Serial Si Tolol - Perhitungan Terakhir Nyi Peri

 
Matahari mulai condong ke Barat. Hamparan 
awan di langit tampak putih bersih, tak ubahnya gum-
palan sutra tanpa noda. Makin lama dipandang makin 
terasa keindahannya. Sementara di lereng gunung Mu-
ria tampak pepohonan hijau, pucuk-pucuknya merun-
duk dihembus angin, tak ubahnya serombongan pasu-
kan perang yang sedang memberikan hormat kepada 
pimpinan. Di sela-sela dedaunan, tersembul putik-
putik kembang yang kelak akan mekar bersemi. 
Hidup terasa berbinar-binar, semarak bagaikan 
lidah api di malam hari. Suara langkah kaki di jalan 
kecil, memecah kesunyian di pinggir hutan. Seorang 
pemuda sedang berjalan sambil menggendong lelaki 
berkepala botak, sudah berusia remaja. Namun 
pemuda itu kelihatan sangat tenang terdengar jelas 
bagaikan menderu-deru. 
Itulah si Tolol! Sedang pemuda yang menggen-
dongnya adalah Jaka, ahli ukir kayu jati yang terkenal 
di Jepara. Keduanya baru saja pulang dari puncak gu-
nung Muria, dari dalam sebuah gua. Sambil tidur da-
lam gendongan, tangan kanan si Tolol menggenggam 
erat patung emas yang sangat mirip dengan patung 
Ratu Shima. 
Jaka sebenarnya sudah kelelahan, tubuhnya 
pun terasa pegal, karena menuruni lereng gunung 
sambil membawa beban yang cukup berat. Akan tetapi 
bukan itu yang menghantui perasaannya sekarang. 
Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul perasaan tak 
enak dalam hatinya, yang membuatnya seolah-olah ti-
dak merasakan beban berat di punggungnya. 
Naluri Jaka membisikkan sesuatu yang tidak 
 
diinginkan akan terjadi, tapi entah apa. Ia merasa be-
berapa pasang mata sedang mengintai dari balik se-
mak-semak. Tetapi ketika ia melirik ke sekelilingnya, 
tak ada yang mencurigakan. Semuanya tampak biasa-
biasa saja. Tapi perasaannya kenapa mendadak tidak 
tenang? 
Pemuda itu meneruskan langkah sambil beru-
saha meyakinkan dirinya bahwa di sekelilingnya tidak 
ada yang patut dicurigai. Tanpa ia sadari, firasatnya 
memang benar. Di sekelilingnya, dari balik semak-
semak, beberapa pasang mata memang sedang men-
gintai. Senjata sudah dihunus, siap diayunkan untuk 
merobohkan setiap orang yang dianggap saingan atau 
musuh. 
Sekonyong-konyong, lelaki yang sejak tadi 
mengintip meloncat dari balik semak-semak dan lang-
sung menghadang Jaka. Pria itu mengayun-ayunkan 
senjata di tangannya berupa samurai, sehingga tam-
pak berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Sepasang 
matanya mencorong tajam dan merah laksana me-
mancarkan api. Melihat penampilannya, Jaka segera 
dapat menyimpulkan bahwa pria itu bukan penduduk 
pribumi, melainkan orang yang datang dari negeri se-
berang. 
Ya, lelaki itu adalah Gahito, pendekar samurai 
dari negeri matahari terbit. Sambil menudingkan sen-
jatanya ke arah wajah Jaka, pendekar itu berkata den-
gan suara dingin namun penuh ancaman: 
"Serahkan patung itu kalau tak ingin kutebas 
batang lehermu, juga bocah yang kau gendong itu!" 
Jaka menjadi gemetar ketakutan, sebab ia su-
dah dapat merasakan bahwa lelaki asing itu tidak se-
dang main-main. Namun sambil memberanikan diri, ia 
masih men-coba bersikap lebih tenang. 
 
"Maaf, sobat. Siapakah sebenarnya kau dan 
kenapa meminta patung dariku? Patung ini milik si To-
lol. Kalau diambil, dia pasti menangis lagi. Aku yang 
repot. Karena itu kuharap engkau mau mengerti." 
"Persetan! Pokoknya serahkan, cepat!" 
Gahito melangkah lebih dekat sembari men-
gangkat samurainya tinggi-tinggi, sudah siap mengha-
bisi nyawa Jaka jika masih berani menolak. Akan teta-
pi ketika masih berada sekitar tiga meter dari hadapan 
Jaka, tiba-tiba dua bayangan berkelebat bagaikan ki-
lat, menghadang Gahito. 
Jaka tidak sempat memperhatikan dari sebelah 
mana kedua orang itu datang. Sepasang remaja berwa-
jah tampan dan cantik. Di tangan mereka terhunus 
masing-masing sebatang pedang berwarna keperak-
perakan. Kedua pendekar itu pun bukan penduduk 
pribumi, melainkan dari daratan Tiongkok. 
Hong Lie dan Giok Nio, pendekar kakak bera-
dik, dari balik pepohonan juga sudah cukup lama 
mengintai Jaka tadi. Dada mereka jadi berdebar-debar 
melihat patung emas di tangan si Tolol. Giok Nio malah 
sudah ingin segera meloncat keluar merampas patung 
itu, tetapi Hong Lie menyuruhnya bersabar menunggu 
saat yang paling tepat. Dan ketika melihat ada seseo-
rang meloncat dari balik semak-semak menghadang 
Jaka, kedua pendekar Tiongkok itu pun segera berbuat 
hal yang sama. 
"Kita bertemu lagi, sobat. Saya harap kalian 
berdua baik-baik saja," ujar Gahito sambil tersenyum. 
Sikapnya tampak tenang, namun sebetulnya ia merasa 
was-was juga. Karena dulu ia sudah pernah merasa-
kan kehebatan Hong Lie dan Giok Nio, yang bahkan 
nyaris mencelakakan dirinya. 
"Kami baik-baik saja, pendekar samurai. Eng-
 
kau pun tentunya demikian juga, bukan? Ternyata da-
lam waktu yang tidak terlalu lama kita sudah bertemu 
kembali." 
"Kenapa harus banyak omong sama tikus ini?" 
bentak Giok Nio yang kurang sabaran dibandingkan 
Hong Lie. Gadis dengan rambut berkepang dua itu su-
dah memasang kuda-kuda, siap mengadu nyawa den-
gan Gahito. "Barangkali kau masih besar kepala kare-
na hari itu kami memberimu kesempatan hidup lebih 
lama. Tapi sekarang, jangan harap. Berdoalah demi 
arwah nenek moyangmu sebelum tewas di ujung pe-
dangku!" 
"Aku tahu kalian berdua hebat dan hari itu 
hampir saja mengalahkan diriku yang bodoh. Tetapi 
jangan kira aku mau menyerah begitu saja. Kalah me-
nang bagiku adalah hal biasa dan mati dalam perta-
rungan merupakan salah satu tujuan mulia bagiku. 
Majulah, aku (pun sudah siap!" 
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala ju-
ga!" bentak Giok Nio sambil menerjang Gahito dengan 
dahsyat. Hong Lie pun tidak tinggal diam, segera men-
gikuti serangan adiknya. Tubuh kedua pendekar 
Tiongkok itu melayang tinggi ke udara dan sewaktu 
meluncur turun, ujung pedang mereka diayunkan ke 
arah dada Gahito. 
Gahito yang sejak tadi sudah bersiap-siap, se-
gera mengangkat kedua belah samurainya menangkis 
serangan lawan. Terdengar suara berdentang nyaring 
disertai percikan bunga api. Dengan gerakan yang cu-
kup meyakinkan, Gahito dapat menangkis serangan 
lawan. Namun tanpa diduga-duga, ujung pedang ke-
dua pendekar Tiongkok itu langsung menukik me-
nyambar ke arah lehernya. 
Pendekar samurai sangat terkejut melihat ke-
 
cepatan serangan lawan. Untunglah dia sudah hati-
hati karena telah mengetahui kehebatan kedua lawan. 
Sewaktu ujung senjata lawan hampir menyentuh kulit 
tubuhnya, ia segera meloncat mundur. 
Kembali serangan kedua kakak beradik itu ti-
dak mengenai sasaran. Akan tetapi begitu menginjak-
kan kaki di tanah, Hong Lie dan Giok Nio kembali me-
nerjang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh mereka 
berkelebat, sedangkan senjata di tangan diputar mem-
bentuk gulungan sinar mata pedang, mengincar tubuh 
Gahito dari segala arah. 
Gahito terpaksa harus mengerahkan segenap 
kemampuannya untuk bertahan. Kedua samurai di 
tangannya diputar laksana kitiran guna melindungi di-
ri. Setelah lewat sepuluh jurus, pendekar samurai itu 
mulai terdesak hingga tak mempunyai kesempatan lagi 
memberikan serangan balas. 
Hong Lie dan Giok Nio memang merupakan se-
pasang pendekar yang sangat serasi. Kedua pedang di 
tangan mereka seperti digerakkan seorang ahli pedang 
saja, saling melindungi dan jika seorang berusaha 
membuka pertahanan lawan, yang lainnya langsung 
menyerang. Ilmu pedang sepasang pendekar Tiongkok 
itu terlihat sudah mencapai tingkat sempurna yang di-
dukung Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang san-
gat tinggi pula. 
Melihat ketiga tokoh silat itu bertarung mati-
matian, Jaka bermaksud melarikan diri dari tempat 
itu. Ia mulai membuktikan kebenaran ucapan Dewi Ta-
too bahwa memiliki patung Ratu Shima sangatlah ber-
bahaya, karena banyak sekali pendekar yang ingin me-
rebutnya. Padahal para jagoan yang sedang bertempur 
itu sama sekali tidak menyadari bahwa patung emas di 
tangan si Tolol bukan patung Ratu Shima asli. 
 
Jaka mempercepat langkahnya sambil sekali-
sekali melirik ke belakang, takut kalau-kalau pendekar 
asing itu mengejarnya. Tanpa ia sadari, pendekar Irak, 
Husein telah mengintainya dari balik pepohonan. Laki-
laki  bersorban itu merasa heran juga melihat patung 
emas di tangan si Tolol. Sebab beberapa waktu lalu, 
patung itu jatuh ke tangan Dewi Tatoo. Saat itu Husein 
bermaksud melarikannya setelah dirampas dari tangan 
si Tolol dengan bantuan ilmu sihirnya. Namun di ten-
gah jalan, ia dihadang pendekar Betawi Mat Caplang, 
hingga terjadilah pertarungan hebat. Saat itulah Setya-
tun yang dijuluki Dewi Tatoo muncul dan membawa 
kabur patung Ratu Shima. 
Husein sendiri sudah  merasakan dan melihat 
kehebatan Setyatun hingga ia sendiri belum tentu 
mampu mengalahkannya. Tetapi sekarang patung 
emas itu berada di tangan si Tolol. Apakah bocah tolol 
itu mampu bertarung dan merebutnya dari Dewi Ta-
too? Pikir Husein. 
Ketika Jaka lewat di dekatnya, Husein segera 
menyambar patung emas di tangan si Tolol dengan 
menggunakan permadani yang selama ini jadi senjata 
andalan baginya. Dengan menyalurkan tenaga dalam-
nya, permadani itu jadi lemas sekali dan ujungnya 
membelit patung, lalu dihentakkan hingga terlepas da-
ri genggaman si Tolol. 
"Hah? Patung itu lenyap!" kata Jaka ter kejut. 
Ketika ia berpaling, tampaklah olehnya Husein sedang 
tersenyum sinis sambil menimang-nimang patung. 
"Jangan! Jangan ambil patung itu. Anak ini 
nanti akan menangis sambil berguling-gulingan," kata 
Jaka ketakutan. 
"Persetan!" 
"Tolonglah, tuan! Nanti kalau bocah ini bangun 
 
akan menyusahkan aku karena boneka kesayangan-
nya tidak ada lagi. Kasihanilah aku, tuan!" 
"Kau boleh ambil patung ini kalau kau tidak 
sayang nyawa lagi!" 
"Jangan, tuan! Masya tuan tega merampas 
mainan anak-anak?" 
"Bangsat! Kupecahkan kepalamu sekarang!" 
Husein hendak menyambar kepala Jaka dengan per-
madaninya. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkele-
bat. Lelaki itu berkumis panjang dan melingkar me-
nyeramkan sampai ke pipinya. Itulah dia pendekar dari 
Betawi, Mat Caplang. Ia telah menghunus goloknya 
dan sambil menudingkannya ke arah Husein, ia berka-
ta: 
"Hei, Bulbul! Serahkan patung itu padaku!" 
"Oh, kau?" 
"Ya, gue! Lu masih ingat, bukan? Sini patung-
nya, atau golok ini yang akan bicara!" 
"Bangsat! Jangan besar kepala karena hari itu 
masih bisa selamat dari tanganku. Sekarang aku tidak 
akan mengampunimu lagi!" 
"Anjing lu! Berani ngomong gitu ame gua. 
Ciyaaat!" Mat Caplang menerjang dengan jurus maut-
nya. Goloknya menyambar leher Husein yang ditangkis 
dengan permadani. Pada saat yang hampir bersamaan, 
tangan kiri Mat Caplang meluncur cepat mencengke-
ram patung di tangan Husein. Secepat yang bisa dila-
kukan, pendekar Irak itu mundur, namun cengkera-
man tangan Mat Caplang masih mengenai lengannya, 
sehingga patung emas terlempar tinggi ke udara. 
Patung itu meluncur, tetapi bukan ke bawah, 
melainkan ke tangan si Tolol yang masih pulas di gen-
dongan Jaka, seolah-olah ada kekuatan gaib menarik-
nya. Tentu saja Jaka sangat terkejut melihat patung 
 
itu tiba-tiba saja sudah ada kembali dalam tangan si 
Tolol. Ia tak habis pikir bagaimana hal itu bisa terjadi. 
Ahli ukir kayu jati itu hendak melarikan diri la-
gi. Namun rupanya Husein dan Mat Caplang segera 
menghentikan pertarungan dan langsung menerjang 
Jaka. 
"Serahkan patung itu padaku!" bentak Mat 
Caplang. 
"Tidak! Serahkan padaku!" teriak Husein pula. 
Jaka hampir jatuh lemas melihat golok Mat 
Caplang menyambar dari sebelah kiri, sedang dari se-
belah kanan Husein pun menyerang dengan permada-
ninya. Serangan kedua pendekar itu sangat cepat, se-
hingga sangat tipislah harapan Jaka menyelamatkan 
diri. 
Kedua senjata itu meluncur cepat ke arah tu-
buh Jaka, membuat pemuda itu memejamkan mata 
karena ketakutan dan sudah pasrah menerima apa 
pun yang akan terjadi. Tetapi tiba-tiba tubuhnya te-
rangkat ke atas seolah-olah diderek sampai ke atap 
rumah penduduk. Loloslah serangan kedua tokoh per-
silatan itu. Jaka merasa lega, tetapi wajahnya pun be-
rubah pucat, karena tak habis pikir bagaimana ia dan 
si Tolol bisa melambung setinggi itu. 
"Busyet! Gue kira dia pemuda goblok!" teriak 
Mat Caplang kaget. 
"Dia memang betul-betul pemuda yang kosong. 
Tetapi pasti ada kekuatan luar yang menggerakkan!" 
sahut Husein sambil memperhatikan tubuh Jaka yang 
meloncat dari atap rumah yang satu ke rumah lainnya. 
Di tempat lain, dari balik semak-semak, Raden 
Bei Kiduling Pasar juga sangat terkejut. Betapa tidak, 
Jaka bisa meloncat sangat ringannya menggendong si 
Tolol. Hampir tak masuk di akal, karena setahu Raden 
 
Bei, Jaka hanyalah anak kemarin sore yang polos dan 
belum pernah berguru kepada siapa pun. Raden Bei 
tahu betul akan hal itu. Lalu apa gerangan penyebab 
ahli ukir kayu itu bisa berbuat demikian? 
 
* * 
 
 
Raden Bei terus berpikir-pikir di tempat per-
sembunyiannya. Ia memang sengaja datang ke tempat 
itu karena ingin mendapatkan patung Ratu Shima, 
yang selanjutnya nanti akan diserahkan kepada Nyi 
Peri sebagai tebusan obat mujarab penakluk gadis-
gadis, terutama Ronahyatun, kekasih Jaka sendiri 
yang membuat lelaki kaya raya itu tergila-gila. 
Pendekar samurai Gahito, Hong Lie dan Giok 
Nio yang tadi terlibat pertengkaran seru juga telah ikut 
mengejar Jaka. Dengan gerakan yang sangat cepat dan 
ringan, ketiga pendekar asing itu meloncat ke atap ru-
mah dan mengepung Jaka dengan senjata siap di tan-
gan. 
"Jangan harap bisa lolos! Serahkan patung itu 
padaku!" bentak Gahito. 
"Tidak bisa! Harus diserahkan padaku!" bentak 
Giok Nio tidak kalah bengisnya, diikuti oleh Hong Lie. 
Keringat dingin semakin banyak bercucuran 
membasahi wajah Jaka. Tadi ia memang bisa merasa 
lega karena dapat menyelamatkan diri, tetapi sekarang 
menghadapi tiga orang pendekar sekaligus, rasanya 
tak mungkin lagi baginya maupun si Tolol yang masih 
tidur mendengkur untuk menyelamatkan diri. 
 
Ketiga pendekar itu menyerang secara berba-
rengan. Hong Lie dari sebelah kiri, Giok Nio dari ka-
nan, sedangkan Gahito dari tengah sambil meloncat 
tinggi. Para tokoh saling berlomba menghabisi nyawa 
Jaka dan si Tolol. 
"Mati aku...!" kata Jaka tanpa sadar. 
Pemuda itu menutupi wajah dengan kedua tan-
gan. Namun tiba-tiba terasa olehnya tubuhnya berpu-
tar cepat sekali. Hampir bersamaan dengan itu terden-
gar suara jeritan ketiga pendekar yang melakukan se-
rangan maut. 
Hampir tak terlihat oleh mata saking cepatnya, 
kedua kaki si Tolol menangkis serangan Hong Lie dan 
Giok Nio, sedangkan tangan kirinya memukul perge-
langan tangan Gahito. Sangat cepat, tetapi juga sangat 
kuat, sehingga tiga senjata di tangan lawan sama-sama 
terlempar jatuh dari atas atap ke tanah. 
"Bagero! Kurang ajar! Tanganku kesemutan!" 
teriak Gahito tanpa sadar. Hampir ia tak percaya kalau 
tidak merasakan sendiri, pergelangan tangannya ber-
getar hebat karena kuatnya tenaga tangkisan si Tolol. 
Hong Lie dan Giok Nio juga sangat terkejut. Ke-
duanya sebenarnya sudah memiliki ilmu silat tinggi. 
Namun mereka hampir tak melihat bagaimana caranya 
si Tolol menangkis serangannya. Bahkan kedua pen-
dekar berusia muda itu juga harus mengaku tenaga 
Gingkang mereka masih kalah, sehingga mereka tadi 
nyaris terjungkal. 
"Bagero! Kubunuh kau!" bentak Gahito geram. 
Ia mencabut senjatanya yang satu lagi. Dan sambil 
berteriak nyaring, pendekar itu kembali menerjang Ja-
ka. Tubuhnya bagaikan terbang, samurai di tangannya 
diayunkan cepat sekali ke arah si Tolol. 
Tatkala senjata itu menyambar dahsyat, tiba-
 
tiba tubuh Jaka bergeser dua langkah sehingga berada 
persis di bawah tubuh Gahito. Bersamaan dengan itu, 
kaki kiri si Tolol menyambar perut Gahito disusul pu-
kulan tangan kiri menghantam pergelangan tangan 
kanan lawan hingga senjatanya terlempar. 
Demikian kuatnya hantaman si Tolol sehingga 
tubuh Gahito terlempar jauh, lalu terhempas ke bawah 
dengan posisi punggung mengarah ke bumi. Kebetulan 
sekali, samurainya terjatuh ke tanah. Dan sebelum 
senjata itu rebah ke tanah, tubuh Gahito menimpanya. 
Tak ayal lagi, samurai itu menghunjam punggung Ga-
hito hingga tembus sampai ke bagian dada. 
Disertai jeritan panjang, tubuh pendekar samu-
rai itu menggelepar-gelepar dengan darah mengucur 
deras dari bagian tubuhnya yang tertembus senjata 
sendiri. Beberapa saat kemudian, tubuh itu diam tak 
bergerak-gerak lagi. Nyawa Gahito telah melayang me-
ninggalkan raga. Maka berakhirlah sudah riwayat pen-
dekar dari negeri matahari terbit itu, tewas secara 
mengenaskan di negeri asing tanpa sempat berhasil 
merebut patung Ratu Shima. 
Pendekar Tiongkok Hong Lie dan Giok Nio ter-
tegun menyaksikan pemandangan tragis itu. Sungguh 
tidak disangka seorang pendekar berilmu tinggi seperti 
Gahito akan menemui ajalnya dengan cara seperti itu. 
Jaka sendiri merasa sangat ngeri, karena selama hi-
dupnya belum pernah melihat orang mati menge-
naskan begitu. 
Belum habis rasa terkejut di hati Jaka, tiba-tiba 
tubuhnya kembali melayang tinggi ke udara kemudian 
mendarat di tanah. Dan sebelum sempat menarik na-
pas, tubuhnya kembali meloncat masuk  semak-
semak, sehingga dalam sekejap telah hilang dari pan-
dangan dua pendekar Tiongkok itu. 
 
"Luar biasa! Sulit dipercaya kejadian seperti 
ini!" kata Giok Nio. 
"Kembali kita menemukan pendekar yang san-
gat aneh dan hebat," sahut Hong Lie. 
"Tapi apakah memang betul bocah berkepala 
botak itu yang melakukannya? Dia kelihatan masih 
tertidur pulas. Sedangkan pemuda itu tampaknya ha-
nyalah orang biasa-biasa saja. Aneh!" 
"Bocah berkepala botak itulah yang melaku-
kannya, bukan pemuda itu. Di dunia persilatan me-
mang sering kita temui pendekar aneh. Tampaknya su-
lit bagi kita untuk merebut patung Ratu Shima dari 
tangannya. Tapi itu bukan berarti tidak bisa! Mari kita 
tinggalkan tempat ini. Peristiwa tadi hanya sebagai pe-
lajaran bagi kita agar lebih hati-hati untuk hari men-
datang!" 
Dalam sekejap, Jaka sudah tiba di halaman 
rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh, pemuda itu me-
langkah masuk sambil berdoa dalam hati agar tidak 
menemui peristiwa-peristiwa seram lagi. Bagaimana-
pun juga, peristiwa tadi masih membuatnya merasa ti-
dak tenang. Bahkan selama hidupnya belum pernah 
membayangkan akan mengalami peristiwa seperti itu. 
Tiba-tiba Jaka kembali menghentikan langkah-
nya, karena mendadak seseorang lelaki bertubuh kate 
menghadang. 
"Hah? Den Mas Bei?" kata Jaka terkejut. 
Raden Bei tertawa terkekeh-kekeh, membuat 
Jaka semakin gugup. 
"Den Bei... anu... ukiran pesanan Raden sudah 
selesai. Jadi maksud saya..." 
"He-he-he, itu sih urusan kedua. Gampang, 
tinggal mengambil saja, bukan? Eh, ngomong-ngomong 
kau dari mana gini hari baru pulang?" tanya Raden Bei 
 
seolah-olah belum mengetahui apa yang baru saja ter-
jadi. 
"Dari... dari eh, habis jalan-jalan, Den!" 
"Aduh, jalan-jalan kok sampai lama begitu? 
Mana nih badan masih bau keringat. Apa ibumu nggak 
uring-uringan? Kasihan. Ingat, Jaka, ibumu sudah 
tua. Harus sering-sering kau temani." 
"Ya, Den!" 
"Besok aku datang mengambil gambar ukir 
yang ku  pesan. Sekalian akan ku  bawakan oleh-oleh 
buat ibumu yang sudah tua itu. Orang tua harus bisa 
kita bikin senang, bukan?" 
"Terimakasih, Den!" sahut Jaka. Tetapi hatinya 
agak curiga juga, karena tidak biasanya Raden Bei 
bersikap baik dan murah hati. Pasti ada apa-apanya, 
sebab orang seperti Raden Bei mana bisa dipercaya 
mau berbuat baik tanpa pamrih? 
"Hei, patung apa ini? Bagus sekali, ya? Coba, 
lihat dulu!" 
"Ja... jangan!" 
"Alaa, cuma lihat sebentar saja. Boleh, kan?" 
Lalu setelah patung itu berpindah tangan, Raden Bei 
berkata penuh kagum: 
"Ini benar-benar patung peninggalan zaman 
purbakala, Jaka!" 
"Itu punya bocah ini, Den!" 
"He-he, kau tahu, Jaka. Aku suka mengumpul-
kan benda-benda kuno seperti ini. Aku pengagum 
karya seni. Nah, bagaimana kalau patung ini kubeli sa-
ja, Jaka?" 
"Anu... Den, patung itu seperti yang kukatakan 
tadi bukan punya saya, melainkan milik bocah yang 
kugendong ini. Dia sangat menyayanginya." 
"Siapa dia?" 
 
"Saudara saya, Den!" 
"Oh, kalau itu sih kan gampang. Kau tahu kan, 
duit lebih berarti daripada benda ini. Dengan uang itu 
nanti kau bisa kawin dengan gadis paling cantik di Je-
para ini. Bisa menjamin hari tua ibumu." 
"Anu... Den...." 
"Dan yang penting," sela Raden Bei cepat, "Kau 
tidak akan lagi jadi kuli ukir si Cokro tua itu. Kau bisa 
membuka pabrik-pabrik dengan modal sendiri. Enak, 
bukan?" 
"Tapi...." 
"Tapi apa? Kalau ngomong sama aku jangan 
pakai tapi-tapian. Pokoknya beres! Oh, ya, aku tahu 
kau hendak berkata mau  pikir-pikir dulu soal har-
ganya. Tak apa, aku tak mau buru-buru. Nah, simpan-
lah patung ini, jangan jual kepada siap pun. Besok aku 
akan datang ke rumah mu sambil membawa uang se-
pundi kontan. He-he, selamat jadi orang kaya, Jaka!" 
"Ya, Den!" 
"Sampai ketemu lagi!" kata Raden Bei lalu me-
ninggalkan tempat itu. Sambil berjalan, ia bersiul-siul 
menyanyikan lagu "Dendang Gulo" yang kadang-
kadang dicampur dengan "Asmarandono Lombok". 
"Tak!" Tiba-tiba sebuah tongkat bengkok meng-
hantam kepala Raden Bei, membuat lelaki itu terkejut. 
Ia hampir saja memaki, namun tatkala menyadari sia-
pa yang berbuat begitu, sikapnya jadi berubah hormat. 
"Oh, Nyi... Nyi Peri..." katanya gugup. 
"Mana patung itu, hah? Apa kau tak sanggup 
mendapatkannya? Apa saja kerjamu? Sejak tadi ku-
perhatikan kau sangat girang. Tapi patung itu belum 
ada. Lelaki dungu kau!" 
Wanita tua Nyi Peri bertubuh kurus itu mem-
bentak-bentak dengan mata melotot, sehingga Raden 
 
Bei jadi ketakutan. 
"Pasti, pasti, Nyi. Sebentar lagi! Tolong beri aku 
waktu sampai waktu beduk lohor besok. Pokoknya 
beres, Nyi!" 
"Jangan coba-coba plintat plintut! Ku hajar 
tengkok mu, Lodos!" Nyi Peri mengangkat tongkatnya, 
seolah-olah hendak menghantamkan kepala Raden 
Bei, sehingga lelaki kaya raya itu segera duduk me-
nyembah. Lalu dengan suara gemetar, ia berkata: 
"Ampun! Ampun, Nyi. Segera, segera akan ku-
berikan patung itu. Percayalah, Nyi!" 
"Awas kalau besok kau belum mendapatkan 
patung itu. Kepalamu akan kupecahkan!" Tanpa me-
nunggu jawaban Raden Bei, wanita tua itu segera per-
gi. Hanya sekejap saja, tubuhnya sudah lenyap dari 
pandangan mata Raden Bei. 
Sementara itu, hari sudah malam. Si Tolol ma-
sih tetap tertidur pulas di rumah Jaka. Suara deng-
kurnya yang keras dan mirip deru angin badai meme-
nuhi ruangan itu. Sepertinya ia mengidap penyakit ti-
dur hingga bisa pulas selama itu. 
Akan tetapi tiba-tiba saja si Tolol dikejutkan 
kedatangan seorang wanita cantik. Entah dari mana 
munculnya, si Tolol sendiri tidak tahu, mendadak saja 
wanita itu sudah berada di hadapannya. Wanita berja-
lan sambil membawa tongkat kerajaan, sementara seo-
rang dayang-dayang mengiringinya sambil memegang 
payung. Wanita itu masih muda, mungkin baru beru-
sia tiga puluh tahun, atau barangkali lebih tua lagi, 
namun karena sangat cantik terlihat lebih muda dari 
umur yang sebenarnya. 
Kepala wanita itu dihiasi mahkota kerajaan ter-
buat dari emas dan intan permata. Kulit tubuhnya pu-
tih bersih. Wajahnya yang bulat telur dihiasi bibir yang 
 
merah tipis merekah. Hidungnya mancung dan tampak 
sangat serasi dengan sepasang matanya yang selalu 
berbinar-binar bagaikan bintang kejora. Alis matanya 
tebal dan bulu matanya lentik, menandakan ia seorang 
yang keras hati penuh kejujuran dan kebijaksanaan. 
Cukup lama juga si Tolol memperhatikan wajah 
itu, sehingga akhirnya yakin pada dirinya sendiri bah-
wa selama ini ia belum pernah bertemu dengan wanita 
secantik itu. Tetapi ada satu hal yang membuat si Tolol 
terheran-heran yakni karena wajah wanita itu mirip 
sekali dengan patung Ratu Shima. 
"Si Tolol, dengarkanlah..." ujar wanita itu den-
gan suara yang sangat merdu, namun memiliki wibawa 
yang sangat kuat. 
"Hei, kau tahu namaku? Siapakah kau?" tanya 
si Tolol terkejut. 
"Aku adalah Ratu Shima dari kerajaan Kalingga 
pada abad ketujuh." 
"Oh, jadi kau seorang ratu? Pantas saja sangat 
cantik." 
"Aku datang menemuimu untuk menyela-
matkan patung dan surat wasiat ku yang sekarang jadi 
rebutan banyak pendekar. Aku tak menghendaki pa-
tung itu jatuh ke tangan orang-orang yang angkara 
murka. Oleh karena itu, aku mohon pertolonganmu...! 
"Apa yang harus kulakukan?" 
"Coba kau tanyakan kepada mereka untuk 
maksud apa mereka memperebutkan patung wasiat 
ku?" kata Ratu Shima sambil menunjuk ke sebelah ki-
ri. Di tempat itu ternyata telah berdiri para pendekar 
yang selama ini saling memperebutkan patung Ratu 
Shima. Si Tolol melangkah lebih dekat, lalu menanya-
kan maksud para pendekar itu sehingga mempere-
butkan patung. Satu per satu, para pendekar itu men-
 
gutarakan maksudnya. 
Tokoh silat yang pertama memberikan jawaban 
adalah pendekar samurai Gahito: 
"Aku adalah utusan dari Shogun Tokugawa 
yang berkedudukan di Yedo, dengan maksud untuk 
mendapatkan rahasia kelanggengan tahta demi kekal-
nya kekuasaan Wangsa Tokugawa." 
Setelah Gahito mengutarakan maksudnya, kini 
giliran Husein melangkah maju memberikan penjela-
san: 
"Aku dari Baghdad, Irak. Dengan maksud un-
tuk menjual surat wasiat itu kepada Raja Ranjit Singh 
dari India, yang saat ini sedang bertempur melawan 
penjajah Inggris." 
Sepasang pendekar Tiongkok Kwan Hong Lie 
dan Kwan Giok Nio juga mengungkapkan maksud hati 
mereka sehingga dari jauh datang ke Jepara untuk 
merebut patung Ratu Shima: 
"Kami berdua datang dari daratan Tiongkok 
dengan maksud yang sama pula, yakni mencari raha-
sia kelanggengan tahta untuk memulihkan kembali 
kekuasaan Hung Hsin Tjuan, pemimpin pergerakan Tai 
Ping Tien Kua melawan bangsa Manchu." 
Si Tolol kemudian bertanya kepada Mat Cap-
lang, yang dijawab dengan suara lebih keras dan tegas: 
"Aku datang dari Betawi atas perintah seorang 
tuan tanah yang ingin memiliki rahasia kelanggengan 
tahta demi penghidupannya turun temurun menguasai 
tanah-tanah di daerah Betawi." 
"Aku punya kelainan," ujar Nyi Peri kemudian, 
"Aku ingin memiliki rahasia kecantikan yang dimiliki 
Ratu Shima agar aku dapat awet muda dan kawin 
dengan setiap jejaka." 
 
 
* * 
 
 
Sekarang muncullah tokoh yang sangat aneh 
sekaligus memiliki kesaktian luar biasa. Si wanita te-
lanjang sekujur tubuhnya dihiasi tatoo bergaris-garis 
dengan warna yang sangat kontras. Dialah Setyatun, 
yang dijuluki Dewi Tatoo. Di tangan pendekar wanita 
itulah sekarang patung Ratu Shima berada. Tidak se-
perti pendekar lainnya, wanita itu justru berkata den-
gan maksud yang bertolak belakang. 
"Maksudku justru kebalikan dari orang lain. 
Aku bermaksud mengenyahkan surat wasiat itu dari 
muka bumi agar tak seorang pun mengambilnya untuk 
maksud-maksud pribadi atau golongan. Aku sangat 
benci terhadap orang yang begitu berambisi mencapai 
sesuatu tetapi menghancurkan orang lain. Aku benci 
kepada orang-orang yang bersenang-senang di atas 
penderitaan orang lain!" 
Setelah semuanya memberikan penjelasan, si 
Tolol menghadap Ratu Shima, lalu berkata: 
"Nah, engkau sudah mendengar pengakuan 
mereka, Baginda Ratu!" 
"Aku cukup puas! Tetapi di sebelah sana masih 
ada satu lagi. Dia orang kulit putih!" 
Si Tolol berpaling. Benar, di sana masih ada 
seorang tokoh lainnya, seorang pendekar tua dan men-
genakan kaca mata tebal. Dengan suara serak, lelaki 
itu berkata: 
"Aku adalah seorang ahli sejarah dari Neder-
land yang khusus didatangkan oleh pemerintah Kera-
 
jaan Belanda untuk mencari peninggalan Ratu Shima 
di daerah gunung Muria. Benda-benda bersejarah itu 
sangat pentingnya bagi umat manusia umumnya dan 
bagi bangsa Belanda khususnya. Kami bekerja demi 
ilmu pengetahuan. Patung itu akan kami simpan da-
lam museum di Batavia yang dibangun oleh pemerin-
tah Kerajaan Belanda." 
Setelah itu, si Tolol kembali menghadap  Ratu 
Shima. 
"Selesai sudah!" ujarnya. 
"Terima kasih! Aku senang dengan maksud 
baik orang Belanda itu. Oleh karena itu, berikan pa-
tung asli padanya!" ujar Ratu Shima sambil menatap si 
Tolol diam-diam. Lalu dengan wajah yang berubah jadi 
keras, ia melanjutkan: "Untuk mereka yang bertujuan 
lain, harus kau berikan patung palsu!" 
"Baik, Baginda Ratu." 
"Tapi masih ada satu lagi. Aku minta tolong pa-
damu untuk menulis wasiat ku." 
Masih dalam mimpinya, si Tolol bertanya apa 
yang selanjutnya harus ia lakukan. Kebetulan, saat itu 
Jaka masuk ke ruangan itu, lalu mengomel melihat si 
Tolol masih tertidur pulas. 
"Huh, kebluk betul tuh anak. Dari tadi belum 
bangun!" 
"Siapa dia?" tanya Ratu Shima dalam mimpi si 
Tolol. 
"Dia bernama Jaka. Biarlah dia yang kusuruh!" 
kata si Tolol. Lalu dia berkata: "Jaka, dengarlah!" 
Jaka yang saat itu mengomel karena si Tolol 
masih mendengkur, tiba-tiba mendengar bisikan gaib 
yang membuatnya tersentak kaget. Dengan jelas ia 
mendengar seseorang memanggilnya, tetapi suara itu 
terasa datang dari dunia lain. Siapa gerangan itu? 
 
Tanya hati pemuda itu. Namun sebelum sempat berpi-
kir lebih jauh, kembali ia mendengar suara bisikan: 
"Ambil beberapa lembar daun yang mirip den-
gan daun lontar! Daun apa saja, Jaka! Kelapa, aren, 
palem atau pisang... boleh saja. Coba cari di halaman 
belakang!" 
Seperti dalam mimpi saja, Jaka melangkah ke 
luar rumah dan pergi ke halaman belakang. Di sana 
ada sebatang pohon nyiur yang cukup tinggi, sehingga 
Jaka beberapa saat tertegun tidak tahu cara terbaik 
agar bisa secepatnya mengambil daunnya. 
"Tunggu apa lagi, Jaka? Loncat saja! Jangan 
ragu-ragu. Lihat! Lihat caraku membuat kuda-kuda 
loncatan. Perhatikan, Jaka!" Tanpa sadar Jaka mema-
sang kuda-kuda, dengan posisi kedua kaki dibuka le-
bar dan ditekuk, sedangkan kedua tangannya ditarik 
ke belakang, sehingga mirip orang bagaikan hendak 
terbang. 
"Ya! Sekarang hentakkan kakimu kuat-kuat 
dan jambretlah daun-daun kering itu!" 
Jaka menarik napas dalam-dalam. Dan  ketika 
bisikan gaib itu terdengar lagi memberikan perintah, 
tiba-tiba ia meloncat ringan dan sempat bersalto bebe-
rapa kali hingga sampai ke puncak pohon kelapa. Ke-
dua tangannya kemudian  menarik beberapa helai 
daun kelapa kering. Setelah itu, tubuhnya meluncur 
turun dan mendarat di tanah dengan sangat ringan-
nya. Gerakan Jaka tak ubahnya pendekar yang memi-
liki kesaktian yang sangat tinggi. 
"Bagus!" terdengar suara gaib itu memuji, "Cu-
kup! Sekarang bawa ke dalam!" 
Setelah Jaka berada kembali di dalam, di ruan-
gan si Tolol tidur, terdengar lagi perintah yang sama 
sekali tidak bisa ditolak olehnya: 
 
"Sekarang kau potong-potong daun itu menjadi 
bagian-bagian yang sama panjangnya dan kira-kira bi-
sa dimasukkan ke dalam rongga patung!" 
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jaka segera 
mengambil pisau dari dapur dan memotong daun-daun 
kelapa kering itu. Setelah itu ia diperintah mengambil 
dawat (tinta) dan menulis di atas daun-daun itu. Suara 
gaib itu menyuruhnya menulis dalam huruf-huruf Ja-
wa dan bahasa Sansekerta. 
Dengan sangat patuhnya, Jaka menuruti, se-
mentara si Tolol masih tetap mendengkur di tempat ti-
dur. 
Usai menulis kalimat-kalimat yang dibisikkan, 
Jaka selanjutnya disuruh memasukkan daun-daun itu 
ke dalam patung Ratu Shima tiruan setelah terlebih 
dulu membuang rerumputan kering yang dulu dima-
sukkan Dewi Tatoo. 
"Sekarang kau tentunya sudah lelah, Jaka. Se-
baiknya kau istirahat saja dulu, tidur!" 
Jaka memang sudah merasa sangat lelah. Te-
naganya serasa terkuras habis. Otot-ototnya terasa ke-
jang semua, sehingga untuk berdiri pun seakan-akan 
tak kuat lagi. Ia pun merebahkan tubuh di dekat si To-
lol. Pengalaman luar biasa sehari ini membuatnya sea-
kan-akan bermimpi. Betapa tidak, ia bersama si Tolol 
bisa lolos dari keroyokan para pendekar, bahkan bisa 
meloncat bagaikan terbang. Setelah itu, ia kemudian 
mendengar bisikan gaib, yang bukan saja membuatnya 
tak mampu menolak, tetapi juga memberikan kekua-
tan luar biasa sehingga mampu meloncat tinggi sekali 
mengambil daun pohon kelapa. Jika yakin bahwa se-
mua itu bukan hanya karena kebetulan saja, tetapi ju-
stru merupakan suatu kejadian yang sudah direnca-
nakan secara matang. 
 
Tetapi entah siapa yang membisikkan kata-kata 
perintah itu. Bisa jadi makhluk halus, atau siapa tahu 
adalah si Tolol sendiri. Bukankah bocah itu sering me-
nunjukkan hal-hal yang luar biasa? Bocah itu memang 
tolol, tetapi di balik itu tersimpan pula kesaktian ter-
sembunyi yang sangat di luar perhitungan akal. 
Tatkala Jaka hendak tertidur pulas, si Tolol ju-
stru terbangun dari tidurnya. Ia merasa perutnya perih 
melilit-lilit karena sangat kelaparan. Maka terdorong 
oleh sikap tololnya, ia bukannya membangunkan Jaka 
pelan-pelan, tetapi malah berteriak sekuat tenaga, se-
hingga membuat Jaka tersentak bangun. 
"Kang Jaka, aku lapar!" 
"Astaga! Aku baru hendak tidur, tetapi kenapa 
justru kau baru bangun?" 
"Aku lapar, Kang. Aku ingin makan. Perutku 
melilit!" 
Oh, Jaka baru ingat sekarang. Ia dan si Tolol 
hampir seharian tidak makan. Pantas si Tolol berte-
riak-teriak seperti itu, sebab ia sendiri pun sudah san-
gat lapar. 
"Aku baru ingat sekarang. Aku pun sudah la-
par. Ayo kita makan di dapur. Ibu tentunya menyedia-
kan makanan untuk kita." 
Begitu makanan dihidangkan di meja, si Tolol 
langsung melahap dengan sangat rakusnya. Dua tiga 
kali kunyah saja, langsung ditelan. Lalu seperti dike-
jar-kejar setan, ia memasukkan nasi ke mulutnya, se-
hingga tampak selalu penuh. Sewaktu mengunyah, 
terdengar suara berdecap-decap dan beberapa butir 
nasi meloncat dari mulut si Tolol, membuat Jaka me-
rasa iba. 
"Kalau makan tenang-tenang saja. Nasi kita 
banyak. Kau boleh menghabiskan semuanya," kata 
 
pemuda itu. 
"Habisnya aku sudah lapar sekali, Kang! Heh, 
Kang Jaka! Mana bonekanya?" 
"Ah, boneka itu melulu yang kau pikirkan. Ayo, 
makan dulu. Itu ada di atas meja!" 
"Aku ingin lihat dulu, ah. Siapa tahu sudah di-
ambil orang jahat lagi." Si Tolol beranjak dari meja ma-
kan, lalu masuk ke ruang tengah. Ia tampak terse-
nyum girang setelah melihat patung emas itu terletak 
di  meja. Diambilnya patung itu dan ditimang-
timangnya penuh kasih sayang. Lalu ia balik ke dapur, 
melanjutkan makannya. 
Jaka menghela napas panjang melihat tingkah 
laku bocah berkepala gundul itu. Terasa olehnya beta-
pa sangat sayangnya si Tolol terhadap patung itu. Dan 
ia pun menyadari bahwa benda itu sedang diincar para 
pendekar. Entah apa yang akan terjadi nanti jika pa-
tung itu kembali dirampas orang. Jaka cuma berdoa 
dalam hati agar patung itu selamanya aman di tangan 
si Tolol. 
Esok harinya, pagi-pagi benar Raden Bei Kidul-
ing Pasar sudah muncul di bengkel ukir Pak Cokro. 
Sambil tersenyum-senyum, lelaki kaya itu  mengham-
piri Jaka yang sedang menekuni ukiran kayu jatinya di 
belakang. 
"He-he-he... rajin betul kau, Tole. Selamat pagi!" 
ujar Raden Bei dengan keramahan yang terasa dibuat-
buat. 
"Selamat pagi, Ndoro Bei." 
"Nih, lihat Jaka! Aku menepati janji  ku," kata 
Raden Bei sambil memperlihatkan satu pundi berisi 
uang. 
Jaka melirik sebentar, lalu tersenyum  masam. 
Sebab sebenarnya ia tidak pernah senang berurusan 
 
dengan lelaki itu. 
"Ini hadiah untuk  ibumu, Jaka. Harganya sih 
tidak seberapa," kata Raden Bei lagi sambil mengulur-
kan bungkusan kain sutra yang sangat mahal. 
Dengan hati terpaksa, sebab takut menying-
gung perasaan Raden Bei, Jaka menerima bungkusan 
itu. Lalu sekedar menyenangkan hati pria itu, ia berka-
ta: 
"Bagaimana aku harus mengucapkan terimaka-
sih, Ndoro? Aku telah merepotkan Ndoro." 
"Ah, kau jangan berkata begitu, Jaka. Sebagai 
manusia apalagi sudah lama bersahabat, kita wajib 
saling menolong, bukan? Seandainya nanti aku men-
dapatkan kesulitan, bukankah kepadamu aku memin-
ta tolong? Sekarang pada saat aku mempunyai kesem-
patan, apa salahnya berbuat sedikit kebaikan pada-
mu? Jadi kau tak perlu berterima  kasih seperti itu. 
Mudah mudahan saja di hari-hari mendatang kita ma-
sih tetap bisa bekerjasama." 
"Terimakasih, Ndoro." 
Raden Bei berjalan mondar-mandir di ruangan 
itu. Ia tampak beberapa  kali 
manggut-manggut, seolah-olah sedang memi-
kirkan sesuatu yang sangat penting. Sekali-sekali 
sambil melirik Jaka, ia mengernyitkan kening, sehing-
ga dahinya penuh kerut-kerut. Dan seperti yang telah 
diduga Jaka, ia kembali membicarakan masalah pa-
tung emas itu. 
"Eh, Jaka. Ngomong-ngomong apa kau sudah 
memikirkan hasil pembicara kita kemarin?" 
"Tentang apa ya, Ndoro?" tanya Jaka pura-pura 
belum mengerti arah pembicaraan Raden Bei. 
"Itu, masalah patung. Aku kan sudah bilang in-
gin membelinya karena aku sangat gemar mengum-
 
pulkan barang-barang purbakala yang mengandung 
nilai seni tinggi. Makanya selama ini aku kan sering 
memesan ukiran kayu ke sini." 
"Ya, Ya! Aku mengetahuinya, Ndoro." 
"Nah, bagus kalau begitu. Aku memang tahu 
patung itu terbuat dari emas. Tetapi harga emasnya 
aku bayar empat atau lima kali lipat, atau berapa pun 
yang kau minta. Tapi... yah, jangan terlalu mencekik 
kantong. Kasihanlah kepadaku orang susah ini." 
"Bagaimana ya, Ndoro..." ujar Jaka bingung. 
"Tentunya sudah kau pikir, bukan?" "Be... be-
lum, Ndoro." "Apa? Belum?" Raden Bei berkata kesal. 
Tetapi karena pada dasarnya memang sudah sangat 
berpengalaman dan licik pula, ia segera menyadari si-
kap yang terbalik baginya saat ini. Kalau wajahnya tadi 
terlihat kurang sedap dipandang mata, maka kini telah 
berubah seperti sedia kala, penuh senyum biar pun 
senyum dibuat-buat. 
"Tidak apa-apa, Jaka. Yang penting kau mau 
berterus terang. Itu saja. Percayalah, aku tidak akan 
bakalan marah. Besok pun tidak apa-apa. Boleh saja. 
Sebetulnya semua ini demi kebaikanmu juga. Aku me-
lihat nasibmu kurang beruntung selama ini. Padahal 
kalau  dipikir-pikir, apa kurangnya kau sebagai ahli 
ukir? Aku pun dulunya adalah orang susah, bahkan 
lebih susah daripada kau sendiri. Yang penting, kita 
jujur, tidak menipu, tidak berbuat jahat, tidak ber-
buat... yah, pokoknya berbuat baik saja." 
"Terimakasih, Ndoro. Saya akan selalu ingat 
nasehat Ndoro itu baik-baik." 
"Kau sudah dewasa, Jaka. Pergunakan kesem-
patan ini. Atau kalau pun misalnya kau tidak mau 
menjual patung itu padaku... ah, itu terserah kau sen-
diri. Aku cuma menawarkan jasa baik. Tapi cobalah 
 
bersikap lebih bijaksana. Carilah jalan keluar guna 
memperbaiki nasibmu, terutama ibumu yang sudah 
tua. Kasihan kalau sampai akhir hidupnya engkau ti-
dak pernah berbuat baik padanya." 
"Ya, Ndoro." 
"Bagus, kau mulai mengerti maksud baikku. 
Selama ini barangkali sikapku memang kurang simpa-
tik padamu atau kepada siapa pun. Tapi semua itu 
hanyalah  karena sifat pembawaan lahir  ku. Sikapku 
kasar kadang-kadang, tetapi hatiku... ah, itu tak perlu 
ku jelaskan. Kau sendiri pun tentunya sudah tahu. 
Jadi cobalah, sekali lagi kukatakan, cobalah memper-
baiki nasibmu. Ingat, tak ada yang bisa merubah na-
sibmu kalau tidak kau rubah sendiri. Semuanya ter-
gantung padamu. Yah, sama halnya seperti patung itu. 
Mau kau jual atau kau simpan selamanya terserah. 
Kau tentunya sudah memikirkannya baik-baik." 
"Ndoro yang baik, saya sebenarnya bukan tidak 
mau menjual," ujar Jaka yang  tampaknya mulai ter-
makan rayuan Raden Bei. Lelaki itu memang pintar bi-
cara, dan kalanya berpura-pura tak perduli seakan-
akan hanya iseng saja menyatakan keinginannya. Na-
mun kadangkala, ia tampak sangat serius dan berse-
mangat sehingga kalau bicara kedua matanya yang be-
sar itu tampak melotot bagaikan hendak meloncat ke 
luar. 
"Ya, saya mengerti itu. Tapi masalah itu nanti 
saja kita bicarakan. Yang penting kau sudah mulai 
menyadari bahwa saat ini kau harus memperbaiki na-
sibmu. Itu saja. Patung itu soal kedua. Kalau nanti mi-
salnya kita sudah sama-sama berhasil, jangankan ma-
salah patung, urusan yang jauh lebih besar pun dapat 
kita selesaikan. Itu harapanku, Jaka." 
Jaka manggut-manggut makin terpengaruh ka-
 
ta-kata Raden Bei. 
"Eh, ngomong-ngomong ke mana si Cokro per-
gi? Ah, biarlah aku ke dalam dulu menemuinya. Baik-
baik bekerja ya, Jaka!" 
"Ya, Ndoro!" 
Ketika Raden Bei masuk ke rumah Pak Cokro, 
Jaka jadi termenung. Rasa-rasanya ucapan lelaki kate 
itu ada juga benarnya. 
Betapa tidak, Jaka sendiri sudah bertahun-
tahun jadi kuli ukir Pak Cokro. Nasibnya masih tetap 
begitu-begitu saja. Memang untuk menutupi biaya se-
hari-hari cukup. Tetapi apakah ia tidak punya keingi-
nan jadi kaya, atau sedikitnya hidup lebih layak lagi? 
Sungguh mati, Jaka bukannya benci kepada 
Pak Cokro, ayah Ronahyatun kekasih yang teramat di-
cintainya. Akan tetapi Jaka pun ingin berdiri sendiri, 
seperti yang dinasehatkan Raden Bei. Ia pun ingin me-
nunjukkan bahwa dirinya mampu mengelola usaha 
ukiran kayu jati, seperti halnya Pak Cokro. 
 
* * 
 
 
Akhirnya Jaka berniat menjual patung itu ke-
pada Raden Bei. Berbagai pertimbangan telah dipikir-
kannya. Pertama karena patung itu sebenarnya hanya-
lah patung emas, bukan patung Ratu Shima seperti 
yang dikira para pendekar dan Raden Bei sendiri. Jadi 
tak ada salahnya jika misalnya dijual. Kedua, Jaka 
pun ingin kaya seperti yang dikatakan Raden Bei. Te-
tapi karena patung itu sangat disayangi si Tolol, maka 
 
Jaka bermaksud merundingkannya terlebih dahulu. Ia 
akan  membujuk-bujuk bocah berkepala botak itu. Ka-
lau misalnya tidak mau, apa boleh buat. Jaka terpaksa 
harus menolak usul Raden Bei. Sebab ia merasa lebih 
baik mengecewakan Raden Bei daripada si Tolol. 
Maka Jaka segera keluar dari ruang kerjanya 
untuk mencari si Tolol. Tetapi anak itu tak kelihatan 
lagi di tempatnya semula bermain-main. Ke mana bo-
cah itu pergi? Tanya hati Jaka sambil melangkah sam-
pai ke dekat pepohonan di belakang rumah Pak Cokro. 
Astaga! Si Tolol ternyata sudah tidur bersandar pada 
batang pohon. Suara dengkurnya terdengar sampai ja-
rak belasan meter. Patung emas itu dipeluknya di ba-
gian dada. 
Jaka segera melupakan kekecewaannya karena 
pagi-pagi begitu si Tolol sudah tidur. Hatinya sekarang 
jadi bimbang, melihat si Tolol kelihatan sangat me-
nyayangi patung itu, sehingga dalam keadaan tidur 
pun selalu dipeluk. Akan sampai hatikah ia menjual-
nya? 
Ah, biarlah! Biarlah Raden Bei nanti kecewa 
atau marah. Biarlah ia nanti tetap miskin. Itu lebih 
baik daripada menyakiti hati si Tolol. Maka Jaka ber-
maksud meninggalkan tempat itu dan membiarkan si 
Tolol tidur sepuasnya. 
Tapi tiba-tiba si Tolol berteriak keras-keras, se-
hingga membuat Jaka tersentak kaget. 
"He-he-he, Kang Jaka kaget. Tadi aku cuma pu-
ra-pura tidur saja," kata si Tolol sambil terkekeh-kekeh 
girang. 
"Anak nakal kau," kata Jaka pura-pura marah, 
padahal dalam hati ia merasa kasihan juga melihat 
keadaan si Tolol, dari segi usia sebenarnya sudah pa-
tut dikatakan dewasa namun sikapnya masih keka-
 
nak-kanakan. 
"Aku tahu Kang Jaka pasti sudah lama menca-
ri-cariku. Tapi aku diam saja." 
Jaka tidak mengatakan apa-apa lagi, karena 
matanya sekarang tertuju pada patung di tangan si To-
lol. Wajahnya sedikit murung dan mencerminkan kege-
lisahan, karena sudah bisa membayangkan perasaan 
si Tolol pasti sangat sedih nanti jika patungnya dijual. 
"Ada apa, Kang Jaka?" tanya si Tolol agak he-
ran melihat perubahan Jaka. 
"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma heran melihat 
kau sangat menyayangi boneka  mu itu. Sampai-
sampai kalau sedang tidur kau peluk seperti ibu ter-
hadap anaknya." 
"Ya, Kang. Boneka bagus ya, Kang Jaka!" 
 
"Eh, Tong! Bagaimana kalau kita menjualnya?" 
tanya Jaka pura-pura hanya iseng. "Oh, tidak bisa!" 
"Tapi duitnya banyak, lho! Bisa beli apa saja 
yang kita inginkan nanti." 
"Jadi boneka ini bakalan punya orang lain, be-
gitu?" kata si Tolol sambil mendekap patung itu erat-
erat, seolah-olah ingin mempertahankannya biarpun 
apa yang terjadi. Jaka menjadi bimbang. Tetapi ia ma-
sih mencoba membujuk, siapa tahu si Tolol pun bisa 
dipengaruhi. 
"Ya, begitulah kira-kira. Tapi ini tidak dipaksa. 
Ditukar dengan uang. Banyak sekali." 
"Uang? Uang itu kan sama dengan duit yang bi-
sa dibuat jajan, beli pecel, beli getuk." 
"Betul. Tapi yang ini duitnya banyak sekali. Ti-
dak saja bisa dibuat beli pecel, tetapi juga bisa rumah, 
sawah atau kebon serta yang lainnya." 
"Wah, kaya dong namanya. Persis seperti bapak 
 
Tolol di Sumedang. Orang bilang bapakku kaya, na-
manya juragan." 
"Nah, enak jadi orang kaya, bukan? Makanya 
aku mengatakan patung itu dijual saja. Biar kita jadi 
kaya seperti bapakmu dulu." 
"Iya, deh! Jual saja boneka ini. Aku juga sudah 
bosan. Habis boneka nggak bisa buat beli pecel sih. 
Tapi... Kang Jaka harus janji dulu sama aku. Mau 
kan?" 
"Janji apa?" 
"Pokoknya mau janji nggak?" 
"Ya, ya!" 
"Sumpah?" 
"Sumpah!" 
"Baik! Aku cuma minta dibelikan pecel dan ge-
tuk. Rumah dan sawahnya buat Kang Jaka saja. Da-
lam rumah itu Kang Jaka harus tinggal bersama den-
gan..." 
"Dengan ibu." 
"Bukan." 
"Dengan kau?" 
"Juga bukan." 
"Lalu dengan siapa lagi?" 
"Tentu saja dengan... Mbak Atun. Mbak Rona-
hyatun. Sebab aku tahu setiap kali Kang Jaka berpan-
dangan mata dengan Mbak Atun ada bunyi gleduk-
gleduk dalam dada kalian yang kedengaran oleh kup-
ing ku. Aku sering mendengarnya, Kang Jaka!" 
"Akh...!" Jaka berseru dengan wajah yang tiba-
tiba saja bersemu merah. Karena ucapan si Tolol me-
mang benar adanya, pemuda itu tak sempat lagi me-
mikirkan keanehan kata-kata itu. Sebab rasanya ada-
lah mustahil seseorang bisa mendengar debaran hati 
orang lain. Tetapi karena si Tolol memang memiliki 
 
keistimewaan dalam hal naluri, selama ini ia dapat 
menangkap getaran-getaran dalam hati Jaka dan Ro-
nahyatun setiap kali beradu pandang. 
"Hei, Kang Jaka kok diam saja? Ayo ngaku, 
dong! Ngaku nggak?" 
"Ah, kau ada-ada saja, Tong." 
"Kata Kang Jaka bohong itu dosa. Iya, kan?" 
"Ya! Ya!" 
"Nah begitu, dong! Kang Jaka boleh menjual 
boneka itu sekarang. Biar jadi kaya, banyak duit kayak 
bapakku dulu. Aku sih cukup dibelikan pecel dan ge-
tuk saja." 
Tentu saja Jaka sangat girang melihat sikap si 
Tolol. Sejak tadi ia sudah sangat khawatir kalau-kalau 
si Tolol bukan hanya sekedar menolak tetapi malah 
marah-marah lalu menangis  berguling-gulingan di ta-
nah. Ia tahu persis perangai bocah berkepala gundul 
itu. Tetapi sepertinya semuanya sudah diatur, si Tolol 
tidak menolak patung itu dijual kepada Raden Bei. 
Maka ketika besok harinya Raden Bei Kiduling 
Pasar datang ke rumah Jaka, patung emas itu pun 
berpindah tangan. Sebagai gantinya Jaka menerima 
satu pundi uang kontan. Jaka menimang-nimang 
pundi uang itu dan tertawa sendirian bagaikan orang 
gila. Lalu tanpa henti-hentinya tersenyum, ia menghi-
tung uang itu berulang-ulang. Dalam benaknya segera 
timbul berbagai rencana, beli rumah, beli sawah, beli 
kebon, beli hewan ternak dan... menikah. 
Ia segera teringat kepada Ronah, putri Pak Co-
kro. Alangkah bahagianya jika ia sudah mempersunt-
ing gadis cantik itu. Sebab gadis itu pun sangat men-
cintainya. Keduanya saling mencintai dan uang yang 
banyak pun sudah tersedia. Apa lagi yang kurang? 
Dan jika kelak ia dan Ronah sudah membangun mah-
 
ligai rumah tangga, lalu dikaruniai anak, oh... sungguh 
merupakan hari-hari yang sangat membahagiakan. 
Rumah tangga mereka kelak akan penuh keceriaan 
dan senantiasa diwarnai kebahagiaan. Kalau misalnya 
Ronah marah-marah, Jaka akan mengalah, sebab se-
perti yang sering dikatakan orang, dalam keluarga itu, 
salah satu harus mau mengalah demi keutuhan dan 
kebaikan mereka bersama. 
Lalu kalau mereka punya anak perempuan 
nanti, ia dan Ronah akan merundingkan nama yang 
paling bagus untuknya. Demikian juga jika anak laki-
laki. Ah, ah! Membayangkan dirinya punya anak, wa-
jah Jaka jadi bersemu merah. Dan ia menjadi malu 
pada dirinya sendiri karena belum apa-apa sudah ter-
bayang sejauh itu. 
Sementara itu, Raden Bei Kiduling Pasar juga 
sangat gembira sekarang, karena berhasil membujuk 
Jaka hingga mau menjual patung emas itu. Memang 
mahal, bahkan selama ini Raden Bei belum pernah 
mau  serugi itu. Tetapi itu hanyalah masalah uang. 
Dengan usahanya yang maju ditambah akal bulusnya 
yang sangat licin, dalam waktu yang tidak terlalu lama 
tentu akan bisa mencari uang sebanyak itu. Yang 
penting hasrat hatinya untuk mempersunting Rona-
hyatun semakin dekat kepada kenyataan. 
Patung itu sudah diberikan Raden Bei kepada 
Nyi Peri. Dan ia pun mendapatkan obat mujarab pe-
nakluk gadis. Lelaki itu tak  henti-hentinya bersenan-
dung dengan suaranya yang serak karena sangat gem-
bira. Ia pun selalu  terbayang-bayang kepada Ronah. 
Sejak siang hari, ia sudah mulai bersolek karena sore 
nanti ia bermaksud menemui Ronah. 
"Cihuuu! Setelah minum obat mujarab itu ra-
sanya aku semakin ganteng saja. Si Ronah pasti akan 
 
tergila-gila melihatku nanti. Aku akan memilikinya, 
menikmati keindahan tubuhnya yang luar biasa itu," 
kata Raden Bei sambil mematut-matut diri di depan 
cermin. 
Setelah merasa penampilannya meyakinkan, ia 
melangkah ke ruang tengah. Matanya yang besar mirip 
mata burung hantu itu melirik jam dinding, baru pu-
kul tiga. Aduh, waktu rasanya kok lama sekali berpu-
tar. Raden Bei jadi kesal! 
Lalu untuk menghabiskan waktu yang rasanya 
sangat tidak bersahabat, ia memperhatikan gambar 
ukir yang dipesannya dari Pak Cokro. Dewi khayangan 
sujud di hadapan Raden Arjuna sebagai tanda takluk. 
Demikianlah kira-kira nanti Ronahyatun yang cantik 
jelita itu akan bertekuk lutut di hadapan Raden Bei. 
Sayang sekali  Raden Bei tidak punya alasan untuk 
menyamakan dirinya dengan Arjuna yang tampan dan 
perkasa. Sedangkan dirinya tergolong kurang berun-
tung dalam hal kegantengan. Tetapi ia sudah minum 
obat mujarab pemberian Nyi Peri, jadi hatinya cukup 
terhibur dan optimis hasrat hatinya akan tercapai. 
"Nanti sore si Ronah pasti bertekuk lutut di ha-
dapanku, persis seperti Dewi Njunggring Saloko yang 
menyembah di kaki Arjuna Lananging Jagat dalam 
ukiran ini," kata Raden Bei. 
Perlahan namun pasti, matahari mulai condong 
ke Barat. Jaka dan si Tolol sudah bersiap-siap pulang 
dari pekerjaannya. Tetapi si Tolol tampak tidak tenang 
karena tukang pecel langganan mereka belum juga 
muncul. 
"Kok gini hari tukang pecel yang sering kemari 
belum lewat," katanya tidak sabaran. 
"Sabarlah, Tong. Sebentar lagi pasti datang!" 
"Nanti beli yang banyak ya, Kang." "Jangan 
 
khawatir. Semuanya pun tak apa, asal kau bisa meng-
habiskannya." 
Dari kejauhan terdengar suara wanita penjual 
pecel. Si Tolol melonjak kegirangan, lalu berseru-seru  
memanggil tukang pecel itu. Tetapi ketika sudah dekat, 
ia dan Jaka menjadi heran karena ternyata tukang pe-
celnya bukan yang kemarin, melainkan wanita lain. 
"Lho, kok yang dagangnya sekarang lain? Ke 
mana Mbakyu yang biasa ke sini?" tanya Jaka. 
"Dia sedang kawin, Mas. Jadi pengantin baru. 
Makanya aku yang menggantikannya. Sama saja kan, 
mas?" kata penjual pecel itu dengan suara merdu. Ja-
ka memperhatikan wajah wanita itu, sangat cantik 
dengan kulit tubuh yang putih bersih. Tetapi bukan 
kecantikannya itu yang membuat Jaka tertarik, me-
lainkan karena rasa-rasanya ia sudah pernah melihat 
wajah itu. Dan suara merdunya pun sepertinya sudah 
pernah di dengar Jaka. Tetapi kapan dan di mana, Ja-
ka sendiri tidak bisa ingat. 
Sekilas penjual pecel itu melirik Jaka, lalu sege-
ra menunduk melihat sinar mata yang penuh selidik 
itu. "Pecelnya berapa bungkus, Mas?" 
"Banyak, banyak! Berapa bungkus pun bisa. 
Tapi... rasanya aku pernah melihatmu. 
Dari manakah asalmu, Mbakyu?" 
"Dari desa seberang, Mas!" 
"Bolehkan aku tahu namanya? Nama saya Jaka 
dan ini si Tolol. Orang yang paling kuat makan pecel di 
sini." 
"Terimakasih, Mas. Tapi... maaf, aku tak bisa 
menyebutkan nama. Kapan-kapan saja, Mas." 
Saat itu Ronahyatun muncul dan sempat mem-
perhatikan wajah si penjual pecel. Lalu sambil terse-
nyum manis, ia menghampiri Jaka. 
 
"Aih, lagi memborong pecel nih? Aku kebagian 
nggak, Mas?" 
"Oh, tentu. Sudah kupesankan sekalian buat 
romo dan ibumu." 
Sementara itu, si Tolol sudah melahap pecel-
nya. Bocah itu tampak kepedasan hingga ari matanya 
hampir keluar. Tetapi karena pecel itu sangat enak, ia 
terus melahapnya. 
"Sambelnya jangan banyak-banyak, Yu. Huah, 
aku jadi kepedasan. Tapi enak sekali. Aku ingin nam-
bah lagi. Boleh kan, Mbakyu?" 
Setelah selesai melayani pesanan Jaka, penjual 
pecel itu pamitan untuk melanjutkan perjalanan : 
"Nun inggih! Matur nuwun. Pareng den ajeng. Kulo 
pamit, Kang Mas!" 
"Ya, ya. Terimakasih. Besok sore mampir lagi ke 
sini ya, Mbak! Pecelnya enak," kata Jaka. 
"Eh, Mbakyu cakep. Nggak usah jualan pecel. 
Tinggal saja sama kami di rumah Kang Jaka. Nanti bi-
ar bisa bikin pecel terus," seru si Tolol karena wanita 
itu hendak melanjutkan perjalanan. Wanita itu cuma 
tersenyum, lalu mengangguk-angguk. 
Tepat ketika Jaka dan si Tolol sudah pulang, 
Raden Bei datang berkunjung ke rumah Pak Cokro 
Sumarmo, ahli ukir nomor satu di Jepara. Sambil me-
nunduk-nunduk hormat, Raden Bei mengatakan keda-
tangannya hanya sekedar ngobrol saja. Pak Cokro se-
gera mempersilahkan masuk. 
"Silahkan duduk Ndoro Bei. Selamat datang di 
rumah kami yang buruk ini," kata Pak Cokro didam-
pingi istrinya. 
"Ah, jangan panggil aku Ndoro. Itu terlalu ber-
lebihan. Saya ini kan lebih muda dari Bapak," sahut 
Raden Bei untuk menarik rasa simpatik orang tua itu. 
 
Bu Cokro kemudian masuk ke dapur, lalu tak 
lama berselang masuk lagi ke ruang  tamu sambil 
membawa minuman. Dengan sikap hormat ia menghi-
dangkan minuman itu di hadapan Raden Bei. 
"Ah, saya jadi merepotkan saja, Bu!" kata  Ra-
den Bei. Tetapi diminumnya juga air yang disediakan 
Bu Cokro. Wajahnya berseri-seri dan seulas senyum 
tersungging di bibirnya yang tebal. 
"Enak betul teh ini, segar lagi. Ini pasti Rona-
hyatun yang membuatnya." 
"Dugaan Raden memang betul. Anak saya yang 
membuatnya," kata Pak Cokro. 
Tak lama setelah Raden Bei bercakap-cakap 
dengan kedua orang tua Ronahyatun, hari pun mulai 
gelap. Penduduk telah pulang dari sawah serta la-
dangnya. Penggembala pun sudah membawa pulang 
hewan ternaknya. Berakhir sudah kerja keras para pe-
tani dan pengrajin kayu ukir serta penduduk lainnya. 
Tanpa sepengetahuan siapa pun, sesosok tu-
buh berjalan mengendap-endap mendekati rumah Pak 
Cokro. Gerakan wanita itu sangat ringan, sehingga wa-
laupun berjalan cepat tidak menimbulkan suara men-
curigakan. Dengan sekali loncatan, tubuhnya me-
layang dan mendarat di samping rumah Pak Cokro, la-
lu mencoba mengintip ke dalam. 
"Begini Pak Cokro," kata Raden Bei kemudian, 
"Maksud kedatangan saya ke mari selain kunjungan 
kekeluargaan dan melepas rasa kangen,  juga saya 
membawa sekedar hadiah untuk anakmu Ronah. Yah, 
cuma hadiah murahan, Pak!" katanya lagi sambil me-
nunjukkan sebuah bungkusan kecil berisi perhiasan 
emas bermatakan intan permata. Lelaki itu memang 
sengaja agak merendah, mengatakan benda di tangan-
nya hanya hadiah murahan. Padahal ia pun tentunya 
 
tahu Pak Cokro belum tentu mampu membeli perhia-
san seperti itu. 
 
* * 
 
 
Melihat perhiasan itu, Pak Cokro menjadi terke-
jut. Sepasang matanya terbelalak. Sebagai orang yang 
hidupnya pas-pasan, ia tentu sangat mengharapkan 
perhiasan seperti itu. Tetapi ia bukan pula orang bo-
doh, sebab rasanya tidak mungkin ada lelaki mau ber-
buat sebaik itu tanpa maksud tertentu. 
Sama seperti halnya Pak Cokro, penduduk 
lainnya di Jepara juga tidak mau percaya begitu saja 
kepada Raden Bei. Sebab lelaki kaya raya itu bukan 
hanya  sekali dua kali saja melaksanakan tipu musli-
hat atau memperdayai penduduk. Dengan caranya 
yang sangat halus ia bisa mempengaruhi seseorang, 
terutama yang sedang dalam kesusahan. Dalam arti 
pintar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, 
bahkan tidak hanya memanfaatkan, menciptakan ke-
sempatan pun ia sangat lihai. 
Semua itu masih didukung sikapnya yang se-
perti bunglon, bisa menangis walaupun hatinya terta-
wa dan sebaliknya. Tidak mengherankan jika pendu-
duk  Jepara sudah banyak yang menjadi korban tipu 
muslihatnya. Dan rasa kepercayaan penduduk pun 
makin lama makin tipis pula. Sebelum menuruti kata-
katanya, orang-orang selalu terlebih dulu berfikir bebe-
rapa kali, sebab tak ingin jadi korban. Akan tetapi Ra-
den Bei memang sangat licin bagaikan belut dan ulet 
 
bagaikan kulit, sehingga sampai saat ini masih ada-
ada saja yang termakan oleh bujuk rayunya yang ber-
bisa. 
Sekarang Pak Cokro pun tidak mau percaya be-
gitu saja akan kebaikan Raden Bei. Perhiasan yang ka-
tanya hendak diberikan kepada Ronah termasuk mah-
al. Sedangkan untuk memberikan satu genggam beras 
saja, selama ini Raden Bei sangat sulitnya. Akan tetapi 
karena Pak Cokro pun sangat segan bahkan takut ke-
pada pria kaya itu, ia tidak berani bicara macam-
macam. Walau hatinya mendongkol, bibirnya terpaksa 
tersenyum, sehingga kelihatan sangat janggal. 
"Ah, tak usah repot-repot begini, Den Mas! 
Pemberian semacam itu tak patut kami terima. Sebab 
seperti Den Mas ketahui, kami ini hanyalah orang su-
sah, orang kecil. Jadi..." 
"Alaaa, Bapak jangan berkata begitu," Raden 
Bei menyela ucapan Pak Cokro dengan cepat, "Kita kan 
dilahirkan sama. Jadi kita harus sama rata sama rasa. 
Pemberian seperti ini boleh dikatakan sangat kecil ar-
tinya daripada sebuah persahabatan dan kekeluar-
gaan. Kalau misalnya nanti Pak Cokro punya sedikit 
kelebihan uang atau yang lainnya, tentunya mau 
memberikannya kepadaku, bukan? Atau sedikitnya 
pasti mau beramal kepada orang yang sedang kesusa-
han. Jadi saya memberikan hadiah ini hanya semata-
mata terdorong rasa persahabatan dan kekeluargaan. 
Memang sih saya ingin berteman juga sama si Ronah, 
tapi itu kan wajar?"
"Ya, Den Mas!" sahut Pak Cokro dengan pera-
saan yang semakin tak enak. 
"Nah, dengan demikian berarti Bapak mau 
menghormati ketulusan hati saya. Se karang Bapak 
dan Ibu tolong panggilkan Ronah ke mari. Aku ingin 
 
bicara sebentar dengannya!" 
"Ba... baik, Den!" 
Bu Cokro segera beranjak dari duduknya, yang 
segera diikuti suaminya. Kedua orang tua itu masuk 
ke kamar Ronahyatun. Melihat kedatangan ayah dan 
ibunya, perasaan gadis itu menjadi tak menentu, se-
bab tadi secara samar-samar ia mendengar Raden Bei 
hendak berbicara dengannya. 
"Ronah, kau dipanggil Ndoro Bei," kata Pak Co-
kro terdengar jelas di telinga Raden Bei. Ia sedang me-
rapikan dandanannya sekarang, letak blangkon di ke-
palanya  dirapikan. Kumis tompelnya pun dielus-elus 
agar tampak lebih meyakinkan. 
"Ada apa. Romo?" tanya Ronah setelah kedua 
orang tuanya berdiri di ambang pintu kamar. 
"Kau dipanggil Ndoro Bei." 
"Untuk apa? Aku tak suka meladeni orang tua 
yang genit itu." 
"Jangan berkata begitu, Cah Ayu! Ingat, dia 
adalah orang yang ditakuti di daerah ini. Kita tidak bo-
leh mengecewakan hatinya. Kalau misalnya dia bilang 
apa-apa dan kau tidak senang, katakan saja terus te-
rang," bujuk Pak Cokro sambil menepuk-nepuk bahu 
putrinya. "Tapi aku...." 
"Jangan begitu! Sudah kubilang kau hanya 
menemuinya saja. Setelah itu, katakanlah dengan te-
rus terang bahwa kau sudah mengantuk misalnya. Ti-
dak apa-apa, bukan?" 
Akhirnya dengan rasa enggan, Ronahyatun me-
langkah menuju pendopo untuk menemui raja kecil 
dari Jepara itu. Langkah dara jelita itu terlihat sangat 
berat, wajahnya pun keruh. Rambutnya yang panjang 
dibiarkan awut-awutan, pertanda bahwa ia mau me-
nemui Raden Bei hanyalah karena terpaksa. 
 
"Selamat malam, Ndoro!" ujar Ronahyatun keti-
ka melangkah memasuki ruang pendopo. Kepalanya 
setengah menunduk, setengah mengangguk seperti 
hendak memberikan hormat namun tiba-tiba merasa-
kan itu tidak perlu, sehingga gerakan lehernya terlihat 
sangat kaku, Sewaktu belum mengangkat wajah, dara 
ayu itu melirik Raden Bei dengan sinar mata menco-
rong tajam. Tetapi setelah duduk di hadapan Raden 
Bei, wajahnya terlihat sedikit ramah. 
"Welah, Cah Ayu. Duduklah lebih dekat ke ma-
ri. Jangan malu-malu." 
"Ah, di sini saja, Ndoro!" 
Raden Bei menggeser duduknya hingga lebih 
dekat kepada Ronah. Sambil berbuat begitu, ia tak 
henti-hentinya tersenyum dengan sikap yang tidak wa-
jar sehingga senyumnya lebih mirip seringaian buas. 
Diam-diam Ronah merasa jijik melihat lelaki itu. 
"Duduk saja dekat Kang Mas. Jangan malu-
malu. Aku bermaksud baik," kata Raden Bei sambil 
menarik tangan Ronah. 
"Ya, Ndoro. Tapi jangan tarik tangan saya. Dan 
mundurlah sedikit. Tidak baik berbicara terlalu dekat 
seperti itu." 
Raden Bei menggeser duduknya sedikit. Setelah 
itu, ia mengeluarkan kotak berisi perhiasan yang tadi 
dibungkus dengan selembar kain. Senyum laki-laki itu 
semakin lebar, hingga gigi-giginya yang besar bagaikan 
kampak tampak jelas di mata Ronah. 
"He-he-he, coba lihat, Nduk! Giwang emas ber-
matakan berlian ini sebagai  persembahan ku  untuk-
mu." 
"Aduh, bagus sekali. Tapi apakah Ndoro merasa 
sebagai raja taklukan hingga harus memberikan sema-
cam upeti kepada saya?" tanya Ronah yang tiba-tiba 
 
saja tidak dapat menahan rasa kesalnya. 
"Oh, jangan berkata begitu, Nduk! Perhiasan ini 
kuberikan sebagai untaian rasa kasihku ke padamu!" 
Ronahyatun menghela nafas berat. Ia sungguh 
tidak mengerti kenapa lelaki yang sudah mempunyai 
lima orang istri, tiga belas anak, dan selikur cucu ma-
sih saja merayu orang lain. Tak dapat ia membayang-
kan bagaimana kalau semua lelaki seperti itu. 
Akan tetapi Raden Bei memang sepertinya tak 
pernah mau perdulikan perasaan orang lain. Meskipun 
wajah Ronah tampak memancarkan rasa tidak senang, 
ia tetap saja merayu dengan bahasa yang puitis. 
"Cobalah dengar detak jantung  ku wahai pu-
jaan hati. Siang dan malam aku mendambakan dirimu. 
Oh, dewiku. Betapa syahdunya tatapan matamu..." 
Sambil berkata demikian, Raden Bei mendongakkan 
wajah sedangkan kedua tangan dilipatkan di dada. 
Kadang-kadang ia memejamkan mata. 
Sikapnya yang kelihatan sangat lucu itu mem-
buat Ronahyatun tersenyum, seperti sedang melihat 
orang sinting sedang melucu. 
Namun senyum gadis itu malahan ditanggapi 
Raden Bei sebagai ungkapan rasa kagum. Ia pun se-
makin bersemangat meneruskan rayuan gombalnya. 
"Oh, senyum mu sangat menawan hati. Lesung 
pipi  mu membuat hatiku terbuai bak terbang di 
awang-awang sorgaloka. Wajahmu yang rupawan ba-
gaikan bulan purnama. Oh, pujaan hati. Ulurkanlah 
tanganmu yang halus dan lembut itu. Dekatkanlah pi-
pimu yang mulus itu...." 
Ronahyatun merasa makin geli hingga tertawa 
cekikikan. 
"Dekatkanlah ke mari, dewiku. Akan ku kecup 
mesra dengan sepenuh jiwaku..." 
 
Lalu tanpa diduga-duga, Raden Bei mengulur-
kan kedua tangannya, mengelus kedua belah pipi Ro-
nah. Secara perlahan, ditariknya wajah gadis itu se-
mentara wajahnyapun didekatkan, sehingga seperti 
saling menyongsong. 
"Dekat... dekat..." kata Raden Bei setengah ber-
bisik. 
Ronahyatun terkejut bukan main. Wajah Raden 
Bei hampir merapat ke wajahnya. 
Tetapi entah karena apa, ia tidak bisa berontak. 
Sekujur tubuhnya terasa kaku, tak bertenaga sedikit-
pun juga. 
"Dekatlah, sayang. Oh..." Raden Bei mengelus 
leher Ronahyatun yang mulus. Lalu perlahan, tangan-
nya merayap turun dan bergerak liar. Ronah makin ke-
takutan! Semakin ia mencoba berontak, ia merasa se-
makin tak berdaya. Sedangkan barisan gigi Raden Bei 
yang mirip kampak itu sudah mulai pula menyentuh 
kulit lehernya. Ronah ingin berteriak, tetapi kerong-
kongannya pun terasa tersumbat. Ia hanya memaki-
maki dalam hati sambil berharap agar ada seseorang 
datang untuk menyelamatkannya. 
Tiba-tiba Raden Bei menjerit kesakitan, karena 
ujung hidungnya dihantam sebuah benda yang sangat 
halus yang di sambitkan dari luar. 
"Aduh, hidungku!" teriaknya sambil memegangi 
ujung hidungnya yang sangat nyeri dan terlihat merah 
membenjol. 
Kebetulan seekor tawon terbang melayang tak 
jauh dari tempat itu, suaranya berdengung-dengung, 
seolah-olah sedang mengejek Raden Bei. 
"Uh, sialan! Tawon itu rupanya yang menyengat 
hidungku!" 
Setelah hidungnya tidak terlalu nyeri  lagi, Ra-
 
den Bei kembali menghampiri Ronahyatun, yang saat 
itu masih terpaku di tempatnya, tak bisa bergerak ser-
ta mengeluarkan suara. Raden Bei semakin kegiran-
gan, karena terbukti sekarang obat mujarab yang dibe-
rikan Nyi Peri sangat ampuh. Ronah betul-betul tidak 
bisa memberikan perlawanan sedikitpun juga. 
"Rayuan  ku memang betul-betul maut, mek. 
Ronahyatun sudah terkesima. Kesempatan ini tidak ku 
sia-siakan!" Raden Bei memeluk tubuh Ronahyatun, 
lalu membaringkannya ke lantai. Hanya beberapa saat 
kemudian, Raden Bei sudah menindih gadis itu. 
Akan tetapi mendadak sebuah tangan mengge-
tok kepala Raden Bei dari arah belakang dengan keras 
sehingga terdengar suara "Plak!" disusul teriakan ke-
sakitan Raden Bei. Sambil menahan rasa sakit di kepa-
lanya, laki-laki itu berpaling ke belakang. Maka tam-
paklah olehnya wanita penjual pecel yang baru saja 
lewat di rumah Ronah. 
Ternyata orang yang sejak tadi mengintip dari 
luar adalah gadis itu sendiri. Dan ketika melihat Raden 
Bei menindih tubuh Ronahyatun, ia  menyambitkan 
sebuah batu kecil dan dengan tepat menghantam hi-
dung lelaki itu. Tidak sembarang orang yang bisa me-
lakukan  kehebatan seperti itu, karena selain harus 
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, juga harus 
menggunakan perhitungan cermat sehingga bidikan 
bisa dengan tepat mengenai sasaran. 
"Si... siapa kau?" seru Raden Bei terkejut. 
"Jangan sentuh dia! Cepat tinggalkan tempat 
ini!" bentak wanita penjual pecel itu. "Kau...?" 
"Bangsat, cepat kau enyah dari sini. Atau kepa-
lamu akan ku potong!" 
Bukan main geramnya hati Raden Bei dibentak-
bentak seperti itu, apalagi di hadapan Ronahyatun. 
 
Tadi ia sudah hampir dapat melaksanakan niat bu-
suknya, merenggut kehormatan Ronah. Sebab kalau 
itu misalnya sudah terjadi, Ronah sudah hampir dapat 
dipastikan akan menjadi istrinya. Jika orang tua Ro-
nah marah, itu adalah urusan kedua. Dalam urusan 
yang demikian, siapa yang berani menentangnya? Atau 
kalau pun misalnya ada yang berani toh dengan mu-
dah dapat dibereskan tukang-tukang pukulnya. 
Sekarang rencananya jadi gagal total. Gara-gara 
wanita sialan itu. Ingin rasanya Raden Bei menginjak-
injak kepala dan merobek-robek mulut wanita itu. Te-
tapi karena pada dasarnya ia hanyalah lelaki pengecut, 
ia tak berani. Maka timbullah niat busuk dalam be-
naknya untuk membalas perbuatan wanita itu. 
Ketika penjual pecel itu membentaknya agar 
segera keluar, Raden Bei mengangguk-angguk. Ia ber-
jalan sambil membungkuk-bungkuk dari hadapan si 
penjual pecel. Akan tetapi secara mendadak ia memu-
kul perut lawan. Gerakan Raden Bei cukup cepat juga 
dan karena dilancarkan secara tidak terduga-duga pu-
la, maka tampaknya akan sulitlah bagi wanita itu me-
nyelamatkan diri. 
"Ciaat!" Dengan gerakan yang hampir tak bisa 
terlihat, wanita penjual pecel itu berkelit hingga puku-
lan Raden Bei hanya menerpa angin beberapa sentime-
ter dari tubuhnya. Bersamaan dengan itu, kakinya 
bergerak cepat bagaikan kilat mengait kaki Raden Bei 
disusul pukulan ke arah dada. 
"Buk! Augh...!" Pukulan wanita itu mendarat te-
lak di dada Raden Bei. Tanpa ampun lagi, tubuhnya 
terpental kemudian terbanting keras ke lantai diiringi 
suara jeritan kesakitan. 
"Bangsat, pengecut! Rupanya kau berani juga 
main-main dengan aku. Kau akan ku  telanjangi saat 
 
ini juga, biar tahu rasa dulu kau! Heh, monyet! Berdiri 
kau!" bentak penjual pecel itu. 
"Jangan! Jangan bunuh aku!" "Huh, dasar pria 
pengecut! Tapi baiklah, kali ini aku masih memaaf-
kanmu. Sekarang, pergilah! Cepat tinggalkan tempat 
ini. Jika kau masih berani macam-macam, kau tidak 
akan kuampuni lagi!" 
"Ya, ya!" sahut Raden Bei dengan suara geme-
tar, lalu melangkah ke luar pendopo rumah Pak Cokro. 
Wanita penjual pecel menatap Ronahyatun 
yang masih terpengaruh obat mujarab Raden Bei. 
"Ronahyatun, bangunlah!" kata wanita itu sam-
bil mengerahkan tenaga batinnya, sehingga Ronah ter-
sadar. 
"Oh, apa yang telah terjadi?" seru gadis itu ter-
kejut. 
"Tak ada sesuatu yang terjadi. Tenanglah. Kau 
tidak apa-apa." 
"Oh, kau Mbakyu pecel itu? Kenapa kau ada di 
sini?" tanya Ronah setelah menyadari bahwa wanita 
yang menolongnya itu adalah wanita penjual pecel. 
"Ng... anu den ayu. Tetampah saya ketinggalan 
tadi. Jadi saya datang lagi mengambilnya ke sini." 
"Tetampah  ketinggalan?   Lalu...  lalu orang 
tua itu ke mana perginya?" 
"Saya sudah menyuruhnya pulang." 
"Aku... ah, aku..." Ronahyatun tidak mene-
ruskan ucapannya. Ia secara samar-samar masih ingat 
ketika Raden Bei memeluknya tetapi ia sendiri tidak 
bisa memberontak. Ia diam saja, seolah-olah kejadian 
itu menyenangkan hatinya. Jangan-jangan penjual pe-
cel ini menganggapku wanita murahan, pikir Ronahya-
tun dengan perasaan tidak enak. 
"Sudahlah, kau tak perlu memikirkannya. Ti-
 
dak ada apa-apa. Percayalah." "Terimakasih atas perto-
longanmu." 
 
* * 
 
 
Sementara itu, Raden Bei rupanya tidak lang-
sung meninggalkan tempat itu. Ia masih mengintip da-
ri balik pagar, ingin melihat lebih jelas wajah wanita 
yang baru saja memperlakukannya. Namun ia sama 
sekali tidak mengenalnya. Hanya wajahnya saja yang 
terlihat sangat cantik, cuma lebih tua dari Ronahya-
tun. 
Setan wedok, kurang ajar. Kalau tak ada dia, si 
Ronah pasti sudah beres, kata hati Raden Bei sambil 
memaki-maki sendiri dan berjanji dalam hati akan 
membalaskan perbuatan wanita itu. 
Tetapi rupanya telinga penjual pecel itu sangat 
tajam, sehingga dapat menangkap suara desah nafas 
Raden Bei. Ia lalu melangkah ke dekat pagar, kemu-
dian memukul kepada Raden Bei dengan tetampah di 
tangannya. 
"Cicak hidung belang ini masih mengintip-
ngintip saja!" 
Raden Bei terkejut, lalu menunduk lebih rapat 
lagi ke tanah, sambil mengharap wanita galak itu sege-
ra pergi. 
"Dasar tidak tahu malu. Sudah diusir masih ju-
ga mengendus-endus di sini. Apa pelajaran tadi belum 
cukup bagimu? Kau ingin ku samakan dengan anjing, 
ya?" 
 
Dengan sangat geramnya, wanita itu menarik 
daun telinga Raden Bei kuat-kuat, hingga sangat nyeri 
dan terasa bagaikan hendak putus. 
"Wadouw, kuping ku! teriaknya kesakitan. 
Rupanya wanita itu sudah mulai kehilangan 
kesabaran. Setelah melepaskan kuping Raden Bei, ia 
langsung menendang pantatnya kuat-kuat hingga tu-
buh lelaki kate itu terlempar beberapa meter. 
"Aduh, pantat ku!" teriaknya sambil mengelus-
elus pantatnya yang terasa sangat pedih. Tampaknya 
tak ada lagi harapan baginya untuk melaksanakan 
niat hatinya 
yang telah tertunda tadi. Wanita asing itu, biar-
pun cantik ternyata galak bukan main. Maka Raden 
Bei pun segera melangkah terpincang-pincang pulang 
ke rumahnya. 
"Hi-hi-hi, orang sinting!" wanita penjual pecel 
tertawa cekikikan. Lalu kepada Ronahyatun ia berkata 
dengan ramah: "Nah, dia sudah pergi sekarang. Lari 
terbirit-birit ketakutan." 
"Terimakasih, Mbak. Tanpa bantuanmu entah 
apa yang akan terjadi padaku. Sekali lagi terimakasih!" 
"Ah, hanya karena kebetulan saja. Seperti yang 
kukatakan tadi tetampah  ku ketinggalan. Namun se-
waktu mengambilnya, aku melihatnya hendak berbuat 
kurang ajar padamu." 
"Aneh, wanita hebat seperti engkau mau jadi 
tukang penjual pecel." 
"Siapa pun bisa jadi penjual pecel, sebab semua 
orang butuh makan, bukan?" 
"Ya. Tapi mungkin tak ada yang menyangka 
engkau sehebat itu." 
"Ah, sudahlah. Sekarang aku mau pergi dulu." 
"Tunggu dulu, Mbak. Bolehkan aku tahu nama 
 
mu? Aku ingin bersahabat denganmu." 
"Saat ini sebaiknya namaku tak perlu kau ke-
tahui. Tapi percayalah, suatu saat kelak engkau akan 
mengenal diriku," Tanpa menunggu lebih lama lagi, 
wanita itu segera pergi dan hanya sekejap saja tubuh-
nya sudah lenyap dari pandangan Ronahyatun. 
Sementara itu Raden Bei semakin jauh mening-
galkan rumah Pak Cokro. Pantatnya masih terasa sa-
kit, tetapi hatinya jauh lebih sakit lagi. Seumur hidup-
nya belum pernah ada wanita yang berani memperla-
kukannya seperti itu. Ia sendiri pun sebenarnya heran, 
karena kedatangan perempuan tadi secara tiba-tiba, 
entah dari mana datangnya mendadak saja sudah be-
rada di pendopo Pak Cokro. 
Raden Bei sangat kesal, tetapi ia pun harus 
mengaku bahwa wanita itu sangat cantik dan bahenol 
pula. Kalau misalnya dia tidak cantik, sudah sejak tadi 
kubikin mampus. Kalau bukan di tanganku, akan 
beres pula oleh Wirobakul atau Wirobrewok begitu wa-
nita itu tadi keluar rumah si Cokro tua, kata hati Ra-
den Bei sambil mempercepat langkahnya. 
Sekarang ia memutar-mutar otaknya yang pe-
nuh akal busuk itu. Ia baru saja gagal menikmati ke-
mulusan dan kemontokan tubuh Ronahyatun. Tetapi 
bukan Raden Bei Kiduling Pasar lagi namanya kalau 
hanya gara-gara persoalan seperti itu langsung menye-
rah. Tidak! Apapun kesulitannya, ia pasti berhasil! Ia 
tentu akan dapat  menggaet Ronah. Dan perempuan 
penjual pecel itu akan dikerjai, akan dijadikan santa-
pan iseng. 
Setibanya di halaman rumah, beberapa anak 
buah Raden Bei menyambut kedatangan juragan me-
reka dengan cara menundukkan kepala penuh hormat. 
Beberapa di antaranya mengucapkan selamat malam, 
 
dan yang lainnya berbasa basi Raden Bei dari mana. 
Akan tetapi semuanya tidak dijawab Raden Bei. 
"Ndoro Bei kok diam saja?" tanya salah seorang 
anak buah lelaki kaya itu. 
"Ssst! Ndoro Bei lagi aneh!" bisik temannya. 
"Ada yang perlu kami bantu, Ndoro Bei?" 
"Huh!" Raden Bei mendengus bagaikan kerbau 
kelaparan. Lalu ia melangkah masuk ke rumahnya, di-
iringi tatapan heran para anak buahnya. 
Malam pun terus merangkak. Daerah  gunung 
Muria dan sekitarnya telah sunyi senyap. Tak terden-
gar lagi suara anak-anak bermain penuh keceriaan, 
tak terdengar pula nyanyian para remaja menden-
dangkan lagu asmara. Hanya  sesekali terdengar suara 
burung malam yang kadang-kadang diselingi lolongan 
anjing dari kejauhan. 
Keheningan malam yang penuh kebisuan itu te-
rasa membawa suasana kedamaian. Tak terdengar su-
ara dentang senjata beradu memperebutkan patung 
Ratu Shima. Tetapi bukan berarti persoalan selesai 
hanya sampai di situ saja. Sebab saat ini, beberapa 
bayangan bergerak bagaikan kilat di tengah-tengah 
kebisuan malam. Mungkin hanya rembulan di atas 
yang menyaksikannya dan sebentar lagi menjadi saksi 
bisu atas sebuah peristiwa yang sangat menegangkan. 
Di tengah hamparan ladang jagung, terdapat 
sebuah gubuk kecil serta sederhana. Ukurannya hanya 
sekitar dua kali tiga meter. Atapnya terbuat dari daun 
nipah yang dijalin sedemikian rupa hingga bisa mena-
han air hujan hingga dalam pondok tidak basah. 
Tiang-tiangnya terbuat dari bambu dan kayu bulat dan 
hanya beralaskan tanah yang ditutupi jerami kering. 
Dari dalam gubuk itu terdengar suara desah 
nafas halus orang yang sedang tidur lelap. Siapakah 
 
gerangan orang itu? Apakah pemilik ladang jagung 
sendiri? Siapa tahu ia takut buah jagungnya yang ke-
betulan sudah mulai matang dicuri orang atau dima-
kan binatang liar. 
Tetapi tidak! Wanita yang tidur di dalam gubuk 
itu adalah seorang pengembara. Tidak mengenakan 
pakaian sama sekali, tetapi sekujur tubuhnya yang tak 
tertutup sehelai benang pun dihiasi tatoo bergaris-
garis. Ia tidur berbantalkan kedua tangannya sendiri 
dengan posisi telentang dan kedua belah pahanya ter-
buka lebar. 
Dewi Tatoo! Ya, dialah Dewi Tatoo yang nama 
aslinya sebenarnya adalah Setyatun. Agaknya ia cukup 
kelelahan sehari ini hingga tidurnya sangat pulas. Te-
tapi bukan lelah karena bertarung atau bekerja di sa-
wah, melainkan berjalan-jalan sambil menggendong 
bakul pecelnya. 
Ya, wanita penjual pecel itu sebenarnya adalah 
Setyatun sendiri. Ia sengaja mengenakan pakaian se-
perti halnya wanita lainnya sehingga tak seorang pun 
mengenalnya. 
Rupanya selama ini Dewi Tatoo cukup banyak 
mengetahui kehidupan Jaka, termasuk hubungannya 
dengan Ronahyatun yang terancam oleh kerakusan 
Raden Bei. 
Selain karena Jaka mirip dengan almarhum 
kekasihnya Prawiro yang tanpa sadar menimbulkan 
perasaan tersendiri dalam hatinya, ia juga merasa ber-
hutang budi terhadap pemuda itu karena pada waktu 
lalu mau mengorbankan patung kayunya untuk men-
ciptakan patung Ratu Shima palsu. Selama ini ada do-
rongan kuat yang seolah-olah memaksa dirinya untuk 
melihat Jaka ke tempat kerjanya di rumah Pak Cokro. 
Tetapi tentu saja tak mungkin baginya datang terang-
 
terangan dalam keadaan telanjang. Itulah sebabnya ia 
mengenakan pakaian dan menyamar seperti tukang 
pecel. 
Demikianlah hati gadis itu langsung tergerak 
setelah mengetahui Ronahyatun, kekasih Jaka dalam 
kesulitan. Ia segera memberikan pertolongan, sehingga 
selamatlah gadis itu dari cengkeraman Raden Bei. Ada 
perasaan bahagia mengalir ke sanubari Dewi Tatoo ka-
rena dapat memberikan pertolongan terhadap Jaka. 
Ya, sekalipun sebetulnya pemuda itu tidak mengeta-
huinya. 
Tidak apalah. Itu malah lebih baik. 
Dalam keadaan tertidur pulas, tiba-tiba terden-
garlah suara bisikan gaib menyuruhnya bangun. En-
tah dari mana asalnya suara itu, Dewi Tatoo tidak da-
pat memastikan. Namun karena suara itu, ia menjadi 
terbangun. Diperhatikannya keadaan di sekelilingnya, 
tak ada sesuatu yang mencurigakan. Maka sadarlah ia 
bahwa bisikan itu bukanlah suara manusia biasa, me-
lainkan bisikan batin yang entah siapa pengirimnya. 
"Dengarlah, ambil patung yang kau sembunyi-
kan itu dan kembalikan ke tempat asalnya!" 
Hei, siapa yang berkata melalui pendengaran 
batin ku? Tanya hati Setyatun sembari mengerutkan 
kening. 
"Aku si Tolol. Sebelum fajar kau harus menggali 
tanah di kaki gunung Muria dan kembalikanlah pa-
tung itu ke dalam petinya yang masih di dalam tanah." 
"Tidak! Patung itu akan kumusnahkan dalam 
api abadi. Aku akan memusnahkannya!" teriak hati Se-
tyatun. Diam-diam ia terkejut juga setelah mengetahui 
yang bicara melalui pendengaran batinnya adalah si 
Tolol sendiri. 
"Kau jangan membantah, Setyatun!" 
 
"Tapi jika aku kembalikan, mereka akan mem-
perebutkannya kembali. Aku tidak suka itu. Mereka ti-
dak segan-segan membunuh hanya untuk merebut pa-
tung itu." 
"Aku sendiri pernah jadi korban, dikubur hi-
dup-hidup oleh almarhum kekasihmu Prawiro di da-
lam lubang itu. Tetapi kemudian aku menyelamatkan 
diri. Tetapi sekarang kau tidak boleh membantah. Ini 
perintah dari Ratu Shima sendiri dengan perantaraan 
diriku untuk mengatakannya padamu. Karena besok 
ada seorang profesor Belanda, yang akan mencari pa-
tung itu dengan tujuan baik!" 
"Baiklah kalau begitu. Aku akan melaksana-
kannya." 
"Terimakasih. Sampai jumpa nanti." 
Setelah suara itu tidak terdengar lagi, Setyatun 
duduk termenung sendiri. Ia teringat lagi tekadnya 
tempo hari untuk memusnahkan patung Ratu Shima 
dalam api abadi di dalam gua puncak gunung Muria. 
Di dalam gua itulah dia bersama Jaka pada 
waktu lalu membuat patung Ratu Shima tiruan, se-
mentara si Tolol saat itu masih tertidur pulas dengan 
suara dengkurnya yang mirip dengkur kerbau. Patung 
tiruan diberikan kepada si Tolol, sedangkan yang asli 
dibawa oleh Dewi Tatoo. Patung tiruan itulah yang ke-
mudian diperebutkan para tokoh persilatan dan kini 
berada di tangan nenek tua Nyi Peri. Namun sebelum 
melaksanakan niat hatinya, terdengar perintah yang 
mengatakan patung asli harus dikembalikan ke tempat 
semula. 
Saat itu juga, Setyatun memutuskan akan me-
nuruti perintah itu. Mengembalikan patung Ratu Shi-
ma ke tempatnya semula dan melihat apa yang akan 
terjadi selanjutnya. 
 
Pada saat yang bersamaan, beberapa bayangan 
hitam tampak berkelebat dari sela-sela pepohonan, 
kemudian mengurung istana Nyi Peri yang tampak 
angker di tengah malam itu. Ternyata pada saat ber-
samaan para pendekar mengetahui bahwa patung Ra-
tu Shima sekarang berada di tangan nenek tua keriput 
itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, satu per satu to-
koh persilatan itu melesat menuju rumah Nyi Peri dan 
tiba pada waktu yang hampir bersamaan pula. 
Patung itulah yang beberapa hari lalu dibeli 
Raden Bei Kiduling Pasar dari Jaka dengan harga yang 
sangat mahal. Juragan kaya itu sama sekali tidak 
mengetahui bahwa patung itu hanyalah tiruan. Ter-
nyata Nyi Peri yang memiliki kesaktian yang sangat 
tinggi juga bisa tertipu. 
Sekarang wanita tua itu sedang memperhatikan 
patung emas itu di kamarnya. Diamatinya patung itu 
dengan seksama. Ternyata permata intan yang tersu-
sun menghiasi patung itu tidak ada lagi, membuat Nyi 
Peri mengerutkan kening pertanda curiga. Tetapi ke-
mudian ia merasa yakin bahwa itu adalah perbuatan 
Raden Bei yang mata duitan. Ia tahu betul perangai ju-
ragan kaya itu, selalu memanfaatkan kesempatan apa 
saja untuk memperkaya diri sendiri. Atau besar ke-
mungkinan Raden Bei mencongkel permata-permata 
itu untuk mas kawin buat Ronahyatun. Demikianlah 
dugaan Nyi Peri, sehingga tidak menyadari bahwa pa-
tung di tangannya adalah tiruan. 
Biarlah si Bei gila itu mengambil permata pa-
tung ini. Yang penting bagiku adalah isi patung, surat 
wasiat Ratu Kalingga tentang rahasia kecantikannya, 
kata hati Nyi Peri sambil tertawa cekikikan dengan su-
ara mirip kuntilanak. Di goyang-goyangnya patung itu. 
Terdengar suara benda-benda halus di dalam rongga 
 
patung. Tentulah itu daun lontar berisikan surat wa-
siat. 
Aku akan awet muda dan cantik jelita kembali, 
lalu bisa kawin dengan perjaka-perjaka, bisik wanita 
tua itu semakin girang. Ia sudah memutuskan mem-
buka penutup di bagian kaki patung itu untuk men-
gambil isinya. Tetapi terlebih dulu ia harus memasang 
pertahanan atau pelindung, berupa Boneka Pundut 
Nyawa, karena ia sadar setiap saat tokoh-tokoh persi-
latan bisa datang ke rumahnya untuk merebut patung 
itu. 
Boneka Pundut Nyawa itu adalah boneka-
boneka yang terbuat dari kain dengan bentuk orang-
orang tertentu dari musuh-musuh Nyi Peri. Dengan 
agak tergesa-gesa, Nyi Peri menempelkan boneka-
boneka di setiap pilar istananya yang misterius. Den-
gan boneka-boneka ini aku akan aman dari incaran 
musuh-musuhku, pikir wanita tua itu. 
Benda-benda itu ditempelkan dengan menggu-
nakan paku kayu jati dan dalam waktu singkat semu-
anya sudah dianggap beres. 
Setelah itu, Nyi Peri duduk bersila untuk ber-
semedi. Bibirnya yang sudah keriputan komat kamit. 
"Hamba memohon pertolongan paduka Calon 
Arang untuk memusnahkan musuh-musuh hamba!" 
bisik wanita tua itu. 
Sungguh ajaib, dari paku kayu jati yang me-
nancap ke tubuh boneka itu tiba-tiba keluar asap 
mengepul disertai suara mendesis-desis. Nyi Peri 
menghentikan semedinya, lalu tertawa cekikikan kare-
na ia sudah yakin bahwa dirinya telah aman. Dan mu-
suh-musuhnya pun kini pasti sekarat oleh ilmu gaib-
nya. 
Pengaruh ilmu Boneka Pundut Nyawa itu me-
 
mang luar biasa! Para pendekar yang mengepung ru-
mah Nyi Peri dan yang boneka dirinya tertancap di pi-
lar-pilar istana Nyi Peri, secara tiba-tiba merasa perut-
nya perih, melilit-lilit, seolah-olah ada seekor binatang 
buas yang sedang meronta-ronta di dalam ususnya. 
Pendekar Betawi Mat Caplang yang berada di 
samping kamar Nyi Peri mengaduh-aduh sambil me-
megangi perutnya yang terasa sangat sakit, bahkan 
jauh lebih sakit dari rasa sakit yang pernah dirasa-
kannya. 
"Aduh, perutku! Kenapa tiba-tiba jadi perih be-
gini?" kata Mat Caplang tanpa sadar. 
Pendekar Irak Husein pun mengalami hal yang 
sama. Saking sakitnya, ia malah sempat berguling-
guling di tanah. Ia merasa mau muntah, tetapi tak ada 
yang bisa di muntahkan. Sementara seisi perutnya 
semakin melilit-lilit. 
Sepasang pendekar berusia muda dari daratan 
Tiongkok, Hong Lie dan adiknya Giok Nio secara tiba-
tiba juga merasa sakit perut. Keduanya mencoba ber-
tahan hingga mengeluarkan keringat dingin, namun 
makin lama terasa sakit. 
"U-uh! Perutku sakit!" rintih Giok Nio. 
"Ekh! Aku juga, Giok Nio. Sakit sekali!" 
"Apa kita salah makan? Atau mungkin keracu-
nan...." 
Hong Lie menghela nafas dalam-dalam. Sebagai 
pendekar yang sudah memiliki kesaktian tinggi dan te-
lah  mengetahui banyak ilmu aneh atau ilmu-ilmu hi-
tam, ia segera dapat menyadari bahwa sakit perut yang 
dialaminya sekarang bukan penyakit biasa. Jika sean-
dainya ia salah makan atau keracunan seperti yang 
diduga Giok Nio, ia akan segera mengetahuinya. Tidak 
mungkin! Mereka pasti terkena pengaruh ilmu hitam 
 
seseorang. 
"Giok Nio, cobalah bertahan! Kita tidak mung-
kin keracunan. Ini adalah pengaruh ilmu hitam nenek 
tua penghuni istana ini!" kata Hong Lie. 
"Tapi sakit sekali!" ujar Giok Nio meringis. 
"Pusatkan perhatian! Lalu salurkan tenaga da-
lammu ke dalam lambung!" 
"Ilmu sialan!" maki Giok Nio kesal. Dara jelita 
itu segera menuruti saran Hong Lie. Ia dan kakaknya 
segera duduk bersila untuk membuyarkan pengaruh 
ilmu hitam Nyi Peri. 
Mat Caplang pun rupanya sudah terlebih dulu 
menyadari bahwa sakit perut itu adalah ulah si nenek 
tua Nyi Peri. Ia pun sudah duduk bersila sambil men-
gerahkan ilmunya yang tinggi melawan pengaruh ilmu 
hitam lawan. 
"Lu nggak bakalan bisa ngelawan gua!" kata 
pendekar Betawi itu geram. Terjadilah pertarungan ja-
rak jauh menggunakan ilmu hitam antara dua tokoh 
silat yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu. 
Tubuh Mat Caplang bergetar hebat dan kadang-kadang 
terlihat terdorong mundur hingga hendak terpental. 
Tetapi ia terus bertahan sekuat tenaga, lalu mengerah-
kan tenaga melakukan serangan balik. 
Nyi Peri segera mengetahui bahwa ilmunya se-
dang menghadapi perlawanan hebat dari musuh. Maka 
ia pun kembali bersemedi memperkuat pertahanan. 
Namun karena semua lawan memberikan serangan ba-
lik cukup kuat, wanita tua itu akhirnya menjadi kewa-
lahan. Paku kayu jati yang menancap di boneka Mat 
Caplang terlepas meloncat ke luar. 
"Kurang ajar! Si kumis panjang itu rupanya da-
pat mengatasi ilmuku!" bentak Nyi Peri geram. 
Tiba-tiba terdengar teriak dahsyat hingga seke-
 
liling tempat itu terasa bergetar. Tubuh Mat Caplang 
yang tadi duduk bersemedi mencelat menerjang tem-
bok rumah Nyi Peri, dengan mengerahkan segala tena-
ga dalamnya. 
"Brusss!" Tembok itu jebol diterjang Mat Cap-
lang. Debu dan batu bata beterbangan ke arah Nyi Pe-
ri. Wanita tua itu menjadi terkejut. Namun sebelum 
sempat berbuat apa-apa kilatan senjata lawan sudah 
menyambar ke arah lehernya. 
"Bangsat!" Nyi Peri memaki lalu segera melon-
cat tinggi hingga serangan lawan hanya mengenai an-
gin. Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuh Nyi 
Peri mendarat dengan sangat ringan agak jauh di ha-
dapan Mat Caplang. 
"Kurang ajar! Rupanya kau mampu juga meng-
hadapi ilmu Pundut Nyawaku," bentak Nyi Peri meng-
ketok-ketok lantai dengan tongkat bengkoknya. Sambil 
berkata begitu tadi, sepasang matanya mencorong ta-
jam dan merah bagaikan memancarkan api. Bibirnya 
yang sudah keriputan terkatup rapat, sedangkan jema-
ri tangannya dengan erat mencekal tongkatnya. Karena 
wanita itu berdiri tegak tanpa bergerak-gerak, kecuali 
gerak bahunya sewaktu bernafas, ia terlihat bagaikan 
sebuah patung yang  sengaja diciptakan untuk meng-
gambarkan kemurkaan setan atau iblis. Dari sinar ma-
tanya terpancar hawa nafsu membunuh yang tiada 
terbendung lagi. 
 
 
 
* * 
 
 
 
 
Diam-diam Mat Caplang agak terpengaruh juga 
menyaksikan sikap Nyi Peri. Tetapi seperti yang sering 
dikatakannya, ia mungkin tak akan menginjakkan ka-
kinya di daerah gunung Muria kalau hanya melihat 
penampilan lawan yang seram sudah ketakutan. Ia 
pun bisa menatap Nyi Peri dengan mata melotot tak 
berkedip. 
"He-he-he, nenek tua peot dan jelek kayak mo-
nyet. Kau pikir ilmu seperti itu ada artinya bagiku? Il-
mu seperti itu hanya bisa nakut-nakutin anak kecil. 
Dasar nenek jelek lu! Kayak setan!" Mat Caplang me-
maki-maki. 
Dihina dirinya perempuan tua yang sangat je-
lek, perasaan Nyi Peri jadi sangat tersinggung. Dalam 
masalah yang satu ini, perasaannya memang sangat 
peka. Itu sebabnya selama ini ia mau mati-matian me-
rebut wasiat Ratu Shima tentang kecantikan. Karena 
ia begitu berambisi supaya dapat cantik dan awet mu-
da kembali agar dapat kawin dengan perjaka-perjaka. 
Sekarang seorang lelaki yang merupakan musuh-nya 
pula menghina dirinya jelek dan peot. Hinaan seperti 
itu tidak akan pernah di maafkan Nyi Peri. Maka seba-
gai tebusannya adalah nyawa Mat Caplang sendiri. 
"Kau telah begitu lancang menghinaku, bede-
bah! Untuk itu, kau harus menebusnya dengan  nya-
wamu sendiri!" 
"Ha-ha-ha, jadi gue apa harus bilang lu cewek 
cakep. Lucu! Monyet saja belum tentu mau bilang lu 
cakep, nenek peot!" 
"Bangsat! Mampus kowe!" Nyi Peri berteriak 
nyaring sambil meloncat menerjang Mat Caplang. Tu-
 
buhnya melayang bagaikan terbang dan tongkatnya 
diputar cepat sekali menimbulkan sinar kehitam-
hitaman bergulung-gulung disertai suara menderu-
deru. 
Sewaktu tubuhnya meluncur turun, ujung 
tongkatnya meluncur ke  arah ubun-ubun Mat Cap-
lang. Melihat serangan itu sangat berbahaya, Mat Cap-
lang segera meloncat mundur. Tetapi tongkat Nyi Peri 
seperti mempunyai mata saja. Setelah serangan per-
tama lolos, langsung menyambar ke arah dada lawan 
bagaikan seekor ular mematuk mangsa. 
Secepat kilat Mat Caplang mengayunkan golok-
nya untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara 
berdetak ketika kedua senjata itu beradu keras. Dan 
Mat Caplang menjadi terkejut mana kala tangannya te-
rasa gemetar hebat. Sadarlah ia bahwa tenaga nenek 
tua peot itu masih sangat kuat, bahkan mungkin lebih 
kuat dari tenaganya sendiri. 
Belum sempat mengatur kuda-kuda, ujung 
tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi. Kali ini men-
gincar selangkangan Mat Caplang dengan kecepatan 
penuh. 
Mat Caplang berkelit ke samping, lalu menya-
betkan goloknya ke arah dada lawan. Tetapi rupanya 
serangan Nyi Peri tadi hanya pancingan belaka. Karena 
begitu Mat Caplang mengelak, tongkat itu sudah me-
nyambar ke arah pinggang. 
"Buk!" Dengan telak tongkat itu menghantam 
pinggang Mat Caplang, sehingga membuat tubuh lelaki 
itu terlempar beberapa meter. Wajahnya sebentar pu-
cat dan sebentar merah padam. Seisi perutnya terasa 
berguncang hebat, sehingga kakinya lemas dan hen-
dak muntah-muntah. 
Mat Caplang segera menyalurkan tenaga da-
 
lamnya ke arah pinggang untuk menekan rasa sakit 
yang luar biasa. Setelah itu, ia segera meloncat bangun 
sambil menatap Nyi Peri dengan mata mencorong ta-
jam. 
"He-he-he, hanya begitukah kepandaian mu, 
kambing congek? Tak kusangka kumis mu yang pan-
jang melengkung itu hanya bisa menakut-nakuti anak 
kecil," ejek Nyi Peri sambil terkekeh-kekeh. 
"Sialan lu, nenek peot. Lu jangan kirain gue 
udeh kalah. Gue masih sanggup mampusin lu orang!" 
"Masih banyak ngomong lagi nih, monyet! 
Mampus kowe!" Nyi Peri kembali menerjang Mat Cap-
lang dengan dahsyat. Tubuhnya bagaikan kapas saja 
melayang ke arah lawan. Sedangkan tongkat bengkok-
nya menukik tajam ke arah ulu hati Mat Caplang. 
Pendekar Betawi itu segera memutar senjatanya 
untuk melindungi diri. Kembali terdengar suara berde-
tak, dua senjata beradu keras. Beberapa saat kemu-
dian, tangan kiri Nyi Peri menyambar dahsyat ke dada 
lawan. Sangat cepat serangannya, sehingga tak ada pi-
lihan lain bagi Mat Caplang selain menangkis pukulan 
lawan. 
"Duk!" Kedua lengan yang kekar dan kurus itu 
beradu. Tetapi segera terlihat walaupun lengan Nyi Peri 
sangat kecil, tenaganya malah lebih unggul. Tubuh 
Mat Caplang terdorong mundur dengan tangan yang 
terasa perih dan kesemutan. 
Sebelum sempat menguasai keseimbangan tu-
buh, ujung tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi ke 
arah leher Mat Caplang. Tak terkatakan betapa terke-
jutnya hati Mat Caplang. Secepat yang bisa ia lakukan, 
ia membantingkan tubuh ke belakang, hingga selamat-
lah dirinya dari hantaman tongkat lawan. 
Akan tetapi secara tidak terduga-duga, dari 
 
tangan Nyi Peri meluncur tiga buah senjata rahasia be-
rupa konde kecil dan runcing. Serangan itu sangat di 
luar dugaan, sehingga Mat Caplang tidak sempat lagi 
mengelak. Ketiga senjata rahasia itu dengan telak ter-
tancap di dadanya. 
"Akh...!" Mat Caplang menjerit kesakitan. Pan-
dangan matanya seketika berkunang-kunang dan se-
kujur tubuhnya tidak berdaya sama sekali. Ia mencoba 
bangun dengan memaksakan diri, namun hanya 
mampu mengangkat kepala beberapa saat, lalu terku-
lai lagi. Rupanya senjata rahasia nenek tua itu men-
gandung racun yang sangat berbahaya, dan dalam 
waktu singkat menjalar ke seluruh tubuh Mat Cap-
lang. 
Hanya dalam waktu yang sangat singkat, seku-
jur tubuh lelaki itu segera membiru kehitam-hitaman. 
Sadarlah pendekar Betawi itu bahwa dirinya sekarang 
sedang terancam bahaya maut. Sebagai pendekar yang 
memiliki kesaktian tinggi dan telah berpengalaman pu-
la, ia menyadari jika tidak secepatnya mendapatkan 
pertolongan, ia akan segera kehilangan nyawa. Maka ia 
kembali bangkit, namun tetap tak mampu, bahkan te-
rasa semakin lemas dan kesakitan. 
"Selamat bersenang-senang, kawan! Percayalah, 
sebentar lagi maut akan segera menjemput mu."  
"Bedebah kau!" 
"Teruskan makianmu, biar kau puas. Tidak pe-
nasaran meninggalkan dunia ini!" 
"Diam lu, bangsat! Kubunuh kau...." 
"Kalau begitu berdirilah! Jangan hanya mulut-
mu saja yang mengoceh kayak pantat ayam  hendak 
bertelor!" Nyi Peri tertawa panjang, sehingga mirip sua-
ra ringkikan makhluk halus di tengah malam. Lalu ia 
kembali menatap Mat Caplang dengan sinar mata 
 
mengejek. "Kenapa kau diam saja, monyet kurapan? 
Kau tentunya sangat kesakitan sekarang, bukan?" 
"Diam!" Mat Caplang berteriak dengan sisa-sisa 
tenaganya. 
"Bagus! Bagus! Dalam keadaan sekarat kau 
masih berani memaki-maki aku. Sekarang bersujudlah 
di hadapanku dan mohon ampunan. Aku akan men-
gampunimu dan memberikan obat penawar racun itu." 
"Bedebah! Lebih baik mati!" 
"Kau memang sudah mau mati. Dengar, hanya 
beberapa saat lagi. Kau tidak akan merasakan apa-apa 
lagi. Ya, engkau akan merasa damai dan tenteram." 
"Sundel! Kampret lu!" teriak Mat Caplang. Teta-
pi setelah itu, ia merasa dirinya bagaikan melayang-
layang. Rasa sakit yang dideritanya sudah mencapai 
puncaknya, Lalu perlahan-lahan, ia tidak merasa apa-
apa lagi. Matanya mendelik, hingga yang kelihatan 
hanya Bagian putihnya saja. Ia memaksakan diri men-
gangkat kepala hendak mengucapkan kata-kata ma-
kian. Tetapi suaranya hanya sampai di kerongkongan. 
Kepalanya terkulai lemas dengan mata yang masih 
mendelik, tetapi nyawanya sudah terbang meninggal-
kan raga. 
"Begitulah nasib semua orang yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri!" kata nenek tua itu 
sambil menyeringai buas. Ia hendak melangkah ke me-
janya kembali untuk memeriksa patung emas. Namun 
mendadak terdengar bentakan nyaring disertai suara 
gebrakan membobol atap rumah. 
"Serahkan patung itu padaku! Atau kau akan 
mampus di tanganku nenek peot!" bentak Husein. Se-
jak tadi pendekar Irak itu mengintai dari atap, dan 
membiarkan Mat Caplang terdesak. Sebab ia pun 
mengharapkan pendekar Betawi itu tewas di tangan 
 
Nyi Peri. Dengan demikian, musuhnya akan 
berkurang. 
Karena tak mengira masih ada pendekar lain di 
sekitar rumah itu, Husein segera meloncat turun den-
gan cara membobol atap rumah. Sambil meluncur tu-
run, lembaran permadaninya diayun-ayunkan dengan 
kecepatan luar biasa hingga membentuk gulungan si-
nar merah disertai suara menderu-deru bagaikan an-
gin puting beliung. 
"Sundel!" teriak Nyi Peri geram. Lalu ia segera 
meloncat jauh hingga serangan lawan lolos. Husein 
mendarat di lantai dengan sangat ringan hingga ham-
pir tak menimbulkan suara. 
"Wah, si Bulbul ini lagi yang muncul. Apa kau 
tidak takut mampus di tanganku? Lihat, monyet itu 
pun sudah tidur dengan tenang!" 
"Ha-ha-ha, tentu saja dia akan tidur karena ia 
memang tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan sama-
kan dia dengan diriku. Kau boleh merasa bangga kare-
na berhasil merobohkannya. Tetapi jangan mengira 
kau bisa melakukannya terhadap diriku. Kau tentunya 
masih ingat pertemuan kita da-hulu. Sekaranglah 
saatnya untuk membuktikan siapa di antara kita yang 
lebih kuat!" kata Husein. 
Beberapa waktu lalu, kedua tokoh persilatan 
itu memang sudah pernah bertarung. Namun saat itu 
pertarungan mereka tidak lebih dari tiga puluh jurus 
dan boleh dikatakan berlangsung imbang, sehingga 
sampai sekarang belum bisa dipastikan siapa di antara 
keduanya yang paling hebat. Agaknya tanpa dapat di-
elakkan lagi, sekarang mereka akan membuktikannya. 
"Betul-betul lelaki tak tahu diri kau! Saat itu 
aku sengaja bermurah hati. Dan kau  seharusnya ber-
terima kasih lalu sujud di hadapanku, karena saat itu 
 
aku masih memberimu waktu untuk hidup lebih lama 
lagi." 
"Kenapa tidak kau lakukan saja, nenek peot? 
Tidak sadarkah kau bahwa dirimu sangat beruntung 
dan terhormat bisa berhadapan dengan aku? Kau se-
harusnya tinggal di hutan bersama monyet-monyet ka-
rena tampangmu memang mirip hewan itu." 
"Sumpah di samber petir, akan ku copot jan-
tungmu berani berkata selancang itu pada Nyi Peri." 
"Aku tahu kau ingin mendapatkan rahasia ke-
cantikan Ratu Shima supaya kau awet muda dan can-
tik sekali, lalu kawin dengan perjaka-perjaka. Bukan-
kah itu memang kebiasaan mu, wanita peot? Kau tak 
sadar bahwa jangankan manusia, kelinci saja mungkin 
sudah jijik melihat tampangmu!" 
"Bangsat! Mampus kau!" Nyi Peri membentak 
geram. Lalu secara tiba-tiba menerjang Husein. Tong-
katnya diputar cepat sekali dan setiap saat siap me-
nyambar tubuh lawan dari segala arah. Agaknya wani-
ta tua itu sudah memutuskan akan membunuh la-
wannya secepat mungkin. Ia segera mengeluarkan ju-
rus-jurus mautnya. Dan ketika lawan mundur, ia 
kembali menyambitkan senjata rahasianya ke arah da-
da Husein. 
Akan tetapi dengan gerakan yang tidak kalah 
cepatnya, Husein melindungi dirinya dengan permada-
ni, hingga senjata rahasia berupa tusuk konde itu ter-
pental ke dinding. Tadi sewaktu Nyi Peri bertarung 
dengan Mat Caplang, Husein diam-diam memperhati-
kan cara Nyi Peri menyerang dan melindungi diri. Den-
gan demikian, setelah mengetahui kelebihan dan kele-
mahan Nyi Peri, Husein dapat lebih berhati-hati meng-
hadapi serangan lawan dan berusaha sebaik mungkin 
memanfaatkan kelemahan lawan untuk bisa meraih 
 
kemenangan. 
Sepuluh, dua puluh dan tiga puluh jurus telah 
berlalu. Belum ada tanda-tanda siapa yang akan me-
menangkan pertarungan sengit itu. Keduanya silih 
berganti menyerang dan menghindar. Nyi Peri jadi pe-
nasaran. Sekaligus sadarlah dirinya bahwa dalam 
menghadapi Husein ia harus merubah gaya berta-
rungnya, karena tampaknya lawan sudah bisa memba-
ca gerakannya. 
Jurus-jurus yang dikeluarkannya kemudian 
terlihat serampangan dan tidak beraturan. Namun di 
balik itu tersimpan serangan yang sangat berbahaya. 
Gerakannya selain cepat dan kuat, juga mengandung 
perkembangan yang sangat tidak terduga serta penuh 
tipu daya. 
Kadang-kadang wanita tua itu sengaja mem-
biarkan tubuhnya di serang. Tetapi secepat kilat ia 
mengelak lalu menyerang dengan dahsyat. Di sinilah 
terlihat bahwa walaupun sudah tua, gerakan Nyi Peri 
masih sangat cepat. Secara perlahan-lahan ia 
dapat mendesak Husein, hingga akhirnya 
hanya bisa bertahan tanpa sempat lagi memberikan 
serangan balasan. 
"Kau akan segera mampus di tanganku, bede-
bah!" bentak Nyi Peri semakin bersemangat melihat 
lawannya mulai keteter. 
"Kaulah yang mampus!" teriak Husein sekedar 
untuk menutupi rasa gentar di hatinya. 
Nyi Peri semakin memperkuat tekanannya. Dan 
setiap kali Husein kerepotan, ia melontarkan senjata-
senjata rahasianya. Makin lama makin  terdesaklah ja-
goan dari negeri Irak itu. Suatu ketika, Nyi Peri memu-
kul lutut Husein, sehingga lelaki itu terpaksa harus 
meloncat tinggi untuk menghindar. Namun sewaktu 
 
tubuhnya masih melayang di udara, tongkat Nyi Peri 
yang diputar cepat sehingga tampak berubah jadi ba-
nyak sekali sudah menyambar- nyambar. Husein me-
mutar permadaninya, tetapi ujung tongkat lawan tetap 
saja masih bisa menembus pertahanannya. 
Saat itulah Nyi Peri melemparkan senjata raha-
sianya dari sebelah kiri, kanan, atas dan bawah, se-
hingga Husein tidak 
mungkin lagi mengelak kecuali menangkis den-
gan  permadani di tangannya. Ia berhasil memukul 
jauh semua senjata rahasia itu. Namun tongkat Nyi 
Peri telah meluncur bagaikan kilat ke arah jantungnya. 
"Bless!" Ujung tongkat itu dengan telak me-
nembus dada Husein hingga tembus sampai ke pung-
gung. Tubuh pendekar Irak itu pun terjerembab diirin-
gi jeritan panjang memenuhi ruangan rumah Nyi Peri. 
Darah segar segera memancar dari luka tertembus itu, 
membasahi pakaian Husein serta lantai istana Nyi Peri. 
Sekali lagi, Husein menjerit panjang ketika Nyi 
Peri mencabut tongkatnya sambil menyeringai buas. 
"Mampus kau, bangsat!" bentak wanita tua itu, 
tampak sangat puas melihat musuhnya berkelojotan di 
lantai. 
"Kau... kau..." Husein merangkak sejenak sam-
bil menunjuk Nyi Peri dengan tangan gemetar. Ia ingin 
mengucapkan sesuatu, tetapi sebelum sempat berkata, 
tubuhnya sudah jatuh lunglai. Kedua tangan dan ka-
kinya bergerak-gerak lemah, lalu diam. Nyawanya te-
lah melayang meninggalkan raga! 
"Sudah kubilang, siapa pun yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri, pasti akan mengalami 
nasib seperti itu," kata wanita tua itu sambil tertawa 
tergelak-gelak. 
Akan tetapi tiba-tiba hidung Nyi Peri kembang 
 
kempis. Matanya menatap liar ke sekelilingnya, karena 
telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan 
di luar. Rupanya masih ada orang lain yang mencoba 
bermain-main denganku, pikir wanita tua itu sambil 
mempersiapkan tongkatnya menghadapi lawan beri-
kutnya. 
"Hei, kalau kau tidak pengecut, keluarlah! Ha-
dapi aku! Kalau tidak berani, segera tinggalkan tempat 
ini. Demi arwah dua anjing ini, aku akan mengampu-
nimu!" teriak Nyi Peri. 
Tiba-tiba dua bayangan berkelebat masuk ke 
dalam ruangan itu. Dan tampaklah sepasang pendekar 
muda belia berdiri di hadapan Nyi Peri dengan senjata 
pedang siap di tangan. Keduanya adalah Hong Lie dan 
Giok Nio. Kedua pendekar dari daratan Tiongkok itu 
sejak tadi juga mengintai pertarungan seru di dalam 
rumah Nyi Peri. Diam-diam, kedua pendekar itu harus 
mengakui kehebatan Nyi Peri, karena walaupun sudah 
tua namun gerakan dan tenaganya masih sangat hebat 
dan kuat. 
Setelah Mat Caplang dan Husein tewas, Hong 
Lie dan Giok Nio segera meloncat masuk. Keduanya 
sama-sama yakin akan dapat mengalahkan Nyi Peri 
dengan berbagai pertimbangan. Pertama mereka sudah 
cukup lama mempelajari jurus-jurus nenek tua itu. 
Dan kedua tenaga Nyi Peri tentulah sudah mulai ter-
kuras setelah bertarung dengan dua lawan yang san-
gat tangguh. Maka rasanya sangat tipislah harapan 
wanita keriput itu menang melawan Hong Lie dan Giok 
Nio. 
"Wah! Sepasang pendekar asing. Yang perem-
puan cantik jelita. Yang laki-laki tampan perkasa. Luar 
biasa! Dari manakah gerangan asal kalian dan sudah 
berapa lama belajar silat hingga berani menantang 
 
aku? Apakah kalian berdua belum melihat nasib kedua 
orang ini?" kata Nyi Peri dengan nada sangat meren-
dahkan Hong Lie dan Giok Nio. 
"Bangsat! Kau jangan menghina, nenek iblis!" 
bentak Giok Nio geram. 
"Ha-ha-ha, gadis cantik tapi tidak tahu diri!" 
Hong Lie segera menarik tangan adiknya sambil 
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap lebih te-
nang. Setelah itu, Hong Lie melangkah ke hadapan Nyi 
Peri, lalu memberikan salam hormat dengan cara 
mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada. 
"Maafkan adik saya. Dia masih sangat muda 
hingga tidak menyadari siapa sebenarnya engkau. Ka-
mi berdua datang dari negeri Tiongkok. Dan mengenai 
berapa lama kami belajar, saya rasa bukanlah hal yang 
terlalu penting. Sebab lamanya belajar tidaklah meru-
pakan jaminan utama bahwa kami sudah memiliki il-
mu tinggi." 
"Bagus! Bagus! Bicaramu halus dan sopan, tapi 
mengandung bisa yang sangat berbahaya. Siapakah 
namamu, pemuda tampan?" 
"Kwan Hong Lie dan adik saya Kwan Giok Nio.” 
"Bagus. Kali ini engkau menerima kehormatan 
dariku untuk mengetahui namaku. Akulah Nyi Peri, 
pendekar nomor satu di daerah ini." 
"Sungguh merupakan kehormatan yang tak 
ternilai harganya kami dapat bertemu dengan orang 
hebat seperti engkau. Sayang, pertemuan kita kali ini 
bukanlah sebagai sahabat melainkan sebagai musuh." 
"Aku sudah tahu! Kalian pun tentunya ingin 
merebut patung itu bukan? Aku sarankan sebaiknya 
kalian berdua tinggalkan tempat ini. Sayang kalau 
pendekar berusia muda seperti kalian mati dengan sia-
sia." 
 
"Bedebah! Nenek peot! Nenek iblis! Kubunuh 
kau!" teriak Giok Nio dengan amarah yang meledak-
ledak. Agaknya dara jelita itu tak dapat lagi menguasai 
perasaan. Walaupun kakaknya masih memintanya 
bersikap tenang, ia tidak mau perduli lagi. Ia segera 
menerjang Nyi Peri sambil berteriak nyaring. 
Pedang di tangan gadis itu diputar cepat sekali 
sehingga terlihat seolah-olah berubah jadi puluhan pe-
dang, menyambar-nyambar ke arah tubuh Nyi Peri. 
Sebelum bergerak, Nyi Peri masih sempat tersenyum 
sinis. Ia sangat marah mendengar gadis itu menghi-
nanya wanita peot yang sangat jelek. Tongkatnya pun 
diputar melindungi diri, lalu balas menyambar tubuh 
Giok Nio. 
Hong Lie menyadari bahwa adiknya tidak akan 
mungkin mampu mengimbangi Nyi Peri. Maka ia pun 
segera meloncat membantu Giok Nio menghadapi wa-
nita tua itu. Maka terjadilah pertarungan yang lebih 
seru lagi. Pedang Hong Lie dan Giok Nio membentuk 
gulungan sinar keperak-perakan, terlihat sangat kom-
pak, saling melindungi dan membuka pertahanan la-
wan. 
Pasangan pendekar Tiongkok itu memang me-
miliki Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah 
mencapai ke tingkat kesempurnaan. Gerakan mereka 
sangat cepat serta kuat, sehingga sadarlah Nyi Peri 
bahwa kedua lawannya sekarang jauh lebih berbahaya 
daripada Mat Caplang maupun Husein. Apalagi karena 
bagaimanapun juga, tenaga Nyi Peri sudah cepat ter-
kuras karena sudah tua. Menghadapi sepasang pende-
kar berusia muda yang tenaga dan semangatnya tentu 
masih sangat tinggi mengandung resiko yang sangat 
berat. Tidak mustahil malah dirinya yang akan celaka. 
Maka sambil mengeluarkan ilmu silat yang 
 
sangat baik untuk bertahan, wanita tua itu sesekali 
melancarkan serangan maut. Angin dahsyat pun ber-
seliweran di ruangan itu. Bangku-bangku dan meja be-
rantakan, bahkan kadang-kadang terbang menghan-
tam dinding rumah saking kuatnya tenaga dalam ke-
dua belah pihak yang sedang bertarung. 
Tidak percuma Hong Lie dan Giok Nio selama 
belasan tahun mempelajari ilmu silat kelas tinggi di 
negeri asalnya. Tenaga Ginkang  mereka luar biasa. 
Hebatnya lagi, tenaga dalam kedua pendekar itu ka-
dang-kadang mengandung hawa dingin bagaikan es, 
tetapi ada kalanya pula panas bagaikan api. Di sinilah 
terlihat kekompakan sepasang tokoh silat Tiongkok itu, 
jika Hong Lie menyerang dengan mengerahkan tenaga 
dalam hawa panas, Giok Nio sebaliknya. 
 
* * 
 
Demikianlah berganti-ganti, sehingga Nyi Peri 
menjadi kewalahan juga. Untunglah tingkat kesaktian-
nya sudah mencapai kesempurnaan ditambah penga-
laman bertarung yang cukup banyak karena sudah 
berpuluh-puluh tahun melanglang buana di dunia per-
silatan. Sedangkan Hong Lie dan Giok Nio sendiri, se-
kalipun kuat tetapi dari segi pengalaman bertarung 
masih kalah jauh. 
Makin lama, pertarungan yang berlangsung di 
tengah malam itu makin menegangkan. Kedua belah 
pihak saling bersikeras untuk memenangkan perta-
rungan, karena selain untuk mempertahankan nyawa 
sendiri, jika menang maka kesempatan untuk memiliki 
patung Ratu Shima akan terbuka lebar. Tak ada lagi 
pendekar lain yang ingin merebutnya sekarang. 
 
Tanpa terasa, pertarungan itu sudah berlang-
sung lebih dari lima puluh jurus. Belum ada tanda-
tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Na-
mun mulailah terlihat bahwa tenaga mereka sudah 
mulai terkuras habis, karena pertarungan itu selalu 
memaksa mereka untuk bergerak dengan mengerah-
kan tenaga sekuat-kuatnya. 
Diam-diam Nyi Peri mulai khawatir, karena ka-
lau keadaan itu masih bertahan sampai lima puluh ju-
rus lagi atau lebih, akan tipislah harapannya untuk 
menang. Tenaganya pasti makin terkuras, sementara 
kedua lawannya karena masih muda tentu bisa berta-
han lebih lama. Maka sambil bertarung, ia mulai ber-
pikir mencari jalan terbaik baginya mengakhiri perta-
rungan itu. 
Sementara itu, Dewi Tatoo sudah meninggalkan 
gubuk di tengah ladang jagung. Patung Ratu Shima di-
genggamnya erat-erat, lalu berlari sekencang-
kencangnya, sehingga tubuhnya berkelebatan di ma-
lam yang sepi itu. 
Wanita itu sudah memutuskan akan menuruti 
perintah Ratu Shima yang disampaikan si Tolol melalui 
pendengaran batinnya. Biarlah ia mengembalikan pa-
tung itu ke tempat asalnya semula dan mengurungkan 
niatnya, karena tampaknya itulah jalan yang terbaik. 
Padahal tadinya, Setyatun sudah bertekad memus-
nahkan patung itu untuk menghapuskan kenangan 
buruk dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. 
Dalam waktu singkat, sampailah gadis itu ke 
jalan desa. Sejenak ia menghentikan larinya. Alisnya 
berkerut dan entah mengapa dadanya terasa berdebar 
tidak karuan. Nalurinya seperti membisikkan ia men-
gurungkan niatnya dulu ke lereng gunung dan sebaik-
nya terlebih dulu ke desa. Tetapi mau apa dia ke desa 
 
malam-malam seperti itu? 
Aku tidak boleh ke sana! Kata hati gadis itu, 
sambil berusaha menekan perasaan tak enak di ha-
tinya. Dengan ragu-ragu, ia melangkah masuk jalan 
menuju lereng gunung Muria. Tetapi baru sekitar se-
puluh langkah, ia berhenti lagi. Rasanya ia memang 
harus ke desa sekarang. Mungkin ada sesuatu yang 
sangat penting atau sedang terjadi peristiwa yang ha-
rus diketahuinya. Perasaan dan nalurinya tak bi-
asanya seperti itu. 
Akhirnya Setyatun memutuskan masuk desa 
terlebih dulu, ingin mengetahui ada apa sebenarnya 
hingga nalurinya sepertinya mengharuskan dirinya ke 
sana. Biarlah ia mengurungkan niatnya sebentar, dan 
kalau tidak terjadi sesuatu ia akan segera ke lereng 
gunung melaksanakan niat hatinya. Maka ia pun ber-
lari sekencang-kencangnya masuk desa. 
Pertarungan Nyi Peri dengan dua pendekar 
Tiongkok itu masih berlangsung seru. Namun kini cara 
bertarung wanita tua itu mulai berubah, karena ia mu-
lai tampak lebih nekad. Pertahanan dirinya agak ter-
buka, tetapi tetap setiap serangan yang di lancarkan-
nya benar-benar mengandung maut bagi lawan. 
Hong Lie dan Giok Nio pun sudah sangat pena-
saran, karena sampai selama itu belum juga mampu 
merobohkan Nyi Peri. Apalagi Giok Nio yang memiliki 
sifat lebih cepat naik darah dibandingkan kakaknya. 
"Bangsat! Mampus kau!" bentak gadis itu sam-
bil meloncat menerjang Nyi Peri. Tubuhnya melayang, 
lalu menukik bagaikan burung rajawali menyambar 
mangsa. Serangannya benar-benar cepat bisa berkem-
bang secara tidak terduga-duga. Namun rupanya Nyi 
Peri sudah bersiap-siap menunggu serangan seperti 
itu. 
 
Tanpa diduga-duga, wanita tua itu melempar-
kan senjata rahasia ke arah tubuh Giok Nio, sehingga 
terpaksa dara jelita itu memutar pedang melindungi di-
ri. Saat itulah ujung tongkat Nyi Peri menyambar ulu 
hati Giok Nio dan tampaknya tidak ada lagi kesempa-
tan baginya untuk menghindar. 
Melihat keadaan yang sangat berbahaya itu, 
Hong Lie menjadi terkejut. Secepat kilat ia meloncat 
untuk menangkis tongkat Nyi Peri. Akan tetapi di sini-
lah terlihat kehebatan serta kenekatan nenek tua itu. 
Melihat Hong Lie hendak menangkis serangannya, ia 
pun memutar tongkatnya secara sangat mendadak, 
menyambar ke arah perut pemuda itu. 
"Bless!" Tanpa sempat dielakkan lagi, tongkat 
itu menghunjam perut Hong Lie hingga tembus ke 
punggung. Giok Nio menjerit melihat pemandangan 
yang sangat mengerikan itu. Dengan amarah yang me-
luap hingga ke ubun-ubun, ia menusukkan pedangnya 
ke dada Nyi Peri tanpa perduli lagi akan keselamatan-
nya sendiri. 
Dalam  posisi yang sangat terdesak, Nyi Peri 
berputar sambil mencopot tongkatnya dari tubuh Hong 
Lie, lalu memapaki serangan Giok Nio. Nenek tua itu 
tak sempat lagi menghindar, tetapi ia pun tak mau ma-
ti sendirian. Ia sengaja tidak mengelak, melainkan 
memberikan serangan yang tak kalah berbahaya. Giok 
Nio yang saat itu sudah gelap mata karena Hong Lie 
tak mungkin terselamatkan lagi, juga tidak terlalu 
memperdulikan serangan lawan, sebab yang ia pikir-
kan sekarang adalah bagaimana membunuh nenek ib-
lis itu secepat mungkin. Maka kedua senjata itu pun 
sama-sama meluncur dengan kecepatan yang luar bi-
asa. 
"Aaakh!" Giok Nio dan Nyi Peri sama-sama 
 
menjerit panjang. Ujung pedang dara jelita itu dengan 
telak menembus punggung Nyi Peri hingga tembus ke 
dada. Sedangkan tongkat Nyi Peri juga menembus da-
da lawan sampai tembus ke punggung. 
Tubuh Giok Nio ambruk tak jauh dari Hong Lie. 
Darah segar memancar deras dari luka di tubuhnya. 
Karena senjata lawan tepat sekali menghunjam di jan-
tungnya, ia hanya dapat bertahan beberapa saat, lalu 
menemui ajalnya menyusul Hong Lie. 
Lain halnya dengan Nyi Peri, di samping memi-
liki daya tahan luar biasa, senjata lawan hanya me-
nembus bagian perutnya, sehingga ia masih bisa 
bangkit berdiri, lalu melangkah tertatih-tatih menuju 
mejanya di sudut ruangan. Pedang Giok Nio masih 
menempel di perutnya dan mengucurkan darah 
segar. 
"He-he-he..." Wanita tua itu tertawa aneh sam-
bil mengulurkan tangan meraih patung Ratu Shima. 
"Kini tidak ada penghalang lagi. Mereka sudah mam-
pus semua," katanya dengan suara parau. 
Tanpa menghentikan suara tawanya, nenek tua 
itu mengambil patung emas dan menggenggamnya pe-
nuh perasaan bangga, "Kini tiba saatnya untuk mem-
buka rumus kecantikan. Dan aku... aku akan cantik 
seperti Ratu Shima. 
Dengan tangan bergetar, Nyi Peri membuka ba-
gian bawah kaki patung itu dan dari dalamnya dikelu-
arkannya beberapa helai daun kelapa berisi tulisan-
tulisan. 
"Hah? Isinya cuma begini? Sial! Pekerjaan sia-
sia!" jerit wanita tua itu sambil membantingkan lemba-
ran-lembaran daun kering itu ke lantai. 
Rasa  kesal dan kecewa membuat Nyi Peri se-
makin lemas. Ia baru sadar bahwa dirinya dalam kea-
 
daan luka berat. Dicobanya bertahan sekuat tenaga, 
namun ia tak kuat lagi. Kedua lututnya gemetar dan 
pandangan matanya berkunang-kunang. Sam-
bil menjerit panjang, tubuhnya ambruk dan memun-
tahkan darah segar. 
Dalam keadaan terkapar bersimbah darah, Nyi 
Peri masih sempat melirik isi tulisan di dalam daun-
daun kering itu. Matanya mendelik seakan-akan tak 
percaya akan isi surat wasiat itu. Tetapi Nyi Peri masih 
mencoba membacanya : 
"Rahasia kecantikan: Kecantikan mutlak adalah 
pancaran dari hati nurani yang suci bersih." 
Lalu di lembaran berikutnya tertulis kalimat: 
"Kelanggengan tahta: Kita adalah sebagian kecil 
dari masyarakat. Maka kita harus mendengar apa yang 
masyarakat katakan." 
Nyi Peri menahan nafas, tak terkatakan sakit 
penderitaannya sekarang. Ada penyesalan menyelinap 
ke dalam hatinya. Tetapi tampaknya semuanya sudah 
terlambat. Ia hanya bisa pasrah pada nasib. 
Saat itulah Setyatun tiba di rumah Nyi Peri. 
Wanita itu menatap Nyi Peri dengan mata berkaca-
kaca. Lalu dengan suara gemetar, ia berkata: 
"Ibu, semoga kau puas dengan hasil segala se-
pak terjang mu selama ini." 
Nyi Peri tersentak dan seperti mendapat kekua-
tan baru lagi untuk menegakkan kepala menatap Dewi 
Tatoo. Ia tampak sangat terkejut melihat sekujur tu-
buh wanita di hadapannya penuh rajahan. Dan dalam 
sinar matanya yang nanar, ia merasa kenal wajah itu. 
Tetapi ia belum dapat memastikannya. 
"Heh! Siapa kau? Kau... pasti kau yang mem-
bunuh Prawiro..." kata Nyi Peri tersendat-sendat, 
"Ya, memang akulah yang membunuh kekasih-
 
ku sendiri Prawiro. Itu adalah keputusan yang paling 
baik bagiku. Pada keyakinanku aku bukan membunuh 
Prawiro kekasihku, tetapi membunuh Prawiro yang 
sudah kotor jiwanya karena pengaruh kejahatan Ibu." 
Nyi Peri tersentak bukan main. Ditatapnya De-
wi Tatoo dari kepala hingga ke ujung kaki, hingga ak-
hirnya yakin dirinya bahwa wanita bertatoo itu bukan-
lah orang asing baginya. 
"Hah? Jadi... kau adalah... Setyatun?" "Betul, 
Bu! Pada detik-detik terakhir dari seluruh petualangan 
Ibu masih bisa mengenalku dalam wujud ku yang se-
karang. Memang akulah gadis Setyatun, anak angkat-
mu sendiri yang lima tahun lalu meninggalkan istana 
terkutuk ini karena patah hati kekasih direbut Ibu 
angkat yang sangat kuhormati," kata Dewi Tatoo sam-
bil mengucurkan air mata. 
"Oh, Setyatun anakku..." desis Nyi Peri hampir 
tak terdengar. Terbayang di benaknya petualangannya 
selama ini yang demikian tergila-gila kepada para jeja-
ka tampan. Saat itu Setyatun yang sejak usia remaja 
dipungutnya menjadi anak angkat dan sangat dis-
ayanginya seperti anak kandung sendiri dan hidup 
tenteram di istananya. 
Putrinya yang cantik jelita itu kemudian menja-
lin hubungan cinta dengan Prawiro, seorang jejaka 
tampan dan perkasa. Namun pada suatu hari, Nyi Peri 
yang ternyata memiliki kelainan jiwa selalu haus seks 
itu tidak dapat menahan diri. Ia seperti melupakan 
bahwa Prawiro adalah kekasih Setyatun. Maka berba-
gai cara pun ia tempuh untuk menundukkan Prawiro 
hingga pada suatu saat keduanya pun terlanjur mela-
kukan hubungan yang sebenarnya tidak pan-tas. Se-
suatu yang sangat ajaib! 
Sejak hari itu pula, keduanya pun semakin ser-
 
ing melakukannya bahkan sudah merasa terbiasa. Te-
tapi akhirnya Setyatun mengetahuinya. Tak terkatakan 
betapa hancurnya perasaan gadis itu. Ia tidak dapat 
menerima kenyataan pahit seperti itu. Maka ia pun se-
gera melarikan diri dan baru sekarang, setelah lima 
tahun berselang gadis itu muncul di hadapan Nyi Peri. 
"Aku tak bisa menolongmu dari kematian ini, 
Bu. Dan mati adalah jalan yang paling baik bagimu. 
Selama kau masih hidup di atas bumi ini, akan banyak 
Prawiro-Prawiro baru yang muncul sebagai gula-gula 
bagimu. Dan akan semakin banyak pula gadis yang 
patah hati karena perbuatanmu seperti diriku. Anak 
angkatmu sendiri kau perlakukan seperti itu, apalagi 
orang lain...." 
"Oh, Setyatun..." bisik Nyi Peri dengan nafas 
yang tinggal satu-satu. 
"Tapi ketahuilah, Bu. Karena ambisi mu untuk 
awet muda dan cantik kembali, kau telah melakukan 
kejahatan, pembunuhan yang sangat kejam. Padahal 
patung itu bukanlah patung Ratu Shima asli melain-
kan tiruan. Aku sendirilah yang membuatnya...." 
Mata Nyi Peri mendelik, lalu terpejam. Kepa-
lanya terkulai lemas. Terdengar oleh Setyatun nafas 
ibu angkatnya itu tiba-tiba hilang. 
Perlahan-lahan, Dewi Tatoo mengambil selem-
bar kain putih dari dalam kamar. Lalu sambil menutu-
pi jenazah Nyi Peri dengan kain itu, ia berkata: 
"Bukan aku, tapi Tuhanlah yang berhak meng-
hukum mu di alam baka nanti, Bu. Aku hanya bisa 
mengucapkan selamat jalan. Tidak seorang pun dapat 
meringankan tanggung jawab manusia di hadapan Tu-
han, selain dirinya sendiri. Aku tak tahu kenapa perja-
lanan hidup kita harus jadi begini. Sangat pahit, 
Bu...." 
 
Sebelum meninggalkan rumah itu, Setyatun 
masih sempat mengusap wajah Nyi Peri, dengan air 
mata yang masih tetap  bercucuran membasahi pipi, 
"Sekarang aku harus pergi, Bu. Selamat tinggal! Semo-
ga kenyataan pahit ini hanya tinggal kenangan bagi-
ku." 
Setelah itu, Dewi Tatoo melangkah keluar, lalu 
melesat bagaikan anak panah menuju lereng gunung 
Muria. Malam terus meluncur diiringi turunnya embun 
membasahi daun-daunan. Dari kejauhan, istana Nyi 
Peri tampak semakin angker dalam suasana sepinya 
malam. 
 
 TAMAT