Pendekar Gagak Rimang 2 - Genta Perebutan Kekuasaan

 
Sepasang  mata Pandu bersinar 
waspada. Memperhatikan tiga sosok tubuh 
yang mengurungnya dengan tombak 
terhunus.  Wajah di balik caping itu 
nampak tenang saja meskipun tatapannya 
sungguh waspada. 
"Maafkan aku, Ki sanak... aku hanya 
seorang pengembara yang kebetulan lewat 
di sini," katanya. "Dan aku sungguh tidak 
mengerti dengan apa yang telah terjadi, 
karena tiba-tiba saja kalian telah 
mengurungku...." 
"Dusta! Katakan siapa kau 
sebenarnya!!" 
"Namaku Pandu... aku datang dari 
Gunung Kidul." 
"Jangan bohong, Anak muda!!"  
"Aku tidak bohong, Ki sanak...."  
"Mengapa kau memakai caping?"  
"Sekedar untuk menutupi kepala dari 
sinar matahari!"  
"Buka!" 
Pandu yang tidak mau mencari 
masalah, segera membuka capingnya. Dan 
ketiga orang yang mengurungnya itu 
melihat seraut wajah yang tampan di balik 
caping itu. 
"Katakan sekali lagi, siapa kau 
adanya, Anak muda?!" bentak salah 
seorang. 
"Tadi sudah kukatakan dengan 
jelas... namaku Pandu, aku seorang 
pengembara dan berasal dari Gunung 
Kidul...." 
Ketiga prajurit itu saling 
berpandangan. Seolah meminta pendapat 
satu sama lain. 
Pandu yang melihat kebingungan dan 
rasa ketidak percayaan mereka segera 
berkata, "Bila kalian masih ragu dengan 
siapa aku yang sebenarnya... aku 
bersedia kalian bawa... tanpa melawan!!" 
Mendengar kata-kata itu ketiganya 
kembali berpandangan. Dan  kali ini 
saling mengangguk tanda setuju. Lalu 
ketiganya dengan mendongakkan tombak di 
punggung Pandu menggiring pemuda itu ke 
Keraton Utara. 
Dia dihadapkan pada Mpu Daga yang 
langsung tersenyum begitu melihat pemuda 
itu. Capingnya telah terbuka dan kini 
bertengger di punggungnya dengan tali 
yang melilit di lehernya. 
Tiga prajurit tadi menjaga di depan 
pintu. 
"Hmm... siapakah kau anak muda?" 
tanya Mpu Daga dengan sikap welas asih. 
Pandu berkata dalam hati, sikap 
laki-laki ini mengingatkan aku pada 
eyang... 
"Maafkan saya, Mpu... nama  saya 
Pandu pengembara dari Gunung Kidul. Dan 
kebetulan saja lewat di sini. Namun 
tiba-tiba saja tiga orang prajurit 
dengan senjata tombak di tangan 
mengurung saya. Dan akhirnya, terjadilah 
hal seperti ini, di mana kita 
bertemu...." 
Diam-diam Mpu Daga sendiri kagum 
melihat sikap pemuda itu. Tutur katanya 
begitu halus. Dan tak ada kelihatan sikap 
sombong. Dalam sekali lihat saja Mpu Daga 
sudah yakin kalau pemuda itu berkata 
jujur. 
"Maafkan kelancangan prajurit 
prajurit tadi. Yang membuatmu menjadi 
tidak enak hati, bukan?" 
"Mpu... sebenarnya aku heran pula, 
mengapa sikap para prajurit demikian? 
Ada apakah sebenarya, Mpu? Maukah Mpu 
menceritakannya padaku?" 
Mpu  Daga mendesah panjang. Lalu 
perlahan-lahan dia pun menceritakan apa 
yang  sesungguhnya terjadi di Keraton 
Utara ini. Dia pun menceritakan 
kemungkinan apa yang akan dialami oleh 
Keraton Utara dan bagaimana dengan sikap 
Keraton Selatan. 
"Maafkan aku, Mpu... bila aku 
lancang bertanya," kata Pandu kemudian. 
"Tidak apa-apa. Kau sebagai tamu 
kehormatan di Keraton Utara ini." 
"Apakah  Mpu sudah yakin kalau 
sesungguhnya yang mencuri pusaka tanah 
Keraton Utara itu orang-orang Keraton 
Selatan?" 
"Aku sendiri tidak yakin dalam hal 
ini, Pandu. Tetapi sebenarnya aku yakin, 
Keraton Selatan tidak terlibat dalam hal 
ini. Aku sendiri menduga, si pencuri 
adalah orang dalam. Orang Keraton Utara 
sendiri. Mungkin pula dia bekerja sama 
dengan satu komplotan. Atau... yah, 
sesungguhnya pencuri itu menginginkan 
singgasana prabu untuk didudukinya. Ini 
namanya pemberontakan. Dan bila ini 
memang benar adanya, maka petaka besar 
akan melanda Keraton Utara. Musuh dalam 
selimut telah mengembara di keraton. Ini 
ancaman yang mengerikan, karena kami 
tidak tahu siapa musuh dalam selimut 
itu...." 
"Maafkan aku, Mpu... apakah tidak 
ada tanda-tanda yang bisa membawa ke 
sana, siapa kiranya musuh dalam selimut 
itu?" tanya Pandu lagi. 
"Sampai sekarang belum ketahuan 
siapa yang mempunyai niat busuk untuk 
menggulingkan tahta Keraton Utara. 
Dengan cara mengadu domba dengan Keraton 
Selatan!" 
"Mpu...." kata Pandu kemudian. 
"Bila mpu tidak keberatan bolehkah 
kiranya aku ikut campur dalam masalah 
ini?" 
Wajah Mpu Daga nampak bercahaya. 
"Hahaha... sudah tentu, Pandu. Sudah 
tentu aku mengizinkan. Tetapi... apa 
yang mendorongmu untuk melakukan semua 
ini?" 
"Maafkan saya, Mpu... aku hanya se-
orang  pengembara belaka yang singgah 
dari desa ke desa. Tidak ada maksud lain 
kecuali ingin menolong sesama...." 
Mpu Daga tersenyum. Sikapnya begitu 
welas asih. 
"Pandu... sebelumnya atas nama 
Prabu, aku mengucapkan banyak terima 
kasih. Nah, untuk itu... kau harus 
menyamar menjadi salah seorang prajurit. 
Dan bila kau ada kesempatan, kau harus 
segera menyelidiki siapa musuh dalam 
selimut yang hendak menggulingkan 
Keraton Utara...." 
"Baiklah, Mpu... aku setuju saja." 
"Kalau begitu... bila ada cara yang 
tepat nanti, kau akan kuperkenalkan pada 
mereka tadi.”  
“Baiklah, Mpu... semoga saya tidak 
mengecewakan Mpu nantinya...." 
"Aku  yakin kau tidak akan 
mengecewakan aku, Pandu. Tetapi... 
bisakah kau menceritakan sedikit tentang 
siapa kau sebenarnya...." 
"Kalau kau begitu memerlukan 
keterangan mengenai siapa aku, baiklah, 
Mpu... aku pun paham karena suasanayang 
sedang genting ini...." 
Lalu Pandu pun menceritakan sedikit 
tentang siapa dirinya. 
"Jadi? Eyang Ringkih Ireng itu 
gurumu, Pandu?!" suara Mpu Daga 
terdengar cukup terkejut. 
"Begitulah adanya, Mpu!" 
"Hahaha... bagus, bagus! Kini aku 
yakin siapa kau adanya, Pandu! Aku 
tahu... di dunia ini hanya seorang yang 
menguasai Ilmu Tangan Malaikat. Eyang 
Ringkih Ireng. Apakah kau mendapatkan 
Ilmu Tangan Malaikat itu, Pandu?" 
"Ya, Mpu. Ilmu langka itu pun aku 
miliki." 
"Berikut golok Cindarbuana yang ada 
di bahumu itu, bukan?" 
Pandu terkejut karena ada orang yang 
mengenai golok pemberian gurunya. Kalau 
begitu, tentunya ini golok yang 
terkenal. Tetapi mengapa gurunya tidak 
mengatakan apa-apa padanya. 
"Benar, Mpu. Tapi...." 
"Sudahlah, Pandu. Lebih baik kau 
menyingkir dulu dari sini. Nanti aku 
hubungi." 
"Baik, Mpu." 
"Cepatlah, Pandu. Sebelum ter-
lambat!" 
Karena saat ini Sri Jayarasa, sang 
prabu Keraton Utara tengah membaca surat 
tantangan  perang dari Prabu Keraton 
Selatan yang marah dan merasa terhina. 
Setitik darah menjadi lambang 
kematian di surat itu! 
Sri Jayarasa menggeram marah. Dia 
meremas surat itu hingga lumat.Juga anak 
panah yang dipakai untuk melontarkan 
surat itu, diinjak-injaknya hingga 
patah. Entah dari mana dilontarkannya. 
"Kita sambut tantangan perang 
mereka ini!" geram prabu muda 
berapi-api. Lalu berkata pada Ki Sima 
Ireng yang ada di sana. "Ki Sima Ireng, 
segera pimpin pasukan untuk menyerang ke 
sana!!" 
Tak ada jalan lain bagi Ki Sima Ireng 
kecuali hanya mengangguk. Padahal saat 
ini Ki Runding Alam dan Ki Manggala belum 
kembali dari Keraton Selatan. Ini saja 
sudah menimbulkan kekuatiran pada diri 
Ki Sima Ireng. Dia sering bertanya-tanya 
dalam hati. Apa yang telah terjadi dengan 
kedua sahabatnya itu? Apa yang terjadi? 
Tetapi dia tak dapat membantah dan 
mengemukakan jalan pikirannya, karena 
Sri Jayarasa sekali lagi memerintahkan 
untuk segera memimpin pasukan perang! 
Memang tak bisa dibantah. Perintah 
adalah pernitah! 
Dengan  cepat Ki Sima Ireng 
melaksanakan perintah itu. Dia segera 
menyusun barisan perang menjadi dua 
kelompok. Kelompok satu, barisan berkuda 
dengan busur dan panah. Lalu kelompok 
dua, barisan berjalan kaki yang akan 
membantu dari belakang. Masing-masing 
kelompok  berjumlah seratus orang. 
Penyerangan dalam tahap awal. 
Besok  pagi setelah matahari 
sepenggalah mereka akan segera 
menyerang. 
Dan bukan main terkejutnya Mpu Daga 
ketika keesokan paginya ketika dia 
datang melihat betapa banyaknya pasukan 
Keraton Utara di halaman keraton degan 
pakaian dan keadaan siap berperang. Ada 
apa ini? 
Apa yang telah terjadi? 
Masih bertanya-tanya dalam hati, 
dia segera masuk ke ruang prabu berada 
dan bertanya. 
"Daulat, Tuanku Raja Yang Agung. Ada 
apakah gerangan ini? Mengapa sedemikian 
banyaknya prajurit di halaman keraton 
dalam keadaan siap untuk berperang?" 
Raja muda itu menatap Mpu Daga. Mpu 
Daga dapat melihat kilatan mata marah 
pada sepasang mata itu. 
"Kau sudah tahu, bukan? Ini tandanya 
perang, Mpu!" sahut raja muda itu dengan 
suara cukup keras. 
Mpu Daga mendesah panjang. 
"Apa yang menyebabkan para prajurit 
sudah siap untuk berperang? Maaf, 
Tuanku... bilamana lancang ber-
tanya...." 
"Mpu Daga..." Sri Jayarasa bangkit 
dari duduknya. Berjalan ke jendela. 
"Perang tidak bisa dihindari lagi, darah 
akan tumpah lagi. Prabu Keraton Selatan 
telah mengirim surat tantangan perang. 
Tak ada jalan lain, aku bermaksud 
menyambut tantangan itu, .. Mpu...." 
Mpu Daga mendesah dalam hati. Aku 
terlambat... desisnya pilu. 
"Tuanku... apakah telah difikirkan 
dengan matang tentang hal itu...." 
"Maksudmu apa, Mpu?" 
"Apakah tidak ada jalan lain untuk 
menyelesaikan masalah ini selain jalan 
berperang?" 
"Tidak ada, Mpu. Matahari 
sepenggalah, pasukan kita akan segera 
menyerang!" potong Sri Jayarasa cepat. 
"Tuanku... perang hanya menimbulkan 
kesengsaraan dan kemiskinan. Tahanlah 
pasukan  dulu, Tuanku. Apakah Tuanku 
lupa, kalau Ki Runding Alam dan Ki 
Manggada belum kembali dari Keraton 
Selatan? Apakah tidak sebaiknya kita 
tunggu kedatangan mereka, Tuanku? 
"Karena aku ingat hal itu, di mana 
Ki Runding Alam dan Ki Manggada belum 
kembali, aku bermaksud mengirimkan 
pasukan ke sana!" Sri Jayarasa duduk 
kembali di singgasananya. Memperhatikan 
Mpu Daga yang duduk bersila di bawah dan 
menatapnya dengan penuh keprihatinan 
yang mendalam. "Aku menduga, Ki Runding 
Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan 
mereka, Mpu." 
Mpu Daga menggelengkan kepalanya. 
"Hamba tidak percaya kalau Ki Runding 
Alam dan Ki Manggada berada dalam tawanan 
mereka. Hamba mengenal keduanya sejak 
mereka kecil, Tuanku. Mereka adalah 
manusia-manusia tangguh yang diciptakan 
Hyang Widi...." 
"Tapi apakah selamanya manusia itu 
akan tangguh? Di dunia ini kesalahan, 
kekalahan dan kesialan selalu ada, Mpu. 
Ingat hal itu.  Janganlah menganggap 
mereka sebagai dewa!" 
"Hamba mengerti, Tuanku."  
"Dan aku yakin, orang-orang Keraton 
Selatan yang menyusup ke keraton dan 
mencuri Pusaka Patung Pualam. Ini tidak 
bisa dibiarkan, Mpu!" 
Mpu Daga menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Dia tidak ingin perang sampai ter-
jadi. Dia ingin kedua kerajaan itu hidup 
rukun dan damai, dalam kurun waktu 
sepanjang masa. Dia terus berusaha agar 
Prabu Keraton Utara mau mengurungkan 
niatnya. 
"Tuanku... apakah tuanku yakin 
kalau  Keraton Selatan yang mencuri 
pusaka leluhur Keraton Utara? Sepertinya 
tidak mungkin orang Keraton Selatan 
dapat menyusup ke keraton yang dijaga 
begitu ketat...." 
"Lalu bagiamana dugaanmu, Mpu?" 
"Orang dalamlah yang berbuat semua 
ini, Tuanku...." 
"Mpu... aku tak pernah berfikir 
sampai. ke sana. Tetapi yang pasti, aku 
tetap akan mengirimkan pasukan ke 
Keraton Selatan! Raja sialan itu telah 
membuatku malu dengan mengirimkan surat 
tantangan!! Aku pantang ditantang 
seperti itu! Dan darah sebagai 
taruhannya!" 
Lagi Mpu Daga mendesah masygul. Kini 
tak ada lagi usaha yang bisa dilakukannya 
untuk menggagalkan keinginan raja muda 
yang marah ini. Yang sedikit-sedikit 
lebih memakai kekuatan daripada akal 
sehat. Dan perang sepertinya tak bisa 
dihindarkan lagi. Mpu Daga sendiri tidak 
bisa berbuat apa-apa. 
Lalu  Mpu Daga pun perlahan-lahan 
mohon pamit mundur. 
"Mpu!" panggil Raja ketika Mpu Daga 
sampai di ambang pintu. 
Mpu Daga berbalik. "Daulat, 
Tuanku...." 
"Bantu Ki Sima Ireng dalam memimpin 
pasukan!" 
"Saya akan membantunya, Tuanku...." 
kata Mpu Daga, lalu melangkah ke luar 
dengan lesu. Pikirannya 
dibayang-bayangi hal-hal yang 
mengerikan. Mpu Daga telah merasakan 
kepedihan yang luar biasa akibat perang. 
Dan dia tidak menginginkan hal itu 
terulang lagi. 
Apalagi dua negara yang pernah 
terlibat perang dan kini telah berdamai, 
harus mengangkat senjata kembali 
mempertahankan harga diri dan 
kehormatan. 
Ah, akan manusia sulit untuk membuat 
sesuatu itu menjadi lebih baik. Sulit, 
padahal dia seorang yang mampu!! 
Mpu Daga amat menyesali bila,perang 
benar-benar terjadi. Dan sepertinya 
memang akan terjadi. Ah, Mpu Daga tidak 
bisa membayangkan kembali bagaimana 
pedihnya akibat perang! Perang yang 
sebenarnya dilandasi nafsu belaka. 
Beratus umat manusia akan mengalami 
hal yang mengerikan. Perang adalah satu 
bentuk fenomena kehidupan yang berakibat 
amat menakutkan. Berbagai macam perang 
memang terjadi dalam kehidupan ini. 
Perang yang paling besar adalah 
perang. melawan hawa nafsu sendiri. 
Perang yang begitu hebat. 
Dan raja muda itu telah kalah 
melawan nafsunya sendiri. Dia hanya 
ingin membuktikan bahwa dirinya kuat dan 
mampu memimpin suatu negara. Padahal 
semua ini hanyalah membuktikan bahwa 
dirinya tidak mampu menggunakan akal 
sehatnya. 
Mpu Daga sungguh-sungguh amat 
menyesali kejadian itu. 
Kejadian yang menurutnya tidak 
dipikirkan lagi secara panjang. Tidak 
memikirkan akibat apa yang ditimbulkan 
nanti. Terlalu mengerikan untuk 
dibayangkan. 
Mpu Daga mendesah panjang. 
Dia memang tidak bisa lagi untuk 
berbuat sesuatu agar perang tidak 
terjadi. Karena kini sudah diambang 
pintu, dan pintu itu telah terbuka. 
"Hanya Dewatalah yang bisa 
menghentikan semua ini," desahnya pilu. 
Lalu dia pun melangkahkan kakinya ke 
halaman keraton. 
Tak ada yang bisa diperbuatnya! 
 
