1
Malam
ini Gunung Sindoro murka. Suara
bergemuruh
dengan letupan-letupan berwarna
merah
membuat penduduk yang tinggal di sekitar
gunung
mulai kalang kabut. Batu-batu gunung,
pasir-pasir
membara berhamburan tinggi ke uda-
ra.
Lahar panas begitu cepat merambat, menerjang
apa
saja yang jadi penghalang.
Apakah
saat ini Tuhan ingin menunjukkan
kekuasaan-Nya?
Yang
jelas, gejolak alam yang tiba-tiba ini
membuat
penduduk kampung berbondong-
bondong
berlarian ke sana kemari untuk mencari
selamat.
Mereka berteriak-teriak memanggil sanak
saudara
sambil menyambar apa saja yang bisa
diselamatkan.
Jerit
tangis bocah kecil, suara-suara teria-
kan
saling tumpang tindih dengan gemuruh Gu-
nung
Sindoro. Sementara pasir dan awan panas
berhamburan
menyambar apa saja. Menyambar
pohon-pohon,
menyambar tubuh-tubuh tua yang
tak
kuasa berlari. Juga, menyambar penduduk
kampung
yang salah jalan.
Mengerikan!
Pohon-pohon
hangus terbakar diterjang la-
har
dan awan panas. Mayat-mayat mulai bercece-
ran
terlibas aliran lahar merah. Semua menyi-
ratkan
ketidakberdayaan manusia atas kuasa Tu-
han.
Tapi
kenapa sebagian manusia tak mau
berpikir?
Bahkan banyak manusia yang congkak,
yang
merasa dirinya paling sakti. Padahal, Tuhan
hanya
memberi mereka setitik ilmu....
Kalau
sudah begini, baru mereka menyebut
nama
Tuhan.
Ini
berlaku bagi semua orang. Termasuk,
orang-orang
dunia persilatan yang memiliki ke-
pandaian
tinggi. Mereka juga diliput perasaan ce-
mas
melihat Gunung Sindoro murka. Meski ke-
pandaian
mereka tinggi, tetap saja tak mampu
menghadapi
gejolak alam yang menggila.
***
Jauh
dari pusat kejadian tampak sebuah
bayangan
hitam tiba-tiba menghentikan langkah-
nya.
Badannya berbalik memperhatikan puncak
Gunung
Sindoro yang tengah murka dengan sinar
mata
ngeri. Mulutnya menggumam tak jelas. Na-
mun,
dari sinar matanya yang tegang bisa ditebak
kalau
sosok yang berpakaian serba hitam itu baru
saja
mengalami peristiwa luar biasa yang meng-
guncangkan
hati.
Dari
terangnya sinar bulan yang sesekali di-
tingkahi
semburan cahaya merah dari puncak gu-
nung
bisa terlihat kalau sosok itu adalah seorang
kakek
tua bertubuh amat kurus. Tubuhnya jang-
kung
hampir mencapai dua tombak. Matanya ber-
kilat-kilat
dengan raut wajah tirus.
Dari
rambut sampai kaki mengenakan ju-
bah
hitam yang disambung penutup kepala beru-
jung
lancip. Sekilas pandang wajah kakek renta ini
memang
amat mengerikan. Lebih lagi sepasang
matanya
yang hijau mencorong tajam, tak beralih
dari
puncak gunung yang tengah murka.
Siapakah
sebenarnya kakek tua renta ini?
Dia
tak lain dari Maling Tanpa Bayangan.
Karena
terdorong untuk melampiaskan dendam-
nya
kepada Siluman Ular Putih, membuat Maling
Tanpa
Bayangan pergi ke puncak Gunung Sindoro.
Untung
sekali nasibnya masih mujur. Kalau tidak,
jangan
harap dapat selamat dari semburan kawah
puncak
Gunung Sindoro. Untuk apa lelaki tua ini
ke
puncak Gunung Sindoro?
Konon
di puncak gunung itu tersimpan se-
buah
kitab milik Pengasuh Setan. Kitab Paguyu-
ban
Setan! Dengan mengambil dan mempelajari ki-
tab
itu, Maling Tanpa Bayangan berharap bisa
mengalahkan
Siluman Ular Putih.
Sebelum
berhasil mengambil kitab itu, Mal-
ing
Tanpa Bayangan bertarung habis-habisan me-
lawan
Telapak Gajah yang dibantu burung hantu
raksasa.
Namun tiba-tiba kedua pengeroyoknya itu
mengalami
kejadian luar biasa. Tubuh Telapak Ga-
jah
yang tak ubahnya seperti boneka hidup itu
hangus
terbakar. Demikian pula tubuh burung
hantu
raksasa. Selang beberapa saat, baru disusul
gejolak
alam yang datangnya juga tiba-tiba. Pun-
cak
Gunung Sindoro bergetar. Kawah di tengah-
tengah
puncak gunung menyemburat tinggi ke
udara
menebarkan apa saja yang ada di sekitar.
(Baca
serial Siluman Ular Putih dalam episode:
"Pasukan
Kumbang Neraka").
Setelah
berhasil mendapatkan kitab yang
diidam-idamkan,
tanpa banyak membuang waktu
Maling
Tanpa Bayangan segera berkelebat cepat
pergi
dari puncak gunung dengan mengerahkan
ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat
tinggi. Dan kini, lelaki tua itu telah berdiri
di
sebuah padang luas bererumputan sembari me-
nyaksikan
kilatan-kilatan cahaya merah di puncak
gunung
yang ditingkahi jerit-jerit kematian pendu-
duk
kampung!
Meski
kini telah selamat, namun dalam hati
Maling
Tanpa Bayangan terus bertanya-tanya. Ke-
jadian-kejadian
hebat yang baru saja dialami be-
nar-benar
membuat hatinya penasaran. Maling
Tanpa
Bayangan terus berpikir. Bagaimana mung-
kin
tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Tela-
pak
Gajah mendadak terbakar? Sulit dimengerti!
Sebenarnya
ada apakah? Bahkan kemudian dis-
usul
dengan meletusnya Gunung Sindoro?
"Hm...!
Benar-benar satu kejadian langka.
Tak
mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada apa-
apanya.
Jangan-jangan berhubungan dengan Ki-
tab
Paguyuban Setan yang ku sembunyikan diba-
lik
jubahku? Hm...! Bisa jadi!" gumam Maling Tan-
pa
Bayangan dalam hati.
Kalau
saja Maling Tanpa Bayangan tahu
kenapa
tubuh burung hantu raksasa dan tubuh
Telapak
Gajah mendadak hangus terbakar, kemu-
dian
disusul meletusnya Gunung Sindoro, tentu
hatinya
akan lebih terkesima. Betapa tidak? Ter-
nyata
tubuh burung hantu raksasa dan tubuh Te-
lapak
Gajah terbakar disebabkan oleh tewasnya
Pengasuh
Setan! Penguasa puncak Gunung Sindo-
ro!
Sementara mengenai meletusnya Gunung Sin-
doro,
bisa jadi hanya kejadian kebetulan belaka.
Yang
jelas, begitu Pengasuh Setan tewas, puncak
Gunung
Sindoro kontan bergemuruh. Bumi berge-
tar.
Kawah di puncak gunung menyemburat tinggi
ke
udara.
Benarkah
ini semua disebabkan tewasnya
Pengasuh
Setan? Atau karena jatuhnya Kitab Pa-
guyuban
Setan ke tangan Maling Tanpa Bayan-
gan?
Kalau sekiranya kedua-duanya benar, betapa
hebatnya
pengaruh Pengasuh Setan dan Kitab Pa-
guyuban
Setan?
Berpikir
sampai demikian, Maling Tanpa
Bayangan
jadi tak sabar lagi untuk segera mempe-
lajari
Kitab Paguyuban Setan. Ia yakin sekali kitab
yang
disembunyikan di balik jubahnya mengan-
dung
kekuatan hebat! Bahkan bila sudah mempe-
lajari
Kitab Paguyuban Setan ia yakin akan dapat
mengalahkan
Siluman Ular Putih! Bukan saja
hanya
ingin mengalahkan, tapi juga ingin membu-
nuh
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu. Sekali-
gus,
menguasai dunia persilatan!
"Kunyuk
Gondrong! Tunggulah pembala-
sanku
nanti! Tunggulah setelah aku mempelajari
Kitab Paguyuban Setan ini," desis Maling Tanpa
Bayangan,
geram. Rahangnya mengeras. Dari kila-
tan-kilatan
mata hijaunya yang mencorong, jelas
ancamannya
barusan bukan hanya sekadar gertak
sambal
saja. Tapi, niatnya pasti akan dilaksana-
kan.
Habis
menggumam begitu, Maling Tanpa
Bayangan
segera menghentakkan kakinya ke ta-
nah.
Seketika tubuhnya berkelebat cepat mening-
galkan
tempat itu. Namun sayang baru saja bebe-
rapa
tombak....
"Bagus!
Inilah yang mungkin dinamakan
pucuk
dicinta ulam tiba! Selamat bertemu kemba-
li,
Kakang Maling Tanpa Bayangan!"
Terdengar
bentakan, yang membuat lang-
kah
Maling Tanpa Bayangan terhenti seketika den-
gan
wajah kaget.
2
Sepasang
mata hijau Maling Tanpa Bayan-
gan
berkilat-kilat penuh kemarahan. Rahangnya
menggembung.
Jelas sekali kalau hatinya tak suka
atas
bentakan barusan, sehingga membuat niat-
nya
tertunda.
Di
hadapan Maling Tanpa Bayangan kini te-
lah
berdiri dua orang lelaki tua. Yang sebelah ka-
nan
bertubuh jangkung. Tingginya tak kurang dari
dua
setengah tombak lebih. Jubahnya besar warna
hijau.
Raut wajahnya tirus. Sepasang matanya ju-
ga
berwarna hijau mencorong, menandakan tenaga
dalamnya
sudah mencapai tingkat tinggi.
Yang
seorang lagi, lelaki tua bertubuh jauh
berlawanan
dengan kakek jangkung di sebelahnya.
Tubuhnya
amat pendek, tak lebih dari setengah
tombak.
Perutnya buncit, pusarnya bodong mon-
cong
ke depan. Kepalanya botak dengan mata juga
berwarna
hijau. Sedang tubuhnya yang tambun
dibalut
jubah besar, juga berwarna hijau.
"Bedebah!
Rupanya Dewa Bogel dan Lam-
daur
yang datang menghadang! Cih!" dengus Mal-
ing
Tanpa Bayangan. Kedua bola matanya berkilat-
kilat,
memperhatikan dua sosok kakek renta di
hadapannya.
"Ya,
aku! Kenapa? Kaget?" sambar kakek
bertubuh
pendek yang memang Dewa Bogel, seper-
ti
bentuk tubuhnya. Sedang di sampingnya adalah
kakak
seperguruannya yang bernama Lamdaur.
"Bedebah!
Mau apa kalian menghadangku,
he?!"
"Pakai
tanya?! Sudah jelas kami mencari-
cari
untuk menuntut tanggung jawabmu. Kau ma-
sih
punya urusan dengan Guru!" sahut Lamdaur.
Menghadapi
dua orang kakek yang sebe-
narnya
dari Hutan Pring Apus ini, mau tak mau
Maling
Tanpa Bayangan jadi gusar. Ia tahu, betapa
hebatnya
dua kakek yang sebenarnya masih adik
seperguruannya.
Apalagi, kini mereka maju ber-
sama.
Jelas tak mungkin Maling Tanpa Bayangan
sanggup
menghadapi Dewa Bogel dan Lamdaur.
"Cih.,.!
Bisanya kau membacot demikian!
Dari
dulu, kita bertiga selalu bersaing. Tapi untuk
mengalahkan
kami, kau malah mempelajari ilmu
sesat!
Kau malah jadi maling. Apa itu bukan men-
cemarkan
nama baik Guru?" cibir Dewa Bogel.
"Ditambah
lagi, sepak terjangmu dan mu-
ridmu
yang bergelar Raja Maling tak dapat dimaaf-
kan
lagi oleh Guru. Apalagi, Raja Maling pun baru
saja
membuat onar di Kadipaten Pleret. Tak
mungkin
kau tidak tahu, kalau muridmu telah
mencuri
Lukisan Darah. Ini saja sudah amat cu-
kup
untuk mewakili Guru untuk membunuh-mu!"
sahut
Lamdaur, menambahi.
Maling Tanpa
Bayangan tertawa bergelak.
Baginya,
ucapan bekas adik seperguruannya di-
anggap
lucu. Meski tak ada yang pantas untuk di-
tertawakan
sebenarnya.
"Kau
ini masih polos seperti dulu, Adik-
adikku!
Untuk menjadi pemenang, kita harus
menggunakan
ini!" Maling Tanpa Bayangan me-
nunjuk
keningnya sendiri. "Bukannya mengguna-
kan
dengkul. Pokoknya untuk mengalahkan ka-
lian,
aku harus mempelajari ilmu apa saja. Tak
peduli
ilmu putih atau ilmu hitam. Seharusnya ka-
lian
berdua mengakui keunggulanku. Apa di anta-
ra
kalian berdua ada yang mampu jadi maling se-
pertiku?"
"Sundal!
Otakmu rupanya sudah miring,
Maling
Tanpa Bayangan. Seharusnya kau malu
dengan
ucapanmu barusan. Sebagai kakak seper-
guruan
yang tertua, seharusnya kau memberi con-
toh
yang baik. Eh..., ini malah sebaliknya! Menga-
jak
adik-adiknya untuk menjadi maling!" sambar
Dewa
Bogel, tak lagi menaruh hormat pa-da Mal-
ing
Tanpa Bayangan.
"Siapa
yang ingin mengajarkan kalian jadi
maling?
Aku kan hanya ingin mengalahkan kalian.
Nah!
Sekarang setelah tak dapat mengalahkanku,
kalian
malah menuduhku yang bukan-bukan,"
tangkis
Maling Tanpa Bayangan.
"Menuduh
apa? Kenyataannya kau memang
maling.
Muridmu pun maling. Ini sudah jelas
membuktikan
kalau kalian telah keblinger. Kami
sebagai
adik seperguruanmu, wajib mengin-
gatkanmu.
Juga, muridmu yang brengsek itu!" sa-
hut
Lamdaur jengkel. Kedua bola matanya yang
berwarna
hijau berkilat-kilat penuh kemarahan.
Maling
Tanpa Bayangan malah makin men-
gumbar
tawa. Dadanya bergerak-gerak saking ge-
linya
mendengar ucapan adik seperguruannya.
"Rupanya,
kalian memang sengaja mencari
penyakit.
Sudah jelas. Siapa berani berbuat, ia ha-
rus
berani bertanggung jawab. Seperti katamu ta-
di,
muridku telah mencuri Lukisan Darah di Kadi-
paten
Pleret. Maka, ia pun berani pula bertang-
gung
jawab. Dan Siluman Ular Putih-lah yang te-
lah
menghukum muridku! Sebagai adik sepergu-
ruan,
seharusnya kalian malu membiarkan aku
menuntut
balas seorang diri!" kata Maling Tanpa
Bayangan,
bermaksud melibatkan kedua orang
adik
seperguruannya untuk membantu membu-
nuh
Siluman Ular Putih.
"Syukur!
Senang sekali aku mendengarnya.
Rupanya
murid brengsek mu itu sudah modar.
Kenapa
kau tidak lekas menyusul?" sahut Dewa
Bogel
seenaknya.
"Bedebah!
Adik seperguruan macam apa ka-
lian!"
sentak Maling Tanpa Bayangan, terperangah.
"Tunggu!
Pembicaraan kita makin melantur.
Kita
kemari bukan untuk membicarakan Siluman
Ular
Putih. Pokoknya sekarang, demi menjaga na-
ma
baik Guru, terpaksa kami harus menghukum
mu,
Maling Tanpa Bayangan!" sambar Lamdaur
tak
sabar.
"Ya
ya ya...! Kau benar, Lamdaur! Rupanya
maling
tengik satu ini sengaja akan melibatkan ki-
ta
dengan Siluman Ular Putih! Tunggu dulu, ya!
Sekarang,
selesaikan urusan di antara kita lebih
dulu.
Baru selesaikan urusan lainnya!" sahut De-
wa
Bogel.
"Jadi
apa mau kalian?" tanyai Maling Tanpa
Bayangan
gusar. Kini hatinya mulai cemas melihat
sikap
Dewa Bogel dan Lamdaur. Apalagi, Kitab Pa-
guyuban
Setan masih berada dibalik jubahnya. Ia
khawatir
kalau-kalau kedua orang bekas adik se-
perguruannya
juga menginginkan kitab yang di-
idam-idamkannya.
"Pakai
tanya?! Kami hanya minta kau ber-
tanggung
jawab, tahu?!" dengus Dewa Bogel.
"Baiklah.
Mengingat kita masih satu pergu-
ruan,
sebaiknya kau menyerahkan diri untuk kami
hukum,
Kang. Buat apa bertarung kalau akhirnya
kau
akan tewas juga?" kata Lamdaur yang lebih
sabaran.
"Keparat!
Bacot kalian makin memerahkan
telingaku!
Apa kalian pikir aku takut menghadapi
kalian,
he?! Majulah kalau kalian bermaksud
menghukumku!"
tantang Maling Tanpa Bayangan,
sengit.
"Ccck
ck ck...! Berani benar kau, Kang! Baik
kulayani
tantanganmu!" sahut Dewa Bogel sambil
menggeleng-geleng.
"Jangan
banyak bacot! Majulah kalian kalau
ingin
mampus!" teriak Maling Tanpa Bayangan,
kalap.
Maling
Tanpa Bayangan langsung saja me-
mentangkan
kedua kakinya lebar-lebar membuat
kuda-kuda
kokoh. Kedua tangannya disilangkan di
depan
dada, siap menghadapi keroyokan kedua
orang
bekas adik seperguruannya dengan jurus-
jurus
andalan.
"Lagakmu
makin memuakkan, Kang! Kau
memang
patut mendapat hukuman. Bukan saja
telah
mencemarkan nama baik Guru, tapi juga-
telah
membuat onar dunia persilatan! Maka seba-
gai
adik seperguruan, sudah menjadi kewajiban
kami
untuk menghukum mu. Bahkan kalau perlu,
mengirim
nyawa busukmu ke dasar neraka!" desis
Lamdaur.
Maling
Tanpa Bayangan menggeram murka.
Kedua
telapak tangannya yang telah berwarna hi-
jau
segera dilontarkan ke depan. Seketika melesat
dua
larik sinar hijau disertai angin dingin berke-
siur
siap melabrak tubuh Dewa Bogel dan Lam-
daur.
"Pukulan
'Kelabang Hijau'...!" desis Lamdaur
dan
Dewa Bogel hampir bersamaan, menyebut
ajian
yang dikeluarkan Maling Tanpa Bayangan.
Satu
tombak serangan datang, Dewa Bogel
dan
Lamdaur cepat mendorong kedua telapak tan-
gan
yang juga telah berwarna hijau sampai ke
pangkal.
Mereka langsung memapaki serangan
Maling
Tanpa Bayangan.
Wesss!
Wesss!
Blaaammm...!
Satu
ledakan hebat langsung terjadi di uda-
ra
saat pukulan masing-masing bertumbukan.
Bumi
kontan bergetar hebat. Ranting-ranting po-
hon
berderak dengan daun-daun membeku!
Maling
Tanpa Bayangan tetap berdiri kokoh.
Sementara
tubuh Dewa Bogel dan Lamdaur terja-
jar
beberapa langkah. Namun kedua tokoh sakti
dari
Hutan Pring Apus ini cepat memasang kuda-
kuda
kembali. Dari sini bisa dilihat kalau Maling
Tanpa
Bayangan mengalami kemajuan pesat.
Begitu
melihat kenyataan itu, tanpa mem-
buang
waktu lagi Dewa Bogel dan Lamdaur segera
mencabut
keluar senjata andalan berupa rantai
baja
yang melilit pinggang. Demikian pula Lam-
daur.
Segera diloloskannya pedang tipis yang juga
melilit
di pinggang.
Sret!
Sret!
Maling
Tanpa Bayangan tertawa sumbang.
Tak
mau kalah, segera dicabut senjata andalan-
nya.
Maka kini di tangan kanannya telah tergeng-
gam
cemeti berekor sembilan. Dari tiap ekor cemeti
tampak
pisau-pisau kecil yang berkilatan.
"Majulah!
Aku tak takut menghadapi manu-
sia-manusia
tolol macam kalian!" tantang Maling
Tanpa
Bayangan, lantang.
Dewa
Bogel dan Lamdaur geram bukan
main.
Bukan saja geram mendengar hinaan dari
Maling
Tanpa Bayangan yang menyebut manusia
tolol.
Tapi juga geram melihat kenyataan bahwa
kepandaian
lawan telah mengalami kemajuan pe-
sat.
Apalagi kakak seperguruan mereka itu telah
mencampuradukkan
ilmu perguruan dengan ilmu-
ilmu
hitam yang dipelajari entah dari mana.
"Aku
tak akan mengampuni nyawa busuk-
mu,
Maling!" dengus Dewa Bogel, geram.
"Akan
kukuliti tubuhmu sebelum ku ha-
dapkan ke makam Guru, Manusia Bejat!" teriak
Lamdaur
kaku.
"Jangan
banyak bacot! Buktikan saja kalau
kalian
mampu!" balas Maling Tanpa Bayangan.
Lelaki
tua sesat itu memutar cemeti di tan-
gan.
Dari putarannya langsung tercipta angin ken-
cang
berkesiur menyambar-nyambar tubuh Dewa
Bogel
dan Lamdaur.
Geraham
Dewa Bogel dan Lamdaur berge-
melutuk
makin kuat. Mereka kini tahu, ternyata.
tenaga
dalam Maling Tanpa Bayangan makin ber-
tambah
saja. Itu bisa dibuktikan ketika terjadi
benturan
tadi.
"Tahanlah
jurus "Bambu Kuning Pencabut
Sukma'
yang baru kami ciptakan, Maling!
Heaaa...!"
Dikawal
bentakan nyaring, Dewa Bogel dan
Lamdaur
memilih bertindak terlebih dahulu. Meski
tidak
menggunakan bambu kuning sebagai senja-
ta,
namun serangan-serangan pedang di tangan
Lamdaur
dan rantai baja di tangan Dewa Bogel tak
kalah
hebatnya bila menggunakan bambu kuning.
Srat!
Srat!
Dewa
Bogel menyerang ganas dari sebelah
kanan.
Rantai bajanya terus berputar-putar beru-
saha
mendesak gulungan-gulungan cemeti berekor
sembilan
milik Maling Tanpa Bayangan. Sedang
Lamdaur
menyerang dari sebelah kiri. Pedang ti-
pisnya
yang berkilatan tak henti-hentinya mence-
car
tubuh Maling Tanpa Bayangan tanpa ampun.
"Modar
kau, Maling!" seru Lamdaur berin-
gas.
Pedang
tipis di tangan kanan Lamdaur
mendadak
diputar sedemikian rupa, membuat sa-
tu
serangan tipuan. Maling Tanpa Bayangan yang
saat
itu tengah sibuk menghadapi sambaran rantai
baja
terperangah kaget. Sulit rasanya menghindari
serangan
Lamdaur kali ini. Kalau nekat menghin-
dar
atau menangkis, rasanya akan sia-sia saja.
Karena
pasti rantai baja Dewa Bogel sudah me-
nunggu.
"Hup!"
Dengan
satu perhitungan yang cukup ma-
tang,
tiba-tiba Maling Tanpa Bayangan menggu-
lingkan
tubuhnya ke bawah menghindari pedang
tipis
Lamdaur. Sementara, cemeti berekor
sembi-
lan
segera memapak rantai baja yang memang su-
dah
menunggu.
Trang!
Trang!
Berkali-kali
cemeti Maling Tanpa Bayangan
memapak
sambaran rantai baja Dewa Bogel. Na-
mun
saat itulah kelemahannya terbaca.
Selagi
Maling Tanpa Bayangan baru saja
bangkit
berdiri, Dewa Bogel dan Lamdaur tak me-
nyia-nyiakan
kesempatan itu. Dengan satu seran-
gan
tak terduga, Dewa Bogel dan Lamdaur kembali
meluruk
dengan sambaran rantai baja dan sabe-
tan
pedang tipis.
Maling
Tanpa Bayangan memekik lirih.
Keadaannya
kali ini benar-benar terjepit. Tanpa
sadar
keringat dingin di sekujur tubuhnya kian
membanjir
menyadari dua gulungan senjata di
tangan
lawan siap merajam tubuhnya. Dan....
Crak!
Crak!
Prakkk!
"Aaakh...!"
Maling
Tanpa Bayangan melolong setinggi
langit.
Tubuhnya seketika limbung ke samping
terkena
bacokan-bacokan pedang di tangan Lam-
daur
dan hantaman rantai baja di tangan Dewa
Bogel.
Sekujur tubuhnya langsung bermandikan
darah!
Tulang-tulangnya seperti mau hancur. Un-
tung
saja kedua lawannya tak meneruskan seran-
gan.
Seolah memberi kesempatan pada Maling
Tanpa
Bayangan.
"Menyerahlah,
Maling! Niscaya aku men-
gampunimu!"
seru Lamdaur lantang.
"Atau
kau memang belum puas mendapat
hajaran
rantai bajaku, he?!" teriak Dewa Bogel
menambahi.
Maling
Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya
penuh kemarahan. Dan sekali meng-
hentakkan
kaki ke tanah, tubuhnya telah berdiri
tegak
di hadapan kedua adik seperguruannya. Ma-
tanya
yang hijau tak henti-hentinya menghujam
pada
Dewa Bogel dan Lamdaur bergantian.
"Setan!
Siapa pedulikan bacotmu, Tolol! Bi-
ar
kau bunuh sekalipun, tak mungkin aku menye-
rah!"
dengus Maling Tanpa Bayangan.
Dewa
Bogel dan Lamdaur tertawa dingin.
Dan
ketika tawa kedua tokoh sakti dari Hutan
Pring
Apus itu terhenti, tiba-tiba sepasang mata
mereka
jadi berkilat-kilat penuh keheranan. Beta-
pa
samar-samar dari luka di sekujur tubuh Maling
Tanpa
Bayangan kini telah dipenuhi uap hitam.
Mula-mula
kening Maling Tanpa Bayangan
berkerut
tak mengerti. Namun ketika melihat ke-
heranan
Dewa Bogel dan Lamdaur makin kentara,
lelaki
ini jadi curiga. Dan ketika menyaksikan kea-
daan
tubuhnya, seketika terperangahlah hatinya.
Betapa
luka di sekujur tubuhnya kini telah dipe-
nuhi
uap hitam tipis. Bahkan perlahan-lahan lu-
ka-luka
itu merapat dan sembuh seperti sediakala!
Maling
Tanpa Bayangan melongo. Kening-
nya
terus berkerut-kerut menyaksikan kejadian
aneh
yang tengah dialami. Ketika disadari, barulah
lelaki
ini tertawa bergelak. Kini hatinya yakin seka-
li
kalau kejadian aneh itu tak lain karena Kitab
Paguyuban
Setan yang tersimpan di balik jubah
hitamnya!
***
"Hugh...!
Hugh,..!"
Seorang
pemuda tampan berpakaian rompi
dan
celana bersisik putih keperakan menghentikan
semadinya
ketika mendengar suara batuk di sam-
pingnya.
Pandangan matanya segera dialihkan ke
arah
datangnya suara.
Ternyata
suara itu datangnya dari seorang
lelaki
berpakaian bayi. Wajahnya pun mirip bayi.
Hanya
rambut alis serta bulu mata saja yang
membuktikan
kalau lelaki itu sudah amat tua, di
samping
kulitnya yang keriput. Lelaki tua yang tak
lain
Bayi Kawak itu tengah terengah-engah. Lu-
kanya
yang menganga pada bagian dadanya tam-
pak
demikian mengerikan. Darah membanjir
membasahi
pakaian bayinya. Ia kini berada dalam
pelukan
seorang gadis berpakaian warna-warni.
Rambutnya
hitam panjang dikepang dua. Juga,
dihiasi
pita beraneka warna. Tubuh rampingnya
yang
tampak dari samping tampak demikian
mempesona,
membentuk lekuk-lekuk indah men-
gundang.
Tak
jauh dari yang tak lain Putri Manja,
tampak
duduk bersila seorang kakek renta berpa-
kaian
jubah kuning yang kedodoran. Kepalanya
plontos,
tanpa sehelai rambut pun. Dari bulu ma-
ta,
alis mata, dan jenggotnya yang panjang semua
berwarna
putih, menandakan kalau kakek bertu-
buh
tinggi kurus itu berusia amat lanjut.
Sekali
lihat saja pemuda yang tak lain Silu-
man
Ular Putih tahu kalau kakek berjubah kuning
yang
memang Pelukis Sinting Tanpa Tanding men-
derita
luka dalam yang parah. Namun karena saat
itu
luka Bayi Kawak jauh lebih parah, maka ke sa-
nalah
Soma mendekat.
"Guru...!
Jangan tinggalkan aku, Guru! Aku
tak
mau kau mati!" isak Putri Manja tak henti.
Hati
Siluman Ular Putih trenyuh. Ia mak-
lum
akan cobaan berat yang mengguncang hati
gadis
manja yang kini di sampingnya. Putri Manja
yang
biasa bersikap berlebihan sekaligus juga
amat
menggemaskan, kini tampak demikian me-
melaskan.
Wajahnya yang cantik bersimbah air
mata.
Sambil terus mengguncang-guncangkan tu-
buh
Bayi Kawak, si gadis terus saja terisak-isak.
"Sudahlah,
Putri! Percuma saja menangis.
Tak
mungkin gurumu sembuh kalau kau menan-
gis
terus!" ujar Siluman Ular Putih.
"Cerewet!
Lekas kau tolong guruku!" tukas
Putri
Manja.
"Baik.
Tapi... Tapi..."
Mendadak
Siluman Ular Putih menggaruk-
garuk
kepala. Betapa tidak? Pemuda ini hanya se-
dikit
mengerti ilmu pengobatan. Apalagi melihat
luka
Bayi Kawak yang mengerikan itu. Saking bin-
gungnya,
Soma terus menggaruk-garuk kepala.
Entah
karena kepalanya jadi sarang kutu, atau
memang
kebingungan. Pokoknya Soma terus
menggaruk
tanpa peduli.
Melihat
kelakuan Siluman Ular Putih, mau
tak
mau Putri Manja jadi kesal. Wajahnya yang
cantik
ditekuk demikian rupa. Mulutnya membe-
sengut.
"Kau....
Kau ini bagaimana, sih? Orang dis-
uruh
menyembuhkan guruku, malah garuk-garuk
kepala!
Apa dikira dengan menggaruk-garuk kepa-
la
guruku akan sembuh!" damprat Putri Manja.
"Iya
iya...! Aku tahu. Justru aku sedang
memikirkan,
bagaimana caranya menyembuhkan
luka
dalam gurumu. Jadi jangan marah-marah
dulu,
dong...," tangkis Siluman Ular Putih.
"Habis
kau menjengkelkan, sih! Selalu saja
membuatku
marah!" sungut Putri Manja mulai ke-
lihatan
sikap aslinya.
"Ya,
deh. Aku mengalah. Terus terang, aku
hanya
sedikit mengerti ilmu pengobatan. Seka-
rang,
baiknya kita cari saja Tabib Agung, karena
luka
dalam gurumu amat parah. Kujamin orang
tua
dari Gunung Perahu itu dapat menyembuhkan
luka
gurumu!"
"Baik.
Kalau begitu, cepat angkat guruku!
Jangan
membuang-buang waktu!" perintah Putri
Manja.
Lagi-lagi
Soma hanya menggaruk-garuk ke-
pala.
"Sial!" rutuk si pemuda dalam hati.
"Kenapa
diam saja? Ayo, cepat angkat guru-
ku!"
bentak Putri Manja.
"Iya
iya...! Tapi, apa tidak baiknya orang lain
saja."
"Bodoh!
Mana mungkin di tempat sesunyi
ini
ada orang? Ayo, lekas angkat!" bentak Putri
Manja
lagi.
"Baik."
Entah
kenapa Siluman Ular Putih tunduk
juga
oleh perintah gadis manja itu. Mungkin kare-
na
rasa bersalahnya waktu itu dengan memper-
mainkan
Putri Manja. Akibatnya, si gadis ngambek
dan
lari darinya. Karena tak ingin mengecewakan
si
gadis untuk yang kedua kali. Soma segera men-
gangkat
kakek bau pesing guru dari Putri Manja
itu.
"Percuma
saja orang menjulukimu Siluman
Ular
Putih, kalau hatimu pilih-pilih kasih. Percu-
ma
saja tua bangka macam kami meminta perto-
longan
kalau hati pendekar kita sudah terpaut
seorang
gadis...."
Mendadak
Siluman Ular Putih dikejutkan
suara
orang yang disusul suara siulan. Buru-buru
kepalanya
berpaling ke arah datangnya suara.
Ternyata
orang yang bersuara tadi bukan lain ada-
lah
Pelukis Sinting Tanpa Tanding. Aneh sekali!
Walau
tengah menderita luka dalam cukup parah,
namun
kakek sakti dari Gua Bedakah itu masih
sempat-sempatnya
menggoda.
Terpaksa
Siluman Ular Putih menahan
langkahnya.
Jelas, pemuda ini merasa disindir
oleh
ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding hingga
hatinya
mendadak jadi gelisah.
"Heran!
Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Apakah
benar ucapan tua bangka itu? Aku sudah
terpaut
kecantikan Putri Manja? Ah...! Mengapa
aku
harus memikirkan satu hal yang tak pasti. Pu-
tri
Manja sendiri belum tentu sudi memikirkanku!"
sungut
Soma dalam hati.
"Baik-baik.
Aku akan menyembuhkanmu,
Orang
Tua. Tapi sekali lagi, jangan bilang kalau
aku
pilih kasih. Karena pertimbanganku, Bayi Ka-
wak
menderita luka paling parah. Hm.... Tapi ada
baiknya
aku memeriksa lukamu dulu," kata Soma,
seraya
meletakkan kembali tubuh Bayi Kawak.
"Duh...!
Senangnya hatiku. Hati siapa yang
tidak
akan senang mendapatkan pertolongan pe-
muda
tampan macam kau. Terima kasih, Bocah.
Kau
memang baik hati. Memang inilah yang kuin-
ginkan
sebenarnya," celoteh Pelukis Sinting Tanpa
Tanding
cerewet.
"Ompong!
Diam kau! Tak ada gunanya kau
menggoda.
Aku tak yakin kalau kau benar-benar
membutuhkan
pertolongannya!" damprat Bayi Ka-
wak
yang dari tadi hanya membisu.
Pelukis
Sinting Tanpa Tanding hanya terse-
nyum-senyum
menggoda. Wajahnya yang tadi ke-
lihatan
pucat, kini tampak kemerah-merahan.
Agaknya
luka dalam tokoh sakti dari Gua Bedakah
itu
mulai berangsur sembuh. Dan Soma yang me-
meriksa
tersenyum lega. Berarti ia tak perlu lagi
memberi
pertolongan pada Pelukis Sinting Tanpa
Tanding.
"Maaf,
Anak Muda. Tadi aku hanya meng-
godamu.
Aku sudah menyembuhkan luka dalam-
ku
sendiri, kok," ucap Pelukis Sinting Tanpa Tend-
ing,
seenaknya.
"Orang
Tua! Kau memang terlalu banyak
bercanda.
Luka dalam yang diderita Bayi Kawak
jauh
lebih parah dibanding luka dalammu. Tapi
kenapa
kau cerewet amat?" kata Soma agak kesal
juga.
"Ya,
sudah. Kalau kau mau membawa Bayi
Kawak
ke Tabib Agung, ya... bawa saja. Kenapa
marah-marah?"
sungut Pelukis Sinting Tanpa
Tanding,
seenak dengkul. Menyebalkan sekali si-
kapnya!
Siluman
Ular Putih hanya bisa geleng-
geleng
kepala disertai dengusan kesal. Namun un-
tuk
mendamprat Pelukis Sinting Tanpa Tanding, ia
tak
berani. Tak enak rasanya membentak-bentak
orang
tua. Yang dilakukannya kini adalah men-
gangkat
kembali tubuh Bayi Kawak.
"Ayo,
Soma! Lekas kita tinggalkan tempat
ini!
Kenapa kau malah melongo saja!" teriak Putri
Manja
mengagetkan.
"Ba...,
baik."
Tanpa
banyak cakap Putri Manja segera
meraih
lengan Siluman Ular Putih dan segera ber-
kelebat
cepat meninggalkan tempat itu. Meski
sambil
memondong tubuh Bayi Kawak, tampak
sekali
kalau Siluman Ular Putih mampu mengim-
bangi
ilmu meringankan tubuh Putri Manja. Malah
kalau
mau, bisa saja mendahului. Namun Soma
hanya
mengikuti langkah si gadis sesuai kemam-
puannya.
"Sekarang
apa yang harus kulakukan? Ra-
sanya
aku belum puas. Meski manusia jahanam
Pengasuh
Setan sudah modar, tetap saja belum
puas.
Karena aku tak dapat membunuhnya. Malah
sekarang
aku menderita luka bakar. Huh..,! Men-
jengkelkan.
Enak benar jahanam itu modar sebe-
lum
aku sempat membalaskan sakit hati. Seka-
rang
apa yang harus kulakukan, huh?!" keluh Pe-
lukis
Sinting Tanpa Tanding begitu sosok bayan-
gan
Putri Manja dan Siluman Ular Putih menghi-
lang
di balik kegelapan malam. Habis menggu-
mam,
Pelukis Sinting Tanpa Tanding segera bang-
kit
dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Tam-
pak
langkahnya terhuyung-huyung sebelum ak-
hirnya
menghilang di balik kegelapan malam....
3
"Hahaha...!
Rupanya percuma saja berta-
hun-tahun
kalian belajar silat kalau menghadapi-
ku
seorang diri saja tak becus!"
Maling
Tanpa Bayangan itu tak henti-
hentinya
terus mengumbar tawa serta ejekan. Ke-
jadian
aneh yang baru saja dialami benar-benar
membuat
semangat bertarungnya meledak-ledak.
Luka
akibat bacokan pedang tipis di tangan Lam-
daur,
dan luka dalam akibat hantaman rantai baja
Dewa
Bogel, kini telah sembuh seperti semula. Le-
laki
ini yakin kalau itu berkat Kitab Paguyuban Se-
tan
yang disembunyikan di balik jubah.
Sementara
di pihak Dewa Bogel dan Lam-
daur
yang melihat kejadian itu, mereka menduga
kalau
ilmu bekas kakak seperguruannya benar-
benar
telah mencapai tingkat yang tinggi sekali.
Bahkan
mungkin sulit ditandingi oleh kepandaian
mereka
berdua. Namun ini bukan berarti harus
tunduk
begitu saja, walau nyawa taruhannya.
"Kuakui,
kesaktianmu kini telah melampaui
jauh
kesaktian kami. Namun jangan dikira kami
mengalah
begitu saja. Bagaimanapun juga dan apa
pun
akibatnya, kami tetap meminta pertanggung-
jawabanmu.
Kau harus kami hukum!" dengus De-
wa
Bogel.
"Bagus-bagus!
Kalau kalian ingin cepat
modar,
majulah! Jangan tanggung-tanggung! Le-
kas
keluarkan aji 'Penuntun Dewa' kebanggaan ka-
lian,
juga kebanggaan Guru!" ejek Maling Tanpa
Bayangan.
Sembari
mengejek demikian, diam-diam
Maling
Tanpa Bayangan sendiri pun telah menge-
rahkan
pukulan 'Kelabang Hijau'. Seketika kedua
telapak
tangannya kembali dijalari warna hijau,
hingga
sampai ke siku. Ini saja sudah jelas mem-
buktikan
kalau Maling Tanpa Bayangan tak segan-
segan
lagi menghadapi bekas-bekas adik-
seperguruannya.
Dan ia yakin, aji 'Penuntun De-
wa'
tak akan sanggup menahan pukulan 'Kelabang
Hijau'
yang telah dicampur aduk dengan aji 'Sirep
Sukma'.
"Baik
Manusia Maling! Hari ini aku akan
mengadu
nyawa! Meski nyawa melayang, aku ma-
lah
bangga. Karena aku tewas demi membela ke-
benaran.
Tidak seperti kau, yang selalu berkubang
dalam
lumpur dosa!" geram Lamdaur penuh kema-
rahan.
"Terserah
kalian, mau bilang apa. Yang je-
las,
hari inilah kematian kalian!" balas Maling
Tanpa
Bayangan.
Sementara
Dewa Bogel menggeretakkan ge-
raham-nya
penuh kemarahan. Ia yang berwatak
berangasan
tak sabar lagi mendengar ejekan Mal-
ing
Tanpa Bayangan. Maka saat itu juga segera di-
labraknya
Maling Tanpa Bayangan dengan aji
'Penuntun
Dewa'.
"Hea...!
Mampus kau, Maling!"
Berbareng
teriakan nyaringnya yang mem-
belah
angkasa, Dewa Bogel telah menghantamkan
kedua
telapak tangannya yang telah berubah jadi
biru
tua ke arah Maling Tanpa Bayangan.
Wesss!
Wesss!
Seketika
melesat dua larik sinar biru yang
disertai
hawa panas luar biasa, dari kedua telapak
tangan
Dewa Bogel.
"Hiaaah...!"
Maling
Tanpa Bayangan masih sempat
mengumbar
tawa, sebelum akhirnya segera meng-
hentakkan
kedua tangannya disertai teriakan
mengguntur.
Blaaammm!
"Aaakh...!"
Hebat,
bukan main bentrokan dua tenaga
dalam
barusan. Bumi laksana diguncang prahara.
Berkesiurnya
angin dingin dan panas akibat ben-
trokan
barusan mengakibatkan ranting-ranting
pohon
hangus terbakar dan sebagian membeku!
Sewaktu
terjadi bentrokan, Dewa Bogel
menjerit
setinggi langit. Tanpa ampun tubuhnya
kontan
terbanting keras. Wajahnya kini pucat ba-
gai
kapas. Bentrokan tadi seakan-akan mengaduk-
aduk
isi dalam dadanya.
"Hoekh...!"
Dewa
Bogel tak tahan. Dari mulutnya men-
dadak
meluncur darah segar
Melihat
adik seperguruannya dapat diro-
bohkan,
Lamdaur geram bukan main. Tanpa
menghiraukan
keadaan Dewa Bogel, segera diter-
jangnya
Maling Tanpa Bayangan. Tidak tanggung-
tanggung
langsung dikerahkannya aji 'Penuntun
Dewa'
seperti yang dilakukan Dewa Bogel tadi.
Sementara
Maling Tanpa Bayangan yang
tubuhnya
tengah limbung ke samping akibat ben-
trokan
tadi, terperangah kaget. Rupanya, ia belum
siap
menerima serangan. Dan manakala melihat
serangan
datang, ia hanya bisa mengeluh. Kemu-
dian....
Bukkk!
Bukkk!
Telak
sekali dua larik sinar biru tua dari
kedua
telapak tangan Lamdaur menghantam dada
Maling
Tanpa Bayangan. Maka tanpa ampun tu-
buhnya
terlempar jauh ke belakang bak layangan
putus.
Sebentar tubuhnya berputar-putar sebelum
akhirnya
menghantam batang pohon.
Brakkk!
Perlahan-lahan
tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan
luruh ke tanah. Parasnya tampak pucat pasi.
Dari
lubang hidung dan mulut mengeluarkan da-
rah
segar, pertanda guru mendiang Raja Maling ini
menderita
luka dalam.
Namun,
lagi-lagi seperti yang dialami tadi.
Uap
hitam dari balik jubahnya kembali menyeli-
muti
sekujur tubuh Maling Tanpa Bayangan. Se-
hingga
dalam waktu yang tidak lama lelaki tua se-
sat
itu pun meloncat bangun dengan tubuh segar
bugar!
Luar biasa!
"Kau
tak mungkin dapat mengalahkanku,
Lamdaur!
Percuma saja! Lebih baik bunuh diri sa-
ja
daripada tanganku kotor oleh darah busukmu!"
ejek
Maling Tanpa Bayangan.
Lamdaur
menyeringai. Apa yang diucapkan
Maling
Tanpa Bayangan barusan memang sempat
mempengaruhi
nyalinya. Tapi disadari, dalam kea-
daan
terjepit begitu bukan berarti harus melarikan
diri
dari pertarungan. Apalagi Dewa Bogel telah di-
robohkan
dengan mudah. Maka justru inilah yang
menyulut
amarah Lamdaur.
Dan
tanpa mengenal takut sedikit pun,
mendadak
Lamdaur menggembor penuh kemara-
han.
Kedua telapak tangannya yang kian berubah
jadi
biru tua segera dihantamkan ke depan.
Wesss!
Wesss!
Dua
larik sinar biru tua meluruk dari kedua
telapak
tangan Lamdaur, menyambar-nyambar
mengerikan.
Dan sebelum serangan tokoh sakti
dari
Hutan Pring Apus itu mengenai sasaran, hawa
hangus
telah mendahului! Ini jelas membuktikan
kalau
Lamdaur telah mengerahkan tenaga dalam
sampai
pada kekuatan penuh.
Maling
Tanpa Bayangan kini telah siap
waspada.
Maka begitu melihat serangan, kedua
tangannya
juga menghentak. Langsung dile-
paskannya
pukulan 'Kelabang Hijau' yang telah di-
campur
baur dengan aji 'Sirep Sukma'! Selanjut-
nya.....
Blaaarrr...!
"Aaakh...!"
Bersama
pekik mengerikan, tanpa ampun
tubuh
jangkung Lamdaur kontan terlempar jauh
ke
belakang. Begitu terbanting di tanah, tubuhnya
sempat
mengejang-ngejang sebentar, sebelum ak-
hirnya
tidak bergerak-gerak sama sekali! Entah
pingsan,
entah tewas!
"Hahaha...!"
Maling
Tanpa Bayangan tertawa bergelak.
Kepalanya
mendongak ke atas. Puas sekali ra-
sanya
dapat mengalahkan kedua orang adik se-
perguruannya.
Dalam benaknya pun membayang-
kan
dengan cara itu pulalah tubuh Siluman Ular
Putih
maupun tubuh tokoh-tokoh sakti lain akan
dilumatkan.
Terutama bila menghalang-halangi
niatnya
menguasai dunia persilatan!
"Haha
ha...! Siapa berani menentang Maling
Tanpa
Bayangan, berarti mati!"
Suara
tawa Maling Tanpa Bayangan kian
membahana.
Seolah dengan begitu, ia ingin men-
gabarkan
ke segenap penjuru kalau dialah yang
paling
sakti di kolong langit.
"Manusia
maling tak berperasaan! Mampus-
lah
kau! Hea...!"
Tiba-tiba
Dewa Bogel yang telah dikira te-
was
oleh Maling Tanpa Bayangan segera mener-
jang
hebat. Kedua telapak tangannya yang ber-
warna
biru tua segera dihantamkan ke arah Mal-
ing
Tanpa Bayangan. Maka seketika meluruk dua
larik
sinar biru tua dari kedua telapak tangannya.
Wesss!
Wesss!
Merasakan
ada hawa panas menyengat ku-
lit
tubuh, tanpa pikir panjang Maling Tanpa
Bayangan
segera berbalik seraya menghentakkan
kedua
tangannya. Pukulan 'Kelabang Hijau' lang-
sung
diarahkan pada sumber hawa panas baru-
san.
Dan....,
Buuummm!
"Aaa...!"
Satu
pekik menyayat hati terdengar mewar-
nai
tempat pertarungan mengiringi bunyi mengge-
legar
akibat bentrokan tadi. Tanpa ampun, tubuh
Dewa
Bogel melayang jauh ke belakang bak se-
buah
bola yang melesat jauh, sebelum akhirnya
menghantam
batang pohon di belakangnya.
Brakkk!
Seperti
yang dialami Lamdaur, Dewa Bogel
luruh
ke tanah. Tubuhnya melejang-lejang seben-
tar,
sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak sama
sekali.
"Ha
ha ha...! Kubilang apa?! Percuma saja
kalian
menentang Maling Tanpa Bayangan! Begini
inilah
nasib orang-orang yang akan menentangku!"
Tak
henti-hentinya Maling Tanpa Bayangan
mengumbar
tawa. Hatinya puas bukan main. Ha-
tinya
yakin sekali, dengan kemampuannya seka-
rang
dapat mengalahkan Siluman Ular Putih.
Meski
demikian Kitab Paguyuban Setan tetap ha-
rus
dipelajari. Bagaimanapun juga, ia tak ingin
menelan
kekalahan untuk yang kedua kali.
Berpikir
sampai di sini, Maling Tanpa
Bayangan
segera berkelebat tanpa menghiraukan
Dewa
Bogel dan Lamdaur yang terkapar di tanah.
Hanya
dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya
yang
tinggi kurus telah menghilang di balik kege-
lapan
malam.
***
Pagi
menjelang.
Kabut
tipis masih mewarnai puncak Gu-
nung
Sindoro yang hampir semalaman menunjuk-
kan
kekuasaannya. Suasana pagi ini benar-benar
lengang.
Kicauan burung yang biasanya ramai
menyambut
sinar matahari, kini seolah sepi. Larut
dalam
suasana duka mencekam.
Dalam
kelengangan pagi itu, dua sosok
bayangan
tengah berjalan dari timur. Sosok yang
di
sebelah kanan tampak tengah menggendong se-
suatu.
Sedang sosok di sebelahnya melenggang
santai.
Sosok yang menggendong sesuatu itu ter-
nyata
seorang pemuda tampan. Tubuhnya tinggi
kekar.
Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan
angin. Di dada kirinya tampak raja-
han
kecil bergambar seekor ular putih. Pakaiannya
rompi
bersisik warna putih keperakan tanpa kanc-
ing.
Celananya pun bersisik
Menilik
ciri-cirinya, sudah jelas kalau pe-
muda
tampan yang memiliki senjata anak panah
terselip
di pinggang itu adalah Siluman Ular Putih
yang
sedang memondong Bayi Kawak. Sedang ga-
dis
di sampingnya yang mengenakan pakaian ber-
warna
merah, kuning, dan hijau, seperti pita yang
dikenakannya
adalah murid Bayi Kawak. Siapa la-
gi
kalau bukan Mawangi alias Putri Manja!
Rupanya,
perjalanan mereka kali ini tidak
ditingkahi
suara canda tawa. Hal ini makin me-
nambah
kelengangan suasana pagi di lereng Gu-
nung
Sindoro.
Saking tidak tahannya mendapati suasana
lengang
pagi itu dan ditingkahi sikap cemberut Pu-
tri
Manja, lama kelamaan Siluman Ular Putih jadi
tidak
tahan. Mulutnya gatal untuk bertegur sapa.
Namun
ia malas mengusik ketenangan Putri Man-
ja.
Maka untuk melampiaskan rasa dongkol ha-
tinya
Siluman Ular Putih terus menggerutu. Entah
untuk
siapa ditujukan.
"Soma!
Apa-apaan kau ini, he?! Apa kau tak
bisa
diam?!" bentak Putri Manja, galak.
"Habis
dari tadi kau diam saja, sih! Aku kan
tidak
betah. Masa' orang jalan berduaan terus
membisu.
Memangnya aku patung?!" balas. Soma
menggoda.
Mulutnya ditarik ke samping. Makin je-
lek
saja tampang murid Eyang Begawan Kama-
setyo
kalau sedang begitu.
Putri
Manja menggeretakkan gerahamnya
kuat.
Kesal sekali hatinya melihat tingkah pemuda
tampan
yang diam-diam mulai mengusik hatinya.
Namun
karena terdorong kecemasannya akan ke-
selamatan
gurunya, Putri Manja makin sengit.
"Tutup
mulutmu. Soma! Aku tak senang ka-
lau
kau terus bertingkah!" bentaknya.
"Baik-baik!
Aku akan tutup mulut. Tapi,
kau
jangan marah, ya!"
Tiba-tiba
Siluman Ular Putih menghentikan
langkah.
Mulutnya dikunci rapat-rapat. Ia diam
saja
sembari berdiri tegak menghadap ke puncak
Gunung
Sindoro. Tentu saja hal ini makin mem-
buat
hati Putri Manja jengkel.
"Soma!
Apa-apaan kau ini, he?! Aku menyu-
ruhmu
diam, bukan diam seperti patung! Ayo, te-
rus
jalan!" bentak si gadis.
"Egh...!
Egh...!"
Soma
menggeleng-gelengkan kepala, Kedua
tangannya
digerak-gerakkan demikian rupa, mirip
orang
gagu.
Habis
sudah kesabaran Putri Manja. Tan-
gannya
yang sudah gatal rasanya ingin segera me-
nampar
pipi Siluman Ular Putih. Namun baru saja
mengangkat
tangan, mendadak pendengarannya
yang
tajam mendengar erangan halus seseorang.
"Eh...!
Siapakah di situ?"
Putri
Manja celingukan ke sana kemari, tapi
tak
menemukan apa-apa. Kecuali, semak belukar
yang
meranggas.
Namun
Siluman Ular Putih yang memiliki
pendengaran
lebih tajam telah meloncat ke arah
datangnya
suara. Sesekali menjejakkan kakinya ke
tanah,
tubuhnya telah berdiri di samping semak
belukar
yang dicurigai. Dan seketika keningnya ja-
di
berkerut-kerut heran.
"Dewa
Bogel...?" desah Soma.
Memang,
apa yang dilihat Soma adalah De-
wa
Bogel yang pernah mengganggunya kemarin
petang.
Lelaki pendek tambun itu tengah tergele-
tak
tak berdaya di atas semak belukar. Parasnya
pias.
Dari lubang mulut dan lubang hidung tam-
pak
darah kering memenuhi parasnya.
Kalau
saja Soma teringat akan tingkah De-
wa
Bogel kemarin siang, ingin rasanya membiar-
kan
lelaki tua berpusar bodong itu begitu saja.
Namun
sebagai seorang pendekar yang memiliki
rasa
welas asih, hatinya tak tega melihat keadaan
Dewa
Bogel. Maka begitu meletakkan tubuh Bayi
Kawak,
Siluman Ular Putih segera memeriksa tu-
buh
Dewa Bogel.
"Soma!
Apa yang kau lakukan di situ?" te-
riak
Putri Manja yang rupanya masih belum me-
nyadari
kalau Soma telah menemukan Dewa Bogel
di
tempat itu.
Namun...
belum sempat si gadis mengung-
kapkan
kekesalannya, mendadak sepasang ma-
tanya
yang indah melihat sesosok tubuh lain ter-
kapar
di atas tanah rerumputan.
"Soma!
Cepat kemari!" pekik Putri Manja,
berteriak-teriak
bingung.
Soma
yang tengah mengobati luka dalam
Dewa
Bogel mana mau menuruti panggilan Putri
Manja.
Ia terus saja memeriksa sekaligus mengo-
bati
luka dalam lelaki tua tambun itu sebisanya.
"Kau
keterlaluan. Soma! Cepat ke sini!"
sungut
Putri Manja saking kesalnya.
Tetap
saja tak ada jawaban.
Habis
sudah kesabaran Putri Manja dibuat-
nya.
Sekali menghentakkan kakinya ke tanah, tu-
buh
tinggi ramping Putri Manja melompat ke arah
Siluman
Ular Putih. Dan....
"Kau....
Kau! Ah...! Kenapa kau tak ngo-
mong
kalau sedang mengobati seseorang?!" kata
Putri
Manja, begitu mendarat di samping Soma.
Putri
Manja membantingkan kakinya kesal.
Mulutnya
membesengut. Kesal sekali diperlakukan
seperti
itu oleh Soma. Lebih kesalnya lagi manaka-
la
tetap tidak mempedulikan pertanyaannya.
Pe-
muda
itu hanya menggerak-gerakkan tangannya,
mirip
orang gagu!
"Soma!
Apa-apaan kau ini, he?!" sentak si
gadis.
"Lho?
Kenapa kau marah? Tadi kau menyu-
ruhku
diam. Dan kau berjanji tidak akan marah.
Tapi,
kenapa sekarang uring-uringan seperti ne-
nek-nenek
kehilangan sirih?" akhirnya Siluman
Ular
Putih membuka suara untuk si gadis.
"Kau....
Kau...! Ah...!"
Sekali
lagi Putri Manja membantingkan ka-
kinya
kesal. Kalau menurutkan amarah, sudah
pasti
akan dikemplangnya kepala murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo itu. Namun ternyata toh gadis
itu
tak melakukannya.
"Di...,
di sana juga ada orang tergeletak.
Soma!"
tunjuk Putri Manja mengarahkan telunjuk
jarinya
ke samping.
"Oh,
ya? Sayang sekali aku belum selesai
memeriksa
manusia bogel satu ini. Kau sendiri sa-
ja
yang memeriksa di sana!" ujar Siluman Ular Pu-
tih.
Putri
Manja menyumpah serapah dalam ha-
ti.
Marah dan benci bercampur aduk jadi satu. In-
gin
rasanya ia tak menggubris perintah Siluman
Ular
Putih. Namun entah kenapa tak sanggup. Ji-
wa
kependekarannya melarang berbuat demikian.
Apalagi
saat itu seseorang tengah membutuhkan
pertolongannya.
Maka meski hatinya mengkelap,
akhirnya
Putri Manja mau juga menuruti perintah
Siluman
Ular Putih.
Sekali
lihat saja Putri Manja tahu kalau ka-
kek
jangkung yang tak lain Lamdaur itu tengah
menderita
luka dalam cukup parah. Tanpa me-
nunggu
perintah sekali lagi, segera diperiksanya
tubuh
Lamdaur.
Lama
juga Siluman Ular Putih dan Putri
Manja
memeriksa sekaligus mengobati luka dalam
Dewa
Bogel dan Lamdaur. Dan ini membuat hati
kedua
anak muda itu jadi heran bukan main. En-
tah
kenapa, tubuh kedua kakek itu belum siuman
juga.
Padahal mereka sudah berulang kali menya-
lurkan
tenaga dalam!
Malah,
yang terjadi sebaliknya. Tubuh Lam-
daur
dan Dewa Bogel tampak jadi makin kehi-
jauan.
Dari paras sampai kuku-kuku jari berwarna
hijau!
Jelas sekali kalau kedua orang tokoh sakti
dari
Hutan Pring Apus itu telah terkena racun ga-
nas.
Di samping itu, ada satu kekuatan gaib yang
menguasai
jalan pikiran mereka. Kelihatannya
memang
tak mungkin Siluman Ular Putih dan Pu-
tri
Manja mampu mengobati kedua kakek itu.
"Payah...!
Kukira tua bangka brengsek ini
pun
harus dibawa menemui Tabib Agung. Kau
sendiri
bagaimana, Putri? Apa dapat menyembuh-
kan
luka dalam orang itu?"
Soma
memalingkan kepala ke arah Putri
Manja.
Dilihatnya gadis manja itu tengah sibuk
menyalurkan
tenaga dalam ke tubuh Lamdaur.
Padahal
wajah cantiknya telah dipenuhi keringat.
Siluman
Ular Putih tahu, Putri Manja pun
tak
mampu menyembuhkan luka dalam Lamdaur.
Buktinya
begitu mendengar pertanyaannya, Putri
Manja
segera mengangkat bahu. Ini jelas membuk-
tikan
kalau si gadis benar-benar tak sanggup.
"Mungkin
ucapanmu benar, Soma. Terpak-
sa
kita harus membawa mereka menemui Tabib
Agung
di puncak Gunung Perahu. Aku telah beru-
saha
menyembuhkan luka dalamnya, juga beru-
saha
mengeluarkan racun hijau yang mengeram
dalam
tubuhnya. Namun ya..., tetap saja tak bisa.
Ayo!
Sebaiknya mereka segera kita bawa menemui
Tabib
Agung!" ujar Putri Manja, akhirnya menyetu-
jui
usul Siluman Ular Putih
"Ayo,
ya ayo! Tapi bagaimana mungkin aku
harus
membawa tubuh ketiga orang ini," sahut
Soma,
sedikit kesal.
"Sekarang
biar aku yang membawa tubuh
guruku.
Kau yang menggendong tubuh kedua
orang
kakek itu. Mau, kan?" cetus si gadis.
"Tentu.
Kukira tadi kau akan menyuruhku
kerja
borongan. Maksudku menyuruhku memang-
gul
ketiga orang tua itu. Tapi ternyata kau punya
sedikit
perasaan juga."
"Cerewet!
Sudah pasti aku punya perasaan.
Kalau
tidak, sudah pasti mulutmu kurobek-robek
saking
cerewetnya!"
"Apa?"
Soma membeliakkan matanya se-
nang.
"Kau ingin menciumku. Tentu. Tentu aku
senang
sekali!"
"Cih!
Tak tahu malu! Pemuda macam apa
kau
ini Soma?! Belum apa-apa sudah minta cium!"
bentak
Putri Manja sengit.
"Lho?
Siapa yang bilang belum apa-apa?
Jangan
begitu, ah. Aku sudah apa-apa dari tadi.
Kalau
kau tak percaya, pegang dadaku?" canda
Soma
kelewatan.
Putri
Manja membesengut berat. Kalau saja
saat
itu berdekatan, dijamin tangan mungilnya
akan
mendarat di pipi Siluman Ular Putih. Namun
berhubung
jarak mereka berjauhan terpaksa Putri
Manja
hanya memberengut.
"Sudah-sudah!
Jangan memberengut saja!
Nanti
pipimu yang kemerah-merahan itu hangus
terbakar!"
ujar Soma.
Putri
Manja tak menggubris godaan Silu-
man
Ular Putih. Hatinya mengkelap sekali. Kemu-
dian
saat Soma menyerahkan tubuh Bayi Kawak,
Putri
Manja segera menyodok perut Siluman Ular
Putih
kesal.
Siluman
Ular Putih hanya tertawa. Bisa jadi
hatinya
senang diperlakukan begitu oleh Putri
Manja.
4
Sosok
hitam Maling Tanpa Bayangan terus
berkelebat
cepat menembus kegelapan malam. Tak
dipedulikannya
rasa lelah dan penat. Rasanya su-
dah
tak sabar lagi hasratnya untuk mempelajari
Kitab
Paguyuban Setan. Untuk itu, sengaja ia
kembali
ke tempatnya bertapa. Yakni, di sebuah
gua
di tepian Sungai Serayu.
Tak
kurang dari sehari semalam melakukan
perjalanan,
akhirnya sampailah Maling Tanpa
Bayangan
di sebuah lereng terjal, seolah memagari
aliran
Sungai Serayu yang deras. Keadaan di seki-
tar
sungai tampak lengang saja, seperti tak ber-
penghuni.
Mungkin dikarenakan banyak ditumbu-
hi
semak-semak belukar, hingga orang akan segan
datang
ke tempat sunyi itu. Burung di ranting po-
hon
seolah malas memperdengarkan kicauannya
yang
merdu. Padahal, di sekitar tempat itu cukup
sepi.
Maling
Tanpa Bayangan tak mempedulikan
itu
semua. Keinginannya untuk mempelajari Kitab
Paguyuban
Setan demikian menggebu. Rasanya
tak
sabar hatinya untuk segera kembali ke dalam
tempat
pertapaannya. Maka sekali menghentakkan
kakinya
pada batang pohon yang tumbang, tubuh
jangkungnya
pun segera melenting tinggi ke udara.
Begitu
kedua kakinya mendarat, tahu-tahu telah
berada
di sebuah tanah bererumputan. Tak begitu
luas
memang. Lebarnya tak kurang dari dua atau
tiga
tombak. Di sekitarnya pun banyak ditumbuhi
semak-semak
belukar yang meranggas.
Maling
Tanpa Bayangan lantas melangkah
mendekati
semak-semak belukar sebelah kiri. Se-
kali
singkap, tampaklah sebuah lubang kecil mu-
lut
gua. Tak begitu besar, paling pas untuk masuk
satu
orang. Tanpa membuang waktu kakinya sege-
ra
melangkah. Mula-mula merunduk. Tapi makin
masuk
ke dalam perut gua, tempat itu makin lebar
dan
membesar sehingga tak perlu lagi merunduk.
Dengan,
leluasa kakinya melangkah menuju batu
putih
besar, tempatnya biasa bertapa.
Begitu
duduk di atas batu putih itu, Maling
Tanpa
Bayangan menghela napasnya lega. Kesaba-
rannya
yang sudah mencapai ubun-ubun kepala
membuatnya
tak sabar. Segera dibukanya Kitab
Paguyuban
Setan. Berulang kali Maling Tanpa
Bayangan
membolak-balik lembar demi lembar ki-
tab
itu. Dan ternyata yang ditemuinya hanya lem-
baran
kosong!
Maling
Tanpa Bayangan geram bukan main.
Rahangnya
mengeras. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak,
pertanda merasa dipermainkan. Entah di-
permainkan
siapa. Nasibnya barangkali!
"Keparat!
Kenapa lembaran-lembaran ini
kosong?!"
desisnya, mengkelap.
Hampir
saja Maling Tanpa Bayangan mem-
banting
Kitab Paguyuban Setan yang sangat di-
idam-idamkan
itu ke tanah. Untung saja sepasang
matanya
yang mencorong hijau menangkap huruf-
huruf
samar di lembar berikutnya. Maka sepasang
mata
hijaunya kembali mendadak berbinar. Den-
gan
penuh nafsu lembar-lembar terakhir Kitab Pa-
guyuban
Setan segera dibaca
Pelajaran
terakhir.
Bagi
siapa saja yang dapat mempelajari pe-
lajaran
akhir ini akan mendapatkan kesaktian luar
biasa.
Sebuah kekuatan gaib yang datang dari de-
lapan
penjuru mata angin. Di samping itu siapa sa-
ja
yang dapat menguasai pelajaran ini tidak akan
mati
karena dibunuh!
"Ckckck...!"
Tanpa
sadar Maling Tanpa Bayangan berde-
cak
kagum. Rasa kecewanya yang semula menjalar
ke
dalam lubuk hati, mendadak sirna begitu mem-
baca
bagian akhir. Sepasang matanya yang hijau
semakin
bersinar-sinar penuh kegembiraan. Di pe-
lupuk
matanya terbayang jelas kalau dunia persi-
latan
akan berada dalam genggaman tangannya.
Jangankan
untuk membunuh Siluman Ular Putih.
Membunuh
Eyang Bromo yang jadi tokoh nomor
satu
dunia persilatan pun ia merasa sanggup.
Mendapati
kenyataan yang membuat ha-
tinya
berbunga, Maling Tanpa Bayangan kembali
menelusuri
kata demi kata yang terkandung dalam
pelajaran
terakhir dalam Kitab Paguyuban Setan.
Syaratnya...
Bila
ingin tidak mendapatkan akibat apa
pun,
lakukanlah semadi selama empat puluh hari
Jum'at
Kliwon di tempat tersembunyi
Bila
ingin meringkas, lakukanlah semadi tiga
hari
tiga malam menjelang hari Jum'at Kliwon. Bila
gagal
akibatnya mati!
Maling
Tanpa Bayangan bergidik ngeri. Ha-
tinya
kecut membaca tulisan-tulisan terakhir. Ra-
sa
takut yang demikian luar biasa tiba-tiba me-
nyentak-nyentak
nyalinya. Tanpa sadar tubuhnya
mengeluarkan
keringat dingin. Wajahnya pucat
pasi.
Sepasang matanya yang hijau membelalak
liar!
"Setan
Alas! Kenapa syaratnya demikian be-
rat?!"
Maling Tanpa Bayangan menggeram. Batu
putih
pipih tempatnya bertapa dicengkeramnya
kuat-kuat
hingga kontan hancur. Dan kepingan-
kepingan
batu putih di tangan kanan dilempar-
kannya
begitu saja.
"Keparat!
Apa pun akibatnya, demi membu-
nuh
Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia
persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus
mempelajari
kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayan-
gan
seperti kerasukan setan.
Wajah
yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan.
Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat
mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu
membaca
huruf-huruf terakhir yang terkandung
dalam
Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf
terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han
ilmu yang akan dipelajari.
"Hm....
Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan
cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!"
Maling
Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk
mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk
mempelajari
pelajaran terakhir yang terkandung
dalam
Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya.
***
Puncak
Gunung Perahu masih berselimut
kabut.
Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya.
Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya
merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur,
membentuk bulatan samar-samar.
Meski
matahari sudah mulai merayap ting-
gi,
suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi
masih
merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting
pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan.
Dalam
keadaan selimut dingin seperti ini,
tampak
sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus
berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu,
melewati lereng sebelah timur.
Menilik
gerakannya yang ringan laksana
kapas
tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian
hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh
sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak
lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah
berdiri
di puncak gunung.
Sambil
bertolak pinggang, sosok berpakaian
hijau
tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung.
Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi
ramping
dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat
dengan
kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpa-
kaian
hijau tua itu adalah seorang wanita. Usianya
kira-kira
tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik
berbentuk
bulat telur. Rambutnya digelung ke
atas.
Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian
ketat warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk
payudaranya
terlihat jelas.
Siapakah
sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian
hijau tua itu? Mau apa ia menyambangi Ta-
bib
Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu
sepagi
itu?
Agak
aneh kedatangan wanita cantik satu
ini
memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak
kurang
satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini?
Akan
berobatkah dia?
Bisa
jadi!
Sosok
wanita cantik berpakaian hijau tua
itu
kini mulai gelisah. Segenap mata memandang
belum
juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya
orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya.
"Tabib
Agung! Keluarlah kau! Aku datang
ingin
menemuimu!"
Akhirnya,
suara merdu namun cukup lan-
tang
meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil
orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak,
tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita
cantik
itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana
Tabib Agung bertapa. Yang diketahuinya Tabib
Agung
bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk
mengobati rasa penasarannya, tak
ada
pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus
mengulang
teriakannya berulang-ulang. Seperti te-
riakan
sebelumnya, tetap saja orang yang dicari
tak
didapati.
"Tabib
Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini
tak
sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan
salahkan
kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung
Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat an-
caman.
"Hei
he he...! Ada apa? Dari tadi aku di sini,
kenapa
kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal,
he?"
Mendadak
terdengar sahutan dari belakang,
membuat
si wanita cantik terkejut bukan main.
Betapa
tidak? Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan,
tapi kedatangan orang di belakangnya tak
diketahuinya
sama sekali. Hal ini saja sudah
membuktikan
bahwa ilmu meringankan tubuh
orang
di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu
si wanita berbalik, ternyata orang
yang
tengah dicarinya kini tengah asyik duduk
ongkang-ongkang
kaki di sebuah bongkahan batu.
Usianya
kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus.
Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya
yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning.
Dialah
Tabib Agung yang sedang dicari si wanita
cantik.
"Keparat!
Berani kau mempermainkan aku,
he?!
Kenapa tidak menyahut dari tadi?" maki si
wanita
"Ah...!
Siapa berani mempermainkanmu?
Dari
tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak me-
lihat.
Apa barangkali matamu lamur, ya?"
Wanita
cantik berpakaian hijau tua itu
menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak
mungkin
matanya salah lihat. Tadi ia sudah mem-
perhatikan
sekitar tempat itu. Tak mungkin tua
bangka
itu datang begitu saja!
"Hm...!
Rupanya kabar yang tersiar di dunia
persilatan
memang benar. Tua bangka ini memiliki
kepandaian
tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku,"
gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...!
Ditanya kok malah bengong! Tuli,
ya?"
ledek si kakek renta yang lak lain Tabib
Agung
"Keparat!
Jadi kaukah yang bergelar Tabib
Agung?"
"
Ya. Kau sendiri siapa? Apakah kau..., yang
bergelar
Rondo Kasmaran?" tebak Tabib Agung ji-
tu.
Wanita
cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak
kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib
Agung
mengenali julukannya.
"Matamu
sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui,
aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari
mana
kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wa-
nita yang ternyata Rondo Kasmaran, tak dapat
menyembunyikan
rasa penasaran.
Tabib
Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya
yang saling bersilangan digoyangkan ke sana
kemari.
"Jelas
sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah
kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu
ada
pertemuan para pendekar di puncak Gunung
Kelud?
Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni
di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan
Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau
langsung
marah-marah begitu digoda Raja Penyi-
hir. Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului
para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten,"
sindir Tabib Agung.
"Tua
bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi
ke
Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu?!"
bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!"
Tabib Agung menjebikkan bibir.
"Enak
saja ngomong! Kau bukannya minta izin,
tapi
karena ngadat. Lalu kau pergi begitu saja.
Jangan
mungkir, ah!"
Rondo
Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na,
memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya
kesal mendapat tanggapan sepele dari para
pendekar.
Maka ia pun memutuskan melapor ke
Kadipaten Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui
kejadian
ini, silakan baca dalam episode: "Pengua-
sa
Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau....
Kau memang keparat, Tua Bangka
Jelek!
Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa,
he?!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya.
Kedua
telapak tangannya yang mendadak berubah
hijau
tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung.
Tapi....
"Sabar!
Sabar! Kuharap jangan lekas naik
darah.
Tak baik wanita secantikmu marah-marah?
Ada
apa sebenarnya kau datang kemari, he? Ten-
tunya
tidak akan menantangku bertarung, kan?"
ujar
Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran.
Mau
tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do
Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan
kembali, begitu mendengar ucapan Ta-
bib
Agung yang tidak bermaksud memusuhi.
Meski
hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat
menyerang
Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang
membutuhkan pertolongannya!
"Benar,
aku datang kemari memang bukan
mengajakmu
bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!"
ragu-ragu
Rondo Kasmaran ingin mengucapkan
maksudnya
yang sebenarnya. Mendadak semburat
warna
merah meronai kedua pipinya
Tabib
Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai
tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi
tamu-tamunya
yang akan berobat. Kalau seorang
wanita
sampai malu-malu untuk mengutarakan
penyakitnya,
jelas itu pasti satu penyakit pribadi.
Dan
mungkin hanya orang tertentu yang boleh
mengetahui.
"Apa
penyakitmu Rondo Kasmaran? Kenapa
kau
malu-malu? Bukankah kau ingin berobat?"
desak
Tabib Agung, halus.
"Iya.
Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah!
Katakan saja kalau kau ingin
sembuh
dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!"
Rondo
Kasmaran menggigit bibir bawahnya.
Sikapnya
saat itu benar-benar lucu. Mirip anak
perawan
di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho?
Kok, malah diam? Katanya mau bica-
ra?"
desak Tabib Agung lagi.
"Aku...,
aku sekarang tak ingat lagi dengan
Kakang
Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru.
Mau
tak mau Tabib Agung wajib melongo
heran.
"Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah
kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum
tahu apa penyakit yang diderita
Rondo
Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong
pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak
jadi
heran? Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo.
"Ah...!
Bagaimana aku dapat menolongmu
kalau belum tahu penyakitmu," tukas Tabib
Agung,
sarat keheranan.
''Ya,
ampun! Jadi kau ini tabib macam apa,
he?!"
bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!"
Tabib Agung menarik mundur da-
danya
ke belakang. "Jangan sembarangan kau
menghina,
Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal
di delapan penjuru angin. Penyakit macam
apa
pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi?
Kau dapat menolongku?"
"Ya,
jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-
ru-buru
Tabib Agung meralat ucapannya.
"Sekarang
aku..., aku sepertinya tak men-
cintai
Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasma-
ran
malu-malu sembari menyembunyikan wajah-
nya
dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengata-
kan
aku mata keranjang, ya?"
"Ya
sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu
itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu
mata
keranjang?"
"Tapi....
Tapi sekarang aku justru mencintai
orang
lain!" jelas Rondo Kasmaran tanpa diminta.
"Itu
kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak
jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan
padaku?"
"Tapi
aku harus meminta pertolonganmu,
Bib.
Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak
membalas
cintaku," ungkap Rondo Kasmaran.
"Bodoh
benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur?
Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan.
Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu?
Siapa
nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya
aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal
sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo
Kasmaran
malu-malu.
"Apa?
Kau mencintai Siluman Ular Putih?
Dasar
tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa
yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran
mendongakkan
kepalanya. Berani. Hatinya ter-
singgung
sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk
gondrong itu!"
"Ooo...!"
Rondo
Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya
Tabib Agung mengatakan tolol untuknya.
Untung
saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau
tidak,
bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat
di wajah Tabib Agung.
"Sekarang
aku harus menolong apa?" tanya
Tabib
Agung, masih belum mengerti.
Rondo
Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam.
Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali
rasanya
mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya
mengeluh
berulang-ulang, sebelum akhirnya
membuka
suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It...,
itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi
aku
yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.
Rondo
Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan
kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali
masih
terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
turkannya
pertemuan dengan Siluman Ular Putih.
Dari
pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut
di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-
jelasnya.
(Untuk mengetahui pertemuan Rondo
Kasmaran
dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca
dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa
Takhta
Leluhur").
Tabib
Agung menelan ludah berulang kali.
Lama
mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka
makin
rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya
menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan
Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak
mengerti.
"Bagaimana,
Bib? Sekarang kau mau kan
menolongku?"
tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya
yaya...! Tentu aku mau menolongmu.
Hanya
aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah,
Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai
Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat
memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las.
"Kau
kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau
kau
meminta pertolongan ini, kukira aku tak
sanggup,"
sergah Tabib Agung.
"Tolonglah,
Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat
memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan
cara apa pun, kau harus menolongku. Kau
pasti
bisa. Bib!"
"Maksudmu...?"
Kening Tabib Agung makin
berkerut-kerut
heran. Sama sekali belum tahu,
apa
yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...,"
Rondo Kasmaran menelan
ludahnya
sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-
lah
aku mantera guna-guna agar Siluman Ular Pu-
tih
mencintaiku!"
"Apa?!"
5
Sebelum
melakukan semadi, Maling Tanpa
Bayangan
diwajibkan mandi jamas terlebih dulu
dengan
tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua
di
tepi Sungai Serayu-lah Maling Tanpa Bayangan
mulai
bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan.
Tapi akhirnya tekadnya makin mantap
untuk
mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab
Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari
tiga
malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam
pertama bersemadi, Maling Tanpa
Bayangan
merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti
dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini
tentu
saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak
bagai terbakar kekuatan gaib yang entah
dari
mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur
tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-
gung.
Parasnya memerah, seolah melepuh oleh
hawa
panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan
itu
bisa diatasinya.
Pada
malam kedua, pertahanan Maling
Tanpa
Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya
tetap
seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-
ga
mendengar suara-suara gaib yang datang dari
delapan
penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara
gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa
makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling
Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya
kuat-kuat.
"Aku
harus kuat menghadapi semua cobaan
ini.
Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!"
tandas hatinya, tak henti.
Paras
lelaki ini tampak makin memerah.
Bahkan
mendekati gosong saking tidak tahannya
menerima
rongrongan hawa panas luar biasa. Di
hari
pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup
menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun
di hari kedua, segenap ketabahannya harus
dikerahkan.
Apalagi kini ditambah suara-suara
aneh
dari delapan penjuru angin yang tak kalah
hebatnya
menyiksa.
Tidak
ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup
Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya
melepuh, lubang telinga, lubang hidung,
dan
dari mulutnya mengeluarkan darah merah
kehitam-hitaman,
pendiriannya tak berubah. Lela-
ki
ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari
ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Entah
mungkin karena nasib baik masih
berpihak
pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya
semadi
hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan
ketika
pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan
sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih da-
lam
sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu
terkapar
di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong
tampak demikian mengerikan. Melotot tak
berkedip
sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan
siksaan selama bersemadi semalam.
Maling
Tanpa Bayangan saat ini tak lagi
menghiraukan
sekujur tubuhnya yang melepuh.
Demikian
pula rasa sakit di gendang telinganya
yang
pecah akibat suara-suara gaib mengandung
kekuatan
luar biasa. Suara-suara gaib itu tak
hanya
menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk
jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara
gaib
itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini
saat-saat tegang masih menunggu di
depan
mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi
nyawa
Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di
malam
kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan
menghadapi
cobaan. Membayangkan itu semua,
diam-diam
Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik
ngeri.
Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya
akan
melayang!
Inilah
taruhannya!
Menghadapi
saat-saat yang paling memba-
hayakan
bagi keselamatannya, diam-diam hati
Maling
Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main.
Meski
saat-saat tegang itu belum dilalui, namun
sekujur
tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin.
Parasnya
yang kemerahan kini tampak kehijauan,
saking
ngerinya membayangkan kejadian nanti
malam.
"Demi
iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak in-
gin
mati merana seperti ini," tegasnya dalam hati.
Berulang-ulang
Maling Tanpa Bayangan
menguatkan
hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar
sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit
pula niat untuk urung mempelajari ilmu
yang
terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan.
Namun
berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa
tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga me-
rasa
akan mendapat laknat dari iblis-iblis di dela-
pan
penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau
tidak mau, akhirnya Maling Tanpa
Bayangan harus
menunggu sampai saat semadi
berakhir,
meski tidak tahu akan nasibnya. Entah
mati
merana, entah akan berhasil mendapatkan
ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan.
Sekarang
hari mulai menjelang petang. Hati
Maling
Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan.
Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti?
Maling
Tanpa Bayangan terus menduga.
Hingga
tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti
yang dialami di malam pertama dan kedua,
begitu
malam merangkak, sekujur tubuhnya pun
mulai
dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan
kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam
sebelumnya.
Maling
Tanpa Bayangan melejang-lejang
hebat.
Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari,
Sementara
gejolak hawa panas dalam tubuhnya
kian
membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib
yang
semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya
pun kembali terdengar.
Bukan
main dahsyatnya siksaan yang di-
alami
Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus
dialami
sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa
Bayangan
tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya
terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung
saja, Maling Tanpa Bayangan tetap
bersikeras
tak mau menyerah. Hingga pada tengah
malam,
mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk aneh berkulit hitam legam entah dari
mana
datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh
itu
beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya
lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah
ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan
yang
terus bersemadi.
"Keak!
Keakkk!"
Suara-suara
riuh rendah makhluk-makhluk
halus
itu terus mengusik ketabahan hati Maling
Tanpa
Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan
menggidikkan.
Tanpa sadar, bulu kuduk Maling
Tanpa
Bayangan pun berdiri!
Seperti
tidak mengenal belas kasihan sedikit
pun,
makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari
memutari tubuh Maling Tanpa Bayangan
sambil
terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya.
Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya,
Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu
kekuatan
gaib yang luar biasa kuatnya. Seolah-
olah
suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan
makin
lama tenaga betotan itu terasa makin kuat
luar
biasa.
Maling
Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi
langit. Siksaan yang diterimanya kali ini be-
nar-benar
hebat! Tubuhnya kembali bergulingan
ke
sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu,
lalu menghantam dinding gua yang lainnya.
Semua
dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami
siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak
tahan
menerima siksaan, pandangan matanya jadi
gelap
dan gelap....
Entah
antara sadar atau tidak, pada saat
pandangan
matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa
Bayangan mendengar suara dinding-dinding
gua
menggemuruh melemparkan bebatuan yang
ada
di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar
ganas di luar sana.
Maling
Tanpa Bayangan tak peduli apa yang
tengah
terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada
di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing
genting bagi keselamatannya, mendadak terasa
ada
sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah,
wahai anak manusia!"
Entah
mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba
Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun.
Begitu
kedua bola matanya membuka seketika itu
hatinya
terkejut bukan kepalang. Di hadapannya
saat
ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah
amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang
matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar
mata
kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya
amat
kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak
bertonjolan
di sana sini.
Maling
Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk
halus itulah yang tadi membangunkannya.
Kini
berhadapan dengan sesosok makhluk halus
yang
tampaknya sangat disegani di kalangan mak-
hluk-makhluk
halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki
ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-
luhan
makhluk halus yang sedari tadi menggang-
gu
semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing.
Mereka hanya memperhatikan sosok
makhluk
di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh
hormat.
"Dengarlah,
wahai anak manusia! Sesung-
guhnya
mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku.
Kau
tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau
akan
langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini
adalah
biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau
wajib
bersyukur menerima karunia kami. Terima-
lah
karunia kami!"
Usai
berkata begitu, mendadak kedua bola
mata
sosok makhluk halus itu mencorong aneh
yang
disusul keluarnya dua larik sinar hitam
le-
gam,
langsung bersemayam dalam tubuh Maling
Tanpa
Bayangan.
Seketika
tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar
hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu,
sekujur
tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas.
Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya
pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar
bugar
seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh,
entah
kenapa kain kafan yang membungkus tu-
buhnya
kini menyatu dengan kulit tubuhnya!
Maling
Tanpa Bayangan memperhatikan
keadaan
dirinya dengan mata terbelalak. Seolah
tak
percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang
kau bebas, wahai anak manusia.
Dengan
sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan
telah
tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah.
Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas
mengumbar
segala nafsu yang mengeram dalam
tubuhmu.
Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan,
wahai
anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi
keinginanmu!"
Darrr!!
Begitu
suara gaib sosok makhluk halus itu
usai,
mendadak di luar sana terdengar kilat me-
nyambar
ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi
Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat!
Maling
Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa
tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat me-
nyambar.
Bumi tempatnya berpijak pun seakan-
akan
bergetar hebat!
Selang
beberapa saat, baru Maling Tanpa
Bayangan
menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar
dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat
bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan
tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat
dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti,
kawanan
makhluk halus itu telah lenyap entah ke
mana."
Maling
Tanpa Bayangan segera mengambil
Kitab
Paguyuban Setan dari balik jubahnya. Kem-
bali
dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ
tergambar
jelas, bagaimana menciptakan pukulan-
pukulan
dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam
Maling Tanpa Bayangan berso-
rak
gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi mengha-
dapi
Siluman Ular Putih maupun tokoh-tokoh sak-
ti
dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat menga-
lahkan
mereka semua. Bahkan bukan saja menga-
lahkan,
tapi juga ingin membunuh siapa saja yang
berani
menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya
ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu
melebihi
kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh
Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu
terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai
hal
ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Se-
tan").
"Sekaranglah
saatnya aku membalas den-
dam...!"
***
Emoticon