11
Di pesisir utara Pulau Bangka, berdiri sebuah ru-
mah kuno yang sudah tidak utuh lagi. Di beberapa ba-
gian temboknya sudah banyak yang runtuh. Namun
tembok yang mengelilinginya masih kelihatan kokoh,
Bangunan kuno itu dihuni oleh seorang pemimpin
yang bernama Bong Kian Fu, seorang keturunan
Tionghoa berkebangsaan Manchuria. Ia berbadan pen-
dek, tetapi besar dan berotot. Rambutnya yang pan-
jang selalu diikat ekor kuda. Begitu pula janggutnya
yang tipis dibiarkan panjang sampai sebatas dada. Se-
dangkan mata hitamnya yang sipit serta tajam itu
memberikan suatu kesan keangkeran, sehingga ba-
nyak orang tak mampu beradu pandang lebih lama.
Sebenarnya bukan hanya Bong Kian Fu sendiri
yang menghuni rumah itu, tetapi juga ditemani oleh
puluhan anak buah yang masih kelihatan muda dan
gagah. Juga oleh putri satu-satunya yang bernama
Bong Mini, berumur kurang lebih enam belas tahun. Ia
diberi nama Bong Mini karena perawakannya yang
mungil.
Bong Mini mempunyai wajah yang sangat cantik.
Berkulit putih mulus seperti kebanyakan wanita Tiong-
hoa. Di atas matanya yang hitam dan sipit, terukir alis
mata yang lebat dan panjang. Mirip dengan bentuk
ujung pedang. Rambutnya yang hitam dan panjang,
selalu dibiarkan lepas tergerai dengan bagian depan-
nya disisir poni sebatas alis. Sedangkan bibirnya yang
merah dan segar tampak selalu basah, sehingga siapa
pun yang melihatnya pasti tertarik.
Sebagai gadis yang beranjak remaja sudah tentu
Bong Mini ingin tampil menarik. Khususnya dalam hal
memilih pakaian. Menurutnya, walaupun cantiknya
seseorang bila tak ditunjang dengan pakaian yang rapi
dan cocok, maka kecantikan itu akan kehilangan daya
tariknya. Sehingga dalam berpakaian Bong Mini selalu
memilih warna-warna yang sesuai kulitnya. Biru serta
merah merupakan warna yang sangat ia sukai.
Kehadiran Bong Kian Fu bersama pengikutnya di si-
tu, sebenarnya hanya merupakan pelarian. Waktu itu,
di negerinya ia mengadakan pembangkangan terhadap
kaisar dengan menolak pemungutan pajak pada ra-
kyat. Dia menilai bahwa jumlah pajak yang diminta
kaisar terlalu besar dan ia tidak sampai hati untuk
memeras harta rakyat yang sudah demikian miskin.
“Ampun, Baginda! Hamba tak dapat melaksanakan
perintah yang mulia!” ucap Bong Kian Fu ketika itu,
saat ia menghadap kaisar tanpa upeti.
“Kenapa?” tanya kaisar penuh amarah.
“Upeti yang Tuanku minta terlalu besar jumlahnya.
Sedangkan mereka sendiri hidup serba kekurangan.
Hamba tidak sampai hati melaksanakannya!” jawab
Bong Kian Fu dengan sikap hormat.
Mendengar jawaban itu, kaisar bukan berpikir, tapi
malah murka kepada Bong Kian Fu. Dengan mata me-
rah menahan marah, sang Kaisar berkata dengan ke-
ras, “Bong Kian, kamu tahu tugasmu di sini?!”
“Hamba mengerti, Yang Mulia!” sambut Bong Kian
Fu seraya membungkukkan badannya sebagai tanda
hormat.
“Kalau kamu mengerti, laksanakan perintahku!”
hardik kaisar sambil mengacungkan tangannya.
“Tapi...”
“Bong Kian Fu, masalah rakyat adalah urusanku.
Aku adalah raja di negeri ini. Sedangkan urusanmu
mengikuti segala perintahku!” potong kaisar dengan
suara berapi-api.
“Baik, Tuanku! Hamba akan laksanakan!” setelah
berkata begitu, Bong Kian Fu segera meninggalkan is-
tana raja.
Sepulangnya Bong Kian Fu dari istana, ia segera
mengumpulkan beberapa wakil rakyat di rumahnya.
Para wakil rakyat yang datang ke sana saling ber-
pandangan dan saling bertanya mengenai undangan
Bong Kian Fu itu. Sebab tidak biasanya orang keper-
cayaan kaisar seperti Bong Kian Fu mengumpulkan
banyak orang di rumahnya. Biasanya ia bertemu rak-
yat kalau memungut upeti saja.
“Aku mengucapkan terima kasih kepada para wakil
rakyat Manchuria yang telah memenuhi undangan ini,”
ucap Bong Kian Fu, membuka pertemuan.
Para wakil rakyat yang berjumlah kurang lebih dua
puluh orang itu duduk bersila dengan tegak sambil
memandang sungguh-sungguh wajah Bong Kian Fu.
“Aku mengundang Saudara semua ke sini karena
ada sesuatu yang ingin dimusyawarahkan,” lanjut
Bong Kian Fu lagi seraya menatap wajah orang-orang
yang hadir satu persatu, ingin mengetahui reaksi me-
reka.
“Sebagai rakyat Manchuria, kalian tak akan bisa ke-
luar dari upeti yang telah ditentukan oleh kaisar kita.
Sedangkan ketentuan upeti itu terasa benar mencekik
leher kita. Susah-payah kita menanam padi dan me-
nuainya, tapi hasilnya diserahkan kepada raja. Begitu
seterusnya tanpa ada perubahan. Sedangkan aku sen-
diri yang langsung memungut upeti kepada kalian me-
rasa tidak tega melihat penderitaan rakyat. Oleh kare-
na itu, hari ini kita harus mencari jalan keluarnya,”
kata Bong Kian Fu mengajak.
Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan
satu dengan yang lain. Lalu kembali memandang Bong
Kian Fu dengan wajah berseri.
“Untuk menghindari upeti yang demikian banyak,
tidak ada jalan lain bagi kita kecuali pergi dari negeri
ini. Bagaimana, apa kalian setuju?”
Orang-orang yang hadir kembali berpandangan,
seolah-olah minta pendapat satu sama lain.
“Apakah mungkin kita bisa keluar dari negeri ini,
Kapten Kang?” tanya salah seorang yang hadir di situ.
“Kenapa tidak? Apabila rakyat setuju dan bersatu,
kita pasti bisa lolos dengan selamat. Walaupun harus
berhadapan dulu dengan para prajurit raja,” jawab
Bong Kian Fu memberi semangat.
Orang-orang yang hadir di situ masih diam. Mereka
saling menunggu komentar dari yang lain.
“Bagaimana, setuju?” tanya Bong Kian Fu menatap
mereka satu persatu.
Mata mereka kembali saling berpandangan. Tidak
ada yang berani menyahut Masing-masing menanti ja-
waban dari temannya.
“Saya setuju, Kapten Kang,” cetus salah seorang
yang hadir sambil mengacungkan telunjuknya ke atas.
“Namun kami juga harus menghubungi yang lain.”
Bong Kian Fu mengangguk-angguk.
“Yang lain?”
“Kami setuju!” sahut mereka serempak, akhirnya.
Bong Kian Fu tersenyum senang dengan jawaban
itu. Berarti gagasannya diterima. Tinggal menunggu
kesepakatan penduduk lain yang tidak hadir di situ.
“Baiklah. Sekarang kalian tinggal menghubungi
penduduk lain. Kalau mereka setuju, kita segera pin-
dah. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk berta-
han lebih lama di sini,” kata Bong Kian Fu, menutup
pembicaraannya.
Setelah acara ditutup, orang-orang yang hadir da-
lam musyawarah tadi segera keluar untuk mendatangi
rumah penduduk satu persatu. Membujuk agar mere-
ka mau meninggalkan Kerajaan Manchuria dan men-
cari penghidupan yang baru.
Usul Bong Kian Fu untuk mengadakan pemberon-
takan dan lari dari negeri itu ternyata mendapat du-
kungan dari rakyat Mereka yang dulu membenci Bong
Kian Fu karena menjadi utusan raja dalam pemungu-
tan pajak, kini bergabung dengan Bong Kian Fu.
Untuk melaksanakan rencananya itu memang tidak
begitu mudah. Bong Kian Fu bersama pengikutnya ha-
rus menghadapi puluhan prajurit raja yang mengha-
dang di sekitar pesisir laut, tempat Bong Kian Fu dan
pengikutnya akan melarikan diri.
Melihat puluhan prajurit raja yang berjajar mem-
buat pagar betis di sekitar tepi laut, Bong Kian Fu bu-
kannya takut, malah menjadi berang. Kegagahannya
sebagai panglima perang ketika masih mengabdi pada
raja kembali mencuat. Matanya yang hitam dan tajam
yang selama ini membuat lawan gemetar, kini terlihat
berkobar.
“Mau apa kalian!” bentak Bong Kian Fu dengan su-
ara menggelegar. Wajahnya terlihat tegang menahan
marah.
Seorang utusan raja yang menggantikan Bong Kian
Fu sebagai panglima perang tertawa terbahak-bahak.
“Kami hendak mengikuti perintah kaisar!” jawab
panglima perang itu setelah menghentikan tawanya.
“Kalau kalian hendak menghalangi kepergian rakyat
Manchuria, aku akan menentangnya!” ujar Bong Kian
Fu tanpa rasa gentar sedikit pun.
Panglima perang itu kembali tertawa terbahak-bahak.
“Kau jangan mimpi, Bong Kian Fu. Dulu kau dis-
ebut Kapten Kang karena kehebatanmu menumpas
musuh sebagai panglima perang. Dan kemenangan itu
pun karena bantuan para prajurit raja. Jadi, sekarang
ini kau tidak lagi mendapat sebutan Kapten Kang ka-
rena sebentar lagi sebutan itu akan kurebut!” teriak
panglima perang yang baru itu.
“Boleh saja kau menyandang gelar Kapten Kang ka-
lau kau mampu melangkahi mayatku!” tantang Bong
Kian Fu dengan sikap tenang. Namun kata-kata yang
keluar dari mulutnya terdengar begitu panas di telinga
panglima perang.
“Bangsat! Serbu...!” panglima perang itu memberi-
kan aba-aba kepada prajuritnya dengan suara yang
menggelegar.
Puluhan prajurit kerajaan yang sejak tadi duduk di
punggung kuda dengan tombak panjang di tangan, se-
rentak menyerang Bong Kian Fu dan pengikutnya. Te-
riakan riuh rendah mengiringi suara derap langkah
kuda.
Bong Kian Fu bersama pengikutnya tidak tinggal di-
am. Bersama pengawal kepercayaannya Ashiong,
Achen, dan Sang Piao segera disambutnya serangan
itu dengan gesit.
Trangngng!
Puluhan senjata dari arah yang berlawanan saling
beradu dengan keras. Mereka menangkis serangan
masing-masing dengan lihainya. Pedang dengan tom-
bak atau pedang dengan pedang saling memapaki,
menjaga hantaman senjata yang siap menerkam jiwa
lawan.
Bong Kian Fu yang ketika jadi panglima perang du-
lu, memang tidak sia-sia mendapat sebutan Kapten
Kang. Kelincahan dan keberaniannya di medan perang
sudah tak diragukan lagi. Setiap ayunan pedang yang
diarahkan ke tubuh lawan selalu berhasil mengenai
sasaran. Itulah Bong Kian Fu. Di rumah ia menjadi
seorang suami dan bapak yang baik dan lembut. Se-
dangkan di tengah peperangan, ia akan berubah men-
jadi singa lapar yang siap menerkam mangsanya.
Brettt! Blesss!
Pedang Bong Kian Fu yang telah banyak menelan
korban kembali bersarang pada leher dan dada dua
orang prajurit kerajaan. Sehingga dalam waktu sing-
kat, tubuh kedua orang prajurit itu rebah di perut bu-
mi dengan tubuh bersimbah darah.
“Hei, Panglima pengecut, majulah! Jangan diam se-
perti kambing congek begitu!” teriak Bong Kian Fu,
sengaja memanasi panglima kerajaan yang sejak tadi
hanya duduk di punggung kuda sambil menyaksikan
prajuritnya yang mati-matian membela diri.
Mendengar teriakan Bong Kian Fu yang mengan-
dung ejekan itu, panglima perang segera menerjang ke
arah Bong Kian Fu dengan wajah beringas penuh ma-
rah.
“Hiaaat!”
Panglima perang mengarahkan pedangnya ke tubuh
Bong Kian Fu. Tapi karena Bong Kian Fu telah berpe-
ngalaman dalam peperangan, serangan panglima itu
dapat digagalkan dengan meloncat dari punggung ku-
da. Lalu segera berdiri tegak di atas tanah dengan ga-
gah, siap menghadapi serangan lawan.
Menyadari dirinya dalam posisi yang menguntung-
kan, panglima segera menerjang Bong Kian Fu bersa-
ma kudanya.
“Hiaaat!”
Bong Kian Fu mengelak dengan bertiarap sambil
mengarahkan pedangnya mendatar, hingga menggores
kaki kuda. Membuat kuda tunggangan panglima me-
lompat-lompat sambil meringkik menahan sakit.
***
Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu-
ran itu menjadi terkagum-kagum melihat kepandaian
papanya dalam memainkan pedang. Ingin ia turut ser-
ta ke medan pertempuran itu, tapi ia ingat mamanya
harus ditemani. Sehingga ia tetap duduk di kereta ku-
da, di samping mamanya.
Brettt!
Tiba-tiba tirai penutup kereta kuda dirobek orang.
Ternyata orang yang merobek tirai kereta kuda itu seo-
rang prajurit raja. Dia tampak duduk di atas kuda
sambil menyeringai ke arah Bong Mini.
“Benar-benar cantik putrinya Kapten Kang,” ucap
prajurit itu sembari menjilat bibirnya.
Bong Mini yang melihat kehadiran prajurit raja itu
menjadi pucat Duduknya menggeser ke belakang. Bu-
kan karena takut, melainkan untuk menjaga kesela-
matan mamanya..
“Mari, kita bersembunyi di rumahku!” kata prajurit
itu sambil terus menyeringai. “Tidak baik wanita cantik
seperti kalian berada di medan pertempuran.”
Bong Mini melotot geram. Wajahnya yang cantik
dan putih itu berubah merah menahan marah.
“Wah, gadis cantik sepertimu kalau marah pasti
bertambah cantik,” rayu prajurit itu seraya mendekat.
“Menjauhlah kamu. Aku akan bersikap keras kalau
kau mengganggu kami!” bentak Bong Mini dengan me-
lototkan matanya.
Prajurit itu tertawa berderai. Dan pada kesempatan
itu, Bong Mini melancarkan serangan dengan menen-
dang dada sang Prajurit.
Bug!
Prajurit yang tertawa tadi terpental dari punggung
kuda sambil menahan sakit di dadanya. Sedangkan
dari mulutnya menetes darah segar, akibat tendangan
Bong Mini yang begitu keras.
“Bocah perempuan sialan! Dibujuk halus malah ku-
rang ajar!” kata prajurit itu sambil mengusap darah
yang ada di mulutnya. Kemudian dengan wajah tegang
menahan marah, kakinya melangkah mendekati Bong
Mini.
“Mama, diamlah di sini. Saya akan membereskan
prajurit yang genit ini,” kata Bong Mini kepada ma-
manya. Tubuhnya langsung meloncat keluar dari kere-
ta kuda, siap untuk bertempur.
“Sebaiknya Nona menyerah saja. Sia-sia perlawanan
Nona,” tiba-tiba terdengar suara lelaki dari arah bela-
kangnya. Dan ketika menoleh, wajahnya berubah me-
merah. Sebab lelaki itu seorang prajurit kerajaan. Be-
rarti ia menghadapi dua orang lawan sekaligus.
Tanpa diduga oleh prajurit tadi, Bong Mini melan-
carkan serangan berupa tendangan, dan tepat bersa-
rang pada daerah larangan. Sehingga prajurit itu men-
gaduh sambil memegangi ‘burung’ kesayangannya.
Melihat temannya meringis-ringis di tanah, prajurit
yang mengeluarkan darah dari mulutnya menjadi naik
pitam. Ia menyerang Bong Mini dengan beringas.
Bong Mini yang memang sudah menguasai jurus-
jurus ilmu papanya, dengan mudah dapat menghindari
serangan lawan itu. Lalu tubuhnya bersalto sambil me-
lancarkan serangan balik. Tapi kali ini serangannya
sia-sia karena musuhnya dengan mudah dapat meng-
hindar dengan berkelit ke samping. Dan ketika ia ber-
diri tegak, di hadapannya telah berdiri tiga orang pra-
jurit lain. Jadi, kini ia berhadapan dengan empat orang
lawan.
Hm, aku harus sungguh-sungguh melawan mereka,
gumam Bong Mini dalam hati. Lalu dengan gerak yang
tangkas ia mencabut pedang yang tersandang di pung-
gungnya.
“Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Nona!” saran
seorang prajurit yang baru datang itu.
“Cih!” Bong Mini meludah geram. “Majulah kalau
kalian memang laki-laki!”
“Saya tidak ingin melukai tubuh Nona yang mulus
itu. Saya hanya ingin membawa Nona dan melindungi,”
kata prajurit tadi. .
“Puih! Dasar banci. Maunya hanya berhadapan
dengan perempuan,” kata Bong Mini sambil pura-pura
meninggalkan arena pertempuran. Tapi ketika para
prajurit itu hendak memburu dan merejangnya, satu
tendangan yang begitu cepat mendarat pada tubuh
seorang prajurit, disusul dengan sabetan pedangnya.
Brettt!
Ujung pedang Bong Mini menebas perut seorang la-
wan. Sehingga pada detik itu juga, prajurit yang ter-
kena sabetan pedangnya jatuh tersungkur dengan isi
perut yang hampir keluar.
Melihat temannya mati mengenaskan, ketiga praju-
rit lain menjadi naik pitam.
“Aku tidak menyangka, perempuan secantikmu ber-
hati iblis!” geram salah seorang lawannya sambil terus
menerjang ke arah Bong Mini. Kali ini serangan ketiga
lawannya tidak main-main. Tapi sebagai orang yang
sudah terlatih dengan jurus-jurus silat, Bong Mini da-
pat mengelakkan serangan-serangan itu dengan baik.
Walaupun ia merasa cukup kewalahan.
***
Bong Kian Fu terus menahan serangan-serangan
lawan sambil sesekali melakukan serangan. Hal itu bu-
kan karena ketangguhan panglima, melainkan karena
ia diserang oleh lima orang lawan yang mengelilinginya.
“Umurmu hanya sampai di sini, Bong Kian!” kata
panglima itu, siap mengayunkan pedangnya ke arah
Bong Kian Fu yang semakin terdesak. Tapi ketika ma-
tanya melihat ada perempuan di dalam kereta kuda,
niatnya segera diurungkan.
“Istrimu cantik juga, Bong Kian,” ucap panglima itu
sambil terus melesat ke arah kereta kuda.
Wajah Bong Kian Fu menjadi merah mendengar
ucapan panglima itu. Lalu ia berusaha keluar dari ke-
pungan para lawan untuk menyelamatkan istrinya.
Tapi karena serangan empat lawannya begitu ketat
membuat ia terhalang untuk mendekati kereta kuda
yang dipakai istrinya.
“Tolong! Bong Mini! Papa, tolooong!”
Bong Mini yang tengah sibuk melawan tiga prajurit
raja menoleh ke arah kereta kuda. Di sana ia melihat
mamanya tengah dirangkul paksa oleh panglima.
“Bangsat. Panglima bejat!” geram Bong Mini sambil
meluruk ke arah mamanya yang sudah berada di atas
pundak panglima. Siap untuk dibawa lari.
Langkah Bong Mini terhalang oleh serangan ketiga
lawannya. Sehingga ia terpaksa harus meladeni ketiga
lawannya itu dengan ganas. Kilatan-kilatan pedangnya
menari-nari di udara saat tertimpa cahaya matahari.
***
Sinyin meronta-ronta dalam dekapan panglima. Te-
tapi semakin ia meronta, semakin kuat panglima me-
meluknya sambil terus berusaha untuk menciumi wa-
jah Sinyin yang memang cantik dan menggiurkan.
Ketika panglima kerajaan begitu bernafsu hendak
mencumbui Sinyin, tiba-tiba mulutnya berteriak kesa-
kitan sambil melepaskan pelukannya. Ternyata Sinyin
berhasil menggigit bibir panglima dengan keras.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sinyin se-
gera melepaskan diri dari pelukan panglima. Ia berlari
sekencang-kencangnya. Namun karena ia seorang pe-
rempuan yang tidak mempunyai kepandaian silat, ak-
hirnya ia tersusul oleh panglima.
“Kau tidak akan dapat meloloskan diri dari deka-
panku, Perempuan Cantik,” kata panglima sambil ter-
kekeh-kekeh.
“Jangan! Jangan sentuh aku!” Sinyin mundur keta-
kutan ketika panglima itu melangkah mendekatinya.
Panglima kerajaan itu kembali terkekeh-kekeh.
“Hanya lelaki bodoh yang melepaskan perempuan
cantik begitu saja!” desis panglima itu sambil mende-
kap tubuh Sinyin dan merobek baju yang dikenakan-
nya.
Brettt!
Baju bagian depan Sinyin terbuka. Sehingga da-
danya yang membusung ke depan jelas terlihat oleh
panglima.
Panglima itu semakin tergetar hatinya melihat ke-
montokan dada Sinyin. Dengan jiwa yang sudah diku-
asai nafsu iblis ia segera menjarah tubuh Sinyin. Ia be-
rusaha untuk dapat menyentuh dua buah bukit yang
putih dan montok itu.
Sinyin terus meronta-ronta sambil berusaha melin-
dungi dua buah bukitnya. Tapi apa yang dilakukannya
sia-sia. Karena setiap kali Sinyin berontak, saat itu pu-
la birahi panglima terangsang.
Sinyin benar-benar tak berdaya. Tenaganya sudah
habis terkuras. Panglima mempergunakan kesempatan
itu sebaik-baiknya untuk melucuti pakaian Sinyin
dengan tenang. Namun ketika ia hendak menggagahi,
tiba-tiba pedang yang ditaruhnya di sisi Sinyin berge-
rak menembus perutnya.
“Akh!” teriak panglima menahan rasa sakit. “Perem-
puan jahanam!” maki panglima itu sambil mengayun-
kan pukulan ke arah Sinyin dan tepat mengenai ulu
hatinya. Sehingga darah tersembur dari mulut Sinyin
disertai teriakan yang mengenaskan. Dan pada saat itu
pula tubuh Sinyin ambruk tak berdaya.
Bertepatan dengan ambruknya Sinyin, tiba-tiba se-
buah pukulan yang cukup keras mendarat di pung-
gung panglima. Tubuhnya langsung terhuyung lalu ja-
tuh. Tapi kemudian ia cepat bangkit dan memandang
orang yang memukulnya. Ternyata seorang gadis can-
tik sedang berdiri menantang dengan gagahnya.
“Lelaki biadab! Rasakanlah seranganku ini!” teriak
Bong Mini sambil melancarkan serangan. Tapi tidak
berhasil. Membuat ia semakin bernafsu, ia terus me-
lancarkan serangan dengan membabi buta.
“Mundurlah anakku. Biar papa yang menghadapi
tikus busuk ini!” tiba-tiba Bong Kian Fu berdiri di sam-
ping Bong Mini dan langsung menerjang panglima.
Panglima prajurit yang sudah terkena tusukan pe-
dang oleh Sinyin menjadi gusar. Tapi karena tubuhnya
sudah agak sempoyongan akibat banyak mengelua-
rkan darah, ia tidak dapat berbuat banyak.
Brettt!
Pedang Bong Kian Fu menebas leher panglima de-
ngan cepat dan keras. Seketika itu juga kepala pang-
lima terpisah dan badannya.
Bong Kian Fu berdiri tegak menyaksikan kepala
musuhnya dengan hati puas. Setelah itu melangkah
menghampiri Bong Mini yang tengah menutup mu-
kanya. Gadis itu tidak kuasa melihat kematian pang-
lima yang mengerikan.
“Di mana mamamu, Sayang?” Bong Kian Fu me-
nyentuh kedua bahu putrinya.
Bong Mini tidak menjawab. Ia menyandarkan tu-
buhnya ke dalam pelukan papanya sambil melangkah
lesu ke tempat tubuh ibunya terkapar bersama ayah-
nya tercinta.
Bong Kian Fu menitikkan air matanya ketika meli-
hat istri yang dicintainya itu sudah tak bernyawa lagi.
Begitu pula dengan Bong Mini. Dia menangis terisak-
isak sambil memeluki tubuh Sinyin.
“Mama. Maafkan saya, Mama,” isak Bong Mini. Ia
merasa menyesal karena terlambat menyelamatkan ji-
wa mamanya yang dicintainya itu.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak
tangis Bong Mini saja yang terdengar.
“Sudahlah, Sayang. Kematian mamamu merupakan
kematian yang terhormat Mama mati karena memper-
tahankan kehormatannya,” ucap papanya. Sesungguh-
nya ia sendiri tak tahan melihat kematian istrinya itu.
“Mama tidak akan bersama-sama kita lagi, Papa,”
ucap Bong Mini sendu. Air matanya begitu deras me-
ngalir. Meliuk-liuk di pipinya bagai sungai yang men-
cari lautan bebas.
“Tapi cinta dan kasih sayangnya akan tetap melekat
di hati kita, Sayang,” sahut papanya dengan suara ter-
sendat menahan tangis.
Bong Mini tak tahan mendengar kata-kata papanya.
Ia mengangkat wajahnya dan menjatuhkan kepalanya
dalam pelukan papanya sambil menangis tersedu-
sedu.
Setelah beberapa lama kedua bapak dan anak ini
dicekam oleh keharuan, akhirnya mereka membawa
mayat Sinyin menuju kapal kerajaan yang berhasil me-
reka rampas untuk dibawa ke pesisir Pulau Bangka.
Sedangkan di pinggir pantai, mayat-mayat tampak ber-
gelimpangan bagai ikan laut yang terdampar.
***
22
“Di sini kita akan memulai hidup baru. Dan hari ini
pula, gelar Kapten Kang akan kucabut dan kuganti
dengan Bongkap. Karena di tempat ini, aku yang akan
memimpin kalian!” seru Bong Kian Fu ketika mereka
telah berada di pesisir Pulau Bangka. Ia menobatkan
dirinya sebagai Bongkap yang berarti raja.
“Hidup Bongkap! Hidup Bongkap!” teriak para peng-
ikutnya sambil mengacung-acungkan tangan. Sedang-
kan wajah mereka tampak begitu gembira karena telah
terbebas dari upeti raja yang begitu mencekik leher
mereka.
Dengan resminya Bong Kian Fu menjadi raja, maka
seluruh pengikutnya pun mulai membenahi diri. Se-
mak belukar yang rimbun di sekitar bangunan kuno
itu dibersihkan dengan cara bergotong-royong. Rimbu-
nan ilalang yang tumbuh tinggi tak beraturan dipo-
tong. Sebagian pepohonan besar pun telah mereka
pangkas, agar cahaya matahari bebas bersinar ke tem-
pat yang sekian lama tenggelam dalam bayangan ke-
lam dan lembab karena tak dihuni oleh seorang manu-
sia pun. Terkecuali satu kilo meter dari tempat me-
reka, banyak rumah penduduk berdiri dengan tanah
halaman yang luas.
Setelah tanah yang sebelumnya tak terurus itu di-
bersihkan, kemudian mereka sama-sama mengumpul-
kan batu bata, semen, pasir, balok-balok kayu, gen-
teng atau atap rumbia. Lalu mereka bahu-membahu
mendirikan rumah-rumah sebagai tempat tinggal me-
reka nanti. Tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja.
Sehingga tak heran dalam waktu yang tak begitu lama,
rumah-rumah itu telah berdiri rapi. Termasuk rumah
kuno sebagai tempat tinggal Bongkap, Bong Mini, para
dayang, dan beberapa orang pengawalnya. Malah re-
runtuhan benteng rumah itu dipugar, sehingga tembok
benteng itu kembali berdiri dengan kokoh.
