1
Puncak
Gunung Sindoro.
Malam
berkabut. Langit kelam hanya dite-
rangi
cahaya bulan sepotong. Angin dingin ber-
hembus
berusaha mengusir kabut pekat yang
menyelimuti
puncak gunung penuh teka-teki ini.
Tak
terasa malam makin menikam jauh. En-
tah
kenapa suara binatang-binatang malam di
puncak
Gunung Sindoro terdengar makin riuh
dan
saling sambut. Itu pun masih ditingkahi oleh
riuh
rendah yang datangnya dari lautan pasir di
puncak
gunung. Makin lama suara itu makin ra-
mai,
tak ubahnya seperti sebuah pasar. Namun
anehnya,
ternyata di puncak Gunung Sindoro tak
ada
keramaian apa-apa, kecuali kabut yang terus
berarak-arakan.
Suara-suara
apakah itu sesungguhnya?
Sulit
untuk dapat dijawab. Dan itu memang
sebuah
rahasia gaib yang sampai sekarang belum
juga
terpecahkan. Menurut cerita dari mulut ke
mulut
penduduk kampung yang tinggal tak jauh
dari
Gunung Sindoro, suara-suara aneh itu ada-
lah
para dedemit atau hantu penjaga yang sedang
berpesta
pora di puncak gunung. Namun ada juga
satu
kepercayaan kalau di puncak Gunung Sin-
doro
memang terdapat sebuah pasar. Pasar Se-
tan!
Benarkah?
Sebelum
kesimpangsiuran itu terjawab....
"Kuuukkk...!"
Sebuah
suara dahsyat dan mengerikan men-
dadak
menjegal.
Keriuhan
itu pun terhenti seketika. Yang ada
hanya
suasana lengang seperti dicekam kenge-
rian.
Bulan sepotong di angkasa pun merinding
seolah
tak berani menatap mayapada pekat.
Semua
diam terpaku. Semua diam membisu.
Seekor
burung hantu besar berwarna kuning
tua
diam terpekur di atas bongkahan batu besar.
Sepasang
matanya yang besar berwarna hitam
nyalang
memperhatikan keadaan sekitar, seolah
ingin
menunjukkan pada alam mayapada bahwa
malam
ini adalah miliknya.
"Kuuukkk...!"
Dengan
suara yang ingin membelah angka-
sa,
burung hantu raksasa sebesar kambing itu
meloncat
dari terbang membubung tinggi. Kedua
sayapnya
yang besar bergerak-gerak gemulai
mengitari
puncak Gunung Sindoro. Tubuhnya te-
rus
melesat cepat ke tengah puncak gunung,
membentuk
sebuah bayangan hitam di antara
pancaran
redup sang rembulan.
"Kuuuukkk...!!!"
Sejenak
burung hantu raksasa itu berputar-
putar
di atas kawah mati puncak Gunung Sindo-
ro.
Sepasang matanya yang besar nyalang terus
menyorot
ke dalam kawah. Terutama sekali pada
sosok
hitam yang tengah duduk bersila di pinggi-
ran
kawah.
Seperti
mendapati apa yang diinginkannya,
sang
burung meluncur turun ke arah sosok hitam
itu.
Pelan tanpa suara, kakinya mendarat di paha
kanan
sosok yang ternyata seorang lelaki tua ren-
ta.
Sulit sekali menaksir usia si kakek. Yang jelas,
rambut
si kakek berpakaian jubah hitam ini telah
memutih.
Demikian pula alis dan bulu matanya.
Wajahnya
mengerikan. Sepasang matanya yang
cekung
ke dalam terpejam rapat-rapat. Kedua bi-
birnya
berwarna hitam. Kulitnya pun berwarna
hitam
legam. Di kedua pergelangan tangannya
melingkar
dua gelang akar bahar. Sebuah kalung
berbandul
tengkorak manusia berukuran kecil
menggelantung
dileher.
"Kuuukkk...!!!"
Burung
hantu raksasa itu mematuk-
matukkan
patuknya yang berwarna kuning ke
paha
si tua yang tengah khusuk bersemadi ini.
"Ada
apa, Meruya? Kenapa kau memban-
gunkan
semadiku?" tegur lelaki tua itu kasar, be-
gitu
membuka matanya perlahan-lahan.
Burung
hantu raksasa yang dipanggil Me-
ruya
meloncat ke tanah. Lalu paruhnya dipatuk-
patukkan
ke tanah, seolah-olah sedang mengata-
kan
sesuatu.
"Kau
ingin mengatakan sesuatu, Meruya?"
tanya
lelaki tua ini.
Burung
hantu raksasa itu kembali mema-
tuk-matukkan
kepalanya ke tanah disertai suara
mendekur
berkali-kali dan gerakan badan.
"Apa?
Kau bilang muridku si Penguasa Alam
tewas?"
lonjak si tua renta ini kaget. "Siapa yang
membunuh
muridku, Meruya?"
Meruya
menggerak-gerakkan kepalanya ke
kanan
kiri.
"Apa?
Kau tidak tahu?! Bodoh! Dasar burung
sialan.
Kau tak pantas menjadi peliharaan si Pen-
gasuh
Setan! Kau akan mendapat hukuman nan-
ti!"
Lelaki
tua yang menyebut dirinya Pengasuh
Setan
itu kecewa bukan main. Namun tampaknya
ia
masih dapat menyimpan kekesalan hatinya.
Meski
demikian perasaan gelisahnya tetap tidak
dapat
disembunyikan. Mendadak kepalanya men-
dongak
ke atas.
Memang,
Pengasuh Setan adalah seorang to-
koh
sesat yang jarang sekali menampakkan diri di
dunia
ramai. Di samping itu kesaktiannya pun
nyaris
tak tertandingi. Maka tak heran bila dia di-
anggap
sebagai momok dunia persilatan dengan
julukan
yang cukup seram.
Dan
entah mengapa sebagai tokoh sakti Pen-
gasuh
Setan bisa gelisah sedemikian rupa. Malah
kini
sepasang matanya terus memperhatikan bu-
lan
sepotong di atasnya. Beringas!
"Burung
goblok! Sekali ini kau salah. Aku ti-
dak
akan mengampunimu! Kau akan kubunuh
saat
ini juga! Sekarang, katakan! Apakah malam
ini
adalah malam Jumat Kliwon yang keempat pu-
luh?"
maki Pengasuh Setan, makin kalap. Kata-
katanya
sarat dengan ancaman. Kilatan sepasang
matanya
yang mencorong tajam menandakan ka-
lau
ancamannya tidak main-main.
Meruya
mengangguk-angguk, membuat Pen-
gasuh
Setan kali ini merasa lega. Kilatan sepa-
sang
matanya yang mencorong perlahan-lahan
meredup.
"Hm...!
Sekarang legalah sudah hatiku. Den-
gan
berakhirnya semadiku ini, berarti aku telah
dapat
mengendalikan semua setan-setan peliha-
raanku.
Bahkan aku dapat pula memanggil mere-
ka
untuk membantuku dalam menguasai dunia
persilatan!""
gumam Pengasuh Setan dalam hati.
Senyumnya
terkembang. Amat mengerikan.
"Kuuukkk!
Kuuuukkk...!!!"
Burung
hantu raksasa bernama Meruya
mengkukuk
berkali-kali. Kepalanya dan kedua
sayapnya
digerakkan ke sana kemari, seolah-olah
ingin
mengatakan sesuatu pada Pengasuh Setan.
"Hm...!
Kau mau bilang apa lagi, Meruya?
Oh...!
Jadi kau sempat melihat jalannya perta-
rungan
antara muridku dengan si pembunuh
itu?"
tebak Pengasuh Setan gembira.
Meruya
menggerak-gerakkan kepalanya ke
kanan
kiri.
"Bukan!
Jadi apa yang kau lihat, Meruya?
Oh...!
Kau hanya mendengar jeritan kematian
muridku.
Lalu, kau terbang berputar-putar di
puncak
Gunung Kembang sewaktu melihat seo-
rang
pemuda berlari turun. Ya ya ya...! Aku men-
gerti
kalau kau tak berani membangunkan tapa-
ku
sebelum waktunya. Dan kau menunggu hing-
ga
malam Jumat Kliwon yang keempat puluh ini.
Tapi,
siapa yang membunuh muridku, Meruya?"
cecar
Pengasuh Setan melengking pada akhir ka-
limat.
Burung
hantu raksasa itu gelisah bukan
main.
Sebentar-sebentar kepalanya ke sana ke-
mari
digerakkan.
"Kau
tidak tahu? Kau hanya mengatakan
yang
membunuh muridku hanyalah seorang pe-
muda?
Bodoh! Di penjuru bumi ini bukan hanya
terdiri
dari seorang pemuda saja! Dasar burung
bodoh!
Tak berguna!"
Di
akhir kalimatnya, Pengasuh Setan me-
layangkan
telapak tangannya. Cepat sekali.
Plak!
"Kuuukkk...!!!"
Burung
hantu peliharaan Pengasuh Setan
itu
kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terja-
tuh
ke dalam kawah begitu terkena tamparan ma-
jikannya.
Namun dengan gerakan gesit Meruya
segera
berputar balik dan terbang tinggi di angka-
sa.
Pengasuh
Setan sempat mengeluarkan ge-
raman.
Entah kesal pada kebodohan burung per-
liharaannya,
atau karena mendengar berita kema-
tian
muridnya. Yang jelas, tubuhnya tahu-tahu
sudah
berkelebat cepat meninggalkan tempatnya
bertapa.
Gerakan kedua kakinya tampak seperti
melenggang
biasa. Namun hebatnya, dalam bebe-
rapa
kelebatan saja sosok Pengasuh Setan telah
menghilang
di balik mulut kawah.
***
Seperti
yang terdapat di puncaknya, hampa-
ran
lautan pasir di puncak Gunung Sindoro me-
mang
pantas disebut Segoro Pasir. Di mana-mana
dipenuhi
lautan pasir yang menggunduk dalam
belaian
angin malam.
Dari
tempat inilah suara-suara aneh tanpa
wujud
itu berasal. Bahkan suara riuh rendah itu
terdengar
makin ramai dan aneh. Terkadang ter-
dengar
lirih seperti tengah berbisik, terkadang
melengking-lengking
tinggi seperti tengah meri-
butkan
sesuatu. Dan, ke sanalah Pengasuh Setan
pergi!
"Diam!
Siapa yang menyuruh kalian beri-
sik?!"
bentak Pengasuh Setan, garang.
Lelaki
tua ini berdiri berkacak pinggang di
atas
sebuah bongkahan batu besar. Sepasang
matanya
yang mencekung terus memperhatikan
keadaan
sekitar, seolah-olah tengah memarahi
beberapa
orang anak kecil yang nakal.
Aneh!
Mendadak
suara riuh rendah di puncak Gu-
nung
Sindoro terhenti. Demikian pula suara bina-
tang-binatang
malam. Dan kini yang terdengar
hanya
desau angin malam saja yang menyapa
lembut
mayapada.
"Bagus!
Kalian memang harus patuh terha-
dapku.
Kalau tidak, tentu kalian akan kuhukum.
Sekarang,
lekas tunjukkan diri kalian!" lanjut
Pengasuh
Setan sarat ancaman.
Entah
ancaman atau hukuman apa yang
akan
diberikan Pengasuh Setan bila makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro
itu membangkang perintahnya. Buktinya saja,
entah
dari mana datangnya satu persatu mak-
hluk-makhluk
halus penghuni puncak Gunung
Sindoro
mulai menampakkan diri!
Kini
yang terlihat sungguh pemandangan
ganjil
sekaligus mengerikan. Wujud-wujud mak-
hluk
halus itu begitu menyeramkan. Sebagian
berwujud
raksasa hitam dengan sepasang mata
yang
menyala dan taring-taring yang melengkung
keluar.
Sebagian lagi berwujud bocah kecil berpe-
rut
buncit. Bahkan ada pula yang berwujud seo-
rang
wanita cantik yang juga bertaring. Belum la-
gi
wujud-wujud mengerikan lainnya yang juga
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro!
"Bagus,
bagus! Aku senang sekali memiliki
anak
buah seperti kalian yang harus patuh pada-
ku.
Akulah pengasuh kalian. Siapa membangkang
berarti
siap mendapat siksa di atas seribu siksa!
Kalian
paham?!"
Tak
ada sahutan kecuali suara riuh rendah
makhluk-makhluk
penghuni puncak Gunung
Sindoro
saja. Mereka saling kasak-kusuk satu
sama
lainnya.
"Diam!
Apa kalian tidak patuh lagi terhadap
perintahku?
Apa kalian ingin merasakan huku-
manku,
heh?!" ancam Pengasuh Setan, garang.
Sepasang
matanya yang berkilat-kilat tajam men-
gerikan
terus memperhatikan anak buahnya
Seperti
semula, makhluk-makhluk halus
penghuni
puncak Gunung Sindoro pun mendadak
menghentikan
kasak-kusuk mereka. Malah ada
sebagian
lainnya yang tidak berani membalas
pandang
mata lelaki tua renta di hadapannya.
"Sekarang,
dengarkan! Buka telinga kalian
lebar-lebar!
Bila suatu saat aku membutuhkan
tenaga,
kalian harus membantuku! Kalian harus
menuruti
perintahku. Akulah yang mengasuh ka-
lian!
Akulah yang mendidik kalian! Maka tak ada
bakti
lain, kecuali harus membantuku untuk
menguasai
dunia persilatan! Kalian paham?!" lan-
jut
si Pengasuh Setan.