 
* * * 
 
 
Di halaman keraton pasukan yang 
telah siap dengan senjata peralatan 
perang, siap untuk diberangkatkan. Ki 
Sima Ireng duduk di kuda putih yang 
tinggi dan kekar. Dia telah siap dengan 
pakaian perangnya. 
Di pinggangnya terselip dua buah 
besi yang ujungnya berbentuk cakar. 
Itulah senjata Ki Sima Ireng alias Macan 
Seranggi. Dia amat lihai menggunakan 
senjatanya itu. 
Sebenarnya Ki Sima Ireng amat 
menyesali juga  keputusan yang telah 
diberikan oleh Raja Muda itu. Namun dia 
tak bisa berbuat apa-apa kecuali 
menuruti perintahnya. 
Ki Sima Ireng melihat Mpu Daga ke 
luar dari pintu keraton dengan lesu. 
Serentak Ki Sima Ireng melompat dari 
kudanya dan menghampiri Mpu Daga, dan 
menyapa. 
"Mpu..!." 
Mpu Daga  berhenti melangkah. 
Menatap Ki Sima Ireng yang kini telah 
berdiri di hadapannya. Matanya menyapu 
pasukan yang telah siap untuk 
diberangkatkan. 
Matahari sudah sepenggalah. Angin 
berhembus dingin dan menusuk. 
Mengherankan, karena matahari bersinar 
terang tetapi udara amat dinginnya. 
Mpu Daga merasakan bulu kuduknya 
bergidik. Dia merasakan hembusan angin 
yang mengundang maut. Angin kematian! 
"Peperangan tidak bisa dihindari 
lagi, Mpu..." kata Ki Sima Ireng. 
"Benar. Sima...." sahut  Mpu Daga 
pelan. "Aku tak kuasa untuk menahan 
perintah Yang Mulia Raja kita," kata Ki 
Sima Ireng pula. 
Mpu Daga menghela nafas panjang. 
"Aku pun gagal, Sima. Dan sebagai 
hamba-hamba yang setia, yang telah lama 
mengabdi pada Keraton Utara kita harus 
menerima segala titahnya." 
"Benar, Mpu." 
"Berapa bagian pasukan ini?" tanya 
Mpu Daga kemudian. 
"Kususun menjadi dua bagian, Mpu."  
"Dengan formasi bagaimana?"  
"Barisan berkuda dan barisan 
berjalan. Barisan berkuda akan menyerang 
pertama, dan barisan berjalan akan 
menerobos." 
"Hmm... rubah formasimu ini, Sima." 
"Bagaimana, Mpu?" 
"Barisan pertama atau barisan 
berjalan, menyerang pertama. Barisan 
berkuda menerobos masuk ke dalam 
pertahanan lawan. Ah, benarkah Keraton 
Selatan menjadi lawan kita, Sima?" 
"Aku pun tidak tahu, Mpu. Dan 
setelah semua ini siap untuk dikerahkan, 
aku pun jadi menduga kalau Keraton 
Selatan adalah lawan kita. Karena bila 
kita diam, maka kita yang dihajar. Dalam 
hal ini hanya ada satu kalimat, membunuh 
atau dibunuh!" sehut Ki Sima Ireng. 
"Ya... memang tak ada jalan lain. 
Nah, berangkatlah dengan usul yang 
kuberikan tadi." 
Kali ini Ki Sima Ireng mengeluh. 
"Aku bukan ahli strategi perang, Mpu. 
Selama ini biasanya aku mengikuti 
perintah Ki Runding Alam. Hanya beliau 
yang menurutku ahli strategi perang yang 
hebat. Tetapi sampai saat ini beliau 
belum juga muncul. Ini memang 
kesalahanku karena aku tak pernah bisa 
mengatur strategi perang.  Baiklah, 
Mpu... aku menuruti perintahmu...." 
"Aku akan memimpin barisan berkuda, 
Sima" kata Mpu Daga kemudian. 
Dan kata-katanya itu membuat Ki Sima 
Ireng terkejut. Dia menatap Mpu Daga 
lekat-lekat. 
"Mpu akan terjun langsung?!" 
"Ya." 
"Tapi Mpu... Mpu lebih baik tinggal 
di sini. Pikiran Mpu sangat membantu bagi 
kerajaan. Dan amat diperlukan." 
"Raja memerintahkan aku untuk 
membantumu." 
"Tapi, Mpu...." 
"Bukankah tadi kita sudah 
menyetujui, sebagai hamba-hamba yang 
setia, kita tak bisa menghindari segala 
perintah raja. Bukan begitu, Sima?" 
"Benar, Mpu." 
"Dan  perintah itu pun tak bisa 
kuhindari." 
"Tapi, Mpu... bagaimana halnya 
dengan keraton?" 
"Perintah raja hanya menyuruhku 
membantumu, Sima. Aku akan membantumu." 
Ki Sima Ireng hanya bisa mendesah 
saja tanpa bisa untuk membantah lagi. Dia 
tahu siapa Mpu Daga, seorang tua yang 
amat menghormati perintah raja. Yang 
tentunya  tak akan pernah ditelannya 
bulat-bulat sebelum dipikirkan. 
"Baiklah, Mpu..." katanya akhirnya. 
"Aku akan memimpin barisan berkuda. 
Kau pimpin barisan berjalan. Kau masih 
ingat situasi jalan menuju Keraton 
Selatan, bukan? Di Desa Pareden, kita 
kembali mengatur strategi penyerangan 
dan pertahanan. Bagaimana, Sima? Nah, 
kau bergeraklah lebih dulu, Sima. 
Usahakan semuanya berjalan lancar. 
Jangan ada yang salah dalam perhitungan. 
Sima, aku hendak kembali sebentar...." 
"Hendak ke manakah, Mpu?" 
"Ada seseorang yang harus kujumpai 
dan kuharapkan keterlibatannya dalam 
urusan ini." 
"Siapakah dia, Mpu? Apakah.dia 
benar-benar ingin mengabdi terhadap 
Keraton Utara?" 
"Kita lihat nanti, apakah dia 
benar-benar ingin mengabdi, atau hanya 
ingin terlihat gagah saja... atau... dia 
adalah mata-mata Keraton Selatan yang 
ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di 
sini...." 
"Apakah  Mpu sudah memeriksanya 
lebih lanjut?" 
Mpu Daga menganguk. Mata tuanya ke-
lihatan lelah. 
"Aku sudah memeriksanya, Sima. 
Hanya kita ingin bukti apakah dia 
benar-benar ingin mengabdi atau tidak. 
Nah, bergeraklah,  Sima...  Doaku 
menyertaimu... ingat, jangan gegabah 
dalam bertindak. Fikirkan segala 
sesuatunya. Mungkin aku akan lebih cepat 
menyusulmu...." 
Ki Sima Ireng terharu mendengar 
ucapan Mpu Daga. Seorang lelaki tua yang 
amat disegani dan dihormatinya. Seorang 
lelaki tua yang perkasa, yang mampu 
membuat strategi perang dan sistim 
pertahanan yang luar biasa bagusnya. 
Sulit untuk ditembus musuh. Dan Ki 
Runding Alam orang yang juga ahli dalam 
penyerangan, tidak ada di tempat. Namun 
tanpa strategi dari Mpu Daga, Ki Runding 
Alam pun sulit untuk menyerang. 
Dan kini Mpu Daga akan segera terjun 
langsung ke dalam pertempuran. 
Itu sebabnya Ki Sima Ireng terharu. 
"Baiklah, Mpu... kami akan 
bergerak...." 
Ki  Sima Ireng segera memimpin 
pasukannya. Sedangkan pasukan berkuda 
menunggu kedatangan Mpu Daga yang segera 
pergi setelah pasukan Ki Sima Ireng 
bergerak. 
Tepat tengah hari, Mpu Daga muncul 
bersama seorang lelaki muda yang gagah 
dan tampan. Tubuhnya tegap. Dia memakai 
baju putih-putih dan berikat kepala 
biru. Ikat kepala itu berlambai-lambai 
ditiup angin. 
Si lelaki muda itu adalah Pandu, 
yang menunggang kuda hitam. Di 
punggungnya terdapat sebuah golok tipis 
yang indah dan panjang. Sarungnya 
kelihatan terbuat dari batang kayu namun 
kelihatan pula berlapis timah kuning. 
Mpu Daga memperkenalkan Pandu 
kepada pasukan Keraton Utara. Lalu 
segera memimpin barisannya. Bergeraklah 
mereka dengan beriring-iringan secara 
perlahan-lahan. 
Pandu berada dalam barisan itu. 
Dalam hatinya dia mendesah,  
"Eyang... mungkin inilah pengalaman 
dan petualangan yang kau maksudkan itu. 
Eyang... bimbinglah aku... berilah aku 
kekuatan hati untuk menyelidiki siapa 
sesungguhnya musuh dalam selimut ini 
yang  mengkambing  hitamkan Keraton 
Selatan? Eyang, doakanlah semoga aku 
mampu untuk menyeledikinya... Dan tugas 
ini cukup berat, Eyang...." 
Iring-iring itu terus bergerak 
dengan cepatnya. Pandu menjalankan 
kudanya di sisi Mpu Daga  yang nampak 
seperti tengah berpikir. Diam-diam 
Pandu, kagum dengan Mpu Daga meskipun dia 
yakin laki-laki tua itu tengah banyak 
pikiran. 
 
* * * 
 
 
Di Keraton Selatan pun Sri Jaya 
Wisnuwardana sudah mempersiapkan pula 
bala tentaranya. Dia tetap tidak bisa 
menerima perlakuan yang telah dilakukan 
oleh orang-orang Keraton Utara dengan 
mengirimkan fitnah yang keji, menuduh 
mereka telah mengambil Pusaka Patung 
Pualam. 
Setelah mengirimkan surat tantangan 
sebagai balasan perbuatan dua orang 
Keraton Utara yang telah mengacau di 
ruang pertemuan Keraton Selatan, sang 
prabu pun segera menyiapkan bala 
tentaranya. 
Nanti malam mereka akan menyerang ke 
Keraton Utara. Sang prabu ingin, pasukan 
Keraton  Utara bisa digiring ke luar 
perbatasan. Dia tidak ingin pertempuran 
terjadi di Desa Pareden, desa perbatasan 
antara Keraton Utara dan Keraton 
Selatan,  karena selir kesayangannya, 
Sekar Perak sedang berlibur ke rumah 
ibunya. 
Sang prabu pun amat cemas memikirkan 
nasib selir kesayangannya itu. Dia 
memang tidak bisa lagi menolak 
permintaan selir yang amat disayanginya 
itu untuk mengunjungi ibunya karena 
sudah beberapa tahun tidak berjumpa 
dengannya. 
Dan prabu pun bermaksud dan 
menginginkan pertempuran itu terjadi di 
Bukit Sanggabuana. 
Makanya dia menugaskan Kyai Rebo 
Panunggul untuk bisa menggiring pasukan 
Keraton Utara ke bukit itu. Dan setelah 
masuk perangkap, pasukan yang dipimpin 
oleh Tunggul Dewa akan datang menyerang. 
Cuma Prabu Keraton Selatan tidak tahu, 
kalau selir kesayangannya itu sudah 
diculik oleh Ki Runding Alam dan Ki 
Manggada yang datang mengacau ke 
Singasari. 
"Kau harus membawa pasukan perang 
yang tangguh, Kyai!" kata sang prabu pada 
bawahannya yang setia itu. 
Kyai Rebo Panunggul mengangguk. 
"Semua menjadi tanggung jawab 
hamba, Tuanku...." 
"Bagus!" 
"Hamba telah memiliki dan memilih 
seratus orang prajurit yang terdiri dari 
panglima perang dan ahli-ahli bela diri 
yang akan membuat pasukan Keraton Utara 
kocar kacir!" kata Kyai Rebo Panunggul 
hormat. 
"Bagus! Aku suka mendengar semua 
kata-katamu itu, Kyai!" kata sang prabu. 
Lalu menatap pada Tunggul Dewa yang duduk 
bersila di samping Kyai Rebo Panunggul. 
"Tunggul Dewa... kau sendiri 
bagaimana dengan pasukanmu?" 
"Seperti yang telah dilakukan oleh 
Kyai Rebo Panunggul, pasukan yang hamba 
pimpin pun terdiri dari orang-orang yang 
tangguh pula!" 
"Bagus! Kalau begitu, segala 
sesuatunya sudah siap, bukan?" 
"Begitulah adanya, Tuanku," sahut 
Kyai Rebo Panunggul dan Tunggul Dewa 
secara bersamaan. Keduanya menjura 
hormat dan melihat wajah sang prabu 
begitu puas sekali. 
"Baiklah, malam ini kalian harus 
segera berangkat. Dan tunggu kedatangan 
mereka di Desa Pareden. Kyai Rebo 
Panunggul, kau beserta pasukanmu harus 
bisa menggiring pasukan Keraton Utara ke 
Bukit Sanggabuana." 
"Hamba, Tuanku." 
"Dan kau Tunggul Dewa, segera bawa 
pasukanmu ke Bukit Sanggabuana. Kalian 
harus menunggu pasukan Kyai Rebo 
Panunggul yang menggiring pasukan 
Keraton Utara ke sana. Setelah pasukan 
Kediri muncul, segera kalian habisi 
mereka!" 
"Baik, Tuanku." 
"Kalian tidak boleh gagal dalam 
memimpin pasukan! Hanya perlu diingat, 
bila kalian menjumpai Sekar Perak, cepat 
kalian selamatkan dia dan larikan ke 
keraton. 
"Baik, Tuanku..." sahut Kyai Rebo 
Panunggul  dan Tunggul Dewa secara 
bersamaan lagi. 
"Sekarang kalian berangkatlah. 
Tunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan 
kita besar. Sukar untuk dikalahkan. Dan 
tunjukkan pula, bahwa Keraton Selatan 
bukan pengecut! Bukan pencuri seperti 
tuduhan mereka! Kita pun tak pernah mau 
bila dihina! Tunjukkan semua itu dan 
katakan!" suara prabu Keraton Selatan 
amat berapi-api, menandakan 
kemarahannya  telah berkobar karena 
tuduhan yang diberikan oleh orang-orang 
Keraton Utara. 
Keraton Selatan adalah tanah 
mereka, tanah yang akan mereka 
pertahankan dari segala macam bentuk 
hinaan dan tuduhan! 
Kedua pemimpin pasukan itu segera 
berdiri. Lalu menjura dengan hormat. 
"Mohon doa restu, Tuanku," kata Kyai 
Rebo Panunggul. 
"Pergilah kalian." 
Lalu keduanya pun amit mundur dan 
segera menjalankan perintah sesuai 
dengan rencana Sri Jaya Wisnuwardana, 
raja mereka. 
Setelah malam mulai turun, kedua 
pasukan itu berpecah menjadi dua. Yang 
dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul segera 
bergerak ke arah Desa Pareden. Sedangkan 
yang dipimpin oleh Tunggul Dewa segera 
menuju ke Bukit Sanggabuana. 
Pasukan itu gagah dan tegap. 
Malam semakin surut. 
Sementara itu, pasukan Keraton 
Utara  sudah beristirahat di Desa 
Pareden. Kembali Mpu Daga, Ki Sima Ireng 
dan Pandu yang diperkenalkan Mpu Daga 
sebagai pengembara dari Gunung Kidul 
yang datang untuk membantu mengatur 
strategi. 
"Jadi... sebelum matahari besok 
pagi muncul, kita sudah kembali 
bergerak. Sasaran sekarang adalah Desa 
Glagah Wangi. Kita harus bergerak cepat, 
sebelum Keraton Selatan sudah menduduki 
desa itu. Atau sebelum mereka sampai di 
Desa Pareden ini," kata Mpu Daga sambil 
menatap Ki Sima Ireng dan Pandu. "Secara 
pasti, kita harus lebih cepat dari 
mereka!" 
"Bagaimana bila mereka sudah 
bergerak lebih dulu, Mpu?" tanya Ki Sima 
Ireng. 
"Yah... terpaksa kita menyambut 
mereka. Dan gagallah rencanaku untuk 
menghindari pertempuran ini. Aku 
bermaksud hendak menghadap Prabu Keraton 
Selatan untuk berunding kembali 
menghindari pertempuran ini." 
"Apakah mpu menginginkan hal itu?" 
terdengar suara Pandu bertanya tiba-tiba 
sambil menatap laki-laki perkasa yang 
duduk di hadapannya. 
"Ya, apakah kau punya rencana, Anak 
muda?" tanya Mpu Daga sambil menatap 
Pandu pula. 
"Hal itu ada dalam pikiran saya, 
Mpu. Tetapi sepertinya sulit di terima." 
"Tentang apakah itu?" 
Pandu mendesah sebelum bicara. 
"Saya bermaksud, malam ini, untuk 
pergi menyelidiki keadaan di Keraton 
Selatan. Saya ingin melihat dulu apakah 
mereka sudah mengirimkan. pasukannya 
atau belum. Dan berapa besar kekuatan 
mereka. Jika kita lebih sedikit, 
sebaiknya kita segera membuat pertahanan 
dan menunggu kedatangan mereka. Jika 
kita lebih kuat, sebaiknya kita segera 
menyerang. Bagaimana, Mpu? Apakah mpu 
setuju? Dan bagaimana pula dengan 
tanggapan anda, Ki Sima Ireng?" 
Mpu Daga mendehem. 
"Kalau memang itu keinginanmu, tak 
ada salahnya kau menjajaki ke sana. Dan 
kau harus berhati-hati. Sekarang kita, 
orang-orang Keraton Utara, telah 
dianggap sebagai musuh besar oleh 
orang-orang Keraton Selatan. Tetapi anak 
muda... tidakkah kau ingat... seharusnya 
kau tidak terlibat dalam masalah yang 
rumit ini, bukan?" 
"Mengapa Mpu berkata demikian?" 
"Tahukah kau... kau bukanlah orang 
Keraton Utara atau orang Keraton 
Selatan. Namun kau sepertinya rela untuk 
membantu kami...." 
Pemuda itu tersenyum. 
"Mpu... sebagai manusia yang 
mempunyai jiwa kesatria yang tinggi, 
tolong menolong kiranya hal yang biasa. 
Dan itu wajib kita lakukan...." 
"Tetapi kau telah terlibat, 
Pandu...." 
"Tidak mengapa, Mpu... Karena aku 
pun  sebenarnya penasaran, siapakah 
sesungguhnya orang yang telah mencuri 
Pusaka Patung Pualam itu. Ini justru yang 
membuatku semakin yakin untuk membantu 
Keraton Utara!" 
"Terima kasih, Pandu. Dan kau harus 
berhati-hati dalam hal ini...." 
"Sudah tentu saya akan 
berhati-hati, Mpu. Kapan saya bisa 
melaksanakan rencana itu?" 
"Kapan maumu?" tanya Mpu Daga. "Se-
benarnya kami tak punya hak untuk 
memerintah padamu...." 
"Hehehe... Mpu lupa, bukankah aku 
telah menjadi salah seorang prajurit 
Keraton Utara?" 
Mpu Daga tersenyum. Entah kenapa dia 
semakin suka dengan pemuda itu. 
"Kau benar, Pandu. Jadi kapan kau 
hendak berangkat?" 
"Sebaiknya malam ini, Mpu. Karena 
menurut perkiraan saya, lebih cepat 
lebih baik. Sebelum kita terlambat 
mengetahuinya dan dengan mendadak 
pasukan Keraton Selatan menyerang. 
Bagaimana, Mpu? Setuju?" 
"Hahaha... aku sudah tentu setuju 
saja. Bagus, dan kau harus 
berhati-hati." 
"Baik, Mpu...." 
"Sebelumnya, sekali lagi kuucapkan 
banyak terima kasih atas bantuanmu ini, 
Anak muda," kata Mpu Daga dengan suara 
yang tak bisa disembunyikan nada bangga 
dan terima kasihnya. Dia menepuk-nepuk 
bahu pemuda itu yang dalam hati mendesis,    
"Orang tua ini sepertimu, 
Eyang...." 
Ki Sima Ireng sendiri diam-diam 
salut dan bangga terhadap pemuda yang mau 
membuang waktu dan tenaganya untuk 
memulihkan hubungan antara Keraton Utara 
dan Keraton Selatan. Dan yang membuatnya 
lebih bangga, pemuda itu menawarkan diri 
untuk masuk ke sarang musuh. 
Ini merupakan satu pengorbanan yang 
amat luar biasa menurut Ki Sima Ireng. 
Karena pemuda itu sebenarnya tidak ada 
sangkut pautnya dengan Keraton Utara. 
"Hati-hati, Anak muda," katanya 
dengan suara bangga. "Orang-orang 
seperti kaulah yang sebenarnya 
diharapkan oleh bangsa dan negara. 
Pergilah... dan laporkanlah apa yang kau 
ketahui. Jangan kau paksakan kemauanmu 
itu hingga menjadi pejuang yang hanya 
mengantarkan nyawa. Camkan itu 
baik-baik, Anak muda...." 
"Saya akan mengingatnya, Ki... Yang 
perlu kalian ketahui, hatiku merasa 
enakmberada di antara kalian, meskipun 
pada saat ini kita semua tengah terlibat 
dalam kesulitan yang panjang. Akibat 
sebuah fitnah yang dilemparkan oleh 
orang yang mengkambing hitamkan Keraton 
Selatan!" 
Hening. Kedua pentolan Keraton 
Utara itu seperti merenungi kata-kata 
Pandu. Yah, memang ada musuh dalam 
selimut di Keraton Utara ini. Tetapi 
siapa? 
Pandu kemudian berkata lagi, "Kalau 
tak ada yang perlu dibicarakan lagi... 
sebaiknya saya pergi sekarang...." 
Keduanya melepas Pandu yang 
bergerak tanpa berkuda. Hanya membawa 
sebilah golok tipis yang tergantung di 
punggungnya. Dan sebuah caping yang 
kerap menutupi wajahnya. 
Langkah cepat menembus kegelapan 
malam. 
Semua prajurit amat bangga pada 
pemuda itu yang mereka sendiri tidak tahu 
sebenarnya siapa dia. Hanya menurut Mpu 
Daga, pemuda itu bergelar. Pendekar 
Gagak Rimang! 
Mpu Daga yang mengantar kepergian 
Pandu dalam hati berkata, "Semoga kau 
berhasil dalam tugas ini, Pandu. Padahal 
kau seharusnya tidak terlibat dalam 
masalah yang amat pelik ini. Namun kau 
sepertinya begitu rela mengorbankan 
nyawa dan waktumu. Bila terjadi apa-apa 
pada dirimu, aku tentu amat menyesal, 
Pandu...." 
Sedangkan dalam hati Ki Sima Ireng, 
"Hmm... baru pertama kulihat ada seorang 
pendekar kelana yang kerjanya menolong 
orang dari kesusahan. Dan menegakkan 
keadilan dan kebenaran. Dan aku yakin 
sekali dengan kehebatan ilmu 
kesaktianmu, Pandu. Karena menurut Mpu 
Daga... kaulah Pendekar Gagak Rimang 
yang hadir kembali di rimba persilatan 
ini!!" 
Kedua pentolan Keraton Utara itu 
lalu masuk kembali ke perkemahan mereka. 
Dan  kembali pula melanjutkan 
pembicaan mengenai strategi perang 
mereka. 
Dan dari pembicaraan itu mereka pun 
membicarakan masalah Pandu atau Pendekar 
Gagak Rimang. 
"Sebenarnya... aku tak pernah 
menyangka kita akan mendapat bantuan 
darinya, Sima... Sungguh tak kusangka 
ada seorang pendekar muda yang budiman 
seperti itu...." 
"Benar, Mpu... sesungguhnya, aku 
tidak mau kalau perang.ini akan 
berlanjut. Dan musuh dalam selimut yang 
tak bisa kita ketahui siapa dia adanya, 
pasti sedang tertawa menyaksikan semua 
hasil perbuatan dan rencananya." 
"Benar, Sima... dan aku pun tak mau 
di antara kita saling tuding dan 
menyalahkan. Yang pasti, perintah Gusti 
Prabu amat kusesalkan untuk menanyakan 
ke Keraton Selatan. Dan inilah 
akibatnya! Yah... mudah-mudahan. 
Pendekar Gagak Rimang dapat menyelidiki 
dan membuat semuanya menjadi sedia kala 
lagi...." kata Mpu Daga berharap. 
"Mudah-mudahan, Mpu...." sahut Ki 
Sima Ireng tak kalah berharapnya. 
 
