1
Malam
Jumat Kliwon.
Malam
yang dianggap amat keramat. Apa
pun
yang terjadi di malam itu selalu dihubungkan
dengan
sesuatu yang berbau takhayul. Namun
saat
ini, malam Jumat Kliwon bagai ditaburi ca-
haya
putih keperakan. Bulan bulat penuh bersi-
nar
purnama di angkasa. Langit cerah. Berjuta
bintang
saling membanggakan sinarnya yang pu-
tih
keperakan di angkasa. Begitu tenteram, mem-
perlihatkan
keindahan alam yang amat hakiki.
Sementara
di sebuah lembah berumput
bagai
permadani hijau menghampar di luar Hutan
Seruni,
empat lelaki tengah duduk bersila menge-
lilingi
sebuah api unggun kecil. Mereka sama-
sama
membisu, seolah terperangkap oleh kebun-
tuan
pikiran masing-masing. Pandangan mata
mereka
kosong dengan wajah tegang. Sesekali
terdengar
pula keluhan mereka.
Menilik
raut wajah yang sudah sama-sama
memiliki
keriput, jelas keempat lelaki itu sudah
berusia
amat lanjut. Kenyataan itu makin diper-
kuat
bila melihat rambut mereka yang panjang
tergerai
di bahu yang sudah berwarna putih kela-
bu.
Demikian juga alis mata, bulu mata, dan
jenggotnya.
Tubuh mereka rata-rata kurus kering
bak
orang kelaparan, terbungkus pakaian ber-
warna
merah darah.
Wajah-wajah
mereka yang keriput, ternyata
cukup
menggidikkan juga, karena terlihat pucat
pasi
bagai wajah mayat hidup. Sedikit pun tak
terbersit
sinar keceriaan. Tegang. Seram. Bengis.
"Menyebalkan!
Hanya penantian sia-sia...!"
keluh
lelaki tua yang kedua kakinya buntung
hingga
pangkal paha.
Mendengar
keluhan salah seorang dari me-
reka,
ketiga orang kakek itu hanya terdiam tanpa
memalingkan
kepala. Namun bukan berarti mere-
ka
tak ikut terbawa perasaan. Malah paras mere-
ka
makin tegang.
Siapakah
sebenarnya keempat kakek tua
berpakaian
merah darah ini? Apa pula yang me-
reka
tunggu? Kenapa mereka terlihat gelisah?
Cukup sulit untuk mengetahui, apa yang
mereka
tunggu. Namun yang jelas wajah mereka
kian
menegang. Wajah-wajah yang sebenarnya
sudah
tak asing lagi bagi dunia persilatan. Tokoh
mana
yang tak mengenal empat orang tua peng-
huni
Hutan Seruni yang dikenal sebagai Empat
Iblis
Merah.
Yang
tadi membuka suara dikenal sebagai
Iblis
Buntung. Dijuluki demikian, karena kedua
kakinya
buntung. Di sampingnya adalah seorang
kakek
yang memiliki dua bola mata berwarna pu-
tih.
Julukannya, Iblis Buta. Sedang di hadapan
mereka
dua kakek berjuluk Iblis Tuli dan Iblis
Gagu.
"Keparat!
Kenapa aku tak dapat merasakan
sesuatu?
Sudah berkali-kali kita berkumpul di
tempat
ini, tapi mana hasilnya?" dengus Iblis Bu-
ta,
kali ini tak tahan dengan gejolak hatinya.
"Uh...
Aah... huuh...!"
Iblis
Gagu menggerak-gerakkan tangannya
ke
sana kemari sebagai isyarat untuk berbicara.
Wajahnya
yang bengis tampak mengerikan. Sepa-
sang
matanya yang mencorong tajam berkilat
mengiriskan.
Ketiga
orang kakek di hadapan Iblis Gagu
memahami
apa yang dimaksud kawannya. Kelu-
han-keluhan
dari bibir mereka pun tak dapat ter-
bendung,
menemukan kesia-siaan di tempat ini.
"Setan!
Rasanya tak ada gunanya mene-
ruskan
niat kita!" geram Iblis Tuli, tak dapat
mengendalikan
amarahnya lagi.
"Yah..!
Padahal kita sudah empat puluh
malam
Jumat Kliwon ini menunggu di sini. Ta-
pi...."
Jeglaaarrr!
Suara
geraman Iblis Buntung kontan ter-
berangus
oleh ledakan guntur yang mendadak
disertai
kilat menyambar-nyambar ganas. Aneh
memang.
Bagaimana mungkin ada kilat menyam-
bar
pada saat malam terang bulan seperti ini?
Apalagi,
tak segumpal awan pun menggantung di
angkasa.
Inikah isyarat alam yang mereka nanti-
kan?
Bisa
jadi!
Buktinya
paras keempat lelaki tua itu yang
semula
tegang bukan main, menjadi sedikit cerah.
Sebentar
mereka memperhatikan angkasa raya,
sebentar
kemudian sudah saling berpandangan.
"Hm...!
Rupanya Dewa Kegelapan masih
merestui
keinginan kita," gumam Iblis Buntung,
ceria.
"Yah...!
Mungkin kau benar, Buntung. De-
wa
Kegelapan masih merestui keinginan kita. Ta-
pi,
sekarang di mana kita harus mencari bayi
itu...?"
tukas Iblis Buta.
"Aaah,
uuh...!"
Iblis
Bisu menjawab dengan bahasa isyarat
tangan. Dari raut wajahnya jelas menyiratkan
keingintahuan
yang luar biasa. Tak henti-
hentinya
tangannya bergerak-gerak ke sana ke-
mari.
"Yah...!
Kita memang harus secepatnya
mencari
bayi itu. Kukira bayi yang kita maksud-
kan
tak jauh dari sini. Baiknya, mari kita cari se-
cepat
mungkin!" timpal Iblis Tuli.
"Baik."
Keempat
lelaki tua itu segera meloncat
bangun
seraya saling berpandangan sebentar. Ib-
lis
Tuli menunjuk-nunjukkan tangannya ke sana
kemari.
Ke timur, barat, dan utara.
Ketiga
orang lelaki tua itu tahu maksud Ib-
lis
Tuli. Maka mereka segera berkelebat ke arah
yang
ditunjuk Iblis Tuli. Sedang Iblis Tuli sendiri
segera
berkelebat ke selatan.
Dalam
beberapa kelebatan saja empat to-
koh
berjuluk Empat Iblis Merah itu telah melesat
meninggalkan
tempat masing-masing. Kini alam
kembali
dikungkung sepi. Bulan purnama di atas
sana
seolah diam terpaku, menyaksikan tingkah
polah
sosok-sosok manusia di bawah sana.
*
* *
Pada
saat petir menyambar tadi, di sebuah
dusun
terpencil bernama Mlandi yang tak jauh
dari
Hutan Seruni, seorang perempuan muda me-
rasakan
perutnya mulas sekali di atas dipan gu-
buknya.
Padahal kandungannya baru berusia tu-
juh
bulan. Namun hentakan-hentakan jabang
bayi
di dalam perutnya seolah meronta minta ke
luar.
Sang
suami yang duduk di samping is-
trinya
jadi heran setengah mati. Menurut perhi-
tungannya
jelas anak yang dikandung istrinya be-
lum
saatnya lahir. Tentu saja hal ini membuatnya
bingung.
Dipandanginya wajah istrinya yang ber-
simbah
keringat, tak mengerti.
"Kenapa
kau hanya pandangi aku saja,
Kang?"
tanya sang istri, mengerang menahan sa-
kit.
"Kau....
Kau kenapa?" sang suami balik
bertanya
dengan suara tergagap.
"Aku....
Aku.... Ah...! Cepat panggil dukun
bayi,
Kang! Sepertinya aku mau melahirkan," je-
las
sang istri dengan napas terengah-engah.
"Astaga!
Benarkah kau ingin melahirkan?!
Bukankah
kandunganmu baru berumur tujuh
bulan?
Mustahil kau mau melahirkan, Istriku!
Malam
Jumat Kliwon lagi...."
"Kang...!
Cepat panggil dukun bayi kemari!"
seru
sang istri tak mempedulikan gerutuan sang
suami.
Tanpa
membantah lagi, lelaki berusia tiga
puluh
tahun itu keluar rumah, menuju rumah
dukun
bayi yang hanya beberapa puluh tombak
dari
rumahnya. Sementara istrinya terus saja di-
banjiri
keringat seraya mengelus-elus perutnya di
atas
dipan.
Malam
terus berlanjut. Sementara dukun
bayi
yang sangat diharapkan kehadirannya belum
juga
menampakkan batang hidungnya. Tak henti-
hentinya
wanita berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu mengerang. Desakan-desakan dalam
perut
membuatnya merasa kewalahan sekali. Pa-
rasnya
pias dibanjiri keringat. Tangannya tak
henti-hentinya
mengelus-elus perut. Dengan cara
itu
sepertinya ia ingin sekali mengenyahkan rasa
sakit
yang menusuk-nusuk....
Pada
puncaknya ketika dorongan dalam
perut
kian kuat, perempuan muda itu menjerit
sejadinya.
Bingung dan takut bercampur menjadi
satu.
Untung saja pada saat yang menegangkan
ini,
suaminya yang diharapkan pulang bersama
dukun
bayi.
"Heran...?
Belum saatnya kok sudah bera-
sa!
Malam Jumat Kliwon lagi...," gumam si dukun
bayi,
seorang perempuan tua berambut putih se-
raya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Cepat
tolong istriku, Nek!" pinta lelaki si
calon
ayah itu,
"Iya
iya...," sahut si dukun bayi pendek.
Meski
wajahnya sarat keheranan, tak
mungkin
si dukun bayi membiarkan perempuan
muda
itu berjuang melahirkan seorang diri.
*
* *
"Berikan
bayi itu padaku, Nek!" pita si pe-
rempuan
muda yang baru saja melahirkan den-
gan
mata berbinar.
Si
dukun bayi menyerahkan bayi merah
yang
telah dibersihkan. Namun bersamaan den-
gan
itu....
Brakkk!
Mata
si dukun bayi dan suam-istri itu kon-
tan
membeliak lebar ketika pintu terbongkar, ka-
rena
didorong dari luar. Di hadapan mereka kini
telah
berdiri seorang kakek renta berpakaian ser-
ba
merah darah. Wajahnya amat mengerikan. Pu-
cat
pasi mirip wajah mayat hidup. Lebih mengeri-
kan
lagi, ternyata kedua bola matanya berwarna
putih.
Benar-benar mengerikan! Membuat ketiga
pasang
mata dalam rumah itu makin membelalak
liar!
"Si....
Siapa kau?! Mengapa mengganggu
kami?!"
bentak si dukun bayi tergagap cemas. Da-
lam
benaknya saat itu sosok mengerikan di hada-
pannya
adalah makhluk halus yang sering meng-
ganggu
penduduk kampung. Mengingat itu, rasa
takutnya
makin kuat mencengkeram hati. Demi-
kian
juga suami-istri muda itu. Malah saking ta-
kutnya,
paras mereka makin pucat pasi.
"Ja....
Jangan ganggu kami! Lekas... Lekas
tinggalkan
rumahku ini!" usir ibu muda itu keta-
kutan.
Sosok
menakutkan yang baru muncul te-
tap
diam membisu. Kepalanya bergerak-gerak ke
sana
kemari, sementara hidung besarnya men-
gendus-endus.
Bau bayi itulah yang membuat le-
laki
tua berpakaian merah darah yang tak lain Ib-
lis
Buta bisa sampai ke rumah ini.
"Aku
butuh bayi itu...! Aku butuh bayi itu!
Lekas
serahkan bayi itu padaku!" ujar Iblis Buta,
membentak!
"Tidaaak...!!!"
pekik perempuan muda itu
makin
menyayat hati.
Melihat
istrinya terpekik memelaskan, sang
suami
langsung meloncat ke depan. Seolah den-
gan
berbuat begitu ingin melindungi istrinya, wa-
laupun
nyawa taruhannya.
"Kuminta
dengan baik-baik. Lekas tinggal-
kan
tempat ini!" bentak lelaki muda itu, garang.
Iblis
Buta mendengus.
