata batinnya pula Pandu mengikuti
langkah Ki Lurah yang demikian cepat menuju ke
rumahnya. Pandu pun melompat berjingkat dengan
ilmu peringan tubuhnya untuk hinggap di atap
rumah Ki Lurah.
Dibukanya sedikit atap di sana, dan dia melihat
Ki Lurah tengah tergesa-gesa memasuki kamarnya.
"Mau apa Ki Lurah ini? Sikapnya begitu misterius
sekali?" tanyanya dalam hati.
Dan dia melihat Ki Lurah Pati Negoro tengah
membuka sebuah laci. Dia pun melihat Ki Lurah
mengambil sesuatu yang terbungkus kain hitam.
Pandu melihat sebuah benda bergerigi yang
terbuat dari emas. Keningnya berkerut. Itukah
Cakram Emas milik Perguruan Cakram Maut.
Lalu mengapa ada pada Ki Lurah? Namun Pandu
tak perlu lagi mencari jawabnya karena dia
mendengar Ki Lurah Renggono Paksi mengoceh,
"Hahahah.... biarlah kalian berdua saling gontok-
gontokkan. Ini akibatnya bila kau menolak
lamaranku terhadap putrimu, Andikabirata.... Kau
merasakan akibat yang amat mengerikan.
Hahaha.... dengan senjata toya yang kucuri dari
perguruanmu, kubuat satu fitnah yang bagus pula.
Kucuri Cakram Emas ini dari Perguruan Cakram
Maut dan kutebarkan fitnah padamu....
Andikabirata... agaknya kau kurang paham siapa
aku sebenarnya. Sialan kau ini, berani-beraninya
menolak lamaranku terhadap putrimu!"
Pandu yang mendengar kata-kata itu menjadi
geram. Anjing buduk! Rupanya biang keladi semua
ini adalah orang yang amat dipercaya dan
dihormati seisi desa.
Pandu pun tak mau bertindak membuang waktu
lagi. Maka dia pun segera menjebol atap rumah itu,
yang membuat Ki Lurah terkejut.
Namun kemudian dia terbahak.
"Hahahah.... mengapa kau baru masuk
sekarang, Anak muda? Sejak tadi kau sudah
mengetahui kalau congormu itu mengikuti jejakku.
Kau sungguh berani, Anak muda. Aku kagum
padamu. Namun karena kau sudah mengetahui
semua ini, maka nyawamu sebagai taruhannya!"
Maka Ki Lurah pun segera menyerang Pandu
yang dengan sigap menghindar.
"Kau lurah keparat rupanya! Lurah yang
menghisap darah daging wargamu sendiri! Kau
menyebar fitnah yang terlalu kejam dan keji!"
"Hahaha... itu akibatnya bila berani menentang
dan menolak permintaanku!"
"Mampus rupanya jalan yang terbaik untukmu,
Ki Lurah!" dengus Pandu seraya menerjang.
"Hahaha.... kau terlalu meremehkan aku
rupanya. Kau belum tahu siapa aku, Anak muda...."
"Biar aku cari tahu siapa ku sesungguhnya!
Namun sebagian aku sudah tahu, bahwa engkau
adalah orang yang pengecut dan memiliki akal
busuk yang keji!"
"Bangsat!"
Dengan geram Ki Lurah Pati Negoro bergerak
menyerang kembali. Serangannya amat berbahaya.
Rupanya dia memiliki ilmu kanuragan yang amat
hebat.
Pandu pun bergerak mengimbanginya dengan
satu gerakan yang cepat dan tangkas pula. Dia
sudah memainkan jurus Patuk Gagak Rimang
dalam tingkat tinggi.
"Anjing! Kau bisa pula mengimbangi ilmuku,
hah?!"
"Kau terlalu sesumbar rupanya!"
"Hhh! Terimalah ilmu yang satu ini, Anak
muda!" dengus Ki Lurah.
Tiba-tiba dia bersalto ke belakang. Dan saat
hinggap di bumi, dia memutar kedua tangannya ke
atas. Menyatukannya dan memutar tiga kali ke
arah kanan.
Lalu tangan itu dibukanya dan dikibas-kannya ke
arah Pandu. Asap hitam mengepul dan bergerak ke
Pandu.
Pandu tanggap dan yakin, kalau asap itu
mengandung racun. Maka dia pun bersalto
menghindar, namun asap itu dengan pekat terus
mengejar ke arahnya.
"Settaaan! Ilmu beracun yang kau punya, Ki
Lurah! Keji! Kau teramat keji!"
"Hahahaha... kau jerih rupanya denganku, Anak
muda.... Hhh! Lebih baik kau bunuh diri saja di
depanku daripada harus mampus dengan
mengerikan!"
"Tak akan pernah aku mundur setapak pun, Ki
Lurah! Orang seperti kau harus ditangkap dan
diadili!" seru Pandu sambil terus menghindari
kejaran asap hitam itu.
Namun asap itu seakan memiliki mata yang
amat tajam. Ke mana pun Pandu lari, ke sana pula
dia mengejar.
Tiba-tiba Pandu bersalto ke belakang. Dan
sambil bersalto itu dia mengibaskan tangan
kanannya. Selarik sinar putih melesat dengan
cepat, menerpa ke arah asap hitam itu.
---ooo0dw0ooo---
Asap itu memang tidak bisa pecah, malah
semakin menggumpal. Namun Ki Lurah Pati Negoro
yang harus menghindari sinar putih itu bila tidak
ingin dirinya dihantam hancur oleh pukulan sinar
putih itu.
Dan secara mendadak asap hitam itu
menghilang. Kini Pandu paham, rupanya asap
hitam itu digerakkan oleh tenaga dalam Ki Lurah
Pati Negoro.
Maka dia pun semakin mencecar dengan hebat.
Namun Ki Lurah pun dengan sigap dan tangkas
menghindari serangan-serangan sinar putih milik
Pandu yang berbahaya.
Dia berpikir, ilmu menghilangkannya akan sia-sia
bila diperlihatkan pada pemuda itu. Maka tiba-tiba
dia duduk bersila bersemedi.
Mendadak saja terlihat asap putih keluar dari
jasadnya. Rupanya dia memiliki Ilmu Pendua Roh
yang kejam. Pandu sendiri sedikit terkejut. Karena
ini terlihat asap putih itu berubah menjadi makhluk
raksasa yang mengerikan.
"Ilmu sihir!" dengus Pandu seraya menghindari
serangan-serangan yang dilakukan makhluk
jejadian itu. Rumah milik Ki Lurah menjadi hancur
berantakan. Porak poranda.
Pandu terus menghindar dengan cekatan.
Namun saat menghindar itu, Ki Lurah yang
nampaknya tengah bersemedi, melemparkan
Cakram Emas yang dicurinya dari Perguruan
Cakram Maut.
Sigap Pandu menghindar dan kini dia pun harus
menghadapi dua serangan yang sama-sama
berbahaya. Tiba-tiba saja Pandu mencabut golok
yang tersampir di punggungnya. Itu adalah Golok
Cindarbuana yang diwarisi oleh gurunya dan
menyebar petaka.
Sambil menghindari serangan makhluk jejadian
itu, dia pun menangkis serangan Cakram Emas
yang menderu deras.
"Trang"
Sungguh sakti Golok Cindarbuana yang
dimilikinya, karena cakram itu langsung lumpuh tak
bergerak. Lalu Pandu pun meneruskan
serangannya pada Ki Lurah Pati Negoro. Lagi-lagi
asap yang menjelama menjadi makhluk jejadian itu
dikendalikan oleh tenaga dalam Ki Lurah.
Dan langsung hancur seketika. Pandu segera
cepat bergerak. Dia menotok Ki Lurah Pati Negoro
hingga kaku.
"Hmmm.... agaknya aku tak patut untuk
mengadilimu, Lurah jahanam! Sebaiknya biarlah
warga desa dan dua perguruan itu yang
mengadili!"
Pandu cepat-cepat membopong Ki Lurah Pati
Negoro yang dalam keadaan tertotok. Dia pun
mengambil pula Cakram Emas milik Perguruan
Cakram Maut.
Sesampainya di tempat yang telah menjadi
arena pertempuran, Pandu bergerak sigap
memisahkan pertarungan yang terjadi antara
Andikabirata dan Ki Renggono Paksi.
Keduanya terlontar ke belakang dan terkejut
karena merasa ada tenaga yang amat dahsyat
melontarkan mereka.
Namun sebelum keduanya berkata, Pandu
segera melemparkan Cakram Emas pada Ki
Renggono Paksi yang terkejut dan gembira.
"Hentikan pertempuran yang tak ada gunanya
ini! Bila kalian ingin mengetahuinya lebih jelas,
kalian bisa tanyakan pada Ki Lurah Pati Negoro!
Karena dialah biang keladinya!" Sesudah berkata
begitu, Pandu segera melompat ke kudanya dan
melarikannya kencang-kencang.
Tanpa sempat orang-orang itu bertanya.
Malam pun hampir menjelang pagi.
TAMAT
Emoticon