* * * 
 
Sosok tubuh bercaping itu dengan 
cepat berkelebat menerobos kepekatan 
malam. Nampak jelas kalau ilmu 
meringankan tubuhnya sudah amat 
sempurna. Larinya kini bagaikan terbang 
belaka. 
Sosok yang tak lain Pandu itu terus 
menggunakan ilmu larinya yang amat 
hebat. Baginya penyelidikan ini 
merupakan satu kasus yang amat pelik 
sekali. Sejak kedatangannya di Keraton 
Utara, di tempat tinggalnya sementara 
yang diberikan oleh Mpu Daga, secara 
diam-diam Pandu sering menyelinap ke 
dalam Keraton Utara. 
Dia selalu membuka  matanya dan 
telinganya lebar-lebar. Namun dia tidak 
mendapatkan apa-apa yang mencurigakan. 
Tidak menemukan jejak siapa pencuri 
Pusaka Patung Pualam itu. Pernah Pandu 
sampai pada kesimpulan, kalau pencuri 
Pusaka Patung Pualam memang orang-orang 
Keraton Selatan. 
Tetapi dihapuskannya dengan cepat 
pikiran itu. Tak mungkin Keraton Selatan 
yang telah menjalin kembali persaudaraan 
dan persahabatan dengan Keraton Utara 
membuat onar lagi. Dan yang lebih hebat 
lagi,  adalah mencuri Pusaka Patung 
Pualam, lambang kejayaan Keraton Utara. 
Lambang  yang amat diakui, yang harus 
dipegang oleh  setiap  Prabu yang 
menjabatnya. 
Dan bagi yang memiliki pusaka itu, 
maka mau tak mau semua orang harus 
mengakuinya bahwa orang itu adalah Prabu 
Keraton Utara. Ini sudah tentu amat 
membingungkan Prabu Keraton Utara. Di 
samping juga gusar karena pusaka yang 
tersimpan rapi di kamarnya telah lenyap 
begitu saja. 
Pandu mendesah panjang. Dia terus 
berlari menerobos kepekatan malam. 
Sebuah hutan kecil pun dilaluinya. 
Dan saat itulah pandangan mata Pandu 
yang tajam melihat sebuah api unggun 
kecil di ujung sana. Terhalang sedikit 
oleh pepohonan besar. 
"Hmm... siapa yang malam-malam 
begini berkumpul di hutan yang cukup 
menyeramkan ini...." pikir Pandu dalam 
hati. Dan secara perlahan-lahan dia 
menyelinap ke balik pepohonan itu. 
Matanya cukup awas untuk melihat 
lima orang laki-laki yang tengah 
berkumpul di sana. Salah seorang dari 
mereka mengenakan kedok berwarna hitam. 
"Hei, apa pula maksud orang berkedok 
itu? Mengapa dia harus menutupi 
wajahnya?" desis Pandu dalam hati. 
Dan nampak jelas kalau kelima orang 
itu sedang membicarakan satu masalah 
yang kelihatannya amat penting sekali. 
Dan terlihat pula, kalau si Kedok Hitam 
dijadikan sebagai orang yang terhormat, 
karena dia nampak mendominir setiap 
pembicaraan. Sedangkan empat orang 
lainnya lebih banyak mengangguk 
anggukkan kepalanya. 
"Hmm... nampaknya penting sekali 
yang mereka bicarakan itu," kata Pandu 
lagi. "Aku benar-benar jadi penasaran. 
Ah, biar kutunda dulu pengintaianku 
terhadap pasukan Keraton Selatan. Aku 
lebih tertarik dengan orang-orang yang 
berkumpul ini. Terutama orang yang 
mengenakan kedok hitam itu! Hmm, lebih 
baik kudengarkan saja pembicaraan 
mereka!" 
Lalu dengan sekali melompat, Pandu 
menghentakkan tubuhnya ke sebuah pohon 
yang cukup tinggi. Hanya sekali 
melompat. Dan di sebuah cabang pohon yang 
cukup kecil! Mirip ranting tapi lebih 
besar sedikit. 
Dari tempatnya mencuri dengar itu 
dia dapat mendengar apa yang tengah 
dibicarakan orang-orang itu. 
Nampak suara si Kedok Hitam 
dijadikan pusat perhatian oleh keempat 
orang lainnya. 
"Bila semua pasukan yang kita cari 
sudah beres,  kita tinggal mengadakan 
penyerbuan ke Keraton Utara," kata si 
Kedok Hitam dengan suara pelan namun 
berwibawa. "Dan aku tak mau semua ini 
gagal. Telah kusebarkan fitnah kepada 
Keraton Selatan. Berarti bila gagal, 
sia-sialah semua apa yang kuinginkan 
untuk menggulingkan singgasana Prabu 
Keraton Utara." 
"Ketua Kedok Hitam... kami akan 
membantu Ketua sampai kapanpun juga," 
kata suara laki-laki berbaju hitam dan 
bertubuh tegap. Wajahnya nampak cukup 
menyeramkan. Di dadanya banyak terdapat 
bulu. Di pinggangnya tersampir sebuah 
golok besar. Dia adalah Kawung Rongo atau 
yang bergelar si Golok Maut. Kawung Rongo 
dikenal sebagai bajingan kelas wahid 
yang kerjanya hanya merusak dan 
menganggu orang banyak. Dia juga 
memiliki ilmu kanuragan yang cukup 
tinggi. 
"Bagus! Dan kau bagaimana, Bujang 
Kroto?" tanya si Kedok Hitam pada 
laki-laki kurus setengah baya. Rambutnya 
nampak memutih. Dan kala dia menyeringai 
mirip mayat hidup. Sungguh mengerikan. 
Yang dipanggil Bujang Kroto itu 
manggut-manggut. 
"Beres! Aku telah menghimpun 
sejumlah pasukan yang cukup besar!" 
katanya tetap dengan menyeringai. 
Menampakkan beberapa buah giginya yang 
tanggal. "Pasukan yang kupimpin terdiri 
dari orang-orang golongan hitam semua. 
Rata-rata mereka bekas perampok, dan 
penjahat. Dan masing-masing memiliki 
ilmu yang cukup lumayan. Bila kau 
menyuruh aku untuk memanggil mereka 
sekarang dan langsung menggempur Keraton 
Utara, saat ini juga mereka akan 
berkumpul di sini!!" 
Si Kedok Hitam" tertawa, nampak dia 
puas mendengar kata-kata si Bujang 
Kroto. 
Pandu yang mencuri dengar dari atas 
pohon, mendengus dalam hati. "Hmm... 
inilah si manusia bangsat atau musuh 
dalam selimut yang telah lama 
dicari-cari!!" 
Ingin Pandu langsung menggempur me-
reka. Namun dia menahannya, karena dia 
masih ingin mendengarkan lagi kelanjutan 
apa yang dibicarakan oleh orang-orang 
itu. 
Maka ditahannya rasa marahnya 
begitu mengetahui mereka inilah 
orang-orang yang punya rencana jahat 
untuk menggulingkan Keraton Utara. Dan 
sebenarnya hatinya sudah tidak sabar 
untuk mengetahui siapa sebenarnya si 
Kedok Hitam. Namun ditahannya karena dia 
masih ingin tahu apa rencana mereka 
sesungguhnya, yang penting di mana 
markas pasukan yang siap menggulingkan 
Keraton Utara itu berada. 
Si Kedok Hitam masih mengumbar 
tawanya. 
Nampaknya dia cukup puas dengan 
kata-kata si Bujang Kroto. 
Tiba-tiba dia menghentikan tawanya. 
Dan menatap dua orang laki-laki yang 
sejak tadi hanya terdiam. Pandu cukup 
terkejut melihat kedua laki-laki itu. 
Diperhatikan secara seksama, ya... tak 
ada bedanya! Keduanya tak ada bedanya. 
Sama! Mirip dan serupa! 
Pandu mendengar si Kedok Hitam 
memanggil kedua orang sama itu, "Hmm... 
kalian sendiri bagaimana, Setan Kembar 
Bukit Iblis? Apakah kalian siap untuk 
mengorban-an nyawa demi kepentingan kita 
bersama? 
Salah seorang dari Setan Kembar 
Bukit Iblis itu menyahut pelan, namun 
suaranya menusuk, "Kala ini mungkin kau 
masih bisa mengatakan... kalau kita 
masih bersama dan bersatu. Namun apakah 
mungkin, bila semuanya sudah berhasil 
kau dapati, kau masih mengatakan kita 
bersatu?" 
"Hahaha... Renggota... mengapa kau 
berkata demikian? Apakah kau pikir aku 
akan melupakan bantuan kalian bila 
semuanya sudah berhasil kita lakukan?" 
si Kedok Hitam terbahak. Namun 
sesungguhnya di balik kedoknya yang 
berwarna hitam itu, wajahnya geram bukan 
main dengan kata-kata bernada tidak 
percaya itu. 
"Hmm... kau bisa berkata begitu saat 
ini. Kedok Hitam. Tetapi hati kecilku 
masih sangsi dengan apa yang akan terjadi 
kemudian...." 
"Hahaha... lihat saja nanti...." 
"Baiklah... bila kau memang 
benar-benar seorang kesatria sejati dan 
pantang berbuat khianat, katakan pada 
kami semua yang ada di sini, di mana kau 
sembunyikan benda itu?" 
Mendengar pertanyaan itu wajah si 
Kedok Hitam pias. Untung terhalang 
kedoknya. 
"Mengapa harus lama kau 
menjawabnya, Kedok Hitam?" tanya 
Renggota dengan suara mengejek. "Kau tak 
mau memberitahukan di mana benda itu kau 
sembunyikan?" 
Si Kedok Hitam sebenarnya merasa 
jengkel sekali. Tetapi dia tertawa. 
"Hahaha... untuk apa benda itu aku 
sembunyikan sendiri. Baiklah... bila 
kalian ingin tahu. Hmm... kalian bisa 
melihatnya di Danau Siluman, sebelah 
Tenggara dari arah Keraton Utara. Di 
sanalah benda itu kubenamkan, setelah 
kubungkus dengan kain tebal dan 
kuikatkan ujungnya dengan tail. Lalu 
tali yang cukup panjang itu kuikatkan di 
sebatang pohon kecil yang tak nampak! 
Bagaimana, kau cukup puas, Renggota? 
Renggota menganggukkan kepalanya. 
"Maafkan aku, Kedok Hitam... bukan 
maksudku untuk mencurigai rasa kesetia 
kawanmu. Tetapi aku perlu waspada bukan, 
karena kegentingan yang terjadi antara 
Keraton Utara dan Keraton Selatan sudah 
amat genting sekali. Dan ini berarti, 
kami semua telah siap untuk menghadapi 
resiko apa pun. Dengan segala akibatnya! 
Bukankah begitu, Kedok Hitam?" 
Si Kedok Hitam terbahak. "Tetapi 
jangan lupa," katanya di sela tawanya. 
"Bila semua ini berhasil, maka kalian 
akan menjadi kaya raya, bukan?" 
Mereka pun ikut tertawa. 
Kemudian terlihat saudara kembar 
Renggota yang bernama Ranggota mendehem. 
"Kedok Hitam... kapan saat 
penyerangan yang paling tepat dilakukan? 
Aku sudah tidak sabar ingin menginjak 
Keraton Utara. Ingin menikmati kehidupan 
mewah seperti layaknya seorang prabu. 
Dilayani dayang. Dikelilingi 
selir-selir yang cantik aduhai. 
Hahaha... betapa nikmatnya kehidupan se-
perti itu. Kehidupan yang telah lama aku 
cari dan kudambakan... hahaha... Aku 
sungguh tidak sabar lagi, aku sungguh 
tidak sabar lagi, Kedok Hitam...." 
Si Kedok Hitam pun terbahak. 
"Tenanglah... tak lama lagi semua 
itu akan kita jalani dan kita dapatkan. 
Dan aku punya rencana yang amat jitu akan 
kulakukan sendiri...." 
"Hmm... apa itu, Ketua Kedok Hitam?" 
tanya Bujang Kroto. Yang menunjukkan 
wajah  tidak sabar untuk mengetahui 
rencana apa yang ada di benak si Kedok 
Hitam. Begitu pula dengan yang lainnya, 
yang nampak menunjukkan wajah berminat. 
Begitu pula dengan Pandu yang masih 
mencuri dengar di atas pohon. Dia pun 
nampak tidak sabar ingin mengetahui 
rencana apa yang ada di balik si Kedok 
Hitam. 
Namun kemudian dia mendengus gusar 
ketika melihat si Kedok Hitam 
berbisik-bisik. Dan terlihat 
kepala-kepala yang mendengar itu 
mengangguk-angguk. 
"Sialan!" dengus Pandu. "Kenapa 
harus pakai berbisik-bisik segala? Apa 
dipikirnya ada yang mencuri dengar?" 
makinya tetapi sejurus kemudian dia 
terdiam, lalu terkikik pelan. "Hihihi... 
bukannya aku yang lagi mengintip?" 
Lalu kembali Pandu mengarahkan 
pandangannya pada orang-orang yang masih 
nampak sibuk dengan satu pembicaraan. 
Kemudian terdengar suara si Kedok 
Hitam, "Bagaimana?" 
"Bagus! Rencanamu amat jitu 
sekali!" kata si Bujang Kroto. "Dan bila 
kau bisa melakukannya dengan cepat, maka 
kita tak perlu susah payah lagi untuk 
menggulingkan Keraton Utara." 
"Sebaiknya kau. melakukannya dengan 
segera, Kedok Hitam," kata Ranggota. 
"Selagi sebagian besar pasukan Keraton 
Utara meninggalkan keraton untuk 
menggempur Keraton Selatan." 
"Memang, aku akan melaksanakannya 
secepatnya. Tetapi tentunya bila 
kudapa-kan satu kesempatan yang pas dan 
tepat! Bila saja ini berhasil, maka kita 
akan bisa melakukannya dengan segera! 
Tetapi kurasa aku akan berhasil, karena 
saat ini hanya Panglima Anglinglah yang 
berada di sana. Dan para pentolan Keraton 
Utara lainnya sedang bergerak untuk 
menggempur Keraton Selatan. Rencana yang 
jitu, bukan?" 
Yang lainnya mengangguk. 
Di tempatnya, Pandu mendengus dan 
menggerutu berulang kali. "Sialan! Apa 
yang mereka sedang rencanakan itu, sih? 
Brengsek! Apa sebaiknya aku turun saja 
dan bertanya, "Hei... kalian 
merencanakan apa sih tadi? Tapi gila, 
bisa gagal pula aku untuk mengetahui 
siapa sebenarnya musuh dalam selimut 
Keraton Utara yang mengenakan kedok 
hitam itu. Sialan, amat sialan sekali! 
Aku biasa tidak tahu suara mereka. Pelan 
banget mereka ucapkan!" 
Pendekar itu masih terus menggerutu 
panjang pendek karena kesal. Lalu 
kemudian dilihatnya orang-orang bangkit 
lalu berpencaran berpisah. 
Pandu bingung. Hmm... dia maunya 
untuk segera saja mengikuti ke mana 
perginya si Kedok Hitam itu. Namun dia 
masih ada tugas yang harus dilakukannya 
untuk kepentingan Keraton Utara. 
Maka  dia pun melompat turun dari 
tempat persembunyiannya di atas pohon 
ketika dilihatnya orang-orang itu sudah 
tidak nampak lagi. 
Sesampainya di tanah, Pandu 
langsung menghentakkan kakinya sambil 
menggerutu,  
"Hhh! Kenapa aku harus menyelidiki 
pasukan Keraton Selatan? Tapi... 
hehehe... usul itu kan datangnya dari aku 
sendiri. Hmm... lebih baik segera saja 
kuteruskan untuk mengetahui di mana 
adanya pasukan Keraton Selatan! Tapi 
sungguh sayang, padahal aku bisa 
langsung menangkap orang-orang itu dan 
mengetahui siapa adanya wajah di balik 
kedok hitam itu. Benda apakah yang ada di 
danau Siluman sebelah Tenggara Keraton 
Utara? Tapi tempatnya di mana itulah yang 
aku tidak tahu... Sial, sial!!" 
Pemuda itu kembali meneruskan 
larinya yang amat cepat. Dia masih 
menyesal hal itu. Padahal dia bisa 
langsung menangkap si Kedok Hitam itu. 
Tetapi dia pun tak mau kalah tugasnya 
kali ini untuk menyelidiki pasukan 
Keraton Selatan pun gagal. 
Maka kembali dia meneruskan 
larinya. 
Dan dia pun tak ingin bila kembali 
terlambat ke pasukan Keraton Utara 
berada. Dipercepat larinya menerobos 
kepekatan malam. Dan di luar desa Glagah 
Wangi, Pandu memperlambat larinya karena 
matanya menangkap sesuatu di depannya. 
Cepat  dia. menyelinap di balik 
rimbunnya pepohonan. Sepasang matanya 
mengintip hati-hati memperhatikan apa 
yang ada di depannya. 
"Hmmm... siapa pula mereka  ini?" 
desisnya dalam hati sambil terus 
mempehatikan. Dan matanya semakin 
dipicingkan. Lekat menatap orang-orang 
di hadapannya. 
Tak jauh dari hadapannya, di 
depannya nampak beberapa buah api unggun 
kecil dengan beberapa orang prajurit 
yang sedang menghangatkan badan sambil 
tertawa dan minum-minum. 
Mereka adalah pasukan Keraton 
Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo 
Panunggul yang sengaja beristirahat di 
hutan kecil di luar Desa Glagah Wangi 
sebelum melanjutkan perjalanan. Rencana 
di benak Kyai Rebo Panunggul, mereka akan 
sampai di Desa Pareden pagi hari dan 
beristirahat beberapa jam sambil 
menunggu pasukan Kediri. 
Pandu melihat hampir seratus orang 
jumlah pasukan yang dipimpin oleh Kyai 
Rebo Panunggul yang kelihatan sedang 
minum arak. Pandu menduga, dialah 
pemimpin pasukan ini karena pakaian 
orang itu lain dan nampaknya yang lain 
pun begitu hormat padanya. 
Tiba-tiba Pandu ingin membuat 
mereka kaget. Dia bermaksud untuk 
menyerang sendiri di tempat ini. Kembali 
dia mengenakan capingnya. Dan dengan 
beberapa buah kerikil, dia dapat membuat 
orang-orang yang didekatnya terdiam 
kaku. Lalu dia berguling ke arah depan 
dan bersembunyi di balik semak. Matanya 
waspada. Memperhatikan sekitarnya. 
Mendadak seorang prajurit berjalan ke 
arahnya. Pandu bermaksud berpindah 
tempat, tapi orang itu terus saja 
berjalan. Dia hanya buang air. Ketika 
kembali itulah Pandu menghantam lehernya 
hingga pingsan dan menyeretnya ke balik 
semak. 
Dia menghitung jarak antara api 
unggun di dekatnya ini dengan yang di 
sana. Agak jauh Dan di sana orang-orang 
lebih asyik minum arak. Tiba-tiba dia 
bersalto dan muncul di hadpaan 
orang-orang yang didekatnya. 
Mereka terkejut dan bersiap dengan 
senjata. Tapi kaki dan tangan Pandu telah 
bergerak cepat. Keempat orang itu 
dibuatnya pingsan. Namun salah seorang 
sempat berteriak dan ini menimbulkan 
perhatian yang lain. Serentak mereka 
bangkit meraih senjata dan mendatangi 
tempat jeritan tadi. Betapa terkejutnya 
ketika melihat kawan-kawan mereka 
bergeletakan. 
"Bangsat!" salah seorang membentak. 
"Cecunguk mana yang berani berbuat onar 
terhadap pasukan Keraton Selatan ini?!" 
Tapi dia tidak perlu menunggu lama, 
karena Pandu sudah muncul di hadapannya. 
Capingnya sengaja ditutup dalam-dalam 
untuk menutupi wajahnya. Eyang Ringkih 
Ireng telah melatihnya hampir lima tahun 
untuk melihat dalam gelap. Juga terhadap 
serangan-serangan senjata dalam gelap. 
Maka itu, Pandu tidak begitu kesulitan 
untuk melihat berapa jumlah orang yang 
muncul di hadapannya ini dan segera 
mengepungnya sambil menghunus tombak dan 
golok. 
"Siapa kau?!" bentak salah seorang. 
"Aku adalah aku... dan kalian adalah 
kalian... bukankah begitu?" 
"Bangsat! Kau abdi Keraton 
Selatan?"  
"Itu urusanku...." 
"Lalu kau mau apa membuat onar 
begini?" 
"Aku ingin menghentikan tindakan 
gila-gilaan kalian yang bermaksud 
mengadakan perang dengan Keraton Utara. 
"Setan! Dia abdi Keraton Utara!" 
seru yang lain marah. 
"Kita ganyang habis!" sambut yang 
lain ramai. 
"Saat  ini Keraton Utara bukan 
saudaraku, dia adalah musuh besar kita, 
dia telah berani menuduh yang 
bukan-bukan terhadap raja kita! Kita 
tangkap orang ini!" 
"Tahan!" seru Pandu sebelum 
orang-orang itu bergerak. "Aku datang 
bukan ingin menumpahkan darah, tapi 
mencoba untuk berunding dengan kalian, 
apakah kalian masih mau berpikir, 
tentang tak ada gunanya perang...." 
"Tapi prabu kami telah orang-orang 
Keraton Utara hina!!” 
"Apakah ini bukan salah paham 
saja?!" 
"Tidak! Prabu Keraton Utara yang 
salah! Kami, sebagai abdi setia Keraton 
Selatan pantang menyerah! Dan paling 
benci melihat raja kami dihina orang! 
Sudah kawan-kawan, kita tangkap orang 
ini! Sikkaaaaatt!!" 
Setelah dikomando demikian, yang 
lain pun segera bergerak dengan senjata 
masing-masing. Serentak di tempat itu 
Pandu kembali memperlihatkan 
kelincahannya berkelit. Kali ini dia 
juga melancarkan pukulannya. Dia 
benar-benar bergerak cepat. Hanya sekali 
gebrak saja, tiga orang sudah ambruk 
tanpa nyawa. Pandu terkejut melihat 
hasil pukulannya, tapi perang memang 
minta korban. Dan inilah jeleknya 
perang. Dia sangat menyiksa. Keributan 
itu pun memancing prajurit yang lain yang 
segera bergerak ke sana, termasuk Kyai 
Rebo Panunggul. Saat itu Pandu sudah 
merubuhkan semua lawan-lawannya. 
Melihat keadaan yang bisa 
membahayakan dirinya, dia segera 
bersalto ke belakang. Tapi beberapa 
tombak yang dilempar mampu menahannya 
sesaat, juga orang-orang yang menyerang, 
yang bergerak maju dengan cepat. Dengan 
raut wajah seram dan penuh nafsu ingin 
membunuhnya. 
Kali ini Pandu tidak mau bertindak 
murah hati lagi. Dia menghantam 
orang-orang itu hingga jatuh berantakan. 
Namun karena orang-orang itu terlalu 
banyak, Pandu segera melesat pergi 
setelah menerobos kepungan itu dan 
menghantam beberapa orang pengurungnya 
hingga kelojotan. 
Lalu dia berjumpalitan dua kali dan 
tubuhnya telah berada di luar para 
pengurungnya. Lalu dihentakkannya 
kakinya untuk berlari. Dia masih belum 
mau mencari ribut yang berkepanjangan. 
Karena dia yakin, ini semua hanya salah 
paham belaka. Tadi pun dia berbuat 
seperti itu terdorong rasa jengkel saja 
melihat jumlah pasukan Keraton Selatan 
yang demikian banyaknya. Yang  mana 
menurutnya hanya akan menambah korban 
jiwa dari orang-orang yang tak berdosa. 
Dan dia sendiri juga tidak mau mati 
konyol menghadapi sejumlah pasukan yang 
demikian banyaknya. Belum lagi dengan 
adanya Kyai Rebo Panunggul yang geram 
bukan main. 
Dia marah besar karena ada orang 
yang mengobrak abrik pasukannya. Dan itu 
pun dia tidak tahu siapa orang itu. Gagal 
menangkapnya. Jangankan menangkap, 
mengetahui siapa dia saja sulit baginya, 
karena orang itu mengenakan caping yang 
menutupi juga wajahnya. 
Dan yang lebih membuatnya semakin 
marah, setelah mengetahui penyerang itu 
hanya satu orang! Hanya satu orang! 
Sungguh suatu penghinaan sekali namanya 
baginya! 
Malam ini juga dengan marah yang 
berkobar-kobar, Kyai Rebo Panunggul 
memerintahkan pasukannya untuk 
bergerak.  
"Sikat jika ada penghalang bagi 
barisan ini!" serunya dengan suara yang 
mengandung kemarahan yang amat sangat 
sekali.  
"Bunuh siapa saja!!" 
Dan pasukan itu pun sigap segera 
bergerak dengan rasa marah pula di hati 
masing-masing. Beberapa kawan mereka 
yang mati akibat serangan tadi mereka 
tinggal. Sementara yang tertotok sudah 
dibebaskan oleh Kyai Rebo Panunggul. 
Dan pasukan itu pun bergerak. 
Sementara itu Pandu terus mengguna-
kan ilmu larinya untuk berlari, Malam ini 
baginya seakan malam keberuntungan. Per-
tama dia mengetahui secara tidak sengaja 
rencana busuk dari musuh dalam selimut 
Keraton Utara. Namun hanya yang 
disayangkannya, dia tidak tahu siapa 
orang dibalik kedok berwarna hitam itu. 
Namun yang lebih penting lagi, dia tahu 
di mana Pusaka Patung Pualam itu 
disembunyikan. 
Kedua, dia dapat mengetahui jumlah 
pasukan Keraton Selatan yang siap untuk 
menggempur Keraton Utara. Jumlah yang 
amat banyak sekali. 
Dan dia harus melaporkan semua itu 
pada Mpu Daga. Terutama tentang 
orang-orang yang punya rencana busuk 
menggulingkan Keraton Utara. 
Mpu  Daga cukup gembira mendengar 
cerita itu. Sama halnya dengan Ki Sima 
Ireng. Namun keduanya cukup terkejut 
ketika Pandu bercerita tentang jumlah 
pasukan Keraton Selatan yang amat banyak 
jumlahnya. 
Tetapi Mpu Daga  segera 
memerintahkan pasukannya untuk bersiap 
menyambut kedatangan pasukan Keraton 
Selatan. 
Memang benar dugaannya, sangat 
sulit untuk menyelesaikan masalah ini 
secara damai. Karena bendara perang 
sudah dikibarkan! 
Dan perang sebentar lagi akan 
terjadi! 
Tak ada yang bisa menahannya kecuali 
Dewata. Mpu Daga pun merasa, bila dia 
harus menerangkan apa yang didengar dan 
dilihat Pandu tadi mengenai orang-orang 
yang punya rencana busuk pada Keraton 
Utara kepada pasukan Keraton Selatan, 
ini akan sia-sia belaka! 
Yah... perang pun tak bisa 
dihindarkan lagi rupanya! 
 
* * * 
 
 
Malam semakin larut. Tengah malam 
telah lewat. 
Desa Pareden nampak sunyi senyap. 
Rembulan di atas sana renta, seakan 
enggan bersinar. Semua penghuni desa itu 
telah tertidur lelap. Tak seorang pun 
yang tahu, kalau di desa itu telah 
berkumpul pasukan Keraton Utara. 
Karena bagi mereka, keadaan telah 
aman. Dan mereka tak pernah menduga kalau 
perang akan terjadi lagi. 
Tak ada yang perlu ditakutkan. 
Namun tiba-tiba mereka tersentak 
bangun dan terkejut bukan alang 
kepalang, karena di ujung Desa Pareden 
terdengar teriakan yang amat keras. 
Disusul dengan suara jeritan dan 
pekikan. Lalu terdengar suara senjata 
beradu dan diiringi dengan jerit 
kematian yang menyayat hati. Ada apa? Apa 
yang terjadi? 
Pasukan Keraton Selatan yang 
dipimpin oleh Kyai Rebo Panunggul, telah 
tiba di ujung Desa Pareden. Dia 
memerintahkan untuk menyerang begitu 
melihat pasukan Keraton Utara. 
Tentu saja pasukan Keraton Utara 
yang memang telah bersiaga, segera 
menyambut. Hingga terjadi peperangan 
yang teramat dahsyat. 
Semua mengamuk. 
Darah pun bersembur ke tanah, 
membasahi bumi yang telah basah oleh 
embun. 
Ki Sima Ireng menggebrak kudanya 
dengan keras. Dan dengan senjatanya yang 
berbentuk cakar macan, dia menghantam ke 
kanan ke kiri. Kudanya menerobos. Setiap 
kali dia mengibaskan tangannya, selalu 
ada yang menjerit kesakitan. Amat 
memilukan. 
Dan ambruk seketika tanpa  nyawa. 
Atau mundur dengan salah satu bagian 
tubuh yang berdarah. 
Beberapa orang pasukan terlatih 
Keraton Selatan segera mengepungnya. Dan 
salah seorang mengibaskan tangannya ke 
arah Ki Sima Ireng. Beberapa buah jarum 
berbisa bertengger ke pentolan Kediri 
itu. 
Sambil membentak keras, Ki Sima 
Ireng melompat dari kudanya dan bersalto 
beberapa kali di udara. Lalu dia pun 
bergerak menyerang karena begitu dia 
hinggap di bumi beberapa senjata 
lawannya segera mengarah padanya. 
Mereka rapat mengepung Ki Sima 
Ireng. Tetapi sebagai orang kepercayaan 
Prabu Keraton Utara itu bukanlah orang 
sembarangan. 
Dia  mengamuk dengan hebat dengan 
jurus macannya. Si Macan Seranggi 
bergerak dengan dahsyatnya. Dan sebentar 
saja terdengar jeritan beruntun dan 
darah segar yang memuncrat dari tubuh 
lawan-lawannya. 
Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul 
yang juga sedang bergerak secara membabi 
buta, menjadi marah besar. Dia bersalto 
menghindari lawan-lawannya dan langsung 
menyerang Ki Sima Ireng sekaligus untuk 
menghentikan serangan Ki Sima Ireng pada 
para anak buahnya. 
Dan kedua pentolan dari dua negara 
itu pun kini berhadapan. 
"Hhh! Rupanya kau, Rebo 
Panunggul!!" bentak Ki Sima Ireng yang 
mengenali Kyai Rebo Panunggul. 
"Macan Seranggi, kini tibalah 
ajalmu!!" geram Kyai Rebo Panunggul yang 
langsung menyerang. 
Ki Sima Ireng pun tak mau kalah, dia 
bergerak cepat memapaki serangan Kyai 
Rebo Panunggul. Maka terjadilah 
pertarungan yang amat dashyat pada 
keduanya. 
Keduanya menguasai ilmu jurus macan 
yang hebat. Hanya bedanya Kyai Rebo 
Panunggul tidak memakai senjata. Namun 
jurus Macan Setannya tak kalah hebatnya 
dengan jurus Macan Seranggi Ki Sima 
Ireng. Cakar tangannya pun tak kalah 
kuatnya dengan besi senjata Ki Sima 
Ireng. 
Dan keduanya bertempur dengan 
kekuatan yang teramat dashyat. Masing 
masing memperlihatkan ketangguhannya. 
Pandu sendiri segera menggunakan 
jurus bangaunya untuk menghantam para 
prajurit Keraton Selatan. Jurusnya 
ampuh. 
Tak seorang pun prajurit Keraton 
Selatan pun yang mampu menghalangi 
gerakannya. Yang mencoba menahannya, 
dihajar habis-habisan. 
"Majulah  kalian semua!"  
bentaknya.  
"Dan mampuslah kalian semua!!" 
Tunggang langganglah prajurit yang 
berani mendekatinya. 
Sedangkan Mpu Daga hanya memukul 
dengan setengah hati. Dia tidak tega bila 
sampai menurunkan tangan telengasnya 
atau membunuh. Kalau bisa dia hanya ingin 
membuat orang-orang itu pingsan. 
Orang-orang yang tak bersalah, 
orang-orang yang hanya menjalankan 
perintah para penguasa mereka. 
Orang-orang yang sebenarnya tidak tahu 
apa-apa.  
Namun kadang, bila keadaan memaksa, 
Mpu Daga terpaksa membunuh pula. Karena 
bila  tidak, maka dialah yang akan 
dibunuh. Dan betapa sedihnya dia melihat 
mayat hasil kerja tangannya. Mpu Daga 
merasa begitu amat berdosa. 
Tetapi perang memang mengerikan. 
Terlalu menakutkan untuk dibayangkan. 
Tetapi mengapa masih banyaknya manusia 
yang menyenangi perang, hanya sekedar 
menahan gengsi. 
Sampai  sang surya menampakkan 
sinarnya diufuk Timur, pertempuran itu 
masih berlanjut. Sudah puluhan orang 
yang tewas dengan tubuh luka parah. Dan 
puluhan pula yang terluka parah. 
Semua bergeletakan. Ada yang 
terinjak-injak. Ada pula yang saling 
tumpang tindih. 
Pertempuran antara Ki Sima Ireng dan 
Kyai Rebo Panunggul pun belum berakhir. 
Keduanya sama-sama tangguh. Namun lama 
kelamaan terlihat Ki Sima Ireng 
terdesak, karena dua orang prajurit 
terlihat membantu Kyai Rebo Panunggul. 
Ini sungguh menyulitkan bagi Ki Sima 
Ireng. Biarpun kedua prajurit itu tidak 
begitu tangguh, namun senjata tombak 
yang dimainkan keduanya suatu saat mampu 
menembus tubuhnya. Apalagi dibantu 
dengan serangan-serangan dari Kyai Rebo 
Panunggul yang teramat dahsyat. Kakek 
itu bersorban putih itu bermaksud untuk 
menyelesaikan pertarungannya. 
Dia melihat matahari sudah mulai 
bersinar, orang-orang ini harus segera 
digiring ke Bukit Sanggabuana seperti 
perintah Raja Singasari. 
Maka dengan tiba-tiba saja dia 
membentak dengan keras. Tubuhnya 
menyerbu ke depan dengan kecepatan luar 
biasa. Ki Sima Ireng yang sedang 
menangkis serangan tombak kedua prajurit 
itu terkejut. 
"Heit!!" 
Dia  membentak keras dan berhasil 
mengepos tubuhnya. Tetapi dua buah 
tombak itu terus mencercanya. Dan 
lagi-lagi Kyai Rebo Panunggul menyerbu. 
Kali ini dia sebisanya memapaki 
serangan dari Kyai Rebo Panunggul. Namun 
dalam keadaan tidak siap begitu, 
akibatnya sungguh luar biasa. Tubuh Ki 
Sima Ireng terpental beberapa tombak 
terhantam pukulan tangan kanan Kyai Rebo 
Panunggul yang cukup keras. 
Dan dari mulutnya terlontar darah 
merah yang segar. 
Beberapa prajurit Keraton Selatan 
yang ada di dekatnya, segera 
menggerakkan tombak mereka. Sulit bagi 
Ki Sima Ireng untuk membebaskan diri, 
karena posisinya begitu terjepit. Tetapi 
sebelum tombak-tombak itu mengenai 
sasarannya, tubuh orang-orang itu 
berterbangan tanpa nyawa. 
Pandu telah bergerak dengan cepat 
menghantamkan pukulannya pada beberapa 
prajurit Keraton Selatan. Dan menyambar 
tubuh Ki Sima Ireng. 
"Ayo Ki! Kau istirahat dulu!" seru 
Pandu sambil bersalto, menghindari 
beberapa tombak yang dilemparkan. 
Melihat hal itu Kyai Rebo Panunggul 
segera mengejar. Namun tiba-tiba dia 
bersalto ke belakang, karena sebuah 
serangan menghadangnya. 
Mpu Daga telah maju menggebrak 
dengan cepat. Kyai Rebo Panunggul 
membentak marah. 
"Bangsat tua! Rupanya kau sudah 
ingin mampus!!" 
"Panunggul... Panunggulll... kita 
sudah sama-sama tua... untuk apalah 
bertempur...." 
"Bangsat!!" Kyai Rebo Panunggul 
ganti kini menyerang Mpu Daga. 
Serangannya dahsyat dan keji. Mpu Daga 
segera menyambutnya. Tenaga tuanya masih 
mampu digunakan untuk menghalau serangan 
itu. Matahari terus naik, memancarkan 
sinarnya menerangi seluruh Desa Pareden. 
Hal itu kembali mengingatkan Kyai Rebo 
Panunggul untuk menyeret orang-orang ini 
ke Bukit Sanggabuana. Apalagi dia 
melihat pasukannya sudah mulai terdesak 
hebat. Banyak pasukannya yang sudah 
berguguran. Makanya dia mulai 
memerintahkan pasukannya mundur. 
Tiba-tiba kedua tangannya merangkum 
ke udara dan bergerak memutar, 
menghantam wajah Mpu Daga. Mpu Daga 
sedikit terkejut melihat serangan aneh 
begitu. Dia merunduk dan melancarkan 
jurus Elangnya ke arah kiri. Kyai Rebo 
Panunggul bersalto ke belakang, tapi Mpu 
Daga memburunya dengan cepat. Kembali 
Kyai Rebo Panunggul mengelak kesamping. 
"Munduuuur!!" seru Kyai Rebo 
Panunggul sambil melemparkan senjata 
rahasianya yang berbentuk bintang. Dan 
membuat Mpu Daga bersalto tiga kali. 
Serentak pasukan Keraton Selatan 
mundur. Pasukan Keraton Utara yang 
merasa menang, langsung mengejar. 
Apalagi Ki Sima Ireng yang sudah masuk 
kembali ke medan laga, langsung memimpin 
pasukannya untuk menyerang terus. 
Mpu Daga dan Pandu sendiri mau tak 
mau mengikuti mereka. Yang tanpa sadar, 
kalau mereka tengah digiring ke sarang 
buaya. 
Keadaan di Desa Pareden langsung 
sunyi senyap. Angin bertiup semilir. 
Mayat-mayat dari kedua keraton itu 
bergeletakan mengerikan. Beberapa orang 
Desa Pareden setelah keadaan sepi, baru 
berani keluar. Dan semua menghela nafas 
masygul. Sadar, kalau perang sudah di 
ambang mata. 
Tak bisa dielakkan lagi! 
Sementara itu matahari sudah 
semakin tinggi. Menyelimuti seluruh isi 
di Bukit Sanggabuana. Pasukan Keraton 
Selatan yang mundur telah sampai ke sana. 
Dan segera bersiap menyambut pasukan 
Keraton Utara. 
Suasana di Bukit Sanggabuana yang 
tadi sepi kini menjadi ramai. Mpu Daga 
tiba-tiba mempunyai pikiran yang 
membingungkannya sendiri, begitu 
melihat pasukan Keraton Selatan bersiap 
menyambutnya di lapangan yang luas. 
Mengapa mereka sengaja berdiri di tempat 
terbuka? Ada apa ini? Mengapa mereka 
tidak bersembunyi? Apakah... yah... 
mereka telah terjebak. Di tempat ini 
pasti ada puluhan pasukan Keraton 
Selatan yang siap menelan mereka 
hidup-hidup. 
"Berhenti!!" serunya keras, 
menggema di seluruh Bukit Sanggabuana. 
Pasukan itu segera berhenti. Mereka 
menunggu perintah Mpu Daga. Ki Sima Ireng 
sendiri segera bergegas menghampiri. 
"Ada apa, Mpu? Pasukan mereka 
tinggal sedikit. Kita hantam habis!" 
"Sabar, Sima... aku heran, kenapa 
mereka berdiri di tempat terbuka? Apakah 
mereka sengaja menunggu maut, ataukah... 
ada pasukan lain yang bersembunyi?" 
"Ah... Mpu hanya memakai perasaan 
saja. Tidak ada pasukan yang datang 
membantu. Tempat ini sudah kita kuasai. 
Ayo mpu, kita ganyang mereka!!" Ki Sima 
Ireng amat bernafsu. 
Mpu Daga terdiam. Lalu kelihatan dia 
manggut-manggut. Benar, jalan masuk ke 
bukit ini sudah mereka kuasai. Tapi 
apakah... Mpu Daga tidak sempat berpikir 
lagi, karena Ki Sima Ireng sudah 
memerintahkan pasukannya untuk segera 
menyerang. 
Dengan penuh teriakan yang 
melengking, pasukan berkuda dan jalan 
kaki itu, bergerak  dengan cepat. 
Beberapa orang melontarkan panahnya. 
Kembali di tempat terbuka itu terjadi 
pertempuran yang dahsyat 
Ki Sima Ireng sendiri kembali 
bertempur dengan Kyai Rebo Panunggul. 
Melihat hal itu, kembali Pandu dan Mpu 
Daga bergerak membantu. 
Pertempuran berjalan hampir satu 
jam. Dan terlihat kalau pasukan Keraton 
Selatan terdesak hebat. Tapi tak sedikit 
prajurit Keraton Utara yang gugur. 
Dan begitu matahari tepat di atas 
kepala, dari balik pohon, batu, semak 
bermunculan puluhan prajurit Keraton 
Selatan yang dipimpin oleh Tunggul Dewa 
dengan pekikan keras. 
Tentu saja pasukan Keraton Utara 
yang tinggal sedikit itu menjadi 
terkejut. Terutama Mpu Daga. Dia 
mendesah panjang pendek. Dia pun 
mengeluh. Firasatnya benar. Tetapi mau 
apa lagi, mereka sudah terjebak ke sarang 
buaya. Kedatangan teman-temannya itu, 
membuat pasukan Keraton Selatan yang 
tadi lemah kembali menjadi bersemangat. 
Sudah tentu hal ini membawa semangat bagi 
mereka. 
Pasukan Keraton Utara terdesak. Dan 
dipukul hebat. Semua prajuritnya 
dibantai habis. Hanya dalam waktu 
singkat saja, tinggal sepuluh prajurit 
yang masih bertahan. 
Dengan Ki Sima Ireng, Pandu dan Mpu 
Daga. Ketiga tokoh sakti dari Kediri itu 
pun sudah agak terdesak menghadapi 
puluhan prajurit dengan tenaga dan 
semangat baru. Belum lagi menghadapi 
gempuran-gempuran Tunggul Dewa dan Kyai 
Rebo Panunggul yang melayang-melayang 
menyerbu bak burung elang menyambar 
mangsa, siap menerkamnya! 
Tak lama kemudian, sepuluh orang 
prajurit Keraton Utara itu pun habis 
dibantai dengan tubuh  direjam! 
Mengerikan! 
Amat mengerikan! 
 
* * * 
 
 
Kini tinggal ketiga pentolan 
Keraton Utara saja, yang bersiap dengan 
mata awas menghadapi orang-orang Keraton 
Selatan. Keadaan begitu jelek sekali. 
Tidak menguntungkan. Dan terlihat betapa 
sulitnya untuk meloloskan diri. 
Dalam hatinya Ki Sima Ireng menyesal 
sekali tidak mau menuruti kata-kata Mpu 
Daga. Kini dia sadar, kata-kata orang tua 
itu kadang berpetuah. Tetapi mau apa, 
sekarang mereka harus bisa menghindari 
serangan. orang-orangitu, demi selembar 
nyawa yang harus mereka pertahankan. 
"Tangkap dan bunuh mereka!!" 
membentak Kyai Rebo Panunggul. 
Serentak para prajuritnya kembali 
menggempur dari segala penjuru dengan 
hebat. Senjata yang ada di tangan mereka, 
kini bagaikan malaikat pencabut nyawa. 
Karena jumlah yang tak tertahankan 
banyaknya, membuat ketiganya terdesak 
hebat. Kaki kanan Ki Sima Ireng sudah 
terluka terkena sabetan golok seorang 
prajurit Keraton Selatan. Dia masih 
berusaha untuk mempertahankan 
keseimbangannya. 
Melihat darah yang mengalir  dari 
kaki Ki Sima Ireng, pasukan Keraton 
Selatan semakin menjadi buas. Mereka 
seakan ingin menghisap darah Ki Sima 
Ireng mentah-mentah. 
"Bunuh!!" 
"Ganyang!!" 
"Hajar!!" 
Seruan-seruan itu membahana keras. 
Dan puluhan senjata kembali menyerang. 
Ki Sima Ireng merasakan letih yang amat 
luar biasa. Tetapi dia terus mencoba 
mempertahankan diri. Keringat sudah 
mengalir di se-kujur tubuhnya. 
Melihat hal itu, Kyai Rebo Panunggul 
terbahak. 
"Hahaha... lebih baik kalian 
menyerahkan diri saja, dari pada 
membuang nyawa dengan per cum a!!" 
"Hhh! Tak sedikit pun kami mempunyai 
niatan untuk menjadi tawanan Keraton 
Selatan!!" seru Ki Sima Ireng geram dan 
menghalau beberapa senjata yang 
mendekati tubuhnya. 
"Hahaha... dalam keadaan seperti 
ini kau masih banyak bacot saja, Sima!!" 
"Buktikan dulu bila kalian 
benar-benar bisa menangkap dan 
mengalahkan kami!!" 
Mendengar kata-kata itu wajah Kyai 
Rebo Panunggul memerah. Lalu sambil 
menggeram marah dia berseru, "Bunuh 
manusia itu!!" 
Dan  kembali puluhan prajurit 
menerjang ke arah Ki Sima Ireng. 
Sementara Mpu Daga dan Pandu pun 
mengalami hal yang sama keduanya sudah 
terdesak hebat pula. 
"Hati-hati, Pandu!" seru Mpu Daga 
yang bersalto ke sana ke mari. Dan kali 
ini dia tidak menyesali menurunkan 
tangan telengasnya. Memang tak ada jalan 
lain lagi bila masih ingin nyawanya 
menyatu dengan jasadnya. 
"Ya, Mpu!" sahut Pandu yang terns 
bergerak dengan jurus Patuk Gagak 
Rimang. 
Namun karena jumlah prajurit yang 
sedemikian banyak, membuat ruang lingkup 
gerakan mereka menjadi amat sempit. 
Barisan itu seakan hendak menerobos 
masuk satu benteng pertahanan. 
Pandu sendiri sudah kerepotan 
sekali. Mendadak dia mendesah panjang. 
Inikah saat yang tepat menggunakan ilmu 
Cakar Gagak Rimang? 
Memang tak ada jalan lain lagi. 
Lalu Pandu pun mulai merapal. Dan 
kala menyerang dia mendesis dalam hati, 
"Maafkan aku eyang...." 
Dan  tubuhnya pun bergerak dengan 
cepat. Dengan kedua tangan yang telah 
dialiri ilmu Cakar Gagak Rimang. Dengan 
sekali sentuh saja yang disentuh 
langsung kelojotan dan mati dengan tubuh 
hancur. 
Gerakan dan ilmu yang diperlihatkan 
membuat  orang-orang Keraton Selatan 
menjadi ngeri dengannya. Mereka satu 
persatu tak ada lagi yang berani 
mendekat. Selain kecepatan yang 
diperlihatkan pemuda itu sungguh cepat, 
juga ilmunya yang amat mengerikan. 
Benar-benar satu ilmu yang amat 
langka dan hebat sekali. Kyai Rebo 
Panunggul sampai terkejut dibuatnya. 
Dan tanpa sadar dia memekik, "Tangan 
Malaikat!" 
Kyai Rebo Panunggul tahu kalau ilmu 
Cakar Gagak Rimang adalah satu bentuk 
ilmu yang amat langka. Dan hingga 
sekarang dia tidak tahu siapa yang 
memilikinya lagi. Dan tiba-tiba saja 
seorang pemuda yang nampaknya membela 
Keraton Utara muncul dengan ilmu yang 
amat dahsyat itu. 
Hanya seingat Kyai Rebo Panunggul, 
di puncak Gunung Kidul atau tepatnya di 
Bukit Paringin, tinggalah seorang 
pertapa sakti yang bernama Eyang Ringkih 
Ireng. Pertapa yang berusia sudah amat 
lanjut. Hanya dia seoranglah yang 
memiliki ilmu Cakar Gagak Rimang. 
Lalu sekarang dilihatnya pemuda 
gagah bercaping ini yang memilikinya. 
Ada hubungan apa dia dengan pertapa sakti 
yang mengasingkan diri di Gunung Kidul? 
"Anak muda... siapakah kau sebenar-
nya?" Tak urung terlontar juga 
pertanyaan itu dari mulutnya. Karena dia 
sesungguhnya amat penasaran untuk 
mengetahui siapa adanya pemuda itu. 
Sambil menghantamkan pukulannya, 
Pandu menyahut, "Namaku, Pandu... Orang 
Gagah!!" 
"Ada hubungan apa kau dengan Eyang 
Ringkih Ireng, hah?!" 
"Dia guruku!!" sahut Pandu sambil 
berjumpalitan. Dan sekali melompat itu 
posisinya sudah agak menjauh dari para 
prajurit Keraton Selatan yang menjadi 
jeri untuk mendekatinya. Dengan sekali 
berkelebat, puluhan nyawa temannya putus 
seketika. 
Kyai  Rebo Panunggul tidak takut 
karenanya. Dia membentak, "Pandu! Bila 
kau seorang dan murid dari pertapa sakti 
itu... mengapa kau malah membantu 
orang-orang yang menyebarkan fitnah, 
hah?!" 
"Aku bukannya membantu, Orang Ga-
gah! Tetapi aku hendak mencari posisi 
yang tepat!" 
"Tetapi secara pasti kau telah 
berpihak pada Keraton Utara!!" 
"Orang Gagah... tidak bisakah kita 
hentikan dulu pertarungan ini?!" 
"Cih!" wajah Kyai Rebo Panunggul 
sengak. "Kau mau mengulur waktu agar kau 
bisa bebas dari kungkungan kami, 
bukan?!" 
"Aku bukanlah orang picik yang 
seperti kau kira! Aku ingin membicarakan 
masalah ini secara pasti! Tidakkah kau 
lihat... betapa banyaknya darah yang 
bertumpahan. Betapa banyaknya nyawa yang 
terbuang percuma! 
Apakah semua ini akan kita biarkan 
saja? Pikirkanlah hal itu, Orang Gagah.”  
“Menurutmu tadi... kalian hanyalah 
kena fitnah belaka. Tetapi orang-orang 
Keraton Utara tidak merasa sedang 
memfitnah! Nah... yang mana yang benar? 
Yang mana yang dusta belaka?!" 
"Sudah tentu apa yang dilontarkan 
oleh orang-orang Keraton Utara!" 
"Kau yakin sekali nampaknya. Orang 
Gagah?" 
"Sudah tentu aku yakin sekali, 
pemuda bercaping. Karena kami, 
orang-orang Keraton Selatan sama sekali 
tidak merasa telah mengambil Pusaka 
Patung Pualam milik tanah leluhur 
Keraton Utara! 
Memang, kami dulu pernah mengadakan 
penyerbuan ke Keraton Utara! Tetapi 
semuanya telah pulih secara damai! 
Hubungan antara Keraton Selatan dan 
Keraton Utara sudah berjalan seperti 
sedia kala. Dan tiba-tiba saja, tuduhan 
itu  jatuh ke Keraton Selatan. Yang 
dikatakan telah mencuri Pusaka Patung 
Pualam. Bukankah ini merupakan satu 
penghinaan yang amat sakit sekali? Dan 
yang kupikir, secara jelas Prabu Keraton 
Utara ingin membuat malu Keraton Selatan 
di mata dunia!" 
"Orang Gagah... tidakkah sebaiknya 
kita hentikan dulu pertempuran ini? Dan 
kita bicarakan secara baik-baik. 
Bagaimana?" 
Suara yang bernada lembut dan tidak 
mengandung satu nada kecurangan, membuat 
Kyai Rebo Panunggul menjadi seakan 
terpengaruh. Dari tatapannya, dia nampak 
yakin kalau pemuda itu tidak akan 
memperdayainya. 
Tiba-tiba saja dia berseru, keras 
dan mengejutkan, "Hentikan!!" 
 
* * * 
 
 
Seketika pasukan yang tengah 
menggempur itu menghentikan serangannya 
yang mereka tujukan pada Mpu Daga dan Ki 
Sima Ireng. Mereka langsung menyusun 
barisan. Dan menghadap rapi pada Kyai 
Rebo Panunggul meskipun keheranan 
menyelimuti hati mereka. Juga Tunggul 
Dewa yang hanya menurut saja, 
Kyai Rebo Panunggul menyuruh pasuk-
annya untuk diam saja. Sementara Mpu Daga 
dan Ki Sima Ireng sendiri tak kalah 
herannya mengapa tiba-tiba saja Kyai 
Rebo Panunggul menyuruh pasukannya 
menghentikan serangan pada mereka. 
Tetapi kedua pentolan Keraton Utara 
itu segera berjumpalitan dan berdiri di 
sisi kanan kiri Pandu yang tengah 
berhadapan dengan Kyai Rebo Panunggul. 
Sementara di sekililing mereka, 
bertebaran mayat-mayat yang 
bergeletakan. Sebagian besar mayat 
pasukan Keraton Utara yang kadang 
terlihat amat mengerikan akibat luka 
senjata yang amat tajam dan banyak 
sekali. 
Kyai Rebo Panunggul menatap Pandu. 
"Nah... Pendekar, katakanlah apa 
maumu”. Pandu tersenyum.  
"Orang  Gagah... agaknya perlu 
keperkenalkan dulu siapa aku. Aku 
bukanlah orang Keraton Utara dan juga 
bukan orang Keraton Selatan. Aku adalah 
seorang pengembara dari Gunung Kidul. 
Dan secara tidak sengaja bergabung 
dengan pasukan Keraton Utara. Tentunya 
kau bertanya  mengapa, bukan? Baiklah, 
dengarkanlah penjelasanku. Dari Mpu 
Daga, orang kepercayaan prabu Keraton 
Utara, dia menjelaskan tentang hilangnya 
Pusaka Patung Pualam, pusaka  lambang 
kejayaan Keraton Utara. Namun Mpu Daga 
sendiri menyangsikan bila Keraton 
Selatan yang mengambil semua itu. Dan dia 
yakin sekali, kalau ada musuh dalam 
selimut pada Keraton Utara...." 
"Hmm... lalu mengapa Prabu Keraton 
Utara mengirim dua orang utusannya yang 
lantas membuat onar di kediaman 
orang-orang Keraton Selatan?!" kata Kyai 
Rebo Panunggul dengan suara keras. 
"Kalau masalah itu, biarlah nanti 
Mpu Daga yang menjawabnya, Orang Gagah," 
kata Pandu. "Tetapi perlu kau ketahui... 
ketika aku hendak mengintai pasukanmu, 
secara tidak sengaja aku melihat lima 
orang laki-laki tengah berunding di 
sebuah hutan kecil. Salah seorang dari 
mereka mengenakan kedok berwarna hitam, 
dan agaknya yang empat orang lainnya 
menaruh hormat padanya." 
"Siapa mereka?" tanya Kyai Rebo Pa-
nunggul mulai tertarik. Matanya serius 
menatap Pandu. 
"Bila kau bertanya siapa adanya 
orang yang mengenakan kedok berwarna 
hitam itu, secara terus terang aku tidak 
bisa menjelaskannya. Karena aku memang 
tidak tahu siapa dia adanya. Tetapi bila 
kau bertanya mengenai empat orang 
lainnya, aku bisa menjelaskan nama 
mereka. Hanya nama belaka, karena baru 
kali ini aku melihat mereka." ' 
"Hmm... siapa empat lainnya?" tanya 
Kyai Rebo Panunggul.kemudian. 
"Nama mereka Kawung Ronggo, Bujang 
Kroto dan Setan Kembar dari Bukit Iblis 
yang bernama Renggoto dan Ranggoto. 
Hanya itu yang kuketahui!" 
Namun bagi Kyai Rebo Panunggul, 
nama-nama yang disebutkan oleh Pandu 
tadi  bukanlah nama yang asing bagi 
telinganya. Orang-orang itu amat sering 
dikenal sebagai tukang membuat onar. Dan 
tokoh-tokoh jahat dari golongan hitam. 
"Hmm... apa yang mereka 
rencanakan?" 
"Mereka hendak menggulingkan 
Keraton Utara. Agaknya si Kedok Hitam 
adalah orang dalam sendiri. Orang yang 
nampaknya mengenai seluk beluk istana. 
Dia tengah menyusun satu rencana dengan 
jumlah pasukan yang kuat untuk menyerbu 
ke Keraton Utara. Ini memang amat 
membahayakan. Yang lebih lagi, 
menurutku, tentunya dia adalah orang 
dekat dari Keraton Utara!" 
"Pandu!" seru Mpu Daga terkejut. 
"Apa maksudmu?!" 
"Mpu... nampaknya ini hanya 
gudaanku belaka." 
"Berkata apa si Kedok Hitam itu?" 
"Dia bilang, bila saatnya tepat... 
maka mereka akan segera bergerak untuk 
menggulingkan Keraton  Utara. Dia pun 
bilang, saat ini di Keraton Utara ada 
Panglima Angling seorang yang tak begitu 
sulit di hadapi....” 
Mpu Daga jadi terdiam. Dia kuatir 
dengan nasib Prabu. Dan hal itu pun 
dikemukakan pada Pandu. 
"Pandu... Baginda Prabu?" 
"Tenanglah, Mpu. Aku pun baru saja 
memikirkan hal itu. Dan maksudku... 
setelah penjelasan ini... aku akan 
segera pergi ke Keraton Utara," kata 
Pandu. Lalu matanya menatap kembali 
orang-orang di sana, "Yang lebih hebat 
lagi, ternyata benda yang berharga 
sedang disembunyikan oleh si Kedok 
Hitam." 
"Hei... apa benda yang kau maksud 
ini pusaka milik Keraton Utara? Kau tahu 
di mana pusaka itu berada?" tanya Ki Sima 
Ireng cepat. 
"Ya, katakanlah, Pendekar... di 
mana pusaka itu berada," sambung Kyai 
Rebo Panunggul. "Gara-gara pusaka itulah 
maka Keraton Selatan menjadi sasaran 
fitnah orang-orang keji itu! Katakanlah, 
Pandu...." 
Pandu menatap kembali orang-orang 
yang berada di sana. Yah... semua ini 
hasil kerja tangan jahat musuh dalam 
selimut yang membuatnya menjadi kacau 
balau begini. 
"Hmm... pusaka atau benda lain, aku 
tak jelas. Tapi benda itu dibenamkan di 
sebuah danau yang bernama Danau Siluman. 
Menurut Kedok Hitam, letak danau itu di 
sebelah Tenggara dari Keraton Utara...." 
Ki Sima Ireng menggeram. 
"Bangsat! Benar-benar luar biasa 
musuh dalam selimut itu! Hhh! Aku jadi 
menyesali perintah dari Prabu kita yang 
nampak tergesa-gesa. Kau benar, Mpu... 
ternyata ada orang lain yang ingin 
berbuat jahat dan keji pada kita...." 
Mpu Daga hanya mengangguk. Dan dia 
menatap Kyai Rebo Panunggul yang juga 
sedang menatapnya. Nampak jelas di mata 
kedua jago itu sedikit penyesalan 
mengapa mereka tidak berunding sejak 
tadi, sebelum nyawa-nyawa yang tak 
berdosa berguguran tak bersalah. 
Mpu Daga berkata, "Panunggul... 
percayakah kau pada kata-katanya itu?" 
Kyai Rebo Panunggul hanya 
menganggukkan kepalanya. 
Tetapi tiba-tiba terdengar suara 
bentakan Tunggul Dewa yang sejak tadi 
terdiam, "Hhh! Pemuda Gagah! Diberi apa 
hingga kau berkata seperti itu, hah?! 
Rupanya kau jeri melihat keadaan kalian 
sudah kalah,  bukan? Lalu kau buatlah 
sebuah cerita karanganmu belaka tentang 
beberapa orang yang sedang menyusun 
rencana untuk menggulingkan Keraton 
Utara! Tetapi aku tidaklah bodoh, Anak 
muda! Hhh! Katakanlah bahwa kau 
bohong!!" 
Pandu hanya tersenyum saja. 
"Tidak, Orang Gagah... aku 
berbicara apa adanya. Dan aku bukanlah 
orang Keraton Utara. Aku hanya 
pengembara yang baru saja turun dari 
Gunung Kidul!!" 
Tunggul Dewa terbahak. 
"Hahaha... anak muda... anak 
muda... Bila kau benar murid tunggal dari 
pertapa sakti yang bernama Eyang Ringkih 
Ireng, tentunya kau pun memiliki 
ilmu-ilmu yang amat ampuh bukan! Tadi 
memang sempat kulihat ilmu Cakar Gagak 
Rimang itu! Tetapi aku tidak yakin, 
apakah benar itu ilmu Cakar Gagak Rimang 
milik si pertapa sakti?!" suara Tunggul 
Dewa terdengar sengak, membuat Pandu 
menjadi jengkel. 
"Hmm... lalu apa maumu, Orang 
Gagah?" 
"Buktikanlah bila ilmumu itu memang 
ilmu  Cakar Gagak Rimang yang amat 
hebat!!" 
"Bagaimana cara aku untuk membukti-
kannya, Orang Gagah?" tanya Pandu 
sembari menekan rasa jengkelnya. 
"Hahaha... mudah saja. Kau lihat 
deretan pohon-pohon besar itu. Nah, kau 
coleklah dengan sekali berkelebat. Dan 
harus sepuluh batang pohon yang mestinya 
hangus bila benar kau menggunakan ilmu 
itu." 
Kali ini Pandu tersenyum. 
"Apakah hanya itu, Orang Gagah?" 
"Ya! Bisakah kau melakukannya?" 
"Bila aku bisa melakukannya... 
apakah kau percaya bahwa aku berkata apa 
adanya?" 
"Masih ada satu lagi yang kuminta 
bukti darimu?! Nah, cepatlah kau 
kerjakan dulu yang kuperintahkan!" 
"Baiklah..." kata Pandu. Lalu dia 
berbalik ke arah batang-batang pohon 
yang banyak tumbuh di sana. Tiba-tiba dia 
teriak dan tubuhnya berkelebat cepat. 
Sungguh fantastis, gerakan itu tak bisa 
dilihat oleh mata. Cepat sekali. Dan 
mendadak saja Pandu sudah kembali berada 
di tempatnya semula, kali ini berhadapan 
lagi dengan Tunggul Dewa. 
Orang-orang yang ada di sana, merasa 
mereka belum sempat mengedipkan mata. 
Bahkan nafas pun seakan baru ditarik 
keluar. Dan tiba-tiba saja pemuda itu 
sudah kembali di hadapan mereka. Kapan 
pemuda itu berkelebat? 
Belum lagi keheranan mereka menemui 
jawabnya,  tiba-tiba terdengar suara 
berderak keras dan terlihatlah beberapa 
pohon yang ada di sana rubuh patah dengan 
beberapa bagian batangnya hangus. 
Orang-orang itu terkejut. 
Suara berdebam itu rubuh secara 
bersamaan. Ki Sima Ireng hingga melompat 
karena terkejut melihat kehebatan yang 
diperlihatkan pemuda itu. Debu-debu pun 
berkepul. Dan beberapa pohon lainnya 
bergetar tercerabut akarnya karena 
getaran yang cukup kuat dari pepohonan 
yang tumbang! 
Pandu hanya tersenyum. 
"Orang Gagah... silahkan diperiksa 
jumlah pohon yang tumbang itu! Dan 
katakanlah, kalau mereka tumbang karena 
pukulan Cakar Gagak Rimang!" kata Pandu 
pada Tunggul Dewa. 
Tunggul Dewa cukup tercekat juga 
hatinya menyaksikan hal itu. Tetapi dia 
menguatkan juga dan bertindak seperti 
masih tidak yakin kalau yang 
dihadapannya ini adalah murid dari 
pertapa sakti Eyang Ringkih Ireng. 
Dia pun segera melangkahkan kakinya 
untuk menghitung jumlah pohon yang 
tumbang. Tepat sepuluh buah! Dan dari 
pengamatannya, jelas-jelas kalau pohon 
itu tumbang oleh pukulan Cakar Gagak 
Rimang. Pukulan maha sakti yang kini 
hadir kembali di rimba persilatan. 
Namun Tunggul Dewa masih 
menyangsikan hal itu. Dia kembali 
menjumpai Pandu. 
"Anak muda... masih ada lagi yang 
perlu kutanyakan padamu. Dan harus 
memperlihatkan bukti yang menyatakan 
bahwa kau adalah murid dari Eyang Ringkih 
Ireng." 
"Silahkan, Orang Gagah." 
"Kulihat di punggungmu ada sebilah 
golok. Dan  tentunya itu bukan golok 
sembarangan, bukan?" 
"Entahlah ini golok sembarangan 
atau bukan. Yang pasti, guru 
memberikannya padaku!" 
"Seingatku, sebelum orang sakti itu 
mengasingkan diri di Gunung Kidul, dia 
memiliki golok sakti yang bernama Golok 
Cindarbuana. Bila benar kau diberikan 
golok oleh pertapa sakti itu, sudah tentu 
golok yang berada di punggungmu itu 
adalah Golok Cindarbuana. Bisakah kau 
memperlihatkan golokmu itu?!" 
"Sudah tentu bisa kulakukan, Orang 
Gagah. Tetapi bila ini bukan Golok 
Cindarbuana, apakah kau masih meragukan 
bahwa aku murid tunggal dari Eyang 
Ringkih Ireng? Bukan orang Keraton Utara 
yang mencoba bersandiwara karena sudah 
terjebak dalam posisi yang sulit?" 
"Yah... mungkin aku bisa 
menerimanya." 
"Silahkan, orang gagah..." kata 
Pandu seraya meloloskan golok di 
punggungnya. Lalu diserahkannya golok 
itu pada Tunggul Dewa. 
Golok yang sarungnya terbuat dari 
batang kayu yang berlapis timah kuning 
itu diterima oleh Tunggul Dewa. Lalu 
pentolan Keraton Selatan itu pun dengan 
hati-hati menarik ke luar tangkai golok 
dari sarungnya. 
Terlihatlah sebuah golok yang amat 
indah berkemilau kekuningan. Amat tipis 
dan yakin sekali kalau itu amat tajam. 
Tunggul Dewa sendiri kelihatan terkejut 
melihat golok itu yang nampak bersinar. 
"Golok Cindarbuana!!" desisnya 
tanpa sadar. Lalu dengan cepat 
dimasukkannya kembali golok itu ke 
sarungnya. Ditatapnya Pandu dengan 
tatapan tajam.  
"Anak muda...ya, ya... kini aku 
yakin... engkaulah murid dari Eyang 
Ringkin Ireng... Bukan orang Keraton 
Utara yang bermain sandiwara karena 
posisinya dalam keadaan terjepit...." 
"Terima kasih, Orang Gagah," sahut 
Pandu sambil menerima kembali golok yang 
dikeluarkan oleh Tunggul Dewa. "Hmm... 
apakah setelah ini kau yakin dengan 
ceritaku? Bahwa aku melihat lima orang 
laki-laki dan seorang berkedok hitam 
tengah mengatur rencana untuk 
menggulingkan Keraton Utara?" 
"Aku yakin, Anak muda... Hmm... 
tentunya... kau bergelar Pendekar Gagak 
Rimang, bukan?" kata Tunggul Dewa 
kemudian, artinya sebuah gelar yang amat 
bagus dan membuat kita seakan seorang 
yang sakti, bila tindak tanduk kita mirip 
binatang belaka? Bukankah hanya sia-sia 
gelar itu, bukan? 
"Nah, bila kita semua sudah bersatu 
seperti ini, maafkan aku... bila aku 
memerintah dalam hal ini...." kata 
Pandu. 
"Katakanlah apa rencanamu, 
Pendekar?" tanya Kyai Rebo Panunggul. 
"Malam ini pula aku hendak pergi ke 
Keraton Utara. Karena aku masih gelisah 
dan penasaran dengan orang-orang yang 
sambil berbisik merencanakan sesuatu. 
Aku tidak tahu apa rencana mereka. Tetapi 
yang jelas, sudah tentu menyangkut 
masalah Keraton Utara. Mengingat dia 
bilang hanya Panglima Angling yang 
berada di sana. Dan kuminta... kalian 
semua pergi ke Danau Siiuman untuk 
mencari Pusaka Patung Pualam. Sementara 
beberapa pasukan Keraton Selatan biarkan 
berada di sini dan bila bertemu dengan 
pasukan atau orang Keraton Utara, tolong 
jelaskan masalah yang sebenarnya 
terjadi. Kalian setuju dengan usul ini? 
Orang-orang di sana menatapnya. 
Sudah tentu mereka setuju. Pandu memang 
masih penasaran dengan apa yang 
direncanakan orang-orang itu sambil 
berbisik. Namun dugaannya tetap satu, 
yakni keselamatan Prabu Keraton Utara 
sedang terancam! 
"Bila kalian semua sudah setuju, 
lebih baik jalankan rencana itu 
sekarang! Bagaimana?" 
"Kau harus berhati-hati, Pandu...." 
kata Mpu Daga yang semakin mengagumi anak 
muda itu. 
"Aku akan berhati-hati, Mpu! Sampai 
berjumpa!" Lalu tubuh itu pun melesat 
dengan cepat. Saking cepatnya tak lagi 
terlihat sedikit bayangan atau 
gerakannya, membuat orang-orang yang 
berada di sana semakin terlongo-longo. 
"Bukan main... untunglah kita belum 
saling bunuh kembali," kata Kyai Rebo 
Panunggul. "Tak kusangka... kalau kita 
semua akan diselamatkan oleh anak muda 
bernama Pandu itu. Aku yakin, untuk di 
masa mendatang... dia akan menjadi 
pendekar pembasmi kejahatan nomor wahid! 
Dan kesaktiannya akan sukar sekali 
ditandingi!" 
Mpu Daga, Ki Sima Ireng dan Tunggul 
Dewa pun yakin akan hal itu. Lalu mereka 
segera berangkat menuju Danau Siiuman 
untuk mencari Pusaka Patung Pualam 
setelah Kyai Rebo Panunggul 
memerintahkan beberapa pasukan Keraton 
Selatan menjaga di tempat itu. 
Sementara Pandu atau Pendekar Gagak 
Rimang semakin terus berlari. Malam ini 
dia banyak sekali berlari namun nampak 
pula kalau dia tidak kelelahan. 
Malah nampak dia lebih bersemangat. 
"Eyang... tolonglah beri aku 
kekuatan untuk menghadapi segala yang 
menjadi tanggung  jawabku..." desisnya 
sambil terus berlari. Menerobos 
kepekatan malam. 
 