"Percuma
saja kalian menyuruhku pergi.
Aku
tetap menginginkan bayi itu! Cepat berikan
bayi
itu!" bentak Iblis Buta tak sabar.
Lelaki
ayah si jabang bayi jadi nekat. Ia
maju
selangkah seraya merentangkan kedua tan-
gannya
menghadang langkah Iblis Buta
Iblis
Buta mengeretakkan gerahamnya.
Wajahnya
yang pucat pasi kini tampak kian men-
gerikan.
Tubuhnya sempat gemetar saking nge-
rinya
melihat raut wajah di hadapannya.
Dan
Iblis Buta tak ingin membuang waktu
lebih
lama. Sekali tangannya bergerak, tiba-tiba
telah
menampar pelipis lelaki itu.
Prakkk!
Kontan
saja tubuh ayah si jabang bayi ter-
banting
ke samping, langsung menghantam dind-
ing
kamar dengan kepala pecah. Darah segar ber-
hamburan
di sana-sini. Tak ada gerakan lagi di
tubuhnya.
Melihat
suaminya tewas, ibu si jabang bayi
menjerit
sejadinya. Bayi dalam pelukannya dipe-
gangnya
erat-erat.
"Ya,
Tuhan...! Kau telah membunuh sua-
miku...!"
"Bukan
hanya suamimu! Tapi juga kau dan
bangkotan tua itu!" tuding Iblis Buta ke arah si
dukun
bayi.
Begitu
kata-katanya habis, tangan-tangan
maut
Iblis Buta pun kembali bergerak amat cepat.
Maka
seketika....
Prak!
Prak!
"Aaaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar
dua kali teriakan kematian si
dukun
bayi dan perempuan muda itu. Mereka te-
was
dengan cara amat mengenaskan. Kepala pe-
cah
dengan darah segar kontan membanjiri lan-
tai.
Sebelum
bayi itu jatuh ke lantai, Iblis Buta
cepat
menyambarnya. Dan kini tubuh merah bayi
itu
pun telah berada dalam pelukannya.
2
Bumi
berputar sebagaimana lazimnya.
Mengarungi
angkasa raya atas kehendak Yang
Maha
Kuasa. Tak terasa, telah dua puluh tahun
waktu
berjalan. Sejak Empat Iblis Merah menda-
patkan
seorang bayi atas jerih payah Iblis Buta.
Sementara
itu di sebuah lembah kaki Gu-
nung
Tidar, dua orang menyambut pagi ini den-
gan
cara tersendiri. Tak ada kata-kata indah teru-
cap
dari bibir mereka. Apalagi senyum. Padahal
suasana
pagi itu cukup nyaman untuk dinikmati.
Angin
bertiup semilir. Langit cerah tak terpoles
awan
hitam. Sungguh menyuguhkan satu pe-
mandangan
indah yang patut dinikmati.
Tapi
dua lelaki yang berbeda usia amat
jauh
itu malah bertarung sengit. Entah bertarung
untuk
memperebutkan apa. Yang jelas mereka
saling
serang dengan hebatnya. Inikah cara mere-
ka
menyambut datang pagi?
Kalau
saja alam dapat bicara, sudah pasti
akan
mencaci maki kedua orang itu. Tapi, tam-
paknya
percuma saja. Sebab, kedua orang itu
pasti
tak mempedulikannya. Malah pertarungan
mereka
makin sengit. Tapi beberapa jurus kemu-
dian,
salah seorang dari petarung malah melem-
par
tubuhnya ke belakang untuk mengambil ja-
rak.
Sedangkan orang yang satu lagi tak berusaha
meneruskan
pertarungan.
"Bagus-bagus!
Kau memang muridku yang
sangat
berbakat!" kekeh orang yang baru saja me-
lemparkan
tubuhnya jauh ke belakang. Ia adalah
seorang
lelaki yang berusia sudah amat lanjut.
Tubuhnya
tinggi kurus dibalut pakaian tambal-
tambalan
mirip pengemis. Rambutnya yang awut-
awutan
dibiarkan tergerai tertiup angin. Sepasang
matanya
yang bersinar jenaka tak henti-hentinya
memandangi
lawannya, seorang pemuda tampan
di
hadapannya penuh kagum seraya mengetuk-
ngetukkan
tongkat di tangan kanan.
Dipandangi
seperti itu, si pemuda tampan
malah
bersungut-sungut kesal. Sungguh hatinya
amat
sebal melihat tingkah kakek renta itu. Bah-
kan
bibir si pemuda tampan jadi manyum berat.
"Enak
saja kau panggil aku murid! Kau
kan
sudah berjanji?!" sungut pemuda itu habis-
habisan.
Kalau
saja tak sedang uring-uringan, sebe-
narnya
cukup meyakinkan juga tampang pemuda
satu
ini. Wajahnya berbentuk lonjong. Potongan
tubuhnya yang berkulit putih terlihat tinggi ke-
kar.
Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di
bahu. Sementara pakaian yang dikenakan be-
rupa
rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan,
membuat penampilannya begitu meyakin-
kan.
Siapa
lagi pemuda tampan yang memiliki
ciri-ciri
seperti itu kalau bukan Siluman Ular Pu-
tih?
Sedang kakek renta berpakaian tambal-
tambalan
mirip pengemis sudah pasti Raja Penyi-
hir!
Meski
mendapat jawaban ketus dari Silu-
man
Ular Putih, Raja Penyihir tetap mencoba ber-
sikap
tenang. Hanya gigi-gigi gerahamnya saja
yang
bergerut-gerut pertanda merasa kesal juga
terhadap
pemuda tampan di hadapannya. Namun
manakala
teringat bahwa ia sendiri yang membu-
juk
Siluman Ular Putih untuk mempelajari il-
munya,
Raja Penyihir mau tak mau harus sadar.
Dulu, memang dialah yang mengejar-ngejar pe-
muda
itu untuk mempelajari ilmunya. Sekarang
juga
demikian. Jadi Raja Penyihir memang sudah
kebal
menghadapi ulah Siluman Ular Putih. (Un-
tuk
lebih jelasnya silakan ikuti episode: "Manusia
Rambut
Merah" dan "Maling Tanpa Bayangan").
"Itu
lagi yang kau ucapkan! Itu lagi! Apa ti-
dak
ada kata-kata enak selain kata-kata tadi,
he?!"
bentak Raja Penyihir galak. Gusar juga ha-
tinya.
"Habis
kau sendiri yang mulai, sih!" tukas
Siluman
Ular Putih.
"Mulai-mulai...!
Kau selalu membuatku gu-
sar,
Bocah! Sudah kuajari banyak ilmu, bukan-
nya
berterima kasih malah ngomel."
"Yah...!
Begitu saja sewot. Payah...!" cibir
Soma
mendadak jadi tak tega melihat perubahan
wajah
Raja Penyihir.
"Siapa
yang tak sewot kalau kau meleceh-
kanku
terus!" Raja Penyihir melotot.
"Ya
ya ya...! Aku tahu perasaanmu, Kek."
"Sudah
jangan banyak omong! Sekarang
cepat
peragakan pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan'
yang kuajarkan!" sambar Raja Penyihir,
memerintah.
"Baik!"
Soma
mengangguk mantap, lalu menge-
darkan
pandangan mencari sasaran yang tepat.
Pohon
besar di belakangnyalah yang akan dijadi-
kan
sasarannya.
"Uffh...!"
Soma
menghela napas panjang setelah
memutar
tubuhnya. Perlahan-lahan tenaga da-
lamnya
dialirkan ke kedua telapak tangan, se-
hingga
kontan berubah jadi putih berkilauan
hingga
pangkal lengan.
"Hea...!"
Berbareng
teriakannya. Soma segera
menghantamkan
kedua telapak tangannya ke de-
pan.
Saat itu pula, melesat dua gulungan asap
putih
tebal dari kedua telapak tangannya. Berge-
rak
perlahan, membungkus pohon besar di hada-
pannya.
Lalu....
Kretakkk!
Kretakkk!
Terdengar
ranting-ranting pohon bergeme-
letakkan.
Asap putih tebal itu masih terus mem-
bungkus
batang pohon, namun lama kelamaan
gulungannya
memendek dan hilang sama sekali.
Pada
saat asap putih dari kedua telapak tangan
Siluman
Ular Putih menghilang, batang pohon itu
telah
luruh ke tanah jadi setumpuk kotoran me-
ranggas!
Plok!
Plokkk!
Raja
Penyihir bertepuk tangan. Hatinya
puas
sekali melihat hasil ilmu yang diturunkan
pada
Siluman Ular Putih. Sungguh tak disangka
kalau
bocah sinting di hadapannya mampu men-
guasai
pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan' se-
cepat
itu.
"Hebat!
Kau memang amat berbakat, Bo-
cah!"
puji Raja Penyihir habis-habisan. Mau tak
mau,
rasa kagumnya jadi berlebihan. "Tak per-
cuma
rupanya aku menurunkan ilmu-ilmu ting-
kat
tinggi padamu, Bocah."
"Tentu.
Asal kau tidak macam-macam,
Kek,"
sahut Soma, seenak jidatnya.
"Apa?
Justru kaulah yang macam-macam!
Mana
ada sih, orang sudah diajarkan ilmu tak
mau
memanggil guru!" sembur Raja Penyihir, bak
api
tersiram minyak.
"Sebenarnya
bukan begitu maksudku,
Kek,"
kilah Soma.
"Buktinya?
Kau tetap tak mau memanggil-
ku
guru?" perangah Raja Penyihir, gusar.
"Tentu
saja aku mau. Dan tentu pula, ada
syaratnya,"
sahut Siluman Ular Putih sekenanya.
"Kau
mau mempermainkan aku, Bocah?"
"Ah...!
Kau ini cepat marah benar, sih?" tu-
kas
Siluman Ular Putih. "Dengar, Kek! Jangankan
kau,
Eyang Begawan Kamasetyo sendiri, tidak
berpesan
agar aku jangan mengumbar nama
Eyang
di sembarang tempat! Lagi pula, meski aku
muridnya,
aku tetap memanggilnya Eyang. Jadi,
kau
pun akan kupanggil Kakek!"
"Kau...!"
Raja Penyihir tak dapat melan-
jutkan
ucapannya saking gusarnya.
"Yah...!
Kalau Kakek masih penasaran, ke-
napa
tidak minta izin saja pada eyangku di Gu-
nung
Bucu?"
"Tua
bangka Kamasetyo itu pasti mengizin-
kan
kau memanggilku guru," sambar Raja Penyi-
hir,
sok tahu.
"Itu
kan kalau Kakek yang ngomong. Tapi
kalau
eyangku, belum tentu," jawab Soma mema-
nas-manasi
"Kau
dan tua bangka itu memang sama sa-
ja.
Baik! Sebelum aku pergi ke Gunung Bucu, aku
harus
membuatmu babak belur dulu!" geram Raja
Penyihir,
jengkel.
Saat
itu pula Raja Penyihir memutar tong-
kat
hitam di tangan kanannya sehingga mener-
bitkan
angin menderu-deru di udara, mengancam
tubuh
Siluman Ular Putih.
Sudah
pasti Soma tidak sudi tubuhnya di-
jadikan
sasaran empuk kemarahan Raja Penyihir.
Tanpa
banyak pikir panjang tubuhnya segera di-
buang
ke samping. Tapi gulungan tongkat hitam
di
tangan Raja Penyihir terus mengejarnya tanpa
ampun.
"Sabar,
Kek! Sabar! Tak baik orang tua se-
perti
kau marah-marah terus!" teriak
Siluman
Ular
Putih, sambil terus menghindar dari kejaran
tongkat
hitam Di tangan Raja Penyihir.
Namun
Raja Penyihir mana mau menurut
begitu
saja. Malah serangan-serangan tongkat hi-
tamnya
makin gencar saja mendesak Siluman
Ular
Putih.
Mau
tidak mau Siluman Ular Putih jadi
kewalahan
juga. Meski telah berusaha menghin-
dar,
namun tak urung tubuhnya babak belur juga
terkena
hajaran tongkat di tangan Raja Penyihir.
Sudah
pasti Siluman Ular Putih jadi sewot
berat.
Mau membalas, jelas tidak mungkin. Dari-
pada
merana diserang habis-habisan oleh Raja
Penyihir,
mending kabur saja. Begitu, pikir Silu-
man
Ular Putih.
Tapi
jalan keluar untuk kabur tak ada. Ke
mana
saja Siluman Ular Putih bergerak, selalu sa-
ja
tongkat hitam di tangan Raja Penyihir
datang
menghadang.
Soma jadi kewalahan. Terpaksa ia
harus
menggunakan akalnya yang cerdik.
"Tunggu,
Kek! Itu eyangku datang!" ujar Si-
luman
Ular Putih sambil menudingkan telunjuk
jarinya
ke batang pohon di belakang Raja Penyi-
hir.
Diam-diam, Siluman Ular Putih mengerahkan
kekuatan
sihirnya.
Tanpa
banyak punya prasangka apa-apa.
Raja
Penyihir segera memalingkan kepala ke be-
lakang.
Benar. Ternyata di hadapan Raja Penyihir
telah
berdiri seorang kakek yang sebaya dengan-
nya,
berpakaian putih bersih. Itulah sosok Eyang
Begawan
Kamasetyo dari Gunung Bucu!
"Kau...
kkk...!"
Raja
Penyihir sejenak terperangah. Namun
cepat
menyadari kebodohannya. Sekali lihat saja
ia
tahu kalau telah dikerjai Siluman Ular Putih
dengan
ilmu sihir yang pernah diajarkannya. Ter-
nyata
sosok Eyang Begawan Kamasetyo hanyalah
sebatang
pohon!
Bukan
main geramnya hati Raja Penyihir
saat
itu. Dan ini benar-benar senjata makan tuan.
Jelas
ia tak sudi dikerjai pemuda kemarin sore itu
sedemikian
rupa. Namun mana kala kepalanya
berpaling
ke belakang, ternyata bocah edan itu
sudah
tak ada di tempatnya.
"Bocah
edan! Beraninya kau mengerjaiku.
Raja
Penyihir, he?! Awas kalau kutemukan nanti.
Akan
kukurung selama berbulan-bulan!" umpat
Raja
Penyihir geram bukan main.
Sekali
menjejakkan kakinya ke tanah, ta-
hu-tahu
tubuh tinggi kurus Raja Penyihir telah
berkelebat
di kejauhan sana. Sambil berkelebat,
tak
henti-henti mulutnya mencaci maki Siluman
Ular
Putih.
*
* *
Empat
orang lelaki tua yang sama-sama
berpakaian
merah darah memperhatikan ke satu
arah.
Lalu mereka berdecak kagum, menyiratkan
kepuasan.
Di
hadapan lelaki tua yang tak lain Empat
Iblis
Merah dari Hutan Seruni, tampak seorang
pemuda
gagah tengah giat berlatih silat. Potongan
tubuhnya
yang tinggi besar jelas menandakan ka-
lau
pemuda berambut gondrong awut-awutan itu
sering
berlatih keras. Dari matanya yang menco-
rong
tajam menandakan kalau tenaga dalamnya
amat
dahsyat. Buktinya saja dari setiap gerakan
tangan
dan kakinya selalu berkesiur angin ken-
cang
berhawa dingin yang bukan kepalang. Di
samping
itu gerakan tangan dan kakinya cepat
luar
biasa, mengandung serangan-serangan me-
matikan!
Sambil
duduk bersila, Empat Iblis Merah
sesekali
memberi perintah, lalu disusul dengan
mata
berbinar-binar. Ini semua jelas menandakan
kalau
mereka merasa puas dengan hasil yang di-
capai
si pemuda.
"Coba
mainkan jurus 'Tangan Merah', Bo-
cah!"
perintah Iblis Buntung.
"Baik,
Guru."
Si
pemuda segera merubah jurusnya. Begi-
tu
tenaga dalamnya dikerahkan, maka kedua te-
lapak
tangannya telah berwarna merah darah.
Hawa
anyir dari setiap sambaran tangannya jelas
menandakan
kalau serangan-serangan pemuda
itu
mengandung hawa racun keji.
"Hup...!"
Untuk
membuktikan kehebatan jurus
'Tangan
Merah', mendadak tubuh tinggi kekar si
pemuda
melenting tinggi ke udara. Gerakan-
gerakan
tangan dan kakinya yang cepat luar bi-
asa,
terarah pada sebatang pohon di hadapannya
yang
menjadi sasaran.
Crak!
Crakkk!
Dalam
waktu yang amat singkat, ranting-
ranting
pohon itu telah gundul terkena tamparan
dan
tendangan-tendangan kaki si pemuda. Lebih
hebatnya
lagi, dari potongan-potongan ranting
kontan
berwarna merah darah! Termasuk, batan-
gan
pohon yang tersisa. Bahkan begitu si pemuda
mendarat
di tanah, batang pohon itu luruh ke ta-
nah
menjadi tumpukan abu berwarna merah da-
rah!
Bukan
main!
Memang
jurus yang diperagakan si pemuda
amat
membahayakan. Sebuah perpaduan jurus
antara
gerak tangan dan kaki yang digabungkan
tenaga
dalam tingkat tinggi. Kiranya dunia persi-
latan
bakal guncang bila si pemuda didikan Em-
pat
Iblis Merah dari Hutan Seruni ini akan mem-
buat
onar di dunia persilatan. Bisa jadi! Lantas,
siapakah
yang dapat menandingi kehebatannya?!
"Tak
percuma rupanya kami mendidikmu
bertahun-tahun,
Bocah. Kau bakal merajai dunia
persilatan!"
puji Iblis Buta. Meski kedua bola ma-
tanya
yang berwarna putih tak mampu melihat
apa
yang dilakukan muridnya tadi, namun dari
angin
berkesiuran tadi dapat dirasakan akan ke-
hebatan
jurus ‘Tangan Merah’ yang diperagakan
si
murid.
"Tunggu!
Kau jangan bangga dulu menden-
gar
pujian kami, Bocah. Coba sekarang tunjuk-
kan
pada kami pukulan 'Darah Iblis' yang kami
ajarkan!
Kalau kau tak becus atau mengecewakan
kami,
hukuman berat akan kami berikan kepa-
damu!"
perintah Iblis Tuli, garang!
Begitu
mendengar perintah Iblis Tuli yang
sarat
ancaman, mendadak paras si pemuda jadi
tegang.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Ra-
hangnya
mengeras. Jelas sekali kalau harga di-
rinya
merasa tertantang. Maka meski hatinya pa-
nas,
namun kehebatannya harus dibuktikan.
Tanpa
menyahuti ucapan gurunya, pemu-
da
itu segera berbalik ke belakang. Sepasang ma-
tanya
berkilat-kilat mengerikan terus mencorong
tajam
mencari sasaran. Dilihatnya ada sebongkah
batu
sebesar kerbau.
Pemuda
itu mendengus. Kedua telapak
tangannya
yang terkepal erat berkerotokan, sea-
kan
tak sabar melaksanakan perintah gurunya.
Namun,
si pemuda tidak langsung melaksanakan
perintah
Iblis Tuli. Dadanya yang membusung di-
angkatnya
dalam-dalam. Perlahan-lahan tenaga
dalamnya
dikerahkan, membuat kedua telapak
tangannya
berubah jadi hitam legam sampai ke
pangkal.
Selangkah
demi selangkah, pemuda itu
mendekati
bongkahan batu. Sejenak diperhati-
kannya
bongkahan batu itu seksama. Tanpa kata.
Hanya
telapak tangan kanannya saja yang diang-
kat
tinggi-tinggi. Dan....
Pluk!
Sekali
tepuk, bongkahan batu sebesar ker-
bau
itu kontan hancur berkeping-keping. Dari se-
tiap
kepingannya mengeluarkan uap hitam legam!
Bukan
main! Padahal, tadi si pemuda itu hanya
menggerakkan
tangannya biasa saja. Namun ha-
silnya,
sungguh luar biasa!
Mau
tidak mau Empat Iblis Merah dari Hu-
tan
Seruni itu jadi terperangah. Sepasang mata
mereka
membelalak lebar, seolah tak percaya. La-
lu,
entah siapa yang terlebih dulu mulai, mereka
telah
mengumbar tawa.
"Bagus!
Bagus! Aku yakin dengan keheba-
tanmu
sekarang, kau bakal jadi rajanya dunia
persilatan.
Kaulah momoknya dunia persilatan,
Bocah!"
puji Iblis Buntung di antara suara ta-
wanya
yang bergelak.
Si
pemuda memalingkan kepala perlahan.
Sejenak
dipandanginya keempat orang gurunya.
Angkuh.
Selangkah demi selangkah ia berjalan
mendekati.
Tanpa senyum ataupun kata-kata
bernada
terima kasih, mendengar pujian keempat
orang
gurunya. Malah kini ia berdiri tegak di ha-
dapan
keempat gurunya! Pongah sekali lagaknya!
"Dengar,
Bocah! Buka telingamu lebar-
lebar!
Bertahun-tahun kami telah mendidikmu
susah
payah. Sekarang, tibalah saatnya aku me-
nagih
budi," kata Iblis Buntung. Nada suaranya
garang,
sarat ancaman.
"Katakan
saja! Perintah apa yang harus ku-
lakukan.
Guru!" sahut si pemuda, pongah.
"Sebelum
kau menjadi rajanya dunia persi-
latan.
Apakah kau pernah dengar julukan Silu-
man
Ular Putih?" lanjut Iblis Buntung.
"Tidak.
Apakah aku harus melenyapkannya
juga?"
sahut si pemuda tetap bernada pongah.
"Benar!
Kau harus melenyapkan Siluman
Ular
Putih. Pendekar muda itu harus kau le-
nyapkan!"
timpal Iblis Buta.
"Apa
pun perintah Guru berempat, pasti
akan
kulaksanakan. Dan aku tidak akan pernah
mengecewakan
Guru!" tandas si pemuda.
"Bagus!
Memang itulah yang ingin kami
dengar!"
"Hukbukhuk...!"
Sementara
Iblis Bisu menggerak-gerakkan
kedua
tangannya ke sana kemari. Mulutnya tak
henti-hentinya
berucap demikian. Entah apa ar-
tinya.
Namun ketiga orang saudara seperguruan-
nya
sudah pasti tahu apa maksudnya.
"Ya
ya ya...! Kukira berdasarkan kesepaka-
tan
kita, mulai hari ini kau harus memakai gelar,
yakni
Dewa Kegelapan! Karena kau memang ter-
lahir
berkat izin Dewa Kegelapan!" kata Iblis Tuli.
"Camkan
itu, Bocah! Mulai hari ini kau ha-
rus
memakai gelar Dewa Kegelapan!" tandas Iblis
Buta.
"Baik.
Tentu aku akan memakai gelar itu."
"Nah...!
Sekarang sebelum meninggalkan
tempat
ini, kau harus minta izin terlebih dulu pa-
da
kakek seperguruan kami yang tertua!" ujar Ib-
lis
Buntung lagi.
"Siapakah
Uwak Guru yang Guru mak-
sud?"
tanya si pemuda yang kini bergelar Dewa
Kegelapan,
tak mengerti.
"Jangan
banyak tanya! Ikuti saja kami!"
bentak
Iblis Buntung.
Habis
membentak, Iblis Buntung tiba-tiba
menghentakkan
kedua telapak tangannya ke ta-
nah.
Seketika, tubuhnya yang tanpa kaki cepat
melenting
tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat
ke
suatu tempat. Gerakannya segera diikuti keti-
ga
orang adik seperguruannya.
Mau
tak mau Dewa Kegelapan pun menyu-
sul
keempat orang gurunya. Hanya dengan sekali
menjejak
tanah, sosoknya telah dapat menyusul
keempat
gurunya.
*
* *
Ternyata
tempat yang dimaksudkan Empat
Iblis
Merah dari Hutan Seruni itu jauh dari perki-
raan
Dewa Kegelapan. Semula dikira, ia akan di-
ajak
ke sebuah goa, lembah, atau tempat lain.
Namun
ternyata, justru diajak ke sebuah kubu-
ran!
"Aku
sungguh tak tahu, apa maksud Guru
membawaku
kemari," gumam Dewa Kegelapan
dalam
hati.
