1
Rona merah
tembaga masih menghiasi seba-
gian langit
di sebelah barat. Gumpalan awan
hitam
yang berarak
makin membuat suasana malam itu te-
rasa
mencekam. Sementara kerlip berjuta bintang ter-
lihat
terpuruk, tak berdaya menembus kegelapan ma-
lam.
Sesosok
bayangan hitam berkelebat cepat di
antara
kerapatan pohon di luar hutan Kadipaten Ple-
ret. Gerakan
kaki sosok berpakaian hitam yang begitu
ringan
membuat langkahnya terayun cepat, hingga da-
lam waktu
yang tidak lama telah sampai di luar tem-
bok batas
kadipaten. Sosok ini segera menyelinap ke
balik
rindangnya sebatang pohon. Sepasang matanya
yang
mencorong tajam terus memperhatikan tembok
tinggi di
hadapannya. Dengan senyum sinis terkem-
bang di
bibir. Sosok bayangan hitam mengalihkan
pandangan
matanya pada keempat prajurit jaga di de-
pan pintu
gerbang sebelah barat Kadipaten Pleret.
Sosok ini
terlihat semakin memperlebar se-
nyum.
Wajahnya yang kasar penuh cambang dan ku-
mis tampak
demikian menyeramkan. Rambutnya pan-
jang tergerai
sebahu. Berperut buncit dengan Sepa-
sang mata
mencorong tajam. Tubuh sosok itu tinggi
besar.
Di kepalanya
melingkar ikat kepala berwarna
hitam. Sosok
berpakaian hitam-hitam itu tidak lain
Raja Maling.
Seperti
dituturkan dalam Persekutuan Maut,
Raja Maling
kini telah bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin dan
Pelajar Agung. Atas perintah kedua orang
itu pulalah
Raja Maling hendak mencuri Lukisan Da-
rah yang
disimpan dalam ruang pusaka Kadipaten Ple-
ret.
"Hm...!
Hanya prajurit-prajurit bodoh tak ber-
guna.
Sebaiknya secepatnya aku masuk ke dalam,"
gumam Raja
Maling seraya mengangguk-anggukkan
kepala.
Senyum
sinisnya masih terkembang di bibir.
Dengan sekali
menjejakkan kaki sosok Raja Maling
meloncat ke
atas tembok. Sejenak diperhatikannya
keadaan
sekitar dengan seksama. Setelah dirasanya
aman, karena
tak ada satu prajurit jaga pun yang me-
mergoki
dirinya, Raja Maling meloncat turun lalu ber-
lari menuju
istana kadipaten.
Tiba di
samping bangunan utama istana, Raja
Maling
melesat naik ke atas wuwungan atau atap ban-
gunan istana
Kadipaten Pleret. Berkat ilmu meringan-
kan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi itu
Raja Maling
dengan mudah mengecoh para prajurit ja-
ga di sekitar
istana. Kini ia telah berada di atas wu-
wungan. Raja
Maling sejenak memperhatikan keadaan
sekitar.
"Aku
memang sudah tahu Lukisan Darah ter-
simpan di ruang
pusaka lorong bawah tanah. Tapi aku
tidak tahu
pasti di mana tempat yang dimaksudkan
guru itu.
Yang pasti di satu tempat yang sangat raha-
sia. Kukira
aku harus mengorek keterangan dari seo-
rang
prajurit," pikir Raja Maling.
Raja Maling
segera mengedarkan pandangan-
nya kembali.
Malam belum begitu larut. Tampak bebe-
rapa prajurit
jaga kadipaten siap siaga di tempat mas-
ing-masing.
Jumlah mereka jauh lebih banyak dari bi-
asanya.
Mungkin dikarenakan akan meletusnya pem-
berontakan
hingga Adipati Pleret memerintahkan un-
tuk
memperketat penjagaan. Hal ini memaksa Raja
Maling harus
berhati-hati.
Sebenarnya
mudah saja bagi tokoh sesat itu
untuk
melumpuhkan para prajurit jaga dengan ajian
'Sirep
Sukma'. Tapi menurutnya hal tersebut tak ada
gunanya. Ia
hanya ingin mengetahui di mana letak
ruang pusaka
tempat tersimpannya Lukisan Darah. Ia
cuma perlu
melumpuhkan salah seorang prajurit. Tapi
di bagian
belakang istana itu terdapat empat orang
prajurit
jaga.
Raja Maling
mengeretakkan gerahamnya seben-
tar. Lalu,
dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, Raja
Maling berkelebat lincah di atas wuwungan.
Sementara di
bawah bangunan dekat taman kesa-
triaan empat
orang prajurit tengah berjaga. Sepasang
mata mereka
dengan awas memperhatikan keadaan
sekitar.
Mendadak
keempat prajurit jaga itu dikejutkan
oleh
berkelebatnya sesosok tubuh dari atas wuwun-
gan.
Keempatnya yang memang dalam keadaan siaga
cepat
menyambuti sosok hitam itu dengan pedang di
tangan. Namun
sayang gerakan mereka terlalu lamban
dibandingkan
gerak tangan sosok hitam.
Tuk! Tuk!
Tuk! Tuk!
Empat kali
tangan Raja Maling bergerak cepat.
Terdengar
pekik keempat prajurit jaga kala tubuh me-
reka
tertotok. Sehabis menotok kaku keempat prajurit
jaga, Raja
Maling menotok urat-urat leher mereka. Se-
ketika
teriakan para prajurit jaga itu terhenti. Namun
teriakan
mereka tadi telah mengundang perhatian pra-
jurit lain
hingga ingin melihat apa yang terjadi. Men-
dengar suara
ribut-ribut, Raja Maling buru-buru me-
nyembunyikan
ketiga orang prajurit jaga ke balik seba-
tang pohon.
Sedang yang seorang diseretnya ke tempat
yang aman.
"Aku
tidak ingin menyakitimu. Tapi kalau kau
tidak mau
menuruti kemauanku, terpaksa aku akan
membunuhmu!
Sekarang cepat katakan di mana letak
ruang
pusaka?!" bentak Raja Maling garang. Suaranya
tidak begitu
lantang karena takut terdengar oleh para
prajurit.
Sepasang mata
prajurit jaga itu membelalak
liar. Kedua
bibirnya hanya berkemik-kemik tanpa se-
patah kata
pun yang terucap. Namun perasaan ngeri
mendengar
ancaman Raja Maling tampak terbayang je-
las di
wajahnya. Raja Maling cukup tahu itu. Namun ia
belum juga
bertindak. Malah lelaki itu kembali mem-
bentak
garang.
"Sekali
lagi kau tidak mau menuruti kemaua-
nku, jangan
harap aku akan mengampuni nyawamu,
Prajurit.
Cepat katakan di mana letak ruang pusaka?!"
Prajurit jaga
kembali membelalakkan matanya
liar. Dari
kilatan mata itu Raja Maling mendapat kesan
kalau
prajurit tersebut akan membuka suara.
"Baik.
Aku berjanji tidak akan membunuhmu
kalau kau mau
bicara," Raja Maling lalu menotok pulih
jalan suara
di tenggorokan prajurit itu. "Nah, sekarang
katakan di
mana letak ruang pusaka. Kalau kau berte-
riak, aku
akan segera meremukkan batok kepalamu!"
"Kau....
Kau siapa?" kata prajurit itu gemeta-
ran.
"Jangan
banyak tanya! Cepat katakan di mana
letak ruang
pusaka!"
Prajurit jaga
menelan ludahnya sebentar.
"Ruang
pusaka terletak persis di belakang ista-
na. Kau dapat
memasukinya setelah membuka pintu
batu di
samping taman. Tapi meski kau dapat masuk,
belum tentu
bisa mengalahkan orang tua aneh yang
bergelar
Penjaga Pintu."
"Jangan
banyak bacot! Aku, Raja Maling, tidak
pernah takut
pada siapa pun!" bentak Raja Maling.
Lalu
jari-jari tangannya yang besar kembali
menotok jalan
suara prajurit jaga.
Prajurit itu
kembali terbungkam walau sebe-
narnya ia
masih ingin berkata. Raja Maling sendiri se-
gera
berkelebat ke belakang istana. Gerakan kedua
kakinya
ringan sekali. Dalam beberapa kelebatan saja
Raja Maling
telah sampai di halaman belakang taman
kadipaten.
Sejenak Raja
Maling memperhatikan keadaan
seputar
taman. Sepasang matanya yang mencorong ta-
jam kini
tertuju pada batu sebesar kerbau di dekat po-
hon nangka.
"Hm...!
Ini pasti pintu batu yang dimaksud pra-
jurit itu.
Sebab di seputar taman hanya ada batu itu
saja. Aku
harus membuka pintu batu itu terlebih da-
hulu.
Mengenai orang tua aneh yang bergelar Penjaga
Pintu tak
perlu ku khawatirkan. Dengan menggunakan
aji 'Sirep
Sukma' pasti dapat kulumpuhkan orang tua
aneh
itu," kata Raja Maling dalam hati.
Raja Maling
melangkah lebar mendekati batu
sebesar
kerbau. Sesampainya di dekat batu besar Raja
Maling
tertegun bingung tak tahu apa yang harus di-
perbuat. Ia
belum menemukan cara bagaimana mem-
buka pintu
batu.
Kalau
dihancurkan jelas tidak mungkin. Di
samping batu
itu belum tentu terbuka, suara ribut dari
pecahan batu
akan mengundang para prajurit untuk
berdatangan.
Raja Maling tak menginginkan hal itu
terjadi. Maka
diputuskannya untuk mengerahkan te-
naga dalam
guna menggeser pintu batu. Sebab, keba-
nyakan tempat
rahasia yang ditutup dengan batu da-
pat dibuka
dengan cara menggesernya atau menemu-
kan alat
rahasia untuk membukanya.
"Ya.
Kukira aku harus mencari alat rahasia itu
terlebih
dahulu. Kalau tidak berhasil terpaksa aku
menggeser
pintu batu," pikir Raja Maling lebih lanjut.
Kedua telapak
tangan yang sudah gatal ingin
mendapatkan
Lukisan Darah segera meraba beberapa
bagian batu.
Sementara sepasang mata Raja Maling
begitu
seksama memperhatikan keadaan batu. Setelah
beberapa saat
lamanya Raja Maling tidak juga mene-
mukan alat
rahasia yang dicari. Raja Maling menyu-
rutkan
langkahnya setindak.
"Setan
alas! Aku hanya membuang-buang wak-
tu saja.
Seharusnya sudah sedari tadi ku geser pintu
batu keparat
itu. Baik. Sekarang juga aku akan meng-
geser pintu
batu ini!"
Raja Maling
mempersiapkan diri sejenak. Dis-
ingsingkannya
lengan baju sebelum menempelkan ke-
dua telapak
tangannya ke batu. Perlahan namun pasti
Raja Maling
mengerahkan tenaga dalam.
Krek! Krek!
Ternyata
pintu batu itu bergeser. Raja Maling
gembira bukan
main. Sedikit demi sedikit tampaklah
lobang
menganga di hadapannya. Lobang itu memang
tidak terlalu
lebar, namun cukup untuk menerobos ke
dalam. Tanpa
banyak cakap Raja Maling segera masuk
ke dalam
lobang.
Wesss!
Laksana
segumpal kapas kedua telapak kaki
Raja Maling
mendarat di lantai ruangan dengan tanpa
menimbulkan
bunyi. Sejenak Raja Maling memperha-
tikan suasana
dalam ruangan bawah tanah itu. Dari
temaramnya
sinar obor di sudut ruangan dapat terlihat
jelas
berbagai macam senjata pusaka Kadipaten Pleret.
Dan, sepasang
mata Raja Maling membeliak lebar.
Pandang
matanya tertumbuk pada sebuah lukisan
wanita
telanjang berwarna merah darah.
Raja Maling
gemetaran di tempatnya melihat
barang yang
akan dicuri itu. Lukisan di sudut ruangan
tersebut
memang cukup menggetarkan hati. Bukan sa-
ja karena
Raja Maling ingin mencuri lukisan itu, ha-
tinya juga
tergetar melihat sepasang buah dada yang
membusung
dalam lukisan berwarna merah darah.
Bagian
pahanya tertutup kain tipis berwarna putih.
Raja Maling
terangsang melihat pemandangan indah di
hadapannya.
Padahal ia tahu itu hanyalah sebuah lu-
kisan. Konon,
warna merah dalam lukisan itu adalah
darah perawan
yang digunakan untuk melukis.
"Lukisan
hebat.... Aku harus secepatnya men-
gambil
lukisan itu!" desis Raja Maling.
Perlahan-lahan
Raja Maling mulai melangkah
mendekati.
Baru saja dua langkah kakinya terayun,
mendadak ia
dikejutkan oleh bentakan garang seseo-
rang. Disusul
berkelebatnya sesosok bayangan.
"Siapa
pun adanya kau pasti mempunyai mak-
sud tidak
baik! Nyawamulah sebagai tebusan kelan-
canganmu
memasuki ruang pusaka bawah tanah ini!"
***
Raja Maling
membelalakkan mata lebar-lebar.
Di hadapannya
kini telah tegak seorang kakek berusia
delapan puluh
tahunan. Rambutnya yang panjang
memutih
digelung ke atas. Tubuhnya tinggi kurus, di-
balut jubah
besar warna kuning. Tangan kanan kakek
itu
menggenggam sebatang tongkat berkepala ular ko-
bra yang juga
berwarna kuning.
"Hm...!
Inikah orang tua aneh yang bergelar
Penjaga
Pintu?" gumam Raja Maling dalam hati. "Aku
harus
berhati-hati. Melihat kemunculannya yang sama
sekali tidak
terdengar olehku, bukan mustahil orang
tua di
hadapanku ini memiliki kepandaian tinggi"
"Sebaiknya
enyahlah kau dari hadapanku, Tua
Bangka Busuk!
Percuma saja kau menghadapi Raja
Maling. Aku
memang mempunyai maksud tidak baik.
Aku
menginginkan Lukisan Darah!"
Orang tua
aneh yang bergelar Penjaga Pintu
terkesiap
kaget. Dadanya sedikit ditarik ke belakang.
Lalu, dengan
sepasang mata berkilat-kilat Pen-
jaga Pintu
membentak Raja Maling.
"Bedebah!
Kau pikir gampang mewujudkan
niatmu, Raja
Maling? Boleh saja kau curi lukisan itu
kalau dapat
melangkahi mayatku terlebih dahulu!"
Raja Maling
tersenyum sinis. Tampak sekali ka-
lau ia tidak
takut menghadapi Penjaga Pintu. Malah
dengan
sedikit mencibirkan bibir Raja Maling terus
melangkah
tanpa peduli. Namun baru beberapa lang-
kah, Raja
Maling merasakan berkesiurnya angin dingin
yang
menyambar dada.
"Keparat!
Berani kau menghalangi maksudku,
he?!"
bentak Raja Maling seraya mengibaskan tangan
kanan.
Seketika, serangkum angin dingin dari kibasan
tangan itu
memapaki pukulan Penjaga Pintu.
Bummm...!
Raja Maling
memekik kaget. Tubuhnya terpen-
tal ke
belakang hingga membentur dinding.
"Setan
alas! Tak kusangka tenaga dalam orang
tua ini
begitu tinggi. Tak salah apa yang dikatakan
prajurit jaga
tadi. Aku harus berhati-hati!" geram Raja
Maling.
Penjaga Pintu
kembali menyerang Raja Maling.
Diiringi
teriakan nyaring kedua telapak tangannya
yang berubah
kekuningan hingga ke pangkal siku me-
luruk maju.
Raja Maling
menggerutu dalam hati. Belum
sempat
serangan Penjaga Pintu mengenai sasaran, an-
gin dingin
telah berkesiur menyambar-nyambar tu-
buhnya.
Raja Maling
kesal bukan main. Bukan kesal
melihat
datangnya serangan, melainkan kesal men-
dengar
teriakan Penjaga Pintu yang tentu mengundang
para prajurit
jaga. Maka begitu melihat datangnya se-
rangan, Raja
Maling segera mendorong kedua telapak
tangannya
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Heaaa...!"
Dikawal
bentakan keras Raja Maling memapaki
pukulan
Penjaga Pintu. Terdengar ledakan dahsyat
memenuhi
ruangan. Batu-batu kecil dari atap ruangan
jatuh
berguguran.
Raja Maling
sendiri memekik keras. Tubuhnya
terlempar,
dan untuk kedua kali membentur tembok di
belakangnya.
Parasnya langsung berubah pias. Darah
segar
mengalir dari sudut-sudut bibir. Agaknya Raja
Maling
menderita luka dalam cukup hebat.
Di hadapannya
Penjaga Pintu terhuyung-
huyung
beberapa langkah ke belakang. Namun hanya
sebentar.
Setelah dapat menguasai keseimbangan ba-
dan, Penjaga
Pintu kembali menyerang Raja Maling.
Kedua telapak
tangannya yang berwarna kuning siap
menghajar
tubuh lawan.
Raja Maling
mengeluh. Dalam dua kali gebra-
kan, jelas
tadi tenaga dalamnya masih kalah beberapa
tingkat di
bawah lawan.
"Kalau
begini caranya aku bisa modar. Aku ha-
rus
secepatnya mengeluarkan aji 'Sirep Sukma'," pikir
Raja Maling.
Lelaki itu
segera mengerahkan kekuatan batin-
nya. Kedua
bibirnya berkemik-kemik membacakan
mantra ajian
'Sirep Sukma'. Selang beberapa saat,
mendadak
Penjaga Pintu menghentikan serangannya.
Sepasang
matanya membelalak lebar. Namun, menda-
dak pula
sepasang mata itu meredup seolah-olah dis-
erang rasa
kantuk yang luar biasa.
Raja Maling
tertawa gembira. Di saat Penjaga
Pintu
berusaha melawan rasa kantuk yang menye-
rangnya,
kedua telapak tangan Raja Maling menghan-
tam ke depan.
Bukkk! Bukkk!
Penjaga Pintu
memekik keras. Tanpa ampun
lagi tubuhnya
yang tinggi kurus langsung terlempar ke
belakang bak
layangan putus dari benangnya, lalu
menghantam
dinding ruangan.
"Itulah
akibatnya bagi orang yang berani mela-
wan Raja
Maling!" desis Raja Maling penuh kemenan-
gan.
Penjaga Pintu
merintih kesakitan. Telapak tan-
gannya
mendekap dada erat-erat. Sebelah tangan yang
lain
menggapai-gapai dinding ruangan berusaha untuk
bangkit.
Namun sayang tubuhnya kembali luruh ke
lantai. Dan
di saat Raja Maling melangkah mendekati
Lukisan Darah
yang keramat, dengan napas tersengal
Penjaga Pintu
berteriak sekeras mungkin.
"Ma....
Maling...!"
Habis
berteriak, kepala Penjaga Pintu jatuh ter-
kulai dan
tidak bergerak-gerak lagi. Mendengar teria-
kan tadi Raja
Maling jadi gusar bukan main. Buru-
buru
didekatinya Lukisan Darah lalu segera menyam-
barnya. Dengan
ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai
tingkat tinggi, Raja Maling berkelebat cepat
keluar dari
ruangan bawah tanah.
"Hea...!"
Sekali
menjejakkan kakinya tubuh tinggi besar
Raja Maling
telah melesat cepat. Namun baru saja ke-
dua telapak
tangan Raja Maling mendarat di luar
ruangan,
terdengar teriakan-teriakan beberapa orang.
"Maling!
Ia mencuri Lukisan Darah!"
"Tangkap
maling itu!"
"Kita
cincang sampai lumat!"
Raja Maling
menggeram penuh kemarahan. Ka-
lau
menurutkan perasaan ingin ia menghajar prajurit-
prajurit jaga
itu. Namun Raja Maling berpikir lain. Ba-
gaimanapun
juga ia tidak ingin bentrok dengan para
prajurit
Kadipaten Pleret. Jika akhirnya harus kehilan-
gan Lukisan
Darah. Malah bukan mustahil nyawanya
turut
melayang.
Begitu
melihat beberapa prajurit Kadipaten Ple-
ret berlarian
mengejar dirinya, Raja Maling menjejak-
kan kakinya
ke tanah dan berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Sosok tinggi besar Raja Maling dengan ce-
pat
menghilang di kegelapan malam.
Sambil
berteriak-teriak nyaring para prajurit
Kadipaten
Pleret terus melakukan pengejaran. Bahkan
beberapa
tokoh sakti kadipaten turut mengejar. Sa-
yang, ilmu
meringankan tubuh tokoh-tokoh sakti Ka-
dipaten
Pleret masih di bawah kepandaian ilmu Raja
Maling.
Sebentar saja mereka telah kehilangan jejak
buruannya.
Prajurit-prajurit
kadipaten merasa kecewa. Na-
mun apa boleh
buat. Mereka telah kehilangan jejak si
pencuri.
Dengan sangat terpaksa mereka segera mela-
porkan
hilangnya Lukisan Darah pada Adipati Pleret.
Sang adipati
murka bukan main. Saat itu juga
Adipati
Pleret memerintahkan beberapa tokoh sakti
kadipaten
untuk mencari sampai ketemu orang yang
telah mencuri
Lukisan Darah.
***
2
Malam itu
angin berhembus sangat kencang.
Ranting-ranting
pohon di luar Kadipaten Pleret saling
berderak,
seolah-olah mengisyaratkan pada seluruh
penghuni alam
mayapada agar selalu mengingat Yang
Maha di Atas.
Karena hanya Yang Maha di Atas sajalah
yang memiliki
kekuasaan begitu besar. Mendatangkan
angin dan
membiarkan rembulan bersinar terang, se-
perti suasana
malam itu.
Dalam
terangnya sinar rembulan sesosok tu-
buh
berpakaian putih keperakan tampak berdiri tegak
di bibir
sebuah jurang dalam Hutan Pager Kukuh.
Suatu hutan
lebat di sebelah barat Kadipaten Pleret.
Bak tonggak
kaku sosok berpakaian putih keperakan
itu terus
memperhatikan nyala obor di bawah jurang.
Sosok itu
adalah seorang pemuda tampan ber-
wajah polos
kekanak-kanakan. Usianya kira-kira dela-
pan belas
tahun. Rambutnya tergerai di bahu. Rompi
bersisiknya
yang berwarna putih keperakan terlihat
berkibar-kibar
tertiup angin. Tampaklah senjata pusa-
ka yang
berupa anak panah bercakra kembar. Cukup
unik memang
senjata anak muda bergelang akar bahar
di kedua
pergelangan tangannya itu. Pemuda tampan
tersebut
tidak lain murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sepasang
matanya yang tajam bak sepasang mata ra-
jawali terus
memperhatikan nyala obor. Entah kenapa
tiba-tiba
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menge-
rutkan
kening.
"Heran.
Tak kusangka di tempat sesunyi ini
terdapat
sebuah bangunan megah. Aku dapat melihat-
nya dengan
samar-samar. Jangan-jangan tempat itu
yang menjadi
markas gerombolan pemberontak Partai
Kawula
Sejati? Bisa jadi!" gumam Soma pelan.
Dan
kenyataannya, di bawah jurang Sana me-
mang terdapat
banyak nyala obor. Dibantu dengan te-
rangnya sinar
rembulan tampaklah sebuah bangunan
megah. Tempat
itulah yang menjadi sarang kaum
pemberontak
Partai Kawula Sejati.
"Ya...!
Aku yakin pasti tempat itulah markas
kaum
pemberontak Pimpinan Pangeran Pemimpin. Ka-
lau tidak, di
mana lagi? Aku sudah berputar-putar di
sekitar hutan
ini. Aku harus secepatnya ke sana. Salah
seorang Putri
Kadipaten Pleret yang bernama Putri Se-
kartaji saat
ini tengah menjadi tawanan Pangeran Pe-
mimpin. Aku
harus secepatnya membebaskan Putri
Sekartaji. Kalau perlu sekalian menumpas manusia-
manusia
pemberontak itu!" kata Soma lagi berkata
sendirian.
Murid Eyang Begawan
Kamasetyo yang bergelar
Siluman Ular Putih itu pun hendak meninggalkan
tempat
tersebut. Namun baru saja kakinya akan di-
ayunkan,
sepasang matanya yang tajam melihat se-
sosok tubuh
berpakaian hitam-hitam tengah mengen-
dap-endap
menuruni jurang itu.
Soma curiga
dibuatnya. Sosok hitam itu seo-
rang
laki-laki bertubuh tinggi besar. Tangan kanannya
menenteng
sebuah pigura berisi lukisan dalam kea-
daan
terbalik. Tatkala sosok hitam itu membalikkan
badan barulah
Soma dapat melihat kalau lukisan ter-
sebut
ternyata bergambar seorang wanita telanjang.
Itulah
Lukisan Darah yang baru saja dicuri Raja Mal-
ing! Dan
melihat ciri-ciri sosok berpakaian hitam me-
mang dialah
tokoh sesat itu.
"Ooooi...!
Siapa di situ?!" teriak Soma lantang.
Tubuhnya
segera berkelebat mendekati Raja Maling.
Raja Maling
terkesiap kaget. Tidak disangka dia
akan bertemu
seseorang yang tak dikenal di dekat
markas Partai
Kawula Sejati.
"Hm...!
Siapakah kunyuk gondrong ini? Apakah
ia salah
seorang tokoh sakti kadipaten yang ditu-
gaskan untuk
menangkap aku? Atau, bisa jadi seorang
mata-mata
Kadipaten Pleret?" gumam Raja Maling.
Soma
mengerutkan kening. Sepasang matanya
terus
memperhatikan lukisan telanjang di tangan Raja
Maling.
Tiba-tiba murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
tersenyum.
"Lukisanmu
sungguh menarik, Orang Tua? Ta-
pi kenapa
harus bergambar wanita telanjang? Meski
sebenarnya
aku senang sekali melihatnya. Hebat! Ru-
panya kau
seorang pelukis andal. Siapa namamu,
Orang
Tua?"
Raja Maling
menyipitkan mata. Dipandanginya
pemuda
gondrong di hadapannya lekat-lekat.
"Kau ini
bagaimana sih, Orang Tua? Ditanya
kok malah
memandangi. Apa memang begini watak
seorang
pelukis. Kukira tidak, kan? Lantas kenapa kau
tampak
uring-uringan begitu?"
"Jangan
banyak bacot! Siapa kau sebenarnya.
Dan mau apa
kau datang ke tempat ini?!" bentak Raja
Maling.
"Ah...!
Rupanya benar. Ternyata kau pemarah,
Orang Tua.
Tapi tidak apa-apa. Aku senang berkenalan
dengan
seorang pemarah. Namaku Soma. Seorang
pengembara
miskin lagi bodoh. Mengenai maksudku
menemuimu
sekarang, aku hanya ingin bertanya apa
benar tempat
di bawah jurang sana itu markas Partai
Kawula Sejati
yang ingin memberontak?"
Raja Maling
makin menyipitkan mata. Ia ber-
tanya-tanya sendiri
dalam hati. Siapa pemuda di ha-
dapannya ini
sebenarnya? Melihat sikapnya yang keto-
lol-tololan
pasti ia bukan mata-mata kadipaten mau-
pun tokoh
sakti yang ditugaskan untuk menangkap di-
rinya. Tapi
kenapa ia menanyakan markas Partai Ka-
wula Sejati?
Apa ia ingin bersekutu dengan tokoh-
tokoh lainnya
yang ingin membantu perjuangan Pan-
geran
Pemimpin?
"Kalau
memang itu adalah markas Partai Kawu-
la Sejati,
kau mau apa, Bocah? Apa kau ingin berga-
bung dengan
Pangeran Pemimpin? Kau kira mudah,
he! Jangankan
pemuda dungu macam kau, aku sendiri
belum tentu
diterima menjadi anggota Partai Kawula
Sejati kalau
tidak berhasil mencu...," hampir saja Raja
Maling
kelepasan bicara.
"Mencuri
maksudmu? Jadi kau pencuri? Apa
kau mencuri
lukisan itu, Orang Tua?"
"Jangan
banyak bacot! Aku pencuri kek, tidak
kek, itu
bukan urusanmu!" bentak Raja Maling.
Habis
membentak, Raja Maling bergegas hen-
dak
meninggalkan tempat itu. Namun pemuda gon-
drong di
hadapannya telah menghadang langkahnya.
"Tunggu
dulu, Orang Tua. Kau belum menja-
wab
pertanyaanku. Kau tidak boleh meninggalkanku
begitu
saja."
"Kau mau
apa sebenarnya? Apa kau tidak tahu
tengah
berhadapan dengan siapa, he?!"
"Aku...
aku memang belum tahu siapa kau,
Orang Tua.
Tapi melihat gerak-gerikmu bukan musta-
hil kau
seorang pencuri. Kalau tidak, kenapa kau ta-
kut bertemu
aku? Jadi benar kau pencuri kan?"
Raja Maling
tertawa bergelak.
Entah kenapa
Soma jadi ikut-ikutan tertawa.
Dan sambil
menuding-nudingkan telunjuk jarinya ke
muka Raja Maling,
Soma pun berkata, "Melihat tam-
pangmu yang
memuakkan kau pasti seorang pencuri
cabul. Mana
ada maling yang sudi mencuri lukisan
bergambar
wanita telanjang. Ah...! Jangan-jangan kau
orang sakit,
Orang Tua. Kau menginginkan gambar
wanita
telanjang itu daripada melihat tubuh seorang
wanita. Untuk
apa? Untuk dikeloni, ya?" ejek Soma.
Seketika Raja
Maling menghentikan tawanya.
Sepasang
matanya mendadak mencorong tajam mem-
perhatikan
pemuda gondrong di hadapannya.
"Tutup
mulutmu, Bocah! Aku, Raja Maling, be-
lum pernah
membiarkan orang lain menghinaku. Dan
karena kau
telah menghinaku, maka nyawamulah se-
bagai
tebusannya!"
Soma alias
Siluman Ular Putih sedikit pun ti-
dak takut
mendengar ancaman Raja Maling. Malah ia
makin memperkeras
suara tawanya.
"Jadi
kaukah yang bergelar Raja Maling? Pan-
tas!
Tampangmu memang seram. Tapi aku benar-
benar tidak
mengerti. Tak kusangka Raja Maling yang
kesohor itu
hanyalah seorang laki-laki sakit. Senang-
nya mengeloni
gambar wanita telanjang dibandingkan
memeluk tubuh
seorang wanita cantik!" ejek Siluman
Ular Putih
makin menjadi.
"Setan
alas! Kau harus membayar mahal peng-
hinaanmu ini,
Bocah! Terimalah kematianmu hari ini.
Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Raja Maling lang-
sung mengirimkan
serangan untuk menggempur Silu-
man Ular
Putih. Sambil memegangi lukisan di tangan
kiri, Raja
Maling melontarkan bogem mentahnya ke
muka Soma.
Dengan jurus itu ia ingin merobohkan
pemuda
gondrong di hadapannya.
Plak!
Siluman Ular
Putih mengayunkan tangan ka-
nan untuk
menangkis jotosan Raja Maling. Akibatnya,
Raja Maling
kontan memekik kaget. Tangan kanannya
terasa ngilu
bukan main seperti membentur tembok
baja.
Menyadari
musuhnya memiliki kepandaian
yang lumayan,
Raja Maling menggembor penuh kema-
rahan. Tanpa
disadari telapak tangan kanannya hingga
ke pangkal
siku telah berubah hitam legam.
"Hea...!"
Raja Maling
menggembor keras seraya mendo-
rong telapak
tangan kanannya ke depan. Seketika sele-
ret sinar
hitam melesat siap melabrak tubuh Siluman
Ular Putih.
Bersamaan dengan datangnya serangan,
bertiup angin
panas yang menyambar-nyambar tubuh
lawan. Tentu
saja Siluman Ular Putih tidak membiar-
kan tubuhnya
jadi sasaran empuk. Dengan mengerah-
kan pukulan sakti
tenaga 'Inti Bumi', Soma memapaki
pukulan Raja
Maling.
Bummm...!!
Satu ledakan
dahsyat tercipta akibat perte-
muan dua
tenaga dalam. Tenaga pukulan Raja Maling
berhamburan
menghantam ranting-ranting pohon
hingga hangus
terbakar.
Tubuh Raja
Maling sendiri terpental ke bela-
kang
menghantam batang pohon. Seisi dadanya ter-
guncang
hebat. Soma memegangi dadanya, Raja Mal-
ing segera
meloncat bangun. Bukannya hendak me-
nyerang
Siluman Ular Putih, melainkan berkelebat ce-
pat
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu
pembalasanku, Kunyuk Gondrong!
Sayang sekali
hari ini aku tak ada nafsu untuk men-
jajal
kepandaianmu. Tapi, ingat. Raja Maling tidak
pernah
membiarkan orang yang telah menghinanya
hidup lebih
lama!" teriak Raja Maling dari kejauhan.
Siluman Ular
Putih hanya menggaruk-garuk
kepala. Ia
tidak berkeinginan mengejar Raja Maling.
Karena
menurutnya ia tidak pernah mempunyai masa-
lah dengan
tokoh sesat itu. Di samping itu Soma be-
lum yakin
kalau Raja Maling telah mencuri seperti
yang
dikatakannya tadi.
Jika saja
Siluman Ular Putih tahu kalau luki-
san di tangan
Raja Maling adalah lukisan keramat mi-
lik Kadipaten
Pleret, bukan mustahil ia akan mengejar
Raja Maling
untuk merebut kembali lukisan itu. Na-
mun sayang
Siluman Ular Putih tidak tahu. Ini suatu
keberuntungan
bagi Raja Maling. Dengan lukisan itu-
lah Pangeran
Pemimpin ingin menyingkap harta karun
yang
tersembunyi.
"Ah...!
Kenapa tadi kubiarkan Raja Maling me-
larikan diri.
Harusnya aku menangkapnya. Terus te-
rang aku
mulai curiga. Kulihat Raja Maling terus ber-
kelebat ke
dasar jurang di mana markas Partai Kawula
Sejati
berada. Jangan-jangan Raja Maling memang sa-
lah seorang
anggota partai itu. Bodohnya aku! Se-
karang aku
mulai mengerti. Raja Maling akan diterima
jadi anggota
partai asal ia berhasil mencuri sesuatu.
Ya....
Lukisan itu. Tapi ada apa sebenarnya dengan lu-
kisan itu
hingga Pangeran Pemimpin memerintahkan
Raja Maling
untuk mencurinya? Pasti mengandung se-
suatu yang
berharga. Aku harus menyelidikinya," kata
murid Eyang
Begawan Kamasetyo sambil mengangguk-
anggukkan
kepala.
Tekad Soma
untuk menyelidiki Partai Kawula
Sejati makin
menjadi. Tanpa banyak pikir lagi murid
Eyang Begawan
Kamasetyo berkelebat cepat menuruni
jurang.
Tujuannya sudah pasti bangunan markas Par-
tai Kawula
Sejati.
***
3
"Bagus!
Cepat serahkan gadis itu!" kata seseo-
rang dari
kursi kebesarannya.
Ia seorang
laki-laki berusia empat puluh tahun.
Mengenakan
pakaian bangsawan Jawa. Wajahnya pu-
tih bersih.
Sikapnya lembut seperti kebanyakan priyayi
kadipaten.
Dan, kenyataannya ia memang masih ketu-
runan Adipati
Pleret Tua dari seorang selir. Namanya
Raden Sembodo
atau lebih terkenal dengan julukan
Pangeran
Pemimpin.
Orang yang
diperintah laki-laki itu adalah seo-
rang guru dan
murid dari Gunung Lawu. Yang sebelah
kanan seorang
kakek berusia enam puluh tahun. Wa-
jahnya
garang. Tubuhnya yang pendek kurus mirip
orang
cacingan dibalut pakaian ketat warna hitam. La-
ki-laki yang
tidak lain Bajing Ireng itu mengangguk-
anggukkan
kepala sambil mengetuk-ngetukkan tong-
kat hitamnya
di lantai.
Di sebelahnya
berdiri seorang pemuda gagah
berusia dua
puluh dua tahun. Mengenakan pakaian
ketat warna
biru. Rambutnya yang panjang sebahu di-
kuncir
sebagian ke belakang. Di pinggangnya tam-pak
tergantung
sebilah pedang. Pemuda ini bergelar Bajing
Biru.
Kedua guru
dan murid dari Gunung Lawu itu
berkeinginan
untuk bersekutu dengan Pangeran Pe-
mimpin. Maka
sebagai tanda kesungguhan, mereka
menangkap
seorang gadis cantik yang masih terhitung
adik Adipati
Pleret yang sekarang.
Melihat
tengah berhadapan dengan orang yang
sangat
dikenalnya, gadis cantik di samping Bajing
Ireng dan
Bajing Biru melototkan mata heran. Kalau
saja jalan
suaranya tidak tertotok sudah pasti Putri
Sekartaji
akan bertanya. Untuk apa ia dihadapkan pa-
da Pangeran
Pemimpin yang masih terhitung kakak ti-
rinya?
"Apa ini
berarti kau telah menerima kami seba-
gai anggota
Partai Kawula Sejati, Pangeran Pemimpin?"
kata Bajing
Ireng membuka suara.
"Pasti.
Asal kau mau tunduk dan setia di bawah
perintahku,
aku akan menerima kalian menjadi anggo-
ta Partai
Kawula Sejati," sahut. Pangeran Pemimpin
penuh wibawa.
"Terima
kasih. Kami pasti tidak akan mengece-
wakan mu,
Pangeran Pemimpin."
"Baik.
Sekarang serahkan gadis itu padaku.
Kau lepaskan
dulu totokannya!" kata Pangeran Pe-
mimpin seraya
mengerling ke arah Bajing Ireng.
Bajing Ireng
yang sudah cukup pengalaman
tentu saja
mengerti maksud kerlingan mata Pangeran
Pemimpin.
Tanpa banyak, cakap Bajing Ireng mele-
paskan
totokan gadis itu. Namun tidak melepaskan to-
tokan di
tubuhnya. Habis menotok pulih jalan suara
Putri
Sekartaji, Bajing Ireng menyerahkan gadis cantik
itu di
hadapan Pangeran Pemimpin dan kembali ke
tempatnya
semula.
"Kangmas
Sembodo! Apa sebenarnya yang
Kangmas
inginkan? Untuk apa Kangmas menang-
kapku?"
Putri Sekartaji tak dapat menyembunyikan
perasaan
heran. Meski dalam hatinya marah sekali
dengan
tindakan kakak tirinya, namun Putri Sekartaji
masih dapat
menahan.
"Tenanglah,
Nimas Putri Sekartaji. Kalau kau
mau menuruti
kemauanku, tentu aku tidak akan me-
nyakitimu,"
bujuk Pangeran Pemimpin.
"Tidak,
Kangmas. Aku tidak akan tenang kalau
Kangmas belum
mengatakan maksud Kangmas mena-
hanku dan
mengapa Kangmas keluar dari kadipaten?
Apa yang
Kangmas inginkan? Apa Kangmas tidak ingin
berkumpul
dengan Kangmas Adipati?"
Pangeran
Pemimpin yang bernama asli Raden
Sembodo hanya
tersenyum tipis. Namun dari tarikan
senyumannya
jelas ia tengah menyembunyikan suatu
kelicikan.
Entah kelicikan apa, Putri Sekartaji belum
tahu.
"Sudahlah,
Nimas. Kau tak usah banyak tanya.
Pokoknya kau
turuti saja kemauanku. Nanti kau akan
tahu sendiri
apa yang Kangmas inginkan," habis ber-
kata begitu,
Pangeran Pemimpin memalingkan kepa-
lanya ke arah
salah seorang anggota Partai Kawula Se-
jati.
"Sentono! Tolong kau bawa adikku ini ke kamar!"
"Baik,
Ketua!"
Orang yang
dipanggil Sentono segera meloncat
bangun. Namun
ketika ia hendak melangkah mende-
kati Putri
Sekartaji, semua yang berada di ruang pen-
dopo markas
Partai Kawula Sejati mendengar suara
tawa bergelak
dari pintu masuk pendopo.
"Ha ha
ha...! Rupanya kau memang bernasib
mujur,
Pangeran Pemimpin! Kini aku telah menda-
patkan apa
yang kau inginkan!"
***
Seketika
Pangeran Pemimpin dan semua orang
di ruang
pendopo memalingkan kepala ke arah da-
tangnya
suara. Di depan pintu masuk tampak seorang
laki-laki
bertubuh tinggi besar tengah melangkah ma-
suk. Di
tangan kanan lelaki itu tergenggam sebuah lu-
kisan
bergambar seorang wanita telanjang. Itulah Lu-
kisan Darah
yang sangat diinginkan Pangeran Pemim-
pin.
"Lukisan
Darah...!" desis Pangeran Pemimpin
hampir
bersamaan dengan Pelajar Agung yang duduk
di
sampingnya.
Putri
Sekartaji kontan membelalakkan mata le-
bar-lebar. Ia
yang semula tidak begitu tertarik melihat
kedatangan
Raja Maling kini segera menolehkan kepa-
la memandang
sosok berpakaian hitam-hitam itu. Se-
ketika Putri
Sekartaji memekik kaget.
"Ya,
ampun! Apa sebenarnya yang diinginkan
Kangmas
Sembodo? Kenapa Kangmas menyuruh se-
seorang
mencuri Lukisan Darah? Untuk apa?!" desis
Putri
Sekartaji gusar bukan main. "Kangmas! Kau...
kau...,"
saking gusarnya Putri Sekartaji tak dapat me-
neruskan
ucapannya. Hanya sepasang matanya berki-
lat-kilat
memperhatikan Pangeran Pemimpin dan Raja
Maling
bergantian.
"Diamlah
kau, Nimas!" bentak Pangeran Pe-
mimpin tak
senang. Lalu kembali meneruskan uca-
pannya kepada
Sentono. "Sentono! Kenapa kau tidak
lekas membawa
adikku yang cantik ini ke kamar?
Hayo, lekas
bawa Nimas Putri Sekartaji ke kamar!"
"Baik!"
Sentono
kembali meneruskan langkahnya
mendekati
Putri Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu
menggeram
penuh kemarahan. Namun ketika tangan
kekar Sentono
menyambar lengannya, Putri Sekartaji
hanya bisa
melontarkan umpatan serapah. Apalah
yang bisa ia
perbuat. Dalam keadaan tertotok seperti
itu tak
mungkin Putri Sekartaji bisa berbuat banyak.
Paling hanya
bisa melototkan mata ketika tubuhnya
diseret masuk
ke kamar.
Pangeran
Pemimpin mencibirkan bibir sinis.
Sedikit pun
ia tidak merasa kasihan mendengar ratap-
tangis Putri
Sekartaji. Malah kini dengan sikap yang
angkuh
Pangeran Pemimpin kembali memalingkan ke-
pala ke arah
Raja Maling.
"Raja
Maling! Kuhargai hasil kerjamu kali ini.
Aku senang
sekali kau berhasil mendapatkan Lukisan
Darah yang
sangat kuinginkan. Majulah kemari, Raja
Maling!"
"Baik."
Raja Maling
melangkah ke depan dan duduk di
hadapan
ketuanya. Pangeran Pemimpin segera memin-
ta lukisan di
tangan Raja Maling. Dan dengan senang
hati Raja
Maling menyerahkan lukisan hasil curiannya.
Pangeran
Pemimpin mengamatinya dengan
seksama. Di
sampingnya Pelajar Agung turut memper-
hatikan
lukisan tersebut.
"Bagaimana
sobatku, Pelajar Agung? Apakah
lukisan ini
asli?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Hm...!"
Pelajar Agung sejenak menghela napas.
"Tampaknya
lukisan ini asli, Pangeran Pemimpin. Tapi
apakah kau
sudah tahu bagaimana cara menyingkap
rahasia dalam
lukisan ini?"
Pangeran
Pemimpin tidak menyahut. Ia hanya
mengangguk-anggukkan
kepala seraya mengalihkan
perhatiannya
pada Raja Maling.
"Apakah
kau tahu bagaimana caranya me-
nyingkap
rahasia dalam Lukisan Darah ini, Raja Mal-
ing?"
kata Pangeran Pemimpin pada Raja Maling yang
tengah
menegakkan dadanya di tempat duduk karena
rasa bangga.
Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa
dialah yang
paling berjasa.
"Sebagai
murid Maling Tanpa Bayangan tentu
saja aku tahu
bagaimana cara menyingkap rahasia da-
lam Lukisan
Darah itu, Pangeran Pemimpin!" kata Raja
Maling dengan
suara lantang.
"Kalau
begitu cepat katakan bagaimana ca-
ranya aku
menyingkap rahasia itu. Nanti kalau per-
juangan kita
berhasil, aku akan mengangkatmu men-
jadi pejabat
tinggi di Kadipaten Pleret!" sahut Pangeran
Pemimpin tak
sabar.
Raja Maling
sejenak mengedarkan pandangan
ke arah semua
yang hadir di ruang pendopo. Lalu den-
gan senyum
terkembang di bibir, Raja Maling pun ber-
kata,
"Tanpa kau perintah pun aku akan mengatakan-
nya padamu.
Nah. Sekarang kau perintahkanlah bebe-
rapa orang
anak buah kita untuk mencari darah pera-
wan kembar.
Sebab hanya dengan menyiramkan darah
perawan
kembar pada lukisan itu, rahasia Lukisan Da-
rah akan
tersingkap. Dan dengan mudah kau akan
mendapatkan
harta karun yang berlimpah dari peta
yang
tergambar dalam Lukisan Darah, Pangeran Pe-
mimpin!"
Tanpa sadar,
Pangeran Pemimpin menelan lu-
dahnya
sendiri saking girangnya mendengar keteran-
gan Raja
Maling. Kemudian dengan tanpa pikir pan-
jang lagi,
Pangeran Pemimpin memerintahkan bebera-
pa anak
buahnya untuk mencari darah perawan kem-
bar.
Iblis Muka
Merah dan Setan Mayat Merah yang
diperintahkan
untuk mencari darah perawan kembar
segera
meloncat bangun dan berkelebat meninggalkan
ruangan
pendopo.
"Sekarang
apa rencana kita selanjutnya, So-
batku Pelajar
Agung? Apa kau ada rencana lain?"
tanya
Pangeran Pemimpin pada pembantu utamanya
yang duduk di
sampingnya.
"Kukira
kita tak perlu banyak mengatur renca-
na. Sekarang
kita tinggal menunggu hasil kerja Iblis
Muka Merah
dan Setan Mayat Merah. Nanti kalau kita
sudah dapat
menyingkap rahasia dalam Lukisan Da-
rah, baru
kita mengatur siasat bagaimana caranya
menggempur
Kadipaten Pleret," kata Pelajar Agung ka-
lem.
Pangeran
Pemimpin mengangguk-anggukkan
kepala.
"Tapi sebentar!" ujar Pangeran Pemimpin tiba-
tiba.
Mulutnya didekatkan ke telinga Pelajar Agung.
"Dengarlah
rencanaku, Sobatku. Bagaimana kalau aku
memaksa
Adipati Pleret untuk menyerahkan kekua-
saannya
padaku? Ia pasti tidak akan berkutik kalau
ku
paksa."
"Maksudmu
kau ingin memanfaatkan adik tiri-
mu yang
cantik itu?" kata Pelajar Agung yang dapat
menebak
maksud Pangeran Pemimpin.
"Ah...!
Tak kusangka kau juga demikian licik-
nya, Sobatku.
Tapi kukira untuk menghemat biaya se-
kaligus untuk
mengurangi jatuhnya korban sebaiknya
aku memang
harus memanfaatkan adik tiriku. Kalau
aku mengancam
ingin membunuhnya, mustahil adipa-
ti keparat
itu tidak mau menyerahkan kekuasaannya
padaku!"
kata Pangeran Pemimpin setengah mengge-
ram.
"Lalu
bagaimana dengan rahasia Lukisan Da-
rah itu? Apa
kau juga masih tertarik?"
"Tentu
saja, Sobatku. Dengan mendapatkan
harta karun
yang terkandung dalam Lukisan Darah,
sudah pasti
aku akan bisa memanfaatkannya. Kita
membutuhkan
banyak biaya untuk perjuangan ini...."
"Baiklah
kalau begitu. Sekarang uruslah adik
tirimu yang
cantik itu. Aku ingin menghirup udara se-
gar di
luar," kata Pelajar Agung menukas.
"Pergilah!
Kalau kau sudah bosan di luar, kau
boleh memilih
beberapa gadis yang ada di markas ki-
ta!"
kata Pangeran Pemimpin. Disusul dengan suara
tawanya yang
bergelak.
"Baik. Nanti aku akan memilih sendiri," kata
Pelajar Agung
dengan diiringi senyum.
Pangeran
Pemimpin melipatgandakan suara
tawanya
sambil memandangi punggung Pelajar Agung
yang
melangkah keluar pendopo. Ketika dilihatnya
bayangan
Pelajar Agung menghilang di balik pintu ger-
bang,
Pangeran Pemimpin membubarkan orang-orang
yang ada di
ruang pendopo. Dia sendiri kemudian se-
gera masuk ke
dalam kamar.
***
4
Melakukan
perjalanan di malam hari bukanlah
pekerjaan
mudah. Apalagi perjalanan memasuki sa-
rang lawan.
Di samping angin malam itu bertiup san-
gat kencang,
di sekitar markas Partai Kawula Sejati
tentu banyak
sekali dipasang jebakan maut.
Murid Eyang
Begawan Kamasetyo tidak berani
bersikap
gegabah. Dengan kewaspadaan tinggi, Soma
terus
berkelebat dari dahan pohon satu ke dahan po-
hon lain. Ia
sengaja melakukan perjalanan melalui ja-
lur atas.
Sebab, kemungkinan jebakan maut dipasang
di atas pohon
tidaklah sebanyak yang dipasang di ba-
wah. Hal itu
tentu saja sangat menguntungkan Soma.
Meski
demikian Soma tetap berhati-hati. Ke-
mungkinan
terperangkap jebakan bukan mustahil lagi.
Dan,
kenyataannya memang demikian. Baru saja ia
meloncat ke
dahan pohon di hadapannya, mendadak
berkesiur
angin dingin menyambar tubuh.
Soma
menggerutu kesal. Dilihatnya dua bayan-
gan hitam
bergerak cepat menyerang dirinya dari arah
yang
berlawanan. Soma cepat meloncat ke dahan po-
hon di
sebelah, hingga dua bayangan hitam yang me-
nyerang dirinya terus melesat berlawanan arah. Na-
mun, mendadak
bayangan hitam yang ternyata tum-
pukan
ranting-ranting pohon yang mencuat tajam
kembali
menyerang Soma dengan kecepatan menga-
gumkan.
Soma memekik.
Samar-samar ia melihat dua
sosok tubuh
berpakaian hitam-hitam di atas pohon
sana yang
menggerakkan ranting-ranting pohon. Maka
ketika
bayangan hitam ranting-ranting pohon yang
menyerang
dirinya makin dekat, Soma segera mendo-
rongkan kedua
telapak tangannya ke samping kiri dan
kanan.
Seketika dua rangkum angin kencang melesat
cepat
mendorong ranting-ranting pohon ke tempat
asalnya.
Wesss! Wesss!
Prakkk!
Bersamaan
dengan kembalinya ranting-ranting
pohon ke
tempat semula, terdengar dua lengking ke-
matian yang
teramat menyayat hati. Selang beberapa
saat tampak
dua sosok tubuh berpakaian hitam dari
pohon di
kanan kiri Soma jatuh bergedebukan ke ta-
nah.
"Salah
kalian sendiri kenapa bermain-main
dengan
jebakan maut. Rasakan itu senjata makan
tuan!"
gerutu Soma kesal.
Soma kembali
berkelebat dari dahan pohon sa-
tu ke pohon
lain. Seperti yang dialami tadi, ternyata
jebakan yang
dipasang di atas pohon bukan hanya sa-
tu.
Jenisnya pun
beragam. Namun dengan meng-
gunakan ilmu
meringankan tubuh 'Menjangan Kenco-
no' Soma dapat
melewati jebakan maut itu hingga ak-
hirnya sampai
di sebuah tanah datar berumput.
Soma tidak
langsung meloncat turun. Sepasang
matanya yang
tajam memperhatikan keadaan sekitar.
Dilihatnya di
atas tanah datar di hadapannya terdapat
empat atau
lima buah bangunan besar. Di sekeliling
bangunan
tampak beberapa anggota Partai Kawula Se-
jati tengah
berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Se-
mentara di
seputar halaman luar markas Partai Kawu-
la Sejati
terdapat kubangan lumpur hidup. Soma me-
renung sesaat
di tempatnya.
"Sungguh
suatu tempat persembunyian yang
amat
berbahaya. Orang luar yang tidak tahu jalan ra-
hasia masuk
ke dalam markas pasti akan celaka. Cer-
dik sekali
orang yang bergelar Pangeran Pemimpin.
Kukira aku
harus berhati-hati bila menghadapinya
nanti,"
gumam murid Eyang Begawan Kamasetyo. "Se-
karang aku
harus meloncat turun. Tak ada pilihan
lain, aku
harus mengerahkan ajian 'Titisan Siluman
Ular Putih'
untuk menerobos masuk ke dalam mar-
kas."
Soma pun
meloncat turun. Ternyata tanah
tempat
berpijak kedua kaki murid Eyang Begawan
Kamasetyo
sangat lembek. Untung saja ilmu merin-
gankan
tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Begi-
tu merasakan
kelembekan tanah tempatnya berpijak,
Soma melenting
tinggi ke udara dan berpijak jauh dari
kubangan
lumpur hidup.
Paras murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu
tampak
berubah. Dilihatnya tanah lumpur tempatnya
berpijak tadi
mencekung ke dalam siap memangsa tu-
buh siapa
saja. Selang beberapa saat lumpur hidup itu
kembali
bergerak seperti keadaan semula.
"Jangkrik
gempul! Hampir saja aku modar ter-
sedot lumpur
keparat itu!" Soma mengomel sendirian.
Sejenak Soma
kemudian berdiam diri. Lalu ke-
dua bibirnya
berkemik-kemik membacakan mantra,
ajian
'Titisan Siluman Ular Putih'. Sekujur tubuh mu-
rid Eyang
Begawan Kamasetyo diselimuti asap putih
hingga
bayangan tubuhnya tidak kelihatan lagi. Dan
ketika asap
putih yang menyelimuti tubuh Soma sirna
tertiup
angin, terdengar suatu desisan lirih.
"Ssssst...!
Ssssst...!"
Itulah salah
satu kehebatan ajian 'Titisan Silu-
man Ular
Putih'. Ilmu tersebut dapat mengatur besar
kecilnya
jelmaan ular putih sesuai dengan kemauan
Soma. Dalam
keadaan berupa seekor ular putih kecil
kini 'Soma'
dengan leluasa dapat menerobos masuk ke
dalam markas
Partai Kawula Sejati.
Meski
demikian, ular putih sebesar ibu jari kaki
manusia
dewasa itu memperhatikan keadaan sekitar
seperti masih
takut dengan jebakan lumpur hidup
yang siap
menyedot tubuhnya. Ketika dirasanya cukup
aman,
perlahan-lahan ular putih kecil jelmaan Soma
itu merayap
dan menghilang di balik semak belukar.
***
Seperti
layaknya seorang manusia saja, ular
putih kecil
itu menjulur-julurkan kepalanya keluar da-
ri balik
semak di halaman depan markas Partai Kawula
Sejati.
Beberapa anggota Partai Kawula Sejati yang
tengah
berjaga-jaga tidak melihat kemunculan ular pu-
tih jelmaan
tersebut. Dan meski sepasang mata mere-
ka terus
memperhatikan keadaan sekitar, tetap saja ti-
dak melihat
kala ular putih kecil merayap mendekati
sebatang
pohon di halaman samping.
"Sssst...!
Sssst...!"
Ular putih
kecil itu terus mendekati batang po-
hon lalu
menyelinap ke tempat yang aman. Sesam-
painya di
sana, ular putih kecil menjulur-julurkan ke-
palanya
seperti tengah mengintip anggota Partai Kawu-
la Sejati
yang tengah berjaga.
Perlahan sekujur tubuh ular putih kecil dipe-
nuhi asap
putih. Sosok memanjang ular putih itu tidak
kelihatan
lagi. Ketika asap putih sirna tampaklah so-
sok pemuda
tampan murid Eyang Begawan Kamasetyo
yang bergelar
Siluman Ular Putih.
"Penjaga-penjaga
taat! Tapi sayang mereka se-
mua tidak
becus. Mata mereka saja yang melotot tanpa
mengetahui
kedatanganku. Huh!" cemooh Soma. Per-
lahan.
Saat itu
suasana di dalam markas Partai Kawu-
la Sejati
terasa lengang. Bunyi jangkrik terdengar sal-
ing
bersahutan. Bulan bersinar purnama.
Sinarnya
yang
keperakan berpendar-pendar menerangi tempat
itu. Dengan
sangat hati-hati Soma berkelebat ke atas
wuwungan.
Mulailah ia mencari di mana Putri Sekarta-
ji ditawan.
***
5
Sepasang mata
indah gadis dalam kamar itu
berkilat-kilat
penuh kemarahan. Sentono yang ditu-
gaskan
Pangeran Pemimpin untuk membawa masuk
gadis itu
hanya tersenyum kaku. Lalu dengan sikap
kaku pula
anggota Partai Kawula Sejati tersebut me-
langkah
keluar. Namun, gadis cantik berpakaian serba
hijau yang
tidak lain Putri Sekartaji itu tahu kalau
Sentono
berjaga-jaga di luar pintu.
"Apa
sebenarnya yang diinginkan Kangmas
Sembodo?
Kenapa ia menahanku seperti ini? Kangmas
Sembodo juga
banyak mengumpulkan tokoh-tokoh
sakti dunia
persilatan. Bahkan memerintahkan Raja
Maling untuk
mencuri Lukisan Darah. Apakah Kang-
mas Sembodo
memang ingin memberontak? Kalau iya,
sungguh aku
tak mengerti jalan pikirannya...," pikir
Putri
Sekartaji dengan kemarahan yang menggelegak.
Putri
Sekartaji mengeretakkan gerahamnya
kuat-kuat.
Sepasang matanya yang indah berkilauan
sejenak
memperhatikan keadaan kamar. Kamar itu tak
ubahnya kamar
putri kadipaten. Ada ranjang merah
bersepraikan
kain indah berwarna merah jingga. Di-
lengkapi meja
kursi tempat berhias dengan berbagai
macam alat
kecantikan yang menebarkan bau harum.
Namun pikiran
Putri Sekartaji saat itu tengah
rusuh bukan
main. Ia sama sekali tidak tertarik meli-
hat keadaan
kamar. Pandangan matanya segera di-
alihkan ke
arah pintu ketika perlahan-lahan terdengar
pintu dibuka
dari luar. Muncullah seraut wajah gagah
yang sangat
dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Raden
Sembodo yang
kini bergelar Pangeran Pemimpin.
"Kangmas!
Untuk apa sebenarnya Kangmas
menahanku?"
kata Putri Sekartaji tak dapat lagi me-
nahan
perasaan. Suaranya terdengar seperti orang
membentak.
Laki-laki
gagah yang mengenakan pakaian
bangsawan
Jawa itu hanya tersenyum tipis untuk me-
nyembunyikan
sifat liciknya. Lalu dengan senyum ma-
sih
terkembang di bibir Pangeran Pemimpin mendekati
adik tirinya
dan duduk di tepi ranjang.
Putri
Sekartaji sebenarnya ingin meloncat ban-
gun. Namun
totokan Bajing Ireng masih mempengaru-
hi jalan
darahnya. Putri Sekartaji hanya bisa menggigit
bibir.
"Tenanglah,
Nimas Sekartaji. Kenapa kau ber-
kata sekasar
ini? Aku memang menginginkan mu di
sini. Tapi
kalau kau mau bersikap manis, tak mungkin
kau
diperlakukan seperti ini."
"Aku
tidak mengerti maksudmu, Kangmas," ka-
ta Putri
Sekartaji seraya menautkan alis matanya.
Pangeran
Pemimpin makin memperlebar se-
nyum. Kini
tampaklah betapa licik senyum laki-laki
itu.
"Aku tak
perlu banyak bicara denganmu, Ni-
mas. Kau
pasti tahu apa yang tengah kurencanakan.
Maka untuk
menghemat biaya maupun jatuhnya kor-
ban, aku
ingin kau membantuku merebut takhta Ka-
dipaten
Pleret."
"Apa?!
Kangmas ingin merebut takhta Kadipa-
ten Pleret?
Gila!" pekik Putri Sekartaji. "Kenapa,
Kangmas? Apa
Kangmas tidak puas dengan kedudu-
kan yang
sekarang?"
"Sudahlah,
Nimas! Kau tak perlu menggurui
ku. Mau tidak
mau kau harus menandatangani surat
perjanjian
ini!" tukas Pangeran Pemimpin tak sabar.
Putri
Sekartaji memandang penuh kebencian
pada kakak
tirinya. Mana mau ia menandatangani su-
rat
perjanjian yang berisikan pemaksaan pada Adipati
Pleret untuk
menyerahkan takhtanya kepada Pangeran
Pemimpin.
Biar dibunuh sekalipun gadis cantik itu te-
tap akan
bertahan.
"Aku tak
sudi menandatangani segala tetek
bengek surat
perjanjian itu, Pangeran Pemberontak!"
teriak Putri
Sekartaji keras-keras.
"He he
he...! Kalau begitu kau tak sayang pada
dirimu
sendiri, Nimas!" Pangeran Pemimpin tampaknya
tidak
main-main. Sepasang matanya kini memperhati-
kan dada
membusung Putri Sekartaji. Tanpa sadar la-
ki-laki yang
masih terhitung kakak tiri Putri Sekartaji
itu menelan
ludahnya sendiri.
"Biar
dibunuh sekalipun aku tak sudi menan-
datangani
surat perjanjian itu!" Putri Sekartaji menan-
tang pandang
mata Pangeran Pemimpin.
"Hm...!
Rupanya kau ingin melihat apa yang in-
gin
kulakukan, Nimas?!" kata Pangeran Pemimpin se-
raya menatap
sekujur tubuh Putri Sekartaji dengan ja-
kun turun
naik. Lalu, didekatinya tubuh menantang
Putri
Sekartaji yang tak berdaya di atas ranjang. Tanpa
ampun lagi
kain penutup tubuh Putri Sekartaji direng-
gut dengan
kasar.
Bret!
Pakaian
hijau-hijau di tubuh Putri Sekartaji ro-
bek. Seketika
tampaklah sepasang buah dada yang
membusung
terpampang jelas di pelupuk mata Pange-
ran Pemimpin.
"Ah...!"
Putri Sekartaji memekik tertahan. Ingin
rasanya ia
menutupi dadanya yang terpentang. Namun
apalah
dayanya. Tubuhnya kaku tak dapat digerakkan
akibat
totokan Bajing Ireng. Putri Sekartaji hanya da-
pat memandang
Pangeran Pemimpin dengan dada tu-
run naik
saking tak dapat mengendalikan amarahnya.
Melihat dada
Putri Sekartaji yang bergerak tu-
run naik,
dada Pangeran Pemimpin tiba-tiba menjadi
sesak.
Nafasnya memburu seolah tak sanggup lagi me-
nahan
hasratnya yang bergejolak. Tanpa mengenal be-
las kasihan
Pangeran Pemimpin segera melemparkan
robekan kain
hijau. Pangeran Pemimpin masih beru-
saha menahan
hasratnya.
"He he
he...! Kau masih bersikeras tak mau
menandatangani
surat perjanjian itu, Manis?!" kata
Pangeran
Pemimpin setelah menelan ludahnya bebera-
pa kali.
Matanya sedari tadi tak lepas memandangi
keelokan
tubuh Putri Sekartaji.
"Tidak!"
jerit Putri Sekartaji histeris.
"Kalau
begitu, sayang sekali. Terpaksa aku
akan sedikit
menyakiti kulit tubuhmu yang mulus ini."
Kembali
tangan Pangeran Pemimpin merenggut
kain penutup
tubuh Putri Sekartaji. Sehingga, gadis
cantik itu
kini benar-benar tanpa selembar benang
pun menutupi
kulit tubuhnya yang putih bersih.
Pangeran
Pemimpin mengumbar senyum licik-
nya.
"Apa kau masih bersikeras juga, Manis?"
"Biadab!
Manusia licik! Siapa sudi menanda-
tangani surat
perjanjian itu!" Putri Sekartaji berteriak-
teriak karena
kalutnya.
"Kalau
begitu kau menginginkan aku memper-
kosamu!"
Putri
Sekartaji hanya memejamkan mata. Tak
tahu apa yang
harus diperbuat. Air matanya merembes
keluar
membasahi kedua pipi.
"Baik.
Kehendakmu memang demikian ru-
panya."
Pangeran
Pemimpin segera naik ke atas ran-
jang. Kedua
tangannya yang kekar mulai menjamah
tubuh Putri
Sekartaji. Putri Kadipaten Pleret itu sema-
kin
memejamkan mata. Mau muntah rasanya kala mu-
lut laki-laki
yang masih terhitung kakak tirinya itu
menciumi
wajah dan bibir. Namun tidak ada yang bisa
diperbuat
Putri Sekartaji. Terpaksa ia menerima semua
perlakuan
Pangeran Pemimpin.
"Ingatlah,
Kangmas. Aku ini masih terhitung
adikmu.
Apakah kau tega memperlakukan adikmu se-
perti ini,
Kangmas?" bujuk Putri Sekartaji di sela-sela
isak
tangisnya.
Pangeran
Pemimpin sejenak menghentikan per-
buatannya.
Sepasang matanya meneliti wajah Putri
Sekartaji
dengan seksama. Sedikit pun tidak terbersit
rasa welas
asih sebagaimana layaknya seorang kakak.
"Demi
apa yang kucita-citakan, terpaksa aku
harus menutup
mata. Kecuali kalau kau mau menan-
datangani
surat perjanjian itu, tentu aku tidak akan
memaksamu
seperti ini, Nimas," kata Pangeran Pe-
mimpin
lembut. Namun tetap sama saja masih men-
gandung
ancaman.
"Sebenarnya
apa yang kau inginkan, Kang-
mas?"
"Apa aku
harus mengulangnya sampai seribu
kali? Aku
menginginkan takhta Kadipaten Pleret, ta-
hu!"
bentak Pangeran Pemimpin tanpa mengindahkan
bagaimana
perasaan adik tirinya. Kemudian, dengan
jari-jari tangan
bergetar Pangeran Pemimpin kembali
menjamah
tubuh Putri Sekartaji yang teramat menan-
tang
hasratnya itu.
Belum sampai
Pangeran Pemimpin meneruskan
niatnya
merusak kehormatan adik tirinya, ia menden-
gar langkah
seseorang mendekati kamar. Langkah itu
terhenti di
luar pintu kamar.
"Siapa
di luar?!" bentak Pangeran Pemimpin tak
senang.
***
Orang yang
menghentikan langkahnya di luar
segera
menampakkan diri di hadapan Pangeran Pe-
mimpin. Orang
itu berusia lima puluh tahunan. Wa-
jahnya yang
tirus menyembunyikan kebengisan yang
luar biasa.
Rambutnya putih memanjang digelung ke
atas.
Tubuhnya tinggi kekar. Mengenakan pakaian ke-
tat berwarna
hitam. Sepasang matanya melirik ke arah
tubuh polos
Putri Sekartaji.
"Ada
apa, Ki Caringin?!" bentak Pangeran Pe-
mimpin
jengkel bukan main.
Orang tua
yang dipanggil Ki Caringin tergagap
kaget.
Seketika pandang matanya dialihkan pada Pan-
geran
Pemimpin. Lalu, dengan suara bergetar Ki Ca-
ringin pun
berkata.
"Ma...
maaf, Pangeran. Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat
Merah ingin melapor."
"Keparat!
Apa matamu buta, he?! Kau kan bisa
menunggu di
luar?!"
Meski
mulutnya berkata demikian, Pangeran
Pemimpin mau
juga turun dari ranjang. Ki Caringin
yang merasa
bersalah berkali-kali memohon ampun.
Untung saja
Pangeran Pemimpin tidak segera menu-
runkan tangan
mautnya. Ia hanya sejenak memperha-
tikan tubuh
Putri Sekartaji, lalu dengan tanpa banyak
cakap lagi
dia pergi meninggalkan kamar.
Ki Caringin
maklum kalau Pangeran Pemimpin
tak menyukai
kehadirannya. Begitu lelaki tersebut
berkelebat
keluar, Ki Caringin pun melangkah pergi.
Baru saja Ki
Caringin melangkah beberapa tindak
pendengarannya
yang tajam tiba-tiba mendengar geru-
tuan
seseorang.
"Huh,
slompret! Asam betul buah sawo ini! Da-
sar
buah-buahan milik kaum pemberontak. Meski su-
dah masak
tetap saja asam rasanya. Huh!"
***
6
Ki Caringin
mengerutkan kening heran. Demi-
kian juga dua
orang penjaga yang ada di dekatnya. Se-
ketika mereka
mendongakkan kepalanya ke atas.
Tampak di
atas dahan pohon sesosok tubuh tengah
asyik memakan
buah sawo. Mulutnya tak henti-henti
mengunyah
sambil terus mengomel tak karuan.
"Siapa
di situ?!" bentak Ki Caringin garang.
Sosok
berpakaian rompi dan celana bersisik
putih
keperakan yang tidak lain murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu
sengaja tidak menyahuti. Tapi sebelum
Ki Caringin
dan dua orang penjaga mencabut senjata,
Soma cepat
melayang turun. Kedua kakinya mendarat
ringan sekali
laksana kapas. Dan begitu kedua kaki
Soma menjejak
tanah, segera berkelebat dengan jari-
jari tangan
terkembang, siap menotok Ki Caringin dan
kedua anggota
Partai Kawula Sejati.
Tukkk! Tukkk!
Ki Caringin
dan kedua orang itu hanya sempat
memekik
tertahan. Jari-jari Soma telak sekali menotok
kaku tubuh
mereka. Ketika ketiganya sudah tertotok,
Soma tidak
langsung masuk ke dalam kamar. Ia masih
harus menotok
jalan suara ketiga orang itu.
"Kenapa
kalian melototi aku? Apa kalian tidak
percaya kalau
buah-buah sawo ini asam? Kalau tak
percaya,
cobalah kalian cicipi!" Setelah berkata begitu,
Soma cepat
membagi buah sawo di tangan menjadi ti-
ga bagian.
Dijejalkannya bagian-bagian sawo itu ke
mulut Ki
Caringin dan kedua kawannya.
Ketiga orang
itu gelagapan tidak karuan. Sepa-
sang mata Ki
Caringin melotot penuh kemarahan. So-
ma hanya
tersenyum-senyum.
"Bagaimana?
Cukup asam, kan? Makanya ka-
lian harus
mempercayai omonganku!" kata Soma ber-
celoteh.
Ki Caringin
dan kedua orang penjaga makin
membelalakkan
mata. Soma tak ingin melanjutkan
guyonannya.
Keselamatan Putri Sekartaji yang diuta-
makan. Begitu
teringat akan putri tersebut, Siluman
Ular Putih
segera berkelebat masuk ke dalam kamar.
Sebab sewaktu
tadi ia masih mengintai dari balik ke-
rimbunan
pohon sawo samar-samar terdengar jeritan
seorang gadis
yang datangnya dari arah kamar itu.
Soma yakin
Putri Sekartaji ditawan di kamar tersebut.
Soma
mendobrak pintu kamar.
Brak!
Pintu kamar
pun terbuka. Soma segera menye-
lonong masuk
begitu saja. Mendadak, sepasang mata
murid Eyang
Begawan Kamasetyo membelalak liar me-
lihat
pemandangan indah di hadapannya. Agak jengah
ia
sebenarnya. Namun entah kenapa Soma senang se-
kali melihat
pemandangan indah itu.
"Kau...?!"
pekik Putri Sekartaji, tak percaya me-
lihat pemuda
gondrong yang dijumpainya di kedai ma-
kan telah
berada di hadapannya. (Mengenai pertemuan
Soma dengan
Putri Sekartaji, silakan baca : "Perseku-
tuan
Maut").
"Ya.
Aku. Kaget, ya?" ujar Soma seraya men-
gumbar
senyum. "Hayo, lekas bangun! Tunggu apa la-
gi? Apa kau
senang aku melototi tubuhmu, he?"
Putri
Sekartaji sedikit merundukkan kepala.
Seketika
paras gadis cantik itu memerah. Namun un-
tuk
menyembunyikan aurat tubuhnya dari sepasang
mata nakal pemuda
gondrong di hadapannya jelas ti-
dak mungkin.
Tubuhnya masih kaku tak dapat dige-
rakkan.
"Aku...
aku masih tertotok," ucap Putri Sekarta-
ji malu-malu.
"Oh...!
Pantas!" Soma menepuk jidatnya sendiri.
Lalu dengan
pandang mata sedikit melirik pada tubuh
polos Putri
Sekartaji, Soma buru-buru mendekati.
Putri
Sekartaji makin jengah dibuatnya. Ketika
Soma
membebaskan totokan tubuhnya, Putri Sekartaji
memejamkan
mata. Dan begitu terbebas dari totokan
Putri
Sekartaji segera mengenakan pakaiannya kemba-
li walau
terkoyak di sana-sini.
"Terima
kasih. Kau telah menyelamatkan nya-
waku,"
kata Putri Sekartaji agak gugup melihat sepa-
sang mata
Soma terus memandangi tubuhnya.
Soma
tersenyum manis. Seolah-olah ingin me-
mikat gadis
cantik di hadapannya dengan senyum
yang
terkembang.
"Ayo,
cepat kita tinggalkan tempat ini!" ucapan
Putri
Sekartaji mengagetkan Soma. Matanya yang ber-
binar-binar
indah sejenak memperhatikan senyum
pemuda tampan
itu penuh kagum.
"Ayo!
Tapi siapa dong namamu? Apa benar kau
yang bernama Putri Sekartaji?" kata Soma
sebelum
melangkah
keluar.
Putri
Sekartaji sejenak menghentikan langkah.
Sepasang
matanya kini balik memperhatikan Soma.
"Dari
mana kau mengetahui namaku?"
"Gampang!
Prajurit sandi itulah yang memberi-
tahuku.
Katanya kau ditawan oleh orang yang bergelar
Pangeran
Pemimpin. Tapi benar kan kau yang berna-
ma Putri
Sekartaji?"
"Ya."
"Kalau
begitu maafkan kelancanganku, Tuan
Putri. Aku
benar-benar tidak menyangka akan berte-
mu dengan
Tuan Putri di tempat ini," kata Soma se-
raya
menyatukan kedua telapak tangannya di depan
dada.
Putri
Sekartaji tidak suka diperlakukan seperti
itu. Dengan
agak gugup, ia segera menukas, "Sudah-
lah.
Sebaiknya mari cepat kita tinggalkan tempat ini."
"Baik.
Apakah Tuan Putri tidak ingin mengenal
namaku?"
kata Soma. Kakinya menjajari langkah Putri
Sekartaji
yang telah mendahului.
"Boleh-boleh.
Tapi kuminta kau jangan me-
manggilku
Tuan Putri. Panggil saja aku seperti kau
memanggil
kawan-kawanmu yang lain."
"Oh....
Jadi kau menganggapku sebagai teman,
Putri
Sekartaji?" Soma gembira bukan main dapat ber-
kenalan
dengan gadis cantik itu. Masih keturunan
Adipati
Pleret lagi.
"Asal
kau tidak macam-macam."
"Aku
janji tidak akan macam-macam. Karena
sebenarnya
aku sendiri cuma semacam. Tapi aku se-
nang sekali
bisa berkenalan denganmu. Namaku So-
ma. Kau tidak
malu berkenalan denganku kan?"
"Tidak,"
sahut Putri Sekartaji pendek.
"Kalau
beg...."
"Sudahlah,
Soma. Sebaiknya kita jangan berca-
kap-cakap
dulu. Kita masih berada di markas Partai
Kawula
Sejati. Sekarang kita harus secepatnya me-
ninggalkan
tempat ini. Ayo!" Putri Sekartaji menukas
sambil
mempercepat langkah.
"Baik,"
sahut Soma tanpa banyak membantah.
Ia pun mempercepat
langkahnya menyusul Putri Se-
kartaji.
Baru beberapa
belas langkah Soma dan Putri
Sekartaji
meninggalkan kamar, mereka telah dihadang
oleh puluhan
anggota Partai Kawula Sejati.
"Berhenti!"
"Minggir!
Siapa pun adanya kalian tak berhak
menghalangi
jalanku!" bentak Putri Sekartaji.
Tapi para
anggota Partai Kawula Sejati yang di-
bantu
beberapa tokoh sakti dunia persilatan telah
mengepung
dirinya dengan senjata di tangan. Siluman
Ular Putih
tampak mengerutkan keningnya da-lam-
dalam.
"Bodohnya
aku! Kenapa tadi aku malah ber-
tanya yang
tidak-tidak pada Putri Sekartaji. Memang
aku senang
sekali dapat berkenalan dengan gadis can-
tik itu.
Pemuda mana sih yang tidak senang berkena-
lan
dengannya. Namun seharusnya aku lebih mengu-
tamakan
keselamatan kami. Kalau sudah begini, aku
juga yang
kapiran," gerutu murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
"Tuan
Putri maafkan kami. Kami tidak bermak-
sud
menghalangi Tuan Putri. Tapi saat ini Tuan Putri
masih sangat
dibutuhkan Ketua. Untuk itu sudilah
Tuan Putri
tinggal barang satu atau dua malam di
markas
kami," kata orang yang tadi membentak. Ke-
dengarannya
memang sangat santun, tapi sesungguh-
nya dalam
ucapannya yang penuh hormat itu terkan-
dung
maksud-maksud tertentu. Dan Putri Sekartaji
tahu apa yang
diinginkan orang-orang Partai Kawula
Sejati.
"Lucu
sekali kedengarannya. Satu permintaan
yang tidak
mungkin dituruti. Bagaimana Tuan Putri
sudi menuruti
keinginan Ketua kalian kalau hanya in-
gin mendapat
celaka? Apa ini bukan yang dina-makan
pemaksaan
secara halus? Begitu, kan?" kata Siluman
Ular Putih
menanggapi permintaan itu. "Ada-ada saja!
Dasar
manusia-manusia pemberontak tak tahu atu-
ran!"
"Diam
kau, Kunyuk Gondrong! Kau tak patut
bicara.
Melihat tampangmu saja aku mau muntah,
apalagi
mendengar bacotmu!" bentak orang itu jengkel.
"Sudahlah.
Buat apa membuang-buang waktu.
Sebaiknya
kita tangkap saja Tuan Putri. Si kunyuk
gondrong itu
dicincang pun tak jadi soal," kata anggota
Partai Kawula
Sejati lainnya menyahuti.
"Mau enaknya
saja kalian ini! Mentang-
mentang aku
laki-laki kalian mau sembarangan men-
cincangku,
he!" gerutu Soma. Murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu
lantas menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak
gatal.
"Diam!
Sekali lagi kau membacot, kupecahkan
batok kepalamu!"
Orang yang pertama membentak ga-
rang.
"Baik-baik.
Aku sih mau saja diam. Tapi tolong
jangan kau
apa-apakan temanku yang cantik ini! Dan
sekali lagi
kuminta berilah temanku yang cantik itu ja-
lan
keluar."
"Setan
alas! Kau memang patut modar di tan-
ganku, Kunyuk
Gondrong!" Tangan kiri orang pertama
segera
memberi isyarat pada teman-temannya. "Hayo,
Teman-teman.
Kita cincang kunyuk gondrong ini. Yang
lainnya cepat
tangkap Tuan Putri!"
Anggota
Partai Kawula Sejati yang dibantu be-
berapa tokoh
sesat dunia persilatan merangsek maju.
Putri
Sekartaji merapatkan tubuhnya pada Siluman
Ular Putih.
Ia berbisik lirih pada pemuda itu.
"Hayo,
kita lawan iblis-iblis itu sampai titik da-
rah
penghabisan, Kawan. Seandainya aku mati, aku
tidak
menyesal karena mati secara gagah di samping-
mu."
"Benarkah?
Suatu kehormatan besar kalau kau
sudi mati di
sampingku, Putri Sekartaji. Tapi aku tak
mau mati
dengan cara konyol seperti ini. Aku malah
ingin mati di
pangkuanmu. Mungkin di kamar pengan-
tin, Putri.
Asal bersamamu," kata Siluman Ular Putih
menggoda.
"Kau ini
bagaimana sih, Soma?! Dalam keadaan
terdesak
seperti ini masih juga bercanda. Hayo, lekas
kita hadapi
manusia-manusia pemberontak itu!"
"Baik,"
sahut Siluman Ular Putih dengan se-
nyum nakal
terkembang di bibir. Dan senyum itu sen-
gaja
ditujukan pada Putri Sekartaji.
Namun saat
itu Putri Sekartaji tidak begitu
memperhatikan
senyum Soma. Perhatiannya tengah
ditujukan ke
arah datangnya serangan para anggota
Partai Kawula
Sejati. Dan di saat gadis cantik adik tiri
Pangeran
Pemimpin mencabut keluar pedangnya, se-
mua yang ada
di halaman samping markas Partai Ka-
wula Sejati
dikejutkan oleh bentakan seseorang.
"Tahan
senjata! Kalian tidak boleh membunuh
Kunyuk
Gondrong itu! Akulah yang berhak menguliti
batok
kepalanya!"
Para
pengeroyok Siluman Ular Putih dan Putri
Sekartaji
langsung menghentikan serangan. Di hada-
pan mereka
kini telah tegak seorang pemuda tampan
berusia dua
puluh dua tahun. Pakaiannya putih dila-
pisi jubah
hitam panjang sampai ke lutut. Di kepa-
lanya
bertengger topi hitam yang pada bagian atasnya
memanjang.
Penampilan sosok berjubah hitam itu mi-
rip seorang
pelajar.
"Pelajar
Agung...!" desis beberapa anggota Par-
tai Kawula
Sejati.
Pelajar Agung
hanya menganggukkan kepala
dengan
angkuh. Sepasang matanya yang menyiratkan
kelicikan tak
henti-hentinya menatap Siluman Ular Pu-
tih.
Soma sendiri
tampak tak dapat mengendalikan
amarahnya
begitu melihat sosok di hadapannya. Di-
alah
Prameswara, musuh besar Siluman Ular Putih
yang telah
mencelakakan ayah kandungnya, Pendekar
Kujang Emas!
(Mengenai Prameswara yang kini telah
bergelar
Pelajar Agung, silakan baca : "Misteri Bayi
Ular"
dan "Manusia Rambut Merah").
"Prameswara!
Meski kau bersembunyi ke lo-
bang semut
sekalipun tak mungkin aku melepaskan-
mu begitu
saja. Dosamu sudah bertumpuk. Aku ingin
menuntut
balas atas tewasnya ayahku, sekaligus me-
minta kembali
Kujang Emas yang kau rampas!" bentak
Siluman Ular
Putih penuh kemarahan.
"Kau bisa
apa, Siluman Ular Putih. Apa mata-
mu buta?
Meski kesaktianmu setinggi langit, tak
mungkin kau
dapat mengalahkanku!" sahut Pelajar
Agung yang
bernama asli Prameswara itu.
"Jangan
banyak bacot. Makanlah pukulan 'Inti
Bumi'-ku.
Hea...!"
Diiringi
teriakan lantang kedua telapak tangan
Siluman Ular
Putih yang telah menjadi putih terang
segera
didorongkan ke depan. Seketika melesat cepat
siap melabrak
tubuh Pelajar Agung.
Prameswara
tersenyum sinis. Sebelum menge-
rahkan
pukulan 'Cahaya Kilat Biru', Pelajar Agung
memerintahkan
anggota Partai Kawula Sejati dan to-
koh-tokoh
sakti dunia persilatan untuk menangkap
Putri
Sekartaji.
"Hea...!"
Bummm...!!!
Hebat bukan
main pertemuan dua tenaga da-
lam itu. Bumi
bergetar hebat laksana dilanda gempa.
Dinding-dinding
bangunan markas Partai Kawula Seja-
ti sampai
berguncang.
Tubuh
Prameswara dan Siluman Ular Putih
sama-sama
terjajar ke belakang, pertanda tenaga da-
lam kedua orang itu berimbang. Bersamaan dengan
bentroknya
dua tenaga dalam tadi, anggota Partai Ka-
wula Sejati
yang dibantu tokoh-tokoh dunia persilatan
mengeroyok
Putri Sekartaji.
Soma
menggereng penuh kemarahan. Dilihat-
nya Putri
Sekartaji berjumpalitan ke sana kemari
menghindari
serangan para pengeroyoknya. Hampir
saja gadis
cantik itu terkena totokan salah seorang to-
koh sesat.
Untung saja Siluman Ular Putih segera
mengirimkan
pukulan tenaga 'Inti Bumi' untuk meng-
hadang
serangan tokoh sesat itu. Untuk sementara Pu-
tri Sekartaji
pun selamat.
"Putri,
lekas tinggalkan tempat ini. Biar aku
yang menahan
serangan mereka!" teriak Siluman Ular
Putih.
"Tidak,
Soma. Tak mungkin aku meninggalkan
tempat
pertarungan. Apalagi kau demikian baiknya te-
lah
menolongku!" Putri Sekartaji menyahuti seraya
menghindari
gempuran para pengeroyoknya.
Soma
sebenarnya ingin menjawab, namun saat
itu Pelajar
Agung telah menyerangnya. Kedua telapak
tangan bekas
murid Pendekar Kujang Emas itu makin
membiru
hingga sampai ke pangkal lengan. Dengan
pukulan
'Cahaya Kilat Biru' itulah Prameswara kemba-
li
mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan.
Gggguuurrr...!
Bunyi
mengguruh yang diiringi berkesiurnya
hawa panas
menghantam ke depan. Siluman Ular Pu-
tih mengeretakkan
gerahamnya kuat-kuat. Belum
sempat serangan
Putri Sekartaji mengenai sasaran ti-
upan angin
panas telah lebih dulu membakar kulit tu-
buh.
Soma
menggembor penuh kemarahan. Ia mulai
melipatgandakan
tenaga dalamnya. Begitu dilihatnya
dua larik
sinar biru semakin mendekat, tanpa banyak
pikir panjang
lagi Soma melontarkan pukulan tenaga
'Inti Api'.
Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!!
Sekali lagi
terdengar ledakan hebat akibat ben-
trokan dua
tenaga dalam. Hawa panas akibat bentrok
itu
berhamburan menghantam apa saja. Beberapa
anggota
Partai Kawula Sejati yang memiliki kepandaian
rendah kontan
menjerit hebat. Sekujur tubuhnya han-
gus terbakar!
Siluman Ular
Putih dan Pelajar Agung sendiri
terpental
jauh ke belakang. Wajah mereka pias. Darah
segar
membasahi sudut-sudut bibir. Tampaknya ke-
dua orang itu
menderita luka dalam cukup hebat.
Dari luar
tempat pertarungan Pangeran Pe-
mimpin
memperhatikan jalannya pertarungan. Ia yang
tadi sempat
menemui Iblis Muka Merah dan Setan
Mayat Merah
segera keluar dari ruang pendopo untuk
melihat apa
yang terjadi. Ternyata di halaman samping
markas Partai
Kawula Sejati tengah terjadi pertarun-
gan sengit.
Sebagai
seorang ahli silat tingkat tinggi, Pange-
ran Pemimpin
tahu kalau pemuda gondrong yang tam-
pak
kedungu-dunguan itu memiliki kepandaian hebat.
Malah mungkin
sedikit lebih hebat dibanding Pelajar
Agung.
Kenyataan itu membuat hati Pangeran Pemim-
pin girang
bukan main.
"Hea...!"
Dengan
menggunakan jurus 'Terjangan Maut
Siluman Ular
Putih' murid Eyang Begawan Kamasetyo
kembali
menerjang Pelajar Agung. Sambil menyerang
demikian,
Siluman Ular Putih terus berusaha meno-
long Putri
Sekartaji dari gempuran para pengeroyok-
nya. Hal ini
tentu saja sangat merepotkan Soma.
Pelajar Agung
yang mengetahui perhatian la-
wan terpecah,
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Melalui jurus
'Pedang Pembawa Maut' yang dimainkan
dengan
menggunakan senjata Kujang Emas, Pelajar
Agung
meladeni serangan Siluman Ular Putih.
"Jahanam!
Itu senjata milik mendiang ayahku
Pendekar
Kujang Emas. Lekas kembalikan senjata ter-
sebut,
Bangsat!" bentak Siluman Ular Putih dengan
amarah yang
menggelegak.
Pelajar Agung
hanya tersenyum sinis. Gulun-
gan sinar
kuning keemasan tampak demikian menge-
rikan terus
mendesak Siluman Ular Putih. Bahkan tak
jarang
gulungan sinar kuning tersebut hampir menge-
nai tubuh
Soma. Di saat tengah hebat-hebatnya Pela-
jar Agung
mendesak Siluman Ular Putih, seseorang ti-
ba-tiba
menghentikan serangannya.
"Sobatku
Pelajar Agung! Tahan senjata!"
***
Pelajar Agung
mendengus gusar. Namun toh
akhirnya ia
mau juga menghentikan serangannya. Se-
pasang
matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan
menatap
Pangeran Pemimpin yang telah tegak di sam-
pingnya.
"Kenapa
kau suruh aku menahan serangan,
Pangeran
Pemimpin!"
"Sabar,
Sobatku," bisik Pangeran Pemimpin li-
rih di
telinga Pelajar Agung. "Aku mempunyai rencana
bagus.
Kulihat pemuda gondrong itu memiliki kepan-
daian yang
hebat. Aku ingin sekali menjadikan pemu-
da itu
pembantuku, Sobat."
Pelajar Agung
mendengus sinis.
"Dia itu
musuh besarku, Pangeran. Aku harus
mengenyahkannya
secepat mungkin!" geram Pelajar
Agung tak
senang.
"Begitukah?"
Pangeran Pemimpin menautkan
alisnya.
"Tapi... bagaimanapun perjuangan kita adalah
segala-galanya.
Kukira untuk sementara kau bisa me-
nangguhkan
urusan pribadimu. Turutilah permin-
taanku kali
ini, Sobat. Kalau misalnya perjuangan kita
berhasil, kau
tentunya dapat dengan mudah membu-
nuh pemuda
gondrong itu. Kesaktianmu pun tak kalah
dibandingkan
dengan pemuda itu," bujuk Pangeran
Pemimpin.
"Hm....
Baiklah!" Pelajar Agung akhirnya me-
nyanggupi.
"Terima
kasih atas pengertianmu, Sobat," ujar
Pangeran
Pemimpin seraya menepuk pundak Pelajar
Agung.
Sejenak ia
mengedarkan pandangan ke seputar
tempat
pertarungan. Ternyata pengeroyokan terhadap
Putri
Sekartaji telah berhenti begitu Pangeran Pemim-
pin berteriak
tadi. Pangeran Pemimpin segera menga-
lihkan
tatapannya ke arah murid Eyang Begawan Ka-
masetyo,
Emoticon