SATU
PAGI
baru saja menyingsing. Matahari masih enggan menampakkan dirinya. Hanya rona
merah jingga yang membias dari balik gunung sebelah Timur. Namun di pagi yang
masih tertutup kabut itu terlihat seorang pemuda berwajah tampan dan berkulit
kuning langsat, tengah duduk bersila di atas sebongkah batu besar yang hitam
berkilat.
Titik-titik
keringat mengucur membasahi wajah dan badannya yang telanjang. Otot-otot
bersembulan keluar, menambah ketegapan tubuhnya. Kedua tangannya terus
melakukan gerakan-gerakan jurus pengerahan hawa murni dari pusat tubuhnya.
Tidak jauh dari pemuda itu, tampak seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah
panjang berwarna merah.
Laki-laki
tua itu tidak berkedip memandangi pemuda yang tengah melatih tenaga dalamnya.
Sebatang tongkat berkeluk berbentuk ular, diketuk-ketukkan ke tanah dekat ujung
jari kakinya. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih, bergerak-gerak seperti
membaca sesuatu. Perlahan-lahan diangkat tongkatnya, lalu ujung tongkat yang
berbentuk kepala ular itu diarahkan pada pemuda di atas batu.
"Hih!
Hiyaaa...!"
Laki-laki
tua berjubah merah itu menghentakkan tongkatnya kuat-kuat. Dan dari mata ular
yang berwarna merah itu memancarlah seleret cahaya merah, langsung meluruk
deras ke arah pemuda itu, sehingga membuat pemuda tersebut terperangah sesaat.
Tapi dengan kecepatan luar biasa, dia melompat dengan posisi masih tetap duduk
bersila.
Glarrr!
Sebongkah
batu sebesar kerbau, hancur berkeping-keping begitu sinar merah yang meluncur
dari mata tongkat ular itu menghantam batu tempat pemuda tampan tadi duduk
bersila di atasnya. Suara ledakannya begitu dahsyat Debu dan kepingan batu
beterbangan di udara, bercampur kabut tebal.
Di
antara kepulan debu dan reruntuhan batu itu terlihat seorang pemuda
berjumpalitan beberapa kali, kemudian dengan manis kakinya menjejak tanah.
Namun dia langsung duduk bersila kembali dengan telapak tangan merapat di depan
dada. Kepalanya tetap tertunduk menekuri tanah di depannya.
"He
he he...! Bagus! Bagus..., Kalaban. Tenaga dalammu kini telah pulih
kembali," laki-laki tua berjubah merah itu terkekeh seraya
menghentak-hentakkan ujung tongkatnya ke tanah.
Namun
pemuda yang memang adalah Kalaban itu tetap duduk bersila menekuri tanah di
depannya. Laki-laki tua berjubah merah itu melangkah menghampiri, kemudian
duduk bersila di depan Kalaban.
"Cukup,
Kalaban. Tidak perlu kau teruskan semadimu," kata laki-laki tua berjubah
merah itu.
"Eyang...,"
ujar Kalaban seraya mengangkat kepalanya.
"Kau
sudah kembali sempurna seperti semula, Kalaban. Tidak ada lagi bekas-bekas luka
dalam di tubuhmu. Hanya saja, latihlah jurus-jurusmu saja agar lebih mantap dan
sempurna. Hm..., kau akan kubimbing untuk menyempurnakan jurus-jurusmu,"
ujar laki-laki tua berjubah merah itu.
"Terima
kasih, Eyang Girindra," ucap Kalaban seraya memberi hormat.
"He
he he.... Kau anak yang baik, Kalaban. Hhh...!" ujar laki-laki tua yang
ternyata bernama Eyang Girindra, seraya menarik napas panjang.
"Ada
apa, Eyang?" tanya Kalaban sambil memperhatikan raut wajah Eyang Girindra
yang mendadak saja jadi berubah mendung.
"Tidak
ada apa-apa, Kalaban. Oh, ya..., bagaimana kau sampai bentrok dengan
orang-orang Kerajaan Galung?" tanya Eyang Girindra, tanpa menghiraukan
pertanyaan Kalaban.
"Aku
hanya menuntut hak, Eyang," sahut Kalaban.
"Hak...!?
Hak apa?"
"Intan
Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi mengadakan sayembara. Isi sayembara
itu, siapa yang berhasil mengalahkannya, maka berhak atas Kerajaan Galung. Dan
aku berhasil mengalahkannya. Tapi semua perjanjian yang dibuatnya itu diingkari
sendiri Eyang. Aku dan guru-guruku terpaksa merebutnya secara paksa dengan
menduduki Istana Galung lalu mengusir Prabu Galung dan semua pembesar istana.
Sebenarnya yang kuinginkan hanya Intan Kemuning saja, Eyang. Dia harus jadi
istriku. Hanya itu...," jelas Kalaban.
"Hm....
Lalu, siapa pemuda yang hampir membunuhmu itu?" tanya Eyang Girindra lagi.
"Aku
baru sekali bentrok dengannya, Eyang. Dia berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Aku
tidak tahu, siapa dia sebenarnya. Tiba-tiba saja muncul bersama pasangannya
lalu menghancurkan orang-orangku," sahut Kalaban.
"Pasangannya...?!"
Eyang Girindra mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Benar,
Eyang. Pendekar Rajawali Sakti menunggang seekor burung rajawali raksasa yang
sangat dahsyat. Demikian pula dengan pasangannya. Aku tidak tahu pasti, siapa
pasangannya itu."
"Hm...,"
Eyang Girindra bergumam tidak jelas.
"Ada
apa, Eyang?" tanya Kalaban.
"Tidak...,
tidak apa-apa," sahut Eyang Girindra cepat.
Tapi
raut wajah laki-laki tua itu kelihatan mendung. Kemudian dia bangkit berdiri
dan melangkah pelahan-lahan. Kalaban juga berdiri. Diperhatikannya wajah
laki-laki tua itu yang juga guru dari Empat Bayangan Iblis Neraka. Jelas sekali
kalau laki-laki tua berjubah merah itu jadi gundah mendengar penjelasan
Kalaban. Entah apa yang membuat hati Eyang Girindra jadi gundah!
***
Sementara
itu jauh dari Gunung Sendir, tepatnya di sebelah Barat, terdapat suatu lembah
yang cukup dalam dan luas yang dinamakan Lembah Neraka. Suasana di dalam lembah
itu memang bagai di dalam neraka. Seluruh batu dan tanahnya berwarna merah
bagai terbakar. Bahkan pohon dan rerumputan pun berwarna merah. Udaranya sangat
panas menyengat. Tidak ada seorang pun yang sanggup hidup di dalam lembah itu.
Bahkan semut pun enggan untuk memijakkan kakinya di sana. Sebuah lembah yang
tidak memiliki sumber air sedikit pun!
Tidak
ada daun atau buah-buahan yang dapat dimakan. Semua buah dan daun yang ada di
Lembah Neraka mengandung racun yang sangat mematikan. Di situ pun juga terdapat
suatu danau berwarna merah yang airnya juga mengandung racun. Tidak ada seekor
ikan pun yang hidup di danau itu.
Tapi
di tengah-tengah danau itu terdapat sebuah bangunan yang sangat megah bagai
istana. Bangunan besar itu seperti ditopang oleh tiang-tiang yang sangat besar
dan kokoh. Pintu dan jendelanya juga sangat besar. Bangunan itu seperti istana
raksasa. Ukurannya sepuluh kali lipat dari bangunan istana di mana pun juga.
Namun anehnya, seluruh bangunan itu berwarna merah.
Sinar
matahari yang memancar terik, membuat seluruh bangunan istana itu bagai
terbakar. Bahkan seluruh lembah pun seperti terpanggang api. Udara di
sekitarnya semakin terasa panas menyengat Benar-benar suatu tempat bagai
neraka.
"Khraghk...!"
tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar di angkasa.
Dan
sebentar kemudian, terlihat sebuah bayangan hitam pekat yang sangat besar
meluncur turun dari angkasa. Bayangan hitam itu terus menukik deras menuju
bangunan istana berwarna merah di tengah-tengah danau, lalu meluruk masuk
melalui pintu depan yang sangat besar.
"Khraghk...!"
Kini
di dalam ruangan yang sangat besar dan tinggi, terlihat seekor burung rajawali
hitam raksasa. Burung itu berjalan gontai menghampiri sebuah ranjang yang
sangat besar ukurannya. Di atas ranjang beralaskan kain merah muda dari bahan
sutra halus itu tergolek seorang wanita berbaju hitam. Rambutnya yang hitam
panjang dibiarkan terurai. Wajahnya yang cantik dan putih mulus itu terlihat
pucat.
Gadis
itu membuka kelopak matanya sedikit, menampakkan bola matanya yang redup dan
tanpa gairah. Bibirnya yang pucat, bergetar membentuk senyuman yang teramat
dipaksakan. Wanita itu memang tidak lain dari Putri Rajawali Hitam. Sedangkan
burung rajawali hitam raksasa, mendekam di samping pembaringan. Kepalanya
diletakkan di samping wanita Itu.
"Khrrrk...!"
Rajawali Hitam mengkirik lirih. Sepasang bola matanya memandang sayu pada Putri
Rajawali Hitam.
"Jangan
sedih, Hitam. Aku pasti sembuh," lemah sekali suara Putri Rajawali Hitam.
"Khraghk!"
"Tidak,
Hitam. Kau tidak boleh meminta bantuan pada Rajawali Putih. Aku tidak ingin
bertemu lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus bisa merasakan
perasaanku, Hitam," ada nada kesenduan pada suara Putri Rajawali Hitam.
Setetes
air bening menggulir dari sudut mata yang sayu itu. Putri Rajawali Hitam
buru-buru menghapus air matanya. Dia tidak ingin mengenang masa-masa manisnya
bersama Pendekar Rajawali Sakti. Masa-masa yang sebenarnya sangat dirindukannya
untuk terulang kembali.
Rajawali
Hitam menggosok-gosokkan kepalanya di dada wanita itu. Sedangkan Putri Rajawali
Hitam memeluknya dengan perasaan haru. Dia tahu kalau Rajawali Hitam juga
terkenang dengan pasangannya.
Dan
perasaan mereka memang sama. Tapi Putri Raja' wali Hitam tidak ingin memanjakan
perasaannya, meskipun saat ini sebenarnya membutuhkan pertolongan untuk
menyembuhkan luka-luka dalam tubuhnya. Luka yang mengandung racun lemah, namun
dapat membuatnya tewas pelahan-Iahan.
"Ya!
Aku tahu, Hitam. Tapi aku tidak ingin mereka mengetahui tentang diriku,"
pelan suara Putri Rajawali Hitam.
"Krrrkh...!"
"Aku
akan berusaha menyembuhkan diriku sendiri. Jangan khawatir, Hitam. Aku pasti
bisa sehat kembali seperti semula."
Putri
Rajawali Hitam berusaha bangkit, tapi hanya mampu untuk duduk saja. Itu pun
sudah membuatnya banjir keringat Belum lagi tubuhnya yang terasa begitu panas.
Kepalanya pening, dan matanya berkunang-kunang. Tapi Putri Rajawali Hitam
memaksakan diri untuk bersemadi.
Baru
saja Putri Rajawali Hitam menyalurkan hawa mumi, mendadak seluruh tubuhnya
bagai terbakar! Tiba-tiba saja dia memuntahkan darah kental kehitaman dua kali.
Putri Rajawali Hitam tidak bisa lagi mengendalikan dirinya, lalu ambruk
terkulai di atas pembaringan. Dadanya bergerak cepat dengan napas tersengal.
Keringat semakin banyak membasah: seluruh tubuhnya.
"Oh...,
aku tidak mampu lagi. Racun ini sudah menguasai seluruh aliran
darahku...," keluh Putri Rajawali Hitam lirih.
"Khrrrkh...!"
Rajawali Hitam mengkirik lirih.
Putri
Rajawali Hitam hanya bisa mengeluh panjang. Matanya semakin sayu menatap burung
raksasa itu. Tapi tiba-tiba burung itu bergerak keluar. Dia ingin mencegah
Rajawali Hitam pergi, tapi seluruh tubuhnya terasa lemas dan lidahnya jadi
kaku. Rajawali Hitam sudah melesat pergi meninggalkan suara berkaokan keras
memekakkan telinga.
"Apakah
aku harus bertemu lagi dengan Rangga...? Ah...! Tidak, dia tidak boleh tahu
siapa diriku," desah Putri Rajawali Hitam lirih.
Pada
saat yang sama, Rajawali Putih tengah melayang terbang di angkasa bersama
Rangga yang berada di punggungnya. Setiap hari mereka mengangkasa untuk mencari
Rajawali Hitam yang pergi membawa wanita berbaju hitam bernama Putri Rajawali
Hitam. Di samping itu, dia juga berharap bisa bertemu dengan Kalaban.
Rangga
telah merasakan hebatnya ilmu olah kanuragan yang dimiliki Kalaban ketika
bentrok dengan laki-laki itu. Setiap pukulan, apalagi tongkat peraknya,
mengandung hawa racun yang bekerja lambat, tapi sangat berbahaya dan dapat
mematikan. Waktu itu Putri Rajawali Hitam beberapa kali terkena pukulan dan
sabetan tongkat Kalaban (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah Sepasang Rajawali). Dan Rangga sudah dapat menduga
kalau saat ini Putri Rajawali Hitam pasti membutuhkan bantuan untuk mengeluarkan
racun yang mengendap di dalam tubuhnya.
"Rajawali
Putih, ke mana lagi kita harus mencari?" tanya Rangga. Ada nada
keputusasaan di dalam suaranya.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebaiknya
kita turun dulu di sana!" usul Rangga.
Rajawali
Putih segera meluruk turun ke arah sebuah bukit kecil yang ditunjuk Pendekar
Rajawali Sakti Itu. Sebentar dia berputar mengelilingi bukit itu, kemudian
mendarat lunak di sebelah Selatan. Tempat yang tidak curam dan terlindung oleh
lebatnya pepohonan. Rangga melompat turun dari punggung rajawali raksasa itu.
Sebentar dia menggeliat-geliatkan tubuhnya, mengusir rasa pegal karena hampir
setengah harian duduk di punggung Rajawali Putih. Pinggangnya seperti mau patah
saja.
"Rajawali,
sebaiknya kau kembali saja ke Lembah Bangkai. Biar aku sendiri saja yang
mencari pasanganmu Itu," kata Rangga mengusulkan.
"Khraghk...!"
"Tidak.
Aku tidak mungkin melukainya. Aku hanya ingin meminta agar dia
menjauhimu," kata Rangga bisa mengerti perasaan Rajawali Putih.
"Krrrhk...!"
"Iya,
aku janji."
Rajawali
Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah memekik keras, dia melesat tinggi
ke angkasa. Sebentar saja sudah jauh membumbung, kemudian lenyap tak berbekas
ditelan gumpalan awan. Sementara Rangga masih berdiri memandang sekitarnya.
Pandangan
Pendekar Rajawali Sakti itu tertuju langsung ke arah kaki bukit sebelah
Selatan. Tampak sebuah perkampungan kecil dan kelihatan sepi. Rangga
mengayunkan kakinya menuruni bukit menuju ke perkampungan itu. Langkahnya
tenang, tidak terburu-buru. Namun bola matanya tidak lepas mengamari keadaan
sekitarnya.
"Hm...,
ada perambah hutan di sana." gumam Rangga begitu melihat seorang laki-laki
tua dan seorang anak gadis kecil sedang memunguti ranting-ranting kering yang
kemudian ditumpuk dan dikumpulkan di situ.
Rangga
menghampiri perambah hutan itu. Di situ sudah ada dua ikat ranting kering yang
sudah berdiri, dan masih banyak lagi yang bertumpuk. Gadis kecil itu mengikat
ranting-ranting dengan kulit kayu, ataupun dengan sulur yang banyak terdapat di
sekitar hutan bukit ini. Laki-laki tua bertubuh kurus itu mengangkat kepalanya
setelah Rangga dekat.
"Banyak
perolehannya, Pak?" tegur Rangga ramah.
"Oh!
Lumayan, Den. Hari ini cerah, jadi cukup lumayan juga mendapatkan kayu
bakar," sahut laki-laki tua itu.
"Hm...,
boleh aku tanya, Pak?"
"Tentu
saja, Den."
"Apa
nama bukit ini?"
"Bukit
Kiambang, Den...," sahut perambah hutan itu.
"Rangga,
Pak. Namaku Rangga," Rangga memperkenalkan diri mendengar nada suara
perambah hutan itu seperti ingin tahu.
"Oh...,
Den Rangga mau ke mana?" tanya perambah hutan itu.
"Aku
seorang pengembara, Pak. Jadi tidak ada tujuan yang pasti."
Perambah
hutan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bola matanya yang kecil mengaman
Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Sepertinya
sedang menilai penampilan pemuda di depannya ini. Sedangkan gadis kecil yang
mengikat ranting, menghampiri perambah hutan itu.
"Sudah
banyak, Yah. Pulang yuk...?" ajak gadis kecil itu.
"Oh,
iya..., iya. Permisi, Den," ucap perambah hutan itu.
"Sebentar,
Pak. Mari kubantu," kata Rangga.
"Tidak
usah, Den."
Tapi
Rangga tidak peduli dengan penolakan itu.
Langsung
saja diangkat dua ikat ranting yang cukup besar, dan dipanggulnya di pundak.
Sedangkan laki-laki tua itu memanggul yang seikat lagi. Gadis kecil itu
menenteng bekal makanan yang terbungkus kain kumal.
"Wah,
Den Rangga ini kuat sekali. Bapak jadi tidak enak," ujar perambah hutan
itu yang berjalan di samping Rangga.
"Tidak
apa-apa, Pak. Pekerjaan ini sering kulakukan," kata Rangga seraya
memberikan senyum. "Adik kecil ini, siapa namanya?" tangan Pendekar
Rajawali Sakti itu mengusap kepala gadis kecil yang berjalan di depannya.
"Namaku
Seruni, Kang," jawab gadis kecil itu polos.
"Seruni...!"
rungut perambah hutan itu.
"Tidak
apa-apa, Pak. Aku suka dipanggil Kakang, daripada sebutan untuk orang
bangsawan."
"Tapi,
Den...."
"Panggil
saja Rangga, Pak," pinta Rangga ramah.
"Ah...,"
perambah hutan itu hanya mendesah. "Kalau begitu kau bisa memanggilku Ki
Biran."
Rangga
tersenyum lebar dan mengangguk sedikit, lalu menggamit tangan gadis kecil itu
dan menggandengnya. Gadis Itu kelihatan senang, seraya melangkah lincah di
samping Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun memanggul dua ikat ranting yang cukup
banyak, tapi Rangga tidak kelihatan lelah. Bahkan mampu mengikuti Seruni yang
berlari-lari menuju desa di Kaki Bukit Kiambang ini.
"Hm...,
pemuda itu begitu sopan. Pasti seorang pendekar golongan putih...," gumam
Ki Biran dalam hati.
***
DUA
Ayam
jantan berkokok saling bersahutan menyambut datangnya sang mentari pagi. Desa
Kiambang yang semalam lelap terselimut kabut, mulai bangkit dan hidup kembali.
Di depan rumah Ki Biran, terlihat Rangga sibuk membelah kayu bakar. Sejak Rangga
tinggal di pondok kecil itu, persediaan kayu bakar Ki Biran tidak pernah
kurang, bahkan sepetak ladang di belakang rumah sudah dipaculi, dan ditanami
tanaman palawija.
"Kang
Rangga! Istirahatlah dulu...!" terdengar suara kecil dari arah belakang.
Rangga
menoleh, tampak Seruni menghampiri sambil membawa kendi dan sepiring pisang
goreng. Rangga menerimanya dengan bibir tersungging senyuman. Dia mengambil
satu dan minum air langsung dari dalam kendi tanah liat itu. Seruni tampak
tersenyum senang.
"Kau
yang buat sendiri pisang goreng ini, Seruni?" tanya Rangga.
"Habis,
siapa lagi? Setiap hari aku yang masak, mencuci, dan membersihkan rumah,"
Seruni menyombong.
"Bagus!
Pisang gorengnya enak. Boleh minta satu lagi?"
"Nih!"
Seruni menyodorkan piring kayu. Rangga mengambil sebuah pisang goreng lagi yang
masit mengepulkan uap panas. "Semua juga tidak apa-apa. Kang."
"Jangan
ah! Nanti ayahmu tidak kebagian."
"Jangan
khawatir, Kang. Buat Ayah, sudah ku siapkan, kok."
"Kau
sendiri?"
"Ini...!"
Rangga
tertawa melihat Seruni mengambil sepotong pisang goreng dan langsung memasukkan
ke dalam mulutnya yang kecil. Pipi gadis kecil itu jadi menggembung, sehingga
kelihatan wajahnya lucu. Mereka tidak tahu kalau dari balik jendela, Ki Biran
memperhatikan sejak tadi. Namun terlihat sepasang bola matanya merembang
berkaca-kaca.
Tiga
hari Rangga berada di rumah ini, dan selama itu pula hubungannya dengan Seruni
bertambah akrab. Dan tampaknya Seruni begitu menyukai Rangga, bahkan menganggapnya
seperti kakak kandung sendiri. Seperti pagi ini, mereka bersenda gurau dan
bercanda begitu riangnya. Diam-diam Rangga sekilas menangkap adanya seseorang
di balik jendela rumah itu.
"Sebentar,
Seruni," kata Rangga, seraya menurunkan gadis kecil itu dari pangkuannya.
Seruni
hanya bisa memandang tanpa berkata-kata lagi. Sementara Rangga melangkah
menghampiri jendela yang terbuka lebar. Ki Biran yang tidak menyadari akan
kedatangan Rangga, buru-buru menghapus air matanya. Rangga agak terkejut juga melihat
laki-laki tua itu seperti habis menangis. Dia kini berdiri di depan Jendela.
"Ada
apa, Ki? Mengapa' menangis?" tanya Rangga.
"Tidak...,
tidak apa-apa. Aku hanya terkenang saja," sahut Ki Biran agak tergagap.
"Terkenang...?"
Rangga melirik Seruni yang telah asyik bermain boneka kayunya.
"Ah,
sudahlah. Lupakan saja, Rangga," Ki Kran mengelak.
Rangga
ingin bertanya lagi, tapi laki-laki tua itu sudah berbalik dan meninggalkannya.
Sesaat Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri termangu menatap ke dalam rumah
melalui depan jendela. Hatinya berkata, pasti ada sesuatu yang tersembunyi di
dalam diri Ki Biran, Mustahil laki-laki tua itu menangis tanpa sebab. Rangga
mengalihkan pandangannya pada Seruni, dan gadis kecil itu kebetulan menoleh
padanya.
"Ayo
kita main lagi, Kakang...!"ajakSeruni riang.
Rangga
tersenyum dan melangkah menghampiri. Seruni berlari-lari kecil menuju ke bagian
samping kanan pondok ini. Rangga mengikuti, namun pikirannya masih tertuju pada
Ki Biran. Tapi begitu berada di samping kanan rumah, pendengarannya yang tajam
mendengar suara pertengkaran di samping kiri rumah.
"Hm....
Sepertinya suara Ki Biran...," gumam Rangga dalam hati.
Belum
sempat Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir lebih jauh, mendadak terdengar
suara jeritan melengking. Seketika itu juga Rangga melompat melewati atap
rumah, langsung meluruk turun ke samping kiri rumah itu Dan pada saat yang
bersamaan, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat, langsung menghilang
di balik lebatnya pepohonan.
"Ki...!"
Rangga terkesiap begitu melihat Ki Biran telah tergeletak. Darah mengucur deras
dari dadanya.
"Ayah...!"
tiba-tiba saja Seruni muncul.
Rangga
menoleh, dan menggamit tubuh gadis kecil itu. Seruni berusaha berontak sambil
menjerit-jerit memanggil ayahnya. Agak kewalahan juga Pendekar Rajawali Sakti
menghadapi Seruni yang histeris. Tidak ada jalan lain lagi buat Rangga.
Ditotoknya jalan darah gadis kecil itu, sehingga Seruni jatuh terkulai tak
berdaya.
"Ki...!"
Rangga bergegas menghampiri Ki Biran setelah merebahkan Seruni di tempat yang
teduh.
Ki
Biran masih bisa bernapas, meskipun darah semakin banyak keluar dari dadanya
yang berlubang. Rangga berusaha menghentikan darah dengan meno-tok jalan darah
di sekitar luka Itu. Tampak wajah Ki Biran demikian pucat: Dipindahkannya
laki-laki tua itu ke tempat yang teduh, dan dibaringkan di balai-balai bambu.
"Ki...,"
pelan suara Rangga.
"Rangga...,
tolong selamatkan Seruni...," ucap Ki Biran lirih.
"Bertahanlah,
Ki. Aku akan berusaha menyelamatkanmu," ujar Rangga.
"Percuma.
Rasanya aku tak kuat lagi. Jaga Seruni.... Bawa dia pergi jauh-jauh dari sini.
Tolong, Rangga. Antarkan pada bibinya yang tinggal dekat Lembah
Neraka...."
"Ki...!"
Rangga
menarik napas panjang. Sedangkan Ki Biran langsung menghembuskan napasnya yang
terakhir. Darah yang keluar begitu banyak, dan totokan Rangga hanya sementara
saja sifatnya. Darah kembali mengucur tidak tertahankan lagi. Sebentar
dipandangi tubuh Ki Biran yang dingin, tidak bernyawa lagi, kemudian
dihampirinya Seruni yang masih tergolek tidak sadarkan diri akibat totokan pada
jalan darahnya.
"Ayah...!"
Seruni kontan melompat begitu Rangga membuka totokanya.
Gadis
kecil itu menangis menggerung-gerung memeluk mayat laki-laki tua yang selama
ini merawat dan membesarkannya. Sementara Rangga hanya terpaku memandang.
Sebentar menarik napas panjang dan berat, lalu memandang ke sekelilingnya.
Mendadak keningnya jadi berkerut melihat beberapa penduduk desa ini hanya
menonton dari jarak yang cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang datang
menghampiri.
"Hm...,
aneh! Mereka seperti ketakutan," gumam Rangga dalam hati.
Orang-orang
yang berada di kejauhan itu memang menyiratkan wajah ketakutan. Jumlah mereka
semakin banyak, tapi tidak ada seorang pun yang menghampiri. Bahkan tidak ada
kata-kata yang terdengar. Keadaan yang aneh ini membuat Rangga jadi
bertanya-tanya dalam hati. Sementara Seruni masih menangisi kema-tian ayahnya.
"Kakang...,"
lirih suara Seruni. Gadis itu menoleh memandang Rangga.
Seruni
berlari dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Tidak ada yang dapat dilakukan
Rangga selain membalas pelukan itu. Dibiarkan saja gadis kecil itu menumpahkan
air matanya dalam pelukannya. Entah kenapa, seketika saja dia jadi kehilangan
kata-kata. Lidahnya terasa kelu, sulit untuk digerakkan. Hanya tangannya saja
membelai lembut kepala Seruni.
***
"Kita
akan ke mana, Kakang?" tanya Seruni yang berjalan di samping Rangga.
"Ke
Lembah Neraka," sahut Rangga.
Saat
itu mereka sudah jauh meninggalkan Desa Kiambang. Hampir satu harian berjalan,
tapi hanya sekali mereka berhenti untuk beristirahat sambil mengisi perut Dan
kelihatannya Seruni sudah teramat letih. Keringat mengucur deras dari wajahnya
yang kemerahan. Rangga mengajak gadis kecil itu berhenti setelah tiba di tepi
sebuah sungai kecil.
"Kakang...,"
pelan suara Seruni. Kakinya sengaja dimasukkan ke dalam air sungai.
"Ada
apa, Seruni?" tanya Rangga seraya duduk di samping gadis kecil itu. Batu
yang mereka duduki cukup besar, dan agak menjorok ke dalam sungai.
"Mau
apa kita ke Lembah Neraka?" tanya Seruni polos.
"Entahlah.
Aku hanya menuruti pesan ayahmu, yang mengatakan bahwa tempat tinggal bibimu
tidak jauh dari lembah itu," sahut Rangga.
"Bibi...!?"
Seruni mengerutkan keningnya. Tampaknya terkejut mendengar dirinya masih
mempunyai seorang bibi.
"Iya,
kenapa?" tanya Rangga.
"Ayah
tidak pernah bilang kalau aku punya Bibi. Di mana letaknya Lembah Neraka itu,
Kakang?"
Rangga
tidak segera menjawab, karena bingung harus menjawab apa. Sedangkan dia sendiri
belum tahu, di mana letak Lembah Neraka. Mendengar namanya saja baru kali ini.
Dan sebelum berangkat, dia memang sudah bertanya pada penduduk Desa Kiambang.
Tapi tidak ada seorang pun yang bersedia mengatakan letak Lembah Neraka. Dan
setiap kali Rangga bertanya, kelihatannya mereka malah ketakutan. Rangga
sendiri jadi heran akan sikap para penduduk desa itu.
"Masih
jauh letaknya, Kakang?" tanya Seruni lag setelah melihat Rangga diam saja.
"Mudah-mudahan
tidak," sahut Rangga pelan.
"Kakang
kok tidak yakin?"
"Seruni...
Aku sendiri tidak tahu di mana letak Lembah Neraka itu. Mendengar namanya saja
baru kali ini. Itu pun dari ayahmu sebelum meninggal," jelas Rangga
terpaksa berterus terang.
"Ayah
tidak mengatakan letaknya?" Seruni jadi penasaran.
"Tidak,"
sahut Rangga. "Ayahmu hanya berpesan saja agar aku membawamu ke sana.
Hanya itu."
Seruni
terdiam menunduk. Gadis kecil itu seperti tengah berpikir. Sementara Rangga
segera membasuh mukanya dengan air sungai. Setelah dirasakan cukup segar, dia
mengangkat wajahnya, dan langsung menatap Seruni yang masih merenung.
"Ada
apa, Seruni?" tanya Rangga lembut.
"Tidak
ada apa-apa, Kakang. Aku hanya...," Seruni memutuskan ucapannya.
"Hanya
apa?" desak Rangga.
"Aku
hanya sedikit heran akan sikap Ayah," pelan sekali suara gadis kecil itu.
"Heran
kenapa?" Rangga semakin ingin tahu.
Meskipun
Seruni masih berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, tapi kelihatan sangat
cerdik. Cara berpikirnya seperti sudah berusia belasan tahun saja. Mungkin dari
cara hidup yang menuntutnya harus berpikir lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Dan Rangga bisa menangkap ada sesuatu di dalam diri gadis kecil ini.
"Selama
ini aku tidak tahu siapa ibuku. Dan setiap kali kutanyakan tentang Ibu, Ayah
selalu mengelak. Bahkan Ayah tidak pernah menceritakan kalau punya saudara.
Dalam sehari-hari, aku dilarang bermain-main bersama teman sebayaku. Setiap
hari harus ikut Ayah mencari kayu bakar ke hutan, berburu, menyediakan makanan,
dan berlatih ilmu silat. Aku tidak punya teman seorang pun, Kakang,"
Seruni seperti mengeluh.
Rangga
agak terkejut juga mendengar keluhan gadis kecil ini. Dirapatkan duduknya, lalu
dipeluknya Seruni dengan hangat Hatinya tersentuh mendengar cerita Seruni. Sama
sekali tidak disangka kalau kehidupan gadis kecil ini begitu keras! Jauh
berbeda dengan kehidupan anak-anak seusianya. Bahkan sepertinya terlalu
dipaksakan untuk lebih cepat dewasa. Memang beberapa kali Rangga melihat Ki
Biran mengajarkan jurus-jurus ilmu olah kanuragan pada gadis kecil ini. Dan
menurutnya, Ki Biran terlalu keras dalam mendidik Seruni.
Memang
patut diakui kalau cara berpikir dan segala tindakan Seruni tidak seperti bocah
kecil lagi. Seharusnya dia belum bisa dibebani dengan segala macam kewajiban
yang tidak semestinya. Namun demikian, ilmu olah kanuragan yang dimiliki
Seruni, sudah cukup untuk melawan sepuluh orang anak seusianya. Bahkan yang
lebih besar darinya sekalipun belum tentu dapat mengalahkannya. Di dalam tubuh
gadis kecil ini memang mengalir suatu tenaga dalam murni yang jarang dimiliki
oleh anak-anak lainnya. Dan ini memang harus dikembangkan.
"Ayo,
jalan lagi," ajak Rangga setelah cukup lama mereka beristirahat
"Mudah-mudahan kita menemukan desa sehingga bisa bertanya, jalan menuju ke
Lembah Neraka."
Seruni
mengangguk, dan mereka kembali meneruskan perjalanan. Dalam hari, Rangga
bertekad untuk menemukan Lembah Neraka, dan menyerahkan Seruni pada bibinya di
sana. Dia ingat, masih ada satu pekerjaan lagi yang belum terselesaikan.
***
Tiga
hari Rangga dan Seruni berjalan keluar masuk hutan, akhirnya baru hari ini
menemukan sebuah perkampungan yang cukup besar dan ramal Melihat keadaannya,
tidak pantas kalau perkampungan ini disebut desa. Tempat ini lebih pantas kalau
dinamakan sebuah kota kecil Suasananya begitu ramai, dan rumah-rumahnya juga
bagus-bagus.
Rangga
memutuskan untuk tinggal beberapa hari di desa yang bernama Desa Sendir ini.
Letaknya memang persis di Kaki Gunung Sendir. Pendekar Rajawali Sakti itu
memilih penginapan yang tidak begitu besar. Dia mendapatkan sebuah kamar yang
jendelanya langsung menghadap ke jalan. Pemilik rumah penginapan ini seorang
perempuan setengah baya bertubuh gemuk, sehingga menampakkan lehernya yang
berlipat-lipat.
Rumah
penginapan ini tidak begitu ramai. Ada sekitar sepuluh kamar yang disewakan.
Tapi hanya tiga kamar saja yang terisi. Seruni kelihatan senang karena bisa
tidur di pembaringan lagi, setelah selama tiga hari terpaksa harus tidur di
alam terbuka. Bahkan pemah Juga tidur di dalam goa yang mereka temukan dalam
perjalanan. Gadis kecil itu segera naik ke pembaringan. Mungkin perjalanan yang
panjang ini sangat melelahkan, sehingga dia langsung jatuh tertidur begitu naik
ke pembaringan.
"Kasihan...,
kelihatannya dia letih sekali," gumam Rangga memandangi gadis kecil itu.
Rangga
baru saja menyelimuti Seruni ketika pintu kamar sewaannya diketuk dari luar.
Sebentar dia menoleh ke arah pintu, kemudian melangkah mendekati. Seorang
wanita muda berwajah cantik telah berdiri di depan pintu ketika Rangga
membukanya. Wanita itu memberikan senyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit
Rangga membalasnya dengan anggukan kepala juga, tapi sempat pula memperhatikan
wanita Itu.
"Ada
keperluan apa?" tanya Rangga ramah.
"Tidak,"
sahut wanita itu kalem.
Kening
Rangga berkerut juga mendapat jawaban seperti itu. Mau apa wanita ini mengetuk
pintu kalau tidak ada perlunya? Dan belum lagi Rangga bisa menjawab pertanyaan
yang terbetik dalam hatinya, wanita berbaju biru muda itu telah melangkah
masuk. Rangga hanya dapat menggeser kakinya ke samping. Namun matanya tak
berkedip memperhatikan tingkah laku wanita itu.
"Kudengar
di sini ada seorang pemuda menyewa kamar dengan seorang gadis kecil," kata
wanita itu seraya memandang Seruni yang tetap pulas.
"Siapa
kau?" tanya Rangga mulai curiga melihat pedang yang tergantung di pinggang
gadis itu.
"Namaku
Gita Raka," wanita itu memperkenalkan diri dengan sikap tenang.
"Aku,
Rangga. Apa maksudmu datang ke sini?"
Sekarang,
wanita yang mengaku bernama Gita Raka itu hanya tersenyum saja, kemudian duduk
di tepi pembaringan. Tangannya yang berjari lentik, mengusap-usap kening
Seruni. Bibirnya yang selalu merah, tidak lepas menyunggingkan senyuman manis,
kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa
nama anakmu?" Gita Raka malah bertanya.
"Seruni,"
sahut Rangga tidak keberatan wanita itu menyangka Seruni adalah anaknya.
"Nama
yang cantik, secantik orangnya. Kau tentu bahagia mempunyai anak secantik
itu"
"Terima
kasih," ucap Rangga. "Aku selalu iri melihat kebahagiaan orang lain,
tapi tidak pernah membenci orang yang berbahagia. Yah..., kebahagiaan memang
bisa datang dengan cepat, tapi juga bisa hilang secepat datangnya kebahagiaan
itu sendiri," kata Gita Raka seraya bangkit dan melangkah ke jendela.
"Nisanak,
apa maksudmu berkata demikian?" kecurigaan Rangga semakin mendalam.
Rangga
jadi teringat akan kelebatan bayangan merah bersamaan dengan terlukanya Ki
Biran yang nenyebabkan kematiannya. Sampai saat ini dia tidak tahu, siapa
pembunuh laki-laki tua yang baik hati itu. Dan sekarang muncul seorang wanita
yang bersikap mencurigakan sekali. Wanita yang mengaku bernama Gita Raka ini
juga mengenakan baju merah, meskipun warnanya merah muda. Sedangkan Rangga saat
Itu tidak melihat jelas bayangan yang berkelebat cepat itu.
"Aku
tidak bermaksud buruk padamu. Lebih-lebih pada gadis kecilmu itu. Aku hanya
ingin memperingatkanmu saja," masih terdengar tenang kata-kata Gita Raka.
"Nisanak...."
Belum
lagi Rangga dapat meneruskan kata-katanya, mendadak sebatang tongkat berwarna
keperakan melesat masuk dari jendela. Kalau saja Gita Raka tidak cepat-cepat
berkelit, tongkat itu pasti bisa menembus ke tubuhnya. Tongkat keperakan itu
menancap tepat di dinding kamar sewaan ini. Rangga bergegas melompat. Dia ingin
keluar, tapi niatnya diurungkan mengingat keselamatan Seruni.
Gita
Raka melompat menghampiri tongkat kecil keperakan itu, lalu mencabutnya dari
dinding. Ada gulungan daun lontar terikat pita merah pada tongkat perak itu.
Gita Raka menyerahkannya pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu menerimanya,
dan segera membuka ikatan pita merahnya.
"Jangan
campuri urusanku. Serahkan gadis cilik itu!"
Rangga
membaca sebaris kalimat yang tertulis pada daun lontar itu. Pendekar Rajawali
Sakti itu memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Tidak ada yang patut
dicurigai di luar sana. Begitu banyak orang di depan rumah penginapan ini,
hilir mudik dengan kesibukannya masing-masing. Pandangan pemuda itu beralih
pada Gita Raka.
"Penderitaan
mulai datang. Hati-hatilah," kata Gita Raka kalem.
"Heh...!"
Rangga terperanjat
Tapi
belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu minta penjelasan, Gita Raka sudah
melesat keluar lewat jendela kamar yang terbuka lebar. Rangga tidak bisa
mencegah lagi Wanita misterius itu sudah lenyap, bercampur dengan orang yang
memadati jalan di depan sana.
"Aneh....
Siapa dia...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Kembali
dibacanya tulisan bernada mengancam pada daun lontar, kemudian dipandangi
tongkat pendek sepanjang jengkal jari tangan itu. Rangga semakin tidak mengerti
dengan persoalan yang sedang dihadapinya sekarang. Semua kejadian begitu cepat
datangnya, dan tidak sempat disadari. Sebentar kemudian pandangannya beralih pada
Seruni Gadis kecil itu masih tidur lelap.
"Hm...,
ada apa dengan Seruni? Siapa yang menginginkannya? Untuk apa...?"
macam-macam pertanyaan bergalut di benak Rangga. Pertanyaan-pertanyaan yang
tidak mudah untuk dijawab. Kini Rangga sadar. Bukan saja sukar menemukan Lembah
Neraka, tapi juga harus menjaga keselamatan Seruni. Kini hanya satu keterangan.
Ada orang yang menginginkan Seruni. Tapi, siapa? Dan untuk apa...?
***
TIGA
Hanya
satu hari Rangga berada di Desa Sendir yang keadaannya sudah menyerupai sebuah
kota. Memang sengaja ditinggalkan desa itu secepatnya, karena sudah dirasakan
tidak aman lagi untuk Seruni, gadis kecil yang harus diselamatkan dari incaran
seseorang. Rangga sendiri belum tahu, untuk apa orang itu menginginkan Seruni.
Pagi-pagi
sekali, di saat matahari belum terbit penuh, Rangga sudah mengajak Seruni
meninggalkan rumah penginapan itu. Mereka berjalan menuju ke arah Gunung Sendir
bagian Selatan. Dalam keremang-an cahaya matahari, Gunung Sendir terlihat
begitu angker. Kabut tebal pun menyelimuti seluruh puncaknya. Belum begitu
banyak orang yang terlihat kecuali beberapa saja yang sudah berada di depan
rumahnya. Mereka hanya melirik saja pada dua orang yang berjalan di pagi buta
itu
"Kakang,
katanya akan lama di sini. Kok sudah pergi lagi?" tanya Seruni polos.
"Kita
harus cepat sampai di Lembah Neraka, Seruni," sahut Rangga lembut-. Dia
kasihan juga melihat gadis kecil ini begitu lelah dan masih mengantuk.
"Apa
Bibi mengenaliku, Kakang?" tanya Seruni, ragu-ragu nada suaranya.
"Tentu!
Bibimu pasti mengenali dan bersedia menerimamu," jawab Rangga membesarkan
hati gadis kecil itu.
"Benarkah
itu, Kakang?" Seruni meminta kepastian.
Rangga
hanya tersenyum dan mengusap kepala gadis kecil itu. Tapi kelihatannya Seruni
belum puas, dan masih ragu-ragu apakah bibinya bersedia menerimanya. Sedangkan
selama ini dia belum pernah tahu, apalagi melihatnya. Baru sekarang Seruni tahu
kalau masih punya saudara.
Mereka
terus berjalan tanpa berbicara lagi Sementara matahari semakin terik
memancarkan sinarnya. Mereka semakin jauh meninggalkan Desa Sendir, dan kini
sudah memasuki hutan di Lereng Gunung Sendir. Hutan yang tidak begitu lebat,
sehingga tidak menyulitkan Rangga untuk mengajak jalan Seruni. Sepanjang
perjalanan, perhatian Rangga tidak lepas ke wajah gadis kecil yang berjalan di
sampingnya.
Jelas
sekali kalau Seruni tidak menikmati perjalanan ini. Wajahnya selalu mendung,
tidak memancarkan sinar kegairahan. Ayunan kakinya lambat, dan selalu menundukkan
kepalanya. Rangga yang tidak tahan melihat kemurungan gadis kecil itu, segera
berhenti melangkah dan menggamit pundak Seruni.
"Kau
sedih, Seruni?" tanya Rangga lembut.
"Tidak,"
sahut Seruni seraya menggeleng lemah.
Dicobanya
menatap bo!a mata Rangga, tapi sinar matanya begitu redup tak bercahaya.
"Wajahmu
begitu murung. Aku tahu kau menyimpan sesuatu. Katakanlah, Adik Manis. Apa yang
kau pikirkan...?" bujuk Rangga lembut.
Seruni
hanya menggeleng saja, kemudian melangkah lagi. Rangga hanya memperhatikan saja
dengan hati diliputi berbagai macam perasaan dan pertanyaan. Sejak meninggalkan
rumah penginapan tadi, Seruni kelihatan murung dan tidak bersemangat lagi
menempuh perjalanan ini. Rangga yakin kalau gadis kecil itu memiliki suatu
beban yang membuatnya murung.
"Seruni...,"
panggil Rangga seraya mengejar.
Seruni
menghentikan langkahnya, tapi tidak membalikkan tubuhnya. Rangga berdiri di
depan gadis kecil itu, kemudian berlutut dan menggenggam pundak Seruni
Ditatapnya dalam-dalam gadis kecil itu, tapi yang ditatap malah menundukkan
muka.
"Ada
apa, Seruni..?" desak Rangga lembut.
Seruni
tidak langsung menjawab, tapi malah mengangkat mukanya dan langsung menatap ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Bibirnya yang kecil masih terkatup
rapat, namun bola matanya terlihat merembang. Setitik air bening menggulir di
pipinya yang halus kemerahan. Rangga tersentak kaget melihat Seruni menangis.
Dihapusnya air mata yang menggulir itu dengan ujung jarinya.
"Kakang..,"
suara Seruni tercekat di tenggorokkan.
Rangga
semakin tidak mengerti. Dibiarkan saja gadis kecil itu memeluk dan menangis
sesenggukan di bahunya. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi berbuat
apa-apa. Tidak tahu, apa yang mesti dilakukan. Baru kali ini dia mendapatkan
seorang bocah kecil yang begitu malang. Dan kini bocah itu menangis dalam
pelukannya, tanpa diketahui apa sebabnya.
"Seruni...,"
halus sekali Rangga melepaskan pelukan gadis kecil itu.
Lembut
sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menghapus titik-titik air bening di pipi
yang halus kemerahan. Namun Seruni masih sesenggukan, sedangkan air matanya
terus berlinang tidak henti-hentinya. Rangga mengajaknya duduk di sebuah pohon
tumbang. Sebuah pohon besar menaungi mereka dari sengatan terik matahari. Agak
lama juga Seruni baru bisa tenang. Namun sesekali masih terdengar isaknya.
Untuk
beberapa saat lamanya Rangga masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat
untuk mengungkap sikap Seruni yang aneh. Menangis tanpa lelas penyebabnya.
Sementara gadis kecil itu masih terdiam. Sesekali masih terdengar isaknya.
Dengan punggung tangannya, dihapus sisa-sisa air mata yang membekas di pipinya.
"Kau
sudah tenang, Seruni?" tanya Rangga Iembut.
Seruni
tidak menjawab, tapi malah menoleh dari menatap pemuda di sampingnya. Sepasang
bola matanya masih terlihat merembang. Raut wajahnya masih terlihat mendung.
"Ada
apa...?" tanya Rangga lembut.
"Kakang!
Benarkah aku punya Bibi di dekat Lembah Neraka?" tanya Seruni seraya
menatap dalam ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayahmu
yang mengatakan begitu," sahut Rangga ragu-ragu.
"Kakang
percaya?" tatapan mata Seruni semakin dalam.
Rangga
benar-benar terperanjat mendengar pertanyaan itu, sehingga membuatnya berdiri
dan menatap tajam ke bola mata gadis kecil itu. Pertanyaan Seruni barusan
mengisyaratkan kalau gadis kecil itu mengetahui letak Lembah Neraka, dan ingin
kejelasan maksud ayahnya mengirimkannya ke sana. Rangga semakin tidak mengerti
akan gadis kecil ini. Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.
"Seruni,
apa maksudmu berkata seperti itu?" tanya Rangga.
"Sejak
kecil aku tidak tahu siapa ibuku. Aku diperlakukan Ayah seperti seorang tawanan
saja. Tidak boleh bermain bersama anak-anak lain, tidak boleh pergi sendirian.
Bahkan diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat dan berlatih ilmu olah
kanuragan setiap hari. Setiap orang yang melihatku, selalu memandang penuh
kebencian. Apa Kakang tidak memperhatikan sikap penduduk Desa Kiambang ketika
Ayah meninggal?"
Untuk
kesekian kalinya Rangga tersentak Kata-kata Seruni begitu lancar, bagaikan air
sungai mengalir. Kata-kata Itu seolah-olah membangunkan Pendekar Rajawali Sakti
dari tidur panjangnya. Terus terang, dia memang memperhatikan sikap para
penduduk Desa Kiambang, tapi tidak pernah berpikir sampai ke situ. Dan rupanya
Seruni lebih jeli dan tajam perasaannya.
"Seruni,
ceritakan semuanya tentang diri dan ayahmu," pinta Rangga lembut membujuk.
"Sudah
kuceritakan semuanya," sahut Seruni polos.
"Benar.
Tapi, ada yang kau sembunyikan, bukan?" tebak Rangga langsung.
Gadis
kecil itu masih juga diam.
"Katakan,
Seruni. Kenapa berpura-pura tidak tahu? Katakan saja yang menjadi ganjalan di
hatimu sekarang. Aku pasti akan membantumu," desak Rangga berjanji.
"Benar
Kakang bersedia membantuku?" Seruni ingin meyakinkan.
"Aku
janji," mantap suara Rangga.
Gadis
kecil itu kembali diam. Sepertinya sedang mempertimbangkan janji Rangga
padanya. Sebentar dia menarik napas panjang, kemudian berdiri dan melangkah
perlahan-lahan. Rangga masih tetap diam memperhatikan.
"Ayo,
Kakang. Kita ke Lembah Neraka " ajak Seruni tanpa menoleh. Kakinya yang
kecil terus terayun melangkah.
Rangga
mengangkat bahunya, kemudian mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan
gadis kecil itu. Namun ketika mereka berjalan tidak seberapa jauh, mendadak
sebuah cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat ke arah pemuda itu.
"Hup!"
Rangga
langsung melompat cepat seraya menggamit tubuh Seruni. Begitu indahnya gerakan
Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga cahaya keperakan itu melesat mengenai
sasaran yang kosong. Rangga berjumpalitan dua kali di udara sebelum kakinya
menjejak tanah dengan indahnya. Diturunkan gadis kecil yang berada di
ketiaknya.
"Berlindung
di sana," perintah Rangga seraya menunjuk sebongkah batu besar.
Seruni
segera berlari menuju ke batu yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun
belum juga mencapai batu itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah ke
arah Seruni. Sesaat Rangga terperangah, namun bagaikan kilat melesat hendak
menyambar tubuh gadis kecil itu.
Namun
gerakan Rangga terlambat hanya sekejapan mata saja. Tiba-tiba saja tubuh Seruni
sudah lenyap, bersamaan dengan lenyapnya bayangan merah itu Sekilas Rangga
masih melihat bayangan merah itu melesat masuk ke dalam hutan.
"Hup,
hiyaaa...!"
Seketika
itu juga Rangga melesat mengejar disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.
Ilmunya sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga tubuhnya bergerak bagaikan
kilat saja. Namun sayangnya, bayangan merah itu tetap tidak terlihat lagi.
Rangga menghentikan pengejarannya. Sebentar dia mendongak ke atas, lalu
tubuhnya melenting tinggi ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di salah satu
cabang pohon yang paling tinggi.
Sambil
mengerahkan aji 'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Namun sejauh mata memandang, hanya kehijauan dan
kelebatan hutan yang tampak. Tidak sedikit pun terlihat adanya kelebatan
bayangan merah. Bayangan merah itu bagaikan lenyap ditelan bumi.
Baru
saja Rangga akan melompat turun, mendadak terlihat gerumbul semak
bergerak-gerak tidak jauh darinya. Dengan mengerahkan aji 'Tatar Netra',
diperhatikan gerumbul semak itu. Dan terlihatlah sesosok tubuh mengendap-endap
di antara gerumbul semak belukar Itu.
"Gita
Raka...," desis Rangga, ketika mengenali orang yang mengendap-endap di
gerumbul semak itu. "Ha.., apa yang dikerjakannya di sini...?"
Rasa
penasaran yang meliputi dirinya, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat
turun ke bawah. Tubuhnya melayang cepat bagai seekor burung rajawali, langsung menuju
ke arah gerumbul semak itu.
"Oh...!"
"Gita...!"
Gita
Raka terkejut sekali begitu tiba-tiba Rangga muncul di depannya, sehingga
sampai terlonjak ke belakang beberapa langkah. Wajahnya pucat bercampur merah.
Namun begitu mengenali siapa yang tiba-tiba muncul, wajahnya langsung berubah
biasa kembali. Bahkan dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apa
yang kau kerjakan di sini?" tanya Rangga langsung.
"Kau
sendiri,..?" Gita Raka malah balik bertanya.
"Aku
bertanya padamu, Gita!" rungut Rangga sengit.
Gita
Raka tidak menggubris rungutan bernada membentak itu, tapi malah mengedarkan
pandangannya berkeliling. Keningnya agak berkerut, kemudian menatap langsung ke
bola mata pemuda di depannya.
"Mana
Seruni?" tanya Gita Raka lagi.
"Jangan
berlagak bodoh, Nisanak! Seharusnya akulah yang bertanya seperti itu
padamu!" bentak Rangga semakin sengit. Rasa curiga pada wanita berbaju
merah muda itu membuat dirinya berkeyakinan bahwa Gita Raka-lah yang membawa
kabur Seruni ladi.
"Apa
yang terjadi terhadap Seruni?" Gita Raka malah bertanya tajam. Tatapan
matanya begitu menusuk.
Rangga
terhenyak mendengar pertanyaan bernada ketus bercampur kecemasan Itu. Kelopak
matanya agak menyipit melihat tatapan mata yang begitu tajam menusuk ke
arahnya.
"Aku
tidak percaya kalau kau tidak tahu apa yang terjadi," nada suara Rangga
masih terdengar penuh kecurigaan, meskipun dalam hatinya mulai diliputi
kebimbangan dengan wanita berbaju biru muda itu.
"Aku
tidak main-main, Rangga. Apa yang terjadi pada Seruni?" agak membentak
suara Gita Raka.
"He...!?"
Rangga terkejut
"Oh,
Dewata Yang Agung.... Ternyata apa yang selama ini kucemaskan akan terjadi
juga. Seruni..., maafkan aku...," keluh Gita Raka seraya mendongak ke
atas.
Rangga
semakin terhenyak tidak mengerti akan sikap Gita Raka. Mendadak saja wanita itu
berubah, dan mengeluh lirih. Siapa sebenarnya wanita berbaju merah muda ini?
Dan apa hubungannya dengan Seruni? Kelihatannya Gita Raka begitu menyesali akan
kejadian yang telah menimpa diri gadis kecil itu.
Dan
belum lagi Rangga dapat menjawab semua pertanyaan yang berkecamuk dalam
benaknya, Gita Raka tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menangis
sesenggukan. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Sedangkan Rangga hanya
terpaku tidak mengerti terhadap sikap wanita itu. Saat ini rasanya dia tengah
dihadapkan pada satu kejadian yang sukar untuk dipahami.
Semua
yang terjadi dan dilihatnya sungguh sulit dimengerti. Semua orang yang ditemui
menyimpan sesuatu, dan sikapnya pun sungguh aneh! Sebentar marah, sebentar
sedih, dan sebentar kemudian sudah bergembira lagi. Pertama Rangga sudah
bingung akan sikap Seruni. Dan kini, dia juga harus menghadapi sikap Gita Raka
yang sama sekali tidak dimengerti. Apa sebenarnya yang tengah terjadi? Rangga
menepuk lembut pundak Gita Raka. Kepala wanita itu perlahan-lahan terangkat
naik. Tampak air mata berlinangan membasahi seluruh wajahnya.
"Ada
apa ini...? Kenapa semua orang yang kujumpai menjadi aneh begini?" Rangga
mengeluh agak kesal
"Rangga,
tolong katakan di mana Seruni? Katakan, apa yang terjadi pada anak itu?"
pinta Gita Raka setelah dapat menenangkan diri.
"Katakan
dulu, siapa kau sebenarnya? Mengapa begitu mencemaskan Seruni?" Rangga
balik mendesak.
"Tolonglah
aku, Rangga. Apa yang terjadi pada Seruni? Di mana dia...?"
Rangga
menarik napas panjang-panjang. Gita Raka benar-benar mencemaskan keadaan
Seruni. Bahkan terus mendesak tanpa bersedia mengatakan siapa dirinya yang
sebenarnya, meskipun Rangga sudah mendesaknya.
"Baiklah...,"
desah Rangga mengalah. "Saat ini, aku tidak tahu di mana Seruni berada.
Dia tiba-tiba saja menghilang. Aku sudah berusaha mengejar dan mencarinya, tapi
Seruni dan bayangan merah itu seperti lenyap ditelan bumi."
"Oh...,"
Gita Raka mengeluh panjang.
"Sekarang
katakan, siapa kau sebenarnya, dan ada hubungan apa dengan Seruni?" kini
berbalik Rangga yang mendesak.
Gita
Raka tidak langsung menjawab, tapi malah beranjak bangkit dan berbalik.
Perlahan-lahan kakinya terayun melangkah menuju ke sebuah batu yang tidak
begitu besar, kemudian duduk menjuntai di atas situ. Rangga masih berdiri
memperhatikan dengan sikap menunggu tidak sabar.
"Hhh...!"
lagi-lagi Gita Raka menarik napas panjang dan berat.
"Sembilan
tahun aku menunggu...," Gita Raka mulai membuka suara. "Waktu yang
tidak pendek. Sekarang, setelah semua yang kutunggu hampir terlaksana, kini
malah berantakan. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mereka sudah
mendapatkannya lebih dahulu, dan tidak mungkin aku dapat melihatnya lagi,"
ada nada keluhan pada suara Gita Raka.
Rangga
serius mendengarkan, kemudian duduk di sebatang pohon yang miring hampir rubuh.
Pandangannya tidak terlepas pada wanita berbaju merah muda di depannya.
Sementara Gita Raka menghapus air matanya yang masih menitik.
"Aku
sangat menyayanginya, tapi tidak kuasa untuk memilikinya. Dan sekarang mereka
telah memilikinya secara paksa. Tidak ada harapan lagi untukku melihat
Seruni...," Gita Raka kembali menangis.
"Gita...,
apakah kau ibunya Seruni?" tanya Rangga menebak.
Gita
Raka menggeleng lemah. Kembali dihapus air matanya. Dia mencoba menenangkan
diri kembali dengan menarik napas dalam-dalam
"Lantas,
siapa kau sebenarnya?" desak Rangga.
"Aku
adik kandung ibunya," sahut Gita Raka pelan, hampir tidak terdengar
suaranya.
"Jadi...!"
suara Rangga terputus di tenggorokan.
"Kedua
orang tua Seruni sudah tiada, dan sejak bayi Ki Biran-lah yang mengasuhnya. Aku
tidak menduga kalau laki-laki tua itu sangat mengasihi Seruni, bahkan
mengangkatnya sebagai anak," ujar Gita Raka, mulai tenang nada suaranya.
"Kau
sudah tahu itu, mengapa tidak mengambil dan merawatnya?" tanya Rangga.
Tidak
semudah itu, Rangga. Ki Biran adalah saudara sepupu Eyang Girindra, seorang
tokoh tua yang sangat digdaya dan tinggal di Puncak Gunung Sendir. Ki Biran
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dan aku tidak bisa menandinginya.
Lebih-lebih harus menandingi Eyang Girindra. Tidak ada seorang pun yang mampu,
Rangga."
"Hm...,
aneh juga.... Kenapa sebelum dia meninggal justru ingin agar aku memberikan
Seruni pada bibinya yang tinggal di dekat Lembah Neraka?" Rangga seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Ki
Biran menyadari kalau selama ini hanya diperbudak kakak sepupunya. Dia tahu
kalau Eyang Girindra adalah tokoh beraliran hitam, makanya Seruni berusaha
dipertahankannya. Tapi dia tidak mampu menandingi kepandaian sepupunya
itu."
"Jadi...,
kau tahu kejadian di rumah Ki Biran?" agak terkejut juga Rangga
mendengarnya.
"Benar!
Saat itu aku berada tidak jauh dari rumah itu Dan memang sudah beberapa hari
ini aku mengamatinya. Ya..., sejak kau datang. Maaf, Rangga. Semula kusangka
kau adalah orang suruhan Eyang Girindra untuk menculik Seruni. Itulah sebabnya
kenapa kau kubuntuti terus hingga sampai ke sini. Sekarang aku yakin kalau kau
tidak bermaksud jahat pada Seruni setelah anak itu mengatakannya padaku."
Untuk
kesekian kalinya Rangga terperangah kaget. Sama sekali tidak disangka kalau
Seruni pernah berhubungan dengan Gita Raka. Rangga mencoba mengingat-ingat saat
Seruni tidak berada dalam pengawasannya. Ya..., dia ingat! Saat di rumah
penginapan!! Ketika itu tengah malam Seruni terbangun dan minta diantarkan ke
belakang. Katanya, akan buang air. Rangga mengantarkannya sampai di pintu
belakangi rumah penginapan.
Hanya
di situ saja dia terpisah dari Seruni, dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dan
rupanya kesempatan itu digunakan Gita Raka untuk menemuinya. Itu berarti Seruni
memang sudah mengenal wanita ini. Sekarang Rangga jadi mengerti, mengapa Seruni
menangis tanpa diketahui sebabnya. Rupanya gadis kecil itu sudah menyadari
kalau dirinya dalam keadaan bahaya, dan tidak yakin dapat sampai ke Lembah
Neraka.
"Kenapa
saat itu kau tidak membawanya saja, Gita?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tidak!
Aku tidak mungkin bisa membawa Seruni ke tempat tinggalku di dekat Lembah
Neraka. Di sana bukan tempatku lagi. Ada orang lain yang kini menguasai tempat
itu. Bahkan telah membunuh guruku."
"Tapi
kau bisa membawa Seruni ke mana saja kau suka, bukan?"
"Terlalu
berbahaya, Rangga. Aku harus menemukan suatu tempat yang aman lebih dahulu, dan
sementara itu aku juga harus membuntutimu sambil mencari tempat untuk tinggal
kami. Ada tiga orang anak buahku yang kini sedang mencari tempat tinggal vang
aman dari tidak pernah dimasuki orang."
"Aneh
juga kau ini, Gita. Kau belum mengenal betul siapa diriku, tapi sudah begitu
mempercayaiku,' kembali Rangga bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Tidak
aneh, Rangga. Aku tahu, kau seorang pendekar digdaya tanpa tanding yang sudah
sangat ternama. Kau bergelar Pendekar Rajawali Sakti...."
"He!
Dari mana kau tahu?" Rangga terlonjak kaget.
"Semua
orang yang bergelimang dalam rimba persilatan pasti sudah bisa mengenalimu,
meskipun belum pernah melihatnya secara langsung. Pendekar Rajawali Sakti
selalu memakai baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di
punggung. Masih muda, gagah, dan selalu berkata lembut bagai seorang bangsawan.
Semua itu ada pada dirimu, Rangga. Meskipun kau memperkenalkan dirimu pada
diriku dengan nama Rangga, tapi aku sudah tahu siapa kau sebenarnya."
Rangga
hanya bisa mengangkat bahunya. Memang disadarinya kalau nama Pendekar Rajawali
Sakti sudah demikian kondang. Hampir semua orang sudah pernah mendengar sepak
terjangnya dalam dunia persilatan. Namun begitu, dia masih juga merasa kaget
kalau masih ada orang yang mengenalinya. Padahal, Rangga belum memperkenalkan
diri.
"Sekarang,
apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Aku
tidak tahu. Sekarang aku tidak lagi punya tempat tinggal, sedangkan Seruni juga
sudah terlepas lagi dari tangan...," ada nada keluhan dalam suara Gita
Raka.
"Kenapa
tidak kau coba untuk merebut kembali?' usul Rangga.
"Percuma...,"
Gita Raka menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Percuma...?!
Kenapa?"
"Aku
tahu siapa yang mengambil Seruni. Mustahil untuk dapat memperolehnya
kembali," ujar Gita Raka, putus asa.
"Kau
sayang pada Seruni, Gita?"
"Ya,
tentu saja aku sangat menyayanginya," sahut Gita Raka cepat. "Sejak
dulu diam-diam aku selalu menemui Seruni Bahkan gadis itu selalu mengharapkan
agar aku bisa membawanya pergi. Tapi...."
"Kenapa?"
"Kalaupun
Seruni bisa kudapatkan kembali, Eyang Girindra pasti tidak akan tinggal diam.
Kalau bukan dia yang turun sendiri untuk merebutnya, pasti murid-muridnya.
Hhh..., guru dan murid sama-sama bejad!"
Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah mengerti sekarang persoalannya. Hanya
saja yang belum bisa dipahami, untuk apa mereka saling memperebutkan Seruni?
Dan selagi mendapat pertanyaan itu dalam benaknya, mendadak di angkasa
terdengar suara mendesir yang begitu cepat, dan disusul berkelebatnya sebuah
bayangan hitam besar.
Ketika
Rangga mendongak ke atas, sekelebatan, terlihat sebuah benda hitam besar
melayang di angkasa. Keningnya jadi berkerut melihat benda hitam itu melesat
cepat bagaikan kilat Meskipun hanya sekejapan mata saja, namun Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah bisa menangkap jelas bentuk bayangan hitam itu.
"Rajawali
Hitam...," desisnya dalam hati.
***
EMPAT
"Gita,
kembalilah ke Desa Kiambang atau ke Desa Sendir. Akan kubawa Seruni kembali
padamu. Maaf, aku tidak punya waktu lagi...!" kata Rangga cepat-cepat.
"Heh...!"
Belum
lagi Gita Raka sempat berkata, Rangga sudah melesat cepat meninggalkannya.
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu pergi, sehingga dalam sekejap saja
bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Rangga memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga kecepatan
berlarinya sukar untuk diikuti mata biasa.
Rangga
berlompatan dari satu puncak pohon ke puncak pohon lain. Sedangkan pandangan
matanya tidak lepas ke arah bayangan hitam yang melayang tinggi di angkasa.
Dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti
itu berusaha mengikuti benda hitam yang dilihatnya, dan dikenalinya sebagai
Rajawali Hitam, pasangan Rajawali Putih tunggangannya.
"Hm...,
dia terbang sendirian. Di mana Putri Rajawali Hitam...?" gumam Rangga
bertanya dalam hatinya sendiri.
Dengan
menggunakan aji 'Tatar Netra', Rangga mampu melihat jelas Rajawali Hitam.
Memang, di punggung burung rajawali raksasa itu tidak ada penunggangnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlompatan dengan kecepatan penuh, mengikuti
arah yang dituju Rajawali Hitam.
"Khraghk...!"
Rajawali
Hitam rupanya mengetahui kalau dirinya diikuti. Dia menoleh dan langsung
berbalik dengan cepat. Bagaikan kilat, burung raksasa itu meluruk deras ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja hal ini membuat Rangga terkejut setengah
mati. Namun dengan sigap dia melentingkan tubuhnya, meluruk ke bawah sambil
berlompatan menghindari terjangan burung raksasa itu.
"Hup...!"
Manis
sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Kalau saja tidak
cepat-cepat menghindar tadi, pasti tubuhnya remuk terlanda burung raksasa itu.
Namun kini Rangga jadi tertegun karena Rajawali Hitam malah mendekam dengan
kepala hampir merunduk menyentuh tanah.
"Khrrrk...!"
Rajawali Hitam mengkirik pelahan.
"Hm....
Apa yang kau inginkan dariku, Rajawali Hitam?" tanya Rangga bergumam.
Namun kedengarannya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Khrrr...!"
kembali Rajawali Hitam mengkirik lirih.
Rangga
memperhatikan kepala burung raksasa yang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah
secara pelahan, lalu menoleh ke belakang dan kembali menjulur ke depan.
Sepasang sayapnya dikepak-kepakkan, sehingga menimbulkan suara angin menderu
keras.
"Aku
tidak mengerti maksudmu. Tapi kalau kau bermaksud tidak baik padaku, jangan
harap aku akan diam saja, Rajawali Hitam," kata Rangga setengah mengancam.
"Grahk...!"
Rajawali Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rangga
kembali memperhatikan gerak-gerak kepala burung raksasa itu. Keningnya agak
berkerut, berusaha untuk dapat menangkap maksudnya. Agak sukar juga untuk
memahaminya. Tapi, sedikit banyak, setiap gerakan dan suara yang dikeluarkan
hampir mirip dengan Rajawali Putih. Tentu saja Rangga sedikit demi sedikit bisa
memahaminya.
"Hm...,
kau membutuhkan pertolonganku. Apa ini bukan hanya jebakan saja?" Rangga
masih tetap curiga.
"Khraghk!"
"Baiklah.
Tapi kalau kau berniat buruk, aku tidak segan-segan membunuhmu, Rajawali
Hitam."
"Grahk...!"
"Pergilah
dulu, aku akan mengikutimu."
Rajawali
Hitam mengegoskan kepalanya ke belakang, dan mematuki punggungnya sendiri.
Rangga bisa mengerti kalau burung raksasa itu menginginkan agar dirinya naik ke
punggungnya. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu berpikir, tapi kemudian
melompat juga ke punggung Rajawali Hitam.
"Khraghk...!"
Dengan
beberapa kali kepakan sayap saja, Rajawali Hitam sudah membumbung tinggi ke
angkasa. Dan Rangga terpaksa berpegangan erat pada leher burung raksasa itu.
Kalau biasanya dia menunggang burung Rajawali Putih, tapi kali ini menunggang
pasangannya, Rajawali Hitam! Rangga tidak mau lagi banyak bicara. Rajawali
Hitam terus terbang dengan cepat menuju ke satu arah yang belum pernah
dikenalnya.
Kecepatan
terbang Rajawali Hitam sungguh luar biasa. Dalam waktu yang tidak berapa lama,
sudah berada di atas sebuah lembah yang sangat aneh. Lembah itu seluruhnya
berwarna merah bagai terbakar. Pohon, batu, dan tanah di lembah itu semuanya
berwarna merah! Udaranya pun sangat panas menyengat. Rangga tidak tahu, apa
nama lembah itu.
Lembah
yang sangat aneh. Di sekelilingnya tidak ida kejanggalan. Pohon-pohon tetap
berwarna hijau pada daunnya. Bahkan begitu subur dan rapat. Hanya lembah itu
saja yang berwarna merah bagai terbakar. Kening Rangga agak berkerut begitu
merasakan Rajawali Hitam menukik turun, dan makin berkerut lagi begitu melihat
sebuah bangunan besar dan megah. Letaknya di tengah-tengah sebuah danau yang
ada di lembah itu.
"Khraghk...!"
Rajawali Hitam berkaokan keras.
"Hup!"
Rangga melompat turun sebelum kaki Rajawali Hitam menyentuh dasar lembah itu.
Sejenak
Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi bangunan di depannya. Sebuah bangunan
yang sangat besar dengan daun pintu dan jendela yang juga besal ukurannya.
Bangunan yang seluruhnya berwarna merah ini bagaikan sebuah istana yang dihun
raksasal Dan anehnya, letaknya tepat berada di tengah-tengah danau yang airnya
juga berwarna merah. Asap tipis mengepul dari permukaan danau itu.
Kreeek...!
Rangga
sempat menahan napas juga saat pintu berukuran sangat besar di depannya terbuka
sendiri Rajawali Hitam segera melenggang masuk ke dalam. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti itu masih tetap berdiri tak bergeming. Dan baru saja kakinya
akan melangkah, terdengar suara dari dalam. Suara yang lembut dan begitu halus.
"Kau
sudah datang, Rajawali Hitam?"
"Khrrr...!"
"Sudah
kukatakan, tidak ada gunanya mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak akan
bisa menyembuhkan lukaku ini...."
Sementara
Rangga yang masih berada di luar, hanya mendengarkan saja. Dia kini tahu kalau
Putri Rajawali Hitam ada di dalam, dan dalam keadaan terluka. Dugaannya sudah
pasti, wanita itu membutuhkan pertolongan untuk menyembuhkan lukanya. Tapi ini
membuat Rangga ragu-ragu, karena belum yakin kalau Putri Rajawali Hitam berada
di dalam golongan putih.
Namun
Rangga segera teringat dengan salah satu ajaran Pendekar Rajawali, yang
dibacanya dari buku peninggalan tokoh besar yang hidup seratus tahun lalu.
Sebagai seorang pendekar, menolong orang lemah adalah satu kewajiban.
Lebih-lebih jika orang itu dalam keadaan terluka dan benar-benar membutuhkan
pertolongan. Dalam menolong tidak boleh memandang apakah dia itu orang jahat
atau orang baik, apakah itu orang berada atau orang tidak punya.
Setiap
pertolongan, pasti mendapatkan balasan. Dan tidak boleh menyesal jika tidak
menerima balasannya. Pendekar sejati tidak selayaknya mengeluh akan balasan.
Ada satu kalimat yang tidak pernah terlupakan Rangga sampai saat ini.
"Jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu. Membantu
seseorang bukan untuk mengharapkan imbalan...."
Mengingat
semua itu, hati Rangga menjadi mantap. Maka diayunkan kakinya memasuki bangunan
besar bagai istana raksasa itu. Sejenak dia tertegun begitu melewati ambang pintu.
Tampak Rajawali Hitam mendekam di samping sebuah ranjang besar dan indah. Di
atas ranjang itu tergolek lemah seorang wanita berwajah cantik dan pucat.
Wanita itu masih mengenakan baju hitam ketat. Sebuah cadar hitam tipis tergolek
di sampingnya. Rangga mengenali wanita Itu, dan ini yang membuatnya terpaku.
"Intan
Kemuning...," tanpa sadar Rangga mendesis.
"Oh...!"
wanita cantik yang tergolek di atas pembaringan itu terkejut.
Buru-buru
diambil cadar hitam di sampingnya, tapi Rangga sudah menghampiri dan keburu
mengenali wajahnya. Wanita yang memang Intan Kemuning Itu tidak jadi menutupi
wajahnya dengan cadar hitam. Kini Rangga sudah berdiri di samping pembaringan
besar itu. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang dilihatnya kini. Sukar untuk
dipercaya. Wanita yang selama ini menjadi beban pikirannya, ternyata amat
dikenalnya. Dia itu putri seorang patih yang telah membuat suasana Kerajaan
Galung jadi porak-poranda.
"Kakang...,"
lemah sekali suara Intan Kemuning. Gadis itu berusaha bangkit rapi keadaan
rubuhnya demikian lemah. Rangga buru-buru mencegah, lalu duduk di tepi
pembaringan. Tanpa diketahui, Rajawali Hitam menyingkir ke luar. Mungkin burung
raksasa ingin memberi kesempatan pada dua manusia itu untuk berdua saja.
"Kau
terluka, Intan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ya...,"
lirih sekali jawaban Intan Kemuning.
Rangga
menjulurkan tangannya, dan memeriksa tubuh gadis itu. Keningnya agak berkerut
setelah mengetahui kalau di dalam tubuh Intan Kemuning telah menjalar sejenis
racun yang sangat lambat kerjanya, namun mematikan! Hanya saja yang membuat
Rangga sukar untuk mengerti, racun yang mengendap di dalam aliran darah gadis
itu sukar dicari obatnya.
Rangga
yang mengerti akan segala macam jenis racun dan kebal pada segala racun, bisa
cepat mengetahui jenis racun itu. Tapi, dia tidak berani mengobati lewat
penyaluran hawa murni atau pengobatan lain yang biasa digunakan untuk
mengeluarkan racun dari tubuh seseorang. Racun jenis ini hanya bisa punah oleh
orang yang melepaskannya. Obatnya pun hanya satu! Itu pun hanya dimiliki oleh
orang yang memiliki jenis racun itu juga.
"Apakah
yang melukaimu Kalaban, Intan?" tanya Rangga yang sebenarnya sudah tahu
kalau gadis itu luka akibat pukulan Kalaban.
"Benar,
Kakang," sahut Intan Kemuning pelan. Rangga menarik napas panjang. Dia
tahu siapa orang yang disebutkan Intan kemuning. Pendekar Rajawali Sakti itu
juga pernah bentrok dengannya. (Memang saat itu Kalaban mengeluarkan suatu
jurus lyang mengandung hawa racun lemah, namun sangat dahsyat akibatnya. Saat
itu Rangga belum menyadari kalau Kalaban sempat melontarkan racun itu pada
Intan Kemuning yang menggunakan nama Putri Rajawali Hitam.
"Maafkan
aku, Intan. Aku tidak bisa mengeluarkan racun di dalam tubuhmu. Hanya Kalaban
yang bisa, karena hanya dia yang mempunyai penawarnya. Tapi kau masih mampu
bertahan untuk beberapa hari," jelas Rangga.
"Oh...,"
Intan Kemuning mendesah lirih.
"Jangan
khawatir. Intan. Akan kucari Kalaban dan meminta obat penawarnya. Kalau perlu
dengan cara paksa!" janji Rangga.
"Oh,
Kakang.... Aku tidak tahu lagi harus berkata apa kepadamu. Aku selalu membuatmu
repot," keluh Intan Kemuning.
"Ah,
sudahlah. Yang penting sekarang kau tetap berada di sini. Aku pasti kembali
membawa obat penawar itu. Percayalah," Rangga meyakinkan.
"Terima
kasih, Kakang. Seandainya kau gagal, aku sudah pasrah," ucap Intan
Kemuning.
"Jangan
putus asa, Intan. Kau bukan lagi Intan yang dulu kukenal. Kau sekarang seorang
pendekar wanita yang tangguh dan digdaya," Rangga membesarkan hati gadis
itu.
"Aku
bukan pendekar, Kakang. Jiwaku masih kotor. Aku menyesal telah berlaku bodoh,
sehingga membuat banyak orang menderita."
"Tapi
apa yang kau perbuat juga tepat, Intan. Meskipun harus membayarnya dengan mahal
sekali. Aku kagum padamu."
"Oh,
Kakang...."
Intan
Kemuning tidak kuasa membendung rasa harunya. Sejak meninggalkan Kerajaan
Galung dan menetap di sini bersama Rajawali Hitam, baru kali ini dia mendengar
kata-kata lembut dan menyanjung. Biasanya yang selalu didengar hanya caci maki
dan sumpah serapah orang-orang yang menyesali perbuatannya. Mengundang
tokoh-tokoh rimba persilatan dan mengajaknya bertarung dengan hadiah yang
sebenarnya tidak perlu diucapkan.
Saat
itu Intan Kemuning memang terlalu jumawa akan dirinya yang katanya telah
menguasai berbagai macam ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dia jadi tinggi
hati dan menganggap kecil semua orang di matanya, sehingga berani
mempertaruhkan Istana Kerajaan Galung untuk sekedar memuaskan hatinya. Tapi
semua kesombongan itu terhenti saat mendapatkan lawan yang sangat tangguh dan
akhirnya berhasil mengalahkannya. Dia ingin mengingkari janjinya, dan melarikan
diri sampai dikejar-kejar anak buah Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban
yang begitu ingin memperistrinya.
Suatu
saat, Intan Kemuning tidak bisa lagi lari dari kejaran Empat Bayangan Iblis
Neraka dan tokoh-tokoh hitam rimba persilatan yang pernah dikalahkannya dalam
pertarungan. Terpaksa dihadapinya lawan-lawannya itu, namun dia kalah dalam
pertarungan. Intan lebih memilih mati daripada harus menjadi istri Kalaban,
murid Empat Bayangan Iblis Neraka. Gadis itu menceburkan diri ke dalam Lembah
Ular Berbisa yang sangat ditakuti semua orang.
Namun
maut rupanya belum menginginkan gadis itu. Seekor burung rajawali raksasa
menyelamatkan dan membawanya ke Lembah Neraka ini. Di lembah ini dia
menyembuhkan luka-lukanya dan memulihkan keadaan tubuhnya. Bahkan Rajawali
Hitam juga memberi jurus-jurus dan ilmu kesaktian yang cukup tinggi dan
tangguh, sehingga Intan Kemuning semakin tinggi tingkat kepandaiannya.
Sejak
itulah selalu dikenakannya baju hitam dengan cadar menutupi wajahnya. Intan
Kemuning kemudian menggunakan nama Putri Rajawali Hitam. Dia kembali ke
Kerajaan Galung untuk membalas kekalahannya yang menyakitkan. Tapi rupanya hari
sial masih membuntutinya. Dia dapat dikalahkan Kalaban, dan kini menderita dan
dibayangi maut.
Di
Lembah Neraka ini Intan Kemuning bisa mengetahui asal-usul burung Rajawali
Hitam yang menolong dan memberikannya ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Bahkan
dia juga tahu kalau ada rajawali raksasa lain di dunia ini. Semua itu
diketahuinya dari buku-buku yang dia sendiri tidak tahu siapa penulisnya. Semua
buku itu didapatkan di dalam bangunan istana megah ini.
Kini
Rangga sudah tahu siapa sebenarnya Putri Rajawali Hitam itu. Tokoh yang sempat
menggetarkan rimba persilatan bersama burung rajawali raksasa tunggangannya.
Seorang gadis cantik yang dulu dikenali dan sempat ditolongnya dari cengkeraman
Bidadari Sungai Ular. Namun sekarang gadis itu tengah menghadapi maut yang
jelas akan merenggut nyawanya secara pelahan-lahan. Tidak ada pilihan lagi bagi
Pendekar Rajawali Sakti selain mencari Kalaban untuk meminta obat penawar,
akibat racun yang dilepaskannya pada Intan Kemuning atau Putri Rajawali Hitam.
"Aku
pergi dulu, Intan. Kau jangan kemana-mana sampai aku kembali," kata Rangga
berpamitan.
"Kau
akan ke mana, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Mencari
obat penawar racun untukmu," sahut Rangga.
"Jangan,
Kakang! Terlalu berbahaya! Kau bisa celaka nanti," cegah Intan Kemuning.
Dia tahu, siapa Kalaban itu. Lebih-lebih bila menghadapi Eyang Girindra, guru
dari Empat Bayangan Iblis Neraka, sekaligus gurunya Kalaban yang tentu saja
tingkat kepandaiannya sukar diukur.
Rangga
hanya tersenyum saja dan menepuk punggung tangan gadis itu. Intan Kemuning
menggamit tangan Rangga dan menggenggamnya erat-erat, seakan-akan tidak ingin
dilepaskan lagi. Dengan sinar mata yang redup, ditatapnya langsung bola mata Pendekar
Rajawali Sakti. Terlalu banyak kata-kata yang terucapkan dari matanya, namun
sukar untuk dikeluarkan.
"Kakang...,"
pelan suara Intan Kemuning.
"Ya,
ada apa?" lembut suara Rangga.
"Dulu
Kakang pernah mengatakan kalau aku akan mendapatkan seorang pangeran. Apakah
itu benar, Kakang?" ujar Intan tetap menggenggam tangan Rangga.
"Tentu.
Kau tentu akan mendapatkannya," sahut Rangga seraya menelan ludahnya.
Rangga
jadi ingat dengan kata-katanya sendiri pada gadis itu. Suatu kalimat yang
sebenarnya diucapkan hanya untuk menghibur, tapi malah membuat Intan Kemuning
berharap banyak padanya. Kini gadis itu seakan-akan menagih kata-kata yang
pernah diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku
berharap pangeran itu ada di dekatku saat ini," kata Intan Kemuning pelan.
Lagi-lagi
Rangga hanya mampu menelan ludahnya. Intan Kemuning memang cantik, dan memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Tapi bukan karena itu Rangga tidak dapat menjawab. Dia
masih sulit untuk melupakan Pandan Wangi, yang tewas di pelukannya. Gadis yang
pertama kali membuka pintu hatinya. Dan sekarang Rangga tidak bisa memberi
harapan pada setiap gadis. Hatinya seakan-akan telah tertutup rapat untuk gadis
mana pun juga!
"Kau
masih terlalu lemah, Intan. Istirahatlah dulu. Aku pasti kembali membawa obat
penawar racun itu," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
"Kakang..."
"Ssst...,
jangan terlalu banyak bicara. Kau harus menghemat tenaga," potong Rangga
cepat-cepat.
Intan
Kemuning diam. Didekatkan tangan Pendekar Rajawali Sakti ke bibirnya. Dengan
lembut dikecup jari-jari tangan pemuda itu. Rangga membiarkan saja. Apalagi
ketika Intan Kemuning memelukk tangannya erat-erat ke dada. Tidak dipungkiri
lagi, saat itu aliran darah Rangga seperti berbalik. Dan jantungnya berdetak
lebih keras dari biasanya. Rangga tidak ingin berlarut-larut Dilepaskan
tangannya dengan halus, lalu beranjak berdiri
"Aku
pergi dulu, Intan," bisik Rangga lembut.
Intan
Kemuning tidak menyahut. Namun dari sinar matanya yang redup, dia berharap
banyak pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga bergegas berbalik dan melangkah
keluar. Rajawali Hitam sudah menunggu di depan pintu bangunan megah bagai
istana raksasa itu.
Tanpa
membuang-buang waktu lagi. Rangga bergegas melompat naik kepunggung Rajawali
Hitam. Tanpa diperintah lagi, burung raksasa itu melesat tinggi ke angkasa.
Namun baru saja melewati tepian Lembah Neraka, mendadak dia menukik turun
dengan deras. Rangga terkejut karena sayap Rajawali Hitam terkatup rapat.
Buru-buru dia melompat turun sebelum Rajawali Hitam mencapai tanah. Lalu,
dengan mengerahkan jurus 'Ekor Naga Melibat Gunung', disangganya tubuh Rajawali
Hitam sehingga tidak jatuh keras ke tanah.
"Khrrrhk...!"
Rajawali Hitam mengkirik lirih. Rangga segera memeriksa tubuh burung raksasa
itu. Terlihat ada luka memar pada bagian sayap kanannya. Dan luka itu berwarna
merah kebiruan. Rangga tahu kalau Rajawali Hitam juga terkena pukulan beracun
milik Kalaban.
"Kau
juga terluka, Rajawali Hitam," desis Rangga.
"Khrrrkh...!"
"Sebaiknya
kau kembali saja. Aku bisa memanggil Rajawali Putih," kata Rangga lagi.
Rajawali
Hitam berusaha menggerakkan sayapnya, namun gerakannya sangat lemah dan tidak
bisa lagi membumbung ke angkasa. Rangga tahu kalau racun yang mengendap di
dalam tubuh Rajawali Hitam sudah meluas ke jaringan syarafnya. Jelas, ini
sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup burung raksasa itu.
Rangga
bergegas menotok beberapa bagian tubuh Rajawali Hitam disertai penyaluran hawa
murni. Rajawali Hitam itu berkaokan keras, lalu mengepakkan sayapnya dengan
kuat Burung raksasa itu melesat cepat kembali ke Lembah Neraka. Totokan berhawa
murni dari Pendekar Rajawali Sakti hanya bersifat sementara agar Rajawali Hitam
bisa kembali ke Lembah Neraka.
"Hhh...,
kasihan sekali kalian. Aku janji akan mendapatkan obat penawar itu, walau apa
pun yang akan terjadi...," bisik Rangga dalam hati.
***
LIMA
Saat
itu, tidak jauh dari Lembah Neraka, tampak seorang laki-laki gemuk menunggang
kuda putih, sedangkan keempat kakinya warna hitam. Baju yang dikenakannya cukup
mewah, meskipun sudah kotor oleh debu. Laki-laki gemuk itu memacu kudanya
dengan kecepatan sedang, namun kelihatannya binatang itu mendengus-dengus
kelelahan. Sedangkan titik-titik keringat membasahi sekujur tubuh laki-laki
gemuk itu.
"Hooop...!"
laki-laki gemuk itu menghentikan laju kudanya ketika melihat sebuah pondok
kecil berada di antara pepohonan.
Dengan
gerakan ringan dan cukup indah, dia melompat turun dari punggung kudanya. Kuda
itu pun segera minum di dalam kubangan kecil. Laki-laki gemuk itu melangkah
mendekati sebatang pohon besar yang tinggal sedikit daunnya. Dia berdiri
bersandar pada pohon itu. Napasnya masih tersengal, dan keringat membanjiri
tubuhnya.
Pandangan
matanya tidak lepas ke arah pondok kecil yang hanya sekitar tiga tombak lagi
jauhnya. Pondok kecil itu kelihatan sepi bagai tidak berpenghuni. Daun-daun
kering bertebaran menyemaki sekitar pondok Itu. Laki-laki gemuk Itu mengayunkan
kakinya menghampiri pondok itu. Namun belum juga sampai, mendadak sebatang
tombak panjang melesat dari arah pondok itu.
"Ih,
hup..!
Laki-laki
gemuk itu bergegas melentingkan tubuhnya, berputar ke belakang. Tombak itu
meluruk lewat di bawah tubuhnya. Dan belum lagi kakinya sempal menjejak tanah,
tiga batang anak panah meluruk dera ke arahnya. Laki-laki gemuk itu segera
mencabut pedangnya, lalu diputar cepat membentuk perisai! Maka, tiga batang
anak panah itu pun rontok terbabat pedang yang berputar cepat bagai
baling-baling.
"Hhh!
Ada-ada saja...!" dengus laki-laki gemuk itu begitu kakinya menjejak
tanah.
"Ha
ha ha...!" terdengar tawa menggelegar.
"Hm...,
Girindra...," gumam laki-laki gemuk itu.
"Bagus!
Akhirnya kita bertemu juga di sini, Patih Giling Wesi!"
Suara
itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang laki-laki tua berjubah merah.
Tidak berapa lama, sesosok tubuh lain melesat keluar dari dalarri pondok.
Laki-laki gemuk itu memang Patih Giling Wesi. Saat ini, dia memang tengah
mencari Intan Kemuning hingga sampai ke tempat ini.
Patih
Giling Wesi tidak terkejut lagi melihat seorang pemuda tampan berbaju putih
bersih bagai seorang ningrat, muncul dari dalam pondok itu. Dia kenal betul
dengan pemuda itu.
"Rupanya
kau masih hidup, Kalaban!" dingin suara Patih Giling Wesi.
"Aku
tidak akan mati sebelum mendapatkan putrimu, Patih Giling Wesi!" sahut
Kalaban tidak kalah dinginnya.
"Sampai
kapan pun kau tidak akan bisa mendapatkan anakku, bocah setan!"
"Ha
ha ha...!" Kalaban hanya tertawa saja. "Mampus kau, keparat!"
Kalaban
langsung melompat menerjang laki-laki gemuk dari Kerajaan Galung itu. Terjangan
yang sangat cepat dan bertenaga dalam penuh itu dengan manis dapat dihindari
Patih Giling Wesi. Dan pada saat, tubuhnya miring ke kanan mengelakkan
terjangan itu, satu sodokan keras diarahkan ke perut.
"Uts!"
Tak!
Patih
Giling Wesi terlonjak kaget begitu tangannya membentur tangan Kalaban saat
menangkis sodokan itu. Bergegas dia melompat mundur ke belakang. Seluruh
persendian tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa. Tulang-tulangnya
menjadi kaku, dan nyeri rasanya. Patih Giling Wesi langsung menyadari kalau
tenaga dalamnya kalah jauh dibanding pemuda itu.
"Ha
ha ha...! Kau akan mampus, Patih Giling Wesi" Kalaban tertawa
terbahak-bahak.
"Tidak
semudah itu kau membunuhku, Anak Muda!" dengus Patih Giling Wesi seraya
mencabut pedangnya yang tadi sempat dimasukkan ke dalam sarungnya.
Setelah
berkata demikian, Patih Giling Wesi cepat melompat menerjang sambil mengibaskan
pedangnya Kalaban menarik perutnya ke belakang sehingga jadi agak membungkuk.
Ujung pedang Patih Giling Wesi sedikit lagi pasti akan membabat perut Kalaban.
Gagal
dengan serangan pertamanya, Patih Giling Wesi segera melancarkan
serangan-serangan dahsyatnya. Setiap serangannya mengandung tenaga dalam
tinggi. Namun Kalaban bukan anak kemarin sore. Dia selalu dapat menghindari
serangan itu. Bahkan mampu memberikan serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya. Sementara tidak berapa jauh dari tempat pertarungan itu, Eyang
Girindra memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
Dari
bibir tipis yang tertutup kumis putih, laki-laki tua berjubah merah itu
tersenyum. Kepalanya terangguk-angguk penuh kepuasan melihat muridnya mampu
menandingi Patih Giling Wesi. Bahkan serangan-serangan balasannya mampu membuat
patih gemuk itu harus jungkir-balik menghindarinya. Entah sudah berapa jurus
berlalu dengan cepat Tampaknya pertarungan masih berjalan seimbang.
"Awas
kepala...!" seru Kalaban tiba-tiba dengan keras.
"Sret"
Bersamaan
dengan keluarnya tongkat putih keperan dari balik ikat pinggangnya, Kalaban
segera mengibaskan tongkat itu ke arah kepala Patih Giling Wesi. Tongkat
berwarna keperakan itu langsung menunjang dan berkelebat cepat ke arah kepala.
"Uts!"
Patih
Giling Wesi merundukkan kepalanya sedikit, menghindari tebasan tongkat
keperakan itu. Tapi belum juga bisa mengangkat kepalanya kembali, mendadak saja
sebelah kaki kanan Kalaban menghentak ke depan. Tendangan keras yang cepat
disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu tidak dapat dielakkan lagi.
"Ugh!"
Patih
Giling Wesi mengeluh pendek. Seketika saja dadanya terasa sesak, dan
tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan keras bertenaga dalam cukup penuh
itu. Tubuhnya terlontar deras ke belakang. Sebongkah batu besar kontan hancur
berkeping-keping terbentur tubuh gemuk itu. Patih Giling Wesi berusaha bangkit
kembali, namun tubuhnya sempoyongan. Dari mulutnya meluncur segumpal darah
kental.
"Ha
ha ha...! Sebutlah nama leluhurmu sebelum kukirim ke neraka, Patih Giling
Wesi!" ujar Kalaban pongah.
"Phuih!"
Patih Giling Wesi menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Dengan
tubuh masih terhuyung-huyung, dicobanya untuk menyerang pemuda itu kembali.
Pedangnya berkelebat cepat ke arah leher. Namun manis sekali Kalaban
menghindarinya dengan menarik lehernya ki belakang. Dan tiba-tiba tongkat perak
Kalaban bergerak cepat bagaikan kilat menghajar iga Patih Gilini Wesi.
Kembali
Patih Giling Wesi terpental ke samping Tulang iganya benar-benar patah kali
ini. Beberapa kali dia bergulingan di tanah, dan dengan cepat berusaha bangkit
kembali. Namun baru saja dapat bangkit datang lagi satu pukulan keras ke arah
wajahnya yang disusul sebuah pukulan telak mengjajar dadanya.
"Hiyaaa...!"
Kalaban berteriak keras seraya mengibaskan tongkatnya ke arah kepala laki-laki
gemuk itu.
Patih
Giling Wesi yang sudah tidak berdaya lagi hanya mampu membeliak melihat tongkat
perak itu meluncur deras ke arah kepalanya. Saat itu dirasakan nyawanya sudah
melayang dari badan. Dan pada saat yang genting itu, tiba-tiba satu bayangan
putih berkelebat cepat memapak ayunan tongkat perak Kalaban.
Trak!
"Akh!"
Kalaban memekik tertahan.
Tongkatnya
terpental jauh ke udara. Tiba-tiba Eyang Girindra melesat cepat mengejar
tongkat itu dan langsung meluruk turun setelah berhasil menangkap tongkat
muridnya. Dengan sigap, kakinya menjejak tanah di samping Kalaban. Tampak
pemuda itu masih dihinggapi rasa terkejut seraya mengurut pergelangan
tangannya.
"Kau
tidak apa-apa, Paman Patih?" tanya seorang pemuda tampan mengenakan baju
rompi putih, yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Patih Giling Wesi.
"Rangga...,"
desis Patih Giling Wesi begitu mengenali pemuda itu. "Syukurlah kau cepat
datang...."
"Siapa
orang yang bersama Kalaban itu?" tanya Rangga seraya melirik laki-laki tua
berjubah merah yang berdiri di samping Kalaban.
"Dia
Eyang Girindra, gurunya Kalaban dan Empat Bayangan Iblis Neraka," jelas
Patih Giling Wesi.
"Hm...,"
Rangga menggumam tidak jelas.
Pendekar
Rajawali Sakti itu berdiri tegak membelakangi Patih Giling Wesi. Pandangannya tajam,
langsung tertuju pada Eyang Girindra. Sesaat kemudian tatapan matanya beralih
pada Kalaban. Dia harus meminta obat penawar racun untuk Intan Kemuning pada
pemuda telengas Itu.
"Kebetulan
sekali kita berjumpa di sini, Kalaban," kata Rangga kalem, namun bernada
sinis.
"Ya,
memang kebetulan sekali! Kau bisa membayar hutangmu, Pendekar Rajawali
Sakti!" sambut Kalaban dingin.
"Dan
kau pun harus membayar hutang atas penderitaan rakyat Kerajaan Galung,
Kalaban!" balik Rangga ketus.
"Setan!
Mampus kau...!" geram Kalaban seraya merebut tongkat peraknya dari tangan
Eyang Girindra.
"Tahan,
Kalaban!" sentak Eyang Girindra merentangkan tangannya mencegah serangan
pemuda itu. Kalaban tidak jadi menyerang Pendekar Rajawal Sakti.
Sementara
Eyang Girindra melangkah ke depan tiga tindak. Tatapan matanya begitu tajam
tidak berkedip. Sebatang tongkat diketuk-ketukkan ke tanah dekat ujung jari
kakinya. Rangga yang memperhatikan sejak tadi, sudah bisa mengukur tingkat
kepandaian laki-laki tua berjubah merah itu. Jelas dia harus hati-hati
menghadapinya.
"Aku
tidak pernah melihatmu sebelumnya, Anak Muda. Tapi kau sudah membunuh empat
orang murid kesayanganku. Seharusnya kau kubunuh untuk membayar nyawa
murid-muridku. Hanya saja kali ini aku akan memberimu kelonggaran. Dan
sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini," kata Eyang Girindra kalem, namun
nada suaranya mengandung ancaman.
"Terima
kasih atas kebaikanmu, Orang Tua. Tapi maaf, aku tidak bisa pergi begitu saja
karena masih ada urusan dengan muridmu itu," sahut Rangga tegas.
"Eyang,
biar kubunuh setan keparat itu!" bentak Kalaban tidak sabar.
"Diam
kau, Kalaban!" bentak Eyang Girindra.
"Persetan!"
Kalaban
tidak bisa lagi mengekang amarahnya. Tanpa menghiraukan bentakan gurunya, dia
langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat peraknya
berkelebat cepat mengarah ke kepala pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hait...!"
Rangga
mengegoskan tubuhnya kesamping, seraya tangannya dengan cepat berkelebat
memapak tongkat perak itu. Satu benturan keras terjadi, hingga menimbulkan
suara seperti ada sesuatu yang patah. Bukan saja Kalaban yang tersentak kaget,
bahkan Eyang Girindra pun sampai ternganga melihatnya.
Betapa
tidak! Tongkat perak kebanggaan Kalaban, patah jadi dua setelah membentur tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Padahal tongkat perak itu bukan tongkat biasa! Tongkat
itu mampu menggempur sebongkah batu besar hingga hancur berkeping-keping. Tapi
di tangan pendekar muda itu, hanya bagaikan sebatang ranting kayu kering yang
tak berguna sama sekali.
"Sayang
sekali. Barang mainan itu tidak pantas dipamerkan di hadapanku," kata
Rangga sinis.
"Keparat...!"
geram Kalaban sengit. "Kubunuh kau, setan!"
"Kalaban!
Tahan!" Eyang Girindra menyentakkan tangan muridnya.
Kalaban
menggeram kesal. Sepasang bola matanya berbinar berapi-api menatap Rangga.
Dibuangnya potongan tongkat perak kebanggaannya. Dengan perasaan yang sukar
untuk diungkapkan, Kalaban melangkah mundur dua tindak.
"Apa
yang kau inginkan dari muridku, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang
Girindra, agak ketus nada suaranya.
"Obat
Penawar Racun Merah!" sahut Rangga datar.
"Ha
ha ha...!" Kalaban tertawa terbahak-bahak "Bagus! Itu berarti
sebentar lagi kau akan mati pendekar keparat!"
"Racun
itu bukan untukku, Kalaban"
Kalaban
kontan berubah wajahnya. Semula dia sudah senang karena dikiranya tubuh
Pendekar Rajawali Sakti mengidap Racun Merahnya yang dilepaskan ketika
bertarung di halaman Istana Galung. Tapi nyatanya pendekar muda itu meminta
obat penawar bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang lain.
"Pendekar
Rajawali Sakti! Kau tahu tentang Racun Merah, itu berarti kau sudah tahu apa
akibatnya kata Eyang Girindra.
"Ya,
aku tahu. Itulah sebabnya aku mencari muridmu ini!" sahut Rangga.
"Obat
penawar itu tidak ada padaku!" celetuk Kalaban.
"Hm...,"
Rangga menggumam sengit.
"Benar,
Pendekar Rajawali Sakti Kalaban memang memiliki jurus 'Pukulan Racun Merah',
tapi tidak memiliki obat penawarnya. Sedangkan aku sendiri kehilangan obat itu
beberapa tahun yang lalu," jelas Eyang Girindra.
Rangga
tidak bisa mempercayai keterangan itu. Ditatapnya dalam-dalam dua orang di
depannya secara bergantian. Kemudian pandangannya beralih pada Patih Giling
Wesi yang masih duduk dengan sikap bersemadi.
Tapi
kata-kata Eyang Girindra barusan sepertinya bernada sungguh-sungguh. Dan ini
membuat Rangga jadi berpikir juga. Kembali ditatapnya Kalaban. Namun mengingat
keadaan Intan Kemuning yang begitu parah, dia bertekad untuk mendapatkan obat
penawar Racun Merah.
au
boleh tidak percaya padaku, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku mengatakan yang
sebenarnya. Racun Merah memang hanya bisa dihilangkan oleh obat penawarnya.
Tapi obat itu hilang beberapa tahun lalu," kata Eyang Girindra lagi, coba
untuk meyakinkan.
"Bisa
kupercaya kata-katamu itu, Eyang Girindra?" sinis nada suara Rangga.
"Percaya
atau tidak, itu hakmu!" celetuk Kalaban ketus.
"Hm...,
rasanya bisa kupercayai kata-katamu, Eyang Girindra. Tapi muridmu itu...."
"Phuih!
Kau memang selalu mencari-cari perkara denganku!" geram Kalaban.
Setelah
berkata demikian, Kalaban cepat melompat seraya melontarkan satu pukulan yang
begitu dahsyat. Rangga tahu kalau pemuda itu mengeluarkan jurus 'Pukulan Racun
Merah'. Satu jurus yang luar biasa dahsyatnya. Herannya, Pendekar Rajawali
Sakti itu tidak bergeming sedikit pun! Dengan tenang di angkat tangannya
kedepan, menerima serangan jurus 'Pukulan Racun Merah'.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
Satu
ledakan keras terjadi begitu dua pasang telapak tangan saling berbenturan. Seketika
itu juga tubuh Kalaban terlempar jauh ke belakang, hingga menghantam sebatang
pohon besar yang kemudian hancur berkeping-keping. Sedangkan Rangga masih tetap
berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Kalaban
bergegas bangkit kembali. Dia menggeram keras bagai seekor harimau kelaparan
melihat seonggok daging. Digerak-gerakkan tangannya dengan cepat, kemudian
berlari kencang sambil berteriak keras melengking. Kalaban tidak lagi
menghiraukan peringatan gurunya. Kembali diserangnya Rangga lewat jurus-jurus
andalannya.
Menghadapi
serangan dahsyat itu, Rangga menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu
jurus permainan kaki yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh.
Gerakan-gerakan kaki Rangga begitu cepat dan lincah, diimbangi gerak tubuh yang
lentur. Dia meliuk-liuk bagai seekor belut!
Beberapa
kali serangan Kalaban hampir mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun pada
saat pukulannya tinggal seujung rambut lagi, Rangga mengelak dengan manis
sekali. Hal ini membuat Kalaban semakin geram dibuatnya. Diperhebat
jurus-jurusnya, dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hih!"
Pada
saat tangan Kalaban menyodok ke arah dada, dengan cepat Rangga memapaknya
dengan tangan kanan, disertai satu sodokan keras ke arah perut. Kalaban tidak
sempat lagi menghindarinya karena terlalu memusatkan perhatiannya pada
penyerangan. Akibatnya, sodokan itu telak mengenai perutnya.
"Hugh!"
Kalaban mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Pada
saat yang tepat. Rangga cepat melompat seraya melontarkan satu tendangan lurus
ke depan. Dan begitu kaki kanannya hampir mengenai dada Kalaban, Eyang Girindra
melompat memapak serangan itu.
"Hait!"
Buru-buru
Rangga menarik pulang kakinya, lalu melenting ke belakang. Manis sekali kakinya
mendarat di tanah. Eyang Girindra berdiri tegak membelakangi muridnya yang
masih terbungkuk memegangi perutnya. Sodokan tangan kiri Rangga begitu keras,
membuat perutnya mual.
"Cukup,
Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Eyang Girindra. "Jangan seenaknya
membunuh muridku di depan mataku!"
"Maaf,
aku rasa dia sendiri yang menginginkan kematiannya," sahut Rangga dingin.
"Hm...,
kau sudah membunuh empat orang muridku. Seharusnya kau kubunuh, Pendekar
Rajawali Sakti. Sampai saat ini aku masih bisa mengampunimu. Tapi jika Kalaban
kau bunuh juga, itu berarti harus berhadapan denganku!" Rangga tahu kalau
kata-kata itu bernada ancaman serius. Dalam hati dikaguminya juga sikap Eyang
Girindra yang bisa menelaah dari setiap peristiwa yang terjadi, dan tidak
mengambil keputusan secara sepihak. Rangga pun dapat memaklumi ancaman itu.
Setiap guru pasti akan membela muridnya, walaupun murid itu sendiri melakukan
kesalahan.
Tapi
mengingat ada nyawa yang harus diselamatkan, Rangga menyimpan dulu rasa
kagumnya. Bagaimanapun juga dia harus mendapatkan obat penawar Racun Merah.
Jurus 'Pukulan Racun Merah' hanya dimiliki Eyang Girindra dan Kalaban. Jadi,
hanya mereka berdua sajalah yang dapat memberikan obat penawar itu.
"Kalaban,
ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Eyang Girindra.
"Eyang...,"
Kalaban akan membantah.
"Tinggalkan
tempat ini, kataku!" bentak Eyang Girindra keras.
Kalaban
tidak bisa membantah lagi. Dibalikkan tubuhnya setelah menatap tajam penuh
kebencian dan rasa dendam pada Rangga. Tapi baru saja mereka berjalan beberapa
tindak, Rangga sudah berseru...
"Tunggu
dulu!"
Eyang
Girindra menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Pendekar Rajawali
Sakti itu kembali. Sedangkan Kalaban menggerutu kesal.
"Apa
lagi yang kau inginkan, Anak muda?" tanya Eyang Girindra.
"Di
mana kau sembunyikan Seruni?" tanya Rangga yang tiba-tiba teringat pada
gadis kecil yang harus dilindungi keselamatannya.
"Seruni...?!
Siapa itu?" Eyang Girindra kembali bertanya.
"Kau
jangan berpura-pura, Eyang Girindra! Bukankah kau yang menculik Seruni! Di mana
dia?"
"Maaf,
aku tidak ingin menambah persoalan lagi. Ayo, Kalaban."
"Hey,
tunggu...!"
Tapi
Eyang Girindra sudah melompat cepat seraya menyambar tangan Kalaban. Begitu
cepatnya dia melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan. Rangga ingin mengejar, tapi tiba-tiba teringat akan
keadaan Patih Giling Wesi. Niatnya pun langsung diurungkan.
Sementara
Patih Giling Wesi masih duduk di bawah pohon. Kedua matanya terpejam rapat, dan
sikapnya begitu tenang bersemadi. Rangga kemudian duduk di depan laki-laki
gemuk itu. Dia tidak ingin mengganggu semadi Patih Giling Wesi. Luka-luka yang
diderita laki-laki gemuk itu cukup parah, sehingga butuh waktu lama untuk
menyembuhkannya. Namun dengan cara bersemadi, luka-luka itu bisa disembuhkan
tanpa menunggu sampai beberapa hari.
***
ENAM
Rangga
semakin tidak mengerti akan keadaan yang tengah terjadi saat ini. Sepertinya
setiap persoalan datang beruntun tanpa henti-hentinya. Belum selesai satu
persoalan, muncul lagi persoalan lainnya. Dan yang membuat Rangga pening, semua
yang dihadapinya selalu berkaitan erat Dan itu harus diselesaikan satu persatu.
Hari
sudah berganti senja. Sebentar lagi malam pasti akan datang, tapi Patih Giling
Wesi belum juga bangun dari semadinya. Rangga menggeser duduknya mendekati.
Dijulurkan tangannya hendak memeriksa keadaan luka-luka yang diderita patih
dari Kerajaan Galung itu. Mendadak, keningnya berkerut dalam. Buru-buru ditarik
kembali tangannya.
"Racun
Merah...!" desis Rangga terkejut Sama sekali tidak diduga kalau Patih
Giling Wesi terkena 'Pukulan Racun Merah' yang amat dahsyat. Rangga benar-benar
kelabakan saat ini. 'Pukulan Racun Merah' sulit untuk ditangkal. Sedangkan
penangkal satu-satunya hanya ada pada pemilik jurus itu. Tapi Eyang Girindra
telah mengatakan kalau obat penawar Racun Merah hilang darinya beberapa tahun
lalu.
"Gita
Raka...!" tiba-tiba Rangga tersentak, teringat dengan wanita muda
misterius yang ditemuinya.
Ya....
Gita Raka bercerita kalau Seruni diculik oleh Eyang Girindra. Sedangkan
laki-laki tua berjubah merah itu tidak mengakui, bahkan tidak kenal dengan
orang yang bernama Seruni. Rangga jadi berpikir keras, mencoba untuk menelaah
semua kejadian yang dialaminya. Dicobanya untuk merangkai setiap kejadian yang
ditemui.
Memang
rasanya mustahil kalau Eyang Girindra berada di sini, jauh dari tempat
tinggalnya di Puncak Gunung Sendir. Sedangkan Seruni tadi tidak bersamanya di
tempat ini. Tidak mungkin laki-laki berjubah merah itu meninggalkan Seruni
sendirian di Puncak Gunung Sendir. Lagi pula, untuk apa dia menculik seorang
gadis kecil? Adakah sesuatu pada Seruni sehingga diperebutkan?
Rangga
melayangkan pandangannya berkeliling. Sesaat matanya terpaku ke arah pondok
kecil yang tidak jauh dari tempat ini. Dia tahu kalau tempat Ini tidak berapa
jauh dari Lembah Neraka, dan masih termasuk dalam wilayah lembah angker itu.
Rangga jadi teringat akan kata-kata terakhir Ki Biran yang berpesan agar
membawa Seruni pada bibinya di dekat Lembah Neraka.
Mendadak,
Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget begitu telinganya mendengar rintihan
lirih tidak jauh darinya. Segera ditatapnya Patih Giling Wesi.
Tapi,
laki-laki gemuk itu tampak diam bersemadi. Dan rintihan lirih itu terus
terdengar di telinganya.
"Pondok
itu...!" desis Rangga.
Slap...!
Seketika
itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah pondok kecil itu. Begitu
cepatnya berkelebat, tahu-tahu sudah berada di dalam pondok. Senja yang
remang-remang, membuat pandangannya agak terhalang di dalam pondok. Namun masih
bisa terlihat sesosok tubuh kecil tergolek di lantai beralaskan daun tikar
pandan.
"Seruni...!"
Rangga
bergegas menghampiri gadis kecil itu, dan memindahkannya ke atas dipan bambu.
Gadis kecil itu memang Seruni. Dia merintih lirih dengan mata terpejam.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu memeriksa keadaan tubuh Seruni, lalu
menarik napas lega. Ternyata tidak ada luka-luka dalam maupun luar yang
ditemukan. Rangga menyalurkan sedikit hawa murni pada tubuh gadis itu.
Perlahan-lahan Seruni mulai sadarkan diri.
"Kakang..!"
Seruni langsung bangun dan memeluk erat Rangga.
"Ssst...,"
Rangga berusaha meredakan tangis gadis kecil itu. Dengan lembut dilepaskan
pelukannya.
Seruni
masih menangis sesenggukan. Rangga duduk di tepi dipan bambu. Dia menghapus
lembut air mata di pipi Seruni yang halus kemerahan. Sedikit demi sedikit
Seruni mulai bisa tenang. Namun sesekali masih terdengar tangisnya yang lirih.
"Mereka,
Kakang.... Mereka sangat kejam...!" isak Seruni kembali menangis.
"Ssst...
Tenanglah, Seruni. Bicaralah yang tenang. Apa yang terjadi pada
dirimu...?" Rangga masih berusaha menenangkan gadis kecil itu.
Seruni
belum bisa menjawab dengan tenang. Dia terus sesenggukan. Mungkin apa yang tadi
dialami masih membekas dalam ingatannya. Rangga tidak tahu lagi, apa yang harus
dilakukannya. Tidak mudah menenangkan seorang gadis kecil yang tengah dilanda
kemelut. Rangga segera teringat pada Patih Giling Wesi yang kemudian
dipindahkannya ke dalam pondok kecil itu. Sementara Patih Giling Wesi kembali
bersemadi dekat api unggun, mencoba mengurangi menjalarnya racun di dalam
tubuhnya.
"Kakang...,"
pelan suara Seruni memanggil.
Rangga
menoleh memandang gadis kecil itu. Kelihatannya Seruni sudah mulai tenang, dan
tidak lagi menangis. Air matanya pun sudah kering.
"Ya...,
ada apa?" tanya Rangga lembut.
Seruni
melepaskan sabuk yang melilit pinggangnya. Sabuk tebal dari kulit binatang.
Dari coraknya sudah dapat ditebak kalau sabuk itu terbuat dari kulit harimau.
Seruni memberikan sabuk itu pada Rangga yang terpaku keheranan tidak mengerti.
"Apa
ini?" tanya Rangga seraya menerima sabuk itu.
"Mereka
menginginkan ini, tapi tidak tahu kalau yang dicari ada di dalam sabuk
ini," jelas Seruni.
Sejenak
Rangga mengamati sabuk kulit harimau itu. Keningnya sedikit berkerut mendapati
ada kantung di dalam sabuk itu. Dirogohnya kantung itu. Ternyata, di dalamnya
terdapat beberapa butir pil berwarna merah kehijau-hijauan. Ada sekitar dua
puluh pil yang besarnya tidak lebih dari sebuah biji saga.
"Ayah
memberikan sabuk ini padaku. Katanya, sabuk ini jangan sampai jatuh ke tangan
orang lain. Tapi aku percaya kalau Kakang bukan orang jahat," kata Seruni.
"Kau
tahu, benda apa ini?" tanya Rangga.
"Tentu.
Ayah pernah bilang kalau itu adalah pil Penawar Racun Merah," sahut
Seruni.
"Pil
Penawar Racun Merah...?!" Rangga mendesis pelan.
"Ada
apa, Kakang?" tanya Seruni ketika melihat raut wajah Pendekar Rajawali
Sakti yang langsung berubah.
"Tidak...,
tidak ada apa-apa," sahut Rangga cepat-cepat. "Seruni! Kau tahu, dari
mana ayahmu mendapatkan pil ini?"
Belum
juga Seruni menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar dari
luar pondok. Rangga kontan melompat turun dari dipan bambu itu. Bergegas
dilemparkan sebutir pil pada Patih Giling Wesi. Pil itu tepat jatuh di telapak
tangannya. Patih Giling Wesi terbangun dari semadi, dan memandang Pendekar
Rajawali Sakti yang mengangguk kecil. Patih Giling Wesi tidak berpikir panjang
lagi, dan langsung menelan pil itu.
"Ah...!"
Patih Giling Wesi mengeluh pendek.
Seketika
itu juga badannya terasa panas. Keringat sebesar-besar butiran jagung menitik
deras membasahi wajahnya. Buru-buru dirapatkan tangannya di depan dada, namun
cepat dicegah Rangga. Sementara tawa di luar pondok terus terdengar
menggelegar. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi.
"Seruni...!"
Rangga tersentak ketika mendengar suara jeritan kecil.
Pendekar
Rajawali Sakti itu bergegas melompat ke arah Seruni yang menggelepar tidak
mampu menahan gempuran gelombang suara bertenaga dalam cukup tinggi. Rangga
segera memberikan totokan di sekitar telinga gadis kecil itu. Maka Seruni pun
menjadi tenang setelah mendapat totokan.
"Hup,
hup...!"
Rangga
menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian menarik napas panjang.
Sesaat kemudian, kedua tangannya menghentak cepat ke depan. Suatu gelombang
keras meluncur dai dari kedua telapak tangannya. Ternyata Pendekar Rajawal
Sakti mengeluarkan aji 'Bayu Bajra'
"Aaa..,!"
satu jeritan melengking terdengar bersamaan dengan hancurnya pintu pondok.
Secepat
kilat Rangga melompat ke luar. Suasana malam yang gelap menyambut Pendekar
Rajawali Sakti itu. Matanya yang tajam langsung beredar ke sekeliling. Tampak
sesosok tubuh menggeletak berlumuran darah.
"Hiyaaa...!"
"Hait...!"
Rangga
melompat dua langkah ke belakang ketika dari arah samping seseorang melompat
sambil menggenggam sebilah golok terhunus. Serangan yang cepat itu dengan manis
dapat dielakkan, bahkan kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil
menggedor dada orang itu.
"Akh...!"
orang itu memekik keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang.
Hanya
sebentar dia mampu bergerak menggeliat, kemudian diam tidak berkutik. Dadanya
melesak ke dalam. Rangga berdiri tegak memandang tajam ke sekeliling. Tidak
terdengar sedikit pun suara yang mencurigakan, kecuali deru angin malam yang
kencang membawa udara dingin menusuk tulang.
"Kakang...!"
tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam pondok.
"Hiyaaa...!"
Rangga
langsung melompat masuk ke dalam pondok. Tapi baru saja melewati pintu pondok,
sebuah bayangan merah berkelebat cepat menyongsongnya. Begitu cepatnya bayangan
merah itu berkelebat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa lagi
berkelit. Dadanya telak kena hajar bayangan merah itu.
"Ugh!"
Rangga mengeluh pendek. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Dua
kali Rangga berputaran di udara, kemudian manis sekali kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu, bayangan merah kembali berkelebat cepat bagai kilat
menyambarnya. Kali ini Rangga sudah siap, dan cepat-cepat memiringkan tubuhnya
ke kiri seraya melayangkan satu pukulan keras bertenaga dalam penuh. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu pun kecewa, karena bayangan merah itu berhasil
mengelak.
"Senjata
rahasia...!" Rangga mendesis terperangah.
Bayangan
merah itu melontarkan beberapa puluh senjata kecil seperti jarum. Padahal dia
masih berkelebat cepat di saat menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali
Sakti. Seketika itu juga Rangga berlompatan ke belakang seraya memutar tubuhnya
menghindari serbuan senjata rahasia itu.
Pada
saat Pendekar Rajawali Sakti itu sibuk menghindari terjangan jarum-jarum kecil
itu, bayangan merah kembali bergerak cepat menerjangnya. Tentu saja hal ini
membuat Rangga makin kewalahan. Ternyata bayangan merah itu menyerang disertai
lontaran jarum-jarum kecilnya.
"Bedegul...!"
geram Rangga sengit. Menghadapi serangan beruntun disertai serbuan senjata
rahasia itu, Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Segera dikerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' diseling jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dengan
dua jurus yang saling susul itu, keadaan kini menjadi seimbang.
"Hap...!"
Rangga
melompat mundur ketika ada kesempatan.
"Eyang
Girindra...!" desis Rangga begitu mengenali bayangan merah itu.
"Serahkan
sabuk harimau itu padaku, Bocah!" bentak Eyang Girindra.
Rangga
melompat mundur dua tindak ke belakang. Kelopak matanya agak menyipit menatap
tajam pada laki-laki tua di depannya. Wajah dan bentuk pakaiannya memang mirip
Eyang Girindra. Tapi orang itu lebih kecil dan kurus.
"Kau
bukan Eyang Girindra! Siapa kau sebenar nya?!" dengus Rangga.
"Hi
hi hi...!" orang itu tertawa mengikik menyeramkan.
Rangga
menggeser kakinya ke samping mendekati pintu pondok. Pada saat itu dari dalam
pondok, Seruni keluar sambil menyangga Patih Giling Wesi. Meskipun sudah
meminum pil Penawar Racun Merah, keadaan Patih Giling Wesi belum sempurna
benar. Tapi kondisi tubuhnya sudah mulai membaik.
"Hati-hati,
Rangga. Dia sangat licik," ujar Patih Giling Wesi memperingatkan.
"Siapa
dia, Paman Patih?" tanya Rangga yang sudah berada di sampingnya.
"Dia...."
Belum
juga Patih Giling Wesi menjawab tuntas, mendadak saja orang berbaju merah yang
wajahnya mirip Eyang Girindra itu mengelebatkan tangan kanannya. Maka dari
balik lengan bajunya yang longgar, meluncur beberapa jarum kecil berwarna
keemasan.
"Hiyaaa...!"
Secepat
kilat Rangga melompat ke depan, dan menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Bersamaan dengan itu, dari mulutnya meluncur teriakan keras yang menyebutkan
suatu nama ilmu kesaktian.
"Aji
Bayu Bajra'...!"
Jarum-jarum
kecil keemasan itu kontan berbalik ke arah pemiliknya begitu terhempas udara
keras yang keluar dari sepasang telapak langan Pendekar Rajawali Sakti. Tentu
saja hal ini membuat orang berjubah merah itu jadi kelabakan. Sebisanya dia
berjumpalitan menghindari serbuan senjatanya sendiri.
"Setan
belang! Keparat kau. Rangga...!" umpat orang itu menggeram marah.
Belum
lagi orang berjubah merah itu sempat menjejakkan kakinya di tanah, Rangga sudah
melompat cepat bagaikan kilat ke arahnya. Lompatan Pendekar Rajawali Sakti itu
demikian cepatnya, dan tahu-tahu sudah berada di atas kepala orang berjubah
merah.
"Ikh...!"
orang berjubah merah itu memekik kaget. Buru-buru dirundukkan kepalanya seraya
dijatuhkan tubuhnya ke tanah. Tapi sambaran tangan kiri Rangga berhasil juga
menjambak rambutnya. Saat Rangga terhenyak kaget, karena rambut orang itu copot
bersama kepalanya. Bergegas Pendekar Rajaw Sakti meluruk turun.
"Topeng...!"
desis Rangga terkejut begitu melihat benda yang ada dalam genggamannya!
Rangga
lebih terkejut lagi ketika melihat orang berjubah merah itu. Ternyata di balik
wajah tua laki-laki, tersembunyi seraut wajah cantik. Orang berjubah merah itu
menggeram sengit. Dibuka jubahnya dari dicampakkan begitu saja ke tanah. Kini
jelas, siapa yang berada di balik bentuk Eyang Girindra itu.
***
TUJUH
"Gita
Raka...," Rangga mendesis setelah mengenali wanita berbaju merah muda yang
telah menyamar jadi Eyang Girindra.
"Keparat
kau, Rangga! Serahkan sabuk harimau itu padaku!" dengus Gita Raka
menggeram.
"Sabuk
ini tidak ada gunanya untukmu, Gita Raka," ujar Rangga ketus. Dia
benar-benar kesal terhadap wanita itu yang telah mempermainkannya.
"Aku
perlu sabuk itu! Cepat, serahkan padaku!"
"Hm...,
ini hanya sabuk biasa. Apa yang kau inginkan dari sabuk harimau ini?"
Rangga berusaha memancing.
"Jangan
berpura-pura, Rangga. Sabuk itu menyimpan obat Penawar Racun Merah."
"Aneh...
Kau sudah tahu, mengapa tidak diambil ketika Seruni kau culik? Kau sudah
beberapa kali bertemu, bukankah bisa mengambilnya dengan mudah? Mengapa baru
sekarang kau ingin merebutnya?" Rangga seperti bicara sendiri.
"Kalau
aku tahu sejak dulu, untuk apa susah-susah? Sudahlah...! Berikan sabuk itu
padaku!"
Rangga
berpikir sejenak. Sebentar dipandangi sabuk kulit harimau ditangannya, kemudian
pandangannya beralih pada Gita Baka. Tampaknya wanita itu sangat membutuhkan
obat penawar racun yang tersimpan dalam sabuk harimau ini. Tapi berhubung Patih
Giling Wesi sudah memperingatkan, Rangga jadi bersikap hati-hati. Dia tidak mau
begitu saja mempercayainya.
"Rangga...,"
panggil Patih Giling Wesi.
Rangga
menoleh sedikit, lalu melangkah mundur menghampiri laki-laki gemuk itu. Patih
Giling Wesi sudah mampu berdiri tegak meskipun keadaannya masih lemah.
Sedangkan Seruni tetap memegangi tangannya.
"Aku
tahu siapa dia, Rangga. Dia adalah murid tunggal si Raja Topeng, Keahliannya
memang membuat topeng yang dapat mirip dengan wajah seseorang. Di samping itu
kelicikan dan kejahatannya sudah terkenal. Pasti pil penawar Racun Merah akan
digunakannya untuk kejahatan," kata Patih Giling Wesi dengan napas masih
tersengal.
"Benar,
Kakang," sambung Seruni. "Dialah yang menculik dan memaksaku untuk
menyerahkan pil penawar Racun Merah. Dia jahat, Kakang. Untung saja pil itu
tersimpan dalam sabukku, sehingga tidak diketahuinya!"
"Bukankah
dia itu bibimu, Seruni?" tanya Rangga.
"Bukan!"
sahut Seruni cepat.
"Justru
dia yang membunuh bibiku, dan menyamar menjadi Bibi. Bibiku selalu memakai
bunga anggrek Jingga di telinganya. Sedangkan dia tidak tahu kebiasaan bibiku
itu, sehingga tidak memakainya. Aku tahu betul walaupun dia memakai kedok
berupa wajah Bibi."
"Setan
kecil! Tutup mulutmu...!" bentak Gita Raka berang.
"Hm...,"
Rangga menggumam tidak jelas. Diliriknya Gita Raka dengan tajam.
Kini
bagi Pendekar Rajawali Sakti sudah jelas semua duduk persoalannya. Rupanya Gita
Raka memang pernah menemui Seruni dengan menyamar sebagai bibi gadis kecil ini.
Tapi Seruni terlalu cerdik untuk dibodohi. Diam-diam Rangga mengagumi juga
kecerdikan Seruni. Rangga memindahkan pil-pil penawar Racun Merah ke dalam saku
sabuknya sendiri, kemudian menimang-nimang sabuk kulit harimau itu.
"Kau
perlu sabuk ini, kan? Nih, terimalah!" ucap Rangga seraya melemparkan
sabuk kulit harimau itu pada Gita Raka.
"Setan..,!"
geram Gita Raka merasa dipermainkan.
Tentu
saja sabuk kulit harimau itu tidak berarti lagi tanpa pil penawar Racun Merah
di dalamnya. Dengan sengit perempuan cantik itu mencabut pedangnya. Cepat
sekali pedangnya dikibaskan pada sabuk kulit harimau itu, hingga terbelah jadi
dua potong. Tepat ketika dua potong sabuk kulit harimau jatuh ke tanah, Gita
Raka melompat menerjang Rangga. Ujung peelangnya bergerak menusuk ke arah dada.
"Menyingkir
kalian!" seru Rangga keras. Seketika itu juga dia melompat ke atas, lalu
meluruk deras mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tusukan
pedang Gita Raka menyambar tempat kosong. Tapi, dengan cepat dikelebatkan
pedangnya ke atas, melindungi kepalanya dari tendangan kaki Pendekar Rajawali
Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga
menarik kakinya, lalu berputar dua kali di udara. Dengan cepat dia meluruk
turun, kemudian hinggap di belakang Gita Raka. Satu sodokan keras diarahkan ke
punggung wanita itu. Gita Raka memekik tertahan. Buru-buru digeser kakinya ke
samping, menghindari sodokan itu seraya memutar pedangnya ke belakang membabat
ke arah pinggang. Tapi Rangga dengan manis sekali menarik mundur tubuhnya.
Ujung pedang Gita Raka hanya lewat di depan perut Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus!
Rupanya kau tangguh juga, Gita Raka," kata Rangga memuji.
"Jangan
banyak omong!" rungut Gita Raka sengit.
Wanita
itu kembali menyerang lewat jurus-jurusnya yang dahsyat dan mematikan. Pada
saat itu, dari balik pepohonan dan gerumbul semak belukar, muncul sekitar
sepuluh orang yang menghunus senjata golok. Mereka serentak berlompatan
mengepung Patih Giling Wesi dan Seruni.
"Bunuh
mereka...!" seru Gita Raka keras.
"Setan
kodok...!" geram Rangga melihat sepuluh orang bersenjata golok itu
mengeroyok Patih Giling Wesi.
Pada
saat itu Rangga tidak mungkin membantu Patih Giling Wesi yang berusaha
bertarung sambil melindungi Seruni. Serangan-serangan Gita Raka demikian tajam
dan dahsyat. Wanita itu benar-benar tidak memberi kesempatan kepada lawannya
untuk menggunakan kesempatan keluar dari pertarungan. Rangga benar-benar geram
begitu melihat Patih Giling Wesi terguling kena tendangan salah seorang
pengeroyoknya.
"Hiyaaat...!"
tiba-tiba saja terdengar satu teriakan keras bersuara kecil.
Tampak
Seruni mengeluarkan sebuah selendang berwarna merah muda dari balik bajunya,
dan langsung diputar-putarnya dengan cepat. Gerakannya begitu lincah. Selendang
itu seperti hidup di tangannya. Sepuluh orang pengeroyok yang semula memandang
ringan pada Seruni, kini jumpalitan menghindari sambaran selendang yang
meliuk-liuk bagaikan ular itu.
Rangga
sendiri cukup kagum melihat kelincahan Seruni memainkan selendang merah
mudanya. Sungguh tidak disangka kalau gadis kecil itu memiliki kepandaian yang
lumayan, sehingga mampu memporakporandakan sepuluh orang pengeroyoknya.
Sementara Patih Giling Wesi yang sudah dapat bangkit kembali, segera membantu
gadis kecil itu. Dengan pedang perak, diserangnya pengeroyoknya dengan cepat.
"Bagus!
Kalian bisa menghadapi mereka...!" seru Rangga gembira melihat Patih
Giling Wesi dan Seruni tampaknya mampu menghadapi lawan-lawannya itu.
Lain
halnya dengan Gita Raka. Wanita cantik itu kelihatan marah menyaksikan sepuluh
orang anak buahnya yang tidak berdaya menghadapi bocah kecil dan seorang
laki-laki tua yang belum sembuh benar dari lukanya. Gita Raka sendiri tidak
bisa berbuat banyak, karena Pendekar Rajawali Sakti telah melancarkan
serangan-serangan yang begitu cepat dan dahsyat.
Keadaan
benar-benar terbalik sekarang. Dua orang anak buah Gita Raka sudah menggeletak
berlumuran darah. Sedangkan Gita Raka sendiri harus jatuh bangun menghindari
gempuran Pendekar Rajawa Sakti. Hanya sesekali saja dia mampu membalas
serangan, tapi itu pun dapat dimentahkan sebelum mencapai sasaran. Gita Raka
benar-benar kewalahan menghadapi gempuran Pendekar Rajawali Sakti. Jurus-jurus
andalan sudah dikeluarkan, tapi serangan lawannya belum juga mampu dipatahkan
"Hiyaaat...!"
tiba-tiba Gita Raka berteriak keras seraya melompat tinggi ke atas.
"Hap,
hiyaaa...!"
Rangga
juga ikut lompat ke atas. Dalam keadaan di udara, Rangga mengerahkan satu
pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Sedangkan Gita Raka
mengimbanginya dengan mengerahkan pukulan andalannya. Satu benturan keras
mengakibatkan ledakan dahsyat di udara.
"Aaa...!"
Gita Raka menjerit melengking.
Tubuhnya
yang ramping itu terpental, dan jatuh dengan keras ke tanah. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti bergegas turun dan mendarat lunak tidak jauh dari wanita ahli
menyamar itu. Tampak Gita Raka berusaha bangkit kembali, namun
terhuyung-huyung. Mulut dan hidungnya mengucurkan darah segar.
***
Sementara
itu di lain tempat, pertarungan antara Patih Giling Wesi dan Seruni dalam
menghadapi para pengeroyoknya, masih berlangsung sengit. Tapi sudah lebih dari
separuh anak buah Gita Raka terjungkal tewas. Selendang merah muda di tangan
Seruni cukup dahsyat, bahkan terlalu kuat untuk satu tebasan golok.
Meskipun
masih berusia di bawah sepuluh tahun, tapi Seruni sudah digembleng dengan
beberapa jurus ilmu olah kanuragan. Ki Biran selalu menempanya dengan keras,
dan sekarang ada manfaatnya. Begundal-begundal macam anak buah Gita Raka tidak
mampu menghadapinya.
"Hiya,
hiya, hiyaaa...!" Seruni berteriak keras beberapa kali.
Dengan
lincah dan bertenaga penuh, dikibaskan selendang merah mudanya membabat sisa
anak buah Gita Raka. Orang-orang bersenjata golok itu terpaksa harus jumpalitan
dengan darah mengucur deras dari tubuhnya. Selendang itu bagai sebilah pedang
yang mampu memenggal leher hanya sekali kebutan saja.
"Setan!
Kalian harus mampus...!" geram Gita Raka. Amarahnya memuncak melihat
sepuluh orang anak buahnya tewas di tangan seorang gadis cilik.
Sambil,
berteriak keras, Gita Raka melompat menerjang Seruni. Namun Rangga lebih cepat
lagi bertindak. Sebuah pukulan bertenaga dalam luar biasa, telah menghambat
terjangan Gita Raka. Akibatnya gadis itu terpental jauh ke belakang. Dua kali
dia memuntahkan darah segar sebelum bisa bangkit kembali. Sementara Rangga
sudah berdiri tegak di depan Seruni dan Patih Giling Wesi. Akibat pertarungan
tadi, keadaan Patih Giling Wesi terlihat letih. Rasanya tidak akan mampu jika
harus bertarung kembali.
"Awas,
Kakang...!" seru Seruni tiba-tiba.
Rangga
yang baru berbalik, langsung berputar sambil mengibaskan tangannya. Pada saat
itu, Gita Raka sudah melompat cepat seraya mengerahkan kekuatan terakhirnya.
Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dadanya.
"Aaa...!"
Gita Raka menjerit keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan menghantam
sebongkah batu besar hingga hancur berantakan. Hanya sesaat Gita Raka mampu
bergerak, kemudian diam tak berkutik. Nyawa telah melayang dari tubuhnya.
Rangga berdiri terpaku memandangi mayat wanita itu. Sebenarnya tak ada maksud
untuk menewaskannya.
"Hhh...,
syukurlah dia tewas," desah Patih Giling Wesi.
Rangga
membalikkan tubuhnya, dan langsung menatap laki-laki gemuk itu. Desahan pelan
Patih Giling Wesi membuatnya penasaran. Siapa sebenarnya Gita Raka, dan ada
hubungan apa dengan Patih Giling Wesi yang tampaknya kenal betul dengannya?
"Sudah
lama aku ingin agar dia lenyap dari muka bumi, Rangga...," kata Patih
Giling Wesi yang menangkap arti pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hm....
Kau tahu banyak tentang Gita Raka, Paman Patih," ujar Rangga bergumam.
"Sebanyak
yang diketahui Seruni," jawab Patih Giling Wesi seraya melirik Seruni.
Rangga
menatap gadis kecil itu. Seruni hanya diam, dan kepalanya tertunduk.
Pelahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mendekatinya dan duduk di depan
Seruni. Kebisuan mencekam di dalam pondok kecil
"Seruni...,"
lembut suara Rangga.
Seruni
mengangkat kepalanya, langsung menatap ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sinar matanya begitu redup, namun banyak mengandung makna yang sukar dipahami.
Bibirnya yang tipis kemerahan bergerak-gerak. Seolah-olah hendak mengatakan
sesuatu, tapi tidak ada yang terucapkan.
"Jangan
desak dia, Rangga," kata Patih Giling Wesi.
"Kenapa?
Ada apa dengan Seruni?" tanya Rangga tidak mengerti.
Patih
Giling Wesi tidak menyahut, tapi malah berdiri dan melangkah ke luar pondok.
Sebentar Rangga menatap Seruni dan laki-laki gemuk itu bergantian, kemudian
juga bangkit berdiri dan melangkah keluar pondok. Patih Giling Wesi berdiri
sambil bersandar pada tiang beranda. Rangga menghampirinya dan berdiri di
sampingnya.
"Kasihan
anak itu. Selama hidupnya, selalu dirundung penderitaan," kata Patih
Giling Wesi pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
Rangga
hanya diam saja, dan tidak ingin menebak-nebak. Semua yang ada pada diri
Seruni, maupun semua kejadian yang dialami ternyata masih menjadi beban
pertanyaan.
"Aku
tahu siapa sebenarnya Seruni. Dia sebenarnya anak seorang panglima yang tewas
ketika menumpas gerombolan perampok yang dipimpin si Raja Topeng, guru dari
Gita Raka. Waktu itu ayah Seruni dapat memberantas gerombolan itu, karena
dibantu seorang tokoh sakti yang kemudian tewas di tangan si Raja Topeng. Tapi
si Raja Topeng pun tewas terkena 'Pukulan Racun Merah' yang dilepaskan tokoh
sakti itu...," Patih Giling Wesi menghentikan ceritanya.
"Teruskan,
Paman," pinta Rangga.
"Aku
tidak tahu siapa tokoh sakti itu. Tapi dari kabar yang kudengar, dia adalah
saudara seperguruan Eyang Girindra. Tokoh itu memiliki obat penawar 'Pukulan
Racun Merah' yang dicuri dari Eyang Girindra. Hal itu dilakukan karena Eyang
Girindra telah mencuri dari gurunya setelah meracuninya lebih dahulu lewat
minuman. Semasa tokoh sakti itu masih hidup, dia sempat memberikan obat penawar
'Pukulan Racun Merah' pada pengawal pribadi panglima yang kemudian membawa
Seruni yang saat itu masih berusia sekitar tujuh tahun...," kembali Patih
Giling Wesi menghentikan ceritanya.
Rangga
hanya diam saja menunggu kelanjutannya.
"Kau
tahu Rangga. Orang yang sempat meminum obat itu akan kebal terhadap 'Pukulan
Racun Merah' seumur hidupnya, selain bisa disembuhkan dari pukulan itu. Gita
Raka menginginkannya untuk menghancurkan Eyang Girindra yang dianggap sebagai
penyebab kematian gurunya. Oleh sebab itulah, mengapa dia menculik Seruni. Gadis
itu disangkanya menyimpan pil itu."
"Hm...,
aneh. Bukankah gurunya tewas bukan oleh Eyang Girindra? Mengapa mendendam
padanya?" tanya Rangga.
"Memang
benar. Tapi kalau diingat bahwa gurunya tewas di tangan saudara seperguruan
Eyang Girindra, jelas dendamnya akan dilampiaskan pada laki-laki berjubah merah
itu. Masalahnya, saudara seperguruan Eyang Girindra itu kan sudah tewas."
"Hm...,
jadi benar yang menculik Seruni adalah Gita Raka. Dan gadis itu memanfaatkan
wajah Eyang Girindra untuk menyamar. Hm..., sungguh licik sekali dia."
"Semua
orang akan gembira mendengar kematiannya, Rangga. Sepak terjang Gita Raka
selama ini selalu membuat penderitaan bagi orang banyak," ujar Patih
Giling Wesi.
"Tapi
kita jangan bergembira dulu, Paman Patih. Eyang Girindra dan Kalaban masih
hidup. Mereka juga pasti tidak akan diam saja sebelum mendapatkan obat penawar
'Pukulan Racun Merah' ini," Rangga mengingatkan.
"Memang
benar. Tapi sebelum ini dia belum yakin kalau Seruni memiliki benda itu. Jadi,
tidak akan mungkin ke sini lagi. Pondok ini memang milik bibinya Seruni yang
tewas di tangan Gita Raka, yang kemudian menyamar jadi bibinya Seruni."
"Kapan
itu terjadi?"
"Belum
lama. Aku sempat melihat kuburannya di belakang pondok ini. Kelihatannya memang
masih baru. Yaaah..., paling-paling baru beberapa hari."
"Hm..
Aku mengerti sekarang...!" selak Rangga tiba-tiba.
"Ada
apa, Rangga?" tanya Patih Giling Wesi.
"Pasti
Gita Raka menculik dan membawa Seruni ke tempat ini untuk memancing kehadiran
Eyang Girindra, setelah dia tidak menemukan apa-apa pada diri Seruni Kemudian,
Gita Raka meniupkan kabar bahwa Seruni-lah yang menyimpan pil penawar Racun
Merah, dan sekarang gadis cilik itu ada di tempat ini," Rangga
menghentikan sebentar penjelasannya.
"Lalu?"
desak Patih Giling Wesi. Dalam hati, diakui pula ketajaman pemikiran Rangga.
"Eyang
Girindra yang mendengar kabar itu, mulai terpancing. Ketika dia datang ke sini
hanya mendapatkan Seruni, tanpa memperoleh apa yang diharapkan. Hm.... Aku
yakin, maksud Gita Raka memancing Eyang Girindra ke sini, sebenarnya hanyalah
untuk melampiaskan dendamnya. Hm..., licik juga dia," jelas Rangga,
mengakhiri.
"Benar,
Rangga! Untung kita cepat datang ke sini, sehingga pancingan itu berantakan
Huh! Kalau saja salah satu di antara mereka berhasil menemukan pil penawar
Racun Merah yang disimpan Seruni, entah apa jadinya dunia persilatan saat
ini!" kata Patih Giling Wesi menambahkan.
Rangga
terdiam. Apa yang dikatakan Patih Giling Wesi memang benar. Tidak ada seorang
pun yang sanggup menandingi kehebatan 'Pukulan Racun Merah', kecuali dirinya
sendiri yang kebal terhadap segala jenis racun. Jurus 'Pukulan Racun Merah'
tidak ada artinya sama sekali bagi dirinya.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mendesah panjang. Dia sudah mendapatkan obat yang dicarinya,
dan kini harus segera menemui Putri Rajawali Hitam yang tengah sekarat karena
terkena jurus 'Pukulan Racun Merah'. Tapi mengingat Patih Giling Wesi dan
Seruni yang keadaannya belum lagi bisa dikatakan aman, pikirannya jadi bimbang.
Masalahnya, dia tahu keinginan Putri Rajawali Hitam yang tak akan mau dirinya
diketahui orang lain.
Lebih-lebih
oleh Patih Giling Wesi. Mana mungkin Putri Rajawali Hitam bersedia menemui
ayahnya! Dia telah membuat kecewa ayahnya, sehingga menyebabkan seluruh
Kerajaan Galung porak-poranda akibat perbuatannya yang kekanak-kanakan. Pada
saat Rangga tengah kebingungan, tiba-tiba terdengar suara keras dari angkasa.
"Rajawali...,"
desis Rangga dalam hati. Jelas dia kenal suara itu
"Suara
apa itu...?" tanya Patih Giling Wesi.
"Paman,
aku akan pergi sebentar," kata Rangga tanpa menjawab.
"Kau
mau ke mana?" tanya Patih Giling Wesi.
Tapi
Rangga tidak sempat lagi menjawab. Dia segera melompat dan berlari cepat
meninggalkan pondok itu. Pada saat yang sama, Seruni keluar dari dalam pondok.
Rupanya juga mendengar suara keras di angkasa tadi. Tampak, di angkasa melayang
seekor burung raksasa berwarna keperakan. Namun kedua orang itu tidak
menyadarinya.
"Ke
mana Kakang Rangga, Paman?" tanya Seruni.
"Pergi,"
sahut Patih Giling Wesi singkat.
"Kita
harus menyusulnya, Paman!"
"Seruni..!"
***
DELAPAN
Namun
Seruni sudah berlari kencang. Patih Giling Wesi tidak punya pilihan lain lagi.
Bergegas disusulnya gadis kecil itu. Mereka berlarian mengikuti arah yang
dituju Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Patih Giling Wesi tidak tahu, ke mana
tujuan mereka. Dia tidak sempat lagi bertanya, atau mencegah gadis kecil itu,
dan hanya bisa mengikuti dengan perasaan tidak menentu.
Rangga
langsung melompat tinggi ke udara begitu Rajawali Putih menukik turun. Belum
juga burung raksasa itu mencapai tanah, Rangga sudah hinggap di punggungnya.
Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa dengan kecepatan kilat, dan langsung
menuju ke Lembah Neraka.
Pendekar
Rajawali Sakti itu tahu kalau kedatangan Rajawali Putih yang tiba-tiba
merupakan satu peringatan baginya. Paling tidak, burung raksasa itu sudah
merasakan adanya bahaya mengancam pasangannya, Rajawali Hitam. Memang di antara
kedua burung raksasa itu sudah tertanam satu ikatan batin yang sukar untuk
dipisahkan kembali. Dan salah satu dapat merasakan bila pasangannya mendapatkan
ancaman bahaya.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih menukik deras begitu sampai di atas Lembab Neraka.
Hawa
panas langsung menerpa begitu mendekati lembah yang selalu berwarna merah bagai
terbakar itu. Rangga agak terkejut juga begitu melihat Eyang Girindra dan
Kalaban tengah berusaha mengalahkan Rajawali Hitam. Mereka berdua memang telah
mendengar kabar bahwa Putri Rajawali Hitam ada di sini.
Putri
Rajawali Hitam adalah satu tokoh yang ikut menghancurkan ambisi Kalaban dalam
menduduki Istana Galung. Oleh sebab itu, Eyang Girindra dan Kalaban berniat membunuhnya.
Sementara
itu Rajawali Hitam tampak kewalahan, karena tidak dapat terbang lagi akibat
terkena Pukulan Racun Merah ketika bertarung melawan Kalaban di Istana Galung
"Khraghk...!"
"Hup,
hiyaaat...!"
Rangga
segera melompat turun sebelum Rajawali Putih tiba di dasar lembah itu. Eyang
Girindra dan Kalaban tampak terkejut melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti
yang menunggang seekor burung raksasa berwarna putih keperakan Mereka serentak
berlompatan menjauhi Rajawali Hitam.
Rangga
berdiri tegak di belakang Rajawali Hitam. Tampak sekali kalau burung raksasa
itu semakin terluka parah akibat menghadang gempuran dua tokoh sakti. Bergegas
Rangga menghampiri dan mengambil sebutir pil penawar Racun Merah. Dimasukkan
pil itu ke dalam mulut Rajawali Hitam.
"Khrrrkh...,"
Rajawali Hitam mengkirik lirih, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu!
"Khraghk...!"
Rajawali Putih berkaokan keras.
"Rajawali
Putih, hadang mereka. Usahakan jangan sampai terkena pukulannya!" seru
Rangga.
"Khraghk!"
Rangga
bergegas melompat masuk ke dalam bangunan besar bagai istana raksasa itu.
Sementara Rajawali Putih sudah bergerak menyambar Eyang Girindra dan Kalaban.
Gerakannya begitu cepat bagai kilat, sehingga membuat dua tokoh sakti itu
kerepotan. Sementara Rajawali Hitam hanya bisa diam memandangi sambil
memulihkan tenaganya.
Sementara
itu Pendekar Rajawali Sakti kini sudah berada dalam ruangan besar bagai istana
megah di Lembah Neraka ini. Tampak Intan Kemuning masih tergolek lemah tanpa
daya di pembaringan. Rangga bergegas menghampiri dan mengeluarkan dua butir pil
berwarna merah kehijauan itu, dan langsung memasukkannya ke dalam mulut Intan
Kemuning.
"Kakang...,"
masih lemah suara Intan Kemuning.
"Semadilah
sebentar. Kau akan pulih kembali, Intan," kata Rangga.
"Kau
berhasil mendapatkan obat itu, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Berkat
doamu," sahut Rangga merendah seraya membantu gadis itu duduk.
"Apa
yang terjadi di luar?"
"Rajawali
Putih sedang menghadang Eyang Girindra dan Kalaban"
"Hitam...?"
"Dia
tidak apa-apa. Sebentar juga pulih keadaannya."
"Oh...,
syukurlah. Dia juga terluka yang sama denganku."
"Aku
tahu, Intan. Nah, sekarang bersemadilah. Gunakan hawa murni untuk mempercepat
penyembuhanmu."
"Terima
kasih, Kakang."
"Aku
akan melihat ke luar sebentar."
Intan
Kemuning mengangguk lemah Dibiarkan saja Rangga pergi, meskipun hatinya ingin
sekali berlama-lama bersama pemuda tampan yang selalu dirindukan dan diimpikannya.
Dia memang harus segera bersemadi untuk memulihkan keadaannya. Intan Kemuning
segera menyiapkan diri untuk bersemadi, menyalurkan hawa murni ke seluruh
jaringan jalan darahnya.
***
Sementara
itu di luar, Rajawali Putih masih mencoba menghadang Eyang Girindra dan
Kalaban, Rangga yang baru keluar, langsung melompat terjun dalam pertarungan.
Tapi pada saat yang sama, satu pukulan telah berhasil disarangkan Eyang
Girindra ke tubuh Rajawali Putih. Rajawali raksasa itu menggerung keras bagai
hendak meruntuhkan lembah ini. Tubuhnya terpental keras, dan menghantam batu
besar hingga hancur berantakan!
"Rajawali...!"
pekik Rangga terkejut.
Dengan
cepat Rangga melompat hendak menghampiri, namun Kalaban lebih cepat lagi
menghadang seraya mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
Rangga tidak mungkin menghindari pukulan itu, karena perhatiannya terpusat
penuh pada Rajawali Putih. Pendekar Rajawali Sakti memekik keras, dan tubuhnya
terpental jauh ke belakang.
Hantaman
dari jurus 'Pukulan Racun Merah' yang dilepaskan Kalaban demikian keras,
sehingga membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergulingan di tanah sejauh tiga
batang tombak. Pada saat yang sama, Eyang Girindra sudah melompat ke arah
Rajawali Putih dengan ujung tongkat yang runcing terhunus.
"Khraghk...!"
Pada
saat yang kritis itu, Rajawali Hitam melesat cepat bagaikan kilat, langsung
menerjang Eyang Girindra. Laki-laki tua berjubah merah itu terkejut setengah
mati. Buru-buru dibuang dirinya ke samping, sehingga terjangan Rajawali Hitam menemui
tempat kosong.
"Hiyaaat...!"
Rangga
yang segera bisa bangkit kembali, melompat cepat ke arah Rajawali Putih. Burung
raksasa itu mengkirik lirih di atas puing-puing batu merah yang terkena
hantaman tubuhnya. Dan belum lagi Rangga bisa mencapai Rajawali Putih, Kalaban
sudah melontarkan senjata rahasianya.
Wut!
"Hap...!'
Sret!
Rangga
yang tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, segera mencabut senjata
pusakanya. Sebuah pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan. Seketika itu
juga seluruh Lembah Neraka menjadi terang benderang oleh sinar biru yang
terpancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya,
hiya, hiyaaat...!"
Rangga
mengebutkan pedangnya dengan cepat, merontokkan puluhan senjata rahasia yang
ditebarkan Kalaban. Dan belum lagi Kalaban hilang rasa terpananya melihat
pedang di tangan Rangga, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah melompat deras
seraya mengebutkan pedangnya ke arah leher pemuda itu.
"Uts!"
Kalaban
cepat tersadar. Buru-buru dijatuhkan tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
beberapa kaki. Bergegas dia bangkit kembali, dan langsung bersiap-siap. Rangga
yang sudah dilanda kemarahan, kali ini tidak lagi memberikan kesempatan pada
lawannya. Kemarahannya begitu memuncak melihat Rajawali Putih terluka, hingga
tidak dapat lagi bergerak.
"Mampus
kau, setan! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras.
Kalaban
terkesiap melihat pedang bercahaya biru menyilaukan itu berkelebat cepat ke
depan mukanya. Tapi dengan gerakan cepat, ditarik mundur kepalanya. Namun
pemuda itu masih juga merasakan adanya satu dorongan kuat yang membuat tubuhnya
terpental ke belakang. Rupanya Rangga mengerahkan tenaga dalam penuh sewaktu
mengibaskan pedangnya. Akibat yang ditimbulkan adalah angin yang begitu kuat,
hingga tubuh Kalaban terpental jauh.
"Khraghk!"
Saat
itu terdengar satu seruan keras dari Rajawali Hitam. Dalam kondisi yang belum
begitu sempurna, kembali Rajawali Hitam terkena pukulan telak dari Eyang
Girindra. Rajawali Hitam terpental dan menghantam sebuah pohon besar hingga
hancur berantakan. Eyang Girindra tidak lagi mempedulikan burung raksasa itu. Dia
bergegas melompat ke arah bangunan istana. Tapi pada saat yang tepat, dari
dalam melesat sebuah bayangan hitam.
"Setan!"
Eyang Girindra mengumpat sambil melentingkan tubuhnya ke belakang.
"Tidak
semudah itu kau membunuhku, setan tua!"
Eyang
Girindra menggeram sambil mengumpat memaki-maki melihat Intan Kemuning atau
yang berjuluk Putri Rajawali Hitam sudah tegak berdiri, dan bersikap menantang.
Sebatang pedang hitam bergagang kepala burung, tergenggam melintang di depan
dada. Sementara Rangga masih bertarung sengit menghadapi Kalaban. Meskipun
berada di atas angin, tapi tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti melumpuhkan
perlawanan Kalaban.
Sementara
itu di bibir Lembah Neraka, Patih Giling Wesi menggendong Seruni menuruni
lembah itu. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tidak sukar bagi
laki-laki gemuk itu menuruni lembah yang cukup terjal. Sementara Seruni yang
berada dalam gendongannya, juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar Patih
Giling Wesi lebih leluasa bergerak.
Tidak
berapa lama, mereka sudah sampai di dasar lembah. Seruni segera melompat turun
dari gendongan Patih Giling Wesi. Gadis kecil itu bertari cepat menghampiri
pertarungan yang tengah berlangsung sengit. Kalau saja Patih Giling Wesi tidak
cepat menarik tangannya, mungkin Seruni sudah menerjunkan diri ke dalam
pertarungan.
"Lepaskan,
Paman!" Seruni berusaha memberontak.
"Jangan
bodoh, Seruni Kau akan membuat kesulitan bagi mereka!" ujar Patih Giling
Wesi.
"Tapi..."
Belum
lagi Seruni meneruskan bantahannya, terdengar suara Rangga yang keras.
"Seruni!
Lemparkan ujung selendangmu ke sini!"
"Baik,
Kakang...!"
Seruni
segera melemparkan ujung selendangnya ke arah Rangga. Sedangkan satu ujung
lainnya dipegangnya erat-erat. Selendang merah muda itu meluruk deras, dan
langsung ditangkap Rangga yang tengah menghadapi Kalaban. Rangga menyelipkan
tiga butir pil ke dalam lipatan selendang itu, lalu melemparkannya kembali pada
Seruni yang segera menariknya pulang.
"Berikan
pada Rajawali!" perintah Rangga.
"Apa...?"
Seruni kurang mendengar.
"Kemarikan
selendangmu, Seruni," pinta Patih Giling Wesi seraya merebut selendang itu
dari tangan Seruni.
Patih
Giling Wesi sempat melihat Rangga telah menyelipkan sesuatu pada lipatan ujung
selendang itu. Dan benar saja! Ada tiga butir pil pada lipatan selendang itu.
Bergegas Patih Giling Wesi mengambilnya dan memberikan selendang itu pada
Seruni. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Patih Giling Wesi berlari menghampiri
Rajawali Putih. Tapi sejenak dia bingung, karena di tangannya ada tiga butir
pil.
"Dua
untuk Putih, satu Hitam...!" seru Rangga bisa mengetahui kebimbangan Patih
Giling Wesi, meskipun dalam keadaan bertarung sengit.
Patih
Giling Wesi menghampiri Rajawali Putih. Jelas sekali kalau dia gemetar
ketakutan melihat burung raksasa itu. Tapi dengan hati bulat, diberanikan
dirinya dan disodorkan dua pil pada Rajawali Putih.
"Hihhh...,"
Patih Giling Wesi bergidik juga ketika kepala Rajawali Putih menjulur dan
mematuk kedua pil di tangannya.
Patih
Giling Wesi bergegas menghampiri Rajawali Hitam dan memberikan pil yang tinggal
sebutir lagi, kemudian bergegas berlari mendekati Seruni kembali. Sesekali dia
masih melirik pada sepasang burung raksasa itu. Rasa ngeri dan takut masih
melandanya. Betapa tidak! Seumur hidupnya baru kali ini melihat burung rajawali
sebesar itu!
Sementara
Rangga yang melihat Sepasang Rajawali sudah menelan pil penawar Racun Merah,
jadi lebih tenang. Dan kini dipusatkan perhatiannya pada pertarungannya melawan
Kalaban. Dengan pedang pusaka di tangan dan dalam keadaan perhatian tidak
terpecah, serangan-serangan Rangga semakin dahsyat dan sukar untuk ditandingi.
"Celaka!
Bisa mati aku...!" desah Kalaban dalam hati. Hatinya mulai dihinggapi
perasaan gentar.
Kalaban
melirik pada gurunya yang menghadapi Intan Kemuning. Dia berusaha mencari
kesempatan untuk melarikan diri. Dan kesempatan itu datang ketika Rangga
mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Dengan cepat Kalaban melesat ke udara, lalu
berusaha kabur. Tapi pada saat itu Seruni lebih cepat bertindak.
"Hap,
Hiyaaat...!"
Gadis
kecil itu melontarkan selendangnya, dan langsung melibat kaki Kalaban. Dengan
mengerahkan tenaga dalamnya, Seruni menarik selendangnya ke bawah. Kalaban
terperanjat. Jelas dia tidak punya kesempatan lagi menahan hentakan itu.
Tubuhnya meluncur deras ke bawah. Pada saat yang tepat. Patih Giling Wesi pun
melompat sambil mengibaskan pedangnya.
"Hiaaat...!"
"Aaa...!"
Kalaban menjerit melengking.
Tebasan
pedang Patih Giling Wesi merobek dada pemuda itu. Dan belum lagi tubuh Kalaban
mencapai tanah, satu tebasan lagi membuat lehernya hampir terpenggal putus.
Seketika itu juga nyawanya melayang. Tubuh Kalaban menghantam tanah, tanpa
nyawa melekat lagi di badan. Darah mengucur deras dari dada dan lehernya.
"Hup!"
Seruni
menarik kembali selendangnya, dan langsung dililitkan ke pinggang. Patih Giling
Wesi berdiri tegak memandangi mayat Kalaban. Sementara Rangga hanya bisa
menarik napas panjang. Patih Giling Wesi berbalik dan menghampiri Seruni.
"Kau
hebat, Anak Manis," puji Patih Giling Wesi.
"Paman
juga," balas Seruni polos.
Saat
itu Rangga tidak sempat lagi memperhatikan keakraban yang terjadi antara Patih
Giling Wesi dan Seruni Perhatiannya sudah beralih pada pertarungan antara Intan
Kemuning melawan Eyang Girindra.
"Khraghk...!"
Rajawali
Hitam yang sudah pulih keadaannya! langsung melesat cepat bagaikan kilat
menerjang Eyang Girindra. Terjangan Rajawali Hitam sungguh tidak diduga sama
sekali, sehingga laki-laki tua itu tidak sempat lagi berkelit. Sambaran sayap
burung raksasa itu membuat Eyang Girindra terpental beberapa tombak jauhnya.
"Mampus
kau, hiyaaat...!" pekik Intan Kemuning.
Bagaikan
seekor burung rajawali, Intan Kemuning melompat tinggi ke angkasa. Tiba-tiba
tubuhnya menukik deras dengan ujung pedang tertuju langsung ke arah dada Eyang
Girindra. Rangga yang melihat kejadian itu, sudah paham kalau Intan Kemuning
menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa Jurus yang sama persis
dengan yang dimilikinya.
"Hait!"
Eyang
Girindra berusaha menangkis serangan itu dengan mengibaskan tongkatnya. Tapi
sungguh di luar dugaan, pedang hitam Intan Kemuning berbelok arah, dan
berkelebat cepat ke arah leher. Perubahan itu membuat Eyang Girindra terkesiap.
Buru-buru ditarik mundur tubuhnya, tapi kibasan pedang itu sangat cepat luar
biasa! Sehingga...
Cras!
"Aaa...!"
Eyang Girindra menjerit keras.
Darah
segar langsung muncrat dari leher yang terbabat hampir buntung. Belum lagi
tubuh laki-laki tua berjubah merah itu ambruk, satu tendangan menggeledek
didaratkan Intan Kemuning ke dadanya. Tidak ampun lagi, tubuh Eyang Girindra
terjungkal roboh membentur dinding bangunan istana.
Hanya
sebentar Eyang Girindra mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi.
Darah mengucur deras dari lehernya yang hampir buntung. Sedangkan dadanya
melesak masuk ke dalam. Intan Kemuning menarik napas panjang Dimasukkan
pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Gadis itu berbalik dan matanya
langsung terbeliak begitu melihat ayahnya ada di situ bersama seorang gadis
kecil di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayah...,"
desis Intan Kemuning seraya membuka cadar hitamnya.
Saat
itu Patih Giling Wesi seperti tidak percaya pada penglihatannya. Mulutnya
ternganga lebar, dengan mata terbuka tidak berkedip. Sedangkan Intan Kemuning
jadi salah tingkah. Dia tidak tahu lagi apa yang dilakukannya.
"Intan,
Anakku...," desah Patih Giling Wesi seakan-akan baru tersadar dari mimpi.
"Ayah..."
Patih
Giling Wesi merentangkan tangannya seraya melangkah ke depan Intan Kemuning
tidak kuasa lagi membendung rasa haru dan kerinduannya. Dia berlari dan jatuh
dalam pelukan ayahnya, dan langsung menumpahkan tangisnya. Patih Giling Wesi
pun tidak kuasa lagi membendung air matanya.
Sementara
Seruni yang menyaksikan kejadian itu hanya bengong tidak mengerti. Sebentar
matanya menatap Patih Giling Wesi yang berpelukan dengan Intan Kemuning,
kemudian beralih pada Rangga di sampingnya. Rangga sendiri hanya bisa meneguk
air ludahnya karena haru melihat pertemuan itu.
"Maafkan
aku. Ayah," ucap Intan Kemuning setelah melepaskan pelukannya.
"Lupakan
saja. Anakku. Ayah senang kau masih tetap hidup," ujar Patih Giling Wesi
terharu.
"Intan
sudah membuat Ayah susah."
"Tidak,
Anakku. Semua yang terjadi bukan kesalahanmu. Aku juga turut bersalah. Yang
sudah terjadi, biarlah berlalu, sekarang..."
"Ayah..,"
Intan Kemuning memutuskan kata-kata ayahnya. "Intan tidak mungkin kembali
lagi ke Kerajaan Galung. Intan tidak sanggup bertemu dengan Gusti Prabu.
Biarkan Intan di sini bersama Rajawali Hitam."
"Rajawali
Hitam...?!" suara Patih Giling Wesi tercekat.
"Benar.
Rajawali Hitam-lah yang telah menyelamatkan aku dari maut. Dia juga yang
membuatku semakin sempurna. Rasanya tidak bisa lagi aku berpisah darinya,
Ayah," jelas Intan Kemuning.
"Benar,
Paman. Intan Kemuning sudah menjadi bagian dalam hidup Rajawali Hitam. Seperti
juga halnya denganku yang tidak bisa terpisah dengan Rajawali Putih. Kami
adalah pasangan dari Sepasang Rajawali," sambung Rangga seraya
menghampiri.
"Aku
tidak mengerti maksud kalian...?" Patih Giling Wesi kebingungan.
"Nanti
kujelaskan. Sekarang masuk dulu, Ayah,"' sahut Intan Kemuning. "Ini
istanaku, juga istana Ayah."
"Rangga...,"
Patih Giling Wesi menatap pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf,
bukannya aku menolak. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Masih banyak yang harus
kukerjakan," tolak Rangga halus. Dia bisa mengerti keinginan Patih Giling
Wesi dan Intan Kemuning.
Saat
itu mereka seperti lupa terhadap gadis kecil yang banyak membantu dalam masalah
ini. Dan Seruni yang merasa tersisih, melangkah perlahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Tapi Rangga cepat teringat, begitu pula Patih Giling Wesi. Mereka
segera mengejar dan menghentikan langkah gadis kecil itu. Intan Kemuning pun
ikut mendekati.
"Seruni,
kau mau ke mana?" tanya Rangga lembut.
"Pergi,"
sahut Seruni singkat dan pelan.
"Kau
jangan pergi, Anak Manis. Aku akan mengangkatmu sebagai anak," kata Patih
Giling Wesi.
Seruni
memandang laki-laki gemuk itu, kemudian memandang Rangga yang tersenyum dan
mengangguk. Tentu saja Rangga senang mendengar keinginan Patih Giling Wesi,
sebab gadis cilik itu bisa aman dan terlindung bila berada dalam istana. Bahkan
Seruni bisa lebih baik lagi mengembangkan ilmunya yang sudah dimiliki.
"Benar,
Dik. Kau akan menjadi pengganti diriku. Tinggallah bersama Ayah di
istana," sambung Intan Kemuning.
"Istana...?!"
Seruni mengerutkan keningnya.
"Iya!
Di sana masih ada saudaramu yang lain. Kau masih punya Paman dan Bibi. Bahkan
kau masih punya seorang adik sepupu yang sebaya dengan usiamu," kata Patih
Giling Wesi.
"Benarkah
itu, Paman?"
"Akan
kau buktikan sendiri nanti."
"Sungguh...?!"
Seruni kelihatan gembira. Dia menoleh ke arah Rangga tadi berdiri, tapi
Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap.
Seruni
celingukan mencari-cari. Bahkan Patih Giling Wesi dan Intan Kemuning
mendongakkan kepalanya ke atas. Tampak Rajawali Putih melayang-layang di
angkasa bersama Rangga di punggungnya.
"Ah!
Kakang..., mungkin ini sudah takdir kita untuk selalu berpisah," gumam
Intan Kemuning lirih.
"Kakang
Rangga...!" teriak Seruni keras begitu mendongak ke atas.
"Tinggallah
bersama Paman Patih, Seruni! Kelak aku akan mengunjungimu!" seru Rangga
keras.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih berkaokan keras.
"Khraghk...!"
Rajawali Hitam menyambutnya.
Rajawali
Putih melesat cepat membumbung tinggi ke angkasa. Sekejap saja bayangannya
lenyap ditelan awan. Patih Giling Wesi memeluk pundak Intan Kemuning dan
Seruni.
Memang
ada sesuatu yang hilang pada diri mereka. Tapi pertemuan Ini membuat mereka
bahagia, meskipun pada akhirnya harus berpisah kembali. Tapi Patih Giling Wesi
tidak akan merasa gelisah lagi, karena sudah mengetahui keadaan dan tempat
tinggal anaknya. Sewaktu-waktu dia bisa berkunjung ke tempat ini.
"Selamat
berpisah, Kakang Rangga...," desis Intan Kemuning pelan.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
JAGO DARI MONGOL
Emoticon