"Hm...!" Pangeran Pemimpin mendengus
seraya
mengangguk-anggukkan
kepala. "Siapa kau sebenar-
nya, Bocah?
Kenapa berani mengacau di tempat ka-
mi?"
"Siapa
yang mengacau? Aku tidak mengacau di
tempatmu.
Justru kalianlah yang telah mengacau
keamanan
Kadipaten Pleret. Apa itu namanya bukan
pengacau?"
kata Siluman Ular Putih seenak dengkul-
nya.
"Hm....
Begitu?!" Pangeran Pemimpin menden-
gus. Kedua
kupingnya tampak bergerak-gerak, pertan-
da laki-laki
yang mengenakan pakaian bangsawan Ja-
wa itu tengah
menahan gejolak amarah. "Bocah som-
bong! Apakah
kau tidak tahu tengah berhadapan den-
gan siapa,
he?!"
"Dia itu
yang bergelar Pangeran Pemimpin, Ka-
wan,"
bisik Putri Sekartaji di telinga Siluman Ular Pu-
tih.
"Ya
ya.... Aku sudah tahu. Aku sudah cukup
tahu kalau
tampang manusia pemberontak ya sema-
cam dia
itu!" kata Soma seraya menudingkan telunjuk
jarinya ke
wajah Pangeran Pemimpin.
Pangeran
Pemimpin gusar bukan main. Namun
ia berusaha
menahan amarahnya.
"Terserah
kau mau bilang apa, Bocah. Yang je-
las saat ini
keadaanmu sudah terjepit. Tak mungkin
kau lolos
dari tempat ini. Untuk itu cepatlah serahkan
diri. Kalau
kau berlaku manis terhadapku, aku pun
akan
berlaku manis terhadapmu pula. Terlebih
bila
kau mau
diajak kerjasama," Pangeran Pemimpin ber-
kata lunak.
Akalnya yang cerdik cepat bekerja agar
dapat
merengkuh Siluman Ular Putih untuk menjadi
pembantunya.
"Cih...!
Tak tahu malu! Mana sudi kawanku ini
kau ajak
merebut takhta Kadipaten Pleret, Pangeran
Pengkhianat!"
teriak Putri Sekartaji dengan berapi-api.
Bagaimanapun
ia khawatir kalau Soma yang nampak
polos
kekanak-kanakan akan bersedia diajak bekerja-
sama oleh
Pangeran Pemimpin.
"Tutup
mulutmu, Nimas! Aku tidak bicara den-
ganmu!"
hardik Pangeran Pemimpin kesal.
Putri
Sekartaji mengeretakkan gerahamnya.
Pangeran
Pemimpin tidak begitu memperhati-
kan. Sepasang
matanya yang licik kini dialihkan pada
Siluman Ular
Putih.
"Apa
pendapatmu, Bocah? Aku bermaksud baik
padamu. Aku berkeinginan mengajakmu turut mere-
but takhta
Kadipaten Pleret seperti yang dikatakan
adikku itu.
Bila nanti perjuangan kita berhasil tentu
aku tidak
mungkin melupakan jasamu. Kau boleh
memilih
kedudukan apa saja. Apa kau keberatan, Bo-
cah?"
Soma
tersenyum-senyum menggoda. Putri Se-
kartaji cemas
bukan main. Ia khawatir Soma mulai
terpengaruh
tawaran Pangeran Pemimpin.
Soma bergumam
sambil mengangguk-
anggukkan
kepala. "Jadi benar kan? Kalian memang
gerombolan
pemberontak yang tengah dikejar-kejar
pasukan
kadipaten. Kau telah mengakuinya sendiri.
Dan mengenai
tawaranmu tadi, sebenarnya memang
sangat
menggiurkan. Tapi sayang aku tidak mau. Aku
takut Kanjeng
Adipati akan murka lalu menggantung-
ku. Mampuslah
aku nantinya. Padahal aku masih
doyan makan
nasi. Tapi nggak tahu kalau dirimu.
Mungkin kau
sudah bosan makan nasi tempe sehingga
nekat mau
bunuh diri dengan jalan seperti ini!" kata
Siluman Ular
Putih asal bunyi.
Bukan main
marahnya Pangeran Pemimpin
mendengar
ucapan Soma. Kedua pelipisnya tampak
bergerak-gerak.
Ketua Partai Kawula Sejati itu agaknya
tak dapat
lagi mengendalikan amarah. Sementara, di-
am-diam Putri
Sekartaji makin mendekati murid Eyang
Begawan
Kamasetyo.
"Tangkap
kunyuk gondrong itu!" teriak Pange-
ran Pemimpin
tiba-tiba didorong oleh rasa marahnya.
Para anggota
Partai Kawula Sejati yang dibantu
tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan segera melangkah
maju. Namun
Pelajar Agung telah lebih dulu memben-
tak garang.
"Mundur!
Akulah yang berhak mengirim nyawa
kunyuk
gondrong ini ke dasar neraka!"
"Bagus!
Yang lainnya boleh menangkap gadis
itu!"
kata Pangeran Pemimpin menimpali.
"Sebaiknya
kita beradu punggung, Soma," Putri
Sekartaji
mengajukan usul.
"Baik.
Tapi aku lebih senang kalau kau sele-
kasnya
meninggalkan tempat ini, Putri."
"Sekali
lagi kau bicara seperti itu, aku tak sudi
jadi kawanmu,
Soma!" sungut Putri Sekartaji kesal.
"Ah...!
Kenapa kau cemberut begini, Putri?
Baik. Hayo,
kita hadapi monyet-monyet pemberontak
ini. Aku pun
akan rugi besar kalau kau tidak lagi men-
ganggapku
sebagai kawan," kata Soma dengan diiringi
senyuman.
Siluman Ular
Putih mencabut keluar senjata
pusaka Anak
Panah Bercakra Kembar. Seperti na-
manya,
senjata andalan murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu
memang sebatang anak panah yang sedikit
melengkung
pada bagian ujungnya. Dari bagian ujung
panah yang
melengkung melilit kepala ular hingga ke
badan anak
panah. Di kepala ular itu tampak dua
buah cakra
kembar di kanan kirinya. Sedang di bagian
badan
terdapat lobang mirip lobang suling.
Begitu
Siluman Ular Putih mengerahkan tenaga
dalam, hawa
dingin yang menggigilkan tubuh meme-
nuhi tempat
pertarungan. Sejenak Pangeran Pemimpin
berdecak
kagum melihat senjata aneh di tangan Soma.
Ketika
dirasakannya hawa dingin menusuk-nusuk ku-
lit, Pangeran
Pemimpin gusar bukan main. Rasa ka-
gumnya
melihat kehebatan senjata lawan mendadak
sirna,
berganti dengan rasa jengkel yang memuncak.
Dilihatnya
beberapa anak buahnya yang memiliki ke-
pandaian
rendah jatuh bergelimpangan tak kuat me-
nahan amukan
hawa dingin. Malah beberapa tokoh si-
lat segera
bersemadi untuk mengusir hawa dingin itu.
Pangeran
Pemimpin tak ingin membiarkan
anak buahnya
sengsara. Beberapa anak buahnya
kembali
bergelimpangan dengan wajah pias. Pangeran
Pemimpin kontan
menggembor penuh kemarahan.
"Bocah
edan! Berani kau menjual lagak di de-
panku.
Terimalah kematianmu hari ini, Bocah!"
Namun belum
sempat Pangeran Pemimpin me-
lancarkan
serangan, Pelajar Agung telah memegang
lengannya.
"Kunyuk
gondrong ini bagianku, Pangeran. Ku-
kira
sebaiknya kau urus saja adik tirimu yang cantik
itu. Katanya
kau ingin memanfaatkan gadis itu!" kata
Pelajar Agung
mengingatkan.
"Hm...!"
Pangeran
Pemimpin mendengus tak senang.
Namun ketika
dilihatnya Pelajar Agung telah menye-
rang Siluman
Ular Putih, terpaksa ia segera menyerang
Putri
Sekartaji dari arah berlawanan. Meski dengan
menggunakan
tangan kosong serangan Pangeran Pe-
mimpin yang
dibantu beberapa anggota Partai Kawula
Sejati dan
tokoh sakti dunia persilatan membuat Putri
Sekartaji
kalang kabut.
Keadaan ini
tentu saja sangat menyita perha-
tian Siluman
Ular Putih. Untung saja Pelajar Agung ti-
dak ingin
dibantu para anggota Partai Kawula Sejati,
hingga
sedikit banyak Soma dapat membantu Putri
Sekartaji
bila mengalami desakan dari para penge-
royoknya.
"Hea...!"
Siluman Ular
Putih menghantamkan kedua te-
lapak
tangannya ke depan. Seketika dua larik sinar
putih melesat
cepat siap melabrak tubuh Pelajar
Agung.
Pelajar Agung
rupanya telah siap menghadapi
pukulan
tenaga 'Inti Bumi' lawan. Begitu melihat dua
larik sinar
putih menyerang dirinya, Pelajar Agung
mencoba
memapaki dengan pukulan 'Kelabang Geni'
yang
dipelajarinya dari mendiang Manusia Rambut
Merah.
"Hea...!"
Pelajar Agung
melengking tinggi. Dari kedua te-
lapak
tangannya membersit sinar merah menyala.
Blaarrr...!!!
Hebat bukan
main benturan dua tenaga dalam
itu. Angin
kencang berhamburan memporak-
porandakan
semua yang ada di sekitar tempat perta-
rungan.
Ranting-ranting pohon hangus terbakar terke-
na sambaran
pukulan 'Kelabang Geni'. Sebagian lain
kontan
membeku begitu terkena pukulan tenaga 'Inti
Bumi' Siluman
Ular Putih.
Tubuh Soma
dan Pelajar Agung sendiri terjeng-
kang ke
belakang. Isi dada mereka serasa mau jebol.
Pada saat
Siluman Ular Putih terjengkang men-
dadak Putri
Sekartaji menjerit histeris. Bahunya yang
terkena
sambaran pedang salah seorang pengeroyok
mengeluarkan
darah segar. Soma cemas bukan main.
Gempuran para
pengeroyok Putri Sekartaji tampak
demikian
hebat. Putri Sekartaji dipaksa berjumpalitan
ke sana
kemari menghindari serangan.
"Hea...!
Hea...!"
Pangeran
Pemimpin yang dibantu anak buah-
nya dan
beberapa tokoh sakti dunia persilatan terus
mendesak
Putri Sekartaji. Kalau saja Siluman Ular Pu-
tih tidak
cepat bertindak bukan mustahil gadis cantik
itu akan
roboh. Untung saja pada saat totokan jari-jari
Pangeran
Pemimpin hampir mengenai sasaran, dengan
kecepatan
yang luar biasa Siluman Ular Putih melem-
parkan
senjata andalannya.
Wesss!
Pangeran
Pemimpin terkesiap kaget. Kalau ne-
kat
meneruskan serangan tubuhnya akan jadi sasaran
empuk
serangan anak panah. Tentu saja Pangeran
Pemimpin
tidak ingin tubuhnya terluka. Dengan san-
gat terpaksa
sekali Pangeran Pemimpin kemudian
membuang
tubuhnya ke samping. Senjata anak panah
Siluman Ular
Putih terus melesat ke belakang.
Pangeran
Pemimpin tersenyum girang. Tanpa
mengenai
belas kasihan sedikit pun, ia dan beberapa
anak buahnya
kembali menyerang Putri Sekartaji. Me-
reka tidak
tahu kalau secara tiba-tiba anak panah Si-
luman Ular
Putih membalik dan kembali menyerang
para
pengeroyok itu dengan kecepatan yang menga-
gumkan.
Clep!
Anggota
Partai Kawula Sejati yang berada pal-
ing belakang
memekik setinggi langit. Anak panah Si-
luman Ular
Putih telak mengenai punggungnya. Pange-
ran Pemimpin
dan beberapa anak buahnya seketika
memalingkan
kepala. Dilihatnya salah seorang anggota
Partai Kawula
Sejati ambruk ke tanah dengan seba-
tang anak
panah menancap di punggung.
Pangeran
Pemimpin menggembor penuh kema-
rahan.
Dilanjutkan lagi serangannya yang tadi tertun-
da. Putri
Sekartaji kembali dibuatnya kalang kabut.
Untung saja
lagi-lagi Siluman Ular Putih yang
tengah sibuk
menghadapi gempuran Pelajar Agung
masih sempat
memberi bantuan. Sayang, tindakan ini
telah
membahayakan keselamatan Siluman Ular Putih
sendiri. Baru
saja pukulan tenaga 'Inti Bumi' dilontar-
kan tiba-tiba
Pelajar Agung mengirimkan pukulan
'Cahaya Kilat
Biru' ke arah dirinya.
Wesss! Wesss!
Siluman Ular
Putih meloncat tinggi ke udara.
Namun dengan
gerakan yang sangat tidak terduga, Pe-
lajar Agung
telah memapaki lesatan tubuh Soma den-
gan telapak
tangan terkembang.
Bukkk! Bukkk!
Telak sekali
hantaman dua telapak tangan pe-
nuh pukulan
'Cahaya Kilat Biru' mengenai dada Soma.
Tubuh Siluman
Ular Putih langsung terlempar jauh ke
belakang lalu
jatuh berdebum di tanah.
Soma
mengerang kesakitan. Ia berusaha bang-
kit dengan
susah payah. Sayang, tak sanggup. Malah
darah segar
menghambur dari mulutnya.
Melihat
keadaan Siluman Ular Putih, Putri Se-
kartaji
memekik histeris. Hal ini malah memperburuk
keadaannya.
Tanpa diduga, jari-jari Pangeran Pemim-
pin berhasil
menotok punggung Putri Sekartaji.
Tukkk! Tukkk!
Putri
Sekartaji hanya bisa memekik tertahan.
Seketika
tubuhnya kaku tak dapat digerakkan.
Melihat Putri
Sekartaji telah tertawan, Siluman
Ular Putih
menggeram marah. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak. Murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu tam-
paknya tak
dapat lagi mengendalikan amarahnya yang
menggelegak.
Mendadak, rambut Soma berubah men-
jadi ratusan
ular putih dengan kepala terangkat tinggi-
tinggi!
"Manusia
pengecut! Lepaskan gadis itu! Kalau
kalian mengganggu
seujung rambut pun, demi Tuhan
aku akan
mengobrak-abrik markas kalian!"
Pangeran
Pemimpin hanya tersenyum sinis, Se-
dikit pun ia
tidak gentar mendengar ancaman Siluman
Ular Putih.
Baginya Soma hanyalah seorang pemuda
sakti yang
memiliki otak bebal.
"Keadaanmu
terjepit, Bocah. Kau tak patut
memerintah
aku. Justru kaulah yang harus patuh pa-
da
perintahku. Sekarang lekas letakkan senjatamu!"
bentak
Pangeran Pemimpin ketika melihat senjata
anak panah
telah tergenggam di tangan Soma. Padahal
tadi senjata
itu sempat diambil salah seorang anggota
Partai Kawula
Sejati.
Pangeran
Pemimpin tahu bagaimana cara Si-
luman Ular
Putih merebut senjata andalannya itu. Di-
am-diam
kekaguman Pangeran Pemimpin makin ber-
tambah. Meski
Soma tengah sibuk menghadapi seran-
gan Pelajar
Agung. Pemuda itu masih sempat menca-
but senjata
anak panahnya dari tubuh sang korban.
"Aku
akan melepaskan senjataku kalau kau
pun
melepaskan gadis itu, Pangeran Pemberontak!" Si-
luman Ular
Putih tak kalah gertak.
Entah kenapa
Pangeran Pemimpin tertawa ber-
gelak.
Pelajar Agung tampak tak begitu menyukai si-
kap Pangeran
Pemimpin. Agaknya ia tidak ingin Silu-
man Ular
Putih tewas di tangan Pangeran Pemimpin.
"Jangan
banyak bacot, Bocah! Turuti saja ke-
mauanku jika
masih ingin melihat gadis cantik ini ber-
kepala
utuh!" ancam Pangeran Pemimpin. Jari-jari
tangannya
yang membentuk patukan ular siap mere-
mukkan batok
kepala Putri Sekartaji.
"Sebenarnya
apa maumu, Pangeran Pemim-
pin?"
kata Siluman Ular Putih kesal melihat kelicikan
Pangeran
Pemimpin.
Pangeran
Pemimpin kembali tertawa bergelak.
"Seperti
yang kukatakan tadi, aku hanya ingin
kau bergabung
dengan para anggota Partai Kawula Se-
jati untuk
merebut takhta Kadipaten Pleret. Kalau kau
masih
keberatan tentu aku tak akan segan-segan me-
remukkan
batok kepala gadis ini. Sekarang jawab! Kau
sudi
bergabung denganku atau tidak?!"
Siluman Ular
Putih dicekam kebimbangan. Un-
tuk membiarkan
Putri Sekartaji tewas di depan ma-
tanya tanpa
dapat membela sedikit pun, jelas ia tidak
rela. Namun
kalau menuruti kemauan Pangeran Pe-
mimpin untuk
membantu perjuangannya, itu jelas ti-
dak mungkin.
Soma akhirnya memutuskan untuk
mengelabui
Pangeran Pemimpin dengan ilmu sihirnya.
Siluman Ular
Putih mulai mengerahkan kekua-
tan batinnya.
Kedua bibir Soma berkemik-kemik. Se-
pasang
matanya yang tajam mendadak mencorong ta-
jam
mengerikan.
Putri
Sekartaji sendiri yang melihat sepasang
mata Soma
jadi bergidik ngeri. Namun ketika Siluman
Ular Putih
membentak, Putri Sekartaji merasakan
adanya
getaran aneh menyerang jalan pikirannya.
"Pangeran
Pemimpin! Lepaskan gadis itu. Apa
matamu buta?
Coba perhatikan aku baik-baik! Bu-
kankah aku
Romomu Adipati Pleret Tua?"
Sekujur tubuh
Pangeran Pemimpin bergetar
hebat. Apa
yang dilihatnya saat itu benar-benar mem-
buat hatinya
heran bukan main. Di hadapannya bu-
kan lagi
sosok pemuda gondrong yang mengenakan
pakaian rompi
dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Yang
ada sosok lelaki tua berusia tujuh pulu-
han tahun
dengan rambut putih digelung ke atas dan
mengenakan
pakaian bangsawan Jawa. Itulah pakaian
kebesaran
yang biasa dikenakan Adipati Pleret Tua.
"Ba...
baik, Romo. Aku akan segera melepaskan
gadis
ini," kata Pangeran Pemimpin dengan suara ber-
getar.
Perlahan-lahan ia melepaskan Putri Sekartaji
dari
ancamannya.
"Bagus!
Rupanya kau masih mentaatiku, Pan-
geran
Pemimpin. Sekarang lekaslah kalian semua yang
ada di tempat
ini untuk bersujud. Kalian tak pantas
menemuiku
dengan cara berdiri begini. Hayo, lekas
berlutut!"
bentak Siluman Ular Putih lagi. Suaranya
bergetar-getar
aneh menyerang jalan pikiran semua
yang ada di
halaman samping markas Partai Kawula
Sejati.
Seperti yang
diperintahkan Soma, Pangeran
Pemimpin dan
juga semua yang ada di halaman samp-
ing langsung
menjatuhkan diri ke tanah dan berlutut
di hadapan
pemuda itu.
Sebenarnya
Soma ingin sekali menggoda Putri
Sekartaji,
namun ketika dilihatnya gadis itu tampak
ketakutan
maka niatnya diurungkan. Disambarnya
tubuh Putri
Sekartaji lalu berkelebat cepat meninggal-
kan tempat
itu. Sosok murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu
hilang di balik kegelapan malam.
Bersamaan
dengan lenyapnya bayangan Silu-
man Ular
Putih pengaruh sihir itu pun sirna. Pangeran
Pemimpin
murka bukan main. Sadarlah dia kalau te-
lah
diperdaya. Sambil berteriak-teriak penuh kemara-
han
diperintahkannya beberapa anak buahnya untuk
menangkap
Siluman Ular Putih dan Putri Sekartaji.
"Tangkap
mereka! Cepat tangkap Siluman Ular
Putih dan
Putri Sekartaji!"
***
8
"Soma!
Lepaskan totokanku! Aku masih sang-
gup berlari
sendiri!" teriak Putri Sekartaji dari pondon-
gan murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Soma tidak
mempedulikan. Sambil terus berke-
lebat cepat
dari dahan satu ke dahan pohon lain, Soma
hanya
tersenyum-senyum menggoda. Putri Sekartaji
jengkel
sekali. Tak henti-henti ia terus berteriak hingga
suaranya
serak. Namun Soma tetap membawanya per-
gi tanpa
menghiraukan teriakan-teriakan itu.
"Soma!
Jangan gila! Kau mau bawa aku ke ma-
na? Hayo,
lekas lepaskan totokanku, Soma!"
"Kenapa
kau berteriak-teriak minta dilepaskan
totokanmu,
Putri? Bukankah enak di atas pondongan-
ku? Kau ini
bagaimana sih. Orang enak-enak digen-
dong malah
minta dituruni. Aku senang sekali kalau
kau mau
gantian menggendongku. Apa kau ingin
menggendongku,
Putri?" kata Soma menggoda.
Meski Soma
berkata demikian, namun sebe-
narnya dalam
hati murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu berkata
lain. Ia tidak ingin keselamatan Putri Se-
kartaji
terancam meski adik tiri Pangeran Pemimpin itu
memiliki
kepandaian lumayan. Namun Soma tetap me-
rasa khawatir
jika Putri Sekartaji berlari sendiri. Di
samping
perjalanan malam itu memang cukup sulit, di
seputar
markas Partai Kawula Sejati banyak sekali je-
bakan maut.
"Soma!
Apa sebenarnya yang kau inginkan?
Apa kau ingin
mencelakakanku? Terkutuklah kau,
Soma! Awas
nanti kalau kau melepaskan totokanku.
Aku pasti
tidak akan memaafkan kekurangajaranmu
ini!"
Soma tetap
tidak mempedulikan ancaman gadis
cantik dalam
pondongannya. Sambil sesekali menggo-
da Putri
Sekartaji, Soma terus berkelebat meninggal-
kan markas
Partai Kawula Sejati. Sampailah murid
Eyang Begawan
Kamasetyo itu di luar hutan. Baru saja
Soma
menghentikan langkah dan bermaksud menu-
runkan tubuh
Putri Sekartaji, terdengar bentakan ga-
rang dari
sesosok bayangan yang berkelebat datang.
"Berani
kau menyentuh tubuh gadis itu berarti
kau tak
sayang lagi pada nyawamu, Bocah!"
Soma
menautkan alis matanya dalam-dalam.
Sosok di
hadapannya benar-benar membuat hatinya
terperanjat.
Dia seorang kakek tua renta. Berusia kira-
kira tujuh
puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. Se-
pasang
matanya kelabu dengan alis dan bulu mata
berwarna
putih. Ia mengenakan topi hitam panjang mi-
rip topi
seorang pelajar. Jubahnya hitam kedodoran
sampai ke
lutut. Sosok tinggi kurus yang mirip pe-
nampilan
seorang pelajar itu tak lain Marabunta atau
lebih dikenal
dengan julukan Pendidik Ulung.
Soma heran
bercampur kecut melihat sosok di
hadapannya.
Bukan heran melihat penampilannya,
melainkan
heran karena melihat kemunculannya.
"Sosok
di hadapanku ini jelas memiliki ilmu
meringankan
tubuh yang tinggi. Apalagi dengan sepa-
sang mata
yang mencorong. Aku yakin orang tua renta
ini memiliki
tenaga dalam hebat. Siapakah sebenarnya
dia? Kalau ia
salah seorang sekutu Pangeran Pemim-
pin, ini
benar-benar celaka. Keamanan Kadipaten Ple-
ret dan dunia
persilatan terancam!" gumam murid
Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
"Memalukan
sekali perbuatanmu, Bocah! Bera-
ninya kau
bertindak kurang ajar di hadapanku. Hayo,
lekas
lepaskan gadis itu!" bentak Pendidik Ulung ga-
rang.
"Eh eh
eh...! Kau menuduhku telah bersikap
kurang ajar.
Apa tidak budek telingaku? Jangan-
jangan malah
matamu yang lamur? Siapa yang berani
bersikap
kurang ajar di hadapanmu? Kenal saja tidak
kok menuduh
sembarangan. Enak saja!"
"Apa kau
bilang? Kau tidak bersikap kurang
ajar di
hadapanku? Apa dengan melarikan seorang ga-
dis di tengah
hutan sesunyi ini bukan perbuatan ku-
rang ajar?
Kau ini benar-benar memuakkan. Aku pal-
ing benci
melihat pemuda pengecut sepertimu! Aku ta-
hu apa yang
akan kau lakukan. Kalau saja aku tidak
segera
muncul, kau pasti sudah menelanjangi gadis itu
dan
memperkosanya. Iya, kan?!"
Soma
bersiul-siul kecil mendengar tuduhan
Pendidik
Ulung.
"Bocah
sinting! Orang ditanya malah bersiul-
siul. Pakai
melototi aku lagi. Kau demikian beraninya
menjual lagak
di hadapanku Pendidik Ulung!" Kedua
telapak
tangan Pendidik Ulung yang telah berubah pu-
tih
berkilauan sudah gatal ingin melontarkan pukulan
mautnya.
"Ah...!
Jadi... kau.... Pendidik Ulung?! Ibu dan
eyangku bisa
marah besar kalau aku tahu tak berlaku
hormat
padamu, Orang Tua. Maaf. Aku benar-benar
tidak tahu
kau orang tua sakti yang bergelar Pendidik
Ulung,"
Soma sangat terkejut mendengar keterangan
orang tua di
hadapannya. Pendidik Ulung adalah salah
seorang
sahabat eyangnya di Gunung Bucu.
"Diam!
Kau pikir aku tidak tahu sifat manusia
pengecut
sepertimu. Benar-benar memuakkan, Bocah.
Setelah
mendengar nama besarku beraninya kau men-
jilat seperti
ini. Padahal dalam hati kau tengah berpikir
bagaimana
caranya agar dapat selekasnya menikmati
kehangatan
tubuh gadis itu. Hayo, sekarang lepaskan
gadis
itu!"
"Ba...
baik. Tanpa kau suruh pun aku akan me-
lepaskan
temanku ini," sahut Soma. Murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo itu segera menurunkan tubuh gadis
cantik dalam
pondongannya. Namun ketika jari-jari
tangannya
hendak menotok pulih jalan darah di tubuh
Putri
Sekartaji, segulung sinar hitam dari tangan Pen-
didik Ulung
telah melesat cepat ke arahnya.
Soma
terperanjat kaget. Ia mengira Pendidik
Ulung akan menyerang dirinya. Tanpa pikir panjang
murid Eyang
Begawan Kamasetyo menggeser tubuh-
nya ke
samping. Ternyata gulungan sinar hitam itu
bukan
menyerang dirinya. Sinar itu bergerak cepat
menyambar
tubuh Putri Sekartaji dan melemparkan-
nya ke samping.
Soma tak
dapat lagi menyembunyikan rasa ka-
gum.
Berkali-kali mulutnya berdecak melihat sinar hi-
tam yang
ternyata ikat pinggang orang tua itu me-
nyambar tubuh
Putri Sekartaji dengan demikian mu-
dah. Sungguh
suatu pertunjukan tenaga dalam tingkat
tinggi.
Begitu tubuh Putri Sekartaji berguling ke samp-
ing, gadis
cantik itu segera meloncat tinggi ke udara
dan
menjejakkan sepasang kakinya yang jenjang ke
tanah dengan
sangat ringannya.
"Hebat!
Tak kusangka ikat pinggang kakek ini
mampu
melepaskan totokan di tubuh Putri Sekartaji!"
gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo penuh ka-
gum.
"Kau
menjengkelkanku, Soma. Aku benci kau.
Benci!"
teriak Putri Sekartaji.
"Benar!
Pemuda sinting ini memang menjeng-
kelkan.
Kukira ia patut mendapat sedikit pelajaran.
Minggirlah
kau, Gadis. Tangan-tanganku yang rapuh
ini kukira
masih sanggup mematahkan batang leher-
nya. Lihatlah
bagaimana caranya aku menghajar pe-
muda tak tahu
malu ini!" kata Pendidik Ulung.
Habis
berkata, Pendidik Ulung melangkah be-
berapa tindak
ke depan. Dimainkannya jurus 'Tangan
Maut Dewa
Kayangan'.
Siluman Ular
Putih terkejut. Bukan karena me-
rasakan
berkesiurnya angin dingin sebelum serangan
itu menerpa
dirinya, jurus-jurus yang dikeluarkan
Pendidik
Ulung benar-benar sama seperti yang di-
miliki
Prameswara alias Pelajar Agung.
"Tunggu,
Orang Tua! Menilik jurus-jurus yang
tengah kau
keluarkan, apakah kau guru Prameswara
yang kini
bergelar Pelajar Agung?" kata Soma seraya
menyurutkan langkahnya
setindak ke belakang.
Seketika
Pendidik Ulung menghentikan seran-
gan. Sepasang
matanya yang tajam mencorong mem-
perhatikan
pemuda gondrong di hadapannya.
"Benar.
Apakah kau pernah bersilang sengketa
dengan
muridku?" hardik Pendidik Ulung.
"Bukan
hanya bersilang sengketa. Bahkan aku
menginginkan
nyawanya!"
"Kenapa?"
Pendidik Ulung menautkan alis ma-
ta.
"Karena
dia telah mempengaruhi Manusia
Rambut Merah
untuk membunuh ayah kandungku
Pendekar
Kujang Emas."
"Kau...
anaknya Pendekar Kujang Emas?!" Pen-
didik Ulung
tak dapat menyembunyikan rasa terkejut-
nya.
"Buat
apa aku mengaku-aku, Orang Tua. Seka-
rang aku
benar-benar tidak mengerti. Ternyata saha-
bat eyangku
yang terkenal itu telah ditipu mentah-
mentah.
Bukannya mencari murid baik-baik. Eh... ma-
lah mencari
murid bejat macam Prameswara."
"Siapa
sebenarnya Prameswara itu? Kalau kau
tidak dapat
menjelaskannya, jangan harap aku akan
melepaskanmu
begitu saja."
Siluman Ular
Putih tersenyum.
"Dia
adalah bekas murid Pendekar Kujang
Emas. Namun
entah karena apa kemudian ia berguru
pada Manusia
Rambut Merah. Aku tahu hal ini karena
Prameswara
mampu menguasai ilmu ‘Amblas Bumi’
milik Manusia
Rambut Merah. Sedang ayahku tewas di
tangan
Manusia Rambut Merah. Mungkinkah kejadian
ini tidak ada
sangkut pautnya dengan Prameswara?
Dan apakah
kau tidak mengenal siapa Manusia Ram-
but
Merah?"
"Manusia
Rambut Merah? Ya ya aku kenal dia.
Dia seorang
tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar,"
ujar Pendidik
Ulung seraya mengangguk-anggukkan
kepala.
Sepasang matanya yang kelabu terus memper-
hatikan murid
Eyang Begawan Kamasetyo. Namun se-
benarnya
orang tua sakti itu tengah mengingat kembali
pertemuannya
dengan Prameswara beberapa bulan la-
lu. Tiba-tiba
Pendidik Ulung bergumam sendirian. "Ya
ya ya. Tentu
Manusia Rambut Merah telah terkena bu-
juk rayunya.
Aku cukup tahu siapa Manusia Rambut
Merah...."
Soma
mengerutkan kening. Samar-samar ia
mulai
mengerti duduk persoalannya. "Apakah kau juga
terkena bujuk
rayu manusia culas itu, Orang Tua?"
"Mungkin
iya, mungkin juga tidak. Yang jelas
saat itu aku
sangat terkesan dengan sikapnya yang
santun.
Apalagi ketika itu aku sedang kecewa dengan
kelakuan
bekas muridku yang bergelar Samber Nyawa.
Kalau aku
tahu dia seorang pengecut, sudah pasti ti-
dak sudi aku
menerimanya sebagai murid. Huh! Sung-
guh bodoh aku
yang tua ini!" keluh Pendidik Ulung
jengkel.
"Kalau
sekarang kau tahu apa yang tengah di-
rencanakan
oleh muridmu yang bergelar Pelajar
Agung, tentu
kau akan terkejut, Orang Tua. Dia kini
bergabung
dengan Pangeran Pemimpin yang bermak-
sud
menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret."
"Hm...!"
Pendidik Ulung mengeretakkan gera-
hamnya.
"Tak kusangka muridku seculas ini. Aku se-
benarnya juga
sudah mendengar desas-desus ini.
Bahkan Ki
Rombeng memintaku untuk bertemu den-
gan para
pendekar lain. Tentu mereka akan membica-
rakan sepak
terjang muridku. Huh! Benar benar men-
gecewakan.
Tak kusangka aku memiliki murid-murid
bejat.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Menyeli-
diki sepak
terjang muridku atau terus menemui Ki
Rombeng di
puncak Gunung Anjasmoro?"
Soma
membiarkan orang tua itu kebingungan
sendiri.
Dalam hati ia merasa sedikit lega karena Pen-
didik Ulung
telah melupakan perselisihan dengan di-
rinya.
"Ah...!
Kukira sebaiknya aku menemui Ki Rom-
beng terlebih
dahulu," gumam Pendidik Ulung tiba-
tiba. Kedua
kakinya siap berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Namun ketika pandang matanya bertemu
dengan Putri
Sekartaji, mendadak orang tua itu meng-
hentikan
langkah dan berbalik memandang Siluman
Ular Putih.
"Ada apa
lagi, Orang Tua? Kenapa kau tidak le-
kas-lekas
pergi dari hadapanku?" kata Soma menggo-
da. Senyum
nakalnya tersungging di bibir.
"Memang
aku akan meninggalkan tempat ini.
Tapi apa kau
kira aku bodoh. Tidak! Aku tidak bodoh!
Aku takkan
mungkin membiarkan kehormatan gadis
itu kau
rusak. Meski saat ini aku sedang bingung
mendengar
sepak terjang muridku, aku tidak akan
membiarkan
kejahatan berlangsung di depan mata.
Sekarang aku
ingin meminta pertanggungjawaban mu
mengapa kau
melarikan gadis itu!" kata Pendidik
Ulung. Jari
telunjuknya menuding ke arah Putri Sekar-
taji yang
sedari tadi hanya membisu mendengarkan
percakapan
Pendidik Ulung dan Soma.
"Tunggu,
Orang Tua. Kau salah paham. Aku
melarikan
gadis itu justru karena ingin menyela-
matkannya
dari cengkeraman Pangeran Pemimpin dan
muridmu yang
bejat itu."