* * * 
 
 
Bulan di langit renta, sepotong dan 
seakan enggan untuk bersinar. Sinarnya 
redup terasa, tidak membangkitkan gairah 
bagi orang-orang untuk ke luar malam. 
Udara malam begitu dingin sekali, 
seakan menembus hingga ke tulang sumsum. 
Malam ini entah kenapa angin berhembus 
lebih dingin dari biasanya. Lain dengan 
hari-hari yang lalu. Udara dingin ini 
seakan memberikan satu tanda. Entah 
tanda apa, tetapi terasa amat 
menakutkan. 
Udara yang amat dingin menyebabkan 
penduduk di tanah Keraton Utara merasa 
lebih enak berada di dalam rumah. Tetapi 
para penjaga istana tidak perduli dengan 
rasa dingin biar seperti es sekalipun. 
Mereka tetap menjaga dan berpatroli 
dengan setia. Menjaga suasana yang mulai 
genting. 
Memang, penjagaan di Keraton Utara 
semakin diperketat. Mengingat keadaan 
yang semakin gawat. 
Prabu Sri Jayarasa sendiri malam ini 
tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia 
nampak gelisah di pembaringannya. 
Tubuhnya bolak balik ke kiri ke kanan. 
Banyak pikiran yang adai di benaknya, dan 
menyiksanya dengan satu kegelisahan yang 
panjang. 
Dan tiba-tiba dia terbangun. Udara 
yang amat dingin itu dirasakan Prabu amat 
panas. Tubuhnya berkeringat. Ia duduk di 
ranjangnya. 
"Ah, mengapa malam ini perasaanku 
tidak enak?" desisnya pelan. 
Lalu dengan hati-hati dia bangkit, 
berjalan ke tepi jendela. Disibaknya 
tirai jendela sedikit matanya nyalang 
menerobos malam. Sinar lampu di halaman 
keraton terang benderang. Itu pun 
penambahan karena keadaan yang 
benar-benar semakin gawat. 
Prabu menutup tirai jendela itu 
lagi. Lalu dia mendesah panjang. Dia 
sendiri merasa heran, mengapa malam ini 
dia tidak dapat tidur. 
Di luar sana, para penjaga tetap 
berdiri dengan tegak, walau sebenarnya 
dalam hati mereka lebih suka tidur 
daripada menjaga di udara yang dingin 
menusuk ini. 
Sungguh-sungguh keterlaluan! 
Salah seorang yang merasa jengkel 
itu bernama Mandini. Dia seorang 
prajurit yang sudah setengah baya. 
Berulangkali terdengar gerutuan dari 
mulutnya. Dan tangannya sekali-sekali 
menepuk lengannya karena nyamuk yang 
asyik berpesta dengan darahnya. 
Dia mendengus sebal. 
"Sialan! Udara dingin banget!! 
Mendingan aku tidur di rumah istri mudaku 
malam ini!!" dengusnya jengkel. "Hhh, 
lebih enak di sana! Hangat sambil memeluk 
tubuhnya yang montok. Tapi sial, dasar 
sial, bekerja di udara dingin begini! 
Mana banyak nyamuk lagi! Hhh! Mampus kau 
nyamuk sialan! Enak-enaknya kau 
menghisap darahku." makinya sambil 
menepuk lengannya. 
Dia masih menggerutu panjang 
pendek. Tiba-tiba dia menoleh ke kanan 
dan ke kiri. Ada pikiran curang untuk 
meninggalkan pos penjagaannya. Dia masih 
tetap memikirkan kemontokan tubuh istri 
mudanya, yang selalu menggelinjang 
gelinjang membuatnya keenakan. 
"Hehehe... biar aku kabur saja. Toh 
tidak ada kejadian apa-apa. Lagi salah 
sendiri, kenapa mau repot-repot 
mengadakan perang dengan Keraton 
Selatan. Yah, akhirnya begini ini! Huh, 
dasar raja yang sok! 
Tapi... ah, penjagaan sudah 
sedemikian ketatnya. Kayaknya juga tidak 
akan terjadi apa-apa! Masa bodoh ah, bila 
terjadi apa-apa juga!" 
Lalu laki-laki yang berhati culas 
itu ke luar dari pos penjagaannya yang 
berada di samping istana. Tinggal 
menyeberang ke luar dan lolos dari pintu 
samping, dia sudah berhasil meninggalkan 
tempat itu. 
"Hehehe... kenapa tidak sejak tadi 
kulakukan hal ini. Dan sejak tadi pula 
aku sudah mendekap tubuh montok istri 
mudaku... hehehe..." tawanya ketika dia 
berhasil berada di luar batas keraton. 
Besok pagi-pagi sekali dia akan 
datang kembali. Karena bila ada 
pemeriksaan, dia sudah berada di pos 
penjagaannya. 
Diam-diam Mandini tertawa sendiri 
dan memuji-muji dirinya. 
"Hehehe... Mandini memang pintar, 
memang pintar... Kalian yang menjaga 
sekarang adalah orang-orang yang bodoh, 
yang mau menjaga sesuatu yang tidak ada 
dengan ditemani angin dingin menusuk dan 
nyamuk-nyamuk liar yang busuk! 
Hehehe...! Hanya Mandini yang punya 
pikiran cerdik seperti ini! Hanya 
Mandini... hehehe!" 
Dan dia pun melakukannya dengan 
hati-hati. Kini langkahnya sudah berada 
di jalan setapak. Terus ke kanan, dia 
sudah semakin jauh dari istana. 
Mandini terkekeh dan bergegas. Di 
ujung jalan itu istri mudanya tinggal. 
Tempat yang sepi dan cocok istri mudanya 
tinggal. Terbayang sudah nanti betapa 
enaknya dia menggeluti tubuh istrinya 
yang montok. Wanita itu baru seminggu 
dinikahinya. Masih sedang 
panas-panasnya. Membayangkan hal itu 
membuat Mandini mempercepat larinya. 
Namun ketika tinggal tiga rumah dari 
tempat tinggal istri mudanya, tiba-tiba 
berkelebat bayangan hitam dan berdiri di 
hadapannya. Sikapnya seperti 
menghadang. 
Gugup dia berhenti dan mengacungkan 
tombaknya. 
"Siapa kau?!" 
"Aku adalah aku," sahut bayangan 
hitam itu. Suaranya angker. 
"Aku siapa?!" bentak Mandini pula 
sambil memegang tombaknya. 
"Aku  mau tanya kepadamu, orang 
busuk. Ada berapa orang penjaga di 
keraton?" 
"Kau mau apa?" Mandini segera 
mencium sesuatu yang tidak enak. 
"Jangan banyak tanya. Jawab, kalau 
tidak ingin kepalamu pecah." 
"Bangsat!! Kau pikir mudah 
mengalahkan aku, heh?" 
"Semudah membalikkan telapak 
tangan. Jawab pertanyaanku," kata orang 
itu dingin. 
"Hhh! Aku tidak suka dipaksa!" 
"Dan aku akan tetap memaksa!" 
"Lakukan kalau kau bisa!!" 
Orang itu tersenyum. Mandini tidak 
bisa melihat senyumnya yang sinis dan 
dingin. Dia menyiapkan tombaknya untuk 
menyambut serangan orang itu. 
"Jawab pertanyaanku," orang itu 
masih menyuruhnya. Kali ini suaranya 
mengandung kegeraman. 
"Tak semudah itu." 
"Kau memaksaku, orang busuk. Baik!" 
Sehabis berkata begitu, dia berkelebat 
dengan cepat. Dan tanpa tahu kapan dan 
bagaimana orang itu bergerak, tiba-tiba 
saja tombak Mandini sudah pindah ke 
tangannya. "Hhh! Aku bisa saja kalau mau 
mencopot kepalamu! Jawab 
pertanyaanku!!" 
"Tidak! Kau... kau... siapa?!" 
"Aku adalah aku! Jangan membuatku 
marah, orang busuk!" 
Mandini mundur takut-takut. Suara 
orang  itu mengandung  ancaman yang 
mematikan. 
"Jawab!!" 
Seruan itu semakin membuat Mandini 
mati langkah. Tubuhnya gemetar. 
"Jawab!" bentakan itu terdengar 
lagi. 
"Kau,.. kau... Iblis!!" 
"Setan! Kau membosankan, orang 
busuk!" geram orang itu dan mendadak dia 
berkelebat.  Tahu-tahu terdengar 
jeritan Mandini keras dan jeritannya 
terputus bersama putusnya kepalanya dari 
lehernya. Kepala yang buntung dan leher 
yang menyemburkan darah segera jatuh ke 
bumi. Dan orang kejam itu menendang 
kepala yang buntung itu hingga terpental 
cukup jauh.  
"Orang tak berguna”. desisnya tak 
mengenai ampun. 
Lalu dia memperhatikan 
sekelilingnya. Dan orang berkedok hitam 
itu melesat ke depan. Larinya menandakan 
dia menuju ke arah Keraton Utara. Dia 
memang mempunyai niat busuk untuk 
membunuh Prabu Sri Jayarasa. Yah, orang 
yang tak lain si Kedok Hitam yang pernah 
dilihat di hutan bersama empat orang 
sekutunya terus berkelebat. Dengan 
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, 
dia sudah hinggap di tembok keraton yang 
cukup tinggi. Matanya di balik kedok 
hitamnya memperhatikan lagi 
sekelilingnya. Lalu dia berjumpalitan 
dengan gerakan yang amat ringan. Dan 
hinggap di bumi tanpa menimbulkan suara 
sedikit pun. 
Dia langsung berlari ke dalam 
keraton. Dari gerak geriknya nampak dia 
tahu seluk beluk Keraton Utara. Karena 
dia masuk melalui pintu rahasia yang 
hanya orang-orang kepercayaan prabu saja 
yang mengetahui pintu itu. Dan tanpa 
banyak kesulitan yang berarti dia sudah 
menemukan tempat di mana beristirahatnya 
sang prabu. 
Hanya tiga orang yang berjaga di 
depan kamar sang prabu. "Hmm... 
pekerjaan yang mudah," desis si Kedok 
hitam sambil tersenyum. 
Dan tanpa kesulitan pula dia 
berhasil melumpuhkan ketiga penjaga itu.   
"Des! Des! Des!" 
Tiga penjaga itu jatuh menggelosor 
tanpa sempat berteriak. Begitu berhasil 
melumpuhkan ketiga penjaga itu, si Kedok 
Hitam segera merapatkan tubuhnya di 
tembok. Pekerjaannya amat rapi, tidak 
menimbulkan suara sedikit pun. 
"Hmm... sebentar lagi kau akan 
mampus, Prabu... Dan akulah yang akan 
menjabat sebagai kepala negara di 
Keraton Utara ini!!" desisnya pelan 
sambil mendengus. 
Di kamarnya, sang Prabu masih tidak 
bisa memejamkan matanya. Dia tetap 
mondar mandir dengan gelisah. Pikirannya 
teramat ruwet sekali. Dan tak satupun 
pikiran itu yang berhasil 
dituntaskannya. Banyak sekali, saling 
bertumpuk. Sikapnya benar-benar resah 
dan tidak tenang. 
Entah kenapa dia mendapat firasat 
yang tidak enak. 
"Ah, mengapa aku jadi begini?" 
desisnya. Dan kakinya terus melangkah 
mengelilingi kamar itu. "Ada apa 
sebenarnya denganku ini?" 
Suasana pun dirasakannya amat 
mencekam. Firasatnya terus berbicara 
kalau akan ada sesuatu yang tidak 
dinginkannya. Namun dia tidak tahu apa 
itu. Apakah mungkin pasukan Keraton 
Selatan menyerang ke sini? Tanyanya 
dalam hati. 
Tetapi dia tak perlu lama-lama lagi 
memikirkan hal apa yang 
menggelisahkannya. Karena tiba-tiba 
saja pintu kamarnya terbuka secara 
paksa. Jebol engsel-engselnya. Pintu 
yang terbuat dari kayu yang besar dan 
keras itu pun hancur dihantam. 
Terhentak sang prabu menoleh. Dan 
satu sosok tubuh berpakaian hitam dan 
berkedok hitam meloncat dengan gagah. 
"Siapa kau, heh?!" bentak prabu dan 
entah mengapa dia nampak bersiaga. "Dan 
mau apa kau?!" 
Wajah  di balik kedok hitam itu 
menyeringai. Senang dia melihat sang 
prabu nampak ketakutan. 
"Hmm... apa kabar, Gusti?" 
"Siapa kau, hah? Katakan...." 
"Mengapa gusti nampak tegang, hah? 
Tenang... kedatanganku memang ada maksud 
padamu...." 
"Katakan!!" 
"Hahaha... kedatanganku hanya satu, 
Gusti... ingin mencabut nyawamu!" 
Wajah sang prabu kelihatan pias. 
Namun dia berusaha tenang. 
"Apa kau bilang, Kedok Hitam?!" 
"Mencabut nyawamu!" kata si Kedok 
Hitam kejam. "Kau belum tuli bukan, 
Prabu?" 
Sang prabu menampakkan senyumnya, 
seolah dia tidak cemas dengan ancaman 
itu. 
"Hhh! Kau pikir mudah melakukannya? 
Kau keliru, Kedok Hitam...." 
"Hahaha... kau berani sesumbar 
juga, Prabu. Untuk membunuhmu... lebih 
sulit membunuh semut di pelupuk mata dari 
pada menghabisi nyawa busukmu, Prabu! 
Hmm... sebenarnya aku salut pada 
ketegaranmu, Prabu! Kau memang pantas 
menjadi seorang  Prabu sebuah negara! 
Tapi... nyawamu tak lama lagi hinggap di 
jasadmu! Ajalmu sudah dekat, Prabu!!" 
seru si Kedok Hitam dengan suara yang 
buas dan kejam.  
"Setan!" 
"Sekarang bersiaplah, Prabu! Aku 
tak ingin banyak cakap lagi!" 
Sehabis  berkata begitu si Kedok 
Hitam memasang jurus yang nampak sangat 
diandalkannya. Dia tidak ingin membuang 
waktu. Dia ingin segera menyelesaikan 
tugas. Jurus akan merenggut nyawa sang 
prabu! 
Prabu  sendiri adalah orang yang 
pengalaman. Dia pun memiliki ilmu bela 
diri yang lumayan. Dia tidak gentar 
sedikit pun menghadapi si Kedok Hitam 
itu. Dia juga membuka jurusnya. 
Si Kedok Hitam terbahak. 
"Orang seperti kau tak layak untuk 
melawanku. Lebih baik serahkan saja 
kepalamu untuk kupenggal." 
"Hhh! Orang busuk, kau tidak tahu 
dengan siapa berhadapan. Aku Rajamu, 
orang yang harus kau hormati. Dan kau pun 
tahu bukan, ratusan prajurit menunggumu 
di luar." 
"Perduli setan dengan semua itu! 
Jaga seranganku, Prabu!" 
Sehabis berkata demikian, si Kedok 
Hitam segera bergerak. Gerakannya cepat 
dan tangguh. Pukulan kedua tangannya 
mirip patuk ular dan meliuk-liuk. Dan 
tenaga yang dimilikinya pun hampir sama 
dengan seekor banteng luka. 
Prabu sendiri terkejut menerima 
serangan itu. Dia tidak berani untuk 
memapaki. Sebisanya dia berusaha 
menghindar. Kamar yang lumayan besar itu 
seketika menjadi tempat pertempuran. 
Prabu benar-benar harus menguras seluruh 
tenaganya untuk bisa mempertahankan 
selembar nyawanya. Dia tidak ingin 
mampus begitu saja. 
Tetapi si Kedok Hitam terus 
melakukan tekanan-tekanan yang 
berbahaya. Jurus-jurusnya aneh. Dan satu 
pukulan telak tak berhasil dihindari 
oleh prabu Keraton Utara. Dadanya 
tergedor pukulan itu hingga terhuyung 
deras dan muntah darah. 
"Ha-ha-ha... sudah kukatakan, kau 
tak berguna untuk menandingiku, Prabu!" 
"Bangsat keji!" geram prabu sambil 
menahan rasa sakit yang luarbiasa. 
"Siapa kau sebenarnya!" 
"Sudah kukatakan, aku adalah 
malaikat pencabut nyawa! Dan malam ini, 
nyawamu akan kurenggut dengan paksa! 
Bersiaplah, Prabu!" 
"Manusia keparat!" 
Manusia itu segera menerjang lagi. 
Desisannya mirip seekor ular berbisa 
yang ganas dan mengundang kematian. 
Gerakannya cepat dan mengerikan. 
Tetapi Sri Jayarasa tidak mau mati 
begitu saja. Dia masih berusaha 
memberikan perlawanan. Dia merasa harus 
mampu mempertahankan diri. 
Di ruangan yang sempit itu terasa 
sangat menyulitkan dirinya untuk 
bergerak, belum lagi serangan yang 
dilakukan Kedok Hitam begitu dashyat.         
Dan kadang Sri jayarasa benar-benar 
merasa ajalnya sudah tiba, bila serangan 
Kedok Hitam datang bertubi-tubi. Namun 
tiba-tiba dia melompat ke kiri. Sambil 
menghindar serangan Kedok Hitam, dia 
menyambar pedang yang terpampang di 
dinding. 
Sri Jayarasa segera menghadapi si 
Kedok Hitam dengan pedang itu. Tapi Kedok 
Hitam malah tertawa. Menertawakan! 
"Lakukan apa yang hendak kau 
lakukan,  Prabu!  Berbuatlah yang 
menyenangkan hatimu, tapi jaga selembar 
nyawamu itu!" 
Setelah berkata begitu Kedok Hitam 
kembali menerjang. Kali ini gerakannya 
lebih cepat dan mematikan. Pedang yang 
digunakan oleh Prabu Sri Jayarasa tidak 
begitu banyak membantu,  malah terasa 
agak menyulitkan untuk bergerak secara 
leluasa. 
Yang lebih mencengangkan dan 
mengherankan bagi prabu itu adalah 
sabetan pedangnya yang sia-sia. 
Berkali-kali dia membabat, membacok dan 
menusuk ke arah tubuh lawannya, tapi 
lawannya  tidak terluka sedikitpun. 
Bahkan lawannya malah menertawakan. 
Sial! Benar-benar sial! Maki prabu 
itu makin penasaran terus saja menyerang 
dengan pedangnya. 
"Huaha... ha... ha... ha lakukan, 
Gusti Prabu. Lakukan! Tusuk, sabet! Kali 
ini aku tidak mau menyia-nyiakan 
kesempatan ini! Untuk itu, kau harus 
bersiap diri!" ancam lawannya sembari 
tertawa mengejek. 
Kembali si Kedok Hitam menyerang. 
Gusti prabu terus berusaha bertahan. 
Namun sekuat apa pun usaha Gusti Prabu, 
akhirnya tenaganya terkuras habis. 
Konsentrasinya jadi berkurang. Pada saat 
itu sebuah pukulan si Kedok Hitam 
menghantam dengan telak ke dadanya. 
Tanpa ampun lagi gusti prabu 
terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak 
bernapas. Lalu menahan rasa sakit yang 
teramat hebat, dari mulut Gusti Prabu 
muntah darah segar. 
Si Kedok Hitam terbahak melihat 
keadaan sang prabu benar-benar dalam 
titik penghabisan. Dia berhasil mendesak 
dengan hebat, hingga Prabu Sri Jayarasa 
terpojok dan kewalahan menunggu ajal. 
"Hahaha... malam ini ajal akan 
menjemputmu, Prabu... Hahaha... 
bersiaplah untuk mampus menghadap Hyang 
Widi!" 
Meskipun sudah terpojok, sang prabu 
mendengus. 
"Hhh! Bila Hyang Widi menghendakiku 
mati di tanganmu, maka aku akan mati! 
Tetapi bila tidak, sampai kapan pun aku 
tidak akan pernah mati di tanganmu, 
Manusia busuk! Hhh! Baiknya kau katakan 
siapa kau sebenarnya! Bukalah kedok 
hitam yang menyelubungi wajahmu itu bila 
kau memang jantan adanya!" 
Kata-kata sang prabu hanya disambut 
oleh tawa oleh si Kedok Hitam. 
"Hahaha... prabu... untuk apa kau 
mengetahui wajahku, hah?!" 
"Pengecut!!" 
"Hahaha... maafkan aku, Prabu... 
permintaanmu itu tak akan pernah 
kupenuhi. Tapi yang perlu kau ketahui... 
bahwa semua kejadian ini adalah hasil 
buah tanganku. Kau paham maksudku?!" 
"Kau?!" Wajah pias sang prabu 
berubah menjadi kemarahan. Dia 
menggeram. Dan bersuara bersama 
dengusnya yang keras, "Bangsat! 
Jadi....." 
"Hahaha... ya, ya... dugaanmu tak 
salah, Prabu! Akulah yang telah mencuri 
Pusaka Patung Pualam! Bukankah dengan 
memiliki pusaka itu bertanda akulah yang 
berhak menduduki singgasana di Keraton 
Utara ini? Bukan kau orangnya, Prabu! Dan 
yang perlu lagi kau ingat, sementara 
orang-orangmu sedang sibuk menyerbu 
Keraton Selatan karena perintahmu yang 
tolol itu, aku dan pasukanku telah siap 
untuk menggulingkan kedudukanmu 
prabu!!" 
"Keji!" geram prabu. "Siapa kau 
sebenarnya, hah?!" 
"Itu tak perlu kau ketahui, Prabu!" 
"Anjing buduk! Pemberontak keji!" 
"Berteriaklah, Prabu! Berteriaklah 
dengan keras! Aku mau lihat siapa yang 
akan bisa menolongmu!" seru si Kedok 
Hitam dengan suara yang terdengar keji 
dan mengancam. "Hh! Kini ajalmu telah 
tiba, Prabu!" 
"Bangsat...!!" 
"Hmm... kita buktikan... apakah 
Hyang Widi memang menginginkan kau mati 
di tanganku atau tidak. Hahaha... 
sepertinya ha-apanmu gagal total, 
Prabu...." 
Kini nampaknya si Kedok Hitam tidak 
mau berbuat tanggung lagi. Dia merangkum 
dua buah tenaga besar di kepalanya. Akan 
dihancurkannya sang prabu sekarang juga. 
"Bersiaplah, Prabu! 
Heeeiiittttt!!" Pekikan keras merenggut 
nyawa sang prabu. Tubuhnya pun melesat 
menyerbu. Sang prabu  hanya terkulai 
dengan mulut masih mengeluarkan darah. 
Tak kuasa lagi untuk menahan serangan 
itu. 
Maut! Maut! Sudah terpampang jelas 
di hadapannya. Sudah tiba dan akan 
menjemputnya sekarang. 
"Mampuslah kau, Prabu!!" 
Prabu hanya pasrah saja. Tak ada 
lagi kesempatan untuk meloloskan diri. 
Matanya pun perlahan-lahan terpejam. 
Namun terjadi keajaiban di luar 
dugaan siapa pun. Karena mendadak saja 
selarik sinar putih muncul dan 
berkelebat di ha-dapan prabu. Membuat si 
Kedok Hitam terpekik dan segera 
berjumpalitan untuk menghindari sinar 
putih itu. Serangannya terputus. 
"Baammmm!!"  
Sinar putih itu menghantam dinding 
peraduan prabu hingga berantakan. 
"Bangsat!!" Si Kedok Hitam 
membentak sementara dia telah berdiri 
tegak. Matanya memperhatikan 
sekelilingnya dengan seksama. Sedangkan 
prabu yang telah membuka matanya 
berulangkali menghela nafas lega, tetapi 
juga heran siapa yang telah menolongnya. 
Si Kedok Hitam kembali membentak. 
"Hh! Siapa kau, hah?! Beraninya jangan 
bersembunyi! Ayo keluar!!" 
Si Kedok Hitam tak perlu berteriak 
untuk kedua kalinya. Karena mendadak 
sesosok tubuh muncul dari jendela dengan 
cara berjumpalitan dan langsung berdiri 
gagah di depannya. 
Dia seorang pemuda gagah. Berwajah 
tampan. Dia mengenakan baju putih-putih. 
Dia memiliki sebuah golok tipis 
bersarungkan batang kayu yang berlapis 
timah kuning. Dia mengenakan caping yang 
menutupi sebagian wajahnya. Dia 
tersenyum mengejek pada si Kedok Hitam. 
Dia... Pandu!! 
Sementara si Kedok Hitam menjadi 
gusar. Namun hatinya bertanya, siapa 
adanya pemuda bercaping ini? 
Tatapannya menatap gusar. 
"Siapa kau?!" 
Pandu hanya tersenyum. Semakin mem-
buat gusar si Kedok Hitam. Matanya sema-
kin melotot geram. 
Pandu pun membalas dengan tatapan 
waspada. Ah, bila dia terlambat sedikit 
saja, maka habislah riwayat Prabu. 
Rupanya rencana keji inilah yang 
dibicarakan si Kedok Hitam dan 
teman-temannya secara berbisik. 
Sementara Prabu Sri Jayarasa mende-
sah lega karena ada yang menyelamat-
kannya. Dia pun berdoa semoga tidak 
terjadi sesuatu yang membahayakan 
keselamatannya dan  diri pemuda yang 
telah menolongnya. 
Si Kedok Hitam menggeram murka. 
"Siapa kau adanya, hah? Katakan cepat, 
sebelum nyawamu kucabut!!" 
Pandu tersenyum. 
"Aku adalah orang yang menggagalkan 
niat busukmu itu, manusia laknat!!" 
"Bangsat! Kau jual lagak rupanya!" 
"Hmm... bukankah tadi sudah 
kubuktikan, kalau aku tidak menjual 
lagak!" 
"Anjing buduk!" 
"Apakah tidak terbalik? Kaulah 
anjing buduk yang secara pengecut hendak 
membunuh Prabu yang tak berdaya. Juga 
hendak berbuat makar terhadap Keraton 
Utara ini!" 
"Itu urusanku!" 
"Hahaha... sekarng menjadi 
urusanku! Bukankah aku telah terlibat 
dalam hal ini?!" 
"Kubunuh kau, Keparaaaatttt!!" 
"Hahaha... mampukah kau membuktikan 
ucapanmu itu? Lebih baik kau pergi dari 
sini!" 
"Setttann!!" 
"Cepat pergi dari sini!!" 
"Kau yang pergi, pemuda busuk!!" 
Tiba-tiba Pandu terbahak. 
"Hahaha... rupanya kau terkena juga 
dengan pancinganku! Baik, kau tak akan 
pernah bisa pergi dari sini! Dan akan 
kuperlihatkan pada Prabu, wajah siapa 
yang ada di balik kedok busukmu itu!!" 
seru Pandu dan tubuhnya sudah melesat 
menerjang dengan tangan lurus ke arah 
muka, mencoba menjambret kedok yang 
menutupi wajah orang itu. 
Sudah tentu si Kedok Hitam tidak mau 
ditelanjangi begitu saja. Dia berkelit 
dan tangan kanannya menepak lalu 
membalas dengan sodokan pada telapak 
tangannya. 
Pandu menurunkan sikunya untuk 
menangkis.  Lalu kembali meneruskan 
serangannya ke muka dengan ayunan siku 
yang sama Terlihat si Kedok Hitam cepat 
menarik kepalanya ke belakang. Saat 
itulah Pandu bergerak cepat. Tangannya 
yang membentuk siku tadi bergerak cepat 
ke arah wajah si Kedok Hitam, hendak 
menyambar kedoknya. 
Namun sungguh cepat pula gerakan 
yang diperlihatkan si Kedok Hitam. Dia 
menghindar dengan jalan merunduk. Lalu 
memberikan satu sepakan pada kaki Pandu. 
Semua serangan itu dilakukan dengan 
cepat dan hebat. Penuh tenaga dan 
kehebatan yang penuh. Pertarungan itu 
terus berjalan lagi benda-benda yang 
hancur karena terkena hantaman atau 
tendangan keduanya. 
Sungguh pertarungan yang amat hebat 
dan cepat. 
Tiba-tiba si Kedok Hitam bersalto 
dan berbalik ke belakang. Nampak dia 
membuka jurusnya. Tak lama kemudian 
terdengar suaranya mendesis mirip ular. 
"Jurus Ratu Cobra Merah!!" 
Terdengar seruan Prabu Sri Jayarasa 
terkejut.  
"Hati-hati anak muda! Ilmu itu amat 
berbahaya!" 
Si Kedok  Hitam yang tadi sudah 
kewalahan menghadapi Pandu, segera 
mengeluarkan jurus andalannya. Namun dia 
lupa kalau nampaknya Prabu mengenali 
jurusnya. Langsung saja dia melemparkan 
senjata rahasianya yang berupa jarum 
berbisa. Untungnya  Prabu masih bisa 
mengelakkan meskipun tubuhnya terasa 
sakit saat digerakkan. 
"Bangsat!!" Pandu menggeram. Dia 
menerjang. Namun si Kedok Hitam segera 
memburunya memapaki. Pandu merasakan 
angin panas menerpanya kala si Kedok 
Hitam mendekat. Kontan  dia 
berjumpalitan. 
Jelas sekali kalau jurus Ratu Cobra 
Merah itu amat berbahaya. Sekali kena, 
bisa mati seketika. Karena di ujung jari 
si Kedok Hitam seperti mengeluarkan bisa 
cobra yang amat mematikan! 
"Hahaha... mampuslah kau, anak 
muda!" geram si Kedok Hitam dan terus 
mencecar.  Pandu meningkat jurus 
berkelitnya. Tetapi dia belum berani 
menahan atau membalas, karena dia yakin 
jurus itu amat berbahaya. 
Tiba-tiba Pandu melepaskan Pukulan 
Sinar Putihnya, mampu membuat si Kedok 
Hitam menjaga jarak. Namun si Kedok Hitam 
seolah tidak kuatir dengan jurus itu. Dia 
malah terus mendekat, hingga Pandu yang 
kewalahan. Tiba-tiba pemuda itu bersalto 
dan saat hinggap di tangannya sudah 
terpegang sebuah golok yang memancarkan 
sinar terang. 
"Golok Cindarbuana!" seru si Kedok 
Hitam. "Hhh! Cepat kau serahkan golok itu 
padaku, Keparat!!" 
"Rupanya kau tertarik juga dengan 
golokku ini, Kedok Hitam. Rebutlah kalau 
kau mampu, aku baru mau memberikannya 
dengan ikhlas." 
"Setan" geram si Kedok Hitam sambil 
menerjang kembali. Dengan golok 
Cindarbuana di tangan, Pandu baru berani 
memapakinya dengan kibasan-kibasan 
berbahaya ke arah leher, dada dan 
kemaluan. Ini membuat si Kedok Hitam jadi 
membatasi gerakannya. 
Namun Kedok Hitam itu seorang yang 
luar biasa. Tiba-tiba saja dia 
mengibaskan tangannya ke depan. Delapan 
buah senjata rahasia berbentuk jarum 
kecil melesat dengan cepat. Mata Pandu 
yang telah sekian tahun terlatih melihat 
dalam gelap, segera menangkap desingan 
halus itu. 
Dengan jurus golok Kibasan Golok 
Membelah Bumi. Jurus yang diciptakan 
oleh gurunya  untuk bertahan, dia 
menghalau jarum-jarum maut itu. 
"Ting! Ting!" 
Enam  buah jarum itu berhasil 
dihalaunya dan dua buah lagi nancap di 
dinding setelah berhasil dihindarinya. 
Orang di balik kedok hitam itu 
terkejut melihat ketangguhan ilmu golok 
yang diperlihatkan oleh Pandu. 
Namun dia malah semakin penasaran. 
Dengan ganasnya dia menerjang terus. 
Kembali  keduanya memperlihatkan 
kehebatan, ketangguhan dan kelihaian 
mereka dalam berkelahi. 
Dan biar pun Pandu memakai golok 
itu, namun dia sendiri pun belum berhasil 
mengenai sasarannya. 
Setelah bertempur lebih dari lima 
puluh jurus, barulah dia mampu memberi 
kenangan sedikit di bahu si Kedok Hitam 
yang sedikit terhuyung. 
Pandu bukan orang yang kejam, 
padahal selagi si Kedok Hitam terhuyung 
demikian, dia mampu melumpuhkannya 
dengan sekali gebrak. Namun dia 
membiarkan saja si Kedok Hitam menekap 
lukanya dan melotot dengan gusar. 
"Bangsat kau!" geramnya marah. 
"Suatu saat, aku akan datang lagi dan 
mencabut nyawamu!" 
Setelah berkata demikian, si Kedok 
Hitam bersalto ke arah jendela dan 
menghilang. 
"Hei!" Pandu mengejar dan masih 
terlihat bayangan tubuh yang melesat 
cepat itu. Tiba-tiba dia melontarkan 
Pukulan Sinar Putihnya ke arah bayangan 
itu. 
"Sing!" 
Selarik sinar putih itu melesat 
dengan cepat. Mengarah tepat pada 
sasarannya. Namun si Kedok Hitam sudah 
cepat bersalto lebih dulu dan sinar putih 
itu luput dari sasarannya, menghantam 
sebuah pohon yang langsung hangus dan 
tumbang. 
Sementara si Kedok Hitam sudah 
menghilang dalam kegelapan malam. 
Lagi-lagi pemuda itu  yang mengha-
langinya. Siapa sebenarnya dia? Suatu 
saat, dia harus bisa membunuh pemuda itu. 
Pohon  yang tumbang itu, menarik 
perhatian para penjaga yang segera 
melihat. Mereka heran, terkena apa pohon 
ini bisa hangus dan tumbang. Dan mendadak 
mereka teringat akan keselamatan prabu. 
Mereka segera masuk ke tempat 
peraduan baginda. Di sana baginda sedang 
menghela nafas dan Pandu berdiri di 
sampingnya. 
Melihat ada orang asing yang berdiri 
di dekat baginda, para penjaga itu segera 
menyerang Pandu. Serangan itu lemah 
namun mengagetkan Pandu. 
"Heit!" Dengan manisnya dia 
berkelit dan bersalto. 
Ketika para penjaga itu akan 
menyerang lagi, baginda membentak. 
"Tahan! Dia orang kita!" 
Seketika mereka menahan 
serangannya. Namun masih menjaga-jaga 
segala kemungkinan. Baginda segera 
menerangkan apa yang barusan terjadi, 
barulah para penjaga itu mengerti dan 
minta maaf pada Pandu. 
Sementara di luar, malam sudah 
enggan untuk lebih lama menemani dunia, 
dia pun segera kembali ke peraduannya dan 
menyuruh sang fajar menggantikan 
kedudukannya. 
Alam  pun mulai hidup lagi, segar 
kembali. Di kejauhan, sang surya sudah 
mulai memancarkan sinamya yang keemasan. 
Suara kokok ayam dan kicau burung, 
menandakan suasana yang damai. Namun 
binatang-binatang itu tidak tahu apa 
yang tengah melanda Kerajaan Kediri. 
Juga para rakyatnya. Mereka sudah 
kembali bekerja seperti biasa. Ada yang 
sebagai petani, pedagang dan lainnya. 
Walaupun kelihatan damai, mereka 
sadar akan apa yang telah dan akan 
terjadi antara Keraton Utara dan Keraton 
Selatan. 
Namun mereka tidak ada yang tahu 
kalau semua ini disebabkan oleh musuh 
dalam selimut yang baru saja meloloskan 
diri. Menjelang pagi, Pandu segera 
menemui Prabu dan menceritakan apa yang 
terjadi. 
Prabu mendesah lega. 
"Tapi... aku belum mengetahui 
kabarnya Ki Runding Alam dan Ki Manggala. 
Ah, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa 
dengan mereka. Jelas ini adalah 
kesalahanku yang terlalu emosi menuruti 
hawa nafsu!" 
"Sudahlah, Prabu... yang sudah 
biarkanlah. Hmm... lebih baik, Prabu 
segera membentuk barisan untuk 
bersiaga." 
"Apa maksudmu, Anak muda?" 
"Karena menurut firasat hamba... si 
Kedok Hitam akan datang lagi dengan 
pasukannya dan siap untuk menggulingkan 
Keraton Utara sekarang juga! Lakukanlah 
cepat, Prabu!!" 
Prabu Sri Jayarasa pun bertindak 
cepat. Saat itulah dia baru ingat, kalau 
Panglima  Angling tidak muncul saat 
keributan itu terjadi. 
 
* * * 
 
Apa yang diduga Pandu ternyata benar 
adanya. Ketika matahari sepenggalah, 
nampak terlihat dari kejauhan debu-debu 
yang mengepul tebal. Diiringi suara yang 
gegap gempita. 
Pandu segera memerintahkan pasukan 
Keraton Utara untuk bersiap. Dan 
debu-debu yang tebal itu, kala mendekat 
terlihat puluhan pasukan berkuda dengan 
berpakaian hitam-hitam dan bermacam 
senjata di tangan. 
Pandu melihat jelas, di depan 
pasukan berkuda itu, nampak si Kedok 
Hitam dan empat orang sekutunya. 
"Hmm... ini amat berbahaya sekali. 
Tetapi mau tidak mau aku harus segera 
memimpin pasukan ini untuk menyerang 
pula," desis Pandu. 
Lalu  dia pun memerintahkan untuk 
segera menghadang pasukan yang telah 
mendekat itu. Seketika di depan halaman 
Keraton Utara terdengar suara hingar 
bingar yang amat keras. Gegap gempita 
yang amat mengglegar. 
Suara pedang dan senjata lainnya 
yang beradu memekakkan telinga, diiringi 
dengan suara jerit kematian. 
Karena jumlah pasukan lawan yang 
demikian banyak, sebentar saja pasukan 
Keraton Utara terdesak mundur. Pandu 
sendiri sudah berkelebat dengan Golok 
Cindarbuana dan jurus Cakar Gagak 
Rimangriya. Namun karena lawannya amat 
banyak, dia pun menjadi kewalahan pula. 
Belum lagi serangan-serangan yang 
dilakukan oleh Renggota dan Ranggota, 
Bujang Kroto dan Kawung Rongo yang amat 
marah karena rencana digagalkan. 
"Mundur!!" seru Pandu karena 
terlihat pasukan Keraton Utara terdesak. 
"Pertahankan pintu gerbang!!" serunya. 
Beberapa prajurit menahan pintu 
gerbang dengan sekuat tenaga. Sementara 
di luar pasukan berpakaian hitam-hitam 
itu berusaha untuk mendobrak pintu. 
Belum lagi dengan senjata-senjata 
yang  dilemparkan dari luar ke dalam, 
semakin membuat suasana menjadi panik 
adanya. Namun tiba-tiba terdengar suara 
hingar bingar di luar dan jerit kematian 
yang memilukan. 
Apa yang terjadi? 
Pandu segera naik ke tower yang 
tinggi dan melihat pasukan Keraton 
Selatan yang dipimpin oleh Kyai Rebo 
Panunggul dan Tunggul Dewa datang 
menghajar orang-orang itu. Di sana pun 
terlihat Mpu Daga dan Ki Sima Ireng. 
Merasa bantuan telah datang, Pandu 
segera memerintahkan untuk membuka pintu 
gerbang. Lalu pasukan berpakaian 
hitam-hitam yang kocar kacir dan 
menerobos masuk, dihantam 
habis-habisan. 
Pandu sendiri segera bergabung 
kembali dalam pertempuran itu. Dia 
melihat si Kedok Hitam yang berusaha 
untuk melarikan diri.  
Dengan sekali berjumpalitan Pandu 
menghadangnya dan menyeringai. 
"Hhh... kita bertemu lagi, Kedok 
Hitam! Tetapi saat ini, kau tak akan bisa 
lolos dari tanganku!" 
"Sombong!!" suara si Kedok Hitam 
terdengar panik, namun dia menyerbu 
dengan garangnya. Kembali jurus Ratu 
Cobra Merah dikeluarkannya. 
Sementara Kyai Rebo Panunggul 
berhadapan dengan Renggota. 
Ki Sima Ireng berhadapan dengan 
Ranggota. 
Mpu Daga berhadapan dengan Bujang 
Kroto. 
Sedangkan Tunggul Dewa berhadapan 
dengan Kawung Rongo. 
Pertarungan berjalan seru. 
Sementara pasukan berpakaian 
hitam-hitam itu telah habis dibantai. 
Kini hanya nampak lima pertarungan yang 
amat hebat.  
Kelihatan masing-masing amat 
berusaha ingin segera melumpuhkan 
lawannya. Dan terlihat pula satu persatu 
mulai berjatuhan. Kyai Rebo Panunggul 
berhasil menjatuh Renggota, Begitu pula 
dengan Ki Sima Ireng. Hal yang sama pun 
dialami Mpu Daga. Sedangkan Tunggul Dewa 
harus terluka di bahu kanannya sebelum 
berhasil melumpuhkan Kawung Rongo. 
Dan kini terlihat tinggal Pendekar 
Gagak Rimang yang tengah bertarung hebat 
dengan si Kedok Hitam. Prabu Sri Jayarasa 
pun hadir di sana menyaksikan 
pertarungan itu. 
Sungguh suatu pertarungan yang amat 
hebat. Saling serang menyerang dengan 
hebat dan cepat. Pandu sendiri sudah 
mengeluarkan pukulan Cakar Gagak 
Rimangnya. Namun kala kedua tangan 
mereka saling berbenturan, keduanya 
sama-sama terjengkang ke belakang. 
Menandakan ilmu yang mereka miliki sama. 
Namun Pandu tak mau berbuat setengah 
lagi. Dia segera mencabut goloknya. Dan 
dengan golok itu dia menyerang si Kedok 
Hitam dengan hebat. 
Kali ini nampak jelas si Kedok Hitam 
yang kewalahan, Dan satu ketika, Pandu 
berjumpalitan dengan satu sodokan golok 
ke arah dada si Kedok Hitam yang menjadi 
terkejut  hingga menarik tubuhnya ke 
belakang.    . 
Saat itulah Pandu bergerak dengan 
cepat. Tangannya- menyambar kedok hitam 
yang menutupi wajah orang itu. Dan 
serentak terdengar tiga seruan secara 
bersamaan. 
"Panglima Angling!!" 
Wajah di balik kedok hitam itu 
ternyata memang Panglima Angling. Dialah 
musuh dalam selimut yang menginginkan 
tahta singgasana Keraton Utara. Dia pun 
yang mencuri Pusaka Patung Pualam, kala 
Prabu ke luar dari peraduannya. 
Wajah itu pias. Namun sombong. 
"Hhh! Ya... akulah orangnya! Kalian 
semua bisa membunuhku tetapi... 
hahaha... kalian tak akan pernah 
mendapatkan di mana Pusaka Patung Pualam 
berada!!" serunya terbahak. 
Tetapi ketika didengarnya suara Mpu 
Daga, "Apa kau bilang, Panglima busuk? 
Apakah di tanganku ini bukan Pusaka 
Patung Pualam?!" 
Terbelalak mata Panglima Angling. 
Dia merasa dirinya sudah kalah. 
Tiba-tiba saja dia menggerakkan 
tangannya hendak menghantam dadanya 
sendiri dengan jurus Ratu Cobra Merah. 
Namun Pandu segera berkelebat, menotok 
tubuh itu hingga kaku.Dan dia 
berjumpalitan kembali. Berhadapan 
dengan Prabu dan yang lainnya.  
"Prabu dan orang gagah sekalian... 
tugasku agaknya sudah selesai. Untuk itu 
aku mohon pamit!!" 
Belum lagi ada yang bicara, Pandu 
sudah berkelebat dengan cepat hingga 
orang-orang di sana hanya terlongo-longo 
saja. 
Tak lama kemudian terlihat  tiga 
sosok tubuh mendekat. Yang seorang 
nampak lemah sekali. Dia adalah Ki 
Runding Alam, Ki Manggala dan yang lemah 
adalah Sekar Perak. Yang amat terkejut 
melihat pasukan Keraton Selatan berada 
di sana. Namun setelah dijelaskan oleh 
Mpu Daga dia pun mengerti. 
Dan tiba-tiba pula muncul Dasa 
Samudra dan beberapa orang prajurit yang 
tengah mencari jejak ke mana Sekar Perak 
selir  kesayangan Gusti Prabu Keraton 
Selatan diculik. Dia pun segera diberi 
penjelasan oleh Kyai Rebo Panunggul. 
 
Udara berhembus dingin. Sementara 
Pandu sang Pendekar Gagak Rimang terus 
melanjutkan pengembaraannya. 
 
 
TAMAT 
Ikutilah serial Pendekar Gagak 
Rimang 
Dalam Episode: 
"Menumpas Angkara Murka"