"Ah...!
Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!"
kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran
terus
mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak
bisa. Aku tidak bisa menolongmu,"
sahut
Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya
berpaling
ke samping. Entah ada apa.
Rondo
Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li
hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah,
Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan
pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib
Agung rupanya tak begitu mendengar
ucapan
Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya
asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya
berkerut-kerut.
Tentu
saja hal ini membuat Rondo Kasma-
ran
curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah
wanita cantik ini mendengar langkah-langkah
halus
mendekati tempat itu.
Diam-diam
Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali.
Pipinya kontan memerah begitu teringat apa
yang
dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia
berharap
agar apa yang dibicarakan tadi tidak ter-
dengar
orang lain.
"Kalau
mau datang berkunjung, kenapa
mesti
sembunyi? Cepat tunjukkan batang hidung
kalian!"
kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang ma-
tanya
yang tajam terus memperhatikan tempat
yang
dicurigainya.
Benar!
Sejurus kemudian sepasang anak
muda
tengah keluar dari balik sebuah batu besar.
Yang
sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan
berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih
keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan
angin. Pemuda itu tengah memanggul
dua
sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang
di sebelah si pemuda adalah seo-
rang
gadis cantik. Namun berpenampilan amat
mengundang
perhatiannya. Pakaiannya beraneka
warna,
merah, kuning, dan hijau. Demikian juga
pita
yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua
ke
belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu
sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan
main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran
melihat siapa yang datang. Seketika pipinya
kian
merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai
macam
perasaan bercampur aduk dalam hatinya.
Siapakah
sebenarnya sepasang anak muda yang
dapat
membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah
seperti
itu? Mereka tak lain adalah Siluman Ular
Putih
dan Putri Manja!
Dan
diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu
hati,
apalagi orang yang baru saja dibicarakan te-
lah
berdiri di hadapannya. Bahkan ia curiga kalau
Siluman
Ular Putih mendengar apa yang tadi dibi-
carakan
dengan Tabib Agung.
"Permisi,
Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu,"
sapa
Siluman Ular Putih sumringah. Matanya
sempat
melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...!
Rupanya
lagi kedatangan tamu, ya?"
Rondo
Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa
ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman
Ular
Putih. Terutama setelah melihat kenyataan
kalau
kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis
cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya pa-
nas
sekali. Seperti bisul mau pecah. Mau tidak
mau
Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian
pada gadis cantik di samping Siluman Ular
Putih.
Demikian
juga Putri Manja sendiri. Apalagi,
gadis
ini tadi juga mendengar percakapan Rondo
Kasmaran
dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib
untuk
memelototi wanita di hadapannya. Soal
cemburu,
jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis
manja
itu cemburu berat.
Kini,
tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru.
Walaupun belum secara terang-terangan.
Masalahnya
ini menyangkut perasaan!
"Monyet
Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung,
pakai permisi! Jangan nyelonong saja se-
perti
maling!," tegur Tabib Agung yang sudah men-
genal
cukup akrab dengan Siluman Ular Putih.
Siluman
Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai,
lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat!
Dalam
keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan
lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya,
bisanya hanya itu.
Siluman
Ular Putih tak menyahut teguran
Tabib
Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti
harus berdiri terus di tempatnya.
Tubuhnya
terasa
pegal-pegal karena memanggul tubuh Dewa
Bogel
dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa
kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-
longnya
adalah Dewa Bogel, Orang yang telah
mengejek
dan menamparnya beberapa waktu yang
lalu.
"Nih...!
Ada oleh-oleh buatmu!"
Siluman
Ular Putih meletakkan tubuh Dewa
Bogel
dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang
matanya yang tajam sempat melirik kesal
ke
arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung
benar manusia-manusia kampret
ini.
Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang....
Ah,
sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor
seenaknya
dan duduk di samping Rondo Kasma-
ran.
Tentu
saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk
jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang.
Manis. Amat manis. Harus yang paling
manis
kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat
gelagat Siluman Ular Putih, ganti
wajah.
Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya
sempat
melirik Soma yang sedang bercakap-cakap
dengan
Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat
akrab,
membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk
wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa.
Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya
tubuh
gurunya yang terluka parah ke hadapan
Tabib
Agung.
Sebenarnya,
Tabib Agung ingin sekali
menggoda
Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun
begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh
di
hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar.
Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da
sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah
pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu
melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di de-
pan
mata.
"Cukup
aneh kelihatannya penyakit ketiga
orang
ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gu-
mam
Tabib Agung dalam hati. Tangannya yang
sudah
gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba
tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama
dan
teliti, tanpa mempedulikan ‘perang urat saraf’
dua
orang wanita cantik di samping.
Putri
Manja terus memberengut habis-
habisan.
Naluri kewanitaannya tidak rela melihat
Soma
berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran.
Apa
pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding
wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik.
Lebih
menggairahkan. Lebih segala-galanya!
Untuk
mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan
lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung.
Meski
tidak langsung membuka suara tapi dari
raut
wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap
perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin
parah saja kedua orang wanita itu saling meli-
rik
benci.
"Sudah
tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar
cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!"
sindir Putri Manja.
Rondo
Kasmaran kontan tersinggung berat.
Ia
yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman
Ular
Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun
berhak
marah. Berhak membalas sindiran Putri
Manja!
"Soma...!
Ah...! Enak sekali namamu sebe-
narnya,"
desah Rondo Kasmaran. Suaranya dibuat
semerdu
mungkin. Tangannya pun lincah bermain
di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali ka-
lau
sikapnya sangat dibuat-buat. Rondo Kasmaran
tak
peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi
gadis
cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau
seandainya
obrolan kita ini terjadi di malam hari.
Apalagi
waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan
betapa enaknya. Kita dapat mengobrol
sesuka
hati tanpa ada gangguan nyamuk!"
Panas
sudah hati Putri Manja mendengar
sindiran
Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya.
Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan
'nyamuk
malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan
orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya
dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat
lagi
menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh....
Perempuan Sundal! Jaga mulutmu,
ya!
Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja
mengataiku
'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau
sudah
kecakepan, he?!" bentak Putri Manja, tanpa
tedeng
aling-aling.
"Eh....
Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada
angin,
kenapa marah-marah padaku, he?! Bilang
saja
cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasma-
ran
tak kalah sengit.
"Perempuan
keparat! Siapa yang cemburu?!
Beraninya
kau menuduhku cemburu! Apa kau kira
aku
tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan
Tabib
Agung, he?! Enak saja menuduh! Justru
kaulah
yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!"
sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu
sungguh lancang! Apa kau tak
pernah
dididik sopan santun oleh gurumu, he?!"
"Jangan
membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan
tak tahu malu macam kau, mana pantas
menyebut
guruku?! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku
mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi
kau menantangku, Tengil?" desis
Rondo
Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau
kau menginginkan itu, siapa takut?!"
sahut
si gadis, tak kalah gertak.
"Eh...,
tunggu! Ada apa ini? Kenapa kalian
jadi
uring-uringan begini? Apa ada ayam kalian
yang
dicolong maling?" lerai Soma setelah sebe-
lumnya
menatap penuh heran. Dan pemuda ini
jadi
kaget bukan main melihat gelagat kedua orang
temannya.
Tapi,
mana sudi Putri Manja dan Rondo
Kasmaran
menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih.
Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik
itu
kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan
mata
saling menatap tajam. Kemudian entah siapa
yang
lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah
bertarung
sengit.
Tentu
saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri.
Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang
tengah
bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo
Kasmaran
dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja
bertarung.
"Eh
eh eh...! Kenapa sih kalian jadi berteng-
kar
begini? Seperti anak kecil saja. Ayo, hentikan!"
bentak
Soma, langsung berdiri di tengah-tengah
kedua
wanita yang bertarung itu.
Kedua
tangan Siluman Ular Putih memben-
tang
lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak
dua
orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan
pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan!
Apa yang sebenarnya kalian
ributkan,
he?!" bentak Siluman Ular Putih lagi, pe-
nuh
wibawa. Putri Manja dan Rondo Kasmaran te-
tap
berdiri di tempat masing-masing dengan napas
memburu.
Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan
pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah.
"Aku
tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis
tengil
itulah yang terlebih dulu memulai!" tuding
Rondo
Kasmaran kesal.
"Siapa
yang memulai? Kaulah yang terlebih
dulu
menantangku bertarung!" sambar Putri Man-
ja
sengit. Runyam sudah urusannya. Siluman Ular
Putih
tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus
menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu-
kan
siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Sudah-sudah!
Kalian tidak boleh berta-
rung!
Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing!
Duduk!" bentak Siluman Ular Putih
saking
kesalnya.
Putri
Manja dan Rondo Kasmaran saling
memberengut.
Tak puas dengan keputusan Silu-
man
Ular Putih.
Maka
tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih
tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol!
Apa kalian tuli? Aku menyuruh ka-
lian
duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri
Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming
dari tempatnya berdiri.
Soma
jadi bingung bukan main. Kedua
orang
wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan
pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai?
Namun si pemuda juga tidak ingin mereka
melanjutkan
pertarungan.
Di
saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan,
tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu
dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan
Putri
Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang
merasa tidak berkepentingan, baik-
nya
tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat
onar
di tempatku!"
Rupanya
cukup manjur juga ucapan Tabib
Agung
ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah
sekali.
Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah
Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman
Ular
Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti
tak pernah menghiraukan kegelisa-
han
Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak
Gunung
Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga
orang tamunya. Terkadang kening orang tua
itu
terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya teran-
tuk-antuk
seperti telah menemukan sesuatu. Dan
kenyataannya
memang demikian. Karena menda-
dak,
Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat
cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak
mencari beberapa ramuan obat.
Rondo
Kasmaran membantingkan kakinya
kesal.
Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat
menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman
Ular
Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat
meninggalkan
tempat itu. Hanya dalam beberapa
kelebatan
saja, sosoknya telah jauh dari tempat
ini.
Siluman
Ular Putih menggeleng-gelengkan
kepala,
lalu disusul dengan gerutuannya yang tak
jelas....
6
Rondo
Kasmaran terus berkelebat cepat.
Tanpa
arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah,
ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak
turun
dari puncak Gunung Perahu terus menema-
ni
perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya
mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja.
Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih.
Buktinya
pemuda itu tak mengejarnya sebagai
tanda
kalau benar-benar mencintai. Inilah yang
sebenarnya
mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari
pandang mata. Rondo Kasmaran tahu
kalau
Siluman Ular Putih memihak Putri Manja.
Meski
tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai
wanita sudah berpengalaman dalam cinta.
Rondo
Kasmaran jelas dapat merasakannya.
"Oh...!
Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo
Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di
tanah
rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya
kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya.
Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya
pun
terdengar amat menyayat hati.
"Oh...!
