8
Siluman Ular
Putih melengak kaget. Di hadapan-
nya kini
telah berdiri tegak Penguasa Alam yang mena-
tap beringas
dengan sinar mata berkilatan.
Soma hanya
tersenyum. Sedikit pun hatinya tidak
gentar
menghadapi kehebatan Penguasa Alam.
"Kukira
aku pun harus berkata demikian. Kaulah
giliranku
berikutnya. Sekarang, tunjukkan letak harta
karun
itu," ujar Siluman Ular Putih.
"Setan
alas! Jadi, kau pun menginginkan harta
karun itu,
Bocah?!" teriak Penguasa Alam garang.
"Bukan.
Tepatnya, bukan aku. Aku hanya ingin
mengembalikan
harta karun itu pada Kanjeng Adipati
Pleret."
"Bagus!
Kalau begitu majulah! Aku tak sabar lagi
untuk segera
meremukkan batok kepalamu, Bocah!"
dengus
Penguasa Alam sengit.
Lelaki
bertubuh raksasa ini segera memutar-
mutar gada
besi kuning di tangan kanannya, mencip-
takan angin
kencang yang menyambar-nyambar kulit
tubuh Siluman
Ular Putih.
Soma makin
meningkatkan kewaspadaan. Ia tahu,
Penguasa Alam
amat sakti. Untuk itu segera dikelua-
rkannya jurus
andalan ‘Terjangan Maut Ular Putih’ be-
gitu serangan
Penguasa Alam meluncur datang.
"Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Penguasa Alam men-
gayunkan gada
di tangan kanannya dari samping ka-
nan.
Sementara, kaki kanannya pun siap pula men-
gancam iga
Siluman Ular Putih.
"Hup...!"
Siluman Ular
Putih sedikit merundukkan kepala.
Kemudian
dengan gerakan cepat sekali dihindarinya
tendangan
kaki Penguasa Alam, menggulingkan tu-
buhnya sambil
bergerak demikian kedua tangannya
melepas
patukan-patukan dahsyat.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali
Soma bisa mendaratkan patukan di
paha Penguasa
Alam dua kali. Namun anehnya, justru
telapak
tangannya yang merasa kesemutan. Kedua te-
lapak
tangannya tadi seolah membentur tembok baja
yang kuat
sekali. Jangankan meremukkan tulang pa-
ha. Membuat
lecet kulit tubuhnya pun tidak. Malah
sekujur tubuh
Penguasa Alam kini menyala. Dan he-
batnya lagi,
Siluman Ular Putih merasakan satu geta-
ran hebat
saat Penguasa Alam balik menyerang.
Siluman Ular
Putih meraung keras. Buru-buru
tubuhnya dibuang
ke samping. Tanpa sadar, keringat
dingin telah
membasahi sekujur tubuhnya.
"Jangkrik!
Tak kusangka tubuh Penguasa Alam
mampu
mengeluarkan satu getaran hebat yang mam-
pu menyedot
tenaga lawan! Hm...! Aku harus berhati-
hati sambil
terus mencari titik kelemahannya...," gu-
mam murid
Eyang Begawan Kamasetyo dalam hati.
Penguasa Alam
tertawa bergelak. Wajahnya tam-
pak demikian
garangnya.
"Jangankan
bocah ingusan macam kau! Sepuluh
orang gurumu
disuruh maju sekali pun, aku masih
sanggup
menghadapi!" ejek Penguasa Alam. Saat itu
pula gada di
tangan kanannya diayunkan kesana ke-
mari seirama
gerakan tubuh Siluman Ular Putih yang
terus
berlompatan menghindar.
Diam-diam
Siluman Ular Putih mengeluh dalam
hati. Rasanya
ia makin kesulitan menghindari gempu-
ran-gempuran
Penguasa Alam yang kian mengganas.
Apalagi untuk
menemukan titik kelemahannya. Silu-
man Ular
Putih kini benar-benar kewalahan bukan
main. Entah
sudah berapa kali tubuhnya dibuat jatuh
bangun oleh
amukan gada di tangan Penguasa Alam.
"Modar!
Makanlah, gadaku ini, Bocah!"
Wuttt...!
Tiba-tiba
Penguasa Alam mengayunkan gada dari
samping
dengan menggunakan gerak tipu yang bagus
sekali. Soma
yang mengira lelaki tinggi besar itu akan
menendang
tubuhnya, mendadak terperangah kaget
ketika
melihat gada yang meluruk begitu cepat. Silu-
man Ular
Putih berusaha menghindar sebisa mungkin.
Tapi sayang
gerakannya terlambat. Maka tanpa ampun
lagi....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Siluman Ular
Putih memekik dahsyat. Kepalanya
kontan
terdongak akibat hantaman gada Penguasa
Alam pada
bagian punggungnya. Karena tidak tahan
lagi,
tubuhnya pun kontan jatuh bergulingan.
Penguasa Alam
terus mengejar dengan sabetan-
sabetan gada
di tangan. Hantaman-hantaman gadanya
yang tak
menemui sasaran hanya membuat tanah di
puncak Gunung
Kembang berhamburan tinggi di uda-
ra. Namun itu
tidak digubrisnya. Tubuhnya terus saja
berkelebat
mengejar Siluman Ular Putih dengan ayu-
nan gadanya.
"Sontoloyo!
Kalau begini terus caranya aku bisa
cepat
modar!" keluh murid Eyang Begawan Kamasetyo
kebingungan
melihat kesaktian Penguasa Alam.
Namun untuk
beberapa saat Siluman Ular Putih
masih sanggup
bertahan dengan terus bergulingan
menghindar.
Hingga pada
satu kesempatan, akhirnya Siluman
Ular Putih
dapat keluar dari tekanan-tekanan seran-
gan-serangan
Penguasa Alam. Dan saat itu pula, sege-
ra
dikeluarkannya senjata andalan yang berupa Anak
Panah
Bercakra Kembar.
Sesuai
namanya, senjata pemberian Eyang Bega-
wan Kamasetyo
itu memang berupa anak panah. Na-
mun bentuknya
tidaklah lazim seperti anak panah ke-
banyakan.
Bagian ujung runcingnya melengkung ke
atas,
membentuk kepala ular yang di kanan-kirinya
terdapat dua
cakra kembar terbuat dari baja murni.
Sedang pada
bagian batang anak panah, hampir se-
muanya
berbentuk badan ular yang dihiasi beberapa
lubang mirip
lubang suling.
Dan begitu
Siluman Ular Putih mengerahkan te-
naga dalam,
mendadak sekujur tubuhnya terasa jadi
ringan
sekali. Tenaga dalamnya pun bertambah bebe-
rapa kali
lipat!
"Kau
memang hebat, Penguasa Alam! Tak percu-
ma kau
menyandang gelar itu. Tapi sayang, kela-
kuanmu
bobrok! Kau rampas kekayaan kadipaten
hanya untuk
kepentingan pribadi! Sungguh memalu-
kan sikapmu
ini, Penguasa Alam!" ejek Siluman Ular
Putih begitu
mendapatkan kesempatan mencari napas.
Pemuda ini
kini telah siap menanti serangan.
"Jangan
banyak bacot! Kematian sudah di depan
mata, pakai
berkhotbah lagi!" hardik Penguasa Alam.
Gada besi
kuning di tangan kanan Penguasa Alam
kembali bergerak-gerak
mengerikan siap menghantam
tubuh lawan.
Dan kini Siluman Ular Putih tak segan-
segannya
untuk segera mengeluarkan jurus 'Ular
Kembar
Mengejar Mangsa'. Kedua telapak tangannya
pun kini
telah berubah jadi merah menyala penuh te-
naga ‘Inti Api’
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu, Bocah! Kau
tetap tidak
akan mampu mengalahkanku!" ejek Pengu-
asa Alam.
Habis
mengejek, Penguasa Alam segera menge-
rahkan
kekuatan tenaga dalamnya setinggi mungkin,
hingga
membuat otot-otot lehernya bertonjolan. Maka-
seketika
tangan kirinya telah berubah jadi kuning den-
gan bau busuk
menusuk hidung.
"Kau
lihat pukulan apa ini, Bocah? Dengan puku-
lan 'Belatung
Kuning' inilah aku akan membuat nya-
wamu
meregang! Hea...!"
Diiringi
teriakan nyaring, Penguasa Alam segera
mendorongkan
telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat
selarik sinar kuning dari telapak tangan
kirinya.
Siluman Ular
Putih sendiri pun tidak mau tang-
gung-tanggung
lagi. Begitu melihat datangnya seran-
gan, segera
dilontarkannya senjata anak panahnya ke
depan.
Bersamaan itu, segera pula dilepaskannya pu-
kulan tenaga
'Inti Api' untuk memapak.
Wesss! Wesss!
Blaammm...!
"Aaakh...!"
Siluman Ular
Putih memekik menyayat. Tubuhnya
kontan
terpental ke belakang akibat bentrokan tadi.
Seketika
parasnya berubah seperti kapas pertanda
mengalami
luka dalam.
Sementara,
melihat lesatan anak panah yang
mendahului
serangan Siluman Ular Putin tadi, Pengu-
asa Alam
hanya tertawa bergelak. Apalagi, ketika meli-
hat hasil
serangannya barusan. Dan dengan sedikit
menggerakkan
gada di tangan kanan, senjata anak
panah Siluman
Ular Putih pun melenceng ke samping.
"Bocah
bau kencur! Terimalah kematianmu hari
ini!"
Sambil
tertawa bergelak, Penguasa Alam siap me-
remukkan
batok kepala Siluman Ular Putih dengan
gada di
tangan. Sedikit pun tidak dipedulikannya kea-
daan sekitar.
Padahal, saat itu senjata Anak Panah
Bercakra
Kembar yang tadi melenceng kini telah me-
mutar balik.
Bahkan kembali menyerang tubuh Pen-
guasa Alam
dengan kecepatan luar biasa!
Di tempatnya,
Siluman Ular Putih sudah terlihat
parah. Sulit
rasanya menghindari hantaman gada di
tangan
Penguasa Alam. Apalagi dalam jarak demikian
hebat. Namun
ketika dilihatnya senjata Anak Panah
Bercakra
Kembar kembali menyerang Penguasa Alam,
diam-diam
murid Eyang Begawan Kamasetyo ini gem-
bira bukan
main.
Clap!
Seperti yang
diduga, senjata anak panah Siluman
Ular Putih
ternyata memang menancap di punggung
Penguasa
Alam. Namun lagi-lagi satu hal aneh terjadi.
Tubuh
Penguasa Alam langsung menyala begitu pung-
gungnya
terhantam. Sedangkan Anak Panah Bercakra
Kembar
kembali terpental balik. Siluman Ular Putih
benar-benar
tidak habis pikir melihat senjata pusa-
kanya tidak
mampu menembus kulit tubuh Penguasa
Alam.
"Edan!
Tak kusangka demikian hebatnya aji
'Tangkal
Petir' milik Penguasa Alam! Mungkin hanya
dengan ajian
'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku
dapat
menundukkannya...," puji Soma dalam hati se-
raya
menangkap kembali senjata pusakanya yang ter-
pental ke
arahnya.
Selang
beberapa saat, tiba-tiba sekujur tubuh mu-
rid Eyang
Begawan Kamasetyo, telah diselimuti asap
putih tipis.
Sehingga kini bayangan tinggi kekarnya ti-
dak kelihatan
sama sekali! Dan ketika asap putih tipis
yang
menyelimuti tubuh Soma hilang tertiup angin,
maka seketika
itu....
"Ggggeeerrr...!”
***
Sepasang mata
merah milik Penguasa Alam kon-
tan
berkilat-kilat penuh keheranan. Ternyata, sosok
murid Eyang
Begawan Kamasetyo kini telah menjelma
menjadi
seekor ular putih sebesar pohon kelapa den-
gan
taring-taringnya yang mengerikan!
"Si...
Siluman Ular Putih...!" desis Penguasa Alam
penuh takjub.
Namun,
keterkejutan Penguasa Alam hanya se-
bentar.
Setelah dapat menguasai perasaan, tawanya
pun
berkumandang.
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu, Bocah! Se-
dikit pun aku
tidak gentar menghadapi ular jejadian-
mu!"
leceh Penguasa Alam.
Ular raksasa
di hadapan Penguasa Alam mengi-
bas-ngibaskan
ekornya kesana kemari, membuat de-
bu-debu
beterbangan. Sedang sepasang matanya yang
mencorong
terus memperhatikan Penguasa Alam ta-
jam.
"Ggggeeerrr...!!!"
Tiba-tiba
ular putih jelmaan Soma mengeluarkan
gerengan
hebat yang menggetar-getarkan puncak Gu-
nung Kembang.
Lalu seketika sosok panjangnya mele-
sat cepat
menerjang.
Wesss!
Angin kencang
berkesiur menyambar-nyambar
kulit tubuh
Penguasa Alam ketika mulut Siluman Ular
Putih
menganga lebar, menampakkan langit-langit mu-
lutnya yang
berwarna merah semangka. Taring-
taringnya
yang berkilauan tampak demikian mengeri-
kan, seolah
siap memangsa tubuh Penguasa Alam. Be-
lum lagi
kibasan-kibasan ekornya yang mampu meme-
cahkan batu
sebesar gajah!
Melihat
datangnya serangan, Penguasa Alam
hanya
mendengus. Secepatnya tubuhnya sedikit diges-
er ke
samping. Dan tiba-tiba, gada di tangannya
menghantam
tubuh ular raksasa itu.
Bukkk! Bukkk!
Dua kali gada
di tangan Penguasa Alam mendarat
telak.
Siluman Ular Putih menggeliat hebat sebelum
akhirnya
jatuh berdebam ke tanah. Debu-debu kontan
membubung
tinggi, menutupi sebagian sosok ular rak-
sasa itu.
"Ha ha
ha...!"
Penguasa Alam
kembali mengumbar suara tawa.
Namun
mendadak terhenti kala melihat sepasang mata
mencorong
berwarna merah menyala milik Siluman
Ular Putih
yang demikian mengerikan di balik gulun-
gan debu yang
membubung tinggi! Dan belum sempat
lelaki tinggi
besar itu bertindak, tahu-tahu sosok pan-
jang Siluman
Ular Putih kembali menerjang hebat dis-
ertai kibasan
ekornya.
Bukkk!
Seketika
tubuh Penguasa Alam menyala meski
sempat
terbanting keras ke tanah. Namun sedikit pun
ia tidak
mengalami luka berarti! Malah sebaliknya, Si-
luman Ular
Putih-lah yang meraung hebat seolah-olah
ingin memecah
angkasa raya! Sosoknya yang besar
panjang pun
tampak bergetar hebat, merasakan geta-
ran aneh yang
datangnya dari dalam tubuh Penguasa
Alam!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman Ular
Putih mengibas-ngibaskan ekornya
demikian
rupa. Lalu kembali diterjangnya Penguasa
Alam hebat.
Seperti biasa, ekornya pun digerakkan
demikian
rupa. Namun kali ini gerakannya bukan lagi
ingin
menghantam, melainkan ingin melibat tubuh
Penguasa
Alam.
Plekkk!
Tubuh
Penguasa Alam kini terlilit tubuh meman-
jang Siluman
Ular Putih. Semakin lama lilitannya ma-
kin mengencang.
Sementara moncongnya yang men-
ganga lebar
tak ampun lagi segera mencaplok kepala
Penguasa
Alam!
Krakkk!
Telak sekali
taring-taring runcing Siluman Ular
Putih melumat
kepala Penguasa Alam. Namun apa
yang terjadi
berikutnya sungguh membuat Siluman
Ular Putih
mengejang hebat. Kilatan cahaya merah da-
ri tubuh
Penguasa Alam langsung masuk ke dalam tu-
buh ular
raksasa ini.
"Grrr...!"
Siluman Ular
Putih menggereng laksana terkena
sambaran
kilat. Perlahan-lahan tubuhnya melorot.
Dan begitu
menyentuh tanah, seketika sosok panjang
Siluman Ular
Putih itu pun kembali diselimuti asap
putih tipis,
sehingga bayangannya tidak kelihatan sa-
ma sekali!
Untuk
beberapa saat, Penguasa Alam hanya me-
mandangi
Siluman Ular Putih dengan kewaspadaan
tinggi. Gada
besi kuning di tangan kanannya digeng-
gam
erat-erat, siap menghadapi kemungkinan yang
bakal
terjadi. Dan seketika sikap tegang Penguasa
Alam sirna
saat samar-samar dari bidik asap putih ter-
lihat sesosok
pemuda berambut gondrong dengan pa-
kaian rompi
dan celana bersisik warna putih kepera-
kan. Ya, Soma
kini tengah menggeletak tak berdaya!
Pingsan!
Penguasa Alam
tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak ke
atas memandang angkasa raya. Bulan sepo-
tong tampak
bersembunyi di balik awan hitam, seolah
takut
menghadapi apa yang akan terjadi.
"Ha ha
ha...! Rupanya tidak percuma aku menda-
pat gelar
Penguasa Alam! Siapa berani bertindak lan-
cang padaku,
berarti mati!" teriak Penguasa Alam ber-
gema di
angkasa raya. Tampak dadanya bergerak tu-
run naik
dengan kedua tangan saling bertolak ping-
gang. Pongah
sekali sikapnya.
Selang
beberapa saat, Penguasa Alam kembali
memandangi
tubuh pemuda gondrong di hadapannya
dengan
seksama. Entah kenapa, mulutnya menggerutu
kesal. Lalu
dengan lagak pongah, segera diangkatnya
gada besi
kuningnya tinggi-tinggi.
"Terimalah
kematianmu hari ini, Bocah! Heaaa...!"
Bummm...!
Tanah dan
debu di puncak Gunung Kembang kon-
tan
terbongkar ke udara! Bagian yang terkena hanta-
man gada
langsung berlubang besar!
Namun anehnya
di dasar kubangan itu tidak
nampak lagi
sosok tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo yang
terkapar tak berdaya. Kecuali, hanya
gundukan-gundukan
pasir!
Bukan main
murkanya Penguasa Alam melihat ca-
lon korbannya
hilang tak berbekas. Ia tadi memang
sempat
melihat selarik sinar putih menggulung tubuh
Siluman Ular
Putih, sebelum gadanya menghantam.
Namun betapa
terkejutnya saat gadanya hanya meng-
hantam tanah!
"Setan
alas! Siapa berani bermain gila dengan
Penguasa
Alam, he?!"
***
9
Sepasang mata
Penguasa Alam merah menyala
berkilat-kilat
penuh kemarahan menjilati sosok yang
kini tegak di
hadapannya yang telah menyelamatkan
Siluman Ular
Putih. Entah dengan menggunakan ilmu
apa, ia tidak
tahu.
Sosok di
hadapan Penguasa Alam adalah seorang
lelaki tua
renta berambut panjang memutih sebahu.
Tubuhnya
kurus kering seakan tak bertenaga. Pa-
kaiannya
hanya berupa kain putih panjang yang hanya
diselempangkan
begitu saja. Namun menilik sepasang
matanya yang
mencorong, entah kenapa Penguasa
Alam jadi
ciut nyalinya!
"E....
Eyang.... Bromo!" desis Penguasa Alam, seo-
lah tak
percaya dengan penglihatannya.
Sosok tua
berpakaian kain putih yang dipanggil
Eyang Bromo
hanya mengangguk-angguk, lalu meng-
geleng-gelengkan
kepala. Kedua bibirnya berkemik-
kemik
seolah-olah tidak mempedulikan Penguasa
Alam.
Apalah
artinya sebuah nama, kalau kita tak dapat
menjaga
harkat dan martabat.
Sebagaimana
semestinya gunung dan lautan yang
selalu tegak
pasrah menerima kodrat..
Lalu kenapa
anak manusia mesti berlaku pongah!
Bukan main
murkanya Penguasa Alam mendengar
sindiran
lelaki tua yang merupakan tokoh nomor satu
di dunia
persilatan yang jarang sekali menampakkan
diri. Dan
konon bila Eyang Bromo telah menampakkan
diri di dunia
persilatan bakal gempar! Semua orang
dunia
persilatan percaya ini. Termasuk juga Penguasa
Alam.
"Eyang
Bromo...! Di antara kita tidak ada silang
sengketa!
Kenapa hari ini kau mencampuri urusanku,
he?!" bentak Penguasa Alam berusaha menutupi ke-
gentarannya.
Eyang Bromo
hanya tersenyum arif. Sedikit pun
tidak
tersinggung mendengar bentakan Penguasa Alam
barusan.
"Rasa
welas asih seseorang tidak akan membiar-
kan orang
berlaku semena-mena. Kekuasaan mutlak
adalah ada
pada Yang Maha Tunggal. Kenapa kau
hendak
membunuh musuhmu yang tidak berdaya?"
ucap Eyang
Bromo arif.
"Bedebah!
Bicaramu kedengarannya enak di telin-
ga. Tapi,
tetap saja kau ingin mencampuri urusanku!
Apa kau pikir
aku takut menghadapimu, he?!" bentak
Penguasa
Alam.
"Tidak
semestinya kau takut pada sesamamu. Me-
lainkan,
takutlah pada apa yang kau perbuat di muka
bumi! Kukira
kau sudah cukup malang melintang di
dunia
persilatan. Kenapa kau tidak cepat-cepat kem-
bali pada kiblatmu?"
tegur Eyang Bromo halus.
"Setan
alas! Bicaramu terlalu petitak-petitik,
Orang Tua!
Aku jadi ingin melihat, apakah ilmu silat-
mu juga
selihai lidahmu, he?! Rasakan gada besiku!
Heaa...!"
Disertai
bentakan keras, Penguasa Alam segera
mengangkat
gadanya tinggi-tinggi. Lalu dengan kekua-
tan tenaga
dalam penuh, tiba-tiba gada di tangan ka-
nannya
dihantamkan keras ke tubuh Eyang Bromo
yang sama
sekali tak bergerak menghindar. Sehingga...
Blesss!
Telak sekali
gada di tangan Penguasa Alam meng-
hantam dada
Eyang Bromo. Namun anehnya, sedikit
pun Eyang
Bromo tidak mengalami cedera! Pukulan
gada besi
kuning Penguasa Alam seolah menghantam
gundukan
kapas yang teramat lembut.
Penguasa Alam
melotot tak percaya dengan hati
cemas bukan
main. Keringat dingin mulai membasahi
kening. Dan
lebih hebatnya lagi, perlahan-lahan tenaga
dalamnya
terus tersedot ke dalam tubuh Eyang Bromo.
Sehingga lama
kelamaan tubuhnya lemas tak bertena-
ga!
Kalau saja
Eyang Bromo menghendaki, bukan
mustahil
nyawa Penguasa Alam melayang saat itu ju-
ga. Untung
saja lelaki tua arif itu buru-buru menyam-
bar tubuh
Siluman Ular Putih. Seketika tubuhnya ber-
kelebat cepat
meninggalkan puncak Gunung Kembang.
Hanya dalam
beberapa kelebatan saja sosoknya telah
menghilang di
balik kegelapan malam!
Sejenak
Penguasa Alam diam membisu di tempat-
nya. Hanya
sepasang matanya yang berkilat-kilat me-
nyimpan bara
dendam.
"Keparat!
Kali ini terpaksa aku menerima penghi-
naanmu, Eyang
Bromo. Tapi, demi iblis! Aku bersum-
pah akan
menuntut balas penghinaanmu ini! Tunggu-
lah
pembalasanku, Eyang Bromo!" geram Penguasa
Alam dengan
geraham gemeletukkan menahan amarah
menggelegak.
***
Siluman Ular
Putih mengerjap-ngerjapkan kelopak
matanya
pedih. Cahaya matahari siang terasa teramat
menusuk bola
matanya.
"Ah...!
Di manakah aku ini? Bukankah semalam
aku...
pingsan sewaktu bertarung melawan Penguasa
Alam. Ah...!
Jangan-jangan memang aku sudah di
alam baka?
Tapi kenapa aku.... Augh...!"
Soma
buru-buru mendekap dadanya kuat-kuat.
Dadanya
tiba-tiba terasa nyeri bukan main sewaktu
mau beranjak
bangun.
"Ah...!
Rupanya aku masih di dunia! Tak mungkin
orang mati
dapat merasakan rasa nyeri demikian he-
bat!"
gerutu murid Eyang Begawan Kamasetyo dalam
hati
Selang
beberapa saat, perlahan-lahan si pemuda
mencoba
bangun. Dengan agak susah payah, akhirnya
Soma dapat
juga duduk bersila. Pertama-tama yang di-
lihatnya
adalah sebuah air terjun yang dikelilingi teb-
ing-tebing
curam dengan pohon-pohon rindang yang
batangnya
sebesar dua kali lingkaran tangan manusia
dewasa. Tak
jauh dari air terjun, tampak sesosok lelaki
tua renta
berkain putih panjang sebagai penutup tu-
buhnya. Ia
tengah khusuk bersemadi di atas batu pu-
tih pipih.
Rambutnya
yang panjang memutih dibiarkan ter-
gerai di
bahu. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik
sambil
memilin-milin tasbih di tangan kanannya.
"Pasti
orang tua itulah yang telah menyela-
matkanku.
Sebab tidak mungkin aku sampai di tempat
ini begitu
saja. Tapi... tapi.... Ah! Bukankah orang tua
itu Eyang
Bromo?" sentak murid Eyang Begawan Ka-
masetyo dalam
hati.
Siluman Ular
Putih terus memperhatikan sosok
tua di atas
batu pipih dekat air terjun.
"Ah,
iya! Kenapa aku jadi pikun begini?" gumam
Soma lagi
seraya menepuk jidatnya sendiri.
Perlahan-lahan
Soma mulai bangkit berdiri. Dide-
katinya
tempat Eyang Bromo bersemadi, lalu duduk
berlutut di
hadapannya.
"Terima
kasih, Eyang. Lagi-lagi kaulah yang telah
menyelamatkanku,"
ucap Soma penuh hormat.
Perlahan-lahan
Eyang Bromo mulai membuka ke-
lopak
matanya. Dalam jarak dekat seperti ini, paras
Eyang Bromo
tampak demikian tua penuh kerut-
merut. Alis
dan bulu matanya berwarna putih, pertan-
da usianya
sudah sangat lanjut. Namun anehnya ia
masih
memiliki gigi yang putih bersih!
"Bangunlah,
Cucuku! Jangan terlalu berlebihan
padaku! Hanya
pada Yang Maha Kuasa sajalah kau
patut
berlebihan!" tegur Eyang Bromo dengan suara
arif.
"Iya,
Eyang."
"Sekarang
dengarlah, Cucuku! Ada sesuatu yang
ingin
kuceritakan padamu!" ujar Eyang Bromo.
"Apa
itu, Eyang?"
Eyang Bromo
tidak langsung menjawab, melain-
kan hanya
menghela nafasnya berulang-ulang.
"Apa kau
tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam
itu
sebenarnya, Cucuku?" Eyang Bromo balik ber-
tanya.
"Tentu,
Eyang. Aku penasaran sekali. Siapa sih
dia
sebenarnya? Dan mengapa pula aji 'Tangkal Petir'
miliknya
sulit sekali dikalahkan?" tuntut Siluman Ular
Putih penuh
semangat.
"Aji
‘Tangkal Petir’ adalah satu ajian yang sangat
hebat dan
sulit sekali dicari tandingannya. Ajian itu
dulu
diciptakan oleh sahabatku yang bergelar Pelukis
Sinting Tanpa
Tanding. Dia pulalah yang telah melukis
Lukisan Darah
yang telah raib dicuri orang."
"Ah...!
Maaf, Eyang! Lukisan itu...."
"Jangan
khawatir, Cucuku! Eyang sempat mem-
bawa lukisan
itu kemari. Itu!" tukas Eyang Bromo lalu
menunjuk
Lukisan Darah yang disandarkan di sebuah
batang pohon.
"Sebenarnya, secara kebetulan aku me-
lihatmu saat
menyembunyikan Lukisan Darah. Dan
setelah
lukisan itu kuambil kembali aku mengikutimu,
sampai
akhirnya aku menolongmu."
"Terima
kasih, Eyang. Ternyata kau pun sudi ber-
susah payah
membawa lukisan itu kemari," ucap So-
ma lega.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa Penguasa
Alam mengakui
kalau dirinyalah yang berhak atas har-
ta karun
itu?"
"Harta
karun itu memang sebenarnya milik Pen-
guasa
Alam."
Soma melengak
kaget, mendengar penjelasan
Eyang Bromo.
"Lho?
Kok bisa begitu, Eyang? Apa bukan milik
kadipaten?"
tanya Soma heran.
"Sabar,
Cucuku! Nanti juga sampai ke sana. Seka-
rang, apa kau
tidak ingin tahu siapa Penguasa Alam?"
"Tentu,
Eyang."
"Dia
adalah murid sobatku yang berjuluk Pelukis
Sinting Tanpa
Tanding!"
"Hm...
ya! Aku juga sudah menduga demikian,
Eyang. Tapi,
kenapa Penguasa Alam melenceng dari ja-
lan kebaikan?
Bukankah Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing itu dari
golongan putih?"
"Pintar!
Rupanya otakmu bekerja juga, Cucuku.
Penguasa Alam
memang murid Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. Tapi
bukan berarti harus menempuh jalan
seperti jalan
yang telah ditempuh gurunya. Sebab Pen-
guasa Alam
pun memiliki pribadi sendiri. Meski men-
jadi murid
sahabatku, ternyata diam-diam ia berguru
pada tokoh
sesat yang bergelar Pengasuh Setan. Bah-
kan bukan itu
saja. Penguasa Alam pun paling suka
menimbun
harta kekayaan yang semuanya hasil dari
rampokannya!"
"Oh...!"
desah murid Eyang Begawan Kamasetyo
seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu, kejadian
selanjutnya
bagaimana, Eyang?"
"Akhirnya
sobatku tahu semua sepak terjang mu-
ridnya di
luar. Pelukis Sinting murka. Ia terus mencari
muridnya untuk dimintai pertanggungjawaban. Tapi
sayang,
muridnya tidak ditemukannya. Ia hanya me-
nemukan
tumpukan harta karun yang disembunyikan
di suatu
tempat. Sobatku marah bukan main. Lalu
harta karun
milik muridnya yang murtad itu pun sege-
ra diboyong
ke tempat lain. Sebelumnya sobatku me-
ninggalkan
pesan pada si murid murtad agar datang
menemuinya.
Singkat cerita, akhirnya Penguasa Alam
datang
menemui gurunya. Lalu, terjadi pertarungan
hebat antara
guru dan si murid murtad. Berkat ilmu
yang telah
diajarkan Pengasuh Setan, akhirnya so-
batku dapat
dikalahkan oleh muridnya sendiri. Mung-
kin karena
mengira gurunya sudah tewas, Penguasa
Alam pun
akhirnya meninggalkan begitu saja. Padahal
saat itu
sobatku hanya pingsan walaupun lukanya cu-
kup parah.
Dan sewaktu aku datang berkunjung, kuli-
hat sobatku
tengah asyik melukis. Lagi-lagi lukisan
wanita tanpa
busana! Itu memang satu kesukaan so-
batku. Dan lebih herannya lagi, ternyata lukisan itu
dibuat dengan
darah! Darahnya sendiri lagi! Memang
sinting
sahabatku itu. Tapi, apa boleh buat? Memang
itulah
wataknya."
"Lalu,
di manakah dia sekarang, Eyang?" potong
Soma.
"Maksudmu...
sobatku?"
"Iya,
Eyang."
"Terakhir
aku melihatnya di Goa Bedakah. Ka-
tanya ia
ingin segera mencari Penguasa Alam dan Pen-
gasuh Setan
untuk melampiaskan dendam kesumat-
nya."
"Ya ya
ya...! Sekarang aku mulai paham, Eyang.
Lalu, kenapa
Lukisan Berdarah itu bisa berada di
ruang pusaka
Kadipaten Pleret?"
"Akulah
yang menyerahkannya pada Kanjeng Adi-
pati Pleret
Tua. Sobatku memang menyuruhku men-
gantarkan
lukisan itu pada Kanjeng Adipati. Katanya,
lukisan itu
berisi peta tempat penyimpanan harta ka-
run milik
Penguasa Alam."
"Hm...!
Sekarang jelas sudah persoalannya, Eyang.
Aku sekarang
merasa mantap untuk menyelamatkan
harta karun
itu pada pemiliknya yang sebenarnya,
yakni Kanjeng
Adipati Pleret."
"Itu
sudah menjadi kewajibanmu, Cucuku. Untuk
itu, kau
harus berhati-hati berhadapan lagi dengan
Penguasa
Alam. Sebab di samping memiliki kesaktian
yang hebat,
ia pun palang pintu terakhir untuk men-
dapatkan
harta karun," kata Eyang Bromo mengin-
gatkan.
"Terus
terang, itulah yang membuatku bingung,
Eyang.
Ternyata sampai sekarang, aku belum juga
menemukan
kelemahannya. Di samping itu aku juga
bingung,
kenapa Penguasa Alam yang jadi palang pin-
tu terakhir
untuk mendapatkan harta karun?"
"Mengenai
kenapa Penguasa Alam yang menjadi
palang pintu
terakhir, sebenarnya demikian, Cucuku.
Waktu sebelum
terjadi pertarungan, sebenarnya so-
batku memang
sedang melukis peta tempat disembu-
nyikannya
harta karun milik Penguasa Alam. Namun
sebelum sempat lukisan itu selesai, Penguasa Alam
keburu
datang. Dan sewaktu si murid murtad itu da-
pat
mengalahkan gurunya, harta karunnya ingin sege-
ra didapatkan
kembali dengan membawa peta dalam
lukisan yang
belum jadi. Namun kenyataannya sampai
sekarang,
Penguasa Alam belum mendapatkannya
kembali. Maka
sekaranglah kesempatanmu untuk me-
nyelamatkan
harta karun itu pada Kanjeng Adipati!
Sebab, harta
kekayaan Penguasa Alam itu adalah hasil
rampokan dari
kekayaan Kadipaten Pleret itu sendiri."
"Baiklah,
Eyang. Aku memang ingin segera me-
nyerahkan
harta karun itu pada Kanjeng Adipati. Tapi
sayang, aku
belum tahu kelemahan Penguasa Alam,"
desah Soma.
"Hm...!
Sebenarnya kau dapat mengalahkannya,
Cucuku."
Soma
mendongak. Dipandanginya orang tua renta
di hadapannya
dengan sinar mata tak percaya.
"Bagaimana
mungkin, Eyang? Buktinya aku di-
buat babak
belur begini. Untung saja Eyang segera da-
tang
menolong. Kalau tidak, tak tahulah bagaimana
nasibku."
"Aku
mengerti, Cucuku. Tapi, bukankah kau pun
telah
menguasai ilmu tenaga sakti 'Inti Kapas' yang te-
lah diajarkan
eyangmu di Gunung Bucu, kan?"
"Hm...!
Iya, Eyang. Memangnya kenapa?"
"Sebenarnya
dengan menggunakan ilmu itu pun,
kau dapat
mengalahkan Penguasa Alam. Hanya saja
aku sangsi.
Sebab bila tenaga dalammu kalah jauh di
bawah Penguasa Alam, bukan mustahil malah kau
sendiri yang
akan celaka."
"Lalu
aku mesti bagaimana, Eyang?" tanya Soma
putus asa.
"Hm...!"
gumam Eyang Bromo sambil, mengelus-
elus
jenggotnya sebentar. "Seperti kukatakan tadi. Be-
berapa hari
lalu, aku sempat menemui sobatku, Pelu-
kis Sinting
Tanpa Tanding di tempatnya Goa Bedakah.
Dia yang
telah bertapa bertahun-tahun, kini sudah
mengetahui
kelemahan ilmu Penguasa Alam. Menurut
sobatku, ada
dua cara yang paling ampuh untuk men-
galahkan
Penguasa Alam," ungkap Eyang Bromo sete-
lah diam
untuk beberapa saat.
"Apa
itu, Eyang?" kejar Soma semangat. "Pertama.
Kau harus
bisa mengulur waktu agar dapat bertarung
dengan
Penguasa Alam hingga matahari terbit. Karena
di saat
seperti itulah Penguasa Alam sudah tidak me-
miliki
kesaktian apa-apa. Maka kau dapat membu-
nuhnya dengan
mudah. Tapi, rasa-rasanya kau akan
mengalami
kesulitan untuk melakukan cara yang per-
tama. Sebab
biasanya, Penguasa Alam tidak pernah
malang
melintang di dunia persilatan sampai terdengar
kokok ayam
jantan tiga kali. Biasanya sebelum ayam
jantan
berkokok tiga kali, ia sudah kembali ke tempat
persembunyiannya."
"Ah...!
Kenapa rumit begini, Eyang? Dan seper-
tinya tak
masuk akal. Masa' sih semua kesaktian Pen-
guasa Alam
akan punah bila matahari terbit?" keluh
Soma seolah
tak percaya.
"Itulah
keanehan ilmu yang diajarkan Pengasuh
Setan.
Demikian pula ilmu yang diajarkan sobatku. Il-
mu itu pun
akan punah bila tubuh Penguasa Alam su-
dah ter-kena
sinar matahari. Namun keuntungannya,
sesuai
julukannya, Penguasa Alam tidak dapat
mati
selama
matahari belum terbit."
"Lalu
cara yang kedua apa, Eyang?" tanya Soma
tak lagi
bergairah.
"Nah!
Ini mungkin cara termudah bagimu, Cucu-
ku. Kulihat
senjatamu adalah anak panah. Ini cocok
sekali. Kau
dapat membunuhnya dengan mudah, asal
tahu
caranya."
"Caranya
bagaimana, Eyang?" kejar murid Eyang
Begawan
Kamasetyo mulai berbinar.
"Hm...
begini! Kalau ingin membunuhnya, kau ha-
rus dapat
menyerang Penguasa Alam dengan senjata
anak panah
itu. Tapi syaratnya, ujung runcing anak
panahmu harus
menyentuh tanah, sebelum menyen-
tuh tubuh
Penguasa Alam. Kalau tidak, jangan harap
kau dapat
membunuhnya. Kukira hanya cara itulah
yang paling
mudah untuk melumpuhkan Penguasa
Alam, Cucuku.
Lekas, kembali ke puncak Gunung
Kembang. Dan,
temui Penguasa Alam!"
"Baiklah
kalau memang Eyang menghendaki de-
mikian juga.
Sekarang juga aku mohon pamit. Selamat
tinggal,
Eyang!" ucap Siluman Ular Putih seraya hen-
dak
berkelebat.
"Eh...
tunggu!" cegah Eyang Bromo, membuat So-
ma
menghentikan gerakannya.
"Ada apa
lagi, Eyang?"
"Bawalah
lukisan itu! Katanya kau ingin menye-
rahkan harta
karun pada Kanjeng Adipati!" ujar Eyang
Bromo,
mengingatkan.
"Oh,
iya! Hampir aku lupa!"
Soma menepuk
jidatnya sendiri. Lalu dengan
langkah
terburu, segera diambilnya Lukisan Darah
yang
disandarkan di batang pohon tak jauh dari Eyang
Bromo
bersemadi. Dan tubuhnya segera berkelebat ce-
pat
meninggalkan tempat Eyang Bromo.
Eyang Bromo
hanya memperhatikan kepergian
murid Eyang
Begawan Kamasetyo, lalu kedua kelopak
matanya pun
kembali terpejam.
***
10
Matahari pagi
bersinar cerah. Awan putih meng-
hampar di
angkasa biru. Angin seolah malas berhem-
bus, membuat
suasana mayapada terasa lengang.
Hanya kicauan
beberapa burung jalak yang beterban-
gan dari
sebuah ranting ke ranting pohon satunya se-
sekali
memecahkan kelengangan.
Di puncak
Gunung Kelud embun pagi baru saja
tersibak
pergi. Namun, masih menebar ke segenap
penjuru. Di
sebuah padang yang cukup luas beberapa
orang
berpakaian rimba persilatan tampak duduk me-
lingkari
sebuah perapian yang telah padam. Melihat
pakaian
mereka, jelas kalau orang-orang itu adalah
para pendekar
yang akan mengadakan pertemuan di
puncak gunung
ini. Wajah-wajah mereka menyiratkan
perasaan
ingin tahu apa yang akan dibicarakan.
Seorang
lelaki tua tak henti-hentinya selalu terse-
nyum
menyambut kedatangan para pendekar yang ba-
ru datang.
Usia lelaki itu kira-kira enam puluh tahun.
Meski usianya
sudah tergolong senja, namun tubuh-
nya yang
tinggi besar masih tampak segar dan kekar.
Itu dapat
dilihat dari otot-otot lengannya yang berton-
jolan. Wajahnya pun tidak menunjukkan kalau
usianya sudah
lanjut. Wajah itu tampak demikian ga-
gah dengan
rambutnya yang gondrong dibiarkan terge-
rai di bahu.
Pakaiannya putih bersih. Di pergelangan
tangan
kanan-kirinya terdapat dua gelang akar bahar.
Lelaki itu
dikenal sebagai Penguasa Gunung Kelud.
Namanya, Ki
Rombeng.
Kali ini
wajah Ki Rombeng tampak demikian mu-
ram. Dia baru
saja menerima laporan tentang
pengkhianatan
Pangeran Pemimpin terhadap Kadipa-
ten Pleret
dari kedua orang murid kembarnya yang
bernama Ken
Umi dan Ken Sari. Kedua orang gadis
cantik
berpakaian ketat warna hijau muda itu kini du-
duk bersimpuh
di sampingnya.
Ki Rombeng
menggumam tak jelas. Jiwa kepende-
karannya
merasa tergugah oleh pemberontakan Pange-
ran Pemimpin.
Namun untuk beberapa saat, lelaki ini
hanya
membungkam. Tak sepatah kata pun terucap
dari bibirnya
yang berkemik-kemik. Padahal puluhan
orang
pendekar yang berkumpul di tempat ini sudah
tak sabar
menunggu jalannya pertemuan.
"Ki
Rombeng! Kenapa tidak dimulai saja perte-
muan ini. Apa
kau sedang menunggu tokoh-tokoh sak-
ti
lainnya?" ujar seorang lelaki gagah berusia lima pu-
luh lima
tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Rambutnya di-
kuncir
sebagian di belakang. Jubahnya besar berwarna
kuning
keemasan. Tokoh ini dikenal sebagai Pendekar
Bintang Emas.
Di samping
Pendekar Bintang Emas, tampak pula
tokoh-tokoh
tua dunia persilatan seperti Tabib Agung
ataupun Raja
Penyihir. Dan mereka sepertinya sudah
tak sabar
menunggu Ki Rombeng membuka suara.
Namun
ternyata lelaki tua itu tetap membungkam. Ke-
palanya hanya
menggeleng perlahan sewaktu menden-
gar
pertanyaan Pendekar Bintang Emas tadi.
"Hm...!
Aku mengerti, kau sedang menunggu
Eyang Bromo,
Penyair Sinting, Pendekar Kilat Buana
maupun
beberapa tokoh tua lainnya. Tapi, orang-orang
yang
kusebutkan tadi memiliki watak aneh. Meski kita
telah
mengundang, belum tentu mereka sudi berkun-
jung kemari.
Mereka hanya akan keluar dari tempat
persembunyiannya bila dunia persilatan benar-benar
terancam!"
tandas Pendekar Bintang Emas lagi tanpa
diminta.
"Ya ya
ya...! Aku tahu itu," desah Ki Rombeng ak-
hirnya mau
membuka suara seraya mengangguk-
angguk.
"Lalu, bagaimana dengan Eyang Begawan
Kamasetyo
sendiri? Apakah ia juga tidak sudi berkun-
jung ke
puncak Gunung Kelud ini?"
"Apalagi
tua bangka itu! Mana sudi ia turun gu-
nung? Anaknya
saja masih berwujud ular putih. Ka-
tanya, ia
tidak akan turun gunung sebelum putrinya
belum dapat
menjelma kembali menjadi manusia bi-
asa."
Kali ini yang
menyahut adalah Raja Penyihir.
Orang tua ini
memang pernah berkunjung ke puncak
Gunung Bucu.
Memang, alasan Eyang Begawan Ka-
masetyo
dimakluminya. Namun wataknya yang aneh
tetap saja
menunjukkan kejengkelan hatinya melihat
tokoh-tokoh
tua dunia persilatan banyak yang tidak
hadir di
tempat ini.
"Baiklah!
Kalau begitu, sebaiknya kita mulai saja,"
sahut Ki
Rombeng akhirnya.
Sejenak Ki
Rombeng mengedarkan pandangan ke
segenap
penjuru, memperhatikan beberapa orang pen-
dekar yang
menghadiri jalannya pertemuan.
"Mungkin
saudara-saudara sekalian sudah dapat
menebak, apa
yang akan kita bicarakan dalam perte-
muan para
pendekar kali ini. Pembicaraan ini tidak
lain adalah
mengenai pengkhianatan Raden Sembodo
yang kini bergelar
Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud akan
merebut takhta Kadipaten Pleret. Apakah
saudara-saudara
sekalian ada yang ingin melaporkan
sesuatu atau
ingin mengusulkan sesuatu barangka-
li...?"
Ki Rombeng
sejenak menghentikan bicara. Sepa-
sang matanya yang
tajam kembali menyapu semua
yang hadir di
puncak Gunung Kelud satu persatu.
Namun tidak
ada tanda-tanda kalau para pendekar
yang ingin
angkat bicara.
"Tampaknya
saudara-saudara sekalian tidak ada
yang ingin
melapor maupun mengusulkan sesuatu.
Baiklah.
Kalau begitu, sekarang aku ingin bertanya.
Tindakan
apakah yang akan kita lakukan atas
pengkhianatan
Pangeran Pemimpin?"
"Aku ada
pendapat, Ki Rombeng!" teriak salah seo-
rang pendekar
yang duduk tepat berhadapan dengan
Ki Rombeng,
seraya mengacungkan telunjuk jarinya ke
atas.
Dia adalah
seorang pemuda tampan berusia dua
puluh lima
tahun. Jubahnya berwarna biru muda.
Rambutnya
dikuncir sebagian ke belakang. Tubuhnya
tinggi tegap. Tampak gagang pedangnya menyembul
dari balik
punggung.
"Baiklah!
Silakan kau mengeluarkan pendapatmu,
Manik
Biru!" ujar Ki Rombeng.
"Begini...,"
buka pemuda tampan yang dipanggil
Manik Biru
sambil membetulkan letak duduknya. "Kita
semua sudah
tahu kalau Pangeran Pemimpin bermak-
sud
memberontak Kadipaten Pleret. Dan kita semua
juga tahu
kalau Pangeran Pemimpin pun mempunyai
banyak sekutu
yang kebanyakan terdiri dari tokoh se-
sat dunia
persilatan. Sebagai seorang pendekar, ten-
tunya aku
ingin kita semua turut membantu Kadipa-
ten Pleret
guna menumpas Pangeran Pemimpin. Teru-
tama sekali,
menumpas sekutu-sekutunya! Begitulah
kiranya
pendapatku, Ki Rombeng!"
"Baik,
baik! Pendapatku pun demikian," ujar Ki
Rombeng
seraya mengangguk-angguk.
Lalu Ki
Rombeng pun kembali meminta pendapat
pada beberapa
orang pendekar yang hadir.
Dengan
semangat tinggi, beberapa orang pendekar
muda
mendukung usul Manik Biru agar golongan
pendekar
memberantas sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin. Namun ada beberapa orang pendekar yang
mengusulkan
agar Ki Rombeng mengutus seseorang
lebih dulu
untuk melaporkan kesediaan para pendekar
pada Adipati
Pleret dalam membantu prajurit-prajurit
kadipaten.
Ki Rombeng
menerima usul dan pendapat para
pendekar muda
dengan hati senang. Memang begitu-
lah sifat
para pendekar muda. Selalu meledak-ledak,
dan tinggi
semangatnya. Ki Rombeng tahu itu.
"Baiklah!
Kita semua memang sadar. Tak mungkin
kita
berpangku tangan melihat keamanan Kadipaten
Pleret
terancam. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau
kita harus
mengirim salah seorang utusan guna mem-
bicarakan hal
ini pada Kanjeng Adipati. Dan kukira
orang yang
paling tepat untuk melakukan tugas ini
adalah
Pendekar Bintang Emas. Karena aku tahu, ia
sudah
mempunyai hubungan yang cukup akrab den-
gan pihak
kadipaten. Bagaimana, Saudara Pendekar
Bintang
Emas?"
"Dengan
senang hati aku menerima tugas itu, Ki.
Kebetulan
sekali aku pun mempunyai murid yang ma-
sih terhitung
adik tiri Kanjeng Adipati," sahut Pende-
kar Bintang
Emas.
"Maaf,
saudara-saudara sekalian! Aku datang ter-
lambat. Aku
adalah utusan Kanjeng Adipati!"
Ki Rombeng
dan semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud
buru-buru memalingkan kepala ke arah
datangnya
suara. Dari arah barat puncak Gunung Ke-
lud tampak
seorang gadis cantik tengah berkelebat ce-
pat menuju
tempat pertemuan.
Sebentar
saja, tak jauh dari mereka telah berdiri
seorang gadis
cantik berusia tujuh belas tahun. Wa-
jahnya bulat
telur dengan rambut digelung ke atas.
Tubuhnya yang
tinggi ramping dibalut pakaian ketat
warna kuning.
Di punggungnya tampak menyembul
gagang
pedang.
"Sekartaji...!
Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
tegur
Pendekar Bintang Emas begitu mengenali gadis
cantik itu.
"Maaf,
Guru! Juga saudara-saudara sekalian!"
ucap gadis
yang ternyata Putri Sekartaji seraya menju-
ra hormat
pada gurunya, Pendekar Bintang Emas. Lalu
gadis ini
menjura hormat pada semua yang hadir di
puncak Gunung
Kelud. "Terus terang, aku datang atas
nama Kanjeng
Adipati. Setelah menimbang persoalan
yang tengah
dihadapi kadipaten, dengan sangat ren-
dah hati
Kanjeng Adipati meminta bantuan pada para
pendekar
untuk menumpas Pangeran Pemimpin yang
bermaksud
memberontak Kadipaten Pleret! Terutama
sekali,
menumpas sekutu-sekutunya yang kebanyakan
dari golongan
sesat dunia persilatan."
"Ya ya
ya...! Dengan senang hati kami para pende-
kar bersedia
membantu pihak kadipaten. Untuk itulah
kami
berkumpul di tempat ini. Tapi terlebih dahulu,
sudilah Tuan
Putri duduk! Maaf, tempatnya tidak se-
suai dengan
yang Tuan Putri bayangkan!" ucap Ki
Rombeng
berbasa basi.
"Terima
kasih, Ki. Begini juga sudah cukup," sa-
hut Putri
Sekartaji sopan, lalu segera menghenyakkan
pantatnya di
antara para pendekar lain.
"Sekartaji!
Aku tidak percaya kalau Kanjeng Adi-
pati
mengutusmu kemari?" tegur Pendekar Bintang
Emas.
"Maaf,
Guru. Murid memang utusan Kanjeng Adi-
pati,"
ucap Putri Sekartaji, berdusta. Padahal
keper-
giannya dari
kadipaten pun tidak diketahui Kanjeng
Adipati,
melainkan atas perintah Siluman Ular Putih.
"Hm...!"
gumam Pendekar Bintang Emas tak jelas.
Tampak sekali
kalau omongan muridnya tidak diper-
cayanya.
"Sudahlah,
Sobatku Pendekar Bintang Emas! Ku-
kira masalah
ini tak perlu diperpanjang. Pokoknya
baik diminta
maupun tidak, sudah semestinya kita ha-
rus membantu
kadipaten," kata Ki Rombeng menenga-
hi. "Dan
patut kau ketahui, Tuan Putri! Kami sebenar-
nya sudah
mengutus gurumu, Pendekar Bintang Emas
untuk menemui
Kanjeng Adipati."
Putri Sekartaji
hanya membungkam. Tampak se-
kali kalau
hatinya sangat cemas. Entah mencemaskan
Siluman Ular
Putih yang sedang mengikuti kepergian
Pendidik
Ulung dan kawan-kawannya, atau karena ta-
kut kalau
gurunya akan melaporkan perihal dirinya
pada Kanjeng
Adipati.
"Ada
apa, Sekartaji? Tampaknya kau tidak menye-
tujui kalau
gurumu ini yang menjadi utusan para pen-
dekar untuk
menemui Kanjeng Adipati?" tanya Pende-
kar Bintang
Emas mencium kecemasan Putri Sekartaji.
"Tidak,
Guru. Malah aku senang kalau Guru sen-
diri yang
akan menemui Kanjeng Adipati," kilah Putri
Sekartaji
gugup.
"Begitu?
Tapi kenapa kau tampak cemas sekali?"
kejar
Pendekar Bintang Emas tak puas.
"Hm...,"
Putri Sekartaji menggigit bibirnya sendiri.
"Sebenarnya
iya, Guru. Tapi bukannya aku mence-
maskan diriku
sendiri. Melainkan, sedang mence-
maskan
seseorang."
"Siapa?"
"Aku
tidak tahu persis namanya, Guru. Katanya...
katanya ia
juga ingin menghadiri pertemuan para pen-
dekar di
puncak Gunung Kelud. Tapi entah kenapa,
dua hari yang
lalu aku melihat orang itu pergi bersama
Raja Racun
dan kawan-kawan. Terus terang aku curi-
ga sekali,
Guru. Sebab dalam rombongan Raja Racun
itu, terdapat
juga Raja Maling yang membawa Lukisan
Darah!"
"Apa?
Lukisan Darah?! Jadi, Raja Malingkah yang
telah mencuri
Lukisan Darah?" sentak Pendekar Bin-
tang Emas
terkejut. Semua yang ada di puncak Gu-
nung Kelud
ini pun tampak terkejut mendengar kete-
rangan Putri
Sekartaji.
"Benar.
Tapi sebenarnya bukan hal itu yang aku
cemaskan,
Guru. Melainkan orang tua itu, Guru. Kami
memang pernah
bertemu. Katanya, ia adalah gurunya
Pelajar Agung
yang kini menjadi kaki tangan Pangeran
Pemimpin!"
"Celaka!
Dia pasti Pendidik Ulung! Pantas dari tadi
aku tidak
melihat batang hidungnya. Harusnya ia su-
dah berada di
sini!" kata Ki Rombeng. "Tapi.... Tapi,
apakah Tuan
Putri tahu ke mana perginya Pendidik
Ulung dan
Raja Racun itu?"
"Sayang
sekali tidak, Ki. Tapi, bukan mustahil ka-
lau mereka
ingin mencari harta karun seperti yang ter-
gambar dalam
peta Lukisan Darah."
Ki Rombeng
menggertakkan gerahamnya kuat-
kuat, lalu
mengangguk-angguk.
"Tampaknya
ini bukan urusan main-main. Aku
tahu betul,
siapa Pendidik Ulung. Ia bukanlah tokoh
sesat. Tapi,
kenapa ia mau bergabung dengan Raja Ra-
cun dan
kawan-kawan? Ini pasti ada apa-apanya!" de-
sis Ki
Rombeng penuh kemarahan.
"Jangan
khawatir, Ki! Sekarang temanku, Siluman
Ular Putih
sedang mengikuti kepergian mereka. Malah
kalau bisa, temanku
ingin menyelamatkan orang tua
itu!"
ujar Putri Sekartaji.
"Tidak!
Mereka pasti akan mendapat celaka," sen-
tak Ki
Rombeng cemas bukan main. "Kalau kepergian
mereka memang
benar ingin mendapatkan harta ka-
run, pasti
akan berhadapan dengan seorang tokoh
yang bergelar
Penguasa Alam. Sebab, dialah yang se-
benarnya
memiliki harta karun itu!"
"Lalu,
apa yang harus kita lakukan, Ki? Tampak-
nya urusan
ini bukan urusan sembarangan," tanya
Manik Biru
angkat bicara.
"Kita
harus membantu Siluman Ular Putih untuk
menyelamatkan
Pendidik Ulung. Sebab, Penguasa
Alam sangat
sakti. Konon ia tidak bisa mati. Inilah
yang
mencemaskanku!"
"Kalau
begitu, aku ingin mengajak beberapa para
pendekar
untuk membantu Siluman Ular Putih menye-
lamatkan
Pendidik Ulung!" tegas Manik Biru lagi ber-
semangat.
"Begitu
juga boleh. Tapi harap hati-hati! Penguasa
Alam sangat
sakti. Belum lagi Raja Racun dan kawan-
kawannya.
Kukira kau harus membawa teman-
temanmu yang
kira-kira dapat menghadapi mereka,
Manik
Biru."
"Tentu,
Ki. Sekarang juga kami akan berangkat,"
sahut Manik
Biru semangat.
"Pergilah!"
Manik Biru
segera beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu
dipilihnya beberapa orang pendekar yang ki-
ra-kira dapat
menghadapi Penguasa Alam maupun Ra-
ja Racun dan
kawan-kawan. Dan kebetulan pula Raja
Penyihir pun
sudi bergabung dengan Manik Biru.
Setelah
semuanya beres, rombongan pendekar
yang dipimpin
Manik Biru pun segera meninggalkan
puncak Gunung
Kelud.
"Kukira,
aku pun harus segera menemui Kanjeng
Adipati, Ki
Rombeng," cetus Pendekar Bintang Emas
sepeninggal
Manik Biru dan kawan-kawan.
"Itu
juga baik, Sobat. Jangan lupa, sampaikan sa-
lamku pada
Kanjeng Adipati!" ujar Ki Rombeng.
"Tentu,"
sahut Pendekar Bintang Emas, lalu sege-
ra berbalik.
"Sekartaji! Kau ikut aku!" lanjutnya.
"Tapi,
Guru. Aku.... Aku...," Putri Sekartaji terga-
gap. Karena,
ia memang lebih senang menunggu keda-
tangan
Siluman Ular Putih daripada mengikuti keper-
gian gurunya
ke Kadipaten Pleret.
"Ayo!"
Pendekar
Bintang Emas segera menyambar lengan
muridnya.
Segera dipaksanya gadis itu meninggalkan
puncak Gunung
Kelud.
Sepeninggal
guru dan murid itu, Ki Rombeng pun
segera
membubarkan jalannya pertemuan para pende-
kar.
***
11
"Bodoh!
Benar-benar bodoh! Menghadapi Pengua-
sa Alam
seorang saja tidak becus!"
Pangeran
Pemimpin yang marah bukan main
sampai
terlonjak tubuhnya dari kursi kebesarannya
begitu
mendengar laporan Raja Racun. Seketika kedua
telapaknya
mencengkeram kedua lengan kursi kebesa-
rannya
erat-erat. Sehingga lengan kursi itu kontan
hancur,
mengepulkan asap tipis berwarna hitam.
Raja Racun
dan Raja Golok diam menekuri lantai.
Pendidik
Ulung pun diam tak bergerak. Hanya sepa-
sang matanya saja yang jelalatan memperhatikan se-
putar ruangan
dengan pandang mata kosong. Hal ini
makin
mengundang kemarahan Pangeran Pemimpin.
"Bedebah!
Apakah tua bangka ini juga tidak ber-
guna,
he?!" hardik Pangeran Pemimpin kasar seraya
menuding ke
arah Pendidik Ulung.
Pendidik
Ulung tetap diam seperti semula. Sama
sekali tidak
dipedulikannya bentakan Pangeran Pe-
mimpin.
"Kami,
termasuk tua bangka ini, sudah berusaha
keras untuk
mendapatkan harta karun itu. Tapi
sayang,
kesaktian Penguasa Alam benar-benar sulit di-
cari
tandingannya. Aji 'Tangkal Petir'-nya benar-benar
membuat kami
kewalahan," jelas Raja Racun.
"Apa pun
alasannya, kalian tetap tolol! Bagaimana
ini bisa
terjadi? Kalian berenam! Masa' menghadapi
Penguasa Alam
yang hanya seorang diri saja tidak be-
cus!
Benar-benar memuakkan! Malah dua orang di an-
tara kalian
tewas! Pakai ini!" hardik Pangeran Pemim-
pin gusar
bukan main seraya menuding keningnya
sendiri.
"Tapi,
Pangeran! Kesaktian Penguasa Alam benar-
benar hebat.
Tidak seorang pun mampu menandingi
kesaktiannya.
Dia tidak bisa mati!" kilah Raja Racun
membela diri.
"Mustahil!"
Pangeran Pemimpin bangkit dari kursi
saking
gusarnya. "Tak mungkin ada orang yang tak bi-
sa mati!
Bilang saja kalian tidak becus! Habis perkara!"
Lelaki
setengah baya ini memang paling benci
mendengar
orang lain membicarakan kesaktian Pen-
guasa Alam.
Baginya, dialah satu-satunya orang sakti
tanpa
tanding. Dan ia yakin sekali mampu menunduk-
kan Penguasa
Alam.
"Benar.
Sahabatku benar. Bilang saja kalian tidak
becus. Pakai
alasan lagi!" timpal Pelajar Agung makin
memojokkan
Raja Racun dan Raja Golok.
"Tapi
sebenarnya bukan itu saja persoalannya,
Pangeran,"
kilah Raja Golok mulai angkat bicara.
"Alasan
apa lagi, Raja Golok?!" hardik Pangeran
Pemimpin tak
suka. Sepasang matanya berkilat-kilat
penuh
kemarahan.
"Sebenarnya
kami masih sanggup melawan kesak-
tian Penguasa
Alam, Pangeran. Tapi sayang, pemuda
sinting itu
kembali menghalang-halangi maksud kita
untuk
mendapatkan harta karun."
"Siapa
pemuda sinting yang kau maksud, Raja Go-
lok?"
tanya Pangeran Pemimpin penasaran.
"Siapa
lagi kalau bukan Siluman Ular Putih, Pan-
geran!"
"Setan
alas! Bocah sinting itu benar-benar lan-
cang! Aku
harus secepatnya membereskannya!" desah
Pelajar Agung
tak dapat lagi mengendalikan amarah.
"Sekarang,
di mana Siluman Ular Putih berada, Raja
Golok?!"
"Aku
tidak tahu persis, Pelajar Agung. Mungkin
pemuda
sinting itu sedang merayu Penguasa Alam un-
tuk
mendapatkan harta karun. Sebab, pemuda itu pun
telah
merampas Lukisan Darah dari tangan Raja Mal-
ing,"
jelas Raja Golok.
"Jahanam!
Ini tidak bisa didiamkan. Lukisan Da-
rah harus
secepatnya didapatkan kembali berikut
bunga, bila
kita masih ingin mendapatkan harta ka-
run,"
geram Pangeran Pemimpin gusar
"Kalau
begitu, sekarang juga aku akan mencari Si-
luman Ular
Putih sekaligus merampas harta karun da-
ri tangan
Penguasa Alam," tegas Pelajar Agung tiba-
tiba.
"Baik.
Kukira saat ini kau memang harus turun
tangan
sendiri, Sobat," sambut Pangeran Pemimpin
akhirnya.
"Tapi untuk lebih amannya, ajaklah tua
bangka itu
beserta Raja Racun dan Raja Golok!"
"Sebenarnya
aku tidak memerlukan mereka. Den-
gan kedua
tanganku, aku masih sanggup melenyapkan
Siluman Ular
Putih. Sekaligus, mendapatkan harta ka-
run dari
tangan Penguasa Alam. Tapi kalau kau me-
mang
menghendaki demikian, aku hanya menurut,"
sahut Pelajar
Agung angkuh.
Pangeran
Pemimpin tertawa. Entah kenapa tiba-
tiba saja
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Mung-
kin juga
merasa kesal melihat sikap angkuh Pelajar
Agung.
"Aku
tahu. Kau memang hebat, Sobat. Aku senang
mendapat
teman sepertimu. Berangkatlah kalau kau
memang
menginginkannya, Sobat!" ujar Pangeran Pe-
mimpin di
antara tawanya yang bergelak.
"Baik."
Pelajar Agung
lantas beranjak dari tempat duduk-
nya. Lalu
tanpa banyak cakap lagi, segera tangannya
mengisyaratkan
pada Raja Racun dan Raja Golok un-
tuk segera
mengikuti.
Raja Racun
dan Raja Golok mengangguk. Lalu di-
ikuti
Pendidik Ulung, mereka segera menyusul Pelajar
Agung.
***
12
Bulan
sepotong yang masih menggantung di ang-
kasa tak
mampu menerangi puncak Gunung Kembang.
Langit
sedikit dipoles warna keperakan. Namun tetap
saja tak
mampu menembus kegelapan malam.
Dalam
kegelapan malam, tampak sesosok bayan-
gan putih
keperakan terus berkelebat cepat dari lereng
barat menuju
puncak Gunung Kembang. Gerakan ke-
dua kakinya
ringan sekali laksana terbang. Sejurus
kemudian
sosok bayangan itu tiba di puncak Gunung
Kembang.
Ternyata
sosok bayangan yang mampu berlari ce-
pat laksana
terbang itu adalah seorang pemuda be-
rambut
gondrong. Pakaiannya rompi dan celana bersi-
sik warna
putih keperakan. Melihat ciri-cirinya, sudah
pasti pemuda
itu memang murid Eyang Begawan Ka-
masetyo yang
bergelar Siluman Ular Putih!
Soma alias
Siluman Ular Putih yang kini sudah
mengetahui
kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik Pengu-
asa Alam
sengaja tidak langsung bertindak. Sepasang
matanya yang
tajam ini terus bergerak-gerak ke sege-
nap penjuru
mencari-cari orang yang diinginkan. Na-
mun setelah
beberapa saat, Penguasa Alam belum juga
ditemukannya.
"Penguasa
Alam! Keluar! Kau masih hutang ba-
rang satu dua
jurus padaku! Malam ini juga kau harus
segera
melunasinya!" teriak Soma lantang memecah
keheningan
malam.
Tidak ada
sahutan. Namun tiba-tiba puncak Gu-
nung Kembang
terasa bergetar hebat. Selang beberapa
saat,
terdengar satu gerengan hebat seolah-olah ingin
merobek
angkasa!
"He he
he...! Rupanya kau mendengar juga, Pen-
guasa Alam.
Aku senang sekali. Hayo, lekas tunjukkan
batang
hidungmu yang besar, Penguasa Alam!"
Kembali tak
ada sahutan. Hanya saja, puncak
Gunung
Kembang kembali bergetar hebat.
"Setan
alas! Tak tahunya hanya kau, Kunyuk
Gondrong!"
terdengar berat dan kasar. Tampak sekali
nadanya
sangat merendahkan Siluman Ular Putih.
Baru saja
gema suara itu menghilang, berkelebat
satu bayangan
yang langsung mendarat di hadapan
Soma.
"Ya...
aku! Memangnya kenapa? Terkejut? Tidak,
kan?"
sahut Soma seenaknya
Geraham
Penguasa Alam bergemeletukkan mena-
han geram.
Tampak sekali parasnya demikian menge-
rikan.
Rahangnya mengembung. Sepasang matanya
menyala!
"Bagus!
Rupanya kau masih punya nyali juga, Bo-
cah! Apa kau
punya nyawa rangkap, heh?!"
"Nyawa
rangkap? Tentu, tentu! Aku punya. Lihat-
lah!"
sahut Soma asal-asalan. Telapak tangannya lalu
menepuk-nepuk
perutnya beberapa kali. Selang bebe-
rapa saat.
Brut! Brut!
Terdengar
suara aneh dari lubang pantat Siluman
Ular Putih
disertai bau busuk menyengat.
Soma tertawa
terpingkal-pingkal.
"Nah,
itulah nyawa rangkapku, Penguasa Alam!
Apa kau juga
punya nyawa cadangan?" lanjut Siluman
Ular Putih,
makin sulit dikendalikan.
"Setan
alas! Tak ada gunanya bicara denganmu,
Bocah!
Makanlah gada besiku! Hea...!"
Disertai
gerengan murka, Penguasa Alam segera
memutar-mutar
gada di tangannya. Begitu deras puta-
rannya
membuat angin kencang berkesiur menyam-
bar-nyambar
kulit tubuh.
Melihat jurus
pembuka Penguasa Alam, Siluman
Ular Putih
masih tersenyum-senyum menggoda. Na-
mun diam-diam
otaknya terus bekerja keras sembari
mencabut
keluar senjata andalannya, Anak Panah
Bercakra
Kembar!
"Hm...!
Menurut keterangan Eyang Bromo, dengan
senjata
inilah aku dapat mengalahkan Penguasa Alam.
Sebab kalau
menunggu sampai fajar tiba, itu jelas ti-
dak mungkin,"
gumam Siluman Ular Putih dalam hati.
Penguasa Alam
hanya mendengus. Tampak sekali
kalau
sikapnya sangat merendahkan Siluman Ular Pu-
tih.
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu mumpung
belum modar,
Bocah!" ejek Penguasa Alam.
"Tentu,
tentu! Tapi, mungkin bukannya aku yang
modar.
Melainkan nyawamulah yang akan melawat ke
dasar neraka.
Maka cepatlah kau bertobat! Siapa tahu
malaikat
penjaga kubur masih sudi mengampuni nya-
wa
busukmu," balas Siluman Ular Putih.
"Bedebah!
Bicaramu terlalu kelewatan, Bocah!
Kau memang
patut dimusnahkan!"
"Boleh.
Asal izinkan dulu aku merampas harta ka-
run yang kau
kangkangi! Kalau kau keberatan, terpak-
sa ya...
nyawamulah yang jadi taruhan," ejek Siluman
Ular Putih.
Bukan main
murkanya Penguasa Alam mendengar
ejekan
Siluman Ular Putih yang makin keterlaluan. Gi-
gi-gigi
gerahamnya bergemeletakkan. Rahangnya ber-
tonjolan,
pertanda amarahnya tak dapat lagi dikenda-
likan.
Maka....
"Heaaa...!"
Diiringi
gemboran keras, Penguasa Alam mener-
jang Siluman
Ulir Putih hebat. Gada di tangan kanan-
nya diayunkan
dari atas ke bawah, bermaksud memu-
kul hancur
batok kepala si pemuda. Sedang telapak
tangan
kirinya yang telah berubah menjadi kuning
hingga ke
pangkal lengan siap pula melontarkan puku-
lan maut
'Kelabang Kuning'.
"Hup...!"
Siluman Ular
Putih segera melemparkan tubuhnya
ke samping.
Pada saat yang sama, Penguasa Alam
mendorongkan
telapak tangan kirinya ke depan. Seke-
tika melesat
selarik sinar kuning dari telapak tangan-
nya yang
disertai angin berhawa busuk.
Untungnya
murid Eyang Begawan Kamasetyo te-
lah siap siaga. Begitu membuang tubuhnya, telapak
tangan
kirinya telah berubah menjadi putih terang se-
gera didorong
ke depan disertai tenaga sakti 'Inti Bu-
mi'.
Wesss! Wesss!
Blaaammm...!!!
Terdengar
satu ledakan hebat ketika dua kekua-
tan dahsyat
bertemu pada satu titik. Puncak Gunung
Kembang
bergetar hebat laksana ada gempa! Tanah
dan pasir
kontan terbongkar, berhamburan tinggi ke
udara.
Tubuh
Penguasa Alam sendiri pun bergetar hebat.
Kedua telapak
kakinya melesak beberapa dim ke da-
lam tanah!
Namun keadaan ini masih jauh mengun-
tungkan
dibandingkan keadaan murid Eyang Begawan
Kamasetyo
yang terpental beberapa tombak ke bela-
kang.
Parasnya pias. Kedua bibirnya berkemik-kemik
menahan
guncangan dalam dada!
"Sontoloyo!
Manusia hitam ini benar-benar lihai.
Sulit rasanya
aku mengalahkannya. Kukira senjata
andalanku
harus segera kugunakan," gumam Soma
dalam hati.
Melihat musuh
mudanya masih bersimpuh di ta-
nah, Penguasa
Alam mulai mengumbar tawanya. Sebe-
lah lengannya
bertolak pinggang dengan kepala men-
dongak ke
atas. Seolah-olah ia ingin menunjukkan ke-
perkasaannya.
"Siapa
pun juga tidak ada yang mampu membu-
nuhku! Biar
Raja Akhirat sekalipun datang kemari!"
desis
Penguasa Alam, jumawa.
"Jangan
takabur, Manusia Hitam! Siapa pun juga
tak luput
dari kematian. Termasuk juga kau! Apalagi
sekarang, aku
mencium bau tanah dari tubuhmu. Itu
jelas
menandakan kalau masa hidupmu di dunia ini
akan
berakhir!" balas Siluman Ular Putih yang kini te-
lah tegak
kembali di hadapan Penguasa Alam.
"Keparat!
Aku tidak bisa mati, tahu! Berkat aji
'Tangkal
Petir', aku tetap tidak dapat mati sampai seri-
bu tahun
kemudian."
"Hari
ini adalah hari yang keseribu tahun, Manu-
sia Hitam!
Maka hari ini pulalah hari kematianmu!"
sahut Siluman
Ular Putih seraya menimang-nimang
senjata
pemberian Eyang Begawan Kamasetyo. Sepa-
sang matanya
memandang tajam Penguasa Alam.
"Kiranya
aku harus berlaku cerdik. Aku tidak bo-
leh gagal.
Aku harus mempertimbangkannya matang-
matang...,"
desah Soma dalam hati.
"Kuhormati
nyali besarmu, Bocah! Namun kau te-
tap tidak
dapat membunuhku. Apalagi ingin merampas
harta karun
itu!" dengus Penguasa Alam.
"Aku
tidak butuh rasa hormatmu. Aku butuh har-
ta karun itu,
Penguasa Alam. Mengenai nyawamu, bi-
arlah Yang
Maha Kuasa yang menentukannya sendiri!"
tukas Siluman
Ular Putih.
"Baik.
Kalau begitu, hari inilah aku yang ingin
menjadi
malaikat maut untuk mencabut nyawamu,
Bocah!"
"Boleh.
Asal kau sanggup."
Diam-diam
Siluman Ular Putih pun mulai menge-
rahkan tenaga
dalam ke dalam batang senjata anda-
lannya.
Seketika hawa dingin yang bukan kepalang
kontan memenuhi
tempat itu.
Penguasa Alam
hanya sempat mengerutkan ken-
ing sebentar. Kemudian dengan kemarahan meluap,
segera
diserangnya Siluman Ular Putih.
"Makanlah
gada besiku, Bocah! Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Penguasa Alam segera
meluruk deras
sambil mengayunkan gada di tangan
kanannya.
Siluman Ular
Putih mempertimbangkannya den-
gan cermat.
Untung saja jaraknya dengan Penguasa
Alam masih
cukup jauh, kira-kira tiga tombak. Hal ini
membuatnya
tersenyum senang.
"Kukira,
sekaranglah saat yang tepat untuk me-
lumpuhkan
Penguasa Alam. Hanya saja aku harus ha-
ti-hati
terhadap gada lelaki itu maupun pukulan
'Kelabang
Kuning'-nya...," pikir Siluman Ular Putih da-
lam hati.
Seketika
Siluman Ular Putih segera melontarkan
senjata anak
panahnya ke depan. Namun dengan se-
nyum
meremehkan Penguasa Alam menggerakkan ga-
danya untuk
menangkis datangnya serangan. Namun
alangkah
terkejutnya ketika senjata anak panah itu ti-
dak langsung
menyerang dirinya, melainkan malah
melesat ke
tanah. Begitu menyentuh tanah, baru sen-
jata pusaka
itu menyerang Penguasa Alam dengan ke-
cepatan luar
biasa!
"Setan
alas! Rupanya bocah sinting itu telah men-
getahui
kelemahan aji 'Tangkal Petir'! Pasti Eyang
Bromo-lah
yang memberitahukannya. Siapa lagi kalau
bukan orang
tua itu!" geram Penguasa Alam kalang
kabut.
Ketika
senjata Anak Panah Bercakra Kembar me-
nyerang,
Penguasa Alam segera memutar gadanya se-
demikian
rupa.
Wesss!
"Heh?!"
Penguasa Alam
terkejut bukan main saat merasa-
kan berkesiurnya
angin dingin yang tahu-tahu me-
nyambar gada
di tangan kanannya. Dan ketika Pengu-
asa Alam
memperhatikan, ternyata Siluman Ular Putih
baru saja
melontarkan pukulan tenaga 'Inti Bumi' ke
arah gadanya.
Bukkk!
"Hghhh...!"
Penguasa Alam
menggembor penuh kemarahan.
Untuk
beberapa saat, gada di tangannya tergetar. Na-
mun pada saat
itu, Anak Panah Bercakra Kembar telah
mengancam ulu
hatinya dengan kecepatan luar biasa!
Seketika
paras Penguasa Alam pucat pasi. Kerin-
gat dingin
kontan membasahi sekujur tubuhnya. Un-
tuk menangkis
jelas tidak mungkin. Karena ujung
anak panah
sudah demikian dekat, maka tanpa am-
pun lagi....
Clep!
"Aeeehhh...!!!"
Penguasa Alam
menjerit setinggi langit saat Anak
Panah
Bercakra Kembar menembus ulu hatinya. Sua-
ranya nyaring
seolah-olah ingin merobek angkasa. Tu-
buhnya yang
biasanya menyala begitu terkena senjata
tajam maupun
berbagai macam pukulan maut, entah
kenapa kali
ini tubuhnya tidak menyala lagi seperti bi-
asa. Jelas,
aji 'Tangkal Petir' berikut aji-aji lainnya te-
lah sirna!
Namun dengan
kemarahan meluap, Penguasa
Alam terus
berusaha menyerang Siluman Ular Putih.
Sayang,
serangannya kini tak berarti apa-apa lagi. Se-
hingga,
Siluman Ular Putih dapat menghindarinya
dengan mudah.
Dan makin lama, tubuh Penguasa
Alam yang
limbung makin kehilangan keseimbangan.
"Budak
hina! Kau harus mod.... Uhughh...!" Pen-
guasa Alam
terbatuk keras.
Darah merah
makin merembes keluar dari balik
ulu hati.
Penguasa Alam tidak tahan lagi dengan sik-
saan itu. Dan
tiba-tiba dicabutnya senjata Anak Panah
Bercakra
Kembar.
Presss!
"Aaah...!"
Begitu
senjata tercabut, seketika Penguasa Alam
kontan
meraung hebat. Keseimbangan tubuhnya ma-
kin sulit dikendalikan.
Dan tanpa ampun lagi, Pengua-
sa Alam
ambruk ke tanah. Tangannya menggapai-
gapai
sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak la-
gi. Tewas!
***
Siluman Ular
Putih melangkah mendekati tubuh
Penguasa
Alam. Dibalikkannya tubuh tinggi besar itu
dengan kaki
kiri. Ternyata matinya Penguasa Alam da-
lam keadaan
melotot. Telapak tangan kirinya mende-
kap erat
dadanya yang bersimbah darah.
"Ah...!
Seharusnya kau tidak boleh mati dulu,
Penguasa
Alam. Kau belum menunjukkan letak harta
karun itu,"
gumam Siluman Ular Putih.
Memang, untuk
mendapat keterangan dari sosok
Penguasa Alam
yang telah tewas membeku, jelas tidak
mungkin. Maka
tidak ada pilihan lain bagi Siluman
Ular Putih
kecuali harus segera mencari sendiri. Untuk
itu segera
diambilnya Lukisan Darah yang tadi disan-
darkan di
batang pohon tak jauh dari tempat pertem-
puran.
Sejenak diamatinya lukisan buatan Pelukis
Sinting Tanpa
Tanding dengan seksama.
"Hm...!
Letak harta karun itu berada di atas tonjo-
lan ini. Dan
ini adalah menunjukkan puncak Gunung
Kembang.
Tapi, apa maksud titik-titik merah kecil di
peta ini? Dan
apa pula maksud tanda anak panah ini?
Ah...! Pasti
di sinilah letaknya harta karun itu!" duga
Siluman Ular
Putih. Segera perhatiannya diarahkan
pada puncak
Gunung Kembang sambil terus melang-
kah.
Agak lama
juga murid Eyang Begawan Kamasetyo
menyusuri
puncak Gunung Kembang sambil sesekali
mencocokkan
keadaan sekitar dengan peta yang ter-
dapat dalam
Lukisan Darah.
Selang
beberapa saat, akhirnya Soma dapat me-
nemukan
tempat yang dimaksud. Karena Lukisan Da-
rah itu
memang asli buatan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding yang
sudah selesai dikerjakan, maka dalam
waktu yang
tak lama, Soma telah tiba di tempat yang
dimaksudkan.
"Ah...!
Jangan-jangan titik-titik merah dalam Lu-
kisan Darah
ini adalah semak-semak belukar di hada-
panku. Lalu
tanda anak panah ini menunjuk ke ba-
wah? Yah....
Kukira aku harus meloncat turun. Siapa
tahu di balik
semak belukar inilah letaknya harta ka-
run?" pikir
Siluman Ular Putih mantap.
Sehabis
berpikir, Soma segera meneliti semak be-
lukar itu,
dan terus menelusurinya. Kini ia telah sam-
pai di ujung
jurang.
Soma memekik
kegirangan. Ternyata, ia menemu-
kan sebuah
batu besar yang terdapat sebuah tanda
anak panah
terbuat dari semak belukar! Itulah tanda
terakhir di
mana letaknya harta karun!
"Pasti!
Pasti di bawah batu itulah letaknya harta
karun! Kalau
tidak, bisa jadi malah berada di dasar ju-
rang...,"
pikir Soma lagi, menduga-duga. "Yah...! Kuki-
ra aku harus
secepatnya meneliti tempat ini. Pertama
aku harus
membongkar batu ini terlebih dahulu. Tapi
sebelumnya,
aku ingin menyelidiki keadaan jurang ini
terlebih
dahulu. Ya ya ya...."
Soma mulai
melongokkan kepala ke dasar jurang.
Samar-samar
dari terangnya sinar rembulan, pemuda
itu bisa
melihat lekukan kecil di tebing bawah. Dan di
mulut
lekukan, terdapat pula tanda anak panah yang
terbuat dari
semak belukar!
"Di
sini! Ya ya ya...! Di sinilah letaknya harta ka-
run
itu!" pekik Soma kegirangan.
Lalu dengan
agak terburu-buru, Siluman Ular Pu-
tih segera
menuju tempat yang dimaksud. Memang
agak sulit.
Tapi bagi Soma yang sudah memiliki ilmu
meringankan
tubuh tingkat tinggi, bukanlah satu pe-
kerjaan
sulit. Dengan menancapkan jari-jari tangannya
ke
dinding-dinding tebing, akhirnya murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo ini sampai di lekukan tebing bagian
bawah
Dan begitu
menjejakkan kakinya di sana, Soma
kontan
membelalakkan matanya penuh takjub!
"Bukan
main...!" desah Siluman Ular Putih penuh
takjub seraya
menepuk jidatnya sendiri.
Di hadapan si
pemuda kini tampak setumpuk
emas permata
yang memancarkan sinar beraneka
warna!
"Gila!
Buat apa menumpuk harta sebanyak ini?
Dasar
manusia-manusia serakah! Kukira aku harus
segera
melaporkan harta karun ini pada Kanjeng Adi-
pati..,"
desis Soma tak henti-hentinya sambil terus
menggeleng-gelengkan
kepala.
***
13
Mendung di
puncak Gunung Kembang telah teru-
sir oleh
angin. Hamparan kabut tipis yang menyelimuti
badan gunung
pun perlahan pudar tersibak oleh sinar
matahari.
Kini suasana berganti terang benderang. Be-
berapa ekor
burung jalak beterbangan ke sana kemari
dengan kicau
merdunya.
Dari bawah
lereng sebelah barat, tampak empat
sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju pun-
cak Gunung
Kembang. Gerakan kedua kaki mereka
ringan
sekali. Laksana capung, keempat sosok bayan-
gan itu
akhirnya menghentikan lesatan di puncak Gu-
nung Kembang.
Sejenak sosok
yang berada paling depan memper-
hatikan
keadaan seputar dengan seksama. Dan ke-
ningnya pun
berkerut melihat puncak Gunung Kem-
bang
berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan
hebat.
"Mana
orang yang bergelar Penguasa Alam?" tanya
sosok yang
ternyata seorang pemuda tampan berjubah
hitam dengan
penutup kepala memanjang berwarna
hitam.
Melihat penampilannya yang mirip seorang ter-
pelajar pada
masa itu, pemuda itu tidak lain adalah
Prameswara
alias Pelajar Agung.
Di belakang
Pelajar Agung ternyata adalah Pendi-
dik Ulung, Raja
Racun, dan Raja Golok. Mereka juga
tengah
memperhatikan keadaan sekitar.
"Tampak
sekali kalau di sini baru saja terjadi per-
tarungan
hebat. Mungkin pemuda sinting yang berge-
lar Siluman
Ular Putih itu sudah tewas di tangan Pen-
guasa Alam.
Atau kalau tidak, malah sebaliknya. Pe-
muda sinting
itu telah dapat mengalahkan Penguasa
Alam
sekaligus mengangkangi harta karun itu!" duga
Raja Racun.
"Hm...!
Aku harus mendapatkan semuanya. Harta
karun itu,
Siluman Ular Putih, juga Penguasa Alam
yang katanya
sakti tanpa tanding!" desis Pelajar Agung
ketus.
"Aku
tahu. Tapi tidak ada salahnya kalau seka-
rang kita
harus mencari Penguasa Alam terlebih dahu-
lu. Sebab
bukan mustahil Siluman Ular Putih telah te-
was di
tangannya," ujar Raja Racun.
"Yah...!
Bisa jadi," dengus Pelajar Agung.
Dan dengan
rahang mengembung, Pelajar Agung
kembali
memperhatikan seputar puncak Gunung
Kembang
seksama.
"Penguasa
Alam! Keluar! Aku datang ingin menan-
tangmu
bertarung!" teriak Pelajar Agung.
Tidak ada
sahutan. Puncak Gunung Kembang pun
tidak
bergetar seperti biasa. Hal ini membuat Pelajar
Agung
penasaran.
"Manusia
pengecut! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu!"
teriak Pelajar Agung, lebih lantang.
"He he
he.... Menantang bertarung atau memang
menginginkan
harta karun?"
Tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring yang datang-
nya dari
lereng sebelah timur. Pelajar Agung mengge-
ram penuh
kemarahan. Buru-buru kepalanya berpal-
ing ke arah
datangnya suara. Tampak beberapa sosok
bayangan anak
manusia tengah berkelebat cepat me-
nuju puncak
Gunung Kembang dari lereng sebelah ti-
mur.
"Siapa
lagi manusia-manusia pencari mati itu,
he?!"
***
Beberapa
tokoh bayangan yang datang dari lereng
sebelah timur
puncak Gunung Kembang kini telah te-
gak di
hadapan Pelajar Agung dan kawan-kawannya.
Rombongan
yang baru datang itu tidak lain adalah
pendekar yang
dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru.
"Jaga
bacotmu, Bocah! Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan
siapa, he?!" bentak Raja Penyihir
galak.
Meski
mulutnya berkata demikian, sebenarnya
Raja Penyihir
merasa heran sekali melihat Pendidik
Ulung berada
pula di sana. Dan lebih herannya lagi ke-
tika melihat
guru Pelajar Agung itu tak ubahnya seper-
ti mayat
hidup. Wajahnya pucat pasi. Tindak tanduk-
nya pun kaku
dengan tatapan kosong.
"Hm...!
Jadi yang dikatakan Putri Sekartaji benar.
Ternyata
telah terjadi sesuatu terhadap sahabatku."
Sehabis
menggumam begitu, Raja Penyihir mena-
tap tajam
Pendidik Ulung.
"Marabunta!
Apa kau tidak keliru? Buat apa ber-
gabung dengan
manusia-manusia ular ini?!" tegur Raja
Penyihir
memanggil nama asli Pendidik Ulung.
Pendidik
Ulung memalingkan kepala ke arah Raja
Penyihir.
Gerakannya kaku. Sepasang matanya yang
mencorong
terus memperhatikan Raja Penyihir dengan
sinar kosong.
"Siapa
Marabunta? Aku bukan sahabatmu! Aku
bukan
siapa-siapa! Aku hanya tunduk pada laki-laki
ini!"
sahut Pendidik Ulung datar, sambil menunjuk pa-
da Raja
Racun.
Raja Penyihir
mengangguk-angguk.
"Jadi
benar! Tak kusangka sobatku yang sakti ini
dapat
dilumpuhkan oleh Raja Racun. Kukira aku ha-
rus
menyelamatkannya terlebih dahulu," lanjut Raja
Penyihir
dalam hati.
Diam-diam
Raja Penyihir pun mulai mengerahkan
ilmu
sihirnya, siap mempengaruhi jalan pikiran Pendi-
dik Ulung.
"Orang
tua! Lagakmu pongah sekali. Aku tidak
percaya kalau
kau bisa menggonggong senyaring ini!"
ejek Pelajar
Agung.
"Hmmm...!
Mungkin memang beginilah tampang-
tampang
manusia penjilat. Pantas...!" balas Raja Pe-
nyihir seraya
mengangguk-angguk.
"Hati-hati,
Pelajar Agung! Orang tua sinting ini ti-
dak lain
adalah Raja Penyihir! Mungkin kita harus me-
lenyapkan tua
bangka itu terlebih dahulu! Sebab bu-
kan mustahil
mereka juga menginginkan harta karun,"
bisik Raja
Racun pada Pelajar Agung.
Pelajar Agung
mengangguk-angguk. Senyum licik-
nya tampak
terkembang di bibir.
"Memang
tidak ada maling yang mau mengaku.
Bilang saja
kalian juga menginginkan harta karun.
Habis
perkara!" hardik Pelajar Agung.
Raja Penyihir
tertawa bergelak. Tongkat hitam di
tangan
kanannya diketuk-ketukkan ke tanah seenak-
nya. Hebatnya, puncak Gunung Kembang langsung
berguncang
hebat. Bagian tanah yang terkena ketukan
tongkat
kontan berlubang besar!
"Lucu!
Lucu sekali! Bisa-bisanya manusia setolol
ini bicara
seperti ini. Hm...! Jangan-jangan hanya
buang air
saja! Tapi kalau buang air, kok lewat atas.
Hih...!"
ejek Raja Penyihir tanpa ampun.
"Manusia
penjilat macam dia sama saja. Bicara
dengan buang
air tetap saja bau!" ejek pula Manik Bi-
ru.
"Setan
alas! Kaulah yang pertama kali harus ku-
musnahkan,
Tua Bangka Keriputan! Makanlah puku-
lan 'Cahaya
Kilat Biru'-ku! Hea...!" bentak Pelajar
Agung seraya
menghentakkan kedua tangannya yang
telah berubah
menjadi biru.
Werrr...!
Seketika
terdengar bunyi menggemuruh tatkala
dua larik
sinar biru melesat dari kedua telapak tangan
Pelajar Agung
ke arah Raja Penyihir.
Raja Penyihir
hanya tersenyum sebelum akhirnya
segera
melontarkan pukulan maut 'Tangan Gaib Pe-
nindih
Setan'. Begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke
depan, seketika meluruk dua gulungan
asap tebal
berwarna putih.
Besss...!!!
Tak ada bunyi
ledakan hebat kala dua tenaga da-
lam beradu di
udara. Namun anehnya, tubuh Raja Pe-
nyihir dan
Pelajar Agung sama-sama terguncang hebat!
Selang
beberapa saat, tubuh Pelajar Agung terpental
ke belakang
dengan paras pias!
"Setan
alas! Hajar tua bangka keriputan ini!" te-
riak Pelajar
Agung seraya menuding ke arah Raja Pe-
nyihir.
Tanpa banyak
cakap Raja Racun dan Raja Golok
yang dibantu
Pendidik Ulung segera menyerang Raja
Penyihir.
Namun baru saja ketiga orang itu berkelebat,
Manik Biru
dan beberapa pendekar lain telah mengha-
dang.
"Kau
jangan gegabah, Manik Biru! Pendidik Ulung
ini
sahabatku! Biar aku yang melumpuhkannya. Kau
boleh ajak
beberapa orang temanmu untuk menghajar
penjilat
itu!" tunjuk Raja Penyihir ke arah Pelajar
Agung.
"Baik!"
Manik Biru
segera mengajak dua orang kawannya
untuk
menyerang Pelajar Agung yang tengah bersiap-
siap membantu
Raja Racun dan Raja Golok.
"Pelajar
Agung! Biarlah kedua orang tua itu bera-
du otot.
Akulah lawanmu!" bentak Manik Biru. Lalu
dibantu kedua
orang kawannya, mereka segera menye-
rang Pelajar
Agung.
"Bagus!
Manusia penjilat macammu memang pan-
tas dicincang
ramai-ramai, Bocah! Bersiap-siaplah kau
pesan peti
mati terlebih dulu, Bocah!" ejek Raja Penyi-
hir.
Habis
mengejek, Raja Penyihir segera berkelebat
ke arah
ketiga orang kawannya yang tampak kewala-
han
menghadapi serangan-serangan Pendidik Ulung,
Raja Racun, dan
Raja Golok.
"Marabunta!
Tahan! Kau tidak boleh berlaku se-
wenang-wenang!
Hayo, lekas tetap di tempatmu!" ben-
tak Raja
Penyihir dengan suara bergetar-getar aneh
yang
menyerang jalan pikiran Pendidik Ulung.
Tubuh
Pendidik Ulung kontan terguncang hebat.
Sepasang
matanya mencorong aneh, pertanda mulai
terpengaruh
sihir Raja Penyihir.
Raja Penyihir
tertawa senang. Pada saat tubuh
Pendidik
Ulung terguncang, tiba-tiba Raja Penyihir
berkelebat
cepat. Kemudian dengan gerakan cepat luar
biasa,
tahu-tahu jari tangannya telah menotok iga
Pendidik
Ulung.
Tuk! Tuk!
Seketika
tubuh Pendidik Ulung kaku tak dapat
bergerak.
Buru-buru Raja Penyihir menyambar tubuh
lelaki tua
itu, lalu meletakkannya di tempat yang
aman.
"Ha ha
ha...! Sekarang bebas sudah kita mengha-
jar
manusia-manusia penjilat ini, Kawan-kawan!" te-
riak Raja
Penyihir di antara tawanya yang bergelak.
Meski Pelajar
Agung, Raja Racun, dan Raja Golok
masih di atas
angin menghadapi pengeroyokan para
pendekar
muda, namun saat melihat Pendidik Ulung
dapat
diamankan oleh Raja Penyihir, mereka menda-
dak jadi
gelisah. Apalagi kini Raja Penyihir mulai ter-
jun dalam
kancah pertarungan.
"Manik
Biru! Biarkan aku main-main dengan ma-
nusia
penjilat ini! Kau sekarang bebas memilih lawan.
Mau menjewer
telinga Raja Racun sampai memerah,
boleh! Mau
menggebuk pantat Raja Golok yang besar
juga boleh!
Suka-suka kaulah, Manik Biru!" kata Raja
Penyihir
mengejek.
"Baik,
Raja Penyihir!"
Manik Biru
dan kedua orang kawannya serempak
bergerak
lincah meninggalkan Pelajar Agung. Mereka
segera
berkelebat, membantu mengeroyok Raja Racun
dan Raja
Golok.
"He he
he...! Tampaknya kau gusar sekali, Bocah.
Jangan
khawatir! Aku tidak akan menyakitimu. Aku
hanya ingin
menotokkan gigimu biar tak banyak men-
jual lagak.
Hayo, maju!" ejek Raja Penyihir seraya
menggerak-gerakkan
tangannya menggoda.
Pelajar Agung
menggeram penuh kemarahan. Ke-
dua
pelipisnya bergerak-gerak, pertanda murid murtad
ini tak dapat
lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak.
"Bacotmu
sungguh memerahkan telingaku, Tua
Bangka
Keriputan! Aku tak segan-segan lagi meme-
cahkan batok
kepalamu! Bersiap-siaplah menerima
kematianmu,
Bangsat!" teriak Pelajar Agung, memben-
tak.
Habis
menggeram, Pelajar Agung tak tanggung-
tanggung lagi
segera mengeluarkan salah satu jurus
andalan yang
dipelajari dari Pendidik Ulung, yakni ‘Tu-
lisan Maut
Dewa Kayangan’. Kemudian tanpa banyak
cakap, kedua
telunjuk kirinya menggurat-gurat ke
udara
membentuk sebuah huruf gaib yang diciptakan
Pendidik
Ulung.
Telunjuk
kanannya bergerak lemah gemulai dari
kanan ke
kiri. Sementara telunjuk kiri bergerak dari
kiri ke
kanan. Dari guratan-guratan kedua telunjuk-
nya,
terdengar bunyi mencicit yang teramat memekak-
kan telinga!
Melihat
jurus-jurus yang dikeluarkan Pelajar
Agung, Raja
Penyihir jadi terperanjat. Bukannya kaget
melihat
kehebatan jurus itu, melainkan heran kenapa
Pelajar Agung
dapat menguasai jurus-jurus andalan
Pendidik
Ulung sahabatnya.
"Hebat!
Memang hebat jurus itu, Bocah Tengil.
Tak kusangka
kau bisa mengelabui sahabatku untuk
mengajari
jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Entah
dengan cara
apa kau dapat merayu sahabatku. Tapi
jangan dikira
aku takut menghadapi jurusmu! Hayo
tunjukkan
kebolehanmu, Bocah!"
"Jahanam!
Kematian sudah di depan mata, masih
juga menjual
lagak!" dengus Pelajar Agung.
Suara
mencicit dari guratan-guratan kedua telun-
juk jari
Pelajar Agung terdengar makin memekakkan
telinga. Hal
ini membuat Raja Penyihir tak berani
main-main
lagi. Meski telah mengetahui kelemahan ju-
rus itu,
namun tetap saja harus bertindak hati-hati.
Dan pada saat
Pelajar Agung telah mempertemu-
kan kedua
ujung telunjuk jarinya ke udara, seketika
dua larik
sinar putih berkilauan melesat menyerang
Raja
Penyihir.
Wesss! Wesss!
Pada saat
yang sama, Raja Penyihir segera meng-
hantamkan
kedua telapak tangannya ke depan, men-
gerahkan
pukulan ‘Tangan Gaib Penindih Setan’. Seke-
tika asap
putih bergulung-gulung meluruk memapak
serangan
Pelajar Agung.
Besss...!
Kembali tak
ada letusan hebat manakala tenaga
dalam kedua
orang itu beradu di udara. Namun dari
paras mereka jelas menandakan kalau Raja Penyihir
dan Pelajar
Agung tengah melipatgandakan tenaga da-
lam.
"Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tiba-tiba Raja Penyihir
menyentakkan
kedua telapak tangannya ke depan.
Bukkk!
"Aaa...!"
Bak layangan
putus dari benangnya, tubuh Pela-
jar Agung
kontan terpental disertai teriakan menyayat.
Begitu jatuh
berdebam ke tanah, parasnya pucat pasi.
Darah segar
tampak mengalir dari sudut-sudut bibir,
pertanda
telah menderita luka dalam cukup parah.
Pelajar Agung
kecewa bukan main. Tubuhnya te-
rasa lemas
akibat luka dalamnya. Tangan kanannya
pun tak
henti-hentinya memegangi dada, berusaha
menahan
guncangan luka dalamnya.
"Teman-teman,
cepat tinggalkan tempat ini!" teriak
Pelajar Agung
tiba-tiba.
Kemudian
tanpa banyak cakap lagi, lelaki ini sege-
ra berkelebat
cepat meninggalkan tempat pertarungan.
Kebetulan,
Raja Racun dan Raja Golok pun baru saja
tegak berdiri
setelah mendapat hajaran dari lawan-
lawannya.
Maka begitu mendapat kesempatan, mereka
cepat
berkelebat, melarikan diri.
"Teman-teman,
jangan kejar! Berbahaya! Lekas
cari Siluman
Ular Putih!" perintah Raja Penyihir ketika
beberapa
orang pendekar muda itu bermaksud menge-
jar Pelajar
Agung dan kawan-kawannya.
"Tapi...,"
tukas Manik Biru keberatan.
"Jangan
tapi-tapian! Keselamatan Siluman Ular
Putih lebih
penting dibanding mereka, tahu?! Lekas ca-
ri Siluman
Ular Putih!" hardik Raja Penyihir.
"Baik."
Sebenarnya
para pendekar muda itu merasa kebe-
ratan melepas
ketiga penjilat Pangeran Pemimpin begi-
tu saja.
Namun untuk mengabaikan keselamatan Si-
luman Ular
Putih, mereka juga tak kalah beratnya.
Maka meski
dengan hati berat, mereka segera mencari
Siluman Ular
Putih.
Sementara,
Raja Penyihir sendiri segera meng-
hampiri tubuh
Pendidik Ulung di luar tempat pertem-
puran dan
berusaha mengobatinya. Kini yang tinggal
hanya
keheningan sebagai saksi bisu atas sebuah pra-
hara yang
baru saja terjadi.
SELESAI
Segera ikuti
lanjutannya!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
SENGKETA
TAKHTA LELUHUR
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Juru Edit:
Fujidenkikagawa
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon