6
"Kena
kau!"
Siluman
Ular Putih tersenyum-senyum se-
nang
di hadapan Arum Sari. Baginya mudah saja
untuk
mengejar Arum Sari. Dengan ilmu lari ce-
pat
'Menjangan Kencono' Arum Sari mudah sekali
dilewatinya.
Arum
Sari menggeleng-gelengkan kepala.
Namun...
diam-diam dalam hatinya amat menga-
gumi
ilmu meringankan tubuh Siluman Ular Pu-
tih.
Tidak disangka sama sekali kalau kunyuk
gondrong
satu itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh
amat tinggi. Bisa jadi ilmu kanuragannya
pun
tinggi. Kalau tidak, mustahil Nenek Rambut
Putih
sampai hati membiarkan muridnya mela-
kukan
perjalanan bersama kunyuk gondrong ini!
"Kau...!
Sudah kubilang jangan mengejar.
Kenapa
malah menyusul?" tanya Arum Sari.
"Amanat!
Aku hanya menjalankan amanat!"
sergah
Siluman Ular Putih. Sengaja suaranya di-
buat
wibawa. Namun karena masih ada sisa se-
nyum
di bibir, tampangnya malah mirip orang ku-
rang
waras.
"Hmh...!"
Arum
Sari menghela napas kesal. Kening-
nya
berkerut-kerut mencari jalan, bagaimana ca-
ranya
lepas dari kuntitan Siluman Ular Putih. Se-
bab
ia yakin pemuda ini tak mungkin akan men-
gabaikan
perintah gurunya. Dan rasanya tak ada
pilihan
lain kecuali harus menggunakan akal bu-
lus.
Ia harus dapat mengakali Siluman Ular Putih.
Berpikir
sampai di situ Arum Sari jadi ter-
senyum
cerah. Tentu saja melihat perubahan si-
kap
Arum Sari yang tiba-tiba membuat Soma me-
longo
seperti kambing minta kawin.
"Nah...!
Begitu dong. Senyum. Kan enak ke-
lihatannya.
Tidak cemberut saja seperti nenek-
nenek
telat buang hajat saja," celoteh Soma tak
dapat
menutupi perasaan senangnya.
"Eh...!
Sebenarnya namanya siapa, sih?"
tanya
Arum Sari, sengaja merubah nada bica-
ranya
selembut mungkin. Namun, diam-diam
otaknya
terus bekerja keras bagaimana caranya
mengakali
Siluman Ular Putih.
"Ah...!
Sayang benar. Rupanya kau belum
tahu
namaku, ya? Namaku Soma. Kau Arum Sari,
kan?
Aku tahu namamu dari gurumu tadi," sahut
Siluman
Ular Putih, ketolol-tololan. Senyumnya
sengaja
diumbar ke sana kemari. Yah... siapa ta-
hu
gadis cantik ini mulai kecantol, pikirnya.
"Oooo...!
Jadi namamu Soma, ya? Bagus
juga.
Eh, Soma! Kau mau menolong aku tidak?"
lanjut
si gadis.
"Pasti.
Kenapa kau menanyakannya.
Arum?"
balas Siluman Ular Putih masih belum
menangkap
akal bulusnya Arum Sari.
"Aku
ingin sekali makan buah salak. Tadi,
di
sana kulihat banyak sekali tumbuh pohon sa-
lak.
Tolong dong ambilkan aku beberapa buah sa-
ja.
Soma!" pinta Arum Sari merajuk. Tangannya
menunjuk
ke gerumbulan hutan di belakang.
Soma
tersenyum. Akalnya yang cerdik jelas
tak
mungkin dapat diakali dengan cara kampun-
gan
seperti itu.
"Hii...!
Enak benar menyuruhku mengambil
buah
salak. Di saat aku pergi, kujamin gadis ini
pun
sudah kabur. Tak usah, ya?" kata Soma kes-
al,
namun cuma dalam hati.
"Eh...,
Soma! Kau dengar aku tidak, sih?
Kenapa
melongo saja?" sentak Arum Sari.
Soma
pura-pura kaget.
"Ya,
ampun! Kau ini bagaimana, sih? To-
long
ambilkan aku buah salak! Tuh di sana!"
"Baik,
Tuan Putri," sahut Soma seraya
membungkuk
badan. Namun meski menyanggu-
pi,
namun Soma hanya berpura-pura. Padahal ia
justru
ingin mengecoh balik.
"Cepat
dong ambil!" rajuk Arum Sari man-
ja.
Sikapnya pun sengaja dibuat sekenes mung-
kin.
"Ba...."
Gusrakkk!
Baru
saja Siluman Ular Putih hendak me-
nyahut,
mendadak dikejutkan oleh bunyi semak
belukar
yang ditimpa badan seseorang dengan
kasar
sekali.
"Nah,
Iho? Apa itu?"
Kontan
saja niat untuk balik mengerjai
Arum
Sari dalam diri Siluman Ular Putih terbe-
rangus,
dan berganti rasa heran. Sejenak kedua
anak
muda itu saling berpandangan. Siluman
Ular
Putih yang lebih peka pendengarannya buru-
buru
melompat ke balik semak belukar yang di-
curigai.
"Nenek
jelek...?!"
*
* *
Wajah
cantik Arum Sari kontan menegang.
Panggilan
Siluman Ular Putih itu entah kenapa
membuat
hatinya risau sekali. Tanpa banyak pi-
kir
panjang lagi, segera ia melompat menghampiri
Siluman
Ular Putih.
"Guruuu...!!!"
pekik Arum Sari.
Hati
si gadis benar-benar nelangsa mana-
kala
melihat sosok tua yang tak lain gurunya da-
lam
keadaan luka parah di pangkuan Siluman
Ular
Putih. Wajahnya pucat pasi. Banyak darah
membanjiri
wajahnya yang keriput.
Arum
Sari menangis sesenggukkan semba-
ri
mengguncang-guncangkan tubuh gurunya.
Siluman
Ular Putih membiarkan saja gadis
cantik
itu puas dengan tangisnya. Ia hanya beru-
saha,
keras agar Nenek Rambut Putih lekas si-
uman.
Maka ditotoknya tubuh nenek renta itu be-
rulang-ulang
hingga akhirnya perlahan-lahan ter-
dengar
erangannya.
"Eghhh...!"
Dengan
susah payah Nenek Rambut Putih
berusaha
membuka kedua kelopak matanya.
"Guru!
Siapa yang melakukan ini semua?"
jerit
Arum Sari, tak sabar mendengar pengakuan
gurunya.
"De....
Dewa Kegelapan...," kata Nenek
Rambut
Putih, tersendat.
"Dewa
Kegelapan? Siapa itu, Guru?"
"Mur....
Murid Emp.... Empat Iblis Merah
dar...."
Nenek
Rambut Putih tak dapat lagi mene-
ruskan
ucapannya. Kepalanya keburu rebah di
atas
pangkuan Siluman Ular Putih. Tubuhnya te-
lah
dingin, tidak bergerak-gerak lagi.
"Guruuu...!!!"
pekik Arum Sari sejadinya.
Tangisnya
makin sulit dikendalikan.
"Sudahlah!
Jangan tangisi gurumu! Percu-
ma.
Gurumu sudah meninggal!" kata Soma lirih.
Arum
Sari lak mempedulikan ucapan So-
ma.
Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh
Nenek Rambut Putih, si gadis menangis me-
raung-raung.
Soma
hanya terdiam. Memang tak ada cara
lain
kecuali membiarkan tangis Arum Sari terku-
ras habis. Meski demikian, pemuda ini merasa
sedih
sekali. Dalam hatinya menduga-duga, siapa
manusia
keji yang telah menewaskan Nenek
Rambut
Putih.
"Dewa
Kegelapan...! Murid Empat Iblis Me-
rah?
Sayang sekali Nenek Rambut Putih keburu
menemui
ajal," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati.
"Aku
tidak akan membiarkan guruku tewas
di
depan mataku. Aku harus menuntut balas se-
karang
juga!" desis si gadis.
Arum
Sari bangkit seraya memukul-
mukulkan
tinjunya penuh kemarahan. Raut wa-
jahnya
yang bersimbah air mata menegang. Kila-
tan-kilatan
matanya terlihat beringas.
"Aku
tahu. Kita memang harus menuntut
balas.
Tapi bukanlah sebaiknya kita kuburkan
dulu
jenazah gurumu ini?" sahut Siluman Ular
Putih
enteng.
"Huh...!"
Arum
Sari menggedikkan bahunya. Tak se-
patah
kata pun terucap dari kedua bibirnya yang
bergetar.
Namun manakala Siluman Ular Putih
bersiap
menguburkan jenazah si nenek, tangis
Arum
Sari pun reda. Bergegas gadis ini memban-
tu
Siluman Ular Putih menguburkan jenazah Ne-
nek
Rambut Putih.
7
Satu
sosok bayangan berkelebat cepat se-
kali
laksana terbang, memasuki Hutan Kenjeran.
Sosoknya
yang tinggi kekar dibalut jubah besar
warna
hitam. Rambutnya gondrong awut-awutan
tak
terawat dengan sepasang mata mencorong.
Beringas.
Siapa lagi sosok satu ini kalau bukan
Datuk
Kegelapan!
Sesampainya
di tengah hutan, mendadak
Dewa
Kegelapan menghentikan kelebatannya. Ma-
tanya
seketika jalang memperhatikan sekitar. Ta-
di
jelas matanya sempat menangkap sosok lain
yang
juga berkelebat. Tapi, cepat sekali sosok tadi
lenyap.
Dewa
Kegelapan mengerahkan ilmu pem-
beda
gerak dan suara. Dari suara-suara yang
berhasil
dipilah-pilah, pemuda ini mendengar be-
berapa
desah napas. Dari sini Dewa Kegelapan
yakin,
di sekitar tempatnya berpijak banyak mata
tengah
memperhatikannya. Tak begitu jauh.
Mungkin
bersembunyi di semak-semak, di ba-
tang-batang
pohon, atau malah bisa jadi ada yang
bersembunyi
di atas ranting pohon.
Werrr!
Werrr!
Namun
belum sempat Dewa Kegelapan ber-
tindak
lebih lanjut, mendadak terdengar angin
berkesiur
ke arahnya. Sedikit pemuda ini melirik.
Tampak
berpuluh-puluh senjata rahasia menye-
rang
dirinya.
Dewa
Kegelapan menarik hidungnya, diser-
tai
dengus. Dan sekali menggerakkan tangan, pu-
luhan
senjata rahasia yang ternyata gerigi-gerigi
berwarna
hitam itu berhamburan ke tanah.
"Bangsat!
Manusia-manusia tak tahu diri!
Tunjukkan
diri kalian kalau ingin modar di tan-
gan
Dewa Kegelapan!" hardik Dewa Kegelapan pe-
nuh
kemarahan. Sepasang matanya yang berin-
gas
nyalang memperhatikan sekitar.
Tak
ada jawaban.
"Setan
alas! Jangan dikira aku tak dapat
memaksa
kalian keluar, Bangsat!" bentak Dewa
Kegelapan
menggelegar.
Belum
juga gema bentakannya lenyap, De-
wa
Kegelapan segera mendorongkan kedua tela-
pak
tangannya ke depan. Seketika melesat dua la-
rik
sinar legam dari kedua telapak tangannya ke
arah
batang pohon. Dan....
Brakkk!
Batang
pohon sebesar dua lingkaran tan-
gan
manusia dewasa kontan bergoyang-goyang
yang
disusul suara bergemuruh, sebelum akhir-
nya
tumbang. Batang dan ranting daunnya tam-
pak
hangus terbakar!
"Hebat!
Rupanya kau punya sedikit kepan-
daian!
Pantas kau berani pentang bacot seperti
itu!"
Mendadak
dari semak-semak belukar tak
jauh
dari batang pohon yang tumbang muncul
seorang
lelaki tinggi besar terbungkus jubah kun-
ing,
diikuti puluhan sosok lainnya. Begitu berada
sepuluh
tombak di hadapan Dewa Kegelapan, le-
laki
berjubah kuning itu memerintahkan dua pu-
luh
orang yang mengikutinya untuk segera men-
gurung
Dewa Kegelapan.
Dewa
Kegelapan mendengus angkuh. Sedi-
kit
pun ia tidak takut menghadapi lelaki berjubah
kuning
yang ternyata membawahi dua puluh
orang
yang mengurungnya.
Sosok
lelaki berjubah kuning itu tertawa
bergelak.
Tubuhnya yang tinggi besar bak raksasa
berguncang-guncang.
Rambutnya panjang terge-
rai
di bahu. Parasnya yang kasar jelas menanda-
kan
kalau wataknya kasar. Matanya besar. Hi-
dungnya
besar. Wajah penuh cambang dan bre-
wok.
"Lagakmu
tengik sekali, Bocah! Berani be-
nar
kau mengantar nyawa seorang diri kemari?!
Apa
kau tak tahu tengah berhadapan dengan sia-
pa,
he?!" bentak lelaki berjubah kuning yang me-
rapunya
perangai kasar itu, garang.
"Bacotmu
sungguh tajam, Bangsat! Tapi
apa
bacotmu bisa dibuktikan?" sahut Dewa Kege-
lapan,
kaku.
"Ha
ha ha...! Seumur hidup baru kali ini
Gembong
Kenjeran melihat bocah sepongah kau!
Apa
kau punya nyawa rangkap hingga berani
mengantar
nyawa kemari, he?" ejek lelaki yang
mengaku
berjuluk Gembong Kenjeran.
"Hm...!
Jadi, kaukah yang bergelar Gem-
bong
Kenjeran? Kebetulan sekali. Kedatanganku
kemari
bukan untuk mengantar nyawa. Melain-
kan,
untuk memperingatkan kau beserta anak
buahmu.
Kalau kalian menentang maksudku, be-
rarti
akan menyesal. Kalian semua akan modar di
tanganku
jika tidak mau tunduk di bawah perin-
tahku!"
desis Dewa Kegelapan, penuh tekanan.
"Jangan
mimpi! Bocah kemarin sore ma-
cam
kau tak pantas memerintah Gembong Kenje-
ran.
Apalagi, harus sampai tunduk di bawah ke-
kuasaanmu.
Puih!" Gembong Kenjeran meludah,
kesal.
"Anak-anak! Hajar bocah pongah itu!"
Srattt!
Srattt!
Pedang-pedang
di tangan anak buah Gem-
bong
Kenjeran langsung terlolos dari warang-
kanya
di pinggang. Namun kilatan-kilatan mata
pedang
yang mengerikan sedikit pun tidak mem-
buat
kecut nyali Dewa Kegelapan. Malah dengan
pongah
murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi
itu mengumbar tawa meremehkan.
"Cecurut-cecurut
comberan tak tahu diri!
Majulah
kalian kalau ingin merasakan kehebatan
Dewa
Kegelapan. Bila perlu, pimpinanmu sekalian
suruh
maju!" tantang Dewa Kegelapan, jumawa.
Gembong
Kenjeran yang berdiri di luar ke-
pungan
hanya mengeretakkan gerahamnya penuh
kemarahan.
Hampir saja diterjangnya Dewa Kege-
lapan
kalau para anak buahnya lebih dulu berge-
rak
menyerang Dewa Kegelapan. Kini Gembong
Kenjeran
hanya menonton jalannya pertarungan.
"Kalian
semua akan menyesal telah berani
kurang
ajar terhadap Dewa Kegelapan. Sekarang
rasakanlah
akibatnya!"
Dewa
Kegelapan menggembor penuh kema-
rahan.
Dan saat itu pun, tiba-tiba tubuhnya ber-
kelebat
cepat luar biasa sehingga sulit diikuti
pandang
mata. Sementara kedua telapak tangan-
nya
telah berubah merah darah sampai pangkal.
Maka
tanpa ampun kedua tangannya bergerak
cepat
ke sana kemari menampar satu persatu ke-
pala
anak buah Gembong Kenjeran.
Prakkk!
Prakkk!
"Aaa...!"
Dua
kali tangan Dewa Kegelapan mengibas,
maka
dua kali pula terdengar teriakan menyayat,
disusul
robohnya dua sosok tubuh yang langsung
tak
bergerak-gerak lagi. Kepala mereka pecah,
membuyarkan
isinya.
Melihat
kenyataan ini, para anak buah
Gembong
Kenjeran bergerak mundur. Nyali mere-
ka
mendadak lenyap entah ke mana.
"Lihat!
Apa mata kalian buta? Apa kalian
ingin
modar seperti mereka? Hayo, maju! Siapa
yang
masih penasaran!" tantang Dewa Kegelapan,
sejenak
menghentikan serangan.
Dewa
Kegelapan berkacak pinggang di ha-
dapan
para anak buah Gembong Kenjeran yang
masih
ragu-ragu untuk melanjutkan serangan.
Sepasang
matanya yang beringas menatap tajam
satu
persatu para pengepungnya.
Sementara
melihat kenyataan ini, Gembong
Kenjeran
jadi geram bukan main. Tadi memang
sempat
dilihatnya betapa dengan mudahnya De-
wa
Kegelapan menurunkan tangan maut pada
dua
orang anak buahnya. Jelas lelaki berjubah
kuning
ini tak dapat terima keadaan itu. Lebih
jengkelnya
lagi manakala melihat para anak
buahnya
hanya terpaku di tempatnya.
"Anak-anak!
Kenapa melongo saja? Cepat
hajar
bocah pongah itu!" perintah Gembong Ken-
jeran,
berteriak kalap.
Sejenak
anak buah Gembong Kenjeran itu
hanya
saling berpandangan. Tampak sekali kalau
mereka
ragu-ragu. Namun bila teringat akan ke-
kejaman
Gembong Kenjeran, mau tidak mau pe-
rintah
pimpinan harus dituruti. Walaupun, harus
nyemplung
ke dalam kobaran api sekalipun!
"Bodoh!
Dasar cecurut-cecurut comberan!
Kalau
saja aku mau, apa kalian pikir masih dapat
menjual
lagak seperti ini, he?!" dengus Dewa Ke-
gelapan.
Tak
ada jawaban dari mulut para anak
buah
Gembong Kenjeran. Yang ada hanya kilatan-
kilatan
mata pedang, mereka kembali menyerang
Dewa
Kegelapan.
"Huh...!"
Dewa
Kegelapan mendengus. Habis sudah
kesabarannya.
Tak ada pilihan lain. Para anak,
buah
Gembong Kenjeran memang harus dihajar-
nya.
"Keparat!
Jangankan menghadapi cecurut-
cecurut
macam kalian! Menghadapi biangnya se-
tan
pun aku tak takut. Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tubuh Dewa
Kegelapan
kembali berkelebat. Kali ini kecepatan-
nya
luar biasa, melebihi kelebatannya yang per-
tama.
Demikian juga tamparan dan hantaman
hantaman
tangannya.
Para
anak buah Gembong Kenjeran terpe-
ranjat.
Belum sempat berpikir apa yang akan di-
perbuat,
tahu-tahu tamparan dan hantaman tan-
gan
Dewa Kegelapan telah mendarat.
Plakkk!
Plakkk!
"Aaa...!"
Seketika
tubuh anak buah Gembong Ken-
jeran
berpelantingan ke sana ke mari begitu ter-
hantam
tamparan dan jotosan tangan Dewa Kege-
lapan.
Tidak
sampai di situ saja serangan Dewa
Kegelapan.
Tubuhnya terus berkelebat, mengha-
jar
sisa-sisa anak buah Gembong Kenjeran yang
masih
berdiri.
Prak!
Prak!
"Aaa...!"
Tanpa
ampun pula sisa anak buah Gem-
bong
Kenjeran roboh ke tanah tanpa dapat ban-
gun
lagi dengan kepala pecah dan dada jebol.
Mengkelap
hati Gembong Kenjeran melihat
para anak buahnya dibantai Dewa Kegelapan
dengan
mudahnya. Maka disertai teriakan keras
bak
harimau terluka, tubuhnya segera meluruk
ke
tempat pertarungan.
"Minggir
kalian semua!" bentak Gembong
Kenjeran,
garang.
Beberapa
sisa anak buah Gembong Kenje-
ran
segera menarik diri dari tempat pertarungan.
Sepatah
kata pun mereka tak berani membantah.
"Bagus!
Kenapa tidak dari saja kau turun
tangan?"
ejek Dewa Kegelapan, begitu Gembong
Kenjeran
mendarat di depannya sejarak setengah
tombak.
"Bajingan!
Jangan menyesal kalau kali ini
terpaksa
aku harus mencabut nyawa basukmu,
Bocah!"
dengus Gembong Kenjeran penuh kema-
rahan.
Diam-diam
lelaki berjubah kuning ini men-
galirkan
tenaga dalamnya, membuat kedua tela-
pak
tangannya berubah jadi kuning hingga ke
pangkal.
Rasanya, ia sudah tak sabar lagi untuk
menghabisi
nyawa Dewa Kegelapan. Maka tanpa
banyak
cakap, kedua telapak tangannya segera
didorongkan
ke depan.
''Makanlah
aji 'Palu Godam'-ku!"
*
* *
Upacara
pemakaman jenazah Nenek Ram-
but
Putih telah usai. Arum Sari masih tak ber-
geming
dari tempatnya, berlutut di sisi makam
gurunya.
Tangisnya tak kunjung reda.
"Dewa
Kegelapan...!" desis Arum Sari.
Teringat
nama itu, paras cantik gadis ini
kontan
menegang. Kilatan-kilatan sepasang ma-
tanya
yang indah kini tampak beringas.
"Demi
Tuhan aku akan membalaskan sakit
hatimu.
Guru...!" lanjutnya dengan tangan ter-
kepal
kuat-kuat.
Siluman
Ular Putih yang duduk di samping
si
gadis tak tega untuk menggoda. Pemuda ini di-
am
saja di tempatnya sambil sesekali matanya
melirik
seraut wajah cantik di sampingnya.
"Kini
tibalah saatnya aku membalaskan
sakit
hatimu, Guru. Ke mana pun Dewa Kegela-
pan
pergi, pasti akan kukejar. Biar sampai ke da-
sar
neraka sekalipun!"
Habis
mendesis begitu, Arum Sari melom-
pat
bangun. Disusutnya air mata sebentar. Lalu
tanpa
menghiraukan Siluman Ular Putih sedikit
pun
tubuhnya segera berkelebat cepat dari tem-
pat
ini.
"Hey,
tunggu! Kau mau ke mana. Arum?"
teriak
Soma, kaget. Tak menyangka kalau gadis
itu
akan meninggalkannya begitu saja.
Arum
Sari yang tengah diamuk amarah tak
mempedulikan
Siluman Ular Putih. Malah lang-
kahnya
makin dipercepat meninggalkan Soma.
Mau
tak mau Soma harus melompat ban-
gun
untuk mengejar. Sekali kakinya menjejak ta-
nah,
tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
telah
berkelebat cepat mengejar Arum Sari. Begitu
cepat
lesatannya, sehingga sebentar saja telah
berhasil
menyusul si gadis.
"Tunggu
dulu, Arum! Kau tak boleh me-
ninggalkanku
begitu saja! Ingat pesan gurumu!"
teriak
Siluman Ular Putih, tahu-tahu telah meng-
hadang
langkah murid Nenek Rambut Putih.
"Minggir!
Aku tak butuh kau! Aku bisa cari
sendiri
orang yang telah mencelakakan guru
maupun
orang yang telah membunuh kedua
orangtua
ku!" sambar Arum Sari kalap.
Pedang-
nya
pun telah lolos dari warangkanya.
"Kau
akan membunuhku?" kata Siluman
Ular
Putih dengan mata membelalak lebar. "Aku
tak
percaya. Kau yang demikian lembut mau
membunuhku?"
"Minggir,
Soma! Aku tak main-main! Beri
aku
jalan!" kata Arum Sari membalas.
Mana
mau Soma diperintah begitu saja.
Bagaimanapun
juga dia merasa bertanggung ja-
wab
atas keselamatan Arum Sari.
"Aku
tidak akan mengizinkanmu pergi seo-
rang
diri!" tandas Siluman Ular Putih.
Arum
Sari tersenyum hambar. Saat itu ha-
tinya
benar-benar nelangsa. Satu-satunya orang
yang
menjadi tambatan hatinya telah tewas di
tangan
Dewa Kegelapan.
"Aku
tidak butuh bantuanmu...," desis
Arum
Sari seraya bergeser ke kiri. Lalu tubuhnya
kembali
berkelebat meninggalkan Siluman Ular
Putih.
Siluman
Ular Putih segera berkelebat pula,
mengejar
Arum Sari. Namun kali ini Soma punya
pertimbangan
lain. Maka segera lesatannya diper-
lambat.
"Hm...!
Aku tak boleh membiarkan gadis
itu
dalam bahaya. Baiknya kuikuti saja dari ke-
jauhan...,"
putus Soma.
8
Pertarungan
besar tak dapat terhindari la-
gi.
Gembong Kenjeran yang menggunakan aji
'Palu
Godam' di tangan kiri telah menyerang Dewa
Kegelapan
hebat. Itu pun masih diiringi sabetan
rantai
baja di tangan kanannya.
Wesss!
Sring!
Sring!
Dewa
Kegelapan kini tak berani main-main
lagi.
Dari sambaran rantai baja yang menimbul-
kan
angin berkesiur tajam, ia tahu kalau tokoh
dari Hutan
Kenjeran itu memiliki tenaga dalam
tinggi.
Maka begitu melihat datangnya serangan,
tubuhnya
segera dilemparkan ke samping. Untuk
sementara
serangan-serangan Gembong Kenjeran
pun
hanya mengenai angin kosong.
Gembong
Kenjeran menggeram murka.
Sungguh
tak disangka serangan-serangannya da-
pat
dihindari lawan dengan begitu mudah. Maka
diiringi
teriakannya yang nyaring, serangannya
pun
makin diperhebat. Putaran-putaran rantai
bajanya
pun makin mengiriskan. Saking cepat-
nya,
membuat rantai baja itu berubah jadi gulun-
gan
hitam yang siap mengancam tubuh Dewa Ke-
gelapan
kapan saja. Belum lagi hantaman tangan
kirinya
yang setiap waktu bisa saja merenggut
nyawa.
Serrr!
Serrr!
Namun
ringan saja Dewa Kegelapan me-
lemparkan
tubuhnya ke sana kemari menghindari
serangan.
Dan setelah beberapa jurus berlang-
sung,
barulah Dewa Kegelapan melompat jauh
mengambil
jarak. Kedua telapak tangannya kini
telah
memerah hingga ke pangkal siku, pertanda
mulai
mengeluarkan jurus andalan 'Tangan Me-
rah'.
"Bangsat
tua! Apakah kau tetap tidak mau
mengakui
kekuasaanku dan tunduk di bawah pe-
rintahku?"
kata Dewa Kegelapan sebelum melepas
serangan
balasan. Sengaja ia memberi kesempa-
tan
pada lawan untuk berpikir.
"Puahhh!
Siapa sudi tunduk dan takluk di
bawah
kekuasaanmu? Justru kaulah yang harus
mengakui
kekuasaanku!" sambar Gembong Ken-
jeran
penuh kemarahan.
"Bagus!
Kalau begitu, kau akan kupaksa
untuk
mengakui kekuasaanku!" geram Dewa Ke-
gelapan.
"Lakukan
saja kalau kau becus!" tantang
Gembong
Kenjeran, nekat.
"Baik."
Kini
Dewa Kegelapan menyilangkan tan-
gannya
di depan dada. Kedua kakinya yang kokoh
menggeser
perlahan-lahan mendekati lawan.
Tampaknya
gerakan tangan dan kakinya biasa sa-
ja.
Seolah tidak bertenaga.
"Heh...?!"
Namun
betapa terkejutnya Gembong Ken-
jeran
manakala dari gerakan lambat tangan dan
kaki
Dewa Kegelapan mampu mengeluarkan an-
gin
dingin yang bukan kepalang. Belum hilang
terkejutnya,
tiba-tiba gerakan tangan dan kaki
Dewa
Kegelapan pun berubah jadi cepat luar bi-
asa.
Bahkan tiba-tiba menerjang tubuh Gembong
Kenjeran.
"Ah...!"
Paras
Gembong Kenjeran kontan berubah
pucat
ketika tiba-tiba kedua telapak tangan Dewa
Kegelapan
yang berwarna merah darah siap men-
gancam
bagian-bagian tubuhnya yang memati-
kan.
Tangan kanan menghujam dari atas ke ba-
wah siap meremukkan batok kepala. Sedangkan
tangan
kiri yang membentuk cakar siap pula
membetot
keluar jantungnya.
"Heatt...!"
Wutt...!
Tak
ada pilihan lain. Gembong Kenjeran
segera
memutar rantai baja di tangan kanan ke
atas
untuk menangkis serangan tangan kanan
Dewa
Kegelapan. Sedang serangan tangan kiri la-
wan
segera ditangkis dengan tangan kiri.
Tasss!
"Aahh...!"
Lagi-lagi
Gembong Kenjeran terpekik kaget.
Rantai
baja di tangan kanannya kontan hancur
begitu
berbentrokan dengan tangan Dewa Kegela-
pan.
Tubuhnya sendiri pun limbung ke samping
karena
tenaga dalamnya masih kalah jauh di-
banding
Dewa Kegelapan.
"Heaaa!"
Pada
saat tubuh Gembong Kenjeran lim-
bung
mendadak Dewa Kegelapan melepas ten-
dangan
ke dada. Dan....
Bukkk!
Bukkk!
"Ughh...!"
Telak
sekali tendangan kaki kanan kiri De-
wa
Kegelapan menghajar dada Gembong Kenje-
ran.
Tanpa ampun tubuh lelaki berjubah kuning
itu
terpental jauh ke belakang. Dadanya yang ter-
kena
tendangan terasa mau jebol!
Begitu
mencium tanah, Gembong Kenjeran
tak
tahan lagi. Dari mulutnya kontan menyem-
burkan
darah segar.
"Hoeeekh...!!!"
Kini, sadarlah Gembong Kenjeran kalau
musuh
mudanya ternyata memiliki kepandaian di
atasnya.
Namun mana mau tokoh dari Hutan
Kenjeran
itu menyerah begitu saja. Sekali men-
gempos
semangatnya, lelaki berjubah kuning itu
pun
kembali tegak di hadapan Dewa Kegelapan.
"Bagaimana?
Apa kau masih keras kepala
tak
mau mengakui kekuasaanku?" ejek Dewa Ke-
gelapan,
dingin.
"Aku
belum kalah! Langkahi dulu mayatku
baru
aku mengakui kekuasaanmu!" sahut Gem-
bong
Kenjeran, mengkelap.
"Bangsat
tua tak tahu diri! Kau memang
patut
kuhajar!"
"Lakukanlah!"
Gembong
Kenjeran membuang sisa-sisa
rantai
baja di tangan. Kini ia siap menantang
maut.
Kedua telapak tangannya yang telah beru-
bah
jadi kuning hingga ke pangkal menandakan
kalau
aji 'Palu Godam' siap dilontarkan dengan
tenaga
dalam penuh.
Sementara
Dewa Kegelapan pun tak ingin
bertindak
setengah-setengah lagi. Segera dis-
iapkannya
pukulan 'Darah Iblis', membuat kedua
telapak
tangannya berubah jadi hitam legam!
"Pukulan
'Darah Iblis'...!" desis Gembong
Kenjeran
penuh keterkejutan begitu mengenali
ajian
yang hendak dikerahkan Dewa Kegelapan.
Dewa
Kegelapan tertawa bergelak. Lagak-
nya
pongah sekali melihat musuhnya mengenali
pukulan
mautnya.
"Bangsat!
Kau pasti murid salah seorang
dari
Empat Iblis Merah!"
"Bukan
hanya seorang. Tapi mereka be-
rempatlah
yang menjadi guruku!" sahut Dewa Ke-
gelapan,
bangga.
"Hm...!
Pantas saja bocah pongah ini memi-
liki
kepandaian tinggi...," desis Gembong Kenjeran
dalam
hati.
"Bagaimana?
Apakah sekarang kau mau
mengakui
kekuasaanku setelah tahu kalau aku
murid
dari Empat Iblis Merah?" kata Dewa Kege-
lapan.
"Biar
kau murid Empat Iblis Neraka sekali-
pun,
aku tak sudi mengakui kekuasaanmu!"
"Bagus!
Berarti kau memang harus kupak-
sa
untuk mengakui kekuasaanku!" geram Dewa
Kegelapan.
Gembong
Kenjeran mengeretakkan gera-
hamnya kuat-kuat. Jari-jari tangannya yang ter-
kembang
keras jelas menandakan kalau puncak
kemarahannya
telah mencapai ubun-ubun. Ia tak
sabar
lagi untuk segera mengadu nyawa dengan
musuh
mudanya.
"Bocah
pongah! Makanlah aji 'Palu Godam'-
ku!
Hea...!"
Dikawal
teriakan nyaring, Gembong Kenje-
ran
segera mendorongkan kedua telapak tangan-
nya
ke depan. Seketika melesat dua larik sinar
kuning
dari kedua telapak tangannya ke arah
Dewa
Kegelapan.
Wesss!
Wesss!
Dewa
Kegelapan tak mau kalah unjuk gigi.
Tanpa
banyak cakap segera dipapakinya ajian la-
wan
dengan pukulan 'Darah Iblis'. Maka seketika
itu
pula....
Blarrr!
"Aaaah...!"
Gembong
Kenjeran menjerit setinggi langit.
Tanpa
ampun tubuhnya terlempar jauh ke bela-
kang,
berputar-putar sebentar dan jatuh berde-
bam
ke tanah.
"Hoeeekh...!!!"
Dewa
Kegelapan tertawa bergelak menyak-
sikan
tubuh Gembong Kenjeran melejang-lejang
hebat.
Selangkah demi selangkah didekatinya tu-
buh
Gembong Kenjeran yang merayap hendak
bangkit.
Dalam
hati, ia memuji daya tahan tubuh
Gembong
Kenjeran. Padahal bila orang biasa pasti
telah
hancur tubuhnya terkena ajiannya.
"Apa
kau belum juga mau mengakui keku-
asaanku,
Gembong Kenjeran?" desis Dewa Kege-
lapan
seraya menginjak leher Gembong Kenjeran
tanpa
belas kasihan.
Gembong
Kenjeran tcrengah-engah. Leher-
nya
seperti terinjak palu godam yang beratnya ri-
buan
kati.
"Ba...
baik. Mulai hari ini aku dan anak
buahku
akan tunduk dan takluk di bawah keku-
asaanmu..,"
rintih Gembong Kenjeran akhirnya
mengakui
keunggulan Dewa Kegelapan
Tapi
sebenarnya Gembong Kenjeran mem-
punyai
watak licik. Jelas ia tak sudi mati sia-sia
seperti
itu. Kalaupun sekarang mau mengakui
kekuasaan
Dewa Kegelapan, itu hanya karena
siasatnya
saja. Toh, lain kali ia bertekad akan me-
lepaskan
diri dari kekuasaan Dewa Kegelapan.
Kalau
perlu membalas penghinaan ini.
"Bagus!
Senang sekali aku mendengar ke-
saggupanmu,
Gembong Kenjeran. Sekarang juga
kau
adalah bawahanku. Hutan Kenjeran ini pun
jadi
kekuasaanku! Ha ha ha...!"
Dewa
Kegelapan mengangkat kakinya dari
leher
Gembong Kenjeran seraya mendongak. La-
gaknya
pongah sekali, seolah ingin menantang
makhluk
penghuni angkasa raya.
"Aku
ingin bertanya padamu, Gembong
Kenjeran,"
kata Dewa Kegelapan tiba-tiba. Tata-
pannya
kini beralih pada sosok laki-laki berjubah
kuning
di bawahnya. Dingin sekali. "Sebenarnya
aku
pun sedang mencari pembunuh kedua orang-
tua
ku. Menurut keterangan Nenek Rambut Pu-
tih,
justru keempat orang gurukulah yang telah
membunuh
kedua orangtua ku."
"Ya...
itu memang bisa jadi...," sahut Gem-
bong
Kenjeran, terengah-engah.
"Apa
maksudmu, Gembong Kenjeran?"
"Begini...,"
Gembong Kenjeran menelan lu-
dah.
"Konon, Empat Iblis Merah itu paling senang
mempunyai
murid yang terlahir pada malam Ju-
mat
Kliwon. Dan seperti biasanya, mereka selalu
membunuh
kedua orangtua si jabang bayi yang
bakal
jadi murid mereka kelak."
"Dari
mana kau tahu semua ini, Gembong
Kenjeran?"
tanya Dewa Kegelapan.
"Itulah
desas-desus yang sempat kudengar
selama
aku malang melintang di dunia persila-
tan."
"Hm...."
Dewa Kegelapan mengeretakkan
gerahamnya.
"Tak kusangka kalau gurukulah
yang
telah membunuh kedua orangtua ku. Meski
sebagai
murid tentu aku akan menuntut balas.
Tunggulah
pembalasanku. Setelah urusanku
dengan
Siluman Ular Putih selesai, pasti aku
akan
membuat perhitungan dengan mereka...."
9
Di
bawah guyuran terik sinar matahari
siang
itu. Arum Sari terus berkelebat cepat, tanpa
arah
tujuan pasti. Hanya isak tangisnya saja yang
sesekali
terdengar.
"Dewa
Kegelapan...!" desisnya, lirih sambil
berkelebat.
Kini
gadis itu menghentikan langkah di
bawah
rindangnya sebuah pohon. Wajahnya yang
cantik
telah penuh air mata. Sejenak sepasang
mata
indahnya beralih jauh ke depan sana. Se-
pertinya
dengan cara itu ia ingin sekali mencari
jawaban
atas rasa gundahnya dalam hati.
Namun
sayang gadis ini tak menemukan
jawabannya.
Dihelanya napas berulang-ulang.
Sementara
dendam kesumat yang membakar ha-
tinya
terasa lebih panas dibanding teriknya sinar
matahari.
Tapi justru saat ini ia terperangkap da-
lam
kebingungan. Sulit sekali rasanya menentu-
kan
pilihan. Apalagi, tak satu pun musuh-musuh
besarnya
yang telah dikenal, kecuali julukan me-
reka
saja. Dewa Kegelapan dan Penghuni Kubur!
"Manakah
yang harus kudahulukan? Dewa
Kegelapan
atau Penghuni Kubur? Keduanya me-
mang
harus mampus di tanganku. Tapi... di mana
aku
harus mencari mereka? Ah...!"
Arum
Sari mengeluh. Raut wajahnya keli-
hatan
kian menegang. Dadanya yang membusung
bergerak
turun naik.
"Tak
ada pilihan lain. Aku harus terus
mencari
tahu tentang mereka! Yah...! Kukira me-
mang
cara itulah yang terbaik!" desah Arum Sari
memantapkan
niatnya dalam hati.
Kini,
perlahan-lahan Arum Sari kembali
melangkah
walau hatinya masih diliputi kebin-
gungan.
Tapi yang jelas, ia harus meneruskan
perjalanan.
Ke mana saja. Pokoknya, harus me-
nemukan
tempat persembunyiannya Dewa Kege-
lapan
dan Penghuni Kubur.
Namun
baru saja murid Nenek Rambut Pu-
tih
ini melangkah beberapa tindak, mendadak
pendengarannya
yang tajam menangkap langkah-
langkah
halus di sekitarnya yang dipenuhi semak
belukar.
Seraya menghentikan langkahnya, tanpa
sadar
Arum Sari telah memegang gagang pedang
yang
menggelantung di pinggang.
"Rupanya
kita mendapat rejeki besar, Ka-
wan.
Cepat tangkap gadis itu!"
Mendadak
terdengar suara teriakan yang
disusul
berlompatannya beberapa sosok bayan-
gan
berpakaian hitam-hitam dari semak belukar
di
sekitarnya. Jumlah mereka yang tak kurang
dari
dua belas orang langsung mengepung murid
Nenek
Rambut Putih.
"Mau
apa kalian menghadangku, he?!" ben-
tak
Arum Sari.
"Mau
apa? He he he...! Dia tanya kita mau
apa,
Kang Rupaksa? Apa kau tahu jawabannya?"
sahut
salah seorang lelaki berpakaian hitam yang
berdiri
paling depan.
"Jawabannya,
cepat tangkap gadis itu, Bo-
nang!"
sahut lelaki yang dipanggil Rupaksa. Di-
alah
yang tadi memberi aba-aba.
"Baik.
Memang itulah yang kuinginkan,
Kang
Rupaksa. Sudah lama kita tak pernah men-
cium
bau wangi tubuh seorang gadis. Ayo, Te-
man-teman!
Tangkap gadis itu!" teriak lelaki ber-
pakaian
hitam yang dipanggil Bonang seraya
mengibaskan
tangannya ke depan.
Sekarang
Arum Sari tahu. Kiranya ia tak
perlu
berbasa basi. Kedua belas lelaki berperangai
kasar
itu jelas bermaksud tidak baik. Maka segera
pedangnya
dicabut keluar.
Srangngng!
"Majulah
kalau kalian ingin merasakan ta-
jamnya
pedangku!" bentak Arum Sari.
Pedang
di tangan kanan si gadis terpegang
erat-erat.
Matanya terus memperhatikan gerak-
gerik
kedua belas lelaki kasar di hadapannya. Je-
las,
mereka memang bermaksud jahat terhadap
dirinya.
Meski belum berpengalaman, namun dari
gelagat
Arum Sari jadi tahu kalau kedua belas la-
ki-laki
kasar itu memang menginginkannya.
"Hati-hati!
Jangan sampai gadis itu terluka,
Kawan!
Nanti kita sendiri yang rugi!" teriak lelaki
lain
memperingatkan.
"Jangan
khawatir!" sahut mereka serem-
pak.
"Ayolah,
Manis! Baiknya menyerah saja.
Mustahil
kami akan memperlakukanmu kasar!"
"Cih...!
Lebih baik mati di tangan kalian da-
ripada
menyerahkan diri!" sahut Arum Sari,
ke-
tus.
"Wah
wah...! Galak juga rupanya gadis can-
tik
satu ini, Kawan. Mudah-mudahan saja di ran-
jang
pun galak!"
Kedua
belas lelaki berpakaian hitam itu
mulai
bergerak dengan hanya tangan kosong saja.
Dengan
cara itu, mereka bermaksud tak ingin me-
lukai
calon korbannya. Dan begitu si calon kor-
ban
dapat ditangkap dengan mudah, serempak
mereka
akan menggarapnya.
"Hea...!"
Arum
Sari tersenyum dingin. Pedang di
tangan
kanannya pun segera diputar sedemikian
rupa.
Wutt!
Wutt!
Tanpa
terduga. Arum Sari melenting
menghindar
begitu para pengeroyok menerjang-
nya.
Setelah berputaran sebentar tubuhnya melu-
ruk
turun dengan kaki mengarah ke salah satu
pengeroyok.
Desss!
"Aahh...!"
Kedua
belas orang pengeroyok Arum Sari
terkesima
kaget. Sungguh tak disangka kalau si
gadis
dapat menghindar serangan dengan demi-
kian
mudah. Bahkan salah seorang dari mereka
roboh,
tak dapat bangun lagi begitu terkena han-
taman
kaki Arum Sari.
Sring!
Sring!
Melihat
salah seorang terluka, para penge-
royok
Arum Sari tak segan-segan lagi mencabut
keluar
pedang mereka. Sejenak mereka memutar
pedang
sebelum akhirnya kembali menerjang he-
bat
Arum Sari.
Trang!
Trang!
Mudah
saja bagi Arum Sari menghadapi
keroyokan
itu dengan mengibaskan pedangnya.
Malah
kalau mau, bukan mustahil nyawa para
pengeroyok
melayang saat itu juga terkena sam-
baran
pedangnya. Namun, gadis ini tak sampai
hati
melukai para pengeroyoknya. Apalagi sampai
membunuh.
Meskipun mereka jelas bermaksud
jahat.
Arum Sari tetap tidak mau menurunkan
tangan
maut. Ia hanya sekadar memberi peringa-
tan
dengan tamparan dan tendangan-tendangan.
Sedang
pedang di tangan kanannya hanya digu-
nakan
untuk menangkis serangan pedang!
Desss!
Desss!
Dua
kali kaki Arum Sari bergerak, maka
dua
orang pengeroyoknya roboh tak dapat ban-
gun
lagi. Keadaan ini tentu saja membuat kecut
nyali
para pengeroyok. Mereka tak ingin terhina
dengan
dikalahkan oleh seorang gadis kemarin
sore.
Berpikir sampai di sini, para pengeroyok
kembali menerjang murid Nenek Rambut Putih
itu.
"Hea...!
Hea...!"
Arum
Laras tak mau kepalang tanggung.
Melihat
para pengeroyoknya makin nekat, hatinya
jadi
kesal. Dengan pengerahan tenaga dalam se-
dikit
tamparan-tamparan dan tendangan-
tendangan
kembali menemui sasaran.
Plak!
Desss!
Desss!
Seperti
yang lain, sisa-sisa pengeroyok mu-
rid
Nenek Rambut Putih itu kembali berpelantin-
gan
ke sana kemari. Untung saja Arum Sari tidak
bermaksud
keji, kecuali hanya sekadar memberi
peringatan.
"Bodoh!
Menangkap seorang gadis saja ti-
dak
becus! Minggir!"
Mendadak
terdengar bentakan yang dis-
usul
kelebatannya sesosok bayangan kuning. Ta-
hu-tahu
sosok itu telah berdiri di hadapan Arum
Sari.
Mau
tidak mau kening Arum Sari berkerut,
heran.
Di hadapannya kini telah berdiri sesosok
lelaki
bertubuh tinggi besar terbalut jubah besar
warna
kuning. Rambutnya gondrong awut-awutan
tak
terawat. Perangainya pun lebih bengis diband-
ing
kedua belas orang pengeroyok yang pertama.
"Kaukah
pimpinan cecunguk-cecunguk
itu?!"
tanya Arum Sari, seraya menudingkan te-
lunjuk
ke arah para pengeroyok yang roboh tak
dapat
bangun lagi. Pingsan.
"Benar!
Karena kau telah melukai anak
buahku,
maka kau patut mendapat hukuman!
Tapi
berhubung kau seorang gadis, maka aku
akan
memberi hukuman lain!" bentak sosok tinggi
besar
yang tak lain Gembong Kenjeran. Sambil
berkata
begitu, matanya menjilati lekuk-lekuk tu-
buh
gadis cantik di hadapannya penuh nafsu.
"Cih...!
Anak buah dan ketuanya sama sa-
ja!
Sama-sama berperangai bobrok!" geram Arum
Sari,
penuh kemarahan.
"Ha
ha ha...! Sudah tahu kami berperangai
bobrok,
kenapa kau sampai nyasar ke Hutan Ken-
jeran
ini?" tukas Gembong Kenjeran.
"Jadi,
kaukah yang bergelar Gembong Ken-
jeran?"
tebak Arum Sari.
"Dari
mana kau tahu gelarku, Cah Ayu?"
"Tak
perlu kau tahu. Yang jelas, siapa lagi
orang
berperangai busuk yang tinggal di Hutan
Kenjeran
kalau bukan Gembong Kenjeran?"
"Terserah
kau mau bilang apa! Yang jelas,
nasibmu
hari ini ada di tanganku!"
Tak
ada gunanya Arum Sari banyak bicara.
Sudah
jelas ia nyasar ke tempat salah. Dan sama
sekali
tak disangka kalau tempat ini di bawah ke-
kuasaan
Gembong Kenjeran.
*
* *
Siluman
Ular Putih celingukkan ke sana
kemari.
Di ujung hutan ini, pemuda ini tak me-
nemukan
sosok Arum Sari yang diikuti.
"Ke
mana gadis tengil satu itu? Kenapa ti-
ba-tiba
saja menghilang?"
Soma
menempelak jidatnya sendiri saking
kesalnya.
Bingung mencari gadis yang diikuti,
akhirnya
Soma hanya garuk-garuk kepala. Mung-
kin
dengan cara itulah ia akan menemukan jalan
untuk
mencari Arum Sari.
"Gila!
Sampai mataku pegal begini, belum
juga
aku menemukan gadis tengil itu. Kenapa dia
sampai
meninggalkanku? Apa ngilu melihat tam-
pang
gantengku? Hm.... Eh, apa itu...?"
Soma
mendadak menggerak-gerakkan ke-
palanya
mirip orang ayan. Kupingnya pun sampai
bergerak-gerak,
mencari sumber suara. Yah...!
Samar-samar
telinganya memang mendengar den-
tingan
senjata tajam beradu. Tapi samar-samar
sekali.
Kalau tidak, mustahil kepalanya sampai
seperti
itu.
"Ah...!
Bisa jadi yang sedang bertarung itu
Arum
Sari!" gumam Soma akhirnya.
Saat
itu juga. Soma menjejakkan kakinya.
Dan
seketika sosoknya yang tinggi kekar telah
berkelebat
jauh, dan menghilang di tikungan de-
pan
sana.
10
Sepasang
mata garang Gembong Kenjeran
bergerak-gerak
liar. Membayangkan pemandan-
gan
indah di hadapannya, jakunnya jadi turun
naik.
Lekuk-lekuk indah tubuh Arum Laras-lah
terus
menyeret pikirannya ke lembah kegairahan.
"Edan!
Tubuh gadis ini benar-benar men-
gundang.
Sayang sekali kalau dilewatkan begitu
saja!"
gumam Gembong Kenjeran. Napasnya pun
mulai
tak teratur. "Sudah puas memaki, Cah
Ayu?
Kalau sudah, ayo ikut aku! Akan kutunjuk-
kan
padamu, bagaimana caranya menikmati hi-
dup.
Ayo! He he he...!"
Gembong
Kenjeran tersenyum-senyum, ta-
pi
lebih mirip seringai serigala yang melihat anak
domba.
"Tua
bangka bermulut kotor! Siapa sudi
ikut
denganmu?! Cih...!" maki Arum Sari, geram
bukan
main direndahkan oleh Gembong Kenjeran
seperti
itu.
Mata
si gadis melotot liar. Untuk menjaga-
jaga
kemungkinan buruk yang mungkin terjadi,
genggaman
pedang di tangan kanannya makin di-
pererat.
"Bagus!
Kalau begitu aku harus memak-
samu,
Cah Ayu!" ancam Gembong Kenjeran.
"Lakukanlah
kalau kau sanggup!" tantang
murid
Nenek Rambut Putih saking kesalnya.
"Baik."
Disertai
senyum menjijikkan, selangkah
demi
selangkah Gembong Kenjeran mendekat.
Kedua
tangannya terkembang lebar. Dan ketika
tinggal
beberapa langkah di hadapan Arum Sari,
mendadak
tubuhnya berkelebat cepat. Jari-jari
tangannya
yang terkembang bergerak mencengke-
ram
Arum Sari.
Werrr!
"Uts...!"
Namun
rupanya tidak sia-sia Arum Sari
menjadi
murid Nenek Rambut Putih. Begitu meli-
hat
datangnya serangan, tubuhnya bergeser sedi-
kit
ke kiri. Lalu cepat disambutnya jari-jari tan-
gan
Gembong Kenjeran dengan babatan pedang.
Beett!
Sudah
pasti Gembong Kenjeran harus me-
narik
mundur serangannya kalau tak ingin jari-
jari
tangannya terbabat sambaran pedang. Dan
begitu
tangannya ditarik mundur, dengan satu
perhitungan
cermat tiba-tiba tangannya bergerak
kembali
menghantam pergelangan tangan Arum
Sari
yang memegang pedang.
Plakkk!
Arum
Sari terpekik kaget. Pedang di tan-
gannya
mental entah ke mana. Namun gadis ini
tak
sempat mencari pedangnya karena pikirannya
lebih
tercurah pada tangannya yang terasa berge-
tar.
Apalagi, saat itu serangan Gembong Kenjeran
kembali
mengancam dirinya.
"Bangsat!
Akan kubalas penghinaanmu,
Tua
Bangka Keparat!"
Sambil
mengumpat Arum Sari cepat me-
lemparkan
tubuhnya ke belakang untuk mem-
buat
jarak. Dengan cara itu ia ingin sekali menga-
jak
Gembong Kenjeran mengadu kekuatan tenaga
dalam.
"Ha
ha ha...! Kenapa galak-galak amat, Cah
Ayu?
Baiknya turuti saja kemauanku!" tawa
Gembong
Kenjeran, amat menyakitkan hati.
"Tua
bangka keparat! Aku akan mengadu
jiwa
denganmu!" dengus Arum Sari tak dapat lagi
mengendalikan
amarah.
Saat
itu pula si gadis mengerahkan tenaga
dalamnya,
membuat kedua telapak tangannya be-
rubah
jadi putih. "Makanlah aji 'Gada Bumi'-ku!
Heaa...!"
Disertai
teriakan membelah udara, si gadis
cepat
menghantamkan kedua telapak tangannya
ke
depan. Seketika melesat dua larik sinar putih
berkilauan
ke arah Gembong Kenjeran.
Wesss!
Wesss!
Gembong
Kenjeran tak mau kalah. Segera
dikerahkannya
aji 'Palu Godam'. Namun sayang-
nya
baru saja tenaga dalamnya dikerahkan, tiba-
tiba
saja dadanya terasa nyeri bukan main akibat
luka
dalamnya yang belum sembuh benar sewak-
tu
bertarung dengan Dewa Kegelapan.
"Heh?!"
Gembong
Kenjeran terperangah kaget. Se-
ketika
parasnya jadi pucat pasi. Untuk menghin-
dar
jelas sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali dua larik sinar putih berki-
lauan
dari kedua telapak tangan Arum Sari
menghajar
dada Gembong Kenjeran. Tanpa am-
pun
lelaki berjubah kuning melolong setinggi lan-
git.
Bak layangan putus benang, tubuhnya lang-
sung terlempar
jauh ke belakang dan terbanting
keras!
Gembong
Kenjeran mengeluh tertahan
sambil
berusaha bangkit. Dadanya yang terkena
hantaman
aji 'Gada Bumi' terasa mau jebol. Ra-
hangnya
mengembung, lalu menyemburkan da-
rah
segar. Saat itu pula tubuh luruh kembali ke
tanah
tak dapat bangun lagi. Beberapa orang
anak
buah Gembong Kenjeran buru-buru men-
gangkatnya
ke tempat yang aman.
Arum
Sari tak begitu mempedulikan. Ama-
rahnya
yang menggelegak membuatnya tak ingin
berlama-lama
di tempat itu. Namun baru saja
hendak
melaksanakan niatnya, tiba-tiba.....
Plok!
Plok! Plok!
"Benar-benar
mengagumkan. Tak kusang-
ka
seorang gadis cantik seperti kau mampu me-
robohkan
Gembong Kenjeran yang lihai hanya se-
kali
gebrak. Ckekek...!"
Arum
Sari tersentak ketika tahu-tahu tak
jauh
dari tempat pertarungan kini telah berdiri
seorang
pemuda berjubah hitam. Mendengar uca-
pan
pemuda itu, sebenarnya gadis ini pun merasa
heran,
kenapa Gembong Kenjeran tak memapak
pukulannya.
Ia tadi hanya sempat melihat lawan-
nya
kesakitan sebelum tubuhnya terpental terke-
na
aji 'Gada Bumi'. Gadis ini menduga, pasti
Gembong
Kenjeran telah terluka dalam sebelum-
nya.
Kalau tidak mustahil membiarkan tubuhnya
terkena
pukulan.
"Siapa
kau?" bentak Arum Sari pada pe-
muda
di depannya.
*
* *
Pada
saat yang sama Siluman Ular Putih
telah
tiba pula di tempat sekitar pertarungan. Ke-
tika
melihat Arum Sari tengah bersitegang dengan
seorang
pemuda, dengan sangat hati-hati Silu-
man
Ular Putih bersembunyi di balik kerimbunan
semak.
Tentu saja Soma bersiap-siap membantu
kalau
gadis cantik itu membutuhkan pertolon-
gannya.
Memang
Soma sengaja tidak langsung tu-
run
tangan. Ia ingin melihat apa yang terjadi ke-
mudian.
Dengan rencananya itu pula, Siluman
Ular
Putih bermaksud melunakkan hati Arum Sa-
ri.
"Hm...!
Tampaknya pemuda berjubah hi-
tam
itu memiliki tenaga dalam luar biasa. Hanya
orang-orang
yang memiliki tenaga dalam tingkat
tinggi
saja yang memiliki mata mencorong seperti
itu.
Tampaknya, kali ini Arum Sari tengah dalam
bahaya
besar...," gumam Siluman Ular Putih,
nyaris
tak kentara.
Pemuda
gagah berjubah hitam yang me-
mang
Dewa Kegelapan tak langsung menjawab
bentakan
Arum Sari. Ia justru malah tertarik
dengan
apa yang tertangkap telinganya sekarang.
Jelas
sekali tadi telinganya mendengar langkah-
langkah
halus tak jauh dari tempat pertarungan.
"Hm...!
Tampaknya ada pesilat tanggung
bersembunyi
di sekitar sini. Kebetulan sekali. Ka-
lau
ia tak mau keluar, terpaksa aku harus me-
mancingnya.
Kalau dia tokoh putih, pasti akan
keluar!"
pikir Dewa Kegelapan.
"Monyet
buduk! Kau pasti tak ubahnya
orang
macam Gembong Kenjeran dan anak buah-
nya!
Mau apa kau kemari, he?!" bentak Arum Sa-
ri,
garang. Kalau saja gadis ini tahu siapa pemuda
gagah
di hadapannya, sudah pasti akan menye-
rangnya
hebat. Tak perlu pakai basa basi seperti
itu.
"Aku
memang menginginkanmu, Gadis.
Wajahmu
cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan.
Bodoh kalau aku sampai tak mengingin-
kanmu!"
jawab Dewa Kegelapan.
"Cih...!
Jadi benar? Kau tak ubahnya den-
gan
mereka! Kau sama-sama bejat!"
"Terserah
kau mau ngomong apa! Yang je-
las,
aku sangat menginginkanmu! Kau dengar itu,
Gadis?"
"Setan
alas! Mulutmu terlalu lancang! Kau
memang
patut diberi pelajaran!"
"Kau
tak perlu memberiku pelajaran. Ju-
stru,
Dewa Kegelapan-lah yang akan memberi pe-
lajaran
di ranjang."
"Apa?!
Jadi, kaukah manusia yang bergelar
Dewa
Kegelapan?!" sentak Arum Sari, kaget bu-
kan
main. Tak disangka kalau pemuda di hada-
pannya
ternyata yang tengah dicari.
"Kalau
memang iya, kau mau apa?" tan-
tang
Dewa Kegelapan, kalem.
"Bagus!
Kalau begitu, bersiap-siaplah me-
nerima
kematian! Arwah guruku Nenek Rambut
Putih telah menantimu di pintu neraka!" desis
Arum
Sari, tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Oooo...!
Jadi kau murid Nenek Rambut
Putih
itu?"
"Jangan
banyak bacot! Manusia keji ma-
cam
kau memang patut enyah dari muka bumi!"
"Lakukanlah
kalau kau mampu!"
"Baik."
Arum
Sari mengeretakkan gerahamnya pe-
nuh
kemarahan. Dendamnya yang sudah menca-
pai
ubun-ubun membuatnya gelap mata. Dan
dengan
sekali jejak, tubuhnya telah berkelebat
cepat
menerjang Dewa Kegelapan. Tak tanggung-
tanggung,
kontan dikeluarkannya jurus andalan
'Tongkat
Selaksa Badai'. Meski sebenarnya jurus
itu
harus dilakukan dengan sebatang tongkat,
namun
bagi Arum Sari jurusnya itu sama dah-
syatnya
bila dengan pedang. Buktinya, pedangnya
segera
bergulung-gulung cepat laksana badai
prahara.
Werrr!
Werrr!
Dewa
Kegelapan tertawa bergelak. Nadanya
meremehkan.
Padahal, jubahnya berkibar-kibar
terkena
kesiuran angin dari sambaran pedang di
tangan
Arum Sari.
"Benar
juga. Rupanya kau memang murid
nenek
keriput itu. Tapi tetap saja percuma. Kau
tetap
saja akan tunduk di tanganku!" dengus De-
wa
Kegelapan, angkuh.
Pada
saat setengah tombak lagi serangan
lawan
mendekat, Dewa Kegelapan segera berkele-
bat
cepat luar biasa, sehingga sulit diikuti pan-
dang
mata. Sambil berkelit menghindar, jari-jari
tangannya
yang terkembang tiba-tiba menyusup
di
antara gulungan pedang di tangan Arum Sari.
Dan....
Bret!
Bret!
"Aauuwww...!"
Arum
Sari memekik kaget seraya melompat
ke
belakang. Dua kali tangan Dewa Kegelapan
mengayun,
membuat pakaian Arum Sari seketika
terkuak
lebar menampakkan lekuk-lekuk tubuh-
nya
yang menantang. Bahkan jari-jari tangan pe-
muda
itu sempat pula menowel sepasang payuda-
ra
si gadis.
"Demi
Tuhan, aku akan mengadu nyawa
denganmu,
Monyet Buduk!" lengking Arum Sari
penuh
kemarahan. Sebentar-sebentar tangannya
harus
meraih pakaiannya yang terkuak, menam-
pakkan
sebagian tubuhnya yang menggiurkan.
Di
hadapannya, Dewa Kegelapan tertawa
bergelak.
Sebagian robekan pakaian Arum Sari
sempat
diputar-putarkan di atas kepala, sebelum
akhirnya
dilemparkan.
"Boleh
saja kita mengadu nyawa. Asal, kita
sudah
bermain cinta terlebih dulu," ejek Dewa
Kegelapan.
Geram,
jengkel, marah, dan malu bercam-
pur
aduk dalam dada Arum Sari. Apalagi, menya-
dari
dirinya tak mampu berbuat banyak terhadap
musuh
besarnya. Malah kini pakaiannya robek
memanjang,
membuatnya sulit untuk bergerak.
Ingin
rasanya Arum Sari menangis saat itu
juga.
Mau bergerak begini, salah. Begitu, salah.
Namun,
dendamnya harus dituntaskan.
Akhirnya,
gadis ini nekat. Maka tanpa
mempedulikan
pakaiannya yang robek segera di-
kerahkannya
aji 'Gada Bumi'. Sekali hantamkan
tangannya
ke depan, seketika meluruk dua larik
sinar
kuning berkilauan dari kedua telapak tan-
gannya.
Wesss!
Wesss!
Melihat
datangnya serangan, Dewa Kegela-
pan
sempat mengumbar tawa sebentar. Dan agar
tak
melukai tubuh gadis cantik di hadapannya,
Dewa
Kegelapan memapak dengan mengerahkan
sebagian
tenaga dalamnya.
Blammm!!!
Hasilnya,
justru Arum Sari yang memekik
tertahan.
Tubuhnya tanpa ampun lagi terbanting
keras.
Seketika parasnya pucat pasi. Darah segar
tampak
mengalir dari sudut-sudut bibir, pertanda
murid
Nenek Rambut Putih itu menderita luka
dalam
lumayan.
"Tamatlah
sudah riwayatku hari ini," desis
Arum
Sari sambil meringis kesakitan.
"Sekarang
kau bisa apa, he?! Mau tidak
mau
kau harus patuh terhadap Dewa Kegelapan!"
Selangkah
demi selangkah, Dewa Kegela-
pan
mendekati Arum Sari. Sambil melangkah, di-
am-diam
kewaspadaannya terus dipasang. Karena
bisa
jadi orang yang tengah bersembunyi melan-
carkan
serangan dadakan. Namun rupanya apa
yang
ditunggu belum juga muncul.
Dewa
Kegelapan jadi kesal sekali. Kini
saatnyalah
ia memancing orang yang bersem-
bunyi
di semak belukar keluar.
Sementara
itu. Arum Sari mengeluh dalam
hati.
Sulit sekali rasanya menentukan sikap saat
itu.
Tak ada jalan keluar sama sekali. Padahal,
langkah
Dewa Kegelapan kian mendekatinya. Dan
sambil
menggigit bibirnya kuat-kuat, gadis ini
mencoba
menyeret tubuhnya ke belakang.
"Bajingan!
Berani menyentuh tubuh gadis
itu,
berarti nyawa taruhannya!"
Mendadak
terdengar bentakan garang yang
diiringi
berkesiurnya angin dingin bukan kepa-
lang
menyerang Dewa Kegelapan dari samping.
Untung
saja pemuda berjubah hitam itu telah
siap
siaga. Saat itu pula tubuhnya dilempar ke
samping.
Maka serangan itu hanya mengenai an-
gin
kosong.
"Sudah
kuduga, kau pasti akan keluar ju-
ga!"
desis Dewa Kegelapan.
Sosok
berpakaian putih keperakan meng-
gumam
tak jelas. Hanya raut wajahnya saja yang
menunjukkan
keheranan, sambil asyik garuk-
garuk
kepala!
11
"Siluman
Ular Putih...!" pekik Arum Sari
tak
dapat menyembunyikan perasaan gembira.
"Yah...!
Aku...? Ada apa? Bukankah kau
tak
lagi butuh perlindunganku?" tukas Siluman
Ular
Putih bernada dingin. Pemuda ini pura-pura
tersinggung
aras sikap murid Nenek Rambut Pu-
tih.
"Kau....
Kau...?" Arum Sari membelalakkan
matanya
lebar.
"Jangan
khawatir, Arum! Aku tidak sung-
guhan,
kok. Aku hanya main-main. Mana tega sih
aku
membiarkan kau diganyang manusia iblis
itu!"
ujar Siluman Ular Putih seraya menudingkan
telunjuk
jarinya ke arah Dewa Kegelapan.
"Puahhh!
Jadi, kaukah yang bergelar Silu-
man
Ular Putih, Bocah Edan?!" bentak Dewa Ke-
gelapan.
"Kalau
iya, kau mau apa? Mengajak beran-
tem?
Ayo! Aku layani. Lagi pula, aku ingin sekali
membalas
sakit hati gadis itu. Boleh kan. Arum?"
Siluman
Ular Putih memalingkan kepalanya ke
arah
Arum Sari.
Arum
Sari yang tengah sibuk membenahi
pakaiannya
yang robek memanjang hanya men-
gangguk.
"Nah...! Kau lihat sendiri, kan? Teman-
ku
setuju. Berarti, sudah saatnya pulalah aku
mengirim
nyawa busukmu ke dasar neraka," celo-
teh
Siluman Ular Putih kalem.
"Kunyuk
sinting! Kau akan menyesal atas
kelancanganmu
ini! Jangan dikira aku tak mam-
pu
membunuhmu, he?!" bentak Dewa Kegelapan
tak
dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Belum
juga gaung bentakannya lenyap,
Dewa
Kegelapan segera menerjang Siluman Ular
Putih
garang. Tak tanggung-tanggung murid Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu langsung
mengerahkan
jurus andalan Tangan Merah',
membuat
kedua telapak tangannya berwarna me-
rah
darah hingga sampai ke pangkal siku.
Werrr!
Werrr!
Hebat
bukan main serangan murid Empat
Iblis
Merah dari Hutan Seruni ini begitu kedua
tangannya
bergerak mencari sasaran. Sebelum
serangan-serangan
itu tiba, terlebih dahulu ber-
kesiur
angin dingin yang mengiriskan.
Melihat
datangnya serangan, Siluman Ular
Putih
segera membuka jurus 'Terjangan Maut Si-
luman
Ular Putih'. Murid Eyang Begawan Kama-
setyo
segera bergerak menghindar. Tubuhnya me-
liuk-liuk
di antara serangan-serangan Dewa Kege-
lapan
sambil melancarkan serangan balik dengan
kepalan
tangan yang membentuk kepala ular.
Tukkk!
Tukkk!
Dua
kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih
menyusup, maka dua kali pula dada Dewa Ke-
gelapan
terkena patukan.
Dewa
Kegelapan menggembor penuh kema-
rahan
dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Sedang bagian dadanya yang terkena
patukan
terasa nyeri bukan main!
"Itu
sedikit hadiah kecil untuk temanku
yang
cantik karena kau berani bersikap kurang
ajar!
Sekarang aku ingin membalaskan sakit hari
gurunya.
Bersiap-siaplah menerima hadiah dari-
ku,
Kawan! Bagian tubuhmu yang mana yang
akan
kau sumbangkan?" ejek Soma mulai kam-
buh
penyakitnya.
"Kunyuk
sinting! Demi Iblis aku akan
membunuhmu!"
geram Dewa Kegelapan penuh
kemarahan.
"Sudahlah!
Jangan banyak omong! Bagian
tubuhmu
yang mana yang akan kau sumbang-
kan?
Kepalamu saja, ya?" lanjut Siluman Ular Pu-
tih.
Begitu
habis kata-katanya, Siluman Ular
Putih
segera berkelebat cepat menyerang Dewa
Kegelapan.
Kedua telapak tangannya yang mem-
bentuk
kepala ular terus menderu-deru, mengu-
rung
pertahanan Dewa Kegelapan. Hingga akhir-
nya....
Tukkk!
Tukkk!
Dua
kali Soma berhasil mematuk kepala
Dewa
Kegelapan. Namun pada saat yang sama
bogem
mentah Dewa Kegelapan meluncur cepat
ke
dada.
Dess!
"Aaah...!"
Telak
sekali dada murid Eyang Begawan
Kamasetyo
mendapat hantaman yang tak terdu-
ga-duga.
Siluman
Ular Putih dan Dewa Kegelapan
sama-sama
menjerit tertahan dengan tubuh sa-
ma-sama
terjajar ke belakang. Tapi Dewa Kegela-
pan
yang sudah tak sabar lagi untuk mengakhiri
pertarungan
segera mengerahkan pukulan 'Darah
Iblis',
membuat kedua telapak tangannya berubah
jadi
hitam legam hingga ke pangkal.
"Oooo...!
Rupanya kau mulai main-main
dengan
pukulan maut, ya? Boleh. Aku selalu siap
melayanimu!"
ejek Siluman Ular Putih, memanas-
manasi.
Dewa
Kegelapan hanya mengeretakkan ge-
rahamnya.
Tak sepatah kata pun terucap dari ke-
dua
bibirnya yang bergetar, saking tak kuatnya
menahan
gelegak amarah.
"Heaaa...!"
Dan
disertai teriakan keras serta tenaga
dalam
penuh Dewa Kegelapan segera menghan-
tamkan
kedua telapak tangannya ke depan. Seke-
tika
meluruk dua larik sinar hitam legam dari ke-
dua
telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih tak mau kalah. Maka
begitu
teringat dengan pukulan 'Tangan Gaib Pe-
nindih
Setan' yang baru saja dipelajarinya dari
Raja
Penyihir, pemuda ini ingin menjajalnya. Saat
itu
pula kedua telapak tangannya segera dihan-
tamkan
ke depan. Seketika tampak dua gulungan
asap hitam tebal meluncur dari kedua telapak
tangannya.
Besss!
Tak
ada bunyi ledakan yang berarti saat
dua
kekuatan itu beradu. Namun, mendadak
bumi
laksana diguncang badai prahara. Tubuh
Dewa
Kegelapan dan Siluman Ular Putih sama-
sama
terpental jauh ke belakang, pertanda kekua-
tan
tenaga dalam mereka berimbang!
Dewa
Kegelapan menggeram murka men-
dapati
kenyataan yang terasa merendahkan harga
dirinya
sebagai murid Empat Iblis Merah. Maka
dengan
kemarahan meluap, kembali diterjangnya
Siluman
Ular Putih, jauh lebih hebat dari seran-
gannya
yang pertama.
Siluman
Ular Putih tersentak kaget. Bu-
kannya
kaget melihat serangan Dewa Kegelapan,
melainkan
kaget begitu menyadari bahwa yang
semula
menyerang telapak tangannya kini menja-
lar
ke dalam tubuh. Bukan main bingungnya hati
murid
Eyang Begawan Kamasetyo saat itu. Apala-
gi
serangan Dewa Kegelapan pun siap mengga-
nyang
tubuhnya.
"Soma!
Awas...!!!" pekik Arum Sari dengan
wajah
sepucat kapas.
Terlambat.
Desss!
Telak
sekali dua larik sinar hitam legam
dari
kedua telapak tangan Dewa Kegelapan
menghajar
dada Siluman Ular Putih. Tanpa am-
pun
lagi, tubuhnya terlempar jauh ke belakang,
berputar-putar
sebentar dan terbanting keras!
Siluman
Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan.
Parasnya pias. Dari sudut-sudut bibir-
nya
mengalir darah segar, pertanda telah mende-
rita
luka dalam.
"Edan!
Tampaknya dadaku keracunan.
Hm...!
Kukira, tak ada pilihan lain. Aku harus se-
gera
mengeluarkan ajian 'Titisan Siluman Ular
Putih'
kalau nyawa tak ingin melayang...."
Berpikir
sampai di sini, Siluman Ular Putih
segera
memejamkan mata. Kedua bibirnya ber-
kemik-kemik
membaca mantra ajian 'Titisan Si-
luman
Ular Putih'. Maka seketika itu juga tubuh-
nya
telah dipenuhi asap putih tipis, hingga so-
soknya
tidak kelihatan sama sekali.
Ketika
asap yang menyelimuti sekujur tu-
buh
Siluman Ular Putih sirna tertiup angin, maka
saat
itu juga....
"Ggggeccrrr...!!!"
*
* *
"Si....
Siluman Ular Putih...!"
Dewa
Kegelapan mendesis kaget. Gembong
Kenjeran
yang baru saja siuman serta puluhan
anak
buahnya sama-sama memekik kaget. Mata
mereka
membeliak lebar, seolah tak percaya me-
lihat
sosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa
dengan taring-taringnya yang runcing!
"Ah...!
Jadi, benar! Ternyata kau memang
Siluman
Ular Putih, Kunyuk Gondrong. Meski
kau
dapat menjelma jadi ular naga sekalipun,
jangan
dikira aku tak dapat membunuhmu! Ma-
kanlah
pukulan 'Darah Iblis'-ku! Hea...!"
Dikawal
teriakan nyaring. Dewa Kegelapan
memilih
menyerang terlebih dahulu. Begitu kedua
tangannya
menghentak, dua larik sinar hitam le-
gam
meluncur kembali dari kedua telapak tan-
gannya
mengancam tubuh Siluman Ular Putih
yang
kini telah menjelma menjadi ular putih rak-
sasa.
Desss!
Desss!
Sosok
ular putih raksasa itu menggereng
penuh
kemarahan saat kedua sinar hitam itu
menghantam
telak. Tubuhnya yang panjang ber-
warna
putih kontan terlempar jauh ke samping.
Sejenak
Siluman Ular Putih menggeliat-geliat. La-
lu
dengan taring-taringnya yang runcing, tiba-tiba
sosoknya
telah menerjang garang Dewa Kegela-
pan.
"Heh...?!"
Dewa
Kegelapan terperangah kaget. Sepa-
sang
matanya yang mencorong membelalak lebar,
seolah
tak percaya melihat sosok ular raksasa la-
wannya
sedikit pun tidak terluka akibat pukulan
mautnya
tadi.
Sungguh
sulit dimengerti. Saking heran-
nya,
Dewa Kegelapan sampai-sampai menggeleng-
geleng.
Namun saat lawan anehnya ganti menye-
rang,
tak ada pilihan lain lagi kecuali kembali me-
lontarkan
pukulan maut.
Wesss!
Wesss!
Meski
kebal terhadap berbagai macam sen-
jata
tajam maupun pukulan maut, rupanya kali
ini
ular putih raksasa itu tak ingin jadi bulan-
bulanan
serangan-serangan Dewa Kegelapan. Be-
gitu
melihat luncuran dua larik sinar hitam le-
gam,
dengan cerdik ular kepalanya menunduk
sedikit
ke bawah. Sehingga serangan itu hanya
menerabas
angin kosong. Lalu pada saat yang te-
pat
ekornya mengibas laksana kilat. Dan....
Desss!
Dewa
Kegelapan meraung keras saat ekor
Siluman
Ular Putih menghantam tubuhnya hing-
ga
terlempar jauh ke samping dan menghantam
batang
pohon.
"Bajingaaan...!!!"
Dewa
Kegelapan menggeram murka. Tu-
buhnya
yang terkena hantaman ekor Siluman
Ular
Putih terasa mau remuk. Namun ia mencoba
bertahan.
Sejenak dihelanya napas berulang-
ulang,
lalu kembali meloncat bangun
"Gerrrr...!"
Sialnya,
saat itu ekor ular putih raksasa itu
kembali
menerjang. Sebisanya, Dewa Kegelapan
berusaha
berkelit ke samping. Namun sayang, ge-
rakannya
lamban. Maka tanpa ampun tubuhnya
langsung
terlilit ekor Siluman Ular Putih!
"Ah...!"
Dewa
Kegelapan memekik keras. Sekuat
tenaga
dicobanya untuk menahan kepala ular
raksasa
itu yang bergerak ke arahnya dengan tar-
ing-taring
runcing siap mengganyang tubuhnya.
"Hih!"
Untuk
beberapa saat, Dewa Kegelapan ma-
sih
mampu bertahan. Namun lama kelamaan pe-
muda
berjubah hitam ini kewalahan juga. Belum
lagi
libatan ular raksasa putih di tubuhnya yang
makin
kuat saja.
Bukan
main gelisahnya Dewa Kegelapan
saat
itu. Matanya kontan nyalang. Perlahan-lahan
pegangan
tangannya di leher ular raksasa itu
mengendur.
Sulit rasanya bagi pemuda berjubah
hitam
ini untuk menyelamatkan nyawanya saat
itu.
Hingga....
Crokkk!
Tanpa
ampun, taring-taring runcing Silu-
man
Ular Pulih mengganyang tubuh Dewa Kege-
lapan.
Dewa
Kegelapan meraung sejadinya. Darah
segar
kontan berhamburan membasahi tubuh.
Namun
pemuda ini tak putus asa. Dengan sekuat
tenaga
terus dicobanya mencengkeram kepala
ular
putih raksasa itu berulang-ulang. Namun te-
tap
saja tidak mendapatkan hasil. Malah libatan
dan
gigitan taring-taring runcing Siluman Ular
Putih
makin hebat mencengkeram tubuhnya.
Kresss!
Kresss!
"Aaa...!"
Terdengar
tulang-belulang Dewa Kegelapan
remuk.
Jerit kesakitan Dewa Kegelapan pun
menggema
merobek angkasa. Namun seperti tak
mau
peduli dengan jeritan yang terdengar, taring-
taring
runcing siluman Ular Pulih terus mengga-
nyang
tubuh Dewa Kegelapan.
"Gggeeeerrr...!"
Siluman
Ular Pulih mengombang-
ambingkan
tubuh lawannya ke sana kemari. Tar-
ing-taringnya
yang tajam telah berlumuran darah
merah.
Tanpa mempedulikan apa pun, terus di-
permainkannya
tubuh Dewa Kegelapan.
"Soma!
Jangan kau bunuh! Aku telah ber-
janji
di depan makam guruku untuk membunuh
manusia
itu dengan tanganku sendiri!" teriak
Arum
Sari, tiba-tiba.
"Gggeeerrr!"
Sepasang
mata merah saga ular putih rak-
sasa
itu sejenak menatap tajam Arum Sari. Se-
mentara
tubuh Dewa Kegelapan yang lemas sese-
kali
terlihat menggeliat-geliat.
"Soma!
Lekas lemparkan manusia iblis itu
kemari!"
teriak Arum Sari lagi.
"Ggggeeerrr!
Ggggeeerrr!"
Mendengar
gerengan ular putih raksasa
itu,
tanpa sadar Arum Sari menyurutkan langkah
ke
belakang. Hatinya khawatir juga kalau-kalau
Siluman
Ular Putih malah akan menyerangnya.
Apalagi
sepasang mata merah saga ular putih
raksasa
itu terlihat demikian mengerikan.
"Cepat,
Soma! Lemparkan Dewa Kegelapan
kemari!
Kau tak berhak membunuhnya!" teriakan
Arum
Sari, menguatkan tekadnya.
"Ggggeeerrr!"
Rupanya
kali ini Siluman Ular Putih mau
juga
menuruti perintah Arum Sari. Maka setelah
puas
mempermainkan tubuh Dewa Kegelapan,
kepalanya
segera digerakkan keras-keras. Dile-
paskannya
taring-taringnya yang menghujam di
tubuh
Dewa Kegelapan.
Werrr!
Saat
itu pula tubuh Dewa Kegelapan ter-
lempar
dari taring-taring ular putih raksasa itu.
Sebelum
tubuh berlumur darah itu tiba di tanah.
Arum
Sari cepat menyambutnya dengan samba-
ran
pedang. Dendamnya ingin dilampiskannya
saat
itu juga. Dan....
Crakkk!
Tak
ada keluhan keluar dari mulut Dewa
Kegelapan.
Tubuhnya kontan terpisah begitu ter-
kena
sambaran pedang di tangan Arum Sari. So-
soknya
yang tanpa kepala tertelan semak belukar.
Sedang
kepalanya menggelinding entah ke mana.
Arum
Sari berdiri gemetaran di tempatnya.
Sepasang
matanya yang tajam menatap sosok tu-
buh
Dewa Kegelapan penuh kebencian. Lalu en-
tah
kenapa, tiba-tiba saja gadis cantik itu menan-
gis.
"Guru...!"
"Lho?
Kok, malah menangis? Katanya mau
membunuh
Dewa Kegelapan dengan tangan sen-
diri.
Tapi kok malah menangis. Kalau tahu kau
jadi
sedih begini, harusnya tadi aku tak menye-
rahkan
Dewa Kegelapan padamu...."
Arum
Sari buru-buru menyusut air ma-
tanya
saat mendengar suara bernada menggerutu
dari
belakang.
"Kenapa?
Kok, malah sedih?" tanya Soma
yang
telah kembali berwujud manusia seraya me-
rengkuh
bahu Arum Sari lembut.
"Aku....
Aku terharu. Aku tak menyangka
dapat
membunuh orang yang telah menewaskan
guruku,"
kata Arum Sari, terisak memelas.
"Sudahlah!
Yang penting kau sudah dapat
membunuh
Dewa Kegelapan," hibur Siluman Ular
Putih.
"Tapi...
terus terang aku tak puas. Kare-
na....
Karena.... Ah...!"
Sulit
sekali rasanya Arum Sari mengung-
kapkan
perasaan hatinya.
"Karena
apa lagi?"
Arum
Sari tak menyahut. Pedang di tangan
kanannya
yang masih berlumuran darah tampak
bergetar-getar.
"Sudahlah!
Jangan sedih! Aku mau mengu-
rus
cecunguk-cecunguk penghuni Hutan Kenje-
ran
ini," hibur Siluman Ular Putih.
Dan
Soma pun segera menghampiri anak
buah
Gembong Kenjeran yang tampak masih ter-
pesona
melihat jalannya pertarungan aneh tadi.
"Mana
pimpinan kalian?" bentak Soma ga-
lak.
Beberapa
orang anak buah Gembong Ken-
jeran
segera celingukkan ke sana kemari mencari
pimpinan
mereka. Namun, mereka tak menemu-
kan
Gembong Kenjeran berada di sini.
"Tadi....
Tadi dia masih ada di sini, Tuan
Pendekar,"
sahut salah seorang anak buah Gem-
bong
Kenjeran, gemetaran.
"Hm...!
Apakah salah seorang di antara ka-
lian
ada yang menyembunyikan?" tanya Siluman
Ular
Putih. Lagi-lagi nada suaranya dibuat galak.
"Tid....
Tidak, Tuan Pendekar. Dari tadi
kami
berada di sini. Kami tak ke mana-mana,
Tuan
Pendekar."
"Hm...!"
Siluman Ular Putih menggumam
tak
jelas. Tampak sekali hatinya kecewa tak dapat
menemukan
Gembong Kenjeran. "Sudahlah! Se-
karang
aku minta kesanggupan kalian. Kalian ta-
hu,
kenapa aku tak membunuh atau menghukum
kalian?"
"Tidak,
Tuan Pendekar."
"Nah,
dengar! Karena aku masih menghor-
mati
kalian sebagai manusia. Untuk itu, kalian
pun
harus berbuat seperti manusia. Awas! Kalau
sampai
aku tahu kalian kembali bergelimangan di
jalan
sesat, jangan dikira aku tak dapat menghu-
kum
kalian. Mengerti?"
"Me....
Mengerti, Tuan Pendekar."
"Nah,
sekarang kalian boleh pergi! Eh,
tunggu'"
cegah Siluman Ular Putih buru-buru
manakala
teringat akan mayat Dewa Kegelapan.
"Ada
apa lagi, Tuan Pendekar?"
"Kalian
boleh meninggalkan tempat ini
dengan
satu syarat! Kuburkan mayat Dewa Kege-
lapan
terlebih dulu. Lalu, baru kalian boleh per-
gi!"
perintah Siluman Ular Putih.
"Baik,
Tuan Pendekar."
Siluman
Ular Putih mengangguk-angguk,
wibawa.
Dan begitu melihat para anak buah
Gembong
Kenjeran mulai menggali tanah, Silu-
man
Ular Putih menghampiri Arum Sari yang ma-
sih
menangis sesenggukkan.
"Arum!
Sekarang apa rencanamu? Apa kau
masih
ingin mencari orang yang telah membunuh
kedua
orangtua mu?" tanya Soma.
Arum
Sari mendongak.
Melihat
wajah si gadis, Siluman Ular Putih
jadi
trenyuh. Dilihatnya seraut wajah cantik di
hadapannya
pucat pasi. Sisa-sisa air mata masih
tampak membasahi kedua pipinya yang berkulit
putih
bersih.
Arum
Sari tak menyahut. Kepalanya hanya
mengangguk
seraya menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Apa
sekarang aku boleh menjadi penga-
walmu
untuk menemani perjalananmu mencari
Penghuni
Kubur?" tanya Soma.
Sekali lagi Arum Sari mengangguk. Silu-
man
Ular Pulih jadi tersenyum sumringah. "Kalau
begitu,
jangan menangis terus, dong! Ayo, hapus
air
matamu!" ujar Soma dengan senyum manis
terkembang
di bibir.
Arum
Sari menurut. Tanpa banyak mem-
bantah,
segera dihapusnya sisa-sisa air matanya.
"Nah...!
Begitu dong! Kan enak kelihatan-
nya.
Kau jadi kelihatan semakin cantik," puji mu-
rid
Eyang Begawan Kamasetyo, mulai mengelua-
rkan
rayuan gombal.
Arum
Sari tersenyum. Manis sekali, meski
senyum
itu samar-samar.
"Ayo,
kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-
ma.
Arum
Sari tak menyahut. Namun ketika
tangan
Siluman Ular Putih merengkuh bahunya,
gadis
ini pun pasrah saja. Malah dengan man-
janya,
kepalanya mulai berani direbahkan di dada
Siluman
Ular Putih sembari terus berjalan....
SELESAI
Segera
terbit:
TAPAK
MERAH DARAH
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Juru
Edit: Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon