Serial Si Tolol - Serigala Berbulu Domba

Pengarang : Djair Warni
 
Entah berapa lama sang Raden bersungut-
sungut sendirian di atas kursi goyang itu. Keringatnya 
tampak semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. 
Dan Wangsa yang sedang uring-uringan, bagai 
bayi kehilangan dot itu tiba-tiba terhentak dari lamu-
nannya. Ia segera bangkit dari kursi itu dan langsung 
berdiri di dekat jendela sambil mengetuk-ngetuk bing-
kai jendela dengan ujung jarinya seakan-akan sedang 
mengalunkan sebuah lagu. 
Wajah Den Wangsa yang sebelumnya cemberut, 
kini berubah menjadi cerah. Rupanya sang ilham telah 
masuk ke otaknya. 
Hmmm... Tak  salah lagi. Pasti ada orang lain 
yang mendahuluinya. Aku yakin, bukan Si Picek itu 
yang mengerjakan, tetapi ada orang lain yang lebih du-
lu mengosongkan peti itu. Gumamnya sambil mang-
gut-manggut. 
Otak yang cukup brilian itu dengan cepat dipu-
tar bagai sebuah komputer. Ia terus mengingat-ingat 
kejadian-kejadian sebelumnya untuk memperoleh ja-
waban yang tepat dari kegagalan yang telah diala-
minya. 
"Ya...! Ini memang salahku sendiri. Mengapa 
otak itu kubiarkan terus melekat pada tubuh si anak 
bego' itu. Kalau tidak, tentu tak ada seorang pun yang 
bisa mendahuluinya. Eh...! Hmmm... tapi jangan-
jangan si Tolol sendiri yang mengerjakannya. Ya... bisa 
juga si Tolol yang berbuat sehingga si Picek kalah ce-
pat. Apakah si Tolol mampu berbuat semacam itu? 
Adakah orang lain di belakangnya? Ah... tidak! 
Mungkin saja si Tolol hanya berlagak blo'on untuk  
menyembunyikan kecerdasannya, padahal telah jauh-
jauh hari ia membuat rencana untuk memiliki harta 
itu. Kini harta itu telah berada di tangannya!" gumam 
Wangsa yang terus menduga-duga di dalam hati, 
"Hmmmh. Rupanya dia pun belum kenal siapa 
Wangsa!" Dalam soal  ngakal-mengakali persiapan  ku 
lebih dari segudang. Tunggu saja. Sebentar lagi aku 
akan membuktikannya, gumamnya lagi sambil terse-
nyum.  Jalan pikiran Den Wangsa tiba-tiba  terhenti 
dengan timbulnya suara gaduh dari ruang belakang. 
Suara-suara itu ternyata datangnya dari ruang 
dapur. Di ruang itu tampak Den Tompel, putra sulung 
Den Surya sedang marah-marah. Hampir semua pera-
botan dapur yang terdiri dari barang pecah belah be-
rantakan ke sana-ke mari terutama piring dan mang-
kuk-mangkuk. 
Encum telah berusaha mencegahnya, tapi apa 
daya, kemampuan gadis kecil ini terbatas sekali, ak-
hirnya ia hanya bisa duduk tersipu sambil menangis 
menyaksikan apa yang dilakukan oleh majikannya. 
Tetapi ketika melihat sang juragan itu men-
gambil sebuah kampak yang biasa digunakan untuk 
membelah kayu, Encum spontan berteriak dengan ke-
ras hingga suaranya terdengar hingga ke ruang depan. 
"Ya... Allah! Jangan dipecahkan semua perabo-
tan dapur ini, Gan...!" teriak Encum untuk mencegah 
atau menghindari kerusakan yang lebih parah lagi. 
"Diam kau!" bentak sang majikan dengan keras. 
"Ada apa sebenarnya Agan ini? Kenapa semua 
perabotan dapur yang menjadi sasaran?!" sela Encum 
yang mencoba memberanikan diri sambil menarik ga-
gang kapak itu dari tangan majikannya. 
"He, anak perempuan bau kencur! Tak usah 
kau campuri urusanku! Ini urusan majikanmu! Men- 
gerti kau?!" balas Tompel dengan nada mengancam. 
"Tapi Gan, kenapa perabotan itu yang menjadi 
sasaran? Sekarang Agan pun akan menghancurkan 
meja ini. Kenapa Gan, kenapaaaaaa...?" tanya Encum 
yang berusaha mencoba merebut benda yang masih 
digenggam oleh Den Tompel. 
Den Tompel yang datang dalam keadaan ma-
buk itu, sulit untuk mendapat nasehat maupun saran. 
Segala kehendaknya harus terlaksana dan tak ada 
yang boleh mencegahnya. Ini terbukti pada diri gadis 
kecil ini, tanpa merasa kasihan lagi sang majikan lang-
sung melemparkannya. Untung saja Encum tidak ja-
tuh ke dalam air yang masih mendidih atau ke peca-
han keramik-keramik yang berserakan di lantai. 
"Ku ingatkan sekali lagi padamu. Tutup mulut 
dan jangan banyak omong lagi. Kalau kudengar kau 
masih buka mulut, tahu sendiri akibatnya. Ku tempe-
leng kau habis-habisan. Mengerti?" ancam Den Tompel 
sambil menjambak rambut pembantunya. 
Sebelum melaksanakan niatnya Tompel segera 
mengambil pundi yang berisi tuak, kemudian ia mi-
num tuak tersebut hingga benar-benar kering. Semen-
tara itu kampak besar masih tetap berada di tangan-
nya. Encum kini tak berani lagi berbuat apa-apa, se-
bab ia takut sekali dengan ancaman sang juragan yang 
semua orang umumnya tahu, bahwa Den Tompel 
mempunyai watak yang keras dan setiap tindakannya 
selalu tanpa pikir panjang lagi. 
Ketika Den Tompel sedang menghabisi sisa mi-
numan yang ada di dalam botol itu, tiba-tiba datang 
Den Wangsa menemuinya. Ia langsung menepuk bahu 
kemenakannya sambil tersenyum. 
"Tak usah khawatir, Tompel...! Paman masih 
menyimpannya. Di kamar paman masih ada satu pun- 
di lagi, kau mau bukan?!" sapa sang paman yang tetap 
masih mengelus-elus bahu kemenakannya seakan-
akan terkesan penuh kasih sayang. 
"Oh...!" lenguh Tompel sambil bersendawa. 
"Paman memang sengaja menyimpannya un-
tukmu. Mari kita ambil." 
Sang paman yang sudah mempunyai rencana 
ini, langsung mengajak Den Tompel ke kamarnya. 
"Ada apa rupanya yang menyebabkan kau men-
jadi kalut begini, Nak?" tanya Den Wangsa dalam per-
jalanan menuju ke kamarnya. 
"Aku kalah lagi, Paman!" jawab Tompel tak 
acuh. 
"Ooo... cuma itu? Kalau cuma begitu sih tak 
usah khawatir." balas sang Paman. 
"Maksud Paman?!" tanya Den Tompel dengan 
mata mendelik memandangi Wangsa yang masih ter-
tawa lebar. 
"Kenapa musti repot-repot? Paman kan masih 
ada. Dan selalu bersedia memberikan bantuan untuk-
mu, di mana dan kapan saja kau perlukan," kata 
Wangsa dengan senyum yang tambah dibuat-buat. 
"Benarkah itu, Paman?!" ucap Tompel dengan 
mata yang tambah mendelik lagi dan semakin penuh 
perhatiannya kepada sang Paman itu. 
"Apakah selama ini paman suka berbohong pa-
damu? Hmmm... sudahlah. Mari kita masuk dulu, kita 
minum dan sambil ngobrol-ngobrol di dalam!" ujarnya 
lagi setelah membuka pintu kamarnya yang sebelum-
nya terkunci rapat. 
Dengan keramahan yang dibuat-buat Den 
Wangsa mengajak Den Tompel masuk ke kamarnya. 
Setelah Den Tompel duduk ia pun langsung menyedia-
kan minuman yang ia janjikan sebelumnya. 
 
"Ayolah minum, Nak...!" ujar Den Wangsa sam-
bil menyodorkan minuman keras tersebut. 
"Terima kasih, Paman!" ucap Den Tompel sete-
lah menerima minuman dari pamannya. Kemudian ba-
gaikan orang yang kehausan Den Tompel langsung 
menenggak minuman tersebut tanpa putus-putus dan 
dalam waktu singkat keringlah isi pundi yang baru di-
letakkan oleh Den Wangsa. 
"Nih...! Terimalah! Terserah kau, kapan saja 
gantinya. Seandainya kau belum ada dan masih mem-
butuhkan lagi. Jangan segan-segan, Pamanmu selalu 
siap membantu," ucap Den Wangsa sambil meletakkan 
beberapa uang logam di atas meja tak jauh dari pundi 
yang telah habis isinya. 
"Terima kasih, Paman," sambut Den Tompel ke-
girangan dan dengan cepat ia bangkit dari kursi. Sete-
lah meraup uang yang ada di meja. Tompel permisi ke-
pada pamannya untuk pergi. 
"Mau ke mana kau, Tompel?" tanya Den Wang-
sa dengan penuh perhatian. 
"Aku mau nebus kekalahan ku!" jawab Tompel 
singkat. 
"Tunggu...! Duduklah dulu!" pinta pamannya. 
"Ada apa lagi, Paman?" tanya Tompel yang tam-
paknya sudah bernafsu sekali untuk kembali berjudi. 
"Ketahuilah, Nak...! Kelakuanmu itu belum se-
berapa apabila kau bandingkan dengan harta milikmu 
yang kini kau belum peroleh. Boleh dibilang tak ada 
seujung kuku. He... he... heh!" bisik Den Wangsa mulai 
memanas-manasi keponakannya. 
Den Tompel yang rencananya akan berangkat 
dari tempat itu, terpaksa mengurungkan niatnya, ka-
rena apa yang didengarnya barusan sangat menarik 
perhatiannya. 
 
Sang paman pun cukup cerdik dalam menyu-
supkan hasutannya kepada Den Tompel, ia sengaja 
menyampaikannya sedikit demi sedikit agar si kepona-
kan itu menjadi penasaran. 
"Sebenarnya, apa yang paman maksudkan?" 
tanya Den Tompel yang tanpa disadari ia telah terpaku 
beberapa saat. 
"Ah... tidak... tidak apa-apa! Sebenarnya ini 
sangat rahasia, aku takut menyampaikannya," jelas 
sang paman kembali seakan-akan menguji, apakah 
Tompel mulai terpengaruh atau tidak. 
Ternyata Den Tompel tampaknya sangat serius 
sekali dengan cerita itu, ia mohon kepada pamannya 
untuk menjelaskan maksud dari ucapan pamannya 
tadi. 
"Cepatlah katakan, Paman. Apa sebenarnya 
yang telah terjadi di rumah ini. Tadi Paman menyebut-
nyebut masalah harta. Harta itu kepunyaan siapa dan 
di mana adanya...?" ujar Den Tompel dengan sungguh-
sungguh. 
"Sudah kukatakan tadi, bahwa ini adalah san-
gat rahasia. Tapi apabila kau berjanji tidak akan men-
ceritakannya kepada siapa-siapa dan tak membuka 
dari mana sumbernya, tentu aku akan menjelaskan-
nya kepadamu. Sebab ini adalah harta warisan yaitu 
tentang ketidakadilan dalam pembagian harta warisan 
oleh ayahmu kepada kalian, terutama kau anak yang 
paling tua," jelasnya dengan lembut namun sebenar-
nya adalah racun yang berbahaya apabila telah mera-
suk ke dalam jiwa orang yang dipengaruhinya. 
"Baik, Paman...! Sungguh aku berjanji tak akan 
menceritakan kepada siapapun juga,  termasuk ketiga 
saudara-saudaraku!" jawab Tompel yang semakin se-
rius. 
 
"Nah, kalau begitu baiklah. Sekarang kau den-
garkan! Sebenarnya dalam pembagian harta ada keti-
dakadilan!" ucap Den Wangsa. 
"Oh...! Mengapa bisa begitu?!" sahut Den Tom-
pel yang terus melotot seakan enggan berkedip, dalam 
menyimak pembicaraan tersebut. 
"Yah... inilah yang sebenarnya yang aku akan 
sampaikan kepadamu. Sebab biar sampai kapan pun 
kau tak akan mengetahuinya, kalau aku tak menje-
laskannya. Ada sejumlah harta yang sangat besar ni-
lainya, yaitu berupa emas permata sengaja tak ditu-
liskan oleh Juru Tulis Tirta atas pesan ayahmu." 
"Benarkah itu?!" sela Tompel kembali sambil 
menggaruk-garuk kepalanya, namun pandangannya 
tetap mengarah kepada pamannya. 
"Terserah bagaimana tanggapanmu. Aku hanya 
sekedar menyampaikan saja, sebab aku merasa sangat 
prihatin atas perlakuan Mas Suryakanta terhadap ka-
lian bertiga." 
"Ya... ya! Teruskan, Paman, teruskan!" seru 
Tompel yang kelihatan sudah tidak sabar lagi. 
"Harta yang begitu besar nilainya, kini sudah 
diberikan kepada si Tolol seorang!" bisik Wangsa ke te-
linga Tompel. 
"Gila!" suara Tompel tiba-tiba meledak sambil 
memukul meja yang ada di dekatnya dengan keras se-
kali, sehingga apa yang ada di atas meja itu jatuh be-
rantakan. "Bagaimana ini bisa terjadi, Paman?!" teriak 
Tompel kembali. 
"Sebenarnya aku ingin mengatasi masalah ini. 
Tapi kau harus mengerti, aku tak punya hak apa-apa 
dalam mencampuri urusan warisan kalian," ucap 
Wangsa sepertinya seorang yang penuh bijaksana, pa-
dahal dialah biang keroknya. 
 
Den Tompel yang masih terpengaruh minuman 
keras ditambah lagi dengan datangnya hasutan sema-
cam itu, tampak semakin beringas. Duduknya pun tak 
bisa tenang, bagai ada jarum di atas kursi yang ia du-
duki. Sebentar-sebentar ia bangun, kemudian duduk 
kembali, begitulah seterusnya. Yang terakhir ini ia 
berdiri tegap dengan kaki yang sebelah kanan dinaik-
kan ke atas kursi dan golok yang Sejak tadi sudah di-
keluarkan dari sarung, masih tetap digenggamnya. 
"Cepat katakan, Paman. Apa yang harus aku 
lakukan sekarang. Aku tidak terima perlakuan sema-
cam ini! Huh! Tak kusangka anak bego' macam dia le-
bih dihargai ayah dari pada kami bertiga! Terlalu!" 
ucap Tompel dengan mata yang mulai memerah. 
"Tenanglah Tompel, tenanglah dulu! Masih ada 
jalan keluar kalau kalian mau. Mudah sekali cara 
mengatasinya," ucap Wangsa yang berusaha terus 
memancing kemarahan Tompel hingga sampai pada ti-
tik puncaknya. 
"Lalu, bagaimana caranya, Paman?" tanya 
Tompel dengan antusias. 
"Kenapa susah-susah. Temui saja si Tolol," sa-
hut Wangsa sambil menghisap pipa yang baru saja 
disulutnya. 
"Lalu. Apa  yang musti kuperbuat setelah itu?" 
tanya Tompel lagi dengan nada gemas sekali. 
"Mintalah harta itu, kemudian kalian bagi men-
jadi empat bagian. Masalah pengaturannya terserah 
kaulah, apakah kalian mau bagi  sama rata atau kau 
yang merasa lebih tua harus mendapatkan lebih ba-
nyak," ujar Wangsa yang terus menerus membakar pe-
rasaan Tompel. 
"Bagaimana kalau dia tak mengaku?" tanya 
Tompel sambil menggebrak meja untuk kesekian ka- 
linya. 
"Kau ini benar-benar tolol sekali. Masa' menga-
tasi persoalan macam begitu harus minta diajari juga. 
Atasilah dengan caramu sendiri. Mana ada sih maling 
yang mau mengaku?" 
Lidah beracun dari si Wangsa ini sangat jitu 
sekali.  Kata demi kata yang begitu manis dan keluar 
dari mulut busuknya telah benar-benar meresap ke 
tubuh Tompel dari mulai ujung kaki sampai ke ubun-
ubun. Kekalahan judi dan minuman sudah tak terin-
gat lagi di dalam benaknya. Kini yang tersirat hanyalah 
harta yang mempunyai nilai besar. Itulah sebabnya ia 
berkali-kali mengerutkan alisnya yang disertai desahan 
nafas yang memburu. 
Melihat keadaan tersebut si Goreng Patut 
Wangsa, cukup kecut juga hatinya. Jangan-jangan bu-
kan hanya meja dan kursi yang patah, tetapi tulang-
tulangnya pun bakal remuk kalau sampai Tompel 
mengamuk di kamarnya. Untuk mencegah hal tersebut 
ia buru-buru membujuk anak yang sudah kalap itu. 
"Sudahlah! Cepat kau selesaikan masalah ini. 
Jangan sampai pihak Kota praja mengesahkan pemba-
gian waris yang kini sedang digarap oleh Juru Tulis 
Tirta," ucap Wangsa sambil memandang keadaan di 
luar melalui jendela kamarnya. 
"Huuh! Di mana dia sekarang, Paman?" tanya 
Tompel kepada Wangsa yang masih tetap dengan posi-
sinya, membelakangi Tompel. 
"Entahlah! Cari sendiri! Selama ini memang dia 
jarang di rumah. Kelihatan sekali kelicikannya, bu-
kan?!" jawab Wangsa tanpa menoleh sedikitpun juga, 
"Rupanya dia berusaha menghindari diri dari kalian 
bertiga. Tapi kau pun harus waspada pula. Tak mung-
kin ia bekerja sendiri, pasti ada orang lain di bela- 
kangnya." 
"Siapa orang itu, Paman?" tanya Tompel sema-
kin penasaran. 
"Siapa lagi kalau bukan dia! Memang selama ini 
ia tampaknya lemah tak berdaya, kita suruh apa saja 
dia mau mengerjakannya, diberi atau tidak upahnya 
dia menerima saja. Ternyata orang yang kita kasihani 
itu punya tujuan tertentu di dalam rumah ini. Pantas 
saja ia sangat dekat sekali dengan si Tolol, aku baru 
tahu sekarang." 
Istilah sekali mendayung dua buah pulau ter-
lampui, mulai digunakan Wangsa, tapi istilah yang di-
buat untuk tujuan baik, baginya digunakan untuk tu-
juan memperlancar tujuan jahatnya. 
"Kau sudah dapat menerka, siapa orang itu, 
bukan?" tanya Wangsa kepada Tompel. 
Tompel yang saat itu masih mengingat-ingat 
orang yang dimaksud oleh pamannya diam sejenak. 
"Ya! Aku sudah tahu!" ucap Tompel setelah da-
pat mengetahui orang yang dimaksud pamannya. 
"Siapa?" tanya pamannya kembali. 
"Siapa lagi kalau bukan si Tua Bangka itu!" ja-
wab Tompel yang tak bosan-bosan menggebrak meja. 
Untuk kali ini bukan dengan tangan, tetapi dengan go-
lok yang dibacokkan ke meja Den Wangsa hingga tem-
bus ke bawah. 
"Ya... ya, carilah mereka. Dan yang lebih utama 
kau harus cari si Tolol itu!" sambut Den Wangsa sam-
bil meringis dengan mata yang terus melirik ke meja 
ukiran kesayangannya yang rusak akibat bacokan ta-
di. 
"Paman! Di Babakan Sumedang ini semua su-
dah tahu, bahwa aku tak bisa dibikin sembarangan. 
Kurang ajar betul mereka itu. Hmmmmh...! Biar. Kalau  
ketemu akan kutebas batang lehernya." 
"Ya...ya. Aku tahu itu! Cepatlah kau urus harta 
mu itu!" pinta Wangsa dengan harapan agar kemena-
kannya yang berangasan itu cepat-cepat angkat kaki. 
Setelah Den Tompel beranjak dari tempat terse-
but, hati Den Wangsa terasa 'plong' sekali. Sekarang ia 
dapat tenang berdiri sambil tersenyum penuh keme-
nangan dan ia pun sudah membayangkan apa yang 
bakal terjadi di antara  mereka. Suasana kamar yang 
acak-acakan tak dihiraukan dan dibiarkan begitu saja, 
karena ada suatu hal yang penting lagi baginya, yaitu 
menyusun skenario baru untuk korban lainnya. 
Rupanya si Goreng Patut sudah mendapat ide 
lagi, sebab wajahnya nampak berubah cerah. Setelah 
merapikan  rambut dan blangkon, Wangsa kemudian 
merebahkan diri di kursi goyang. 
Semut di seberang laut dapat terlihat, gajah di 
depan mata tak dilihatnya, ini terjadi pada diri si Ma-
nusia Tamak alias Wangsa. Yang ia pikirkan hanya ha-
sutan supaya Tompel dan saudara-saudara lainnya 
saling tuding sehingga timbul pertengkaran yang ber-
bahaya, sedang kursi goyang yang didudukinya itu pa-
da akhirnya terdapat bekas bacokan golok waktu Den 
Tompel marah. Ini tak disadarinya. Kemudian begitu ia 
menggoyangkan kursi tersebut, tanpa ampun lagi, 
"Bruaaaaaak!" Suara kursi yang ambrol itu dengan ke-
ras sekali. 
"Huuuk...! Hh... hh... Toloooooooong! To-
loooooooooong!" teriak Wangsa yang terjepit di antara 
patahan kayu. 
Setelah berkali-kali berteriak tak ada yang me-
nanggapinya, akhirnya si Wangsa sadar juga bahwa di 
dalam rumah tersebut memang kosong, yang ada cu-
ma dia seorang. 
 
Dengan susah payah Wangsa berusaha bang-
kit, sama halnya seperti Den Tompel yang terperosok 
di tepi kali dalam usaha mencari si Tolol. Pada saat itu 
Den Tompel pun baru saja bangun setelah jatuh waktu 
melewati batu-batu yang licin di dekat pancuran. 
Cukup lama si Tompel mencari adiknya, namun 
belum juga berhasil dijumpai. Beberapa tempat yang 
biasanya si Tolol gunakan untuk bermain dan beristi-
rahat sudah di cari, begitu pula dekat warung tempat 
Tompel mangkal, tetap nggak ketemu juga. 
"Sial! Ke mana perginya tuh anak, biasanya ada 
di sekitar ini! Biar...! Kalau ketemu akan kuhajar ha-
bis-habisan anak kurang ajar itu! Tak kusangka anak 
sebego' itu bisa menipuku. Huh! Benar-benar terlalu!" 
gumam Tompel tak habis-habisnya. 
Setelah berjam-jam mencari si Tolol tak juga 
berhasil, akhirnya Den Tompel menghentikan lang-
kahnya di suatu tempat yang teduh dengan tujuan un-
tuk beristirahat. Ia membaringkan badannya di bawah 
pohon yang sebelumnya telah ia beri alas dengan bebe-
rapa pelepah pisang. 
Rasa penasaran masih tampak di kerut wajah-
nya, sepertinya kebencian terhadap si Tolol benar-
benar mendalam sekali. Ini semua akibat ulah si 
Wangsa yang tamak dan serakah itu. Dalam mengejar 
tujuannya tak segan-segan ia  mengorbankan kemena-
kannya sendiri. Tompel yang terkenal pemarah dan 
nekad, telah menjadi sasaran empuk baginya. Hasutan 
beracun yang keluar dari mulut Wangsa yang busuk 
itu benar-benar telah merasuk ke dalam jiwa putra su-
lung Raden Suryakanta ini. Oleh sebab itulah ia ber-
nafsu sekali untuk mencari adiknya yang bungsu dan 
entahlah  apa yang terjadi apabila ia telah menda-
patkannya. 
 
Di saat Tompel sedang melepaskan lelah, tak 
ada salahnya apabila kita menengok sejenak apa yang 
sedang dilakukan Raden Wangsa yang gila harta itu. 
Rupanya ia sedang asyik santai di pembaringan sambil 
memandang ke langit-langit dan sekali-sekali  tampak 
ia  tersenyum simpul sendirian. Rupanya ia sedang 
membayangkan sesuatu yang telah terjadi terhadap 
Tompel dan adiknya. 
"Mmmh! Inilah yang kuinginkan. Kalau si Tolol 
sudah tamat riwayatnya, termasuk pesuruh tua bang-
ka itu. Bakal kubuat lagi persoalan baru, supaya pe-
mabuk itu berurusan dengan si Kasep tukang adu 
ayam. Kalau tidak demikian, mana mungkin ku dapat 
mengalahkan mereka. Disamping mereka masih muda 
dan kekar, ilmunya pun cukup lumayan. Apabila si 
Tompel yang memiliki beberapa anak buah, mana 
mungkin bisa kuhadapi. Yang paling kuharapkan di 
antara Tompel dan Kasep ini dapat saling bertikai. In-
ilah yang paling seru!" ucap Wangsa yang berbicara 
sendirian, kemudian ia pun merogoh saku bajunya un-
tuk mengambil jam kantongnya, "Hmmmh. Sebentar 
lagi Si Kasep pulang. Aku harus menyambut kedatan-
gannya mulai dari sekarang." ucapnya lagi. 
Rupanya Wangsa sudah menyusun acara baru 
untuk menghasut Den Kasep. Entah apa lagi hasutan 
yang akan diberikan olehnya untuk putra Den Surya-
kanta yang kedua ini. Kalau sampai hal.ini terjadi, be-
rantakanlah keluarga almarhum  Raden Ageng Surya-
kanta. 
 
 
*** 
 
 
 
Kini kita beralih sejenak untuk melihat si Tolol. 
Anak yang sedang dalam pengejaran kakaknya ini, se-
benarnya berada tak jauh dari tempat Den Tompel be-
rada. Sejak pagi hari Tolol telah berada di tempat itu 
untuk memancing ikan, ia duduk dengan tekun di atas 
batu sambil mengamati pancingnya yang tak pernah 
disenggol ikan. Sudah berkali-kali ditukar umpannya, 
namun tetap saja ikan tak ada yang mau memakan-
nya. Saking kesalnya sisa getuk bekas ia makan di ta-
ruhnya di ujung kail, mungkin itulah cara yang terbaik 
menurutnya. Inilah yang sekarang sedang ditunggu 
hasilnya. 
"Wah...! Benar-benar berengsek, nih! Tidak ada 
yang mau makan sama sekali. Padahal sudah kuberi 
makanan yang baru, tapi tetap saja tak ada yang mau 
makan. Apa di dalam air sedang ada undangan ma-
kan-makan sehingga mereka kenyang semuanya...?!" 
gumam si Tolol dengan kesal, "Ah. Kalau begitu aku 
mau pulang aja, ah. Biarin pancingnya kutinggal di si-
ni, siapa tahu kalau kuangkat besok, sudah ada ikan 
yang menyangkut!" gumamnya lagi. 
Setelah menggeliat beberapa kali, si Tolol ban-
gun dari duduknya, kelihatannya ia akan meninggal-
kan tempat itu. 
"Besok aku ke sini lagi! Pokoknya pancing ku 
besok harus dapat ikan yang gede...! Tapi... eh, seka-
rang pun... oh... ada yang makan! Horeeeee...! Pancing 
ku  dimakan!" teriak Tolol kegirangan, kemudian ia 
langsung menarik pancingnya perlahan-lahan, setelah 
dirasakan pas maka digentaknya keras-keras," Ho-
reeee... dapaaaaaat .!" teriaknya semakin keras lagi. 
 
Saking girangnya, si Tolol langsung menubruk 
hasil tangkapannya. Apa yang terjadi? Begitu ia tu-
bruk, langsung ia berteriak dengan sekuat tenaga. Te-
riakan kali ini, bukan karena gembira tetapi karena 
kesakitan akibat japitan kepiting. Rupanya bukan ikan 
yang ia dapatkan melainkan hanya seekor anak kepit-
ing. 
"Wadoooouuuw...! Tolooooooooong, to-
looooooong!" jerit si Tolol dengan keras sambil mengi-
bas-ngibas tangannya. 
Walaupun kepiting tersebut sudah lama jatuh 
ke tanah, tapi si Tolol masih tetap saja berjingkrak-
jingkrak ketakutan. Ia masih menganggap kepiting ter-
sebut masih menggigit tangannya. 
Si Tompel yang sejak tadi berada di dekat si To-
lol, baru mengetahui bahwa adiknya berada di balik 
semak-semak dan rimbunan pepohonan itu dan begitu 
mendengar suara si Tolol menjerit, ia langsung melom-
pat menghampiri adik kandung yang sejak tadi dica-
rinya. 
Melihat kedatangan kakaknya, si Tolol bukan 
main girangnya, sebab kedatangan Tompel ke situ pas-
ti untuk menolongnya. Oleh karena itulah sifat man-
janya timbul dan tangisnya semakin menjadi-jadi. 
"Waaaaa...!! Uuuwaaaaaaa...! Kang Tompel...! 
Tolongin Kang, tolongin Tolol, Kang...!! Aduuuuuh sa-
kitnya bukan main, kang... Kenapa Akang diam saja, 
ayo dooong tolongiiiiin...! Biarin deh Tolol nggak kasih 
jajan, yang penting tolongin Tolol. Tolol di japit kepiting 
nakal nih!" teriak si Tolol yang  terus meratap tanpa 
henti-hentinya. 
"Hmmmmh...!" gumam kakaknya dengan mata 
yang beringas. 
Kedatangan Tompel yang disangka untuk me- 
nolongnya, ternyata jauh di luar dugaannya. Tompel 
langsung menjambret baju adiknya dan kemudian 
mengangkatnya tinggi-tinggi! 
"Katakan cepat. Di mana kau sembuyikan peti 
harta itu?!" 
"Peti apa, Kang?!" 
"Jangan berpura-pura! Ayo berikan padaku!" 
"Sungguh, Kang. Tolol nggak tahu! Aduuuh sa-
kit, nih. Lepaskan Kang. Aduuuuh...!" 
"Lepaskan monyong lu! Kau dengar tidak, hah?! 
Di mana kau sembunyikan harta itu! Ayo ja-
waaaaaab...!" 
"Tolol enggak tahuuuu...!! Wa... aaa...!" 
"Jangan berlagak tolol kau, hah?!" 
Tompel yang sudah terpengaruh tuak atau mi-
numan keras dan disertai hasutan dari pamannya se-
makin beringas kelihatannya. Begitu berkali-kali ber-
tanya tetap tak mendapat jawaban, ia langsung me-
lemparkan tubuh adiknya ke batu-batu cadas. Malang 
benar nasib si Tolol saat itu, dari kepalanya yang botak 
itu tampak mengeluarkan darah akibat terbentur batu. 
"Uuu...! Kang Tompel jahat! Kang Tompel jahat! 
Lihat nih, kepala Tolol sakiiiiiit. Tuh... berdarah... lagi!" 
"Ayo jawaaaaab!" 
"Jawab apaan dooooong! Uuuu... uuu... uu!" 
"E... eh. Masih tak mau menjawab juga?! Biar. 
Ku gusur kau sampai mampus!" 
"Aduuuuh.. ampuuuuuun! Kang... sakit, Kang!" 
teriak si Tolol memelas. 
"Selama kau tidak mau menjawab, akan kuse-
ret terus sampai mampus!" 
"Ampuuuun...! Sungguh, Kang. Tolol tidak ta-
hu! Tolol tak pernah melihatnya! Aduuuuuuh sakiiiiit!" 
"Bohong!" bentak Tompel dengan sengitnya. 
 
Luka si Tolol semakin banyak, begitu pun da-
rah yang keluar dari tubuhnya karena banyak terben-
tur batu. Namun sang kakak yang sedang kerasukan 
iblis tetap saja menyeretnya tanpa betas kasihan ter-
hadap saudara kandung sendiri. Jerit tangis dan rata-
pan yang sangat memilukan, sedikit pun tak membuat 
hatinya bergeming. 
Entah seberapa jauh si Tolol diseret oleh kakak 
kandungnya sendiri, tak dapat diperkirakan secara 
pasti, namun yang jelas si Tompel telah menyeretnya 
sampai ke daerah perladangan yang sangat jauh dari 
kali. 
Secara kebetulan pada saat itu Pak Kohar se-
dang berada di kebun untuk mengambil rumput untuk 
ternak. Bukan main terkejutnya pesuruh tua ini ketika 
melihat perlakuan sang majikan terhadap saudara 
kandungnya sendiri. 
"Ya... Allah...! Dosa apakah yang membuat Den 
Tolol disiksa sampai begitu, Den...! Hentikan Den. Ka-
sihanilah saudaramu. Dia kan adik kandungmu sendi-
ri. Seharusnya kaulah satu-satunya anak tertua yang 
harus membimbingnya!" teriak Pak Kohar sambil ber-
lari ke arah Tompel. 
Sementara  itu raungan dan tangis Tolol yang 
kesakitan masih tetap terdengar dan sangat memilu-
kan. Melihat keadaan itu Pak Kohar berusaha merebut 
si Tolol dari tangan kakaknya yang kemasukan iblis. 
Tapi si Tompel yang kesetanan ini tak perduli lagi sia-
pa yang datang, sehingga pesuruh tua yang telah men-
gabdi selama puluhan tahun turut menjadi korban ke-
biadabannya. Golok yang dipegang si Tompel dengan 
cepat berayun dan langsung merobek perut orang tua 
yang sangat kurus dan lanjut usia ini. 
Tubuh yang tua renta itu pun ambruk sebelum  
berhasil melaksanakan niatnya. 
"Cuiiih! Tua bangka sok tahu! Makanya jangan 
sok mencampuri urusan orang lain. Rasakan akibat-
nya!" umpat si Tompel sambil menggulirkan tubuh Pak 
Kohar dengan kakinya. 
Si Tolol menjerit keras sekali ketika melihat 
pembantu kesayangannya menjadi korban keganasan 
kakaknya. Tapi apa daya, ia sendiri di dalam keadaan 
tak berdaya. 
Nafsu iblis masih juga belum pindah dari tu-
buhnya. Kini Tompel kembali menyeret tubuh adiknya 
ke sebuah kolam yang cukup dalam airnya. Setelah 
sampai di tempat tersebut tubuh si Tolol dilemparkan 
tanpa belas kasihan. 
"Di sinilah kuburanmu, anak mas yang tak ta-
hu diuntung! Sebentar lagi kau akan menyusul si tua 
itu ke akherat!" ucap si Tompel sambil mencabut kem-
bali goloknya. 
"Ampun Kang...! Ampuuuuun...! Tolol minta 
ampuuuun! Aduuuuh. Pedih sekali...! Ayaaaah... 
Ibuuuuu... tolooooooooooong...! Auff... auf... uuf...!" te-
riak si Tolol dengan suara yang mulai melemah, akibat 
terlalu banyaknya siksaan yang ia terima. 
"Aku tak akan membiarkan mu hidup, selama 
kau belum juga mengatakan di mana harta itu kau 
simpan. Ayo katakan di mana peti harta itu...! Ce-
paaaaaat!" teriak Tompel sambil mengancam si Tolol 
dengan golok yang ditempelkan di leher anak itu. 
"Tidak tahu! Tidak tahu! Tolol tidak punya har-
ta. Sungguh biar mati, Kang. Biar disambar gledek To-
lol berani sumpah! Tolol tidak bohong!" 
"Bandel benar kau ini, hah? lebih baik mampus 
saja! Hiiikh! Mampus kau! Hhh! H... hhh!" 
Tindakan yang lebih kejam dilakukan lagi oleh  
Tompel kepada adiknya. Dengan cengkraman sangat 
kuat, ia menekan tubuh Tolol ke dalam air. Tubuh 
anak itu pun menggelepar beberapa saat dalam mela-
wan maut. Setelah tak berdaya barulah dia lepaskan 
dan membiarkan adiknya mengambang begitu saja. 
Kemudian Tompel melangkah meninggalkan tempat 
itu, nafasnya tampak tersengal-sengal dan keringat de-
ras mengucur dari dahinya. Inilah rupanya yang diha-
rapkan Wangsa, Si Manusia Rakus itu. 
Den Tompel kembali ke tempat di mana ia be-
ristirahat tadi. Di situ ia duduk termenung meman-
dangi derasnya air yang sedang mengalir di sungai itu. 
Baru beberapa saat ia berada di situ, tiba-tiba 
datang seorang laki-laki menghampirinya. Laki-laki itu 
tak lain adalah Den Kasep, saudara kandungnya juga. 
"Bangun kau keparat!" bentak Kasep sambil 
menendang Tompel dengan keras. 
Dalam keadaan tidak siap, tentu saja membuat 
Den Tompel terjungkir ke dalam air. 
"Bangsat! Apa-apaan kau ini, Hah?!" teriak Den 
Tompel yang langsung melesat kembali ke tepi sungai. 
"Jangan coba-coba kau mengangkangi harta 
itu. Selama aku masih ada! Paman bilang, kau hendak 
menyerahkan harta milik Ibu yang berada di dalam pe-
ti itu, bukan?! Dia juga mengatakan bahwa kau akan 
membunuh adikmu satu persatu. Ini sudah terbukti. 
Sekarang kau telah membunuh Tolol, adik kita. Tetapi 
kau tak akan bisa melakukannya terhadapku, bang-
sat!" teriak Den Kasep yang tampak beringas sekali. 
Rupanya Den Kasep pun sudah termakan ha-
sutan yang diberikan oleh pamannya. Mulut busuk be-
racun itu sungguh luar biasa, kini satu lagi seorang 
putra Den Surya yang menjadi korbannya. 
"Sebelum kau bunuh kami yang masih tersisa,  
lebih baik kau yang harus kubikin mampus. Lihatlah 
golok ini! Golokmu yang kau tinggalkan tak jauh dari 
tempat penyiksaan si Tolol. Sekarang kau dapat rasa-
kan bagaimana golok ini memangsa tuannya sendiri!" 
Den Kasep dengan cepat menyerang kakaknya 
dengan golok yang didapatkan dari pinggir kolam. Se-
rangan yang begitu keras berusaha dihindari walau-
pun tangan kirinya harus menerima goresan senjata 
tajam tersebut. 
"Bangsat!" teriak Tompel sambil memegang len-
gan kirinya yang tampak mulai mengeluarkan darah, 
"Kau ingin menyusul si Tolol rupanya, hah?!" bentak-
nya lagi sambil mengeluarkan sebuah pisau raut dari 
balik bajunya. 
"Kaulah yang akan menyusulnya. Mana mung-
kin manusia pemabukan seperti kau dapat melawan 
orang macamku! Si Tolol dan Pak Kohar memang mu-
dah kau bunuh, karena keduanya tak mungkin mela-
wan walau diapakan juga." 
"Diam kau bangsat! Baru memiliki ilmu silat 
yang tanggung saja sudah mulai berlagak macam pen-
dekar. Padahal membunuh seekor kadal pun tak 
mampu!" 
"Ya! Tapi untuk membunuh manusia serakah 
macam kau, sangat mudah kulakukan, mengerti!?" 
Kedua kakak beradik itu kembali bertarung 
mati-matian. Seluruh kemampuannya kali ini mereka 
keluarkan agar bisa memenangkan pertarungan. Ber-
kali-kali Den Kasep terkena hantaman dari kakaknya, 
sehingga tidak sedikit luka yang terdapat di sekujur 
badan. Begitu pula Den Tompel, banyak pula sabetan 
golok dari adiknya yang mendarat di badannya. 
Pertarungan kedua saudara ini semakin lama 
semakin lamban, mungkin disebabkan oleh banyaknya  
luka yang terdapat di tubuh masing-masing, atau 
mungkin juga karena mereka telah bertanding dengan 
waktu yang begitu lama. Biarpun begitu, keduanya te-
tap berupaya untuk memenangkan pertandingan, se-
hingga di suatu saat, sebuah pisau milik si Tompel 
menghunjam tepat di ulu hati adiknya. 
Gerakan reflek Den Kasep sangat fatal bagi 
Tompel yang kurang cepat menghindar. Dengan meng-
himpun sisa tenaganya yang ada. Den Kasep langsung 
menghunjamkan pula golok yang tergenggam kedua 
belah tangannya itu tepat di belakang tubuh Den Tom-
pel. Maka ambruklah kedua saudara itu ke dalam air. 
Den Kasep benar-benar ambruk tak berkutik 
lagi, sedangkan Den Tompel masih sempat merayap ke 
tepi, kemudian berjalan terhuyung-huyung ia berusa-
ha pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang itu, 
berkali-kali ia jatuh bangun, namun ia tetap berusaha 
pulang agar bisa bertemu dengan pamannya, si Goreng 
Patut itu. 
"Pamaaaan...! Pamaaaaan...!" ucap Den Tompel 
lemah sambil mendorong pintu halaman rumahnya, di 
dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia terus mema-
suki rumah tersebut sambil memanggil-manggil pa-
mannya, "Pamaaaaan...! Berikan harta itu semua pa-
daku. Hhh... hhh... hhh... hhh! Sekarang aku akan 
menjadi orang kaya, ya, Paman... sebab semua harta 
milik Tolol dan Kasep sudah jatuh ke tanganku. Ayo 
cepat. Paman...! Berikan juga bagian Lungguh buatku. 
Jangan khawatir. Aku akan segera membereskan bo-
cah itu secepatnya...!" 
Den Tompel yang semakin tak berdaya terus 
merayap menuju ke kamar pamannya. Bayangan harta 
yang berlimpah di kelopak matanya telah membuat di-
rinya bertahan. Padahal pandangannya sudah semakin  
tak jelas, kadang-kadang kabur sama sekali. 
"Paman...! Di mana kau...! Ke marilah lekaaaas! 
Sekarang akulah yang paling berkuasa di rumah ini! 
Semua sudah kubereskan. Kau dengar itu. Paman?" 
ucapnya lagi dengan suara terputus-putus. 
"Ya! Aku telah mendengarnya!" sahut sang pa-
man yang baru saja keluar dari balik pintu. 
"Bagus. Kau memang manusia yang paling tolol 
dan gampang dipengaruhi, apalagi dengan harta, se-
hingga kau sanggup membunuh adik-adikmu sendiri. 
Ha... ha... ha...! Kaulah sebenarnya yang paling tolol 
bila di banding dengan adikmu yang tolol itu. Hah... 
hah... hah... hah! Apakah kau kira dengan hasil jerih 
payahmu kau akan berhasil mendapatkan harta yang 
kau ingini? Puiih! Lihat ini, goblok!" ujar Wangsa sam-
bil melambaikan selembar kertas. "Kau tentu bisa 
membacanya! Ini adalah surat segel yang syah dari Ko-
tapraja. Di sini tertulis bahwa semua harta kekayaan 
ayahmu telah diberikan kepadaku!" 
"Tidak...! Tidak bisa! Semua adalah milikku! 
Rupanya kau pun ingin kucincang seperti mereka. 
Hah?!" 
"He... he... heh! Ingat, Tompel! Kau ini sedang 
sekarat. Berdiri saja pun tak bisa! 
Tapi sebelum kau mampus, perlu juga ku sam-
paikan bahwa kau tak lebih dari seorang budak dan 
sebagai alat untuk mencapai tujuanku. He... he... heh!" 
Wangsa yang masih terus berbicara dengan 
pandangan mengarah ke jendela tak sadar bahwa tu-
buh Tompel telah lunglai tersungkur akibat banyaknya 
darah yang keluar. Nyawanya melayang. 
"Sial! Kalau ku tahu, tak mungkin aku bicara 
terus!" ucap Den Wangsa ketika memalingkan muka ke 
arah Tompel, "Huh! Sial! Bikin repot saja!" ucapnya lagi  
sambil melangkah ke luar untuk memanggil para pem-
bantu setianya. 
Tak berapa lama kemudian enam orang anak 
buahnya muncul bersama Den Wangsa memasuki ru-
mah tersebut. Setelah mereka berada di dalam. Den 
Wangsa pun segera membagikan tugas. 
"Hanya itu tugas kalian. Yang penting sekarang 
urus mayat Den Tompel ini baik-baik, kemudian cari 
korban lainnya supaya dapat dimakamkan berdekatan 
dengan orang tuanya." 
"Bagaimana kalau urusan mencari Den Lung-
guh, diserahkan padaku?" tanya salah seorang anak 
buahnya. 
"Ada apa rupanya...? Kau kelihatan berminat 
sekali?!" 
"Sebab aku ingin membalas kematian saha-
batku, Den Tompel! Baru kali ini ada orang yang tega 
membunuh kakak kandungnya. 
Baru kali ini aku menyaksikan pembunuhan 
yang dilakukan oleh adik kandungnya sendiri." 
"Sudahlah... yang penting laksanakan tugas ka-
lian masing-masing. Itu urusanku!" 
"Tapi... di mana kira-kira tempat kejadian itu, 
sebab tak mungkin kita dapat mencari di malam begi-
ni, kalau tempatnya jauh sekali." 
"Kurasa tak jauh dari tempat Pak Kohar, pesu-
ruh tua yang kalian temukan." 
"Ya... ya...! Aku mengerti sekarang!" 
"Laksanakanlah! Makin cepat kalian selesaikan. 
Makin cepat pula kita mengadakan pesta. Lihatlah 
pundi-pundi tuak itu. Semuanya sudah ku siapkan 
untuk kalian semua." 
"Baiklah, Gan. Kami berangkat dulu! Ayo kita 
bawa angkat Den Tompel ini ke kamarnya. Biar nanti  
ku panggilkan orang yang biasa mengurus jenazah." 
Keenam orang itu dengan hati-hati mengangkat 
tubuh Den Tompel, karena mereka semua sangat de-
kat dengannya, terutama di meja judi. Setelah mayat 
itu dibaringkan di kamar, maka mereka langsung ke-
luar untuk melaksanakan tugas berikutnya. 
Dalam hal ini Den Wangsa pun telah menjejali 
hasutan-hasutan yang telah membakar nafsu amarah 
pada diri mereka masing-masing. Sebab kematian Den 
Tompel menurut versi sang juragan gendut tersebut 
adalah hasil perbuatan dari Den Lungguh, termasuk 
kematian Pak Kohar, Den Kasep dan si Tolol. Jadi di 
samping melaksanakan tugas, mereka pun  mempu-
nyai rasa dendam terhadap Den Lungguh. Untunglah 
beberapa hari ini Den Lungguh sendiri jarang pulang, 
sang Play-Boy Kampung itu masih asyik melaksanakan 
operasinya di kampung-kampung yang belum banyak 
mengenal dirinya lebih dekat. 
Sang Raden yang sering  mengobral rayuan 
gombal ini, sejak kematian ayahnya. 
jarang sekali pulang ke rumah. Ia menginap di 
mana saja, seperti pada saat itu, ia sedang berada  di 
pelosok kampung yang jauh sekali letaknya dari tem-
pat tinggalnya. Tentu sudah dapat diterka. setiap ia 
mau tinggal di situ pasti ada yang diharapkan. 
 
*** 
 
 
Suasana pagi di daerah sekitar Babakan Sume-
dang terasa dingin sekali. Tetapi para penduduk kam-
pung yang telah terbiasa dengan udara seperti itu te- 
tap menjalankan kegiatan sehari-hari. Di saat mataha-
ri terbit di ufuk Timur, para petani telah berada di sa-
wah. Mereka bekerja dengan giat demi kebutuhan hi-
dup anak dan istri. Begitu pula para pedagang sejak 
pagi buta mereka telah berkumpul di pasar, padahal 
perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu ber-
jam-jam dengan berjalan kaki. 
Hal yang sama dilaksanakan pula oleh sang 
Raden yang perlente ini. Den Lungguh di pagi itu su-
dah mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah 
kenalan barunya. Setelah menyisir rambut dan mera-
pikan belangkon, ia pun mengenakan pakaian kebesa-
rannya. 
"Mau ke mana, Raden...?" tanya seorang dara 
yang masih terbaring di atas ranjangnya dengan sua-
sana yang awut-awutan. 
"Pagi ini aku ada urusan penting sekali, Geu-
lis...!" ucap Den Lungguh yang tetap masih berdiri di 
hadapan cermin. 
"Kenapa harus pagi-pagi sekali?" tanya dara itu 
kembali. 
"Aku tak mau rugi untuk kedua kalinya. Kalau 
sampai aku terlambat berarti aku harus menderita ke-
rugian yang besar." sahut Den Lungguh sambil meno-
leh ke arah wanita muda yang masih tetap berbaring 
dan berselimut kain untuk menutupi tubuhnya. Yang 
bugil. 
"Urusan dagang, Den?" tanya dara itu semakin 
penasaran. 
"Apa lagi, kalau bukan urusan dagang. Untuk 
apa aku jauh-jauh datang ke sini kalau bukan untuk 
berniaga," sahut Den Lungguh yang kini telah duduk 
di tepi pembaringan sambil memegangi jemari sang da-
ra itu dengan lembut, "Percayalah, Geulis, setelah uru- 
sanku selesai, aku akan datang ke sini lagi untuk 
menjemput mu." 
"Benarkah itu, Den...?" sela wanita muda itu 
gembira dan langsung memeluk Den Lungguh. 
"Ya...! Percayalah!" sahut Den Lungguh sambil 
bangkit dari duduknya setelah melepaskan kedua tan-
gan wanita itu. 
"Ku  do'akan semoga kau cepat-cepat berhasil, 
Den...!" 
Den Lungguh segera meninggalkan rumah itu 
dengan wajah yang sangat cerah. Sementara itu si wa-
nita yang jadi korban rayuan gombalnya memandang 
kepergiannya dengan penuh harap. Sedangkan orang 
yang diharapkannya akan pergi entah ke mana, mung-
kin mencari korban yang lainnya. 
Di pagi yang tampak semakin cerah itu, suasa-
na kampung yang tak jauh dari tempat Den Lungguh 
menginap, tak berbeda dengan suasana di kampung-
kampung lainnya. 
Selain banyaknya orang-orang yang turun ke 
sawah dan ladang, para ibu-ibu rumah tangga dan pa-
ra remaja puteri pun turut juga menyibukkan diri den-
gan melaksanakan tugasnya sehari-hari. 
Di tepi sungai yang begitu jernih airnya walau-
pun alirannya deras dan berbatu, tampak banyak para 
ibu rumah tangga dan gadis-gadis remaja yang tengah 
sibuk mencuci pakaian di tepinya. Mereka ada yang se-
jak pagi-pagi sekali telah melaksanakan pekerjaannya 
di situ, ada pula yang datang setelah matahari bersinar 
terang seperti halnya Iyoh, si kembang desa ini. 
"Wah. Kesiangan rupanya kau, Yoh?" tanya 
Surti kepada Iyoh yang baru turun ke kali. 
"Iya, nih!" sahut Iyoh dengan senyumnya yang 
manis. 
 
"Rupanya  Kang Ujang sampai malam bertamu 
di rumahmu, ya?" sindir Surti sambil bercanda. 
"Hiiih...! Ngapain dia datang?!" balas Iyoh yang 
spontan berubah dari senyum ke cemberut. Tapi yang 
namanya bibir bak delima merekah, biar pun cemberut 
tetap enak dipandang. 
"He, Yoh? Ada apa kau rupanya dengan Kang 
Ujang?" tanya temannya itu agak penasaran. 
"Ah, tidak, aku tidak ada apa-apa kok...!" jawab 
Iyoh tak acuh. 
"Yang bener, nih...?" tanya Surti memancing. 
"Sungguh, deh. Sekarang dia mau datang, mau 
enggak, terserah!" 
"Tuh... kan! Berarti kau sudah menaruh hati 
sama yang lain, ya?" pancing Surti kembali. 
"Iya dong...!" balas Iyoh sambil menoleh dengan 
wajah kembali cerah. 
"Lalu bagaimana dengan Ujang mu?" tanya te-
mannya yang selalu ingin tahu. 
"Aku kan sama dia belum ada ikatan apa-apa, 
orang tuaku pun belum tahu!" jelas Iyoh mulai mem-
banggakan kenalan barunya. 
"Kalau yang sekarang?" desak Surti. 
"Dia benar-benar seorang ksatria. Dia langsung 
datang kepada orang tuaku. Baru kali ini aku bertemu 
seorang pemuda macam dia. Orangnya gagah dan ber-
wibawa, lagi." ucap Iyoh dengan rasa bangga. 
"Siapa nama pacarmu yang baru itu. 
Yoh?" tanya Surti yang tak habis-habisnya. 
"Raden Lungguh," jawab Iyoh singkat. 
"Wah... hebat sekali kau ini, Yoh...!" puji te-
mannya sambil membereskan cuciannya. "Tapi kau 
pun harus hati-hati, Yoh...! Di jaman seperti ini ba-
nyak sekali serigala-serigala berbulu domba, dari luar- 
nya saja kelihatan baik, tak tahunya..." 
"Ah, sudahlah. Kau ini menakut-nakuti aku sa-
ja!" sela Iyoh sambil mencripratkan air ke muka Surti. 
Surti pun yang menjadi basah akibat cipratan 
air dari Iyoh langsung membalasnya. Akhirnya kedua 
remaja itu saling bercanda di air dengan penuh tawa 
ria. 
Surti sudah naik lebih dahulu dan kini sedang 
menyalin seluruh pakaiannya yang basah dengan pa-
kaian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan 
Iyoh masih tetap berada di air. Ia rupanya belum sele-
sai membersihkan tubuhnya di balik batu yang besar 
itu. 
"Yoh...! Aku pulang duluan, ya...?!" teriak Surti 
dari tepi sungai. 
"Ya...! Aku belakangan saja!" balas Iyoh dari ba-
lik batu. 
Tak lama setelah Surti pergi. Iyoh pun naik 
kembali ke tepi sungai untuk segera menyalin pa-
kaiannya. Sambil bersenandung merdu, Iyoh menyalin 
seluruh pakaiannya yang basah dengan yang kering, 
sebab ia merasa bahwa di tempat tersebut tak ada 
orang lain selain dirinya. Padahal, sejak tadi sepasang 
mata tanpa berkedip sedang mengintainya. 
Sepasang mata, yang sudah pasti mata lelaki, 
walaupun sudah lama di situ tetap tidak mengadakan 
reaksi, bahkan ia menunggu hingga Iyoh tuntas men-
genakan busananya. 
Iyoh sama sekali tak mengetahui bahwa ada 
orang yang memperhatikannya langsung mengambil 
bakul yang berisi cucian untuk membawanya pulang. 
Barulah di saat itu si lelaki muncul. 
"Iyoh...! Jangan pergi dulu, sayang...!" sapa le-
laki itu dengan lembut. 
 
"Ngapain kau di sini, rupanya kau sejak tadi 
bersembunyi, ya, di sini?!" bentak Iyoh dengan nada 
marah. 
"Tidak... Iyoh. Aku baru saja datang," sahut le-
laki itu, walaupun sebenarnya ingin mengatakan ya, 
tapi malu. 
Jawaban yang diberikan pria itu seakan-akan 
tak ditanggapinya, Iyoh tetap berjalan tanpa memper-
dulikan ucapan tersebut. 
"Iyoh... tunggu dulu, aku mau bicara," ucap 
pria itu kembali sambil mempercepat langkahnya ka-
rena tertinggal jauh. "Iyoh, selama ini kau selalu beru-
saha  menjauhi ku, mengapa?!" tanya anak muda itu 
kembali sambil berusaha menghentikan langkah gadis 
tersebut. 
"Sudahlah Ujang... mengapa kau ribut-ribut di 
jalan. Apakah kau tak malu kalau dilihat orang?" sela 
Iyoh tanpa menoleh sama sekali. 
"Aku ini bertanya, Yoh... mengapa kau tak mau 
menjawabnya? Apa salah dan dosaku sehingga kau tak 
acuh begini...? Ingatlah pada janji kita tempo hari di 
bawah pohon sawo itu? Kita telah sepakat akan meni-
kah sehabis panen nanti dan kau pun telah rela untuk 
hidup bersama nanti, walaupun kita hidup melarat...! 
Masih segar dalam ingatanmu, bukan?" 
Iyoh tetap bungkam seribu basa, tak ada kata 
yang keluar dari mulutnya, walaupun pemuda yang 
bernama Ujang itu terus berbicara. Rupanya benar apa 
yang diucapkan gadis ini kepada temannya ketika me-
reka sedang mencuci pakaian, ia benar-benar telah ja-
tuh hati kepada pria lain dan akan meninggalkan pria 
yang selama ini dicintainya. Sungguh kasihan sekali 
nasibnya, orang yang mencintainya dengan setulus ha-
ti, ditolak mentah-mentah. Padahal ia sendiri belum  
mengenal pribadi laki-laki yang baru dikenalnya itu, 
apalagi yang disebut tadi adalah Raden Lungguh yang 
terkenal dengan pacar barunya, tentu fatal akibatnya 
untuk si kembang desa ini. 
"Ujang... berilah aku jalan. Aku mau pulang!" 
perintah Iyoh kepada Ujang yang mash tetap berdiri di 
hadapannya bagaikan patung. 
"Jadi kau sudah tak ingat lagi, ketika kau ber-
sandar di bahu ku, ku belai-belai rambutmu yang hi-
tam mayang dan kau pun pada waktu itu mengenakan 
baju yang kau pakai saat ini. Jawablah... apakah kau 
menyesal dengan janjimu? Jawablah sayang... menga-
pa kau tiba-tiba berubah menjadi sedingin ini?" ucap 
Ujang sambil berlinang air mata. 
"Sudahlah Ujang, aku sudah terlalu siang, 
nih...! Nanti aku bisa dimarahi oleh orang tuaku! Ayo... 
berilah aku jalan." 
"Ya! Baiklah...! Rupanya aku harus bersabar 
menanti jawabanmu, asal kau tidak bermaksud mem-
buang  ku, sayang...!" ucap Ujang sambil melangkah 
untuk memberikan gadis pujaannya lewat. 
Tapi sang gadis pujaannya yang kini telah dis-
elimuti oleh rayuan gombal dari pacar barunya, lang-
sung melangkah cepat meninggalkan Ujang sendirian. 
Ujang pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali diam 
terpaku di tempat tersebut. 
Sementara itu di rumah Iyoh sudah menunggu 
seorang pria ganteng dan berwajah tampan serta ber-
pakaian sangat necis untuk ukuran di sekitar desa itu. 
Dia tak lain adalah Raden Lungguh, pria yang disebut-
sebut oleh Iyoh tadi. 
Den Lungguh dengan tenang menunggu Iyoh 
kembali dari sungai, dan kedatangannya pun sudah 
dirancang dengan matang, sebab di saat itu sudah  
pasti kedua orang tuanya sedang turun di sawah. 
"Oh... sudah lama menunggu, Den?" sapa Iyoh 
ketika pria pujaannya telah berada di rumahnya. 
"Ah... tidak, baru saja! Mana Ayah dan Ibumu? 
Kok kelihatan sepi-sepi saja." tanya Den Lungguh ber-
pura-pura. 
"Biasa, Den, mereka sedang ke sawah. Kalau 
tak sering lihat bisa padinya habis semua dimakan ti-
kus. Den...!" jawab Iyoh dengan senyum penuh kelem-
butan. 
"Sawah sendiri?" tanya Den Lungguh kembali. 
"Bukan, Den..." jawab Iyoh polos. "Hmm... su-
dahlah. Nanti kalau aku telah selesai urusan kita, aku 
akan belikan orang tuamu sawah yang bagus letaknya, 
supaya tidak kekurangan air. Jadi kedua orang tuamu 
tidak mengurus sawah orang lagi, tetapi mengurus sa-
wahnya sendiri," ujar Den Lungguh sambil  mengelus-
elus rambut Iyoh. Belaian lembut dari sang raden itu 
telah membuat Iyoh terlena dan tanpa terasa ia telah 
berada di dalam pelukan Den Lungguh. 
"Kita akan segera menikah, geulis! Kau tentu 
akan kuberikan mas kawin yang cukup berharga. Se-
bagian besar harta warisan dari orang tuaku sudah 
kudapatkan, tapi masih ada satu bagian lagi yang 
musti kuurus. Bagian itulah yang akan kugunakan 
untuk membahagiakan kedua orang tuamu. Sebab se-
telah kita nikah nanti kau akan ku boyong ke rumah-
ku di Babakan dan kita akan hidup bahagia di sana." 
rayu Den Lungguh dengan penuh kemesraan. 
"Oh... sungguhkah itu, Den? Ah, rasanya seper-
ti mimpi aku saat ini. Aku sangat bahagia sekali! Ka-
pankah Aden akan melamar ku?" ujar Iyoh yang makin 
terlena dengan rayuan maut dari sang raden. 
"Segera, Geulis...! Kalau urusanku sudah sele- 
sai! Apakah kedua orang tuamu tidak menolak kalau 
aku datang bersama saudara-saudaraku untuk memi-
nang mu? Sebelum itu adakah syarat-syarat yang ha-
rus ku penuhi?" balas Den Lungguh yang tampaknya 
seperti bersungguh-sungguh. 
"Tidak, Den... kedua orang tuaku tak mempu-
nyai persyaratan apa-apa, yang penting dapat terlak-
sana dengan baik, walaupun hanya sederhana," sam-
but Iyoh yang semakin merapatkan kepalanya di dada 
Lungguh. 
"Itulah yang kuharapkan. Aku sangat kagum 
sekali dengan ketulusan hati mereka. Kalau begitu ma-
rilah kita merayakannya, Geulis, kita beristirahat seje-
nak sambil menunggu kedatangan mereka," ucap Den 
Lungguh sejenak sambil merebahkan badan-nya di 
kursi panjang, setelah melepaskan pelukannya. 
"Jangan di situ, Den. Tentu itu kotor sekali. 
Tunggulah sebentar, aku mau rapikan dulu kamarku. 
Tapi jangan dicela' ya... sebab kamarku jelek, tidak se-
perti kamar di rumah raden." 
Den Lungguh tak menjawab sama sekali, ia 
hanya tersenyum sambil memandang lekuk tubuh Iyoh 
yang berjalan sambil lenggak-lenggok menuju ke ka-
marnya. Tak berapa lama setelah Iyoh  masuk, Lung-
guh segera menyusulnya. 
"Sudahlah, buat apa repot-repot. Bukankah 
hanya untuk kita berdua. Ayolah... aku ingin menik-
mati suasana tenang tanpa ada yang mengusik, su-
paya kemesraan ini mempunyai kenangan yang abadi," 
ujar Lungguh sambil memegang bahu Iyoh yang se-
dang mabuk kepayang. 
Sementara itu si Ujang yang masih penasaran 
dengan cintanya yang ditolak secara dramatis, kini be-
rada di sekitar rumah Iyoh. Ia ingin sekali mengetahui  
secara pasti. Untuk itulah ia mencoba memberanikan 
diri datang ke rumahnya, agar dapat bertemu dengan 
kedua orang tuanya. 
"Kelihatannya masih sepi. Jangan-jangan Iyoh 
menyusul orang tuanya ke sawah," gumam Ujang sete-
lah tiba di depan rumah tersebut. "Biarlah, kalau begi-
tu aku tunggu di sini saja, tak mungkin mereka ke sa-
wah hingga larut malam." 
Pemuda yang nekad ini berjalan menuju pos 
ronda, setelah tiba di situ, Ujang segera merebahkan 
badannya di bangku panjang, tapi mata Ujang tetap 
memandang rumah Iyoh yang kelihatannya sepi itu. 
"Aneh sekali tuh anak. Kenapa cuciannya tidak 
dijemur dulu dan dibiarkan begitu saja. Ah, kurasa 
alangkah baiknya kalau ku tolong jemurkan, mum-
pung nggak ada yang lihat." 
Ujang tak jadi  beristirahat. Ia kembali berjalan 
menuju ke samping rumah Iyoh. Setelah berada di si-
tu, ia mengambil cucian yang basah dari dalam bakul 
satu-persatu untuk dijemur. Baru sebagian cucian 
yang berhasil dijemur, tiba-tiba telinga Ujang menang-
kap desah suara yang cukup membuat bulunya berki-
dik. "Hmmmh...! Jangan-jangan..." ucapnya dalam hati 
tanpa diteruskan kalimatnya, karena ia langsung me-
lepaskan cucian basah yang dipegangnya dan lang-
sung berlari lewat pintu dapur yang kebetulan tak ter-
kunci. Di dapur Ujang menjambret golok yang ada di 
atas tumpukan kayu bakar dan tanpa pikir panjang 
lagi ia masuk ke dalam. 
Setelah mendobrak pintu kamar, Ujang terke-
jutnya bukan main, karena ia telah menyaksikan se-
suatu yang paling menyakitkan. Tanpa harus menung-
gu waktu lagi, ia langsung menyerang Den Lungguh 
yang pada waktu itu berusaha meraih pakaiannya  
yang sudah ditanggalkan. Tapi penyerang yang diba-
rengi kekalutan pikiran serta emosi, dengan mudah di-
tangkis oleh pihak lawan. Beberapa kali sabetan golok 
Ujang lolos tidak mengenai sasaran. Den Lungguh 
yang sejak penyerang datang ke arahnya tadi hanya 
menghindari diri, kini mulai beraksi, begitu serangan 
berikutnya datang, Lungguh secara reflek menangkis 
dengan cepat dan tangannya tepat berada di pergelan-
gan tangan lawan. Pada detik berikutnya, terdengar te-
riakan keras yang keluar dari mulut Ujang, karena tak 
kuat menahan sakit akibat pukulan keras yang men-
genai pergelangan tangannya. 
Ujang yang kelihatan kalap dan bagai orang 
kemasukan setan ini, tak memperhitungkan lagi ke-
mampuan lawan yang ia hadapi. Keadaan ini sebenar-
nya sangat merugikan dirinya, apalagi senjata yang be-
rada di tangannya telah terpental entah ke mana. Se-
mentara itu. Den Lungguh yang sudah membaca ke-
mampuan Ujang, kini tampak semakin serius dan ke-
lihatan sudah bersiap-siap mengadakan serangan ba-
lik. Sementara itu Iyoh menjerit-jerit dengan cemas 
sambil mengemasi tubuhnya yang sudah telanjang bu-
lat. 
"Hei. Anak Muda! Ini peringatan terakhir buat-
mu sebelum kau menyesal! Lebih baik kau pulang dan 
jangan injak lagi tempat ini! Tapi apabila kau masih te-
tap membangkang, kupatahkan batang lehermu, men-
gerti?! Ayo! Menyingkirlah cepat, sebelum habis kesa-
baran-kesabaranku!" ancam Den Lungguh kepada 
Ujang. 
"Fuiiih! Aku tidak akan menyerah! Iblis keparat 
macam kau harus enyah dari muka bumi ini! Kalau 
kau dibiarkan hidup, entah berapa banyak lagi korban 
yang akan kau ambil demi memuaskan nafsu setan- 
mu! Sekarang kau boleh pergi, dengan syarat kau ha-
rus melangkahi dulu mayatku!" tantang si Ujang yang 
sudah semakin memuncak amarahnya. 
"Kang Ujang... hentikan, Kang! Hentikan! Ini 
aku, Kang, aku Iyoh  mu," teriak Iyoh setelah melihat 
keadaan yang tampaknya semakin gawat. Tubuh Ujang 
dipeluknya rapat-rapat supaya tak terjadi pertumpa-
han darah di antara mereka namun si Ujang masih te-
tap meronta-ronta dan kelihatannya sangat bernafsu 
sekali untuk menghabisi lawan yang ada di hadapan-
nya. "Kang Ujang...! Ingat dong Kang...! Jangan kau te-
ruskan lagi Kang!" pinta gadis itu kepada tunangan-
nya. 
"Lepaskan dia! Lepaskan bocah kurang ajar itu. 
Dia harus kuberi pelajaran supaya kapok dan tak mau 
mengoceh lagi kepada sembarang orang!" bentak Den 
Lungguh sambil melangkah dan menarik tangan Iyoh 
sehingga terdorong jauh ke belakang. "Ayo! Sekarang 
apa maumu?" bentak Lungguh kembali. 
"Kau harus mampus!" bentak Ujang tak mau 
kalah. 
"Ha... ha... ha! Jangan mimpi di siang bolong, 
anak muda!" Tidakkah kau mengukur dulu kemam-
puan untuk melawan orang macam aku. Hah?! Sepu-
luh lagi macam kau masih mampu kuhadapi, apa lagi 
hanya kau seorang diri. Ha... ha... ha...!"ejek Den 
Lungguh yang terus melangkah semakin dekat dengan 
Ujang dan tanpa diduga sebuah pukulan keras dari 
Ujang mendarat ke mukanya. Pukulan keras itu cukup 
membuat mata Den Lungguh agak berkunang-kunang, 
mulutnya pun sedikit mengeluarkan darah. 
Ujang mengambil kesempatan dengan membe-
rikan serangan untuk kedua kalinya, tapi sayang, Den 
Lungguh masih sempat mengelak, walaupun keadaan- 
nya agak sempoyongan. Setelah serangannya berkali-
kali gagal. Ujang langsung mengubah taktik serangan-
nya. Ia kali ini banyak mengandalkan kaki,  tendan-
gan-tendangannya yang begitu gencar terus menghajar 
Den Lungguh sehingga sang raden ini terpaksa mun-
dur beberapa langkah ke belakang. 
Kesempatan untuk membalas serangan akhir-
nya terlaksana juga. Ini adalah akibat kurang cermat-
nya Ujang dalam mengontrol gerakan lawan, ketika ia 
sedang melakukan tendangan untuk tujuan menyam-
bar paha bagian dalam agar lawannya jatuh. Tiba-tiba, 
tangan Den Lungguh dengan cepat menangkap ka-
kinya dan langsung melemparkan tubuh Ujang sehing-
ga membentur pilar rumah. Di sinilah Den Lungguh 
mulai mengadakan serangan balik yang bertubi-tubi. 
Ujang tampak kewalahan sekali dan ia kelihatannya 
hanya mampu bertahan, tak ubahnya seperti seorang 
petinju yang mendapat pukulan telak dan terpojok di 
sudut ring, begitulah dengan keadaan Ujang, ia hanya 
terdiam menyandar di pilar rumah tersebut. 
Untuk kedua kalinya Iyoh memberanikan diri 
memisahkan kedua laki-laki yang sedang bertarung. Ia 
langsung memeluk tubuh Ujang yang sudah kelihatan 
babak belur, namun masih tetap bersemangat untuk 
menyerang kembali. 
"Hentikan, Den...! Hentikan!" pinta Iyoh sambil 
menangis. 
"Hmmh! Anak bau kencur macam begini sudah 
mau menantang, sekarang kau rasakan sendiri aki-
batnya." bentak Den Lungguh sambil mengibas-ngibas 
pakaiannya yang berdebu. "Biarkan kalau dia masih 
mau unjuk gigi! Lepaskanlah. Nanti akan kuhabisi 
nyawanya sekalian!" ancam Den Lungguh dengan se-
rius. 
 
"Jangan... Den. Ku mohon jangan... kasihanilah 
dia, kasihanilah juga aku ini. Den...!" pinta Iyoh kem-
bali sambil membersihkan darah yang semakin banyak 
keluar dari mulut tunangannya. 
Ujang hanya memiliki semangat yang tinggi, se-
benarnya kondisinya sudah lemah dan tak berdaya, 
sebab berkali-kali ia mengeluarkan darah segar dari 
mulutnya. Rupanya ia banyak sekali menerima puku-
lan pada bagian dada, sedangkan pukulan tangan Den 
Lungguh memang sangat keras karena sering berlatih. 
"Baiklah kalau begitu aku mohon pamit kepada 
kalian berdua. Tak usah khawatir, luka itu bisa cepat 
sembuh kalau cepat kalian obati, sedangkan di tubuh-
nya hanya me mar saja! Kau masih mencintainya, bu-
kan? Nah, biarlah aku yang mengalah, aku akan men-
gundurkan diri!" ucap Den Lungguh dengan tenang 
dan tak mempunyai perasaan bersalah sama sekali. 
Tapi bagi Iyoh, sepertinya serasa disambar petir 
mendengar ucapan yang keluar dari mulut Den Lung-
guh tadi, banyak sebenarnya yang ingin ia ucapkan 
tapi sulit untuk dikeluarkan. 
"A... aku sudah bukan gadis yang suci lagi se-
karang. Den. Kau telah menodai  ku! Haruskah aku 
kembali padanya?" ucapnya dengan terbata-bata dan 
bola mata berlinang. 
Den Lungguh hanya tersenyum sinis menden-
gar ucapan tersebut, sebab dengan adanya peristiwa 
tersebut, ia telah mempunyai alasan yang kuat untuk 
meninggalkan Kembang Desa yang baru saja dipetik-
nya. 
"Suci atau tidak, bukanlah persoalan buat cinta 
suci kalian. Tak usah khawatir. Tunangan  mu  pasti 
mau menerimamu. Aku yakin sekali, karena ia benar-
benar mencintaimu. Ia telah buktikan kesetiaannya  
padamu walaupun harus babak belur seperti itu." jelas 
Lungguh tanpa  memperdulikan tangis Iyoh yang ma-
kin menjadi-jadi, "Sebenarnya aku sangat iri pada ka-
lian. Yah... tak apalah! Mudah-mudahan saja kalian 
dapat rukun dan bahagia." "Tapi... Den?" 
"Sudahlah! Tak ada tapi-tapian! Nih. Terimalah 
uang untuk biaya perawatan. Sisanya boleh kalian gu-
nakan untuk biaya pernikahan. Kurasa uang tersebut 
lebih dari cukup, apabila kalian pakai dengan sebaik-
baiknya," lanjut Den Lungguh sambil melemparkan 
sekantong uang logam ke pangkuan Iyoh yang masih 
duduk bersimpuh sambil menangis di samping Ujang. 
Kemudian tanpa menoleh sedikit pun, Den 
Lungguh melangkah meninggalkan Iyoh yang masih 
menangis menyesali nasibnya. 
"Kiranya iblis itulah yang merusak iman mu...!" 
ucap Ujang dengan terbata-bata dan berusaha bangkit. 
"Maafkanlah, aku Kang Ujang... maafkanlah 
aku...! Aku telah tertipu! Oh... Tuhan, ampunilah 
aku...!" ratap Iyoh. 
Pelukan Iyoh semakin lama semakin lemah, tu-
buhnya mulai terasa dingin disertai keringat yang te-
rus bercucuran membasahi seluruh badan. Mukanya 
pun tampak semakin pucat. Akhirnya ia pun jatuh 
terkulai tak sadarkan diri. Melihat gadis pujaannya 
tergeletak, Ujang berusaha bangkit dan memberikan 
pertolongan semampunya. 
"lyoooh...! Bangunlah Geulis...! Ini akang, 
sayang...! Iyoh...!" bisik Ujang sambil mengusap kerin-
gat di wajah dan leher kekasihnya. 
Kita tinggalkan dulu tragedi yang dialami oleh 
si kembang desa dari kampung Dadap ini. Kini kita be-
ralih dulu pandangan kita ke sebuah tempat lain. 
 
 
*** 
 
 
Daerah yang kita tuju adalah pinggiran kam-
pung, antara kampung Waru dan kampung Dadap 
yang letaknya lebih kurang lima kilo meter dari tempat 
peristiwa tadi. Di daerah perbatasan kampung terdapat 
sebuah warung kecil yang banyak didatangi pengun-
jung pada sore hingga malam hari, tapi kalau siang, 
keadaannya sepi-sepi saja. Namun pada saat itu di wa-
rung tersebut tampak seorang laki-laki sedang duduk 
sambil menikmati kopi yang telah dibuatkan untuk-
nya. 
"Baru ada tamu satu orang yang datang cuma 
mau minum kopi," bisik wanita pelayan kepada te-
mannya di dapur. 
"Habis mustinya bagaimana?" tanya temannya 
itu dengan suara berbisik pula. 
"Biasanya, paling tidak... isi yang di pundi itu 
yang diminta. Seperti seorang raden yang kemarin 
siang mampir ke sini, tiga pundi tuak dihabiskan se-
lama dia duduk di sini, apa nggak gila... tuh?" sam-
butnya kembali. 
"Itu untuk yang doyan... Neng! Kalau buat yang 
nggak doyan, seperti yang  duduk di depan sekarang. 
Jangankan sepundi, sesendokpun dia tak mau!" ban-
tah temannya. 
"Ah... belum tentu!" sahutnya. 
"Apanya yang belum tentu? Lihat aja tampang-
nya. Angker sekali  kelihatannya!" bantah temannya 
sambil menengok ke depan. 
"Ah... menurutku orang ini bukan angker, tapi  
gagah. Lihat tuh, badannya tinggi dan kekar, berwiba-
wa lagi." puji wanita itu. 
"Kau memuji? Naksir ya sama dia...?" sindir 
temannya. 
"Naksir sih nggak, tapi kalau dia mau, aku juga 
nggak nolak, hi... hi... hih!" sambut wanita itu kembali 
sambil tertawa. 
"Tapi benar juga katamu, Ning. Aku juga nggak 
nolak kalau dia mau samaku. Lihat tuh berewok di se-
kitar bibir, dagu, hingga pipi... haluuuuus sekali. Tak 
dapat kubayangkan seandainya aku berada di dalam 
dekapannya. Mungkin seminggu tak kulepaskan." ba-
las temannya dengan gaya pemain sandiwara. 
"Gila! Memangnya lu nggak mikirin dapur. Mo-
nyoooooong!" balasnya lagi sambil mencubit pipi te-
mannya perlahan, kemudian mereka pun tertawa ber-
sama dan kembali meneruskan pekerjaannya masing-
masing. 
"Sum! Aku mau membawakan pisang goreng 
buatnya. Tolong kau lihat-lihat pisang yang baru ku 
masukan  ke dalam penggorengan itu. Awas, jangan 
sampai hangus!" pesan Nining kepada temannya. 
"Biar, aku sajalah yang mengantarkan, Ning!" 
balas Sumi. 
"Ah... kau belakangan saja. Sekarang aku yang 
duluan," bisik Nining, "Mau kan sayang...?" ucapnya 
lagi sambil mengelus-elus rambut temannya. 
"Iyaaaa... deh!" balas temannya dengan senyum 
dan melihat ke arah Nining. 
Nining segera melangkah ke depan untuk 
membawakan pisang yang baru digorengnya untuk 
disajikan kepada tamunya. 
"Ini, Den...! Pisang gorengnya mumpung masih 
hangat!" ucap Nining kepada tamunya yang baru saja  
menghabiskan sisa kopi yang ada di hadapannya. 
"Terima kasih... Dik!" sahut laki-laki itu sambil 
tersenyum, "Maaf ya, Dik... sebaiknya panggil aku den-
gan sebutan akang saja. Malu rasanya aku kalau di-
panggil dengan sebutan semacam itu." balas laki-laki 
itu dengan ramah dan penuh senyum. Kemudian ia 
pun terlibat dalam pembicaraan dengan penuh kea-
kraban. 
Lama juga Nining menemani laki-laki yang kini 
telah diketahui namanya, yaitu Suta. Namun pembica-
raan yang biasanya penuh canda dan tawa, kali ini 
jauh berbeda. Wanita itu tampak termenung sambil 
menggigit bibirnya seperti menahan kekecewaan. 
"Nah... kalau begitu akang permisi dulu, ya Dik. 
Sudahlah, tak usah menyesali yang telah berlalu, yang 
penting kita usahakan untuk memperbaikinya. Siapa 
lagi yang akan mengubah kalau bukan diri kita sendi-
ri." pesan Suta sambil bangkit dari kursi. 
Nining menanggapi ucapan itu sambil tertun-
duk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya kecuali  
menganggukkan kepala dengan wajah yang tetap ter-
tutup dengan kedua telapak tangannya, sehingga ia 
tak mengetahui bahwa tamunya telah pergi. 
Bukan main terkejutnya Sumi ketika melihat 
temannya duduk terpaku sendirian di ruang depan. 
"Hei, apa yang kau lakukan di sini, Ning?" tanya Sumi 
sambil menepuk bahu Nining yang spontan membuat 
temannya itu terperanjat. 
"Oh...! Sudah lamakah kang Suta pergi?" ucap 
Nining yang balik bertanya. 
"Kang Suta yang mana?" balas Sumi. "Tamu ki-
ta yang tadi...!" sahut Nining. "Aku sendiri baru ma-
suk, mana mungkin aku tahu," ujar Sumi sambil me-
narik kursi dan duduk di dekat Nining, "Hei?! Uang  
siapa nih, banyak sekali?' tanya Sumi agak keras dan 
langsung meraup uang yang ada di samping tangan ki-
ri Nining. 
"Mungkin pembayaran dari tamu tadi!" jawab 
Nining agak acuh. 
"Tapi banyak sekali?!" sela temannya. "Ah... be-
rapa sih, coba sini kulihat. Aku pun tak tahu ia mele-
takkan uang di sampingku!" sahut Nining. 
"Nih lihat, hitunglah sendiri!" balas Sumi sam-
bil menyodorkan uang tersebut. Nining segera men-
gambil uang tersebut lalu menghitungnya. 
"Wah. Gila! Apa-apaan nih!" teriak Nining sete-
lah menghitung uang yang diberikan oleh laki-laki tadi. 
"Hebat kamu ini, pakai ilmu apa  sih? Masa' 
harga segelas kopi dan pisang goreng, sama nilainya 
dengan harga warung ini?" puji Sumi sambil mencium 
kening temannya beberapa kali. Tapi kegembiraan 
Sumi hanya sekejap saja, karena ia melihat temannya 
itu tidak gembira, malah mengeluarkan air mata, "Ada 
apa, Ning?" tanya Sumi selanjutnya. 
"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus men-
gembalikan uang ini kepadanya. Kang Suta terlalu 
baik padaku. Baru kali ini aku kedatangan tamu yang 
ramah dan mempunyai sopan santun macam dia. 
Kang Suta tahu benar, apa yang kita lakukan selama 
ini, sebenarnya tidak sesuai dengan hati kecil kita," je-
las Nining dengan sedih. 
"Tapi bukankah semua yang diberikan ini atas 
kerelaannya?" tanya Sumi yang turut terharu pula. 
"Ya...! Justru itulah...!" ujar Nining tersedu-
sedu. 
"Lebih baik tak usah lagi kau cari orang itu. 
Percayalah, tak mungkin kau dapat menemuinya. Le-
bih baik kita manfaatkan uang ini sesuai dengan pe- 
tunjuknya. Pasti dia akan senang." kata Sumi menghi-
burnya. 
"Ya, kurasa usulmu itu cukup baik. Mudah-
mudahan pemilik warung ini mau melepaskan kita." 
"Kenapa musti tergantung padanya? Kita kan 
ingin mengubah nasib, supaya kita mempunyai harga 
diri. Sebenarnya hati kita pun seperti teriris apabila 
mereka memperlakukan kita dengan seenaknya. Tapi 
apa daya kita tak mempunyai kemampuan apa-apa. 
Inilah saatnya yang terbaik buat kita." 
Kita putuskan pembicaraan mereka sampai di 
sini, sekarang kita telusuri ke mana perginya sang ta-
mu tadi. Rupanya laki-laki itu belum jauh langkahnya, 
karena dia masih berdiri tegak di bawah sebuah pohon 
mangga. 
"Hmmmh. Empat buah mangga!" gumam Suta 
sambil menggeser letak kain sarungnya. 
Tak lama kemudian tangannya bergerak den-
gan cepat dan laksana peluru yang keluar dari laras-
nya empat buah pisau telah dilemparkan dengan cepat 
ke arah tangkai buah yang baru dilihatnya, dalam be-
berapa detiknya berjatuhanlah keempat buah mangga 
tersebut. 
Suta setelah memasukkan kembali pisau-
pisaunya ke dalam sarungnya dan memperhatikan 
buah yang baru jatuh itu. "Hmh. Aku harus membu-
nuhnya seperti merontokkan buah-buah ini!" gumam-
nya kembali. 
Buah mangga yang rontok itu tak lama kemu-
dian diberikan kepada salah seorang anak kecil yang 
kebetulan lewat di jalan itu bersama ibunya. Orang tu-
anya sangat berterima kasih atas pemberian tersebut. 
Suta menanggapi ucapan tersebut dengan senyum ra-
mah. Setelah anak kecil dan ibunya pergi, kemudian  
Suta pun  melanjutkan perjalanannya kembali. 
Hari ini aku harus melaksanakan tugasku den-
gan baik. Aku telah siap berkorban demi mencegah 
timbulnya korban yang lebih banyak lagi dari iblis pe-
rusak moral. Manusia Iblis itu kudengar sedang berada 
di kampung Waru. Aku harus tiba di sana sebelum 
matahari terbenam, supaya dapat ku peroleh keteran-
gan yang lebih jelas lagi," ucap Suta di dalam hati 
sambil terus mengikuti langkah kakinya yang semakin 
cepat bergerak. 
Dalam setengah perjalanan, tiba-tiba telinga 
Suta mendengar sesuatu. Ketika ia menoleh ternyata 
suara itu datangnya dari dua orang anak muda yang 
sedang berjalan di belakangnya dengan langkah cepat 
dan terburu-buru sekali. 
"Maaf, Adik-adik... berhentilah sebentar. Keliha-
tannya kalian begitu tergesa-gesa sekali. Kalau boleh 
ku tahu, apa yang terjadi pada kalian dan ke mana tu-
juan kalian sekarang? Sekali lagi aku mohon maaf, 
apabila kalian merasa terganggu atas pertanyaan ini," 
ucap Suta kepada kedua anak muda yang mau mele-
watinya. 
Kedua anak muda yang baru meningkat dewasa 
ini lama tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh 
Suta tadi. Mereka hanya terdiam dan memandangi tu-
buh Suta dari mulai ujung rambut hingga kaki. Sete-
lah itu satu dari mereka melangkah ke depan mende-
kati Suta, "Maaf Kang, kami tidak punya waktu untuk 
ngobrol, karena kami sedang mengejar seseorang," 
ucap salah seorang anak muda itu dengan mata agak 
berkaca-kaca. 
"Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan kalian 
berhasil! Selamat jalan, anak-anak muda, sampai jum-
pa kembali! Karena aku tahu, siapa sebenarnya yang  
kalian sedang cari, kalian telah kehilangan sesuatu 
yang kalian sayangi, sama seperti aku." balas Suta 
sambil mengangkat tangannya untuk memberi salam 
yang kemudian disambut oleh kedua anak muda itu. 
Kedua anak muda itu kembali meneruskan per-
jalanan. 
"Sst! Apa yang dia bilang tadi?" tanya salah seo-
rang di antara mereka dengan nafas terengah-engah. 
"Dia mengetahui tujuan kita!" jawab seorang la-
gi tanpa menoleh. 
"Apakah bukan cuma sekedar alasan untuk 
mengorek kita? Jangan-jangan dia adalah seorang 
pengawal yang memata-matai kita?" 
"Ah... tak mungkin! Si Iblis itu selalu sendirian 
dalam melaksanakan pekerjaan maksiatnya. Tapi ia 
sangat licin seperti belut. Kalau orang yang tadi berte-
mu kita, tampaknya ia orang baik. Aku yakin sekali 
dengan apa yang dikatakannya." "Dari mana kau ta-
hu?" "Dari pembicaraan dan perilakunya! Memang ka-
lau sepintas, ia kelihatannya sangat angker dan ka-
sar...! Tapi ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan. 
Kelihatannya ia menaruh dendam yang membara ter-
hadap seseorang." 
"Ah, kamu ini macam ahli nujum saja!" 
Setelah pembicaraan singkat selesai mereka 
kembali  terdiam, tak ada yang bersuara selain desah 
nafas yang kian memburu akibat jauhnya perjalanan 
yang mereka tempuh. Belum jelas, siapa yang mereka 
kejar dan di mana orang itu adanya, yang pasti mereka 
telah berada di tengah perkampungan Waru, sama 
halnya dengan daerah yang sedang dituju oleh Suta, 
laki-laki yang berwajah angker tersebut. 
"Kita telah berada di kampung Waru. Arah ma-
na lagi yang harus kita lewati?" tanya pemuda itu ke- 
pada temannya. 
"Entahlah, aku sendiri juga bingung," jawab 
pemuda yang satu lagi sambil memegangi dadanya ka-
rena kelelahan. 
"Kita harus putuskan sekarang, jangan sampai 
kita kemalaman di sini. Lihatlah hari sudah mulai ge-
lap." 
"Kita cari saja warung yang terdekat, agar dapat 
beristirahat." 
"Tidak Kita tak boleh beristirahat di tempat 
orang banyak. Aku khawatir akan timbul persoalan ba-
ru di sana. Lebih baik kita cari tempat yang sepi untuk 
beristirahat." 
"Terserahlah! Yang penting kita harus tetap pa-
da tujuan semula, walaupun harus dengan resiko 
nyawa." 
"Ya. Itu sudah pasti, karena kita sama-sama di-
rusak oleh srigala jahanam itu." 
Kedua anak muda itu mengambil tempat ber-
malam yang agak sunyi dan sulit terlihat dari luar, wa-
laupun letaknya tetap di pinggir jalan. Sambil beristi-
rahat, mereka terus mengamati keadaan sekelilingnya. 
Sementara itu udara di sekelilingnya mulai terasa. 
Suara-suara bisik di antara mereka telah ter-
dengar lagi, mungkin mereka telah tertidur  dengan le-
lap sekali setelah hampir seharian penuh berjalan di 
bawah terik matahari. 
 
 
*** 
 
 
 
Kepekatan malam mulai berubah dengan mun-
culnya sang bulan dengan perlahan seiring dengan 
merangkaknya waktu. Dari keremangan sinarnya yang 
terhalang oleh awan, masih tampak terlihat suasana 
malam dl kampung Waru yang semakin lama semakin 
sunyi karena para penghuninya telah memanfaatkan 
waktu istirahat, setelah seharian penuh membanting 
tulang demi kebutuhan hidup anak dan istri. 
Di  dalam keremangan malam yang sunyi itu, 
tampak sesosok tubuh laki-laki keluar dari tempat 
persembunyian dan berjalan sambil membungkukkan 
badan menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari si-
tu. Se telah tiba di dalam pekarangan, ia pun mengen-
dap-endap  menghampiri jendela bagian tengah rumah 
tersebut. Setelah itu langsung melekatkan telinganya 
sambil tersenyum sendirian, "Hmm... dia masih sabar 
menunggu, tampaknya!" gumamnya sambil membalik-
kan badannya untuk mengawasi keadaan sekeliling-
nya. 
"Pah... Ipah... buka dung, Geulis...!" bisiknya ke 
sela sela sambungan papan pada dinding itu yang di-
barengi pula dengan ketukan dengan ujung jarinya. 
Dari dalam jendela yang tidak kelihatan sinar 
lampu, kemungkinan besar, memang sudah mereka 
atur supaya gelap. Tak lama kemudian daun jendela 
itu perlahan-lahan terbuka. 
"Bagaimana, Geulis... apakah ayah dan ibumu 
sudah tidur?" bisik laki-laki itu. 
"Sudah, Den." jawab gadis yang berada di da-
lam dengan singkat, "Ayo cepat masuk. Nanti kalau 
ada yang lewat, Aden bisa berbahaya," ujarnya kembali  
dengan suara yang sangat perlahan sekali. 
"Baik Geulis...!" bisik lelaki muda itu dengan 
ucapan yang perlahan pula. Laki-laki ini tak salah lagi, 
yakni sang 'Play Boy' kampungan alias Lungguh yang 
sudah beken itu. 
Kemudian dengan cepat sang Raden memanjat 
dan masuk ke dalam kamar yang gelap. Setelah ia be-
rada di dalam, jendela itu tampak ditutupnya rapat-
rapat dan yang terdengar hanyalah bisik mereka ber-
dua. 
"Oh... betapa cemasnya aku menunggu, Den...!" 
ucap Ipah. 
"Tak usah khawatir Geulis. Ipah kan kabogoh 
akang, jadi akang tak akan membiarkan Ipah sendi-
rian. Inilah buktinya...! Akang datang untuk menema-
nimu," ucap sang perayu yang mulai bersandiwara. 
"Entahlah, Kang. Sejak sore tadi aku gelisah 
sekali," balas Ipah sambil merebahkan kepalanya ke 
dada Lungguh. 
"Gelisah kenapa?" kembali Lungguh bertanya. 
"Wajah Akang selalu terbayang di mataku," ja-
wabnya sangat polos. Lungguh mengecup mesra ken-
ing gadis itu. 
"Aku pun demikian sayang...! Tak sabar ra-
sanya menunggu kesempatan seperti ini." sahut Lung-
guh yang juga dalam soal bersandiwara semacam ini. 
"Jadikah besok Akang menemui orang tuaku?" 
tanya Ipah yang ingin mengetahui kejelasan hubungan 
mereka. 
"Tentu. Mungkin sore akang ke sini. Untuk itu-
lah Akang datang malam-malam untuk meminta ke-
pastian Ipah jangan sampai timbul perselisihan di be-
lakang nanti," sela Lungguh sambil membelai rambut 
Ipah yang semakin terlena di dalam pelukannya. "Su- 
dahlah sayang... urusan besok, kita bicarakan lagi 
nanti. Yang penting sekarang kita nikmati malam yang 
indah ini." 
Keadaan di luar tetap sunyi sepi. Tiupan angin 
yang sebelumnya berhembus lembut, kini mulai terasa 
semakin keras sehingga membuat ranting-ranting po-
hon menggeliat dihempasnya, begitu pula dengan de-
daunan, tampak semakin meronta-ronta. Keadaan se-
perti itu terus berlangsung tanpa henti hingga menje-
lang datangnya pagi. Embun pagi mulai turun bersama 
hilangnya kesucian seorang gadis. 
"Ipah... bangunlah, Geulis...! Sebentar lagi fajar 
akan menyingsing." sapa Lungguh kepada Ipah yang 
masih tidur dengan lelap di sampingnya. Belahan da-
danya yang kencang itu hangat terasa dalam sentuhan 
tangan Lungguh. 
"Akang mau ke mana." tanya Ipah setelah ter-
bangun dari tidurnya. Sambil membenahi tubuhnya 
sendiri yang tak tertutup selembar benang pun. 
"Bukankah aku harus mempersiapkan sesuatu 
untuk acara pernikahan kita?" jawab Lungguh sambil 
membelai rambut Ipah yang ikal mayang. Dikecupnya 
bibir gadis itu dengan lembutnya. 
"Jadi Akang mau pulang ke Babakan?" balas 
Ipah kembali. 
"Ya!" sahut Lungguh singkat. "Bukankah kedua 
orang tua Akang sudah tiada?" tanya Ipah sambil me-
rapikan pakaian yang sedang dikenakan oleh sang ra-
den. 
"Benar... tapi aku masih mempunyai dua orang 
kakak. Aku akan memohon restu pada mereka, karena 
mereka kini menjadi pengganti orang tuaku." balas 
Lungguh dengan tenang. 
Ipah masih tetap merapikan pakaian Lungguh  
hingga selesai dan sang raden ini bagai bocah yang 
masih ingusan, diam saja ketika rambutnya disisirkan. 
Setelah semuanya selesai Ipah langsung memeluk 
Lungguh dari belakang, saat Lungguh sedang merapi-
kan kedudukan blangkonnya di hadapan cermin. 
"Oh...! Alangkah gembiranya aku Kang! Aku 
sangat mengharapkan hari bahagia itu... oh!" bisik 
Ipah sambil memeluk tubuh Lungguh erat-erat. 
"Tenanglah sayang...! Untuk itulah aku pulang 
ke Babakan. Hari ini juga akan kubawa saudara-
saudaraku untuk menemui orang tuamu," balas Lung-
guh yang kini sudah siap untuk berangkat. "Nah... se-
karang aku berangkat dulu, Geulis." 
Lungguh langsung keluar meninggalkan rumah 
tersebut. Melalui jendela, tempat di mana ia masuk 
pada malam hari tadi. Ipah mengantar kepergiannya 
dengan penuh harapan dan kegembiraan di pagi buta 
itu. Dalam pikirannya telah terbayang Den Lungguh 
bersama kedua saudara serta para kerabatnya, datang 
meminang kepada orang tuanya dan menentukan hari 
pernikahan seperti ucapan sang raden waktu hendak 
berangkat. Padahal semua itu adalah angan-angan ko-
song belaka, tak mungkin Lungguh menginjakkan ka-
kinya kembali ke rumah itu, menoleh dengan sebelah 
mata pun tak bakal ia lakukan. 
"Puiiih! Dasar gadis dungu! Kau akan gigit jari 
seumur hidup, kalau masih mengharapkan Serigala Ib-
lis macam dia! Tapi kau tak usah khawatir, Srigala Ib-
lis itu sebentar lagi akan kuhabisi riwayatnya," gumam 
sesosok bayangan laki-laki yang memperhatikan keja-
dian itu sejak tadi malam. 
Tak lama kemudian bayangan itu menyelinap 
kembali ke dalam semak-semak untuk memberitahu-
kan temannya. Setelah itu mereka muncul kembali  
dan mengikuti ke mana Den Lungguh pergi. "Ssst! Kita 
serang Srigala Iblis di ujung jalan itu. Di mana kita le-
luasa bergerak dan jauh dari sana-sini!" bisik salah sa-
tu dari mereka. 
"Kalau begitu mari kita berjalan lebih dahulu!" 
balas temannya. 
"Ayo!" sambutnya kembali. 
Kemudian mereka dua orang pemuda itu pun 
mempercepat langkahnya agar dapat mendahului 
orang yang sedang mereka buru. Sementara itu Den 
Lungguh sendiri tak mengetahui sama sekali. Ia masih 
tetap berjalan dengan tenang. 
Ketika Den Lungguh tiba di ujung jalan untuk 
menuju jalan yang agak besar, tiba-tiba terdengar sua-
ra teriakan keras yang dibarengi dengan lompatan seo-
rang anak muda ke arahnya. Baru saja Den Lungguh 
akan berusaha untuk mempersiapkan diri menjaga 
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terha-
dap dirinya, datang lagi sebuah serangan dari arah be-
lakang. Serangan yang datang secara mendadak dan 
tak diduga sama sekali ini telah membuat Den Lung-
guh jatuh tersungkur. Penyerang yang berada di depan 
tak memberi kesempatan lagi bagi Lungguh, ia pun 
memberikan tendangan keras ke bagian muka sang 
raden yang hendak bangun dan. untuk kedua kalinya 
Den Lungguh jatuh. 
"Bangun kau!" bentak salah seorang dari mere-
ka. 
"Siapakah kalian...?" tanya Den Lungguh sam-
bil mengusap mulutnya yang sedikit mengeluarkan da-
rah. 
"Tak perlu kau tahu kami!" bentak orang yang 
berada di sebelahnya. 
"Mengapa kalian menyerangku?" tanya Den  
Lungguh kembali. 
"Karena kau Srigala Iblis!" sahut anak muda 
itu. 
"Hei?! Jangan ngomong seenaknya di hadapan-
ku, hah?! Rupanya kalian belum tahu siapa aku ini?" 
teriak Den Lungguh sambil bangkit dan menghimpun 
seluruh tenaganya kembali. 
"Kalau aku tak kenal, buat apa aku susah 
payah mencarimu jauh-jauh sampai ke sini! Puiiiih!" 
"Maaf, aku tak mengerti maksud kalian! Me-
nyingkirlah kalian. Masih banyak urusan yang musti 
kuselesaikan." 
"Sudah ada gadis lain rupanya, yang akan men-
jadi korbanmu berikutnya." 
"Bangsat! Kalian benar-benar ingin memancing 
kemarahanku, ya! Kuperingatkan sekali lagi. Cepat 
menyingkir atau kupatahkan batang leher kalian!" 
"Tidak semudah itu, Bangsat terkutuk! Kau tak 
perlu berlagak pikun. Kami datang untuk menebus 
noda gadis-gadis korban kemesuman mu dengan nya-
wa srigala mu. Kalau kau dibiarkan hidup terns, entah 
berapa puluh korban lagi yang akan menjadi mangsa 
mu. 
Den Lungguh kelihatannya agak terkejut sete-
lah mendengar ucapan salah seorang anak muda lagi, 
berarti dengan demikian kedoknya mulai terbuka. Sa-
tu-satunya cara yang terlintas di dalam pikirannya 
adalah menghentikan berita tersebut jangan sampai 
tersebar luas. 
"Gila! Kalau ku tahu bakal begini, sudah pasti 
ku tunda dulu kunjungan ku ke rumah si Ipah. Tapi 
dari pada terbuka  rahasiaku, lebih baik ku bungkam-
kan mulut mereka." ucap Lungguh di dalam hati den-
gan pandangan terus mengamati gerak-gerik kedua  
anak muda yang kelihatan sudah bersiap-siap akan 
mengadakan penyerangan kembali. 
"Apakah kalian telah pikirkan masak-masak, 
akibat dari tindakan kalian ini?!" tanya Den Lungguh 
yang sengaja mengulur-ngulur waktu guna memulih-
kan tenaga akibat serangan tadi. 
"Ya! Kami telah siap, apa pun yang terjadi pada 
diri kami demi membela nama baik keluarga yang telah 
kau rusak!" jawab salah satu anak muda yang kini te-
lah mencabut golok dari sarungnya. 
"Sebenarnya aku tak tega menghadapi kalian! 
Bagaimana kalau ini sebagai ganti rugi untuk kalian, 
setelah itu tinggalkan tempat ini?" balas Den Lungguh 
sambil melemparkan sekantong uang logam di hada-
pan mereka. 
Melihat tingkah Lungguh tersebut, kedua anak 
muda itu semakin bertambah geram, "Menghina sekali 
kau ini, hah?! Kau pikir harga diri kami hanya sebegitu 
nilainya. Sekarang terimalah ini. Ciaaaaaat!" teriak 
anak muda yang tampak sudah mulai kalap itu. Se-
rangan yang dilakukan kali ini tak tepat pada sasaran, 
sebab Den Lungguh dengan cepat dapat mengelak, be-
gitu pula serangan yang dilakukan oleh temannya. 
Beberapa kali serangan dari kedua anak muda 
itu dapat ditangkis dengan baik oleh Den Lungguh, 
namun ada pula serangan yang dapat dielakkan tetapi 
ia harus menerima goresan ujung golok di lengannya. 
Serangan-serangan yang semakin membabi buta dari 
kedua anak muda itu cukup membuat Lungguh kewa-
lahan. Tenaga muda mereka benar-benar masih fit, se-
hingga mereka mampu melakukan perkelahian dalam 
waktu panjang, sedangkan Den Lungguh untuk mela-
kukan semacam itu pasti tidak mungkin. Ia hanya 
mengandalkan teknik perkelahian yang disertai tipuan  
permainan, tapi sayangnya kesempatan untuk menca-
pai ke arah itu belum ia peroleh. 
"Gila! Habis tenagaku kalau begini terus!" pikir 
Den Lungguh sambil melompat untuk menghindari 
serbuan golok yang datang sekaligus ke arahnya. 
"Mau kabur ke mana kau, Buaya Laknat?" te-
riak salah seorang penyerang sambil mengejar Den 
Lungguh dan belum sempat kaki Den Lungguh me-
nyentuh tanah, sebuah tendangan keras dari anak 
muda itu telak mendarat di mata kakinya. 
"Uuuuuukh!" teriak Den Lungguh sambil 
menggulirkan badannya bagaikan bola yang habis di-
tendang. Kali ini pakaian perlentenya tak dihiraukan 
lagi, ia terus bergulir di tanah yang berembun. Kea-
daan jalan tanah yang agak turun telah mempermudah 
Lungguh dalam menggulirkan badannya dengan cepat. 
"Sambutlah kematianmu sekarang, Srigala Ib-
lis!" 
Begitu melihat lawan datang menerkam laksana 
singa lapar, Lungguh tanpa pikir panjang lagi langsung 
meraup abu di tanah dan melemparkan abu tersebut 
ke bagian mata lawan sambil menghindar ke kiri. La-
wan yang dalam keadaan kelabakan akibat terkena 
lemparan abu segera disambut dengan beberapa puku-
lan mautnya sehingga anak muda tersebut jatuh terje-
rembab ke tanah. Tak ada kesempatan yang diberikan 
oleh sang raden kepada anak muda ini. Ia langsung 
menghunjamkan keris yang baru dicabutnya tepat di 
perut pemuda itu. 
Anak muda tersebut mengerang beberapa saat 
dan tak berapa lama kemudian tubuhnya pun kejang 
tak berkutik lagi. Pemuda lainnya yang sebelumnya 
menganggap Lungguh tak berdaya dan dapat disele-
saikan dengan mudah oleh temannya, sangat terkejut  
melihat kejadian itu. Ia langsung menerjang Lungguh 
dari belakang. Tapi  sayang serangannya kandas. Ru-
panya Den Lungguh sudah dapat mengetahui sebe-
lumnya. 
"Bocah masih ingusan begini sudah berani me-
lawanku! Fuih! Sekarang kau terima akibatnya! 
Hiyaaaat! Ciaaaaat! Haaaait...!" 
teriak Den Lungguh yang disertai dengan puku-
lan yang sangat gencar ke arah anak muda ini. 
"Hup...! Hiaat! Ciaaaat!" teriak anak muda itu 
pula dalam menangkis serangan Lungguh sambil sese-
kali mengadakan serangan balasan. 
Puluhan kali antara golok dan keris saling be-
radu dan puluhan kali pula kaki dan tangan  saling 
menghantam secara bergantian. Ternyata anak muda 
yang satu ini cukup mampu mengimbangi permainan 
Den Lungguh, walaupun kalau dihitung pukulan yang 
diterima dengan yang sarangkan ke pihak lawan masih 
berbanding tiga lawan satu. 
Den Lungguh yang telah banyak pengalaman 
dalam hal semacam ini, walau dengan susah pa yah 
dan menguras seluruh tenaga yang dimilikinya, akhir-
nya mampu juga mengatasinya. Ini terjadi saat ia me-
lepaskan pukulan kombinasinya yang sangat sulit se-
kali dibaca lawan. Pukulan yang diberikan itu telah 
masuk ke titik-titik kelemahan tubuh sehingga lawan-
nya tak mampu lagi menangkis serangan dengan sem-
purna.  Kesempatan itu benar-benar telah di man-
faatkan Lungguh, keris yang berada di dalam gengga-
mannya langsung diarahkan ke perut lawan. 
"Rasakan ini!" teriak Lungguh dengan geram. 
"Aaaaaakh!" suara anak muda itu sambil men-
gerang dan ambruk ke tanah tak berkutik lagi. 
Melihat lawannya ambruk. Dengan cepat Lung- 
guh meninggalkan tempat tersebut. Ia berlari menuju 
ke arah sungai, setibanya di tepi sungai, Lungguh 
langsung menjatuhkan badan dan beberapa kali mem-
benamkan kepalanya di air yang jernih itu. 
Mungkin ini baru terjadi atau untuk  pertama 
kalinya dialami oleh sang raden, kali ini ia tak mem-
perdulikan tempat dan keadaan lagi. Dengan tanpa ra-
gu-ragu ia langsung merebahkan dirinya di tepi sungai 
itu. 
"Oh... tulang-tulangku terasa mau patah! Kecil-
kecil hebat juga kedua anak itu. Mungkin kalau aku 
tak segera menghindar ke tempat yang banyak abunya, 
bisa hancur tubuhku dibuatnya," gumam Lungguh 
dengan mata menatap ke langit. 
Setelah dirasakan badannya mulai segar kem-
bali, Lungguh pun bangun dan berjalan ke tempat 
yang agak kering. Tepat di bawah pohon yang besar ia 
berhenti. 
"Aku harus pulang sekarang. Pakaianku tak 
ubahnya seperti seorang pengemis...!" ucap Lungguh 
sendirian sambil bersandar di batang pohon yang be-
sar itu. 
Baru beberapa detik saja ia berada di situ, tiba-
tiba ia mencium sesuatu yang mencurigakan. Ia yakin 
suara gerakan halus itu akan menuju ke arahnya. 
Belum sempat ia berpikir jauh, serangan maut 
datang ke arahnya. Serangan secara beruntun itu, ru-
panya sengaja tak diarahkan langsung ke tubuhnya. 
Pisau-pisau yang dilemparkan hanya menancap pada 
pinggiran tubuhnya, sehingga tampak sekeliling tubuh 
Lungguh dipagari oleh pisau-pisau yang menancap di 
pohon. Baru saja Lungguh hendak bergerak, datang 
lagi sebuah pisau menancap sedikit di atas bagian ke-
pala dan di dekat ketiaknya, baik yang di sebelah kiri  
maupun di sebelah kanan. Kini tubuh Lungguh sema-
kin ketat terjepit di batang pohon. 
"Hei, siapa kau?! Mengapa kau lakukan ini se-
mua?! Ayo keluarlah!" teriak Lungguh yang tak  berani 
menggerakkan tubuhnya lagi. 
"Ha... ha... ha...! Inilah saatnya ajalmu, Manu-
sia Jahanam! Dunia ini sudah muak melihat tampang 
dan batang hidungmu!" ucap penyerang itu sambil ke-
luar dari tempat persembunyiannya. 
"Oh! Kau!" teriak Lungguh terkejut setelah me-
lihat wajah orang tersebut. Ternyata orang tersebut 
adalah Suta teman sepermainannya dari masa kanak-
kanak hingga masa remaja. 
"Kau masih mengenaliku?" tanya Suta dengan 
tenang. 
"Ya!" jawab Lungguh singkat. 
"Syukurlah kalau kau masih ingat pada teman 
lamamu!" balas Suta, "Sebenarnya aku sudah lama se-
kali mengejarmu, tapi sayang orang yang kukejar san-
gat licin bagaikan belut!" jelas Suta selanjutnya. 
"Kenapa kau mengejarku?" tanya Lungguh in-
gin penjelasan yang lebih mendalam. 
"Jangan berlagak pikun kau, Bangsat! Dasar 
Manusia Laknat tak tahu balas budi. Kau tentu masih 
ingat, berapa kali aku telah menyelamatkan nyawamu 
dari kemarahan orang-orang kampung akibat ulah 
mu? Berapa kali kau merengek di hadapanku untuk 
minta bantuan ini-itu?! Apakah selama ini, pernah aku 
meminta imbalan darimu? Tidak sama sekali! Aku pun 
tak pernah mengharapkan apa-apa darimu! Yang ku-
harapkan hanyalah agar persahabatan tetap terjalin 
dengan baik di antara kita...! Hanya itu! Tapi apa yang 
kuterima sekarang?! Fuih! Kau benar-benar manusia 
busuk! Begitu teganya kau nodai tunanganku yang se- 
bentar lagi akan menjadi istriku! Tahukah kau...! Aki-
bat perbuatanmu, ia telah bunuh diri! Sungguh kejam 
sekali, kau Lungguh! Kejaaaam!" teriak Suta yang 
tampak semakin beringas. "Sungguh... A... aku tak ta-
hu kalau..." "Diam! Aku belum habis bicara!" bentak 
Suta sambil melemparkan pisau ke dekat telinga 
Lungguh, sehingga sang raden ini semakin sulit berge-
rak. 
Dengan lemparan pisau tersebut mulut Lung-
guh menjadi terkunci, tak berani ia membuka suara 
lagi. 
"Ketahuilah Lungguh. Aku sejak itu telah ber-
sumpah pada diriku sendiri. Aku harus menebus sakit 
hati ini. Kau harus mati di tanganku! Sebenarnya su-
dah lama hal ini harus kulakukan, namun pada waktu 
itu ayahmu masih ada, beliau sedang sakit. Aku san-
gat menghormati beliau. Sekarang ayahmu sudah tia-
da...! Jadi aku telah dapat melaksanakan sumpahku, 
apalagi orang yang ku tuju sekarang sudah berada di 
hadapanku. Terimalah kematianmu yang sekaligus 
merupakan berakhirnya petualanganmu yang keji itu." 
Rupanya selama temannya bicara Lungguh te-
lah mencari peluang yang memungkinkan untuk dapat 
lolos dari jepitan pisau tersebut. Hal ini memang di 
luar dugaan Suta. Begitu melihat tubuh Lungguh me-
letik, bukan main terkejutnya Suta. 
"Kau belum tentu mampu membunuh ku, ka-
wan!" teriak Lungguh sambil menyerang Suta. 
Serangan keris yang ditunjukkan ke arah Suta 
tak berhasil menuju sasaran. Suta dengan cermat da-
pat mengelakkan. Kemudian Suta berusaha mencapai 
pohon untuk mengambil kembali pisau-pisaunya. Sete-
lah melalui beberapa kali salto akhirnya dapat juga ia 
berada di dekat pohon tersebut. Pisau yang menancap  
di pohon langsung dicabut dan dilemparkan ke arah 
lawan. 
Lungguh dengan sekuat tenaga menangkis se-
rangan yang beruntun itu. Ia melompat ke sana-ke 
mari menghindari diri dari pisau-pisau yang dilempar-
kan kawannya yang kini menjadi lawan. 
"Ha... ha... ha...! Terus saja berjoget, Lung-
guh...! Pisau-pisau itu memang tak ku arahkan tepat 
di badanmu. Kalau kau ingin tahu pisau yang ku 
arahkan  dengan tepat, macam inilah...!" teriak Suta 
sambil melempar dua buah pisau dengan kedua tan-
gannya secara berbareng. 
Apa yang diucapkan Suta memang terbukti. Pi-
sau-pisau itu telah berhasil mencapai sasaran dan 
langsung menancap dada bagian kiri dan kanan Lung-
guh. 
Lungguh berteriak sekuat tenaga karena sakit 
yang dirasakan tidak terkira. Ia ambruk seketika den-
gan pakaian berlumur darah. 
"Su... su... Sutaaaa... kkkau tega ssekali... pa-
daku..." ucap Lungguh dengan suara serak dan terpu-
tus-putus. 
"Maafkan aku, Lungguh. Ini semua akibat per-
buatanmu yang telah melampaui batas! Aku... 
heeeekk... kkh!" ucapan Suta tak dapat diteruskan lagi 
karena tanpa diduga sama sekali, tangan Lungguh ti-
ba-tiba melemparkan keris yang masih berada di tan-
gannya dan masuk tepat di bagian jantung Suta. 
Suta mengerang menahan rasa sakit yang tak 
terhingga. Sambil gemetar tangan kirinya meraba ikat 
pinggangnya untuk mencari sesuatu. Ternyata ada se-
buah pisau lagi yang tertinggal di bagian belakang, se-
telah menyambar pisau tersebut, Suta pun langsung 
melemparnya. Lungguh yang baru saja hendak bangkit  
langsung ambruk lagi karena di punggungnya telah 
tertancap pisau Suta yang terakhir. Suta tak mampu 
lagi berdiri. Tubuhnya ambruk ke tanah tak berkutik 
lagi. Sedangkan Lungguh masih berusaha untuk 
bangkit walaupun mukanya tampak semakin pucat 
akibat semakin banyaknya darah yang keluar. Ru-
panya ia masih punya ambisi untuk hidup. 
 
*** 
 
 
Tak jauh dari tempat itu, tampak serombongan 
tukang-tukang pukul dari daerah lain memperhatikan 
perkelahian tersebut. Di antara mereka ada pula yang 
berkepala botak dan berkumis tebal. Ia berdiri paling 
depan dan berkali-kali ia mencegah ketika orang-orang 
yang di belakangnya ingin mengadakan penyerangan. 
"Tunggu! Biarkan mereka selesai dulu!" ucap si 
Botak yang berpakaian gaya tokoh Jin dalam film Seri-
bu Satu Malam. 
Rupanya si Botak inilah yang menjadi pimpi-
nan, karena semua yang diperintahnya tak ada yang 
berani membantah. 
Tak lama kemudian si Botak pun melangkah 
maju sambil memutar-mutarkan tombaknya. Setelah 
tiba di dekat Den Lungguh yang masih mengap-
mengap dan berupaya untuk berdiri merambat di ba-
tang pohon, si Botak menghentikan langkahnya. Ia ter-
senyum melihat keadaan Lungguh yang sudah dalam 
keadaan parah. 
"He... he... he...! Ternyata aku tak perlu kerja 
keras untuk mendapatkan kepala si Kunyuk ini! He...  
he... he...!" ucap si Botak yang tak henti-hentinya me-
milin-milin kumisnya yang melintang itu. "Tapi... bera-
pa lama lagi gua musti nunggu dia kaku...?! Hmmmh, 
lebih baik dengan cara ini saja, hup!" ucapnya lagi 
dengan keras sambil melemparkan tubuh yang berada 
di tangannya dengan tepat. 
Tubuh yang telah tak berdaya itu kini mengge-
lepar dibuatnya dan dalam beberapa detik saja Lung-
guh sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki botak yang ber-
tampang beringas itu maju beberapa langkah mende-
kati mayat Lungguh. Setelah ia memeriksa keadaannya 
maka ia pun memerintahkan anak buahnya untuk 
mengambil mayat tersebut sebagai bukti hasil kerja 
mereka. 
"Hei, yang kuminta bukan cuma orangnya 
doang. Tapi berikut gerobaknya. Goblooooook!" bentak 
si Botak kepada salah seorang anak buahnya. 
"Untuk apa gerobak, Kang?" tanya yang lain-
nya. 
"Kamu ini pingin hadiah yang besar, apa eng-
gak, sih?! Mana ada orang yang mau bayar, kalau kita 
tidak menunjukkan bukti dari hasil pekerjaan kita. 
Dungu kau!" bentak si Botak kembali. 
"Aah, si Akang ini. Sudah kerja kita enggak re-
pot, masih juga marah-marah aja!" sahut anak buah 
yang bertubuh pendek gemuk dan mukanya jerawatan. 
"Hei, muka geradakan! Ayo kerja, jangan ba-
nyak omong. Pokoknya kalau kita mendapat upah 
yang besar dari Juragan Wangsa, baru kau boleh ber-
senang-senang. Cinta mu yang nggak kesampaian alias 
selalu ditolak perawan, tidak akan terjadi lagi, he... 
he... he...!" sahut si Botak sambil mengusap-ngusap 
kepala orang itu. 
"Nyindirr... niii... yeee!" balas si Pendek sambil  
nyengir. 
Kini kembali si Botak mengawasi pekerjaan 
anak buahnya yang masih tampak sibuk mencabuti 
benda-benda yang masih melekat di tubuh Lungguh 
yang kini telah dingin dan kaku. Setelah itu tubuh itu 
dibungkus dengan kain yang telah disediakan di dalam 
gerobak. 
"Ayo cepat masukkan ke dalam gerobak!" perin-
tah si Botak kembali. 
"Kalau yang satunya ini bagaimana, Kang?" 
tanya salah seorang anak buahnya. 
"Itu bukan urusan  kita. Biarkan saja, nanti 
siang pun sudah diurus oleh masyarakat di sekitar si-
ni!" jelas si Botak. 
"Jadi dibiarkan saja..?" sela yang lainnya. 
"Bawel lu!" bentak si Botak dengan mata melo-
tot, "Ayo berangkat!" perintahnya kembali. 
Mendengar perintah tersebut, maka anak buah 
yang berjumlah enam orang itu pun tak banyak tanya 
lagi. Mereka segera berangkat. Si Botak mengikuti dari 
belakang dengan penuh tawa riang. 
Setibanya di rumah sang majikan, si Botak 
langsung lompat dan lari menuju ke pintu lebih dulu. 
Berkali-kali menggedor pintu rumah majikannya, tapi 
belum juga ada yang buka. 
"Gaaaan...! Banguuun, udah siaaaaang!" teriak 
si Botak dengan suara menggelegar sambil menggedor 
pintu rumah dengan keras sekali. 
Dari kerasnya suara teriakan tersebut, akhir-
nya sang majikan terbangun juga. Dia tampak keluar 
dari kamarnya dengan kain sarung yang masih dike-
rudungkan. Kemudian membukakan pintu. 
"Masuk! Ayo masuklah! Sebentar aku mau ber-
pakaian dulu...." ucap Den Wangsa sambil mengucek- 
ngucek matanya. "Oaahm! Oaaaahhhhmmmm...!" ber-
kali-kali ia menguap ketika hendak masuk ke kamar-
nya. 
"Dasar Gendut! Dia yang nyuruh, tapi enak-
enakan tidur pules di rumah!" ucap si Pendek. 
"Husss! Jangan bawel!" bentak si Botak sambil 
memukul pundak si Pendek dengan gagang goloknya. 
"Habis kesel sih, Kang!" sahut orang itu kembali. 
"Awes, kalau masih bantah terus ku masukan 
kau ke dalam gerobak dengan badan terbelah dua!" 
ancam Botak dengan suara pelan tepat di dekat telinga 
orang itu. 
"Hiiiyy... merinding deh bulu kudukku menden-
garnya...!" ucap si Pendek kembali. 
Entah membaca mantera apa si Wangsa di da-
lam kamarnya, kelihatannya lama sekali dia menyalin 
pakaian. Hal ini telah membuat anak buah si Botak 
menggerutu. 
"Bagaimana hasil kerja kalian?" tanya Wangsa 
setelah mengganti pakaiannya dengan mentereng wa-
lau belum mandi. 
"Siapa dulu dong...? Pokoknya kalau tugas dis-
erahkan padaku, pasti beres...!" balas Botak, "Kalau 
perlu bukti, lihat sendiri di depan. Mayat itu sekarang 
berada di dalam gerobak!" ujarnya lagi sambil menun-
juk ke luar. 
"Mana... mana... ayo, aku pingin lihat!" sela 
Wangsa dengan gembira dan langsung menuju ke luar. 
Si Botak segera mengantar Wangsa untuk me-
nunjukkan mayat yang baru dibawanya. 
"Bagus... bagus...! Ha... ha... ha...! Tak percuma 
aku membayar kalian dengan mahal. Kalian memang 
orang-orangku yang baik. Hmmh... bagaimana dalam  
menghadapi nya, apakah banyak kesulitan?" tanya 
Wangsa kepada si Botak. 
"Tidak. Ternyata apa yang kau katakan salah 
semua...! Kau bilang dia banyak mempunyai ilmu ini 
dan itu... eh nyatanya secuil pun tak mampu menan-
dingi ilmuku," sahut si Botak sambil menepuk-nepuk 
dadanya sendiri. 
"Ha... ha... ha...! Aku kan bilang begitu karena 
ku  bandingkan dengan apa yang ku miliki!" sangkal 
Wangsa yang pintar bersilat lidah. 
"Oooo.... begitu?" sahut si Botak dengan penuh 
bangga. 
"Tapi bukan berarti aku tak mampu mengha-
dapi mereka-mereka yang jago dalam dunia persila-
tan...! Tidak sama sekali. Mereka tidak mempunyai ba-
rang seperti ini, sedang aku memilikinya! Apakah kau 
juga mampu menangkisnya?" balas Wangsa sambil 
mengacungkan pistol ke muka si Botak. 
"Wah... wah... jangan Den! Berbahaya... itu. 
Den!" sela si Botak dengan geragapan. 
"He... he, benar kan?!" sahut Wangsa sambil 
tertawa. 
"Siapa pun tak mampu menangkisnya, Den!" 
balas si Botak sekedar menyenangkan  hati juragan 
buncit itu. 
"Sudahlah...! Sekarang aku akan tugaskan kau 
kembali. Karena masih ada tugas lagi yang harus dis-
elesaikan! Sekarang suruh anak buahmu mengurus 
pemakaman Lungguh. Kemudian kita bicara di sini se-
bentar. Cepatlah, Dungkul!" perintah Wangsa kepada 
si Botak yang ternyata bernama Dungkul. 
Setelah semua anak buahnya dikerahkan un-
tuk mengurus mayat Lungguh, maka Dungkul pun 
kembali lagi menghadap juragannya. 
 
Wangsa segera memberikan petunjuk kepada 
Dungkul tentang tugas barunya yang harus ia laksa-
nakan sendiri. 
"Kalau cuma segitu mah, beres Den!" sahut 
Dungkul setelah menerima instruksi dari sang maji-
kan. 
"Nah sekarang kau boleh pergi. Tinggalkan aku 
seorang diri di sini!" ucap Wangsa setelah memberikan 
petunjuk kepada sang algojo. 
"Baik Den!" jawab Dungkul singkat. Maka 
Dungkul pun melangkahkan kakinya meninggalkan 
ruang tengah yang besar, tempat Wangsa sering men-
gadakan musyarah untuk mengatur rencana. 
Kini tinggallah Wangsa yang berada di ruang 
itu. Ia tampak ceria sekali. Mungkin segala keinginan-
nya sudah sembilan puluh sembilan persen diperoleh 
dan yang satu persen inilah yang masih harus dilak-
sanakan oleh algojonya. 
"Hmmm... dengan kematian Lungguh berarti 
aku telah menguasai seluruh harta warisan yang ada 
di rumah ini. Tak ada lagi yang dapat menghalanginya. 
Apalagi kalau si Tirta itu sudah berhasil dicopot leher-
nya. Aku bakal bebas tanpa ada gangguan sedikit pun. 
Soal harta yang terpendam biar kusingkirkan dulu da-
lam ingatanku, yang penting harta warisan di rumah 
ini berikut isinya, termasuk sawah dan ladang, sudah 
mutlak berada di tanganku." 
Setelah sekian lama mondar-mandir di ruang 
itu, Wangsa kemudian menarik sebuah laci kecil yang 
berisi uang logam dalam jumlah banyak sekali. 
"Aku harus sisihkan uang buat Tirta si Juru 
Tulis dungu itu!" gumam Wangsa sambil memasukkan 
uang logam ringgitan ke dalam sebuah kantong kecil 
yang sudah dia sediakan. 
 
Setelah itu Den Wangsa memanggil salah seo-
rang anak buahnya untuk memanggil Juru Tulis Tirta. 
"Cepat kau temui dia. Sore nanti kutunggu ke-
datangannya!" perintah Wangsa kepada orang itu. 
"Baik Den," jawab anak buahnya. 
"Kenapa kau masih diam?" tanya Wangsa kem-
bali. 
"Ongkosnya belum. Den...!" jawab orang itu 
sambil nyengir. 
"Masa' setiap ke sana harus pakai ongkos, 
sih?!" balas Wangsa sambil melotot. 
"Kan jauh. Den...! Pokoknya kalau ke Sana ti-
dak bawa uang, pasti akan kelaparan di jalan." 
"Ah... sudahlah. Nih terima! Cepat kau berang-
kat ke sana." 
Setelah mendapat ongkos dari sang majikan 
maka orang itu langsung melangkah dengan gesit me-
ninggalkan majikannya. "Hmm... kalo nasibku lagi mu-
jur, uang segini pun bisa berubah jadi sepuluh kali li-
pat...! Ah, soal ke rumah si Tirta belakangan aja. Yang 
penting aku mau main judi dulu. Menang atau kalah 
nggak soal!" gumamnya sendirian. Sementara itu lang-
kahnya tampak semakin dipercepat. Begitu tiba di se-
buah kedai kopi orang itu langsung masuk ke dalam, 
rupanya di dalam kedai itu telah disediakan tempat 
untuk berjudi. 
 
*** 
 
 
Waktu terus melaju dengan cepat, tanpa terasa 
malam telah kembali menyelimuti belahan bumi, ter- 
masuk pula daerah Babakan tempat kediaman Den 
Wangsa. 
Saat itu Den Wangsa bagai seorang Pamong 
Praja saja gayanya. Ruangan tengah telah ditata den-
gan rapi. Meja tulis besar diletakkan di sudut ruangan. 
Kursi di belakang meja itu rupanya sudah lama dipe-
san Wangsa kepada seorang tukang, tampaknya me-
gah sekali. 
Kini Den Wangsa sedang menunggu kedatan-
gan Juru Tulis Tirta. Sejak sore dia duduk di sana 
hingga jauh malam, namun orang yang ditunggu  be-
lum juga muncul. 
"Gila! Kenapa si Tirta ini?" gerutu Wangsa sam-
bil menggaruk-garuk kepalanya. 
Berkali-kali Den Wangsa menguap, entah kare-
na ngantuk atau karena kesal. Yang pasti ia bangkit 
sambil menggedor meja. Tapi tiba-tiba Wangsa memba-
talkan niatnya untuk meninggalkan tempat karena 
terdengarnya suara orang memberi salam sambil men-
getuk pintu. 
"Masuuuuuk!" teriak Wangsa dengan nada kes-
al. 
"Selamat malam. Den...!" ucap tamu yang baru 
datang itu. 
"Dari mana saja kau. Kenapa baru datang?!" 
bentak Wangsa. 
"Dari rumah. Den...!" jawab Tirta singkat. 
"Iya... aku tahu kau dari rumah. Tapi kenapa 
malam-malam begini baru datang... hah?!" 
"Suruhan Aden saja datangnya sudah malam. 
Masa' saya musti datang sore...! Aden ini yang bukan-
bukan saja!" 
"Jadi baru tadi disampaikan?! Bukan tadi pagi?!"  
"Iya... Den!" jawab Tirta dengan terbungkuk-
bungkuk. 
"Gila!" bentak juragan buncit itu.  
"Memangnya kenapa, Den?"  
"Ah. Tidak... tidak apa-apa! Sudahlah! Aku me-
nyuruhmu datang untuk memberikan ini! Nah, ini ba-
gianmu! Terimalah imbalan dari jasa baikmu. Kurasa 
cukup untuk makan sampai tua, tanpa kau harus ca-
pek-capek lagi membanting tulang." 
Wangsa segera menuangkan isi kantong yang 
sebelumnya telah diisi uang di atas meja dekat Tirta 
duduk. Mata Tirta melotot melihat uang yang begitu 
banyak. 
"Ambillah untukmu semua!" perintah Wangsa. 
Tirta mendengar ucapan tersebut langsung me-
raupnya dengan cepat dan memasukkan kembali ke 
dalam kantong asalnya. 
"Terima kasih Den... Nuhuuuun...!" ucap Tirta 
sambil membungkuk-bungkuk kegirangan. 
"Bagaimana sekarang? Apakah kau masih ingat 
akan dosa? Bisakah kau menjawabnya?!" 
Mendengar pertanyaan yang bernada sindiran 
itu Tirta diam saja. Pikirannya saat ini, bagaimana ca-
ranya untuk cepat-cepat mohon diri dari tempat itu. 
Kemudian cepat-cepat ia pulang ke rumah untuk me-
nemui anak istrinya. Sebab baru pertama kali ia men-
dapatkan atau memegang uang sebanyak itu. 
"Nah! Sekarang kau boleh pergi." ucap Wangsa 
setelah melihat Tirta selesai mengikat kembali uang 
yang baru diberikan itu. 
Ucapan yang memang sangat ditunggu-tunggu 
itu, kontan membuat Tirta bangkit dari kursinya. 
"Punten... Den!" ucap Tirta memberi salam dan lang-
sung melangkah ke luar dengan cepat. 
 
Sejak keluar dari rumah itu, Tirta tampak ber-
gembira sekali. Siulannya yang begitu merdu terus ter-
dengar tanpa henti. Hatinya serasa di awang-awang 
dan Tirta kelihatannya gagah sekali. Tapi sayang... ke-
gembiraannya hanya sebentar saja, karena di dalam 
perjalanan pulang, tiba-tiba ada seorang laki-laki ber-
kepala botak menghadangnya. 
"Hah...?!" teriak Tirta dengan mata terbelalak 
dan tubuh gemetar ketika melihat munculnya sosok 
tubuh laki-laki yang menghadangnya. 
"Mau ke mana Kang Tirta? He... he... heh!" te-
riak lelaki yang ternyata si Dungkul itu. 
"A... aku... m... mau pulang. S... si... siapa 
kau?" balas Tirta dengan suara gagap karena takut se-
kali melihat tampang orang yang menghadangnya. 
"Kenapa masih gugup, Kang...? Aku kan tak 
apa-apa. Aku hanya ingin tanya, boleh kan?! He... he... 
he...!" sahut Dungkul sambil tertawa. 
"Ini... u... uang setoran,.. A... a... anu, uang se-
toran pajak!" jawab Tirta kembali. 
"Bohong!" bentak Dungkul spontan. 
"Su... sungguh, aku tidak bohong!" ucap Tirta 
mengelak. 
"Memangnya aku tidak tahu! Kau jangan coba-
coba membohongi ku, Kunyuk!" bentak Dungkul kem-
bali, "Bawa sini!" perintahnya dengan mata melotot se-
hingga jantung Tirta terasa mau copot dibuatnya. 
Tirta tampak sudah pucat sekali, seluruh tu-
buhnya basah dengan keringat dingin, tapi walaupun 
begitu, ia masih berusaha untuk mempertahankan 
uang yang baru ia terima dari Wangsa. 
"Jangan coba-coba membantah Tirta...! Kurasa 
hidup sebagai Juru Tulis sudah lumayan, kenapa 
musti terima yang tidak-tidak...! Berikan saja uang itu  
padaku...! Ayo...!" 
"Tidak... tidak... jangan!"  
"Kenapa? Berikan dari pada celaka!"  
"I... ini, u... uuang... pep... pajak yang harus 
disetor dari Juragan Wangsa...! Ku mohon jaa... jangan 
diambil...! Sungguh ku mohon jangan diambil!" 
Suara Tirta yang serak memelas tak membuat 
Dungkul merasa iba. Si Botak malah menjadi tambah 
beringas kelihatannya. Tangannya yang begitu besar 
dengan cepat menyambar kantong uang yang berada di 
tangan Tirta. Dalam sekejap kantong itu telah berpin-
dah tangan. 
"Ha... ha... ha...! He... he... heh...! Terima kasih 
Tirta...! Terima kasih! Sekarang kau boleh meneruskan  
perjalananmu kembali...!" ucap Dungkul sambil me-
mutar-mutar kantung uang di hadapan Tirta. 
"Jangan... jangan. Kembalikan padaku cepat. 
Kembalikan! Kembalikan...!" jerit Tirta sambil berusaha 
mengambil uangnya kembali dari tangan Dungkul. 
Berkali-kali Tirta bermaksud merebut, tetapi 
tubuh Dungkul yang tinggi besar itu sulit dicapai. Apa-
lagi kantong itu terus ia mainkan ke kiri ke kanan, ke 
atas ke bawah, ke depan ke belakang. Tirta tak ubah-
nya seperti seekor anak kucing yang sedang diajak 
bercanda. 
Dungkul yang sejak semula sudah mempunyai 
niat busuk terhadap Juru Tulis ini, setelah melihat si 
orang tua kepayahan langsung menangkapnya. Tubuh 
Tirta yang kurus dan kecil terus meronta-ronta karena 
lehernya terjepit di ketiak Dungkul. Walaupun ia beru-
saha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi tak 
berhasil, karena Dungkul semakin kuat menjepitnya 
dan semakin mengerahkan tenaga raksasanya. 
"He... he... he...! Percuma saja kau berontak 
 
Kucing Kurus. Tak ada gunanya. He... he... heh!" teriak 
Dungkul sambil tertawa terkekeh-kekeh. 
"Hekkkkh... hekkkkkh."  
"Ayo... teruus...!"  
"Aaaakkkh!" 
"Masih mau coba lagi?" 
Untuk kali ini tak ada lagi suara yang keluar 
dari mulut Tirta. Tubuhnya tampak lemas tak berdaya. 
Di samping itu si Dungkul masih tetap memainkan je-
pitan mautnya. 
"Ayo...! Habiskan tenagamu, orang tua...! Jan-
gan tanggung-tanggung!" ucap Dungkul yang selalu 
diselingi dengan tertawanya yang khas. Setelah menge-
tahui bahwa orang tua yang di ketiaknya sudah tak 
berkutik lagi barulah ia melepaskan jepitannya. 
"Hmmmh. Sudah mampus...!" gumam Dungkul 
ketika memeriksa tubuh Tirta dengan teliti. 
Dungkul terdiam sejenak, tak berapa lama ke-
mudian ia melangkah meninggalkan tempat itu, seper-
tinya ingin mencari sesuatu. Sedangkan tubuh Tirta 
sementara dibiarkan tergeletak begitu saja. 
"Sial. Nggak ada karung di sekitar sini! Kalau 
begitu ku lempar di kali saja!" ujar si Dungkul setelah 
kembali ke tempat tersebut. 
Tubuh Tirta yang kurus itu cukup diangkat 
dengan sebelah tangan oleh Dungkul. 
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Dungkul me-
langkah menuju ke tepian kali yang cukup deras air-
nya. Setelah itu tubuh orang tua itu pun dilemparkan-
nya ke dalam air. 
Kita tinggalkan dulu masalah si Botak ini, kini 
kita intip dulu apa yang dilakukan juragannya. 
Pada saat itu sang juragan sedang asyik di 
pembaringan sambil menikmati minuman tuak kese- 
nangannya. Wajahnya sampai  saat itu pun tampak 
masih ceria. 
"Hmmm... semua sudah kusingkirkan, mudah-
mudahan orang yang mengetahui rahasiaku pun bisa 
disingkirkan oleh si Botak Dungkul. Kalau orang te-
rakhir sudah bisa ku atasi tentu aku sangat bergembi-
ra sekali. Berarti tak ada lagi rintangan bagiku." ucap 
Wangsa sendirian. 
Gelas demi gelas minuman keras itu ditenggak-
nya tanpa berhenti, matanya mulai memerah dan ke-
lakuannya pun mulai berubah. Tertawanya semakin 
banyak dan lagaknya macam orang sinting saja, kare-
na pikirannya dapat menerawang ke mana yang ia su-
ka. Kali ini ia tengah membayangkan seorang wanita 
yang pernah dicintainya. 
"Sari... sayang ku...! Mengapa kau selalu meno-
lak cintaku...! Tega sekali kau ini...!  Uu... uhuuu...!" 
ucap Wangsa dengan sendu. 
Rupanya si Wangsa kali ini sudah mabuk berat. 
Bayangkan saja, sebuah guling yang ada di samping-
nya, tak habis-habisnya dibelai bagaikan seorang jeja-
ka sedang bercinta dengan gadis pujaannya. 
"Sari... sayang...! Mengapa kau selalu beralasan 
yang bukan-bukan? Walaupun aku ini adik iparmu, te-
tapi kan suamimu kini sudah mati, sayang...! Dia su-
dah ku racuni...! Surya sudah mati! Kini tak ada lagi 
penghalang sayang... anak-anakmu pun sudah tak ada 
semua. Kau sekarang tak boleh beralasan lagi...! Kau 
harus membalas cintaku! Haruuuus... Huu... uuu...!" 
Semakin lama Wangsa semakin gawat. Ia me-
nangis dan tertawa sendiri macam orang gila. Guling 
yang berada di dalam pelukannya tetap tak dilepaskan, 
ada kalanya dibelai, ada kalanya digendong, tapi ka-
dang-kadang dipukul berkali-kali. 
 
"Kau harus mau padaku. Sari! Harus mau ka-
lau tidak mau akan menyesal nanti. Sekarang aku te-
lah menjadi orang kaya. Aku sudah menjadi juragan, 
mengerti?! Ayo, jawab..! Jangan diam saja...! Jaaa-
waaaaab! Jangan kau bikin hatiku menjadi semakin 
parah. Hmmmh! Sial...! Ternyata kau tetap memban-
del. Rasakan akibatnya, hmmmmh! 
Wangsa dengan sekuat tenaga mencekik guling 
tersebut kemudian melemparkan sampai ke dekat pin-
tu, setelah itu ia kembali mengambil pundi tuak yang 
masih tersisa di atas meja dan langsung meminumnya 
tanpa dipindahkan ke dalam gelas lagi. 
Sementara itu di ruang tamu, Dungkul telah 
menunggu Wangsa sejak tadi. Ia sampai tertidur di 
bangku dalam menunggu sang majikannya keluar. 
"Gila...! Ngapain sih dia di dalam!" gumam 
Dungkul saking kesalnya. "Jangan-jangan dia ketidu-
ran...! Hmmmh... mana aku sudah janji pada anak bu-
ahku semua! Bagaimana nanti kalau mereka pada da-
tang?" 
Dungkul segera bangkit dari kursinya dan 
langsung menuju ke kamar Wangsa. 
"Hei Juragan, bangun... Gan!" teriak Dungkul 
sambil menggedor pintu kamar itu. 
Setelah berkali-kali digedor tak ada jawaban, 
laki-laki botak yang terkenal kurang sabar ini langsung 
menendang pintu tersebut hingga terkuak lebar. 
"Wah... rupanya dia sudah menggeloso tak in-
gat diri! Gawat deh kalo begini!" teriak Dungkul lagi 
sambil mengangkat tubuh Wangsa. 
Badan Wangsa yang begitu berat dengan mu-
dah diangkat oleh si Botak ini. Begitu keluar dari ka-
mar, Wangsa langsung dibawa ke belakang untuk dis-
iram dengan air, "Satu-satunya jalan cuma ini yang  
bakal bisa menyadarinya!" pikir Dungkul dalam hati. 
Akhirnya Wangsa terbangun juga setelah bebe-
rapa kali mukanya kena siraman air. 
"Maaf Gan! Cuma ini obatnya buat orang ma-
buk! He... he... he...!" ucap Dungkul yang terus meng-
guyur Wangsa, sampai ia kelabakan. 
"Auuuf...! Auuuuf...! Auuffff! Cukup...! Cu-
kuuuuup! Awas kau. Nanti kuhajar biar mampus...! 
Auuuf!" teriak Wangsa kelagepan. 
Dungkul segera menghentikan guyurannya se-
telah melihat sang majikan itu benar-benar telah sa-
dar. Sebenarnya Wangsa dongkol sekali melihat kela-
kuan anak buah nya yang kurang ajar ini, tapi apa bo-
leh buat, orang macam begini memang lagi ia perlu-
kan, di samping itu memang dapat diandalkan. 
"Kemudian kau ke depan. Aku mau salin pa-
kaian dulu!" perintah Wangsa dengan kesal. 
"He... he... heh...! Baik Gan...!" jawab Dungkul 
sambil cengengesan. 
Tanpa memperdulikan si Dungkul yang masih 
nyengir-nyengir bajing, Wangsa dengan pakaian yang 
basah kuyup langsung nyelonong ke kamarnya. Mu-
kanya kelihatan asam sekali. Mungkin ia kesal akibat 
guyuran air tersebut. 
"Dungkuuuuul!" teriak Wangsa dari dalam ka-
marnya. 
"Yaaaa... Gan!" sahut Dungkul. "Ke sini kau!" 
teriak Wangsa kembali. "Sebentar...!" balas Dungkul. 
Dungkul yang sedang asyik menyikat lahap makanan 
di dapur, buru-buru menghabiskan nasinya yang ma-
sih tersisa di piring. Teriakan Wangsa yang berulang 
kali terdengar seakan-akan tak dihiraukan lagi, karena 
paha ayam goreng yang masih tersisa di piring perlu 
dihabiskan, daripada mubazir. 
 
"Hei...!? Apa-apaan kau ini, hah?!" bentak 
Wangsa dengan keras. 
"Mumpung ada, Gan!" jawab Dungkul dengan 
tenang dan tak menoleh sedikit pun walaupun maji-
kannya telah berada di belakangnya. 
"Itu semua hidangan untukku, Dungkuuuuul!" 
bentak Wangsa dengan kesal sekali, "Kenapa kau bikin 
ludes semuaaaa?" geramnya. 
"Ini semua tak seberapa, kalau dibanding den-
gan ini!" sahut Dungkul sambil melemparkan sekan-
tong uang ke atas meja makan. Setelah itu ia kembali 
menghabiskan makannya dengan lahap. 
Wangsa tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali 
menunggu sampai si Bergajul itu selesai makan. 
"Eeeeeeghh!... eeeeeghhh!" tahak Dungkul den-
gan keras setelah menghabiskan sisa minuman di ge-
lasnya. Kemudian ia bangkit dari kursi dan melangkah 
mendekat Wangsa yang masih diam bagai patung. 
"Yang itu masih utuh, Gan! Periksalah kalau 
kau tak percaya!" ujar Dungkul sambil  mengusap-
ngusap perutnya yang telah kenyang. 
"Benarkah itu?!" tanya Wangsa ingin penjela-
san. 
"Ya!" jawab Dungkul singkat. "Bagaimana den-
gan si Juru Tulis Dungu itu? 
"Sudah kulepaskan!"  
"Apa...?!" 
"Sudah kulepaskan! Buat apa kubawa ke sini? 
Bukankah Juragan tidak memerintahkan aku untuk 
membawanya ke mari...?" 
"Dungkuuuul! Kau ini bisa kerja apa tidak sih. 
Aduuuuh... Sakit kepalaku dibuatnya. 
Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk 
anak buahnya yang badung ini, sehingga meja yang  
penuh dengan piring sisa makan si Botak pun ikut jadi 
sasaran. Berkali-kali meja itu dipukulnya. 
"Dungkul! Aku  memerintahkan kau bukan 
hanya merebut uang ini. Tapi kau juga harus membu-
nuh si Tirta itu, mengertiiiii...!" teriak Wangsa sambil 
melotot kepada Dungkul. 
"Ya, aku mengerti!" sahut Dungkul tenang. 
"Tetapi, mengapa kau lepaskan dia?!" tanya 
Wangsa. 
"Untuk apa capek-capek kubawa mayatnya ke 
sini. Jadi kulepaskan saja ke kali!" sanggah Dungkul 
sambil tertawa. 
"Hah!? Jadi kau sudah laksanakan semua itu?!" 
"Dari tadi pun aku mau bilang. Cuma tak ada 
kesempatan untuk menjelaskan. He.. he... he... heh" 
"Ha... ha... ha... hah! Memang kau anak bua-
hku yang baik. Nih, uang ini ambil saja buatmu. Aku 
tak  memerlukannya. Mana anak-anak yang lain...?" 
teriak Wangsa kegirangan. 
"Ada, Gan...! Mereka menunggu di luar!" balas 
Dungkul. 
"Panggil semua anak buahmu, Dungkul. Malam 
ini kita bikin pesta besar-besaran! Tuh, lihat. Di kolong 
tempat tidurku sudah kusediakan puluhan pundi tuak 
istimewa buat kita minum bersama." ujar Wangsa yang 
langsung berlari ke kamarnya dan mengeluarkan pun-
di-pundi tuak dari kolong tempat tidurnya untuk di-
perlihatkan pada Dungkul. 
Dungkul dan anak buahnya bergembira di ma-
lam itu, mereka berpesta pora hingga larut malam tan-
pa memperdulikan keadaan dirinya. Padahal sebenar-
nya mereka telah diperalat oleh si Wangsa yang saat 
itu sedang asyik sendirian terlentang di atas pemba-
ringan sambil menggoyang-goyangkan kakinya karena  
terlalu girang. 
 
 
T A M A T