Melihat
keempat orang gurunya segera ber-
simpuh
di atas makam yang dimaksudkan, Dewa
Kegelapan
masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa
herannya
membuat keningnya berkerut berulang
kali.
"Bocah!
Kenapa kau tidak segera berlutut?
Cepat
beri hormat pada Uwak Guru!" bentak Iblis
Buntung.
"Baik."
Meski
hatinya diliputi sejuta tanda tanya,
perlahan-lahan
Dewa Kegelapan pun segera du-
duk
bersimpuh di samping Iblis Buntung. Ma-
tanya
nyalang memperhatikan gundukan tanah di
hadapannya.
Bibirnya berkemik-kemik, namun
tak
sepatah kata pun terucap.
"Bocah!
Apa yang kau perbuat di sini, he?!
Aku
bukan menyuruhmu berdoa. Kakak sepergu-
ruanku
itu masih hidup. Ia sedang bertapa dalam
kuburan
ini. Dengan menaburkan kembang dan
menyiramkan
air kendi ini ke atas makamnya,
maka
kesaktian Kakang Penghuni Kubur akan
bertambah
hebat. Lekas beri hormat!" bentak Iblis
Buntung,
garang.
Sepasang
mata Dewa Kegelapan sempat
berkilat-kilat
penuh kemarahan. Namun tak di-
pungkiri
hatinya terkejut mendengar kalau uwak
gurunya
bertapa di dalam makam. Sejenak di-
pandanginya
Iblis Buntung seksama.
Iblis
Buntung menggedikkan kepalanya,
memberi
isyarat pada Dewa Kegelapan.
"Uwak
Guru...! Aku, Dewa Kegelapan da-
tang
memberi hormat padaku. Mohon sudilah kau
mengizinkan
kepergianku!" ucap Dewa Kegelapan,
kaku.
Mendadak
tanpa diduga sama sekali, gun-
dukan
tanah di hadapan Dewa Kegelapan berge-
tar.
Dan tidak lama, gundukan tanah itu tenang
seperti
semula.
"Kau
tahu, Uwak Gurumu merestui keper-
gianmu.
Jadi setelah ini, kau harus segera melak-
sanakan
perintah kami. Kau harus dapat mengu-
asai
dunia persilatan, sekaligus dapat mele-
nyapkan
Siluman Ular Putih! Paham?!" tegas Iblis
Buntung
lagi.
"Tentu.
Kalau Guru mengizinkan, sekarang
juga
aku akan berangkat dan mencari orang ber-
gelar
Siluman Ular Putih!" geram Dewa Kegela-
pan,
saking jengkelnya.
"Tunggu!
Kau tak boleh pergi sebelum aca-
ra
ini selesai!" bentak Iblis Buta.
"Baik.
Kalau Guru berempat menginginkan
aku
menemani!" sahut Dewa Kegelapan, ketus.
Iblis
Buta mengangguk.
Iblis
Buntung yang memimpin upacara se-
gera
mengambil kembang yang telah dipersiapkan
dari
balik pakaian. Sedang Iblis Buta segera me-
nyerahkan
kendi berisi air pada Iblis Buntung.
Untuk
beberapa saat, Empat Iblis Merah dari Hu-
tan
Seruni tetap diam di tempat masing-masing.
Mata
mereka tajam memandangi gundukan tanah
di
hadapannya.
"Terimalah
kembang dan air kehidupan ini,
Kakang
Penghuni Kubur. Meski tidak melihat
kami,
tapi kami yakin kau pasti senang menerima
sesaji
ini. Terimalah, Kang!" ucap Iblis Buntung li-
rih.
Habis
berucap, Iblis Buntung segera me-
nuang
kendi berisi air ke gundukan tanah di ha-
dapannya.
Lalu ditebarkannya kembang di per-
mukaan
gundukan tanah. Setelah selesai, kendi
dan
sisa kembang diserahkan pada adik-adik se-
perguruannya.
Dan mereka melakukan seperti
yang
telah diperbuat Iblis Buntung.
Terakhir,
dengan tangan gemetar, Dewa
Kegelapan
pun melakukan seperti apa yang dila-
kukan
keempat orang gurunya. Sikapnya tidak
begitu
khusuk seperti Empat Iblis Merah. Namun
itu
sudah cukup. Kini saatnyalah bagi Dewa Ke-
gelapan
menunaikan tugas dari keempat orang
gurunya.
Namun Dewa Kegelapan tidak bergegas
meninggalkan
tempat itu. Ada satu pertanyaan
yang
selama ini mengusik hatinya.
"Guru...!
Ada satu hal yang ingin kutanya-
kan
pada kalian berempat. Aku tak ingin pergi
sebelum
kalian menjawab," kata Dewa Kegelapan.
"Boleh.
Apa?" sahut Iblis Buntung tak se-
nang.
"Aku
ingin mengetahui kedua orangtua ku.
Di
manakah mereka. Guru?"
"Apa?!
Kau... menanyakan itu?!" sentak Ib-
lis
Buntung.
"Iya.
Kenapa Guru tampak terkejut?" tukas
Dewa
Kegelapan.
"Huh...!"
Iblis Buntung mendengus jengkel.
"Yang
jelas, kedua orangtua mu sudah lama ma-
ti."
"Si....
Siapa yang membunuhnya, Guru?"
Dewa
Kegelapan terperangah kaget. Wajahnya
pun
kontan murung.
"Aku
tidak tahu, Muridku."
"Mustahil!
Pasti kalian berempat tahu, sia-
pa
pembunuh kedua orangtua ku!"
"Kau
keras kepala, Bocah. Kalau tak per-
caya,
selidiki saja sendiri!" tukas Iblis Buntung
kesal.
Dewa
Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan.
Tanpa banyak cakap, segera ditinggalkan-
nya
tempat ini. Namun diam-diam ia tetap akan
menyelidiki
siapa pembunuh kedua orang tuanya.
3
"Tuolooong...!
Ada orang gila ngamuk. Tuo-
looooong...!!!"
Siluman
Ular Putih terus berlari lintang
pungkang.
Kepalanya sesekali dipalingkan ke be-
lakang,
kalau-kalau Raja Penyihir masih mengejar
di
belakangnya. Melihat tak ada yang mengejar,
larinya
pun dihentikan. Namun mendadak....
Srattt!
"Aaahh!"
Siluman
Ular Putih memekik keras ketika
kakinya
seperti tersambar sesuatu. Tanpa ampun
tubuhnya
tersentak ke atas. Ketika disadari, ter-
nyata
kakinya terjerat tali hingga tubuhnya
menggantung
di sebuah dahan pohon.
"Duuuh...!
Percuma saja aku punya mata
kaki
kalau tak dapat melihat ada jebakan.
Huh...!"
gerutu Soma, kesal. Di saat tangannya
hendak
memutuskan tali yang mengikat perge-
langan
kakinya, samar-samar matanya melihat
sesosok
tubuh ramping menghampiri.
"Bodoh!
Kenapa kau yang masuk ke dalam
jeratanku?
Dasar pemuda tak tahu aturan!" geru-
tu
sosok ramping itu ketus.
Soma
kontan menghentikan gerutuannya
melihat
sosok di bawahnya cukup menawan. So-
sok
seorang gadis cantik berpakaian ringkas war-
na
hijau. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit
putih
bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. Pas
sekali
dengan rambutnya yang digelung ke atas
dihiasi
untaian bunga melati.
Cukup
mengagumkan kecantikan gadis sa-
tu
ini memang. Namun berhubung Siluman Ular
Putih
melihatnya dalam keadaan terbalik, jadi wa-
jar
saja kalau sosok gadis cantik di bawahnya be-
rubah
jadi sosok hijau mengerikan. Bukannya se-
bagai
gadis cantik, melainkan dalam pandang ma-
tanya
tidak ubahnya seperti kuntilanak!
"Ayo,
turun! Kenapa malah enak-enakan di
situ?!"
hardik si gadis cantik, kesal.
"Siapa
yang enak-enakan tergantung begi-
ni?
Aku sendiri mau memutuskan tali ini, tapi
kau
malah datang!" sungut Siluman Ular Putih.
"Eh...!
Jangan kau putuskan tali jebakan-
ku
itu! Kau.... Kau.... Ah...! Mengganggu kesenan-
ganku
saja. Bagaimana aku dapat menangkap
kambing
liar kalau kau putuskan tali jebakanku!"
omel
si gadis cantik.
"Apa?
Kau bilang aku kambing?" perangah
Siluman
Ular Putih merasa tersindir.
"Akil
tidak mengatakan kau kambing. Tapi
kau
sendiri yang mengatakannya," sahut si gadis
cepat.
"Yah...!
Kalau begitu sama saja. Kalau ti-
dak,
mana mungkin ada orang menangkap kamb-
ing
dengan cara seperti ini?"
"Kau
malah mengguruiku! Sudah terang
salah,
pakai menggurui lagi! Pemuda macam apa
kau
ini, he?! Cepat turun dari tali jebakanku.
Dan,
pasang lagi seperti semula!"
"Eh...!
Bukannya nolong, malah ngomel!"
sahut
Siluman Ular Putih tak kalah sengit.
"Arum!
Arum Sari! Ada apa? Kenapa kau
marah-marah
di situ? Apa kau sudah menda-
patkan
babi?"
Mendadak
terdengar suara teguran seseo-
rang.
Belum hilang gaung suara teguran barusan
di
samping gadis berpakaian hijau yang ternyata
bernama
Arum Sari itu telah berdiri seorang ne-
nek
berkulit keriput. Tubuhnya kurus kering, mi-
rip
cacing. Saking kurusnya, nenek renta beram-
but
putih panjang itu seolah tak berdaya berdiri
di
atas kaki. Tubuh kurus keringnya malah seper-
ti
meliuk-liuk tertiup angin. Pakaiannya yang juga
berwarna
hijau-hijau berkibar-kibar. Untung saja
tongkat
panjang di tangannya mampu menahan
tubuhnya.
"Guru...!
Seperti yang Guru lihat, murid be-
lum
mendapat kambing. Pemuda inilah yang
membuat
kambing-kambing itu kabur. Eh...! Se-
karang
ia malah enak-enakan di dalam tali jeba-
kan,"
lapor Arum Sari berlebihan.
Siluman
Ular Putih yang saat itu tengah
terpana
melihat perempuan tua renta di bawah-
nya
tak mendengar apa yang dilaporkan Arum
Sari
barusan. Dalam pandang matanya yang ter-
balik,
sosok renta di bawahnya tampak demikian
mengerikan.
Betapa perempuan tua itu tak ubah-
nya
biangnya kuntilanak.
"Hii...!
Bi.... Biang kuntilanak...!" desis Si-
luman
Ular Putih seraya memejamkan mata.
"Bocah
tengil! Apa kau bilang tadi?" bentak
perempuan
tua itu galak.
Terpaksa
Siluman Ular Putih harus mem-
buka
matanya kembali dan langsung dikerjap-
kerjapkannya
berulang-ulang. Makin parah saja
sosok
nenek renta itu dalam pandang matanya.
"He
he he.... Bisa jadi kau kuntilanak yang
muncul
di siang bolong?" gumam Siluman Ular
Putih.
"Bocah
tak tahu adat! Mulutmu patut diha-
jar!"
Terdengar lengkingan cempreng si nenek saat
mendamprat.
Bahkan tiba-tiba tongkat hitam di
tangannya
bergerak cepat ke arah mulut Siluman
Ular
Putih. Tapi mana mungkin bocah sinting itu
sudi
mendapat sarapan tongkat. Dengan sekuat
tenaga
cepat dihindarinya datangnya serangan.
Namun
karena masih menggelantung di tali, tu-
buhnya
hanya bergeser sedikit. Akibatnya....
Bukkk!
Bukkk!
Dua
kali tubuh Siluman Ular Putih jadi sa-
saran
empuk serangan tongkat si nenek. Seketika
tubuhnya
berputar-putar kencang di atas tali.
Sementara
si nenek malah terkekeh senang
memandangi
tubuh Siluman Ular Putih yang ber-
putar.
Tongkat hitam di tangan kanannya lantas
menggerak-gerakkan
tubuh Siluman Ular Putih
ke
sana kemari hingga makin cepat berputar
sambil
berbuat demikian, tak henti-hentinya si
nenek
terkekeh senang.
Maka
wajar saja kalau Siluman Ular Putih
ganti
yang mengomel panjang lebar. Sementara, si
nenek
mana peduli dengan omelan? Bahkan ke-
kehannya
terdengar makin menyakitkan telinga si
pemuda.
"Celaka!
Enak benar tubuhku dijadikan ba-
rang
mainan. Peduli setan! Aku harus memu-
tuskan
tali jebakan itu!" umpat Siluman Ular Pu-
tih
dalam hati.
Saat
itu juga tangan Siluman Ular Putih
segera
membabat tali jebakan. Namun baru saja
menggerakkan
tangan, tiba-tiba tongkat di tangan
si
nenek datang menghadang.
Takk!
"Adaouwww!!!"
pekik Soma sejadinya.
Tangan
Soma yang terkena hantaman
tongkat
terasa berdenyut. Sementara putaran tu-
buhnya
di atas tali jebakan makin kencang. Kare-
na,
tak henti-hentinya tongkat di tangan si nenek
memutar
tubuhnya.
"Ampun,
Nenek Jelek! Ampuuun! Hentikan,
Nek!"
ratap Siluman Ular Putih akhirnya, meme-
las.
"Apa
kau bilang, Bocah?"
"Hentikan
dong. Nek. Pusing kepalaku!"
"Bukan
itu. Kau tadi tidak bilang itu."
"Ya,
ampun! Aku.... Aku...."
Saat
itu juga otak Siluman Ular Putih be-
kerja
cepat. Ia tahu maksud nenek jelek di ba-
wahnya.
"Anu,
Nek. Tadi kubilang kau nenek cantik.
Cuaaantik
sekali. Asli! Seperti bidadari turun dari
langit,"
puji Siluman Ular Putih habis-habisan.
Si
nenek jelek itu terkekeh senang. Lebih
senang
ketimbang bermain ayunan dengan tubuh
Siluman
Ular Putih.
"Ya
ya ya...! Kau benar, Bocah. Aku me-
mang
masih cantik. Cuaaantik sekali. Iya kan,
Muridku?"
teriak si nenek, berbunga-bunga.
Ditodong
pertanyaan gurunya, mau tak
mau
si gadis berpakaian hijau pun menjawab.
"I....
Iya, Guru."
"Nah...!
Kau dengar, Bocah. Muridku saja
bilang
kalau Nenek Rambut Putih masih cantik,
kan?"
lanjut si nenek jelek pada Siluman Ular Pu-
tih.
Untuk
memperlancar siasatnya, tak ada je-
leknya
Siluman Ular Putih harus memuji nenek
jelek
berjuluk Nenek Rambut Putih itu.
"Tentu,
Nek. Malah aku yakin, sewaktu
muda
dulu kau pasti lebih cantik ketimbang mu-
ridmu!
Tapi lepaskan tali yang menjerat kakiku
dong!" rajuk Soma akhirnya.
"Yayaya...!
Tapi benarkah apa yang kau
ucapkan
barusan? Aku lebih cantik dibanding
muridku?"
tanya Nenek Rambut Putih seraya
membelalakkan
matanya lebar.
"Sudah
pasti. Kenapa kau ragu-ragu? Tapi
talinya
dong. Nek. Lekas diputus! Aku pusing,
nih!"
rajuk Soma lagi,
Kali
ini rupanya siasat Siluman Ular Putih
berjalan
lancar. Maka sambil melonjak-lonjak ke-
girangan,
tongkat hitam di tangan nenek jelek itu
pun
menyambar putus tali jebakan yang mengi-
kat
pergelangan kaki Siluman Ular Putih.
Tasss!
Begitu
tali jebakan itu putus oleh samba-
ran
tongkat Nenek Rambut Putih, Siluman Ular
Putih
cepat berjungkir balik. Dengan sigap kedua
kakinya
siap menjejak tanah. Namun baru saja
menjejak,
keseimbangan tubuhnya hilang. Tu-
buhnya
limbung ke samping, menabrak tubuh
Arum
Sari!
"Kau....
Kau sengaja mencari kesempatan,
ya!
Main tubruk saja!" hardik Arum Sari.
Soma
tidak peduli. Ia justru lebih peduli
melihat
beribu kunang-kunang bermain di pelu-
puk
matanya. Sambil cengar-cengir, ia mencoba
mengusir
kunang-kunang di depan mata dengan
menggerak-gerakkan
kepalanya ke sana kemari.
Sehingga,
akhirnya rasa berkunang-kunang di
matanya
hilang dengan sendirinya.
"Kau
tega sekali mempermainkan tubuhku
di
tali jebakan. Nek? Memangnya tubuhku ini ba-
rang
mainan?" sungut Siluman Ular Putih begitu
dapat
mengendalikan keadaan.
"Yah...!
Salah sendiri, kenapa kau masuk
ke
dalam jebakan? Sudah tahu itu jebakan, ke-
napa
kau mau masuk?" sahut Nenek Rambut Pu-
tih
enteng.
Mau
tak mau Siluman Ular Putih manyun
berat.
Mana ada sih orang sengaja masuk jeba-
kan.
Dasar nenek gila! Seenak perutnya saja
ngomong!
Soma menggerutu dalam hati.
"Sekarang
duduklah! Aku ingin bicara!" ka-
ta
Nenek Rambut Putih lagaknya dibuat-buat
sungguh-sungguh.
"Kau juga. Arum!"
"Kau
sudah mulai main perintah, Nek?" ba-
lik
Siluman Ular Putih.
"Kalau
ya, kau mau apa?" tukas si nenek
jelek,
galak.
"Ya...!
Tidak apa-apa...," sahut Soma seke-
nanya.
Nenek
Rambut Putih mengetukkan tong-
katnya,
menyuruh Siluman Ular Putih diam.
"Dengar,
Arum! Ketahuilah! Bukankah kau
ingin
mengetahui siapa yang telah membunuh
kedua orangtua mu, bukan?" cerocos Nenek
Rambut
Putih.
"Iya,
Nek. Bahkan aku tidak hanya ingin
sekadar
tahu, tapi ingin menuntut balas!" sahut
Arum
Sari bersemangat.
"Bagus!
Itu baru muridku namanya. Seka-
rang,
ketahuilah! Sebenarnya yang telah membu-
nuh
kedua orangtua mu adalah bangkotan tua
yang
bergelar Penghuni Kubur!" jelas si nenek,
tandas.
"Penghuni
Kubur? Jadi, kedua orangtua ku
tewas
di tangan Penghuni Kubur?" tanya Arum
Sari
dengan kening berkerut.
"Yah...!"
sahut Nenek Rambut Putih sing-
kat.
Nenek Rambut Putih lantas menceritakan ke-
jadian
tujuh belas tahun lalu. Betapa Sepasang
Pendekar
Garuda Emas, sahabat Nenek Rambut
Putih
menemui ajal di tangan Penghuni Kubur se-
cara
mengenaskan. Tubuhnya cerai berai, jadi
santapan
anjing-anjing liar hingga tandas!
Arum
Sari dan Siluman Ular Putih sama-
sama
terpekur mendengar cerita Nenek Rambut
Putih.
Sedikit pun mereka tak berani memotong
cerita.
"Sebenarnya,
Sepasang Pendekar Garuda
Emas
dari puncak Gunung Merbabu bisa saja
mengalahkan
Penghuni Kubur, musuh bebuyu-
tannya
itu. Namun dengan kelicikannya, ibumu
dapat
diperdayai oleh racun yang disebarkan
Penghuni
Kubur. Begitu ibumu berada di bawah
ancamannya,
Penghuni Kubur memaksa ayahmu
menyerah.
Singkat cerita demi melindungi nyawa
ibumu,
ayahmu menyerah. Tapi betapa culasnya
bangkotan
tua satu itu. Karena setelah ayahmu
menyerah,
tetap saja kedua orangtua mu dibu-
nuhnya. Benar-benar keparat manusia satu itu!
Berkali-kali
aku mencarinya, tapi sampai seka-
rang
belum pernah kutemukan. Sial. Benar-benar
sial.
Dan apakah kau tahu, kenapa kau bisa jadi
muridku.
Arum?" tanya Nenek Rambut Putih.
"Tentu
saja aku tidak tahu. Nek."
"Hm...!"
Nenek
Rambut Putih mengeretakkan gera-
hamnya
penuh kemarahan. Sepasang matanya
yang
kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan bila
teringat
kejadian tujuh belas tahun lalu.
"Tahukah
kau, ternyata setelah kedua
orangtua
mu dibunuh, bangkotan tua itu pun in-
gin
membunuhmu! Kebetulan sekali aku keburu
datang.
Namun sayang aku pun terdesak oleh se-
rangannya.
Maka tak ada pilihan lain, demi me-
nyelamatkan
nyawamu yang kuharapkan bisa
menuntut
balas, aku pun kabur. Sampai di sini
apa
kau sudah paham. Arum?"
Nenek
Rambut Putih memandang tajam
murid
semata wayangnya.
"Tahu,
Nek. Kau tentu membawaku ke Hu-
tan
Wringin Anom ini dan membesarkanku."
"Bagus.
Rupanya kau punya otak cerdik
juga.
Sekarang semua kejadian tujuh belas tahun
lalu
telah kuceritakan. Dan kau pun sudah tahu,
siapa
pembunuh kedua orangtua mu. Sekarang,
terserah.
Mau kau apakan bangkotan tua Peng-
huni
Kubur itu. Tapi, hati-hati. Dia lihai sekali."
"Tentu,
Guru. Aku pasti akan berhati-hati.
Sekarang
izinkanlah aku menuntut balas!"
Nenek
Rambut Putih tak mempedulikan
permintaan
muridnya. Dan kini tatapannya di-
alihkan
pada Siluman Ular Putih.
"Hey,
Bocah Edan! Kau dengarkan apa
yang
kuceritakan barusan?"
"Eh
eh eh...! I.... Iya, Nek. Aku dengar," sa-
hut
Siluman Ular Putih tergagap.
"Nah...!
Kalau sudah tahu, sekarang jawab
pertanyaanku
dengan jujur. Bukankah kau yang
bergelar
Siluman Ular Putih?"
"Da...
dari mana kau tahu gelarku. Nek?"
tanya
Siluman Ular Putih tak habis pikir.
"Sudahlah!
Itu tak penting. Yang pasti kau
Siluman
Ular Putih yang akhir-akhir ini meng-
gemparkan
dunia persilatan, kan?"
"Ah...!
Kau terlalu memuji. Nek."
"Diam!
Aku belum selesai bicara!" bentak
Nenek
Rambut Putih.
"Iyalah.
Aku akan diam."
Nenek
Rambut Putih mengetuk-ngetukkan
tongkatnya.
Matanya yang kelabu kini tak lagi
memandang
Siluman Ular Putih, melainkan me-
mandangi
muridnya seksama.
"Arum!
Benar kau ingin menuntut balas?"
tanya
Nenek Rambut Putih ingin meyakinkan.
"Tentu,
Guru. Kenapa Guru tanyakan ini?"
Nenek
Rambut Putih mengangguk-anggukkan ke-
pala.
"Dengarlah,
Muridku! Kau boleh menuntut
balas
pada Penghuni Kubur, tapi dengan satu
syarat.
Ingat! Kau tak boleh melanggar syaratku!"
ujar
Nenek Rambut Putih seraya menggerak-
gerakkan
telunjuk jarinya.
"Baik,
Guru. Sekarang katakan apa syarat
itu,
Guru!" tanya Arum Sari, tak sabar.
"Karena
kau belum mampu menghadapi si
Penghuni
Kubur, maka kau harus patuh dan
mengikuti
ke mana saja bocah edan itu pergi!" ka-
ta
Nenek Rambut Putih seraya menuding ke arah
Siluman
Ular Putih.
"Apa?"
Siluman
Ular Putih dan Arum Sari sama-
sama
terpekik kaget. Siluman Ular Putih tidak
menyangka
kalau dirinya akan dijadikan pengaw-
al
pribadi Arum Sari. Demikian juga Arum Sari
sendiri.
Ia benar-benar tak mengerti maksud gu-
runya.
Kenapa justru bocah edan itu yang dis-
uruh
menemaninya?
"Tapi,
Guru. Kenapa mesti pemuda tak ta-
hu
aturan itu yang kau pilih. Guru!" tuding Arum
Sari,
sengit.
Siluman
Ular Putih hanya tersenyum-
senyum
saja. Tapi hatinya memang sempat terke-
jut
mendapat tugas berat dari Nenek Rambut Pu-
tih
yang baru dikenalnya. Namun manakala te-
ringat
siapa yang akan dikawal, mau tidak mau
hatinya
jadi senang juga. Lelaki mana yang tidak
senang
menjadi pengawal pribadi seorang gadis
cantik
seperti Arum Sari? Senyumnya pun makin
meriah
tersungging di bibir.
Sudah
pasti Arum Sari jadi rajin manyun.
"Brengsek
kau! Kau yang enak, aku yang
sengsara
tahu!" hardik Arum Sari, kesal.
"Sudahlah,
Muridku! Aku tak mungkin sa-
lah.
Kujamin pemuda itu tak akan macam-
macam.
Di samping itu, kepandaiannya pun ku-
kira
cukup kalau hanya untuk menjadi penga-
walmu,"
kata Nenek Rambut Putih mendinginkan
hati
Arum Sari.
"Tapi,
Guru...!"
"Sudahlah!
Aku yakin, bocah edan itu tak
berani
macam-macam. Kalau misalnya berani
pun,
tak mungkin gurumu tinggal diam. Seka-
rang,
pergilah! Tak usah kau hiraukan bocah
edan
itu!"
Arum
Sari menggigit bibirnya. Kesal. Ba-
gaimana
mungkin ia dapat melakukan perjalanan
bersama
pemuda sinting yang baru saja dikenal.
"Ingat,
Bocah Edan! Kutitipkan muridku
padamu!
Sekali kau berani macam-macam, maka
nyawamulah
taruhannya!" pesan Nenek Rambut
Putih
sarat ancaman.
"Oooo...!
Pasti-pasti. Aku adalah pemegang
amanat
yang baik. Tak mungkin aku mengecewa-
kanmu.
Nek."
"Sudahlah!
Jangan banyak omong. Cepat
sana
pergi!"
"Nah...!
Gurumu sudah mengizinkan.
Arum.
Ayo, kita berangkat!" ajak Soma sok akrab.
Arum
Sari melotot gusar. Ingin rasanya ia
menampar
pemuda sinting itu. Namun manakala
pandang
matanya berbentrokan dengan Nenek
Rambut
Putih, mendadak keinginannya sirna.
Tunduk
di bawah pandang mata gurunya. Lalu
diiringi
pandang mata gurunya, dengan sangat
terpaksa
sekali Arum San mau juga mengikuti pe-
rintah.
4
"Ke
mana bocah edan itu minggat, he?
Awas
kalau kena nanti! Akan kukemplang kepa-
lanya
sampai peang!"
Mata
Raja Penyihir jelalatan ke sana kema-
ri.
Kedua bibirnya yang hitam tak henti-hentinya
mengomel.
Namun tetap saja sosok yang dicari
tak
ditemukan. Sosok Siluman Ular Putih.
Namun
lelaki tua bangkotan itu tak putus
asa.
Sejenak langkahnya berhenti di pinggiran se-
buah
tebing. Dari ketinggian tebing matanya
kembali
jelalatan ke sana kemari. Tapi tetap saja
sosok
Siluman Ular Putih tak ditemukan. Tak
puas
dengan hasil pencariannya, mendadak Raja
Penyihir
menghentakkan kakinya kasar.
"Hea...!"
Berbareng
teriakannya, seketika tubuh
tinggi
kurus Raja Penyihir melenting tinggi ke
udara,
lalu melesat ke sebuah pohon. Ringan se-
kali
gerakan kedua kakinya. Buktinya saja saat
kedua
kakinya hinggap, tidak menimbulkan suara
sedikit
pun. Ini jelas menandakan kalau ilmu me-
ringankan
tubuhnya benar-benar sudah menca-
pai
tingkat tinggi. Apalagi kedua kakinya ternyata
hinggap
di ranting pohon kecil yang besarnya tak
lebih
dari jari kelingking manusia dewasa!
"Sontoloyo!
Benar-benar sontoloyo! Tak ku-
sangka
bocah edan itu lenyap begitu saja! Hm...!
Masa'
aku harus dipaksa menemui bangkotan tua
Kamasetyo
di Gunung Bucu hanya untuk minta
izin
agar bocah edan itu memanggilku guru.
Edan!
Benar-benar edan bocah tengil satu itu!
Awas
kalau kutemukan nanti, ya!" geram Raja
Penyihir
sarat ancaman.
Meski
amarahnya sudah mencapai ubun-
ubun
kepala. Raja Penyihir masih tetap nangkring
di
atas ranting. Matanya terus jelalatan memper-
hatikan
lembah hijau di hadapannya seksama.
Lagi-lagi
tak ditemukannya setitik bayangan pun
di
kejauhan sana.
Raja
Penyihir mendengus gusar. Habis su-
dah
kesabarannya. Sebagai sasaran kemarahan-
nya,
tongkat hitam di tangan kanannya diayun-
kan
keras ke belakang.
Prakkk!
Raja
Penyihir tersentak kaget. Ranting po-
hon
tempatnya hingga kontan patah. Maka tanpa
ampun
tubuhnya meluncur deras ke bawah. Na-
mun
lelaki tua bangkotan itu tak kehilangan akal.
Di
saat tubuhnya melayang ke mulut jurang, ce-
pat
dibuatnya gerakan indah di udara. Kini kedua
kakinya
mendarat mulus di tepi jurang.
Begitu
menyadari betapa dalamnya jurang-
di
bawah, paras Raja Penyihir kontan pucat.
Hampir
saja ia celaka karena keteledorannya.
Namun
mana mau ia menertawakan kebodohan-
nya
sendiri?
"Edan!
Benar-benar edan! Ini semua gara-
gara
bocah tengil itu!" geram Raja Penyihir, me-
lampiaskannya
pada Siluman Ular Putih.
Namun
sejurus kemudian Raja Penyihir
manggut-manggut.
"Baiklah.
Mungkin belum saatnya aku ber-
temu
kembali dengan bocah tengil itu. Dan
mungkin
juga, ucapan bocah tengil itu benar. Aku
harus
mengunjungi tua bangka Kamasetyo di
Gunung
Bucu terlebih dulu biar tidak sial terus!"
lanjut
Raja Penyihir menenangkan hatinya.
Setelah
mantap dengan keputusannya. Ra-
ja
Penyihir segera menutulkan kakinya ke tanah.
Sekali
berbuat demikian, tahu-tahu sosoknya te-
lah
melesat jauh di depan sana. Tujuannya jelas,
menemui
Eyang Begawan Kamasetyo di puncak
Gunung
Bucu.
*
* *
Sepeninggal
Siluman Ular Putih dan Arum
Sari,
hati Nenek Rambut Putih jadi tak karuan.
Sepasang
matanya yang kelabu mau tak mau ha-
rus
menitikkan air mata. Sedih. Jangan tanya la-
gi.
Ia yang selalu bersama muridnya kini terpaksa
harus
berpisah. Dan hatinya tak mampu meng-
hadapi
perpisahan. Makanya walau bayangan se-
pasang
muda-mudi itu telah menghilang di tikun-
gan
depan sana, hatinya masih saja terharu.
"Oh...!
Belum pernah aku merasakan sese-
dih
ini, Arum. Mungkin benar orang bilang kalau
perpisahan
itu menyedihkan. Padahal ini hanya
perpisahan
kecil. Tapi kenapa aku jadi nelangsa
seperti
ini...."
Tak
henti-hentinya dua bibir keriput itu
berkemik-kemik
melukiskan kesedihan hati. Se-
pasang
matanya yang kelabu pun mulai bersim-
bah
air mata. Nenek Rambut Putih memang sen-
gaja
membiarkan perasaannya terombang-
ambing.
Membiarkan apa saja yang membuat ha-
tinya
nelangsa. Karena memang hanya dengan
cara
itulah ia dapat menghadapi perpisahan, wa-
lau
dengan hati berat. Tapi karena Nenek Rambut
Putih
ingin muridnya mereguk pengalaman seba-
gai
seorang pendekar di dunia persilatan tanpa
campur
tangannya, terpaksa ia harus mengua-
tkan
hatinya.
Nenek
Rambut Putih menghela napas. Se-
sak.
Terasa amat menyesakkan dada. Kedua bi-
birnya
yang keriput pun kembali berkemik.
"Untung
ada Siluman Ular Putih. Aku ya-
kin,
pendekar muda satu itu dapat melindungi
muridku.
Yah...! Mudah-mudahan saja demi-
kian...,"
gumam Nenek Rambut Putih menenang-
kan
batinnya.
"Apa?
Kau.... Kau bilang apa? Kau.... Kau
menyebut-nyebut
Siluman Ular Putih? Di mana
sekarang
bocah edan itu, Nenek Keriput?"
Mendadak
terdengar sahutan seseorang
dari
belakang.
Nenek
Rambut Putih tersentak kaget. Bu-
ru-buru
kepalanya berpaling ke belakang. Kilatan
sepasang
matanya yang tajam pun kian liar ma-
nakala
melihat sesosok lelaki tua dengan pakaian
tambal-tambalan
telah berdiri di belakangnya.
"Kau...?"
pekik Nenek Rambut Putih kaget.
Bukan
saja si nenek kaget mendengar sa-
hutan
tadi, melainkan juga kaget karena tahu-
tahu
di situ telah berdiri seorang lelaki tua yang
kehadirannya
tanpa diketahuinya sama sekali.
Mengingat
ini, Nenek Rambut Putih sadar kalau
lelaki
tua bangka itu memiliki kepandaian tinggi.
Namun
dorongan perasaannya yang sedang
'gonjang-ganjing'
membuatnya lupa diri.
"Bangkotan
tua? Mau apa kau mengganggu
ketenanganku,
he?!" hardik Nenek Rambut Putih
tak
suka, seraya berbalik menghadap lelaki tua
itu.
"Haram
jadah! Justru akulah yang patut
bertanya.
Bukan kau! Di mana muridku Siluman
Ular
Putih, he?! Tadi kudengar kau menyebut-
nyebut
bocah edan itu," hardik Raja Penyihir tak
kalah
sengit.
"Hm...!"
Nenek Rambut Putih melengos se-
kenanya.
Bibirnya dipencongkan ke samping.
Membuat
wajahnya makin jelek saja.
Raja
Penyihir menahan geram dalam hati.
"Nenek
Rambut Putih! Di mana sekarang
Siluman
Ular Putih berada?" tanya Raja Penyihir
yang
rupanya telah mengenal perempuan tua itu.
Meski
diucapkan dengan nada lembut, namun
karena
ada rasa dongkol, membuat suara Raja
Penyihir
mirip lenguhan. Lenguhan kerbau bunt-
ing
yang mau dipotong.
"Aku
tidak tahu, tahu?!" bentak Nenek
Rambut
Putih galak.
"Apa?
Kau tidak tahu?" Mata Raja Penyihir
membelalak
lebar. "Mustahil! Tadi kau menyebut-
nyebutnya.
Sekarang, kau bilang tidak tahu. Apa
tubuhmu
yang kerempeng minta digebuk, he?!"
ancam
Raja Penyihir seraya mengangkat tongkat
hitam
di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Siapa
takut pada Raja Penyihir? Gebuklah
aku
kalau nyawamu tak ingin melayang!" bentak
Nenek
Rambut Putih tak kalah galak. Tongkat di
tangan
kanannya pun siap melancarkan serangan
maut.
Raja
Penyihir mengeretakkan gerahamnya.
Dongkol.
Perlahan-lahan tongkatnya yang sudah
diangkat
tinggi-tinggi diturunkan.
"Jadi?
Kau tidak tahu di mana perginya Si-
luman
Ular Putih, Nenek Keriput?" tanya Raja Pe-
nyihir
lirih.
"Tidak."
"Tapi...."
