Serial Si Tolol - Duka Lara Dewi Tatoo

 
Hari siang. Sinar matahari yang 
cerah namun agak lembut menyapu kota 
Jepara dan gunung Muria, menerobos 
daun-daun lombus sampai ke tanah. 
Dedaunan kering dan rumput-rumput 
ilalang yang mulai membusuk tampak 
berserakan. Pepohonan bergoyang-goyang 
bagaikan melambaikan salam berpisahan 
atau selamat datang. Terdengar desah 
angin, merangkai nada-nada dan mencip-
takan irama kedamaian serta keindahan. 
Di lereng gunung Muria, ada mata 
air membentuk kolam kecil, sejuk dan 
sangat jernih. Di sekeliling mata air 
itu ada batu-batu hitam, yang kecil 
dan besar. Berjejer dan terangkai 
erat, seperti lukisan alam yang tidak 
bisa diimbangi keindahannya oleh para 
seniman. Sepertinya Sang Maha Pencipta 
sengaja menyediakannya bagi mereka 
yang kehausan atau yang sedang kege-
rahan dan ingin menyejukkan badan. 
Di mata air itu sekarang ada 
sesosok tubuh telanjang, bentuknya 
bulat. Kepalanya botak licin, hanya di 
bagian depannya saja ditumbuhi rambut. 
Apakah itu jin air yang sedang mandi? 
Penduduk di sekitar lereng gunung 
Muria sudah lama percaya bahwa di sana 
memang ada makhluk halus. Siapa tahu 
jin itu sedang kepanasan lalu mandi. 

Tetapi tidak! Itu bukan jin,  
bukan makhluk halus, melainkan manusia 
biasa. Hanya bentuk tubuhnya saja yang 
terlihat lebih bulat dari yang lazim. 
Dialah si Tolol, yang tingkah lakunya 
sering mengundang bahan tertawaan 
serta cemoohan. Tetapi pada satu sisi, 
ia juga telah membuat kalangan 
pendekar di dunia persilatan gempar 
dan sangat penasaran. 
Bocah itu meloncat-loncat kegi-
rangan di dalam air. Sekali-sekali 
tangannya menepuk air hingga wajahnya 
terciprat. Suaranya yang nyaring men-
dendangkan lagu secara serampangan. Ia 
tampak sangat kegirangan, sehingga 
lupa keadaan di sekelilingnya. 
Si Tolol lupa bahwa ia baru saja 
mengalami hal-hal luar biasa yang bagi 
anak lain mungkin akan merupakan 
pengalaman tak terlupakan seumur 
hidup. Bahkan ia pun tak  ingat bahwa 
di balik bajunya ia menyimpan patung 
emas Ratu Shima, yang diperebutkan 
banyak  pendekar yang siap memper-
taruhkan nyawa. 

Patung  Ratu Shima dari kerajaan 
Kalingga pada pertengahan abad ketujuh 
konon menyimpan surat wasiat mengenai 
rahasia kelanggengan tahta dan rahasia 
kecantikan. Kabar itu menyebar ke 
delapan penjuru angin, sehingga yang 
datang ke Jepara dengan maksud mere-
butnya bukan saja hanya dari sekitar 
Pulau Jawa, namun juga dari negeri  
seberang, seperti dari Irak, Tiongkok 
dan Jepang. 

Demikian hebatnya rahasia yang 
terkandung di dalam patung ratu arif 
bijaksana itu, sehingga di gunung 
Muria sekarang terjadi semacam adu 
tanding  antara tokoh-tokoh silat. 
Padahal, seperti diceritakan dalam ki-
sah terdahulu, patung itu ditemukan si 
Tolol secara tidak sengaja. 
Patung emas itu dirampas dari 
tangan Si Tolol, kemudian berpindah 
dari tangan pendekar yang satu ke 
tangan pendekar lainnya. Saat terjadi 
pertarungan antara para tokoh silat, 
Si Tolol melarikan patung itu. Begi-
tulah terjadi beberapa kali. Terakhir 
adalah  pertarungan antara pendekar 
matahari terbit Gahito dengan jagoan 
Irak, Husein. 
Ketika kedua jago silat dari 
negeri asing itu  bertempur, Si Tolol 
melarikan diri. Patung Ratu Shima 
disembunyikan di balik bajunya. Ia 
berlari dan terus berlari di sekitar 
lereng gunung. Dan sewaktu ia kele-
lahan. Si Tolol mandi di mata air yang 
kebetulan di temukannya. 
Bocah dari Sumedang itu berjam-
jam mandi sambil bermain-main. Se-
yogyanya ia secepatnya melarikan diri 
agar lolos dari kejaran para pendekar. 
Tetapi karena sangat lemah dalam hal 
berpikir, ia menuruti saja kemauan  
badannya. 
Tanpa ia sadari, seorang lelaki 
sedang mengintainya dari balik 
pepohonan. Pria itu tampak tersenyum 
kegirangan, seperti seorang pemburu 
melihat perangkapnya berhasil menja-
ring binatang buruan, pria itu 
melangkah mengendap-endap ke dekat 
pakaian Si Tolol. 
Tepat ketika Si Tolol menyelam ke 
air,  Lelaki  yang tak lain tak bukan 
adalah Husein itu menarik pakaian di 
atas batu. Sejenak Pendekar asal Irak 
itu menutup hidung karena  pakaian Si 
Tolol sangat apek baunya. Namun 
kemudian, Husein tidak memperduli-
kannya lagi. Ia segera menyambar 
patung Ratu Shima sambil tertawa-tawa 
gembira. 
"Untuk kedua kalinya aku memegang 
patung ini.  Tapi sekarang tidak akan 
lepas dari tanganku," kata pria itu. 
Pada waktu lalu, pendekar Irak 
itu memang pernah memegang patung Ratu 
Shima Setelah  ia merampasnya dari 
tangan Nyi Peri, seorang nenek tua 
yang sangat sakti. Namun, Nyi Peri 
berhasil menyusulnya, sehingga terja-
dilah pertarungan dahsyat. Dalam adu 
kekuatan itulah patung Ratu Kalingga 
terlempar dan tepat jatuh ke kepala Si 
lolol. 
Tentu saja Husein sangat girang 
sekarang. Patung yang didambakan  
banyak sekali tokoh silat itu telah 
berada di tangannya. Tetapi pria 
bersorban  itu tidak segera melarikan 
diri. Ia bermaksud terlebih dahulu 
menyingkirkan Si Tolol. Karena menurut 
pikirannya, bagaimanapun juga, bocah 
botak itu tidak boleh dibiarkan hidup 
lagi karena kelak bisa menyulitkannya. 
Beberapa waktu lalu, secara 
sekilas Husein telah melihat bahwa Si 
Tolol  memiliki  kepandaian yang tidak 
boleh dipandang remeh. Hanya dalam 
sekejap, bocah itu telah lenyap. 
Berarti ia bisa berlari cepat sekali, 
dan orang yang tidak memiliki 
kesaktian tentu tidak akan bisa 
berbuat begitu. 
Maka Husein segera merogoh 
kantong bajunya, mengeluarkan botol 
berisi cairan racun yang sangat 
mematikan. Sambil menggenggam patung 
Ratu Shima dengan tangan kirinya,  ia 
menuangkan cairan itu ke dalam air. 
Racun itu bukanlah racun samba-
rangan, karena daya bunuhnya sangat 
cepat. Husein sengaja membawanya dari 
negerinya karena sewaktu-waktu bisa 
berguna baginya. Begitu dituangkan ke 
air, racun itu langsung menjalar dan 
larut di dalam air. 
"He he he! Kutunggu barang 
sebentar maka bocah itu kejang tak 
bernyawa. Racun ular cobra itu bahkan 
akan menguras semua makhluk hidup  
dalam air," Husein kembali bicara 
sendiri. 
Hanya beberapa saat kemudian, air 
di sekitar tempat itu tampak berbusa 
dan dari dalamnya  bermunculan ikan-
ikan yang menggelepar-gelepar melawan 
maut. Husein    makin girang sambil 
membayangkan  tak  lama lagi, tubuh Si 
Tolol akan mengambang pula. 
Tanpa ia sadari, Si Tolol 
sekarang telah berada di belakangnya, 
mengintip dari balik batang pohon. 
Tubuhnya masih basah dan telanjang. 
Tadi ketika sedang berendam dalam air, 
tiba-tiba Si Tolol mencium bau racun 
yang sangat jahat. Nalurinya yang 
sangat tajam segera berbisik bahwa ia 
terancam bahaya maut dan harus segera 
menyingkir. 
Kesaktian dahsyat yang tersem-
bunyi dalam tubuhnya segera bekerja 
secara otomatis. Hanya beberapa saat 
saja Husein lengah, ketika menatap 
patung Ratu Shima dengan perasaan 
penuh luapan kegembiraan, tubuh Si 
Tolol melesat bagaikan kilat dari 
dalam air. Demikian cepatnya gerakan 
bocah berkepala botak itu, sehingga 
Husein yang mempunyai kesaktian tinggi 
tidak sempat mendengarnya. 
Begitu  Si Tolol melihat Husein, 
ia menjadi terkejut dan ketakutan. 
Bocah itu memang sudah pernah bertemu 
dengan pendekar Irak itu, dan ia tahu  
Husein sangat menginginkan patung Ratu 
Shima yang di kiranya hanya boneka 
mainan saja. 
Celaka, orang itu lagi, kata hati 
Si Tolol khawatir. Sekilas ia melirik 
tumpukan pakaiannya, patung itu 
ternyata sudah diambi Husein. Bocah 
itu meringkuk saja di balik pepohonan, 
tidak tahu apa yang harus dilakukan. 
Husein sendiri makin terkejut 
karena tubuh Si Tolol belum juga 
muncul ke permukaan. Sedangkan semua 
isi air sudah terkuras dan mengambang. 
Apakah bocah itu masih bertahan di 
dalam air? Tetapi bagaimana bisa 
selama itu dan rasanya mustahil pula 
ada makhluk hidup yang mampu 
menyelamatkan diri dari racun itu. 
Sebagai tokoh silat yang kadang-
kadang memiliki sifat kejam, Husein 
sudah beberapa kali membuktikan 
keampuhan racun itu. Mungkin sudah 
puluhan jago silat yang mati oleh 
racun cobranya. Tetapi sekarang, bocah 
tolol itu belum juga muncul. 
Pasti ada yang tidak beres! 
Mendadak Husein mendengar  suara 
desah nafas tak jauh di belakangnya. 
Siapakah gerangan orang itu? Apakah Si 
Tolol yang telah keluar dari dalam air 
tanpa sepengetahuannya?  Rasanya tidak 
mungkin. Besar kemungkinan orang yang 
berada di belakangnya itu adalah 
pendekar yang juga sudah lama  
mengincar patung Ratu Shima. 

Husein segera bersiap-siap meng-
hadapi segala kemungkinan. Ia sudah 
siap mengadu nyawa untuk memper-
tahankan patung itu. 
Sementara Si Tolol masih me-
ringkuk dan mulai kedinginan. Anak itu 
hendak mengambil pakaiannya, tetapi 
karena sangat dekat Husein ia tidak 
berani. Aku pasti dibunuhnya, pikir 
anak itu gemetaran. Tapi patung itu, 
ia tidak boleh mengambilnya. Tidak 
boleh! Kata hati Si Tolol dan tanpa 
ragu-ragu segera keluar dari balik 
pohon. 
"Hait...!" Husein berteriak 
sambil membalikkan badan, siap 
melancarkan serangan mautnya. 
Namun mendadak ia menahan serang-
an, melihat orang di belakangnya 
adalah Si Tolol sendiri. Bocah itu 
segera meringkuk ketakutan sambil 
menutupi wajahnya dengan kedua tangan. 
"Ampun, Oom. Mau ambil celana 
doang...." kata bocah itu dengan suara 
gemetar. 
"Setan! Kau sudah ada disini?" 
bentak Husein terkejut. Ia hampir tak 
percaya pada  penglihatannnya sendiri. 
Tadi dengan jelas ia melihat bocah itu 
berada di air ketika ia menuangkan 
racun cobra. Kok sekarang sudah ada 
dibelakangnya? Jangan-jangan anak ini 
adalah siluman, pikir Husein geram. 
 
"Boleh diambil kan, Oom? Ini 
celana dari otoku yang jelek. Boleh 
kuambil ya, Oom? kata Si Tolol sambil 
merangkak di hadapan  Husein. Sambil 
mengambil pakaiannya, bocah berkepala 
botak itu melirik Husein dengan 
gemetaran. 
Melihat  itu, Husein jadi heran, 
dan bingung sendiri. Anak itu tampak 
sangat ketakutan, bukan  dibuat-buat. 
Kalau Si Tolol misalnya orang sakti, 
tentu tidak mungkin mau bersikap 
begitu, seolah-olah sedang menyembah-
nyembah. Di mana pun pendekar sama 
saja,  tidak akan mau bersikap 
sepengecut itu, kecuali misalnya jika 
nyawanya benar-benar terancam. Itu pun 
hanya sebagian saja, sedangkan yang 
lainnya akan memilih lebih baik mati 
daripada disuruh menyembah. 
Tapi sekarang yang masih tetap 
membuat Husein bingung adalah 
bagaimana bocah tolol itu 
menyelamatkan diri dari racunya dan 
bagaimana pula bisa secara tiba-tiba 
saja sudah ada di belakangnya. 
"Ambil  pakaianmu! Dan cepat 
pakai!" Bentak Husein dengan mata 
melotot. 
"Terimakasih, Oom. Tapi itunya, 
Oom.... .mu...." 
"Apa lagi, hah?" 
"Bonekanya jangan diambil, Oom." 
"Setan! Berani kau melawan aku,  
ya?" Husein menghentakkan kakinya ke 
tanah sekuat tenaga, hingga tempat itu 
terasa bergetar. Si Tolol makin 
ketakutan. Tetapi karena ia  sangat 
sayang akan patung emas itu, ia 
menjadi nekad. 
"Pokoknya tidak bisa diambil, 
Oom. Itu kan punya saya, Oom!" 
Husein terkejut juga melihat 
kenekatan Si Tolol. Bocah itu 
sepertinya tidak takut mati demi 
mempertahankan patung emas tersebut. 
Sejenak timbul niat jahat dalam hati 
pendekar Irak itu untuk menghabisi 
nyawa Si Tolol, sekali pukul, kepala 
bocah yang botak itu tentulah akan 
pecah dengan darah bercampur benak 
berserakan. Tapi anak itu sepertinya 
sangat patut dikasihani. Bagaimana 
mungkin ia sebagai seorang tokoh silat 
membunuh anak yang tidak apa-apa? 
Husein memutar otak sejenak 
sambil menatap Si Tolol. Saat itulah 
ia melihat sepotong kayu bekas ranting 
patah tergeletak di dekat kaki Si 
Tolol. Maka sekarang, yang timbul 
dalam benak Husein adalah memperdayai 
anak itu tanpa berbuat kekerasan. 
Tanpa sepengetahuan Si Tolol, 
pendekar Irak itu memasukkan patung 
Ratu Shima ke balik bajunya. Setelah 
mulutnya komat-kamit sejenak, Husein 
berkata: 
"Heh, anak tolol! Aku tak perlu  
bonekamu yang jelek itu. Kau pikir itu 
ada gunanya? Dasar anak tolol." 
Lalu  ia mengarahkan tangan 
kanannya dengan jari-jari mengembang 
ke arah sepotong kayu itu jadi patung 
Ratu Shima. 
"Nah, ambillah bonekamu. Jangan 
kau pikir aku  mau mengambilnya. 
Selamat menimang-nimang bonekamu itu, 
tolol!" 
"Terima  kasih, Oom!" kata Si 
Tolol dengan wajah  berseri-seri. Ia 
segera mengambil patung itu dan 
mendekapnya seperti seorang ibu 
memeluk anak kesayangannya. 
"Selamat tinggal, anak tolol!" 
kata  Husein sambil meloncat 
meninggalkan tempat itu. Tubuhnya 
berkelebat dan dalam sekejap 
Setelah  lenyap dari pandangan Si 
Tolol. 
Lelaki itu sangat girang, karena 
patung  Ratu  Shima telah berada di 
tangannya. Ia telah  bertekad akan 
meninggalkan Jepara secepat mungkin 
untuk kembali ke negerinya. Maka ia 
pun segera mempercepat larinya menuju 
ke arah pantai. 
Ketika Husein pergi dari tempat 
itu, seorang pemuda melangkah ke arah 
Si Tolol tadi mandi. Lelaki itu masih 
muda, berusia sekitar dua puluh lima 
tahun. Tubuhnya tegap    namun tidak 
terlalu gemuk . Ia tidak mengenakan  
baju, sehingga otot-ototnya yang 
berisi  tampak berkilau-kilau ditimpa 
sinar mentari. Wajahnya bersih dan 
tampan pula, sehingga ia tampak sangat 
menarik  sekali sebagai   seorang 
lelaki. 
Melihat alat-alat berupa pisau, 
pahat  dan    golok yang tergantung di 
pinggangnya,  dapat  diterka bahwa ia 
pasti seorang tukang ukir. 
Kenyataannya memang begitu. Jaka, 
demikian  nama lelaki itu. Sekalipun 
usianya masih tergolong muda, namun di 
daerah Jepara namanya sudah  cukup 
terkenal sebagai seorang ahli ukir 
kayu. 
Darah  seni ukir memang mengalir 
ditubuhnya. Dan  bakat yang menonjol 
itu dibina serta  dikembangkan, 
sehingga kedua tangannya selalu mela-
hirkan karya-karya seni yang menga-
gumkan. Tidaklah mengherankan, jika di 
sekitar daerah Jepara ia mempunyai 
hubungan baik dengan orang-orang kaya 
yang sering memesan ukiran. 
Selama ini, Jaka menjalin 
kerjasama dengan Pak Cokro, lelaki tua 
di desanya yang  juga sangat terkenal 
sebagai ahli ukir. Kerumah orang tua 
itulah Jaka saban hari pergi  untuk 
mengerjakan ukiran kayu pesana orang. 

Tetapi siang itu, Jaka bangun 
terlambat, sehingga langkahnya menjadi 
terburu-buru. Karena kebetulan pula  
Raden Bei Kiduling Pasar, orang kaya 
di desa mereka, memesan ukiran yang 
pengerjaannya secepat mungkin. Rumah 
Jaka dan Pak Cokro cukup berjauhan dan 
setiap hari, Jaka harus melewati 
daerah tempat Si Tolol tadi mandi 
kalau hendak ke rumah orang tua itu. 
Ada penyesalan terpancar di wajah 
tampan itu karena keterlambatannya. 
Namun ketika hendak mempercepat 
langkahnya, mendadak ia mendengar 
suara seseorang menangis sesunggukkan. 
Tanpa pikir panjang, Jaka segera 
berlari kearah suara itu. Pemuda itu 
kembali terkejut menyaksikan seorang 
lelaki berkepala botak dalam keadaan 
telanjang bulat sedang menangis sambil 
menutupi wajahnya dengan kedua tangan. 
Itulah dia Si Tolol! Ternyata 
hanya  beberapa saat setelah Husein 
pergi, boneka yang dipegangnya berubah 
jadi sepotong kayu kering. Pengaruh 
sihir Husein telah sirna, Sehingga Si 
Tolol sangat kecewa. Sambil duduk 
bersila, bocah itu meratapi sepotong 
kayu di hadapannya. Ia sungguh tidak 
perduli  akan keadaan dirinya yang 
sedang telanjang. 
"Hu... u... u! Bonekaku, 
bonekaku...." Kata Si Tolol di sela-
sela isak tangisnya yang sangat 
memilukan. 
Melihat itu, menjadi iba jugalah 
hati Jaka. Dihampirinya anak itu. Lalu  
sambil menepuk-nepuk bahu Si Tolol, ia 
berkata dengan nada membujuk: 
"Hei,  kowe cah endi? Kena opo 
kowe nangis ning kene iki? Cep meneng 
lan jawabno," bujuknya dalam bahasa 
Jawa. 
Si Tolol yang anak Sumedang itu 
tentu saja tidak mengerti maksudnya. 
Ia terus saja menangis dengan air mata 
bercucuran membasahi wajahnya yang 
selalu memancarkan ketololan itu. 
"Ng... eta.... eta boneka...." Si 
Tolol tidak bisa meneruskan ucapannya, 
karena masih sangat sedih. 
Jaka tertegun mendengar kata-kata 
Si  Tolol yang diucapkan dengan logat 
Sundaj kental. Rupanya anak ini bukan 
orang sini pasti sedang kesasar, pikir 
Jaka. 
"Oh,  aku tahu sekarang. Rupanya 
kau  anak Sunda yang nyasar ke daerah 
ini. Aku I sedikit mengerti  bahasa 
Sunda. Siapakah namamu?" 
Si Tolol menyeka air matanya, 
lalu menggeleng-gelengkan kepala. 
"Siapakah namamu?" tanya Jaka 
lagi. 
"Aku tak  tahu, tak ingat lagi. 
Orang memanggilku Si Tolol," ujar Si 
Tolol tersendat-sendat. 
"Ah, baiklah. Barangkali kau 
masih  enggan menyebut namamu. Kalau 
kau tidak punya sanak famili di sini 
dan kalau kau mau, boleh ikut aku  
saja, Tong. Tapi kenapa tadi kau 
menangis? Apa yang terjadi padamu? 
Apakah kau disakiti orang?" 
"Bonekaku. Bonekaku berubah jadi 
kayu. Tadinya boneka bagus, sekarang 
kok jadi kayu jelek begini? Aku heran, 
aku  heran. Aku ingin bonekaku itu 
kembali. Harus kembali...." Setelah 
berkata demikian, Si Tolol kembali 
menangis sejadi-jadinya. 
Jaka mengusap-usap kepala Si 
Tolol. Telapak tangannya sedikit 
terasa geli karena kepala itu tidak 
ditumbuhi rambut. 
"Nah, kalau cuma masalah boneka, 
kau tak perlu terlalu sedih. Aku akan 
membuatkan kau sebuah boneka yang jauh 
lebih bagus lagi. Percayalah dan 
hapuslah air matamu. Kau kan sudah 
besar, malu kalau menangis. Nanti 
dilihat orang." 
"Tapi boneka itu...." 
"Sudahlah, Tong!"  sela Jaka 
cepat, "Jangan sedih  lagi. Pakailah 
baju dan celanamu. Aku akan bikin 
boneka yang bagus sekali untukmu. Aku 
adalah ahli ukir yang terkenal di 
Jepara ini. Patung yang paling rumit 
pun bisa kukerjakan. Ayo, hari sudah 
siang. Mari  kita berangkat, pakailah 
pakaianmu." 
Rupanya Jaka sangat kasihan 
melihat Si Tolol. Agaknya anak ini 
mengalami gangguan jiwa, sehingga  
sikapnya jadi tolol begitu, pikir 
Jaka. Ia lihat usia Si Tolol sebe-
narnya sudah beranjak remaja. Tetapi 
sikap dan tingkah lakunya masih saja 
seperti anak ingusan. 
“Tapi Akang janji, ya? Bikinin 
boneka bagus buat aku?" kata Si Tolol 
memelas. 
"Ya, Akang janji. Kau tak perlu 
khawatir, Aku akan segera membuat-
kannya untukmu  Ayo, cepatlah kau 
berpakaian!" 
Mendengar itu, hati Si Tolol agak 
terhi| bur juga. Ia segera mengenakan 
pakaiannya. Setelah itu, keduanya pun 
meninggalkan  tempat itu. Sambil ber-
jalan, Jaka banyak  mengajukan  per-
tanyaan tentang diri Si Tolol. Tetapi 
lelaki berkepala botak itu tidak mau 
menjawabnya. Ia hanya mengatakan 
keinginannya  memiliki boneka bagus, 
seperti yang pernah dipegangnya. Jaka 
memaklumi sikap Si Tolol. Ia menyadari 
bahwa anak itu sekarang masih sangat 
terpukul karena kehilangan patung yang 
sangat disayangi. 
 
*** 
 
 
Sementara itu, Husein semakin 
jauh meninggalkan lereng gunung itu. 
Wajahnya borseri-seri. Saking girang- 
nya, ia mengambil patung Ratu Kalingga 
dari balik bajunya, lalu memegangnya 
sambil berlari sekencang-kencangnya. 
Keberhasilannya memperdayai Si 
Tolol dengan ilmu sihirnya membuatnya 
sangat girang. Rasakan kau, bocah 
tolol. Kau pikir kau bisa membodoh-
bodohi aku? Kaulah yang kubodoh-bodohi 
dengan ilmu sihirku, pikirnya senang. 
Ketika sedang berlari kencang, 
tiba-tiba sebuah ikat pinggang 
membelit kaki kiri Husein,  kemudian 
ditarik kencang. Tanpa ampun lagi, 
tubuh pendekar bersorban itu ter-
banting keras ke tanah menimbulkan 
suara bergedebuk. 
"Aduh!" teriak Husein kesakitan. 
Ketika ia membalikkan badan, tampaklah 
olehnya Mat Caplang  telah berdiri di 
dekatnya. Ternyata pendekar Betawi 
itulah yang menjerat kakinya hingga 
terjatuh. Mat Caplang tampak tersenyum 
sinis sambil menatap Husein dengan 
pandangan buas. 
"Bangsat! Kau lagi!" bentak 
Husein geram. Ia segera menghentakkan 
kakinya, sehingga ikat pinggang yang 
membelit kakinya terlepas. 
"Ya, gue. Lu pasti masih ingat 
gue, kan? Lu kayaknya girang banget 
tadi. Jangan lu kira bisa selamat dari 
tangan gue." 
Husein segera pasang kuda-kuda 
sambil memasukkan patung emas itu ke  
dalam kantong bajunya yang berupa 
jubah itu. Tangan kanannya kemudian 
menarik lembaran permadani merah yang 
diselipkan di pinggangnya.  
Permadani itu adalah senjata 
andalan Husein. Ia tidak seperti 
pendekar lainnya memegang senjata 
tajam. Namun sebagai tokoh yang 
memiliki kesaktian tinggi, lembaran 
permadani itu bisa berubah jadi 
senjata yang  sangat berbahaya dan 
sangat baik pula untuk pertahanan 
diri. Dengan menyalurkan tenaga 
dalamnya yang sangat kuat, permadani 
itu bisa berubah jadi kaku dan keras, 
hingga sekali pukul, kepala lawan bisa 
hancur berantakan. Sebaliknya juga 
bisa lemas sekali  untuk membelit 
senjata maupun tubuh lawan. 
Selain memiliki jurus-jurus ilmu 
silat yang sangat tinggi, Husein juga 
menguasai ilmu sihir yang bisa membuat 
lawan nyaris celaka karena ilmu sihir 
Husein. 
Beberapa waktu lalu, Husein sudah 
pernah  adu  kekuatan dengan Mat 
Caplang. Keduanya terlibat pertarungan 
yang sangat dahsyat dan menghabiskan 
berpuluh-puluh jurus. Akan tetapi 
setelah bertarung cukup lama, Husein 
mulai terdesak dan nyaris kehilangan 
nyawa di ujung golok Mat Caplang. Saat 
itulah Husein menggunakan ilmu 
sihirnya, yang ternyata dengan mudah  
dapat diatasi lawan. Karena di antara 
mereka saat itu memang tidak ada 
persoalan apa-apa, artinya  hanya 
karena kebetulan saja sama-sama 
mencari patung Ratu Shima, pertarungan 
pun tidak dilanjutkan. 
Kalau  tidak, besar kemungkinan 
pendekar Irak itu akan luka-luka atau 
bahkan aka tewas di  tangan Mat 
Caplang. Sekarang mngetahui lawan yang 
mencegatnya adalah Mat Caplang, diam-
diam Husein khawatir  juga. Memang, 
bagaimanapun juga, Mat Caplang tidak 
mungkin dengan mudah mengalahkannya. 
Paling sedikit akan menghabiskan waktu 
berjam-jam lamanya. Itu masih 
perkiraan dari segi yang paling buruk, 
karena pada prinsipnya Husein masih 
mempunyai keyakinan bahwa ia pun tidak 
mustahil dapat merobohkan Mat Caplang. 
Akan tetapi persoalannya bukan 
hanya itu. Husein  justru khawatir 
kalau ia bertarung dengan Mat Caplang, 
pendekar lainnya akan tiba di tempat 
itu.  Peluangnya untuk mempertahankan 
patung Ratu Shima akan semakin tipis. 
Maka ia pun berpikir, dalam keadaaan 
seperti itu, ia harus bisa melarikan 
diri secepat mungkin. 
Ketika Mat Caplang tertawa 
ngakak, Husein segera menerjangnya 
dengan serangan dahsyat. Permadani di 
tangannya diputar sedemikian rupa 
sehingga untuk beberapa saat pandangan  
mata Mat Caplang terhalang. Beberapa 
saat kemudian, tangan kirinya 
menyambar dahsyat ke arah ulu hati 
lawan. 
Serangan yang sangat mendadak dan 
berbahaya. Menurut perkiraan Husein, 
lawannya pasti terdesak beberapa saat 
atau  tidak  mustahil akan terkena 
hantamannya. Nah, di saat Mat Caplang 
keteter nanti, Husein    akan segera 
meloncat melarikan diri. 
Itulah siasat buruk yang ada 
dalam hati Husein. Namun kali ini, 
perkiraannya agak meleset. Karena 
ternyata, walaupun tertawa    Mat 
Caplang tetap waspada. Mendapat 
serangan yang sangat mendadak seperti 
itu, ia  bukannya mundur seperti yang 
diperkirakan  Husein, tetapi malah 
maju. la sengaja membiarkan  sambaran 
permadani lawan, karena ia tahu itu 
hanya sekadar pancingan menghalangi 
pandangan matanya. Tepat ketika tangan 
kiri Husein menyambar, Mat Caplang 
menepisnya dengan tangan kiri pula dan 
pada saat yang hampir bersamaan, 
goloknya meluncur dengan kecepatan 
kilat ini menembus permadani lawan. 
"Akh...!" Husein berseru kaget, 
karena u|ung golok lawan hampir saja 
menembus  lehernya. Buru-buru ia 
meloncat mundur  dengan wajah berubah 
agak pucat. 
"Ha-ha-ha......jangan kira kau  
dapat merobohkan  aku dengan serangan 
seperti itu," kata Mat Caplang dengan 
suara agak terpatah-patah, karena 
selama ini sudah sangat terbiasa 
berbicara dengan logat Betawinya. 
"Bangsat! Kau pun jangan besar 
kepala dulu. Nyawamu sekarang berada 
di tanganku. Kalau kau ingin selamat, 
cepat tinggalkan tempat  ini!" bentak 
Husein sambil berusaha menekan rasa 
gentar dalam hatinya. 
"Wah, lu berani ya ngomong 
begitu? Akulah yang seharusnya bicara 
begitu. Kalau lu mau pulang berikut 
nyawa, cepat se-rahkan patung itu. 
Atau akan kukuliti tubuhmu yang jelek 
itu!" 
"Jangan banyak bacot, bangsat!" 
Husein kembali menerjang Mat Caplang. 
Kali ini, ia mulai berhati-hati, 
karena tak ingin peristiwa seperti 
tadi terulang kembali. Sewaktu ia 
melayang di udara, permadani di 
tangannya diputar cepat sekali 
menimbulkan putaran angin seperti 
puting beliung. Kaki dan tangan 
kirinya juga telah dipersiapkan untuk 
mengirimkan pukulan dan tendangan 
maut. 
Setelah berada dalam jarak 
jangkauan, permadani itu menyambar 
kepala Mat Caplang, menyusul tendangan 
kaki kiri ke arah dada. Mat Caplang 
tersenyum sinis seolah-olah  sangat  
menganggap remeh terhadap serangan 
lawan. Dengan gerakan yang sangat 
cepat  ia melemparkan goloknya ke 
udara.  Namun    secepat kilat ia ber-
kelit ke samping sehingga  sambaran 
permadani lawan hanya mengenai angin, 
sedangkan tendangan kaki kiri Husein 
ditangkisnya dengan tangan kanannya. 
Dengan gerakan kilat, pendekar Betawi 
ini memutar badan, lalu menghantam 
punggung Husein dengan tangan kiri. 
"Buk!" Gerakan Mat Caplang yang 
sangat cepat dan tak terduga-duga 
membuat Husein tidak sempat mengelak. 
Punggungnya dengan telak dihantam, 
membuatnya terdorong mundur. 
Tepat ketika ia mendaratkan 
kakinya di tanah, Mat Caplang me-
nangkap goloknya dengan dua jari 
tangannya. Sungguh merupakan gerakan 
yang sangat cepat, jitu dan indah. 
Diam-diam Husein harus mengaku kagum 
melihat gerakan lawan. Dari situ dapat 
dibayangkan betapa cepat dan tepatnya 
gerakan Mat Caplang. Padahal golok itu 
ia lemparkan ke atas hanya sekitar 
empat meter. Tetapi waktu yang sangat 
singkat itu telah digunakan Mat 
Caplang melakukan tiga gerakan 
mengelak dan menyerang. 
Sebelum Husein sempat mengatur 
kuda-kuda, Mat Caplang sudah mener-
jangnya kembali. Tubuhnya melayang 
dengan posisi tegak lurus sehingga  
mirip patung manusia yang dilemparkan. 
Namun sewaktu sudah dekat ke tubuh 
lawan, hampir secara berbarengan Mat 
Caplang menggerakkan kedua tangan dan 
kedua kakinya. 
Kembali Husein dibuat sangat 
terkejut. Ia memutar permadaninya 
sambil berkelit ke kiri dan ke kanan. 
Namun tendangan kaki kanan lawan tetap 
saja menghantam bagian pinggangnya. 
Akibatnya, tubuh pendekar Irak itu 
terdorong jauh ke belakang. Sedangkan 
patung Ratu Shima telah terlempar dari 
saku jubahnya. 
Melihat  patung itu menggelinding 
di tanah, Husein segera menerkamnya 
tanpa perduli akan keselamatannya. 
Tetapi rupanya. Mat Caplang pun segera 
lupa diri setelah melihat patung itu. 
Apalagi saat melihat Husein menerkam-
nya. Ia pun tak mau terlambat dan 
segera berbuat hal yang sama. 
Demikianlah kalau hati benar-
benar sudah terpaut kepada suatu 
benda, seseorang bisa lupa suatu 
tindak terbaik yang seharusnya ia 
lakukan. Seperti Mat Caplang misalnya, 
jika ia bisa  berpikir tenang, ia pun 
tentu tidak akan ikut-ikutan menerkam 
patung  Ratu Shima. Ia bisa 
memanfaatkan kesempatan  itu untuk 
melancarkan serangan mautnya yang 
hampir dapat dipastikan tidak  akan 
dapat dielakkan Husein, karena  
perhatian lawannya itu benar-benar 
terpaut kepada patung emas. Tetapi 
sayang, pendekar Betawi itu pun tidak 
dapat menguasai diri. 
Kedua pendekar itu pun bergulat 
di tanah, sambil berusaha saling 
mendahului meraih patung Ratu Shima. 
Tubuh Husein berada di bawah, 
tertindih tubuh Mat Caplang. Tetapi 
pendekar Irak itu tetap saja kurang 
menyadari bahwa ia sedang bertarung 
dengan lawan tangguh. 
Lain halnya dengan Mat Caplang, 
yang rupanya segera menyadari 
ketololannya. Sewaktu melihat tubuh 
Husein dengan posisi menelungkup 
berada di bawahnya, ia menjadi girang. 
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia 
menghantam punggung Husein. 
"Waakh...!" Husein menjerit. 
Seisi dadanya terasa terguncang karena 
kuatnya pukulan itu. 
Sehabis menjerit, dari mulutnya 
tersembur darah segar bercampur darah 
kental kehitam-hitaman, pertanda bahwa 
ia telam menderita luka dalam yang 
cukup parah. 
Setelah menggodam punggung lawan 
Mat Caplang berhasil melampaui lomba 
itu.  Tubuhnya merangsek dengan posisi 
merangkak, siap meraih patung Ratu 
Shima. 
Tetapi ketika pendekar Betawi itu 
baru saja memegang patung Ratu Shima,  
tiba-tiba sebuah kaki menginjak tangan 
kanannya dengan sangat kuatnya, se-
hingga tangannya menjadi remuk 
berlumuran darah. Mat Caplang menjerti 
kesakitan sambil menarik tangannya. 
Ketika ia mengangkat wajah, matanya 
terbelalak hingga kelihatan seperti 
hendak meloncat keluar. Saking 
terkejutnya, ia menjadi lupa akan rasa 
nyeri di tangannya. 
Di hadapannya kini berdiri 
seorang gadis cantik dengan rambut 
terurai panjang. Tetapi bukan 
kecantikan wanita itu yang membuat Mat 
Caplang bagaikan terpukau, melainkan 
karena tubuhnya yang telanjang bulat, 
tanpa sehelai benang pun menutupinya. 
Anehnya lagi, sekujur tubuh itu 
dihiasi tatto (rajahan) dengan kombi-
nasi warna yang sangat kontras, berupa 
garis-garis yang  dibuat melingkar-
lingkar. 
Seperti tidak sadar, Mat Caplang 
melirik selangkangan wanita itu. 
Astaga! Kemaluannya pun dihiasi tatto 
pula, demikian pula  sepasang payuda-
ranya yang montok. Wanita bertatto itu 
mengait patung Ratu Shima dengan kaki 
kirinya, kemudian menendangnya hingga 
melayang ke tangan kanannya. 
Husein pun terpana, bahkan sempat 
mengira  dirinya sedang bermimpi. 
Seumur hidup, ia belum pemah melihat 
wanita seperti yang ada di hadapannya  
sekarang. Jangan-jangan ini setan, 
pikirnya. Tetapi sebagai orang yang 
berpengalaman dan bahkan menguasai 
ilmu  hitam pula, ia segera dapat 
memastikan bahwa wanita itu adalah 
manusia biasa. 
Tanpa sadar, mulut Mat Caplang 
dan Husein ternganga menyaksikan 
lekuk-lekuk tubuh yang sangat indah 
itu. Bagaimanapun juga, kedua pendekar 
itu adalah laki-laki biasa, yang 
sedikitnya pasti terpengaruh melihat 
tubuh wanita yang sangat cantik dalam 
keadaan bugil. Dan kedua, kedatangan 
wanita bertatto itu pun sangat tiba-
tiba, bagaikan angin saja, mendadak 
sudah ada di hadapan mereka. 
Siapakah sebenarnya wanita ber-
tatto    itu? Pembaca  tentunya masih 
ingat pada kisah terdahulu tentang 
seorang gadis yang tubuhnya telanjang 
bulat, penuh tatto. Itulah dia 
Setyatun, tokoh kedua yang merebut 
patung Ratu Shima. 
Seperti telah diceritakan sebe-
lumnya, patung Ratu Shima ditemukan Si 
Tolol, ketika  bocah  berkepala botak 
itu hendak melubangi bumi yang melalui 
mimpinya diketahui berbentuk bulat. 
Tapi patung emas itu kemudian dirampas 
Prawiro. Sewaktu hendak melarikan 
diri, lelaki itu dicegat Setyatun dan 
dalam satu gebrakan saja maka tamatlah 
riwayatnya. Namun rupanya, wanita  
bertatto itu belum bernasib mujur, 
karena tanpa disengaja patung emas 
Ratu Shima jatuh ke tangan Raden Bei 
Kiduling Pasar. 
Sejak kehilangan patung itu, 
Setyatun yang kelak akan terkenal 
dengan julukan Dewi Tatto, berkelana 
di segenap lereng gunung Muria. Dengan 
kesaktiannya yang sangat tinggi, ia 
berkelebatan ke sana ke mari untuk 
mencari orang yang melarikan patung 
Ratu Shima. 
Tadi ketika sedang berlari-lari, 
ia mendengar suara orang berkelahi. 
Setyatun segera meloncat ke arah suara 
itu. Alangkah gembiranya hati wanita 
itu melihat dua pendekar sedang 
bergulat memperebutkan patung Ratu 
Kalingga. Tetapi menjadi cemas, 
melihat salah seorang di antaranya 
sudah hampir berhasil mengambil patung 
itu. Maka tanpa berpikir panjang lagi, 
Setyatun segera meloncat bagaikan 
terbang dan langsung menginjak tangan 
Mat Caplang. 
"Patung Ratu Shima ini lebih aman 
jika berada di tanganku. Kalau kalian 
semua bermaksud memilikinya, aku 
justru hendak memusnahkannya. Persetan 
dengan barang ini!" kata  Setyatun 
sambil menatap Mat Caplang dan Husein 
bergantian. 
"Kau.... Siapa kau...?" tanya Mat 
Caplang tergagap-gagap.  
"Huh, lelaki busuk seperti kalian 
tak perlu mengetahui siapa aku. Tetapi 
sekali lagi kuperingatkan, kalian 
jangan coba-coba berusaha merebut 
patung ini kembali kalau kalian masih 
sayang nyawa. Sekali kalian muncul di 
hadapanku, maka saat itu juga kalian 
akan  masuk kubur. Nah, selamat 
tinggal!" Sehabis berkata begitu, 
tubuh wanita bertatto itu melesat 
bagaikan anak panah dan hanya dalam 
sekejap saja sudah lenyap dari 
pandangan mata Husein dan Mat Caplang. 
"Setan mana lagi dia?" tanya 
Husein  sambil bangkit berdiri. 
Wajahnya tampak  masih pucat, karena 
luka dalam yang dideritanya akibat 
pukulan Mat Caplang tadi. 
"Dia bukan setan! Kaulah setan!" 
"Luar biasa! Cantik tapi 
telanjang bulat Sekujur tubuhnya penuh 
tatto dan ilmunya  pun tinggi. Entah 
siapa sebenarnya wanita  itu," kata 
Husein tanpa memperdulikan makian Mat 
Caplang. 
"Dialah Dewi Tatto, kalau lu 
pengen tahu," tukas Mat Caplang 
seolah-olah  sudah kenal baik dengan 
Setyatun. 
"Oh, jadi kau sudah pernah ketemu 
dengannya?" 
"Ah, diam lu! Gara-gara lu gue 
kagak jadi ngambil itu patung. Gue 
embat juga jidat lu, sialan!"  
"Jangan kira hanya kau saja yang 
merasa kehilangan. Bukankah tadi aku 
yang duluan membawanya?" 
"Nasib kita hari ini memang sial." 
"Kalau begitu selamat berpisah, 
kawan. Barangkali nasib kita memang 
lagi apes. Tapi suatu saat nanti 
mungkin nasibku akan lebih mujur" 
"Heh, gue bilang sama lu ye! 
Sekali lagi ketemu ame gue,  jangan 
harap  masih bisa hidup. Gue kagak 
bakal kasihan ame lu. Tapi ntar...." 
Mat Caplang tidak meneruskan 
ucapannya, karena Husein sudah me-
loncat pergi dari tempat itu. Mat 
Caplang pun segera meloncat, melesat 
cepat ke arah yang berlawanan. 
 