Walaupun ia menjadi raja bagi para pengikutnya,
Bong Kian Fu atau Bongkap hampir setiap hari mem-
pelajari kehidupan penduduk pribumi secara sem-
bunyi-sembunyi. Ia mencoba mempelajari dan me-
ngenal kebiasaan atau adat-istiadat mereka, serta be-
rusaha mengerti pikiran mereka.
Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa
penduduk negeri itu merupakan orang-orang yang se-
derhana. Tidak seperti mereka yang tinggal di negeri
asalnya, Tiongkok. Di sana rakyatnya cerdik dan pe-
nuh dengan sikap curiga. Hal ini disebabkan karena
kelaparan yang terus melanda dan perjuangan yang
tanpa ampun untuk hidup mereka.
Berbeda dengan di sini, di sekitar pesisir Pulau
Bangka ini rakyatnya terlihat kuat dan perkasa, walau-
pun agak polos. Hal yang mereka tahu hanyalah ten-
tang perkebunan lada. Mereka hanya paham pada ke-
perluan perutnya saja. Di luar itu mereka sama sekali
tidak tahu. Apalagi tentang ilmu bela diri, mereka be-
nar-benar buta. Ini disebabkan karena mereka hidup
serba kecukupan.
Ketika pagi hari Bongkap berkeliling kampung dan
melihat perkebunan lada mereka, ia nampak terlihat
mengangguk-angguk dan tersenyum melihat kesung-
guhan penduduk kampung dalam bekerja. Dengan te-
rengah-engah dan tubuh bercururan keringat, mereka
terus bekerja sampai waktu matahari tenggelam di
ufuk timur.
Pada suatu hari, ketika musim kemarau panjang te-
lah tiba, para penduduk tampak begitu ketakutan. Ka-
rena bibit lada yang mereka tanam tidak menghasilkan
apa-apa. Bibit-bibit lada yang tumbuh mulai berubah
warnanya. Lalu perlahan-lahan kering dan mati.
Dalam keadaan seperti itu, penduduk mulai dilanda
kegelisahan. Hampir tiap hari di antara mereka terjadi
perkelahian memperebutkan air untuk mengairi sa-
wahnya dari sebuah sungai yang juga tengah dilanda
kekeringan. Bahkan tidak sedikit para penduduk yang
kehilangan ternak atau hasil ladangnya.
Kemiskinan dan kelaparan itu bukan saja melanda
penduduk asli Pulau Bangka, tetapi juga melanda ra-
kyat yang berasal dari negeri Manchuria. Hampir se-
tiap hari mereka mengeluh dan menangis karena tidak
mendapatkan makanan. Sedangkan harta kerajaan
yang berhasil dirampas Bongkap telah habis untuk ke-
butuhan mereka sehari-hari.
Mendapat kenyataan itu, Bongkap tidak sampai ha-
ti. Ia tidak ingin rakyatnya menderita. Ia juga tidak in-
gin mereka saling baku hantam karena rasa lapar yang
mencekam. Ia harus bertanggung jawab untuk menye-
jahterakan rakyat yang dipimpinnya. Karena dialah
yang telah mengajak mereka untuk berpindah tempat.
Maka pada suatu malam, ketika Bong Mini telah
tertidur lelap, diam-diam ia bersama pengawal keper-
cayaannya pergi mengarungi Selat Malaka. Di sana
mereka melakukan aksi perampokan terhadap kapal-
kapal saudagar yang membawa barang-barang berhar-
ga.
“Serbuuu!” Bongkap memberikan aba-aba kepada
para prajuritnya untuk menyerbu setelah berhasil me-
rapatkan kapalnya ke kapal saudagar itu.
Dengan serta-merta, para prajurit kepercayaan
Bongkap keluar dari kapalnya dan berloncatan ke kap-
al saudagar bersama Bongkap sendiri.
Mendapat serbuan yang tidak diduga ini para pe-
ngawal kapal barang milik saudagar menjadi terkejut.
Mereka berdiri serentak sambil mencabut pedang dan
golok masing-masing, siap mengadakan perlawanan.
“Siapa kalian?” tanya salah seorang pengawal kapal
yang ternyata pemimpinnya.
Bongkap tersenyum sinis mendengar pertanyaan
itu.
“Namaku Bongkap. Penguasa Pantai Selat Malaka
ini!” jawab Bongkap dengan suara berwibawa.
“Lalu apa maumu menyerbu kapal kami?!” bentak
pemimpin pengawal kapal itu.
Bongkap tertawa terbahak. Lalu kembali terdiam
mengamati wajah lawannya.
“Tidak ada penyerbuan bila tidak ada maksud!” ja-
wab Bongkap dengan sikap tenang.
“Kalian ingin menghalangi perjalanan kami?”
“Tidak!” jawab Bongkap cepat.
“Lalu?”
“Kami hanya menginginkan barang-barang yang ada
dalam kapal ini. Setelah itu kalian boleh melanjutkan
perjalanan kembali!” kata Bongkap dengan sikap yang
tetap tenang dan penuh wibawa.
“Sudah aku duga bahwa kalian adalah para peram-
pok!”
“Mungkin. Tapi saudagar kalian juga seorang pe-
rampok!” jawab Bongkap, masih dalam keadaan te-
nang.
“Kamu lancang!” geram pemimpin pengawal kapal
itu.
Bongkap tersenyum mengejek.
“Membeli hasil perkebunan rakyat dengan harga
murah dan secara paksa, bukankah itu perampokan?”
sindirnya.
Telinga lelaki di hadapannya terasa panas seperti
dibakar ketika mendengar kata-kata Bongkap. Ma-
tanya mendadak merah menahan marah.
“Bangsat! Kalian telah menghina saudagar kami.
Serang mereka!” perintah pemimpin pengawal kapal
itu.
“Berhenti!” sergah Bongkap pada para pengawal ba-
rang yang hendak menyerangnya. “Kalau kalian me-
nyerang kami, itu berarti telah lebih dahulu melaku-
kan perampokan terhadap diri kami!”
“Jangan dengarkan omongannya yang busuk itu.
Cepat serang!” perintah pemimpin pengawal itu.
Para pengawal kapal barang saudagar yang berjum-
lah dua puluh orang itu segera menyerbu para prajurit
Bongkap yang berjumlah sepuluh orang. Mereka berte-
riak-teriak sambil mengayun-ayunkan golok dan pe-
dang ke arah lawan.
Prajurit Bongkap tidak tinggal diam. Mereka me-
nyambut serangan-serangan itu dengan pedang yang
tergenggam di tangan mereka masing-masing .
“Lawan mereka! Tapi jangan sampai mematikan!”
teriak Bongkap kepada anak buahnya yang sedang si-
buk memberikan perlawanan. Tapi karena para pe-
ngawal kapal begitu bernafsu hendak menjatuhkan la-
wannya, terpaksa anak buah Bongkap pun melakukan
kekerasan untuk melindungi diri dari serangan lawan
yang mematikan itu.
Brettt!
Pedang milik seorang anak buah Bongkap merobek
pakaian lawan sampai tembus ke tubuhnya. Seketika
itu juga, pengawal kapal yang terkena sabetan ujung
pedang anak buah Bongkap terhuyung jatuh sambil
memegangi perutnya yang tersayat mengeluarkan da-
rah. Lalu diam tak berkutik lagi.
Melihat kematian seorang lawannya, Bongkap men-
jadi gusar. Sebab ia tidak menginginkan pertumpahan
darah. Ia hanya menginginkan barang-barang yang
ada dalam kapal itu, bukan jiwa. Maka untuk mengu-
rangi jatuhnya korban, Bongkap segera menerjang pe-
mimpin pengawal itu dan mengajaknya bertanding.
Pemimpin pengawal kapal barang itu segera menca-
but pedang ketika Bongkap berdiri di hadapannya. La-
lu segera menerjang Bongkap dengan bengis.
Trangngng!
Pedang Bongkap dengan pedang lawannya saling
beradu. Mereka saling menangkis dan melakukan se-
rangan, sama-sama ingin menjatuhkan lawan.
“Kau punya keahlian bermain pedang rupanya,” ka-
ta Bongkap sambil terus berkelit menghindari se-
rangan-serangan yang dilancarkan lawan.
“Kamu kira hanya kau saja yang pandai!” sahut la-
wannya sambil terus melakukan serangan dengan gen-
car. Darahnya semakin menggelegak mendengar uca-
pan Bongkap yang setengah mengejek itu.
“Tapi kau harus banyak latihan lagi agar tidak me-
ngurus tenaga seperti itu!” kata Bongkap lagi, me-
mancing emosi lawannya.
Mendengar ejekan Bongkap, wajah pemimpin pe-
ngawal kapal barang itu menjadi merah. Baru kali ini
ada orang yang berani mengejekku, pikirnya.
Wettt!
Pedang pemimpin pengawal kapal barang itu me-
nyerang ke arah kaki Bongkap. Tapi Bongkap dapat
melihat serangan lawannya dengan cermat. Tubuhnya
bersalto dan kembali berdiri tegak menghadap lawan.
“Kita cepat selesaikan saja pertandingan ini. Aku ti-
dak sampai hati melihat anak buahmu terkapar ber-
simbah darah,” ucap Bongkap.
“Bangsat!” hardik lawannya geram. Ia menyerang
dengan gigihnya. Ia begitu bernafsu hendak memati-
kan Bongkap. Tapi Bongkap sebagai orang yang ber-
pengalaman di medan perang dan berjaya sebagai
panglima kerajaan ketika di Manchuria, tentu saja ti-
dak mudah untuk ditaklukkan. Apalagi oleh seorang
lawan yang kepandaiannya sudah terbaca. Maka un-
tuk mempersingkat waktu dan tidak membuang-buang
tenaga, Bongkap segera menyerang lawannya dengan
sungguh-sungguh.
Brettt!
Dengan cepat pedang Bongkap menyambar bahu
lawannya hingga putus.
Pemimpin pengawal kapal barang itu meringis ke-
sakitan, seraya memegangi bahu kanannya yang ba-
nyak mengeluarkan darah. Sedangkan pedangnya ter-
lepas bersama tangannya.
“Sudah kukatakan, kau harus banyak berlatih agar
permainan pedangmu lebih mahir lagi,” kata Bongkap
sambil mendekati lawannya yang sedang terduduk di
sudut kapal sambil menahan rasa nyeri.
“Cukup!” Bongkap segera rnemberi aba-aba kepada
anak buahnya yang masih gigih bertarung.
Seketika itu juga, dentingan senjata tidak terdengar
lagi. Baik anak buah Bongkap maupun lawannya ber-
henti melakukan serangan. Mereka serentak meman-
dang ke arah Bongkap.
“Aku tidak ingin menambah banyak korban. Kalian
tinggal pilih; menyerahkan barang-barang yang ada
dalam kapal ini atau nasib kalian seperti pemimpinmu
ini!” kata Bongkap sambil mengangkat tangan kiri pe-
mimpin pengawal kapal barang dan memperlihatkan
luka lelaki itu kepada para anak buahnya.
Melihat pimpinan mereka sudah tidak berdaya de-
ngan tangan yang terputus, para pengawal itu menja-
tuhkan diri dan bersujud mengakui kekalahannya di
hadapan Bongkap.
Bongkap tersenyum penuh kemenangan. Lalu ia se-
gera mendudukkan kembali pemimpin pengawal kapal
dan menyuruh para pengawal kapal saudagar untuk
memindahkan barang-barang yang ada dalam kapal
itu ke kapalnya.
Dengan penuh rasa takut, para pengawal barang
segera mengikuti perintah Bongkap untuk mengangkut
barang-barang milik saudagarnya ke kapal Bongkap.
Sedangkan Bongkap dan anak buah hanya memperha-
tikan kerja mereka saja sambil sesekali meneliti ruan-
gan kapal, khawatir masih ada barang-barang yang
tersembunyi.
Setelah seluruh barang yang ada dalam kapal sau-
dagar itu dipindahkan ke kapal Bongkap, hingga tidak
tersisa lagi, anak buah Bongkap pun segera berlonca-
tan ke kapalnya dengan gerakan yang gesit dan ringan.
“Terima kasih atas bantuan kalian. Dan sampaikan
salamku kepada saudagarmu!” seru Bongkap kepada
para pengawal kapal barang itu. Setelah berkata begi-
tu, lalu tubuhnya segera melesat menuju kapalnya.
Disaksikan oleh para pengawal kapal barang dengan
pandangan mata yang takjub.
***
Sementara itu, Bong Mini masih tergolek di atas
ranjang. Ia baru saja terbangun dari tidurnya. Ia ter-
bangun karena mendapat mimpi bertemu dengan Si-
nyin, mamanya. Dalam mimpi itu Bong Mini melihat
mamanya tersenyum manis padanya. Lalu perlahan
mamanya melangkah menghampirinya dan berkata,
“Jaga dirimu dan papamu baik-baik, anakku! Tegurlah
papa jika melakukan kesalahan. Engkaulah satu-
satunya pengganti mama yang menyayangi papa!” usai
berkata begitu, mamanya kembali melangkah menjau-
hi Bong Mini kemudian lenyap. Bersamaan dengan le-
nyapnya mamanya, Bong Mini terjaga dari tidur.
“Mama?” keluh Bong Mini sambil menyebarkan
pandangannya ke seluruh ruangan kamar. Tetapi ia
tidak mendapatkan wanita yang dicarinya. Kemudian
ia mengeluh sambil membaringkan tubuhnya di atas
ranjang. Matanya menatap sayu langit-langit kamar.
“Mama. Kenapa mama pergi lagi?” desah Bong Mini.
Matanya mulai mengeluarkan telaga bening. Lalu me-
ngalir membasahi kedua pipinya, meliuk-liuk bagai
anak sungai yang mengalir menuju muara.
Perlahan-lahan Bong Mini bangkit dari ranjangnya
dan melangkah menuju jendela kamar. Dikuakkannya
jendela kamar itu. Di sana hanya terlihat kegelapan
malam yang menyelimuti bumi. Pepohonan yang tum-
buh di sekitar tempat itu pun menjadi suram. Tak jelas
bentuknya karena diselimuti kepekatan.
Bong Mini berdiri tercenung di muka jendela itu.
Membiarkan anak rambutnya menghalangi pandangan
karena terhela hembusan angin malam yang terasa
dingin sampai ke tulang sum-sum.
Tatapan mata Bong Mini terus tertuju pada kegela-
pan malam. Begitu sendu dan kosong. Karena piki-
rannya masih mengawang pada pertemuan dengan
mamanya di alam mimpi. Ingin rasanya ia bertemu lagi
dengan mamanya lebih lama. Tapi tidak mungkin. Dan
kehadiran mamanya di alam mimpi itu pun hanya se-
cara kebetulan saja, tanpa ia sengaja.
Dalam lamunannya malam itu, tiba-tiba ia teringat
pesan mamanya dalam mimpi tadi bahwa ia disuruh
menjaga papanya dengan kasih sayang dan menegur-
nya bila berbuat kesalahan.
Pantaskah itu? Beranikah ia menegur papanya jika
berbuat salah? Sedangkan ia sendiri masih berada da-
lam asuhan dan didikan papanya.
Bong Mini menghela napas dalam. Ditutupnya kem-
bali daun jendela itu. Kemudian kakinya melangkah
keluar kamar. Berjalan perlahan ke ruangan depan,
khawatir membangunkan papanya.
Sampai di ruang depan, Bong Mini kembali terce-
nung. Ia merasa ada satu kejanggalan dalam rumah
itu. Matanya tidak melihat orang-orang kepercayaan
papanya.
Mungkin di luar, pikir Bong Mini sambil membuka
pintu. Namun ketika ia melongok keluar, di sana pun
ia tidak mendapatkan pengawal papanya seorang pun
juga. Ke mana perginya mereka?
Tiba-tiba Bong Mini mempunyai firasat yang tidak
enak dengan tidak adanya pengawal rumah itu. Lalu ia
menutup kembali pintu rumah dan melangkah menuju
kamar papanya.
Pelan-pelan Bong Mini membuka pintu kamar pa-
panya. Lalu ia tercenung di muka pintu kamar itu
sambil menatap ke arah ranjang papanya. Dan di da-
lam keremangan kamar itu, Bong Mini tidak menda-
patkan papanya di sana. Ranjang itu kosong. Hanya
ada guling dan beberapa buah bantal yang berserakan.
Ke mana perginya papa? Tanya batin Bong Mini.
Wajahnya mulai menampakkan gelisah. Lalu ia buru-
buru ke kamar belakang untuk menemui para dayang.
Sesampainya di kamar belakang, dilihatnya ketiga
dayang sedang tertidur pulas.
“Bi.... Bibi!” panggil Bong Mini, membangunkan seo-
rang dayangnya.
Dayang yang dibangunkan tadi segera terbangun
dan langsung duduk ketika melihat kehadiran Bong
Mini.
“Ada apa, Nona?” tanya dayang itu tersentak. Tidak
biasanya Bong Mini masuk ke kamarnya.
“Bibi tahu ke mana papa pergi?” tanya Bong Mini.
“Tidak tahu, Nona. Bibi sudah tertidur,” jawab
dayang itu.
Bong Mini menghela napas. Pikirannya masih dili-
puti oleh tanda tanya.
Ke mana papa pergi malam-malam begini? Bersama
para pengawal lagi. Apa memang setiap malam papa
keluar? Kalau memang benar, apa yang dilakukan pa-
pa bersama pengikutnya? Batin Bong Mini.
Melihat anak majikannya termangu dengan wajah
sedih, dayang yang terbangun itu segera mendekati.
“Apakah Tuan sebelumnya memberitahukan kepada
Nona ke mana dia pergi?”
Bong Mini menggeleng pelan.
“Kalau papa memberitahukan sebelumnya, mana
mungkin saya mencari dan bertanya pada Bibi?”
Dayang itu menundukkan kepala. Ia malu sendiri
terhadap pertanyaannya yang bodoh.
“Kalau saja mama masih ada, tentu keadaannya ti-
dak begini,” gumam Bong Mini lirih. Sedangkan kedua
matanya yang sendu sudah nampak berkaca-kaca se-
perti ada telaga bening yang menggenanginya.
Dayang tadi mengangkat wajahnya dan memandang
Bong Mini dengan tatapan mata kasihan.
“Sudahlah, Non. Jangan terlalu diingat. Biarkan
nyonya besar tenang di tempatnya yang kekal!” hibur
dayang itu lembut Dia tidak ingin melihat anak maji-
kannya yang cantik, periang serta manja itu berubah
sedih hanya karena mengingat kematian mamanya.
Bong Mini hanya diam mendengar ucapan wanita
setengah baya yang mencoba menghiburnya. Ia masih
sulit untuk dapat melupakan kematian mamanya.
Apalagi kehadiran mamanya dalam mimpi tadi, mem-
buat ia teringat pada semua kenangannya waktu kecil.
Sikap Bong Mini yang tidak bisa melupakan keper-
gian mamanya memang bisa dimengerti. Sebab sebagai
anak tunggal, ia selalu disayang oleh kedua orangtua-
nya. Terlebih lagi oleh mamanya. Bila ia hendak tidur,
beliau selalu menemani di sampingnya sambil meme-
luk dan mengusap-usap punggungnya. Kalau sudah
tertidur, barulah beliau pergi menuju kamarnya. Begi-
tu pula jika bermain, beliau selalu menjaga dan me-
nemani Bong Mini.
Pernah Bong Mini menjerit dan menangis ketika ia
sedang bermain di halaman rumahnya saat masih
tinggal di Tiongkok. Sebabnya, ketika ia sedang asyik
bermain-main dengan boneka, tiba-tiba seekor cacing
merayap di ujung kakinya. Melihat binatang yang men-
jijikkan itu berjalan di kakinya, Bong Mini langsung
menjerit dan menangis.
Melihat Bong Mini seperti itu, mamanya yang meng-
awasinya agak jauh dari tempatnya bermain segera
menghampiri dan menggendongnya. Kemudian ketika
mengetahui penyebabnya, beliau langsung membuang
cacing itu.
“Kenapa tidak dimatikan saja, Ma?” tanya Bong
Mini ketika itu, saat ia berumur delapan tahun.
Mamanya menggeleng sambil tersenyum.
“Kita tidak boleh membunuhnya. Dia juga ciptaan
Tuhan. Lagi pula dia tidak jahat, kan?”
“Tapi dia merayap di kaki Mini, Ma,” rajuknya.
“Tak menggigit, kan? Hanya kamu saja yang takut!”
kata mamanya mencubit hidung Bong Mini.
Mengingat masa kanak-kanaknya itu, Bong Mini ja-
di tersenyum sendiri.
“Ada apa, Non? Kok senyum sendirian?” usik da-
yangnya. Sebab wajah Bong Mini yang sejak tadi me-
nunjukkan kesedihan berubah berseri tanpa dia sada-
ri.
“Tidak apa-apa, Bi,” desah Bong Mini dengan bibir
tersenyum malu. Ia sadar kalau sikapnya mendapat
perhatian dayangnya sejak tadi. Kemudian ia bangkit
dari tepi ranjang dayangnya dan berkata, “Lanjutkan-
lah tidur Bibi. Saya mau kembali ke kamar.”
“Perlu ditemani, Non?”
Bong Mini menggeleng. Kakinya melangkah mening-
galkan dayangnya menuju kamarnya kembali. Di sana,
ia langsung merebahkan tubuh di atas ranjang.
Malam semakin larut.
Keheningan mencekam dalam rayapan waktu.
Hanya suara-suara jangkrik yang terdengar mengerik,
mengantarkan Bong Mini kembali dalam kelenaan ti-
durnya.
***
33
Yang Seng adalah seorang keturunan Cina Tiongkok
yang beberapa tahun lalu datang ke Pulau Bangka dan
tinggal di kawasan Sungai Liat. Di sana ia mendirikan
sebuah perguruan yang bernama Partai Persatuan Ular
Hitam dengan anggota mencapai puluhan orang.
Sebagai orang keturunan Tiongkok, tentu saja Yang
Seng mempunyai ilmu bela diri atau ilmu kesaktian
yang amat tangguh. Semacam jurus-jurus kungfu. Dan
ilmu itu sebagian ia turunkan kepada para anak buah-
nya, termasuk ilmu kepandaian bermain pedang.
Kehadiran Yang Seng di sekitar Sungai Liat itu tidak
lain ingin menguasai daerah tersebut. Dan untuk me-
nguasai kawasan itu, tentu saja tidak begitu semudah
yang dibayangkan. Di sana ia harus berhadapan de-
ngan tokoh-tokoh silat yang sangat tangguh. Terutama
sekali ia harus mengalahkan penguasa bernama Kho
Sue Cheng.
Dengan modal ilmu kesaktian yang diperolehnya
dari negeri Tiongkok, akhirnya Yang Seng berhasil juga
menjatuhkan Kho Sue Cheng dengan jurus-jurus maut
yang mematikan. Sehingga Kho Sue Cheng terbunuh
dengan tubuh terkoyak bersimbah darah.
Keberhasilan Yang Seng dalam pertempuran mela-
wan Kho Sue Cheng tentu saja sangat mengejutkan
anak buah Kho Sue Cheng. Mereka tidak menyangka
kalau pemimpin mereka yang selama ini dianggap jago,
dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda kemarin.
Setelah Kho Sue Cheng terbunuh, maka yang meng-
ambil alih kekuatan adalah Yang Seng. Segala harta
kekayaan Kho Sue Cheng yang menjadi saudagar itu
direbut oleh Yang Seng. Begitu pula dengan para anak
buah yang harus tunduk dan patuh terhadap perin-
tahnya. Bila ada seorang dari mereka yang membantah
peraturan yang dibuatnya, maka Yang Seng tidak se-
gan-segan memberikan hukuman mati. Membuat anak
buah lainnya ketakutan.
Anggota Partai Persatuan Ular Hitam selain berang-
gotakan kaum lelaki, juga ada sekitar sepuluh orang
kaum perempuan. Dan para perempuan itu ia peroleh
dari para penduduk yang tidak bisa membayar hutang
kepadanya. Karena selain pembelian hasil kebun pen-
duduk dengan harga murah, ia memang suka membe-
rikan pinjaman uang dengan bunga dua kali lipat
Kalau orang yang memimjam itu tidak bisa men-
gembalikan hutangnya, maka Yang Seng akan menyita
tanah atau sawah yang dimiliki. Tapi kalau kebetulan
mempunyai seorang istri atau perempuan yang cantik,
maka Yang Seng akan mengambil mereka dengan
membebaskan-pembayaran hutang.
Perempuan yang dijadikan sebagai alat bayar hu-
tang itu dibawa ke markas dan dijadikan sebagai te-
man bercengkerama. Apabila perempuan itu sudah ti-
dak lagi menarik perhatian Yang Seng, maka ia pun
menyerahkannya kepada anak buahnya. Tak peduli
mau dijadikan apa perempuan itu, yang penting ia ha-
rus mendapatkan perempuan baru sebagai penggan-
tinya.
Semua perilaku dan kebejatan moral orang-orang
Partai Persatuan Ular Hitam ini sudah bukan menjadi
rahasia umum lagi. Semua orang telah mengetahuinya.
Namun mereka sendiri tidak punya daya dan kebera-
nian untuk menentang atau menghentikannya. Takut
nyawa mereka sendiri yang akhirnya melayang.
Pernah ada beberapa orang penduduk yang mem-
punyai kepandaian silat mencoba untuk mengakhiri
sepak-terjang mereka. Tapi belum sempat bertemu
dengan Yang Seng, mereka sudah kewalahan mengha-
dapi anak buahnya. Sehingga dalam beberapa gebra-
kan saja nyawa mereka langsung lenyap dengan tubuh
yang koyak-moyak.
Sejak itu, tiada lagi para penduduk yang mencoba
menentang kehendak orang-orang Ular Hitam. Mereka
pasrah terhadap kenyataan yang ada. Mereka hanya
dapat menangis dan mengurut dada jika istri atau
anak perawan mereka dibawa oleh orang-orang Ular
Hitam, tanpa melakukan perlawanan sedikit juga.
“Mudah-mudahan Yang Kuasa menurunkan seo-
rang juru selamat untuk menentang kelaliman mere-
ka!” demikian doa para penduduk jika orang-orang
Ular Hitam mulai turun ke perkampungan untuk men-
cari mangsa.
Melihat penduduk kampung Sungai Liat yang tidak
berdaya dan takut terhadap orang-orang Ular Hitam,
maka mereka pun semakin senang. Malah tingkah-
polah mereka semakin menjadi. Kalau dulu mereka
mengambil keuntungan dengan cara meminjamkan
uang, maka sekarang pinjaman itu dihilangkan. Hanya
pada orang-orang tertentu saja mereka meminjamkan
uang. Seperti warung-warung nasi atau beberapa pen-
duduk lain yang mempunyai anak gadis. Selain itu me-
reka langsung mengambil harta para penduduk. Baik
berupa hasil tani maupun perkebunan. Bila mereka
mempertahankan barang-barang yang dimintanya,
maka secepat kilat orang-orang Ular Hitam menghabisi
nyawa mereka dengan keji.
Siang itu, Yang Seng kelihatan sedang duduk di se-
buah dipan di depan rumahnya. Sambil mengisap ro-
kok cerutu, ia terus bermain-main dengan pikirannya.
Sesekali menyungging senyuman puas dari wajahnya
yang cerah.
Apa lagi yang harus aku lakukan? Kewibawaanku di
sini telah terlihat dengan jelas. Semua penduduk akan
pucat dan bergetar bila melihatku, bagai orang kehi-
langan darah. Kalau aku keluar, semua orang akan
berhenti berjalan. Lalu berdiri dan membungkuk hor-
mat padaku. Apa saja yang aku minta mereka selalu
memberi dengan cepat. Ikhlas atau tidak pemberian
itu, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, mereka
tunduk dan taat kepadaku. Serta memberikan apa saja
yang aku minta! Yang Seng berkata sendiri pada ha-
tinya. Lalu ia pun tersenyum puas karena keinginan-
nya selama ini untuk menguasai penduduk kampung
Sungai Liat telah terlaksana.
Sedang asyiknya ia bercakap-cakap dengan batin
dan pikirannya, tiba-tiba muncul lima belas anak
buahnya. Dengan gerakan reflek, ia meloncat dari du-
duknya. Lalu berdiri tegang memandang anak buah-
nya yang melangkah takut-takut. Terutama pada dua
orang yang sedang membimbing tubuh Aloy, pemimpin
pasukan kapal barang miliknya.
“Kenapa dia?” tanya Yang Seng sambil melihat ta-
ngan kanan Aloy yang putus terkena sabetan pedang
Bongkap.
Beberapa anak buahnya menggigil ketakutan. Apa-
lagi ketika melihat mata Yang Seng yang tajam dan be-
ringas memandang mereka satu persatu.
Melihat anak buahnya diam saja, Yang Seng sema-
kin marah. Lalu ia mendekati anak buahnya dengan
wajah tegang.
“Kenapa kalian diam?!” bentak Yang Seng dengan
mata melotot dan suara yang menggelegar.
“Ada bajak laut yang menghadang kami, Tuanku,”
lapor seorang anak buahnya yang sedang memegangi
tubuh Aloy yang tak berdaya.
“Hm...,” Yang Seng geram.
“Setelah kapal kami dirapatkan oleh kapal pemba-
jak itu, mereka segera berloncatan ke dalam kapal dan
meminta barang-barang Tuanku,” lanjut anak buah-
nya itu.
“Terus?”
“Kami mempertahankannya, Tuanku. Lalu kami
melakukan serangan terhadap mereka. Tapi serangan
kami tiba-tiba terhenti melihat tangan Aloy yang putus
dari badannya. Ia dibacok oleh pemimpin bajak laut
itu. Sedangkan sepuluh orang dari kami mati bersim-
bah darah tertebas oleh pedang para pembajak,” kata
anak buahnya menjelaskan.
“Bodoh! Kalian bodoh semuanya!” bentak Yang Seng
dengan mata merah menahan marah. Sedangkan urat-
urat di keningnya tampak menonjol keluar karena be-
rang. Ia benar-benar marah karena orang yang menja-
di andalannya dibuat tak berdaya.
“Siapa nama pemimpin perampok itu?” tanya Yang
Seng dengan suara menghardik.
“Kalau tidak salah namanya Bongkap,” jawab seo-
rang anak buahnya.
“Bongkap?” tanya Yang Seng sambil mengingat-
ingat. Sedangkan anak buahnya terdiam dengan hati
cemas.
“Berapa orang jumlah mereka?” tanya Yang Seng.
Suaranya agak rendah, namun tekanannya masih me-
ngandung kemarahan.
“Sepuluh orang, Tuanku,” sahut seorang anak
buahnya yang lain.
“Sepuluh orang?” tanya Yang Seng membelalakkan
matanya lantaran kaget. “Kalian yang berjumlah dua
puluh orang kalah dengan lawan yang hanya sepuluh
orang?”
“Mereka tangguh-tangguh, Tuanku.”
“Itu bukan alasan!” bentak Yang Seng marah. Ma-
tanya menatap pada anak buahnya dengan tajam se-
perti meneliti. “Kalian tahu bahwa dengan kalahnya
Aloy, berarti telah mencoreng arang di mukaku!” ben-
tak Yang Seng lagi.
Kesembilan anak buahnya yang masih selamat
tampak menunduk, tak berani menatap mata Yang
Seng.
“Baru kali ini ada orang yang berani melawan Partai
Persatuan Ular Hitam. Bahkan sempat menjatuhkan
orang kepercayaanku,” gerutu Yang Seng dengan wa-
jah menegak angkuh.
“Besok kalian harus berangkat mencari para peram-
pok itu. Tebus kekalahan kalian!” tegas Yang Seng.
Kembali ditatapnya anak buahnya satu persatu.
Kesembilan anak buahnya terdongak kaget. Lalu
saling menatap satu sama lain.
“Kenapa? Takut?” tanya Yang Seng dengan wajah
serius.
“Bagaimana mungkin kami mampu, Tuanku. Ke-
cuali jumlah pasukan ditambah lagi,” jawab seorang
anak buahnya.
Mendengar ucapan anak buahnya, Yang Seng ter-
tawa terbahak-bahak.
“Apa kalian pikir aku tega membiarkan kalian me-
nyerang sendiri tanpa pengawalanku?”
“Jadi, Tuanku ikut serta?”
“Ya. Akan kuhadapi pemimpin perampok yang ber-
nama Bongkap itu. Aku ingin melihat batang hidung-
nya,” kata Yang Seng, membuat anak buahnya agak
lega.
***
Bongkap bersama para pengawalnya baru pulang
berlayar. Mereka satu persatu sibuk menurunkan ba-
rang-barang hasil rampokannya. Kemudian barang-
barang rampokan yang masih terbungkus peti itu se-
gera diangkut ke markas Bongkap.
“Letakkan barang-barang itu di sini!” perintah
Bongkap setelah membuka gudang yang selama ini tak
pernah disentuhnya. Karena selain banyak debu juga
disebabkan letaknya agak menyudut di belakang. Se-
hingga tidak begitu terlihat.
Anak buahnya memasukkan peti-peti barang itu
dengan segera.
“Ayo, cepat. Jangan sampai nanti putriku tahu!” se-
ru Bongkap lagi. Sementara matanya mengawasi cara
kerja anak buahnya. Setelah peti-peti barang itu tersu-
sun rapi di dalam gudang, Bongkap segera me-
nguncinya kembali dan mengajak anak buahnya ke-
luar.
“Aku akan ingatkan sekali lagi pada kalian agar ja-
ngan membocorkan perbuatan kita semalam. Apalagi
sampai terdengar ke telinga putriku. Kalau ini terjadi,
pedangku yang akan berbicara!” ancam Bongkap,
memperingatkan anak buahnya.
“Segala kehendak Bongkap akan kami laksanakan!”
sahut anak buahnya sambil menunduk hormat
“Sekarang, laksanakan tugas kalian seperti biasa!”
perintah Bongkap lagi.
“Siap. Kami laksanakan!” sahut anak buahnya yang
berdiri hormat. Lalu mereka berpencar menuju tempat
kerja mereka masing-masing.
Setelah anak buahnya tidak terlihat dari panda-
ngannya, Bongkap masuk ke dalam untuk menemui
putrinya. Dibuka pintu kamar putrinya perlahan-
lahan. Di pembaringan, Bongkap melihat putrinya se-
dang menelungkupkan tubuh di kasur. Bahunya ber-
guncang naik-turun menahan tangis.
Bongkap segera menghampiri. Ia terkejut ketika
mendengar isak tangis putrinya. Kemudian, perlahan-
lahan Bongkap menyentuhkan telapak tangannya pada
kepala Bong Mini dengan lembut lalu mengusap-
usapnya.
Bong Mini merasakan usapan tangan Bongkap yang
lembut itu. Lalu kepalanya mendongak untuk meman-
dang siapa yang mengusap-usap kepalanya dengan
lembut itu.
“Papa?” keluh Bong Mini dengan air mata berderai.
Ia menjatuhkan kepalanya dalam pangkuan papanya.
Ia menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, Sayang?” tanya Bongkap sambil memeluk
kepala putrinya dan terus membelai-belainya dengan
penuh kasih sayang.
Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik
dengan tangisnya.
“Apa yang terjadi, Sayang?” ulang Bongkap lagi
dengan suara berbisik di telinga Bong Mini.
“Saya teringat mama,” sahut Bong Mini di sela isak
tangisnya.
“Sudahlah. Jangan terus mengingatnya. Mamamu
sudah tenang hidup di alam lain,” bujuk Bongkap de-
ngan suara yang lembut.
“Saya belum bisa melupakannya, Papa,” desah Bong
Mini mengangkat wajahnya serta memandang Bong-
kap.
“Memang tidak mudah untuk melupakan orang
yang kita cintai. Apalagi dia mamamu, istri papa juga.
Tapi jangan sampai hal itu menghanyutkan perasaan
kita. Sehingga kita terus terselubung dalam suasana
duka dan tangis,” tutur Bongkap, menasihati putrinya.
Bong Mini diam. Sedangkan punggung jari telun-
juknya mengusap sisa-sisa air mata yang masih sem-
pat mengalir di pipinya yang nampak merah merona.
Sesungguhnya Bongkap sendiri mengakui bahwa
dirinya pun masih mengingat-ingat Sinyin, istri yang
dicintainya itu. Tetapi setiap kali bayangan istrinya
muncul, Bongkap selalu berusaha menghilangkannya
dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia
tidak ingin menitikkan air mata terlalu lama. Sebab
menurutnya, air mata itu akan meluluhkan ketega-
rannya sebagai seorang lelaki. Namun kala ia rindu
sendiri terhadap istrinya, Bongkap selalu mengunjungi
Bong Mini dan memandang wajah putrinya itu lama
sekali. Wajah Bong Mini memang sangat mirip dengan
wajah istrinya, Sinyin.
“Kematian mamamu memang sangat meluluhkan
hati kita. Tapi kita harus berusaha tegar menghada-
pinya. Apalagi kamu sebagai calon pendekar wanita
yang akan menggegerkan seluruh penghuni jagat ini,”
lanjut Bongkap mengangkat dagu putrinya.
Bong Mini memandang papanya dengan tatapan
mata sendu. Tapi kemudian ia tersenyum manis.
Bongkap gembira melihat gadis cantik yang dis-
ayanginya itu dapat tersenyum. Kemudian ia meme-
luknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
“Papa,” desah Bong Mini dalam pelukan papanya.
“Hm...? Ada apa?”
“Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan,” kata Bong
Mini melepaskan pelukannya.
Bongkap mengerutkan kening. Baru kali ini ia men-
dengar putrinya hendak bertanya. Padahal selama ini
putrinya tak pernah menanyakan sesuatu. Bila sedang
berlatih silat pun, Bong Mini tak pernah banyak ber-
tanya. Ia hanya diam dan mendengarkan nama-nama
jurus silat yang diajarkan papanya.
“Semalam saya terbangun,” lanjut Bong Mini. “Ke-
mudian saya keluar untuk menemui Papa. Tapi ketika
sampai di kamar, saya tidak mendapatkan Papa,” Bong
Mini menghentikan ucapannya sejenak. Mengulum bi-
birnya yang selalu basah itu dengan lembut
“Setelah mengetahui Papa tidak ada di kamar, saya
mencarimu lagi di luar. Namun di luar pun saya tidak
melihat Papa berikut para pengawal. Lalu saya tanya-
kan kepada para dayang, tetapi mereka juga mengata-
kan tidak tahu ke mana Papa pergi,” Bong Mini meng-
hentikan ceritanya.
Bongkap yang mendengar ucapan Bong Mini agak
tersentak juga. Ia khawatir apa yang dilakukan bersa-
ma anak buahnya diketahui putrinya.
“Ke mana sih, Papa semalam?” tanya Bong Mini
dengan tatapan mata meneliti.
Bongkap menghela napas sambil mencoba ter-
senyum pada putrinya.
“Papa tidak ke mana-mana. Papa mengajak para
pengawal untuk keliling kampung. Khawatir kalau ada
penduduk kampung yang kurang aman,” jawab Bong-
kap berdusta.
“Sampai pagi-pagi begini?” tanya Bong Mini sete-
ngah tidak percaya.
“Ya. Karena sepulang dari keliling kampung, papa
dan para pengawal pergi ke pantai. Di sana, selain pa-
pa menikmati udara pantai, juga melihat-lihat kapal.
Khawatir ada kerusakan-kerusakan yang harus digan-
ti,” jawab Bongkap berusaha meyakinkan putrinya
agar percaya. Walaupun hati kecilnya merasa bersalah
karena telah membohongi putrinya sendiri.
Bong Mini mengangguk-angguk. Penjelasan papa-
nya bisa dimengerti.
“Kamu sudah percaya dengan penjelasan papa?”
tanya Bongkap sambil menatap wajah putrinya lekat-
lekat. Khawatir kalau ceritanya itu tidak dipercayai
Bong Mini.
“Saya percaya, Papa,” sahut Bong Mini cepat. “Ta-
pi....”
“Tapi apa, Sayang?” potong Bongkap cepat.
Bong Mini tersenyum manis sambil merebahkan
kepalanya di pundak papanya dengan sikap manja.
“Tapi apa, hm...?” tanya Bongkap seraya mengusap-
usap kepala putrinya.
“Ng..., Papa percaya tidak sama mimpi?” Bong Mini
balik bertanya, sementara tangannya memainkan tali
baju pangsi papanya.
“Kadang-kadang percaya, kadang tidak,” jawab
Bongkap.
“Lho, kok begitu?”
Bongkap tersenyum.
“Karena mimpi pun ada yang benar, ada juga yang
tidak,” jawab papanya menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.
“Kenapa tiba-tiba membicarakan soal mimpi?” tanya
Bongkap. “Apa semalam kamu mimpi?”
“Benar, Papa!” jawab Bong Mini cepat.
“Hm..., mimpi apa?”
“Mimpi bertemu dengan mama,” kata Bong Mini
sembari mengangkat kepalanya dari sandaran pundak
Bongkap. Lalu kakinya melangkah perlahan menuju
jendela kamar. Dikuakkannya pintu jendela kamar itu
lebar-lebar, sehingga semilir angin pun berhembus ke
dalam ruangan kamar.
“Hm..., terus?” tanya Bongkap ingin tahu.
“Dalam mimpi itu, mama tersenyum kepada saya
dan menghampiri. Kemudian mama berpesan kepada
saya agar bisa menjaga diri dan menjaga Papa.”
“Menjaga papa?” tanya Bongkap agak terkejut. Ia
merasa aneh kenapa justru anaknya yang dipesan un-
tuk menjaga dirinya, bukan sebaliknya.
“Ya, Papa,” sahut Bong Mini sambil membalikkan
badan lalu memandang wajah papanya yang nampak
masih keheranan. “Saya disuruh menegur Papa jika
berbuat salah.”
Bongkap benar-benar terkejut mendengar cerita
Bong Mini. Mimpi putrinya semalam itu seperti petun-
juk buat Bong Mini. Sebab bertepatan dengan mim-
pinya itu, dia sedang melakukan perampokan terhadap
sebuah kapal barang saudagar.
“Kenapa, Papa?” tanya Bong Mini ketika melihat wa-
jah papanya berubah seperti keheranan.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” sahut Bongkap cepat.
Namun sikapnya agak gugup. Dan itu jelas terlihat
oleh Bong Mini.
Bong Mini menghampiri papanya. Lalu berjongkok
dengan kedua tangan menyentuh lutut papanya.
“Papa kelihatan gugup?” hati-hati Bong Mini berka-
ta. Khawatir kalau pertanyaannya itu mengundang
kemarahan lelaki yang amat dicintainya. Tapi yang
dikhawatirkan itu tidak terjadi. Malah dengan lunak
papanya mengusap-usap kepala Bong Mini.
“Papa gugup karena merasa heran,” jawab Bongkap.
“Kenapa justru kamu yang disuruh menjaga papa?”
Bong Mini tersenyum. Dan senyumnya kali ini begi-
tu lembut dan manis. Mirip senyum mamanya ketika
masih hidup.
“Ketika masih hidup mama pernah bilang pada saya
bahwa lelaki itu setiap melakukan sesuatu selalu de-
ngan pikirannya. Sedangkan perempuan bertindak
dengan perasaannya,” kata Bong Mini, menceritakan
kembali apa yang pernah dikatakan mamanya ketika
ia mulai beranjak remaja. Dan kata-kata mamanya itu
selalu ia ingat sampai sekarang.
Bongkap mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti
makna mimpi Bong Mini itu. Mungkin putrinya dis-
uruh menjaga dirinya untuk mengimbangi tindakan-
nya yang selama ini selalu mengandalkan pikirannya,
tanpa disaring dengan perasaan yang ada.
“Tapi itu hanya mimpi kan, Pa?” desah Bong Mini.
Bibirnya tersenyum, menghibur papanya. Ia tidak ingin
kalau mimpi itu menjadi beban pikiran papanya berha-
ri-hari.
Bongkap tersenyum cerah. Lalu kedua tangannya
yang kekar itu kembali memeluk putrinya dengan pe-
nuh kasih sayang.
***
44
Pagi yang cerah.
Matahari telah menampakkan dirinya di ufuk timur.
Cahayanya yang kuning pucat memancar terang ke
wajah bumi. Seakan memberi peringatan kepada selu-
ruh penghuni dunia untuk kembali melakukan tugas-
nya sehari-hari.
Di pagi yang cerah itu, Bong Mini telah rapi berpa-
kaian. Baju dan stelan celana panjang yang berwarna
biru cerah tampak melilit tubuhnya dengan ketat. Per-
paduan antara kulitnya yang langsat dengan warna
pakaiannya yang merah cerah menjadikannya bertam-
bah cantik. Apalagi rambutnya yang sebatas bahu di-
biarkan bebas lepas, membuatnya semakin menarik
dan terlihat dewasa.
Bong Mini tersenyum-senyum melihat penampilan-
nya di muka cermin. Terkadang tubuhnya berputar ke
kiri dan kanan untuk meneliti bagian-bagian pakai-
annya yang kurang rapi. Setelah merasa yakin tidak
ada kekurangan, ia pun segera mengambil pedang
yang terpampang di sudut kamar dan menyelipkannya
di punggung. Lalu ia pun segera keluar kamar untuk
menemui papanya.
Dengan wajah cerah berseri, putri Tiongkok yang
berumur enam belas tahun itu melangkah menuju ka-
mar papanya. Namun ketika pintu kamar itu dikua-
kkan, tidak dilihatnya siapa pun di kamar itu. Dengan
hati-hati ia kembali menutup kamar papanya dan me-
langkah ke ruang depan. Siapa tahu papanya ada di
sana, begitu pikirnya. Tetapi sampai di ruang depan ia
pun tidak melihat papanya.
Ke mana, ya? Pikirnya berdiri tercenung. Mungkin
di belakang! Lanjut Bong Mini sambil terus melangkah
menuju belakang rumahnya.
Sesampainya di pekarangan belakang, Bong Mini
melihat papa dan beberapa orang pengawalnya sedang
meneliti beberapa ekor kuda.
“Papa!” seru Bong Mini sambil berlari kecil. Sedang-
kan bibirnya tampak tersenyum manis.
Bongkap dan para pengawalnya segera menoleh ke
arah Bong Mini. Mereka tercengang sambil berpanda-
ngan. Terlebih lagi dengan Bongkap. Ia seolah-olah ti-
dak percaya kalau gadis mungil yang berpakaian war-
na merah cerah dengan pedang di punggungnya itu
adalah putrinya. Ini dikarenakan penampilannya yang
berbeda dengan hari biasanya. Segar, cantik, dan lin-
cah.
“Lho, kok pada termangu?” tanya Bong Mini setelah
berada di dekat papanya. Sepasang matanya yang hi-
tam gemerlap, memandang papa dan para pengawal-
nya secara bergantian.
Mendapat teguran putrinya itu, Bongkap tersentak
sadar. Lalu ia merubah sikapnya dengan tersenyum
lunak pada Bong Mini.
“Sungguh luar biasa anak papa ini!” Bongkap ber-
decak kagum. Matanya terus memandang putrinya
tanpa berkedip.
“Memangnya kenapa, Pa?” tanya Bong Mini dengan
suara yang manja.
“Hari ini putri papa cantiknya bukan main. Mau ke
mana, hm...?” puji Bongkap sambil bertanya.
Bong Mini senyum tersipu-sipu mendapat pujian
papanya yang langsung itu. Dengan wajah menunduk
ia menjawab, “Saya mau jalan-jalan, Papa!”
“Jalan-jalan ke mana?” tanya Bongkap.
“Hanya sekitar sini, Papa. Bukankah selama tinggal
di sini saya belum melihat keadaan di luar?” kata Bong
Mini dengan sikap manja.
“Hm...,” gumam Bongkap setengah berpikir.
“Boleh ya, Papa?” Bong Mini mendesak.
“Tapi jangan jauh-jauh, ya?” Bongkap akhirnya
mengizinkan.
“Ya, Papa,” sahut Bong Mini dengan wajah gembira.
Lalu mendekati papanya dan mencium kedua pipinya.
“Terima kasih, Papa!” kata Bong Mini seraya melang-
kah. Tapi ketika baru dua langkah, papanya menahan
dengan pertanyaan.
“Tidak bawa pengawal?”
“Idih, Papa. Memangnya saya anak kecil lagi,” sahut
Bong Mini sembari mendelikkan mata sehingga terlihat
lebih indah dan cantik.
Bongkap tersenyum mendengar jawaban putrinya.
“Bukan apa-apa. Gadis cantik sepertimu biasanya
suka banyak yang ganggu.”
“Jangan khawatir. Saya bisa melayaninya dengan
jurus-jurus yang Papa ajarkan,” jawab Bong Mini se-
raya tersenyum.
Bongkap tertawa. Dia senang melihat sikap putrinya
yang demikian berani.
“Sudah ya, Pa. Saya pergi dulu,” ucap Bong Mini.
Tubuh mungilnya melompat ke punggung kuda dan
menghelanya sehingga keluar meninggalkan halaman
rumah. Diiringi oleh tatapan Bongkap yang masih ter-
senyum-senyum kagum.
Beberapa menit setelah Bong Mini hilang dari pan-
dangannya, Bongkap segera memanggil para penga-
walnya yang ikut merampok kemarin malam.
Para pengawal yang dipanggilnya itu segera datang
seraya memberi hormat.
“Ada apa, Tuanku?” tanya salah seorang pengawal,
mewakili teman-temannya.
“Coba dua atau tiga orang di antara kalian pergi gu-
dang yang semalam dan bawa dua peti ke sini!” perin-
tah Bongkap.
“Baik, Tuanku!” sahut pengawal tadi, lalu memberi-
kan isyarat kepada dua orang temannya untuk pergi
ke gudang penyimpanan barang-barang.
Mendapat isyarat itu, dua orang temannya segera
melangkah ke dalam. Tidak lama kemudian mereka
kembali lagi dengan membawa dua buah peti hasil
rampokan semalam.
“Coba langsung dibuka!” perintah Bongkap ketika
kedua peti itu diletakkan di hadapannya.
Kedua pengawal yang membawa peti tadi segera
membukanya. Dan mereka sangat terkejut ketika peti
itu telah terbuka.
“Apa isinya?” tanya Bongkap ketika melihat keterke-
jutan anak buahnya.
“Isinya emas, Tuanku!” sahut seorang pengawal
yang membuka peti itu, memberitahukan.
Para pengawal lainnya tersentak gembira ketika
mendengar pemberitahuan temannya itu. Sedangkan
Bongkap dengan langkah tenang menghampiri peti
yang terletak beberapa meter di hadapannya.
“Hm...,” gumam Bongkap kagum. Lalu ia membung-
kukkan badan dan mengambil seraup emas. Diperha-
tikannya emas yang tergenggam pada tangannya itu
lebih dekat lagi.
“Ambilkan kantong kain!” perintah Bongkap lagi.
Dua orang pengawal tadi segera bergegas ke dalam
untuk mengambil kantong kain yang dibutuhkan
Bongkap. Kemudian mereka kembali lagi dan me-
nyerahkan setumpuk kantong kain kepada Bongkap.
Bongkap mengambil kantong kain itu dan meng-
isinya satu persatu dengan emas yang ada dalam peti
tadi.
Setelah semua kantong kain itu terisi oleh emas,
Bongkap melemparkannya satu persatu ke arah para
pengawalnya.
“Ini jatah kalian pada setiap satu peti emas,” ujar
Bongkap memberitahukan.
Para pengawal itu menerimanya dengan wajah gem-
bira.
“Sedangkan sisa kantong-kantong ini akan kita ba-
gikan kepada para rakyat yang menderita kemiskinan,”
lanjut Bongkap memberitahukan. “Dan tentunya isi
kantong-kantong ini setengah dari isi kantong yang
ada di tangan kalian!”
Para pengawal itu memperhatikan isi kantongnya
masing-masing. Kemudian membandingkan dengan
kantong yang ada di tangan rajanya. Dan ternyata isi
kantong yang ada di tangan para pengawal itu memang
lebih banyak daripada isi kantong emas yang akan di-
bagikan kepada rakyat. Hal ini dilakukan Bongkap
dengan pertimbangan bahwa para pengawalnya telah
berjasa membantunya dalam melakukan perampokan.
“Nah, selagi putriku sedang keluar, secepatnya kita
bagikan hasil rampokan ini kepada rakyat,” kata
Bongkap lagi. Lalu kakinya segera melangkah menuju
kudanya, diikuti oleh para pengawalnya yang setia.
“Ashiong dan Achen saja yang ikut bersamaku.
Yang lainnya tetap berjaga-jaga di sini,” sergah Bong-
kap dari atas punggung kudanya.
Para pengawal lain yang sudah hendak menung-
gang kuda, mengurungkan niat dan kembali ke tempat
tugas mereka. Hanya Ashiong dan Achen saja yang
menyertai Bongkap.
***
Di bawah terik matahari yang menyengat, seorang
gadis berumur enam belas tahun berpakaian merah
yang membungkus tubuhnya serta bertudung topi di
kepalanya, tampak tengah menunggang kuda dengan
tenang. Pandangan matanya menyebar pada rumah-
rumah penduduk yang sebagian berbentuk rumah
panggung.
Gadis cantik itu tidak lain putri Bong Mini. Dia baru
saja mengadakan perjalanan untuk melihat keadaan
kampung-kampung yang berada di bawah kekuasaan
papanya. Sesekali ia pun mengadakan percakapan
dengan para penduduknya. Dalam percakapan itu
Bong Mini mendapat kesan bahwa penduduk yang be-
rada di bawah kekuasaan papanya tengah dilanda ke-
miskinan. Malah sebagian penduduk yang ditemuinya
banyak menderita kelaparan, karena sawah dan la-
dangnya mengalami kekeringan akibat musim kema-
rau.
Melihat kenyataan itu, sebagai gadis yang mempu-
nyai perasaan halus, Bong Mini merasa iba hatinya.
Sehingga perbekalan uang yang ia bawa, sebagian te-
lah diberikan kepada para penduduk yang benar-benar
sedang kelaparan.
Di lain pihak, hatinya pun turut terhibur manakala
melihat para penduduk bersikap sopan kepadanya.
Malah tidak sedikit di antara mereka yang bersikap
berlebihan. Misalnya, kalau ia berjalan banyak para
penduduk di sekitarnya menyingkir memberi jalan
sambil membungkukkan badan padanya sebagai tanda
hormat. Karena sebagian dari mereka tahu bahwa ga-
dis asing bermata sipit dan berwajah cantik itu adalah
seorang anak raja yang baru. Raja yang mempunyai
banyak perhatian kepada rakyatnya.
Sebagai gadis yang rendah hati, Bong Mini merasa
keberatan dengan sikap hormat penduduk yang berle-
bihan itu. Ia tidak ingin penghormatan yang berlebihan
itu hanya karena ia seorang putri raja. Justru hal itu
yang ingin ia jauhi. Ia hanya ingin dihormati kalau
penduduk itu kagum karena perilaku yang ditampil-
kannya sendiri. Bukan karena pengaruh papanya se-
bagai raja di negeri Selat Malaka ini. Oleh karena itu ia
terkadang memberikan pengertian kepada penduduk
untuk tidak menghormatinya secara berlebihan karena
didatangi seorang putri raja.
“Hormatilah aku sebagai manusia biasa tanpa di-
hubungkan dengan kebesaran nama papaku!” kata
Bong Mini, memberikan pengertian pada para pendu-
duk pada suatu kali.
Sedang santainya Bong Mini menunggang kuda, ti-
ba-tiba telinganya mendengar tangisan seorang anak
kecil. Tangisan anak itu begitu menyayat hatinya.
Dengan rasa ingin tahu, Bong Mini turun dari pung-
gung kuda dan menghampiri rumah, di mana terde-
ngar tangisan anak itu. Di dalam rumah itu, Bong Mini
melihat seorang perempuan tua sedang memeluk dan
membujuk anak perempuannya yang menangis.
Bong Mini terharu menyaksikan adegan kedua ibu
beranak itu. Lalu dengan langkah perlahan ia men-
dekat lalu duduk di sebelah perempuan tua itu.
“Kenapa dia, Bu?” tanya Bong Mini pelan.
Perempuan tua yang tengah memeluk anak perem-
puan itu menoleh pada Bong Mini sekilas. Ternyata pe-
rempuan tua itu pun turut menangis. Terlihat dari ke-
dua pipinya yang keriput dibanjiri air mata.
“Cucuku minta makan,” sahut perempuan tua itu
dengan suara gemetar menahan tangis.
“Memangnya tidak ada makanan?” tanya Bong Mini.
Perempuan tua itu menggeleng lemah.
“Sudah dua hari ini kami tidak makan nasi. Se-
dangkan jagung pun telah habis kami makan kema-
rin,” perempuan tua itu menjelaskan.
Bong Mini benar-benar terharu mendengar penutu-
rannya. Tanpa disadarinya, dua bulir air mata bergulir
membasahi kedua belah pipinya. Cepat-cepat Bong
Mini mengambil perbekalan makanan yang sengaja ia
bawa ketika berangkat dari rumahnya tadi. Kemudian
diberikannya perbekalan itu kepada perempuan tua
itu.
Betapa gembiranya wajah perempuan tua itu mene-
rima pemberian Bong Mini. Walaupun makanan itu
hanya cukup untuk dimakan cucunya.
“Tenang. Berhentilah menangis, Cucuku. Ini ada
makanan untuk mengganjal perutmu yang sakit,” bu-
juk perempuan tua itu sambil cepat-cepat membuka
kain pembungkus makanan. Setelah itu diberikannya
makanan pemberian Bong Mini itu kepada cucunya.
Anak perempuan yang menangis itu, yang berumur
sekitar empat belas tahun, segera mengambil makanan
yang diberikan neneknya dengan tangan gemetar kare-
na sejak kemarin sore menahan lapar. Dinikmatinya
makanan itu dengan lahap. Sehingga dalam waktu
singkat, makanan yang ada dalam rantang itu habis
tanpa sisa.
Bong Mini tersenyum haru karena makanan yang
dibawanya itu tidak sia-sia.
“Terima kasih, Non....”
“Mini. Nama saya Bong Mini,” potong Bong Mini
memperkenalkan namanya.
“Ya, terima kasih, Non Mini,” ucap perempuan tua
itu sambil meneliti keadaan pakaian Bong Mini yang
terlihat begitu bagus. Matanya berbinar kagum. Apa-
lagi ketika melihat sebilah pedang yang terselip di
punggung Bong Mini.
“Nona Mini seorang pendekar?” tanyanya, langsung
menebak.
Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Saya perempuan biasa, Nek,” sahut Bong Mini.
“Tapi biasanya kalau perempuan menyandang sebi-
lah pedang di punggungnya, itu berarti ia seorang pen-
dekar,” kata perempuan tua itu lagi.
“Mungkin. Tapi saya bukan pendekar,” elak Bong
Mini merendah.
“Tapi pedang itu?” tanya perempuan tua itu sambil
menunjuk ke arah pedang yang disandang Bong Mini.
Bong Mini lagi-lagi tersenyum padanya.
“Pedang ini hanya untuk membela diri. Khawatir
ada orang jahat yang mengganggu,” jawab Bong Mini.
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Namun
hatinya tetap mengatakan kalau wanita muda dan
cantik di sisinya adalah seorang pendekar.
“Benar, Non Mini. Sekarang ini kalau kita keluar
mesti hati-hati!” ujar perempuan tua itu setengah
memperingatkan.
“Memangnya kenapa, Nek?” Bong Mini ingin tahu.
“Kampung ini telah dimasuki oleh perampok-peram-
pok yang bertopeng dermawan,” jawab perempuan tua
itu menjelaskan.
“Maksud Nenek?” tanya Bong Mini tidak mengerti.
“Mereka berpura-pura menjadi dermawan yang
memberikan pinjaman uang. Tapi kalau kita tidak me-
lunasi pinjaman bersama bunga yang telah ditentukan
tepat pada waktunya, mereka akan menjarah harta
benda yang kita miliki. Tapi kalau kita mempunyai
anak gadis yang cantik, maka anak gadis kita akan di-
bawa pulang oleh mereka sebagai pembayar hutang,”
tutur perempuan itu menjelaskan.
Mendengar cerita perempuan tua itu, emosi Bong
Mini menjadi bergejolak. Darahnya mendidih, mema-
naskan sifat kependekarannya. Sedangkan matanya
yang tadi lembut, berubah berkilat-kilat sebagai tanda
kemarahannya.
Sejak kematian mamanya di tangan seorang pang-
lima, Bong Mini menjadi sangat benci terhadap kaum
lelaki. Jangankan bercakap-cakap, melihatnya pun ia
sudah tidak sudi. Kematian mamanya yang begitu tra-
gis telah membunuh nurani kasihnya terhadap kaum
lelaki. Hanya papanya satu-satunya lelaki yang ia ka-
sihi. Karena selain papa yang mendidik dan membe-
sarkannya, ia juga sangat mengerti sifat papanya yang
lembut dan penuh kasih sayang terhadap mamanya
ketika masih hidup. Termasuk pada dirinya sendiri.
Padahal di luar keluarganya, papanya akan berubah
sikap menjadi garang dan sadis. Bahkan dijuluki seba-
gai singa perang ketika masih mengabdi di Kerajaan
Manchuria.
“Jahanam!” umpat Bong Mini tanpa sadar, menang-
gapi cerita perempuan tua itu.
“Ada apa, Non?” tanya perempuan tua itu kaget.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” jawab Bong Mini cepat
sambil memperlihatkan sikap lembutnya. Kemudian ia
bangkit dari duduknya dan berdiri tegak sebagaimana
seorang pendekar.
“Ini untuk Nenek,” kata Bong Mini lagi seraya mem-
berikan beberapa keping uang yang diambilnya dari
balik baju.
Perempuan tua itu menerima pemberian uang dari
Bong Mini dengan perasaan gembira. Sehingga sampai
beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada
Bong Mini.
“Saya permisi dulu, Nek. Lain kali saya mampir la-
gi,” ucap Bong Mini. “O, ya. Nama adik siapa?” tanya
Bong Mini pada gadis kecil yang tadi menangis.
“Namaku Thong Mey,” ucap gadis kecil itu. Dia seo-
rang anak yang dilahirkan dan dibesarkan di tempat
itu.
“Baiklah Thong Mey, saya pergi dulu. Lain kali kita
bertemu lagi!” kata Bong Mini. Setelah itu ia pun me-
langkah keluar, kemudian melesat cepat bersama ku-
danya.
Tanpa terasa ia sudah jauh berlalu dari tempat tadi.
Kini ia sampai di Kampung Dukuh yang cukup ramai
penduduknya. Di sana dilihatnya dua kedai yang ja-
raknya agak berjauhan. Kemudian Bong Mini masuk
ke salah satu kedai yang letaknya begitu menyudut
tersendiri.
Kedai itu sepi. Tak seorang pun terlihat di situ. Ke-
cuali sepasang suami istri pemilik kedai yang sedang
duduk lesu di belakang meja makan. Ketika melihat
Bong Mini masuk ke dalam kedainya, pasangan suami
istri itu segera berdiri menyambutnya dengan wajah
gembira. Seolah sejak pagi mereka belum menda-
patkan langganan.
Dengan sikap ramah Bong Mini mendekati mereka
untuk memesan makanan. Setelah itu ia pun duduk
pada sebuah bangku yang terletak agak menyudut.
Tidak lama kemudian, makanan yang dipesannya
telah diantar oleh seorang pemilik kedai itu dan mena-
ruhnya, di atas meja.
“Terima kasih,” ucap Bong Mini. Lalu ditariknya pi-
ring nasi pesanannya dan menyantapnya dengan pe-
nuh kenikmatan.
Sedang asyiknya ia menyantap makanan, tiba-tiba
masuk empat lelaki dengan golok terselip di pinggang-
nya masing-masing. Mereka datang ke situ dengan si-
kap kurang sopan. Tiga orang yang berwajah hitam
dan berkumis langsung mendekati pemilik kedai. Se-
dangkan seorang lagi hanya duduk mengangkat kaki di
kursi. Sedangkan pedang yang dibawanya diletakkan
di atas meja.
Yang satu itu nampaknya bukan asli orang sini,
gumam Bong Mini dalam hati, mengamati lelaki yang
membawa pedang. Ia begitu leluasa memperhatikan
tingkah laku keempat orang yang tidak dikenalnya. Hal
itu disebabkan karena tubuhnya yang mungil tertutup
oleh meja makan sampai sebatas dada. Sehingga
hanya bagian kepalanya saja yang nampak. Itu pun
terhalang oleh tudung yang dikenakannya.
Di balik meja makanan, pasangan suami istri tadi
kelihatan merengket ketakutan. Wajah mereka yang
tadi berseri-seri ketika menyambut kedatangan Bong
Mini, berubah menjadi pucat.
“Kalian tentu sudah tahu maksud kedatangan kami
ke sini,” kata seorang dari ketiga lelaki yang meng-
hampiri pemilik warung.
“Ya. Ya. Kami..., kami mengerti maksud kedatangan
Tuan semua,” sahut pemilik warung yang lelaki.
Ketiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar
jawaban pemilik warung.
“Berarti kalian sudah mempersiapkannya,” ucap
seorang dari ketiga lelaki itu setelah menghentikan ta-
wanya. Sedangkan dua teman lainnya masih tetap ter-
tawa sambil mengambil tempat duduk di dekat pe-
mimpin kelompok mereka yang keturunan Tionghoa.
Sepasang suami istri pemilik warung itu saling ber-
pandangan takut.
“Heh, kenapa diam?” tanya lelaki yang masih berdiri
itu.
“Maaf, Tuan. Saya..., saya belum bisa melunasinya,”
mohon lelaki pemilik warung dengan badan gemetar.
“Apa? Belum bisa melunasi?” ulang lelaki itu sambil
menggebrak meja di depannya. Karuan saja, nasi,
lauk-pauk, dan semua makanan yang ada di situ me-
lompat karena getaran. Bahkan sebagian ada yang ter-
jatuh ke tanah.
Mendengar gebrakan meja yang demikian kencang,
pasangan suami istri itu mundur ketakutan.
“Kalau kalian tidak bisa melunasinya hari ini, ka-
lian harus menyerahkan rumah ini kepada kami,” an-
cam lelaki berwajah bengis itu. Lalu ia melangkah dan
duduk bersama-sama temannya yang lain.
“Jangan, Tuan. Kalau rumah ini diambil, di mana
kami harus tinggal?” iba lelaki tua pemilik warung itu
dengan wajah memelas.
“Itu urusan kalian. Yang penting hari ini kalian ha-
rus bayar hutang kepada saudagarku. Mengerti?!” ben-
tak lelaki beringas itu lagi.
“Tapi...,” kata lelaki tua pemilik warung seraya men-
dekat untuk meminta belas kasihan.
“Ah..., sudah!” hardik lelaki tadi sambil mendorong
tubuh lelaki tua pemilik warung hingga jatuh.
Melihat suaminya terjatuh, perempuan tua pemilik
warung menjerit ketakutan. Sehingga anak gadisnya
yang sejak tadi berada di dalam, keluar untuk menge-
tahui apa yang terjadi.
Melihat kecantikan gadis yang keluar tergopoh-go-
poh itu, mata lelaki berwajah bengis tadi memperhati-
kan dengan penuh birahi.
“Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang anak
gadis juga, Pak Tua,” kata lelaki tadi, masih meman-
dangi sang gadis.
Mendengar kata-kata itu, istri pemilik warung sege-
ra mendekap anaknya erat-erat. Ia sudah tahu mak-
sud ucapan lelaki itu.
“Pak Tua, hutangmu kubebaskan. Dengan syarat
anak gadis itu harus ikut bersama kami,” ucap lelaki
bengis itu kembali, disambut gelak tawa teman-
temannya.
“Jangan, Tuan. Berilah tempo kepada kami tiga hari
lagi. Kami akan melunasi!” pinta lelaki tua pemilik wa-
rung sambil menyembah-nyembah.
“Puih! Aku muak dengan tempo yang kamu janjikan
itu!” bentak lelaki tadi. Ia bangkit dari duduknya dan
menghampiri anak gadis pemilik warung itu. Diikuti
oleh kedua temannya.
“Cantik juga anakmu ini!” seloroh lelaki bengis itu,
sementara tangannya menyentuh pipi anak gadis pe-
milik warung.
Gadis itu mundur ketakutan sambil memegang erat
pinggang ibunya.
“Jangan takut, manis. Kami akan membahagia-
kanmu di sana,” kata lelaki tadi sambil memeluk bahu
sang gadis, dibantu oleh kedua temannya sehingga
anak gadis itu terlepas dari pelukan ibunya.
“Lepaskan. Jangan ganggu aku!” gadis itu meronta-
ronta. Namun usahanya untuk memberontak malah
membuat ketiga lelaki itu semakin senang.
Lelaki bermata sipit yang sejak tadi hanya duduk
sambil tersenyum melihat tingkah teman-temannya
segera bangkit dan menghampiri.
“Bodong, bawa anak gadis itu ke dalam! Ini ba-
gianku yang pertama,” ujar lelaki bermata sipit itu.
Lelaki berwajah bengis yang bernama Bodong me-
noleh ke arah temannya yang bermata sipit.
“Bukankah ini untuk persembahan saudagar kita?”
tanya si Bodong.
“Sekali-sekali saudagar kita mendapatkan ampas-
nya tidak apa-apa, bukan?” jawab lelaki bermata sipit,
diiringi gelak tawa teman-temannya. Lalu mereka me-
narik paksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar.
“Lelaki pengecut! Beraninya hanya pada lelaki tua
dan perempuan yang tak berdaya!” tiba-tiba terdengar
bentakan seorang perempuan yang tak lain suara Bong
Mini yang sejak tadi memperhatikan sepak-terjang
keempat lelaki itu.
Laki-laki bermata sipit, Bodong dan kedua teman-
nya serentak menoleh ke sudut ruangan, di mana
Bong Mini duduk dengan tenang memperhatikan me-
reka.
“He..., rupanya sejak tadi ada perempuan cantik di
kedai ini,” kata lelaki sipit dengan mata memperhati-
kan Bong Mini. Wajahnya terkagum-kagum karena ke-
cantikan Bong Mini.
“Puih!” Bong Mini membuang ludah sebagai tanda
kebenciannya. Lalu kakinya melangkah sampai ke de-
kat pintu. “Lepaskan perempuan itu!” bentak Bong
Mini tegas. Sorot matanya tajam menandakan kemara-
hannya.
Mendapat bentakan dari seorang perempuan cantik
yang mungil itu, keempat lelaki tadi tertawa terbahak-
bahak.
“Tentu..., tentu. Asal Nona bersedia menggantikan-
nya,” ledek lelaki bermata sipit, diiringi oleh gelak ta-
wa.
“Boleh. Asal bisa melangkahi mayatku!” jawab Bong
Mini menantang. Tanpa menunggu lama lagi, tubuh-
nya segera melesat ke luar kedai.
Beberapa saat keempat lelaki itu tercengang melihat
lompatan Bong Mini yang demikian ringan dan cepat.
Tapi tak lama kemudian mereka pun tertawa sambil
menghampiri Bong Mini yang sudah berdiri tegak
menghadap mereka.
“Rupanya nona cantik ini memiliki ilmu peringan
tubuh yang cukup lumayan,” tukas lelaki bermata sipit
itu di sela-sela tawanya.
“Kalian jangan hanya bermulut besar. Majulah ka-
lau memang kalian mengaku sebagai lelaki!” tantang
Bong Mini, memancing emosi lawan.
Mendapat tantangan itu, lelaki bermata sipit kem-
bali tertawa keras. Begitu pula dengan ketiga teman-
nya.
“Aku tidak sampai hati melukai tubuh Nona yang
mulus itu. Apalagi tubuh Nona begitu kecil yang ting-
ginya hanya setengah dari badan kami,” ucap lelaki
bermata sipit itu setengah mengejek.
Betapa marahnya Bong Mini mendapat ejekan se-
perti itu. Namun ia mencoba bersikap tenang.
“Jangan banyak bicara, Kecoa Kakus! Ayo, maju-
lah!” tantang Bong Mini.
“Japra, majulah kamu sendiri. Kau pasti bisa meng-
gendong gadis mungil itu,” perintah lelaki bermata sipit
diiringi gelak tawa kedua temannya.
Bong Mini benar-benar marah. Ia merasa dileceh-
kan oleh lawannya. Maka ketika Japra dengan santai
hendak memeluknya, Bong Mini segera menyambut
dengan sebuah tendangan. Tepat mengenai lehernya.
Sehingga Japra terjatuh ke samping.
Ketiga temannya tertawa tergelak-gelak ketika meli-
hat Japra terjatuh.
“Ayo bangun, Japra! Masa’ kalah dengan anak ke-
cil?!” teriak lelaki bermata sipit.
Japra bangun dengan muka merah. Ia merasa telah
dibuat malu oleh gadis yang dianggapnya kecil itu. La-
lu ia pun menghampiri dengan sikap hati-hati.
Bong Mini yang sudah dikuasai marahnya kembali
menyambut lawannya dengan tendangan tipuan. Lalu
disusul dengan tendangan melintir sehingga Japra ter-
jatuh agak keras.
Bug!
“Bangsat! Kau tidak boleh dikasih hati rupanya!” ge-
ram Japra. Langsung bangun dan menerjang Bong
Mini. Tapi Bong Mini memanfaatkan tubuhnya yang
mungil. Ia menjatuhkan diri ke depan, lalu berbalik
menyerang Japra dengan tendangan yang begitu keras.
Tepat mengenai ‘burung’nya.
Tubuh Japra terhuyung ke depan sambil memegan-
gi burungnya yang nyaris pecah.
Bug!
Tubuh Japra tersungkur ke tanah. Wajahnya mem-
bentur batu dengan keras, sehingga mengeluarkan da-
rah dari hidung dan mulutnya.
Melihat Japra tak bisa bangun lagi karena menahan
sakit pada wajah dan burungnya, lelaki bermata sipit
menjadi geram. Ia segera memerintah kedua temannya,
Kedot dan Bodong untuk menangkap Bong Mini. Tapi
sebelum mereka menyentuh tubuh Bong Mini, Bong
Mini segera membuang satu lompatan ke atas lantas
sepasang kakinya menendang kedua lawan sekaligus.
Bodong dan Kedot terjerembab ke belakang. Sebab
walaupun tubuh Bong Mini lebih kecil dari lawannya,
tapi setiap pukulan selalu diiringi dengan ilmu tenaga
dalam. Dan ilmu tersebut yang pertama kali dite-
rapkan Bongkap kepada putrinya. Mengingat tubuh
Bong Mini yang kecil itu takkan mampu menjatuhkan
lawan dengan pukulan sekeras apa pun, bila tidak di-
imbangi dengan ilmu tenaga dalam.
Kedua lawannya bangkit kembali. Wajah mereka be-
rubah bengis. Tidak menyangka kalau gadis bertubuh
mungil itu mempunyai pukulan yang demikian keras.
“Gadis ini tidak boleh diajak main-main kalau kita
tidak mau dibuat malu!” geram Bodong kepada Kedot.
Lalu ia meluruk dengan cepat ke arah Bong Mini. Di-
susul dengan serangan yang dilakukan oleh Kedot. Ta-
pi dengan gesit, Bong Mini segera melompat dan hing-
gap dengan ringan di sebuah batang pohon.
“Hi hi hi...!” Bong Mini tertawa melihat lawannya
hanya menatap melongo ke arahnya. “Inilah kelebihan
orang bertubuh kecil!” teriak Bong Mini.
“Hm..., dia benar-benar memiliki kepandaian ilmu
bela diri yang tidak boleh dianggap remeh!” gumam le-
laki bermata sipit sambil memandang Bong Mini yang
dengan santai duduk di atas sebatang pohon.
“Hei, bocah perempuan tengik, turunlah! Aku ke-
pingin menguji kehebatan ilmu yang kau miliki!” teriak
lelaki bermata sipit.
“Nah, begitu dong. Saya baru serius melawan ka-
lian!” teriak Bong Mini sambil meloncat dengan ringan
ke bawah.
“Ayo, majulah kalian biar urusan cepat selesai,”
tantang Bong Mini dengan kuda-kuda siap mengada-
kan perlawanan.
“Bangsat! Kau benar-benar bocah perempuan tengik
yang tidak boleh dikasih hati!” maki lelaki bermata si-
pit seraya menyerang Bong Mini, diikuti oleh kedua
temannya.
Mendapat serangan serentak dari tiga lawannya,
tubuh Bong Mini meloncat dan bersalto. Lalu kembali
berdiri tegak.
Bahaya. Kalau aku tidak mempergunakan pedang
ini, perkelahian akan berlarut-larut, bisik hati Bong
Mini. Lalu tangannya segera mencabut pedang.
Sreset!
Pedang Bong Mini berkilat-kilat karena ditimpa si-
nar matahari yang memancar panas.
Melihat Bong Mini mengeluarkan pedang, ketiga la-
wannya mulai berhati-hati. Mereka merasa bahwa
Bong Mini benar-benar akan membunuh mereka. Ma-
ka dengan serentak ketiga lawannya itu menyerang
Bong Mini dari berbagai penjuru. Tapi dengan kelebi-
han yang dimiliki tubuhnya, Bong Mini kembali melen-
ting sambil mengayunkan pedangnya ke salah seorang
lawan.
Srettt!
Pedang Bong Mini membabat pundak Kedot dengan
keras. Membuat lawannya itu meringis kesakitan sam-
bil memegangi bahunya yang banyak mengeluarkan
darah.
Lelaki bermata sipit bersama Bodong tidak tinggal
diam. Mereka menyerang Bong Mini dengan gencar.
Namun Bong Mini tak kalah gesit. Tubuhnya melompat
kian kemari dan sesekali bersalto dengan lincah. Se-
hingga lawannya bingung melihat tubuh Bong Mini
berputar-putar bagai baling-baling kapal.
Bong Mini mempergunakan kesempatan itu dengan
melancarkan serangan kilat.
Bug! Bug!
Srettt!
Dua pukulan beruntun mengenai rahang lelaki
bermata sipit dan punggung Kedot. Sedangkan pedang
yang digenggamnya menyabet Bodong. Tepat pada pu-
sarnya yang menyembul sehingga dalam sekejap tu-
buhnya terjatuh tanpa berkutik lagi.
“Maaf, lain kali kita lanjutkan lagi!” seru Bong Mini.
Lalu tubuhnya melesat duduk di atas punggung kuda
lantas memacunya dengan cepat.
Japra, Kedot, dan lelaki bermata sipit itu meman-
dang kepergian Bong Mini sambil meringis menahan
sakit. Pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Bong
Mini tadi telah membuat keduanya muntah darah.
***
55
Malam itu, Bongkap dan para pengawalnya tampak
begitu gelisah. Bong Mini, putri kesayangan satu-
satunya belum juga pulang. Padahal sebelum putrinya
keluar, ia sudah memperingatkan untuk tidak berja-
lan-jalan jauh. Tapi nyatanya sampai malam begini, ia
belum pulang juga.
Dua orang pengawal yang disuruh mencari Bong
Mini sejak sore tadi sudah kembali. Tapi mereka tidak
berhasil mendapatkan Bong Mini. Padahal, nanti ma-
lam Bongkap bersama para pengawalnya akan mela-
kukan aksi perampokan lagi yang kali ini akan dilaku-
kan di daratan. Karena menurut informasi, nanti ma-
lam akan lewat kereta barang yang dibawa dari kapal
di Selat Malaka menuju Padangmoro, sebuah kota kecil
di mana saudagar pemilik kereta barang itu berada.
Kalau sampai tengah malam nanti Bong Mini belum
juga pulang, tentu rencana itu dibatalkan. Jika renca-
na itu diteruskan, ia khawatir Bong Mini akan mencu-
rigainya, lalu pada akhirnya memergoki sepak-
terjangnya selama ini.
Bongkap mendesah kesal. Kalau saja bukan Bong
Mini yang membuatnya gelisah, tentu ia akan marah.
Tapi karena yang membuat ulah itu putrinya, maka
kemarahannya ia simpan sebisanya. Bagaimanapun
juga ia tidak ingin memarahi putri yang dikasihinya
itu.
Pada saat seisi rumah itu gelisah, tiba-tiba terde-
ngar suara dari luar. “Pa...!”
Bongkap yang sejak tadi gelisah di kursinya menda-
dak berubah gembira. Ia berdiri menyambut kedatan-
gan putrinya.
“Kau, Sayang. Dari mana saja, hm...?” tanya Bong-
kap seraya merangkul putrinya dan membelai-belai
rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“Maafkan saya, Papa. Saya telah membuat Papa dan
seisi rumah ini gelisah,” ucap Bong Mini sambil mena-
tap Bongkap dengan wajah berseri.
“Ya. Ya. Papa maafkan. Tapi tolong jelaskan dulu
dari mana kamu?” sahut Bongkap sambil bertanya.
“Saya telah melanggar janji, Papa.”
“Hm...?” Bongkap tidak mengerti.
“Saya telah pergi jauh, Papa,” jawab Bong Mini,
mengakui terus terang akan pelanggaran janjinya.
“Pergi jauh ke mana, hm...?” tanya papanya ingin
tahu.
Bong Mini melepaskan pelukannya, melangkah me-
nuju kursi. Sedangkan pedangnya diletakkan di atas
meja. Kemudian ia menceritakan peristiwa-peristiwa
yang dilihat dan dialaminya. Bong Mini juga menceri-
takan mengenai perjumpaannya dengan seorang pe-
rempuan tua dan seorang anak perempuan yang te-
ngah kelaparan.
“Rupanya masih ada penduduk sekitar sini yang
menderita kelaparan,” tutur Bong Mini seraya meman-
dang papanya sungguh-sungguh.
“Itu salah satu cermin kehidupan manusia. Ada
yang kaya, ada yang miskin,” sahut Bongkap. “Terus-
kan!”
Bong Mini menghela napas.
“Dari perempuan tua itu saya banyak mendengar
cerita yang sangat menarik. Dia mengatakan bahwa
penduduk sekitar Desa Grojogan tengah diguncang
prahara. Ada seorang perampok yang menyamar seba-
gai dermawan!”
Bongkap kaget mendengar keterangan putrinya itu.
Begitu pula dengan para pengawalnya. Mereka khawa-
tir kalau perkataan Bong Mini tadi merupakan tudu-
han buat dirinya. Bukankah hasil rampokannya ia ba-
gikan kepada para penduduk? Kalau memang benar
yang dimaksud, berarti ada orang yang mengetahui
perbuatannya, tapi siapa?
Bongkap mencoba bersikap tenang. Ia tidak ingin
putri yang disayanginya itu menaruh curiga padanya.
“Siapakah gerombolan perampok itu?” pancing
Bongkap ingin tahu.
Bong Mini kemudian menceritakan sepak-terjang
para perampok itu. Sesuai dengan keterangan dari pe-
rempuan tua yang ia kunjungi. Ia juga menceritakan
tentang kerakusan para perampok tersebut dalam
menghadapi perempuan.
“Bila melihat perempuan, mereka langsung memak-
sanya. Diri para perampok itu telah dikuasai oleh iblis-
iblis liar,” cetus Bong Mini dengan nada suara yang
agak marah.
Bongkap menghela napas lega. Perampok yang di-
katakan Bong Mini ternyata bukan dia.
“Setelah saya keluar dari rumah nenek itu, saya ba-
ru sadar kalau perjalanan sudah demikian jauh. Ke-
mudian saya berniat untuk kembali pulang. Sebelum
itu saya mampir ke sebuah warung di Kampung Du-
kuh untuk makan. Tapi ketika saya sedang asyik me-
nikmati makanan, tiba-tiba datang empat lelaki berwa-
jah garang. Ternyata mereka perampok yang berpura-
pura dermawan itu,” ungkap Bong Mini.
“Jadi kamu langsung bertemu dengan para peram-
pok itu?” tanya Bongkap. Ia mengira pasti terjadi per-
kelahian antara putrinya dengan keempat perampok
itu.
“Ya, Papa. Malah saya sempat bertempur dengan
keempat perampok itu ketika mereka hendak menodai
seorang anak gadis pemilik warung itu,” sahut Bong
Mini.
“Papa sudah menduga. Tapi bagaimana kelanjutan-
nya?”
“Satu dari keempat orang itu tewas. Sedangkan ke-
tiga lelaki lain saya buat cidera untuk bukti kekalahan
di hadapan pemimpin mereka nanti,” jawab Bong Mini.
Kemudian bibirnya tersenyum bangga.
Bongkap mengusap-usap kepala putrinya dengan
bangga pula. Ia senang kalau putrinya telah mampu
menghadapi empat orang lawan, sekaligus menga-
lahkannya.
“Papa kagum atas kemampuanmu. Tapi ingat, ke-
berhasilanmu itu jangan dijadikan sebagai satu ke-
sombongan. Sebab walaupun ada manusia yang hebat,
tak pernah tertandingi oleh siapa pun juga, tapi masih
ada yang bisa mengalahkannya dengan seketika,” ucap
Bongkap mengingatkan putrinya.
Bong Mini tercekat kaget. Ia heran, orang yang tak
pernah terkalahkan seperti kata papanya tadi, kok ma-
sih bisa dikalahkan?
“Siapa yang dapat mengalahkan orang jago itu, Pa-
pa?” tanya Bong Mini ingin tahu.
“Yang Maha Kuasa,” jawab Bongkap tenang. Namun
cukup membuat putrinya, para pengawal serta da-
yang-dayangnya tercengang. Mereka tercengang karena
baru kali ini mendengar Bongkap menyebut nama
Yang Kuasa.
“Kau harus ingat kata-kata papa yang satu ini!”
“Apa, Papa?”
“Jangan sombong!” kata papanya memperingatkan.
Sebab walaupun ia sekarang menjadi seorang pemim-
pin perampok, ia tidak ingin sifat-sifat jeleknya itu me-
nurun pada anaknya. Dia berharap, biarlah sifat-sifat
Bong Mini menyerupai ibunya, Sinyin. Sedangkan ke-
beranian di medan perang, Bong Mini harus mengikuti
jejaknya. Karena memang itu persyaratan orang yang
terjun ke medan perang. Berani dan harus sadis. Ka-
lau mau jadi singa, jadilah singa jantan, jangan betina.
Itu prinsip Bongkap kala ia berada di medan laga.
“Kesombongan tidak akan abadi. Kita akan hancur
ditelan kesombongan itu sendiri!” lanjut Bongkap me-
nasihati putrinya.
Bong Mini menatap papanya dengan penuh keka-
guman. Bibirnya tersenyum dan papanya dipeluk erat.
“Sekarang pergilah makan dan istirahat. Tentu kau
lapar dan lelah,” bisik Bongkap ketika membalas deka-
pan putrinya.
“Ya, Papa!” Bong Mini melepaskan rangkulannya.
Lalu dengan lincah ia masuk ke dalam.
“Bibi, temanilah putriku!” perintah Bongkap kepada
tiga orang dayangnya.
Ketiga dayang itu membungkuk memberi hormat.
Lalu mereka menggeser badan ke belakang. Setelah
mundur dua langkah dari Bongkap, mereka berdiri
dan langsung melangkah ke dalam. Itu adalah salah
satu adat kerajaan, di mana bawahan harus tetap tun-
duk dan hormat. Berdiri tidak sama tinggi. Duduk pun
tidak sama rendah. Itulah pepatah yang lebih tepat un-
tuk perbedaan raja dan bawahan.
Sepeninggalan putrinya, Bongkap jadi berpikir. Ka-
lau tadi ia cemas karena putrinya belum pulang, kini
ia cemas dengan cerita Bong Mini yang telah berhasil
merobohkan empat orang lawannya. Sebab tidak mus-
tahil tiga di antara empat orang yang dibiarkan hidup
itu akan melapor kepada pemimpin mereka. Dan bila
dugaan ini benar, maka putrinya akan terancam ba-
haya yang lebih besar. Mereka akan berusaha mencari
putrinya. Berusaha menangkap dan menyerangnya.
Sehingga mau tidak mau akan melibatkan dirinya dan
para pengawal kerajaan. Bila benar, kelanjutan peris-
tiwa putrinya akan menjadi masalah yang besar.
Sebenarnya bukan masalah penyerangan yang ia
khawatirkan. Baginya, masalah pertempuran atau pe-
kik kematian di tengah bau amis darah merupakan hal
yang sudah biasa. Itu sudah menjadi bagian hidup
Bongkap bersama para pengikutnya. Tapi yang ia
khawatirkan kalau pertempuran itu akan melibatkan
para penduduk yang tidak berdosa. Padahal penduduk
negeri Selat Malaka yang berada di bawah pimpinan-
nya itu tengah mengalami bencana kemiskinan dan ke-
laparan.
Tapi kalau memang harus terjadi, apa boleh buat.
Sebagai raja baru di negeri Selat Malaka ini aku harus
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kea-
manan rakyat. Baik dalam masalah kebutuhan hidup
mereka sehari-hari maupun terhadap rongrongan pi-
hak luar! Pikir Bongkap akhirnya, mengambil keputu-
san. Lalu ia pun menjatuhkan diri di kursi kerajaan
untuk melepaskan ketegangan pikirannya. Tanpa tera-
sa ia tertidur di singgasananya.
***
“Bibi. Tinggalkanlah saya sendirian di sini,” ucap
Bong Mini kepada ketiga dayangnya ketika sampai di
kamar.
“Tapi papa Nona menyuruh kami untuk menemani
di sini!” ucap seorang dayang yang sangat patuh ter-
hadap perintah rajanya.
“Tidak apa-apa, Bibi. Papa tidak akan marah. Kalau
papa bertanya, bilang saja bahwa itu kemauanku!” ki-
lah Bong Mini.
Ketiga dayang itu saling berpandangan. Mereka me-
rasa serba salah. Kalau kemauan putri Bong Mini di-
ikuti, berarti mereka telah menentang perintah ra-
janya. Tapi kalau tetap berpegang pada perintah raja,
Bong Mini sendiri meminta mereka untuk meninggal-
kannya sendirian di kamar. Namun akhirnya ketiga
dayang itu mengikuti kehendak Bong Mini. Pikir mere-
ka, Bong Mini merupakan putri kesayangan raja satu-
satunya. Tentu raja akan mengabulkan kehendak
Bong Mini. Dan tentunya mereka tidak akan dimarahi.
Setelah membungkuk hormat kepada Bong Mini,
ketiga dayang itu segera melangkah keluar. Meninggal-
kan putri rajanya sendirian di dalam kamar.
Bong Mini menghela napas lega. Lalu segera mere-
bahkan badannya di atas kasur dengan mata meman-
dang langit-langit kamar. Sedangkan pikirannya terus
tertuju pada peristiwa-peristiwa yang dilihat dan di-
alaminya ketika ia keluar rumah seharian suntuk.
Kasihan para penduduk di sini, harus mendapat te-
kanan-tekanan dari pihak luar. Padahal mereka orang-
orang polos dan jujur. Yang selalu bersikap ramah-
tamah terhadap siapa pun tanpa rasa curiga berlebi-
han. Malah kehadiranku di negeri ini pun mereka
sambut dengan baik dan penuh penghormatan. Begitu
pikiran yang ada di benak Bong Mini setelah mengada-
kan perjalanan keliling kampung. Karena perjala-
nannya itu bukan sekadar melihat-lihat keadaan kam-
pung, tetapi juga mencoba memahami segala adat dan
kebiasaan para penduduknya. Sebab bagaimanapun
juga adat dan kebiasaan negeri Selat Malaka akan ber-
beda dengan adat kebiasaannya sebagai orang yang
berasal dari negeri Tiongkok. Oleh karena itu ia ingin
mencoba mempelajari dan mengikuti adat di negeri
yang belum lama diinjaknya ini.
Setelah pikirannya terpusat pada nasib dan keada-
an penduduk, kini pikiran Bong Mini beralih pada em-
pat orang lelaki yang telah dikalahkannya. Dia berpikir
bahwa kematian salah seorang dari mereka di ta-
ngannya itu pasti akan menimbulkan dendam yang
berkepanjangan. Mereka tentunya akan kembali men-
carinya dengan jumlah yang lebih banyak.
“Apa pun yang terjadi nantinya, harus kuhadapi.
Setiap perbuatan akan membawa akibat dan akibat itu
sudah aku perhitungkan!” desah Bong Mini. Lalu ia
pun memejamkan kedua matanya yang sudah perih.
***
“Bagaimana dengan rencana kita, Tuanku?” tanya
Ashiong, salah seorang pengawal setia Bongkap yang
sejak tadi berada di dalam, menunggu rajanya yang
tertidur di kursi kebesaran.
Bongkap yang baru saja terbangun dari tidurnya
tersentak kaget. Teguran Ashiong telah mengingatkan-
nya pada rencana semula. Lalu dengan sikap hati-hati,
karena takut ketahuan putrinya, Bongkap mendekati
Ashiong dan berkata setengah berbisik.
“Siapkan saja kuda-kuda kita di luar dan jaga. Aku
akan ke kamar putriku dulu!”
“Baik, Tuan!” ucap Ashiong. Lalu dia dan pengawal
lainnya keluar untuk mempersiapkan kuda.
Bongkap belum beranjak dari kursinya. Hatinya
mulai bimbang pada rencana perampokan yang akan
dilakukannya. Apakah ia akan melaksanakan rencana
itu atau dibatalkan. Bila dilaksanakan, ia khawatir di-
ketahui putrinya. Sehingga nanti putrinya akan perla-
han-lahan membencinya. Tapi kalau dibatalkan, ia me-
rasa sayang. Sebab kereta kuda yang akan mereka
rampok nanti malam memuat emas dan berlian yang
tentu harganya sangat mahal.
“Hhh...!” Bongkap mendesah sambil menjatuhkan
kepalanya pada sandaran kursi belakang.
Sementara itu waktu terus berputar tanpa terasa.
Malam pun terus merangkak menghampiri sunyi. Se-
hingga suasana malam benar-benar senyap. Hanya
suara jangkrik yang terdengar mengerik di balik pepo-
honan dan rumputan.
Bongkap bangkit dari duduknya, lalu melangkah
mendekati kamar putrinya. Di sana ia melihat putrinya
sudah tergolek pulas. Mungkin karena rasa letih sete-
lah sehari penuh berkeliling kampung dan bertempur
hingga ia tertidur begitu lelap.
Bongkap menarik napas lega melihat putrinya su-
dah tertidur. Dengan langkah pelan ia meninggalkan
kamar putrinya, langsung menuju halaman rumah di
mana para pengawalnya menunggu.
“Kita segera berangkat!” ajak Bongkap kepada para
pengawalnya yang sudah siap di punggung kuda mas-
ing-masing.
“Hiaaat!” teriak Bongkap sambil menarik tali ku-
danya. Kuda yang ditungganginya melesat cepat, me-
nembus kegelapan. Diikuti oleh para pengawalnya.
***
“Mama! Mama!” teriak Bong Mini dalam tidurnya.
Tangannya menggapai-gapai seakan memanggil. “Ma-
ma jangan pergi, Ma!” teriak Bong Mini dalam igaunya.
Disusul dengan suara tangis tersedu-sedu.
Setelah beberapa saat menangis, Bong Mini tersadar
dari tidurnya. Ia membuka kedua matanya yang basah
oleh air mata. Lalu pandangannya menyebar ke selu-
ruh ruangan kamar.
Bong Mini menghela napas panjang.
“Hm..., ternyata aku bermimpi,” desah Bong Mini
dengan lesu. Lalu kembali dibaringkan tubuhnya un-
tuk tidur. Namun sebelum ia memejamkan kedua ma-
tanya, tiba-tiba ia teringat pada ucapan mamanya da-
lam mimpi tadi.
“Pergilah ke utara malam ini juga!” itulah kalimat
yang diucapkan mamanya dalam mimpi tadi.
Pergi ke utara? Malam ini juga? Pikir Bong Mini. La-
lu ia duduk kembali di atas ranjang. Ada apa, ya? Dan
kenapa mama menyuruhku berangkat malam ini juga?
Kenapa tidak besok pagi saja? Pikir Bong Mini.
Sebenarnya Bong Mini malas pergi malam itu. Se-
lain badannya masih terasa letih, ia juga masih merasa
ngantuk. Tapi untuk membuktikan ucapan mamanya
dalam mimpi itu, Bong Mini akhirnya beranjak juga
dari tempat tidur. Mengganti pakaian dengan pakaian
silat dan menyelipkan pedangnya di punggung.
Bong Mini melangkah menghampiri jendela kamar.
Dibukanya jendela kamar itu perlahan. Dengan mem-
pergunakan ilmu peringan tubuh, ia meloncat keluar.
Setelah itu ia berjalan mengendap-endap, khawatir di-
ketahui oleh para pengawal papanya.
Bong Mini menyelinap lewat belakang menuju kan-
dang kuda. Di sana matanya melihat penunggu kan-
dang kuda sedang berjaga-jaga sambil sesekali meng-
uap menahan kantuk. Ketika melihat kedatangan Bong
Mini ke tempat itu, ia menjadi terkejut.
“Ada apa Nona Mini malam-malam begini datang ke
sini?” tanya penjaga kuda itu keheranan.
“Ssst!” Bong Mini memberi isyarat dengan menem-
pelkan jari telunjuknya ke bibir. “Saya mau keluar.
Tapi jangan bilang papa, ya?” bisik Bong Mini. Lalu ia
memberikan tiga keping uang dari balik bajunya kepa-
da penjaga itu. Ia mengira Bongkap dan para penga-
walnya tidak keluar rumah.
Mendapat tiga keping uang dari Bong Mini, penjaga
kuda tadi tersenyum-senyum senang. Lalu tanpa me-
nunggu perintah Bong Mini, ia masuk ke kandang ku-
da dan mengambil kuda Bong Mini yang berwarna pu-
tih.
“Ini, Non kudanya!”
Bong Mini tersenyum seraya mengambil tali kuda
dari tangan penjaga itu. Kemudian ia melompat dan
duduk di atas punggung kuda.
“Ingat pesan saya tadi, ya?” Bong Mini memper-
ingatkan penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya.
“Pokoknya beres, Non!” sahut penjaga kuda itu
nyengir-nyengir karena masih gembira mendapatkan
uang dari Bong Mini.
Bong Mini tersenyum. Lalu ia menarik tali kudanya
pelan-pelan agar langkah-langkahnya tidak menimbul-
kan suara. Ketika sampai di luar halaman, barulah ia
memacu kudanya lebih cepat lagi.
Setelah agak lama ia memacu kuda, Bong Mini tiba-
tiba menarik tali kudanya agar berjalan perlahan. Di
sana ia melihat persimpangan jalan. Yang satu menuju
Dusun Buncit dan satu lagi ke Bukit Garang.
Bong Mini berpikir, jalan mana yang harus ia lalui.
“Hm..., aku ambil jalan sini saja,” gumam Bong Mini
mengambil jalan ke arah utara yaitu menuju Bukit Ga-
rang.
Setelah beberapa kilo jalan dilalui Bong Mini, tiba-
tiba ia melihat serombongan orang berkuda sedang
berjalan di balik bukit. Mereka begitu banyak, sekitar
lima belas orang.
“Hm..., siapa mereka. Dan apa yang akan mereka
kerjakan malam-malam begini?” gumam Bong Mini.
Terus diikutinya rombongan orang berkuda itu. Dan
betapa terkejutnya ia ketika melihat papanya ada di
antara rombongan orang berkuda itu. Papanya me-
nunggang kuda dengan gagah. Sedangkan rombongan
itu pun sangat dikenalnya. Itulah para pengawal pa-
panya. Walau di malam hari, wajah orang-orang ber-
kuda itu terlihat jelas oleh Bong Mini karena sorotan
sinar bulan yang tidak begitu terang.
“Orang yang duduk dengan gagah itu pasti papa!”
desah Bong Mini, meyakinkan penglihatannya. Lalu,
ada apa malam-malam begini papa keluar rumah de-
ngan membawa pasukan yang banyak dan bersenjata?
Bong Mini bertanya-tanya dalam hati sambil terus
mengikuti papanya dan para pengawalnya.
Bong Mini memperlambat jalan kudanya. Mencoba
mengatur jarak agar tidak terlalu dekat, sehingga tidak
terlihat oleh rombongan papanya. Ia tampak begitu he-
ran. Para pengawalnya yang biasanya terlihat sopan
dan ramah kini berubah beringas. Sikap mereka tam-
pak begitu garang, seperti hendak bertempur.
“Mereka berhenti,” gumam Bong Mini yang juga
menghentikan langkah kudanya.
“Segera buat penghalang!” perintah Bongkap de-
ngan suara keras berwibawa memecah kesunyian ma-
lam.
Heh? Aku baru mendengar suara papa yang demi-
kian garang, pikir Bong Mini tersentak kaget. Tapi tu-
buhnya tetap diam sambil terus memperhatikan ting-
kah-laku para pengawal papanya yang tengah men-
gangkat sebatang pohon tumbang dan meletakkannya
di tengah jalan.
Para pengawal papa membuat penghadang jalan
agar kuda atau kereta tidak bisa melalui jalan itu. Ini
jelas bahwa papa dan pasukannya hendak mengada-
kan penyerangan. Tapi siapa musuh papa? Selama ini
aku tidak mendengarnya. Kecuali ketika masih tinggal
di Tiongkok. Itu pun telah berbaik kembali. Karena pa-
ra musuh papa dahulu adalah orang-orang kecil yang
sekarang menjadi pengikut papa. Tapi di sini, siapa
yang menjadi musuh papa? Bong Mini bertanya jawab
dalam batinnya. Dan jawaban itu pun belum ia dapat
secara pasti.
Setelah merasa yakin bahwa papanya dan para
pengawal tidak akan ke mana-mana lagi, Bong Mini
segera mengikat kudanya pada sebuah pohon yang ter-
lindung dari penglihatan rombongan papanya. Se-
dangkan ia sendiri memanjat sebuah pohon rimbun
dan duduk pada salah sebuah batang yang cukup be-
sar dan cukup nyaman untuk diduduki. Di situ, ia
dengan leluasa dapat melihat tingkah-laku papanya
bersama para pengawal.
Malam semakin larut. Sinar rembulan yang tadi
samar-samar memancar ke segenap penjuru bumi,
perlahan-lahan sirna ditelan oleh awan yang berge-
rombol, sehingga suasana menjadi pekat.
Setelah melaksanakan tugasnya dengan baik, para
pengawal bersama Bongkap segera bersembunyi di ba-
lik semak-semak.
Bong Mini semakin keheranan melihat tingkah papa
bersama para pengawalnya. Ada apa sebenarnya?
Apakah papa dan para pengawalnya benar-benar akan
melakukan penyerangan? Kalau memang benar pasti
mengasyikkan! Sebab ia akan menyaksikan pertempu-
ran yang amat seru. Sekaligus melihat jurus-jurus il-
mu silat papa yang memikat itu. Dan ia merasa yakin
pasti kemenangan berada pada pihak papanya. Tapi
yang membuat Bong Mini heran adalah musuhnya.
Sebab selama ini papanya tidak pernah bercerita me-
ngenai musuh-musuhnya. Lagi pula mereka belum la-
ma tinggal di negeri itu.
Malam terus merangkak. Kegelapan malam yang ta-
di terlihat begitu pekat, perlahan-lahan lenyap. Pohon-
pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu mulai keliha-
tan bentuknya. Walaupun masih samar-samar.
Dari ufuk timur, cahaya merah mulai tampak. Per-
tanda bahwa waktu pagi telah menjelang. Dan itu te-
rus terjadi setiap pagi, sesuai dengan aturan yang te-
lah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam keremangan cahaya surya pagi yang me-
nembus kabut tebal, Bong Mini dengan jelas dapat me-
lihat orang-orang yang menjadi pengawal papanya itu.
Ada yang tertidur, ada pula dua orang yang tetap ber-
jaga-jaga, khawatir orang yang ditunggu mereka telah
melewati jalan itu.
Bong Mini menguap panjang. Matanya tampak
kuyu. Begitu pula dengan wajahnya yang putih, keliha-
tan makin pucat karena semalaman suntuk ia terus
terjaga karena ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dari jarak beberapa meter, Bong Mini melihat pa-
panya terbangun. Dia berdiri sambil menggeliat pan-
jang. Disusul kemudian dengan menghentak-hen-
takkan kaki yang menyentuh para pengawal yang se-
dang tidur pulas.
Para pengawal yang tertidur itu bangun satu persa-
tu ketika merasa tubuhnya ada yang menendang.
“Bersiap-siaplah kalian!” kata Bongkap, memper-
ingatkan para pengawalnya. Sedangkan ia sendiri
mengambil pedang yang tergeletak di tanah dan me-
nyelipkan di punggungnya.
Cahaya terang dari ufuk timur semakin jelas. Warna
merah jingga yang dipancarkan sinar matahari ber-
ubah menjadi warna kuning keperakan. Kemudian ca-
haya kuning keperakan itu bergeser dari balik pepoho-
nan dan berdiri sepenggalah. Membuat alam menjadi
terang-benderang. Mengusir kabut yang sejak sore
kemarin menyelimuti pepohonan.
Bong Mini hampir saja terjatuh kalau saja tidak ce-
pat-cepat berpegangan pada sebuah ranting pohon, ke-
tika ia hampir terlena oleh semilir angin yang mem-
buatnya tertidur beberapa saat. Ia benar-benar sudah
mengantuk. Namun tetap dipaksakan juga, karena in-
gin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh papanya
bersama para pengawal.
***
66
Bong Mini hampir tertidur lagi, ketika sepasang ma-
tanya yang merah dan perih itu terlena oleh semilir
angin yang berhembus. Tapi ia mendadak tercekat ka-
rena telinganya mendengar derit kereta kuda disertai
kepulan debu yang diterbangkan oleh telapak kaki ku-
da. Kereta kuda itu tampak dikawal delapan orang dan
melaju ke arah rintangan batang pohon yang sengaja
diletakkan di jalan itu oleh para pengawal Bongkap.
“Berhenti!” salah seorang pengawal kereta kuda
yang berada di depan memberi aba-aba.
Derit kereta kuda itu terhenti.
“Rupanya perjalanan kita ada yang menghalangi,”
kata orang itu lagi yang rupanya pemimpin mereka.
Pandangannya menyebar ke sekitar tempat tersebut,
meneliti dengan tatapan mata yang tajam.
Inikah yang sejak semalam ditunggu papa bersama
para pengawalnya? Tanya Bong Mini dalam hati. Sebe-
lum ia menerka lebih jauh lagi, tiba-tiba ia melihat pa-
panya memberi komando penyerangan kepada para
pengawalnya.
Mendapat komando dari Bongkap, para pengawal
itu dengan sigap menarik tali kuda masing-masing dan
memacu ke arah rombongan kereta kuda itu. Diimban-
gi oleh suara ringkik kuda, para pengawal itu me-
ngurung kereta barang bersama para pengawalnya. Se-
telah mereka mengurung, barulah Bongkap keluar
menunggang kudanya dengan gagah.
Pemimpin pengawal kereta barang segera mengeta-
hui situasi yang kurang baik. Namun dengan sikap
yang tetap tenang, ia memandang Bongkap. Namun
tangannya telah siap mencabut pedang.
“Mau apa kau!” bentak pemimpin pengawal kereta
barang itu.
Bongkap tertawa tergelak-gelak mendapat perta-
nyaan itu.
“Bila ada sekelompok orang yang tak dikenal me-
ngelilingimu, menurut perkiraanmu apa?” Bongkap ba-
lik bertanya.
“Kalau memang ingin berniat jahat, aku akan segera
menentangnya!” bentak pemimpin rombongan kereta
barang dengan lantang.
Bongkap kembali tertawa terbahak-bahak.
“Apa kau sudah merasa hebat menantangku?”
“Aku cuma ingin mempertahankan hakku!” jawab
pemimpin pengawal kereta barang dengan sikap gagah.
“Hak apa? Hak dari hasil pemerasan terhadap rak-
yat?”
Pemimpin pengawal kereta barang mendengus. Ma-
tanya merah menyala bagai bara api.
“Hati-hati kalau kau berbicara!” bentaknya kemu-
dian.
“Hati-hati pula kalau kau berhadapan denganku!”
balas Bongkap tak kalah nyaring.
“Aku tak pernah takut pada siapa pun!” tantang pe-
mimpin pengawal kereta kuda dengan gagah.
Wajah Bongkap mendadak merah. Darahnya bergo-
lak, menyembur ke seluruh tubuhnya.
Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan dan men-
dengar percakapan papanya jadi terkejut. Apa benar
papaku mau berniat jahat kepada para pengawal kere-
ta barang itu? Tanya Bong Mini dalam hati. Kedua ma-
tanya tak berkedip memandang ke arah arena.
Belum sempat Bong Mini berpikir lebih lanjut, tiba-
tiba ia memekik tertahan ketika melihat papanya men-
cabut pedang dan mengarahkannya pada pemimpin
pengawal kereta barang. Tetapi untunglah lelaki yang
diserangnya cekatan sehingga dengan cepat dapat
mengelak dari serangan Bongkap dan meminggirkan
kudanya.
Trangngng!
Serentak para pengawal dari kedua belah pihak me-
nyerbu, diiringi pekikan-pekikan keras. Delapan orang
pengawal kereta barang mati-matian melawan lima be-
las pengawal Bongkap. Denting yang tercipta akibat
benturan antar senjata terdengar sangat nyaring. Di-
timpali oleh jeritan orang-orang yang terluka karena
sabetan pedang yang dilancarkan anak buah Bongkap
mengenai sasaran.
“Aaakh...!”
Jeritan kematian itu terdengar begitu menyayat.
Para pengawal Bongkap memang merupakan orang-
orang pilihan. Jurus-jurus kungfu sampai permainan
pedang telah mereka kuasai dengan baik. Sedangkan
permainan pedang pihak lawan sudah terbaca oleh
Bongkap dan anak buahnya. Sehingga mereka dengan
mudah dapat dijatuhkan.
Trangngng! Trangngng! Brettt!
Suara-suara itu bersatu kacau. Para pengawal ke-
reta kuda tampak tidak berdaya. Mereka satu persatu
jatuh dari kudanya dengan tubuh berlumur darah.
Bongkap sengaja tidak mengulur-ulur waktu dalam
pertempuran kali ini. Ia ingin secepatnya membabat
habis para pengawal kereta kuda itu. Hal ini disebab-
kan rasa kekhawatirannya terhadap Bong Mini yang
mungkin akan mengetahui perbuatannya. Karena pe-
rampokan yang dilakukan kali ini terlalu banyak me-
makan waktu untuk menunggu. Sehingga baru bisa
diselesaikan ketika sinar matahari telah menjangkau
permukaan bumi.
Dengan terbunuhnya para pengawal kereta barang
itu, dua orang pengawal Bongkap segera melompat ke
dalam kereta kuda, lalu melemparkan barang-barang
yang ada dalam kereta itu pada teman-temannya yang
menunggu di luar. Barang-barang itu kini berpindah
ke tangan Bongkap dan anak buahnya.
“Ayo, cepat selesaikan! Hari sudah siang!” teriak
Bongkap dengan mata tetap mengawasi kerja anak
buahnya.
Di tempat persembunyian, Bong Mini jadi terce-
ngang. Dia merasa yakin sekarang, bahwa papanya
dan para pengawal telah melakukan perampokan.
Jadi untuk pekerjaan inikah selama dua malam pa-
pa dan para pengawalnya keluar? Untuk mengadakan
perampokan? Pikir Bong Mini.
Bong Mini menghela napas panjang. Pantas kalau
selama ini papanya selalu memberikan intan berlian
serta barang-barang berharga lain. Dan semua barang
yang diberikan papanya kepadanya merupakan hasil
dari rampasan.
Sebenarnya, sejak pertama ia mendapatkan barang-
barang berharga itu, ia ingin menanyakan kepada pa-
panya. Tapi niatnya itu ia urungkan. Ia yakin bahwa
barang-barang yang diberikan kepadanya itu merupa-
kan hasil dari jerih payah papanya. Ia juga tidak ingin
kalau pertanyaannya itu akan membuat papanya ke-
cewa. Karena secara tidak langsung pertanyaan itu
pasti akan menyinggung perasaan papanya.
Sekarang, Bong Mini telah mengetahui dan melihat
dengan mata kepala sendiri kalau papanya seorang pe-
rampok. Merampas harta yang bukan miliknya dengan
cara melakukan pembunuhan yang sangat keji.