"Bocah
sinting itu pergi dengan muridku,"
potong
si nenek.
"Kenapa?"
cecar Raja Penyihir.
"Aku
yang menyuruh. Sudah cukup?"
"Kau
mengusirnya?"
"Jangan
banyak tanya! Aku tak punya wak-
tu
meladeni tua bangka macammu!" hardik Nenek
Rambut
Putih menukas.
"Keterlaluan!"
geram Raja Penyihir. Entah
pada
siapa. Entah ditujukan pada nenek keriput
di
hadapannya, entah pada Siluman Ular Putih.
"Hey,
Tua Bangka Jelek! Kenapa tidak ce-
pat
enyah dari hadapanku?! Apa yang kau mau,
he?!"
bentak Nenek Rambut Putih seraya bertolak
pinggang.
Lucu sekali gayanya. Bukannya keliha-
tan
garang. Malah sebaliknya. Mirip orang-
orangan
sawah tertiup angin.
"Hm...!
Siapa yang mau denganmu, Nenek
Jelek?
Kucing buduk pun malas mendekati bang-
kai
hidup macam kau!" ejek Raja Penyihir.
"Apa?
Berani kau menghinaku demikian
rupa?"
sentak si nenek.
Makin
menggelikan saja Nenek Rambut Pu-
tih
ini saat berkacak pinggang. Tongkat hitam di
tangan
kanannya diacung-acungkan ke depan.
Sepasang
matanya yang kelabu seolah mau loncat
keluar.
"Hm...!
Kalau saja aku tak ada keperluan
lain,
sudah pasti kukemplang jidatmu, Nenek Je-
lek!"
Nenek
Rambut Putih gusar bukan main,
karena
berkali-kali dikatakan nenek jelek. Jelas
penghinaan
besar ini tidak diterimanya. Baginya,
penghinaan
itu tak ubahnya seperti mengorek aib
yang
selama ini ditutupinya. Namun manakala
ingin
menggerakkan tongkatnya, tahu-tahu Raja
Penyihir
telah berkelebat cepat hanya dalam seka-
li
menghentakkan kaki ke tanah.
Pantas
sudah bagi Nenek Rambut Putih
untuk
uring-uringan. Ia pun tak mau kalah unjuk
gigi.
Sekali menjejakkan kaki ke tanah, sosoknya
yang
kurus kering pun telah berkelebat cepat
mengejar
Raja Penyihir.
Namun,
rupanya usaha Nenek Rambut Pu-
tih
hanya menemui kesia-siaan belaka. Ternyata
ilmu
meringankan tubuhnya kalah jauh diband-
ing
Raja Penyihir. Dalam waktu yang tidak lama,
sosok
Raja Penyihir telah menghilang di kejauhan
sana.
Mau
tidak mau Nenek Rambut Putih harus
menghentikan
langkah. Matanya terus meman-
dang
ke arah Raja Penyihir menghilang tadi pe-
nuh
kagum.
"Edan!
Makin hebat saja tua bangka satu
itu!"
kata Nenek Rambut Putih.
"Siapa
dia?"
Mendadak
terdengar sahutan seseorang
dari
belakang. Buru-buru Nenek Rambut Putih
berbalik.
Tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
seorang
pemuda gagah dengan jubah besar warna
hitam
menutupi tubuhnya yang tinggi kekar. Na-
mun
karena sepasang matanya yang mencorong
beringas,
wajah gagah di hadapan Nenek Rambut
Putih
jadi menggidikkan. Rambutnya awut-
awutan
tak karuan. Tarikan-tarikan dagunya je-
las
menyiratkan watak keji. Sedikit pun tak ada
senyum
persahabatan dari kedua bibirnya yang
tegang.
Menilik
ciri-cirinya di atas, sudah pasti
pemuda
beringas berjubah tak lain dari Dewa Ke-
gelapan,
murid Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi.
Rupanya dalam pencariannya untuk mene-
mukan
Siluman Ular Putih, tanpa sengaja ia telah
sampai
di tempat ini.
"Siapa
kau, Bocah? Beraninya kau mengu-
sik
ketenanganku?!" bentak Nenek Rambut Putih
tak
senang.
"Justru
aku yang patut bertanya, Tua
Bangka
Keparat! Siapa orang yang kau cari?" ba-
las
Dewa Kegelapan.
"Bocah
ingusan macam kau, tak patut
mengetahui urusanku! Enyahlah sekarang dari
hadapanku!"
"Hm...!"
Dewa Kegelapan menarik hidung-
nya.
Meremehkan. Lagaknya pongah sekali,
membuat
Nenek Rambut Putih kian menggelegak.
"Sekali
lagi kuperingatkan, cepat enyah da-
ri
hadapanku kalau tak ingin nyawamu me-
layang!"
ancam Nenek Rambut Putih.
"Tua
bangka tak tahu diri! Beraninya kau
berkata
lancang di hadapan Dewa Kegelapan? Apa
kau
tak tahu hukuman apa sebagai tebusannya?
Nyawamulah
tebusannya!" desis si pemuda, din-
gin.
"Hm...!
Hanya bocah pongah. Gelarnya pun
pongah.
Dewa Kegelapan. Cih...! Tak ada gunanya
bicara
dengan bocah pongah macam kau. Melain-
kan
tongkatkulah yang ingin mengajakmu bicara!
Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tiba-tiba tubuh
tinggi
kurus Nenek Rambut Putih telah berkelebat
cepat
menerjang. Untuk sekadar memberi perin-
gatan,
sengaja jurus andalannya tak dikeluarkan.
Namun
bukan berarti serangannya tak berba-
haya.
Tongkatnya yang mengarah ke ulu hati De-
wa
Kegelapan pun mengandung serangan hebat.
Belum
lagi pukulan tangan kirinya.
Melihat
Nenek Rambut Putih telah menda-
hului,
tanpa banyak membuang waktu Dewa Ke-
gelapan
segera mengeluarkan jurus andalan,
'Tangan
Merah'. Seketika kedua telapak tangan-
nya
yang telah berubah jadi merah darah hingga
pangkal
lengan cepat mengibas setelah menarik
tubuhnya
ke samping.
Srat!
Srattt!
"Uts!"
Nenek
Rambut Putih terkesiap kaget. Bu-
kan
saja kaget serangannya dapat dielakkan den-
gan
mudah, melainkan adanya serangan balik
yang
begitu hebatnya. Dan satu hal lagi yang
membuat
hatinya mengkeret, rasa-rasanya ia
mengenal
jurus yang tengah dikeluarkan Dewa
Kegelapan.
"Tunggu!"
Nenek
Rambut Putih cepat membuang tu-
buhnya
jauh ke belakang untuk membuat jarak.
Tongkat
di tangan kanannya disilangkan di depan
dada.
"Kalau
tak salah lihat, kau tentu murid sa-
lah
seorang dari Empat Iblis Merah dari Hutan
Seruni!"
tebak si nenek.
"Bukan
hanya seorang. Tapi mereka semu-
alah
guruku!" dengus Dewa Kegelapan. Tiba-tiba
pemuda
ini jadi ingin mengorek keterangan ten-
tang
siapa pembunuh kedua orangtuanya. "Aku
punya
beberapa pertanyaan yang harus kau ja-
wab,
Nenek Jelek. Berhubung kau mengenal sia-
pa
guruku, tentu kau pun tahu siapa kedua
orangtua
ku, dan siapa yang telah membunuh
mereka?!"
"Hm...!
Rupanya ia murid Empat Iblis Me-
rah,"
gumam Nenek Rambut Putih mengangguk-
anggukkan
kepala. "Sayang sekali, kau tentu
mendapat
didikan tak baik oleh keempat orang
gurumu...."
"Jangan
banyak omong, Nenek Jelek! Ja-
wab
pertanyaanku!"
"Sebenarnya
aku kasihan padamu. Secara
langsung
maupun tidak, sebenarnya kau telah
menjadi
korban nafsu keempat orang gurumu.
Aku yakin itu. Konon, Empat Iblis Merah selalu
mencari
seorang murid yang dilahirkan pada ma-
lam
Jumat Kliwon, seperti kau tentunya."
"Hm....
Jadi keempat orang guruku tahu
tentang
kedua orangtua ku?"
"Yah,
bahkan mereka pun tahu siapa pem-
bunuh
kedua orangtua mu."
"Siapa?"
cecar Dewa Kegelapan.
"Siapa
lagi kalau bukan keempat orang gu-
rumu
sendiri!" sahut si nenek kalem.
"Bedebah!
Jangan sembarangan membacot,
Nenek
Jelek!"
Nenek
Rambut Putih menjebikkan bibir.
Dewa
Kegelapan kesal bukan main. Ia me-
rasa
dipermainkan Nenek Rambut Putih. Tanpa
banyak
cakap, segera diterjangnya si nenek.
Mengingat
siapa yang menjadi lawannya,
Nenek
Rambut Putih jadi tak segan-segan lagi
mengeluarkan
jurus andalan. Tongkatnya yang
diberi
nama Selaksa Badai diputar-putar cepat
laksana
gasing. Dari setiap putarannya berkesiur
angin
kencang laksana badai prahara!
Dewa
Kegelapan tertawa bergelak. Tampak
sekali
kalau pemuda ini sangat memandang re-
meh
lawannya.
5
"Jalannya
jangan cepat-cepat dong! Seperti
orang
mau kondangan saja!" oceh Siluman Ular
Putih
kesal juga diperlakukan mirip patung.
Arum
Sari diam memberengut. Hatinya
pun
terbakar mendengar ocehan pemuda gon-
drong
di sampingnya.
"Kenapa
kau mengikutiku?" tanya Arum
Sari.
"Ah...!
Masa' kau lupa, sih? Kan gurumu
sendiri
yang menyuruh?" tukas Soma tak mau ka-
lah.
"Aku
tak senang dengan tugas yang diberi-
kan
Guru padamu. Baiknya, tinggalkan saja aku!
Toh,
di antara kau dan guruku tak ada hubungan
apa-apa?"
"Aku
memang bukannya apa-apanya gu-
rumu.
Kenal pun baru tadi. Mungkin hanya kare-
na
rejeki nemplok eh... rejeki nomplok saja."
"Rejeki
nomplok apa?"
"Yah...!"
Siluman Ular Putih tersenyum
nakal.
Untuk lebih meyakinkan tangannya pun
garuk-garuk
kepala.
"Jangan
mempermainkanku! Jawab perta-
nyaanku!
Rejeki nomplok apa?" desak Arum Sari.
"Yah...!
Rejekilah pokoknya. Masa' melaku-
kan
perjalanan bersama seorang gadis cantik bu-
kan
rejeki nomplok namanya? Lalu, apa kalau
bukan
rejeki?" Soma malah balik bertanya.
Arum
Sari memberengut. Bibirnya membe-
rengut.
Sedang Siluman Ular Putih malah terse-
nyum-senyum
senang.
"Sudah
dong! Jangan cemberut saja! Apa
enaknya
sih jalan-jalan kok sambil memberen-
gut?"
celoteh Soma menggoda.
"Aku
lebih senang kalau kau mau diam...,"
ujar
Arum Sari.
"Baiklah
aku akan diam. Tapi kita tetap
akan
sama-sama, kan?" kata Soma cerewet.
Arum
Sari membalikkan badannya kesal.
Sempat
dilihatnya Siluman Ular Putih tengah ter-
senyum
ke arahnya. Si gadis kini menggeleng-
gelengkan
kepala. Tanpa banyak cakap ia pun se-
gera
berlari sekencang mungkin, meninggalkan
Soma
seorang diri.
Siluman
Ular Putih malah tertawa senang.
Sambil
berkelebat cepat mengejar Arum Sari, mu-
lutnya
malah menyanyi seenak dengkulnya
Breng
gombreng-gombreng
Kejar
daku-kejar daku
Engkau
kutangkap
Breng
gombreng-gombreng....
*
* *
Pertarungan
besar antara Nenek Rambut
Putih
dengan Dewa Kegelapan tampaknya akan
tergelar.
Mereka telah sama-sama siap mengelua-
rkan
jurus andalan masing-masing. Satu sama
lain
tidak ada yang ingin mendapat malu.
Nenek
Rambut Putih yang bermaksud
menghajar
pemuda pongah di hadapannya, seolah
tak
sabar untuk segera membuka serangan. De-
mikian
juga halnya Dewa Kegelapan. Amarahnya
kontan
menggelegak begitu melihat tongkat di
tangan
Nenek Rambut Putih mampu mengelua-
rkan
badai prahara menyambar-nyambar kulit.
"Chiaaat...!"
Diiringi
teriakan keras, serangan Nenek
Rambut
Putih datang. Tongkat hitam di tangan
kanannya
menderu-deru hebat, membentuk gu-
lungan
hitam siap mengancam tubuh Dewa Kege-
lapan
dari delapan penjuru. Sedang telapak tan-
gan
kirinya yang berwarna putih siap pula melon-
tarkan
pukulan maut.
Bettt...!
Tongkat
Nenek Rambut Putih berkelebat
cepat
menyodok ulu hati Dewa Kegelapan. Gera-
kannya
cepat luar biasa. Bahkan sebelum ujung
tongkat
mengenal sasaran, terlebih dahulu berke-
siur
angin dingin mendahului!
Dewa
Kegelapan mengeretakkan geraham-
nya
kuat-kuat. Kedua telapak tangannya yang
berwarna
merah darah bersiap-siap mengancam
balik
tubuh Nenek Rambut Putih.
"Uts...!"
Dan
sedikit lagi serangan mengenai sasa-
ran,
Dewa Kegelapan yang hanya bersenjata tan-
gan
kosong segera menggeser tubuhnya sedikit ke
samping.
Pada saat serangan tongkat mengenai
angin
kosong, tiba-tiba telapak tangan kanannya
menyelinap
ke dalam gulungan hitam tongkat Ne-
nek
Rambut Putih. Namun pada saat yang sama,
tangan
kiri si nenek juga tengah mencari sasaran.
Dan....
Bukkk!
Bret!
Bret!
Nenek
Rambut Putih dan Dewa Kegelapan
sama-sama
terpekik ketika serangan satu sama
lain
mendarat pada sasaran. Nenek Rambut Putih
yang
dadanya terkena hantaman telapak tangan
kanan
Dewa Kegelapan kontan terjajar dan ter-
huyung.
Namun sebagai tokoh sakti yang sudah
cukup
mengenal pahit getirnya dunia persilatan,
semuanya
bisa cepat diatasi.
Sementara
amarah Dewa Kegelapan kian
tersulut.
Sungguh tak disangka nenek renta di
hadapannya
mampu menyarangkan pukulan ber-
tenaga
dalam tinggi, begitu serangan pertamanya
gagal.
Kendati
begitu rasa kesal Dewa Kegelapan
sedikit
terobati. Di hadapannya, Nenek Rambut
Putih
tengah mengurut dadanya yang tadi terkena
hantaman
tangannya. Dan Dewa Kegelapan tahu
si
nenek itu tengah menderita luka dalam. Itu bi-
sa
dilihat dari wajahnya yang pucat.
Dewa
Kegelapan tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan.
Dengan garangnya diterjangnya Ne-
nek
Rambut Putih yang masih mengurut-urut da-
da.
Telapak tangan kanannya diarahkan ke dada.
Sedang
telapak tangan kirinya siap meremukkan
kepala.
"Tua
bangka keparat! Terimalah kema-
tianmu
hari ini! Heaa...!"
Hebat
bukan main serangan Dewa Kegela-
pan
kali ini. Sebelum serangan-serangan itu men-
genai
sasaran, hawa dingin bukan main telah
menyambar-nyambar
kulit.
Nenek
Rambut Putih mengeluh tertahan.
"Setan!
Tak kusangka pemuda pongah ini
memiliki
tenaga dalam hebat!" geram Nenek Ram-
but
Putih dalam hati.
Sebelum
serangan itu berubah jadi mala
petaka,
Nenek Rambut Putih segera merunduk
seraya
memutar tubuhnya ke samping. Bersa-
maan
dengan itu, tongkat di tangan kanannya
ikut
berputar, langsung menghadang serangan
Dewa
Kegelapan.
Bett...!
"Ah...!"
Dewa
Kegelapan terperangah kaget. Kalau
serangannya
diteruskan, sudah pasti kepalanya
akan
terkena hantaman tongkat. Padahal, si ne-
nek
telah menderita luka dalam. Tapi dari samba-
ran
tongkatnya masih terasa angin panas yang
sudah
pasti berisi tenaga dalam. Tidak ada pili-
han
lain terpaksa serangannya harus ditarik
mundur.
"Setan!
Rupanya kau punya otak juga, Ne-
nek
Keriput! Tapi, jangan bangga dulu. Kau kira
aku
tak dapat mengirim nyawa busukmu ke da-
sar
neraka, he?! Makanlah bogem mentahku!
Hea...!"
Saat
itu pula Dewa Kegelapan melontarkan
serangan
bertubi-tubi dan tak terduga-duga sama
sekali.
Akibatnya, Nenek Rambut Putih jadi kewa-
lahan
bukan main. Ia segera berusaha menghin-
dari
serangan yang terus berdatangan.
Demi
menyelamatkan selembar nyawanya,
terpaksa
Nenek Rambut Putih harus berjumpali-
tan
ke sana kemari. Entah sudah berapa kali ia
harus
bertindak demikian.
"Uts!
Uts!"
Tanpa
ampun serangan-serangan Dewa
Kegelapan
terus mendesak Nenek Rambut Putih.
Bila
ada peluang sedikit saja, Dewa Kegelapan tak
akan
pernah menyia-nyiakannya. Dan mendadak
saja,
tangan Dewa Kegelapan menelusup ke per-
tahanan
Nenek Rambut Putih. Begitu cepat gera-
kannya,
membuat si nenek terperangah.
"Ah...!"
Tak
diduga-duga sama sekali, bogem men-
tah
Dewa Kegelapan tahu-tahu siap menghancur-
kan
kepala. Demi menyelamatkan selembar nya-
wa,
mau tak mau Nenek Rambut Putih harus
memutar
tongkat di tangan kanan.
Bett!
Prakkk!
Tongkat
di tangan Nenek Rambut Putih
kontan
hancur begitu terkena hantaman tangan
Dewa
Kegelapan. Hal itu makin membuat paras
Nenek
Rambut Putih pucat. Padahal tadi tenaga
dalamnya
telah dikerahkan dengan kekuatan pe-
nuh.
Tapi, tongkat hitamnya tetap saja tidak
mampu
menahan serangan Dewa Kegelapan. Ma-
lah
serangan susulan Dewa Kegelapan yang beru-
pa
tamparan kali ini jauh lebih berbahaya daripa-
da
serangannya.
Tak
pelak, Nenek Rambut Putih jadi kecut
nyalinya.
Sulit rasanya menghindari tamparan
tangan
Dewa Kegelapan. Apalagi dalam jarak yang
demikian
dekat. Yang terlihat hanya kelebatan
tangan
Dewa Kegelapan, sebelum akhirnya....
Plak!
Plakkk!
Dua
kali tangan Dewa Kegelapan bergerak,
maka
dua kali pula kepala Nenek Rambut Putih
terlempar
ke samping kanan kiri. Seketika, pe-
rempuan
tua itu kehilangan keseimbangan, se-
hingga
tubuhnya limbung. Kepalanya yang terke-
na
tamparan Dewa Kegelapan terasa mau pecah.
Bahkan
darah segar pun kontan menyembur ke-
luar
dari mulut.
"Hooekhhhh!"
Dewa
Kegelapan tertawa bergelak.
"Kinilah
saatnya kau modar di tanganku,
Nenek
Keriput!" ejek Dewa Kegelapan, bengis. Ke-
dua
telapak tangannya kini telah berubah jadi hi-
tam
legam.
"Pukulan
'Darah Iblis'...!" desis Nenek
Rambut
Putih penuh keterkejutan.
Hati
si nenek makin mengkeret. Namun
bukan
berarti harus pasrah saja menerima maut.
Kedua
telapak tangannya yang telah berubah pu-
tih
pun siap pula memapak dengan aji 'Gada Bu-
mi'.
"Bagus!
Rupanya kau mengenal juga puku-
lanku
ini. Berarti kau tak akan mati penasaran!"
Dewa
Kegelapan menarik kedua telapak
tangannya
ke belakang. Menilik kedua pelipisnya
yang
bergerak dan otot-otot lehernya yang mem-
besar,
jelas kalau murid Empat Iblis Merah dari
Hutan
Seruni itu telah mengerahkan tenaga da-
lam
dengan kekuatan penuh.
"Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tiba-tiba Dewa
Kegelapan
mendorongkan kedua telapak tangan-
nya
ke depan. Seketika melesat dua larik sinar hi-
tam
legam dari kedua telapak tangannya. Pada
saat
yang sama Nenek Rambut Putih menghen-
takkan
kedua tangannya, memapak serangan.
Wesss!
Wesss!
Blaaammm!!!
Terdengar
satu ledakan hebat ketika dua
kekuatan
beradu di satu titik. Bumi berguncang
hebat
laksana diamuk badai prahara. Angin aki-
bat
bentrokan dua tenaga dalam barusan mem-
buat
ranting-ranting pohon hangus terbakar!
Diiringi
pekik menyayat hati, Nenek Ram-
but
Putih kontan terlempar jauh ke belakang. Tu-
buhnya
berputar-putar sebentar, lalu jatuh ber-
debam
menghantam tanah.
"Ohh...!"
Nenek
Rambut Putih mengeluh hebat. Ke-
dua
telapak tangannya terasa terbakar. Sedang
seisi
dadanya terasa mau jebol. Perlahan darah
merah
menetes dari mulut, lobang hidung, dan
lobang
telinga!
"Tua
bangka macam kau memang sudah
selayaknya
modar! Kau tak pantas lagi malang
melintang
di dunia persilatan! Mulai hari ini, aku-
lah
yang akan menguasai dunia persilatan! Kau
dengar,
Nenek Keriput? Kau harus mengakui ka-
lau
aku rajanya dunia persilatan!" kata Dewa Ke-
gelapan
di antara tawanya yang bergelak.
"Cih...!
Siapa sudi mengakui bocah pongah
macam
kau?! Jangankan untuk menjadi raja di
rajanya
dunia persilatan, membunuhku pun kau
belum
tentu becus!" dengus si nenek seraya beru-
saha
merayap bangkit!
"Apa?"
sentak Dewa Kegelapan dengan ma-
ta
membelalak lebar. "Baik. Kalau begitu, me-
mang
sudah saatnya aku menghabisi nyawa bu-
sukmu!"
Seketika
pemuda ini segera mengerahkan
pukulan
'Darah Iblis'-nya kembali. Maka tak pe-
lak
lagi kedua telapak tangan Dewa Kegelapan
kembali
berubah hitam legam.
"Boleh
saja kau membunuhku. Tapi, ma-
kanlah
dulu senjata-senjata rahasiaku! Hea...!"
Sambil
melenting bangkit, si nenek mengi-
baskan
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam
penuh.
Saat itu pula melesat dua buah benda ke-
cil
berwarna hitam sebesar telur puyuh.
Sudah
pasti Dewa Kegelapan tak ingin tu-
buhnya
jadi sasaran empuk serangan senjata ra-
hasia
Nenek Rambut Putih. Maka tanpa pikir
panjang,
tangan kanannya segera digerakkan dua
kali.
Dan...
Blammm!
Blammm!
Terdengar
dua kali ledakan di udara, diser-
tai
mengepulnya asap hitam tebal bergulung-
gulung
memenuhi pertarungan.
Dewa
Kegelapan gusar bukan main. Sekali
jubahnya
dikebutkan, lenyaplah gulungan-
gulungan
hitam itu. Namun bersamaan dengan
itu,
sosok Nenek Rambut Putih telah lenyap dari
tempat
ini.
"Setan
alas! Beraninya kau mempermain-
kan
Dewa Kegelapan seperti ini, Nenek Keriput!"
Dewa
Kegelapan menggeram penuh kema-
rahan.
Hawa membunuh dalam dirinya yang ter-
berangus
membuat hatinya murka bukan main.
Dan
sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya
telah
berkelebat jauh.
Emoticon