Apakah ini karena salahku? Karena
aku
tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi
Rondo Kasmaran menyebut men-
diang
kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar
muda
yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo
Kasmaran
jadi makin memelaskan. Perasaannya
kalut
bukan main. Hatinya hancur, oleh derita
yang
haus akan kasih sayang.
"Maafkan
aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu
sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin
aku
selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan
di
alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini.
Huh
huh huh...."
Di
tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak
telinganya dikejutkan gerutuan seseorang
yang
entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do
Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta
dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati
keadaan
sekitarnya.
Dan
tak jauh dari jalan setapak di hada-
pannya,
tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang
santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran.
Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah
mencapai
delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya
tinggi
kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya
tambal-tambalan,
seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya
tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya
harus mengerjap-ngerjap bila mengamati
keadaan
sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya
berkemik. Entah bersenandung apa?
Melihat
siapa yang datang, jelas Rondo
Kasmaran
kaget bukan main. Kakek tua yang
tampak
tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan
kanan
tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh
bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung
Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca
dalam
episode: "Manusia Rambut Merah" dan
"Sengketa
Takhta Leluhur").
Sesampainya
di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja
Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik
itu
seketika. Kedua bibirnya terus berkemik-
kemik.
Rondo
Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir
akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata
yang keluar bukanlah sapa ramah tua
bangka
itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...!
Ke mana aku harus mencari bocah
edan
itu? Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku
mimpi
buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah
tak bernyawa. Hm...."
Rondo
Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya
Raja
Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa
mempedulikannya
sedikit pun.
"Maaf,
Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya
kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo
Kasmaran,
akhirnya. Hatinya yang panas rupanya
masih
dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar
kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa
Raja Penyihir menghentikan langkahnya.
Badannya
berbalik sebentar. Diamatinya Rondo
Kasmaran
tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut.
Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku
sedang mencari bocah edan itu. Aku
khawatir,
ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu,
aku
mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak
dilumat
setan atau naga gondrong. Aku tak tahu.
Tapi
yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat
mencarinya.
Apakah kau tahu, Cah Ayu?" papar
Raja
Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu
bocah edan siapa yang kau cari
itu,
Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran.
"Ya
sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!"
sungut
Raja Penyihir.
Rondo
Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar.
"Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya
mengelus
dada.
"Iya,
tapi siapa namanya?"
"Oh
oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya
ya...!
kau benar. Muridku memang punya nama.
Tapi
siapa, ya? Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya
Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di
mana
bocah edan itu berada?"
Mau
tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos
juga mendengar nama orang yang sangat di-
cintainya
disebut. Bagaimana tidak? Dia baru saja
mencaci
maki sekaligus meratapinya. Kini, tahu-
tahu
ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah
pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman
Ular
Putih berada. Cuma untuk menjawabnya.
Rondo
Kasmaran agak keberatan.
"Aku
tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja
Rondo
Kasmaran menggantung kalimatnya sampai
di
situ.
"Tapi
apa? Cepat katakan!" sambar Raja Pe-
nyihir.
Rondo
Kasmaran tersenyum-senyum. Sen-
gaja
senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran
Raja Penyihir.
"Jangan
senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik
dengan senyummu, he?!" bentak Raja Penyi-
hir
galak.
"Yah...!
Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua
keladi?"
tukas Rondo Kasmaran seenaknya.
Raja
Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya
tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya
tongkat
di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke
tanah.
Seketika, tanah di sekitarnya berlubang be-
sar
terkena ketukan tongkatnya.
Rondo
Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam
hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja
Penyihir.
Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya
begitu
saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab
pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di
mana
Siluman Ular Putih berada?!" bentak Raja
Penyihir
lagi, tak sabar.
"Ya
ya ya...! Aku akan memberitahukan pa-
damu.
Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasma-
ran.
"Semprul!
Pakai syarat segala macam!" maki
Raja
Penyihir.
"Ada
ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah
pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir,"
jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum
kemenangan.
"Baik.
Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu?!"
sahut
Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan
matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir
akan
memenuhi syarat itu atau tidak.
"Nah,
begitu baru adil namanya. Tapi, kau
tentu
tidak akan mengecewakan aku, kan? Kau
pasti
mau memenuhi syaratku, kan?" berondong.
Rondo
Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli.
"Iya."
"Benar?"
"Benar!"
"Baik.
Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku."
"Katakan
saja!"
"Baik,"
Rondo Kasmaran menelan ludahnya
sebentar.
"Terus terang, aku hanya punya satu
syarat
saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak
akan
mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku!
Kau harus...."
"Iya,
iya! Tapi, apa syaratnya? Cepat kata-
kan!
Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!"
hardik Raja Penyihir.
"Ini
aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak
sabaran."
"Mana
aku bisa sabar melihat muridku da-
lam
bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau
tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo
Kasmaran.
"Iya.
Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyi-
hir.
"Dengar,
Raja Penyihir! Aku ingin kau
membantuku
mendapatkan Siluman Ular Putih
secepatnya.
Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup,
Raja Penyihir?"
Raja
Penyihir kontan tersentak kaget. Tak
disangka
kalau syarat macam itu yang diajukan
Rondo
Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir
menyembunyikan
rasa terkejutnya.
"Hm...!
Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat
memenuhi
syaratmu. Sekarang katakan, di mana
muridku
berada!"
"Dia...,
dia sedang berada di puncak Gu-
nung
Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang
gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus.
Manakala
mengucapkan 'sedang berdua-duaan
dengan
seorang gadis cantik', mendadak hatinya
nyeri
sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat
hatinya.
"Bagus.
Kalau begitu, sekarang juga aku
akan
ke sana."
"Tunggu,
Orang Tua!" teriak Rondo Kasma-
ran,
menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada
apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya
berbalik
lagi.
"Ingat,
Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan
hati muridmu agar mau denganku!"
"Baik..,
baik."
"Awas kalau kau mungkir!"
"Baik....
Tenang saja...."
***
Soma
senang sekali melihat hasil pengoba-
tan
Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri
Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam
Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat
itu.
"Hebat!
Kau memang hebat, Orang Tua! Tak
sia-sia
rupanya kau mendapat gelar Tabib Agung!
Nanti
kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai
hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-
kosnya
jangan mahal-mahal, ya?" seloroh Siluman
Ular
Putih.
Putri
Manja sendiri begitu melihat gurunya
mulai
duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari
rasa
gembira. Namun bila teringat akan keakraban
Rondo
Kasmaran dengan Soma tadi, mendadak
senyumnya
hilang berganti wajah masam.
"Eh...!
Kenapa kau cemberut saja, Putri?
Masa'
gurumu sembuh malah sedih? Aku sendiri
yang
bukan murid kakek bau pesing itu senang.
Kenapa
kau tidak?" tanya Soma, heran melihat si-
kap
Putri Manja.
Putri
Manja tak menyahut. Hanya kilatan
matanya
saja sebagai jawaban.
"Lho,
kok malah melotot? Senyum dong!" se-
loroh
Soma.
"Bodo!"
sungut Putri Manja, kesal.
"Lho?
Kok, malah marah-marah? Ada apa?"
"Diam
kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!"
"Itu
lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata
lain
yang lebih enak didengar telinga selain kata-
kata
itu?"
"Aku
benci padamu, Mata Keranjang!" sem-
bur
Putri Manja kasar.
"Oh...!
Jadi kau masih ingat kejadian tadi,
ya?
Kau merasa sakit hati, ya? Atau..., jangan-
jangan
kau tersinggung dengan kekasaranku tadi,
ya?
Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja
tersinggung.
Memangnya tadi aku ngomong apa?
Jangan
begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Ke-
napa
omonganku tadi dimasukkan ke hidung. Eh,
salah!
Dimasukkan ke hati? Jadi, ya.... Kau ma-
nyun
terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih
yang
diakhiri tawa berderai.
"Diam
kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di
sana!"
bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir
aku
senang melihat tingkahmu apa?"
"Yah...!
Kau sendiri malah ikut-ikutan ma-
nyun,
Orang Tua! Harusnya kau senang dapat
menyembuhkan
ketiga orang itu," tunjuk Siluman
Ular
Putih ke arah Dewa Bogel, Bayi Kawak,
dan
Lamdaur.
"Harusnya!
Harusnya...!" omel Tabib Agung.
"Kau
sendiri harusnya berterima kasih padaku,
karena
ketiga orang kawanmu itu telah kusem-
buhkan!
Eh..., malah bertingkah!"
"Lho
lho lho...?! Mereka itu bukan kawanku.
Bukan
apa-apanya aku," kilah Soma.
"Tapi
bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan
terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!"
"Kau
keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat
meloncat
bangun. Tangannya yang terkepal siap
mengemplang
jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!"
sahut Soma. "Terima kasih, ya!
Kau
telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak
dan
kedua kakek itu,"
"Nah,
begitu...," kata Tabib Agung latah se-
raya
menoleh pada Dewa Bogel dan Lamdaur. "Hai,
Bogel!
Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada
apa kau memanggilku, Tabib Agung?"
sahut
Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan.
"Kemari!
Kalian pun harus mengucapkan
terima
kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah
yang
membawa kalian kemari."
Dewa
Bogel dan Lamdaur sejenak saling
berpandangan.
Tampak sekali kalau dua orang to-
koh
sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran
sekali
melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-
jainya
dua hari lalu telah berada di puncak Gu-
nung
Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang
telah
membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya
ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan
terima kasihku padamu, Pendekar Muda.
Maaf,
kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!"
ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar
telinga,
karena hatinya masih merasa sungkan.
"Iya,
Pendekar Muda. Untung saja ada kau.
Kalau
tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"
timpal
Dewa Bogel.
"Eh...!
Kau juga harus mengucapkan terima
kasih
padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-
lupaan.
"Yah...!
Tadi aku kan sudah mengucapkan
terima
kasih," sungut Siluman Ular Putih tak se-
nang.
"Kapan?"
"Tadi"
"Aku
tidak dengar."
"Salahmu
sendiri. Punya telinga tak pernah
dibersihkan!"
cemooh Soma.
"Eh...!
Malah memaki! Ayo ulangi lagi!"
"Aduuuh...!
Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo!
Pokoknya kau harus mengulangi.
Ayo,
cepat!"
"Baik,"
sahut Soma malas-malasan. "Terima
kasih
ya. Kau telah menyelamatkan Kakek Bogel
dan
Kakek Jangkung itu."
"Nah...!
Itu baru enak didengar," sahut Ta-
bib
Agung seraya mengipas-ngipas dengan tangan.
"Maunya
siih begitu!" cemooh Soma lagi se-
raya
menjebikkan bibir.
"Apa
kau bilang?"
"Eh...,
tidak. Aku tidak ngomong apa-apa
kok,"
sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib
Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak
matanya jadi liar.
"Eh...!
Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga
lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-
sembuhkan.
Sekarang, sudah waktunya angkat
kaki
dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta-
bib
Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman
Ular Putih, dan semua yang berada
di
puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan.
Tak mengerti dengan perubahan watak tuan
rumah.
"Kenapa
kalian malah bengong saja? Apa
kalian
semua tuli, he?! Cepat tinggalkan tempatku
ini!"
"Apa
termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya
Soma
memberanikan diri.
"Ya.
Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat
ini!"
tegas Tabib Agung.
"Yah...,
tega amat! Kenapa kau buru-buru
mengusirku,
Orang Tua?"
"Bocah
Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!"
hardik
Tabib Agung, galak.
"Baiklah...."
Soma garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun
berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai
bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun
kepalanya
sesekali masih dipalingkan ke belakang.
Ketika
Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru
Soma
mempercepat langkahnya meninggalkan
tempat
itu.
7
Begitu
Maling Tanpa Bayangan keluar dari
gua
tempatnya bertapa, entah dari mana selalu
ada
kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana
kedua
kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib
itu
pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan
sendiri
tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya
saja kekuatan gaib itu.
Tanpa
terasa, Maling Tanpa Bayangan terus
dituntun
menuju utara. Terus disusurinya hulu
Sungai
Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat
ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh
bukit-bukti
terjal. Di sanalah langkahnya berhenti.
Sejenak
Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan
keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut,
seolah
tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke
tempat
itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga.
Maling
Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya
bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang
konon
menyimpan banyak kekuatan gaib pula.
"Heran?
Kenapa aku sampai di sini? Kenapa
aku
tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang
menuntun
langkahku? Bukankah aku mengingin-
kan
nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin
menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku
malah
kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan
tak
habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut.
"Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa ke-
kuatan
gaib itu menuntunku kemari? Apa tidak
sebaiknya
mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan
gaib yang menuntun setiap langkahku dan
segera
mencari Siluman Ular Putih? Ah...! Kupikir,
baiknya
memang demikian!"
Maling
Tanpa Bayangan siap menjejakkan
kakinya
untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya
mendengar langkah-langkah halus mende-
kati
tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya
beberapa
sosok bayangan yang tahu-tahu telah
mengepungnya.
"Ada
larangan bagi siapa saja yang berani
memasuki
Lembah Duka ini. Siapa kau berani
lancang
kemari, he?!" bentak seorang pemuda
yang
mengepung Maling Tanpa Bayangan, garang.
Pemuda
itu berperawakan tinggi kekar. Wa-
jahnya
tidak terlalu tampan, namun menyiratkan
kekerasan
sikapnya. Rambutnya gondrong dikun-
cir
ke belakang. Menilik otot-otot lengannya yang
bertonjolan,
jelas menandakan kalau pemuda ga-
gah
berpakaian ringkas warna kuning ini gemar
sekali
berlatih ilmu olah kanuragan.
Sementara
Maling Tanpa Bayangan hanya
mendengus.
Kilatan-kilatan matanya mendadak
jadi
mencorong beringas.
"Tikus-tikus
comberan! Beraninya kau
menghadang
Maling Tanpa Bayangan!" bentaknya,
tak
kalah garang.
Pemuda
gagah berpakaian kuning itu sem-
pat
melengak kaget begitu mendengar bentakan
orang
tua di hadapannya. Demikian juga kesepu-
luh
orang pemuda temannya yang turut menge-
pung.
Karena, sudah pasti mereka mengenal gelar
Maling
Tanpa Bayangan yang menjadi salah satu
momok
dunia persilatan!
"Ditanya
baik-baik malah berlagak! Orang
Tua!
Siapa takut dengan nama besarmu!" bentak
yang
lain, geram.
"Orang
Tua! Di antara kita tidak pernah ada
silang
sengketa. Kenapa kau berani menginjakkan
kaki
ke Lembah Duka tanpa izin. Mengingat kau
seorang
tokoh dunia persilatan yang sangat dis-
egani,
kuharap sudilah meninggalkan tempat ini!"
kata
pemuda berbaju kuning cukup bersahabat.
"Bedebah!
Beraninya kau main perintah
terhadapku,
Bocah bau kencur! Apa kau sudah
bosan
hidup?!"
Rupanya
hanya bentakan garang saja seba-
gai
jawaban atas keramah-tamahan pemuda ber-
baju
kuning tadi. Hal ini tentu saja membuat ama-
rah
kesebelas pemuda itu siap meledak. Mereka
kini
tak gentar lagi pada nama besar Maling Tanpa
Bayangan.
"Kakang
Juwono! Kiranya kita tak perlu lagi
berbasa-basi.
Manusia maling satu ini memang pa-
tut
diusir dengan kekerasan!" teriak salah seorang
pemuda
berbaju merah pada pemuda berbaju kun-
ing
yang dipanggil Juwono.
"Benar,
Kang. Buat apa kita buang-buang
waktu
meladeni maling satu ini?! Pasti ada niat ja-
hat
yang tersembunyi di batok kepalanya!" sahut
yang
lain penuh kemarahan.
"Hm...!
Kau dengar apa yang diinginkan te-
man-temanku,
Orang Tua? Jadi harap kau men-
gerti.
Lekas tinggalkan tempat ini secepatnya!"
gumam
Juwono, wibawa.
"Hahaha...!"
Maling
Tanpa Bayangan mendadak tertawa
bergelak
padanya yang kerempeng bergerak turun
naik
saking gelinya. Dalam hatinya melecehkan.
Bagaimana
mungkin ia yang kini telah menguasai
ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan
bisa diremehkan demikian rupa. Apalagi,
hanya
oleh segerombolan pemuda kemarin sore.
Baginya
mereka tak ubahnya gerombolan anjing
yang
minta digebuk.
"Bagus!
Manusia-manusia pencari mati,
majulah
kalau ingin lekas menemui Raja Akhirat!"
tantang
Maling Tanpa Bayangan.
"Serang!"
Juwono
mengibaskan tangannya ke depan.
Maka
tanpa banyak cakap, kesepuluh orang pe-
muda
itu segera menerjang Maling Tanpa Bayan-
gan
dengan pedang di tangan. Sekilas serangan-
serangan
Juwono dan kesepuluh temannya cukup
hebat.
Namun bagi Maling Tanpa Bayangan, se-
rangan-serangan
mereka tak ubahnya segerombo-
lan
laron yang menyerang api.
Maka
begitu datang serangan, Maling Tanpa
Bayangan
segera bertindak. Sekalian mencoba il-
mu
yang baru didapat dari Kitab Paguyuban Se-
tan,
tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah berke-
lebat
cepat luar biasa menerjang ke depan.
"Heh...?!"
Juwono
dan kesepuluh temannya terkesiap
bukan
main. Mereka tak menyangka akan menda-
pat
serangan balik demikian cepatnya. Belum
sempat
berpikir lebih jauh, tahu-tahu jari-jari tan-
gan
Maling Tanpa Bayangan telah mengancam
laksana
tangan-tangan maut.
Dess!
Dess! Dess!
Bret!
Bret!
"Aaa...!"
Juwono
dan lima temannya hanya sempat
mengeluarkan
keluhan, sebelum akhirnya ambruk
satu
persatu dengan dada jebol dan perut sobek.
Belum
puas dengan gebrakan pertama, Mal-
ing
Tanpa Bayangan kembali berkelebat melancar-
kan
serangan berikut,
"Hea...!
Heaaa...!"
Bukkk!
Bukkk!
Lima
kali tangannya bergerak melayangkan
bogem
mentah, maka terdengar pekik menyayat
dari
lima orang pengeroyok. Mereka kontan ter-
jungkal
ke tanah, tak mampu bangun lagi. Semu-
anya
terkapar dengan luka amat mengenaskan.
Kepala
pecah mengeluarkan cairan kemerah-
merahan,
sementara perut ambrol dengan usus
terburai.
"Tikus-tikus
comberan tak tahu diri! Mam-
puslah
kalian semua! Ha ha ha...," tawa Maling
Tanpa
Bayangan bergelak. Suaranya menggema ke
seantero
penjuru. Seolah, ingin mengabarkan hari
kemenangannya
pada segenap alam dan isinya.
Maling
Tanpa Bayangan puas menikmati
kemenangannya.
Tak henti-henti suara tawanya
diumbar.
Dan di saat demikian, tiba-tiba nalurinya
merasakan
angin dingin berkesiur menyerangnya
dari
belakang.
"Bedebah!
Siapa berani main gila dengan-
ku!"
Maling
Tanpa Bayangan terperanjat. Buru-
buru
tubuhnya dilemparkan ke samping. Namun
sayang,
gerakannya terlambat. Serangan itu da-
tang
lebih cepat dibanding gerak tubuhnya. Aki-
batnya....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Maling
Tanpa Bayangan menggembor penuh
kemarahan.
Tanpa ampun tubuhnya kontan ter-
pental
jauh ke belakang, langsung menghantam
batang
pohon di belakangnya.
Siapakah
orang yang menyerang Maling
Tanpa
Bayangan?
***
Sementara
itu di lereng Gunung Perahu,
Sesosok
bayangan tinggi kurus terus berkelebat
cepat
menuju puncak. Bak seekor capung raksasa,
ringan
sekali tubuhnya berlompat-lompatan dari
tempat
yang satu, ke tempat yang lain.
Begitu
di puncak gunung, sosok tinggi ku-
rus
ini menghentikan langkahnya. Ternyata, ia
adalah
seorang kakek berusia amat tua. Tak ku-
rang
dari delapan puluh tahun. Tubuhnya yang
tinggi
kurus dibalut pakaian compang-camping
mirip
pakaian pengemis. Di tangan kanannya ter-
genggam
tongkat butut berlekuk-lekuk. Dia tak
lain
dari Raja Penyihir yang sedang mencari Silu-
man
Ular Putih!
Sesuai
keterangan yang didapat dari Rondo
Kasmaran,
tanpa membuang-buang waktu Raja
Penyihir
segera menuju tempat kediaman Tabib
Agung.
Namun ketika menemukan puncak Gu-
nung
Perahu terasa lengang, mau tidak mau ha-
tinya
jadi jengkel juga.
"Mana
itu muridku Siluman Ular Putih? Ka-
tanya
sedang berdua-duaan dengan seorang gadis
cantik?
Mana pula tua bangka jelek itu?" gumam
hati
Raja Penyihir tak henti. Sepasang matanya
yang
tajam pun terus mengamati keadaan sekitar-
nya.
Namun tak ada tanda-tanda kalau di tempat
itu
ada orang. Yang ditemukan hanya beberapa
bekas
telapak kaki. Ini jelas membuktikan kalau
tak
lama sebelum itu banyak orang yang berda-
tangan
kemari. Begitu dugaannya.
Raja
Penyihir tak puas hanya menemukan
telapak-telapak
kaki di puncak gunung. Saat ini
keinginannya
untuk bertemu Siluman Ular Putih
benar-benar
menggebu-gebu. Tapi sekarang, tak
seorang
pun ada di sini. Apalagi, Tabib Agung juga
tak
ditemukan di tempat itu. Maka satu-satunya
sasaran
kemarahannya tidak lain adalah Tabib
Agung
sendiri!
"Tabib
Agung...! Keluar kau! Di mana kau
sembunyikan
muridku, he?!" teriak Raja Penyihir
lantang,
Suaranya yang berat terdengar sampai di
delapan
penjuru mata angin.
Tak
ada jawaban.
Raja
Penyihir jadi geram bukan main. Di-
ulanginya
lagi teriakannya berulang-ulang, sehing-
ga
akhirnya....
"Kau...?
Mau apa datang kemari?"
Mendadak
terdengar bentakan galak seseo-
rang
di belakang Raja Penyihir. Buru-buru lelaki
tua
ini berbalik.
"Tabib
Jelek! Kenapa kau tak muncul waktu
kupanggil?
Apa telingamu budek?" terabas Raja
Penyihir,
tak kalah galak.
"Aku
yang tanya, mau apa datang kemari?
Bukan
menyuruhmu membentak. Apa kau kemari
juga
mau berobat? Iya? Maaf, aku tak bisa mene-
rima,"
sahut Tabib Agung, galak.
"Slompret!
Aku kemari bukannya untuk be-
robat,
tahu?!"
"Lalu,
mau apa kalau tidak berobat?"
"Aku
mencari muridku!"
"Ya,
cari saja! Kenapa marah-marah?" sahut
Tabib
Agung, seenaknya. Segera badannya berba-
lik
bermaksud meninggalkan Raja Penyihir begitu
saja.
"Hei...!
Tabib Jelek! Di mana kau sembunyi-
kan
muridku?" tanya Raja Penyihir tahu-tahu,
menahan
langkah Tabib Agung. Sepasang matanya
yang
mencorong terus memandangi Tabib Agung.
Curiga.
"Ah...!
Kau ini! Apa otakmu sedang kumat?
Apa
perlu kucuci dengan air garam? Seenaknya
saja
menuduh orang. Kapan kau punya murid?"
tukas
Tabib Agung kesal. "Lagi pula, siapa sudi ja-
di
muridmu? Paling juga disuruh belajar main su-
lap!"
"Tabib
Jelek! Jangan membuatku naik da-
rah,
ya? Apa kau ingin kukemplang sampai modar,
he?!"
"Siapa
takut? Ayo kemplang kalau berani?"
tantang
Tabib Agung, seraya menyorongkan kepala
ke
depan.
Disuguhi
kue apem begitu, Raja Penyihir
malah
jadi salah tingkah. Bagaimanapun juga tak
mungkin
kepala Tabib Agung dikemplang begitu
saja.
Apalagi, lelaki yang ahli dalam pengobatan itu
sahabat
akrabnya.
"Kau...
kau memang setan, Kerempeng! Se-
karang
katakan, di mana Siluman Ular Putih be-
rada!
Tadi, Rondo Kasmaran memberitahuku ka-
lau
pemuda sialan itu bersembunyi di sini. Pasti
kau
yang menyuruhnya sembunyi!" tuding Raja
Penyihir.
"Ooo...!
Jadi kau mencari bocah edan itu?"
Tabib
Agung mengangguk-angguk
"Iya.
Di mana dia sekarang?"
"Sudah
kuusir."
"Apa?
Kau usir? Lancang benar kau mengu-
sir
muridku. Apa kau sudah tak doyan nas..."
"Sabar-sabar!"
Tabib
Agung mengangkat tangannya. Seke-
tika
tangan Raja Penyihir yang sudah terangkat
tinggi
siap mengemplang diturunkan kembali.
"Sekarang
aku mau tanya. Sejak kapan kau
punya
murid, Tua Bangka Jelek?" sambung Tabib
Agung.
"Kau
tak perlu tahu. Punya murid, kek! Ti-
dak,
kek. Itu bukan urusanmu. Sekarang katakan,
di
mana Siluman Ular Putih?" sahut Raja Penyihir
kesal.
"Lho?
Kau kan sudah tahu?"
"Tahu-tahu!
Aku belum tahu, tahu!"
"Lho?
Marah lagi? Tadi kan sudah kubilang
dia
telah kuusir," sahut Tabib Agung dengan se-
nyum
terkembang di bibir. Senang sekali dapat
mempermainkan
sahabatnya.
"Slompret!
Dasar sahabat tak berguna. Per-
cuma
saja aku datang kemari," gerutu Raja Penyi-
hir.
"Ya,
memang percuma. Tapi, cobalah cari
bocah
edan itu ke selatan. Sepertinya dia ke sana!"
"Bodo!"
sahut Raja Penyihir ketus.
Dan
tanpa banyak cakap lagi. Raja Penyihir
pun
segera menjejakkan kakinya ke tanah. Dan
hanya
sekali pijakan saja, tahu-tahu tubuhnya te-
lah
melenting tinggi ke udara, dan terus berkelebat
cepat
ke selatan.
Sementara
Tabib Agung menggeleng-geleng
kepala
melihat ilmu meringankan tubuh yang di-
keluarkan
Raja Penyihir barusan. Makin hebat sa-
ja
kehebatan tua bangka satu itu, pikirnya dalam
hati.
8
"Ha
ha ha...! Percuma saja kau membo-
kongku.
Kau tetap tidak akan mampu membu-
nuhku.
Siapa pun juga tidak akan mampu mem-
bunuhku!"
Maling
Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Punggungnya
yang semula terasa remuk terkena
pukulan
si pembokong kini telah sembuh seperti
semula.
Itu tidak lain berkat ilmu yang dipelajari
dari
Kitab Paguyuban Setan. Tak sia-sia rupanya
lelaki
ini mendapatkan ilmu tangguh itu. Begitu
bagian
tubuhnya terluka, kontan saja uap hitam
yang
keluar dari balik jubah hitamnya menyelimuti
bagian
luka, hingga akhirnya sembuh seperti se-
mula.
Sementara
itu si pembokong yang kini be-
rada
di hadapan Maling Tanpa Bayangan membe-
lalakkan
matanya lebar. Sinar matanya menyi-
ratkan
kalau ia tak mempercayai apa yang telah
dialami
Maling Tanpa Bayangan tadi. Jangankan
punggung
manusia. Tubuh gajah bengkak pun
akan
hancur lebur bila terkena pukulannya. Tapi
ini?
Melukainya pun tidak. Benar-benar aneh!
Si
pembokong adalah seorang nenek bertu-
buh
amat kerempeng dan bungkuk mirip udang.
Pakaiannya
serba merah. Sebenarnya kurang pas
dengan
kulit tubuhnya yang hitam. Namun entah
kenapa,
nenek bertongkat panjang ini sepertinya
lebih
menyukai warna merah. Wajahnya jelek pe-
nuh
keriput, menyiratkan garis-garis kehidupan-
nya
yang telah dimakan usia.
"Maling
Tua! Dari dulu kita selalu beda
pendapat.
Berkali-kali aku mengingatkanmu un-
tuk
kembali ke jalan kebenaran. Tapi, tidak digu-
bris.
Kini saatnyalah aku mengirim nyawa busuk-
mu
ke dasar neraka!" geram si nenek tetap dengan
suara
santun, walau dalam hatinya dipenuhi hawa
amarah.
Makin
meriah saja tawa Maling Tanpa
Bayangan.
Seolah, mendengar lelucon tidak lucu,
"Nenek
peot Dewi Merah! Bagaimana mung-
kin
kau mampu membunuhku? Pukulan 'Racun
Darah
Mayat'-mu tadi pun tak berasa apa-apa.
Lantas
dengan cara apa kau dapat membunuhku,
he?
Ha ha ha...!" ejek Maling Tanpa Bayangan, lalu
disusul
tawa bergelak.
Si
nenek yang ternyata berjuluk Dewi Merah
menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan.
Sebenarnya,
Dewi Merah adalah masih terhitung
kakak
seperguruan Iblis Mayat Merah dan Setan
Mayat
Merah dari Lembah Duka. Namun berhu-
bung
sejak masih muda sudah terjadi silang seng-
keta,
jadilah mereka menempuh jalan masing-
masing.
Dewi Merah yang berhati welas asih memi-
lih
jalan kebenaran. Sedang Setan Mayat Merah
dan
Iblis Mayat Merah memilih jalan sesat. (Untuk
lebih
jelasnya mengenai Setan Mayat Merah dan
Iblis
Mayat Merah, silakan ikuti episode: "Perseku-
tuan
Maut" dan "Lukisan Darah"). Dan sebenarnya
pula
julukan Dewi Merah tak sesuai dengan kea-
daan
si nenek.
Tapi
memang, julukan itu diberikan ketika
si
nenek masih muda.
"Dengan
tongkat bututku inilah aku akan
memaksa
nyawamu minggat Maling Tanpa Bayan-
gan!"
bentak Dewi Merah.
Habis
membentak, begitu Dewi Merah pun
segera
menjejakkan kakinya ke tanah. Maka seke-
tika
tubuh kerempengnya telah meluruk cepat luar
biasa.
Tongkat di tangan kanannya dalam waktu
singkat
telah berubah jadi gulungan-gulungan hi-
tam,
siap mengancam tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan
dari delapan jurusan!
Melihat
jurus yang dikeluarkan Dewi Merah,
Maling
Tanpa Bayangan hanya tersenyum dingin.
Ia
tahu persis, jurus apa yang tengah dikeluarkan
nenek
renta itu, yakni jurus 'Delapan Penjuru Ma-
ta
Pedang' andalan Dewi Merah. Sementara Maling
Tanpa
Bayangan pun segera bertindak. Sengaja ju-
rus
andalannya selama malang melintang jadi mal-
ing
tidak dikeluarkan. Dan ia ingin menjajal kehe-
batan
ilmu yang dipelajarinya dari Kitab Paguyu-
ban
Setan!
Srat!
Srat!
Tak
henti-hentinya tongkat hitam di tangan
Dewi
Merah terus mencecar tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
Merasakan angin yang berkesiur cukup
keras
dari setiap gerakan tongkat itu, jelas kalau
Dewi
Merah telah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam
dengan kekuatan penuh. Namun, Maling
Tanpa Bayangan tetap saja dapat mengimban-
ginya.
Bahkan ke mana saja setiap tongkat hitam
itu
bergerak, lelaki sesat itu seolah bisa memba-
canya
dengan mudah. Tak heran bila serangan
Dewi
Merah selalu bisa dihindari dengan mudah.
"Sudah
cukup kita main-main, Nenek Peot!
Sekaranglah
saatnya kau menemui ajal!" bentak
Maling
Tanpa Bayangan seraya melemparkan tu-
buh
jauh ke belakang.
Begitu
kedua kakinya menjejak tanah,
mendadak
kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan
telah berubah jadi hitam legam! Itulah
pukulan
'Darah Para Durjana', salah satu pukulan
maut
yang dipelajarinya dari Kitab Paguyuban Se-
tan!
Melihat
Maling Tanpa Bayangan hendak
mengakhiri
pertarungan dengan pukulan maut,
Dewi
Merah yang tadi hendak menyerang segera
mengurungkan
niatnya. Tongkat hitamnya segera
ditancapkan
ke tanah. Dipasangnya kuda-kuda,
siap-siap
mengeluarkan pukulan maut 'Racun Da-
rah
Mayat' yang membuatnya dijuluki Dewi Merah.
"Apa
kau tak punya jenis pukulan maut lain
selain
pukulan 'Racun Darah Mayat, Nenek Peot?"
ejek
Maling Tanpa Bayangan.
"Jangan
banyak bacot! Justru dengan pu-
kulan
'Racun Darah Mayat'-ku inilah nyawa bu-
sukmu
akan minggat!" balas Dewi Merah.
"Ha
ha ha...! Boleh. Coba saja kalau bisa!"
"Bagus!
Bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu
hari ini, Maling Tua!"
Dewi
Merah menggeretakkan geraham pe-
nuh
kemarahan. Kedua telapak tangannya yang
telah
berubah jadi kuning berkilauan segera di-
hantamkan
ke depan. Seketika meluruk deras dua
larik
sinar kuning berkilauan dari kedua telapak
tangannya
siap melabrak tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
Wesss!
Wesss!
Maling
Tanpa Bayangan masih sempat juga
mengumbar
tawanya yang bergelak. Namun begitu
merasakan
hawa dingin yang bukan kepalang mu-
lai
menyambar kulit, barulah kedua telapak tan-
gannya
didorong ke depan. Dan....
Blaaaammm...!
Hebat
bukan main bentrokan dua tenaga
dalam
barusan. Bumi bergetar hebat. Angin sam-
baran
bentrokan tadi mampu membuat ranting-
ranting
pohon di sekitar tempat pertarungan ter-
bakar!
Sementara,
sewaktu terjadinya bentrokan
tadi,
Dewi Merah kontan memekik menyayat. Tan-
pa
ampun, tubuh kerempengnya terpental jauh ke
belakang.
Sebentar tubuhnya berputar-putar sebe-
lum
akhirnya terbanting keras!
Dewi
Merah menggeram hebat dengan wa-
jah
pucat pasi. Dari rahangnya yang menggem-
bung
tampak cairan berwarna merah darah! Dan
guncangan
dalam dadanya tak mampu ditahan la-
gi.
Akhirnya....
"Hoekh!"
Darah
merah kental kontan berhamburan
dari
mulut Dewi Merah. Nenek ini merintih kesaki-
tan.
Seisi bagian dalam tubuhnya seolah tergun-
cang
hebat. Namun, Dewi Merah tetap bertekad
untuk
melanjutkan pertarungan. Dengan susah
payah
akhirnya tubuhnya dapat tegak kembali wa-
lau
masih sempoyongan.
Maling
Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Puas
hatinya melihat hasil pukulannya tadi. Apa-
lagi
melihat tubuh kerempeng Dewi Merah yang
masih
limbung. Jelas kalau nenek-nenek peot itu
tengah
menderita luka dalam hebat. Rasanya se-
perti
membalikkan telapak tangan saja kalau ingin
menghabisi
nyawa Dewi Merah.
"Apa
kubilang tadi? Kau tak mungkin dapat
membunuhku.
Malah nyawa busukmu sendirilah
yah
sebentar lagi akan kukirim ke neraka. Bersiap-
siaplah
menerima kematianmu hari ini, Nenek
Peot!"
ancam Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki
sesat itu kembali mengerahkan pu-
kulan
'Darah Para Durjana'. Seketika kedua tela-
pak
tangannya kembali berubah hitam legam
sampai
ke pangkal, pertanda telah mengerahkan
tenaga
dalam dengan kekuatan penuh!
Seolah
melihat tangan-tangan malaikat
maut,
mau tak mau paras Dewi Merah pun jadi
pias
juga. Keringat dingin sempat membasahi tela-
pak
tangannya. Namun wanita tua ini tetap men-
coba
tabah.
"Mungkin
memang sudah nasibku mampus
di
tangan Maling Tanpa Bayangan...," desis Dewi
Merah
nyaris tak kentara.
"Sekaranglah
saatnya kau menemui ajal,
Dewi
Merah! Heaaa...!"
Berbareng
teriakan menggetarkan, tiba-tiba
kedua
telapak tangan Maling Tanpa Bayangan te-
lah
menghentak ke depan. Seketika meluruk dua
larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tan-
gannya,
siap meluluhlantakkan tubuh kerempeng
lawan.
Dewi
merah mengeluh dalam hati. "Rasanya
tak
mungkin saat ini lolos dari lubang kematian..
Jangankan
untuk lolos, untuk menghindar saja
rasanya
tak kuasa."
Namun
pada saat yang paling mence-
maskan
bagi keselamatan tokoh sakti dari Lembah
Duka
ini, mendadak melesat dua larik sinar putih
terang
dari belakang si nenek, namun agak me-
nyamping.
Kedua sinar itu menerabas cepat, me-
mapak
pukulan Maling Tanpa Bayangan.
Blaaammm!
"Aaakh...!"
Sebuah
pekik kesakitan terdengar di sana.
Maling
Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya
penuh kemarahan. Niatnya untuk
menghabisi
nyawa Dewi Merah tersunat sudah. Ia
heran
sekali. Bagaimana mungkin kedua kakinya
sempat
surut beberapa langkah ke belakang akibat
bentrokan
barusan. Ini jelas membuktikan kalau
sang
penolong Dewi Merah juga memiliki kepan-
daian.
"Keparat!
Siapa berani mencampuri uru-
sanku,
he?!" bentaknya garang.
***
"Aku!"
Terdengar
sahutan dari semak belukar tem-
pat
pekikan tadi berasal. Begitu muncul ternyata
si
penolong Dewi Merah masih amat muda. Umur-
nya
tak lebih dari sembilan belas tahun. Wajahnya
tampan.
Rambutnya gondrong tergerai di bahu.
Sedang
tubuhnya yang tinggi kekar terbungkus
pakaian
rompi dan celana bersisik warna putih
keperakan.
Siapa lagi pemuda ugal-ugalan yang
memiliki
ciri-ciri seperti itu kalau bukan Siluman
Ular
Putih.
Tentu
saja Maling Tanpa Bayangan terpe-
rangah
kaget. Sungguh tak disangka kalau bocah
edan
yang sedang dicari-carinyalah yang memapak
pukulannya
tadi.
Sebenarnya
Siluman Ular Putih sampai
nyasar
ke tempat itu bukan tak kebetulan belaka.
Pemuda
ini semula merasa kesal melihat Putri
Manja
ngambek, sehingga jadi uring-uringan sen-
diri.
Ternyata kesalahan yang baginya dianggap
sepele
itu berbuntut panjang. Putri Manja tak mau
berkawan
lagi dengannya. Bahkan kini dipaksa
gurunya
untuk kembali ke puncak Gunung Mera-
pi.
Sedang Dewa Bogel dan Lamdaur langsung
menuju
Hutan Pring Apus, begitu turun dari pun-
cak
Gunung Perahu. Sementara tanpa terasa. So-
ma
terus melangkah hingga sampai ke tempat itu.
Terutama,
ketika mendengar suara pertarungan
yang
membawa langkahnya kemari.
"Lagi-lagi
kau, Manusia Maling! Di mana
ada
kau, di situ pasti ada keonaran!"
"Kuakui,
Bocah Edan! Aku bukan saja ingin
membuat
onar di tempat ini, tapi juga akan mem-
balaskan
sakit hati muridku. Raja Maling. Maka,
sekarang
kau harus modar di tanganku!" dengus
Maling
Tanpa Bayangan.
"Wihhh...!
Jangan galak-galak, ah! Kan ke-
marin
dulu sudah kubilang, bukannya aku yang
membunuh
Raja Maling. Tapi, dia sendiri yang cari
mati.
Masa' bermain maut dengan malaikat maut.
Ya,
pasti koit!" cerocos Siluman Ular Putih asal
bunyi.
Sementara
di tempatnya, Dewi Merah heran
sekali.
Bagaimana mungkin bocah itu berani ber-
tindak
ayal-ayalannya. Sedang dia sendiri tak
mampu
menghadapi Maling Tanpa Bayangan. Lalu
bagaimana
dengan bocah sinting itu? Barangkali
otaknya
sudah miring? Tapi menilik pukulannya
tadi,
sudah pasti kepandaiannya cukup lumayan.
Kalau
tidak, mustahil berani bermain maut. Begi-
tu,
pikir Dewi Merah.
Habis
berpikir begitu Dewi Merah tak dapat
lagi
memperhatikan murid Eyang Begawan Kama-
setyo.
Karena luka dalamnya cukup parah, wanita
ini
duduk bersila dan bersemadi untuk mengobati
luka
dalamnya.
"Jadi,
ceritanya kau ini mau menuntut ba-
las,
ya? Bilang saja dari tadi, kenapa sih? Pakai
berbelit-belit
segala!" oceh Siluman Ular Putih.
"Siapa
yang berbelit-belit? Aku memang in-
gin
membunuh, tahu?" bentak Maling Tanpa
Bayangan.
"Aku
sudah tahu. Tapi sayang, tampangmu
tak
seseram tampang malaikat maut. Bisa jadi
tampangmu
malah lebih mirip badut. Jadi, mana
bisa
kau menuntut balas. He he he...."
"Setan
Alas! Jangan panggil aku Maling
Tanpa
Bayangan kalau aku tak dapat membu-
nuhmu,
Bocah!"
"Jadi,
aku harus memanggil apa? Badut
tua,
begitu?"
Bukan
main mengkelapnya hati Maling
Tanpa
Bayangan setelah dua kali dikatakan badut
tua.
Penghinaan itu tak dapat diterima. Terdorong
amarahnya
yang menggelegak, tiba-tiba Maling
Tanpa
Bayangan menggembor keras. Sementara,
tubuh
tinggi kurusnya sudah menerjang hebat Si-
luman
Ular Putih. Tangan kanannya bergerak ce-
pat
dari atas ke bawah. Tangan kirinya bermaksud
mencengkeram
perut Siluman Ular Putih.
Srat!
Srat!
"Uts!"
Tentu
saja Siluman Ular Putih tak rela tu-
buhnya
jadi sasaran empuk serangan Maling Tan-
pa
Bayangan. Sekali menjejak tanah, tahu-tahu
tubuhnya
telah melenting ke samping sambil me-
lepas
tendangan putar
Desss!
"Ughhh...'"
Telak
sekali perut Maling Tanpa Bayangan
terhantam
tendangan Siluman Ular Putih. Seketi-
ka
tubuhnya terjajar beberapa langkah ke bela-
kang.
Memang tidak sakit. Namun, tendangan itu
cukup
membuat amarahnya seperti hendak mele-
dak
di ubun-ubun kepala.
"He
he he...! Cukup mujarabkan tendan-
ganku
tadi? Itu belum seberapa, lho? Untung aku
masih
sedikit menaruh iba. Siapa tahu kau mau
melawak
di sini. Jadi, kubiarkan saja kau kena
tendanganku,"
ejek Siluman Ular Putih membuat
Maling
Tanpa Bayangan sulit sekali mengendali-
kan
amarah.
"Bocah
Edan! Makanlah pukulan 'Darah Pa-
ra
Durjana'-ku! Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, tiba-tiba kedua
telapak
tangan Maling Tanpa Bayangan yang su-
dah
berubah jadi hitam legam segera menghantam
ke
depan. Seketika meluruk dua larik sinar hitam
legam
yang disertai berkesiurnya hawa panas bu-
kan
kepalang mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih!
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh
tak disangka akan mendapat serangan
sedahsyat
itu.
"Edan!
Bagaimana mungkin tua bangka ini
dapat
memiliki ilmu pukulan sehebat ini? Bukan-
kah
beberapa hari lalu kepandaiannya masih be-
lum
seberapa? Tapi kenapa kepandaiannya seka-
rang
jadi berlipat ganda?" gumam Siluman Ular
Putih
tak habis berpikir.
Namun
Soma tak sempat melanjutkan kata-
kata
dalam hati kalau masih ingin melihat terang-
nya
sinar matahari esok hari. Begitu merasakan
hawa
panas dari pukulan Maling Tanpa Bayangan
mulai
menyambar kulit, tubuhnya segera dibuang
ke
samping. Sehingga, serangan Maling Tanpa
Bayangan
terus menerabas ke belakang, langsung
menghantam
batang pohon.
Brakkk!
Batang
pohon sebesar dua lingkaran tangan
manusia
dewasa itu kontan bergoyang-goyang he-
bat.
Selang beberapa saat, disusul suaranya yang
menggemuruh
sebelum akhirnya tumbang. Dari
akar
sampai pucuk-pucuk daunnya hangus terba-
kar!
Bukan
main!
Melihat
kejadian itu, tanpa sadar Siluman
Ular
Putih berdecak-decak kagum. Kepalanya pun
ikut
menggeleng-geleng biar kelihatan yakin kalau
sedang
terheran-heran.
"Busyet!
Hebat juga pukulanmu tadi, Mal-
ing.
Belajar dari mana?" kata Siluman Ular Putih,
polos.
Mana
sudi Maling Tanpa Bayangan melade-
ni
ocehan bocah sinting itu. Melihat serangannya
gagal,
segera disusunnya serangan berikut. Tanpa
banyak
cakap lagi, kedua telapak tangannya kem-
bali
dihantamkan ke depan.
"Hea...!"
Wesss!
Wesss!
Lagi-lagi
melesat dua larik sinar hitam yang
mengerikan
mengancam tubuh Siluman Ular Pu-
tih.
Soma yang sudah melihat kehebatan pukulan
'Darah
Para Durjana' milik Maling Tanpa Bayan-
gan
tak segan-segan lagi segera memapaki dengan
pukulan
'Inti Bumi'.
"Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Siluman Ular
Putih
segera mendorongkan kedua telapak tan-
gannya
yang telah berubah jadi putih terang hing-
ga
ke pangkal lengan.
Wesss!
Wesss!
Blaaarrr!
Terdengar
ledakan hebat di udara ditingkahi
pekik
kesakitan. Sementara mata Maling Tanpa
Bayangan
berbinar-binar. Tampak tubuh murid
Eyang
Begawan Kamasetyo itu melayang jauh ke
belakang,
lalu terbanting keras ke tanah!
"Mampuslah
kau, Bocah Edan! Sekaranglah
saatnya
aku membalaskan dendam sakit hati mu-
ridku!"
Siluman
Ular Putih yang memekik tadi me-
nyeringai
hebat. Orang yang mau buang hajat pun
masih
kalah seru dibanding seringai Siluman Ular
Putih
saat itu. Parasnya pucat pasi. Dari
telapak
tangan
hingga ke pangkal lengannya berwarna hi-
tam.
Jelas, murid Eyang Begawan Kamasetyo ini
menderita
luka dalam cukup lumayan.
Bahkan
ketika Siluman Ular Putih mencoba
bangkit,
dadanya terasa nyeri bukan main. Ribuan
jarum
seolah tengah asyik berpesta pora mengo-
brak-abrik
isi dadanya. Bahkan....
"Hoeeekh...!"
Akhirnya
Siluman Ular Putih tak tahan ju-
ga.
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur
keluar. Rasanya, jangan tanya lagi! Un-
tung
saja nyawanya tidak melayang saat itu juga!
"Heran!
Dari mana tua bangka ini mempero-
leh
pukulan demikian hebat?" gumam Siluman
Ular
Putih tak puas karena belum menemukan ja-
wabannya
tadi.
Dewi
Merah yang tadi mendengar jeritan Si-
luman
Ular Putih jadi cemas sekali. Keadaan mu-
rid
Eyang Begawan Kamasetyo saat itu benar-
benar
mengenaskan. Pakaiannya robek di sana si-
ni.
Ingin rasanya wanita ini menolong, namun
sayang
tak bisa. Akibat pukulan 'Darah Para Dur-
jana'
milik Maling Tanpa Bayangan sekujur tu-
buhnya
terasa lemas. Jangankan untuk menolong.
Untuk
menggerakkan tubuhnya saja, rasanya tak
kuasa.
Maka terpaksa matanya saja yang bisa
memandangi
Siluman Ular Putih dengan sinar ce-
mas.
"Anak
muda! Baiknya, cepat tinggalkan
tempat
ini!" teriak Dewi Merah akhirnya.
Maling
Tanpa Bayangan tersenyum berin-
gas.
Kilatan-kilatan matanya yang berwarna hijau
mencorong
tajam. Mengerikan sekali. Sepasang
matanya
tak ubahnya orang yang telah kerasukan
setan.
Dan ia hanya akan puas kalau sudah mem-
bunuh
lawannya.
"Boleh
saja kau tinggalkan tempat ini kalau
memang
bisa. Kenapa hanya diam saja!" ejek Mal-
ing
Tanpa Bayangan.
Tak
ada gunanya bagi Siluman Ular Putih
menyahuti
ucapan Maling Tanpa Bayangan. Kare-
na
saat itu, diam-diam tengah dikerahkannya
ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'.
Melihat
ulah Siluman Ular Putih, tahulah
Maling
Tanpa Bayangan. Ternyata bocah edan di
hadapannya
tengah mengerahkan aji 'Titisan Si-
luman
Ular Putih'. Buktinya sekujur tubuh pemu-
da
itu mulai dipenuhi uap putih tipis
hingga so-
soknya
tidak kelihatan sama sekali.
Sebenarnya,
Maling Tanpa Bayangan ingin
cepat
bertindak. Namun baru saja niat itu terber-
sit,
tiba-tiba saja....
"Ggggeeerrr...!"
9
"Si...
Siluman Ular Putih…!" desis Dewi Me-
rah
penuh takjub.
Betapa
di hadapan wanita itu kini terlihat
jelas
sesosok ular putih raksasa sebesar pohon ke-
lapa
dengan taring-taring yang runcing mengeri-
kan.
Belum lagi kilatan sepasang matanya yang
mencorong
tajam berwarna merah saga. Dan sepa-
sang
mata merah itu terus menghujam ke bola
mata
Maling Tanpa Bayangan sambil mengibas-
ngibaskan
ekornya ke sana kemari.
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu, Bo-
cah
Sinting! Kau tetap tak akan mampu membu-
nuhku!"
tantang Maling Tanpa Bayangan, pongah.
"Gggeeerrr...!"
Siluman
Ular Putih menggereng hebat seba-
gai
jawaban. Suaranya mampu menggetar-
getarkan
tempat di sekitarnya. Bahkan begitu ge-
rengannya
habis, diterjangnya Maling Tanpa
Bayangan
ganas. Taring-taringnya yang runcing
dan
kibasan-kibasan ekornya yang keras laksana
palu
godam, siap merajam tubuh lawan.
Serrr!
Crok!
Crokkk!
Belum
sempat Maling Tanpa Bayangan
menghindar,
tahu-tahu tubuhnya telah tercengke-
ram
taring-taring runcing Siluman Ular Putih. Le-
laki
ini geram bukan main. Saat itu juga tangan-
nya
menghantam kepala ular raksasa itu.
Desss!
Seketika
lepaslah cengkeraman taring-
taring
ular raksasa itu dari tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
"Gggeeerrr!"
Siluman
Ular Putih menggereng hebat. Ke-
palanya
oleng ke sana kemari sambil mengibas-
ngibaskan
ekornya. Meski demikian, ular putih
raksasa
itu tidak cedera sedikit pun akibat hanta-
man
Maling Tanpa Bayangan barusan. Dan me-
mang,
ular raksasa itu kebal terhadap segala pu-
kulan
maupun senjata tajam.
"Ggggeeerrr!
Gggeeerrr...!"
Ular
putih raksasa itu tak henti-hentinya
menggereng
hebat. Namun anehnya belum juga
melanjutkan
serangan. Hanya sepasang matanya
saja
yang terus mengawasi Maling Tanpa Bayan-
gan.
Mungkin merasa heran dengan kejadian aneh
yang
tengah dialami musuhnya. Betapa tubuh
Maling
Tanpa Bayangan tadi pun tidak mengalami
cedera.
Ternyata, tubuh lelaki tua sesat itu pun
kebal
terhadap terkaman taring-taring tajamnya!
"Sudah
kubilang kau tak dapat membu-
nuhku.
Melukaiku pun, kau tak sanggup. Jadi,
mana
mungkin membunuhku?!" ejek Maling Tan-
pa
Bayangan, penuh tawa kemenangan.
Siluman
Ular Putih mengibas-ngibaskan
ekornya
ke sana kemari. Kepalanya sedikit dirun-
dukkan,
siap melancarkan serangan berikut.
Werrr!
Tiba-tiba
sosok putih panjang ular raksasa
itu
telah menerjang Maling Tanpa Bayangan. He-
bat
sekali terjangannya. Taring-taring yang runc-
ing
dan kibasan-kibasan ekornya kembali siap
mengancam
tubuh Maling Tanpa Bayangan,
Maling
Tanpa Bayangan tak berani meman-
dang
ringan lagi, Dan pertarungan harus dapat
diselesaikan
secepatnya. Untuk itu, segera dike-
rahkannya
pukulan 'Darah Para Durjana'.
"Mampuslah
kau, Bocah Edan! Hea…!"
Dikawal
bentakan nyaring, Maling Tanpa
Bayangan
segera menghentakkan kedua tangan-
nya
memapaki terjangan Siluman Ular Putih. Se-
ketika
meluruk dua larik sinar hitam legam dari
kedua
telapak tangannya, langsung menghantam
telak
tubuh Siluman Ular Putih.
Bukkk!
Bukkk!
"Gggeeerrr...!"
Ular
raksasa itu menggereng hebat. Tubuh-
nya
kontan terpental ke samping. Menggeliat-geliat
sebentar.
Dan....
Werrr!
Tahu-tahu
ekor ular raksasa itu mengibas
cepat
dari samping. Sungguh, Maling Tanpa
Bayangan
yang mengira kalau ular raksasa itu
akan
cedera atau bahkan mati saat itu juga, tidak
menyangka
akan mendapat serangan hebat. Maka
tanpa
ampun....
Bukkk!
Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua
kali ekor Siluman Ular Putih mengha-
jar
telak tubuh lelaki tua itu. Maling Tanpa Bayan-
gan
hanya sempat memekik tertahan sebelum ak-
hirnya
terlempar jauh ke belakang. Pada saat ter-
lempar
inilah ular raksasa itu kembali menerjang
hebat!
Mulutnya menganga, mengarahkan taring-
taringnya
yang tajam. Lalu....
Crok!
Crokkk!
Tanpa
dapat dicegah lagi tiba-tiba taring-
taring
runcing ular raksasa itu mengganyang tu-
buh
Maling Tanpa Bayangan. Seketika darah me-
rah
berhamburan dari luka di tubuh lelaki tua ini.
"Gggeeerrr!"
Siluman
Ular Putih ternyata tak mau mele-
paskan
mangsanya begitu saja. Terus saja tubuh
Maling
Tanpa Bayangan diganyang sambil mengge-
rak-gerakkan
kepala ke sana kemari.
Mau
tidak mau Maling Tanpa Bayangan jadi
kalang
kabut juga. Berkali-kali tangannya meng-
hantam
tubuh ular raksasa itu. Namun, Siluman
Ular
Putih tak mau melepaskan gigitannya. Malah
semakin
lama semakin kuat mengganyang tubuh-
nya!
"Gggeeerrr!
Geeerrr...!"
Tiba-tiba
ular raksasa itu meraung hebat
ketika
dari balik jubah Maling Tanpa Bayangan
mengepul
uap hitam menyerang Siluman Ular Pu-
tih.
Bahkan segera menggulung kepala ular raksa-
sa
itu penuh kekuatan gaib yang entah dari mana
datangnya!
"Gggeeerrr...!"
Siluman
Ular Putih tak tahan menghadapi
serangan
gaib dari uap hitam dari jubah Maling
Tanpa
Bayangan. Maka tak ada pilihan lain, ter-
paksa
mangsanya harus dilepaskan.
"Gggeeerrr!
Gggeeerrr...!"
Ular
putih raksasa itu kalap bukan main.
Tubuhnya
oleng ke sana kemari. Sementara uap
hitam
tebal dari balik jubah Maling Tanpa Bayan-
gan
terus menyerang tanpa ampun. Lambat laun,
Siluman
Ular Putih jadi lemas kehabisan tenaga!
Siluman
Ular Putih tersadar. Meski masih
menjelma
menjadi ular putih, namun masih mam-
pu
berpikir seperti manusia kebanyakan.
Untuk
sesaat
ular raksasa itu tercenung di tempatnya.
Nalurinya
mengatakan, kalau Maling Tanpa
Bayangan
memiliki ilmu hitam yang amat dahsyat.
Dan
ia tahu bagaimana cara mengatasinya. Tak
ada
pilihan lain, wujudnya harus segera
diubah
menjadi
manusia kembali. Namun baru saja hen-
dak
melaksanakan niatnya, mendadak...
"Bocah
Tolol! Kenapa tidak kau lawan den-
gan
kekuatan batinmu!"
Mendadak
terdengar teriakan keras meng-
getarkan.
***
"Setan
Alas! Beraninya kau menggangguku,
he?!"
Maling
Tanpa Bayangan geram bukan main
ketika
tahu-tahu telah berdiri seorang kakek renta
berpakaian
tambal-tambalan mirip pakaian pen-
gemis
di depan Siluman Ular Putih. Siapa lagi to-
koh
tua dunia persilatan yang mempunyai ciri-ciri
demikian,
kalau bukan Raja Penyihir?!
"Kenapa
tidak berani, Maling? Dari dulu
kau
selalu membuat onar dunia persilatan. Kau
memang
layak mampus di tanganku!" hardik Raja
Penyihir,
membalas.
Maling
Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Dulu,
nyalinya boleh ciut menghadapi Raja Penyi-
hir.
Tapi setelah menguasai ilmu yang terkandung
dalam
Kitab Paguyuban Setan, biar seribu orang
macam
Raja Penyihir ada di depannya, tetap saja
tidak
akan takut. Karena memang ia tidak bisa di-
bunuh!
"Tua
bangka bau tanah! Lagakmu pongah
sekali!
Apa kau pikir aku takut menghadapimu,
he?!"
desis Maling Tanpa Bayangan.
"Aku
tidak bicara takut atau tidak. Tapi aku
ingin
mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!"
ancam
Raja Penyihir.
"Boleh,
boleh. Memang ucapan itu yang ku-
tunggu.
Tapi ingat! Jangan sampai malah nyawa-
mu
yang melayang!"
"Bah!
Maling tua macammu bisa apa, he?!"
sembur
Raja Penyihir saking kesalnya.
Maling
Tanpa Bayangan tertawa. Senang
sekali
melihat Raja Penyihir jadi penasaran seperti
itu.
"Hati-hati,
Orang Tua! Maling tua itu mem-
punyai
kekuatan gaib yang sulit dimengerti!" teriak
Soma
yang telah menjelma menjadi manusia biasa.
Raja
Penyihir menoleh sekilas.
"Aku
tahu, Tolol! Tapi, kenapa kau tak me-
manggilku
guru?" semprot Raja Penyihir dengan
kening
berkerut.
"Lho?
Bukankah dalam perjanjian dulu kau
cuma
ingin menurunkan ilmu padaku, kan? Jadi
kenapa
harus memanggilmu guru? Toh, dulu kau
juga
menyetujuinya?" tukas Siluman Ular Putih
tak
mau kalah. (Mengenai perjanjian antara Silu-
man
Ular Putih dan Raja Penyihir, harap baca da-
lam
episode: "Manusia Rambut Merah").
"Setan!
Dari dulu kau selalu saja pintar
membantah!
Awas kau nanti! Setelah selesai aku
mengurung
maling tua satu ini, giliranmu yang pa-
tut
kuhajar, Bocah!"
"Yeahhh...!
Ngambek! Kau sendiri yang janji.
Tapi,
mau mungkir," ejek Siluman Ular Putih se-
raya
menjebikkan bibir.
Aneh
sekali memang watak murid Eyang
Begawan
Kamasetyo satu ini. Padahal baru saja
menghadapi
bahaya maut. Tapi, bisa-bisanya ber-
sikap
ayal-ayalan seperti itu.
"Diam!
Aku belum ingin bicara denganmu,
tahu?!"
bentak Raja Penyihir.
"Tak
ingin bicara denganku ya sudah. Asal,
jangan
kau suruh aku memanggilmu guru. Pamali
namanya!"
celoteh Siluman Ular Putih seenak pe-
rut.
Tangan kanannya cepat meraih keluar senjata
andalan
dan siap membantu Raja Penyihir.
Raja
Penyihir sengaja tak menyahuti uca-
pan
Soma. Percuma saja menyahut. Pasti bocah
sinting
itu akan membantah. Ya, kalau cuma
membantah.
Tapi kalau balik memperolok. Nah...!
Itu
yang dikhawatirkan Raja Penyihir! Sebab ha-
tinya
paling sebal kalau sudah digoda murid Eyang
Begawan
Kamasetyo itu.
"Maling
Tua! Tadi kau sudah dengar tujua-
nku
kemari, bukan? Nah...! Daripada tanganku
kotor
oleh darah busukmu, lebih baik bunuh diri
saja!"
hardik Raja Penyihir kasar. Mungkin sengaja
melampiaskan
kedongkolan hatinya pada Maling
Tanpa
Bayangan. Atau bisa jadi memang sudah
dari
dulu tak menyukai lelaki sesat itu.
"Jaga
bacotmu, Tua bangka keparat! Justru
kaulah
yang patut modar di tanganku!" geram Mal-
ing
Tanpa Bayangan penuh kemarahan.
Sekilas
mata Maling Tanpa Bayangan me-
mandang
ke arah Siluman Ular Putih yang tengah
meniup
senjata andalannya. Keningnya berkerut.
Tubuhnya
terasa agak terusik oleh tiupan senjata
andalan
Siluman Ular Putih.
Siluman
Ular Putih heran bukan main. Ia
tak
percaya kalau tiupan senjata andalannya sama
sekali
tak berpengaruh bagi Maling Tanpa Bayan-
gan.
Dan pemuda ini jadi menggeleng-geleng tak
mengerti.
Habis
memperhatikan Siluman Ular Putih
sekilas.
Maling Tanpa Bayangan segera menerjang
hebat
Raja Penyihir. Tak tanggung-tanggung sege-
ra
dikeluarkannya jurus andalan yang dipelajari
dari
Kitab Paguyuban Setan. Tangan kanannya
menyerang
dari atas ke bawah. Tangan kirinya
siap
merobek perut Raja Penyihir dari samping.
Dengan
jurus itu, ia berharap akan dapat mero-
bohkan
Raja Penyihir dalam sekali gebrak.
Sekali
lihat saja. Raja Penyihir tahu maksud
serangan
yang sebenarnya. Justru serangan tan-
gan
kiri, Maling Tanpa Bayangan yang tampaknya
berbahaya,
merupakan gerak tipu belaka. Sedang
serangan
tangan kanan yang mengarah ubun-
ubun
kepala itulah serangan sebenarnya.
Raja
Penyihir tak ingin terkecoh. Dibiarkan-
nya
cengkeraman tangan kiri Maling Tanpa
Bayangan.
Pada saat cengkeraman itu hendak
menyambar
perutnya, mendadak tongkat hitam di
tangan
kanannya berkelebat mengancam ulu hati
lawan.
Begitu cepat sehingga....
Duk!
Dukkk!
Dua
kali Raja Penyihir menggerakkan tong-
katnya,
dua kali pula ulu hati Maling Tanpa
Bayangan
terkena sodokan. Telak sekali. Akibat-
nya
tubuh Maling Tanpa Bayangan terjajar bebe-
rapa
langkah ke belakang.
Tentu
saja Maling Tanpa Bayangan mengge-
ram
penuh kemarahan. Ulu hatinya yang terkena
sodokan
tongkat terasa nyeri bukan main. Gera-
hamnya
bergemeletuk penuh kemarahan. Cukup
sudah
bermain-main dengan Raja Penyihir. Ia tak
ingin
membuang-buang waktu lagi, dan harus da-
pat
membunuh Raja Penyihir secepat mungkin.
Baru
kemudian, menghabisi Siluman Ular Putih.
"Hebat!
Harus kuakui kau memang hebat,
Pengemis.
Tapi jangan bangga dulu. Sedikit pun
aku
belum merasa kalah. Sekarang, saatnyalah
menerima
kematian!"
Maling
Tanpa Bayangan menelungkupkan
kedua
telapak tangan ke depan dada. Dan ketika
kedua
telapak tangannya telah berubah jadi hitam
legam,
diputar-putarnya sebentar. Lalu diiringi te-
riakan
keras, segera dihantamkannya ke depan.
Sret!
Srettt!
Seketika
meluruk dua larik sinar hitam le-
gam
dari kedua telapak tangan Maling Tanpa
Bayangan
ke arah Raja Penyihir. Tentu saja Raja
Penyihir
tak ingin jadi sasaran empuk. Maka sege-
ra
dikerahkannya pukulan 'Tangan Gaib Penindih
Setan',
dan saat itu pula kedua tangannya meng-
hentak.
"Heaaa...!"
Blaaammm!
Hebat
bukan main dahsyatnya bentrokan
dua
tenaga dalam barusan. Tanah di sekitar tem-
pat
pertarungan kontan bergetar hebat. Angin
kencang
berkesiuran memporak-porandakan apa
saja
yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon tum-
bang!
Sebagian lainnya hangus terbakar!
Maling
Tanpa Bayangan tidak mengira ka-
lau
Raja Penyihir mampu memapaki pukulan
'Darah
Para Durjana' miliknya. Tampak tokoh sak-
ti
dari Gunung Tidar itu hanya sempat terjajar be-
berapa
langkah ke belakang. Itu jelas menandakan
kalau
tenaga dalam Raja Penyihir tak jauh berbeda
dengannya.
Meski
demikian, Maling Tanpa Bayangan
masih
sedikit lebih untung. Akibat bentrokan tadi,
tubuhnya
hanya sempat terguncang sebentar, dan
sama
sekali tidak membahayakan nyawanya.
"Heaaat...!"
Saat
melihat tubuh Raja Penyihir terjajar ke
belakang,
Maling Tanpa Bayangan kembali melon-
tarkan
pukulan 'Darah Para Durjana' miliknya.
Wesss...!
Wesss!
Dua
larik sinar hitam legam yang amat
mengerikan
kembali meluruk dari kedua telapak
tangan
Maling Tanpa Bayangan.
Raja
Penyihir rupanya tak ingin mengadu
tenaga
dalam lewat ajian. Menilik kekuatan gaib
yang
membantu Maling Tanpa Bayangan jauh di
atas
kemampuannya. Raja Penyihir tak ingin me-
rugi.
Ia harus menggunakan akalnya yang cerdik.
"Rupanya
benar juga ucapan bocah tolol itu
tadi.
Maling tua ini ternyata memiliki
kekuatan
gaib
luar biasa. Hm...! Baiknya aku harus segera
mengatasinya
dengan Tali Gaib-ku...." gumam Raja
Penyihir
Meski
telah menemukan bagaimana cara
mengatasi
Maling Tanpa Bayangan, bukan berarti
Raja
Penyihir harus menerima serangan begitu sa-
ja.
"Hup!"
Dan
saat satu tombak lagi dua larik sinar
hitam
legam dari kedua telapak tangan Maling
Tanpa
Bayangan mengancam. Raja Penyihir segera
membuang
tubuhnya ke samping. Sehingga, se-
rangan
lawan hanya mengenai angin kosong! Pada
saat
inilah tiba-tiba Raja Penyihir mengarahkan
kedua
telapak tangannya yang tahu-tahu telah ke-
luar
sebuah tali hitam menyerang Maling Tanpa
Bayangan.
Werrr!
Weeerrr!
"Heh...?!"
Maling
Tanpa Bayangan terkesiap kaget.
Dan
belum sempat bertindak lebih jauh, tahu-tahu
Tali
Gaib milik Raja Penyihir telah melibat
leher-
nya.
Lelaki sesat ini gusar bukan main. Berkali-
kali
dicobanya memutuskan tali hitam itu. Namun
anehnya,
setiap tangannya menebas selalu saja
seperti
menebas angin kosong. Malah libatan tali
hitam
itu makin erat menjerat lehernya.
Tak
dapat dibayangkan betapa gusarnya
Maling
Tanpa Bayangan saat ini. Padahal uap hi-
tam
dari balik jubahnya telah pula membantunya.
Namun,
tetap tak berhasil melepaskan Tali Gaib
milik
Raja Penyihir. Paling-paling hanya
menghi-
langkan
rasa sakit saja. Sedang untuk mele-
paskannya
tidak dapat sama sekali.
"He
he he...! Ayo, lekas keluarkan semua
kekuatan
gaibmu! Kau tadi selalu menggembar-
gemborkan
tak dapat dibunuh. Sekarang, aku jadi
ingin
membuktikannya!" ejek Raja Penyihir.
Habis
mengejek, Raja Penyihir segera me-
nyentakkan
Tali Gaib-nya ke atas. Akibatnya tu-
buh
Maling Tanpa Bayangan terbawa ke atas. Be-
gitu
di atas, Raja Penyihir membantingnya keras-
keras
ke batu cadas.
Prakkk!
Keras
sekali tubuh kurus Maling Tanpa
Bayangan
menghantam batu cadas. Namun aneh-
nya,
tubuh itu tidak cedera sedikit pun! Malah ba-
tu
cadas itu yang hancur berantakan. Mau tidak
mau.
Raja Penyihir jadi terperangah juga. Padahal
tadi,
tenaga dalamnya telah dikerahkan dengan
kekuatan
penuh!
Aneh
memang. Namun, itulah kenyataan-
nya.
Tubuh Maling Tanpa Bayangan tidak dapat
mati
walau telah disakiti berulang kali. Hal ini
membuat
Raja Penyihir penasaran sekali. Kendati
begitu
tubuh Maling Tanpa Bayangan terus di-
banting-bantingkan
ke batu-batu cadas. Hasilnya
tetap
saja sama. Tubuh itu sedikit pun tidak cede-
ra!
Malah batu-batu cadas itulah yang hancur be-
rantakan.
"Edan!
Kenapa maling satu ini tak bisa ma-
ti!"
dengus Raja Penyihir sarat keheranan.
"Ha
ha ha...! Percuma saja kau membunuh-
ku.
Raja Penyihir! Aku tidak bisa dibunuh!" kata
Maling
Tanpa Bayangan tertawa, bangga dan me-
nyakitkan
hati Raja Penyihir.
"Diceburkan
ke dalam telaga saja, Orang
Tua!"
teriak Siluman Ular Putih tiba-tiba. "Aku ta-
hu,
dia tak bisa berenang. Kalau sudah dicebur-
kan,
lepaskan saja. Dengan demikian kau tidak
membunuhnya.
Biar saja ia mati dengan sendi-
rinya!"
Kening
Raja Penyihir berkerut sebentar. La-
lu
kepalanya mengangguk-angguk tanda setuju.
Dalam
hati lelaki tua jago sihir ini kagum juga
dengan
kecerdikan Siluman Ular Putih. Ya! Kenapa
baru
terpikir sekarang? Bila Maling Tanpa Bayan-
gan
mengatakan tidak bisa mati dibunuh, tentu
maksudnya
dibunuh dengan pukulan atau senja-
ta.
Dan bagaimana bila ditenggelamkan?
Mendengar
teriakan Siluman Ular Putih ta-
di,
entah kenapa paras Maling Tanpa Bayangan
jadi
pucat pasi. Seolah bayangan maut bermain di
pelupuk
matanya. Dan di saat tengah kebingungan
ini,
tiba-tiba Raja Penyihir menyentakkan Tali Gaib
yang
menjerat leher Maling Tanpa Bayangan ke te-
laga.
Bersamaan dengan melayangnya tubuh Mal-
ing
Tanpa Bayangan ke permukaan air Raja Penyi-
hir
pun ikut menceburkan diri ke dalam telaga
yang
dikenal sangat dalam.
Byurrr!
Byurrr...!
Maling
Tanpa Bayangan kini tak dapat
mengendalikan
diri lagi. Begitu tubuhnya tengge-
lam,
kekuatan gaib yang selalu membantunya se-
perti
tak berguna lagi. Begitu Tali Gaib dilepaskan,
lelaki
ini berusaha mencari-cari pegangan di dasar
telaga.
Namun tindakannya tak menghasilkan apa-
apa.
Sementara
itu Raja Penyihir hanya menyak-
sikan
tubuh Maling Tanpa Bayangan di dalam air
yang
terus megap-megap. Begitu banyak air yang
tertelan!
Menyebabkan tubuhnya kandas di dalam
telaga.
Tiba-tiba dari dalam tubuhnya bergolak.
Dan....
Blarrr...!
Mendadak,
perut Maling Tanpa Bayangan
meledak!
Isinya langsung tumpah ke dasar telaga
disertai
asap hitam pekat. Dari ledakan itu tercipta
gejolak
luar biasa hingga ke permukaan telaga.
"Hm...
ilmu setan apa lagi yang akan dike-
luarkan
dedengkot maling itu?" gerutu Siluman
Ular
Putih dari tepian telaga.
Setelah
menunggu beberapa saat, gejolak
air
di permukaan telaga itu pun mereda. Samar-
samar
Siluman Ular Putih melihat sosok tubuh
Maling
Tanpa Bayangan telah mengambang di
permukaan
air dengan perut pecah tanpa gerak
sama
sekali.
"Huahhh...!
Mampus sudah bajingan tua
satu
itu! Sekarang kita tak perlu khawatir lagi,"
kata
Raja Penyihir tahu-tahu telah nyembul di
permukaan
telaga,
"Eh...!
Kau sudah nongol? Bagaimana saran
ku
tadi, Orang Tua?" tanya Siluman Ular Putih be-
gitu
melihat Raja Penyihir.
"Ya!
Saranmu hebat juga. Rupanya kekua-
tan
gaib yang selama ini membantunya punah be-
gitu
tubuhnya tenggelam. Apalagi, dia tidak bisa
berenang.
Hm.... Ternyata dia termakan oleh uca-
pannya
sendiri...."
Memang,
kematian Maling Tanpa Bayangan
bukan
karena secara langsung dibunuh oleh Raja
Penyihir.
Kematiannya terjadi begitu saja saat tu-
buhnya
tenggelam! Raja Penyihir hanya sebagai
perantara
saja.
"Tapi
ngomong-ngomong, mengapa kau be-
lum
memanggilku guru juga? Apa kau minta diha-
jar,
he?" lanjut Raja Penyihir, tiba-tiba.
Siluman
Ular Putih tersenyum masygul.
"Perjanjian.
Dalam perjanjian, kau telah
mengatakan
tak apa-apa. Jadi buat apa aku me-
manggilmu
guru?" sahut Soma, kalem.
"Kau....
Kau...," Raja Penyihir tak mene-
ruskan
ucapannya saking jengkelnya.
"Sudahlah!
Masalah sepele seperti itu tak
perlu
diperpanjang."
"Eh...!
Tidak bisa! Sebagai gantinya, kau ha-
rus
ikut aku!" tukas Raja Penyihir
"Ke
mana?" tanya Soma.
"Ke
mana saja aku suka."
"Tapi...,
nenek baju merah itu...?"
"Sudahlah....
Jangan mencemaskan nenek-
nenek
peot itu! Tadi aku sudah memberinya obat
pemunah
racun."
"Ooo…!"
SELESAI
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Juru
Edit: Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon