SATU
"Khraghk...!"
Seekor burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan
melayang-layang di angkasa. Di punggungnya duduk seorang pemuda berbaju rompi
putih yang berkibar¬-kibar tertiup angin. Burung rajawali raksasa itu terus
menukik turun menuju sebuah lembah besar. Sebuah danau berair biru bening
menghias lembah itu. Pemuda tampan di atas punggung rajawali raksasa itu
bergegas melompat turun, begitu burung itu mendarat di tepi danau.
Rajawali raksasa mengepak-ngepakkan sayapnya dan kepalanya
digeleng-gelengkan. Sikapnya kelihatan begitu gelisah. Sebelah kaki kanannya
dihentak-hentakkan ke tanah. Pemuda tampan berbaju rompi yang ternyata adalah
Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, memperhatikan dengan kening berkerut.
Dihampiri dan dipeluknya kepala burung itu. Namun rajawali raksasa melepaskan
pelukan Rangga.
"Rajawali, ada apa? Kenapa gelisah begitu?" tanya
Rangga tidak mengerti akan sikap sahabatnya itu.
"Khrrrk...!" rajawali raksasa hanya mengkirik
gelisah.
"Tidak biasanya kau bersikap begini, Rajawali. Apa yang
membuatmu gelisah?" tanya Rangga penuh rasa heran dan khawatir.
Rajawali raksasa mendekam dan menggerung-gerung lirih.
Sayapnya terpentang lebar, menutupi hamparan rumput di tepi danau. Rangga
semakin heran, kemudian duduk bersila di depan rajawali raksasa. Kegelisahan
burung raksasa itu membuatnya bertanya-tanya sendiri. Dia yakin ada sesuatu
yang membuat rajawali raksasa bersikap begitu. Tapi apa?
"Rajawali, Sahabatku. Kenapa kau gelisah begitu?"
tanya Rangga mendesak lagi.
"Grrrhk...!" rajawali raksasa menggerung pelan.
Kepalanya terangkat naik, kemudian menjulur ke arah tebing lembah sebelah
Selatan.
Rangga melayangkan pandangannya ke arah tebing lembah
sebelah Selatan. Tidak ada yang dapat ditemukan di sana, selain dinding yang
cukup curam dan berbatu dengan beberapa pohon menyembul keluar dari bebatuan.
Dinding itu sangat curam, dan sukar untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti masih
belum mengerti maksudnya. Dia menolehkan kepalanya memandang kembali kepada
rajawali raksasa yang terus menggerung-gerung lirih.
"Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang...."
Belum sempat Rangga melanjutkan ucapannya, mendadak rajawali
raksasa membumbung naik ke angkasa. Rangga melompat berdiri memandangi
sahabat¬nya yang terus melayang dan berputar-putar di atas lembah ini. Sungguh
tidak dimengerti sikap rajawali raksasa yang menjadi gurunya, orang tua angkat,
dan juga sahabatnya ini.
"Rajawali, turunlah! Apa yang kau lakukan di atas
sana?" seru Rangga keras.
"Khraghk!"
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
Rajawali raksasa membuat putaran tiga kali di udara,
kemudian membumbung semakin tinggi dan terus melesat ke arah Utara. Begitu
cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja rajawali raksasa telah lenyap dari
pandangan. Kini tinggal Rangga berdiri mematung sambil memandang kepergian
rajawali raksasa itu dengan perasaan berkecamuk tidak menentu. Benar-benar
membingungkan sikap rajawali raksasa sahabatnya itu. Belum pernah rajawali
bersikap seperti itu sebelumnya. Apa sebenarnya yang terjadi? Macam-macam
pertanyaan berkecamuk di benak Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm..., dia menunjuk ke arah Selatan. Ketika melayang
di udara, dia melakukan putaran tiga kali di udara. Apa maksudnya? Apakah aku
harus pergi ke arah Selatan?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.
Rangga mengarahkan pandangannya kearah Selatan. Terlihat
dinding lembah yang sangat curam, berbatu, dan hanya sedikit pepohonan yang
terdapat. Tidak terlalu tinggi memang, namun sangat curam. Sangat sukar untuk
didaki. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu bukanlah suatu kesulitan.
Hanya dua kali lompatan saja, pasti sudah bisa mencapai puncak tebing itu.
"Hm..., lembah ini seperti tidak pernah dimasuki orang.
Dan.... Heh! Ada apa di atas sana?"
Telinga Rangga yang tajam bagai setajam rajawali, langsung
dapat mendengar suara pertempuran dari atas tebing lembah ini. Tanpa berpikir
lebih jauh lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat mendaki tebing curam
berbatu itu. Gerakannya sungguh ringan, bagaikan segumpal kapas tertiup angin.
Hanya dua kali lompatan saja, sudah tiba di puncak tebing.
"Oh!" Rangga tersentak kaget begitu mencapai
puncak tebing lembah.
Apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti hingga sampai
terkejut seperti itu?
Seorang laki-laki bertubuh gemuk berpakaian indah bersulam
benang emas, bertarung sengit melawan empat perempuan tua berbaju kumal dan
warna hampir sama. Tampak sekali kalau laki-laki bertubuh gemuk itu kewalahan
menghadapi lawan-lawannya. Entah sudah berapa kali menerima pukulan dan
tendangan keras dari empat lawannya itu. Di sekitar tempat itu tergeletak
kira¬-kira dua puluh orang berpakaian seragam prajurit.
Rangga kenal betul dengan lambang yang dikenakan pada bagian
dada prajurit-prajurit yang menggeletak tak bernyawa itu. Lambang Kerajaan
Galung. Dan laki-laki gemuk yang tengah bertarung itu tidak lain adalah Patih
Giling Wesi, seorang patih kenamaan dari Kerajaan Galung. Rangga kenal betul
dengan Patih Giling Wesi, sewaktu sama-sama menghadapi gerombolan Bidadari
Sungai Ular.
Gerombolan yang dipimpin seorang wanita bernama Saka Lintang
itu dulu telah menculik Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca
serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Bidadari Sungai Ular). Entah sudah
berapa lama peristiwa itu terjadi, dan Rangga tidak bisa mengingatnya secara
pasti.
"Akh!" Patih Giling Wesi memekik tertahan ketika
satu batang tongkat berkepala bulat menghantam keras dadanya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu terjungkal deras ke tanah. Dan
belum sempat bangkit, satu tendangan keras menghantam iganya. Akibatnya tubuh
gemuk itu bergulingan beberapa tombak. Seorang dari empat perempuan tua itu
melompat tinggi, dan meluruk deras sambil mengarahkan tongkatnya yang berujung
runcing ke arah dada Patih Giling Wesi.
"Hih!" Melihat keadaan Patih Giling Wesi yang
sudah tidak berdaya lagi, Rangga segera melesat cepat memapak serangan
perempuan tua itu.
Tangan kirinya tepat menghantam tongkat, sedangkan kaki
kanannya mendarat telak di tubuh perempuan tua itu. Akibatnya, perempuan tua
itu terpental jauh ke belakang. Rangga mendarat lunak di samping Patih Giling
Wesi yang menggeletak dengan napas tersengal.
"Rangga...," desis Patih Giling Wesi setengah
tidak percaya begitu mengenali orang yang menyelamatkan nyawanya.
"Apa kabar, Paman Patih?" ucap Rangga lembut
seraya membantu Patih Giling Wesi berdiri.
"Baik! Terima kasih," sahut Patih Giling Wesi
setelah mampu berdiri lagi.
"Mengapa mereka mengeroyokmu, Paman?" tanya Rangga
seraya melirik empat orang perempuan tua yang sudah berdiri berdampingan dengan
tatapan mata penuh kemarahan.
"Nanti akan kuceritakan! Sebaiknya kita segera
tinggalkan tempat ini," sahut Patih Giling Wesi.
"Kenapa?"
Belum sempat pertanyaan Rangga terjawab, salah seorang dari
perempuan tua itu melompat sambil berteriak keras. Ujung tongkatnya yang
runcing mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit sekali,
Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan seraya tangan kirinya menepak tongkat itu
hingga terpental ke samping. Secepat itu pula, kaki kanannya melayang sambil
memutar tubuhnya sedikit. Hasilnya, telapak kaki Rangga tepat menghantam dada
wanita tua itu.
"Hugh!" wanita tua itu mengeluh pendek, dan
tersuruk ke belakang beberapa langkah.
"Cepat, Rangga! Tinggalkan tempat ini!" seru Patih
Giling Wesi.
"Tunggu!" sentak Rangga cepat.
Namun Patih Giling Wesi sudah berlari cepat disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh. Rangga tidak punya pilihan lain. Kembali
melesat cepat, dan menyambar tubuh Patih Giling Wesi. Begitu cepatnya Pendekar
Rajawali Sakti bergerak, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap membawa Patih Giling Wesi.
"Setan alas! Kejar mereka!" seru salah seorang
perempuan tua mengumpat geram.
Empat orang wanita itu segera berlari cepat mengejar ke arah
Rangga dan Patih Giling Wesi pergi. Dilihat dari gerakan berlari, jelas kalau
mereka berempat bukanlah orang sembarangan. Gerakan kakinya begitu lincah dan
ringan, seolah-olah melayang di atas tanah. Begitu cepatnya mereka berlari,
sehingga yang tampak hanya empat bayangan coklat kehitaman berkelebatan di
pepohonan yang rapat.
Mereka sudah berlari begitu jauh, namun belum juga melihat
bayangan dua orang yang dikejarnya. Rangga dan Patih Giling Wesi bagaikan
lenyap ditelan bumi. Mereka menghentikan pengejaran di sebuah padang rumput
luas, lalu merayapi sekitarnya beberapa saat. Tak tampak sebuah bayangan pun
berkelebat di sekitar tempat itu.
"Monyet! Setan belang!" salah seorang perempuan
tua itu menyumpah-nyumpah kesal.
"Sebaiknya kita kembali saja ke Galung," usul
seorang lagi.
"Tidak! Patih sialan itu harus ditemukan!" sanggah
seorang lagi. "Huh! Siapa anak muda itu...?"
"Empat Bayangan Iblis Neraka tidak boleh dipermalukan.
Siapa pun dia, harus mampus!" rungut salah seorang.
"Kalau begitu, ayo kita cari lagi. Mereka pasti belum
jauh dari tempat ini," ajak satunya lagi.
"Cepatlah, sebelum hari gelap!" Empat orang
perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka itu segera bergerak
cepat meninggalkan padang rumput yang luas ini. Julukan Bayangan Iblis memang
tepat, karena gerakan mereka begitu cepat seperti bayangan saja. Dalam waktu
sekejap saja mereka sudah lenyap kembali masuk ke dalam hutan.
Mereka adalah tokoh rimba persilatan dari golongan hitam.
Masing-masing nama dapat dikenali dari tongkat yang digunakan sebagai senjata.
Yang bertongkat merah, bernama Rara Merah. Sedangkan yang bertongkat kuning,
bernama Rara Kuning. Juga yang hijau dan biru bernama Rara Hijau dan Rara Biru.
Mereka empat bersaudara dengan tingkat kepandaian cukup tinggi.
***
Sementara itu jauh di dalam hutan, Rangga menurunkan Patih
Giling Wesi dari kempitannya. Laki-laki itu menggeliatkan tubuhnya, berusaha
menghilangkan rasa pegal akibat kempitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara siang telah berganti senja. Suasana sekitar hutan yang gelap, semakin
bertambah gelap karena kurang mendapat cahaya matahari.
Patih Giling Wesi mengumpulkan ranting kering yang banyak
tersebar di sekitar hutan itu. Setelah terkumpul, kemudian ditumpuk dan
dinyalakannya dengan pemantik api yang diambil dari balik sabuknya. Laki-laki
gemuk itu duduk di dekat api kecil dari ranting-ranting kering yang terbakar.
Rangga mendekati dan duduk di sampingnya.
"Api ini akan mengundang mereka, Paman Patih,"
kata Rangga memperingatkan.
"Hari sudah gelap. Hutan ini banyak binatang buasnya,
Rangga," sahut Patih Giling Wesi. Memang, dia kenal betul seluk-beluk
Hutan Krambang ini.
Rangga tidak berkata-kata lagi. Tapi dikuranginya
ranting-ranting itu, sehingga nyala api menjadi lebih kecil. Patih Giling Wesi
hanya diam saja. Kata-kata Rangga memang ada benarnya juga. Tapi api penting
juga untuk mencegah binatang buas yang mendekati mereka. Terlebih lagi
binatang-binatang yang berbisa.
"Kenapa Paman Patih berada di hutan ini?" tanya
Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ceritanya cukup panjang, Rangga. Dan aku berada di
sini karena terpaksa, selain harus mencari putriku yang hilang," sahut
Patih Giling Wesi sendu.
"Intan Kemuning?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar."
Rangga jadi ingat akan gadis cantik yang diselamatkannya
dari sarang Bidadari Sungai Ular. Gadis cantik yang lugu dan polos, putri
tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode
"Bidadari Sungai Ular"). Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat
lagi dengan laki-laki gemuk itu. Diperhatikannya wajah Patih Giling Wesi yang
berubah mendung.
"Apa yang terjadi, Paman?" tanya Rangga.
"Kau tahu, apa yang terjadi terhadap diri Intan
Kemuning di sarang Bidadari Sungai Ular, bukan?"
"Ya," Rangga mengangguk.
"Anakku yang semula lugu dan polos, berubah jadi
tertarik mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian.
Semua ini gara-gara Saka Lintang si Bidadari Sungai Ular.
Wanita itu memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan Intan Kemuning jadi
tertarik mempelajarinya. Aku tak kuasa menentang keinginannya yang
keras...," Patih Giling Wesi berheriti sejenak.
Rangga menunggu kelanjutannya dengan sabar.
"Entah sudah berapa panglima dan orang berilmu tinggi
yang memberikan ilmu olah kanuragan pada anakku. Tapi Intan Kemuning belum juga
puas, meskipun telah berubah menjadi seorang gadis digdaya dan sukar dicari
tandingannya. Dan itu menjadikan awal malapetaka bagi keluargaku. Bahkan sampai
meluas menjadi malapetaka bagi seluruh Kerajaan Galung," Ianjut Patih
Giling Wesi.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Itulah yang dinamakan perubahan pada manusia, Rangga.
Setiap orang dapat berubah dalam waktu singkat, tanpa dapat dicegah lagi. Dan
ini terjadi pada putriku. Dia merasa dirinya tangguh dan digdaya, sehingga
tidak ada yang mampu menandinginya. Bahkan para panglima yang semula melatih
ilmu olah kanuragan juga tidak mampu menandinginya. Hal ini membuat Intan
Kemuning jadi kian besar kepala. Dia menantang siapa saja yang memiliki nyali
besar."
"Hebat...," desis Rangga bergumam.
"Memang hebat, kalau saja tidak keterlaluan."
"Oh...?!"kening Rangga berkerut dalam.
"Intan Kemuning mengundang tokoh-tokoh sakti di seluruh
rimba persilatan untuk diajak duel. Kau tahu apa akibatnya? Hampir seluruh
tokoh sakti tumpah di Kerajaan Galung! Tentu saja hal ini membuat seluruh
panglima dan prajurit sibuk bukan kepalang, karena hampir di setiap pelosok
terjadi keributan akibat ulah orang-orang rimba persilatan yang rata-rata dari
golongan hitam."
"Bisa dimaklumi. Tapi apa yang membuat mereka
tertarik?" tanya Rangga.
"Intan Kemuning mencari suami, dengan syarat dapat
mengalahkan dirinya. Tapi bukan itu saja. Dia juga mempertaruhkan Kerajaan
Galung!"
"Gila!"
"Itulah yang membuat Prabu Galung murka, sehingga
memerintahkan seluruh panglima dan prajurit menangkap Intan. Bahkan aku sendiri
diperintahkan untuk menangkapnya. Bisa kau bayangkan, betapa malunya aku
terhadap seluruh pembesar kerajaan, terutama Prabu Galung."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Malapetaka besar terjadi ketika Intan Kemuning
berhasil dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan sudah pasti mereka
menuntut haknya untuk menguasai Kerajaan Galung. Akibatnya, Prabu Galung
semakin murka. Tapi Empat Bayangan Iblis Neraka telah lebih dulu menggempur
istana bersama tokoh-tokoh hitam rimba persilatan lainnya yang pernah
dikalahkan anakku. Bisa kau bayangkan, apa yang terjadi. Para panglima dan
prajurit tidak ada yang mampu menghadang gempuran mereka. Dan kini Prabu Galung
terpaksa meninggalkan istana."
"Apakah empat orang perempuan tua tadi yang bernama Empat
Bayangan Iblis Neraka?" tanya Rangga.
"Benar! Dan mereka terus mencari Intan Kemuning. Bahkan
kini mereka membunuh siapa saja yang pernah menjadi pembesar Kerajaan Galung.
Mereka pun memberi hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil membunuh Prabu Galung,
dan membawa Intan Kemuning kepadanya. Kerajaan Galung benar-benar menjadi
neraka, Rangga."
"Aneh! Apa yang dicari Intan Kemuning?" gumam
Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga. Putriku
berubah tanpa dapat kuketahui penyebabnya. Benar-benar aku tidak mengerti akan
sikapnya," keluh Patih Giling Wesi.
Rangga terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka kalau
gadis yang lugu dan poles, bisa berubah demikian cepat menjadi gadis liar
berilmu tinggi. Memang sukar untuk dipercaya. Tapi, itulah kenyataan yang harus
dihadapi. Rangga jadi iba melihat penderitaan Patih Giling Wesi. Bagaimanapun
laki-laki gemuk itu harus bisa mengembalikan keadaan Kerajaan Galung seperti
semula. Suatu kewajiban yang tidak ringan dan harus dilaksanakan.
"Paman tahu, ke mana Intan Kemuning pergi?" tanya
Rangga.
Patih Giling Wesi menggeleng-gelengkan kepalanya lesu. Dia
sama sekali tidak tahu. ke mana perginya Intan Kemuning. Gadis itu lenyap
setelah dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka dalam pertarungan yang
diinginkan Intan Kemuning sendiri. Dari beberapa orang yang menyaksikan
pertarungan itu, Patih Giiing Wesi mendengar kabar kalau Intan Kemuning
terlempar jatuh ke dalam lembah yang sangat luas. Lembah tempat Patih Giling
Wesi hampir tewas di tangan Empat Bayangan Iblis Neraka tadi.
Di atas lembah tebing itulah Intan Kemuning selalu bertarung
melawan setiap tokoh sakti rimba persilatan yang diundangnya. Hari sial menimpa
dirinya saat melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan Patih Giling Wesi tahu,
kalau lembah itu tidak pernah didatangi orang. Lembah yang sukar dijamah, dan
terkenal keganasannya. Tidak sedikit orang yang putus asa menceburkan diri ke
danau di lembah itu. Biasanya, tidak ada yang kembali lagi dalam keadaan hidup.
Yang dikhawatirkan Patih Giling Wesi, Intan Kemuning merasa putus asa lalu
menceburkan diri ke dalam danau angker itu.
Dan semua ini telah diceritakannya pada Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara Rangga sendiri jadi semakin heran dan tidak mengerti. Dia
berada di tempat ini karena sikap rajawali raksasa yang aneh tidak seperti
biasanya. Dan juga tidak disangka kalau akan bertemu lagi dengan Patih Giling
Wesi yang membawa masalah berat dan sangat serius.
"Sebaiknya kita kembali lagi ke tempat itu,
Paman," kata Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Aku merasa kalau Intan Kemuning telah tewas dalam
lembah itu, Rangga," pelan suara Patih Giling Wesi.
"Kalaupun tewas, kita harus mendapatkan mayatnya."
"Percuma! Peristiwa itu telah berlangsung beberapa
purnama. Dan lagi, tak ada seorang pun yang berhasil hidup dalam lembah itu.
Air danaunya beracun, dan banyak dihuni ular-ular berbisa."
"Tapi, mengapa Paman masih mencari?" tanya Rangga.
"Entahlah. Sepertinya aku begitu yakin kalau anakku
masih hidup, meskipun hatiku selalu mengatakan Intan Kemuning sudah
tewas."
"Aku bisa memahami, Paman."
"Terima kasih, Rangga," ucap Patih Giling Wesi
lirih.
"Tapi aku punya kewajiban yang lebih berat lagi, yakni
harus mengembalikan Kerajaan Galung seperti semula dan mengusir orang-orang
rimba persilatan yang kini menguasai Istana Galung."
"Kerajaan Galung pasti bisa pulih kembali, Paman,"
Rangga membesarkan hati laki-laki gemuk itu.
"Tidak...," lesu suara Patih Giling Wesi.
Kepalanya menggeleng beberapa kali.
"Pasti bisa, Paman. Ini kalau prajurit yang tersisa mau
bersatu kembali. Dan aku pasti akan membantu mengusir mereka," janji
Rangga.
"Oh, sungguhkah?" Patih Giling Wesi bangkit
kembali semangatnya.
"Ya. Dan setelah itu akan kucari Intan Kemuning."
"Dewata Yang Agung..., terima kasih, Rangga."
Rangga tersenyum tipis.
***
DUA
Malam belum begitu larut. Suasana dalam Istana Galung tampak
ramai bagai tengah diadakan pesta yang begitu meriah. Nyala api obor yang
terpancang di setiap sudut, menerangi hampir seluruh areal benteng Istana
Kerajaan Galung itu. Tawa dan canda terdengar dari ruangan besar dalam istana
itu. Tampak orang yang tengah berpesta-pora, memenuhi ruangan besar dan mewah
di bagian tengah Istana Galung.
Dari pakaian dan senjata yang disandang, dapat dipastikan
kalau mereka adalah tokoh rimba persilatan. Namun dari tampang dan tingkah
laku, bisa dikatakan kalau mereka dari golongan hitam. Tidak sedikit wanita
yang menemani mereka berpesta. Meskipun dari bibir wanita-wanita itu terdengar
suara tawa, namun pancaran sinar matanya menunjukkan penekanan dan
pemberontakan. Bau asap tembakau menyeruak bercampur bau minuman arak yang
tertumpah-ruah ke lantai.
Di atas bangku besar dan indah, duduk seorang laki-laki
berwajah tampan dan berkulit putih halus. Di samping kanan dan kirinya duduk
empat orang perempuan tua memegang tongkat yang berlalnan warnanya, meskipun
bentuk tongkatnya sama persis. Empat perempuan tua itulah yang dikenal dengan
julukan Empat Bayangan Iblis Neraka. Sedangkan pemuda tampan yang duduk di
singgasana itu murid tunggal mereka yang bernama Kalaban. Saat ini Kerajaan
Galung diperintah oleh Kalaban yang menduduki singgasana istana. Walaupun
sebagai murid, tapi secara diam-diam Kalaban memiliki ilmu yang lebih tinggi
dibanding keempat gurunya itu.
"Kalaban! Tidak seharusnya kau mengadakan pesta seperti
ini," kata Rara Merah yang memang kelihatannya tidak menikmati pesta itu.
"Mengapa?" tanya Kalaban seraya menoleh pada
wanita tua yang duduk di samping kanannya, dengan tongkat merah di tangan.
"Masih banyak musuh kita yang mencari kelemahan. Pesta
ini membuat orang-orang kita lengah, dan itu bisa membahayakan," jelas
Rara Merah.
"Aku rasa tidak ada salahnya memberi kesenangan pada
mereka, Nyai Guru."
"Mereka sudah cukup mendapat kesenangan di luar."
"Nyai Guru Rara Merah. Aku tidak ingin dikatakan
mementingkan diri sendiri, meskipun semua yang kita peroleh berkat Nyai Guru
berempat. Tentunya wajar kalau sekali-sekali menyelenggarakan pesta dan memberi
kesenangan pada mereka Bagaimanapun juga, jasa mereka cukup besar," sergah
Kalaban.
"Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Hanya yang perlu
diingat, Patih Giling Wesi belum tewas. Dan lagi Prabu Galung juga tidak jelas
berada di mana sekarang. Masih banyak prajurit yang tersebar, dan tidak sedikit
panglima yang tengah menyusun kekuatan untuk merebut kembali istana ini. Hal
itu jangan kau lupakan, Kalaban."
"Aku tidak akan lupa, Nyai Guru. Terutama pada Intan
Kemuning. Dia harus jadi istriku," jawab Kalaban.
"Jangan mengharapkan gadis itu lagi, Kalaban. Dia sudah
mampus di Lembah Ular Berbisa," celeruk Rara Kuning.
"Aku belum puas kalau Intan Kemuning belum
ditemukan."
"Meskipun dia sudah jadi mayat, aku akan membawanya
untukmu, Kalaban," janji Rara Biru.
"Terima kasih, Nyai Rara Biru."
Rara Biru hanya tersenyum getir. Empat perempuan tua itu
kemudian bangkit berdiri setelah mendapat isyarat dari Rara Merah. Mereka
melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti
setelah tiba di bagian depan istana. Beberapa orang berwajah kasar yang
menyandang senjata beraneka ragam, terlihat berjaga-jaga di sekitar halaman
Istana Galung ini.
"Kalaban memang pantas jadi raja. Dia tidak
mengosongkan penjagaan," gumam Rara Hijau pelan.
"Asal kalian jangan larut, dan lupa siapa dia
sebenarnya," Rara Merah mengingatkan.
"Tentu saja tidak. Kita wajib membela dan
mendampinginya sampai ajal," sahut Rara Biru.
"Memang itu tugas kita yang utama," sambut Rara
Kuning.
"Hemmm...."
"Ada apa, Rara Kuning?" tanya Rara Merah melihat
Rara Kuning mendongakkan kepalanya.
"Dengar...,"desis Rara Kuning.
Tiga orang perempuan tua lainnya terdiam, seraya memasang
pendengarannya lebih tajam lagi. Seperti mendapat komando saja, mereka bergegas
melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri di tengah-tengah halaman depan istana
yang luas. Kepala mereka terdongak ke atas. Dan bersamaan dengan itu, di
angkasa terlihat sebuah bayangan hitam pekat melesat cepat.
Belum sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak bayangan
hitam besar itu meluruk ke arah mereka berempat. Hal ini membuat Empat Bayangan
Iblis Neraka tersentak kaget Namun dengan gerakan cepat, mereka berlompatan
berpencar menghindari terjangan bayangan hitam besar itu.
Angin yang menyambar keras, membuat Empat Bayangan Iblis
Neraka limbung sesaat. Dan saat itu pula terdengar jeritan melengking dari
beberapa orang penjaga yang berada di sekitar tempat itu. Tampak delapan orang
penjaga menggelepar di tanah dengan tubuh bersimbah darah.
Jeritan panjang itu membuat orang-orang yang sedang
berpesta, berhamburan ke luar. Suasana malam yang semula dipenuhi suara tawa dan
canda kelakar, mendadak gaduh oleh teriakan panik dari wanita-wanita yang ikut
berpesta. Kegaduhan itu pun masih ditambah dengan teriakan-teriakan bernada
perintah.
"Nyai Guru, ada apa?" tanya Kalaban seraya
menghampiri empat gurunya yang sudah berdiri berjajar dengan kepala menengadah.
Belum sempat ada yang menjawab, bayangan hitam pekat dan
besar itu kembali meluruk turun dengan cepat menimbuikan suara angin mengguruh
bagai badai. Orang-orang yang berada di sekitar halaman depan istana itu
serentak berhamburan menyelamatkan diri. Namun mereka yang terlambat, menjerit
keras terlanda bayangan hitam itu.
"Keparat! Benda apa itu...?!" geram Kalaban.
***
Orang-orang yang terdiri dari tokoh rimba persilatan
golongan hitam, langsung bersiaga menghunus senjata masing-masing. Dalam dua
kali serangan saja, tidak kurang dari enam belas orang tewas bersimbah darah.
Bayangan hitam pekat dan besar itu melayang-layang di angkasa dan berputar
mengelilingi Istana Galung.
"Panah...!" salah seorang dari mereka berteriak
keras.
Tampak sekitar lima puluh orang bersenjata panah segera
melepaskan anak-anak panahnya ke arah bayangan hitam di angkasa itu. Puluhan
anak panah melesat cepat menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Namun
bayangan hitam itu dengan gesit menghindari serbuan senjata itu. Bahkan tidak
sedikit anak panah yang mengarah ke bayangan hitam itu berbalik arah bagai
dihempas angin topan yang amat dahsyat.
Bahkan kini anak panah itu berbalik melesat lebih cepat dari
semula. Beberapa orang yang tidak sempat menghindar, tertembus anak panah yang
berbalik itu. Jerit kematian kembali mewarnai malam yang pekat ini. Dan pada
saat semua orang terperangah, bayangan hitam itu meluruk deras ke arah mereka.
Dari bayangan hitam besar itu juga melesat sebuah bayangan hitam lainnya yang
lebih kecil.
Ternyata bayangan hitam yang kecil itu adalah seorang yang
mengenakan baju serba hitam dengan cadar hitam menutupi wajahnya. Dengan
sebilah pedang di tangan, dia segera mengamuk membantai orang-orang yang berada
di halaman depan Istana Galung. Sedangkan bayangan hitam besar itu juga
bergerak cepat menyambar setiap orang yang coba-coba menghadang.
"Khraghk...!"
Terdengar suara keras menyakitkan telinga di antara jerit
pekik melengking dan suara pertempuran. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka
dan Kalaban masih tetap berdiri memperhatikan pembantaian di depan mata.
"Rajawali raksasa...," desis Rara Merah begitu
mendengar suara keras memekakkan tadi.
"Apa...?!" tiga wanita tua lainnya terperanjat
juga.
"Mundur...!" teriak Rara Merah keras, disertai
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Orang-orang yang tengah bertarung melawan sosok berbaju
hitam dan bayangan hitam pekat dan besar itu, segera berlompatan mundur begitu
mendengar seruan keras bertenaga dalam tinggi dari Rara Merah. Mereka segera
membuat lingkaran besar disertai sikap waspada dan berjaga-jaga penuh. Kini di
tengah-tengah lingkaran itu, berdiri seseorang berbaju serba hitam. Di
sampingnya berdiri seekor burung raksasa berwarna hitam pekat.
"Tidak mungkin..!" desis Rara Merah, begitu
melihat jelas sosok yang baru saja membunuhi orang-orangnya.
"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.
"Aku tidak percaya kalau dia adalah Pendekar Rajawali
Sakti,” sahut Rara Merah tidak yakin.
Tiga orang perempuan tua lainnya saling berpandangan. Mereka
memang pernah mendengar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Seorang
tokoh muda yang memiliki tingkat kepandaian sukar diukur ketinggiannya.
Pendekar pilih tanding, dan belum ada yang mampu melawannya sampai kini. Tapi
apa yang mereka dengar tentang ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, rasanya tidak
terdapat pada orang dan burung raksasa itu.
Dan belum lagi didapat jawabannya. Orang berbaju serba hitam
itu melompat naik ke punggung burung raksasa itu. Seketika burung raksasa itu
cepat melesat naik membumbung tinggi ke angkasa. Dalam sekejap saja, bayangan
hitam itu lenyap di balik awan hitam sebelah Utara. Sementara Empat Bayangan
Iblis Neraka dan Kalaban masih terdiam memandang ke arah Utara. Mereka tidak
peduli dengan orang-orang yang segera berlompatan mengejar bayangan hitam itu.
"Siapa dia, Nyai Guru?" tanya Kalaban setelah lama
terdiam.
"Aku tidak tahu, tapi...," jawab Rara Merah
ragu-ragu.
"Nyai Guru Rara Merah. Siapa itu Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Kalaban mendesak.
"Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari
tandingannya," Rara Kuning yang menyahuti.
"Aku tidak tahu pasti. Apakah itu tadi Pendekar
Rajawali Sakti atau bukan. Rasanya terlalu jauh perbedaannya," kata Rara
Merah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Ya, memang terlalu menyolok," sambut Rara Hijau,
juga bergumam pelan.
Sementara itu di halaman depan Istana Galung kembali sepi.
Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat, karena tengah sibuk mengumpulkan
mayat yang bergelimpangan. Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari lima
puluh orang tewas dalam pertarungan mendadak dan tiba-tiba itu. Malam ini
Istana Galung kembali banjir darah. Setahun yang lalu pun juga pernah terjadi,
setelah orang-orang rimba persilatan golongan hitam menyerang dan merebut
istana ini. Dan semua itu dipimpin Empat Bayangan Iblis Neraka, yang kemudian
mengangkat murid tunggalnya untuk menduduki tahta.
"Setan!" umpat Rara Merah tiba-tiba. "Mengapa
sekarang aku baru ingat...!?"
"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.
"Pemuda itu...!" seru Rara Merah.
"Pemuda yang mana?" tanya Rara Hijau tidak mengerti.
“Yang menolong Patih Giling Wesi."
Wanita-wanita tua itu saling berpandangan. Sedangkan Kalaban
semakin tidak mengerti saja dengan pembicaraan keempat gurunya ini. Yang
dilakukannya hanya diam saja dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran dan
dugaan-dugaan. Tapi dia berusaha untuk dapat mengerti arah pembicaraan ini.
"Ada apa dengan pemuda itu?" tanya Rara Biru
setelah mereka semua cukup lama terdiam.
"Apa kalian tidak mengenali ciri-cirinya?" Rara
Merah malah balik bertanya.
"Maksudmu?" Rara Hijau tidak mengerti, tapi juga
berkerut keningnya.
"Dialah yang benar-benar berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti," desis Rara Merah.
"Apa...?!"
"Pendekar Rajawali Sakti!" Rara Merah mengulangi.
"Mustahil!" desis Rara Kuning. Tapi dalam benaknya
berkata lain.
Ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti yang pernah didengarnya
memang ada pada pemuda yang telah menolong nyawa Patih Giling Wesi dari
kematian. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung
bertengger di balik punggung. Dan pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat tinggi tingkatannya. Itu sudah menandakan kalau tingkat
kepandaiannya juga sangat tinggi, dan sukar untuk diukur.
Meskipun hanya beberapa kali gebrak saja, namun Empat
Bayangan Iblis Neraka telah yakin, kalau pemuda itu sungguh luar biasa. Dia
mampu mengelak dengan mudah setiap serangan, bahkan mampu memberi serangan
balasan yang sangat cepat dan tidak terduga sama sekali. Tapi benarkah yang
baru saja datang memporak porandakan dan membinasakan banyak orang itu adalah
Pendekar Rajawali Sakti?
***
Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Galung,
dua orang laki-laki tengah berjalan mendekati gerbang perbatasan. Yang seorang
bertubuh gemuk dan berpakaian mewah dengan sulaman benang emas. Sedangkan yang
seorang lagi masih muda, berwajah tampan dengan rambut panjang terikat. Dia
mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul
dari balik punggungnya.
Mereka berhenti melangkah setelah melewati gerbang
perbatasan yang menuju langsung ke Kotaraja Kerajaan Galung. Suasana malam
begitu sepi, tak terlihat seorang penjaga pun di gerbang perbatasan ini.
Pandangan mata mereka lantas tertumbuk pada empat sosok manusia yang tergeletak
tidak jauh dari gerbang perbatasan yang terbuat dari batu ukir kembar itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri empat sosok tubuh
yang tergeletak tidak bernyawa. Sebentar diperiksa luka-luka di sekujur tubuh
empat orang itu. Sedangkan orang bertubuh gemuk, hanya memperhatikan saja
dengan mata tidak berkedip.
"Luka-lukanya seperti diserang binatang," gumam
pemuda itu pelan, seperti untuk dirinya sendiri.
"Tidak ada binatang buas di sini, Rangga." Pemuda
tampan berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, menoleh pada laki-laki
gemuk di sampingnya. Sebentar kemudian diperhatikan luka-luka di tubuh salah
seorang mayat yang berada dekat kakinya. Luka-luka itu seperti cakaran kuku
tajam seekor binatang. Bahkan dada dua orang lainnya koyak tercabik-cabik.
"Coba perhatikan luka-luka itu, Paman Patih," kata
Rangga menunjuk empat mayat yang menggeletak.
"Hm...,"Patih Giling Wesi mengerutkan keningnya.
Memang benar kata Rangga. Luka-luka itu seperti akibat
serangan binatang. Cukup dalam dan mampu membuat orang tewas seketika. Dari
garis-garis luka itu bisa dipastikan akibat kuku tajam binatang buas. Tapi
Patih Giling Wesi berani bersumpah kalau di sekitar perbatasan tidak ada seekor
binatang buas pun berkeliaran.
Wus!
Tiba-tiba saja bertiup angin kencang di angkasa. Rangga dan
Patih Giling Wesi terperanjat, dan segera mendongak. Tampak sebuah bayangan
hitam besar berkelebat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga langsung
hilang tanpa dapat dilihat jelas. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, sudah cukup
jelas untuk mengetahui bentuk bayangan hitam itu. Dan dia sangat terkejut,
hampir tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan.
"Rajawali...,"desis Rangga dalam hati.
"Apa itu?" tanya Patih Giling Wesi.
"Entahlah," sahut Rangga mendesah.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus memandang ke arah Utara,
tempat bayangan hitam tadi lenyap ke arah sana. Hatinya masih bertanya-tanya
diliputi keraguan, bercampur rasa heran dan tidak percaya dengan yang
dilihatnya barusan. Apa yang terjadi di Kerajaan Galung ini, membuat Rangga
terus bertanya-tanya. Pertama, sikap burung rajawali raksasa yang aneh.
Kemudian malapetaka yang menimpa Patih Giling Wesi dan Kerajaan Galung. Dan
kini yang baru saja terjadi.
Belum sempat Rangga memperoleh semua jawaban dari berbagai
macam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, pendengarannya yang setajam
rajawali menangkap suara beberapa orang yang berlari cepat menuju ke arahnya.
Begitu pula dengan Patih Giling Wesi. Sesaat mereka saling berpandangan. Tanpa
berkata-kata lagi, mereka segera melesat ke atas, dan hinggap di dahan yang
cukup tinggi dan berdaun rindang.
Tidak lama kemudian, dari arah Selatan bermunculan sekitar
tiga puluh orang. Mereka berlari cepat menuju ke arah Utara. Dari cara berlari,
sudah dapat diketahui kalau mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga perbatasan itu hanya terlewati
dalam sekejap saja.
Rangga dan Patih Giling Wesi menunggu sampai orang-orang itu
tidak terlihat lagi. Tak lama, mereka melompat turun dengan gerakan yang sangat
ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Patih Giling Wesi memandang lurus
ke arah Utara. Raut wajahnya seketika berubah memerah.
"Kau mengenali mereka, Paman?" tanya Rangga
langsung menebak.
"Ya," sahut Patih Giling Wesi.
"Merekalah yang meruntuhkan Kerajaan Galung. Aku tidak
tahu, apa yang mereka buru di sana."
Rangga tidak bertanya lagi. Dia memandang ke arah Utara
juga, tapi tertuju ke angkasa. Tidak ada lagi bayangan hitam di sana. Hanya
awan pekat yang berarak menutup cahaya bulan. Pikirannya masih terpusat pada
burung rajawali raksasa yang baru saja melintas bagai kilat di angkasa.
Kemudian pandangan matanya beralih pada empat sosok mayat yang masih tergeletak
di pinggir jalan.
"Tidak mungkin rajawali melakukan pembunuhan tanpa ada
sebabnya. Tapi..., luka itu bekas cakaran burung raksasa.... Ah!" Rangga
berbicara sendiri di dalam hati.
Memang sukar untuk dipercaya. Tapi kenyataan yang dihadapi,
membuat Rangga tidak habis berpikir. Sejak kecil dia bersama Rajawali Sakti
sahabatnya, yang juga menjadi guru dan orang tua angkatnya. Dia kenal betul
watak Rajawali Sakti. Tidak mungkin membunuh orang tanpa ada sebabnya.
Tapi melihat sikap Rajawali Sakti sahabatnya yang aneh
beberapa hari lalu, membuat Rangga jadi berpikir keras. Tidak biasanya Rajawali
Sakti meninggalkannya begitu saja dengan perasaan gelisah. Sepertinya ada
sesuatu yang.... Rangga tidak bisa melanjutkan. Dia tidak tahu lagi, dan tidak
bisa menduga-duga.
***
TIGA
Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi di sebuah rumah
penginapan. Yang tentu saja diterima dengan rasa hormat dan bangga, sehingga
patih itu diberi kamar khusus oleh pemilik rumah penginapan. Bahkan dia
berharap agar Istana Galung kembali bersih dari manusia-manusia kotor yang
membuat seluruh rakyat seperti berada di atas api neraka. Dari pemilik rumah
penginapan itu pula Rangga mengetahui keadaan Kerajaan Galung.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, Rangga menuju sebuah
hutan lebat di sebelah Utara Kerajaan Galung. Dia baru berhenti setelah tiba di
sebuah padang rumput yang cukup luas. Sebentar diamati keadaan sekitarnya,
kemudian berdiri tegak memandang ke angkasa.
"Suiiit...!"
Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul panjang melengking,
bernada aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian menunggu dengan pandangan
lurus ke angkasa. Setelah cukup lama juga berdiri menunggu, kemudian terlihat
sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik kecil itu kini semakin jelas
terlihat bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali! Ke sini!" seru Rangga seraya
melambaikan tangannya.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa meluruk turun dengan cepat, dan
mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih
itu menghampiri, dan mengelus-elus leher burung raksasa itu. Rajawali Sakti
menggerung-gerung seraya menggeIeng-gelengkan kepalanya.
"Aku ingin bertanya padamu. Aku harap kau bersedia
mengatakannya terus terang," kata Rangga hati-hati, tidak ingin
menyinggung perasaan Rajawali Sakti.
"Khrrrk..."
"Kau tidak ke Kerajaan Galung semalam, Rajawali?"
tanya Rangga.
Sebentar burung raksasa itu memandang pada Rangga, kemudian
kepalanya menggeleng-geleng disertai suara mengkirik lirih.
"Terus terang, aku melihat rajawali melintas di atas
kepalaku. Dan ada empat orang tewas akibat..."
"Graghk...!"
Rangga terdiam sebelum ucapannya selesai. Keningnya berkerut
dalam melihat rajawali menggerung hebat, serta sayapnya dikepakkan kuat-kuat,
Kepalanya menggeleng¬-geleng, dan sinar matanya memerah tajam. Sebelah kakinya
terhentak-hentak keras, membuat bumi yang dipijaknya bergetar bagai terjadi
gempa.
"Maafkan aku, Rajawali. Bukan maksudku membuatmu marah.
Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya," ucap Rangga buru-buru,
berusaha meredakan kemarahan Rajawali Sakti.
Rajawali Sakti menggerung lirih. Kepalanya tertunduk dalam
menekur tanah. Dia merunduk mendekam diam, memperdengarkan suara lirih. Rangga
memeluk leher burung raksasa itu. Tangannya mengelus-elus lembut.
"Aku juga tidak percaya kalau kau yang melakukan itu,
Rajawali," ucap Rangga pelan.
"Krrrhhh...."
"Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi gelisah dan
marah! Mana pernah aku menyangka buruk terhadapmu. Bahkan sudah kucoba untuk
menyangkal penglihatanku semalam. Tapi aku benar-benar melihat jelas, meskipun
berulang kali kubantah. Aku percaya kalau kau tidak pergi ke mana-mana
semalam," Rangga mengungkapkan isi hatinya.
Rajawali Sakti menarik kepalanya lepas dari pelukan Rangga.
Ditatapnya lurus bola mata pemuda itu. Mata yang semula merah menyala, kini
terlihat redup dan sayu. Rangga jadi tergerak hatinya melihat pandangan mata
yang begitu sendu. Dapat dirasakan adanya kepedihan di had Rajawali Sakti. Tapi
dia tidak tahu, apa sebenarnya yang membuat Rajawali Sakti bersikap aneh
seperti ini. Cepat tersinggung, dan mudah sedih.
Burung rajawali raksasa itu mematuk-matuk tanah di depannya,
kemudian menyorongkan kepalanya ke depan. Rangga lebih mendekat, dan naik ke
punggungnya. Dia tahu kalau rajawali memintanya naik.
"Khraghk...!"
Dua kali kepakan sayap saja, Rajawali Sakti itu telah
melambung tinggi ke angkasa. Dua kali berputar, kemudian melesat terbang menuju
ke arah Utara.
"Mau ke mana?" tanya Rangga keras, berusaha
mengalahkan deru angin.
"Khraghk!"
Rangga menjulurkan kepalanya, dan memandang ke bawah. Tampak
hutan lebat bagai tidak bertepi, terhampar hijau di bawah sana. Sama sekali tak
terlihat apa-apa, selain kehijauan hutan dan dataran yang menggunung. Rajawali
Sakti membelokkan terbangnya ke arah Barat, dan terus melesat cepat sambil
berkaokan keras. Entah sudah berapa gunung, lembah, dataran, serta padang
rumput yang terlewati, tapi Rajawali Sakti tetap terbang cepat. Rangga tidak
lagi memandang ke bawah. Dia tidak mengerti, akan dibawa ke mana! Meskipun
ingin bertanya, tapi hanya disimpan saja dalam hati.
***
Hampir satu harian Rajawali Sakti terbang bersama Rangga
yang berada di punggungnya. Hingga pada satu daerah yang berlembah sangat
dalam, rajawali menukik turun. Rangga mengerutkan keningnya. Kini terlihat
jelas kalau lembah itu adalah Lembah Bangkai, tempat dia menempa diri di bawah
bimbingan Rajawali Sakti.
Rajawali terus menukik turun masuk ke dalam lembah, lalu
hinggap di depan mulut goa yang sangat besar. Tidak jauh dari goa itu terdapat
sebuah makam yang sangat indah dan terawat rapi. Tidak ada rumput liar di
sekitar makam itu. Rangga melompat turun dari punggung rajawali. Sebentar
dipandangi tempat yang penuh kenangan baginya ini.
"Rajawali, kenapa kau bawa aku ke sini?" tanya
Rangga.
"Krrrkh...!" Rajawali Sakti mengkirik lirih.
Rangga memperhatikan gerak kepala burung itu yang
mematuk-matuk tanah, kemudian menjulurkan kepala ke mulut goa. Rajawali
berjalan gontai memasuki goa itu. Rangga mengikutinya dengan kening masih
berkerut. Goa ini tidak begitu dalam, tapi terdapat empat ruangan khusus. Rajawali
mendekam di atas ranting kering dan rerumputan yang tertata rapi. Kepalanya
bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian menjulur ke salah satu ruangan goa di
samping kanannya.
"Ruang baca...," gumam Rangga mengenali ruangan
itu.
"Buku apa yang harus kubaca?"
Rajawali mematuki tubuhnya sendiri pada bagian dada.
Sebentar Rangga memperhatikan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan baca
itu. Ruangan yang tidak begitu besar, namun tersimpan bermacam-macam buku kumal
dan telah berusia ratusan tahun. Hampir semua buku di dalam ruangan ini sudah
dibacanya. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandangi
buku-buku yang terjajar di dalam rak dari kayu jati. Tangannya menjulur
mengambil sebuah buku bersampul merah muda bergambar dua ekor burung rajawali.
Sebentar dipandangi sampul buku itu, lalu dibersihkannya debu yang rnelekat.
Sebentar kemudian dia melangkah ke luar.
"Buku ini yang kau maksud?" Rangga menunjukkan
buku di tangannya pada rajawali.
"Khrrrk."
Kepala burung rajawali raksasa itu terangguk-angguk beberapa
kali. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Segera dihampiri
sebuah batu yang datar dengan permukaan licin berkilat Batu pualam putih itu
terasa dingin saat Rangga duduk bersila di atasnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai membuka buku yang diambil
dari ruangan baca. Buku itu ternyata hanya berisi gambar-gambar burung rajawali
dengan berbagai tingkah¬ polahnya. Ada dua burung rajawali. Yang satu berwarna
putih keperakan, sedangkan satu lagi berwarna hitam pekat. Tidak ada satu pun
tulisan di dalam buku ini. Sampai pada lembar terakhir, hanya ada satu kalimat
yang tertera.
"SEPENGGAL DARI SEPASANG RAJAWALI SAKTI".
"Hmmm..., apa maksudnya?" gumam Rangga
bertanya¬tanya sendiri dalam hati.
Rangga kembali membolak-balik isi buku itu. Satu persatu
gambar diperhatikan dengan teliti. Kemudian kepalanya terangkat, langsung
menatap rajawali yang mendekam memperhatikannya pula. Kembali Rangga memandang
ke arah buku yang terbuka di tangannya, lalu kembali mengangkat kepalanya lagi.
Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut dalam memandang Rajawali
Sakti' di depannya.
"Ini gambarmu?" tanya Rangga menunjuk satu gambar
rajawali berwarna putih keperakan.
Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan siapa yang satunya lagi?" tanya Rangga.
Rajawali menjulurkan sebelah kakinya ke depan. Dengan
cakarnya yang besar dan kuat, dikais-kais tanah di depannya. Rangga beranjak
turun dari batu pualam yang didudukinya, lalu menghampiri rajawali itu. Kembali
keningnya berkerut dengan mata agak menyipit melihat sebuah kitab kumal
tertimbun di dalam tanah.
"Kitab apa ini?" tanya Rangga seraya mengambil
kitab itu. Dibersihkan kitab tersebut dari tanah yang melekat.
"Khraghk!"
"Rupanya kau ingin menunjukkan sesuatu padaku,
Rajawali," kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti kembali duduk di atas batu pualam
pipih berkilat itu. Dia duduk bersila dan mulai membuka lembaran kitab itu.
Ternyata kitab tersebut berisi riwayat kehidupan Rajawali Sakti disertai beberapa
gambar dua ekor burung dengan tingkah-polahnya. Sesekali Rangga memandangi
rajawali yang mendekam dengan kepala tertunduk. Semakin dalam membaca kitab
itu, semakin jelas dan dimengerti diri Rajawali Sakti.
Rangga menutup kitab itu setelah selesai membacanya. Agak
lama juga dipandangi Rajawali Sakti yang masih mendekam dengan kepala tepekur
dalam. Sepasang bola matanya redup, tanpa terlihat cahaya kegairahan. Ada
perasaan iba terselip dalam hati Rangga, melihat sikap rajawali yang kelihatan
begitu sedih dan murung. Dia ingin menghibur, tapi tidak tahu bagaimana
caranya.
"Rajawali...,"pelan suara Rangga memanggil.
"Krrrhk...," Rajawali Sakti mengkirik lirih.
Kepalanya terangkat sedikit menatap pada pemuda di depannya.
"Maafkan aku, Rajawali. Seharusnya aku tidak
menyinggung-nyinggung masa lalumu," ucap Rangga pelan.
"Khrrrhk...," kepala burung rajawali menggeleng
pelahan.
"Sejak kapan kau berpisah dengan pasanganmu?"
tanya Rangga.
Rajawali menunjuk buku yang dipegang Rangga dengan
menjulurkan kepalanya. Rangga membuka kembali buku itu.
"Hm..., hampir seratus tahun...?!" Rangga bergumam
terkejut. la kembali membaca tulisan di buku itu. "Hal ini terpaksa
kulakukan demi kelangsungan hidup Rajawali Putih. Mereka akan kembali ke
nirwana jika sampai melangsungkan perkawinan. Rajawali Hitam memang diciptakan
untuk menggoda dan mempengaruhi Rajawali Putih. Sifat mereka berdua berbeda dan
saling bertolak belakang. Sayang, aku tidak mampu melenyapkan Rajawali Hitam.
Dan mereka memang tidak dapat mati, karena mereka adalah titisan Dewa untuk
melindungi manusia dari kehancuran dan keangkara murkaan. Tapi tugas utama itu
telah disalahgunakan Rajawali Hitam. Maaf, terpaksa kupisahkan kalian berdua.
Ini kulakukan agar kau tetap berada di jalan yang lurus, Rajawali
Putih...."
Rangga berhenti membaca, lalu menatap Rajawali Putih di
depannya. Kini dia baru tahu panggilan untuk burung raksasa itu. Dan dia juga
baru tahu kalau di dunia ini ada rajawali lain yang sifatnya bertolak belakang
dengan Rajawali Putih. Buku ini memang sengaja ditulis Pendekar Rajawali yang
hidup ratusan tahun lalu. Seorang pendekar tanpa tanding, yang kemudian menyepi
karena tidak ada lagi yang mampu melawannya (Baca serial perdana Pendekar
Rajawali Sakti, dalam episode Iblis Lembah Tengkorak).
"Aku bisa memahami perasaanmu, tapi kau juga tidak
boleh mengabaikan kewajiban utamamu. Makhluk sejati tidak pernah mementingkan
diri sendiri, Rajawali Putih. Ikhlaskan dia pergi dengan membawa nafsu dan
kesenangan pribadinya. Bahkan aku mengharapkan kau, atau siapa saja yang dapat
mengendalikannya, untuk merubah segala sifatnya yang buruk. Aku yakin, suatu
saat dia akan mendapatkan pengasuh yang mampu menunjukkan jalan kebenaran..."
Rangga melanjutkan membaca.
"Khraghk!" tiba-tiba Rajawali Putih mengangkat
kepalanya. Suaranya begitu keras, seakan-akan hendak menghancurkan seluruh
dinding goa ini.
Rangga juga terlonjak, dan cepat melompat ke luar.
Ditinggalkan kitab di tangannya itu diatas batu pualam putih. Begitu cepat ia
melompat, tahu-tahu sudah berada di luar goa. Pada saat kakinya menjejak tanah,
di atas kepalanya melintas satu bayangan besar berwarna hitam.
Rajawali Putih juga melesat keluar goa. Dia berkaokan keras
dengan kepala menjulur tinggi ke atas. Rangga mendongakkan kepalanya. Bayangan
hitam besar itu berputar tiga kali di udara, lalu melesat cepat ke arah
Selatan.
"Rajawali Hitam...," desis Rangga.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat naik ke
punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu juga, Rajawali Putih melesat ke
angkasa dengan kecepatan penuh. Bagaikan kilat saja, tahu-tahu sudah mengawang
tinggi, dan terus menuju ke arah Selatan. Rangga terpaksa berpegangan erat pada
leher burung rajawali raksasa itu. Angin yang bertiup begitu keras, menderu
memekakkan telinga.
"Dia turun ke gunung itu...!" seru Rangga
memberitahu.
"Khraghk!"
Rajawali Putih meluruk turun ke arah Puncak Gunung Kilasan
yang tertutup kabut tebal. Rangga segera melompat turun begitu kaki Rajawali
Putih menyentuh tanah. Ringan dan tanpa suara sedikit pun, sepasang kaki
Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah berumput tebal. Sejenak dia memandang
berkeliling, namun yang tampak hanya kabut tebal menghalangi pandangannya.
Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', sehingga dapat
melihat jauh dan terang, meskipun sekelilingnya tertutup kabut tebal. Hanya
saja dia tetap tidak dapat menemukan yang dicarinya.
"Hhh! Kemana dia? Jelas sekali kalau tadi turun ke
sini," gumam Rangga pelan.
"Kherkh...!"
"Kau melihat sesuatu. Rajawali Putih?" tanya
Rangga.
Rajawali Putih mengkirik lagi, lalu kepalanya bergoyang ke
kiri dan ke kanan beberapa kali. Rangga menarik napas panjang. Rajawali Putih
juga tidak melihat apa-apa. Udara pun bertambah dingin menggigilkan tubuh.
"Mungkin bukan di sini tempatnya," duga Rangga.
Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau yakin ini tempat Rajawali Hitam?"
Kepala Rajawali Putih mengangguk.
"Aku percaya antara kau dengan Rajawali Hitam ada
hubungan batin yang kuat. Kalau begitu, sebaiknya kita cari di sekitar tempat
ini," usul Rangga.
Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke depan, hingga hampir
menyentuh tanah. Rangga mengerti maksudnya. Segera dia melompat naik ke
punggung Rajawali Putih itu. Sesaat kemudian, Rajawali Putih sudah membumbung
tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas Puncak Gunung Kilasan ini. Tapi
sejauh mata memandang, hanya warna hijau tertutup kabut tebal saja yang tampak.
"Lebih ke bawah lagi! Ke lereng!" seru Rangga
keras.
"Khraghk!"
Rajawali menukik sampai ke Lereng Gunung Kilasan ini. Dia
berkeliling sampai tiga kali, tapi tidak juga menemukan yang dicarinya. Bahkan
sampai terus ke kaki gunung, belum juga didapat. apa yang dicarinya. Rangga
meminta rajawali agar mendarat. Sementara matahari sudah tergelincir ke Barat.
Suasana remang-remang, berangsur gelap. Udara di-sekitar Gunung Kilasan ini
semakin dingin.
"Kau masih merasakan dia ada di sini, Rajawali
Putih?" tanya Rangga setelah turun dari punggung Rajawali Putih itu.
Rajawali Putih hanya diam saja, tidak membuat gerakan
sedikit pun. Rangga memperhatikan, sepertinya Rajawali Putih tengah diliputi
kebimbangan. Meskipun hanya seekor burung, tapi sikap dan perasaan Rajawali
Putih melebihi manusia. Dan Rangga bisa memahami perasaan Rajawali Putih saat
ini.
"Bagaimana sekarang? Hari sudah gelap," kata
Rangga memberikan pilihan.
Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya bergerak
menggeleng beberapa kali. Rangga mengerti kalau burung raksasa itu tidak punya
pilihan lagi. Dan saat ini juga Rangga tidak tahu, apa yang akan dilakukan
Sementara dia pun jadi teringat dengan Patih Giling Wesi yang ditinggalkan di
sebuah rumah penginapan.
"Kau di sini saja, Rajawali. Aku akan pergi
sebentar," kata Rangga.
"Krrrhk...!"
"Tidak mungkin. Aku akan ke Kotaraja Kerajaan Galung.
Kau di sini saja. Besok pagi aku datang, lalu kita akan mencari lagi Rajawali
Hitam."
Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku pergi dulu."
***
EMPAT
Rangga terkejut memandangi rumah penginapan yang tampak
sepi, serta bagian depan rumah yang terlihat hancur. Meja kursi dan perabotan
lainnya berantakan di depan. Perasaan tidak enak menyelinap di hatinya.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah masuk ke dalam rumah penginapan
itu.
Langkahnya cepat, dan terlihat buru-buru. Ayunan kakinya
terhenti seketika begitu memasuki lorong yang di kanan dan kirinya terdapat
pintu kamar. Tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Dan keadaannya pun
berantakan sekali. Di lantai lorong, tergeletak tiga sosok mayat laki¬laki.
Pelahan-lahan Rangga melangkah menyusuri lorong itu.
Kembali langkahnya terhenti setelah tiba di depan salah satu
pintu kamar yang terbuka lebar dan setengah hancur. Keadaan di dalam kamar itu
juga berantakan, seperti habis diamuk binatang liar. Tidak ada seorang pun
terlihat. Tapi, di lantai dan dinding kamar itu terdapat bercak-bercak darah yang
masih basah.
"Paman Patih...," desis Rangga bergetar.
Di kamar inilah Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi pagi
tadi. Kecemasan melanda hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Bergegas dia berbalik
dan melangkah cepat meninggalkan lorong kamar penginapan ini. Namun begitu
kakinya menginjak ujung lorong yang langsung berhubungan dengan bagian depan,
mendadak sebatang tombak panjang meluruk deras ke arahnya.
"Uts, hap!"
Cepat sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, seraya
tangannya bergerak cepat menangkap tombak itu. Namun belum juga bisa menarik
kembali tubuhnya, Sviseorang melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok
besar dan panjang. Dengan cepat Rangga mengayunkan tombak yang ditangkapnya
tadi, untuk memapak kibasan golok itu.
Trak!
Tombak itu terpenggal menjadi dua bagian, tapi Rangga segera
melompat ke samping menjauhi orang yang menyerangnya secara tiba-tiba itu. Pada
saat kaki Pendekar Rajawali Sakti baru menyentuh lantai, orang itu sudah
berbalik dan langsung melompat menyerang. Goloknya yang besar berkelebat cepat
ke arah dada.
Dalam posisi seperti ini, tidak ada kesempatan buat Rangga
berkelit. Jalan satu-satunya adalah mengangkat tangannya ke depan dada, lalu
mengepit golok itu dengan kedua telapak tangan yang menyatu rapat. Dan secepat
itu pula, kaki kanannya melayang ke depan mendupak tepat di perut orang itu.
"Ugh!" orang itu mengeluh pendek, dan terdorong
beberapa langkah ke belakang.
Kalau saja tadi Rangga mengerahkan tenaga dalam, mungkin
perut orang itu bakal jebol. Tapi dupakan itu memang cukup keras, sehingga
membuat orang itu meringis kesakitan. Rangga membuang golok yang berhasil
dirampasnya.
"Paman Walaka...!" seru Rangga begitu mengenali
orang yang menyerangnya. "Kenapa kau menyerangku...?"
"Ugh! Oh...!" laki-laki berusia sekitar empat
puluh lima tahun itu juga tampak terkejut.
Dia memang Paman Walaka, pemilik rumah penginapan ini.
Rangga bergegas menghampiri, dan mengambil kursi yang terguling. Kemudian
dituntunnya Paman Walaka, dan didudukkannya di kursi kayu itu. Sebentar Rangga
memeriksa perut laki-laki itu, kemudian mengambil kursi lagi dan duduk di
depannya.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga setelah
Paman Walaka terlihat tenang.
"Mereka..., mereka menghancurkan tempatku, membunuh
tamu-tamuku, Tuan," sahut Paman Walaka tersedu.
"Siapa mereka?"
"Mereka orang jahat yang menguasai Istana Galung."
"Hm..., Paman. Di mana Paman Patih Giling Wesi?"
tanya Rangga.
"Aku tidak tahu. Semula Gusti Patih Giling Wesi sempat
bertarung dengan mereka. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi. Aku berusaha
menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan mereka yang punya kemampuan
tinggi "
"Paman melihat mereka menangkap Paman Patih?"
desak Rangga.
"Tidak."
Rangga bangkit dari duduknya dan melangkah ke depan.
"Tuan..."
Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik.
"Tolong bebaskan kami. Bebaskan Kerajaan Galung dari
tangan mereka. Rakyat begitu menderita akibat kekejaman mereka, Tuan,"
ratap Paman Walaka memelas.
"Berapa banyak jumlah mereka?" tanya Rangga.
"Tidak tahu pasti. Tapi mereka begitu banyak, dan
rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bahkan para panglima tidak
sanggup menghadapinya. Dan lagi, Gusti Prabu pun tidak mampu menandingi
pemimpin mereka. Tolong, Tuan! Tuan seorang pendekar, kami semua pasti tidak
akan tinggal diam, dan akan membantu semampu kami. Semua rakyat Galung sudah
tidak tahan lagi hidup dalam penindasan dan kekejaman mereka," rengek
Paman Walaka.
Rangga sangat trenyuh mendengar permintaan orang tua ini.
Dia hanya bisa tersenyum getir dan mengangguk, kemudian berbalik melangkah ke
luar. Paman Walaka mendesah panjang. Dia sangat berharap agar pendekar muda itu
mengusir orang-orang berhati iblis dari bumi Kerajaan Galung ini. Bahkan
seluruh rakyat akan rela berkorban menyabung nyawa.
***
Rangga berjalan pelahan-lahan melintasi jalan utama yang
cukup besar di Kerajaan Galung ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak
terlihat seorang pun berada di luar rumah. Semua rumah yang berada di kerajaan
ini tertutup rapat pintu dan jendelanya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak
menyenangkan hati.
"Berhenti...!"
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika
terdengar suara keras dari arah belakang. Belum sempat menoleh, dari setiap
balik dinding rumah penduduk, berlompatan orang bersenjata terhunus. Mereka
serentak mengepung dengan sorot mata permusuhan.
"Hm..., lima belas orang," gumam Rangga menghitung
dalam hati.
"Kisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu datang ke
sini?" bentak salah seorang yang berdiri tepat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak segera menjawab.
Diperhatikannya orang setengah baya berbaju ketat berwarna merah, yang
menghunus tombak panjang bermata tiga itu. Wajahnya kasar, mencerminkan
kebengisan. Sinar matanya merah menyala, menyorotkan nafsu membunuh.
"Aku seorang pengembara, dan hanya sekedar lewat sini
saja," sahut Rangga kalem.
"Kisanak! Daerah ini terlarang bagi siapa pun. Dan
mereka yang berani melanggar, harus menyerahkan semua harta bendanya!"
kata orang itu dingin.
"Aku tidak punya harta. Apa yang kalian inginkan
dariku?" masih terdengar tenang suara Rangga, namun dari nadanya dapat
dirasakan ketidak sukaan.
"Hm..., kau membawa pedang cukup bagus. Apa kau bisa
menggunakannya?"
"Tentu saja. Aku menggunakan pedang ini untuk
menghancurkan iblis berkedok manusia!"
Merah padam wajah orang itu mendengar kata-kata yang
terdengar tenang, namun sangat menyakitkan telinga. Bahkan empat belas orang
lainnya menggereng marah. Kata-kata Rangga sungguh menyinggung perasaan. Tentu
saja itu berarti sebuah tantangan.
"Kadal! Rupanya kau cari mampus di sini, heh!"
bentak orang itu sengit.
"Untuk apa aku mencari mati? Hanya Dewata yang tahu
kematianku," sahut Rangga mulai sinis.
"Wadyabala! Cincang keparat busuk ini!"
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sudah tidak
sabar lagi, langsung berlompatan menyerang. Rangga melompat ke atas sebelum
orang-orang itu sempat menyentuh tubuhnya. Dengan indah sekali dia mendarat di
atas atap sebuah rumah. Namun tiga orang dari mereka cepat melesat mengejar.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan tangannya ke
depan. Satu aliran tenaga dalam yang sangat dahsyat, terlontar dari kedua
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, tiga orang itu terlempar
jatuh deras ke bawah sebelum mencapai atap. Begitu derasnya, sehingga terdengar
bunyi tulang-tulang yang patah. Ketiga orang itu menggeliat dan merintih
kesakitan.
Rangga melompat turun ke bawah, dan segera menyerang
orang-orang itu. Pukulan dan tendangannya demikian keras, serta mengandung
tenaga dalam sangat sempurna. Siapa saja yang terkena tendangan dan pukulannya,
terlontar jauh dengan tulang remuk. Namun mereka bukanlah orang sembarangan
yang hanya umbar bacot saja. Tingkat kepandaian mereka juga cukup tinggi,
sehingga mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa jurus.
Satu persatu mereka dibuat jatuh bangun. Namun serangan yang
datang tidak berhenti. Bahkan semakin bertambah dahsyat saja. Beberapa kali
Rangga harus berlompatan menghindari senjata lawannya. Jerit kematian dan
teriakan-teriakan pertarungan berbaur menjadi satu.
Terlihat, sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi.
"Khraghk...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar dari angkasa.
Belum sempat ada yang menyadari, sebuah bayangan hitam meluruk deras langsung
menghajar orang-orang yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat Rangga
terperangah, namun dengan cepat melompat mundur.
"Khraghk!"
"Rajawali Hitam...," desis Rangga begitu melihat
jelas benda besar hitam yang kini tengah mengamuk membantai orang-orang itu.
Jerit melengking terdengar saling sambut, disusul
tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Rajawali Hitam mengamuk,
mencakar, mengoyak, dan mematuk orang-orang itu. Sementara Rangga semakin
terkesiap melihat di punggung burung raksasa berwarna hitam pekat itu, duduk
seseorang yang juga memakai baju warna hitam pekat dan sangat ketat. Orang itu
menghunus sebuah pedang hitam panjang yang selalu mengepulkan asap merah tipis.
Pedang itu berkelebatan cepat membabat setiap orang yang
dekat dalam jangkauannya. Sukar dipercaya! Dalam waktu sebentar saja, tidak ada
lagi yang hidup. Dan burung raksasa berwarna hitam itu pun langsung melesat ke
angkasa.
"Hey! Tunggu...!" seru Rangga keras.
"Khraghk...!"
Burung raksasa itu berputar rendah di atas kepala Rangga,
kemudian membumbung tinggi ke angkasa. Dengan gerakan cepat bagai kilat, Rangga
melompat ke udara. Dengan mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega',
dikejarnya burung raksasa itu.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap sebelah kaki
burung raksasa itu, dan memeluknya erat-erat. Burung raksasa itu menghentakkan
kakinya berusaha melepaskan rangkulan Rangga yang sangat kuat. Merasa sukar
untuk melepaskan rangkulan itu, Rajawali Hitam itu menukik deras, lalu
menyambar sebatang pohon besar dengan kakinya.
"Akh...!" Rangga memekik keras begitu tubuhnya
membentur batang pohon itu.
Namun dia tetap bertahan, berpegangan erat pada kaki sebesar
batang pohon kelapa itu. Burung raksasa itu kembali membumbung tinggi ke
angkasa, dan kembali menukik deras ke bawah. Sebongkah batu cadas yang besar
dihajar dengan kakinya. Batu itu hancur berkeping¬-keping. Namun Rangga tetap
bertahan tidak melepaskan rangkulannya.
"Khraghk...!"
"Cukup, Rajawali Hitam. Bawa dia turun!" terdengar
suara kecil namun tegas nadanya.
"Khraghk!"
Burung Rajawali Hitam meluruk turun. Dan mendarat lunak di
hamparan padang rumput yang luas. Rangga langsung melompat menjauh, lalu
berdiri tegak memandang burung rajawali raksasa berwarna hitam pekat itu. Dan
kini pandangannya tertumpu pada orang yang berada di punggung rajawali hitam
itu, yang kemudian melompat turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda
memiliki kepandaian yang tinggi.
Bola mata Rangga agak menyipit, berusaha melihat jelas wajah
yang terselubung cadar biru pekat yang tipis. Dari bayang-bayang cadar itu,
dapat dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Bentuk tubuhnya pun ramping
dengan tonjolan indah pada dadanya. Orang itu berdiri tegak di depan burung
Rajawali Hitamnya.
"Aku tahu siapa dirimu. Aku minta, jangan campuri
urusan Kerajaan Galung. Itu urusanku sendiri!" tegas kata¬-kata orang itu.
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku."
Orang itu segera melesat naik ke punggung Rajawali Hitam.
"Tunggu dulu!" seru Rangga cepat.
"Aku percaya kau mampu dan memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi itu bukan urusanmu! Aku masih
mampu menghancurkan mereka!"
"Hey...!"
Rangga ingin berkata lagi, tapi burung hitam raksasa itu
sudah keburu melesat tinggi. Rangga hanya bisa memandangi dengan benak diliputi
berbagai macam pertanyaan yang sulit terjawab saat ini.
"Siapa dia? Dalam buku milik Pendekar Rajawali yang
hidup seratus tahun lalu, dituliskan kalau Rajawali Hitam ada yang memiliki.
Aneh...? Dia mengatakan urusan Kerajaan Galung adalah urusannya sendiri. Siapa
dia sebenarnya?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri mematung, namun
hatinya berbicara sendiri. Kini persoalan yang dihadapinya semakin pelik. Di
satu pihak, tidak bisa membiarkan orang-orang berhati iblis menguasai Kerajaan
Galung. Di pihak lain, dia pun harus mengetahui orang yang kini menguasai
Rajawali Hitam, sekaligus ingin menentramkan hati Rajawali Putihnya.
Memang ada resiko yang sangat besar bila Rangga berhasil
mempertemukan kedua burung rajawali raksasa itu. Tapi ini yang tidak
diinginkannya. Rajawali Putih bakal kembali ke Nirwana untuk selama-lamanya.
Bukan hanya dua persoalan yang kini dihadapi Rangga, tapi juga harus berhadapan
dengan dua pilihan yang amat sulit Dan dia harus menentukan pilihan itu.
Namun tidak mudah untuk menentukannya. Persoalannya, kedua
pilihan itu tidak diinginkannya sama sekali! Jelas, ini mengandung resiko yang
amat besar. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Rajawali Putih yang amat
disayangi, melebihi pada dirinya sendiri.
"Oh, Dewata Yang Agung... Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
keluh Rangga.
Rangga berjalan pelahan-lahan menuju Gunung Kilasan.
Kepalanya tertunduk dalam, dan sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang
dan berat. Saat ini dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Persoalan
yang dihadapi sungguh luar biasa, dan membuatnya bingung untuk mencari
pemecahannya. Otaknya serasa buntu, tidak mampu lagi diajak berpikir.
Sementara malam merayap bertambah larut. Udara di sekitarnya
semakin dingin. Kabut tebal pun turun menghalangi pandangan mata. Namun Pendekar
Rajawali Sakti tetap melangkah. Hanya saja, kini dia tidak tahu lagi arah yang
dituju. Sepanjang mata memandang, hanya ketebalan kabut yang pekat. Entah sudah
berapa jauh berjalan. Rangga baru menyadari kakinya menyentuh bibir Lembah Ular
Berbisa. Satu daerah yang tidak pernah diinjak manusia.
"Kenapa aku sampai di sini...?" Rangga jadi heran
sendiri. "Sepertinya tadi aku menuju ke Gunung Kilasan. Tapi kenapa bisa
sampai di sini...?"
Arah yang dituju memang jauh berlawanan. Gunung Kilasan
berada di sebelah Utara Lembah Ular Berbisa, yang letaknya berada di sebelah
Timur Kerajaan Galung. Dan ini berarti dia harus kembali lagi melintasi Hutan
Krambang. Tapi dalam cuaca yang berkabut seperti ini, memang sukar mencari
arah. Bisa-bisa malah semakin jauh tersesat.
Rangga mendongakkan kepalanya ke atas, bersiap-siap
memanggil Rajawali Putih. Tapi niatnya itu diurungkan karena kabut yang
demikian tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dikerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kabut yang tebal.
Dengan aji 'Tatar Netra, kabut setebal apa pun tidak menjadi halangan bagi
penglihatannya.
"Ada api," gumam Rangga saat memandang ke arah
Hutan Krambang.
Bergegas Rangga melangkah ke arah api yang dilihatnya. Jarak
yang harus ditempuh cukup jauh. Tapi dengan aji 'Tatar Netra', dia tidak lagi
mengalami kesulitan dengan penglihatannya. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu
mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mempercepat langkahnya.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti
sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah
sampai di tempat api yang dilihatnya tadi. Tampak seorang laki-laki bertubuh
gemuk, duduk dekat api itu. Dan dia menoleh begitu merasa ada orang lain menghampirinya.
"Paman Patih..." desis Rangga begitu orang gemuk
itu memalingkan mukanya.
"Rangga...!" Patih Giling Wesi terkejut bercampur
gembira melihat kedatangan Rangga.
Rangga menghampiri dan duduk di depan Patih Giling Wesi.
Sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang saja. Keadaan Patih Giling Wesi
begitu kumuh. Pakaiannya koyak di beberapa bagian. Walaupun udara sekitarnya
terasa dingin, tapi terlihat adanya titik keringat pada wajah laki-laki gemuk
itu.
"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Rangga seraya
merayapi wajah dan tubuh Patih Giling Wesi. Dia teringat keadaan kamar sewaan
laki-laki gemuk itu, dan noda darah yang melekat pada lantai serta dinding.
"Hanya letih," sahut Patih Giling Wesi mencoba
tersenyum.
"Aku cemas kau mendapat luka," ujar Rangga polos.
"Terima kasih, tapi aku masih mampu mengatasinya,"
ucap Patih Giling Wesi. "Kau sudah tahu apa yang terjadi?"
"Sudah... Paman Walaka yang menceritakannya," sahut
Rangga.
"Mereka sangat tangguh. Aku benar-benar kewalahan
menghadapinya. Itu baru kroco, belum lagi biangnya. Hhh...! Aku tidak tahu
lagi, apa jadinya Kerajaan Galung kalau mereka terus bercokol di sana,"
nada bicara Patih Giling Wesi terdengar mengeluh. "Ini semua gara-gara
anakku!"
Rangga hanya diam saja karena tidak tahu lagi, harus berkata
apa. Semua yang terjadi di Kerajaan Galung sudah didengar. Bukan hanya dari
Patih Giling Wesi, tapi juga dari Paman Walaka, pemilik rumah penginapan.
Bahkan banyak rakyat Galung yang mengeluh seperti itu. Mereka menyesali
perbuatan Intan Kemuning, sehingga Kerajaan Galung menjadi neraka bagi banyak
orang.
Memang, tindakan Intan Kemuning terlalu ceroboh. Tapi Rangga
tidak dapat menyalahkan begitu saja. Dalam dunia persilatan, tidak ada salahnya
menantang tokoh-tokoh lain untuk menguji tingkat kepandaian. Hanya saja yang
dilakukan Intan Kemuning berakibat fatal. Bukan saja bagi diri dan keluarganya
sendiri, tapi juga bagi seluruh rakyat Kerajaan Galung!
"Dia bukan saja telah mencoreng mukaku, tapi juga telah
mengakibatkan ibunya meninggal di tangan iblis-iblis keparat itu!" suara
Patih Giling Wesi bernada gusar.
"Paman..."
"Intan Kemuning bukan lagi Intan yang dulu, yang kupuja
dan kubanggakan! Dia kini jadi gadis liar, haus akan ilmu kesaktian. Intan...
Intan. Apakah tidak kau pikirkan dulu? Mengapa tidak kau rundingkan dulu
denganku...?" keluh Paman Patih Giling Wesi.
Rangga benar-benar bungkam. Dia hanya diam memandang dengan
perasaan iba pada laki-laki gemuk ini. Lidahnya serasa kelu, sukar untuk diajak
bicara. Otaknya pun beku, tidak mampu melahirkan kata-kata untuk menghibur.
Bahkan untuk mengambil sikap pun sulit. Apa yang terjadi pada Patih Giling
Wesi, memang di luar kemampuannya sebagai seorang pendekar.
"Ah! Maafkan aku, Rangga. Tidak seharusnya aku mengeluh
demikian rupa kepadamu," ucap Patih Giling Wesi tersadar.
"Tidak mengapa, Paman," hanya itu yang bisa
diucapkan Rangga.
"Aku sekarang tidak peduli lagi padanya. Hanya satu
yang harus kulakukan sekarang, yaitu mengembalikan Istana Galung pada Gusti
Prabu," ujar Patih Giling Wesi. "Dan mungkin aku juga tidak akan
berkecimpung di dalam kepatihan lagi. Sudah kuputuskan untuk menjadi
pertapa."
"Paman putus asa?"
"Tidak! Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak ada
lagi yang kumiliki sekarang. Semuanya hancur!"
"Paman masih punya Intan Kemuning."
Patih Giling Wesi menatap Rangga dalam-dalam. Kata¬-kata
Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh mengejutkan hatinya. Namun Rangga sendiri
jadi blingsatan. Baru disadari, kalau kata-katanya meluncur tanpa dipikirkan
lebih dahulu! Dia sendiri heran, kenapa bisa berkata seperti itu? Saat ini pun
Rangga tidak tahu nasib Intan Kemuning sesungguhnya. Bahkan selama berada di
Kerajaan Galung ini, belum pernah menjumpainya.
"Maaf, Paman. Aku hanya merasa yakin kalau Intan
Kemuning masih hidup. Dan mungkin kini tengah menyesali perbuatannya,"
ucap Rangga buru-buru.
"Kau yakin?"
"Entahlah."
"Rangga. Meskipun kusesali perbuatan Intan Kemuning,
tapi aku tetap menyayanginya. Bagaimanapun juga dia anakku! Apa yang
dilakukannya adalah tanggung jawabku juga. Terus terang. Dalam hati kecilku,
aku masih berharap Intan tetap hidup dan berada di suatu tempat," Patih
Giling Wesi mengemukakan perasaan hatinya.
"Aku juga merasa begitu, Paman."
"Rangga. Setelah mereka bisa terusir dari istana, aku
bertekad untuk mencari anakku! Setelah itu baru aku akan bertapa mengisi sisa
hidupku. Kau bersedia membantuku, Rangga?" pinta Patih Giling Wesi penuh
harap.
"Tentu saja, Paman. Pasti akan kucari Intan Kemuning
sampai dapat. Paman bisa beristirahat, sementara aku mencari Intan," sahut
Rangga.
"Terima kasih, Rangga."
***
LIMA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan diri,
Rangga sudah beranjak dari tempat tidurnya. Tempat yang tidak layak, namun
cukup untuk beristirahat menghilangkan rasa penat. Ranting yang terbakar sudah
padam, hanya sisa asap tipis yang mengepul bercampur kabut. Cahaya matahari
pagi yang hangat mulai menguak kabut di sekitar Hutan Krambang.
"Paman...!" Rangga tersentak kaget begitu
menyadari Patih Giling Wesi sudah tidak berada di tempatnya lagi.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit.
Sebentar dia memandang ke sekeliling, menembus kabut yang mulai memudar.
Semalam tidurnya memang nyenyak sekali, sehingga tidak mendengar suara apa pun.
Rangga mulai diliputi kecemasan. Semalam Patih Giling Wesi mengatakan akan ke
Istana Galung, hendak mengusir orang-orang berhati iblis yang kini menguasai
istana itu.
"Celaka, kalau dia datang sendiri ke sana!" gumam
Rangga dalam hati.
"Paman...!Paman Patih...!"teriak Rangga memanggil.
Tapi tidak ada sahutan. Suara Rangga yang keras disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna itu meng¬gema menyelusup ke seluruh Hutan
Krambang ini. Beberapa kali Rangga memanggil, tapi tetap tidak ada sahutan.
Rangga semakin cemas, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
"Hutan ini cukup jauh dari Kerajaan Galung. Mungkin
satu harian penuh baru sampai di sana," gumam Rangga berkata sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling. Tempat
dia berada sekarang ini cukup terbuka, meskipun tidak seberapa luas. Paling
tidak cukup untuk pendaratan Rajawali Putih. Rangga bersiap-siap mengerahkan
siulan saktinya untuk memanggil burung rajawali raksasa itu.
"Suiiit...!"
Satu siulan melengking tinggi bersuara kecil, namun bernada
aneh itu terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Cukup lama juga Rangga
menunggu dengan kepala menengadah ke atas. Dan pada siulan yang kedua kali,
terlihat satu titik kecil di angkasa. Semakin lama titik kecil itu semakin
jelas bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali Putih, ke sini...!" seru Rangga keras.
Burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan itu meluruk turun, dan
mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya langsung disodorkan ke depan. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melompat naik ke punggung Rajawali
Putih. Dan tanpa diminta lagi, burung raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa!
"Langsung ke Kerajaan Galung, Rajawali," kata
Rangga sedikit keras.
Rajawali Putih kembali berseru keras. Dikepakkan sayapnya
dengan cepat, sehingga terbangnya bagaikan kilat membelah angkasa. Angin terasa
menderu-deru memekakkan telinga. Rangga terpaksa harus berpegangan erat pada
leher Rajawali Putih, agar tidak terlempar oleh hempasan angin.
Dalam waktu tidak berapa lama, Rajawali Putih sudah berada
di atas Istana Galung. Burung raksasa itu berputar¬-putar dengan ketinggian
yang sukar dilihat dari bawah oleh mata biasa. Rangga menggunakan aji 'Tatar
Netra' untuk melihat ke bawah agar lebih jelas. Keningnya agak berkerut juga
menyaksikan suasana di sekitar Istana Galung kelihatan sepi-sepi saja. Bahkan
tampaknya tidak ada satu kejadian pun di sana.
Rangga mengamati setiap jengkal tanah sekitar istana megah
itu. Tidak terlihat seorang pun yang berpakaian prajurit di sana. Orang-orang
yang terlihat berjaga-jaga di pos penjagaan, semuanya mengenakan pakaian biasa
seperti layaknya kaum rimba persilatan.
"Rajawali Putih, barangkali Paman Patih Giling Wesi
belum sampai ke sini," kata Rangga.
"Kreeekhgh...!"
"Kau menduga dia tidak ke sini? Lalu, ke mana
perginya?" Rangga seperti bisa mengerti saja arti suara Rajawali Putih.
"Khraghk!"
Rajawali Putih segera melesat cepat bagaikan kilat menuju ke
arah Barat. Rangga tidak ingin menghalangi. Dia yakin kalau tujuan yang
ditempuh Rajawali Putih akan membawanya pada Patih Giling Wesi, atau setidaknya
sesuatu yang bermanfaat dalam menyelesaikan kemelut ini.
Cepat sekali Rajawali Putih terbang, sehingga dalam waktu
tidak berapa lama telah melintasi batas Kerajaan Galung sebelah Barat. Sekarang
burung raksasa itu meluruk turun pada suatu dataran luas berumput. Manis sekali
dia mendarat di pinggiran dataran rumput itu. Dan Rangga pun segera melompat
turun dari punggung Rajawali Putih.
"Rajawali...."
Belum lagi Rangga bisa meneruskan ucapannya, mendadak sebuah
bayangan hitam melesat cepat di atas kepalanya. Seketika itu pula, Rajawali
Putih melesat naik mengejar. Begitu cepatnya dia terbang tahu-tahu sudah berada
di depan bayangan hitam yang ternyata adalah seekor burung rajawali raksasa
berwarna hitam.
Rajawali Hitam sangat terkejut melihat ada Rajawali Putih
menghadang terbangnya. Dia langsung berhenti, dengan sayap mengepak
pelahan-lahan. Sebentar kedua burung raksasa itu saling berhadapan, lalu
sama-sama bergerak turun. Di punggung Rajawali Hitam bertengger seorang
bertubuh ramping. Bajunya ketat berwarna hitam pekat Di punggungnya menyembul
gagang pedang berwarna hitam berbentuk kepala burung.
Rangga yang berada di bawah, tertegun sejenak begitu melihat
dua burung raksasa mendarat pelahan-lahan secara bersamaan, tidak jauh darinya.
Tapi sebentar kemudian Rangga melangkah menghampiri Rajawali Putih. Orang yang berada
di punggung Rajawali Hitam melompat turun dengan manis. Kini dua orang saling
berhadapan dengan dua ekor burung raksasa yang juga berhadapan. Sesaat lamanya
tidak ada yang membuka suara.
Baik Rangga maupun orang berbaju hitam itu saling memandangi
dua burung rajawali raksasa yang saling berhadapan dan melempar pandangan.
Sikap kedua burung raksasa itu kelihatan kaku, seolah-olah sudah sekian lama
tidak pernah berjumpa lagi dan tahu-tahu kini saling berhadapan. Terlihat jelas
kalau kedua burung raksasa itu sama-sama menjaga diri.
Rajawali Hitam mendekam dengan sayap terpentang lebar ke
samping. Sementara Rajawali Putih kelihatan diam, dan tampak ragu-ragu. Tapi
akhirnya dia bergerak menghampiri Rajawali Hitam. Dan pada saat itu, Rangga
teringat akan tulisan dalam kitab yang dibacanya dalam goa Lembah Bangkai.
Tulisan yang dituangkan oleh Pendekar Rajawali seratus tahun lalu.
"Hup!"
Rangga bergegas melompat, dan langsung berdiri di
tengah-tengah kedua burung rajawali raksasa itu. Rajawali Putih langsung
berhenti bergerak mendekati Rajawali Hitam. Sebentar dipandanginya Rangga,
kemudian beralih pada Rajawali Hitam yang sudah berdiri kembali dengan kedua
kakinya yang kokoh dan besar.
"Rajawali Putih! Apa yang akan kau lakukan?" tanya
Rangga.
"Krekh...," Rajawali Putih bersuara pelan.
"Tidak! Kau tidak boleh mengajaknya bersama-sama lagi.
Kau harus menjauhinya! Dia bukan pasanganmu karena akan menjerumuskanmu ke
dalam kubangan lumpur dosa!" kata Rangga seperti mengerti jawaban Rajawali
Putih.
"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak nyaring
melengking.
Sepasang bola matanya yang merah menyala, menatap tajam ke
wajah Rangga. Sepertinya bisa dimengerti kata¬kata Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sepasang sayapnya terpentang lebar agak tertekuk ke bawah. Sikap yang
menunjukkan kemarahan dan ketidaksenangan pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sadarlah, Rajawali Putih. Dia diciptakan untuk
menyeretmu ke dalam lumpur dosa dan nista untuk selama-lamanya! Jangan mudah
terpancing. Dia bukan diciptakan untukmu! Sadarlah, Rajawali Putih," ujar
Rangga mencoba menyadarkan Rajawali Putih.
Rajawali Putih kelihatan bimbang. Sebentar dia menatap pada
Rangga, sebentar kemudian menatap pada Rajawali Hitam di depannya. Rangga yang
sudah mengetahui kalau Rajawali Putih adalah titisan Dewa Wisnu, tidak akan
membiarkan sahabat sekaligus gurunya terjerumus akibat hadirnya Rajawali Hitam
yang sengaja diciptakan oleh Dewa Angkara Murka untuk menggagalkan tugas suci
di dunia ini.
"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan menghalangi
bersatunya kalian," tegas Rangga.
"Graghk...!"
Rajawali Hitam meraung keras. Bola matanya semakin merah
menyala, pertanda benar-benar memuncak kemarahannya. Dan kemarahannya tidak
bisa dibendung lagi. Digerakkan kepalanya dengan cepat hendak mematuk Rangga.
Namun dengan gerakan yang gesit, Rangga berhasil mengelakkan serangan Rajawali
Hitam. Tentu saja hal ini membuat Rajawali Hitam semakin bertambah murka.
Dengan gerakan yang sangat cepat luar biasa, Rajawali Hitam
melompat sambil mengepakkan sayapnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
kali ini pun Rangga berhasil mengelakkannya dengan melompat mundur ke belakang
beberapa langkah. Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, sebelah sayap
Rajawali Hitam telah menyambar tubuhnya dengan cepat.
"Akh!" Rangga memekik tertahan.
Kibasan sayap Rajawali Hitam yang keras dan tidak terduga
itu membuat tubuh Rangga terpental cukup jauh, lalu membentur sebatang pohon
ara tua yang cukup besar. Pohon itu kontan tumbang, hancur berantakan terbentur
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat, Rangga mampu bangkit
kembali.
Melihat anak muda yang menjadi penghalang maksudnya masih
mampu bangkit tanpa kurang satu apa pun, Rajawali Hitam semakin bertambah
berang. Sambil berteriak keras menggeletar, dia melompat cepat bagai kilat.
Cakarnya terkembang, siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu.
"Hiya...!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, lalu bersalto dua kali
di udara. Dilewati tubuh Rajawali Hitam yang meluruk deras dengan cakar
terkembang. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, langsung
berbalik sambil melontarkan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam sangat
sempurna.
"Yaaa...!"
"Khraghk...!" Rajawali Hitam memekik keras dengan
suaranya yang parau.
Hanya sedikit saja tubuhnya terdorong, dan sekejap saja
mampu melesat kembali menerjang Rangga. Begitu cepatnya dia melesat, sehinga
membuat Rangga terperangah. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari
terjangan burung hitam raksasa itu. Kembali Rangga terlontar jauh ke belakang,
lalu menabrak sebongkah batu besar dan hitam berlumut. Batu itu hancur
berkeping-keping terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraghk!"
Rajawali Hitam cepat meluruk deras hendak menerjang Rangga
yang sedang berusaha bangkit berdiri. Namun ketika paruh yang sudah terbuka
lebar itu hendak mencaplok kepala Rangga, Rajawali Putih melesat cepat menyambar
tubuh Rangga dengan cakarnya. Langsung tubuh Rangga dibawa terbang tinggi
menembus awan.
"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak keras
disertai kemarahan memuncak.
"Hitam! Tunggu...!" seru orang berbaju hitam yang
sejak tadi hanya diam memperhatikan saja.
Rajawali Hitam yang sudah akan melesat mengejar, langsung
mengurungkan niatnya. Kepalanya sedikit tertekuk menoleh pada orang berbaju
serba hitam itu. Dia mengkirik pelahan dengan kepala setengah ditundukkan.
"Kita masih punya persoalan yang lebih penting lagi.
Urusan ini bisa diselesaikan nanti."
"Khrighk...!"
"Aku tahu, aku juga sudah membaca buku tentang
riwayatmu. Tapi yang penting sekarang, kita harus menggempur dulu Istana
Galung, dan menghancurkan mereka."
Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam itu
segera melompat naik ke punggung Rajawali Hitam. Sambil berkaokan keras,
Rajawali Hitam membumbung naik ke angkasa. Cepat sekali lesatannya, sehingga
dalam sekejap saja sudah begitu tinggi me-layang di udara.
"Khraghk...!"
"Langsung ke Istana Galung, Hitam!"
"Khraghk!"
***
Saat itu, Rajawali Putih yang membawa Rangga di cakarnya,
meluruk turun di balik Gunung Kilasan. Dia mendarat lunak di sebuah dataran
rumput yang cukup luas. Rangga bergulingan beberapa kali setelah Rajawali Putih
melepaskan cengkeramannya, lalu bergegas bangkit dan membersihkan rumput kering
yang melekat di tubuhnya.
"Seharusnya kau jangan membawaku kabur, Rajawali
Putih," dengus Rangga tidak senang.
"Krrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik lirih.
"Jangan bodoh, Rajawali Putih. Dia bukan pasanganmu!
Dan kau tidak boleh merasa berbelas kasih, apalagi menyukainya. Dia diciptakan
hanya untuk menjerumuskanmu. Kau harus menyadari hal itu, Rajawali Putih,"
kata Rangga berusaha menghilangkan perasaan suka Rajawali Putih pada Rajawali
Hitam.
Rajawali Putih hanya diam saja sambil mendekam dengan kepala
tertunduk dalam. Sepasang bola matanya memancar sayu tanpa gairah kehidupan.
Rangga melangkah menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu.
"Aku menyayangimu, Rajawali Putih. Aku tidak ingin
kehilanganmu. Aku mencintaimu. Sungguh! Aku mencintaimu, Rajawali
Putih...," pelan suara Rangga.
"Krrrkhg...!" Rajawali Putih mengkirik lirih.
Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung raksasa itu.
Sesaat lamanya dia menatap langsung ke bola mata yang sayu dan redup itu.
Dirasakan betapa sulitnya Rajawali Putih menentukan sikap. Waktu seratus tahun
bukanlah waktu yang pendek. Dan selama itu mereka berpisah setelah
masing-masing saling menyukai. Memang, perpisahan itu mesti terjadi demi
kelangsungan hidup mereka.
Kini Rangga punya kewajiban yang sangat berat. Harus
dikuatkan hatinya untuk memisahkan Sepasang Rajawali itu. Memang berat, tapi
itu harus dilakukan. Di dunia ini tidak ada rajawali raksasa hidup sepasang. Dan
kalau hal itu terjadi, Sepasang Rajawali akan pupus kembali ke asalnya. Bukan
hanya itu saja, Rajawali Putih akan tersiksa selamanya dan terbuang dari
kalangan Dewa di Nirwana.
Rangga ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba saja bumi
serasa bergetar. Kini terdengar suara bergemuruh dari kejauhan. Suara itu
semakin lama semakin terdengar jelas. Tampak debu mengepul di udara, di arah
Selatan. Sejenak Rangga memandangi debu yang mengepul tebal itu, kemudian
bergegas melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Cepat, Rajawali! Ada orang berkuda menuju ke
sini," ujar Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih melesat cepat, naik membumbung tinggi ke
angkasa. Dan pada saat itu, terlihat serombongan orang berkuda cepat melintasi
tempat Rangga dan Rajawali Putih berada tadi.
"Prajurit Kerajaan Galung...," desis Rangga
setelah mengenali pakaian seragam prajurit yang dikenakan orang-orang berkuda
itu.
Dan Rangga pun mengenali salah seorang yang berkuda paling
depan. Dua orang laki-laki. Yang seorang berperawakan gemuk, dan seorang lagi
sudah berusia lanjut, namun masih terlihat gagah. Kedua orang itu tidak lain
dari Prabu Galung dan Patih Giling Wesi. Hanya Patih Giling Wesi yang
dikenalnya. Sedangkan di belakangnya terlihat enam orang berpakaian panglima
dan puluhan punggawa serta ratusan prajurit bersenjata lengkap. Mereka semua
memacu cepat kudanya menuju arah Kerajaan Galung.
"Ikuti mereka, Rajawali," kata Rangga agak keras.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih membumbung tinggi di udara, dan bergerak
searah dengan ratusan orang berkuda di bawahnya. Rangga yang berada di punggung
rajawali raksasa itu tidak berkedip memandang ke bawah. Dia agak heran juga
terhadap Patih Giling Wesi yang kini sudah bergabung bersama rombongan prajurit
Kerajaan Galung. Padahal sebelumnya dia mengatakan tidak tahu, di mana para
prajurit dan Prabu Galung berada.
"Kita cegat mereka di tepi Hutan Krambang itu, Rajawali
Putih," kata Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih segera melesat cepat menuju arah yang
ditunjuk Rangga. Begitu cepatnya rajawali raksasa itu bergerak, sehingga dalam
waktu sebentar saja sudah menukik turun ke tepi Hutan Krambang. Rangga segera
melompat turun sebelum kaki Rajawali Putih menjejak tanah. Dan burung raksasa
itu segera melesat kembali membumbung tinggi ke angkasa.
"Hup!"
Rangga melompat ke sebuah pohon yang cukup tinggi. Sedangkan
Rajawali Putih berputar-putar sangat tinggi di angkasa. Pandangan mata Rangga
tidak berkedip ke arah kepulan debu yang bergerak mendekati arahnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga melompat turun ketika rombongan berkuda itu melintas
di bawahnya. Patih Giling Wesi dan Prabu Galung terkejut sekali. Bergegas
mereka menghentikan lari kudanya, diikuti para punggawa dan prajurit. Rangga
berdiri tegak sekitar lima batang tombak di depan rombongan berkuda itu.
"Rangga...," desis Patih Giling Wesi.
"Paman Patih, siapa anak muda itu?" tanya Prabu
Galung mendengar desisan Patih Giling Wesi.
"Ampun, Gusti Prabu. Pemuda ini bernama Rangga yang
bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dialah yang menolong hamba ketika membebaskan
Intan Kemuning dari tangan Bidadari Sungai Ular," cerita Patih Giling Wesi
tentang Rangga.
"Hm..., jadi pemuda itu yang kau ceritakan padaku
kemarin?" pelan suara Prabu Galung.
"Benar, Gusti," sahut Patih Giling Wesi.
Prabu Galung turun dari punggung kudanya. Patih Giling Wesi
juga bergegas turun pula. Mereka berjalan menghampiri Rangga yang tetap berdiri
tegak menghadang. Dua orang penting dan utama dari Kerajaan Galung itu berhenti
tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Jarak mereka tinggal beberapa langkah
lagi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka bertiga saling berdiam
diri. Rangga menatap agak tajam pada Patih Giling Wesi, sedangkan yang ditatap
hanya membalas dengan bibir menyunggingkan senyum. Pendekar Rajawali Sakti
melangkah tiga tindak ke depan.
"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali
Sakti?" Prabu Galung membuka suara lebih dulu.
"Benar," sahut Rangga tanpa mengalihkan
pandangannya dari Patih Giling Wesi. Dia memang tidak mengenali siapa yang
bertanya padanya barusan.
"Rangga, ini Prabu Galung," Patih Giling Wesi
memberitahu.
Rangga agak tersentak juga mendengarnya. Buru-buru dia
membungkuk memberi hormat. Prabu Galung hanya tersenyum dengan tangan
mengelus-elus janggutnya yang putih panjang.
"Maaf, hamba tidak mengenali Gusti Prabu," ucap
Rangga merendah.
"Tidak mengapa, Anak Muda. Aku tahu tentang dirimu.
Kehadiranmu memang sangat kuharapkan. Hanya kau yang dapat kuandalkan untuk
menghadapi mereka," kata Prabu Galung bijaksana.
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas. Dari sudut
ekor matanya, diliriknya Patih Giling Wesi.
"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara berdua saja
dengan Rangga?" pinta Patih Giling Wesi seraya memberi hormat.
"Silakan, Paman Patih."
"Hamba, Gusti."
Patih Giling Wesi menjura memberi hormat dengan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu
melangkah menghampiri Rangga. Kedua orang itu berjalan menjauh. Mereka baru
berhenti setelah berada di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sementara
para panglima memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk beristirahat Prabu
Galung sendiri kemudian beristirahat, duduk di bawah pohon rindang beralaskan
permadani tebal berbulu halus.
***
ENAM
"Aku tahu, apa yang akan kau tanyakan padaku,
Rangga," kata Patih Giling Wesi mendahului.
"Kau mempermainkan aku, Paman," agak dingin suara
Rangga.
"Sama sekali tidak, Rangga."
"Lantas, mengapa berpura-pura tidak tahu tentang Prabu
Galung?"
"Aku memang tidak tahu sama sekali di mana Prabu Galung
berada ketika itu," tenang suara Patih Giling Wesi.
"Mustahil!" rungut Rangga seraya mengalihkan
pandangannya pada Prabu Galung.
"Kau berhak untuk marah, Rangga. Kau memang patut marah
karena aku meninggalkanmu tanpa memberitahu lebih dulu."
Rangga diam saja.
"Pagi-pagi sekali, saat kau belum bangun, aku sudah
berjalan-jalan mencari makanan untuk kita. Di saat itu, kulihat seseorang
merunduk-runduk di antara semak belukar. Aku memergokinya, dan ternyata dia
Panglima Jamali. Dari Panglima Jamali lah aku tahu di mana Prabu Galung berada.
Saat itu, Panglima Jamali juga tengah berburu. Maaf, kalau aku tidak sempat
memberitahukanmu lebih dahulu. Karena...."
"Kenapa?" desak Rangga.
"Aku terlalu gembira mendengar Prabu Galung masih hidup
bersama dua ratus prajurit, panglima, dan punggawa. Serta para pembesar
kerajaan lainnya yang sempat melarikan diri begitu Istana Galung jatuh. Aku
jadi lupa denganmu, Rangga. Maaf...," ada nada penyesalan pada suara Patih
Giling Wesi.
Rangga menatap pada laki-laki gemuk itu, kemudian tersenyum
memaklumi. Perasaan kesal yang diawali dengan kecemasan, langsung pupus
seketika.
"Kau memaafkan aku, Rangga...?" ucap Patih Giling
Wesi berharap.
"Lupakan saja," sahut Rangga seraya tersenyum.
"Terima kasih."
"Paman, kulihat tampaknya sudah siap tempur. Apakah
memang...."
"Benar, Rangga," Patih Giling Wesi memutuskan
kata¬kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami memang telah bertekad untuk merebut kembali
Istana Galung. Hampir seluruh prajurit yang tercecer sudah berkumpul kembali.
Memang masih banyak juga yang belum diketahui nasibnya. Tapi aku yakin, pasti
mereka akan segera bergabung di Kerajaan Galung."
Rangga terdiam. Dipandangi para prajurit yang sedang
beristirahat, kemudian pandangannya beralih ke arah Prabu Galung yang sudah
bangkit berdiri. Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah putih itu melangkah
menghampiri Patih Giling Wesi dan Pendekar Rajawali Sakti. Patih Giling Wesi
dan Rangga segera memberi hormat.
"Apakah sudah selesai pembicaraan kalian, Paman
Patih?" tanya Prabu Galung lembut.
"Ampun, Gusti Prabu. Perjalanan ini agak terhambat
sedikit," ujar Patih Giling Wesi bersikap penuh hormat.
"Tidak mengapa, Paman Patih. Dan kau, Rangga. Sungguh
kuharapkan bantuanmu untuk bergabung bersama kami semua," Prabu Galung
beralih menatap pada Rangga.
"Dengan senang hati. Tapi hamba tidak bisa berangkat
bersama-sama," sahut Rangga hormat.
"Aku maklum, Rangga. Dan sebelumnya kuucapkan terima
kasih atas kesediaanmu."
"Silakan, jika Gusti Prabu hendak meneruskan perjalanan
ini."
Patih Giling Wesi melambaikan tangannya. Dua orang prajurit
menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi
segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, diikuti para prajurit,
panglima, serta punggawa. Rangga bergerak ke samping memberi jalan.
"Sampai bertemu lagi di Istana Galung, Pendekar
Rajawali Sakti!" ucap Prabu Galung memberi salam. Rangga hanya
membungkukkan tubuhnya sedikit.
Prabu Galung menghentakkan tali kekang kudanya. Kuda putih
dengan kaki hitam itu meringkik nyaring, kemudian berlari cepat. Patih Giling
Wesi segera menggebah kudanya, diikuti oleh para prajurit Kerajaan Galung. Debu
berkepul kembali di udara, tersepak kaki¬kaki kuda yang berjumlah ratusan itu.
Sementara Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi ratusan prajurit
yang mengiringi rajanya.
"Suiiit..!" Rangga bersiul nyaring bernada aneh.
Rajawali Putih yang memang masih menunggu di atas, langsung menukik turun. Pada
saat itu, rombongan Prabu Galung sudah tidak terlihat lagi. Rajawali Putih
mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya terangguk-angguk, dan sayapnya
mengepak beberapa kali.
"Ada apa?" tanya Rangga seraya mendekati.
"Khraghk!" Rajawali Putih menunjuk ke arah
Kerajaan Galung dengan kepalanya.
"Jelaskan lagi," pinta Rangga mencoba untuk
mengerti.
Rajawali Putih membuat gerakan-gerakan menggunakan kepala
dan sayapnya. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut dalam.
"Kau melihat Rajawali Hitam di sana?" Rangga ingin
memastikan.
"Khraghk!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya.
"Aneh..., mau apa dia di sana...?" Rangga
bertanya¬ tanya sendiri.
"Khraghk...!"
"Baik. Secepatnya kita ke sana sebelum Prabu Galung
sampai."
Pendekar Rajawali Sakti itu segera melompat naik ke punggung
Rajawali Putih. Dan seketika itu, rajawali raksasa itu melesat naik membumbung
tinggi ke angkasa. Suaranya begitu keras memekakkan telinga. Lesatannya
bagaikan kilat menuju Kerajaan Galung.
"Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!" seru Rangga
keras.
"Khraghk...!"
***
Sementara itu Prabu Galung, Patih Giling Wesi, dan para
prajuritnya telah sampai di perbatasan Kerajaan Galung. Dua orang penjaga
gerbang perbatasan, tewas tersambar anak panah yang dilepaskan salah seorang
prajurit. Ratusan orang berkuda itu, terus memacu cepat kudanya memasuki
Kotaraja Kerajaan Galung.
Derap kaki kuda yang dipacu cepat, menimbulkan suara
bergemuruh bagai gempa. Bumi Kerajaan Galung bagai bergetar dengan debu
mengepul tinggi ke angkasa. Seluruh rakyat Galung yang mengetahui kalau itu
adalah Prabu Galung dan para prajuritnya, langsung berhamburan keluar.
Laki-laki tua dan muda serentak bergabung membawa senjata seadanya.
Prabu Galung tidak dapat menahan keharuannya melihat
semangat rakyatnya yang begitu besar, meskipun hanya membawa senjata seadanya.
Mereka tidak peduli, siapa yang akan dihadapinya. Pekik dan sorak-sorai
pembangkit semangat bergemuruh bagai hendak mengguncang langit siang ini. Tanpa
disadari, setetes air bening menitik dari sudut mata Prabu Galung.
"Gusti...," tegur Patih Giling Wesi pelan.
"Oh...!" Prabu Galung buru-buru menghapus air
matanya.
"Ada apa, Paman Patih?"
"Rakyat semakin banyak memasuki barisan," kata
Patih Giling Wesi.
"Hhh...! Sudah cukup lama mereka menderita, Paman
Patih. Aku tidak bisa mencegah mereka untuk mengangkat senjata demi
mempertahankan Kerajaan Galung ini," agak tersendat suara Prabu Galung.
"Tapi itu akan memakan banyak korban sia-sia,
Gusti," debat Patih Giling Wesi.
"Lihatlah, Paman Patih! Mereka begitu bersemangat,
tanpa mengenal takut! Bisa kurasakan kobaran api semangat mereka untuk keluar
dari lembah penderitaan. Biarkan mereka mengangkat senjata, Paman Patih.
Biarkan mereka merasakan ikut memiliki Kerajaan Galung ini, yang memang milik
mereka. Aku bangga dengan rakyatku," kata Prabu Galung demikian tegas.
"Gusti...."
"Jangan halangi mereka, Paman Patih. Mata kita jangan
buta terhadap kenyataan yang ada. Tanpa rakyat, kita bukanlah apa-apa,"
sergah Prabu Galung cepat.
Patih Giling Wesi diam seketika. Kata-kata Prabu Galung yang
bernada tegas itu, memang tidak dapat dibantah lagi. Tanpa rakyat, mereka
memanglah bukan apa-apa. Dan sekarang rakyat telah bangkit semangatnya untuk
mengusir orang-orang berhati iblis yang kini masih menguasai seluruh Kerajaan
Galung. Meskipun Patih Giling Wesi tidak ingin rakyat ikut bertempur, tapi
rasanya sulit untuk mencegahnya.
Semakin dalam memasuki kotaraja, semakin banyak saja rakyat
yang ikut dalam barisan ini. Tapi mereka patuh terhadap perintah panglima yang
mengaturnya untuk berada dalam barisan di belakang para prajurit. Memang hanya
itu yang dapat dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sia-sia, meskipun hal
itu sangat sulit untuk dihindarkan.
Rombongan yang kini berjumlah ribuan itu, tiba di depan
pintu gerbang Istana Kerajaan Galung. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal
dan kokoh, masih tertutup rapat. Di atas benteng tembok yang tinggi tebal,
terlihat orang-orang dengan panah siap dilesatkan.
"Mundur...!" seru Prabu Galung keras.
Saat itu juga dari atas tembok benteng, meluncur anak panah
berjumlah ratusan bagai hujan. Rakyat dan prajurit yang berada di sekitar
benteng istana itu serentak berlarian mundur. Tapi beberapa di antaranya tidak
sempat lagi menyelamatkan diri. Anak panah yang bertaburan bagai hujan itu,
segera minta korban para prajurit dan rakyat yang berbaur menyelamatkan diri.
Tahan...!" teriak Patih Giling Wesi keras, berusaha
mengalahkan teriakan panik dan jerit kematian.
Para prajurit yang sudah berada dalam jangkauan panah,
segera berhenti berlari. Mereka pun melindungi rakyat yang berada di bagian
belakang. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi berada di punggung kudanya,
bersama beberapa panglima. Mereka memandang ke arah benteng istana, namun hujan
panah sudah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana, Paman Patih? Kelihatannya mereka sudah siap
menyambut kita," kata Prabu Galung meminta pertimbangan.
Tidak mudah mendekatinya, Gusti Prabu," sahut Patih
Giling Wesi setengah bergumam.
"Kalau begitu, perintahkan seluruh prajurit untuk
mengepung. Kita tunggu saat yang tepat untuk menyerang," perintah Prabu
Galung.
Patih Giling Wesi membagi tugas kepada para panglima perang
yang kemudian segera dilaksanakan tugas itu untuk mengatur pengepungan. Sebuah
tenda besar didirikan untuk tempat beristirahat Prabu Galung. Memang kalau
melihat kokohnya benteng istana, dan ditambah orang-orang yang siap dengan
panah di atasnya, tidak mudah untuk masuk ke dalam benteng istana itu.
Sementara para panglima perang sibuk mengatur prajurit
mengepung benteng istana itu. Patih Giling Wesi sendiri segera menghampiri
tenda besar tempat Prabu Galung beristirahat di situ. Namun belum juga kakinya
sampai di depan pintu tenda, entah kenapa kepalanya mendongak. Dan pada saat
itu terlihat dua bayangan hitam dan putih saling sambar di udara. Patih Giling
Wesi tertegun menyaksikan dua bayangan itu.
"Hm..., apa itu...?" gumamnya dalam hati.
Dua bayangan hitam dan putih yang berkelebatan saling sambar
di angkasa tinggi itu, memang sukar untuk dikenali bentuknya. Patih Giling Wesi
sampai tertegun menyaksikannya, hingga tidak menyadari kalau Prabu Galung sudah
keluar dari dalam tenda ikut memandang ke atas juga. Keningnya langsung
berkerut dalam begitu melihat kelebatan dua bayangan bagai kilat di angkasa.
"Apa itu, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.
"Oh! Gusti...,"Patih Giling Wesi terkejut.
"Entahlah...."
"Hm...," Prabu Galung menggumam tidak jelas.
Diam¬diam dikerahkan satu ajian untuk melihat jarak jauh. Ajian yang dinamakan
'Sepasang Mata Dewa' itu memang ampuh, dapat melihat dalam jarak yang sangat
jauh. Bahkan dapat mengenali satu gerakan yang sangat cepat sekalipun. Aji
'Sepasang Mata Dewa' memang hampir mirip dengan aji 'Tatar Netra' ataupun aji
'Mata Dewa Elang' yang dimiliki Rangga. Namun aji 'Sepasang Mata Dewa' hanya
bisa untuk melihat jarak jauh dengan jelas dan menajamkan penglihatan saja.
"Sepasang Rajawali...," desis Prabu Galung begitu
melihat jelas bayangan yang berkelebatan di angkasa itu.
"Apa, Gusti...?" tanya Patih Giling Wesi.
"Dua burung rajawali raksasa. Yang satu berwarna putih
keperakan, dan satunya lagi hitam pekat. Hm...," kelopak mata Prabu Galung
agak menyipit.
"Ada apa, Gusti?" tanya Patih Giling Wesi lagi.
"Sukar dipercaya...," Prabu Galung
menggeleng¬-gelengkan kepalanya.
"Gusti...."
"Apakah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti
itu mempunyai tunggangan burung rajawali raksasa, Paman Patih?" tanya
Prabu Galung.
"Hamba tidak mengerti maksud Gusti Prabu."
"Rangga ada di atas burung rajawali putih," pelan
suara Prabu Galung, seperti tidak percaya dengan perkataannya sendiri.
"Rangga...?!" Patih Giling Wesi terperanjat tidak
percaya.
"Kau pimpin pasukan di sini!" perintah Prabu
Galung tiba-tiba.
"Gusti...!"
Tapi Prabu Galung sudah melesat cepat ke arah Selatan. Pada
saat itu, dua bayangan hitam dan putih di angkasa sudah lebih dahulu melesat ke
arah yang sama. Tampak kalau bayangan hitam berada di depan. Sementara Patih
Giling Wesi hanya terpaku tanpa mampu berbuat sesuatu.
Prabu Galung kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya,
bertepatan dengan menghilangnya dua bayangan di angkasa ke arah Selatan. Patih
Giling Wesi menoleh ke sekitarnya. Dia agak kaget mendapatkan para panglima
juga melihat kejadian aneh di angkasa tadi.
"Panglima Jamali," panggil Patih Giling Wesi.
"Hamba, Gusti," seorang laki-laki setengah baya
bergegas menghampiri.
"Sementara kau ambil alih pimpinan. Jangan melakukan
sesuatu sampai aku kembali."
"Gusti...."
"Ini perintah!"
"Hamba, Gush."
Patih Giling Wesi tidak banyak bicara lagi, lalu segera
melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh menuju arah Selatan.
Sementara Panglima Jamali dan panglima lainnya hanya bisa saling pandang.
***
Sementara itu, apa yang dilihat Prabu Galung memang benar.
Dua bayangan yang melayang di angkasa adalah Sepasang Rajawali. Rajawali Putih
ditunggangi Rangga, sedangkan Rajawali Hitam ditunggangi seseorang yang selalu
mengenakan baju hitam dan cadar hitam pula.
"Dia turun ke padang rumput sana, Rajawali Putih!"
seru Rangga keras. Tangannya menunjuk Rajawali Hitam yang menukik ke arah
padang rumput di tengah-tengah Hutan Krambang.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih segera menukik turun mengejar Rajawali Hitam.
Dan kedua burung raksasa itu kini mendarat ringan di tengah-tengah padang
rumput yang sangat luas. Mereka saling berhadapan, dan penunggangnya melompat
turun ke depan.
"Aku tidak tahu, apakah kau berpihak pada mereka atau
tidak. Tapi yang jelas kau telah menghalangi maksudku, dan membiarkan rakyat
Galung terbantai!" dingin nada bicara orang berbaju serba hitam itu. Jelas
itu suara seorang wanita.
"Nisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak
terkejut juga mendengar kata-kata wanita itu.
"Aku Putri Rajawali Hitam!" jawab wanita itu
tegas.
"Lalu, apa hubunganmu dengan Kerajaan Galung?" desak
Rangga.
"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Kau berurusan dengan Kerajaan Galung, itu berarti juga
berurusan denganku."
Wanita berbaju serba hitam yang bernama Putri Rajawali Hitam
itu terdiam beberapa saat. Dari lubang cadar yang menutupi sebagian wajahnya,
terlihat sepasang bola mata bening berkilat menatap wajah Pendekar Rajawali
Sakti.
"Kenapa kau selalu memburuku, Pendekar Rajawali
Sakti?" Putri Rajawali Hitam malah balik bertanya.
"Bukan dirimu, tapi Rajawali Hitam tungganganmu!"
sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha...!" Putri Rajawali Hitam malah tertawa
terbahak-bahak.
"Hey! Kenapa tertawa?!" sentak Rangga sengit.
"Kau bodoh, Pendekar Rajawali Sakti. Sukar dipercaya
kalau kau begitu bodoh!"
"Bukan saatnya berolok-olok, Nisanak!" rungut
Rangga.
"Aku kenal siapa dirimu, dan tidak lagi terkejut dengan
Rajawali Putih tungganganmu itu. Aku tahu banyak tentang dirimu, dan Rajawali
Putih, serta hubungannya dengan Rajawali Hitam. Benar-benar mengagumkan....
Pendekar digdaya yang ternama dari sukar dicari tandingannya begitu bodoh,
tidak bisa melihat kenyataan," kata Putri Rajawali Hitam seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?"
Rangga jadi tambah penasaran.
"Maaf, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Aku harus
segera kembali ke Istana Galung. Aku tidak ingin melihat darah membasahi bumi
Kerajaan Galung dari orang-orang tidak berdosa," kata Putri Rajawali Hitam
tegas.
"Hey, tunggu...!"
Tapi Putri Rajawali Hitam sudah lebih dulu melompat naik ke
punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dan dengan cepat, burung rajawali
raksasa itu melesat naik ke angkasa, langsung menuju ke Istana Kerajaan Galung.
Sebentar Rangga diam tertegun. Dia baru melompat naik ke punggung Rajawali
Putih setelah kepala burung itu mendorong punggungnya.
Tapi belum juga Rajawali Putih itu membumbung tinggi ke
angkasa, dari arah Utara muncul Prabu Galung. Rangga tidak sempat lagi
memerintahkan Rajawali Putih untuk terbang. Sedangkan Prabu Galung begitu
terpana melihat seekor burung raksasa dengan seorang pemuda berada di
punggungnya. Dia sampai berhenti lalu berdiri terpaku dengan mulut menganga
lebar.
"Rangga...," desis Prabu Galung hampir tidak
percaya.
Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih, lalu
melangkah menghampiri Raja Kerajaan Galung itu. Prabu Galung masih berdiri
terpaku memandang burung raksasa, karena masih belum percaya dengan
penglihatannya. Seumur hidup, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu!
"Maaf, Gusti Prabu. Kita harus cepat ke Istana
Galung," ajak Rangga.
Prabu Galung masih belum bisa mempercayai dirinya. Rangga
segera menarik tangannya, lalu dengan cepat mereka melompat naik ke punggung
Rajawali Putih. Prabu Galung berada di depan, dan sesaat kemudian ia hampir
menjerit begitu Rajawali Putih membumbung ke angkasa.
***
TUJUH
Sementara itu di dalam benteng Istana Galung, orang-orang
yang menguasai istana itu menjadi kalang-kabut mendapat gempuran dahsyat dari
seekor burung hitam raksasa. Putri Rajawali Hitam mengamuk sambil
mengibas¬-ngibaskan pedangnya yang bergagang kepala burung dan berwarna hitam
di atas punggung Rajawali Hitam. Pedang itu menyambar-nyambar cepat, sehingga,
orang-orang di dekatnya kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri.
"Khraghk...!"
Tiba-tiba saja di angkasa terdengar suara keras serak memekakkan
telinga. Tampak seekor burung Rajawali Putih raksasa meluruk turun, langsung
membantu Rajawali Hitam. Rangga dan Prabu Galung bergegas melompat turun dari
punggung Rajawali Putih. Kedatangan Rangga dan Prabu Galung yang menunggang
burung Rajawali Putih raksasa, membuat suasana di dalam benteng istana itu
semakin kacau.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga mencabut Pedang Rajawali
Sakti. Dan dengan cepat dia melompat ke arah pintu benteng yang kokoh. Pedang
berwarna biru berkilau itu berkelebat cepat menghajar pintu benteng itu.
Glarrr...!
Sebuah ledakan keras membuat pintu benteng dari kayu jati
tebal itu hancur berkeping-keping. Rangga membalikkan tubuhnya, maka
terlihatlah Putri Rajawali Hitam telah turun dari punggung Rajawali Hitam tunggangannya.
Dia mengamuk bagai singa betina terluka. Setiap orang yang berani mendekati,
tewas terbabat pedang hitam bergagang kepala burung itu.
Sementara Prabu Galung pun telah bertarung menggunakan
pedang berwarna keperakan yang berkelebat cepat bagai kilat. Setiap kibasannya
pasti mengambil nyawa. Tidak terhitung lagi, berapa tubuh yang ambruk bersimbah
darah. Saat itu dari luar terdengar teriakan-teriakan bergemuruh. Ternyata
berasal dari orang¬-orang berpakaian seragam prajurit yang menyerbu masuk melalui
pintu benteng yang sudah jebol berantakan. Tampak Panglima Jamali memimpin para
prajurit Kerajaan Galung.
Denting senjata, teriakan pertempuran, dan jerit menyayat
berbaur menjadi satu, membuat seluruh angkasa Kerajaan Galung bagai terbelah.
Tubuh-tubuh bersimbah darah, ambruk bergelimpangan tak bernyawa.
Saat itu, Rangga yang tengah bertarung dengan beberapa
orang, sempat melihat empat perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis
Neraka berdiri di tengah istana bersama seorang pemuda berwajah tampan, namun
sorot matanya terlihat bengis.
Rangga segera melesat begitu melihat Putri Rajawali Hitam
sudah melompat cepat ke arah Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban. Hampir
bersamaan, Putri Rajawali Hitam dan Pendekar Rajawali Sakti menjejak tepat di
depan tangga istana. Mereka berdiri berjajar dengan pedang sama-sama menyilang
di depan dada.
Bukan hanya Rangga, tapi juga Empat Bayangan Iblis Neraka
dan Kalaban pun terperanjat kaget. Sikap Putri Rajawali Hitam begitu sama
dengan sikap Pendekar Rajawali Sakti dalam hal memegang pedang.
Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka semua, Putri
Rajawali Hitam sudah melompat menyerang. Rangga langsung tersadar dari rasa
kaget dan herannya. Dia pun segera melompat menyerang lima orang yang menjadi
pangkal kerusuhan di Kerajaan Galung ini.
Rangga yang menghadapi Kalaban, masih sempat melihat Putri
Rajawali Hitam yang bertarung melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Hampir tidak
dipercaya kalau wanita itu, menggunakan jurus-jurus dari rangkaian 'Lima Jurus
Rajawali Sakti'. Tentu saja Rangga mengenali jurus-jurus itu, karena juga
memilikinya.
Hal ini menjadikan Pendekar Rajawali Sakti terpecah
perhatiannya. Sungguh tidak dilihat kalau Kalaban melepaskan senjata rahasia
dengan cepat. Rangga terperangah sejenak, lalu buru-buru melompat menghindar.
Namun gerakannya terlambat. Senjata rahasia berupa ruyung kecil itu menancap di
bahu kiri.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.
Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ruyung kecil yang
menancap itu ternyata mengandung racun yang sangat kuat. Dan itu sangat
dirasakan Rangga. Bergegas dikerahkan hawa murni dari pusat tubuhnya, kemudian
dicabutnya ruyung itu. Darah kental kehitaman mengucur dari luka di bahu
kirinya.
"Hup, yaaah...!"
Disertai teriakan nyaring, Rangga melompat sambil
mengibaskan pedang pusakanya ke arah leher Kalaban. Namun pemuda tampan berhati
telengas itu mampu berkelit menghindari tebasan pedang itu. Bahkan masih mampu
pula memberikan satu sodokan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah perut
Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!" Rangga menarik perutnya ke belakang, lalu
dengan cepat dihentakkan tangan kirinya memapak sodokan tangan kanan itu.
"Akh!" Kalaban terpekik tertahan begitu tangannya
berbenturan dengan tangan kiri Rangga.
Tenaga dalam yang dimiliki Kalaban memang berada di bawah
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau harus memekik saat tangannya beradu
dengan tangan Rangga. Sambil melompat mundur, Kalaban melontarkan tiga senjata
rahasianya.
"Hiya, hiya, hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga berkelit dengan melompat ke atas. Dua kali dia
berputar di udara, kemudian meluruk deras ke arah Kalaban sambil mengerahkan
jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Serangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan
tidak terduga sama sekali, sehingga Kalaban tak sempat menghindar lagi. Tidak
ada pilihan lain baginya.
"Hup, hiyaaa...!"
Kalaban mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek yang
kedua ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia. Cepat sekali diayunkan
tongkat pendek itu untuk memapak Pedang Rajawali Sakti.
Trang!
"Akh...!" Kalaban memekik keras.
Pemuda itu sampai terlontar jauh ke belakang. Dan senjata
kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian. Seluruh tubuhnya bergetar.
Lebih-lebih tangannya yang serasa mati, sukar digerakkan lagi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" pekik Rangga keras.
Kalaban hanya bisa terperangah melihat Rangga sudah melompat
sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Pedangnya
berputar cepat membuat lingkaran biru yang menyilaukan mata. Rangga meluruk
deras bagai anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya serangan Rangga,
sehingga kali ini Kalaban sulit untuk berkelit.
Dan pada saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir
menebas leher Kalaban, satu bayangan merah berkelebat cepat memapak laju pedang
itu.
Tring!
"Akh!" terdengar satu pekikan keras, disusul
terpentalnya bayangan merah itu.
Rangga juga melompat ke belakang beberapa tindak, sedangkan
pedangnya menyilang di depan dada. Saat itu Kalaban bergegas mundur begitu
nyawanya selamat dari maut. Tapi tidak jauh dari pemuda itu terlihat Rara Merah
menggelepar dengan perut sobek mengucurkan darah segar!
Rupanya waktu memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti,
posisi Rara Merah terlalu dekat. Akibatnya, ujung pedang Rangga berhasil
merobek perutnya setelah mematahkan tongkatnya. Kalaban yang melihat salah satu
dari gurunya menggelepar dengan perut sobek, semakin merah padam wajahnya.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
"Keparat! Kau harus membayar nyawa guruku!" geram
Kalaban.
Kematian Rara Merah ternyata juga membuat tiga dari Empat
Bayangan Iblis Neraka marah. Mereka serentak berlompatan menerjang Pendekar
Rajawali Sakti tanpa mempedulikan Putri Rajawali Hitam. Kini Rangga harus
menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Setan! Rupanya mereka lebih tertarik pada
Rangga...!" gerutu Putri Rajawali Hitam.
Putri Rajawali Hitam hanya bisa diam menyaksikan pertarungan
itu. Dari sinar matanya terpancar sesuatu yang sukar diartikan. Bahkan sampai
tidak berkedip memandangi setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya
beralih ketika mendengar suara pekikan serak menggelegar dari angkasa.
Tampak dua ekor burung rajawali raksasa tengah berkelebatan
cepat menyambar anak buah Kalaban. Dan ini membuat prajurit-prajurit Kerajaan
Galung jadi menganggur. Mereka hanya jadi penonton, menyaksikan Sepasang
Rajawali membantai orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Lebih-lebih
Prabu Galung yang berdiri didampingi para panglimanya. Dia masih juga belum
percaya penuh dengan yang disaksikannya kini.
"Khraghk!"
"Grahk...!"
Orang-orang yang merasa tidak mampu menghadapi Sepasang
Rajawali itu berusaha melarikan diri. Tapi para prajurit yang memang sudah
siaga penuh, tidak membiarkannya begitu saja. Mereka yang mencoba melarikan
diri, tak pelak lagi terbantai senjata prajurit Kerajaan Galung.
Sementara itu Rangga masih bertarung melawan empat orang
yang menggempurnya dengan kemarahan meluap dalam dada. Jurus-jurus yang
digunakan pun sudah mencapai tingkat tinggi Yang terlihat kini hanya
bayangan¬-bayangan berkelebat cepat saling sambar. Tapi bagi Putri Rajawali
Hitam, setiap gerakan pertarungan itu dapat dilihat jelas. Matanya tidak
berkedip memandangi Rangga yang kelihatannya masih mampu menghadapi empat orang
lawannya itu.
Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu memberi serangan
balasan yang tidak terduga. Entah sudah berapa jurus dilewati, namun
pertarungan masih kelihatan sengit. Sementara Sepasang Rajawali telah
menyelesaikan pertarungannya. Tidak ada seorang pun pengikut Empat Bayangan
Iblis Neraka dan Kalaban yang dibiarkan hidup. Mereka yang lolos dari Sepasang
Rajawali, pasti tewas di tangan para prajurit.
"Hm..., aku yakin. Pendekar Rajawali Sakti tidak butuh
bantuan. Tapi mereka musuhku. Tidak pantas rasanya kalau diam menonton tanpa
berbuat sesuatu...," gumam Putri Rajawali Hitam dalam hati.
Saat itu memang Rangga berada di atas angin.
Serangan-serangannya begitu cepat dan tajam. Empat Bayangan Iblis Neraka yang
kini tinggal tiga orang ditambah Kalaban, seperti tidak berdaya menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Mereka selalu
terkecoh dan mendapat serangan balasan yang tidak terduga.
Berapa tidak? Gerakan Rangga demikian cepat, seolah¬olah
tubuhnya terpisah-pisah menjadi seribu banyaknya. Hal ini tentu saja membuat
lawan-lawannya menjadi kebingungan. Setiap kali mereka menyerang, selalu hanya
menemui bayangan Pendekar Rajawali Sakti saja. Karuan saja mereka jadi tidak
percaya diri.
Pada saat itu pula, Putri Rajawali Hitam masuk dalam kancah
pertempuran. Pedang hitamnya berkelebat cepat membabat ke arah dada Rara Biru.
Serangan Putri Rajawali Hitam yang cepat dan tidak terduga itu membuat Rara
Biru tidak sempat lagi berkelit...
"Akh...!" Rara Biru memekik keras tertahan.
Ujung pedang Putri Rajawali Hitam menggores dalam di dada
Rara Biru. Darah pun segera mengucur deras dari luka yang panjang dan dalam
itu. Rara Biru terhuyung¬huyung ke belakang. Dan selagi terhuyung, satu
tendangan menggeledek yang dilepaskan Putri Rajawali Hitam, telak menghantam
dadanya.
"Aaa...!" Rara Biru memekik keras melengking.
Seketika tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Keras sekali tubuhnya membentur dinding tembok benteng istana, hingga tembok
yang tebal itu hancur berkeping-keping. Hanya sebentar Rara Biru meregang
nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat...!" geram Kalaban.
Kalaban cepat melompat menerjang Putri Rajawali Hitam yang
masih memandangi Rara Biru. Terjangan Kalaban begitu cepat, sehingga tidak
diduga sebelumnya. Kaki kanan Kalaban mendarat telak di punggung Putri Rajawali
Hitam. Wanita yang wajahnya selalu ditutupi oleh cadar hitam itu terjungkal
keras.
Beberapa kali Putri Rajawali Hitam bergulingan di tanah,
tapi cepat bangkit kembali walaupun dengan tubuh limbung. Dua kali wanita itu
memuntahkan darah kental kehitaman. Pandangan matanya pun berkunang-kunang.
Sementara Kalaban sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Kalaban keras.
"Khraghk...!"
"Akh!" Kalaban memekik terperanjat.
Rajawali Hitam tanpa diduga dengan cepat menyambar tubuh
Kalaban, sehingga pemuda itu terlempar jauh beberapa tombak. Segera dia bangkit
kembali dan berdiri tegak.
"Khraghk...!" pekik Rajawali Hitam keras.
Trak!
Kalaban mencabut sebatang tongkat pendek berwarna perak dari
balik ikat pinggangnya. Dipegangnya ujung-ujung tongkat itu, lalu ditarik
hingga panjangnya sama dengan rentangan tangan. Kalaban memutar-mutar
tongkatnya bagai baling-baling. Dan pada saat itu, Rajawali Hitam sudah meluruk
deras ke arahnya sambil berkaokan keras memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Kalaban mengebutkan tongkatnya
disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Ujung tongkat yang berbentuk
bulat itu memancarkan cahaya merah jingga.
"Khraghk...!"
Satu pekikan keras terdengar dari Rajawali Hitam. Tongkat
Kalaban bersarang telak di dada Rajawali Hitam, sehingga burung raksasa itu
terjajar ke belakang.
"Rajawali.... Oh, tidak...!" pekik Putri Rajawali
Hitam histeris.
Putri Rajawali Hitam bergegas memburu burung rajawali
raksasa miliknya itu. Burung raksasa itu menggeletak di tanah sambil menggerung
lirih. Putri Rajawali Hitam memeluk kepala burung itu, dan memeriksa dada yang
terkena pukulan tongkat Kalaban tadi.
"Ha ha ha...!" Kalaban tertawa terbahak-bahak.
"Iblis! Kubunuh, kau!" geram Putri Rajawali Hitam.
Kalaban masih tertawa terbahak-bahak sambil menyandang
tongkatnya di pundak. Sementara Putri Rajawali Hitam telah bangkit berdiri.
Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Bola matanya bernyala¬-nyala bagai
hendak membakar pemuda itu. Sementara Rajawali Hitam mendekam dengan kepala
tertunduk. Sementara itu, Rajawali Putih pun menghampiri, dan mematuki dada
Rajawali Hitam. Entah apa yang diperbuat Rajawali Putih. Yang jelas, Rajawali
Hitam membuka kembali matanya seraya mengangkat kepalanya.
Pada saat itu Putri Rajawali Hitam sudah melompat menerjang
Kalaban. Pedang yang berwarna hitam pekat dalam genggamannya, berkelebat cepat
membentuk putaran. Kalaban memang sudah siap menghadapi wanita berbaju hitam
dengan cadar menutupi wajahnya itu.
"Mampus kau, setan! Hiyaaat...!" teriak Putri
Rajawali Hitam keras.
"Hait"
Kalaban mengibaskan tongkatnya memapak serangan pedang Putri
Rajawali Hitam. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Kalaban
melontarkan satu tendangan keras dan langsung mendarat di perut wanita itu.
Putri Rajawali Hitam memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang.
Tapi wanita itu kembali menerjang dengan ganas. Sementara di
tempat lain, Pendekar Rajawali Sakti masih bertarung melawan dua orang
perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan di sekitar arena
pertarungan itu. Prabu Galung yang didampingi panglimanya, berdiri
memperhatikan. Sedangkan di pihak lain para prajurit tetap berjaga-jaga.
***
DELAPAN
Meskipun menghadapi dua tokoh sakti berilmu tinggi, Rangga
masih sempat membagi perhatiannya pada pertarungan Kalaban melawan Putri
Rajawali Hitam. Dia agak cemas juga melihat Putri Rajawali Hitam tampak
kewalahan menghadapi Kalaban.
"Aku harus cepat mengakhiri pertarungan ini,"
gumam Rangga dalam hati.
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya.
Langsung dikeluarkan jurus andalannya, yaitu 'Pedang Pemecah Sukma'. Memang
dalam beberapa gebrakan saja, kedua tokoh hitam itu kewalahan menghadapi jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Untungnya mereka masih bisa mengimbangi. Bahkan kini
pertarungan kembali seimbang. Rangga tidak punya pilihan lain lagi, dan...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriaknya keras.
Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menggosok telapak tangannya ke mata
pedang. Maka cahaya biru pun menggumpal di ujung Pedang Rajawali Sakti itu.
Namun dengan cepat, dimasukkan pedang ke dalam warangkanya. Kini cahaya biru
itu menggumpal di kedua telapak tangannya.
"Hiyaaa...!"
Rangga langsung melompat bagai seekor burung rajawali hendak
menerkam mangsa. Tepat sekali telapak tangannya menangkap tangan kedua
perempuan tua itu. Rara Kuning dan Rara Hijau berusaha melepaskan cekalan itu.
Namun semakin kuat mereka mencoba, semakin sukar untuk melepaskannya. Bahkan
mereka merasakan kalau tenaganya kini tersedot keras.
Cahaya biru yang memancar dari tangan Rangga mulai
menyelimuti tubuh Rara Kuning dan Rara Hijau. Kedua wanita tua itu masih
menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat mereka
mengerahkan tenaga, semakin keras tenaga tersedot. Hingga pada satu saat,
Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Hasilnya tubuh kedua wanita tua itu
terlontar menyatu.
Cring!
Secepat kilat ditarik pedangnya ke luar. Dan kini dengan
cepat pula Pedang Rajawali Sakti berkelebat menebas tubuh kedua wanita itu
sekaligus. Tak ada lagi suara terdengar. Tubuh kedua wanita tua itu kontan
ambruk ke tanah dengan tubuh hampir terpisah!
Pada saat yang sama, Kalaban berhasil mendaratkan tongkatnya
ke tubuh Putri Rajawali Hitam. Wanita itu memekik keras, lalu tubuhnya limbung
ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan Kalaban. Satu tendangan
bertenaga dalam tinggi dengan cepat dilayangkan ke dada Putri Rajawali Hitam.
"Akh...!" Putri Rajawali Hitam memekik keras.
Wanita berbaju serba hitam itu terlontar deras ke belakang, dan hampir menabrak
tembok benteng. Untung saja Rajawali Hitam cepat merentangkan sayapnya yang
lebar. Putri Rajawali Hitam terdampar di sayap yang berbulu lebat dan lunak
itu. Tampak dari cadar yang menutupi wajahnya, merembes darah kental.
"Oh...,"Putri Rajawali Hitam merintih lirih.
"Kalaban! Akulah lawanmu!" seru Rangga keras
seraya melompat ke depan pemuda itu.
"Bagus! Rupanya kau juga ingin menyusul pasanganmu ke
neraka!" sambut Kalaban pongah.
Rangga sempat melirik Putri Rajawali Hitam yang menggeletak
merintih di samping Rajawali Hitam tunggangannya. Sementara di samping Rajawali
Hitam, mendekam pula Rajawali Putih yang tidak lepas-lepas memandangi
pasangannya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat berlama-lama memperhatikan
Sepasang Rajawali dan Putri Rajawali Hitam, karena Kalaban sudah menyerang
ganas.
"Hup, hiyaaa...!" seru Rangga menghadang serangan
Kalaban, langsung dengan aji Bayu Braja.
Seketika itu juga tubuh Kalaban terlontar jauh ke belakang
begitu kedua tangan Rangga menghentak ke depan. Kalaban berlompatan beberapa
kali di udara, dan masih dapat mendarat dengan kedua kakinya. Namun tubuhnya
terlihat limbung. Pemuda itu menggeleng¬-gelengkan kepalanya sesaat. Sebentar
dipandangi empat gurunya yang sudah terbujur tak bernyawa lagi.
Ada sedikit kegentaran dan perasaan dendam di hati Kalaban.
Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawannya. Tapi melihat empat
gurunya tewas, Kalaban tidak lagi peduli. Segera dihimpun kekuatannya dan
bersiap-siap untuk menyerang kembali.
"Haitt Yaaah....!" teriak Kalaban keras. Sambil
mengibaskan tongkatnya beberapa kali, Kalaban melompat deras menerjang Rangga.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti pun sudah siap dengan 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Tebasan tongkat Kalaban berhasil ditangkis dengan tangan kiri, lalu
dengan cepat disodoknya dada pemuda itu.
Buk!
"Akh!" kembali Kalaban memekik. Belum lagi Kalaban
bisa berbuat sesuatu, kembali satu pukulan telak jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Kalaban terpental jauh ke
belakang. Dan Rangga yang langsung mencabut pedangnya kembali, melompat cepat
seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh
Kalaban, sehingga tebasan pedang Rangga hanya menghantam tempat kosong. Begitu
cepatnya bayangan itu berkelebat, sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh
Kalaban telah lenyap tidak ketahuan bekasnya.
"Khraghk...!" Rajawali Hitam berkaokan keras.
Bagaikan kilat, burung raksasa. itu melesat ke angkasa
sambil menyambar tubuh Putri Rajawali Hitam yang masih tergeletak tak sadarkan
diri.
"Hey...!" Rangga terperanjat kaget.
"Rangga! Tunggu!" seru Prabu Galung tiba-tiba.
Rangga yang akan melompat ke atas punggung Rajawali Putih,
mengurungkan niatnya. Prabu Galung berlari-lari kecil menghampiri. Rangga
berdiri tegak di samping Rajawali Putih yang sudah lebih dulu menghampirinya.
Pada saat yang sama seekor kuda berpacu cepat memasuki
halaman istana. Ternyata penunggangnya adalah Patih Giling Wesi. Setelah
menghentikan kudanya, dia melompat turun, dan segera bersujud di depan Prabu
Galung. Namun Prabu Galung segera menyentuh pundaknya, lalu mengajaknya bangkit
berdiri.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud melepaskan
tanggung jawab. Hamba pergi menyusul Gusti Prabu karena khawatir akan
keselamatan Gusti," ucap Patih Giling Wesi.
"Sudahlah, Paman Patih. Keadaan sudah teratasi,"
sahut Prabu Galung bijaksana.
"Ampunkan hamba, Gusti...."
"Aku mengerti, Paman Patih."
Prabu Galung kembali mengalihkan perhatiannya pada Rangga
yang masih diam saja. Patih Giling Wesi yang baru mengangkat wajahnya, kontan
terlonjak kaget begitu melihat seekor burung rajawali raksasa berada di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Tapi,
pandangan Patih Giling Wesi tidak berkedip ke arah burung raksasa itu.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kuberikan padamu. Aku
benar-benar berhutang budi padamu...," ucap Prabu Galung.
"Itu sudah kewajibanku, Gusti Prabu," jawab Rangga
merendah.
"Tapi kau telah berjasa besar, dan itu patut diberi
hadiah."
"Terima kasih. Hanya saja tidak bisa kuterima karena
masih ada tugas yang harus kuselesaikan," tolak Rangga halus.
"Aku mengerti. Sebagai seorang pendekar, tugasmu cukup
banyak. Tapi...."
"Gusti. ljinkan aku segera pergi. Kalaban menghilang
dan harus kucari. Terus terang, aku pun masih harus mencari keterangan tentang
Putri Rajawali Hitam dan burung tunggangannya itu."
"Jadi..., kau tidak tahu siapa dia...?!" Prabu
Galung tidak percaya. Selama ini dia menganggap kalau Rangga dan orang
misterius itu adalah berpasangan.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gusti. Hamba pun juga mohon diri," selak Patih
Giling Wesi.
"Paman Patih, kau akan ke mana?"
"Ampun, Gusti. Hamba harus mencari Intan Kemuning.
Bagaimanapun juga, dia anak hamba satu-satunya. Kalaupun Intan Kemuning masih
hidup, hamba harus menemukannya. Dan kalau sudah mati, harus ada mayatnya.
Ampunkan hamba, Gusti."
"Paman Patih, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi
perlu kau ketahui, Kerajaan Galung sangat membutuhkan sumbangan tenaga dan
pikiranmu," ucap Prabu Galung pelan.
"Ampun, Gusti Prabu. Rasanya masih banyak tenaga muda
yang dapat diandalkan. Hamba sudah bertekad untuk mencari Intan Kemuning sampai
dapat."
Prabu Galung hanya bisa mendesah berat.
"Hamba pamit, Gusti," ucap Patih Giling Wesi
berpamitan.
"Baik, hati-hatilah. Dan kumohon, kembalilah dulu jika
sudah bertemu dengan anakmu," pesan Prabu Galung. Memang hanya itu yang
bisa diucapkannya.
Patih Giling Wesi memberi hormat, kemudian bergegas naik ke
punggung kudanya. Hanya sekali gebah saja, kuda itu sudah berpacu cepat
meninggalkan halaman Istana Galung. Prabu Galung hanya bisa memandangi dengan mata
berkaca-kaca. Dan dia baru menoleh begitu teringat pada Rangga. Tapi Prabu
Galung jadi celingukan, karena Pendekar Rajawali Sakti dan burungnya sudah
tidak ada lagi. Dia mendongak, maka tampaklah di angkasa burung rajawali
raksasa tengah melayang berputar-putar.
"Selamat jalan, Rangga...," desis Prabu Galung
melambaikan tangannya.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih itu langsung melesat cepat meninggalkan
Istana Galung. Sementara para prajurit telah sibuk mengangkuti mayat-mayat.
Sementara itu, Prabu Galung pun memerintahkan beberapa panglima agar menjemput
para pembesar dan keluarganya untuk kembali ke istana. Demikian pula dengan
keluarga istana yang masih berada di tempat pengasingan. Prabu Galung kemudian
melangkah menaiki anak-anak tangga istana.
Saat itu di angkasa, Rajawali Putih terbang menembus awan.
Rangga yang berada di atas punggungnya, memandang ke bawah. Sempat dilihatnya
Patih Giling Wesi yang memacu kudanya dengan cepat menembus Hutan Krambang.
Sementara Patih Giling Wesi mencari anak gadisnya, Rangga juga harus bisa
mengetahui siapa sebenarnya orang yang kini menguasai Rajawali Hitam. Siapa
sebenarnya dia? Bagaimana luka-lukanya? Dan siapa yang telah menyelamatkan
Kalaban dari hadapannya?
Emoticon