1
"Ha ha
ha...! Rupanya apa yang kau inginkan ter-
kabul sudah,
Pangeran Pemimpin! Lihatlah! Apa yang
telah
kulakukan terhadap Pendidik Ulung!"
Suara sember
namun cukup menggema terdengar
dari dalam
sebuah pendopo di sebuah bangunan besar
yang kini
berdiri kokoh di Bukit Prewangan. Di tengah
ruangan
pendopo yang tidak begitu luas itu berdiri
seorang lelaki
tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun.
Wajahnya yang
pucat terlihat mengerikan oleh mata
sebelah kiri
yang rusak. Hidungnya gerowong dengan
bibir robek
memanjang. Sedang sosoknya yang tinggi
kurus dibalut
pakaian ketat warna hitam.
Telunjuk tangan
kanan lelaki yang barusan bicara
ini menuding
lelaki berjubah hitam panjang sampai lu-
tut. Di
kepala lelaki berusia tujuh puluh enam tahun
itu
bertengger penutup kepala berwarna hitam. Sekilas
penampilannya
memang mirip orang terpelajar pada
masa itu.
Melihat
cirri-cirinya, kakek tinggi bermata kelabu
itu tidak
lain dari Pendidik Ulung. Namun entah kena-
pa,
penampilannya kini tampak demikian menge-
naskan.
Wajahnya yang putih bersih tampak seperti
kapas.
Sepasang matanya yang biasanya mencorong
tajam kini
bersinar aneh mirip orang linglung. Dan kini
lelaki tua
itu duduk meringkuk tak jauh dari lelaki
berwajah
menyeramkan. (Untuk mengetahui, kenapa
Pendidik
Ulung berada di tempat ini, silakan baca:
"Lukisan
Darah").
"Bagus-bagus!
Rupanya tidak percuma kau men-
dapat gelar
Raja Racun Dari Selatan, Sobat!" puji seo-
rang lelaki
gagah berusia empat puluh tahun. Wajah-
nya putih
bersih tanpa kumis dan jenggot. Tubuhnya
yang tinggi
besar terbungkus pakaian surjan lengkap
dengan
blangkon di kepala. Sekali lihat, sepertinya ia
berhati
lembut. Namun menilik sepasang matanya
yang
mencorong, jelas hatinya culas. Lelaki inilah yang
dikenal
sebagai Pangeran Pemimpin, yang menguasai
bangunan
besar Partai Kawula Sejati ini. Dan dengan
angkuhnya
lelaki itu duduk di sebuah bangku kebesa-
ran
berlapiskan emas murni.
Lelaki
berwajah menyeramkan yang dipanggil Raja
Racun
menegakkan dadanya bangga. Sejenak pandan-
gannya
beredar ke segenap penjuru, seolah-olah ingin
pamer pada semua
yang ada di ruangan pendopo.
"Lagakmu
memuakkan sekali, Raja Racun! Kau
pikir aku tak
bisa melakukannya?! Dengan mengguna-
kan racun
kepitingku, aku yakin tua bangka ini pun
dapat
kulumpuhkan!" sergah sebuah suara cempreng
dari salah
satu sudut ruangan pendopo ini.
Raja Racun
menggeram. Sepasang matanya berki-
lat-kilat,
langsung ke arah seorang wanita cantik beru-
sia dua puluh
delapan tahun. Dengan senyum-senyum
genit, lagak
si wanita terlihat sangat melecehkan.
Meski
demikian, wanita berpakaian ringkas serba kun-
ing itu tak
dapat menyembunyikan sikap genitnya.
"Denok
Supi! Mulutmu terlalu lancang! Apa kau
sudah bosan
hidup, he?!" dengus Raja Racun, penuh
kemarahan.
Beberapa
tokoh sesat lain yang berada di ruang
pendopo
melengak kaget. Seketika mereka mengalih-
kan perhatian
ke arah wanita cantik yang dikenal se-
bagai tokoh
sesat dari barat itu. Memang cukup cantik
sekali sosok
Denok Supi yang sebenarnya sudah beru-
sia lanjut.
Wajahnya berbentuk bulat telur. Sepasang
matanya
berbinar-binar indah. Rambutnya yang hitam
panjang
digelung ke atas, dihiasi untaian-untaian
permata yang
sangat indah. Meski tangan kanannya
buntung
sebatas lengan, namun kesaktiannya tak da-
pat diragukan
lagi.
"Lancang
maupun tidak, itu bukan urusanmu!
Yang jelas
aku pun sanggup melakukan pekerjaan se-
pele seperti
yang telah kau kerjakan!" dengus Denok
Supi jengkel.
"Setan
alas! Dari dulu kau memang selalu mele-
cehkan ku,
Denok Supi! Sekarang kalau kau memang
mengaku mempunyai
sedikit kepandaian, ayo kita te-
ruskan
percekcokan ini di luar!" tantang lelaki berwa-
jah seram itu
sengit.
"Tunggu!
Kalian tidak boleh bertindak di luar pen-
getahuanku!
Kalian adalah sekutu-sekutuku! Kalau
kalian masih
mengakuiku sebagai sekutu, mulai seka-
rang juga
harus mentaati perintahku!" cegah Pangeran
Pemimpin.
Suaranya keras penuh wibawa.
Raja Racun
dan Denok Supi sejenak hanya saling
berpandangan.
Sepasang mata mereka berkilat-kilat
penuh kemarahan.
Namun akhirnya kedua orang to-
koh sesat itu
pun mau menuruti perintah Pangeran
Pemimpin.
Denok Supi
kembali duduk seperti semula. Se-
dang Raja
Racun pun kembali menatap Pangeran Pe-
mimpin.
"Baik,
Pangeran. Aku telah melumpuhkan jalan
pikiran orang
tua ini. Lalu, apa lagi yang harus kula-
kukan?"
tanya Raja Racun seraya menuding ke arah
Pen-didik
Ulung.
Bak orang
yang kehilangan akal Pendidik Ulung
hanya
memperhatikan Raja Racun dan Pangeran Pe-
mimpin
sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk
menekuri
lantai di hadapannya.
Pangeran
Pemimpin sejenak memperhatikan sek-
sama Pendidik
Ulung. Keadaan lelaki tua itu memang
sangat
mengenaskan. Meski demikian penguasa Partai
Kawula Sejati
ini masih waswas.
"Apa kau
yakin kalau racun yang mengeram da-
lam tubuh tua
bangka ini sudah mempengaruhi jalan
pikirannya,
Raja Racun?" tanya Pangeran Pemimpin.
"Kenapa
hal itu meski ditanyakan lagi, Pangeran?
Apa kau tidak
mempercayai kehebatan racun bisa ular
kobra putihku
yang telah kucampur beberapa ra-
muan?"
sahut Raja Racun tak senang.
"Bukan
begitu, Raja Racun. Bukankah wajar kan
kalau aku
ragu-ragu. Sebab bukankah kita tahu, sebe-
rapa hebatnya
kesaktian orang tua ini?" tukas Pange-
ran Pemimpin
kalem.
"Ya ya
ya...! Tapi aku yakin, Pangeran. Sehebat
apa pun tua
bangka ini, tak mungkin dapat memu-
nahkan
racunku. Jangankan untuk memunahkannya.
Untuk
mengetahui siapa dirinya saja belum tentu ia
mampu. Kalau
kurang percaya, silakan menanyakan-
nya sendiri,
Pangeran!" ujar Raja Racun.
Pangeran
Pemimpin mengangguk-angguk. Tangan
kanannya
sejenak mengelus-elus dagu. Sementara se-
pasang
matanya terus memperhatikan Pendidik Ulung
seksama.
"Orang
tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di
tempat ini?" tanya Pangeran Pemimpin pada
Pendidik
Ulung. Ia ingin mengetahui seberapa jauh ja-
lan pikiran
lelaki tua itu dapat dilumpuhkan.
Pendidik
Ulung mendongak kaget. Sepasang ma-
tanya yang
mencorong aneh terus memperhatikan
Pangeran
Pemimpin mirip orang linglung. Sambil ber-
tingkah
demikian, sesekali kepalanya bergerak-gerak
seolah-olah
sedang menafsirkan sesuatu.
"Orang
tua! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
berada di
tempat ini?" ulang Pangeran Pemimpin.
"Aku....
Aku tid... tidak tahu. Kenapa aku sampai
di tempat
ini? Kau sendiri mau apa di tempat ini?" sa-
hut Pendidik
Ulung, yang tampaknya telah benar-
benar
linglung.
Pangeran
Pemimpin mengangguk-angguk. Tampak
sekali kalau
Penguasa Partai Kawula Sejati ini puas
dengan hasil
kerja Raja Racun.
"Ya,
sudah! Teruskan saja mainanmu, Orang Tua!
Tapi kalau
misalnya aku menyuruhmu untuk melaku-
kan sesuatu,
kau harus mematuhi perintahku!"
Pendidik
Ulung hanya mengangguk-angguk. Kela-
kuannya kali
ini benar-benar seperti anak kecil. Sam-
bil
mengangguk-angguk tadi, matanya terus menekuri
lantai di
hadapannya dengan tatapan kosong!
Entah kenapa
tiba-tiba Pangeran Pemimpin terta-
wa bergelak.
Kepalanya mendongak ke atas sambil
menyandarkan
punggungnya ke bangku kebesaran.
"Bagus-bagus!
Aku senang sekali dengan hasil
kerjamu ini,
Raja Racun. Sekarang aku ingin beberapa
orang segera
mengawal tua bangka ini untuk menyeli-
diki siapa
Penguasa Alam seperti yang tercantum da-
lam Lukisan
Darah!"
"Baik,"
sahut beberapa orang tokoh sesat yang
menjadi
sekutu Pangeran Pemimpin serempak.
"Nah!
Kalau begitu, cepatlah kalian berangkat!
Termasuk juga
kau, Raja Racun! Kau harus mengawal
tua bangka
ini!" ujar Pangeran Pemimpin.
"Tanpa
diperintah pun, aku akan mengawal tua
bangka ini!
Sekarang juga aku akan mengajaknya un-
tuk segera
menyelidiki siapa Penguasa Alam!" sahut
Raja Racun.
Lalu tatapan
Raja Racun beralih pada Pendidik
Ulung yang
tampak seperti orang linglung.
"Hayo
ikut aku! Kau mendapat tugas penting dari
Ketua Partai
Kawula Sejati!" ujar Raja Racun seraya
menarik
lengan Pendidik Ulung.
"Ba...baik."
Pendidik
Ulung segera melompat bangun. Gerakan
kedua kakinya
masih ringan seperti semula, seolah-
olah tidak
terpengaruh sedikit pun dengan kesaktian
orang tua
itu.
Pangeran
Pemimpin sejenak mengangguk-
anggukkan
kepalanya sambil terus mengikuti arah ke-
pergian
Pendidik Ulung yang diikuti oleh beberapa
orang tokoh
sesat lainnya. Namun belum sempat
bayangan
tinggi kurus Pendidik Ulung menghilang
di
balik pintu
ruang pendopo....
"Tunggu!
Kalian semua tidak boleh mengajak pergi
tua bangka
itu begitu saja!"
Terdengar
bentakan nyaring yang disusul berkele-
batnya
sesosok bayangan ke tengah ruangan.
***
2
Pangeran
Pemimpin melengak kaget dengan kepa-
la berpaling
ke arah datangnya suara. Dan matanya
langsung
bertumbukan dengan mata seorang pemuda
tampan
berusia dua puluh tahun yang tahu-tahu telah
berdiri tegak
di tengah ruangan. Wajahnya berbentuk
lonjong
dengan kulit putih bersih. Sepasang matanya
tajam bak
mata rajawali. Hidungnya mancung. Ram-
butnya yang
gondrong sebagian digelung ke belakang.
Sedang
tubuhnya yang tinggi kekar dibalut jubah ber-
warna hitam
yang panjang sampai lutut.
"Ah...! Rupanya
kau, Sobatku Pelajar Agung! Ada
apa?
Tampaknya kau kurang menyukai kalau tua
bangka itu
menyelidiki Penguasa Alam? Kemarilah!
Ada sesuatu
yang ingin kubicarakan denganmu!" sam-
but Pangeran
Pemimpin begitu melihat siapa yang da-
tang.
Pemuda tampan
yang baru datang sebenarnya
memang murid
Pendidik Ulung yang bergelar Pelajar
Agung. Dengan
dengusan, ekor mata Pelajar Agung se-
jenak
memperhatikan gurunya yang tertahan di dekat
pintu keluar.
Sekali lihat saja ia tahu kalau dalam diri
orang tua itu
telah mengeram racun keji. Entah racun
apa, ia
sendiri belum tahu pasti.
"Hm...!
Rupanya orang tua tolol ini telah diracuni
seseorang.
Mungkin oleh Raja Racun, mungkin juga
oleh Pangeran
Pemimpin sendiri. Aku tidak tahu pasti.
Yang jelas
Pangeran Pemimpin pasti tengah merenca-
nakan
sesuatu!" desis si murid murtad Pendidik Ulung
sambil
menatap gurunya.
Kemudian
tatapan pemuda ini beralih pada Pan-
geran
Pemimpin.
"Sebenarnya
hendak kau bawa ke mana orang tua
itu,
Pangeran? Kenapa kulihat beberapa orangmu tu-
rut pula
menyertainya?" tanya Pelajar Agung dengan
ke-ning
berkerut.
"Tenanglah,
Sobat! Aku memang tengah merenca-
nakan
sesuatu," jelas Pangeran Pemimpin seraya be-
ranjak dari
tempat duduk. Lalu kakinya melangkah
mendekati
Pelajar Agung, sekutu utamanya.
Si pemuda
hanya melirik sebentar tangan Pange-
ran Pemimpin
yang merangkul pundaknya dan menga-
jaknya duduk.
"Kau
tidak ingin menceritakan apa yang tengah
kau
rencanakan, Pangeran?" tanya Pelajar Agung ka-
ku.
"Ah...!
Sabarlah, Sobat! Aku memang ingin mence-
ritakannya,"
ujar Pangeran Pemimpin menukas.
"Kalau
begitu, ceritakanlah!" tuntut si pemuda,
tak
sabar.
Lelaki
setengah baya Penguasa Partai Kawula Se-
jati
tersenyum. Dimakluminya tabiat pembantu uta-
manya.
"Aku
memang tengah memanfaatkan orang tua itu
untuk
menyelidiki siapa Penguasa Alam. Kenapa nama
Penguasa Alam
tercantum dalam Lukisan Darah?" je-
las Pangeran
Pemimpin kalem.
"Lalu,
kau menyuruh beberapa tokoh sakti itu un-
tuk mengikuti
orang tua itu?" tukas Pelajar Agung, ta-
jam.
"Sudah
pasti. Bagaimanapun juga aku tak ingin
tua bangka
itu mampus tanpa mendapatkan hasil bagi
kita dari
Lukisan Darah!"
"Berarti
kau telah melupakanku, Pangeran! Apa
kau tidak
mempercayaiku lagi?"
"Bukan
begitu maksudku, Sobat. Aku tetap mem-
percayaimu.
Bahkan, kaulah pembantu utamaku.
Kaulah yang
berhak menggantikan kedudukanku bila
aku keluar.
Kenapa kau tanyakan itu lagi?"
"Hm...!"
Pelajar Agung menggumam tak jelas. "Ta-
pi, bukankah
kau tahu kalau akulah yang ingin me-
nyelidiki
siapa manusia yang bergelar Penguasa Alam?
Lalu, kenapa
kau menyuruh orang-orang itu untuk
menyelidik?"
"Ah...!
Rupanya kau terlalu perasa, Sobat!" desah
Pangeran
Pemimpin seraya menggeleng-geleng. Lalu di-
tekuknya
pundak Pelajar Agung beberapa kali. "Apa-
kah kau lupa
bahwa kau tadi pingsan setelah berta-
rung dengan
tua bangka itu? Untuk itu, aku ingin kau
beristirahat
barang sebentar. Nanti bila tua bangka itu
belum juga
dapat menyelidiki siapa Penguasa Alam,
sudah pasti
kau yang harus menyelidiki, sekaligus
mengambil
harta karun yang seperti tercantum dalam
peta Lukisan
Darah."
Pelajar Agung
mengangguk-angguk. Memang pe-
muda ini baru
saja siuman dari pingsan setelah berta-
rung dengan
gurunya sendiri. Dan si murid murtad ini
tidak tahu,
siapa yang telah membantu meringankan
luka dalamnya
selama pingsan. Yang jelas luka dalam-
nya kini
perlahan mulai sembuh. (Untuk mengetahui
pertarungan
Pelajar Agung dengan Pendidik Ulung si-
lakan baca:
"Lukisan Darah").
"Sebenarnya
aku ingin sekali menyelidiki siapa
manusia
pongah yang bergelar Penguasa Alam. Tapi,
baiklah.
Kukira aku harus menjaga luka dalamku ter-
lebih
da-hulu. Nanti kalau luka dalamku sudah benar-
benar sembuh,
pasti aku akan segera menyelidiki Pen-
guasa
Alam!"
"Terima
kasih atas pengertianmu, Sobat!" ucap
Pangeran
Pemimpin seraya kembali menepuk-nepuk
pundak
Pelajar Agung.
Lalu
perhatian lelaki setengah baya itu beralih pa-
da Raja Racun
beserta beberapa orang tokoh dunia
persilatan
yang masih tertahan di ambang pintu ber-
sama Pendidik
Ulung.
"Raja
Racun! Lekaslah ajak tua bangka itu beserta
teman-teman
sekalian untuk menyelidik Penguasa
Alam!"
ujarnya.
"Baik,"
sahut Raja Racun beserta beberapa tokoh
sesat
serempak.
Pangeran
Pemimpin mengangguk-angguk. Semen-
tara, Raja
Racun telah mengajak Pendidik Ulung me-
ninggalkan
ruang pendopo markas Partai Kawula Seja-
ti, diikuti
beberapa tokoh sesat lainnya.
"Kalau
begitu, bukankah sudah tidak ada lagi
yang patut
dibicarakan, Pangeran?" kata Pelajar Agung
tak sabar.
"Tunggulah,
Sobat! Jangan buru-buru! Aku ingin
membicarakan
sesuatu padamu," ujar Pangeran Pe-
mimpin cepat,
seraya menahan lengan Pelajar Agung
yang
bermaksud beranjak dari tempat duduk.
"Ada apa
lagi, Pangeran? Tampaknya kau sudah
merencanakan
sesuatu lagi?" tukas Pelajar Agung,
kembali duduk
seperti semula.
"Aku
sebenarnya tidak sedang merencanakan se-
suatu. Aku
hanya ingin bercakap-cakap denganmu.
Apa kau
sendiri punya rencana?" tanya Pangeran Pe-
mimpin
setelah diam beberapa saat.
"Hm...!
Aku sendiri belum mempunyai rencana.
Aku hanya
ingin selekasnya membunuh musuh besar-
ku. Rasanya
aku sudah tidak sabar lagi untuk segera
memecahkan
batok kepalanya!" sahut Pelajar Agung
dengan
kegeraman yang amat sangat.
"Maksudmu,
pemuda sinting bergelar Siluman
Ular
Putih?" duga Pangeran Pemimpin.
"Yah...!
Siapa lagi kalau bukan dia!"
"Aku
mengerti kegusaranmu, Sobat. Aku sendiri
juga merasa
penasaran dengan pemuda sinting itu.
Kalau saja
Nimas Putri Sekartaji tidak diselamatkan
olehnya,
barangkali kita sudah dapat menyusun ren-
cana untuk
menyingkirkan Adipati Pleret yang seka-
rang. Dan kau
pun segera dapat mematahkan batang
leher Siluman
Ular Putih."
Pelajar Agung
tidak menyahut, kecuali hanya
mengangguk-angguk
dengan gerahamnya bergemele-
tuk.
"Kukira,
kita sekarang tak perlu lagi membicara-
kan sesuatu.
Pokoknya, kita tinggal menunggu Raja
Racun dan
kawan-kawannya! Apakah mereka dapat
menyelidiki
Penguasa Alam atau tidak?" kata Pelajar
Agung seraya
beranjak dari tempat duduk.
Pangeran
Pemimpin hanya mengangkat bahu. Ia
sendiri pun
sependapat dengan Pelajar Agung. Dan ke-
tika si
pemuda melangkah menuju kamar, Pangeran
Pemimpin
membiarkannya.
"Hm...!
Kukira aku pun perlu beristirahat barang
sejenak.
Urusan perjuangan ini benar-benar menyita
tenaga dan
pikiranku...," gumam Pangeran Pemimpin
dalam hati.
***
3
"Ayo
dong panggil aku Kangmas, Putri Sekartaji.
Katanya kau
akan memperkenalkan pada Adipati Ple-
ret sebagai
calon adik ipar?"
Sambil
berjalan mengekor di belakang wanita yang
dipanggil
Putri Sekartaji, tak henti-hentinya pemuda
yang berada
di belakangnya terus menggoda. Paras
pemuda itu
memang tidak mengecewakan. Gadis can-
tik mana pun
akan selalu betah bila berduaan den-
gannya. Di
samping tampan, wajah pemuda itu pun
tampak polos
kekanak-kanakan. Sepasang matanya
tajam bak
sepasang mata rajawali. Hidungnya man-
cung dengan
rahang menonjol. Rambutnya yang hitam
panjang
dibiarkan tergerai di bahu. Sedang tubuhnya
yang tinggi
kekar dibalut pakaian rompi dan celana
bersisik
warna putih keperakan. Di kanan kiri perge-
langan
tangannya melingkar dua gelang akar
bahar.
Sementara di
dadanya terdapat rajahan kecil bergam-
bar ular
putih yang terlihat di balik rompi tanpa kanc-
ing. Anak Panah Bercakra Kembar pun tampak me-
nyembul dari
balik pinggang. Siapa lagi pemuda ini ka-
lau bukan
Siluman Ular Putih, seorang pendekar yang
sekarang ini
tengah menggegerkan dunia persilatan?
Dan entah
karena sebal mendengar godaan pemu-
da di
belakang, mendadak gadis cantik yang tak lain
murid
Pendekar Bintang Emas itu berbalik kasar.
"Soma!
Jangan cerewet! Aku tak suka gurauanmu,
tahu?!"
bentaknya.
Pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu
hanya
tersenyum-senyum menggoda. Malah sepasang
matanya yang
nakal terus memperhatikan kecantikan
gadis di
hadapannya penuh kagum. Paras adik tiri
Pangeran
Pemimpin itu memang benar-benar menga-
gumkan.
Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit
putih bersih.
Sepasang matanya jernih. Hidungnya
mancung
dengan kedua bibir berbentuk tipis kemerah-
merahan.
Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian
ketat warna kuning. Sungguh membuat
setiap
laki-laki akan selalu betah memandangnya. Apa-
lagi dengan
rambutnya digelung ke atas yang mene-
barkan harum
bunga melati!
Soma
benar-benar menikmati pemandangan indah
di
hadapannya. Malah saking asyiknya menikmati ke-
cantikan
Putri Sekartaji, murid Eyang Begawan Kama-
setyo ini
bersiul-siul kecil!
"Edan!
Rasa-rasanya baru kali ini aku bertemu
seorang gadis
secantik ini. Hm...! Alangkah berun-
tungnya aku
dapat berkawan dengannya...," gumam
Soma.
"Kau
beruntung! Aku yang rugi, tahu?! Hayo le-
kas! Kita
meneruskan perjalanan! Sebentar lagi kita
akan sampai
di pintu gerbang Kadipaten Pleret!" hardik
Putri
Sekartaji.
"Hm...!
Ini berarti sebentar lagi aku pun akan ber-
kenalan
dengan calon kakak iparku. Menyenangkan
sekali!"
"Menyenangkan....
Menyenangkan, gundulmu!"
semprot Putri
Sekartaji kasar.
"Tapi
kau senang kan melakukan perjalanan ber-
dua
denganku?"
"Soma!"
Putri Sekartaji membanting kaki kanan-
nya kesal
namun penuh manja. Sepasang matanya
berkilat-kilat
penuh kemarahan.
"Kangmas
Soma dong! Kan kau sudah berjanji
akan
memanggilku Kangmas?" tukas Soma tak mem-
pedulikan
kegusaran Putri Sekartaji.
"Sekali
lagi kau menggoda, persahabatan kita pu-
tus!"
"Ampun!
Ampun! Jangan begitu dong, ah! Kau
memang
semakin cantik kalau sedang marah begini.
Tapi aku juga
tidak mau persahabatan kita putus,"
oceh Soma,
memasang wajah memelas.
"Makanya
jangan cerewet! Hayo, lekas kita mene-
ruskan
perjalanan!"
"Baik."
***
Putri
Sekartaji segera berkelebat cepat. Meski ha-
tinya saat
itu gusar bukan main, namun diam-diam
sebenarnya
makin terpesona dengan ketampanan
maupun sikap
Siluman Ular Putih.
Sementara,
Soma sendiri segera mengekor di bela-
kang Putri
Sekartaji. Sambil berlari di belakang, ru-
panya Soma
belum kapok juga. Tak henti-hentinya Pu-
tri Sekartaji
terus digoda. Namun kali ini si gadis tidak
mempedulikannya.