Tetap
tak ada sahutan. Namun para mak-
hluk
halus penghuni puncak Gunung Sindoro itu
tak
berani mengeluarkan sepatah kata pun. Mu-
lut
mereka seolah terkunci rapat-rapat dengan
kepala
terus tertunduk.
"Bagus!
Meski kalian tidak dapat bicara, na-
mun
aku yakin akan ketaatan kalian. Sekarang
aku
ingin meninggalkan kalian untuk beberapa
saat.
Aku ingin mencari orang yang telah mem-
bunuh
muridku, Penguasa Alam. Dan kuminta,
kalian
harus tetap menjaga puncak Gunung-
Sindoro
dari jarahan siapa saja! Terutama sekali,
kalian
harus tetap menjaga Kitab Paguyuban Se-
tan
yang belum sempat kupelajari! Awas! Jangan
sampai
kitab itu hilang! Kalau sampai kitab itu
hilang,
berarti kalian semua harus bertanggung
jawab.
Kalian semua harus mendapat hukuman!
Biar
lari sampai ke ujung langit, jangan dikira
aku
tak dapat menangkap kalian!" perintah Pen-
gasuh
Setan sarat ancaman.
Habis
mengeluarkan perintah, sejenak tokoh
sesat
dari puncak Gunung Sindoro itu menyapu
pandangan
ke arah pengikutnya. Lalu kepalanya
mendongak.
Sepasang matanya yang mencekung
ke
dalam bergerak-gerak mencari sesuatu di ang-
kasa.
Sejenak kemudian ia melihat titik hitam ke-
cil
yang bergerak-gerak di atas bukit kawah mati.
"Meruya!
Ke sini kau!" teriaknya.
"Kuuukkkk...!!!"
Terdengar
suara sahutan burung hantu di
kejauhan
sana. Selang beberapa saat burung pe-
liharaan
Pengasuh Setan bernama Meruya itu
terbang
mendekat, dan hinggap dibongkahan ba-
tu
besar tepat di depan majikannya.
"Meruya!
Kau awasi anak-anak asuhanku itu
baik-baik!
Jangan sampai mereka lengah! Apalagi
sampai
ada seseorang yang mencuri Kitab Pa-
guyuban
Setan! Kaulah yang pertama kali men-
dapat
hukuman bila kitab itu hilang. Kau paham,
Meruya?!"
"Kuuukkk...!!!"
"Bagus!
Aku senang sekali mendengar ke-
sanggupanmu.
Sekarang aku akan meninggalkan
kalian.
Jaga puncak Gunung Sindoro ini baik-
baik!"
Tak
ada lagi kata-kata perintah yang melun-
cur
dari bibir Pengasuh Setan. Karena sebelum
gema
suaranya lenyap, tokoh sesat dari puncak
Gunung
Sindoro itu telah berkelebat cepat menu-
runi
puncak gunung. Dan hanya dalam beberapa
kelebatan
saja, sosoknya telah menghilang di ba-
lik
kegelapan malam.
Begitu
sosok Pengasuh Setan menghilang,
suara-suara
riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro
kembali terdengar. Makin lama makin riuh.
Dan
entah siapa yang terlebih dahulu memulai,
makhluk-makhluk
haus itu mulai berjingkrak-
jingkrak,
menari-nari. Seolah-olah mereka baru
saja terbebas dari orang yang menguasainya se-
lama
ini.
2
Tidak
seperti biasanya, siang ini matahari te-
rasa
garang memanggang apa saja yang ada di
muka
bumi. Tanah pecah berpetak-petak. Sawah
sekarat.
Angin kering berhembus kencang dari se-
latan,
menerbangkan apa saja. Bahkan sampai
rumah-rumah
penduduk kampung.
Mengerikan!
Sudah
tiga bulan ini alam memang tak lagi
ramah.
Pertanda apakah ini. Mungkinkah Tuhan
telah
murka dengan menimpakan petaka di muka
bumi?
Memang bisa jadi demikian bila hukum
rimba
berlaku di salah satu muka bumi. Siapa
yang
kuat, dia yang menang. Maka, makin sem-
purnalah
kesengsaraan. Yang kaya makin tertawa
yang
miskin makin menjerit.
Orang
miskin hanya bisa mengharap dan bi-
sa
memohon. Walau sebenarnya mereka tak pan-
tas
mendapat hukuman seperti ini. Sawah mere-
ka
kering. Biji-biji padi tak berisi. Mengerikan!
Ibarat
setitik nila, rusak air susu sebelanga.
Satu
yang berbuat tercela, maka semua yang me-
nanggung
akibatnya. Tak terkecuali, petaka tetap
berlalu di mana-mana. Tangis-tangis kelaparan
dan
jerit-jerit kematian tetap bergaung setiap
saat!
Bagi
seorang pemuda yang kini tengah me-
lenggang
santai di pematang kering, siksa kelapa-
ran
yang mendera perutnya tak begitu mengusik
hari-harinya.
Kakinya
terus saja melangkah tanpa beban
dan
tanpa arah tujuan.
Wajah
pemuda itu tampan. Tubuhnya kekar
berotot.
Rambutnya panjang tergerai di bahu. Pa-
kaiannya
rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan.
Senjata anak panahnya tampak ter-
sembul
dari balik pinggang. Di pergelangan tan-
gannya
melihat pula gelang akar bahar.
Sejenak
pemuda tampan yang tak lain murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu menghentikan
langkahnya
di persimpangan pematang. Sepasang
matanya
memperhatikan keadaan sekitar dengan
hati
menangis. Di sana-sini tampak hanya ham-
paran
sawah kering. Batang-batang padi yang
menguning
bertumpukan di pinggir-pinggir pema-
tang.
Tak
jauh dari tumpukan jerami, tampak seo-
rang
bocah lelaki terus merengek minta makan
pada
ibunya yang masih tergolong muda. Sang
ibu
berkali-kali menghiburnya. Namun bocah be-
rusia
lima tahun itu seperti tak mau mengerti. Ia
terus
saja merengek dengan wajah memelas.
"Ibu,
makan! Lapar. Aku lapar sekali...!" ren-
gek
si bocah kecil.
Sang
ibu muda yang sedang membereskan
tumpukan
jerami sejenak menatap anaknya den-
gan
sinar mata trenyuh. Tak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
Ubi atau singkong tak punya. Apa-
lagi
nasi.
"Tahan
sebentar, Nak! Nanti Ibu mintakan
ubi
pada tetangga sebelah," bujuk ibu muda itu.
"Tapi
aku lapar sekali, Bu. Aku ingin makan
sekarang,"
desak si bocah.
Sang
ibu menarik napasnya. Getir. Kalau be-
gitu,
apa yang bisa dilakukan? Kini yang paling
hanya
bisa dilakukan adalah mengalihkan perha-
tian
pada suaminya di tengah sawah. Seolah, ia
ingin
menumpahkan penderitaan anaknya pada
sang
suami, seorang lelaki berusia tiga puluh ta-
hun.
Sang
suami yang mendengar rengekan
anaknya
hanya mengangkat bahu. Bibirnya me-
nyeringai
kecut. Pancaran matanya sayu, seolah
tak
tega melihat penderitaan anaknya. Namun, ia
tak
bisa berbuat apa-apa kecuali meneruskan pe-
kerjaannya.
Dikumpulkannya batang-batang padi
yang
berserakan dan ditumpuk di pinggir pema-
tang.
Entah itu berguna buat dirinya, entah tidak.
"Ibu!
Lapar. Bu....Lapar..."
Bocah
kecil itu tak dapat meneruskan uca-
pannya.
Mendadak perutnya dipegangi kuat-kuat.
Kedua
kakinya gemetaran.
Sang
ibu kelabakan bukan main. Buru-buru
dihampirinya
si bocah di pinggir pematang sawah.
"Ah...,
Anakku! Kasihan sekali kau! Tunggu
sebentar,
Nak! Ibu akan mencarikan ubi untuk-
mu,"
ujar ibu muda itu.
"Cepat,
Bu. Aku lapar sekali"
"Iya,
iya."
Tergopoh-gopoh
sang ibu segera meninggal-
kan
pematang sawah. Sementara sang suami
hanya
dapat memandangi kepergian istrinya den-
gan
hati trenyuh.
Sampai
di sini, Soma tak tahan lagi. Tanpa
sadar
tangannya merogoh saku celana. Tapi
sayang,
ia tak punya uang sepeser pun. Soma
meringis.
Hatinya ngilu sekali tak dapat menolong
keluarga
petani itu.
"Kasihan
sekali mereka. Seharusnya aku da-
pat
menolong mereka. Tapi sayang, aku tak
punya
uang...," gumam hati Soma, kecut.
Pemuda
berjuluk Siluman Ular Putih ini
menggaruk-garuk
kepala. Bingung. Perutnya sen-
diri
sudah melintir minta diisi. Sejak kemarin
siang
ia memang tak sempat makan, karena tidak
ada
makanan. Jangankan makan. Seteguk air
pun
belum menyentuh perutnya. Padahal, tenggo-
rokannya
sudah kering.
***
Bencana
kelaparan tahun ini benar-benar
luar
biasa. Tangis bocah kecil bergema di mana-
mana.
Tak ada bahan makanan yang dapat dima-
kan
untuk hari ini. Apalagi hari-hari esok. Bila
ada
yang memiliki bahan makanan, mereka tentu
akan
berpikir tujuh kali untuk memberikan pada
orang
yang membutuhkan. Bagaimana mungkin
mereka
dapat membagi-bagikan makanan kalau
anak
dan istrinya sendiri juga membutuhkan? Di
sini
akan lebih terasa, betapa berharganya sepo-
tong
ubi.
Dengan
tergopoh-gopoh sang ibu muda yang
tadi
ditangisi anaknya berlari-lari ke tengah desa.
Matanya
jelalatan ke sana kemari mencari-cari te-
tangganya
yang barangkali dapat memberi sepo-
tong
ubi untuk pengganjal perut anaknya. Namun
sayang,
semua tetangganya pun kelaparan. Ka-
laupun
ada yang punya sepotong makanan, tentu
saja
keluarga sendiri yang didahulukan. Kini wa-
nita
muda itu hanya berdiri bingung di samping
jalan
desa. Tangannya tak henti-hentinya mere-
mas-remas
pakaian.
Sang
ibu muda itu mengeluh. Air matanya
mulai
merembes keluar. Ia sudah keluar masuk
rumah
tetangganya. Dan ibu muda itu hanya bisa
menangis,
menyesali musim kemarau yang ber-
kepanjangan.
Menyesali lumbung padinya yang
kosong.
Menyesali tetangganya yang kikir.
Sejenak
ibu muda itu tercenung. Tampak
sekali
kalau kakinya ragu-ragu dengan tatapan
hampa
ke arah simpang jalan desa. Di sana se-
buah
kedai berdiri. Kakinya ingin segera melang-
kah
ke sana. Namun, tak sepeser pun ia mempu-
nyai
uang. Padahal anaknya tengah menunggu
kedatangannya
di pematang sawah. Terbayang
olehnya,
anaknya kini tengah melejang-lejang
menahan
lapar. Kalau dibiarkan, bukan mustahil
anaknya
akan mati.
Ibu
muda itu menjerit lirih. Kedua telapak
tangannya
ditangkupkan ke muka. Air matanya
bercucuran
membasahi jari-jari tangan. Tampak
sekali
kalau hatinya makin dihinggapi keraguan.
Bukan
saja karena tak memiliki uang yang mem-
buat
ragu-ragu melangkah. Melainkan pemilik
kedai
itu terkenal kikir. Bahkan berkali-kali pemi-
lik
kedai itu menggodanya walau ia sudah bersu-
ami.
Itulah yang membuatnya ragu.
"Duh...
Gusti! Mohon ampunan-Mu! Kenapa
Kau
timpakan bencana di desa kami? Kenapa Kau
timpakan
pula pada keluarga kami? Oh....."
Ibu
muda itu menangis sesenggukan. Air
matanya
makin bercucuran membasahi jari-jari
tangan.
Namun mengingat penderitaan anaknya,
mendadak
tekadnya timbul kembali. Kepalanya-
segera
tegak kembali. Wajahnya yang cantik tam-
pak
demikian pias. Kedua bibirnya gemetaran.
Sepasang
matanya yang indah terus memperhati-
kan
kedai dengan dada naik turun.
Ibu
muda itu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Berusaha
menekan perasaannya yang berkeca-
muk.
Lalu dengan tergopoh-gopoh ibu muda itu
melangkah
menuju kedai. Dan kebetulan saat itu
seorang
lelaki berperut buncit tengah berada di
depan
kedai. Dialah si pemilik kedai.
"Tolonglah
anakku, Sukiat! Tolonglah anak-
ku!
Anakku kelaparan. Aku mohon padamu! Beri-
lah
aku barang sepotong ubi untuk pengganjal
perut
anakku!" ratap ibu muda itu meledak-ledak,
begitu
berada dua tombak di depan pemilik kedai
yang
bernama Sukiat
Si
pemilik kedai menoleh malas-malasan.
Tapi
begitu melihat wajah cantik si ibu muda, wa-
jahnya
yang jelek berubah berbinar. Malah ma-
tanya
berkali-kali melirik ke arah beberapa orang
tamunya,
takut tindakannya diketahui.
"Boleh,
boleh! Tapi mana uangnya?" tanya
Sukiat,
berbasa-basi.
"Aku
tidak punya uang, Sukiat. Tolonglah
aku,
Sukiat. Nanti aku rela mengerjakan apa saja
yang
kau perintahkan," ratap si ibu muda.
Kembali
sepasang mata pemilik kedai itu
berkilat-kilat
penuh kegembiraan. Dengan otak
ngeresnya,
terus diperhatikannya tubuh ibu mu-
da
itu. Terutama sekali pada belahan dada yang
membusung
indah.
"Benarkah?
Kau mau melakukan apa saja
yang
kuperintahkan?" terabas lelaki pemilik kedai
itu
dengan jakun turun naik.
"I...
iya. Tapi… tapi...."
"Jangan
ragu-ragu, Marni!" potong Sukiat se-
raya
melangkah mendekati. "Ambillah makanan
yang
paling enak di kedaiku ini untuk anakmu.
Tapi
nanti malam, kau harus datang kemari!"
Senyum
penuh hasrat si lelaki tampak ter-
sungging
di bibir.
"Aku.....Aku...,"
sahut ibu muda yang di-
panggil
Marni, kelu. "To..., tolonglah. Jangan kau
perintahkan
aku seperti itu. Aku.... aku...."
"Apa?
Kalau begitu, buat apa kau datang
kemari,
heh?! Lekas tinggalkan kedaiku!" hardik
si
pemilik kedai kasar. Sepasang matanya melotot
penuh
kemarahan.
"Tolonglah
aku, Sukiat! Anakku kelaparan.
Tolonglah
aku. Tolong...!" ratap Marni memelas.
Sukiat
kesal bukan main. Beberapa orang
yang
sedang asyik makan minum di kedai mulai
terusik.
Dan kini pemilik kedai itu gelisah sekali.
Dengan
kasar segera diusirnya Marni.
Marni
menjerit-jerit, memelaskan. Tapi pemi-
lik
kedai itu sedikit pun tidak menaruh rasa iba.
Dengan
kasar didorongnya tubuh Marni hingga
jatuh
bergulingan. Pada saat inilah, mendadak....
"Ada
apa ini, he?! Kenapa ribut-ribut?"
Terdengar
bentakan galak dari seseorang,
membuat
Sukiat terhenyak.
***
Sepasang
mata sembab Marni menukas pe-
nuh
harap ke arah seorang pemuda yang berdiri
di
sisinya. Langsung dirangkulnya kedua kaki si
pemuda.
"Marni!
Memalukan sekali kau! Lekas, ting-
galkan
kedaiku!" hardik Sukiat, gusar.
"Ada
apa ini, he?! Kenapa kau kasar sekali
pada
perempuan ini, Paman?" bentak pemuda
tampan
berambut gondrong sebatas bahu. Pa-
kaiannya
rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan.
Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda
tampan
itu kalau bukan murid Eyang Begawan
Kamasetyo.
"Dia
selalu mengganggu kedaiku. Sebal aku?
Jadi
kuusir saja dia daripada tamu-tamu langga-
nanku
kabur," kilah Sukiat.
"Itu
tidak benar, Tuan Muda. Aku tidak per-
nah
mengganggu kedai ini. Aku hanya minta ba-
rang
sepotong ubi untuk pengganjal perut anakku
yang
kelaparan," sergah Marni.
"Hm...
begitu? Lalu, kenapa kau tidak mem-
berikan
barang sepotong ubi pada perempuan ini,
Paman?
Apa hanya sepotong ubi yang diminta pe-
rempuan
ini membuat kedaimu rugi? Lekas, bua-
tkan
tiga bungkus makanan yang paling enak di
kedai
untuk ibu muda ini!" perintah Soma.
Lagak
si pemuda persis juragan kaya men-
dadak.
Padahal untuk mengganjal perutnya sen-
diri
hari ini saja ia belingsatan tidak karuan. Tadi
diam-diam
Soma memang mengikuti si ibu muda.
Dan
mereka mendengar suara-suara ribut baru-
lah
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu melang-
kah
mendekati. Dan betapa kesalnya hatinya kala
melihat
pemilik kedai berlaku semena-mena ter-
hadap
ibu muda yang dilihatnya di pematang sa-
wah
tadi.
Sebenarnya
Soma gelisah sekali kalau-kalau
pemilik
kedai itu menanyakan uang. Namun un-
tungnya,
pemilik kedai itu tidak menanyakannya.
"Baik,
baik! Aku akan membuatkan tiga
bungkus
makanan yang paling, enak di kedaiku
pada
perempuan ini. Tapi kau sendiri mau makan
apa,
Tuan Muda?" tanya Sukiat.
"Hm…!"
Entah kenapa Soma malah garuk-
garuk
kepala. "Sama dengan ibu muda ini, Pa-
man."
"Baik.
Silakan masuk, Tuan Muda!" sambut
pemilik
kedai itu sumringah. Namun sewaktu
akan
masuk, Soma menangkap kilatan kebencian
pemilik
kedai itu pada perempuan di hadapannya.
Soma
tidak mempedulikannya. Segera di-
angkatnya
bahu ibu muda itu. Dibawanya Marni
ke
dalam, dan didudukkan di sebuah kursi.
"Terima
kasih, Tuan Muda. Kau baik sekali.
Semoga
Tuhan selalu memberkatimu," ucap Mar-
ni.
"Sudahlah!
Jangan diteruskan! Tak adanya
mengungkit
pertolongan yang tak berarti ini. Se-
karang,
duduk saja di tempatmu. Dan, tunggu
manusia
kikir itu selesai membungkuskan maka-
nanmu
dan keluargamu," ujar Soma, halus.
"Terima
kasih."
Selang
beberapa saat, Sukiat telah keluar
dengan
tangan membawa tiga bungkusan nasi.
Begitu
tiba di dekatnya, Marni buru-buru men-
gambilnya.
Setelah mengucapkan terima kasih
sekali
lagi pada Soma, perempuan itu pun segera
berlalu.
Soma
tersenyum senang. Diam-diam dapat
dibayangkan
betapa senangnya bocah kecil yang
kelaparan
itu melihat ibunya membawa nasi Ten-
tu
saja suaminya akan heran. Tapi bila juga curi-
ga
melihat istrinya membawa tiga bungkusan nasi
yang
hampir tiga bulan ini tak ditemukan.
Sembari
menikmati makanan yang dihi-
dangkan
laki-laki pemilik kedai, Soma sendiri di-
am-diam
terus berpikir. Sepeser pun ia tidak
punya
uang. Bagaimana mungkin dapat mem-
bayar
makanan yang telah dipesannya?
"Aku
harus mencari akal! Orang kikir ini ha-
rus
diberi pelajaran. Pada masa sulit seperti ini,
teganya
ia memperlakukan semena-mena terha-
dap
perempuan itu. Padahal, yang diminta pe-
rempuan
itu hanya meminta sepotong ubi. Men-
jengkelkan!
Ingin rasanya aku merobek mulutnya
yang
lancang itu. Mudah saja melakukannya se-
benarnya.
Tapi sayang, aku tak ingin melibatkan
perempuan
itu. Tapi, bagaimana caranya? Inilah
yang
sulit...."
Soma
terus terpekur di tempat duduknya.
Makanan
yang dihidangkan sudah amblas masuk
ke
dalam perut. Sekarang, gilirannya yang harus
bertanggung
jawab.
Mungkin
karena saking lamanya si pemuda
duduk
ongkang-ongkang kaki di kedainya, berka-
li-kali
pemilik kedai itu mondar-mandir di depan
mejanya.
Sebentar-sebentar matanya melirik ke
arah
Soma kalau-kalau akan segera membayar
makanannya.
Tapi sayang, Soma tidak mempedu-
likannya.
Kakinya malah diangkat seenaknya.
Terpaksa
Sukiat kembali ke tempatnya semula.
Namun
baru saja pemilik kedai itu melang-
kah,
mendadak terdengar derap kaki-kaki kuda
tengah
menuju kedai. Seketika sepasang matanya
membelalak
lebar. Parasnya pias. Tanpa sadar ke-
ringat
dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Celaka!
Celaka dua belas! Mereka datang
kemari!"
kata Sukiat, kalang kabut ketika serom-
bongan
orang berkuda memasuki halaman ke-
dainya.
3
Soma
sebenarnya tak ingin peduli. Namun
ketika
melihat enam orang berkuda itu turun dan
melangkah
menuju kedai, ingin tahunya terusik
juga.
Ingin dilihatnya apa yang akan dilakukan
orang-orang
itu.
Melihat
tampang-tampang mereka, jelas ke-
enam
orang berkuda ini tak bermaksud baik. Tapi
Siluman
Ular Putih masih ingin menanti kelanju-
tannya.
Ia ingin tahu, siapa yang jadi dalang di
balik
semua ini.
"Sebenarnya
aku tidak tega. Tapi kelakuan
pemilik
kedai ini memang kelewatan. Teganya
berbuat
semena-mena pada perempuan tadi. Apa-
lagi
pada masa-masa sulit seperti ini," gumam
Soma
dalam hati, masih di tempat duduknya.
"Sukiat!
Kali ini tidak ada alasan lagi untuk
tidak
membayar upeti kepada Juragan Lanang!
Kau
harus membayar sepuluh kali lipat dari
tunggakan
bulan kemarin. Dan kau pun harus
membayar
upeti bulan ini sekarang juga!" bentak
lelaki
bertubuh tinggi kekar yang berdiri paling
depan
setelah memasuki kedai. Wajah dan da-
danya
dipenuhi bulu lebat. Pakaiannya hitam
dengan
ikat kepala berwarna hitam juga. Agak-
nya,
dialah pemimpin rombongan yang ternyata
orang-orang
suruhan Juragan Lanang.
"Ingat,
Sukiat! Semuanya harus kau bayar
sekarang
juga! Kalau tidak, kedaimu ini akan ku-
bakar!"
bentak lelaki berwajah codet menimpali.
Paras
pemilik kedai itu kontan pucat. Seku-
jur
tubuhnya gemetar. Keringat dingin mulai
membanjiri
tubuhnya.
"Tapi...
Tapi, bukankah peraturan yang dulu
tidak
demikian? Mengapa sekarang jadi sepuluh
kali
lipat? Apakah... Apak..."
Braaak...!!!
Kata-kata
Sukiat terpenggal ketika pimpinan
anak
buah Juragan Lanang itu menggebrak meja
hingga
hancur berantakan.
"Jangan
banyak bacot! Juragan Lanang telah
menentukan
demikian. Lekas bayar seperti yang
kusebutkan
tadi!" bentaknya.
Sukiat
makin kalut. Lebih kalut lagi ketika
melihat
beberapa orang tamu langganannya mulai
kabur
tanpa membayar. Yang masih berada di
tempatnya
hanyalah tinggal Soma seorang. Na-
mun,
apakah pemuda itu akan kabur pula?
"Aku...
aku tidak punya uang sebanyak itu,
Perbowo.
Seperti yang kau lihat kedaiku baru saja
ditinggalkan
pembeli tanpa..."
Plakkk!
"Akh...!"
Pemilik
kedai itu tak mampu melanjutkan
kata-katanya
kecuali memekik kesakitan. Tubuh-
nya
kontan terlempar dan menghantam dinding.
Pipinya
yang terkena tamparan pemimpin rom-
bongan
yang bernama Perbowo pecah-pecah,
mengeluarkan
darah segar!
"Alasan!
Sekarang, lekas bayar kalau tidak
ingin
kedaimu ini kubakar!" ancam Perbowo.
"Ba...
baik."
Sukiat
jadi gugup bukan main. Seluruh tu-
buhnya
terasa lemas saat bangkit berdiri. Ingin
rasanya
ia menangis, namun tak kuasa. Terpaksa
diturutinya
kemauan pimpinan anak buah Jura-
gan
Lanang. Langkahnya terseret saat menuju
tempat
penyimpanan uang. Diambilnya uang
simpanannya
di peti. Dihitung sebentar, lalu di-
masukkan
ke kantong. Dan langkahnya kembali
terseret
saat menghampiri para begundal itu.
Perbowo
dan lima orang anak buahnya ter-
tawa
bergelak saat menerima uang dari Sukiat.
"Kalau
kau mau menurut, tentu aku dapat
berlaku
lembut padamu. Tapi karena kau sendiri
yang
cari penyakit, ya apa boleh buat!" kata Per-
bowo
gembira.
Pemilik
kedai itu memberengut kesal. Saking
kesalnya,
tak sepatah kata pun keluar dari bibir-
nya
yang gemetaran. Hanya pandang matanya sa-
ja
yang terus memperhatikan kantong kecil di
tangan
Perbowo. Jelas, hatinya tak iklas.
Sementara,
Soma tak mungkin membiarkan
penindasan
berlangsung di depan mata. Walau,
orang
yang ditindas jelas orang kikir.
"Eh,
Manusia Berbulu! Kok aku tak ditarik
upeti?"
celoteh murid Eyang Begawan Kamasetyo,
tenang.
Perbowo
dan lima bawahannya yang ber-
maksud
meninggalkan kedai makan mendadak
menghentikan
langkahnya. Pandang mata mereka
yang
beringas langsung menghujam tajam ke
arah
Soma.
Siluman
Ular Putih tersenyum-senyum. Ma-
lah
enak sekali duduk ongkang-ongkang kaki se-
perti
itu. Hal ini membuat Perbowo dan kelima
anak
buahnya jadi gusar.
"Kunyuk
sinting! Apa kau bilang tadi, he?!"
bentak
Perbowo.
Si
pemuda tampan itu tetap tenang dengan
senyum
manis.
