Mestika Lidah Naga 2

SENAPATI! Namamu telah terukir di hati rakyat se-
bagai senapati yang jujur dan patuh terhadap kera-
jaan. Tapi sayang sekali... Andika terlalu polos, terka-
dang tidak dapat membedakan mana yang benar dan 
mana yang salah,” ujar Kujang Gading dengan sikap 
waspada, karena ia tahu Senapati Jugala memiliki il-
mu yang tinggi. 
“Aku tidak tahu apa urusanmu dengan Adipati Na-
tajaya. Yang jelas, ia diangkat oleh Gusti Prabu. Dan 
kewajibanku, adalah melaksanakan setiap keputusan 
Gusti Prabu, menjaga kehormatan, kewibawaan dan 
keamanan orang-orang kepercayaan Gusti Prabu!” 
bentak Senapati Jugala sambil mengibaskan tali kulit-
nya ke udara. 
Tlaaaar...! 
Kibasan tali kulit itu menimbulkan bunyi letusan 
yang memekakkan telinga. Adipati Natajaya dan para 
pengawalnya terundur beberapa langkah, karena gen-
tar melihat senjata Senapati Jugala yang terkenal am-
puh dan ganas itu. 
Namun Kujang Gading tetap berdiri di tempatnya, 
sambil memperhatikan gerakan senjata lawan dengan 
seksama. Dan tali kulit itu mulai ‘melenggang-lenggok’ 
di depan Kujang Gading. Tampaknya seperti main-
main, namun sebenarnya berbahaya sekali, karena tali 
kulit itu digerakkan oleh kekuatan batin Senapati Ju-
gala yang terkenal ampuh. Kekuatan batin yang mam-
pu membelah batu terkeras sekalipun! 
Melihat Kujang Gading tetap diam di tempatnya, 
Senapati Jugala tidak buru-buru gembira. Senapati 
Jugala bahkan curiga. “Mungkin ia sedang menjebak-
ku supaya lengah. Aku memang belum pernah berta-
rung dengan orang ini, tapi menurut berita yang sam-
pai ke telingaku, orang ini berilmu tinggi sekali. Karena 
itu aku harus berhati-hati!” 
Dugaan Senapati Jugala tepat sekali. Begitu ujung 
talinya akan menyentuh leher Kujang Gading, tiba-tiba 
saja lelaki bertelanjang dada itu menjatuhkan diri ke 
belakang. Dan seperti ikan berenang mundur, tubuh 
Kujang Gading melesat ke arah Senapati Jugala den-
gan kaki berada di depan. 
Senapati Jugala terkejut, karena baru sekali itu ia 
melihat gerakan yang demikian aneh. Namun secepat-
nya ia menarik tali kulitnya, untuk dihantamkan ke 
bawah, ke arah kaki Kujang Gading yang hendak me-
nubruk lututnya. Tapi tampaknya Kujang Gading pun 
sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu. 
Dan ketika ujung tali kulit itu hampir menghantam lu-
tutnya, tiba-tiba saja Kujang Gading melenggok ke 
samping kanan lawannya, persis seperti orang yang 
sedang berenang di udara! 
Ujung tali kulit itu menghantam lantai. Dan lantai 
yang terbuat dari batu hitam itu berlubang dibuatnya! 
Adipati Natajaya dan para pengawalnya terkesiap 
menyaksikan kehebatan senjata Senapati Jugala yang 
tampak sederhana tapi berbahaya itu. 
Tapi Senapati Jugala lebih terkesiap lagi. Karena ia 
tahu, kalau Kujang Gading bermaksud mencelakainya, 
dengan mudahnya ia akan roboh terluka parah atau 
binasa. Apa sebenarnya yang telah terjadi? 
Tadi, pada waktu Kujang Gading melenggok ke sam-
ping kanan Senapati Jugala, pinggang Senapati Jugala 
terasa ada yang menggelitik. Tampaknya seperti main-
main. Tapi Senapati Jugala tidak menganggapnya 
main-main. Sebagai tokoh berilmu tinggi, ia segera sa-
dar bahwa pada dasarnya Kujang Gading tidak ber-
maksud mencelakainya. Karena... seandainya ujung 
senjata Kujang Gading yang ‘menggelitik’ pinggang Se-
napati Jugala tadi, bukankah itu berarti maut? 
Di samping itu, Senapati Jugala pun sadar, bahwa 
ilmu Kujang Gading lebih tinggi daripada ilmu yang 
dimilikinya. Tapi sang Senapati tidak bisa mengabai-
kan kedudukannya sendiri, sebagai panglima perang 
kerajaan. Maka ketika dilihatnya Kujang Gading sudah 
berdiri di depannya, tetap dengan tangan kosong, Se-
napati Jugala berkata, “Ilmumu memang tinggi. Kau 
juga tampaknya sengaja menghindari pertikaian yang 
sesungguhnya denganku. Tapi kau sudah terlanjur 
bentrok dengan panglima kerajaan. Dan aku harus 
menegakkan kehormatan kerajaan, kalau perlu dengan 
nyawaku. Karena itu, hanya ada dua pilihan bagiku... 
berhasil menangkapmu, atau gugur dalam menjalan-
kan tugas!” 
Ucapan Senapati Jugala itu dilanjutkan dengan pu-
taran tali kulitnya di udara, sehingga terdengar bunyi 
angin berkesiuran... wuuut... wuut... wuuut... 
wuuut...! 
Kujang Gading tahu bahwa Senapati Jugala mulai 
mengerahkan segala kemampuannya untuk meroboh-
kannya. Dan ujung tali kulit itu menyambar-nyambar 
dengan ganasnya, sehingga Kujang Gading berkali-kali 
harus melompat ke sana-ke mari, tak ubahnya seekor 
rusa yang sedang berloncat-loncatan. 
Kujang Gading pun sadar bahwa istana Adipati Na-
tajaya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan arena 
pertarungan. Maka pada suatu saat, ketika Kujang 
Gading berada di dekat pintu... tiba-tiba saja tubuh 
Kujang Gading melesat ke luar istana Adipati Natajaya, 
disusul oleh seruan Senapati Jugala, “Jangan lari, Ku-
jang Gading!” 
Lalu tubuh Senapati Jugala pun berkelebat, menge-
jar lawannya. 
 
“Siapa mau lari?!” seru Kujang Gading yang sudah 
berdiri di alun-alun kadipaten. “Aku hanya merasa sa-
yang kalau istana yang dibangun dengan hasil keringat 
rakyat itu porak-poranda oleh tingkah laku kita!” 
Prajurit kadipaten, prajurit kerajaan dan orang-
orang yang berada di sekitar alun-alun itu, segera ber-
larian ke pinggir alun-alun, untuk menyaksikan peris-
tiwa luar biasa itu. Dalam sejarah Kadipaten Kawah-
suling, baru sekali itu terjadi seorang senapati kera-
jaan turun tangan sendiri, untuk  menangkap ‘peru-
suh’. 
“Hunuslah senjatamu!” bentak Senapati Jugala. 
“Tidak usah berbasa-basi lagi! Sekarang kita berada di 
pihak yang bertentangan dan sama-sama berkewajiban 
menjaga kehormatan.” 
Dengan tenang Kujang Gading menyahut, “Hari ini 
senjataku sudah terlalu banyak menelan korban. Mari-
lah kita lanjutkan, tanpa harus mempersoalkan senja-
taku!” 
“Kurang ajar! Rupanya kau meremehkanku! Jangan 
salahkan aku, kalau kau roboh di ujung senjataku 
nanti!” seru Senapati Jugala sambil melecutkan tali 
kulitnya ke arah pinggang Kujang Gading. 
Kali ini Kujang Gading tidak melompat ataupun 
mengelak. Ia bahkan menangkap ujung tali kulit itu 
dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya 
menyampok ke depan. 
Senapati Jugala terkejut karena tidak mengira sen-
jatanya akan ditangkap oleh lawannya, juga tidak me-
ngira pukulan lawan akan diiringi kekuatan batin yang 
demikian hebatnya. 
Tangan kanan Kujang Gading memang tidak me-
nyentuh tubuh Senapati Jugala, tapi angin pukulan-
nya... membuat Senapati Jugala terpental ke belakang, 
sementara senjatanya telah berpindah ke tangan la-
wan! 
Cepat-cepat Senapati Jugala bangkit sambil meng-
hunus kujang pusakanya. “Hari ini aku harus menga-
du jiwa denganmu, Kujang Gading!” serunya sambil 
melompat ke arah lawannya. 
“Hahahaha! Bagus! Kujang ketemu kujang! Ini baru 
permainan,” sahut Kujang Gading sambil melempar-
kan tali kulit rampasannya, melompat ke belakang, la-
lu menghunus senjatanya... kujang yang terbuat dari 
gading itu. 
Orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun 
menyaksikan peristiwa itu dengan jantung berdebar-
debar. Hanya seorang pemuda yang tampak tenang-te-
nang saja, memperhatikan setiap adegan di tengah 
alun-alun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terka-
dang pemuda itu tersenyum-senyum sendiri, seperti 
orang dungu. Pemuda itu adalah Rangga. Sejak tadi 
Rangga memperhatikan setiap gerak-gerik Kujang Ga-
ding. Dan diam-diam timbullah perasaan simpatinya 
kepada lelaki kurus bertelanjang dada itu. 
Pada saat itu Rangga berpikir, “Lelaki bergelar Ku-
jang Gading itu nekad sekali. Tapi tampaknya ia akan 
berhasil mengalahkan lawannya. Yang kutakutkan... 
apakah di antara sekian banyaknya orang, sama sekali 
tidak ada yang mau ikut campur?” 
Perhatian Rangga terpusat ke tengah alun-alun lagi. 
Pada suatu saat, Rangga melihat senjata Senapati Ju-
gala bertabrakan dengan senjata Kujang Gading. Dua-
duanya berbentuk kujang. Hanya bahannya yang ber-
beda. Kalau kujang Senapati Jugala terbuat dari besi 
berkarat, maka kujang lelaki bertelanjang dada itu ter-
buat dari gading. Namun apa yang terjadi setelah ke-
dua senjata itu bertabrakan? Kujang Senapati Jugala 
mengeluarkan lelatu api... lalu patah dua! (Editor: su-
dah puluhan tahun saya tidak mendengar kata ‘lelatu’. 
Satu kata yang hampir hilang dari ingatan saya... ?) 
Senapati Jugala melompat mundur dengan tangan 
kesemutan, dengan wajah pucat pasi. Ketika senja-
tanya beradu dengan senjata lawan tadi, ia merasa da-
danya seperti dihimpit batu besar, sebagai pertanda 
hebatnya kekuatan batin lawannya. Namun ia memak-
sa mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga 
dalamnya. Akibatnya... senjatanya patah dua... dan se-
cara diam-diam mulutnya mulai menyimpan darah. 
Dan ia melompat ke belakang, mempertahankan diri 
supaya bisa tetap berdiri. Tapi pandangannya mulai 
berkunang-kunang. Makin lama makin kabur. 
Dan akhirnya, Senapati Jugala roboh sambil me-
muntahkan darah segar dari mulutnya! 
Gemparlah orang-orang yang menonton di sekeliling 
alun-alun itu. Mereka tidak mengira bahwa Kujang Ga-
ding akan berhasil merobohkan sang Senapati yang 
terkenal tangguh dan perkasa itu. 
Tapi Kujang Gading tidak tampak gembira dengan 
kemenangannya. Ia bahkan membungkuk sambil ber-
kata, “Maafkan aku, Senapati! Aku tidak bermaksud 
mencelakakanmu....” 
Sebenarnya Kujang Gading bermaksud menyadar-
kan kembali Senapati Jugala yang tergeletak pingsan 
di atas rumput. Tapi, belum lagi sempat ia menolong 
sang Senapati, tiba-tiba tampak sesosok tubuh melesat 
dari arah selatan. 
Kujang Gading membatalkan maksudnya dan ce-
pat-cepat membalikkan badannya ke arah datangnya 
orang baru itu. Dan tiba-tiba saja Kujang Gading me-
lompat-lompat ke sana-ke mari. 
Ternyata berkelebatnya orang baru itu didahului de-
ngan tebaran serbuk beracun, sehingga Kujang Gading 
merasa perlu menghindarinya! 
Pada saat berikutnya, seorang pemuda berdiri di 
depan Kujang Gading. Pemuda itu berwajah tampan, 
bertubuh tinggi semampai dan tampak seperti orang 
baik-baik. Tapi orang yang mengerti, akan melihat si-
nar jahat yang dipancarkan lewat mata pemuda itu. 
Kini pemuda itu sudah berdiri di depan Kujang Ga-
ding, sambil mengelus-elus seekor serigala yang berada 
dalam pelukannya. 
Berbeda dengan waktu berhadapan dengan Senapa-
ti Jugala tadi, kali ini Kujang Gading bersikap garang. 
“Siapa kau?!” bentak Kujang Gading dengan pandang-
an menyelidik. “Datang-datang menyebar racun. Tentu 
kau bukan orang baik-baik!” 
Dengan suara dingin pemuda itu menyahut, “Biasa-
nya aku bertindak dulu, baru kemudian memperke-
nalkan diri. Tapi... karena sekarang cukup banyak 
orang yang menyaksikan kehadiranku di sini, baiklah, 
aku akan memperkenalkan diri.” 
Dengan sikap angkuh  pemuda itu menyapukan 
pandangannya ke sekelilingnya, kemudian berkata 
dengan suara lantang, “Namaku Prabalaya! Dan aku 
biasa dipanggil dengan julukan Ajag Hawuk.” 
Orang-orang yang menonton kejadian itu, mengang-
gap si pemuda yang mengaku bernama Prabalaya itu 
sebagai pemuda yang nekad. Pikir mereka, “Bagaimana 
mungkin pemuda seperti dia mampu menghadapi Ku-
jang Gading? Bukankah Senapati Jugala pun telah ro-
boh dibuatnya?” 
Tapi tidak demikian halnya dengan Kujang Gading 
sendiri. Begitu mendengar pemuda itu memperkenal-
kan nama dan gelarnya, Kujang Gading terundur se-
langkah, sambil memperhatikan serigala yang tengah 
dipeluk oleh pemuda itu. Memang hanya orang-orang 
yang setingkat dengan Kujang Gading saja yang bisa 
menyadari siapa pemuda bergelar Ajag Hawuk itu. 
Dan kini Kujang Gading jadi berhati-hati sekali, ka-
rena ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seo-
rang tokoh sesat berilmu tinggi dan mampu membina-
sakan lawan tanpa berkedip! 
Lalu Kujang Gading berkata dengan sikap hormat, 
“Aku yang rendah ini belum pernah menanam permu-
suhan dengan adik kandung Meong Koneng. Lalu de-
ngan alasan apa Ajag Hawuk mau mencampuri uru-
sanku?” 
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu sema-
kin heran. Tadi, ketika sedang berhadapan dengan Se-
napati Jugala, Kujang Gading tidak memperlihatkan 
sikap takut sedikit pun. Tapi kini, berhadapan dengan 
pemuda yang tampak belum berpengalaman itu, Ku-
jang Gading tampak seperti gentar. Ini membuat 
orang-orang bertanya di dalam hatinya, siapa pemuda 
itu? Apakah dia putra raja, sehingga Kujang Gading 
tampak sangat hormat padanya? 
Di antara para penonton yang sekian banyaknya 
itu, hanya Rangga yang dapat ‘mengukur’ setinggi apa 
ilmu pemuda bergelar Ajag Hawuk itu. Tadi, ketika 
Ajag Hawuk melayang ke tengah alun-alun, Rangga 
menyaksikan gerakan yang demikian entengnya, seba-
gai pertanda bahwa Ajag Hawuk seorang pemuda be-
rilmu tinggi. Maka pikir Rangga, “Tampaknya akan ter-
jadi sesuatu yang lebih seru. Jelas terlihat bahwa pe-
muda yang baru datang itu memiliki ilmu yang lebih 
tinggi daripada Senapati Jugala. Tapi tampaknya pe-
muda itu berasal dari golongan sesat, karena kedatan-
gannya didahului oleh tebaran serbuk beracun!” 
Sementara itu Senapati Jugala sudah digotong ke 
dalam istana Adipati Natajaya. Dan seorang lelaki ber-
bisik ke telinga sang Adipati, “Dia sudah datang, Kan-
jeng Adipati.” 
Adipati Natajaya mengangguk-angguk dengan se-
nyum di bibir. 
Prabalaya menurunkan serigala itu dari pangkuan-
nya, kemudian menatap wajah Kujang Gading dengan 
pandangan tajam dan senyum dingin. 
“Tidak usah membawa-bawa nama kakakku di sini. 
Kalau kau takut, serahkan kepalamu untuk dijadikan 
hiasan alun-alun ini!” bentak Prabalaya sambil menge-
luarkan sesuatu dari balik baju hitamnya—seekor ular 
bersayap! 
Kujang Gading terkesiap melihat ‘senjata’ Prabalaya 
itu. Demikian pula Rangga yang masih berdiri di anta-
ra penonton, cukup kaget melihat ular itu. Karena 
Rangga pernah mendengar dari gurunya, tentang ba-
hayanya ular bersayap yang disebut “Oray Dadali” itu. 
Menurut cerita yang pernah Rangga dengar, ular Dada-
li sangat langka di dunia ini. Ular itu memiliki keisti-
mewaan-keistimewaan yang mengerikan. Selain bisa 
terbang, ular itu bisa menyemburkan uap racun dari 
mulutnya. Dan kalau uap itu terhisap sedikit saja, nis-
caya orang yang menghisapnya akan binasa. Bukan itu 
saja. Ular Dadali sanggup melesat laksana anak panah 
terlepas dari busurnya, untuk mematuk leher korban-
nya sekaligus membinasakannya. 
Tampaknya Kujang Gading pun menyadari bahaya 
ular berwarna hitam mengkilap yang besarnya sama 
dengan ibu jari dan panjangnya setengah depa itu. Be-
gitu melihat ular yang memiliki sayap kecil di lehernya 
itu, Kujang Gading langsung menutup jalan pernapa-
sannya, sambil bersiap-siap untuk menghadapi segala 
kemungkinan. 
 
Dan tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja ular bersayap itu 
melesat ke arah dahi Kujang Gading, sambil menyem-
burkan uap hitam dari mulutnya! 
Kujang Gading cepat-cepat menundukkan kepala 
sambil menekuk lututnya, untuk menghindari patukan 
ular berbahaya itu. Tapi tampaknya ular itu sudah sa-
ngat terlatih. Begitu melihat calon korbannya merun-
duk, ular bersayap itu langsung menukik ke bawah... 
ke arah tengkuk Kujang Gading! 
“Berbahaya!” pikir Rangga sambil memandang ke 
arah ular itu. Bukan pandangan biasa, melainkan 
pandangan yang disertai kekuatan gaib... kekuatan 
yang tidak terlihat oleh siapa pun, yang ditujukan un-
tuk menolong Kujang Gading. 
Akibatnya... begitu mulut ular itu hampir menyen-
tuh tengkuk Kujang Gading, tiba-tiba saja ular itu ter-
pental ke sebelah kanan calon korbannya, kemudian 
terhempas ke tanah... dengan kepala pecah beranta-
kan! 
Prabalaya terperanjat melihat ular kesayangannya 
mampus tanpa mengetahui apa penyebabnya. 
“Kujang Gading keparat! Kau berani membunuh 
ular kesayanganku?!” bentak Prabalaya sambil mene-
puk tengkuk serigalanya. Dan serigala peliharaan Pra-
balaya itu langsung menerjang Kujang Gading. 
Sebenarnya Kujang Gading sendiri heran melihat 
ular berbahaya itu terkapar dan mampus di samping 
kanannya. Sebagai pendekar berpengalaman, segera 
saja ia sadar, bahwa ada seseorang yang ‘turun tangan’ 
membantunya. Tapi ia tidak tahu siapa tokoh yang 
masih menyembunyikan diri itu. Ia hanya dapat men-
duga bahwa tokoh itu pastilah seorang pendekar yang 
berilmu sangat tinggi, karena terbukti orang itu bisa 
bergerak tanpa terlihat oleh Prabalaya. Dan Prabalaya 
justru mengira Kujang Gading yang membunuh ular 
bersayap itu. 
Tapi tak lama Kujang Gading dapat mempertu-
rutkan keheranannya, karena dalam saat berikutnya ia 
harus mencurahkan perhatiannya kepada serigala 
yang tengah menerjangnya itu. 
Tampaknya serigala itu pun sudah sangat terlatih 
untuk berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi. 
Ketika Kujang Gading mengelakkan terjangannya, seri-
gala itu langsung mengirimkan terjangan susulan. Dan 
ketika Kujang Gading menyambutnya dengan tusukan 
kujangnya... serigala itu bergerak dengan cepat seka-
li... dan tahu-tahu kujang yang terbuat dari gading itu 
telah tergigit oleh serigala itu! 
Kujang Gading terkejut, karena tidak mengira bina-
tang buas itu dapat bergerak demikian cepatnya. Tapi 
secepatnya pula ia memukulkan tangan kirinya ke 
arah leher serigala itu, supaya senjatanya dapat ditarik 
kembali. Namun pada saat itu pula ia merasa angin 
dingin menyambar ke arah lehernya. Ia segera sadar 
bahwa ada benda-benda kecil yang sedang melesat se-
cepat kilat ke arah lehernya. 
Memang benar. Belasan jarum beracun sedang 
menghambur ke arah leher Kujang Gading. Tentu saja 
Prabalaya yang menghamburkannya. 
Terpaksa Kujang Gading membatalkan pukulannya 
yang ditujukan ke leher serigala itu, lalu menarik sen-
jatanya sekuat tenaga, sambil mengegos ke samping. 
Menurut dugaan Kujang Gading, dengan mudah ia 
dapat merenggut senjatanya yang pada bagian tengah-
nya masih digigit oleh serigala itu. Tapi ternyata duga-
annya keliru. Senjatanya seperti dicengkeram oleh jepi-
tan besi, demikian kuatnya, sehingga Kujang Gading 
mengumpat di dalam hatinya. “Gila! Mungkinkah bina-
tang ini pun sudah memiliki tenaga dalam yang begitu 
hebatnya?” 
Kenyataannya memang begitu. Jarum-jarum bera-
cun itu telah melewati samping kiri leher Kujang Ga-
ding. Namun Kujang Gading belum berhasil merenggut 
senjatanya yang masih digigit oleh serigala itu. 
Terpaksa Kujang Gading mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk merenggut senjatanya. Namun serigala 
itu pun seperti patung, berdiri terpaku dengan keem-
pat kaki menancap di tanah. 
Hanya orang-orang yang ‘tahu’ saja dapat memak-
lumi, bahwa pada saat itu sedang berlangsung adu te-
naga dalam antara Kujang Gading dengan serigala pe-
liharaan Prabalaya! 
Keringat mulai berlelehan dari wajah dan leher Ku-
jang Gading. Sementara serigala itu pun terbelalak, ka-
rena sedang mengerahkan segenap kekuatan terlatih-
nya. 
Pada suatu saat, terdengar suara berderak... 
kreek...! 
Kujang Gading berhasil merenggut senjatanya. Be-
rarti ia telah memenangkan ‘adu tenaga dalam’ itu. Ta-
pi pada detik berikutnya tampak asap hijau mengepul 
dari tangan Prabalaya. Dan asap hijau itu seperti ter-
tiup angin kencang... menyerubut ke arah Kujang Gad-
ing. 
Pada saat itu pula Rangga terkejut. Pikirnya, “Aku 
bisa membinasakan ular Dadali itu dengan kekuatan 
gaibku, karena ular itu bernyawa. Tapi asap itu benda 
mati. Aku hanya dapat menolong Kujang Gading, de-
ngan terang-terangan muncul di tengah alun-laun. 
Dan tindakan seperti itu dilarang oleh guruku!” 
Memang benar. Selain dilarang sembarangan men-
geluarkan ilmunya, Rangga pun dilarang ikut campur 
pada persengketaan orang lain, kecuali dalam keadaan 
yang sangat terpaksa. 
Maka ketika Kujang Gading sibuk menghadapi ter-
jangan serigala itu, sementara asap hijau itu menyeru-
but ke arah wajahnya, secepat itu pula Rangga berpi-
kir, “Satu-satunya jalan untuk menolong Kujang Gad-
ing hanya dengan merobohkan Prabalaya, kemudian 
secepatnya menculik Kujang Gading... yang pasti su-
dah keburu mengisap hawa racun mematikan itu!” 
Perhitungan Rangga sungguh telak. Asap berwarna 
hijau itu memudar. Tidak tampak apa-apa lagi. Namun 
sebenarnya sedang terjadi sesuatu yang lebih berba-
haya. Bahwa Kujang Gading mulai dikelilingi oleh uda-
ra yang mengandung racun ganas, pada saat ia tidak 
menyadarinya! 
Lalu, ketika Kujang Gading mengirimkan tendan-
gannya ke arah perut serigala yang sedang melayang 
ke arah perutnya, tiba-tiba saja Kujang Gading ter-
jungkal ke belakang... lalu roboh dengan wajah mem-
biru! 
Namun, pada saat yang sama, Prabalaya pun ter-
pental jauh ke samping kirinya... lalu jatuh tertelung-
kup dalam keadaan tak sadarkan diri! 
Robohnya Kujang Gading disebabkan oleh hawa ra-
cun yang disebarkan oleh Prabalaya. Tapi robohnya 
Prabalaya adalah ‘hasil perbuatan’ Rangga dengan ke-
kuatan gaibnya! 
Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga 
orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun tidak 
tahu apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di 
tengah arena pertarungan itu. Mereka juga tidak tahu 
bahwa menonton pertarungan itu, tanpa dibekali ilmu 
yang tinggi, sungguh penuh dengan resiko. 
Dan resiko itu harus dipikul oleh beberapa orang 
prajurit kerajaan yang menonton di sebelah utara. Ke-
tika angin bertiup ke arah utara, hawa beracun itu 
pun terbang ke sebelah utara. Maka tak ayal lagi, be-
berapa prajurit yang berdiri di situ... berjungkalan 
dengan wajah membiru! 
Orang-orang yang menonton di sekeliling alun-alun 
kadipaten itu menjadi gempar. “Hai! Kenapa mereka 
itu?” 
Suasana di sekeliling alun-alun itu menjadi hiruk-
pikuk. Di antara orang-orang yang gempar itu, banyak 
yang berhamburan ke arah prajurit-prajurit yang su-
dah bergeletakan di tanah itu. Akibatnya... mereka pun 
berjungkalan ke tanah, karena ‘kebagian jatah’ sisa-
sisa udara beracun yang belum pergi jauh dari tempat 
bencana itu! 
Suasana semakin gaduh tak menentu, sehingga o-
rang-orang yang masih segar tidak menyadari suatu 
kenyataan  baru, bahwa Kujang Gading telah lenyap 
dari tengah alun-alun! 
*** 
Beberapa saat kemudian, Prabalaya bangkit kemba-
li. Menggesek-gesek matanya. Terlongong sesaat, seo-
lah bertanya, “Apa sebenarnya yang barusan terjadi 
itu? Rasanya seperti ada tenaga yang demikian kuat-
nya... menghantam dari arah kananku... membuatku 
terpental dan tak sadarkan diri. Dan... hai.. Kujang 
Gading lenyap?! Kemana dia? Apakah dia yang menge-
luarkan ilmu aneh tadi? Tapi... ah... rasanya tidak 
mungkin! Pasti ada seseorang yang sengaja turun tan-
gan membantu si Kujang Gading. Tapi siapa orang 
itu?” 
Prabalaya menoleh ke arah datangnya hantaman 
tenaga gaib tadi. Ke sebelah barat. Tapi tidak ada 
orang di situ. Prajurit-prajurit kerajaan pun sudah 
berkerumun di sebelah utara, di sekeliling korban-
korban keganasan racun Prabalaya. 
Dan Prabalaya mulai menyadari hal yang satu itu. 
“Rupanya cukup banyak korban yang ditimbulkan oleh 
racunku. Tapi... ah... salah mereka sendiri. Mereka ter-
lalu dekat menonton, sehingga mereka harus memikul 
segala akibatnya!” 
Lalu Prabalaya mengingat-ingat kejadian aneh itu 
lagi. “Rasanya baru sekali tadi aku mengalami hanta-
man tersembunyi, tanpa dapat kuketahui siapa orang-
nya. Dan... hai... bukankah ular kesayanganku tadi, 
juga mati secara aneh? Jelas... jelaslah sekarang... 
pasti ada seseorang yang secara diam-diam membantu 
Kujang Gading. Dan pasti orang itu memiliki ilmu yang 
sangat tinggi. Tapi... kenapa orang itu tidak berani 
muncul secara terang-terangan? Siapa orang berilmu 
tinggi itu?” 
Ketika Prabalaya masih terlongong-longong di ten-
gah alun-alun, datanglah seorang prajurit kadipaten 
yang langsung berkata sambil membungkuk hormat, 
“Kanjeng Adipati menunggu di dalam istana.” 
Prabalaya mengernyit. Menoleh pada serigalanya 
yang sedang duduk di belakangnya. Lalu memangku 
serigala itu. Dan membawanya ke dalam istana Adipati 
Natajaya. 
*** 
Pada waktu Senapati Jugala membuka kelopak ma-
tanya, perlahan, yang pertama dilihatnya adalah Adi-
pati Natajaya. Kemudian pandangannya tertumbuk ke 
seorang pemuda yang sedang mengelus-elus seekor se-
rigala. 
Senapati Jugala bangkit perlahan-lahan, sambil me-
ngeluh, “Aaah... baru sekarang kurasakan betapa he-
batnya manusia bergelar Kujang Gading itu...!” 
“Memang betul. Kujang Gading keparat itu tangguh 
sekali. Kalau tidak ada pemuda hebat ini,  entah apa 
jadinya,” sahut Adipati Natajaya sambil menepuk bahu 
Prabalaya. 
Senapati Jugala mengalihkan pandangannya, ke a-
rah Prabalaya yang masih mengelus-elus serigalanya. 
“Siapa dia?” tanya sang Senapati dengan dahi ber-
kerut. 
Prabalaya menyahut dengan sikap hormat yang di-
buat-buat, “Nama hamba Prabalaya. Tapi orang-orang 
terbiasa menyebut hamba sebagai Ajag Hawuk.” 
Senapati Jugala terperanjat. Menoleh ke arah Adi-
pati Natajaya, sambil berdesis, “Adipati sudah berseku-
tu dengan golongan sesat?!” 
Adipati Natajaya menyahut rikuh, “Hamba rasa, da-
lam keadaan yang sangat gawat, tiada salahnya me-
minta tolong pada orang yang bersedia membantu ki-
ta...” 
“Jangan kau ucapkan kita!” sergah Senapati Jugala 
sambil berdiri. “Sebagai senapati Kerajaan Tegalinten, 
aku tidak pernah bersekongkol dengan golongan sesat 
mana pun!” 
Wajah Adipati Natajaya mendadak pucat pasi. 
Dan, tiba-tiba saja Prabalaya mengubah sikap dan 
ucapannya. “Hahahahaaaaa... Senapati..., Senapati! 
Rupanya kerajaan telah kehabisan tokoh yang patut 
diangkat sebagai senapati. Sehingga orang yang dungu 
tidak tahu diri seperti kau, dijadikan senapati!” 
“Prabalaya...!” Adipati Natajaya berseru tertahan. 
Senapati Jugala tergetar menahan amarah. 
Tapi Prabalaya masih melanjutkan kata-katanya, 
sambil menuding Senapati Jugala. “Kedunguanmu te-
lah dibuktikan dengan ketidakmampuanmu mengha-
dapi Kujang Gading! Dan kau juga seorang manusia 
yang tidak tahu diri... terbukti dengan sikap pongah-
mu yang memuakkan! Tahukah kau... kalau aku tidak 
menolongmu tadi, kau sudah mampus di tangan si Ku-
jang Gading!” 
Senapati Jugala tercengang dan mulai memperta-
nyakan kebenaran ucapan Prabalaya barusan—Benar-
kah dia menolongku tadi? 
Dan Prabalaya masih berkata lantang, “Dengan meng-
hormati kedudukanmu sebagai senapati kerajaan, aku 
masih berusaha bersikap merendahkan diri. Tapi itu 
tidak berarti bahwa kau boleh seenaknya merendah-
kan martabatku! Darah Praba adalah darah yang pan-
tang dihina. Seorang raja sekalipun, tidak akan dibiar-
kan merendahkan martabat keturunan Prabaseta!” 
Tiba-tiba saja Senapati Jugala melangkah ke pintu 
gerbang. Memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya 
yang masih hidup. Melompat ke atas kudanya yang di-
tambatkan di dekat pintu gerbang. Lalu berseru kepa-
da prajurit-prajuritnya, “Kita pulang ke kotaraja seka-
rang juga!” 
*** 
Adipati Natajaya masih terpucat-pucat di dalam is-
tananya. Memandang barisan prajurit kerajaan yang 
mulai meninggalkan pintu gerbang. Lalu menoleh ke 
arah Prabalaya yang sudah duduk kembali sambil meng-
elus-elus serigalanya. 
“Kau telah menghancurkan rencanaku,” desis Adi-
pati Natajaya. “Senapati Jugala pasti memberi laporan 
yang bukan-bukan mengenai diriku nanti.” 
Tenang saja Prabalaya menyahut, “Kanjeng Adipati 
tak usah khawatir. Senapati Jugala tidak akan menca-
pai kotaraja.” 
“Maksudmu?” Adipati Natajaya terheran-heran. 
“Hamba akan mencegatnya di tengah perjalanan. 
Lalu mengirimkannya ke neraka!” 
“Kau... kau bermaksud membunuhnya?” 
“Ya... kalau Kanjeng Adipati menghendakinya.” 
Adipati Natajaya tercenung sesaat. Lalu katanya 
perlahan, setengah berbisik, “Lakukanlah... lakukan-
lah itu..! Kurasa hanya jalan itu yang terbaik seka-
rang...!” 
“Baik!” Prabalaya bangkit. “Atas perkenan Kanjeng 
Adipati, akan hamba binasakan senapati pongah tapi 
tolol itu!” 
“Tapi... tunggu dulu! Setiap tindakan kita, hendak-
nya ditujukan untuk keuntungan kita bersama,” kata 
Adipati Natajaya. “Kalau kau membunuh Senapati Ju-
gala secara terang-terangan di depan prajurit-prajurit 
kerajaan, pasti aku akan dicurigai, karena prajurit-
prajurit itu pernah melihat kehadiranmu di sini...” 
“Kalau begitu, mereka semua akan hamba ha-
biskan, dengan meminta bantuan kakak hamba,” po-
tong Prabalaya tergesa-gesa. 
“Jangan!” Adipati Natajaya menggoyangkan tangan 
di depan wajah Prabalaya. “Tindakan seperti itu akan 
membuat Baginda mencurigaiku... karena Senapati 
Jugala sedang dalam tugas menyelidik ke Kawahsuling 
ini.” 
“Lalu apa yang harus hamba lakukan?” 
“Tadi kau bicara tentang kakakmu, bukan?” 
“Benar, Kanjeng Adipati.” 
“Kalau begitu... kita atur siasat begini...,” Adipati 
Natajaya melanjutkan kata-katanya dengan bisikan 
perlahan di telinga Prabalaya. 
Prabalaya mendengarkannya dengan sungguh-
sungguh. Kemudian mengangguk dan berkata, “Baik, 
Kanjeng Adipati. Rencana ini akan hamba laksanakan 
dengan sebaik-baiknya.” 
Adipati Natajaya tersenyum. Desisnya, “Kalau sega-
la rencana kita berjalan sebagaimana mestinya, haha-
hahaaaa... dalam waktu singkat kita akan menguasai 
kerajaan!” 
Prabalaya menyeringai. Lalu meletakkan kedua ta-
ngan di dada. Dan katanya, “Hamba mohon diri untuk 
segera melaksanakan tugas dari Kanjeng Adipati.” 
Adipati Natajaya menepuk bahu Prabalaya. “Be-
rangkatlah. Usahakan supaya perjanjian kita tidak di-
ketahui oleh siapa pun... termasuk oleh kakakmu sen-
diri.” 
Tak lama kemudian, Prabalaya melesat meninggal-
kan istana Adipati Natajaya. 
 
*** 
 
 
RANGGA tetap menempelkan telapak tangan kanan-
nya di dada Kujang Gading yang masih dalam kea-
daan tak sadar. Warna biru gelap yang menyelimuti 
wajah Kujang Gading, perlahan-lahan memudar. Dan 
wajah Rangga menjadi merah padam, sementara peluh 
pun mengalir dengan derasnya. 
Lalu tampak, wajah Kujang Gading menjadi pucat 
pasi. Pada saat itulah Rangga membungkuk dan me-
nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, sambil 
menutup pernapasannya sebatas leher, supaya hawa 
racun itu tidak masuk ke dalam dadanya. 
Kemudian Rangga menengadah dan menghembus-
kan napasnya kuat-kuat, dengan maksud membuang 
hawa racun yang tersedot olehnya. Setelah itu, ia men-
gulangi perbuatan yang sama. Membungkuk dan me-
nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, kemu-
dian membuangnya lagi. 
Demikianlah, berulang-ulang Rangga melakukan 
pertolongan itu. Dan wajah Kujang Gading yang pucat 
pasi itu pun berangsur-angsur memerah kembali. Tapi 
Kujang Gading masih tetap dalam keadaan tak sadar. 
Rangga melakukan pertolongan itu di dekat sebuah 
air terjun. Tampaknya sengaja Rangga memilih tempat 
itu. Karena setelah wajah Kujang Gading pulih seperti 
sediakala, tapi belum sadar juga, Rangga lalu meng-
gendong lelaki bertelanjang dada itu ke bawah air ter-
jun. 
Rangga meletakkan Kujang Gading sedemikian ru-
pa, sehingga air terjun itu jatuh ke atas kepala Kujang 
Gading. Dan Rangga menepuk-nepuk kepala Kujang 
Gading, pada bagian ubun-ubunnya, sehingga curahan 
air terjun itu seolah-olah meresap ke dalam kepala Ku-
jang Gading. 
Tak lama kemudian, Kujang Gading membuka kelo-
pak matanya. Cepat-cepat Rangga menaikkannya ke 
darat kembali. 
“Kau... oh... apa yang telah terjadi pada diriku?” 
gumam Kujang Gading sambil duduk bersila dan men-
gatur pernapasannya sebaik mungkin. 
Rangga hanya menjawabnya dengan senyum. 
Kujang Gading mulai menyadari apa yang telah ter-
jadi pada dirinya. Lalu katanya, “Ajag Hawuk keparat 
itu telah mencelakakanku. Tapi... apakah kau yang te-
lah menolongku tadi?” 
Rangga tetap tak mau menyahut. 
“Kita pernah berjumpa di warung nasi Nyi Tiwi itu, 
bukan?” tanya Kujang Gading lagi, sambil memperha-
tikan wajah Rangga. 
“Betul,” Rangga mengangguk. 
Dan tiba-tiba saja Kujang Gading memegang bahu 
Rangga. “Kau... kau tentu seorang pemuda yang sakti! 
Ya... orang biasa tak mungkin mampu membebaskan-
ku dari cengkeraman Ajag Hawuk!” 
Rangga malah tampak bingung, sehingga Kujang 
Gading terheran-heran dibuatnya. 
Sebenarnya Rangga mendadak teringat pada pesan 
gurunya. Bukankah ia dilarang mempertontonkan il-
munya secara sembarangan? Bukankah pula ia dila-
rang memperkenalkan diri sebagai murid Kudawu-
lung? 
Lalu, pikir Rangga, setelah lelaki ini mengetahui 
bahwa aku yang menolongnya, apa yang harus kuka-
takan padanya? Apakah aku harus membohonginya? 
Bukankah guruku juga pernah berkata bahwa mem-
bohong itu merupakan perbuatan mulut yang sangat 
hina? Bukankah bohong itu merupakan bagian dari 
kejahatan? Lalu aku harus ngomong apa? 
Ketika Rangga masih kebingungan, tiba-tiba saja 
Kujang Gading berlutut di depan Rangga, sambil ber-
kata, “Sekarang aku yang rendah ini mengerti, bahwa 
aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang 
sakti, tapi tidak ingin memperkenalkan namanya kare-
na...” 
“Husss!” sergah Rangga sambil mengangkat bahu 
Kujang Gading. “Apa-apaan ini? Namaku Rangga. Asal-
ku dari Tilugalur. Di warung Nyi Tiwi sudah kukatakan 
padamu, bukan?” 
“Ya... tapi... ah... aku ini benar-benar bodoh, tidak 
tahu dalamnya lautan dan tingginya gunung.” Kujang 
Gading memukul-mukul kepalanya sendiri. “Di warung 
Nyi Tiwi aku mengiramu manusia biasa..., oh... sung-
guh buta mataku ini!” 
“Aku memang manusia biasa, bukan siluman,” sa-
hut Rangga dengan senyum. 
“Manusia biasa tidak mungkin bisa menyela-
matkanku dari keganasan Ajag Hawuk. Sudah banyak 
pendekar berilmu tinggi yang binasa di tangan pemuda 
jahat dan kejam itu. Tapi kau....” 
“Sudahlah, Kang. Lupakan saja hal itu.” Rangga 
menepuk bahu Kujang Gading. “Sekarang tujuanmu 
mau ke mana?” 
Kujang Gading seperti diingatkan pada sesuatu. 
“Hai, di mana kita berada sekarang...?” 
“Di Pamoyanan,” sahut Rangga. 
“Pamoyanan?!” Kujang Gading melirik ke arah air 
terjun. “Oh... ya, yaaa... ya! Air terjun ini Curug Ba-
gong, bukan?” 
“Betul,” Rangga mengangguk. 
“Kalau begitu, kita sudah dekat ke Cisumpit. Seka-
rang aku mau pulang saja ke rumahku. Dan kalau kau 
bersedia... aku ingin mengajakmu ke rumahku. Aku 
ingin bersahabat dengan pemuda hebat seperti kau... 
mm... siapa namamu tadi?” 
“Rangga.” 
“Rangga. Ya... Rangga. Nama yang sederhana, tapi 
ilmumu sama sekali tidak sederhana. Oh ya... kau bo-
leh menyebut nama asliku... Wikrama.” 
“Rupanya hari ini aku bisa mengetahui sebuah ra-
hasia... bahwa nama asli Kujang Gading, adalah Wi-
krama.” 
“Memang tak banyak yang mengetahuinya, Rangga. 
Maklumlah... tindakanku belakangan ini sering berten-
tangan dengan Adipati Natajaya, sehingga aku merasa 
perlu merahasiakan diriku. Baru sekali tadi aku mun-
cul secara terang-terangan di Kawahsuling.” 
“Muncul secara terang-terangan bagaimana?” 
“Biasanya kalau aku sedang melakukan sesuatu 
yang bertentangan dengan Adipati Natajaya, aku suka 
mengenakan topeng, supaya tidak ada seorang pun 
yang mengenalku di Kawahsuling. Baru sekali tadilah 
aku bertindak tanpa topeng....” 
“Lalu setelah kau muncul secara terang-terangan 
begitu, apakah kaki tangan Adipati Natajaya tidak 
akan melacakmu ke Kawahsuling?” 
Wikrama alias Kujang Gading kontan berseru terta-
han, “Celaka! Aku tidak berpikir sampai di situ...! Oh... 
aku harus segera pulang ke Cisumpit, sebelum keluar-
gaku jadi korban!” 
Dan... laksana anak panah terlepas dari busurnya, 
Wikrama melesat ke arah timur laut (Pamoyanan ada-
lah lembah di sebelah tenggara Tilugalur, di sebelah 
barat daya Cisumpit). 
“Aku ikut, Kang!” seru Rangga yang lalu melesat pu-
la ke arah timur laut. 
“Ayolah, kejar aku!” sahut Wikrama. 
Lalu mereka seperti sepasang kijang yang sedang 
kejar-kejaran, melesat dan melompat-lompat dengan 
sangat cepatnya. 
Sementara itu, secara diam-diam Wikrama ingin 
menguji sampai di mana kehebatan Rangga yang sebe-
narnya. Wikrama mengerahkan ilmu lari dan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Ia ingin tahu apakah Rangga da-
pat mengejarnya atau tidak. Dan ternyata, setiap kali 
ia menoleh ke samping, Rangga selalu berada di situ... 
berlari dengan gaya santai, namun cepatnya luar bi-
asa. Padahal Wikrama sudah menguras tenaga dan il-
munya, untuk mencoba meninggalkan Rangga. Tapi 
secepat apa pun Wikrama berlari, Rangga tetap berada 
di sampingnya, tanpa memperlihatkan rasa lelah sedi-
kit pun. Maka Wikrama memuji di dalam hatinya, “He-
 
bat! Pemuda ini benar-benar luar biasa! Dari mana dia 
memperoleh ilmu setinggi itu?” 
Ketika mereka tiba di Cisumpit, suasana kampung 
di tepi hutan itu terasa lain  dari biasanya. Begitu 
sunyi. Begitu lengang. Wikrama yang sangat merasa-
kan kelainan itu bergumam, “Hai... kenapa kampung-
ku jadi sunyi begini? Apa yang telah terjadi di sini?” 
Bergegas ia menuju rumahnya. Membuka pintunya. 
Lalu memekik di ambang pintu, “Nyaiiii!” 
Sesosok tubuh wanita terbujur di dekat pintu. Da-
danya bergelimang darah. Wikrama memeluk tubuh 
wanita itu, tubuh yang tak bernyawa lagi itu. Dan 
Rangga tertegun di ambang pintu. Membayangkan 
kembali masa silamnya, yang agak mirip dengan nasib 
Wikrama. 
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua berjalan me-
nuju rumah Wikrama. Menoleh pada Rangga sesaat. 
Lalu menghampiri Wikrama yang masih memeluk dan 
menangisi kematian istrinya. 
“Aku tidak tahu apa kesalahanmu,” kata lelaki tua 
itu. “Tadi serombongan prajurit Kawahsuling datang ke 
sini. Kami tidak berdaya, Krama. Maafkanlah kami. 
Maafkan juga kami, karena kami tidak berani mengha-
langi mereka membawa anakmu.” 
Wikrama menoleh pada lelaki tua itu. “Jadi mereka 
membawa anakku?” tanyanya sendu. “Oh... aku me-
mang sudah menduga hal ini pasti terjadi. Tapi kenapa 
aku tidak secepatnya pulang ke sini tadi?” 
Rangga yang ikut berduka menyaksikan peristiwa 
itu, hanya meremas-remas tangannya di ambang pin-
tu. Dan Wikrama menghampirinya. Memegang ba-
hunya dengan sikap memohon. “Tolonglah anak itu, 
Rangga. Jangan biarkan dia jadi korban kebinatangan 
Adipati Natajaya. Dia... dia sebenarnya bukan anakku. 
Tapi aku berkewajiban menolongnya. Dia adalah putri 
Adipati Wiralaga...!” 
“Putri Adipati Wiralaga?!” 
“Ya. Adipati Wiralaga adalah adipati yang tewas oleh 
kaki tangan Natajaya. Kemudian Natajaya diangkat 
menjadi adipati di Kawahsuling. Tapi... nanti sajalah 
kuceritakan lebih lanjut. Sekarang tolonglah dulu ga-
dis itu... Nilamsari itu....” 
“Nilamsari namanya?” 
“Ya. Dia....” 
Belum lagi selesai Wikrama bicara, tiba-tiba Rangga 
lenyap dari pandangannya! 
Lelaki tua itu terlongong. Tak terpikirkan olehnya 
bagaimana pemuda itu bisa lenyap begitu saja dari de-
pannya. Wikrama sendiri tak kurang herannya. Lalu 
semakin percayalah ia, bahwa Rangga bukan pemuda 
biasa. 
Tapi Wikrama lalu larut dalam kesedihannya kem-
bali. Dan penduduk Cisumpit mulai berdatangan, un-
tuk menyatakan belasungkawa atas kematian istri Wi-
krama. 
 
*** 
 

SAWAHSULING tampak lebih sunyi dari biasanya. 
Peristiwa pertarungan  Kujang Gading melawan 
prajurit-prajurit kadipaten di depan warung Nyi Tiwi, 
disusul dengan datangnya rombongan prajurit kera-
jaan yang dipimpin langsung oleh Senapati Jugala, 
disusul lagi oleh peristiwa-peristiwa menggemparkan di 
alun-alun, membuat rakyat  Kawahsuling ketakutan. 
Peristiwa yang terjadi kemarin itu, kini ramai dibicara-
kan oleh rakyat Kawahsuling. Tapi mereka hanya be-
rani membicarakannya di dalam rumahnya masing-
masing. Tidak ada yang berani memperbincangkannya 
secara terang-terangan di tempat terbuka, karena pe-
ristiwa yang terjadi kemarin itu masih merupakan te-
ka-teki bagi mereka. Tidak ada yang tahu pasti, apa 
sebenarnya yang telah terjadi, meskipun mereka tahu 
bahwa kemarin cukup banyak korban yang tewas, 
yakni prajurit-prajurit kadipaten dan prajurit-prajurit 
kerajaan. 
Warung nasi Nyi Tiwi tampak sepi ketika Rangga 
masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang ma-
kan di situ, kecuali Rangga yang mulai duduk dan 
minta nasi. 
“Yang kemarin makan di sini, ya?” tegur Nyi Tiwi 
sambil menuangkan nasi ke atas piring kayu. 
“Iya,” sahut Rangga. “Kelihatannya sepi sekarang, 
ya?” 
“Sepi sekali. Sejak pagi tadi, baru dua orang yang 
makan di sini. Yahhh... tampaknya orang-orang Ka-
wahsuling sedang ketakutan keluar dari rumahnya....” 
“Ketakutan? Apa yang mereka takutkan?” 
“Kemarin kan ada peristiwa aneh dan mengerikan 
itu. Ah, masa Akang tidak tahu?” Nyi Tiwi mengira 
Rangga sengaja mencandainya. Maklum janda muda 
yang manis seperti Nyi Tiwi ini, banyak sekali yang 
menggodanya dengan bermacam-macam cara. 
“Peristiwa aneh dan mengerikan?” tukas Rangga. 
“Maksudmu... peristiwa perkelahian lelaki yang makan 
di sini kemarin itu?” 
Nyi Tiwi menoleh ke kanan kirinya, seperti takut 
ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka. Lalu 
katanya setengah berbisik, “Peristiwa perkelahian Ku-
jang Gading dengan prajurit kadipaten itu, kan hanya 
salah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi 
kemarin. Tapi... sudahlah... aku sih cuma tukang nasi. 
Nggak tahu soal-soal yang begituan. Ayolah makan, 
Kang... mumpung nasinya masih panas tuh.” 
Rangga mengangguk dan mulai makan. Tapi sambil 
makan ia mulai menyelidik. “Apakah hari ini tidak ada 
peristiwa baru?” 
“Peristiwa apa lagi?” Nyi Tiwi balik bertanya. 
“Yaaa... misalnya saja ada orang yang ditangkap 
atau digiring dari luar Kawahsuling, atau peristiwa 
lainnya.” 
Nyi Tiwi menggeleng. “Tidak ada. Hari ini justru sepi 
sekali, sehingga warungku jadi ikut-ikutan kesepian.” 
“Sama sekali tidak ada orang yang digiring ke kadi-
paten?” tanya Rangga makin menegaskan apa yang in-
gin diketahuinya. 
“Tidak ada,” Nyi Tiwi menggeleng lagi. “Sudah ah... 
jangan ngomong soal-soal yang begitu. Aku sih suka 
ketakutan sendiri, Kang.” 
Rangga melanjutkan makannya. Tidak begitu lahap, 
karena pikirannya sedang melayang-layang. Aku tidak 
tahu apakah aku sudah melanggar larangan guruku 
atau tidak. Memang aku dilarang ikut campur pada 
urusan orang lain. Tapi bukankah guruku pernah ber-
kata bahwa menolong yang lemah dan menderita itu 
suatu perbuatan yang mulia? Setelah menolong Nilam-
sari, aku akan segera kembali ke puncak Gunung Li-
magagak, untuk meminta ampun kepada guruku, ka-
rena aku telah melanggar larangannya. Tapi di mana 
Nilamsari sekarang? Dan lucunya, aku bahkan belum 
pernah melihat orang yang akan kutolong itu! 
*** 
Setelah menghabiskan nasi dan lauknya, Rangga 
menghampiri Nyi Tiwi yang sedang duduk di belakang 
dagangannya. 
“Hari sudah sore,” Rangga seperti berkata pada diri-
nya sendiri. “Mungkin aku akan kemalaman. Ah... 
seandainya ada tempat untuk menginap, aku akan 
berterimakasih sekali kepada pemilik tempat itu.” 
Nyi Tiwi mengerling dengan senyum yang agak ge-
nit. Desisnya, “Bilang saja terus terang, mau menginap 
di sini, begitu.” 
Rangga memandang wajah manis itu. “Kau bisa me-
nerimaku menginap di sini?” 
Nyi Tiwi tersipu, dengan pipi kemerah-merahan. 
“Bisa?” ulang Rangga. 
Nyi Tiwi mengangguk perlahan. Dan membayang-
kan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya. Ta-
pi lalu malu sendiri setelah melihat sikap Rangga yang 
begitu sopan. Pikirnya, lelaki muda ini tampaknya ti-
dak seperti prajurit kadipaten yang gagal memperko-
saku dahulu. Dia juga tidak seperti pedagang mata ke-
ranjang yang terpaksa kubuat menjadi tak berdaya itu. 
Tidak. Dia tampaknya baik. Padahal, ah, wajahnya 
tampan sekali. Kalau pakaiannya tidak kumal, aku ya-
kin, dia akan mirip putra bangsawan. 
“Mau berapa hari tinggal di Kawahsuling, Kang?” ta-
nya Nyi Tiwi setelah agak lama terhanyut dalam tera-
wangannya. 
“Entahlah. Mungkin aku harus menunggu sampai 
urusanku selesai.” 
“Ada urusan apa sih?” 
Pertanyaan itu membuat Rangga terkejut. Rangga 
merasa, tadi terlanjur mengucapkan perkataan ‘uru-
san’, yang seharusnya tidak diucapkannya. 
Lalu, dengan rikuh, Rangga menyahut, “Tidak. Aku 
hanya salah ngomong. Aku... aku tidak punya tujuan 
apa-apa di Kawahsuling ini. Aku hanya jalan-jalan, 
sambil....” 
“Kenapa jadi gugup begitu, Kang?” Nyi Tiwi mem-
perhatikan wajah Rangga. Kesempatan, bisa memper-
hatikan wajah yang tampan. 
Rangga mencoba mengalihkan, dengan berpura-
pura malu ditatap oleh janda muda itu. “Kau meman-
dangku terus begitu, bagaimana aku tidak gugup, 
Nyi?” 
Nyi Tiwi tertawa kecil. “Ih, Akang seperti anak pera-
wan pingitan saja.” 
Tampaknya Rangga berhasil mengalihkan percaka-
pan itu. “Aku memang selalu gugup kalau dipandang 
oleh perempuan cantik seperti kau, Nyi.” 
“Ah... masa?” 
“Betul. Tapi maaf ya, aku tidak bermaksud kurang 
ajar.” 
“Hihihi... Akang lucu.” 
“Apanya yang lucu?” 
“Akang terlalu sopan.” 
“Memangnya harus kurang ajar?” 
“Ah, nggak. Bukan itu maksudku.” 
“Lantas?” 
“Nggak tahu ah.” 
Rangga lihat tatapan yang bergoyang itu. Senyum 
yang manis itu. Tapi, ah, tiba-tiba saja Rangga teringat 
pada Tineng yang telah meninggalkannya untuk sela-
ma-lamanya. Ingatan mana membuat Rangga jadi di-
ngin. Lalu ia kembali ke tempat duduknya. 
“Tunggu sebentar ya.” Nyi Tiwi bangkit. “Aku mau 
membereskan dulu tempat untuk Akang tidur. Eh... 
siapa nama Akang?” 
“Rangga.” 
Nyi Tiwi mengingat-ingat nama itu, Rangga... Rang-
ga...! 
 Dan matahari sudah tidak menampakkan diri lagi. 
Udara Kawahsuling mulai gelap. 
Setelah membereskan kamar untuk Rangga, Nyi Ti-
wi kembali ke warungnya. Menyalakan buah  jarak 
yang ditusuk berderet seperti sate. Lalu menutupkan 
pintu dan jendela warungnya. 
“Kamarnya sudah disiapkan,” kata Nyi Tiwi sambil 
menunjuk ke salah satu pintu yang terbuka. “Akang 
sudah mau tidur, kan?” 
“Ya... aku sudah ngantuk sekali.” 

*** 

Kamar yang disediakan untuk Rangga, berdamping-
an dengan kamar Nyi Tiwi. Kedua kamar itu dibatasi 
oleh dinding kayu yang tidak begitu rapat memasang-
kannya. Maka suara orang bicara dari kamar yang sa-
tu, bisa terdengar jelas ke kamar lainnya. 
Dan Nyi Tiwi yang sudah masuk ke dalam kamar-
nya, berdesis, “Kang Rangga...!” 
Terdengar sahutan dari kamar sebelah, “Hmm?” 
“Rumah Kang Rangga di Tilugalur, ya?!” 
“Kenapa bisa tahu?” 
“Kemarin, waktu ngomong sama lelaki dari Cisum-
pit itu, aku ikut mendengarkannya.” 
“Ya, aku memang berasal dari Tilugalur. Tapi sudah 
lebih dari tiga tahun aku tidak pulang ke situ.” 
“Kata orang, Tilugalur sekarang jadi menyeramkan, 
ya Kang?” 
“Ya, katanya.” 
“Kata orang lagi... di Tilugalur sekarang ada silu-
man, Kang.” 
“Ah, masa? Seperti apa sih silumannya?” 
“Hiii... Kang... ngomong-ngomong siluman, aku jadi 
takut, nih.” 
Tidak terdengar sahutan. 
“Kang...! Aku benar-benar takut, nih...!” 
Masih tidak terdengar sahutan. 
“Kang...! Kang Rangga...! Di sini saja tidurnya, 
Kang..! Aku benar-benar takut, Kang...! Takut...!” 
Tetap tidak terdengar sahutan. 
Nyi Tiwi mengernyit sesaat. Memejamkan matanya. 
Mendesah. Melotot lagi. Lalu bangkit perlahan. Pikir-
nya, “Mungkin dia seorang lelaki pemalu. Mungkin ha-
rus aku yang datang padanya.” 
Nyi Tiwi melangkah. Berseru perlahan. “Aku pindah 
ke kamar situ, ya Kang?” 
Dan terbayang di matanya. Sesuatu yang selama hi-
dup menjanda dipertahankan, mungkin akan diserah-
kan. Soalnya, lelaki muda bernama Rangga itu mena-
rik sekali. 
Tapi, setibanya di kamar sebelah, Nyi Tiwi tidak me-
nemukan Rangga. 
“Kang!” seru janda muda itu. “Bersembunyi di ma-
na, sih?” 
Warung nasi yang bersatu dengan rumah Nyi Tiwi 
itu tetap sunyi. Tidak terdengar lagi suara lelaki. 
Hanya bunyi cengkerik yang terdengar di luar. Bersa-
hutan. 
 
*** 
 
 
TIDAK seperti rumah rakyat yang pada umumnya 
gelap gulita, istana Adipati Natajaya tampak terang-
benderang malam itu. Cahaya obor yang dinyalakan di 
setiap sudut istana, membuat bangunan megah itu 
laksana permata cemerlang di tengah lumpur hitam. 
Rangga yang bermaksud menyelidiki ada tidaknya 
Nilamsari di istana Adipati Natajaya, sudah berada di 
luar benteng. Ia tidak berani muncul di dekat pintu 
gerbang, karena di situ ada obor-obor yang menyala 
dan prajurit-prajurit yang menjaga. 
Pintu gerbang itu menghadap ke selatan. Dan Rang-
ga telah berada di sebelah timur benteng. Di situ Rang-
ga berpikir sesaat. “Aku harus menyelidik dulu ke da-
lam. Kalau Nilamsari tidak disekap di sini, sebaiknya 
aku tidak membuat onar. Tujuanku hanya satu... 
membebaskan Nilamsari dan mengembalikannya ke-
pada Wikrama.” 
Wuttt...! Rangga mencelat ke atas benteng. Mem-
perhatikan istana dari atas benteng dan langsung me-
lompat ke bagian belakang istana. Ada dua orang pen-
jaga di situ, tapi mereka tidak melihat Rangga, karena 
gerakan Rangga demikian cepatnya dan  hampir tak 
dapat dilihat oleh mata biasa. 
Tapi, untuk masuk ke dalam istana tanpa menim-
bulkan keonaran, tampaknya bukan hal yang mudah. 
Karena malam itu penjagaan demikian ketatnya, se-
hingga tidak memungkinkan orang biasa menyelundup 
ke dalamnya. Di setiap pintu yang terdapat di dalam 
istana sang Adipati, tampak dua atau tiga orang praju-
rit berjaga-jaga. 
Terpaksalah Rangga bersemadi beberapa saat, ke-
mudian memaparkan ajian ‘Halimunan’, yang mem-
buatnya tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. 
Begitu selesai  Rangga membacakan ajian ‘Halimu-
nan’, lenyaplah ia dari pandangan. Namun sesungguh-
nya ia tidak lenyap. Ajian sakti itu hanya mampu me-
ngelabui pandangan manusia sedemikian rupa, se-
hingga pemilik ajian itu bisa bergerak dengan leluasa 
tanpa dapat dilihat oleh siapa pun. Tapi, bunyi lang-
kah, bunyi napas dan sebagainya, akan tetap terden-
gar oleh orang lain. Untungnya Rangga telah memiliki 
ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sehingga 
langkahnya tidak mungkin bisa terdengar oleh orang 
yang ilmunya berada di bawah Rangga. 
Setelah Rangga menghilang dari pandangan, dengan 
bebas ia bisa memasuki istana yang dijaga ketat itu, 
tanpa harus menimbulkan keributan. Walaupun setiap 
pintu dijaga oleh dua atau tiga orang prajurit, Rangga 
bisa memasuki kamar demi kamar, tanpa diketahui 
oleh siapa pun. 
Memang sulit tugas sukarela yang sedang dilaksa-
nakan oleh Rangga itu. Terutama karena ia belum per-
nah melihat rupa gadis yang harus ditolongnya. Aki-
batnya, tiap kali ia memasuki sebuah kamar, ia harus 
berdiam diri dulu di sana, untuk memperhatikan siapa 
yang sedang tidur di kamar itu. Terkadang harus agak 
lama ia berdiri di dalam satu kamar, karena ternyata 
cukup banyak kamar yang dihuni oleh perempuan. 
Dan Rangga ingin tahu secara pasti bahwa di antara 
perempuan-perempuan yang sekian banyaknya itu ada 
Nilamsari atau tidak. Tentu saja Rangga belum tahu 
bahwa perempuan-perempuan yang tidur dalam ka-
marnya masing-masing itu, adalah selir-selir Adipati 
Natajaya. 
Rangga bahkan kebingungan. Begitu banyak pe-
rempuan di dalam istana ini. Bagaimana aku bisa me-
mastikan bahwa salah seorang di antara mereka ada-
lah gadis yang kucari? Ah... sulit sekali... karena aku 
belum pernah bertemu dengan gadis itu. 
Tapi, pikir Rangga lagi, di mana Adipati Natajaya? 
Sejak aku masuk ke dalam istana ini, aku tidak meli-
hat dia. Apakah dia sedang berada di tempat lain? 
Rangga hampir putus asa dan mau kembali ke ru-
mah Nyi Tiwi. Tapi, tiba-tiba saja pandangannya ter-
tumbuk ke sebuah pintu yang tertutup. Pintu yang 
tampak istimewa dan belum pernah dimasuki oleh 
Rangga. 
“Jangan-jangan Nilamsari disekap di dalam kamar 
yang pintunya tertutup itu,” pikir Rangga sambil me-
langkah ke arah pintu itu. 
Pintu yang tertutup itu tampaknya mendapat pen-
jagaan istimewa. Lima orang prajurit bertombak berdiri 
di depannya, dengan sikap waspada. 
“Apakah setiap malam istana ini dijaga ketat begi-
ni?” pikir Rangga yang sudah berada di depan pintu 
itu. 
Kelima prajurit yang menjaga pintu itu tidak tahu 
bahwa seorang lelaki muda sedang berdiri di depan 
mereka. Sebenarnya Rangga berharap supaya mereka 
bercakap-cakap, sedikitnya untuk dijadikan bahan pe-
nyelidikannya. Tapi prajurit-prajurit yang bertugas 
menjaga istana itu, tak ubahnya patung-patung bisu. 
Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. De-
mikian pula kelima prajurit  yang bertugas menjaga 
pintu istimewa itu. Mereka hanya berdiri tegak sambil 
memegang tombaknya masing-masing, tanpa menge-
luarkan suara apa-apa, bahkan menggerakkan anggota 
badannya pun tidak. 
Dengan hati-hati sekali Rangga melangkah maju, 
menyelinap di antara kelima penjaga itu. Setelah ber-
hasil mencapai pintu yang tertutup itu, Rangga mem-
buka pintu tersebut perlahan-lahan sekali. 
Kalau saja pintu itu membuka secara normal, 
mungkin kelima prajurit itu akan menduga ada orang 
yang hendak keluar dari dalam kamar tersebut. Tapi 
karena pintu itu terbuka perlahan-lahan sekali, salah 
seorang prajurit memperhatikannya dan tercenganglah 
prajurit itu. 
“Hai... kenapa pintu ini?” desis prajurit itu sambil 
bergegas melompat ke arah pintu itu. Dan tiba-tiba sa-
ja ia memekik perlahan, “Oh... aku... aku menyentuh 
sesuatu yang bergerak!” 
Prajurit yang lain bahkan menertawakannya. “Tentu 
saja... kau menyentuh pintu yang tertiup angin itu! 
Hihihi...” 
“Bukan... bukan pintu...! Aku merasa bersentuhan 
dengan sesuatu yang hidup... sesuatu yang... yang mi-
rip tangan manusia...!” 
“Ah! Kamu mengigau barangkali! Mangkanya kalau 
mau jaga malam begini, siangnya tidur dulu seke-
nyang-kenyangnya, supaya malamnya tidak ngelin-
dur!” 
“Tunggu... kamu pikir pintu ini bisa bergerak kalau 
tertiup angin? Kalau pintu rumahmu, mungkin bisa. 
Tapi pintu istimewa ini?! Lagipula dari tadi kan tidak 
ada angin masuk ke sini.” 
“Lantas pikirmu apa yang menggerakkannya tadi? 
Hantu? Huuu... prajurit macam apa kamu ini?” 
Prajurit yang merasa menyentuh ‘sesuatu’ itu hanya 
terlongong-longong. Lalu menggosok-gosok matanya. 
Bingung. Soalnya ia yakin benar bahwa tadi ia me-
nyentuh sesuatu yang hangat. Sesuatu yang bergerak. 
Sesuatu yang hidup dan bernyawa. Tapi kawan-
kawannya malah menertawakannya dan mengiranya 
sedang mengigau. 
Sebenarnya prajurit yang bersentuhan dengan ‘se-
suatu’ itu tidak mengigau. Yang disentuhnya tadi ada-
lah Rangga. Memang demikianlah orang yang sedang 
memakai ajian ‘Halimunan’. Ia hilang dari pandangan, 
tapi ia masih bisa disentuh! 
Setelah memasuki pintu yang dijaga paling ketat 
itu, Rangga berada di dalam ruangan yang panjang 
dan lantainya menurun. Ruangan itu lebih tepat dis-
ebut terowongan yang berkelok-kelok, menurun dan 
gelap gulita. Tapi Rangga telah menguasai ilmu ‘Panga-
long’, yang membuatnya dapat melihat dalam gelap. 
“Mungkin terowongan yang menurun ini menuju 
tempat yang sangat dirahasiakan,” pikir Rangga. “Dan 
mungkin pula di tempat rahasia itu Nilamsari dis-
ekap.” 
Rangga melangkah terus dalam keadaan tak terlihat 
oleh mata biasa, dengan ilmu ‘Pangalong’ yang me-
mungkinkannya melihat dalam udara gelap gulita. 
Terowongan itu makin lama makin menurun. Dan 
akhirnya Rangga menemukan ujungnya... sebuah pin-
tu yang tertutup lagi! 
Rangga tertegun di depan pintu itu. Pikirnya, “Pintu 
yang satu ini tidak dijaga oleh seorang prajurit pun. 
Tapi... aku mendengar suara manusia di dalam sana... 
suara manusia yang sedang bercakap-cakap!” 
Rangga meneliti pintu yang tertutup itu. Mencoba 
membukanya perlahan-lahan, tapi ternyata pintu itu 
dikunci dari dalam. 
“Aku bisa saja mendobrak pintu ini,” pikir Rangga. 
“Tapi akibatnya... mungkin akan menimbulkan kega-
duhan. Sedangkan gadis yang kucari, belum tentu ada 
di dalam sana.” 
Rangga berpikir sesaat. Dan akhirnya ia memapar-
kan ajian ‘Sewu Pangrungu’, supaya dapat menangkap 
dengan jelas apa yang dibicarakan orang-orang di balik 
pintu sana... di dalam ruang bawah tanah itu. 
Lalu Rangga mendengarkan percakapan itu. 
“Hamba tidak akan banyak menuntut, Kanjeng Adi-
pati. Hamba hanya ingin agar anak hamba diangkat 
sebagai senapati, setelah tujuan Kanjeng Adipati ber-
hasil.” 
“Percayalah, aku akan menepati janjiku. Tapi se-
mua itu tergantung pada hasil tugas Prabalaya.” 
“Hahahahaaa... Senapati Jugala terlalu ringan bagi 
anak-anak hamba, Kanjeng Adipati. Hamba yakin, be-
sok pagi salah seorang di antara mereka sudah tiba di 
sini, dengan membawa hasil seperti yang diharapkan.” 
“Hasil yang kuharapkan, adalah binasanya Senapati 
Jugala, tanpa menimbulkan kesan bahwa semuanya 
diatur dari Kawahsuling.” 
“Beres, Kanjeng Adipati. Justru karena ingin meng-
hindari kecurigaan itulah, hamba menyuruh Prabayani 
menemani adiknya. Kalau hanya untuk membunuh 
Senapati Jugala, hahahahaaa..., cukup Prabalaya sen-
diri yang berangkat!” 
“Baiklah. Kita tunggu saja hasilnya besok. Sekarang 
sudah larut malam. Kita berpisah dulu, Prabaseta.” 
“Baik, Kanjeng Adipati.” 
Lalu Rangga mendengar suara langkah mendekat. 
Dan pintu terbuka. Tampaklah Adipati Natajaya berja-
lan ke luar, sendirian dengan obor di tangannya. 
“Ke mana orang yang berbicara dengan Adipati Na-
tajaya tadi?” tanya Rangga dalam hati. 
Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Rangga tidak 
mengikuti Adipati Natajaya yang sedang menuju pintu 
yang dijaga oleh lima prajuritnya itu. Rangga malah 
berusaha memasuki ruangan yang tadi dipakai be-
runding oleh sang Adipati itu, karena pintunya tak ter-
kunci lagi. 
Tiada seorang manusia pun di ruangan rahasia itu. 
Maka pikir Rangga, “Apakah orang yang bercakap-ca-
kap dengan Adipati Natajaya tadi, seorang pemilik 
ajian Halimunan seperti aku juga? Kalau tidak, ke ma-
na dia sekarang? Tak mungkin dia menghilang begitu 
saja di dalam ruangan ini! Tapi... aku sudah mendapat 
 
nama baru... Prabaseta... ya, Prabaseta nama orang 
yang berbicara dengan Adipati Natajaya tadi. Dan ka-
lau mendengar dari percakapan tadi, Prabaseta itu 
adalah ayahnya Prabalaya... ayahnya pemuda yang 
hampir membinasakan Wikrama kemarin!” 
“Dan gilanya,” pikir Rangga lagi, “aku sama sekali 
tidak mendapat petunjuk tentang gadis yang harus ku-
bebaskan itu!”
 
*** 

Kelima prajurit penjaga pintu istimewa itu langsung 
berlutut patuh begitu melihat Adipati Natajaya muncul 
dari dalam. 
“Besok pagi, siapkan keretaku di depan istana,” ka-
ta Adipati Natajaya kepada salah seorang penjaga pin-
tu istimewa itu. 
“Timbalan, Gusti.” 
“Siapkan pula pengawal sebanyak tujuh orang.” 
“Timbalan, Gusti.” 
Kemudian Adipati Natajaya melangkah ke arah per-
aduannya. 
Salah seorang prajurit berbisik pada kawannya, 
“Besok pagi Kanjeng Adipati mau pergi jauh rupanya.” 
“Iya,” sahut prajurit yang dibisiki tadi. “Mungkin 
mau... hey... pintu itu...?!” 
Pandangan kelima prajurit itu serempak tertuju ke 
pintu yang mereka jaga. Pintu itu terbuka perlahan-
lahan... krekeeeet...! 
Dan serempak mereka berlompatan ke arah pintu 
istimewa itu, sambil menudingkan tombaknya masing-
masing. 
Tapi mereka tidak menemukan apa-apa,  kecuali 
pintu yang terbuka ‘tanpa sebab’. Mereka tidak tahu 
bahwa pintu itu bukan terbuka tanpa sebab. Pintu itu 
dibuka oleh Rangga yang hendak pergi ke luar. 
Mereka bahkan mengira pintu itu ‘diganggu’ oleh 
arwah Jarot (bayangkara Adipati Natajaya yang telah 
dibunuh oleh Kujang Gading). 
“Jangan-jangan arwah Jarot gentayangan... hiiii...!” 
“Ah, kau... kau bikin bulu kudukku berdiri!” 
“Habis... masa pintu ini bisa terbuka sendiri?” 
“Tapi jangan bilang-bilang Jarot, ah. Terus-terang 
saja, aku... agak takut...!” 
*** 
Malam sudah sangat larut ketika Rangga pulang ke 
rumah Nyi Tiwi. Dan janda muda itu menyambutnya. 
“Dari mana, Kang?” 
Terkejut juga Rangga dibuatnya. “Da... dari bela-
kang,” sahutnya tergagap. “Kau belum tidur, Nyi?” 
“Belum,” Nyi Tiwi menghampiri Rangga, dengan 
buah jarak yang menyala di tangannya. 
“Ke belakang kok lama sekali, Kang?” Nyi Tiwi du-
duk di samping Rangga. 
Rangga bahkan balik bertanya, “Kau mau tidur di 
sini?” 
Nyi Tiwi mengangguk. “Iya, aku takut, Kang.” 
“Takut apa?” Rangga agak rikuh, karena Nyi Tiwi 
merapatkan pipinya ke pipi Rangga. Hangat memang. 
Mendebarkan memang. Sudah tiga tahun Rangga hi-
dup menduda, memang. Dan Rangga lelaki normal, 
memang. Masih mudah pula, memang. 
“Tadi aku terlanjur ngomong soal siluman-siluman 
segala. Jadi saja aku takut sendiri,” sahut Nyi Tiwi 
sambil meniup api dari ‘sate’ buah jarak itu. 
Gelap kembali kamar itu. Gelap yang mendesirkan 
darah Rangga. Soalnya Rangga dapat melihat dalam 
gelap, berkat ajian Pangalong yang dimilikinya... ya... 
Rangga dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk 
dan rona wajah janda muda itu, ketika melepaskan pa-
kaiannya sehelai demi sehelai, sampai tiada penutup 
sehelai benang pun lagi di tubuhnya. 
O, wajah Nyi Tiwi itu, begitu penuh harap dan ha-
srat. Dan o, tubuh polos itu, begitu molek, begitu mu-
lus, begitu menggiurkan! 
Rangga sudah dapat menduga apa sebabnya Nyi 
Tiwi melakukan itu semua. Terlebih lagi setelah Nyi 
Tiwi memeluk dan membisikinya, “Sejak ditinggal mati 
oleh suamiku, aku belum pernah menyerahkannya pa-
da lelaki mana pun. Tapi padamu... ah... rasanya aku 
sangat membutuhkanmu malam ini, Kang.” 
Tapi Rangga justru memejamkan matanya. Memi-
kirkan kembali kegagalannya dalam mencari Nilamsa-
ri. Memikirkan kembali hilangnya orang yang berbicara 
dengan Adipati Natajaya di ruangan bawah tanah itu. 
Maka, seperti tidak menyadari apa yang sedang ter-
jadi di dalam kamar gelap itu, Rangga bahkan ber-
tanya, “Sebelum Adipati Natajaya berkuasa di Kawah-
suling ini, siapa yang menjadi adipati di sini?” 
Nyi Tiwi heran, mengapa Rangga justru menanya-
kan soal yang tidak ada hubungannya dengan hasrat 
lelaki? Namun dijawabnya juga. “Dahulu, Kawahsuling 
ini dipimpin oleh Kanjeng Adipati Wiralaga. Pada za-
man itu, daerah ini tidak aman, Kang.” 
“Tidak aman?” 
“Ya. Pada masa itu, gerombolan Bajing Bodas sering 
mengacau, merampok, memperkosa, membunuh dan... 
ah... suamiku sendiri jadi korban keganasan anggota 
Bajing Bodas, Kang.” 
“Suamimu dibunuh oleh gerombolan itu?” 
“Iya,” sahut Nyi Tiwi. “Suamiku pengikut setia Kan-
jeng Adipati Wiralaga. Dan tampaknya perkumpulan 
gelap itu membenci pengikut-pengikut setia Kanjeng 
Adipati Wiralaga. Bukan hanya suamiku yang dibunuh 
oleh orang-orang Bajing Bodas. Banyak lagi yang jadi 
korban keganasan gerombolan kejam itu. Ah... kalau I-
ngat ke sana, aku jadi sedih sekali, Kang.” 
“Lalu kenapa Adipati Wiralaga diganti oleh adipati 
yang sekarang?” 
“Kanjeng Adipati Wiralaga sendiri akhirnya jadi kor-
ban kekejaman Bajing Bodas. Gerombolan itu menyer-
bu ke dalam istana kadipaten dan berhasil membunuh 
Kanjeng Adipati Wiralaga.” 
“Ah...! Lalu kedudukan adipati diserahkan kepada 
Natajaya?” Rangga makin bersemangat untuk menge-
tahui seluk-beluk pemerintahan di Kawahsuling. 
“Ya,” sahut Nyi Tiwi. “Sebenarnya Kanjeng Adipati 
Natajaya masih saudara sepupu mendiang Adipati Wi-
ralaga. Maka tidak aneh kalau kedudukan adipati itu 
diserahkan padanya. Tapi...” Nyi Tiwi tidak melan-
jutkan kata-katanya. 
“Tapi apa?” Rangga penasaran. 
Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan, perlahan se-
kali, “Menurut kabar selentingan, Kanjeng Adipati Na-
tajaya menyembunyikan bekas istri Kanjeng Adipati 
Wiralaga di Leuwisapi... sebagai selirnya. Mungkin... 
mungkin sebelum Kanjeng Adipati Wiralaga tewas pun, 
Kanjeng Adipati Natajaya sudah... yah... sudah meng-
gilai wanita cantik itu... mungkin.” 
Rangga mengernyit. Lalu tanyanya, “Apakah Kan-
jeng Adipati Wiralaga tidak punya anak?” 
“Ada,” sahut Nyi Tiwi. “Tapi putri itu hilang bebera-
pa bulan setelah peristiwa gugurnya Kanjeng Adipati 
Wiralaga.” 
“Apakah putrinya itu bernama Nilamsari?” 
“Betul. Kok tahu?” 
“Aku pernah mendengar beritanya.” 
“Hmm... ada lagi, kabar selentingan yang lebih gila, 
Kang.” 
“Kabar tentang apa?” 
Lagi-lagi Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan per-
lahan sekali. “Kata orang... Kanjeng Adipati Natajaya 
menggilai Nilamsari...! Tapi benar tidaknya berita itu, 
aku juga belum tahu.” 
“Apa?!” Rangga terperanjat. “Bukankah Nilamsari 
itu masih terhitung keponakan Kanjeng Adipati Nata-
jaya sendiri?” 
“Iya. Soalnya... entahlah... Kanjeng Adipati Natajaya 
ini kelihatannya sangat doyan perempuan, Kang.” 
Rangga, yang belum mendengar cerita jelas dari Wi-
krama, kini mulai mendapat gambaran tentang latar 
belakang penangkapan Nilamsari itu. Pikirnya, “Mung-
kin Nilamsari melarikan diri, karena tidak mau mela-
deni cinta gila Adipati Natajaya yang pamannya sendiri 
itu. Kemudian ia dipungut  anak oleh Wikrama alias 
Kujang Gading. Atau... mungkin juga Wikrama yang 
membebaskan Nilamsari dari belenggu kebejatan Adi-
pati Natajaya. Dan munculnya Wikrama secara terang-
terangan di Kawahsuling, membuat Adipati Natajaya 
mengetahui bahwa putri yang digilainya itu disela-
matkan oleh orang Cisumpit. Lalu... di mana sekarang 
putri itu disembunyikan?” 
Nyi Tiwi mulai memancing hasrat Rangga lagi, de-
ngan pelukan hangat dan selusuran bibirnya di dada 
lelaki muda itu. Tapi Rangga masih terhanyut dalam 
arus pikirannya. “Kalau menilai dari cerita wanita ini 
ditambah dengan apa yang pernah kusaksikan sendiri, 
tampaknya Adipati Natajaya itu bukan orang baik. Su-
dah beristri... menggilai dan menculik keponakannya 
sendiri... ah... lelaki baik-baik mana yang mau bertin-
dak seperti itu? Jangan-jangan perkumpulan Bajing 
Bodas itu pun dipimpin oleh Adipati Natajaya sendiri?” 
Dugaan Rangga diperkuat oleh ucapan Nyi Tiwi be-
rikutnya, “Untunglah, sejak Kawahsuling dipimpin oleh 
Kanjeng Adipati Natajaya, perkumpulan Bajing Bodas 
tidak pernah datang mengganggu lagi.” 
Rangga menyeringai. Pikirnya, “Makin jelas... tam-
paknya perkumpulan gelap itu ada hubungannya de-
ngan Adipati Natajaya. Tapi... apakah tujuan Adipati 
Natajaya hanya sampai ingin menjadi adipati di Ka-
wahsuling?” 
Tiba-tiba saja Rangga teringat isi percakapan miste-
rius di ruang bawah tanah dalam istana Adipati Nata-
jaya tadi. “Ah! Bukankah tadi mereka memperbincang-
kan rencana pembunuhan terhadap Senapati Jugala? 
Oh... apa sebenarnya tujuan Adipati Natajaya itu? Apa-
kah dia menghendaki kedudukan yang lebih tinggi la-
gi?” 
Nyi Tiwi semakin berhasrat. Dan tak malu-malu lagi 
merintih, “Aku sudah siap, Kang. Lakukanlah...!” 
Tapi, tiba-tiba saja Rangga melompat sambil berse-
ru di dalam hatinya, “Senapati itu sedang dalam ba-
haya!” 
Dan pada saat berikutnya, tubuh Rangga berkelebat 
ke luar, lalu lenyap di kegelapan malam. 
Nyi Tiwi tercengang-cengang sendiri. Pikirnya, “Baru 
sekali ini aku menemukan lelaki muda yang begitu 
aneh. Apakah dia sengaja ingin menghindari hasratku? 
Apakah aku ini tidak menarik baginya? Bukankah de-
mikian banyak lelaki yang menggilaiku, tapi selalu ku-
tolak dengan bermacam-macam cara? Lalu kenapa le-
laki yang satu itu seperti yang tidak tertarik sedikit pun 
olehku?” 
Tanpa terasa, malam sudah merayap ke arah dini-
hari. Dan Nyi Tiwi mengenakan kembali pakaiannya, 
dengan mata berlinang-linang, dengan kecewa sedalam 
lautan. 
Kabut menyelimuti Kawahsuling, membuat para 
penjaga istana Adipati Natajaya menggigil kedinginan. 
Tapi batin Nyi Tiwi jauh lebih kedinginan lagi! 
Dan, manakala ayam-ayam jantan mulai berkokok 
di sana-sini, Nyi Tiwi belum bisa memicingkan ma-
tanya. Pikirannya melayang-layang tak menentu... 
jauh... jauh sekali...! 

*** 

Rangga sudah tahu jalan mana yang biasa ditem-
puh oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam  perjalanan 
dari kotapraja ke Kawahsuling dan sebaliknya. Dengan 
maksud ingin menyelamatkan Senapati Jugala dari 
bencana yang direncanakan oleh Adipati Natajaya itu, 
Rangga mengerahkan ilmu lari cepatnya di jalan yang 
pasti dilalui oleh rombongan Senapati Jugala tersebut. 
Demikian cepatnya Rangga berlari, sehingga telapak 
kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah. 
“Rasanya aku sudah mendapat gambaran tentang 
arti perundingan rahasia Adipati Natajaya dengan 
orang bernama Prabaseta itu,” pikir Rangga tanpa 
mengurangi kecepatan larinya. “Orang bernama Praba-
seta itu menginginkan agar anaknya diangkat sebagai 
senapati setelah tujuan Adipati Natajaya berhasil. Je-
las bahwa Adipati Natajaya mengincar kedudukan 
yang lebih tinggi daripada senapati. Dan setahuku, 
menurut undang-undang dasar Kerajaan Tigalinten, 
hanya terdapat dua kedudukan yang berada di atas 
senapati, yakni kedudukan mahapatih dan raja! Lan-
tas kedudukan apa yang diincar oleh Adipati Natajaya? 
Apakah ia ingin menjadi Mahapatih Tegalinten? Atau- 
kah secara diam-diam ia punya rencana untuk meng-
gulingkan raja dari tahtanya?” 
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur. 
Tiba-tiba saja Rangga menghentikan larinya, karena 
sekalipun ia sedang berlari demikian cepatnya, namun 
telinganya yang sudah sangat terlatih itu bisa me-
nangkap sesuatu—bunyi napas manusia! 
Dan Rangga tahu pasti bahwa bunyi napas itu ber–
asal dari balik rimbunan semak-semak di sebelah sela-
tan jalan yang sedang dilaluinya. 
Dengan hati-hati Rangga menyibakkan semak-
semak yang dicurigainya. Benar saja. Seorang lelaki 
tergeletak di balik semak-semak itu, dalam keadaan 
kritis... seperti sedang menghadapi sakaratul maut! 
Melihat pakaian lelaki itu, cepat saja Rangga tahu 
bahwa lelaki itu seorang prajurit kerajaan. Dan cepat 
saja Rangga tahu bahwa prajurit itu sudah dirisaukan 
sejenis racun yang demikian hebatnya, sehingga tam-
paknya prajurit itu tidak mungkin bisa disembuhkan 
lagi. 
Rangga mengeluarkan prajurit itu dari dalam se-
mak-semak, lalu meletakkannya di atas rumput. 
“Kasihan,” pikir Rangga. “Prajurit ini tidak mungkin 
bisa ditolong lagi. Racun jahat telah merasuki tubuh-
nya dan telah sampai di jantungnya! Sayang sekali, 
aku tidak akan dapat menolongnya.” 
Tapi Rangga masih bisa menanyai prajurit yang su-
dah berada di ambang ajalnya itu. “Apa yang telah ter-
jadi? Bukankah kau anak buah Senapati Jugala?” 
Dengan lemah dan terputus-putus, prajurit itu 
menjawab, “Racun ini... ter... terlalu hebat... oh... Kan-
jeng Senapati juga... te... telah tewas...!” 
Rangga terperanjat. “Senapati Jugala maksudmu?” 
“Be... betul... ah...!”  
Rangga ingin bertanya lebih jauh. Tapi ternyata pra-
jurit itu telah menghembuskan napas terakhirnya. 
“Terlambat!” gumam Rangga kecewa. “Senapati Ju-
gala sudah terbunuh. Dan aku yakin, kaki tangan Adi-
pati Natajaya itulah yang membunuhnya. Sayang seka-
li aku tidak sepat menolongnya.” 
Matahari pagi mulai menampakkan diri. Udara pun 
mulai terang. 
“Sayang sekali aku tidak dapat menyelidiki lebih 
jauh ke kotaraja, karena tujuan utamaku belum terca-
pai. Nanti, kalau aku sudah berhasil membebaskan Ni-
lamsari, aku akan pergi ke kotaraja, khusus untuk 
menyelidiki masalah ini.” 
 
*** 
 
 
TEGALINTEN adalah kotaraja yang dikelilingi oleh 
gunung-gunung tinggi. Bangunan-bangunan yang 
terdapat di sana, pada umumnya terbuat dari batu 
pualam dan batu-batu lain yang berwarna putih. Di 
sekitar Tegalinten memang terdapat banyak sekali ba-
tu-batuan berwarna putih, sehingga kerajaan meman-
faatkannya untuk bahan utama bangunan-bangunan 
di kotaraja itu. Maka kalau seseorang berdiri di salah 
satu puncak gunung yang mengelilingi kota itu, sambil 
memandang ke arah Tegalinten, ia akan melihat ban-
gunan-bangunan putih yang memantulkan cahaya ma-
tahari itu laksana tebaran intan di tengah lapangan 
luas. Itulah sebabnya kotaraja tersebut dinamai Tega-
linten (lapangan intan). 
Mudahnya mendapatkan batu pualam dan batu-
batuan lain yang sejenis, tidak hanya dimanfaatkan 
untuk istana dan pemukiman rakyat yang berdiam di  
sekitar benteng istana. Seniman-seniman pahat me-
manfaat-kannya untuk membuat patung-patung, se-
mentara para resi bekerja sama dengan ahli-ahli ban-
gunan untuk membuat candi pemujaan yang menju-
lang tinggi di sebelah barat istana raja. Itu semua 
membuat Tegalinten indah dipandang mata. Di setiap 
tikungan jalan di dalam kotaraja itu, berdiri patung-
patung pualam. Sehingga Tegalinten tidak hanya indah 
dipandang mata, melainkan juga menimbulkan kesan 
tertib dan berwibawa. 
Namun sayang sekali, pemerintah di Tegalinten ti-
dak setertib tata-kotanya. Sejak negara itu berdiri, 
berkali-kali terjadi persaingan yang tidak sehat, untuk 
memperebutkan singgasana raja. 
Demikian pula pada saat cerita ini terjadi. 
Secara tradisional, atau katakanlah semacam un-
dang-undang dasar, putra sulung raja dari permaisuri, 
dengan sendirinya diangkat sebagai putra mahkota. 
Tapi pada kenyataannya, putra yang pandai ‘menye-
suaikan diri’ dengan raja, punya kemungkinan lebih 
besar untuk diangkat sebagai putra mahkota. 
Prabu Suriadikusumah, demikian gelar raja Tegalin-
ten saat itu, tidak mempunyai anak laki-laki dari per-
maisurinya. Maka menurut tradisi Kerajaan Tegalin-
ten, putri sulung dari permaisuri harus diangkat seba-
gai calon ratu (putri mahkota). 
Dari permaisuri, sang Prabu mempunyai dua orang 
putri kembar, yang diberi nama Banondara dan Ba-
nondari. 
Tampaknya kelahiran putri kembar itu menjadi ma-
salah di kemudian hari. Masalahnya adalah, siapa 
yang berhak atas singgasana raja kelak? Sedangkan 
undang-undang dasar Kerajaan Tegalinten tidak per-
nah menyinggung-nyinggung soal putra atau putri  
kembar. 
Prabu Suriadikusumah sendiri jadi bingung dibuat-
nya. Siapa yang harus diangkat sebagai putri mahko-
ta? Banondara atau Banondari? 
Ketika Prabu Suriadikusumah masih belum dapat 
mengambil keputusan tentang siapa yang akan dino-
batkan sebagai putri mahkota, Pangeran Aria Pamung-
kas mengambil kesempatan untuk ‘memancing di air 
keruh’. Pangeran Aria Pamungkas adalah putra Prabu 
Suriadikusumah dari salah seorang selirnya. 
Aria Pamungkas memang sangat berambisi untuk 
menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Tegalinten. Ter-
lebih lagi dengan dukungan moril dari Dayangwaru 
(ibunya), ambisi Aria Pamungkas semakin menggelora 
di dalam dadanya. 
Lalu, secara diam-diam Aria Pamungkas dan ibunya 
mengirimkan misi kasak-kusuk ke sana-sini. Para 
pembesar yang berada di kotaraja, mulai dipengaruhi. 
Demikian pula para adipati yang berada di bawah ke-
kuasaan Tegalinten, mulai diberi ‘perlakuan khusus’, 
supaya pada waktunya nanti mendukung Aria Pa-
mungkas. Adipati Natajaya pun termasuk salah seo-
rang adipati yang dipengaruhi oleh misi rahasia Aria 
Pamungkas. 
Tentu saja Aria Pamungkas dan ibunya pun berusa-
ha mempengaruhi Sri Baginda sendiri, dengan segala 
daya. Sebab, tidak ada gunanya mereka mempengaru-
hi para pembesar Tegalinten, jika Sri Baginda sendiri 
tidak dipengaruhi. Bukankah kekuasaan dalam me-
nentukan keputusan akhir terletak pada raja? 
Dayangwaru dengan kecantikan dan pelayanannya 
yang serba memuaskan, mulai ‘menghembuskan angin 
baru’ ke telinga sang Prabu. Bahwa alangkah bahagia-
nya hati sang Selir, jika sang Prabu berkenan men- 
gangkat Aria Pamungkas sebagai putra mahkota. 
Pada mulanya Prabu Suriadikusumah menganggap 
keinginan selirnya itu sebagai hal yang mustahil, kare-
na dalam sejarah Kerajaan Tegalinten, belum pernah 
terjadi seorang putra dari selir diangkat sebagai putra 
mahkota, maka secara halus sang Prabu menolak bu-
jukan selirnya itu. 
Namun Dayangwaru dan Aria Pamungkas tidak pu-
tus asa. 
Pada suatu saat, ketika Kerajaan Tegalinten menye-
lenggarakan upacara kebesaran yang dihadiri oleh se-
luruh pembesar Tegalinten, Aria Pamungkas mulai 
memanfaatkan kesempatan itu. Beberapa pembesar 
yang sudah dipengaruhi olehnya, disuruh ‘membuka 
jalan’ bagi tercapainya cita-cita Aria Pamungkas. 
Sebagaimana biasanya, seusai melaksanakan upa-
cara kebesaran seperti itu, para pembesar Tegalinten 
berkumpul di balairung, untuk membicarakan soal-
soal negara dan pemerintahan. Pada saat itulah salah 
seorang pendeta istana yang telah bersekutu dengan 
Aria Pamungkas, mulai membuka pembicaraan ke 
arah yang dikehendaki oleh Dayangwaru dan Aria Pa-
mungkas. 
Resi Ekaraga, demikian nama pendeta itu, berkata, 
“Gusti Prabu, pada saat ini para pembesar Tegalinten 
hadir seluruhnya. Dalam keadaan lengkap begini, a-
langkah bahagianya hati hamba, apabila Gusti Prabu 
berkenan memperkenalkan Putra Mahkota, khususnya 
untuk mendapat restu dari kami para pendeta.” 
Prabu Suriadikusumah agak terhenyak di  singga-
sananya. Menyapukan pandangannya kepada hadirin, 
menunduk sesaat, dan akhirnya bersabda, “Sebenar-
nya aku sendiri masih bingung, siapa di antara kedua 
putriku yang harus kuangkat sebagai putri mahkota.  
Banondara dan Banondari mempunyai sifat ingin sama 
dalam segala hal. Kalau salah seorang di antara mere-
ka diberi sesuatu, yang lainnya pasti meminta yang 
sama.” 
Prabu Suriadikusumah menyapukan pandangannya 
lagi ke arah hadirin, lalu bersabda lagi, “Masalah mah-
kota, adalah masalah kita semua, karena menyangkut 
masa depan rakyat, negara dan pemerintahan Tegalin-
ten. Karena itu, berilah kami saran-saran dari hadirin 
semua, yang pasti akan kami pertimbangkan.” 
Karena sudah diatur sebelumnya, Resi Ekaraga 
langsung mengemukakan pendapatnya, “Benar sekali, 
Gusti Prabu. Masalah mahkota, adalah masalah kita 
semua, karena menyangkut masa depan rakyat, nega-
ra dan pemerintahan Tegalinten. Maka... ampunkanlah 
hamba, Gusti... karena menurut pendapat hamba, ke-
dua putri Gusti Prabu kurang tepat untuk diangkat 
sebagai putra mahkota... ya... kita selalu memakai isti-
lah putra mahkota, dan bukannya putri mahkota. Isti-
lah itu saja telah menunjukkan kepada kita semua, 
bahwa dalam sejarah Kerajaan Tegalinten, belum per-
nah ada seorang wanita yang dinobatkan sebagai ratu, 
walaupun adat kita tidak melarangnya.” 
Resi Ekaraga menghentikan ucapannya sesaat, mem-
perhatikan reaksi Baginda dan hadirin, kemudian me-
lanjutkannya, “Kita tidak pernah memakai istilah Raja, 
kalau rakyat yang dipimpinnya hanya puluhan atau 
ratusan orang. Gelar Raja, adalah gelar untuk pemim-
pin yang menguasai suatu wilayah kerajaan, bukan 
untuk pemimpin yang hanya menguasai suatu desa 
kecil, apalagi untuk pemimpin yang hanya berkuasa 
dalam rumahnya sendiri! Maka jelaslah, seorang Raja 
di sini mempunyai kekuasaan  dan tanggung jawab 
yang nyata terhadap rakyatnya, terhadap angkatan pe- 
rangnya, terhadap agamanya, terhadap perkembangan 
negaranya dan banyak lagi. Maka... ampunkanlah 
hamba, Gusti... hamba berpendapat bahwa pada masa 
sekarang, kedudukan seberat itu tidak  mungkin bisa 
diserahkan kepada seorang wanita! Sebab, bagaimana 
mungkin seorang wanita bisa memimpin negaranya 
dengan baik jika ia sedang dalam keadaan hamil, mi-
salnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa me-
mimpin angkatan perang yang terdiri dari puluhan ri-
bu prajurit? Bagaimana mungkin seorang wanita bisa 
menegakkan kewibawaannya, sedangkan pada suatu 
saat ia harus mengabdi kepada suaminya?” 
Hadirin menjadi agak riuh. Ada yang tertawa kecil, 
ada yang bertepuk tangan, ada pula memijat-mijat pe-
rutnya sendiri. 
Maka Resi Ekaraga semakin bersemangat melan-
carkan agitasi halusnya. “Masalah yang kedua... jika 
Gusti Prabu mengangkat Gusti Putri Banondara seba-
gai putri mahkota, mungkin Gusti Putri Banondari me-
rasa diperlakukan tidak adil. Demikian pula sebalik-
nya, kalau Gusti Putri Banondari diangkat sebagai pu-
tri mahkota, tentulah Gusti Putri Banondara merasa 
diabaikan. Sedangkan pedoman utama seorang raja, 
adalah keadilan.” 
Adipati Mundingrana, bangsawan yang berkuasa di 
daerah Pasirluhur, adalah salah seorang pembesar 
yang belum sempat dihasut oleh Aria Pamungkas. Ia 
merasa bahwa pembicaraan Resi Ekaraga akan ‘di-
arahkan’ pada sesuatu yang belum diketahuinya. Se-
bagai seorang adipati yang patuh terhadap adat-
istiadat Tegalinten, Adipati Mundingrana menganggap 
ucapan Resi Ekaraga mulai menyimpang. Dan sang 
Adipati merasa berkewajiban meluruskannya kembali. 
Karena itu, sebelum Resi Ekaraga melanjutkan uca- 
pannya, Adipati Mundingrana mohon berkenan sang 
Prabu, supaya bisa ikut berbicara. 
Setelah mendapat perkenan dari Baginda, berkata-
lah Adipati Mundingrana, “Melanggar adat-istiadat Te-
galinten, adalah sama dengan menyakiti hati para ar-
wah nenek moyang kita yang telah membangun negara 
ini dengan susah-payah. Menurut pendapat hamba, 
Gusti Putri Banondara dan Gusti Putri Banondari, sa-
ma-sama berhak atas mahkota kerajaan. Karena itu, 
tiada salahnya kalau mereka diangkat sebagai putri 
mahkota. Kelak, bila tiba saatnya mereka dinobatkan 
sebagai ratu, tiada salahnya pula kalau kerajaan ini 
dibagi dua secara adil. Sebagian  dipimpin oleh Gusti 
Putri Banondara dan sebagian lagi dipimpin oleh Gusti 
Putri Banondari...” 
“Hahahahaaaaa!” tiba-tiba saja Aria Pamungkas me-
motong ucapan Adipati Mundingrana, dengan gelak 
tawanya yang begitu keras, sehingga beberapa bang-
sawan yang hadir di balairung itu mengerutkan da-
hinya. Seolah-olah bertanya pada dirinya masing-
masing, begitulah cara tertawa seorang bangsawan? 
Seperti tawa pedagang di pasar atau nelayan di pan-
tai?! Huh... memalukan! 
Tapi tidak ada seorang pun yang berani mengemu-
kakan keheranan mereka. Dan Aria Pamungkas melan-
jutkan tawanya dengan sanggahan terhadap usul Adi-
pati Mundingrana. “Dengan seenaknya Adipati Pasir-
luhur berkata seakan-akan ingin menghormati hasil je-
rih-payah nenek moyang kita, tapi secara tidak lang-
sung, usulnya bermaksud meruntuhkan negara ini! 
Kerajaan lain justru memperbesar wilayah kekuasaan-
nya, tapi Adipati Pasirluhur justru ingin memecah-
belahnya.” 
Kemudian Aria Pamungkas berlutut di depan ayah- 
nya. Dan bertanya, “Ampunkan hamba, Rama Prabu... 
seandainya Ibunda Permaisuri melahirkan kembar 
empat, apakah kerajaan ini harus dibagi empat?” 
Prabu Suriadikusumah menggeleng bimbang. Dan 
wajah Adipati Mundingrana kontan merah padam, ka-
rena merasa ditelanjangi oleh putra raja dari selir itu. 
Resi Ekaraga memanfaatkan saat-saat kebimban-
gan sang Prabu itu, untuk melanjutkan agitasinya 
yang belum selesai. “Gusti Aria memang calon pemim-
pin yang berjiwa besar. Pandangannya jauh ke depan. 
Tidak kekanak-kanakan seperti Adipati Pasirluhur. 
Masalah yang sedang kita hadapi ini, adalah masalah 
negara. Kita tidak bisa seenaknya saja membagi dua 
kerajaan seperti membelah seekor ayam panggang!” 
Lalu kata Resi Ekaraga lagi, “Ampunkan hamba, 
Gusti Prabu... kalau diperkenankan, hamba akan 
langsung mengajukan usul hamba.” 
“Katakanlah,” sabda sang Prabu perlahan. 
Kata Resi Ekaraga, “Hamba mengusulkan, agar 
Gusti Pangeran Aria Pamungkas diangkat sebagai pu-
tra mahkota!” 
Tiba-tiba saja para pengikut Aria Pamungkas berse-
ru serempak, “Setujuuuu...!” 
Prabu Suriadikusumah terperangah. Heran, karena 
begitu banyak bangsawan yang melanggar adat kebia-
saan di dalam istana raja... bahwa mereka langsung 
menyatakan isi hatinya sebelum sang Prabu menanya-
kannya pada mereka. Tak ubahnya suara ‘aklamasi’ 
dalam sidang bebek! 
Beberapa bangsawan yang tidak atau belum terpe-
ngaruh oleh Aria Pamungkas hanya tercengang-ce-
ngang. Heran. Kaget. Tidak menyangka kalau putra 
sang Prabu dari selir itu telah cukup banyak mempe-
ngaruhi para pembesar Kerajaan Tegalinten. 
 
Tiba-tiba saja Aria Lumayung (putra Baginda dari 
Selir Sawitri) maju ke muka, bersimpuh di depan Ba-
ginda, dan berkata, “Ampunkanlah hamba, Rama Pra-
bu. Atas perkenan Rama Prabu, hamba mau mohon 
diri untuk tidak mengikuti sidang ini lebih lanjut.” 
Sang Prabu menjawab, “Apa yang dirundingkan di 
dalam ruangan ini, tampaknya tidak menarik bagimu. 
Tapi duduklah dulu dengan tenang, sampai perunding-
an ini selesai.” 
“Daulat, Rama Prabu,” Aria Lumayung menyembah 
kaki ayahnya, lalu kembali ke tempatnya semula. 
Kemudian sang Prabu melirik ke arah Aria Pa-
mungkas. Menunduk sesaat. Dan sabdanya, “Sebe-
narnya usul untuk mengangkat Aria Pamungkas seba-
gai putra mahkota, bukan usul baru. Sudah agak lama 
aku mempertimbangkannya. Dan... memang sulit me-
mutuskannya. Barangkali di antara hadirin masih ada 
yang ingin mengajukan usul?” 
Hadirin terdiam semua. Suasana di dalam balairung 
itu menjadi hening sekali. Sampai akhirnya Baginda 
bertanya kepada Aria Lumayung, “Aria Lumayung, wa-
laupun engkau bukan terlahir dari Permaisuri, tapi 
engkau adalah putra sulungku. Cobalah kemukakan 
isi hatimu, mungkin ada gunanya bagi kita semua.” 
Aria Lumayung menjawab, “Ampunkan hamba, Ra-
ma Prabu. Sesungguhnya hamba tidak ingin mencam-
puri masalah ini. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa 
bagaimanapun juga Rayi Aria Pamungkas, adalah adik 
hamba sendiri. Demikian pula Rayi Banondara dan 
Rayi Banondari, adalah adik-adik hamba sendiri. Maka 
dalam hal ini, hamba akan berdiri di tengah saja. 
Hamba hanya akan mematuhi apa pun yang dipu-
tuskan oleh Rama Prabu. Demikian isi hati hamba, 
Rama Prabu.” 
 
“Aria Lumayung anakku, berdiri netral dalam meng-
hadapi masalah besar, bukanlah sikap bijaksana. Ter-
lebih lagi dalam masalah yang sedang dibicarakan se-
karang. Karena itu, kemukakanlah pendapatmu secara 
tegas, tidak usah takut-takut,” sabda Baginda lembut. 
Aria Lumayung melirik ke arah Aria Pamungkas. 
Dan ia melihat adik berlainan ibu itu seperti sedang 
menunggu dukungannya. Tadinya ia akan berbicara 
terus terang, bahwa ia tidak setuju Aria Pamungkas 
diangkat sebagai putra mahkota. Tapi setelah melihat 
pandangan Aria Pamungkas yang tampak seperti me-
minta belas kasihannya itu, ia menjadi bimbang. 
Dan akhirnya Aria Lumayung berkata, “Menurut 
pendapat hamba, alangkah baiknya kalau Rayi Banon-
dara dan Rayi Banondari dibawa serta dalam musya-
warah ini. Mungkin bijaksana sekali kalau Rama Prabu 
menyerahkan keputusan akhir pada mereka berdua, 
supaya tidak ada ganjalan di kemudian hari.” 
“Baik,” Baginda mengangguk. “Usulmu kuterima, 
anakku.” 
Lalu Baginda memanggil salah seorang dayang. 
“Pergilah ke keputren dan panggil kedua putriku ke 
mari,” sabda Baginda. 
“Daulat, Gusti Prabu,” dayang itu menyembah, lalu 
mengundurkan diri dari balairung. 
Menunggu datangnya Banondara dan Banondari, 
merupakan saat-saat yang sangat menegangkan bagi 
Aria Pamungkas. Namun Resi Ekaraga yang duduk di 
samping Aria Pamungkas, lalu berbisik ke telinga pa-
ngeran itu, “Tenanglah ... hamba akan mempengaruhi 
batin mereka berdua.” 
Dan Aria Pamungkas kontan tenang kembali. Soal-
nya ia tahu benar bahwa Resi Ekaraga mampu men-
guasai jiwa seseorang lewat ilmu gaibnya. 
 
*** 

Di luar dugaan Prabu Suriadikusumah, kedua putri 
kembarnya menyatakan tidak berkeberatan untuk me-
lepaskan hak mereka atas mahkota Kerajaan Tegalin-
ten, kemudian menyerahkannya kepada Aria Pamung-
kas! 
Saat itu, hanya Resi Ekaraga dan Aria Pamungkas 
yang tahu, bahwa keputusan dua putri kembar itu 
berkat ilmu gaib Resi Ekaraga yang ternyata cukup 
ampuh. Kalau batin Banondara dan Banondari tidak 
dipengaruhi oleh kekuatan gaib Resi Ekaraga, mung-
kin kedua putri kembar itu akan bersikap sebaliknya. 
Begitulah... beberapa hari kemudian, walaupun de-
ngan hati yang berat, akhirnya Prabu Suriadikusumah 
mengangkat Aria Pamungkas sebagai Putra Mahkota 
Tegalinten. 
Kenyataan itu, adalah suatu keberhasilan bagi Aria 
Pamungkas, untuk memenangkan persaingan di dalam 
keluarga istana. 
Sebaliknya dengan Prabu Suriadikusumah sendiri, 
setelah meresmikan Aria Pamungkas sebagai putra 
mahkota, sang Prabu lebih banyak menyendiri di da-
lam peraduan atau di dalam taman. Ada semacam pe-
nyesalan di hati beliau, karena suatu keputusan yang 
keliru telah diumumkan. Padahal beliau tahu benar 
bahwa Aria Pamungkas bukanlah orang yang tepat un-
tuk diangkat sebagai putra mahkota. 
Makin lama Baginda makin sadar, bahwa keputu-
san yang telah diumumkan di hadapan para pembesar 
dan rakyat Tegalinten itu, adalah suatu keputusan 
yang tergesa-gesa. Tapi bagaimanapun dalamnya pe-
nyesalan Baginda, keputusan itu tak mungkin dapat 
ditarik kembali. Sebab, sekali saja seorang raja mem-
batalkan keputusannya sendiri, rakyatnya tidak akan  
menghormatinya lagi. 
Dari hari ke hari, Prabu Suriadikusumah bergulat 
dengan batinnya sendiri. Akibatnya, beliau mulai ser-
ing jatuh sakit. Dan beliau tidak peduli lagi, apakah 
Aria Pamungkas semakin memperlebar pengaruhnya 
atau tidak. Beliau bahkan sampai pada suatu titik 
yang patut disesalkan, bahwa beliau tidak peduli lagi 
dengan segala urusan kenegaraan. 
Walaupun Aria Pamungkas belum dinobatkan seba-
gai raja, namun sesungguhnya ia telah memegang 
tampuk pemerintahan secara tidak resmi, karena 
hampir setiap urusan kenegaraan sudah dipegang 
olehnya. Sedangkan Prabu Suriadikusumah, seolah-
olah tinggal menjadi lambang belaka. Beliau hanya 
tinggal menyetujui apa pun yang diusulkan oleh Aria 
Pamungkas. 
Demikianlah riwayat singkat Kerajaan Tegalinten 
pada masa kisah ini terjadi. 

*** 

Dan kini Aria Pamungkas sedang mengadakan per-
temuan empat mata dengan Resi Ekaraga, tokoh yang 
sangat berjasa dalam keberhasilan Aria Pamungkas. 
Setelah membuktikan sendiri bagaimana hebatnya 
ilmu Resi Ekaraga waktu mempengaruhi batin Banon-
dara dan Banondari dalam saat yang sangat menentu-
kan itu, Aria Pamungkas sangat menghargai pendeta 
istana itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir se-
tiap langkah Aria Pamungkas, selalu ‘dengan bimbin-
gan’ Resi Ekaraga. 
Tapi keputusan Aria Pamungkas untuk mengirim-
kan Senapati Jugala dan balatentaranya ke Kawahsul-
ing, tidak meminta persetujuan Resi Ekaraga terlebih 
dahulu. Justru persoalan itulah yang sedang dibahas  
oleh mereka berdua. 
“Hamba sudah memperingatkan kepada Gusti Aria, 
jangan menentukan keputusan yang penting, sebelum 
berunding dengan hamba. Sungguh, hamba bukan in-
gin mendikte Gusti Aria, melainkan ingin agar Gusti 
Aria selalu berhasil dalam segala masalah.” 
“Paman Resi begitu lama meninggalkan istana. Se-
dangkan aku tidak tahu di mana Paman Resi berada 
saat itu. Bagaimana mungkin aku bisa berunding da-
hulu dengan Paman?” 
“Tapi, sebenarnya Gusti Aria bisa menunda keputu-
san penting itu, sampai hamba datang.” 
“Nanti dulu,” kata Aria Pamungkas. “Paman Resi ke-
lihatannya seperti menganggap keputusanku mengirim 
Senapati Jugala ke Kawahsuling, sebagai keputusan 
yang keliru dan berbahaya. Begitu?” 
“Betul, Gusti Aria,” Resi Ekaraga mengangguk. 
“Pandangan batin hamba mengatakan bahwa ada se-
macam bahaya besar yang dipancing oleh keputusan 
Gusti Aria itu.” 
“Bahaya apa?” Aria Pamungkas mendadak tidak be-
gitu mempercayai kata-kata Resi Ekaraga. “Kawahsul-
ing hanya salah satu dari tujuhbelas daerah kadipaten. 
Taruh katakanlah Adipati Natajaya mau berontak. Bisa 
apa dia? Mampukah dia menghadapi laskar Tegalin-
ten? Hahaahaaa... dalam satu hari saja, Kawahsuling 
bisa diratakan dengan tanah!” 
Resi Ekaraga menghela napas panjang. Berkata, 
“Orang muda di mana-mana sama saja. Terburu-buru, 
berdarah panas dan kadang-kadang terlalu percaya 
pada kekuatannya sendiri.” 
Aria Pamungkas tidak  tersinggung mendengar sin-
diran itu. Katanya, “Katakan saja terus-terang, bahaya 
apa sebenarnya yang Paman takutkan?” 
 
“Untuk diri hamba sendiri, hamba tidak pernah me-
rasa takut,” sahut Resi Ekaraga. “Tapi untuk kesela-
matan Gusti Aria... hamba memang sering merasa ce-
mas.” 
“Aaaah! Bicara sajalah secara jelas. Apa yang Pa-
man maksud dengan bahaya besar itu?” 
Belum sempat Resi Ekaraga menjawab, tiba-tiba 
terdengar suara bergemuruh di luar istana. Dan berge-
gas Aria Pamungkas melongok dari jendela. “Ada apa? 
Oh... prajurit-prajurit itu sudah kembali, Paman Resi!” 
Seperti Patung, Resi Ekaraga tidak bereaksi sedikit 
pun. Wajahnya tetap tegang... seolah-olah sudah me-
ngetahui apa sebenarnya yang telah terjadi. 
Dan Aria Pamungkas bergegas melangkah ke luar, 
untuk menyongsong prajurit-prajurit yang baru pulang 
dari Kawahsuling itu. 
*** 
Kembalinya balatentara Tegalinten, jauh dari hara-
pan Aria Pamungkas. Mereka bahkan pulang dengan 
membawa dukacita—membaringkan jenazah Senapati 
Jugala di altar istana, melaporkan peristiwa yang telah 
mereka alami dan memperkenankan seorang pemuda 
yang mereka anggap sebagai ‘juru selamat’. 
“Kalau tidak ada pemuda ini, tentu hamba semua 
sudah menjadi korban keganasan orang jahat itu, Gus-
ti. Untunglah pemuda ini datang dan berhasil mengha-
lau orang bertopeng itu. Hanya sayangnya, pemuda ini 
datang setelah Kanjeng Senapati gugur.” 
Demikianlah laporan salah seorang prajurit kepada 
Aria Pamungkas. 
“Kalian begitu banyaknya, tidak mampu menghada-
pi satu orang pengacau saja?! Oooh... prajurit macam 
apa kalian ini?!” suara Aria Pamungkas terdengar din- 
gin dan tajam. 
“Ampun, Gusti. Orang itu... sakti sekali. Kanjeng 
Senapati pun hanya mampu menghadapi beberapa ge-
brakan saja,” sahut si Prajurit. 
Aria Pamungkas bertolak pinggang, dengan sikap 
angkuh. Lalu  melirik ke arah pemuda yang sedang 
bersila di samping prajurit pelapor itu. 
“Dan kau berhasil mengusir orang bertopeng itu?” 
tanya Aria Pamungkas, dengan pandangan penuh seli-
dik. 
“Benar, Gusti,” sahut pemuda itu. “Sayangnya ham-
ba tidak berhasil membekuknya, karena orang itu me-
larikan diri ke dalam hutan.” 
“Siapa namamu?” 
“Nama hamba Prabalaya, Gusti.” 
Aria Pamungkas tidak pernah berkecimpung di da-
lam rimba petualangan, karena itu ia belum pernah 
mendengar cerita tentang keluarga Prabaseta yang di-
anggap sebagai pemimpin golongan sesat itu. Ya, Aria 
Pamungkas belum pernah mendengar cerita-cerita me-
ngerikan tentang kejahatan Prabaseta dan anak-anak-
nya itu. 
Aria Pamungkas bahkan berpikir, orang bertopeng 
yang diceritakan itu jelas lebih sakti daripada Senapati 
Jugala, karena orang itu berhasil membunuh Senapati 
Jugala. Tapi pemuda bernama Prabalaya ini berhasil 
menghalau penjahat itu. Berarti Prabalaya ini lebih 
hebat lagi. Dan... bukankah aku sedang membutuhkan 
orang-orang hebat untuk mendukung rencana-rencana 
besarku? 
Tiba-tiba Resi Ekaraga muncul di depan mereka. 
Tadinya sang Resi akan mengatakan sesuatu kepada 
Aria Pamungkas, tentang ramalannya yang menjadi 
kenyataan—bahwa pengiriman Senapati Jugala dan  
balatentaranya ke Kawahsuling, mengundang bahaya 
besar. Dan itu telah terbukti dengan tewasnya sang 
Senapati. Tapi begitu melihat Prabalaya, Resi Ekaraga 
tertegun. Memperhatikan wajah pemuda itu sesaat. 
Menoleh ke arah Aria Pamungkas. Bertanya, “Siapa 
pemuda ini, Gusti Aria?” 
Aria Pemungkas menyahut, “Pemuda ini telah berja-
sa, menyelamatkan kehancuran pasukan Senapati Ju-
gala, walaupun dia tidak sempat mencegah kematian 
Senapati.” 
Resi Ekaraga tidak puas dengan jawaban Aria Pa-
mungkas. Wajah pemuda itu mengingatkan sang Resi 
pada seseorang, sekaligus mengingatkannya pada ma-
sa silamnya. Maka sang Resi bertanya langsung kepa-
da Prabalaya, “Siapa namamu, anak muda?” 
“Nama hamba Prabalaya,” sahut yang ditanya. 
“Siapa ayahmu?” 
“Ayah hamba bernama Prabaseta.” 
Resi Ekaraga terperangah—Dugaanku tak meleset. 
Wajahnya seolah-olah paduan Prabaseta dengan Suti-
resmi! 
“Kenapa, Paman Resi?” tanya Aria Pamungkas, he-
ran, karena melihat Resi Ekaraga terlongong-longong. 
“Ti... tidak. Tidak ada apa-apa, Gusti Aria,” sahut 
Resi Ekaraga tergagap. “Hamba... hamba hanya ingin 
tahu apa yang akan Gusti lakukan terhadap pemuda 
ini?” 
Aria Pamungkas berbisik ke telinga Resi Ekaraga. 
“Ada yang ingin kurundingkan dengan Paman Resi. 
Mari kita masuk ke dalam.” 
Resi Ekaraga mengangguk, lalu mengikuti langkah 
Aria Pamungkas, masuk ke dalam ruangan tertutup. 
Di situlah Aria Pamungkas berkata, “Tampaknya pe-
muda itu sangat hebat. Sorot matanya begitu tajam,  
keras dan menakutkan. Justru orang seperti dialah 
yang kubutuhkan.” 
“Lalu, apa yang akan Gusti lakukan?” tanya Resi 
Ekaraga mengambang, karena masa lalunya ter-
bayang-bayang lagi, lebih menghantui daripada tadi. 
“Menurut pendapat Paman Resi, cocokkah pemuda 
itu kalau kuangkat sebagai pengawal pribadiku?” 
Resi Ekaraga terperanjat. “Dia akan dijadikan pen-
gawal Gusti?! Oooh... memelihara anak macam itu 
berbahaya, Gusti.” 
“Memelihara anak macam bagaimana, Paman?” Aria 
Pamungkas heran. 
Resi Ekaraga terkejut sendiri, karena ia sudah ke-
terlanjuran bicara. Tergagap ia menjawabnya kini, 
“Ti... tidak, Gusti. Ha... hamba hanya... merasa bah-
wa... mungkin pemuda itu terlalu... terlalu muda begi-
tu.” 
“Justru dalam jiwa pemudalah terdapat sifat-sifat 
yang masih boleh diandalkan.” 
“Hamba rasa... ah... hamba tidak dapat memberikan 
pendapat kali ini, Gusti Aria.” 
“Kenapa begitu?” 
Resi Ekaraga tidak menjawab. Bayang-bayang masa 
lalunyalah yang menjawabnya, bagi dirinya sendiri. 
Tentang masa mudanya yang kelabu, penuh dengan 
hal menyedihkan, menggembirakan dan juga memalu-
kan. Ia masih ingat benar, lebih dari tiga tahun ia ber-
sahabat dengan Prabaseta, dalam langkah baik mau-
pun buruk. Ia pernah membunuh bersama Prabaseta. 
Ia pernah ditangkap, dipukuli dan dipermalukan, ber-
sama Prabaseta. 
Bahkan ia pun pernah mencintai seorang gadis, 
yang juga dicintai oleh Prabaseta. Ah... kalau ingat ke 
sana, ia suka menggertakkan giginya. Dalam geram  
campur dendam. Betapa tidak? Prabaseta yang dahulu 
sahabat dekatnya itu, lalu menjadi saingan utamanya. 
Dalam memperebutkan cinta seorang gadis bernama 
Sutiresmi. Dan Prabaseta memenangkan persaingan 
itu. Sutiresmi dijadikan istrinya. Lalu tinggallah Eka-
raga dalam duka nestapa, dalam kecewa yang tak ter-
perikan. 
Apa yang menyebabkan Ekaraga mengubah jalan 
hidupnya secara drastis—menjadi seorang resi, hanya 
Ekaraga sendiri yang tahu. Yang jelas, sebelum menja-
di seorang resi yang disegani oleh para bangsawan Te-
galinten, ia harus berguru dulu pada seorang resi tua 
selama tujuh tahun, kemudian hidup mengasingkan 
diri dalam hutan pertapaan selama sepuluh tahun. 
Lalu muncullah seorang resi baru di Tegalinten. Re-
si yang sering dipercayai untuk memimpin upacara-
upacara keagamaan. Dan para bangsawan Tegalinten 
menyukai resi itu, Resi Ekaraga itu, tanpa mengetahui 
masa lalu sang Resi. Bahkan berkat penampilannya 
yang menarik dan meyakinkan, Resi Ekaraga lalu di-
angkat sebagai pendeta istana. Dan akhirnya, Resi 
Ekaraga merupakan orang yang paling dekat dengan 
Aria Pamungkas. 
Bertahun-tahun Resi Ekaraga hidup di dalam ling-
kungan istana, dengan segala kenyamanannya. Kata-
kanlah hidupnya sudah cukup senang karena apa pun 
yang diinginkannya bisa didapat dengan mudah di da-
lam lingkungan istana. Ia pun menjadi orang yang cu-
kup disegani, bahkan sang Prabu sendiri menghorma-
tinya. 
Tapi sebenarnya ada satu hal yang diam-diam ma-
sih melekat di dalam pikirannya, sekalipun ia sudah 
menjadi seorang resi. Bahwa ia tidak bisa melupakan 
Sutiresmi. Ada semacam rasa penasaran yang tak ter- 
lampiaskan di dalam hatinya. 
Memang ia menjadi dingin terhadap wanita. Tapi 
hal itu bukan disebabkan kepasrahannya terhadap ke-
sucian hidup. Bukan. Ia tidak mempedulikan lawan 
jenisnya, semata-mata karena ia tidak dapat melupa-
kan Sutiresmi. Katakanlah ia mengalami semacam fru-
strasi (versi “zaman baheula”), sehingga ia tidak bisa 
menaruh perhatian kepada wanita-wanita secantik apa 
pun. 
Dan keluarga raja mengira bahwa Resi Ekaraga su-
dah mengabdikan jiwa raganya untuk kesucian sema-
ta, karena sang Resi tidak pernah berbuat mesum 
dengan wanita mana pun. Padahal pendeta-pendeta is-
tana terdahulu, justru sering mengumbar nafsu birahi 
mereka, dengan wanita-wanita yang ‘disuguhkan’ oleh 
keluarga raja. 
Itulah salah satu sebab mengapa keluarga raja sa-
ngat menghormati Resi Ekaraga. Dan mereka tetap ti-
dak tahu masa lalu sang Resi yang penuh dengan lem-
baran hitam. 
Dan tadi... Resi Ekaraga melihat paduan wajah Pra-
baseta dengan Sutiresmi, pada wajah pemuda berna-
ma Prabalaya itu! Hal itu mengingatkan sang Resi pada 
persaingannya dalam memperebutkan hati Sutiresmi, 
yang ternyata dimenangkan oleh Prabaseta. 
O, mendidih rasanya darah Resi Ekaraga setelah 
melihat wajah Prabalaya tadi. Karena sang Resi mem-
bayangkan ‘terjadinya’ pemuda itu. Tentu sebagai hasil 
asmara Prabaseta dengan Sutiresmi. Tentu. Tentu sa-
ja. 
Dendam dan cemburu berdesir-desir di dalam jiwa 
sang Resi, setelah melihat wajah Prabalaya tadi. 
Tapi kini, tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja Resi Ekaraga 
berkata kepada Aria Pamungkas, “Ya! Pemuda itu sa- 
ngat tepat untuk dijadikan pengawal Gusti Aria! Bah-
kan mungkin pemuda itu bisa diserahi kedudukan 
yang tinggi!” 
Aria Pamungkas tercengang mendengar ucapan 
sang Resi yang mendadak berbalik haluan itu. 
Tapi lalu Resi Ekaraga berkata, “Itulah bisikan gaib 
yang hamba dengar barusan, Gusti Aria.” 
Dan Aria Pamungkas percaya, bahwa tadi sang Resi 
termenung-menung karena sedang ‘berbincang-
bincang dengan dunia gaib’. 

*** 

Aria Pamungkas menghampiri Prabalaya. Bertanya, 
“Sanggupkah kau menjalani ujian kedigjayaan?” 
Prabalaya terheran-heran. 
Aria Pamungkas menjelaskan. “Aku ingin mengang-
katmu sebagai pengawalku. Tapi untuk itu, kau harus 
menjalani ujian terlebih dahulu.” 
Prabalaya menyeringai. Jauh di dalam hatinya, ia 
berkata-kata sendiri, O, tujuanku justru jauh lebih 
tinggi daripada kedudukan yang kau tawarkan itu! 
Aku datang ke kotaraja ini, bukan sekedar ingin jadi 
pengawalmu! Tapi... bukankah lebih baik aku memper-
lihatkan sikap patuh pada putra mahkota ini? Bukan-
kah aku sudah mempunyai rencana yang akan didu-
kung oleh Adipati Natajaya? 
Maka akhirnya Prabalaya berkata, “Hamba siap un-
tuk diuji, Gusti Aria.” 
Aria Pamungkas menepuk bahu Prabalaya. “Bagus! 
Bersiaplah untuk menempuh ujian itu!” 
Kemudian Aria Pamungkas memanggil salah seo-
rang prajuritnya. “Bawa pemuda ini ke gelanggang ksa-
trian!” perintah Aria Pamungkas. 
“Segera hamba laksanakan, Gusti,” sembah prajurit  
itu. 
Kemudian Prabalaya dibawa ke gelanggang ksa-
trian, sementara Aria Pamungkas melangkah ke balai 
prajurit. 
Gelanggang ksatrian yang akan dijadikan tempat 
ujian bagi Prabalaya, adalah sebidang lapangan yang 
dikelilingi oleh tembok tinggi. Gelanggang ini biasa di-
pakai latihan keprajuritan, khusus untuk putra-putra 
raja. Di gelanggang inilah putra-putra raja Tegalinten 
melatih diri dalam ilmu memanah, ilmu tombak, per-
kelahian dengan senjata tajam, perkelahian dengan 
tangan kosong dan sebagainya. 
Di sebelah utara, tampak sebuah panggung kehor-
matan, yang biasa dipakai oleh Baginda sendiri. Tapi 
kini Aria Pemungkas naik ke atas panggung kehorma-
tan itu, sementara Prabalaya sudah berdiri di tengah 
gelanggang. 
Dari atas panggung kehormatan, Aria Pamungkas 
berseru, “Prabalaya! Engkau akan dihadapkan pada 
dua orang prajurit pilihanku. Apabila kau sanggup me-
ngalahkan mereka, berarti kau lulus dalam ujian per-
tamamu.” 
Tiba-tiba melompatlah dua orang prajurit ke tengah 
gelanggang. 
Kedua prajurit itu berlutut di depan panggung ke-
hormatan. Aria Pamungkas berseru lagi, “Ujian perta-
ma ini adalah perkelahian dengan tangan kosong! 
Apakah kau sudah siap, Prabalaya?” 
Dengan sikap hormat, tapi dengan nada suara ang-
kuh, Prabalaya menyahut, “Gusti Aria! Mungkin ham-
ba terlalu berat bagi kedua prajurit ingusan ini. Se-
baiknya Gusti Aria memanggil delapan belas prajurit 
lainnya. Kalau jumlah mereka duapuluh orang, mung-
kin bisa agak seimbang!” 
 
“Apa kau bilang?!” seru Aria Pamungkas agak kaget, 
dan mengira Prabalaya sudah sinting. 
Sementara wajah kedua prajurit itu mendadak jadi 
merah padam. Betapa tidak. Mereka adalah anggota 
pasukan elite, yang telah mendapat gemblengan sela-
ma bertahun-tahun, khusus untuk menjadi ‘perisai’ 
keluarga raja. Dan kini mereka mendengar ucapan 
Prabalaya itu, yang lebih tepat disebut penghinaan. 
Maka salah seorang prajurit itu, dengan kumis me-
lintang dada berbulu,  melompat ke depan Prabalaya. 
“Kau terlalu congkak, anak muda!” bentaknya. “Kau 
pikir kami bisa digertak seperti anak ayam? Pertun-
jukkan dulu kemahiranmu, baru ngomong!” 
Namun Prabalaya bersikap seakan-akan tidak meli-
hat kehadiran prajurit itu di depannya.  Menoleh pun 
tidak pada prajurit itu. Bahkan bertanya kepada Aria 
Pamungkas yang masih berdiri di panggung kehorma-
tan, “Gusti Aria, hanya dua orang ini saja prajurit Gus-
ti? Hamba mohon delapan belas orang lagi.” 
Aria Pamungkas menjawab, “Kalahkan dulu kedua 
prajurit itu, baru kemudian aku akan mempertim-
bangkan semangat mudamu, Prabalaya!” 
“Baik,” desis Prabalaya. “Hamba akan menghadapi 
kedua prajurit picisan ini, tanpa menggerakkan kedua 
kaki hamba.” 
Kemudian Prabalaya berdiri tegak, sambil bertolak 
pinggang, sambil berkata pada kedua prajurit itu, “Se-
ranglah aku! Nanti kalian tahu bagaimana cara berbi-
cara denganku!” 
Kedua prajurit itu tidak mengerti apa yang dimak-
sud ‘cara berbicara denganku’, lalu langsung mener-
jang saja dengan pukulan yang menurut mereka ‘he-
bat’ (tapi cuma pukulan pasaran bagi Prabalaya). 
Tentu saja kedua prajurit yang baru memiliki ilmu  
pasaran itu, bukan tandingan Prabalaya. Tanpa meng-
gerakkan kakinya, Prabalaya hanya mengibaskan ta-
ngan kirinya ketika kedua prajurit itu menerjang dari 
kanan kirinya. Dan... tahu-tahu kedua prajurit itu ter-
hempas ke tanah... gedebuk... gedebuk! 
Lalu... tiba-tiba saja kedua prajurit itu meraung-
raung seperti anak kecil yang sedang menangis. 
“Huu... huuuu... waaaaw... waaaaw... huuuu... 
waaaaw...!” 
Aria Pamungkas terkejut sekali melihat kejadian a-
neh itu. Sedikit pun ia tidak mengerti bahwa tadi Pra-
balaya menggunakan angin pukulan dahsyatnya, un-
tuk menghantam kedua prajurit itu, sekaligus mene-
kan salah satu urat syaraf mereka yang lalu membuat 
mereka menangis tak tekendalikan! Itulah yang dimak-
sud ‘cara berbicara denganku’ oleh Prabalaya! 
Lalu, dengan nada kocak tapi dengan sikap dingin, 
Prabalaya berseru, “Barangkali kedua prajurit Gusti 
Aria ini belum sarapan pagi. Apakah mereka biasa me-
nangis begitu kalau sedang lapar, Gusti?” 
“Memalukan!” bentak Aria Pamungkas sambil 
menghentakkan kakinya di lantai panggung kehorma-
tan. “Benar-benar prajurit memalukan! Hanya dalam 
sekejap mata saja bisa roboh!” 
Tapi di dalam hatinya, Aria Pamungkas berkata, 
“Masih begitu muda sudah demikian hebatnya... orang 
seperti inilah yang kubutuhkan!” 
Kedua prajurit yang masih bergulingan sambil me-
raung-raung itu, lalu digotong ke luar gelanggang. Se-
mentara Prabalaya tetap berdiri di tengah gelanggang, 
dengan sikap dingin. 
“Prabalaya! Apakah kau sanggup membuktikan 
omonganmu, bahwa kau mampu menghadapi duapu-
luh prajurit sekaligus?” seru Aria Pamungkas. 
 
“Tentu saja, Gusti Aria,” Prabalaya membusungkan 
dadanya. 
Aria Pamungkas berbisik kepada salah seorang pra-
jurit yang berdiri di dekat panggung kehormatan. Ke-
mudian prajurit itu meninggalkan gelanggang. 
*** 
Duapuluh prajurit memasuki gelanggang. Semua-
nya membawa tombak dan perisai. 
Melihat dari cara melangkah keduapuluh prajurit 
itu saja Prabalaya sudah tahu bahwa mereka lebih ‘be-
risi’ daripada dua prajurit yang dibikin meraung-raung 
tadi. Jumlahnya pun sepuluh kali lebih banyak. 
Keduapuluh prajurit itu mulai mengitari Prabalaya, 
dengan sikap kokoh. Tapi Prabalaya tenang-tenang sa-
ja memandang ke arah panggung kehormatan, seolah-
olah  tak mempedulikan kehadiran duapuluh prajurit 
bertombak dan berperisai itu. 
Lalu terdengar Aria Pamungkas berseru lantang dari 
atas panggung kehormatan. “Prabalaya! Kau akan di-
beri senjata yang sesuai denganmu. Senjata apa yang 
akan kau minta?” 
“Terima kasih, Gusti Aria. Hamba punya senjata 
sendiri,” sahut Prabalaya sambil mengeluarkan sesua-
tu dari balik bajunya. Seutas rantai berpisau pada 
ujungnya. 
Sebenarnya rantai berpisau itu bukan senjata anda-
lan Prabalaya. Senjata ‘pasaran’ itu dikeluarkan oleh 
Prabalaya, karena menganggap lawan-lawannya hanya 
pendekar-pendekar picisan. 
“Prabalaya!” seru Aria Pamungkas, “Seperti yang 
kau lihat, lawan-lawanmu sekarang tidak bertangan 
kosong. Karena itu, aku ingin bertanya dulu padamu, 
apakah kau tidak akan menyesal kalau mereka melu- 
kai atau menewaskanmu nanti? Kalau kau agak sang-
si, aku bersedia membatalkan ujian berat ini!” 
Prabalaya tersinggung oleh ucapan Aria Pamungkas 
itu. Tapi ditahan-tahannya kemarahannya, lalu men-
jawab, “Hamba tidak pernah mundur dari tengah ge-
langgang, Gusti Aria! Sebaliknya hamba ingin bertanya 
kepada Gusti Aria... apakah Gusti tidak akan menyesal 
kalau kehilangan prajurit-prajurit kesayangan Gusti 
ini?” 
“Maksudmu... kalau mereka terbunuh begitu?” 
“Benar, Gusti Aria. Karena begitu melihat gerak-
gerik mereka, kontan saja hamba dapat menilai... 
bahwa mereka bisa hamba binasakan dengan mudah 
sekali.” 
Prajurit-prajurit itu menjadi geram. Wajah Aria Pa-
mungkas pun menjadi merah padam. 
“Kau terlalu sombong, Prabalaya! Aku kuatir ke-
sombonganmu akan mencelakakan dirimu sendiri,” se-
ru Aria Pamungkas sambil menyeringai. 
“Tidak, Gusti Aria. Hamba berani bersumpah untuk 
memotong leher hamba sendiri, jika hamba tidak sang-
gup menghabiskan keduapuluh prajurit yang hanya 
gagah seragamnya saja ini!” 
“Baiklah... mulai!” Aria Pamungkas bertepuk tangan 
satu kali. 
Dan keduapuluh prajurit itu serempak bergerak me-
mutari Prabalaya, dengan tombak bergerak zig-zag ke 
tengah lingkaran. Prabalaya tersenyum dingin dan se-
gera tahu bahwa keduapuluh prajurit pilihan itu se-
dang memperagakan gerakan ‘Cakrayuda’. 
Bagi lawan biasa, gerakan Cakrayuda itu sangat 
berbahaya, karena keduapuluh prajurit itu berlari-lari 
terus, mengelilingi lawannya, dengan lingkaran yang 
kian lama kian menyempit. Selain lawan akan dibuat  
pusing, ujung-ujung tombak mereka selalu siap untuk 
mengoyak dada atau leher lawan. Sedangkan perta-
hanan mereka sendiri, tampaknya seperti tidak mung-
kin bisa dijebolkan. 
Tapi apa yang bisa mereka lakukan terhadap Praba-
laya? 
Ketika kurungan mereka makin menyempit, tiba-
tiba saja Prabalaya ‘lenyap’ dari pandangan mereka. 
Rupanya Prabalaya melejit ke udara, jauh di atas kepa-
la prajurit-prajurit itu. 
Dan sebelum kaki Prabalaya menyentuh tanah, ran-
tainya mulai berputar demikian cepatnya, sehingga ha-
nya suaranya saja yang terdengar... wuuut... wuuut... 
wuuut... wuut... wuuut...! 
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? 
Aria Pamungkas yang sedang berdiri di panggung 
kehormatan, terbelalak... seperti bermimpi... melihat 
kepala prajurit-prajurit itu berjatuhan satu persatu di 
atas panggung kehormatan, persis di depan kaki Aria 
Pamungkas! 
Suasana di gelanggang ksatrian mendadak hening. 
Keduapuluh prajurit itu sudah bergeletakkan di tengah 
gelanggang, tanpa kepala lagi. Dan di depan Aria Pa-
mungkas, duapuluh kepala manusia menggunduk se-
perti bukit kecil... dengan darah yang masih mengalir 
dari bagian lehernya yang terputus... membasahi lantai 
panggung kehormatan dan menimbulkan bau anyir 
yang menegakkan bulu roma. 
Aria Pamungkas bergidik. Terundur beberapa lang-
kah, dengan mata melotot, tertuju ke gundukan kepala 
manusia itu. 
Sepanjang hidupnya, baru sekali itulah Aria Pa-
mungkas menyaksikan peristiwa yang begitu mengeri-
kan. 
 
“Kepala prajurit-prajuritku beterbangan dari leher-
nya masing-masing,” pikir Aria Pamungkas, “Lalu ber-
jatuhan secara  teratur di depanku. Oh... pemuda itu 
benar-benar hebat, kejam dan berbahaya! Tapi aku ju-
stru membutuhkan orang yang seperti dia!” 
 
*** 
 
 
ADIPATI Natajaya tampak gelisah di pendapat ista-
nanya. Kereta kebesarannya sudah menunggu di 
halaman muka istana. Demikian pula tujuh orang pra-
jurit yang akan bertugas mengawal kereta sang Adipa-
ti, sudah siap di dekat kudanya masing-masing. Tapi 
sang Adipati belum tampak siap berangkat. Padahal 
hari sudah siang, matahari sudah tegak lurus di atas 
kepala. 
“Jadi berangkat apa tidak?” tanya kusir kereta sang 
Adipati pada salah seorang prajurit yang berdiri paling 
dekat dengannya. 
“Tidak tahu,” prajurit itu menggeleng. “Mungkin 
masih ada yang ditunggu oleh Kanjeng Adipati.” 
“Siapa sih yang ditunggu?” 
Prajurit yang ditanya cuma angkat bahu. Dan tiba-
tiba saja matanya melotot tak berkedip... memandang 
ke arah seorang gadis cantik yang tengah melangkah 
dengan pinggul bergoyang genit, memasuki pintu ger-
bang. Yang tampak aneh pada gadis itu adalah, bahwa 
ia berjalan sambil memeluk seekor kucing hutan yang 
tampak garang, tapi kelihatannya begitu bersahabat 
dengan si Gadis. 
“Siapa gadis itu?” bisik si Prajurit pada kusir kereta 
sang Adipati. 
Kusir kereta itu memandang ke arah si Gadis.  
Mempertanyakannya sesaat. Lalu menggeleng. “Entah-
lah. Rasanya baru sekali ini aku melihatnya. Cantik 
sekali, ya?” 
“Memang cantik. Tapi cara melangkahnya itu, adu-
hai... seperti memancing birahi lelaki...!” 
Kusir kereta itu agak payah menahan tawanya. Dan 
gadis yang sedang dibicarakan itu sudah tiba di depan 
pintu pendapa. Dua orang penjaga merintanginya. Ga-
dis itu berkata, “Tolong sampaikan kepada Kanjeng 
Adipati, kakaknya Prabalaya ingin menghadap.” 
Salah seorang prajurit kadipaten bergegas masuk ke 
dalam. Menghadap Adipati Natajaya yang masih geli-
sah. 
“Seorang gadis yang mengaku kakaknya Prabalaya, 
ingin menghadap, Kanjeng Adipati,” lapor prajurit itu. 
Ketegangan di wajah Adipati Natajaya mencair. “Su-
ruh dia masuk,” sahutnya lebih lembut dari biasanya. 
Penjaga pintu pendapa bergegas kembali ke tempat 
tugasnya. Kemudian mempersilakan gadis itu masuk. 
Sebenarnyalah gadis itu kakak kandung Prabalaya. 
Dan kucing hutan yang selalu berada dalam pelukan-
nya, membuatnya dijuluki “Meong Koneng” (kucing hu-
tan kuning). 
Cantik memang gadis itu. Potongan tubuhnya pun 
memenuhi syarat untuk membangkitkan birahi lelaki. 
Sepasang payudara yang montok, pinggang yang ram-
ping, buah pinggul yang besar, kulit yang kuning lang-
sat, mata yang sayu seperti mengajak tidur, hidung 
yang meruncing, sikap yang genit... ah... semuanya itu 
memang seperti mengundang birahi lelaki. Namun ka-
lau orang sudah tahu siapa gadis itu, tentu akan ber-
gidik ngeri. 
Prabayani, demikian nama gadis bergelar Meong 
Koneng itu, dalam beberapa hal memang tampak lebih  
menarik daripada adiknya (Prabalaya). Namun sesung-
guhnya jiwa gadis itu jauh lebih jahat daripada Praba-
laya! Kalau Prabalaya mampu membunuh orang sam-
bil tersenyum, maka Prabayani mampu melakukannya 
sambil tertawa genit. Kalau Prabalaya tidak pernah 
menggubris anak kecil, maka Prabayani justru tiap 
malam bulan purnama sengaja mencari anak kecil... 
untuk dibunuh dan diambil hatinya! Untuk apa hati 
anak-anak kecil itu? Prabayani memiliki semacam ilmu 
yang membuatnya tampak jauh lebih muda daripada 
usia sebenarnya. Dan salah satu syarat ilmunya itu, 
adalah makan hati anak kecil di setiap malam bulan 
purnama. Maka setiap bulan selalu saja ada anak kecil 
yang hilang. Dan orang tua yang pernah kehilangan 
anaknya, cuma mengira bahwa anaknya itu diterkam 
binatang buas atau dilarikan makhluk halus. 
Adipati Natajaya pun tidak tahu bahwa gadis cantik 
yang sekarang bersimpuh di depannya, jauh lebih ja-
hat daripada Prabalaya. Dan memang baru sekali itu-
lah sang Adipati bertemu dengan Prabayani. 
Pikir Adipati Natajaya saat itu, “Gadis ini kakaknya 
Prabalaya?! Kenapa  kelihatannya justru lebih muda 
daripada Prabalaya?” 
Memang Prabayani tampak muda sekali. Usianya 
sudah hampir 30 tahun, tapi penampilannya seperti 
gadis belasan tahun. 
“Hamba mau menghaturkan laporan, tentang tugas 
yang diberikan pada adik hamba,” kata Prabayani de-
ngan lirikan genitnya. 
Adipati Natajaya yang mata keranjang itu, langsung 
tergiur. Tapi ia berusaha menguasai dirinya. Lalu ta-
nyanya, “Sudah selesai?” 
“Sudah, Kanjeng Adipati.” 
Adipati Natajaya melirik ke kanan kirinya. Lalu ka- 
tanya, “Laporan mengenai hal itu sangat rahasia sifat-
nya. Karena itu... marilah ikut denganku.” 
“Baik, Kanjeng Adipati,” sahut Prabayani sambil 
mengikuti langkah Adipati Natajaya ke sebuah kamar 
tertutup. 
Tadinya Adipati Natajaya akan membawa Prabayani 
ke kamar rahasia di bawah tanah itu. Tapi setelah te-
ringat bahwa kamar di bawah tanah itu memiliki pintu 
rahasia yang biasa dipakai jalan Prabaseta, sang Adi-
pati membatalkan maksudnya. Sang Adipati ingin ber-
bicara dengan Prabayani, tanpa diketahui oleh siapa 
pun, termasuk ayah Prabayani sendiri. 
Setelah berada di kamar tertutup yang biasanya di-
pakai untuk memadu asmara dengan gundik-gundik-
nya, sang Adipati berkata, “Nah... sekarang ceritakan-
lah. Apa yang telah terjadi?” 
“Senapati Jugala sudah binasa, Kanjeng Adipati. 
Hamba sendiri yang melakukannya,” sahut Prabayani. 
“Kau yang melakukannya?! Dan sekarang kau da-
tang ke sini secara terang-terangan begini?! Oooh... 
bagaimana kalau ada mata-mata kerajaan melihat-
mu?” Adipati Natajaya tampak cemas sekali. 
“Kanjeng Adipati tak usah kuatir,” kata Prabayani. 
“Waktu hamba melakukannya, hamba mengenakan 
topeng. Pakaian yang hamba kenakan pun pakaian la-
ki-laki. Percayalah, tidak ada seorang pun yang men-
genal hamba, kecuali adik hamba sendiri.” 
Kemudian Prabayani menuturkan kisah penyerga-
pan yang telah dilakukannya. 
“Dengan mengenakan pakaian laki-laki dan topeng 
penutup wajah itu, hamba menyergap mereka. Bebe-
rapa prajurit merintangi hamba, sehingga terpaksa 
hamba binasakan. Kemudian Senapati Jugala sendiri 
yang hamba kirim ke neraka. Setelah itu, datanglah  
adik hamba. Pura-pura bertempur dengan hamba. Dan 
hamba melarikan diri ke dalam hutan, seperti yang te-
lah direncanakan sebelumnya.” 
“Beberapa orang prajurit yang kau bunuh?” tanya 
Adipati Natajaya. 
“Hanya lima orang, Kanjeng Adipati.” 
“Dan sisanya?” 
“Tentu pulang ke kotaraja, untuk melaporkan peris-
tiwa itu... dan adik hamba akan diperlakukan sebagai 
pahlawan penyelamat.” 
“Mana Prabalaya sekarang?” 
“Dia ikut ke kotaraja bersama sisa prajurit kerajaan 
itu.” 
“Ke kotaraja?! Oooh... kenapa bisa jadi begitu? Bu-
kankah aku sudah memerintahkan supaya ia cepat-
cepat kembali ke sini, untuk kemudian bersamaku 
pergi ke kotaraja? Mengapa ia nyelonong pergi sendi-
rian? Apakah adikmu ingin mengkhianatiku?” 
“Tidak, Kanjeng Adipati. Adik hamba justru ingin 
melindungi Kanjeng Adipati dari kecurigaan yang 
mungkin saja timbul di pihak kerajaan. Dengan hadir-
nya adik hamba di sisi para prajurit yang masih hidup 
itu, laporan yang tidak diinginkan bisa dihindari. Se-
lain daripada itu, adik hamba ingin memberi kesan 
pada Pangeran Aria Pamungkas, bahwa peristiwa itu 
terjadi secara kebetulan. Bukan disengaja, bukan di-
atur oleh Kanjeng Adipati.” 
Adipati Natajaya termenung sesaat. Lalu mengang-
guk-angguk. “Ya... mungkin itu lebih baik. Tapi yakin-
kah kau bahwa adikmu tidak akan mengkhianatiku?” 
“Percayalah, Kanjeng Adipati. Adik hamba biasa 
bertualang, tapi tidak biasa mengkhianati orang yang 
telah berbuat baik padanya. Terlebih lagi kepada Kan-
jeng Adipati yang telah bersahabat dengan ayah ham- 
ba.” 
Adipati Natajaya mengangguk-angguk lagi. Lalu 
memandang wajah cantik itu, dari sudut kelelakian-
nya. Dan ia yakin, mata indah yang bergoyang perla-
han itu seolah-olah mengundangnya. Tapi tiba-tiba sa-
ja ia ingat seseorang... Nilamsari... ya, bukankah Ni-
lamsari sedang disembunyikan  di suatu tempat dan 
akan dijumpainya hari ini? 
“Baiklah,” kata Adipati Natajaya. “Sekarang aku 
mau pergi dulu. Dan kau boleh menungguku sampai 
aku pulang nanti malam.” 
“Hamba harus menunggu di sini?” tanya Prabayani 
dengan kerlingan memancing. 
“Ya,” sahut  sang Adipati. “Kau akan diperlakukan 
sebagai tamu istimewa. Kebutuhan-kebutuhanmu 
akan dipenuhi oleh para pelayanku. Tapi binatang 
itu... sebaiknya kau simpan dulu di dalam kandang.” 
“Kenapa, Kanjeng Adipati?” Prabayani mengelus 
leher kucing hutannya. 
“Binatang itu... menakutkanku.” 
“Ah, Kanjeng Adipati. Binatang kesayangan hamba 
ini tahu benar siapa kawan dan siapa lawan hamba. 
Dia hanya akan bertindak kalau sudah disuruh oleh 
hamba. Tapi baiklah... hamba akan memasukkannya 
ke dalam kandang nanti sore... supaya Kanjeng Adipati 
tidak terganggu,” desis Prabayani dengan senyum me-
mikat. 
Tergetar batin Adipati Natajaya melihat senyum itu. 
Tapi bayang-bayang wajah Nilamsari masih membe-
lenggunya. Maka ia tekan gelora itu, untuk sementara. 
Dan beberapa saat kemudian, Adipati Natajaya su-
dah berada di dalam keretanya, dikawal oleh tujuh 
orang prajurit berkuda, yang mulai bergerak mening-
galkan pintu gerbang. 
 
*** 
 
 
KERETA yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam itu 
berhenti di halaman sebuah rumah, yang terletak 
di daerah terpencil, jauh di sebelah selatan Kawahsul-
ing. Beberapa prajurit kadipaten tampak menjaga ru-
mah itu. 
Adipati Natajaya turun dari keretanya. Lalu me-
langkah ke dalam rumah megah milik pribadinya itu. 
Seorang dayang berdatang sembah di ruang cengke-
rama. “Hamba menghaturkan sembah bakti, Kanjeng 
Adipati.” 
“Kuterima. Bagaimana? Sudah kau dandani dia?” 
Adipati Natajaya menghempas ke sebuah kursi berukir 
indah. 
“Sudah,” sahut dayang itu. “Tapi dia menangis te-
rus, Kanjeng Adipati.” 
Adipati Natajaya berdiri lagi. Melangkah ke arah 
pintu kamar pertama. Membuka pintu itu. Lalu dili-
hatnya gadis itu... gadis yang sedang mencucurkan air 
mata di peraduan mewah itu. 
Itulah Nilamsari, putri mendiang Adipati Wiralaga, 
yang kini digilai oleh Adipati Natajaya. Yang kini  di-
hampiri oleh Adipati Natajaya. 
“Nilamsari maniiiiis...! Akhirnya kau terbawa lagi ke 
sini, bukan?! Sejak dulu aku sudah bilang, jangan co-
ba-coba melarikan diri. Karena walaupun kau lari ke 
ujung dunia, aku akan menemukanmu dan memba-
wamu ke sini lagi,” desis Adipati Natajaya sambil du-
duk di tepi peraduan, sambil memperhatikan wajah Ni-
lamsari. “Ah... kau semakin cantik saja, Nilamsari. Da-
lam tempo tiga tahun kita tidak pernah berjumpa. 
Dan... ternyata kau sekarang tak ubahnya bidadari tu- 
run dari Kahyangan.” 
Adipati Natajaya menyentuh dagu Nilamsari. Tapi 
cepat-cepat Nilamsari membuang muka, sehingga sen-
tuhan di dagunya hanya sekejap mata saja. Itu justru 
membuat Adipati Natajaya makin penasaran. Kerindu-
annya yang disekap selama tiga tahun itu, seolah-olah 
mau meledak dari dadanya. 
Maka, tak peduli dengan apa pun lagi, Adipati Nata-
jaya menerkam pinggang gadis itu. Memeluknya erat-
erat, dengan napas berdengus-dengus. 
“Paman Adipati!” Nilamsari meronta-ronta. “Sadar-
lah, Paman! Kalau Paman Adipati menghendaki Ibu, 
mungkin masih bisa dimaafkan, karena antara Paman 
dengan Ibu tidak ada pertalian darah. Tapi hamba ini... 
hamba ini keponakan Paman sendiri...!” 
“Ah, aku sudah pernah mendengar kata-kata seperti 
itu tiga tahun yang lalu.” Adipati Natajaya mempererat 
pelukannya. “Dan aku tidak peduli! Ayahmu adalah 
kakak sepupuku. Bukan kakak kandungmu. Kenapa 
harus mempersoalkan pertalian darah itu? Bukankah 
aku sudah berjanji untuk menyenangkanmu di sini?” 
“Jangan, Paman! Jangaaaan...!” 
Nilamsari meronta dan meronta terus. Dan Adipati 
Natajaya tidak mau melepaskannya lagi. Adipati Nata-
jaya ingin melampiaskan sesuatu yang dipendamnya 
selama tiga tahun belakangan ini. 
Tapi... tanpa disadari oleh sang Adipati, pada saat 
itu ada sesuatu yang bergerak... sesuatu yang tidak 
dapat dilihat oleh mata biasa. 
Pandangan Adipati Natajaya sudah tertipu oleh ‘se-
suatu’ itu. Dalam pandangan sang Adipati, manusia 
yang sedang dipeluknya itu, adalah Nilamsari. Padahal 
barusan, dalam sekejap mata saja Nilamsari telah di-
ganti oleh kusir kereta sang Adipati sendiri. Dan kusir  
kereta itu telah ‘dikerjain’ oleh seseorang, yang mem-
buatnya tidak bisa mengeluarkan suara apa pun. 
Adipati Natajaya, dengan pandangannya yang su-
dah ditipu oleh suatu ilmu tingkat tinggi, mengira 
bahwa Nilamsari sudah pasrah, karena suaranya tak 
terdengar lagi, rontaannya pun telah hilang. 
Begitu bernafsu sang Adipati menelanjangi kusir ke-
reta itu, yang disangkanya Nilamsari. Begitu bernafsu 
sang Adipati menelanjangi dirinya sendiri. 
Lalu... dengan dengus napas yang semakin membu-
ru, Adipati Natajaya menghimpit tubuh kusirnya itu. 
Menciumnya dengan ganas. Dan desisnya, “Kali ini 
aku harus memilikimu. Harus....” 
Ucapan Adipati Natajaya terputus di tengah jalan, 
karena pengaruh ilmu seseorang yang ‘jahil’ itu telah 
hilang. Dan kini tampak di matanya, bahwa manusia 
yang sedang dipeluknya itu bukan Nilamsari, melain-
kan seorang lelaki tua yang sudah terlalu dikenalnya. 
“Kau... kau... keparaaaat! Kenapa kau bisa ada di 
sini?!” bentak sang Adipati pada lelaki tua yang sudah 
ditelanjanginya itu. 
“H... hhh... hamba sendiri he... heran... kenapa bisa 
ada di... di sini...,” sahut kusir kereta itu sambil me-
nyambar celananya dan cepat-cepat mengenakannya 
kembali. 
Geram dan malu seakan-akan meledak dari dada 
sang Adipati. Geram, karena tadi ia merasa hampir ti-
ba di tempat tujuannya, namun lalu gairahnya men-
dadak terbunuh begitu saja setelah menyadari siapa 
yang berada di depan matanya itu. Malu, karena saat 
itu sang Adipati sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, 
di depan mata kusir kereta  yang biasanya sangat 
menghormatinya itu. 
Dan, tentu saja kecewanya sang Adipati bukan  
main hebatnya. 
“Cepat kau keluar dari sini!” bentak Adipati Nata-
jaya sambil menyambar pakaiannya. Bergegas menge-
nakannya kembali. 
Kusir kereta itu menghambur ke luar, dengan pera-
saannya heran dan takut melihat kemarahan sang 
Adipati. 
*** 
Adipati Natajaya memanggil semua prajurit kadipa-
ten yang ada di tempat itu. Kepada mereka sang Adipa-
ti bertanya, “Siapa di antara kalian yang melihat seo-
rang gadis berlari ke luar?” 
Prajurit-prajurit kadipaten itu tidak ada yang me-
nyahut, berarti tak seorang pun di antara mereka me-
lihat seseorang berlari ke luar dari rumah megah itu. 
“Kalian goblok semua! Ayo cari dia di sekitar tempat 
ini!” bentak Adipati Natajaya, yang lalu diikuti dengan 
berhamburannya prajurit-prajurit ke sekeliling rumah 
megah itu. 
Namun mereka tidak menemukan gadis yang mere-
ka cari itu. Nilamsari hilang tanpa bekas! 
 
(Bersambung)