Sembari menahan marah dan tangis, Bong Mini se-
gera turun dari atas pohon, tempat persembunyian.
Setelah itu ia melarikan kuda sekencang-kencangnya.
Hatinya menjerit sakit melihat perbuatan papanya
yang tidak ia duga sama sekali.
***
Sampai di rumah, Bong Mini segera menyerahkan
kuda putihnya pada penjaganya. Sedangkan wajahnya
tampak sudah dibanjiri oleh air mata.
Setelah menyerahkan kuda putihnya, Bong Mini se-
gera menghambur menuju kamarnya. Menjatuhkan di-
ri di ranjang sambil menangis sekeras-kerasnya de-
ngan merapatkan wajah ke bantal.
Beberapa saat lamanya, Bong Mini dicekam oleh
suasana duka dan sedih. Hatinya masih tersayat-sayat
pilu mengingat sepak-terjang papanya. Punggungnya
naik turun menahan isak tangis.
Tiba-tiba Bong Mini membalikkan tubuhnya dengan
pandangan menatap langit-langit kamar. Kata-kata
mamanya teringat kembali di benaknya.
Inikah makna mimpi semalam? Inikah maksud
mama kenapa aku disuruh pergi ke utara malam itu
juga? Tanya batinnya sedih. Sementara air matanya
masih terus menetes membanjiri kedua pipinya.
Dengan hati luluh dan perasaan hancur, Bong Mini
turun dari ranjang. Diselipkan kembali pedangnya di
punggung. Kemudian dengan berlinang air mata, Bong
Mini melangkah keluar, menuju kandang kudanya.
“Mau ke mana, Non?” tanya penjaga kuda itu heran
melihat wajah Bong Mini dialiri air mata.
Bong Mini tidak segera menjawab. Ia langsung ma-
suk ke kandang kuda dan menarik kuda putihnya ke-
luar dan segera naik ke punggung kuda.
Bong Mini menoleh pada penjaga kuda itu sebelum
memacu kudanya.
“Kalau papa menanyakan tentang aku, katakan ka-
lau aku pergi dan tak usah dicari,” kata Bong Mini
berpesan.
“Non Mini mau pergi ke mana?” tanya penjaga kuda
itu khawatir.
“Saya mau mengembara!” setelah menjawab begitu,
Bong Mini langsung memacu kudanya cepat sekali.
***
Setengah jam setelah kepergian Bong Mini, Bongkap
dan para pengawalnya datang dengan membawa hasil
rampokannya.
“Segera masukkan barang-barang itu lewat bela-
kang!” perintah Bongkap sambil melemparkan kunci
gudangnya kepada Ashiong. Kemudian ia melangkah
tenang ke dalam, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Sampai di dalam, Bongkap duduk di kursi dengan
santai. Sikapnya begitu tenang. Tidak menunjukkan
bahwa ia baru saja melakukan perampokan.
Hanya beberapa saat ia duduk, lalu melangkah lagi
ke ruang dalam. Kali ini ia hendak menengok putrinya.
Tapi betapa kagetnya ia ketika pintu itu dibuka. Sebab
ia tak melihat putrinya di sana.
“Hm...!” keluh Bongkap. “Ke mana lagi perginya pu-
triku ini?”
Bongkap menutup kembali pintu kamar putrinya.
Dan terus melangkah ke ruang belakang menemui tiga
dayangnya.
“Bibi!” panggil Bongkap dengan suara yang dalam.
Ketiga dayang yang tengah mengerjakan sulaman
serentak menghentikan gerakan tangannya. Lalu me-
reka merubah sikap duduknya dan menghormat.
“Kalian melihat putriku?” tanya Bongkap dengan
mata menatap tajam.
“Nona Mini sejak pagi tadi tidak keluar, Tuan,” sa-
hut seorang dayangnya.
“Apa Bibi tidak salah bicara?” tanya Bongkap. Tatap
matanya lebih tajam.
“Tidak, Tuan. Sejak tadi pagi saya tidak melihat-
nya!” sahut dayang yang tadi.
Bongkap menghela napas kesal.
“Coba kalian lihat di kamarnya!” perintah Bongkap.
Ketiga dayang itu melangkah menuju kamar Bong
Mini. Diikuti oleh Bongkap. Mereka langsung ter-
nganga karena tidak melihat Bong Mini di kamarnya.
“Inilah salah satu kelalaian kalian. Kalian tidak be-
cus menjaga putriku!” bentak Bongkap. Kemarahannya
mulai meledak.
Ketiga dayang diam tertunduk. Mereka mengakui
kesalahannya.
“Sekarang, panggil penjaga kuda ke sini!” perintah
Bongkap. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan duduk
di kursinya.
Dengan wajah dan sikap penuh ketakutan, ketiga
dayang itu segera ke belakang. Tidak lama kemudian
mereka kembali bersama seorang penjaga kuda.
“Tuan memanggil saya?” ucap penjaga kuda itu
sambil memberi hormat
“Hm...,” sahut Bongkap pendek. Wajahnya menun-
jukkan kemarahan yang tersimpan.
“Kamu lihat putriku?”
“Maaf, Tuan. Tadi Non Mini keluar bersama ku-
danya,” jawab penjaga kuda itu.
“Keluar? Keluar kemana?”
“Saya tidak tahu, Tuan. Karena ketika saya tanya-
kan dia bilang ingin mengembara dan berpesan agar
Tuan tidak mencarinya,” jawab penjaga kuda itu men-
jelaskan.
Bongkap meloncat kaget dari duduknya. Ia tidak
mengerti mengapa putrinya berubah sikap seperti itu.
Kemudian dengan wajah cemas, ia keluar dan meng-
ambil kudanya.
“Ashiong, Achen, ikut aku!” seru Bongkap kepada
dua orang pengawal kepercayaannya. Lalu ia segera
memacu kudanya dengan cepat. Diikuti oleh Ashiong
dan Achen.
***
Bong Mini memperlambat jalan kudanya ketika
sampai di Bukit Garang, di mana papanya bersama pa-
ra pengawal melakukan perampokan. Kemudian ia me-
lompat dari punggung kuda dan mendekati mayat-
mayat yang tergeletak bersimbah darah itu.
“Maafkan atas kekasaran papaku!” desah Bong Mini
pada pengawal kereta barang yang dibunuh oleh
Bongkap dan para pengawalnya. Sementara kedua ma-
tanya yang sebelumnya sudah kering, kini kembali di-
genangi oleh telaga bening. Kemudian perlahan-lahan
telaga bening itu merembes lewat celah-celah bulu ma-
tanya. Lalu bergulir, meliuk-liuk di pipinya bagai anak
sungai yang mencari lautan bebas.
Setelah beberapa saat ia terpaku di hadapan mayat-
mayat yang bergelimpangan itu, Bong Mini pun mena-
rik tali kudanya dengan langkah gontai. Sedangkan air
matanya dibiarkan tetap mengalir sampai menyentuh
bibirnya.
Perlahan-lahan Bong Mini menarik kudanya. Tak
dipedulikannya sinar matahari menyengat kulitnya. Ia
terus menjalankan kudanya tanpa tujuan yang pasti.
Ketika ia sudah berjalan jauh dari tempat mayat-
mayat yang bergelimpangan tadi, Bong Mini mengikat
tali kudanya pada sebatang pohon. Sedangkan ia sen-
diri duduk bersandar melepaskan rasa lelah.
Sambil melepaskan rasa lelah, Bong Mini terme-
nung memikirkan sepak-terjang papanya yang demi-
kian berubah. Apakah semua itu karena kematian
mama? Pikir Bong Mini.
“Oh, Mama. Seandainya Mama masih menyertai
kami, tak mungkin keadaan seperti ini terjadi!” keluh
Bong Mini. Kembali ia teringat pada mamanya yang
sudah tiada. Air matanya kembali mengalir membasahi
pipinya yang kemerah-merahan karena tersengat sinar
matahari.
Mama. Apakah Mama juga melihat keadaan Papa
dan saya seperti ini? Keluh batin Bong Mini. Lalu ia
menjatuhkan kepalanya pada kedua lututnya. Pung-
gungnya berguncang-guncang, menangis tersedu-sedu.
Pada saat ia menangis terisak-isak, tiba-tiba ia me-
rasa ada sentuhan tangan lembut yang mengusap ke-
palanya. Bong Mini terdongak kaget dengan wajah ber-
linangan air mata. Ternyata orang yang mengusap-
usap kepalanya itu papanya sendiri.
“Ada apa, Sayang? Kenapa kamu pergi meninggal-
kan papa?” tanya Bongkap lembut.
Bong Mini diam saja sambil memalingkan wajah.
Dagunya bersandar pada kedua lututnya sambil me-
mandangi rumput dengan tatapan mata yang kosong.
Entah kenapa, sejak ia melihat peristiwa perampo-
kan yang dilakukan papanya itu, Bong Mini begitu
membencinya. Cinta kasih yang diberikan papanya te-
rasa begitu menyesakkan perasaan. Sentuhan tangan
papanya yang lembut terasa bagai sengatan matahari
yang memanasi seluruh tubuh. Kata-kata syahdu yang
terungkap lewat mulut papanya kini berubah laksana
lebah yang menyengat telinganya.
“Anakku sayang. Kenapa kamu diam saja, hm...?
Jika memang papa mempunyai kesalahan kepadamu,
katakan terus terang,” bujuk Bongkap sambil menyen-
tuhkan tangannya ke bahu Bong Mini. Tapi cepat-
cepat Bong Mini menghentakkannya dan berdiri men-
jauhi papanya.
Bongkap merasa, pasti ada persoalan besar yang
dihadapi anaknya. Lalu ia berdiri dan mendekati dua
orang pengawalnya yang sejak tadi memperhatikan
tingkah-laku bapak dan anak itu.
“Kalian pulang duluan. Aku akan membujuk putri-
ku!” kata Bongkap kepada kedua pengawalnya.
Ashiong dan Achen mengangguk hormat. Kemudian
mereka segera berlalu meninggalkan Bongkap dan pu-
trinya.
Setelah kepergian kedua pengawalnya, Bongkap
kembali menghampiri putrinya.
“Sebenarnya persoalan apa yang sedang kamu ha-
dapi, Sayang?” tanya Bongkap, berdiri di belakang
Bong Mini sambil menyentuh kedua bahunya.
Bong Mini masih diam tanpa bergeming sedikit pun.
Hal ini membuat Bongkap prihatin. Putrinya yang se-
lama ini lincah, manja dan penuh senyum, berubah
seperti dihujam penderitaan yang amat dalam.
“Papa...,” desah Bong Mini akhirnya. Tapi badannya
tetap tak bergerak.
“Hm...? Ada apa, Sayang?” tanya Bongkap dengan
wajah agak gembira karena putrinya yang sejak tadi
terdiam, kini sudah mulai berbicara.
“Ke mana Papa pergi semalam?” tanya Bong Mini
lagi
Wajah Bongkap tersentak kaget. Namun dengan ce-
pat ia merubah sikapnya.
“Papa jalan-jalan, cari udara malam,” dusta Bong-
kap.
Bong Mini membalikkan badannya. Matanya yang
tajam menatap kedua mata papanya. Tepat mengenai
manik-maniknya. Membuat perasaan Bongkap berge-
tar. Baru kali ini ia melihat tatapan putrinya demikian
menusuk hatinya.
“Kenapa Papa selalu berdusta setiap saya menanya-
kan kepergian Papa pada waktu malam?” suara Bong
Mini begitu tegas dan menyengat telinga Bongkap.
“Papa.... Papa tidak bohong, Sayang,” jawab Bong-
kap gugup. Wajahnya tampak gusar.
Bong Mini menarik napas. Lalu maju dua langkah
ke depan dengan pandangan mata yang jauh dan ko-
song.
“Saya tidak menduga sama sekali kalau selama ini
Papa memberi saya makan dengan cara yang tidak
halal!”
Bongkap benar-benar kaget mendengar perkataan
putrinya itu. Wajahnya yang sejak tadi kelihatan gu-
sar, berubah menjadi pucat.
“Kamu jangan menuduh papa seperti itu, Sayang.
Papa memberi kamu makan dari hasil jerih payah dan
keringat papa sendiri,” kata Bongkap tetap bersuara
lunak.
“Tapi perjuangan yang selama ini Papa lakukan te-
lah menimbulkan banyak korban,” sergah Bong Mini.
Lalu tubuhnya dibalikkan dan bersitatap dengan pa-
panya. “Saya sedih, Papa. Orang yang selama ini saya
kagumi dan saya hormati ternyata hanya seorang pe-
rampok! Papa..., saya anak perampok! Saya anak pe-
rampok!” Bong Mini menjatuhkan tubuhnya lesu sam-
bil menangis tersedu-sedu di hamparan rumput.
Ucapan Bong Mini terdengar bagai halilintar di
siang bolong di telinga papanya. Karena perbuatan ja-
hat yang selama ini ditutup-tutupi oleh Bongkap
akhirnya terbongkar juga.
“Bagaimana kamu tahu kalau papa telah melaku-
kan perampokan?” tanya papanya penuh selidik.
Sambil terisak menangis, Bong Mini menceritakan
mimpinya yang bertemu dengan mamanya.
“Ternyata apa yang disuruh Mama itu tidak lain un-
tuk memperlihatkan perbuatan Papa di hadapanku,”
kata Bong Mini mengakhiri ceritanya.
Bongkap tertunduk lesu mendengar cerita putrinya.
Ia berkesimpulan bahwa walaupun istrinya telah mati,
tapi tetap memperhatikan sepak-terjangnya sebagai
tanda cinta dan kasih sayang. Dan untuk menegurnya,
ia menyuruh Bong Mini lewat mimpi.
“Maafkan saya, Papa. Saya tak bermaksud melukai
hati Papa. Saya ingin menuruti apa yang Mama pesan-
kan pada saya lewat mimpi,” lirih Bong Mini dengan
tatapan mata sendu.
“Kamu tidak salah, Sayang,” kata Bongkap dengan
suara yang bergetar menahan haru. “Tapi papa juga
harus bercerita agar kamu tahu kenapa papa sampai
menjadi perampok,” Bongkap menghela napas. Ma-
tanya memandang pada kejauhan.
“Sebenarnya papa juga merasa berat untuk mela-
kukan perampokan. Tapi melihat rakyat papa yang
menderita kelaparan dan selalu terdengar berita ten-
tang pencurian harta dan makanan di kalangan pen-
duduk, akhirnya papa melakukan juga. Kemudian har-
ta hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mere-
ka. Sedangkan sebagiannya lagi papa simpan untuk
kebutuhanmu,” Bongkap menceritakan apa yang
membuatnya terseret pada kejahatan merampok.
Bong Mini mendengarkan cerita papanya itu dengan
sungguh-sungguh.
“Papa menyimpan sebagian hasil rampokan itu ka-
rena sadar bahwa kamu yang sudah beranjak menjadi
gadis remaja tentu sangat membutuhkan harta itu,”
sambung Bongkap menjelaskan.
Bong Mini yang sejak tadi mendengarkan cerita pa-
panya menjadi terharu. Ia tidak mengira sama sekali
kalau perampokan yang selama ini dilakukan papanya
merupakan tanda bukti kecintaannya pada rakyat dan
diri Bong Mini.
“Kalau memang kamu tidak puas dengan keterus-
terangan papa, kamu boleh menghukum papa. Tapi
jangan melibatkan para pengawal papa yang ikut me-
rampok!” kata Bongkap lagi penuh ksatria.
“Papa?” desah Bong Mini seraya menatap papanya
dengan tatapan sendu.
“Kau punya hak untuk melakukan itu, Sayang.”
“Tidak, Papa. Siapa pun Papa dan apa pun yang te-
lah Papa lakukan selama ini, Papa tetap orangtua
saya,” kata Bong Mini lirih. Butir-butir air matanya
mulai menggenang kembali di pelupuk matanya kare-
na menahan haru. “Saya cuma menuruti perintah
Mama dalam mimpi,” lanjut Bong Mini.
Bongkap terharu mendengar ucapan putrinya. Di-
rengkuhnya tubuh putrinya itu dan dipeluknya erat.
Pada saat itu, ia kembali teringat pada istrinya, Sinyin.
“Mamamu memang orang yang sangat baik, Sa-
yang,” ucap Bongkap dengan suara tersendat dan ber-
getar karena menahan haru. “Dia seorang perempuan
yang patut menjadi panutanmu. Sewaktu hidupnya,
mamamu sering memperhatikan papa dan menegur
papa jika berbuat kesalahan, tanpa ada rasa takut. Se-
luruh hari-hari yang dilaluinya dia curahkan untuk
mengurusmu dan papa,” lanjut Bongkap, mengenang
kembali kasih sayang dan kesetiaan istrinya.
Bongkap, walaupun berjiwa beringas dan kasar, ia
selalu lembut bila sudah berada di tengah keluar-
ganya. Kepandaiannya dalam bermain ilmu silat, kega-
gahan dan keganasannya di tengah pertempuran tak
akan tampak lagi bila sudah berada di rumah. Tak sa-
tu pun orang yang dapat menaklukkan dia atau mere-
dakan kekasarannya, hanya Sinyin, istrinya. Lewat ke-
lembutan hatinya, Sinyin dapat meluluhkan keberin-
gasan Bongkap. Lewat nalurinya sebagai perempuan,
ia berhasil menggiring Bongkap untuk menjadi orang
bijak. Membuat Bongkap semakin cinta dan sayang sa-
ja kepada istrinya. Sehingga kematian istrinya yang
tragis ketika melawan pasukan kerajaan yang mengha-
langi kepergian mereka sangat meluluhkan hatinya.
“Papa,” desah Bong Mini dalam dekapan papanya.
“Hm...? Ada apa, Sayang?” Bongkap mengusap-usap
kepala putrinya.
“Maukah Papa mengabulkan satu permintaan
saya?”
“Katakan. Katakan, Sayang. Papa akan mengabul-
kannya,” kata Bongkap cepat.
Bong Mini melepaskan pelukannya. Dipandangnya
wajah papanya dengan senyum lembut dan wajah ber-
seri.
“Papa sungguh-sungguh?”
“He-em!”
“Begini, Pa,” kata Bong Mini mulai mengemukakan
keinginannya. “Kebutuhan saya sekarang sudah terpe-
nuhi. Rakyat pun sudah kelihatan hidup membaik.
Jadi saya mengajukan suatu permintaan kepada Papa
untuk tidak lagi melakukan perampokan,” lanjut Bong
Mini, mengajukan permohonannya.
Bongkap tercenung beberapa saat mendengar per-
mintaan putrinya. Dia tidak mengira kalau hanya itu
yang menjadi permintaan putrinya.
“Papa mau mengabulkannya, kan?”
“Sebuah permintaan yang mulia, tentu saja akan
papa kabulkan!” sahut Bongkap tersenyum.
“Benarkah itu, Papa?” tanya Bong Mini meyakinkan.
Bongkap mengangguk.
“Oh, Papa!” keluh Bong Mini. Dipeluknya papanya
sekali lagi. Baginya tidak ada hari yang lebih berharga
dan penuh suka cita selain hari itu.
***
77
Yang Seng, pemimpin Partai Persatuan Ular Hitam
bersama anak buahnya sedang mencari Bongkap. Me-
reka menyusuri dari warung ke warung, lembah ke
lembah sampai akhirnya mencari ke seluruh hutan be-
lantara di kawasan itu. Tapi orang yang mereka cari
tidak diketemukan, sampai akhirnya mereka beristira-
hat karena lelah.
Di saat rombongan Partai Persatuan Ular Hitam
tengah duduk beristirahat di Bukit Londa, tiba-tiba
mereka tersentak mendengar derap langkah kuda yang
datang dari kejauhan.
“Tuanku!” seru Aloy, salah seorang anak buah Yang
Seng yang tangan kanannya sudah terputus karena
sabetan pedang Bongkap. “Bukankah orang yang ber-
kuda itu si Achiang?” lanjut Aloy dengan pandangan
mata yang tak henti-hentinya memperhatikan dua pe-
nunggang kuda yang berjalan ke arah mereka.
Yang Seng menyipitkan mata, mengawasi dua pe-
nunggang kuda itu.
“Hm..., ada apa lagi dengan anak buahku itu,” gu-
mam Yang Seng ketika melihat seorang anak buahnya
tampak tertelungkup tak berdaya di punggung kuda,
di belakang Achiang.
“Halau mereka dan suruh ke sini!” perintah Yang
Seng kepada anak buahnya.
“Siap, Tuan!” ucap Aloy. Dengan ilmu peringan tu-
buhnya ia melesat cepat untuk menghadang temannya
yang sedang memacu kuda.
Tidak lama kemudian, Aloy telah kembali lagi ber-
sama-sama temannya yang berkuda tadi.
Yang Seng langsung mendekati anak buahnya yang
tergeletak mati di atas punggung kuda. Kemudian wa-
jahnya mendadak berubah tegang saat menatap tiga
anak buahnya yang lain yang membawa mayat itu.
“Apa yang terjadi dengan kalian?” tanya Yang Seng
geram.
“Kami..., kami mendapat rintangan dari seorang pe-
rempuan asing ketika hendak membawa anak gadis
pemilik warung itu, Tuanku!” jawab Achiang. Ternyata
keempat orang itu adalah orang-orang yang telah dika-
lahkan oleh Bong Mini ketika terjadi perkelahian di ha-
laman warung nasi. Dan orang yang mati itu bernama
Bodong.
“Goblok!”
Plak! Plak!
Yang Seng menampar wajah Achiang dengan keras,
sehingga lelaki itu meringis kesakitan.
“Kenapa? Kenapa kalian semua jadi goblok begini?
Si Aloy yang kusuruh memimpin pengawalan barang
untuk mengantar ke seberang Pantai Cina tidak becus.
Barang habis dan tangannya buntung karena terbabat
pedang perampok yang bernama Bongkap. Sekarang
kau yang kusuruh menagih hutang dan bunganya ke-
pada pemilik warung tua-renta itu pun tidak becus.
Dan kali ini lebih memalukan. Karena si Bodong mati
di tangan seorang perempuan. Puih!” geram Yang
Seng. Diludahinya wajah Achiang. Matanya berkilat-
kilat merah bagai kobaran api yang siap menjilat dan
membakar.
“Tapi, Tuanku...!”
“Sudah, jangan kasih alasan! Kekuasaanku di nege-
ri ini telah kalian coreng dengan kebodohan kalian.
Sekarang juga kalian harus menghapus coreng itu!”
potong Yang Seng kepada seluruh anak buahnya.
“Bagaimana caranya, Tuanku?” tanya Achiang ta-
kut-takut
“Puih!” Yang Seng kembali meludahi wajah Achiang
yang semakin ketakutan. “Inilah akibatnya kalau di
otak kalian hanya bersarang perempuan, perempuan,
perempuan!”
Semua anak buahnya terdiam dengan wajah me-
nunduk. Tak seorang pun berani melihat kemarahan
Yang Seng, pemimpin mereka.
“Kalian semuanya harus mencari kedua orang itu
sampai dapat. Kalau perlu, penggal leher mereka dan
kepalanya bawa kepadaku!” perintah Yang Seng. Ke-
mudian ia melompat ke punggung kuda dan mema-
cunya cepat menuju markas.
“Ini semua gara-gara kamu!” kini Aloy yang ganti
memarahi Achiang.
“Kau juga sama!” berang Achiang.
“Aku wajar. Karena yang mengalahkanku seorang
pemimpin perampok. Tapi kau...! Oleh seorang perem-
puan? Bagaimana pemimpin kita tidak mau marah?”
sengit Aloy, membela diri.
“Sudahlah, jangan bertengkar! Yang penting seka-
rang juga kita harus mencari mereka!” tukas salah
seorang lain berusaha menengahi. Akhirnya gerombo-
lan yang berada di bawah panji Partai Persatuan Ular
Hitam berangkat untuk melanjutkan pencarian me-
nangkap Bongkap dan Bong Mini.
***
Bongkap dan Bong Mini atau lebih tepat disebut
Sepasang Pendekar dari Selatan, tengah menunggang
kuda perlahan-lahan. Keduanya menikmati peman-
dangan yang cukup indah. Apalagi saat itu waktu
menjelang senja. Sehingga pemandangan di ufuk barat
terlihat begitu mempesona, dihiasi dengan pancaran
warna lembayung.
Waktu terus merayap perlahan-lahan. Matahari
yang kini tergelincir di ufuk barat mulai menyembunyi-
kan dirinya di balik perbukitan. Sedangkan pesta war-
na di cakrawala pun mulai pudar perlahan-lahan. Ber-
ganti dengan kabut yang mulai turun menyelimuti
bumi. Malah pohon-pohon pegunungan yang mengelili-
ngi mereka telah lenyap ditelan kabut yang amat tebal.
“Sudah hampir malam. Kita percepat kudanya,
Sayang,” kata Bongkap, ketika melihat sekelilingnya
mulai temaram.
Tanpa memberi sahutan, Bong Mini langsung me-
macu kudanya dengan cepat, mengimbangi lari kuda
Bongkap.
Baru saja beberapa ratus meter mereka memacu
kuda, tiba-tiba Bongkap memberi isyarat kepada putri-
nya untuk waspada. Sedangkan langkah kudanya mu-
lai diperlambat
“Ada apa, Papa?” tanya Bong Mini yang tidak men-
gerti maksud papanya.
“Papa merasakan ada banyak orang di sekitar kita,”
jawab Bongkap sambil memasang pendengarannya
yang cukup peka.
Mendengar penjelasan papanya, Bong Mini segera
menyebar pandangan ke sekelilingnya. Tapi matanya
tidak melihat siapa pun. Kecuali pepohonan yang mu-
lai tertutup kabut.
“Saya tidak melihatnya, Papa,” desah Bong Mini.
“Mereka bersembunyi di balik pepohonan,” sahut
Bongkap sambil terus memasang kepekaan telinganya,
mengikuti langkah-langkah orang yang belum diketa-
hui batang hidungnya.
“Apakah mereka berniat tidak baik kepada kita?”
tanya Bong Mini sambil bersiap siaga.
“Begitulah tampaknya.”
Bong Mini mendesah. Matanya kembali liar menga-
wasi sekitarnya.
“Kamu tetap di sini bersama papa. Kalau memang
harus bertempur layani mereka semampumu. Tapi ka-
lau sudah terdesak kau harus langsung keluar per-
tempuran dan hubungi para pengawal,” kata Bongkap
setengah berbisik.
“Bagaimana kalau sekarang saja sebelum mereka
menyergap kita?”
“Itu akan membahayakanmu. Sebagian dari mereka
tentu akan mengejar dan menangkapmu. Itu berarti
akan mengganggu perhatian papa saat melayani se-
rangan mereka,” sergah papanya dengan pandangan
yang terus waspada.
Bong Mini mengangguk mengerti. Lalu menyebar-
kan pandangannya kembali ke arah semak-semak
yang berada di sekitar mereka.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya Sepasang
Pendekar dari Selatan itu mulai melihat beberapa ke-
pala manusia muncul dari kegelapan kabut. Langkah-
langkah mereka terdengar halus ketika menghampiri
Sepasang Pendekar dari Selatan yang terdiri dari ba-
pak dan anak tersebut.
“Jumlah mereka cukup banyak, Papa,” ujar Bong
Mini agak khawatir juga. Sebab selama ini ia belum
pernah bertempur dengan lawan yang lebih dari lima
orang. Tapi kini, para pengepung yang menghampiri
mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Sungguh
bukan suatu tandingan yang seimbang.
“Kau jangan gentar sebelum bertanding, Putriku!”
Bongkap memperingatkan dengan pandangan yang te-
rus waspada ke arah rombongan yang mulai mendeka-
ti mereka.
“Papa!” pekik Bong Mini tiba-tiba. “Tiga orang dari
mereka pernah saya kenal. Mereka orang-orang yang
pernah saya kalahkan di warung tempo hari,” lanjut
Bong Mini sambil terus memperhatikan ketiga orang
yang pernah dikalahkannya itu. Mereka tidak lain
Achiang, Japra, dan Kedot.
“Bagus. Kalau begitu mereka satu kelompok.”
“Maksud Papa?”
