6
Malam
ini angkasa berselimut cahaya pur-
nama
putih keperakan. Terasa nyaman sekali un-
tuk
dinikmati. Kerlip berjuta bintang seolah ber-
lomba
saling membanggakan sinar yang berwarna
putih
keperakan.
Dalam
keindahan malam itu tampak dua
sosok
bayangan berkelebat ke utara. Tujuannya
jelas,
puncak Gunung Merapi. Namun belum be-
gitu
jauh mereka tiba di lereng, tiba-tiba salah sa-
tu
bayangan itu menghentikan langkah. Terpak-
sa,
sosok di sebelahnya ikut-ikutan menghentikan
langkah,
seraya memandangi sosok di samping
tak
mengerti.
Dari
terangnya sinar bulan, terlihat kalau
sosok
yang memandang tak mengerti itu memiliki
wajah
aneh. Parasnya saja mirip bayi. Padahal, ia
adalah
seorang kakek tua. Buktinya rambut, bulu
mata,
dan alisnya sudah berwarna putih. Kulit
tubuhnya
juga putih bersih namun penuh keru-
tan,
terbalut pakaian bayi. Perawakannya bagai
bocah
berusia lima tahun.
Sementara
sosok yang satu lagi mengena-
kan
jubah kuning kedodoran sampai lutut. Kepa-
lanya
plontos, serta memiliki sepasang mata kecil
yang
selalu bersinar jenaka. Tubuhnya tinggi ku-
rus.
Wajahnya kasar penuh keriput.
"Katanya
mau ke tempatku, ke puncak
Gunung
Merapi? Kok malah berhenti?" tanya ka-
kek
bermuka bayi, tak dapat menyembunyikan
rasa
kesalnya.
"Hm...!
Anu...! Sepertinya aku berubah pi-
kiran, Bayi Kawak...," sahut kakek berkepala
plontos.
Nada bicaranya terdengar ragu-ragu.
"Apa?
Berubah pikiran? Berubah pikiran
bagaimana,
Pelukis Sinting Tanpa Tanding?" tu-
kas
kakek berwajah bayi yang tak lain Bayi Ka-
wak.
Nada suaranya terdengar jengkel.
"Ya
berubah pikiran," sahut lelaki tua ber-
jubah
kuning yang memang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
"Maksudmu...?"
"Aku
tak ingin ke puncak Gunung Merapi
sekarang."
"Kau...
kau.... Ah...!" Bayi Kawak memban-
tingkan
kakinya. Kesal. "Kau ini bicara plintat-
plintut
amat, sih?! Katanya mau ke tempatku, se-
karang
malah mem...."
"Aku
ingin mencari Pengasuh Setan," po-
tong
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, cepat.
"Apa?"
lagi-lagi bola mata Bayi Kawak
membeliak
lebar, seolah tak percaya mendengar
ucapan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kukira
telingamu belum tuli, kan? Aku in-
gin
mencari Pengasuh Setan. Paham?"
"Iya.
Tapi... tapi...! Bukankah tempo hari
kau
dapat dikalahkannya dengan mudah? Kenapa
sekarang
kau malah mencari mati?"
"Aku
tidak mencari mati. Aku akan mem-
bunuh
manusia iblis itu, tahu?!" sentak Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding, sengit.
"Tahu!
Tapi itu sama saja dengan bunuh
diri!"
"Biar.
Lebih baik mati di tangan manusia
iblis
itu daripada hidup menanggung malu."
"Eh...!
Ngomong apa sebenarnya kau ini?
Tadi
katanya ingin mencari Pengasuh Setan,
se-
karang
malu-malu? Kau ini bagaimana, sih? Apa
otak
tuamu itu perlu dicuci?"
"Justru
otakmulah yang perlu dicuci! Ba-
gaimana
aku tidak malu kalau orang yang telah
mencelakakan
muridku masih gentayangan di
dunia
persilatan?!" sergah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
kesal bukan main. (Untuk mengetahui
bagaimana
Pelukis Sinting Tanpa Tanding dika-
lahkan
Pengasuh Setan dan bagaimana muridnya
bisa
dipengaruhi Pengasuh Setan, silakan ikuti
"Persekutuan
Maut"" dan "Pengasuh Setan").
Dibentak
seperti itu, Bayi Kawak bukannya
sadar.
Malah hatinya jadi tambah sewot. Bagai-
manapun
juga ia kecewa, karena temannya mem-
batalkan
niatnya berkunjung ke puncak Gunung
Merapi.
Juga, kecewa karena menganggap te-
mannya
tak tahu diri.
"Dasar
orang sinting, tetap saja sinting.
Untung
saja aku tidak ketularan sinting," gerutu
Bayi
Kawak, tak mau mengakui kekalahannya.
"Eh...!
Dengar, Orang Sinting! Bagaimana mung-
kin
kau membunuh Pengasuh Setan, kalau tempo
hari
saja kau dapat dikalahkan? Jangan mimpi,
Orang
Sinting! Kau tak mungkin dapat menga-
lahkan
Pengasuh Setan."
"Kali
ini aku yakin sekali dapat mengalah-
kannya.
Asal, kau mau membantuku," tegas Pe-
lukis
Sinting Tanpa Tanding.
"Yah...!
Buntut-buntutnya juga minta to-
long.
Baiklah kalau begitu. Tapi, bagaimana ca-
ranya?
Apakah kau sudah punya akal?" meski
bersungut,
toh akhirnya Bayi Kawak meluluskan
juga
permintaan temannya.
"Belum.
Justru aku sedang mencari-cari
kelemahannya.
Tapi, kau mau kan membantu-
ku?"
bujuk Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sebenarnya
Bayi Kawak ingin sekali men-
cemooh.
Tapi baru saja akan membuka mulut,
mendadak....
"Eh...,
Manusia! Aku mau tanya. Apa ka-
lian
melihat seseorang lewat sini? Cepat beri tahu
kami!"
Terdengar
teriakan mengejutkan yang ke-
mudian
disusul berkelebatnya dua sosok bayan-
gan
ke tempat itu.
***
Tambah
dongkol saja hati Bayi Kawak
mendengar
teriakan barusan. Kilatan sepasang
matanya
kontan dialihkan ke arah datangnya su-
ara.
Kini dua sosok kakek telah berdiri di hada-
pannya.
Yang satu bertubuh jangkung, yang lain-
nya
bertubuh bogel.
"Huh...,
kalian! Lamdaur dan Dewa Bogel.
Mau
apa kalian mengusik kami, he?!" bentak Bayi
Kawak,
tak senang.
"Lho?
Ditanya kok malah membentak?" se-
ru
kakek jangkung yang memang Lamdaur, he-
ran.
Sementara lelaki tua di sebelahnya yang tak
lain
Dewa Bogel masih tenang-tenang saja.
"Bagaimana
tidak membentak kalau kalian
tidak
tahu adat? Bicara baik-baik, dong," sahut
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, ikut-ikutan.
"Maaf!
Cuaca cukup gelap. Jadi maklumlah
kalau
kami tak mengenali kalian," ucap Lamdaur,
terima
salah.
"Sudah
dibentak baru terima salah. Manu-
sia
macam apa kalian, he?!" bentak Bayi Kawak,
belum
puas.
"Bayi
Kawak! Kami sudah berlaku baik.
Kenapa
kau masih membentak? Sekarang kata-
kan
saja! Apa kalian melihat Maling Tanpa
Bayangan
lewat kemari atau tidak?!" kata Dewa
Bogel
tak sabar. Kali ini tak kuasa menahan ke-
tersinggungannya.
"Tidak
tahu. Dari tadi kami tidak melihat
apa-apa.
Hanya kalian berdua sajalah yang
mengganggu
kami," sahut Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
mendahului Bayi Kawak.
"Sudah
dengar? Kami tidak melihat Maling
Tanpa
Bayangan lewat kemari. Jadi, buat apa ka-
lian
berlama-lama di tempat ini?" timpal Bayi Ka-
wak.
"Bayi
Kawak! Tak kau suruh pun kami
akan
pergi dari sini. Tapi melihat sikapmu, mau
tidak
mau kami jadi muak. Apa kau pikir tempat
ini
milik nenek moyangmu hingga berani mengu-
sir
kami?" sahut Dewa Bogel, tak suka diusir ka-
sar
begitu.
"Jadi
mau kalian apa?" tantang Bayi Kawak
Dewa
Bogel menggeretakkan gerahamnya
kesal.
Jelas Sekali kalau hatinya sangat tersing-
gung
atas tantangan Bayi Kawak. Apalagi watak-
nya
memang berangasan.
"Ha
ha ha...! Kenapa jadi tegang begini?
Sudahlah!
Buat apa kita bersitegang? Toh, kita
masih
sama-sama satu golongan," lerai Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding.
"Tidak!
Manusia bogel ini harus diberi pela-
jaran
biar tahu adat," sambar Bayi Kawak.
"Boleh,"
sahut Dewa Bogel, tak mau kalah.
Dewa
Bogel melangkah selangkah ke bela-
kang.
Kuda-kuda telah dipasang. Siap menunggu
apa
yang akan terjadi.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding dan Lam-
daur
sengaja membiarkan. Percuma saja mereka
melerai.
Yang satu berwatak berangasan, yang
lainnya
suka ngambek. Suasana memanas. Per-
tengkaran
Dewa Bogel clan Bayi Kawak pun se-
pertinya
tak dapat dihindari lagi.
7
Senyum
kecut tak putus-putusnya meng-
hiasi
bibir Siluman Ular Putih. Berkali-kali dico-
banya
melepaskan totokan Putri Manja, namun
belum
berhasil juga. Rupanya totokan gadis man-
ja
murid Bayi Kawak itu cukup alot juga. Buk-
tinya,
Soma sampai kewalahan. Meski demikian,
bukan
berarti harus putus asa. Ia telah berusaha
melepaskan
pengaruh totokan Putri Manja di tu-
buhnya,
hingga akhirnya....
Senyum
kecut Soma berganti seringai lucu.
Perlahan-lahan
anggota tubuhnya digerakkan.
Lega
sekali hati pemuda ini. Tanpa banyak mem-
buang
waktu tubuhnya segera bangkit, lalu ber-
kelebat
cepat meninggalkan tempat itu.
Malam
pekat tak membuat kelebatan Soma
terhenti.
Cahaya bulan purnama di angkasa tak
mampu
menembus kerapatan pohon di Hutan Ka-
lierang.
Soma terus berkelebat di antara kerapa-
tan
pohon sambil tak henti-hentinya menggerutu.
Entah
kenapa kali ini Siluman Ular Putih
ingin
sekali mencari Dewa Bogel dan Lamdaur.
Hatinya
kesal harus dilampiaskan. Padahal cuma
karena
perkara sepele.
"Awas
kau, Dewa Bogel! Kalau ketemu nan-
ti,
pasti akan kubalas tamparanmu. Juga kau,
Kakek
Jangkung! Aku juga akan membalasmu!"
umpat
Soma tak putus-putus.
Pemuda
ini yakin, Dewa Bogel dan Lam-
daur
belum begitu jauh meninggalkan dirinya.
Untuk
itu segera kecepatan larinya ditambah.
Dan
di luar Hutan Kalierang Soma menghentikan
larinya.
Pandangannya segera beredar ke sekelil-
ing.
Cahaya bulan purnama tampak bersinar te-
rang.
Langit cerah. Berjuta bintang seolah saling
membanggakan
sinarnya yang putih keperakan.
Tepat
di dataran rumput Soma berdiri. Su-
asana
cerah membuat murid Eyang Begawan
Kamasetyo
menikmatinya barang sejenak. Walau
hatinya
rusuh, coba ditenteramkannya dengan te-
rus
memperhatikan keindahan malam purnama.
Bulan
bulat penuh di angkasa seolah menyapa
ramah,
penuh persahabatan. Cukup menyejuk-
kan
hati.
Tanpa
sadar, rasa jengkelnya terhadap De-
wa
Bogel dan Lamdaur hilang begitu saja. Bahkan
kini
berganti senyum manis tersungging di bibir.
Aneh
memang. Tapi, itulah kenyataan yang sulit
dimengerti.