Tubuhnya terus saja berkelebat ke
timur, menuju
pintu gerbang Kadipaten Pleret. Dan bi-
sa ditebak
kalau ilmu meringankan tubuh si gadis te-
lah begitu
tinggi, maka kepandaiannya pun tak bisa di-
remehkan.
Terpaksa Siluman Ular Putih harus mem-
percepat
larinya kalau tidak ingin tertinggal.
Kini mereka,
telah tiba di depan pintu gerbang
Kadipaten
Pleret sebelah barat. Tampak puluhan pra-
jurit jaga
kadipaten tengah siaga di tempat masing-
masing dengan
senjata di tangan. Begitu melihat dua
sosok anak
muda berhenti pada jarak tiga tombak di
depan pintu
gerbang, prajurit-prajurit jaga itu segera
menghadang.
Namun ketika mengenali siapa gadis
cantik itu,
buru-buru sikap garang mereka jadi sirna.
"Oh....
Tuan Putri! Silakan masuk!" kata pemimpin
prajurit jaga
itu penuh hormat.
Tanpa banyak
cakap, Putri Sekartaji segera berke-
lebat cepat
masuk ke dalam halaman kadipaten. Meli-
hat Putri
Sekartaji telah mendahului, dengan dada di-
busungkan
tinggi-tinggi Siluman Ular Putih pun hen-
dak
mengikuti. Putri Sekartaji yang terus berkelebat
cepat tanpa
menghiraukan dirinya. Dan baru saja si
pemuda hendak
melangkah mendadak berpuluh-puluh
prajurit jaga
langsung menghadang.
"Tunggu!
Pemuda sinting macammu tak boleh ma-
suk ke dalam
lingkungan kadipaten seenak perut! Kau
harus kami
geledah dulu sebelum masuk!" bentak ke-
pala prajurit
jaga itu garang.
Dia adalah
seorang lelaki bertubuh tinggi kekar.
Wajahnya
gagah dengan rahang menonjol menandakan
ketegasan
sikapnya. Rambutnya yang hitam panjang
di-gelung ke
atas. Sedang tubuhnya yang tinggi kekar
dibalut
pakaian prajurit berwarna hijau.
Mendengar
bentakan tadi, Siluman Ular Putih jadi
melengak
kaget. Saking kagetnya, sampai tubuhnya
mundur
selangkah ke belakang.
"Eh...!
Beraninya kau bertindak lancang di hada-
pan teman
tuan putrimu yang tampan ini he?! Apa ma-
ta kalian
buta? Aku ini teman istimewa tuan putrimu,
tahu?!"
balas Soma, membentak.
Beberapa
orang prajurit jaga tersenyum-senyum.
Mungkin
merasa geli melihat sikap Siluman Ular Putih
sewaktu
bicara tadi. Malah ada seorang prajurit jaga
yang
meletakkan miring telunjuk jarinya di kening, se-
bagai isyarat
kalau pemuda tampan itu gila. Tentu saja
hal ini makin
membuat Siluman Ular Putih sewot. Na-
mun belum
sempat murid Eyang Begawan Kamasetyo
membuka suara
"Pemuda
sinting tak tahu malu! Mana pantas kau
jadi sahabat
istimewa Tuan Putri. Aku saja tidak di-
anggap.
Apalagi pemuda sinting macam kau! Huh! Da-
sar pemuda
sinting!" bentak lelaki gagah, kepala praju-
rit itu.
"Eh....
Eh...! Seenaknya saja kau memakiku pe-
muda sinting!
Aku ini temannya Tuan Putri. Masa’ ka-
lian tak
percaya?" tukas Soma.
"Jangan
mengigau dapat berkawan dengan Tuan
Putri, Kunyuk
Gondrong! Lekaslah enyah dari hada-
panku sebelum
kesabaran kami habis!" hardik kepala
prajurit jaga
itu lagi, garang.
"Ah...!
Jadi kalian tidak mempercayaiku? Baik!
Kalau begitu
aku akan membuktikannya!"
Tawa beberapa
orang prajurit jaga makin bergelak.
Namun Siluman
Ular Putih tidak mempedulikan-
nya. Sambil
melongok-longokkan kepalanya, ia terus
mencari sosok
Putri Sekartaji. Namun sayang, sosok
gadis tadi
telah berkelebat cepat di kejauhan sana.
Soma tidak
peduli.
"Ooooi...
Putri! Prajurit-prajurit tengil ini mengha-
dangku!
Lekaslah kau kemari! Biar mereka tahu, siapa
aku! Masa'
mereka tidak percaya kalau aku ini teman-
mu! Lekas
kemari, Putri!" teriak Soma dengan kedua
telapak
tangan di depan mulut.
Sebentar
Putri Sekartaji di kejauhan sana berhen-
ti. Lalu
tubuhnya berbalik.
"Ki
Suroso! Biarkan pemuda itu lewat!" teriaknya.
"Ba....
Baik, Tuan Putri," sahut kepala prajurit ja-
ga yang
dipanggil Ki Suroso lantang.
Siluman Ular
Putin tersenyum-senyum penuh
kemenangan.
"Benar,
kan? Sudah kubilang, aku ini teman isti-
mewa tuan
putrimu! Untung saja tuan putrimu tidak
menyuruhku
mengemplang kepala kalian," oceh murid
Eyang Begawan
Kamasetyo kesal.
Lalu dengan
dada membusung bangga, si pemuda
segera
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Se-
gera
disusulnya langkah Putri Sekartaji.
***
4
Malam baru
saja merambat. Lampu-lampu blen-
cong di
seputar Kadipaten Pleret telah menyala sejak
tadi. Membuat
suasana di seputar bangunan kadipa-
ten jadi
terang benderang.
Suasana ini
rupanya tak jauh berbeda dengan di
dalam istana
kadipaten. Meski tak dipungkiri, saat ini
keamanan
cukup tegang oleh ulah Pangeran Pemimpin
yang
bermaksud menggulingkan takhta kadipaten.
Namun setelah
mendengar keterangan beberapa telik
sandi, wajah
arif Adipati Pleret tidak terlalu mence-
maskan
memikirkan keamanan.
Dari kursi
kebesarannya, Adipati Pleret yang baru
saja menerima
laporan hanya menghela napas beru-
lang-ulang.
Lalu kepalanya menggeleng-geleng, seolah-
olah tidak
mengerti maksud Pangeran Pemimpin yang
masih
terhitung kakak tirinya.
"Aku
benar-benar tidak mengerti. Apa yang harus
kulakukan
dengan sikap Kangmas Sembodo yang ber-
maksud
menggulingkan takhta Kadipaten Pleret. Kalau
saja ia
meminta secara baik-baik dan dengan alasan
masuk akal,
sudah pasti aku akan menyerahkan ke-
kuasaan
dengan suka rela. Tapi sikapnya kali ini be-
nar-benar
membuatku harus segera bertindak. Kira-
kira tindakan
apa yang harus kulakukan, Paman Pa-
tih?"
tanya Adipati Pleret dengan paras sedih.
Seorang
lelaki tua berpakaian surjan lengkap den-
gan blangkon
di kepala duduk bersimpuh di hadapan
Adipati
Pleret. Sejenak kedua telapak tangannya
di-
tangkupkan ke
depan hidung penuh hormat.
"Hamba
mohon maaf, Adipati. Kiranya tidak ada
pilihan lain.
Kita harus secepatnya menumpas Pange-
ran Pemimpin
berikut para pengikut Partai Kawula Se-
jati,"
katanya.
"Sebenarnya
aku sudah memikirkannya, Paman
Reksopati.
Tapi apakah tidak sebaiknya meminta ban-
tuan pada
tokoh golongan putih guna menghadapi se-
kutu Kangmas
Sembodo yang kebanyakan tokoh sesat
dunia
persilatan? Sebab kalau memaksakan diri untuk
segera
menyerang, terus terang aku khawatir dengan
prajurit-prajurit
kita yang bakal kewalahan. Apalagi,
saat ini
Nimas Putri Sekartaji menjadi tawanannya.
Meski
Pringgondani telah meminta bantuan seorang
pendekar
sakti untuk menyelamatkan Nimas Putri Se-
kartaji,
namun tetap saja aku merasa khawatir," desah
Adipati
Pleret.
"Hamba
mengerti kesulitan, Kanjeng Adipati. Apa-
lagi Lukisan
Darah pun telah dicuri seseorang yang
menurut
dugaan pasti salah seorang sekutu Pangeran
Pemimpin.
Kalau tidak, siapa yang dapat melumpuh-
kan para
prajurit yang menjaga pintu dengan demikian
mudahnya?
Pasti dialah sekutu Pangiran Pemimpin!"
ungkap Patih
bernama Reksopati.
"Lebih
dari itu, Kangmas Sembodo pasti mempu-
nyai
maksud-maksud lain. Cuma sayang, aku belum
tahu apa
maksudnya di samping ingin merebut takhta
Kadipaten
Pleret."
"Kukira
apa yang Kangmas Adipati khawatirkan
tidaklah akan
terjadi, Kangmas. Sebab aku telah dis-
elamatkan
seseorang!"
Tiba-tiba
terdengar sahutan nyaring yang datang-
nya dari
pintu masuk pendopo. Semua mata langsung
tertuju ke
sana.
***
Adipati
Pleret melengak kaget ketika sepasang ma-
tanya yang
tajam mengarah ke pintu masuk pintu
pendopo.
Tampak Putri Sekartaji tengah menyeret len-
gan seorang
pemuda berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna
putih keperakan.
Beberapa
orang punggawa kadipaten sempat men-
gerutkan
kening melihat sikap pemuda gondrong yang
tak lain
murid Eyang Begawan Kamasetyo yang berge-
lar Siluman
Ular Putih.
Seperti tanpa
mempedulikan keadaan sekeliling,
Siluman Ular
Putih terus mengikuti tarikan tangan Pu-
tri
Sekartaji. Sementara tangannya terus menggaruk-
garuk kepala.
Senyum nakalnya pun tampak tersungg-
ing di
bibir.
"Nimas
Putri Sekartaji...!" desis Adipati
Pleret pe-
nuh
keterkejutan. Lelaki ini segera bangkit dari tempat
duduknya.
Langsung menghampiri dan dipeluknya ga-
dis itu.
"Aku benar-benar bahagia kau bisa selamat
sampai di
tempat ini. Apakah kau baik-baik saja?"
"Ya, aku
baik-baik saja. Berkat pemuda ini," sahut
Putri
Sekartaji.
Melihat sikap
Soma di belakang Putri Sekartaji,
mata Adipati
Pleret jadi menyipit setelah melepas pelu-
kannya. Namun
selaku adipati, ia cukup bijaksana un-
tuk tidak
mengusik teman adik tirinya.
"Apakah
pemuda itu yang telah menyelamatkan-
mu?"
duga Adipati Pleret.
Putri
Sekartaji tidak langsung menjawab, melain-
kan segera
menarik lengan Soma untuk bersimpuh di
hadapan
Adipati Pleret. Soma celingak-celinguk seben-
tar, lalu
menirukan gaya Putri Sekartaji yang tengah
menghaturkan
sembah sungkem. Sikap pemuda ini
kaku sekali.
"Benar,
Kangmas Adipati. Pemuda inilah yang te-
lah
menyelamatkanku dari cengkeraman tangan
Kangmas
Sembodo," sahut si gadis.
"Kalau
begitu, sungguh besar sekali jasamu, Anak
Muda, Aku
selaku Adipati Pleret tak segan-segannya
untuk
mengucapkan rasa terima kasih atas pertolon-
ganmu
terhadap Nimas Putri Sekartaji," ucap Adipati
Pleret seraya
menepuk pundak kedua anak muda itu
untuk bangun.
"Duduklah di sampingku, Anak Muda!
Tak usah
malu-malu! Aku yakin kau pasti pendekar
sakti yang
dimaksudkan Pringgondani."
Siluman Ular
Putih jadi jengah bukan main diper-
lakukan
seperti itu. Tanpa sadar kepalanya menoleh
ke arah Putri
Sekartaji yang malah mengerdipkan ma-
ta. Dan
diisyaratkannya agar Siluman Ular Putih itu
untuk
menuruti ajakan kakak tirinya.
Adipati
Pleret telah melangkah dan duduk di
bangku
kebesarannya diikuti Putri Sekartaji. Sementa-
ra Siluman
Ular Putih malah menggaruk-garuk kepa-
lanya
bingung. Namun akhirnya toh menurut juga du-
duk di
samping Adipati Pleret tak jauh dari tempat du-
duk Putri
Sekartaji.
"Sebagai
seorang yang menyukai ilmu silat, tentu
aku juga
ingin tahu gelarmu di dunia persilatan, Anak
Muda?"
tanya Adipati Pleret langsung dengan senyum
terkembang.
"Dia
seorang pendekar hebat, Kangmas. Meski ke-
pandaian
Kangmas cukup hebat, namun jangan dikira
mampu
bertahan barang satu atau dua jurus mela-
wannya!"
Putri Sekartaji yang menyahut seraya meng-
gedikkan
kepalanya ke arah pemuda tampan di sam-
pingnya penuh
kagum.
"Oh,
ya?" ujar Adipati Pleret makin kagum. Seben-
tar matanya
memandang pada Siluman Ular Putih. Se-
bentar
kemudian beralih ke arah Putri Sekartaji diser-
tai rasa
penasaran.
"Benar,
Kangmas. Kalau saja Kangmas Adipati ta-
hu gelarnya
di dunia persilatan, tentu akan terkejut
dibuatnya,"
tambah Putri Sekartaji bersemangat. En-
tah kenapa
tiba-tiba saja gadis ini jadi semangat sekali
menceritakan
kehebatan Siluman Ular Putih pada ka-
kaknya.
"Ah...!
Kalau begitu, cepat katakan siapa gelarmu
di dunia
persilatan, Anak Muda!" pinta Adipati Pleret
penasaran.
"Aku....
Aku tidak punya gelar, Kanjeng Adipati.
Namaku Soma.
Itu saja!" jawab murid Eyang Begawan
Kamasetyo
malu-malu.
"Bohong!
Dialah yang bergelar Silurian Ular Putih,
Kangmas!"
lagi-lagi Putri Sekartaji yang menyahut.
Terdengar
pekik kaget beberapa orang punggawa
kadipaten.
Termasuk juga Adipati Pleret, begitu men-
dengar
penjelasan Putri Sekartaji kalau pemuda tam-
pan itu
adalah pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan
dunia persilatan dengan julukan Si-
luman Ular
Putih!
"Sungguh
merupakan satu kehormatan besar! Tak
kusangka
Siluman Ular Putih sudi menyambangi Ka-
dipaten
Pleret!" decak Adipati Pleret penuh kagum.
Bukan main
jengahnya Siluman Ular Putih diper-
lakukan
seperti itu. Entah sudah berapa kali tangan-
nya
menggaruk-garuk kepala saking jengahnya.
Putri
Sekartaji malah tersenyum-senyum. Rasanya
puas sudah
gadis itu membalas godaan-godaan Silu-
man Ular
Putih selama ini.
"Sekarang
ceritakan, apa saja yang telah kau ke-
tahui, Nimas!
Aku yakin kau pasti mendapat beberapa
keterangan
selama ditawan Kangmas Sembodo," pinta
Adipati
Pleret, sedikit memberi napas pada Siluman
Ular Putih.
Putri
Sekartaji yang sedang memperolok Siluman
Ular
Putih, mendadak menghentikan senyum
keme-
nangannya.
Parasnya segera dibuat bersungguh-
sungguh.
Adipati
Pleret dan juga semua yang ada di ruang
pendopo ini
mulai mendengarkan keterangan Putri Se-
kartaji.
Bahkan mereka berkali-kali mendesis penuh
ke-marahan
begitu mendengar rencana keji Pangeran
Pemimpin.
Untuk beberapa saat suasana di ruang
pendopo
seperti dicekam perasaan tegang, terbawa
arus pikiran
masing-masing.
"Hm...!
Benar-benar tak kusangka kalau Kangmas
Sembodo
mempunyai rencana selicik ini. Mengapa ia
tega-teganya
memaksa Nimas Putri Sekartaji untuk
menandatangani
surat perjanjian agar aku sudi me-
nyerahkan
takhta Kadipaten Pleret padanya? Benar-
benar
licik!" geram Adipati Pleret penuh kemarahan
Semua yang
berada di ruang pendopo membisu.
Mereka
seperti makin tenggelam dengan perasaan te-
gang.
"Lalu,
bagaimana dengan Lukisan Darah yang te-
lah raib dari
ruang pusaka? Apakah kau juga menge-
tahuinya,
Nimas?" tanya Adipati Pleret lagi.
Putri
Sekartaji mendesah sebentar.
"Sebenarnya
aku tidak tahu pasti, Kangmas. Na-
mun Siluman
Ular Putih sempat melihat seseorang te-
lah membawa
Lukisan Darah sewaktu hendak masuk
ke dalam
markas Partai Kawula Sejati. Dan kalau tidak
salah,
sewaktu aku diringkus Iblis Muka Merah dan
Setan Mayat
Merah, aku sempat mendengar kalau Raja
Maling-lah
yang telah mencuri Lukisan Darah!" papar
si gadis.
"Raja
Maling...!" desis Adipati Pleret penuh kema-
rahan.
"Hm...! Sudah kuduga. Pasti sekutu-sekutu
Kangmas
Sembodolah yang mencuri Lukisan Darah!"
"Kalau
begitu, sebaiknya kita harus menumpas
Raden Sembodo
selagi kekuatan mereka belum besar!"
usul Patih
Reksopati tiba-tiba.
"Hm...!
Ya ya ya...! Aku memang sedang merenca-
nakan itu,
Paman. Tapi apa tidak sebaiknya kita me-
minta bantuan
para pendekar guna menghadapi to-
koh-tokoh
sesat yang bersekutu dengan Kangmas
Sembodo?"
"Menurut
hematku, memang demikianlah, Kan-
jeng
Adipati," timpal Siluman Ular Putih. "Jika Kanjeng
Adipati tidak
keberatan, sekarang juga aku akan
menghubungi
beberapa orang pendekar. Kebetulan se-
kali, saat
ini mereka tengah mengadakan pertemuan
untuk
menumpas Pangeran Pemimpin yang sepak ter-
jangnya sudah
kelewatan!"
"Boleh,
boleh! Tapi, bukan berarti harus kau yang
ke sana,
Soma!" sahut Adipati Pleret langsung me-
manggil nama
Siluman Ular Putih.
"Kukira
Kangmas Adipati benar. Kau jangan buru-
buru, Soma.
Kangmas Adipati dapat menyuruh bebe-
rapa orang
punggawa kadipaten yang berkepandaian
tinggi untuk
menghadapi pertemuan para pendekar,"
timpal Putri
Sekartaji keberatan.
Entah kenapa
tiba-tiba si gadis merasa gelisah se-
kali bila
berpisah dengan murid Eyang Begawan Ka-
masetyo ini.
Walau tadi uring-uringan melihat sikap
Soma yang
selalu menggoda dirinya, namun kali ini
benar-benar
tidak rela kalau harus berpisah.
"Tidak,
Putri. Keamanan kadipaten adalah segala-
galanya
bagiku," tukas Siluman Ular Putih cepat.
Kembali Soma
memandangi Adipati Pleret.
"Maaf,
Kanjeng Adipati! Bukan berarti aku me-
mandang
rendah punggawa-punggawa kadipaten. Jika
tidak
keberatan, aku ingin Kanjeng Adipatilah yang
mengutusku untuk menghadiri pertemuan para pen-
dekar yang
sebentar lagi akan dilangsungkan," lanjut-
nya.
"Hhh...!"
Adipati Pleret menghela napas dalam-
dalam seraya
mengangguk-angguk. "Baiklah kalau
memang itu
kemauanmu, Soma. Sebenarnya aku ingin
kau
beristirahat barang satu atau dua malam di kadi-
paten. Tapi,
sudahlah! Kalau kau memang ingin be-
rangkat, aku
hanya bisa mengiringi kepergianmu den-
gan penuh
persahabatan."
"Terima
kasih atas kepercayaan ini, Kanjeng. Se-
karang juga
aku akan berangkat," ucap Siluman Ular
Putih.
Saat itu
juga, Siluman Ular Putih bergegas beran-
jak dari
tempat duduknya. Kakinya segera melangkah
lebar-lebar
meninggalkan pendopo kadipaten.
***
"Soma!
Tunggu!"
Soma
buru-buru menghentikan langkahnya di
luar Istana
Kadipaten Pleret ketika mendengar suara
panggilan
dari belakang. Ketika berbalik, dilihatnya
Putri
Sekartaji tengah berkelebat cepat ke arahnya.
Soma hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat si
gadis yang
tengah menyusulnya.
"Ada apa
lagi, Putri Sekartaji?" tanya Soma begitu
Putri
Sekartaji menghentikan langkah dua tombak di
depannya.
"Aku
ikut. Aku ingin menemanimu menghadiri
pertemuan
para pendekar," sahut Putri Sekartaji agak
tersengal.
"Tapi...
tapi nanti Kangmas Adipati mencemaskan
mu? Ya, kalau
kau selamat? Kalau misalnya kembali
tertawan oleh
Pangeran Pemimpin, bagaimana?" tukas
Siluman Ular
Putih.
"Kan ada
kau! Aku yakin, kau tentu tidak mem-
biarkan aku
tertawan Pangeran Pemimpin, kan?" Putri
Sekartaji
merajuk manja.
"Tapi...
tapi...."
"Tapi
kenapa, Soma?" potong si gadis.
"Apakah
kau keberatan
melakukan perjalanan berdua dengan-
ku?"
"Bukan
begitu! Aku justru takut Kanjeng Adipati
akan mencemaskan mu. Terus terang, aku pun kha-
watir dengan
keselamatanmu, Putri," sahut Siluman
Ular Putih
bingung.
"Bilang
saja kau keberatan melakukan perjalanan
denganku!
Pakai alasan lagi! Pokoknya, aku akan
menghadiri
pertemuan para pendekar itu!" tandas Pu-
tri Sekartaji
kesal.
"Baiklah!
Tapi...."
"Ah,
sudahlah! Kau memang menyebalkan, Soma!"
sungut Putri
Sekartaji jengkel. Lalu tubuhnya berkele-
bat bermaksud
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu,
Putri! Apa kau tidak ingin minta izin du-
lu pada
Kanjeng Adipati?" teriak Soma, menahan lang-
kah Putri
Sekartaji.
Putri
Sekartaji sedikit pun tidak mempedulikan te-
riakan
Siluman Ular Putih. Malah langkahnya semakin
dipercepat
keluar halaman istana.
"Aku
sudah dewasa. Kukira aku tak perlu memin-
ta izin. Toh
aku sudah dapat menentukan jalan hi-
dupku!"
sahut Putri Sekartaji kesal.
Entah kenapa,
Siluman Ular Putih hanya mengga-
ruk-garuk
kepala. Kemudian ketika bayangan Putri
Sekartaji
makin menjauh, pemuda sakti ini buru-buru
berkelebat
menyusul.
"Baiklah,
Putri. Kalau begitu, mari kita melakukan
perjalanan
bersama," kata Siluman Ular Putih seperti
berkata pada
diri sendiri. Dan tubuhnya langsung ber-
kelebat cepat
mengejar bayangan Putri Sekartaji.
Putri
Sekartaji yang semula kecewa melihat Silu-
man Ular
Putih belum juga menyusul, entah kenapa
kini menjadi
gembira bukan main. Senyum tipisnya
pun tampak
terkembang di bibir. Meski demikian, ke-
lebatan
tubuhnya tak ingin diperlambat. Sehingga, hal
ini membuat
Siluman Ular Putih harus mengerahkan
segenap ilmu
meringankan tubuhnya.
***
5
Malam
merambat perlahan. Bulan sepotong seolah
malas
bergelantung di bentangan langit sebelah timur.
Meski cuaca
cukup cerah, namun suasana malam di
luar
Kadipaten Pleret tampak demikian mencekam.
Angin pun
seolah malas berhembus. Hanya sesekali
terdengar
nyanyian jangkrik di balik semak belukar
yang mengusik
kelengangan malam.
Dalam
kelengangan malam itu tampak dua sosok
bayangan
tengah berkelebat cepat menuju timur. Ge-
rakan kaki
mereka cepat luar biasa, di antara kerapa-
tan pohon
Hutan Minden.
"Putri
Sekartaji! Kenapa sih dari tadi kau hanya
membisu saja?
Apa kau sudah bosan melakukan per-
jalanan
bersamaku?!" oceh sosok di sebelah kanan pa-
da sosok
bayangan yang dipanggil putri Sekartaji.
Sosok
bayangan di sebelah kiri yang tak lain Putri
Sekartaji
hanya menggerutu kesal. Sama sekali tidak
tertarik
mendengar ocehan sosok di sebelahnya yang
tak lain Soma
alias Siluman Ular Putih. Malah larinya
makin
dipercepat.