“Tangan lelaki yang buntung itu merupakan ke-
nang-kenangan dari papa ketika merampok mereka,”
jawab Bongkap menjelaskan.
“Hm...,” gumam Bong Mini. “Jadi Papa merampok
harta perampok?”
“Yah, ini suatu kebetulan,” sahut Bongkap. Kalau
bukan dalam suasana seperti itu mungkin mereka su-
dah tertawa. Karena merasa lucu ada perampok yang
dirampok.
Tidak lama kemudian, gerombolan itu sudah me-
ngelilingi Sepasang Pendekar dari Selatan.
“Hi hi hi..., rupanya kita bertemu lagi!” cetus Bong
Mini. Ia tertawa melihat ketiga orang yang pernah dika-
lahkannya itu.
“O, jadi perempuan ini yang mengalahkanmu dan
membunuh si Bodong?” tanya Aloy kepada Achiang,
setengah mengejek.
Achiang mendengus. Ia merasa malu.
“Ya. Mereka telah dikalahkan oleh putriku. Dan kau
sendiri telah kehilangan satu tanganmu oleh sabetan
pedangku,” Bongkap menjawab dengan nada setengah
mengejek.
Kini Aloy yang ganti mendengus. Wajahnya berubah
geram saat memandang Bongkap.
“Kemarin lalu kau boleh menang. Tapi sekarang,
kau tidak akan kubiarkan hidup!” bentak Aloy geram.
Bongkap tertawa terbahak-bahak begitu mendengar
ucapan Aloy.
“Jangan bermulut besar! Nanti malah kepala bo-
takmu yang terbelah dua!” ejek Bongkap, membuat
Aloy yang berkepala botak itu semakin geram.
“Bangsat! Jangan kau pikir karena tanganku bun-
tung lalu tak bisa menghadapimu, heh!” dengus Aloy
dengan muka merah menyala. Bersamaan itu pula
tangan kirinya menarik pedang yang terselip di pung-
gungnya.
Sreset!
Bongkap tertawa tergelak-gelak melihat musuhnya
yang berkepala botak mencabut pedang.
“Sebaiknya kau urungkan niatmu itu untuk mem-
balas dendam. Aku tidak sampai hati membelah kepa-
lamu yang licin itu!”
Lagi-lagi Bongkap mengejek, membuat Aloy naik pi-
tam.
“Seraaang!”
Aloy memberi komando kepada teman-temannya.
Maka secepat itu pula orang-orang dari Partai Persa-
tuan Ular Hitam segera menyerang Sepasang Pendekar
dari Selatan dengan cepatnya.
“Hiaaat!”
Orang-orang itu menyerang Bongkap dan Bong Mini
dengan jurus-jurus kungfunya. Mereka melompat se-
rempak sambil mengarahkan tendangannya ke arah
pasangan bapak dan anak itu.
Sepasang Pendekar dari Selatan yang sejak tadi su-
dah siap menunggu serangan mereka, dengan mudah
mengelakkan serangan itu. Tubuh keduanya melompat
dan berputar-putar di atas. Kemudian turun kembali
dan berdiri tegak di atas tanah dengan ringannya.
“Hiaaat!”
Bong Mini menyerang lawan dengan jurus-jurus
kungfunya yang hampir sempurna. Dia melompat sam-
bil menendangkan kakinya ke arah lawan. Tapi dengan
gesit pula lawannya mengelak sambil mengadakan se-
rangan yang disertai pukulan-pukulan tenaga dalam.
“Hiaaat! Huh!”
Tubuh Bong Mini berguling-guling di atas tanah un-
tuk menghindari pukulan-pukulan yang beruntun.
Celaka! Aku harus benar-benar waspada mengha-
dapi mereka, bisik hatinya seraya memasang jurus-
jurus kungfunya. Namun, belum sempat ia menarik
napas, tiba-tiba serangan dari berbagai penjuru telah
datang menghujaninya.
Bong Mini kembali melompat ringan. Lalu turun
dengan membuat gerakan salto. Begitu berdiri, tangan
kanannya telah menggenggam sebilah pedang. Ia me-
rasa kewalahan menghadapi musuh yang begitu ba-
nyak.
Sementara itu, Bongkap masih tegar menghadapi
lawannya yang berjumlah sepuluh orang. Lewat jurus-
jurus kungfu ‘Tanpa Bayangan’, ia berhasil menghada-
pi lawannya dengan baik.
“Hiaaat!”
Trak!
Bongkap melompat dengan gerakan berputar seperti
gangsing. Lalu kedua kakinya diadukan dengan dua
kepala lawannya dengan keras. Sehingga kedua kepala
lawannya itu retak, diiringi darah segar yang mengalir
serta jeritan kematian yang menggetarkan hati. Se-
hingga kedua orang itu ambruk dengan kepala yang
mengerikan.
Itulah salah satu jurus kungfu ‘Tanpa Bayangan’.
Gerakannya yang begitu cepat tanpa terlihat lawan.
Setiap gerakan pasti merenggut nyawa lawan.
Melihat kedua temannya mati mengenaskan, bebe-
rapa orang di antara mereka menjadi gentar. Pikir me-
reka, lebih baik mati di ujung pedang daripada mati
menderita dengan kepala terbelah dua seperti itu.
Sedangkan di pihak lain, Bong Mini pun mati-
matian membela diri dengan mengeluarkan jurus-
jurus kungfu dan pedangnya. Jurus ‘Pedang Samber
Nyawa’ yang ia keluarkan pada pertempuran dahsyat
itu sedikit membantunya untuk dapat bernapas dan
bergerak bebas.
“Hiaaat!”
Bret!
Bong Mini mengeluarkan jurus ‘Gangsing’. Badan-
nya diputar di udara. Kemudian dengan gerakan me-
nendang, kedua kakinya turun di atas kepala lawan
seraya mengayunkan pedangnya dengan cepat. Aki-
batnya, salah seorang lawannya terkena sasaran pe-
dang pada bagian samping lehernya.
Sret!
“Aaakh!”
Seketika itu juga lawan yang terkena sabetan pe-
dang Bong Mini tergolek tanpa nyawa.
Pertempuran berlangsung semakin gesit. Tiga orang
dari Partai Persatuan Ular Hitam telah terguling ber-
simbah darah. Sehingga para pengeroyok berkurang
menjadi enam belas orang. Namun demikian tetap
membuat Bong Mini kewalahan. Karena serangan-
serangan dari lawannya semakin gencar dan beringas.
“Hiaaat!”
Tiba-tiba tubuh Bong Mini melenting tinggi dan tu-
run tepat di dekat Aloy.
Bret! Bret!
Sabetan pedang Bong Mini merobek perut Aloy dua
kali. Membuat Aloy yang sejak tadi hanya tertawa ter-
bahak-bahak menyaksikan Bongkap tersudut oleh te-
man-temannya berdiri limbung. Hanya sebentar ia ber-
tahan berdiri, lalu ambruk dengan perut menganga le-
bar sehingga isi perutnya terlihat jelas.
Melihat terkaparnya Aloy di tangan Bong Mini, se-
mua penyerangnya ternganga. Mereka tidak menyang-
ka kalau lompatan Bong Mini yang tinggi itu justru un-
tuk menyambar Aloy yang sedang lengah.
“Bangsat!”
Geram mereka dengan mata merah menyala mena-
tap Bong Mini.
Sret! Sret!
Mereka mencabut pedang dan golok dari sarungnya.
Lalu serentak menyerang Sepasang Pendekar dari Se-
latan itu dengan sabetan-sabetan pedang dan golok-
nya.
Waktu terus merayap.
Matahari di ufuk barat telah terlena di peradu-
annya. Berganti dengan kabut pekat yang perlahan-
lahan turun menyelimuti bumi.
Sementara itu, pertempuran terus berlangsung. Se-
bagian pasukan Partai Persatuan Ular Hitam telah ba-
nyak yang tergeletak bermandi darah. Ketinggian ilmu
silat orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam memang
sudah terbaca oleh Bongkap. Mereka masih berada
jauh di bawah kemampuannya. Malah satu tingkat di
bawah kemampuan putrinya, Bong Mini. Namun de-
mikian bukan berarti Sepasang Pendekar dari Selatan
ini dapat dengan mudah menjatuhkan para lawan. Se-
bab yang mereka hadapi bukan dua atau tiga orang.
Melihat keadaan suasana semakin gelap, hanya di-
sinari oleh rembulan yang remang-remang, Bong Mini
ingin mengakhiri pertempuran secepatnya. Namun la-
wannya masih begitu banyak, menyerang dengan ga-
nasnya. Sehingga tidak mungkin baginya untuk meng-
akhiri pertempuran secepatnya yang diharapkan.
Bong Mini segera membuka jurus barunya yang
bernama jurus ‘Loncat Kodok’. Jurus ini digunakan
untuk membingungkan lawan dengan gerakan melom-
pat-lompat sambil mencari kelengahan lawan.
Trangngng!
Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar
api. Dan pijaran api itu terlihat terang karena berada
dalam kegelapan.
Wettt!
Bong Mini menyabetkan pedangnya ke arah lawan.
Tapi kali ini gagal, karena dengan cermat lawan yang
berada di depannya melompat sambil melancarkan se-
rangan balasan ke arah Bong Mini. Disusul dengan se-
rangan lawan yang ada di sekitarnya.
Wet! Wet!
Dua bilah pedang lawan menyambar kakinya yang
sedang melompat-lompat bagai kodok. Tapi untung
Bong Mini melihat serangan itu dengan cermat. Lalu
tubuhnya bersalto dan berdiri tepat di dekat papanya
yang sibuk melancarkan serangan.
Kedua punggung kedua bapak dan anak itu saling
bersentuhan. Mereka sama-sama menangkis dan me-
lancarkan serangan.
Trangngng!
Bong Mini berhasil menangkis serangan. Untuk se-
rangan yang kedua, mau tidak mau ia bersalto, begitu
pula dengan Bongkap. Karena serangan itu sangat ce-
pat dan penuh tenaga.
Trangngng! Trangngng! Trangngng!
Tubuh Bong Mini terguling ke tanah dengan keras
sekali. Benturan golok lawan dengan pedangnya me-
nyebabkan ia semakin terdesak ke belakang. Sedang-
kan tenaganya sudah hampir terkuras habis.
Lima orang lawannya semakin gencar menyerang-
nya. Mereka mengurung Bong Mini dari setiap sudut.
Membuat gerakan Bong Mini semakin menyempit. Se-
dang dari depan, sebilah pedang lawan siap menghu-
jam ke arahnya.
Dalam keadaan tidak berdaya, tiba-tiba sebuah sa-
betan pedang serta pukulan mendarat di tubuh para
pengeroyok Bong Mini, sehingga dua di antara penge-
royok itu terkapar dengan kepala terpisah dari badan-
nya. Dan pada kesempatan yang baik itu, tubuh Bong
Mini segera melesat ke atas lalu hinggap di atas se-
buah batang pohon. Di sana ia istirahat sejenak untuk
mengembalikan tenaganya sambil menyaksikan pa-
panya yang melawan delapan orang dari Partai Persa-
tuan Ular Hitam.
Bongkap sudah kehilangan kesabaran. Ia ingin se-
gera mengakhiri pertempuran itu dengan mengerahkan
kepandaian ilmu kungfunya yang paling tinggi. Se-
hingga dalam waktu singkat kedelapan lawannya jatuh
tersungkur bermandi darah, lalu tergeletak tak sadar-
kan diri.
Bongkap berdiri tegak melihat tubuh para lawan
yang sudah tergeletak dalam kegelapan. Ia menarik
napas lega sambil memandang ke atas pohon. Bertepa-
tan dengan itu, tubuh Bong Mini sudah melesat turun
dengan ringan. Kemudian disambut oleh kedua tangan
Bongkap yang kekar.
“Hep!”
Dengan tepat Bongkap menangkap tubuh putrinya
yang mungil itu dan menggendongnya. Dan dalam ge-
lap itu keduanya tersenyum dan berpelukan dengan
gembira.
“Ayo, kita pulang!” ajak Bongkap seraya menurun-
kan tubuh putrinya. Lalu keduanya naik ke punggung
kuda. Dua bayangan mereka melesat cepat menembus
kegelapan.
***
Malam bertambah larut. Kegelapan semakin pekat,
tanpa cahaya bulan dan bintang sedikit pun. Sedang-
kan kabut sudah sepenuhnya menutupi pepohonan
hingga tak jelas bentuknya.
Di pertengahan jalan, ketika hampir sampai di ru-
mah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat orang
pengawalnya. Ashiong, Achen, dan Sang Piao dan A
Ing. Bongkap heran melihat keempat pengawal keper-
cayaannya seperti dikejar-kejar hantu.
“Ada apa dengan kalian?” tanya Bongkap dengan
wajah cemas.
“Ada penyerangan mendadak!” jawab Ashiong de-
ngan napas yang tak beraturan.
“Maksudmu?”
“Segerombolan orang bertopeng telah menyerang
tempat tinggal Tuan!”
“Siapa lagi orang yang mencari masalah ini!” suara
Bongkap terdengar begitu geram. Baru saja ia menye-
lesaikan satu persoalan, kini datang lagi persoalan
lain, pikirnya.
“Hanya tujuh pengawal yang bisa menyelamatkan
diri. Kami berempat dan tiga orang lagi pergi entah ke
mana dengan menyelamatkan tiga dayang,” lanjut A-
shiong memaparkan.
“Bangsat! Kenapa tidak kalian lawan saja?!”
“Kami sudah berusaha mengadakan perlawanan,
Tuanku. Tapi jumlah mereka sangat banyak. Daripada
kami dan para dayang mati konyol, lebih baik meng-
hindar agar dapat mengabarkan hal ini kepada Tua-
nku,” jawab Ashiong memberi alasan.
“Kita harus buat perhitungan!” kini Bong Mini yang
terlihat geram. Karena saat itu malam, wajahnya yang
berubah merah tidak terlihat.
Setelah Bongkap dan Bong Mini mendapat ketera-
ngan itu, mereka pun segera memacu kuda menuju
rumah mereka.
***
Bongkap dan Bong Mini atau Sepasang Pendekar
dari Selatan berdiri menatap para pengawalnya yang
terkapar mati bersimbah darah. Wajah keduanya tam-
pak gusar menahan marah.
“Mereka terbunuh saat menghalangi orang-orang
bertopeng yang akan mencari harta Tuanku!” Ashiong
menjelaskan.
“Ada yang berhasil mereka bawa?” tanya Bongkap
dengan pandangan mata yang masih tertuju ke arah
mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Tidak ada, Tuanku.”
Hening.
Bongkap dan Bong Mini melihat-lihat bekas sera-
ngan yang dilancarkan oleh kawanan orang bertopeng.
Seluruh isi rumah habis diobrak-abrik oleh kawanan
orang bertopeng itu. Membuat hati mereka semakin
terbakar untuk melakukan balas dendam.
Setelah semua ruangan diteliti, Bongkap kembali
keluar dan duduk di bangku kebesarannya.
“Kita benar-benar harus buat perhitungan,” geram
Bongkap.
“Benar, Tuanku. Tapi dengan pasukan kita yang se-
perti ini, apa kita mampu mengalahkan mereka?”
tanya Ashiong.
“Kamu gentar?” tanya Bongkap dengan mata mena-
tap tajam.
“Sama sekali tidak. Selama darahku masih berwar-
na merah, selama itu pula kesetiaanku terhadap
Bongkap!” sahut Ashiong.
Bongkap mengangguk-angguk kagum.
“Lalu kenapa kamu ragu?”
“Saya hanya tidak ingin kita mengorbankan orang-
orang lemah yang tidak berdosa!”
“Jadi?”
“Tuanku harus benar-benar memilih orang-orang
tangguh berkepandaian kungfu yang bisa diandalkan!”
Bongkap kembali mengangguk-angguk. Dia mem-
benarkan cara berpikir Ashiong. Namun sebelum ia
menimpali ucapan Ashiong, tiba-tiba salah seorang
pengawal dari tiga orang yang menyelamatkan diri ber-
sama tiga orang dayangnya datang, ia bersimpuh di
hadapan Bongkap dengan napas terengah-engah.
Bongkap dan Bong Mini meloncat kaget dari kursi-
nya seraya memandang kedatangan pengawal itu.
“Apa yang terjadi? Dan mana kedua temanmu yang
membawa ketiga dayang itu?” tanya Bongkap dengan
napas yang memburu saking marahnya.
“Maafkan saya, Tuanku. Sekelompok orang yang tak
dikenal telah menyerang kami. Dua pengawal mati se-
dangkan para dayang Tuanku telah dibawa kabur oleh
mereka,” lapor pengawal itu.
Bongkap mendengus keras. Malam itu ia benar-
benar menghadapi persoalan-persoalan berat. Belum
selesai persoalannya dengan kawanan orang bertopeng
itu, sudah datang lagi persoalan baru. Dia benar-benar
pusing dan geram. Urat-urat di sekitar keningnya keli-
hatan menonjol pertanda bahwa pikirannya tengah di-
landa ketegangan yang memuncak.
“Ini pasti pekerjaan mereka!” dengus Bong Mini
dengan berdiri garang sebagaimana seorang pendekar.
“Siapa mereka?” Bongkap terperanjat mendengar
ucapan putrinya.
“Orang-orang yang baru saja kita kalahkan tadi,”
jawab Bong Mini.
Bongkap lagi-lagi mendengus. Dia benar-benar ma-
rah terhadap orang-orang liar yang selalu memburu
perempuan itu.
“Kita harus cepat-cepat bertindak, Papa!” usul Bong
Mini, gusar.
“Itu sudah menjadi pikiranku, Putriku!” sahut
Bongkap, sementara matanya menatap kosong ke de-
pan. “Tapi kita harus punya perhitungan yang ma-
tang!”
“Maksud Papa?”
“Kita bukan hanya akan berhadapan dengan para
penculik itu, tetapi juga akan berhadapan dengan ke-
tua mereka yang tentunya tidak bisa diremehkan!” sa-
hut papanya.
Bong Mini terdiam mengerti
“Ashiong!”
“Saya, Tuanku!”
“Persiapkan dirimu. Latih kembali jurus-jurusmu,
aku akan melihatnya!” kata Bongkap kepada Ashiong
dan keempat pengawal lainnya.
“Baik, Tuanku!”
“Kau juga, Putriku!” Bongkap menoleh pada pu-
trinya.
“Apa yang Papa katakan akan saya turuti,” sahut
Bong Mini, sigap.
Setelah mendapat perintah itu, Bong Mini dan para
pengawal lainnya yang hanya tinggal lima orang segera
menuju tempat mereka berlatih.
“Aku harus segera menyingkirkan segala macam ko-
toran yang ada di tanah tempatku berpijak ini!” Bong-
kap bergumam seperti berjanji pada dirinya sendiri.
Lalu ia pun segera menuju tempat di mana putrinya
dan para pengawal berlatih jurus-jurus kungfu.
***
88
Dengan langkah-langkah gagah, Bong Mini bersama
para pengawal kepercayaan papanya memasuki rua-
ngan latihan silat. Disusul kemudian dengan kehadi-
ran Bongkap.
“Ashiong!” ujar Bongkap seraya mendekati mereka
yang sudah berkumpul, siap melaksanakan latihan.
“Cobalah kamu uji kemampuan putriku!” perintah
Bongkap. Hal itu karena Ashiong mempunyai ilmu ju-
rus kungfu yang setingkat lebih tinggi dari pengawal
lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan putrinya.
“Siap, Tuanku!” ucap Ashiong membungkuk hor-
mat.
“Dan kau putriku. Berlatihlah sungguh-sungguh.
Anggaplah latihan ini sebagai pertempuran dua orang
lawan yang hendak saling menjatuhkan!” kata Bong-
kap kepada putrinya.
“Ya, Papa!” sahut Bong Mini patuh.
“Nah, mulailah!” ucap papanya memberi aba-aba.
Lalu ia bersama para pengawal lainnya mengambil
tempat duduk di sudut ruang latihan untuk menonton.
Sedangkan Ashiong dan Bong Mini meletakkan pe-
dangnya masing-masing. Kemudian kembali ke tengah
ruang latihan silat dengan kuda-kuda yang saling ber-
hadapan seperti dua naga yang benar-benar hendak
bertarung. Segala macam perasaan tidak enak karena
saling kenal segera mereka hilangkan. Begitu pula
dengan Ashiong yang tidak lagi memandang Bong Mini
sebagai putri raja, melainkan dianggapnya sebagai
musuh besar agar latihan keduanya benar-benar se-
perti dalam pertempuran sungguhan.
Karena keduanya sudah saling menganggap musuh,
maka keduanya pun lebih dulu mengamati lawannya
dengan sinar mata yang tajam dan penuh penilaian.
Ashiong melihat betapa Bong Mini tersenyum kecil ke
arahnya. Sedangkan sikap Bong Mini sendiri seperti
memandang rendah ke arahnya. Ditambah dengan wa-
jahnya yang berseri, seakan-akan hatinya tengah ber-
gembira. Di hati Ashiong timbul rasa suka. Ia membe-
rikan penilaian bahwa gadis yang berusia enam belas
tahun di hadapannya itu mempunyai watak periang.
Sehingga pandangannya yang semula menganggap
Bong Mini sebagai lawan berubah menjadi kasihan.
Akhirnya dia berpikir untuk menjaga tubuh putri ra-
janya agar tidak sampai cidera.
“Bong Mini segeralah menyerangku!” tantang A-
shiong. Dia ingin segera memulai latihan yang serius
itu. Karena selama ini ia tidak punya kesempatan un-
tuk berlatih. Terkecuali bertempur dan bertempur lagi.
“Baiklah. Tapi alangkah baiknya engkau dulu yang
melakukan serangan. Bukankah engkau sebagai peng-
ujiku?” kata Bong Mini dengan bibir tersenyum lebar.
“Baiklah kalau itu kehendakmu. Bersiaplah!” kata
Ashiong sambil menerjang dengan memainkan jurus
‘Bangau Mematuk Mangsa’. Jari-jari kedua tangannya
dipertemukan lurus seperti paruh burung bangau me-
matuk pelan, namun mengandung tenaga dalam yang
amat dahsyat
Wuttt!
Bong Mini agak kaget juga ketika merasakan sam-
baran angin pukulan yang amat kuat itu. Tetapi dia
sendiri maklum karena pemuda yang ada di hadapan-
nya itu bukan orang yang sembarangan. Hampir se-
mua jurus kungfu telah dimilikinya. Dan jurus ‘Ba-
ngau Mematuk Mangsa’ baru kali ini ia lihat. Terma-
suk Bongkap dan para pengawal lainnya.
Memang benar kalau selama ini Ashiong belum per-
nah mengeluarkan jurus ‘Bangau Mematuk Mangsa’.
Selama ini jurus yang sering ia keluarkan hanya jurus-
jurus yang diberikan Bongkap kepadanya. Termasuk
saat menghadapi lawan.
Bong Mini cepat mengelak melihat Ashiong melan-
carkan serangan dengan kedua tangannya yang me-
lengkung seperti leher bangau. Tetapi dengan cepat
pula tangan Ashiong meluncur ke pundak dan leher-
nya. Kali ini serangannya menjadi lebih cepat dan ber-
bahaya dari sebelumnya. Namun Bong Mini sendiri
yang mempunyai tubuh mungil dengan tangkas meng-
imbangi kecepatan gerak jurus-jurus Ashiong. Dengan
kecepatannya itu, kaki Bong Mini berhasil mengirim-
kan tendangan ke perut Ashiong.
Des!
Ashiong terpaksa menarik kembali tangannya keti-
ka perutnya terhajar tendangan Bong Mini. Lalu ia
mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menya-
bet ke kaki Bong Mini yang bergerak menendang kem-
bali. Tetapi dengan cepat Bong Mini menyelamatkan
kakinya dengan cara memutar tubuh sehingga luput
dari sabetan tangan Ashiong. Namun belum sempat ia
menarik napas, Ashiong sudah menerjang kembali. Se-
rangannya kali ini merupakan satu jurus cengkeraman
tangan ke arah ubun-ubun Bong Mini. Lalu disusul
dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Bong Mini.
“Ihhh...!” Bong Mini berseru keras dan segera me-
narik tubuh ke belakang dengan posisi miring. Se-
dangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk
menangkis tonjokan tangan lawan yang mengarah ke
dadanya. Dibarengi dengan tusukan dua jari tangan
kirinya yang balas menyerang ke arah mata lawan.
Diam-diam Ashiong mengagumi gerakan balasan
Bong Mini yang indah dan berbahaya itu. Maka dia
pun segera menangkis dengan memutar lengannya.
Duk! Desss!
Dua kali sepasang tangan itu bertemu, mengaki-
batkan tubuh keduanya terdorong ke belakang.
Plok! Plok! Plok!
Bongkap yang menyaksikan latihan seru itu segera
memberi isyarat untuk berhenti dengan menepuk ta-
ngan liga kali.
Bong Mini dan Ashiong segera bangun dengan nafas
yang terengah-engah.
“Cukup. Sudah lebih dari cukup. Kalian telah mem-
perlihatkan kepandaian yang mengagumkan!” puji
Bongkap seraya menghampiri Ashiong dan putrinya.
“Sudah lama aku tidak melihat kalian berlatih. Dan
sekali melihat, kalian telah membuatku terkagum-
kagum. Gerakan jurus-jurus kalian nampak begitu ce-
pat dan hampir mencapai kesempurnaan.”
Bong Mini dan Ashiong saling berpandangan dan
tersenyum senang karena mendapat pujian dari orang
yang selama ini disegani.
“Mari kita kembali ke tempat!” lanjut Bongkap,
mengajak para pengawal setianya. Mereka semua me-
langkah meninggalkan ruang latihan.
Tidak lama kemudian mereka telah berada di ruang
tengah yaitu sebuah tempat pertemuan khusus bila
mereka mengadakan pembicaraan penting. Di sana
mereka duduk melingkar dengan menghadapi meja hi-
dangan yang cukup luas.
“Ashiong, Sang Piao dan kalian semua. Malam ini
kita akan membicarakan masalah khusus tentang la-
wan-lawan yang akan kita hadapi!” kata Bongkap
membuka percakapan.
Empat orang pengawal setianya tampak mengang-
guk-angguk. Sedangkan mata mereka terus tertuju ke-
pada Bongkap dengan penuh perhatian.
“Mulai besok kita harus sudah mencari orang-orang
tangguh yang mau berkorban untuk kesejahteraan ra-
kyat. Karena biar bagaimanapun keselamatan dan ke-
tenteraman rakyat ada di tangan kita. Apalagi kehadi-
ran kita ke sini sebagai orang asing yang telah diper-
caya oleh mereka. Dan kepercayaan itu tentu saja ha-
rus dipertanggungjawabkan sebagai balas budi!” lanjut
Bongkap.
Keempat pengawal dan putrinya kembali mengang-
guk-angguk. Segala hal yang menjadi pertimbangan
dan pemikiran Bongkap sangat dihargai oleh empat
orang pengawal dan putrinya. Oleh karena itu tidak
terlalu banyak komentar. Melainkan tetap duduk sam
bil mendengarkan setiap ucapan Bongkap dengan
baik.
Setelah beberapa lama Bongkap memberikan gaga-
san dan pengarahan kepada empat orang pengawal-
nya, mereka pun segera meninggalkan ruang perte-
muan dengan membawa satu kesepakatan; berjuang
demi rakyat! Walaupun darah dan nyawa yang menjadi
taruhannya.
***
Dari hari ke hari, negeri Selat Malaka semakin dice-
kam oleh kecemasan. Para penduduk yang tadinya hi-
dup tenteram kini diburu oleh rasa takut terus-
menerus. Apalagi jika waktu malam tiba, tak satu pun
di antara mereka yang berani keluar rumah.
Senja itu ketika matahari rebah sepenggalah di ufuk
barat, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian
silat ketat warna merah tampak berjalan dengan te-
nang. Rambutnya yang dibiarkan bebas lepas tampak
berayun-ayun, ditiup oleh semilir angin senja.
Gadis mungil dan cantik itu tidak lain adalah Putri
Bong Mini. Sengaja hari itu ia tidak menggunakan ku-
danya. Dia ingin lebih menyatu lagi dengan kehidupan
alam negeri Selat Malaka, sebagaimana para penduduk
aslinya.
Sesekali ia pun singgah pada tempat-tempat yang
dicurigai. Siapa tahu dia bisa berpapasan dengan
orang-orang Topeng Hitam. Atau ia mampir ke warung-
warung dengan harapan bisa berjumpa dengan orang
yang dicarinya, para pendekar yang mau diajak berga-
bung untuk melawan para pengacau negeri.
Sedang asyiknya ia berjalan, tiba-tiba terdengar su-
ara orang yang tertawa terkekeh.
“He he he..., sungguh luar biasa bila ada seorang
gadis cantik berjalan sendirian di tempat sepi ini!”
Bong Mini tersentak kaget sambil memutar badan-
nya untuk memandang. Di sana, dari jarak sepuluh
meter, Bong Mini melihat tiga lelaki berdiri menyeri-
ngai ke arahnya. Umur ketiga lelaki itu sekitar empat
puluh sampai lima puluh tahun. Ketiganya mengena-
kan pakaian pangsi. Yang seorang bertubuh tinggi be-
sar dengan otot-otot terlihat kokoh kuat dengan sepa-
sang mata liar. Seorang lagi berperawakan sedang
dengan jenggot panjang dan kusam di dagunya. Se-
dangkan yang ketiganya bertubuh gendut pendek se-
perti bola. Dan semua wajah mereka kelihatan hitam
pekat seperti suku-suku primitif yang hidup terbela-
kang.
“Siapa kalian? Dan mengapa membuntuti perja-
lananku?” tanya Bong Mini tenang namun penuh te-
naga. Sehingga kalimat yang dilontarkannya itu ter-
dengar tegas berwibawa.
Ketiga lelaki tadi tertawa terkekeh mendengar per-
tanyaan Bong Mini.
“Apakah Nona ingin berkenalan dengan kami? De-
ngan senang hati kami menerimanya!” seloroh si muka
hitam yang berjenggot kambing tak terurus.
“Puih! Siapa yang sudi berkenalan dengan kalian.
Jangankan perempuan, lelaki pun akan berpikir dua
kali untuk berkenalan denganmu!” ketus Bong Mini
dengan sepasang matanya mendelik indah.
Ketiga lelaki di depannya saling berpandangan. Wa-
jah mereka terlihat geram.
“Kurang ajar sekali perempuan ini!” gumam seorang
lelaki yang bertubuh tinggi dan berotot.
“Tenang. Gadis muda seperti dia memang lebih ba-
nyak emosinya!” temannya yang berjenggot kambing
menenangkan.
Setelah ketiganya kembali bersikap tenang, orang
pendek yang berperut buncit melangkah maju men-
dekati Bong Mini. Sesaat ia tidak mengeluarkan suara
sepatah kata pun. Hanya sinar matanya saja yang
mencorong mengamati wajah gadis itu.
“Nona, apakah tidak tahu dengan siapa Nona ber-
hadapan?” kata lelaki berperut gendut itu. Suaranya
begitu kecil seperti suara tikus yang tergencet beban.
Sehingga kedengarannya begitu lucu di telinga Bong
Mini.
“Siapa pun kalian aku tidak mau peduli. Kalian te-
lah berlaku lancang karena membuntuti dan mengha-
langi perjalananku!” ketus Bong Mini.
Lelaki berperut buncit itu tersenyum kecil. Ia masih
mencoba bersikap sabar.
“Nona berbicara sangat lancang!” ucap lelaki berpe-
rut gendut itu.
“Hm.... Orang yang kuhadapi pun bukan orang-
orang sopan. Jadi untuk apa berbaik-baik dengan ka-
lian!” balas Bong Mini dengan bibir mencibir.
Si pendek gemuk itu menahan napas geram. Tata-
pan matanya semakin tajam mencorong ke arah gadis
yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.
“Kuperingatkan sekali lagi, Nona. Mintalah maaf ke-
pada kami agar nyawa Nona bisa selamat!” geram lela-
ki gendut itu. Tapi kegeraman itu membuat Bong Mini
tertawa dalam hati. Sebab suaranya yang kecil itu di-
paksakan untuk berteriak keras sehingga nafasnya
tersengal-sengal.
“Heh, Babi Gendut. Jangan bicara seenaknya. Aku
juga bisa membeset perutmu itu agar beranak!” ejek
Bong Mini dengan sikap tubuh siap melakukan perla-
wanan.
Wajah hitam pekat lawannya itu bertambah kelam
saja ketika mendengar ucapan Bong Mini yang berna-
da mengejek. Sepasang matanya yang merah itu sema-
kin menyala seperti hendak mengeluarkan jilatan api.
“Bocah perempuan. Berani engkau menghinaku!”
hardik lelaki berperut gendut itu dengan wajah panas
seperti terbakar akibat kebencian yang berbau darah
dan maut. Setelah ia berkata, tubuh lelaki gendut itu
menerjang ke arah lawan dengan dahsyat. Kedua ta-
ngannya membentuk cakar untuk menyerang, seperti
hendak mencengkeram seekor kelinci. Sedangkan dari
kerongkongannya terdengar suara menggeram seperti
binatang buas yang bertemu mangsanya. Lalu dari ja-
ri-jari tangan yang membentuk cakar itu, menyembur
hawa yang amat kuat dibarengi oleh uap putih dan
bau amis darah.
Melihat serangan aneh yang baru dilihatnya itu,
Bong Mini segera menggerakkan kakinya dengan mu-
dah.
Lelaki berperut gendut itu terbelalak kaget. Baru
kali ini ia bertemu dengan seorang gadis yang mempu-
nyai kepandaian ilmu silat. Sehingga ia berpikir bahwa
untuk menghadapi gadis yang satu ini tidak bisa den-
gan main-main. Salah-salah nanti dia sendiri yang di-
permainkan lawannya.
Setelah serangan pertamanya gagal, lelaki berperut
gendut itu kembali menyerang lawannya dengan ceng-
keraman. Akan tetapi cengkeraman itu bertemu de-
ngan lengan Bong Mini. Dan ketika kedua lengan yang
mengandung tenaga itu bertumbukan, tubuh si gendut
langsung terjengkang ke belakang. Lalu menggelinding
di tanah seperti bola yang ditendang. Tetapi sebentar
kemudian tubuh bulat itu sudah kembali bergerak
bangun dengan muka merah. Disusul kemudian de-
ngan gerak tangannya yang mencabut sebilah pedang
pendek berwarna kecoklat-coklatan. Sebagai tanda
bahwa pedang itu sudah sering dilumuri racun.
Dua orang bermuka hitam lainnya segera mencabut
goloknya masing-masing ketika melihat sahabatnya
sudah terjengkal dalam beberapa gebrakan. Kemudian
mereka melompat ke tengah pertempuran.
Walaupun ia sudah dikepung oleh tiga orang la-
wannya, tetapi gadis berpakaian merah ini tetap berdiri
tegak sambil bertolak pinggang. Dia nampak tenang-
tenang saja. Tak ada sedikit pun rasa gentar yang me-
nyelimuti hati dan pikirannya. Malah bibirnya terse-
nyum-senyum seperti seorang guru yang melihat mu-
rid kecilnya yang nakal.
Sikap Bong Mini yang melecehkan itu memang sa-
ngat beralasan. Sebab ia telah membaca kemampuan
lawannya masing-masing. Ketiga lawannya itu mem-
punyai kepandaian yang masih jauh di bawahnya.
Maklumlah, ia sendiri telah mendapat gemblengan dari
papanya sejak berumur empat tahun. Dan kehadiran-
nya di tengah dunia persilatan pun sudah cukup
punya pengalaman.
Ketika melihat Bong Mini masih berdiri bertolak
pinggang, lelaki berperut gendut itu segera menyerang
dengan pedang pendeknya. Begitu pula dengan dua
orang teman lainnya yang menerjang dengan golok me-
reka masing-masing. Tapi belum sempat senjata me-
nyentuh sasaran, tubuh Bong Mini segera mencelat ke
atas dengan cepat. Dan dengan gerakan yang sukar di-
ikuti pandangan ketiga lawannya, Bong Mini telah ber-
diri kembali di belakang mereka sambil tertawa kecil.
Geli melihat ketiga lawannya yang celingukan seperti
kambing congek.
Ketika melihat lawan telah berdiri di belakang me-
reka sambil tersenyum, lelaki gendut itu kembali me-
nyerang dengan bacokan pedang. Diikuti oleh dua
orang temannya yang juga turut menyerang dengan go-
lok masing-masing.
Menghadapi keroyokan tiga lawannya yang bersen-
jata itu, Bong Mini kembali menyelamatkan diri de-
ngan membuat gerakan-gerakan cepat yang dinama-
kan jurus ‘Tanpa Bayangan’. Dia melompat sambil
berputar bagai gangsing. Lalu dengan cepat pula jari
telunjuknya menotok pundak si gendut yang pendek
itu. Begitu cepat gerakannya sehingga sangat sulit un-
tuk dihindari lawannya. Maka dalam sekejap lelaki
pendek dan gendut itu terjatuh lemas tanpa tenaga.
Sedangkan pedangnya terlepas dari tangan.
Tanpa memberikan kesempatan kepada kedua la-
wan yang masih berdiri dengan golok di tangan, Bong
Mini kembali menyerang bertubi-tubi. Sehingga ter-
dengarlah teriakan kesakitan ketika kedua tubuh la-
wannya roboh. Sedangkan golok mereka terlepas dari
genggaman tangan masing-masing. Mereka terjatuh
tepat di dekat temannya yang bertubuh gendut.
“Belajarlah lebih baik lagi kalau kalian ingin menja-
di lelaki sejati!” ucap Bong Mini seraya tersenyum me-
lecehkan.
Kedua lelaki yang tadi terjatuh itu tidak segera me-
nyahut. Mereka bergegas bangkit sambil menggotong
tubuh lelaki gendut yang masih lemas. Lalu segera
membawanya keluar dari tempat pertempuran. Diikuti
oleh pandangan Bong Mini yang tersenyum lega.
Setelah punggung lawannya tak terjangkau oleh
pandangan matanya lagi, Bong Mini kembali melan-
jutkan perjalanan.
Di langit matahari sudah semakin condong ke ba-
rat. Sinarnya yang tadi terang-benderang, kini berubah
redup. Cahayanya pun sudah tidak begitu menyengat.
Membuat daun-daun yang semula menadahi hujaman
sinar matahari, kini perlahan-lahan merunduk.
Dengan wajah tetap berseri, Bong Mini terus berja-
lan sampai akhirnya ia tiba di sebuah kota kecil yang
bernama Kota Girik. Kemudian ia masuk ke sebuah
rumah makan untuk mengisi perutnya yang sudah
melilit.
Ketika sampai di dalam, ternyata ruangan rumah
makan itu sudah penuh sekali. Tapi untung masih ada
sebuah meja kosong di sudut belakang.
“Silakan, Nona!” seorang pelayan keturunan Cina
segera menghampiri Bong Mini dan mempersila-
kannya.
Bong Mini mengangguk sambil tersenyum ramah.
Lalu kakinya melangkah menuju sudut belakang. Dan
sebelum ia sempat menarik kursi makan, pelayan tadi
telah mendahuluinya. Kemudian dengan sikap sopan
pula pelayan keturunan Cina itu mempersilakan Bong
Mini duduk. Setelah Bong Mini duduk, ia segera
memesan beberapa macam lauk dan nasi putih. Ter-
masuk air teh tentunya.
Sambil menunggu pesanan datang, Bong Mini me-
nyebar pandangannya pada sekeliling ruangan, terma-
suk pada pengunjung yang memadati rumah makan
itu.
Hm..., tampaknya kebanyakan dari mereka adalah
orang berkebangsaan Cina sepertiku, gumam Bong
Mini ketika melihat pengunjung yang rata-rata berma-
ta sipit. Bahkan di antara mereka hampir semuanya
menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa asal negerinya.
Ternyata banyak juga orang-orang sebangsa de-
nganku yang merantau ke negeri timur ini, gumam
Bong Mini lagi. Dan bersamaan dengan itu seorang pe-
layan yang tadi menyapa Bong Mini telah datang de-
ngan membawa pesanannya. Kemudian makanan itu
pun diletakkan di atas meja.
Setelah pesanan tersedia semua, Bong Mini segera
menyantap hidangannya dengan penuh kenikmatan.
Hm..., pantas saja banyak orang yang makan di si-
ni, masakannya lezat, nilai hati Bong Mini sambil terus
melahap makanannya.
Tanpa disadari oleh Bong Mini, semua tingkah-
lakunya diperhatikan oleh sepasang mata dari sudut
lain di ruangan rumah makan itu. Sepasang mata itu
milik seorang lelaki muda yang umurnya kurang lebih
sekitar tiga puluh tahun. Dia seorang laki-laki yang
gagah perkasa. Tubuhnya sedang namun padat dan
tegak. Sehingga kelihatan kuat. Pakaiannya rapi dan
sederhana. Sedangkan wajahnya tampak begitu gagah.
Berkulit segar dan kemerahan. Sepasang matanya ber-
sinar tajam melukiskan kecerdikannya.
Bong Mini telah selesai makan. Ia langsung berdiri
dan melangkah menuju pemilik warung untuk mem-
bayar. Setelah itu kakinya melangkah keluar dengan
sikap tenang dan lega karena perutnya yang tadi ko-
song telah terisi.
Lelaki muda yang tadi memperhatikan Bong Mini di
rumah makan itu segera meneguk habis araknya. Lalu
ia segera meninggalkan rumah makan itu. Dan ketika
jaraknya sudah hampir dekat dengan Bong Mini, lelaki
itu mempercepat langkah seperti tergesa-gesa.
Bong Mini yang melangkah di depannya sempat
menoleh ke arah lelaki itu. Namun lelaki tadi seperti
tak menghiraukan pandangan Bong Mini. Ia terus me-
langkah cepat mendahului Bong Mini.
Bong Mini menghela napas lega sambil melanjutkan
langkahnya. Tanpa sedikit pun menaruh curiga terha-
dap lelaki yang berjalan mendahuluinya itu. Ia berpikir
bahwa lelaki tadi seorang penduduk biasa yang hanya
mempunyai kesibukan bekerja dan mengisi perut.
Setelah agak jauh berjalan, tiba-tiba Bong Mini me-
rasakan langkahnya tengah diikuti oleh beberapa
orang. Tapi ia tetap terus melangkah tanpa menengok
ke belakang agar tidak mencurigakan para penguntit-
nya. Namun demikian, sebagai wanita jantungnya ber-
debar juga. Dia baru menyadari bahwa sekarang ini
seorang gadis tidak bisa berjalan sendirian keluar ru-
mah. Karena negerinya telah dimasuki oleh orang-
orang jahat
Bong Mini sebenarnya ingin sekali mengetahui
orang-orang yang membayanginya itu. Untuk mene-
ngok, tentu saja tidak mungkin, sebab akan menim-
bulkan kecurigaan dan perkelahian. Namun tiba-tiba
Bong Mini mendapat akal. Ia dengan sengaja menja-
tuhkan saputangan yang sejak tadi digenggamnya.
Kemudian dengan gerakan seperti yang tidak disengaja
ia membungkuk dan berjongkok mengambil saputa-
ngan yang dijatuhkannya tadi. Pada kesempatan itulah
ia pergunakan untuk melirik ke belakang. Walaupun
hanya sekilas ia melirik, tapi matanya dapat menang-
kap wajah-wajah yang membayanginya. Mereka ber-
jumlah enam orang dengan pakaian pangsi hitam-
hitam. Sedangkan satu di antara keenam orang itu
memakai pakaian putih dengan baju berlengan pan-
jang dan rapi. Dialah lelaki yang memperhatikannya
sejak di dalam ruangan rumah makan.
Setelah dapat membaca dan menghitung orang-
orang yang membayanginya itu, Bong Mini segera me-
lanjutkan langkahnya kembali. Langkahnya begitu
lembut seakan-akan tidak mengetahui keenam orang
yang mengikutinya.
Bagaimanapun tenangnya ia berjalan, dadanya te-
tap juga berdebar-debar. Apalagi ketika ia merasakan
bahwa keenam lelaki itu kini sedang mengatur posisi
dengan menyebar ke seluruh penjuru. Dan apa yang
menjadi firasatnya itu benar. Karena dengan tiba-tiba
dua lelaki berpakaian pangsi hitam-hitam meloncat
dari arah kiri dan kanannya.
Bong Mini tersentak kaget sambil mundur dua lang-
kah dengan tubuh membalik. Sehingga empat orang
yang ada di belakang terlihat jelas. Mereka melangkah
mendekatinya dengan tenang. Wajah mereka tampak
angker dengan pedang di punggung masing-masing.
Keempat lelaki itu menghentikan langkahnya dalam
jarak tiga meter dari tempat gadis yang dihadangnya.
Mata mereka mencorong ke arah Bong Mini dengan ta-
jam. Sedangkan wajah mereka tak sedikit pun menam-
pakkan kesan ramah. Bengis dan kusut. Hanya lelaki
yang berpakaian putih saja yang kelihatan sedap di-
pandang. Walaupun wajahnya kelihatan asam tanpa
senyum sedikit pun.
“Siapa kalian?! Dan kenapa menghalangi perja-
lananku?!” tanya Bong Mini dengan suara lantang. Se-
dangkan sepasang matanya yang tajam menusuk mata
lelaki yang berpakaian putih.
Lelaki yang mendapat tatapan tajam dari seorang
gadis yang berpakaian merah itu tidak menjawab.
Hanya tatapannya saja yang tajam, membalas tatapan
mata Bong Mini. Kemudian dia memberi isyarat kepa-
da teman-temannya dengan gerakan kepala. Lima
orang temannya yang berpakaian hitam-hitam segera
bergerak mendekati gadis berpakaian merah. Cara ja-
lan mereka tegang. Wajah kelimanya bengis seperti
hendak menerkam mangsa.
Melihat gelagat yang tidak baik, Bong Mini mundur
perlahan. Sedangkan matanya dengan gesit mengawasi
gerak-gerik kelima lelaki yang mengepungnya.
“Tangkap saja. Jangan pakai senjata!” cetus lelaki
yang berpakaian putih dan rapi itu ketika lima orang
temannya menarik golok masing-masing dari sarung-
nya. Mendapat peringatan itu, kelima temannya segera
memasukkan kembali golok mereka. Kemudian dua
orang dari mereka segera menerjang ke arah Bong
Mini. Tetapi gadis mungil berwajah cantik itu bukan
gadis sembarangan. Dia seorang gadis yang sejak kecil
telah mendapat gemblengan ilmu bela diri dari papanya.
Ketika kedua orang itu menyerang Bong Mini dari
dua arah, dipergunakan tubuhnya yang mungil untuk
menunduk sedikit. Membuat serangan kedua orang itu
luput. Malah tubuh mereka bertabrakan cukup keras.
Sedangkan Bong Mini dengan cepat melompat ke bela-
kang dan berdiri menatap kedua lawannya dengan ter-
senyum tipis.
“Makanya hati-hati kalau hendak melompat!” ledek
Bong Mini. Namun sikapnya tetap waspada, takut ka-
lau yang lainnya menyerang tiba-tiba.
Mendapat ejekan Bong Mini, kedua lelaki itu men-
jadi marah. Dengan geram mereka kembali menyerang.
Namun dengan gesit pula Bong Mini dapat melompat
menghindar. Sedangkan kedua kakinya digunakan un-
tuk mendorong kedua pantat lawannya. Akibatnya me-
reka jatuh tersungkur.
“Hi hi hi..., lagi nangkap kodok, Bang?” Bong Mini
tertawa terkikik. Sedangkan panggilan bang kepada
mereka karena ia merasa yakin kalau para penge-
royoknya itu penduduk pribumi, penduduk Pulau
Bangka.
Melihat kedua lelaki itu dipermainkan begitu rupa
oleh gadis ingusan, ketiga temannya yang sejak tadi
hanya menonton, kini bergerak mengepung Bong Mini
dengan golok terhunus.
“Hiaaat!”
Sing! Sing!
“Hi hi hi.... Bagus sekali tindakan kalian. Sehingga
aku dapat berlatih silat lebih baik lagi!” ejek Bong Mini
lagi sambil mengeluarkan pedang yang tersangkut di
punggungnya. Kemudian dengan permainan pedang-
nya yang cukup baik, Bong Mini segera menangkis go-
lok-golok lawan yang mengarah kepadanya.
Trang trang trang...!
Bunga-bunga api berpijar ketika golok-golok mereka
tertangkis oleh pedang gadis berbaju merah itu. Ke-
mudian diputar-putarnya pedang itu dengan kecepa-
tan sampai tak terlihat oleh mata. Membuat kelima
penyerangnya merasa kesulitan. Lalu tubuh mereka
berloncatan beberapa langkah ke belakang dan me-
ngurung gadis mungil itu.
“Hi hi hi..., majulah kalian! Aku ingin lihat sampai
di mana kemampuan kalian dalam berhadapan dengan
seorang gadis kecil sepertiku!” tantang Bong Mini.
“Kelinci sombong. Rasakan seranganku!” salah seo-
rang dari pengeroyok itu mendengus marah. Kemudian
dengan cepat goloknya menyambar dahsyat. Tetapi
alangkah kagetnya lelaki itu, karena dengan cepat ga-
dis berusia enam belas tahun yang ditabraknya me-
nyambut dengan pedang. Kedua senjata itu langsung
berbenturan keras dan golok lawan terbelah dua!
Belum sempat lelaki itu mengatur posisinya, pedang
Bong Mini yang berujung runcing telah lebih dulu me-
nembus lambungnya. Seketika lelaki itu rubuh tak be-
da dengan seonggok kayu kering.
Empat orang lainnya menjadi terkejut dan marah.
Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan ta-
ngan kirinya pun turut menyerang dengan mengeluar
kan jurus menotok jalan darah dengan tiga jari tan-
gan mereka masing-masing.
Namun, sebagai gadis kecil yang sudah punya pe-
ngalaman dalam dunia persilatan, dengan tenang dan
tersenyum Bong Mini menghadapi keroyokan mereka.
Ia telah dapat membaca batas kemampuan semua la-
wannya. Sehingga setiap babatan golok dapat dihalau
dengan mudah oleh pedangnya yang selalu berkelebat
cepat.
“Mampuslah kau!” teriak seorang lelaki pada saat
goloknya tertangkis oleh pedang Bong Mini. Dengan
cepat ia menggerakkan tiga jarinya untuk menotok da-
da Bong Mini. Tetapi dengan gesit pula Bong Mini
menghindari totokan itu dengan melengkungkan ba-
dannya ke belakang. Lalu secepat kilat pedang yang
tadi digunakan untuk menangkis, diarahkan ke tubuh
lelaki yang hendak menotoknya.
Brettt!
Pedang Bong Mini merobek tubuh lelaki itu dari ulu
hati sampai ke pantatnya. Kemudian disusul dengan
serangan-serangan ke arah tiga lawannya yang masih
berdiri kaku melihat kematian temannya. Dalam waktu
singkat, lima orang pengeroyoknya tersungkur jatuh
tanpa dapat bergerak lagi.
Lelaki muda berpakaian putih dan rapi terbelalak
kaget ketika melihat kelima temannya mati dalam se-
kejap. Dia tidak mengira sama sekali kalau teman-
temannya yang mahir memainkan golok dan gerakan
menotok dapat dikalahkan seorang gadis mungil. Na-
mun ia sendiri tidak gentar melihat kenyataan itu. Ma-
lah dengan kemarahan yang memuncak dan kebencian
yang meluap, ia mendekati putri Bong Mini yang sudah
sejak tadi menunggu reaksinya.
“Kau boleh bangga dapat mengalahkan kelima
orang temanku. Tapi jangan mengira kau dapat me-
ngalahkanku!” usai berkata, lelaki itu langsung me-
nyerangnya dengan sebilah pedang di tangan.
“Bagus. Keberanianmu ini yang sebenarnya ku-
tunggu-tunggu sejak tadi!” ujar Bong Mini seraya me-
nangkis serangan pedang lawan dengan pedangnya,
sehingga menimbulkan benturan yang amat keras.
Disusul dengan patahnya pedang lelaki muda itu.
Lelaki muda berpakaian putih itu melemparkan pe-
dangnya yang patah. Setelah itu menyerang kembali
dengan tangan kosong.
Melihat lawannya tanpa senjata, Bong Mini pun me-
lemparkan pedangnya ke tanah dan menyambut se-
rangan lawannya dengan tangan kosong pula. Dengan
tenang ia menghindari serangan lawan. Tubuh diputar
sambil mengibaskan kedua tangannya untuk menang-
kis serangan lawan yang menyerangnya dengan jurus
menotok.
Menyadari betapa gadis itu mempunyai ilmu kungfu
yang tidak bisa dianggap remeh, pemuda berbaju putih
kembali melancarkan serangan bertubi-tubi dengan
sepasang tangan dan kakinya yang dapat mengirim ha-
jaran berbahaya. Serangannya susul-menyusul bagai
gelombang samudera yang tiada henti.
Bong Mini sangat terkejut mendapat serangan yang
tiada putus-putus itu. Dalam hati ia mengakui bahwa
lawannya kali ini amat tangguh. Kalau ia hanya men-
gelak dan menangkis, itu akan membuat dirinya teran-
cam. Oleh karena itu, setelah lawannya mendesak
sampai belasan jurus, Bong Mini membalas dengan ju-
rus kungfu ‘Tanpa Bayangan’ disertai pengerahan te-
naga dalam. Membuat lawan yang mencoba menangkis
serangannya, merasa seperti dilanda badai. Tubuhnya
terlempar ke belakang seperti daun kering yang tertiup
angin. Lalu tubuhnya membentur sebuah batu besar
dengan amat keras.
Dug!
Pemuda itu terkulai lemah ketika punggungnya ter-
hantam batu besar. Sedangkan dari mulutnya me-
nyembur, darah segar. Lalu tubuhnya menggelepar-
gelepar seperti ayam dipotong. Sampai akhirnya diam
tak berkutik lagi.
Bong Mini menghela napas dalam. Lalu kakinya me-
langkah menghampiri lawannya yang sudah tidak ber-
kutik itu. Di sana ia tercenung menyesali kematiannya.
Sebab dengan matinya pemuda itu ia tidak akan bisa
mengetahui asal-usulnya.
“Apa yang kau sesali, pendekar wanita?” tiba-tiba
suara lembut terdengar berbisik di telinganya. Sedang-
kan bahunya terasa seperti ada yang menyentuh. De-
ngan cepat Bong Mini menoleh ke samping.
“Papa!” keluh Bong Mini ketika mengetahui kalau
orang yang menyentuh pundaknya adalah papanya.
Bongkap tersenyum kagum menatap putrinya.
“Papa, saya menyesal telah membunuh mereka,” li-
rih Bong Mini lagi.
Bongkap menggeleng sambil tersenyum bijak.
“Kematiannya akibat perbuatannya sendiri,” ucap
Bongkap.
“Saya menyesal karena belum sempat mengetahui
asal-usul mereka,” Bong Mini mengungkapkan penye-
salan yang sesungguhnya.
“Papa yakin mereka adalah orang-orang yang kita
cari selama ini!”
“Orang-orang bertopeng yang menyerang tempat ki-
ta, maksud Papa?”
“Ya. Atau bisa juga orang-orang yang menculik keti-
ga dayangmu!” sahut papanya.
Bong Mini tercenung sambil mengangguk lamat.
“Sudahlah. Mari kita pulang untuk istirahat. Sete-
lah itu kita lanjutkan pencarian kita untuk mengetahui
dan mencari orang-orang bertopeng yang menyerang
rumah kita!” ajak Bongkap serta menggandeng pu-
trinya.
Bong Mini tidak menolak. Dan dengan sikap manja,
tubuhnya dirapatkan dalam pelukan papanya. Mereka
berjalan beriringan menuju utara untuk melanjutkan
pencarian orang-orang bertopeng yang telah menye-
rang rumah mereka.
Siapa sebenarnya orang-orang bertopeng hitam
yang melakukan serangan ke tempat Sepasang Pen-
dekar dari Selatan? Dan siapa pula keenam orang yang
menyerang Bong Mini? Untuk mengetahuinya ikutilah
serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode: ‘Hi-
langnya Seorang Pendekar’.
SELESAI
Emoticon