"Benar-benar laknat!"
Adipati Reksopati mendesis geram di kursi kebe-
sarannya. Kedua telapak tangannya mencengkeram
lengan kursi kuat-kuat. Sepasang matanya beringas
menyapu semua yang hadir di ruang pendopo Kadipa-
ten Pleret.
Saking gusarnya, lelaki gagah berusia empat pu-
luh tahun yang menguasai Kadipaten Pleret itu sampai
terlonjak dari tempat duduknya. Sementara semua
yang hadir di ruang pendopo membungkam. Ketika le-
laki yang memiliki wajah tampan itu kembali luruh di
kursi kebesarannya, wajahnya terlihat muram. Tu-
buhnya yang tinggi besar dibalut pakaian kebesaran
terguncang. Dadanya bergerak turun naik, seolah ten-
gah menahan gejolak amarah.
"Kangmas Adipati Reksopati! Apa maksud ucapan,
Kangmas?" tanya seorang gadis cantik berusia tujuh
belas tahun setelah memberanikan diri.
Wajah si gadis yang berbentuk bulat telur nampak
putih bersih. Rambutnya yang hitam panjang digelung
ke atas. Pakaiannya yang ringkas warna kuning. Dan
ia memang masih adik tiri Adipati Pleret, yakni Putri
Sekartaji.
Di sebelah Putri Sekartaji, duduk bersila seorang
lelaki gagah berusia lima puluh lima tahun. Tubuhnya
tinggi besar. Rambutnya dikuncir ke belakang. Pa-
kaiannya berupa jubah kuning keemasan. Sebilah pe-
dang berwarna kuning menyembul dari balik pung-
gungnya. Menilik pakaiannya, jelas lelaki ini berasal
dari dunia persilatan. Memang, ia adalah Pendekar
Bintang Emas yang merupakan guru Putri Sekartaji!
"Putri! Harap jaga ucapanmu!" ujar Pendekar Bin-
tang Emas berbisik cemas. Kata-katanya tadi di-
ucapkan sedikit sopan. Tak seperti biasanya bila guru
dan murid itu sedang di luar lingkungan kadipaten.
"Memangnya kenapa, Guru? Apa aku salah ber-
tanya demikian? Kukira justru Kangmas Adipati-lah
yang harus segera bertindak terhadap pemberontakan
laknat. Yah...! Kangmas Sembodo yang kini bergelar
Pangeran Pemimpin itu memang laknat! Tak tahu diri!
Teganya ingin menggulingkan kekuasaan Kadipaten
Pleret. Tanah kelahirannya!" sergah Putri Sekartaji
tanpa mempedulikan kecemasan gurunya. (Untuk
mengetahui tentang sepak terjang Pangeran Pemimpin,
baca episode: "Penguasa Alam").
Adipati Pleret membetulkan letak duduknya. Se-
pasang matanya tajam memperhatikan adik tirinya.
Lalu perhatiannya beralih pada Pendekar Bintang
Emas juga semua yang hadir di ruang pendopo. Sua-
sana pun jadi tegang.
''Nimas...!" panggil Adipati Reksopati bergetar.
"Sebenarnya apa yang kau ketahui belum seberapa.
Kau hanya mengetahui sikap Kangmas Sembodo seka-
rang saja. Tapi, kau tak tahu dengan apa yang dilaku-
kan Kangmas Sembodo terhadapku beberapa puluh
tahun lalu sewaktu kau masih kecil?"
"Hm... Tentu saja tidak, Kangmas," jawab Putri
Sekartaji kalem.
Adipati Pleret menghela napas sebentar. Tampak
sekali kalau gejolak amarahnya berusaha ditahan.
"Nimas! Tentunya kau tahu, Kangmas Sembodo
itu sangat licik. Tapi apa kau pikir kelicikannya hanya
ingin menggulingkan kekuasaanku saja? Tidak! Sama
sekali tidak. Dulu sewaktu kau masih kecil, berkali-
kali ia ingin mencelakakanku. Entah dengan cara apa,
selalu saja ia ingin menjatuhkanku. Bahkan pernah
pula meracuniku. Untung saja Ibunda Permaisuri tahu
dan segera membawaku pada tabib kadipaten. Kalau
tidak, bukan mustahil nyawaku melayang. Sekarang
apa yang diinginkannya, benar-benar membuatku
jengkel."
Putri Sekartaji semakin geram mendengarnya.
"Sudahlah, Aku pun mengerti perasaanmu. Oh,
ya. Sekarang bagaimana kau sampai datang bersama
gurumu? Bukankah tempo hari kau sudah pulang?"
kata Adipati Reksopati, mengalihkan pembicaraan.
"Maaf, Kangmas Adipati! Sebenarnya aku masih
belum puas dengan hasil penyelidikanku. Untuk itu,
diam-diam aku kembali bergabung dengan Siluman
Ular Putih untuk menyelidiki Kangmas Sembodo. Juga,
menyelidiki Lukisan Darah yang raib. Namun karena
satu hal, tiba-tiba Siluman Ular Putih memutuskan
untuk membagi pekerjaan. Dan akhirnya aku bertemu
Guru," jelas Putri Sekartaji.
"Hm...! Tampaknya kau menyembunyikan sesua-
tu, Nimas? Apakah benar demikian, Paman Jayaraka?"
tanya Adipati Pleret meminta pendapat Pendekar Bin-
tang Emas yang bernama asli Jayaraka.
Pendekar Bintang Emas sejenak menghela napas
panjang. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan dili-
batkan pembicaraan antara Putri Sekartaji dengan ka-
kaknya.
"Terus terang, hamba kurang tahu apa yang dis-
embunyikan murid hamba. Lebih lagi dengan kedatan-
gannya selaku utusan Kanjeng Adipati untuk meminta
bantuan para pendekar guna menghadapi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Benarkah demikian, Kan-
jeng Adipati?"
Setelah berkata demikian, Pendekar Bintang Emas
melirik Putri Sekartaji.
Si gadis jadi gelisah sekali di tempat duduknya.
Sebentar-sebentar ia selalu meremas-remas tangannya
sendiri.
"Nimas! Apa benar kau telah mengaku sebagai
utusanku?" tegur Adipati Pleret tak senang seraya
menggeleng.
"Maaf, Kangmas Adipati! Hal ini terpaksa kulaku-
kan. Sebenarnya kepergianku ke puncak Gunung Ke-
lud hanya ingin memberitahukan Ki Rombeng kalau
orang tua sakti yang bergelar Pendidik Ulung kini be-
rada dalam cengkeraman Pangeran Pemimpin. Sewak-
tu aku dan Siluman Ular Putih memergoki utusan-
utusan Pangeran Pemimpin hendak pergi ke suatu
tempat, kelihatan sekali kalau sikap Pendidik Ulung
amat mencurigakan. Sikapnya kaku mirip mayat hi-
dup. Sikapnya berbeda jauh sekali sewaktu kami per-
tama kali bertemu. Di samping itu, kami pun melihat
salah seorang dari rombongan utusan Pangeran Pe-
mimpin tengah membawa-bawa Lukisan Darah. Atas
dasar itulah kemudian kami membagi pekerjaan. Si-
luman Ular Putih terus mengikuti kepergian para utu-
san Pangeran Pemimpin, sedang aku terus berkunjung
ke puncak Gunung Kelud."
"Tapi bukan berarti kau harus seenaknya menga-
ku utusanku, Nimas!"
"Maaf, Kangmas Adipati! Mula-mula aku memang
tidak berpikir ke sana. Tapi, waktu kulihat banyak
pendekar berkumpul di puncak Gunung Kelud, tiba-
tiba pikiranku berubah. Lantas, aku mengaku saja se-
bagai utusan Kangmas Adipati."
"Hm…!" gumam Adipati Pleret seraya menggeleng-
geleng. "Seharusnya kau tak boleh selancang itu, Ni-
mas! Terus terang aku sangat mencemaskan kesel..."
"Maaf, Kanjeng Adipati! Aku datang melapor."
Sebuah suara membuat Adipati Reksopati meng-
hentikan pembicaraan. Keningnya berkerut tak se-
nang. Namun ketika melihat sesosok manusia yang di-
kenalnya di depan pintu masuk ruang pendopo, men-
dadak jadi tersenyum senang.
***
Di depan pintu ruang pendopo, berdiri seorang
pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di
bahu. Tubuhnya tinggi kekar. Pakaiannya rompi dan
celana bersisik warna putih keperakan. Di pinggang-
nya tampak terselip senjata berupa sebatang anak pa-
nah yang memiliki dua cakra kembar di kanan kiri
ujung anak panah yang berupa kepala ular.
"Siluman Ular Putih!" pekik Putri Sekartaji se-
nang.
Dengan sikap santai pemuda yang dipanggil Silu-
man Ular Putih segera masuk ke dalam ruang pendo-
po. Dua orang prajurit yang tadi mengawal pun segera
kembali ke tempat jaga masing-masing.
"Sobatku Siluman Ular Putih! Apa yang ingin kau
laporkan?" sambut Kanjeng Adipati Pleret disertai se-
nyum terkembang.
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum sebentar
seraya melangkah ke arah Putri Sekartaji.
"Ada, Kanjeng Adipati. Tapi, tunggu!" sahut Soma.
Segera pantatnya dihenyakkan di samping Putri Sekar-
taji seenaknya.
"Eh...! Kau jangan duduk di situ, Sobat! Mari du-
duk di sampingku," ujar Kanjeng Adipati seraya me-
langkah turun mendekati murid Eyang Begawan Ka-
masetyo.
Mendapat kehormatan besar, Soma malah meng-
garuk-garuk kepala Senyumnya pun tampak aneh ter-
sungging di bibir.
"Apes memang! Mau duduk di samping Putri Se-
kartaji saja tidak boleh. Baik. Kuturuti kemauanmu,
Kanjeng," gerutu Soma seperti berkata pada diri sendi-
ri:
Kanjeng Adipati yang mendengar gerutuan Soma
hanya tersenyum lebar. Sedikit pun tidak merasa ter-
singgung dengan tingkah laku nyeleneh Siluman Ular
Putih.
"Kau selalu saja bersikap begitu, Sobat. Apa kau
tidak bisa sedikit berlaku hormat padaku?" tegur Adi-
pati Pleret lalu disusul tawa berderai.
Entah kenapa Soma pun ikut tertawa.
"Kalau Kanjeng Adipati dapat terbang seperti bu-
rung, bolehlah aku menghormat. Dia di atas. Bukan
begitu, Kanjeng?" oceh Soma di antara tawa gelaknya.
Kanjeng Adipati makin melipatgandakan tawanya.
Lalu diraihnya lengan Siluman Ular Putih.
"Kau memang nyeleneh, Soma! Beraninya berkata
begitu padaku. Hayo, duduk di sampingku!" lanjut le-
laki Penguasa Kadipaten Pleret ini.
"Kenapa tidak berani kalau aku sudah tahu bah-
wa Kanjeng Adipati tidak akan murka?" sahut Soma
seenaknya, lalu duduk di kursi samping Kanjeng Adi-
pati.
"Ah..,! Kau ini!" ujar Kanjeng Adipati Pleret. "Su-
dah! Sekarang kau mau lapor apa?"
Siluman Ular Putih tersenyum. Mendadak pan-
dang matanya membentur sepasang mata indah Putri
Sekartaji. Senyum murid Eyang Begawan Kamasetyo
pun makin melebar.
"Tidak bertemu sehari saja kau sudah demikian
cantiknya, Putri. Apalagi kalau tidak bertemu satu
atau dua tahun. Hm...! Sungguh aku tak dapat mem-
bayangkan betapa cantiknya wajahmu nanti!" celoteh
Soma.
Entah kenapa, mendengar pujian Siluman Ular
Putih hati Putri Sekartaji jadi tak karuan. Kedua pi-
pinya kontan dihiasi rona merah. Sikapnya pun jadi
serba salah tingkah.
Siluman Ular Putih dan semua yang berada di
ruang pendopo hanya tersenyum saja. Apalagi ketika si
pemuda kembali menggoda. Maka semua yang berada
di ruang pendopo jadi tidak tahan menahan tawa.
"Sudah, sudah! Katanya mau melapor! Malah me-
lantur tak jelas juntrungnya!" tegur Adipati Pleret, tak
tega melihat adik tirinya jadi makin salah tingkah.
"Ah...! Rupanya kau membela adikmu, Kanjeng.
Tapi tak apa-apalah. Mungkin memang begitulah sifat
seorang kakak," lanjut Soma
"Iya, iya! Tapi kau mau melapor apa?" tukas Kan-
jeng Adipati tak sabar.
Soma tidak langsung menjawab. Dan senyumnya
malah makin diumbar.
"Begini, Kanjeng Adipati. Mudah-mudahan Kan-
jeng Adipati tak terkejut bila kukatakan kalau aku su-
dah menemukan harta karun yang terkandung dalam
Lukisan Darah," lapor Soma seenaknya.
"Jadi kau sudah mendapatkan harta karun itu?!
Kau sudah mendapat Lukisan Darah?" sentak Kanjeng
Adipati, memberondong. Sungguh tak disangka kalau
Siluman Ular Putih akan melaporkan kejadian penting
itu dengan cara demikian santai.
"Ya. Memangnya kenapa? Kaget?" goda Soma.
"Tunggu! Sebaiknya kau jangan mengatakan sem-
barangan, Soma!" pinta Kanjeng Adipati, takut Soma
kelepasan bicara.
"Tentu. Aku mengerti, kok," sahut Soma. Lalu bi-
birnya didekatkan ke telinga Kanjeng Adipati. "Seka-
rang aku telah menemukan harta karun itu, Kanjeng."
"Di mana?" sahut Kanjeng Adipati berbisik pula.
"Di puncak Gunung Kembang. Tepatnya, di dalam
sebuah goa di lereng sebelah barat puncak Gunung
Kembang."
"Ah...!" desah Kanjeng Adipati penuh keterkejutan.
"Kenapa ah? Apa Kanjeng Adipati cemas kalau
aku mengangkangi harta karun itu?"
"Bukan! Bukan itu! Tapi, kenapa tidak kau bawa
sekalian kemari?"
"Jumlah harta karun itu terlampau banyak. Tak
mungkin aku membawa kemari seorang diri. Baiknya,
Kanjeng Adipati segera mengutus beberapa orang pra-
jurit kepercayaan untuk mengambilnya! Ini petanya!"
jelas Soma. Segera diambilnya gulungan besar yang
disembunyikan di balik punggung dan diserahkannya
pada Kanjeng Adipati.
Adipati Reksopati mengamati gulungan pemberian
murid Eyang Begawan Kamasetyo seksama. Lalu alis-
nya bertautan.
"Bukankah ini Lukisan Darah, Soma? Kenapa jadi
begini tak karuan?" bisik Kanjeng Adipati heran,
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa Lukisan Darah
yang semula bergambar seorang wanita tanpa busana
itu jadi demikian rupa. Sayang memang. Aku jadi tidak
dapat melihat keindahan tubuhnya dalam lukisan itu.
Apa kau juga menyenanginya, Kanjeng?" oceh Soma
seenak udelnya.
"Hush...! Kau jangan melantur! Maksudku, kena-
pa lukisan ini jadi gulungan begini?"
"Oh... itu! Sebenarnya memang sayang. Tapi un-
tuk lebih amannya, aku sengaja mencopot lukisan itu
dari bingkainya. Apa kau keberatan? Kalau keberatan,
ya... nantilah kucarikan bingkainya," sahut Soma ka-
lem.
"Tak usah. Aku bisa menyuruh beberapa orang
ahli ukir di kadipaten ini untuk membuatnya yang sa-
ma persis."
"Nah...! Begitu juga boleh...."
"Ah...! Kau ini...," ujar Kanjeng Adipati. Lalu per-
hatiannya dialihkan pada Pendekar Bintang Emas.
"Paman Jayaraka! Seperti yang telah kita bicarakan
tadi, apakah para pendekar sudi membantu kami guna
menumpas kaum pemberontak pimpinan Kangmas
Sembodo?"
"Hamba datang kemari justru diutus teman-teman
pendekar, Kanjeng. Dan sekarang terserah, Kanjeng
Adipati. Kami hanya tinggal menunggu perintah," jelas
Pendekar Bintang Emas.
"Baik. Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki
Rombeng, dan juga para pendekar lain. Nanti kalau
ada kabar baik, aku pasti akan mengutus seorang pra-
juritku untuk memberi tahu kalau kalian di puncak
Gunung Kelud," ujar Adipati Pleret akhirnya.
"Baik," sahut Pendekar Bintang Emas singkat.
Adipati Pleret mengangguk-angguk penuh kepua-
san.
***
2
Pangeran Pemimpin gusar bukan main setelah
menerima laporan kalau Pelajar Agung, Raja Racun,
dan Raja Golok tidak dapat menjalankan tugas dengan
baik. Bahkan kini Pendidik Ulung telah diamankan
oleh para pendekar yang dipimpin Raja Penyihir dan
Manik Biru! (Untuk mengetahui kegagalan tugas Pela-
jar Agung dan kawan-kawan, silakan baca: "Penguasa
Alam").
Meski Pangeran Pemimpin merasa gusar menden-
gar laporan Pelajar Agung, namun tak sepatah kata
pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya memukul-
mukulkan tinju ke telapak tangan sambil berjalan
mondar-mandir di hadapan sekutu dan anggota Partai
Kawula Sejati. Memang, ada hal lain yang mengganggu
pikirannya. Bagaimanapun juga ia cukup tahu watak
Pelajar Agung yang tinggi hati. Kalau Pangeran Pemim-
pin mencaci kegagalannya, bukan mustahil Pelajar
Agung akan balik memusuhi. Bahkan tidak mau lagi
membantu perjuangannya. Maka wajar kalau Pangeran
Pemimpin tidak mengeluarkan caci makinya, meski da-
lam hatinya merasa gusar bukan main.
"Sungguh aku tidak tahu lagi apa yang harus ku-
lakukan! Kegagalan demi kegagalan benar-benar bisa
membuatku sinting! Nimas Putri Sekartaji yang sebe-
narnya dapat kumanfaatkan untuk menggulingkan
kekuasaan Adipati Pleret telah lenyap dari genggaman
tanganku. Sekarang harta karun yang sebenarnya su-
dah di depan mata pun lenyap! Benar-benar menjeng-
kelkan! Bisa sinting aku memikirkannya!" desis Pange-
ran Pemimpin, tanpa bermaksud menyinggung pera-
saan Pelajar Agung.
"Aku tahu apa yang kau maksudkan, Pangeran.
Tampaknya kau menyalahkanku?" tukas Pelajar
Agung, ternyata tersinggung juga.
Pangeran Pemimpin mendadak menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya langsung bertumbuk
pada pembantu utamanya. Pelajar Agung hanya terse-
nyum-senyum kecut. Kendati hatinya makin gusar,
namun sekali ini Pangeran Pemimpin pun tetap beru-
saha mengendalikan gelegak amarahnya.
"Kau terlalu perasa, Sobat. Terus terang alangkah
gusarnya aku melihat kegagalan demi kegagalan. Tapi
amarahku bukan kutujukan kepadamu," kata Pange-
ran Pemimpin mencoba meminta pengertian Pelajar
Agung.
"Memang, aku sendiri maklum kalau kau gusar.
Tapi semua kegagalan itu di luar kehendakku. Teru-
tama sekali, kepergianku untuk merampas harta ka-
run dari tangan Penguasa Alam. Belum sempat kami
menemukan Penguasa Alam di puncak Gunung Kem-
bang, mendadak muncul rombongan pendekar yang
dipimpin Raja Penyihir dan Manik Biru. Merekalah
yang telah menggagalkan semua rencana kita," jelas
Pelajar Agung membela diri.
Pangeran Pemimpin menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat seraya mengangguk-angguk. Sebenarnya
amarahnya ingin sekali dilampiaskan. Namun entah
kenapa, mulutnya seperti terkunci. Ia bingung pada
siapa kemarahannya harus dilampiaskan.
"Tak ada gunanya menyesali kegagalan demi ke-
gagalan, Pangeran. Yang penting, bagaimana kita ha-
rus secepatnya merebut kekuasaan Adipati Pleret! Itu-
lah yang penting!" usul seorang lelaki tua, memberani-
kan diri.
Usia lelaki itu sekitar enam puluh tahun. Wajah-
nya garang. Rambutnya gondrong awut-awutan tak ka-
ruan. Tubuhnya yang tinggi kurus mirip orang cacin-
gan dibalut pakaian warna hitam. Tokoh sesat dari
Gunung Lawu yang bersenjatakan tongkat hitam ini
dikenal se-bagai Bajing Ireng.
Di samping Bajing Ireng duduk seorang pemuda
berusia dua puluh dua tahun. Tubuhnya juga kurus,
namun otot-otot lengannya bertonjolan. Dari sinar ma-
tanya yang garang, jelas kalau pemuda berpakaian bi-
ru-biru itu pun memiliki kepandaian. Apalagi di balik
punggungnya pun tersembul gagang pedang, yang me-
nandakan kalau pemuda itu juga dari dunia persila-
tan. Dan dia tidak lain memang murid Bajing Ireng
yang bergelar Bajing Biru.
Guru dan murid itu memang telah bergabung
dengan Partai Kawula Sejati setelah terlebih dahulu
menangkap Putri Sekartaji sebagai tanda kesetiaan.
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode: "Perse-
kutuan Maut").
Di samping guru dan murid dari Gunung Lawu itu
tampak duduk beberapa tokoh sesat lain di ruang
pendopo Partai Kawula Sejati ini. Di antaranya ada Ib-
lis Mayat Merah yang sebelumnya terluka parah di
tangan Siluman Ular Putih, Ia duduk di samping adik
seperguruannya yang berjuluk Setan Mayat Merah. Di
sebelah mereka adalah Iblis Muka Merah, Rantai Ku-
mala Kuning, dan masih banyak tokoh sesat lainnya.
"Bicara memang gampang, Bajing Ireng! Tapi apa
kau tidak sadar betapa kegagalan demi kegagalan ini
bisa membuatku sinting, he?!" dengus Pangeran Pe-
mimpin lantang, seperti mendapat tempat untuk me-
lampiaskan kemarahannya.
Bajing Ireng tertawa sumbang.
"Aku tahu. Tapi, apa gunanya menyesali kejadian
yang sudah lewat? Seperti tidak ada jalan lain saja!"
sahut Bajing Ireng seenaknya.
"Bedebah! Kau memanas-manasiku, Bajing Ireng!
Kalau kau tidak dapat memberi jalan keluar, jangan
harap dapat melihat terbitnya matahari esok hari!" an-
cam Pangeran Pemimpin beringas. "
"Ah...! Kenapa jadi begini? Kau... kau tampaknya
seperti memojokkanku, Pangeran? Tapi baik kalau
memang itu yang kau inginkan!"
Sejenak Bajing Ireng menghentikan ucapannya.
Keningnya tampak berkerut-kerut bertanda tengah
berpikir keras.
"Ah...! Gampang! Gampang sekali! Kenapa kita ja-
di pusing begini? Coba Pangeran perhatikan. Apa ke-
kuatan kita selama ini kurang? Coba perhatikan baik-
baik, Pangeran! Kekuatan kita sekarang ini jauh mele-
bihi kekuatan prajurit-prajurit kadipaten. Apalagi,
dengan banyak tokoh dunia persilatan dari golongan
sesat yang memiliki ilmu hebat sudi bergabung den-
ganmu. Apa ini bukan suatu kekuatan besar? Kenapa
kita tidak lekas memanfaatkannya?" kilah Bajing Ireng
penuh semangat.
"Apa maksudmu sebenarnya, Bajing Ireng? Coba
bicara yang jelas! Kalau jalan keluarmu ini kurang
menguntungkan, maka nyawamulah tebusannya!"
bentak Pangeran Pemimpin gusar.
Bajing Ireng tersenyum dingin. Tampak sekali ka-
lau uneg-unegnya sebenarnya ingin sekali dikeluarkan.
Namun entah kenapa, ia tidak berani.
"Tidak ada pilihan lain, Pangeran. Sebelum kekua-
tan menyusut, terpaksa kita harus secepatnya me-
nyerbu kadipaten! Itulah jalan satu-satunya yang ter-
baik!" tutur Bajing Ireng akhirnya dengan hati kecut.
Pangeran Pemimpin terdiam, seperti mempertim-
bangkan usul Bajing Ireng. Sejurus kemudian kepa-
lanya manggut-manggut dengan kening berkernyit.
"Kali ini kita tidak ada pilihan lain. Kukira me-
mang itulah jalan satu-satunya yang terbaik, Pange-
ran," timpal Raja Racun, menyetujui usul Bajing Ireng.
Tiba-tiba semangat Pangeran Pemimpin yang
mengendur kembali menggebu-gebu. Namun sampai di
sini lelaki setengah baya itu belum membuka suara.
Garis-garis keningnya tampak makin berlipat-lipat.
"Kenapa harus bingung, Pangeran? Kalau itu me-
mang satu-satunya jalan terbaik, kenapa tidak lekas-
lekas dilakukan?" kali ini yang angkat bicara adalah
Pelajar Agung.
"Menurutmu bagaimana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin, meminta pendapat Pelajar Agung.
"Dalam urusan ini yang paling menentukan ada-
lah kau! Kalau kau masih ingin mengincar singgasana
Kadipaten Pleret, maka sudah waktunya berpikir lebih
cermat!"
"Hm...!" Pangeran Pemimpin mengangguk-
anggukkan kepala. "Kukira memang sudah saatnya ki-
ta menggempur Kadipaten Pleret!"
"Nah! Akhirnya, usulku diterima juga, kan?" kata
Bajing Ireng dengan senyum terkembang.
Tidak ada sahutan dari mulut Pangeran Pemim-
pin.
Sepasang matanya yang tajam sejenak memperha-
tikan semua yang berada di ruang pendopo Partai Ka-
wula Sejati dengan sinar penuh wibawa.
"Saudara-saudara anggota Partai Kawula Sejati,
dan juga sekutu-sekutuku yang setia dari dunia persi-
latan! Aku mengumumkan mulai besok pagi kita harus
mulai mengangkat senjata untuk menggulingkan ke-
kuasaan Adipati Pleret! Namun, tentu saja aku tidak
akan melupakan budi kalian. Bilamana kelak aku da-
pat menggulingkan kekuasaan Adipati Tamak itu, aku
berjanji akan membalasnya dengan berlipat ganda!"
Genderang perang baru saja ditabuh oleh Pange-
ran Pemimpin. Semua anggota dan sekutu Partai Ka-
wula Sejati menyambut gembira. Tak henti-hentinya
semua yang berada di ruang pendopo Partai Kawula
Sejati berteriak lantang, menyambut keputusan Pange-
ran Pemimpin.
Pangeran Pemimpin membusungkan dadanya.
Angkuh. Sambutan para anggota Partai Kawula Sejati
dan sekutu-sekutu dekatnya makin membuat seman-
gatnya berkobar!
***
Malam terasa lengang, tanpa kerlip bintang mau-
pun sinar bulan di angkasa. Alam mayapada seolah
dikungkung sepi. Kesunyian malam pun juga men-
gungkung sebuah sendang berkelilingkan pohon-
pohon besar. Bahkan angin pun seolah enggan ber-
hembus.
Keadaan semacam ini membuat seorang lelaki se-
tengah baya yang duduk bersila di depan sendang ma-
kin khusuk bersemadi. Wajahnya kaku dengan kulit
putih bersih. Tubuhnya tinggi kekar, terbungkus pa-
kaian surjan dan kain batik. Sebuah keris berlekuk tu-
juh menyembul di sisi pinggang belakang. Melihat ciri-
cirinya, jelas lelaki itu tak lain dari Raden Sembodo
atau yang lebih terkenal dengan Pangeran Pemimpin!
Sebenarnya apa yang tengah dilakukan Pangeran
Pemimpin seorang diri di pinggir sendang? Kenapa se-
kujur tubuhnya basah kuyup?
Memang, Pangeran Pemimpin baru saja mengada-
kan upacara suci seorang diri sebelum maju perang,
yakni dengan cara mandi 'jamas' yang dilengkapi pula
dengan berbagai macam bunga. Itu dapat dilihat dari
sisa-sisa bunga yang masih menempel di rambutnya.
Dan itu memang sudah menjadi kebiasaannya yang
kemudian dilanjutkan dengan bersemadi.
Walau keadaan malam itu kurang menguntung-
kan, namun Pangeran Pemimpin terus saja bersemadi.
Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Telapak tan-
gannya disedekapkan di depan dada, seolah-olah tidak
mempedulikan hawa dingin yang menusuk kulit.
Ketika semadi lelaki setengah baya itu mencapai
titik puncaknya, air telaga di hadapannya bergolak.
Tubuh Pangeran Pemimpin berguncang hebat. Bukan-
nya menahan dingin yang teramat menusuk kulit, me-
lainkan seolah-olah tengah menghadapi serangan te-
naga gaib yang entah datang dari mana.
Menyadari ada sesuatu yang aneh, perlahan-lahan
Pangeran Pemimpin membuka kelopak matanya. Ke-
dua bibirnya terus berkemik-kemik membaca mantra.
Air sendang di hadapannya makin bergolak, seperti
ada seekor naga besar yang tengah murka di dasar
sendang.
"Eyang Pamekasan! Tunjukkanlah dirimu, Eyang!
Aku datang memanggilmu," kata Pangeran Pemimpin
dengan bibir bergetar.
Tak ada sahutan. Hanya air sendang yang-makin
bergolak hebat. Namun setelah itu perlahan-lahan dari
dasar sendang menyembul sesosok tubuh ke permu-
kaan.
Sosok tubuh itu adalah seorang lelaki tua berpa-
kaian hitam. Wajahnya tirus dengan rambut yang pu-
tih digelung ke atas. Dan kini lelaki tua yang dipanggil
Eyang Pamekasan telah muncul di permukaan air da-
lam sikap semadi!
Melihat kemunculan Eyang Pamekasan, sejenak
Pangeran Pemimpin terkesima. Namun buru-buru ke-
dua telapak tangannya ditangkupkan di depan hidung
penuh hormat.
"Sembodo! Apa yang kau inginkan? Kenapa kau
mengusik semadiku?" tegur Eyang Pamekasan dengan
suara serak.
Sekali lagi Pangeran Pemimpin menangkupkan
kedua telapak tangannya di depan hidung penuh hor-
mat. "Maaf, Eyang! Seperti yang telah Eyang janji bah-
wa akan membantuku bila aku akan menggulingkan
kekuasaan Adipati Pleret, maka aku Sekarang mem-
bangunkan semadimu."
"Hm...! Jadi kau sudah merencanakan untuk me-
rebut takhta Kadipaten Pleret, Cucuku? Kapan?" tanya
Eyang Pamekasan penuh minat.
"Kalau tidak ada halangan, besok pagi pasukanku
mulai bergerak menuju Kadipaten Pleret, Eyang."
"Bagus! Lebih cepat lebih baik! Rasanya aku be-
lum puas kalau Cokro Ningrat belum turun takhta dan
mampus di tanganku!" desis Eyang Pamekasan, penuh
kegeraman
"Sekarang bukan Romo Cokro Ningrat yang ber-
kuasa di Kadipaten Pleret, Eyang. Melainkan Dim...."
"Cih! Tak tahu malu!" potong lelaki tua itu, mem-
buat kata-kata Pangeran Pemimpin tertahan. "Dia itu
bukan romomu! Dia itu hanya romo tirimu! Kau tidak
pantas menyebutnya romo, Cucuku! Lalu, siapa yang
sekarang berkuasa di Kadipaten Pleret?"
"Dimas Reksopati, Eyang. Tapi, kenapa tadi Eyang
mengatakan kalau aku adalah anak tiri Cokro Nin-
grat?" tanya Pangeran Pemimpin dengan kening berke-
rut.
Eyang Pamekasan tidak langsung menjawab. Ia
malah mengumbar tawanya untuk beberapa saat. Se-
mentara Pangeran Pemimpin tidak berani mengusik.
Dibiarkannya Eyang Pamekasan mengumbar tawanya.
"Tolol! Kau ini cucuku! Kau bukan anak dari Co-
kro Ningrat!" hardik Eyang Pamekasan kasar.
"Lalu, sebenarnya aku ini anak siapa, Eyang?"
tuntut Pangeran Pemimpin makin heran.
Eyang Pamekasan melipat gandakan tawanya. Wa-
jahnya yang tirus tampak demikian mengerikannya.
"Ketahuilah, Cucuku! Sebenarnya kau adalah
anak dari Prabangkoro, yakni anakku sendiri. Dan
berhubung juga mencintai Sundari, mendiang ibumu,
maka Cokro Ningrat pun memfitnah Prabangkoro
hingga dihukum gantung! Akhirnya ia berhasil mempe-
ristri mendiang ibumu, Cucuku!" tutur Eyang Pameka-
san dengan kemarahan meluap.
"Keparat! Jadi Cokro Ningrat yang telah membu-
nuh ayahku, Eyang? Kenapa Eyang baru mencerita-
kannya sekarang?" sentak Pangeran Pemimpin, tak ka-
lah gusar.
"Kusengaja, Cucuku. Karena waktu itu kau masih
kecil. Tak mungkin aku menceritakan rahasia besar
ini. Namun ketika aku hendak bertapa di Sendang
Kenjeran ini, bukankah aku telah memerintahkanmu
untuk bersiap-siap memberontak?" tukas Eyang Pa-
mekasan tajam.
"Benar, Eyang. Tapi, terus terang aku menyayang-
kan kenapa baru sekarang rahasia besar ini dicerita-
kan," keluh Pangeran Pemimpin sedih.
"Sudahlah! Jangan diteruskan! Itu memang satu
di antara sekian rencanaku!" sergah Eyang Pamekasan
tak senang. "Sekarang, lekaslah kembali ke markasmu!
Aku ingin melanjutkan semadiku."
"Tapi, Eyang. Bukankah Eyang telah berjanji akan
membantuku bila aku memberontak? Kenapa Eyang
malah ingin melanjutkan semadi?" kejar Pangeran Pe-
mimpin, merasa khawatir kalau usahanya hanya me-
nemui kesia-siaan.
"Aku memang akan membantumu, Cucuku. Tapi
bukan sekarang. Sekarang, aku harus ingin menga-
mat-amati dari jarak jauh. Nanti kalau kau benar-
benar memerlukan bantuan, baru aku datang. Sudah-
lah! Sekarang, lekas tinggalkan Sendang Kenjeran ini!"
"Baik, Eyang."
Pangeran Pemimpin sejenak menangkupkan ke-
dua telapak tangannya di depan hidung penuh hormat.
Eyang Pamekasan pun memejamkan matanya.
Maka seketika air sendang pun bergolak hebat. Semen-
tara perlahan-lahan tubuh tuanya yang tengah berse-
madi terus amblas ke dalam permukaan air, hingga ti-
dak kelihatan sama sekali.
"Hebat! Tak kusangka ilmunya demikian tinggi!
Entah dengan ilmu apa Eyang Pamekasan dapat ber-
semadi di dalam air...!" puji Pangeran Pemimpin men-
desah penuh kagum
Kalau saja Pangeran Pemimpin tahu bahwa Eyang
Pamekasan memiliki aji 'Panglarut Banyu Putih', su-
dah pasti akan terkesima dibuatnya. Ajian itu memang
sangat langka. Barang siapa yang dapat memiliki ajian
ini, tubuhnya akan kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut maupun berbagai macam senjata tajam.
Namun sayangnya, Pangeran Pemimpin tidak
sempat berpikir ke sana. Kemarahannya yang mengge-
legak membuat cucu Eyang Pamekasan ini sudah tidak
sabar lagi untuk segera memberontak Kadipaten Ple-
ret. Sekaligus, merebut takhta dari tangan Dimas Rek-
sopati!
"Jahanam! Kalau saja Cokro Ningrat belum mam-
pus, ingin rasanya aku memecahkan batok kepalanya.
Tapi sayang, tua bangka itu telah mampus. Terpaksa
aku harus membalaskan sakit hatiku ini pada Dimas
Reksopati dan keluarganya! Tunggulah pembalasanku,
Dimas Reksopati!" desis Pangeran Pemimpin dengan
jari-jari tangan terkepal erat.
***
3
Pagi menjelang. Matahari mulai menempati takh-
tanya. Sinarnya menyirami beratus-ratus anak buah
dan sekutu Partai Kawula Sejati yang lelah siaga di ha-
laman dengan berbagai macam senjata perang.
Kebanyakan yang baris di depan adalah para ang-
gota Partai Kawula Sejati. Sedang di belakangnya ber-
diri berpuluh-puluh tokoh sesat dunia persilatan yang
menjadi sekutu Pangeran Pemimpin, Dan ketika Ketua
Partai Kawula Sejati itu muncul bersama Pelajar
Agung, mendadak suasana hiruk pikuk di depan mar-
kas makin sulit dikendalikan. Mereka menyambut ke-
datangan ke-tua dan wakil ketua Partai Kawula Sejati.
"Hidup Pangeran Pemimpin!"
"Hidup wakil ketua Pelajar Agung!"
"Kita ganyang Adipati Reksopati. Ia tak pantas lagi
duduk di singgasana Kadipaten Pleret!"
Teriakan-teriakan dari beberapa orang anggota
Partai Kawula Sejati terdengar saling sahut. Sementara
Pangeran Pemimpin dan Pelajar Agung hanya men-
gangguk-angguk dengan sepasang mata tajam mem-
perhatikan lautan manusia yang penuh semangat
tempur. Dan ketika Pangeran Pemimpin pun men-
gangkat tangannya tinggi-tinggi, seketika teriakan-
teriakan jadi terhenti.
Pangeran Pemimpin senang sekali melihat ketaa-
tan dan kesetiaan anak buahnya. Dada pun dibusung-
kan, jumawa sekali sikapnya.
"Saudara-saudaraku anggota Partai Kawula Sejati!
Seperti yang telah direncanakan, hari ini adalah hari
penentuan bagi perjuangan kita. Di hari ini pulalah
nasib kita ditentukan. Maka sebelum maju berperang,
harap saudara-saudara sekalian harus saling bahu
membahu dengan yang lain! Jangan biarkan musuh
bertindak se-wenang-wenang di hadapan kita! Kita si-
kat habis siapa saja yang menghadang. Mari kita ang-
kat senjata! Kita tumpas adipati itu dari muka bumi!"
teriak Pangeran Pemimpin lantang. Suaranya bergema
sampai ke pelosok hutan.
Semua yang berada di depan markas Partai Kawu-
la Sejati bertepuk tangan menyambuti ucapan ketua
mereka. Pangeran Pemimpin sejenak membiarkan sua-
ra hiruk pikuk itu.
"Aku mengerti perasaan saudara-saudara seka-
lian!" lanjut cucu Eyang Pamekasan ini lantang. "Dan
seperti yang telah kita rencanakan, harap saudara-
saudara sekalian mematuhi pimpinan kalian. Pasukan
pemanah harap segera bergabung dengan Ki Tunggul
Yudho! Demikian juga pasukan lain, harap segera ber-
gabung dengan pimpinan masing-masing. Sementara
aku sendiri yang mengambil pucuk pimpinan."
Tanpa diperintah sekali lagi, beberapa orang anak
buah Partai Kawula Sejati segera bergabung dengan
pimpinan masing-masing. Kini pasukan telah terben-
tuk seperti yang diinginkan Pangeran Pemimpin. Lelaki
ini mengangguk-angguk puas.
"Sobatku, Pelajar Agung!" panggil Pangeran Pe-
mimpin pada sobatnya di sebelah: "Tolong pimpin se-
kutu-sekutu kita dari dunia persilatan!"
"Baik."
Tanpa banyak cakap lagi, Pelajar Agung segera
berkelebat menghampiri sekutu-sekutu Pangeran Pe-
mimpin yang berasal dari golongan sesat dunia persila-
tan.
"Saudara-saudara sekalian anggota Partai Kawula
Sejati! Juga, sekutu-sekutuku dari dunia persilatan!
Hari ini juga, mari kita berangkat menuju Kadipaten
Pleret!" teriak Pangeran Pemimpin lantang.
Semua yang berada di halaman depan markas
Partai Kawula Sejati menyambuti ucapan Pangeran
Pemimpin dengan teriakan-teriakan riuh rendah. Maka
hari itu pula, pasukan Partai Kawula Sejati yang di-
pimpin Pangeran Pemimpin segera bergerak menuju
Kadipaten Pleret.
Pada saat pasukan Partai Kawula Sejati mulai be-
rangkat meninggalkan markas, tanpa disadari dari ja-
rak yang agak jauh sesosok bayangan di atas pohon te-
rus memperhatikan. Tampak sekali kalau sosok di atas
sebuah ranting pohon itu berkali-kali mengerutkan
kening.
"Hm...! Tak kusangka manusia-manusia pembe-
rontak itu akan melancarkan serangan sekarang. Ku-
kira aku harus secepatnya melaporkan kejadian ini
pada Ki Rombeng di puncak Gunung Kelud!" gumam
sosok itu dalam hati.
Habis menggumam, dengan sangat hati-hati
bayangan itu segera berkelebat cepat meninggalkan
tempat ini. Gerakan kedua kakinya ringan sekali, lak-
sana seekor tupai. Dan sebentar saja ia telah menghi-
lang di balik kerapatan hutan depan sana.
***
Puncak Gunung Kelud masih berselimut awan.
Padahal matahari telah menapak jauh. Namun, sinar-
nya tak kuasa menembus tebalnya kabut, hingga uda-
ra dingin masih terus bergelayut.
Di hadapan para pendekar yang masih berkumpul
di puncak Gunung Kelud, seorang lelaki berusia enam
puluh tahun tengah bercakap-cakap dengan seseo-
rang. Meski berusia senja, namun tubuh tinggi besar-
nya tampak masih kekar dengan otot-otot lengan ber-
tonjolan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
sampai ke bahu. Pakaiannya putih bersih. Dua gelang
akar bahar besar di pergelangan tangan menambah
angker penampilannya
Sementara orang yang diajak bercakap-cakap ada-
lah lelaki tua renta berusia delapan puluh tahun. Tu-
buhnya tinggi kurus. Pakaiannya tambal-tambalan mi-
rip pengemis. Wajahnya tirus dengan sepasang bibir
hitam. Dari tadi tongkat di tangan kanannya terus di-
ketuk-ketukkan dengan sikap gelisah.
"Raja Penyihir! Aku maklum kalau kau tampak ge-
lisah. Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini
juga mengalaminya. Bukan saja gelisah memikirkan
keamanan Kadipaten Pleret, namun juga melihat kea-
daan dunia persilatan saat ini," kata lelaki berpakaian
putih pada kakek renta di hadapannya yang dipanggil
Raja Penyihir.
Raja Penyihir makin mengetuk-ngetukkan tong-
katnya gelisah.
"Ki Rombeng!" panggil Raja Penyihir memanggil le-
laki berpakaian putih yang memang Ki Rombeng. "Ke-
gelisahanku bukan itu saja."
"Kalau begitu, pasti ada sesuatu yang luar biasa,
Raja Penyihir?" Tanya Ki Rombeng menyahuti
"Bukan luar biasa lagi namanya kalau muridku
yang bergelar Siluman Ular Putih belum jelas jun-
trungnya. Jangan-jangan bocah sinting itu telah tewas
di tangan Penguasa Alam. Buktinya, aku dan para
pendekar lain sudah menelusuri seluruh puncak Gu-
nung Kembang, namun tetap saja tak menemukannya.
Itulah yang sebenarnya merisaukan hatiku, Ki Rom-
beng," ungkap Raja Penyihir sedih. "Di samping itu aku
juga gelisah memikirkan Pendidik Ulung. Apakah ra-
cun yang mengeram dalam tubuhnya dapat dikelua-
rkan oleh Tabib Agung atau tidak. Aku tak tahu. Se-
moga saja tua bangka dari Gunung Perahu itu dapat
menyembuhkan Pendidik Ulung."
"Hm...! Yah...! Semoga saja demikian, Raja Penyi-
hir," desah Ki Rombeng seraya mengangguk-angguk.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa sobat kita Pendekar
Bintang Emas belum datang kemari? Jangan-jangan
mendapat halangan di tengah jalan?"
Ki Rombeng langsung mengedarkan pandangan ke
seputar puncak Gunung Kelud.
"Ada yang datang," kata Ki Rombeng tiba-tiba.
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud se-
ketika mengalihkan perhatian mengikuti pandang ma-
ta Ki Rombeng. Tampak di lereng sebelah barat puncak
Gunung Kelud sesosok bayangan hijau tua tengah
berkelebat cepat menuju puncak Gunung Kelud.
***
"Maaf, sobat-sobat sekalian! Ada kabar penting
yang harus kusampaikan pada kalian."
Sebuah suara langsung meluncur saat bayangan
berpakaian hijau tua tadi menjejakkan kakinya di ha-
dapan Ki Rombeng dan kawan-kawan.
Kini jelas, siapa sosok yang ternyata berpakaian
hijau tua itu. Ia adalah seorang wanita cantik berusia
tiga puluh tahun. Tubuhnya teramat menggiurkan
dengan pakaian agak seronok, menampakkan lekuk-
lekuk buah dadanya. Sedang rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas.
"Rondo Kasmaran! Apa yang ingin kau laporkan?"
kata seorang pendekar muda yang mengenali wanita
itu agak jengah melihat penampilan perempuan cantik
yang baru saja muncul.
Rondo Kasmaran tersenyum simpul. Sengaja tidak
langsung dijawab pertanyaan pendekar itu. Seolah
dengan senyumnya, ia ingin memikat semua yang be-
rada di puncak Gunung Kelud. Konon sejak ditinggal
mati suaminya, wanita cantik ini lantas menjalin hu-
bungan asmara dengan seorang pendekar sakti dari
wilayah timur. Tapi sayang, cintanya bertepuk sebelah
tangan. Apalagi sang pendekar yang teramat dicintai
ternyata sudah beristri. Dan karena cintanya teramat
dalam, wanita cantik itu mengalami gangguan jiwa.
Dan dalam setiap pengembaraannya, tak henti-
hentinya wanita cantik yang sebenarnya bernama Su-
kesi itu terus memanggil-manggil nama pendekar yang
dicintai. Maka tak heran, sejak saat itu orang-orang
persilatan menjulukinya Rondo Kasmaran! Untung sa-
ja, berkat pertolongan seorang sakti dari puncak Gu-
nung Anjasmoro, akhirnya Sukesi dapat disembuhkan.
Bahkan kemudian diangkat menjadi murid oleh sang
penolongnya, sehingga ilmunya pun bertambah.
"Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran?
Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini se-
dang gelisah. Kau jangan bertingkah macam-macam!"
ingat Raja Penyihir sambil menatap lekat-lekat. Sung-
guh ia tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya me-
lihat kecantikan Rondo Kasmaran.
"Kau tua bangka jelek! Tutup mulutmu! Aku tak
sudi bicara denganmu. Kau tidak mirip Kangmas
Sungkono. Aku hanya ingin bicara dengan orang yang
mirip Kangmas Sungkono. Oh...! Ini dia!" ujar Rondo
Kasmaran tiba-tiba begitu melihat Ki Rombeng. "Siapa
namamu, Ki? Sepertinya aku ingin bicara denganmu
saja. Kau mirip Kangmas Sungkono. Meski usiamu su-
dah agak tua, tapi aku senang sekali melihat tubuhmu
yang masih berotot. Pasti banyak wanita cantik yang
dulu menyukaimu, ya?"
Rondo Kasmaran kemudian melangkah mendekati
Ki Rombeng.
Ki Rombeng gelisah bukan main. Tanpa sadar wa-
jahnya kontan memerah mirip udang rebus.
Rondo Kasmaran tertawa senang.
"Ah... kau! Seperti masih muda saja! Pakai malu-
malu! Ayo dong, sebutkan namamu?"
Ken Umi dan Ken Sari yang duduk di samping gu-
runya, entah kenapa jadi tidak menyukai Rondo Kas-
maran. Namun untuk mengeluarkan kekesalan ha-
tinya, kedua gadis kembar itu tidak berani. Sebab me-
nurut kabar yang tersiar, meski tingkah lakunya agak
berlebihan bila bertemu laki-laki tampan, namun se-
benarnya Rondo Kasmaran adalah tokoh sakti golon-
gan putih. Mungkin karena itulah Ken Umi dan Ken
Sari memilih diam.
"Ki Rombeng! Turuti saja kemauannya! Kenapa
malu-malu?" ujar Raja Penyihir menggoda.
"Ya. Tua bangka jelek itu benar. Kenapa malu-
malu? Kabar yang akan kusampaikan ini teramat pent-
ing. Apa kalian tidak mau mendengar?" lanjut Rondo
Kasmaran makin mengumbar senyum.
Ki Rombeng makin salah tingkah. Sebentar-
sebentar matanya mencuri pandang ke arah Rondo
Kasmaran.
"Ba... baik! Aku memang Ki Rombeng. Katakanlah!
Kau mau melaporkan apa, Rondo Kasmaran?" ujar Ki
Rombeng kaku.
"Ah...! Kurang mesra sedikit, Ki. Tapi tak apa. Jadi
kau yang bernama Ki Rombeng, ya? Hm...! Kukira yang
namanya Ki Rombeng itu sudah tua. Eh...! Tak ta-
hunya masih cukup muda. Tampan lagi!"
Ki Rombeng makin salah tingkah.
Rondo Kasmaran tersenyum-senyum gembira.
"Ketahuilah, Ki! Juga, semua yang berada di pun-
cak Gunung Kelud ini. Buka telinga kalian lebar-lebar."
Lanjut Rondo Kasmaran bersungguh-sungguh. "Seperti
yang tengah kalian bicarakan di tempat ini, saat ini se-
sungguhnya Pangeran Pemimpin telah menggerakkan
pasukannya menuju ke Kadipaten Pleret. Untuk apa?
Tentu saja ingin menggulingkan kekuasaan Adipati
Reksopati!"
Ki Rombeng dan semua yang berada di puncak
Gunung Kelud kontan melengak kaget. Paras mereka
menegang penuh gejolak amarah.
"Kau jangan main-main, Rondo Kasmaran!" ingat
Raja Penyihir mendesis tak percaya.
"Tua bangka jelek! Mulutmu bau! Siapa sudi bica-
ra denganmu! Pokoknya kalau kalian tidak percaya, ya
sudah! Lebih baik kulaporkan saja pada Adipati Ple-
ret!" dengus Rondo Kasmaran jengkel.
"Eh... tunggu! Kau hendak ke mana?" teriak Raja
Penyihir begitu melihat Rondo Kasmaran bermaksud
meninggalkan puncak Gunung Kelud.
Namun Rondo Kasmaran yang sedang kesal tak
sudi bagi menuruti perintah Raja Penyihir. Malah
langkahnya makin dipercepat, meninggalkan tempat
ini.
Raja Penyihir menyesal sekali. Buru-buru tubuh-
nya berkelebat cepat menyusul Rondo Kasmaran. Se-
bentar kemudian wanita itu berhasil dihadangnya.
"Tunggu, Rondo Kasmaran! Aku bukannya tidak
mempercayai keteranganmu. Tapi... Tapi..."
"Jangan banyak bacot, Mulut Bau! Siapa sudi bi-
cara denganmu?!" sahut Rondo Kasmaran kesal. Kem-
bali tubuhnya berkelebat setelah menggeser ke kiri,
mencari jalan.
Raja Penyihir jadi salah tingkah. Ia menyesal seka-
li telah menggoda Rondo Kasmaran tadi.
"Ah...! Kenapa jadi begini?" desah Raja Penyihir
sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya.
Sementara itu tubuh Rondo Kasmaran telah beru-
bah jadi titik hijau kecil di kejauhan sana, di lereng
puncak Gunung Kelud sebelah barat.
Raja Penyihir menyesal bukan main. Ingin rasanya
kembali menyusul Rondo Kasmaran. Namun sayang-
nya baru saja hendak menjejakkan kakinya di tanah,
tiba-tiba....
"Keparat! Aku harus menuntut balas atas penghi-
naan ini!"
***
Raja Penyihir, juga semua yang berada di puncak
Gunung Kelud buru-buru memalingkan kepalanya ke
arah sumber suara barusan. Tampak dari tempat yang
agak terpisah berjalan seorang lelaki tua renta berju-
bah hitam kedodoran sampai lutut. Kepalanya menge-
nakan penutup dari kain hitam sambil berjalan, lelaki
itu terus memberontak dari pegangan tangan seorang
kakek tua berjubah kuning.
"Sobatku Pendidik Ulung! Kendalikan amarahmu!
Siapa pun merasa geram sekali melihat sepak terjang
Pangeran Pemimpin," ujar kakek berjubah kuning pa-
da lelaki tua yang dipanggil Pendidik Ulung.
"Kau tidak tahu, Tabib Agung! Betapa sakitnya ha-
tiku ini! Aku harus menuntut balas atas penghinaan
ini! Juga meminta pertanggungjawaban Pelajar Agung
yang kini telah menjadi murid murtad. Ia telah menco-
reng arang hitam di mukaku! Aku malu bertemu den-
gan kalian semua kalau belum dapat membunuh mu-
rid murtad ku!" teriak Pendidik Ulung kalap.
"Aku mengerti perasaanmu, Sobat. Tapi badanmu
masih lemah. Racun ular kobra putih yang mengeram
dalam tubuhmu belum sepenuhnya dapat dikeluarkan.
Kau masih membutuhkan perawatan barang satu atau
dua hari," hibur Tabib Agung.
"Aku tidak peduli! Buat apa aku kau obati kalau
hanya untuk menanggung malu, Tidak! Aku harus
menuntut balas atas penghinaan ini! Aku harus me-
remukkan batok kepala Raja Racun. Juga batok kepala
Pangeran Pemimpin. Lepaskan aku, Tabib Agung!"
Ketika tiba di hadapan Ki Rombeng dan kawan-
kawan, Pendidik Ulung memberontak sekuat tenaga.
Tapi, sayang. Tubuhnya kembali luruh ke tanah kala
jari-jari tangan Tabib Agung tiba-tiba menotok pung-
gungnya.
"Ah... kau! Kenapa tidak kau biarkan aku menun-
tut balas, Tabib Agung?" keluh Pendidik Ulung, lirih
sekali.
"Tubuhmu masih lemah. Kau belum sembuh se-
penuhnya. Aku harus mengeluarkan racun dalam tu-
buhmu dulu, baru kau boleh menuntut balas."
Pendidik Ulung menggeretakkan gerahamnya pe-
nuh kemarahan, seolah tak tahan lagi menerima peng-
hinaan yang pernah dilakukan Raja Racun dan Pange-
ran Pemimpin. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca:
"Lukisan Darah").
"Sudahlah, Pendidik. Ulung! Semua yang berada
di puncak Gunung Kelud ini juga merasa prihatin se-
kali atas musibah yang menimpamu. Tapi bukan be-
rarti kami harus mencemoohmu. Tidak! Tidak sama
sekali! Justru kami akan segera membantu prajurit
Kadipaten Pleret guna menumpas Pangeran Pemimpin
berikut sekutu-sekutunya!" jelas Ki Rombeng mencoba
memberi pengertian pada Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung tersenyum pahit, menatap kuyu
pada Ki Rombeng yang tengah menghampirinya.
Ki Rombeng menepuk-nepuk bahu Pendidik Ulung
sebentar, sebelum akhirnya kembali berkumpul den-
gan para pendekar lain.
"Teman-teman! Seperti yang telah dilaporkan
Rondo Kasmaran tadi, rupanya kita tidak bisa tinggal
di tempat ini lebih lama lagi. Sekarang juga, kita harus
membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!" kata Ki
Rombeng lantang di hadapan para pendekar yang ber-
kumpul di puncak Gunung Kelud.
Mendengar ucapan Ki Rombeng, beberapa orang
pendekar muda yang sudah tidak sabar lagi untuk se-
gera membantu prajurit-prajurit Kadipaten Pleret sege-
ra menyambut hangat keputusan Ki Rombeng. Kemu-
dian tanpa banyak cakap lagi, mereka segera bangkit
dan langsung meninggalkan puncak Gunung Kelud.
"Tabib Agung! Kau temani dulu Pendidik Ulung!
Nanti kalau ia sudah sembuh, kalian boleh menyusul,"
ujar Ki Rombeng. Lalu segera tangannya mengisya-
ratkan pada kedua orang muridnya untuk segera me-
ninggalkan tempat ini.
4
Udara di dalam Istana Kadipaten Pleret terasa pa-
nas. Sementara di dalam salah satu kamar Istana Ka-
dipaten Pleret, Soma susah sekali memejamkan mata.
Berkali-kali ia membolak-balikkan badan, namun ma-
tanya belum juga terpejam. Akhirnya pemuda ini jadi
kesal.
Rasa kesalnya inilah yang membuat murid Eyang
Begawan Kamasetyo melangkah turun dari ranjang.
Langsung dihampirinya jendela dan dibukanya. Angin
segar seketika menerpa tubuhnya. Untuk sesaat Soma
membiarkan tubuhnya diterpa angin. Sementara ma-
tanya terus memperhatikan suasana malam itu.
Suasana malam ini memang cukup cerah. Jutaan
bintang bertaburan di angkasa. Sinar bulan yang kepe-
rakan pun membuat orang betah memandanginya.
Soma terus memperhatikan suasana malam itu. Piki-
rannya dibiarkan mengembara menikmati indahnya
malam.
Namun mendadak perhatian Soma terusik ketika
samar-samar pendengarannya yang tajam menangkap
suara dari gerakan-gerakan halus yang datangnya dari
pintu kadipaten sebelah barat. Belum sempat Siluman
Ular Putih bertindak, matanya telah menangkap kele-
batan satu sosok bayangan hijau menuju istana kadi-
paten.
"Pasti mata-mata Pangeran Pemimpin! Kalau ti-
dak, siapa sudi kelayapan malam-malam begini di da-
lam lingkungan kadipaten!" duga murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo dalam hati.
Maka tanpa banyak pikir panjang lagi, Soma pun
segera mengempos tenaganya. Seketika tubuhnya telah
melesat lewat jendela, berkelebat menyusul sosok
bayangan tadi. Dengan ilmu meringankan tubuh
'Menjangan Kencono', murid Eyang Begawan Kama-
setyo pun telah menyusul sosok bayangan.
"Cekitir!"
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian hijau
tua itu terperanjat. Ia tadi memang merasakan ber-
hembusnya angin kencang. Namun baru saja menya-
dari, tahu-tahu kini di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana
bersisik warna putih keperakan.
Soma sendiri juga tak kalah terkejutnya. Sama
sekali tidak disangka kalau sosok berpakaian hijau tua
di hadapannya adalah seorang wanita cantik bertubuh
amat menggiurkan. Apalagi pakaian yang dikenakan
pun sedikit seronok, menampakkan lekuk-lekuk dua
buah bukit kembarnya. Sedang rambutnya yang hitam
panjang digelung ke atas.
"Ah...! Tak kusangka ada mata-mata secantik ini!"
desah Soma penuh kagum.
Sepasang mata indah wanita cantik itu yang se-
mula berbinar-binar melihat pemuda tampan di hada-
pannya, mendadak jadi berkilat-kilat penuh kemara-
han.
"Siapa mata-mata? Aku bukan mata-mata! Aku
datang sengaja ingin menemui Kanjeng Adipati. Kau
sendiri siapa?!" bentak wanita cantik ini.
Soma tertawa seenaknya.
"Hm...! Jadi kau bukan mata-mata? Tapi kenapa
mengendap-endap seperti maling? Ah, iya! Kau pasti
mata-mata musuh kadipaten! Kalau tidak, jangan-
jangan kau wanita nakal yang suka mengganggu lela-
ki," celoteh Soma menggoda.
"Keparat! Bicaramu teramat melewati batas, Bo-
cah! Aku bukan mata-mata. Aku Rondo Kasmaran,
utusan para pendekar untuk menemui Kanjeng Adipa-
ti," pekik wanita cantik yang ternyata Rondo Kasmaran
gusar bukan main.
"Ah...! Jadi kau Rondo Kasmaran? Kasmaran pada
siapa? Yang jelas bukan padaku, kan?" goda Soma
makin menjadi.
"Bocah sinting! Kau akan merasakan akibat kata-
katamu!" sentak Rondo Kasmaran jengkel.
"Boleh, boleh! Malah aku akan menangkapmu dan
kuhadapkan pada Kanjeng Adipati."
"Cih!" Rondo Kasmaran mencibir. "Dan kau akan
mendapat malu besar karena aku sebenarnya teman
Adipati Reksopati!"
"Mana mungkin Adipati Reksopati punya teman
macammu. Melihat tampangmu saja, aku yakin dia ju-
ga terpesona. Apalagi aku. Hayolah menurut! Biar ku-
tangkap!" ejek Soma menggoda.
Begitu habis kata-katanya, Siluman Ular Putih
berkelebat cepat sekali, sehingga sulit sekali diikuti
pandangan mata. Dan belum sempat Rondo Kasmaran
bertindak tahu-tahu.
Tuk! Tuk!
"Aahh...!"
Rondo Kasmaran mengeluh ketika jari-jari tangan
Soma menotok urat geraknya. Kini wanita itu tak bisa
lagi menggerakkan tubuhnya.
Begitu mendarat Soma hanya tersenyum-senyum
nakal. Sepasang matanya yang tajam sempat melirik
lekuk-lekuk sepasang payudara Rondo Kasmaran yang
amat mengundang. Malah tanpa sadar murid Eyang
Begawan Kamasetyo menelan ludahnya sendiri. Dan
sebelum syahwatnya bergejolak, Siluman Ular Putih
segera menyambar tubuh Rondo Kasmaran. Seketika
tubuhnya berkelebat ke kanan sambil memondong
Rondo Kasmaran.
"Kau rebahan dululah sesukamu! Biar aku mene-
mui Kanjeng Adipati," kata Soma begitu telah tiba di
kamarnya. Langsung dilemparkannya tubuh Rondo
Kasmaran seenaknya.
Bukkk!
Rondo Kasmaran meringis kesakitan.
"Kau akan menyesal memperlakukanku seperti
ini, Monyet Gondrong!" sungut Rondo Kasmaran kesal
Siluman Ular Putih hanya tertawa bergelak. Lalu,
buru-buru tubuhnya berbalik, dan melangkah ke pin-
tu. Namun belum juga dibuka, pintu telah terbuka dis-
ertai munculnya sesosok tubuh ramping.
"Memalukan! Wanita mana yang kau bawa ke ka-
mar, Soma!" bentak sosok bertubuh ramping di am-
bang pintu.
Soma terperanjat, seperti mau copot jantungnya.
Apalagi saat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat
penuh kemarahan menatapnya.
"Eh...! Ada-apa Putri Sekartaji? Kenapa kau uring-
uringan begini?" tukas Soma, pura-pura bodoh.
Sosok ramping yang ternyata Putri Sekartaji men-
cibir kesal. Ia tadi memang tidak melihat percekcokan
Siluman Ular Putih dengan Rondo Kasmaran. Adik tiri
Adipati Reksopati ini hanya sempat melihat Soma ten-
gah memondong tubuh seorang wanita cantik ke da-
lam kamar ketika baru Saja membuka jendela kamar.
Itulah sebabnya, Putri Sekartaji langsung menyusul ke
kamar Soma
"Hoh! Benar-benar memalukan! Jangan dikira aku
tidak tahu apa yang akan dilakukan seorang wanita
dan seorang lelaki di dalam kamar! Dasar lelaki hidung
belang!" semprot Putri Sekartaji kasar.
Tiba-tiba Soma tertawa bergelak. Kini ia tahu, apa
yang tengah dipikirkan gadis cantik di hadapannya.
Cemburu!
"Soma! Jangan cengengesan! Aku bersungguh-
sungguh!"
"Aku juga sungguh-sungguh! Tapi sepertinya hi-
dungku tak belang? Malah kalau tak salah, hidungku
cukup mancung kok. Cukup untuk memikat hati seo-
rang wanita cantik. Seperti kau, misalnya!" oceh Soma.
"Soma!" pekik Putri Sekartaji tak tahan lagi. Tela-
pak tangannyapun sudah tidak sabar lagi untuk bica-
ra. Kemudian....
Plakkk!
Soma meringis, pura-pura menahan sakit. Telapak
tangan kirinya mengelus-elus pipinya yang terkena
tamparan Putri Sekartaji.
"Heran? Kenapa setiap gadis selalu suka menam-
par pipiku? Apa mereka pikir pipiku ini barang rong-
sokan hingga perlu dikemplang?" gerutu Soma kesal.
"Tutup mulutmu, Soma! Aku harus segera mela-
por pada Kangmas Adipati," sungut Putri Sekartaji.
Lalu tanpa banyak cakap, Putri Sekartaji segera
meninggalkan Soma.
"Sana kalau mau lapor! Toh, nanti kau juga tahu
sendiri siapa yang salah," ujar Soma.
Putri Sekartaji tidak menggubris ocehan Soma.
Kakinya terus melangkah.
Soma menggaruk-garuk kepala. Entah kenapa ti-
ba-tiba ia jadi ingin sekali menggaruk-garuk kepala.
Padahal rambutnya tidak gatal.
***
"Mampus kau! Kubilang apa?" goda Rondo Kasma-
ran.
"Diam kau! Nasibmu pun akan ditentukan setelah
Kanjeng Adipati kemari. Kalau kau terbukti mata-mata
musuh, hm.... Aku pasti akan mencubit pipimu yang
gembur itu sampai memerah!" balas Soma.
Entah kenapa tiba-tiba Rondo Kasmaran malah
tertawa terpingkal. Sepasang matanya yang tadi berki-
lat-kilat penuh kemarahan, kini berganti kilatan penuh
kagum melihat Soma.
"Kau memang menjengkelkan, Pemuda. Tapi kau
cukup tampan. Kukira ketampananmu cukup melebihi
ketampanan Kangmas Sungkono. Siapa namamu, Pe-
muda Tampan? Apa kau bernama Soma seperti gadis
tadi memanggilmu?" kata Rondo Kasmaran diiringi
kerling nakal.
"Kalau memang iya, kau mau apa?" sahut Soma.
"Yah...! Setidak-tidaknya, bolehkan aku berkena-
lan. Kukira aku tidak rugi berkenalan dengan pemuda
tampan macammu,"" oceh Rondo Kasmaran makin
mengumbar senyum.
Soma sebenarnya jengkel sekali. Namun manakala
sepasang matanya tertumbuk pada lekuk-lekuk sepa-
sang payudara wanita cantik di hadapannya, entah
kenapa sikapnya jadi berubah.
"Boleh! Tapi sayang, kau mata-mata. Mungkin aku
harus berpikir seribu kali untuk berkenalan dengan-
mu, Rondo Kasmaran."
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, Soma."
"Mungkin. Tapi mungkin juga aku senang sekali
melihat kecantikanmu. Terutama sekali, tubuhmu
yang teramat menggiurkan itu," kata Soma terus te-
rang.
Perasaan Rondo Kasmaran jadi melambung tinggi.
Tingkahnya makin dibuat-buat genit.
"Kau memang pintar merayu seorang wanita, So-
ma. Pantas gadis tadi marah-marah pad...''
"Hush...!"
Soma memalangkan telunjuk jarinya di depan bi-
bir.
"Rupanya Kanjeng Adipati sedang kemari. Mam-
pus kau sekarang, Rondo Kasmaran!" lanjutnya.
Rondo Kasmaran tersenyum manis. Sedikit pun
tidak membayangkan rasa takut mendengar ancaman
Soma. Hal ini malah membuat si pemuda jadi terhe-
ran-heran.
"Jangan-jangan apa yang dikatakan Rondo Kas-
maran benar? Dia bukan mata-mata musuh, melain-
kan utusan para pendekar. Mampus aku!" gumam
Soma dalam hati gelisah.
Pintu kamar terbuka. Ternyata yang muncul me-
mang Kanjeng Adipati Reksopati. Di belakangnya Putri
Sekartaji masih memberengut kesal.
"Kau.... Kau Sukesi! Ah...! Kenapa kau meringkuk
begitu? Siapa yang mcmperlakukanmu seperti ini?" be-
rondong Adipati Pleret, cemas bercampur terkejut.
Rondo Kasmaran hanya tersenyum. Sepasang ma-
tanya yang nakal sempat melirik ke arah Soma penuh
kemenangan.
Si pemuda hanya bisa menggaruk-garuk kepala
sebagai tanda kesalahannya. Kemudian tanpa diperin-
tah, Soma segera melepaskan totokan Rondo Kasma-
ran.
"Betul, kan? Untung saja aku tidak minta kau di-
gantung!" goda Rondo Kasmaran.
Putri Sekartaji pun gelisah sekali. Tadi, gadis ini
sama sekali tidak mengira kalau wanita cantik yang
dipondong Soma ke kamar adalah Rondo Kasmaran.
Hatinya yang kelewat panas membuat matanya seolah
tertutup.
"Sebenarnya ada apa, Soma? Kenapa temanku ini
berada di sini? Apa kau tadi menangkapnya?" tanya
Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng. Tadi aku memang menangkap-
nya. Kukira ia mata-mata musuh," jawab Soma kaku.
"Dia bukan mata-mata. Dia temanku!" sahut Adi-
pati Pleret cepat.
"Ah...!" sahut Soma gelisah.
"Sudahlah! Sekarang kau mau melaporkan apa,
Sukesi?" Kanjeng Adipati mengalihkan perhatian pada
Rondo Kasmaran. Dan itu cukup membebaskan Soma
dari rasa gelisah.
"Aku cuma ingin memberitahukan kalau pasukan-
pasukan Pangeran Pemimpin mulai bergerak menuju
kemari. Maksudku dalam waktu dekat-dekat ini mere-
ka akan menyerang Kadipaten Pleret," lapor Rondo
Kasmaran.
"Ah...!" desah Adipati Pleret hampir bersamaan
dengan Soma dan Putri Sekartaji.
"Dari mana kau dapat mengetahui berita ini, Su-
kesi?" tanya Adipati Pleret lagi.
"Aku melihatnya sendiri, Kanjeng. Di samping itu,
aku memang sudah lama mengawasi sepak terjang
Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya," jelas Ron-
do Kasmaran.
"Hm...!" Kanjeng Adipati Pleret menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. "Apa para pendekar
yang berkumpul di puncak Gunung Kelud sudah, tahu
hal ini, Sukesi?"
"Sudah, Kanjeng. Tadi siang, aku sempat mela-
porkan hal ini pada Ki Rombeng di puncak Gunung
Kelud."
"Bagus! Kalau begitu aku harus secepatnya me-
nyiapkan prajurit-prajurit," kata Adipati Pleret seraya
bergegas keluar kamar.
Dengan langkah mantap, Rondo Kasmaran pun
segera mengikuti langkah Kanjeng Adipati Pleret.
Soma dan Putri Sekartaji yang masih berada di be-
lakang sejenak saling termangu. Seolah mereka terba-
wa arus pikiran masing-masing.
"Rupanya kita sama-sama salah paham, ya?" ce-
tus Soma.
"Maksudmu?" Putri Sekartaji mengangkat alisnya
heran.
"Aku telah mencurigai kalau Rondo Kasmaran
adalah mata-mata musuh. Kau sendiri menuduhku te-
lah berbuat macam-macam dengan wanita itu. Apa ini
bukan salah paham namanya?" papar Soma.
Putri Sekartaji memberengut. Entah kenapa tiba-
tiba wajahnya merona merah.
"Kau menyindirku?' desis Putri Sekartaji.
"Eh...! Siapa yang menyindir? Aku tidak menyin-
dirmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Atau... jangan-jangan kau memang mencemburui wa-
nita itu?" tukas Soma sambil memperhatikan Putri Se-
kartaji.
"Tidak lucu! Siapa yang cemburu? Mau bermain
gila dengan Rondo cantik itu, kek. Mau tidak, kek. Sia-
pa peduli? Itu urusanmu!" sergah Putri Sekartaji ke-
tus. Ketus sekali Bahkan si gadis bergegas keluar ka-
mar.
"Eh... tunggu! Kenapa kau jadi uring-uringan be-
gini?"
Buru-buru Soma mengejar, segera menangkap
pergelangan tangan Putri Sekartaji. Namun dengan ka-
sar si gadis menepiskan tangan Siluman Ular Putih.
"Lepaskan! Aku benci kau!" teriak Putri Sekartaji.
"Iya, iya! Tapi kenapa kau jadi uring-uringan begi-
ni? Apa salahku?" tanya Soma masih belum mengerti
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!"
Putri Sekartaji mempercepat langkahnya. Diam-
diam, sebenarnya ia pun mengharap kalau murid
Eyang Begawan Kamasetyo akan mengejar. Namun
sayang, Siluman Ular Putih malah menggaruk-garuk
kepala. Si gadis jadi kesal bukan main. Saking tidak
kuat menahan perasaan kesal, ia berlari ke kamarnya,
dan langsung menangis di balik pintu.
***
5
Malam kian menegang dengan bulan sepotong
menggantung di angkasa. Ratusan prajurit Kadipaten
Pleret mulai bergerak menuju luar batas kadipaten.
Memang di sanalah ajang pertempuran akan digelar.
Sebuah tempat sengketa yang siap dibanjiri darah
Kuda-kuda tunggangan meringkik. Debu-debu be-
terbangan diterjang kaki-kaki kuda para panglima pe-
rang. Derap langkah ratusan prajurit berderak mem-
bahana.
Di sebuah ladang kering yang dikelilingi bebukitan
tandus, sebuah peristiwa mengerikan tidak lama lagi
akan terjadi. Darah-darah prajurit perkasa, darah-
darah manusia laknat, maupun darah-darah manusia
penjilat akan tumpah ruah menjadi satu dalam sebuah
peperangan.
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret mulai
memasuki dataran tandus. Seorang lelaki gagah ber-
pakaian perang dengan pangkat senopati mendadak
menghentikan langkah kudanya. Para perwira pun
yang masing-masing mengepalai lima puluh prajurit
yang berjalan kaki juga menghentikan langkah kuda.
Di depan sana, telah bersiaga pula sosok-sosok
berpakaian warna-warni dengan senjata di tangan. Se-
bagian dari mereka berpakaian sebagaimana orang
persilatan. Mereka berteriak riuh rendah sambil men-
gacungkan senjata tinggi-tinggi. Di antara mereka,
tampak seorang lelaki berpakaian surjan tengah men-
gacung-acungkan keris di tangan kanan. Sementara
tangan kirinya memegangi tali kendali kuda.
"Serang...!!!" teriak lelaki yang tak lain Pangeran
Pemimpin lantang
Tangan kiri Pangeran Pemimpin pun segera mena-
rik tali kekang, membuat kuda hitam tunggangannya
mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi sebelum
akhirnya berlari cepat ke depan.
Melihat Pimpinan Partai Kawula Sejati itu telah
bertindak, berpuluh-puluh pengikutnya segera berla-
rian mencari lawan masing-masing diiringi teriakan-
teriakan lantang.
"Hea..! Hea...!"
Sementara itu beberapa sekutu Pangeran Pemim-
pin ikut mengiringi di belakang dengan teriakan-
teriakan membahana.
Begitu melihat pasukan Pangeran Pemimpin mulai
bergerak menyerang, senopati itu pun segera meniup
terompet di tangan kanan yang terbuat dari tanduk
kerbau.
"Huuuunggg...! Huuuungggg...!"
Terompet perang telah berbunyi. Suara riuh ren-
dah ratusan prajurit Kadipaten Pleret menyambuti pe-
nuh semangat. Senopati yang memimpin prajurit Kadi-
paten Pleret segera memacu kudanya cepat-cepat. Di
tangan kanannya kini telah tergenggam sebilah keris
yang memancarkan sinar biru. Setiap orang yang hi-
dup di lingkungan kadipaten ini tahu kalau senopati
yang dikenal sebagai pemilik keris Dayang Biru ber-
nama Gajah Keling.
"Hea...! Hea...!"
Senopati Gajah Keling terus memacu kudanya ce-
pat. Di belakangnya, empat perwira dan dua ratus pra-
jurit Kadipaten Pleret turut pula menyertai dengan
senjata terhunus. Mereka semua siap menyabung
nyawa.
Trang! Trang!
Terdengar dentang senjata beradu yang disertai
pijaran bunga api. Jerit-jerit kematian dan teriakan
penambah semangat pertarungan saling bersahutan.
Satu persatu tubuh-tubuh bersimbah darah ambruk
ke tanah. Di sini nyawa mereka kembali dipertaruh-
kan. Kalau beruntung, mereka akan kembali mencari
lawan baru.
Tak ada kekejaman melebihi kekejaman perang.
Inilah gambaran nyawa sebuah peperangan. Bagi para
prajurit, mereka bertempur untuk mempertahankan
kedaulatan kadipaten. Tak heran bila mereka berta-
rung penuh semangat tanpa mengenal takut sedikit
pun.
"Sembodo, Manusia Pemberontak! Kaulah lawan-
ku!"
Gajah Keling memekik penuh kemarahan ketika
melihat Sembodo atau yang lebih terkenal dengan ju-
lukan Pangeran Pemimpin tanpa malu tengah menga-
muk hebat membunuhi prajurit-prajurit Kadipaten Ple-
ret. Sementara senopati Kadipaten Pleret itu sendiri
susah sekali keluar dari keroyokan Sepasang Mayat
Merah dari Lembah Duka yang dibantu Iblis Muka Me-
rah.
Namun meski dikeroyok demikian hebat oleh tiga
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin,
Senopati Gajah Keling tampak masih sanggup melade-
ni. Bahkan serangan-serangan baliknya sempat pula
membuat ketiga orang pengeroyoknya kocar-kacir.
"Makanlah keris Dayang Biruku! Hea!" Dikawal benta-
kan nyaring, tiba-tiba Gajah Keling berkelebat cepat
sambil menggerakkan keris di tangan kanannya ke
arah dada Iblis Muka Merah. Sambil menyerang, Gajah
Keling membuat satu gerakan aneh untuk berkelit dari
serangan-serangan Sepasang Mayat Merah dari Lem-
bah Duka.
Melihat datangnya serangan yang sama sekali tak
terduga, Iblis Muka Merah jadi terperangah. Meski ter-
desak namun akal sehatnya untuk menghindar belum
hilang. Maka dengan cepat, tiba-tiba pedangnya dige-
rakkan sedemikian rupa.
"Uts..., ohh...!"
Namun betapa terkejutnya Iblis Muka Merah keti-
ka tiba-tiba di tangan Gajah Keling berkelit dari samp-
ing kanan. Dan dengan satu gerakan indah, keris itu
meluncur deras ke dadanya. Lalu....
Cleppp!
"Aaa...!"
Telak sekali keris di tangan Gajah Keling menghu-
jam ulu hati Iblis Muka Merah hingga meraung setinggi
langit. Dan begitu keris tercabut, tubuh Iblis Muka Me-
rah pun kontan jatuh berdebam ke tanah bersimbah
darah. Sebentar ia menggelepar-gelepar, namun seju-
rus kemudian tidak bergerak-gerak lagi dengan seku-
jur tubuh membiru!
Sepasang Mayat Merah murka bukan main. Sung-
guh sulit dipercaya kalau Iblis Muka Merah akan me-
nemui ajal secepat itu. Padahal ia merupakan seorang
tokoh berilmu tinggi. Namun anehnya, ia tak berdaya
menerima serangan Senopati Gajah Keling.
"Jahanam...! Kau harus membayar nyawa teman-
ku, Senopati Keparat!" dengus Iblis Mayat Merah pe-
nuh kemarahan. Parasnya yang kemerah-merahan
tampak demikian mengerikan. Lalu dikawal teriakan
membelah angkasa, kembali diserangnya Senopati Ga-
jah Keling.
"Enyahlah kalian dari hadapanku! Aku tak sudi
melayani kalian!" bentak Senopati Gajah Keling sengit.
Lebih lagi ketika melihat sepak terjang Pangeran Pe-
mimpin yang tengah membantai prajurit-prajurit Kadi-
paten Pleret. Maka kemarahannya kian meledak-ledak
saja.
"Bajingan! Kaulah lawanku, Pangeran Pemberon-
tak! Minggir! Beri aku jalan!" hardik Senopati Gajah
Keling kasar.
Sang panglima menggerakkan kerisnya ke kanan
kiri, bermaksud mengusir Sepasang Mayat Merah dari
Lembah Duka. Namun mana sudi kedua tokoh sesat
itu menuruti kemauan Senopati Gajah Keling. Malah
dengan rasa penasaran memuncak, mereka kembali
menghadang jalan sang senopati.
"Jangan terburu-buru, Senopati Keparat! Urusan
di sini belum selesai!" cegat Iblis Mayat Merah seraya,
menghujamkan pedang di tangan kanan dari atas ke
bawah.
Senopati Gajah Keling tak sudi lagi berurusan
dengan Sepasang Mayat Merah dari Lembah Duka. Ba-
ginya keselamatan anak buahnya yang terancam amu-
kan Pangeran Pemimpin justru lebih penting. Maka ke-
tika mendapat kesempatan, segera tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali,
ia berkelebat cepat meninggalkan kedua orang penge-
royoknya.
"Ki Prenjak! Dan kau, Ki Jalak Manuro! Hajar tua
bangka dari Lemah Duka itu! Biar aku yang mengurus
manusia pemberontak bergelar Pangeran Pemimpin!"
perintah Senopati Gajah Keling pada dua dari empat
perwiranya, sebelum membuat serangan.
Tanpa banyak cakap dua perwira yang bernama Ki
Prenjak dan Ki Jalak Manuro segera berkelebat ke arah
Sepasang Mayat Merah. Sementara, Senopati Gajah
Keling terus berkelebat mendekati Pangeran Pemimpin.
Anehnya Pangeran Pemimpin hanya tertawa-tawa.
"Mundur...!!!"
"Keparat! Mau lari ke mana, Pangeran Pemberon-
tak?! Akulah lawanmu!" bentak Senopati Gajah Keling
penuh kemarahan.
'"Hati-hati, Kawan! Mungkin manusia pemberon-
tak itu tengah merencanakan sesuatu!"
Senopati Gajah Keling menoleh sebentar ketika
terdengar sebuah suara bernada memperingatkan.
Ternyata, suara itu berasal dari mulut Siluman Ular
Putih.
Melihat siapa yang memperingatkan, Senopati Ga-
jah Keling hanya mengangguk. Lalu dengan kemara-
han meluap kembali tubuhnya berkelebat mengejar
Pangeran Pemimpin yang terus bergerak mundur, wa-
lau sebenarnya keadaannya saat itu belum terjepit.
Siluman Ular Putih heran bukan main. Sebenar-
nya, ia ingin sekali berhadapan dengan Pangeran Pe-
mimpin. Namun berhubung takut menyinggung pera-
saan Senopati Gajah Keling, terpaksa murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo hanya menghadapi beberapa orang
tokoh sesat yang menjadi sekutu Pangeran Pemimpin.
Dengan ban-tuan Putri Sekartaji, para pengeroyoknya
dapat dipermainkan dengan mudah.
"Tak mungkin Pangeran Pemimpin bermaksud
mengalah. Padahal kedudukannya belum terjepit. Pasti
ini sebuah siasatnya!" gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
Dan ketika pertempuran mulai memasuki dataran
tandus yang diapit dua bukit kecil di kanan kiri, ter-
nyata dugaan Siluman Ular Putih. Tiba-tiba....
"Suiiit...!"
Pangeran Pemimpin bersuit nyaring. Sebentar ke-
mudian, Pangeran Pemimpin berikut anak buahnya
berlari meninggalkan tempat pertarungan. Dan bersa-
maan itu, tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh yang
datang dari atas bukit!
Siluman Ular Putih terkejut bukan main. Seketika
kepalanya dipalingkan ke atas. Ternyata berpuluh-
puluh batu sebesar kerbau tengah meluncur cepat
menyerang para prajurit-prajurit Kadipaten Pleret!
"Ah...!" pekik Senopati Gajah Keling gusar bukan
main.
Keadaan kali ini benar-benar kurang mengun-
tungkan bagi para prajurit. Ternyata mereka telah ter-
jebak! Tentu saja keadaan ini sangat mengkhawatir-
kan. Maka tanpa banyak cakap, prajurit-prajurit itu
segera berlarian ke sana kemari menghindari serangan
batu-batu. Tapi keadaan ini malah makin memperbu-
ruk beberapa orang prajurit di belakang!
Tentu saja beberapa orang prajurit itu kontan ber-
lari kalang kabut. Namun di saat berpaling ke bela-
kang, di celah-celah bukit bagian belakang telah
menghadang sepasukan pemanah!
Bukan main geramnya hati Senopati Gajah Keling
melihat bahaya besar mengancam pasukannya. Se-
mentara serangan-serangan batu sebesar kerbau dari
puncak bukit pun tak dapat tertahankan lagi! Tanpa
ampun, beberapa orang prajurit Kadipaten Pleret ter-
lindas batu-batu sebesar kerbau!
Keadaan ini makin bertambah parah manakala
beberapa orang prajurit-prajurit Kadipaten Pleret me-
nemui ajal oleh batang anak panah yang menembus
tubuh!
***
Di tempat lain, tepatnya di Kadipaten Pleret itu
sendiri, ternyata Pangeran Pemimpin pun telah mene-
rapkan satu siasat jitu. Diam-diam beberapa orang to-
koh sesat yang dipimpin Pelajar Agung telah menyusup
ke dalam lingkungan kadipaten.
Hal ini tentu saja sangat di luar perhitungan Se-
nopati Gajah Keling maupun Kanjeng Adipati Pleret.
Untungnya, sang senopati tidak membawa semua pra-
jurit ke kancah pertempuran. Tidak kurang dari dua
ratus prajurit Kadipaten Pleret sengaja ditinggal seba-
gai pasukan cadangan. Dan hal ini pulalah yang sedi-
kitnya dapat menolong keselamatan Adipati Pleret.
Begitu beberapa orang tokoh sesat yang dipimpin
Pelajar Agung memasuki lingkungan kadipaten, maka
tak heran kalau kedatangan pasukan kecil Pangeran
Pemimpin itu telah diketahui beberapa orang prajurit
jaga.
"Bajingan! Pasukan-pasukan pemberontak ini me-
nyusup ke kadipaten!" teriak seorang prajurit jaga
nyaring.
Teriakan ini telah menyadarkan beberapa orang
prajurit lain. Maka dengan teriakan-teriakan nyaring
penuh kemarahan, beberapa orang prajurit segera
memanggil prajurit-prajurit. Akibatnya dalam waktu
yang tidak lama pasukan kecil Pangeran Pemimpin
yang di pimpin Pelajar Agung telah dikepung prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret.
"Prajurit-prajurit tolol! Enyahlah kalian dari hada-
pan kami!" dengus Pelajar Agung, beringas.
"Justru kalianlah yang angkat kaki dari tempat ini
Manusia-manusia Pemberontak!" hardik seorang lelaki
gagah berpangkat perwira yang menjadi pimpinan pra-
jurit Kadipaten Pleret
Dikalangan Kadipaten Pleret, lelaki gagah ini di-
kenal bernama Ki Ageng Selo!
"He he he...! Tua bangka ini bisa juga membacot!
Tak kusangka sudah setua ini masih-bisa menggong-
gong nyaring!" ejek Pelajar Agung, memerahkan telinga
Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Selo menggeram penuh kemarahan. Tan-
gan kirinya langsung dikibaskan ke depan.
"Prajurit! Hajar manusia-manusia pemberontak
ini!" teriaknya lantang.
Ki Ageng Selo cepat mencabut keris dari balik
punggung. Sambil menggembor lantang, diterjangnya
Pelajar Agung. Keris di tangan kanannya membuat ge-
rakan menusuk mengarah dada. Sedang tangan ki-
rinya siap melontarkan pukulan maut.
Melihat Ki Ageng Selo telah bertindak, prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret yang jumlahnya hampir dua
ratus orang pun tidak mau ketinggalan. Dengan ber-
bagai macam senjata di tangan, mereka segera maju
menyerang.
Meski berjumlah tak kurang dari empat puluh
orang, namun pasukan Pangeran Pemimpin yang di-
pimpin Pelajar Agung tidak bisa dianggap sembaran-
gan. Mereka adalah para tokoh sakti dunia persilatan
yang bersekutu dengan Pangeran Pemimpin. Di anta-
ranya terlihat guru dan murid, yakni Bajing Ireng dan
Bajing Biru. Maka tak heran kalau serangan prajurit-
prajurit Kadipaten Pleret dapat diladeni dengan mu-
dah.
Begitu tokoh-tokoh sesat itu bertindak jerit-jerit
kematian dari para prajurit pun mulai terdengar susul
menyusul. Satu persatu mereka roboh ke tanah dalam
keadaan bersimbah darah. Sementara dengan kejinya
tokoh-tokoh sesat itu terus menuntut korban nyawa
para prajurit.
Darah merah telah melumuri bumi pertiwi. Para
prajurit Kadipaten Pleret yang bertekad membela bumi
pertiwi rela mempertaruhkan selembar nyawa!
Sementara Ki Ageng Selo sendiri tak bisa berbuat
banyak. Apalagi, serangannya tadi dapat diatasi Pelajar
Agung dengan mudah. Begitu kerisnya dihujamkan, ti-
ba-tiba dengan kecepatan luar biasa Pelajar Agung te-
lah melepas tendangan ke tangannya.
Plak!
Keris di tangan Ki Ageng Selo terpental. Dan se-
waktu hendak melontarkan pukulan maut; Pelajar
Agung memutar tubuhnya sambil melepas sapuan kaki
kiri ke dada.
Bukkk!
"Aaahhh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Pelajar Agung
menghajar dada. Seketika tubuh tinggi kekar Ki Ageng
Selo terpental ke belakang. Darah segar langsung me-
nyembur keluar saat tubuhnya jatuh berdebam ke ta-
nah. Sebentar ia melejang-lejang, lalu tidak bergerak-
gerak lagi. Tewas!
Bukan main kagetnya prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret melihat pimpinan mereka dapat dirobohkan mu-
suh hanya dalam sekali gebrak! Ini sungguh di luar
dugaan. Akibatnya bak anak ayam kehilangan induk,
prajurit-prajurit Kadipaten Pleret makin dibuat kocar-
kacir. Tanpa, ampun, tokoh-tokoh sakti itu terus me-
nebar kematian terhadap prajurit-prajurit Kadipaten
Pleret.
Kini prajurit-prajurit gagah Kadipaten Pleret itu
benar-benar tak berdaya menghadapi amukan sekutu
Pangeran Pemimpin. Apalagi ketika Pelajar Agung telah
mengerahkan ilmu 'Amblas Bumi'. Bukan main kecut-
nya hati mereka. Satu persatu para prajurit tewas ter-
kubur hidup-hidup setelah terbetot ke dalam tanah!
Keadaan benar-benar genting. Keamanan kadipa-
ten terancam. Keselamatan Adipati Pleret pun tak ter-
jamin. Perlahan namun pasti, tokoh-tokoh sesat itu te-
rus memasuki lingkungan kadipaten. Para prajurit Ka-
dipaten Pleret yang berusaha menahan sekuat tenaga,
hanya mendapat kesia-siaan. Bahkan kemudian tewas
begitu mendapat serangan dari sekutu Pangeran Pe-
mimpin!
Tiba-tiba suasana hiruk pikuk yang diiringi bera-
dunya senjata tajam, telah dikejutkan oleh bunyi-
bunyi sangkala yang mengangkasa. Rupanya ada salah
seorang prajurit Kadipaten Pleret yang telah meniup
sangkala sebagai tanda bahaya. Kemudian suara te-
rompet itu pun terdengar saling sahut menyahut, seo-
lah ingin mengabarkan pada alam semesta bahwa
angkara murka kembali merajalela...
***
6
Adipati Reksopati terlihat tegang di tempatnya.
Suara tiupan sangkala tadi seolah-olah ingin meluluh-
lantakkan apa saja yang ada di muka bumi. Tangan-
nya gemetar, pertanda jiwanya tengah terguncang.
Beberapa orang punggawa kadipaten yang turut
menemani di ruang pendopo merasa cemas bukan
main.
Mereka tahu, perasaan apa yang tengah-dialami
junjungannya. Mereka juga tahu, apa yang akan di-
alami bila takhta Kadipaten Pleret jatuh ke tangan
Pangeran Pemimpin.
"Maaf, Kanjeng Adipati! Rasanya hamba tidak bisa
berpangku tangan saja. Hamba harus membantu te-
man-teman," ucap seorang lelaki berpangkat tumeng-
gung mengusik kecemasan Adipati Pleret.
"Benar, Kanjeng Adipati. Tampaknya prajurit-
prajurit kita kewalahan menghadapi serangan musuh.
Hamba harus secepatnya membantu, Kanjeng," tam-
bah seorang punggawa.
"Hhh...!" Adipati Pleret menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Tampak-
nya memang demikian. Tumenggung Batu Ampel. Dan
kau, Ki Demang Jarakan! Lekas bawa beberapa tokoh
sakti kadipaten untuk membantu!"
"Maaf, Kanjeng Adipati! Hamba datang melapor!"
Tiba-tiba seorang prajurit datang tergopoh-gopoh,
langsung menghadap. Buru-buru Kanjeng Adipati Ple-
ret dan juga semua yang berada di ruang pendopo me-
noleh. Mereka menatap dengan kening berkerut pada
prajurit yang baru datang dengan sembah penuh hor-
mat.
"Apa yang ingin kau laporkan, Prajurit?" tanya
Adipati Reksopati, tak sabar.
"Keadaan benar-benar genting, Kanjeng. Beberapa
tokoh sakti dunia persilatan yang menjadi sekutu Pan-
geran Pemimpin diam-diam menyusup ke dalam ling-
kungan kadipaten. Mereka membantai prajurit-prajurit
kita tanpa ampun. Bahkan Ki Ageng Selo pun tewas di
tangan mereka, Kanjeng," lapor sang prajurit.
"Keparat!" desis Kanjeng Adipati Pleret penuh ke-
marahan. "Tumenggung Batu Ampel! Dan kau, Ki De-
mang Jarakan. Lekas hadang mereka! Jangan biarkan
mereka masuk kemari!"
"Baik, Kanjeng! Tapi apa tidak sebaiknya untuk
sementara Kanjeng Adipati menyingkir terlebih dahu-
lu," usul Tumenggung Batu Ampel, cemas.
Kanjeng Adipati Pleret menggeleng mantap dengan
geraham berkerut-kerut geram.
"Tidak, Tumenggung! Apa pun yang terjadi, aku
harus tetap di takhtaku. Biar nyawa sekalipun taru-
hannya!" tandas Kanjeng Adipati Pleret, mantap. "Se-
karang lekas kalian berangkat!"
"Baik, Kanjeng. Hamba mohon pamit."
"Hati-hatilah! Aku merestui kepergian kalian!"
Tumenggung Batu Ampel dan Ki Demang Jarakan
sejenak menangkupkan kedua telapak tangan di depan
hidung penuh hormat. Lalu dengan sigap mereka sege-
ra melangkah keluar diikuti beberapa orang punggawa
lain.
Adipati Pleret mendesis-desis penuh kemarahan.
Samar-samar suara denting senjata beradu mulai
mendekati lingkungan istana kadipaten....
***
Emoticon