SATU
SATU
rombongan berjumlah sebelas orang berkuda berpacu cepat meninggalkan debu yang
mengepul di udara. Dilihat dari seragam yang dikenakan, sebelas orang berkuda
itu bisa dikenali asalnya. Mereka adalah prajurit dan seorang Panglima Kerajaan
Karang Setra. Tampak penunggang kuda paling depan adalah Panglima Bayan Sudira.
Salah seorang prajurit yang berkuda di belakang Panglima Bayan Sudira, menuntun
seekor kuda hitam legam.
Rombongan
prajurit Karang Setra itu jelas menuju Kerajaan Jiwanala yang terletak di pesisir
pantai sebelah Timur. Tampaknya mereka telah menempuh perjalanan begitu jauh.
Ini terlihat dari wajah-wajah yang letih dan pakaian berdebu. Kuda yang mereka
tunggangi pun mendengus-dengus kelelahan.
"Hooop...
!" Panglima Bayan Sudira tiba-tiba mengangkat tangan sambil menghentikan
laju kudanya.
Sepuluh
orang prajurit yang mengikutinya serentak berhenti. Pandangan Panglima Bayan
Sudira tidak lepas ke arah jalan di depannya. Tampak sebuah pohon yang cukup
besar roboh melintang menghalangi jalan.
"Hm...,"
gumam Panglima Bayan Sudira pelan.
Pohon
besar itu seperti baru saja tumbang. Daun-daunnya masih lebat dan hijau.
Walaupun tampaknya masih begitu kokoh, tapi tumbangnya sampai ke akar. Pohon
sebesar itu memang bisa saja roboh kalau terjadi badai yang sangat dahsyat.
Tapi sekitarnya tampak tenang, dan tidak ada tanda-tanda bekas terlanda badai.
Pohon-pohon lain di sekitarnya tampak masih kokoh berdiri.
Panglima
Bayan Sudira jadi curiga melihat keadaan yang ganjil ini. Diisyaratkan pada
prajuritnya untuk waspada. Panglima Karang Setra itu segera melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan, tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Perlahan-lahan dihampiri pohon yang tumbang menghadang jalan itu.
Belum
juga sampai ke pohon itu, mendadak sebatang tombak meluncur deras ke arahnya.
Panglima Bayan Sudira melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tombak itu
hanya menancap tanah Padahal dia tadi berdiri di situ. Belum lagi hilang rasa
terkejutnya, mendadak....
"Ha
ha ha...!"
Terdengar
suara tawa menggelegar memekakkan telinga, seolah-olah datang dari segala
penjuru mata angin Jelas kalau suara itu dibarengi penyaluran tenaga dalam yang
cukup tinggi Semakin lama suara itu semakin menyakitkan telinga. Para prajurit
yang berjumlah sepuluh orang, mulai merasakan akibatnya.
"Hih!"
Panglima
Bayan Sudira menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Pada saat yang sama,
tiga prajurit yang berada di belakangnya sudah menggelepar sambil
berteriak-teriak Dari mulut, hidung, dan telinga mereka keluar darah. Pengaruh
suara tawa itu sangat luar biasa.
"Yaaah..
. !"
Tiba-tiba
saja Panglima Bayan Sudira memekik keras sambil memutar tubuhnya cepat. Kedua
tangannya direntangkan ke samping. Suara teriakannya demikian keras dan
menggelegar. Bersamaan dengan itu bertiup angin kencang bagai terjadi badai
topan. Panglima Bayan Sudira mengerahkan aji 'Bayu Badai' satu ajian yang
sangat dahsyat.
Ajian
itu memang sangat ampuh dan dahsyat. Buktinya suara tawa itu mendadak berhenti.
Seketika Panglima Bayan Sudira juga menghentikan ajiannya. Dia tidak ingin para
prajuritnya terlempar akibat hempasan badai yang diciptakannya.
Para
prajurit Karang Setra yang tadi bergelimpangan, mulai dapat bangkit kembali.
Napas mereka tersengal dengan tubuh lunglai dan darah masih mengucur dari
hidung. Panglima Bayan Sudira berdiri tegak sambil memasang mata tajam untuk
mengawasi sekitarnya. Pendengarannya dipasang tajam. Tapi suasana begitu
hening, bahkan angin pun seolah-olah enggan bertiup.
"Waspadalah
kalian," ujar Panglima Bayan Sudira memperingatkan.
Sepuluh
orang prajurit Karang Setra itu mencabut pedangnya masing-masing. Mereka
bergerak mendekati panglimanya, dan berhenti di belakang laki-laki setengah
baya itu.
"Siapa
kau? Keluar...!" teriak Panglima Bayan Sudira keras.
Sepi....
Tak terdengar suara sedikit pun. Panglima Bayan Sudira memerintahkan para
prajuritnya untuk mengambil kuda. Dua orang prajurit bergegas menghampiri kuda
mereka yang tetap tenang merumput, seperti tidak menghiraukan kejadian yang
tengah berlangsung terhadap majikannya.
"Awas...!"
seru Panglima Bayan Sudira tiba-tiba.
Saat
itu dua batang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah dua prajurit yang
tengah menghampiri kuda-kudanya. Dua orang prajurit itu terperangah sesaat.
Kemudian, dengan gerakan cepat, dikibaskan pedangnya untuk menangkis tombak
itu.
Trang!
Trang!
"Akh...!"
Dua
orang prajurit itu terpekik hampir bersamaan. Pedang mereka terlempar jauh
begitu menangkis lemparan tombak tadi. Panglima Bayan Sudira segera melompat ke
depan prajurit yang terhuyung ke belakang beberapa langkah seraya memegangi
tangannya.
"Gusti...,"
salah seorang prajurit merintih lirih.
"Kenapa
tanganmu?" tanya Panglima Bayan Sudira.
"Orang
itu berilmu sangat tinggi. Tangan hamba ¬seperti mati," sahut prajurit
itu.
"Hm...,"
Panglima Bayan Sudira mengerutkan alisnya. Sebentar diperiksanya tangan kedua
prajurit itu. Tidak ada yang terluka, hanya aliran darahnya terasa begitu
cepat. Itu pertanda kalau baru saja menerima hentakan tenaga dalam yang cukup
tinggi tingkatannya. Seorang prajurit lain menghampiri. Diserahkan pedang
temannya yang tadi terlempar.
Panglima
Bayan Sudira memberi isyarat pada para prajuritnya untuk naik ke punggung
kudanya masing-masing. Prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu bergegas
melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja berada di atas punggung kuda,
tiba-tiba terdengar kembali suara tawa terbahak-bahak. Bahkan kini disusul
dengan munculnya seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pemuda
itu berdiri tegak di atas pohon yang tumbang menghalangi jalan. Di tangannya
tergenggam sebatang tombak panjang berwarna merah, sama dengan warna pakaian
yang dikenakannya Ujung atas tombak itu berbentuk bulan sabit berwarna kuning
keemasan. Sungguh berbeda dengan tombak-tombak pada umumnya.
"Masih
ingat denganku, Bayan Sudira?" dingin dan datar suara pemuda itu.
"Kumbang
Merah...," desis Panglima Bayan Sudira.
"Ha
ha ha...!"
"Hebat!
Kau sekarang jadi panglima, Bayan Sudira. Tapi sayang. prajuritmu kurang
tangguh untuk sebuah kerajaan besar seperti Karang Setra," kata Kumbang
Merah sinis.
"Terima
kasih. Tapi mereka sudah mampu menangkis seranganmu," jawab panglima Bayan
Sudira tidak kalah sinisnya.
"Ha
ha ha...! Kalau aku mau. hanya sekedipan mata saja mereka sudah mati!"
Panglima
Bayan Sudira merentangkan tangannya mencegah prajuritnya yang tak tahan
mendengar ejekan itu. Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu tidak jadi
bergerak. Meskipun mereka sudah turun kembali dari punggung kudanya, tapi belum
ada yang menarik pedangnya kembali keluar.
"Kumbang
Merah, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanya Panglima Bayan Sudira
lantang.
"Aku
hanya ingin memperingatkanmu, Bayan Sudira Perjalananmu ke Jiwanala hanya
sia-sia saja. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana!" sahut Kumbang
Merah juga lantang.
"Bukan
urusanmu, Kumbang Merah!”
"Urusanku
juga jika kau bersikeras tetap ingin ke Jiwanala."
"He...!
Kenapa kau melarangku ke sana?"
Kumbang
Merah tidak menjawab, tapi hanya melompat turun dari pohon tumbang yang
dipijaknya. Gerakannya sungguh ringan dan indah. Sepasang kakinya menjejak
tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas kalau tingkat kepandaiannya
sukar diukur.
"Hebat!
Rupanya kau mengalami kemajuan yang sangat pesat, Kumbang Merah," puji
Panglima Bayan Sudira.
"Sepuluh
tahun aku mempersiapkan diri. Dan semua itu hanya untukmu, Bayan Sudira!"
Setelah
berkata demikian, Kumbang Merah melompat cepat bagaikan seekor macan menerkam
mangsanya. Begitu cepat terjangannya, sehingga membuat Panglima Bayan Sudira
sempat terperangah. Namun dengan cepat pula Panglima Karang Setra itu menggeser
kakinya ke kanan sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hait!"
Kumbang
Merah mengibaskan tongkatnya menyampok tangan Panglima Bayan Sudira, namun
luput. Ternyata Panglima Bayan Sudira lebih cepat menarik tangannya kembali.
Dan belum lagi Kumbang Merah bisa menarik pulang tombaknya, Panglima Bayan
Sudira telah lebih dulu mengirimkan satu tendangan kilat menggunakan kaki
kanannya.
"Hegh...!"
Tendangan
cepat dan tidak terduga itu mendarat tepat di pinggang Kumbang Merah, dan
membuatnya mengeluh pendek. Kumbang Merah bergegas menarik kakinya mundur
beberapa langkah. Bibirnya meringis menahan sakit, akibat tendangan bertenaga
dalam cukup tinggi. Dan pada saat itu, Panglima Bayan Sudira sudah kembali
mengirimkan pukulan beberapa kali dengan cepat.
"Hiya!
Hiyaaa...!"
"Hap!
Yaaat...!"
Kumbang
Merah berkelit mengegoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, menghindari pukulan
beruntun yang dilepaskan laki-laki pemimpin seluruh prajurit Karang Setra itu
Pada saat pukulan panglima itu terhenti sebentar, dengan cepat ditusukkan
tombaknya. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan Kumbang Merah untuk balas
menyerang.
Namun
Panglima Bayan Sudira bukanlah hanya sebuah nama kosong. Tusukan tombak
berujung bulan sabit keemasan itu dengan mudah dapat dihindarkan. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan, lalu tangan kanannya disodokkan ke arah dada lawan.
"Hait...!"
Kumbang
Merah buru-buru menarik tongkatnya pulang, dan cepat melompat mundur.
Dihentakkan ujung tombaknya ke tanah kuat-kuat Pandangan matanya tajam menusuk
ke bola mata Panglima Bayan Sudira yang sudah merendahkan tubuh, dengan kedua
tangannya menyilang di depan dada Sedangkan Kumbang Merah hanya berdiri tegak,
dan tombaknya tegak lurus di samping.
"Sayang
sekali. Saat ini aku tidak punya waktu banyak untukmu. Tapi aku tetap akan
mencarimu. Bayan Sudira," jelas Kumbang Merah, datar nada suaranya.
"Hm...,"
Panglima Bayan Sudira hanya bergumam kecil, sambil berdiri tegak.
"Sekali
lagi kuperingatkan padamu! Jangan coba-coba memasuki wilayah Kerajaan
Jiwanala!"
Setelah
berkata demikian, Kumbang Merah melesat cepat dan hilang seketika. Panglima
Bayan Sudira tidak sempat lagi berkata-kata. Dia pun berbalik dan melangkah
menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Tanpa berkata sedikit pun,
Panglima Bayan Sudira melompat naik ke punggung kudanya.
Sepuluh
orang prajurit segera naik ke punggung kuda masing-masing setelah menyarungkan
kembali pedangnya, tapi belum juga menggebahnya.
"Gusti
Panglima..." salah seorang prajurit yang berada di samping kanannya menegur.
"Kita
tetap ke Kerajaan Jiwanala," kata Panglima Bayan Sudira tegas.
"Baik,
Gusti Panglima!" jawab sepuluh prajurit itu serempak.
Rombongan
kecil Kerajaan Karang Setra itu bergerak menuju ke Kerajaan Jiwanala. Mereka
melompati pohon besar yang menghalangi jalan tembus ke kerajaan itu. Mereka
memang menggunakan kuda-kuda pilihan, sehingga tidak mengalami kesukaran
melompati rintangan itu. Rombongan kecil ini memang juga terdiri dari prajurit
pilihan yang mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan tidak rendah.
Mereka
terus menggebah kudanya agar berpacu lebih kencang. Saat itu hari sudah
menjelang senja. ¬Matahari sudah condong ke arah Barat. Udara di sekitarnya
semakin terasa dingin. Namun Panglima Bayan Sudira dan sepuluh prajuritnya
tetap bergerak cepat tanpa menghiraukan kabut yang mulai merayap turun
menyelimuti permukaan bumi ini.
***
Sementara
itu di Istana Jiwanala, Prabu Duta Nitiyasa tengah dihadapi
pembesar-pembesarnya, patih, dan para panglima. Keadaan Kerajaan Jiwanala sudah
kembali tentram seperti sediakala, setelah mengalami suatu kemelut yang menelan
banyak korban nyawa, baik dari kalangan prajurit maupun rakyat. Pertemuan di
Balai Sema Agung itu membicarakan sekitar pemulihan keadaan kerajaan dan
perbaikan istana yang rusak akibat terjarah orang-orang dari Daratan Mongol
(Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Jago Dari Nongol).
Sejak
pertemuan tadi, wajah Prabu Duta Nitiyasa terlihat murung dan tidak bergairah
sama sekali. Meskipun sesekali mengulas senyum, namun terasa hambar dan amat
dipaksakan. Semua orang yang berada di Balai Sema Agung ini bisa merasakan
kemurungan itu. Tapi tidak ada seorang pun yang berani menanyakannya.
"Gusti
Prabu...," Patih Raksajunta membuka suara setelah terjadi kebisuan cukup
lama.
Prabu
Duta Nitiyasa mengangkat kepalanya. Dipandanginya Patih Raksajunta yang duduk
bersila di sebelah kanannya. Patih itu memberi hormat dengan merapatkan
tangannya di depan hidung.
"Ada
apa, Paman Patih?" tanya Prabu Duta Nitiyasa pelan.
"Ampun
Gusti Prabu. Dalam dua hari ini, Gusti Prabu kelihatan murung...," jelas
sekali kalau suara Patih Raksajunta bernada ragu-ragu.
Prabu
Duta Nitiyasa tersenyum. Patih Raksajunta kembali memberikan sembah. Raja
Jiwanala itu mengangkat tangannya sedikit. Semua orang yang berada di ruangan
itu memberi sembah, kemudian beranjak pergi. Tinggal Patih Raksajunta yang
masih berada dalam ruangan itu bersama Prabu Duta Nitiyasa. Bahkan Prabu Duta
Nitiyasa juga memerintahkan pengawalnya untuk meninggalkan ruangan ini.
"Paman
Patih, aku memang menunggu adanya pertanyaan seperti itu," ungkap Prabu
Duta Nitiyasa. "Kemarilah, lebih mendekat."
Patih
Raksajunta memberi sembah, kemudian menggeser duduknya lebih dekat lagi.
"Ketahuilah,
Paman. Aku sebenarnya gembira bisa berada di istana ini kembali. Apalagi
seluruh rakyat juga sudah tenang kembali, meskipun masih banyak kerusakan yang
belum bisa diperbaiki. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku,
Paman," jelas Prabu Duta Nitiyasa bertutur rapi.
"Hamba
bersedia mendengarkan, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.
"Paman
Patih. Kau mengabdi di Jiwanala ini sejak ayahku masih hidup. Sebenarnya, tidak
pantas kalau aku memberimu kedudukan sebagai patih. Kau seharusnya lebih cocok
menjadi penasehatku. Hanya kaulah satu-satunya yang bisa menampung segala keluh
kesahku...."
"Hamba
cukup senang menerima jabatan patih, Gusti."
Prabu
Duta Nitiyasa bangkit dari singgasananya. Segera dilangkahkan kakinya beberapa
tindak, dan berhenti tepat di depan Patih Raksajunta. Tangan kanannya menepuk
pundak patihnya itu, dan memintanya untuk berdiri. Patih Raksajunta menyembah
sekali lagi sebelum bangkit berdiri. Prabu Duta Nitiyasa melangkah
perlahan-lahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini, diikuti oleh Patih
Raksajunta di samping kanannya.
Mereka
terus berjalan tanpa ada kata yang terucap sampai tiba di Taman Kaputren yang
tampak sepi. Biasanya taman ini menjadi tempat kesenangan Permaisuri Dita
Wardhani. Tapi sekarang ini beliau masih berada di Padepokan Arang Watu milik
ayahnya. Mereka terus melangkah menyusuri jalan kecil di dalam taman itu.
"Selama
dua hari ini aku memang tidak bisa tenang, Paman Patih. Pikiranku selalu
gelisah, seakan-akan pertanda kalau bencana belum lagi berakhir menimpa negeri
ini," tutur Prabu Duta Nitiyasa memulai membuka hatinya.
"Apa
yang membuat hati Gusti resah?" tanya Patih Raksajunta.
"Rangga,"
sahut Prabu Duta Nitiyasa singkat.
"Rangga...?!"
Patih Raksajunta bergumam pelan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Aku
merasakan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti ke sini bukan secara kebetulan,
tapi memang memiliki suatu tujuan sehingga datang ke kerajaan ini. Rangga...
Nama itu mengingatkanku pada putra Adipati Arya Permadi Seandainya waktu itu
tidak terjadi musibah, pastilah putra Kakang Adipati sudah sebesar Pendekar
Rajawali Sakti," nada suara Prabu Duta Nitiyasa setengah bergumam.
"Gusti,
peristiwa itu sudah dua puluh tahun lebih berlalu. Bahkan mungkin semua orang
sudah melupakannya, meskipun hamba sendiri tidak bisa melupakannya sampai kapan
pun. Sepertinya Gusti Adipati masih hidup sampai kini," kata Patih
Raksajunta mengingatkan.
"Itulah
yang membuat pikiranku tidak tenang selama ini, Paman."
"Maksud,
Gusti?" Patih Raksajunta tidak mengerti.
"Selama
ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui, apakah putra Kakang Adipati masih
hidup atau sudah tewas dalam musibah itu. Sedangkan sejak itu kita memutuskan
hubungan dengan Kadipaten Karang Setra, sudah dua puluh tahun lebih tidak
pernah lagi berhubungan Dan selama itu kita tidak tahu, bagaimana perkembangan
di Karang Setra."
"Gusti,
hamba rasa itu satu keputusan yang sangat bijaksana. Tidak ada gunanya
berhubungan dengan adipati murtad, meskipun masih ada hubungan darah dengan
Gusti Prabu. Ampun, Gusti. Bukannya hamba ingin memutuskan tali
persaudaraan...," cepat-cepat Patih Raksajunta memberikan sembah.
"Aku
tidak menyesal, Paman. Itu memang sudah keputusan Ayahanda Prabu, dan aku
tinggal meneruskannya saja. Tapi yang sekarang mengganjal pikiranku adalah
kehadiran seorang pendekar yang namanya begitu sama dengan nama putra Kakang
Adipati," Prabu Duta Nitiyasa meneruskan pokok pembicaraannya ini.
"Nama
bisa saja sama, Gusti."
"Kau
benar, Paman. Nama memang bisa saja sama. Tapi, raut wajah, sorot mata, serta
jalinan ikatan batin.... Ini yang membuat hatiku selalu gelisah."
"Hamba
tidak mengerti, Gusti."
Prabu
Duta Nitiyasa tersenyum tipis, lalu duduk di kursi panjang yang berada di bawah
naungan atap kecil di tengah-tengah taman. Sebuah bangsal kecil yang memang
dibuat untuk beristirahat dan berteduh dari sengatan sinar matahari. Patih
Raksajunta duduk bersila di lantai, dekat kaki kanan Prabu Duta Nitiyasa.
Belum
lagi mereka berbicara kembali, seorang prajurit penjaga pintu Taman Kaputren
ini berlari-lari kecil menghampiri. Prajurit itu langsung membungkuk memberi
hormat begitu sampai di depan Prabu Duta Nitiyasa.
"Ada
apa, Prajurit?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Ampun,
Gusti Prabu. Ada beberapa orang berkuda yang mengenakan seragam prajurit menuju
istana. Dari laporan prajurit penjaga perbatasan, mereka datang dari Karang
Setra," lapor prajurit itu.
"Karang
Setra...," desis Prabu Duta Nitiyasa.
Tanpa
berkata-kata lagi, Prabu Duta Nitiyasa bergegas bangkit dari kursinya dan
melangkah tergesa-gesa. Patih Raksajunta mengikuti dari belakang disusul
prajurit pengawal pintu kaputren ini.
***
DUA
Hati
Prabu Duta Nitiyasa diliputi berbagai macam tanda tanya ketika menerima
Panglima Bayan Sudira. Namun dia masih bisa tersenyum cerah. Diterimanya
tamunya itu di ruangan Bangsal Pendopo Agung. Sebuah ruangan yang cukup besar,
dengan hiasan dinding indah dan berlantaikan batu pualam putih yang berkilat.
Tampak sedap dipandang mata.
"Apakah
maksud Tuan Panglima datang mengunjungi kerajaan kecil ini?" tanya Prabu
Duta Nitiyasa ramah.
"Ampun,
Gusti Prabu. Kedatangan hamba memang sengaja, karena mendapat berita kalau raja
hamba berada di kerajaan ini," sahut Panglima Bayan Sudira penuh hormat.
"Rajamu...?!"
Prabu Duta Nitiyasa terperanjat.
"Benar,
Gusti," Panglima Bayan Sudira meyakinkan.
Prabu
Duta Nitiyasa menatap Patih Raksajunta yang menemaninya di ruangan ini. Sungguh
tidak diduga kalau Karang Setra kini sudah menjadi sebuah kerajaan. Tapi yang
membuatnya lebih terkejut adalah berita tentang Raja Karang Setra yang kini
berada di Kerajaan Jiwanala Padahal tidak ada seorang raja pun yang menjadi
tamu di sini.
"Siapa
nama Raja Karang Setra?" tanya Prabu Duta Nitiyasa setelah hilang rasa
terkejutnya.
"Gusti
Prabu Rangga Pati Permadi," jawab Panglima Bayan Sudira.
"Rangga..."
desis Prabu Duta Nitiyasa hampir tidak percaya dengan pendengarannya. Padahal
dia baru saja membicarakan tentang putra kakaknya yang menjadi adipati di
Karang Setra dua puluh tahun silam. Dan kini didengar keterangan kalau putra
adipati itu masih hidup, bahkan menjadi raja di tanah kelahirannya. Sungguh
suatu kabar yang sangat mengejutkan, di samping menggembirakan.
Dua
puluh tahun lebih Prabu Duta Nitiyasa tidak pernah lagi mendengar kabar tentang
Karang Setra, tempatnya dilahirkan. Dan sekarang datang seorang panglima dari
Kerajaan Karang Setra yang dulu hanya sebuah kadipaten. Pikiran Prabu Duta
Nitiyasa jadi berputar kembali, karena beberapa hari yang lalu memang ada
seorang pemuda yang mengaku bernama Rangga. Tapi pemuda itu dari kalangan rimba
persilatan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini Panglima Bayan
Sudira datang untuk mencari rajanya yang juga bernama Rangga.
"Tuan
Panglima, bagaimana ceritanya sampai rajamu pergi tanpa kabar berita yang
pasti?" tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Prabu
Rangga meninggalkan istana karena ada kepentingan yang tidak hamba ketahui
dengan pasti, Gusti Prabu. Memang sudah dipesan agar tidak perlu mencarinya.
Tapi sudah lama beliau tidak kembali, dan terakhir kami mendapat berita kalau
Gusti Prabu Rangga berada di kerajaan ini," Panglima Bayan Sudira mencoba
menjelaskan dengan singkat.
"Apakah
Gusti Prabu Rangga itu seorang pendekar?" tanya Patih Raksajunta yang
sejak tadi diam saja.
"Benar,
Paman Patih. Gusti Prabu Rangga juga dikenal dengan nama Pendekar Rajawali
Sakti"
Bagaikan
mendengar guntur di siang bolong, Prabu Duta Nitiyasa dan Patih Raksajunta
terlonjak kaget. Mereka menatap tajam Panglima Bayan Sudira yang juga
terperanjat, karena tidak mengerti akan sikap tuan rumah ini. Untuk beberapa
saat lamanya suasana jadi hening.
Prabu
Duta Nitiyasa bangkit berdiri, lalu melangkah menuju ke jendela besar yang
terbuka lebar. Saat itu sudah menjelang malam. Di luar sana, kegelapan
menyelimuti sekitarnya. Kabar berita yang dibawa Panglima Bayan Sudira
benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Perasaan batin yang selama ini
mengganggu pikirannya ternyata terbukti. Tapi tidak diduga kalau akan sampai
sejauh itu.
"Tuan
Panglima, tentunya perjalanan jauhmu sangat melelahkan. Sebaiknya
beristirahatlah dahulu,” ujar Prabu Duta Nitiyasa tetap memandang ke luar
melalui jendela
"Hamba,
Gusti Prabu, " sahut Panglima Bayan Sudira.
Dengan
diantar Patih Raksajunta, Panglima Bayan Sudira meninggalkan ruangan Bangsal
Pendopo Agung Ini. Sementara Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri memandang langit
kelam tanpa satu bintang pun terlihat menggantung. Angin malam yang dingin
begitu keras menerpa wajahnya. Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak memperdulikannya.
Pikirannya semakin tidak menentu saat ini.
Cukup
lama juga Prabu Duta Nitiyasa berdiri mematung di depan jendela Bangsal Pendopo
Agung ini. Sampai-sampai tidak tahu kalau Patih Raksajunta sudah berada di
belakangnya. Ragu-ragu laki-laki tua itu menegur, tapi akhirnya memberanikan
diri juga untuk menegur. Prabu Duta Nitiyasa membalikkan tubuhnya. Patih
Raksajunta membungkuk memberi hormat.
"Perkataan
batinku benar, Paman, " tegas Prabu Duta Nitiyasa pelan.
"Hamba
kira ini bukan malapetaka, Gusti," kata Patih Raksajunta.
"Mudah-mudahan
demikian," desah Prabu Duta Nitiyasa pelan.
Prabu
Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan meninggalkan ruangan besar itu.
Sedangkan Patih Raksajunta masih tetap berdiri, meskipun junjungannya itu sudah
tidak terlihat lagi Laki-laki tua itu kelihatan resah, entah apa yang ada dalam
pikirannya saat ini.
"Hhh...,”
Patih Raksajunta menarik napas panjang kemudian berjalan perlahan meninggalkan
ruangan ini.
Dua
orang prajurit penjaga menghampiri jendela setelah Patih Raksajunta menghilang
di balik pintu, lalu menutupnya rapat-rapat Saat itu seorang wanita bertubuh
gemuk masuk. Dibereskan meja dan kursi yang tadi diduduki Prabu Duta Nitiyasa,
Patih Raksajunta, dan Panglima Bayan Sudira. Tidak ada kata-kata yang
terucapkan, semuanya bekerja tanpa membuka mulut. Seakan-akan keresahan hati
Prabu Duta Nitiyasa sudah merambat pada semua orang di lingkungan istana ini.
***
Panglima
Bayan Sudira terkejut ketika tiba-tiba Patih Raksajunta menepuk pundaknya.
Panglima itu menggeser duduknya memberi tempat pada Patih Raksajunta. Mereka
duduk berdampingan di bangku taman belakang istana. Sesaat tidak ada yang
membuka suara. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada langit-langit yang hitam
kelam. Angin yang berhembus kencang membawa titik-titik air, pertanda sebentar
lagi akan diwarnai turunnya hujan.
"Dingin
sekali malam ini...," desah Patih Raksajunta membuka suara.
“Ya,
tampaknya akan hujan," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Hhh...!
Sudah berapa lama ya, kita berpisah?" Patih Raksajunta seperti bertanya
pada dirinya sendiri.
"Mungkin
dua puluh tahun," sahut Panglima Bayan Sudira mendesah.
"Cukup
lama juga. Selama itu aku sepertinya tidak memiliki saudara. Hm..., bagaimana
keadaan saudara-saudara kita yang lain?" suara Patih Raksajunta terdengar
setengah bergumam.
"Tidak
terlalu buruk. Hanya saja...," jawaban Panglima Bayan Sudira terputus.
"Hanya
apa?" desak Patih Raksajunta.
"Istri
dan anakmu. Sampai sekarang tidak kuketahui di mana mereka," pelan suara
Panglima Bayan Sudira.
"Mereka
ada di sini," sahut Patih Raksajunta tersenyum.
"Oh,
syukurlah."
Kembali
mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya. Titik-titik air mulai terasa
menyentuh kulit. Seberkas cahaya kilat menyambar di angkasa, disusul gelegar
guruh. Langit semakin terlihat kelam, angin pun semakin terasa dingin
berhembus. Namun dua orang pembesar dari kerajaan yang berbeda itu masih tetap
tenang duduk di taman belakang istana.
"Tadinya
aku sudah berniat untuk menetap di sini bersamamu, Kakang. Tapi mendadak saja
perubahan besar terjadi di Karang Setra. Putra Gusti Adipati yang hilang dua
puluh tahun lamanya kembali dan menggulingkan kekuasaan adik tirinya. Bahkan kini
Karang Setra telah menjadi sebuah kerajaan yang cukup besar," jelas
Panglima Bayan Sudira menceritakan keadaan Karang Setra tanpa diminta.
"Lalu,
bagaimana caranya kau bisa jadi panglima?" tanya Patih Raksajunta.
"Aku
bergabung dengan Gusti Rangga mendirikan kerajaan di Karang Setra. Banyak teman
kita yang dulu terpencar sudah kembali berkumpul di istana. Gusti Rangga
menyerahkan pembagian jabatan pada Kakang Lintuk. Kau masih ingat dengan
saingan beratmu itu, Kakang?"
"Ya.
Tapi bukan saingan dalam arti musuh. Aku dan Kakang Lintuk memang selalu
bersaing, tapi secara sehat," jelas Patih Raksajunta.
"Kakang
Lintuk memang adil. dan bijaksana sekali. Dia tidak langsung menunjuk, tapi
menanyakan terlebih dahulu jabatan yang sesuai dengan keahlian masing-masing.
Semua dilakukan secara rembukan, dan semuanya puas, tidak ada yang
mengeluh."
"Kakang
Lintuk memang orang yang bijaksana. Aku yakin. Karang Setra kini lebih maju
dari yang dulu."
"Benar,
Kakang. Kemajuannya pesat sekali, meskipun singgasana selalu kosong."
"Kosong...!?"
Patih Raksajunta mengangkat alisnya.
"Gusti
Prabu Rangga berjiwa pendekar. Dan selama dua puluh tahun selalu mengembara di
dalam rimba persilatan. Bahkan sekarang pun tidak ada di Istana."
“Hm..,
jadi kau ke sini mencari raja pendekar itu?
“Betul”
“Untuk
membawa pulang kembali?”
“Bukan.”
“Lho...?!
lalu, untuk apa kau mencarinya?”
“Maaf,
Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya Gusti Prabu Rangga-lah yang boleh
mengetahuinya.”
“Aku
mengerti. Tapi... kau yakin kalau Prabu Rangga ada di sini?"
“Begitulah
yang kudengar. Mudah-mudahan aku tidak terlambat."
“Sayang
sekali...,” gumam Patih Raksajunta.
“Kenapa
Kakang...?” tanya Panglima Bayan Sudra.
“Aku
tidak tau pasti, apakah yang kau cari memang dia orangnya atau bukan,” kata
Patih Raksajunta setengah bergumam.
“Maksud
Kakang?” Panglima Bayan Sudra tidak mengerti.
Patih
Raksajunta tidak langsung menjelaskan, tapi malah bangkit berdiri dan melangkah
menuju ke bangunan belakang istana. Saat itu hujan sudah mulai turun dengan
derasnya. Panglima Bayan Sudra juga ikut bangkit dan melangkah meninggalkan
bangku taman itu. Hatinya masih diliputi pertanyaan yang belum terjawab.
***
Panglima
Bayan Sudra menyesal keterlambatannya, sehingga tidak bisa menemui rajanya.
Tapi kekecewaannya sedikit terhalau karena masih bisa bertemu dengan
saudara-saudaranya di kerjaan ini. Terutama Patih Raksajunta, yang masih
terhitung kakak sepupunya.
Tapi
yang lebih kecewa lagi adalah Prabu Duta Nitiyasa. Dia baru tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti adalah seorang raja besar, yang ternyata juga keponakannya.
Hanya selama ini dia belum bisa menyambut pendekar itu dengan baik, bahkan
sekarang sudah tidak jelas lagi berada di mana. Memang sukar untuk mencari
seorang pendekar, meskipun seorang raja besar sekalipun. Apalagi Rangga hanya
seorang diri. Yang tanpa tujuan pasti.
Hari
ini Panglima Bayan Sudira sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Istana
Jiwanala. Sepuluh orang prajuritnya juga sudah siap di samping kudanya
masing-masing. Prabu. Duta Nitiyasa mengantarkannya sampai ke ujung tangga
istana, didampingi Patih Raksajunta.
"Beritahukan
arah tujuan yang kau tempuh, Panglima. Seandainya Rangga masih berada di sini,
aku bisa cepat mengirim utusan untuk memberitahukanmu," kata Prabu Duta
Nitiyasa meminta.
"Hamba
selalu menuju ke arah Timur, Gusti Prabu," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Baiklah.
Kuharap kau bisa menemukannya di jalan."
"Hamba
mohon diri, Gusti."
"Ya."
Panglima
Bayan Sudira membungkuk memberi hormat kemudian berbalik dan melangkah
menghampiri kudanya yang dipegangi seorang prajurit. Setelah Panglima Bayan
Sudira berada di punggung kuda, sepuluh orang prajurit yang menyertainya segera
melompat punggung kudanya masing-masing. Salah seorang memegangi tali kendali
seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda hitam itu sudah berpelana lengkap
tapi tak ada penunggangnya.
"Hiya,
hiya...!"
Panglima
Bayan Sudira menggebah kudanya dengan cepat keluar dari alun-alun istana
Sepuluh orang prajuritnya mengikuti dari belakang. Dua belas ekor kuda berpacu
cepat melintasi pintu gerbang istana yang dijaga empat orang prajurit
bersenjata tombak. Kuda-kuda itu terus berpacu cepat meninggalkan debu yang
mengepul di udara.
Panglima
Bayan Sudira memang mengarahkan tujuannya ke Timur. Sedikit pun tidak
dikendurkan laju kudanya. Hingga sampai di perbatasan, mereka baru melarikan
kudanya perlahan-lahan. Panglima Bayan Sudira menatap hutan lebat yang
menghadang di depannya. Gerbang perbatasan sudah tertinggal jauh di belakang.
"Hooop...!"
Panglima
Bayan Sudira menghentikan lari kudanya begitu akan memasuki hutan. Sepuluh
orang prajuritnya ikut berhenti. Salah seorang prajurit menghampiri.
"Kenapa
berhenti, Gusti?" tanya prajurit itu.
"Aku
yakin sekali kalau Gusti Prabu masih ada di Kerajaan Jiwanala, " sahut
Panglima Bayan Sudira setengah bergumam.
"Tapi
Gusti Prabu Duta Nitiyasa sudah memas¬tikan kalau Gusti Prabu Rangga sudah
pergi," bantah prajurit itu.
"Kau
ingat orang yang mencegat kita kemarin?"
Panglima
Bayan Sudira memberikan pertanyaan Prajurit itu mengangguk.
"Dia
bernama Kumbang Merah. Hm..., aku jadi heran, kenapa dia melarangku masuk ke
Kerajaan Jiwanala ? Aku jadi curiga," kembali nada suara Panglima Bayan
Sudira bernada bergumam.
"Benar,
Gusti. Pasti ada sesuatu," celetuk prajurit itu.
"Yang
aku heran, Kumbang Merah tahu betul apa yang kucari. Padahal tidak ada seorang
pun yang tahu kecuali aku dan Kakang Lintuk. Aneh...! Dari mana dia tahu?
Kenapa dia melarangku masuk ke Kerajaan Jiwanala?" Macam-macam pertanyaan
bergumam dari mulut Panglima Bayan Sudira.
Tak
ada seorang prajuritnya yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka pun jadi
heran dan bertanya-tanya. Hanya satu hari berada di Kerajaan Jiwanala, tapi
sudah membuat seribu macam pertanyaan yang sukar untuk dipecahkan. Bukan hanya
si Kumbang ¬Merah saja yang mencegat mereka masuk ke Kerajaan Jiwanala.
Sepanjang jalan, sudah terjadi empat kali pencegatan. Dan semuanya tidak
menginginkan Panglima Bayan Sudira masuk ke kerajaan itu.
Selain
si Kumbang Merah, ada juga si Iblis Mawar Jingga, Kakek Pesolek Pemetik Bunga,
dan si Macan Gunung Sumbing. Mereka semua sepertinya sudah tahu, apa yang
sedang diemban Panglima Bayan Sudira. Bahkan tahu pula setiap arah tujuan yang
ditempuh. Bukan hanya sekali atau dua kali mereka mencegat, tapi beberapa kali.
Hanya anehnya, mereka tidak menyakiti, meskipun sempat melakukan pertarungan.
Namun tidak ada satu korban pun yang jatuh. Apa sebenarnya maksud mereka?
Pertanyaan itu yang selalu menghantui Panglima Bayan Sudira dan
prajurit-prajuritnya.
"He
he he...!"
Tiba-tiba
saja terdengar suara terkekeh. Dan belum lagi suara tawa itu hilang, menyusul
terdengar suara siulan nyaring melengking tinggi. Suara-suara itu seolah-olah
datang dari segala penjuru, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. Tapi tidak menimbulkan gejala apa-apa. Hanya saja cukup membuat
bingung Panglima Bayan Sudira dan kesepuluh prajuritnya.
"Hm...,
siapa lagi ini?" gumam Panglima Bayan Sudira bertanya-tanya.
Belum
lagi pertanyaan itu bisa terjawab. Muncul dua orang laki-laki dan perempuan.
Mereka semua ¬masih muda-muda, gagah, dan cantik. Kedua orang itu mengenakan
baju ketat berwarna kuning gading. Di punggung mereka terpasang sebilah pedang
yang bergagang hitam seperti tanduk kerbau. Panglima Bayan Sudira mengenali mereka,
yang dikenal berjuluk Sepasang Naga Hitam. Yang laki-laki sebenarnya bernama
Andika, dan yang perempuan bernama Andini.
Langkah
mereka ringan menghampiri Panglima Bayan Sudira yang sudah siaga. Tangan
kanannya pun sudah berada di atas gagang pedangnya di pinggang. Panglima Bayan
Sudira tahu kalau sepasang muda-mudi ini adalah tokoh sakti beraliran hitam.
Dan sudah diduga, apa yang diinginkan Sepasang Naga Hitam itu.
"Aku
turut sedih atas kemalanganmu, Panglima Bayan Sudira," ucap Andika.
Bibirnya yang tipis tersenyum sinis.
"Terima
kasih, tapi aku tidak sedih," sahut Panglima Bayan Sudira datar.
"Oh...!"
Andika seperti terkejut. "Lihat, Adik Andini. Dia tidak sedih! Mengagumkan
sekali...."
"Memang
mengagumkan. Tapi sayang sudah tua. Tapi..., masih boleh juga! Kegagahannya
masih tampak, dan cukup tampan," sahut Andini tersenyum-senyum menggoda.
Panglima
Bayan Sudira menggerutu dalam hati. Dia tahu betul tabiat Sepasang Naga Hitam
Itu. Mereka adalah anak muda yang selalu mengumbar nafsu dan kesenangan
duniawi. Mereka tidak lagi mempedulikan tata krama kehidupan, dan selalu
menyanjung kebebasan dalam segala hal Kemunculannya memang selalu berpasangan,
tapi anehnya tidak mempedulikan satu sama lain dalam mencari kepuasan pribadi.
"Rajanya
lebih tampan lagi, Andini, " kata Andika.
"Oh,
ya? Aku jadi ingin cepat-cepat bertemu," bola mata Andini berbinar.
"Phuih!
Kau tidak akan dapat bertemu dengan Gusti Prabu!" bentak Panglima Bayan
Sudira geram mendengar ocehan yang menyakitkan telinga itu.
"Hi
hi hi.... Dia mencoba menghalangi ku, Kakang," Andini terkikik meremehkan.
"Tidak
ada seorang pun yang bisa menghalangi kita, Andini. Percayalah pada ku,"
sahut Andika.
"Aku
percaya, Kakang. Tapi jangan lukai panglima itu. Aku suka padanya," Andini
melirik genit pada Panglima Bayan Sudira.
Panglima
Bayan SudIra benar-benar muak melihat Andini yang bertingkah laku genit
padanya. Tapi panglima itu masih menahan kesabarannya, karena tahu kalau
Sepasang Naga Hitam itu bukan tandingannya. Lebih-lebih untuk sepuluh
prajuritnya. Bukannya takut, tapi tugas yang diembannya belum lagi selesai.
Bahkan sampai saat Ini dia belum bisa bertemu dengan Rangga.
"Aku
harap kalian tidak membuat kesulitan!" tegas Panglima Bayan Sudira dingin
"Ah....
Aku suka sekali ancamannya, Kakang, " ¬desah Andini genit.
"Setan!
Perempuan cabul!" Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Hi
hi hi...!" Andini malah tertawa terkikik.
Panglima
Bayan Sudira tidak bisa lagi menahan amarahnya. Betapa muaknya melihat tingkah
wanita itu. Andini memang cantik. Tapi, tingkah lakunya yang terlalu bebas dan
kejam, membuat siapa saja tidak pernah menyukainya. Setiap laki-laki yang
disukainya selalu dibunuh, setelah puas bermain cinta dengannya. Tidak
terhitung lagi laki-laki yang tewas di tangan perempuan cabul itu.
Sret!
Panglima
Bayan Sudira menghunus pedangnya. Ujung pedang berkilat keperakan itu ditujukan
ke arah Andini. Namun wanita Itu malah tersenyum mempermainkan kelopak matanya
dengan genit Tentu saja hal ini makin membuat Panglima Bayan Sudira muak.
"Aku
tidak segan-segan membunuh, jika kalian tidak segera angkat kaki dari
hadapanku!" ancam Panglima Bayan Sudira geram.
"Bagus...!
Aku suka sekali tantanganmu," sambut Andini tersenyum lebar. "Kakang,
jangan ganggu acara menarikku."
“Tentu
saja, adikku manis. Bersenang-senanglah,” sahut Andika tersenyum mengerti.
"Iblis...!"
geram Panglima Bayan Sudira keras. "Hiyaaa...!"
Panglima
Bayan Sudira yang benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, segera
melompat cepat seraya menusukkan ujung pedang ke arah dada Andini. Tapi dengan
manis wanita itu mengegoskan tubuhnya ke kanan, sehingga pedang Panglima Bayan
Sudira lewat di sampingnya.
Sementara
pertarungan Panglima Bayan Sudira melawan Andini berlangsung, Andika menghadang
sepuluh prajurit yang bergerak hendak membantu panglimanya. Andika
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir berdecak. Sepuluh prajurit yang
tahu siapa Sepasang Naga Hitam itu, kontan bergerak mundur. Mereka tidak jadi
menarik senjata. Sementara pertarungan antara Panglima Bayan Sudira melawan
Andini semakin sengit.
***
TIGA
Sudah
lebih sepuluh jurus, tapi pertarungan Panglima Bayan Sudira lawan Andini masih
juga berlangsung. Meskipun menggunakan pedang, tapi Panglima Bayan Sudira belum
mampu menjatuhkan wanita itu. Bahkan sudah beberapa kali pukulan dan tendangan
Andini mendarat di tubuhnya. Sejak pertama, memang telah dapat diketahui kalau
tingkat kepandaian Panglima Bayan Sudira di bawah Andini.
Tidak
heran kalau pertempuran benar-benar dikuasai wanita cantik itu. Sebenarnya
Panglima Bayan Sudira sadar, kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan
Andini. Tapi, mati adalah pilihannya daripada jatuh ke tangan wanita cabul itu.
Panglima Bayan Sudira tahu, apa yang akan terjadi nanti pada dirinya jika
sampai jatuh ke tangan Andini dalam keadaan hidup. Dan ini yang tidak diinginkan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba
saja Andini berteriak keras seraya mengibaskan tangannya ketika Panglima Bayan
Sudira membabatkan pedangnya ke arah pinggang. Sampokan tangan kiri Andini
demikian cepat, dan tepat menghantam pergelangan tangan kanan Panglima Bayan
Sudira.
"Akh!"
Panglima Bayan Sudira memekik tertahan.
Seketika
itu juga pedang dalam genggamannya terlempar. Belum lagi dapat menguasai
keadaan dirinya, satu tendangan keras mendarat di perut Panglima Bayan Sudira.
Panglima itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual akibat
tendangan itu. Kembali satu pukulan keras menghantam tengkuknya, dan membuatnya
jatuh tersuruk mencium tanah.
"Bangun,
Panglima!" bentak Andini bertolak pinggang di depan Panglima Bayan Sudira.
Laki-laki
berusia hampir empat puluh tahun itu mengangkat kepalanya. Dari mulutnya keluar
darah segar. Sepasang kaki indah berada tepat di depan hidungnya. Panglima
Bayan Sudira menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening
yang menyerang kepalanya. Dan begitu rasa pening berkurang, dengan cepat
disampoknya sepasang kaki itu.
"Hait..!"
Namun
Andini yang rupanya sudah menyadari akan datangnya serangan itu, dengan cepat
melompat sambil mengirimkan satu tendangan keras ke wajah Panglima Bayan
Sudira.
"Akh...!"
Panglima Bayan Sudira memekik keras.
Seketika
itu juga kepalanya terdongak ke belakang, dan tubuhnya bergulingan beberapa
kali. Belum lagi tubuhnya berhenti bergulingan, kembali dirasakan satu hantaman
keras mendarat di punggung. Hantaman itu membuat Panglima Bayan Sudira
merasakan tulang punggungnya patah, dan hanya mampu memekik keras melengking.
Panglima
dari Kerajaan Karang Setra itu benar-benar tidak berdaya lagi. Darah semakin
banyak keluar dari mulut dan pelipisnya. Sukar sekali untuk menggerakkan
tubuhnya kembali. Tulang-tulangnya terasa remuk, hancur berantakan. Andini
berdiri tegak, tepat di depan wajah Panglima Bayan Sudira yang menelentang
tanpa daya lagi.
"Bunuhlah
aku, keparat! " geram Panglima Bayan Sudira sambil menyemburkan ludahnya.
Tapi yang keluar berupa gumpalan darah.
"Kau
terlalu keras kepala, Panglima. Tapi aku suka laki-laki keras sepertimu,"
ujar Andini seraya tersenyum.
"Phuih!"
lagi-lagi Panglima Bayan Sudira menyemburkan ludahnya
Andini
malah semakin lebar tersenyum. Sebentar diliriknya Andika yang berdiri tegak di
depan sepuluh orang prajurit. Wanita itu kemudian berlutut di samping laki-laki
yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan lembut disekanya darah yang mengotori
sekitar mulut Panglima Bayan Sudira. Tapi panglima itu memalingkan mukanya.
"Kasihan
sekali. Kalau saja hatimu lunak sedikit saja, tidak akan sampai begini,"
ucap Andini berdecak.
"Aku
tidak perlu belas kasihanmu!" rungut Panglima Bayan Sudira.
Andini
tertawa mengikik. Dia menoleh pada kakaknya yang masih berdiri tegak di depan
sepuluh orang prajurit Karang Setra Saat itu Andika juga menoleh ke arahnya.
"Untuk
siapa mereka, Kakang?" tanya Andini.
"Untukmu,"
sahut Andika seraya tertawa lebar.
"Sial!
Aku sudah cukup dengan pemimpinnya saja!" rungut Andini memberengut manja.
"Tidak
kurang? Mereka masih muda-muda Andini."
"Aku
tidak peduli!"
"Baiklah
kalau itu keinginanmu," kata Andika yang mengerti maksud adiknya.
Setelah
berkata demikian, Andika berteriak keras. Tubuhnya seketika melesat cepat
sambil mencabut pedangnya yang bergagang hitam berbentuk tanduk kerbau. Mata
pedang itu juga hitam legam, dan berkeluk-keluk bagai ular. Terjangan Andika
demikian cepat dan tak terduga sama sekali, sehingga membuat sepuluh orang
prajurit itu terperangah. Belum sempat mereka menyadari apa yang bakal terjadi,
tiba-tiba saja terdengar jeritan menyayat saling susul.
Kemudian,
beberapa tubuh ambruk bergelimpangan dengan tubuh berlumur darah! Beberapa
prajurit yang masih hidup. langsung melompat ke belakang dan segera mencabut
pedangnya. Tapi serangan Andika sungguh luar biasa. Dengan sekali tebas saja,
pedang-pedang mereka terpenggal.
Dan
belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, Andika sudah kembali mengibaskan
pedangnya sambil berteriak keras.
"Aaa...
!"
Jeritan
melengking kembali terdengar menyayat. Ternyata tiga orang prajurit telah
menggelepar dengan leher hampir buntung. Pada saat yang tepat, dua orang
prajurit berhasil melompat ke punggung kuda, dan bergegas menggebahnya. Kuda
itu meringkik, lalu melompat cepat dan terus berlari kencang.
"Setan...
!" rutuk Andika melihat dua orang prajurit itu lolos.
"Tidak
perlu dikejar, Kakang!" seru Andini mencegah kakaknya yang akan mengejar.
Andika
tidak jadi mengejar kedua prajurit yang lolos itu. Dia berbalik menatap adiknya
yang tetap duduk seenaknya di samping tubuh Panglima Bayan Sudira. Laki-laki
hampir separuh baya itu hanya mampu mengumpat. Dia memang sudah tidak berdaya
lagi karena jalan darahnya sudah tertotok. Tubuhnya sukar untuk digerakkan
kecuali bagian leher saja yang masih bisa digerakkan.
"Iblis!
Kalian benar-benar iblis!" geram Panglima Bayan Sudira mengumpat.
"Ha
ha ha...!" Andini hanya tertawa saja.
Andika
melangkah menghampiri adiknya. Sebentar dipandangi wajah Panglima Bayan Sudira.
Sisa-sisa darah masih melekat di sekitar wajah laki-laki dari Karang Setra itu
Tatapan matanya tajam penuh kebencian.
"Kau
bisa bersenang-senang, Andini,” ledek Andika seraya menatap adiknya.
"Kau
juga bisa kalau mau, Kakang," sahut Andini kalem. "Kerajaan Jiwanala
tidak jauh lagi dari sini. Tidak sampai setengah hari perjalanan.
Gadis-gadisnya terkenal cantik-cantik, Kakang.”
"Tapi
kita ke sana bukan karena itu, Andini."
"Memang.
Tapi, apa salahnya sedikit bersenang-senang? Kau akan menyesal jika tidak
menikmati kesempatan yang baik ini, Kakang. Carilah gadis. Jiwanala yang
tercantik. Kau akan kutunggu di sini. Percayalah, kita akan bersenang-senang
bersama. Aku akan sabar menunggumu," bujuk Andini lembut
"Baiklah.
Hanya untuk sekali ini saja, Andini. Ingat pesan Ki Sapta Bayu. Kita harus
mendapatkan benda itu."
"Aku
tahu, Kakang. Cepatlah sebelum aku kehilangan gairah."
"He
he he...!" Andika terkekeh.
Andini
menyambit pemuda itu dengan segenggam rumput yang dicabutnya. Tapi Andika sudah
keburu melompat dan berlari cepat ke arah Kerajaan Jiwanala. Andini tersenyum
dan menoleh memandang Panglima Bayan Sudira.
"Hanya
sebentar, Panglima. Kakang Andika sangat pandai memilih pasangannya,”¬ ucap
Andini lembut.
"Huh!"
dengus Panglima Bayan Sudira muak.
Andini
tertawa kecil. Direbahkan tubuhnya di samping laki-laki itu. Tangannya
merentang ke dada dan memeluknya penuh gairah. Wanita itu tidak sabar lagi.
Diciuminya wajah dan leher Panglima Bayan Sudira. Kalau saja tubuh Panglima
Bayan Sudira tidak tertotok, Ingin rasanya merobek dan mencincang tubuh wanita
ini. Perutnya jadi mual mendapatkan ciuman yang begitu beruntun.
Napas
Andini mulai tersengat Gejolak gairahnya kontan timbul tak tertahankan lagi.
Jari-jari tangannya yang lentik dan halus, mulai menggerayangi tubuh laki-laki
itu. Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliat memberontak, tapi hanya
mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya sukar untuk digerakkan lagi. Sementara
Andini semakin liar saja. Napasnya memburu hangat menerpa wajah Panglima Bayan
Sudira.
"Iblis!
Kubunuh kau, Andini! " bentak Panglima Bayan Sudira geram
"Diamlah,
Panglima. Hanya sebentar, tidak enak lho, menunggu tanpa berbuat sesuatu!
Tenanglah..., kau akan senang," desah Andini dengan napas tersengal.
"Setan!
Iblis...! Keparat...!" Panglima Bayan Sudira memaki-maki melampiaskan
kemarahan dan kejijikannya.
Tapi
Andini tidak peduli dengan makian itu, bahkan malah semakin bergairah saja.
Dilepaskan totokan pada tubuh Panglima Bayan Sudira. Kecuali kedua tangan dan
kakinya yang tetap lumpuh. Andini memang pandai dalam memilih jalan darah,
sehingga bisa leluasa melumpuhkan bagian-bagian tubuh seseorang yang diinginkannya.
Panglima
Bayan Sudira berusaha menggeliatkan tubuhnya. Tapi setiap kali digerakkan
tubuhnya, malah membuat Andini semakin bergairah. Kemarahan Panglima Bayan
Sudira tidak bisa lagi ditakar. Dia benar-benar marah dengan kecerdikan wanita
cabul ini. Panglima Bayan Sudira tidak kuasa lagi menggerakkan tubuhnya, dan
hanya diam saja dengan kepala menengadah ke belakang.
"Setan...
!" desis Panglima Bayan Sudira menggeram marah.
"Hi
hi hi...!" Andini malah tertawa mengikik.
Sukar
bagi Panglima Bayan Sudira untuk mencegah Andini mengumbar nafsunya. Wanita itu
sudah seperti binatang saja. Dia tidak lagi peduli akan makian yang dilontarkan
Panglima Bayan Sudira Gairahnya sudah tidak dapat terbendung lagi. Sementara
Panglima Bayan Sudira hanya bisa memaki penuh kebencian.
Pada
saat keputusasaan menghinggapi diri panglima itu, tiba-tiba saja Andini memekik
keras dan tubuhnya terpental jauh. Panglima Bayan Sudira segera membuka
matanya. Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi
putih sudah berdiri tegak di dekatnya. Pemuda itu sedikit membungkuk dan
membebaskan beberapa totokan di tubuh Panglima Bayan Sudira.
"Keparat...!"
umpat Andini yang sudah bisa bangkit
Tiba-tiba
wajah berangnya mendadak pudar begitu melihat ketampanan pemuda yang baru saja
menghalangi maksudnya. Andini jadi tersenyum manis, lalu melenggang ringan
menghampiri pemuda itu. Tapi belum juga sampai, Panglima Bayan Sudira sudah
bangkit dan langsung menerjangnya.
"Mampus
kau, perempuan edan...!" teriak Panglima Bayan Sudira geram.
"Hait...!"
Andini
melompat ke samping sambil mengirimkan satu pukulan keras ke wajah Panglima
Bayan Sudira. Pukulan balasan itu tak terhindarkan lagi, karena saat itu
Panglima Bayan Sudira terlalu dihinggapi perasaan marah dan malu yang luar
biasa.
"Akh...!"
Panglima Bayan Sudira memekik keras.
Di
saat kepalanya terdongak ke atas, Andini kembali melayangkan pukulan tangan
kanannya. Tapi pukulan itu terhenti di tengah jalan, karena pemuda tampan itu
menangkap kepalan tangan Andini. Sesaat mereka saling pandang. Kelengahan itu
pun dimanfaatkan Panglima Bayan Sudira. Dengan cepat disodokkan tangannya ke
dada wanita itu.
"Akh!
Kurang ajar...!" pekik Andini keras.
Rasa
sesak menghinggapi dada Andini. Tapi sesak itu bukan karena pukulan Panglima
Bayan Sudira, melainkan rasa kecolongan. Saat itu dia tengah terpana akan
ketampanan pemuda yang menahan pukulannya tadi. Genggaman yang sedang
dinikmatinya itu dirusak oleh sodokan keras dari Panglima Bayan Sudtra.
"Tua
bangka! Kau pikir aku suka padamu. heh!?” dengus Andini berang.
"Perempuan
jalang! Iblis! Kau tidak bisa bersandiwara di depan Gusti Prabu!" bentak
Panglima Bayan Sudira.
"Gusti
Prabu...?!" Andini terlongong seraya menatap pemuda tampan yang berdiri di
samping Panglima Bayan Sudira.
"Ampunkan
hamba, Gusti. Hamba...."
Pemuda
itu mengangkat tangannya, sehingga kata-kata Panglima Bayan Sudira terhenti di
tengah jalan. Pemuda itu melangkah dua tindak ke depan. Tatapan matanya tidak
lepas ke arah wanita cantik di depannya. Saat itu Andini juga tengah merayapi
wajah tampan itu.
"Kalau
boleh aku tahu, siapa namamu, Nisanak?” tanya pemuda itu lembut
"Andini,"
sahut Andini menyebutkan namanya.
"Mungkin
kedatanganku mengganggu kesenanganmu. Tapi aku ada perlu dengan orang ini.
Maaf...."
Setelah
berkata demikian, pemuda tampan berbaju rompi putih itu melesat pergi sambil
menyambar tubuh Panglima Bayan Sudira. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam
waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Andini jadi terlongong seperti
orang kebingungan, tapi cepat tersadar dan menghentakkan kakinya kesal.
"Setan
belang! Sialan...!” makinya kesal.
Andini
memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya, seperti anak kecil kehilangan
mainan kesayangan. Tidak lama kemudian dia sudah tenang, dan duduk menekur di
atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Pandangannya tidak lepas ke
arah pemuda tampan yang pergi membawa Panglima Bayan Sudira tadi.
“Ah...,
pemuda itu tampan sekali. Siapa dia ya...?” gumam Andini pelan, bertanya pada
dirinya sendiri.
Andini
menyesal tidak sempat menanyakan nama pemuda tampan itu. Dia begitu tertarik
dengan ketampanan dan kegagahannya, apalagi ketika merasakan genggaman tangan
pemuda itu. Meskipun bukan genggaman mesra, tapi Andini dapat merasakan
kehangatannya. Hatinya terkesan, tapi penasaran. Siapa dia...? Lagi-lagi Andini
bertanya sendiri dalam hati.
***
Panglima
Bayan Sudira duduk bersila, sambil tertunduk dalam tidak berapa jauh di
depannya duduk seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih. Pedangnya yang
bergagang kepala burung tersembul di balik punggung. Tatapan pemuda itu tidak
lepas dari Panglima Bayan Sudira.
“Pandang
aku, Paman,” dingin nada suara pemuda itu.
“Ampunkan
hamba, Gusti...,” lirih suara Panglima Bayan Sudira. Dicobanya untuk mengangkat
kepala, tapi tak sanggup untuk memandang mata pemuda yang ternyata adalah
Rangga.
"Aku
tahu, bukan kau yang menghendakinya. Hanya yang ingin kutahu, kenapa kau
tinggalkan istana?" Suara Rangga terdengar bernada penyesalan.
"Hamba
mendapat titah dari Maha Patih Lintuk, Gusti. Hamba meninggalkan istana dengan
sepuluh orang prajurit. Tapi...," Panglima Bayan Sudira menghentikan
kata-katanya.
"Hanya
ada delapan prajurit yang tewas."
"Dua
prajurit lagi sempat melarikan diri, Gusti."
"Lari...?!"
"Ampunkan
hamba, Gusti."
"Ah,
sudahlah. Sekarang katakan, apa yang diperintahkan Patih Lintuk padamu?"
"Hamba
diperintahkan untuk mencari Pusaka Keraton Karang Setra. Di samping itu, hamba
juga diperintahkan untuk mencari Gusti untuk melaporkan kalau Pusaka Keraton
Karang Setra telah hilang."
"Hhh...!"
Rangga menarik napas panjang dan dalam.
Dia
tahu apa yang dimaksudkan Panglima Bayan Sudira. Pusaka Itu merupakan lambang
Kerajaan Karang Setra yang dikeramatkan. Benda itu memang amat berharga bagi
seluruh rakyat Karang Setra. Rangga tidak mengerti, bagaimana pusaka itu bisa
hilang? Padahal pusaka itu selalu berada di dinding di atas singgasana, dan
selalu dijaga ketat oleh para prajurit. ¬Tidak ada seorang pun yang berani
menyentuhnya. Apalagi mengambilnya.
Sebenarnya
pusaka itu hanya berbentuk lambang Kerajaan Karang Setra, yang berbentuk
segitiga. Ukurannya tidak begitu besar dengan beberapa buah lingkaran di
dalamnya. Pusaka itu sudah ada sejak Kadipaten Karang Setra berdiri. Selama ini
tidak ada yang tahu siapa pembuatnya, dan apa keistimewaan yang terkandung di
dalam benda itu.
Rangga
sendiri belum tahu secara jelas. Hanya saja seluruh rakyat Karang Setra begitu
mengeramatkannya. Memang banyak cerita tentang benda pusaka itu. Tapi bagi
Rangga, semua cerita yang didengarnya terlalu dilebih-lebihkan. Sama sekali
tidak dipercaya kalau benda itu memiliki kekuatan yang dapat membuat seseorang
menjadi sakti dan kebal terhadap segala jenis senjata beracun. Bahkan konon
kabarnya, senjata pusaka itu dapat membuat seseorang tidak akan terpengaruh
terhadap segala macam bentuk ajian kesaktian, bagaimana pun tinggi dan
dahsyatnya ajian kesaktian itu.
Tapi,
hilangnya pusaka leluhur Karang Setra itu membuat Rangga jadi berpikir juga.
Dia memang sempat terkejut, karena benda itu merupakan lambang kerajaan yang
dikeramatkan. Suatu lambang kejayaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Karang
Setra.
Seseorang
yang berusaha melenyapkannya, bisa dianggap penjahat kelas satu yang akan
menghancurkan seluruh Karang Setra. Bahkan orang itu harus mendapatkan hukuman
mati! Memang tidak tertulis, tapi peraturan itu sudah demikian melekat di hati
seluruh rakyat di Karang Setra.
"Paman,
apakah berita ini sudah menyebar ke luar lingkungan Istana?" tanya Rangga
pelan.
"Hamba
kira sudah, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira. "Ampun, Gusti Prabu.
Kami semua tidak mampu mencegah bocornya berita itu. Seluruh rakyat kini
gelisah dan marah."
"Kapan
itu terjadi?" tanya Rangga datar.
"Lebih
kurang tiga purnama yang lalu."
"Sudah
tiga purnama...?!" Rangga terkejut setengah mati.
"Ampun,
Gusti. Bukannya hamba dan yang lainnya tidak mau mengabarkan cepat-cepat. Tapi
kami semua tidak tahu, di mana adanya Gusti. Kami sudah berusaha mencari, tapi
tidak juga diketemukan," jelas Panglima Bayan Sudira.
Kembali
Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam. Memang, tidak perlu
dicari kambing hitamnya. Dalam pengembaraannya, memang sudah didengar kalau
orang-orang ribut membicarakan tentang pencarian benda pusaka keramat dari
Karang Setra. Rangga sendiri sebenarnya ingin segera kembali ke Istana, tapi
niatnya terhalang. Ternyata didapat berita kalau pusaka itu ada di Kerajaan
Jiwanala ini. Dan sampai bertemu dengan Panglima Bayan Sudira ini, dia belum
menduga kalau benda yang diributkan banyak orang itu adalah benda pusaka
keramat, Lambang Kerajaan Karang Setra.
Memang
di dalam ruang penyimpanan benda pusaka istana, banyak terdapat pusaka-pusaka
yang dikeramatkan. Semula, Rangga mengira kalau salah satu dari pusaka yang
berada di dalam ruang penyimpanan itulah yang hilang. Ternyata dugaannya salah
besar. Bahkan mengejutkannya! Kalau sampai lambang kerajaan hilang, itu bukan
lagi persoalan enteng! Ini menyangkut keutuhan dan kewibawaannya sebagai
seorang raja besar.
"Paman,
ceritakan bagaimana kejadiannya sampai pusaka itu hilang," pinta Rangga.
"Baik,
Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira hormat.
***
EMPAT
"Sebenarnya
ini bukan kesalahan siapa-siapa, Gusti Tapi kesalahan hamba. Malam itu hamba
terpaksa memerintahkan beberapa prajurit penjaga Balai Sema Agung untuk meronda
keliling istana. Hanya tinggal empat orang prajurit saja yang tersisa di Balai
Sema Agung. Hamba memang mengurangi penjagaan di sekitar istana, karena selama
ini keadaan selalu aman tanpa adanya gangguan sedikit pun...," Panglima
Bayan Sudira menghentikan ceritanya.
"Teruskan,"
pinta Rangga.
"Kebijaksanaan
ini hamba keluarkan karena sebagian prajurit sedang dikirim ke Kadipaten
Sindang Lawu. Hamba berpendapat, keamanan istana sudah cukup. Dengan demikian
penjagaan hamba kurangi, dan dipusatkan pada tapal batas yang berhubungan
langsung dengan Kadipaten Sindang Lawu," lanjut Panglima Bayan Sudira.
"Hm....
Apa yang terjadi di Kadipaten Sindang Lawu?" tanya Rangga.
"Hanya
kekacauan kecil saja, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Kekacauan
kecil? Dan kau kirim sebagian prajurit ke sana sehingga mengurangi penjagaan di
istana! Itu yang dinamakan kekacauan kecil...?!" Rangga
menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti terhadap sikap panglimanya ini.
"Ampun,
Gusti. Sebenarnya kekacauan itu tidaklah berat untuk ditangani kalau
saja...."
"Apa?"
desak Rangga.
"Kalau
saja tidak ditunggangi dua orang yang berilmu sangat tinggi," lanjut
Panglima Bayan Sudira.
"Siapa
mereka?"
"Sepasang
Naga Hitam."
"Sepasang
Naga Hitam...," gumam Rangga pelan.
"Gusti
sudah bertemu dengan salah seorang dari mereka."
Rangga
menatap tajam pada Panglima Bayan Sudira.
"Wanita
yang bernama Andini dan hampir mempermalukan hamba tadi adalah salah seorang
dari Sepasang Naga Hitam," jelas Panglima Bayan Sudira.
"Oh...!"
Rangga agak terkejut juga mendengarnya.
"Para
pengikutnya berhasil ditumpas. Hamba tidak menyangka kalau mereka mengikuti ke
mana hamba pergi. Hanya tinggal mereka berdua saja, tapi...," lagi-lagi
Panglima Bayan Sudira berhenti sebelum kalimatnya selesai.
"Tapi
kenapa?" desak Rangga.
"Mereka
ternyata mengetahui tentang pusaka itu, dan menginginkannya, Gusti."
"Ahhh...!"
kembali Rangga terkejut dan mendesah panjang.
"Bukan
hanya mereka, bahkan beberapa tokoh hitam juga sudah mendengarnya. Mereka kini
berusaha untuk mendapatkan pusaka itu. Hamba tidak tahu, dari mana mereka
dengar, dan untuk apa menginginkan pusaka itu, Gusti."
Rangga
terdiam dan mendesah panjang beberapa kali. Kini persoalannya memang menjadi
semakin serius. Pusaka leluhur Karang Setra tidak boleh jatuh ke tangan orang
yang sesat. Jelas, hal itu bisa membuat kehancuran bagi seluruh rakyat Karang
Setra, bahkan bisa meluas lebih jauh lagi. Orang yang menguasai pusaka itu akan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan menguasai seluruh dunia
persilatan. Itu pun kalau memang benar pusaka leluhur Karang Setra memiliki
kesaktian yang luar biasa. Sedangkan selama ini belum terbukti kesaktian itu.
Rangga
bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh
dari tempat itu. Sungai tersebut berair jernih dan tidak begitu dalam, sehingga
bagian dasarnya jelas terlihat Rangga jongkok di tepi sungai dan membasuh
wajahnya dengan air yang sejuk itu. Sebentar dipandangi wajahnya di permukaan
air sungai itu, kemudian bangkit berdiri dan berbalik. Panglima Bayan Sudira
masih tetap duduk bersila di tempatnya. Rangga melangkah menghampirinya, dan
menepuk pundak panglima itu.
"Berdirilah,"
ucap Rangga lembut.
"Hamba,
Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira seraya memberi sembah, lalu bangkit
berdiri.
"Kau
tentu membawa kuda," kata Rangga.
"Benar,
Gusti. Tapi kuda-kuda itu mungkin masih berada di tepi hutan," sahut
Panglima Bayan Sudira.
"Hm..,”
Rangga bergumam dan melangkah perlahan-lahan.
Panglima
Bayan Sudira mengikutnya dari belakang. Tangan Rangga memberi isyarat agar
Panglima Bayan Sudira berjalan di sampingnya. Laki-laki hampir setengah baya
itu mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kau
bawa pakaian ganti, Paman?" tanya Rangga sambil tetap melangkah.
"Bawa,
Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Tapi
semuanya ada di punggung kuda. Bahkan hamba juga membawa kuda Dewa Bayu."
"Mudah-mudahan
kuda-kuda itu tidak kabur dan kau bisa mengganti pakaian dengan yang biasa.
Rasanya pakaianmu terlalu menyolok."
"Hamba,
Gusti."
"Satu
lagi. Sebaiknya kau tidak memanggilku Gusti. Panggil saja aku Rangga, "
pinta Rangga.
"Gusti...
!" Panglima Bayan Sudira terkejut.
"Gerakan
kita tidak akan bebas kalau kau tetap memanggilku seperti itu. Dan lagi
pakaianmu terlalu menyolok kalau kau seorang panglima perang Kerajaan Karang
Setra."
"Hamba,
Gusti," ucap Panglima Bayan Sudira mengerti.
"Aku
tetap akan memanggilmu paman. Dan kau harus memanggilku Rangga saja, tanpa ada
sebutan lain."
"Baik,
Gusti..., eh, Rangga."
"Bagus!
Sebaiknya kita cepat-cepat ke tepi hutan. Mudah-mudahan kuda-kudamu masih ada
di sana.
"Baik,
Rangga , " Panglima Bayan Sudira mulai membiasakan diri memanggil
junjungannya dengan nama kecil saja.
Rangga
tersenyum senang. Tapi di balik semua itu hatinya tidak tenteram. Apa yang
telah dikatakan panglimanya itu membuat kepalanya terasa akan pecah. Kini
perhatiannya harus dikhususkan pada pusaka Karang Setra yang hilang. Dan
sementara itu sudah banyak tokoh rimba persilatan yang mengetahuinya. Pusaka
itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Dan ini memang tidak boleh terjadi!
Untungnya
kuda-kuda yang ditinggalkan masih ada, dan tengah merumput dengan tenang.
Panglima Bayan Sudira mengganti pakaiannya dengan yang biasa dipakai orang
kebanyakan. Dia juga mengenakan topi anyaman daun pandan yang cukup lebar,
sehingga hampir menutupi. wajahnya.
Sementara
itu Rangga memandangi mayat-mayat prajuritnya yang terbujur tak tentu arah.
Keadaan mereka memang sangat menyedihkan! Bahkan sebagian tengah dikeroyok
burung pemakan bangkai!
Burung-burung
seperti itu memang selalu cepat datang bila mencium bau darah. Rangga tidak
tahan melihatnya, meskipun sering melihat pemandangan seperti itu. Tapi kali
ini sungguh lain. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, lalu menghampiri seekor
kuda hitam berkilat yang tinggi dan tegap. Kuda itu berjingkrak dan meringkik
melihat majikannya menghampiri.
"Kita
bersama lagi, Hitam," ucap Rangga seraya menepuk-nepuk leher kuda itu.
Kuda
hitam itu meringkik dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti
apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga memeluk kepala kuda itu,
dan memegang tali kekangnya.
Dengan
satu lompatan yang indah, dia naik ke punggungnya. Kembali kuda itu meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.
"Kita
berangkat sekarang, Paman," kata Rangga seraya melirik Pada Paman Bayan
Sudira yang sudah berada di atas punggung kudanya.
"Ke
mana arahnya?" tanya Bayan Sudira.
"Ke
Kerajaan Jiwanala, " jawab Rangga seraya menghentakkan tali kekang
kudanya.
Kuda
hitam itu melangkah perlahan-lahan. Paman Bayan Sudira Juga menghentakkan tali
kekang kudanya, dan mensejajarkannya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti
itu. Dua ekor kuda berjalan perlahan-lahan menuju ke Kerajaan Jiwanaia.
"Kenapa
harus ke Jiwanala, Rangga?" tanya Bayan Sudira yang sudah terbiasa
mengucapkan nama itu.
"Tadi
kau katakan, si Kumbang Merah mencegat dan melarangmu ke sana. Bukan begitu,
Paman?"
"Benar."
"Nah,
aku rasa dari sanalah kita harus memulainya. Hm..., aku sendiri pernah mendengar
kalau pusaka itu berada di Jiwanala."
"Kau
pernah mendengar juga? Jadi...!" Paman Bayan Sudira terperanjat.
“Ya!
Aku memang sudah mendengar adanya pusaka yang hilang dari Karang Setra. Tapi
tidak kusangka kalau lambang kerajaan yang hilang."
"Sebenarnya
aku juga sudah mendengar kalau pusaka itu ada di sana. Dan Gus..., eh, kau juga
ada di sana," Paman Bayan Sudira hampir terselip lidahnya.
"Ingat,
Paman. Kita sedang berada di luar istana," Rangga mengingatkan.
"Maaf,"
ucap Bayan Sudira.
"Aku
memang sudah lama berada di sana," kata Rangga memberitahu.
"Benar
Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah mengatakan demikian."
"Jadi,
kau sudah menemui Prabu Duta Nitiyasa?" Rangga terkejut.
"Maaf,
ham..., eh aku tidak punya pilihan lain. Aku menceritakan semuanya tentang
diri...."
"Ah,
sudahlah," potong Rangga cepat. "Lidahmu bisa terselip terus
nanti."
Bayan
Sudira tersenyum tipis, tapi cukup senang karena Rangga tidak marah dan bisa
memakluminya.
Mereka
terus mengendarai kuda perlahan-lahan dan tidak terburu-buru. Sepanjang
perjalanan ada saja yang dibicarakan. Tapi kebanyakan Rangga yang bertanya.
Sesekali, Paman Bayan Sudira masih salah memanggil. Namun lama kelamaan
terbiasa juga, meskipun setiap kali menyebut nama Rangga selalu terselip
perasaan tidak enak di dalam hatinya. Betapa tidak? Dia harus memanggil nama
asli junjungannya tanpa ada panggilan kehormatan!
Paman
Bayan Sudira jadi teringat ketika pertama kali bertemu dengan Pendekar Rajawali
Sakti ini. Dia juga memanggil Rangga dengan nama saja. Tapi saat itu dia tidak
tahu, siapa Rangga sebenarnya yang muncul dengan nama Pendekar Rajawali Sakti.
Memang menyenangkan saat itu. Tapi kali ini terasa kaku, meskipun Rangga selalu
bersikap biasa saja. Hanya perasaan Paman Bayan Sudira saja yang tidak enak.
"Kenapa
diam...?" tegur Rangga.
"Ah,
tidak.... Aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu," sahut Paman Bayan
Sudira.
"Ha
ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak. “Ya, saat itu kau gugup sekali
begitu mengetahui diriku sesungguhnya, Paman. Padahal aku sendiri tidak ingin
semua orang tahu tentang diriku."
"Tapi
kemunculanmu membawa perubahan besar bagi seluruh rakyat Karang Setra."
"Ah!
Itu masa lalu, Paman," Rangga ingin membuang kenang-kenangan itu.
"Masa
lalu yang indah dan menyenangkan."
Rangga
tersenyum getir. Dia jadi teringat akan seorang gadis yang pertama dicintai dan
membuka pintu hatinya, namun cepat-cepat dienyahkan kenangan itu. Rasanya tidak
ingin lagi larut dalam kenangan. Baginya masa lalu bukan untuk dikenang, tapi
untuk dilupakan. Karena masa lalu itulah singgasananya harus ditinggalkan untuk
mengembara dari satu desa ke desa lain. Keluar masuk hutan tanpa tujuan yang
pasti. Satu perjalanan panjang dan melelahkan.
"Maaf,
kalau aku membuatmu murung," ucap Paman Bayan Sudira.
"Ah...!"
Rangga hanya mendesah panjang.
"Apa
yang akan kita lakukan di Jiwanala?" tanya Paman Bayan Sudira
mengembalikan pada pokok persoalannya.
“Yang
jelas, hindarilah pertemuan dengan Prabu Duta Nitiyasa, " sahut Rangga.
"Kenapa?"
tanya Paman Bayan Sudira.
"Sebab
bisa membatasi ruang gerak kita, Paman. Jika kita berhubungan dengan
orang-orang istana, pasti akan menyulitkan. Terus terang, aku selalu
menghindari hubungan dengan orang pemerintahan jika menyelesaikan suatu
masalah. Kau akan mengerti nanti, Paman," Rangga mencoba menjelaskan.
"Aku
mengerti, Rangga."
"Aku
punya tempat yang lumayan. Orangnya baik dan bisa dipercaya. Selama berada di sini
aku tinggal di rumahnya," jelas Rangga.
"Rumah
penginapan?" tebak Paman Bayan Sudira.
“Ya.
Tapi cukup tenang dan nyaman. Tidak terlalu banyak yang datang ke sana."
Paman
Bayan Sudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mana pun mereka menetap sementara,
pasti akan dituruti. Sementara itu kuda mereka sudah ¬memasuki pintu gerbang
perbatasan. Dua orang prajurit penjaga perbatasan hanya memperhatikan saja
tanpa menegur sama sekali. Dua ekor kuda itu terus berjalan perlahan-lahan.
Tidak ada yang memperhatikan. Dan memang, kedua orang itu sama sekali tidak
me¬yolok. Mereka seperti layaknya para pendatang lain yang hanya singgah
sebentar, atau menetap beberapa hari. Kerajaan di pesisir pantai ini memang
sering didatangi pendatang. Dan itu sangat memudahkan Rangga dan Paman Bayan
Sudira.
***
Rangga
dan Paman Bayan Sudira yang baru saja menambatkan kudanya di bawah pohon
kenanga menjadi terkejut, karena Ki Jantar berlari-lari kecil menghampirinya.
Kedai laki-laki tua itu kelihatan ramai dikunjungi orang. Bahkan rumah
penginapan yang berada di samping kedai itu dipenuhi pendatang. Rangga
tersenyum menyambut laki-laki tua itu.
"Celaka,
Den.... Aduh celaka...," ujar Ki Jantar dengan mimik wajahnya tampak
cemas.
"Ada
apa, Ki?" tanya Rangga.
"Baru
saja mereka pergi. Mereka mencari Raden," jelas Ki Jantar.
"Mereka
siapa?" tanya Paman Bayan Sudira.
Ki
Jantar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Paman Bayan Sudira penuh
curiga. Rangga tahu itu maka ditepuknya pundak Paman Bayan Sudira seraya
tersenyum.
"Ini
pamanku, Ki," kata Rangga memperkenalkan.
"Oh...,"
Ki Jantar mendesah lega.
"Siapa
mereka, Ki?" Rangga mengulangi pertanyaan Paman Bayan Sudira.
"Aku
tidak tahu namanya. Mereka dua orang, Den. Masih muda-muda. Tapi galaknya minta
ampun."
"Iya
siapa mereka?” Paman Bayan Sudira tidak sabaran.
"Seorang
laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Baju mereka kuning gading dan membawa
pedang bergagang seperti tanduk kerbau. Mereka mencari Raden...,” jelas Ki
Jantar.
"Sepasang
Naga Hitam...,” desis Paman Bayan Sudira pelan. Begitu pelannya sampai tidak
terdengar.
"Mereka
membuat keributan, Ki?" tanya Rangga.
"Tidak.
Tapi sempat mengancam dan akan datang kembali," sahut Ki Jantar.
"Bagaimana,
Rangga?" tanya Paman Bayan Sudira.
"Sebaiknya
kita tunggu di sini," sahut Rangga.
"Den..,
" suara Ki Jantar bergetar.
“Tenang
saja, Ki. Aku tidak akan membuat keributan. Kalaupun terpaksa, bukan di sini
tempatnya," janji Rangga.
"Aku
takut, Raden akan celaka."
Rangga
tersenyum dan menepuk pundak laki-laki tua itu, kemudian diajaknya Paman Bayan
Sudira.
Rangga
juga meminta kamar satu lagi yang bersebelahan dengan kamarnya. Ki Jantar
menyanggupi, dan bergegas ke rumah penginapannya. Sementara Rangga dan Paman
Bayan Sudira menuju ke kedai.
Semua
pelayan di kedai itu sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung
menyediakan makanan dan minuman tanpa dipesan lagi. Rangga sengaja memilih
tempat dekat jendela yang langsung menghadap ke luar. Sambil makan, matanya
selalu memandangi orang-orang yang berada di dalam kedai itu. Hal yang sama
juga dilakukan Paman Bayan Sudira.
"Mereka
sepertinya dari...," Paman Bayan Sudira menghentikan kalimatnya ketika
melihat seorang laki-laki tua yang duduk di sudut kedai agak jauh darinya.
"Ada
apa, Paman?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan yang sama.
Di
sudut, tampak seorang laki-laki tua berpakaian rapi, bersih dan berwarna biru.
Dilihat dari cara berpakaian, sepertinya seorang bangsawan. Wajahnya pun
kelihatan ramah, dan selalu menyunggingkan senyum. Semua orang pasti akan
menduga kalau kakek itu adalah seorang bangsawan, atau paling tidak pemimpin
sebuah padepokan besar.
"Kau
mengenalnya, Paman?" tanya Rangga seraya menoleh pada Paman Bayan Sudira.
"Orang
itulah yang dijuluki Kakek Pesolek Pemetik Bunga," sahut Paman Bayan
Sudira pelan setengah berbisik.
Hampir
saja Rangga tertawa mendengar julukan orang tua itu. Memang, kakek itu
berpakaian cukup rapi, dan rambutnya tertata apik. Cukup pantas kalau disebut
pesolek. Tapi, kata pemetik bunga itulah yang membuat Ranga harus menahan
gelitik di tenggorokannya.
"Aku
tidak melihatnya membawa bunga, Paman," kata Rangga sambil menahan
tawanya.
"Memang
tidak ada bunga, itu hanya perlambang saja. Bunga diartikan gadis muda."
"Oh...!"
Rangga tersentak kaget. Kembali dipandangi wajah kakek tua yang masih tetap
duduk tenang di sudut kedai.
Belum
juga sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir jauh, mendadak sebuah benda
melesat cepat ke arahnya dan menancap di tengah-tengah meja kayu. Rangga dan
Paman Bayan Sudira tersentak kaget. dan hampir bangkit dari tempat duduknya.
Tatapan
mereka langsung tertuju pada sebatang mata tombak yang tertancap di meja
mereka. Segulung daun lontar terikat pada mata tombak itu.
Paman
Bayan Sudira mengambil benda itu dan membuka gulungan daun lontarnya. Sebentar
dibaca tulisan yang tertera di daun lontar itu, kemudian diserahkannya pada
Rangga. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak begitu membaca
tulisan yang tertera pada daun lontar. Pandangannya segera beredar ke
sekeliling. Sementara itu Paman Bayan Sudira mengamati mata tombak di dalam
genggaman tangannya.
"Macan
Gunung Sumbing..., " desis Paman Bayan Sudira.
"Siapa
dia, Paman?" tanya Rangga menatap pada panglimanya.
"Sebaiknya
kita keluar dari sini. Hm... rupanya mereka sudah berada di sini
semuanya," kata Paman Bayan Sudira setengah bergumam.
Rangga
ingin bertanya lagi, tapi Paman Bayan Sudira sudah bangkit dari duduknya dan
melangkah ke luar. Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang
logam, lalu ikut melangkah keluar dari dalam kedai ini.
Beberapa
saat kemudian, seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga juga melangkah
ke luar, diikuti Kakek Pesolek Pemetik Bunga Kemudian beberapa orang lagi
mengikuti ke luar. Sementara Ki Jantar yang memperhatikan semua itu dari balik
mejanya, hanya bisa bengong tidak mengerti. Sebentar saja kedainya jadi sepi
kembali. Tinggal beberapa orang saja yang masih menikmati hidangannya. Itu pun
hanya penduduk di sekitar kedai itu. Semua pendatang dari luar kerajaan, sudah
meninggalkan kedai tanpa berkata-kata sedikit pun.
***
LIMA
Rangga
memandangi dataran rumput luas yang membentang di depannya. Padang rumput ini
dikelilingi bukit yang menjulang tersaput awan. Kembali dipandangi daun lontar
yang masih berada dalam genggamannya. Dari tulisan yang tertera pada daun
lontar itu, mengatakan kalau dirinya ditunggu di padang rumput ini.
"Pintar
sekali dia memilih tempat...,” gumam Paman Bayan Sudira, seolah-olah berbicara
untuk dirinya sendiri.
Rangga
menatap dalam-dalam wajah Paman Bayan Sudira. Yang ditatap buru-buru
membungkukkan tubuhnya memberi hormat Rangga kembali mengalihkan pandangannya
pada padang rumput di depannya.
"Apa
maksud kata-katamu, Paman?" tanya Rangga tanpa menoleh.
Belum
sempat Paman Bayan Sudira menjawab, tiba-tiba terdengar suara mengaum yang
sangat keras menggetarkan. Paman Bayan Sudira menggeser kakinya mendekati
Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa diketahui, siapa yang bakal datang menemui
mereka.
Sementara
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Auman itu demikian keras dan
mengejutkan. Namun sukar diduga, dari mana datangnya.
Belum
lagi Rangga bisa menentukan arah datangnya suara tadi, mendadak saja beberapa
mata tombak hitam meluncur deras ke arahnya. Begitu cepat dan tiba-tiba,
sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Bayan Sudira terperangah
sejenak. Namun dengan cepat mereka berlompatan, lalu berputaran di udara
menghindari hujan mata tombak hitam itu.
"Hhh!
Siapa kau!? Keluar....!" seru Rangga keras, begitu kakinya mendarat di
tanah.
Teriakan
Rangga begitu keras dan menggema terpantul bukit yang mengelilingi padang
rumput ini. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Rangga mengerahkan aji 'Pembeda
Gerak dan Suara', tapi tetap saja tidak terdengar suara yang mencurigakan.
Bahkan semua pohon dan rerumputan bergerak wajar. Sama sekali tidak
mengisyaratkan ada sesuatu.
"Lebih
waspada, Paman," bisik Rangga memperingatkan.
"Ya...,"
Paman Bayan Sudira hanya bisa mendesah saja.
"Auuum...!"
kembali terdengar auman yang panjang bergema.
Belum
lagi suara auman itu hilang dari pendengaran, tiba-tiba saja muncul seekor
harimau yang sangat besar. Begitu besarnya sehingga hampir menyamai seekor anak
sapi. Harimau itu menggerung-gerung sambil mencakar-cakar tanah berumput.
Sepasang matanya merah menyala menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Ghrauuughk...!"
harimau itu menggeruk dahsyat, hingga menggetarkan bumi.
Tiba-tiba
saja binatang buas itu melompat cepat sambil memamerkan kuku-kukunya yang
mengembang lebar. Rangga benar-benar terperangah melihat harimau yang begitu
besar, dan kini melompat hendak menerkamnya. Begitu cepatnya harimau itu
menyerang, tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang
terterjang binatang itu. Dua batang pohon hancur terlanda tubuh Rangga.
Namun
dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit. Dan kembali dia
terperangah, karena harimau itu sudah melompat lagi hendak menerkamnya.
Cepat-cepat Rangga melompat ke samping dan bergulingan di tanah beberapa kali.
Terkaman harimau itu mengenai tempat kosong. Binatang itu menggeram keras,
langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Edan!
Binatang macam apa ini...?!" gumam Rangga.
Harimau
itu sudah kembali melompat menerkam. Tapi kali ini Rangga sudah mempersiapkan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dia berdiri tegak menanti serangan itu.
Dan begitu harimau itu sudah demikian dekat...
“Yaaah...!"
Rangga
mengayunkan pukulan mautnya, dan mendarat telak di wajah harimau itu. Pukulan
itu demikian keras sehingga membuat harimau tersebut terpental jauh ke
belakang. Raungannya begitu keras. Di luar dugaan, harimau itu masih bisa
bangkit kembali dengan tegak! Bahkan kembali melompat menyerang dengan ganas.
"Hup!"
Rangga
melompat ke atas, lalu menukik deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa' . Tepat ketika harimau besar itu berada di bawahnya,
dilancarkannyalah dua kali tendangan disusui satu pukulan bertenaga dalam penuh
ke tubuh binatang buas itu.
"Grhaaauuugh...
!" harimau itu meraung keras.
Hanya
dua kali dia berguling di tanah, lalu bangkit kembali. Rangga yang sudah
berdiri tegak, jadi melangkah mundur beberapa tindak. Pukulan dan tendangannya
yang sangat dahsyat, begitu telak mengenai sasaran. Tapi harimau itu masih
tetap tegar. Tidak terdapat luka sedikit pun di tubuhnya. Rangga sendiri jadi
bingung. Padahal, tadi sudah dikerahkan tenaga dalam penuh, tapi harimau itu
tidak terpengaruh sedikit pun.
"Dia
tidak bisa dibunuh, Rangga," kata Paman Bayan Sudira yang sejak tadi hanya
menonton saja.
"Apa...?”
tanya Rangga.
Belum
juga Paman Bayan Sudira menjawab mendadak..."
"Ha
ha ha...!"
Suara
tawa itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru. Belum lagi hilang
suara tawa itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Hampir
seluruh wajahnya tertutup cambang dan kumis tebal. Sepasang matanya bulat
seperti mata kucing, berwarna kuning.
"He
he he.. . !" orang itu tertawa terkekeh, lalu melangkah mendekati harimau
besar itu dan menepuk-nepuk lehernya. Harimau itu mendekam dan kelihatan jinak.
"Macan
Gunung Sumbing...," desis Paman Bayan Sudira yang sudah berdiri di samping
Rangga.
"Siapa
dia?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Tokoh
persilatan yang cukup tinggi kepandaiannya," jelas Paman Bayan Sudira
singkat.
"Hm.
Apa maksudnya berada di sini?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku
sendiri tidak tahu, Rangga. Dua kali dia mencegatku, tapi tidak melakukan
apa-apa. Hanya...”
"Hanya
apa?"
"Dia
tidak ingin aku ke Kerajaan Jiwanala."
"Oh...
!?"
"Bukan
hanya dia! Masih ada beberapa lagi yang coba-coba menghalangiku ke Jiwanala
untuk mencarimu, Rangga. Salah satunya adalah Sepasang Naga Hitam."
"Paman,
apakah ini ada hubungannya dengan Pusaka Karang Setra?" tanya Rangga.
"Entahlah!
Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu, tapi anehnya selalu
menghalangi siapa saja yang datang dari Karang Setra ke Jiwanala Bahkan mereka
tidak segan-segan membunuh jika larangannya dilanggar."
"He
he he..., tidak sia-sia aku jauh-jauh datang ke sini," Macan Gunung
Sumbing terkekeh seraya melangkah mendekati Rangga. Sedangkan harimau besar itu
masih mendekam tidak bergeming.
"Kau
yang berjuluk Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga memastikan.
"Benar.
Dan, aku yakin kau Pendekar Rajawali Sakti," sahut Macan Gunung Sumbing.
"Gunung
Sumbing cukup jauh dari sini. Apa yang membuatmu hingga ke tempat ini, Macan
Gunung Sumbing?" tanya Rangga, terdengar tenang suaranya.
"He
he he..., pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Panglimamu sudah bisa
menjawabnya, Pendekar Rajawali Sakti," jawab Macan Gunung Sumbing
terkekeh.
Rangga
menoleh pada Panglima Bayan Sudira, seolah-olah meminta penjelasan pada
Panglima Karang Setra itu. Tapi yang ditatap hanya mengangkat bahunya saja.
"He
he he..., kenapa tidak kau jelaskan saja semuanya, Panglima Bayan Sudira?"
terdengar sinis nada suara Macan Gunung Sumbing.
"Macan
Gunung Sumbing! Apa yang kau bicarakan!?" bentak Paman Bayan Sudira,
memerah wajahnya.
"Aku
bicara cukup jelas, Panglima. Kenapa masih juga menutup-nutupi? Katakan saja
terus terang pada rajamu. Tapi, mungkin sudah terlambat He he he...,"
kembali Macan Gunung Sumbing terkekeh.
“Tutup
mulutmu, keparat! " bentak Paman Bayan Sudira geram.
"He
he he...!" Macan Gunung Sumbing malah tertawa semakin keras.
"Setan!
Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Panglima
Bayan Sudira rupanya sudah tidak kuat lagi menahan amarahnya. Cepat sekali dia
melompat sambil mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam cukup tinggi, tapi
semuanya mampu dielakkan Macan Gunung Sumbing dengan manis.
Pertarungan
Itu tidak mungkin lagi dihindarkan. Sementara Rangga hanya bisa memandang tanpa
berbuat apa-apa. Sebab, dia sendiri masih belum mengerti, apa yang dibicarakan
Macan Gunung Sumbing bersama Panglima Bayan Sudira tadi. Sementara Rangga hanya
bisa mengawasi harimau yang mendekam di bawah pohon. Dia berjaga-jaga
kalau-kalau harimau itu berlaku curang membokong Panglima Bayan Sudira.
Sementara
pertarungan berlangsung semakin sengit. Sudah puluhan jurus berlangsung, tapi
belum terlihat tanda-tanda bakal ada yang unggul. Sedangkan Paman Bayan Sudira
sudah menggunakan pedangnya yang sangat diandalkan. Jurus-jurus pedangnya luar
biasa. Pedang keperakan itu sampai tidak terlihat bentuknya lagi. Yang nampak
kini hanya kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing.
Namun
pada tahap-tahap yang menentukan, terlihat kalau Paman Bayan Sudira mulai
terdesak. Beberapa kali pukulan telak mendarat di tubuhnya. Panglima Bayan
Sudira harus bergulingan dan berlompatan menghindari serangan-serangan Macan
Gunung Sumbing. Serangan-serangan itu sangat dahsyat, sehingga di sekitar
pertarungan bagaikan habis diamuk puluhan gajah.
"Hm.
Dalam satu atau dua jurus, Paman Bayan Sudira tidak akan bertahan lagi, "
gumam Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.
Dugaan
Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Satu pukulan telak telah mendarat di
dada Panglima Bayan Sudira, sehingga laki-laki itu terpental keras menghantam
tanah berumput. Pada saat itu, harimau besar yang sejak tadi mendekam saja,
melompat cepat ke arah Panglima Bayan Sudira sambil meraung keras. Rangga
sempat tersentak sesaat, kemudian bagaikan kilat melompat menerjang harimau
itu.
“Hiyaaat...!"
"Grhaugh...!"
Harimau
itu menggerung keras. Tubuhnya terpental deras hingga menghantam pohon.
Tendangan Rangga yang bertenaga dalam sempurna itu membuat binatang itu
menggerung kesakitan. Namun, dia mampu bangkit kembali tanpa ada luka sedikit
pun di tubuhnya. Sementara itu Panglima Bayan Sudira sudah mampu bangkit
kembali meskipun tidak bisa tegak. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah
segar.
"Belum
waktunya kau ikut campur, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Macan Gunung
Sumbing.
"Tidak
seharusnya piaraanmu berlaku curang!" balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Harimau
ku tidak curang! Panglimamu-lah yang sudah kalah. Dia hanya minta bagiannya,
Pendekar Rajawali Sakti. Setiap lawanku yang kalah, harus menjadi santapannya!
" tegas Macan Gunung Sumbing, tetap dingin suaranya.
"Aku
belum kalah!" geram Panglima Bayan Sudira.
"He
he he.... Nyawamu tinggal seujung rambut lagi, Panglima. Bicaralah dengan jujur
sebelum terbang ke neraka!" suara Macan Gunung Sumbing terdengar ketus.
"Keparat!
Kau tidak berhak menekanku!" bentak Panglima Bayan Sudira.
“Tunggu...!”
bentak Rangga begitu Panglima Bayan Sudira akan menerjang.
"Gusti...,"
Panglima Bayan Sudirda membungkuk sedikit
"Sejak
tadi kalian seperti memperebutkan sesuatu. Apa yang kalian pertengkarkan?"
tanya Rangga tidak sabar lagi. Dia memang sudah kebingungan, ingin tahu permasalahan
kedua orang itu.
“Tanyakan
saja pada panglimamu, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Macan Gunung
Sumbing.
"Paman...,"
Rangga menatap pada Panglima Bayan Sudira.
"Ampun,
Gusti. Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa. Orang ini memang hanya mencari-cari
perkara saja. Dia menginginkan Pusaka Karang Setra itu, Gusti,” jelas Panglima
Bayan Sudira.
Rangga
mengalihkan pandangannya pada Macan Gunung Sumbing, tapi yang dipandang malah
tertawa terbahak-bahak Pendekar Rajawali Sakti itu jadi berkerut keningnya.
Kembali ditatapnya Panglima Bayan Sudira.
"Kau
tidak berdusta, Paman?" tanya Rangga.
"Ampun,
Gusti. Hamba mengatakan yang sebenarnya," tegas Panglima Bayan Sudira.
"Ha
ha ha...! Sungguh berani sekali mendustai raja besar yang mengangkatmu jadi terhormat
Kenapa tidak berkata terus terang saja kalau kau yang mengambil Pusaka Karang
Setra itu Jangan memfitnah orang-orang yang tidak bersalah hanya untuk menutupi
perbuatanmu!" kata Macan Gunung Sumbing lantang.
"Setan!
Tutup mulutmu!" bentak Panglima Bayan Sudtra geram. Panglima Kerajaan
Karang Setra itu tidak bisa lagi membendung amarahnya, dan langsung melompat
sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher Macan Gunung Sumbing. Tapi pada saat
yang sama Rangga melompat cepat bagaikan kilat. Tangannya menjulur menampar
pergelangan tangan Panglima Bayan Sudira.
“Tahan...!”
sentak Rangga.
Panglima
Bayan Sudira memegangi pergelangan tangannya. Tepakan Pendekar Rajawali Sakti
itu membuat tulang pergelangan tangannya seperti remuk. Pedang yang dipegangnya
pun terpental dan menancap di tanah tidak jauh darinya. Panglima Bayan Sudira
buru-buru membungkuk memberi hormat. Sementara Macan Gunung Sumbing hanya
terkekeh kecil.
"Kendalikan
amarahmu, Paman. Akan kuselesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah!"
kata Rangga penuh wibawa.
"Dia
benar! Kau tidak perlu malu untuk mengatakannya. Aku yakin, rajamu akan
bertindak adil dan bijaksana," celetuk Macan Gunung Sumbing.
Rangga
menatap tajam Macan Gunung Sumbing.
"Baik.
Aku akan pergi meninggalkan kalian berdua. Tapi ingat, urusan ku dengan Bayan
Sudira belum tuntas. Juga denganmu, Pendekar Rajawali Sakti," kata Macan
Gunung Sumbing.
Setelah
berkata demikian, Macan Gunung Sumbing melangkah pergi diikuti harimaunya yang
besar. Rangga memandangi kepergian tokoh sakti itu dengan kening agak berkerut.
Macan Gunung Sumbing menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
"Hanya
satu yang perlu kau ingat, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah berjasa padamu
membongkar persoalan ini," kata Macan Gunung sumbing. “Ayo, Belang!"
Hanya
beberapa kali lompatan saja, Macan Gunung Sumbing sudah lenyap dari pandangan.
Harimau besar itu mengaum keras, kemudian melompat mengikuti majikannya. Rangga
menarik napas panjang.
Kata-kata
Macan Gunung Sumbing yang terakhir tadi kini mengganggu pikirannya. Sulit
dimengerti, apa yang dimaksudkan tokoh sakti itu.
***
Rangga
melangkah perlahan-lahan menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar,
namun cukup datar untuk diduduki. Di samping batu itu berdiri sebatang pohon
rindang, cukup nyaman untuk berlindung dari sengatan matahari. Rangga duduk
bersila di atas batu itu, sedangkan Panglima Bayan Sudira hanya berdiri dengan
kepala tertunduk.
"Mendekatlah
kemari, Paman," pinta Rangga.
"Hamba,
Gusti."
Panglima
Bayan Sudira memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri. Dia duduk bersila
di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya tetap tertunduk menekun rerumputan
di depannya. Sementara Rangga menatap tidak berkedip.
"Paman,
aku ingin penjelasan yang lengkap. Kuharap kau berterus terang dan berkata
jujur," kata Rangga tegas dan berwibawa.
"Ampun,
Gusti. Semua yang dikatakan Macan Gunung Sumbing sama sekali tidak benar.
Pusaka Karang Setra benar-benar hilang dicuri. Sampai sekarang belum jelas,
siapa pencurinya dan di mana pusaka itu berada,” kata Panglima Bayan Sudira
setelah memberi hormat.
"Benarkah
yang kau katakan itu, Paman?" tanya Rangga bernada tidak percaya.
“Dewata
di Swargaloka menjadi saksi Gusti" sumpah Panglima Bayan Sudira."
"Baiklah.
Aku percaya padamu, Paman. Hanya saja...,” Rangga memutuskan ucapannya.
"Hanya
apa, Gusti?" desak Panglima Bayan Sudira.
"Dari
mana Macan Gunung Sumbing tahu tentang pusaka itu? Dan kenapa menuduh bahwa kau
yang mengambilnya...?" Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Gusti,
dia hanya ingin memfitnah saja. Yang diinginkan. sebenarnya pusaka itu, seperti
halnya tokoh-tokoh lain. Berbagai cara pasti ditempuh untuk memperolehnya,"
jelas Panglima Bayan Sudira.
Tatapan
Rangga semakin tajam ke arah laki-laki hampir setengah baya di depannya. Sinar
matanya memancarkan ketidakpercayaan terhadap keterangan Panglima Bayan Sudira.
Terlalu mudah rasanya untuk alasan seperti itu. Macan Gunung Sumbing bukanlah
tokoh yang suka berbuat sekeji itu, meskipun sepak terjangnya selalu merugikan
dan mencelakakan orang lain. Tapi untuk memfitnah, memecah belah dan berlaku
keji seperti ini..., rasanya hal itu tidak pernah dilakukan Macan Gunung
Sumbing. Setahunya tokoh itu selalu bertindak jantan, meskipun seluruh tokoh
rimba persilatan menggolongkannya dalam aliran hitam. Tindak tanduknya yang
liar dan kejam tanpa mengenal belas kasihan pada siapa pun, sangat memungkinkan
dia ada di golongan hitam.
"Gusti,
percayalah! Hamba tidak mungkin berkhianat. Justru hamba sekarang berada di
sini karena mencari pusaka itu, selain untuk mengabarkan kepada Gusti,"
kata Panglima Bayan Sudira berusaha meyakinkan junjungannya.
"Hhh...
!" Rangga menarik napas panjang.
Sebentar
kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan melangkah menghampiri
kudanya yang tengah asyik merumput. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat
naik ke punggung kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya.
Sedangkan
Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila dengan kepala tertunduk. Dia
tahu kalau Rangga tidak mempercayai keterangannya. Rasa curiga dan
ketidakpercayaan kini sudah terselip di hati Raja Karang Setra itu.
"Tunjukkan
kesetiaanmu, Paman. Jangan temui aku sebelum bisa menunjukkan kesetiaanmu"
kata Rangga tegas dan berwibawa.
"Gusti...!"
Panglima Bayan Sudira tersentak kaget
"Aku
benar-benar kecewa jika kau berkhianat, Paman. Selama ini kau selalu kupercaya,
dan kuberikan kekuasaan penuh menangani seluruh prajurit Karang Setra. Aku
tidak ingin kejadian ini menyebar dan membuat malu dirimu sendiri. Kau kuberi
kesempatan untuk membuktikan kejujuranmu padaku, " kata Rangga lagi.
"Gusti,
ampunkan hamba.... Hamba tidak berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira
memohon.
"Aku
percaya padamu, Paman. Tapi saat ini harus kau tunjukkan dan perlihatkan
kepercayaan yang telah kuberikan padamu. Tunjukkanlah kalau kau seorang abdi
setia yang patut dipercaya.”
"Oh,
Gusti..,. Hukumlah hamba, Gusti. Hukumlah seberat-beratnya bila memang hamba
berkhianat," rintih Panglima Bayan Sudira.
"Hukuman
tetap akan dijalankan bila kau bersalah."
"Oh...."
Lemas
seluruh tubuh Panglima Bayan Sudira. Walaupun dengan merintih dan memohon
ampun, tapi keputusan Rangga tidak bisa dicabut kembali. Pendekar Rajawali
Sakti itu menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan Panglima Bayan Sudira
yang berlutut sambil merintih lirih.
Rangga
sudah tidak terlihat lagi bersama Kuda Dewa Bayu. Laki-laki dari Karang Setra
itu bangkit berdiri setelah bisa menghilangkan kegundahan hatinya.
Perlahan-lahan dia melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke
punggung kuda itu.
"Oh,
Dewata Yang Agung.... Begitu berat cobaan yang Kau timpakan padaku" rintih
Panglima Bayan Sudira.
Kuda
itu melangkah perlahan-lahan membawa Panglima Bayan Sudira di punggungnya.
Laki-laki hampir separuh baya itu tidak peduli ke mana kudanya akan membawa.
Seluruh gairah hidupnya sudah hilang dengan hilangnya kepercayaan Rangga
padanya. Dan semua itu akibat kemunculan si Macan Gunung Sumbing. Panglima
Bayan Sudira benar-benar mendendam pada tokoh hitam itu yang telah
menghancurkan segala-galanya dengan memfitnahnya langsung di depan junjungannya
itu.
Hanya,
Panglima Bayan Sudira memang tidak bisa menyalahkan Pendekar Rajawali Sakti
yang juga junjungannya di Kerajaan Karang Setra. Memang tidak bisa dibantah
semua yang dituduhkan Macan Gunung Sumbing padanya. Meskipun tuduhan itu tanpa
bukti yang nyata. Dan kini harus ditunjukkan kalau dirinya tidak bersalah sama
sekali.
***
Sementara
itu di bagian Barat Kerajaan Jiwanala, tepatnya di pinggir Hutan Kemukus,
tampak dua orang sedang bertarung sengit Di sekitar tempat pertarungan itu,
tergeletak beberapa sosok tubuh berpakaian seragam prajurit Kerajaan Jiwanala.
Dua orang yang sedang bertarung itu adalah seorang laki-laki tua melawan
seorang wanita tua yang memakai baju warna jingga.
Tampaknya
pertarungan itu sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Serangan-serangan
mereka ¬begitu dahsyat, disertai gerakan-gerakan cepat dan sukar diikuti
pandangan mata biasa. Percikan bunga api terlontar setiap kali terdengar
dentingan dua senjata beradu.
"Lepas...!"
Tiba-tiba
saja terdengar satu bentakan keras, disusul melesatnya sebilah pedang berwarna
keemasan.
Pada
saat yang hampir bersamaan, terdengar suara pekikan tertahan. Tampak laki-laki
tua berbaju indah dari bahan sutra halus terhuyung-huyung keluar dari arena
pertarungan itu. Sebelah tangan kirinya menekap dada.
"Hi
hi hi...! Sudah kukatakan, kau bukan lawanku, kakek peyot!”
"Phuih!"
laki-laki tua itu menyemburkan ludahnya.
Cring!
Sambil
menggeram keras, dikeluarkan sepasang senjata berbentuk bola-bola kecil berduri
berjumlah lima pada setiap ujung-ujung rantainya yang pendek. Senjata itu
tergenggam di tangan kanan dan kirinya.
Laki-laki
tua itu dengan lincah memain-mainkan senjatanya. Sedangkan perempuan tua itu
tetap kelihatan tenang mengelus-elus sekuntum bunga mawar berwarna jingga yang
cukup besar ukurannya. Bunga mawar itu memiliki tangkai cukup panjang dan
berkeluk-keluk.
"Hiya...!"
"Hait!
"
Laki-laki
tua itu kembali melompat menerjang sambil melontarkan rantai yang ujungnya
terdapat bola-bola kecil berduri tajam. Senjata itu mengarah ke kaki, tapi
wanita tua itu dapat melompat dengan lincah menghindari serangan itu. Namun
pada saat tubuhnya berada di udara, senjata yang sama di tangan kiri laki-laki
tua itu mendesing cepat
"Hiat!"
Trang!
Perempuan
tua itu mengebutkan senjata tongkat pendek dengan bunga mawar jingga pada
ujungnya. Dua senjata beradu di udara. Betapa terkejutnya perempuan tua itu,
karena rantai dengan bola-bola berduri itu membelit senjatanya. Tapi rasa
terkejutnya hanya sebentar saja, karena dengan mengerahkan kekuatan tenaga
dalam disentakkan senjatanya kuat-kuat.
"Akh!"
laki-laki tua itu memekik tertahan. Kalau saja tidak cepat-cepat melepaskan
senjatanya, sudah pasti tangan laki-laki tua itu copot ikut tertarik. Dan belum
lagi laki-laki tua itu sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, perempuan tua
itu sudah mengibaskan senjatanya ke arah kepala.
Tring!
Pada
saat yang kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih bercampur biru berkilau
melesat menyambar ujung tongkat berbentuk bunga mawar jingga itu. Perempuan tua
berbaju jingga terpekik tertahan, lalu cepat melompat mundur disertai putaran
dua kali di udara.
"Monyet..,”
geram perempuan tua itu.
Tahu-tahu
di samping laki-laki tua itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi
putih. Pedangnya berwarna biru berkilau telah menyilang di depan dada. Pemuda
itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya di balik punggung. Cahaya biru
langsung lenyap seketika.
"Kau
tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya pemuda itu lembut .Namun tatapan
matanya tidak lepas pada wanita tua yang bersungut-sungut sambil memijit-mijit
pergelangan tangan kanannya.
"Tidak,
aku tidak apa-apa. Ah! Untung kau cepat datang, Rangga , " sahut laki-laki
tua yang ternyata adalah Patih Raksajunta.
"Siapa
dia, Paman?" tanya Rangga.
"Dia
yang bernama Iblis Mawar Jingga," jawab Patih Raksajunta.
"Iblis
Mawar Jingga...," desis Rangga menggumamkan nama yang disebutkan Patih
Raksajunta.
Rangga
jadi teringat akan cerita Panglima Bayan Sudira, yang menyebut-nyebut nama
Iblis Mawar Jingga. Dikatakan bahwa iblis itu juga menginginkan Pusaka Karang
Setra. Sejenak Rangga menatap tajam pada wanita tua itu, kemudian beralih
menatap pada Patih Raksajunta. Pandangannya lalu berkeliling merayapi
mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Semua mayat itu adalah para
prajurit Jiwanala, yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.
"Apakah
dia yang membantai mereka, Paman?" ¬tanya Rangga agak tertahan suaranya.
"Benar!
Dia itu memang manusia iblis!" sahut Patih Raksajunta menahan geram.
"Hm,
kenapa?" tanya Rangga lagi.
Belum
sempat Patih Raksajunta menjawab, Iblis Mawar Jingga sudah tertawa mengikik.
Suaranya mampu mendirikan bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya. Rangga
mengalihkan perhatiannya, lalu menatap tajam pada wanita tua bersenjata tongkat
pendek yang ujungnya berbentuk bunga mawar besar berwarna jingga. Rangga bisa
menduga kalau bunga mawar itu pasti terbuat dari bahan yang sangat keras dan
tajam.
Pendekar
Rajawali Sakti sudah menjajal keampuhan tongkat berujung bunga mawar jingga itu
tadi, ketika menghalaunya dengan Pedang Rajawali Sakti.
Senjata
itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan tenaganya sendiri yang sedikit bergetar
ketika senjatanya bersentuhan dengan senjata perempuan tua itu. Sudah bisa
ditebak kalau Iblis Mawar Jingga memiliki kepandaian yang tinggi. Jelas ini
tidak bisa dianggap remeh. Tidak heran kalau Patih Raksajunta terdesak, dan
sukar menandinginya.
"Kau
pasti Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Raja Karang Setra
itu," kata Iblis Mawar Jingga setelah berhenti tertawa.
"Benar
" sahut Rangga tegas.
"pucuk
dicinta ulam tiba...," ucap Iblis Mawar Jingga berbinar matanya. "Aku
memang sedang mencarimu, anak Muda. Sungguh beruntung sekali bisa berjumpa di
tempat jelek ini," lanjutnya.
"Apa
perlumu mencariku?" tanya Rangga.
"Serahkan
pusaka itu padaku! " tegas Iblis Mawar Jingga dingin.
"Pusaka...
?!" Rangga terkejut keheranan. "Pusaka apa?"
"Kau
jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Rajawah Sakti! Pasti sudah kau dapatkan
pusaka itu dari panglimamu!" bentak Iblis Mawar Jingga sengit.
"Tunggu
dulu! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," kata Rangga.
"Jangan
berpura-pura bodoh di depanku, Rangga. Bukankah kau sudah bertemu dengan
Panglima Bayan Sudira? Cepat, serahkan pusaka itu, atau kau ingin bernasib sama
dengan yang lain?"
"Aku
tidak mengerti, pusaka apa yang kau inginkan? Pusakaku hanya satu yaitu nyawaku
sendiri. Lantas, pusaka apa yang kau maksud?" Rangga berpura-pura. Padahal
dalam hatinya sudah bergejolak menahan marah. Tapi dia harus bisa bersabar agar
mendapat keterangan cukup tentang pusaka leluhur Karang Setra yang kini jadi
rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Kau
benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura bodoh! Seorang raja di Karang Setra,
mustahil tidak mengetahui di mana pusaka itu berada!" dengus Iblis Mawar
Jingga sengit.
"Maaf,
aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu," kata Rangga semakin menahan
geramnya. "Lagi pula untuk apa menginginkan barang orang lain, kalau
memang bukan kepunyaan sendiri?"
"Keparat!
Berani kau mempermainkanku, heh?!
"He...!
Tunggu!"
Tapi
Iblis Mawar Jingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Rasanya
benar-benar dipermainkan oleh sikap Rangga yang seperti orang bodoh. Pura-pura
tidak mengetahui permasalahannya. Cepat sekali dia melompat sambil mengibaskan
senjatanya.
"Tahan!
Hup...!"
Peringatan
Rangga sudah tidak digubris lagi. Iblis Mawar Jingga sudah menyerang dengan
dahsyat. Terpaksa Rangga melompat mundur menghindari tebasan senjata itu.
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat tersentak kaget begitu merasakan angin
sambaran senjata Itu demikian kuat dan berhawa panas luar biasa. Sementara
Patih Raksajunta juga melompat ke samping, menjauhi kedua tokoh itu.
Rangga
tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu. Terpaksa dilayaninya dengan
mempergunakan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang sering digunakan
untuk menjajagi tingkat kepandaian lawannya. ¬urus Itu hanya mengandalkan
gerakan kaki dan kelenturan tubuh. Sifatnya juga bukan untuk menyerang, tapi
hanya untuk menghindari serangan lawan.
Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' memang dapat membingungkan lawan, karena
gerakan-gerakannya seperti tidak beraturan. Rangga bagaikan orang mabuk yang
bergerak hampir tidak sempurna. Namun Iblis Mawar Jingga sukar untuk
mendaratkan serangannya. Setiap kali pukulan atau kibasan senjatanya hampir mengenai
sasaran, Rangga selalu mampu menghindar dengan gerakan tubuh yang sukar untuk
ditebak arahnya.
Tapi
bagaimanapun tingginya tingkatan jurus, pasti mempunyai kelemahan. Dan Iblis
Mawar Jingga mengetahui kelemahan itu setelah mampu memaksa Rangga bertarung
sampai delapan jurus. Mengetahui kelemahan itu, Iblis Mawar Jingga cepat
merubah pola serangannya. Kini tidak lagi dihiraukan gerak tubuh Pendekar
Rajawali Sakti, tapi dipusatkan perhatiannya pada gerak kaki.
"Edan!"
dengus Rangga merasa kewalahan juga menghindari serangan senjata wanita tua
itu. Menyadari kalau kelemahan jurusnya sudah diketahui lawan, cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya. Kini digunakanlah jurus pertama
dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Namun itu pun tidak menolong
banyak, karena Iblis Mawar Jingga dapat mengimbanginya.
Jurus
demi jurus dilampaui dengan cepat. Dan pertarungan itu meningkat semakin
dahsyat. Gerakan-gerakan mereka demikian cepat, sehingga yang tampak hanya dua
bayangan berkelebatan saling sambar.
Kini
pertarungan telah memasuki pada jurus-jurus andalan Dan itu dilalui dengan
cepat dan berganti-ganti. Rangga sendiri harus mengakui kalau lawannya kali ini
benar-benar tangguh. Hampir semua jurus andalannya dikeluarkan, tapi Iblis
Mawar Jingga belum juga bisa terdesak.
"Kau
hebat, Anak Muda. Tapi jangan harap bisa mengalahkanku," dengus Iblis
Mawar Jingga.
"Keluarkan
semua kepandaianmu, Perempuan Tua!" balas Rangga memanasi.
"Setan!
Hih...!"
Iblis
Mawar Jingga menggeram marah dipanggil perempuan tua. Meskipun sebenarnya sudah
nenek-nenek, tapi pantang baginya dipanggil demikian. Dengan kemarahan yang
meluap, Iblis Mawar Jingga langsung memperhebat serangannya. Senjatanya
berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian tubuh yang mematikan. Menghadapi
serangan dahsyat seperti ini, Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Segera
dihunus senjata pusakanya. Senjata yang jarang digunakan kalau tidak dalam
keadaan terjepit Sret!
"Hiyaaa.
..!"
Cahaya
biru berkilau langsung menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari
warangkanya. Dengan pedang di tangan. Rangga bagaikan sosok malaikat maut yang
siap mencabut nyawa. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak tanggung-tanggung lagi.
Kini dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu ¬jurus yang sangat diandalkan
dan jarang digunakan kalau tidak perlu.
"Setan!
Ilmu apa yang dipakainya...?! " dengus Iblis Mawar Jingga merasa kerepotan
juga menghadapi jurus itu.
Trang!
Trang!
Dua
kali berturut-turut Rangga membabatkan pedangnya pada senjata Iblis Mawar
Jingga. Wanita tua itu memekik tertahan, dan langsung melompat mundur sejauh
tiga batang tombak Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat satu helai
bunga yang berada di ujung tongkatnya tanggal.
"Keparat..."
geram Iblis Mawar Jingga.
Perempuan
tua itu segera menggerak-gerakkan senjatanya didepan dada. Sementara itu Rangga
memperhatikan sehingga alisnya sedikit berkerut. Dia tahu kalau perempuan tua
itu sedang mempersiapkan ajiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu pun tidak
berdiam diri saja. Segera dipersiapkan satu ajian yang sangat ampuh dan
diandalkan.
Rangga
melintangkan pedangnya di depan dada. Tangan kirinya perlahan-lahan bergerak
menggosok pedangnya. Cahaya biru menggumpal bergulung-gulung membentuk bulatan
bagai bola. Perlahan-lahan diangkat ujung pedangnya ke atas, lalu tangan
kirinya disentuhkan pada ujung pedang. Bulatan biru itu menempel pada tangan
kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Slap!
Cring!
Rangga
memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, kemudian
menyatukan kedua tangannya yang tergulung cahaya biru bulat. Pada saat itu,
Iblis Mawar Jingga juga sudah menyiapkan ajian dahsyatnya. Dari kelopak bunga
di ujung tongkatnya mengepul asap berwarna jingga. Asap itu bergulung-gulung
menebal, kemudian....
"Hiyaaat...!"
"Aji
'Cakra Buana Sukma'...!"
Rangga
menghentakkan tangannya ke depan ketika Iblis Mawar Jingga melompat cepat.
Ujung tongkatnya dihentakkan ke depan dengan kuat. Satu ledakan keras terjadi
begitu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terhantam bunga pada ujung
tongkat Iblis Mawar Jingga.
"Heh...
!"
TUJUH
Bukan
main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung senjatanya menyentuh telapak
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis
Mawar Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan Pendekar Rajawali
Sakti itu.
"Hih."
Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya. Tapi tetap saja ujung
senjata berbentuk bunga mawar Itu melekat erat di telapak tangan Rangga. Bahkan
kini terselimut cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan. Iblis Mawar Jingga
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik senjatanya kembali. Namun betapa
terkejutnya begitu menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.
"Gila!
Ilmu apa yang dipakainya...?!" dengus Iblis Mawar Jingga terperangah.
Sementara
sinar biru terus bergerak merayap menggulung tongkat Iblis Mawar Jingga.
Semakin lama semakin terasa kalau tenaga wanita itu kian tersedot. Iblis Mawar
Jingga berusaha menahan aliran tenaganya. Namun semakin berusaha, semakin kuat
tenaganya tersedot.
"Huh!
Harus kugunakan aji 'Guntur Geni'," dengus Iblis Mawar Jingga dalam hati.
Di
saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis Mawar Jingga mengerahkan aji
'Guntur Geni'
Satu
ajian yang sangat diandalkan. Saat itu juga Rangga merasakan adanya satu aliran
ilmu kesaktian yang dikeluarkan Iblis Mawar Jingga.
“Hm...,
dia mulai mengerahkan ajian lain. Baik, akan kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana
Sukma' tingkat terakhir,” gumam Rangga dalam hati.
“Aji
'Guntur Geni'! Yeaaah...” teriak Iblis Mawar Jingga keras.
“Shaaa...!”
Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahap terakhir.
“Aaa...!”
Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi.
Seluruh
tubuhnya bergetar hebat Dan darah keluar dari mulut maupun hidung. Bahkan juga
dari mata dan telinganya. Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin
keras dan menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Iblis Mawar Jingga
menjerit-jerit keras. Tubuhnya menggeliat menggelepar kuat. Darah semakin
banyak keluar dari mulutnya. Bahkan dari pori-pori kulit tubuhnya pun merembes
darah segar.
Sementara
itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya dari tongkat Iblis Mawar Jingga.
Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya
tetap memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita tua itu.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat tangannya, ¬dan memegang
tangkai pedangnya.
"Hiyaaa...
!”
Sambil
berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya dan langsung melompat seraya
mengibaskan pedangnya ke leher Iblis Mawar Jingga
“Aaa...!”
"Hup!”
Rangga
kembali melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Cahaya biru lenyap seketika
begitu ditarik kembali ajiannya. Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang
Rajawali Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik punggung. Rangga
berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar Jingga.
Perempuan
itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk
ke tanah, dan kepalanya menggelinding terpisah dari leher. Darah langsung
menyembur keluar dari leher yang buntung. Sedikit pun wanita tua itu tidak
bergerak, dan langsung tewas seketika.
Rangga
menarik napas panjang. Dia berbalik dan berkerut keningnya melihat Patih
Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya. Laki-laki tua itu
memberi hormat sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“paman
Patih, apa yang kau lakukan?" tanya Rangga keheranan akan sikap Patih
Raksajunta.
“Ampun,
Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti dengan baik,” ucap Patih
Raksajunta.
"Ah,
sudahlah! Berdirilah, Paman,” desah Rangga mulai mengerti.
"Hamba,
Gusti."
Patih
Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih agak membungkuk bersikap penuh
rasa hormat. Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihampiri
dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa persahabatan. Meskipun
seorang raja, tapi pada saat seperti ini Rangga tidak mau dirinya dianggap
raja. Dia lebih senang menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu
dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.
"Meskipun
telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta kau tetap menganggapku Rangga,
Paman. Rangga yang dulu, bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra," jelas
Rangga lembut namun bernada penuh wibawa.
"Ampun,
Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.
"Ah...,
sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku tidak suka dengan sebutan Gusti.”
“Tapi....”
"Di
sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus bisa membedakan itu,
Paman," Rangga mencoba meminta pengertian.
"Hamba,
Gusti...."
"Rangga!
Panggil aku Rangga...!" tegas Rangga.
Patih
Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola mata pemuda di depannya. Kemudian
kepalanya terangguk, meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil
Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.
"Bagus.
Memang seharusnya kau memanggilku Rangga. Bukan Gusti," kata Rangga
tersenyum.
"Maafkan
jika hamba berlaku...."
"Sudah.
Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!" potong Rangga cepat.
"Baiklah,
Gus..., eh¬ Rangga."
"Nah...,
begini kan lebih enak."
Patih
Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan. Benar-benar tidak dimengerti
sikap pemuda itu. Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka
dihormati seperti lazimnya seorang raja. Bahkan lebih senang dipanggil namanya
saja. Memang sukar bagi Patih Raksajunta yang sudah tahu siapa Rangga
sebenarnya. Tapi dia harus mematuhi keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini
meskipun dalam hatinya memberontak.
“Paman,
ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Rangga pelan setelah cukup lama
terdiam.
"Apa
yang akan kau tanyakan, Rangga?" tanya Patih Raksajunta sambil mencoba
membiasakan diri.
"Tentang
Pusaka Karang Setra," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.
Patih
Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka Karang Setra disebut. Sepertinya
tidak ingin membicarakan tentang pusaka itu. Lama dia terdiam, sementara Rangga
melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah pohon kamboja Patih
Raksajunta masih juga diam dengan kepala tertunduk dalam.
Dari
sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah
menghampirinya sambil menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.
“Kau
tahu tentang pusaka itu, Paman?" tanya Rangga setelah berada di depan
Patih Raksajunta kembali.
"Hhh...
!" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat
Rangga
melangkah perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Di sampingnya berjalan Patih
Raksajunta yang juga menuntun kudanya sendiri. Bibir mereka sama-sama terkatup
rapat. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Sedangkan kepala Pendekar
Rajawali Sakti itu masih dipenuhi misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang
Setra. Belum juga dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan
pusaka itu? Pusaka yang hanya berbentuk segitiga besar dengan beberapa
lingkaran di dalamnya. Benda itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan
Karang Setra.
“Ceritakan
tentang pusaka itu, Paman," pinta Rangga setelah begitu lama terdiam.
"Hhh!
Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,” sahut Patih Raksajunta mendesah
panjang.
"Paman,
aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra. Bahkan mempunyai jabatan yang
cukup penting pada saat Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten,"
desak Rangga.
"Kau
tahu itu...?" Patih Raksajunta terkejut heran.
“paman
Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau masih ada hubungan saudara
dengannya. Benar begitu?"
“Ya,
memang," desah Patih Raksajunta membenarkan.
"Nah!
Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu, bukan?” tanya Rangga semakin
mendesak.
“Yaaah...,
" Patih Raksajunta mendesah panjang.
“Ceritakan,
Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang pusaka itu, meskipun pernah
melihatnya. Tapi aku hanya menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih.”
"Sebenarnya
aku hanya tahu sedikit tentang pusaka keramat itu, Rangga,” pelan suara Patih
Raksajunta.
"Ceritakan,
Paman,” pinta Rangga
Patih
Raksajunta terdiam beberapa saat Mungkin sedang mengintat-ingat, atau juga
sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat
yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra. Dan kini pusaka itu
menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan setelah hilang dari tempatnya.
"Sebenarnya
pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten Karang Setra didirikan leluhurmu,
Rangga. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan
lambang bagi Karang Setra. Hanya...,” Patih Raksajunta berhenti bercerita.
“Teruskan
Paman," pinta Rangga.
“Aku
pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu menggunakan pusaka itu sebagai perisai
ketika beliau diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin
merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga. Mungkin saat itu kau
masih berusia empat bulan dalam kandungannya," lanjut Patih Raksajunta.
“Hm...,”
Rangga mengerutkan keningnya.
“Bukan
hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak pembesar Karang Setra juga ikut
menyaksikannya, termasuk tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian
itu banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena selain dapat
digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan segala macam gempuran ajian
kesaktian, juga sangat hebat dalam menghadapi segala macam jenis senjata
pusaka. Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai, bahkan
juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat ampuh. Selain bisa
meningkatkan tenaga dalamnya.”
"Hebat..!"
desis Rangga tanpa sadar.
"Memang
dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra akan menjadi senjata sekaligus
perisai yang tidak tertandingi, dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan
tokoh berwatak jahat."
“Kalau
memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan sebelum jatuh ke tangan orang
macam itu!” tekad Rangga bergumam.
"Memang
seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga. Karena kau satu-satunya pewaris
yang masih hidup,” sambung Patih Raksajunta.
“paman,
di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?” tanya Rangga setengah bergumam.
“Itulah
yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah bukan rahasia lagi kalau pusaka itu
berada di Puri Teratai Emas.”
“Puri
Teratai Emas...?” Rangga terbelalak mendengar nama yang disebutkan Patih
Raksajunta.
***
Rangga
hampir tidak percaya kalau Pusaka Karang Setra warisan leluhurnya ada di Puri
Teratai Emas. Dipandangi bangunan kuil dari batu-batu bertumpuk dengan goresan
ukiran bernapaskan kepercayaan.
Puri
Teratai Emas tidak begitu besar dan tampaknya juga tidak terurus lagi. Halaman
sekitar puri itu penuh sampah daun kering yang bertebaran. Rumput-rumput liar
merambat menyemaki bagian dasar bangunan itu.
Tidak
nampak adanya satu kehidupan di tempat ini. Sekelilingnya tampak sepi lengang,
bahkan semut pun seolah-olah enggan menginjakkan kakinya di situ.
Memang
sukar dipercaya kalau benda keramat yang diperebutkan saat ini berada di tempat
terbuka dan mudah dijangkau. Puri Teratai Emas berada di bagian Selatan
Kerajaan Jiwanala. Sudah bertahun-tahun puri ini tidak pernah lagi digunakan.
sejak pengurusnya tewas dalam suatu pertempuran sengit mempertahankan puri itu
dari jangkauan tangan-tangan kotor.
"Paman...,"
panggil Rangga pelan.
Patih
Raksajunta datang menghampiri, lalu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara Rangga masih tetap menatap lurus bangunan tua yang tidak
terawat lagi di depannya.
"Kau
yakin kalau pusaka itu ada di sini?” tanya Rangga ingin kepastian.
"Tidak
salah lagi, Rangga. Pusaka Karang Setra berada di sini, di dalam puri
itu," sahut Patih Raksajunta.
"Dari
mana kau tahu?" tanya Rangga bernada curiga.
Patih
Raksajunta tidak langsung menjawab. Rangga memalingkan kepalanya menatap
laki-laki tua di sampingnya. Sementara, suasana di sekitar Puri Teratai Emas
tetap tenang. Angin berhembus perlahan membawa kesejukan. Patih Raksajunta
masih tetap diam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Paman...."
"Oh...!"
Patih Raksajunta terbangun dari lamunannya.
"Dari
mana Paman tahu pusaka itu ada di sini?" Rangga mengulangi pertanyaannya
kembali.
"Sebenarnya
sudah lama aku tahu, sejak kau datang ke sini," kata Patih Raksajunta.
"Hm...,"
Rangga mengerutkan keningnya.
“Bahkan
Gusti Prabu Duta Nitiyasa pun sudah tahu tentang pusaka itu. Adanya Pusaka
Karang Setra di Puri Teratai Emas ini memang sudah menyebar luas dan mulut ke
mulut, dan entah bersumber dari mana. Terus terang, semula aku juga ingin
datang dan membuktikan kebenarannya, tapi Iblis Mawar Jingga menghalangi dan
membunuh prajurit-prajurit yang kubawa,” lanjut Patih Raksajunta.
"Hm...,
jadi itu hanya sekedar berita saja...?" gumam Rangga seperti bertanya
untuk dirinya sendiri.
Patih
Raksajunta tidak menjawab.
"Satu
lagi pertanyaanku, Paman. Benarkah Paman Bayan Sud¬ra mengkhianatiku?"
tanya Rangga yang tiba-tiba teringat kata-kata Macan Gunung Sumbing.
“Tidak!"
sentak Patih Raksajunta seketika. "Siapa yang bilang begitu...?"
"Macan
Gunung Sumbing."
"Setan
keparat! Aku tahu betul kalau Bayan Sudira seorang abdi yang setia. Dia hanya
difitnah. Mereka berusaha memecah belah, mengadu domba. Aku yakin, Rangga.
Bayan Sudira orang yang setia. Dia tidak mungkin mengkhianatimu," tegas
kata-kata Patih Raksajunta.
"Hm...,"
Rangga bergumam. "Paman, di mana Paman Bayan Sudira sekarang?"
Patih
Raksajunta ingin menjawab. Tapi belum juga mulutnya terbuka, tiba-tiba
terdengar tawa menggelegar yang demikian keras sehingga menyakitkan telinga.
Semakin lama suara itu semakin menyakitkan.
Jelas
kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Menyadari akan hal itu Rangga dan Patih Raksajunta segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menutup pendengarannya.
Tapi
pemilik suara itu rupanya sudah terlatih baik dalam menggunakan suara. Begitu
Rangga dan Patih Raksajunta menandingi dengan pengerahan tenaga dalam suara itu
langsung hilang. Tapi tawa ini kembali terdengar saat mereka menarik tenaga
dalamnya.
Beberapa
kali hal itu berlangsung! Akibatnya Patih Raksajunta yang kemampuan tenaga
dalamnya masih berada di bawah tokoh-tokoh rimba persilatan jadi kewalahan
juga. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Seluruh tubuhnya mulai
bergetar karena tidak mampu mengimbangi permainan tenaga dalam itu.
“Ugh...!”
Patih Raksajunta mulai mengeluh. Tampak dari hidungnya mengeluarkan darah.
Sementara
Rangga mulai mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Dia tahu kalau Patih
Raksajunta sudah tidak mampu lagi menahan serangan tawa bertenaga dalam tinggi
ini dan berlangsung terus-menerus. Sedikit demi sedikit, Rangga mulai bisa
memilah-milah suara yang masuk ke dalam pendengarannya. Sesaat kemudian
kepalanya berpaling ke kanan. Dan...
“Hiya...!”
Sambil
berbalik ke kanan Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji ‘Bayu Bajra'.
Kedua telapak tangannya terbuka dan mendorong ke depan. Tiba-tiba saja bertiup
angin kencang bagai terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Tapi angin ini
bagai bergulung menjadi satu membentuk lingkaran yang cukup besar dan bergerak
cepat menghantam bagian samping puri itu.
Pada
saat badai hasil ciptaan Pendekar Rajawali Sakti menyapu bagian samping Puri
Teratai Emas melesatlah sesosok bayangan putih ke angkasa. Bayangan itu
berputaran beberapa kali di udara, kemudian hinggap di atas bangunan puri.
Rangga menarik kembali ajiannya, dan berdiri tegak memandang kepada seorang
laki-laki tua berpakaian rapi, dan rambut yang tertata apik.
“Kakek
Pesolek Pemetik Bunga...,” desis Rangga yang sudah diberitahu tentang tokoh
rimba persilatan itu oleh Panglima Bayan Sudira.
Patih
Raksajunta yang juga mengenali laki-laki tua berpakaian apik itu, bergegas
menghampiri Rangga. Dia tahu kalau Kakek Pesolek Pemetik Bunga bukanlah orang
sembarangan. Tingkat kepandaiannya sukar diukur dan belum ada yang sanggup
menandingi kesaktiannya.
“Jangan
mimpi mendapatkan Pusaka Karang Setra! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini
sebelum kupenggal kepala kalian!” lantang suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Oh,
ya...? Apa kau pikir dirimu lebih pantas?" balas Rangga sengit.
"Ha
ha ha... Pusaka itu hanya pantas dimiliki orang sepertiku!"
"Kau
terlalu berlebihan, Kakek Pesolek. Lihatlah dirimu yang sudah bau tanah! Sesaat
lagi nyawamu akan terbang ke neraka!"
"Setan
keparat! Kurobek mulutmu, bocah!" geram Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
Kata-kata
Rangga yang mengandung ancaman ini, secara langsung ditujukan pada laki-laki
tua pesolek ini. Tentu saja ini membuat wajah Kakek Pesolek Pemetik Bunga jadi
berubah merah padam menahan marah. Dengan sekali loncatan indah, dia meluruk
turun. Tanpa bersuara sedikit pun kakinya menjejak tanah, tepat di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebutkan
namamu sebelum kupenggal kepalamu!" sentak Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku
Rangga, pewaris tunggal Pusaka Karang Setra!" tegas kata-kata Rangga saat
memperkenalkan diri.
"Dia
juga Raja Karang Setra, dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti!" sambung
Patih Raksajunta.
"Ha
ha ha...!" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak mendengar
nama itu.
Rangga
dan Patih Raksajunta saling berpandangan.
"Jangan
mengelabui diriku, Anak Muda. Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja? Ha
ha ha...! Aku tahu betul keluarga Karang Setra. Mereka semua sudah musnah di
tangan Iblis Lembah Tengkorak! Ha ha ha....” Kakek Pesolek Pemetik Bunga
tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa tergelitik mendengar penjelasan
tadi.
"Bagaimana
dengan ini?" Rangga mengeluarkan seuntai kalung berbentuk segitiga dengan
beberapa lingkaran di dalamnya.
"Bocah!
Dari mana kau dapatkan benda itu?" Kakek Pesolek Pemetik Bunga terkejut
melihat kalung tanda kebesaran keluarga Karang Setra.
"Benda
ini kudapatkan sejak lahir. Kau tahu, akulah Rangga, pewaris tunggal Karang
Setra! Kau dengar itu...?!” agak keras suara Rangga.
Kali
ini Rangga benar-benar marah, karena benda pusaka warisan leluhurnya menjadi
rebutan orang-orang berotak kotor, seperti Kakek Pesolek Pemetik Bunga ini. Dia
tidak lagi memandang orang tua macam Kakek Pesolek Pemetik Bunga, yang
seharusnya dihormati. Yang ada kini hanya musuh yang ingin menginjak-injak
harkat dan martabat leluhurnya.
"Apa
pun bisa kau katakan. He he he...! Aku yakin benda Itu kau buat sendiri dan
menganggapnya sebagai tanda pengenal. Kau cerdik sekali, Anak Muda...,”
terdengar sinis nada suara Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
"Aku
memang tidak bisa meyakinkanmu. tapi kau tidak akan mendapatkan pusaka
itu!" kata Rangga.
“He
he he..., siapa bilang? Aku sudah memilikinya."
"Dusta!"
"Ha
ha ha...! Lemparkan dia ke sini!” teriak Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.
Belum
lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba sesosok tubuh melayang keluar dari
dalam puri, dan jatuh tepat di depan kaki Rangga. Betapa terkejutnya Pendekar
Rajawali Sakti itu saat mengenali tubuh yang tergeletak tidak bernyawa di ujung
kakinya.
"Paman
Bayan...," desis Rangga tidak percaya.
"Dia
tidak pantas hidup lebih lama lagi. Penjilat seperti itu sudah sepantasnya
mati!" kata Kakek Pesolek Pemetik Bunga dingin.
"Iblis...!"
desis Rangga menahan geram.
"Dia
tidak lagi percaya padamu, Anak Muda."
"Bohong...!"
bentak Patih Raksajunta yang sejak tadi diam saja.
"Hm,
siapa kau?" dengus Kakek Pesolek Pemetik Bunga menatap tajam Patih
Raksajunta.
"Aku
Patih Raksajunta, saudara Bayan Sudira!" Jawab Patih Raksajunta lantang.
"Oh,
bagus! Biar sekalian keluarga penjilat musnah dari muka bumi ini," sambut
Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.
"Setan!
Kubunuh kau, iblis keparat!" geram Patih Raksajunta gusar.
Patih
Raksajunta tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia melompat cepat bagai
kilat menerjang, seraya menghunus pedangnya. Tapi pada saat yang tepat,
seseorang keluar dari dalam puri itu dan langsung memapak terjangan Patih
Raksajunta. Terjangan yang begitu cepat dan mendadak, tidak dapat dihindarkan
lagi. Patih Raksajunta terpental jauh ke belakang terkena sampokan keras orang
yang baru muncul dari dalam Puri Teratai Emas.
Patih
Raksajunta bergelimpangan hingga sejauh tiga batang tombak. Namun laki-laki tua
itu sudah cepat bangkit kembali. Dengan punggung tangannya, disekanya darah
yang keluar dari mulutnya. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, langsung
kepada seorang laki-laki yang memegang tombak merah berujung bulan sabit.
"He
he he...!"
***
DELAPAN
"Keparat!
Rupanya kalian berkomplot!" seru Patih Raksajunta geram.
"Ha
ha ha...'" Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
Tawa
itu pun langsung disambung si Kumbang Merah yang membuat Patih Raksajunta tadi
terguling sejauh tiga batang tombak. Belum lagi hilang suara tawa itu, muncul
pula dua orang muda memakai baju kuning gading dari dalam puri Teratai Emas.
Jelas, mereka adalah Sepasang Naga Hitam. Tidak lama kemudian satu raungan
keras terdengar, disusul munculnya si Macan Gunung Sumbing bersama binatang
peliharaannya berupa seekor harimau besar.
Patih
Raksajunta yang mengenali orang-orang itu, menggeser kakinya mendekati Pendekar
Rajawali Sakti. Sementara itu. Tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini
bergabung hanya untuk menguasai Pusaka Karang Setra berdiri berjajar menghadapi
Rangga.
"Kalian
dengar tadi. Bocah edan ini mengaku dirinya putra Adipati Karang Setra!
Lucu..., heh! Meskipun kau kini seorang raja di Karang Setra, belum berarti kau
pewaris tunggal! Kau hanya bocah edan yang gila kekuasaan!" Kakek Pesolek
Pemetik Bunga menghina dengan suara lantang.
"Ha
ha ha...!" empat orang lainnya tertawa terbahak-bahak.
“Tapi
dia tampan sekali," celetuk Andini yang sejak tadi tidak lepas memandangi
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kendalikan
dirimu, Andini! " rungut Macan Gunung Sumbing.
"Maaf.
Kalau bisa jangan lukai dia sebelum...," Andini tersenyum-senyum dengan
mata mengerling pada Rangga.
"Itu
urusan nanti, Andini, " sergah Andika.
"Baik,
aku akan bersabar. Dan kau juga harus bersabar, Pemuda Tampan," lagi-lagi
Andini mengerlingi Rangga.
Sikap
Andini menambah kebencian dan kemuakan terhadap diri Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi kemarahannya harus bisa ditahan. Menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi
seperti ini, harus bisa menahan kemarahan dan luapan emosi yang akan membuat
diri menjadi lupa dan lengah. Jelas ini sangat berbahaya.
Rangga
berusaha keras agar dirinya tetap tenang, meskipun hatinya diliputi perasaan
marah dan kebencian yang memuncak.
"Kau
dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tidak percaya bualanmu, jadi sebaiknya
angkat kaki saja dari sini dan lupakan semua tentang Pusaka Karang Setra. Kau
tidak berhak memilikinya, meskipun sekarang kau raja di sana!" kata Kakek
Pesolek Pemetik Bunga lagi.
"Apa
pun yang kalian katakan, pusaka itu tetap akan kukembalikan pada tempatnya!”
balas Rangga tidak kalah lantangnya
“Ha
ha ha...!u Kakek Pesolek Pemetik Bunga tertawa terbahak-bahak.
“Dan
kalian semua lebih tidak berhak memilikinya!" sambung Rangga lebih tegas.
“Kalian
semua dengar itu? Lucu sekali! Semua orang berhak memiliki benda tidak bertuan,
lebih-lebih sebuah benda pusaka. Tapi...,” Kakek Pesolek Pemetik Bunga berhenti
sebentar, lalu memandang pada yang lainnya satu persatu.
"Biar
aku dulu!" potong Andini yang mengerti maksud pandangan laki-laki tua
pesolek itu.
"Bagus.
Tapi hati-hati, Andini. Aku tidak ingin wajahmu yang cantik itu tergores.
Jangan biarkan tangannya menyentuh tubuhmu yang menggiurkan itu," goda
Kakek Pesolek Pemetik Bunga.
“Jangankan
dia! Kau sendiri tidak mungkin bisa menjamahku, tua bangka," ejek Andini.
"Setan
betina...! Kau membuatku jadi bergairah," balas Kakek Pesolek Pemetik
Bunga mengerling genit
"Baik,
kita taruhan!" tantang Andini jumawa.
"Taruhan
apa?” balas Kakek Pesolek Pemetik Bunga bergairah.
"Siapa
di antara kalian yang menang melawan Si Tampan itu, boleh bersenang-senang
bersamaku. Bagaimana?" Andini tersenyum-senyum seraya mengerling pada
kakaknya. Sedangkan Andika membalas hanya dengan senyuman tipis saja. Sudah
dimengerti maksud adik seperguruannya itu.
"He
he he.... Kau cerdik sekali, setan betina. Baiklah, banyak saksi di sini,"
Kakek Pesolek Pemetik Bunga menyanggupi tawaran wanita cantik itu.
Sementara
Rangga yang mendengar semua percakapan itu semakin sulit menahan kemarahannya.
Dirasakan dirinya begitu direndahkan. Belum pernah dirinya dijadikan taruhan
seperti ini. Rangga benar-benar muak. Ingin rasanya menyumpal mulut mereka yang
begitu kotor, tidak tahu tata krama. Bicara seenaknya sehingga membuat telinga
jadi sakit mendengarnya
Kakek
Pesolek Pemetik Bunga mengerling pada Andini, kemudian melangkah ke depan
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya begitu ringan, dan sikapnya
begitu meremehkan. Sementara Rangga merentangkan sebelah tangannya, memberi
isyarat pada Patih Raksajunta untuk menyingkir. Laki-laki tua itu mengerti, dan
segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana,
bocah? Bisa kita mulai?" tantang Kakek Pesolek Pemetik Bunga sinis.
Rangga
merentangkan tangannya lebar-lebar. Memang, tidak perlu dijawab tantangan itu.
Dijawab atau tidak, harus dihadapi semua orang yang berada di halaman Puri
Teratai Emas ini. Dan itu sudah diperhitungkan sejak kakinya menginjak tempat
ini.
“Bersiaplah,
bocah! Hiyaaat...!"
Sambil
berteriak keras, Kakek Pesolek Pemetik Bunga melompat sambil mengirimkan dua
pukulan beruntun ke arah dada Rangga. Namun dengan mantap sekali Pendekar
Rajawali Sakti itu menghindari dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit. Dan
pada saat itu dengan cepat dikibaskan tangan kirinya ke arah perut Kakek
Pesolek Pemetik Bunga yang meremehkan pemuda itu jadi terkejut bukan main.
Buru-buru
ditarik mundur tubuhnya begitu dua serangannya gagal. Bahkan kini harus
menghindari kibasan tangan kiri lawan Tapi belum juga sempurna menghindar, kaki
kanan Rangga sudah melayang ke arah perut Begitu cepatnya tendangan Pendekar
Rajawali Sakti itu sehingga Kakek Pesolek Pemetik Bunga tidak sempat lagi
menghindar. Dan tendangan Rangga telak mendarat di perutnya.
“Hugh...!”
Kakek Pesolek Pemetik Bunga mengeluh tertahan.
Selagi
tubuhnya membungkuk, Rangga cepat menyarangkan satu pukulan telak dan tepat
bersarang di wajah laki-laki tua pesolek itu. Satu raungan keras terdengar
bersama terdongaknya kepala laki-laki tua itu. Tidak hanya sampai di situ saja.
Rangga kini juga mengirimkan satu pukulan telak bertenaga dalam penuh ke
dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terjengkang Jauh ke belakang.
Rangga
berdiri tegak memandangi lawannya yang menggelepar di tanah. Hanya sebentar
Kakek Pesolek Pemetik Bunga menggelepar, sesaat kemudian sudah melompat bangkit
kembali. Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak. Lebih-lebih saat
melihat senyuman sinis Andini yang bernada mengejek. Laki-laki tua pesolek yang
masih suka wanita cantik ini menggeram dahsyat, kemudian berlari cepat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
“Yaaa...!”
“Hup,
hup!”
Rangga
menanti serangan itu sambil mempersiapkan satu jurus yang ampuh. ‘Pukulan Maut
Paruh Rajawali’. Dan begitu kakek pesolek menerjang disertai pengerahan tenaga
dalam penuh, dengan sigap Rangga melompat sambil menghantamkan pukulannya ke
arah kepala laki-laki tua itu.
Namun
Kakek Pesolek Pemetik Bunga lebih cepat lagi merunduk sehingga pukulan Pendekar
Rajawali Sakti mengenai bagian kosong. Pada saat itu tangan kanan Kakek Pesolek
Pemetik Bunga menghentak ke atas, dan menangkap tangan Rangga.
“Hih!”
Hanya
sekali hentakan saja tubuh Rangga terbanting keras ke tanah. Hebatnya, Pendekar
Rajawali Sakti malah meminjam tenaga hentakan tadi untuk menarik tubuh
laki-laki tua itu, sehingga sama-sama terjungkal ke tanah. Pada saat yang sama,
kaki kanan Rangga melayang deras dan tepat menghantam dada Kakek Pesolek
Pemetik Bunga.
"Akh..”
Kakek Pesolek Pemetik Bunga terpekik tertahan.
"Modar...!"
seru Rangga keras.
Sukar
sekali pertarungan itu dilihat dengan mata biasa. Namun semua orang yang ada di
halaman depan Puri Teratai Emas, dapat melihatnya meskipun harus menajamkan
mata. Sementara itu dengan gerakan cepat, Rangga menghentakkan tangannya ke
depan menghajar kepala Kakek Pesolek Pemetik Bunga. Satu pukulan dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dan mengandung tenaga dalam sempurna, telak
menemui sasaran.
"Aaa...!"
jerit Kakek Pesolek Pemetik Bunga keras.
Darah
langsung muncrat keluar dari kepala yang hancur terhantam jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'. Satu jurus maut dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
Rangga bangkit berdiri dan menendang tubuh laki-laki tua yang sudah tidak
bernyawa lagi. Tubuh itu melayang deras, dan jatuh tepat di depan Andini.
"Hebat
aku suka itu Pertunjukan yang sangat menarik," kata Andini dengan bola
mata berbinar. Diberikannya senyum manis Pada Rangga.
"Andini,
apakah pertaruhan itu masih berlaku?" tanya si Macan Gunung Sumbing.
"Bagaimana,
Kakang?" Andini bertanya pada Andika.
"Kau
yang menentukan," sahut Andika kalem.
"Baiklah.
Tapi kalau kau menang, harus bertarung melawan kakakku," Andini memberi
syarat.
Memang,
laki-laki mana yang tidak tertarik akan kecantikan Andini? Wanita itu memiliki
daya pesona tersendiri, dan mampu memikat pria hanya dengan kerlingan matanya
saja. Tidak heran kalau taruhan yang dibuat Andini begitu menggiurkan! Tapi
baru saja Macan Gunung Sumbing melangkah maju, terdengar suara bentakan keras.
“Tunggu!”
Semua
mata tertuju pada sumber suara bentakan itu. Kumbang Merah yang sejak tadi diam
saja melangkah maju ke depan, dan berdiri di tengah-tengah antara Rangga dan
Macan Gunung Sumbing. Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat itu
satu persatu.
"Hentikan
lelucon ini!" dengus Kumbang Merah dingin.
"Apa...?
Hentikan!? Kumbang Merah, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu itu?" bentak
Macan Gunung Sumbing.
"Kalian
semua bodoh! Untuk apa membuang-buang nyawa percuma hanya untuk memperebutkan
yang tidak ada?" lantang suara Kumbang Merah.
"Kumbang
Merah, menyingkirlah!" sergah Andini kesal.
"Kau
yang harus menyingkir. Andini. Sudah kuketahui semua akal busukmu. Sengaja kau
tiupkan kabar bohong hanya untuk melenyapkan satu orang. Kau tidak sadar kalau
ulahmu dapat memecah-belah orang-orang rimba persilatan. Mengumbar nyawa dan
darah hanya untuk memenuhi ambisimu!" tetap lantang suara Kumbang Merah.
“Tutup
mulutmu, Kumbang Merah!" bentak Andini gusar
"Setelah
begitu banyak korban berjatuhan? Tidak, Andini! Meskipun selalu bergelimang
darah dan dosa, aku tidak pernah berbuat licik dan keji seperti ini. Sayang,
Panglima Bayan Sudira tidak pernah mendengar peringatanku. Dia tewas akibat
kelicikanmu, Andini," tetap lantang suara Kumbang Merah.
"Aku
bilang, tutup mulutmu!" Andini semakin gusar.
Kumbang
Merah tidak mempedulikan bentakan keras Andini, dan malah berbalik dan
menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti. Matanya sempat melirik pada Macan
Gunung Sumbing.
"Kau
pasti sudah pernah mendengar namaku, Rangga. Aku memang bukanlah orang yang
bersih dan patut dipercaya. Tapi kali ini, ku harap kau mempercayaiku,"
kata Kumbang Merah serius.
"Hm...,
" Rangga menatap tajam tokoh hitam yang begitu kondang namanya dan sangat
disegani lawan maupun kawan. Seorang yang selalu bertindak berdasarkan
kejantanan meskipun dapat dikatakan kejam.
"Siasat
apa lagi yang akan kau gunakan, Kumbang Merah?" dengus Patih Raksajunta
yang sudah berada kembali di samping Rangga
"Bukan
siasat! Tapi, aku hanya ingin menjelaskan semua kebohongan ini," jawab
Kumbang Merah tegas.
"Kebohongan...!?
Apa maksudmu?" tanya Rangga jadi penasaran juga.
"Sebenarnya
semua ini karena ulah mereka!" Kumbang Merah menunjuk ke arah Sepasang
Naga Hitam. "Mereka gagal merebut salah satu kadipaten di Karang Setra,
lalu timbul dendam dan ingin meruntuhkan Kerajaan Karang Setra dengan meniupkan
berita bohong."
"Jadi,
maksudmu.... Pusaka Karang Setra tidak hilang?" Rangga mulai memahami.
"Aku
tidak tahu. Yang aku tahu. ini semua hanya tipuan saja untuk memancingmu,
Rangga. Mereka memang sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan agar
bertarung melawanmu. Dengan demikian mereka mengira kalau kau bakal tewas,
sehingga dengan mudah dapat menguasai Karang Setra," jelas Kumbang Merah.
"Licik...!"
desis Rangga menggeram.
"Setan!
Pengkhianat...!" geram Andini.
"Tapi,
kenapa mereka memilih tempat ini?" tanya Rangga.
"Mereka
tahu kalau hampir seluruh rakyat Jiwanala berasal dari Karang Setra. Bahkan rajanya
pun masih terpaut darah dengan leluhur pendiri Karang Setra. Mereka berharap
bisa meraup dua wilayah sekaligus melalui adu domba dua kerajaan."
Rangga
ingin bertanya lagi, tapi sempat dilihatnya Andini mengirimkan pukulan jarak
jauh kepada Kumbang Merah. Dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
melewati kepala si Kumbang Merah dan memapak serangan jarak jauh itu. Namun
akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terpental bergulingan di tanah.
"Pengecut!"
geram Kumbang Merah.
"Kau
yang pengecut, Kumbang Merah! Pengkhianat! Menyesal aku mengajakmu," balas
Andini gusar.
"Kau
pikir aku bodoh, heh? Sebenarnya aku hanya ingin merasakan permainan asmara mu
saja."
"Setan!
Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Merah
padam wajah Andini ketika terbongkar kedoknya dalam upaya memperalat
tokoh-tokoh rimba persilatan untuk bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan rasa marah yang meluap wanita itu langsung melompat dan menerjang
Kumbang Merah.
Namun
terjangan itu manis sekali dapat dihindari Kumbang Merah. Bahkan dengan cepat
si Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya.
"Hait!"
Trak!
Tapi
Andika lebih gesit lagi. Dihantamkan tongkat itu sebelum menyentuh tubuh
Andini. Kumbang Merah mendengus sengit sambil menyemburkan ludahnya.
Sementara
itu Rangga yang sudah bangkit berdiri, tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan
antara Kumbang Merah yang kini melawan Sepasang Naga Hitam tidak bisa dicegah
lagi. Mereka bertarung sengit, masing-masing berupaya untuk saling menjatuhkan.
Baru
beberapa jurus saja pertarungan itu berjalan, Sepasang Naga Hitam sudah
mengeluarkan senjata andalannya. Kini, serangan-serangan sepasang anak muda itu
semakin dahsyat Dari pedang kembar yang mereka gunakan, mengepul asap tipis
hitam dan berbau busuk menyesakkan dada.
“Ugh...!”
Kumbang Merah merasakan kepalanya jadi pening.
Tampak
jelas kalau jurus-jurus yang dimainkan si Kumbang Merah menjadi tak beraturan.
Gerakan-gerakannya kacau dan tidak terarah lagi Bau busuk yang menyebar dari
pedang Sepasang Naga Hitam membuat kepala si Kumbang Merah semakin pening, dan
napasnya pun terasa sesak.
"Mampus
kau! Hiyaaat...!" teriak Andini sambil mengibaskan pedangnya dengan cepat.
"Aaakh...!"
Kumbang Merah menjerit keras.
Tebasan
pedang Andini tidak mungkin lagi dielakkan. Ujung pedang itu menggores dalam di
dada si Kumbang Merah. Darah langsung mengucur dari luka-luka yang cukup
panjang dan dalam itu. Kumbang Merah terhuyung-huyung ke belakang. Tapi satu
tendangan keras Andika membuatnya terpental dan menabrak pohon dengan keras
sekali.
"Hiyaaa...!"
Rangga
cepat melompat ketika Andini sudah melompat sambil menghunus pedang ke depan.
Rangga tidak punya pilihan lain lagi untuk menyelamatkan nyawa si Kumbang
Merah. Langsung dicabut pedang pusakanya, dan dibabatnya pedang Andini.
Trang!
"Akh!"
Andini memekik tertahan, dan langsung melompat mundur.
Andini
menggerutu sambil memijit-mijit pergelangan tangannya yang kesemutan. Saat itu
benar-benar disadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dia tidak peduli, dan langsung menyerang Rangga. Andika
juga tidak tinggal diam. lalu membantu adik seperguruannya menyerang Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Namun
dengan Pedang Rajawali Sakti di tangan, Sepasang Naga Hitam bukanlah tandingan
Rangga. Lebih-lebih saat itu Rangga tengah diliputi kemarahan besar terhadap
dua anak muda itu. Langsung dikerahkan jurus andalannya 'Pedang Pemecah Sukma'
Satu jurus yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini.
"Hiya!
Hiya! Hiyaaa...!"
Trang!
Trang!
"Akh!"
"Ughk!"
Cepat
sekali tubuh Rangga setengah berputar sambil mengibaskan pedangnya, sehingga
membuat senjata Sepasang Naga Hitam terpental ke udara. Dan pada saat yang
bersamaan, sebelah tangan Pendekar Rajawali Sakti mengirimkan pukulan beruntun
yang sulit dihindari lagi. Sepasang Naga Hitam bergulingan di tanah.
"Modar...!”
seru Rangga keras.
Seketika
itu juga dikibaskan pedangnya dengan cepat ke arah Andini. Tapi Andika dengan
cepat bangkit dan melompat. Tidak dapat dielakkan lagi!
Ayunan
Pedang Rajawali Sakti yang begitu cepat, sukar untuk ditarik kembali. Dan...
"Akh!"
Andika hanya mampu memekik sedikit, kemudian tubuhnya ambruk terpotong menjadi
dua.
Andika
tidak bisa lagi bergerak, dan langsung tewas seketika. Andini yang melihat itu,
jadi terbeliak matanya. Dia bergegas bangkit dan cepat melompat kabur. Begitu
cepatnya melesat, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap.
"Rangga...."
Rangga
menoleh. dan melihat Patih Raksajunta telah berdiri memapah tubuh Kumbang
Merah. Sempat juga dilirik sekitarnya. Kini, tidak ada lagi si Macan Gunung
Sumbing. Entah kabur ke mana orang itu.
Pikirnya
mungkin tidak ada gunanya lagi berada di tempat ini. Rangga menghampiri Patih
Raksajunta yang memapah tubuh Kumbang Merah.
"Bagaimana
keadaanmu, Kumbang Merah?” tanya Rangga.
“Buruk,”
sahut Kumbang Merah. “Pedang Sepasang Naga Hitam mengandung racun yang sangat
dahsyat. Hanya guruku, si Raja Kumbang saja yang mampu mengobati.”
"Berapa
lama kau mampu bertahan?" tanya Rangga.
"Paling
lama tiga hari."
"Kalau
begitu, akan kuantarkan kau ke sana," Rangga menawarkan.
"Tidak
perlu! Kau harus melanjutkan perjalananmu mencari Pusaka Karang Setra
itu."
"Jadi...?!"
Rangga terkejut.
"Pusaka
yang ada di Istana Karang Setra. itu adalah palsu. Sedangkan aslinya sampai
kini tidak jelas di mana. Sepasang Naga Hitam tahu akan hal Itu dari gurunya.
Maka dimanfaatkanlah hal itu untuk melaksanakan ambisinya menguasai Karang
Setra. Kau tahu, guru si Sepasang Naga Hitam adalah musuh besar Adipati Karang
Setra yang dulu. Mereka memang selalu berselisih untuk menguasai Karang
Setra.... Aku pergi dulu, Rangga. Senang sekali rasanya bisa berbuat baik.
Bahkan untuk pertama kali kulakukan perbuatan baik ini. Aku senang dan bahagia
meskipun harus mati di perjalanan," ucap Kumbang Merah.
"Tidak,
kau harus selamat. Aku akan membawamu ke tempat gurumu."
"Tidak
mungkin Rangga. Kau akan mati sesampainya di sana. Tidak ada seorang pun yang
dapat masuk ke sana. Tempat itu penuh dengan laba-laba, sejenis kumbang, dan
serangga lainnya yang sangat berbahaya."
“Tapi
kau akan kuantarkan sampai ke perbatasan saja,” desak Rangga merasa berhutang
budi.
"Baiklah.
Tapi ingat, setelah itu kau harus cepat pergi. Aku tidak ingin guruku
melihatmu."
"Aku
janji."
Rangga
menggantikan Patih Raksajunta memapah Kumbang Merah, dan meminta laki-laki tua
itu untuk mengambil kuda. Patih Raksajunta cepat-cepat mengambil kuda mereka
yang ditinggalkan tidak jauh dari tempat itu. Rangga kemudian menaikkan Kumbang
Merah ke punggung Kuda Dewa Bayu, kemudian melompat naik di belakangnya. Patih
Raksajunta memperhatikan di samping kudanya sendiri.
"Paman,
sampaikan salam ku pada Gusti Prabu Duta Nitiyasa. Maaf aku tidak bisa
berkunjung lagi," ucap Rangga. "Aku harus segera mengantarkan Kumbang
Merah, setelah itu aku akan mencari Pusaka Karang Setra sampai kapan pun"
"Akan
hamba sampaikan, Gusti," sahut Patih Raksajunta seraya membungkuk memberi
hormat.
“Terima
kasih."
Rangga
tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Segera digebahnya kuda hitam yang
bernama Dewa Bayu, yang kemudian langsung berlari cepat bagaikan angin. Patih
Raksajunta sampai ternganga melihat kecepatan lari tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti itu.
Dalam
waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata, meninggalkan debu yang
mengepul di udara.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
BANGKITNYA
PANDAN WANGI
Emoticon