"Aku
heran. Heran sekali. Kok masih ada sa-
ja
manusia berhati binatang. Apa barangkali du-
nia
sudah terbalik? Kok bisa-bisanya memeras
orang
seenak perut sendiri. Di zaman paceklik be-
gini lagi. Hm hm...! Edan!" gerutu Soma
kalem.
Sejenak
ia berdecak-decak seraya menggeleng-
geleng.
"Apa
kau bilang, Kunyuk Sinting? Kau bilang
kami
manusia berhati binatang, he?!" bentak Per-
bowo,
kontan bangkit amarahnya.
"Nah,
kau sudah mengatakannya sendiri."
"Setan
alas! Kunyuk sinting macam kau
memang
patut mendapat pelajaran!"
Perbowo
langsung melangkah lebar ke arah
Soma.
Jari-jari tangannya sudah terkepal erat
siap
menghajar.
"Eh,
tunggu!"
Soma
mengangkat tangan. Dan entah kena-
pa
Perbowo menghentikan langkahnya. Padahal
Soma
langsung mengalihkan perhatian pada Su-
kiat.
"Eh,
manusia tengik pemilik kedai! Enaknya
diapakan
manusia-manusia penolak bala ini? Apa
tidak
sebaiknya dijadikan pelengkap sayur asem-
mu?"
oceh Soma seenak dengkul.
Perbowo
menggeram penuh kemarahan.
Ucapan
Soma benar-benar sudah melampaui ba-
tas.
Jelas harga dirinya merasa diinjak-injak bila
dikatakan
sebagai manusia-manusia penolak
bala.
Maka tanpa diperintah, kelima orang anak
buahnya
telah mengurung Siluman Ular Putih.
Soma
tetap tenang-tenang saja. Malah kaki
sebelah
diangkat seenaknya.
"Hey,
Pemilik Kedai! Jawab dong, perta-
nyaanku!
Ah, dasar pengecut! Kau pun tak ubah-
nya
manusia-manusia penolak bala ini!" lanjut
Soma.
"Bajingan!
Beraninya kau menghina kami
demikian
rupa? Apa kau tidak tahu tengah ber-
hadapan
dengan siapa, he?!" bentak Perbowo, tak
dapat
lagi mengendalikan amarah. Jari-jari tan-
gannya
yang sudah terkepal erat segera dihan-
tamkan
ke wajah Soma.
"Eh,
apa telinga kalian sudah budek? Bu-
kankah
kalian ini bangsanya manusia-manusia
penolak
bala? Kenapa kau sendiri malah jadi lu-
pa?
Dasar manusia-manusia tak berguna!" celo-
teh
Soma sambil mengibaskan tangannya.
Plak!
"Aaah...!"
Tampaknya,
Siluman Ular Putih seperti
mengusir
seekor lalat yang mengganggu saja.
Namun
anehnya, seketika Perbowo menjerit kesa-
kitan.
Buku-buku tangannya seperti menghantam
tembok
baja yang kuat bukan main!
Lelaki
kekar itu gusar bukan main. Rasa sa-
kit
yang menjalar buku-buku tangannya tak dihi-
raukan
lagi. Segera dicabutnya golok di pinggang.
Sedang
tanpa diperintah, kelima orang anak
buahnya
pun segera mencabut golok pula.
Sret!
Sret!
"Eh,
kalian ini mau apa mengeluarkan golok
segala?
Mau potong kambing? Justru kalianlah
yang
pantas jadi kambing!" ejek Soma memanas-
manasi.
Hati
Perbowo yang sudah panas, makin ter-
bakar
mendengar ejekan Soma kali ini. Tanpa ba-
nyak
cakap, segera diterjangnya pemuda itu.
Bahkan
kelima anak buahnya pun tak mau ke-
tinggalan.
Dengan golok di tangan mereka segera
menyerang
Soma dari segala arah.
Melihat
berkelebatannya enam bilah golok
menyerang
dirinya, Siluman Ular Putih masih
sempat-sempatnya
tertawa menggoda. Sedikit
pun
hatinya tidak gentar menghadapi keroyokan
anak
buah Juragan Lanang. Dan dengan satu ge-
rakan
cepat luar biasa, Soma bangkit dari du-
duknya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke sana
kemari
dengan bergerak menotok.
Tukkk!
Tukkk!
Enam
kali jari-jari tangan Soma bergerak,
maka
tubuh keenam orang anak buah Juragan
Lanang
pun kaku tak dapat digerakkan dengan
mata
terbelalak tak percaya.
Ini
benar-benar di luar dugaan mereka.
Sungguh
tak disangka kalau mereka yang sangat
ditakuti
di Dusun Karang Kobar ini hanya dapat
dirobohkan
oleh seorang pemuda dalam sekali
gebrakan.
Benar- benar sulit dipercaya!
Soma
tersenyum-senyum senang begitu ber-
henti
berkelebat.
"Nah,
begitu juga boleh! Kan enak? Daripada
ngamuk,"
goda Soma.
Perbowo
dan kelima orang anak buahnya tak
banyak
tingkah lagi. Kini mereka tahu, pemuda
gondrong
itu adalah seorang pendekar sakti. Se-
bab
hanya orang berkepandaian tinggi saja yang
mampu
merobohkan mereka hanya dalam sekali
gebrak.
"Kalian
dengar! Buka telinga lebar-lebar! Apa
mata
kalian sudah buta, hingga tega-teganya
memeras
orang seenak perut?! Pikir! Jangan me-
longo
saja! Sudah tahu banyak penduduk kam-
pung
yang sekarat, eh kalian malah membuat
ulah.
Memalukan! Dasar manusia-manusia tak
berotak!"
omel Soma, lagaknya persis nenek-
nenek
kehilangan sirih.
Soma
berjalan mondar-mandir. Kedua tela-
pak
tangannya disembunyikan di balik punggung.
Dan
bila perlu, telunjuk tangannya menuding ke
arah
Perbowo dan kelima antek-anteknya.
"Coba
bayangkan! Kalau seandainya kalian
yang
diperas, apa akan begitu saja menyerahkan
harta
bendamu? Iya? Pikir! Mentang-mentang ka-
lian
punya sedikit kepandaian, lantas mau meme-
ras
orang seenak perut. Begitu? Hm...! Menyebal-
kan!
Apa kalian pikir orang-orang yang diperas ti-
dak
menderita? Goblok! Bisa saja aku membuat
hidup
kalian menderita seumur hidup. Biar ka-
lian
dapat merasakan, betapa sedihnya orang
menderita.
Apa kalian mau kalau kedua tangan
dan
kaki kalian kubuntungi?"
"Tid...
tidak!" sahut Perbowo, tergagap.
"Makanya
jangan sok bertingkah tengik be-
gini!"
tukas Siluman Ular Putih, sewot. "Sekarang
aku
mau tanya. Siapa yang menyuruh kalian me-
narik
upeti?"
"Ju....
Juragan Lanang..,."
"Goblok!
Kenapa tidak Juragan Wadon saja
sekalian?!
Huh! Kalau sudah begini, apa kalian
mau
tobat?"
"I....
Iya, Tuan Pendekar. Sa.... Kami me-
nyesal...,"
ucap Perbowo mewakili teman-
temannya.
"Menyesal-menyesal! Kalau sudah kena ba-
tunya
kalian bilang menyesal. Huh! Menyebalkan!
Percuma
saja bicara panjang lebar dengan manu-
sia-manusia
pengecut macam kalian! Sudah sana
pergi!"
Siluman
Ular Putih mengibaskan tangan, la-
lu
buru-buru menghampiri si pemilik kedai. Na-
mun karena tidak mendengar langkah-langkah
kaki
di belakang, mendadak badan Soma berba-
lik.
"Sudah
sana pergi! Kenapa malah melotot!"
usir
Soma.
"Kami...
kami masih tertotok...," jelas Perbo-
wo.
Soma
jadi tersenyum geli sendiri. Hampir sa-
ja
ia menepuk jidatnya. Namun mana sudi Silu-
man
Ular Putih mengakui ketololannya begitu sa-
ja.
Apalagi di hadapan Perbowo dan kelima orang
anak
buahnya.
"Dasar
goblok! Masa' kalian yang mengaku
anak
buah Juragan Lanang tak mampu membe-
baskan
totokanku! Memalukan!"
Soma
bersungut-sungut. Kesal. Namun toh
akhirnya
kakinya melangkah juga mendekat. Dan
saat
pandang matanya membentur pada kantong-
kantong
kecil di pinggang Perbowo, tanpa banyak
pikir
panjang lagi segera direnggutnya. Lalu dibe-
baskannya
totokan di tubuh Perbowo dan kelima
orang
anak buahnya.
"Sudah,
sana pergi!" usir Siluman Ular Putih,
seenaknya.
"Tapi,
kantong-kantong itu...," kata Perbowo,
keberatan.
"Jangan
banyak tanya! Lekas tinggalkan
tempat
ini! Toh, uang ini juga bukan milik kalian!"
Perbowo
tak berani lagi membantah. Tanpa
banyak
cakap, diajaknya kelima orang bawahan-
nya
untuk segera meninggalkan kedai makan.
Siluman
Ular Putih kini tersenyum-senyum
senang.
Puas hatinya bisa mengerjai Perbowo dan
kelima
orang anak buahnya yang kini telah lari
terbirit-birit
meninggalkan kedai makan. Ia tadi
memang
pura-pura berlaku galak dan kasar. Se-
bab,
orang-orang macam mereka memang patut
diperlakukan
demikian.
"Terima
kasih, Tuan Pendekar. Tak disangka
sama
sekali Tuan adalah seorang pendekar sakti,"
ucap
Sukiat, si pemilik kedai penuh hormat.
Melihat
sikap lelaki pemilik kedai yang ber-
lebihan,
Soma jadi kesal. Apalagi kalau teringat
akan
perbuatan semena-menanya terhadap pe-
rempuan
muda tadi. Hatinya jadi muak.
"Sudah!
Jangan banyak cincong! Kau pun
sama-sama
menyebalkannya dengan mereka!"
hardik
Soma, kembali pura-pura bersikap galak.
Sukiat
kontan diam membisu. Kepalanya di-
tundukkan
dalam-dalam.
Sementara
Soma segera mengeluarkan isi
kantong
hasil pemerasan Perbowo dan kawan-
kawan.
Cukup banyak memang. Bahkan teramat
banyak
untuk membayar uang makannya dan ti-
ga
nasi bungkus yang dibawa perempuan muda
tadi.
"Ini
semua untuk membayar makanku dan
tiga
nasi bungkus yang dibawa perempuan muda
tadi.
Sisanya, boleh kau ambil sendiri. Hitung-
hitung
untuk mengganti kedaimu yang rusak aki-
bat
ulah begundal-begundal itu!" ujar Soma se-
raya
menyerahkan kantong di tangan kirinya ke
tangan
laki-laki pemilik kedai itu.
Kening Sukiat
berkerut dalam. Kantong itu
bukan
lain adalah kantong miliknya yang tadi di-
berikan
pada Perbowo. Berarti, ia tidak menda-
patkan
bayaran sepeser pun. Ini benar-benar ce-
laka
dua belas!
"Dan
kantong yang satu ini, aku sendiri be-
lum
tahu siapa yang punya. Daripada pusing, aku
ingin
agar kau membagi-bagikannya pada pendu-
duk
kampung. Termasuk juga perempuan muda
yang
kau hina tadi. Ingat! Jangan sampai disunat!
Kalau
kau melanggar perintahku, akan kusunat
juga!"
"Ba....
Baik," sahut laki-laki pemilik kedai,
kelu.
Siluman
Ular Putih segera menyerahkan
kantong
di tangan kanannya pada laki-laki pemi-
lik
kedai. Tapi saat hendak berbalik....
"Aduuuh…!
Ini rumah makan kok beranta-
kan
begini! Apa barusan ada orang ngamuk?"
***
Kening
Soma dan Sukiat berkerut penuh ke-
heranan.
Di hadapan mereka kini berdiri seorang
gadis
cantik. Penampilannya amat menyolok. In-
ilah
yang membuat mereka keheranan. Bagaima-
na
tidak menyolok kalau gadis itu berpakaian
dengan
warna beraneka ragam. Merah, kuning,
hijau
dipadu jadi satu. Rambutnya dikuncir dua
ke
belakang. Juga dihiasi pita yang beraneka
warna.
Kedua telinganya dipasangi anting bundar
besar.
Benar aneh penampilan gadis itu.
Belum
lagi logat bicara si gadis. Manja. Te-
ramat
manja. Entah disengaja, atau memang be-
gitu
logat bicaranya. Demikian juga sikapnya. Tak
kalah
manjanya dengan logat bicaranya. Sikapnya
benar-benar
menggemaskan bagi siapa saja yang
melihat.
Kenes, manja, sekaligus juga menawan.
Soma
dan Sukiat-sampai melongo dibuatnya.
Persis
sapi ompong.
"Gadis
centil...," tegur Soma asal bunyi.
"Aduuuh..!
Kenapa kalian jadi melongo? Ke-
napa
pelayan jelek itu malah mengataiku gadis
centil?
Uhhh...! Menjengkelkan! Masa' rumah ma-
kan
begini bagusnya kok punya pelayan jelek se-
perti
itu. Rambutnya gondrong lagi!! Hey, Pelayan
Jelek!
Lekas ambilkan makanan yang paling enak
di
rumah makan ini!" kata si gadis, seenaknya.
Bukan
main menggemaskannya cara bicara
gadis
satu ini. Sambil bicara, tangannya pun ber-
gerak-gerak
ke sana kemari menawan. Kalau saja
yang
bicara sejenis perempuan nakal, sudah pasti
akan
menambah muak orang yang melihat. Na-
mun
yang bicara adalah seorang gadis cantik.
Muda
lagi! dan tampaknya dari golongan orang
baik-baik.
Hal ini justru makin menambah mena-
rik
penampilannya. Hingga tak heran kalau murid
Eyang
Begawan Kamasetyo kian terpesona!
"Aduuuuh...!
Siapa yang pelayan? Aku bu-
kan
pelayan. Aku tamu rumah makan ini," sahut
Soma,
ikut-ikutan latah. Sewaktu bicara, ping-
gulnya
digerak-gerakkan ke kanan kiri. Hingga
bukannya
menggemaskan, malah sebaliknya.
"Ah!
Curang! Kau niru aku! Kau harus kuha-
jar!
Biar tahu rasa!"
Habis
berkata, si gadis manja itu segera me-
lompat
ke depan. Ringan sekali gerakannya, per-
sis
seperti orang menari. Namun sewaktu tangan
kanannya
mengayun, baru Soma terperanjat! Ka-
rena
sebelum tangan mungil gadis manja itu
mengenai sasaran, terlebih dahulu telah berke-
siur
angin keras menyambar kulit tubuh.
"Ihhh...!
Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini?
Aku kan cuma niru sedikit. Masa' kau jadi
galak
seperti ini?" goda Soma sambil membuang
tubuhnya
ke samping kalau tidak ingin jadi sasa-
ran
empuk tamparan tangan gadis manja itu.
Brakk...!
Akibatnya,
dinding kedai makan itu jadi be-
rantakan
begitu terkena sambaran angin pukulan
si
gadis manja.
"Pelayan
jelek! Sekali lagi berani meniru-niru
aku
robek-robek mulutmu!" ancam si gadis man-
ja.
Si
gadis gusar bukan main, karena tak me-
nyangka
serangannya dapat dihindari pemuda
gondrong
di hadapannya dengan begitu mudah.
Hatinya
tersinggung berat. Mulutnya memberen-
gut
kesal. Dan tangannya pun ikut-ikutan mem-
berengut.
"Hiaaa...!"
Dengan
sekali menjejakkan kakinya ke ta-
nah,
tubuh tinggi ramping gadis manja itu telah
berkelebat
cepat menyerang Siluman Ular Putih.
"Oh…
hancur sudah kedaiku...," keluh lelaki
pemilik
kedai.
Semula
Sukiat hanya melongo melihat pe-
nampilan
gadis manja di hadapannya. Namun ki-
ni
mendadak jadi gelisah sekali. Tentu saja lelaki
ini
tidak ingin kedai makannya jadi langganan
ajang
pertarungan.
"Tunggu!
Kalian tidak boleh berkelahi di ke-
dai
makanku! Bisa hancur kedai makanku gara-
gara
kalian!"
"Orang
tua jelek! Apa tadi kau bilang? Kau
juga
ikut-ikutan latah? Kau pun akan kuhajar,
Orang
Tua!" bentak gadis manja itu, seraya
menghentikan
serangannya dan langsung meno-
leh
pada Sukiat.
"Ampun!
Aku tidak sengaja, Nona! Tolong
jangan
berkelahi di sini! Kasihanilah aku. Kedai
ini
akan hancur berantakan kalau kalian terus
berkelahi
di sini!" ratap Sukiat memelaskan.
"Baik!
Aku akan berhenti. Tapi pemuda ceri-
wis
ini harus kutampar dulu mulutnya!"
"Ampun!
Ampun! Aku tadi juga tidak sengaja
kok.
Aku hanya main-main. Kau jangan marah-
marah
lagi, ya! Jangan menampar pipiku! Kasi-
hanilah
aku, Gadis!" ratap Soma pura-pura me-
melas.
Entah
kenapa tiba-tiba gadis manja ini ma-
lah
tertawa. Sikapnya pun jadi lembut, tidak me-
ledak-ledak
seperti tadi.
Soma
sampai melongo dibuatnya. Sungguh
hatinya
tak percaya kalau sikap gadis di hada-
pannya
dapat berubah demikian cepatnya.
"Jadi...
kau sudah memaafkanku, Gadis?"
tanya
Siluman Ular Putih, ragu-ragu.
Gadis
manja itu tersenyum. Manis sekali.
Dan
jantung murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu
pun seperti berloncat-loncatan.
"Tidak,"
sahut gadis itu masih dengan se-
nyum.
Soma
masih ragu-ragu. Menilik sikapnya,
hatinya
yakin kalau gadis itu sudah memaafkan.
Maka
dibiarkannya saja saat gadis itu melenggak-
lenggok
lemah gemulai mendekati dirinya. Na-
mun....
Plakkk!
Soma
sempat terkejut ketika tiba-tiba tangan
gadis
itu tahu-tahu telah menampar pipinya. Se-
benarnya
mudah saja kalau si pemuda mau
menghindar.
Namun berhubung tidak ingin mem-
buat
marah hati gadis itu, maka dibiarkannya sa-
ja.
Semula dipikirnya, tamparan gadis itu tidak
keras.
Tapi justru Soma terpekik kaget. Pipinya
terasa
panas bukan main. Bahkan tubuhnya
sampai
meliuk ke samping.
Gadis
manja itu malah tersenyum. Manis se-
kali.
Namun bagi Soma, tetap saja menjengkel-
kan.
"Hik
hik hik...! Sudah kuduga, kau pasti be-
rilmu.
Makanya kau kutampar sedikit keras. Tapi
tidak
apa-apa, kan? Aku tadi memang hanya in-
gin
menjajal. Dan kenyataannya, kau memang
hebat.
Kau sanggup menerima tamparanku tanpa
sedikit
pun terluka," oceh si gadis seenak deng-
kul.
"Iya.
Tapi sakit...!"
Gadis
itu tertawa.
"Sudah,
ah! Jangan cemberut terus dong!
Yok,
kuajak makan!"
Tanpa
minta persetujuan dulu, tahu-tahu
tangan
si gadis telah melingkar di pinggang Soma,
dan
mengajaknya duduk di sebuah bangku. Si-
luman
Ular Putih yang semula memberengut,
mendadak
jadi tersenyum cerah. Habis, siapa
orang
yang tidak senang dirangkul oleh gadis can-
tik?
"Nah....
Kalau akur begitu kan enak. Aku ja-
di
senang melihatnya," cetus Sukiat sumringah.
"Tapi
ngomong-ngomong, kalian mau makan apa?
Sayur
lodeh atau...?"
"Lho?
Itu kan sayur kesukaanku dan nenek!"
sahut
gadis itu tiba-tiba.
"Oh,
ya? Kalau begitu, aku akan segera
membuatkan
sayur lodeh untuk kalian berdua,"
kata
lelaki pemilik kedai, lalu segera masuk ke
dapur.
Sebenarnya
Soma ingin menolak ajakan ma-
kan
gadis manja itu. Bukannya tidak mau. Tapi,
perutnya
sudah kenyang. Namun kalau menolak
berdua-duaan
dengan gadis itu, berarti tolol. Dan
kenyataannya,
pemuda ini tidak ingin dikatakan
tolol.
Ia memilih berdua-duaan dengan gadis can-
tik
di hadapannya.
"Ada
apa? Kok senyum-senyum saja?" tanya
gadis
manja itu mengusik lamunan Soma.
Soma
tersenyum.
"Aku
senang sekali berduaan denganmu.
Kau
cantik. Berkepandaian tinggi lagi. Siapa pun
juga
pasti akan senang berduaan denganmu," sa-
hut
Soma.
Gadis
manja itu memejamkan matanya. Ke-
dua
telapak tangannya ditelangkupkan di depan
dada,
seolah-olah meresapi apa yang dikatakan
Soma
barusan.
"Duh...!
Betapa senangnya hatiku! Rupanya
kau
pintar merayu, ya? Apa kau selalu merayu
setiap
gadis yang kau temui?"
"Tidak
tentu. Tapi begitu melihatmu, aku ja-
di
senang sekali bergaul denganmu."
"Boleh-boleh
saja. Asal jangan menggauliku!
Hik
hik hik...!" tukas si gadis mulai kambuh pe-
nyakitnya.
Soma
sendiri sampai memerah telinganya.
Tak
disangka gadis itu demikian berani.
"Boleh
aku mengetahui nama dan julukan-
mu?"
tanya Soma.
"Kau
curang! Kau sendiri belum menye-
butkan
namamu. Masa' aku disuruh menye-
butkan
dulu!" tukas si gadis manja. Kepalanya di-
gerak-gerakkan
demikian rupa dengan bibir ter-
sungging
manis.
"Namaku
Soma. Aku tidak memiliki julukan
apa-apa.
Kau?" jawab Soma.
"Aku
Mawangi. Julukanku, hm...," gadis
manja
itu tak melanjutkan ucapannya. Entah ke-
napa,
tiba-tiba pipinya merona merah.
"Kenapa
tidak diteruskan?!" kejar Soma.
"Aku
malu. Kau pasti akan menertawakan
julukanku."
"Tidak.
Apa pun julukanmu, aku tidak akan
menertawakanmu"
"Benar?"
"Benar."
"Hm....
Hm...!" Mawangi mengulum-ngulum
bibirnya
sebentar. "Mendiang... mendiang nenek-
ku
menyuruhku memakai gelar, Put... Putri Man-
ja."
Hampir
saja Soma tertawa tergelak kalau ti-
dak
teringat janjinya pada gadis cantik di hada-
pannya.
Tentu saja hal ini dapat terlihat Mawangi
yang
ternyata bergelar Putri Manja. Namun belum
sempat
gadis itu membuka suara, mendadak ter-
dengar
derap beberapa ekor kuda.
"Celaka!
Juragan Lanang beserta anak
buahnya
datang kemari!" teriak Sukiat kalang ka-
but.
4
Betapa
pucat pasinya wajah Sukiat saat
orang-orang
itu telah turun dari kuda, langsung
memasuki
kedainya dengan langkah lebar-lebar.
Kedua
tangannya kontan gemetar membuat pesa-
nan
makanan Soma dan Putri Manja jatuh beran-
takan.
Saking takutnya melihat siapa yang da-
tang,
lelaki pemilik kedai itu sampai terkencing-
kencing
di celana.
"Sukiat!
Mana pendekar yang kau sewa un-
tuk
menjebak kami, he?! Kunyuk sinting itukah?"
tuding
seorang lelaki tinggi besar berpakaian in-
dah
dari sutera biru ke arah meja Soma dan Putri
Manja.
"Aku...
aku... tid... tid...," suara lelaki pemilik
kedai
itu tersendat-sendat.
"Benar,
Juragan! Pemuda itulah yang disewa
Sukiat!"
sahut Perbowo, yang ternyata tobatnya di
hadapan
Siluman Ular Putih hanya tobat sambal.
Hidung
bulat besar Juragan Lanang kem-
bang
kempis. Sepasang matanya tajam memper-
hatikan
Soma dan Putri Manja. Dalam keadaan
marah
seperti itu, parasnya jadi makin beringas
mengerikan.
Tubuhnya yang tinggi besar berge-
tar-getar.
Di
belakang Juragan Lanang, tampak bebe-
rapa
anak buahnya. Wajah mereka pun seram-
seram
dengan tangan siap mencabut golok yang
menggantung
di pinggang. Dan bila diperintah-
kan,
dengan tidak mengenal ampun mereka siap
menebar
maut demi menegakkan peraturan sang
juragan.
"Ihhh...!
Takut aku. Mereka kok seram-
seram,
Soma? Ihhh,..! Ngeri aku! Suruh mereka
pergi,
Soma! Aku ngeri...!" desah Putri Manja.
Entah
karena saking takutnya atau entah
pura-pura,
tiba-tiba pegangan tangan Putri Manja
makin
erat di lengan Soma. Kedua bahunya dite-
kuk
dalam-dalam. Kepalanya disembunyikan di
dada
bidang Soma, seolah-olah ingin meminta
perlindungan.
Namun sewaktu pandang matanya
tertumbuk
pada lelaki pemilik kedai, mendadak
sikap
takut si gadis lenyap!
"Eh,
Soma! Lihat! Pemilik rumah makan ini
kok
pipis sembarangan. Ihhh...! Jorok!" tunjuknya
ke
arah Sukiat.
Siapa
yang tidak akan tertawa melihat sikap
Putri
Manja yang amat aneh ini. Tadi berteriak-
teriak
ketakutan, kini malah tertawa-tawa geli.
Soma
yang tidak sempat memperhatikan lelaki
pemilik
kedai, mau tidak mau juga ikut-ikutan
tertawa.
"Ah...!
Kau ini! Dalam keadaan tegang begini
masih
saja membuat ulah!" tegurnya lembut.
"Aku
tidak membuat ulah, Soma. Orang tua
itu
jorok. Masa' sudah tua begitu masih ngompol?
Kan
lucu?" kata Putri Manja bersungut-sungut.
"Sukiat!
Keterlaluan sekali kau! Beraninya
mereka
mengejek kami seperti itu, heh?!"
Juragan
Lanang gusar bukan main. Ia men-
gira
kalau kedua anak muda itu sedang mengejek
mereka.
Tanpa banyak cakap, segera dicabutnya
golok
di pinggang. Lalu kakinya melangkah lebar
mendekati
Sukiat.
"Aku...
Aku...."
Bukan
main gugupnya hati laki-laki pemilik
kedai
itu. Parasnya makin pias. Kedua lututnya
goyah.
Dan...
Brukkk!
"Nah...!
Apa lagi yang dilakukan orang tua
itu,
Soma? Kok malah tiduran? Tadi ngompol. Se-
karang
tiduran. Huh!" celoteh Putri Manja meng-
gemaskan,
saat melihat si pemilik kedai ambruk
tak
sadarkan diri. Sepasang matanya yang
tadi
berkilat-kilat
penuh ketakutan kini berganti jena-
ka
bagai seorang bocah kecil.
Soma
yang juga berwatak jenaka pun tak
dapat
menahan geli. Ia tertawa terbahak-bahak.
Sementara
tangan kanannya mengacak-acak
rambut
gadis manja di sampingnya.
Juragan
Lanang menggeretakkan geraham-
nya
penuh kemarahan. Ia tak bernafsu lagi men-
dekati
lelaki pemilik kedai. Sepasang matanya
yang
mencorong tajam kini mengarah beringas ke
arah
Soma dan Putri Manja.
"Para
pengawalku! Mari kita tangkap gadis
itu!
Kalau perlu si gondrong itu sekalian!"
"Wah....
hati-hati, Putri. Jangan-jangan kita
babak
belur nanti…!" Soma pura-pura mengeluh.
"Ah..!
Tak mungkin! Mereka tak bisa apa-
apa.
Mereka hanya pintar menggorok babi. Lihat
'Tarian
Bidadari'-ku!"
Putri
Manja cepat melompat bangun. Senja-
tanya
yang berupa gunting besar di tangan kanan
meliuk-liuk
indah seirama gerakan tubuhnya.
Langsung
dihadangnya para pengeroyok.
Crakkk!
Crakkk!
Gunting
di tangan Putri Manja terus mence-
car
Juragan Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya.
"Benar
kan, Soma? Mereka hanya pintar
berkoar.
Padahal mereka tak becus berbuat apa-
apa.
Memegang golok pun belum becus!" ejek si
gadis
sambil tertawa.
Putri
Manja terus memanas-manasi. Ting-
kahnya
pun makin menggemaskan. Tubuhnya
yang
meliuk-liuk indah, terkadang bergerak lam-
ban.
Terkadang pula bergerak cepat laksana kilat,
hingga
makin membuat Juragan Lanang dan ke-
sepuluh
anak buahnya kewalahan. Untung saja
Putri
Manja tidak menurunkan tangan maut. Pa-
dahal
kalau saja mau, bukan mustahil para pen-
geroyoknya
itu sudah tewas menemui ajal.
"Soma...!
Aku jadi ingin mencukur gundul
rambut
mereka. Bagaimana, Soma? Tidak apa-
apa,
kan?" celoteh Putri Manja meminta pendapat
Soma.
"Lakukanlah!
Tapi jangan terlalu galak. Bisa-
bisa
mereka tewas," kata Soma.
"Baik,
baik. Aku memang tidak bermaksud
menurunkan
tangan maut. Aku hanya ingin
main-main
sebentar dengan manusia-manusia se-
ram
ini."
Soma
tidak menyahut, tapi justru lebih se-
nang
memperhatikan jurus-jurus yang dikerah-
kan
Putri Manja sambil duduk ongkang-ongkang
kaki.
Namun walaupun sudah berpengalaman
malang
melintang di dunia persilatan, Siluman
Ular
Putih belum dapat mengenali jurus-jurus
yang
dikeluarkan si gadis. Sementara gunting ga-
dis
itu kini telah berhasil memangkas rambut be-
berapa
orang anak buah Juragan Lanang dengan
tawa
cerianya.
"Sudah,
Putri! Jangan terus bermain-main!
Orang-orang
seram ini harus secepatnya menda-
pat
hukuman!" ujar Soma tiba-tiba.
Dan
tahu-tahu, tubuh Soma telah berkeleba-
tan
cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga sulit
diikuti
pandang mata Juragan Lanang dan kese-
puluh
orang anak buahnya.
Tuk!
Tuk!
Putri-Manja
samar-samar dapat menangkap
sosok
tubuh Siluman Ular Putih sudah bergerak
cepat,
menotok kaku tubuh Juragan Lanang dan
kesepuluh
anak buahnya.
"Ah....
Kau mengganggu kesenanganku saja,
Soma!
Kenapa mereka dilumpuhkan?" rajuk Putri
Manja.
Kedua bibirnya yang merah merekah
memberengut.
Sepasang matanya yang indah bak
bintang
kejora memandang Juragan Lanang dan
kesepuluh
orang anak buahnya, seperti tak puas.
"Aku
benci kau, Soma! Aku benci!" jerit Putri
Manja.
Kakinya dibanting-banting ke tanah. Dan
belum
sempat Soma mencegah, tahu-tahu Putri
Manja
telah berkelebat cepat meninggalkan kedai
makan.
"Tunggu,
Putri! Aku.... Aku...!"
Soma
tak meneruskan kalimatnya, karena
gadis
itu tak mungkin dapat dikejar. Apalagi ia
harus
secepatnya menyelesaikan urusan dengan
Juragan
Lanang berikut kesepuluh orang anak
buahnya
yang harus mendapat hukuman setim-
pal
atas perbuatan mereka yang tega-teganya
memeras
penduduk kampung. Untuk itu Siluman
Ular
Putih harus membangunkan lelaki pemilik
kedai
itu. Diguncang-guncangkannya tubuh Su-
kiat,
namun tak juga siuman. Soma jadi kesal se-
kali.
Sejenak matanya melirik ke atas meja tempat
ia
makan tadi. Pemuda itu bangkit, mengambil
secangkir
air. Lalu diguyurkannya air dalam
cangkir
ke wajah lelaki pemilik kedai.
Pyarr...!
"Uft....
Eh...! Ada apa? Kenapa kau meng-
guyur
ku?" teriak Sukiat gelagapan.
"Cepat
bangun! Kau harus secepatnya mela-
porkan
perbuatan Juragan Lanang dan kesepuluh
orang
anak buahnya itu pada kepala desa di sini.
Atau,
kalau perlu laporkan saja pada adipati! Me-
reka
harus mendapat hukuman setimpal! Biar ti-
dak
lagi mengganggu keamanan penduduk kam-
pung.
Juga kau! Kuingatkan sekali lagi! Kalau
kau
masih kikir, apalagi enggan menolong orang
yang
sangat membutuhkan, aku tak akan segan-
segan
lagi menggantungmu di tengah pasar! Biar
semua
tahu bahwa kau juga orang pengecut!
Mengerti?"
ujar Soma, tegas.
"Ya
ya ya...! Aku mengerti!" sahut Sukiat, ke-
takutan.
"Kalau
sudah mengerti, cepat bangun! Dan,
laksanakan
apa yang kuperintahkan!"
"Baik"
Begitu
beranjak bangkit, Sukiat sangat ter-
kejut
melihat tubuh Juragan Lanang dan kesepu-
luh
anak buahnya kaku tak dapat bergerak. Lela-
ki
pemilik kedai itu tidak tahu, apa yang telah ter-
jadi
pada mereka. Ia ingin bertanya pada Soma.
Namun
sayang, pemuda itu sudah tak ada di
tempatnya.
"Celaka!
Benar-benar celaka! Sudah kedai
porak-poranda
tidak karuan, masih disuruh ke
sana
ke sini! Huh! Apes benar nasibku hari ini...!"
***
Soma
terus berkelebat cepat ke arah Putri
Manja
tadi menghilang. Tidak tanggung-tanggung
lagi
segera dikerahkannya ilmu lari cepatnya
'Menjangan
Kencono.'. Hingga tak heran kalau da-
lam
beberapa kelebatan saja sosok bayangannya
telah
jauh dari kedai makan.
Sambil
terus berkelebat, mata Soma tak hen-
ti-hentinya
memperhatikan keadaan sekitarnya.
Pemuda
itu berharap gadis manja itu mau
menemuinya.
Namun sayang, ketika tiba di ham-
paran
sawah kering, ia tidak menemukan siapa-
siapa.
Yang terlihat hanya hamparan tanah kering
yang
retak-retak di sana sini.
Soma
menggedumel.
"Ah...!
Kenapa urusannya jadi begini? Kena-
pa
tadi aku mengganggu kesenangan gadis manja
itu?
Huh! Dasar sial! Juga goblok! Mau berteman
gadis
manja itu saja tidak terkabul. Malah ia ka-
bur.
Sial! Sial!"
Soma
menggerutu tak karuan. Tak henti-
hentinya
jidatnya ditepuk-tepuk sendiri, saking
kesalnya.
"Terus
terang aku sangat mencemaskan ke-
selamatannya.
Tampaknya, ia belum berpengala-
man.
Sikapnya masih lugu. Mungkin baru saja
turun
gunung. Ah...! Aku harus secepatnya me-
nemukan
gadis itu. Tapi, kenapa aku jadi mele-
dak-ledak
begini? Apakah... apakah aku mencin-
tainya?"
tanya hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
"Bodo, ah! Mau jatuh cinta kek, tidak kek!
Peduli
setan! Pokoknya aku harus segera bertemu
gadis
itu!"
Habis
bersungut-sungut begitu Siluman Ular
Putih
segera berkelebat cepat ke barat. Sementara
sembari
terus berkelebat, pandang matanya terus
jelalatan
ke sana kemari.
Lama
berputar-putar mencari Putri Manja,
akhirnya
Soma menghentikan langkahnya dengan
hati
kesal. Ia tetap tak menemukan gadis manja
itu.
"Apa
yang harus kulakukan sekarang? Gadis
itu
tak kutemukan. Ah...! Daripada bingung men-
cari
gadis tengil itu mendingan pergi ke mana aku
suka,"
gumam hati Soma.
Namun
belum sempat Siluman Ular Putih
melangkah,
mendadak....
Wuutt...!
Bletakkk!
"Aaah...!"
Soma
terpekik kaget ketika sebuah benda
menghantam
jidatnya. Kepalanya kontan berputar
dengan
tubuh limbung ke samping. Lalu....
Brukkk!
Soma
jatuh berdebam di tanah. Apa yang
terjadi?
5
Belum
begitu lama Siluman Ular Putih me-
ninggalkan
kedai makan, seorang lelaki tua renta
tengah
berdiri tegak di halaman depan kedai milik
Sukiat.
Usianya sulit sekali ditafsirkan. Rambut-
nya
memutih tergerai di bahu. Alis mata dan bulu
mata
juga berwarna putih. Tubuhnya kurus ker-
ing
seolah tak bertenaga. Pakaiannya berwarna
hitam
kumal.
Siapakah
sebenarnya kakek renta berwajah
menyeramkan
ini? Ia tak lain dari Pengasuh Se-
tan.
Seorang tokoh sesat dari Gunung Sindoro
yang
ingin menuntut balas atas kematian murid-
nya
yang berjuluk Penguasa Alam.
Setelah
hampir sehari semalam melakukan
perjalanan,
penciuman Pengasuh Setan menang-
kap
bau anyir yang sangat dikenalnya. Bau anyir
darah
si Penguasa Alam! Sungguh hebat bukan
main
penciuman tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro
itu. Meski Penguasa Alam telah tewas be-
berapa
pekan lalu, namun hidungnya masih
mampu
mencium darah muridnya! Darah yang
barangkali
masih melekat pada tubuh atau senja-
ta
si pembunuh muridnya!
Untuk
beberapa saat hidung Pengasuh Setan
terus
mengendus-endus. Sayangnya, angin ber-
hembus
cukup kencang. Hal ini membuat hatinya
kesal
sekali.
"Keparat!
Aku yakin kalau pembunuh mu-
ridku
baru saja berada dari tempat ini. Tapi
sayang,
angin berhembus cukup kencang hingga
aku
sulit melacak jejak pembunuh muridku.
Hm...!"
geram Pengasuh Setan dalam hati.
Lelaki
tua sakti ini segera mendekati kedai
makan.
Hatinya yakin, pembunuh muridnya baru
saja
meninggalkan kedai makan. Untuk itu harus
secepatnya
diselidiki kalau tidak ingin kehilangan
buruan.
Saat
itu Sukiat masih terpana heran melihat
tubuh
Juragan Lanang beserta kesepuluh anak
buahnya
kaku tak dapat bergerak. Bagaimana
mungkin
tubuh mereka kaku tak dapat bergerak?
"Ih...!
Jangan-jangan mereka terkena sihir
pemuda
sinting itu? Aku... aku harus secepatnya
melaporkan
Juragan Lanang pada Ki Lurah kalau
tidak
ingin kaku seperti mereka. Hih...!" kata Su-
kiat,
bergidik.
Sukiat
buru-buru berbalik. Dan baru saja
hendak
melangkah, di hadapannya kini telah ber-
diri
Pengasuh Setan dengan sepasang mata men-
corong
tajam.
"Si....
Siapa kau, Orang Tua?" tanya Sukiat,
makin
bergidik.
Kaku
sekali lidah lelaki pemilik kedai itu ka-
la
menegur Pengasuh Setan. Kedua kakinya pun
sulit
sekali digerakkan, seolah menancap di tem-
pat.
"Berani
kau buka-mulut sebelum kutanya,
he?!"
desis Pengasuh Setan, garang. Selangkah
demi
selangkah kakinya mulai mendekati Sukiat.
Sukiat
hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala.
Tanpa sadar kedua kakinya bergerak
mundur.
Mungkin baru kali ini sajalah lelaki itu
melihat
sosok manusia yang demikian menye-
ramkan.
Dalam hatinya ia mengira sosok lelaki
tua
renta di hadapannya adalah arwah gentayan-
gan
yang sering mengganggu Dusun Karang Ko-
bar.
"Aku
mencium bau darah muridku di tempat
ini.
Cepat katakan! Siapa di antara kalian yang te-
lah
membunuh muridku? Jawab!" bentak Penga-
suh
Setan.
"Iya,
iya!" Sukiat gugup dan tersendat.
"Apa?"
"Aku...
aku tid... tidak tahu."
"Apa?
Kau tidak tahu?"
Sepasang
mata Pengasuh Setan membelalak
liar.
Rahangnya bergemeletukkan membuat lelaki
pemilik
kedai makin ketakutan.
"Aku....
Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak
tahu
siapa orang yang kau maksudkan."
"Bedebah!
Manusia tak berguna. Aku jelas
mencium
bau muridku. Kau masih bilang tidak
tahu,
heh?!" cecar Pengasuh Setan.
Pengasuh
Setan mengendus-enduskan hi-
dung.
Kepalanya bergerak ke kanan kiri mengiku-
ti
bau darah muridnya yang hanya dapat dicium
oleh
hidungnya. Sama sekali hatinya tak terusik
oleh
adanya Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya
yang berdiri kaku di tempat itu.
Kening
Sukiat berkerut heran. Ia masih be-
lum
mengerti yang dimaksudkan. Tanpa sadar
hidungnya
pun ikut-ikutan mengendus.
Tiba-tiba
paras Pengasuh Setan menegang.
Bau
darah muridnya jelas tercium hidungnya.
Maka
bak seekor anjing pelacak, kakinya mulai
bergerak
mengikuti arah bau anyir darah murid-
nya
hingga keluar kedai, dan terus mengikutinya
sampai
kejauhan.
Sukiat
hanya bisa melongo. Hampir saja ma-
lapetaka
yang lebih besar akan menimpa ke-
dainya
bila salah bertindak. Untung saja ia hanya
diam.
Dan sosok menakutkan Pengasuh Setan
pun
telah jauh meninggalkan kedai.
"Busyet! Manusia apa memedi sawah?! Kok
seram
amat. Hih…! Kukira aku harus segera me-
laporkan
Juragan Lanang ini pada Ki Lurah. Tapi,
bagaimana
dengan Juragan Lanang dan kesepu-
luh
orang anak buahnya ini? Ah...! Baiknya seka-
lian
saja kulaporkan. Beres!" gumam Sukiat ma-
sih
terpana membayangkan sosok Pengasuh Se-
tan
yang amat menyeramkan.
Sebelum
meninggalkan kedai, sejenak sepa-
sang
mata Sukiat yang sipit sempat memperhati-
kan
tubuh Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya
yang masih tegak kaku di tempatnya.
Lelaki
ini tidak tahu, apa yang tengah menimpa
orang-orang
itu. Kepalanya hanya menggeleng-
geleng
sebentar sebelum akhirnya meninggalkan
kedai.
***
"Sukiat!
Kau lari-lari seperti dikejar setan.
Ada
apa?"
Sukiat
buru-buru menghentikan langkah ke-
tika
tiba di depan seorang lelaki tua yang me-
nyambutnya.
Napasnya masih memburu. Seben-
tar-sebentar
kepalanya menoleh ke belakang.
"Tenang,
Sukiat! Ada apa? Apa anak buah
Juragan
Lanang membuat onar kedaimu?" ujar
lelaki
berusia enam puluh lima tahun yang diken-
al
sebagai Ki Lurah.
Sukiat
menelan ludah. Ditatapnya wajah Ki
Lurah
yang gagah penuh kearifan. Entah kenapa
rasa
takut yang mendera hatinya mendadak ber-
kurang begitu berhadapan dengan lelaki gagah
berpakaian
surjan lengkap di hadapannya.
"Ki
Lurah! Aku... aku mau lapor. Memang
Juragan
Lanang dan anak buahnya membuat
onar
di kedaiku. Tapi yang lebih penting, baru sa-
ja
kedaiku kedatangan memedi sawah, Ki," lapor
Sukiat.
"Ah...!
Yang benar saja? Masa' ada memedi
sawah
mengganggu kedaimu? Jangan ngawur,
Sukiat!"
sergah Ki Lurah seraya mengumbar se-
nyum.
"Benar,
Ki. Baru saja memedi sawah itu da-
tang
ke kedaiku. Wajahnya menyeramkan sekali.
Kalau
bukan memedi sawah atau arwah gen-
tayangan,
mana mungkin ada manusia demikian
menyeramkan?
Matanya merah. Wajahnya pucat
mirip
mayat. Hiyyy...! Pokoknya menyeramkan
sekali!
Apalagi, katanya ia mencium bau darah
muridnya.
Apa itu tidak menakutkan? Mana
mungkin
ia mampu mencium darah seseorang ka-
lau
bukan setan?" papar Sukiat.
"Sudah,
sudah! Bicaramu makin ngelantur
tidak
karuan. Sebaiknya mari kita membicarakan
tentang
Juragan Lanang dan anak buahnya yang
membuat
onar di kedaimu itu. Sudah lama aku
memang
ingin meringkusnya. Apalagi sepak ter-
jangnya
kali ini memang sudah keterlaluan. Hayo,
sekarang
tunjukkan di mana Juragan Lanang be-
rada!
Aku ingin menangkapnya, Sukiat," tukas Ki
Lurah,
tak sabar.
"Me...,
mereka ada di kedaiku. Aku... aku ti-
dak
tahu apa yang terjadi. Tubuh Juragan La-
nang
dan kesepuluh anak buahnya kaku tak da-
pat
bergerak. Aneh! Benar-benar aneh! Baru kali
ini
aku melihat kejadian ganjil ini, Ki," sahut Su-
kiat
bersemangat.
"Hm...!
Tubuh Juragan Lanang dan anak
buahnya
kaku tak dapat bergerak?" gumam Ki
Lurah
seraya mengangguk-angguk.
"Benar,
Ki."
"Pasti
ada seorang pendekar sakti yang telah
melumpuhkan
mereka. Aku harus cepat menang-
kapnya...,"
gumam Ki Lurah nyaris tak terdengar.
"Apa?
Kau tadi bilang apa, Ki?"
"Sudah,
sudah! Sekarang cepat ikut aku!"
Dengan
langkah lebar Ki Lurah keluar dari
halaman
rumah. Sedangkan Sukiat mengekor da-
ri
belakang. Beberapa orang penduduk kampung
yang
sedang berkumpul di depan rumah Ki Lurah
segera
diperintahkan untuk mengikuti.
Sukiat
yang berjalan di samping Ki Lurah
menegakkan
dadanya gagah. Seolah-olah dirinya-
lah
yang paling berjasa. Senyumnya pun dibuat
penuh
wibawa. Satu persatu, penduduk lain ke-
luar
dari rumah sepanjang jalan yang dilalui Ki
Lurah
dan Sukiat. Mereka juga ingin tahu, apa
yang
terjadi. Dari kasak-kusuk itu, mereka tahu
kalau
Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya
yang selama ini meresahkan, telah tak-
luk
tak berdaya di kedai milik Sukiat.
Maka
berbondong-bondong pula mereka
mengikuti
langkah Ki Lurah dan Sukiat. Diiringi
sorak
sorai para penduduk, Sukiat makin mene-
gakkan
dadanya.
Sebentar
kemudian, kini mereka tiba di de-
pan
kedai.
"Nah
itulah orangnya. Dengan dibantu seo-
rang pendekar muda tadi, aku berhasil melum-
puhkan
Juragan Lanang dan kesepuluh anak
buahnya!"
tunjuk Sukiat, bangga. Kakinya terus
melangkah
memasuki kedai.
Begitu
tiba di dalam, Ki Lurah tidak meng-
gubris
ucapan sok pahlawan yang dilontarkan
Sukiat.
Ia justru lebih tertarik melihat tubuh Ju-
ragan
Lanang dan kesepuluh anak buahnya yang
kaku
tak dapat bergerak. Sekali lihat saja ia tahu
kalau
perbuatan itu hanya dilakukan oleh seo-
rang
pendekar muda. Sama sekali bukan oleh
Sukiat!
"Cepat,
Ki! Seret manusia-manusia pembuat
onar
ini ke hadapan adipati! Aku muak sekali me-
lihat
tampang-tampang mereka!" sungut Sukiat.
"Iya.
Tanpa kau suruh pun aku akan mela-
kukannya,
Sukiat. Diamlah di tempatmu!" ujar Ki
Lurah
agak jengkel melihat tingkah Sukiat yang
berlebihan.
Sukiat
terdiam. Namun matanya melotot le-
bar.
Ki
Lurah tidak mempedulikan. Segera dipe-
rintahkannya
beberapa orang penduduk kam-
pung
untuk segera mengikat Juragan Lanang dan
kesepuluh
orang anak buahnya. Mereka pun se-
gera
diseret untuk dibawa ke kadipaten.
Ketika
beberapa orang penduduk kampung
mulai
menarik Juragan Lanang dan kesepuluh
anak
buahnya keluar kedai, Sukiat malah kecewa
berat.
Bibirnya yang dower manyun beberapa jari.
"Kau
juga boleh ikut, Sukiat. Kaulah sak-
sinya!"
seru Ki Lurah.
"Yayaya...!
Aku memang harus ikut. Aku bu-
kan
saja sebagai saksi, melainkan juga yang me-
nangkap
Juragan Lanang berikut anak buahnya!"
6
Sesungguhnya
apa yang terjadi terhadap
Soma?
Siapa yang telah membokongnya? Bukan-
kah
pemuda itu berkepandaian tinggi? Lalu kena-
pa
mudah sekali diperdayai?
Jawabnya
hanya satu. Sudah pasti si pem-
bokong
memiliki kepandaian yang jauh lebih ting-
gi
daripada Siluman Ular Putih. Kalau tidak, mus-
tahil
murid Eyang Begawan Kamasetyo dapat se-
mudah
itu diperdayai!
Dasar
nasib lagi sial. Sudah dibokong lawan,
tulang
ekor si pemuda pakai mencium batu lagi.
Maka
makin hebat saja Soma meringis kesakitan.
Kambing
yang mau beranak saja masih kalah se-
ru
dibanding seringaian Siluman Ular Putih.
"Babi
buntung! Kambing congek! Seenak ji-
datnya
saja membokong orang!" maki Soma
ka-
lang
kabut pada sosok yang tahu-tahu telah ber-
diri
di depannya. Kedua telapak tangannya sibuk
mengelus-elus
pinggang. Namun sebentar kemu-
dian
tangannya sudah mengelus-elus jidatnya
yang
berdenyut.
Sosok
di hadapan Soma terkekeh senang.
Dia
adalah seorang lelaki tua tak bergigi. Bajunya
berbentuk
jubah kuning yang kedodoran sampai
lutut.
Kepalanya plontos. Hanya alis, bulu mata,
dan
jenggotnya yang memutih menandakan kalau
usianya
telah lanjut. Tubuhnya tinggi kurus. Se-
pasang
matanya yang kelabu bersinar jenaka.
"Hehehe...!
Baru kali ini kulihat ada pemuda
setolol
kau, Monyet Buduk. Apa begitu ya caranya
mengejar-ngejar
gadis? Memalukan! Tak tahu
adat!
Pemuda tolol macam kau memang patut di-
permainkan
gadis cantik!" kata kakek ini terkekeh
gembira.
Ia tadi memang melihat Soma tengah
mengejar-ngejar
Putri Manja.
Soma
terperangah. Bukan saja kesal dirinya
dibokong,
melainkan juga kesal mendengar eje-
kan
lelaki tua aneh di hadapannya. Belum lagi
melihat
sikap si kakek yang tengik. Kalau menu-
rutkan
perasaannya, ingin rasanya ia mendam-
prat.
"Tidak
ada hujan, tidak ada angin, kenapa
kau
menyerangku, Kek. Siapa kau sebenarnya?"
kata
Soma hati-hati.
"Jangan
banyak tanya! Cepat bangun! Siapa
sudi
berkenalan denganmu!" semprot si kakek
kasar.
"Sial!
Seharusnya aku yang marah. Bukan
dia!"
gerutu Soma dalam hati.
Siluman
Ular Putih hanya bisa menggeleng-
geleng.
Namun wajahnya tetap dipasang kalem.
"Baiklah
kalau kau tidak mau menyebutkan
namamu.
Tapi setidak-tidaknya tolong jelaskan,
mengapa
kau menyerangku? Apa salahku, Kek?"
tuntut
Siluman Ular Putih, seraya melompat ban-
gun
dengan mulut meringis.
Tangan
si pemuda mengebut-ngebut pakaian
sebentar,
lalu menatap orang tua di hadapannya.
Cukup
aneh penampilannya memang. Namun,
Soma
belum tahu siapa sebenarnya orang tua di
hadapannya.
"Jangan
melangkah! Tetap di tempatmu! Aku
tak
sudi mencium bau keringatmu!" ujar si kakek,
saat
Siluman Ular Putih hendak bergerak me-
langkah.
"Baik,
baik!" sahut Soma, seraya menahan
langkahnya.
"Nah
begitu, Monyet Buduk. Tetap di tem-
patmu!
Aku ingin memberimu hadiah."
"Apa
yang ingin kau lakukan, Kek?"
"He
he he...! Diam saja kau! Jangan banyak
tanya!
Seharusnya kau mengucapkan terima ka-
sih.
Bukannya cerewet seperti ini. Jarang aku
memberikan
hadiah pada seseorang. Namun, kali
ini
kau beruntung."
Habis
berkata, lelaki tua aneh itu segera me-
rogoh
saku jubahnya. Begitu tangan itu tercabut,
Soma
terkesiap. Apa yang diambil orang tua di
hadapannya
membuat keningnya berkerut. Di
tangan
si kakek tampak sebuah nampan kecil
dengan
beberapa cekungan seperti bentuk mai-
nan
congklak dan sebuah kuas. Lalu tanpa
menghiraukan
keheranan Soma, tangan kanan-
nya
yang memegang kuas segera mengaduk-aduk
cekungan-cekungan
kecil di dalam nampan.
Kening
Soma makin berkerut heran. Kuas di
tangan
orang tua di hadapannya itulah yang tadi
mencium
jidatnya. Panjangnya hanya sejengkal
dengan
lingkaran tengah tak lebih dari setengah
kuku.
Tapi saat menghantam jidatnya tadi terasa
bagai
sebuah balok besar.
"Slompret!
Sebenarnya siapa orang tua di ha-
dapanku
ini? Apa yang ingin ia lakukan?"
Soma
terus bertanya-tanya dalam hati. Ha-
tinya
penasaran sekali, ingin tahu siapa kakek
ompong
di hadapannya itu?
"Bersiap-siaplah
menerima hadiahku, Mo-
nyet
Buduk! Sekarang cepat kau..."
"Maaf,
Kek!" potong Soma dengan sangat
menyesal,
terpaksa aku tak dapat menerima ha-
diahmu."
"Apa?
Kau menampik, Monyet Buduk?" sen-
tak
si kakek ompong, gusar. Hidungnya yang pe-
sek
kembang kempis. "Tidak bisa! Siapa pun juga
tidak
bisa menolak hadiah yang kuberikan. Tetap
di
tempatmu. Dan, jangan banyak tanya!"
Soma
sebenarnya ingin membantah. Namun
belum
sempat membuka mulut, mendadak kuas
di
tangan si kakek ompong yang telah berlumuran
cat
telah menyerang dirinya. Tentu saja Soma ti-
dak
sudi tubuhnya dicorat-coret. Maka
seketika
Siluman
Ular Putih segera berkelit ke samping.
"Bodoh!
Tetap di tempatmu! Apa kau tak in-
gin
menerima hadiahku, he?! Ingat! Seharusnya
kau
berterima kasih padaku, karena aku akan
memberimu
hadiah. Tapi kau malah bertingkah!
Hayo,
cepat tetap di tempatmu!" hardik si kakek
ompong.
"Enak
saja! Badan mau dicorat-coret kok
disuruh
berterima kasih. Beruntung lagi katanya.
Huh!"
dengus hati Siluman Ular Putih kesal.
"Kalau
kau tetap bersikeras menolak ha-
diahku,
terpaksa aku akan memaksamu, Monyet
Buduk."
"Kau
sungguh keterlaluan, Kek. Sudah me-
nyerang
kepalaku, sekarang masih mau menco-
ret-coret
tubuhku. Tentu saja aku menolak, Kek."
"Bagus!
Mau tidak mau, aku tetap akan
memberimu
hadiah," tandas si kakek ompong se-
raya
menyerang Siluman Ular Putih dengan kuas
berlumur
darah.
Kesabaran
Siluman Ular Putih pun habis. Ia
kini
tidak lagi sekadar menggerutu, melainkan ju-
ga
sudah mencari maki saat diserang begitu. Na-
mun
anehnya kakek ompong itu hanya terkekeh
senang.
Sementara kuas di tangan kanannya te-
rus
memburu tubuh Siluman Ular Putih yang
hanya
berusaha berkelit
''Sontoloyo!
Siapakah sebenarnya kakek om-
pong
ini? Kenapa ia bernafsu sekali memberiku
hadiah?
Ah...! Ya, ampun! Dia... dia...!"
Mendadak
Siluman Ular Putih memekik da-
lam
hati. Kini ia teringat cerita gurunya, Eyang
Begawan
Kamasetyo sewaktu masih di puncak
Gunung
Bucu.
"Tunggu,
Kek! Apakah kau yang bergelar Pe-
lukis
Sinting Tanpa Tanding dari Goa Bedakah?"
cegah
Siluman Ular Putih, berharap agar Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding yang sebenarnya masih
terhitung
sahabat dekat eyangnya itu mau meng-
hentikan
perbuatan sintingnya.
Kakek
ompong yang ternyata bergelar Pelu-
kis
Sinting Tanpa Tanding sempat menghentikan
serangannya
seraya terkekeh senang.
"He
he he...! Meski kau telah mengenalku,
bukan
berarti aku harus mengurungkan membe-
rimu
hadiah. Cepat diam di tempatmu!" ujar si
kakek.
Soma
memang tetap diam di tempatnya, na-
mun
kali ini malah menelangkupkan kedua tela-
pak
tangannya di depan hidung penuh hormat.
"Terimalah
hormatku, Kek! Aku yang bodoh
ini
adalah murid sekaligus cucu Eyang Begawan
Kamasetyo
dari puncak Gunung Bucu, Kek," ucap
Soma.
"Hm...!
Bagus! Dasar bodoh, tetap saja bo-
doh.
Kau sudah mengakuinya sendiri. Apa kau
pikir
kalau aku tahu kau murid sekaligus cucu
sahabatku,
aku harus mengurungkan memberi-
mu
hadiah?! Tidak! Dengan dalih apa pun, aku
akan
tetap memberimu hadiah. Seperti tadi aku
memanggil,
aku akan memberimu hadiah lukisan
seekor
monyet buduk di dadamu! Cepat tetap di
tempatmu!
Dan bila kali ini kau bertingkah, ter-
paksa
aku harus melumuri sekujur tubuhmu
dengan
cat ini!"
Siluman
Ular Putih menggaruk-garukkan
kepalanya.
Bingung. Sulit memang menghadapi
kakek
sinting itu. Dia yang biasanya bersikap ug-
al-ugalan,
kini mati kutu dibuatnya.
"Jangan
dong, Kek! Masa' kau tega melumuri
tubuh
cucumu sendiri dengan cat," rayu Soma.
"Tutup
mulutmu, Monyet Buduk! Kau pikir
aku
luruh dengan rayuan gombalmu itu, he?!"
hardik
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tapi...
tapi aku tidak mau tubuhku dicoreng
moreng
dengan catmu, Kek."
"Itu
berarti aku harus memaksamu!"
Memang
percuma saja Siluman Ular Putih
meladeni
kakek sinting itu. Bagaimanapun berki-
lah,
tetap saja si kakek mendesaknya.
"Hm...
lebih baik kutinggalkan saja...."
Habis
menggumam begitu, Siluman Ular Pu-
tih
berbalik dan berkelebat cepat.
"Hey...!
Tunggu! Kau tidak boleh meninggal-
kan
ku! Aku belum memberimu hadiah!" teriak si
kakek.
Dengan
sekali menghentakkan kaki ke ta-
nah,
tahu-tahu tubuh tinggi kurus Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding telah berkelebat cepat menge-
jar
Siluman Ular Putih. Dan hanya dalam bebera-
pa
kali menghentakkan kaki, tokoh sakti itu telah
berdiri
tegak di hadapan Siluman Ular Putih.
Bahkan
bukan itu saja. Begitu berada di hadapan
murid
Eyang Begawan Kamasetyo, kuas di tangan
kanannya
telah digerakkan.
Wuttt...!
"Heit!
Tidak kena!" ejek Soma cepat berkelit
ke
samping.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terus membu-
ru.
Bahkan gerakan kuas di tangan kanannya
semakin
cepat. Hal ini tentu saja membuat Silu-
man
Ular Putih kewalahan dibuatnya. Berkali-kali
tubuhnya
harus berjumpalitan ke sana kemari
menghindari
serangan-serangan kuas Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding. Tapi sayang, berkali-kali
pula
tubuh Siluman Ular Putih tergores kuas mi-
lik
lelaki tua aneh dari Goa Bedakah itu.
Srattt!
Srattt!
"Sial...!"
Siluman
Ular Putih menggerutu kesal dari
guratan-guratan
kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding, samar-samar kini mulai memben-
tuk
kepala seekor monyet di dadanya.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang.
"Ah,
tidak percuma rupanya aku. Lukisanku
ternyata
masih cukup lumayan. Kau sungguh be-
runtung,
Monyet Buduk. Tapi, tunggu dulu. Ada
beberapa
bagian yang belum sempurna," kata si
kakek
ompong ini.
"Beruntung
kepalamu!" umpat Soma, mem-
batin.
"Badan dicoreng moreng begini, dibilang
beruntung.
Huh...! Dasar tua bangka sinting! Ku-
rang
kerjaan!"
Siluman
Ular Putih terus menyumpah sera-
pah
dalam hati. Tindakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
benar-benar sudah melampaui batas.
Mana
sudi bangkotan tua dari Goa Bedakah itu
dibiarkan
mempermainkan dirinya? Meski Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding adalah sahabat dekat
eyangnya,
namun Siluman Ular Putih tetap tidak
dapat
menerima tindakan yang merendahkan di-
rinya
itu.
Kini
Siluman Ular Putih tidak lagi hanya
menghindar
begitu melihat kuas di tangan Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding kembali memburu. Ia ha-
rus
bertindak. Hadiah sinting dari tua bangka
sinting
itu harus dihentikan. Maka kini kedua
tangannya
mulai mengibas untuk memapak.
Plakkk!
Plakkk!
Soma
berhasil menangkis tangan Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding. Namun anehnya, tangan-
nya
sendiri yang malah bergetar hebat. Tubuhnya
terjajar
beberapa langkah ke belakang. Kesempa-
tan
inilah segera dimanfaatkan Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding. Sambil terkekeh-kekeh senang
kembali
kuas di tangannya bergerak cepat meng-
gores
dada Siluman Ular Putih beberapa kali.
Srattt!
Srattt!
Siluman
Ular Putih terperangah. Matanya
makin
membelalak lebar saat melirik ke dada.
Gambar
seekor monyet kurus mulai terlihat nyata
di
dadanya. Hatinya geram bukan main. Kalau sa-
ja
tua bangka di hadapannya bukan sahabat
eyangnya,
sudah pasti akan dibalasnya kekuran-
gajaran
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sementara
Pelukis Sinting Tanpa Tanding
malah
makin terkekeh senang. Ujung kuas di
tangan
kanannya dituding-tudingkannya ke arah
Siluman
Ular Putih.
"Ya
ya ya...! Cukup bagus. Kukira kau me-
mang
tak ubahnya seperti gambar lukisanku di
dadamu,
Monyet Buduk. Sekarang, kau boleh
pergi!
Eh, tunggu! Ada sesuatu yang ingin kuta-
nyakan
Bocah. Apakah kau pernah melihat Pen-
gasuh
Setan?" kata Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing
tiba-tiba mengubah alur pembicaraan.
Siluman
Ular Putih yang sedang mengkelap
mana
sudi menjawab pertanyaan Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding. Soma hanya menggerutu kesal,
lalu
menggeloyor pergi seenaknya.
"Monyet
buduk! Kau tidak boleh meninggal-
kanku
begitu saja. Kau harus menjawab perta-
nyaanku
baru kau boleh pergi!" teriak Pelukis
Sinting
Tanpa. Tanding seraya berkelebat, meng-
hadang
jalan Siluman Ular Putih.
Soma
melotot garang. Namun diam-diam ha-
tinya
jadi heran. Buat apa bangkotan tua itu
mencari
Pengasuh Setan? Ia memang pernah
mendengar
tentang Pengasuh Setan dari Eyang
Bromo.
Dan baru sekarang disadari kalau Penga-
suh
Setan adalah musuh besar Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Siluman
Ular Putih dalam episode : "Penguasa
Alam"
dan "Sengketa Takhta Leluhur").
"Meski
tahu, belum tentu aku sudi menja-
wab
pertanyaanmu, Kakek Ompong!" sahut Soma,
seenaknya.
"Apa?
Kau tidak mau menunjukkan di mana
Pengasuh
Setan berada, Monyet Buduk?!" sentak
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding.
"Kau
sendiri yang punya keperluan. Buat
apa
tanya-tanya aku segala. Tadi kau bilang, aku
bodoh.
Kalau kau sendiri merasa lebih pintar, ke-
napa
tidak kau tanyakan saja pada setan-setan
gentayangan
penghuni hutan ini. Siapa tahu me-
reka
mau berbaik hati padamu!"
"Ah...!
Rupanya kau kecewa dengan hadiah-
ku,
ya? Tapi kupikir, hadiahku tidak buruk. Ke-
napa
kau tidak mau menunjukkan di mana Pen-
gasuh
Setan berada, Monyet Buduk?!" kata si ka-
kek.
"Mau
kecewa kek, tidak kek. Yang jelas, kau
telah
menggangguku. Karena kau masih terhitung
sahabat
dekat eyangku, maka kuampuni kelan-
canganmu
ini. Tapi untuk menjawab perta-
nyaanmu,
aku tak sudi! Dan lagi aku memang ti-
dak
tahu di mana dia berada!" sahut Soma ketus.
Habis
menyahut, tanpa banyak cakap murid
Eyang
Begawan Kamasetyo meninggalkan tempat
itu.
Kali
ini Pelukis Sinting Tanpa Tanding hanya
terpaku
di tempatnya. Tak ada keinginan lagi un-
tuk
mengejar murid Eyang. Begawan Kamasetyo.
Yang
dilakukannya hanya menggumam kecil, se-
belum
akhirnya berkelebat cepat meninggalkan
tempat
itu.
Emoticon