Dan
karena saking asyiknya Soma mem-
perhatikan
bulan di angkasa, pikirannya malah
jadi
ngelayap tak karuan. Tiba-tiba rasa sepi
mendera
hatinya. Perasaan ingin bercanda dan
disayang
begitu kuat mempengaruhi hatinya. Ka-
lau
sudah begini. Soma jadi tidak tahan. Satu
persatu
kembali dibayangkannya perjumpaan
manis
dengan beberapa orang gadis cantik yang
diyakini
juga menyayangi sekaligus mencintainya.
Pertama-tama
yang terlintas dalam benak-
nya
adalah Angkin Pembawa Maut. Lalu disusul
beberapa
orang gadis cantik lain seperti Ningtyas,
Putri
Sekartaji, Salindri, Ratih, Ken Umi, Ken Sa-
ri,
dan yang terakhir adalah Mawangi atau yang
lebih
terkenal sebagai Putri Manja.
Diam-diam
Soma jadi tersenyum geli bila
membayangkan
sikap dan pembawaan gadis
manja
satu, ini. Manja, tapi amat menggemaskan.
Sikapnya
pun sulit ditebak. Terkadang seperti
mencintainya,
terkadang membenci dirinya. Sulit
ditebak
secara pasti.
Dalam
hati. Soma menyesal telah begitu
keterlaluan
mempermainkan gadis manja itu.
"Ah...!
Aku harus segera mencarinya. Aku
ingin
sekali bersahabat dengannya. Tapi..., tapi
apakah
ia mau memaafkanku?" gumam hati mu-
rid
Eyang Begawan Kamasetyo ragu. Inilah yang
merepotkanku.
Tapi aku tidak akan menyerah.
Kalau
perlu, aku akan merayunya habis-habisan!
Entah
kenapa menyeringai, membuat wa-
jahnya
jadi tampak jelek sekali. Apalagi pakai di-
tambah
dengan garuk-garuk kepala. Makin jelek
saja
pendekar satu itu!
Di
saat Soma tengah sibuk memikirkan Pu-
tri
Manja, mendadak pendengarannya yang tajam
menangkap
suara-suara aneh yang ditingkahi je-
rit-jerit
kesakitan. Lalu, disusul pula suara tawa
yang
bergelak. Siluman Ular Putih yakin, tak jauh
dari
tempat itu pasti tengah terjadi pertarungan.
Apa
pun yang akan terjadi, sebagai seorang pen-
dekar.
Soma tak dapat menahan gejolak hatinya.
Ia
harus cepat melihat, apa yang tengah terjadi.
Siapa
tahu ada yang membutuhkan pertolongan.
Hanya
dalam sekali hentakan kaki ke ta-
nah,
tahu-tahu sosok Siluman Ular Putih telah
berkelebat
cepat. Selang beberapa saat bayangan
sosok
tubuhnya telah menghilang di balik kegela-
pan
malam.
***
Soma
mengendap-endap mendekati tempat
pertarungan.
Gerakannya cukup hati-hati, nyaris
tak
menimbulkan bunyi. Namun begitu melihat
siapa
yang tengah bertarung, keningnya jadi ber-
kerut.
"Ah...!
Itu dia Dewa Bogel. Tapi kenapa ber-
tarung
dengan Bayi Kawak? Lalu Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding dan Lamdaur malah asyik menter-
tawakan.
Ada apa ini?" tanya Soma pada diri sen-
diri.
Siluman
Ular Putih sebenarnya ingin mela-
brak
Dewa Bogel yang telah memberi tamparan
dua
kali di pipinya. Tapi dendamnya itu diusirnya
jauh-jauh
begitu ingat kalau dirinyalah yang se-
benarnya
memulai dengan memancing kemara-
han
Dewa Bogel.
Dan
dari tindakan Dewa Bogel serta Lam-
daur
terhadapnya. Soma yakin kalau mereka ada-
lah
dari golongan putih. Buktinya, tamparan De-
wa
Bogel tak disertai tenaga dalam tinggi. Apalagi
waktu
itu Soma dalam keadaan tertotok. Dan ka-
lau
mau, bisa saja Dewa Bogel membunuhnya se-
perti
membalikkan telapak tangan saja. Tapi itu
tidak
dilakukan. Karena Soma tahu hanya tokoh-
tokoh
telengas saja yang mau bertindak keji. De-
mikian
pula Lamdaur. Lelaki jangkung itu malah
mengajak
Dewa Bogel pergi, tanpa memperpan-
jang
urusan.
Berpikiran
begitu, Siluman Ular Putih ber-
niat
melerai pertarungan antara Dewa Bogel den-
gan
Bayi Kawak. Maka dengan sekali loncat, tu-
buhnya
tahu-tahu telah berdiri di antara Dewa
Bogel
dan Bayi Kawak.
"Eh...!
Hentikan pertarungan! Mengapa ka-
lian
bertarung?" bentak Soma.
Bayi
Kawak dan Dewa Bogel sama-sama
kaget
dan menyurutkan langkah ke belakang. Ma-
ta
mereka masih garang. Namun anehnya, ber-
pengaruh
juga teriakan murid Eyang Begawan
Kamasetyo
itu. Buktinya Bayi Kawak dan Dewa
Bogel
tak lagi saling serang.
"Kenapa
kau lerai mereka, Bocah Tengik?
Bukankah
itu merupakan tontonan menarik?" se-
la
Lamdaur.
"Ah...,
iya! Kau mengganggu kesenangan
kami
saja! Biarkan saja mereka bertarung. Kita
yang
nonton. Kan enak?" tambah Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding.
Soma
tak begitu menanggapi ocehan kedua
orang
kakek renta itu. Matanya tajam menatap
Bayi
Kawak, lalu beralih ke arah Dewa Bogel.
Tingkah
lakunya sengaja dibuat-buat galak. Tak
seperti
biasanya.
"Pepesan
kosong macam apa yang kalian
ributkan?"
tanya Soma seraya berkacak pinggang.
"Dia....
Dia yang mulai dulu, Bocah. Dialah
yang
pertama kali membentak. Aku tersinggung.
Aku
tak menyukai caranya," lapor Bayi Kawak,
persis
anak kecil yang menginginkan mainan ba-
ru.
Mulutnya mewek, seolah mau menangis.
"Bohong!
Justru bayi bangkotan itulah
yang
mendahului. Kami tanya baik-baik, eh dia
malah
berteriak balas membentak. Sudah pasti
aku
jadi marah!" kilah Dewa Bogel, sengit.
Soma
celingukan. Tak tahu mana yang be-
nar.
"Kakek
ompong! Ini yang benar mana?"
tanya
Soma, menatap Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Mana
aku tahu? Dari tadi kami hanya
nonton.
Tanyakan saja sendiri!" sahut Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding, malas-malasan.
"Ah...!"
Mau tak mau Soma jadi garuk-
garuk
kepala. Percuma saja bicara pada kakek
sinting
itu. "Masa' kalian bertengkar tak ada se-
bab
musababnya? Mustahil!"
"Ada,
Tapi bukan aku yang mendahului,
Bocah.
Dewa Bogel itulah yang mendahului!" tud-
ing
Bayi Kawak.
"Sudah!"
Soma mengibaskan tangan. "Apa
kau
tak dapat memberi keterangan, Kakek Jang-
kung?"
tanya Soma pada Lamdaur.
"Lebih
lagi aku. Mana aku tahu?" Lamdaur
mengangkat
bahu. Lagaknya santai sekali.
"Edan!
Percuma saja aku ngomong dengan
orang-orang
sinting. Tak ada gunanya. Sekarang
aku
tanya, mau tidak kalian menghentikan per-
tengkaran
ini?"
"Mau!"
jawab Bayi Kawak dan Dewa Bogel
serempak.
"Aku
juga mau."
"Aku
juga mau!"
"Aku
tidak tanya kalian, tahu!" damprat
Soma
terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dan
Lamdaur.
"Kalau
tidak, ya sudah," sungut Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding.
"Dengar!
Kalian semua dengar! Buka telin-
ga
lebar-lebar! Aku tidak ingin melihat lagi kalian
bertengkar.
Titik."
"Aku
juga," sahut mereka berempat lebih
kompak.
Justru
yang kini mendongkol Soma. Ba-
gaimana
mungkin mereka kini tampak kompak?
Ah...!
Dasar orang-orang sinting. Percuma saja
meladeni
mereka.
"Ya,
sudah! Kalau kulihat kalian masih ber-
tengkar,
aku pasti akan datang menggebuk ka-
lian.
Paham?"
"Paham,
Bocah...."
Soma
mendengus.
"Kalau
sudah paham, ya... sudah. Aku mau
pergi,"
sahut Soma singkat.
Habis
berkata begitu, Siluman Ular Putih
segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Dan
sebentar saja tubuhnya telah menghilang di
balik
kegelapan malam. Mungkin untuk mene-
ruskan
niatnya mencari Putri Manja.
Dewa
Bogel dan Bayi Kawak sendiri pun
rupanya
sudah tak bernafsu meneruskan per-
tengkaran.
Mereka
kini malah tampak akrab ngobrol
ngalor-ngidul
tak ketahuan juntrungannya.
Sementara
Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dan
Lamdaur jadi melongo.
"Sekarang
kau mau ke mana, Gel? Kalau
aku
sih ingin mencari muridku," kata Bayi Ka-
wak.
"Tapi..., ah! Bodohnya aku! Kenapa aku lupa
menanyakannya
pada bocah edan tadi. Bukankah
Putri
Manja ikut bersamanya! Kenapa sekarang
tak
kelihatan?"
"Ah,
dari dulu kau memang bodoh. Sudah-
lah,
itu bukan urusanku. Yang jelas, aku dan Ka-
kang
Lamdaur akan terus mencari Kakang Maling
Tanpa
Bayangan sampai dapat."
"Kalian
ini ngomong apa lagi, he? Tadi ber-
tengkar.
Sekarang baik-baikan. Sudah! Cepat kau
ikut
aku, Bayi Kawak!" terabas Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding.
"Ke
mana?" tanya Bayi Kawak.
"Ke
mana-ke mana?! Ya ikut aku. Mencari
Pengasuh
Setan. Ayo pergi!"
"Ba...,
baik. Aku pergi dulu. Gel," pamit
Bayi
Kawak, merasa risau akan nasib muridnya.
"Sampai
ketemu!" sahut Dewa Bogel.
"Kau
juga harus ikut aku. Gel! Urusan kita
masih
belum selesai. Ayo, cepat tinggalkan tempat
ini!"
ajak Lamdaur.
"Baik,
Kang."
Dewa
Bogel menurut. Segera diikutinya
langkah
Lamdaur. Kini dalam sekejap saja sosok-
sosok
mereka telah menghilang di balik kegelapan
malam.
Dewa
Bogel dan Lamdaur terus mene-
ruskan
perjalanan ke barat, sedang Bayi Kawak
dan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus melang-
kah
ke selatan.
8
Puncak
Gunung Sindoro tersaput awan.
Kerlip
berjuta bintang di angkasa seolah malas
membanggakan
warna keperakannya. Malam ini
tak
tampak kegairahan. Malam terbalut duka.
Dari
lereng sebelah barat, sesosok bayan-
gan
hitam terus berkelebat cepat menuju puncak.
Gerakannya
ringan sekali. Terkadang sosok
bayangan
itu menghilang di balik kerapatan po-
hon,
terkadang muncul kembali.
Srakkk!
Kejap
selanjutnya, sosok bayangan hitam
itu
telah berdiri angkuh di puncak Gunung Sin-
doro.
Tepatnya, tak jauh dari bongkahan batu be-
sar
di tengah-tengah Segoro Pasir. Jubah hitam-
nya
yang bersambung dengan penutup kepala
berkibaran
ditiup angin.
Sepasang
mata sosok ini terus memperha-
tikan
seputar tempat itu seksama. Memang tak
ada
gerakan berarti. Hanya kilatan-kilatan sepa-
sang
matanya saja yang bergerak-gerak ke kanan
kiri.
Tak
ada sesuatu yang mencurigakan.
Sosok
bayangan hitam yang tak lain Maling
Tanpa
Bayangan itu tidak putus asa. Ia yakin se-
kali
kalau Kitab Paguyuban Setan yang banyak
diributkan
orang itu tersimpan di puncak Gunung
Sindoro.
Ingin sekali kitab itu didapatkan. Den-
damnya
terhadap Siluman Ular Putih yang berka-
rat
tak mungkin dibiarkan begitu saja. Itu sebab-
nya
lewat bantuan kitab itu, Maling Tanpa
Bayangan
ingin menuntut balas. Karena hanya
kitab
itu sajalah yang diyakini dapat mengalah-
kan
Siluman Ular Putih dan juga tokoh-tokoh
sakti
lainnya.
Kini
sosok Maling Tanpa Bayangan mulai
bergerak.
Sementara matanya yang mencorong
kembali
menyapu seputar puncak Gunung Sindo-
ro
penuh perhatian. Ditelitinya seputar tempat itu
seksama.
Satu persatu tempat yang dianggap
mencurigakan
didatangi.
Tetap tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Maling
Tanpa Bayangan terus melangkah.
Perlahan-lahan
menuju kawah di puncak gunung.
Kepalanya
sesekali menoleh ke kanan kiri kalau-
kalau
kedatangannya telah diketahui orang. Ha-
tinya
agak lega, karena ternyata tempat itu sepi-
sepi
saja. Tak seorang pun yang melihat kedatan-
gannya.
"Tapi
bagaimana dengan makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak gunung ini?"
tanya
hatinya tiba-tiba sambil menghentikan
langkahnya.
"Konon mereka pun turut menjaga
Kitab
Paguyuban Setan? Apakah mereka tidak
melihat
kedatanganku? Mustahil!" Kembali Maling
Tanpa
Bayangan menebar pandangan ke sekitar-
nya.
"Aku
harus hati-hati. Aku yakin, makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak gunung ini telah
mengetahui
kedatanganku. Hanya yang kuheran-
kan,
kenapa mereka belum juga bertindak. Juga,
ke
mana perginya Pengasuh Setan yang men-
gangkangi
kitab itu?" lanjut Maling Tanpa Bayan-
gan
dalam hati.
Maling
Tanpa Bayangan terus melangkah
menuju
kawah. Amat perlahan, namun pasti. Ke-
palanya
berpaling ke kanan kiri sambil terus me-
langkah.
"Kuuuk!
Kuuukkk...!"
Mendadak
terdengar suara burung hantu.
Seketika
Maling Tanpa Bayangan mendongak.
Tampak
seekor burung hantu sebesar kambing
terbang
berputar-putar di angkasa. Tepat di atas
Maling
Tanpa Bayangan.
Maling
Tanpa Bayangan gelisah bukan
main.
Ia yakin kedatangannya telah diketahui…
***
Maling
Tanpa Bayangan terbelalak lebar
dengan
wajah berkerut bukan main. Tatapannya
seolah
tak percaya pada sumber suara di angkasa
yang
ternyata suara burung hantu raksasa sebe-
sar
kambing. Burung peliharaan Pengasuh Setan
itu
tengah terbang berputar-putar, mengawasi
Maling
Tanpa Bayangan.
"Kuk!
Kuuukkk!"
Suara-suara
burung hantu raksasa itu
makin
lama makin memekakkan telinga, mem-
buat
Maling Tanpa Bayangan jadi terheran-heran.
Sulit
dimengerti. Bagaimana mungkin seekor bu-
rung
mampu bersuara demikian keras. Bahkan
mampu
menggetar-getarkan tubuhnya.
"Enyahlah
kau, Burung Keparat! Aku tak
sudi
mendengar ocehanmu!" bentak Maling Tanpa
Bayangan,
seraya melontarkan pukulan maut ke
arah
burung hantu raksasa.
Tak
diduga-duga, burung hantu raksasa
bernama
Meruya itu mengepakkan sayapnya. Se-
ketika
melesat pula serangkum angin dingin dari
kebutan
sayapnya, memapak pukulan Maling
Tanpa
Bayangan.
Dukkk!
Maling
Tanpa Bayangan tak habis pikir.
Bukan
saja heran melihat burung hantu raksasa
itu
mampu memapak serangannya, tapi juga he-
ran
mengapa tubuhnya sendiri sampai bergetar
hebat.
"Keparat!
Rupanya kau memiliki kepan-
daian
juga, ya?! Baik! Akan kulihat sampai di
mana
kehebatanmu!" dengus Maling Tanpa
Bayangan
penuh kemarahan.
Seketika,
Maling Tanpa Bayangan segera
mencabut
keluar senjata andalannya, cemeti be-
rekor
sembilan. Di setiap ekornya, terselip sebilah
pisau
kecil berkilauan tertimpa sinar bulan. Na-
mun
belum sempat cemeti di tangan kanannya
digerakkan
mendadak....
"Keak!
Keaaakkk!"
Maling
Tanpa Bayangan terperangah kaget
mendengar
suara dari sampingnya. Begitu meno-
leh
tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar
hampir
mencapai dua tombak lebih telah berada
di
tempat itu. Ototnya bertonjolan di sana sini
dengan
pakaian dari kulit ular sanca. Sementara
kedua
kakinya begitu besar.
Melihat
ciri-ciri itu, Maling Tanpa Bayan-
gan
dapat mengenali lelaki berparas dingin me-
nyeramkan
itu. Dia tak lain dari Telapak Gajah,
seorang
tokoh sakti dari Hutan Krajan yang kini
menjadi
salah satu anggota Pasukan Kumbang
Neraka
yang ditugasi menjaga Kitab Paguyuban
Setan.
"Te...
Telapak Gajah..,!" sebut Maling Tanpa
Bayangan
penuh keterkejutan.
Sulit
sekali rasanya Maling Tanpa Bayan-
gan
memahami apa yang telah menimpa Telapak
Gajah.
Betapa wajah Ketua Perguruan Telapak
Gajah
itu yang dulu gagah penuh wibawa, kini
berubah
pucat pasi. Sepasang matanya yang ta-
jam
kini mencorong aneh, seperti menyembunyi-
kan
kekuatan kasat mata!
"Keak!
Keaaakkk!"
Lengkap
sudah keheranan Maling Tanpa
Bayangan.
Ternyata, Telapak Gajah hanya mam-
pu
mengeluarkan serak bagai burung gagak. Kini
hatinya
makin yakin bahwa telah terjadi sesuatu
atas
diri Telapak Gajah. Sayang sekali, lelaki yang
lihai
mencuri itu tidak tahu petaka apa yang telah
menimpa
Ketua Perguruan Telapak Gajah. Yang
diyakininya,
semua itu pasti perbuatan Pengasuh
Setan.
"Keak!
Keaaakkk!"
Telapak
Gajah mengibas-ngibaskan tan-
gannya,
mengisyaratkan agar Maling Tanpa
Bayangan
segera meninggalkan puncak Gunung
Sindoro.
"Hm...!
Kau mengusirku, Telapak Gajah?
Sayang
sekali, aku keberatan. Aku tak akan me-
ninggalkan
puncak Gunung Sindoro kalau belum
membawa
pulang Kitab Paguyuban Setan. Kau
paham,
Telapak Gajah?" sahut Maling Tanpa
Bayangan,
mantap.
"Keak!
Keaaakkk!"
Hanya
itu yang keluar dari mulut Telapak
Gajah.
Selanjutnya, tokoh sakti dari Hutan Krajan
itu
telah menerjang garang Maling Tanpa Bayan-
gan.
Tidak tanggung-tanggung, dikirimkannya
'Tendangan
Kaki Gajah' ke arah Maling Tanpa
Bayangan.
"Ust!"
Maling
Tanpa Bayangan terperanjat bukan
kepalang.
Tendangan Telapak Gajah benar-benar
mengarah
pada bagian yang mematikan. Dan tak
mungkin
tubuhnya sudi dijadikan sasaran empuk
serangan. Maka dengan ilmu meringankan tu-
buhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Mal-
ing
Tanpa Bayangan melenting tinggi ke udara.
Lalu
seketika cemeti di tangan kanannya segera
dikibaskan
ke bawah.
Srang!
Srang!
Seketika
sembilan mata pisau kecil yang
berkilauan dari ekor-ekor cemeti Maling Tanpa
Bayangan
siap merajam tubuh Telapak Gajah dari
sembilan
penjuru. Bersamaan itu, tangan kirinya
telah
melontarkan pukulan maut.
"Kuuukkk!"
Tepat
ketika Telapak Gajah menghindar,
terdengar
suara burung hantu raksasa meme-
kakkan
telinga. Dan ini membuat kewaspadaan
Maling
Tanpa Bayangan meningkat. Dilihatnya
burung
hantu raksasa itu menukik tajam, siap
menyerang
dengan paruh dan kuku-kukunya
yang
runcing!
Terpaksa
Maling Tanpa Bayangan harus
menjaga
serangan. Kini, ia tidak lagi menyerang
Telapak
Gajah sepenuhnya. Melainkan harus
membagi
serangan. Cemeti di tangan kanannya
yang
semula ditujukan ke tubuh Telapak Gajah
segera
dikibaskan ke arah burung hantu raksasa.
Sedang
pukulan telapak tangan kirinya, meng-
hentak
ke arah Telapak Gajah.
Classs!
Classs!
Bukkk!
Telapak
Gajah dan Meruya memekik kesa-
kitan.
Tubuh mereka sama-sama terlempar ke
samping.
Akibat sambaran mata pisau kecil di
ujung
cemeti Maling Tanpa Bayangan, sebagian
bulu
Meruya berhamburan ke udara. Darah hi-
tam
mengucur dari lukanya yang menganga.
Keadaan
ini pun tak jauh berbeda dengan
Telapak
Gajah. Akibat pukulan jarak jauh Maling
Tanpa
Bayangan, sekujur tubuh tokoh sakti dari
Hutan
Krajan itu mengalami luka dalam parah.
Sebagian
kulitnya hangus terbakar!
Akan
tetapi, betapa mencelosnya hati Mal-
ing
Tanpa Bayangan saat melihat tubuh burung
hantu
raksasa dan Telapak Gajah kembali seperti
semula
hanya dalam waktu amat singkat.
Ini
benar-benar merupakan suatu kejadian
aneh.
Maling Tanpa Bayangan tak habis pikir.
Begitu
kakinya menjejak tanah, bukannya kem-
bali
menyerang, tapi malah bengong seolah meli-
hat
naga gondrong di siang hari.
"Edan!
Ilmu apakah yang mereka gunakan?
Kenapa
tubuh mereka jadi berubah seperti sedia-
kala?"
sentuh hati Maling Tanpa Bayangan sarat
keheranan.
"Keakkk!"
Telapak
Gajah memekik nyaring. Suaranya
terdengar
makin mendirikan bulu roma. Bersa-
maan
pekikannya tadi, mendadak kedua telapak-
nya
telah didorong ke depan. Seketika meluruk
dua
larik sinar kuning dari kedua telapak tan-
gannya.
Sementara
itu, Meruya yang juga peliha-
raan
Pengasuh Setan menyerang dari atas. Paruh
dan
kuku-kukunya yang runcing siap mencabik-
cabik
tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa am-
pun.
Maling
Tanpa Bayangan terperangah kaget.
Saat
itu, ia tidak begitu siap menghadapi seran-
gan
kedua lawannya. Kejadian yang baru saja di-
alami
benar-benar belum dapat diterima akal se-
hatnya.
Maka
pada saat serangan datang, Maling
Tanpa
Bayangan hanya sempat menangkap dua
larik
sinar kuning dan seonggok bayangan di
angkasa
yang siap memangsa korban. Namun se-
bagai
tokoh dunia persilatan, ia tak mau menye-
rah
begitu saja. Seketika tubuhnya melenting ke
belakang,
menghindari serangan.
***
Putri
Manja terus saja berlari tanpa meng-
hiraukan
apa pun sambil membawa kebencian
mendalam
pada Siluman Ular Putih. Ini hanya
semata-mata
terdorong sikap manjanya yang ke-
lewatan.
Sikapnya,
sebenarnya tak pantas dimiliki
gadis
seusia Putri Manja. Tapi, apa lacur? Me-
mang
itulah tingkahnya. Selisih pahamnya den-
gan
Siluman Ular Putih yang tak seberapa diang-
gapnya
sebagai bencana besar. Aneh kedengaran-
nya
memang. Itu tak heran, karena gadis itu bi-
asa
dimanja oleh gurunya, Bayi Kawak. Maka
sah-sah
saja bila Mawangi alias Putri Manja tak
dapat
menerima sikap Siluman Ular Putih yang
berkesan
amat melecehkan sikapnya. Sikap yang
ingin
dimanja dan disanjung, Putri Manja terus
saja
melangkah tanpa tujuan. Tanpa terbebani
perasaan
bersalah sedikit pun.
Tanpa
sadar, hari telah berubah senja. Ma-
tahari
terpuruk di kaki langit sebelah barat. Lan-
git
memerah tembaga. Suasana hening menyeli-
muti
seputar Hutan Kranggan. Kicauan burung
yang
tadi terdengar ramai kini telah sepi, larut
dalam
suasana hening mencekam.
Di
sebuah dataran rerumputan, Putri Man-
ja
menghentikan langkahnya. Air matanya mem-
banjir
membasahi pipi. Dan si gadis membiar-
kannya
saja. Kini kepalanya menengadah ke atas,
memandang
kerlip berjuta bintang yang mulai
menghiasi
angkasa.
Cukup
lama Putri Manja menengadahkan
kepala.
Kedua bahunya bergerak-gerak. Isak tan-
gisnya
kian menderu.
"Tuhan...!
Kenapa kau pertemukan aku
dengan
pemuda gondrong itu kalau hanya mem-
buat
hatiku sedih!" keluh Putri Manja nyaris tak
kentara.
Raut
wajahnya kian memelas. Itu semua
membuat
hatinya terlihat nelangsa sekali, seperti
tersayat
sembilu. Berulang-ulang Putri Manja
mengeluh.
Hari
menjarah malam. Putri Manja kembali
meneruskan
langkah tanpa beban dan tanpa tu-
juan
pasti. Hal ini membuatnya makin jauh me-
ninggalkan
Siluman Ular Putih. Seorang pemuda
tampan
yang baru pertama kali menyiram lubuk
hatinya
yang kering. Haus akan belaian cinta ka-
sih.
Kalau
saja Putri Manja mau bersikap tegar,
tentu
tak kan nelangsa seperti itu. Tak mungkin
perasaannya
terombang-ambing tak menentu.
Tapi
yang terjadi memang demikian. Benih-benih
cinta
pertama yang meninabobokan hatinya, kini
malah
mendera hatinya setiap saat.
Baginya,
tak ada harapan lagi yang tersisa.
Semua
hampa. Semua hanya khayalan semata.
Putri
Manja terus melangkah, terseok di
antara
rumput-rumput dan semak belukar.
Pada
saat Putri Manja kian dicekam pera-
saan nelangsa, mendadak telinganya mendengar
suara-suara
aneh mirip suara dengungan ribuan
kumbang
yang datangnya entah dari mana. Ma-
kin
lama, suara-suara aneh itu makin jelas ter-
dengar,
membuat matanya beredar ke sekitarnya.
Namun
anehnya, ia tidak menemukan apa-apa.
Sementara
suara-suara aneh itu terus mendekat.
Kening
Putri Manja jadi berkerut. Lebih lagi
ketika
bulu kuduknya terasa meremang. Gadis ini
jadi
bergidik ngeri. Memang belum jelas, bahaya
apa
yang tengah mengancam keselamatannya.
Namun
nalurinya mengatakan kalau tak jauh dari
tempat
itu ada bahaya maut tengah mengancam
dirinya!
Putri
Manja diam di tempat. Matanya ber-
gerak-gerak
liar ke kanan kiri. Tanpa sadar, gunt-
ing
besar senjata andalannya yang terselip di
punggung
dicengkeramnya kuat-kuat, pertanda
tengah
dalam sikap penuh kewaspadaan.
Tapi,
yang ditunggu-tunggu ternyata tak
menampakkan
batang hidungnya. Putri Manja
mendengus
gusar. Tadi suara-suara aneh itu be-
gitu
jelas terdengar, tapi kenapa sekarang hilang
begitu
saja? Tak mungkin! Pasti masih ada di se-
kitar
tempat ini, pikir Putri Manja gelisah, merasa
dipermainkan
lawan.
"Hai,
Biang Kunyil! Kalau mau berurusan
denganku,
lekas tampakkan dirimu!" bentak Putri
Manja.
Tak
ada jawaban.
Putri
Manja mendengus gusar. Dan baru
saja
akan berteriak lagi....
"Selamat
bertemu kembali, Anak Manis!
Kau
tentu teman dari Siluman Ular Putih, bu-
kan?"
Bukan
main terkejutnya Putri Manja begitu
mendengar
sebuah suara di belakangnya. Buru-
buru
kepalanya berpaling ke arah datangnya sua-
ra.
Dan ia makin terkejut melihat siapa yang da-
tang.
Perlahan-lahan tubuhnya berbalik.
Di
depan Putri Manja, tampak berdiri seo-
rang
kakek tua renta dengan paras amat menge-
rikan.
Kedua bola matanya melesak ke dalam.
Saking
dalamnya, yang terlihat hanya kilatan-
kilatan
yang berwarna merah saga. Tubuhnya
amat
kurus, dibalut pakaian warna hitam-hitam.
Sebuah
bandul kalung berbentuk tengkorak sebe-
sar
buah salak menggantung di dada. Siapa lagi
tokoh
ini kalau bukan Pengasuh Setan?!
Di
belakang Pengasuh Setan, tampak tiga
puluh
lelaki berpakaian hitam-hitam turut pula.
Dan
paras mereka tak kalah mengerikan diband-
ing
paras Pengasuh Setan. Pucat pasi dengan si-
nar
mata kosong. Dari kilauan pandang mata ke-
tiga
puluh orang itu, Putri Marija merasakan
adanya
suatu kekuatan aneh yang terpancar. Su-
atu
kekuatan dahsyat yang datangnya entah dari
mana.
Kalau
saja tahu siapa ketiga puluh orang
lelaki
berpakaian hitam-hitam yang berdiri di be-
lakang
Pengasuh Setan, tentu gadis cantik murid
Bayi
Kawak itu akan terkejut bukan kepalang.
Karena,
mereka bukan lain adalah Pasukan
Kumbang
Neraka. Sebuah pasukan yang dibentuk
Pengasuh
Setan dengan bantuan makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro!
"Kau...!
Lagi-lagi kau, Pengasuh Setan!
Mau
apa menghadang langkahku, he?! Tak tahu
malu!
Beraninya menghadangku! Apa kau tak
puas
dihajar Siluman Ular Putih, he?!" bentak Pu-
tri
Manja, berusaha mengusir rasa takutnya.
Pengasuh
Setan tertawa bergelak. Aneh-
nya,
sedikit pun mulutnya tak terbuka. Namun
suara
tawa itu terdengar amat bergema, pertanda
tokoh
sesat dari puncak Gunung Sindoro itu me-
miliki
tenaga dalam amat tinggi.
Disertai
tawa Pengasuh Setan, suara-suara
aneh
yang sejak tadi mengusik perhatian Putri
Manja
kembali terdengar. Ternyata, suara-suara
aneh
yang menyerupai dengungan ribuan kum-
bang
itu berasal dari ketiga puluh lelaki berpa-
kaian
hitam-hitam di belakang Pengasuh Setan.
Seperti
Pengasuh Setan, ketiga puluh lelaki
itu
pun sama sekali tak membuka mulut. Mereka
tetap
di tempat sambil terus memperdengarkan
suara-suara
aneh. Seolah-olah, sebagai tanda ka-
lau
mereka siap melaksanakan perintah Penga-
suh
Setan!
"Kebetulan
sekali aku juga ingin meringkus
pemuda
tolol itu. Sekarang, tunjukkan di mana
bocah
keparat itu, Gadis!" hardik Pengasuh Setan
tidak
main-main. Kilatan kedua bola matanya
kian
mengerikan.
"Kalau
pun aku tahu, tak mungkin membe-
ritahukan
padamu. Cari saja sendiri!" balas Putri
Manja,
bersungut tak senang.
Dan
Putri Manja pun bermaksud mening-
galkan
Pengasuh Setan. Namun dengan satu lon-
catan
indah, tahu-tahu tubuh Pengasuh Setan te-
lah
mendarat di hadapan si gadis.
"Tunggu,
Bocah Manis! Kau tak boleh me-
ninggalkanku
begitu saja! Harus menunjukkan di
mana,
Siluman Ular Putih!"
"Cih...!
Siapa sudi menuruti perintahmu!
Biar
dibunuh pun aku tak sudi menurutimu!"
Pengasuh
Setan menggeram penuh kema-
rahan.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak dengan
gigi-gigi bergemeletuk. Jelas, tokoh sesat dari
puncak
Gunung Sindoro itu tak dapat lagi mena-
han
amarah.
"Anak-anakku!
Tangkap gadis bengal ini!"
perintah
Pengasuh Setan disertai kibasan tangan
kanan.
Sebenarnya
kalau mau, bisa saja Pengasuh
Setan
merobohkan gadis manja di hadapannya
hanya
sekali gebrak. Namun, ia tidak melaku-
kannya,
dan malah memerintah pasukannya.
Bukannya
apa-apa, Pengasuh Setan hanya
ingin
mengetahui sampai di mana kehebatan pa-
sukan
buatannya.
"Majulah!
Siapa takut menghadapi boneka-
boneka
hitammu itu, Orang Tua jelek!" tantang
Putri
Manja, mulai galak.
Pengasuh
Setan tersenyum dingin.
"Ayo,
Anak-anak! Tangkap gadis bengal
itu!"
Seketika
ketiga puluh lelaki berpakaian hi-
tam-hitam
yang dinamakan Pasukan Kumbang
Neraka
ini segera mengerumuni Putri Manja. Bu-
kan
langsung menyerang melainkan hanya berlari
berputar-putar
sambil perdengarkan suara-suara
aneh
dari mulut.
"Keaaak...!
Keaaakkk...!"
Putri
Manja terperangah. Bukannya terpe-
rangah
melihat cara menyerang para anak buah
Pengasuh
Setan, melainkan karena jalan pikiran-
nya
mulai dipengaruhi oleh suara-suara aneh se-
perti
ribuan kumbang itu. Di samping itu, men-
dadak
sekujur tubuhnya terasa lemas. Seolah, te-
naga
dalamnya tersedot entah ke mana!
"Celaka!
Kenapa bisa begini? Ilmu apakah
yang
sedang mereka keluarkan? Kenapa aku jadi
sulit
sekali bergerak!" sentak murid Bayi Kawak,
gelisah.
Sementara
suara-suara aneh dari mulut
Pasukan
Kumbang Neraka terus mengganggu ja-
lan
pikiran si gadis. Lambat laun kepala Putri
Manja
jadi pening. Namun serangan aneh itu ba-
rusan
ditahannya sebisa mungkin. Dengan keku-
atan
penuh, tenaga dalamnya segera dikeluarkan.
Nihil!
Ternyata Putri Manja tetap tak dapat
mengerahkan
tenaga dalamnya! Malah makin la-
ma
tenaga dalamnya terasa amblas entah ke ma-
na.
Putri Manja terheran-heran. Keningnya terus
berkerut.
"Celaka!
Ini pasti ada yang tak beres. Bisa
jadi
mereka mengerahkan ilmu sihir atau sema-
cam
ilmu hitam lainnya. Aku harus cepat bertin-
dak,
mumpung tenaga dalamku belum habis ter-
sedot!"
gumam Putri Manja.
Saat
itu pula si gadis mengerahkan kekua-
tan
batinnya yang pernah diajarkan Bayi Kawak.
Namun
apa yang terjadi? Tetap saja serangan itu
tak
dapat ditahan. Malah makin lama matanya
mulai
kabur. Sosok-sosok hitam di hadapannya
terlihat
mulai berubah jadi makhluk-makhluk hi-
tam
mengerikan.
Putri
Manja sadar. Tak mungkin gelom-
bang
serangan-serangan gaib itu dilawan....
***
Keadaan
Putri Manja benar-benar amat
mengkhawatirkan.
Namun gadis ini tak putus
asa.
Apa pun yang akan terjadi, ia terus berusaha
mengatasi
serangan-serangan mengandung tena-
ga
gaib yang sulit dimengerti.
Di
pinggir tempat pertarungan, tak henti-
hentinya
Pengasuh Setan mengumbar tawa. Ha-
tinya
puas sekali melihat bagaimana Pasukan
Kumbang
Neraka melumpuhkan lawannya. Kalau
ia
mau, bukanlah satu pekerjaan sulit untuk me-
lumpuhkan
Putri Manja. Tapi, rupanya tokoh
mengerikan
ini tidak menginginkan itu. Ia masih
ingin
melihat, sampai di mana kehebatan Pasu-
kan
Kumbang Neraka.
"Cepat
tangkap gadis bengal itu, Anak-
anak!"
perintah Pengasuh Setan dengan suara
menggema.
Tanpa
Pengasuh Setan mengulangi perin-
tahnya,
ketiga puluh lelaki bekas murid Pergu-
ruan
Telapak Gajah yang kini telah menjadi ang-
gota
Pasukan Kumbang Neraka segera meloloskan
pedang.
Dan seketika mereka menyerang hebat
Putri
Manja.
Si
gadis terkesiap. Namun begitu suara-
suara
aneh dari mulut ketiga puluh lawan aneh-
nya
terhenti, seketika itu juga pengaruh gaib yang
menindih
tenaga dalamnya hilang. Sehingga, Pu-
tri
Manja kembali dapat mengerahkan tenaga da-
lam.
Meski
hati si gadis terheran-heran melihat
perubahan,
tapi begitu melihat datangnya seran-
gan
bergelombang segera senjata andalannya di-
cabut
keluar. Saat itu pula gunting di tangannya
segera
menghadapi keroyokan Pasukan Kumbang
Neraka.
Crak!
Crakkk...!
Berkali-kali
gunting di tangan Putri Manja
berusaha
menindih gulungan-gulungan pedang di
tangan
anggota-anggota Pasukan Kumbang Nera-
ka.
Namun sayang, serangannya tak menghasil-
kan
apa-apa. Bahkan hampir saja tubuhnya ter-
kena
sambaran-sambaran pedang di tangan ang-
gota-anggota
Pasukan Kumbang Neraka. Untung
saja
ilmu meringankan tubuh Putri Manja cukup
lumayan.
Sehingga setiap hampir menjadi sasa-
ran
sambaran pedang, seketika tubuhnya berke-
lebat
cepat menghindar.
Werrr!
Werrr...!
Tapi
rupanya kali ini Putri Manja salah
perhitungan.
Di saat tubuhnya melenting meng-
hindari sambaran
pedang, mendadak salah seo-
rang
anggota Pasukan Kumbang Neraka telah
menyambutnya
dengan satu lompatan dan sam-
baran
pedang. "Akh...!"
Putri
Manja mendesah gugup. Dan ketika
sambaran
pedang di tangan anggota Pasukan
Kumbang
Neraka tinggal beberapa jengkal men-
genai
sasaran, buru-buru gunting di tangan ka-
nannya
diputar sekenanya.
Cring!
Suara
berdenting yang disertai pijaran
bunga
api memenuhi sebagian tempat pertarun-
gan.
Sementara senjata gunting di tangan Putri
Manja
terpental ke samping. Tangannya kesemu-
tan akibat bentrokan dengan tubuh kehilangan
keseimbangan
saat mendarat. Di saat tubuhnya
limbung,
mendadak seorang anggota Pasukan
Kumbang
Neraka meluruk maju disertai hanta-
man
ke ulu hati.
Desss...!
"Akh...!"
Putri
Manja menjerit tertahan ketika telak
sekali
terhantam pukulan lawan. Tubuhnya ter-
pental
jauh ke belakang, nabrak batang pohon
dan
luruh ke tanah. Parasnya pucat pasi. Kedua
bibirnya
bergetar-getar menahan guncangan da-
lam
dada.
"Hoeeekh...!"
Akhirnya
Putri Manja menyemburkan da-
rah
merah kental dari mulut. Dadanya nyeri bu-
kan
main, membuat mulutnya meringis. Sebentar
dadanya
diurut-urut.
Dan
gadis ini memang tak menerima keka-
lahan
begitu saja. Begitu rasa nyeri di dada agak
berkurang.
Putri
Manja kembali meloncat bangun. Ma-
tanya
sempat mampir di guntingnya yang terpen-
tal
tadi. Namun untuk mengambilnya jelas tidak
mungkin,
karena jauh dari jangkauannya. Di
samping
itu, ketiga puluh orang anggota Pasukan
Kumbang
Neraka kini telah maju hendak menye-
rang
kembali. Tak ada pilihan lain, harus dihada-
pinya
Pasukan Kumbang Neraka dengan tangan
kosong.
"Majulah!
Siapa takut menghadapi manu-
sia-manusia
tak berjantung seperti kalian!" desis
Putri
Manja penuh kemarahan, langsung mema-
sang
kuda-kuda.
Sambil
bersikap waspada menanti datang-
nya
serangan, tak henti-hentinya mata Putri Man-
ja
memperhatikan gerak-gerik Pasukan Kumbang
Neraka.
Gadis itu berusaha mencari-cari peluang
untuk
menyerang terlebih dahulu. Sayang pe-
luang
itu tak ditemukannya.
Diiringi
teriakan aneh, kembali ketiga pu-
luh
anggota Pasukan Kumbang Neraka mengi-
baskan
pedang di tangan.
Wuttt!
Wuttt!
Berpuluh-puluh
pedang berseliweran, ber-
kilauan
terjilat sinar bulan sebelum akhirnya
mengancam
Putri Manja tanpa ampun. Sedikit
pun
gadis manja itu tak diberi kesempatan untuk
membalas
serangan. Jangankan untuk membalas
serangan.
Untuk menarik napas barang sejenak
pun
tak diberikan. Mereka terus mendesak Putri
Manja,
hebat.
Bolehlah
juga cara Putri Manja menghinda-
ri
serangan beruntun itu. Namun bagaimana pun
juga
tak mungkin bisa menghadapi keroyokan itu
terus
menerus. Buktinya pada saat baru saja
menghindari
serangan-serangan pedang, salah
seorang
anggota Pasukan Kumbang Neraka men-
dadak
melompat sambil melepas tendangan lurus
yang
begitu cepat.
Desss!
Putri
Manja tak sanggup berkelit sedikit
pun
saat tendangan salah seorang anggota Pasu-
kan
Kumbang Neraka menghantam iganya dari
samping.
Tanpa ampun tubuhnya limbung.
Iganya
yang terkena tendangan terasa nyeri bu-
kan
main, seolah-olah mau remuk! Dan di saat
Putri
Manja kehilangan keseimbangan, serangan-
serangan
pedang di tangan Pasukan Kumbang
Neraka
kembali datang.
Bukan
main kalang kabutnya Putri Manja.
Rasanya
tak mungkin gadis itu menghindari se-
rangan-serangan
Pasukan Kumbang Neraka. Tu-
buhnya
yang masih limbung seolah kaku, sulit
sekali
untuk bergerak. Padahal pedang di tangan
anggota-anggota
Pasukan Kumbang Neraka siap
merajam
tubuhnya.
"Tamatlah
sudah riwayatku hari ini. Tak
mungkin
aku meminta pertolongan!" desis dalam
hati
Putri Manja.
Si
gadis tetap berusaha tabah saat dijem-
put
maut. Dengan menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat,
sepasang mata indahnya menatap
sayu
pedang-pedang di tangan Pasukan Kumbang
Neraka.
Namun di saat yang mengkhawatirkan
itu....
"Memang
asyik mempermainkan seorang
gadis
cantik! Apalagi tanpa senjata. Tapi, kenapa
kau
harus dengan keroyokan begini! Huh...! Me-
malukan!
Dasar manusia-manusia bejat tak tahu
aturan!"
Mendadak
terdengar gerutuan seseorang
yang
disusuli dengan luncuran serangkum angin
dingin
laksana topan prahara ke arah anggota-
anggota
Pasukan Kumbang Neraka.
Brasss...!
Pekik-pekik
kesakitan para anggota Pasu-
kan
Kumbang Neraka terdengar di sana sini. Tan-
pa
ampun tubuh mereka berhamburan ke kanan
kiri
bak layangan putus begitu terkena sambaran
angin
dahsyat barusan.
"Ha
ha ha...! Tikus-tikus kecil macam ka-
lian,
mana pantas menginginkan gadis cantik itu.
Hayo,
lekas tinggalkan tempat ini!"
9
Pengasuh
Setan terkesiap bukan kepalang.
Seketika
tawanya tersumbat. Kilatan sepasang
matanya
yang berwarna merah menyala makin
mencorong
beringas. Napasnya memburu. Sung-
guh
ia tak terima ada orang yang mengganggu ke-
senangannya.
Siapa pun juga yang mengganggu
kesenangannya
berarti mati.
Sosok
yang tadi menolong Putri Manja kini
telah
berdiri berkacak pinggang. Enak sekali
gayanya
mengumbar tawa. Ia adalah seorang le-
laki
tua berkepala plontos. Jubah besar warna
kuning
yang dikenakannya tampak kedodoran
sampai
lutut. Siapa lagi tokoh satu ini kalau bu-
kan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding?
Sedang
di sebelah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
adalah seorang kakek tua yang memiliki
paras
maupun perawakan mirip tubuh bayi. Pa-
kaian
yang dikenakannya juga pakaian bayi. Ti-
dak
salah! Siapa lagi tokoh satu ini kalau bukan
Bayi
Kawak?
"Selamat
bertemu kembali, Pengasuh Se-
tan!
Kukira kau masih mengenali aku, bukan? In-
gat!
Hutang nyawa harus dibayar nyawa!" sapa
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, kalem.
Pengasuh
Setan menggeram murka. Jelas
lelaki
sesat ini masih mengenali kakek di hada-
pannya.
Namun pandang mata Pengasuh Setan
terlihat
amat merendahkan. Seolah yang dihadapi
kali
ini adalah cecurut tua yang hanya sekali ge-
buk
akan lari tunggang langgang.
"Pelukis
Sinting! Bagus! Kali ini aku tak
akan
mungkin melepaskanmu! Kau harus modar
di
tanganku!" desis Pengasuh Setan.
"Dari
dulu lagakmu selalu pongah, Penga-
suh
Setan. Senang sekali aku mendengar kepon-
gahanmu. Hayo, maju kalau kau ingin mele-
nyapkan
ku!" kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding
sambil
diam-diam mencolek tangan Bayi Kawak
untuk
membantu.
Bayi
Kawak malah jadi resah. Di sisi lain,
ia
harus menolong muridnya. Tapi di sisi lain lagi
ia
pun juga harus membantu Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding menghadapi musuh besarnya.
Maka
yang bisa dilakukan hanyalah memandang
muridnya,
lalu beralih pada Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Guru!
Kenapa malah celingak-celinguk?
Tolong
aku, Guru!" teriak Putri Manja, memelas.
"Eh
eh eh...! Aku harus menolong muridku.
Sebentar,
Ompong!"
Buru-buru
Bayi Kawak menghampiri mu-
ridnya
yang tengah terbujur di bawah rindangnya
sebuah
pohon. Wajahnya yang cantik tampak pu-
cat
pasi. Kedua bibirnya bergetar-getar pertanda
menderita
luka dalam cukup parah.
"Kau....
Kau kenapa, Putri? Siapa yang
mencelakaimu?"
tanya Bayi Kawak segera memijit
kaki
Putri Manja. Tingkahnya mirip anak kecil.
Putri
Manja dengan segenap kemanjaannya
terus
merengek-rengek kesakitan. Tak henti-
hentinya
tangannya menunjuk ke bagian tubuh-
nya
yang dirasakan sakit. Maka, Bayi Kawak pun
segera
memijit tempat yang ditunjuk murid ke-
sayangannya.
''Ke
mana saja, sih? Kok, Guru tidak me-
nyusulku?
Kan Putri kesakitan. Masa' Guru tega
membiarkan
Putri begini?" rajuk Putri Manja.
"Aku
sendiri sebenarnya ingin pulang ke
puncak
Gunung Merapi. Tapi kakek ompong itu
tiba-tiba
berubah pikiran. Katanya, ia belum puas
kalau
belum membunuh Pengasuh Setan. Dan
aku
dipaksa untuk mengikutinya," jelas Bayi Ka-
wak.
Lagaknya persis anak kecil yang bercerita
tanpa
arah. "Di samping itu, aku juga mengkha-
watirkan
keselamatanmu. Apalagi, aku sempat
bertemu
Siluman Ular Putih tanpa dirimu."
"Iya,
iya. Tapi kenapa Guru lama sekali?
Apa
Guru senang kalau Putri mati merana seperti
ini?"
"Tidak,
tidak. Kau tidak boleh mati, Putri!
Siapa
pun juga yang mengganggumu, pasti akan
kubunuh.
Apa bocah gondrong itu yang telah
mengganggumu,
Putri?" kata Bayi Kawak, mengi-
ra
kalau Siluman Ular Putih yang telah meng-
ganggu
muridnya. Apalagi disadari kalau Putri
Manja
tak lagi bersama Siluman Ular Putih.
"Bukan,"
jawab Putri Manja, mantap.
"Lalu
siapa?"
"Mereka,
Guru! Merekalah yang telah
mengganggu
Putri!" tunjuk Putri Manja ke arah
Pasukan
Kumbang Neraka yang tengah bersite-
gang
dengan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Oh...!
Jadi mereka yang telah menggang-
guku.
Baik. Sekarang lihat, bagaimana gurumu
menghajar
mereka. Kau tunggu saja di sini, Pu-
tri!"
ujar Bayi Kawak seraya bangkit dengan dada
tegak.
"Tunggu,
Guru! Aku juga ingin menghajar
mereka,"
Putri Manja cepat melompat bangun.
"Ayo,
Putri! Tapi hati-hati. Aku tak ingin
kau
celaka," ingat Bayi Kawak.
"Kan
masih ada Guru. Mana mungkin me-
reka
dapat mencelakakanku!" rajuk Putri Manja.
"Ya
ya ya...,!" sahut Bayi Kawak pendek.
Habis
menyahut, Bayi Kawak dan Putri
Manja
segera melompat ke tempat pertarungan.
"Ompong!
Aku dan muridku datang mem-
bantu,"
teriak Bayi Kawak.
"Bagus,
bagus! Kau memang sobatku yang
baik,
Bayi Kawak. Manusia iblis ini memang patut
dienyahkan.
Tapi, boneka-boneka hitam itu juga
harus
dilenyapkan. Baiknya, kau hajar saja dulu
boneka-boneka
hitam itu, Sobat! Biar aku yang
membereskan
manusia pongah ini!" tuding Pelu-
kis
Sinting Tanpa Tanding ke arah Pengasuh Se-
tan.
Pengasuh
Setan menggeram murka. Dili-
hatnya
Bayi Kawak dan muridnya segera mener-
jang
ketiga puluh orang pasukannya.
"Kali
ini kau akan menyesal bertemu aku,
Orang
Sinting! Jangan dikira aku ingin mele-
paskan
nyawa busukmu begitu saja. Makanlah aji
‘Tangkal
Petir’-ku! Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tiba-tiba Penga-
suh
Setan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya
ke depan. Seketika, melesat dua larik sinar
merah
menyala dari kedua telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
Melihat
datangnya serangan, Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding masih sempat tersenyum
menggoda.
Meski demikian, tetap ia tak berani
memandang
remeh. Ia sudah cukup mengenai,
siapa
Pengasuh Setan. Apalagi terhadap keheba-
tan
aji 'Tangkal Petir'. Maka tanpa banyak cakap,
segera
dikerahkannya pukulan aji 'Cat Hati Suci'
andalannya.
"Hea...!"
Terdengar
satu ledakan hebat di udara.
Bumi
laksana diguncang prahara. Hawa panas
akibat
bentrokan dua tenaga dalam barusan me-
nebar
ke seputar tempat pertarungan, membuat
ranting-ranting
pohon berderak dengan daun-
daun
hangus terbakar!
Sementara
tubuh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
dan Pengasuh Setan sendiri sama-sama
terjajar
beberapa langkah ke belakang. Ini jelas
menandakan
kalau tenaga dalam kedua tokoh
dunia
persilatan itu tak jauh berselisih banyak.
"Bagaimana,
Pengasuh Setan? Rupanya
kau
belum sanggup melenyapkan ku, bukan?
Buktinya
aku masih segar bugar. He he he...!"
ejek
Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Geraham
Pengasuh Setan makin bergeme-
letuk penuh kemarahan. Ia tak ingin meladeni
ucapan
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, karena le-
bih
senang menyerang. Maka lelaki sesat ini sege-
ra
duduk bersila. Tak tanggung-tanggung, hendak
dikeluarkannya
aji 'Panglipur Setan'. Di saat ke-
dua
telapak tangannya menelungkup di depan
dada,
bibir Pengasuh Setan mulai berkemik.
"Awas,
Ompong! Tua bangka itu hendak
mengeluarkan
aji 'Panglipur Setan'!" teriak Bayi
Kawak
sambil berkelebat ke sana kemari, meng-
hindari
serangan-serangan pedang ketiga puluh
orang
anggota Pasukan Kumbang Neraka.
"Aku
sudah tahu, Sobat. Cepat bantu aku!"
teriak
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, kalang ka-
but.
"Bantu
bagaimana? Aku dan muridku saja
kewalahan
menghadapi boneka-boneka hitam
ini!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding makin
menggerutu
tak karuan. Aji 'Panglipur Setan' itu-
lah
yang sebenarnya ditakuti. Bahkan kini dari
kedua
bibir Pengasuh Setan keluar suara-suara
aneh
mirip ribuan kumbang. Mula-mula biasa sa-
ja,
namun tak lama kemudian suara-suara aneh
itu
menghentak-hentak. Seolah-olah dengan begi-
tu
manusia sesat itu ingin merontokkan jantung
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, bahkan juga Bayi
Kawak,
dan Putri Manja.
Hal
itu jelas amat membahayakan bagi ke-
selamatan
ketiga orang itu. Apalagi suara-suara
aneh
Pengasuh Setan segera diikuti ketiga puluh
orang
anggota Pasukan Kumbang Neraka yang
mendadak
saja menghentikan serangan terhadap
Bayi
Kawak dan Putri Manja.
Makin
hebat saja getaran-getaran gaib yang
terdengar
membuat paras Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
Bayi Kawak, dan Putri Manja pucat pasi.
Bahkan
perlahan-lahan mereka jatuh bersimpuh
dengan
kedua tangan menutup telinga dan diser-
tai
pengerahan tenaga dalam. Namun, usaha me-
reka
sia-sia saja. Tetap saja telinga mereka bagi
ditusuk-tusuk.
Sementara dada mereka tergun-
cang
hebat.
Di
kejap berikutnya, dari telinga dan mulut
mereka
telah merembes lelehan darah akibat se-
rangan
suara-suara gaib yang berisi tenaga dalam
amat
dahsyat itu.
***
Di
saat yang gawat bagi Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding, Bayi Kawak, dan Putri Manja,
mendadak
gema-gema suara aneh bertenaga da-
lam
tinggi itu lenyap. Namun pada saat itu kesa-
daran
mereka telah hilang, hingga jatuh pingsan.
Sementara
Pengasuh Setan kini telah
membuka
matanya dengan hidung mengendus-
endus.
Rupanya bau amis darah Pengasuh Setan
membuat
serangannya lewat aji ‘Panglipur Setan’
terhenti.
Bahkan kini matanya menyorot tajam
pada
sosok yang telah berdiri di dekat Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding, Bayi Kawak, dan Putri
Manja.
Memang,
di saat yang gawat tadi, seorang
pemuda
gondrong berpakaian rompi dan bercela-
na
bersisik keperakan telah muncul. Dia tak lain
dari
Siluman Ular Putih.
Diam-diam
hati Siluman Ular Putih heran
melihat
sikap kaku ketiga puluh orang di hada-
pannya.
Dan ketika melihat Bayi Kawak, Putri
Manja
dan Pelukis Sinting Tanpa Tanding mende-
rita
luka-dalam parah, bisa ditebak kalau Penga-
suh
Setan dan ketiga puluh orang itulah yang te-
lah
mencelakakan mereka.
"Kau
keterlaluan, Pengasuh Setan. Diberi
hati
bukannya bertobat, malah bertingkah me-
muakkan.
Sebenarnya maumu itu apa, sih?" kata
Siluman
Ular Putih, enteng.
"Kunyuk
gondrong! Nyawamulah yang
kuinginkan!"
sembur Pengasuh Setan kasar.
"Oh...,
itu! Dari kemarin-kemarin kau sela-
lu
minta itu. Tapi, buktinya mana? Jangan hanya
bisa
berkoar dong!"
"Keparat!
Hari inilah hari kematianmu!"
bentak
Pengasuh Setan penuh kemarahan. Kedua
telapak
tangannya yang telah berubah jadi merah
menyala
siap dilontarkan ke depan.
"Tunggu,
Tua Bangka jelek! Yang kau in-
ginkan
adalah aku. Dan lagi kau ingin menan-
tangku
bertarung, bukan. Nah, kalau begitu aku
ingin
tempat yang leluasa. Jadi biarkan aku me-
nyingkirkan
ketiga orang yang pingsan itu dulu.
Baru
kemudian kita bertarung. Bagaimana?" ke-
jar
Siluman Ular Putih, tenang.
Hidung
pesek Pengasuh Setan kembang
kempis.
Mana sudi mulutnya menjawab permin-
taan
musuh besarnya. Hanya diperhatikannya
perbuatan
Siluman Ular Putih yang mulai men-
gangkat
tubuh Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
Bayi
Kawak, dan Putri Manja secara bergantian.
Dibawanya
tubuh mereka ke luar tempat perta-
rungan
tadi.
"Putri!
Kau istirahat dulu di sini, ya! Tua
bangka
jelek satu itu memang patut dihajar. Li-
hatlah,
bagaimana caranya aku menghajarnya,"
celoteh
Soma seraya meletakkan Putri Manja yang
terakhir
mendapat giliran di rerumputan.
Baru
saja diletakkan di rerumputan, men-
dadak
gadis manja itu membuka matanya. Si-
uman.
Semula sepasang mata indah itu berkilat-
kilat
penuh kemarahan. Namun begitu melihat
siapa
yang menolong, mendadak jadi berbinar-
binar
indah.
"So...,
Soma! Terima kasih. Ternyata kau
sudi
menolongku...," desah Putri Manja, lalu me-
rengkuh
leher Siluman Ular Putih yang tengah
berjongkok.
Siluman
Ular Putih membalas pelukan Pu-
tri
Manja erat. Mata sebelah kirinya diam-diam
mengerling
nakal ke arah Pengasuh Setan.
"Tentu,
Putri! Tentu aku akan menolong-
mu.
Bukankah kau kawanku yang paling cantik
dan
paling manis? Jangan menangis, dong. Malu
kan
dilihat orang," bujuk Soma.
Putri
Manja masih terisak dalam pelukan
Siluman
Ular Putih. Hatinya nyeri sekali melihat
gurunya
terluka parah. Namun, toh akhirnya si
gadis
mau juga melepaskan pelukannya.
"Soma!
Hati-hatilah! Tua bangka itu lihai
sekali!"
ingat Putri Manja, bernada khawatir.
"Aku
tahu, Putri. Tua bangka itu memang
lihai,"
jawab Siluman Ular Putih dengan senyum.
Habis
menjawab. Soma segera melompat
bangun.
Selangkah demi selangkah didekatinya
tokoh
sesat berwajah mengerikan itu. Lima tom-
bak
di hadapan Pengasuh Setan, Siluman Ular
Putih
berhenti. Kedua telapak tangannya bertolak
pinggang.
"Tua
bangka brengsek! Kau selalu saja
membuat
onar di dunia persilatan. Hari ini aku
akan
memberimu pelajaran!" kata Soma, menud-
ing
Pengasuh Setan.
Pengasuh
Setan tertawa bergelak. Geli se-
kali
telinganya mendengar ucapan Siluman Ular
Putih.
Matanya berbinar-binar sampai keluar air
mata.
Setelah puas tawanya berhenti. Kilatan-
kilatan
sepasang matanya yang berwarna merah
saga
kini kembali mencorong beringas. Hidungnya
kembang
kempis tak tahan menahan amarah
yang
sudah mencapai ubun-ubun.
"Jangan
mimpi, Bocah. Hari ini pula aku
akan
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!
Jaga
nyawamu, Bocah!"
Tanpa
banyak cakap lagi Pengasuh Setan
segera
menerjang Siluman Ular Putih dengan ke-
dua
telapak tangan mengepal.
"Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Pengasuh Setan
melontarkan
jotosan ke tubuh Siluman Ular Pu-
tih.
Keras dan disertai tenaga dalam tingkat ting-
gi.
Untung
saja Siluman Ular Putih cukup
waspada.
Secepatnya kepalanya merunduk. Ke-
dua
telapak tangannya yang telah membentuk
kepala
ular segera menyelinap di antara serangan
Pengasuh
Setan.
"Hap!"
Sayang
sekali Pengasuh Setan dapat mem-
baca
gerakan lawan. Begitu Siluman Ular Putih
membalas
serangan, kaki kanannya tahu-tahu te-
lah
mengancam rahang.
"Uts...!"
Siluman
Ular Putih terperanjat. Namun
bukan
berarti harus kehilangan akal. Cepat digu-
nakannya
jurus 'Ular Kembar Mengejar Mangsa',
membuat
tubuhnya bisa berkelit bak seekor ular.
Sehingga,
tendangan Pengasuh Setan hanya men-
genai
tempat kosong.
Pada
saat inilah mendadak Siluman Ular
Putih
mengirimkan patukan tangan ke dada la-
wan.
Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss!
Desss!
Telak
sekali dua patukan tangan Siluman
Ular
Putih mendarat di dada lawan. Pengasuh Se-
tan
menggembor keras saat tubuhnya terjengkang
ke
belakang. Dadanya yang terkena patukan tan-
gan
tadi serasa mau jebol.
Pengasuh
Setan tidak terima. Amarahnya
yang
meluap membuatnya segera mengeluarkan
aji
'Tangkal Petir'. Seketika, kedua telapak tan-
gannya
telah berubah jadi merah menyala!
"Makanlah
aji ‘Tangkal Petir’-ku ini, Bocah!
Heaaa...!"
Pengasuh
Setan segera mendorongkan ke-
dua
telapak tangannya ke depan. Maka dua larik
sinar
merah menyala melesat dari kedua telapak
tangannya.
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih tidak gentar. Diam-
diam
telah disiapkannya pukulan tenaga 'Inti
Bumi'
untuk meredam serangan Pengasuh Setan.
Dan
dua tombak lagi serangan menghantam, se-
gera
kedua telapak tangannya didorong ke depan
disertai
tenaga dalam tinggi.
Blaaar!
Terdengar
satu ledakan hebat di udara saat
dua
kekuatan dahsyat bertemu. Bumi terguncang
keras
bagai terjadi gempa. Ranting-ranting pohon
berderak.
Sebagian hangus terbakar, sebagian
membeku
begitu terkena pengaruh kekuatan
dahsyat
tadi.
Sementara
tubuh Siluman Ular Putih dan
tubuh
Pengasuh Setan sama-sama terjengkang
jauh
ke belakang dengan wajah pucat. Ini semua
jelas
menandakan kalau tenaga dalam mereka
seimbang.
"Hup!"
Siluman
Ular Putih yang merasa kedudu-
kannya
lebih menguntungkan, tanpa membuang
waktu
segera meluruk cepat. Kedua telapak tan-
gannya
yang membentuk kepala ular kembali
mengancam
Pengasuh Setan. Kali ini sengaja
yang
dituju adalah bagian tubuh yang amat me-
matikan.
Yakni, ubun-ubun kepala!
"Ah...!"
Pengasuh
Setan tercekat. Sungguh disang-
ka
akan mendapat serangan demikian cepat dan
mendadak.
Kalau saja ada kesempatan, ingin ra-
sanya
ia melontarkan aji 'Tangkal Petir' di
saat
tubuh
Siluman Ular Putih masih melayang-layang
di
udara. Namun sayang, gerakan Siluman Ular
Putih
demikian cepat. Lelaki sesat ini hanya sem-
pat
melindungi ubun-ubun kepalanya dengan aji
'Tangkal
Petir' sebelum dua patukan tangan Si-
luman
Ular Putih mendarat telak.
Plak!
Plakkk!
Srat!
Srattt!
Seketika,
sekujur tubuh Pengasuh Setan
menyala
begitu dua telapak tangan Siluman Ular
Putih
mendarat telak di ubun-ubun kepalanya.
Meski
telah mengerahkan aji 'Tangkal Petir', tetap
saja
tubuhnya limbung ke samping. Bagian kepa-
lanya
yang terkena patukan seolah mau pecah.
Namun,
tidak membahayakan jiwanya.
Hal
ini saja sudah cukup membuat Penga-
suh
Setan murka. Ia tak sabar lagi untuk segera
menghabisi
Siluman Ular Putih. Maka untuk me-
wujudkan
niatnya hendak diarahkannya aji
'Panglipur
Setan'. Ia yakin sekali kalau hanya
dengan
ajian itu Siluman Ular Putih dapat dika-
lahkan.
Dalam
sekejap Pengasuh Setan cepat men-
jatuhkan
diri ke tanah. Lelaki ini segera duduk
bersila
dengan menangkupkan kedua telapak
tangan
di depan dada. Kedua bibirnya berkemik-
kemik
membaca mantera aji 'Panglipur Setan'.
Selang
beberapa saat, bibir yang berkemik-
kemik
telah mengeluarkan suara-suara aneh mi-
rip
suara makhluk-makhluk halus penghuni ku-
bur.
Begitu mendengar sang majikan telah ber-
tindak,
seketika itu juga tiga puluh anggota Pasu-
kan
Kumbang Neraka yang sejak tadi hanya ber-
diri
kaku di tempatnya segera riuh mengeluarkan
suara-suara
aneh, persis seperti yang dilakukan
Pengasuh
Setan!
Akibatnya,...
Sungguh
luar biasa. Siluman Ular Putih
merasakan
tenaga dalamnya seperti lenyap entah
ke
mana. Sekujur tubuhnya terasa lemas tak ber-
tenaga.
"Kenapa
tubuhku jadi lemah begini? Tena-
ga
dalamku pun seperti lenyap...?"
Keanehan
ajian 'Panglipur Setan' adalah,
tidak
berlaku bagi orang yang tidak dimaksud
oleh
Pengasuh Setan. Jadi bila Pengasuh Setan
mengarahkan
ajiannya pada lawan, orang lain
yang
ada di sekitar tempat itu tak terpengaruh.
Maka
itu sebabnya, mengapa Soma saat datang
ke
tempat ini tak terpengaruh oleh ajian
'Panglipur
Setan' yang ditujukan Pengasuh Setan
untuk
melenyapkan Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing,
Bayi Kawak, dan Putri Manja. Tapi kini, ajian
itu
diarahkan pada Siluman Ular Putih! Jelas,
pemuda
itu jadi blingsatan sendiri.
Sementara
itu di luar pertarungan, Pelukis
Sin-ting
Tanpa Tanding telah sadarkan diri. Lelaki
ini
langsung melihat, apa yang terjadi terhadap
Siluman
Ular Putih.
"Awas,
Bocah! Tua bangka itu telah menge-
luarkan
aji 'Panglipur Setan'!" teriak Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding cemas.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding sendiri tak
dapat
berbuat banyak. Akibat ajian itu tadi tu-
buhnya
menderita luka dalam amat parah. Bah-
kan
bisa jadi merenggut nyawa. Maka setelah ber-
teriak,
Pelukis Sinting Tanpa Tanding kembali
duduk
bersemadi tanpa terpengaruh oleh ajian
'Panglipur
Setan' yang ditujukan ke Siluman Ular
Putih.
Sementara
itu suara-suara aneh Pengasuh
Setan
yang ditingkahi suara-suara riuh ketiga pu-
luh
orang anggota Pasukan Kumbang Neraka ma-
kin
menggila saja. Bahkan tubuh Siluman Ular
Putih
terasa lumpuh!
Kini
keadaan benar-benar amat mengkha-
watirkan
bagi keselamatan Siluman Ular Putih. Di
luar
tempat pertarungan, tak henti-hentinya Putri
Manja
menghela napasnya berulang-ulang. Rasa
cemas
gadis manja itu benar-benar telah menca-
pai
ubun-ubun kepala. Berkali-kali ia berteriak
memperingatkan,
namun Siluman Ular Putih ma-
sih
mampu bertahan. Sebentar-sebentar murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu memalingkan ke-
pala
ke kanan dan kiri. Bukannya takut mengha-
dapi
aji 'Panglipur Setan' milik Pengasuh Setan,
melainkan
tengah sibuk mencari jalan keluar un-
tuk
menghadapinya.
"Keak!
Keakkk!"
Sambil
bersuara riuh ketiga puluh anggota
Pasukan
Kumbang Neraka terus berlari memutari
Siluman
Ular Putih. Lama kelamaan, kepala pe-
muda
itu pening, tapi Siluman Ular Putih tidak
menyerah
begitu saja. Diam-diam kekuatan ba-
tinnya
yang dipelajarinya dari Raja Penyihir mulai
dikerahkan.
Hasilnya,
tetap saja. Tak ada perubahan.
"Aneh!
Benar-benar aneh! Kenapa aku tak
dapat
memunahkan pengaruh suara-suara riuh
ini?"
gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
"Sekaranglah
kau saatnya modar di tan-
ganku,
Bocah! Hea...!"
Berbareng
teriakan nyaring, tiba-tiba Pen-
gasuh
Setan menghentakkan kedua tangannya,
melepas
aji 'Tangkal Petir'. Seketika dua larik si-
nar
merah menyala melesat dari kedua telapak
tangannya
mengancam Siluman Ular Putih yang
tak
mungkin bisa menghindar dalam keadaan be-
gitu.
Akibatnya....
Desss!
Desss!
"Aaakh...!"
Siluman
Ular Putih menggembor setinggi
langit
saat dua sinar itu telah menghantam da-
danya.
Tubuhnya kontan terlempar jauh ke bela-
kang,
berputar-putar sebentar dan menghantam
batang
pohon.
Sebenarnya,
Siluman Ular Putih tadi ingin
sekali
memapak aji 'Tangkal Petir' milik Pengasuh
Setan.
Tapi bagaimana mungkin kalau tenaga da-
lamnya
seperti lenyap entah ke mana? Sekujur
tubuhnya
pun lemas tak bertenaga. Jangankan
untuk
mengerahkan tenaga dalam, untuk meng-
hindar
dari serangan saja tak sanggup.
Kini
Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Luka
dalam akibat pukulan Pengasuh Setan
membuatnya
jadi beringas. Hawa amarahnya be-
nar-benar
mulai mengubek-ubek ubun-ubun ke-
pala.
Saking
tak tahannya, mendadak sekujur
tubuh
Siluman Ular Putih dipenuhi asap putih ti-
pis.
Saat asap putih itu hilang tertiup angin, ma-
ka
seketika itu juga....
"Gggeeerrr...!"
10
"Siluman
Ular Putih keparat! Walaupun
kau
menjelma jadi ular putih raksasa, tetap saja
kau
tak dapat luput dari tangan
mautku!" desis
Pengasuh
Setan, sarat ancaman.
Pengasuh
Setan hanya tertawa meremeh-
kan
melihat lawannya telah berubah menjadi ular
raksasa
dengan badan sebesar pohon kepala.
Enak
sekali gayanya. Seolah-olah, ia telah me-
nang
dalam pertarungan. Sambil tetap duduk
bersila,
Pengasuh Setan terus mengerahkan aji
'Panglipur
Setan'. Dan dibantu suara-suara riuh
rendah
dari anggota-anggota Pasukan Kumbang
Neraka
membuat aji 'Panglipur Setan' makin he-
bat
menyerang Siluman Ular Putih.
"Gggeeerrr...!"
Siluman
Ular Putih menggereng murka.
Ekornya
dikibaskan ke sana kemari. Sepasang
matanya
yang mencorong tak henti-hentinya
mengamati
Pengasuh Setan seksama dan para
anggota
Pasukan Kumbang Neraka yang terus
mengeluarkan
suara-suara aneh sambil terus ber-
lari
memutarinya.
"Anak-anak!
Bantai ular jejadian satu ini!"
perintah
Pengasuh Setan dengan suara mengge-
muruh.
"Keak!
Keaaakkk!"
Suara
riuh rendah anggota Pasukan Kum-
bang
Neraka makin ramai terdengar. Pedang di
tangan
kanan berkilatan terjilat cahaya bulan.
Dan berbareng teriakan-teriakan bergemuruh,
Pasukan
Kumbang Neraka mulai menerjang Si-
luman
Ular Putih.
Sementara
sambil tetap bersila Pengasuh
Setan
tak kalah ganas menghentakkan kedua te-
lapak
tangannya yang berwarna merah menyala
ke
arah Siluman Ular Putih. Seketika dua larik
sinar
merah menyala meluruk dari kedua telapak
tangannya
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali kedua sinar itu menghantam,
membuat
Siluman Ular Putih menggereng hebat.
Tubuhnya
oleng ke samping. Pada saat yang sa-
ma,
berpuluh-puluh mata pedang pasukan berke-
lebat
menyerang pula.
Crakkk!
Crakkk!
Siluman
Ular Putih menggeliat hebat. Ba-
cokan-bacokan
Pasukan Kumbang Neraka sedikit
pun
tak dapat melukai tubuhnya yang putih. De-
mikian
juga pukulan aji 'Tangkal Petir' milik Pen-
gasuh
Setan tadi!
Memang,
itulah salah kehebatan Siluman
Ular
Putih. Bila telah menjelma menjadi seekor
ular
putih raksasa tubuhnya akan menjadi kebal
terhadap
segala macam senjata pusaka maupun
terhadap
berbagai macam pukulan mematikan.
Lebih
hebatnya lagi, ternyata Siluman Ular Putih
sama
sekali tidak terpengaruh oleh suara-suara
aneh
yang terus didengungkan Pengasuh Setan
dan
ketiga puluh anak buahnya.
Kenyataan
ini tak luput dari pengamatan
Pengasuh
Setan, sehingga membuatnya terheran-
heran.
Sungguh, ia tak percaya melihat keheba-
tan
Siluman Ular Putih.
"Keparat!
Kau tetap tidak akan luput dari
tangan
mautku, Siluman Ular Putih! Jangan diki-
ra
aku tak dapat mengalahkanmu!"
Pengasuh
Setan membentak penuh kema-
rahan.
Sulit sekali membayangkan kemarahannya
saat
ini. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Gigi-
gigi
bergemeletukkan. Ini jelas menandakan kalau
tokoh
sesat dari puncak Gunung Sindoro tak in-
gin
tanggung-tanggung lagi.
"Gggeeerrr...!"
Tapi
mendadak Siluman Ular Putih telah
lebih
dulu menerjang ke depan. Taringnya yang
runcing
siap memangsa siapa saja yang berada di
depannya.
Sementara, kibasan-kibasan ekornya
siap
pula meremukkan siapa saja yang ada di de-
katnya.
"Keak!
Keaaakkk!"
Dan
tanpa mengenai rasa takut sedikit
pun,
Pasukan Kumbang Neraka malah menyam-
but
serangan Siluman Ular Putih. Pedang di tan-
gan
kanan mereka tak henti-hentinya menyambar
tubuh
ular raksasa itu.
Kresss!
Mulut
besar Siluman Ular Putih berhasil
mencengkeram
salah satu anggota Pasukan
Kumbang
Neraka. Dilumatnya tubuh itu hingga
hancur
berkeping-keping, bahkan langsung ter-
bakar.
Tanpa
mempedulikan api di mulutnya
kembali
Siluman Ular Putih mencari mangsa lain.
Seperti
korban pertama, tubuh seorang anggota
Pasukan
Kumbang Neraka yang tertangkap segera
dilumatnya
hingga terbakar.
"Gggeeerrr...!"
Sepasang
mata Siluman Ular Putih menco-
rong
tajam siap mencari mangsa lain. Kepalanya
digerak-gerakkan
sedemikian rupa, mungkin me-
rasa
heran atas kejadian di depan matanya. Na-
mun
hal itu bukan berarti Siluman Ular Putih
bertindak
sampai di situ. Malah dengan kecepa-
tan
mengagumkan tubuhnya kembali meluruk.
Baik
terkaman maupun kibasan-kibasan ekornya
kembali
mencari korban hingga tubuh anggota-
anggota
Pasukan Kumbang Neraka tercerai-berai
dan
kontan terbakar.
Bukan
main!
Andai
saja Siluman Ular Putih tidak dapat
mengatasi
sepak terjang Pengasuh Setan dan pa-
sukannya,
bukan mustahil dunia persilatan akan
mendapat
bencana besar. Siapa yang dapat me-
nandingi
Pengasuh Setan dan pasukannya?
Mungkin
tidak ada! Inilah yang diam-diam men-
gusik
hati Siluman Ular Putih, juga mengusik hati
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Dan kini lelaki tua
berjubah
kuning kedodoran itu terus saja asyik
mengikuti
jalannya pertarungan di hadapannya
dengan
seksama.
"Tak
percuma rupanya kau mendapat gelar
Siluman
Ular Putih, Bocah. Tubuhmu pun ternya-
ta
ke-bal. Bagus-bagus! Senang sekali aku men-
dapat
lawan imbang begini!" teriak Pengasuh Se-
tan,
pongah. Walau dalam hatinya cemas meng-
hadapi
kehebatan Siluman Ular Putih, tapi seba-
gai
seorang tokoh sakti dunia persilatan jelas ha-
tinya
amat senang menghadapi lawan seimbang
"Gggeeerrr,..!"
Entah
kenapa Siluman Ular Putih diam tak
bergerak
di tempatnya. Sepasang matanya yang
mencorong
seolah menerawang jauh ke depan.
Meski
berbentuk seekor ular, pada dasarnya itu
perwujudan
dari seorang manusia biasa yang
mempunyai
akal pikiran. Begitu melihat ketang-
guhan
Pengasuh Setan dan pasukannya, tak
urung
juga membuat Siluman Ular Putih berpikir
untuk
mencari cara menemukan kelemahan la-
wan.
Sementara
terus berpikir, sengaja Siluman
Ular
Putih membiarkan tubuhnya jadi sasaran
empuk
serangan-serangan Pasukan Kumbang Ne-
raka
yang tersisa maupun serangan-serangan
Pengasuh
Setan. Sepenuhnya ular raksasa ini
percaya
kalau tubuhnya kebal. Maka kesempatan
itu
dimanfaatkan untuk terus berpikir hingga ak-
hirnya....
"Gggeeerrr...!"
Mendadak
sosok ular putih raksasa itu te-
lah
dipenuhi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya
bayangannya
tidak kelihatan sama sekali. Dan
ketika
uap tipis itu sirna tertiup angin, yang tam-
pak
kali ini adalah seorang pemuda gondrong
berpakaian
putih keperakan. Itulah sosok Soma
yang
kini tahu-tahu telah memegang senjata pu-
sakanya.
Soma
berdiri di antara kerumunan Penga-
suh
Setan dan sisa anggota Pasukan Kumbang
Neraka
yang menghentikan serangan saat tubuh
Siluman
Ular Putih tertutup asap tadi. Tampak
santai
sekali sikap murid Eyang Begawan Kama-
setyo
kali ini. Sebaris senyum nakal tersungging
di
bibirnya.
"Tolol!
Kenapa cara ini baru muncul seka-
rang?!
Bukankah kekuatan Pengasuh Setan ju-
stru
terletak pada suara-suara aneh yang keluar
dari
mulutnya maupun mulut para anak buah-
nya?
Sudah jelas kalau suara-suara aneh itu
mengandung
kekuatan gaib yang hebat bukan
main.
Kenapa aku tidak segera menghadapi kehe-
batan
mereka dengan senjata andalanku ini. Bu-
kankah
Eyang Begawan Kamasetyo pernah berka-
ta
kalau senjata andalanku ini pun mampu men-
gatasi
serangan-serangan tenaga gaib?
Tenaga-tenaga
yang bersumber dari segala
macam
setan atau ilmu arwah-arwah gentayan-
gan?
Ah...! Bodohnya aku!"
Sejenak
Siluman Ular Putih masih terman-
gu-mangu
di tempatnya. Soma kini seolah baru
saja
bangun dari mimpi buruk. Dan begitu Pen-
gasuh
Setan dan pasukannya kembali bertindak...
Tuuut....Tut...tulittt...!
Tanpa
membuang-buang waktu lagi Silu-
man
Ular Putih segera meniup senjata andalan-
nya.
Mula-mula perlahan saja. Selang beberapa
saat,
tiupan senjata anak panah yang sekaligus
juga
berupa sebuah suling itu berubah jadi
menghentak-hentak!
Akibatnya.....
Seketika
Pengasuh Setan dan sisa-sisa pa-
sukannya
berteriak kalap. Mata mereka membe-
liak
lebar, seolah melihat malaikat maut di depan
mata.
"Kaaakh...
kaaakh...!"
Selang
beberapa saat, teriakan-teriakan
anggota
Pasukan Kumbang Neraka dan Pengasuh
Setan
terdengar makin mengerikan. Mirip suara-
suara
aneh makhluk-makhluk halus penghuni
kubur
yang tengah sekarat menghadapi maut.
Hingga
akhirnya....
Blaaammm...!
Mendadak
terdengar satu ledakan hebat di
udara.
Bumi laksana diguncang prahara. Bersa-
maan
dengan itu tubuh anggota-anggota Pasukan
Kumbang
Neraka luruh ke tanah, tak dapat ban-
gun
lagi. Hanya Pengasuh Setan sajalah yang ma-
sih
terus berteriak-teriak mengerikan.
Siluman
Ular Putih tak mempedulikannya.
Senjata
andalannya terus saja ditiup.
Pretak!
Pretak!
Perlahan-lahan
tubuh Pengasuh Setan mu-
lai
menyala. Mula-mula hanya diselimuti kobaran
api
tipis. Tapi sejurus kemudian kobaran api itu
makin
menjadi-jadi. Teriakan-teriakan Pengasuh
Setan
pun makin menggila. Bahkan kini berlari-
lari
kalap ke sana kemari. Lalu.....
Blaaam!
Tubuh
Pengasuh Setan mendadak hancur
kali
ini. Ledakan dahsyat dari dalam jasadnya
membuat
anggota tubuhnya tercerai-berai. Tewas
seketika
itu juga.
Semua
yang berada di tempat pertarungan
terheran-heran
dibuatnya. Sungguh sulit dimen-
gerti.
Ternyata dengan cara itulah Pengasuh Se-
tan
menemui ajal!
Sedangkan
Siluman Ular Putih sendiri se-
makin
mengagumi senjata andalannya. Sejenak
senjata
pusaka itu ditimang-timang, lalu dis-
usupkan
ke balik jubahnya.
***
Pada
saat Pengasuh Setan tewas....
Mendadak
kawah di puncak Gunung Sin-
doro
bergolak hebat. Angin badai seolah-olah in-
gin
memporak-porandakan apa saja yang ada di
puncak.
Sementara
pada saat itu Maling Tanpa
Bayangan
terus menahan gempuran Telapak Ga-
jah
dan burung hantu raksasa bernama Meruya.
Maka
melihat perubahan alam yang mendadak
hatinya
langsung tersaput keheranan. Dan kehe-
ranannya
makin bertambah saat melihat tubuh
burung
hantu raksasa itu mendadak jadi terba-
kar!
Menggelepar-gelepar sebentar, lain luruh ke
tanah
dengan tubuh hangus!
Demikian
pula yang terjadi pada Telapak
Gajah.
Mungkin karena saking tidak tahan me-
nahan
getaran-getaran tenaga gaib dalam tubuh-
nya
yang ingin meronta keluar, membuat tubuh
Telapak
Gajah luruh ke tanah dengan tubuh han-
gus
terbakar!
Melihat
para penyerangnya telah menemui
ajal,
tanpa mempedulikan gejolak alam yang ten-
gah
murka, Maling Tanpa Bayangan bergegas
berkelebat
ke sana kemari mencari Kitab Paguyu-
ban
Setan yang sangat diidamkan.
Mungkin
karena sudah suratan takdir, ru-
panya
nasib baik berpihak pada Maling Tanpa
Bayangan.
Di saat tengah menuju batu besar
tempat
Pengasuh Setan biasa duduk di situ, se-
pasang
matanya jadi berbinar-binar.
Ternyata
kitab yang sangat diidam-
idamkan
itu disembunyikan di balik bongkahan
batu
besar di tengah-tengah lautan pasir puncak
Gunung
Sindoro. Mungkin karena guncangan ke-
ras
bagai gempa bumi, mengakibatkan batu itu
bergeser.
Maka tampaklah kitab yang diidamkan
Maling
Tanpa Bayangan dan juga tokoh-tokoh
dunia
persilatan lain!
Bukan
main girangnya hati Maling Tanpa
Bayangan
saat itu. Matanya kontan membelalak
lebar.
Segera diambilnya kitab yang diyakininya
dapat
mengalahkan Siluman Ular Putih. Lantas
bencana
apa yang bakal terjadi lagi...?
SELESAI
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Juru
Edit: Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon