7
Siang
terasa cerah, angin bertiup kencang
membuat
debu-debu beterbangan. Berputar-putar
ke
mana saja arah angin membawa. Pohon-pohon
pun
berderak. Daun-daun berguguran. Beterban-
gan
ke hamparan tanah di sekitarnya.
Dari
sebelah timur Hutan Besiar Kembar
seorang
lelaki tua renta berpakaian hitam lusuh
tengah
berkelebat cepat ke arah putaran angin.
Hidungnya
yang pesek tak henti-hentinya men-
gendus-endus
bak seekor anjing pelacak.
Sebentar-sebentar
lelaki tua renta yang tak
lain
Pengasuh Setan memperlambat gerakan ka-
kinya
dalam keadaan masih mengendus-endus.
Seolah-olah
ia tidak ingin kehilangan jejak bau
anyir
darah muridnya yang dari tadi terus diikuti.
Namun
begitu sampai di putaran angin, Pengasuh
Setan
menggeram penuh kemarahan. Mendadak,
bau
darah muridnya menghilang.
Sejenak
Pengasuh Setan ragu-ragu. Mung-
kinkah
si pembunuh muridnya lari ke utara?
Atau
ia memang terkecoh oleh angin kencang
yang
berkesiur? Sebab bukan mustahil angin
kencang
itu bisa menyesatkan!
Untuk
beberapa saat, Pengasuh Setan hanya
terpaku
di tempatnya. Ia masih belum tahu apa
yang
akan diperbuat. Yang dilakukan kini hanya
menatapi
debu-debu dan daun-daun kering yang
beterbangan.
Sementara hatinya sangat gelisah
kalau
tidak dapat menemukan pembunuh murid-
nya.
Padahal, ia ingin sekali menuntut balas atas
kematian
muridnya. "Angin keparat! Bukannya
membantuku,
malah mengacaukanku. Aku kehi-
langan
jejak bau darah muridku. Huh...!" dengus
Pengasuh
Setan penuh kemarahan. Hidung pe-
seknya
kembali mengendus-endus. Namun, bau
darah
muridnya hanya tercium samar-samar.
Bahkan
bisa jadi ia malah akan terkecoh.
Tiba-tiba
Pengasuh Setan mendongak. Langit
amat
cerah di atas sana. Gumpalan-gumpalan
awan
putih bergerak cepat ke utara. Tak seperti
biasanya.
Angin kali ini memang cukup kencang.
Hal
ini sudah biasa bila musim kemarau berke-
panjangan.
Pengasuh
Setan tidak tertarik lagi memper-
hatikan
sekitarnya. Perhatiannya kali ini kembali
tersita
oleh bau darah muridnya yang sempat
menghilang.
Bau di saat tiupan angin sedikit me-
reda,
tokoh sesat dari puncak Gunung Sindoro ini
dapat
mencium bau darah muridnya. Tidak ke
utara,
melainkan ke barat. Berarti pelacaknya bi-
sa
diteruskan.
"Jelas
sekali kalau pembunuh muridku lari
ke
barat. Hm...! Untung saja aku belum bertin-
dak.
Kalau tadi aku tidak sabar, sudah pasti akan
terkecoh.
Sial! Benar-benar sial. Hampir saja aku,
terkecoh
oleh tiupan angin," rutuk Pengasuh Se-
tan
dalam hati.
Dan
Pengasuh Setan memang tidak ingin lagi
berlama-lama
di tempat itu. Sekali menjejak ta-
nah,
tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah ber-
kelebat
cepat ke barat. Hidungnya yang pesek tak
henti-hentinya
mengendus mengikuti bau darah
muridnya
yang hanya tercium samar-samar. Na-
mun
belum jauh melangkah, mendadak penden-
garannya
yang tajam menangkap langkah-
langkah
halus di belakangnya.
***
"Mungkin
inilah yang dinamakan pucuk di-
cinta
ulam tiba. Dicari-cari ke mana-mana, eh ti-
dak
tahunya kutemukan di sini!"
"Kau...!"
Sepasang
mata indah Putri Manja membela-
lak
lebar ketika Siluman Ular Putih memergo-
kinya
di sebuah sendang. Gadis ini benar-benar
tidak
ingin bertemu kembali dengan pemuda sint-
ing
yang telah mengganggu kesenangannya se-
waktu
di kedai makan milik Sukiat. Pertemuan-
nya
kali ini benar-benar membuat hatinya meng-
kelap.
Bila
Putri Manja merasa menyesal sekali atas
pertemuan
itu, tidak demikian halnya Soma. Pe-
muda
ini dari tadi sudah kesal karena tidak me-
nemukan
air untuk membasuh tubuhnya. Tapi
mendadak
ia jadi tersenyum senang saat mene-
mukan
Putri Manja kembali di sendang Hutan
Besiar
Kembar.
"Ya,
aku. Senangkah bertemu kembali den-
ganku?"
tukas Soma gembira. Senyum manisnya
mendadak
diumbar lebar. Seolah dengan senyum
itu,
ia ingin memikat kecantikan gadis di hada-
pannya.
"Pergi-pergi!
Aku benci padamu! Aku tak in-
gin
bertemu lagi dengan kau!" usir Putri Manja.
Saat
itu, Putri Manja memang bermaksud
mandi.
Maka begitu melihat Soma telah berada di
hadapannya,
pakaiannya urung dibuka. Sedang
Soma
yang berada persis di hadapannya hanya
bersiul-siul
gembira. Ia tadi memang sempat me-
lihat
belahan dada gadis manja di hadapannya.
Maka
tak heran kalau pandang matanya masih
lekat
pada dua bukit kembar itu. Walau si gadis
cantik
telah mengenakan pakaiannya kembali.
Putri
Manja mendelik, gusar. Kesal sekali ha-
tinya
diperhatikan seperti itu oleh mata Soma.
"Pergi?
Cepat tinggalkan tempat ini! Aku tak
sudi
lagi melihat tampangmu!" usir si gadis.
Soma
meringis. Sungguh tidak disangka ka-
lau
Putri Manja masih marah padanya.
"Kita
kan teman. Apa kita tak bisa berbaikan
lagi,
Putri Manja?" bujuk Soma.
"Tidak.
Aku benci padamu. Kau bukan te-
manku.
Pergi!" usir si gadis, sekali lagi
"Oh...,
begitu. Jadi kau mengusirku? Sejak
kapan
kau jadi pemilik sendang ini. Kulihat kau
mau
mandi. Aku juga. Aku mengusulkan bagai-
mana
kalau kita mandi bersama?" goda Soma la-
gi.
"Cih!
Tak tahu malu! Pemuda macam apa
kau
ini?! Diusir malah berkata jorok. Pergi! Pergi!"
Putri
Manja gusar bukan main. Cepat dica-
butnya
senjata andalan yang terselip di pinggang.
Lalu
dengan kemarahan meluap, gunting di tan-
gannya
telah menyerang Siluman Ular Putih.
Crik!
Crikkk!
"Uts...!"
Soma
berkelit ke samping. Sebenarnya kalau
mau,
mudah saja Putri Manja dilumpuhkannya.
Tapi
si pemuda tidak ingin melakukannya. Ia ti-
dak
ingin Putri Manja membenci dirinya. Ma-
kanya,
otaknya kini berputar mencari akal.
"Ciaaat...!"
Crikkk!
Crikkkk!
Tanpa
ampun gunting di tangan Putri Manja
terus
memburu tubuh Siluman Ular Putih. Malah
kali
ini gadis itu tak segan-segan mengeluarkan
jurus
Tarian Bidadari setelah serangan perta-
manya
tadi gagal. Tentu saja hal ini membuat Si-
luman
Ular Putih kewalahan dan tak mungkin
menghindar
terus menerus. Bisa-bisa tubuhnya
dijadikan
serpihan daging oleh gunting Putri Man-
ja.
Namun untuk balas menyerang, itu lebih tidak
mungkin.
Makanya meski sesulit apa pun Silu-
man
Ular Putih terus berusaha menghindar.
"Tunggu,
Putri! Ada ulat bulu di pundakmu!
Hiy...!
Aku takut. Aku.... Aku...," pekik Siluman
Ular
Putih, berdusta.
Akibatnya
sungguh di luar dugaan. Putri
Manja
menghentikan serangannya dan langsung
berteriak-teriak
kalap. Ia berjingkrak-jingkrak ke-
takutan.
Berkali-kali ujung gunting di tangannya
digerakkan
ke pundak berusaha mengusir ulat
bulu
yang menurut Soma menempel di pundak.
"Belum
jatuh. Ulatnya masih menempel di
pundakmu.
Malah sebentar lagi akan merayap ke
tengkuk.
Hiy! Ngeri. Aku takut. Sebaiknya aku
cepat
pergi dari tempat ini. Selamat tinggal!" kata
Soma,
terus menakut-nakuti.
"Soma...!
To... tolong aku!" ratap Putri Manja,
berteriak
ketakutan. Wajahnya kian pucat pasi.
"Lho?
Bukankah tadi kau mengusirku? Ke-
napa
sekarang aku harus menolongmu? Aku ti-
dak
mau. Aku juga takut dengan ulat bulu," goda
Soma.
Diam-diam Soma tersenyum senang meli-
hat
siasatnya berjalan lancar.
"Soma...!
Aku tidak lagi mengusirmu. Cepat
ambil
ulat bulu di pundakku!" pinta Putri Manja
penuh
harap.
Soma
tetap jual mahal. Hatinya begitu se-
nang
melihat kekalapan Putri Manja.
"Soma...!
Cepat tolong aku, Soma. Aku ta-
kut...!"
pinta Putri Manja memelas.
Lama-lama,
Soma jadi kasihan. Kali ini Putri
Manja
benar-benar mulai menitikkan air mata.
Tak
mungkin gadis itu dibiarkan tersiksa lebih
lama.
"Baik.
Tapi ada syaratnya," kata Soma me-
nyanggupi
"Iya,
iya. Syarat apa pun akan kupenuhi, as-
al
yang bukan-bukan," sahut Putri Manja.
"Benar?"
"Benar.
Cepat ambil ulat itu!" pekik Putri
Manja
tak sabar.
"Baik."
Soma
tersenyum gembira. Memang siasat
itulah
yang diinginkannya. Tanpa banyak cakap
segera
didekatinya Putri Manja. Namun kini ma-
lah
Soma yang jadi bingung sendiri. Karena me-
mang,
di pundak Putri Manja tidak ada ulat bulu.
Tadi
itu hanya akalnya saja. Sekarang setelah
disuruh
mengambil ulat bulu di pundak Putri
Manja,
Soma jadi berpikir. Ia harus menemukan
ulat
bulu. Kalau tidak, bisa jadi Putri Manja ma-
kin
kalap karena telah dibohongi. Ini berarti ma-
kin
memperdalam kemarahan gadis manja itu.
"Kenapa
diam saja? Cepat ambil, Soma!" te-
riak
Putri Manja, melihat Soma hanya terpaku.
"Aku...
Aku tid... tid… Eh, maksudku.... Aku
takut,
Putri. Ngeri! Aku tak berani mengambil,"
sahut
Soma beralasan.
"Soma...!!!"
pekik Putri Manja makin kalap.
"I...
Iya. Aku.... Aku... bagaimana kalau
kuambil
pakai kayu saja?" kata Soma, gugup.
"Soma!
Kau benar-benar menjengkelkan. Ce-
pat
ambil ulat itu!" teriak Putri Manja.
Tanpa
peduli, Soma malah melompat ke se-
buah
pohon. Dalam hatinya, ia harus cepat men-
dapatkan
ulat bulu. Kalau tidak, bisa kapiran.
Untungnya
di saat Soma mendarat di sebuah po-
hon,
tiba-tiba matanya melihat seekor ular bulu
besar
berwarna hitam mirip warna ranting pohon
di
depannya.
Soma
bersorak kegirangan. Buru-buru dipa-
tahkannya
ranting pohon itu lalu segera meloncat
turun.
Di
bawah, Putri Manja masih saja berteriak-
teriak
kalap. Ia benar-benar takut pada ulat bulu.
Sementara
hatinya juga tak melihat Soma pun ta-
kut
pada ulat bulu. Maka begitu melihat Soma tu-
run,
Putri Manja pun segera menghampiri murid
Eyang
Begawan Kamasetyo.
Tanpa
banyak cakap, Soma pura-pura
menggerak-gerakkan
ranting kayu di tangannya
ke
pundak Putri Manja. Lalu segera ditunjukkan-
nya
ranting kayu di tangan kanannya ke arah Pu-
tri
Manja.
Putri
Manja memekik senang. Tanpa sadar
segera
dirangkulnya Soma.
Siluman
Ular Putih tersenyum. Senang seka-
li
mendapat pelukan hangat dari gadis manja itu.
"Cepat,
Soma! Bunuh ulat itu. Aku takut.
Takut
sekali!" rajuk Putri Manja, menggemaskan.
"Baik."
Soma
segera menjentikkan jari-jarinya. Se-
kali
saja. Akibatnya, tubuh ulat bulu itu telah
mencelat
jauh dengan tubuh hancur.
"Nah,
sudah. Ulat bulu itu sudah mati. Seka-
rang
tinggal giliranmu. Kau tidak boleh memben-
ciku.
Kau harus patuh padaku. Kau harus jadi
teman
baikku. Kau harus...."
"Soma!"
potong Putri Manja. "Cepat kau
membelakangiku!
Aku tak ingin kau melihatku."
"Lho?
Jadi, kau masih membenciku?" Soma
terperangah.
Putri
Manja tersenyum. Manis sekali, mem-
buat
Soma melongo.
"Tidak.
Aku tidak membencimu. Aku cuma
mau
mandi. Sejak tadi pagi aku belum mandi.
Nah
sekarang cepat belakangi aku!" seru Putri
Manja.
"Tapi
aku juga mau mandi. Bagaimana kalau
kita
mandi bersama," usul Soma.
"Enak
saja! Cepat belakangi aku!"
"Ba...
baik."
"Nah,
begitu. Awas kalau kau coba-coba
mengintip.
Kupotong lehermu dengan guntingku
ini!"
"Iya,
iya. Cepat. kalau kau mau mandi. Aku
juga
panas. Sudah dua hari aku belum mandi.
"Pantas
baumu mirip kerbau!" ledek Putri
Manja,
lalu disusul suara tawanya yang menggeli-
tik.
Soma
hanya diam saja. Meski dalam hatinya
menggerutu,
namun toh menurut juga. Sedikit
pun
kepalanya tak berani dipalingkan ke bela-
kang.
Selain tak berani, juga malu pada dirinya
sendiri.
Selang
beberapa saat Soma baru mendengar
suara
tawa saat gadis manja itu tengah bermain
air.
Diam-diam pemuda itu jadi iri. Tubuhnya te-
rasa
panas. Bukannya karena membayangkan so-
sok
tubuh mulus di belakangnya, melainkan ka-
rena
memang sudah kebelet sekali ingin mandi.
"Cepat,
Putri! Memangnya hanya kau saja
yang
ingin mandi?!" ujar Soma tak sabar.
"Hik
hik hik...! Enak sekali, Soma. Segar.
Rasa-rasanya
ingin sekali aku berlama-lama
mandi.
Awas, Soma! Kau tidak boleh mengin-
tipku.
Aku masih ingin berenang sebentar" sahut
Putri
Manja seenaknya.
Soma
manyun berat. Suara kecipak-kecipuk
di
belakangnya benar-benar menggoda hatinya.
Hatinya
tak sabar lagi untuk berendam dalam air.
Syukur
bisa bersama-sama gadis manja itu. Na-
mun
sialnya, gadis di belakangnya malah seperti
menggoda.
"Cepat,
Putri! Aku tidak sabar lagi. Kalau
kau
tidak mau cepat-cepat, terpaksa aku akan
nekat
menemanimu mandi," ancam Soma.
"Jangan,
Soma! Jangan!" teriak Putri Manja.
"Makanya
cepat!"
"Baik,
baik."
"Soma
tersenyum. Senang sekali hatinya me-
lihat
gadis itu ketakutan mendengar ancamannya.
Namun
bukan itu saja yang membuat hatinya se-
nang.
Melainkan air di belakangnya.
***
"Ompong!
Bagus kau datang menemuiku.
Kali
ini tak mungkin kau luput dari kematianmu!"
Dengan
bentakan kasar, Pengasuh Setan
menghentikan
langkahnya dan berbalik. Sepa-
sang
matanya yang cekung tampak berwarna me-
rah
saga menatap lelaki tua berjubah kuning ke-
dodoran
yang tak lain Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
Dengusan napasnya memburu, pertanda
tokoh
sesat dari puncak Gunung Sindoro itu mu-
lai
dipenuhi hawa membunuh. Hawa yang akan
diwarnai
pertumpahan darah!
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terkekeh se-
nang.
Sungguh tidak disangka ia akan bertemu
musuh
besarnya di tempat ini.
"Manusia
bejat! Beruntung sekali aku berte-
mu
denganmu. Beruntung sekali karena sebentar
lagi
aku akan mengirim nyawa busukmu ke dasar
neraka.
Belum puas aku kalau belum melam-
piaskan
sakit hatiku," sahut Pelukis Sinting Tan-
pa
Tanding terkekeh senang.
Pengasuh
Setan mendengus angkuh. Kilatan
sepasang
matanya yang berwarna merah saga
semakin
mengerikan. Seolah ia ingin menelan
musuhnya
hidup-hidup dalam kilatan matanya.
"Tak
perlu banyak bacot! Kalau kau ingin
melampiaskan
sakit hatimu, majulah! Aku ingin
melihat
sampai di mana kehebatanmu," tantang
Pengasuh
Setan.
Pengasuh
Setan mengangguk-angguk, mera-
sa
yakin kalau tua bangka di hadapannya bukan-
lah
pembunuh muridnya. Hidungnya sama sekali
tidak
mencium bau darah muridnya pada diri Pe-
lukis
Sinting Tanpa Tanding. Yang tercium hanya
bau
keringat tua bangka di hadapannya. Apek!
"He
he he...! Lagakmu dari dulu selalu pon-
gah,
Pengasuh Setan. Aku benar-benar benci
dengan
lagakmu. Kau memang patut mampus di
tanganku,"
kata Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Pengasuh
Setan menggereng penuh kemara-
han.
Hawa membunuh dalam dirinya makin ber-
kobar.
Rahangnya mengembung, tak ubahnya se-
perti
bisul yang siap pecah.
"Heaaaa...!"
Disertai
bentakan membelah angkasa, Pen-
gasuh
Setan meluruk ke arah musuh besarnya.
Tanpa
banyak cakap kedua telapak tangannya
yang
telah berubah jadi hitam legam segera dido-
rongkan
ke depan.
Wuuttt...!
"Uts...!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding cepat melent-
ing
ke atas, sehingga serangan dua larik sinar hi-
tam
dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan
melesat
di bawah kakinya.
Blarrr...!
"Heh...?!"
Begitu
mendarat, Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
terkesiap. Matanya terbelalak lebar saat
melirik
ke arah tempat kedua sinar hitam tadi
menghantam.
Sebuah batang pohon berukuran
lima
pelukan orang dewasa di belakang Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding kontan hancur berkeping-
keping.
Pada bagian batang pohon yang terkena
pukulan
kontan menjadi abu.
"Pukulan
'Bara Setan'...!" desis Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding
Pengasuh
Setan menggeretakkan geraham-
nya
penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam
dirinya
makin berkobar. Bahkan makin sulit di-
kendalikan!
8
"Soma!
Apakah kau tadi sudah mengirim be-
gundal-begundal
itu ke kadipaten?" tanya Putri
Manja
mengusik kesenangan Soma di tengah
sendang.
"Begundal-begundal
yang mana?" sahut So-
ma
tak senang.
Putri
Manja memberengut. Tak senang men-
dengar
jawaban Soma yang ketus.
"Juragan
Lanang dan kesepuluh orang anak
buahnya,
Soma. Apakah kau sudah membawa
mereka
ke kadipaten?" seru Putri Manja kesal.
"Belum."
"Apa?
Belum?" Sepasang mata indah milik
Putri
Manja kontan membelalak indah. Ia kecewa
sekali
atas jawaban Soma.
"Kau
sudah mendengar. Kenapa pakai tanya-
tanya
segala?"
"Bodoh!
Seharusnya kau mengirim mereka
ke
kadipaten. Tapi, mengapa kau malah dibiarkan
berkeliaran.
Kau ini bagaimana, sih?! Kerja begitu
saja
tidak becus!" semprot Putri Manja kasar.
Soma
tidak mempedulikannya. Pemuda ini
terus
saja asyik berenang ke sana kemari mem-
biarkan
Putri Manja uring-uringan di tepi sen-
dang.
"Soma...!
Kau benar-benar menjengkelkan.
Aku
tak sudi berkawan lagi denganmu!" teriak Pu-
tri
Manja.
Soma
terkesiap, baru menyadari kebodohan-
nya.
Namun mana kala kepalanya berpaling, So-
ma
jadi menyesal Putri Manja kini sudah tidak
berada
di tempatnya. Buru-buru Soma keluar da-
ri
sendang.
"Putri...!
Tunggu! Kau jangan marah-marah
begitu!
Aku tadi sudah menyuruh laki-laki pemi-
lik
kedai itu untuk membawa mereka ke kadipa-
ten,"
teriak Soma lantang, saat melihat Putri Man-
ja
melangkah menjauhi.
"Dasar
bodoh. Bisa saja laki-laki mata keran-
jang
itu? Kenapa kau suruh ia membawa Juragan
Lanang
dan para anak buahnya ke kadipaten?
Benar-benar
bodoh kau, Soma!" sahut Putri Man-
ja
dari kejauhan.
"Putri...!
Tunggu! Kau sendiri kenapa tadi
meninggalkanku?
Kau curang! Kau mau menang-
nya
sendiri, Putri?" teriak Soma.
"Biar!"
Soma
menggerutu kesal. Sebenarnya ia ingin
menyusul
Putri Manja, namun tak jadi. Bukannya
tidak
mau, tapi karena menyadari dirinya masih
telanjang.
Bila tidak ingin ditertawakan orang,
maka
pemuda ini harus kembali ke tempatnya
semula
dan mengenakan pakaiannya kembali
Dan
meski dengan hati berat, terpaksa Soma
mengenakan
pakaiannya kembali. Sedang sosok
tubuh
Putri Manja tampak terus berkelebat cepat
di
kejauhan.
Soma
mengeluh, tapi tak ada pilihan lain.
***
Sepasang
mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat
penuh kemarahan setelah serangan per-
tamanya
terhadap Pelukis Sinting Tanpa Tanding
gagal.
Bahkan amat mudahnya serangan itu di-
mentahkan
musuh bebuyutannya.
Sifat
angkuhnya jelas tidak bisa menerima
kegagalan
barusan. Ia yang merasa setingkat le-
bih
tinggi dibanding. Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing
jelas tidak ingin kalah unjuk gigi. Apalagi Pen-
gasuh
Setan yakin sekali dapat menundukkan
musuh
bebuyutannya.
"Bagus!
Rupanya kau masih ingat pukulan-
ku.
Berarti kau pun harus mengingat-ingat kalau
pukulan
'Bara Setan' milikku akan segera mengi-
rim
nyawa busukmu ke dasar neraka. Bersiap-
siaplah
menerima kematianmu hari ini, Ompong!"
ancam
Pengasuh Setan, congkak.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding hanya terke-
keh
senang. Meski disadari betul kalau Pengasuh
Setan
bukanlah lawan enteng, namun sikapnya
masih
saja ayal-ayalan. Malah tindak tanduknya
makin
dibuat-buat.
"Kau
memang hebat sekaligus juga congkak,
Pengasuh
Setan. Dulu kau boleh mempecundan-
giku.
Tapi kali ini...," Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing
sebentar berhenti berkata seraya memamer-
kan
giginya yang ompong. Kuas di tangan kanan-
nya
dikibas-kibaskan seenaknya. "Mungkin na-
sibku
akan sedikit mujur. Kujamin kau akan ber-
susah
payah menundukkanku. Tidak seperti yang
kau
bayangkan. Malah bisa jadi kau akan lari
terbirit-birit
meninggalkan tempat pertarungan
begitu
melihat cat-cat minyakku. Kau pasti telah
siap
kuberi hadiah. Kau mau minta gambar apa?
Gambar
anjing buduk? Atau, gambar ular belu-
dak
sepertimu?"
Bukan
main geramnya Pengasuh Setan
mendengar
ejekan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Rahangnya
kini mengembung. Kedua pelipisnya
bergerak-gerak
pertanda tokoh sesat dari puncak
Gunung
Sindoro itu tak dapat lagi mengendalikan
amarahnya
yang menggelegak.
"Keparat!
Kau harus membayar mahal atas
penghinaanmu
ini, Ompong! Heaaa!"
Dikawal
teriakan nyaring, Pengasuh Setan
segera
menerjang ganas Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah
hitam legam segera didorong ke depan. Se-
ketika
tampak dua larik sinar hitam legam dari
kedua
telapak tangannya, mengancam lawan.
Wesss!
Wesss!
"Hup!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding tak mau sem-
brono.
Sebagai tokoh silat tingkat tinggi, ia cukup
tahu
betapa hebatnya pukulan 'Bara Setan' milik
Pengasuh
Setan. Maka seketika tubuhnya mence-
lat
tinggi ke udara. Sekali tubuhnya berputaran.
Pada
saat kepala di bawah, tubuhnya meluncur
dahsyat
membuka serangan balik. Ujung kuas di
tangan
kanannya segera diarahkan ke ubun-ubun
kepala
lawan. Sedang nampan kayu mirip berben-
tuk
mainan congklak telah siap pula mengancam
dada.
"Ah...!"
Pengasuh
Setan terperangah kaget. Sungguh
tidak
disangka musuh bebuyutannya mampu me-
lancarkan
serangan balik demikian cepat dan
berbahaya.
Untuk melindungi bagian yang amat
mematikan,
segera kedua telapak tangannya di-
angkat
ke atas.
Dukkk!
Dukkkk!
Begitu
dua tangan masing-masing berbentu-
ran,
kedua-duanya sama-sama tergetar. Tubuh
Pengasuh
Setan limbung ke samping. Sedang tu-
buh
Pelukis Sinting Tanpa Tanding mental balik
ke
udara.
Pengasuh
Setan menggeram penuh kemara-
han.
Kedua lengannya terasa panas bukan main.
Bukan
itu saja. Pada saat ia kehilangan keseim-
bangan,
mendadak Pelukis Sinting Tanpa Tanding
yang
telah mendarat kembali menyerang dengan
kuas
di tangan.
Srat!
Srattt!
Dada
Pengasuh Setan yang sedikit terbuka
tahu-tahu
tergores kuas di tangan musuh besar-
nya,
membentuk dua garis setengah melingkar
menyerupai
sebuah kepala. Entah kepala apa.
Yang
jelas Pengasuh Setan merasa gusar bukan
main.
Bahkan dadanya yang terkena goresan
kuas
tadi terasa mau jebol. Maka tanpa ampun,
tubuhnya
pun terjajar ke belakang!
"Bedebah!
Demi iblis sesembahanku, kali ini
aku
benar-benar tak ingin melepaskan nyawa bu-
sukmu
begitu saja. Kau harus modar di tangan-
ku!"
dengus Pengasuh Setan menggereng penuh
kemarahan.
Habis
menggereng, tanpa banyak cakap lagi
Pengasuh
Setan segera menerjang Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding. Tidak tanggung-tanggung. Lang-
sung
dikeluarkannya salah satu ajian andalan-
nya.
"Hm....
Aji ‘Tangkal Petir’...!" desis Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding, menyebut ajian yang dike-
luarkan
Pengasuh Setan.
Dari
raut wajahnya yang jenaka sedikit pun
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding tidak merasa takut
melihat
musuh besarnya mengeluarkan aji
'Tangkal
Petir'. Malah seketika dia membuat bebe-
rapa
gerakan dengan kuasnya.
"Akan
kutandingi dengan aji 'Cat Hati Suci',"
gumamnya.
Begitu
Pengasuh Setan menangkupkan ke-
dua
telapak tangannya di depan dada, seketika
tampak
sekujur tubuhnya telah dipenuhi cahaya
merah
berpendar. Sementara kedua telapak tan-
gannya
pun juga berwarna merah menyala. Lalu
disertai
teriakan keras kedua tangannya dihen-
takkan
ke depan.
"Heaaa...!"
Wesss!
Wesss!
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terkekeh. En-
tah
karena musuh besarnya telah mengeluarkan
ajian
andalannya, entah karena tak sabar meng-
hadapi
pertarungan besar ini. Yang jelas begitu
melihat
dua larik sinar merah menyala meluruk
ke
arahnya, buru-buru nampan kayu di tangan
kirinya
diangkat tinggi-tinggi.
Ketika
cairan cat beraneka warna itu mendi-
dih
di dalam nampan kayu berhamburan, dengan
kekuatan
tenaga dalam tinggi Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding meniupnya keras!
"Fhuhhh...!"
Werrr!
Werrrr!
Besss!
Tak
terdengar ledakan hebat ketika dua si-
nar
merah milik Pengasuh Setan saling mendo-
rong
dengan hamburan cat milik Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding. Tubuh kedua tokoh tua dunia
persilatan
itu sama-sama tergetar hebat menan-
dakan
kalau mereka sama-sama mengerahkan
tenaga
dalam tinggi. Namun mereka tetap ngotot
untuk
tetap bertahan. Sedikit pun mereka tidak
mau
mengalah. Bahkan kedua tokoh sakti dunia
persilatan
itu makin melipatgandakan tenaga da-
lam,
hingga membuat gulungan-gulungan cat mi-
nyak
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tertahan di
udara.
Tanpa
dapat dicegah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
mengeluarkan keringat dingin. Demikian
juga
Pengasuh Setan. Mereka pun sama-sama
mengeluarkan
keluhan kecil. Tubuh kedua orang
itu
pun makin bergetar hebat. Sebentar-sebentar
Pengasuh
Setan merasakan tubuhnya menggigil
kedinginan.
Sebentar kemudian gantian Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding yang merasakan tubuhnya
seperti
terbakar.
"Heaaa...!"
Begitu
berhasil menambah kekuatan tenaga
dalamnya,
dengan kekuatan penuh mendadak Pe-
lukis
Sinting Tanpa Tanding meniup keras. Aki-
batnya
tubuh Pengasuh Setan limbung, kehilan-
gan
keseimbangan. Bahkan bukan itu saja. Seca-
ra
mendadak, gulungan-gulungan semburan cat
minyak
milik Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
merangsak
dua larik sinar merah menyala dari
kedua
telapak tangannya.
Blasss...!!!
"Aaaakh...!"
Pengasuh
Setan meraung setinggi langit.
Tanpa
ampun gulungan cat minyak dari nampan
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding merangsak da-
danya,
membentuk gambar seekor anjing buduk
seperti
yang dikatakan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
tadi.
Bukan
main geramnya hati tokoh sesat dari
Gunung Sindoro itu melihat dirinya dapat dipe-
cundangi
musuh besarnya. Bagian dadanya yang
terkena
hantaman semburan cat minyak Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding dingin luar biasa, seolah
dingin
membekukan jantungnya.
Tentu
saja hal ini membuat Pengasuh Setan
kalap.
Tekadnya, serangan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
harus dibalasnya. Tapi sayang baru Saja
hendak
membuat kuda-kudanya, samar-samar
matanya
melihat kuas di tangan Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding telah menyerang dadanya. Begitu
cepatnya,
sehingga ia tak mampu menghindar.
Dan....
Srakkk!
Srakkk!
"Aaakh...!"
Sekali
lagi Pengasuh Setan meraung hebat.
Tubuhnya
seketika terpelanting ke belakang, dan
jatuh
berdebam. Bagian dadanya yang terkena
goresan
kuas terasa nyeri bukan main. Seolah-
olah,
ingin mengoyak isi dadanya.
Sembari
bertolak pinggang Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding terkekeh ujung kuas di tangan
kanannya
dituding-tudingkan ke arah Pengasuh
Setan.
Gayanya mirip benar nenek-nenek cerewet
yang
tengah memarahi cucunya.
"Kubilang
apa? Dasar bandel. Lebih baik bu-
nuh
diri saja daripada tanganku kotor oleh darah
busukmu.
Hayo, lekas minta ampun padaku. Pas-
ti
aku akan mengampuni. Tapi kalau kau masih
bandel,
pasti aku akan menjewer telingamu sam-
pai
merah!" ancam Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing,
galak. Tapi karena diucapkan sambil cen-
gengesan
bukannya jadi tampak galak, malah se-
baliknya.
"Heaaahh...!"
Pengasuh
Setan menggeram murka. Dengan
sekali
loncat, tubuhnya kembali tegak di hadapan
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding. Kali ini, ia tidak
langsung
menyerang, melainkan memandangi
musuh
besarnya seksama.
"Hebat!
Rupanya kau sengaja menghilang
dari
dunia persilatan hanya untuk mencari ajian
yang
dapat melumpuhkan aji 'Tangkal Petir'-ku,
Ompong.
Tapi jangan bangga dulu. Aku belum
kalah.
Sekaranglah gantian aku mengalahkanmu.
Bahkan
aku bukan hanya ingin mengalahkanmu,
tapi
juga ingin mengirim nyawa busukmu ke da-
sar
neraka dengan aji 'Panglipur Setan'! Bersiap-
siaplah
menerima kematianmu, Ompong!"
Makin
renyah saja tawa terkekeh Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding. Namun diam-diam tokoh
sakti
dari Goa Bedakah ini gelisah sekali. Baru
saja
Pengasuh Setan mengerahkan aji 'Tangkal
Petir'
yang demikian hebat. Apalagi dengan aji
'Panglipur
Setan' yang tentu lebih hebat diband-
ing
ajiannya yang pertama.
"Boleh
saja kalau kau bisa, Pengasuh Setan.
Ayo,
jangan mengancam saja! Buktikan! Dari tadi
kau
hanya pintar berkoar!" ejek Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding hanya sekadar menutupi rasa ge-
lisahnya.
Hatinya khawatir kalau-kalau tidak
mampu
mengatasi aji 'Panglipur Setan' milik Pen-
gasuh
Setan. Maka diam-diam tenaga dalamnya
makin
dilipatgandakan kalau-kalau ada seran-
gan-serangan
yang tak terduga. Namun serangan
yang
ditunggu-tunggu tidak datang. Sementara
Pengasuh
Setan malah duduk bersila di hada-
pannya.
Kedua telapak tangannya ditangkupkan
di
depan dada. Bibirnya berkemik-kemik dengan
mata
tertutup. Entah, apa yang akan dilakukan.
Yang
jelas, Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus
berjaga-jaga.
Di
saat tengah berjaga-jaga, mendadak tokoh
sakti
dari Goa Bedakah ini dikejutkan oleh bunyi-
bunyi
aneh yang keluar dari mulut Pengasuh Se-
tan.
Mula-mula bunyi gerengan itu hanya perla-
han.
Selang beberapa saat, gerengannya jadi
menghentak-hentak.
Keras. Amat keras!
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terperanjat.
Gendang
telinganya terasa mau pecah. Buru-buru
tenaga
dalamnya dikerahkan ke telinga untuk
melindungi
gendang telinganya. Namun suara-
suara
gerengan semakin menyerang luar biasa.
Suara-suara
gerengan itu terus menerobos gen-
dang
telinga Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Iba-
rat
tangan-tangan setan mengaduk-aduk ke da-
lam
kubangan air!
"Celaka!
Bisa modar kalau begini terus ca-
ranya.
Aku harus bertindak. Aku tak mau mati
konyol
seperti ini. Tapi, bagaimana?" gumam hati
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding gelisah.
Suara-suara
gerengan Pengasuh Setan pun
makin
menghebat menghentak-hentak gendang
telinga
Pelukis Sinting Tanpa Tanding tanpa am-
pun.
Akibatnya tubuh lelaki tua dari Goa Beda-
kah
itu terguncang. Dari kedua lobang telinganya
bahkan
telah mengeluarkan darah segar!
"Sekaranglah
saat kematianmu, Ompong!
Heaa...!"
Tiba-tiba tubuh Pengasuh Setan meloncat
tinggi
ke udara. Kedua telapak tangannya yang
berisi
aji 'Panglipur Setan' siap meremukkan
ubun-ubun
kepala lawan.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding terperangah.
Tak
mungkin serangan maut itu dipapak. Tubuh-
nya
tengah limbung akibat serangan suara-suara
dahsyat
tadi. Apalagi perhatiannya terpusat pada
gerengan-gerengan
Pengasuh Setan yang men-
gandung
tenaga dalam kuat luar biasa!
"Heaaa...!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding berusaha
berkelit
sebisanya. Namun sayangnya, gerakan
tubuhnya
terlalu lamban. Maka tanpa ampun la-
gi....
Crakkk!
"Aaah...!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding menggembor
setinggi
langit. Tubuhnya seketika terpental jauh
ke
belakang, berputar-putar sebentar, dan jatuh
berdebam
ke tanah. Untung saja serangan Penga-
suh
Setan tidak mengenai ubun-ubun kepalanya.
Kalau
luput sedikit saja, bukan mustahil kepala
gundulnya
hancur berkeping-keping!
Namun
meski serangan Pengasuh Setan
hanya
mengenai pundak, hal ini tak urung mem-
buat
Pelukis Sinting Tanpa Tanding meringis ke-
sakitan.
Pundak yang terkena hantaman tadi te-
rasa
ngilu bukan main. Dan.....
"Hoeeeekh...!!!"
Dan
saking tidak tahannya, Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding kontan menyemburkan darah se-
gar
kehitam-hitaman dari mulutnya.
Pengasuh
Setan tertawa bergelak. Perlahan-
lahan
didekatinya tubuh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
yang ambruk di tanah. Pandang matanya
mengerikan,
siap merenggut nyawa musuh be-
buyutannya!
9
Saat
ini keadaan Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
benar-benar sangat mencemaskan. Tu-
buhnya
terluka parah. Pakaiannya compang-
camping
tidak karuan. Banyak darah keluar dari
mulut,
lobang hidung, maupun lobang telinga.
Sementara
Pengasuh Setan terbahak-bahak
penuh
kemenangan. Selangkah demi selangkah,
terus
didekatinya Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dengan
tangan terkepal. Matanya-memancar ben-
gis.
Kalau
sudah begini, apa yang bisa diperbuat
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding? Nyawanya sudah
di
ujung tanduk. Sekali tangan Pengasuh Setan
mengibas,
bukan mustahil nyawa tokoh sakti dari
Goa
Bedakah itu akan minggat untuk selama-
lamanya!
Tentu
saja Pelukis Sinting Tanpa Tanding ti-
dak
menginginkannya. Meski nyawanya sudah di
ujung
tanduk, mana sudi ia menyerah begitu sa-
ja.
Selembar nyawanya harus dipertahankan. Ha-
rus!
Apa pun yang akan terjadi, ia harus berusa-
ha.
Baginya, tak ada kata menyerah sebelum
nyawanya
melancong entah ke mana.
"Ha
ha ha...! Sekarang kau bisa apa, Om-
pong?
Beginikah caramu membalas sakit hati?
Ayo,
Ompong! Bangun! Tunjukkan sampai di ma-
na
kehebatanmu!" ejek Pengasuh Setan.
"Manusia
jadah! Kau kira.... Kau dapat
membunuhku,
he?! Tidak! Sama sekali tidak! Jika
aku
kalah, itu bukan berarti mati di tanganmu.
Melainkan
karena aku memang sudah muak me-
lihat
tampang busukmu, tahu?" balas Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding, menyakitkan.
"Jahanam!
Kau memang tidak patut dikasih
ampun!
Kau harus modar di tanganku!" dengus
Pengasuh
Setan penuh kemarahan.
Melihat
Pengasuh Setan makin mendekat,
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding mulai mengatur
siasat.
Ia tak sudi mati konyol di tangan musuh
besarnya
tanpa sedikit pun berusaha melawan.
"Haaap...!"
Pengasuh
Setan mengangkat kedua telapak
tangannya,
bermaksud meremukkan kepala Pelu-
kis
Sinting Tanpa Tanding dari samping kanan ki-
ri.
Di saat kedua telapak tangannya bergerak....
"Hup...!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang berusa-
ha
mengumpulkan tenaga dalamnya cepat meng-
gulingkan
tubuhnya ke belakang. Sembari bertin-
dak
begitu, cat di tangan kirinya segera diham-
burkan
ke depan.
"Ah...!"
Pengasuh
Setan terpekik kaget, tidak me-
nyangka
kalau Pelukis Sinting Tanpa Tanding
masih
mampu melancarkan serangan demikian
mendadak
sekaligus amat membahayakan.
Namun
sebagai seorang tokoh sakti dunia
persilatan,
sedikit pun ia tidak gugup
"Hup...!"
Begitu
gulungan-gulungan cat minyak me-
luncur
dengan kecepatan luar biasa, Pengasuh
Setan
segera menjatuhkan diri. Dan dengan satu
perhitungan
tepat, tahu-tahu kaki kanannya te-
lah
menendang pantat Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
telak sekali.
Bukkk...!!
"Auuhh...!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding menggembor
setinggi
langit. Seketika tubuhnya terlempar jauh
ke
belakang, berguling-gulingan bak trenggiling.
Dan
ia baru berhenti saat menghantam batang
pohon.
"Hoeeekh...!"
Sekali
lagi Pelukis Sinting Tanpa Tanding
muntahkan
darah segar. Parasnya tampak pucat
pasi.
Kedua bibirnya berkemik-kemik hebat, per-
tanda
tengah menderita luka dalam amat parah.
Belum
lagi bagian pantatnya yang baru saja ter-
kena
tendangan kaki Pengasuh Setan.
Lelaki
tua dari Goa Bedakah ini meringis ke-
sakitan,
seolah tak tahan dengan luka dalam tu-
buhnya.
Lebih hebatnya lagi, sekujur tubuhnya
terasa
lemas tak bertenaga. Tendangan Pengasuh
Setan
barusan benar-benar dahsyat, membuat di-
rinya
sulit sekali untuk berdiri!
"Ompong...!
Kali ini tak mungkin kau lepas
dari
tangan mautku. Bersiap-siaplah kau mene-
rima
kematianmu hari ini!" ancam Pengasuh Se-
tan.
Pengasuh
Setan menarik mundur kedua te-
lapak
tangannya ke belakang yang telah berubah
jadi
merah menyala penuh aji 'Tangkal Petir'.
"Celaka!
Tamatlah sudah riwayatku hari ini.
Tak
mungkin aku lepas dari tangan mautnya to-
koh
edan dari puncak Gunung Sindoro ini. Ah...!"
Mata
Pelukis Sinting Tanpa Tanding terbela-
lak
lebar. Ia ingin menyambut kematiannya den-
gan
mata terbuka. Kalau saja masih dapat meng-
gerakkan
tubuhnya, sudah pasti ia tak sudi mati
dengan
cara itu. Malah kalau bisa mati dalam pe-
lukan
seorang gadis!
"Ah...!
Kenapa dalam keadaan terjepit begini,
sempat-sempatnya
aku berpikir ngeres?"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding mengutuk di-
rinya
sendiri dalam hati. Memang bila dalam ba-
haya
maut, tak ada pilihan lain, kecuali menghi-
bur
diri sendiri. Ia malah membayangkan wajah
seorang
gadis! Edan! Apa yang diinginkan sebe-
narnya?
"Hiaaa...!"
Disertai
bentakan membelah angkasa, kedua
telapak
tangan Pengasuh Setan mendorong ke
depan.
Seketika tampak melesat dua larik sinar
merah
menyala dari kedua telapak tangannya,
siap
melabrak tubuh lawan.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding makin mem-
belalakkan
matanya lebar. Dipandanginya dua la-
rik
sinar merah yang siap merenggut nyawanya
dengan
senyum terkembang di bibir.
Wesss?
Wesss!
Namun
sebelum dua sinar itu mengenai sa-
saran,
mendadak serangkum angin dingin dari
samping
melesat ke arah pukulan aji 'Tangkal Pe-
tir'
milik Pengasuh Setan.
Blammm...!
Seketika
bumi bergetar hebat. Ranting-
ranting
pohon berderak dengan daun-daunnya
yang
hangus terkena sambaran dari beradunya
dua
kekuatan dahsyat barusan.
"Jahanam...!
Siapa berani main gila dengan
Pengasuh
Setan, he?!" bentak Pengasuh Setan,
geram
bukan main. Tubuhnya sempat terjajar be-
berapa
langkah ke belakang begitu pukulannya
terpapak.
"Memalukan!
Bisanya membunuh lawan
yang
sudah tak berdaya. Apa ini tidak memalu-
kan?
Huh,..! Dasar manusia kampret dari puncak
Gunung
Sindoro tak berperasaan. Akulah yang
tadi
menghalangi niat busukmu!"
Terdengar
suara cempreng, membuat Penga-
suh
Setan langsung berpaling.
10
Sepasang
mata merah Pengasuh Setan berki-
lat-kilat
penuh kemarahan menatap seorang lela-
ki
berpakaian aneh dua tombak di hadapannya.
Bagaimana
tidak aneh kalau kakek tua renta itu
berpakaian
seperti bocah berusia tua tahun. Ben-
tuk
tubuhnya pun mirip benar dengan bentuk tu-
buh
seorang bayi. Namun rambut, alis, dan bulu
matanya
berwarna putih. Hal itu jelas menunjuk-
kan
kalau sosok di hadapan Pengasuh Setan ada-
lah
seorang kakek.
Tubuh
si kakek pun tak lebih dari setengah
tombak.
Kulitnya gembur berwarna putih bersih.
Namun
tatapan matanya jelas menyiratkan kalau
ilmunya
tak bisa dianggap remeh. Buktinya, aji
'Tangkal
Petir' milik Pengasuh Setan bisa dikan-
daskannya.
"Bayi
Kawak...!" sebut Pengasuh Setan terke-
siap.
Saking terkejutnya, tokoh sesat dari puncak
Gunung
Sindoro ini tanpa sadar mundur bebera-
pa
langkah ke belakang.
Namun
tidak demikian halnya Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding. Begitu melihat, mulutnya
langsung
mengukir senyum. Kini ia tahu, siapa
penolongnya.
Dia adalah seorang tokoh aneh dari
puncak
Gunung Merapi. Dan seperti perawakan
tubuhnya,
sosok aneh itu memang tidak lain dari
Bayi
Kawak.
"Ah...!
Rupanya kau masih mengenaliku.
Pengasuh
Setan? Sungguh beruntung aku. Tapi
kenapa
kulihat perangaimu malah makin menye-
ramkan.
Hiy...! Ngeri aku...!" ujar Bayi Kawak.
"Sobatku,
Bayi Kawak. Tampang manusia
edan
satu ini memang menyeramkan. Aku ngeri
melihatnya.
Kukira, kau pun ngeri melihatnya,
bukan?"
timpal Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Betul.
Aku ngeri sekali. Kok ada manusia
seseram
dia, ya? Apa, jangan-jangan manusia se-
ram
itu jelmaannya iblis? Hiy...! Ngeri aku!" Bayi
Kawak
menciutkan kedua bahunya. Matanya
membelalak
liar seolah takut melihat sosok di ha-
dapannya.
"Benar.
Dialah biangnya segala biang iblis.
Apa
kau berani melawannya?" tanya Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding.
"Berani.
Aku berani. Meski aku ngeri melihat
tampang
seramnya, aku ingin sekali menghajar-
nya.
Tapi, kulihat kau terluka. Coba kau minum
obat
pemunah racunku!" sahut Bayi Kawak.
Bayi
Kawak segera merogoh saku baju
bayinya.
Lalu dengan tangan kiri, segera dilem-
parkannya
obat itu ke arah Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding cepat me-
nangkapnya.
Bentuk obat pemberian Bayi Kawak
memang
cukup aneh. Bulat bergerigi. Baunya
pun
cukup tajam menyengat. Sejenak hatinya ra-
gu-ragu.
Saking baunya, tokoh sakti dari Goa Be-
dakah
itu sampai memencet hidungnya. Namun,
ton
akhirnya obat itu ditelannya juga
"Jangan
sok berlagak, Bayi Kawak! Nama be-
sarmu
memang sudah cukup lama menggetarkan
dunia
persilatan. Tapi Pengasuh Setan sedikit
pun
tidak gentar menghadapimu. Malah hari
ini
juga,
aku harus memenggal kepalamu. Karena
kau
telah lancing mencampuri urusanku!" ancam
Pengasuh
Setan, garang.
"Aku
tahu! Terus terang aku pun sangat pe-
nasaran
denganmu. Bahkan aku juga penasaran
dengan
sepak terjangmu!" sahut Bayi Kawak,
mantap.
"Bagus!
Kalau begitu, buat apa bersilat lidah.
Aku
tak sabar lagi untuk meremukkan batok ke-
palamu.
Majulah, Bayi Kawak! Sekarang juga ku-
tentukan
hari inilah hari kematianmu!"
"Aku
tidak takut. Menghadapi iblis jejadian
macammu,
siapa takut? Hayo, serang aku!"
Bayi
Kawak berkacak pinggang seenaknya.
Sesekali
matanya mengerjap-ngerjap nakal. Den-
gan
begitu, ia menunggu datangnya serangan.
Pengasuh
Setan mendengus tak sabar. Ke-
dua
pelipisnya bergerak-gerak. Gigi-gigi geraham-
nya
bergemeletakkan, pertanda tak dapat men-
gendalikan
amarahnya yang menggelegak. Apalagi
ketika
melihat sikap Bayi Kawak yang angin-
anginan.
Maka tanpa banyak cakap…
"Heaaa...!!!"
Dikawal
teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh
tinggi
kurus Pengasuh Setan telah meluruk ke
arah
Bayi Kawak. Tidak tanggung-tanggung.
Langsung
dikeluarkannya aji "Tangkal Petir' saat
kedua
tangannya mendorong ke depan. Seketika,
tampak
dua larik sinar merah menyala telah me-
lesat
cepat menyerang Bayi Kawak.
Wesss!
Wesss!!!
"Hup!"
Bayi
Kawak yang cukup tahu keampuhan aji
'Tangkal
Petir' tidak ingin mengadu tenaga dalam
dengan
Pengasuh Setan. Dengan loncatan manis
ke
udara dihindarinya serangan. Gerakan tubuh-
nya
ringan sekali dengan kecepatanya sangat
mengagumkan.
Braaakkk!!!
"Bangsaaattt...!"
Pengasuh
Setan menggeram penuh kemara-
han
melihat pukulan aji 'Tangkal Petir'-nya nya-
sar
menghantam batang pohon di belakang Bayi
Kawak.
Seketika itu pula batang pohon itu han-
gus
terbakar!.
Pada
saat tubuhnya masih melayang di uda-
ra,
Bayi Kawak terkekeh senang. Matanya men-
gerjap-ngerjap nakal. Kemudian dengan satu ge-
rakan
indah, tahu-tahu tangan-tangan mungilnya
telah
mengancam sepasang mata Pengasuh Setan
dari
udara!
"Heh?!"
Bukan
main terkejutnya Pengasuh Setan
melihat
kedua bola matanya terancam serangan.
Tentu
saja ia tidak sudi. Maka sambil menggeram
penuh
kemarahan tubuhnya segera dilempar ke
samping.
"Heaaa...!
Heaaa...!"
Bayi
Kawak terus mengejar. Tapi Pengasuh
Setan
juga terus berjumpalitan ke sana kemari.
Pada
satu kesempatan tamparan tangan ka-
nan
Bayi Kawak yang begitu cepat melesat me-
nyerang
Pengasuh Setan yang baru saja berkelit
menghindar.
Begitu cepat datangnya, sehingga....
Plakkk!
Telak
sekali tamparan Bayi Kawak menghan-
tam
jidat Pengasuh Setan. Namun anehnya, seke-
tika
itu pula sekujur tubuh tokoh hitam dari Gu-
nung
Sindoro itu menyala merah. Lebih anehnya
lagi,
sedikit pun tidak mendapat luka. Pengasuh
Setan
hanya sempat kehilangan keseimbangan
sebentar,
lalu dengan kemarahan meluap dialir-
kannya
tenaga dalam ke tangan setelah membuat
beberapa
gerakan tangan di depan dada.
Sejenak
Bayi Kawak melongo di tempatnya,
seolah
tak percaya dengan hasil serangannya ba-
rusan.
Namun begitu menyadari. kalau musuh-
nya
adalah Pengasuh Setan yang memiliki aji
'Tangkal
Petir', baru maklumlah tokoh sakti dari
puncak
Gunung Merapi itu
Dan
baru saja Bayi Kawak memasang kuda-
kudanya,
Pengasuh Setan telah meluruk deras.
"Makanlah
aji 'Tangkal Petir'-ku, Bayi Ka-
wak!
Heaaa...!"
Dikawal
teriakan keras menggelegar, Penga-
suh
Setan mendorongkan kedua telapak tangan-
nya
ke depan. Seketika melesat dua larik sinar
merah
menyala dari kedua telapak tangannya,
mengancam
keselamatan Bayi Kawak.
Diam-diam
tokoh yang berwajah seperti bayi
ini
mengeluh. Serangan Pengasuh Setan demikian
dekatnya.
Sulit rasanya untuk dihindari. Memang
tak
ada pilihan lain. Terpaksa serangan Pengasuh
Setan
harus dipapak bila masih ingin melihat te-
rangnya
sinar matahari esok hari.
"Heaaa...!!!"
Bayi
Kawak menggembor keras. Kedua tela-
pak
tangannya yang telah berubah kuning berki-
lauan
segera dihantamkan ke depan. Seketika
meluncur
dua larik sinar kuning berkilauan dari
kedua
telapak tangannya yang disertai bau me-
nyesakkan
bukan kepalang. Dan....
Blaaam...!!!
Terdengar
satu ledakan hebat di udara saat
empat
buah sinar berbeda beradu di satu titik.
Bumi
saat itu pula laksana diguncang prahara.
Debu-debu
beterbangan. Ranting-ranting pohon
hangus
terbakar. Asap merah dan asap kuning
berkilauan
mengepul di udara.
Pada
waktu terjadinya ledakan tadi, tubuh
Bayi
Kawak sendiri kontan terpental jauh ke be-
lakang.
Begitu jatuh di tanah, parasnya pucat pa-
si,
pertanda mengalami luka dalam lumayan. Itu
bisa
dilihat dari lelehan darah yang mengalir di
sudut
bibir.
Lain
halnya yang dialami Pengasuh Setan.
Meski
tubuh tokoh sesat dari puncak Gunung
Sindoro
itu sempat terguncang hebat, namun ma-
sih
dapat menguasai keseimbangan tubuhnya.
Hanya
kedua kakinya saja yang melesak beberapa
dim
ke dalam tanah!
"Ha
ha ha...! Tak kusangka hanya begini ke-
pandaianmu,
Bayi Kawak! Percuma saja kau
menghadapiku.
Daripada tanganku kotor, lebih
baik
bunuh diri saja," ejek Pengasuh Setan juma-
wa.
Terseok-seok
Bayi Kawak mencoba bangun.
Mulutnya
meringis menahan luka dalam dada.
"Setan!
Rupanya Pengasuh Setan, bukanlah
gelar
kosong belaka. Padahal tadi aku telah men-
gerahkan
pukulan 'Sukma Bayi'. Tapi kenapa ma-
lah
aku sendiri yang terluka?" rutuk Bayi Kawak
dalam
hati.
"Ha
ha ha...! Hari ini aku akan berpesta po-
ra.
Dua bangkotan tua yang menjadi sesepuh du-
nia
persilatan sebentar lagi akan kubuat dendeng
bakar!"
"Kuakui,
nama besarmu bukanlah pepesan
belaka,
Pengasuh Setan. Tapi demi menegakkan
kebenaran
di muka bumi ini, aku Bayi Kawak
akan
mengadu nyawa denganmu. Untuk itu aku
rela
mati di tanganmu!" tandas Bayi Kawak, mulai
nekat.
Bayi
Kawak kembali memasang kuda-kuda
setelah
berusaha mengumpulkan tenaga dalam-
nya.
Tekadnya untuk mengadu nyawa dengan
Pengasuh
Setan benar-benar telah bulat. Maka
begitu
kedua telapak tangannya kembali berwar-
na
kuning berkilauan, segera dilontarkannya ke
depan.
"Heaaa...!!!"
Pengasuh
Setan tersenyum dingin. Dari ge-
brakan
pertama tadi, jelas kekuatan Bayi Kawak
telah
bisa diukurnya. Namun ini bukan berarti
menyepelekan.
Disadari betul kalau pukulan
'Sukma
Bayi' milik Bayi Kawak cukup dahsyat.
Untuk
itu tak segan-segan lagi aji 'Tangkal Petir'
dikerahkan
kembali dengan penambahan tenaga
dalam
tinggi.
"Bagus!
Memang inilah yang kunanti, Bayi
Kawak!
Hayo, kita lihat siapa yang akan modar
terlebih
dahulu! Hea...!"
Pengasuh
Setan segera menghentakkan ke-
dua
telapak tangannya ke depan. Maka seketika
melesat
dua larik sinar merah menyala dari kedua
telapak
tangannya, langsung melabrak sinar kun-
ing
berkilauan dari kedua telapak tangan Bayi
Kawak.
Blaaammm...!!
"Aaa...!"
Kali
ini tubuh Bayi Kawak melayang jauh ke
belakang
disertai jeritan keras. Sebentar tubuh-
nya
berputaran, lalu jatuh berdebam ke tanah.
Melihat
sang penolongnya terkapar tak ber-
daya.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding jadi tidak
dapat
menahan diri. Maka tanpa menghiraukan
luka
dalamnya yang belum sembuh benar, ia se-
gera
bangkit dan memasang kuda-kuda.
"Bajingan...!
Beraninya kau melukai sobatku,
he?!
Kau harus bayar mahal perbuatan itu, Pen-
gasuh
Setan! Hea...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding segera menerjang garang Penga-
suh
Setan. Nampan cat di tangan kirinya segera
dilemparkan
ke atas dan ditiupnya kuat-kuat
dengan
tenaga dalam tinggi. Seketika percikan-
percikan
cat yang berhamburan itu segera menye-
rang
Pengasuh Setan hebat
Werrr!
Werrr!
Tanpa
mengenal ampun sedikit pun Penga-
suh
Setan segera menghentakkan kedua tangan-
nya,
melepas aji 'Tangkal Petir'. Maka begitu dua
tombak
lagi percikan-percikan cat minyak Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding menghantam, dua larik si-
nar
merah dari kedua telapak tangannya segera
memapakinya.
Akibatnya, percikan-percikan cat
minyak
itu terdesak ke belakang, balik menyerang
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding.
Bukkk!
Bukkk...!!!
Dua
kali tubuh Pelukis Sinting Tanpa Tand-
ing
terhantam dua larik sinar merah sekaligus
percikan-percikan
cat minyak sendiri. Tanpa
mengeluarkan
erangan sedikit pun tubuh tokoh
sakti
dari goa Bedakah itu kontan melayang jauh
ke
belakang, dan jatuh menimpa tubuh Bayi Ka-
wak
yang hendak meloncat bangun.
Bayi
Kawak menggeram murka. Sebentar-se-
bentar
kepalanya menoleh ke arah Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding, sebentar kemudian beralih pada
Pengasuh
Setan dengan sinar mata menyala. Na-
mun
belum sempat tokoh sakti dari puncak Gu-
nung
Merapi ini bertindak....
"Guru...!
Apa yang terjadi disini? Siapa yang
melukaimu
seperti ini?"
Terdengar
teriakan dari arah samping.
***
Perhatian
Bayi Kawak terusik buru-buru ke-
palanya
dipalingkan ke samping. Seketika kening
tokoh
sakti dari puncak Gunung Merapi itu kon-
tan
berkerut. Di hadapannya kini telah berdiri
seorang
gadis cantik, berpenampilan manja. Siapa
lagi
gadis itu kalau bukan Putri Manja.
"Mawangi
muridku! Lekas tinggalkan tempat
ini!
Berbahaya!" seru Bayi Kawak, khawatir ter-
hadap
gadis yang ternyata muridnya.
"Tidak,
Guru. Aku tidak akan meninggalkan
tempat
ini. Kulihat Guru terluka. Pasti memedi
sawah
itu yang telah mencelakakan Guru. Aku
harus
menuntut balas," tolak Mawangi alias Putri
Manja,
tegas.
"Tidak,
Mawangi. Kau bukan lawannya. Le-
kas
tinggalkan tempat ini!" sergah sang guru.
"Kenapa
kau menyuruhku pergi, Guru? Apa
kau
takut menghadapi memedi sawah ini? Kalau
begitu,
mari kita hajar dia ramai-ramai!"
"Betina
cantik! Aku senang sekali melihat
keberanianmu.
Tidak seperti gurumu. Sungguh
beruntung
aku bertemu denganmu, Manis. Apa
kau
juga berani melayaniku? He he he...?" kata
Pengasuh
Setan, pongah.
Pengasuh
Setan tersenyum-senyum senang.
Sepasang
matanya yang tajam tak henti-hentinya
menjilati
lekuk-lekuk tubuh Putri Manja yang
menggairahkan.
Tanpa sadar ia jadi menelan lu-
dahnya
sendiri.
"Melayani
apa, Memedi Sawah? Apa kau in-
gin
menantangku bertarung? Sudah pasti aku
akan
melayanimu. Apalagi, kau telah mencelaka-
kan
guruku. Dan aku akan menuntut balas!" sa-
hut
Putri Manja, ketus.
Pengasuh
Setan tertawa bergelak
"Di
samping kau pemberani, rupanya kau
lugu
juga, Manis. Hm...! Alangkah menyenang-
kannya
bila kau mau suka rela melayaniku, Ma-
nis.
Hayo, lekas tanggalkan pakaianmu!" ujar
Pengasuh
Setan keterlaluan.
"Apa?"
Sepasang mata indah Putri Manja
terbelalak
lebar. "Jorok! Tua bangka jorok. Siapa
sudi
melayanimu?"
"Mundur,
Putri! Kau bukanlah tandingan-
nya!"
Bayi
Kawak yang sudah bisa bangkit berdiri
menyingkirkan
muridnya ke samping.
Putri Manja memberontak. Bahkan dengan
kemarahan
meluap, tubuhnya mencelat menye-
rang
Pengasuh Setan. Tidak tanggung-tanggung,
segera
dikeluarkannya jurus 'Tarian Bidadari'.
"Hea!
Hea...!!!"
Hebat
bukan main serangan-serangan Putri
Manja.
Namun Pengasuh Setan hanya meliuk-
liukkan
tubuhnya, menghindari serangan dengan
mudah.
Bahkan belum sempat Bayi Kawak ber-
tindak,
tahu-tahu tangan Pengasuh Setan telah
berkelebat
cepat ke tubuh Putri Manja…
Tuk!
Tuk!
"Oh…!"
Disertai
keluhan tertahan, tubuh Putri Man-
ja
kaku tak dapat digerakkan lagi. Dua buah to-
tokan
Pengasuh Setan di atas dua bukit kembar-
nya
langsung membuat urat geraknya tak ber-
daya
lagi.
"Ha
ha ha...! Diamlah sebentar, Manis. Aku
akan
membereskan gurumu sebentar."
Bayi
Kawak geram bukan main. Wajahnya
menegang
penuh amarah. Ia bukannya tidak tahu
apa
yang diinginkan Pengasuh Setan. Dan hal in-
ilah
yang membuat Bayi Kawak nekat.
"Berani
kau sentuh muridku, aku benar-
benar
akan mengadu nyawa denganmu, Manusia
Setan!"
teriak Bayi Kawak kalap.
"Dari
tadi kau hanya bisa mengancam. Buk-
tikan
kalau memang mampu mengalahkanku,
Bayi
Kawak!" ejek Pengasuh Setan.
Bayi
Kawak tak lagi ingin menanggapi ejekan
Pengasuh
Setan. Amarahnya telah membuatnya
kalap.
Maka diiringi teriakan nyaring, segera di-
terjangnya
Pengasuh Setan hebat. Kedua telapak
tangannya
yang sudah berwarna kuning berki-
lauan
kembali dihantamkan ke depan.
Wuttt!
Wuttt...!
Pengasuh
Setan tertawa bergelak. Kali ini le-
laki
sesat itu tidak membalas serangan, melain-
kan
membuang tubuhnya ke samping. Sehingga,
serangan
Bayi Kawak hanya mengenai angin ko-
song.
Bayi
Kawak tidak terima melihat serangan-
nya
gagal. Dengan kemarahan membuncah kem-
bali
diserangnya Pengasuh Setan. Tetapi karena
luka
dalamnya masih mendera, serangannya jadi
lamban.
Hal ini tentu saja bisa mudah dihindari
Pengasuh
Setan dengan menggeser tubuhnya ke
samping.
"Percuma
saja kau melawanku, Bayi Kawak!
Tapi,
baiklah. Aku tidak ingin membunuhmu ter-
lebih
dahulu. Aku ingin kau melihat apa yang
akan
kulakukan terhadap muridmu yang cantik
itu.
Tentu ini akan menyenangkan hatimu, bu-
kan?"
ejek Pengasuh Setan.
Begitu
habis kata-katanya, tahu-tahu Penga-
suh
Setan berkelebat cepat luar biasa ke arah
Bayi
Kawak.
"Setan
alas! Kenapa gerakanku jadi begini
lamban?
Ah...! Tak kusangka hari inilah hari ke-
hancuran
ku. Sedang sobatku Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding tak mungkin kuharapkan ban-
tuannya.
Ia sudah roboh di tangan Pengasuh Se-
tan.
Entah pingsan, entah... ohh...!"
Sebelum
umpatan dalam hati Bayi Kawak
habis,
jari-jari tangan Pengasuh Setan telah ber-
kelebat,
menotok tubuhnya.
"Nah!
Diamlah kau di tempatmu, Bayi Ka-
wak!
Lihat apa yang akan kulakukan terhadap.
muridmu
yang cantik ini!" ujar Pengasuh Setan,
begitu
menghentikan gerakannya.
Kini
Pengasuh Setan bergerak mendekati Pu-
tri
Manja dengan seringai di bibir. Lalu tanpa
mengenal
belas kasihan sedikit pun, tahu-tahu
jari-jari
tangannya telah merenggut pakaian Putri
Manja.
Brat!
Bret!
Dua
kali tangan Pengasuh Setan bergerak,
dua
kali pula pakaian Putri Manja robek menjadi
dua
bagian. Dan kini satu pemandangan indah
terpampang
jelas di depan matanya.
"Setan!
Bunuh saja aku dan muridku, Kepa-
rat!"
Bayi
Kawak berteriak-teriak kalap, namun
Pengasuh
Setan tidak mempedulikannya. Perha-
tiannya
seolah tersihir melihat lekuk-lekuk tubuh
Putri
Manja yang tidak tertutup selembar benang
pun.
Dan tanpa sadar ia menelan ludahnya sendi-
ri
melihat pemandangan indah di hadapannya.
"Bukan
main...! Sungguh beruntung nasibku
hari
ini. Bertahun-tahun aku tak pernah melihat
tubuh
seindah ini. Dan hari ini pula aku akan
menikmati
tubuh yang amat menggiurkan ini se-
puas-puasnya,"
desah Pengasuh Setan tak kenta-
ra.
"Bedebah!
Setan laknat! Lepaskan aku!"
Putri
Manja menjerit-jerit, ngeri. Meski be-
lum
tahu petaka apa yang akan dialami, namun
naluri
kewanitaannya mengatakan kalau dirinya
sedang
terancam bahaya.
"Lepaskan
aku! Lepaskan aku! Apa yang
akan
kau lakukan, Tua Bangka Keparat!"
Pengasuh
Setan tersenyum senang.
"Tenanglah,
Manis! Jangan menangis! Aku
malah
ingin membuatmu melayang jauh ke ang-
kasa."
"Ya
ya ya...! Buat apa membawanya jauh ke
angkasa,
kalau di sini saja kau tidak becus!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba
terdengar suara sahutan. Bahkan
begitu
sahutan itu terhenti, mendadak Pengasuh
Setan
merasakan hawa dingin yang bukan kepa-
lang
telah menyambar tubuhnya. Lebih dari itu,
hidungnya
pun mencium sesuatu yang sangat di-
kenalinya!
"Keparat!
Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
teriak
Pengasuh Setan kalap sembari menggu-
lingkan
tubuhnya ke samping.
"Ah...!
Kau ini kenapa sih? Katanya ingin
melancong
ke angkasa? Tapi kenapa sekarang
malah
ingin membunuhku? Kenapa?"
11
Pengasuh
Setan tidak mempedulikan tubuh
indah
Putri Manja lagi. Hidungnya yang kecil te-
rus
mengendus-endus bak anjing pelacak. Bau
anyir
darah muridnya itulah yang membuatnya
tidak
mempedulikan apa-apa lagi, kecuali pada
sosok
pemuda tampan mengenakan rompi dan ce-
lana
bersisik keperakan.
"Kau....
Kau pasti yang telah membunuh
muridku!"
tunjuk Pengasuh Setan pada pemuda
yang
tak lain Soma alias Siluman Ular Putih.
"Aha...?
Benarkah? Kau ini bermimpi apa
kurang
waras? Tak ada angin tak ada hujan te-
ganya
kau menuduhku begitu?" celoteh Soma
seenaknya.
Pandang matanya yang nakal sempat
melirik
tubuh polos Putri Manja. Tanpa sadar bi-
birnya
menyeringai, lalu garuk-garuk kepala.
"Tutup
mulutmu, Monyet Gondrong! Kau
pasti
yang telah membunuh muridku yang berju-
luk
Penguasa Alam!"
"O...,
itu. Aku memang yang membunuhnya.
Tapi
kau ini siapa? Kenapa kau sewot mendengar
kematian
manusia iblis itu? Apa kau ingin men-
gucapkan
bela sungkawa? Kalau begitu, kau sa-
lah
alamat. Aku bukan kerabat Penguasa Alam,"
sahut
Soma, keterlaluan.
"Keparat...!
Kau jangan menjual lagak di ha-
dapanku,
Monyet Gondrong! Apa kau tidak tahu
tengah
berhadapan dengan siapa, he?!" hardik
Pengasuh
Setan penuh ancaman.
"Sudah
pasti aku tahu siapa kau ini? Kau
adalah
kawan dekat Penguasa Alam, bukan?"
"Aku
gurunya!"
"Tidak
masalah. Guru maupun kawan dekat
tidak
masalah bagiku. Lalu kau mau apa? Apa
kau
ingin menuntut balas atas tewasnya murid-
mu?"
pancing Siluman Ular Putih.
"Sudah
pasti!" sahut Pengasuh Setan man-
tap.
"Kalau
begitu kau salah alamat, Manusia
Peot!
Karena sebenarnya aku bukanlah yang
membunuh
muridmu."
"Apa?
Kau mau mungkir? Kau tahu, aku te-
lah
mencium bau darah muridku di bagian tu-
buhmu.
Itu menandakan kalau kaulah yang
membunuh
muridku! Hayo, sekarang bersiaplah
untuk
modar!"
"Ah...!
Kau ini tak sabar betul. Apa kau tidak
ingin
tahu ceritaku yang sebenarnya?"
"Aku
tidak butuh segala bualan kosongmu.
Jelas,
kaulah yang telah membunuh muridku.
Maka
hari ini juga aku, Pengasuh Setan, akan
menuntut
balas atas tewasnya muridku!"
Siluman
Ular Putih terperangah kaget ken-
dati
hanya sebentar. Sejurus kemudian senyum-
nya
telah terkembang di bibir.
"Tidak
butuh bualanku juga tak apa. Tapi
yang
jelas, sebenarnya aku bukan pembunuh
muridmu,"
kilah Siluman Ular Putih.
"Lalu,
siapa yang telah membunuh murid-
ku?!"
teriak Pengasuh Setan penasaran. Hidung
peseknya
kembali kembang-kempis, mengendus-
endus
bau anyir darah muridnya yang tercium
makin
nyata.
"Kau
tentu ingin tahu siapa yang menyebab-
kan
kematian murid tersayangmu, bukan? Dan
kau
pun tentu ingin menuntut balas, bukan? Ka-
lau
begitu, bunuh saja Malaikat Maut! Karena di-
alah
sebenarnya yang telah membunuh muridmu.
Aku
hanyalah perantara. Sebab Malaikat Maut
malas
mencabut nyawa manusia berhati iblis. Ja-
di,
akulah wakilnya Malaikat Maut. Apa kau ma-
sih
penasaran!"
"Bajingan...!
Beraninya kau mempermainkan
aku,
Kunyuk Gondrong! Apa nyawamu rangkap,
he?!"
dengus Pengasuh Setan.
"Oh...!
Sudah pasti nyawaku rangkap. Kalau
tak
percaya, sekarang dengarkan!"
Siluman
Ular Putih menepuk-nepuk perut-
nya beberapa kali. Tapi sayang, 'nyawa rangkap'
yang
dimaksudkan belum keluar juga. Soma pe-
nasaran
sekali, dan terus memaksakan diri men-
geluarkan
'nyawa rangkap'-nya. Saking penasa-
rannya,
mukanya meringis mirip kambing minta
kawin.
Namun akhirnya....
Pessss!
Pessss!
Nyawa
rangkap Soma pun meletus dari pan-
tatnya.
"Nah,
apa kau dengar nyawa rangkapku,
Manusia
Peot? Tapi sayang, tampaknya nyawa
rangkapku
malu-malu. Mungkin sedih melihat
tampangmu,"
kelakar Soma.
Bukan
main geramnya hati Pengasuh Setan
mendengar
kelakaran pemuda gondrong di hada-
pannya.
Sepasang matanya kontan menyala. Ra-
hangnya
mengembung saking tidak tahan mena-
han
gejolak amarahnya yang menggelegak. Lalu....
"Heaaa...!"
Disertai
teriakan nyaring, tahu-tahu tubuh
Pengasuh
Setan telah menerjang ganas Siluman
Ular
Putih. Tak tanggung-tanggung kedua telapak
tangannya
segera melontarkan aji ‘Tangkal Petir’.
Wesss!
Wesss!
Seketika
melesat dua larik sinar merah me-
nyala
dari kedua telapak tangan Pengasuh Setan,
siap
melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Siluman
Ular Putih bersiul-siul seenaknya
setelah
mencabut keluar senjata pusakanya,
Anak
Panah Bercakra Kembar. Tapi senjata itu
hanya
ditimang-timangnya saja. Padahal, saat itu
pukulan
aji 'Tangkal Petir' siap meluluhlantakkan
tubuhnya.
Melihat
hal itu, sudah pasti Putri Manja,
Bayi
Kawak, dan juga Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
yang baru saja siuman sempat menahan
napas.
Jantung mereka berdebar-debar, tak tega
melihat
betapa sebentar lagi tubuh murid Eyang
Begawan
Kamasetyo itu akan hancur!
"Awas,
Soma! Jangan gegabah!" teriak Putri
Manja.
"Jangan
khawatir, Putri! Manusia peot ini
tak
mungkin dapat membunuhku! Tenang saja
kau
di tempatmu, Putri! Lihat...!"
Habis
berteriak, tiba-tiba Siluman Ular Putih
menggulingkan
tubuhnya ke samping. Gerakan
tubuhnya
cepat luar biasa sehingga sulit diikuti
pandangan
mata. Lalu seperti yang pernah dila-
kukan
terhadap Penguasa Alam, tiba-tiba senjata
anak
panahnya dilemparkan. Namun lemparan-
nya
kali ini tidaklah seperti biasanya, melainkan
dilemparkan
ke tanah terlebih dahulu, baru me-
nyerang
Pengasuh Setan.
"Ah...!"
Pengasuh
Setan terperangah kaget. Bukan-
nya
saja kaget melihat serangannya dapat dimen-
tahkan
dengan amat mudah, melainkan juga ka-
get
melihat cara musuhnya menyerang. Sebab
memang
dengan cara itulah aji 'Tangkal Petir' da-
pat
dilumpuhkan!
"Bedebah!
Jadi dengan cara inikah kau
membunuh
muridku, Kunyuk Gondrong?! Jangan
mimpi!
Aku adalah Pengasuh Setan. Tak mungkin
aku
dapat dikalahkan dengan cara ini!" teriak
Pengasuh
Setan nyaring, langsung mengegoskan
tubuhnya
ke samping. Maka senjata anak panah
itu
pun terus melesat ke belakang.
Pengasuh
Setan tertawa senang sama sekali
tidak
disadari kalau tiba-tiba saja senjata anak
panah
Siluman Ular Putih telah berputar, dan
kembali
menyerang dengan kecepatan luar biasa.
Baru
ketika merasakan hawa dingin menyerang
punggungnya,
terperangahlah Pengasuh Setan.
Dan....
Clep!
"Aaakh...!"
Pengasuh
Setan menggembor keras ketika
senjata
Anak Panah Bercakra Kembar menancap
di
dadanya. Namun seketika semburat cahaya
merah
memancar dari tubuhnya.
Siluman
Ular Putih dan juga semua yang be-
rada
di tempat ini membelajakkan matanya lebar.
Hati
mereka tegang menunggu datangnya ajalnya
Pengasuh
Setan.
"Ha
ha ha,..! Bocah bodoh. Sudah kubilang
kau
tak dapat mengalahkanku dengan cara ini!
Dasar
bodoh! Muridku boleh mati dengan cara
ini.
Tapi aku... ha ha ha...! Tak mungkin kau da-
pat
membunuhku dengan cara ini!" tawa Penga-
suh
Setan bergelak.
Siluman
Ular Putih menggaruk-garuk kepa-
lanya.
Bingung.
"Slompret!
Kenapa manusia peot ini tidak
modar?
Ilmu apakah yang telah dimiliki?" gumam
Siluman
Ular Putih dalam hati.
"Bocah
tolol! Jangan dikira aji 'Tangkal Petir'
yang
kumiliki sama dengan milik muridku, Bo-
cah!
Kau keliru. Aji ‘Tangkal Petir’-ku kini sudah
mendekati
kesempurnaan. Kau tak mungkin da-
pat
membunuhku, walau berbagai macam senjata
tajam
maupun pukulan mau menyerangku!" te-
riak
Pengasuh Setan.
Pengasuh
Setan menepuk-nepuk dadanya
bangga.
Anak panah milik Siluman Ular Putih
yang
baru saja dicabut sejenak ditimang-
timangnya.
Pandang matanya bersinar bengis. Se-
langkah
demi selangkah, mulai didekatinya Silu-
man
Ular Putih.
"Celaka!
Tua bangka ini tidak mampus den-
gan
cara yang pernah kulakukan terhadap mu-
ridnya.
Bagaimana ini?" gerutu Siluman Ular Pu-
tih
dalam hati.
Wajah
si pemuda menegang. Baru kali ini
hatinya
merasakan ketegangan yang amat sangat.
Padahal,
sebagai pendekar yang malang melin-
tang
dalam dunia persilatan, ia sudah sering
menghadapi
ketegangan. Namun kali ini entah
mengapa
hatinya tegang sekali.
"Bocah
gondrong! Jawab pertanyaanku! Kau
pilih
kematian dengan cara apa, he?!" bentak
Pengasuh
Setan.
Siluman
Ular Putih bersiul-siul untuk men-
genyahkan
ketegangan.
"Kau
ini ada-ada saja, Manusia Peot! Tentu
saja
aku masih ingin hidup. Aku masih doyan
tempe.
Kau ini aneh-aneh saja!" tukas Siluman
Ular
Putih.
"Keparat!
Kau memang memuakkan, Bocah.
Baik.
Yang jelas, kau tetap akan modar di tan-
ganku!
Nah, makanlah senjata andalanmu ini!"
dengus
Pengasuh Setan seraya melemparkan sen-
jata
Anak Panah Bercakra Kembar ke arah si em-
punya.
Wuttt...!
"Hup...!"
Siluman
Ular Putih mengegoskan tubuhnya
ke
samping, membuat senjata anak panah itu te-
rus
melesat cepat ke belakang. Namun pada saat
itu,
Pengasuh Setan juga menghentakkan kedua
tangannya.
Seketika dua sinar merah menyala
melesat
dari kedua telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
"Heaaa...!"
Tak
ada pilihan lain. Begitu menegakkan tu-
buhnya
Siluman Ular Putih menghentakkan ke-
dua
telapak tangan melontarkan pukulan maut
tenaga
'Inti Bumi'. Seketika dua larik sinar putih
terang
meluruk dari kedua telapak tangannya
yang
disertai berkesiurnya hawa dingin bukan
kepalang.
Dan...
Blaaam...!
Terdengar
ledakan hebat di udara saat dua
buah
kekuatan dahsyat bertemu di satu titik.
Bumi
laksana diguncang prahara. Debu-debu
membubung
tinggi ke udara. Ranting-ranting po-
hon
berderak. Sebagian hangus terbakar. Seba-
gian
lainnya membeku terkena pengaruh ledakan
yang
disertai bunga api ke segala arah.
Dan
sewaktu terjadinya bentrokan, tanpa
ampun
tubuh Siluman Ular Putih terpental jauh
ke
belakang bak layangan putus benang. Dan
saat
murid Eyang Begawan Kamasetyo meloncat
bangun,
wajahnya terlihat pias. Bibirnya berke-
mik-kemik.
Kedua telapak tangannya terasa pa-
nas
bukan main, seolah ingin menghanguskan
bagian
dalam tubuhnya.
Pengasuh
Setan yang sempat menyurutkan
langkah beberapa langkah ke belakang lagi-lagi
hanya
mengumbar suara tawa. Sedikit pun tu-
buhnya
tidak terluka akibat bentrokan tenaga da-
lam
tadi. Malah dengan kekuatan tenaga dalam
penuh
kedua tangannya menghentak ke depan.
"Hea...!!!"
Wesss!
Wesss!
Dua
larik sinar merah menyala meluruk dari
kedua
telapak tangan Pengasuh Setan. Hebat! Le-
bih
hebat daripada serangan-serangan sebelum-
nya.
Siluman
Ular Putih mengeluh dalam hati.
Dadanya
terasa nyeri bukan main. Tak mungkin
serangan
Pengasuh Setan ditangkis kali ini.
Putri
Manja, Bayi Kawak, dan juga Pelukis
Sinting
Tanpa Tanding jadi tegang dibuatnya. Me-
reka
cukup tahu, betapa hebatnya serangan Pen-
gasuh
Setan kali ini. Jangankan tubuh Siluman
Ular
Putih. Batu sebesar gajah pun akan hancur
berantakan
begitu terkena pukulan aji ‘Tangkal
Petir'.
Tidak
ada pilihan lain. Siluman Ular Putih
memang
harus memapaki serangan Pengasuh Se-
tan
dengan pukulan tenaga 'Inti Bumi'. Begitu ke-
dua
tangannya menghentak....
Blaaammm...!
Akibatnya
tubuh Siluman Ular Putih terlem-
par
jauh ke belakang sebelum akhirnya menghan-
tam
batang pohon.
Brakkk!!!
Batang
pohon itu tumbang. Demikian pula
Siluman
Ular Putih. Begitu menghantam batang
pohon,
tubuhnya kontan luruh ke tanah. Untung
saja
batang pohon itu tidak menimpa tubuhnya.
Namun
tetap saja luka dalamnya makin parah.
Pucat
sudah wajah Soma. Tampak darah se-
gar
membasahi sudut-sudut bibirnya, pertanda
menderita
luka dalam lumayan. Bahkan seisi da-
danya
seolah terbakar.
"Hm...!
Kukira Sudah saatnya aku mengelu-
arkan
aji ‘Titisan Siluman Ular Putih'. Mungkin
dengan
ajian ini aku dapat mengalahkannya...,"
desah
Siluman Ular Putih dalam hati.
Maka
saat itu pula Siluman Ular Putih pun
segera
merapalkan mantra ajian 'Titisan Siluman
Ular
Putih'. Selang beberapa saat, tampak sekujur
tubuhnya
telah dipenuhi asap putih. Sehingga,
sosok
bayangan murid Eyang Begawan Kama-
setyo
kini tidak kelihatan sama sekali. Dan saat
asap
putih yang menyelimuti tubuhnya hilang ter-
tiup
angin....
"Ggggeeerrr...!!!"
Seketika
terdengar suara raungan yang
menggetarkan
dada....
Sepasang
mata merah Pengasuh Setan
membelalak
liar dengan kening berkerut. Namun
tak
lama senyum dinginnya tersungging di bibir.
"Hm...!
Jadi kaukah yang bergelar Siluman
Ular
Putih? Pantas?" Pengasuh Setan mengang-
guk-angguk.
Putri
Manja, Bayi Kawak, dan Pelukis Sinting
Tanpa
Tanding terkejut bukan main. Mereka tidak
menyangka
kalau pemuda gondrong itulah yang
bergelar
Siluman Ular Putih. Meski demikian hati
ketiga
orang itu tetap saja ragu. Apakah Siluman
Ular
Putih dapat mengalahkan Pengasuh Setan?
"Ggggeerrr...!!!".
Sosok
ular putih sebesar pohon kelapa itu
mengibas-ngibaskan
ekornya beberapa saat. Tar-
ing-taringnya
yang runcing berkilauan tertimpa
sinar
matahari."
Melihat
ular putih raksasa di hadapannya
bersiap-siap
menyerang, Pengasuh Setan memilih
untuk
menyerang terlebih dahulu. Begitu melon-
cat
ke depan, kedua telapak tangannya yang ber-
warna
merah menyala kembali melabrak tubuh
Siluman
Ular Putih
Bukkk!
Bukkkk!
"Ggggeeerrr…!!!"
Tanpa
ampun sosok tubuh Siluman Ular Pu-
tih
terlempar ke belakang, langsung jatuh berde-
bam.
Seketika debu-debu beterbangan menutupi
sosok
tubuh ular putih raksasa itu.
Pengasuh
Setan gembira bukan main. Dalam
benaknya
terbayang kalau tubuh ular putih rak-
sasa
itu pasti sudah hancur berkeping-keping be-
gitu
terkena pukulan aji 'Tangkal Petir'.
Namun
rupanya
apa yang dibayangkan hanyalah tinggal
bayangan.
Begitu debu yang menyelimuti sirna
tertiup
angin, saat itu juga tampak sosok tubuh
Siluman
Ular Putih tengah bersiap-siap membalas
serangan
Pengasuh Setan.
"Ggggeeerrr...!!"
Diiringi
gerengan keras, tiba-tiba ular putih
raksasa
itu telah menerjang Pengasuh Setan he-
bat.
Kecepatan geraknya pun sungguh menga-
gumkan.
Sehingga, hal ini tak urung juga mem-
buat
hati Pengasuh Setan terkesiap. Dan belum
sempat
Pengasuh Setan menghindar, tahu-tahu
taring-taring
runcing Siluman Ular Putih telah
mengancam
kepalanya!
Crakkk!
Mantap
sekali taring-taring Siluman Ular Pu-
tih
memangsa kepala Pengasuh Setan. Namun
anehnya,
kepala tokoh sesat dari Gunung Sindoro
itu
sedikit pun tidak terluka. Bahkan begitu tar-
ing-taring
Siluman Ular Putih menghujan kepala,
seketika
sekujur tubuh Pengasuh Setan meman-
carkan
cahaya merah menyala!
"Ggggeeerrr...!!!"
Bersamaan
itu pula, Siluman Ular Putih
menggereng
hebat. Taring-taringnya yang runcing
seketika
merasakan satu aliran dahsyat balik me-
nyerang
dirinya!
Siluman
Ular Putih meraung setinggi langit.
Kini,
ia tidak berani lagi menghujamkan taringnya
ke
kepala Pengasuh Setan. Namun bukan berarti
harus
melepaskan cengkeraman pada kepala la-
wannya.
Dengan nekat ekor Siluman Ular Putih
telah
melibat tubuh Pengasuh Setan kuat-kuat.
Pengasuh
Setan kewalahan bukan main. Na-
pasnya
mulai terasa sesak. Tulang dalam tubuh-
nya
terasa bergemeletakkan!
Siluman
Ular Putih makin mempererat liba-
tannya
pada tubuh Pengasuh Setan. Kini baru di-
ketahui
kelemahan aji 'Tangkal Petir' milik lawan-
nya.
Ternyata meski tubuh Pengasuh Setan kebal
terhadap
berbagai macam senjata tajam maupun
berbagai
macam pukulan maut, namun ternyata
tubuhnya
tidak kebal terhadap libatan ekor Silu-
man
Ular Putih.
Kini
keadaan benar-benar berbalik. Perla-
han-lahan
tubuh Pengasuh Setan terasa lemas.
Sebenarnya,
lelaki sesat ini ingin sekali mengelu-
arkan
aji 'Panglipur Setan'. Namun sayang, na-
pasnya
terasa sesak sehingga tak mungkin men-
gerahkan
tenaga dalam begitu cepat. Mulutnya
terkunci,
tak dapat mengeluarkan gerengan-
gerengan
gaibnya untuk balik menyerang Siluman
Ujar
Putih. Malah yang terjadi justru sebaliknya.
Libatan
ekor Siluman Ular Putih makin mengunci
tubuhnya.
"Kuuukkkk...!!!"
Pada
saat yang genting bagi keselamatan
Pengasuh
Setan, mendadak meluncur satu
bayangan hitam dari angkasa. Begitu cepat
bayangan
itu meluncur, bahkan langsung menye-
rang
sepasang mata Siluman Ular Putih!
Siluman
Ular Putih kaget bukan main. Tentu
saja
kedua matanya tidak sudi dijadikan sasaran
empuk
serangan bayangan hitam yang ternyata
seekor
burung hantu raksasa sebesar kambing,
peliharaan
Pengasuh Setan.
"Ggggeeerrr...!!!"
Siluman
Ular Putih menarik kepalanya ke
belakang.
Namun, burung hantu raksasa berna-
ma
Meruya itu mencecar kedua bola mata Silu-
man
Ular Putih. Hal ini tentu saja sangat mem-
buat
gusar Siluman Ular Putih. Saking gusarnya
libatan
ekornya dari tubuh Pengasuh Setan sege-
ra
dilepas.
Namun
anehnya, begitu Siluman Ular Putih
melepaskan
tubuh Pengasuh Setan, burung han-
tu itu tidak lagi menyerang, melainkan segera
menyambar
tubuh majikannya dan membawanya
terbang
tinggi ke angkasa!
"Ggggeeerrr...!"
Siluman
Ular Putih dan semua yang berada
di
tempat pertarungan menjadi kecewa melihat
Pengasuh
Setan dapat diselamatkan oleh burung
peliharaannya.
Untuk mengejarnya jelas tidak
mungkin.
Karena burung hantu raksasa itu telah
terbang
tinggi ke angkasa membawa tubuh maji-
kannya.
Dengan hati dongkol, mereka hanya da-
pat
memperhatikan sosok hitam tubuh burung
hantu
raksasa yang membawa Pengasuh Setan
hilang
di batas langit sebelah utara!
Siluman
Ular Putih berkali-kali menggereng
hebat,
melampiaskan kekecewaannya. Namun se-
lang
beberapa saat, sekujur tubuhnya telah dipe-
nuhi
asap putih tipis. Sehingga sosoknya tidak
kelihatan
sama sekali. Dan saat asap putih itu
sirna
tertiup angin, maka yang tampak saat itu
bukan
lain sosok ular putih raksasa. Melainkan,
sosok
seorang pemuda tampan berpakaian rompi
dan
celana bersisik warna putih keperakan. Itu-
lah
sosok murid Eyang Begawan Kamasetyo!
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding yang tak
mendapat
totokan dari Pengasuh Setan segera
membebaskan
totokan Bayi Kawak. Dan lelaki tua
itu
tak mungkin membebaskan totokan Pengasuh
Setan
di tubuh Putri Manja, karena itu tak mung-
kin
dilakukannya. Sebab, keadaan tubuh bagian
atas
gadis itu masih tak tertutup oleh pakaian.
"Cepat
kau bebaskan totokan muridmu, se-
belum
perhatian pemuda itu tercurah pada tubuh
indah
itu," ujar Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
menunjuk
Putri Manja.
Cepat
Bayi Kawak menghampiri Putri Man-
ja.
Setelah membebaskan totokan, segera dibena-
hinya
pakaian Mawangi
"Soma...!
Maafkan atas kelancanganku sela-
ma
ini. Tak kusangka kau adalah Siluman Ular
Putih
yang sangat terkenal itu!" teriak Putri Manja
setelah
membenahi pakaiannya yang robek di dua
tempat.
Yang penting, bagian-bagian terlarang bi-
sa
tertutup.
Soma
hanya menoleh ke arah Putri Manja
sebentar.
Lalu perhatiannya tercurah ke angkasa,
ke
arah burung hantu yang membawa tubuh ma-
jikannya
pergi tadi.
"Kau....
Kau tak mau memaafkanku, Soma?"
kata
gadis manja itu lagi sedih. Rasa malunya ka-
rena
bagian tubuh indahnya sempat terlihat oleh
pemuda
itu berusaha dienyahkan.
"Menyesal
sekali...!" gumam Soma lirih. Pan-
dangan
matanya masih ditujukan ke angkasa.
"Jadi...
jadi kau menyesali perbuatanku,
Soma?
Kau tak mau memaafkanku?" rajuk Putri
Manja.
Kali ini si gadis benar-benar mulai tak da-
pat
mengendalikan perasaannya. Nada bicaranya
tadi
pun memelaskan sekali. Ada cairan bening
berpendar-pendar
di kedua bola matanya.
"Menyesal
sekali aku tak dapat membunuh-
nya.
Mestinya aku tadi tak boleh melepaskannya.
Huh...!
Brengsek! Baru kali ini aku ditipu men-
tah-mentah
oleh seekor binatang!" rutuk Siluman
Ular
Putih, membanting-banting kakinya kesal.
Entah
kenapa, mendadak sepasang mata indah
Putri
Manja jadi berbinar-binar indah. Namun
masih
saja ada satu hal yang mengganjal hatinya.
Yaitu,
Soma belum memaafkan kelancangannya!
"Sudahlah,
Anak Muda! Percuma saja kau
menyesali
yang sudah terjadi. Untuk beberapa
saat,
sekarang lupakan saja manusia iblis itu!"
bujuk
Pelukis Sinting Tanpa Tanding, tak lagi
memanggil
'monyet buduk'.
"Dia
pasti akan terus mencariku. Karena
memang
akulah yang membunuh muridnya," kata
Soma.
"Ah...!
Bukankah itu satu kesempatan bagus
untuk
membunuhnya, bukan?" sahut Bayi Ka-
wak.
"Betul.
Tapi... tapi...," Soma ragu-ragu. Ha-
tinya
masih belum puas dengan kemenangannya
barusan.
Bagaimanapun juga, Pengasuh Setan
patut
diperhitungkan. Tindakannya jelas tidak bo-
leh
gegabah lagi bila nanti berhadapan dengan
tokoh
sesat itu.
"Tapi
apa, Soma?" tanya Putri Manja.
Si
gadis tampak ragu-ragu untuk mendekati
Soma,
dan hanya bisa diam di tempatnya. Namun
sepasang
matanya tak henti-hentinya terus mem-
perhatikan
Soma penuh kagum.
"Ah...
sudahlah! Tak ada gunanya kita mem-
bicarakan
manusia iblis satu itu," ujar Soma se-
raya
mengibaskan tangan. "Sekarang kau sendiri
mau
ke mana, Putri?"
"Aku...
Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kau
memaafkan
atas kelancanganku selama ini," ucap
Putri
Manja, gugup.
"Ah...
sudahlah! Lupakan saja! Asal kau mau
bersahabat
denganku, pasti aku memaafkanmu,"
tukas
Soma dengan senyum manis terkembang di
bibir.
Putri
Manja tersenyum simpul. Entah kena-
pa
kali ini matanya tidak berani membalas pan-
dang
mata Soma. Hatinya jadi tak karuan. Wajah
tampan
Soma terus mengubek-ubek lubuk ha-
tinya
yang paling dalam.
"Kau
harus pulang ke puncak Gunung Me-
rapi,
Putri! Kepandaianmu masih perlu ditambah.
Aku
belum mengizinkanmu pergi kalau belum
mempelajari
semua yang kuajarkan dengan baik,"
ujar
Bayi Kawak tiba-tiba.
"Tidak,
Guru. Aku tidak mau pulang ke pun-
cak
Gunung Merapi. Aku masih ingin berpetua-
lang,"
tolak Putri Manja, berani.
"Tapi...."
"Sobatku,
Bayi Kawak!" potong Pelukis Sint-
ing
Tanpa Tanding. "Apa matamu lamur? Sia-sia
saja
kau mencegah anak gadis yang sedang kas-
maran."
"Oh,
ya? Tapi.... Tapi... baiklah! Kau kuizin-
kan
berpetualang untuk beberapa saat. Tapi jan-
gan
lama-lama, ya! Aku sendirian di puncak Gu-
nung
Merapi," ingat Bayi Kawak akhirnya.
"Baik,
Guru. Terima kasih atas pengertian-
mu.
Dan tentu aku akan segera pulang," sahut
Putri
Manja.
"Baik.
Kutunggu kau di puncak Gunung Me-
rapi,
Putri," kata Bayi Kawak, lalu menoleh ke
arah
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. "Ayo, Om-
pong!
Ikut aku. Aku masih ingin ngobrol dengan-
mu!"
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum.
Lelaki tua ini tahu benar, apa yang tengah
melanda
hati dua anak muda di hadapannya. Un-
tuk
itu segera diturutinya ajakan Bayi Kawak
"Selamat,
Sobat!" ujar Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
seraya mengerlingkan sebelah mata dan
segera
meninggalkan tempat itu.
Soma
mengangkat bahu tak mengerti. Lalu
entah
kenapa tangannya telah menggaruk-garuk
kepala.
Saat itu, Putri Manja tengah tersenyum
kepadanya.
Entah senyum apa. Soma tidak tahu.
Yang
jelas, tampaknya Putri Manja mulai menyu-
kainya.
Duh...! Gede rasa juga pendekar satu ini!
SELESAI
Segera
terbit!!
Serial
Siluman Ular Putih dalam episode:
PASUKAN
KUMBANG NERAKA
Scan/E-Book:
Abu Keisel
Edit:
Fujidenkikagawa
convert
txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon