1
"Bagus,
Meruya! Tidak percuma bertahun-
tahun
aku memeliharamu. Rupanya kau tahu
budi
juga. Kalau tidak, sudah pasti aku tewas di
tangan
Siluman Ular Putih."
Keheningan
puncak Gunung Sindoro ter-
pecah
oleh suara serak seorang kakek tua renta.
Usianya
sulit sekali ditaksir. Pakaiannya hitam-
hitam
kumal. Wajahnya mengerikan, penuh ber-
cak-bercak
hitam.
Sewaktu
bicara tadi, bandul kalung ber-
bentuk
tengkorak manusia kecil yang menggelan-
tung
di depan dada si tua renta ini bergoyang-
goyang.
Sementara, angin terus saja memper-
mainkan
rambutnya yang putih sebatas bahu.
Kini
kakek tua yang tak lain Pengasuh Se-
tan
segera membuka kelopak matanya yang amat
cekung.
Saking cekungnya, membuat kedua bola
mata
itu menjorok ke dalam. Hanya kilatan-
kilatan
yang mencorong tajam sajalah tanda ka-
lau
dia memiliki mata.
"Kuuukkk!
Kuuukkk!"
Berkali-kali
burung hantu raksasa yang di-
panggil
Meruya mengangguk-angguk sebagai ja-
waban
pertanyaan majikannya tadi. Kedua
sayapnya
digerak-gerakkan demikian rupa, seolah
ingin
mengeluarkan isi hatinya.
"Apa?
Kau menginginkan aku menuntut
balas?!"
sentak Pengasuh Setan menanggapi sua-
ra
burung peliharaannya. "Bodoh! Sudah pasti
aku
akan menuntut balas. Siluman Ular Putih
harus
mampus di tanganku!"
Burung
hantu raksasa berbulu kuning tua
itu
sesaat terpekur di tempatnya. Seolah, menger-
ti
betul, dengan kata-kata Pengasuh Setan. Kedua
bola
matanya bulat besar berwarna hitam pekat
berkilat-kilat
mendengar makian majikannya ba-
rusan.
Namun, hanya sebentar. Setelah itu Me-
ruya
yang memiliki paruh kuat kembali mengang-
guk-angguk.
"Kuuuk!
Kuuukkk!"
"Sudahlah,
Meruya! Jangan banyak cin-
cong.
Aku memang patut berterima kasih pada-
mu.
Tapi bukan berarti kau harus mengguruiku,
tahu?!"
hardik Pengasuh Setan. Dari suara Me-
ruya,
lelaki tua ini tahu kalau burung hantu itu
menyebut-nyebut
pertolongannya. Dan itu yang
paling
tidak disukai Pengasuh Setan.
Burung
hantu raksasa itu memang pernah
menyelamatkan
Pengasuh Setan dari tangan Si-
luman
Ular Putih. Jika tidak ada Meruya, sudah
pasti
nyawa si tua ini sudah melayang di tangan
Siluman
Ular Putih. Namun sayang, Pengasuh Se-
tan
tidak pernah menghormati pertolongan pihak
lain.
Ia malah memaki-maki burung peliharaan-
nya.
(Untuk mengetahui sepak terjang Pengasuh
Setan
dan Meruya, silakan baca, "Pengasuh Se-
tan").
Pengasuh
Setan bersungut-sungut, merasa
malas
meladeni ocehan burung peliharaannya.
Dan,
sekali menghentakkan tangannya ke bawah,
tubuhnya
telah membuat salto dua kali di udara,
lalu
mendarat di hadapan Meruya. Tubuhnya kini
terasa
segar setelah hampir setengah harian ber-
semadi.
Luka dalamnya pun berangsur pulih se-
perti
sedia kala.
Meruya
sempat mengeluarkan pekikan be-
berapa
kali sewaktu melihat tangan majikannya
menghentak
ke bawah. Dikira, majikannya akan
menyerang
dirinya. Karena bukan mustahil, da-
lam
keadaan gusar seperti itu, Pengasuh Setan
suka
ringan tangan. Malah terkadang dengan
seenaknya
burung peliharaannya suka dipukul
tanpa
sebab. Maka melihat kegusaran majikan-
nya
Meruya telah terbang tinggi ke udara.
Saat
Pengasuh Setan memaki-maki, Me-
ruya
masih terbang berputar-putar di sekitar ma-
jikannya.
Ia tidak berani terbang lebih jauh sebe-
lum
diperintah.
"Ikut
aku, Meruya!" perintah Pengasuh Se-
tan
tiba-tiba.
"Kukkk...!"
Disertai pekikan panjang, Me-
ruya
segera melesat mendahului majikannya.
Pengasuh
Setan tidak mau ketinggalan.
Dengan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai
tingkat tinggi, segera disusulnya Me-
ruya
ke suatu tempat.
***
Di
puncak Gunung Sindoro sebelah timur,
sebuah
padang luas berpasir menghampar. Ke
mana
mata memandang, selalu saja gundukan
pasir
yang terlihat. Gundukan pasir yang tertata
halus
bak hamparan sutera, menghiasi puncak
gunung.
Bulan
bulat penuh di angkasa makin
memperjelas
tempat yang dinamakan Segoro Pa-
sir. Bukan itu saja. Ternyata tempat itu pun di-
warnai
suara riuh rendah tanpa wujud. Konon,
suara-suara
aneh itu berasal dari makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro.
Benar
atau tidak, masih sulit dicari buk-
tinya.
Dan konon beberapa orang penduduk kam-
pung
di sekitar lereng menamakan padang pasir
itu
sebagai Pasar Setan. Betapa tidak? Suara-
suara
riuh rendah itu yang amat aneh benar-
benar
tak memperlihatkan adanya kegiatan satu
pun
di sana. Hanya orang-orang sakti saja yang
tahu,
apa yang terjadi di tempat itu.
"Kuuukkk!"
Suara
pekikan burung hantu raksasa peli-
haraan
Pengasuh Setan terdengar dari kejauhan,
menindih
suara-suara gaib di Pasar Setan. Aneh!
Mendadak
suara-suara gaib itu berhenti. Keadaan
kini
berganti sepi. Hanya sesekali terdengar sua-
ra-suara
binatang malam yang mengusik kehe-
ningan
malam. Itu pun tidak begitu nyaring.
Mungkin
ngeri menyaksikan apa yang akan terja-
di
di puncak gunung.
Keadaan
sunyi ini kian bertambah, ketika
Pengasuh
Setan muncul dari sebelah barat. Mak-
hluk-makhluk
halus penghuni puncak Gunung
Sindoro
itu kini bagai dirundung duka. Memang,
bertahun-tahun
sejak Pengasuh Setan bermukim
di
puncak Gunung Sindoro, mereka merasakan
ketakutan
luar biasa.
Sebenarnya
ini memang suatu kejadian
langka.
Bagaimana mungkin makhluk-makhluk
halus
penghuni puncak Gunung Sindoro takut
terhadap
seseorang? Namun kenyataannya me-
mang
demikian. Dengan ilmu yang dipelajari dari
Kitab
Paguyuban Setan, ternyata Pengasuh Setan
mampu
menguasai makhluk-makhluk halus
penghuni
puncak Gunung Sindoro. Meski sebe-
narnya,
kitab itu belum tuntas dipelajarinya.
"Sayang
sekali aku belum tuntas mempela-
jari
Kitab Paguyuban Setan. Kalau sudah,
hmmmh!
Pasti aku dapat membunuh Siluman
Ular
Putih! Lagi pula, kemarin aku belum sempat
mengeluarkan
aji 'Panglipur Setan'. Aku yakin
dengan
aji itu pun Siluman Ular Putih akan tewas
di
tanganku," gumam Pengasuh Setan nyaris tak
kentara.
Kini,
lelaki tua itu telah berdiri tegak di
atas
sebongkah batu besar di tengah-tengah lau-
tan
pasir. Sembari bertolak pinggang terus diper-
hatikannya
keadaan sekitarnya. Sepasang ma-
tanya
betapa mengerikan. Berkilat-kilat seolah-
olah
tak kuasa menahan bara dendam dalam da-
da.
Dan dendamnya ingin sekali dilampiaskan
saat
ini juga, tanpa menunggu selesai mempelaja-
ri
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban
Setan
secara tuntas. Hanya saja kali ini ia sangat
membutuhkan
bantuan anak-anak asuhnya.
Yakni,
makhluk-makhluk halus penghuni puncak
Gunung
Sindoro. Dengan begitu ia ingin sekali
membentuk
sebuah pasukan tangguh. Pasukan
Kumbang
Neraka!
"Wahai
anak-anakku penghuni Gunung
Sindoro!
Dengarlah! Buka telinga kalian lebar-
lebar!
Seperti yang telah kalian ketahui, beberapa
hari
lalu aku memang bermaksud membunuh
orang
yang telah menewaskan muridku, Penguasa
Alam.
Tapi, sayang! Aku dapat dikalahkan oleh
Siluman
Ular Putih. Untuk itu, kali ini aku ingin
meminta
bantuan kalian. Dan seharusnya kalian
memang
harus tunduk dan taat padaku. Kalau
tidak,
tahu sendiri akibatnya. Apa di antara ka-
lian
ada yang ingin membangkang?" kata Penga-
suh
Setan dengan suara nyaring, memenuhi pun-
cak
gunung.
Tak
ada jawaban. Hanya saja saat itu kem-
bali
suara riuh rendah di puncak Gunung Sindo-
ro.
Malah lebih riuh dari semula. Mungkin mere-
ka
merasa keberatan dengan permintaan Penga-
suh
Setan. Namun, mereka tak berani mengung-
kapkannya.
Maka mereka hanya mengeluarkan
suara
riuh.
"Bagaimana?
Apa kalian keberatan?" lanjut
Pengasuh
Setan.
Tetap
sama saja. Tak ada jawaban.
"Baik!
Pokoknya keberatan atau tidak, ka-
lian
harus taat kepadaku. Kalian harus memban-
tuku
untuk membunuh Siluman Ular Putih. Juga
tokoh-tokoh
dunia persilatan yang bermaksud
merintangi
maksudku!" tandas Pengasuh Setan.
Titah
penguasa puncak Gunung Sindoro
telah
terucap. Tak ada kata lain, kecuali memang
harus
dilaksanakan. Walau sebenarnya para
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro
merasa keberatan, tetapi mereka tidak ingin ce-
laka
di tangan tokoh sesat satu ini.
"Sekarang
aku ingin pergi sebentar. Jangan
ke
mana-mana! Awas kalau minggat! Jangan diki-
ra
aku tak dapat menghukum kalian!" ancam
Pengasuh
Setan, penuh tekanan.
Suara
riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro
makin ramai. Namun Pengasuh Setan tidak
mempedulikannya.
Malah tanpa banyak cakap la-
gi
kakinya segera menutul di bongkahan batu. La-
lu
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang su-
dah
mencapai tingkat tinggi, segera ditinggalkan
tempat
itu. Gerakan kedua kakinya ringan sekali.
Bahkan
gundukan-gundukan pasir di bawahnya
sedikit
pun tidak membekas. Hingga dalam bebe-
rapa
kelebatan saja, sosok Pengasuh Setan telah
lenyap
dalam kegelapan membawa satu niat!
2
Malam
makin merayap, menjarah alam
semesta.
Dibalut hawa dingin yang menusuk se-
sosok
bayangan hitam terus berkelebat ke timur.
Gerakannya
ringan laksana terbang. Terkadang
sosok
bayangan hitam itu menghilang di kegela-
pan,
di antara rapatnya batang pohon. Sebentar
kemudian,
sosoknya muncul kembali dari kerapa-
tan
pohon di Hutan Krajan.
Di
sebuah hamparan tanah luas berumpu-
tan
sosok bayangan hitam itu berhenti, tegak
berdiri.
Cahaya bulan terang di angkasa makin
memperjelas,
siapa sosok bayangan hitam itu. Dia
adalah seorang kakek tua berpakaian hitam-
hitam
kumal. Parasnya mengerikan. Kedua bola
matanya
melesak ke dalam, be-warna merah sa-
ga.
Sebuah bandul berbentuk tengkorak manusia
kecil
tampak menggelantung di depan dada. Siapa
lagi
tokoh satu ini kalau bukan Pengasuh Setan?!
Untuk
sesaat Pengasuh Setan tetap diam
tak
bergerak. Sepasang matanya mencorong
memperhatikan
bangunan gedung yang berada
lima
tombak di hadapannya. Dengan sinar mata
mengerikan
niat hatinya yang bengis tersirat jelas
dari
tarikan senyumnya. Mau apa dia sebenar-
nya?
Apa maksud kedatangannya di markas Per-
guruan
Telapak Gajah yang dikenal sebagai per-
guruan
silat beraliran putih.
Melihat
tamu tak diundang datang berdiri
mencurigakan,
lima orang penjaga Perguruan Te-
lapak
Gajah segera menghampiri dan mengurung
Pengasuh
Setan. Pedang di tangan kanan mereka
berkilauan
tertimpa sinar bulan dengan tatapan
orang
penuh selidik atas kehadiran Pengasuh Se-
tan.
"Siapa
kau?! Mau apa datang malam-
malam
begini di perguruan kami?!" tegur seorang
murid
Perguruan Telapak Gajah, membentak. Si-
kapnya
terlihat hati-hati, takut kesalahan tangan.
Pengasuh
Setan mengangguk-angguk. Ra-
hangnya
mengeras. Kilatan sepasang matanya te-
rus
menjilati kelima orang murid Perguruan Tela-
pak
Gajah yang mengurungnya.
"Orang
Tua! Sebenarnya apa maksudmu
menyambangi
perguruan kami malam-malam be-
gini?
Seandainya kau ingin bertemu Guru, me-
nyesal
sekali kami tak bisa mengizinkan. Baiknya,
besok
saja kau datang kemari. Pasti kami mene-
rimamu
baik-baik," timpal salah seorang murid
lainnya,
lebih halus. Tak seperti saudara sepergu-
ruannya
di sebelahnya yang berwatak kasar.
"Kalian
berlima, juga semua yang berada di
perguruan
ini, harus ikut aku ke puncak Gunung
Sindoro.
Malam ini juga! Cepat panggil teman-
teman
kalian lainnya. Semuanya!"
Saat
Pengasuh Setan mulai membuka sua-
ra,
nada bicaranya sama sekali tidak ramah. Dan
ini
sudah diduga murid-murid Perguruan Telapak
Gajah.
"Menyesal
sekali kami tak dapat menuruti
permintaanmu,
Orang Tua. Kami tak mengenal-
mu.
Buat apa harus menuruti permintaanmu?"
tukas
murid Perguruan Telapak Gajah yang tadi
berbicara
halus.
"Bagus!
Aku memang menyukai kekerasan.
Dan
aku akan lebih senang kalau harus memaksa
dengan
kekerasan."
"Respati!
Buat apa kita bermanis muka
dengan
pengacau satu ini! Kalau memang ber-
maksud
baik, sudah pasti ia tahu kalau kita tak
mengizinkan.
Tapi, tua bangka ini malah memak-
sa
kita dengan kekerasan, Ayo, teman-teman! Kita
usir
pengacau satu ini!" teriak murid yang berwa-
tak
kasar tadi, garang.
"Benar!
Kau benar, Kakang. Hayo, kita usir
pengacau
satu ini!" sahut murid-murid yang lain
serempak.
"Manusia-manusia
bodoh! Apa kalian tidak
tahu
tengah berhadapan dengan siapa, he?! Sebe-
lum
kalian mengusirku, terlebih dahulu nyawa
kalianlah
yang akan kubuat mampus! Hea...!"
Berbareng
bentakan keras, tubuh tinggi
kurus
Pengasuh Setan telah berkelebat cepat me-
nyerang
kelima murid penjaga Perguruan Telapak
Gajah.
Saking cepatnya gerakan tangannya,
membuat
kelima orang murid penjaga itu hanya
bisa
melongo sebelum akhirnya.....
Dukkk!
Dukkk!
Crakkk!
Lima
kali tangan Pengasuh Setan bergerak,
tahu-tahu
sudah meminta korban. Kelima tubuh
orang
murid Perguruan Telapak Gajah itu kontan
terjungkal
ke tanah tanpa dapat bergerak-gerak
lagi.
Dua orang murid dengan kepalanya pecah.
Dua
orang dengan perut robek hingga ususnya
terburai
keluar.
Sisanya
dengan dada berlubang tanpa-
jantung
lagi. Mengerikan! Semua kejadian menge-
rikan
ini hanya dalam waktu amat singkat saja.
Tanpa
ampun, Pengasuh Setan membantai mu-
rid-murid
Perguruan Telapak Gajah secara keji.
Pengasuh
Setan tertawa bergelak. Sua-
ranya membahana di angkasa, seolah ingin me-
mamerkan
pada Sang Penguasa bahwa dialah
yang
terhebat di kolong jagat raya ini!.
"Telapak
Gajah! Keluar! Lihat! Apa yang
kulakukan
ini!"
Pengasuh
Setan bertolak pinggang dengan
tangan
kiri. Sementara jantung salah seorang
murid
Perguruan Telapak Gajah yang tergenggam
di
tangan kanannya diacung-acungkan tinggi ke
udara.
Baru saja kata-kata Pengasuh Setan tun-
tas,
dari dalam bangunan meluncur satu bayan-
gan
yang langsung mendarat di depannya.
"Gusti
Allah! Apa yang terjadi di sini? Apa
yang
kau lakukan di tempat ini, Pengasuh Se-
tan?"
***
Pengasuh
Setan makin melipatgandakan
tawanya.
Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam
kini tertuju lurus pada sosok bayangan di
hadapannya,
seorang lelaki gagah bertubuh tinggi
besar.
Tak seperti tubuh manusia kebanyakan,
tingginya
hampir mencapai dua tombak!
Lelaki
berbadan kekar itu memiliki otot-
otot
bertonjolan. Pakaiannya dari kulit ular. Lela-
ki
ini memiliki kaki yang amat besar. Hampir se-
besar
batang pohon kelapa. Bukan main! Maka
tak
heran kalau dunia persilatan menjulukinya
Telapak
Gajah!
Tak
lama Telapak Gajah mendarat di luar
bangunan
perguruan, dua lusin murid Perguruan
Telapak
Gajah telah bermunculan dengan pedang
di
tangan kanan. Walau sudah mengurung, mere-
ka
belum berani bertindak dan hanya tinggal me-
nunggu
perintah. Sekali perintah itu turun, su-
dah
pasti mereka akan menyerang si pembuat
onar
itu.
"Bagus-bagus!
Rupanya kali ini aku tak
perlu
susah-susah mencari beberapa orang yang
akan
kujadikan pasukanku. Kau dengar, Telapak
Gajah!
Aku, ingin menjadikanmu, juga murid-
muridmu,
sebuah pasukan. Yah, Pasukan Kum-
bang
Neraka!" kata Pengasuh Setan disertai tawa
berderai.
"Bedebah!
Di antara kita tak pernah ada si-
lang
sengketa! Tapi, mengapa malam ini kau me-
nyatroni
perguruanku, Pengasuh Setan?" hardik
Telapak
Gajah menahan sabar.
Kalau
menurutkan perasaan, ingin rasanya
ketua
Perguruan Telapak Gajah segera menerjang
manusia
pengacau di hadapannya. Apalagi sete-
lah
melirik salah satu mayat muridnya yang da-
danya
bolong. Jelas, jantung di tangan Pengasuh
Setan
itu adalah milik muridnya yang kini terbu-
jur
kaku.
"Jangan
banyak berdalih, Telapak Gajah.
Ada
sengketa maupun tidak, aku memang ingin
menyatroni
perguruanmu. Dan mau atau tidak,
kalian
semua harus kubawa ke puncak Gunung
Sindoro!"
tegas lelaki tua sesat itu.
"Haram
jadah! Siapa sudi menuruti mak-
sud
kejimu?! Lagi pula, aku tak akan membiar-
kanmu
menebar maut di perguruanku. Hm....
Baiklah.
Aku masih sedikit berbaik hati padamu.
Kesalahanmu
kumaafkan, asal kau mau memo-
tong
sebelah lenganmu. Dan urusan kita berakhir
sampai
di sini!"
Telapak
Gajah masih bersikap santun. Wa-
lau
amarah dalam dada bergelora, namun tetap
berusaha
bersikap tenang. Sebagai tokoh persila-
tan,
ia cukup tahu siapa Pengasuh Setan yang
merupakan
momoknya dunia persilatan. Bukan,
bukannya
ia takut menghadapi lelaki berhati iblis
itu.
Kalau hanya nyawanya yang melayang, itu
bukan
soal. Yang jelas Telapak Gajah justru ten-
gah
menghindarkan adanya korban dari murid-
muridnya
yang lain. Ia tak ingin nyawa murid-
muridnya
terancam.
"Apa?!
Kau menyuruhku memotong sebe-
lah
lengan?" tukas Pengasuh Setan, terus men-
gumbar
tawanya.
"Kau
keberatan, Pengasuh Setan?"
"Kau
terlalu banyak bacot, Telapak Gajah!
Kau
pikir, kau ini siapa, he?! Berani kau menga-
tur
Pengasuh Setan?! Apa matamu buta? Lihat
apa
yang kupegang ini? Jantung muridmu! Apa
tidak
sebaiknya kau menyerah secara baik-baik?"
"Keparat!
Kau terlalu merendahkanku,
Pengasuh
Setan! Kalau tadi tawaranku kau re-
mehkan,
maka kini aku akan menuntut balas
atas
tewasnya kelima orang muridku. Juga atas
jantung
muridku itu!" dengus Telapak Gajah,
menggeram
penuh kemarahan yang menggelegak.
"Bagus!
Memang itulah yang kuinginkan!"
sambut
Pengasuh Setan seraya membuang jan-
tung
murid Perguruan Telapak Gajah seenaknya.
"Sekarang
aku ingin memaksa semua yang berada
di
tempat ini untuk kubawa ke puncak Gunung
Sindoro!
Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Pengasuh Setan
segera
menerjang Telapak Gajah hebat. Tidak
tanggung-tanggung
segera dikeluarkannya aji
'Tangkal
Petir'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya
mendorong ke depan, melesat cepat dua
larik
sinar merah menyala ke arah Telapak Gajah.
"Cepat
tinggalkan tempat ini, Murid-
muridku!"
teriak Telapak Gajah, memperingatkan
murid-muridnya.
"Tidak,
Guru! Tak mungkin kami mening-
galkan guru seorang diri dalam bahaya!" tolak
seorang
murid, gagah.
Sebenarnya
Telapak Gajah ingin menyahut,
namun
saat ini serangan aji 'Tangkal Petir' mulai
mendekati
sasaran. Maka, tak ada pilihan lain
kecuali
harus segera membuang tubuhnya ke
samping.
Akibatnya, dua larik sinar merah me-
nyala
dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan
terus
menerabas ke belakang. Maka tanpa ampun
lagi....
Bukkk!
Bukkk!
Saat
itu juga, tubuh beberapa orang murid
Perguruan
Telapak Gajah kontan terkena samba-
ran
aji 'Tangkal Petir'. Mereka kontan terlempar
jauh
ke belakang. Begitu ambruk di tanah tubuh
mereka
melejang-lejang sebentar, lalu diam tak
bergerak-gerak
lagi dalam keadaan hangus terba-
kar!
Mati!
Bukan
main marahnya Telapak Gajah me-
lihat
hampir selusin muridnya tewas di tangan
Pengasuh
Setan hanya dalam satu gebrakan saja.
Sebagai
seorang gagah sudah pasti hatinya amat
murka
melihat kekejaman yang dilakukan tokoh
sesat
itu. Apa lagi, kekejaman itu menimpa diri
murid-muridnya.
"Jangan
buang nyawa kalian percuma, Mu-
rid-muridku!
Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak
Telapak
Gajah kalang, cemas juga hatinya.
"Tidak,
Guru. Tidak mungkin kami me-
ninggalkan
Guru seorang diri dalam bahaya. Biar
pun
nyawa taruhannya, kami tetap akan mem-
bantu
Guru!" teriak salah seorang murid Telapak
Gajah,
membandel.
Penegasan
itu membuat hati Telapak Gajah
makin
gusar. Namun karena memang tidak ada
pilihan
lain, terpaksa pilihan murid-muridnya di-
ikhlaskan.
Hatinya yakin, apa yang terjadi telah
diatur
oleh Yang Maha Kuasa. Semua ini dilaku-
kan
hanya demi menegakkan kebenaran. Demi
memberantas
keangkaramurkaan yang merajalela
di
muka bumi, walau nyawa taruhannya.
Sementara
melihat serangan-serangan
Pengasuh
Setan yang diarahkan kepadanya ma-
kin
menggila, Telapak Gajah kini mulai balas me-
nyerang.
Tak percuma ia dijuluki Telapak Gajah.
Maka
segera dikeluarkannya jurus 'Telapak Ga-
jah'.
Saling berganti kedua kakinya menghentak
bumi.
Seketika bumi berguncang hebat!
Bummm!
Bummm...!
Setapak
demi setapak Telapak Gajah men-
dekati
Pengasuh Setan. Satu lusin sisa murid
Perguruan
Telapak Gajah turut pula membantu
serangan.
Namun ibarat laron bertemu api, tubuh
mereka
kontan berhamburan ke samping kanan
kiri
terkena tendangan dan tamparan Pengasuh
Setan.
Agak aneh memang. Entah kenapa, kali
ini
lelaki sesat itu tidak menurunkan tangan
mautnya.
Meski demikian, tetap saja tubuh kedua
belas
murid Telapak Gajah roboh dan tak dapat
bangun
lagi. Entah tewas entah pingsan!
"Bajingan!
Demi Tuhan aku akan mengadu
nyawa
denganmu, Pengasuh Setan!" teriak Tela-
pak
Gajah mengguntur.
Habis
berteriak, tiba-tiba Telapak Gajah
berkelebat
cepat sekali. Tubuhnya yang tinggi be-
sar
bergerak-gerak lincah menyerang Pengasuh
Setan.
Sampai-sampai, sambaran tendangan ka-
kinya
mampu menghasilkan angin berkesiur ken-
cang
sekali. Belum lagi totokan-totokan jari-jari
tangannya.
Sulit dibayangkan, betapa tubuh ku-
rus
kering Pengasuh Setan akan hancur berkep-
ing-keping
jika terkena tendangan Telapak Gajah.
Tapi,
tunggu dulu! Karena....
Bukkk!
Bukkk...!
Memang
telak sekali tendangan berantai
Telapak
Gajah mendarat di dada Pengasuh Setan.
Namun
anehnya, jangankan akan hancur berkep-
ing-keping
seperti yang dibayangkan Telapak Ga-
jah.
Tubuh Pengasuh Setan bergoyang sedikit pun
tidak.
Malah begitu tendangan kaki Telapak Ga-
jah
mendarat di tubuhnya, seketika tubuh Penga-
suh
Setan memancarkan sinar merah menyala!
"Aughhh...!"
Telapak
Gajah meraung setinggi langit. Ti-
ba-tiba
sekujur tubuhnya merasakan satu hawa
panas
yang bukan kepalang menyerang balik tu-
buhnya
lelaki kekar tidak tahan. Tubuhnya yang
masih
melayang di udara kontan terbanting keras
dengan
kaki melepuh!
Melihat
musuhnya terkapar, Pengasuh Se-
tan
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Den-
gan
sekali meloncat, tahu-tahu kaki kanannya te-
lah
menghajar tubuh Telapak Gajah keras sekali.
Desss!
"Aaakh...!"
Telapak
Gajah memekik tertahan. Tanpa
ampun,
tubuhnya menghantam batang pohon di
samping,
begitu terkena tendangan Pengasuh Se-
tan.
Lelaki kekar ini coba bangkit. Tangannya
menjulur-julur
ke atas, namun sayang tubuhnya
luruh
dan tak bergerak-gerak lagi!
Bukan
main gembiranya Pengasuh Setan.
Suara
tawanya langsung meledak, menggema
memenuhi
Hutan Krajan. Kini apa yang direnca-
nakan
telah terlaksana. Tinggal saat-saat terakhir
membentuk
Pasukan Kumbang Neraka. Itulah
keinginan
gilanya untuk membunuh Siluman
Ular
Putih! Atau siapa pun yang menghalanginya
untuk
membunuh orang yang telah menewaskan
muridnya,
Penguasa Alam!
"Tunggulah
pembalasanku, Siluman Ular
Putih!
Sebentar lagi pasti kau akan modar di tan-
ganku!"
Kepala
Pengasuh Setan mendongak ke
atas.
Bulan purnama di angkasa bermuram durja
dengan
senyum hambar. Tak ada kegairahan di
sana.
Tak ada semangat di balik sinarnya yang
berkilauan.
Petaka apakah ini?
3
Ketegangan
demi ketegangan boleh saja
mewarnai
dunia persilatan. Namun tidak untuk
matahari
di atas sana. Sang raja siang malah ngo-
tot
membanggakan sinar kuning keemasannya,
menerangi
apa saja yang ada di muka bumi.
Membuat
suasana pagi itu terasa riang, seperti
kegembiraan
bocah kecil.
Keadaan
ini rupanya tak jauh berbeda
dengan
Soma. Dengan berbantalkan akar pohon
di
bawahnya, murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu
terlihat nyaman sekali dibuai mimpi. Kedua
telapak
tangannya ditelangkupkan di depan dada.
Senyumnya
tersungging manis di bibir. Sikapnya
sarat
dengan ketenangan. Padahal, sebenarnya
tugas
berat masih membebani pundaknya setiap
kakinya
melangkah.
Di
sebelah Soma, seorang gadis cantik se-
sekali
mencuri perhatiannya. Gadis itu masih
sangat
muda, kira-kira tujuh belas tahun. Ram-
butnya
dikuncir dua ke belakang, dihiasi pita be-
raneka
warna. Pakaiannya pun juga berwarna-
warna,
merah, kuning, dan hijau. Belum lagi dua
anting
bundar besar yang menghiasi lubang telin-
ganya.
Sementara sikapnya manja meng-
gemaskan.
Melihat
ciri-cirinya, gadis manja satu ini
tak
lain dari Mawangi yang lebih terkenal dengan
julukan
Putri Manja. Memang, sejak Siluman Ular
Putih
mengalahkan Pengasuh Setan, Putri Manja
kemudian
diizinkan gurunya untuk berpetualang.
Meski
hanya diberi kesempatan beberapa pekan,
tapi
kesempatan itu tak disia-siakannya. Namun
anehnya
kali ini ia senang sekali melakukan per-
jalanan
bersama Soma. (Baca dalam episode:
"Pengasuh
Setan").
Hal
inilah yang sebenarnya membuat hati
Putri
Manja heran. Betapa ia kini senang melaku-
kan
perjalanan bersama Siluman Ular Putih. Pa-
dahal
tadinya ia amat membenci pada murid
Eyang
Begawan Kamasetyo. Apakah ini yang di-
namakan
cinta?
Bisa
jadi!
Kalau
tidak, mana mungkin si gadis betah
bersama
Soma. Lebih dari itu, diam-diam Putri
Manja
pun makin mengagumi ketampanan Silu-
man
Ular Putih. Lantas, apa itu kalau bukan yang
dinamakan
cinta? Namun sebagai seorang gadis,
jelas
perasaannya tak mungkin diungkapkan ter-
lebih
dulu. Maka ia hanya bisa berharap Siluman
Ular
Putihlah yang mendahuluinya.
Tapi
sayang, Siluman Ular Putih tampak
angin-anginan.
Meski sikapnya baik, namun Putri
Manja
ragu kalau Soma juga mencintainya. Inilah
yang
sebenarnya mengganggu pikiran murid Bayi
Kawak
dari puncak Gunung Merapi.
Putri
Manja mengeluh. Sekilas ekor ma-
tanya
melirik ke arah Siluman Ular Putih. Pemu-
da
itu tampak masih terbuai mimpi. Sederet se-
nyum manis tersungging di sana. Entah mimpi
apa?
Mungkin tengah mimpi indah dikerumuni
puluhan
bidadari.
"Soma!
Kau ini tidur apa mati, sih?! Hayo,
lekas
bangun!" hardik Putri Manja.
Soma
tersentak kaget. Mulutnya manyun
berat,
karena merasa belum puas menikmati
buaian
puluhan bidadari dalam mimpinya.
"Kau...?
Mengapa kau ganggu tidurku?
Aku...,
ah! Sayang benar! Bidadari-bidadari cantik
itu
kabur. Kau sih!" gerutu Soma kesal, disusul
mulutnya
yang menguap lebar. Nikmat sekali ke-
lihatannya.
Putri
Manja tak menanggapi kekesalan
Soma.
Ia pun wajib membesengut dengan mulut
membentuk
kerucut. Bukan saja kesal melihat
sikap
Soma, melainkan juga kesal dengan pera-
saan
hatinya sendiri.
"Kalau
kau mau tidur, teruskan saja! Aku
tak
sudi menemanimu di sini!" ancam Mawangi.
Putri
Manja meloncat bangun. Daging ke-
linci
panggang sisa semalam dilemparkannya be-
gitu
saja.
Soma
melongo, tidak menyangka kalau Pu-
tri
Manja akan jadi gusar seperti itu. Buru-buru
pemuda
ini meloncat bangun. Direngkuhnya ba-
hu
Putri Manja lembut.
Terpaksa
Putri Manja menahan langkah.
Rengkuhan
lembut di bahunya terasa benar me-
nyelusup
dalam kalbu. Dan si gadis menikma-
tinya
malu-malu. Kepalanya ditekuk dalam-
dalam.
Entah ke mana sikap manjanya yang ter-
kadang
amat menggemaskan hati Soma.
"Maaf,
kalau tadi aku berlaku kasar. Kau
tidak
marah, kan?" bujuk Siluman Ular Putih.
Mendengar
ucapan si pemuda yang berna-
da
lembut, akhirnya runtuh juga kekesalan hati
Putri
Manja. Tanpa disadari gelora cinta dalam
dadanya
makin berkobar. Dibiarkannya perasaan
hatinya
terbuai dalam pelukan Siluman Ular Pu-
tih.
Hatinya bernyanyi, walau hanya untuk se-
saat.
Putri Manja tidak menyesalinya. Malah ia
menikmati
kehangatan yang baru kali ini dirasa-
kan.
"Kau
tampak segar sekali hari ini, Putri.
Tentu
kau sudah mandi, bukan?" kata Siluman
Ular
Putih seraya memamerkan deretan giginya
yang
putih bersih.
Putri
Manja tersenyum. Sempat matanya
membalas
tatapan Siluman Ular Putih sesaat.
Namun
entah kenapa, buru-buru kepalanya dite-
kuk
dalam-dalam. Diam-diam senyum manisnya
pun
tersungging di sana.
"Sayang
sekali daging kelinci panggang itu
tadi
kau buang, Tapi, tak apa! Masih ada sepo-
tong
paha tersisa. Hayo, kita bagi berdua!"
Siluman
Ular Putih menuntun Putri Manja
duduk
di tempatnya semula. Di sebelahnya si ga-
dis.
Soma membagi paha kelinci panggang. Sepo-
tong
diserahkan pada Putri Manja, sepotong lain-
nya
untuk dirinya.
"Hayo...!
Kenapa jadi malu-malu begini?
Ayo
dong, senyum!" bujuk Siluman Ular Putih.
Putri
Manja jadi tambah merah wajahnya.
Dengan
senyum malu mulai dinikmatinya daging
kelinci
pemberian Soma.
Soma
tertawa senang.
Aneh!
Suara tawa itu amat ringan. Bahkan
ringan
sekali. Tak ada beban sedikit pun dalam
hatinya.
Putri Manja pun turut menikmatinya.
Hatinya
terus saja bernyanyi merdu.
Siluman
Ular Putih terkekeh. Apa yang ha-
rus
dilakukannya sekarang? Hatinya tiba-tiba
bertanya.
Pemuda ini tergugu sejenak. Mulutnya
melongo,
persis orang telat buang hajat.
Kini
malah Putri Manja yang kebingungan.
Matanya
yang indah mengerjap-ngerjap penuh
keheranan.
"Kau...,
kau? Kenapa kau Soma? Jangan
melongo
begitu saja, dong? Ada apa?" tanya Putri
Manja.
"Aku...,
aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku
ingin
sekali buang hajat. Ada apa, ya? Heran?"
sahut
Soma seraya menggeleng-geleng kepala ke-
heranan.
"Ah...!
Kau ini ada-ada saja. Tadi dalam
mimpimu
kau bilang dikerubuti puluhan bidada-
ri.
Kini, kau bilang mau buang hajat. Yang benar,
ah!
Kau ini mimpi atau ngigau!" desah Putri Man-
ja.
Sebaris senyum manis tersungging di sana.
Siluman
Ular Putih senang sekali menda-
pat
perhatian besar dari gadis manja di samping-
nya.
Satu kejadian langka sebenarnya memang.
Bagaimana
mungkin pemuda gembel macam Si-
luman
Ular Putih mendapat anugerah besar se-
perti
itu? Cinta Putri Manja! Hm..., bagaimana,
ya?
Mungkinkah itu karena sebuah anugerah,
atau
justru memang ketampanan Siluman Ular
Putih?
Mendadak
di saat sepasang anak muda itu
tengah
asyik masyuk dalam diam, dikejutkan oleh
datangnya
suara-suara halus yang entah dari
mana.
Putri
Manja sendiri kurang menyadari se-
benarnya.
Tapi, tidak dengan Siluman Ular Putih.
Begitu
telinganya yang tajam menangkap gera-
kan-gerakan
halus, pandangan matanya segera
beredar
ke segenap penjuru. Tapi sayang di sana
tidak
ditemukannya sebentuk manusia pun.
Aneh,
gumam hati Siluman Ular Putih. Ini
suatu
kejadian langka. Sikapnya harus waspada.
Sedikit
pun tak boleh menyepelekan firasat di te-
linga.
"Pasti
di balik semak belukar depan sana,
seseorang
tengah memperhatikan aku dan Putri
Manja!"
desisnya.
"Ada
apa Soma? Kau..., kau seperti melihat
sesuatu?"
tanya Putri Manja. Kepalanya dipaling-
kan
ke kanan kiri, namun tidak menemukan apa-
apa.
Putri Manja jadi makin heran dibuatnya.
"Soma!
Ada apa?! Kenapa kau diam saja, Soma!
Cepat
katakan!"
Soma
masih tetap tenang di tempatnya. Si
pemuda
hanya sempat tersenyum manis saat me-
lihat
sepasang mata indah Putri Manja berbinar-
binar
penuh keheranan. Ia tahu, gadis manja ini
ingin
sekali tahu apa yang tengah terjadi.
"Tidak
ada apa-apa," jawab Soma, kalem.
"Tapi...."
"Sudahlah!"
potong Soma. "Sebaiknya se-
karang
habiskan saja daging kelinci panggangmu.
Aku
juga ingin menghabiskannya, kok. Ayo!"
Putri
Manja mengerti. Memang itu satu-
satunya
jalan yang terbaik kalau ingin mengeta-
hui
apa yang terjadi. Sedikit demi sedikit daging
kelinci
panggang semalam dikunyahnya dengan
lahap.
Kendati
merasa senang melihat Putri Manja
mau
mengerti, namun hatinya tetap saja merasa
risau
sekali. Siapa sebenarnya sosok bayangan
yang
tengah bersembunyi di balik semak itu?
Orang
atau hewan. Inilah yang membuat Soma
penasaran.
Sulit sekali rasa penasarannya dile-
nyapkan.
Satu-satunya jalan ia harus cepat ber-
tindak.
"Hm...!"
Baru
saja Soma bersiap-siap menyergap ke
balik
semak, tiba-tiba melompat satu sosok
bayangan
ke hadapannya. Dengan gumaman tak
jelas,
pemuda itu menatap tajam sosok yang baru
saja
mendarat.
Sementara
itu, Putri Manja jadi terkesiap.
Jadi
inikah yang menyebabkan Soma bersikap
aneh
tadi. Hm...! Siapa sosok lelaki berpenampi-
lan
aneh ini? Tubuhnya tinggi sekali, hampir
mencapai
satu setengah tombak. Sepasang ma-
tanya
berkilat-kilat penuh selidik. Seluruh tu-
buhnya
tertutup jubah hitam yang disambung
penutup
kepala, berujung lancip.
Wajah
lelaki ini bukan saja mengerikan.
Wajahnya
yang tirus itu memiliki mata sipit yang
bersinar
hijau, seperti mengandung tenaga dalam
dahsyat.
Mungkin itulah letak kekuatan tokoh sa-
tu
ini? Siapa dia?
"Kaukah
yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?!"
tanya sosok berwajah mengerikan itu,
membentak.
Sepasang matanya tak berkedip te-
rus
memperhatikan Siluman Ular Putih. Pada ba-
gian
matanya yang berwarna hijau memancarkan
sinar
aneh yang amat mempengaruhi batin murid
Eyang
Begawan Kamasetyo ini.
Soma
mengeluh. Entah kenapa tubuhnya
tiba-tiba
terasa lemas. Mulutnya pun begitu. Tadi
ia
ingin sekali berkata dusta. Namun ketika pan-
dang
matanya bertumbuk dengan mata hijau tua
bangka
di hadapannya, Siluman Ular Putih jadi
bersikap
lain.
"I...,
iya. Banyak orang yang menyebutku
Siluman
Ular Putih. Ada apa? Kenapa kau ber-
tanya
begitu?" kata Soma. Sama sekali Siluman
Ular
Putih tak berpura-pura tolol, walaupun tetap
saja
tampak konyol. Padahal ini tak disengaja.
"Hm...!
Bagus! Rupanya ini yang bergelar
Siluman
Ular Putih. Benar sekali dugaanku. Ru-
panya
kau yang telah membunuh muridku Raja
Maling.
Pantas! Sekaranglah saatnya aku menun-
tut
balas, Bocah! Bersiap-siaplah menerima ke-
matianmu!"
Langsung
merenggang kaki dan menekuk
kedua
lututnya. Dilihat dari kuda-kudanya, jelas
kalau
lelaki yang secara tidak langsung mengaku
sebagai
guru dari Raja Maling itu sudah bersiap-
siap
untuk melabrak. Tubuhnya meliuk-liuk ke
kanan
kiri. Matanya yang berwarna hijau sebelah
memancarkan
hawa membunuh yang amat dah-
syat.
Soma
bergidik, ngeri. Namun kesadarannya
segera
bangkit. Langsung dikerahkannya kekua-
tan
batin untuk mengusir perasaan yang menda-
dak
tak menentu itu.
"Putri!
Kau lihat apa yang ingin dilakukan
orang
satu ini?" tanya Soma pada gadis manja di
sampingnya.
Nada suaranya kini ganti meleceh-
kan
lelaki tua di hadapannya.
Kening
Putri Manja sejenak berkerut.
"Kok
bertanya begitu? Sudah pasti orang
satu
ini ingin membunuhmu. Soma. Kau ini ba-
gaimana,
sih?!" bibir merah Putri Manja membe-
sengut
indah, membuat pemuda terpesona.
"Oh...!
Jadi, manusia jangkung satu ini in-
gin
membunuhku?" Soma melirik guru dari Raja
Maling
lewat ekor matanya saja.
Lelaki
tua bangka itu geram bukan main.
Belum
pernah rasanya ia direndahkan demikian
rupa
oleh tokoh sakti dunia persilatan mana pun.
Apalagi
hanya oleh seorang bocah kemarin sore.
Disertai
gerengan sarat ancaman, selangkah demi
selangkah
didekatinya Siluman Ular Putih.
"Hutang
nyawa harus dibayar nyawa. Kau
telah
membunuh muridku, maka nyawamulah
tebusannya,
Bocah!"
"Aku
tahu. Aku memang yang telah mem-
bunuh
Raja Maling. Tapi, aku tidak tahu kalau
Raja
Maling adalah muridmu. Jadi, maafkanlah.
Aku
tak sengaja membunuhnya. Mungkin Raja
Maling
saja yang sudah bosan hidup. Kenapa ia
mesti
terjun ke jurang. Tapi ngomong-ngomong,
kaukah
yang bergelar Maling Tanpa Bayangan?"
tebak
Soma.
Memang
sebenarnya jarang sekali Maling
Tanpa
Bayang menampakkan diri ke dunia ramai.
Sebelumnya,
ia lebih senang menyembunyikan di-
ri
di tempatnya. Itu sebabnya, jarang sekali orang
mendengar
julukannya. Namun beberapa puluh
tahun
silam, beberapa tokoh sakti golongan lurus
sempat
mendengar adanya tokoh hitam berjuluk
Maling
Tanpa Bayangan. Dialah yang sebenarnya
menjadi
guru dari Raja Maling yang pernah dite-
waskan
Siluman Ular Putih. Soma sendiri men-
dengar-julukan
itu dari gurunya.
"Bagus!
Rupanya nama besarku sampai ju-
ga
di telingamu, Bocah!" jawab lelaki tua itu,
sombong.
"Orang
satu ini lagaknya congkak sekali,
Soma.
Daripada mengganggu pandangan mata,
hajar
saja! Aku tak senang melihat tampangnya.
Dan
aku juga yakin kalau memedi sawah satu ini
bukanlah
orang baik-baik. Lihat saja matanya!
Hi...,
ngeri...!" timpal Putri Manja. Putri Manja
langsung
menyembunyikan kepalanya dalam pe-
lukan
Siluman Ular Putih. Sepasang matanya.
yang
indah mengerjap-ngerjap liar sebentar, lalu
kemudian
kembali bersembunyi dalam pelukan
Soma.
"Bocah
Manis! Kau akan menyesal dengan
ucapanmu
tadi! Nanti sehabis kunyuk gondrong
satu
ini kubereskan pasti kau akan mendapat gi-
liran.
Tunggulah, Bocah Ayu!" desis lelaki yang
memang
berjuluk Maling Tanpa Bayangan.
Maling
Tanpa Bayangan melangkah setin-
dak
demi setindak ke hadapan Siluman Ular Pu-
tih.
Kedua telapak tangannya terkepal erat. Pan-
dangan
matanya makin menggiriskan.
Soma
mendorong pundak Putri Manja lem-
but
ke samping. Sayang Putri Manja tak mau
mengerti.
Wajahnya langsung merengut dengan
bibir
membentuk kerucut. Tapi tak sepatah kata
pun
keluar dari kedua bibirnya yang berwarna
merah.
Hanya diturutinya kemauan Soma.
"Soma,
hati-hati! Aku tak ingin kau babak
belur,"
cegah Putri Manja khawatir. Nada bica-
ranya
amat menggemaskan. Sehingga, mau tidak
mau
hal ini sempat mengundang senyum Siluman
Ular
Putih.
"Tentu,
Putri. Siapa sudi yang ingin babak
belur?
Lihat saja. Aku atau tua bangka satu ini
yang
babak belur!"
"Jahanam!
Kau banyak berlagak, Bocah
Gondrong!
Apa kau belum merasakan panasnya
api
neraka, heh?!" hardik Maling Tanpa Bayangan
sarat
kemarahan.
Maka
tanpa banyak cakap lagi Maling Tan-
pa
Bayangan segera meloncat ke depan. Kedua te-
lapak
tangannya membuat gerakan tipuan dari
samping
ke kiri.
Wesss!
Wesss!
Siluman
Ular Putih dapat mengenali seran-
gan
tipuan Maling Tanpa Bayangan dengan mu-
dah.
Sekali lihat saja dapat diketahui ke arah
mana
serangan ditujukan.
"Aku
tahu, kau amat murka sekali padaku,
Maling
Kesiangan! Tapi sayang, seranganmu amat
lamban.
Kau tak pantas jadi tukang tipu. Sebaik-
nya,
bertobat saja sebelum terlambat!" ejek Soma
seraya
bergeser ke samping dan meliuk-liukkan
tubuhnya
menghindari serangan.
Maling
Tanpa Bayangan menggeram mur-
ka.
Serangannya tadi memang hanya sekadar un-
tuk
menjajagi lawan. Namun bagaimanapun juga
ia
sempat melongo manakala serangannya dapat
dihindari
Siluman Ular Putih hanya dengan sedi-
kit
menggeser dan meliuk-liukkan tubuhnya ke
samping.
"Heaaah...!"
Bahkan tanpa diduga Siluman Ular Putih
memutar
tubuhnya dengan kaki menyapu wajah
Maling
Tanpa Bayangan.
"Bah!
Tak sia-sia rupanya kau bergelar Si-
luman
Ular Putih, Bocah! Tapi sayang, nama be-
sarmu
hanya akan tertulis di batu nisan. Hari ini
juga
kau akan kubuat melayang sampai dasar ne-
raka.
Bersiap-siaplah, Bocah! Hea...!"
Sehabis
merunduk menghindari serangan,
Maling
Tanpa Bayangan mengebutkan jubahnya
sekali.
Seketika serangkum angin dingin meluruk
cepat,
siap menghajar tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman
Ular Putih ternganga kaget. Se-
rangan
Maling Tanpa Bayangan ini belum sempat
dihindari.
Dan akibatnya angin berkesiur dari ke-
butan
jubah yang mampu membuat pohon-pohon
di
sekitar tempat pertarungan berderak membuat
Soma
oleng ke samping.
"Hiah!"
Siluman
Ular Putih berusaha tegak seperti
semula
disertai pengerahan tenaga dalam ke ke-
dua
kakinya. Namun sayang, angin kasat mata
dari
kebutan jubah Maling Tanpa Bayangan terus
menyerang
hebat. Akibatnya, Soma harus berlon-
catan
ke sana kemari.
Maling
Tanpa Bayangan terkekeh senang
melihat
Siluman Ular Putih pontang-panting
menghadapi
serangannya. Keadaan ini tentu saja
tak
disia-siakannya. Cepat diloloskannya senjata
andalan
yang berupa cemeti berekor sembilan.
"Hiah!"
Melihat
musuh mudanya masih kewalahan
menghadapi
kebutan jubahnya, Maling Tanpa
Bayangan
segera meloncat ke depan. Cemeti be-
rekor
sembilan yang telah terpegang di tangan
kanan
segera dilecutkan ke arah tubuh Siluman
Ular
Putih.
Ctaaar!
Ctaaar...!
"Sial!"
Bukan
main kewalahannya Siluman Ular
Putih
menghadapi serangan-serangan Maling
Tanpa
Bayangan. Bukan hanya karena serangan-
serangan
cemeti, tapi juga gerakan tubuh Maling
Tanpa
Bayangan yang cepat luar biasa. Sehingga
benar-benar
membuat Siluman Ular Putih mati
kutu.
Rupanya, tak percuma tua bangka itu men-
dapat
gelar Maling Tanpa Bayangan. Mungkin ka-
rena
gerakannya yang cepat luar biasa inilah se-
hingga
ia digelari Maling Tanpa Bayangan.
Ctaaar!
Ctaaar...!
"Akh...!"
Dua
kali cemeti di tangan Maling Tanpa
Bayangan
membelah udara, dua kali pula tubuh
Siluman
Ular Putih terkena lecutan. Pakaiannya
robek
memanjang. Darah segar dari luka tubuh-
nya
mulai merembes. Geraham Soma bergemele-
tuk,
menahan kesal.
"Hati-hati,
Soma! Jangan terlalu gegabah!
Seranglah
dari jarak dekat. Ayo, Soma!" teriak Pu-
tri
Manja dari luar tempat pertarungan.
Saat
itu Siluman Ular Putih memang ten-
gah
hebat-hebatnya menghadapi gempuran-
gempuran
Maling Tanpa Bayangan. Kemana saja
tubuhnya
menghindar, selalu saja kilatan cemeti
di
tangan lawan selalu mengejar. Kendati begitu
diam-diam
pun segera dikerahkannya juru anda-
lan
'Terjangan Maut Ular Putih'.
Sepuluh
jurus setelah mengeluarkan jurus
'Terjangan
Maut Ular Putih', perlahan-lahan Soma
mulai
dapat mengatasi kecepatan gerak lawan.
Malah
beberapa kali patukan-patukan kedua te-
lapak
tangannya mengancam tubuh Maling Tanpa
Bayangan.
Pada
jurus kelima belas. Soma membuat
liukan
ke kanan. Tubuhnya merendah dengan
tangan
kanan mencecar pinggang kiri lawan.
"Uts!"
Maling
Tanpa Bayangan menggeser tubuh-
nya
ke kanan, untuk menghindar. Tapi tanpa di-
nyana, tangan kiri Siluman Ular Putih bergerak
dari
atas dengan kecepatan mengagumkan. Se-
hingga....
Desss...!
Satu
patukan tangan kiri Siluman Ular Pu-
tih
mendadak menghantam dada Maling Tanpa
Bayangan
telak sekali hingga memekik nyaring.
Tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang.
Bagian
dadanya yang terkena hantaman terasa
remuk
dan nyeri bukan main.
"Juahhh...!
Kau memang hebat, Siluman
Ular
Putih. Tapi jangan bangga dulu. Bagaimana-
pun
kau tetap masih jauh di bawahku. Jadi lebih
baik
bunuh diri saja. Percuma kau melawanku!"
leceh
Maling Tanpa Bayangan.
"Percuma
tidak percuma, hajar saja. Soma!
Buat
apa banyak cincong menghadapi memedi
sawah
satu ini!" teriak Putri Manja, menyemanga-
ti.
"Jangan
khawatir Putri! Tidak percuma kau
punya
sahabat seganteng ini, kalau tak dapat
menuruti
perintahmu!" sambut Siluman Ular Pu-
tih
seraya menepuk dadanya bangga. Bukannya
bermaksud
sombong, melainkan ingin memanas-
manasi
musuhnya.
"Lakukanlah,
Soma."
"Tentu!"
Paras
Maling Tanpa Bayangan sebentar
memerah,
sebentar kemudian tampak pucat pasi
mendengar
godaan lawan di hadapannya. Setelah
rasa
nyeri di dadanya sedikit berkurang, perlahan
lelaki
tua ini kembali memutar-mutar cemeti di
tangannya
perlahan. Tapi mendadak, gerakan
cemeti
itu berubah cepat laksana kilat siap me-
nyambar-nyambar
tubuh Siluman Ular Putih.
Sementara
telapak tangannya yang telah berubah
jadi
kuning siap pula melontarkan pukulan maut.
"Terimalah
pukulan 'Kincir Emas'-ku!
Heaaa...!"
Dengan
teriakan nyaring, mendadak Mal-
ing
Tanpa Bayangan berkelebat cepat sekali. Ce-
meti
di tangan kanannya terus melecut udara.
Sementara
telapak tangan kirinya didorongkan ke
depan
melepas pukulan jarak jauh yang dinama-
kan
'Kincir Emas'!
Ctaaar!
Ctaaar...! '
Wesss!
Seleret
sinar kuning keemasan yang diirin-
gi
berkesiurnya angin dingin menderu-deru telah
menyambar-nyambar
ganas, bersama lecutan-
lecutan
cemeti di tangan Maling Tanpa Bayangan.
Kali
ini amat terasa kalau Siluman Ular Pu-
tih
kewalahan. Gempuran-gempuran Maling Tan-
pa
Bayangan laksana air bandang yang tak terta-
hankan,
terus mendesak bayangan putih kepera-
kan
tubuh Soma. Lebih hebat lagi, saat seleret si-
nar
kuning keemasan itu mulai mendekati sasa-
ran
mau tidak mau, Siluman Ular Putih harus
bertindak
waspada.
Melihat
kehebatan serangan ganda Maling
Tanpa
Bayangan yang tak henti-hentinya meng-
gempur
Siluman Ular Putih, tak urung Putri Man-
ja
jadi gusar bukan main. Hatinya merasa ngeri
sekali,
membayangkan tubuh Siluman Ular Putih
akan
cerai-berai mendapati serangan sehebat itu.
"Hup!
Heaaa...!"
Dengan
satu perhitungan matang, Siluman
Ular
Putih mendadak menggulingkan tubuhnya
ke
samping. Sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah,
kedua tangannya segera menghentak mele-
pas
pukulan ‘Inti Bumi’. untuk memapak pukulan
'Kincir
Emas' milik Maling Tanpa Bayangan. La-
lu....
Blaaammm...!
Bumi
kontan bergetar hebat saat kedua
pukulan
dahsyat itu beradu di satu titik. Debu-
debu
membumbung tinggi ke udara, menutupi
tubuh
Siluman Ular Putih dan Maling Tanpa
Bayangan.
Namun samar-samar tampak sosok
tubuh
Maling Tanpa Bayangan mencelat ke bela-
kang,
dan terbanting di luar tempat pertarungan!
Brakkk...!
Tanpa
ampun tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan
menghantam batang pohon di belakangnya
hingga
tumbang. Suaranya berderak sebelum po-
hon
itu jatuh berdebam ke tanah.
Siluman
Ular Putih yang telah bangkit ber-
diri
tersenyum tanpa makna. Ia tak menyangka
akibat
pukulan 'Inti Bumi'-nya akan sehebat itu.
Dan
pemuda ini sempat melihat paras Maling
Tanpa
Bayangan pucat pasi. Darah segar menga-
lir
di sela-sela bibirnya. Mulutnya mendesis-desis
penuh
kemarahan.
"Kau...,
kau? Apa hubunganmu dengan tua
bangka
dari Gunung Bucu, he?! Apa kau murid
dari
Eyang Begawan Kamasetyo?" desis Maling
Tanpa
Bayangan, mengenali jenis pukulan Silu-
man
Ular Putih.
Siluman
Ular Putih kembali tersenyum
simpul.
Sedikit pun tidak ditanggapinya ocehan
Maling
Tanpa Bayangan. Ia malah berjalan men-
dekati
Putri Manja.
"Apa
kubilang, Putri? Aku tidak apa-apa,
kan?
Kau harus percaya. Biar begini, aku bisa sa-
ja
mengirim nyawa tua bangka itu ke neraka!"
tunjuk
Siluman Ular Putih ke arah Maling Tanpa
Bayangan
yang masih luruh di tanah.
"Kau
hebat. Soma. Aku benar-benar kagum
padamu,"
puji Putri Manja sarat kekaguman.
"Sudah
pasti dong. Kan ada sahabatku
yang
cantik ini," balas Siluman Ular Putih seraya
mengerling
nakal pada Putri Manja.
Putri
Manja tersenyum senang. Rasanya
betah
sekali kalau terus berlama-lama meman-
dangi
senyum pemuda tampan itu.
"Ah...!
Kau bisa saja. Soma!" ujar Putri
Manja
malu-malu kucing.
"Ya
jelas dong," sahut Siluman Ular Putih
bangga.
"Kau
memang hebat, Siluman Ular Putih.
Tapi
buka telingamu lebar-lebar, Bocah! Aku be-
lum
kalah. Kalau kau sanggup menahan aji 'Sirep
Sukma'-ku,
baru aku mengaku kalah," geram
Maling
Tanpa Bayangan tiba-tiba sambil bergerak
duduk
bersila. Suaranya membahana memendam
amarah
menggelegak.
"Aha...?
Benarkah?" tukas Siluman Ular
Putih,
memalingkan kepala ke arah Maling Tanpa!
Bayangan.
"Apa kau masih belum mengaku ka-
lah?"
"Keparat!
Aku belum kalah, Bocah. Ber-
siap-siaplah
kau menerima aji 'Sirep Sukma'-ku!"
bentak
Maling Tanpa Bayangan penuh kemara-
han.
Habis
membentak, Maling Tanpa Bayangan
segera
memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua
telapak
tangannya disedekapkan di depan dada.
Selang
beberapa saat, kedua bibirnya bergerak-
gerak
seperti membaca mantera-mantera.
Namun
Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak
gentar menghadapi ajian yang dikeluarkan
Maling
Tanpa Bayangan. Sewaktu menghadapi
pemberontakan
Pangeran Pemimpin, pendekar
satu
ini memang pernah merasakan kehebatan aji
'Sirep
Sukma' milik Raja Maling. Dan kini meng-
hadapi
aji 'Sirep Sukma' milik Maling Tanpa
Bayangan,
segera dikerahkannya kekuatan batin.
Maka
begitu merasakan getaran-getaran halus
menyerang
batinnya dan saat kedua kelopak ma-
tanya
terasa berat terserang kantuk luar biasa,
Siluman
Ular Putih tak segan-segan lagi merapal
mantera
yang pernah diajarkan Raja Penyihir.
"Ah...!"
desah Maling Tanpa Bayangan gu-
sar
bukan main. Mendadak parasnya pucat pasi.
Dari
getaran-getaran mantera Siluman Ular Putih,
jelas
sekali terasa kalau kekuatan aji 'Sirep Suk-
ma'-nya
mulai tertindih kekuatan aneh dari man-
tera
Siluman Ular Putih.
Maling
Tanpa Bayangan mengeluh. Kedua
bibirnya
kian berkemik-kemik hebat pertanda
tengah
melipatgandakan ajiannya.
"Orang
Tua! Aku maklum kalau kau amat
marah
padaku, karena muridmu tewas di tangan-
ku.
Tapi, ingatlah! Apa kau tak tahu kalau se-
sungguhnya
muridmu yang memaksaku untuk
membunuhnya!
Ah, aku tak sudi lagi meladehi-
mu,"
kata Siluman Ular Putih dengan nada suara
bergetar-getar
aneh, menyerang jalan pikiran Mal-
ing
Tanpa Bayangan.
Karena
didesak dorongan aneh maha he-
bat,
entah kenapa mendadak Maling Tanpa
Bayangan
mengendurkan aji 'Sirep Sukma'-nya.
Kedua
telapak tangannya pun tidak lagi bersede-
kap
di depan dada, melainkan malah ditumpang-
kan
di atas paha. Sedang kelopak matanya mem-
beliak
tak karuan. Mungkin sedang mengingat-
ingat,
apa yang pernah dilakukan mendiang mu-
ridnya.
Namun karena wataknya memang telen-
gas,
maka yang terlintas di batok kepalanya ada-
lah
bagaimana Raja Maling tewas di tangan Silu-
man
Ular Putih. Hal ini tentu saja membuatnya
makin
tersulut api dendam.
"Setan
alas! Kau... kau telah membunuh
muridku!
Kau harus tewas di tanganku, Bocah!"
bentak
Maling Tanpa Bayangan tiba-tiba
Suaranya
mengguntur seolah ingin menin-
dih
kekuatan gaib yang keluar dari mulut Silu-
man
Ular Putih.
"Ah...!
Rupanya kau pun sama saja. Sama-
sama
tak mau bertobat. Tapi, sudahlah. Kuberi
peringatan
sekali lagi. Kalau kau masih tetap di
jalan
kebejatan dan tidak mau mengakhiri silang
sengketa
di antara kita, terpaksa aku akan mem-
buat
perhitungan padamu. Lekas tinggalkan tem-
pat
ini sebelum pikiranku berubah!" bentak Silu-
man
Ular Putih, tak kalah garang.
Maling
Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya
penuh kemarahan. Sulit sekali ra-
sanya
membayangkan kemarahannya saat itu.
Kedua
telapak tangannya pun mengepal-ngepal
penuh
kemarahan. Lalu dengan kilatan mata be-
ringas,
dari duduk bersilanya Maling Tanpa
Bayangan
segera meloncat tinggi ke udara. Dan
begitu
kedua telapak kakinya menjejak tanah, so-
sok
tubuhnya segera berkelebat meninggalkan
tempat
itu.
"Ah...!
Benar-benar hebat kau. Soma. Terus
terang
aku kagum sekali padamu. Tapi, ngomong-
ngomong
bagaimana caranya melumpuhkan aji
'Sirep
Sukma' milik tua bangka itu? Kok tiba-tiba
tua
bangka itu jadi kaget dengan mata membeliak
liar?
Apa yang kau lakukan. Soma?" tanya Putri
Marija
sepeninggalnya Maling Tanpa Bayangan.
Siluman
Ular Putih tak menyahut, kecuali
mengumbar
senyum manis saja.
"Kenapa,
Soma? Kau jangan hanya terse-
nyum-senyum
saja, dong! Apa yang kau lakukan
tadi?"
desak Putri Manja.
"Aku
tidak melakukan apa-apa, kecuali
hanya
menyuruh mengingat-ingat tentang kela-
kuan
muridnya. Itu saja," sahut Soma enteng.
Putri
Manja masgul sekali. Bibirnya mem-
berengut.
Gadis ini tak percaya kalau Soma
hanya
melakukan seperti yang dikatakannya ba-
rusan.
"Tampaknya
kau belum puas dengan jawa-
banku
tadi, ya?" tebak Siluman Ular Putih.
"Iya,"
jawab Putri Manja, lugas.
"Kalau
iya, ya sudah. Pokoknya sekarang
tua
bangka itu sudah tak mengganggu kita lagi.
Ayo,
kita teruskan perjalanan."
"Tapi...,
tapi...."
Putri
Manja tak dapat meneruskan uca-
pannya
saat Siluman Ular Putih berkelebat me-
ninggalkan
tempat itu. Dengan hati mendongkol
bukan
main, terpaksa segera disusulnya Siluman
Ular
Putih. Karena, memang tak ada pilihan lain.
4
Puncak
Gunung Sindoro.
Puncak
gunung yang kini dirundung duka.
Malam
terjaga manakala suara-suara gaib yang
menjarah,
membelah angkasa. Kini, alam seolah
mati.
Seolah terpedaya oleh suasana aneh yang
amat
menyeramkan.
Dalam
kegelapan yang hanya diterangi bu-
lan
sabit di angkasa, Pengasuh Setan berkelebat
cepat
menuju puncak gunung. Di belakangnya,
hampir
lima belas orang murid Perguruan Tela-
pak
Gajah yang telah siuman dipaksa oleh Penga-
suh
Setan untuk membawa mayat teman-teman
mereka
ke puncak Gunung Sindoro. Termasuk,
mayat
Telapak Gajah.
Srak!
Srak!
Langkah-langkah
kaki murid-murid Pergu-
ruan
Telapak Gajah bergerak serabutan mengiku-
ti
langkah Pengasuh Setan di depannya. Ketika le-
laki
sesat ini berhenti dan berdiri di atas sebong-
kah
batu besar untuk beberapa saat, pandang
matanya
beredar ke segenap penjuru. Di bela-
kangnya,
lima belas murid Perguruan Telapak Ga-
jah
ikut berhenti. Sementara itu, suara-suara gaib
yang
berasal dari makhluk-makhluk halus peng-
huni
puncak Gunung Sindoro makin riuh rendah.
"Diam...!"
hardik Pengasuh Setan garang
pada
para mahkluk halus asuhannya. Pandangan
matanya
bengis memperhatikan keadaan sekitar-
nya.
Aneh
bin ajaib. Suara-suara gaib dari para
makhluk
halus itu pun sirna tanpa sedikit pun
membangkang.
Kasak-kusukpun tidak. Bahkan
binatang-binatang
malam pun malas memperden-
garkan
suaranya. Inilah salah satu kehebatan
Pengasuh
Setan yang mampu memerintah mak-
hluk-makhluk
halus itu sesukanya.
"Kalian,
murid-murid Perguruan Telapak
Gajah!
Mendekatlah! Baringkan mayat teman-
teman
kalian di atas pasir!" perintah Pengasuh
Setan
pada kelima belas murid Perguruan Tela-
pak
Gajah yang masih memondong guru maupun
teman-teman
mereka.
Tanpa
banyak cakap, kelima belas orang
murid
Perguruan Telapak Gajah segera meletak-
kan
mayat-mayat itu di gundukan-gundukan pa-
sir.
Dalam hati diliputi kengerian luar biasa, na-
mun
sedikit pun mereka tak berani melarikan di-
ri.
Mereka seperti tersirap oleh kekuatan batin
Pengasuh
Setan. Kini, mereka hanya bisa pasrah
dan
patuh pada perintah penguasa puncak Gu-
nung
Sindoro itu.
"Bagus!
Sekarang kalian rebahlah seperti
mayat-mayat
itu! Cepat!" perintah Pengasuh Se-
tan
lagi, garang.
Kelima
belas murid .Perguruan Telapak Ga-
jah
kembali menuruti perintah Pengasuh Setan
dengan
hati diliputi sejuta tanda tanya. Mereka
tak
tahu apa yang akan menimpa. Mereka hanya
tahu
kalau Pengasuh Setan ingin membentuk se-
buah
pasukan yang diberi nama Pasukan Kum-
bang
Neraka. Apakah itu? Inilah yang sebenarnya
membuat
hati mereka resah.
Kalau
saja mampu, sudah pasti mereka
akan
memberontak. Bahkan menyerang Pengasuh
Setan.
Tapi sayang, hati kelima belas murid Per-
guruan
Telapak Gajah seperti telah membeku. Pe-
rasaan
mereka pun seolah mati. Bahkan seperti
tak
lagi mengenali satu nama lain.
Kalau
saja tahu, sebenarnya hati dan pera-
saan
mereka telah dipengaruhi kekuatan gaib
Pengasuh
Setan. Dengan menggunakan semacam
aji
sirep yang dipelajari dari Kitab Paguyuban Se-
tan,
rupanya Pengasuh Setan telah membuat ke-
lima
belas murid Perguruan Telapak Gajah itu ja-
di
hilang sifat-sifat kemanusiaannya. Hilang inga-
tan
dan hilang rasa belas kasihan. Mereka kini
tak
ubahnya seperti boneka-boneka hidup!
"Wahai,
anak-anakku penghuni puncak
Gunung
Sindoro. Seperti kalian ketahui, malam
ini
aku ingin sekali membentuk sebuah pasukan
yang
akan kuberi nama Pasukan Kumbang Nera-
ka.
Di sini aku menyuruh kalian untuk memban-
tuku.
Maka, lekaslah tampakkan diri kalian!" ujar
Pengasuh
Setan. Suaranya menggema memenuhi
puncak
Gunung Sindoro. Meski diucapkan kalem,
namun
sebenarnya nada suara Pengasuh Setan
barusan
terdengar sarat ancaman. Tentu saja hal
ini
membuat makhluk-makhluk penghuni puncak
Gunung
Sindoro jadi kian ketakutan. Mereka
yang
telah bertahun-tahun tersiksa dalam kung-
kungan
Pengasuh Setan tetap saja tak dapat ber-
buat
banyak. Mereka hanya dapat menuruti pe-
rintah
tanpa banyak membantah.
Begitu
suara perintah Pengasuh Setan te-
rucap,
seketika suara riuh rendah di puncak gu-
nung
kembali terdengar ramai. Lalu dari segala
penjuru
muncul sosok-sosok mengerikan. Seba-
gian
bertubuh pendek dengan kepala botak dan
perut
buncit. Sebagian bertubuh tinggi besar den-
gan
kulit hitam legam serta mata mencorong ber-
warna
merah saga. Sebagian lain bertubuh kurus
kering
bak mayat hidup. Bahkan kemudian ben-
tuk-bentuk
aneh lainnya ikut muncul di tempat
ini.
"Bagus!
Kalian memang anak-anak asuhku
yang
patuh. Sekarang lekas kalian semua masuk
ke
dalam jasad orang-orang itu! Lekas!"
Suara
riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro
itu terdengar makin ramai. Sementara keli-
ma
belas orang murid Perguruan Telapak Gajah
yang
masih sadar entah kenapa tiba-tiba didera
rasa
takut luar biasa. Meski telah kehilangan akal
sehatnya,
namun anehnya kali ini mereka semua
dapat
merasakan sekaligus melihat sosok-sosok
mengerikan
di hadapan mereka.
Untuk
bertindak lebih lanjut, tetap saja
mereka
tidak mampu. Mereka hanya dapat mem-
belalakkan
mata liar saat sosok-sosok mengeri-
kan
itu mendadak berubah jadi gulungan-
gulungan
asap hitam pekat berputar-putar di
angkasa,
sebelum akhirnya masuk ke dalam ja-
sad
Telapak Gajah serta ketiga puluh orang mu-
ridnya.
Baik yang sudah menjadi mayat, maupun
yang
belum. "Keaaakkk...!" Terdengar suara-suara
aneh
dari rongga mulut Telapak Gajah dan ketiga
puluh
orang muridnya begitu gulungan-gulungan
asap
hitam pekat itu telah masuk ke dalam tubuh
masing-masing.
Maka seketika itu juga tubuh ke-
tua
Perguruan Telapak Gajah dan tubuh ketiga
puluh
orang muridnya merangkak bangun. Perla-
han.
Amat perlahan!
Paras-paras
mereka kini terlihat amat
mengerikan,
tak seperti sebelumnya. Kini paras-
paras
itu mendadak berubah menjadi pucat se-
perti
mayat hidup. Sepasang mata mereka mem-
belalak
liar berwarna merah. Saat menyeringai,
terlihat
taring-taring panjang mereka yang menge-
rikan.
Bukan
main. Entah kejadian apa yang
akan
melanda dunia persilatan bila Pengasuh Se-
tan
benar-benar ingin melaksanakan nafsu gi-
lanya.
Membunuh Siluman Ular Putih, sekaligus
menguasai
dunia persilatan!
Melihat
Telapak Gajah berikut ketiga puluh
orang
muridnya telah berubah jadi sosok-sosok
mengerikan,
Pengasuh Setan tersenyum puas. Se-
jurus
kemudian tawanya yang berat meledak,
menggema
ke seluruh alam. Seolah ia ingin men-
gabarkan
kalau sebentar lagi keangkaramurkaan
akan
mengguncang dunia persilatan!
"Meruya!
Ke sini kau!" teriak Pengasuh Se-
tan
memanggil burung peliharaannya yang dari
tadi
hanya terbang berputar-putar di atas puncak
gunung.
"Kuuukkk...!"
Terdengar
sahutan membahana dari ang-
kasa,
kemudian disusul meluncurnya titik hitam
kecil
ke bawah. Kini di bongkahan batu di samp-
ing
Pengasuh Setan telah hinggap burung hantu
raksasa
yang tak lain Meruya.
"Dengar,
Meruya! Malam ini juga aku dan
pasukanku
akan turun gunung. Kau kuperintah-
kan
untuk menjaga puncak Gunung Sindoro dari
jarahan
siapa pun juga. Terutama sekali, kau ha-
rus
menjaga Kitab Paguyuban Setan yang belum
kupelajari
semuanya. Kau paham, Meruya?!" ujar
Pengasuh
Setan, penuh tekanan.
"Kuuukkk...!
Kuuukkk...!"
Seolah
mengerti, burung hantu raksasa se-
besar
kambing itu menggerak-gerakkan kepa-
lanya
menyahuti kata-kata Pengasuh Setan. Se-
pasang
matanya yang bulat besar berwarna hitam
pekat
terlihat amat mengerikan.
"Telapak
Gajah! Kau pun kuperintahkan
untuk
menemani burung peliharaanku menjaga
puncak
Gunung Sindoro ini. Awas, jika sampai
gagal.
Kau akan kubuat merana seumur hidup-
mu.
Nyawamu akan kubuat gentayangan, sebe-
lum
hari akhir menjelang. Kau paham, Telapak
Gajah?"
Pengasuh Setan menatap tajam Telapak
Gajah.
Dan sebenarnya, kini ketua Perguruan Te-
lapak
Gajah kurang tepat kalau dipanggil Telapak
Gajah.
Karena, kali ini bukanlah sebagai Telapak
Gajah
seperti sebelumnya, melainkan sebagai sa-
lah
seorang anak buah Pengasuh Setan!
"Keaaakkk...!"
Telapak
Gajah menyahut. Suaranya kali ini
bukan
lagi seperti suara manusia kebanyakan,
melainkan mirip suara gaib penghuni liang ku-
bur.
"Nah!
Sekarang laksanakan tugasmu, Tela-
pak
Gajah. Lekas ikuti burung peliharaanku!" pe-
rintah
Pengasuh Setan, penuh wibawa.
Sementara
Meruya sudah menggerak-
gerakkan
kepalanya sebentar. Kilatan sepasang
matanya
yang mencorong tajam sejenak memper-
hatikan
Telapak Gajah seksama. Dan lalu, bu-
rung
raksasa peliharaan Pengasuh Setan ini sege-
ra
terbang tinggi ke udara.
Tanpa
diperintah sekali lagi, Telapak Gajah
pun
segera menyusul. Tubuhnya terus berkelebat
cepat
ke utara, mengikuti ke arah mana burung
hantu
raksasa itu terbang. Sebentar kemudian
sosok
bayangan Telapak Gajah menghilang di ba-
lik
mulut kawah di puncak Gunung Sindoro.
"Sekarang,
kalian semua ikuti aku!" lanjut
Pengasuh
Setan.
***
"Kita
mau ke mana. Soma?" tanya Putri
Manja
ketika seperti tak peduli Siluman Ular Pu-
tih
melangkah pergi meninggalkan tempat perta-
rungannya
tadi dengan Maling Tanpa Bayangan.
"Cerewet!
Ikuti saja aku!" bentak Soma ka-
sar.
Sengaja pemuda itu memang berlaku demi-
kian.
Maksudnya untuk meledek gadis manja di
belakangnya.
Putri
Manja bersungut-sungut cemberut.
Tapi
terus diikutinya langkah Soma.
Soma
terus saja tak peduli dan terus berja-
lan
seenaknya. Diam-diam ditunggunya sambu-
tan
gadis di belakangnya. Hanya karena didorong
ingin
meledek saja Soma tetap bersikap angkuh.
"Cih...!
Tak tahu malu! Siapa sudi mengi-
kutimu!"
sentak Putri Manja tiba-tiba.
Soma
melengos. Kaget juga pemuda ini me-
lihat
perubahan sikap Putri Manja. Dari sorot ma-
tanya
ia tahu, Putri Manja ngadat dengan meng-
hentikan
langkahnya. Wajahnya ditekuk, me-
nampakkan
ketidaksukaan.
Mau
tidak mau Soma menghentikan lang-
kah,
namun tetap pada berdirinya. Hanya perha-
tiannya
saja yang diam-diam terus mengamati ge-
rak-gerik
gadis manja di belakangnya.
Putri
Manja tak bergeming sedikit pun.
Soma
tersenyum dalam hati. Kena kau, so-
rak
hatinya.
"Tak
mau, ya sudah!" sungut Soma.
"Heh?!
Memalukan! Aku benci padamu!
Seumur
hidupku, aku tak sudi berkawan den-
ganmu!"
sentak Putri Manja, langsung berbalik
dan
melangkah pergi.
"Eh,
tunggu!" Soma kaget bukan main. Kali
ini
justru pemuda itu yang kalang kabut saat me-
lihat
gadis manja itu melangkah lebar meninggal-
kannya.
Soma
buru-buru berbalik dan mengejar.
Ketika
tangan Soma hendak meraih pundak, den-
gan
kasar Putri Manja menepis.
"Lepaskan!
Aku tak sudi berkawan den-
ganmu!
Aku benci padamu!" teriak Putri Manja,
kalap.
"Putri!
Aku tadi hanya main-main. Ayolah
kita
teruskan perjalanan! Kenapa kau ngambek
begini?"
bujuk Soma habis-habisan.
Putri
Manja berhenti dengan mata membe-
liak.
Soma
tersenyum. Malah sebelah matanya
mengerling
nakal. Tapi tiba-tiba tangan Putri
Manja
melayang hendak menampar.
Soma
terkesiap. Tapi hanya sebentar. Se-
lanjutnya,
tangannya bergerak menangkis.
Plakkk!
Melihat
tamparannya gagal Putri Manja
membantingkan
kakinya kesal. Matanya sempat
membeliak
liar sebelum akhirnya kembali berke-
lebat
cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh,
Putri! Tunggu!"
Soma
terperangah. Si pemuda merasa me-
nyesal
telah mempermainkan gadis manja itu.
Namun
untuk menyesali sikapnya jelas tak ada
waktu.
Tak ada pilihan lain, terpaksa dikejarnya
Putri
Manja. "Tunggu aku, Putri! Tungguuu...!" te-
riak
Soma kalang kabut.
Putri
Manja tak menggubris sama sekali.
Tubuhnya
terus berkelebat cepat meninggalkan
Soma.
Walau berat, hatinya dipaksakan untuk ti-
dak
lagi menemui Siluman Ular Putih.
"Tunggu,
Putri! Kau tak boleh meninggal-
kanku!"
Soma cepat melenting melewati Putri
Manja,
dan kini berdiri tegak di hadapan si gadis.
"Minggir!
Aku tak sudi bertemu denganmu
lagi!"
bentak Putri Manja seraya menghentikan
kelebatannya.
Mendadak,
Putri Manja mendorong tubuh
Siluman
Ular Putih, kasar. Soma terjengkang ke
samping,
namun buru-buru meloncat bangun.
Langsung
dihadangnya jalan Putri Manja kembali.
"Minggir...!"
bentak Putri Manja bengis. Ki-
ni
tak segan-segan lagi gadis ini mencabut keluar
senjata
andalannya yang berupa gunting besar.
Tapi
Siluman Ular Putih malah tersenyum.
Kedua
tangannya dikembangkan lebar seolah in-
gin
menyambut gadis itu dalam pelukannya.
Putri
Manja menyorongkan guntingnya ke
leher
Siluman Ular Putih.
"Kalau
kau tak mau pergi dari sini kubu-
nuh
kau, Soma!" pekik Putri Manja sarat anca-
man.
"Coba
saja kalau kau bisa!" tantang Silu-
man
Ular Putih, tak bergerak sedikit pun.
"Kau...,
kau!" Putri Manja mendelik, gusar.
"Kenapa
ragu-ragu? Ayo, bunuh aku!"
Putri
Manja menggeretakkan gerahamnya
penuh
kemarahan. Padahal sekali tangannya ber-
gerak
sudah pasti leher Siluman Ular Putih tang-
gal
dari tempatnya. Namun diam-diam gadis ini
tak
menginginkan hal itu terjadi. Jelas, ia tak in-
gin
Siluman Ular Putih celaka. Yang diinginkan-
nya
agar pemuda gendeng satu ini lekas mening-
galkan
dirinya. Dan yang membuat hatinya tam-
bah
mengkelap, Siluman Ular Putih malah men-
cibirnya.
Ini benar-benar tak diampunkan lagi.
Maka
tanpa ampun, tiba-tiba tangan si gadis ber-
gerak
cepat. Dan....
Tukkk!
Tukkk!
Dua
kali tangan kiri Putri Manja berkelebat
cepat,
menotok iga Siluman Ular Putih. Seketika
tubuh
Soma kaku tak dapat bergerak.
"He
he he...! Kau malah menotokku, Putri?
Kenapa
tak jadi membunuhku? Apa kau ingin
memperkosaku?"
celoteh Siluman Ular Putih,
seenak
dengkul. Senyumnya pun makin bertam-
bah
meriah.
"Kau
memang menjengkelkan, Soma! Aku
tak
sudi berteman denganmu!"
Putri
Manja membantingkan kakinya. Kes-
al.
Kilatan kedua bola matanya sempat menyam-
bar
Siluman Ular Putih. Begitu garang. Setelah itu
kakinya
menjejak tanah, lalu berkelebat cepat
meninggalkan
tempat ini.
Siluman
Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh
tak disangka kalau Putri Manja akan
meninggalkan
dirinya masih dalam keadaan terto-
tok.
Padahal, ia masih ingin melakukan perjala-
nan
bersama gadis nyentrik itu.
"Oooi...!
Lepaskan totokanku, Putri! Le-
paskan
totokanku!" teriak Soma kalang kabut.
Putri
Manja tak peduli. Tubuhnya terus
berkelebat
cepat meninggalkan Siluman Ular Pu-
tih.
Terpaksa Soma hanya dapat mencaci maki.
Dilihatnya
sosok tubuh Putri Manja terus berke-
lebat
cepat ke timur hingga menghilang di kerim-
bunan
hutan depan sana.
"Ah...!
Kenapa urusannya jadi begini?
Huh...!
Tak seharusnya aku mempermainkannya.
Sekarang
semuanya sudah terlambat. Aku harus
melepaskan
totokanku lebih dulu kalau ingin
mengejar
gadis itu. Tapi... tapi... Ah...! Bagaimana
aku
harus melepaskan totokannya?" gerutu Soma
dalam
hati.
Berkali-kali
Siluman Ular Putih coba men-
gerahkan
tenaga dalam untuk melepaskan toto-
kan
Putri Manja. Namun hasilnya, tetap sama sa-
ja.
Tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak.
5
Apa
enaknya berdiri tegak dalam keadaan
kaku
tertotok? Tentu amat menyiksa. Begini tidak
bisa,
begitu tidak bisa. Semua serba susah. Tak
dapat
berbuat apa-apa, kecuali menunggu sampai
pengaruh
totokan punah.
Begitulah
yang dialami Siluman Ular Putih.
Soma
yang terkena totokan Putri Manja sampai
hari
menjelang malam tetap saja tak dapat me-
munahkan
pengaruh totokan. Berkali-kali men-
coba,
hasilnya hanya sumpah serapah dari mu-
lutnya.
"Slompret!
Tak kusangka totokan gadis
nyentrik
itu sangat hebat. Mau tidak mau aku ha-
rus
menunggu sampai pengaruh totokan punah.
Daripada
kesal tak ketahuan juntrungannya,
mendingan
tidur!" umpat Siluman Ular Putih me-
nekan
rasa dongkol.
Siluman Ular
Putih segera memejamkan
matanya.
Namun baru saja dua hitungan meme-
jamkan
mata, mendadak pendengarannya yang
tajam
menangkap langkah-langkah halus mende-
kati
tempat ini. Mau tidak mau niatnya tertunda.
Matanya
kini dipaksa untuk memperhatikan kea-
daan
sekitar. Tapi sayang, kedua bola matanya
hanya
bisa bergerak-gerak. Sedikit pun kepalanya
tak
dapat digerakkan.
"Seumur
hidupku baru kali ini aku melihat
pemuda
begini tolol. Huh! Menyebalkan!"
Terdengar
suara dari belakang. Ingin ra-
sanya
Soma memutar kepalanya, melihat siapa
orang
di belakang. Tapi berhubung totokan Putri
Manja
masih mempengaruhi jalan darahnya, ter-
paksa
hanya bisa mencaci dalam hati. Itu saja
sudah
cukup. Sebab dalam keadaan tertotok begi-
tu,
alangkah sangat riskan kalau sampai salah
bersikap.
Ya, kalau orang di belakangnya dari go-
longan
baik-baik. Tapi kalau dari golongan mu-
suh,
bukan mustahil nyawanyalah taruhannya!
"Ah...!
Bisanya kau berkata begitu, Sobat.
Apa
kau juga bisa bertingkah macam-macam ka-
lau
kau tertotok begini?" gerutu Soma, akhirnya
tak
dapat mengendahkan perasaan.
"Cih...!
Tak tahu malu! Bertahun-tahun
aku
bertapa, buat apa kalau tak dapat membuka
totokan
sendiri!" dengus orang di belakang Silu-
man
Ular Putih, gusar.
"Iya.
Buat apa kalau tak dapat membuka
totokan
sendiri, lebih baik bunuh diri saja!" sahut
satu
suara lain dari belakang.
Siluman
Ular Putih menggerutu.
"Hm...!
Jadi di belakangku ada dua orang.
Pantas!
Apa yang harus kulakukan sekarang?"
tanya
Siluman Ular Putih dalam hati.
Kini
langkah-langkah di belakang Siluman
Ular
Putih berhenti di samping dengan tatapan
menyelidik.
Siluman
Ular Putih memaksakan kedua
bola
matanya ke samping. Memang kelihatan
agak
lucu. Karena letak dua sosok bayangan di
sampingnya
cukup jauh dari pandangan ma-
tanya.
Sehingga membuat matanya terasa pegal.
Meski
demikian. Soma masih dapat melihat dua
sosok
manusia di sampingnya.
Yang
paling dekat dengannya adalah seo-
rang
kakek tua kurus dan amat tinggi. Mungkin
bisa
mencapai dua setengah tombak. Pakaiannya
ketat
warna hijau. Seperti pakaiannya, ternyata
kedua
bola mata kakak tua itu berwarna hijau.
Di
samping kakek tua yang memiliki tubuh
amat
jangkung, berdiri seorang kakek tua. Hanya
saja
sosok kakek ini ternyata memiliki tubuh
amat
pendek. Tak lebih dari satu tombak. Kepa-
lanya
botak dengan tubuh tambun mirip bola
raksasa.
Saking tambunnya, membuat pakaian
hijaunya
terbuka, menampakkan pusarnya yang
bodong.
Sementara
itu sepasang mata Siluman Ular
Putih
terasa pegal sudah. Bahkan hatinya pun
merasa
tidak enak juga melihat dua sosok kakek
aneh
di sampingnya. Perlahan-lahan urat ma-
tanya
yang mengencang dikendurkan. Sejenak ia
termangu-mangu.
Dalam hati ia bertanya, siapa-
kah
sebenarnya dua orang kakek aneh ini?
"Enak
saja kalian ngomong! Coba saja ka-
lau
kalian sendiri yang tertimpa musibah ini. Aku
tidak
yakin kalian dapat melepaskan totokan!"
Soma
memanas-manasi.
"Apa
kau bilang, Bocah Edan? Kau mele-
cehkan
kepandaian Lamdaur dan Dewa Bogel
hah?!"
dengus kakek jangkung yang bergelar
Lamdaur
jengkel.
Soma
mendengus dengan gaya enak sekali.
"Hm...
jadi mereka bernama Lamdaur dan Dewa
Bogel,"
gumamnya.
"Bocah
tak tahu diuntung! Sudah bagus
kami
tidak menghajarmu. Eh, malah pakai mele-
dek!"
semprot kakek bertubuh pendek tambun
yang
berjuluk Dewa Bogel.
"Kalau
begitu, tunjukkan saja kehebatan
kalian.
Kalau kalian mampu, coba bebaskan toto-
kanku!"
pancing Soma.
"Baik!"
sahut Dewa Bogel, rupanya ia kena
terpancing.
"Tunggu!"
Buru-buru
Lamdaur mencegah. Kedua te-
lapak
tangannya direntangkan ke belakang me-
nahan
langkah adik seperguruannya.
"Bocah
Gendeng! Ternyata kau punya akal
bulus
juga. Apa kau pikir aku dapat dikelabui,
he?!
Enak saja memerintah kami melepaskan to-
tokan!
Tak usah ya!" ejek Lamdaur.
Siluman
Ular Putih tersenyum samar. Me-
mang,
itulah yang diinginkan.
"Ya,
sudah. Bilang saja kalian tidak becus.
Habis
perkara. Pakai banyak dalih segala. Seka-
rang
cepat kalian enyah dari hadapanku! Buat
apa
menjual lagak di hadapanku kalau mele-
paskan
totokan saja tak becus!"
"Aku
sanggup, Bocah Edan!" Dewa Bogel
melotot.
"Iya,
iya! Tapi, mana buktinya?!" tantang
Siluman
Ular Putih.
"Kau...,
kau...!"
Dewa Bogel kehabisan kata-kata. Kedua
bola
matanya yang juga berwarna hijau membela-
lak
lebar.
Ingin
rasanya ia menghajar Siluman Ular
Putih
saat itu. Akan tetapi entah kenapa tak bisa.
Matanya
kian membelalak lebar. Hidungnya kem-
bang
kempis menahan rasa penasaran.
"Bogel!
Tak ada gunanya buang-buang
waktu
meladeni ocehan bocah edan satu ini.
Baiknya,
mari kita teruskan perjalanan," ajak
Lamdaur
pada adik seperguruannya.
"Nah,
itu juga bagus! Lekas enyah dari ha-
dapanku!"
sambar Soma memanas-manasi.
"Setan!
Bocah tak tahu diuntung! Kau me-
mang
patut mendapat pelajaran dariku, Bocah
Edan!"
teriak Dewa Bogel, langsung melompat ke
depan.
Tangan kanannya yang sudah gatal-gatal
segera
menampar pipi Siluman Ular Putih dua
kali.
Plak!
Plakkk!
Tanpa
bisa dicegah pipi Siluman Ular Putih
terkena
tamparan, tubuh Siluman Ular Putih pun
terbanting
keras. Kedua pipinya yang terkena
tamparan
Dewa Bogel terasa panas bukan main.
Untung
saja lelaki tambun itu tidak mengerahkan
tenaga
dalam. Karena, bukan mustahil kedua pipi
Siluman
Ular Putih itu akan porak-poranda. Bisa
jadi
nyawanya pun ikut melayang!
"Bagaimana?
Cukup nyaman kan, tampa-
ranku
tadi?" leceh Dewa Bogel.
"Bisa
saja kau ngomong, Dewa Bogel! Su-
dah
pasti kau dapat merobohkanku. Coba kalau
aku
tidak tertotok. Belum tentu kau dapat mero-
bohkanku.
Iya kan, Kakek Jangkung?" kata Silu-
man
Ular Putih melemparkan pendapatnya pada
Lamdaur.
"Kau
memang benar, Bocah," jawab Lam-
daur,
polos.
"Kang...!
Kenapa kau malah membela bo-
cah
tengil itu? kenapa kau tidak menghajarnya!
Kau
pilih kasih, Kang!" sembur Dewa Bogel tiba-
tiba.
Lamdaur
kebingungan. Sebentar-sebentar
diperhatikannya
adik seperguruannya. Sebentar
pandangan
matanya dialihkan pada Siluman Ular
Putih.
Meski sebenarnya amat mengagumi pemu-
da
itu karena sedikit pun pemuda itu tidak cedera
akibat
tamparan Dewa Bogel tadi, namun jelas ia
harus
berpihak pada Dewa Bogel, adik sepergu-
ruannya.
"Aku....
Aku tidak pilih kasih, Bogel. Kau
sendiri
saja yang salah. Mana mungkin aku ber-
sikap
pilih kasih. Kenal pun tidak," kilah Lam-
daur.
"Buktinya?"
"Bukti
apa?"
"Kau
tidak ikut menghajar bocah tengil itu.
Itu
berarti kau pilih kasih, Kang!"
"Ah...!"
desah Lamdaur gelisah.
"Ayo
hajar bocah tengil itu, Kang!"
"Tidak,
Bogel. Urusan kita masih banyak.
Kukira
tak ada gunanya meladeni bocah tolol itu!
Baiknya
cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak
Lamdaur.
"Kang...!"
Dewa
Bogel tak meneruskan kata-katanya
saat
melihat kakak seperguruannya telah berke-
lebat
cepat meninggalkan tempat itu. Dewa Bogel
gusar
bukan main.
"Awas,
Bocah Tengil! Lain kali aku pasti
akan
menghajarmu!" sungut Dewa Bogel.
Saat
itu juga Dewa Bogel segera menjejak-
kan
kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya melent-
ing
tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat menyu-
sul
Lamdaur. Sekejap saja sosoknya yang bundar
menghilang
di kegelapan malam.
Siluman
Ular Putih menggerutu tak ka-
ruan.
Bukan saja kesal mendapat tamparan Dewa
Bogel,
melainkan juga kesal mendapati tubuhnya
terbanting
di kubangan Lumpur
"Sial
benar nasibku hari ini! Sudah terto-
tok,
masih pula kecebur dalam kubangan lumpur
lagi!
Ugh...!" semprot Soma.
Tak
henti-hentinya. Siluman Ular Putih
mengomel.
Dalam hatinya, ia berjanji akan mem-
balas
perlakuan Dewa Bogel tadi.
***
Kalau
orang sudah terbakar api dendam,
sudah
pasti akan menuntut balas. Apa pun yang
akan
terjadi, walau nyawa taruhannya. Namun ini
bukan
berarti tanpa perhitungan. Dengan berba-
gai
macam upaya niatnya akan dilampiaskan. Ka-
lau
perlu dengan kelicikan sekalipun.
Seperti
juga yang dialami Maling Tanpa
Bayangan.
Walau telah dikalahkan Siluman Ular
Putih
dengan mudah, tetap akan menuntut balas
dendam
muridnya yang tewas di tangan Siluman
Ular
Putih. Bila mana tidak menuntut atas te-
wasnya
Raja Maling, ia merasa malu besar. Dunia
persilatan
akan mencemoohnya. Dan Maling Tan-
pa
Bayangan tak menginginkannya.
Dan
Maling Tanpa Bayangan kini berusaha
mencari
cara jitu untuk melumpuhkan Siluman
Ular
Putih. Dengan cara apakah? Itu yang dipi-
kirkannya.
Kini
setelah hampir setengah harian beru-
saha
menyembuhkan luka dalamnya akibat per-
tarungan
melawan Siluman Ular Putih, Maling
Tanpa
Bayangan duduk merenung di bawah rin-
dangnya
sebuah pohon. Udara segar siang itu tak
lagi
dihiraukan. Demikian juga luka dalamnya
yang
belum sembuh benar.
"Tak
ada pilihan lain. Aku harus menemu-
kan
Kitab Paguyuban Setan. Tak mungkin aku
dapat
melampiaskan dendam pada pemuda kepa-
rat
itu kalau belum memiliki sekaligus mempela-
jari
kitab itu!" tandas Maling Tanpa Bayangan,
dalam
hati.
Tapi
sebagai seorang tokoh sakti yang
mendapat
gelar Maling Tanpa Bayangan, mencuri
kitab
sehebat Kitab Paguyuban Setan bukanlah
satu
pekerjaan mudah. Di samping tempatnya
cukup
sulit, kitab itu pun dijaga makhluk-
makhluk
halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro.
Maling Tanpa Bayangan tahu itu. Inilah yang
menjadi
kesulitannya.
Seperti
sudah menjadi rahasia umum, se-
jak
dulu memang tersiar kabar kalau Kitab Pa-
guyuban
Setan memang menjadi incaran banyak
tokoh
sakti dunia persilatan. Ada kabar kalau ki-
tab
itu tersimpan di puncak Gunung Merapi. Tapi
ada
pula kalau tersimpan di puncak Gunung Sin-
doro
yang dijaga makhluk-makhluk halus. Dan
mereka
yang memperebutkannya tak ada yang
tahu
secara pasti. Apalagi sudah banyak tempat
yang
dicurigai telah dijelajahi, namun belum ada
yang
berhasil. Tentu saja, lain persoalannya den-
gan
Maling Tanpa Bayangan dan Pengasuh Setan.
Memang
hanya dua orang yang mengetahui
keberadaan
kitab itu. Maling Tanpa Bayangan
dan
Pengasuh Setan. Namun untuk merebut Ki-
tab
Paguyuban Setan dari tangan Pengasuh Se-
tan,
jelas bukan satu pekerjaan mudah. Kalau ti-
dak,
sudah dari dulu Maling Tanpa Bayangan da-
pat
menjarahnya.
"Apa
pun yang akan terjadi, aku harus
mencuri
Kitab Paguyuban Setan dari tangan Pen-
gasuh
Setan. Tak mungkin dendamku yang ber-
karat
ini didiamkan begitu saja. Hanya kematian
Siluman
Ular Putih sajalah api dendam dalam
dadaku
bisa reda!" geram Maling Tanpa Bayangan
penuh
kemarahan.
Saking
tegangnya, paras Maling Tanpa
Bayangan
jadi kian mengerikan. Matanya membe-
lalak
liar. Keningnya berkerut-kerut dengan ra-
hang
bergemeletakkan.
"Yah...!
Kukira sekarang juga aku harus
menyatroni
puncak Gunung Sindoro," lanjut Mal-
ing
Tanpa Bayangan, tak dapat lagi mengendah-
kan
gelegak amarahnya.
Namun
baru saja bangkit, mendadak sepa-
sang
matanya yang mencorong tajam melihat dua
sosok
tubuh telah melenggang ke arahnya. Bah-
kan
Maling Tanpa Bayangan segera bersembunyi
di
balik pohon yang besarnya tiga kali pelukan
orang
dewasa itu.
Sosok
sebelah kanan yang terlihat Maling
Tanpa
Bayangan adalah seorang lelaki tua bertu-
buh
tinggi sekali, hampir mencapai dua setengah
tombak.
Sepasang matanya berwarna hijau. Tu-
buhnya
yang kurus kerempeng dibalut pakaian
ringkas
warna hijau.
Tak
seperti sosok di sebelahnya, sosok ka-
kek
renta yang satu lagi justru memiliki ukuran
tubuh
yang jauh berlawanan. Tubuhnya teramat
pendek,
tak lebih dari setengah tombak. Perutnya
buncit
dengan pusar moncong ke depan. Kepa-
lanya
botak. Matanya juga berwarna hijau. Seki-
las
pandang, sosok kakek yang juga berpakaian
hijau
tampak seperti bola raksasa yang tengah
menggelinding.
Siapakah
dua sosok manusia aneh ini?
Mau
apa mereka gentayangan di dunia persila-
tan?
Dan mengapa pula Maling Tanpa Bayangan
tampak
terperangah kaget melihat dua manusia
aneh
itu?
"Hm...!
Lamdaur dan Dewa Bogel. Mereka
berdua
pasti sedang mencari aku...," gumam Mal-
ing
Tanpa Bayangan dalam hati,
Sedikit
pun lelaki ini tidak berani membuat
gerakan-gerakan
mencurigakan, takut terdengar
oleh
dua manusia aneh yang tak lain Lamdaur
dan
Dewa Bogel. Bahkan hembusan napasnya
sengaja
dibuat sehalus mungkin.
"Setan!
Kalau saja aku tak terluka, sudah
pasti
kuhajar dua manusia edan itu. Tapi sayang.
Luka
dalamku belum sembuh...," lanjut Maling
Tanpa
Bayangan, tetap bersembunyi di balik po-
hon.
"Kang!
Kenapa tadi kita tidak bertanya pa-
da
bocah edan yang kita tinggal itu?" tanya Dewa
Bogel.
"Bertanya
apa? Bocah sinting macam dia,
mana
tahu urusan kita?" sahut Lamdaur yang
bertubuh
jangkung.
"Kakang
Lamdaur! Jangan suka meremeh-
kan
orang! Siapa tahu bocah edan itu pernah me-
lihat
Kakang Maling Tanpa Bayangan? Kenapa
tadi
kita tidak menanyakannya?." tukas Lamdaur,
tak
mau kalah.
"Tadi
aku kesal sekali. Tak henti-hentinya
bocah
edan itu meledek kita. Siapa yang tidak
kesal?"
kilah Dewa Bogel. Lelaki tua tambun ini
jadi
kesal, karena Lamdaur sepertinya justru le-
bih
memihak Siluman Ular Putih yang tadi mere-
ka
tinggalkan.
"Aku
jadi heran. Kenapa tiba-tiba kau jadi
tak
menyukaiku, Kang? Kenapa kau justru me-
mihak
bocah edan itu? Apa benar kau mulai pilih
kasih?
Kau mulai tidak menyukaiku...," sungut
Dewa
Bogel, akhirnya tak dapat lagi mengendah-
kan
perasaannya.
"Ah...!
Kau ini ada-ada saja. Mana mungkin
aku
pilih kasih. Mana mungkin aku tak menyu-
kaimu.
Kau adalah adik seperguruanku. Jadi tak
ada
alasan kalau tak menyukaimu. Tapi kalau
kau
masih penasaran, ayo balik saja. Kita tanya-
kan
apakah bocah edan itu pernah melihat Ka-
kang
Maling Tanpa Bayangan atau tidak!"
Saat
ini Lamdaur dan Dewa Bogel telah
melewati
pohon tempat Maling Tanpa Bayangan
bersembunyi.
Dengan demikian, lelaki yang pan-
dai
mencuri itu harus memutari pohon agar tidak
terlihat.
Tentu saja dengan pengerahan tenaga da-
lam
tinggi, agar tak diketahui Lamdaur dan Dewa
Bogel.
Sementara
itu bibir Dewa Bogel tambah
lancip
saja saat memberengut begitu. Namun ma-
nakala
tangan Lamdaur menyeretnya, Dewa Bogel
menurut
saja.
Dan
menyadari dua orang yang tengah
mencari
dirinya memutar balik, diam-diam. Mal-
ing
Tanpa Bayangan menggerutu kesal. Jelas tin-
dakan
mereka itu menghambat Maling Tanpa
Bayangan
untuk keluar dari tempat persembu-
nyian.
Padahal mereka tadi sudah cukup jauh da-
ri
tempat Maling Tanpa Bayangan bersembunyi.
Saat
kedua kakek itu mulai melewati tem-
pat
persembunyiannya, Maling Tanpa Bayangan
bergerak
memutar balik agar keberadaannya tak
diketahui.
Dan saat mereka telah cukup jauh me-
lewati
pohon, buru-buru Maling Tanpa Bayangan
keluar
dari tempat persembunyiannya. Sialnya,
tanpa
disadari kakinya menginjak ranting kering.
Dan....
Krakkk!
"Eh...!
Siapa di belakang?"
Dewa
Bogel dan Lamdaur memalingkan
kepala
ke belakang.
Maling
Tanpa Bayangan menggerutu kesal.
Tubuhnya
yang telanjur keluar dari tempat per-
sembunyian
tentu saja tak dapat berkelit lagi dari
mata
Lamdaur dan Dewa Bogel. Tak ada pilihan
lain,
Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat
cepat
meninggalkan tempat itu.
"Eh...,
itu dia! Maling Tanpa Bayangan!"
tunjuk
Dewa Bogel pada Maling Tanpa Bayangan.
"Kejar!"
teriak Lamdaur pula.
Tanpa
banyak membuang waktu, Dewa
Bogel
dan Lamdaur segera menjejakkan kakinya
ke
tanah. Tubuh mereka berkelebat cepat, menge-
jar
Maling Tanpa Bayangan. Hanya dalam bebe-
rapa
kelebatan saja, sosok Lamdaur dan Dewa
Bogel
telah jauh dari tempat semula.
Tapi
sayangnya, sosok Maling Tanpa
Bayangan
sendiri pun juga telah berkelebat jauh
di
depan. Meski luka dalamnya belum sembuh
benar,
namun tak percuma mendapat gelar Mal-
ing
Tanpa Bayangan. Gerakan kedua kakinya ce-
pat
luar biasa. Hingga dalam beberapa kelebatan
saja,
sosoknya telah menghilang di balik rimbun-
nya
hutan depan sana.
Dewa
Bogel dan Lamdaur tak putus asa.
Mana
mungkin mereka melepaskan orang yang
sedang
dicarinya begitu saja. Meski sudah ter-
tinggal
cukup jauh, mereka terus mengejar hingga
masuk
ke dalam hutan.
Sesampainya
di dalam hutan, mendadak
Dewa
Bogel dan Lamdaur kehilangan buruan.
Bak
ditelan bumi, sosok Maling Tanpa Bayangan
tak
ditemukan di sekitar tempat itu. Mau tidak
mau,
mereka harus menghentikan langkah.
"Setan
Alas! Tak kusangka kakak sepergu-
ruan
kita dapat lari secepat itu. Tak heran kalau
ia
digelari Maling Tanpa Bayangan!" gerutu Dewa
Bogel
pada Lamdaur. Diam-diam hatinya menga-
gumi
ilmu meringankan tubuh Maling Tanpa
Bayangan
yang ternyata kakak seperguruan me-
reka
berdua.
"Meski
kepandaiannya tinggi, tetap saja
maling.
Kau tak pantas mengagumi maling. Ia ha-
rus
segera kita bawa ke makam guru untuk
mempertanggungjawabkan
sepak terjangnya di
dunia
persilatan!" tukas Lamdaur, tak senang.
"Siapa
yang mengagumi. Aku tak menga-
gumi
maling! Bagaimanapun juga aku tetap akan
meringkus
bajingan satu itu!" tukas Dewa Bogel
sengit.
"Ya,
sudah! Kukira kau mengaguminya,"
ujar
Lamdaur. "Ayo, kita kejar dia! Aku yakin Ka-
kang
Maling Tanpa Bayangan belum terlalu jauh
meninggalkan
kita. Pasti masih berada di sekitar
tempat
ini!"
"Baik."
Emoticon