"Kau ini
kenapa sih?! Tak seharusnya kau mem-
berengut
seperti ini! Kasihan kan bulan sepotong di
atas sana.
Nanti malah jadi tambah sedih," goda Silu-
man Ular
Putih lagi.
"Banyak
omong! Sebel aku!" sahut gadis ini den-
gan suara
ketus.
"Nah,
begitu dong! Kan jadi enak kedengarannya.
Jangan
memberengut terus. Jangan-jangan kau se-
dang
memikirkan kekasihmu, ya?" tebak murid Eyang
Begawan
Kamasetyo asal-asalan.
"Soma!"
pekik Putri Sekartaji jengkel.
Seketika
gadis itu menghentikan langkahnya. Se-
pasang
matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. So-
ma pun
menghentikan langkahnya. Dan dengan enak-
nya ia
menggaruk-garuk kepala, seolah merasa tak
berdosa.
"Soma!
Jangan seenaknya bicara! Aku sebel, ta-
hu!"
hardik Putri Sekartaji.
"Ah...!
Bukankah sebel itu berarti senang betul?
Duh,
senangnya hatiku bila kau senang padaku!" oceh
Soma seraya
mendekap dada.
Putri
Sekartaji mengkelap bukan main. Telapak
tangan
kanannya sudah gatal. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi
tangan kanannya segera melayang ke arah pi-
pi Soma.
"Tunggu!
Apakah kau tidak mendengar langkah-
langkah halus
menuju kemari?" cegah Soma tiba-tiba
seraya
mengangkat tangannya.
Putri
Sekartaji buru-buru menahan gerakan tan-
gannya.
Seketika telinganya dipasang tajam. Samar-
samar
telinganya memang mendengar langkah-langkah
halus
beberapa orang yang tengah menuju ke tempat
ini.
"Iya.
Aku mendengar langkah beberapa orang ten-
gah menuju
kemari," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nurunkan
tangannya kembali.
Soma makin
mempertajam pendengarannya. Lalu
buru-buru
ditariknya lengan Putri Sekartaji. Dan den-
gan gerakan
cepat, Siluman Ular Putih membawa gadis
itu melesat
cepat ke atas sebuah pohon. Tepat ketika
mereka
mendarat di atas sebuah dahan, tampak enam
sosok
bayangan tengah berkelebat cepat menuju ke
tempat ini.
Yang paling depan adalah seorang kakek
tua renta.
Jubahnya yang kedodoran sampai lutut
berwarna
hitam. Kepalanya mengenakan penutup yang
memanjang
pada bagian atasnya. Dia tidak lain adalah
Pendidik
Ulung.
"Hm....
Pendidik Ulung.... Mengapa ia bersama Ra-
ja Racun,
Algojo Dari Timur, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja
Maling? Ada apa dengannya?" gumam hati Si-
luman Ular
Putih.
Memang di
samping Pendidik Ulung tampak bebe-
rapa tokoh
sesat yang sudah sangat dikenal Soma.
Putri
Sekartaji hampir memekik melihat keenam
sosok yang
sangat dikenalnya. Hampir saja gadis ini
memekik kaget
kalau Soma tidak buru-buru mengisya-
ratkan dengan
telunjuk jarinya di depan bibir.
Keenam sosok
bayangan itu kini makin mendekati
tempat Soma
dan Putri Sekartaji. Namun, Pendidik
Ulung yang
berkelebat cepat bak mayat hidup yang di-
kendalikan
mendadak menghentikan langkahnya.
"Tunggu!
Rasa-rasanya aku mendengar gerakan-
gerakan halus
tak jauh dari tempat ini!" ujar Pendidik
Ulung
tiba-tiba. Sepasang matanya yang mencorong te-
rus
memperhatikan keadaan sekitarnya.
Raja Racun
beserta keempat orang kawannya se-
gera
menghentikan langkah di samping Pendidik
Ulung.
Kemudian seperti mendapat perintah, segera
memperhatikan
seputar tempat itu. Namun sayang,
mereka tidak
mendapatkan sesuatu yang mencuriga-
kan.
"Apa kau
melihat sesuatu, Tua Bangka Keparat?!
Kami tidak
melihat sesuatu. Ah...! Kau ini mengada-
ada
saja!" tukas Raja Racun jengkel.
Di tempat
persembunyiannya, Putri Sekartaji me-
rasa heran
bukan main melihat Pendidik Ulung ber-
sama kelima
orang tokoh sesat itu. Lebih herannya lagi
ketika
melihat sikapnya yang mirip orang linglung.
Demikian pula
Siluman Ular Putih yang tak habis
pikir sejak
tadi.
"Sungguh
aku tak mengerti, mengapa orang tua
itu bisa
bersama-sama Raja Racun dan kawan-kawan?
Bukankah ia
ingin menghadiri pertemuan para pende-
kar di puncak
Gunung Kelud? Tapi, kenapa sekarang
berada di
sini? Dan mengapa pula sikapnya tampak
aneh sekali.
Wajahnya pucat pasi. Tingkah lakunya
kaku mirip
mayat. Ah...! Pasti ada sesuatu terhadap
orang tua
itu! Kalau tidak, mana mungkin sudi mela-
kukan
perjalanan bersama Raja Racun dan kawan-
kawan,"
gumam Soma lagi.
"Aneh!
Aku tak tahu, apa yang telah terjadi terha-
dap orang tua
itu? Ada apa sebenarnya? Dan bukan-
kah di tangan
orang tua tinggi besar itu Lukisan Da-
rah? Mengapa
bisa jatuh ke tangannya? Dan juga,
mengapa
gambarnya bisa berubah menjadi gambar se-
buah peta?
Atau, jangan-jangan lukisan itu bukan Lu-
kisan Darah?
Ah...! Tak mungkin! Sewaktu aku kecil,
aku pernah
iseng-iseng masuk ke ruang pusaka dan
melihat-lihat
pusaka kadipaten, termasuk Lukisan Da-
rah itu! Ya
ya ya...! Sekarang aku ingat. Itu pasti Luki-
san Darah
yang telah dicuri orang!" pikir Putri Sekarta-
ji pula dalam
hati.
Seketika
Putri Sekartaji menggeretakkan gera-
hamnya penuh
kemarahan. Ingin rasanya gadis itu se-
gera merampas
Lukisan Darah kalau tidak merasakan
sentuhan
lembut di jari-jari tangannya. Si gadis tersa-
dar.
Dilihatnya Soma tengah menggeleng-gelengkan
kepala sambil
menunjuk-nunjukkan jari ke bawah.
Putri
Sekartaji mengangguk seraya menggigit bi-
bir. Di bawah
sana tampak Raja Racun tengah mema-
rahi Pendidik
Ulung. Anehnya lagi, yang dimarahi tam-
pak demikian
tunduk dan takut.
"Dasar
tua bangka bau tanah! Mau modar saja
pakai
bertingkah macam-macam! Hayo, lekas tinggal-
kan tempat
ini!" hardik Raja Racun kasar pada Pendi-
dik Ulung.
Pendidik
Ulung hanya menunduk. Lalu setelah
lengannya
disentak kasar, terpaksa tubuhnya segera
berkelebat di
belakang Raja Racun yang kemudian
disusul yang
lain.
"Ini
bukan urusan main-main, Putri! Kulihat ada
sesuatu yang
tidak beres menimpa orang tua yang
pernah kita
jumpai itu," kata Soma setelah keenam so-
sok itu
menghilang di balik kegelapan malam.
"Ya ya
ya...! Aku juga dapat melihat kejadian yang
tidak beres
tengah menimpa orang tua itu. Kasihan se-
kali!"
desah Putri Sekartaji.
"Dan
kukira, sekarang kita harus membagi tugas!
Sebenarnya,
berat memang. Tapi, apa boleh buat? Ter-
paksa kita
harus berpisah untuk sementara waktu.
Aku ingin
menyelidiki sekaligus menyelamatkan orang
tua itu. Dan
kau harus segera menuju puncak Gunung
Kelud, guna
mengikuti jalannya pertemuan para pen-
dekar. Nanti
kalau sudah selesai menyelamatkan orang
tua itu, baru
aku menyusulmu ke puncak Gunung Ke-
lud."
"Tapi...,"
keluh Putri Sekartaji keberatan. Tanpa
sadar
jari-jari tangannya makin erat menggenggam ja-
ri-jari
tangan Soma.
"Tidak
ada tapi-tapian, Putri. Ini bukan urusan
main-main,"
ujar Siluman Ular Putih dengan senyum
manis
terkembang di bibir.
"Ba...
baiklah," sahut Putri Sekartaji seraya me-
nunduk
dalam-dalam. Tak kuat rasanya ia mendapat
senyum manis
pemuda tampan di hadapannya.
"Ya,
sudah! Kalau begitu, lekas lepaskan tangan-
ku. Dan kau
boleh langsung menuju ke puncak Gu-
nung
Kelud!" ujar Soma, kali ini diiringi senyum meng-
goda.
Putri
Sekartaji buru-buru melepaskan pegangan
tangannya.
Parasnya pun mendadak jadi merona me-
rah. Untung
saja kegelapan malam cukup menyembu-
nyikan
wajahnya yang merah dadu, menahan malu.
"Kau
memang sialan, Soma! Bisanya hanya meng-
godaku.
Padahal, kau sendiri yang mulai menggeng-
gam
tanganku!"
Soma hanya
tertawa bergelak. Namun, juga tidak
menyangkal
ucapan Putri Sekartaji.
"Iya,
kan? Kau yang memulai?" sungut Putri Se-
kartaji
kesal.
"Sudahlah!
Soal sepele begitu saja dibesar-
besarkan.
Sana kalau mau pergi!" kata Soma seraya
mengibaskan
tangannya, mengisyaratkan agar Putri
Sekartaji
cepat pergi.
"Enak
saja bilang sudah!"
"Iya
iya! Aku memang yang mulai. Tapi sudah,
dong! Sana
kalau mau pergi!" kata Soma mengalah
"Baik.
Tapi benar, ya? Kau harus menyusulku di
puncak Gunung
Kelud!"
"Iya,
iya!"
6
Menjelang
pagi hari, Pendidik Ulung beserta lima
tokoh sesat
yang mengikutinya tiba di puncak Gunung
Kembang.
Sering kali lelaki tua itu memalingkan kepa-
la ke belakang
sambil mengamati keadaan sekitar den-
gan seksama.
Seolah, ia merasa ada penguntit sejak
mereka
meninggalkan Hutan Minden.
Raja Racun
yang tidak begitu mempedulikan Pen-
didik Ulung
hanya mendengus geram.
"Hm...!
Bisa jadi apa yang dikatakan tua bangka
ini benar.
Ada seseorang yang terus mengikuti perjala-
nanku bersama
teman-teman. Sebab aku tahu, Pendi-
dik Ulung
memiliki kesaktian tinggi. Rasa-rasanya aku
sendiri pun
sulit sekali menundukkannya...," gumam
lelaki
berwajah seram ini.
Raja Racun
lantas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
Lalu tatapannya berhenti pada Raja Maling.
"Raja
Maling! Apa benar ini tempat yang dimaksud
seperti yang
tergambar peta Lukisan Darah?" tanya
Raja Racun.
"Benar!
Benar sekali! Tempat inilah yang seperti
tercantum
dalam peta Lukisan Darah. Aku yakin seka-
li, Raja
Racun. Hayo, sekarang kita harus mencari
Penguasa
Alam!"
"Tapi
apa kau yakin kalau Penguasa Alamlah yang
telah
mengangkangi harta karun milik Kadipaten Pleret
selama ini,
Raja Maling?" tanya Algojo Dari Timur ingin
tahu.
Dia adalah
seorang lelaki tinggi besar. Usianya li-
ma puluh
tahun. Pakaiannya jubah besar berwarna
kuning dan
merah. Wajahnya menyeramkan. Matanya
besar dan
hidung besar. Di telinga kirinya
menggan-
tung anting
bundar besar. Kepalanya hampir plontos,
kecuali
kuncir rambutnya di bagian atas.
"Aku
sendiri kurang tahu pasti. Tapi bisa jadi
orang yang
bergelar Penguasa Alam sedikit banyak
mengetahui
letaknya harta karun itu. Sebab di dalam
Lukisan Darah
pun, tercantum nama Penguasa Alam,"
sahut Raja
Maling menjelaskan.
Tanpa ada
yang tahu, tak jauh dari tempat itu se-
pasang mata
tengah mengawasi. Pemilik sepasang ma-
ta itu adalah
penguntit yang tadi sempat ditangkap ge-
rakannya oleh
Pendidik Ulung. Dan sosok itu memang
Siluman Ular
Putih. Kini Soma terkejut bukan main
begitu
mendengar penjelasan Raja Maling.
"Hm...!
Jadi Lukisan Darah yang telah dicuri Raja
Maling
menyimpan harta karun Kadipaten Pleret. Pan-
tas-pantas!
Kepergian mereka kemari pun tentu atas
perintah
Pangeran Pemimpin. Sebab, mereka semua
adalah kaki
tangannya. Hm...! Kukira aku harus me-
nyelamatkan
harta karun itu terlebih dahulu..," gu-
mam Siluman
Ular Putih dalam hati.
Habis
menggumam, Siluman Ular Putih kembali
memperhatikan
gerak-gerik enam orang yang diin-
tainya.
Tampak sekali kalau Raja Racun tak sabar me-
nunggu
munculnya Penguasa Alam.
"Penguasa
Alam, keluar! Aku, Raja Racun Dari Se-
latan, ingin
bertemu!" teriak Raja Racun nyaring.
Tidak ada
sahutan. Hanya suara kasar dan berat
milik Raja
Racun saja yang bergema di lereng-lereng
jurang.
Lelaki berwajah menyeramkan ini gusar bukan
main.
"Penguasa
Alam! Lekas tunjukkan batang hi-
dungmu! Aku
ingin tahu, di mana kau sembunyikan
harta karun
milik mendiang Pelukis Sinting Tanpa
Tanding!"
Kali ini yang
berteriak Raja Maling. Sebagai murid
Maling Tanpa
Bayangan, sudah pasti ia tahu akan Lu-
kisan Darah.
Berikut pembuatnya yang sekaligus juga
pemilik harta
karun.
Kembali tidak
ada sahutan. Pendidik Ulung beser-
ta kelima
tokoh sesat yang berada di puncak Gunung
Kembang mulai
dicekam perasaan tegang. Namun se-
lang beberapa
saat....
"Ha ha
ha...!"
Bummm...!
Mendadak
terdengar suara tawa bergelak yang
kemudian
disusul bunyi keras bagai ledakan di kejau-
han yang
mampu mengguncangkan puncak Gunung
Kembang!
"Manusia
bermulut kotor! Beraninya kau berkata
begitu
padaku, he?! Akulah pemilik harta karun yang
sebenarnya!"
Mendadak
terdengar bentakan nyaring. Anehnya
meski
diucapkan dari jarak jauh, tapi mampu mengge-
tarkan
jantung semua orang yang berada di puncak
Gunung
Kembang. Jelas, orang yang membentak tadi
memiliki
tenaga dalam luar biasa. Bahkan kemudian
disusuli oleh
suara langkah yang cukup menggun-
cangkan
tempat ini.
***
Pendidik
Ulung dan semua yang berada di puncak
Gunung
Kembang terkesiap kaget. Apalagi saat melihat
seorang
lelaki bertubuh tinggi besar seperti raksasa
berkulit
hitam legam dari balik kegelapan malam. So-
sok itu
demikian mengerikan. Sepasang matanya ber-
warna merah
menyala. Wajahnya garang. Rambutnya
yang ikal
dibiarkan awut-awutan di bahu. Sedang tu-
buhnya yang
tinggi besar dibalut pakaian ketat warna
hitam.
"Penguasa
Alam...!" desis Raja Racun.
Sosok tinggi
besar yang dikenal sebagai Penguasa
Alam
menghentikan langkah beberapa tombak di de-
pan rombongan
kecil utusan Pangeran Pemimpin itu.
Kedua kakinya
dipentangkan lebar. Sepasang matanya
menatap satu
persatu para tamu yang tak diundang.
"Siapa
yang tadi bertingkah menyuruhku menun-
jukkan harta
karun milikku?!" bentak Penguasa Alam
garang.
Raja Racun
dan kelima orang lainnya sempat me-
nyurutkan
langkah setindak ke belakang. Diam-diam
mereka mulai
dicekam rasa tegang.
"Kau
tidak berhak mengangkangi harta karun mi-
lik Kadipaten
Pleret, Penguasa Alam! Sekarang salah
seorang
keturunan Adipati Pleret Tua yang bergelar
Pangeran
Pemimpin ingin meminta harta karun itu
kembali.
Harap kau sudi menyerahkannya secara baik-
baik!"
kata Raja Maling lantang.
Penguasa Alam
tertawa bergelak. Suaranya berat
dan kasar,
seolah ingin merobek kesunyian malam.
Dan begitu
tawanya berhenti, sepasang matanya berki-
lat-ki-lat
penuh kemarahan dengan dada bergerak tu-
run naik.
"Dengar,
tikus-tikus comberan! Buka telinga ka-
lian
lebar-lebar! Akulah pemilik harta karun itu yang
sebenarnya.
Siapa pun juga tidak boleh merampas
harta karun
itu dari tanganku!"
"Siapa
percaya bacotmu, Penguasa Alam?! Lekas
tunjukkan
letak harta karun itu! Atau kalau tak bisa,
lekaslah kau
enyah dari hadapanku! Biar aku yang
men-cari
sendiri," bentak Raja Maling jengkel.
Penguasa Alam
mendengus. Sepasang matanya
sejenak
memperhatikan Lukisan Darah di tangan Raja
Maling yang
tidak lagi bergambar seorang wanita telan-
jang berwarna
merah darah, tapi gambar sebuah peta
yang
menunjukkan letak harta karun yang tengah di-
perebutkan!
"Setan
alas! Jadi kalian sudah mendapatkan peta
itu?! Berarti
kalian semua harus modar di tanganku!"
geram
Penguasa Alam penuh kemarahan.
Habis
menggeram, Penguasa Alam segera menca-
but senjata
andalan berupa gada besi berwarna kuning
yang terselip
di punggung. Dan disertai suara mengge-
legar
tubuhnya meluruk menyerang. Senjata andalan-
nya segera
diputar-putar hebat.
Bet!
Bet!
Sebelum gada
di tangan Penguasa Alam mengenai
sasaran,
terlebih dahulu berkesiur angin kencang me-
nyambar-nyambar
kulit tubuh. Keenam utusan Pange-
ran Pemimpin
segera berloncatan ke sana kemari,
membuat
hantaman gada di tangan Penguasa Alam sa-
lah sasaran.
Blaaam...!
Bumi bergetar
hebat laksana ada gempa saat gada
itu
menghantam tanah. Bagian yang terkena hanta-
man kontan
berlubang besar setelah tanahnya ter-
bongkar.
Penguasa Alam
menggeram penuh kemarahan.
Sepasang
matanya yang berwarna merah menyala ma-
kin
berkilat-kilat mengerikan.
"Jahanam...!
Jangan dikira aku tidak dapat me-
lumat kalian
semua! Makanlah gadaku! Heaaa...!"
Dengan
teriakan membelah langit, Penguasa Alam
melesat
deras. Gada besi di tangan kanannya kembali
diayunkan
dari samping kanan ke kiri. Begitu ganas
serangan itu,
sampai-sampai Pendidik Ulung tak
mampu
menghindarinya. Lalu....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tubuh
Pendidik Ulung limbung ke samping. Tapi
seketika
tubuhnya cepat diputar. Lalu dengan satu
ayunan tubuh, jari-jarinya berkelebat ke pinggang
Penguasa
Alam.
Wutt...!
Penguasa Alam
melompat setindak ke belakang,
membuat
serangan Pendidik Ulung hanya menyambar
angin. Bahkan
gada di tangan kanannya kembali me-
layang ke
arah kepala Pendidik Ulung. Untungnya pa-
da saat yang
sama, Algojo Dari Timur cepat meluruk
sambil
mengibaskan parang besar, memapas gerakan
gada si
tangan Penguasa Alam.
Trang!
Bunga api
kontan berpijar saat parang besar yang
berisi tenaga
dalam tinggi berbenturan dengan gada
Penguasa
Alam. Tubuh tinggi besar Algojo Dari Timur
sendiri
sempat terhuyung-huyung beberapa tindak ke
belakang,
pertanda tenaga dalam tokoh sesat dari wi-
layah timur
itu masih kalah beberapa tingkat di bawah
Penguasa
Alam.
Melihat
Algojo Dari Timur kewalahan menghadapi
Penguasa
Alam, Raja Racun segera berkelebat cepat
menerjang. Di
belakangnya, Denok Supi, Raja Golok,
dan Raja
Maling pun segera membantu.
Wuttt! Wuttt!
Empat senjata
berbeda milik Raja Racun, Denok
Supi, Raja
Golok, dan Raja Maling berkelebatan siap
mencincang
tubuh Penguasa Alam. Namun anehnya,
lelaki
bertubuh raksasa ini hanya diam di tempatnya.
Sedikit pun
tidak ada keinginan untuk menghindar,
seolah siap
menyambut datangnya maut.
Hal ini tentu
saja sangat mengejutkan hati para
pengeroyok.
Namun karena sudah telanjur ingin segera
mendapatkan
harta karun, maka tanpa mengenal be-
las kasihan
sedikit pun mereka malah makin melipat-
gandakan
tenaga dalam.
Crakkk!
Crakkk!
Telak sekali
empat senjata tajam itu mengenai tu-
buh Penguasa
Alam. Namun anehnya sedikit pun tu-
buhnya tak
terluka! Malah begitu senjata-senjata itu
menghantam
seketika tampak semburat cahaya merah
menyala dari
tubuh Penguasa Alam!
"Aaah...!"
Hebatnya
lagi, mendadak keempat orang penge-
royok itu
kontan menjerit setinggi langit. Buru-buru
mereka
membuang tubuh masing-masing ke belakang!
"Aji....
Aji 'Tangkal Petir'...!" desis Denok Supi ter-
kesima.
Tubuh wanita
sesat ini tadi sempat merasakan sa-
tu getaran
hebat begitu pedangnya membabat tubuh
Penguasa
Alam. Bahkan kini tubuhnya luruh ke tanah
dengan wajah
pias!
Hal yang sama
pun dialami ketiga orang penge-
royok
Penguasa Alam lainnya. Seketika mereka kontan
merasakan
satu getaran hebat yang tiba-tiba menye-
rang. Bahkan
dengan napas tersengal, mereka luruh di
tanah,
seolah-olah telah kehilangan banyak tenaga!
"Bagus!
Rupanya kalian sudah tahu ajian 'Tangkal
Petir'-ku!
Maka saat ini pulalah kalian semua harus
modar di
tanganku!" dengus Penguasa Alam garang,
langsung
meluruk deras.
Gada besi
kuning di tangan kanan lelaki raksasa
ini kembali
bergerak mengerikan. Keempat orang pen-
geroyok
Penguasa Alam yang masih bersimpuh di ta-
nah tak bertenaga
semakin pucat pasi. Rasanya sulit
bagi mereka
menghindari serangan. Dan sedikit lagi
gada di
tangan kanan Penguasa Alam menemui sasa-
ran, mendadak
Penguasa Alam menghentikan seran-
gannya
disertai dengusan penuh kemarahan. Saat ini
dirasakannya
angin panas yang bukan kepalang telah
menyambar
punggungnya. Lalu....
Bukkk! Bukkk!
"Heeah...!"
Penguasa Alam
menggembor penuh kemarahan.
Seketika
tubuhnya terpental jauh ke belakang, mem-
buat
amarahnya makin memuncak ke ubun-ubun.
Namun
hebatnya, tubuh tinggi besarnya sedikit pun
tidak
mengalami cedera!
"Heaaa...!"
Bahkan dengan
teriakan ganas, Penguasa Alam
bangkit
berdiri. Seketika, diserangnya Algojo Dari Ti-
mur yang tadi
melontarkan serangan dengan pukulan
jarak jauh.
"Setan
alas! Kaulah yang pertama kali modar di
tanganku,
Setan Gundul!" bentak Penguasa Alam di
antara ayunan
gada di tangannya yang mengerikan.
"Uts...!"
Algojo Dari
Timur segera merunduk ke bawah. Di
saat gada di
tangan Penguasa Alam menyambar tem-
pat kosong,
mendadak ujung runcing parang di tan-
gannya telah
menyodok ulu hati dengan kekuatan pe-
nuh.
Clep!
"Augh...!"
Seketika
Penguasa Alam memekik setinggi langit.
Begitu parang
menembus ulu hati, mendadak sekujur
tubuh
Penguasa Alam menyala! Pada saat itulah Pen-
guasa Alam
kembali menggerakkan gadanya menye-
rang balik
Algojo Dari Timur tanpa ampun!
"Makanlah
gada besiku, Setan Gundul!" bentak
Penguasa
Alam, di antara kelebatan gadanya yang dis-
ertai tenaga
dalam penuh. Dan....
Prakkk!
Darah merah
seketika berhamburan dari kepala
Algojo Dari
Timur ketika gada Penguasa Alam meng-
hantam
kepala. Tanpa mengeluarkan erangan tubuh
tokoh sesat
dari timur itu ambruk. Tubuhnya yang
tinggi besar
melejang-lejang, lalu tak bergerak-gerak
lagi. Tewas!
Melihat salah
seorang pengeroyok tewas, nafsu
membunuh
Penguasa Alam malah makin menjadi. Dan
di saat
lelaki tinggi besar ini hendak menghabisi Raja
Racun yang
baru saja merangkak bangun, menda-
dak....
"Heaaat...!"
"Uts...!"
Pendidik Ulung
datang menghadang. Jari-jari tan-
gannya yang
berwarna putih berkilauan gantian men-
gancam
sepasang mata Penguasa Alam!
Penguasa Alam
melompat mundur beberapa tin-
dak. Walau
dirinya kebal terhadap berbagai macam
pukulan maut
dan senjata tajam berkat aji 'Tangkal
Petir', namun
tetap saja tidak mampu melindungi ba-
gian mata.
Itu sebabnya ia harus segera menghindar.
Pada saat
yang sama, Denok Supi telah bangkit
dan kembali
menyerang. Pedang di tangannya kembali
siap
mengancam sepasang mata Penguasa Alam. Bu-
ru-buru
lelaki tinggi besar ini memutar gada untuk
menangkis.
Sementara tangan kirinya menyusup me-
nyerang dada
kiri wanita sesat itu.
Trang! Crap!
"Aaa...!"
Denok Supi
menjerit menyayat. Tubuhnya kontan
ambruk dan
melejang-lejang sebentar. Kemudian keti-
ka nyawanya
lepas dari badan, tubuhnya diam tak
bergerak
dengan dada berlubang!
"Grrahhh...!"
Penguasa Alam
mendengus mirip kerbau mau dis-
embelih.
Jantung Denok Supi yang telah tercengkeram
di tangan
kiri, segera dilontarkan ke arah Pendidik
Ulung yang
kembali datang menyerang.
"Tua
bangka macammu pun tak pantas lagi ber-
hadapan
denganku! Majulah! Aku juga ingin melihat
apakah
jantungmu juga berwarna merah?" ejek Pengu-
asa
Alam.
"Uts...!"
Srett! Srett!
Pendidik
Ulung hanya mengegoskan tubuh ke
samping
seraya meloloskan senjata andalan yang be-
rupa sepasang
pena. Kali ini tidak tanggung-tanggung
lagi. Segera
dikeluarkannya jurus pamungkas ‘Tulisan
Maut Dewa
Kayangan’ yang dipadukan dengan totokan
'Jari Putih
Dewa Kayangan'!
Penguasa Alam
tersenyum dingin. Dilihatnya,
Pendidik Ulung mulai menggurat-guratkan kedua
ujung penanya
di udara membentuk huruf-huruf gaib
ciptaannya
sendiri. Pena di tangan kanan menggurat-
gurat lembut
dari kanan ke kiri. Pena di tangan kiri
menggurat-gurat
lembut dari kiri ke kanan. Dan....
Ciit...!
Ciiittt...!
Seketika
terdengar suara mencicit yang teramat
memekakkan
telinga.
Penguasa Alam
yang semula memandang remeh
jurus yang
dikeluarkan Pendidik Ulung, sejenak
menghentikan
serangan. Kini sepasang matanya berki-
lat-kilat
penuh kagum melihat jurus hebat yang tengah
dikeluarkan
Pendidik Ulung. Maka saat itu juga ajian
‘Tangkal
Petir’-nya makin dilipatgandakan.
"Hea...!"
Tiba-tiba
Pendidik Ulung mempertemukan kedua
ujung senjata
di tangannya di udara. Seketika tampak
selarik sinar
putih yang menyilaukan mata telah mele-
sat menyerang
tubuh Penguasa Alam!
Bukkk!
Penguasa Alam
menggereng hebat. Suaranya yang
keras dan
berat seakan-akan ingin merobek angkasa
raya. Sedang
tubuhnya pun kontan terbanting keras di
tanah, begitu
selarik sinar putih tadi mengenai da-
danya.
Namun berkat
aji ‘Tangkal Petir’, kembali tubuh
Penguasa Alam
tidak terluka! Jangankan terluka, ter-
gores kulit
tubuhnya pun tidak! Bahkan begitu bang-
kit, lelaki
bertubuh raksasa itu segera menyerang ga-
nas.
Memang
sungguh hebat bukan main aji ‘Tangkal
Petir’ milik
Penguasa Alam. Hal ini diam-diam mem-
buat hati
Raja Racun dan kawan-kawan mulai ciut.
Apalagi
menyadari kalau dua dari mereka telah terbu-
jur kaku
menjadi mayat Entah sudah berapa kali me-
reka mencari
akal untuk menundukkan Penguasa
Alam. Namun
anehnya lelaki tinggi besar itu tetap saja
sulit
ditundukkan. Malah kini serangan-serangan ba-
liknya
kocar-kacir.
"Bedebah!
Kau belum mau juga menunjukkan di
mana letaknya
harta karun. Penguasa Alam?!" bentak
Raja Maling
garang.
"Jangan
banyak bacot! Kau tidak layak menyebut-
nyebut harta
karun milikku! Kematian macam apa
yang kau
inginkan sekarang! Biar aku lebih mudah
mengirim
nyawa busukmu ke dasar neraka!" bentak
Penguasa Alam
sambil terus menyerang hebat.
"Bagus!
Kau memang hebat, Penguasa Alam! Tapi
kalau kau masih bersikeras tidak mau menunjukkan
letak harta
karun, apa kau pikir kau sanggup meng-
hadapi aji
'Sirep Sukma'-ku he?!" balas Raja Maling.
"Keluarkanlah
semua kepandaianmu! Aku tidak
takut! Siapa
pun juga yang berani mengusik harta ka-
run milikku,
berarti mati!" dengus Penguasa Alam tak
kalah gertak.
"Betul!
Apalagi meminta hak yang bukan miliknya!
Termasuk juga
kau, Penguasa Alam! Kau pun tak pan-
tas memiliki
harta karun itu!"
Tiba-tiba
terdengar sebuah sahutan yang entah
dari mana
datangnya.
***
7
Penguasa
Alam, Raja Maling, Raja Racun, dan Ra-
ja Golok
terperangah kaget. Seketika sepasang mata
mereka
melotot ke arah datangnya suara. Tak jauh di
hadapan
mereka kini berdiri seorang pemuda beram-
but gondrong
yang memiliki rajahan bergambar ular
putih kecil
di dada yang terbungkus rompi bersisik
warna putih
keperakan. Celananya pun bersisik warna
putih
keperakan. Dia tidak lain adalah murid Eyang
Begawan
Kamasetyo yang bergelar Siluman Ular Putih!
"Setan
alas! Tak tahunya hanya seekor monyet ke-
sasar!"
dengus Penguasa Alam jengkel.
Namun rupanya
tidak demikian halnya para utu-
san Pangeran
Pemimpin. Dari raut wajah jelas mereka
sangat
terkejut melihat kemunculan murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo itu. Terutama, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan Raja
Maling yang sedikit pernah merasakan
kehebatan
Siluman Ular Putih. Sedang Pendidik Ulung
hanya tegak
kaku mirip orang linglung. Sedikit pun ti-
dak
terpengaruh oleh kemunculan Siluman Ular Putih
yang sempat
dikenalnya. Malah sepasang matanya
yang mencorong
tajam memperhatikan Penguasa
Alam, karena
memang diperintahkan untuk membu-
nuh lelaki
bertubuh raksasa itu.
"Hm...!
Jadi rupanya benar. Pasti ada apa-apanya
dengan orang
tua di hadapanku. Kalau tidak salah, da-
lam tubuhnya
telah mengeram satu hawa racun yang
mempengaruhi
jalan pikirannya. Entah hawa racun
apa. Dan
kalau aku ingin menyelamatkannya sekaligus
merebut
Lukisan Darah di tangan Raja Maling, aku ha-
rus berlaku
hati-hati. Kalau perlu, harus menghindari
bentrokan
dengan Penguasa Alam. Kulihat tokoh sesat
dari Gunung
Kembang memiliki aji ‘Tangkal Petir’ yang
sangat
dahsyat...," gumam Siluman Ular Putih dalam
hati.
Dan mendengar
bentakan Penguasa Alam tadi, Si-
luman Ular
Putih hanya tersenyum-senyum nakal.
Namun otaknya
yang cerdik terus bekerja, bagaimana
caranya agar
Penguasa Alam tetap menghadapi para
utusan
Pangeran Pemimpin.
"Selamat
bertemu kembali, Raja Racun, Raja Go-
lok, dan kau
Raja Maling! Apa kabar? Apa kalian ber-
maksud
membuat onar di tempat ini? Pantas saja Pen-
guasa Alam
tidak menyukai kedatangan kalian!" oceh
Siluman Ular
Putih cerdik.
"Tutup
bacotmu, Bocah! Kau pun mau apa datang
kemari?! Mau
merampas harta karun itu, kan?!" ben-
tak Penguasa
Alam garang.
"Sabar,
Penguasa Alam! Kukira kau sedikit lebih
bermurah hati
dibanding tiga bangkotan tua itu! Aku
tidaklah
selicik ketiga orang utusan Pangeran Pemim-
pin!"
tangkis Siluman Ular Putih, seraya menunjuk Ra-
ja Racun dan
dua orang kawannya.
"Setan
alas! Kau belum menjawab pertanyaanku,
Bocah! Mau
apa kau datang kemari, he?!" hardik Pen-
guasa Alam
lagi garang.
Siluman Ular
Putih hanya tersenyum. Lalu entah
kenapa,
tangannya sudah menggaruk-garuk kepala.
"Aku
tidak mau apa-apa. Tapi kalau kau ingin li-
hat apa yang
akan kulakukan, baiklah! Sekarang,
minggirlah
sebentar! Atau kalau kau tidak ada kerjaan,
boleh
menghajar Raja Racun dan Raja Golok yang
pongah itu.
Terus terang, aku ada sedikit urusan den-
gan manusia
gembur ini!" tuding Soma yang dikenal
sebagai
Siluman Ular Putih pada Raja Maling.
Begitu habis
kata-katanya, Siluman Ular Putih se-
gera berjalan
mendekati Raja Maling. Tanpa sadar, le-
laki gembur
itu menyurutkan langkah setindak ke be-
lakang.
"Hayo,
Penguasa Alam! Cepat hajar dua bangkotan
tua itu! Biar
aku mengurus manusia gembur ini!" kata
Soma, seraya
menatap Penguasa Alam.
"Jangan
banyak bacot, Bocah! Kau pun tak akan
lepas dari
tangan mautku!" hardik Penguasa Alam.
Namun,
akhirnya ia mau juga menuruti kata-kata Si-
luman Ular
Putih.
"Iya,
iya! Masalah urusanmu denganku gampang.
Asal, urus
dulu dua bangkotan tua itu. Biar aku yang
mengurus
manusia gembur ini. Nanti kalau sudah se-
lesai, baru
urusan kita diselesaikan," sahut murid
Eyang Begawan
Kamasetyo sekenanya.
Habis berkata,
perhatian Siluman Ular Putih pun
kembali
tertuju pada Raja Maling.
"Ayo,
Raja Maling! Kenapa melotot saja? Apa nya-
limu sekarang
sudah terbang? Ah...! Kenapa mesti ta-
kut padaku?
Hayo, maju! Aku ingin lihat, seperti apa
sih kehebatan
Raja Maling yang telah berani mencuri
Lukisan Darah
di kadipaten!" ejek Siluman Ular Putih
memanas-manasi.
"Kunyuk
gondrong! Kalau kami tidak sedang
mempunyai
urusan besar, sudah pasti kuremukkan
batok
kepalamu! Lekas enyah dari hadapanku!" bentak
Raja Maling,
menutupi rasa gentarnya.
Soma hanya
tertawa kecil. Sementara saat itu,
Penguasa Alam
sudah kembali bertarung hebat mela-
wan ketiga
orang pengeroyoknya. Melihat hal ini Silu-
man Ular
Putih tersenyum senang. Ternyata, siasat
mengadu
dombanya berjalan lancar.
"Memang
sebenarnya aku malas berurusan den-
ganmu. Takut!
Takut ketularan penyakit jahilmu. Mal-
ing? Hih...!
Aku tak sudi jadi maling! Hayo, sekarang
lekas
serahkan barang curianmu padaku, Biang
Mal-
ing!"
lanjut Soma.
"Hm...!
Rupanya kau pun berminat memiliki Luki-
san Darah,
Bocah! Jangan mimpi!"
"Ah...!
Kau ini sebenarnya ngomong apa buang air
sih? Kalau
ngomong kok bau. Tapi, kalau buang air
kok lewat
mulut, hih!"
Bukan main
marahnya Raja Maling mendengar
ejekan pemuda
berjuluk Siluman Ular Putih kali ini. Ia
hanya sempat
menggereng penuh kemarahan, sebelum
akhirnya
menyerang hebat dengan rantai baja di tan-
gan.
"Jahanam!
Mulutmu terlalu lancang, Bocah! Ma-
kanlah rantai
bajaku!" bentak Raja Maling tak dapat
lagi
mengendalikan amarah.
Sambil masih
memegang Lukisan Darah di tangan
kiri, Raja
Maling mengayunkan rantai baja di tangan
kanan dari
atas ke bawah. Dengan cara demikian Si-
luman Ular
Putih hendak dirobohkannya hanya dalam
satu
gebrakan.
"Jangan
terlalu bernafsu, Raja Maling! Awas jaga
kumismu!
Nanti brondol baru tahu," ejek Siluman Ular
Putih.
Siluman Ular
Putih terus memanas-manasi sambil
berkelebat
cepat ke sana kemari. Dan dengan gerakan
yang cepat
luar biasa, tahu-tahu tangan kirinya telah
berkelebat ke
arah kumis Raja Maling.
Bret!
"Auuhh...!"
Raja Maling
meraung kesakitan saat kumisnya di-
buat brondol
oleh Soma. Seketika darah segar menetes
dari kumisnya
yang tercabut paksa sebagian. Dan di
saat Raja
Maling terperangah kaget, tahu-tahu Silu-
man Ular
Putih telah merampas Lukisan Darah di tan-
gan kirinya.
Raja Maling
menggeram penuh kemarahan.
Soma hanya
tertawa bergelak.
"Ah...!
Sekarang kau kelihatan lucu sekali, Raja
Maling!
Kumismu brondol sebagian! Kau.... Kau kini
mirip benar
orang-orangan yang dipajang di tengah
sawah!"
ejek Soma sambil menuding muka Raja Mal-
ing.
Bukan main
gusarnya Raja Maling saat itu. Belum
pernah ia
mendapat hinaan demikian rupa. Apalagi,
oleh seorang
pemuda bau kencur seperti itu.
"Jahanam...!
Belum puas aku kalau belum mere-
guk darah
busukmu, Bocah! Sekarang, terimalah ke-
matianmu hari
ini dengan aji 'Sirep Sukma'-ku!"
Mendadak Raja
Maling menangkupkan kedua te-
lapak tangan
di depan dada. Kedua bibirnya pun ber-
kemik-kemik
membaca mantra aji 'Sirep Sukma'. Se-
lang beberapa
saat, Siluman Ular Putih merasakan tu-
buhnya lemas
sekali. Kelopak matanya terasa berat,
seolah
mendapat serangan kantuk luar biasa! Bahkan
kini mulai
limbung tak bertenaga.
"Celaka!
Kenapa tiba-tiba mataku jadi berat seka-
li? Ah...!
Jangan-jangan tua bangka itu mulai menge-
rahkan aji
'Sirep Sukma'!" gumam Soma berusaha se-
kuat tenaga
melawan kekuatan gaib yang tiba-tiba
menyerang
dirinya. "Hm...! Mumpung kekuatan gaib
Raja Maling
belum bertambah, kukira aku harus sege-
ra
mengerahkan ilmu sihirku yang kupelajari dari Raja
Penyihir...."
Maka tanpa
banyak pikir panjang lagi Siluman
Ular Putih
segera mengerahkan kekuatan batin. Tam-
pak kedua
bibirnya mulai berkemik-kemik menyerang
balik
kekuatan gaib Raja Maling.
"Semprul!
Kau menggunakan ilmu sulap macam
apa, he?!
Kenapa mataku jadi mengantuk begini? Kau
curang, Raja
Maling! Jangan-jangan malah kau yang
ku-rang
tidur! Hayo, buruan tidur! Kulihat matamu
mengantuk
sekali!"
Hebat bukan
main getaran suara murid Eyang Be-
gawan
Kamasetyo yang mengandung kekuatan sihir,
langsung
menyerang balik kekuatan gaib Raja Maling.
Seketika
tubuh Raja Maling jadi bergetar hebat. Tu-
buhnya
limbung tak bertenaga! Kedua kelopak ma-
tanya
tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa. Lelaki ini
berusaha
mengerahkan kekuatan gaibnya. Namun
sayang, yang
keluar hanya keluhan kecil. Ia tak sang-
gup melawan
getaran kekuatan ilmu sihir Siluman
Ular Putih.
Selang
beberapa saat, perlahan-lahan tubuh Raja
Maling luruh
ke tanah dan tidur mendengkur!
Soma tertawa
bergelak, puas melihat kehebatan
ilmu
sihirnya.
"Ah...!
Kau ini bagaimana sih, Raja Maling?! Tadi
menyuruhku
tidur. Sekarang, malah kau yang ngorok!
Sudah, ah!
Sana kalau mau ngorok! Jangan di sini!"
ejek Soma,
seraya menendang tubuh Raja Maling.
Bukkk!
Tanpa ampun,
tubuh Raja Maling langsung men-
celat tinggi
ke udara dan jatuh bergulingan dari pun-
cak Gunung
Kembang tanpa sedikit pun mampu men-
geluarkan
erangan!
Siluman Ular
Putih menatapi Lukisan Darah di
tangannya
penuh kagum. Lalu tubuhnya berkelebat
cepat. Begitu
sampai di tempat yang aman, disembu-
nyikannya
Lukisan Darah di sebuah semak-semak
tebal.
Sehingga tak seorang pun yang akan menyangka
kalau di
tempat itu terdapat benda berharga.
Selesai
dengan pekerjaannya, Siluman Ular Putih
kembali
berkelebat ke tempat semula. Dan baru saja
kakinya
berhenti melangkah....
"Bedebah!
Kau telah membunuh Raja Maling, Bo-
cah!"
bentak Raja Racun yang sempat melihat perbua-
tan Soma
tadi.
***
Entah kenapa
Siluman Ular Putih malah mengga-
ruk-garuk
kepala. Senyum nakalnya pun tak tersungg-
ing di bibir.
"Siapa
yang membunuh? Aku tidak membunuh.
Aku hanya
sebal melihat Raja Maling ngorok di sini.
Lalu
kutendang saja dia," kilah Siluman Ular Putih pu-
ra-pura
bersikap bodoh.
Raja Racun
mengeretakkan geraham penuh kema-
rahan.
"Jahanam...!
Kau harus bertanggung jawab atas
tewasnya Raja
Maling, Bocah!" geram Raja Racun.
Sekali memijakkan
kakinya ke tanah, tahu-tahu
Raja Racun
telah meninggalkan pertarungannya den-
gan Penguasa
Alam. Lalu, mantap sekali kakinya men-
darat
beberapa tombak di depan Siluman Ular Putih.
Dan saat
melihat sikap Siluman Ular Putih yang pura-
pura berlagak
pilon, Raja Racun tidak kuat menahan
gejolak
amarahnya.
"Kau
memang patut modar di tanganku, Bocah!
Terimalah aji
‘Telapak Tangan Kelabang Hitam’-ku ini!
Heaaa...!"
bentak Raja Racun garang.
Tanpa banyak
cakap lagi, Raja Racun segera
menghentakkan
kedua tangannya ke depan melontar-
kan pukulan
maut 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'.
Seketika
melesat dua larik sinar hitam legam dari ke-
dua telapak
tangannya yang disertai gemuruh angin
dingin, siap
melabrak tubuh Siluman Ular Putih.
Melihat
datangnya serangan maut, Siluman Ular
Putih pun
tidak berani bersikap seenaknya lagi. Kedua
telapak
tangannya yang telah berubah jadi putih te-
rang penuh
dengan tenaga 'Inti Bumi' segera didorong-
kan ke depan.
Wesss!
Wesss!
Blammm...!
Terdengar
satu ledakan dahsyat di udara begitu
dua kekuatan
dahsyat beradu. Puncak Gunung Kem-
bang kontan
bergetar hebat seolah ada gempa! Tanah
di seputar
tempat pertarungan pun berhamburan ting-
gi ke udara!
Tubuh Raja
Racun sendiri pun terpental beberapa
tombak ke
belakang. Parasnya pias! Tampak darah se-
gar membasahi
sudut-sudut bibir pertanda telah men-
derita luka
dalam.
Sementara
tubuh Siluman Ular Putih hanya tersu-
rut beberapa
tindak ke belakang. Namun sedikit pun
tidak
membahayakan bagi keselamatan murid Eyang
Begawan
Kamasetyo.
"Bajingan!
Kau selalu menghalang-halangi mak-
sudku, Bocah!
Demi iblis aku bersumpah akan mem-
bunuhmu!"
dengus Raja Racun penuh kemarahan.
Siluman Ular
Putih hanya tersenyum menggoda.
Mulutnya
dimoncongkan ke depan mengejek Raja Ra-
cun.
"Manusia-manusia
berhati ular macammu me-
mang patut
kubasmi, Raja Racun! Enyahlah ke tempat
asalmu di
dasar neraka!" desis Soma tak kalah gertak.
Kedua telapak
tangan Siluman Ular Putih yang
berwarna
putih berang kembali didorongkan ke depan.
Seketika
kembali meluruk dua larik sinar putih terang
dari kedua
telapak tangannya.
"Hup!"
Blarrr...!
Raja Racun
menggulingkan tubuhnya ke samping
hingga
pukulan tenaga 'Inti Bumi' menghantam batu
sebesar gajah
di belakangnya hingga hancur berkep-
ing-keping!
Kalau saja Raja Racun sedikit terlambat,
bukan
mustahil tubuhnyalah yang akan hancur!
Hal ini tentu
saja makin membuat nyali Raja Ra-
cun menciut.
Apalagi saat itu, Penguasa Alam tampak
masih sanggup
meladeni gempuran-gempuran kedua
orang
pengeroyoknya dengan mudah. Malah berkali-
kali tubuh
Pendidik Ulung dan Raja Golok dibuat jum-
palitan ke
sana kemari.
Raja Racun
gusar bukan main. Kalau keadaan itu
dibiarkan
lebih lama, bukan mustahil Pendidik Ulung
dan Raja
Golok akan tewas di tangan Penguasa Alam.
Sedang hal
itu tidak diinginkannya. Maka melihat kea-
daan yang
kurang menguntungkan, ia merasa harus
bertindak.
"Teman-teman!
Kita harus melaporkan kejadian
ini pada
Pangeran Pemimpin! Kita tak mungkin mene-
ruskan
pekerjaan ini selama masih ada kunyuk gon-
drong
itu!" teriak Raja Racun.
"Ya ya ya...! Begitu juga boleh! Daripada nyawa
kalian
melayang percuma di tempat ini!"celoteh Soma
menimpali.
Raja Racun
hanya melototkan matanya. Lalu
hanya sekali
menjejak tanah, tahu-tahu tubuh tinggi
kurusnya
telah berkelebat cepat menuruni puncak
Gunung
Kembang.
Di tempat
lain, Pendidik Ulung dan Raja Golok se-
dikit
mendapat kesulitan saat hendak meninggalkan
tempat
pertarungan. Karena Penguasa Alam terus
men-desak.
Namun setelah Pendidik Ulung dan Raja
Golok
melontarkan pukulan jarak jauh mereka dapat
meninggalkan
tempat pertarungan walau harus men-
derita luka
dalam cukup parah.
Dan begitu
melihat sosok Pendidik Ulung berkele-
bat cepat
menuruni puncak Gunung Kembang, Silu-
man Ular
Putih yang semula tidak ada niat mengejar
karena lebih
mengutamakan merebut harta karun dari
tangan
Penguasa Alam, tiba-tiba telah berkelebat ce-
pat. Langsung
dihadangnya Pendidik Ulung. Namun
sayangnya
lelaki tua itu malah segera menghentakkan
kedua
tangannya ke arah Siluman Ular Putih.
Soma
menggerutu kesal, saat melihat dua larik si-
nar putih
menyilaukan mata melesat dari kedua tela-
pak tangan
Pendidik Ulung. Dengan gerakan menga-
gumkan
tubuhnya segera dibuang ke samping. Dan
saat selamat
dari pukulan jarak jauh, Soma melihat
bayangan
Pendidik Ulung dan Raja Golok telah meng-
hilang entah
ke mana.
Siluman Ular
Putih kembali menggerutu kesal.
Namun belum
sempat bertindak, mendadak....
"Sekarang
giliranmu, Bocah! Kau harus modar di
tanganku!"
***
Emoticon