"Heh?!
Jadi kau bermaksud menyelamatkan
gadis itu. Apa
tidak budek telingaku?" Pendidik Ulung
mengerutkan
keningnya. Dengan pandang mata curiga
tatapannya
dialihkan pada Putri Sekartaji. "Benarkah
apa yang
dikatakan pemuda sinting itu, Gadis?"
"Be...
benar, Orang Tua," jawab Putri Sekartaji
agak gugup.
Bagaimanapun
ia tidak ingin pemuda yang te-
lah menolong
dirinya celaka di tangan Pendidik Ulung.
Namun
sebenarnya hati gadis itu mulai terusik dengan
ketampanan
Soma.
Mendengar
ucapan Putri Sekartaji, Pendidik
Ulung jadi
gelisah. Pandang matanya kini tidak lagi
memusuhi
Siluman Ular Putih. Malah dengan kening
berkerut
Pendidik Ulung kembali membuka suara.
"Jadi
kau telah menyelamatkan gadis itu dari
cengkeraman
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung?"
"Iya,
dong. Makanya jadi orang jangan semba-
rang menuduh.
Kalau salah kan malu sendiri!" ujar
Soma seraya
menepuk dada.
"Berarti
kau telah bertemu dengan muridku,
Bocah,"
kata Pendidik Ulung tak menghiraukan gu-
rauan Siluman
Ular Putih.
"Bukan
hanya bertemu. Malah kami saling ber-
tukar jotosan
barang satu-dua jurus. Sayang, mereka
terlalu
pengecut. Ingin rasanya aku meremukkan ba-
tok kepala
muridmu, Orang Tua."
"Hm...!
Tampaknya kau memiliki sedikit kepan-
daian, Bocah.
Kukira kau pun harus hadir di puncak
Gunung
Anjasmoro guna membicarakan sepak terjang
Pangeran
Pemimpin dan Pelajar Agung!"
"Usulmu
sebenarnya baik sekali, Orang Tua.
Tapi sayang
aku tidak bisa menuruti."
"Kenapa?"
"Aku
lebih senang berduaan dengan temanku
yang cantik
ini daripada bepergian denganmu, Orang
Tua,"
kata Soma menggoda.
"Berani
kau menggodaku seperti ini, Bocah?"
Pendidik
Ulung marah karena merasa dipermainkan.
"Eh eh
eh...! Jangan marah dulu, Orang Tua.
Siapa pun
juga akan lebih senang berduaan dengan
seorang gadis
cantik dibandingkan dengan seorang la-
ki-laki tua.
Nanti dikira apa aku ini."
"Mulutmu
terlalu lancang. Tapi, aku yakin kau
pasti
memiliki hati yang baik."
"Jelas
dong. Setidak-tidaknya lebih baik diban-
dingkan
kelakuan muridmu yang bejat itu!" sahut So-
ma
asal-asalan.
"Hm...!"
Pendidik
Ulung mengeretakkan gerahamnya.
Ingin
sebenarnya ia memberi sedikit pelajaran pada
pemuda
gondrong di hadapannya. Namun niat itu di-
urungkan.
Sepasang mata Pendidik Ulung malah
memperhatikan
rajahan ular putih kecil di dada Soma.
"Jangan-jangan
saat ini aku tengah berhadapan
dengan pemuda
edan yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih. Apakah
kau pemuda edan itu, Bocah?"
Soma tertawa
bergelak. Ia tidak menampakkan
rasa
tersinggung dimaki 'pemuda edan' oleh Pendidik
Ulung. Malah
sambil menuding-nudingkan telunjuk-
nya, murid
Eyang Begawan Kamasetyo kembali meng-
goda guru
Pelajar Agung.
"Kalau
mau mengigau sebaiknya jangan di sini,
Orang Tua.
Mana berani aku yang rendah ini bergelar
Siluman Ular
Putih."
"Ya ya
ya.... Sudah. Lupakan saja. Tapi sekali
lagi
kuperingatkan. Kalau terjadi sesuatu dengan gadis
itu, akulah
orang yang pertama akan meremukkan ba-
tok
kepalamu!" ancam Pendidik Ulung serius.
Siluman Ular
Putih makin memperlebar tawa.
Pendidik
Ulung tidak menggubris. Sepasang
matanya
dipelototkan sebelum berkelebat meninggal-
kan tempat
itu.
"Kau memang keterlaluan, Soma. Pada orang
tua saja
berani bertindak seenak dengkulmu, apalagi
terhadapku.
Mungkin akan lebih kurang ajar!" kata
Putri
Sekartaji tiba-tiba.
***
Soma
terperanjat kaget. Ia yang tengah mem-
perhatikan
kepergian Pendidik Ulung buru-buru me-
malingkan
kepala. Putri Sekartaji tengah bersungut-
sungut seraya
memperhatikan dirinya.
"Eh...!
Apa tadi kau bilang, Putri?"
"Kau
memang menjengkelkan, Soma. Sebenar-
nya aku ingin
menamparmu. Tapi tadi aku sudah me-
maafkan
kelancanganmu."
"Kenapa?
Apa tadi aku bersikap lancang pada-
mu? Yang
benar saja. Bukankah enak digendong? Kau
dapat
memejamkan mata seperti terlelap dalam pon-
dongan ibumu.
Kalau aku sih pasti akan minta tam-
bah. Tapi
sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau su-
dah memaafkan
aku. Kenapa?"
Ditanya
seperti itu Putri Sekartaji jadi keki. Ia
yang
diam-diam terpesona melihat ketampanan pemu-
da di
hadapannya hanya terus memperhatikan Soma.
"Kok
jadi diam. Ada apa? Jangan-jangan kau
mulai
ketularan penyakit orang tua itu. Atau, jangan-
jangan kau
naksir aku?" Lalu disusul dengan
suara
tawa Soma
yang bergelak.
Semburat rona
merah mewarnai kedua pipi Pu-
tri Sekartaji.
Beruntung saat itu malam masih menye-
limuti bumi,
sehingga murid Eyang Begawan Kama-
setyo tidak
sempat melihat rona merah di pipinya. Pu-
tri Sekartaji
jadi jengkel mendengar godaan Siluman
Ular Putih.
Tangan kanannya kemudian bergerak ce-
pat.
Plak! Plak!
Dua kali
telapak tangan Putri Sekartaji menda-
rat di pipi
Soma, hingga kepalanya oleng ke kanan kiri.
"Aduuuh...!
Sudah kuduga tanganmu pasti ha-
lus, Putri.
Rasanya aku ingin tambah. Tapi jangan
kencang-kencang.
Kalau perlu dielus-elus saja pipiku
ini,"
rupanya murid Eyang Begawan Kamasetyo belum
jera juga.
Putri
Sekartaji mendelikkan mata. Tangan ka-
nannya
kembali siap menampar pipi Soma. Namun
anehnya Soma
malah menyorongkan pipinya ke depan.
Tentu saja
Putri Sekartaji jadi mengurungkan niatnya.
"Kenapa
tidak diteruskan, Putri? Kau tidak te-
ga?
Jangan-jangan kau memang naksir aku?"
"Soma!
Jangan kurang ajar!" pekik Putri Sekar-
taji saking
jengkelnya. Tangan kanannya kini tampak
tak segan-segan
lagi akan menampar pipi Soma.
Soma tertawa
bergelak. Melihat tangan Putri
Sekartaji
sudah terangkat tinggi-tinggi, Soma pun bu-
ru-buru
menyingkir.
"Baik,
baik. Aku berjanji tidak akan kurang ajar
lagi.
Sekarang rencanamu mau ke mana?" kata Soma
mulai serius.
Putri
Sekartaji menurunkan tangannya kemba-
li. Mulutnya
masih memberengut. Ditanya seperti itu
Putri
Sekartaji jadi kebingungan sendiri.
"Aku
tidak tahu. Mungkin akan segera mela-
porkan
Kangmas Sembodo pada Kangmas Adipati. Aku
tidak tahu
pasti, Soma."
"Sebaiknya
kau melaporkan pengkhianatan
Pangeran
Pemimpin pada Adipati Pleret, Putri. Ini bu-
kan masalah
kecil. Lekaslah pulang ke kadipaten,"
usul Soma.
"Tapi...
aku ingin laporanku lebih nyata," Putri
Sekartaji
keberatan. Ia merasa betah berduaan dengan
murid Eyang
Begawan Kamasetyo. Walau terkadang
gurauan Soma
keterlaluan, namun sebenarnya Putri
Sekartaji
sangat menyukai.
"Laporan
yang lebih nyata. Maksudmu bagai-
mana, Putri?
Aku kok malah jadi bingung sendiri. Bu-
kankah
Pangeran Pemimpin bermaksud memberontak
terhadap
Kadipaten Pleret? Apakah itu bukan laporan
yang
nyata?"
"Aku
ingin kau turut serta."
"Apa?"
"Soma!
Apa telingamu tuli? Aku ingin kau ikut
denganku
untuk melaporkan sepak terjang Pangeran
Pemimpin. Apa
kau keberatan?" kata Putri Sekartaji
setengah
berteriak.
"Bagaimana,
ya? Sebenarnya aku keberatan.
Tapi baiklah.
Asal mulai sekarang kau harus memang-
gilku Kangmas
Soma!"
"Apa?"
Soma tertawa
bergelak. Rasanya senang sekali
bisa menggoda
Putri Sekartaji seperti itu.
***
9
Pangeran
Pemimpin melangkah lebar menuju
ruang
pendopo. Di sana telah menunggu Iblis Muka
Merah dan
Setan Mayat Merah. Tanpa banyak cakap
Pangeran
Pemimpin segera duduk di kursi kebesaran-
nya. Pelajar
Agung menyusul kemudian duduk di kursi
samping
Pangeran Pemimpin.
Sementara dua
orang gadis kembar di samping
Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah terlihat ke-
takutan.
Mereka baru saja diculik Iblis Muka Merah
dan Setan
Mayat Merah dari sebuah dusun tak jauh
dari markas
Partai Kawula Sejati. Wajah kedua gadis
itu tidaklah
terlalu mengecewakan. Wajahnya bulat te-
lur dengan
kulit tubuh yang putih bersih. Rambutnya
hitam panjang
dibiarkan tergerai sampai ke punggung.
Kedua gadis
kembar ini sama-sama mengenakan kem-
ben hitam
dengan kain panjang biru tua.
Melihat hasil
tangkapan Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat
Merah, wajah Pangeran Pemimpin sedikit
menunjukkan
keceriaan. Hal ini terlihat jelas oleh Iblis
Muka Merah
dan Setan Mayat Merah.
"Bagaimana,
Pangeran Pemimpin? Apakah ke-
dua gadis
kembar ini cukup memenuhi syarat?" kata
Iblis Muka
Merah.
Pangeran
Pemimpin hanya mengangguk-ang-
gukkan kepala
sambil tangan kanannya memegangi
jenggot.
"Aku
belum tahu pasti. Mungkin kedua gadis
kembar ini
cukup memenuhi syarat. Tapi, sebaiknya
kita tanyakan
dulu pada Raja Maling. Dialah yang
mengetahui
rahasia Lukisan Darah. Bukan begitu, So-
batku Pelajar
Agung?" ujar Pangeran Pemimpin me-
nyahuti.
"Ya
ya.... Sebaiknya cepat panggil Raja Maling
kemari. Hanya
dia yang tahu rahasia Lukisan Darah,"
ujar Pelajar
Agung membenarkan pendapat Pangeran
Pemimpin.
Pangeran
Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala.
Tangan kanannya yang sedari tadi mengelus-
elus jenggot
segera mengisyaratkan agar salah seorang
anak buahnya
mendekat. Seorang anak buah Partai
Kawula Sejati
yang merasa dipanggil buru-buru men-
dekati.
"Lekas
kau panggil Raja Maling kemari!" perin-
tah Pangeran
Pemimpin.
"Baik,
Pangeran!" Laki-laki berusia empat puluh
tahunan itu
bergegas pergi meninggalkan ruang pen-
dopo.
"Sekarang
tidak ada pilihan lain. Terpaksa kita
harus
menjalankan rencana kita yang terakhir, So-
batku Pelajar
Agung. Kalau saja pemuda keparat yang
bergelar
Siluman Ular Putih itu tidak membawa lari
Nimas Putri
Sekartaji, kita tentu dapat dengan mudah
merebut
takhta Kadipaten Pleret. Tapi sekarang tidak
ada
pilihan lain. Terpaksa kita harus
mengumpulkan
banyak dana
dengan cara menyingkap rahasia Lukisan
Darah."
"Ya. Aku
juga marah sekali dengan Siluman
Ular Putih.
Suatu saat aku pasti akan membuat perhi-
tungan
dengannya. Belum puas rasanya kalau belum
dapat
meremukkan batok kepalanya!" geram Pelajar
Agung.
"Ya! Dan
kau harus berhati-hati dengan ilmu
sihirnya,"
kata Pangeran Pemimpin mengingatkan.
"Tentu.
Itu sudah aku perhitungkan."
"Aku
percaya denganmu, Sobat. Sekarang kita
harus
secepatnya mengetahui rahasia Lukisan Darah.
Nah, itu Raja
Maling sudah datang!"
Di pintu
ruang pendopo tampak Raja Maling
tengah
melangkah lebar mendekati Pangeran Pemim-
pin. Di
belakangnya mengikuti anggota Partai Kawula
Sejati yang
diperintah tadi. Begitu berada di dekat
Pangeran
Pemimpin, Raja Maling segera membuka su-
ara.
"Ha ha
ha...! Tak kusangka sobatku Iblis Muka
Merah dan
Setan Mayat Merah berhasil secepat ini
mendapatkan
dua orang gadis kembar. Hebat. Aku sa-
lut pada
kalian."
"Raja
Maling, duduklah. Aku ingin bicara den-
ganmu!"
kata Pangeran Pemimpin memerintah.
Sejenak Raja
Maling memperlebar suara ta-
wanya. Lalu
ia segera menghenyakkan pantat di samp-
ing Iblis
Muka Merah.
"Nah,
sekarang aku sudah duduk. Apa yang in-
gin kau
tanyakan, Pangeran Pemimpin?"
"Mengenai
dua orang gadis kembar itu. Apakah
sudah
memenuhi syarat?" Pangeran Pemimpin menun-
juk ke arah
dua orang gadis kembar di samping Iblis
Muka Merah
dan Setan Mayat Merah.
Raja Maling
buru-buru menolehkan kepalanya
ke samping.
Sepasang mata garang Raja Maling mem-
perhatikan
kedua gadis kembar itu lekat-lekat. Tanpa
sadar jakun
murid Maling Tanpa Bayangan itu berge-
rak-gerak.
Sepasang matanya terus memperhatikan le-
kuk-lekuk
tubuh kedua gadis kembar itu.
"Bagaimana,
Raja Maling? Apakah kedua gadis
kembar itu
sudah memenuhi syarat?" tanya Pangeran
Pemimpin tak
sabar.
"Oh, ya
ya.... Sangat memenuhi syarat!" kata
Raja Maling
buru-buru setelah menelan ludahnya sen-
diri. Kalau
saja kedua gadis kembar itu tidak sedang
dibutuhkan,
sudah pasti Raja Maling ingin menikmati
hangatnya
tubuh mereka. Namun sayang terpaksa kali
ini Raja Maling
harus menunda keinginannya.
"Bagus!
Kalau begitu, buat apa kita membuang-
buang waktu?
Mengapa tidak sekarang saja kita mem-
bereskan
urusan ini?"
"Sabar,
Pangeran Pemimpin. Kita memang ha-
rus
selekasnya membereskan urusan ini. Tapi kita se-
baiknya
menunggu saat yang tepat, yaitu tengah ma-
lam nanti.
Sekarang aku harus menyiapkan peralatan
terlebih
dahulu."
"Baiklah.
Cepat kerjakan apa yang ingin kau
lakukan, Raja
Maling."
"Baik!"
Raja Maling
segera beranjak dari tempat du-
duknya.
Sejenak sepasang mata berwarna merah saga
itu
memperhatikan kedua gadis kembar. Lalu ia segera
pergi
meninggalkan ruang pendopo.
***
Di tengah
ruang khusus yang hanya diterangi
nyala lilin
tampak lukisan seorang wanita telanjang
berwarna merah
darah telah dipersiapkan oleh Raja
Maling.
Keadaan Lukisan Darah itu terlihat sedikit
aneh.
Wajahnya yang berwarna kemerah-merahan kini
tampak
demikian memelas. Sorot matanya layu, seo-
lah-olah
tidak rela dirinya jatuh ke tangan orang ber-
hati culas.
Sorot mata lukisan wanita telanjang itu
seakan tahu
kekejian apa yang sebentar lagi akan ter-
jadi di ruang
tersebut.
Di hadapan
Lukisan Darah sosok tinggi besar
Raja Maling
tengah duduk bersila. Kedua bibirnya
yang hitam
berkemik-kemik membaca mantra. Semen-
tara
tangan kanannya terus mengaduk-aduk
keme-
nyan dalam
tungku kecil di hadapannya. Maka tak he-
ran kalau
ruang khusus itu dipenuhi bau kemenyan
yang teramat
menusuk hidung.
Di samping
Raja Maling tergeletak di lantai dua
sosok gadis
kembar. Tubuh mereka kaku tak dapat di-
gerakkan.
Wajah mereka pun pucat pasi. Hanya sepa-
sang matanya
saja yang bergerak-gerak liar seolah in-
gin berteriak
minta tolong pada dinding-dinding ka-
mar.
"Sudah
saatnya...!" desis Raja Maling pada di-
rinya
sendiri. Tangannya tak lagi mengaduk-aduk ke-
menyan di
tungku. Raja Maling beranjak dari duduk
untuk
mendekati tubuh kedua calon korbannya.
Meski kedua
gadis kembar itu mengetahui ke-
kejian apa
yang akan menimpa dirinya, namun naluri
mereka
mengisyaratkan kalau keselamatan dirinya
tengah
terancam. Saking tidak tahannya didera oleh
perasaan
takut, kedua gadis kembar itu menitikkan
airmata. Raja
Maling hanya tertawa bergelak mem-
bayangkan
permainan maut yang sebentar lagi akan
dilakukannya.
"Gadis-gadis
cantik yang malang. Sebenarnya
sayang sekali
kalian harus mati percuma tanpa terle-
bih dahulu
aku menikmati kehangatan tubuh kalian!"
de-sis Raja
Maling semakin membuat kedua gadis
kembar itu
ketakutan.
Raja Maling
makin melipatgandakan tawanya.
Setelah reda,
dengan perlahan-lahan diambilnya dua
butir pil
hitam yang telah dipersiapkan dari dalam sa-
ku.
"Ha ha
ha...! Telanlah pil pemberianku ini, Ga-
dis!"
Raja Maling
tak ragu-ragu untuk menjejalkan
kedua pil
hitam itu ke dalam mulut mereka. Dengan
sedikit
memaksa, Raja Maling berhasil melakukannya.
Perlahan-lahan
kedua pil hitam memasuki kerongkon-
gan kedua
gadis kembar.
Raja Maling
girang bukan main. Di tangan ka-
nannya kini
telah tergenggam dua batang jarum kecil
yang baru
saja diambilnya dari dalam saku. Lalu, ke-
dua batang
itu ditusukkan ke pergelangan tangan ke-
dua calon
korbannya. Setelah menusuk pergelangan
tangan, Raja
Maling segera menghisap darah mereka
bergantian.
Kedua gadis
kembar itu meringis kesakitan. Ra-
ja Maling
tidak mempedulikannya. Ia terus menghisap
darah mereka
hingga mulutnya menggembung. Kemu-
dian Raja
Maling menyemburkan campuran darah ke-
dua gadis itu
ke permukaan lukisan.
Wurrr...!!!
Ajaib sekali!
Begitu darah kedua gadis kembar
itu membasahi
Lukisan Darah, seketika warna merah
dalam lukisan
mendadak pudar, berganti dengan gura-
tan-guratan
merah yang membentuk sebuah peta.
Bukan main
girangnya Raja Maling. Begitu me-
lihat Lukisan
Darah mulai menunjukkan gambar se-
buah peta,
Raja Maling kembali menghisap darah di
pergelangan
tangan kedua korbannya. Dan seperti ta-
di, darah di
mulutnya kembali disemburkan pada Lu-
kisan Darah
hingga akhirnya lukisan itu membentuk
sebuah peta
yang jelas.
"Ha ha
ha...! Aku telah mendapatkan peta harta
karun! Aku
telah mendapatkan peta harta karun!!!"
Raja Maling
berteriak-teriak penuh kegembiraan.
Sementara,
keadaan kedua gadis kembar itu
tampak sangat
memprihatinkan. Wajahnya pias kare-
na darah
mereka telah banyak terkuras. Dan ketika
Raja Maling
mendekati kedua gadis itu, ternyata mere-
ka telah
menemui ajal karena kehabisan darah.
***
10
Di ruang
pendopo markas Partai Kawula Sejati,
Pangeran
Pemimpin dan Pelajar Agung tidak sabar lagi
menunggu
hasil kerja Raja Maling. Iblis Muka Merah
dan Setan
Mayat Merah pun demikian. Kedua tokoh
sesat itu
berkali-kali memalingkan kepalanya ke bela-
kang, namun
Raja Maling belum juga muncul.
"Bagaimana
pendapatmu, Pelajar Agung? Apa-
kah Raja
Maling dapat menyingkap rahasia yang ter-
sembunyi
dalam Lukisan Darah?" tanya Pangeran Pe-
mimpin tak
sabar.
"Hm...!"
Pelajar Agung mengeretakkan gera-
hamnya seraya
mengangguk-anggukkan kepala. "Me-
nurut
perkiraanku, Raja Maling dapat menyingkap ra-
hasia itu.
Percuma saja ia menjadi murid Maling Tanpa
Bayangan
kalau tak dapat menyingkap rahasia Luki-
san
Darah."
"Kukira
pendapat wakil ketua benar, Pangeran.
Sebab hanya
Raja Maling seorang yang tahu rahasia
Lukisan
Darah. Kenapa Pangeran segusar ini?" kata
Iblis Muka
Merah menyahuti.
"Aku
memang gusar sekali, Iblis Muka Merah.
Apalagi
setelah kepergian Nimas Putri Sekartaji. Kukira
untuk
sementara kita harus menunda rencana kita.
Meski
demikian kita harus terus mengamati perkem-
bangan
kadipaten."
"Benar.
Kita harus terus menyebar mata-mata.
Aku takut
pasukan kadipaten keburu datang menye-
rang markas
ini sebelum kita siap siaga," kata Pelajar
Agung membuka
suara.
"Ha ha
ha...! Rupanya mimpi kalian semua da-
pat terwujud.
Tak kusangka dengan demikian mudah-
nya aku dapat
menyingkap rahasia Lukisan Darah!"
***
Pangeran
Pemimpin melengak kaget. Namun
ketika
mengenali suara tawa itu, mendadak senyum-
nya
terkembang. Seketika Pangeran Pemimpin mema-
lingkan
kepala ke arah datangnya suara.
Raja Maling
melangkah gagah memasuki ruang
pendopo.
Tangan kanannya menggenggam Lukisan
Darah yang
telah berubah gambarnya. Bukan lagi ber-
gambar
seorang wanita telanjang berwarna merah da-
rah,
melainkan guratan-guratan mirip sebuah peta.
"Bagus!
Aku senang sekali mendengar keberha-
silanmu.
Lekaslah kau mendekat, Raja Maling!" kata
Pangeran
Pemimpin.
Sambil
melangkah lebar mendekati Pangeran
Pemimpin,
Raja Maling terus mengumbar tawanya.
Lalu dengan
membusungkan dada, Raja Maling
menyerahkan
Lukisan Darah yang telah berubah. Pan-
geran
Pemimpin dan Pelajar Agung yang duduk ber-
dampingan
mengamati Lukisan Darah dengan seksa-
ma. Lukisan
itu memang telah berubah.
"Kalau
tidak salah tonjolan besar dalam peta ini
adalah Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ya-
kin ini.
Lalu...."
"Salah,
Pangeran. Tonjolan besar dalam lukisan
itu bukanlah
gambar Gunung Merbabu atau Merapi.
Cobalah
Pangeran amati tonjolan-tonjolan kecil di seki-
tar tonjolan
besar sebelah kiri. Apa di sekitar Gunung
Merapi maupun
Gunung Merbabu ada gunung-gunung
kecil seperti
dalam gambar?" kata Raja Maling tiba-
tiba.
Pangeran
Pemimpin dan Pelajar Agung men-
dongakkan
kepala. Sepasang matanya memperhatikan
Raja Maling.
Diperhatikan seperti itu, Raja Maling ma-
lah mengumbar
tawa.
"Kalau
bukan Gunung Merapi dan Merbabu, la-
lu gunung apa
lagi, Raja Maling? Kau jangan seenak-
nya
menafsirkan rahasia peta ini!" hardik Pangeran
Pemimpin tak
suka.
Raja Maling
tersenyum-senyum kecil. Bibirnya
sedikit
mencibir sinis, seolah hanya dia seorang yang
tahu rahasia
itu.
"Kukira
tidak percuma Pangeran Pemimpin
memiliki
pembantu seperti aku. Apa Pangeran lupa
siapa aku.
Raja Maling, murid Maling Tanpa Bayangan
yang kesohor
itu. Sudah pasti aku tahu rahasia dalam
peta Lukisan
Darah," kata Raja Maling ringan sekali.
"Kenapa
tidak lekas kau katakan, Raja Maling!"
tukas Iblis
Muka Merah kesal melihat tingkah Raja
Maling.
"Memang
aku ingin mengatakannya, tapi kau
keburu
menyela!" Sepasang mata Raja Maling yang
berwarna
merah saga berkilat-kilat memandangi Iblis
Muka Merah.
Namun Iblis Muka Merah tidak takut
melihat
kemarahan Raja Maling.
"Sudahlah.
Kenapa kalian bersitegang begini?"
tegur
Pangeran Pemimpin. "Sekarang kalau kau tahu
lekas katakan
gunung apa yang terdapat dalam peta
ini, Raja
Maling."
"Baik,"
Raja Maling melangkah lebar mendekati
Pangeran
Pemimpin. "Coba perhatikan tonjolan-
tonjolan
kecil di sekitar tonjolan besar ini, Pangeran.
Apa tonjolan
ini bukan menunjukkan Gunung Sindo-
ro? Sedang di
sebelah kanannya adalah Gunung
Sumbing."
"Hm...,"
Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan
kepala. Dari raut wajahnya nampak kalau
Pangeran
Pemimpin belum puas dengan penjelasan
tersebut.
"Lalu, tonjolan-tonjolan kecil ini menunjuk-
kan gunung
apa?"
"Tonjolan
yang agak besar ini pasti Gunung
Kembang.
Sedang tonjolan yang kecil ini tidak lain Gu-
nung Batu.
Kemungkinan besar letak harta karun be-
rada di
sekitar Gunung Kembang. Coba perhatikan
tanda anak
panah kecil yang menunjuk ke tonjolan
Gunung
Kembang ini."
"Hm...
Ya ya...."
"Kalau
begitu sudah jelas. Sekarang kita bisa
lekas ke sana
untuk mendapatkan harta karun," kata
Pelajar Agung
menukas.
"Bukan
begitu persoalannya," sahut Raja Mal-
ing.
"Sekarang pun kita bisa berangkat mencari harta
karun. Tapi
apa kita tidak ingin mendapat petunjuk
yang lebih
jelas?"
"Apakah
kau mendapat petunjuk lain, Raja
Maling?"
"Tadi
aku sudah meneliti Lukisan Darah ini.
Dan aku
sedikit mendapat petunjuk. Cobalah buka li-
patan kecil
yang tersembunyi di belakang lukisan,
Pangeran.
Mungkin petunjuk itu yang dapat memban-
tu kita
mendapatkan harta karun."
Pangeran
Pemimpin buru-buru membuka lipa-
tan kecil
yang ditunjukkan Raja Maling. Jari-jari tan-
gannya
sedikit gemetaran waktu membuka lipatan di
belakang
lukisan. Seketika sepasang mata Pangeran
Pemimpin
membelalak lebar.
"Apa
maksudnya ini, Raja Maling? Kenapa
hanya
bertuliskan 'Penguasa Alam'?"
Raja Maling
tersenyum.
"Apakah
Pangeran belum pernah mendengar ju-
lukan
Penguasa Alam. Dia seorang tokoh sakti yang
sulit sekali
dicari tandingannya. Penguasa Alam-lah
yang
mengetahui di mana harta karun berada. Dialah
kunci
terakhir untuk mendapatkan harta karun ini,
Pangeran."
"Kita
bujuk saja dia. Siapa tahu mau?" kata
Pangeran
Pemimpin bersemangat. "Sebelumnya aku
mengucapkan
terima kasih atas semua keteranganmu
ini, Raja
Maling. Kalau perjuangan kita berhasil aku
berjanji akan
mengangkatmu menjadi pejabat tinggi.
Kau boleh
menunjuk wanita mana saja untuk dijadi-
kan
selir," lanjut Pangeran Pemimpin menambahi.
Raja Maling
tertawa bergelak. Sepasang ma-
tanya yang
berkilat-kilat jelas menunjukkan kalau mu-
rid Maling
Tanpa Bayangan itu senang sekali dengan
tawaran
Pangeran Pemimpin. Raja Maling jadi menelan
ludah
membayangkan beberapa orang selir yang can-
tik-cantik
tengah mengerumuni dirinya.
"Aku
tahu, Pangeran. Tapi bukan itu persoa-
lannya. Yang
jelas, sekarang kita harus mendapatkan
harta karun
itu secepatnya."
"Memang
itulah yang kuinginkan, Raja Maling."
"Dan itu
tidak mudah. Di samping Penguasa
Alam memiliki
hati yang kejam luar biasa. Dia pun
memiliki
kesaktian hebat."
"Setan
alas! Kau tidak memandang sebelah ma-
ta padaku,
Raja Maling!" bentak Pelajar Agung tiba-
tiba. Ia yang
memiliki watak tinggi hati tak mau dika-
lahkan oleh
siapa pun. Rasanya sudah tidak sabar lagi
untuk segera
berhadapan dengan Penguasa Alam.
"Aku
percaya. Kau memang memiliki kepan-
daian hebat,
Pelajar Agung. Tapi kalau berhadapan
dengan
Penguasa Alam, aku ragu. Apakah kau dapat
mengatasi
Penguasa Alam? Kau akan tewas di tangan-
nya,"
sahut Raja Maling sinis.
Bukan main
geramnya hati Pelajar Agung. Jari-
jari
tangannya mencengkeram lengan kursi kuat-kuat.
Seketika
terdengar bunyi kayu jati hancur diiringi
mengepulkan
asap putih.
"Sekali
lagi kau berkata seperti itu, kupecahkan
batok
kepalamu, Raja Maling! Aku, Pelajar Agung, se-
dikit pun
tidak gentar menghadapi Penguasa Alam.
Untuk
membuktikannya sekarang juga aku akan men-
cari Penguasa
Alam dan merampas harta karun yang
kita butuhkan
darinya!"
Habis
berkata, Pelajar Agung berkelebat keluar
dari ruangan
pendopo. Pangeran Pemimpin gelisah se-
kali setelah
teriakannya untuk mencegah tidak di-
gubris oleh
Pelajar Agung.
"Cepat
ikuti dia. Aku khawatir ia akan menda-
pat celaka di
tangan Penguasa Alam!" perintah Pange-
ran Pemimpin.
"Baik,"
sahut Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah
bersamaan. Dengan menggunakan ilmu
meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, kedua
tokoh sesat itu berkelebat menyusul Pela-
jar Agung.
Tidak
demikian dengan Raja Maling. Ia yang
gemas sekali
dengan sifat tinggi hati Pelajar Agung
hanya
memandangi kepergiannya.
"Kenapa
kau tidak turut membantu Pelajar
Agung, Raja
Maling?" tegur Pangeran Pemimpin.
"Terus
terang aku muak sekali melihat ting-
kahnya. Tapi
kalau memang Pangeran memerintahkan,
dengan senang
hati aku akan menyusul manusia pon-
gah
itu!" kata Raja Maling ketus.
"Kalau
begitu, lekaslah kau pergi!"
"Baik."
***
11
Malam masih
menyelimuti bumi. Di belahan
langit
sebelah barat cahaya bulan purnama mulai me-
redup. Tiada
kegairahan yang terpancar dari suasana
malam itu.
Sementara angin seolah malas berhembus,
hingga
membuat suasana malam bertambah lengang.
Dalam
kegelapan malam, sesosok tubuh berpa-
kaian serba
hitam berkelebat cepat di antara kerapa-
tan pohon di
luar Kadipaten Pleret. Entah kenapa
mendadak
sosok bayangan itu menghentikan langkah-
nya. Wajahnya
yang tua tampak demikian gelisah. Ke-
dua bibirnya
pun berkemik-kemik.
"Keparat!
Kalau begini caranya aku bisa mati
penasaran.
Aku harus memeriksa kebenaran itu. Ka-
lau memang
muridku yang bergelar Pelajar Agung te-
lah berbuat
kesalahan, maka akulah orang pertama
yang akan
memecahkan batok kepalanya," gumam so-
sok berjubah
hitam yang tidak lain Pendidik Ulung.
"Aku
harus menangguhkan urusanku untuk menemui
Ki Rombeng.
Aku tak mungkin membiarkan begitu saja
sepak terjang
muridku."
Pendidik
Ulung kembali menjejakkan kakinya
ke tanah dan
berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Gerakan
kedua kakinya ringan sekali laksana ter-
bang. Dalam
beberapa kelebatan saja sosok tinggi ku-
rus Pendidik
Ulung telah hilang di balik kerapatan po-
hon.
***
Sosok
Pendidik Ulung berkelebatan dari dahan
pohon yang
satu ke pohon lain. Sebagai seorang tokoh
tua yang
sudah kenyang malang melintang di dunia
persilatan,
Pendidik Ulung tentu tak mau melakukan
perjalanan
melalui bawah. Apalagi perjalanan malam
itu memasuki
markas Partai Kawula Sejati.
Pendidik
Ulung sadar benar tentu di seputar
markas telah
ditebar banyak jebakan. Dan ia tidak
mau terkecoh
oleh jebakan-jebakan itu. Atas dasar
perhitungan
itulah Pendidik Ulung melakukan perjala-
nan melalui jalan
atas.
Pendidik
Ulung makin bergerak masuk ke da-
lam hutan.
Tiba-tiba sepasang mata Pendidik Ulung
bersinar
terang. Tak jauh di hadapannya tampak lima
buah bangunan
megah di atas tanah rerumputan. Di
sekitar
bangunan berpuluh-puluh anak buah Partai
Kawula Sejati
tengah berjaga-jaga dengan senjata di
tangan.
Pendidik
Ulung memperhatikan keadaan seki-
tar. Lalu
sosok tinggi kurus itu berkelebat menuju ha-
laman depan
markas Partai Kawula Sejati. Beberapa
anggota
Partai Kawula Sejati yang tengah berjaga-jaga
tersentak
kaget. Ketika menyadari kemunculan orang
asing yang
belum dikenal, mereka segera mengurung
Pendidik
Ulung.
"Siapa
kau? Berani kau memasuki markas Par-
tai Kawula
Sejati, he?!"
"Minggir!
Aku tak ada urusan dengan cecurut
macam kalian.
Aku ingin bertemu dengan muridku
yang bergelar
Pelajar Agung!" bentak Pendidik Ulung
tak kalah
garang.
Para anggota
Partai Kawula Sejati itu melengak
kaget. Di
saat mereka tertegun inilah Pendidik Ulung
berteriak
lantang.
"Pelajar
Agung! Keluar kau! Aku, Pendidik
Ulung, ingin
meminta pertanggungjawaban mu!"
Tak ada
sahutan. Para anggota Partai Kawula
Sejati
semakin curiga. Kalau mengaku gurunya, men-
gapa Pendidik Ulung ingin meminta pertanggung-
jawaban
muridnya? Dan kalau hanya meminta per-
tanggungjawaban
karena Pelajar Agung telah berseku-
tu dengan
Pangeran Pemimpin, jelas Pendidik Ulung
mempunyai
maksud tidak baik terhadap Partai Kawula
Sejati.
Begitu antara lain kesimpulan anak buah Pan-
geran
Pemimpin.
"Setan
alas! Jadi benar kau telah bersekongkol
dengan kaum
pemberontak, Pelajar Agung!" bentak
Pendidik
Ulung lagi. Suaranya bergema memenuhi se-
genap
penjuru.
Sayang,
kembali tidak terdengar sahutan dari
Pelajar
Agung. Pendidik Ulung marah bukan main.
Jangankan
menampakkan diri untuk menemuinya, Pe-
lajar Agung
menyahuti teriakannya pun tidak.
"Keparat!
Berani kau tidak mempedulikan
panggilanku,
Murid Murtad! Baik kalau begitu. Aku
yakin kini
kau pasti telah bersekongkol dengan manu-
sia-manusia
pemberontak. Patut kau ketahui, Murid
Murtad!
Akulah orang pertama yang akan memenggal
kepalamu!"
"Jangan
bodoh, Orang Tua! Kau bisa apa hing-
ga berani
mengacau di tempat ini!" bentak seseorang
dari samping.
Dia seorang
laki-laki berusia empat puluh ta-
hunan.
Wajahnya garang. Rambutnya yang hitam pan-
jang digelung
ke atas. Laki-laki itu mengenakan jubah
besar
berwarna kuning.
Di kanan kiri
laki-laki berjubah kuning berdiri
dua orang
kakek berusia enam puluh tahunan. Yang
sebelah kanan
seorang kakek bermata juling. Tubuh-
nya yang
tinggi kurus dibalut pakaian ketat warna hi-
tam. Sedang
di sebelah kiri berdiri kakek bercodet
memanjang di
pipi. Ia mengenakan ikat kepala biru
serta jubah
besar yang juga berwarna biru.
Pendidik
Ulung kaget bukan main melihat keti-
ga orang
laki-laki itu. Menilik pakaiannya jelas mereka
bukanlah
anggota Partai Kawula Sejati. Mereka ada-
lah sekutu
Pangeran Pemimpin yang terdiri dari tokoh-
tokoh sesat
dunia persilatan. Tak jauh dari ketiga
orang tokoh
sesat itu tampak pula Algojo Dari Timur,
Denok Supi,
Raja Golok Dari Utara, serta Raja Racun
Dari Selatan.
"Hm...!
Tak kusangka di tempat ini banyak ber-
kumpul
tokoh-tokoh sesat dunia persilatan. Tampak-
nya aku harus
berhati-hati. Untuk menghadapi mere-
ka satu persatu
mungkin aku masih dapat melayani.
Namun kalau
maju bersama, inilah yang merepotkan-
ku,"
gumam Pendidik Ulung dalam hati.
"Tua
bangka tak tahu diri. Berhubung kau te-
lah mengotori
tempat ini, maka nyawamulah tebusan-
nya!"
bentak pimpinan anak buah Partai Kawula Sejati.
"Hm....
Pemberontak-pemberontak kecil. Ming-
girlah kalian
semua. Aku tidak ada urusan dengan ka-
lian. Aku
hanya ingin menemui muridku Pelajar
Agung.
Benarkah muridku telah bersekongkol dengan
ketua Partai
Kawula Sejati?" kata Pendidik Ulung den-
gan menahan
gejolak amarah.
"Kalau
memang iya, kau mau apa, he?!"
"Bagus!
Kalau begitu kabar yang kuterima me-
mang benar
adanya. Sekarang cepat suruh keluar ma-
nusia durjana
yang bergelar Pelajar Agung!" kali ini
Pendidik
Ulung tak dapat mengendalikan amarahnya
lagi.
"Tua
bangka sepertimu mana pantas menemui
wakil ketua.
Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini.
Atau,
barangkali kau sudah bosan hidup?!" bentak to-
koh sesat
dunia persilatan yang mengenakan jubah
kuning.
"Tidak
ada satu manusia pun yang bosan hi-
dup. Apalagi
aku. Cepat suruh keluar murid murtad
itu. Mumpung
kesabaranku belum habis!" Pendidik
Ulung semakin
tak sabar.
"Kau
memang benar-benar ingin mencari mati,
Orang Tua!
Makanlah rantai bajaku! Hea...!"
Dikawal
dengan bentakan nyaring, tokoh sesat
berjubah
kuning yang bergelar Rantai Kumala Kuning
segera
menerjang Pendidik Ulung. Rantai bajanya yang
berwarna
kuning menyambar-nyambar ganas diiringi
berkesiurnya
angin kencang. Bersamaan dengan ber-
kelebatnya
rantai baja di tangan Rantai Kumala Kun-
ing, beberapa
anak buah Pangeran Pemimpin serentak
menyerang
Pendidik Ulung.
Melihat
datangnya serangan, Pendidik Ulung
tak
segan-segan lagi segera bertindak. Sekali kakinya
dihentakkan
ke tanah, tubuh tinggi kurus itu bergerak
cepat laksana
kilat. Jari-jari tangannya terkembang
untuk
melontarkan totokan 'Jari-jari Putih Dewa
Kayangan'.
Tukkk! Tukkk!
Totokan
jari-jari Pendidik Ulung telak mengenai
dada dua
orang anak buah Pangeran Pemimpin. Seke-
tika keduanya
memekik setinggi langit. Tubuh mereka
limbung ke
kiri dengan dada berlobang. Dan bilamana
kedua anak
buah Pangeran Pemimpin itu jatuh berge-
debukan di
tanah maka dapat dipastikan keduanya
meregang
nyawa.
"Setan
alas! Berani kau membunuh dua orang
anggota kami.
Rasakan pembalasanku!" geram pimpi-
nan anak buah
Pangeran Pemimpin.
Laki-laki
berusia empat puluh tahunan itu
kembali
menerjang Pendidik Ulung. Pedang di tangan
kanannya
digerakkan sedemikian rupa seolah-olah in-
gin membelah
tubuh Pendidik Ulung menjadi dua ba-
gian. Sedang
tangan kirinya siap pula melontarkan
pukulan maut.
"Hea...!
Hea...!"
Pendidik
Ulung sedikit menggeser tubuh ke
samping
hingga serangan itu hanya menemui angin
kosong.
Kemudian Pendidik Ulung melontarkan ten-
dangan
samping kanannya ke dada lawan.
Bukkk!
Telak sekali
tendangan tersebut mendarat di
dada lawan.
Darah segar menyembur dari mulut pim-
pinan anak
buah Pangeran Pemimpin. Sedang tubuh-
nya yang
masih melayang di udara terus meluncur ke
belakang.
Bukan main
marahnya para tokoh sesat dunia
persilatan
yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Tanpa
diperintah, mereka segera menerjang Pendidik
Ulung. Menghadapi
serangan yang datangnya laksana
banjir
bandang, Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya
'Tangan Maut Dewa Kayangan'. Seketika
kedua telapak
tangan Pendidik Ulung berubah putih
berkilauan.
Dengan menggunakan jurus 'Tangan Maut
Dewa
Kayangan' inilah Pendidik Ulung balik menye-
rang para
pengeroyoknya.
Sayang,
serangan balik Pendidik Ulung hanya
sebentar saja
dapat mengatasi gempuran lawan. Bebe-
rapa jurus
kemudian Pendidik Ulung mulai kewalahan.
Apalagi saat
itu Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja
Golok, dan
Raja Racun Dari Selatan turut mengeroyok.
Tanpa ampun
lagi tubuh tinggi kurus Pendidik Ulung
dipaksa
berjumpalitan di udara menghindari gempu-
ran-gempuran
lawan. Bahkan tak jarang tubuhnya
terkena
serangan lawan pada bagian-bagian yang me-
matikan.
Untung saja tenaga dalam Pendidik Ulung
cukup tinggi.
Kalau tidak, bukan mustahil orang tua
itu sudah
menemui ajal di tangan para pengeroyoknya.
"Bertobatlah
pada malaikat maut sebelum nya-
wa busukmu
kukirim ke dasar neraka, Pendidik
Ulung!"
ejek Raja Racun memerahkan telinga lawan.
Pendidik
Ulung hanya tertawa sumbang men-
dengar ejekan
Raja Racun. Meski ia tengah sibuk
menghadapi
gempuran, sepasang matanya terus men-
cari-cari
sosok muridnya. Tapi sosok Pelajar Agung be-
lum juga
menampakkan batang hidungnya. Pendidik
Ulung geram
bukan main. Dengan kemarahan meluap
kemudian
dilancarkannya serangan balik melalui jurus
pamungkas
‘Tulisan Maut Dewa Kayangan’ yang diga-
bungkan
dengan totokan 'Jari-jari Putih Dewa Kayan-
gan'.
"Tahan
senjata! Tua bangka ini bukanlah uru-
san
kalian!"
***
Pendidik
Ulung melengak kaget. Ia amat men-
genal pemilik
suara bentakan itu. Ketika memalingkan
kepala ke
arah datangnya suara, Pendidik Ulung pun
menggeram
penuh kemarahan.
Dari arah
pintu pendopo markas Partai Kawula
Sejati sosok
Pelajar Agung melangkah mendekati tem-
pat
pertarungan dengan lagaknya yang angkuh. Ia saat
itu keluar
dari markas Partai Kawula Sejati untuk me-
nemui
Penguasa Alam. Niatnya jadi diurungkan begitu
melihat sosok
gurunya tengah dikeroyok beberapa to-
koh sesat
dunia persilatan.
"Apa kau
bilang, Prameswara? Kau memanggil-
ku tua
bangka?!" tegur Pendidik Ulung dengan kening
berkerut.
Prameswara
alias Pelajar Agung hanya terse-
nyum sinis.
Tangan kanannya dikibaskan ke samping,
mengisyaratkan
pada tokoh-tokoh sesat yang tengah
mengeroyok
Pendidik Ulung untuk menyingkir.
"Memangnya
kenapa? Kenyataannya kau sudah
tua
bangka!" kata Pelajar Agung menyakitkan.
"Haram
jadah! Jadi benar kau sudah membe-
rontak,
Bocah?!" geram Pendidik Ulung dengan gigi
bergemeletukkan.
"Tidak
usah banyak bacot, Orang Tua. Kalau
saja kau
bukan guruku, sudah kupenggal batang le-
hermu!"
"Setan
alas! Tak kusangka kau akan tersesat
sejauh ini!
Akulah orang yang akan memenggal batang
lehermu.
Hayo, lekas cabut senjatamu. Atau kau ingin
mengandalkan
pengeroyokan?!" ejek Pendidik Ulung
memanas-manasi.
"Jangan
banyak bacot. Kedua tanganku ini ma-
sih sanggup
untuk meremukkan batok kepalamu!"
"Bagus!
Kalau begitu terimalah kematianmu
hari ini,
Bocah!"
Pendidik
Ulung segera memainkan jurus anda-
lan 'Tulisan
Maut Dewa Kayangan' yang semula hen-
dak digunakan
untuk menyerang para pengeroyoknya.
Dengan
menggunakan senjata sepasang pena, Pendi-
dik Ulung
mulai memainkan jurus pertama. Pena di
tangan
kanannya bergerak lemah gemulai dari kanan
ke kiri. Pena
di tangan kiri bergerak dari kiri ke kanan
membentuk
sebuah huruf gaib yang hanya diketahui
Pendidik
Ulung dan Pelajar Agung.
Melihat
Pendidik Ulung mengeluarkan jurus
andalannya,
tanpa banyak pikir lagi Pelajar Agung
mengeluarkan
jurus yang sama. Kedua telunjuk Pela-
jar Agung
menggurat di udara. Terdengarlah bunyi
men-cicit
yang teramat memekakkan telinga. Dan saat
kedua ujung
pena Pendidik Ulung menyatu, selarik si-
nar putih
yang berkilauan melesat cepat menyerang
Pelajar
Agung.
Pelajar Agung
mengeretakkan gerahamnya pe-
nuh
kemarahan. Kedua telunjuk jarinya buru-buru
disatukan. Seketika
itu tampak pula selarik sinar pu-
tih
berkilauan melesat cepat memapaki serangan gu-
runya.
Wesss! Wesss!
Bummm...!!!
Hebat bukan
main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi
berguncang hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding
markas Partai Kawula Sejati bergetar
hebat.
Sewaktu
terjadi bentrokan di udara, tubuh
tinggi kekar
Pelajar Agung terlempar beberapa tombak
ke belakang.
Parasnya pucat pasi. Darah segar mem-
basahi
sudut-sudut bibir. Agaknya murid durhaka
Pendekar
Kujang Emas itu menderita luka dalam cu-
kup parah.
Dan apa yang
dialami Pelajar Agung juga me-
nimpa
Pendidik Ulung. Namun keadaan Pendidik
Ulung sedikit
lebih beruntung. Tubuh Pendidik Ulung
hanya
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
paras pias.
Beberapa saat kemudian Pendidik Ulung
sudah dapat
mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Pendidik
Ulung kembali menggurat-guratkan kedua
ujung penanya
di udara. Kali ini gerakan kedua pe-
nanya tampak
demikian lamban. Namun anehnya ter-
dengar suara
mencicit dari guratan pena Pendidik
Ulung. Itulah
jurus kedua dari rangkaian jurus
'Tulisan Maut
Dewa Kayangan'.
"Terimalah
kematianmu hari ini, Bocah. Aku
tak
segan-segan lagi untuk membunuhmu. Dulu kau
berjanji akan
mematuhi segala pesanku. Tapi apa yang
kau janjikan
hanyalah omong kosong. Hayo, maju! Le-
kas hadapi
gurumu!"
Prameswara mengeretakkan
geraham penuh
kemarahan.
"Hm...!
Tak mungkin aku menghadapi tua
bangka ini
dengan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayan-
gan'. Dia
lebih ahli dibandingkan aku. Tak ada pilihan
lain.
Terpaksa aku harus mengeluarkan ilmu yang te-
lah
kupelajari dari mendiang guruku Manusia Rambut
Merah!"
gumam Pelajar Agung dalam hati.
Tanpa banyak
cakap Pelajar Agung segera men-
gerahkan ilmu
'Amblas Bumi'. Prameswara yang kini
bergelar
Pelajar Agung memutar tubuhnya laksana
gasing.
Seketika tanah di sekitar Pelajar Agung mem-
buncah tinggi
ke udara begitu tubuh tinggi kekarnya
cepat amblas
ke dalam bumi.
Pendidik
Ulung dan semua yang berada di ha-
laman depan
markas Partai Kawula Sejati berdecak
penuh kagum.
Beberapa saat tidak ada tanda-tanda
kalau Pelajar
Agung akan melakukan serangan. Meski
demikian,
Pendidik Ulung tetap waspada.
Manakala
dilihatnya gundukan tanah di hada-
pannya
bergerak cepat menuju dirinya, Pendidik Ulung
melontarkan
pukulan maut ke arah gundukan tanah
yang bergerak
itu.
Bummm...!
Gundukan
tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah
tinggi ke udara dan membentuk lobang
yang cukup
dalam. Namun dalam lekukan tanah yang
berlobang
Pendidik Ulung tidak menemukan sosok Pe-
lajar Agung.
Pendidik Ulung gusar bukan main. Kedua
telapak
tangannya makin putih berkilauan sampai ke
pangkal siku.
Agaknya Pendidik Ulung telah menge-
rahkan
seluruh tenaga dalamnya.
Tiba-tiba
tanah di hadapan Pendidik Ulung
membuncah
tinggi ke udara. Bersamaan dengan itu
tubuh Pelajar
Agung menyembul dari dalam tanah
dengan kedua
telapak tangan siap melontarkan puku-
lan 'Cahaya
Kilat Biru'.
Pendidik
Ulung kaget bukan main. Untung saja
indera
keenamnya cukup tajam. Secepat kilat dilontar-
kannya
pukulan 'Tangan Penggebuk Dewa'. Dua larik
sinar putih
berkilauan dari kedua telapak tangan Pen-
didik Ulung
melesat cepat ke depan.
Bummm...!!!
Bumi bergetar
hebat. Ranting-ranting pohon di
sekitar
tempat pertarungan hangus terbakar. Bak
layangan
putus benangnya, tubuh Pelajar Agung lang-
sung limbung
ke samping dan tak dapat bangun lagi.
Pingsan!
Pendidik
Ulung sendiri tak dapat mengendali-
kan
keseimbangan tubuhnya. Dadanya terguncang he-
bat serasa
mau jebol. Pada saat Pendidik Ulung kehi-
langan
keseimbangan badan mendadak serangkum
angin dingin
yang datangnya dari belakang telah me-
nyambar
tubuh. Pendidik Ulung berusaha mengelak.
Sayang,
gerakan tubuhnya kurang cepat. Tanpa am-
pun lagi
dadanya terkena sambaran angin dingin itu!
Bukkk! Bukkk!
Pendidik
Ulung menggembor keras-keras. Tu-
buhnya
terpental beberapa tombak ke belakang dan ja-
tuh berdebam
di tanah. Kakek itu mengeretakkan ge-
rahamnya
penuh kemarahan. Sambil memegangi da-
danya yang
serasa mau pecah, sepasang mata tajam
Pendidik
Ulung memperhatikan sosok tubuh di hada-
pannya.
"Pembokong
keparat! Rasakan pembalasanku!"
***
Sosok di
hadapan Pendidik Ulung hanya terta-
wa bergelak.
Ia adalah seorang laki-laki gagah berusia
empat puluh
tahunan. Tubuhnya tinggi kekar dibalut
pakaian
bangsawan Jawa. Siapa lagi sosok itu kalau
bukan Ketua
Partai Kawula Sejati yang bergelar Pange-
ran Pemimpin.
"Bagaimana
mungkin kau dapat membalasku
kalau membawa
tubuhmu saja masih susah payah!"
ejek Pangeran
Pemimpin.
Dan
kenyataannya memang demikian. Begitu
Pendidik
Ulung ingin melontarkan pukulan 'Tangan
Penggebuk
Dewa', mendadak ia muntah darah. Perla-
han-lahan
tubuhnya luruh ke tanah. Meski demikian
Pendidik
Ulung berusaha tetap tegak di tempatnya.
Namun
Pangeran Pemimpin melontarkan totokannya
dengan
kecepatan kilat.
Tukkk! Tukkk!
Tanpa ampun
tubuh Pendidik Ulung yang ten-
gah sekarat
terpelanting ke tanah dan tak dapat berge-
rak lagi.
Sepasang matanya yang mencorong tajam te-
rus
memperhatikan Pangeran Pemimpin penuh keben-
cian.
Pangeran
Pemimpin tersenyum Sinis.
"Seret
tua bangka ini ke kamar tahanan!" perin-
tah Pangeran
Pemimpin pada beberapa orang anak
buahnya.
"Kenapa
tidak kita habisi saja tua bangka ini,
Ketua?"
kata Setan Mayat Merah mengusulkan.
"Iya,
Ketua! Kenapa tidak kita habisi saja tua
bangka ini?
Nanti malah jadi batu sandungan di ke-
mudian
hari!" tambah Iblis Muka Merah.
Pangeran
Pemimpin menggelengkan kepala.
Saat itu
akalnya yang licik telah mendapatkan satu
rencana. Dan
ia yakin akan berhasil dengan renca-
nanya
tersebut.
"Tidak!
Sayang sekali kalau orang sehebat itu
dihabisi
begitu saja. Sebenarnya saat ini aku memang
ingin membunuhnya.
Tapi terpaksa aku harus mengu-
rungkan
niatku. Aku lebih senang memanfaatkan tua
bangka
itu!" kata Pangeran Pemimpin. Lalu disusul
dengan
senyumnya yang licik.
"Kalau
boleh tahu rencana apa itu, Ketua?" Se-
tan Mayat
Merah kembali membuka suara.
"Nanti.
Nanti aku terangkan. Sekarang lekas se-
ret tua
bangka itu ke kamar tahanan. Yang lainnya se-
gera
mengobati teman kita yang terluka."
"Baik."
Beberapa anak
buah Pangeran Pemimpin sege-
ra menyeret
tubuh Pendidik Ulung ke kamar tahanan.
Yang lainnya
membawa para anggota Partai Kawula
Sejati yang
terluka ke dalam markas.
Pangeran
Pemimpin melambaikan tangan ka-
nannya ke
arah Raja Racun. Raja Racun buru-buru
menghampiri
sekutunya.
"Ada
yang bisa kubantu, Pangeran?"
"Hm....
Ya ya...," ujar Pangeran Pemimpin. "To-
long
persiapkan racun yang dapat mempengaruhi jalan
pikiran
seseorang, Raja Racun."
"Tampaknya
kau serius sekali dalam masalah
ini,
Pangeran. Apakah kau tengah merencanakan se-
suatu?"
"Aku
ingin mendapatkan harta karun itu sece-
patnya. Untuk
itu aku harus memanfaatkan tua bang-
ka tadi.
Kulihat kepandaiannya tinggi sekali. Mungkin
ia dapat
melumpuhkan Penguasa Alam."
"Ah...!
Kau licik sekali, Pangeran. Tak kusangka
otakmu
demikian liciknya. Baik-baik. Dengan senang
hati aku akan
membantumu, Pangeran!" sahut Raja
Racun
bersemangat.
Pangeran
Pemimpin tertawa bergelak. Laki-laki
berpakaian
bangsawan Jawa itu senang sekali. Tu-
buhnya
berguncang-guncang di antara suara tawanya
yang
membahana memenuhi angkasa raya.
SELESAI
Segera ikuti
lanjutannya!!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode :
PENGUASA ALAM
Emoticon