* * * 
 
 
Sementara  itu, Jaka dan Si Tolol 
sudah sampai di rumah Pak Cokro. 
Lelaki tua itu menghentikan pekerja-
annya, ketika Jaka menghampirinya. Ia 
mengerutkan kening, sehingga kerut 
merut di dahinya tampak semakin nyata. 
Di wajah yang sudah tua itu 
terpancar sedikit rasa kecewa karena 
Jaka datang terlambat. Dan itu ter-
bukti pula dengan kata-katanya yang 
bernada teguran.  
"Habis dari mana kau, Jaka? Gini 
hari baru datang?" 
Jaka tersenyum untuk menutupi 
rasa tak enak di hatinya. Memang ke-
marin orang tua itu sudah berulangkali 
mengatakan agar Jaka datang lebih 
cepat, karena ada pekerjaan penting 
yang harus diselesaikan. Tetapi se-
karang, Jaka justru datang terlambat. 
"Maafkan, aku terlambat datang, 
Ki. Aku bangun kesiangan," ujar Jaka 
terus terang. 
"Kau bawa  bocah, siapa dia?" 
tanya Pak Cokro sambil menatap Si 
Tolol dalam-dalam. 
"Dia seorang anak yang tidak 
punya Sanak famili, Ki. Aku 
menemukannya ketika sedang menuju ke 
sini. Katanya dia kesasar sampai ke 
sini. Untuk sementara, biarlah ia 
kuajak berteduh di rumahku." 
"Baiklah kalau begitu. Tapi lain 
kali kau jangan terlambat lagi, 
terutama kalau ada pesanan penting. 
Ndoro Bei sudah berkali-kali datang 
kemari menanyakan pesanannya." 
"Terimakasih, Ki! Barang pesanan 
itu sebenarnya sudah hampir selesai. 
Tinggal dibikin halus saja." 
Selama kedua orang berbicara, Si 
Tolol tak henti-hentinya menatap wajah 
Pak Cokro. Menurut penilaian anak itu, 
Pak Cokro termasuk kakek galak. 
Tubuhnya agak kurus, sedangkan jenggot  
dan kumisnya yang dibiarkan tumbuh 
panjang dan agak liar sudah semuanya 
memutih. Akan tetapi, naluri Si Tolol 
yang sangat tajam membisikkan  bahwa 
orang tua itu bukan orang jahat, se-
perti para pendekar yang selalu 
berusaha merebut patungnya. 
"Barangkali kalian sudah lapar.”  
ujar Pak Cokro, "Sebaiknya kau ajak 
temanmu itu makan." Lalu kepada 
putrinya  Ronahyatun untuk menyediakan 
makanan untuk Jaka dan Si Tolol. 
"Baik, Romo!" terdengar sahutan 
seorang gadis dari dapur. 
"Nah, Jaka. Kebetulan masih ada 
nasi untuk kalian. Makanlah dulu 
sebelum kerja." 
"Terimakasih, Ki!" 
Jaka menarik tangan Si Tolol 
masuk ke dapur. Sementara Ronahyatun 
menyediakan nasi. Jemari tangan gadis 
itu dengan lincah dan cekatan 
bergerak. Diam-diam Si Tolol menelan 
air liur melihat gadis itu sedang 
menyediakan makanan. 
Dalam pandangan mata Si Tolol, 
Ronahyatun merupakan gadis baik dan 
cantik jelita. Kulitnya kuning lang-
sat, sedangkan wajahnya yang berbentuk 
bulat telur itu tampak bersih dan 
jernih. Sepasang matanya bening dan 
selalu bersinar-sinar, mencerminkan 
sikap yang tabah dan keoptimisan dalam 
menghadapi perjalanan hidup. Rambutnya  
yang hitam panjang dan agak 
bergelombang jatuh berderai-derai 
sampai ke puncak, menambah daya 
tarikhya sebagai seorang gadis. Dari 
penampilannya yang sederhana tercip-
talah suatu pesona yang sukar 
dilukiskan, tetapi mudah dirasakan. 
Melihat  kedatangan Jaka tadi, 
Ronahyatun menjadi gembira. Hatinya 
terasa berbunga-bunga. Tadi ia sudah 
cukup lama menunggu kedatangan Jaka. 
Dan ketika hari sudah hampir siang, 
dalam hatinya pun timbul kerisauan 
bercampur rindu, karena mengira pemuda 
itu tidak akan datang hari itu. 
Sebetulnya Ronahyatun dan Jaka 
sudah lama saling menjalin hubungan 
cinta. Rasa cinta itu  tumbuh dan 
berkembang tanpa disadari, bagaikan 
kuncup bunga yang makin lama makin 
mekar. Pertamanya, kedua insan itu 
menganggap sesamanya adalah teman. 
Tetapi ketika hubungan mereka makin 
akrab, karena Jaka memang setiap hari 
ke rumah Pak Cokro, timbullah perasaan 
aneh, yang selama ini belum pernah 
dirasakan. 
Mula-mula, Ronahyatun merasa 
senang dan kagum kepada Jaka, begitu 
pula sebaliknya. Tetapi setelah itu, 
terciptalah perasaan aneh dalam hati 
kedua remaja itu. Ada perasaan sungkan 
dan malu jika mereka bertatapan atau 
berdekatan. Tetapi anehnya, keduanya  
selalu saja ingin beradu pandang 
setiap saat. Dan kalau kebetulan sinar 
mata mereka bertubrukan, maka bagaikan 
sedang menatap matahari di siang 
bolong, keduanya segera menunduk, atau 
mengalihkan pandangan matanya. 
Jauh di lubuk hati Ronahyatun ada 
gejolak perasaan ingin mengungkapkan 
perasaan aneh itu. Tetapi ia tak 
pernah berani. Pada sisi lain, Jaka 
pun merasa demikian. Bahkan kemudian, 
ia semakin sering merasa tak tahu 
harus mengatakan apa kepada Ro-
nahyatun. 
Pemuda itu mulai menyadari bahwa 
kedalam hatinya telah menyusup racun 
yang selama ini belum pernah 
bersentuhan dengannya.  Racun itu 
sering membuatnya termenung, sering 
membuatnya resah, sering membuatnya 
gugup dan  entah apa lagi. Dan yang 
lebih penting dari semua itu, ia ingin 
memiliki Ronahyatun. 
Wajar jika pada hari selanjutnya 
Jaka selalu dicekam keragu-raguan dan 
kecemasan. Ia selalu ingin mengung-
kapkan gejolak perasaannya. Tetapi ia 
takut jika Ronah tidak mau 
menanggapinya atau lebih sakit lagi 
kalau menertawakannya. Mau ditaruh 
dimana nanti mukanya? Jika kekhawa-
tirannya itu jadi kenyataan, rasanya 
tiada lagi keberanian baginya untuk 
tetap bekerjasama dengan Pak Cokro.  
Maka akan berantakan pulalah 
kehidupannya. 
Untunglah pemuda itu memiliki 
hati yang tabah, karena sejak kecil 
memang sudah terbiasa hidup prihatin. 
Ia selalu ingat prinsip seperti yang 
sering dipesankan para orang tua bahwa 
baik mengemukakan gejolak perasaan, 
daripada memendamnya terus-terusan 
dalam hati. Biarpun misalnya, ia 
terpaksa harus menerima resiko 
kenyataan yang tak sesuai dengan 
harapan. 

Suatu hari, Jaka mengungkapkan 
perasaannya itu, setelah beberapa saat 
berjuang mati-matian menekan gejolak 
kekhawatiran dalam hati. Ia menyatakan 
senang, sayang dan cinta kepada Ronah. 
Lalu kemudian dengan ucapan yang 
tersendat-sendat, ia melanjutkan bahwa 
demi Ronah, ia rela mengorbankan 
apapun juga. Dan tentu saja semua itu 
dikemukakan dengan maksud agar gadis 
itu pun memberikan jawaban. 
Saat  itu, Ronah memang tidak 
mengatakan apa-apa, karena lidahnya 
terasa kelu dan kerongkongannya 
bagaikan tersumbat. Banyak kata-kata 
yang bergejolak dalam dadanya. Tetapi 
tak ada yang bisa keluar. Gadis itu 
terus diam. Diam dengan wajah bersemu 
merah dan diam dengan tangan gemetaran 
serta dada bergetar tak karuan. 
Itulah awal jalinan cinta asmara  
di antara kedua insan remaja itu. 
Permulaan dari tumbuhnya bunga mekar 
nan harum wangi. Dari kedua hati Jaka 
dan Ronah tercipta pula benang kasih 
yang tak bisa dilihat dengan mata, 
namun bisa dirasakan hati nurani insan 
ciptaan Tuhan. 
"Silahkan makan," ujar Ronah 
sambil tersenyum manis. Ia memang 
menghidangkan makanan di hadapan 
kekasihnya itu serta Si Tolol. 
"Terima kasih, Ronah!" kata Jaka, 
balas tersenyum. 
Si Tolol tidak sempat lagi 
mengucapkan apa-pa. Karena begitu 
makanan terhidang di hadapannya, 
langsung disambar dan dilahap dengan 
sangat rakusnya. Bocah itu memang 
sudah sangat lapar dan karena ia me-
mang agak terbelakang dalam hal 
perkembangan pikiran, ia tak pernah 
tahu bersopan santun. Nasi yang masih 
panas langsung    saja dimasukkan ke 
mulut dan hanya dua tiga kali kunyah, 
segera pula ditelan. Mulut anak itu 
mengeluarkan  suara berdecap-decap, 
tulang rahangnya bergerak-gerak tidak 
beraturan, sehingga timbul kesan cara 
makannya lebih mirip hewan daripada 
manusia. 
"Jangan terburu-buru, Tong. Nanti 
keselek! Jangan khawatir, kalau 
kurang, nanti bisa nambah lagi," kata 
Jaka yang  sejak tadi tak henti- 
hentinya memperhatikan cara makan Si 
Tolol. Ronah yang duduk sekadar 
menemani tamunya makan, juga tersenyum 
geli melihat tingkah Si Tolol. Sudah 
kepalanya gundul dan kelihatan lebih 
besar dari yang lazim, makannya begitu 
lagi, pikir gadis itu. 
Si Tolol hanya mengangguk-angguk 
saja. Tetapi ia masih juga makan 
seperti tadi. Jaka akhirnya diam saja 
sambil dalam hati mengharap agar anak 
itu tidak sampai keselak. 
Setelah mulai kenyang, maka Si 
Tolol pun segera teringat akan 
patungnya yang  dikiranya, boneka 
mainan itu. 
"Emph....! Kapan Akang mau 
bikinin boneka itu?" tanya Si Tolol 
dengan terburu buru sehingga nasi dari 
mulutnya berloncat an ke luar. 
"Telan dulu tuh nasi kalau mau 
ngomong. Tentu  akan segera kubikin 
setelah selesai pesanan Ndoro Bei." 
"Ndoro Bei siapa sih?" tanya Si 
Tolol seolah-olah tidak senang 
mendengar nama itu. 
"Dia orang yang sangat kaya di 
desa ini Pesanannya hari ini juga 
harus selesai." 
"Aku tak senang sama orang itu," 
kata Sil Tolol sambil lalu. Ia 
sebenarnya belum pernah kenal Raden 
Bei Kiduling Pasar yang dikatakan 
sebagai Ndoro Bei itu. Tetapi naluri  
Si Tolol memang sangat tajam, 
instingnya segera berbisik bahwa 
lelaki kaya raya itu bukanlah orang 
baik-baik, melainkan, orang yang 
sangat licik dan penuh akal busuk 
serta mau bersenang senang di atas 
penderitaan orang lain. 

Sejak beberapa bulan terakhir 
ini, lelaki yang giginya mencuat 
keluar dan bentuknya mirip kampak, 
jatuh hati kepada Ronah. Tetapi dia 
sangat penasaran karena gadis itu 
sedikit pun tak mau bersikap  manis 
padanya, bahkan dengan terang-terangan 
mengatakan tidak suka padanya. 
Walaupun sudah menyadari bahwa 
Ronah tidak mau membalas maksud 
hatinya,  Raden Bei tetap saja tidak 
tahu diri. Ia malah semakin penasaran, 
karena pada sangkanya hartanya yang 
melimpah ruah bisa menundukkan hati 
semua wanita. Ia tidak pernah 
memikirkan bahwa cinta tidaklah bisa 
dibeli  dan sama sekali tak bisa 
dipaksakan. Hal itu terdorong  pula 
oleh keberhasilannya menggaet lima 
orang wanita yang semuanya kini jadi 
istrinya. Belum juga puas hati lelaki 
itu, karena setiap kali melihat Ronah, 
maka segera pula bergejolak birahi 
dalam dirinya. 
Melihat Ronah selalu bersikap 
dingin, yang ditanggapi sikap yang 
sombong, timbullah akal busuk dalam  
benak Raden Bei. Dia meminta bantuan 
nenek tua Nyi Peri yang terkenal 
sangat sakti untuk memelet Ronah. 
Nenek tua yang terkenal sangat sakti 
itu setuju dengan syarat Raden Bei 
harus mencari patung Ratu Shima dan 
memberikannya sebagai tebusan ramuan 
obatnya. 
Pada waktu lalu, Raden Bei pergi 
ke lereng  gunung Muria untuk mencari 
patung emas itu. Secara kebetulan, 
Dewi Tatto sedang bertarung dengan 
Prawiro yang pertama kali merampas 
patung itu dari tangan Si Tolol. Tanpa 
disengaja, patung itu terlempar dari 
tangan Prawiro karena ditendan  Dewi 
Tatto dan tepat jatuh ke hadapan Raden 
Bei. Tanpa menunggu waktu lagi, lelaki 
kaya itu segera melarikan diri, 
kemudian memberikan patung Ratu Shima 
kepada Nyi Peri. 
Sekarang, Raden Bei Kiduling 
Pasar sedang duduk  sendirian di 
rumahnya. Wajahnya yang mirip badut 
itu  tampak berseri-seri, sedangkan 
bibirnya yang tebal dan hitam  selalu 
dihiasi senyumman yang lebih mirip 
seringai buas. Sebentar lagi si Ronah 
yang denok itu pasti dapat kupikat, 
kata hati Raden Bei girang. 
Ia kemudian meraih botol berisi 
ramuan obat pelet yang diberikan Nyi 
Peri. Ramuan itu terdiri dari tiga 
botol. Menurut pesan Nyi Peri, yang  
satu dipakai sambil mandi keramas, 
sedangkan ramuan botol yang ukurannya 
sedang untuk diminum. Botol ketiga 
ukurannya lebih kecil, berisi ramuan 
untuk dipoleskan di alis mata, pelipis 
dan di atas bibir. Dengan obat itu, 
jangankan si Ronah, putri Sultan pun 
akan tergila-gila kepada Raden Bei 
atau siapa saja pun yang memakainya. 
Demikianlah pesan Nyi Peri tempo hari 
kepada Raden Bei. 
Lelaki itu kemudian meletakkan 
ketiga botol itu di atas meja, lalu 
berjalan mondar mandir dari  ruang 
depan sampai ruang belakang kemudian 
bolak balik lagi, sambil tak henti-
hentinya mengoceh sendirian. 
"Sekarang hari masih siang benar, 
nanti kira-kira hampir beduk lohor aku 
mau datang ke rumah Cokro ukir itu 
untuk ketemu Ronahyatun," kata Raden 
Bei. Ia menyeringai lagi, sebab 
sebetulnya pesanan ukirannya kepada 
Pak Cokro tak lebih dari sekadar 
memperlancar niat busuknya. Ia tak 
pernah mengerti tentang seni apalagi 
menghargainya, tetapi dengan cara 
seperti itu, ia bisa menunjukkan 
kekayaannya untuk mengambil hati kedua 
orang tua Ronah. Dan kedua ia akan 
mempunyai kesempatan untuk bercakap-
cakap dengan gadis itu. 

Waktu  jadi terasa sangat lambat 
berputar bagi Raden Bei. Sudah hampir  
tiga jam ia  mematut-matut diri di 
depan cermin. Setiap kali melihat 
dirinya di dalam cermin, ia mereka 
dalam dirinya masih ada yang kurang. 
Ini kurang pantas, itu kurang pas 
dan seterusnya. Tak mengherankan jika 
sudah lusinan pasang pakaian telah 
dicobanya untuk memastikan mana yang 
paling cocok dan paling menarik. 
Kadang-kadang ada penyesalan dalam 
hatinya, kenapa sepasang matanya 
selalu melotot hingga mirip jengkol, 
kenapa hidungnya lebar tapi pesek 
hingga mirip sadel sepeda, kenapa 
giginya lebar-lebar hingga mirip 
kampak. Tetapi ia tidak menyesali 
perutnya  yang buncit walaupun itu 
membuatnya mirip perempuan sedang 
hamil. 
Akhirnya, hati Raden Bei menjadi 
lega karena hari mulai sore. Ia telah 
siap berangkat ke rumah Pak Cokro. Ia 
segera menghampiri mejanya. "Pesan Nyi 
Peri, kalau mau melangkah keluar pintu 
harus menenggak air mujarab ini. Nah, 
sekarang tiba saatnya," kata Raden Bei 
bicara pada dirinya sendiri. Lalu 
sambil meraih botol itu, ia tertawa 
kegirangan: "Ronah, oh Ronah! 
Kangmasmu pasti segera datang. Kau 
pasti keedanan sama aku, Nduk!" 
katanya. 
Raden Bei membuka tutup botol 
itu, lalu perlahan-lahan mengangkat- 
nya, siap menenggak. Tetapi mendadak 
sebuah tangan merampas botol itu 
hingga berpindah tangan. Raden Bei 
terkejut bukan main, dan lebih 
terkejut lagi melihat siapa yang me-
rebut botol berisi air mujarab, yang 
tak lain tak bukan adalah Nyi Peri 
sendiri. Dengan seenaknya, wanita tua 
keriput itu menendang meja hingga 
terjatuh, mendorong tubuh Raden  Bei 
hingga terjengkang ke belakang. 
Buru-buru Raden Bei bangkit 
sambil menatap Nyi Peri dengan wajah 
pucat pasi. 
"Astaga! Nyi.... Nyi.... Apa yang 
telah terjadi? Aku tak mengerti...." 
kata Raden Bei tersendat-sendat. 
Akan  tetapi wajah Nyi Peri malah 
tampak semakin beringas dan buas, 
sehingga bulu kuduk Raden Bei 
merinding melihatnya. Wanita tua dan 
kurus kerempeng itu menghentak-
hentakkan tongkat bengkok di tangan 
kirinya, sedangkan tangan kanannya 
masih mempermainkan botol berisi 
ramuan obat. Sepasang matanya yang 
dihiasi bulu memutih, mencorong tajam 
bagaikan memancarkan api. 
"Kau tidak boleh minum obat ini, 
Bei!" 
"Tapi.... Aku...." 
"Diam! Kau harus menemukan patung 
itu kembali." 
"Lha piye to, Nyi? Kan sudah  
tanggap tangan mau bengi kae kok 
jadi...." 
"Jangan banyak bacot! Patung itu 
lenyap lagi dicuri orang." 
"Lha itu kan di luar perjanjian 
kita," protes Raden Bei dengan nada 
tak senang, "Be...   berarti Nyi Peri 
harus mengadakan perjanjian baru." 
"Diam! Pokoknya kau mau si Ronah 
apa tidak?" Agaknya jiwa dagang dan 
sifat licik yang ada dalam diri Raden 
Bei langsung bicara. Makanya dengan 
takut-takut ia hendak menawarkan 
perjanjian baru lagi agar ia dapat 
memperolah keuntungan secara berlipat 
ganda. Namun Nyi Peri juga tak kalah 
liciknya. Wanita tua itu tahu betul 
kelemahan I Raden Bei. Maka ia segera 
mengancam tidak  akan mau memberikan 
obat lagi kalau Raden Bei tidak setuju 
mencari patung emas itu kembali. 
"Aduh, kenapa jadi begini, Nyi?"  
"Sudah kubilang kau jangan banyak 
bacot! Tahu sendiri nanti kalau aku 
membatalkan semua perjanjian yang 
pernah ada di antara kita." 
"Baiklah, Nyi. Baiklah," ujar 
Raden Bei bersungut-sungut. 
"Bagus! Kau memang pintar. Nah, 
obat yang sangat mujarab ini tidak 
akan kuberikan padamu sebelum kau 
mendapatkan patung emas itu kembali." 
“Waduh, berabe punya urusan sama 
orang sinting”, pikir Raden Bei sambil  
dalam hati memaki-maki. 
"Heh, mengapa kau tidak menyahut, 
ya  kalau  tidak? Kupotes lehermu, 
tolol!" bentak Nyi Peri. 
"Ya. Ya, Nyi. Akan kucari lagi 
patung itu sampai dapat!" 
"Ingat, Bei. Sebelum kau 
menemukan patung itu kembali, jangan 
harap bisa memiliki obat ini. Bahkan 
mendekati si Ronah pun tidak bisa. 
Pokoknya cari patung itu sampai dapat, 
lalu semuanya akan beres. Nah, selamat 
bekerja. Aku mau pergi!" Dengan 
langkah tergesa-gesa, Nyi Peri 
melangkah ke luar. Setibanya di depan 
pintu, ia segera meloncat sehingga 
dalam sekejap telah lenyap dari 
pandangan  Raden Bei. Raden Bei 
mengomel dan memaki-maki sendirian. 
Tak terkatakan betapa kecewanya dia 
karena gagal kerumah Ronahyatun 
sekarang. Padahal sejak tadi  pagi ia 
sudah membayangkan betapa  indahnya 
nanti suasana pertemuannya dengan sang 
pujaan hati. 
 
* * * 
 
 
Sementara itu, di rumah Pak 
Cokro, Jaka menekuni  pekerjaannya 
ukiran Raden Arjuna pesanan Raden Bei. 
Kedua tangan pemuda itu bergerak  
lincah dan cekatan, sementara Si Tolol 
sambil duduk bersila menunggunya. 
Bocah itu tampak tidak sabaran, 
terlihat dari sikapnya yang berulang-
kali menggaruk-garuk gundulnya biar 
pun tidak gatal. 
"Kau tampaknya tidak sabaran 
lagi, Tong. Sekarang rampunglah sudah 
ukiran yang dipesan Raden Bei Kiduling 
Pasar. Semoga dia merasa puas. Memang 
susah  meladeni kemauan Raden yang 
terkenal rewel dan pelit itu," kata 
Jaka sambil mengamati hasil ukirannya, 
gambar tokoh Raden Arjuna menaklukkan 
dewi-dewi cantik. Ukiran kayu jati itu 
dibuat mirip gambar wayang, di mana 
seorang dewi jelita sujud di hadapan 
Arjuna, mencerminkan sikap tunduk dan 
mau mempersembahkan segala yang 
dimilikinya. 
"Ini  gambar apa, Kang?" tanya Si 
Tolol. 
"Ini  gambar Raden Arjuna sedang 
menaklukkan dewi khayangan." 
"Buat apaan gambar jelek begini?" 
Si Tolol bertanya dengan sikap tolol 
pula. 
"Ya, buat dipajang. Raden Bei 
sudah berulang kali memesan ukiran 
seperti ini. Mungkin dia ingin meniru 
perangai Lanang Sejati dari dunia 
pewayangan ini. Lucu, bukan?" 
"Tentunya Raden Bei itu orangnya 
jelek, yah? Eh, aku hampir lupa, Kang.  
Bagaimana dengan bonekaku?" 
"Tenanglah! Sekarang dari 
sebatang kayu jati ini akan kuciptakan 
boneka yang sangat bagus untukmu." 
"Cepat dong, Kang!" 
"Yaa, kau harus sabar. Atau kau 
boleh tidur-tiduran  saja di situ 
sampai habis waktu kerja. Nanti kita 
pulang sama-sama," kata Jaka sambil 
mempersiapkan pahat ukirnya. 
Si Tolol segera duduk bersandar 
tak  jauh dari  tempat kerja Jaka. Dan 
hanya sebentar kemudian, ia sudah 
tertidur pulas. Suara dengkurnya mulai 
terdengar memenuhi ruangan itu. Jaka 
sendiri sudah siap mengerjakan boneka 
yang diinginkan Si Tolol. Tetapi tiba-
tiba ia teringat bahwa ia belum tahu 
kira-kira bagaimana bentuk yang 
diinginkan Si Tolol. Ia bermaksud 
menanyakannya kepada Si Tolol. Tetapi 
bocah itu sudah tidur pulas. 
Agaknya ia sangat kelelahan. Aku 
tak  ingin mengganggunya, kata hati 
Jaka. Tetapi kemudian, ia menjadi ragu 
kembali. Sebab apakah ia harus 
menunggu Si Tolol sampai bangun? Kalau 
begitu, sampai petang nanti bonekanya 
itu tidak bakalan jadi. Tapi kalau dia 
kubangunkan, kasihan betul dia. Jaka 
semakin  kebingungan dan tanpa sadar 
menimang-nimang kayu jati itu.
 
Tiba-tiba kepala Si Tolol 
mendongak ke atas sehingga dahinya  
persis  berhadap-hadapan dengan mata 
Jaka. Sesaat Jaka terpaku di tempat. 
Alis matanya berkerut, karena sepasang 
matanya seakan-akan menembus ruang 
rongga kepala Si Tolol dan menyaksikan 
sesuatu yang sangat aneh. 
Jaka sungguh tak mengerti kenapa 
tiba-tiba di dalam relung pikirannya 
muncul  sebuah bentuk patung yang 
sangat indah. Bayangan itu berupa 
patung seorang Ratu yang sangat cantik 
jelita, sedang mendekap kedua tangan 
di dada. Sebenarnya itulah bayang 
patung emas Ratu Shima. Tetapi karena 
Jaka sendiri belum pernah melihatnya 
ia sedikit pun tak mengerti, selain 
berkata dalam hati bahwa patung itu 
sangat indah. Dan ia pun tak tahu 
bagaimana bisa terjadi dalam waktu 
yang sedemikian cepatnya bisa melihat 
bayangan patung yang sangat indah. 
Dan seperti disetir oleh kekuatan 
gaib, Jaka bergerak menuju mejanya dan 
mulai mengerjakan sepotong kayu jati 
menjadi sebuah patung sesuai bayangan 
yang dilihatnya barusan. Sekalipun 
Jaka masih kebingungan karena kejadian 
barusan, ia malah bekerja jauh lebih 
cepat dan cekatan. Mata pahatnya 
bergerak cepat sekali namun  tidak 
sembarangan bergerak, melainkan 
membentuk sebuah patung indah seperti 
bayangan yang terlihat oleh Jaka. 
Memang  ajaib kelihatannya, alam  
pikiran berupa mimpi dari Si Tolol 
yang sedang tidur lelap bisa 
dipindahkan ke alam pikiran Jaka, 
sehingga ketika menatap dahi Si Tolol, 
Jaka    melihat sebuah bayangan patung 
yang  sangat  indah. Perpindahan yang 
aneh itu terjadi karena kekuatan 
bathin Si Tolol yang tiba-tiba timbul 
dari bawah sadar. 
Dalam waktu singkat, Jaka dapat 
mewujudkan  kayu jati itu berbentuk 
patung Ratu Shima walaupun masih agak 
kasar. Hasil itu membuat Jaka merasa 
terheran-heran karena tidak mengira 
dirinya bisa bekerja secepat  itu. 
Sebagai pengukir yang sudah ahli, ia 
dapat  memperkirakan, biasanya untuk 
membuat patung seperti itu sedikitnya 
harus memakan waktu dua kali lipat. 
Sungguh luar biasa! Patung yang 
kubikin ini sangat bagus. Tapi aku 
masih tak percaya, kata hati Jaka 
seolah-olah tak  peercaya    patung itu 
adalah bikinannya sendiri. 
Matahari sudah hampir tenggelam 
di ufuk Barat ketika Si Tolol 
menggeliat bangun dari tidurnya. Bocah 
itu menguap sambil merentangkan kedua 
tangan lebar-lebar. 
Melihat itu, Jaka menjadi girang. 
Ia ingin memperlihatkan patung 
ukirannya yang sangat bagus. Anak itu 
pasti girang, pikirnya, lalu berseru: 
"Hei, Tong! Coba lihat, boneka  
yang kau minta sudah jadi. Kau pasti 
senang!" 
Si Tolol bangkit berdiri. Tetapi 
ia bukannya melangkah ke arah Jaka, 
melainkan keluar. Kedua tangannya 
digerak-gerakkan kedepan sehingga 
caranya berjalan seperii orang buta. 
"Hei, hei, Tong! Sini kau. 
Patungnya sudah jadi, nih!" 
Tetapi Si Tolol terus melangkah 
dan kinl sudah sampai di halaman rumah 
Pak Cokro. Sambil memegang patung yang 
baru saja diukirnya, Jaka  berlari 
mengejar Si Tolol sambil berteriak-
teriak. Namun Si Tolol terus saja 
berjalan tanpa menghiraukan panggilan 
Jaka. Pemuda itu menjadi penasaran dan 
berlari ke  hadapan Si Tolol dengan 
maksud  menghadang jalannya. Akan 
tetapi alangkah terkejutnya ia melihat 
kedua mata Si Tolol masih terpejam 
seperti ketika ia tertidur tadi. 
"Hah? Dia... dia berjalan sambil 
tidur! Matanya terpejam!" teriak Jaka 
tanpa sadar. Saking terkejutnya, Jaka 
sempat tertegun, sehingga Si Tolol 
semakin jauh darinya. 
"Oh, anak  itu sudah jauh!" kata 
Jaka tersadar, "Tong! Tong....! Apa 
yang terjadi pada dirimu? Ini 
bonekanya, sangat bagus. Kau pasti 
senang. Ah, dia diam saja. Apa dia 
kesurupan setan gunung Muria? Oh, anak 
itu menuju ke gunung. Celaka!" 
 
Jaka berlari mengejar Si Tolol. 
Tangannya diulurkan hendak menangkap 
tangan Si Tolol. Tetapi tiba-tiba 
tubuh Si Tolol melesat bagaikan 
ditarik kekuatan gaib hingga melayang 
sampai ke atas tebing di pinggir desa. 
Setelah kedua kakinya menginjak batu-
batuan, tubuhnya melesat lagi bagaikan 
anak panah.  
Jaka kembali dibuat terpukau, 
seolah-olah tak percaya akan 
penglihatannya sendiri. 
"Astaga! Bagaimana  ia bisa 
meloncat setinggi dan secepat itu? 
Dan... oh, dia benar-benar menuju 
gunung Muria. Celaka, dia pasti telah 
kesurupan. Entah dosa apa yang telah 
diperbuat anak itu," kata Jaka cemas. 
Dalam pikiran Jaka, Si Tolol bisa 
berlari dan meloncat bagaikan terbang 
pastilah karena pengaruh kekuatan roh 
jahat. Ia tidak yakin Si Tolol 
mempunyai kesaktian tinggi seperti 
halnya pendekar, sehingga bisa berbuat 
demikian. Karena sangat khawatir akan 
keselamatan anak itu, Jaka segera 
berlari secepat mungkin untuk mengejar 
sambil berdoa dalam hati agar ia masih 
sempat me nyelamatkan Si Tolol. 
Memang penduduk di sekitar tempat 
itu masih percaya bahwa di puncak 
gunung Muria ada makhluk halus, yang 
setiap saat  bisa merasuki roh orang. 
Jika itu terjadi, berarti orang  
tersebut akan mendapat kecelakaan, 
karena selama ini hampir tidak ada 
yang berhasil menyelamatkan diri jika 
sudah sempat dikuasai makhluk halus 
penghuni gunung Muria. 
Jaka terus berlari secepat 
mungkin. Nafas pemuda itu mulai ngos-
ngosan karena jalanan yang mendaki. 
Namun ia terus memaksakan diri untuk 
berlari secepat-cepatnya sambil 
sesekali berteriak dengan suara 
terputus-putus. 
Tiba-tiba kaki Jaka tersandung 
batu. Sambil menjerit kesakitan, 
tubuhnya tersungkur ke tanah. Kulit 
lutut dan telapak tangannya terkelupas 
dan sedikit mengeluarkan darah Patung 
ukirannya terlempar beberapa meter. 
"Oh, anak itu. Anak itu akan mati 
nanti. Aku harus mencegahnya...." Jaka 
bangkit lagi tanpa memperdulikan rasa 
nyeri di lujutnya. Dipungutnya kembali 
patung ukirannya, lalu  berlari 
mengejar Si Tolol ke puncak Kunung. 
Sementara Si Tolol sendiri sudah 
semakin jauh meninggalkan Jaka. Tidak 
menghe-rankan, karena anak itu memang 
tidak berlari seperti Jaka, melainkan 
meloncat-loncat seperti bola karet. 
Kadang-kadang, Si Tolol meloncat ke 
dahan-dahan pohon dengan gerakan yang 
sangat ringan. 
Sebelum sampai ke puncak gunung, 
ada sebuah jurang yang sangat dalam  
yang dindingnya terdiri dari batu-
batu cadas, berjarak sekitar enam 
meter. Orang biasa tentu tidak akan 
ada yang mau meloncatinya. Tetapi 
dengan enak saja, Si Tolol meloncat 
dari tepi jurang ke tepi yang satu 
lagi. Lalu terus berlari hingga 
akhirnya berhenti di depan sebuah gua. 
Kedua mata Si Tolol masih 
terpejam dan dengkurnya pun masih 
terdengar jelas. Setelah terdiam 
beberapa saat, tubuh anak itu bergerak 
lincah. Kedua kakinya terbuka lebar 
dan ditekuk, sedangkan tangan kanannya 
dilipat ke dada dan tangan kiri 
disilangkan secara tegak lurus di 
depannya. Suatu kuda-kuda pembukaan 
sebuah jurus silat kelas tinggi. Sikap 
anak itu memang seperti hendak mencari 
jejak musuh, atau seakan akan sedang 
mengintai sesuatu. Sepasang    matanya 
mencorong tajam ke mulut goa  yang 
gelap.  
 
* * * 
 
 
Sementara itu, di dalam gua 
tampak sesosok tubuh duduk bersila di 
atas sebongkah batu. Kedua tangannya 
dilipatkan ke dadanya yang sedang 
telanjang bulat. Tapi bukan hanya 
dadanya, bahkan sekujur tubuhnya pun  
tak ditutupi sehelai benang. Itulah 
dia Setyatun, atau yang dijuluki Dewi 
Tatto. 
Di hadapan gadis itu terlihat 
patung emas Ratu Shima. Seperti 
diceritakan dibagian depan, Setyatun 
merampas patung itu ketika Mat Caplang 
dan Husein sedang memperebutkannya. 
Setelah itu, Setyatun langsung menuju 
puncak gunung Muria dan masuk ke dalam 
gua. 
Apakah gerangan yang hendak 
dilakukan gadis bugil itu? Apakah ia 
hendak mengambil  surat wasiat berisi 
rahasia kelanggengan tahta dan rahasia 
kecantikan yang ada di dalam rongga 
patung Ratu Shima? Tidak! Dewi Tatto 
sama sekali tidak tertarik, tak ada 
niat dalam hatinya untuk melihat surat 
wasiat itu, apalagi mempelajarinya 
seperti yang sangat didambakan para 
pendekar. 
Sekarang ia cuma ingin membuk-
tikan sendiri apa memang betul ada 
sesuatu di dalam rongga patung itu? 
Dan dibagian mana rongga tempat 
penyimpanannya. Itulah makanya Dewi 
Tatto duduk bersemedi untuk  melihat 
keadaan di dalam patung itu melalui 
mata bathinnya. Selang beberapa saat 
kemudian, ia merasakan getaran-getaran 
halus yang bergema dari dalam tubuh 
patung Ratu Kalingga. 
Segera ia menghentikan semedinya.  
Sekarang ia sudah dapat memastikan 
bahwa memang benar, bahwa dalam patung 
emas itu terdapat rongga yang 
menyimpan beberapa benda tipis dan 
ringan seperti daun-daunan kering. Ia 
menduga benda itu adalah daun lontar 
berisi surat wasiat Ratu Shima. 
Perlahan-lahan, ia meraih patung 
emas itu, lalu  meraba-rabanya dengan 
seksama. Benar dugaannya, di bagian 
kaki patung itu seperti terdapat 
sambungan. Mungkin dapat dibuka, pikir 
Dewi Tatto dan hendak membukanya. 
Setelah itu, ia bermaksud memusnahkan 
patung Ratu Shima. 
Ya, Dewi Tatto betul-betul ingin 
memusnahkan patung emas itu. Karena 
selama ini ia telah melihat bahwa 
banyak sekali pendekar yang mempe-
rebutkannya. Ia tak ingin seorang pun 
mengambilnya dengan maksud kepentingan 
pribadi atau golongan. Ia sangat benci 
pada orang yang sangat berambisi 
mencapai sesuatu tetapi dengan cara 
menghancurkan orang lain. Justru 
itulah Dewi Tatto bermaksud memus-
nahkan patung Ratu Shima, karena 
menurut penglihatannya patung itu 
telah membuat perangai para pendekar 
menjadi busuk dan kejam. 
Salah satu contoh yang dilihat 
dengan mata kepalanya sendiri, adalah 
perbuatah Prawiro beberapa waktu lalu. 
Saat itu Si Tolol baru saja menemukan  
patung Ratu Shima dari dalam tanah 
yang digalinya. Dengan menggunakan 
seutas tali, Prawiro merampas patung 
itu dan kemudian mengubur Si  Tolol 
hidup-hidup di dalam lubang yang 
digalinya  sendiri. Alangkah kejamnya. 
Gara-gara patung itu, Prawiro sampai 
hati mengubur seseorang tanpa menaruh 
sedikit pun rasa kasihan. Sungguh 
keterlaluan! 
Saat itu, sebetulnya Dewi Tatto 
sangat menyesal, tetapi karena mengira 
Si Tolol pastilah sudah mati, ia pergi 
begitu saja setelah membunuh Prawiro. 
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa 
Si Tolol bisa menyelamatkan diri. 
Menurut perkiraan dan keyakinan 
Setyatun, perbuatan kejam seperti itu 
akan tercipta pula dari para pendekar 
lainya saat memperebutkan patung Ratu 
Shima. Itulah yang membuatnya memu-
tuskan akan memusnahkan patung itu. 
Dewi Tatto memutar bagian kaki 
patung Ratu Shima. Tetapi tiba-tiba 
sebuah bayang berkelebat bagaikan 
kilat dan langsung merampas patung 
Ratu Shima dari tangan Dewi Tatto. 
Sambil berjumpalitan di udara, ba-
yangan itu kemudian meloncat jauh dan 
mendarat di atas batu sekitar enam 
meter dari hadapan Setyatun. 
"Kurang ajar!" bentak Setyatun 
sambil memutar badan menatap ke arah 
orang yang  baru saja merampas patung  
dari tangannya. Tanpa memperhatikan 
siapa lelaki itu, ia langsung saja 
melancarkan serangan maut. 
"Hiyaaaat...!" Dewi Tatto 
berteriak nyaring sehingga terasa 
getarannya merontokkan batu-batuan di 
dalam gua. Tubuhnya meloncat bagaikan 
terbang, dengan tangan kanan diayunkan 
memukul ke arah pinggang lelaki itu. 
Orang yang merampas patung itu 
sebenarnya adalah Si Tolol. Bocah itu 
tadi telah masuk ke dalam gua dan 
sampai sekarang masih tetap memejamkan 
mata. Ketika sambaran tangan Dewi 
Tatto hampir menyentuh tubuhnya, ia 
meloncat tinggi. Tetapi Setyatun 
rupanya sudah mempersiapkan serangan 
berikutnya. Begitu serangan pertamanya 
gagal, gadis itu menegakkan badan 
sambil melancarkan serangan berupa 
cengkeraman maut ke arah selangkangan 
lawan. 
Melihat cepatnya gerakan Dewi 
Tatto, tampaknya akan sulitlah bagi 
lawan untuk menghindar, karena sedang 
melayang di udara. Namun dengan 
gerakan yang sukar diikuti pandangan 
mata, tubuh Si Tolol bersalto dan 
berputar-putar, kemudian bagaikan 
punya sayap saja melayang jauh da 
hadapan Setyatun. 
Agaknya Setyatun segera menyadari 
bahwa lelaki yang dihadapinya sekarang 
bukanlah orang sembarangan. Selama  
petualangannya  di dunia persilatan, 
belum pernah ada pendekar yang bisa 
menghindari  serangannya dengan demi-
kian mudahnya. Untuk itu, Dewi Tatto 
hendak mempengaruhi lawan dengan 
tubuhnya yang telanjang. Ia sengaja 
berdiri sambil menyandarkan tangan 
kirinya ke dinding gua, sedangnkan 
kedua belah  pahanya dibukan lebar-
lebar. Begitu  juga dadanya sengaja 
dibusungkan, sehingga sepasang buah 
dadanya tampak lebih menonjol. Sikap 
gadis cantik jelita itu benar-benar 
menantang, sehingga sulit dipercaya 
ada lelaki normal yang tidak 
terpengaruh melihatnya. 
"Hei, siapa kau monyet? Kemba-
likan patung itu, cepat! Sebelum 
kepalamu pecah!" 
Gadis itu sudah sangat yakin, 
lawannya akan ternganga melihat tubuh 
bugilnya. Tetapi ia menjadi penasaran, 
karena Si Tolol bukannya tertarik, 
malah memiringkan kepala sambil 
mengeluarkan suara mendengkur. 
"Bangsat! Kau tak menyahut! Kau 
menghinaku, hiyaaa....!" Ia kembali 
menerjang sambil mengeluarkan jurus 
mautnya. Tangannya menyambar dahsyat 
ke arah leher Si Tolol. Si Tolol masih 
tetap pada posisi semula, Setengah 
menunduk sambil mendengkur, sementara 
tangan kirinya menggenggam patung Ratu 
Shima. 
 
"Kunyuk! Pecah batok kepalamu!" 
bentak Dewi Tatto, sudah yakin 
lawannya tidak akan sempat mengelak 
lagi. Namun ketika lambaran tangannya 
tinggal beberapa centimeter saja dari 
sasaran, Si Tolol menunduk. Terdengar 
suara gemeretak bebatuan di dinding 
gua hancur terkena pukulan gadis itu. 
"Bangsat!" teriak Setyatun makin 
geram.  Ia meloncat ke hadapan Si 
Tolol. Kedua lututnya setengah ditekuk 
dan pahanya dibuka lebar-lebar. 
Melihat posisi tubuhnya yang sedang 
melayang turun, jika Si Tolol masih 
diam, maka selangkangan Dewi Tatto 
akan lepat merapat di wajahnya. 
Setyatun memang sengaja berbuat 
demikian, sebab ia masih penasaran 
melihat lawannya tadi sama sekali 
tidak terpengaruh melihat organ-organ 
seksualnya. 
"Lihat, nih!" teriak Dewi Tatto 
ketika tubuhnya sudah sangat dekat ke 
hadapan Si Tolol. 
Tiba-tiba Si Tolol membalikkan 
badan, sehingga kepalanya ke bawah dan 
pada saat yang hampir bersamaan, kaki 
kanannya menendang selangkangan Dewi 
Tatto. 
"Duk!" Kaki Si Tolol mendarat 
telak, sehingga Setyatun menjerit 
kesakitan. Gadis itu berjumpalitan di 
udara untuk menjauhi  dari serangan 
lawan berikutnya. Ketika ia mendarat  
kembali di tanah, ia segera memegangi 
kemaluannya yang terasa sangat nyeri. 
Diam-diam Dewi Tatto merasa kagum 
juga terhadap Si Tolol. Gerakan bocah 
itu cepat luar biasa dan selalu di 
luar perhitungan. Belum pernah Dewi 
Tatto bertemu dengan lawan sehebat 
itu. Dan yang lebih membuatnya 
penasaran adalah kenyataan bahwa lawan 
sama sekali tidak tergiur melihat 
tubuhnya yang bugil. 
Pastilah  bocah  berkepala botak 
itu merupakan pendekar silat yang 
sangat sakti, yang di samping telah 
menguasai berbagai ilmu tinggi, juga 
telah mampu menguasai nafsu sehingga 
tidak mau lengah melihat wanita dalam 
keadaan telanjang bulat. 
Ketika Dewi Tatto berpikir seraya 
berusaha mengurangi rasa sakit di 
selangkangannya, Si Tolol diam saja. 
Kedua kakinya setengah terbuka dengan 
posisi kaki kanan di depan sedang kaki 
kiri ditekuk. Tangan kirinya memegang 
patung Ratu Shima, sedang tangan 
kanannya disilangkan di dada. Akan 
tetapi kepalanya tertunduk dan suara 
dengkurnya masih terdengar jelas 
memenuhi gua batu itu. 
Setyatun semakin heran melihat 
sikap Si Tolol. Perlahan-lahan tanpa 
menimbulkan suara mencurigakan, ia 
mendekat dan memperhatikan mata Si 
Tolol. Astaga! Kedua mata lelaki  
berkepala botak itu terpejam, dan 
agaknya sewaktu bertempur pun 
keadaannya pun tetap demikian. Pantas 
bocah itu tidak terpengaruh karena 
sama sekali tidak melihat keadaan di 
sekelilingnya, termasuk tubuh bugil 
Setyatun. 
Tetapi bagi Setyatun, hal itu 
merupakan sesuatu yang luar biasa! 
Orang bertempur sambil tidur. Selama 
hidup ia belum pernah bertemu dengan 
pendekar seperti itu, bahkan 
mendengarnya pun belum. Agaknya 
didunia persilatan saat ini telah 
muncul tokuh yang lain dari yang lain. 
Bagaimanapun ju ga, Setyatun bukanlah 
orang tolol yang tidak tahu membaca 
situasi. Ia sudah menyadari bahwa ia 
tidak mungkin mampu mengalahkan Si 
Tolol. 
"Baiklah. Aku mengaku kalah 
padamu, Tapi sebelum kita berpisah, 
aku ingin tahu untuk apakah kau 
merebut patung Ratu Shima dariku? Aku 
rela menyerahkannya padamu, asalkan 
tidak untuk maksud-maksud yang 
merugikan orang lain atau kepuasan 
nafsu serakah." 
Si Tolol masih tetap dengan 
posisinya semula. Tidak menyahut, atau 
menoleh. 
"Hei, kau jangan diam saja! 
Jawablah  aku!" Dewi Tatto berteriak 
sekuat-kuatnya, tetapi Si Tolol tidak  
bergeming sedikit pun juga. Setyatun 
menahan nafas. Ia masih sangsi 
memikirkan maksud Si Tolol merebut 
patung Ratu Kalingga. Siapa tahu, 
orang itu adalah tokoh dari golongan 
hitam. Karena pikiran seperti itu, 
maka berubahlah pendiriannya. Aku 
harus merebutnya kembali, kata hati 
Dewi Tatto. 
Setelah yakin bahwa Si Tolol 
benar-benar tertidur  pulas sambil 
berdiri, Setyatun melangkah mendekat. 
Ia berjingkat-jingkat  sehingga  tidak 
menimbulkan suara.  Lalu  sambil  
menahan nafas, gadis itu mengulurkan 
tangan hendak mengambil patung Ratu 
Shima dari tangan Si Tolol. 
Akan tetapi, ketika tangannya 
hendak menyentuh patung itu, tiba-tiba 
Si Tolol berteriak nyaring. Tangannya 
yang tadi dilipatkan di dada menyambar 
dengan sangat cepat dan mengandung 
tenaga dalam yang sangat kuat. 
Setyatun terkejut bukan main. Ia 
hendak meloncat mundur, namun tidak 
sempat. 
"Plak!" 
"Augh!" 
Demikian kuatnya pukulan Si 
Tolol, sehingga tanpa ampun lagi, 
tubuh Setyatun terlempar  beberapa 
meter ke belakang, kemudian jatuh 
bergedebuk. 
Saat itulah Si Tolol terbangun  
dari tidurnya. Tadi ia memang benar-
benar tidur, sehingga semua gerakannya 
adalah di bawah alam sadar. Sayang 
kesaktiannya yang luar biasa hanya 
datang di saat-saat tertentu saja, 
seperti tadi. Jika dalam keadaan 
normal justru ia akan berubah menjadi 
manusia biasa yang bahkan selalu 
bersikap tolol. 
Setelah tersadar, Si Tolol 
menjadi terkejut melihat seorang 
wanita dalam keadaan telanjang di 
hadapannya. 
"Heh, siapa kau? Ah,  Mbakyu... 
Mbakyu cakep. Tapi tidak pakai kain 
dan kebaya. Apa tidak dingin?" tanya 
Si Tolol sembari menatap sekujur tubuh 
Setyatun. Dengan jelas terlihat bahwa 
pemuda itu merasa tertarik, tetapi 
bukan secara seksual melainkan karena 
merasa menemukan orang  aneh dengan 
kebiasaan yang tidak lazim. 
"Kau...?" Setyatun sungguh sangat 
kebingungan melihat sikap Si Tolol 
hingga tidak tahu harus mengatakan 
apa. 
Si Tolol sebenarnya masih ingin 
menanyakan gambar-gambar apa yang 
menghiasi sekujur tubuh Setyatun. 
Tetapi tiba-tiba ia melihat patung 
Ratu Shima di tangannya Maka ia pun 
segera melonjak kegirangan. 
"Horeeee...! Ini dia boneka yang 
kucari-cari. Kok tahu-tahu ada di  
tanganku? Perasaan hari itu diambil 
orang jahat, kepalanya bersorban  dan 
telinganya pakai anting-anting." 
Si Tolol tampak berpikir 
sebentar. Tetapi kemudian  ia tertawa 
lagi penuh kegembiraan. Saking girang-
nya ia berjingkrak-jing-krak di 
hadapan Setyatun, hingga sampai wa-
jahnya dibasahi keringat. 
"Sudah, ah! Aku mau pergi dulu. 
Permisi Mbakyu cakep. Kalau mau mandi, 
silahkan mandi dulu." 
Setyatun bangkit berdiri sambil 
menatap Si Tolol dengan mata hampir 
tak berkedip. Dia ini sebenarnya anak 
kecil apa orang dewasa, atau 
barangkali orang sinting?" tanya hati 
Dewi Tatto bingung. 
"O, iya! Aku juga pernah tinggal 
di gua seperti ini bersama paman 
Maulana. Tapi di dalam gua itu tidak 
ada air untuk mandi. Paman Maulana 
sangat baik padaku. Dia suka 
menggendongku, bercerita, dan member-
kan makanan. Sewaktu tidur di gua, 
kalau ada nyamuk mau menggigitku dia 
menepuk nyamuk jahat itu sampai 
gepeng." 
"Siapakah kau sebenarnya?" tanya 
Setyatun hati-hati. 
Si Tolol tidak menjawab per-
tanyaan Dewi Tatto. Ia meneruskan 
ceritanya tentang paman Maulana. 
"Sayang sekarang paman Maulana  
sudah tidak ada. Kalau dia masih ada, 
aku  akan tinggal di Sumedang saja. 
Tidak pergi ke mana-mana seperti 
sekarang ini. Hu.... hu.... paman 
Maulana sudah meninggal. Aku jadi 
sendirian...." 
Tiba-tiba wajah Si Tolol yang 
tadinya berseri-seri berubah muram. 
Air matanya mulai menetes membasahi 
pipi. Agaknya ia sangat sedih 
mengingat kematian pamannya Maulana. 
Karena tak lama kemudian, ia menangis 
sejadi-jadinya sambil bergulingan di 
atas tanah. Patung Ratu Shima 
dilemparkan nya begitu saja. 
"Waw.... paman Maulana...." Si 
Tolol  berteriak kuat  sekali hingga 
urat lehernya terasa bagaikan hendak 
pecah. "Tega benar paman ninggalin 
Tolol, paman...." 
Setyatun menjadi kasihan juga. Ia 
menduga Si Tolol mengalami pukulan 
bathin yang sangat berat karena 
kehilangan orang yang sangat dicintai. 
Sampai ia lupa kepada boneka 
kesayangannya yang telah ia perebutkan 
secara  mati-matian. Kalau begitu aku  
yakin tidak membahayakan kalau patung 
itu berada di tangannya, karena ia 
hanya menganggap patung itu mainan 
belaka. 
Sejenak wanita bertatto itu 
manggut-manggut sambil  memutar otak. 
Tapi ada satu hal yang kukhawatirkan,  
pikirnya kemudian. Bagaimana kalau 
nanti patung itu dicuri orang dari 
tangan Si Tolol? Keadaannya tentu akan 
rumit lagi, apalagi kalau sampai jatuh 
ke tangan tokoh dari golongan hitam. 
Setyatun memang sudah menyaksikan 
sendiri kehebatan Si Tolol, sehingga 
hanya dalam beberapa gebrakan saja 
sudah bisa merobohkannya. Tetapi 
tampaknya, bocah gundul itu hanya bisa 
hebat jikalau sedang dalam keadaan tak 
sadar. Buktinya sekarang, bocah itu 
malah menangis berguling-gulingan di 
tanah, tak lebih dari sekedar anak 
kecil yang baru belajar melangkah. 
Nanti orang lain tentu akan mudah saja 
menipunya. 
Kalau begitu jalan yang paling 
baik adalah membawa kabur patung itu 
di saat bocah ini masih tak 
memperdulikannya, kata hati Dewi 
Tatto. Dengan hati-hati, ia memungut 
patung itu, sementara Si Tolol masih 
terus meraung-raung. Apa boleh buat, 
Dewi Tatto sebenarnya bukannya tak 
kasihan kepada bocah itu. Tetapi ia 
terpaksa harus mengesampingkan  pera-
saannya, demi keselamatan  patung itu 
sendiri. Biarlah ia pergi membawa 
patung itu dan di suatu tempat nanti 
ia akan memusnahkannya tanpa setahu 
siapapun. 
Akan tetapi ketika Setyatun 
hendak langkah keluar gua, tiba-tiba  
terdengar suara seorang lelaki 
berseru-seru sambil melangkah ke depan 
gua. 
"Tong! Dimana kau? Ini aku Jaka!" 
teriak pemuda itu. Dia memang Jaka 
yang sejak tadi berusaha berlari 
mengejar Si Tolol. Tetapi karena ia 
kalah cepat, ia baru sekarang tiba di 
lereng gunung Muria. 
Karena tidak ada sahutan, pemuda 
itu kembali berteriak-teriak sambil 
melirik ke sekelilingnya. Si Tolol 
tidak kelihatan, suaranya pun tak 
kedengaran. Jaka semakin cemas. 
Dugaannya bahwa bocah itu telah ke-
surupan semakin kuat. 
"Aduh, Tong. Kenapa nasibmu harus 
begini? Ke mana aku harus mencarimu? 
Bisa-bisa aku harus menginap di hutan 
ini. Tong! Dengarlah aku." 
Dengan perasaan was-was, Jaka 
melangkah hendak masuk ke dalam gua. 
Namun tiba-tiba seseorang meloncat ke 
hadapannya. Sejak tadi Dewi Tatto 
telah mengintip dari  balik dinding 
gua. Gadis itu terheran-heran melihat 
seorang lelaki muda membawa patung 
yang tampaknya sangat mirip dengan 
patung Ratu Shima. 
"Maaf, siapakah engkau? Dan 
apakah yang kau bawa itu? Persis 
sekali dengan patung ini," ujar 
Setyatun sambil menatap wajah  Jaka 
dalam-dalam. 
 
Akan tetapi Jaka bukannya 
menyahut, malah terbelalak dan hendak 
melarikan diri karena mengira Dewi 
Tatto adalah makhluk halus penghuni 
gunung Muria yang telah menawan Si 
Tolol. Untunglah Dewi Tatto segera 
berkata ramah. 
"Jangan salah paham. Aku tidak 
bermaksud jahat." 
Jaka melirik wanita di hada-
pannya. Ia tidak berani menatap lurus-
lurus karena sekujur tubuh Setyatun 
tidak ditutupi sehelai benang pun 
"Kenapa kau diam saja?" tanya 
Dewi Tatto dengan surat yang terdengar 
sangat medu di telinga Jaka. 
"Aku... aku tidak apa-apa. 
Siapakah  kau sebenarnya? Dan... dan 
pakaianmu itu aneh sekali," ujar Jaka 
agak gugup, karena ia sebenarnya ingin 
mengatakan  kenapa Setyatun telanjang 
bulat dan sekujur tubuhnya  dihiasi 
tatto. 
"Aku orang di sini, maksudku 
pengembara yang tak tentu tempat 
tinggalnya." 
"Aku sedang mencari seseorang. 
Apakah kau melihat seorang pemuda 
tanggung, bertubuh gemuk, kepalanya 
besar dan botak dan pakai oto?" 
"Oh, jadi kau mengenalnya? Syu-
kurlah  kalau begitu, Ia sedang 
menangis di dala gua." 
"Astaga! Dia sedang menangis? Kau  
apkan dia?" 
"Tidak kuapa-apakan. Ia tiba-tiba 
saja menangis." 
"Kasihan anak itu. Dan heh, 
patung yang kau bawa itu mirip sekali 
dengan ukiranku ini." 
Dewi  Tatto agak terkejut juga 
mendengar pertanyaan Jaka, yang 
berarti pemuda itu belum kenal sama 
sekali akan patung Ratu Shima. Kalau 
begitu, besar kemungkinan pemuda di 
hadapannya bukanlah seorang pendekar, 
melainkan orang biasa-biasa. 
 
* * * 
 
 
Sebenarnya kedua orang itu sama-
sama    terkejut ketika pertama kali 
saling berhadapan tadi. Jaka kaget 
karena Setyatun telanjang bulat, 
sedangkan Setyatun sendi sempat 
bergetar hatinya melihat wajah Jaka 
yang sangat mirip dengan lelaki yang 
pernah dekat di hatinya. Akan tetapi 
karena keadaan, keduanya tidak sempat 
memikirkannya lebih jauh. 
Jaka  merasa  sangat risih ber-
hadap-hadapan dengan Setyatun. Bagai-
manapun juga, ia adalah lelaki biasa. 
Tubuh wanita yang sangat cantik dalam 
keadaan telanjang, biar pun dihiasi 
tatto, tentu akan mempengaruhi  
dirinya. Sewaktu bicara dengan 
Setyatun, ia lebih banyak menunduk 
atau memalingkan wajah ke arah lain. 
"Kenapa anak itu menangis?" 
"Entahlah. Tapi tadi ia menyebut-
nyebut  nama pamannya Maulana yang 
katanya sangat sayang padanya. Apakah 
engkau sendiri pamannya itu?" 
"Bukan," sahut Jaka cepat, "Aku 
ingin melihatnya dulu." Lalu tahpa 
menunggu jawaban Setyatun, Jaka segera 
melangkah masuk ke dalam gua. Ternyata 
tangisan Si Tolol sudah mulai reda. Ia 
duduk sambil bersandar ke dinding gua. 
Jaka segera mengham-piri dan sambil 
menepuk bahu Si Tolol, ia berkata: 
"Tong, mau apa tadi kau ke sini? 
Lihat, kakiku sampai terluka gara-gara 
mengejarmu, Nih, lihat bonekanya sudah 
jadi. Bagus, kau pasti senang. Ayo, 
ambillah! Setelah itu, kita akan 
segera pulang. Hari sudah mulai 
malam." 
"Nggak mau! Aku mau tidur!" 
teriak Si Tolol sambil menepiskan 
tangan Jaka, sehingga ukiran kayu di 
tangannya hampir terjatuh. Setelah 
itu, Si Tolol menyandarkan kepala dan 
memejamkan kedua mata. Agaknya anak 
itu  sangat kelelahan, sehingga dalam 
waktu singkat saja ia sudah tertidur 
pulas. Jaka menghela  nafas panjang 
beberapa kali. Rasa iba di hatinya 
melihat Si Tolol makin bertambah- 
tambah. Di kedua sudut mata bocah itu 
tampak sisa-sisa air mata yang belum 
kering. Dengan penuh kasih sayang, ia 
menyeka air mata itu. Cukup lama juga 
pemuda itu berpikir apa yang harus ia 
lakukan sekarang. Hari sudah mulai 
malam. Jika menunggu Si Tolol sampai 
bangun baru pulang, keadaan pasti akan 
membahayakan. Selain makhluk halus, di 
sekitar gunung Muria ada juga binatang 
berbahaya yang setiap saat dapat 
mengancam jiwa. Tetapi kalau ia 
membangunkan Si Tolol alangkah 
kasihannya dia. 
"Hei, dia sudah tidur. Kenapa kau 
diam saja?" tanya Setyatun yang 
rupanya ikut melangkah masuk 
menghampiri Si Tolol. 
Jaka berpaling tanpa sadar. Namun 
demi melihat tubuh Setyatun dan 
kebetulan  pula tepat pada 
selangkangannya, ia buru-buru memutar 
kepala, menatap wajah Si Tolol 
kembali. 
"Kau tidak menjawab aku. Kenapa 
kau diam saja?" tanya Dewi Tatto lagi. 
"Aku tidak apa-apa. Tapi... maaf, 
terlalu sulit rasanya bicara terhadap 
wanita seperti dirimu. Bukan maksud 
saya memuji atau menghina, tapi memang 
demikianlah kenyataannya. Harap engkau 
meninggalkan tempat ini. Atau kalau 
selama ini engkau sudah biasa di gua 
ini, kami yang akan pergi. Kasihan  
anak ini. Dia nyasar sampai ke sini, 
hidup luntang lantung tanpa sanak 
famili." 
"Tunggu dulu! Di antara kita 
sebenarnya tidak ada persoalan apa-
apa. Apakah tidak sebaiknya kita 
kenalan dulu? Siapakah engkau 
sebenarnya?" 
"Namaku Jaka, ahli ukir kayu jati 
dari Jepara ini juga." 
"Dan anak itu?" 
"Saya sendiri  belum tahu banyak 
tentang dirinya. Dia kutemukan di 
pinggir jalan sedang menangis tadi 
siang. Lalu kubawa ke tempat kerjaku. 
Dia minta aku membuatkan boneka, 
pengganti bonekanya yang katanya 
hilang diambil orang. Kasihan, tampak-
nya dia sangat menyayangi patung itu. 
Mungkin pemberian orang tuanya atau 
orang yang dikasihinya." 
Setyatun mengamati patung kayu di 
tangan Jaka, lalu memperhatikan patung 
Ratu Shima di tangannya. Sangat mirip, 
Cuma bentuknya patung kayu itu sedikit 
lebih kecil. Dan tentu saja patung 
Ratu Kalingga jauh lebih bagus, karena 
terbuat dari emas murni dan dihiasi 
intan permata pula. 
Melihat patung di tangan Jaka, 
seketika timbul ide-ide dalam pikiran 
Setyatun, yang menurutnya nanti akan 
dapat menyelamatkan patung Ratu Shima 
dari incaran para pendekar dan Si  
Tolol pun tidak akan merasa dirugikan. 
Tetapi Dewi Tatto tidak segera 
mengatakannya, karena bisa jadi Jaka 
belum percaya sepenuhnya, atau masih 
sungkan-sungkan karena keadaannya 
yang telanjang. Padahal sebenarnya 
Setyatun sendiri tidak merasa apa-apa 
jika dirinya dipandangi, karena ia 
sudah terbiasa sekali dan  menganggap 
gambar-gambar tatto adalah  pengganti 
pakaiannya sendiri. Sekarang timbul 
niat dalam benaknya agar Jaka merasa 
cukup akrab dengannya. Barulah setelah 
itu ia membeberkan rencananya. 
"Jaka," Setyatun menyebut nama 
pemuda itu dengan sikap ramah seolah-
olah mereka sudah cukup lama saling 
kenal, "Apakah engkau tidak tahu 
patung apakah sebenarnya yang saya 
pegang ini?" 
Jaka melirik patung Ratu Shima 
sebentar, lalu menggelengkan kepalanya 
dan    dikatakannya yang ia tahu 
hanyalah terbuat dari emas, dihiasi 
permata intan, patung seorang ratu 
yang sangat indah dan cantik. Cuma 
itu, jika misalnya ada hal-hal lain 
yang lebih menarik lagi, ia sama 
sekali tidak tahu. 
Mendengar jawaban Jaka itu, 
yakinlah Setyatun bahwa lelaki itu 
benar-benar tidak mengenal patung Ratu 
Shima, apalagi mengetahui rahasia 
wasiat yang tersimpan didalamnya. 
 
Entah bagaimana pula sikap Jaka kalau 
ia tahu. Mungkin dia akan bersikap 
biasa-biasa saja tetapi tidak mustahil 
pula akan berusaha merebutnya. Kalau 
itu benar-benar terjadi, mungkin bukan 
hanya rasa benci yang akan bergejolak 
dalam hati Setyatun, tetapi juga 
amarah. 
"Jaka,  apakah engkau tidak ingin 
memiliki patung ini?" tanya Setaytun 
dengan maksud memancing sikap pemuda 
itu. 
Jaka tidak segera menyahut, 
karena ia menyadai bahwa di balik 
pertanyaan itu ada maksud-maksdu 
tersembunyi. Mungkin Dewi Tatto hendak 
memancingnya atau dengan alasan lain. 
Sebab bukankah patung itu terbuat dari 
emas dan dihiasi intan  permata  pula? 
Siapa gerangan orang yang tidak 
menginginkannya? 
"Kenapa kau tidak menjawab 
pertanyaanku?" tanya Setyatun. 
Jaka mengusap kening Si Tolol 
dengan pelan, lalu kemudian berkata: 
"Kukira adalah kurang bijaksana engkau 
bertanya seperti itu padaku. 
Katakanlah apa sebenarnya maksudmu!" 
Setayatun agak terkejut juga 
mendengar jawaban Jaka. Entah mengapa 
seketika timbullah rasa kagum di 
hatinya. Jawaban seperti itu menurut 
penilaian Setyatun sangat tepat, 
seolah-olah memaksa si penanya untuk  
segera menjelaskan maksud hatinya. 
"Jaka, tidak tahukan engkau bahwa 
saat ini banyak pendekar berkeliaran 
di sekitar gunung Muria ini? Mereka 
telah siap mengadu nyawa, membunuh 
atau dibunuh untuk memperebutkan 
patung ini," kata Setyatun. 
"Kalau begitu bertanyalah engkau 
kepada mereka, sebab aku tak pernah 
merasa terlibat di dalamnya" 
"Ah, Jaka! Cobalah bersikap lebih 
terbuka padaku. Saat ini telah terjadi 
sesuatu yang luar biasa, yang harus 
kau ketahui. Hal itu kukatakan karena 
patung kayu ukiranmu sangat mirip 
dengan patung ratu Shima ini." 
"Patung Ratu Shima?" 
"Oh, jadi kau benar-benar tidak 
mengerti? Dengar Jaka! Patung ini 
adalah patung Ratu Shima dari kerajaan 
Kalingga di pertengahan abad ketujuh. 
Di dalam patung ini lersimpan surat 
wasiat berisi rahasia kelanggengan 
tahta dan rahasia kecantikan. Itulah 
sebabnya saat ini banyak sekali 
pendekar yang ingin merebutnya. Bukan 
hanya dari Jepara ini saja, tetapi 
juga dari negeri seberang." 
"Saya sudah pernah mendengar 
tentang patung Ratu Shima. Tetapi aku 
tak  tertarik. Mungkin kau tertarik 
akan surat wasiat itu, kenapa tidak 
kau ambil saja?" 
"Aku justru ingin memusnahkannya,  
Jaka! Tolonglah aku! Sampai mati aku 
akan mengingat jasa baikmu!" 
Jaka tertawa kecil mendengar 
ucapan Setyatun. Bagaimana ia bisa 
memberikan pertolongan? Bukankah ia 
hanya seorang pemuda biasa, yang tidak 
bisa berbuat apa-apa menghadapi para 
tokoh silat? Dalam pikiran Jaka, ia 
memang hendak diminta turut menghadapi 
para pendekar yang memperebutkan 
patung Ratu Shima. 
"Kenapa kau tertawa? Apakah 
engkau tidak mau membantuku?" 
"Apakah yang bisa kulakukan 
untukmu?" 
"Berjanjilah kau bersedia 
menolongku! Saat ini aku betul-betul 
sangat membutuhkan bantuanmu. Tanpa 
engkau semua rencanaku tidak akan bisa 
berjalan lancar." Setyatun diam 
sejenak sambil menatap punggung Jaka, 
karena pemuda itu memang masih 
membelakanginya. Lalu dengan agak 
terburu-buru, ia kemudian melanjutkan: 
"Maaf, Jaka! Bukan maksudku untuk 
memperalat dirimu. Tapi ini demi 
keselamatan patung Ratu Shima, demi 
kebaikan penduduk terutama para 
pendekar, termasuk anak itu sendiri." 
"Anak ini? Kenapa kau membawa-
bawa dirinya?" 
"Ada sesuatu hal yang luar biasa 
dalam diri anak itu. Dia memang tampak 
hanya seorang bocah biasa saja, bahkan  
kelihatan sangat tolol. Tetapi 
ternyata, di balik semua itu tersimpan 
sesuatu kekuatan luar biasa, sehingga 
hanya dalam dua tiga jurus saja, ia 
sudah  mampu menjatuhkan aku. Aku me-
nilai bahwa anak ini hebat, tapi hanya 
pada saat-saat tertentu saja." 
Jaka tertarik juga mendengar 
ucapan Setyatun. Mungkin ucapan wanita 
itu ada juga benarnya. Karena tadi ia 
sudah melihat sendiri Si Tolol bisa 
meloncat bagaikan terbang. Demikian 
hebatnya gerakan bocah berkepala 
gundul itu, sehingga Jaka mengiranya 
sedang kesurupan setan gunung Muria. 
Tetapi sebagai pemuda yang tidak 
begitu paham masalah-masalah ilmu 
silat, Jaka tidak bisa berpikir 
terlalu jauh. Ia kemudian bahkan 
menjadi bingung sendiri mendengar ada 
orang hebat, tetapi hanya pada saat 
tertentu saja. Entah kapan maksudnya 
dan bagaimana pula bisa terjadi. 
"Sekarang, tolonglah ceritakan 
bagaimana engkau bisa membikin patung 
yang persis mirip dengan patung Ratu 
Shima. Padahal seperti yang kau bilang 
tadi, selama ini belum pernah tahu 
tentang patung emas ini." 
"Aku sendiri bingung dan belum 
mengerti. Aku membuatnya atas per-
mintaan bocah ini. Kuambil sepotong 
kayu jati, tetapi aku tak tahu 
bagaimana bentuk patungnya yang hilang  
itu. Saat itu, aku ingin memba-
ngunkannya. Namun karena ia sudah 
tidur pulas, aku tidak sampai hati. 
Tiba-tiba, tanpa kusadari aku melihat 
bayangan sebuah patung, persis seperti 
yang kau pegang itu...." Lalu Jaka 
menceritakan secara mendetail tentang 
kejadian ganjil yang dialaminya 
sewaktu mengukir patung itu. 
Mendengar penjelasan Jaka, 
Setyatun manggut-manggut beberapa 
saat. Tetapi kemudian, ia mengerutkan 
alisnya, sehingga  dahinya dihiasi 
kerut merut halus. 
"Mungkin peristiwa itu ada 
sangkut  pautnya dengan anak ini. 
Tetapi kita tidak perlu terlalu 
memikirkannya. Sekarang aku  menemukan 
sebuah ide. Mari ikut aku sebentar!" 
ujar Dewi Tatto sambil menarik tangan 
Jaka. 
"Mau ke mana?" 
"Di sini ada sumber api abadi. 
Kita harus ke situ sekarang juga. 
Nanti aku akan menjelaskan semuanya. 
Biarlah bocah itu sendirian. Ia sedang 
tidur pulas." 
Jaka akhirnya menurut. Tangannya 
ditarik Setyatun sambil mengerahkan 
tenaga dalam, sehingga Jaka benar-
benar tidak bisa memberontak. Ia 
bagaikan kambing dungu saja dibawa ke 
suatu tempat di dalam gua. 
Setyatun berada di depan,  
sehingga lenggak-lenggok pinggulnya 
yang montok nampak jelas di mata Jaka. 
Tidak lama kemudian, keduanya 
sampai pada suatu  tempat yang ada 
sumber api abadi. Api itu berkobar-
kobar dari dalam lubang  batu, dari 
dalam lapisan bumi, yang pada zaman Si 
Tolol banyak terdapat di daerah gunung 
Muria sampai ke Cepu. Dan pada abad ke 
XX sampai sekarang menjadi sumber 
minyak bumi di Pulau Jawa. 
Api itu terus-terusan menyala, 
karena di dalam bumi di bawahnya 
memang terdapat sumber minyak. Akan 
tetapi karena saat itu penduduk belum 
berpikir sampai ke sana, timbullah 
dugaan bahwa api itu sengaja 
dipelihara  penghuni gunung Muria dan 
terus menyala, sehingga oleh penduduk 
setempat dinamakan api abadi, atau 
menurut warga lainnya disebut api nan 
tak kunjung padam. 
"Kenapa engkau membawaku ke 
sini?" tanya Jaka sambil menatap api 
itu. 
"Jaka, dengarkanlah baik-baik. 
Aku mempunyai rencana yang hanya bisa 
terlaksana kalau kau mau menolongku 
seperti yang kukatakan tadi. Tapi aku 
bersumpah tidak bermaksud menyulitkan 
dirimu. Aku tidak ingin seperti 
pendekar yang lain, ingin  mempere-
butkan patung Ratu Shima demi 
kepentingan pribadi, apalagi sampai  
membuat orang lain menderita. Karena 
itu aku bermaksud  memusnahkan patung 
Ratu Shima." 
"Jadi maksudmu?" 
"Dengarkanlah dulu! Jika orang 
lain menganggap patung ini menyimpan 
surat wasiat atau katakanlah ilmu yang 
sangat tinggi, tapi justru sebaliknya 
aku menilai patung emas  ini membawa 
malapetaka di gnung Muria." 
"Lalu?" 
"Setelah melihatmu, niat hatiku 
jadi berubah. Tadinya aku ingin 
memusnahkan patung Ratu Shima, tapi 
sekarang aku akan menyembunyikannya 
agar tidak menjadi rebutan para 
pendekar. Untuk itu, aku akan membuat 
patung Ratu Shima palsu yang tidak 
bisa diketahui orang lain, yakni 
dengan bantuan patung kayu ukiranmu." 
“Aku belum mengerti." 
"Baiklah, akan kujelaskan. Sejak 
tinggal  di gunung Muria ini aku 
menyimpan cukup banyak logam emas, di 
bawah tumpukan batu. Emas itu kita 
lebur, lalu dengan bantuan patung kayu 
ukiranmu sebagai cetakan, kita akan 
membuat patung Ratu Shima palsu. Ki-
ra-kira demikikanlah maksudku. Untuk 
selanjutnya, patung palsu itu kita 
berikan kepada bocah  itu, sedangkan 
yang asli kusembunyikan.  Tapi jangan 
kira aku hendak menipumu. Sama sekali 
tidak. Maaf, bukannya menyombongkan  
diri, jika aku bermaksud jahat, aku 
tak perlu bersusah payah. Sekali pukul 
saja mungkin engkau akan kehilangan 
nyawa. Karena itu aku sangat meng-
harapkan kerelaan hatimu." 
"Terserahlah kalau begitu. Aku 
tidak keberatan, karena aku pun sudah 
yakin bahwa tujuanmu baik." 
"Kau sungguh-sungguh, bukan?" 
"Sungguh-sungguh, seperti  kau 
bersungguh-sungguh hendak melaksanakan 
rencanamu!" 
“Terima kasih! Terima  kasih!" 
Setyatun ke suatu tempat tak jauh dari 
sumber api abadi. Setelah itu, ia 
jongkok, lalu menggali timbunan 
bebatuan dengan kedua tangannya. 
Berselang beberapa saat kemudian, Dewi 
Tatto kembali ke hadapan Jaka sambil 
membawa cukup  banyak gumpalan emas. 
Jaka tidak sempat bertanya dari mana 
emas itu  dari mana. Sebab sejak tadi 
sampai sekarang Jaka masih belum mampu 
menguasai perasaannya melihat tubuh 
telanjang Setyatun. 
 
* * * 
 
 
Dewi Tatto meletakkan gumpalan-
gumpalan emas  itu di  atas tanah. 
Dengan setengah berlari, ia mengambil 
beberapa genggam tanah liat, yang  
selanjutnya dengan sangat cekatan 
dibentuk menjadi sebuah mangkok 
sederhana. 
Tanah liat itu, kalau diselidiki 
mengandung zat-zat persenyawaan yang 
tahan api sampai beratus-ratus derajat 
celcius. Semacam semen untuk peleburan 
logam di dapur pabrik baja. Kalau 
terus-terusan dibakar, tidak akan 
lebur, sehingga logam yang ada di 
dalamnya jika sudah mencapai titik 
lebur akan mencair. 
Dewi  Tatto meletakkan beberapa 
bongkah batu, membentuk semacam tungku 
di atas api. Hanya dengan menggunakan 
tangannya, wanita itu meletakkan 
mangkok tanah liat di atas api. Diam-
diam Jaka terkejut juga, karena dengan 
jelas ia melihat kobaran api membakar 
tangan Setyatun, namun wanita  itu 
tenang-tenang saja. Jangankan men-
derita luka bakar, kepanasan pun 
tidak. Bagi  para pendekar yang 
memiliki ilmu tinggi, hal seperti itu 
sebenarnya tidak terlalu aneh, karena 
dengan menggunakan hawa dingin dan 
tenaga dalam, ia dapat mengatasi 
panasnya kobaran api. Kedalam mangkok 
itu, Setyatun memasukkan gumpalan-
gumpalan logam emas. 
"Kita harus bersabar menunggu, 
karena emas itu cukup lama baru bisa 
lebur. Sambil menunggu, aku akan 
membuatkan cetakan," kata Dewi Tatto  
tanpa melirik Jaka. Ia lalu membungkus 
patung Ratu  Shima dengan tanah 
lempung, seperti halnya membungkus 
ikan peda. Setelah seluruhnya ter-
tutup, Setyatun menyalurkan hawa panas 
dari dalam tubuhnya, sehingga tanah 
lempung itu cepat mengering. 
Jaka duduk sambil meletakkan 
kedua tangan pada lutut kakinya. Dari 
sudut matanya, ia memperhatikan pe-
kerjaan Setyatun dan diam-diam merasa 
kagum melihat kecekatan dan kelincahan 
wanita itu. Sebagai ahli ukir, Jaka 
lebih cepat tertarik terhadap segala 
hal yang ada sangkut pautnya dengan 
bentuk seni rupa. Kalau saja Setaytun 
mengenakan  pakaian, ia pasti akan 
menghampiri dan kalau perlu membantu, 
karena ia sudah mulai mengerti apa 
yang hendak dilakukan Dewi Tatto. 
Setelah tanah pembungkus patung 
Ratu Shima kering, Setyatun membe-
lahnya dengan menggunakan kuku jemari 
tangannya. Wanita itu mengerahkan 
tenaga dalam, sehingga kukunya 
bagaikan pisau saja membelah pepaya. 
Dan hasilnya memang luar biasa! Tanah 
lempung itu terbelah dengan rapi, 
sehingga mirip buah pepaya yang 
dibelah dengan bagian dalam berbentuk 
patung Ratu Shima. Sebuah cetakan 
untuk patung emas nanti. Sungguh 
merupakan pemikiran yang cemerlang 
pada zaman itu bagi seorang penduduk  
pribumi. 
"Patung kayu jati yang kau  bikin 
itu kebetulan ukurannya lebih kecil 
dari patung asli. Dengan demikian, 
kalau dimasukkan ke dalam cetakan ini, 
akan memberikan sela-sela yang cukup 
tebal untuk diisi tuangan emas." kata 
Setyatun. 
"Aku sudah mengerti." 
"Terimakasih. Aku tahu kau 
seorang pemuda yang baik hati. Karena 
itu kuharap  engkau  tidak keberatan 
untuk mengorbankan patung kayumu. Yang 
nantinya akan  hangus terbakar oleh 
cairan emas." 
"Aku rela, tapi jelaskan dulu 
maksudmu!" 
"Seperti yang telah kukatakan 
tadi, patung Ratu Shima selalu jadi 
rebutan tokoh-tokoh persilatan. Karena 
perebutan itu telah menimbulkan 
berbagai perbuatan kejam, aku akan 
menyembunyikan patung ini sampai suatu 
saat nanti barangkali akan ada 
petunjuk hendak kita apakan, apakah 
akan tetap disembunyikan atau seperti 
tekadku tadi akan kita musnahkan. 
Biarlah patung palsu kita berikan 
untuk menghibur bocah itu." 
Jaka manggut-manggut tanpa mengu-
capkan apa-apa. Ketika Setyatun 
kembali melanjutkan pekerjaannya, pe-
muda itu menunduk, menumpukan wajahnya 
ke atas lututnya. Mungkin karena Dewi  
Tatto terlalu bersemangat dengan 
pekerjaannya, wanita itu sama sekali 
tidak memikirkan perasaan Jaka. Ia 
memang sudah tidak merasa aneh karena 
telanjang. Tetapi mestinya ia memi-
kirkan bahwa Jaka tidaklah merasa 
demikian. Kadang-kadang Setyatun duduk 
di atas lutut dengan posisi kedua 
belah paha te-buka, atau kadang-kadang 
menjulurkan kedua kaki di atas tanah 
lebar-lebar, tepat pula menghadap 
Jaka. 
Gadis itu mulai menuangkan 
gumpalan emas yang telah mencair ke 
dalam cetakan, setelah patung kayu 
ukiran Jaka terlebih dulu di masukkan. 
Mangkok itu diangkat dengan tangannya 
sendiri tanpa merasa kepanasan sedikit 
pun juga. Sekilas Jaka melihatnya, 
lalu buru-buru menunduk lagi. Keringat 
dingin mulai membasahi wajahnya, 
karena sejak tadi ia berjuang mati-
matian menekan gejolak hasrat 
kelelakiannya. 
Ya, Tuhan! Kenapa aku harus 
melihat pemandangan  seperti ini? Aku 
jadi serba salah. Begitu cantik dan 
menggelorakan. Oh, Ronahyatun, keka-
sihku. Berdoalah untukku agar aku 
tidak pingsan melihat tubuh wanita 
telanjang itu, kata hati Jaka. 
Memang wajar kiranya kalau Jaka 
seperti itu. Sama seperti orang lain, 
pemuda itu pun mempunyai gejolak  
hasrat yang setiap saat bisa meledak-
ledak. Gejolak itu secara spontan 
datang kalau melihat pemandangan-
pemandangan sensitif. Kekuatan itu 
tersembunyi dan jika tidak terken-
dalikan akan meledak, menyeret 
seseorang kepada perbuatan-perbuatan 
yang tidak baik. 
Nafsu, memang merupakan suatu 
kekuatan dalam diri seseorang yang 
bisa menutup mata bathin serta 
membuatnya lupa segala-galanya, lupa 
mana yang baik dan mana yangburuk. 
Sering timbul perbuatan perbuatan yang 
melanggar norma-norma kesusilaan, 
perzinahan, perkosaan dan sebagainya. 
Skandal-skandal seks seperti ini, te-
lah tercatat sejak dari zaman 
purbakala sampai sekarang ini. Sebagai 
pertanda bahwa bagaimana pun pesatnya 
perkembangan zaman dan kemajuan tek-
nologi serta pengetahuan, nafsu tetap 
bisa menguasai diri seseorang. 
Untuk menghindarinya, manusia 
perlu mawas diri, waspada terhadap 
bujukan  setan laknat. Karena rasa 
nikmat dari perbuatan yang tidak baik 
itu hanya sekejap adanya. Setelah itu, 
kelak akan  timbul penyesalan, atau 
bahkan akan menyeret orang bersang-
kutan kepada dunia yang penuh 
kegelapan dan kesesatan. 
Jaka pun menyadarinya! Bahwa 
dalam  keadaan seperti itu, ia bisa  
lupa diri. Dan itu benar-benar tidak 
diinginkannya. Sejenak ia pura-pura 
pergi  ke tempat Si Tolol tidur, lalu 
balik lagi ke tempatnya semula. 
"Jaka, kau kelihatannya sedang 
mengantuk. Kalau kau ingin istirahat, 
tidurlah. Pekerjaan  ini masih agak 
lama dan memerlukan ketelitian serta 
kesabaran." 
Jaka tidak menyahut, sebab ia 
memang  tidak  mengantuk melainkan 
hendak semaput karena melihat tubuh 
Setyatun. 
Tak lama kemudian, Dewi Tatto 
melangkah ke hadapan Jaka. Gadis itu 
sudah selesai menuangkan cairan emas 
ke dalam cetakan, lalu menutupnya 
kembali dan mengikatnya rapat-rapat. 
Beberapa saat tadi, Setyatun menya-
lurkan hawa dingin dari dalam 
tubuhnya, supaya cairan emas dalam 
tuangan cepat membeku kembali. Gadis 
itu jadi kelelahan. Wajahnya yang 
halus dan bersih dibasahi keringat. 
Sambil  menatap Jaka, wanita itu 
mengatakan bahwa pekerjaan mereka 
sudah hampir selesai. Jaka mengangkat 
wajah sejenak, lalu buru-buru menun-
duk, karena Setyatun menghadap persis 
kepadanya. Tapi Dewi Tatto tampaknya 
masih saja tidak mau peduli. Sementara 
malam sudah mulai turun, seisi gunung 
Muria tampak gelap. Hanya bayang-
bayang pepohonan terlihat samar samar,  
melambai-lambai ditiup angin semilir. 

Dari kejauhan terdengar suara 
jangkrik diselang selingi suara lolong 
anjing, menciptakan suasana sunyi 
sekaligus menyeramkan. Jika sedang 
malam, hampir tak ada penduduk Jepara 
yang mau lewat di lereng gunung itu. 
Akan tetapi saat ini,cukup banyak 
orang dari golongan persilatan berada 
di gunung Muria. Kehadiran para tokoh-
tokoh tersebul tak lain tak bukan 
adalah untuk mencari patung Ratu 
Shima. Sebagai orang yang sudah 
terbiasa melanglang buana dan sering 
menghadapi beraneka rintangan dan 
cobaan, para pendekar itu sama sekali 
tidak terpengaruh oleh adanya 
kepercayaan masyarkat bahwa gunung itu 
ditunggui makhluk halus atau seje-
nisnya. Bukan sekali dua kali mereka 
mendengar cerita seperti itu. 
Di antara tokoh-tokoh persilatan 
itu adalah sepasang pendekar remaja 
dari dataran Tiongkok, yakni Hong Lie 
dan Giok Nio. Kedua pendekar itu baru 
datang dari negerinya. Dan sejak tiba 
di Jepara, mereka lebih sering tinggal 
di gunung Muria, karena keduanya ingin 
secepatnya memperoleh keterangan ten-
tang patung Ratu Shima. 
Selain  itu masih ada pendekar 
dari matahari terbit, Gahito yang juga 
memiliki kesaktian tinggi. Pendekar 
samurai itu sudah pernah bertarung  
dengan Hong Lie dan Giok Nio (baca : 
Perebutan Patung Ratu Kalingga). Dalam 
adu kekuatan itu, Gahito sempat 
terdesak, bahkan nyaris tewas di ujung 
pedang Giok Nio. Untunglah mereka 
kemudian menyadari bahwa di antara me-
reka tidak ada persoalan apa-apa 
setelah Husein muncul, sehingga perta-
rungan itu tidak dilanjutkan lagi. 
Akan tetapi, tak seorang pun di 
antara para pendekar itu yang 
mengetahui bahwa di puncakgunung 
Muria, di dalam sebuah gua, kini 
seorang tokoh silat aneh yang dijuluki 
Dewi Tatto sedang membuat patung Ratu 
Shima palsu. Karena sudah malam, 
tokoh-tokoh persilatan itu mulai 
istirahat dan sebelum tidur membahas 
rencananya untuk esok hari. 
Sedangkan Dewi Tatto sendiri 
telah  mengambil cetakan patung itu. 
Tanpa  menemui kesulitan berarti, 
cetakan itu dibuka Maka terlihatlah 
sebuah  patung emas yang  baru, yang 
ukurannya sama persis dengan patung 
Ratu Shima. 
"Jaka!" kata Setyatun setengah 
berteriak, "Lihat! Patung itu sudah 
jadi. Kau tentu tidak akan  bisa 
membedakan kalau tidak melihat permata 
intan pada patung asli." 
Jaka memperhatikan kedua patung 
di tangan Setyatun. Ia pun terkejut, 
karena benar-benar mirip. Sungguh luar  
biasa pekerjaan Setyatun, pikirnya. 
"Bagus, bukan?" tanya Setyatun. 
"Sungguh mengagumkan Tak kusangka  
kau bisa secepat itu membuat patung 
tiruan!" 
"Tapi tunggu dulu. Aku harus 
memotong bagian kaki patung ini untuk 
mengeluarkan arang kayu jati bekas 
patung ukiranmu yang ada di dalamnya. 
Ya, tentu saja patung ukiranmu sudah 
rusak karena terbakar cairan emas." 
"Tidak apa-apa." 
Dengan hanya menggunakan jari 
telunjuknya, Dewi Tatto mengorek 
patung kayu jati yang berada di 
dalamnya, yang kini sudah menjadi 
arang. Dengan demikian, jadilah sudah 
sebuah patung emas yang di dalamnya 
terdapat rongga sebesar patung kayu 
jati ukiran Jaka. 
Sekarang, sebagai pekerjaan 
terakhir adalah menyambung bagian kaki 
patung itu. Akan tetapi sebelumnya 
harus diisi dulu dengan benda-benda 
halus berupa daun kering. Dengan 
demikian. Jika patung itu misalnya 
nanti jatuh ke tangan para pendekar, 
akan mengiranya sebagai patung asli. 
Yang berisi surat-surat wasiat daun 
lontar. 
Biarlah nanti tokoh-tokoh silat 
yang serakah itu mati-matian mempere-
butkan patung palsu. Sementara patung 
asli akan disembunyikan, aman tanpa  
harus jadi kejar-kejaran orang jahat. 

Demikianlah niat Setyatun. 
Beberapa helai daun kering di-
masukkan ke dalam rongga patung 
tiruan, lalu bagian kakinya pun 
ditutup. Beberapa saat, Dewi Tatto 
menimang-nimang kedua patung emas itu, 
sedangkan Jaka tak henti-hentinya 
mengamati dan akhirnya benar-benar 
yakin bahwa bentuk patung itu benar-
benar mirip. 
Dewi Tatto menghela nafas lega. 
Wajahnya berseri-seri. Tetapi entah 
karena apa, tak lama kemudian, 
keceriaan itu sirna dari dalam 
hatinya, berganti kemurungan. Sinar 
matanya juga tampak redup, tidak lagi 
berbinar-binar. Jaka heran melihat 
perubahan gadis itu, tetapi ia tidak 
mau bertanya, karena ia masih menunggu 
apa yang akan dikatakan Setyatun. 
Namun melihat perubahan sikap 
wanita itu, Jaka sepertinya memban-
dingkannya dengan langit yang tadinya 
cerah, namun tiba-tiba ditutupi 
mendung.  Dari balik mega-mega hitam 
itu, muncul titik-titik air hujan mem-
basahi bumi. Sebetulnya, demikianlah 
keadaan Dewi Tatto sekarang, sebab 
kedua matanya tampak berkaca-kaca. 
"Jaka, patung ini sudah jadi 
seperti yang kita harapkan. Berikanlah 
patung tiruan ini kepada bocah itu 
untuk menghibur hatinya. Aku akan  
pergi, malam ini juga. Entah ke mana, 
kau tak perlu tahu, bahkan siapa pun 
tak perlu mengetahuinya." Setyatun 
mengulurkan patung tiruan ke tangan 
Jaka. Namun ketika melihat kedua mata 
gadis itu berkaca-kaca, Jaka segera 
menerimanya. Dengan agak hati-hati, ia 
bertanya: 
"Tampaknya engkau sedih sekarang. 
Apakah sebenarnya yang terjadi padamu? 
Bukankah niat hatimu sudah 
terlaksana? Dengan senang hati aku 
menerima patung tiruan itu. Dan 
percayalah, aku tidak akan membeberkan 
rahasia ini biar kepada siapa pun!" 
"Terirnakasih, Jaka! Aku sangat 
menghargai kebaikan hatimu dan 
ketahuilah, bantuanmu ini tak ternilai 
harganya bagiku. Aku tidak akan pernah 
melupakannya. Semua ini bukan hanya 
untuk kebaikan diriku, tetapi juga... 
ah, maaf. Aku tak  bisa menerus-kan 
kata-kataku...." Tiba-tiba Dewi Tatto 
menangis terisak-isak. Air matanya 
jatuh satu persatu membasahi pipinya 
yang pucat. Bahunya terguncang-gun-
cang,  sehingga sangatlah ibanya 
perasaan Jaka melihatnya. 
Seperti tidak sadar, pemuda ahli 
ukir kayu jati itu menghampiri 
Setyatun. Ditepuknya bahu gadis itu 
dengan lembut dan dengan suara yang 
sangat pelan, ia berkata: 
"Maafkan aku, jika ada sesuatu  
yang menyinggung perasaanmu. Kalau 
boleh aku tahu, apakah sebenarnya yang 
membuatmu jadi sedih?" 
Dewi Tatto tidak segera menyahut. 
Ia menyeka air matanya, lalu menghela 
nafas dalam-dalam sekadar menenangkan 
perasaannya yang galau. Setelah itu, 
dengan suara  serak dan  tersendat-
sendat, gadis itu berkata: 
"Terlalu banyak sebenarnya yang 
ingin    kukatakan padamu. Tapi adakah 
artinya itu  padamu? Kita baru saling 
kenal, bahkan kau pun belum tahu siapa 
aku sebenarnya. Namun sejak perta-
ma,kali melihatmu, sepertinya aku tak 
bisa menahan diri untuk menyembunyikan 
semua yang ada di hatiku.  Padahal 
selama ini, aku sudah bertekad untuk 
tidak pernah bercerita biar kepada 
siapa  pun. Biarlah hanya aku yang 
tahu." 
Jaka semakin heran, karena tam-
paknya    Setyatun yang memiliki 
kesaktian tinggi dan memiliki keanehan 
mempunyai problema hidup  yang sangat 
rumit bahkan mungkin sangat 
menyakitkan, sehingga sampai menitik-
kan air mata. Ternyata orang sakti, 
atau orang biasa, orang kaya atau 
orang miskin, orang cantik atau jelek 
sama saja, tak bisa melepaskan diri 
dari kesedihan serta duka cita, pikir 
Jaka. 
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu  
siapakah kau sebenarnya dan persoalan 
apakah gerangan yang kau hadapi hingga 
sangat sedih? Apakah engkau kehilangan 
orang yang sangat kau kasihi?" 
"Ah, Jaka! Biarlah aku menceri-
takannya padamu, biarpun ini barang-
kali kurang pantas kau dengar. Tapi 
sejak pertama kali melihatmu tadi, 
perasaanku tak menentu, karena engkau 
sangat mirip dengan kekasihku Prawiro. 
Aku dan dia telah lama menjalin 
hubungan cinta. Dan selama ini aku tak 
pernah membayangkan akan berpisah 
dengannya sebab demikian besar hara-
panku, demikian indah mimpi-mimpiku. 
Tapi takdir memang berkata lain. 
Semuanya hancur berantakan...." 
"Apakah kekasihmu itu meng-
khianatimu?" 
"Entahlah, aku tak bisa berkata 
begitu. Tapi sikapnya merupakan 
pendorong bagiku untuk memusnahkan 
patung Ratu Shima. Dia pun berusaha 
merebut patung ini. Dan perlu kau 
tahu, dia sendirilah orang pertama 
yang merebutnya dari si penemu patung 
Ratu Shima. Aku melihat dengan mata 
kepalaku sendiri, saat itu ada 
seseorang menggali tanah di lereng 
gunung ini. Rupanya orang itu berhasil 
menemukan patung ini, namun sebelum 
keluar, Prawiro merebutnya dengan 
menggunakan tali. Selanjutnya, tanpa 
peri kemanusiaan, kekasihku itu  
mengubur hidup-hidup orang itu...." 
"Aduh, kasihan. Orang itu tentu 
sudah mati." 
"Aku sangat kecewa, Jaka. Tadinya 
aku  bermaksud mendiamkannya sambil 
menahan perasaan yang jadi hancur. 
Tapi aku tak sanggup, sungguh tak 
sanggup. Aku keluar dari tempat 
persembunyian dan menghadangnya." 
"Lalu... kau membunuhnya?" 
"Jangan terlalu beranggapan buruk 
padaku, Jaka. Semua itu kulakukan 
bukan atas kehendakku sendiri, tetapi 
juga demi kebaikannya. Karena Sebe-
lumnya, ia telah menghancurkan diriku, 
hidupku. Ia malah main api dengan ibu 
angkatku sendiri...." 
"Hah?!"  Jaka berseru kaget 
bagaikan disambar petir. 
"Saat itu, dia tidak mengenal aku 
lagi. Dan sampai ia masuk liang kubur, 
sama sekali tidak tahu bahwa yang 
membunuhnya adalah wanita yang sangat 
mencintainya, yang telah ia hancurkan 
hidup dan segala harapannya." 
"Ya, Allah! Sungguh  berat cobaan 
hidupmu. Mudah-mudahan untuk hari 
mendalang engkau akan melupakan semua 
itu." 
"Jangan terlalu kasihan padaku, 
Jaka. Itu tidak baik. Mungkin setelah 
melihatmu, hatiku sedikit terhibur, 
karena di dunia ini masih ada lelaki 
yang mirip dengan Prawiro tetapi  
hatinya mulia. Ah, sudahlah! Aku sudah 
terlalu banyak bercerita padamu. 
Padahal apalah arti semua ini bagimu? 
Cinta katanya indah! Tetapi aku merasa 
diriku terlalu naif dilahirkan ke 
dunia ini dan barangkali sudah 
ditakdirkan pula melihat hidup ini 
dari segi yang paling buruk. Aku 
merasa lega, karena telah mengung-
kapkan ganjalan hatiku padamu." 
"Aku belum mengerti semua 
penjelasanmu. Aku...." 
"Sudahlah!" sela Setyatun cepat, 
"Tak ada lagi yang perlu kuceritakan 
padamu. Kaulah yang pertama mendengar 
kisah hidupku dan mungkin yang 
terakhir kalinya. Dan pertemuan kita 
yang pertama ini juga mungkin akan 
merupakan perpisahan untuk selama-
lamanya bagi kita." 
"Kenapa kau berkata begitu? Aku 
pun ingin bersahabat denganmu." 
"Jaka, ada pertemuan berarti ada 
pula perpisahan. Ini kenyataan. 
Seperti matahari terbit di ufuk Timur, 
demikianlah cinta itu datang ke dalam 
kehidupanku. Namun seperti matahari 
yang tenggelam di ufuk Barat, seperti 
itu pula cintaku hilang, aku akan 
pergi, sahabatku. Tolong titip  salam 
buat bocah  itu." 
"Jadi kau akan benar-benar 
pergi?" 
"Selamat berpisah, Jaka. Aku tak  
bisa lama-lama lagi." Setyatun menyeka 
air matayang kembali mengucur deras 
membasahi pipinya. Setelah itu, ia 
melangkah ke mulut  gua. Sejenak ia 
berdiri, lalu berpaling menatap Jaka. 
Dengan gerakan yang sangat  lunglai, 
Dewi Tatto melambaikan tangan, Lalu 
tubuhnya melesat bagaikan anak panah. 
Hanya sekejap saja, wanita itu telah 
lenyap di kegelapan malam. 
 
* * * 
 
 
Jaka tertegun! Ia tidak bisa 
melukiskan entah bagaimana perasaannya 
sekarang. Ada rasa sedih, kecewa, 
heran  dan entah apa lagi. Tapi yang 
jelas pertemuannya dengan Dewi Tatto 
telah menimbulkan kesan yang sangat 
dalam di hati sanubarinya. Dan 
kepergian wanita itu, yang demikian 
tiba-tiba membuatnya merasa kehilangan 
seorang sahabat. Padahal sebenarnya, 
ia baru saja mengenal Setyatun. 
Perjalanan hidup yang diceritakan 
Dewi Tatto, telah membuat pikiran Jaka 
semakin terbuka. Bahwa dalam hidup ini 
tidak semua rencana itu berhasil 
seperti diharapkan. Jalinan cinta yang 
indah yang disertai janji setia, belum 
tentu akan berakhir secara manis. 
Banyak faktor tak terduga bisa  
menggagalkannya. 
Seperti halnya Setyatun, menga-
lami pukulan bathin yang sangat berat 
karena kegagalan cintanya. Apalagi 
seperti yang diceritakannya, 
kekasihnya malah menjalin hubungan 
gelap dengan ibu angkat yang sangat ia 
hormati. Hati siapa pun, terutama kaum 
wanita tentu tidak akan kuat menerima 
kenyataan seperti itu. 
Jaka pun mulai berfikir-fikir, 
kenapa sebenarnya Setyatun jadi 
telanjang dan menghiasi sekujur 
tubuhnya dengan tatto? Katanya tadi, 
sewaktu dia ketemu dengan Prawiro, 
lelaki itu tidak mengenalnya lagi. 
Jadi besar kemungkinan, selama 
menjalin hubungan cinta, keadaan 
Setyatun belum seperti itu. Barulah 
setelah Setyatun menghi-lang karena 
patah hati, ia merubah dirinya. Bisa 
jadi, perubahannya ada sangkut pautnya 
dengan kenyataan pahit yang menimpa 
dirinya. 
Entah bagaimana perasaan gadis 
itu sewaktu membunuh kekasihnya 
sendiri. Jaka tidak bisa membayang-
kannya. Tetapi ingat semua kisah Dewi 
Tatto, ia pun terkenang kepada 
Ronahyatun, putri Pak Cokro. Keduanya 
pun sudah cukup lama menjalin hu-
bungan cinta. Tetapi akhir-akhir ini, 
Raden Bei Kiduling Pasar tergila-gila 
pula terhadap kekasihnya itu. Orang  
kaya itu malahan menggunakan harta 
bendanya yang melimpah untuk menggaet 
Ronah. 
Apakah aku kelak  akan mengalami 
nasib tragis seperti wanita bertatto 
itu? Tanya hati Jaka dengan perasaan 
tak enak. Ah, tidak mungkin! Jaka 
menghibur hatinya sendiri. Lagi pula 
kenapa ia terlalu memikirkan sesuatu 
yang belum terjadi? Ronah sangat 
mencintainya, demikian pula halnya 
dengan Jaka sendiri. Dengan demikian, 
tak ada yang perlu dicemaskan. 
Bukankah cinta itu memiliki nilai yang 
tidak bisa diukur dengan harta benda? 
Ah, tiba-tiba Jaka teringat bahwa 
ia belum mengetahui nama wanita 
bertatto itu. Mudah-mudahan suatu saat 
nanti aku masih bisa bertemu dengan-
nya, kata Jaka dalam hati. 
Perlahan-lahan, ia melangkah ke 
tempat Si Tolol tidur. Bocah itu masih 
pulas. Astaga! Hari rupanya sudah 
larut malam, bahkan sudah mulai pagi. 
Sunggut tidak terasa oleh Jaka! Ia pun 
merasa sangat letih, tetapi untuk 
tidur sudah tanggung. Akhirnya, karena 
kebingungan, ia membangunkan Si Tolol. 
"Hei, Tong! Bangun! Hari sudah 
pagi!" katanya sambil mengguncang-
guncang tubuh Si Tolol. 
Si Tolol terbangun sambil meng-
usap-usap matanya. Ia menatap Jaka 
sejenak. Dan begitu melihat patung  
emas itu, ia segera meloncat bangun 
kegiranan. 
"Hei, ini dia bonekaku, bagus 
sekali!" "Ya, bagus! Tapi boneka kayu 
yang kuukir itu telah kubuang." 
"Aku sangat senang sekarang. Dari 
manakah Akang mendapatkan boneka ini? 
Oh, iya! Kayaknya di sini ada Mbakyu 
cakep tadi. Dia memegang boneka ini. 
Ke mana dia, ya? Apakah Akang tidak 
melihatnya? Dia tidak mengenakan 
pakaian mungkin mau mandi." 
Jaka tersenyum mendengar kata-
kata Si Tolol. Makin terasa olehnya 
bahwa bocah di hadapannya ini memang 
betul-betul tolol. Melihat wanita 
bertatto itu tidak mengenakan pakaian, 
malah dikira hendak mandi. Padahal di 
gua tidak ada air. Akan tetapi setelah 
mengingat kehebatan Si Tolol yang bisa 
meloncat jauh dan tinggi agak ragu-ra-
gu juga Jaka. Karena ternyata Si Tolol 
bisa berbuat begitu bukan karena 
kesurupan setan. Entah orang apa 
sebenarnya ini, pikir Jaka. 
"Akang kok diam saja? Mbakyu 
cakep itu ke mana perginya?" 
"Dia sudah pulang ke rumahnya. 
Dia titip boneka ini tadi untukmu." 
"Wah, baik benar dia, ya? Padahal 
di sini banyak sekali orang jahat yang 
selalu ingin merebutnya. Dimanakah 
rumahnya, Kang?" 
"Jauh, jauh sekali. Ah, sudahlah.  
Kita tak perlu memikirkannya. Sebaik-
nya kita pulang saja. Kau tentunya 
sudah lapar, bukan?" 
"Ya, nasinya yang banyak ya, 
Kang!" 
"Tentu, tentu! Ayolah, kita 
pulang!" 
Beberapa saat kemudian, kedua 
orang itu keluar dari dalam gua. Si 
Tolol berjalan di belakang sambil 
berpegangan pada tangan Jaka. Ia tak 
henti-hentinya mengatakan 
kegembiraannya terhadap boneka emas 
itu. Dikatakannya pula bahwa ia tidak 
ingin memberikan patung itu biar 
kepada siapa pun. Kalau nanti misalnya 
ada orang jahat yang hendak 
merampasnya, ia meminta Jaka memukul 
orang itu sampai menangis minta ampun. 
Si Tolol sama sekali tidak 
menyadari bahwa Jaka bukanlah 
pendekar, sebab yang ia lihat adalah 
Jaka itu seorang pemuda dewasa, tegap 
dan baik. Berarti ilmunya pun hebat, 
bisa mengalahkan orang jahat seperti 
lelaki bersorban dan telinganya 
dihiasi anting-anting. 
Jaka cuma tersenyum-senyum mende-
ngar kata-kata Si Tolol. Ketika ia 
dengan terus terang mengatakan tidak 
bisa berkelahi, Si Tolol tidak 
percaya. Dikatakannya selama berada di 
dekat Jaka, ia tidak takut lagi 
terhadap penjahat atau siapa saja pun  
yang ingin merampas patung emasnya. 
"Siapakah namamu sebenarnya?" 
tanya Jaka. 
"Si Tolon”. 
"Tolon? Apa bukan Si Tolol?" 
tanya Jaka sambil tertawa-tawa dengan 
maksud bercanda. 
"Ya, Kang. Orang-orang selalu 
memanggilku Si Tolol." 
"Tapi namamu yang sebenarnya 
siapa?"  
"Ya, Si Tolol!" 
Jaka  menatap wajah Si Tolol 
dalam-dalam. Wajah bocah itu tampak 
sangat serius, tidak sedang bercanda. 
Apa memang benar namanya Si Tolol? 
Tanya hati Jaka. Tetapi mana ada orang 
tua yang mau menamai anaknya Si Tolol? 
Mungkin itu hanyalah julukan dari 
masyarakat setempat karena bocah itu 
memang tolol. Lalu bocah berkepala 
botak itu pun terbiasa pula, sehingga 
bisa jadi ia telah melupakan namanya 
yang sebenarnya. 
Setibanya di dekat jurang batu 
lereng Muria, Si Tolol menjadi keta-
kutan. Wajahnya pucat pasi, sekujur 
tubuhnya gemetar. Padahal sewaktu 
hendak ke gua dalam keadaan masih 
tertidur, ia dengan tenang saja bisa 
meloncati jurang itu. Ia mendekap 
pinggang Jaka sambil menyembunyikan 
wajahnya, tidak berani melihat jurang 
itu. 
 
"Hiiii! Jurang, Kang. Aku ngeri 
lihat jurang! Jangan lewat sini, Kang. 
Takut, Kang!" 
"Bukankah sewaktu ke sini kau 
seenaknya saja meloncatinya? Bukit-
bukit saja kau loncati. Kenapa 
sekarang jadi takut?"  
"Jangan, Kang. Jangan...!" Jaka 
menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun 
segera teringat perkataan Dewi Tatto 
bahwa bocah itu memang sakti luar 
biasa, tetapi kesaktiannya hanya 
sewaktu-waktu  saja datang dan pergi 
dengan  tiba-tiba. Jaka sungguh tidak 
bisa memahami hal itu. Sebab seperti 
dirinya misalnya, karena sudah pada 
dasarhya ahli mengukir. Sebagai orang 
biasa, Jaka belum bisa memikirkan 
keanehan Si Tolol, apalagi memahami 
kehebatan naluri Si Tolol yang luar 
biasa, sehingga melalui mimpi ia bisa 
melihat bahwa bumi ini bentuknya 
bulat. Padahal pada zamannya Si Tolol, 
penduduk di Jepara maupun di Sumedang 
belum ada yang mengetahuinya. 
"Baiklah, Tong! Aku akan 
menuntunmu turun dengan perlahan-
lahan. Kita harus pulang secepatnya." 
"Hu... uu...nggak mau! Nggak mau! 
Aku takut terpeleset dan menggelinding 
ke bawah sana." 
"Tidak apa-apa. Aku akan memegang 
tanganmu, pasti tidak akan 
terpeleset." 
 
"Aku mau digendong saja, Kang. 
Kakiku jadi gemetaran kalau melihat ke 
bawah. Ngeri, Kang! Pokoknya kalau 
tidak digendong aku tidak mau turun!" 
Jaka akhirnya mengalah. Digen-
dongnya bocah itu sambil menggerutu.  
"Huh, yang menggendong sama yang 
digendong gedean yang digendong. Bisa 
mati aku kegencet. Pantas saja namamu 
Si Tolol. Heh, jangan  mencekik 
leherku. Peganganmu harus agak ke 
bawah dan longgar sedikit. Nah, 
begitu. Tapi awas, nanti kau tidak 
boleh minta digendong terus menerus. 
Kalau masih keras kepala akan 
kutinggal!" 
"Paman Maulana juga suka menggen-
dongku, tapi tidak cerewet seperti 
Kang Jaka." 
"Ah, paman Maulanamu lagi yang 
kau ceritakan." 
Jaka kembali mengomel. Tetapi 
dengan segala kesabaran dan penuh 
pengertian, ia menuruni tebing-tebing 
itu dengan hati-hati. Ia tidak terlalu 
kesal, karena ia menyadari Si Tolol 
bersikap demikian bukan lantaran 
karena  ingin memperbudaknya, tetapi 
melainkan semata-mata karena ketolo-
lannya juga. Diam-diam Jaka merasa 
kasihan juga memikirkan nasib Si 
Tolol. Mungkin sewaktu dilahirkan, 
kondisi anak itu tidak normal atau 
bisa jadi sewaktu kecilnya mengalami  
penderitaan yang sangat berat, 
sehingga perkembangan mental dan 
otaknya jadi terhambat. 
Selain itu, Jaka juga merasa 
semakin tertarik kepada Si Tolol yang 
kadang-kadang  bersifat luar biasa. 
Setelah kedatangan bocah  itu, ia 
melihat sebuah bayangan patung, yang 
sangat bagus dan seolah-olah ada ke 
kuatan gaib yang menggerakkan ta-
ngannya mengukir patung seperti itu. 
Dan ternyala kemudian, patung 
ukirannya mirip sekali dengan patung 
Ratu Shima yang ada di tangan Dewi 
Tatto. Jaka tidak percaya bahwa hal 
itu hanyalah kebetulan belaka. Pasti 
ada sangkut pautnya dengan kemampuan 
Si Tolol. 
Ketika matahari berada di atas 
kepala, Jaka dan Si Tolol sampai di 
dataran di mana terdapat perumahan 
penduduk. Di pekarangan  yang cukup 
luas, tampak sekelompok anak kecil 
sedang bermain-main dengan sangat 
riangnya. Sebagian dari anak-anak itu 
bermain kejar-kejaran, main tali 
goyang dan bernyanyi-nyanyi. Suara 
hiruk pikuk anak-anak membuat suasana 
di kampung itu lebih meriah dan 
semarak. 
"Hei,  Tong! Kita sudah sampai, 
turunlah. Malu tuh di depan banyak 
anak-anak," kata Jaka. 
Akan tetapi Si Tolol tidak  
menjawab. Yang terdengar malah suara 
dengkurnya. Astaga! Dia tidur lagi, 
kata Jaka dalam hati dengan kesal. 
Tetapi untuk menurunkan Si lolol, ia 
tidak tega. Maka ia terpaksa mene-
ruskan perjalanan walaupun punggungnya 
sudah terasa sangat pegal. 
Kedatangan Jaka dan Si Tolol 
rupanya menarik perhatian anak-anak 
yang sedang bermain-main itu. Empat di 
antara anak-anak itu adalah yang dulu 
ikut ke lereng gunung Muria, ketika Si 
Tolol mengatakan hendak melubangi bumi 
hingga tembus dari ujung yang satu ke 
ujung di seberang. Tetapi karena hari 
itu sudah hampir malam, keempat anak 
itu meninggalkan Si Tolol sendirian di 
dalam lubang galiannya. 
Anak-anak itu tidak tahu bahwa 
saat itu Si Tolol menemukan patung 
Ratu Shima, tetapi kemudian dikubur 
hidup-hidup oleh Prawiro. Sejak itu 
pula, anak-anak tadi tidak pernah lagi 
melihat Si Tolol. Maka mereka mengira 
bocah berkepala botak itu sudah 
dimakan setan atau telah pergi ke desa 
lain. 
"Hei, Min! Gimin! Coba lihat, itu 
si lucu yang tempo hari mau melubangi 
bumi yang katanya  berbentuk bulat. 
Sekarang dia sudah pulang." 
"Horeee....! Kita sambut pahlawan 
kita!" Anak-anak itu berteriak-teriak 
sambil  mengerumuni Jaka yang sedang  
menggendong Si Tolol. Jaka menjadi 
bingung melihat anak-anak kampung itu. 
Ada yang meloncat-loncat untuk 
memegangi kepala Si Tolol. Ada yang 
berteriak supaya dijatuhkan saja. Ada 
yang mencubit kaki dan pinggang Si 
Tolol. 
"Husss! Anak-anak jangan ganggu 
dia! Nanti kalau dia bangun, kalian 
akan dimakannya!" 
"Wee! Pulang-pulang kok jadi 
Bhatara Kala. Jadi Buto tukang makan 
orang!" ejek anak-anak itu. 
Dengan susah payah, Jaka berhasil 
mengusir anak-anak itu. Ia mempercepat 
langkahnya agar secepatnya sampai di 
rumah. Dari kejauhan masih terdengar 
suara anak-anak mengejek Si Tolol. 
Tapi si bocah iti| masih tetap tidur 
di gendongan Jaka. Kedua tangannya 
dilingkarkan ke leher Jaka, sambil 
menggenggam erat patung emas hasil 
karya Dewi Tatto. 
 
TAMAT 
Ikuti episoede selanjutnya